
Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya, ”Radite,
aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi
ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui
kesalahanmu itu adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila
ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah
hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”
Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa
saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul
pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau
gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di
hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya,
sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi.
Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru kemudian teringatlah oleh
Radite bahwa disampingnya ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu
Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya.
Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?.
Karena itu kemudian bertanyalah ia, ”Guru, kalau demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”
Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya, ”Radite,
kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu
tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku
tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa
orang tua yang merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya.
Bahkan kalau mungkin, menjadi kebanggaan setiap orang”
Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata
apa yang cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa
sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini
meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus dilupakan
dan disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak berubah dari
masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih
dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya
manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada kepentingan
kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta
Tuhan.”
Tidak hanya Radite dan Anggara yang
meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk
sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan
karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau
tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu
persoalan, namun sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal
anak-anak muda.”
Radite dan Anggara terkejut mendengar
kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika
didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah
mereka.
Dan orang berjubah itu pun meneruskan, ”Aku terpaksa datang kemari karena aku tidak mau
Radite dan Anggara menjadi semakin
tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa
menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang
berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya
Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan
tergagap terdengar Radite menjawab, ”Guru, aku sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya, ”Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”
”Nah…” jawab orang berjubah itu, ”Radite
dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di
tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara
tidak pernah berbohong.”
Kembali Mahesa Jenar kebingungan.
Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya
sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab, ”Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.
Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan
Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan
segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang berjubah
abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia
kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama
Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat dijadikan pegangan.
Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang.
Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar, “Tuan
yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu
perselisihan kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah
karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris
itu sama sekali tidak berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang
yang sakti, yang mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang
pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
No comments:
Write comments