Radite dan Anggara tersentak bersama-sama
mendengar kata-kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi
kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat
dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa
sementara ini mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk
memancing kehadiran gurunya. Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, ”Paman berdua…
ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman
berdua. Apalagi sampai ada pertempuran yang sebenarnya antara hidup dan
mati. Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang berbahaya.
Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua pusaka yang hilang itu.”
Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite
dan Anggara. Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya
mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian terdengarlah
orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya, ”Aku kagum pada
kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa Radite dan
Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah melihat bahwa orang yang
membawa kedua keris itu pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah,
kau yakin bahwa apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara,
pastilah orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana
kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite dan
Anggara?”
Hampir saja Mahesa Jenar menjawab bahwa
ia berusaha untuk tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah
dicapainya setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang
cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan, karena
dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa, agaknya akan
nampak bahwa ia menyombongkan dirinya.
Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar
tidak menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah
mengerti perasaan Mahesa Jenar. “Atau kalau kalian merasa bahwa
kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku tidak
mengetahui apa yang terjadi di sini?”
Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat tuntunan untuk menjawabnya, “Tuan…
aku yakin bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini.
Sebab kehadiran Tuan pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan
untuk menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkkan kepadaku bahwa
Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin
pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan salah satu pihak dari kita yang
sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman Radite dan Paman Anggara
adalah murid-murid Tuan yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa
perlu untuk menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai
sejauh-jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan
Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”
“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.
“Kalau demikian…” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Tuan
pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus. Dan
apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau kami
menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman Radite dan Paman
Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah demikian.”
“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab orang berjubah abu-abu itu.
“Bukankah kau masih berada di tempat
ini, dan aku masih belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah
mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa
kau benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara membinasakan
kalian berdua.”
Radite dan Anggara menjadi semakin
bingung. Persoalan yang agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia
menjadi bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa.
Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya
pada orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia berkata
hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah apa
yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat anakku Arya
Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”
Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata, “Aku
tidak kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud
itu adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya, maka
aku tidak ada hubungan sama sekali dengan anak itu.”
Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak, “Nah,
Tuan… aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di
belakang kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang
bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang
Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan dan menyimpan hampir segala
jenis topeng-topeng serta pahatan kayu.”
Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut.
Bahkan darahnya seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar
Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping
itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha sakti,
apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang itu. Dan
sSetelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian kalinya,
kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang ketika tiba-tiba gurunya
tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh. Dalam keadaan yang demikian
semakin jelaslah, betapa tua usia orang yang berjubah abu-abu itu.
Katanya kemudian, “Mahesa Jenar, adakah orang yang kau sebutkan maha sakti itu gurumu?”
“Bukan,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi
Panembahan Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di
kolong langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang
beraneka ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak
yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun jauh dari
sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat menarik bagiku
adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”
Orang berjubah abu-abu itu terdengar
menggeram. Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya
kepada Radite dan Anggara, “Anak-anakku, agaknya kalian menjadi
pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi
biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”
Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu
tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik oleh
Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah Radite
berkata, “Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”
Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, “Radite, sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu dahulu bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”
Radite kemudian merasa diingatkan atas
kewajibannya sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilahkannya gurunya
beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.
Setelah mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, diatas sebuah
bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata, ”Radite
dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang
seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi kau
melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah topeng yang kasar dan jelek,
yang kemudian dipakai oleh Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum
pernah melihat wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah
yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula agaknya
Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian yang belum pernah
dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang sudah lama, maka iapun
segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera
mengenal aku karena perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang.
Sehingga karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan
kalian adalah umpan-umpannya.”
Radite dan Anggara memang sudah merasakan
hal itu. Namun peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya.
Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan
dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan gurunya.
Apakah ia pun berguru pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu?
Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti
bersamaan. Sedangkan orang itu justru bersumber pada cabang perguruan
Pengging.
Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia meneruskan, ”Satu-satunya
cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang
berjubah abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah
mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara
ini. Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang
berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan diri untuk
melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-lawannya adalah murid
orang berjubah abu-abu itu sendiri.”
Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata, ”O,
ngger, ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir
saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang Angger berdua
paksakan kepada kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling
parah. Itulah sebabnya aku tak dapat menahan diri lagi.”
”Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara, ”Sebab
kami tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula
kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah. Maka
terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap
Paman percaya, bahwa bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya.”
Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanyalah ia, ”Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
”Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab Kebo Kanigara. ”Dan
terhadap orang yang kami harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan
harapan sepenuhnya atas kedua pusaka itu. Karena orang yang berjubah
abu-abu itupun tahu pasti bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”
Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun kemudian tertawa lirih, katanya, ”Alangkah
bingungnya aku kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah
bodohnya orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu
burung di sawah-sawah.”
”Tetapi…” tiba-tiba Radite menyela, ”Siapakah
sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya,
namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara…?”
Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, ”Itulah kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas.”
”Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng. ”Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”
”Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu. ”Dan
sekarang ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang suka
berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut ilmu perguruan
Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama yang
aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia dikenal bernama Manahan. Barangkali
memang demikianlah kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”
”Aku sudah menduga,” sela Radite, ”Bahwa Angger ini pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”
”Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, ”Tetapi ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik seperguruannya.”
Radite dan Anggara bersama-sama
mengerutkan keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian
yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Radite
sendiri.
Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
”Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka berganti nama.
Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang bernama Radite pernah
bernama Pasingsingan dan pernah bernama Paniling. Seorang yang bernama
Anggara pun memiliki nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu,
seorang lain yang pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki
nama yang lain, Panembahan Ismaya.”
Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu
itu tergeser beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat sama sekali
tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-gapai
dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di
dinding.
No comments:
Write comments