PRAJURIT KAWAN KEBO IJO
itu tertawa. Ketika debu yang dihambur-hamburkan oleh kuda-kuda itu
telah hilang bersama hilangnya Witantra di belakang tikungan, berkatalah
prajurit itu, “Witantra adalah seorang prajurit yang tidak saja tegas
dalam setiap tindakan, namun ia adalah kakak seperguruan Mahendra. Kau
lihat, bahwa tangan-tangannya yang besar itu pasti akan mampu memutar
lehermu sampai patah.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini
sampailah gilirannya untuk menjadi kecewa. Dikaguminya kejantanan kakak
seperguruan Mahendra itu dahulu, ketika Kebo Ijo berbuat curang. Namun
tiba-tiba kini demikian saja ia mempereayai segala cerita-cerita kosong
itu. Meskipun demikian, belum juga timbul maksudnya untuk berbuat
sesuatu. Dibiarkannya prajurit yang tinggi besar itu mendorongnya terus.
Tetapi ketika ia melihat prajurit yang membawa cemeti masih berjalan di
belakangnya, maka Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Masih juga
dilihatnya di antara orang-orang yang terlalu bernafsu untuk kemenangan
sendiri itu, orang-orang yang dapat berpikir tenang.
Perjalanan mereka semakin lama semakin
desak pula dengan rumah Witantra. Kebo Ijo semakin lama menjadi semakin
gembira. Ia menyangka, bahwa kakak seperguruannya akan menyelesaikan
masalah ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Kakang Witantra marah
pula kepada Wiraprana. Apabila demikian, maka Wiraprana itu pasti akan
ditantangnya, berkelahi. Seorang lawan seorang, Seperti juga kebiasaan
Kakang Witantra menghadapi lawan-lawannya.
Tetapi Kebo Ijo itu heran melihat
Mahendra berjalan sambil menunduk. Berbeda dengan Kebo Ijo, maka
Mahendra itu menjadi gelisah. Katanya di dalam hati, “Bagaimanakah nanti
akibatnya, kalau kakak seperguruannya itu menyuruh untuk menyelesaikan
perkelahian di hadapannya? Mudah-mudahan para prajurit itu menuntut
Mahisa Agni dalam persoalan yang lain. Penghinaan, misalnya. Atau
membuat gaduh di dalam kota. Atau apapun yang harus ditindak oleh para
petugas.”
Akhirnya sampai juga mereka di halaman
rumah Witantra itu. Beberapa prajurit segera menahan orang-orang lain
untuk tidak masuk ke dalam halaman yang luas itu. Hanya beberapa orang
yang dapat dianggap sebagai saksi sajalah yang mereka perbolehkan masuk
di samping Mahisa Agni dan Mahendra Sendiri.
Witantra sedang duduk di atas sebuah
amben kayu di dalam rumahnya. Ketika ia melihat beberapa orang masuk ke
pekarangan segera ia berdiri dan menyambut mereka di pintu.
Kepada prajurit yang membawa Wiraprana ia berkata, “Bawa anak muda itu masuk bersama Mahendra dan Kebo Ijo.”
Sesaat kemudian mereka telah duduk di
amben kayu itu pula. Dengan tajamnya ia memandangi wajah Mahisa Agni.
Namun ketika matanya beradu dengan mata Mahisa Agni yang seakan-akan
menyala Witantra itu mengalihkan pandangannya ke arah Mahendra, sambil
berkata, “Kenapa kalian berkelahi?”
Kembali yang mendahului menjawab adalah Kebo Ijo, “Sudah aku katakan sebabnya Kakang.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya kepada Mahisa Agni, “Aku sangat menyesal bahwa hal ini terjadi.
Kenapa kau berbuat demikian?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.
Peristiwa ini benar-benar tak
menyenangkannya. Ia ingin segalanya segera selesai, kemudian cepat-cepat
pulang ke Panawijen. Tetapi Mahisa Agni itu pun tidak perlu terlalu
tergesa-gesa, karena yang ditakutkannya, Kuda Sempana masih dilihatnya
di dalam kota.
Meskipun demikian, maka sudah pasti
Mahisa Agni tidak mau menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang
memuakkan itu. maka dengan tenangnya ia menjawab, “Witantra, apakah kau
dapat mempereayai kata-kata Kebo Ijo?”
“Aku menjadi saksi,” tiba-tiba teriak salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo.
“Aku juga,” teriak yang lain.
Dan yang terakhir prajurit kawan Kebo Ijo itu pun berkata, “Aku juga menjadi saksi.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak
ia berdiam diri. Dan tiba-tiba ia memandang kepada prajurit Yang
bereemeti, “Apakah yang akan kau katakan?”
Prajurit yang bereemeti itu sebenarnya
akan mengatakan sesuatu, namun belum mendapat kesempatan. Ketika
Witantra itu bertanya kepadanya segera ia membungkuk hormat sambil
menjawab, “Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku tidak dapat menjadi
saksi, sebab aku datang setelah perkelahian itu berlangsung.”
Kembali Witantra mengerutkan keningnya,
kemudian kepada prajurit kawan Kebo Ijo ia bertanya, “Apakah kau melihat
sebab perkelahian itu?”
“Ya tentu,” sahut prajurit itu, “aku
datang lebih dahulu sebelum aku mengajak beberapa orang kawan untuk
menangkap anak Panawijen itu.”
Witantra mengangguk-anggukkan. kepalanya, Meskipun demikian ia masih bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah benar kata mereka?”
Mahisa Agni menggeleng, “Tidak!”
“Bohong!” bentak prajurit kawan Kebo Ijo.
“Aku yang bertanya kepadanya,” potong Witantra. Prajurit itu pun terdiam.
Kini Witantra melihat sikap-sikap yang
kurang wajar dari adik seperguruannya. Ia melihat sikap Kebo Ijo yang
agak berlebih-lebihan. Ia melihat pemuda-pemuda itu pun bersikap kurang
wajar pula karena itu justru ia menjadi curiga. Dengan tajamnya
dipandangnya wajah Mahendra. Dan ketika terasa tatapan mata kakak
seperguruannya itu, maka Mahendra pun segera menundukkan wajahnya.
Kemudian sekali lagi Witantra itu bertanya kepada Mahisa Agni, “’Wiraprana, apakah yang sebenarnya terjadi?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kali ini ia benar-benar ingin melihat, sampai di mana kejujuran yang
dimiliki oleh adik-adik seperguruan Witantra itu. Karena itu, sebelum ia
menjawab pertanyaan itu, maka katanya, “Witantra. Cobalah kau bertanya
kepada Mahendra. Biarlah ia berkata di bawah saksi Yang Maha Agung.
Tiba-tiba terasa dada Mahendra itu
berdesir. Terasa keringat dinginnya mengalir membasahi tubuhnya. Dan
sebenarnyalah Witantra itu berpaling kepadanya. Sejenak Witantra itu
melihat perubahan wajah adik seperguruannya itu. Karena itu maka ia
menjadi semakin curiga. Karena itu, maka Witantra ingin mendapat
kepastian dari persoalan- persoalan yang dihadapinya. Kepada Mahendra ia
bertanya, “Mahendra, demi Yang Maha Agung katakanlah sebenarnya apa
yang telah terjadi. Apakah Wiraprana benar-benar telah menghinamu?”
“Benar Kakang,” jawab kebo Ijo.
Tetapi ia terkejut ketika Witantra membentaknya, “Diam kau Kebo Ijo!”
Mahendra kini benar-benar dihadapkan pada
suatu keadaan yang sulit. Terjadilah perjuangan di dalam dadanya.
Sekali-kali ia melihat Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain dengan
sudut matanya. Hampir saja ia menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika
terpandang olehnya pancaran mata kakak seperguruannya, maka mulutnya
seakan-akan tergetar hendak mengatakan sesuatu.
“Mahendra, jawablah pertanyaanku!” desak kakak seperguruannya.
Ruang itu menjadi semakin tegang. Kebo
Ijo, anak-anak muda yang lain, prajurit kawan Kebo Ijo dan beberapa
prajurit yang lain, di antara yang membawa cambuk itu.
Tiba-tiba semua yang memandang wajah
Mahendra itu menjadi terkejut bukan main. Kebo Ijo, anak-anak muda yang
lain, para prajurit dan bahkan Witantra dan Mahisa Agni sendiri. Mereka
melihat, perlahan-lahan Mahendra menggelengkan kepalanya.
“Apa?” bertanya Witantra hampir berteriak, “jadi Wiraprana itu sebenarnya tidak menghinamu dan menghina anak-anak Tumapel?”
Sekali lagi Mahendra menggeleng.
“Lalu apakah yang telah terjadi?”
“Aku ingin membalas dendam,” berkata Mahendra perlahan-lahan sekali
Witantra itu pun menarik nafas
dalam-dalam, tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Kebo Ijo dalam
nada yang tinggi, “Tidak Kakang. Kakang Mahendra terlalu baik hati.
Sebenarnya anak Panawijen itu telah menghina kami. Karena…”
Kata-kata Kebo Ijo itu terputus. Betapa
ia terkejut dan semua orang pun terkejut ketika tiba-tiba mereka
mendengar Kebo Ijo itu mengaduh. Anak muda itu tergeser beberapa jengkal
sehingga hampir saja ia terguling. Dengan serta-merta tangannya meraba
pipinya yang tampak kemerah-merahan. Ternyata Witantra itu telah
menamparnya. Dengan tajam kakak seperguruannya itu membentaknya,
“Jagalah mulutmu Kebo Ijo!”
Kebo Ijo itu menjadi gemetar. Alangkah
malunya. Karena itu maka ia pun menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia
tidak berani berbuat apapun kepada kakaknya.
“Jadi kalian semua telah mencoba berbohong?” bentak Witantra dengan marahnya, “Apakah sebabnya kalian berbuat demikian. Kenapa?”
—–
….. Kebo Ijo mengaduh, dia tergeser beberapa jengkal sehingga hampir saja ia tergulingi. Ternyata Witantra telah menamparnya.
—–
….. Kebo Ijo mengaduh, dia tergeser beberapa jengkal sehingga hampir saja ia tergulingi. Ternyata Witantra telah menamparnya.
—–
Ruangan itu kembali menjadi sunyi. Hanya
nafas Kebo Ijo sajalah yang terdengar terengah-engah. Sedang matanya
menjadi merah pula karena marahnya.
Witantra yang kemudian menjadi sangat,
marah pula berkata kepada prajurit kawan Kebo Ijo, “Jadi kau pun ikut
pula dalam kebohongan ini?”
Prajurit kawan Kebo Ijo itu benar-benar
menjadi bingung. Ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab
pertanyaan itu. Karena itu, ia hanya berdiri saja seperti patung.
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka sekali lagi Witantra membentaknya, “He. Kau juga ikut berbohong?”
“Tidak. Tidak,” jawabnya tergagap, “aku tidak sengaja.”
“Apa yang tidak sengaja,” desak Witantra.
Kembali prajurit itu menjadi bingung.
Dengan tanpa berpikir panjang ia menjawab, “Aku tidak bermaksud
berbohong: Tetapi aku menyangka bahwa hal itu benar-benar terjadi.”
“Jadi kau tidak melihat sendiri?”
“Tidak,” prajurit itu menggeleng, “aku mendengar dari Kebo Ijo.”
Kebo Ijo menjadi semakin bergetar
mendengar pengaduan itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat apa-apa. Tetapi
Witantra itu masih membentak bawahannya, “Kau menjadi pereaya tanpa
penyelidikan lebih lanjut?”
Prajurit itu menjadi semakin bingung.
Akhirnya ia menjawab, “Ya. Aku begitu saja pereaya, sebab Kebo Ijo
adalah kawanku sendiri.”
“Itulah sebabnya, maka anak-anak muda itu benar-benar menjadi liar.”
Meskipun Wiraprana sebenarnya tidak
mengatakan, namun hati kecil kalian telah berkata sendiri, ‘Kalian
benar-benar menjadi liar, karena kawan-kawan kalian, di antaranya
prajurit, selalu membesarkan hati kalian. Dengan demikian kalian merasa
aman untuk berbuat apa saja sekehendak kalian’.
Ruangan itu menjadi sepi kembali. Dan
kembali Mahisa Agni mengagumi kakak seperguruan Mahendra itu. Ia
benar-benar seorang prajurit yang berpegang teguh pada sumpahnya sebagai
prajurit. Meskipun Mahendra, Kebo Ijo adalah adik seperguruannya, namun
ia berkata salah apabila salah dan ia akan berkata benar apabila benar.
Dengan demikian maka kebenaran benar-benar akan dapat ditegakkan.
Kini ia melihat adiknya itu berbuat
curang. Bahkan telah meninggalkan sifat-sifat ke kesatriaan, karena itu
alangkah marahnya. Apalagi seorang anak buahnya telah ikut serta berbuat
kesalahan itu.
Dengan wajah yang menyala-nyala ia
memandang Kebo Ijo. Anak itu benar-benar anak yang bengal. Sekali-sekali
ditatapnya juga wajah Mahendra. Anak muda ini, biasanya tidak suka
berbohong dari mengorbankan nama baiknya Tetapi kali ini ia hampir
tergelincir dalam perbuatan yang memalukan itu. Untunglah bahwa
kesalahan itu segera disadarinya. Namun meskipun demikian. Mahendra
telah berbuat kesalahan. Karena itu dengan marahnya Witantra menggeram,
“Perkelahian akan dilanjutkan.”
Namun terdengar kemudian Mahendra yang telah menyadari keadaannya menyahut dengan jujur, “Tidak. Aku sudah dikalahkannya.”
Witantra menarik nafas. Tetapi mata Kebo Ijo menyala karenanya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian.
Dalam keheningan suasana itu,
terdengarlah Mahisa Agni berkata, “Witantra, aku akan mengucapkan terima
kasih kepadamu dan kepada adikmu, Mahendra. Sebenarnya tak ada niatku
untuk membuat hal-hal yang kecil ini menjadi persoalan. Karena itu,
marilah persoalan ini kita anggap selesai. Sebab aku masih ada mempunyai
beberapa keperluan yang lain.”
Witantra tidak segera menjawab. Kini
seperti juga Mahisa Agni mengaguminya, maka Witantra itu pun kembali
mengagumi kebesaran jiwa Mahisa Agni yang disangkanya bernama Wiraprana
itu. Meskipun beberapa orang telah berusaha menghinanya, namun ia sama
sekali tidak mendendam.
Sesaat kemudian, maka barulah Witantra itu berkata, “Tinggalkan kami di sini bersama Wiraprana. Pergilah semuanya!”
Mahendra yang masih menundukkan
kepalanya, itu pun segera bergerak dan meninggalkan tempat itu. Berbagai
perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Sesal, malu, kecewa dan segala
macam bereampur baur di dalam dadanya..
Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, para
prajurit itu pun segera pergi pula meninggalkan mereka. Dengan
tergesa-gesa Kebo Ijo menyusul Mahendra sambil berkata, “Kakang, kenapa
Kakang menarik tuduhan itu?”
Mahendra berpaling sesaat. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan langkahnya semakin dipereepat.
Kebo Ijo yang berjalan di sampingnya
memandangnya dengan penuh penyesalan. Anak-anak muda yang beriringan di
belakangnya pun menyesal pula atas sikap Mahendra itu Namun mereka tidak
berkata apa-apa.
Di rumah Witantra, kini tinggallah Mahisa
Agni seorang diri bersama Witantra duduk berhadapan di atas amben kayu.
Setelah mereka diam sejenak, maka berkatalah Witantra , “Wiraprana,
biarlah aku minta maaf kepadamu atas nama anak-anak muda yang bengal
itu.”
“Sudah aku katakan Witantra, persoalan
ini aku anggap selesai. Dan secepatnya aku akan mohon diri untuk satu
keperluan yang lain.”
“Terima kasih. Aku hormati pendirianmu itu. Tetapi apakah keperluan itu sedemikian tergesa-gesa?”
“Tidak, tetapi aku ingin segera pulang ke Panawijen, setelah aku agak lama meninggalkannya?”
“Apakah kau baru datang dari suatu perjalanan?”
“Ya,” sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilihatnya sebuah bungkusan terikat erat di lambung Mahisa Agni. Namun
ia tidak sempat lagi membawa tongkat setelah ia berkelahi melawan
Mahendra. Untunglah bahwa bungkusannya itu tidak terlepas dari
ikatannya. Sehingga tanpa disengaja Witantra itu bertanya, “Apakah isi
bungkusanmu itu?”
“Ah, hanya dua lembar pakaian,” sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba ia berkata, “He, apakah kau akan pulang ke Panawijen?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” sahutnya.
“Baru saja aku bertemu dengan Kuda
Sempana. Ia pun agaknya sedang menuju ke kampung halamannya. Ketika aku
bertanya kepadanya, ia hanya menjawab, ‘Aku pergi untuk satu dua hari’.
Kata-kata terdengar seperti guntur yang
meledak di telinga Mahisa Agni. Kuda Sempana pulang ke kampung halaman
Panawijen, selagi ia tidak di rumah.
Witantra melihat perubahan wajah Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran.
Sejenak kemudian bertanyalah Mahisa Agni dengan suara yang bergetar, “Kapankah Kuda Sempana itu pulang ke Panawijen?”
“Belum lama,” jawab Witantra.
“Belum lama aku melihatnya.”
“Mungkin. Aku melihat Kuda Sempana memacu kudanya. Dan demikianlah jawabnya ketika aku bertanya kepadanya.”
“Gila!” geram Mahisa Agni di dalam
hatinya. Segera ia tahu apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana itu. Ketika
Kuda Sempana itu melihat Mahisa Agni berada di Tumapel, maka segera ia
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu keheranan Witantra semakin menjadi, maka kemudian ia pun bertanya, “Kenapa kau menjadi gelisah?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Semula ia
menjadi agak ragu-ragu. Namun kemudian terpaksa ia berkata, “Maksud
Kuda Sempana pulang ke kampung halaman sangat mencurigakan.”
“Kenapa?”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun
tiba-tiba Witantra itu pun menjadi gelisah. Dengan serta-merta ia
berkata, “He, apakah gadis Panawijen itu bernama Ken Dedes?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Namun ia menganggukkan kepalanya.
“Ya. Itulah nama gadis itu. Bunga di kaki
Gunung Kawi, yang telah membuat Mahendra hampir-hampir gila. Yang telah
membuat Mahendra mendendam kepadamu. Namun sebenarnya aku pernah
mendengar Kuda Sempang mempereakapkan gadis itu pula.”
“Mungkin kau benar,” sahut Mahisa Agni.
“Kalau demikian, apakah kau sangka bahwa Kuda Sempana akan mempergunakan kesempatan selama kau berada di Tumapel?”
“Mungkin,” sahut Mahisa Agni dengan suara parau, “kalau demikian biarlah aku segera kembali.”
“Aku tidak dapat mencegahmu, Wiraprana. Mudah-mudahan kau tidak terlambat.”
Mahisa Agni menggeram sekali lagi,
kemudian dengan tergesa-gesa ia minta diri. Dengan penuh pengertian
Witantra itu melepaskan Mahisa Agni sampai ke regol halamannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan hampir berlari-lari. Dari kejauhan Witantra memandangnya dengan iba.
“Anak yang baik,” gumamnya., “Kasihan.
Tanpa dikehendakinya, ia mempunyai banyak lawan. Agaknya Kuda Sempana
yang tadi melihat anak itu, segera mempergunakan kesempatan.”
Dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya anak muda itu seakan-akan hilang ditelan oleh kelokan jalan.
Mahisa Agni sendiri menjadi sangat
gelisah karenanya. Ia menjadi pasti, bahwa bencana akan menimpa Ken
Dedes dan Wiraprana. Kuda Sempana pasti akan mempergunakan segenap
kemampuan yang ada padanya untuk menebus kekalahannya. Bahkan kalau
mungkin membunuh sekali.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu
benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran. Ia sama sekali
tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya. Ia sama
sekali tidak memedulikan bahwa beberapa orang yang dijumpainya
memandanginya dengan penuh pertanyaan. Kenapa anak muda itu
berlari-lari?
Tetapi jarak Panawijen dan Tumapel bukan
jarak yang pendek. Jarak itu akan ditempuh lebih dari sehari penuh.
Meskipun Mahisa Agni kemudian berlari, namun ia tak akan dapat mencapai
jarak itu secepat-cepatnya. Selisih waktu yang dialaminya dari Kuda
Sempana, agaknya akan dapat memberi kesempatan bagi Kuda Sempana
melakukan niatnya. Apalagi setelah didengarnya bahwa Kuda Sempana kini
telah memiliki puncak ilmu dari perguruannya seperti juga Bahu Reksa
Kali Elo. Karena itu, maka kembali Kuda Sempana itu akan berkata,
‘Rawe-rawe rantas, malang-malang putung’.
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah.
Apalagi kalau diingatnya bahwa Kuda Sempana pasti tidak hanya
berlari-lari seperti dirinya, tetapi anak muda yang gagah itu pasti
berkuda.
Mahisa Agni itu pun menggeram
berkali-kali. Namun ia benar-benar masih harus berlari. Langkahnya
semakin lama semakin panjang. Namun terik matahari yang membakar
tubuhnya menjadi semakin panas. Bekas-bekasnya yang putih menghambur di
sepanjang jalan yang dilalui oleh Mahisa Agni. Menyusup disela-sela
dedaunan dan jatuh di atas batu-batu padas yang bertebaran di sepanjang
jalan.
Mahisa Agni itu terasa akan terbang.
Langkahnya terasa sedemikian lambatnya. Kalau sekali-kali ia memandang
ke depan maka segera jantungnya berdebar-debar. Di hadapannya masih
terbentang sawah yang sangat luas. Tetapi apabila sawah ini sudah
dilampaui, ia sama sekali belum mendekati Panawijen. Sebuah hutan
terbentang jauh di muka. Seleret pepohonan yang semakin lama seolah-olah
menjadi semakin besar. Hutan itu pun bukanlah layar yang terakhir yang
menakbiri Panawijen. Di seberang hutan itu, terentang sebuah sungai.
Kembali ia akan melampaui daerah persawahan. Sawah hutan, sawah, hutan
berkali-kali. Kemudian ia dapat lewat di tengah-tengah padang rumput
Karautan, atau lewat jalan lain. Namun selisih jarak daripadanya tidak
begitu banyak. Baru setelah itu ia akan sampai ke Panawijen. Namun
secepat-cepatnya, apabila ia tidak perlu berhenti sama sekali, besok
pagi ia baru akan sampai. Tetapi apakah tenaganya akan mampu untuk
berlari terus dalam jarak yang sekian jauh.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh berhenti. Ia berlari terus.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun terkejut
mendengar derap kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya debu
mengepul. Putih dan semakin lama semakin tinggi terbang ke udara.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Siapa?” desisnya. Tetapi ia terkejut ketika ia melihat penunggangnya adalah Mahendra.
Karena itu maka Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar karenanya. Ia masih belum dapat melupakan, apa yang baru
saja dilakukan oleh Mahendra itu. Mahisa Agni berdebar-debar karena
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Mahendra, tetapi juga
berdebar-debar karena dengan demikian, kedatangannya di Panawijen akan
menjadi semakin lambat.
Kuda yang berlari kencang itu semakin
kencang juga. Semakin lama semakin dekat. Dan sejalan dengan hati Mahisa
Agni menjadi semakin berdebar-debar juga.
“Kalau anak muda itu berhasrat menghambat
perjalananku,” desah Mahisa Agni dalam hatinya, “maka aku tidak akan
dapat memaafkannya lagi.”
Tetapi kuda itu sudah sedemikian
dekatnya, sehingga Mahisa Agni pun berhenti pula karenanya. Dengan penuh
kewaspadaan anak muda dari Panawijen itu berdiri tegak seperti tonggak
yang kokoh kuat terhunjam jauh ke dalam tanah.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu
berhenti, maka segera ia menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu
berhenti beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni. Demikian kuda itu
berhenti, demikian Mahendra itu segera meloncat turun.
Mahisa Agni itu pun segera menggeser diri selangkah surut, siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat
Mahendra itu menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku datang untuk
minta maaf kepadamu, Wiraprana.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
Panjang sekali. Ia menjadi kecewa terhadap peresaannya sendiri. Ternyata
ia terlalu berprasangka. Karena itu, maka segera ia menjawab, “Ah
Mahendra. Hampir aku salah sangka. Ternyata aku pun harus minta maaf
kepadamu. Dan karena itulah maka biarlah persoalan di antara kita, kita
anggap selesai.”
“Terima kasih,” sahut Mahendra. Yang
kemudian diteruskannya, “Tetapi kedatanganku menyusulmu ada juga
kepentingan yang lain dari kepentinganku sendiri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Apakah kepentingan yang lain itu?”
“Kakang Witantra baru saja datang kepadaku. Disuruhnya aku menyusulmu untuk mengantarkan kuda ini kepadamu.”
“Kuda?” sahut Mahisa Agni dengan serta-merta.
“Ya,” Mahendra mengangguk, “kata Kakang Witantra kau memerlukannya untuk menyusul Kuda Sempana.”
“Kuda? Kuda?” hampir tak pereaya Mahisa Agni bergumam.
Tetapi Mahendra itu menegaskan, “Ya Wiraprana, inilah kuda Kakang Witantra. Bawalah!”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Mahisa Agni. Begitu besar terima kasihnya sehingga untuk sesaat ia tidak
dapat mengucapkannya. Ketika Mahendra memberikan kendali kuda itu
kepadanya, barulah Mahisa Agni berkata, “Terima kasih. Terima kasih
Mahendra. Dan terima kasihku kepada Witantra. Aku tak akan melupakan
kebaikan budi kalian.”
“Aku hanya seorang pesuruh Wiraprana. Akan aku sampaikan terima kasihmu itu kepada Kakang Witantra.”
“Tidak saja Witantra. Tetapi kau pun berjasa pula kepadaku.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Selamat jalan Wiraprana. Bukankah kau tergesa-gesa.
Sebenarnya aku pun tak akan dapat melihat Kuda Sempana mencapai
maksudnya. Bukankah anak muda itu pun akan merampas hak yang sudah kau
miliki?”
Dada Mahisa Agni berdesir. Alangkah
manisnya kata-kata itu, namun alangkah pahitnya pula. Mahendra tidak
dapat melihat Kuda Sempana merampas Ken Dedes yang pasti didengarnya
dari Witantra, namun Ken Dedes itu sama sekali bukan hak yang telah
dimilikinya. Tetapi apa yang dilakukan itu adalah atas nama Wiraprana.
Dan Wiraprana kelak pasti hanya akan mengucapkan terima kasihnya saja
kepadanya.
Tetapi sebenarnya Mahisa Agni tidak
mempunyai pamrih. Seandainya Wiraprana kelak tidak mengucapkan terima
kasih pun, ia tidak akan menyesal. Dengan kesetiaannya ia berusaha
membuat Ken Dedes bahagia. Kesetiaan yang tidak diketahui sama sekali
oleh orang lain. Namun kesetiaan itu benar-benar telah membakar dadanya.
Kini Mahisa Agni menerima kuda itu. Kuda
yang tegar, berwarna sawo. Tidak kalah tegarnya dengan kuda yang
dipergunakan oleh Kuda Sempana tadi.
Setelah sekali lagi Mahisa Agni
mengucapkan terima kasih, maka ia segera meloncat ke punggung kuda itu.
Meskipun demikian ia masih bertanya, “Sekarang, kau tidak lagi
berkendaraan Mahendra?”
Mahendra tertawa pendek. “Jarak yang
harus kutempuh terlalu pendek dibandingkan dengan perjalananmu. Biarlah
aku pulang dengan berjalan kaki. Hampir setiap hari aku sampai di sini
pula.”
“Selamat tinggal Mahendra, mudah-mudahan aku tidak terlalu terlambat.”
Mahendra mengangguk. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana.”
“Terima kasih, terima kasih.”
Mahisa Agni itu pun segera memacu kudanya
seperti angin. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Panawijen. Namun ia pun
ingin cepat-cepat melupakan setiap kata-kata Mahendra. Karena itu, maka
kudanya yang telah berlari kencang itu, masih saja terasa, alangkah
lambatnya. Seakan-akan suara Mahendra masih mengiang di telinganya, ‘Aku
akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana’.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Kuda itu
dipacu semakin cepat. Namun hatinya telah berlari lebih cepat daripada
kaki-kaki kuda itu.
Kuda Mahisa Agni itu meluncur seperti
anak panah yang lepas dari busurnya. Kepulan debu yang putih
bergulung-gulung di belakang kaki kudanya. Pepohonan yang tegak di
pinggir-pinggir jalan, seakan-akan berlari cepat ke belakang, Sedang
hutan-hutan yang terbujur di hadapannya, seperti berlari menyongsongnya.
Semakin lama semakin besar. Dan semakin lama, semakin jelas setiap
batang-batang yang tumbuh di sepanjang tepinya.
Tetapi gelora di dalam dada Mahisa Agni
sendiri itu pun menjadi semakin keras. Bermacam-macam persoalan hilir
mudik di dalam dadanya. Sekali-kali jauh di dasar hatinya terdengar pula
suara, ‘Mahisa Agni Kenapa kau menjadi sedemikian cemasnya? Bulankah
Ken Dedes telah mempunyai seorang pelindung yang harus melindunginya.
Kalau Wiraprana tak sanggup bertanggung jawab terhadapnya maka lebih
baik ia melepaskan ikatan yang telah dijalinnya. Ia menginginkan hak
itu, namun ia tak mampu memikul kewajibannya’.
Namun kemudian terdengar suara yang lain,
‘Itu bukan salahnya. Dunia di sekitarnya yang masih sebuas hutan rimba.
Kalau setiap orang menyadari hak dan kewajiban masing-masing, maka tak
akan ada persoalan lagi. Meskipun Wiraprana tak mampu untuk berkelahi,
namun dalam peradaban yang baik tak perlu ia harus berkelahi. Karena
Wiraprana bukan tidak mengerti akan kewajibannya, tetapi ia sebenarnya
tidak mampu menghadapi kebuasan lingkungannya, maka apa salahnya aku
menyelamatkannya’.
Terdengar Mahisa Agni itu menggeram di
atas punggung kudanya. Dan kuda itu masih berlari secepat angin.
Sekali-kali Mahisa Agni mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh debu yang
melekat karena peluhnya yang membasahi kulitnya. Sekali-sekali dirabanya
bungkusannya yang melingkari lambungnya, berbelitan dengan ikat
pinggangnya. Dan terasa di dalamnya, keris peninggalan ayahnya. Kalau
Kuda Sempana menjadi gila, maka ia pun kini bersenjata.
Matahari yang mengapung di langit
bergeser setapak demi setapak. Kini matahari itu telah melampaui puncak
langit, dan telah mulai dengan perjalanannya untuk bersembunyi di balik
pegunungan. Namun sinarnya masih juga terasa membakar kulit. Debu yang
putih yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda Mahisa Agni, tampak
bergulung-gulung. Kemudian buyar ditiup angin dari selatan. Jauh di
langit kadang-kadang tampak burung-burung cangak beterbangan di atas
tanah yang basah. Namun Mahisa Agni tidak sempat untuk memperhatikannya.
Kudanya yang berpacu itu serasa seakan-akan betapa malasnya. Sekali
disentuhnya perut kuda itu dengan kakinya, sehingga kuda itu meloncat
semakin cepat.
Sesaat kemudian Mahisa Agni telah masuk
melintas jalan-jalan di tengah-tengah hutan. Perjalarannya kini tidak
dapat secepat semula. Sekali-sekali beberapa potong dahan-dahan kayu
yang patah, serta sulur beringin tua, mengganggu perjalanannya. Sedang
jalan menjadi bertambah sempit. Tetapi kuda itu masih berlari terus,
tanpa menghiraukan apapun yang mungkin akan memperlambat.
Demikianlah Mahisa Agni berpacu melawan
waktu. Sebab Kuda Sempana telah jauh mendahuluinya. Ia harus sampai di
Panawijen sebelum Kuda Sempana telah melarikan Ken Dedes. Mudah-mudahan
gurunya telah kembali. Tetapi agaknya Empu Purwa masih di perjalanan,
bahkan menurut keterangannya, gurunya itu masih akan singgah di rumah
sahabat-sahabatnya setelah ia merasa menurunkan ilmunya yang tertinggi
kepada muridnya. Seolah-olah pekerjaan Empu Purwa itu telah selesai, dan
kini ia tinggal menikmati masa istirahatnya.
Agaknya Empu yang sudah lanjut usia itu
telah mempereayakan segala sesuatunya kepada Mahisa Agni, satu-satunya
muridnya yang lahir batinnya benar-benar mengagumkan baginya.
Karena itu Mahisa Agni menjadi semakin
gelisah. Sesudah hutan ini masih terentang jalan yang sangat panjang.
Namun berterima kasihlah ia kepada Witantra dan Mahendra yang telah
menolongnya mempereepat perjalanannya dengan kecepatan yang berlipat
ganda. Kalau ia harus berjalan, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa
ia akan jauh terlambat. Dan ia tinggal akan menemukan bekas- bekas dari
bencana itu. Meskipun demikian, kegelisahan masih saja menyala-nyala di
dalam dadanya. Meskipun ia kini telah dapat mempereepat perjalanannya,
namun ia masih mencemaskan, bahwa Kuda Sempana benar-benar tidak mampu
mengekang dirinya, sehingga sejak langkahnya yang pertama, ia telah
bermata gelap.
Sebenarnyalah pada saat itu, Kuda Sempana pun sedang berpacu menuju ke Panawijen.
Ketika anak muda itu bertemu dengan
Mahisa Agni di Tumapel, maka tiba-tiba timbul niatnya untuk menumpahkan
kemarahannya dan dendamnya. Sebab kini ia merasa, bahwa ia telah
memiliki bekal yang jauh lebih banyak daripada saat ia dikalahkan oleh
Mahisa Agni. Tetapi keadaan Tumapel agaknya tidak menguntungkannya.
Mungkin beberapa orang melihat, bahwa Mahisa Agni tidak bersalah pada
waktu itu sehiugga akibatnya akan tidak menguntungkan baginya. Karena
itu, maka ia mengambil jalan yang lain untuk menumpahkan dendamnya.
Segera ia memacu kudanya menemui pimpinannya untuk mohon diri dua tiga
hari. Ia dapat saja memberikan segala macam alasan untuk pulang ke
kampung halaman. Kalau kelak Ken Dedes telah dapat dirampasnya,dan
dilarikannya, maka apa yang akan terjadi akan dihadapinya dengan dada
tengadah. Wiraprana, Mahisa Agni dan siapa lagi. Tetapi gadis itu harus
sudah di tangannya dan disembunyikannya dahulu.
Karena itu, maka ia pun kemudian berpacu
kembali ke Panawijen. Ia harus langsung pergi ke rumah Empu Purwa. Minta
gadis itu untuk dibawanya. Kalau tidak boleh, maka ia akan
mempergunakan kekerasan. Ia tidak takut seandainya seluruh cantrik dari
padepokan itu akan mengeroyoknya. Bahkan orang-orang seluruh padukuhan.
Dengan ayunan tangannya ia mampu membunuh siapa saja yang mendekatinya.
Kuda Sempana itu kemudian tersenyum
sendiri. Ia tidak menyangka bahwa ia harus mengambil seorang gadis
dengan cara yang aneh itu. Tetapi betapapun bahaya yang akan
dihadapinya, namun ia tidak akan surut. Ia pernah mendengar juga bahwa
Mahendra pun pernah menginginkan Ken Dedes itu pula. Maka seandainya
Mahendra itu pun datang kepadanya, maka ia pun tidak akan gentar. Bahkan
seandainya Witantra sekali pun. Meskipun Kuda Sempana itu agak seimbang
juga menilai kekuatan Witantra. Sebab ia tahu benar, apa saja yang
pernah dilakukan oleh Witantra itu sebagai seorang prajurit.
Tetapi Kuda Sempana itu menggeram, “Persetan semuanya! Akulah Kuda Sempana!”
Dengan demikian maka Kuda Sempana kemudian berusaha menindas semua persoalan yang tumbuh di dalam hatinya.
Tekadnya telah bulat, melarikan Ken Dedes dengan segala akibatnya.
Kini Kuda Sempana itu tertawa seorang
diri. Tertawa untuk melepaskan kegelisahan-kegelisahan yang merayapi
hatinya. Ia benar-benar tidak mau tahu apapun yang mungkin terjadi
karena perbuatannya itu. Anak muda itu telah berusaha untuk membutakan
matanya dan menulikan telinganya. Persetan semuanya! Persetan!
Maka kudanya kini menjadi semakin laju.
Terasa angin yang kencang menghembus wajahnya. Namun wajah itu pun
ditengadahkannya. Bahkan ia bergumam, “Siapakah yang berani menghalangi
Kuda Sempana?”
Meskipun demikian, Kuda Sempana itu
berdebar-debar pula ketika ia meninggalkan daerah-daerah hutan yang
terakhir. Ia tidak menempuh jalan yang biasa dilalui oleh Mahisa Agni,
padang rumput Karautan. Namun Kuda Sempana melingkar sedikit, lewat
padukuhan Talrampak. Meskipun seperti Mahisa Agni anak muda itu sama
sekali tidak takut kepada apapun, juga yang dahulu sering disebut hantu
padang rumput, namun Kuda Sempana tidak mau perjalanannya dihambat.
Meskipun ia mendengar juga, bahwa hantu padang rumput itu kini telah
tidak ada lagi, namun lebih baik baginya melewati jalan yang paling
aman, daripada ia terlambat.
Demikianlah Kuda Sempana akhirnya telah
melampaui perjalanannya yang tergesa-gesa. Dengan gagahnya ia memacu
kudanya, masuk .ke padukuhan tempat kelahirannya. Panawijen.
Beberapa orang yang sedang bekerja di
sawah melihatnya dengan heran. Bukankah anak itu seakan-akan telah
disingkirkan untuk waktu yang tertentu. Maka tiba-tiba kini ia datang
kembali dengan tergesa-gesa. Apakah waktu yang ditentukan itu telah
habis?
Orang itu pun kemudian ber-bisik-bisik
satu sama lain. Sehingga kemudian seorang arak muda berkata, “He, apakah
Kuda Sempana telah sampai waktunya pulang?”
Seorang yang berdahi lebar menjawab, “Aku sangka belum.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “He. Bukankah Mahisa Agni belum kembali?”
“Kenapa?”
“Bukankah dahulu Mahisa Agnilah yang berhasil mencegahnya mengambil langsung Ken Dedes dari pinggir belumbang?”
Orang berdahi lebar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kuda yang ditunggangi oleh Kuda
Sempana sudah tidak tampak lagi di mata mereka.
“Marilah kita lihat. Apakah anak muda yang gagah itu masih saja melakukan perbuatan-perbuatan yang tereela itu.”
Kedua orang itu pun kemudian bergegas-gegas meninggalkan sawah mereka. Beberapa orang yang lain pun segera mengikutinya.
Sampai di sudut padukuhan mereka, mereka bertanya kepada seorang anak kecil, “Kau lihat searang penunggang kuda?”
Anak itu mengangguk, “Ya.”
“Ke mana?”
“Masuk kemari. Dan berbelok ke kiri.
“Ke kiri?”
“Ya. Kenapa?” anak kecil itu menjadi keheranan.
“Tidak apa-apa nak. Tetapi jangan ber-main-main di tengah jalan. Kau lihat kuda yang berlari kencang ini tadi bukan?”
Anak itu mengangguk.
Kedua orang itu pun berjalan pula menuruti jalan yang ditempuh oleh Kuda Sempana dengan berdebar-debar.
“Jalan ini menuju ke rumah Empu Purwa.”
“Ya,” jawab yang lain.
“Apakah anak itu masih gila seperti dahulu?”
“Mungkin.
Beberapa orang yang mendengar suara kaki
kuda berderap itu pun memerlukan untuk melihatnya. Ketika mereka melihat
kedua orang yang kuat itu, maka mereka kemudian saling berbicara.
“Aku ikut,” berkata beberapa anak muda.
“Apakah Wiraprana di rumah?” bertanya salah seorang di antaranya.
“Mudah-mudahan. Sejak Mahisa Agni pergi,
kemudian Empu Purwa pergi pula, Wirapranalah yang diserahi untuk
mengawasi padepokan itu. Mudah-mudahan ia berada di sana.”
“Tetapi Wiraprana tak dapat mencegahnya seperti dahulu.”
“Wiraprana tidak sendiri. Di padepokan itu ada beberapa orang cantrik.”
“Mari kita lihat. Kita tidak akan membiarkan kawan-kawan kita dicederainya.”
“Anak-anak muda Panawijen bukanlah
anak-anak muda yang senang bertengkar. Kehidupan yang damai selama ini,
sama sekali tidak menggerakkan mereka untuk melakukan
perbuatan-perbuatan kekerasan. Karena itu, maka tidak banyak di antara
mereka, yang telah mempelajari cara-cara tata bela diri. Meskipun
demikian, mereka memiliki kesetia kawanan yang tinggi. Kebiasaan mereka
bekerja bersama-sama. Membuat parit-parit, bendungan dan sambatan
membangun rumah, adalah pencerminan dari cara hidup mereka yang rukun.
Dengan tergesa-gesa beberapa anak muda
itu berjalan mengikuti telapak kaki kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana.
Semakin lama mereka menjadi semakin berdebar-debar. Kuda itu
benar-benar menuju ke padepokan Empu Purwa.
Sebenarnya Kuda Sempana langsung menuju
ke rumah Empu Purwa. Ia takut kalau Mahisa Agni segera pulang, dan
menggagalkan maksudnya pula. Karena itu, maka akan dipergunakannya waktu
sebaik-baiknya. Langsung mengambil gadis itu, dan dibawanya ke Tumapel.
Disembunyikannya gadis itu di rumah sahabatnya, dan akan dihadapinya
setiap bencana yang akan mengancamnya. Sampai nanti saatnya Ken Dedes
melahirkan. Setelah itu, semuanya akan beres. Tak seorang pun yang akan
dapat menuntutnya. Meskipun di Tumapel tinggal pula Mahendra, namun ia
tidak takut melawan anak itu, meskipun ia belum pasti apakah ia akan
dapat mengalahkannya
Meskipun tekadnya telah bulat, namun
semakin dekat Kuda Sempana dengan rumah Empu Purwa, hatinya menjadi
semakin berdebar-debar juga.
Kedatangan Kuda Sempana di padepokan itu
benar-benar mengejutkan. Deru kaki kudanya seakan-akan membelah
kedamaian halaman yang sunyi itu. Beberapa orang cantrik yang sedang
bekerja di halaman, segera meletakkan alat-alat mereka. Dengan bergegas
mereka menengok ke pintu gerbang. Siapakah yang datang berkuda itu?
Ketika mereka melihat seorang anak muda
yang tampan, maka mula-mula mereka menjadi kecewa. Yang mereka harapkan
sejak berhari-hari adalah Mahisa Agni, atau Empu Purwa sendiri. Namun
yang datang bukanlah salah seorang dari mereka.
Tetapi ketika mereka sadar, siapakah anak muda yang masih saja duduk di punggung kuda itu mereka terperanjat.
“Kuda Sempana,” terdengar beberapa orang di antara mereka berdesis.
Kuda Sempana telah menghentikan kudanya.
Namun ia masih duduk di atas punggung kuda itu. Ditebarkannya
pandangannya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang cantrik dan emban
satu demi satu muncul dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah.
Dan dilihatnya pula mereka menjadi terkejut karenanya.
Hati Kuda Sempana itu berdesir ketika
tiba-tiba muncul dari balik pintu pringgitan, seorang anak muda yang
tegap tampan. Wiraprana.
Alangkah terkejutnya Wiraprana itu.
Beberapa saat ia tegak saja seperti patung. Ditatapnya Kuda Sempana yang
masih duduk di atas punggung kuda seperti menatap wajah hantu.
Ketika pada saat itu seorang gadis yang
berlari-lari dari belakang muncul pula di ambang pintu, maka dengan
serta-merta Wiraprana mendorongnya sambil bergumam, “Masuklah. Setan itu
datang lagi.”
Ken Dedes masih belum sempat melihat
siapakah yang datang berkuda itu. Namun ia sadar, bahwa sesuatu yang
tidak wajar pasti terjadi. Karena itu maka ia pun bertanya
perlahan-lahan, “Siapa?”
“Kuda Sempana,” desis Wiraprana.
“He?” Ken Dedes itu pun terkejut bukan
buatan. Terasa tiba-tiba kakinya gemetar dan darahnya seakan-akan
membeku. Dengan suara yang parau ia mencoba menjelaskan, “Kuda Sempana
katamu?”
Wiraprana mengangguk. Desisnya, “Masuklah.”
Ken Dedes tidak membantah. Segera ia beringsut masuk kembali ke dalam rumah, bahkan langsung bersembunyi ke dalam biliknya.
“Emban,” desahnya.
Seorang emban tua datang menghampirinya.
Ketika dilihatnya momongannya menggigil maka dengan heran ia bertanya,
“Siapakah yang datang itu?”
Ken Dedes terbungkam. Ia tidak berani
menyebut nama Kuda Sempana. Bibirnya seakan-akan tabu menyebut nama itu.
Namun tiba-tiba air matanya mengambang di antara pelupuknya.
Patah-patah ia bergumam, “Kenapa ayah tidak segera pulang? Atau Kakang
Mahisa Agni?”
Emban tua itu menjadi bingung. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah yang datang itu?”
“Anak itulah yang telah menghina namaku di belumbang di tepian sungai beberapa bulan yang lalu.”
“Angger Kuda Sempana?”
“Jangan Bibi, jangan kau sebut nama itu. Aku dapat menjadi pingsan karenanya.”
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ia
mendengar pula, apa yang pernah terjadi di pinggir sungai itu. Karena
itu maka ia pun ikut berdebar-debar pula karenanya. Meskipun demikian
emban tua itu masih mencoba menghiburnya, “Jangan cemaskan anak muda
itu. Bukankah Angger Wiraprana sedang berada di rumah ini?”
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Namun
ia tidak berkata apa-apa. Hanya di dalam hatinya terdengar kata-katanya,
“Wiraprana tidak dapat melawannya.”
Karena itu maka Ken Dedes menjadi semakin
cemas. Sekali-sekali matanya beredar di antara dinding-dinding
rumahnya, seolah-olah ia sedang mencari tempat untuk menyembunyikan
dirinya. Namun halaman rumahnya dikelilingi oleh sebuah pagar batu yang
rapat. Sehingga jalan satu-satunya yang dapat dilaluinya, hanya regol
depan. Dan ia tidak berani menampakkan dirinya ke halaman.
Sementara itu di halaman rumah Empu Purwa
yang luas itu Kuda Sempana masih duduk saja di atas punggung kudanya.
Di pintu rumah itu, Wiraprana berdiri tegak dengan tegangnya. Sesaat
mereka hanya saling memandang dengan tajamnya, seakan-akan dari kedua
pasang mata itu memancar dendam yang menyala-nyala.
Ketika kemudian Kuda Sempana meloncat
turun dari kudanya, maka Wiraprana pun melangkah melampaui tlundak
pintu. Perlahan-lahan ia berjalan melewati pendapa dan dengan getar yang
semakin cepat di dalam dadanya, ia melangkah turun tangga dan berdiri
tegak di halaman pula.
Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa
depa. Kuda Sempana masih sempat memandang berkeliling. Dan di sekitar
halaman itu dilihatnya beberapa orang cantrik dan emban berdiri pula
dengan tegangnya.
Kini Kuda Sempana kembali menatap wajah
Wiraprana. Dan tiba-tiba terdengar suaranya bergetar, “Apa kerjamu di
rumah ini Wiraprana?”
Wiraprana menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu maka ia menjawab tegas, “Aku berada di rumah bakal mertuaku.”
“Gila!” teriak Kuda Sempana, “Jangan kau ulangi!”
Wiraprana menjadi berdebar-debar karenanya. Namun ia mengulangi kata-katanya, “Aku berada di rumah mertuaku.”
Kuda Sempana menggeram. Ia tidak berani
berbuat tergesa-gesa. Ia belum yakin benar, apakah selama ini Wiraprana
sama sekali tidak berusaha untuk mempelajari ilmu yang mungkin dapat
menolong dirinya.
Meskipun demikian, anak muda itu
benar-benar telah membakar dadarnya. Sehingga karena itu ia berkata
lantang, “Wiraprana, jangan menyombongkan dirimu. Seandainya kau kini
berkawan dengan dewa-dewa di langit sekali pun, namun kau bagiku tidak
lebih dari seorang anak yang manja. Karena itu, Wiraprana, jangan
mencoba menghalangi aku kali ini. Aku sangat tergesa-gesa.”
“Kau belum mengatakan, apa maksud kedatanganmu?” sahut Wiraprana.
Kuda Sempana menarik alisnya. Ditatapnya
wajah Wiraprana dengan tajamnya. Sesaat kemudian terdengar ia menjawab,
“Jangan memperbodoh diri Wiraprana. Aku datang untuk menjemput bakal
istriku.”
Terasa dada Wiraprana itu berdesir. Ia
sudah menduga apa yang akan dilakukan oleh Kuda Sempana itu. Namun
ketika ia mendengar sendiri jawaban itu, maka mau tidak mau ia menjadi
berdebar-debar. Betapapun ia mencoba menenangkan diri sendiri, namun
sebenarnyalah ia mengetahui dengan pasti, bahwa ia tidak akan mampu
mencegahnya seandainya Kuda Sempana kemudian melakukan kekerasan. Kuda
Sempana kali ini sudah pasti tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah
dilakukannya di tepian sungai beberapa bulan yang lalu. Karena itu maka
tanpa disengajanya, Wiraprana melemparkan pandangan matanya
berkeliling. Dilihatnya beberapa orang cantrik memandangnya dengan
tegang, namun ada di antara mereka yang berdiri saja dengan wajah yang
kosong.
Wiraprana terkejut ketika Kuda Sempana
membentak, “Carilah di antara mereka, siapakah yang akan berani
menghalangi Kuda Sempana.”
Wiraprana menggigit bibirnya. Kuda
Sempana benar-benar menyadari keunggulannya. Dan tiba-tiba Wiraprana itu
menyesal, kenapa Mahisa Agni pergi sudah sekian lamanya masih juga
belum kembali? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sepanjang
perjalanannya? Bahkan Wiraprana itu kemudian seakan-akan menyalahkan
Mahisa Agni. Seakan-akan Mahisa Agni itulah yang mempunyai keharusan
untuk menjaga adik angkatnya. Dan kepergiannya yang terlalu lama itu
merupakan suatu kelengahan. Kini ternyata Kuda Sempana itu benar datang.
Apalagi ketika kemudian terdengar Kuda Sempana itu berkata, “Jangan
mengharap Mahisa Agni akan membantu, Wiraprana. Anak itu masih berada di
Tumapel.”
Wiraprana menggeram. “Apa pula kerja
Mahisa Agni itu di Tumapel?” desah Wiraprana di dalam hatinya, “ternyata
Mahisa Agni lebih mementingkan kesenangannya sendiri daripada
melindungi adik angkatnya itu.”
Meskipun demikian, Wiraprana tidak akan
dapat tinggal berdiam diri. Di sekitarnya berdiri beberapa orang
cantrik. Apapun yang akan terjadi, maka Ken Dedes itu harus
dipertahankan mati-matian. Ia akan berjuang mati-matian, dan para
cantrik itu pasti akan membantunya. Karena itu maka Wiraprana itu pun
menjawab, “ Kuda Sempana. Rumah ini adalah rumah Empu Purwa yang
dikuasakan kepadaku selama Empu Purwa dan Mahisa Agni tidak ada di
rumahnya. Hampir setiap hari aku datang kemari. Karena itu, jangan
mencoba melampaui hak yang ada padaku itu. Dengan baik aku akan mencoba
mempersilakanmu pergi meninggalkan halaman ini.”
Kuda Sempana itu tertawa untuk melepaskan
kejengkelannya. Kenapa Wiraprana itu tidak lebih baik bersembunyi saja,
atau melarikan diri? Maka katanya, “Wiraprana, apakah kau sekarang
mampu memecah langit, sehingga kau berani berdiri tegak di hadapan Kuda
Sempana?”
Betapapun juga, namun Wiraprana
tersinggung mendengar kata-kata itu. Maka dengan marahnya ia menjawab,
“Kuda Sempana, jangan terlalu sombong! Jangan kau sangka bahwa kau akan
mampu menundukkan seluruh isi jagat. Jika setiap usahamu yang kasar itu
kau teruskan, maka aku pasti akan berusaha untuk mencegahnya.”
Sekali lagi Kuda Sempana tertawa
terbahak-bahak untuk melepaskan perasaan yang menghimpit dadanya.
Kemudian katanya lantang, “Sudah aku katakan, waktuku amat sempit.
Minggir, atau aku paksa kau pergi? Bahkan lebih baik bagimu untuk
memanggil Ken Dedes dan antarkan gadis itu kepadaku.”
“Gila!” geram Wiraprana dengan marahnya.
Tetapi bagaimanapun juga ia menyadari keadaannya. Karena itu, ia masih
saja berdiri tegak di tempatnya.
“Jangan bergeser dari tempatmu,
Wiraprana. Aku akan masuk dan membawa Ken Dedes pulang. Sampaikan kepada
Empu Purwa bahwa dengan menyesal aku tidak dapat datang dalam keadaan
yang lebih baik dari sekarang, apabila ia tidak ada di rumah saat ini.”
Wiraprana belum beranjak dari tempatnya.
Namun ia berkata, “Empu Purwa tidak ada di padepokan. Segala kekuasaan
ada di tanganku.”
“Kalau begitu, berikan gadis itu sekarang!”
“Tidak.!
“Jangan keras kepala! Aku bisa memaksamu.”
“Tak ada gunanya.”
“Aku bisa menyingkirkanmu. Tegasnya aku bisa membunuhmu.”
Sekali lagi Wiraprana menebarkan
pandangannya berkeliling. Para cantrik yang setia kepada Empu Purwa itu
sudah tentu tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, tanpa
berjanji mereka melangkah beberapa langkah maju.
“Kau lihat?” geram Wiraprana.
“Huh. Barisan kelinci yang malang. Mereka
akan menyesal atas kesombongan mereka. Juga kau akan menyesal. Sekali
lagi aku minta, bahwa Ken Dedes kemari, atau aku akan mengambilnya.
“Pergi!” bentak Wiraprana dengan marahnya, “Pergi, atau kami memaksa pergi?”
Kuda Sempana tidak menghiraukannya.
Dengan tenangnya ia melangkah maju. Selangkah ia menghindari Wiraprana
untuk terus langsung naik ke pendapa. Namun perbuatannya itu benar-benar
telah membakar hati Wiraprana. Ia merasa seakan-akan dianggap sebagai
tidak ada. Karena itu, alangkah sakit hatinya. Betapapun ia menyadari
keadaannya, namun ia berbesar hati ketika melihat beberapa orang cantrik
pun segera melangkah maju untuk mencegah perbuatan yang gila itu.
Karena itu Wiraprana pun melangkah satu langkah ke samping, langsung
menghadang langkah Kuda Sempana sambil berteriak, “Jangan gila!”
Kuda Sempana sama sekali tidak
memperhatikannya. Ia melangkah terus sehingga dengan demikian, Wiraprana
itu dilanggarnya. Dengan pundaknya ia mendesak dada Wiraprana yang
gagah itu, namun sebenarnya Kuda Sempana kini sudah menjadi semakin
garang, sehingga Wiraprana itu terdorong beberapa langkah surut.
Wiraprana terkejut bukan buatan mengalami
dorongan tenaga Kuda Sempana yang luar biasa itu. Untunglah bahwa ia
tidak terbanting jatuh. Meskipun demikian, Wiraprana terpaksa
mengerahkan tenaganya untuk menjaga keseimbangannya.
Tetapi, meskipun ia telah merasakan
dorongan tenaga Kuda Sempana yang tampaknya masih seenaknya saja itu,
serta dengan demikian dapat mengira-irakan kekuatannya, namun menjadi
kewajibannya untuk mencoba mencegah perbuatan gila itu, apapun
akibatnya. Karena itu maka Wiraprana menjadi mata gelap karenanya. Ia
sudah tidak lagi sempat memperhitungkan apakah kira-kira yang akan
terjadi atasnya.
Maka, dengan serta-merta Wiraprana itu
menangkap lengan Kuda Sempana, menariknya dan kemudian dengan sekuat
tenaganya, Wiraprana itu mengayunkan tinjunya tepat mengarah ke wajah
Kuda Sempana.
Namun, Kuda Sempana kini telati memiliki
ketangkasan jauh lebih maju dari beberapa bulan yang lampau. Karena itu,
ketika ia melihat tangan Wiraprana terayun dengan derasnya ke wajahnya,
maka segera ia menarik kepalanya itu beberapa jengkal ke belakang
sambil memiringkan pundaknya. Namun gerakan yang sederhana itu telah
melepaskannya dari serangan Wiraprana.
Wiraprana yang mengayunkan tangannya
dengan sekuat tenaganya, serta ternyata tangannya tak menyentuh sesuatu
itu, seakan-akan terseret oleh kekuatannya sendiri. Beberapa langkah ia
terdorong ke samping. Namun tak disangka-sangkanya, bahwa pada saat itu,
Kuda Sempana memukulnya pada punggungnya.
Wiraprana yang sedang kehilangan
keseimbangannya, benar-benar tak mampu lagi menolong dirinya. Dengan
tanpa dapat berbuat sesuatu ia terbanting di tanah. Bulat-bulat ia
terjerembab. Sedang wajahnya yang merah membara karena kemarahannya itu
menyentuh tanah.
Para cantrik yang melihat peristiwa itu
terkejut bukan main. Namun pukulan Kuda Sempana itu seolah-olah menjadi
isyarat bagi para cantrik itu untuk bangun dari tidur mereka. Setelah
mereka menyaksikan semuanya yang terjadi dengan mulut ternganga, maka
tiba-tiba mereka merasa bahwa mereka pun berkewajiban untuk mencegah
perbuatan Kuda Sempana yang gila itu. Maka dengan serta-merta mereka pun
berloncatan maju dan hampir bersama pula mereka menyerang Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana telah memperhitungkan peristiwa-peristiwa yang
mungkin terjadi. Demikian ia melihat para cantrik itu menyerangnya, maka
segera ia meloncat menyongsong mereka. Dengan satu gerakan yang
sederhana, maka seorang cantrik telah terpelanting jatuh menimpa tangga
pendapa. Terdengar cantrik itu mengaduh. Namun sesaat kemudian dengan
ter-tatih-tatih ia berusaha untuk bangun kembali.
Pada saat itu ia melihat Wiraprana pun
telah bangun pula. Tampaklah wajahnya yang merah padam. Jantungnya
serasa telah menyala mendidihkan darahnya.. Terdengar giginya gemeretak
dan tangannya menjadi gemetar. Karena itu dengan sepenuh tenaga, segera
ia melepaskan kembali sebuah serangan mengarah ke dada Kuda Sempana.
Kuda Sempana yang melayani
serangan-serangan para cantrik, melihat serangan Wiraprana yang
dilontarkan dengan sepenuh tenaga itu. Namun Kuda Sempana itu menarik
alisnya sambil tertawa pendek.
“Apakah selama ini kau masih saja
tertidur Wiraprana? Serangan-seranganmu datang seperti serangan seekor
babi hutan. Keras, namun sama sekali tak berarti. Dengan satu gerakan
yang sederhana, seranganmu telah dapat dihindari.”
Tetapi Wiraprana telah melontarkan diri.
Karena itu ia tidak dapat menarik serangannya. Dan sebenarnyalah dengan
menarik satu kakinya ke samping, memutar tubuhnya setengah lingkaran,
serangan Wiraprana itu telah dapat dihindari. Sekali lagi Kuda Sempana
mengayunkan tangannya ke arah punggung Wiraprana, dan sekali lagi
Wiraprana yang malang itu terdorong dengan kerasnya, dan jatuh
terjerembab.
Kembali terdengar suara tertawa Kuda
Sempana. Kini suaranya menjadi semakin keras. Serangan para cantrik yang
datang bertubi-tubi itu, dengan mudahnya dapat dihindarinya satu demi
satu. Bahkan beberapa orang cantrik telah terlempar jatuh. Meskipun
kemudian mereka berusaha untuk berdiri tetapi mereka telah menjadi
semakin jera. Kini mereka menyerang dengan ragu-ragu. Meskipun demikian,
satu kesadaran telah mengikat mereka dalam perkelahian itu. Mencegah
perbuatan Kuda Sempana.
Wiraprana yang terjerembab itu pun
kemudian bangun kembali. Kemarahannya menjadi semakin menggelegak di
dalam dadanya. Matanya seakan-akan menjadi menyala, dan mulutnya
terkatup rapat. Dengan cermat ia memandang Kuda Sempana seperti hendak
ditelannya. Dan kemarahannya menjadi semakin membakar ketika ia melihat
Kuda Sempana itu dengan tenangnya berkelahi melawan beberapa orang
cantrik sambil tertawa. Katanya, “Aku masih mencoba berbuat dengan
sebaik-baiknya. Tetapi waktuku tidak banyak. Karena itu sebaiknya kalian
menghentikan perlawanan kalian. Ambillah Ken Dedes dan serahkan
kepadaku. Sebab perlawanan kalian ini pun tak akan berarti.”
“Tulip mulutmu!” bentak Wiraprana.
“Jangan membuat aku semakin marah,” sahut Kuda Sempana.
Tetapi Wiraprana tidak memedulikannya
lagi. Kembali ia mencoba menyerang Kuda Sempana. Serangan Wiraprana itu
telah membangkitkan keberanian para cantrik itu kembali. Karena itu,
maka bersama-sama mereka menyerang Kuda Sempana itu pula
Kuda Sempana kini sudah tidak sabar lagi.
Ia pun takut, kalau Mahisa Agni akan segera datang, meskipun menurut
perhitungannya masih agak jauh. Karena itu, maka segera ia ingin
mengakhiri pertempuran.
Ketika serangan Wiraprana datang kembali,
maka Kuda Sempana sama sekali tidak berusaha untuk menghindarinya.
Dengan sebagian besar tenaganya, ia melawan serangan pula, sehingga
segera terjadi benturan di antara mereka. Tetapi sebenarnyalah bahwa
benturan itu sama sekali tidak seimbang. Wiraprana segera terlempar
beberapa langkah dan kemudian kembali ia jatuh terbanting di tanah.
Yang terdengar adalah suara Kuda Sempana
tertawa dan berkata, “Sudahlah Wiraprana. Tak akan ada gunanya melakukan
perlawanan. Sekali lagi aku peringatkan, jangan membuat aku menjadi
semakin marah.”
Tetapi belum lagi Kuda Sempana selesai,
Wiraprana yang terguling itu telah berusaha berdiri. Sementara itu para
cantrik telah berebutan menyerangnya..
Kuda Sempana kini telah benar-benar
menjadi marah. Karena itu, maka segera ia membalas setiap serangan para
cantrik. Sehingga dengan demikian, maka para cantrik yang hanya pandai
mengatur padepokan dan meladeni upacara-upacara keagamaan itu menjadi
kalang kabut. Satu demi satu, bahkan kadang-kadang dua tiga sekaligus,
yang datang menyerang bersama-sama, berbareng terlempar jauh.
Namun sementara itu Wiraprana telah
berdiri. Dengan marahnya ia menggeram, dan dengan membabi buta ia
menyerang lawannya sejadi-jadinya. Namun Kuda Sempana itu pun menjadi
marah pula Ketika Wiraprana datang menyerangnya, maka selangkah ia
meloncat ke samping sehingga serangan Wiraprana itu tak menyentuhnya.
Tetapi dalam pada itu, maka serangan Kuda Sempana itu pun segera
mengalir seperti bendungan pecah. Sekali tangan Kuda Sempana memukul
lambung Wiraprana sehingga anak muda yang tegap tinggi itu terdorong ke
samping, namun sebelum Wiraprana berhasil memperbaiki keseimbangannya,
tiba-tiba Kuda Sempana yang marah itu meloncat maju. Sebuah pukulan yang
keras mengenai dagu Wiraprana. Ketika wajahnya itu mengangkat, maka
sekali lagi tangan Kuda Sempana terayun deras sekali. Kali ini ke perut
lawannya.
Terdengar sebuah keluhan tertahan. Dan
ketika Kuda Sempana melangkah selangkah mundur, maka tubuh Wiraprana itu
pun kemudian jatuh terkulai di tanah.
Kuda Sempana menarik nafas panjang.
Dengan mata yang merah menyala ia memandang wajah-wajah yang berdiri di
sekitarnya. Para cantrik yang melihat peristiwa itu menjadi ngeri
karenanya
“Siapa lagi?” desis Kuda Sempana.
Tak seorang pun yang berani beranjak dari tempatnya.
“Kalau tak ada yang mau mencoba lagi, jangan halangi aku mengambil Ken Dedes. Di mana ia sekarang?”
Para cantrik itu pun menjadi gelisah.
Namun tak seorang pun menjawab. Mereka terpaku seperti tonggak. Berdiri
saja dengan mata tak berkedip.
“Hem,” geram Wiraprana, “kalau tak ada di antara kalian yang mau menunjukkan, biarlah aku cari sendiri.”
—–
Ketika wajah Wiraprana terangkat, maka sekali lagi tangan Kuda Sempana terayun keras sekali. Kali ini ke perut lawannya.
—–
Ketika wajah Wiraprana terangkat, maka sekali lagi tangan Kuda Sempana terayun keras sekali. Kali ini ke perut lawannya.
—–
Tetapi para cantrik itu tak dapat
membiarkan Kuda Sempana mengambil Ken Dedes. Karena itu tanpa mereka
sengaja, mereka berteriak, “Jangan!”
Mata Kuda Sempana menjadi semakin menyala. Ditatapnya wajah para cantrik itu sambil berteriak, “Siapa yang akan menghalangi?”
Kembali para cantrik itu terdiam. Dan
kembali Kuda Sempana melangkah maju. Namun langkahnya itu terhenti
ketika para cantrik pun bergerak maju.
“Apakah yang akan kalian lakukan?” bentak Kuda Sempana.
Para cantrik itu terdiam.
Kuda Sempana yang melihat tingkah laku
para cantrik itu menjadi sangat marah. Dengan serta-merta ia meloncat
menyerbu. Setiap kali tangan dan kakinya bergerak, setiap kali seorang
cantrik terpelanting jatuh sambil mengeluh pendek. Tubuh-tubuh yang
terbanting itu merasa, seakan-akan segenap tulang belulangnya menjadi
remuk. Dan karena itulah maka mereka tidak lagi sempat untuk berdiri,
ketika mereka melihat Kuda Sempana meloncat dan berlari memasuki
pringgitan lewat pendapa rumah Empu Purwa itu.
Yang terdengar adalah suara Wiraprana
terbata-bata, “Jangan, jangan. Namun tubuhnya terasa sangat lemahnya.
Tulang-tulang iganya seperti lepas terpecah-pecah. Sekali ia mencoba
bergerak, namun perasaan nyeri menyengat seluruh tubuhnya.
Karena itu, maka kini tak seorang pun yang dapat menahan Kuda Sempana. Ia berlari saja masuk ke dalam rumah.
Namun rumah itu sedemikian sunyinya.
Sekali-kali ia mencoba menengok
bilik-bilik yang ada di dalam rumah itu. Sentong tengah, sentong kiri
dan kanan, namun tak dijumpai seorang pun. Dengan gelisah ia meloncat
dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Namun ruangan-ruangan itu telah
kosong.
Kini dengan geramnya Kuda Sempana
meloncat ke gandok sebelah kiri. Namun gandok ini pun ditemuinya kosong.
Dan karenanya Kuda Sempana segera berlari ke gandok sebelah kanan.
Diloncatinya setiap pintu, dan dijenguknya setiap ruangan.
“Gila!” desahnya. Dan Kuda Sempanalah
yang sebenarnya hampir gila. Sekali lagi ia berlari- lari di dalam rumah
itu. Seluruh ruangan telah dimasukinya dan hampir seluruh
sudut-sudutnya telah dilihatnya. Namun Ken Dedes tidak ditemukannya.
Ketika sekali ia meloncati pintu
belakang, dan dilihatnya seorang perempuan yang bersembunyi di balik
sebuah tumpukan batu, dengan serta-merta Kuda Sempana meloncat
menghampiri. Namun ternyata perempuan itu adalah seorang yang sedang
ketakutan.
“Gila!” umpatnya sekali lagi.
“Di mana Ken Dedes?” bentaknya.
Endang yang ketakutan itu menjadi semakin takut. Tiba-tiba ia terduduk lemas karena kakinya yang gemetar.
“Di mana Ken Dedes?” Kuda Sempana berteriak.
Endang itu menggeleng lemah. Dan tubuhnya
menggigil ketika tangan Kuda Sempana memegang bahunya kuat-kuat sambil
mengguncang-guncang tubuhnya.
“Di mana Ken Dedes? Cepat!”
“Aku tidak tahu,” jawab endang itu tergagap.
“Bohong. Ayo, tunjukkan di mana Ken Dedes.
Endang itu menjadi semakin takut.
Meskipun bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun yang dapat
diucapkan, sehingga Kuda Sempana menjadi semakin marah. Tetapi ketika
sekali lagi ia mengguncang tubuh endang yang ketakutan itu, maka ia
mengumpat, “Setan!” Dibiarkannya endang yang ketakutan itu terbaring
pingsan.
Kini Kuda Sempana tidak mencari Ken Dedes
di dalam rumah. Cepat ia berlari ke dapur. Di sekitar dapur itu
dilihatnya beberapa bilik tempat para endang. Karena itu, maka dengan
marahnya satu demi satu bilik itu dimasukinya.
Ketika Kuda Sempana sampai di bilik yang
paling ujung, bilik seorang emban tua, maka dengan serta-merta
ditariknya pintu bilik yang masih tertutup itu. Demikian pintu itu
terbuka, maka alangkah terkejutnya. Kuda Sempana itu tegak di muka pintu
dengan wajah yang tegang. Sedang di dalam bilik itu terdengar sebuah
jerit pendek.
“Hem,” geram Kuda Sempana, “akhirnya kau kutemukan juga.”
Ken Dedes yang berada di dalam bilik itu
bersama pemomongnya yang telah mencoba menyembunyikannya menjadi
terkejut pula. Dengan gemetar ia memandang Kuda Sempana yang menakutkan
itu. Dengan demikian, maka Ken Dedes dapat membayangkan bahwa Wiraprana
dan para cantrik tidak berhasil mencegah orang yang hampir menjadi gila
ini.
Dengan demikian, maka ketakutan yang amat
sangat menjalar di dada Ken Dedes. Apa yang pernah terjadi, ternyata
kini berulang kembali.
“Ken Dedes,” berkata kuda Sempana dengan
suara parau, “maafkan aku, kalau aku memilih cara ini untuk mengambilmu.
Kalau kau tidak keras hati, maka pasti aku akan menempuh jalan lain.
Tetapi jalan lain itu kini telah tertutup sama sekali. Karena itu, maka
jalan satu-satunya adalah cara ini.”
Ken Dedes memandang Kuda Sempana dengan
muaknya. Betapapun ia menjadi takut, namun ia tidak dapat membiarkan
dirinya dijamah oleh iblis itu. Karena itu maka katanya, “Kuda Sempana,
itu sama sekali bukan cara seorang jantan.”
Kuda Sempana terkejut, katanya, “Aku
telah berhadapan dengan Wiraprana. Laki-laki yang akan menjadi suamimu
itu. Aku telah bertempur melawannya. Bukan aku yang tidak bersikap
jantan, namun Wirapranalah yang berlaku demikian. Sebab ia tidak
bertempur seorang melawan seorang. Ia telah bertempur bersama-sama para
cantrik melawan aku. Apakah dengan demikian aku kurang bersikap jantan?”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wiraprana telah dikalahkan. Tetapi bagaimanakah nasibnya? Apakah anak muda itu telah terbunuh?
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada
Ken Dedes. Takut, cemas dan pertanyaan- pertanyaan yang timbul tentang
nasib Wiraprana. Namun dengan demikian, tiba-tiba gadis itu mengangkat
wajahnya. Ketika ia tidak melihat lagi jalan untuk melepaskan diri, maka
dengan lantangnya ia berkata, “Kuda Sempana. Jangan mencoba menyentuh
kulitku!”
Wajah Kuda Sempana yang merah padam itu
kini menjadi semakin menyala. Dengan geramnya ia berkata, “Ken Dedes,
aku telah mengalahkan setiap laki-laki yang ada di padepokan ini. Apakah
yang akan dapat kau lakukan?”
Ken Dedes itu kini justru tidak menjadi
gemetar lagi. Dengan dada tengadah ia berkata, “Kuda Sempana, kau
mungkin dapat mengalahkan sedap orang yang menghalang-halangi maksudmu.
Namun kau tak akan dapat mengalahkan aku sendiri. Sebab bagiku, lebih
baik aku mati daripada menjadi istri pelarian.”
“Jangan gila!” sahut Kuda Sempana, “kau
tak akan mati. Mungkin kau belum merasakan keindahan rumah tangga kita
kelak. Tetapi jangan kau coba membunuh dirimu sendiri.”
“Apa pedulimu? Dan ternyata kau tidak akan mengalahkan maut itu.”
Kuda Sempana itu terdiam sesaat.
Dilihatnya di belakang Ken Dedes berdiri seorang emban tua dengan mata
yang memandangnya dengan penuh kebencian. Namun Kuda Sempana sama sekali
tidak memperhatikannya. Baru ketika emban itu berkata, “Kuda Sempana,
adakah Angger telah berpikir masak-masak tentang apa yang Angger
lakukan?”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Apa kau sangka, kau cukup bernilai untuk memberi aku nasihat?”
“Aku tidak memberi nasihat, Ngger. Tetapi
sebagai seorang tua aku heran melihat tingkah Angger. Bukankah Angger
seorang yang cukup jantan?”
l
“Sudah aku katakan. Aku telah bertempur melawan lebih dari tujuh orang laki-laki di halaman?”
“Tetapi apakah Angger tidak mendengar, bahwa di padepokan ini akan dilangsungkan sayembara tanding?”
“Gila! Apakah kau mengigau?”
“Tidak. Sesudah Nini dipertunangkan
dengan Angger Wiraprana, masih saja banyak sekali lamaran-lamaran yang
datang. Karena itu, maka segera akan diadakan sayembara tanding.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Bohong! Jangan banyak bicara!”
Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Jangan mencoba melawan!”
Tetapi Kuda Sempana menjadi sangat
terkejut. Demikian ia melangkah maju maka tiba-tiba dilihatnya sebuah
patrem di tangan emban itu. Dan dengan tidak disangka-sangka maka emban
itu berkata, “Jangan jamah momonganku!”
“Gila! Apa yang akan kau lakukan?”
Emban tua itu tidak menjawab. Tetapi
sekali lagi Kuda Sempana tidak menyangka, bahwa emban tua itu menarik
kainnya, dan disangkutkannya pada ikat pinggangnya. Kemudian hilanglah
wajah yang suram. Kini wajah emban itu menjadi tegang. Dengan patrern di
tangan ia melangkah maju. Katanya, “Angger Kuda Sempana. Kau telah
mengalahkan setiap laki-laki di padepokan ini. Namun kau belum
mengalahkan aku.”
Ken Dedes sendiri menjadi terkejut bukan
buatan. Tidak disangkanya bahwa embannya itu sedemikian setianya
kepadanya. Sehingga karena itu, maka ia tertegun diam seperti patung.
Kuda Sempana terpaku diam di tempatnya.
Namun ketika ia menyadari keadaannya, maka ia terdengar tertawa
terbahak-bahak seperti akan meruntuhkan rumah itu.
Kuda Sempana itu menjadi marah bereampur
geli. Seakan-akan ia sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan lawak yang
lucu, namun memuakkannya. Karena itu, maka untuk melepaskan
kejengkelannya, kemarahannya dan segala macam perasaan yang bereampur
baur di dalam dadanya, Kuda Sempana itu tertawa seperti orang kerasukan
setan.
Ken Dedes yang masih terpaku karena
keheranannya melihat sikap embannya itu, kemudian menjadi tersadar pula
akan keadaannya. Di mukanya berdiri hantu yang sedang tertawa,
seakan-akan mendapat mangsa yang menyenangkan. Sedang apa yang dilakukan
oleh embannya itu sama sekali tak akan dapat menolongnya.
Tetapi ketika Kuda Sempana sedang
melepaskan benturan- benturan perasaan yang menghimpit dadanya,
terdengar emban itu berbisik lirih, “Nini. Biarlah aku mencoba mengikat
anak muda ini meskipun hanya sesaat. Dan cobalah mempergunakan waktu itu
untuk melarikan diri ke luar halaman.”
Ken Dedes mendengar bisikan itu. Tetapi
sejenak ia ragu-ragu. Apakah usaha itu berhasil? Namun segala usaha
akan. Ditempuhnya. Ia akan mencoba melakukan nasihat embannya itu.
Tetapi apakah yang akan terjadi dengan emban tua itu?”
Dalam pada itu Kuda Sempana telah hampir
berhenti tertawa. Matanya yang menyala itu memandang emban tua itu
dengan penuh nafsu, seakan-akan emban tua itu akan diremasnya sampai
lumat.
“He, perempuan tua! Jangan membuat aku
bertambah marah. Dengan ujung jariku aku akan dapat membunuhmu. Dan
kalau aku menjadi bertambah-tambah marah, rumah ini akan aku bakar dan
kalian yang telah menentang kehendakku akan aku benamkan ke dalam api.”
“Itu akan menjadi lebih baik,” jawab emban itu, “kematian kami akan menjadi sempurna.”
“Gila! Kau benar-benar gila!” teriak Kuda
Sempana. Namun kemudian ia mencoba untuk mengabaikan perempuan itu.
Katanya kepada Ken Dedes, “Ken Dedes ikut aku!”
Ken Dedes itu menjadi gemetar kembali. Namun terdengar ia menjawab lantang, “Tidak!”
“Kalau tidak, aku akan memaksamu. Menangkapmu dan membawamu lari dengan kudaku.”
Ken Dedes itu terbungkam. Alangkah
ngerinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Kuda Sempana itu
berdiri di ambang pintu bilik itu satu-satunya.
Kuda Sempana itu pun kemudian tidak
bersabar lagi. Sekali ia meloncat untuk menangkap Ken Dedes. Namun
kembali anak muda pelayan dalam Akuwu Tumapel itu terkejut bukan buatan.
Demikian ia meloncat maju, maka perempuan tua itu meloncat pula dengan
lincahnya menghalanginya. Sambil berdiri di muka Ken Dedes, emban itu
berkata, “Sudah aku katakan. Selama aku masih berdiri di sini, jangan
jamah momonganku.”
Mata Kuda Sempana seperti akan meloncat
keluar melihat sikap emban tua itu. Bukan sekedar sikap seorang tua yang
bunuh diri. Tetapi kakinya miring, serta lututnya yang merendah
sedikit, adalah sikap yang meyakinkan. Karena itulah maka Kuda Sempana
itu tertegun sejenak. Ditatapnya perempuan tua itu dengan tajamnya. Dan
kemudian terdengar ia menggeram, “Jangan menghalangi aku! Sisa-sisa
umurmu itu akan terempas habis bersama kesombonganmu.”
Perempuan itu tidak menjawab. Namun patremnya terangkat setinggi dada mengarah kepada lawannya.
Kuda Sempana menjadi semakin marah karenanya. Dan perempuan itu masih juga menghalanginya.
Namun dalam pada itu, Kuda Sempana itu
tidak mengetahuinya, bahkan Ken Dedes pun tidak, bahwa perempuan yang
berdiri di hadapannya itu adalah ibu Mahisa Agni. Perempuan itu adalah
bekas istri seorang laki-laki yang mendambakan dirinya pada
kekuatan-kekuatan kanuragan dan kesaktian. Meskipun perempuan itu belum
pernah berguru kepada siapa pun juga, namun untuk menyenangkan hati
suaminya, ia telah mencoba untuk mengikuti setiap kesenangan dan
kebiasaannya. Bahkan sebelum itu pun ia adalah seorang gadis yang sedang
dilanda oleh angan-angan tentang seorang laki-laki yang sakti, yang
merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Berjuang untuk menemukan
buat bekal hari depannya. Karena itulah maka hidupnya pun selalu
diliputi oleh angan-angan yang demikian. Sedikit demi sedikit ia mampu
juga untuk menirukan suaminya, dan bahkan mencoba untuk berbuat serupa.
Meskipun setiap kali suaminya menertawakannya, namun ia berbuat terus.
Mula-mula hanyalah sebuah permainan dalam senda gurau pengantin baru.
Namun semakin lama, gerak-gerak itu dipahami pula.
Tetapi bukan itulah yang telah menempa
perempuan itu. Sejak ia membuang diri, menjauhi pergaulan manusia karena
dosa-dosa yang mengejarnya, maka kemampuan-kemampuan yang tersimpan di
dalam tubuhnya itu sedikit demi sedikit terungkapkan. Sekali-kali ia
mencoba juga menolong perempuan-perempuan yang ketakutan dikejar-kejar
oleh beberapa perampok kecil di perjalanan. Sekali-kali ia mampu juga
untuk melindungi dirinya dari segenap bahaya. Waktu itu ia adalah
seorang janda muda yang kadang-kadang masih dapat menyalakan hati
laki-laki. Dalam masa pembuangan diri itulah, maka perempuan itu
menemukan berbagai hal yang mematangkan lahir dan batinnya.
Kini, setelah sekian lamanya,
kemampuan-kemampuan yang aneh bagi kebiasaan perempuan itu disimpannya,
tiba-tiba seperti bendungan yang pecah, maka terngangalah kesempatan
untuk menyalurkannya. Meskipun perempuan itu, sadar, sesadarnya, bahwa
Kuda Sempana itu bukan lawannya. Bahwa kekuatannya jasmaniahnya, telah
susut. Bukan saja karena umurnya, namun karena ia sama sekali tidak
pernah mempergunakannya lagi sejak ia tinggal di padepokan Empu Purwa.
Tetapi kini sebenarnya ia sama sekali
memang tidak akan mengalahkan Kuda Sempana, Ia hanya ingin memberi waktu
kepada Ken Dedes untuk melarikan dirinya keluar halaman dan bersembunyi
di mana saja. Meskipun kemudian dirinya sendiri menjadi korban
karenanya, namun ia benar-benar ingin menyelamatkan gadis yang menjadi
momongannya itu.
Kuda Sempana yang marah itu, kini sudah
tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Karena itu segera ia berteriak,
“Minggir! Atau mampus kau perempuan sekarat!”
Tetapi Kuda Sempana itu menjadi kecewa.
Ternyata perempuan itu mampu meloncat menghindari serangannya. Bahkan
kemudian tangannya yang kecil berkeriput itu terjulur lurus ke
lambungnya. Cepat Kuda Sempana mengelakkan ujung patrem yang hampir saja
menyengatnya sambil berdesis, “Setan! Kau benar-benar ingin kuremukkan
kepalamu.”
Namun perempuan tua itu tidak
memedulikannya. Sekali lagi ia bergeser maju sambil memutar patremnya.
Dan sekali lagi Kuda Sempana terpaksa bergeser mundur. Timbullah
berbagai pertanyaan di dalam dadanya, siapakah gerangan perempuan aneh
ini? Setelah sekali dua kali ia melihat geraknya, maka Kuda Sempana
dapat meraba-raba bahwa sebenarnya perempuan itu telah mengenal gula
ilmu tata bela diri. Karena itu, maka dengan mengumpat-umpat tak
habis-habis ia terpaksa melayani.
Tetapi dengan demikian, Kuda Sempana
lupa, bahwa satu-satunya pintu bilik itu telah terbuka bagi Ken Dedes.
Ketika perkelahian itu berkisar dari tempatnya, maka pada suatu saat
Kuda Sempana berdiri bertentangan dengan pintu itu. Kesempatan itulah
yang ditunggu-tunggu oleh perempuan tua itu. Seperti orang yang
kehilangan kesadaran perempuan itu menyerang sejadi-jadinya. Ternyata
tangannya yang kecil itu mampu juga mempermainkan patrem dengan baiknya.
Dalam pada itu, maka ketika Kuda Sempana
menjadi agak lupa atas pintu itu, berkatalah perempuan itu, “Nini,
tinggalkan ruangan ini!”
“Gila!” teriak Kuda Sempana, “Jangan kau coba!”
Ken Dedes yang terpaku melihat
perkelahian itu, seakan-akan tersadar dari tidurnya. Pintu itu kini
tidak lagi dihantui oleh bayangan Kuda Sempana. Karena itu, maka dengan
serta-merta ia berlari menghambur keluar;
“Ken Dedes!” teriak Kuda Sempana. Namun Ken Dedes berlari terus.
Karena itulah maka perhatian Kuda Sempana
menjadi terpecah. Sebagian perhatiannya terikat kepada perkelahian itu,
sedang sebagian lagi mengikuti langkah Ken Dedes. Namun Kuda Sempana
adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu segera ia mampu
menemukan keseimbangan pikirannya kembali. Perempuan yang menghalanginya
itu harus disingkirkan, baru ia akan berlari mengejar Ken Dedes.
Ternyata perempuan itu memang bukan lawan
Kuda Sempana. Ia hanya sekedar dapat memancing perhatian Kuda Sempana.
Karena itu, ketika Kuda Sempana itu menjadi marah, maka dengan sekali
loncat ia berhasil mendesak perempuan itu ke sudut. Kemudian dengan
garangnya ia menyerangnya dengan kakinya. Tetapi perempuan tua itu masih
juga membela dirinya untuk memberi kesempatan kepada Ken Dedes
meninggalkan halaman itu. Karena itu, maka ketika kaki Kuda Sempana
terjulur ke arahnya, maka segera ia menarik patremnya menyongsong
setangan kaki itu.
Tetapi Kuda Sempana tidak membiarkan
kakinya terluka. Cepat ia menarik serangannya, dan dengan cepatnya ia
berputar di atas satu kakinya, sedang kaki yang lain segera menyambar
tangan perempuan tua yang memegang patrem itu. Namun Kuda Sempana
mengumpat. Tangan yang telah kurus itu ternyata masih juga cekatan,
sehingga kaki Kuda Sempana tak menyentuhnya.
Demikianlah Kuda Sempana menjadi semakin
marah karenanya. Tetapi di samping itu, ia menjadi gelisah pula atas
gadis yang melarikan diri. Tetapi kegelisahannya itu telah mendorongnya
untuk lebih mempercepat penyelesaian atas perempuan tua itu.
Ken Dedes, yang telah berhasil keluar
dari bilik itu, segera berlari ke halaman depan. Maksudnya akan berlari
keluar halaman dan bersembunyi di rumah di sekitarnya. Tetapi ketika ia
turun dari pendapa, Ken Dedes itu terkejut bukan main. Dilihatnya
beberapa orang cantrik terbaring di tanah, dan beberapa orang yang lain
mencoba merangkak bangkit. Tetapi Ken Dedes itu lebih terkejut lagi
ketika dilihatnya di antara mereka Wiraprana pun yang dengan susah payah
berusaha untuk bangkit.,
“Kakang!” teriak Ken Dedes
Wiraprana menggigit bibirnya. Dengan suram ia memandang gadis itu. Desahnya, “Di manakah Kuda Sempana?”
“Di belakang,” sahut Ken Dedes yang dengan serta-merta bersimpuh di sampingnya.
“Kau dapat lepas dari tangannya?”
“Ya. Bibi emban sedang berkelahi melawannya?”
“Emban yang mana?” bertanya Wiraprana heran.
“Emban tua. Pemomongku.”
Wiraprana tidak mengerti akan keterangan
itu. Emban tua, pemomong Ken Dedes. Aneh. Tetapi ia tidak sempat untuk
bertanya terlalu banyak. Wiraprana itu pun kemudian berpikir tentang
nasib Ken Dedes. Karena itu katanya, “Lalu apakah yang akan kau lakukan
sekarang.”
“Bersembunyi selagi masih ada kesempatan.”
“Baik. Bersembunyilah di rumah tetangga. Apakah Kuda Sempana akan memasukinya satu demi satu?”
“Ya.”
“Nah. Pergilah.”
Tetapi Ken Dedes tidak segera berdiri, sehingga Wiraprana itu menegurnya, “Pergilah selagi ada kemungkinan.
“Lalu bagaimanakah dengan kau, Kakang?”
“Biarkan aku. Aku tidak apa-apa.”
“Tetapi bagaimanakah nanti kalau Kuda Sempana itu kembali kemari?”
“Biarkan aku. Pergilah. Pergilah secepatnya sebelum Kuda Sempana datang.”
Ken Dedes pun berdiri. Namun ia masih
ragu-ragu karenanya. Ia tidak sampai hati meninggalkan Wiraprana yang
wajahnya merah biru sedang darah mengalir dari hidungnya.
Wajah yang demikian itu pulalah yang
pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu di bendungan. Dan ternyata
kini berulang kembali.
“Ken Dedes pergilah cepat. Cepat!”
Ken Dedes itu pun segera melangkah, namun ia sudah terlambat. Dari balik pintu pringgitan muncullah Kuda Sempana berlari-lari.
Ternyata dengan cepat Kuda Sempana telah
berhasil mendorong emban tua itu jatuh terbanting. Betapa berat tangan
Kuda Sempana itu, sehingga emban yang sudah tua itu tidak mampu untuk
segera bangkit kembali. Dengan nafas terengah-engah perempuan itu
mencoba untuk bangun, namun tubuhnya terasa seperti tidak bertulang
lagi. Meskipun demikian, selagi Kuda Sempana masih tampak di matanya,
segera ia melemparkan patremnya, ke arah anak muda itu. Tetapi sama
sekali tidak berarti. Sebab dengan cepatnya Kuda Sempana berhasil
menghindarinya.
Oleh kemarahan Kuda Sempana yang telah
memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka anak muda itu bermaksud membunuh
saja emban yang telah mencoba mengganggunya, tetapi segera ia teringat
kepada Ken Dedes. Dengan demikian ia menggeram, “He perempuan celaka.
Biarlah kau hidup sampai aku berhasil menangkap Ken Dedes.”
Kuda Sempana itu segera meloncat berlari, dan sampai di halaman ia menarik nafas lega. Ia masih melihat Ken Dedes di situ.
Ken Dedes yang melihat kedatangan Kuda
Sempana itu kembali menjadi gemetar. Kin tak ada lagi yang dapat
diharapkan untuk melindungi dirinya. Karena itu, maka dalam kebingungan
ia melangkah terus. Berlari meninggalkan halaman rumahnya. Tetapi Kuda
Sempana pun berlari pula mengejarnya. Wiraprana yang masih belum dapat
bergerak memandangnya dengan penuh kecemasan. Sehingga karenanya tanpa
sesadarnya ia berteriak, “Kuda Sempana. Kau benar-benar telah
kepanjingan setan. Kemarilah kalau kau jantan.”
“Mampuslah kau Wiraprana,” sahut Kuda Sempana, “ambil berlari mengejar Ken Dedes.”
Demikian Ken Dedes meloncat keluar dari
pintu halamannya, dilihatnya beberapa anak muda berdiri di luar. Dengan
serta-merta ia berteriak, “Tolong! Tolonglah aku.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan.
Kuda Sempana bukan orang yang dapat mereka lawan. Mereka tidak lebih
dari beberapa orang cantrik yang telah terbaring di halaman Empu Purwa
itu. Namun meskipun demikian anak-anak muda itu masih tetap berdiri
tegak di tempatnya. Sudah barang tentu mereka tak akan dapat membiarkan
seorang gadis dari lingkungannya mengalami nasib yang memedihkan.
Sesaat kemudian muncullah Kuda Sempana
dari pintu gerbang itu pula. Ketika ia melihat beberapa anak muda
berdiri di hadapannya, maka langkahnya tertegun. Dengan kemarahan yang
menyala-nyala ia berteriak, “Apakah yang akan kalian lakukan?”
Tak seorang pun dari anak-anak muda itu
yang menjawab. Mereka telah melihat apa yang terjadi di halaman. Tetapi
mereka pun tak sampai hati melepaskan Ken Dedes dibawanya. Karena itu
mereka masih saja berdiri tegak hampir berhimpitan. Sedang Ken Dedes
yang gemetar berdiri di belakang mereka.
Kuda Sempana yang marah itu menjadi
semakin marah. Ketika selangkah ia maju, maka anak-anak muda Panawijen
itu pun berdesakan mundur. Mereka tidak berani langsung menentang
kekerasan yang memancar dari mata Kuda Sempana Itu.
Alangkah kecewanya Ken Dedes melihat
kawan-kawannya yang ketakutan itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat
menggantungkan dirinya kepada mereka. Sebab ternyata pula, ketika Kuda
Sempana maju selangkah lagi, maka mereka pun telah berebut untuk
menghindar.
Kuda Sempana yang marah itu pun kemudian berteriak, “Pergi! Pergi. Biarkan aku berbuat menurut kehendakku.”
Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu.
Sekali lagi mereka saling berpandangan. Meskipun demikian, terpancarlah
dari wajah-wajah mereka, bahwa mereka sama sekali tidak ikhlas melihat
peristiwa itu. Tetapi mereka kurang keberanian untuk mencegahnya. Sebab
mereka tahu, siapakah Kuda Sempana itu.
Kuda Sempana itu pun kemudian tidak
bersabar lagi. Sekali lagi ia berteriak, “Pergi! Pergi, atau siapakah
yang akan mati dahulu di antara kalian? Beberapa orang telah mencoba
mencegah kemauanku. Sekarang kalian memperlambat pula. Karena itu, maka
kemarahan yang bertumpuk undung di dalam dadaku, akan aku tumpahkan
kepada kalian. Siapa yang tidak menuruti kemauanku meninggalkan tempat
ini maka merelalah yang akan mati lebih dahulu.”
Anak-anak muda itu menjadi semakin cemas.
Kuda Sempana benar-benar akan membunuh mereka yang mencoba menghalangi
kemauannya. Tetapi apakah Kuda Sempana itu akan dibiarkannya untuk
membawa Ken Dedes pergi.
Ken Dedes yang menggigil di belakang
mereka itu menjadi semakin takut. Anak-anak muda Panawijen ternyata
kurang memiliki keberanian. Karena itu ia berbisik dengan suara gemetar,
“Tolonglah aku, Tolonglah.”
Sesaat ketika anak-anak muda itu
mendengar suara Ken Dedes, mereka menjadi iba, dan seolah-olah mereka
pun segera akan melindunginya. Namun apabila terpandang oleh mereka itu
mata Kuda Sempana, maka kembali hati mereka keriput.
Kuda Sempana yang marah itu pun kemudian
berkata, “Aku akan melangkah langsung mengambil gadis itu. Mingggir,atau
siapa yang masih berdiri di hadapanku akan aku binasakan.”
Kuda Sempana tidak menunggu apapun lagi.
Selanglah ia maju, dan anak-anak muda itu pun mundur pula. Ketika Kuda
Sempana maju lagi, mereka pun mundur lagi selangkah. Dan ketika langkah
Kuda Sen paria menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba mereka itu pun
menyibak.
“Tolong, tolonglah aku!” jerit Ken Dedes.
Namun anak-anak muda itu telah menyibak, seakan-akan sengaja memberi
jalan kepada Kuda Sempana untuk langsung dapat menangkap Ken Dedes.
Ken Dedes menjadi bertambah ketakutan.
Terbayanglah peristiwa yang mengerikan akan menimpanya. Karena itu tanpa
malu-malu ia mengguncang-guncang tubuh seorang anak muda yang berdiri
di dekatnya, “Cegahlah, cegahlah. Aku tidak mau! Aku tidak mau!”
Hati anak muda itu pun terguncang pula.
Alangkah ibanya kepada gadis itu. Tetapi ia tidak mau mati. Karena itu
ia menjadi ragu-ragu.
Dalam pada itu Kuda Sempana melangkah
terus. Setiap langkah yang diayunkan, terasa seakan-akan sebuah tusukan
sembilu di dada Ken Dedes. Sekali lagi ia mencoba menjerit sambil
mengguncang-guncang tubuh anak muda yang berdiri di hadapannya, “Aku
tidak mau! Aku tidak mau!”
Tetapi pemuda itu tidak berani menatap
nyala yang memancar dari mata Kuda Sempana. Karena itu, maka ia pun
kemudian bergeser mundur.
Pada saat yang demikian, pada saat Ken
Dedes menjadi berputus asa, serta pada saat anak-anak muda Panawijen
kehilangan akal, maka mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang
menggema di padukuhan itu. Suaranya gemeretak seperti suara guruh yang
sahut menyahut berputaran.
Kuda Sempana terkejut mendengar derap
kuda itu. Sesaat langkahnya tertegun. Diangkatnya wajahnya dan dicobanya
untuk mengetahui, dari manakah arah suara itu.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda
itu. Sekilas tebersit gambaran anak muda yang bernama Mahisa Agni.
“Tidak mungkin,” katanya di dalam hati, “anak itu berjalan kaki. Kalau
ia tergesa-gesa pulang, secepatnya tengah malam nanti ia akan sampai.”
Kemudian katanya pula di dalam hatinya itu, “Seandainya anak muda itu
datang, maka aku sekarang tidak akan gentar lagi untuk menghadapnya.”
Meskipun demikian Kuda Sempana itu
menjadi gelisah pula. Ketika tampak di matanya anak-anak muda Panawijen
itu pun menjadi terkejut dan memerhatikan suara derap kuda itu, maka
terdengar ia berteriak, “Minggir, cepat!”
Namun sebelum Kuda Sempana meloncat
menangkap Ken Dedes, maka terasa sesuatu berdesir di dalam hatinya. Dari
tikungan dilihatnya seekor kuda meluncur secepat anak panah yang lepas
dari busurnya. Debu putih mengepul berhamburan di belakang kaki-kaki
kuda itu. Dan ketika Kuda Sempana melihat penunggangnya, jantung serasa
berhenti berdenyut.
“Mahisa,” Agni desisnya.
Anak muda itu adalah Mahisa Agni. Hatinya
tersirap ketika ia melihat beberapa orang berkerumun di muka gerbang
halaman rumah gurunya. Kudanya yang berlari kencang itu dicambuknya
sehingga seakan-akan kuda itu terbang.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama.
Segera ia sampai di antara anak-anak muda yang berkerumun itu. Dengan
sekuat tenaga ditariknya kekang kudanya, sehingga kuda itu meringkik
sambil tegak di atas kedua kaki belakangnya. Demikian kuda itu
menjejakkan kaki depannya, demikian Mahisa Agni meloncat turun.
Yang mula-mula terdengar adalah suara Ken Dedes menjerit, “Kakang. Kakang Mahisa Agni!”
Sebelum Kuda Sempana sempat menangkapnya,
gadis itu meloncat berlari ke arah Mahisa Agni. Gadis yang ketakutan
dan hampir berputus asa itu, dengan serta-merta memeluk tubuh Mahisa
Agni sambil memuntahkan segenap himpitan perasaan di dalam dadanya. Ken
Dedes itu menangis seperti kanak-kanak.
Ketika tersentuh olehnya tubuh Mahisa
Agni, yang dianggapnya sebagai kakak kandungnya itu, maka terasa
seakan-akan ia telah menemukan perlindungan. Sebagai anak ayam yang
bersembunyi dibalik sayap induk ketika seekor elang mengintainya,
demikianlah apa yang dilakukan oleh Ken Dedes itu.
—–
Sebelum Kuda Sempana menangkapnya, gadis itu meloncat berlari ke arah Mahisa Agni. Gadis yang ketakutan dan hampir berputus asa itu,dengan serta-merta memeluk tubuh Mahisa Agni …..
—–
Sebelum Kuda Sempana menangkapnya, gadis itu meloncat berlari ke arah Mahisa Agni. Gadis yang ketakutan dan hampir berputus asa itu,dengan serta-merta memeluk tubuh Mahisa Agni …..
—–
Kuda Sempana menyaksikan perbuatan itu
dengan gigi yang gemeretak. Matanya yang menyala karena kemarahan yang
membakar dadanya. seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya. Sehingga
kemudian terdengar ia menggeram parau, “Ken Dedes. Ikutlah aku!”
Ken Dedes tidak mendengar kata-kata itu.
Ia baru tenggelam ke dalam tangisnya yang menyesakkan dadanya. Namun
Mahisa Agnilah yang mendengar kata-kata itu. Karena itu didorongnya Ken
Dedes perlahan-lahan ke samping sambil berkata, “Minggirlah, Ken Dedes,
biarlah anak muda itu aku layani.”
Ken Dedes mendengar kata-kata Mahisa Agni
itu sebagai suatu peringatan, bahwa di belakangnya bahaya masih selalu
mengintainya. Karena itu, maka segera dilepaskannya tangannya, dan
bergeser menepi.
Kini Mahisa Agni itu berdiri dengan
kokohnya menghadap ke arah Kuda Sempana yang telah bersiap pula. Dari
wajah2-wajah mereka, terbayang kemarahan yang telah memuncak.
Sesaat mereka hanya berdiri raja saling
berpandangan. Meskipun tak sepatah kata pun yang terloncat dari bibir
mereka, namun dari mata mereka telah memancar perasaan dendam, benci dan
segala macam.
Suasana pun segera meningkat menjadi semakin tegang. Seakan-akan tanah tempat mereka berpijak itu telah menyala.
Dalam keheningan yang membara itu terdengar suara Mahisa Agni berat, “Apa yang telah kau lakukan di sini Kuda Sempana?”
Kuda Sempana memandang Ken Dedes sesaat, kemudian jawabnya, “Tak usah kau bertanya., kau sudah dapat menebaknya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Katanya, “Hem. Masih juga kau ulangi niatmu yang gila itu?”
“Sebelum aku berhasil, maka aku tak akan berhenti berusaha. Hanya orang-orang kerdil sajalah yang melupakan cita-citanya.”
“Kuda Sempana. Untuk yang terakhir
kalinya aku memperingatkanmu. Urungkan niatmu. Kau akan dapat mencari
gadis yang tak kalah cantiknya di Tumapel.”
i
“Gila. Kau jangan mengigau Mahisa Agni.
Kau sangka nilai seorang gadis sama dengan nilai seekor ayam aduan? Yang
dapat dipilih di pasar-pasar atau di kalangan adu jago? Agni aku mau
menilai gadis yang aku kehendaki seperti aku menilai jiwaku sendiri.”
“Aku menghormati penilaian itu,” sahut
Mahisa Agni, “tetapi kau tidak berpijak atas nilai timbal balik. Kau
menilai dirimu dan nyawamu sendiri. Tetapi pernahkah kau bertanya
kepadanya, kepada Ken Dedes, bagaimana ia menilai dirimu?”
Kuda Sempana diam sesaat. Kemarahannya
kini menjadi semakin memuncak. Dan karena itulah maka matanya menjadi
makin merah membara.
Dihentak Kuda Sempana itu pun terbayang
kembali peristiwa beberapa waktu yang lampau di pinggir kali. Mahisa
Agni itu pula yang telah menggagalkan usahanya. Dan kini anak muda itu
telah berdiri di hadapannya pula dalam persoalan yang sama.
Tetapi beberapa waktu yang lampau Kuda
Sempana bukan Kuda Sempana yang sekarang. Kini ia telah menempa dirinya
menjadi seorang yang jarang dicari bandingnya. Kini di dalam dirinya
telah tersimpan kekuatan- kekuatan yang beberapa waktu yang lampau
diungkapkannya.
Karena itu, menyadari keadaan diri, maka
tiba-tiba Kuda Sempana itu tertawa. Suaranya terdengar aneh, di antara
kemarahan yang menggelegak sampai ke kepalanya dan penghinaan terhadap
setiap orang yang tidak menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Kuda
Sempana. Dan disela-sela suara tertawanya itu terdengar ia berkata, “He,
Mahisa Agni, Apaknya kau berbangga atas kemenanganmu beberapa saat yang
lampau di pinggir belumbang di bendungan. Huh. Kau sangka bahwa aku
sedemikian bodohnya untuk kembali lagi ke Panawijen masih dalam
tataranku yang dahulu? Sebenarnya aku tidak ingin menunjukkan bahwa Kuda
Sempana mampu memaksakan kehendaknya atas siapa saja. Tetapi ternyata
kau tidak menyadari keadaanmu. Karena itu, maka aku masih akan mencoba
untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang semakin buruk terjadi di sini.”
“Peristiwa itu tidak akan terjadi kalau
kau dapat mengerti perasaan orang lain, Kuda Sempana. Kalau dapat
mengerti perasaan anak-anak muda Panawijen, dan kalau kau dapat mengerti
perasaan Ken Dedes sendiri,” sahut Mahisa Agni.
“Hem,” Kuda Sempana menggeram, “apakah kau benar-benar tidak mau melihat kenyataan tentang dirimu dan diriku?”
“Aku belum melihat kenyataan itu.”
“Baiklah,” berkata Kuda Sempana dengan
suara parau. Kemudian matanya yang merah itu menjadi semakin membara,
“Apakah aku harus membunuhmu?”
“Aku adalah kakak Ken Dedes. Kalau kau
akan mengambilnya dengan bertaruh nyawa, maka aku pun akan
mempertahankannya dengan taruhan yang sama.”
“Bagus!” teriak Kuda Sempana. Selangkah ia maju dan tiba-tiba anak muda itu bersiap untuk menyerang.
Beberapa anak muda yang melihat sikap itu
segera berdesakan mundur. Mereka tidak mau tersentuh oleh
kekuatan-kekuatan yang tidak dapat mereka duga sebelumnya. Karena itu
maka lebih baik mereka menyingkir sejauh-jauhnya.
Kuda Sempana menjadi bangga melihat
anak-anak muda sebayanya, kawan-kawannya bermain semasa mereka masih
kanak-kanak sampai menginjak dewasa itu menjadi sedemikian takutnya
melihat sikapnya yang garang. Tetapi ia menjadi sangat marah ketika ia
melihat Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya. Berdiri tegak seakan 2
tidak lagi dapat digoyahkan oleh kekuatan apapun.
Mahisa Agni pun telah bersiap sepenuhnya.
apapun yang akan terjadi. Dengan penuh kewaspadaan anak muda itu siap
mempertahankan kehormatan keluarga gurunya.
“Tetapi apakah karena itu?” tiba-tiba
tersembul pertanyaan di dalam hati Mahisa Agni itu sendiri, “hanya
karena mempertahankan kehormatan keluarga gurunya?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Dengan
tanpa disadarinya ia menggelengkan kepalanya untuk mengusir kebimbangan
yang merayap di hatinya. Justru pada saat ia telah siap untuk
mempertaruhkan nyawanya.
Perasaan yang pernah menghunjam melukai
jantungnya itu masih saja sering mengganggunya. Dan kali ini pun
perasaan itu mengusiknya pula. Bukankah Ken Dedes itu bukan saudaramu?
Bukan pula gadis yang dapat mengerti perasaanmu? Kalau kemudian terjadi
bencana atas dirinya, kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuknya?
Mahisa Agni itu pun kemudian mengatupkan
giginya rapat-rapat. Dicobanya untuk menindas semua perasaan yang
simpang siur di kepalanya. Dan ketika sekali lagi terpandang olehnya
Kuda Sempana yang telah siap melontarkan serangan itu, maka Mahisa Agni
pun segera bergeser setapak.
Kuda Sempana melihat keragu-raguan yang
membayang di wajah Mahisa Agni. Karena itu ia berkata, ” Agni, apakah
kau mempunyai pertimbangan lain?”
Pertanyaan itu justru semakin membakar
hati anak muda itu. Justru semakin membulatkan tekadnya untuk
mempertahankan Ken Dedes itu.
“Persetan! Apapun sebabnya,” teriaknya di dalam hatinya untuk menindas segala perasaan yang mencoba untuk mengabulkan tekadnya.
Karena itulah maka terdengar Mahisa Agni itu menjawab, “Ya. Aku menjadi ragu-ragu. Apakah aku sebaiknya membunuhmu atau tidak.”
Kuda Sempana yang marah itu menggeram, “Jangan terlalu sombong!”
Mahisa tidak menjawab. Tetapi ia siap menunggu serangan sudah hampir terlontar.
Sebenarnya Kuda Sempana pun tidak
menunggu Mahisa Agni menjawab. Secepat kilat anak muda itu melontarkan
sebuah serangan ke arah dada Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni pun telah
siap pula menanti serangan itu, sehingga dengan cepatnya pula ia sempat
menghindarinya.
Kuda Sempana menyadari bahwa serangannya
yang pertama itu pasti tidak akan dapat mengenai lawannya, karena itu,
secepatnya pula ia menyerang berganda. Tetapi Agni pun tidak kalah
tangkasnya, sehingga serangan- serangan itu tak mengenai sasarannya.
Namun untuk seterunya Mahisa Agni tidak
saja membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan-serangan Kuda Sempana.
Sekali ia berputar dan untuk seterusnya maka dengan garangnya ia pun
melancarkan serangan pula.
Demikianlah maka kini mereka berdua
terlibat dalam suatu perkelahian yang seru. Masing-masing telah dibakar
oleh kemarahan, dan masing-masing telah bertekad untuk mempertaruhkan
nyawa mereka. Karena itu, maka serangan-serangan mereka pun meluncur
tanpa pengendalian.
Kuda Sempana yang merasa dirinya telah
mendapatkan bekal yang cukup, bertempur dengan penuh kebanggaan diri.
Setiap kali ia menyangka bahwa lawannya akan segera jatuh terjerembab
dan dengan demikian ia akan segera berhasil membawa Ken Dedes pergi.
Tetapi setiap kali pula ia menjadi kecewa, sebab lawannya mampu untuk
menghindari setiap serangan-serangan mautnya. Bahkan semakin lama, Kuda
Sempana itu menyadari, bahwa lawannya kali ini, meskipun kekuatannya
sendiri telah jauh melampaui masa-masa yang lewat, namun yang
dihadapinya itu pun bukan Mahisa Agni yang dahulu.
Beberapa kali Kuda Sempana mengumpat di
dalam hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa Agni itu pun
memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi
semakin cepat, sehingga, kemudian mereka seakan-akan menjadi luluh dalam
sebuah putaran yang membingungkan. Yang dilihat oleh anak-anak muda
Panawijen itu adalah sebuah pusaran yang kalut. Hanya beberapa kali
mereka melihat bentuk-bentuk Mahisa Agni dan Kuda Sempana, namun sesaat
kemudian mereka telah meloncat dan melontar berputaran, sehingga yang
tampak hanyalah semacam gumpalan debu yang hitam putih bercampur baur.
Kuda Sempana itu ternyata benar-benar
memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Tangannya yang
tangkas dan cepat bergerak menyambar-nyambar seperti sayap sepasang
garuda yang berlaga di udara. Namun lawannya adalah seekor burung
rajawali yang tangkas. Itulah sebabnya, maka keduanya kemudian menjadi
seolah-olah dua ekor burung raksasa yang sedang bertempur, berebut sakti
untuk merajai kerajaan langit yang terbentang dari kaki langit ke kaki
langit di seputar bumi.
Tetapi semakin seru mereka bertempur,
maka semakin nyata bahwa Kuda Sempana menjadi sangat heran. Mahisa Agni
itu seakan-akan bahkan menjadi semakin segar, dan tenaganya
bertambah-tambah. Kuda Sempana mengharap ia akan segera dapat mengakhiri
perkelahian itu. Namun harapannya itu ternyata tak akan dapat
dihayatinya. Kuda Sempana sama sekali tidak tahu, bahwa Mahisa Agni itu
pun baru saja kembali dari sebuah perjalanan yang berat. Perjalanan yang
memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menempa dirinya. Menyadap
kesempurnaan ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Meskipun kesempurnaan yang
dimilikinya adalah kesempurnaan yang tidak sempurna. Sebab tidak ada
sesuatu yang sempurna di permukaan bumi ini. Yang tampak maupun yang
tidak tampak. Yang sempurna hanyalah Yang Maha Sempurna.
Mahisa Agni menyadari sepenuhnya hal ini,
sebagaimana gurunya mengatakan kepadanya. Karena itu, maka Mahisa Agni
selalu menyadari pula, bahwa tidak ada ilmu yang tak dapat dilampaui.
Yang paling sakti akan dikalahkan pula oleh yang lain, dan yang lain itu
pun akhirnya akan jatuh pula. Sedang mereka yang terlalu cepat menepuk
dada, maka ialah yang paling cepat akan jatuh ke dalam jurang yang
paling dalam. Dan mereka yang tidak menyadarinya, maka alangkah pahit
hidupnya.
Itulah sebabnya Mahisa Agni tidak
menyombongkan dirinya. Ia bertempur dengan hati-hati. Setiap kali ia
berusaha untuk mengetahui letak kekuatan lawannya dan baru dalam
saat-saat yang pasti ia menyerangnya. Ia tidak berani menduga, apakah
ilmunya jauh lebih baik dari ilmu lawannya, sebab tidak mustahil bahwa
lawannya memiliki Kunci untuk menghancurkan ilmunya. Tetapi Mahisa Agni
bertempur dengan tabah. Ia tidak takut apapun yang terjadi, namun ia
tidak mengharap untuk dikalahkan oleh lawannya. Karena itu, maka ia
tidak kehilangan kewaspadaan.
Sehingga dengan demikian, maka Kuda
Sempana yang dikendalikan oleh nafsunya yang meluap-luap, dihambari oleh
kepercayaan kepada diri yang berlebih-lebihan, maka ia pun cepat
menjadi cemas. Ketika ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya, maka
ia menjadi gelisah.
Justru karena kegelisahannya itu, maka
tandangnya pun menjadi semakin kehilangan pengamatan. Sekali-sekali Kuda
Sempana telah membuat kesalahan-kesalahan kecil, sehingga Mahisa Agni
yang cermat itu segera dapat mempergunakan kesempatan itu.
Kelemahan-kelemahan yang betapapun kecilnya, akan dapat dipergunakan
oleh lawannya dalam perkelahian yang demikian. Dan kesalahan-kesalahan
kecil itu pulalah yang sering membawa mereka ke dalam suatu bencana yang
besar.
Beberapa kali terasa oleh Kuda Sempana
tangan lawannya telah berhasil menerobos pertahanannya. Meskipun
sentuhan-sentuhan itu belum merupakan bahaya yang sebenarnya, namun
bahwa beberapa kali lawannya berhasil menembus ilmunya adalah merupakan
suatu pertanda yang kurang menyenangkan.
Tetapi lambat laun Kuda Sempana itu
menyadari pula keadaannya. Akhirnya ia merasa, bahwa Mahisa Agni
benar-benar mampu melawannya, bukan karena ia lengah. Bukan karena Kuda
Sempana itu belum menumpahkan segenap ilmunya. Namun Mahisa Agni
benar-benar telah memiliki ilmu tata bela diri yang setidak-tidaknya
menyamainya.
Sekali terdengar Kuda Sempana itu
menggeram. Dahulu ia menjadi sangat marahnya, dan dipergunakannya
sebilah keris untuk mencoba membunuh Mahisa Agni. Tetapi kali ini Kuda
Sempana sama sekali tidak ingin mempergunakan sebilah keris. Ia
meyakinkan bahwa tangannya akan mampu meremukkan tulang belulang
lawannya, melampaui sebuah tusukan keris. Karena itulah, maka ia tidak
dapat berbuat lain daripada menumpahkan kemarahannya dalam ilmunya yang
paling utama.
Karena itu, maka Kuda Sempana itu pun
meloncat mundur. Direntangkannya kedua tangannya, kemudian dengan cepat
ia melenting ke udara, untuk sesaat kemudian bersiap dalam sikap yang
teguh kuat seperti gunung yang siap untuk meledak.
Mahisa Agni terkejut melihat sikap itu.
Sesaat segera ia teringat kepada cerita Pasik tentang Kuda Sempana.
Karena itu maka segera ia pun bersiap. Dari bibirnya itu terdengar ia
berdesis, “Kala Bama.”
Kuda Sempana terkejut mendengar desis itu. Mahisa Agni dapat menyebut dengan tepat nama ilmu yang akan dipergunakannya.
Tetapi Kuda Sempana tidak sempat
mengetahui dari mana Mahisa Agni mendengar nama Kala Bama itu. Dan Kuda
Sempana pun tidak sempat memikirkan hal itu.
Mahisa Agni telah pernah membenturkan
diri dengan Aji Kala Bama itu. Karena itu, ketika ia melihat sikap Kuda
Sempana yang siap melontarkan kesaktiannya, maka Mahisa Agni pun segera
membentengi dirinya. Tidak saja ia mempertahankan namun karena kemarahan
yang telah memuncak pula, maka Mahisa Agni itu pun bersiap untuk
membentur aji lawannya dengan ajinya sendiri, Gundala Sasra.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu
segera memusatkan segenap kekuatan lahir batin. Disilangkannya tangannya
di muka dadanya, dan pada lututnya ia merendahkan dirinya sedikit.
Terasa getaran di dadanya cepat mengalir ke segenap tubuhnya dan ke
telapak tangannya. Getaran-getaran yang sudah dikenalnya. Dan kini
getaran-getaran itu terasa semakin mudah dikuasainya. Sehingga waktu
yang diperlukannya untuk mempersiapkan diri menjadi semakin pendek pula.
Sesaat kemudian, ketika Kuda Sempana siap
mengayunkan aji pamungkasnya, maka Mahisa Agni pun telah bersiap
sepenuhnya pula untuk melawannya. Karena itu, demikian ia melihat Kuda
Sempana meloncat mengayunkan tangannya, maka Mahisa Agni pun segera
melontar pula menyongsong serangan Kuda Sempana.
Untuk kedua kalinya, terjadilah benturan
yang dahsyat antara Aji Kala Bama dan Aji Gundala Sasra. Benturan antara
dua kekuatan yang tiada taranya. Dan seperti yang pernah terjadi, maka
kali ini pun keduanya mengalami dorongan yang terasa seperti ledakan
Gunung Merapi.
Mahisa Agni terlontar beberapa langkah
surut, sekali ia terguling dan dengan mata yang berkunang-kunang ia
mencoba mengawasi keadaan lawannya.
Kuda Sempana pun terlempar pula. Dengan
kerasnya ia terbanting wajahnya yang merah menyala, tiba-tiba menjadi
putih pucat. Sesaat ia memejamkan matanya untuk memusatkan segenap
sisa-sisa kekuatan yang ada padanya, untuk menjaga dirinya, supaya tidak
kehilangan kesadaran.
Demikianlah anak-anak muda Panawijen
melihat sesuatu yang belum dilihatnya selama hidup mereka. Mereka tidak
tahu lagi, bagaimana mereka harus menilai pertempuran itu. Beberapa di
antara mereka berloncatan mundur pada saat terjadi benturan antara dua
kekuatan raksasa itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa sesadarnya
telah menekan dada sendiri. Seakan-akan dadanyalah yang telah terbentur
oleh kekuatan aji yang dahsyat itu. Beberapa orang menjadi ngeri. Dengan
telapak-telapak tangan mereka menutupi wajah masing-masing.
Namun sesaat kemudian mereka menarik
nafas ketika mereka melihat Mahisa Agni telah bangkit dan berdiri
bertelekan kedua lututnya. Tetapi sesaat yang pendek, Mahisa Agni itu
pun telah tegak kembali. Terasa pula kini padanya,bahwa ada kelebihan
kekuatan dari Aji Gundala Sasra dibandingkan dengan Kala Bima, sehingga
karena itulah maka keadaan Mahisa Agni masih lebih baik dari keadaan
Kuda Sempana.
Meskipun demikian Kuda Sempana yang keras
hati itu perlahan-lahan dapat juga menguasai dirinya kembali. Ketika ia
membuka matanya dan dilihatnya Mahisa Agni masih tegak berdiri dengan
garangnya terdengar anak itu menggeram.
Dengan susah payah Kuda Sempana itu pun
memaksa dirinya untuk berdiri. Betapa sakit isi dadanya, namun dengan
mengatupkan giginya rapat-rapat ia mencoba menahan perasaan itu.
Dengan nafas terengah-engah Kuda Sempana
kemudian mampu juga untuk bangkit dan mencoba berdiri. Betapa lemahnya
tubuh yang kesakitan itu, namun akhirnya Kuda Sempana itu pun berbasil
tegak pula di atas kedua kakinya yang gemetar. Dengan mata yang menyala
ia memandang Mahisa Agni tanpa berkedip, sedang Mahisa Agni pun
memandangnya dengan nyala kemarahan di hatinya. Karena itu, maka ketika
nafasnya telah teratur kembali, terdengar suaranya bernada rendah, “Kuda
Sempana Kesempatan terakhir bagi kita masing-masing. Kau atau aku yang
binasa.”
Kuda Sempana menggeram. Kalau Mahisa Agni
menyerangnya pada saat ia masih dalam keadaan itu, maka sudah pasti ia
tidak akan mampu untuk melawannya. Karena itu, maka ia mencoba untuk
mendapatkan waktu sejenak, mengatur jalan pernafasan dan mengurangi
perasaan sakit yang menyengat-nyengat segenap tubuhnya.
Ketika Mahisa Agni itu bergeser setapak,
maka Kuda Sempana itu berkata, “Hem, Agni. Dari mana kau tahu, bahwa aku
sedang menyiapkan aji Kala Bama?”
Mahisa Agni memandang Kuda Sempana dengan seksama. Kemudian jawabnya, “Apakah pedulimu, dari mana aku tahu nama itu?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Namun
tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara gemetar di
samping mereka, “Sudahlah Anakmas. Jangan bertengkar lagi.”
Ketika mereka berpaling, mereka melihat
seorang yang berdiri dengan ragu-ragu di antara anak-anak muda
Panawijen. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, namun wajahnya
membayangkan kecemasan yang membakar dirinya. Orang itu adalah Ki Buyut
Panawijen.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dengan berat terdengar suaranya, “Ki Buyut. Kuda Sempana telah berbuat
untuk kedua kalinya. Apakah kita masih akan memberi kesempatan kepadanya
untuk berbuat untuk ketiga kalinya?”
Buyut Panawijen itu ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian kembali terbayang di wajahnya kecemasannya atas nasib
padukuhannya. Ia tahu benar siapa Kuda Sempana itu. Ia melihat anak muda
itu bertempur melawan Mahisa Agni. Dan ia melihat benturan ilmu yang
dahsyat itu. Karena itu, maka Buyut Panawijen itu telah membuat
perhitungan tersendiri. Kalau Kuda Sempana itu binasa di padukuhannya,
maka apakah kawannya akan tetap berdiam diri, dan apakah guru serta
saudara-saudara seperguruannya juga akan tetap berdiam diri. Seandainya
mereka itu mencoba menuntut balas, maka apakah Mahisa Agni dapat
melindungi padukuhan itu dari bencana.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat melihat
kemungkinan itu. Kuda Sempana adalah seorang yang keras kepala. Karena
itu maka katanya, “Ki Buyut. Beberapa saat yang lampau,anak muda itu
telah mendapat kesempatan pula. Ki Buyut pada waktu itu telah memberinya
peringatan, sedang Empu Purwa pun saat itu memaafkannya. Tetapi kini
ternyata ia datang kembali selagi rumah ini kosong, Empu Purwa tidak ada
dan aku pun tidak ada. Untunglah aku segera kembali sebelum terlambat
sekali.”
Buyut Panawijen mengerutkan keningnya. Ia
dapat mengerti sepenuhnya pendapat Mahisa Agni itu. Tetapi sekali lagi
ia dicemaskan oleh peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi sebagai akibat
dari peristiwa ini.
Mahisa Agni yang melihat keragu-raguan
itu membayang di wajah Ki Buyut Panawijen, berkata, “Ki Buyut. Persoalan
ini bukan persoalan penduduk Panawijen dengan Kuda Sempana. Tetapi
jadikanlah persoalan ini persoalan antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni.
Kalau Akuwu Tumapel merasa perlu untuk mengusut dan menghukum orang yang
telah mencederai Kuda Sempana, biarlah Mahisa Agni menjalani hukuman
itu.”
Dada Kuda Sempana berdesir mendengar
kata-kata Mahisa Agni itu. Apakah yang akan dilakukan Mahisa Agni
atasnya? Namun dibiarkannya Mahisa Agni dan Ki Buyut itu berbicara. Ia
mencoba mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditenangkannya
hatinya diperasnya segenap kemampuan yang ada dalam dirinya untuk
memulihkan kekuatannya. Dan ternyata kekuatan Kuda Sempana itu lambat
laun menjadi bertambah baik, meskipun nyeri-nyeri masih terasa
menyengat-nyengat bagian dalam dadanya, serta pedih-pedih di kulitnya.
Dalam pada itu Ki Buyut Panawijen berkata pula, “Apakah yang akan Angger lakukan atas Angger Kuda Sempana?”
“Aku akan menangkapnya, membawanya kepada
Sang Akuwu. Apakah Sang Akuwu tidak akan mengambil sesuatu tindakan
atas orangnya yang bersalah?” sahut Mahisa Agni.
Sekali lagi Kuda Sempana berdesir. Kalau
benar Mahisa Agni berhasil menangkapnya dan membawanya kepada Akuwu
Tunggul Ametung, maka akibatnya sama sekali tak akan dapat diduga.
Mungkin ia akan mendapat pengampunan dan hanya akan mendapat peringatan.
Namun apabila hati Akuwu itu sedang gelap, maka tidak mustahil seketika
itu juga, perutnya akan disobek dengan pusakanya. Akuwu itu mempunyai
sifat-sifat yang aneh. Yang tak dapat disangka-sangka dan
diperhitungkan. Sehingga karena itulah maka ada di antara naraprada yang
terlalu setia kepadanya, namun ada juga yang menyimpan dendam di dalam
hatinya.
Mendengar jawaban Mahisa Agni itu. Buyut
Panawijen mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka apakah ia tidak
akan terbawa pula. Setidak-tidaknya akan menjadi saksi? Buyut Panawijen
adalah seorang yang hampir sepanjang hidupnya, hidup dalam suasana yang
tenteram damai. Hampir sepanjang jabatannya ia tidak pernah menjumpai
persoalan-persoalan yang mengharuskannya berhadapan dengan Akuwu
Tumapel.
Pada saat Buyut Panawijen itu berbimbang
hati maka tiba-tiba ia terkejut melihat Wiraprana dengan wajah yang
merah biru tertatih-tatih keluar dari halaman Empu Purwa. Demikian
Wiraprana itu melihat Mahisa Agni, maka dengan serta-merta ia berkata,
“Hem. Syukurlah kau sudah datang Agni.”
Mahisa Agni berdesir melihat wajah yang
biru lebam itu. Agaknya Wiraprana pun telah berjuang mati-matian. Namun
keadaannya tidak memungkinkan untuk mencegah perbuatan Kuda Sempana itu.
Dalam pada itu terdengarlah Ki Buyut Panawijen bertanya kepada anaknya itu, “Wiraprana, apakah yang telah terjadi?”
“Seperti yang Ayah lihat. Untuk kedua
kalinya aku hampir mati dibunuh oleh Kuda Sempana. Apabila ada
kesempatan, Kuda Sempana pasti akan membunuhku dalam pertikaian yang
ketiga.”
Mendengar kata-kata anaknya itu, maka mau
tidak mau dada Buyut Panawijen itu terguncang pula, Agaknya apa yang
dikatakan anaknya itu benar-benar dapat terjadi. Kuda Sempana
benar-benar tidak mau melepaskan maksudnya untuk mendapatkan Ken Dedes
yang sudah dipertunangkan dengan anaknya itu. Karena itu, maka kini
Buyut Panawijen itu terpaksa mengambil beberapa bebahu baru untuk
memperhitungkan setiap kemungkinan.
Dengan wajah yang tegang, maka sekali
lagi ia memandangi Kuda Sempana, Mahisa Agni dan anaknya berganti-ganti.
Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian kembali ia menjadi
bingung.
Kuda Sempana yang berdiri tegak seperti patung itu, Kini telah mendapat waktu untuk sedikit mendapatkan kekuatannya kembali
Namun disadarinya, bahwa ia tidak akan
mampu mengalahkan Mahisa Agni. Ternyata Mahisa Agni pun telah
mendapatkan kekuatan-kekuatan baru, sehingga ia mampu melawan Aji Kala
Bama, dan bahkan dapat melampauinya. Karena itu, maka sesaat ia menjadi
bimbang pula. Apakah ia masih harus melawannya? Dengan demikian, maka
hampir pasti bahwa Mahisa Agni akan berhasil menangkapnya.
Ketika Kuda Sempana itu masih sibuk
mempertimbangkan setiap kemungkinan, terdengarlah Mahisa Agni menggeram,
“Ki Buyut yang bijaksana. Serahkan semua persoalan kepadaku, dan
serahkan semua pertanggungan jawab kepadaku. Kuda Sempana harus mendapat
hukuman yang wajar. Tidak di Panawijen, tetapi di Tumapel. Sehingga
meyakinkan kita, bahwa untuk seterusnya ia tidak akan membuat kegaduhan
kembali.”
Buyut Panawijen itu masih bimbang sesaat,
namun kemudian tampaklah ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
belum sepatah kata pun yang terloncat dari mulutnya. Semua orang yang
berdiri di sekitarnya menjadi tegang. Semua memandang kepada orang tua
itu Dalam ketegangan itu terdengar suara Wiraprana, “Apakah Ayah masih
ingin melihat perkelahian dan keributan di Panawijen ini? Atau Ayah
ingin melihat setan itu kelak membunuh aku?”
Ki Buyut Panawijen itu mengangkat
wajahnya. Seakan-akan ada yang dicarinya di antara awan yang mengalir
dihanyutkan oleh pegunungan yang lembut. Orang tua itu menarik nafas
ketika dilihatnya segerombolan burung terbang melintas di atas kepalanya
Burung itu kemudian seperti lenyap ditelan kebiruan langit di atas cakrawala.
Hati orang tua itu berdesir. Dari arah
yang lain Buyut Panawijen melihat seekor alap-alap terbang ke arah
burung yang bergerombol itu. Kalau burung alap-alap itu kemudian
menyambar salah seekor burung yang bergerombol itu, maka tak ada seekor
pun yang akan berani mencoba mencegah dan melawannya. Bersama-sama pun
tidak, karena Burung alap-alap itu jauh lebih kuat dari burung-burung
itu.
Orang-orang yang berdiri mengitari Mahisa
Agni masih tegak seperti patung ,Agak jauh dari mereka berdiri dengan
tegangnya Kuda Sempana yang terpelanting karena benturan aji
masing-masing. Sedang Ki Buyut Panawijen masih saja ragu-ragu mengambil
keputusan.
Dalam kekakuan suasananya itu,
sekali-kali Kuda Sempana mengerling ke segenap sudut. Ia sedang berpikir
untuk mencoba mencari jalan yang akan dapat menyelamatkannya. Kalau ia
bertempur sekali lagi, maka ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat melawan
Mahisa Agni. Apalagi kalau beberapa orang membantu Mahisa Agni untuk
menangkapnya.
Sementara itu Mahisa Agni sedang menunggu
dengan gelisahnya, apa yang akan dikatakan oleh Ki Buyut Panawijen.
Bagaimanapun juga, Mahisa Agni harus tetap menghormati keputusannya
sebagai seorang tetua dari padukuhan itu, sedang anaknya, yang wajahnya
biru lebam itu, hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba
terjadilah sesuatu yang sama sekali tidak mereka sangka. Kuda Sempana
itu tiba-tiba meloncat dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, berlari
kencang meninggalkan orang yang sedang kebingungan itu. Sesaat tak
seorang pun yang bergerak diri tempatnya. Mereka terkejut melihat sikap
Kuda Sempana. Yang mula-mula menyadari keadaan itu adalah Mahisa Agni.
Tanpa menghiraukan apapun lagi, Mahisa Agni itu segera berlari
mengejarnya.
Tetapi dada anak muda murid Empu Purwa
itu segera berdesir tajam. Kuda Sempana yang memiliki kelebihan beberapa
kejap serta jarak beberapa langkah itu ternyata berlari menuju ke kuda
Mahisa Agni yang sedang sibuk makan dedaunan di pagar-pagar dan
rerumputan liar di tepi-tepi jalan.
“Kuda Sempana!” teriak Mahisa Agni, “Manakah kejantananmu itu?”
Kuda Sempana tidak memedulikannya. Ia
berlari sekuat tenaga yang masih ada padanya. Dan sebelum Mahisa Agni
berhasil menangkapnya, anak muda itu telah meloncat ke atas punggung
kuda.
“Kuda Sempana!” teriak Mahisa Agni sekali lagi.
Tetapi Kuda Sempana tidak menghiraukannya
lagi. Cepat-cepat ditariknya kendali kudanya, dan dengan sebuah
sentuhan pada perutnya, maka larilah kuda itu menghambur seperti angin.
Meskipun demikian Kuda Sempana itu masih
sempat berteriak nyaring, “Mahisa Agni. Sekali akan datang waktunya, aku
membalas semua sakit hatiku kepadamu, kepada penduduk Panawijen, kepada
semuanya.”
“Licik!” teriak Mahisa Agni. Dengan serta
ia meraih sebutir batu dan dilemparkannya kepada Kuda Senapan. Namun
kuda yang dinaiki oleh anak muda itu sudah semakin jauh. Meskipun
demikian batu itu masih juga mengenai tengkuk Kuda Sempana.
“Setan!| desis Kuda Sempana. Terasa
tengkuknya menjadi sakit. Tetapi ia sudah semakin jauh dan Mahisa Agni
itu tidak akan dapat menyusulnya lagi.
Mahisa Agni kini berdiri tegak seperti
sebuah tonggak yang membeku. Wajahnya membara karena kemarahannya,
sekali-sekali terdengar ia menggeram. Dipandanginya debu yang mengepul
tinggi yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari seperti dikejar
hantu.
Nafas Mahisa Agni itu pun terasa
berkejaran lewat lubang hidungnya. Terdengar giginya gemeretak di antara
suaranya yang menggeram seperti harimau yang sedang marah.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba ia
mendengar Wiraprana berteriak, “Agni! Di halaman rumah ini ada seekor
kuda. Kuda yang tadi dipakai oleh Kuda Sempana.”
Mahisa Agni terkejut Segera ia berpaling sambil bertanya, “Adakah seekor kuda di halaman?”
“Ya,” sahut Wiraprana.
Namun Mahisa Agni kemudian menjadi kecewa
kembali. Ia telah kehilangan beberapa waktu. Kuda yang tadi dinaikinya
adalah kuda yang luar biasa. Dengan seekor kuda yang lain. apakah ia
akan mampu mengejar Kuda Sempana? Kalau Kuda Sempana itu sampai di
Tumapel lebih dahulu, maka ia tidak akan dapat mencarinya. Apalagi kalau
Kuda Sempana itu bersembunyi di dalam istana. Karena itu dengan penuh
kekecewaan yang mencengkam dadanya akhirnya ia berkata, “Tidak ada
gunanya. Kuda itu sudah terlalu jauh.”
“Kuda itu baik dan tegar. Kuda yang biasa dipakai oleh Kuda Sempana,” jawab Wiraprana
Sekali lagi sekilas harapan Mahisa Agni
untuk menyusul anak muda itu. Kuda itu adalah kuda yang tegar seperti
yang dilihatnya di Tumapel. Karena itu, maka Mahisa Agni itu meloncat
tanpa berkata sepatah kata pun langsung masuk ke halaman. Dan.
dilihatnya kuda itu masih berdiri di sana.
Dengan tangkasnya Mahisa Agni itu segera
meloncat ke atas punggungnya, dan dengan tergesa-gesa ditariknya kekang
kuda itu. Sesaat kemudian kuda itu pun segera meloncat pula berlari.
Sambil memacu kudanya Mahisa Agni berteriak, “Hati-hatilah di rumah. Aku
akan mengejar Kuda Sempana sampai ke manapun. Aku tak akan kembali
sebelum aku menyelesaikan pekerjaan ini.”
Tak seorang pun sempat menjawab. Kuda
yang dinaikinya itu pun ternyata kuda yang sangat baik. Karena itu, maka
kuda itu berlari lepas seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Mereka yang menyaksikan perlombaan
berkuda itu menahan napas mereka. Mereka melihat peristiwa demi
peristiwa seperti di dalam mimpi, sehingga untuk beberapa saat mereka
terpesona dan diam mematung di tempat masing-masing.
Mahisa Agni yang telah dibakar oleh
kemarahannya itu memacu kudanya secepat angin. Tetapi disadarinya pula
bahwa kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana itu pun kuda yang baik pula,
sebaik kuda yang dipakainya. Karena itu, maka kemungkinan untuk dapat
menyusulnya adalah kecil sekali. Tetapi meskipun Mahisa Agni tidak akan
dapat menyusulnya, namun ia akan pergi ke Tumapel, mencari kesempatan
untuk bertemu dengan anak muda itu. Mahisa Agni sudah tidak
memperhitungkan lagi, apa yang dapat terjadi atas dirinya seandainya
Kuda Sempana mengerahkan beberapa orang kawan untuk melawannya. Namun ia
yakin, bahwa ia berada di pihak yang benar. Karena itu, maka Akuwu
Tumapel pasti akan menghukum Kuda Sempana kalau ia mempunyai kesempatan
untuk menyampaikannya, atau Akuwu itu dapat mendengar dari siapa pun.
“Kalau aku tidak dapat menemui Kuda
Sempana atau menghadap Akuwu, maka aku akan mencoba minta pertolongan
Witantra,” katanya di dalam hati, “anak muda itu pun seorang yang agak
dekat pula dengan Akuwu.”
Mendapat cara yang dianggapnya baik itu,
Mahisa Agni semakin mantap. Kudanya berpacu melewati jalan-jalan
berdebu. Dilihatnya kemudian di hadapannya terbentang padang rumput
Karautan.
“Apakah Kuda Sempana juga melewati padang
itu?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya, “Kalau ia memilih jalan
lain, lewat Talrampak misalnya, maka ada kemungkinan bagiku untuk
menyusulnya sebelum ia sampai ke Tumapel.”
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa. Ia
melihat telapak kuda yang baru menghunjam dalam-dalam di muka kaki
kudanya menjelujur ke arah yang ditempuhnya pula,
“Hem,” geramnya, “anak itu lewat padang ini pula.”
Karena itu Mahisa Agni menjadi kecewa.
Harapannya untuk menyusul Kuda Sempana menjadi semakin tipis. Tetapi ia
tidak berputus asa. Kini ia tidak menempuh jalan setapak yang dilewati
Kuda Sempana. Dipotongnya arah menerobos padang rumput itu dan
dilewatinya gerumbul-gerumbul kecil yang bertebaran di sana-sini.
“Mudah-mudahan aku berhasil,” gumamnya.
Kuda yang dipakai Mahisa Agni itu
sebenarnya adalah kuda yang sangat baik. Betapa lincahnya kuda itu
menghindari rintangan-rintangan yang berada di hadapannya. Dengan
tangkas kuda itu meloncati gerumbul-gerumbul kecil dan lubang-lubang
yang digali oleh air hujan.
Ketika kemudian Mahisa Agni telah
melampaui padang itu, serta diikutinya pula jalan yang meninggalkan
padang rumput itu, dilihatnya jauh di hadapannya debu yang naik ke
udara.
“Itulah!” gumamnya, “Mudah-mudahan aku tidak kehilangan Kuda Sempana kali ini.”
Meskipun kudanya itu telah berlari
sekencang angin, namun Mahisa Agni merasa seakan-akan kuda itu merangkak
saja dengan malasnya. Berkali-kali dilecutinya kuda itu dengan ujung
kekangnya. namun masih saja terasa bahwa kuda itu berlari terlalu
lamban.
Beberapa orang yang bekerja di
sawah-sawah mereka, memandangnya dengan penuh pertanyaan di dalam hati.
Apakah sedang ada perlombaan berpacu kuda?
Para petani itu saling berpandangan satu
sama lain. Tetapi tak seorang pun yang tahu, apakah yang sedang
dilakukan oleh anak-anak muda yang memacu kudanya seperti takut dikejar
hantu.
“Anak-anak muda memang kadang-kadang
aneh,” gumam salah seorang dari mereka, “mereka memacu kudanya seperti
dikejar setan. Apakah mereka tidak takut seandainya kudanya itu
tergelincir dan terguling?”
Tetapi sesaat kemudian kembali mereka
melakukan pekerjaan mereka Dua anak muda yang berpacu berturut-turut itu
tentu akan menjadi bahan pembicaraan mereka nanti di gardu-gardu atau
di banjar-banjar desa.
Mahisa Agni sama sekali tidak
menghiraukan apa yang telah dilewatinya. Matanya tertancap pada debu
yang keputih-putihan yang seakan-akan merayap dengan cepatnya di
jalan-jalan berdebu di hadapannya Tetapi Mahisa Agni itu menjadi kecewa
karena jarak di antara mereka tidak menjadi semakin pendek.
Kuda Sempana yang berpacu di muka itu pun
telah memperhitungkan kemungkinan, bahwa Mahisa Agni akan mempergunakan
kudanya untuk mengejarnya. Karena itu sejak loncatan pertama kudanya
telah dipacunya secepat mungkin. Dan Kuda Sempana itu menjadi. berbesar
hati, karena ternyata kuda yang dipakainya itu pun merupakan kuda yang
tidak kalah kuatnya dari kudanya sendiri.
Ketika Kuda Sempana itu kemudian
menengadahkan wajahnya maka ia pun tersenyum. Setelah ia berpacu
beberapa lama, maka di langit seakan-akan terbentang cahaya yang suram
dan di bumi mulailah gelap merayap dari kaki-kaki bukit, merambat ke
puncaknya. Namun sesaat Kuda Sempana masih melihat debu mengepul jauh di
belakangnya. Dan disadarinya bahwa Mahisa Agni sedang mengejarnya.
Tetapi apabila malam tiba, maka kesempatannya untuk melepaskan diri
menjadi semakin besar.
Mahisa Agni menjadi sengat kecewa ketika
malam datang meskipun perlahan-lahan. Warna keputih-putihan yang
mengepul di hadapannya menjadi semakin lama semakin kabur. Dan akhirnya
Mahisa Agni kehilangan kesempatan untuk dapat melihat debu yang
dilemparkan oleh kuda yang dipakai oleh Kuda Sempana itu.
“Hem,” Mahisa Agni menggeram. Tetapi
kemudian ia bergumam, “Kalau aku tidak dapat menemukannya malam ini,
biarlah aku menunggu sampai besok atau lusa. Kalau aku menunggunya di
alun-alun maka suatu waktu aku pasti akan melihatnya keluar atau
memasuki istana Akuwu.”
Karena itu Mahisa Agni tidak berhenti
berpacu. Ia mengharap seandainya ada sesuatu yang menghambat perjalanan
Kuda Sempana maka ia akan mendapat kesempatan itu.
Tetapi Kuda Sempana berjalan tanpa
hambatan. Kudanya berlari dengan kencangnya menuju ke kota
kebanggaannya, di mana ia mendapat kesempatan yang baik di dalam
hidupnya. Tumapel. Dan Tumapel itu semakin lama semakin dekat.
Itulah sebabnya, maka kembali Kuda Sempana tersenyum. Ketika ia berpaling, dilihatnya di belakangnya warna hitam yang kelam.
Karena itulah maka hati Kuda Sempana
menjadi semakin besar. Maka kini dapatlah dipastikan, bahwa kali ini ia
akan dapat menghindarkan diri dari Mahisa Agni.
“Kali ini aku masih kalah Agni,” katanya
di dalam hati, “tetapi aku akan datang kembali membawa kemenangan.
Ternyata aku tidak akan berhasil memetik bunga itu. Karena itu, maka
biarlah angin yang lebih kencang menggugurkannya.”
Sementara itu, Mahisa Agni benar-benar
kehilangan jejak buruannya. Ketika malam menjadi semakin kelam, ia tidak
tahu lagi, ke mana Kuda Sempana melarikan diri. Apalagi ketika Kuda
Sempana telah mematuki kota. Berpuluh-puluh jalan simpang yang dapat
ditempuhnya. Dan berpuluh-puluh pintu yang dapat dimasukinya.
Karena itu, maka ketika kuda Mahisa Agni
memasuki gerbang kota Tumapel, maka segera ia memperlambat jalan
kudanya. Ia takut kalau derap kaki kuda itu akan mengejutkan setiap
orang yang tinggal sebelah menyebelah jalan yang dilewatinya. Meskipun
demikian, hati Mahisa Agni menjadi sangat kecewa. Serta ia menjadi
bingung, ke mana ia harus pergi.
Yang mula-mula tersirat di dalam hatinya
adalah rumah Witantra. Orang itu belum banyak dikenalnya, namun dalam
waktu yang pendek ia mendapat kesan, bahwa anak muda itu adalah anak
muda yang jujur meskipun agaknya terlalu keras memegang ketetapan.
Ketetapan yang berlaku dalam tata pergaulannya sebagai seorang prajurit,
ketetapan yang berlaku di dalam tata pergaulannya sehari-hari di luar
lingkungan keprajuritan dan bahkan ketetapan-ketetapan yang dibuatnya di
dalam hatinya sendiri.
Tetapi tak ada orang lain yang dapat
disinggahinya di Tumapel. Di kota itu belum banyak orang-orang yang
dikenalnya dengan baik. Ada satu dua orang sahabat-sahabat gurunya,
tetapi sahabat-sahabat gurunya itu pun belum begitu mengenalnya. Karena
itu, maka tak ada yang dapat ditempuhnya selain pergi ke rumah Witantra
itu. Kecuali ia akan mendapat tempat untuk bermalam apabila anak muda
itu tidak berkeberatan, maka banyak hal-hal yang dapat ditanyakannya
kepadanya tentang Kuda Sempana dan tentang Akuwu Tumapel.
Maka dengan agak ragu-ragu akhirnya Mahisa Agni pergi juga ke rumah Witantra.
Meskipun malam belum terlalu dalam, namun
rumah itu sudah tampak sepi. Karena itu maka Mahisa Agni menjadi
semakin ragu-ragu. Di muka regol halaman dihentikannya kudanya, dan
perlahan-lahan kuda itu dituntunnya masuk ke halaman.
Tetapi Mahisa Agni melihat nyala pelita
yang terang di pringgitan rumah itu. Karena itu ia menjadi gembira.
Agaknya penghuni rumah itu ada di rumahnya.
Dengan, hati-hati Mahisa Agni mengetuk pintu depan, dan terdengarlah sebuah sapa dari dalam, “Siapa?”
“Aku, Wiraprana,” sahut Agni.
“He?” terdengar seseorang terkejut mendengar jawaban Agni. Sesaat kemudian terdengar pula langkah seseorang membuka pintu.
Ketika pintu itu terbuka, Mahisa Agni melihat Witantra berdiri di muka pintu sambil menatapnya.
“Kau,” desis Witantra terkejut.
“Ya,” sahut Mahisa Agni, “aku datang kembali.”
“Mari, masuklah,” Witantra itu mempersilakan.
Mahisa Agni itu pun kemudian masuk ke
dalam pringgitan. Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada
dua orang perempuan yang kemudian berdiri dan
membalas anggukan kepala itu.
membalas anggukan kepala itu.
“Silakan,” berkata perempuan yang tua, “kami akan ke belakang.”
Mahisa Agni itu pun kemudian duduk bersama Witantra. Ternyata kedua perempuan itu adalah ibu dan istrinya.
Dengan penuh keheranan Witantra itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kau cepat kembali? Apakah kau terlambat datang?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak. Aku
datang kembali untuk menyampaikan terima kasihku kepadamu. Karena
pertolonganmu, mala aku masih sempat menggagalkan maksud Kuda Sempana
itu.”
“Syukurlah,” gumam Witantra, “sebenarnya kuda itu tidak terlalu tergesa-gesa. Aku masih memiliki yang lain.”
“Terima kasih,” sahut Agni. Namun
kemudian diceritakan apa yang telah terjadi, dan dikatakannya pula,
bahwa kuda yang dibawanya adalah kuda milik Kuda Sempana.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. “Bukan main,” gumamnya, “anak itu benar-benar keras kepala.”
“Witantra,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“aku ingin mendapatkan nasihatmu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan
atas anak muda itu. Apakah aku harus menyampaikannya kepada Akuwu
Tunggul Ametung atau aku harus menemuinya sendiri?”
Witantra menggelengkan kepalanya.
“Sulit,” desisnya, “Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang aneh. Aku
adalah pengawalnya yang hampir setiap hari bergaul. Namun aku masih
belum juga mengenal sifat-sifatnya dengan baik. Akuwu itu adalah seorang
yang ramah dan baik hati, namun ia adalah seorang yang kejam dan
kasar.”
Witantra itu berhenti sesaat, dan Mahisa
Agni pun menundukkan kepalanya. Direnungkannya setiap kemungkinan yang
dapat ditempuhnya. Tetapi ia tidak menemukan cara apapun yang
dianggapnya baik. Tanpa sesadarnya tiba-tiba terloncat dari mulutnya,
“Tetapi aku harus mencegahnya untuk mengulangi perbuatannya.”
“Ya,” sahut Witantra, “kau benar.”
“Tetapi bagaimana?”
Witantra itu pun kemudian berdisain diri
pula. Karena itu, maka pringgitan itu menjadi sepi. Lampu minyak yang
menyala tersangkut di dinding di atas gelodok melemparkan sinar
kemerah-merahan. Lidahnya yang seolah-olah melonjak-lonjak telah
mencetak bayangan yang hitam dan bergerak-gerak.
Witantra itu kemudian mengangkat wajahnya
sambil berkata, “Besok Akuwu akan berburu. Aku telah mendapat perintah
untuk mengikutinya.”
“Berburu?” bertanya Mahisa Agni, “ke mana?”
Witantra itu tidak segera menjawab. Ia
memang tidak tahu ke mana Akuwu akan berburu. Sehingga sejenak kemudian
katanya, “Akuwu Tunggul Ametung tidak pernah merencanakan, ke mana akan
berburu. Apabila rombongan telah bersiap, barulah Akuwu bertanya kepada
para pengiringnya, ke mana sebaiknya mereka pergi. Namun kadang-kadang
Akuwu sendiri menentukan arah perjalanan rombongan itu. Karena itulah
maka sampai sekarang aku belum tahu ke mana besok aku akan pergi.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia belum tahu apakah hubungannya dengan keperluannya
mencegah perbuatan Kuda Sempana seterusnya. Baru kemudian setelah
Witantra itu berkata, ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Wiraprana,” berkata Witantra, “kau besok
bisa tinggal di sini selama aku pergi. Biasanya Kuda Sempana ikut pula
mengantarkan Akuwu, sehingga dengan demikian, aku akan dapat selalu
mengawasinya. Dengan demikian maka kita mempunyai waktu sehari untuk
memikirkan persoalanmu itu. Apabila besok Kuda Sempana tidak ikut,
biarlah aku memberitahukan kepadamu, dan segeralah pulang ke Panawijen.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih kepada Witantra itu.
Kemudian katanya, “Aku selalu mengganggumu dengan pekerjaan-pekerjaan
yang menjemukan.”
Witantra menggeleng, jawabnya, “Kita
saling memerlukan dalam setiap kesempatan. Aku tahu, bahwa Kuda Sempana
telah melakukan kesalahan. Karena itu aku harus membantu mencegah
kesalahan-kesalahan berikutnya, meskipun aku tidak dapat berbuat secara
langsung. Sebab dengan demikian akan dapat menimbulkan keretakan dalam
lingkungan istana. Setidak-tidaknya antara aku dan Kuda Sempana yang
kedua-duanya hamba-hamba istana.
(bersambung ke Jilid 8)
No comments:
Write comments