MAHISA AGNI DAPAT MENGERTI SELURUHNYA.
Karena itu, maka ia tidak akan minta lebih banyak lagi dari Witantra.
Apa yang dilakukan telah lebih dari cukup. Apalagi kesanggupan Witantra
untuk ikut serta memecahkan persoalan itu besok, kalau Akuwu sudah
pulang dari berburu.
“Berapa lamakah masa perburuan itu?”
“Pendek. Sehari, dua hari. Bahkan
kadang-kadang baru tengah hari Sang Akuwu telah menjadi jemu dan kembali
ke istana. Tetapi kadang-kadang sampai tiga empat hari berkemah di
dalam hutan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dari cara-cara itu telah dapat diketahui bahwa Akuwu Tumapel
itu selalu berbuat menurut kehendak sendiri, tanpa mempertimbangkan
pendapat orang lain. Meskipun demikian, maka Mahisa Agni percaya,
apabila Akuwu itu mendengar peristiwa yang sebenarnya telah terjadi atas
Ken Dedes, maka Sang Akuwu itu pasti akan membantu mencegah Kuda
Sempana melakukan kesalahan serupa untuk ketiga kalinya.
Akuwu
itu kemudian mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Dilihatnya Kuda Sempana
berdiri tegak dengan kaki renggang dan dada tengadah. Namun kemudian
dilihatnya pula Ken Dedes mengangkat wajahnya, menatap kepadanya, kepada
Akuwu Tumapel yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas itu, sambil
menunjuk mukanya gadis itu berteriak “Biadab. Biadab. Apakah kau tidak
dapat berbuat sesuatu untuk mencegah perbuatan gila ini?”
Tetapi
prajurit itu sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa. Ia memang
mencoba menahan pukulan Ken Arok itu dengan kedua belah tangannya. Namun
ternyata akibatnya nggerisi. Terdengar prajurit berkumis tebal itu
berteriak, dan disusul dengan derak tulang-tulang patah. Tulang
tangannya dan beberapa tulang iganya. Tangan Ken Arok yang marah itu
seakan-akan berubah menjadi segumpal besi yang menghantam dada prajurit
berkumis tebal itu, sehingga prajurit yang malang itu kemudian terlempar
beberapa langkah, terbanting di tanah, dan mati seketika itu juga.
Witantra itu pun kemudian mempersilakan
Mahisa Agni untuk beristirahat. Sebab ia sendiri harus mempersiapkan
diri untuk menempuh masa perburuan yang tak diketahui ke mana dan berapa
lama. Karena itu, maka Witantra itu harus menyiapkan anak panah serta
busurnya. Bahkan senjata-senjatanya yang lain. Mungkin akan dipergunakan
pula tombak berburunya untuk melawan binatang-binatang buas yang
tiba-tiba saja menyerangnya.
Mahisa Agni itu pun kemudian
dipersilahkannya untuk beristirahat di gandok kanan. Besok ia dapat
tinggal di tempat itu pula sambil menunggu Witantra kembali. Mungkin
tidak terlalu lama. Dan selama itu ia tidak perlu mencemaskan Kuda
Sempana. Sebab Witantra akan dapat mengawasinya. Sedang apabila Kuda
Sempana tidak ikut serta, dan karena itu ia mempunyai kesempatan untuk
berbuat sesuatu, maka Witantra itu akan memberitahukannya dan ia harus
segera pulang.
Karena itu, Mahisa Agni yang lelah
setelah membersihkan diri segera membaringkan dirinya di atas sebuah
pembaringan bambu. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan dicobanya
untuk memejamkan matanya. Namun kegelisahannya selalu mengganggunya.
Demikianlah di tempat yang lain, Kuda
Sempana pun berbaring di pembaringannya. Beberapa orang kawannya
serumah, para pelayan dalam Akuwu, melihatnya dengan penuh keheranan.
Namun, dibiarkannya Kuda Sempana itu terbaring diam, meskipun matanya
tidak terpejamkan. Kuda Sempana itu sedang merenungkan apakah yang baru
saja terjadi atasnya. Ia berbesar hati, karena ia mendapat kesempatan
melepaskan diri dari Mahisa Agni yang akan menangkapnya, namun ia tidak
dapat melupakan kekalahannya. Kekalahan yang pahit. Apalagi kekalahannya
itu sama sekali bukan kekalahannya yang pertama. Dua kali ia mengalami
kekalahan dari Mahisa Agni. Karena itu, maka dendam di dalam dadanya
membara setinggi gunung.
“Kuda Sempana,” terdengar seorang kawannya berkata kepadanya, “Besok Akuwu akan pergi berburu.”
“Persetan!” jawab Kuda Sempana.
Kawannya itu mengerutkan keningnya. “Kenapakah kau? Apakah kau sedang mabuk tuak?”
“Jangan ribut!” bentak Kuda Sempana. Tetapi kawannya itu malahan tertawa. Alangkah menjengkelkannya.
“Akuwu telah memerintahkan, di antara kita, tiga orang harus mengikutinya di samping beberapa orang prajurit.”
“Pergilah. Ajaklah dua orang yang lain.”
“Akuwu menyebut nama di antara kita. Aku, kau dan pelayan yang baru itu. Ken Arok.”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. “Menjemukan,” desisnya, “Katakan kepada Akuwu, Kuda Sempana sedang sakit.”
“Jangan membual, Kuda Sempana. Berkatalah sendiri.”
Kuda Sempana diam sesaat. “Kenapa anak itu harus ikut pula?”
“Siapa? Ken Arok maksudmu?”
“Ya.”
“Entahlah. Itu adalah urusan Akuwu.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia sedang
sibuk berpikir tentang dirinya sendiri. Tentang kegagalannya dan tentang
kekalahannya. Namun wajah Ken Dedes tidak dapat dilupakannya. Ia akan
dapat mati membeku apabila ia melihat gadis itu diperistri oleh
Wiraprana kelak.
Kuda Sempana sama sekali tidak tertarik
kepada kabar yang disampaikan oleh kawannya itu. Meskipun pada masa-masa
yang lampau ia adalah seorang pemburu yang baik, dan berita tentang
masa perburuan sangat menarik hatinya.
Kini ia sedang dirisaukan oleh persoalannya sendiri.
Tetapi, tiba-tiba wajah Kuda Sempana itu
menjadi terang. Tiba-tiba saja ia bangkit dan berteriak kepada kawannya
yang masih duduk dekat pembaringannya, “He, kau bilang Sang Akuwu akan
berburu besok?”
Kawannya terkejut melihat perubahan yang
tiba-tiba Itu. Sesaat ia memandangi wajah Kuda Sempana, dan kemudian
bahkan kawannya itu bertanya,” Apakah kau tertarik kabar itu?”
“Tentu. Tentu,” sahut Kuda Sempana, “bukankah aku selalu mengikuti Akuwu berburu?”
“Tetapi kenapa kau menjadi seperti orang
mabuk tuak, sehingga pada waktu aku sampaikan kabar itu, kau sama sekali
tidak menaruh perhatian atasnya?”
“Siapa bilang aku tidak menaruh perhatian?”
“Kalau begitu kau benar-benar mabuk.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Mungkin aku agak mabuk. Tetapi aku sekarang sudah
baik. Nah, apakah kau tahu ke mana Akuwu akan berburu?”
Kawannya itu menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tidak. Akuwu belum mengatakan kepadaku ke mana besok akan
berburu. Bukankah biasanya kau dapat membujuknya menurut kehendakmu
saja.”
Kuda Sempana tersenyum. Besok pagi-pagi
ia harus menghadap. Perburuan kali ini adalah perburuan yang pasti akan
mengasyikkan. Mudah-mudahan Sang Akuwu mau mendengarkan ceritanya.
Malam itu Kuda Sempana sama sekali tidak
dapat tidur. Dengan gelisahnya ia berbaring di pembaringannya. Sekali ia
berputar ke kiri, sekali ke kanan. Di kepalanya sedang tersusun sebuah
cerita yang pasti akan sangat menarik. Cerita tentang dirinya, dan
cerita tentang kampung halamannya.
“Biarlah Sang Akuwu mendengar dari aku
sendiri daripada Akuwu mendengar dari orang lain, dari Mahisa Agni
misalnya. Kalau Akuwu mendengar dari aku lebih dahulu, maka aku kira
Sang Akuwu akan lebih percaya kepadaku, daripada kepada orang lain yang
belum dikenalnya.”
Kembali Kuda Sempana tersenyum. Kemudian
seperti orang yang kehilangan kesadaran diri ia tertawa sendiri dan
bahkan terdengar ia bergumam lirih, “Hem. Kalau Akuwu mau mendengar
ceritaku. maka tak seorang pun akan dapat mencegah maksudku besok.
Mahisa Agni tidak, dan seluruh penduduk Panawijen pun tidak. Besok aku
akan melewati padukuhan itu, dan besok atas perintah Sang Akuwu gadis
itu akan dapat aku bawa serta bersama ke Tumapel. Apakah Mahisa Agni
akan dapat mencegahnya, apalagi kalau besok ia masih berada di Tumapel”
Kuda Sempana yang sedang ditelan oleh
angan-angannya itu benar-benar seperti orang gila. Sekali ia tersenyum
sendiri, kemudian bergumam perlahan-lahan. Sesaat kemudian ia bangkit
dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya. Ketika ia melihat kawannya
telah tidur nyenyak maka ia berkata, “Hem. Kau tidak tahu, bahwa besok
aku akan memetik kembang yang tumbuh di kaki Gunung Kawi itu. Kau besok
pasti akan menjadi gila setelah kau melihat wajahnya. Dan aku akan
tertawa melihat kegilaanmu melampaui orang yang sedang mabuk tuak.”
Tetapi kawannya itu sudah tidak mendengarnya lagi. Karena itu ia mendengkur terus.
Kuda Sempana pun kemudian berbaring
kembali. Sambil tersenyum ia menarik selimutnya menutupi seluruh
badannya. Dan sesaat kemudian anak muda itu pun tertidur dipeluk mimpi
yang indah.
Pagi-pagi benar Kuda Sempana telah
bangun. Setelah membersihkan dirinya, maka dengan tergesa-gesa ia masuk
ke istana, mohon menghadap Akuwu yang sedang menggosok busur yang akan
dibawanya berburu.
Akuwu Tumapel adalah seorang yang gagah
dan berbadan tegap. Alisnya yang tebal dan hampir bertemu kedua
pangkalnya, memberinya wibawa yang besar. Umurnya masih belum terlampau
banyak. Tidak banyak terpaut dengan Kuda Sempana. Namun pengaruh
kehidupan istana, telah membentuknya menjadi seorang yang agak terlampau
masak dibandingkan dengan umurnya.
Seorang emban yang terdekat dengan Akuwu segera mempersilakannya dan menyampaikan permohonan itu kepada akuwu.
“Siapa?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
Emban itu menyembah sambil berkata, “Seorang hamba, pelayan dalam mohon menghadap.”
“Ya, siapa?” bentak Akuwu itu.
Seseorang yang belum pernah mengenalnya
pasti segera akan menjadi ketakutan. Tetapi baik emban itu, maupun Kuda
Sempana telah mengenal tabiatnya, sehingga mereka sama sekali tidak
terkejut mendengar bentakan-bentakan itu.
Meskipun demikian Kuda Sempana menjadi
berdebar-debar juga. Apakah Akuwu akan mendengarkan ceritanya dan tidak
menjadi marah karenanya?
Yang terdengar kemudian adalah emban itu menjawab. “Yang akan menghadap adalah pelayan dalam Kuda Sempana.”
“Kuda Sempana?” ulang Tunggul Ametung.
“Hamba Sang Akuwu.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.
Kuda Sempana termasuk salah seorang hambanya yang dekat. Kepandaiannya
menyanjung dan meladeni keinginan-keinginan akuwu telah membuatnya
seorang yang dipercaya. Karena itu, maka kali ini pun Tunggul Ametung
itu berkata, “He, apa maksudnya? Bukankah nanti Kuda Sempana akan aku
bawa serta berburu?”
Emban itu menjawab, “Hamba tidak tahu.”
“Panggil anak gila itu!”
Emban itu menyembah, kemudian beringsut keluar untuk memanggil Kuda Sempana yang menunggu di luar pintu.
Sampai di luar pintu emban itu berbisik kepada Kuda Sempana, “Kau dipanggil Akuwu.”
“Aku sudah dengar,” sahut Kuda Sempana pendek.
“Apa yang sudah kau dengar?”
“Akuwu memanggil aku.”
“Heh,” berkata emban itu, “kau
meminta-minta aku menyampaikan permohonanmu kepada Akuwu. Sekarang kau
tidak berterima kasih kepadaku.”
“Kenapa aku harus berterima kasih? Bukankah itu sudah kewajibanmu?”
Emban itu bersungut-sungut. Tetapi ia
tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang, meninggalkan
Kuda Sempana yang termangu-mangu di muka pintu.
Sesaat kemudian terdengar suara Tunggul Ametung, “He, Kuda Sempana!”
Dada Kuda Sempana berdesir. Kemudian
hampir merangkak ia memasuki pintu dan kemudian duduk bersila di hadapan
Akuwu yang masih sibuk membersihkan busurnya, menggosoknya dengan angkup keluwih, sehingga busurnya itu mengkilat seperti cermin.
Tanpa berpaling Akuwu itu bertanya, “Apakah keperluanmu, he?”
Kembali Kuda Sempana ragu, Sesaat itu
berdiam diri. Sehingga ia terkejut ketika Tunggul Ametung itu berteriak,
“Apa keperluanmu?”
Cepat-cepat Kuda Sempana menyembah sambil menjawab terbata-bata, “Oh, ampunkan hamba, Sang Akuwu.”
Akuwu Tumapel itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Kenapa kau gemetar seperti kera kedinginan?”
“Tidak, tidak Sang Akuwu,” sahut Kuda Sempana, “hamba tidak kedinginan.”
Akuwu Tunggul Ametung itu tertawa terus.
Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang pucat. Kemudian katanya, “He, Kuda
Sempana, ke mana kau pergi kemarin sehari?”
Kuda Sempana menjadi tergagap. Ia tidak
menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan yang tiba-tiba itu. Karena
itu maka jawabnya, “Ampun Akuwu. Hamba kemarin harus pulang ke kampung
memenuhi panggilan orang tua hamba. Bukankah hamba telah minta izin
kepada pimpinan hamba, Kakang Trihatma?”
“Ya. Trihatma sudah mengatakannya kepadaku. Apakah kau sudah tahu, bahwa hari ini aku akan berburu?”
“Hamba Tuanku.”
“Kau harus ikut!”
“Hamba Tuanku,” sahut Kuda Sempana dengan suara gemetar, “Ke mana Tuanku akan berburu?”
Tiba-tiba Tunggul Ametung itu memandang
wajah Kuda Sempana dengan tajamnya. Sambil menggosok busurnya Akuwu itu
berkata, “Sejak kapan kau bertanya ke mana aku akan berburu?”
“Ampun Akuwu. Apakah kali ini hamba diperkenankan bertanya?”
“Aku belum tahu, ke mana aku akan berburu.”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Akhirnya dengan sedih ia berkata, “Sang Akuwu. Aku adalah
seorang hamba yang sangat senang pergi berburu. Apalagi kalau aku
mendapat perintah untuk mengikuti Akuwu berburu. Sebenarnya kali ini pun
aku menjadi bergembira sekali, tetapi ada sesuatu yang ingin hamba
hindari dari daerah perburuan Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Kemudian katanya, “Aku tidak tahu maksudmu. Katakan, jangan melingkar-lingkar!”
Kuda Sempana menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Hamba mempunyai beberapa pantangan Sang Akuwu.”
Akuwu Tumapel itu menjadi tidak sabar. Keras-keras ia membentak “Jangan berputar-putar. Ayo bicara!”
Kuda Sempana dengan tergesa-gesa
membungkukkan badannya sambil menyembah. Jawabnya “Hamba belum tahu ke
mana Sang Akuwu akan berburu. Karena itu hamba belum dapat mengadakan
kesulitan-kesulitan hamba itu.”
“Ke mana? Ke mana?” Tunggul Ametung
berteriak. Kemudian setelah dipandanginya kepala Kuda Sempana maka
katanya perlahan-lahan, “Aku belum tahu. Nah, katakan kepadaku Kuda
Sempana, ke mana sebaiknya kita berburu?”
Kuda Sempana mengangkat wajahnya.
Kemudian sahutnya, “Sang Akuwu, ke manapun bagi hamba tidak ada
keberatannya. Hanya satu arah yang hamba pantang pergi. Tetapi …”
“Diam!” bentak Tunggul Ametung pula keras, “Aku bertanya kepadamu, ke mana kau akan pergi. Aku akan ikut bersamamu.”
Kuda Sempana telah biasa sekali dengan sikap Akuwu itu. Maka jawabnya, “Ya. Ya. Baiklah kita pergi ke timur.”
“Kenapa ke timur?”
“Itulah yang akan hamba katakan. Hamba
tidak akan dapat pergi berburu ke barat. Apalagi ke daerah hutan di
sekitar, Talrampak dan padang rumput Karautan. Lebih-lebih lagi di
sekitar tempat asal hamba, Panawijen.”
Akuwu Tumapel menjadi heran, Kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya “Kenapa tidak ke daerah itu?”
Kuda Sempana menundukkan wajahnya. Sesaat
ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian didengarnya
akuwu itu berkata “Jangan takut Kuda Sempana. Bukankah selama ini kita
tidak pernah pergi berburu ke sana? Kenapa tiba-tiba saja kau berkata
bahwa kau tidak dapat ikut ke Panawijen? Kenapa he?”
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya, sabutnya, “Itu persoalan hamba sendiri Sang Akuwu. Persoalan terlalu pribadi.”
Tiba-tiba Kuda Sempana terkejut ketika
Akuwu Tumapel itu meloncatinya sambil menarik lengannya keras-keras.
Terdengar Akuwu itu membentak. “Kuda Sempana. Kau sangka aku tidak
berhak mencampuri urusan pribadimu? He? Ayo katakan sebabnya. Kalau
tidak aku bunuh kau sekarang.”
Kuda Sempana menjadi gemetar Dengan
tergagap ia menjawab “Ya, ya, baiklah Tuanku Baiklah hamba katakan
persoalan itu. Persoalan yang sebenarnya sangat memalukan.”
Tunggul Ametung kemudian melepaskan
tangan Kuda Sempana sambil bergumam “Ingat, aku adalah Akuwu Tumapel.
Aku berhak mengetahui apa saja di daerah Tumapel.”
Kuda Sempana menjadi gemetar karenanya.
Matanya menjadi sayu suram. Perlahan-lahan ia berkata, “Sang Akuwu,
cerita tentang diri hamba adalah suatu cerita yang memalukan. Karena itu
sebenarnya hamba takut menyampaikannya kepada Tuanku.”
“Hem,” desah Tunggul Ametung, “jangan membuat aku marah. Aku dapat menangkap kepalamu dan memutar leher mu sampai patah.”
“Ampun Tuanku,” jawab Kuda Sempana,
“bukan karena hamba tidak mau, tetapi semata-mata karena hormat hamba
kepada Tuanku. Karena bakti hamba kepada Sang Akuwu, sehingga amatlah
memalukan bahwa seorang hamba Akuwu yang besar sebesar Tuanku, harus
mengalami perlakuan seperti hamba ini.”
Tunggul Ametung itu mengerutkan bibirnya.
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata sareh, “Katakan,
katakan Kuda Sempana. Katakanlah apa yang menyebabkan kau bersedih?”
Kuda Sempana menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sekali ia menyembah ia berkata, “Ampun Tuanku. Janganlah Tuanku murka kepadaku.”
“Tidak. Tidak Kuda Sempana.”
“Tuanku, ampun,” berkata Kuda Sempana
terputus-putus, “seperti yang hamba katakan kemarin hamba dipanggil oleh
orang tua hamba pulang ke kampung halaman. Sebab menurut orang tua
hamba, sudah sepantasnya hamba menjalani masa berumah tangga.”
Tiba-tiba Tunggul Ametung itu tertawa
terbahak-bahak, sehingga perutnya terguncang-guncang. Dengan busurnya
itu, dipukulnya kepala Kuda Sempana sambil berkata, “Itukah yang
memedihkan itu? Itukah sebabnya kau tidak mau berburu ke sekitar kampung
halamanmu?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Namun
dibiarkannya Tunggul Ametung itu tertawa sepuas-puasnya. “Kau akan
berbahagia Kuda Sempana. Kau akan mendapat seorang istri. Begitu?”
tetapi sebelum Kuda Sempana menjawab Tunggul Ametung itu membentaknya,
“Hanya itu? He? Hanya karena itu kau merasa malu mengatakannya kepadaku?
Atau hanya karena aku sendiri belum kawin, kau menjadi takut untuk
kawin?”
Kuda Sempana menyembah. Sahutnya,
“Sebagian demikian Tuanku. Tuanku belum bepermaisuri. Apakah hamba akan
kawin sebelum Sang Akuwu? Bukankah hamba tidak sepantasnya. Apalagi umur
hamba masih lebih muda dari usia Tuanku.”
Sekali lagi akuwu itu tertawa
terbahak-bahak. Sekali lagi ia memukul kepala Kuda Sempana dengan
busurnya, “Kau anak yang baik. Kau benar-benar tahu bagaimana kau
menghormati aku.”
Kemudian dengan bersungguh-sungguh Akuwu
itu berkata, “Tetapi itu bukan apa-apa, Kuda Sempana. Kau boleh kawin
sesukamu. Sekarang, besok atau kapan saja. Kau akan mendapat hadiah yang
berharga dari aku. Dan istrimu akan mendapat perhiasan sepengadeg dariku. Nah, katakan kapan kau akan kawin?”
“Ampun Tuanku. Cerita hamba belum selesai.”
“He? Apalagi? Kau akan merajuk supaya aku memberimu sepasang kuda yang baik?”
Kuda Sempana menyembah sampai dahinya menyentuh tanah. “Tidak Tuanku,” sahutnya cepat-cepat, “tidak.”
“Lalu apa?”
Kuda Sempana berhenti sejenak Dengan
sudut matanya ia mencoba menyusuri pandang wajah Sang Akuwu. Tetapi Kuda
Sempana itu terkejut ketika Akuwu itu membentaknya “He. Kau ada apa
sebenarnya? Mempermainkan aku?”
“Tidak Tuanku, tidak,” sahut Kuda Sempana, “hamba hanya takut saja mengatakan.”
“Jangan takut!” Tunggul Ametung itu
berteriak, “kalau kau sekali lagi berkata takut kepadaku, maka aku cekik
kau sampai lidahmu keluar.”
“Ya, ya Tuanku,” berkata Kuda Sempana cepat-cepat, “akan hamba katakan persoalanku itu kepada Tuanku.”
Kuda Sempana itu berhenti sekejap untuk
menelan ludahnya, namun kemudian ia meneruskan, “Kemarin hamba telah
memenuhi permintaan orang tua hamba itu, pulang ke kampung halaman
hamba. Di rumah, orang tua hamba memberitahukan kepada hamba, bahwa
sebenarnya hamba telah dipertunangkan dengan seorang gadis sepadukuhan
dengan hamba.”
“Hem,” terdengar Akuwu Tumapel itu menggeram, “Siapakah nama gadis itu?”
“Ampun Tuanku,” jawab Kuda Sempana, “namanya Ken Dedes.”
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kuda Sempana, sudah bertahun-tahun kau
hidup di dalam lingkungan istanaku. Apakah kau mau juga kawin dengan
gadis desa itu? Apakah ia nanti akan dapat menyesuaikan dirinya dengan
cara hidupmu? He? Kenapa kau tidak memilih gadis-gadis kota? Bukankah
banyak gadis-gadis yang dapat kau ambil di Tumapel ini, gadis-gadis yang
akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan cara hidupmu, sebab di
antara mereka dapat kau pilih anak-anak gadis dari para hamba-hamba
istana yang lain.”
“Ampun Tuanku,” berkata Kuda Sempana,
“sebenarnya demikianlah cita-cita hamba. Namun orang tua hamba telah
berbuat di luar tahu hamba. Karena bakti hamba kepada orang tua itu,
maka hamba tidak dapat menolaknya.”
“Hem,” Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau memang anak yang baik.”
“Tetapi Sang Akuwu,” berkata Kuda Sempana
seterusnya, “hari itu ternyata hari yang celaka bagi hamba. Hamba yang
sebenarnya sama sekali tidak menginginkan gadis pedesaan itu, akhirnya
hamba justru mendapat malu karenanya.”
“He,” Tunggul Ametung terkejut, “kenapa?”
“Hamba takut mengatakan Tuanku.”
Tiba-tiba Kuda Sempana itu terkejut ketika tangan Tunggul Ametung tanpa disangka-sangkanya telah melekat di lehernya.
“Aku harus mencekikmu sampai lidahmu
keluar,” Sempana menjadi gemetar karenanya Tetapi kemudian Akuwu itu
berkata, “Tetapi, aku maafkan kali ini. Kalau sekali lagi kau berkata
takut pula, maka kau akan mati di sini.”
Kuda Sempana itu menjadi pucat. Tetapi ketika kemudian lehernya dilepaskan, maka ia pun menarik nafas panjang.
“Katakan, Katakan. Cepat! Jangan membuat aku menjadi gila mendengar ceritamu yang berputar-putar!” bentak Tanggul Ametung.
“Baiklah Tuanku,” berkata Kuda Sempana,
“biarlah hamba mengadukan nasib hamba kepada Tuanku, sebab tidak ada
orang lain yang akan dapat…”
“Cukup!” teriak Akuwu itu keras-keras sehingga seakan-akan dinding istana itu bergetar karenanya.
Kuda Sempana itu segera menyembah hampir
mencium tanah. Dengan terbata-bata ia berkata, “Ampun Tuanku. Begini.
Beginilah ceritanya. Pada saat itu, kemarin, hamba pulang ke kampung.
Hamba dibawa oleh orang tua hamba ke rumah gadis yang sudah
dipertunangkan dengan hamba itu. Maksud orang tua hamba, adalah karena
hamba telah cukup dewasa, dan sudah mempunyai pegangan hidup pula,
mengabdi kepada Sang Akuwu di sini. Tetapi apa kata orang tua gadis
itu?”
“Aku tidak tahu,” sahut Tunggul Ametung tiba-tiba, “kenapa kau bertanya kepadaku?”
“Tidak Akuwu,” jawab Kuda Sempana, “Bukan
maksud hamba bertanya kepada Sang Akuwu. Tetapi hamba hanya ingin
memberikan tekanan kepada kata-kata hamba itu.”
“Oh,” desah Tunggul Ametung.
“Tuanku. Ternyata orang tua gadis itu mengingkarinya. Aku sudah tidak diterima lagi olehnya,” Kuda Sempana itu meneruskan.
Akuwu Tunggul Ametung itu menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Hanya itu?”
“Hamba Tuanku.”
Kuda Sempana menjadi sangat kecewa ketika
Tunggul Ametung itu berkata, “Jangan bersedih Kuda Sempana. Bukankah
kau memang tidak menginginkannya? Bukankah kau mengambil gadis itu
karena orang tuamu? Kalau demikian, maka peristiwa itu akan
menguntungkan bagimu. Kau akan dapat mengambil seorang gadis lain. Gadis
kota yang akan dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara hidupmu di sini.
Bahkan mungkin akan dapat kau ikutkan dalam pengabdianmu. Menjadi
pengatur perabot istana atau apapun.”
“Hamba Tuanku,” sahut Kuda Sempana. Wajahnya menjadi semakin, suram, dan dadanya menjadi semakin berdebar-debar.
“Tetapi Akuwu. Soalnya tidak sedemikian
sederhana. Kalau orang itu mengingkari janjinya hanya karena hamba
kurang tampan atau karena hamba sudah terlalu tua, bukanlah soal bagi
hamba. Tetapi orang tua itu kemudian menolak hamba karena hamba ini
hanyalah seorang abdi. Hanya seorang pelayan dalam.”
“Hem,” mata Tunggul Ametung itu pun terbelalak, “karena kau pelayan dalam?”
“Hamba Tuanku.”
Tunggul Ametung menarik nafas. Katanya
“Nasibmu memang kurang baik. Tetapi sebenarnya demikian. Kau memang
hanya seorang abdi. Ternyata orang tua itu ingin seorang menantu yang
bukan seorang pelayan dalam.”
Kuda Sempana menarik alisnya. Dengan
sudut matanya ia memandang wajah Tunggul Ametung. Namun hanya sesaat,
sebab sesaat kemudian ia telah menundukkan wajahnya kembali.
Dan terdengar Tunggul Ametung itu berkata
pula, “Lupakan gadis itu, Kuda Sempana. Supaya kau tidak menjadi sakit
karenanya. Lupakan persoalan itu, sebab pada dasarnya bukankah kau
memang tidak ingin kawin dengan Ken Dedes?”
Kuda Sempana terdiam sesaat. Tetapi
kemudian ia tersenyum. Senyum yang hanya sepintas melintas di bibirnya,
tetapi sekejap kemudian kembali wajahnya menjadi suram.
Sambil menyembah ia berkata, “Ampun
Tuanku. Hamba tidak akan sakit hati seandainya orang tua Ken Dedes
menolak hamba karena hamba hanya seorang abdi, seorang pelayan dalam.”
“Lalu apa? Apa he?” Tunggul Ametung tiba-tiba kembali berteriak, “Kau mau berkata apa saja Kuda Sempana?”
Kuda Sempana menyembah kembali sambil
berkata, “Ampun Tuanku. Hamba tidak takut mengatakannya kepada Tuanku,
tetapi hamba ragu-ragu.”
“Bagus!” sahut Akuwu itu, “bagus, kau
sudah tidak takut lagi. Tetapi jangan ragu-ragu. Kalau kau ragu-ragu,
maka kau akan aku cekik juga sampai mati.”
“Tuanku,” Kuda Sempana menggeser
duduknya, “Sebenarnyalah bahwa hamba ditolak karena hamba hanya seorang
abdi. Tetapi seandainya hamba seorang abdi di Kediri, misalnya, maka
hamba tidak akan mengalami nasib yang jelek itu. Hamba tidak menyesal
atas gadis itu, tetapi hamba menyesal, bahwa orang tua itu telah
merendahkan nama Akuwu Tumapel, Kuda Sempana hanya seorang abdi dari
seorang akuwu, bukan seorang maharaja.”
“Apa? He? Apa katamu?” mata Tunggul
Ametung tiba-tiba menjadi merah menyala. Dengan gemetar ia meloncat maju
dan berjongkok di hadapan Kuda Sempana yang duduk bersedeku, “Katakan,
katakan sekali lagi!”
Kuda Sempana pun kemudian beringsut
mundur. Sekali lagi ia menyembah, “Ampun Tuan. Hamba telah
mengatakannya, bahwa orang tua itu menganggap bahwa abdi seorang akuwu
tidak pantas untuk menjadi menantunya.”
“Siapa orang itu? He?” teriak Tunggul Ametung, “Siapa?”
“Orang tua gadis itu Akuwu. Seorang pendeta bernama Empu Purwa.”
“Gila!” katanya lantang. Kemudian Tunggul Ametung itu pun berteriak keras-keras, “Kuda Sempana, aku akan berburu ke Panawijen.”
“Ampun Tuanku. Ampun,” sahut Kuda Sempana, “sebaiknya Tuanku berburu ke timur.”
“Tidak, Aku akan ke Panawijen. Akan aku lihat orang tua itu.”
“Ampun Tuanku, hamba sudah tidak lagi mengharap gadis itu. Biarlah gadis itu kelak berbahagia dengan suaminya.”
“Tidak. Akan aku ambil gadis itu untukmu.
Untuk seorang pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa. Kau
dengar? Gadis itu akan aku ambil. Akan aku hadiahkan kepadamu Kuda
Sempana. Akuwu berhak berbuat apa saja di daerahnya. Kau dengar?”
Kuda Sempana itu menyembah dengan
takzimnya. Dengan suara yang parau ia berkata, “Tuanku. Hamba telah
mengikhlaskannya seperti nasihat Tuanku. Biarlah gadis itu menemui
kebahagiaan. Aku akan merasa bahagia kalau ia kemudian menemukan sisihan
yang dapat membahagiakannya.”
“Jangan membantah perintahku! Siapkan para pengikut. Aku akan segera berangkat.”
“Tetapi tidak ke Panawijen Tuanku.”
“Tutup mulutmu! Adalah hakku untuk menentukan, ke mana aku akan pergi.”
Kuda Sempana menjadi semakin tunduk.
Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi Bahkan yang terdengar
suara akuwu itu lantang, “Kuda Sempana. Aku hargai kebaikan hatimu. Kau
adalah seorang yang tidak mau memerkosa perasaan orang lain. Tetapi aku,
Akuwu Tumapel, tidak mau dihina orang, meskipun lewat seorang pelayan
dalamnya.”
Kuda Sempana masih tunduk dalam-dalam.
Maka didengarnya Tunggul Ametung itu berkata pula, “Siapkan kudaku!
Bunyikan tanda untuk bersiap bagi para pengikut yang sudah aku
tentukan.”
Kuda Sempana tidak dapat berbuat lain
kecuali mematuhi perintah itu. Segera ia menyembah dan kemudian
beringsut meninggalkan ruangan itu.
Demikian ia keluar pintu, maka wajahnya
yang lesu itu tiba-tiba berubah menjadi cerah. Betapa sebuah senyum yang
segar terbayang di bibirnya. Dengan suara yang jernih ia berkata lirih,
“Inilah aku, Kuda Sempana!”
Kemudian Kuda Sempana itu pun berjalan
tergesa-gesa ke luar halaman istana. Hampir-hampir ia lupa kepada
perintah akuwu untuk segera membunyikan tanda. Ia baru mabuk atas
kemenangan yang dicapainya. Akuwu telah dapat dipaksanya untuk menuruti
kehendaknya dengan caranya. Karena itu, maka Kuda Sempana itu
kadang-kadang tertawa dengan sendirinya. Kadang-kadang tampak alisnya
terangkat dari wajahnya menjadi bersungguh-sungguh, namun kadang-kadang
ia menutupi mulutnya dengan tangannya, karena ia tidak dapat menahan
kegembiraannya.
“Sekarang, malang-malang putung, rawe-rawe rantas,” gumamnya seorang diri, “mudah-mudahan Mahisa Agni ada di rumah. Akuwu pasti akan membunuhnya.”
Sesaat kemudian terdengarlah bunyi
kentongan di menara di sudut dinding luar istana. Bunyinya menggema
memancar hampir ke segenap penjuru kota. Para prajurit dan pelayan
istana segera mengetahuinya, bahwa Sang Akuwu akan pergi berburu.
Witantra pun kemudian mendengar suara
itu. Maka segera ia pun menyiapkan dirinya. Namun kepada Mahisa Agni ia
berkata, “Terlalu pagi. Biasanya Akuwu berangkat apabila Matahari telah
sepenggalah.”
“Mungkin Sang Akuwu akan memilih daerah perburuan yang agak jauh,” sahut Mahisa Agni.
“Mungkin,” desis Witantra, dan kemudian
katanya, “sudahlah Wiraprana, aku akan berangkat. Kentong pertama sudah
berbunyi. Kentong kedua kami harus sudah berkumpul, dan kentong ke tiga
kami akan berangkat.”
“Silakan Witantra. Aku akan menunggu di sini. Aku mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan hatimu.”
“Jangan berterima kasih Wiraprana. Aku hanya berbuat sekedarnya. Mudah-mudahan bermanfaat bagimu.”
Setelah bermohon diri kepada ibu dan
istrinya, maka Witantra itu pun kemudian meloncat ke atas punggung
kudanya, dan berlari ke istana Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.
Ketika Witantra sampai di alun- alun,
beberapa orang telah berkumpul. Rombongan itu ternyata tidak begitu
besar. Di antara lima orang prajurit pilihan yang dipimpin oleh
Witantra, terdapat tiga orang pelayan dalam yang ternyata tidak kalah
tangguhnya dengan para prajurit itu. Mereka adalah Kuda Sempana,
Watangan dan seorang pelayan dalam yang baru, yang diserahkan oleh
seorang pendeta kepada akuwu, Ken Arok. Meskipun pengabdiannya belum
lama, namun betapa ia dapat menarik hati Tunggul Ametung karena betapa
anak itu sangat patuh akan kewajibannya. Di samping beberapa kelebihan
yang sering dilakukannya tanpa sesadarnya.
“Ke mana kita akan berburu?” terdengar seorang prajurit bertanya kepada Witantra.
Witantra menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya, “aku belum mendengar titah Sang Akuwu.”
Kuda Sempana yang sedang diliputi oleh
kegembiraan yang meluap-luap di dadanya tiba-tiba menjawab, “Ke barat,
ke sekitar daerah padang rumput Karautan dan Padukuhan Panawijen.”
Hati Witantra itu berdesir mendengar
jawaban Kuda Sempana. Panawijen. Adalah sangat kebetulan, bahwa semalam
ia sedang mendengar persoalan yang terjadi di Panawijen. Jadi apakah ada
hubungan antara apa yang didengarnya semalam dengan rencana perburuan
ini.
Karena itu, Witantra segera bertanya
meskipun ia seakan kau acuh tak acuh, “Karautan adalah sebuah padang
rumput. Apakah kita sekarang akan berburu kelinci?”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Di utara Karautan terbentang sebuah hutan yang sangat banyak
menyimpan binatang-binatang pemakan rumput yang besar. Kijang, menjangan
dan sebagainya.
“Hem,” sahut Witantra, “Apakah Akuwu kali
ini ingin berburu kijang? Akuwu adalah seorang yang gemar kepada
pengalaman-pengalaman yang dahsyat. Bukankah Akuwu senang berburu
harimau atau orang hutan raksasa di hutan Roban Kibar?”
Kuda Sempana mengangkat pundaknya, “Entahlah. Kali ini Akuwu ingin berburu ke sana.”
Witantra itu mengerutkan keningnya.
Meskipun demikian ia menjadi gelisah. Tanpa dikehendakinya ia telah
terlibat dalam persoalan antara Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Karena itu
maka setelah berpikir sejenak, ia berkata, “Apakah Akuwu sudah siap
untuk berangkat?”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ia
sama sekali tidak tahu apakah yang tersimpan di hati Witantra itu.
Karena itu maka kemudian ia menjawab, “Sudah. Akuwu sudah siap.”
“Aku akan menghadap,” gumam Witantra.
“Untuk apa?” bertanya Kuda Sempana dengan penuh kecurigaan.
“Aku akan mohon izin kepada Sang Akuwu, adikku ingin turut dalam perburuan ini.”
“Adikmu? Siapa?” Kuda Sempana menjadi semakin curiga.
“Mahendra,” jawab Witantra.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam,
ia kenal Mahendra, namun belum begitu akrab. Karena itu maka Kuda
Sempana belum mendengar apakah yang pernah terjadi atas anak muda yang
bernama Mahendra itu. Karena itu katanya, “Cobalah, mohonlah kepada Sang
Akuwu.”
Witantra itu pun kemudian masuk ke
halaman belakang istana. Setelah permohonannya disampaikan oleh seorang
emban, maka Sang Akuwu yang sudah siap untuk berangkat itu memanggilnya,
“He Witantra, ada apa? Apakah kau juga akan kawin?”
Witantra mengerutkan keningnya. Ia tidak
tahu maksud Akuwu. Namun ia tidak berani bertanya. Setelah menyembah
maka katanya, “Sang Akuwu, perkenankanlah kamba mengajukan sebuah
permohonan sebelum Akuwu berangkat berburu?”
“Apa? Kau minta aku berburu ke timur, ke
selatan atau ke mana? Aku sudah menentukan arah. Tak seorang pun dapat
mengubah. Aku akan berburu ke barat.”
“Ampun Tuanku,” sembah Witantra, “hamba
tidak berani berbuat demikian. Hamba hanya memohon izin kepada Tuanku.
Apabila Tuanku berkenan di hati, adik hamba akan ikut serta berburu
bersama dalam rombongan ini.”
“Siapakah adikmu itu?” bertanya Tunggul Ametung sambil mengerutkan bibirnya.
“Mahendra Tuanku.
Akuwu Tumapel itu berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Kenapa ia mau turut?”
“Tuanku. Adikku adalah seorang penakut.
Mudah-mudahan dengan pengalaman ini adikku akan dapat menjadi seorang
yang berpengalaman. Kalau Tuanku hendak pergi ke barat, maka menurut
perhitungan hamba perburuan ini tidak akan sedemikian berat daripada
apabila Tuanku pergi ke hutan Roban Kibar. Karena di sekitar padang
Karautan hutannya tidak begitu lebat, sehingga tidak banyaklah
binatang-binatang buas yang berbahaya.”
“Dari mana kau dengar he?” benak akuwu itu.
“Dari Kuda Sempana.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Demikianlah, bahwa Sang Akuwu akan berburu ke barat.”
“Hanya begitu?”
“Hamba Tuanku.”
“Bagus. Bawa adikmu. Kalau ia terampil, maka ia akan mendapat kesempatan bekerja di istana.”
“Terima kasih Tuanku.”
Witantra itu pun kemudian mohon diri untuk memanggil adiknya.
Mahendra sama sebali tidak menyangka
bahwa sepagi itu Witantra telah datang ke rumahnya. Mula-mula Mahendra
heran, kenapa ia harus ikut serta berburu bersama akuwu. Namun akhirnya
ia tahu juga maksudnya. Karena itu, maka dengan senang hati, Mahendra
ikut serta bersama Witantra ke alun-alun dengan tergesa-gesa.
“Apakah aku tidak perlu membawa bekal apapun, Kakang?” bertanya Mahendra.
“Tidak usah, bekalku cukup banyak.”
Akhirnya Mahendra pun menyiapkan kudanya pula, dan ikut serta bersama Witantra.
Ketika mereka sampai di alun-alun, maka
semuanya telah benar-benar siap. Demikian Witantra dan Mahendra memasuki
alun-alun itu, demikian mereka mendengar kentongan dipukul untuk kedua
kalinya. Pertanda bahwa rombongan itu sudah siap untuk berangkat.
Sesaat kemudian, mereka melihat Akuwu
keluar dari istana dengan sebuah busur yang sangat bagusnya melintang di
punggungnya. Seorang pekatik telah siap di ujung tangga dengan seekor
kuda berwarna hitam mengkilat. Kuda yang telah siap berangkat berburu.
Di sisi kuda itu tergantung sebuah endong berisi sejumlah anak panah dan
sebilah pedang panjang yang berwrangka emas.
Sekilas, Akuwu Tumapel itu melayangkan
pandangan matanya berkeliling, ke arah beberapa orang yang sudah
menunggu. Dilihatnya ketiga orang pelayan dalam istana, di antaranya
Kuda Sempana. Lima orang prajurit di bawah pimpinan Witantra dan seorang
anak muda yang belum dikenalnya.
“Itukah adikmu Witantra?”
Witantra mengangguk dalam-dalam, kemudian jawabnya, “Hamba Akuwu.”
“Hem adikmu itu gagah juga, segagah kau. Mudah-mudahan ia mampu membunuh kelinci.”
Mahendra menggigit bibirnya. Namun ia tidak berkata apapun juga.
Dengan tangannya Akuwu Tumapel memberi
tanda kepada rombongannya untuk berangkat. Maka terdengarlah suara
kentongan yang ketiga kalinya. Demikian kentongan itu berbunyi, maka
meloncatlah Akuwu Tunggul Ametung ke atas punggung kudanya.
Para pengiringnya itu pun segera meloncat
pula ke atas kuda masing-masing. Dan sesaat kemudian mereka mendengar
Tunggul Ametung berkata, “Ayo, kita berangkat!”
Iring-iringan itu kemudian mulai
bergerak. Di depan sendiri Akuwu Tumapel berkuda dengan gagahnya. Akuwu
itu benar-benar seorang yang gagah, apalagi di atas kuda hitam
mengkilat. Kuda yang tegar dan besar. Di belakangnya Kuda Sempana
mengiringinya sambil tersenyum. Ia merasa bahwa hari ini adalah hari
yang paling bahagia baginya. Akuwu Tumapel itu ternyata dapat
dikendalikannya untuk membantu mengambil gadis yang telah menyakitkan
hatinya itu.
Di belakang Kuda Sempana berkuda berjajar
dua orang kawan Kuda Sempana. Salah seorang daripadanya bernama Ken
Arok. Seorang anak muda pendiam, namun di balik kediamannya itu
tersimpan beberapa keanehan dan kekuatan-kekuatan yang tak dimiliki oleh
anak-anak sebayanya.
Baru di belakang mereka, di belakang para
pelayan dalam itu, berkuda para prajurit. Lima orang ditambah dengan
seorang adik seperguruan Witantra.
Di sepanjang perjalanan itu, Witantra
benar menjadi bingung. Apakah yang kira-kira akan dilakukan oleh
rombongan ini? Apakah kebetulan saja kalau akuwu memilih arah ke barat,
atau ada hubungan yang erat dengan maksud Kuda Sempana? Witantra menjadi
ragu-ragu. Ia ingin segera memberitahukan persoalan itu apabila keadaan
memaksa. Kalau tidak, maka biarlah ia tidak menggelisahkan Mahisa Agni
yang sampai saat terakhir masih disangkanya Wiraprana.
Tetapi, semakin lama hatinya semakin gelisah. Meskipun demikian ia masih ingin tahu ke mana mereka sebenarnya akan pergi.
Penduduk kota Tumapel, melihat kepergian
akuwunya dengan berbagai tanggapan. Seorang di antaranya memujinya
setinggi langit, katanya, “Tak ada akuwu segagah Akuwu Tumapel. Carilah
di seluruh Kediri. Tubuhnya yang kokoh kuat. Masih muda lagi. Kalau ia
pergi berburu seperti kali ini, maka benar-benar seperti Dewa Ngejawantah.”
Namun ada orang lain yang
mencemoohkannya, “Huh, ia tidak mampu berbuat selain berburu. Apakah
kemajuan yang pernah dicapainya selama ia menjadi akuwu. Lihat, meskipun
ia sudah setua itu, namun ia masih belum juga berani kawin.”
Seperti apa yang dilakukannya, maka akuwu
itu mempunyai beberapa bentuk tanggapan dari rakyat. Ada yang
mencintainya sebagal seorang yang paling bermurah hati di dunia ini,
namun ada yang mengumpatinya sebagai seorang yang paling kejam di muka
bumi. Sebab akuwu itu berbuat apa saja yang ingin dilakukan
sesaat-sesaat. Kadang-kadang ia lupa apa yang dikatakannya kemarin dan
ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya besok.
Tetapi sebagian dari rakyat Tumapel
melihat kemegahan Tunggul Ametung pada para pengiringnya. Dilihatnya
seorang yang gagah berkuda di belakangnya, kemudian beberapa orang yang
bertubuh tegap kekar. Mereka semuanya telah siap dalam kelengkapan
seorang pemburu. Namun para prajurit itu tidak saja siap untuk berburu,
namun apabila ada bahaya di sepanjang perjalanan mereka maka mereka pun
siap untuk bertempur. Meskipun jumlah pengiring itu tidak demikian
banyak, namun kekuatan itu telah berlebih-lebihan untuk menjelajahi
daerah Tumapel yang aman.
Demikianlah, maka perjalanan itu
tampaknya sebagai sebuah rombongan tamasya. Pada pagi yang cerah, ketika
matahari pagi melemparkan sinarnya yang segar ke puncak-puncak
pepohonan, menyentuh daun-daunan yang bergerak-gerak ditiup angin yang
lembut. Di sebelah barat menjulang Gunung Kawi yang perkasa. Puncaknya
tampak ke merah-merahan, bermandikan cahaya matahari yang
berkilat-kilat.
Tetapi hati Witantra tidaklah secerah
pagi itu. Meskipun ia tidak berkepentingan langsung dengan persoalan
yang menyangkut Wiraprana, namun hatinya telah terlanjur terlibat ke
dalamnya. Karena itu, di sepanjang perjalanan itu. Ia selalu berusaha
mengetahui, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Akuwu Tunggul
Ametung itu. Karena itu, maka kemudian ia mempercepat langkah kudanya
dan menyampingi Ken Arok yang berkuda di belakang Kuda Sempana.
Ken Arok menjawab dengan jujur. “Entahlah
Kakang aku belum tahu pasti. Menurut Kuda Sempana kita akan pergi ke
hutan di sekitar padang Karautan.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar
pertanyaan itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaannya.
Dijawabnya, “Ya pernah Kakang, sekali dua kali aku pernah lewat di hutan
itu.”
“Aku pernah juga ke sana,” sahut Witantra, “tetapi hutan itu bukan tempat yang baik untuk berburu.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi debar di
jantungnya menjadi semakin cepat. Hutan itu adalah hutan yang dikenalnya
baik. Hutan dan padang rumput itu. Ia pernah tinggal di padang rumput
itu beberapa lama. Dan ia selalu bersembunyi di hutan itu, apabila
beberapa orang mengejarnya. Karena itu ia pun menjadi gelisah. Kalau ia
boleh memilih, maka lebih baik baginya untuk tidak ikut di dalam
rombongan itu. Sebab baik hutannya maupun padang rumput Karautan membawa
kenangan yang pedih di dalam hatinya. Teringatlah ia akan pertemuannya
dengan seorang Empu yang bernama Empu Purwa beserta muridnya. Berkata
Empu itu kepadanya, bahwa apabila ia dapat menempuh cara hidup yang
lain, maka ia akan menjadi lebih berbahagia karenanya. Kini ia telah,
menemukan jalan lain itu. Dan ia benar-benar merasa lebih berbahagia.
Tetapi ia tidak dapat menolak. Ia harus turut menjelajahi hutan-hutan di
sekitar padang rumput Karautan. Daerah yang pernah dipakainya untuk
melakukan pembantaian, perkosaan dan perampokan.
Bulu kuduk Ken Arok itu berdiri serentak. Dan ia pun menundukkan wajahnya.
Witantra melihat perubahan wajah itu
dengan heran. Tiba-tiba ia menjadi curiga. Apakah ada maksud-maksud yang
tersembunyi dalam perburuan kali ini? Tetapi ia tidak dapat
mendesaknya. Mungkin ada sesuatu yang dirahasiakan.
Meskipun demikian Witantra tidak segera
mengambil ke simpulan. Ia tidak mau membuat keributan apabila
persoalannya belum jelas. Karena itu ia kemudian berdiam diri sambil
mengikuti Akuwu Tunggul Ametung dengan hati yang gelisah.
Hati Witantra itu kemudian tergetar
ketika tiba-tiba Akuwu Tumapel memperlambat kudanya. Kemudian ia
berpaling kepada Kuda Sempana sambil berkata, “Apakah aku berjalan ke
arah yang benar?”
“Hamba Tuanku,” jawab Kuda Sempana.
“Aku pernah pergi ke Panawijen. Namun
sudah terlalu lama. Sesudah itu, aku senang berburu ke timur. Karena
itu, maka berjalanlah di depan Kuda Sempana, supaya arahnya tidak
salah.”
Hati Witantra berdesir mendengar
kata-kata Akuwu Tumapel itu. Perjalanan yang mereka tempuh sudah cukup
jauh. Dan tiba-tiba Kuda Sempanalah yang harus menentukan arah. Karena
itu maka hatinya menjadi semakin gelisah.
Sekali-sekali Witantra itu berpaling
kepada adik seperguruannya yang berada di paling belakang. Di dalam
hatinya Witantra berkata, “Hem. Apakah semuanya ini suatu hal yang
kebetulan saja, atau Kuda Sempana telah sempat mempengaruhi hati Akuwu?”
Dan hati Witantra itu menjadi semakin gelisah.
Tiba-tiba Witantra itu mempunyai dugaan
yang kuat bahwa Kuda Sempana yang memegang peran kali ini. Apapun yang
akan dilakukan oleh Sang Akuwu, namun Kuda Sempana akan mungkin untuk
memanfaatkan setiap keadaan. Karena itu maka berkata Witantra itu di
dalam hatinya, “Kenapa aku tidak memberitahukan saja kepada Wiraprana
apa yang akan dilakukan oleh Kuda Sempana. Sebaiknya Wiraprana berusaha
untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan. Sebaiknya Wiraprana itu
pulang saja dan menyembunyikan Ken Dedes. Sebab kalau usaha Kuda Sempana
mendapat persetujuan akuwu, maka tak ada seorang pun yang akan dapat
mencegahnya.”
Meskipun demikian Witantra itu untuk
beberapa saat masih ragu-ragu. Namun akhirnya jalan itulah yang dapat
ditempuh sebaiknya. Seandainya kemudian akuwu tidak mempunyai
kepentingan apa-apa atas gadis itu, maka sebagai usaha penyelamat tak
akan ada ruginya.
Karena itu, maka kemudian Witantra itu
memperlambat kudanya dan berjalan di samping Mahendra. Sambil berbisik
ia berkata, “Mahendra. Kembalilah. Beri tahukanlah kepada Wiraprana
bahwa kami sekarang berburu ke barat. Mungkin kami akan melewati
Panawijen. Karena itu, usahakanlah selekas mungkin pulang dan
sembunyikanlah Ken Dedes. Syukurlah bahwa akuwu tidak akan melihatkan
diri atas hasutan Kuda Sempana.
Mahendra menganggukkan kepalanya. “Baik Kakang.”
“Tetapi biarlah aku minta izin dahulu
kepada Akuwu. Nanti kami masih mengharap perjalanan kami berhenti di
hutan perburuan meskipun hanya sebentar, sehingga Wiraprana akan dapat
mendahului perjalanan kami. Tetapi kalau mungkin biarlah Wiraprana
mencari jalan lain, selain padang rumput Karautan.”
“Baik Kakang.”
Witantra itu kemudian mempercepat kudanya dan dengan hati-hati ia mencoba berkuda di samping akuwu.
Akuwu Tumapel itu berpaling sesaat. Ia
mengerutkan keningnya. Kemudian ketika melihat Witantra menganggukkan
kepalanya dalam-dalam maka ia pun bertanya, “Ada apa Witantra?”
Kuda Sempana yang berkuda di depannya berpaling dengan penuh kecurigaan. Dengan hati-hati ia berusaha mendengar percakapan itu.
“Ampun, Tuanku,” jawab Witantra, “adik
hamba benar-benar belum berpengalaman. Apalagi ketika kami berangkat,
adik hamba terlalu tergesa-gesa. Kini perkenankanlah adik hamba itu
pulang untuk mengambil busurnya. Sebab alangkah janggalnya, apabila kami
harus berburu tanpa busur.”
Akuwu itu mengangkat alisnya
tinggi-tinggi. Kemudian, ia pun tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Adikmu
itu gagah, segagah kau Witantra, namun ternyata ia lebih bodoh dari
keledai. Apakah yang akan dilakukan kalau anak itu tidak membawa busur?”
“Itulah Tuanku. Anak itu hanya membawa anak panah.”
Kembali akuwu tertawa terbahak-bahak.
Katanya “Aku tidak berkeberatan anak itu pulang mengambil busurnya.
Tetapi aku tidak senang melihat kecerobohannya.”
Witantra itu mengangguk sekali lagi.
Namun sebelum ia surut ke belakang, maka tiba-tiba akuwu itu berkata
“Tak ada gunanya adikmu itu mengambil busurnya. Kali ini sama sekali
tidak memerlukan busur.”
Kuda Sempana terkejut mendengar kata-kata
akuwu itu, sehingga sekali lagi ia berpaling. Witantra pun tidak kalah
terkejutnya pula. Bahkan ia bertanya “Kenapa tidak Akuwu?”
Akuwu mengangkat alisnya yang tebal itu
tinggi-tinggi. Dilihatnya Kuda Sempana. Kemudian akuwu itu tertawa.
Namun tiba-tiba ia membentak, “Apapun yang akan dilakukan oleh adikmu
itu aku tidak peduli. Kalau ia mau mengambil busurnya, biarlah ia
mengambilnya Kalau ia mau berburu dengan giginya itu pun bukan
urusanku.”
Witantra mengangguk dalam-dalam sambil berkata “Hamba Tuanku.”
Kini hati Witantra menjadi semakin
gelisah. Maka kemudian katanya kepada Mahendra “Cepat! Pulanglah beri
tahukan kepada Wiraprana supaya ia cepat-cepat pulang dan menyelamatkan
gadisnya. Mungkin bahaya benar-benar akan mengancam.”
Mahendra tidak menunggu lebih lama lagi.
Segera ia memutar kuda dan seperti angin ia berpacu kembali ke Tumapel.
Debu yang putih melonjak naik ke udara, dan suara telapak kaki-kaki kuda
itu gemeretak memekakkan telinga.
Ketika Sang Akuwu berpaling, dilihatnya
kuda Mahendra itu seperti anak panah yang meluncur cepat sekali.
Tiba-tiba, akuwu itu melambaikan tangannya memanggil Witantra “Itukah
adikmu?”
“Hamba. Akuwu.”
“Ternyata adikmu itu pandai berkuda. Aku senang kepada keterampilannya”
“Terima kasih Tuanku.”
“Tetapi otaknya terlalu tumpul. Kalau ia pergi berperang, dan ia lupa membawa senjatanya, apa yang akan dilakukan?”
“Anak itu masih terlalu muda dan kurang pengalaman.”
Tunggul Ametung tidak menjawab. Kini
diangkatnya wajahnya dan dipandanginya jalur-jalur jalan yang menjelujur
di hadapannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Akuwu itu berkata
“Sawah-sawah di sini cukup baik.” Kemudian kepada Kuda Sempana ia
berkata “Kuda Sempana. Kaulah yang memimpin perburuan kali ini.”
Kembali dada Witantra berdesir. Agaknya
kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik semakin nyata akan terjadi.
Karena itu maka ia menyesal bahwa agak terlambat mengabarkannya kepada
Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana. Meskipun demikian, maka Witantra
itu akan berusaha untuk memperlambat perjalanan mereka. Katanya,
“Akuwu. Hutan-hutan di sekitar Karautan memang banyak menyimpan
binatang-binatang yang baik untuk diburu. Kijang, menjangan dan beberapa
jenis harimau. Karena itu, maka kami akan mengharap bahwa Akuwu akan
menjadi bergembira karenanya. Bukankah Akuwu belum pernah memiliki
kijang yang berkulit belang?”
Agaknya Akuwu Tumapel itu tertarik juga kepada kata-kata Witantra. Katanya, “Apakah di Panawijen ada kijang berbulu belang?”
“Tidak di Panawijen Tuanku, tetapi di hutan-hutan di sekitar padang rumput Karautan.”
“He, Kuda Sempana,” berkata Akuwu itu, “kita berburu kijang berbulu belang di padang rumput Karautan.”
Kuda Sempana itu terkejut mendengar perintah Akuwu itu. Karena itu ia bertanya, “Apakah kita pergi berburu dahulu Tuanku?”
Pertanyaan itu benar-benar aneh bagi
Witantra. Mereka berangkat untuk berburu. Kenapa pertanyaan Kuda Sempana
itu justru tentang perburuan itu sendiri? Karena itu, maka Witantra itu
seolah-olah mendapatkan beberapa petunjuk apa sebenarnya yang akan
dilakukan oleh Kuda Sempana.
“Hem,” desahnya di dalam hati, “ternyata
aku terlalu bodoh sehingga aku terlambat memberitahukannya kepada
Wiraprana. Mudah-mudahan Akuwu tertarik kepada kijang berbulu belang.”
Mendengar pertanyaan Kuda Sempana, Akuwu
Tumapel itu mengerutkan alisnya. Segera ia teringat kepada cerita Kuda
Sempana tentang seorang Empu yang telah merendahkan derajatnya sebagai
seorang akuwu, karena itu, maka dengan geramnya ia berkata, “Kita ke
Panawijen.”
Witantra kini hampir yakin karenanya,
bahwa Kuda Sempana pasti sudah berhasil membujuk akuwu untuk
kepentingannya. Karena itu maka penyesalan yang bergolak di dalam
dadanya menjadi semakin melonjak-lonjak. “Mudah-mudahan Wiraprana tidak
terlambat.”
Meskipun demikian, Witantra itu berkata, “Ampun Akuwu, tidak di Panawijen, tetapi di sebelah padang Karautan.”
“Apa?” bertanya akuwu itu sambil mengangkat wajahnya.
Hati Witantra tergetar karenanya. Namun
jawabnya, “Kijang berbulu belang. Tidak saja bulunya Tuanku, tetapi
kulitnya. Hamba pernah mendapatkannya dahulu. Kulitnya kini menghias
dinding paman hamba di Kediri.”
Akuwu Tumapel itu menyipitkan sebelah
matanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bagus. Bagus
sekali. Kita mencari kijang berbulu belang.”
“Kalau nanti kita mendapatkannya Tuanku,
biarlah nanti hamba mengolah kulitnya sebaik-baiknya untuk sebuah
permadani di bawah kaki di muka tempat duduk Tuanku di istana, atau di
muka bilik tempat peraduan Tuanku.”
“Bagus-bagus. Akan aku dapatkan kijang
berbulu belang itu. Kalau tidak, maka aku akan mengulangi perburuan ini
sampai aku mendapatkannya.”
Tiba-tiba Kuda Sempana yang kecemasan berkata, “Kijang itu telah lama punah.”
“He,” Akuwu Tumapel terkejut, “Apakah kau berkata benar?”
“Tidak!” sahut Witantra, “belum lama aku telah melihatnya, seorang pemburu membawa kijang serupa itu.”
“Kijang itu tidak terlalu baik. Raja
Kediri pernah memesannya. Tetapi Akuwu Tumapel bukan Raja Kediri. Kenapa
mesti menirunya? Biarlah suatu ketika Kediri meniru Akuwu Tumapel,
meskipun Tumapel berada di dalam lingkungan kerajaan Kediri.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata Kuda Sempana itu. Dan sebelum ia menjawab, Kuda
Sempana telah berkata pula “Apakah kau sangka dalam menilai keindahan,
Akuwu Tumapel iri ada di bawah Baginda Kertajaya. Kalau Baginda
Kertajaya itu senang kepada Kijang berbulu belang, maka Akuwu Tumapel
akan membuat perhiasan yang lain, yang jauh lebih indah dari Kijang
berbulu belang itu.”
“Apakah itu?” tiba-tiba Akuwu Tumapel itu bertanya.
Kuda Sempana menjadi gelisah mendapat
pertanyaan itu. Karena itu maka jawabnya, “Kita belum menemukan itu
Tuanku. Namun suatu ketika akan kita dapatkan.”
“Ya. Suatu ketika akan kita dapatkan,” gumam Tunggul Ametung.
Witantra kemudian terdiam. Tetapi hatinya menjadi semakin gelisah. Apa lagi ketika Kuda Sempana mempercepat langkah kudanya.
“Setan itu telah berhasil mempengaruhi
Akuwu Tumapel,” katanya di dalam hati. Karena itulah maka detak
jantungnya terasa semakin cepat. Beberapa persoalan menghentak- hentak
dadanya sehingga akhirnya Witantra itu tidak tahan lagi menyimpan
pertanyaan-pertanyaan yang menghimpit perasaannya. Dengan cemas maka
diberanikan dirinya bertanya, “Akuwu, apakah kita tidak berburu kali
ini?”
“Siapa bilang?” sahut akuwu itu.
“Tuanku, aku hanya menjadi bingung saja.
Aku tadi mendengar adi Kuda Sempana bertanya, apakah kita pergi berburu
dahulu. Apakah sesudah itu kita mempunyai suatu rencana yang lain?”
Akuwu Tumapel itu tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Sambil meraba-raba suri kudanya Tunggul Ametung itu
berkata, “Kita sedang berburu. Apapun yang kita buru.”
Tunggul Ametung itu berhenti sejenak, kemudian katanya seterusnya, “Apakah kau sudah beristri Witantra?”
Witantra bingung mendengar pertanyaan itu. Meskipun demikian dijawabnya “Sudah Tuanku.”
“Nah. Siapakah di antara kalian yang belum kawin he?” bertanya Akuwu itu kepada para pengiringnya.
Tak seorang pun yang tahu maksud Akuwu itu. Meskipun demikian beberapa orang lantarannya menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Nah, nanti akan sempat giliran kalian
kawin. Sekarang marilah kita memberi kesempatan pertama kepada Kuda
Sempana. Kita sekarang sedang menjemput pengantin perempuan.”
Dada Witantra itu benar-benar hampir
meledak mendengar kata Akuwu itu. Sebenarnyalah apa yang telah
diduganya. Karena itu, tanpa disadarinya ia berpaling. Dan Mahendra
telah hilang jauh di balik pedesaan.
“Gila!” Witantra itu menggeram di dalam hati.
Bukan saja Witantra, namun semua orang menjadi heran karenanya. Apakah yang harus mereka lakukan?”
Tiba-tiba mereka mendengar akuwu itu
berkata lantang, “Aku tidak mau dihinakan oleh siapa pun juga.
Penghinaan terhadap orang-orangku hanya karena ia hamba akuwu adalah
penghinaan bagiku. Karena itu maka sekarang aku sedang menunjukkan
kekuasaanku.”
Kini Witantra sudah merasa pasti, apakah
yang akan dihadapinya. Mengantarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes
dengan paksa. Dengan kekerasan. Karena itu maka alangkah ia menjadi
bersedih hati. Ia tidak tahu, alasan-alasan apakah yang dipakai oleh
akuwu itu untuk meluluskan permintaan Kuda Sempana. Kalau semula akuwu
ingin berangkat berburu, maka tiba-tiba maksud itu telah disimpangkannya
oleh Kuda Sempana.
Rombongan Akuwu Tumapel itu berjalan
berderap-derap di atas tanah berbatu-batu. Setiap bunyi telapak kaki
kuda-kuda itu seakan-akan suara sangkakala yang meneriakkan kekuasaan di
tangan Akuwu Tumapel kekuasaan. Tidak lebih daripada kekuasaan
lahiriah. Dan Akuwu Tunggul Ametung itu sedang menunjukkan kekuasaan.
Sebenarnya Tunggul Ametung itu berpikir
di dalam hatinya, “ Tak ada orang dapat menentang kehendakku. Kalau ada
orang yang mencoba menolak keputusanku, maka aku akan memaksanya dengan
kekerasan. Aku mempunyai cukup prajurit, cukup senjata dan cukup apa
saja untuk menindas mereka. Apalagi mereka yang telah menghina aku.”
Witantra semakin lama menjadi semakin
berdebar-debar. Semakin dekat mereka dengan Panawijen, maka hatinya
menjadi semakin sedih, sehingga ketika ia tidak dapat menahan hati lagi,
diberanikannya sekali lagi bertanya kepada Akuwu itu, “Tuanku, apakah
yang harus hamba lakukan nanti, apabila kita tidak pergi berburu?”
“Gila!” bentak Akuwu itu, “kau adalah
seorang prajurit. Kau adalah alatku untuk menunjukkan kekuasaanku. Kalau
aku sedang melakukan sesuatu untuk menunjukkan bahwa Akuwu Tumapellah
yang berkuasa di Tumapel, maka kau harus melindungi kekuasaan itu.”
“Hamba Tuanku. Sebenarnyalah demikian.
Hamba pun akan berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini, kekuasaan Tuanku
yang manakah yang harus hamba amankan.”
“Apakah kau sudah uli?” teriak Akuwu itu
dengan marahnya. Suaranya menggelegar memenuhi dataran di sebelah timur
Gunung Kawi itu, “aku akan mengambil seorang gadis bernama Ken Dedes di
desa Panawijen. Orang tua itu menolak Kuda Sempana yang telah
dipertunangkan sejak kecil, karena Kuda Sempana adalah pelayan dalam
Akuwu Tumapel.”
Witantra menarik nafas. Dan di dengarnya
Tunggul Ametung itu berkata pula, “Nah, apakah itu bukan suatu
penghinaan bagi Akuwu Tumapel?”
Witantra menarik bibirnya. Terasa betapa
hatinya menjadi sakit. Ia tahu pasti bahwa Empu Purwa telah memberi
keleluasaan kepada Ken Dedes untuk menjatuhkan pilihannya. Bahkan
adiknya seperguruannya pun pernah terluka hatinya, sehingga hampir ia
kehilangan keseimbangan pula dengan menantang Wiraprana berkelahi.
Bahkan baru kemarin rasa-rasanya sekali lagi Mahendra berkelahi dengan
Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana. Tetapi ia menentang perbuatan
yang nurani dari adiknya itu. Kini ternyata Kuda Sempana lah yang
berbuat curang. Karena itu Witantra itu benar-benar menjadi sedih. Sedih
atas peristiwa yang akan terjadi Peristiwa yang pasti akan menyinggung
rasa keadilan. Sebagai seorang prajurit Witantra menyadari tugasnya. Ia
tidak dapat mengingkari perintah yang diberikan oleh atasannya. Oleh
Akuwu Tumapel itu. Namun ia tahu pasti, bahwa apa yang dilakukan itu
telah berkisar dari kebenaran dan telah melanggar keadilan. Dengan
kekuatan dan kekuasaan yang ada padanya, akuwu akan dapat berbuat apa
saja. Merampas, membunuh, mengambil istri orang dan apa saja. Kalau ia
melakukan perampasan, pemerasan dan sebagainya, maka ia adalah jauh
lebih jahat dari perampok yang paling jahat sekalipun. Sebab sebenarnya
akuwu lah yang harus melindungi rakyatnya dari ketakutan dan
kesewenang-wenangan.
Tetapi Akuwu Tumapel telah mengatakan
kepadanya, bahwa kini ia sedang menunjukkan kekuasaan. Dan dirinyalah
alat dari kekuasaan itu.
Dirinya sebagai manusia dan pedang yang tergantung di pinggangnya itu.
Kuda Sempana yang berkuda di ujung
rombongan itu kemudian mempercepat jalan kudanya. Di hadapannya kini
telah terbentang padang rumput Karautan. Agaknya mereka akan menerobos
di tengah-tengah padang rumput itu.
Ken Arok tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Ditatapnya padang yang terbentang luas di hadapannya itu dengan wajah
yang sayu. Padang yang telah menggoreskan kenangan yang suram.
“Apakah aku akan dapat melupakan semua yang telah terjadi?” bisiknya di dalam hati.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Timbullah pertanyaan di dalam hatinya. “Apakah yang Maha Agung mau
menerima aku menghadap dengan tangan yang dikotori oleh darah?
Berpuluh-puluh orang telah menjadi korbanku di padang rumput ini.”
Tetapi Ken Arok tidak mendapat kesempatan
untuk berangan-angan. Kini kuda mereka berjalan semakin cepat, dan
sebentar lagi mereka akan sampai ke Panawijen. Tempat tinggal seorang
gadis yang baru tumbuh dan berkembang. Namun tiba-tiba angin yang
kencang telah melandanya. Angin prahara, yang tak akan dapat dibendung
oleh siapa pun.
Demikianlah rombongan itu telah
mengejutkan seluruh penduduk Panawijen. Ketika mereka melihat sebuah
iring-iringan, dan di depan sendiri mereka melihat Kuda Sempana, maka
seluruh penduduk Panawijen, apalagi anak-anak mudanya, menjadi
ketakutan. Langsung mereka dapat menebak, bahwa Kuda Sempana telah
datang kembali dengan kawan-kawannya. Apalagi ketika seorang tua berkata
di antara mereka, “He, lihat! Di belakang Kuda Sempana itu adalah Akuwu
Tunggul Ametung. Aku pernah melihatnya, ketika aku pergi ke Tumapel
dahulu.”
“Akuwu?” bertanya yang lain dengan tubuh gemetar.
“Ya.”
Penduduk Panawijen itu menjadi semakin
takut. Dan Witantra pun benar-benar telah berputus asa untuk
menyelamatkan gadis itu. Mahendra pasti terlambat, sehingga Mahisa Agni
yang disangkanya Wiraprana pasti tak akan sempat menyembunyikan gadis
itu.
Sedang dirinya sendiri tidak mungkin
untuk melakukannya. Ia adalah prajurit akuwu, sehingga dengan demikian,
maka mau tidak mau ia harus berdiri di pihaknya.
Witantra itu tiba-tiba menangis dalam
hatinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa pada suatu saat ia harus
melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan rasa keadilannya. Ia harus
melindungi suatu perbuatan yang ia tahu, bahwa perbuatan itu melanggar
sendi penghidupan dan kebenaran. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia harus menyaksikan perbuatan yang tercela itu terjadi di hadapan
hidungnya tanpa dapat mencegahnya.
Maka terjadilah pergulatan di dalam
dirinya. Pergulatan antara kesetiaannya kepada Akuwu Tumapel dan
kesetiaannya kepada kebenaran.
Witantra itu menarik nafas dalam-dalam.
Diingatnya tiba-tiba istrinya yang masih muda dan ibunya yang sudah tua.
“Hem,” ia berdesah di dalam hatinya. Orang-orang itu pun harus menjadi
bahan pertimbangannya. Kalau ia menentang perintah Akuwu Tunggul
Ametung, maka akibatnya, ia akan kehilangan pangkat dan jabatannya
Bahkan mungkin ia akan diusir dari Tumapel. Lalu ke manakah ia akan
pergi? Bagaimanakah kemudian dengan istri dan ibunya? Istri Witantra
bukanlah seorang gadis yang dapat mengalami kesulitan-kesulitan.
Istrinya adalah seorang perempuan yang
manja, yang hanya dapat menikmati kebesaran nama dan jabatannya. Bahkan
istrinya itu bersedia dikawininya, karena Witantra adalah salah seorang
pemimpin prajurit pengawal akuwu. Kalau kemudian ia kehilangan pangkat
dan jabatannya, maka ia pasti akan kehilangan istrinya itu pula.
Kuda-kuda yang ditumpangi oleh rombongan
dari Tumapel itu berjalan terus. Derap kakinya mengejutkan setiap
penduduk Panawijen. Beberapa orang menjadi gemetar karenanya, dan
beberapa orang mengeluh d dalam hatinya, “Kasihan Empu Purwa. Gadisnya
benar-benar akan hilang ditelan oleh Kuda Sempana.”
Berita tentang kedatangan akuwu itu pun
segera menjalar ke telinga Ki Buyut Panawijen. Dengan debar di dalam
dadanya ia bertanya, “Kau melihat Akuwu sendiri datang?”
“Ya,” sahut orang yang memberitahukan kepada Buyut itu.
“Di manakah Wiraprana?”
“Mungkin di rumah Empu Purwa.”
“Jangan melawan. Usahakan saja untuk menyembunyikan gadis itu. Cepat!”
“Tetapi orang-orang dari Tumapel itu berkuda. Aku tak akan dapat mendahuluinya.”
“Cobalah!” berkata Buyut itu, “aku akan segera dalang pula ke sana.”
Orang itu pun berusaha memenuhi
permintaan tetua padukuhannya. Dengan penuh belas kasihan orang itu
berlari menerobos halaman-halaman rumah tetangga-tetangganya dan
memintasi kebun-kebun yang rimbun. Akhirnya ia sampai juga ke rumah Empu
Purwa sebelum iring-iringan kuda yang harus berjalan melingkar-lingkar
itu datang.
Degan penuh kecemasan, maka segera ia bercerita tentang apa yang diketahuinya.
Wiraprana dan Ken Dedes menjadi terkejut bukan buatan. Wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat dan tubuh Wiraprana bergetaran.
“Apakah mereka sedang menuju kemari?”
“Ya.”
Wiraprana menjadi bingung Dan tiba-tiba
ia bergumam, “Kenapa Agni belum juga pulang. Ternyata ia hanya berbuat
menurut kemauannya sendiri. Ia tidak berpikir tentang kami di sini.”
“Jangan hanya menyalahkan Kakang Agni,” potong Ken Dedes, “lalu apa yang harus kita lakukan?”
Wiraprana diam sesaat. Kemudian katanya “Pendapat ayah baik sekali. Mari kita bersembunyi di luar rumah ini.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya.
Kemudian kepada seorang cantrik ia berkata “Katakan bahwa kami tidak ada
di rumah. Sejak kemarin kami meninggalkan rumah ini.”
Cantrik itu menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik. Baik akan kukatakan kepada mereka.”
“Cepat pergilah!” desak emban tua yang masih sangat lemahnya setelah ia kemarin dicederai oleh Kuda Sempana.
“Tetapi apakah mereka tidak akan mencari kita di seluruh padukuhan ini,” desah Wiraprana.
“Cepat!” tiba-tiba emban tua itu membentak, “Jangan ributkan hal yang lain-lain. Bersembunyi.”
Wiraprana tidak membantah. Ia tidak
sempat menjadi heran atas sikap emban yang tiba-tiba menjadi garang itu.
Karena itu maka segera ia melangkah turun dari pendapa.
Tetapi keduanya terlambat. Sebelum mereka
mencapai regol halaman, maka tiba-tiba mereka mendengar derap kuda
mendekati regol itu.
“Cepat kembali!” teriak emban tua itu, “panjatlah dinding belakang.”
Tetapi Wiraprana tidak sempat berbuat
demikian. Sebelum sempat memutar tubuhnya, maka muncullah seekor kuda
yang tegar dari regol pagar. Seekor, disusul oleh yang lain dan akhirnya
halaman itu pun telah hampir penuh dengan kuda-kuda dan penunggangnya.
Meskipun demikian, di luar regol itu pun masih ada dua tiga ekor kuda
yang di punggungnya duduk prajurit-prajurit yang sudah siap untuk
berbuat apa saja.
Tubuh Ken Dedes tiba-tiba menjadi lemah
seakan-akan kehilangan segenap tulang belulangnya. Dilihatnya Kuda
Sempana tersenyum di atas punggung kuda dan di sampingnya seorang yang
gagah dengan pakaian gemerlapan.
Tunggul Ametung sesaat diam terpaku.
Inikah gadis yang disebut oleh Kuda Sempana itu? Karena itu, maka
terdengar suaranya berat parau, “Kuda Sempana, adakah gadis ini yang kau
sebut-sebut bernama Ken Dedes?”
Kuda Sempana menarik keningnya. Sahutnya “Dari mana Tuanku tahu?”
Tunggul Ametung tertawa. “Aku hanya menduga. Gadis ini adalah gadis yang cantik sekali.”
Sekali lagi Kuda Sempana menarik
keningnya. Ketika kemudian ia memandangi gadis itu, dilihatnya Ken Dedes
menjadi pucat sepucat mayat. Tetapi Kuda Sempana tidak memedulikannya.
Dengan lantang ia berkata, “Atas nama Tuanku Akuwu Tumapel, maka aku
diperintahkan untuk membawa Ken Dedes ke Tumapel.”
Meskipun hal itu sudah diduganya sejak
Kuda Sempana itu memasuki regol halaman, namun kata-kata telah menampar
hati Ken Dedes dan Wiraprana seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya.
Tanpa sesadarnya, Ken Dedes itu berpegangan lengan Wiraprana dengan
eratnya seolah-olah tak akan dapat dipisahkan oleh kekuatan apapun.
Namun mereka adalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan
ketahanan yang terbatas. Karena itu, maka mereka tak akan dapat mencegah
kekuatan-kekuatan yang berat melanda mereka dan menghanyutkan mereka ke
dalam arus yang mengerikan
Kuda Sempana menjadi panas melihat sikap
Ken Dedes itu. Karena itu maka ia membentak sekali lagi, “Ken Dedes.
Kali ini jangan menentang kehendak Akuwu. Meskipun aku sendiri tidak
terlalu bernafsu untuk membawamu serta, sebab kau adalah seorang gadis
pedesaan, namun demikianlah kehendak Akuwu.”
Tidak hanya Wiraprana dan Ken Dedes saja
yang terkejut mendegar kata-kata Kuda Sempana, namun timbullah berbagai
persoalan pula di dalam hati Witantra.
“Kuda Sempana,” tiba-tiba Wiraprana itu berkata dengan suara yang bergetar, “apakah sebenarnya kehendakmu?”
“Jangan banyak cakap!” potong Kuda Sempana, “kau harus melepaskan Ken Dedes dan Ken Dedes harus pergi ke Tumapel.”
“Tidak!” bantah Ken Dedes.
“Sekali lagi, jangan menyangkal!” Kuda
Sempana menjadi sangat marah, ia tidak mau mengadakan perdebatan terlalu
lama, sebab dengan demikian, maka persoalan yang sebenarnya akan
mungkin didengar oleh Tunggul Ametung. Karena itu maka ia berteriak,
“Wiraprana. Tinggalkan Ken Dedes, atau aku memaksamu?”
Witantra menjadi bingung mendengar nama
itu disebut. Wiraprana sepanjang pengetahuannya berada di rumahnya.
Tetapi tiba-tiba di sini ia berhadapan dengan Wiraprana pula. Namun
sementara itu ia tidak mau memikirkan keanehan itu yang berputar-putar
di dalam kepalanya adalah kekejian Kuda Sempana. Karena itu maka
tiba-tiba kembali memberanikan diri bertanya kepada Tunggul Ametung,
“Tuanku, apakah peristiwa ini Tuanku lakukan atas permintaan Kuda
Sempana itu?”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tiba-tiba akuwu menjawab, “Ya.”
Dada Witantra berdesir karenanya. Juga
Kuda Sempana terkejut mendengar jawaban itu. Namun sebelum ia sempat
menyahut, Witantra telah bertanya pula, “Apakah Tuanku telah menimbang
baik buruknya, Akuwu memenuhi pemintaannya?”
“Aku tidak mau dihinanya!” teriak Akuwu
itu, sehingga orang-orang yang belum pernah melihat Tunggul Ametung itu
menjadi terkejut sehingga Ken Dedes menjadi gemetar ketakutan.
Witantra itu mendesak terus. Ia sudah
terlalu biasa mendengar Tunggul Ametung berteriak-teriak. Apalagi kini
dadanya sedang dipenuhi oleh perasaan muak atas perbuatan Kuda Sempana
Katanya, “Tuanku, apakah Tuanku yakin, bahwa orang tua gadis itu pernah
menghina Tuanku?”
Tunggul Ametung menarik alisnya yang
tebal itu tinggi-tinggi. Kemudian ditatapnya wajah Kuda Sempana sambil
berkata, “Kuda Sempana mengatakan itu kepadaku.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Kuda Sempana, “Kau berkata sebenarnya Adi?”
“Kakang,” potong Kuda Sempana, “Jangan
ikut campur dalam persoalan ini. Apakah kau akan ikut menghina Akuwu di
hadapan orang Panawijen?”
Sebelum Witantra menjawab, tiba-tiba
kata-kata Kuda Sempana itu mengena sasarannya, sehingga sekali lagi
Akuwu itu berteriak, “He, Witantra, apa kepentinganmu atas persoalan
ini? Aku telah memutuskan untuk memberi kesempatan kepada Kuda Sempana
mengambil gadis itu. Apa pedulimu?”
Namun Witantra telah tidak dapat menahan
lagi sentuhan-sentuhan atas rasa keadilannya. Maka dengan tatagnya ia
menjawab, “Akuwu. Hamba adalah seorang prajurit yang selama ini selalu
setia akan tugas-tugas hamba. Namun selama ini hamba belum pernah
melihat Akuwu Tunggul Ametung berbuat tergesa-gesa seperti kali ini.
Tuanku, kali ini, Tuanku berhadapan dengan Kuda Sempana dan orang-orang
yang dikatakan telah menghina Tuanku itu. Apakah Tuanku Tunggul Ametung
sama sekali tidak berhasrat untuk menanyakan kebenarannya kepada
pihak-pihak yang bersangkutan?”
“He,” tiba-tiba Akuwu itu menjadi
ragu-ragu. Ketika Kuda Sempana akan menyahut, maka Akuwu itu membentak,
“Jangan berteriak Kuda Sempana. Kata-kata Witantra mengandung
kebenaran.”
“Tetapi Tuanku,” berkata Kuda Sempana,
“orang yang licik itu akan dapat memutar balik kenyataan, Selain itu,
maka bukanlah hamba telah mengatakan bahwa hamba telah memutuskan untuk
menerima nasib hamba yang malang itu. Namun Tuanku memaksa hamba untuk
melakukan perbuatan ini. Sekarang, apakah hamba harus menanggung malu
untuk yang kedua kalinya, justru karena perintah Tuanku?”
“He,” kembali Akuwu itu menjadi bimbang. Sesaat kemudian ia berkata, “Ya, ya. Aku telah memerintahkan kepadamu.”
“Tuanku,” potong Witantra, “Tuanku dapat
mencabut setiap perintah yang hanya berdasarkan keterangan-keterangan
yang tidak benar. Sekarang, apakah perintah Tuanku itu sudah didasari
atas keterangan-keterangan yang benar? Kalau Tuanku mencabut perintah
itu, sama sekali bukan kesalahan Tuanku, namun yang memberi keterangan
itulah yang bersalah.”
Akuwu Tumapel itu menjadi bingung. Namun
tiba-tiba sekali lagi dipandangnya wajah gadis yang berdiri ketakutan di
halaman rumahnya itu. Wajah seorang gadis yang tulus dan wajar, sewajar
gadis pedesaan yang lain. Tanpa pulasan apapun wajah Ken Dedes telah
memancar seperti bulan tanggal setengah.
Semua yang berdiri di halaman itu menjadi
tegang. Semuanya memandang wajah Akuwu Tumapel. Alisnya yang tebal
bergerak-gerak tak hentinya.
Tiba-tiba Akuwu itu mengangkat dadanya
dan berteriak nyaring, “Aku lah Akuwu Tumapel. Semua kekuasaan berada di
tanganku.” Kemudian kepada Kuda Sempana ia berkata, “Kuda Sempana,
ambil gadis itu!”
“Tuanku,” potong Witantra.
Namun Tunggul Ametung berteriak lebih
keras untuk menutup segala kemungkinan yang membisiki relung hatinya,
“Cepat! Sebelum aku berubah pendirian.”
Kuda Sempana tidak menunggu lebih lama
lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan berjalan menuju ke arah Ken
Dedes yang gemetar ketakutan.
“Jangan melawan,” bisik emban tua yang
cukup makan pahit asamnya kehidupan, “Ikutlah, sementara kita dapat
merencanakan pertolongan.”
Namun Wiraprana tidak mau mendengarkan nasihat itu. Bahkan ia bergumam, “Kenapa Agni tidak juga kembali?”
“Jangan ributkan Agni!”
Sementara itu Kuda Sempana menjadi
semakin dekat. Di sekitarnya beberapa orang berkuda memandangnya dengan
tegang. Semuanya seakan-akan menahan nifasnya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Apa
yang dilihatnya itu, tak ubahnya seperti apa yang pernah dilakukannya di
rimba-rimba dan di padang-padang. Ia pernah mencegat seorang anak
petani yang sedang pergi mengantarkan makanan buat ayahnya yang bekerja
di sawah. Ia pernah berbuat hal-hal yang serupa dengan apa yang
disaksikannya, meskipun caranya berbeda. Cara yang pernah dilakukannya
adalah cara seorang hantu yang hidup di padang-padang rumput dan
hutan-hutan. Namun kini ia melihat cara yang lain, cara seorang yang
sedang memiliki kekuasaan dan pedang. Ken Arok itu tiba-tiba menundukkan
wajahnya. Ia pernah melihat gadis-gadis menjadi ketakutan seperti Ken
Dedes pada saat itu. Dan ia menyesal karenanya. Tetapi ternyata
orang-orang yang dianggapnya terhormat itu pun melakukannya pula.
Tetapi kali ini ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia sedang mencoba mengubah nasibnya. Dan ia belum sempat
melihat perkembangan nasib itu. Karena itu, ia tidak mau berbuat sesuatu
yang dapat melemparkannya kembali ke di padang-padang rumput dan
hutan-hutan.
Kini Kuda Sempana telah berdiri
berhadapan dengan Wiraprana. Dan Wiraprana itu berkata di dalam hatinya,
“Kali ini untuk ketiga kalinya.”
Tunggul Ametung menjadi sangat marah
hatinya ketika ia melihat seorang anak muda yang mencoba menghalangi
Kuda Sempana. Karena itu maka ia pun berteriak, “He. Siapakah anak itu?”
“Wiraprana,” sahut Kuda Sempana.
“Pergi jangan halangi Kuda Sempana mengambil gadis itu. Itu adalah perintah Akuwu Tumapel!”
Tetapi Wiraprana tidak beranjak dari
tempatnya, Sehingga Akuwu Tumapel itu berteriak pula “Witantra Kau
adalah alat kekuasaan Akuwu Tumapel. Singkirkan anak itu!”
Witantra menggigit bibirnya. Sekali lagi
terjadi pertempuran yang sengit di dalam dadanya. Apakah ia harus ikut
serta dalam perbuatan itu?
Karena kebimbangan itu maka ia mendengar sekali lagi Tunggul Ametung berkata lantang “Witantra apakah kau tuli, he?”
Namun alangkah terkejutnya Tunggul
Ametung ketika ia mendengar Witantra itu menjawab “Tuanku. Aku tidak
ikut dalam perkosaan ini.”
Tunggul Ametung itu tiba-tiba menjadi
gemetar karena marahnya. Belum pernah ia mendengar jawaban yang
sedemikian dari bawahannya. Namun kini Witantra itu menolak melakukan
perintahnya. Karena tiba-tiba ia memutar kudanya menghadap ke arah
prajurit-prajuritnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata “Tangkap
Witantra!”
Namun suara Tunggul Ametung itu
benar-benar seperti burung hantu di padang pasir. Hilang tak berkesan.
Tak seorang pun dari para prajuritnya yang bergerak. Merela menjadi
ragu-ragu. Witantra adalah seorang pemimpin yang mereka segani dan
mereka senangi. Meskipun kadang-kadang Witantra itu sering berbuat
terlalu keras, namun ia dapat tegak pada kewajibannya. Itulah sebabnya
maka para prajurit itu menjadi ragu-ragu.
Sekali lagi dada Tunggul Ametung seperti
akan pecah. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Di sini, di tempat
yang cukup jauh, dan ia sendiri berada di antara para prajuritnya itu,
muka ia tidak berani berbuat lebih daripada mengumpat-umpat. Namun ia
masih berbesar hati, bahwa Witantra itu tidak berbuat apa-apa yang dapat
mencegah maksudnya.
Dalam pada itu, Akuwu Tumapel itu masih
mendengar Witantra berkata “Aku akan pergi dari halaman ini. Aku tetap
setia kepada tugasku sebagai seorang prajurit. Namun tidak untuk
memerkosa hak dan peradaban.”
Witantra tidak menunggu Akuwu itu
menjawab kata-katanya. Dengan segera ia memutar kudanya dan pergi keluar
halaman. Beberapa orang tiba-tiba mengikutinya pula. Ke luar halaman.
“Witantra, apakah kau sadari perbuatanmu
itu?” teriak Tunggul Ametung dengan marahnya, “besok aku dapat
memerintahkan menggantung kau di alun-alun. Kau sangka bahwa prajurit
Tumapel hanya terdiri dari pengawalnya saja?”
Witantra menoleh pun tidak. Dan segera ia
hilang di balik regol beserta beberapa orang prajurit. Namun ada di
antara mereka yang menjadi ragu-ragu. Namun ada pula seorang yang
berkumis tebal menjadi gembira melihat perselisihan itu. Dengan
membungkuk-bungkuk ia menyembah, “Akuwu, biarlah Witantra menolak
perintah Akuwu. Biarlah aku saja yang akan melaksanakan perintah Akuwu.”
“Bagus. Kau akan mendapat pangkat yang baik,” teriak Tunggul Ametung.
Tetapi terdengar kemudian Kuda Sempana berkata, “Tak perlu bantuan orang lain. Biarlah anak ini aku selesaikan sendiri.”
Namun ternyata perselisihan di antara
mereka telah membesarkan hati Wiraprana. Mula-mula ia mengharap
seseorang di antara mereka memberinya bantuan. Tetapi ia menjadi kecewa
ketika Witantra itu tidak berbuat sesuatu selain pergi ke luar halaman.
Meskipun demikian, Wiraprana masih mengharap perkembangan keadaan.
Tetapi kini Kuda Sempana itu telah
melangkah maju. Karena itu maka segera ia melangkah pula maju sambil
berkata, “Kuda Sempana. Apakah kau masih belum juga menyadari
keadaanmu?”
Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi
langsung ia menampar mulut Wiraprana. Wiraprana terkejut bukan buatan.
Namun mulutnya telah menjadi panas Dan darah yang merah meleleh dari
sela-sela bibirnya. Perbuatan Kuda Sempana benar-benar telah
membangkitkan kemarahannya. Meskipun baru kemarin ia dilumpuhkan oleh
Kuda Sempana itu. Kini Wiraprana ingin mendahuluinya. Ia ingin mencoba
mengurangi kekuatan Kuda Sempana. Karena itu tiba-tiba saja Wiraprana
itu melompat menyerang dengan garangnya. Tetapi yang diserangnya adalah
Kuda Sempana. Karena itu dengan lincahnya maka serangan itu
dihindarinya.
Dan malanglah nasib Wiraprana. Kuda
Sempana benar-benar ingin menunjukkan kepada Akuwu Tumapel, bahwa Kuda
Sempana bukanlah pelayan dalam yang hanya mampu melayani keperluan akuwu
itu sehari-hari. Tetapi ia pun tidak kalah tangkasnya dengan para
prajurit yang beberapa orang di antaranya sedang menontonnya. Karena
itu, maka Wiraprana itu pun telah dijadikannya alat untuk menunjukkan
keterampilannya.
Maka kembali mereka berdua berkelahi dengan serunya.
Namun kembali Wiraprana mengalami
peristiwa yang mengerikan. Dengan geramnya Kuda Sempana menyerang anak
muda yang tinggi besar itu dengan tanpa ampun. Hampir segenap wajah
Wiraprana menjadi merah biru.
Sebuah pukulan yang dahsyat telah tepat
mengenai dagu Wiraprana, sehingga wajah itu terangkat, namun Kuda
Sempana telah menyusulnya dengan sebuah pukulan di perutnya. Wiraprana
itu pun menjadi terhuyung-huyung. Tetapi Kuda Sempana tidak puas. Sekali
lagi ia menghantam pipi Wiraprana.
Ketika Wiraprana terdorong ke samping,
maka sampailah Kuda Sempana pada puncak permainannya. Ia tidak mau
diganggu oleh anak mula itu lagi. Sehingga dengan demikian ia
benar-benar berhasrat untuk meniadakan anak muda itu. Demikianlah dengan
garangnya Kuda Sempana meloncat dan memukul tengkuk Wiraprana dengan
sisi telapak tangannya.
Terdengar Wiraprana mengaduh pendek
disusul oleh jerit Ken Dedes. Tetapi suara itu lenyap dalam derai tawa
Akuwu Tunggul Ametung. Dengan bangga Akuwu itu berkata, “He, Kuda
Sempana. Kau tak ubahnya seorang prajurit yang tangguh. Nah. Aku
benar-benar tidak lagi memerlukan Witantra yang gila itu.”
Tetapi kata-kata Akuwu itu tiba-tiba
terputus ketika ia melihat Ken Dedes menjatuhkan diri sambil menangis di
atas tubuh Wiraprana yang diam terbaring di halaman itu.
Akuwu itu menarik bibirnya ke samping.
Matanya yang sebelah seakan-akan menjadi bertambah sipit. Ia adalah
Akuwu yang dapat berbuat apa saja. Namun gadis itu tidak takut
kepadanya, bahkan mengumpat-umpatinya. Kenapa?
Dan suara gadis itu masih terdengar,
“Akuwu Tumapel, apakah kau tidak melihat kebenaran diinjak-injak di
hadapan hidungmu? Atau kau ikut dalam kebiadaban ini?”
“Hem,” Akuwu itu menjadi semakin heran.
Namun tiba-tiba Akuwu itu pun berteriak tak kalah kerasnya, “Kuda
Sempana. Bawa gadis itu ke Tumapel!”
Kuda Sempana tak menunggu perintah itu
diulangi. Dengan tangkasnya ia meloncat menangkap Ken Dedes. Namun gadis
itu sama sekali tidak membiarkannya. Karena itu ia berusaha melawan.
Namun ia sama sekali tidak berdaya.
Matahari di langit memancar dengan
teriknya. Selembar awan yang Putih hanyut dalam arus angin yang lembut.
Ketika Witantra mengangkat wajahnya, dilihatnya dalam lembaran langit
yang biru, burung beterbangan dengan lincahnya. Bebas lepas di udara.
Namun tiba-tiba dilihatnya seekor elang yang berputar-putar untuk
mencari mangsanya.
Witantra menarik nafas dalam . Terjadilah
suatu pergolakan di dalam dadanya. Pergolakan yang hampir meledak.
Namun ia tidak akan dapat mencegah perbuatan yang terkutuk itu. Ia harus
puas dengan menyingkirkan dirinya, mencuci tangannya.
“Aku tidak turut melakukannya,” desahnya.
Ia terkejut ketiga ia melihat beberapa
ekor kuda berlari keluar halaman. Kencang sekali seperti angin. Sekali
lagi Witantra menarik nada. Dibiarkannya kuda itu berlari. Ketika ia
berpaling ia masih melihat beberapa orang prajurit berada di sekitarnya.
Bahkan ia melihat seorang prajurit yang hampir seluruh wajahnya
ditumbuhi rambut yang lebat bertubuh tegap kekar dengan sebatang tombak
di tangannya sedang menundukkan wajahnya. Ketika Witantra melihat wajah
prajurit itu, ia terharu juga. Prajurit yang dikenal sebagai alap-alap
dalam medan peperangan itu menitikkan air mata.
“Kenapa kau?” bertanya Witantra
“Aku juga punya seorang anak gadis.”
Witantra menarik nafas. Ia hanya dapat
melakukan itu, menarik nafas dan mengeluh. Prajurit itu pun tersinggung
rasa keadilannya seperti dirinya. Namun seperti dirinya, prajurit itu
tidak dapat berbuat apa.
Witantra tidak dapat untuk membiarkan
kudanya berdiri saja di situ, sehingga kemudian dengan hati yang kosong
ia menarik kekang kudanya dan jalan searah dengan kuda-kuda yang
terdahulu,
Tetapi tiba-tiba Witantra itu terhenti. Seorang perempuan tua memegangi kakinya dengan eratnya.
“Kenapa?” bertanya Witantra dengan nada kosong.
“Apakah tuan tidak dapat membantu kami?” tangis perempuan tua itu.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Membebaskan Ken Dedes.”
Witantra itu pun tergetar hatinya Namun
yang dihadapinya adalah Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu mata dengan
berat hati ia menggeleng, “Sayang aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
“Tuan, bukanlah tuan bersenjata seperti orang-orang yang telah merampas gadis itu?”
“Tetapi orang-orang itu di antaranya adalah Akuwu Tumapel.”
“Jadi apakah seorang akuwu boleh berbuat sewenang-wenang?”
Witantra terdiam. Ia benar-benar tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi, ia juga tidak dapat berbuat
apa-apa. Karena itu sekali lagi ia menggeleng, “Sayang. Aku tidak dapat
menolongmu.”
Perempuan tua itu menjadi putus asa.
Dilepaskannya kaki Witantra. Namun terdengar ia bergumam, “Tuan, aku,
perempuan tua ini, akan menjadi saksi, bahwa di sini telah terjadi
perkosaan atas kemanusiaan oleh kekuasaan. Di sini telah terjadi
noda-noda yang hitam yang mengotori kekuasaan Akuwu Tumapel.”
Witantra itu pun menundukkan wajahnya.
Bahkan ia bergumam di dalam hatinya, “Kau benar Bibi tua. Di sini telah
terjadi perkosaan atas sendi-sendi peradaban dan kemanusiaan oleh
kekuasaan yang berada di tangan Akuwu Tunggui Ametung”
Witantra itu pun kemudian tidak tahan
lagi ketika ia melihat perempuan itu menangis. Karena itu, maka kemudian
ia menggerakkan kudanya dan berlari menjauhi tempat yang telah
menggoreskan suatu kenangan di dalam hatinya. Kenangan yang suram dari
sejarah Tumapel.
Jauh di hadapan Witantra itu, beberapa
ekor kuda berlari kencang sekali seperti angin. Mereka adalah Kuda
Sempana, Tunggul Ametung dan beberapa orang pengiring. Mereka adalah
orang-orang yang telah kehilangan kesadaran diri mereka, sehingga
bersama mereka itu, mereka bawa Ken Dedes yang sedang pingsan.
Debu yang putih mengepul tinggi. Debu
yang dilemparkan oleh berpasang kaki kuda itu. Di paling depan, Kuda
Sempana berpacu sambil membawa seorang gadis yang telah dirampasnya.
Sedang di belakangnya Akuwu Tunggul Ametung memegangi kendali kudanya
dengan eratnya. Namun wajahnya kini tiba-tiba menjadi suram. Setelah
dilihatnya gadis yang bernama Ken Dedes itu, tiba-tiba timbullah sesuatu
di dalam benaknya. Gadis itu hanya seorang gadis yang hidup di dalam
sebuah padukuhan kecil. Namun terasa di dalam tatapan matanya, sesuatu
yang tidak ada pada gadis kebanyakan. Akuwu itu sama sekali tidak tahu.
Apakah yang lain pada gadis itu. Bahwa gadis itu adalah seorang gadis
yang cantik sekali, akuwu itu tidak dapat memungkirinya. Sejak ia
memandang wajah itu untuk pertama kali hatinya telah terguncang dan
berkata, “Ken Dedes adalah gadis yang cantik sekali.”
Tetapi, bukan kecantikannya itu sajalah
yang telah menggerakkan Akuwu Tunggal Ametung. Ada yang lain. Namun ia
tidak tahu, apakah yang lain itu.
Demikianlah, maka terjadi pula sesuatu
yang seakan-akan mendidih di dalam hati Tunggul Ametung. Sesuatu yang
tidak diketahui ujung pangkalnya. Sebagai seorang akuwu, ia mempunyai
kesempatan yang jauh lebih besar dari orang-orang lain sebayanya. Tetapi
Tunggul Ametung itu sama sekali belum berhasrat untuk kawin. Tiba-tiba
kini ia melihat sesuatu yang dapat mengguncangkan hatinya. Ken Dedes.
Kecantikannya dan sesuatu yang tak dapat dimengertinya yang seakan-akan
memancar dari wajahnya.
Ketika Akuwu Tumapel itu mengangkat
wajahnya, dilihatnya Kuda Sempana berpacu di hadapannya. Tiba-tiba
terasa ia menjadi muak melihat keangkuhan sikap Kuda Sempana. Baru
beberapa saat ia berusaha memenuhi permintaan pelayannya itu, namun kini
terasa bahwa ia menyesal karenanya. Tetapi ia tidak dapat menemukan
apakah sebenarnya yang bergolak di dalam dirinya itu.
Awan di langit selembar-selembar mengalir
ke utara. Seperti belasan daun-daun raksasa yang terapung hanyut di
wajah lautan yang biru bersih. Matahari yang cerah memancarkan sinarnya
membakar kulit, sehingga peluh yang hangat membasahi seluruh tubuh.
Debu-debu yang dilemparkan dari kaki-kaki kuda itu pun satu-satu melekat
pada kulit-kulit mereka yang telah basah itu.
Tunggul Ametung mengusap wajahnya dengan
tangannya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tiba ia terkejut. Di
hadapannya dilihatnya segumpal debu yang meloncat ke udara.
Dada Akuwu itu pun menjadi berdebar-debar
pula karenanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas. “Itu pasti anak gila
adik Witantra,” katanya di dalam hati.
Namun belum lagi ia berkata apapun juga
kepada pengiringnya maka Akuwu itu pun terkejut ketika Kuda Sempana
memperlambat kudanya.
“Kenapa he?” teriak Tunggul Ametung.
“Kuda itu,” sahut Kuda Sempana.
Kini Akuwu itu pun melihat, bahwa kuda
itu sama sekali bukan Kuda Mahendra. Dan anak muda yang duduk di
punggung kuda itu pun sama sekali bukan Mahendra.
“Kenapa dengan kuda itu?” kembali Tunggul Ametung bertanya.
Kuda Sempana diam sesaat. Kemudian jawabnya, “Anak muda itu adalah kakak Ken Dedes.”
“He,” Tunggul Ametung itu berteriak. Namun kemudian ia berkata “Apakah ia akan membuat persoalan?”
“Tentu. Anak itu anak gila,” jawab Kuda Sempana.
Akuwu itu pun kemudian berpaling.
Dilihatnya prajurit yang berkumis tebal tersenyum sambil mengangguk.
Meskipun akuwu itu belum berkata apapun juga, namun prajurit itu pun
menyembah, “Ampun Tuanku. Jangan cemas. Biarlah hamba selesaikan anak
itu.”
Tunggul Ametung tertawa. “Bagus. Percepat kudamu singkirkan anak itu.”
Prajurit yang berkumis tebal itu
mengangguk sambil tertawa kemudian ia mendului Tunggul Ametung dan Kuda
Sempana. Ia berpaling ketika ia mendengar Kuda Sempana berkata,
“Hati-hatilah dengan anak muda itu.”
Prajurit itu tertawa semakin keras dan menjawab, “Apakah anak Panawijen itu berbahaya?”
“Ya,” jawab Kuda Sempana.
Prajurit itu tertawa terbahak-bahak .
Anak pedesaan itu pasti hanya mampu memanggul cangkul dan bertanam ubi.
Karena itu maka segera ia memacu kudanya menyongsong Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni telah benar-benar
seperti anak yang kerasukan setan. Dari kejauhan ia melihat debu yang
mengapung tinggi dan beberapa orang berkuda berlari kencang. Kemudian di
lihatnya seseorang yang berkuda paling depan membawa gadis bersamanya.
Cepat Mahisa Agni mengetahui, bahwa pasti itulah Kuda Sempana. Namun
jumlah pengiringnya tidak sebanyak yang dikatakan Mahendra kepadanya.
Namun apa yang dilihatnya itu benar-benar
telah membakar jantungnya, sehingga ia sudah tidak dapat lagi
mempertimbangkan, siapakah yang akan dihadapinya. Apakah ia akuwu yang
berkuasa di Tumapel, atau bahkan seandainya Maharaja dari Kediri sekali
pun.
Karena itu, ketika ia melihat seorang
berkuda mendahului rombongan Kuda Sempana itu, hatinya semakin menyala.
Pasti orang inilah yang akan mencoba melawannya. Karena itu, maka segera
ia pun memacu kudanya pula.
Jarak mereka berdua, Mahisa Agni dan
prajurit berkumis tebal itu semakin lama menjadi semakin dekat. Bahkan
kemudian Mahisa Agni dapat melihat, bahwa Prajurit itu tertawa- tawa,
seakan-akan seorang anak sedang menyongsong permainan yang lucu,
oleh-oleh bapanya dari rantau. Dengan demikian, Mahisa Agni menjadi
semakin marah. Tidak ada kemungkinan lain padanya, daripada melumpuhkan
prajurit itu.
Akhirnya Mahisa Agni itu pun menjadi
semakin dekat. Prajurit berkumis tebal itu menghentikan kudanya sambit
berteriak, “He, berhenti!”
Mahisa Agni sama sekali tidak mau berhenti, bahkan ia berteriak, “Minggir! Kalau tidak, aku injak kepalamu.”
Prajurit itu benar-benar terkejut
mendengar jawaban Mahisa Agni. Ia sama Sekali tidak menyangka bahwa ia
akan mendapat jawaban yang sangat mewakilkan hati. Maka katanya di dalam
hati, “Apakah anak itu benar-benar gila?”
Tetapi ia tidak sempat bertanya-tanya
lagi. Mahisa Agni sudah sedemikian dekatnya. Karena itu, maka segera ia
menyilangkan kudanya untuk menahan Mahisa Agni.
Kuda Mahisa Agni terkejut melihat kuda
yang tiba-tiba saja menyilang jalan. Mahisa Agni pun segera menarik
kekangnya, sehingga kuda itu tegak pada kedua kali belakangnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni tidak terlempar karenanya. Namun hal itu
telah menjadikannya semakin marah. Mahisa Agni sama sekali tidak berkata
apapun lagi. Segera ia memutar kudanya dan menyerang prajurit berkumis
tebal itu. Tetapi Prajurit itu pun telah mempersiapkan diri, karena itu
maka segera ia mengelakkan serangan Mahisa Agni itu.
Namun prajurit itu benar-benar tidak
menyangka, bahwa anak Panawijen itu mampu bergerak sedemikian cepatnya,
sehingga hampir-hampir ia terlambat. Meskipun demikian, masih juga
terasa tangan Mahisa Agni itu menyentuh rambutnya, sehingga terasa
dadanya bergetar karenanya.
“Gila!” prajurit itu mengumpat. Tetapi ia
tidak dapat mengumpat terus. Mahisa Agni telah mengulangi serangannya,
bahkan lebih keras dari serangannya yang pertama.
Prajurit itu terpaksa menarik diri sambil
memutar kudanya. Dengan demikian sekali lagi ia dapat membebaskan diri
dari serangan Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni yang marah itu sama sekali
tidak memberinya kesempatan. Berkali-kali ia menyambar dari atas kudanya
seperti seekor burung rajawali yang bertempur di udara. Sehingga sesaat
kemudian segera tampak bahwa prajurit itu hampir tidak berdaya
menghadapinya.
Tunggul Ametung dan Kuda Sempana berhenti
beberapa puluh langkah dari perkelahian itu. Wajah akuwu itu pun
kemudian menjadi cemas. Ternyata Akuwu Tumapel segera dapat mengetahui,
bahwa prajuritnya yang sombong itu, sama sekali tidak berdaya menghadapi
lawannya.
Sekali Tunggul Ametung itu berpaling.
Dadanya berdesir ketika Witantra tidak nampak mengiringkannya. Ia
percaya betul akan kekuatan Witantra itu, namun kini anak madu itu tidak
mau ikut serta bersamanya. Karena itu, maka ia sesaat menjadi bimbang.
Meskipun Tunggul Ametung sendiri tidak akan takut menghadapi siapa pun.
Namun harga dirinya masih mencegahnya. Seorang akuwu yang berkuasa,
apakah harus menangani sendiri seorang lawan yang tidak lebih dari anak
pedesaan? Sedang ia tidak akan dapat memerintahkan Kuda Sempana untuk
melawan anak gila itu, sebab Kuda Sempana sedang memegangi Ken Dedes
yang pingsan. Ketika sekali lagi Tunggul Ametung berpaling dilihatnya di
belakangnya beberapa orang diam kaku di atas kuda mereka.
“Tiga orang kecuali Kuda Sempana, aku sendiri dan prajurit yang bertempur itu,” desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Kuda Sempana itu tersenyum
ketika dilihatnya Ken Arok memandangi perkelahian itu dengan tegang. Dan
tiba-tiba pula Tunggul Ametung itu memanggilnya, “He, kau, kemari!”
Ken Arok terkejut. Namun ia mendekat juga.
“Aku melihat beberapa keanehan dalam dirimu. Tetapi aku belum pernah melihat kau berkelahi. Apakah kau dapat juga berkelahi?”
Jantung Ken Arok benar-benar terguncang.
Anak muda itu adalah Mahisa Agni yang dikenalnya dengan baik. Namun
kini, apakah ia harus berkelahi dengan Mahisa Agni itu. Dahulu ia pernah
juga berkelahi melawannya, namun selagi otaknya masih gelap. Kini ia
telah berusaha untuk berbuat menurut nasihat-nasihat yang baik. Tetapi
kenapa tiba-tiba ia masih harus mengulangi perbuatannya itu. Berkelahi.
Apalagi melawan Mahisa Agni.
Karena itu maka untuk sesaat Ken Arok itu
menjadi bimbang, dan dengan demikian ia tidak segera menjawab. Akuwu
Tumapel itu pun mengerutkan keningnya, dan kemudian membentaknya “He,
Ken Arok. Apakah kau tuli atau bisu?”
“Ampun Tuanku,” jawab Ken Arok tergagap.
Sementara itu Tunggul Ametung melihat
prajurit yang berkumis tebal itu telah terlempar dari kudanya, jatuh
terbanting di atas tanah, tampaklah betapa wajahnya menjadi pucat, dan
mulutnya menyeringai menahan sakit. Meskipun demikian ia masih mencoba
berdiri. Namun Mahisa Agni yang marah datang menyerangnya dengan garang.
Sebuah pukulan bersarang di wajahnya, dan prajurit yang berkumis tebal
itu sekali lagi terlempar dan jatuh berguling ke dalam parit. Oleh
karena itu, maka jiwanya telah tertolong karenanya. Sebab Mahisa Agni
yang benar telah kehilangan segala pertimbangannya itu ingin melanda
prajurit itu dengan kudanya dan menginjaknya. Tetapi karena ia terbaring
di dalam parit, maka kuda Mahisa Agni tidak dapat mencapainya dengan
mudah.
Dalam pada itu terdengar Tunggul Ametung berteriak, “Ken Arok. Lawanlah anak gila itu!”
Ken Arok benar-benar tidak dapat berbuat
lain daripada menaati perintah itu. Tetapi sebenarnya hatinya menjadi
sangat kecewa. Benar-benar kecewa. Dengan demikian maka kehidupan di
dalam rimba yang pernah dialaminya, kini terpaksa terulang kembali.
Perampasan dan perkelahian. Ken Arok pernah melihat seekor harimau
merampas anak seekor kijang yang lemah. Dan kijang itu tidak dapat
berbuat apa-apa selain melarikan diri. Ia sendiri pernah mencegat dan
merampas milik orang di padang Karautan. Dan orang-orang itu tidak
berdaya untuk mempertahankannya. Kini setelah ia berada di lingkungan
orang-orang yang terhormat dan berkuasa, maka pekerjaan itu harus
diulangnya. Merampas dan berkelahi.
Dengan hati yang berat, Ken Arok itu
mendorong kudanya maju beberapa langkah. Dengan hati yang berdebar-debar
ia mendekati Mahisa Agni yang sedang marah bukan buatan.
Ketika Mahisa Agni itu melihat Ken Arok,
maka ia pun terkejut bukan kepalang. Bahkan dengan serta-merta ia
berteriak, “Kau Ken Arok. Kau turut dalam perampokan ini pula?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Hatinya terguncang mendengar pertanyaan itu, sehingga ia tidak segera dapat menjawabnya.
Mahisa Agni pun bergeser maju mendekati
Ken Arok itu. Betapa marahnya hati anak muda itu. Dan tiba-tiba ia
berhadapan dengan seorang yang pernah dikenalnya. Karena Ken Arok tidak
segera menjawab, maka Mahisa Agni itu berkata pula, “He, Ken Arok.
Apakah kau termasuk dalam gerombolan itu pula?”
“Agni,” jawab Ken Arok perlahan, “jangan
menuduh aku demikian. Kau harus tahu, siapakah aku dan siapakah yang
melakukan perampasan itu. Aku tidak mempunyai pilihan lain, sebab aku
adalah seorang hamba.”
“Ha,” sahut Agni, “Apakah arti
kata-katamu dahulu? Apakah kau kini berdiri di jalan yang sempit yang
akan sampai ke gerbang kedamaian abadi? Apakah kau telah menghindarkan
dirimu dari jalan yang lebar dan halus, namun akan sampai pada pusar
kehancuran?”
Ken Arok tiba-tiba menundukkan wajahnya.
Namun ia terkejut ketika ia mendengar Akuwu Tumapel berteriak, “Ken
Arok. Pecahkan kepalanya. Atau kau aku gantung di alun-alun.”
Ken Arok itu mengangkat wajahnya. Desahnya, “Agni aku tidak dapat berbuat lain.”
“Bagus,” sahut Agni lantang, “aku sudah
menyangka, betapapun kau mencoba membersihkan dirimu, tetapi kau
sebenarnya adalah seorang pembunuh. Di manapun kau berada, dalam
kesempatan apapun, maka kau akan kembali ke jalan yang kotor itu. Kalau
kau telah pernah mencoba mencuci tanganmu yang kau kotori dengan darah
korbanmu di sepanjang hutan Karautan, maka sekarang kotori tanganmu
dengan darahku, dengan darah adikku itu, Ken Dedes.”
“Agni,” Ken Arok itu berteriak keras-keras, “Cukup! Cukup!”
“Tidak!” sahut Agni tidak kalah kerasnya,
“kau harus becermin. Kau harus melihat wajahmu itu. Wajah yang dipenuhi
oleh kotoran duniawi. Huh. Apakah seorang pendeta yang kau katakan
bernama Lohgawe itu mendidikmu untuk membunuh, merampok dan memerkosa
dengan cara yang terhormat ini.”
“Cukup! Cukup!” Wajah Ken Arok itu tiba
menyala, dan digesernya kudanya beberapa langkah maju. Tetapi Mahisa
Agni pun benar-benar sudah siap. Ia kini bukan Mahisa Agni yang
bertempur di padang rumput Karautan itu. Namun sebenarnya Ken Arok itu
pun bukan Ken Arok yang berada di padang itu pula. Dengan bekal kekuatan
yang tersimpan di dalam tubuhnya sejak ia dilahirkan, ia telah menerima
beberapa tuntunan dalam tata perkelahian. Dan karena tuntunan yang
sedikit itu saja, Ken Arok benar-benar menjadi seorang anak muda yang
luar biasa.
Tetapi ketika ia telah benar-benar
berhadapan dengan pandangan mata Mahisa Agni yang tajam, tiba-tiba
disadarinya akan dirinya. Bahkan dikenangnya, waktu Mahisa Agni menjadi
seperti orang gila berteriak di padang rumput menantangnya. Kenapa waktu
itu ia tidak menjadi marah, dan bahkan ia dapat meredakan kemarahan
anak muda itu?
Kini kembali ia mendengar Mahisa Agni
berkata, “Ken Arok. Kalau kini kita bertempur, maka bertanyalah kepada
hati nuranimu. Siapakah yang berpijak pada kebenaran seperti yang pernah
kau impikan.”
Tiba-tiba Ken Arok itu menggeleng.
Wajahnya menjadi suram. Dan ia pun berbisik, “Agni. Kalau kau akan
membinasakan aku, binasakanlah. Aku harus melawanmu. Tetapi percayalah,
aku tidak akan bertempur sungguh-sungguh. Aku harus menghalangimu,
meskipun tidak demikian kata hatiku. Kau berada di atas kebenaran,
sedang aku berada dalam kesulitan-kesulitan karena kedudukanku. Nah.
Terserahlah kepadamu.
“Jangan banyak ribut, aku sudah siap.”
“Jangan berteriak-teriak. Aku sudah menyerah, meskipun aku harus bertempur.”
Mahisa Agni yang marah itu tidak sabar
lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ken Arok, namun ia harus
menyingkirkan semua orang yang mencoba menculik Ken Dedes itu.
Ketika sekali Mahisa Agni itu mengerling
ke arah Kuda Sempana, maka nyala di dalam hatinya seakan-akan tersiram
minyak, sehingga melonjaklah api yang memanasi dadanya.
Dengan serta-merta Mahisa Agni itu
meluncur dengan dahsyatnya, langsung menghantam pelipis Ken Arok. Namun
dengan gerak naluriah Ken Arok menghindarkan dirinya, sehingga Mahisa
Agni itu seakan-akan terbang di sampingnya. Cepat Ken Arok mengangkat
tangannya dan sebuah ayunan yang keras mengarah ke tengkuk Agni. Namun
tiba-tiba tangan itu seakan-akan tersentak, sehingga ketika tangan itu
benar-benar menyentuh tubuh Agni yang terdorong oleh kekuatan tangannya
dan kemarahan yang meluap-luap, serta kecepatan bergerak Ken Arok yang
seperti tatit, maka sentuhan itu benar-benar tidak berarti. Ken Arok
menahan sekuat-kuatnya, untuk tidak melukai lawannya. Namun Mahisa Agni
merasakan sentuhan itu seperti pernah dirasakannya. Sentuhan hantu
padang rumput Karautan. Namun kini, gerak Ken Arok benar-benar
mencerminkan kematangan gerak dalam unsur yang teratur. Karena itu, maka
dada Mahisa Agni berdesir karenanya. Hantu itu tidak lagi berbuat
sekasar pada saat ia pertama kali bertemu. Sehingga dengan demikian,
kekuatan- kekuatan yang ada di dalam tubuh Ken Arok sejak ia dilahirkan,
dilambari dengan kecepatan gerak yang mengagumkan, maka Ken Arok
benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa.
Mahisa Agni yang marah itu benar-benar
tidak dapat melihat kemungkinan-kemungkinan lain daripada bertempur
mati-matian. Bahkan dengan penuh kemarahan ia berteriak “Ayo, kenapa
kalian tidak maju bersama-sama.”
Ken Arok menarik nafas. Ia bersiap
kembali ketika kuda Mahisa Agni berputar, dan kembali sebuah serangan
melandanya. Namun kali ini, Ken Arok benar-benar menjadi terkejut.
Mahisa Agni itu sama sekali tidak menyerang tubuhnya, namun tiba-tiba
anak muda itu langsung meloncat dari kudanya, dan menghantamkan tubuhnya
kepadanya. Sehingga dengan demikian maka Ken Arok pun kehilangan
keseimbangannya, dan keduanya jatuh berguling dari atas kuda mereka.
Namun sesaat kemudian mereka telah bangkit kembali. Bahkan masing-masing
telah bersiap dalam sikap yang meyakinkan-
Tunggul Ametung yang melihat perkelahian
itu mengerutkan keningnya. Perkelahian itu benar-benar menarik
perhatiannya, sehingga untuk sesaat dilupakannya Kuda Sempana yang duduk
di atas kudanya dengan tegang. Berbagai perasaan timbul di dalam benak
Kuda Sempana itu. Ia ingin perjalanannya tidak terganggu. Namun anak
muda itu menjadi iri melihat kelincahan Ken Arok. Sebab apabila Akuwu
Tumapel itu benar-benar tertarik melihat keterampilan anak muda itu,
maka kedudukan pelayan baru itu akan menjadi semakin baik di sampingnya.
Bahkan Kuda Sempana itu takut bahwa perhatian Tunggul Ametung akan
seluruhnya tercurah kepada Ken Arok itu. Namun apabila Ken Arok itu
tidak dapat memenangkan perkelahian itu, maka ia sendiri harus
berhadapan dengan Mahisa Agni. Dan ia menyadari, bahwa ia tidak akan
dapat mengalahkannya.
Dalam pada itu, perkelahian antara Mahisa
Agni .dan Ken Arok itu pun menjadi semakin sengit. Mahisa Agni
benar-benar telan mengerahkan segenap kemampuannya. Ditumpahkannya semua
kecakapan yang dimilikinya. Namun lawannya pun memiliki kelincahan yang
luar biasa. Apalagi, kembali pengalamannya berulang. Tubuh Ken Arok itu
benar-benar seperti menjadi kebal. Betapapun juga, ia berhasil
mengenainya dengan segenap kekuatan, dan bahkan sekali ia berhasil
melemparkan anak muda itu, namun kembali Ken Arok meloncat bangkit dan
bertempur selincah burung sriti yang menyambar di udara. Tetapi karena
kemarahan yang telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, Mahisa Agni sama
sekali tidak melihat, bahwa Ken Arok telah melewatkan berpuluh puluh
kesempatan yang akan dapat melumpuhkan Mahisa Agni itu. Setiap kali
serangannya akan berhasil, maka dengan tanpa disadarinya Ken Arok itu
menjadi bingung, sehingga serangannya itu menjadi urung. Dan bahkan
kadang-kadang dengan serta-merta tangannya yang tepat mendarat ke
tengkuk lawannya itu, digesernya beberapa jari, sehingga hanya menyentuh
pundaknya.
Namun Mahisa Agni kemudian menjadi tidak
sabar lagi. Ketika mereka telah bertempur beberapa saat, dan Mahisa Agni
merasa bahwa ia tidak akan berhasil melumpuhkan lawannya, maka tidak
ada alasan yang dapat menahan dirinya, mempergunakan ilmunya yang
tertinggi Gundala Sasra. Ilmu simpanan yang seharusnya tidak dipancarkan
apabila keadaan tidak memaksa. Tetapi kini ia berhadapan dengan
kekuatan di luar kemampuannya untuk melawan dengan tenaganya yang wajar.
Karena itu, maka tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Ken Dedes,
selain ilmunya itu.
Karena itu, maka dengan cepatnya Mahisa
Agni meloncat surut. Dengan serta-merta disilangkannya tangannya di muka
dadanya dan dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batin, untuk
menyalurkan getaran di dalam dadanya dalam ilmunya Aji Gundala Sasra.
Ken Arok melihat sikap Mahisa Agni itu.
Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Segera ia pun mengerti, bahwa
Mahisa Agni sedang memusatkan segenap kekuatannya. Karena itu, maka Ken
Arok itu pun sadar, bahwa ia harus menghadapi kekuatan yang pasti bukan
main dahsyatnya.
Sesaat Ken Arok itu tegak mematung. Namun
kemudian tampak ia memiringkan tubuhnya. Ia sudah berjanji di dalam
dirinya, bahwa ia sama sekati tidak berhasrat memenangkan perkelahian
itu. Ia sudah bertempur dan ia sudah melakukan kewajibannya. Kalau
kemudian ia dikalahkan oleh lawannya adalah kemungkinan yang wajar,
sewajar kalau ia memenangkan pertempuran itu, atau sewajar kalau
perkelahian itu berakhir dengan luluhnya kedua belah pihak. Sebab memang
hanya ada kemungkinan itu yang dapat terjadi. Kalah, menang atau
bersama-sama menjadi lumpuh.
Dengan demikian, maka Ken Arok itu pun
segera mempersiapkan diri untuk menerima kedahsyatan ilmu lawannya.
Dibangkitkannya segenap daya tahan di dalam tubuhnya menurut petunjuk
yang pernah diterimanya. Namun tenaga yang tersimpan itu terlalu banyak,
sehingga tubuh Ken Arok itu tiba-tiba seakan-akan telah berubah menjadi
sebuah patung baja. Namun sama sekali tak terlintas di dalam otaknya
untuk mencederai Mahisa Agni. Ia berbuat demikian hanya sekedar untuk
tidak mati meskipun seandainya ia terluka.
Namun sebenarnyalah bahwa Ken Arok itu
mempunyai beberapa keanehan yang tidak dimiliki orang lain, dan bahkan
tidak disadarinya sendiri.
Tetapi kemudian terjadilah hal yang tidak
disangka-sangka. Selagi Mahisa Agni sedang membangunkan kekuatan yang
berada di dalam tubuhnya, dan selagi kekuatan itu masih belum sempurna,
tiba-tiba Mahisa Agni itu mengeluh pendek. Selangkah ia terdorong ke
depan, dan kemudian terhuyung-huyung ia memutar tubuhnya. Terdengarlah
suaranya menggeram, “Curang!”
Bukan saja Mahisa Agni menjadi sangat
terkejut, namun Ken Arok pun menjadi terkejut bukan buatan. Ketika ia
memandang punggung Mahisa Agni, maka dilihatnya darah mengalir dari
sebuah luka. Dan pada luka itu masih menancap sebatang anak panah.
Darah Ken Arok itu pun tiba-tiba
menggelegak melihat peristiwa itu. Hilanglah segala suba sita, dan
hilanglah segala akal dari kepalanya. Ia melihat suatu yang sama sekali
tidak adil. Karena itu dengan serta-merta Ken Arok itu meloncat ke arah
prajurit yang berdiri di tepi parit. Ternyata prajurit itu telah
berhasil menguasai dirinya kembali, dan dengan panah berburunya ia telah
melukai punggung Mahisa Agni.
Namun ia menjadi sangat terkejut ketika Ken Arok itu tiba-tiba meloncat ke arahnya dengan wajah yang menyala-nyala.
Pada saat itu pun Ken Arok sedang
membangunkan kekuatan yang ada pada dirinya. Meskipun cara-cara yang
dipakainya berbeda dengan cara-cara yang lazim, namun ternyata anak muda
itu telah berhasil pula. Karena itu, maka kekuatannya seakan-akan
menjadi berlipat-lipat. Daya loncatnya pun menjadi jauh lebih panjang
dibandingkan dengan saat-saat yang wajar. Karena itu segera ia mencapai
prajurit yang curang itu.
Semua orang menjadi terkejut bukan
kepalang. Bahkan jantung mereka seakan-akan membeku, ketika mereka
melihat apa yang kemudian terjadi. Akuwu Tunggul Ametung, Kuda Sempana
dan bahkan Mahisa Agni sendiri. Dengan serta-merta, Ken Arok itu
menghantam dada orang berkumis tebal itu sambil menggeram, “Setan yang
licik.”
Kuda Sempana yang melihat peristiwa itu,
menjadi sangat cemas. Ia menjadi tidak mengerti sama sekali, apakah
sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Ken Arok itu. Apakah ia sedang
membela kepentingannya melawan Mahisa Agni, atau apa? Ternyata anak muda
itu menjadi sangat marah ketika ada orang lain yang membantunya. Apakah
hanya sekedar karena harga dirinya dilanggar dengan memberikan bantuan
itu”
Ternyata bukan saja Kuda Sempana yang
menjadi bingung Akuwu Tumapel itu pun melihat semua peristiwa itu dengan
wajah yang tegang. Bahkan akhirnya ia menjadi curiga, apakah Ken Arok
sebenarnya tidak berpihak kepada Mahisa Agni. Sebagai seorang yang cukup
memiliki ilmu yang tinggi, Akuwu Tunggul Ametung telah menyimpan
beberapa keraguan ketika ia melihat cara Ken Arok bertempur. Apalagi
kini ia melihat apa yang dilakukan oleh Ken Arok itu. Karena itu,
tiba-tiba tangannya meraba pelana kudanya dan disentuhnya tangkai
pusakanya. Sebuah tongkat penggada yang terbuat dari besi yang berwarna
kuning menyala. Pusaka yang luar biasa, yang tak pernah terpisah
daripadanya. Ketika terasa pada jari-jarinya sentuhan tangkai pusakanya
itu, maka Tunggul Ametung itu pun menjadi tenang. Ia percaya betul bahwa
tak ada manusia di dunia yang mampu mempertahankan dirinya melawan
pusaka itu.
Namun Tunggul Ametung itu masih tetap
tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia sependapat ketika Kuda Sempana berkata,
“Tuanku, marilah kita mendahului mereka kembali ke Tumapel.”
Tunggul Ametung tidak menjawab. Tetapi
segera kudanya dikejutkannya. Dan dengan satu loncatan panjang, maka
kuda itu pun mulai berpacu diikuti oleh Kuda Sempana.
Mahisa Agni terkejut melihat kuda-kuda
yang berlari itu. Dengan suara yang serak parau ia berteriak, “Kuda
Sempana. Berbuatlah sebagai jantan sejati!”
Tetapi Kuda Sempana tidak mau
mendengarnya. Kudanya berlari semakin kencang. Mahisa Agni yang terluka
itu menjadi bingung. Ketika ia mencoba untuk berlari ke kudanya, maka
tubuhnya serasa menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian ia pun jatuh
tertelungkup ketika ujung kakinya menyentuh seonggok batu di tepi jalan.
Ken Arok yang melihat Mahisa Agni itu
jatuh, segera berlari kepadanya. Dicobanya untuk menolongnya, namun
terdengar Mahisa Agni itu membentaknya, “Ken Arok. Apakah kita akan
bertempur terus sampai salah seorang di antara kita mati?”
Ken Arok menundukkan wajahnya. Desisnya,
“Mahisa Agni. Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang sedang bergolak di
dalam kepalaku. Aku menjadi sedemikian bingungnya menghadapi keadaan
ini. Keadaanku sebagai hamba akuwu dan keadaan perasaanku sendiri.”
Mahisa Agni menyeringai sesaat. Terasa
punggungnya menjadi pedih. Namun ia masih belum melepaskan kekuatan yang
telah dibangkitkan dalam ilmunya Gundala Sasra. Tetapi betapa tubuh
manusia itu mempunyai kemampuan yang sangat terbatas. Betapa seseorang
merasa dirinya pilih tanding, kuat tanpa lawan, namun akhirnya harus
mengakui, bahwa dirinya hanya seorang makhluk yang kecil. Yang hanya
dapat berkehendak, bertekad dan berikhtiar. Tetapi akhirnya harus
diakuinya, bahwa kekuatan dan kekuasaan yang ada di dalam dirinya adalah
sedemikian kecilnya. Dan kini Mahisa Agni yang memiliki ilmu yang pilih
tanding. Gundala Sasra itu pun harus menderita karena luka di
punggungnya. Meskipun ilmu itu telah menolongnya, memperkecil
kemungkinan yang dapat ditimbulkan karena anak panah itu.
Untunglah bahwa pada saat anak panah
prajurit yang berkumis tebal itu mengenai punggungnya, maka Mahisa Agni
telah siap dengan ilmunya Gundala Sasra, sehingga demikian kulitnya
tersentuh ujung panah itu, maka segera kekuatan-kekuatan yang berada di
dalam tubuhnya melawannya. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seorang yang
kebal, sehingga karena itulah maka kulitnya ternyata tembus juga oleh
tajamnya anak panah. Namun anak panah itu tidak menghunjam terlalu
dalam. Meskipun demikian, cukup untuk melumpuhkannya, meskipun tidak
dapat membunuhnya.
Ken Arok yang melihat Mahisa Agni
terbaring itu pun menjadi bersedih. Tetapi Mahisa Agni tidak mau
ditolongnya. Dengan susah payah anak muda itu berusaha bangkit dan duduk
bertelekan kedua tangannya. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya menjadi
gemetar.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Arok, “kau terluka. Kau harus segera mendapat pertolongan.”
“Jangan mengigau Ken Arok!” sahut Mahisa
Agni, “Kau ingin membunuh aku dengan tanganmu. Karena itu kau tidak mau
melihat prajurit itu melukai aku. Nah, sekarang terserah kepadamu.
Apakah kau akan membunuh aku atau kau akan menunggu sehingga aku sembuh
dan kita dapat berhadapan sebagai laki-laki.”
“Tidak Agni,” jawab Keri Arok, “aku tidak ingin berbuat demikian. Aku benar-benar berada dalam kebingungan.”
“Itu telah mencerminkan kegoyahan
pendirianmu. Kegoyahan sikapmu. Kalau kau benar melihat bahwa kebenaran
telah dilanggar oleh Akuwu Tunggul Ametung, kenapa kau tidak berani
menghalanginya? Meskipun berakibat mati?”
“Ya,” Ken Arok itu menundukkan wajah,
“Aku sadari keadaan itu. Aku menjadi bimbang dan tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Namun aku sebenarnya telah berusaha untuk
setidak-tidaknya tidak membantu perbuatan itu. Aku tidak melawanmu
dengan segenap kekuatanku.”
“Kau terlalu sombong!” bentak Mahisa Agni
keras. Namun kemudian ia menjadi semakin lemah, “Kenapa kau tidak
berkelahi dengan sekuat tenagamu? Apakah kau ingin mengatakan, bahwa
tidak dengan sekuat kemampuanmu kau telah dapat mengimbangi kekuatanku.”
“Tidak. Tidak,” potong Kera Arok
cepat-cepat, “maksudku aku tidak hendak melawan ilmumu yang terakhir,
yang akan kau lepaskan dengan ilmu yang tersimpan rapat-rapat di dalam
diriku. Aku hanya ingin melindungi diriku supaya aku tidak mati. Sesudah
itu, biarlah seandainya aku kau kalahkan.”
Mahisa Agni tidak dapat membantah
kata-kata itu. Sebenarnya secara jujur ia pun merasakannya, bahwa Ken
Arok telah melepaskan beberapa kesempatan yang sebenarnya dapat
dipergunakan, sekurang-kurangnya untuk memperlemah serangannya. Namun
kesempatan-kesempatan itu dibiarkannya atau dipergunakannya dengan
ragu-ragu. Apalagi, ketika kemudian Mahisa Agni menatap wajah Ken Arok
yang tunduk. Tampaklah bahwa kejujuran memancar dari wajah itu. Wajah
yang suram, seakan-akan penuh penyesalan. Karena itu, maka hati Mahisa
Agni pun menjadi agak mereda. Kemarahannya tidak lagi menyala di dalam
dadanya. Itulah sebabnya, maka kini pedih dan nyeri pada punggungnya itu
mulai terasa semakin menyengat-nyengatinya.
Sekali lagi Mahisa Agni berdesis. Perlahan-lahan ia bergerak maju.
“Kau terluka?” terdengar Ken Arok itu berdesis.
“Ya,” jawab Agni.
Ken Arok mengangkat wajahnya.
Dipandangnya wajah Mahisa Agni yang pucat pasi. Tetapi di wajah itu
tidak lagi terbayang kemarahan yang meluap-luap. Karena itu, maka Ken
Arok bertanya pula, “Apakah aku dapat menolongmu?”
“Apakah yang dapat kau lakukan?”
Ken Arok menjadi bingung. Ia bukan
seorang yang tahu benar akan cara-cara untuk memberi pertolongan kepada
orang-orang yang terluka seperti itu. Karena itu, maka sesaat ia
terdiam.
Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh
suara derap kuda mendekat. Ketika mereka mengangkat wajah mereka, maka
mereka melihat beberapa ekor kuda muncul dari tikungan, dan berlari ke
arah mereka.
“Witantra,” tiba-tiba Ken Arok berdesis.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia mendengar peristiwa yang terjadi ini dari Mahendra menurut petunjuk Witantra.
Ketika Witantra itu kemudian melihat
Mahisa Agni dan Ken Arok, maka segera ia mempercepat kudanya. Demikian
ia sampai di hadapan Mahisa Agni yang terluka itu, maka segera Witantra
meloncat dari kudanya. Dengan tajamnya Witantra memandang kepada Ken
Arok sambil menggeram -
“Kaukah yang melukainya.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia tidak
senang melihat sikap itu. Ia telah mengenal siapakah Witantra, dan ia
menghormati keberaniannya untuk tidak menuruti saja perintah akuwu
seperti dirinya. Namun ia bukan seorang yang wajar untuk mendapat
perlakuan demikian. Karena itu, maka Ken Arok itu pun berdiri sambil
menjawab “Bertanyalah kepada Mahisa Agni.”
Witantra menaikkan alisnya. Ia mengenal
orang itu dengan nama Wiraprana. Namun Ken Arok itu menyebutnya Mahisa
Agni. Tetapi hal itu belum merupakan persoalan bagi Witantra. Dan
jawaban pelayan dalam itu tidak diharapkannya. Karena itu maka sekali
lagi Witantra berkata lebih tajam, “Aku berkata kepadamu.”
Ken Arok menjadi semakin tidak senang.
Tetapi sebelum ia menyahut, segera Mahisa Agni berkata, “Bukan,
Witantra. Bukan olehnya. Tetapi oleh prajurit yang terbaring mati di
pinggir parit itu. Dan prajurit itu telah dibunuh oleh Ken Arok.”
Witantra memalingkan wajahnya. Dilihatnya
tubuh prajurit yang mati itu. Tiba-tiba dada Witantra berdesir.
Prajurit itu adalah prajuritnya. Dan dilihatnya bahwa orang itu tidak
terluka oleh senjata. Sehingga dengan serta-merta sesadarnya ia
berdesis, “Dibunuh dengan tangannya?”
“Ya,” sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bahkan kemudian ia berkata, “Maafkan Adi. Aku terlalu berprasangka.
Memang kita kini saling berprasangka. Aku tidak tahu apakah sebenarnya
yang sedang terjadi di sini.”
Ken Arok menarik nafas dalam .
Sebenarnyalah bahwa mereka kini sedang saling berprasangka. Apa yang
tersimpan di dalam dada masing-masing adalah kecurigaan di antara sesama
mereka. Seperti Kuda Sempana, Tunggul Ametung, Mahisa Agni, Ken Arok,
Witantra dan para pengikut yang lain. Mereka tidak tahu pasti, apakah
yang sebenarnya dilakukan oleh kawan-kawan mereka, atau yang sedang
diangan-angankannya. Mereka berbuat dalam kebimbangan dan
ketidakpastian. Bahkan mereka telah berbuat di luar rasa keadilan mereka
sendiri.
Witantra itu pun kemudian turun dari
kudanya dan mendekati Mahisa Agni. Tiba-tiba ia menjadi terkejut, ketika
dilihatnya di punggung Mahisa Agni masih terhunjam sebuah anak panah.
“Kau dilukai dengan cara ini?” bertanya
Witantra. Mahisa Agni mengangguk. Sekali lagi ia bergumam, “Prajuritmu
itulah yang melukai aku.”
Witantra menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula, “Anak panah itu harus dicabut segera.”
“Cabutlah,” minta Mahisa Agni.
Witantra berpaling sesaat kepada semua
orang yang berada di tempat itu. Dan tanpa ditanya, mereka telah
mengerti, bahwa Witantra memerlukan bantuan mereka.
Beberapa orang kemudian memegangi pundak
Mahisa Agni, sedang Witantra kemudian dengan perlahan-lahan mencabut
anak panah itu. Mahisa Agni berdesis menahan nyeri yang
menghentak-hentak punggungnya. Bahkan hampir-hampir saja ia mengeluh
untuk mengurangi rasa sakit. Namun untunglah, bahwa daya tahan tubuh
Mahisa Agni benar-benar mengagumkan. Sehingga ia tetap dalam
kesadarannya ketika anak panah itu tercabut dari punggungnya. Tetapi
demikian anak panah itu lepas, maka darahnya menjadi semakin banyak
mengalir dari luka itu.
“Kau memerlukan pertolongan secepatnya.”
Mahisa Agni mengangguk.
“Adi,” berkata Witantra kepada Ken Arok,
“marilah kita bawa Wiraprana ke Panawijen. Mungkin di rumahnya akan kita
dapatkan obat-obatan yang dapat mengurangi arus darahnya.”
Kini Ken Aroklah yang menjadi heran.
Tetapi ia tidak menjawab. Ia tahu benar bahwa yang dimaksud adalah
Mahisa Agni. Karena itu, maka Mahisa Agni itu segera dibangkitkannya dan
ditolongnya naik ke atas punggung kuda.
“Kita naiki kuda ini berdua,” bisik Ken Arok.
Mahisa Agni tidak menjawab, sementara Ken
Arok telah meloncat duduk di belakangnya. Dengan sobekan kain Mahisa
Agni maka Ken Arok mencoba untuk menahan atau setidak-tidaknya
mengurangi darah yang mengalir dari luka itu.
Demikianlah maka segera mereka berpacu ke
Panawijen kembali. Mereka mengharap bahwa luka Mahisa Agni tidak
menjadi bertambah parah karena darah yang terlalu banyak mengalir.
Meskipun demikian, Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah-tambah
lemahnya.
Ketika mereka memasuki padukuhan
Panawijen, maka kembali mereka mengejutkan penduduknya. Beberapa orang
yang mendengar derap kuda, menjadi ketakutan dan berlari-larian untuk
menyembunyikan dirinya.
Kuda-kuda itu pun kemudian berlari menuju
ke rumah Empu Purwa. Derap kakinya menghentak-hentak tanah yang keras,
dan menimbulkan bunyi yang benar-benar mengerikan bagi penduduk
Panawijen.
Ketika mereka mendekati rumah Empu Purwa
itu, maka orang-orang yang berada di halaman segera mendengarnya. Mereka
pun menjadi ketakutan, dan dengan serta-merta mereka berlari-larian
pula. Tetapi ketika kuda-kuda itu memasuki halaman, maka di halaman itu
masih berdiri Ki Buyut Panawijen, seorang emban tua, beberapa orang
cantrik yang sedang menunggu sesosok tubuh yang terbaring diam.
Mereka menjadi terkejut sekali ketika
mereka melihat Mahisa Agni duduk dengan lemahnya di hadapan Ken Arok.
Segera mereka menjadi cemas. Mula-mula mereka menyangka bahwa Mahisa
Agni terluka, dan anak muda itu menjadi seorang tawanan.
Tetapi mereka menjadi heran, ketika
mereka melihat, demikian kuda-kuda itu berhenti, demikian Ken Arok
meloncat turun dan menolong Mahisa Agni turun pula dari kudanya.
Halaman itu menjadi sedemikian tegangnya.
Semua orang melihat Mahisa Agni yang luka itu. Dan tiba-tiba saja
ketegangan halaman itu dipecahkan oleh jerit emban tua sambil berlari
memeluk Mahisa Agni, “Agni, apakah yang terjadi?”
Mahisa Agni menelan ludahnya. Lehernya terasa seakan-akan menjadi kering. Karena itu ia berdesis, “Air.”
Perempuan tua itu segera berteriak kepada salah seorang cantrik, “Air, ambilkan air!”
Sementara itu Mahisa Agni itu pun
kemudian dipapah naik ke pendapa. Dibaringkannya anak muda itu pada
selembar tikar. Emban tua itu menjadi sedemikian cemasnya, sehingga
tubuhnya bergetaran serta wajah menjadi sangat pucat, sepucat Mahisa
Agni sendiri.
“Kenapa kau Agni,” bertanya emban tua itu.
Mahisa Agni mencoba tersenyum, jawabnya, “Aku tidak apa-apa, Bibi.”
“Kau terluka.”
“Tidak berbahaya,” sahut Mahisa Agni.
Untuk meyakinkan emban tua itu Mahisa Agni berkata kepada Ken Arok, “Ken
Arok, bukankah lukaku tidak berbahaya?”
Ken Arok mengangguk kaku. “Tidak,” desisnya.
Namun kecemasan masih membayang di
wajahnya. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan bibirnya
bergerak-gerak tetapi tidak sepatah kata pun yang meloncat dari
mulutnya.
Ketika seorang cantrik kemudian membawa
air kepadanya, dan dituangkannya kepada mulutnya, maka tubuh Mahisa Agni
itu serasa menjadi semakin segar.
“Bibi, apakah bibi mengenal obat untuk luka ini,” desis Ken Arok kemudian.
Perempuan tua itu memandang Ken Arok
dengan tajamnya. Ia melihat orang itu pergi bersama-sama dengan Akuwu
Tumapel. Dan kini orang itu datang kembali membawa Mahisa Agni. Apalagi
ketika ia melihat Witantra yang berdiri mematung di pendapa itu, masa
perempuan itu menjadi bertambah tidak mengerti, apa yang telah terjadi.
Witantra itu pun kemudian berjongkok pula
di samping Ken Arok. Ia melihat keheranan yang memancar dari mata
perempuan tua yang menangisi Mahisa. Agni Karena itu ia berkata, “Bibi,
semuanya nanti akan dapat Bibi ketahui. Sekarang, apakah Bibi mempunyai
reramuan obat-obatan untuk luka itu?”
Emban tua itu tersadar dari keheranannya.
Maka dengan serta-merta ia berdiri dan berlari ke dalam biliknya. Ia
bukanlah seorang yang dapat memberikan obat kepada beberapa jenis
penyakit, namun reramuan obat untuk luka-luka ia ada menyimpannya. Obat
itu adalah pemberian Empu Purwa, seandainya ada para cantrik dan para
endang menjadi terluka karena sesuatu sebab.
Ketika emban itu datang kembali, maka
reramuan itu pun kemudian dicairkannya ke dalam beberapa tetes air. Dan
dengan obat itulah kemudian luka Mahisa Agni diobati. Ternyata obat itu
pun bermanfaat pula baginya. Darah yang mengalir dari luka itu pun
kemudian berangsur terhenti.
Tetapi demikian luka itu menjadi
bertambah pampat, maka segera perhatian mereka tertarik kepala beberapa
orang, yang masih saja berdiri di halaman. Mahisa Agni yang lemah itu
pun mencoba mengangkat kepalanya. Ketika terpandang olehnya wajah Buyut
Panawijen yang suram, terdengarlah anak muda itu bertanya, “Bibi, apakah
yang telah terjadi di rumah ini?”
Perempuan tua itu menelan ludahnya,
seakan-akan ludah itu telah menyumbat kerongkongannya sehingga ia tidak
dapat berkata apapun. Baru sesaat kemudian ia berkata, “Kau terlambat
datang Agni. Bahkan kau datang dengan luka di punggungmu? Apakah kau
bertemu dengan Kuda Sempana?”
“Ya, Bibi,” sahut Mahisa Agni.
“Dengan sekalian yang berada di sini sekarang?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Lalu apakah yang terjadi atasmu?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tanpa
disengajanya ia memandang kepada Ken Arok. Sehingga Ken Aroklah yang
menjawab, “Agni terluka karena ia ingin mempertahankan gadis yang dibawa
oleh Kuda Sempana itu.”
“Siapakah yang telah melukainya? Tuan?”
Ken Arok menggeleng. Tetapi wajahnya
terbanting di lantai. Meskipun ia tidak melukai Mahisa Agni, namun ia
bertempur pula melawan anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka mau
tidak mau, perasaannya pun tersentuh pula.
Yang menjawab kemudian adalah Witantra. Katanya, “Seorang prajurit yang licik telah melukainya.”
Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam “Mereka telah melakukan pembunuhan dan perampasan.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
itu. Sehingga dengan serta-merta ia bertanya “Apakah telah terjadi
pembunuhan? Bibi, aku belum mati. Adakah yang telah terbunuh?”
Emban tua itu tidak segera menjawab.
Namun kemudian ia berpaling ke halaman. Ditatapnya beberapa orang yang
tegak di bawah tangga, dan dilihatnya Ki Buyut Panawijen yang
berjongkok.
“Bibi,” desak Mahisa Agni, “siapakah yang terbunuh? Seorang cantrik atau . . .?”
Tiba-tiba kata Mahisa Agni terputus. Ia
melihat seseorang terbaring ketika ia memasuki halaman. Namun lukanya
itu telah merampas segenap perhatiannya sehingga ia tidak sempat untuk
memperhatikannya, selain berdesis menahan sakit yang menghentak-hentak.
Sekali lagi Mahisa Agni mencoba mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi
dilihatnya beberapa orang berada di halaman itu.
“Siapa yang terbaring itu?” tiba Mahisa Agni berteriak,
Dilibatnya Buyut Panawijen itu berpaling.
Kemudian tampaklah ia berdiri dan berjalan perlahan-lahan naik ke
pendapa. Wajahnya yang sayu memandangi beberapa orang yang berjongkok di
sekitar Mahisa Agni.
“Ki Buyut,” bertanya Mahisa Agni tidak sabar, “siapakah yang terbaring di halaman itu? Kenapa ia tidak dibawa naik?”
“Tidak perlu, Ngger Mahisa Agni. Biarlah ia terbaring di halaman. Ia akan segera aku bawa kembali.”
“Siapa? Siapa?”
“Wiraprana.”
“Wiraprana?” ulang Mahisa Agni. Alangkah
terkejutnya anak muda itu. Meskipun perasaan itu telah menyentuh hatinya
sejak ia mendengar bahwa seseorang telah terbunuh.
(bersambung ke Jilid 9)
No comments:
Write comments