“Kuda Sempana.”
“Kuda Sempana?” ulangnya. Namun tubuhnya
kemudian menjadi lemah kembali. Hampir saja ia terjatuh, seandainya Ken
Arok tidak segera menangkapnya, dan membaringkannya kembali
perlahan-lahan. Bahkan darahnya yang telah mampat itu tiba-tiba mengalir
kembali Meskipun tidak sedemikian derasnya.
Tetapi kembali mereka terkejut ketika
tiba-tiba mereka melihat wajah Witantra itu menjadi merah padam. Dengan
geramnya ia berdesis, “Mahisa Agni. Jadi kau bernama Mahisa Agni?”
Dalam
pada itu terdengar Mahisa Agni yang terluka itu berkata lantang “Nah,
Witantra. Sekarang lihatlah. yang terbaring di halaman itu adalah
Wiraprana. Ia mati karena orang lain ingin merampas haknya dengan
kekuatan dan kekuasaan. Wiraprana ternyata telah menjadi korban dari
sikap damainya. Sejak semula ia tidak pernah membayangkan bahwa pada
suatu ketika ia harus menghadapi kekerasan. Karena itu, maka ia tidak
pernah dengan sungguh-sungguh menekuni ilmu tata berkelahi dan tata bela
diri. Ia percaya akan peradaban manusia yang semakin tinggi. Ia percaya
akan kedamaian hati dan ia percaya bahwa manusia akan menentukan
sikapnya dengan baik di antara sesama manusia, Namun ia menjadi korban.
Ternyata bahwa Wiraprana tidak dapat hidup di antara manusia pada masa
kini dengan sikapnya. Di mana manusia mengorbankan manusia yang lain
untuk kepentingannya. Untuk memenuhi nafsunya. Termasuk Mahendra, Kuda
Sempana dan mungkin aku pula, kau dan Ken Arok. Kita semua telah hanyut
dalam arus kebiadaban di antara peradaban manusia.”
Penolakan
Ken Arok itu ternyata mendorong Akuwu untuk berbuat di luar dugaan. Di
luar dugaan Witantra dan di luar dugaan Ken Arok, tiba-tiba saja dalam
kegelapan nalar, Akuwu itu berkata, “Baiklah, kalau tak ada nama yang
kau pergunakan, pergunakanlah namaku. Akuwu Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan
itu. Namun segera memakluminya. Karena itu segera ia menjawab singkat,
“Ya. Aku Mahisa Agni.”
“Aku mendengar orang menyebutmu Mahisa
Agni. Namun aku sangka bahwa kau mempunyai beberapa nama dan sebutan.
Namun kini ternyata bahwa kau sama sekali tidak bernama dan sebutan
Wiraprana.”
“Ya. Aku bukan Wiraprana.”
“Hem,” Witantra itu menggeram, “aku pernah mendengar pula Kuda Sempana menyebut nama Wiraprana, namun baru sekarang aku tahu.”
“Ya. Sekarang kau tahu, bahwa aku bukan Wiraprana.”
Sekali lagi Witantra menggeram. Dan semua orang menjadi terkejut dan heran karenanya. Bahkan Ken Arok pun menjadi heran pula.
“Agni,” desis Witantra, “aku telah
mencegah adikku berbuat curang. Namun aku tidak menyangka bahwa kau
bukan Wiraprana yang sebenarnya.”
Semua yang berada di sekitar Mahisa Agni
terbaring itu menjadi bertambah tidak mengerti, apa yang sedang
dibicarakan oleh Witantra dan Mahisa Agni itu. Apalagi ketika Witantra
meneruskan, “Kalau kau tidak mengkhianati kejantanan Wiraprana pada
waktu itu maka keadaan akan menjadi lain. Mungkin Kuda Sempana tidak
akan berbuat seperti sekarang, dan mungkin Mahendra akan dapat
mempertahankan dirinya daripadanya. Ketika Kebo Ijo memberikan keris
kepada Mahendra, aku berkata, bahwa aku akan berada di pihakmu kalau
mereka berdua bersama dengan Mahendra memaksakan perkelahian dua melawan
dua, sebab aku tahu bahwa kawanmu waktu itu sama sekali tidak akan
mampu untuk melawan Kebo Ijo. Ya, kawanmu waktu itu.”
Witantra berhenti sesaat, Kemudian ia
meneruskan, “Aku ingat sekarang, ternyata kawanmu waktu itulah yang
bernama Wiraprana, yang terbunuh oleh Kuda Sempana.”
Witantra terdiam. Namun wajahnya masih
tampak menyala-nyala. Seakan-akan ia menuntut sesuatu yang telah pernah
terjadi atas Mahisa Agni yang terbaring luka itu. Sehingga tiba-tiba Ken
Arok menyela, “Kakang Witantra. Meskipun aku tidak mengetahui persoalan
yang kau katakan, tetapi adalah tidak bijaksana kalau persoalan itu kau
ungkapkan sekarang, selagi Mahisa Agni sedang terluka.”
“Tetapi kini ternyata, bahwa luka itu
adalah akibat dari kecurangan yang pernah dilakukan masa lampaunya. Ia
telah menipu aku, adik seperguruanku dan dirinya sendiri. Ketika
persoalan timbul antara Wiraprana dan Mahendra, maka Mahisa Agnilah yang
mencoba menyelesaikannya atas nama Wiraprana. Nah, sekarang akibatnya
menjadi semakin panjang. Kuda Sempana ternyata turut pula terlibat dalam
persoalan ini.”
“Apa pun yang terjadi, Kakang. Tunggulah sampai luka-lukanya sembuh.”
“Aku tidak peduli lagi atas luka-lukanya.
Aku menuntut keadilan atas adik seperguruanku. Kalau ia telah berbuat
atas nama Wiraprana, maka aku akan berbuat atas nama Mahendra.”
“Kau terlalu mementingkan persoalanmu
sendiri Kakang,” sahut Ken Arok, “sekali lagi aku minta, biarlah ia
beristirahat dan berusaha sembuh kembali.”
“Kau tidak tersangkut dalam persoalan ini Adi,” jawab Witantra, “persoalan ini adalah persoalanku dan Mahisa Agni.”
“Tetapi ia sedang terluka.”
“Luka akibat kesalahannya. Apakah yang perlu disesalkan?”
“Kakang, jangan berpikir tentang
sebab-sebab yang sama sekali tidak langsung itu. Biarlah itu berlaku
masa-masa lampau. Tetapi biarlah kita melihat masa ini, keadaannya
kini.”
“Keadaan ini adalah kelanjutan dari masa lampau itu. Dari sebab yang dibuatnya sendiri.”
“Baik. Kalau kau masih berbicara tentang
sebab, akulah yang menyebabkan luka itu. Sebab yang lebih langsung dari
yang kau katakan itu. Dari sebab-sebab yang sama sekali tidak aku
ketahui ujung dan pangkalnya. Namun kalau kau memaksakan persoalan sebab
yang menimbulkan akibat ini, maka aku akan tidak sependapat. Seandainya
luka itu adalah akibat dari perbuatannya, maka biarlah akibat itu
ditanggungkannya dengan tenang.”
“Tetapi apa yang pernah dilakukan telah
menutup kemungkinan bagi adik seperguruanku, yang waktu itu aku cegah
untuk berbuat tidak jantan. Sekarang persoalan itu ternyata telah
diambil alih oleh Kuda Sempana. Sedang Mahendra tinggal dapat merasakan
kepahitan hidupnya. Kepahitan dari kegagalannya.”
“Lupakanlah itu, Kakang. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
“Tidak. Tidak. Aku adalah seseorang yang akan tetap tegak kepada keadilan.”
“Lakukanlah, namun lurus dengan bijaksana. Buatlah perhitungan, tetapi apabila luka itu telah disembuhkan.”
“Jangan campuri urusanku Ken Arok!” bentak Witantra dengan marahnya.
Tetapi Ken Arok pun tiba-tiba menjadi
gemetar. Untuk kedua kalinya ia dibentak oleh Witantra dalam persoalan
yang sama sekali berlawanan. Ketika Witantra membentaknya dengan
pandangan yang menyala dan disangkanya ia melukai Mahisa Agni, maka
perasaannya telah tersinggung. Kini Witantra membentaknya lagi dalam
persoalan yang bertolak belakang. Karena itu, maka Ken Arok itu pun
menjawab dengan suara gemetar “Witantra. Aku sadari bahwa kau adalah
seorang prajurit yang linuwih. Namun apabila kau kehilangan
kebijaksanaan yang bening, maka kau akan sama artinya dengan Kuda
Sempana dan Akuwu Tumapel. Kau dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk
kepentinganmu.”
“Aku bukan orang-orang yang licik dan
pengecut. Aku akan menyelesaikan persoalanku pribadi dalam tindak
pribadi. Aku akan membuat persoalan menjadi adil. Atas nama adikku
Mahendra aku menuntut pengakuan Mahisa Agni yang mencoba dirinya
menjelma menjadi Wiraprana.”
“Witantra!” sahut Ken Arok tiba-tiba
suaranya menjadi parau. Suara yang pernah didengar oleh Mahisa Agni di
padang rumput Karautan. Suara hantu padang yang menakutkan, “Kalau tetap
pada pendirianmu, biarlah aku bertindak atas nama Mahisa Agni yang
terluka. Ayo cara yang mana yang kau kehendaki.”
Witantra terkejut mendengar tantangan
itu. Tiba-tiba dengan serta-merta ia meloncat berdiri. Dan hampir dalam
saat yang bersamaan Ken Arok telah berdiri pula. Suaranya yang parau itu
masih terdengar, “Akulah yang harus berbuat atas namanya.”
Keadaan segera menjadi semakin tegang.
Namun tiba-tiba terdengar Mahisa Agni tertawa. Tertawa aneh. Sedemikian
anehnya sehingga suara tertawa itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih
bagi Witantra dan Ken Arok. Suara tertawa itu lebih mengejutkan bagi
mereka daripada gemuruhnya suara guruh yang meledak di telinganya.
“Kenapa kau tertawa Agni?” bertanya Ken Arok.
“Duduklah. Duduklah kalian,” berkata Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok itu masih berdiri
mematung. Beberapa orang yang duduk di sekitar mereka itu telah bergeser
mundur dengan penuh keheranan tersimpan di dalam dadanya.
Witantra dan Ken Arok masih belum
bergerak dari tempatnya. Mereka masih mendengar Mahisa Agni tertawa.
Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa suara tertawa yang aneh itu
adalah suara tertawa yang melontarkan kepedihan yang menghunjam
perasaannya. Suara tertawa yang memancarkan kepahitan hidup yang selama
ini harus ditanggungkannya.
“Duduklah Ken Arok,” kembali terdengar
suara Mahisa Agni di antara suara tertawanya yang menjadi semakin pahit.
Kemudian katanya pula, “Jangan halangi Witantra berbuat menurut suara
keadilannya. Aku membenarkan semua kata-katanya. Aku telah mengkhianati
kejantanan Wiraprana menurut istilahnya. Kalau Witantra itu menuntut
pengakuanku atas kecurangan itu, maka biarlah aku mengakuinya. Kalau itu
merupakan kesalahan yang tak dapat dilupakan olehnya, biarlah ia
berbuat menurut kehendaknya untuk menghukum kesalahan itu.”
“Mahisa Agni,” potong Ken Arok, “apakah sebetulnya yang pernah kau lakukan?”
“Jangan kau tanyakan sekarang,” sahut
Mahisa Agni, “aku sedang tidak bernafsu untuk banyak berbicara Aku lebih
senang menikmati perasaan nyeri di punggungku. Namun dalam pada itu,
aku akan mempersilakan Witantra berbuat sesuka hatinya.”
Ken Arok terdiam karenanya. Meskipun
berbagal pertanyaan berputar-putar di dalam benaknya, namun ia tidak
dapat berbuat sesuatu. Kini ia berdiri saja seperti tiang-tiang pendapa
yang diam kaku.
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Mahisa Agni yang terbaring diam. Bahkan seakan-akan ia
tidak memperhatikannya sama sekali.
“Mahisa Agni,” geram Witantra, “aku
menjadi sangat kecewa atas perbuatanmu itu. Sekarang kau pergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Dengan lukamu itu kau akan dapat menghindari
setiap pertanggungan jawab yang harus kau berikan kepadaku, atas nama
adikku Mahendra. Dengan lukamu itu kau akan dapat mengatakan, bahwa
semua persoalan akan ditunda. Sebab kau mengharap bahwa aku tidak akan
membuat perhitungan dengan seseorang yang sedang terluka.
Kembali Mahisa Agni tertawa. Alangkah
pahitnya. Dipalingkannya wajahnya memandang kepada Witantra yang berdiri
dengan garangnya. Kemudian katanya, “Lucu sekali.”
“Apa yang lucu!” bentak Witantra.
“Kau, Ken Arok, aku, Kuda Sempana, Akuwu Tumapel dan semua orang.”
Witantra memandang Mahisa Agni semakin tajam. Bahkan kemudian ia menggeram “Jangan mengigau Agni!”
“Tidak. Aku tidak mengigau. Aku berkata
sebenarnya, bahwa orang-orang yang pernah aku kenal, ternyata tidak
lebih daripada badut-badut yang menggelikan.”
“Jangan menghina!”
“Aku tidak menghina. Kalau aku mengatakan
apa yang sebenarnya bukankah aku tidak menghina? Coba, Witantra, apakah
yang kau lakukan itu wajar. Baru saja kau marah-marah kepada Ken Arok.
Kau sangka anak muda itu melukai aku. Aku sangka kau benar-benar berbuat
dengan jujur. Dengan sepenuh hati. Aku sangka kau benar-benar tidak
ikut dalam perkosaan ini.”
“Aku tidak turut dalam perkosaan ini!”
potong Witantra dengan lantangnya. Wajahnya menjadi semakin merah karena
kemarahan yang melanda dadanya.
“Kenapa kau tidak turut?”
“Aku tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Aku tidak mau melihat penindasan yang tidak semena-mena.”
“Oh,” desis Mahisa Agni. Meskipun anak
muda itu tersenyum, namun matanya memancarkan kepedihan yang tiada
taranya. Katanya kemudian “Itulah Witantra. Bukankah dunia ini hanya
dipenuhi oleh badut-badut yang sama sekali tidak berarti. Kau tersentuh
rasa keadilanmu karena aku menamakan diriku Wiraprana. Kau tidak mau
ikut serta dalam tindakan yang sewenang-wenang Namun apakah sebenarnya
yang kau lakukan itu? Huh. Kau menentang perbuatan Akuwu Tunggul Ametung
yang melindungi Kuda Sempana bukan karena kau tidak mau melibat
kesewenang-wenangan. Namun kau menjadi iri bati karenanya. Kau iri,
kenapa kesempatan itu diberikan oleh Akuwu kepada Kuda Sempana. Tidak
kepada adikmu Mahendra?”
“Bohong!” teriak Witantra. Dengan
jari-jari yang gemetar ia menunjuk kepada perempuan tua di samping
Mahisa Agni, “perempuan itu melihat apa yang telah aku lakukan.
Perempuan itu melihat, bahwa Akuwu telah mengeluarkan perintah untuk
menangkap Witantra. Perempuan itu melihat bahwa Akuwu telah mengancam
aku untuk menggantung aku besok. Nah, apalagi? Aku tidak mau ikut serta
dalam perbuatan yang terkutuk itu. Perbuatan yang meninggalkan kebebasan
perseorangan untuk berbuat menurut pilihan sendiri. Dan aku akan
menanggung akibatnya. Aku sama sekali tidak berpikir tentang Mahendra.
Aku sudah melupakannya seandainya aku tidak tahu, bahwa kau telah menipu
aku, menipu Mahendra sehingga kesempatan Kuda Sempana menjadi lebih
baik daripadanya.
“Nah. Jangan kau pungkiri kata-katamu
sendiri. Kau tidak mau melihat kesewenang-wenangan. Kau tidak mau
melihat perbuatan yang meninggalkan kebebasan perseorangan untuk berbuat
menurut pilihan sendiri. Kau tidak mau melihat bahwa dengan kekuatan
orang memaksakan kehendaknya? Benar? Nah katakan kepadaku Witantra,
seorang prajurit yang jujur, yang mencoba berdiri tegak di atas
keadilan. Kau menentang semuanya itu, karena semuanya itu akan
menguntungkan orang lain. Menguntungkan Kuda Sempana. Bukan
menguntungkan adikmu Mahendra. Tetapi Witantra yang bijaksana. Kau
melihat sendiri, apa yang akan dilakukan oleh Mahendra. Keadilan yang
kau katakan itu benar-benar timpang. Kalau Mahendra ingin memaksakan
kehendaknya dengan kekuatan yang diagung-agungkan saat itu. Kalau
Mahendra ingin mengadakan pertandingan untuk merebut Ken Dedes dengan
kekuatan. ya, seandainya aku tidak menyebut diriku Wiraprana saat itu?
Apakah yang terjadi Witantra? Apa? Mungkin Wiraprana telah mati saat
itu. Apakah kau dapat menjamin bahwa perkelahian yang demikian tidak
akan dapat berakibat maut? Sedang apakah kau menasihati adikmu itu untuk
menanyakan saja kepada Ken Dedes, pilihannya menurut kebebasan yang
dimilikinya? He?”
Witantra menjadi gemetar mendengar
kata-kata Mahisa Agni itu. Wajahnya yang merah seakan-akan memancarkan
nyala kemarahannya. Tetapi ketika ia bergeser setapak maju, maka Ken
Arok pun bergerak pula setapak.
Dengan suara yang bergetar karena menahan
gejolak perasaannya Witantra berkata “Mahisa Agni. Kau mencoba mencari
alasan untuk melindungi kesalahanmu. Kau mencoba mencari sebab, kenapa
kau seakan-akan sudah seharusnya berbuat demikian.”
“Tidak!” potong Agni, “Aku tidak pernah
mengingkari kesalahan itu. Aku sudah mengakuinya. Dan aku tidak akan
mencari dalih apa pun yang dapat menutupi kesalahan itu. Tetapi sekarang
marilah kita melibat diri kita masing-masing. Aku melihat diriku dan
kau melihat ke dirimu.”
“Tetapi pada saat itu Mahendra berbuat
dengan penuh tanggung jawab. Ia tidak memperalat kekuasaan atau orang
lain. Ia berbuat sendiri. Ia memperjuangkan cita-citanya sendiri.”
“Jadi apakah dengan demikian perbuatannya
itu dapat dibenarkan. Bukankah dengan demikian, maka kekuatan
jasmaniahlah yang harus menentukan keputusan. Bukan kebenaran menurut
penilaianmu. Kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan. Bagaimanakah
kalau kemudian Mahendra menang atas Wiraprana? Sedang Ken Dedes telah
memilih Wiraprana sebagai calon suaminya? Bagaimana?”
Witantra terdiam. Ia tidak dapat menjawab
pertanyaan Mahisa Agni itu Bahkan lamat-lamat dapat dilihatnya pula
bahwa sebenarnya adik seperguruannya ada saat itu pun akan mempergunakan
kekuatannya untuk memaksakan kehendaknya.
Mahisa Agni itu terdiam. tiba-tiba terasa
sesuatu menyumbat lehernya. Terasa pedih masih menyengat-nyengat
punggungnya. Namun ia sama sekali tidak memperhatikannya. Perlahan-lahan
darahnya kembali meleleh membasahi tikar tempatnya berbaring. Meskipun
luka itu telah dibalut dengan kain bersih beberapa lapis, namun darahnya
yang merah masih juga menembusnya.
“Agni,” bisik perempuan tua yang berlutut
di sampingnya, “beristirahatlah. Jangan pikirkan yang bukan-bukan. Kau
sedang terluka.”
“Tidak. Tidak apa-apa Bibi. Luka tidak
sakit,” jawab Agni. Dan sebenarnyalah bahwa pedih lukanya seakan-akan
tidak terasa karena pedih hatinya yang menusuk-nusuk.
Bahkan kemudian ia berkata
perlahan-lahan, “Witantra. Kini Wiraprana telah mati. Aku tidak dapat
lagi menamakan diriku Wiraprana. Tidak ada gunanya. Dan terserahlah
kepadamu, penilaianmu atas diriku dan terserahlah kepadamu, apa yang
akan kau lakukan. Kesalahan yang telah aku perbuat itu ternyata tidak
ada gunanya. Aku hanya dapat menunda bencana yang menimpa Wiraprana.
Tetapi sekarang, Wiraprana telah mati, dan Ken Dedes telah hilang dari
rumah ini. Hilang dan aku tidak tahu, apakah masih ada kemungkinan untuk
menyelamatkannya.”
Witantra itu menundukkan wajahnya.
Tiba-tiba ia meletakkan tubuhnya duduk di samping Mahisa Agni. Namun
sepatah kata pun tidak diucapkannya.
Ken Arok kini sudah dapat membayangkan,
Meskipun belum sedemikian jelas, apakah yang telah terjadi. Ia pun
kemudian duduk pula di samping Witantra dan dengan sepenuh hati ia
berkata, “Mahisa Agni. Aku akan mencoba melepaskan gadis itu dari Kuda
Sempana.”
“Apa yang akan kau lakukan?” terdengar suara Mahisa Agni parau.
Ken Arok menggeleng lemah, “Aku belum
tahu. Tetapi setidak-tidaknya Ken Dedes harus dibebaskan dari himpitan
kedukaannya. Kalau ia menjadi istri Kuda Sempana maka setiap hari ia
akan mengalami derita yang tak akan ada habisnya.”
“Mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi arti
daripada itu pun sangat jauh daripada yang diharapkannya. Wiraprana,
laki-laki yang dicintainya telah mati.”
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi
hening. Ki Buyut Panawijen yang selama ini diam mematung tiba-tiba
berkata, “Angger Mahisa Agni. Meskipun Wiraprana telah mati, tetapi aku
masih akan mengucapkan terima kasih kepadamu. Sebab baru sekarang aku
tahu bahwa anakku itu telah pernah mendapat banyak sekali
pertolonganmu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia memandang wajah Buyut Panawijen itu, maka dilihatnya betapa
duka yang telah menggores di dinding hatinya. Wiraprana adalah anak
satu-satunya. Dan kini anak itu mati.
Mahisa Agni hampir tidak dapat menahan
hatinya ketika Buyut tua itu berkata, “Angger. Sepeninggal Wiraprana,
maka perkenankanlah aku mengambil kau sebagai gantinya. Aku ingin
menumpang kebanggaan Empu Purwa yang telah memiliki seorang anak
laki-laki yang mengagumkan. Kalau kau sudi Ngger, jangan kau rubah
kebiasaanmu berkunjung ke rumahku. Rumah itu kini menjadi rumahmu pula.
“Terima kasih,” desis Mahisa Agni. Tetapi
ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Hatinya menjadi bertambah
pedih, sakit dan pahit. Ia harus menghadapi persoalan-persoalan yang tak
akan dapat dilupakannya sepanjang hidupnya.
Ki Buyut Panawijen itu pun menjadi
semakin suram. Terasa betapa ia berusaha untuk menguasai perasaannya.
Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia berkata, “Akhirnya hal ini
terjadi. Wiraprana pernah berkata kepadaku, kalau Kuda Sempana mendapat
kesempatan untuk yang ketiga kalinya, maka ia pasti akan dibunuhnya.
Ternyata yang dikatakannya itu benar-benar telah terjadi.”
Kembali pendapa itu menjadi sepi. Isak
perempuan tua yang duduk di samping Mahisa Agni menjadi semakin jelas.
Dan Ki Buyut Panawijen pun kemudian menyeka matanya yang menjadi basah
pula,
“Sebuah bencana telah menimpa padukuhan
ini,” desah Ki Buyut Panawijen, “hanya karena di padukuhan ini
dilahirkan seorang anak muda yang bernama Kuda Sempana.”
Tak seorang pun yang menyahut. Wajah
Witantra kini tidak lagi tampak menyala-nyala. Bahkan kemudian matanya
pun menjadi redup. Ken Arok duduk tepekur sambil menggores-gores lantai
dengan kuku-kukunya. Sedang emban pemomong Ken Dedes yang tua itu, masih
mencoba menguasai tangisnya. Sekali-sekali diusapnya dahi Mahisa Agni
yang menjadi bertambah pucat.
“Angger,” kemudian Ki Buyut Panawijenlah
yang memecahkan kesepian itu, “biarlah aku pulang dahulu membawa
Wiraprana. Mayat itu akan aku rawat dan akan merupakan peringatan bagi
kita, bahwa seorang anak muda yang dilahirkan di tanah ini telah
menyebabkan sebuah bencana bagi tanah kelahirannya.”
Mahisa Agni mencoba untuk bangkit, tetapi
terasa punggungnya masih sakit, sehingga Ki Buyut Panawijen itu
menahannya, “Jangan Ngger. Tidak usah Angger bangun. Beristirahatlah.
Dan lekaslah menjadi sembuh.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, “Sayang. Aku tidak dapat turut merawat jenazah itu.”
“Sudahlah Ngger,” sahut Ki Buyut, “kau sendiri terluka. Berbaringlah.”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya
perlahan-lahan, “Ken Arok. Tolonglah aku. Aku ingin melihat wajah
Wiraprana untuk yang terakhir kalinya.”
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Katanya, “Apakah tidak lebih baik kau tetap berbaring di tempatmu?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng “Tidak tolonglah aku turun ke halaman.”
Ken Arok tidak dapat mencegahnya lagi.
Dengan hati-hati, dipapahnya Mahisa Agni turun ke halaman, untuk melihat
wajah sahabatnya terakhir kalinya. Witantra dan emban tua itu pun tanpa
sesadarnya ikut juga berdiri dan berjalan mengiringkannya turun ke
halaman.
Di samping tubuh Wiraprana yang terbaring
diam, Mahisa Agni menekurkan kepalanya. Alangkah pedih hatinya.
Sahabatnya itu telah pergi mendahuluinya.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni itu tersentak.
Ia melepaskan Ken Dedes, karena mencintai Wiraprana. Sekarang Wiraprana
telah mati jadi bagaimanakah dengan gadis itu? Namun kembali wajahnya
terkulai lemah. Ken Dedes telah pergi jauh. Jarak Panawijen sampai ke
Tumapel adalah jarak yang sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni.
Tetapi ia rasa-rasanya, Ken Dedes yang telah berada di Tumapel itu tak
akan dapat dicapainya.
Mahisa Agni itu pun kemudian menggigit
bibirnya. Kini ia dapat merasakan pula, betapa Witantra menyesali
kejadian itu seperti penyesalan yang lama-lama timbul di dalam hatinya.
Seandainya, ya, seandainya Ken Dedes tidak pernah dilepaskannya kepada
Wiraprana, apakah peristiwa seterusnya akan berbeda? Seperti pikiran
Witantra itu pula, seandainya Mahendra tidak dihalanginya, maka Kuda
Sempana tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukan perbuatan yang
terkutuk ini.
Namun semuanya telah terjadi. Yang lewat biarlah lewat, tetapi bagaimana yang akan datang?
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar Ki Buyut Panawijen berkata, “Angger, biarlah mayat ini aku bawa pulang.”
Mahisa Agni mengangguk lemah. Namun
betapa pun juga, ia tidak dapat membendung gelora perasaannya. Terasa
setetes air menitik dari matanya yang suram.
“Silakan Ki Buyut,” desis Mahisa Agni perlahan sekali.
Ki Buyut itu pun kemudian mengangkat
tubuh anaknya yang telah membeku. Beberapa orang cantrik segera
membantunya memanggul jenazah itu kembali ke rumahnya.
“Mengerikan,” desis Mahisa Agni.
Witantra dan Ken Arok pun memandangi
jenazah itu sampai hilang di balik regol halaman. Sesaat mereka masih
terpaku di tempatnya, seperti membeku pula.
Sekali Mahisa Agni menyeringai menahan
pedih di punggungnya dan pedih di hatinya. Kemudian katanya, “Tolonglah
aku ke dalam bilikku Ken Arok.”
Ken Arok dan Witantra tersadar dari
angan-angannya. Dipapahnya Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya. Witantra
dan emban tua itu pun masih saja berjalan mengiringi mereka.
Ketika Mahisa Agni itu berbaring
diambilnya, terasa perasaan yang asing menyentuh jantungnya. Bilik ini
telah lama ditinggalkannya. Tetapi tak sehelai benang pun yang berubah
sejak ia pergi. Bahkan tak sebutir debu pun yang mengotori setiap
perabotnya. Ambennya, glodok tempat pakaiannya, sosok kendi di sudut dan
tlundak lampu pada tiang di sisi bilik itu.
Tetapi bilik itu pun kemudian telah
menyeretnya kembali ke masa-masa yang lewat itu. Ke masa-masa ia hidup
bertahun-tahun bersama-sama dengan seorang gadis yang bernama Ken Dedes
dan seorang sahabat yang hampir setiap hari datang berkunjung kepadanya,
Wiraprana. Sekarang keduanya telah pergi. Hilang dan tak akan
ditemuinya kembali.
Sekali lagi Mahisa Agni berdesah.
Dilihatnya Ken Arok, Witantra berdiri kaku di samping pembaringannya.
Dan dilihatnya perempuan tua itu dengan penuh kecemasan memandanginya.
Wajah-wajah yang hadir di dalam biliknya
itu adalah wajah-wajah baru bagi Mahisa Agni selain emban tua itu.
Sepeninggal Wiraprana, maka hadirlah Ken Arok dan Witantra itu di dalam
bilik ini. Tetapi bagaimanakah seterusnya dengan mereka itu.
Bilik Mahisa Agni itu pun menjadi sunyi.
Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang terengah-engah Mahisa
Agni yang terbaring itu pun kemudian mencoba untuk menenteramkan
hatinya, supaya ia dapat beristirahat. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga
perasaan serta angan-angannya.
Tetapi ternyata ia tidak segera dapat
melakukannya. Sebab emban tua itu pun berkata, “Mahisa Agni. Bagaimana
dengan Ken Dedes kemudian?”
Mahisa Agni menggeleng, “Aku tidak tahu.
Aku sudah meminta kepada Ken Arok untuk mengamat-amatinya. Mudah-mudahan
gadis itu tidak menderita.”
“Aku tidak dapat berpisah dengan gadis itu,” desah emban tua itu, “aku adalah pemomongnya sejak anak itu masih terlalu kecil.”
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak tahu,
bagaimana memenuhi permintaan itu. Namun tiba-tiba Witantra itu berkata,
“Bibi, apakah kau pemomong Ken Dedes itu?”
“Ya Ngger,” sahut perempuan itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya kepada Ken Arok, “Adi, biarlah perempuan tua itu ikut
ke Tumapel. Sebelum itu dapat menemui Ken Dedes di manapun, biarlah ia
tinggal bersama keluargaku. Atau keluarga Mahendra.”
Ken Arok memandang Witantra dengan penuh
keragu-raguan. Apakah orang itu berkata dengan jujur? Baru saja ia
mengumpat-umpat Mahisa Agni.
Tetapi wajah Witantra menunjukkan
kesungguhan hatinya. Sehingga karena itu maka Ken Arok itu pun
mempercayainya. Meskipun, demikian ia tidak menjawab. Ditatapnya wajah
Agni yang pucat itu, berganti-ganti dengan wajah perempuan yang telah
berkeriput penuh tekanan-tekanan di masa-masa lampau dan kesuraman di
masa kini.
Mahisa Agni pun tidak dapat menentukan
jawabnya. Karena itu maka ia bertanya kepada emban tua itu,
“Bagaimanakah Bibi? Bibi untuk sementara tinggal bersama keluarga
Witantra atau keluarga Mahendra di Tumapel. Setiap kesempatan akan
segera dapat dipergunakan. Bibi dapat bertemu dan selalu melayani Ken
Dedes. Mungkin ada hal-hal yang dapat bibi berikan kepada gadis itu.”
Perempuan tua itu tidak dapat melihat
kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Karena itu, maka
jawabnya, “Aku sebenarnya tidak ingin menyibukkan keluarga Angger atau
keluarga siapa pun.”
“Kami tidak akan berkeberatan Bibi.”
Akhirnya, maka emban itu pun dengan penuh
rasa terima kasih menerima tawaran Witantra untuk pergi bersama ke
Tumapel dan singgah sementara di dalam lingkungan keluarganya. Mungkin
kesempatan itu akan datang, berada di dekat Ken Dedes kembali sebagai
emban yang telah mengenalnya hampir setiap persoalan lahir dan batinnya.
Mahisa Agni pun kemudian tidak dapat
berbuat lain daripada melepaskan perempuan tua itu pergi. Dengan penuh
harapan Mahisa Agni berpesan kepada Ken Arok dan Witantra, menitipkan
perempuan tua itu untuk mendapatkan perlindungan mereka.
“Kami akan mencoba,” sahut Ken Arok.
Perempuan tua itu pun kemudian dengan
tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Beberapa lembar kain lungset, kemben
dan sepotong kain setagen.
“Aku sudah siap,” katanya kemudian.
“Marilah kita berangkat,” berkata Ken Arok sambil berpaling kepada Witantra.
Witantra menganggukkan kepalanya. Namun
ia melangkah mendekati Mahisa Agni. Bisiknya, “Agni lupakan kata-kataku.
Aku minta maaf.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Dadanya
terasa berdentingan oleh kata-kata Witantra itu. Karena itu maka ia pun
menjawab, “Aku juga minta maaf kepadamu, kepada Mahendra dan kalau kau
sempat bertemu, kepada Ken Dedes.”
“Marilah kita lupakan persoalan itu,” desis Witantra.
Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi ia hanya mengangguk kecil.
“Marilah!” berkata Witantra kemudian kepada Ken Arok.
Mereka pun kemudian bermohon diri. Tetapi
tiba-tiba perempuan itu kembali dan memeluk tubuh Mahisa Agni. Di dalam
tangisnya perempuan itu berkata, “Agni. Lekaslah sembuh. Aku terpaksa
pergi ke Tumapel. Mudah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu untuk Ken
Dedes. Beberapa orang cantrik akan merawatmu. Obat-obat yang ada padaku
telah aku tinggalkan.”
Mahisa Agni itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Terasa sesuatu yang semakin menekan di dalam rongga
dadanya. Perpisahan di antara orang-orang yang hampir setiap hari
bertemu, bercakap dan bergurau. Tetapi perempuan ini bukan sekedar orang
asing yang sudah menjadi kerabat dalam satu keluarga. Tetapi perempuan
itu adalah ibunya. Karena terasa betapa sesak napasnya. Meskipun
demikian dipaksanya juga mulutnya berkata, “Berangkatlah bibi. Marilah
kita saling berdoa yang Maha Agung akan melindungi kita masing-masing.”
Akhirnya tubuh Mahisa Agni yang telah
menjadi basah karena air mata itu dilepaskannya. Perlahan-lahan
perempuan tua itu berjalan meninggalkan pembaringan Agni. Namun sampai
di pintu sekali lagi ia berpaling. Ditatapnya wajah Agni yang pucat. Dan
bibir perempuan itu bergetar-getar, namun tak sepatah kata pun yang
terloncat keluar. Tetapi di dalam hatinya terdengarlah suara yang riuh,
“Anakku. Aku tidak tahu apakah aku masih mempunyai kesempatan untuk
mengambil gadis itu untukmu. Tetapi jalan telah terlalu jauh.”
Perempuan tua itu pun kemudian lenyap
pula dari halaman rumah Empu Purwa. Meskipun semula ia menolak, namun
akhirnya perempuan itu mau juga naik ke atas punggung kuda dengan
dilayani oleh Ken Arok. Mereka berdua naik di atas satu punggung kuda.
Sedang Witantra dan beberapa orang yang lain, prajurit yang berwajah
kasar namun bermata basah dan beberapa kawannya, berkuda di belakangnya.
Mereka pergi membelakangi padukuhan yang
muram ke kota yang cerah. Namun di belakang kecerahan wajah kota itu
tersembunyi berbagai noda-noda hitam mengerikan.
Bilik Mahisa Agni pun kemudian menjadi
sepi, sesepi hatinya. Orang-orang yang pernah tersangkut di hatinya,
satu-satu telah meninggalkannya. Wiraprana telah pergi untuk tidak akan
kembali lagi. Ken Dedes telah pergi pula jauh sekali.
“Gadis itu telah pergi sejak lama
dariku,” gumamnya seorang diri. Tetapi ia tidak dapat menghibur dirinya
sendiri dengan kata-kata itu. Kepergian Ken Dedes kali ini tidak
diikhlaskannya seperti kepergiannya yang dahulu. Kepergiannya dari
rongga hatinya.
Dan yang terakhir ibunya pun telah pergi.
Tetapi ia melepaskan ibunya dengan penuh harapan. Setidak-tidaknya
ibunya akan dapat menghibur hati Ken Dedes.
Tetapi tiba-tiba hatinya memercik seperti
api yang tiba-tiba saja menyala. Gurunya. ya Empu Purwa sampai sekarang
belum juga pulang. Bagaimanakah kalau gurunya itu kembali? Apakah orang
tua itu akan menjadi marah, ataukah menjadi sedih dan berputus asa?
Apakah Empu Purwa yang sakti itu tidak akan mampu mengambil putrinya
kembali?
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tumapel adalah suatu negeri yang dikuasai oleh seorang Akuwu lengkap
dengan tata pemerintahan dan alat-alat kekuasaannya. Tunggul Ametung
memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan hanya melawan satu orang.
Empu Purwa. Betapa saktinya gurunya dan dengan dirinya sendiri sekali
pun, bahkan dengan seluruh penduduk Panawijen, apakah mereka akan dapat
melawan Tumapel? Sedang Mahisa Agni pun tahu, setidak-tidaknya dapat
menduga, bahwa di dalam istana itu pun pasti ada orang-orang sakti,
guru-guru dari para prajurit dan akuwu sendiri. Meskipun mereka orang
seorang seandainya tidak ada yang menyamai kesaktian Empu Purwa, namun
mereka akan dapat bersama-sama melawannya.”
Mahisa Agni pun menjadi bersedih
karenanya. Usaha yang dapat dilakukan untuk membebaskan Ken Dedes
menjadi semakin jauh dari otaknya. Tetapi, betapa pun juga ia masih
mengharap, gurunya segera datang kembali.
“Kalau guru tidak segera kembali,” desisnya, “apabila lukaku telah menjadi agak baik, aku akan pergi mencarinya.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika seorang
cantrik menjenguknya di ambang pintu. Cantrik yang telah agak tua itu
dengan iba memandangnya sambil berkata, “Adakah sesuatu yang perlu aku
kerjakan Ngger?”
“Tidak Paman,” sahut Agni.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya masih dari luar pintu, “Emban tua, pemomong Ken Dedes minta aku merawatmu.”
“Terima kasih, Paman. Kalau perlu, aku akan memanggilmu.”
“Baik. Aku tidak akan berada terlalu jauh dari bilik ini.”
Orang tua itu pun kemudian pergi meninggalkannya. Kembali bilik itu menjadi sepi, sesepi hatinya.
Dalam pada itu, di jalan yang menuju ke
Tumapel, Tunggul Ametung dan Kuda Sempana memacu kudanya cepat sekali.
Mereka sama sekali tidak menghiraukan, bahwa beberapa pasang mata
penduduk Tumapel memandangi mereka itu dengan pertanyaan yang
memukul-mukul dada.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” desis salah seorang dari mereka.
Kawannya berbicara menggelengkan kepalanya. “Entah,” jawabnya. Namun mata mereka tetap memancarkan keheranan mereka.
Kuda Sempana masih berpacu di depan
sambil menjagai Ken Dedes yang belum juga sadar. Hanya sekali ia
menggeliat, namun kemudian ia menjadi pingsan kembali.
Kuda Sempana itu pun menjadi cemas
melihat keadaan Ken Dedes itu. Karena itu ia berpacu lebih cepat lagi.
Ia ingin segera sampai ke Tumapel dan dengan demikian maka Ken Dedes itu
segera dapat dirawatnya.
Akuwu dari Tumapel, Tunggul Ametung yang
berkuda di belakang Kuda Sempana, memandang debu yang mengepul di bawah
kaki kuda yang berpacu di hadapannya dengan pandang yang kosong.
Tiba-tiba otaknya dirayapi oleh berbagai pertanyaan yang tumbuh di
sepanjang jalan.
Akuwu itu melihat apa yang telah terjadi
di Panawijen. Dan ia melihat pula, apa yang telah dilakukan oleh Kuda
Sempana. Dihubungkannya apa yang telah dikatakan oleh Kuda Sempana
sebelum mereka berangkat berburu, dan apa yang telah dilakukannya di
rumah gadis itu. Dirasakannya apa yang telah dilakukan oleh Witantra dan
kemudian oleh Ken Arok.
Tunggul Ametung itu pun kemudian
menggeram. Tiba-tiba ia melihat bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap
Kuda Sempana. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk melihat keadaan
sewajarnya. Kalau nanti ia sampai di Tumapel, akan dipanggilnya
Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan Ken Dedes itu. Bahkan kalau perlu
akan dipanggilnya kakak Ken Dedes yang terluka karena anak panah
prajuritnya yang kemudian telah dibunuh oleh Ken Arok hanya dengan
sebuah pukulan di dadanya.
“Hem,” gumamnya, “anak yang diberikan
oleh Lohgawe padaku itu benar-benar luar biasa. Namun ternyata kakak
gadis yang dibawa oleh Kuda Sempana itu pun luar biasa pula.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.
Mulutnya kemudian berkomat-kamit, namun matanya tiba-tiba menjadi tajam.
Dipandanginya punggung Kuda Sempana, dan dilihatnya gadis di tangan
Kuda Sempana itu. Sekali lagi dada Tunggul Ametung berdesir. Gadis itu
adalah gadis yang aneh di dalam pandangan matanya. Cantik bagai
bidadari. Tidak. Meskipun Ken Dedes itu cantik, namun ia adalah seorang
gadis biasa. Seperti gadis-gadis lain yang cantik pula. Namun kecantikan
Ken Dedes itu bukannya menakjubkan. Tetapi ada yang lain menarik
perhatiannya. Tunggul Ametung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu,” gumamnya seorang diri, “Aku tidak tahu. Apakah yang aneh pada gadis itu?”
Hati Tunggul Ametung itu tiba-tiba
terguncang ketika ia melihat Kuda Sempana membelok pada suatu tikungan.
Dilihatnya gadis itu seperti sebuah golek yang indah. Namun dari tubuh
gadis itu tiba-tiba dilihatnya seakan-akan nyala yang memancar
daripadanya.
Mata Tunggul Ametung pun terbelalak pula
karenanya. Karena nyala yang dilihatnya itu. Karena itu maka segera ia
berpacu lebih cepat. Tunggul Ametung itu kini ingin berkuda di samping
Kuda Sempana.
Tetapi ketika Tunggul Ametung itu telah
berada di samping Kuda Sempana dan diamatinya tubuh Ken Dedes, maka
akuwu itu menjadi heran. Tubuh itu benar-benar tubuh seorang gadis
biasa. Bahkan terlalu pucat.
Tunggul Ametung menggelengkan kepalannya.
“Apakah aku sudah menjadi gila?” desahnya
di dalam hati “aku benar-benar melihat nyala pada tubuh itu. Bersinar
seperti bara api baja. Tetapi sinar itu sekarang lenyap. Hem. Apakah
yang aku lihat hanyalah pantulan sinar matahari?”
Tetapi akuwu itu tidak menemukan
jawabannya. Karena itu ia menjadi bingung dan berdebar-debar.
Diketahuinya bahwa Ken Dedes itu adalah putri seorang pendeta. Dan
tiba-tiba ia menjadi cemas.
Perjalanan itu semakin lama menjadi
semakin dekat dengan Istana Tunggul Ametung Kuda Sempana yang masih
belum berkeluarga itu pun tinggal pula di dalam barak di samping istana
bersama beberapa orang kawannya. Karena itu, maka Kuda Sempana menjadi
bimbang. Apakah Ken Dedes itu akan dibawa ke sana? Apakah dengan
demikian tidak akan menimbulkan persoalan pula dengan beberapa orang
kawannya mengenai gadis yang cantik itu? Karena itu, maka ia menjadi
bimbang, sehingga lari kudanya pun menjadi semakin lambat.
Kuda Sempana terkejut mendengar bentakan itu. Tetapi segera ia menjawab, “Apakah gadis ini hamba bawa ke barak hamba?”
“Bawa dia ke istana,” jawab Tunggul Ametung.
Kuda Sempana tersenyum Akuwu Tumapel
benar-benar berbaik hati kepadanya, sehingga ia mendapat kesempatan
untuk menyingkirkan gadis itu dan menyembunyikannya dari ayahnya di
istana. Ia yakin bahwa Empu Purwa dan Mahisa Agni tidak akan berani
mengganggunya seandainya gadis itu berada di istana. Tetapi Kuda Sempana
itu sama sekali tidak tahu apa yang tersimpan di dalam hati Akuwu
Tunggul Ametung. Kebimbangan, kecemasan, ketakjuban dan
perasaan-perasaan yang bercampur baur. Bahkan akuwu itu hampir-hampir
merasa bahwa perasaannya telah tidak dapat dikendalikan lagi.
Kuda Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung
itu pun kemudian langsung masuk ke halaman dalam Istana Tumapel.
Beberapa orang pelayan, juru taman dan emban terkejut bukan kepalang.
Kenapa tiba-tiba Akuwu telah kembali tanpa tengara apa pun. Baru pagi
tadi mereka berangkat. Dan agaknya Akuwu tidak bermalam di perburuan.
Biasanya apa bila akuwu itu kembali, beberapa orang telah mendahuluinya
dan membunyikan tengara kentongan dan sangkakala. Tetapi tiba-tiba saja
akuwu telah berada di halaman bersama dengan Kuda Sempana yang memapah
seorang gadis yang pingsan.
“Bawa ia masuk!” perintah Akuwu itu kemudian.
Dengan hati-hati Kuda Sempana turun dari kudanya, dan membawa masuk ke istana dalam.
Beberapa orang pelayan yang lain
memandangi mereka itu dengan penuh pertanyaan di dalam dada mereka.
Sehingga karena itu mereka bahkan berdiri saja dengan mulut ternganga.
Mereka terkejut bukan buatan ketika
mereka mendengar Akuwu Tumapel berteriak dengan lantangnya, “He, kenapa
kalian diam saja seperti patung? Cepat, bersihkan bilik untuk gadis itu.
Cepat!”
Para emban menjadi bingung. Cepat mereka
berlari berhamburan. Tetapi mereka belum tahu bilik mana yang harus
dibersihkannya sehingga dengan demikian mereka hanya berlari-larian saja
berputar-putar.
“He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi gila?” teriak Akuwu Tumapel itu keras. “Bersihkan bilik untuk Ken Dedes!”
Para emban menjadi semakin takut. Namun
mereka masih juga belum tahu, bilik manakah yang harus dibersihkannya.
Seorang yang paling tenang di antara mereka itu mencoba memberanikan
diri bertanya kepada Akuwu Tunggul Ametung, katanya gemetar, “Tuanku,
bilik manakah yang harus hamba bersihkan?”
Akuwu itu pun tiba-tiba menyadari pula kebingungan para emban itu. Tetapi ia pun menjadi bingung pula sendiri. Bilik yang mana?
Tiba-tiba akuwu itu menjawab, “Sentong tengen!”
Bukan main terkejutnya Kuda Sempana. Ken
Dedes itu harus dibaringkan di dalam bilik kanan istana Akuwu Tunggul
Ametung di Tumapel. Bilik yang selama ini belum pernah terisi. Akuwu
sendiri tidak pernah tidur di dalam bilik itu. Sebenarnyalah demikian
kebiasaan yang harus dilakukan. Bilik itu akan selalu kosong sebelum
Akuwu Tumapel mempunyai sisihan, seorang permaisuri yang akan
mendampingi akuwu itu dalam memerintah negerinya. Karena itu maka Kuda
Sempana itu pun menjadi gemetar dan bertanya-tanya di dalam hati,
“Apakah artinya ini?”
Para emban pun terkejut pula mendengar
perintah itu. Namun segera mereka menjadi gembira. Berlari-larian mereka
pergi ke sentong tengen dan membersihkannya dengan penuh hormat.
Ditaburnya pembaringan di sentong itu dengan bunga dan dialasinya dengan
kain paling baik di dalam istana itu. Salah seorang dari mereka
berbisik perlahan-lahan, “Kau mengenal gadis itu?”
Yang ditanya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak gembira seperti kawan-kawannya.
“Kenapa kau bersedih?” bertanya kawannya. Tetapi emban yang satu itu tetap berdiam diri.
“He,” goda yang lain, “apakah kau ingin dibaringkan di pembaringan ini?”
Emban yang diganggu itu menjawab serta-merta, “Aku tidak gila. Tetapi kalian sudah melihat gadis itu?”
“Kenapa?”
“Kalian melihat pakaian yang dipakainya? Kain lurik kasar dan bersanggul urai?”
“Oh,” tiba-tiba yang mendengar menjadi kecewa pula, sehingga mereka berdesis, “Seorang gadis dari pedesaan saja?”
Para emban itu pun kemudian saing
berpandangan. Kalau gadis itu hanya gadis pedesaan, maka apakah sudah
sepantasnya dibaringkan di sentong kanan ini? Tetapi mereka tidak berani
menanyakan kepada Tunggul Ametung. Mereka tinggal menjalankan perintah
itu. Mereka membersihkan bilik sebelah kanan.
Tetapi yang paling berdebar-debar di
antara semua orang itu adalah Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak tahu,
apakah maksud sebenarnya dari Akuwu Tunggul Ametung dengan perintahnya
itu. Meskipun demikian Kuda Sempana tidak berani bertanya pula kepada
Akuwu Tumapel, seperti para emban itu juga. Karena itu, maka dengan hati
yang penuh pertanyaan, Ken Dedes itu dibawanya ke bilik istana yang
sebelah kanan.
Namun ternyata Akuwu Tumapel itu terkejut
pula ketika ia sadar akan perintahnya sendiri. Perintah itu seakan-akan
demikian saja meluncur dari mulutnya. Ketika mereka telah sampai di
muka bilik itu, bahwa bilik yang sebelah kanan ini adalah bilik yang
dikosongkannya. Bilik yang hanya akan dipakai kelak apabila Akuwu sudah
bepermaisuri. Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia memerintahkan membawa Ken
Dedes ini ke bilik itu. Akuwu itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia
seperti Kuda Sempana. Sesaat ia termenung dan berdiri saja mematung.
Dibiarkannya Kuda Sempana berdiri dengan penuh kebimbangan di muka bilik
itu.
Akuwu itu terkejut ketika seorang emban berkata kepadanya, “Ampun Tuanku. Bilik kanan sudah hamba siapkan bersama-sama.”
“He,” sahut Akuwu itu, “kenapa bilik itu?”
Emban itu menjadi berheran-heran.
Bukankah Akuwu memerintahkan membersihkan sentong tengen. Para emban itu
pun kemudian saling berpandang-pandangan dengan penuh kecemasan. Mereka
melihat wajah Tunggul Ametung menjadi tegang. Sekali ditatapnya wajah
Ken Dedes yang pucat itu. Kini dilihatnya gadis itu bergerak-gerak.
Karena itu maka Akuwu itu pun menjadi semakin bingung. Gadis itu harus
segera dibaringkan untuk mendapat perawatan.
Kuda Sempana menjadi bingung pula. Terasa
di tangannya Ken Dedes mulai menggeliat. Dan terdengar ia merintih
perlahan-lahan. Sehingga tanpa sengaja ia bertanya, “Ampun Akuwu, di
mana gadis ini harus aku letakkan?”
Akuwu Tumapel menjadi gelisah. Karena itu, maka sekali lagi tanpa dipikirkannya, ia berkata, “Baringkan di bilik itu!”
Kuda Sempana tidak sempat berpikir lagi.
Ken Dedes luluh mulai ber-gerak-gerak semakin banyak. Karena itu maka
segera ia masuk ke sentong tengen, dan dibaringkannya Ken Dedes di
pembaringan yang telah menjadi bersih dan ditaburi oleh bunga-bunga yang
baunya dapat memberikan ketenangan, sedap.
Ken Dedes yang dengan perlahan-lahan
diletakkan di pembaringan itu membuka matanya. Dicobanya untuk mengenal
tempat itu. Tetapi ia menjadi bingung. Dan ketika tiba-tiba di lihatnya
wajah Kuda Sempana yang berjongkok di samping, tiba-tiba Ken Dedes itu
menjerit. Sekali lagi ia jatuh pingsan.
Kuda Sempana yang bingung menjadi semakin
bingung. Dengan gelisahnya ia memandangi wajah Akuwu Tunggul Ametung
yang berdiri bersilang tangan di dada.
“Gadis ini pingsan lagi Tuanku,” desah Kuda Sempana.
Adalah di luar kehendak Akuwu Tunggul
Ametung sendiri, bahwa seakan-akan menjadi kewajibannya untuk membantu
Kuda Sempana menolong gadis itu. Tunggul Ametung adalah seorang akuwu
yang berkuasa. Yang berbuat menurut apa saja yang dikehendakinya. Namun
kini tiba-tiba ia menjadi gelisah pula. Dan dengan tergopoh-gopoh ia
berjalan keluar sambil berteriak memanggil, “He emban, kemari!”
Emban yang duduk berjajar-jajar di
ruangan itu terkejut mendengar teriakan akuwu itu. Seorang emban yang
tertua datang menghadap sambil menyembah, “Hamba Tuanku.”
“cepat, panggil Bibi Puroni. Suruh ia merawat gadis yang pingsan itu!”
“Hamba Tuanku,” sembah emban itu sambil bergeser meninggalkan ruangan itu.
Sesaat kemudian datanglah seorang dukun
tua. Seorang perempuan yang berwajah sayu namun penuh ketenangan
seakan-akan di dalam wajah itu terpendam berbagai macam pengalaman hidup
yang telah ditempuhnya hampir delapan puluh tahun.
“Bibi,” berkata Akuwu Tunggul Ametung
ketika orang tua itu telah datang, “di dalam bilik itu ada seorang gadis
yang pinggan. Bukan karena sakit dan bukan karena sebab-sebab lain.
Tetapi ia pingsan karena ketakutan. Nah, rawatlah. Tenangkanlah dan
terserah apa saja yang akan kau lakukan atasnya.”
Perempuan tua itu, yang bernama Puroni,
menyembah sambil berkata, “Hamba Tuanku. Kalau berkenan di hati Tuanku,
biarlah aku mencobanya. Di manakah gadis itu sekarang?”
“Di situ. Di dalam bilik itu,” jawab Akuwu Tumapel sambil menunjuk sentong kanan.
Perempuan itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya pintu sentong tengen yang menganga itu. Namun yang
dilihatnya hanya sebuah rana yang menakbiri pembaringan di dalam sentong
itu.
“Masuklah! Jangan ditunggu anak itu mati!” teriak Akuwu Tunggul Ametung.
Perempuan tua itu sama sekali tidak
terkejut. Telah berpuluh, bahkan beratus dan beribu kali ia mendengar
Akuwu Tunggul Ametung membentak-bentak dan berteriak-teriak. Karena itu
maka ia masih tetap tenang. Sambil menyembah ia menyahut, “Baiklah
Tuanku. Biarlah aku mencobanya.”
Bibi Puroni itu pun kemudian pergi ke sentong tengen. Ia terkejut ketika dilihatnya Kuda Sempana ada di dalamnya.
“Oh,” desahnya, “apakah Angger sedang menungguinya?”
“Ya,” sahut Kuda Sempana pendek.
Perempuan itu menjadi semakin heran.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi sehingga Akuwu Tumapel itu
benar-benar seperti orang yang bingung sehingga dibiarkannya Kuda
Sempana berada di dalam bilik itu? Dan dibiarkannya berlaku di luar
kebiasaan? Sehari-hari di saat-saat yang lewat.
Betapa ia menahan diri, namun ia tidak
dapat menahan lagi keinginannya untuk mengetahui serba sedikit, apakah
yang telah dilakukan oleh akuwu atau oleh Kuda Sempana terhadap gadis
itu, atau siapakah sebenarnya gadis yang pingsan itu. Karena itu maka
katanya bertanya, “Angger Kuda Sempana. Siapakah gadis yang pingsan itu,
dan kenapakah mula-mula sebabnya, sehingga ia menjadi ketakutan?”
“Gadis itu bakal istriku Nyai Puroni,” jawab Kuda Sempana.
Sekali lagi Nyai Puroni itu terkejut.
Kalau gadis itu benar-benar bakal istri Kuda Sempana, kenapa ia
dibaringkan di sentong tengen istana Tumapel?”
Bibi Puroni itu menjadi semakin bingung.
Sepengetahuannya Kuda Sempana tidak lebih dari seorang pelayan dalam.
Meskipun pelayan dalam yang paling dekat dengan akuwu. Tetapi apakah
demikian besar pengaruhnya, sehingga bakal istrinya diizinkan menempati
sentong tengen itu.
Tetapi Nyai Puroni tidak sempat untuk
memikirkannya terlampau lama. Ia harus segera menolong gadis itu. Karena
itu, maka ia tidak lagi menghiraukan Kuda Sempana. Apakah gadis itu
calon istrinya, atau apapun, namun sudah menjadi kewajibannya untuk
menolongnya.
Nyai Puroni itu pun kemudian berjongkok
di samping pembaringan Ken Dedes. Perlahan-lahan dirabanya tangannya,
dadanya dan kemudian keningnya. Telah berpuluh bahkan beratus kali ia
menolong orang-orang yang pingsan seperti itu. Sehingga segera ia dapat
menentukan, apakah yang harus dilakukan. Diambilnya beberapa macam
ramuan obat-obatan dari sebuah bungkusan dan dengan ragu-ragu ia berkata
kepada Kuda Sempana, “Angger, apakah ada seorang emban yang dapat
membantu aku?”
“Ya. ya Nyai. Biarlah aku panggilkan emban itu,” sahut Kuda Sempana dengan gugup.
Ketika Kuda Sempana itu keluar dari
ruangan, dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung sedang duduk merenung.
Ditundukkannya kepalanya sedang kedua tangannya menyangga keningnya.
“Tuanku,” berkata Kuda Sempana perlahan-lahan.
Akuwu Tumapel mengangkat wajahnya. Ditatapnya Kuda Sempana dengan pandangan yang aneh.
“Apa,” bertanya akuwu itu lemah.
“Nyai Puroni memerlukan seorang emban untuk membantunya.”
“Oh,” Akuwu itu terkejut. Kemudian sambil menunjuk seorang emban ia berkata, “Masuklah!”
Dengan tergopoh-gopoh emban itu segera
masuk ke dalam sentong kanan itu. Kuda Sempana pun segera mengikutinya
pula. Namun demikian ia sampai di ambang pintu, maka segera Bibi Puroni
berkata, “Tunggulah di luar Ngger.”
“Oh,” desah Kuda Sempana, “kenapa?”
“Aku sedang mengobatinya.”
“Ya. Aku tidak akan mengganggu. Aku hanya akan menungguinya.”
“Jangan, tidak baik. Gadis ini belum istrimu.”
“Kenapa tidak baik?”
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya berdesah “Aku sedang akan mengurut seluruh tubuhnya.
Tunggulah di luar. Gadis ini tidak akan berkurang cantiknya.”
“Lakukanlah. Biarlah aku masuk.”
“Jangan,” sahut Bibi Puroni, “kalau Angger masuk, aku tidak akan mengobatinya.”
“Jangan mengada-ada, Nyai!” benak Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak sampai
meneruskan katanya. Tiba-tiba ia terkejut ketika didengarnya Akuwu
Tumapel membentaknya lebih keras, “Kuda Sempana, apakah kau sudah gila?
Jangan masuk!”
Kuda Sempana berpaling. Dipandanginya
wajah Akuwu Tumapel, dan ia menjadi semakin terkejut karenanya. Wajah
itu menjadi merah menyala, seakan-akan sedang memancarkan kemarahan yang
meluap-luap. Kuda Sempana telah mendengar beribu kali Tunggul Ametung
berteriak dan membentak. Namun kali ini Akuwu itu benar-benar sedang
marah, Meskipun Kuda Sempana sama sekali tidak tahu, kenapa akuwu itu
tiba-tiba menjadi marah. Dengan demikian, maka Kuda Sempana sama sekali
tidak berani lagi membantahnya. Dengan kepala terkulai lemah, ia duduk
dilamai di samping pintu bilik kanan itu.
Ia mengangkat wajahnya, ketika ia
mendengar sebuah desah lirih. Desah Ken Dedes. Namun ia masih juga
berdebar-debar ketika desah itu kembali diam. Kuda Sempana benar-benar
seperti seorang ayah yang untuk pertama kali menunggu bayinya yang akan
lahir. Wajahnya menjadi tegang dan pucat. Keringat dingin mengalir
dengan derasnya di segenap tubuhnya.
Akhirnya Kuda Sempana tidak sabar lagi.
Segera ia beringsut untuk memasuki bilik itu. Namun kembali ia berhenti
ketika didengarnya sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung berteriak, “Kuda
Sempana, kalau kau memasuki ruangan itu, aku bunuh kau!”
Kuda Sempana benar-benar menjadi
berdebar-debar mendengar ancaman itu. Bukan karena ia takut, namun ia
merasakan sesuatu keanehan pada nada suara Akuwu Tunggul Ametung itu.
Kuda Sempana sama sekali tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang
sedang dipikirkan oleh Tunggul Ametung.
Apalagi ketika Tunggul Ametung itu
kemudian berkata, “Kuda Sempana, daripada kau menunggu dengan gelisah di
muka bilik itu, tinggalkanlah ruangan ini. Kembalilah ke barakmu, dan
tunggulah di sana sambil beristirahat.”
Kuda Sempana memandang wajah Akuwu
Tumapel itu dengan hampir tak berkedip. Dicobanya untuk mengerti
kata-kata itu, namun semakin direnungkannya, maka dadanya menjadi
semakin ber-debar-debar.
Ketika Kuda Sempana belum beringsut dari
tempatnya, maka sekali lagi Tunggul Ametung itu berkata, “Tinggalkan
Kuda Sempana! Tinggalkan! Tinggalkan! Kau dengar?”
Wajah Kuda Sempana menjadi tegang.
Dicobanya untuk menjawab kata-kata itu, katanya, “Akuwu. Kalau Akuwu
tidak berkenan aku di sini, biarlah gadis aku bawa ke dalam barak
hamba.”
Wajah Tunggul Ametung yang merah, menjadi
semakin membara. Sekali ia meloncat berdiri dan sambil menunjuk pintu
keluar ia berteriak, “Keluarlah lewat pintu ini, atau kau tidak akan
dapat keluar sendiri untuk seterusnya!”
Terasa sesuatu bergelora dengan
dahsyatnya di dalam dada Kuda Sempana. Ia sama sekali tidak dapat
meraba, apakah yang tersimpan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung itu.
Namun ia kini menyadari bahwa Akuwu Tunggul Ametung benar-benar sedang
marah atau sedang menjadi bingung. Sehingga dengan demikian, maka tak
ada lain yang dapat dilakukan kecuali menuruti perintah itu.
Maka Kuda Sempana itu pun membungkukkan kepalanya sambil menyembah.
“Baik Tuanku,” katanya. Terdengar suaranya gemetar, “tetapi bagaimanakah dengan Ken Dedes?”
Kemarahan Tunggul Ametung itu pun menjadi
semakin memuncak sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi bergetar. Dengan
lantangnya ia berteriak, “Kuda Sempana. Kali ini kesempatan yang
terakhir. Keluar dari pintu ini!”
Kini Kuda Sempana benar-benar tidak
berani untuk bertanya lagi. Perlahan ia berjalan keluar dari ruangan itu
dengan kepala tunduk. Di luar pintu ia masih berpaling. Tetapi ketika
dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung memandangnya dengan wajah yang menyala,
yang maka kembali ia menundukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan
ruangan itu.
Betapa hati Kuda Sempana itu menjadi
risau. Tiba-tiba ia menjadi sangat cemas. Ia cemas akan kehilangan Ken
Dedes. Sejak semula telah terkandung tekad di dalam batinya, bahwa ia
harus mendapatkan gadis itu. Ketika gadis itu masih berada di Panawijen
meskipun telah dipertunangkannya dengan Wiraprana, serta mendapat
perlindungan dari Mahisa Agni yang tak dapat dikalahkannya, namun setiap
kali masih juga tumbuh di dalam hatinya, harapan untuk dapat mengambil
gadis itu. Tetapi kini, ketika Ken Dedes telah berada di Tumapel, maka
ia menjadi sangat cemas, melampaui masa-masa yang lalu. Gigi Kuda
Sempana itu gemeretak ketika ia sampai pada sebuah pikiran, “Apakah
Akuwu akan membatalkan niatku ini? Apakah Ken Dedes seterusnya akan
tinggal di dalam istana?”
“Tidak!” Kuda Sempana itu menggeram.
Namun ia untuk seterusnya tidak berani lagi mencoba memikirkan apakah
yang kira-kira akan terjadi.
Sepeninggal Kuda Sempana Tunggul Ametung
menjadi seperti seorang yang kehilangan keseimbangan. Berbagai perasaan
telah memburunya. Sekali-kali ia mendengar suara dari bilik kanan. Suara
Nyai Puroni dan seorang emban yang membantunya. Sekali-kali ia melihat
emban itu pergi keluar, mengambil air dan beberapa buah jeruk. Kemudian
kembali mereka tenggelam di balik pintu bilik itu.
Tunggul Ametung itu pun kemudian berjalan hilir mudik sedemikian gelisahnya di muka bilik itu.
Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “He,
apakah aku sudah gila? Apakah peduliku atas gadis itu. Biar saja aku
mati atau tidak. Kenapa aku menjadi risau karenanya.”
Tunggul Ametung itu menghentakkan
kakinya. Kemudian ia berjalan cepat-cepat meninggalkan ruangan itu,
masuk ke dalam biliknya sendiri. Seorang juru panebah terkejut bukan
kepalang, ketika tiba-tiba saja Akuwu Tunggul Ametung sudah meloncat
masuk ke dalam bilik itu. Demikian terkejutnya sehingga ia terloncat
berdiri. Tetapi Akuwu yang masuk ke dalam bilik itu pun terkejut pula.
“Gila!” teriak akuwu, “apa kerjamu di sini?”
“Ampun Tuanku. Hamba sedang membenihkan pembaringan Tuanku.”
“Kenapa baru sekarang?”
“Hamba sangka Tuanku tidak segera kembali berburu.”
“Apa? He!” akuwu tiba-tiba menangkap
rambut juru panebah itu sambil membentak, “Jadi kalau aku tidak ada
bilik ini tidak pernah kau bersihkan?”
“Ampun Tuanku,” juru panebah itu
tiba-tiba menangis, “ampun. Bukan maksud hamba berkata demikian. Maksud
hamba, baru nanti senja akan hamba bersihkan, setelah sehari ini dua
kali hamba bersihkan. Tadi pagi-pagi setelah Tuanku bangun dan siang
tadi ketika hamba membersihkan segenap ruangan ini.”
“Pergi! Pergi!” bentak akuwu yang marah itu.
Demikian rambut juru panebah itu
dilepaskan, maka segera ia terjatuh duduk di lantai sambil menyembah.
Kemudian perlahan-lahan ia bergeser dan keluar dari ruangan itu. Tetapi
begitu ia keluar dari pintu bilik, maka segera lenyaplah tangisnya.
Bahkan dengan tersenyum-senyum ia mengumpat, “Bukan main. Baru saja aku
menyisir rambutku.”
Tetapi juru panebah itu tidak berpaling.
Ditinggalkannya ruang dalam kembali ke dalam biliknya jauh di belakang.
Di sepanjang halaman itu ia masih bergumam, “Kalau marah kepadaku, maka
alamat aku akan mendapat rezeki.”
Akuwu yang sedang kebingungan itu segera
membaringkan dirinya di pembaringannya tanpa melepas pakaiannya. Ia
menggeliat ketika terasa sesuatu mengganggu punggungnya.
“Ah,” desahnya sambil bangkit kembali.
Kerisnya pun ternyata masih terselip di antara ikat pinggangnya,
sehingga sambil mengumpat-umpat maka terpaksa akuwu itu bangkit melepas
kerisnya dan diletakkannya di samping bantalnya.
Sambil berbaring Tunggul Ametung mencoba
menenangkan pikirannya. Ia adalah seorang akuwu yang keras hati. Namun
kadang-kadang hatinya selunak malam. Sehingga demikian, maka akuwu itu
seakan-akan tidak mempunyai suatu sikap yang tetap. Namun sebenarnya
Akuwu adalah seorang yang sulit untuk dimengerti. Bahkan
pelayan-pelayannya yang terdekat pun selama ini masih belum mampu untuk
mengetahui, apakah sebenarnya yang berkenan di hati akuwu itu.
Bahkan suatu ketika Tunggul Ametung
sendiri tidak dapat mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Demikian
gelapnya sehingga Akuwu itu menjadi sangat gelisah. Kehadiran gadis itu
benar-benar telah merampas ketenangan hatinya.
“Apakah Kuda Sempana berkata sebenarnya?”
desisnya, dan diteruskannya, “Melihat keadaan di rumah gadis itu, maka
agaknya Kuda Sempana telah menipuku.”
Tunggul Ametung menggeram, “Aku harus mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Di bilik kanan Nyai Puroni berusaha
sedapat-dapatnya untuk menolong Ken Dedes yang sedang pingsan. Kakinya
yang dingin seolah-olah membeku telah digosok-gosoknya dengan reramuan
penghangat. Jahe, minyak kelapa dan beberapa macam lagi. Dahinya,
tengkuknya dan perutnya, menurut pengalaman yang sudah ber-tahun-tahun
didapatnya.
Lambat laun gadis itu pun menggeliat.
Perlahan-lahan digerakkannya tangannya, kakinya dan akhirnya sekali lagi
Ken Dedes membuka matanya.
“Eling, Angger,” bisik Nyai Puroni perlahan-lahan.
Ken Dedes terkejut mendengar suara itu.
Cepat-cepat ia berpaling dan dipandangi orang tua yang bersimpuh di
sampingnya itu dengan seksama. Namun alangkah kecewanya. Orang tua itu
bukan embannya. Bukan pemomongnya yang seakan-akan sudah menjadi ibunya
sendiri. Karena itu sekali lagi ia menjadi bingung. Diamat-amatinya
ruangan itu. Ruangan yang belum, pernah, dilihatnya. Ruangan yang
dihiasi dengan berbagai macam benda-benda yang berharga, dengan dinding
papan yang berukir.
“Apakah aku sedang bermimpi?” desis Ken Dedes.
“Tidak Nini. Kau sama sekali tidak bermimpi,” sahut Nyai Puroni.
Sekali lagi Ken Dedes berpaling. Dipandanginya wajah dukun tua itu. Kemudian katanya, “Siapakah engkau Nyai?”
“Aku adalah seorang dukun, Nini. Dukun yang diminta oleh Akuwu mengobati Nini. yang sedang pingsan.”
“Akuwu?” ulang Ken Dedes.
“Ya. Nini datang bersama Akuwu dan Kuda Sempana bukankah demikian?”
“Oh,” Desah gadis itu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat apakah yang telah terjadi. Selapis demi selapis
dikenangnya kembali apa yang sudah terjadi itu. Kuda Sempana, akuwu dan
beberapa orang prajurit. Wiraprana dan para cantrik.
“Tiba-tiba Ken Dedes itu memekik kecil.
Tangisnya meledak seperti bendungan pecah. Ditelungkupkannya tubuhnya
sambil menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya.
Nyai Puroni tiba-tiba menjadi bingung.
Kenapa gadis ini tiba-tiba menangis. Karena itu maka untuk sesaat Nyai
Puroni itu terbungkam. Meskipun tangannya membelai rambut Ken Dedes
dengan kasih seorang tua, tetapi ia tidak dapat menghiburnya dengan
kata-kata. Ia tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi.
Sesaat bilik itu menjadi sepi. Hanya isak
Ken Dedes sajalah yang terdengar. Sekali-kali terdengar desah Ken Dedes
menyebut nama ayahnya, Mahisa Agni dan Wiraprana. Namun tidak
sedemikian jelas sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung karenanya.
Demikian bingungnya sehingga tiba saja ia bertanya, “Nini, kenapa kau
menangis?”
Mendengar pertanyaan itu tangis Ken Dedes menjadi semakin keras dan bahkan hampir tak dapat ditahannya.
Nyai Puroni yang meskipun tidak tahu sama
sekali apa sebabnya gadis itu menangis, tiba-tiba air matanya telah
meleleh pula tanpa setahunya.
“Diamlah Angger,” Nyai Puroni mencoba menghiburnya, “Damlah! Jangan menangis, Nini.”
Tetapi Ken Dedes menangis, terus Bahkan
semakin lama semakin keras, sehingga Nyai Puroni menjadi semakin bingung
ia tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak dapat menghibur
gadis itu tanpa mengetahui sebab-sebabnya ia menangis.
Akhirnya, dalam kebingungan Nyai Puroni
itu berbisik kepada emban yang duduk di sampingnya, “Sampaikan kepada
Akuwu apa yang kau lihat.”
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian ia pun bangkit dan berjalan keluar. Namun di ruang dalam
itu tak dilihatnya Tunggul Ametung, sehingga sesaat ia tertegun. Namun
kemudian dari seorang emban yang lain, diketahuinya bahwa Akuwu Tunggul
Ametung berada di pembaringannya.
“Tolong. Sampaikan kepada Akuwu, bahwa gadis itu telah sadar. Tetapi ia menangis saja,” berkata emban itu.
Emban yang lain menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik selagi Akuwu ada di dalamnya.”
“Kenapa?”
Emban itu tidak menjawab.
“Cepat! Sampaikanlah kepada Akuwu!”
Emban itu tidak juga menjawab, tetapi ia menggeleng.
“Kenapa? Kenapa?”
Sekali lagi ia hanya menggeleng saja.
“Oh. Anak bengal,” gerutu emban itu. Dan
dengan tergesa-gesa ia sendiri pergi ke bilik akuwu. Meskipun hatinya
berdebar-debar. Apakah Akuwu tidak akan menjadi marah.”
Emban yang lain, yang tidak mau menghadap
akuwu di biliknya mencibirkan bibirnya. Sambil memandangi bayangan
wajahnya yang buram pada permukaan air di jambangan bunga ia berkata,
“Aku terlalu cantik. Aku tidak mau masuk ke dalam bilik Akuwu. Bukankah
Akuwu belum beristri. Huh, Kalau Akuwu memintaku baik-baik kepada orang
tuaku, entahlah. Mungkin aku akan memikirkannya.”
Emban itu kemudian tersenyum-senyum sendiri.
Emban yang lain dengan gelisah mendekati pintu bilik akuwu.
Meskipun pintu itu tidak tertutup, namun
ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Dengan demikian maka
emban itu hanyalah mondar-mandir saja di depan pintu, kemudian dengan
keringat yang membasahi tubuhnya, ia duduk bersimpuh di hadapan pintu
bilik itu sambil menunggu, juru panebah lewat. Kepada juru panebah ia
akan minta tolong untuk menyampaikannya kepada akuwu. Juru panebah sudah
terlalu biasa masuk ke dalam bilik itu. Dipanggil atau tidak dipanggil
oleh Tunggul Ametung. Tetapi emban itu hampir tidak pernah masuk ke
dalamnya apabila tidak ada sesuatu yang harus dilakukannya. Mengganti
kain selintru atau alas pembaringan untuk dicuci. Pekerjaannya adalah
membersihkan dan merawat sentong-sentong kiwa, tengen dan sentong
tengah.
Tetapi ternyata Akuwu mendengar langkah yang mondar-mandir itu, sehingga karena itu maka segera ia bangun dan berjalan.
Ketika Akuwu Tumapel itu melihat emban
yang menunggui Ken Dedes, maka dengan tergesa-gesa Tunggul Ametung
bertanya “Bagaimana? Bagaimana dengan gadis itu?”
Emban itu pun kemudian duduk bersimpuh
sambil menyembah, katanya, “Ampun Tuanku. Gadis itu telah sadar. Tetapi
sejak tadi selalu menangis saja. Nyai Puroni tidak berhasil
menghiburnya.”
Wajah Akuwu itu pun tiba-tiba menjadi bertambah tegang.
“Baiklah,” katanya, “baiklah, aku segera datang.”
Akuwu Tunggul Ametung segera masuk
kembali ke dalam biliknya, membetulkan letak pakaiannya dan kemudian
dengan tergesa-gesa pergi ke bilik dalam sebelah kanan. Tetapi begitu ia
sampai di pintu bilik, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah
yang. dapat dilakukan terhadap gadis itu. Apakah dapat ia dapat
menenteramkan hati Ken Dedes atau menghiburnya?
Akuwu itu pun terhenti. Direnunginya
pintu bilik itu. Tetapi ia tidak jadi memasukinya. Diurungkannya niatnya
untuk mencoba menemui Ken Dedes. Gadis itu pasti masih mendendamnya.
Karena itu, maka akuwu itu dengan gelisahnya berjalan kembali ke dalam
biliknya. Ketika ditemuinya emban yang memanggilnya tadi, maka katanya
“Biarlah Bibi Puroni mencoba menenangkannya. Aku tidak perlu datang
kepada gadis itu. Aku juga belum kenal dia, dan dia pun belum mengenal
aku. Tidak ada gunanya.”
Emban itu memandangi Akuwu Tumapel dengan
penuh keheranan. Bagaimana mungkin Akuwu Tunggul Ametung itu belum
mengenal gadis itu. Kenapa dengan tiba-tiba gadis itu harus
dibaringkannya di sentong tengen.
Tunggul Ametung yang merasa emban itu
memandanginya dengan tak berkedip, tiba-tiba membentak, “Kenapa kau
memandangi aku sedemikian?”
“Oh. Ampun Tuanku,” emban itu menjadi
gemetar. Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan terdengar
desahnya, “Hamba tidak bermaksud apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau pandangi saja wajahku?
He? Apakah kau belum pernah melihat aku? Atau barangkali wajahku
tiba-tiba saja menjadi bopeng?”
“Ampun. Ampun Tuanku.”
“Ayo, cepat pergi! Katakan kepada Bibi Puroni!”
“Hamba Tuanku.”
Cepat-cepat emban itu pun pergi memasuki
bilik sebelah kanan. Dijumpainya Ken Dedes masih menangis dan Nyai
Puroni masih juga berusaha menghiburnya.
Ketika Nyai Puroni melihat emban itu datang, mala segera ia berbisik, “Bagaimana dengan Akuwu?”
“Akuwu tidak mau masuk ke dalam bilik ini. Ternyata Akuwu belum mengenal gadis ini.”
“Oh,” Nyai Puroni pun terkejut bukan
main. Lalu bagaimana mungkin Ken Dedes dibaringkan di sentong tengen.
Nyai Puroni itu pun menjadi semakin tidak mengerti apa yang terjadi.
Kalau Akuwu belum mengenal gadis ini, dan gadis ini adalah benar-benar
bakal istri Kuda Sempana, tidak lebih, maka apakah haknya maka ia
dibaringkan di dalam bilik Ini?
Tetapi Nyai Puroni tidak mau
mempersoalkannya lagi. Hatinya dicengkam oleh keibaannya atas gadis itu.
Alangkah sedih tangisnya. Karena itu, maka dicobanya sejauh-jauhnya
untuk menghiburnya. Namun Ken Dedes seakan-akan tidak juga mendengarnya.
Ia masih saja menangis. Lewat air matanya dituangkannya kepedihan yang
menghimpit hatinya. Pedih dan nyeri. Bahkan sekali-sekali terluncur
disela-sela tangisnya, sah yang dalam.
Nyai Puroni adalah seorang tua yang sudah
mengenyam pahit manis kehidupan. Pernah dijumpainya seribu macam
peristiwa. Pernah dialaminya seribu macam kejadian. Pernah dihadapinya
seribu macam persoalan. Karena itu, maka pengalaman yang tersimpan di
dadanya, seakan-akan telah merupakan suatu kebulatan dari
peristiwa-peristiwa di dunia ini. Peristiwa- peristiwa yang pernah
dilihat, dialami dan dihadapinya. Karena itu, maka menghadapi Ken Dedes
ini pun Nyai Puroni segera dapat meraba-raba, apakah agaknya yang telah
mendorong gadis itu kemari dalam keadaan yang menyedihkan.
“Kuda Sempana,” desisnya di dalam hati, “pasti pokal Kuda Sempana.”
Tetapi dukun tua itu sama sekali tidak
mau mengatakan sesuatu. Ia masih saja menghibur sedapat-dapatnya.
Dibelainya rambut Ken Dedes yang panjang terurai. Namun Ken Dedes masih
saja menangis.
Akuwu yang kembali ke dalam biliknya pun
menjadi semakin gelisah. Ketika dipandanginya udara di luar biliknya
lewat daun pintu yang terbuka, maka ia terkejut. Di kejauhan dari balik
tirai dilihatnya seseorang membawa pelita menyala di kedua tangannya.
“He, apakah ini sudah malam?”
Barulah akuwu itu sadar, bahwa senja
semakin kelam. Beberapa pelayan istana telah menyalakan lampu-lampu di
segenap ruangan. Namun karena akuwu masih berada di dalam biliknya, maka
para pelayan itu belum berani memasuki ruangan itu. Dinyalakannya saja
lampu-lampu yang lain dan nanti apabila akuwu tidak juga keluar, barulah
seseorang juru panebah harus menyalakan lampu di dalam bilik itu.
Perlahan-lahan akuwu bangkit dari
pembaringannya. Bilik pun telah mulai gelap pula. Agaknya karena
kegelisahan yang mencengkeram kepalanya, sehingga tanpa disadarinya ia
telah berbaring di keremangan senja. Karena itu cepat-cepat ia
meninggalkan biliknya.
Ketika akuwu yang sedang kebingungan itu
melihat seorang pelayan yang duduk menunggu perintahnya di tangga ruang
dalam, maka segera ia berteriak, “He. Kau kemari!”
Pelayan itu pun mendekatinya sambil berjongkok. Kemudian duduk bersimpuh di hadapannya
“Sediakan aku air panas!” perintah
Tunggul Ametung, “Aku akan mandi. Sementara itu, perintahkan seorang
pelayan dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok. Sore ini.”
Pelayan itu menyembah, kemudian ia pun segera meninggalkan Akuwu yang gelisah itu.
Kepada seorang emban, pelayan itu minta
akuwu disediakan air hangat, sedang kepada pelayan yang lain dimintanya
untuk menyampaikan perintah Akuwu Tunggul Ametung, memanggil Witantra
dan Ken Arok.
Ketika pelayan itu sampai di rumah
Witantra, ternyata Witantra itu baru saja memasuki rumahnya bersama Ken
Arok dan seorang perempuan tua, pemomong Ken Dedes.
Dengan dada berdebar-debar Witantra bertanya kepada pelayan itu, “Apa perintah Akuwu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Kakang Witantra
diperintah menghadap sore ini bersama-sama dengan Kakang Ken Arok. Kalau
aku temui Kakang Ken Arak di sini, maka adalah kebetulan sekali.”
“Baru apakah Akuwu ketika kau berangkat?”
“Akuwu sedang duduk termenung, menunggu air hangat,”
“He?”
“Ya. Akuwu baru akan mandi.”
“Ah,” Witantra berdesah. Kemudian katanya, “Baik, Aku akan segera menghadap. Bersama Adi Ken Arok.”
Pelayan itu pun segera meninggalkan rumah
Witantra. Sementara itu Witantra dan Ken Arok pun beristirahat untuk
sesaat, duduk-duduk sambil minum air hangat.
“Mandilah di sini Adi,” minta Witantra, “kita harus segera menghadap. Pasti ada sesuatu yang penting.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Mungkin akuwu marah. Marah kepadanya dan marah kepada Witantra. Telah
terucapkan, bahwa akuwu mengancam Witantra untuk menggantungnya besok di
alun-alun.
Ketika mereka berdua telah selesai
berbenah, maka mereka pun segera minta diri kepada istri Witantra dan
menyerahkan pemomong Ken Dedes itu.
“Biarlah Bibi tua ini untuk sementara tinggal bersama kita,” berkata Witantra.
Ternyata istrinya pun tidak berkeberatan.
Istrinya terkejut. Tampaklah keningnya berkerut. Katanya, “Apakah Kakang akan mendapat tugas baru?”
Witantra menggelengkan kepalanya lemah
sekali. Ditatapnya wajah istrinya yang masih terlalu muda untuk
ditinggalkan. Namun lebih baik kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang
itu diberitahukannya sekarang. Ia tidak dapat menunda-nundanya sampai
bencana itu datang, apabila akuwu benar-benar akan melakukan apa yang
telah dikatakannya. Mungkin malam ini akuwu telah memerintahkan beberapa
orang prajurit berjaga-jaga. Mungkin Kuda Sempana telah bersiap pula di
sekitar istana.
“Nyai,” berkata Witantra kepada istrinya,
“Akuwu sedang murka kepadaku. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan
atasku dan Adi Ken Arek.”
“Murka?” tubuh istrinya tiba-tiba menjadi gemetar, “Kenapa?”
Witantra menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian gumamnya kepada diri sendiri, “Aku tidak dapat melakukan perintahnya.”
“Mengapa?”
“Aku tidak sampai hati, Nyai.”
“Apakah perintah yang harus kau lakukan?”
Witantra mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ditatapnya wajah perempuan tua yang duduk bersimpuh di sudut ruangan.
“Bertanyalah kepada Bibi tua itu. Ia akan dapat mengatakan, apa yang sudah terjadi.”
Istrinya memandang perempuan tua,
pemomong Ken Dedes itu dengan penuh pertanyaan yang memancar dari
wajahnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka kembali Witantra
berkata, “Sudahlah Nyai. Biarlah aku menghadap Akuwu. Hati-hatilah di
rumah. Bukankah kau telah mempunyai banyak kawan di sini?”
“Kakang,” sahut istrinya, wajahnya
menjadi gelisah dan tiba-tiba suaranya menjadi gemetar, “apakah
kira-kira yang akan terjadi, Kakang?”
“Aku tidak tahu, Nyai.”
“Oh,” desahnya, “Apakah Kakang tidak segera akan kembali?”
Witantra menggeleng lemah, “Aku tidak
tahu. Apakah aku akan kembali malam nanti, besok, lusa atau waktu-waktu
yang tidak dapat aku katakan.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
Sekali lagi Witantra menarik nafas
dalam-dalam. “Jangan risau Nyai. Mudah-mudahan aku segera kembali. Namun
kemungkinan-kemungkinan yang lain harus kau ketahui pula, seperti aku
sedang berangkat berperang. Istri seorang prajurit pasti tahu, apakah
yang mungkin terjadi dengan suaminya. Karena itu jangan berduka.”
“Oh,” tiba-tiba istri Witantra itu
menangis. Seorang perempuan tua, ibu Witantra segera datang
menghiburnya, katanya, “Jangan menangis anakku. Aku dahulu juga menjadi
istri seorang prajurit. Aku juga melihat setiap kemungkinan yang bakal
terjadi dengan suamiku dahulu. Sekarang anakku pun seorang prajurit.
Biarlah ia menyerahkan dirinya atas kekuasaan tangan Yang Maha Agung.
Jangan kau tangisi, supaya perjalanannya tidak meragukannya.”
Istri Witantra itu menjadi agak tenang
sedikit. Namun tiba-tiba muncullah seorang gadis dari ruang dalam. Gadis
yang sedang menginjak masa remaja. Dengan wajah tengadah ia berkata,
“Kakang Witantra, kenapa Kakang tidak dapat melakukan perintah Baginda?”
Witantra berpaling. Dilihatnya adik istrinya berada di rumahnya pula. Karena itu segera ia bertanya, “Kapan kau datang?”
“Siang ini.”
“Baik. Adalah kebetulan sekali kau datang. Kawanilah kakak perempuanmu di sini.”
“Ya Kakang. Tetapi aku ingin tahu, kenapa Kakang tidak dapat menuruti perintah Akuwu itu?”
“Tidak apa-apa. Jangan kau pikirkan itu lagi.”
“Tidak. Aku merasa aneh sekali. Bukankah Kakang seorang prajurit?”
“Benar. Benar Ken Umang. Aku adalah seorang prajurit.”
Ken Umang itu memandangi Witantra dengan
tajamnya. Sambil mengangkat dagunya ia berkata, “Kenapa seorang prajurit
terpaksa menghindari perintah, justru perintah Akuwu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang hal itu Umang.
Sudahlah, kawanilah kakakmu. Biarlah besok kau dibelikan selembar kain
tenun yang berwarna merah jambu.”
“Aku tidak ingin selembar kain berwarna merah jambu.
“Nah, apalah yang kau ingini?” sahut Witantra.
“Tak ada. Aku hanya ingin tahu, kenapa Kakang menolak perintah Akuwu.”
“Jangan tanyakan itu lagi. Mintalah sebuah golek yang besar atau sehelai selendang sura yang berwarna hijau.”
“Kakang, aku sekarang bukan anak-anak lagi. Lihatlah, aku sudah dewasa.”
Witantra menggeleng. Kemudian jawabnya,
“Belum Umang. Kesadaranmu, bahwa kau telah mulai dewasa menunjukkan
bahwa kau belum dewasa. Kau masih pantas berkain sabukwala. Jangan
risaukan aku.”
“Kakang,” tiba-tiba terdengar istri
Witantra berkata, “pertanyaan Umang ada benarnya. Apakah sebabnya maka
Kakang terpaksa menolak perintah Akuwu?”
“Bertanyalah kepada perempuan itu
sepeninggalku,” sahut Witantra, “biarlah kini aku berjalan dengan
tenang. Apapun yang akan aku hadapi.”
Nyai Witantra tidak bertanya lagi. Namun
gadis yang menjelang dewasa itu tampak sama sekali tidak puas atas
jawaban kakak iparnya. Tetapi ia pun sudah tidak bertanya lagi.
Dipalingkannya wajahnya memandang perempuan tua yang duduk di sudut
ruangan. Sekali lagi ia mengangkat dagunya, kemudian hilang masuk ke
ruang dalam.
Witantra berjalan meninggalkan halaman
rumahnya. Seorang pelayannya telah membenahi dan menyediakan kuda-kuda
mereka. Dan sesaat kemudian bunyi derap telapak kuda itu pun menghilang.
Nyai Witantra dan ibu mertuanya pun
kemudian duduk bersama dengan pemomong Ken Dedes. Dengan tidak sabarnya
segera mereka bertanya, “Bibi apakah yang telah dilakukan oleh Kakang
Witantra sehingga ia terpaksa mendapat murka?”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Angger Witantra
berpijak pada rasa perikemanusiaan. Karena itulah maka ketika Angger
Witantra menerima perintah, maka terpaksa Angger Witantra tidak dapat
melakukannya.”
“Apakah perintah itu?”
Emban tua itu pun segera menceritakan apa
yang telah dilihatnya di halaman rumah Empu Purwa. Bagaimana Akuwu
Tumapel menjadi sangat marah kepada Witantra karena Witantra tidak mau
ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk itu.
“Jadi Akuwu telah menculik gadis itu?” terdengar ibu Witantra bertanya.
“Ya.”
“Oh, ampun,” desah ibu Witantra itu. Untunglah bahwa Witantra tidak mau ikut melakukannya.
Istri Witantra pun kemudian mengerutkan
keningnya. Dipandanginya emban tua itu dengan seksama. Ketika ia
mendengar cerita itu maka seluruh bulu-bulunya serasa telah tegak
berdiri.
“Ngeri,” desisnya
Tetapi kembali Ken Umang keluar dari
ruang dalam. Ditatapnya ketiga perempuan yang duduk melingkar di sudut
ruangan itu. Dengan menyesal ia berkata “Hah, ternyata Kakang Witantra
terlalu perasa. Apakah salahnya kala ia mematuhi perintah itu?”
Semuanya, ketiga perempuan itu terkejut.
Serentak mereka berpaling, dan dilihatnya Ken Umang berdiri sambil
menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
“Umang,” berkata Nyai Witantra “Jangan berkata begitu!”
“Kenapa? Bukankah dengan demikian Kakang Witantra tidak akan mendapat kesulitan?”
“Tetapi itu melanggar perikemanusiaan, Umang.”
“Itu adalah tanggung jawab Akuwu. Bukankah Kakang Witantra hanya sekedar melakukan perintah?”
“Ia bahkan harus mencegahnya?” desah ibu Witantra.
“Jadi melawan Akuwu?” bertanya Ken Umang.
Ibu Witantra itu pun terdiam. Nyai
Witantra dan pemomong Ken Dedes pun tidak berkata sesuatu. yang
terdengar kembali adalah suara Ken Umang itu, “Sekarang Kakang berada
dalam kesulitan-kesulitan. Apakah dengan demikian Akuwu menggagalkan
niatnya? Bukankah gadis itu dibawa juga ke Tumapel? Nah, kalau Kakang
Witantra ikut serta dan mematuhi perintah Akuwu, maka ia tidak akan
bersalah. Sebab dengan atau tidak dengan Kakang Witantra, perbuatan itu
telah terjadi.”
“Ken Umang,” jawab ibu Witantra “kau
benar-benar kurang dapat memahami persoalan ini. Kau seorang gadis pula
Umang, yang sebentar lagi, tidak sampai tiga tahun kau telah benar-benar
menjadi dewasa. Apakah yang akan kau katakan, seandainya peristiwa itu
menimpa dirimu?”
“Oh, aku akan berterima kasih. Kalau aku
menjadi gadis desa itu, dan diambil oleh seorang pegawai istana, maka
aku akan berterimakasih. Aku Akan bangga karenanya. Apa lagi kalau
diambil langsung oleh Akuwu sendiri meskipun menjadi seorang selir.
Alangkah senangnya. Dan aku menjadi iri hati karenanya.”
“Umang,” potong kakak perempuannya, “apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan aku ingin menjadi istri Akuwu.”
“Juga kalau kau sudah memiliki pilihan hatimu sendiri.”
“Oh. Jadi gadis itu sudah mempunyai bakal
suaminya? Seorang anak Buyut Panawijen, menurut cerita yang aku dengar
tadi dari balik dinding. Buat apa harus memberatkan anak pedesaan itu?
Bukankah lebih berbahagia hidup di kota setidak-tidaknya daripada
menjadi seorang pedesaan yang harus turun ke sawah setiap hari?”
Ibu Witantra mengerutkan keningnya,
sedang pemomong Ken Dedes menarik nafas panjang-panjang. Nyai Witantra
sendiri menundukkah wajahnya. Kata-kata itu benar-benar merupakan
sindiran yang tajam bagi dirinya. Pada masa gadisnya ia pun memiliki
idaman seperti adiknya itu. Ia ingin menjadi seorang istri dari
orang-orang yang memiliki kebanggaan di hari-hari depannya. Seorang
perwira atau. seorang yang kaya raya atau seorang perwira yang kaya
raya. Namun ketika ia telah merasakan kemesraan rumah tangga, maka
terasa beberapa perubahan di dalam jiwanya. Terasa betapa ia mencintai
suaminya lebih dari segala-galanya. Meskipun seandainya Witantra itu
kehilangan semua yang dahulu dikaguminya, dan bahkan yang mendorongnya
untuk menerima lamaran Witantra, maka Witantra baginya adalah seorang
suami yang baik. Seorang suami yang dicintai dengan sepenuh hati. Karena
itu, maka kini ia pun ikut bersedih bersama suaminya. Namun ia tidak
menyesal bahwa suaminya telah menolak perintah itu. Bagaimanakah
seandainya dirinya sendiri, tiba-tiba kini harus dipisahkan dengan paksa
dari suaminya? Mungkin dahulu ia berpikir seperti adiknya itu, Ken
Umang. Tetapi sekarang tidak. Mungkin Ken Dedes telah memiliki perasaan
cintanya yang jernih sejak mereka belum berumah tangga seperti cintanya
yang sekarang telah tumbuh di dalam dadanya kepada suaminya. Cintanya
kepada laki-laki itu. Bukan karena Witantra seorang perwira. Namun
keserasian, saling mengerti dan isi mengisi dalam hidup mereka
sehari-hari telah mengikatnya dalam hidup mereka sehari-hari telah
mengikatnya dalam suatu kesetiaan yang belum pernah dimilikinya di
masa-masa gadisnya.
Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat
suaminya itu berada di dalam kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan
yang mungkin membahayakan ketenteraman rumah tangganya itu. Ia, Nyai
Witantra itu kini sama sekali bukan seorang istri yang melihat bulan
yang selalu bersinar terang. Ternyata ia sama sekali bukan seorang
pengecut yang lari di kala kesulitan-kesulitan datang. Sifatnya yang
berkembang itu bahkan telah mendorongnya untuk ikut serta menanggung apa
saja yang akan terjadi atas suaminya. Karena itu tiba-tiba ia berkata,
“Ibu, biarlah aku pergi juga ke istana.”
“He,” ibu Witantra terkejut, “apa yang akan kau lakukan?”
“Aku mempunyai kepentingan dengan Kakang Witantra. Aku ingin melihat apa yang terjadi.”
“Jangan. Kau tidak mendapat perintah untuk menghadap. Mungkin kedatanganmu akan menambah murka Akuwu.”
“Apapun yang akan terjadi. Aku ingin melihat penyelesaian atas Kakang Witantra.”
Ken Umang tiba-tiba memandang wajah kakak
perempuannya dengan pandangan penuh penyesalan. Katanya, “Buat apa
sebenarnya kau pergi ke sana?”
“Ken Umang. Aku sekarang berpendapat lain
daripada masa-masa kanak-kanakku. Aku tidak dapat menerima pikiranmu.
Mungkin kau akan mengatakan kepadaku, bahwa biar saja apa yang terjadi
dengan Kakang Witantra. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku masih
muda. Masih mungkin untuk mendapatkan suami yang lebih baik dari Kakang
Witantra. Begitu? Sekarang biarlah Kakang Witantra menerima hukuman atas
kesalahannya? Umang, mungkin aku dahulu akan berkata begitu. Tetapi
sekarang tidak Umang. Karena itu aku akan pergi.”
“Jangan Nyai,” cegah ibu Witantra, “para penjaga tidak akan mengizinkan kau masuk ke regol dalam halaman istana.”
“Aku istri Kakang Witantra. Para penjaga
mengenal siapa aku. Dan karenanya mereka akan mengizinkan aku masuk.
Sudah beberapa kali aku masuk ke istana. Akuwu sering benar minta aku
masak untuknya.”
“Ya. Tetapi sekarang suamimu sedang dalam persoalan.”
“Justru karena itu ibu. Biarlah aku pergi.”
Ken Umang menjadi semakin heran. Ia tidak
dapat mengerti apa yang akan dilakukan oleh kakak perempuannya.
Meskipun tuduhan kakaknya atas pikirannya itu terlampau jauh, namun ia
tidak membantahnya, sebab sebagian adalah benar. Namun kemudian ia
berkata, “Urusan itu sebenarnya bukan urusanmu. Tunggulah di rumah. Aku
tidak menganjurkan kau berkhianat atas suamimu. Namun jangan
mengorbankan dirimu tanpa arti.”
“Umang,” wajah Nyai Witantra menjadi
merah. Ia menjadi sedemikian marahnya kepada adiknya itu. Tetapi ibu
Witantra segera berkata tenang kepadanya, “Biarkan adikmu itu. Ia adalah
seorang gadis yang sedang berkembang. Angan-angannya akan jauh terbang
melampaui setiap kenyataan yang dihadapinya. Itulah sebabnya maka kadang
gadis yang seumur itu kehilangan keseimbangan.”
“Ah,” desah Ken Umang. Namun ia tidak
berani berbantah dengan ibu iparnya. Namun hatinya berteriak lantang,
“Ah, orang tua-tua selalu menganggap anak-anak muda sebagai seorang yang
sedang menempuh masa pancaroba. Mereka menganggap bahwa kami anak-anak
muda selalu tidak waras. Tetapi mereka sendiri telah menenggelamkan
dirinya dalam wawasan yang usang.”
Namun ternyata bahwa istri Witantra itu
keras hati untuk pergi ke istana . Ia menjadi gelisah benar apabila
dikenangnya kata-kata suaminya dan cerita perempuan tua yang dibawa
suaminya dari Panawijen. Karena itu maka akhirnya ia tidak dapat
ditahan-tahan lagi.
“Kalau kau bersikeras untuk pergi Ngger. Hati-hatilah.”
“Ya, Ibu. Aku akan berusaha untuk menjaga diriku dan mengetahui apa yang akan terjadi dengan Kakang Witantra.
“Nyai,” tiba-tiba perempuan tua yang
sejak tadi berdiam diri mendengarkan setiap pembicaraan itu berkata,
“apakah aku diizinkan untuk turut serta masuk ke dalam istana?”
Nyai Witantra dan ibunya terkejut
mendengar permintaan itu. Sehingga karena itu mereka bertanya, “Untuk
apa Bibi ikut masuk ke dalam istana.”
“Ken Dedes adalah momonganku. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan gadis itu.”
“Apakah gadis itu dibawa ke istana?”
Pemomong Ken Dedes menjadi bingung. Ia
tidak tahu ke mana Ken Dedes dibawa. Tetapi Nyai Witantra itulah yang
menjawab, “Ya. Mungkin di istana kau akan mendengar, ke mana gadis itu
dibawa. Karena itu, marilah, biarlah Bibi ikut dengan aku.”
Kedua Perempuan itu pun kemudian turun ke halaman dan dalam keremangan ujung malam, mereka berjalan ke istana Akuwu Tumapel.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Ken
Arok pun telah sampai pula di istana. Di halaman luar mereka menambatkan
kuda-kuda mereka. Dengan berjalan kaki memasuki halaman dalam istana
Tunggul Ametung.
Dada Witantra dan Ken Arok pun menjadi
berdebar-debar. Di regol mereka melihat beberapa orang prajurit
berjaga-jaga. Ketika mereka melihat Witantra lewat di hadapan mereka,
segera mereka membungkukkan badan mereka memberikan hormat.
Dengan langkah yang ragu Witantra
kemudian naik ke ruang belakang. Mereka menunggu sesaat sehingga
dilihatnya seorang emban lewat di samping mereka. Perlahan-lahan
dipanggilnya emban itu dan dengan perlahan-lahan pula Witantra bertanya,
“Apakah Akuwu sudah siap menerima kedatanganku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu memandangi Witantra dengan herannya. Kemudian katanya, “Apakah Akuwu akan mengadakan pertemuan malam ini?”
Witantra mengerutkan keningnya, katanya, “Di mana Akuwu sekarang?”
“Di dalam biliknya,” sahut emban itu.
“Jangan asal menjawab saja, Akuwu memanggil aku dan Adi Ken Arok.”
Emban itu menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Siapakah pelayan dalam yang sedang bertugas hari ini?” bertanya Ken Arok.
Emban itu menggeleng, “Aku belum tahu namanya.”
“Tolong. Panggilkan sebentar kemari.”
Emban itu memandang Witantra dengan penuh
keheranan. Ia tidak mendapat perintah untuk membersihkan ruang
pertemuan kecil di dalam istana di saat-saat khusus. Dan ternyata Akuwu
pun tidak berada di ruang palenggahan. Tetapi sejak mandi, Akuwu
langsung masuk kembali ke dalam biliknya. Sehingga para pelayan yang
menunggu perintahnya menjadi bingung. Sebab bukanlah kebiasaan Akuwu
berbuat demikian.
Sesaat kemudian datanglah seorang pelayan
dalam mendekati Witantra. Dengan hormatnya ia membungkukkan ke palanya
sambil bertanya, “Adakah sesuatu yang dapat aku kerjakan, Kakang
Witantra.”
“Kami berdua dipanggil Akuwu.”
“Oh,” sahut orang itu, “marilah silakan
masuk. Tetapi Akuwu tampaknya tidak sedang menunggu seseorang Bahkan
Akuwu agaknya menjadi sangat lelah sehabis berburu sehari ini.”
“Terima kasih,” Witantra tidak menunggu
lebih lama. Langsung ia masuk ke ruang dalam istana dan duduk di ruang
dalam, yang biasa dipakai oleh Akuwu untuk mengadakan
pertemuan-pertemuan khusus.
Tetapi Witantra benar-benar menjadi heran. Ruangan itu masih terlalu gelap dan tidak sehelai tikar pun yang telah terbentang.
Bahkan batu hitam, yang biasa dipakai duduk Akuwu pun masih dikerukup dengan sebuah kain putih.
“Aku tidak tahu, apakah yang terjadi dengan Akuwu,” desis Witantra.
“Akuwu telah berbuat di luar sadarnya,” sahut Ken Arok, “hari ini Akuwu benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan.”
Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ternyata bukan Akuwu saja. Kita semua telah menjadi bingung pula karenanya.”
“Itu adalah akibat perbuatan Akuwu
Tunggul Ametung. Kalau kita bersama-sama ini merupakan tubuh dari seekor
ular, maka Akuwu adalah kepala ular itu. Apabila kepalanya menjadi
bingung, maka seluruh tubuhnya akan kebingungan pula.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya pendek.
Mereka pun kemudian terdiam. Namun di
dalam kepala mereka seakan-akan terdapat sebuah baling-baling yang
berputar. Bingung. Mereka tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi dan
akan terjadi. Mereka semula menyangka, bahwa mereka akan datang ke
istana dan akan ditemuinya para prajurit telah bersiap di setiap sudut
halaman dan ruangan. Mereka menyangka bahwa Akuwu telah siap pula
menunggu mereka dengan murkanya dan langsung memerintahkan menangkap
mereka. Tetapi yang mereka jumpai adalah ruangan yang kosong, gelap dan
benar-benar membingungkannya. Para pengawal pun tidak lebih dari para
pengawal yang biasa bertugas di tempat masing-masing.
Ketika mereka menunggu beberapa lama,
Akuwu masih belum juga keluar ke ruangan itu, dan bahkan pelita yang
menyala itu pun tidak ditambah, maka Witantra akhirnya tidak sabar lagi.
Kemudian ia berdiri dan memanggil seorang juru panebah. Katanya,
“Sampaikanlah kepada Akuwu, bahwa Witantra dan Ken Arok telah siap
menghadap di balai dalam.”
Juru panebah itu menjadi bingung. Jawabnya, “Akuwu sedang tidur. Apakah tuan berdua tidak saja menghadap besok pagi?”
“Jangan ribut! Sampaikan kepada Akuwu. Akuwu memanggil kami berdua.”
Panebah itu mengangguk hormat, kemudian
tanpa berkata sepatah kata pun ia berjalan ke bilik Akuwu. Tetapi sampai
di muka pintu ia sama sekali tidak berani masuk ke dalamnya. Hilir
mudik ia berjalan. Mudah-mudahan Akuwu mendengarnya dan memanggilnya.
Dan ternyata harapannya itu benar-benar terjadi. Dengan suara serak
terdengar Akuwu bertanya, “He, siapa itu?”
“Hamba Tuanku,” sahut juru panebah itu.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu dan kemudian duduk bersila di luar tirai.
“Ada apa?” bertanya Tunggul Ametung.
“Ada yang ingin menghadap Tuanku.”
“He? Gila. Suruh dia pergi. Cepat! Aku
tidak mau menerima seorang pun. Apa disangkanya besok sudah akan
kiamat?” teriak Tunggul Ametung itu.
Juru panebah itu menjadi ragu-ragu. Namun
dengan tergagap ia berkata, “Ampun Tuanku. Menurut mereka, ternyata
mereka telah Tuanku panggil menghadap.”
“He?” suara Akuwu itu pun menjadi lunak, “Siapa mereka?”
“Tuan Witantra dan Ken Arok.”
“Oh. Ya. Ya. Hampir aku lupa. Aku memang telah memanggil mereka itu,” sahut Tunggul Ametung.
Juru panebah itu menarik nafas lega. Ia
surut ke belakang ketika didengarnya Akuwu bangkit dari pembaringannya
dan berjalan keluar.
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya Akuwu itu.
Juru panebah itu menyembah. Jawabnya “Di balai paseban dalam, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keningnya kemudian berkerut,
“Apakah tempat itu sudah kau sediakan?”
“Belum Tuanku. Hamba belum menerima perintah Tuanku.”
Akuwu itu pun berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Panggil mereka kemari! Aku akan menerima mereka di ruang dalam.”
Panebah itu menjadi heran. Adalah bukan
kebiasaan akuwu menerima seseorang di ruang itu. Tetapi ia tidak berani
bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berkisar, dan setelah menyembah, maka
segera ia pergi ke balai dalam untuk memanggil Witantra dan Ken Arok ke
ruangan di muka bilik Akuwu itu.”
Witantra dan Ken Arok pun menjadi heran.
Kembali mereka menjadi curiga. Apakah di ruangan itu telah bersedia
beberapa orang prajurit yang akan menangkap mereka? Tetapi mereka tidak
dapat berbuat lain daripada datang menghadap Akuwu.
Kembali mereka terkejut, ketika ruangan
itu benar-benar kosong. Tak seorang pun yang dilihatnya berada di tempat
itu. Karena itu maka segera mereka pun pergi ke sudut ruangan dan duduk
di atas sehelai tikar yang telah direntangkan.
Sesaat kemudian mereka mendengar suara
akuwu terbatuk-batuk. Dan kemudian mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung
keluar dari dalam biliknya.
Witantra dan Ken Arok segera menundukkan wajah mereka dengan hormat menyembah akuwunya.
“Apakah kalian telah lama menunggu?” bertanya akuwu itu.
“Belum Tuanku,” sahut Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung berjalan
perlahan-lahan mendekati mereka, dan di luar dugaan Witantra dan Ken
Arok, maka Akuwu itu duduk di tikar yang sehelai itu pula.
Witantra dan Ken Arok menjadi bingung. Mereka segera beringsut ke belakang sehingga mereka tidak lagi duduk di atas tikar itu.
“Jangan menjadi segan. Duduklah sebaik-baiknya.”
“Tetapi …”
“Tidak apa-apa,” potong Tunggul Ametung.
Witantra dan Ken Arok benar-benar menjadi
heran melihat sikap akuwu itu. Demikian juga juru penebah yang duduk di
kejauhan, di tangga ruangan itu untuk menunggu perintah akuwu. Tetapi
juru panebah itu tiba-tiba terkejut ketika akuwu itu berteriak “Pergi!
Pergi! Kau mau apa duduk di situ?”
Juru panebah itu menjadi semakin heran.
Meskipun demikian ia pergi juga. Ia tidak tahu, kenapa ia harus pergi,
sebab setiap hari ia sendiri atau kawannya yang sedang bertugas, selalu
duduk di tangga itu untuk menanti perintah akuwu setiap saat. Namun ia
tidak mau memikirkan lagi. Dengan lesu ia melangkah ke sudut istana.
Dua orang pelayan dalam yang bertugas di tempat itu segera bertanya, “He, kenapa kau datang kemari?”
Juru panebah itu kemudian duduk pula di
antara mereka sambil bersungut-sungut, “Akuwu sedang menjadi bingung Aku
diusirnya dari tempat itu.”
“Dari mana?”
“Dari tangga ruang dalam.”
Kedua pelayan dalam itu tertawa, “Apakah kau tidak dapat mencari tangga yang lain, dan duduk di sana?”
Juru panebah itu memandang kedua pelayan
dalam itu dengan wajah yang gelap. Jawabnya, “Kau sangka hidupku hanya
berurusan dengan tangga-tangga saja?”
Kembali kedua pelayan dalam itu tertawa. Tetapi mereka tidak mau mengganggu juru panebah itu lagi.
Di ruangan dalam, di hadapan bilik Akuwu
Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok duduk bersila sambil menundukkan
wajah mereka dalam-dalam. Akuwu Tunggul Ametung sendiri duduk beberapa
jengkal saja di hadapan mereka.
“Witantra,” berkata Tunggul Ametung itu kemudian, “kenapa kau tadi siang tidak mau melakukan perintahku?”
Witantra menjadi berdebar-debar. Ia sudah
menyangka bahwa ia akan menerima pertanyaan itu. Namun ia tidak
menyangka bahwa nada pertanyaan itu sedemikian lunaknya. Disangkanya
Akuwu Tunggul Ametung akan membentaknya dan menuding hidungnya sambil
memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkapnya.
Kini ia harus menjawab pertanyaan itu.
Dan ia tidak dapat berkata melingkar-lingkar. Ia harus mengemukakan
alasan sebenarnya. Kenapa ia tidak dapat turut saja melakukan penculikan
itu. Maka katanya kemudian, “Tuanku. Hamba tidak sampai hati untuk ikut
serta berbuat sedemikian terhadap seorang gadis.”
“Kenapa?”
“Tuanku. Bukankah dengan demikian berarti
bahwa kita sudah tidak lagi menghargai sesama? Dan bukankah dengan
demikian kita sudah merusakkan kemanusiaan?”
“Tetapi, bukankah menjadi kewajibanmu untuk melakukan setiap perintahku?”
“Hamba Tuanku. Hamba dihadapkan pada
kewajiban yang bertentangan dengan perasaan hamba. Dan bukankah hamba
juga mempunyai kewajiban yang lain? Kewajiban untuk menegakkan
kemanusiaan dan melindungi sesama? Tuanku. Hari ini hamba benar-benar
merasa bahwa hidup hama benar-benar tak berarti.”
“Kenapa?”
“Hamba sama sekali tidak dapat melakukan
kewajiban hamba keduanya. Tidak dapat melakukan kewajiban hamba sebagai
seorang prajurit, karena hamba tidak melakukan perintah Akuwu, namun
hamba juga tidak dapat melakukan kewajiban kemanusiaan itu.”
Akuwu tidak segera menyahut. Direnungkannya kata-kata Witantra itu dan dicernakannya di dalam hatinya.
Ruangan itu sesaat menjadi sepi. Akuwu
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalannya, sedang Witantra dan Ken
Arok menundukkan wajahnya, menatap anyaman tikar pandan yang
bersilang-silang.
Tunggul Ametung mencoba sebali lagi
membayangkan apa saja yang sudah terjadi hari itu atasnya. Pagi-pagi
Kuda Sempana datang menghadap kepadanya. Memberitahukan bahwa ia tidak
sependapat apabila mereka pergi berburu ke barat. Sebab ia tidak berani
melewati padukuhan Panawijen setelah hatinya dilukai oleh Empu Purwa,
ayah Ken Dedes. Kuda Sempana ditolak karena ia seorang pelayan dalam.
Bukan karena ia seorang pelayan dalam, tetapi karena pelayan dalam
seorang akuwu saja.
“Hem,” Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Ia telah dengan tergesa-gesa menelan saja kata-kata Kuda
Sempana itu. Tetapi apakah yang dilihatnya di Panawijen sama sekali
bukannya seperti yang dikatakan oleh Kuda Sempana. Bukan seperti yang
dikatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin lagi memiliki gadis itu.
Bukankah Ken Dedes hanya seorang gadis desa saja? Tetapi yang dilihat
oleh Akuwu adalah, gadis itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran
Kuda Sempana. Dan bahwa seorang anak muda telah mempertahankan dengan
sekuat tenaganya meskipun di hadapannya berdiri beberapa orang prajurit
yang melingkari mereka. Bukan itu saja. Di sepanjang jalan pulang pun
mereka bertemu dengan seorang anak muda pula, yang menurut Kuda Sempana
adalah kakak gadis itu.
Gambaran-gambaran itu hilir mudik kembali
di dalam kepala. Dicobanya untuk mencari kesimpulan, apakah Kuda
Sempana berkata sebenarnya, atau telah menjebaknya dalam tindak
kekerasan yang memalukan.
Akuwu itu pun kemudian menarik nafasnya dan berkata “Ken Arok, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang terjadi itu?”
“Hamba menyesal Tuanku.”
“Apakah yang kau sesalkan?”
“Bahwa peristiwa itu telah terjadi.”
Akuwu mengernyitkan alisnya. Kemudian
kepada Witantra dan Ken Arok itu diceritakan olehnya, apa yang
didengarnya dari Kuda Sempana dan apa yang telah mendorongnya untuk
melakukan perbuatan itu.
Witantra menggigit bibirnya untuk menahan
gejolak hatinya sedang Ken Arok tergeser surut. Diangkatnya wajahnya
dan ditatapnya wajah Akuwu sesaat. Namun kembali Ken Arok menundukkan
wajahnya. Terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan dengan tiba-tiba
saja ia merasa menjadi semakin kecewa terhadap Tunggul Ametung. Akuwu
itu benar-benar seorang yang aneh. Sekarang semuanya telah terjadi.
Setiap orang di Panawijen dan seterusnya setiap orang di Tumapel akan
menyebut namanya sebagai seorang yang telah merusakkan hidup sepasang
anak muda dan melukai hati segenap penduduk Panawijen.
Tetapi Tunggul Ametung itu pun ternyata
menyesal pula di dalam hatinya. Disesalinya pula wataknya yang agak
terlalu tergesa-gesa menentukan suatu sikap. Ia dapat berbuat demikian
di dalam istananya tanpa akibat yang dapat mencelakakan orang lain. Ia
dapat berbuat demikian untuk hal-hal yang kecil. Tetapi untuk hal yang
penting seperti peristiwa ini adalah benar-benar menyesatkan.
Dengan suara parau maka Akuwu itu berkata, “Witantra dan Ken Arok. Bagaimanakah pendapatmu tentang gadis itu?”
Mereka menggelengkan kepala mereka. Dan Witantra menjawab, “Apakah yang akan Tuanku perbuat?”
Akuwu memandang Witantra dengan tajamnya.
Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Sekali-kali dipandanginya tubuh
Witantra yang tegap kuat. Seorang prajurit yang mengagumkan. Seorang
prajurit yang baik, yang tidak pernah mengabaikan tugasnya. Namun ia
terpaksa menolak perintahnya, karena ia tidak dapat dipaksa untuk
mengkhianati kemanusiaan. Tetapi sebagaimana dikatakannya sendiri ia
telah gagal melakukan kewajibannya. Kewajibannya sebagai seorang
prajurit dan kewajiban kemanusiaan.
Sedang di sampingnya duduk seorang
pelayan dalam yang belum lama berada di dalam istana. Namun orang itu
benar telah mengejutkan akuwu. Ketika dilihatnya ia bertempur melawan
Mahisa Agni, maka tampaklah betapa ia mampu berbuat sebagai seorang
prajurit yang baik. Melampaui Kuda Sempana. Bahkan tangannya telah
membunuh seorang prajurit dengan sebuah pukulan. Meskipun mula-mula Ken
Arek tidak melawan perintahnya, bahkan mencoba melakukannya namun
ternyata bahwa desakan hatinya telah membuatnya berbuat sebaliknya.
Bahkan telah dibunuhnya seorang prajurit di hadapannya. Di hadapan
seorang akuwu.
Tetapi Mahisa Agni itu pun telah menarik
perhatiannya. Ia adalah seorang anak pedesaan. Namun memilik caranya
berkelahi, maka ia bukanlah anak pedesaan kebanyakan.
Dalam berbagai perasaan dan angan-angan
itu, maka terluncurlah kata-kata Akuwu, “Witantra, apakah kau melihat
seseorang yang telah dilukai Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Witantra pendek.
“Siapakah dia?”
“Anak muda itulah bakal suami Ken Dedes.”
Akuwu Tumapel menganggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Besok panggillah dia kemari!”
Witantra dan Ken Arok mengangkat wajahnya
bersama-sama. Mereka saling berpandangan dan di dalam hati mereka
terdengarlah sebuah pertanyaan, “Apakah Akuwu belum tahu bahwa anak muda
itu telah mati?”
Akuwu memandang kedua orang itu dengan heran. Karena itu maka katanya, “Kenapa?”
“Tuanku,” jawab Witantra dengan nada yang
rendah, “anak muda bakal suami Ken Dedes yang bernama Wiraprana, putra
Buyut Panawijen itu telah meninggal dunia.”
“He?” akuwu ternyata terkejut mendengar berita itu, “Jadi anak itu mati?”
Witantra menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, Tuanku. Anak itu mati.”
“Jadi Kuda Sempana telah membunuhnya?”
“Ya.”
“Setan Kuda Sempana itu!” desis Akuwu Tunggul Ametung.
“Tetapi ia sendiri pasti tidak akan berani berbuat begitu Tuanku.”
“Oh,” Tunggul Ametung menundukkan
wajahnya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Ya. Aku tahu maksudmu.
Bukankah kau ingin mengatakan bahwa kesalahan itu terletak padaku.
Bukankah aku telah melindunginya untuk melakukan kejahatan itu.”
Witantra dan Ken Arok tidak menyahut.
Sesaat mereka berdiam diri, dan dibiarkan Akuwu Tunggul Ametung
tenggelam dalam penyesalan.
Kemudian terdengar Akuwu itu berkata,
“Witantra dan Ken Arok. Aku maafkan segala kesalahanmu. Aku lupakan
katakku dan ancamanku. Meskipun telah terucapkan oleh seorang akuwu
untuk menghukum kau Witantra, namun ucapan itu meluncur dalam
ketidakwajaran ingatanku.”
Witantra dan Ken Arok menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menjawab “Terima kasih Tuanku.”
Namun di dalam hati mereka tebersitlah suatu pertanyaan “Bagaimanakah kalau hukuman itu telah terlanjur jatuh atas Witantra?”
“Dan sekarang Witantra, apakah yang harus aku lakukan atas Kuda Sempana?”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Tuanku, semua ini adalah akibat dari kelicikannya, sehingga
Akuwu Tunggul Ametung terseret dalam perbuatan tercela. Karena itu, maka
hukuman yang diberikan kepadanya adalah hukuman yang harus sesuai
dengan perbuatannya. Karena perbuatannya pula maka sebuah jiwa yang
melayang, dan sebuah hati telah pecah berkeping-keping. Apakah yang
dapat ditemukan kembali dalam hidup seorang gadis seperti Ken Dedes
itu?”
“Ya. ya,” jawab Tunggul Ametung
terbata-bata, “Aku sependapat. Tetapi Witantra. Aku adalah seorang
Akuwu. Sudah tentu aku tidak dapat menjilat ludah kembali tanpa alasan.
Aku telah menyetujui, bahkan mengantar Kuda Sempana sendiri mengambil
gadis itu ke Panawijen. Sekarang, apakah aku dapat menghukum Kuda
Sempana karena perbuatannya itu. Bukankah dengan demikian hukuman itu
pun pantas jatuh atasku pula?”
Witantra dan Ken Arok
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata akuwu itu dapat dimengertinya.
Apakah dengan demikian, maka orang akan semakin menjadi kecewa atas
perbuatan-perbuatan akuwu yang seakan-akan sama sekali tidak bertanggung
jawab. Namun sudah tentu bahwa mereka tidak akan membiarkan Kuda
Sempana mengambil Ken Dedes. Sebab dengan demikian mereka akan
membiarkan sebuah kebiadaban berlangsung. Bukankah dengan demikian maka
Ken Dedes akan menjadi bertambah parah. Dan bukankah Ken Dedes akan
kehilangan segala-galanya. Bahkan tubuhnya sendiri seakan-akan tak
dimilikinya, karena tubuhnya itu harus diserahkannya kepada Kuda Sempana
tanpa kehendaknya.
Ruangan itu menjadi sepi sesaat. Masing-masing mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya ditempuh.
Angin malam di luar istana terdengar
gemeresik mengusap dinding dan dedaunan. Di kejauhan terdengar jangkrik
memekik-mekik seolah-olah memanggil-manggil. Sekali-kali angin yang
kencang menolak daun-daun pintu yang sudah terkatup.
Dalam keheningan itu kemudian terdengar
suara Witantra, “Tuanku. Hukuman yang pertama yang harus dijatuhkan
kepada Kuda Sempana adalah melepaskan Ken Dedes dari tangannya.”
“Ya. ya,” sahut Akuwu Tumapel, “Aku
sependapat. Tetapi kepada siapa gadis itu harus di serahkan. Ia telah
kehilangan seseorang yang akan dapat dijadikannya pegangan buat
masa-masa depannya. Bakal suaminya itu telah mati.”
“Bukankah ia masih mempunyai ayah dan ibu?” bertanya Ken Arok.
Witantra menggeleng. Katanya, “Dari Mahisa Agni aku pernah mendengar, bahwa gadis itu tidak beribu lagi.”
“Oh,” sahut Ken Arok, “kalau demikian kepada ayahnya.”
“Ayahnya adalah seorang pendeta,” berkata Witantra.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba terbayanglah kembali wajah gadis itu. Putih pucat
dan ketakutan, sehingga tiba-tiba ia menjadi pingsan. Terbayang kembali
betapa lekuk-lekuk di wajahnya telah memahatkan sebuah bentuk yang
seindah-indahnya yang pernah dilihatnya. Dan betapa ia terpesona oleh
cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis itu. Namun cahaya itu
sama sekali tidak pernah dapat dipandangnya. Cahaya itu seakan-akan
lenyap apabila ia berusaha melihatnya.
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian? Mengembalikan gadis itu? Atau apa?
Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi pening.
Dan karena itu ia berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang
sebaiknya aku lakukan. Tetapi gadis itu pasti tidak akan aku serahkan
kepada Kuda Sempana.”
Namun kemudian perlahan-lahan Akuwu Tumapel itu berkata, “Tetapi apakah alasanku?”
“Tuanku,” berbisik Witantra kemudian,
“Kuda Sempana mengambil gadis itu dengan kekerasan. Sehingga menuntut
penilaiannya, maka kekerasan akan menentukan segalanya atas gadis itu.
Karena itu, maka harus terpancang pula di dalam dadanya, bahwa ia harus
dapat mempertahankan gadis itu. Itu pula atas kekerasan.”
“Maksudmu?” bertanya Tunggul Ametung cepat-cepat.
“Ken Dedes akan aku ambil dengan kekerasan.”
“He?” Akuwu itu pun terbelalak, “bagaimana dengan istrimu?”
Witantra tersenyum, “Bukan untuk aku
sendiri. Istriku tidak kalah cantiknya dari gadis itu. Tetapi barangkali
aku akan dapat membuat alasan lain.”
Ken Arok menarik alisnya tinggi-tinggi.
Ia belum melihat gadis itu dengan jelas. Ia baru melihat Ken Dedes
sepintas, dalam kekisruhan yang tidak menentu. Karena itu ia belum dapat
menilai kecantikannya. Namun tak diingkarinya bahwa gadis itu memang
cantik sekali.
Dalam pada itu Witantra berkata pula,
“Akuwu. Ternyata apa yang terjadi telah menghancurkan hari depan gadis
itu. Karena itu maka sebaiknya Akuwu mempertimbangkan, apakah Akuwu
dapat berbuat sesuatu yang dapat sedikit menghiburnya buat masa yang
akan datang.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangkat
wajahnya. Tiba-tiba nafasnya menjadi berangsur cepat dan keringatnya
mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya. Dengan nada yang rendah
dan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana maksudmu Witantra?”
“Maksudku Akuwu, apabila mungkin maka
Akuwu akan dapat memberi sedikit hiburan kepada gadis itu. Kalau
dikehendaki oleh gadis itu, biarlah Akuwu mengambilnya menjadi menantu.
Akuwu dapat memandang salah seorang hamba Akuwu yang dapat Akuwu
timbang, sesuai dengan gadis itu. Sudah tentu atas kerelaan Ken Dedes
sendiri. Dengan demikian maka apabila Akuwu berhasil, maka sedikit
banyak Akuwu akan dapat meringankan penderitaannya meskipun tidak akan
dapat ganti seperti yang hilang itu baginya. Dalam hal ini biarlah Ken
Dedes memilih sendiri atas orang-orang yang Akuwu tunjukkan kepadanya.
Mungkin dengan demikian maka penderitaan hatinya akan dapat diringankan,
karena bakal suaminya terbunuh oleh Kuda Sempana itu.”
“Kalau demikian Witantra, dalam waktu
yang pendek kau masih belum menemukan alasan untuk itu. Untuk
mengambilnya dengan kekerasan. Sedang dalam waktu yang singkat Kuda
Sempana pasti sudah akan datang mengambilnya. Mungkin besok, lusa atau
bahkan nanti malam.”
“Bukan soal yang sulit bagi Akuwu. Biarlah Akuwu memerintahkan kepadanya, supaya gadis itu tetap di istana.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Alasan itu
akan dapat dikemukakan. Tetapi harus dicarinya seorang laki-laki yang
berkenan d hati Ken Dedes. Baru Witantra akan merebut gadis itu atas
namanya.
Akuwu itu menggelengkan kepalanya,
“Terlalu lama Witantra. Terlalu lama. Belum pasti nama itu akan
disetujui oleh Ken Dedes. Baru setelah mendapat nama yang tepat dan
disetujui oleh gadis itu kau berbuat untuknya.”
Witantra tidak menjawab. Tetapi ia
memandang Ken Arok dengan sudut matanya. Kalau Ken Arok mau menyebut
dirinya, bahkan mau berbuat untuk dirinya, maka dalam takaran Witantra
maka Ken Arok pun memiliki kemampuan yang dahsyat. Sebab dengan
tangannya ia mampu membunuh seorang prajuritnya dalam satu ayuna n.
Ken Arok masih saja menundukkan wajahnya.
Ia tidak berani berkata apapun juga, sebab ia pun belum juga beristri.
Kalau Akuwu nanti menunjuknya maka akan kisruhlah hatinya. Ia sama
sekali belum ingin berumah tangga mengingat keadaan dirinya dan hidupnya
yang baru saja dibinanya. Ketika terasa olehnya Witantra dan Akuwu
Tunggul Ametung memandanginya, maka Ken Arok segera menunduk
dalam-dalam.
Dalam pada itu tiba-tiba Witantra berkata
“Akuwu sekarang biarlah aku berbuat untuk siapa saja. Apabila ternyata
nanti Ken Dedes tidak bersedia maka biarlah Ken Dedes menentukan
nasibnya sendiri, tetapi ia sudah bukan milik Kuda Sempana lagi.”
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Sekehendakmulah Witantra. Asal gadis itu dapat kau
bebaskan dari Kuda Sempana dengan alasan yang dapat dimengerti oleh
beberapa orang yang mengetahui persoalannya, terutama para prajurit yang
ikut serta ke Panawijen pada saat Kuda Sempana mengambilnya.”
“Baik Tuanku,” wajah Witantra itu menjadi
merah karena perasaan yang aneh di dalam dadanya. Meskipun gadis itu
bukan sanak bukan kadang, tetapi ia merasa bahagia apa bila ia akan
dapat melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Ia sudah sedikit mendengar
apa saja yang pernah dilakukan Kuda Sempana atas Ken Dedes dari Mahisa
Agni, yang dahulu disangkanya Wiraprana. Dalam pada itu Witantra
meneruskan, “Mungkin akan dapat meminjam nama Adi Ken Arok. Bukankah Adi
masih belum berkeluarga pula?”
“Jangan. Jangan,” seperti disengat lebah Ken Arok menolak, “Jangan Kakang.”
“Tidak. Adi tidak harus bersungguh-sungguh.”
“Aku takut.”
Witantra memandang Ken Arok itu
tajam-tajam. Kenapa ia takut? Tetapi Witantra kemudian tersenyum.
Disangkanya Ken Arok takut apabila namanya dihubungkan dengan seorang
gadis, dan apabila pada saat yang dekat ia benar-benar harus berumah
tangga. Karena itu Witantra menjelaskan, “Adi tidak perlu takut untuk
melaksanakannya. Aku hanya akan berkata kepada Kuda Sempana. Atas nama
Adi Ken Arok yang juga menginginkan gadis itu, maka aku rebut Ken Dedes
dengan kekerasan, seperti pada saat Kuda Sempana mengambilnya. Tetapi
kemudian bukankah dapat diumumkan pula, misalnya, karena Ken Dedes tidak
bersedia kawin dengan Ken Arok, maka gadis itu dikembalikan ke rumahnya
kepada kakak dan ayahnya.”
“Jangan. Jangan hubungkan namaku dengan gadis itu.”
Sekali lagi Witantra tersenyum. Tetapi ia
tidak melihat, apakah sebenarnya yang bergolak di hati Ken Arok. Setiap
ia mendengar nama seorang gadis, maka dadanya menjadi berdebar-debar.
Ia merasa dikejar-kejar oleh kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Sebagai hantu di padang-padang rumput dan di hutan-hutan. Bahkan di mana
saja daerah-daerah yang pernah dijelajahi, maka ia telah berbuat
hal-hal yang mengerikan atas gadis-gadis yang ditemuinya. Karena itulah,
maka setiap kali ia mengingatnya, maka setiap kali ia menjadi
ketakutan. Apalagi ketika ia melihat bagaimana Kuda Sempana melarikan
gadis Panawijen itu. Maka hampir kepercayaannya kepada semua orang
menjadi pudar. Apa yang dilakukan Kuda Sempana mirip dengan apa yang
pernah dilakukan. Namun caranyalah yang berbeda. Cara yang ditempuh
adalah cara hantu ladang dan padang.
Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu
benar-benar mengejutkan Witantra dan Ken Arok. Sehingga dengan
serta-merta Witantra berkata, “Jangan Tuanku. Adalah kurang baik apa
bila Akuwu sendiri yang akan mengambilnya. Meskipun hanya sekedar untuk
menyingkirkan Kuda Sempana. Gadis itu adalah gadis pedesaan, dan kurang
sepantasnyalah apabila nama Akuwu dihubungkan dengan namanya.”
“Biarlah. Biarlah kau pakai namaku. Aku
telah merusakkan masa depan gadis itu. Seandainya dengan demikian namaku
menjadi susut, bukankah itu hukuman yang harus aku alami karena
perbuatan yang terkutuk itu. Biarlah orang menyangka bahwa Tunggul
Ametung telah menculik gadis dari padukuhan Panawijen. Biarlah orang
yang tidak melihat dan mengetahui apa yang terjadi menuduhku berbuat
demikian. Adalah lebih baik bagiku daripada aku telah melindungi orang
untuk menculik seorang tanpa pertimbangan. Kalau orang menyebutkan
langsung menculik gadis itu, maka orang akan mengutukku sebagai seorang
laki-laki yang tidak berperasaan dan sebagai seorang Akuwu yang
sewenang-wenang. Namun adalah menjadi tanggung jawabku pula apabila
seseorang berkata, Kuda Sempana telah menculik seorang gadis atas
perlindungan Akuwu.”
“Adalah lebih baik, apabila aku berbuat
sewenang-wenang karena terdorong oleh kebutuhanku sendiri. Kebutuhan
hidup seorang Akuwu, daripada aku berbuat hal yang sama, sewenang-wenang
untuk melindungi orang-orangku. Dengan menyebut bahwa Ken Dedes telah
aku perlukan sendiri, adalah memperkuat alasanku untuk berbuat
sewenang-wenang. Adalah lebih mungkin aku lakukan daripada sekedar
melindungi Kuda Sempana.”
Witantra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar kebingungan oleh
kejaran penyesalannya. Sehingga karena itu maka Witantra berkata,
“Tuanku, alasan itu hanya diberikan kepada Kuda Sempana. Tidak kepada
siapa pun juga. Sehingga apa yang terjadi kemudian hanyalah Kuda Sempana
yang akan tahu.”
“Tidak. Tidak,” berkata Akuwu itu
lantang, “tidak hanya untuk Kuda Sempana. Besok semua orang Tumapel
harus tahu, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah merampas seorang gadis
putri seorang pendeta di Panawijen, karena Akuwu jatuh cinta kepada
gadis itu. Biarlah semua orang mengutukku, dan biarlah semua orang
membenci aku.”
“Akuwu,” potong Witantra.
“Perintah! Kau dengar?” teriak Akuwu Tunggul Ametung, “Ini perintahku. Apakah kau akan mengingkari perintahku lagi?”
Witantra dan Ken Arok mengusap dadanya.
Apabila sudah demikian maka Akuwu telah kehilangan nalarnya yang bening.
Sulitlah untuk mencoba memperbincangkan suatu keputusan. Karena itu,
maka mereka hanya dapat berdiam diri. Persoalan itu telah bergeser dari
maksud Witantra semula. Namun Witantra dapat juga mengerti jalan pikiran
Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu akan mengangkat persoalan itu dengan
menengadahkan dadanya, meskipun dengan demikian telah dikorbankan
namanya. Bukankah Akuwu dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Bahwa Kuda Sempana telah menipunya dan memberikan laporan palsu? Tetapi
rupa-rupanya Akuwu benar-benar telah disiksa oleh penyesalan yang tak
berhingga, sehingga dengan demikian ia bermaksud menghukum diri sendiri.
Dalam pada itu Akuwu itu berkata pula,
kali ini perlahan-lahan, “Witantra, pergilah kepada Kuda Sempana.
Katakan kepadanya, bahwa Ken Dedes dikehendaki sendiri oleh Akuwu
Tunggul Ametung. Kalau ia tidak rela, berbuatlah atas namaku. Kali ini
aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Tetapi aku minta kepadamu
sebagai seorang sahabat untuk mewakili aku. Kalau Kuda Sempana
menghendaki, biarlah kau mengadakan sayembara tanding dengannya. Kalau
kau tidak bersedia, aku tidak memaksa. Ini bukan perintah seorang Akuwu.
Sudah aku katakan, aku tidak akan mempergunakan kekuasaan. Kalau tak
ada seorang pun yang akan mewakili Tunggul Ametung, biarlah Tunggul
Ametung sendiri yang maju ke arena.”
“Jangan Tuanku. Jangan Tuanku sendiri.
Biarlah hamba yang melakukannya. Tidak perlu di muka umum. Dapat hamba
lakukan di tempat tertutup. Kecuali Kuda Sempana menghendaki.”
“Terima kasih. Nah, pergilah. Sampaikan maksud itu kepada Kuda Sempana.”
“Hamba Tuanku.”
Kemudian perintahnya kepada Ken Arok,
“Arok, kau pergi bersama Witantra. Kau pun harus berusaha supaya semua
orang Tumapel mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah menculik
seorang gadis untuk permaisurinya.”
“Hamba Tuanku,” sahut Ken Arok.
“Nah sebelum pergi, panggilkan Daksina.”
Ken Arok keran mendengar perintah itu.
Apakah hubungannya peristiwa ini dengan Daksina. Anak-anak yang belum
genap berumur lima belas tahun itu.
Ketika Ken Arok masih memandanginya saja dengan heran, maka Akuwu itu pun membentak, “Panggil Daksina! Kau dengar?”
“Ya, ya Tuanku,” sembah Ken Arok. Namun
kepalanya menjadi pening memikirkan tingkah laku Akuwu itu. Setelah
bergeser beberapa langkah, maka Ken Arok pun kemudian sambil berjongkok
meninggalkan ruangan itu dan turun lewat tangga samping memanggil
seorang anak muda yang bernama Daksina
Daksina, seorang anak dari seorang
pelayan istana, seorang juru dang, terkejut mendengar panggilan Akuwu di
malam hari itu. Karena itu ia menjadi pucat, dan dengan terbata-bata
bertanya, “Apakah yang akan diperintahkan kepadaku, Paman?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Entahlah.”
Dengan tergesa-gesa Daksina pergi
menghadap Tunggul Ametung. Matanya masih merah karena kantuknya. Sekali
ia menguap, dan kemudian dengan wajah yang pucat ia merayapi tangga
ruang dalam.
“Daksina,” panggil Tunggul Ametung,
“ambil rontal Kakawin Arjuna Wiwaha. Bacakan rontal untukku malam ini.
Aku jemu memikirkan semua persoalan yang memusingkan kepalaku.”
Anak itu menarik nafas panjang. “Oh,” katanya di dalam hatinya, “hampir aku pingsan dibuatnya.”
Daksina itu pun segara mengundurkan
dirinya dengan tergesa-gesa. Sekali-sekali ia masih menguap dan
mengumpat di dalam hati. Malam-malam begini Akuwu ingin mendengarkan aku
membaca rontal. Bukan main. Kenapa tidak sejak sore tadi atau besok
malam.
Tetapi anak itu tidak berani membantah.
Langsung pergi ke ruang penyimpanan rontal. Dari berbagai-bagai rontal
yang bersusun dalam sebuah rak-rakan, Daksina mencari rontal yang
dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Ketika ia keluar dari ruang itu, pelayan dalam yang melihatnya menyapa, “He, Daksina, apa kerjamu malam-malam di sini?”
“Tuanku Akuwu Tunggul Ametung inginkan aku membaca untuknya malam ini.”
“Malam sudah terlampau jauh.”
“Ya.”
“Kenapa Akuwu minta kau membaca rontal itu?”
“Tidak tahu.”
“He? Jangan main-main. Kenapa?”
Daksina berhenti. Lalu memandangi wajah
pelayan dalam itu dengan heran. Katanya, “Kenapa kau bertanya kepadaku?
Bertanyalah kepada Akuwu, kenapa malam-malam begini Akuwu minta aku
membaca rontal. Kalau Akuwu mengurungkan niatnya, aku akan berterima
kasih kepadamu. Besok ransumku boleh kau ambil.
“Hus, jangan gila, anak mabuk. Kau kira kau dapat menipu aku? Ayo kembalikan rontal itu.”
“Baik,” sahut Daksina, lalu Daksina itu
pun memutar tubuhnya dan melangkah kembali ke ruang penyimpanan rontal,
sambil bergumam, “Rontal ini akan aku kembalikan. Besok ransumku boleh
kau ambil, sebab aku besok sudah digantung di alun-alun karena aku tidak
mematuhi perintah Akuwu malam ini.”
“Persetan! Jangan menggerutu!”
“Tidak. Besok aku sudah tidak dapat
menggerutu lagi, dan kau tidak akan dapat membentak-bentak lagi. Sebab
kau pun akan dipancung di tengah-tengah pasar.”
“Kenapa?”
“Karena kau menghalangi aku mematuhi perintah Akuwu.”
“He? Jadi benar, Akuwu memerintahkan kau mengambil rontal itu?”
“Kau sangka aku berbohong?”
“Jadi bukan karena kau sendiri yang ingin membaca?”
“Sudah aku katakan.”
“Oh, anak gila. Kenapa kau tidak membantah? Malahan kau akan mengembalikan rontal itu.”
“Aku atau kau yang gila. Kau tidak mau mendengar aku menjelaskan. Kau ingin aku mematuhi perintahmu.”
“Pergi! Pergi! Bawa rontal itu kepada Akuwu. cepat sebelum kau digantung.”
“Tidak mau!”
“Kenapa?”
“Aku takut kepadamu.”
“Gila!”
“Kau yang gila.”
“Ayo pergi! Cepat! Bawa rontal itu!” bentak pelayan dalam itu sambil mengacungkan tombaknya, “Atau aku lubangi perutmu?”
“Supaya ransumku dapat kau ambil besok?”
“Tutup mulutmu! Ayo pergi! Kenapa kau mengigau tentang ransum saja sejak tadi. Apakah kau sekarang sedang lapar?”
Tiba-tiba Daksina mengangguk. “Ya. Aku lapar.”
“Setan kecil! Pergi ke garduku. Aku mempunyai sepotong jenang alot.”
Daksina betul pergi ke gardu pelayan
dalam itu, dan dimakannya sepotong jenang alot. Namun dengan demikian ia
sudah tidak terkantuk-kantuk lagi. Kini matanya telah terbuka
lebar-lebar setelah ia mengganggu pelayan dalam itu. Apalagi setelah
mulutnya mengunyah sepotong jenang alot, maka Daksina benar-benar sudah
tidak mengantuk lagi. Setelah minum semangkuk air jahe, maka segara ia
berjalan cepat-cepat ke bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam pada itu Witantra dan Ken Arok pun
segera minta diri. Witantra mengharap Akuwu Tunggul Ametung memberinya
wewenang dan wewenang itu telah benar-benar diberikannya. Meskipun
demikian maka Witantra berkata, “Akuwu. Hamba akan mencoba untuk berbuat
sebaik-baiknya. Namun Kuda Sempana bukanlah anak-anak lagi. Ia mampu
membunuh Wiraprana dalam perkelahian itu di hadapan Akuwu, sehingga ia
dapat membebaskan dirinya dari segenap tuntutan. Namun apabila aku tidak
berhasil, aku minta maaf sebesar-besarnya.”
“Jangan cemas. Aku mengharap kau berhasil.”
Witantra dan Ken Arok pun segera mohon
diri meninggalkan ruangan itu, dan Akuwu Tunggul Ametung pun segera
masuk kembali ke dalam biliknya. Setelah sesaat ia terbaring, maka ia
mendengar langkah di muka biliknya.
(bersambung ke jilid 10)
No comments:
Write comments