Wednesday, February 26, 2014

Nogososro Sabuk Inten 15 B

Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu. Meskipun demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak, ”Guru, bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi suri tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari setiap hukuman.”
Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya, ”Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”

Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya, sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?.
Karena itu kemudian bertanyalah ia, ”Guru, kalau demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”
Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya, ”Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin, menjadi kebanggaan setiap orang”
Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata apa yang cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus dilupakan dan disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada kepentingan kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta Tuhan.”
Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu persoalan, namun sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”

Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah mereka.
Dan orang berjubah itu pun meneruskan, ”Aku terpaksa datang kemari karena aku tidak mau
Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan tergagap terdengar Radite menjawab, ”Guru, aku sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya, ”Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”
”Nah…” jawab orang berjubah itu, ”Radite dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara tidak pernah berbohong.”
Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab, ”Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.
Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang berjubah abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang.
Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar, “Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu perselisihan kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris itu sama sekali tidak berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan.”

No comments:
Write comments