MAHISA AGNI PUN KEMUDIAN membenahi diri.
Mencuci muka di sumur di belakang rumah. Memperbaiki letak pakaiannya
dan kemudian bersama-sama dengan orang tua yang ramah itu, duduk di
atas tikar anyaman menghadapi air jahe hangat dan sebongkah gula
kelapa.
“Minumlah Ngger,” orang tua itu
mempersilakan, namun ia sendiri tidak mau minum. Lehernya yang telah
berkeriput itu seakan-akan telah tersumbat. Meskipun demikian, Mahisa
Agni minum juga beberapa teguk. Alangkah segarnya.
“Sebentar lagi kita harus pergi memenuhi
permintaan anak setan itu. Istriku sedang menjemput gadisnya di rumah
sebelah. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari malapetaka yang lebih besar.
Biarlah aku serahkan timang itu, asal anakku itu tidak diganggunya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Alangkah sedihnya orang tua itu.
Sesaat kemudian istrinya yang telah tua
pula itu pun datang bersama anak perempuan beserta suaminya. Sekilas
Agni segera dapat melihat air mata yang membasahi mata yang jernih
bulat itu. Sedang suaminya, tidak lebih seorang petani biasa. Bertubuh
kecil dan berhati kecil. Sehingga dengan gemetar ia bertanya, “Apakah
yang akan dilakukan oleh Pasik, Kiai.”
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mudah-mudahan tak akan dilakukan sesuatu.”
“Aku telah membawa semua perhiasan dan kekayaan yang aku miliki. Mudah-mudahan istriku tidak diganggunya.”
Orang tua itu tidak menyahut. Namun
istrinya menangis terisak-isak, sehingga anaknya menangis pula.
Katanya, “Biarlah aku tinggal di rumah. “
Ayahnya menarik nafas. Tak sepatah kata
pun dapat diucapkan, sehingga anaknya itu berkata pula, “Ayah, aku
lebih baik mati daripada disentuhnya.
Ayahnya masih terbungkam. Dan bahkan matanya pun menjadi basah pula.
Mahisa Agni benar-benar tak dapat menahan
perasaan harunya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Biarlah anak bapa
tinggal di rumah bersama suaminya.”
Yang mendengar kata-kata Mahisa Agni itu
terkejut. Orang tua itu berpaling kepadanya sambil berkata, “Aku tidak
dapat membayangkan akibatnya.”
“Mudah-mudahan Pasik melupakannya setelah ia melihat timang bapa dan kerisku ini,” jawab Agni.
Orang tua itu berpikir sejenak. Tetapi
kemudian ia menjawab, “Hampir tak ada gunanya, Ngger. Ia tidak dapat
melihat keinginannya sepotong-sepotong terpenuhi. Ia ingin semuanya.”
“Tetapi apakah anak bapa itu juga terpaksa dikorbankan seandainya nanti dikehendaki oleh Pasik itu?”
Orang tua itu terdiam. Istrinya pun terdiam. Namun anak perempuannyalah yang menangis. Dan bahkan suaminya pun menangis.
“Jangan menangis,” minta Mahisa Agni kepada laki-laki itu, “seharusnya laki-laki tidak menangis.”
Tetapi laki-laki itu menangis terus.
Katanya di sela-sela tangisnya, “Ki Sanak tidak merasakan apa yang aku
rasakan. Itulah Ki Sanak dapat berkata demikian.”
Mahisa Agnilah kini yang terdiam. Ia
tidak tahu bagaimana mencoba menghibur mereka. Namun ia menjadi semakin
kasihan juga melihat keadaan keluarga yang sedang berduka itu.
Tiba-tiba perempuan tua itu berkata,
“Kiai biarlah suaminya saja pergi bersama-sama Kiai. Biarlah anak ini
tinggal bersama aku di rumah. Bawalah semua kekayaan yang ada sebagai
tebusannya.”
Laki tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Akhirnya ia pun berkata, “Biarlah ia tinggal di rumah.
Marilah kita pergi apa pun yang terjadi.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Marilah. Kita tebus putri bapa itu dengan kekayaan.
Mungkin Pasik akan bergembira karenanya.”
Orang tua itu tidak menjawab. Ditatapnya
wajah anaknya dan istrinya berganti-ganti. Kemudian kepada menantunya
ia berkata, “Marilah supaya Pasik tidak menjadi kesal menunggu
kedatangan kita.”
Maka pergilah mereka bertiga ke rumah
Pasik. Dengan wajah tunduk menantu orang tua itu berjalan di
sampingnya, sedang Mahisa Agni berjalan di belakang mereka.
Sekali orang tua itu berpaling sambil bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah Angger sudah ikhlas akan keris itu?”
Mahisa Agni menarik nafas. Jawabnya, “Keris ini keris peninggalan Bapa.”
“Jadi?”
“Entahlah,” sahut Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Mereka berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan yang sempit, menuju ke rumah Pasik.
Akhirnya sampai jugalah mereka ke rumah
itu. Rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas. Di halaman
itu Mahisa Agni melibat beberapa orang telah berkumpul dengan berbagai
bungkusan di tangan mereka. Namun tampaklah wajah mereka yang suram dan
bersedih. Mereka harus menyerahkan beberapa macam benda bagian dari
kekayaan mereka.
Ketika orang tua itu sampai di halaman
rumah Pasik, maka semua orang yang sudah berada ditempai itu, menjadi
heran dan saling berpandangan. Sebagian dari mereka menjadi heran,
kenapa orang tua itu pula telah dijadikan korban o’eh Pasik ? Dan
sebagian lagi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah mereka
kenal sebelumnya.
Seseorang yang telah setengah umur segera mendekati orang tua itu sambil berbisik, “Kenapa Kakang datang kemari?”
“Seperti juga kau datang kemari,” jawab orang tua itu.
“Oh, apakah Pasik itu sampai hati juga berbuat demikian kepada Kakang?”
“Ternyata demikianlah.”
Kemudian mereka itu terdiam ketika mereka
melihat Pasik keluar dan rumahnya. Dengan wajah yang cerah anak muda
itu tersenyum. Kemudian mengangguk kepada semua orang yang telah berada
di halaman. Namun seleret ia, memandang ke seberang halamannya. Dan
ternyata di kejauhan, beberapa orang dengan diam-diam ingin melihat apa
yang terjadi di halaman rumah Pasik itu. Namun Pasik itu masih saja
tersenyum. Kemudian dengan ramah ia berkata, “Alangkah senangnya aku,
bahwa kalian masih juga suka berkunjung ke rumah ini. Meskipun belum
kalian nyatakan, tetapi aku sudah tahu bahwa kalian telah bersusah
payah datang untuk memberikan bekal perjalananku lusa. Sebenarnyalah
aku memang hendak bepergian. Jauh, ke Tumapel mengikuti guruku yang
hari ini datang juga ke padukuhan ini.”
Pasik itu diam sesaat, namun orang yang
datang di halamannya mengumpat di dalam hati mereka. Sesaat kemudian
Pasik itu berkata, “ Sayang, guruku pagi ini tidak dapat menerima
kalian. Mungkin sebentar lagi setelah guru datang dari melihat-lihat
daerah terpencil ini.”
Kembali Pasik itu berdiam diri.
Ditebarkannya pandangan matanya sekali lagi. Ketika ia melihat Mahisa
Agni, maka anak muda itu tersenyum, “Selamat datang Ki Sanak. Ternyata
Ki Sanak sudi juga berkunjung ke rumah ini.”
Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu. Bukankah Ki Sanak yang minta kepadaku untuk datang pagi ini?”
Pasik mengerutkan keningnya, dan
orang-orang yang mendengar jawaban itu pun menjadi terkejut. Alangkah
beraninya orang itu menjawab pertanyaan Pasik. Namun kemudian mereka
menyadari bahwa orang itu belum mengenal siapakah Pasik itu.
Pasik pun kemudian tersenyum pula,
“Memang, aku kemarin telah mempersilakan kau datang. Bukankah lebih
baik apabila kita memperbanyak sahabat?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan
dibiarkannya Pasik tersenyum puas. Ia ingin melihat apa saja yang akan
terjadi seterusnya di halaman itu. Ternyata Pasik itu pun tidak
memperpanjang perkataannya. Dengan singkat kemudian ia berkata, “Nah,
aku akan sangat berterima kasih atas pemberian kalian. Karena itu,
marilah berikanlah apa yang ingin saudara-saudara berikan itu.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi.
Tampaklah beberapa orang menjadi ragu-ragu. Sehingga Pasik itu pun
berkata, “Marilah. Satu demi satu, supaya aku dapat melihat
barang-barang yang kalian berikan itu. Marilah!”
Maka, sesaat kemudian mulailah orang yang
pertama berdiri. Melangkah maju dan menyerahkan bungkusannya kepada
Pasik. Dengan tersenyum puas, Pasik membuka bungkusan itu. Sepotong
cula berukir berbentuk sebuah golek yang sangat manis. Namun wajah
Pasik itu tiba-tiba menjadi gelap. Katanya, “Apakah benda ini sama
sekali tidak bersalut emas?”
Orang yang membawa cula berukir itu terkejut. Dandengan ketakutan ia menjawab, “Tidak, tidak Pasik.”
“He?” potong Pasik, “Sebutlah namaku!”
“Oh,” orang itu semakin ketakutan, “maksudku Angger Waraha.”
Pasik menarik napas. Tetapi tiba-tiba ia membentak “Bohong! Benda-benda serupa ini biasanya bersalut emas.”
“Tetapi yang ini tidak Ngger,” jawab
orang itu, “ini adalah peninggalan Bapakku. Dibuatnya benda ini dengan
tangannya sebagai kenang-kenangan pada masa mudanya, ketika Bapak itu
berhasil menangkap seekor badak yang jarang terdapat di daerah ini
dalam perburuannya. Sehingga sudah tentu kami tidak dapat memberinya
emas. Sebab sebenarnya kami tidak pernah melihat, apalagi memiliki
emas. Maka …”
“Cukup!” bentak Waraha, orang itu
sedemikian terkejutnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar,
“Aku tidak perlu sesorah itu.”
Orang itu ternyata masih ingin memberi
beberapa penjelasan, namun mulutnya sajalah yang bergeletar, tetapi tak
sepatah kata pun yang dapat lolos dari tenggorokannya. Apalagi ketika
kemudian ia mendengar Waraha membentaknya sekali lagi, “Pulang! Jangan
menghina aku! Ambil yang lain!”
“Itu, itu…,” sahut orang itu terbata-bata, “itu adalah milikku yang paling berharga Ngger.”
“Pulang, dan ambil yang lain! Dengar?”
“Aku, aku sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Waraha itu kemudian menjadi marah. Dengan serta-merta golek cula yang amat manis itu dibantingnya pada sebuah batu.
“Pasik!” teriak orang itu. Tetapi ia
hanya dapat melihat golek itu pecah berserakan. Bahkan Pasik itu masih
bertambah marah lagi, karena orang itu menyebut nama aslinya. Karena
itu, dengan kakinya yang kokoh kuat Pasik mendorong orang itu sehingga
terpental beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.
Halaman itu menjadi tegang dan sepi. Sesepi perkuburan
Tak seorang pun yang berani memandang
wajah Pasik. Namun tiba-tiba mereka yang berada di halaman itu terkejut
ketika mereka mendengar Pasik itu tertawa. Kemudian ia berkata lemah,
“Ah. Maafkan aku. Aku tidak biasa berlaku kasar. Namun aku sebenarnya
tidak mau dihina. Aku tidak mau dihina. Aku tidak akan sakit hati
seandainya kalian tidak ingin memberi aku bekal apa pun. Namun aku
tidak mau dihina dengan benda-benda serupa itu.”
“Hem,” orang tua di samping Mahisa Agni
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika Pasik
itu tiba-tiba memandangnya sambil tersenyum. Kemudian dengan hormatnya
ia berkata, “Ah, Kiai. Agaknya Kiai datang juga ke tempat yang kotor
ini.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar.
Apalagi kemudian Pasik itu berkata, “Sebenarnya aku akan sangat gembira
apabila Kiai datang bersama gadis Kiai itu.”
Orang tua itu tidak menjawab. Namun debar
di dadanya menjadi semakin cepat. Karena ia tidak menjawab,maka Pasik
itu berkata pula, “Kiai, tidakkah Kiai datang dengan gadis Kiai itu?”
Orang tua itu menjadi bertambah gelisah.
Keringat dinginnya telah mulai membasahi bajunya. Dengan tergagap ia
menjawab, “Tidak Ngger. Aku datang bersama suaminya.”
“Suaminya?” tiba-tiba mata Pasik itu terbelalak. Apakah yang Kiai katakan?”
Orang tua itu telah benar-benar menjadi
gemetar. Sehingga kembali mulutnya terbungkam. yang menjawab kemudian
adalah Mahisa Agni.
“Ya Ki Sanak. Kiai ini datang bersama menantunya.”
Mata Pasik itu kemudian menjadi merah.
Dengan liar ia menatap Mahisa Agni dan laki-laki tua itu
berganti-ganti. Kemudian katanya lantang “Kiai, buat apa menantumu itu
bagiku?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Karena itu
ia pun kemudian berdiam diri. Dibiarkannya Pasik menggeram dan
kemudian berkata, “Aku sudah mengatakan, seharusnya Kiai datang dengan
anakmu, bukan menantumu. Buat apa aku minta menantumu datang?”
Pasik berhenti sejenak. Kemudian
pandangan matanya jatuh kepada menantu orang tua itu. “Ha, kau agaknya
menantunya bukan? Jangan ingkar! Gadis itu memang cantik. Bukankah
gadis itu kawan kita bermain sejak anak-anak?”
Tiba-tiba Pasik itu tertawa. Suaranya
menggelegar memenuhi halaman. Karena itu setiap orang yang mendengar
menjadi ngeri karenanya. Kemudian katanya meneruskan, “Aku kenal kau
sejak kecil dan kau kenal aku sejak kecil pula. Karena itu, marilah
kita berbaik hati sesama kita. Tolonglah aku, panggillah istrimu itu!”
Kata-kata itu benar-benar tak dapat
dimengerti oleh Mahisa Agni. Dan ia menjadi semakin tidak mengerti,
ketika menantu orang tua itu menangis, “Bagaimana Kiai? Apakah aku
harus memanggilnya?”
Orang tua itu pun terdiam. Dan suasana di
halaman itu menjadi beku. yang terdengar kemudian adalah suara Pasik
tertawa sambil berkata lembut. “Bukankah kita bersahabat?” katanya,
“Nah, tolonglah aku.”
Tetapi tiba-tiba Pasik itu terkejut
ketika seorang perempuan menggamitnya. Ketika ia menoleh, maka katanya
“Oh, Ibu. Apakah ada sesuatu?”
“Pasik,” berkata ibunya.
Namun segera Pasik memutus, “Sebut namaku!”
“Oh,” desah ibunya “Waraha. Apa pun yang akan kaulakukan, namun jangan diganggu tetua padukuhan kami itu.”
Pasik mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berpaling kepada menantu orang tua yang disebut sebagai
tetua padukuhan itu. Katanya “Lekas, tolonglah aku.”
“Waraha,” panggil ibunya.
Namun Pasik itu seakan-akan tidak mendengar, bahkan ia berteriak lebih keras “Cepat! Panggil istrimu itu sekarang!”
“Angger,” berkata orang tua itu dengan
gemetar, “aku telah membawa timang yang Angger kehendaki, dan menantuku
telah membawa perhiasan yang dimilikinya. Sedang tamuku pun telah
merelakan kerisnya untuk Angger. Apakah Angger masih memerlukan anakku
itu?”
Pasik sama sekali tidak mau mendengar kata-kata itu. Ia kemudian berteriak tinggi, “Lekas, panggil ia sekarang!”
Menantu tetua Padukuhan Kajar itu masih
terpaku di tempatnya dengan tubuh gemetar. Sedang mata Pasik itu telah
menjadi semakin merah. Namun ketika ia akan berteriak kembali, sekali
lagi ibunya menggamitnya dan berkata, “Jangan Waraha, jangan ganggu
anak itu.”
Tetapi Waraha itu masih saja tidak mau
mendengar kata-kata ibunya itu, sehingga kemudian ibunya itu menarik
tangannya, “Orang tua itu kami hormati seperti orang tua kami sendiri.
Dan bukankah orang tua itu terlalu baik kepadamu pada masa kecilmu.
Kini seharusnya ….”
“Diam!” tiba-tiba Waraha itu membentak.
Ibunya menjadi sangat terkejut dan bahkan semua orang menjadi terkejut
pula. Meskipun demikian ibunya itu meneruskan, “Waraha, aku minta
sekali lagi, jangan.”
Waraha menarik tangannya, dan bahkan
tangan ibunya itu didorongnya. Kini ia menunjuk kepada orang tua
beserta menantunya itu, “Cepat! Panggil perempuan itu! Aku menghendaki
timang, keris, dan perempuan itu. Jangan dikurangi!”
Kini ibunya tidak lagi hanya menarik
tangannya, tetapi anaknya itu dipeluknya sambil meminta, “Ingatlah,
Waraha. Orang itu terlalu baik buat kita. Jangan nodai dengan kekasaran
dan nafsu.”
Waraha itu kini menjadi benar-benar
marah. Tiba-tiba digetarkannya tubuhnya keras-keras, dan perempuan yang
memeluknya itu, ibunya, terpelanting beberapa langkah. Kemudian jatuh
terbanting di tanah. Terdengar ia memekik kecil. Namun pekiknya sama
sekali tidak mempengaruhi kekerasan hati anaknya. Waraha itu hanya
berpaling sesaat, kemudian dengan tanpa memandang ibunya yang masih
terbaring itu berkata, “Aku tak mau dihalangi oleh siapa pun juga.
Semua kehendakku harus terjadi!”
Kini kesan keramahan, kesopanan dan
kelembutan benar-benar telah lenyap dari Pasik. Matanya semakin lama
bahkan menjadi semakin liar. Sekali lagi ia berpaling ketika seorang
laki-laki dengan gemetar menolong perempuan yang terbanting itu. Dengan
lantang ia berkata, “Ayah, bawalah perempuan celaka itu pergi. Kalau
tidak maka tidak ada keberatan apa pun bagiku untuk memaksa kalian
pergi. Jangan campuri urusanku. Uruslah sendiri kepentingan Ayah dan
Ibu!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Alangkah buasnya anak muda itu. Menilik wajahnya, keluarganya dan
keadaan di sekitarnya maka mustahillah bahwa lingkungan itu dapat
membentuk orang sekasar Waraha itu. Tetapi kemudian Mahisa Agni pun
memperhitungkan pula kepergian Waraha itu beserta pamannya, kemudian
berguru kepada gurunya itu selama ia di rantau. Dengan demikian,
menurut kesimpulan Mahisa Agni, pasti lingkungan perguruannya yang
telah merusak hidup anak muda itu.
Kini kembali Pasik itu memandangi orang
tua beserta menantunya. Sekali lagi ia berteriak, “Aku ingin memberi
kalian kesempatan sekali lagi. Panggil perempuan itu. Aku menghendaki
semuanya. Tidak sebagian-sebagian dari permintaanku itu.”
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, dan menantunya menangis lebih deras lagi sambil bertanya, “Kiai, bagaimana Kiai?”
“Jangan bertanya lagi! Berdiri dan pergi!” bentak Pasik.
Laki-laki itu menjadi seperti orang
kehilangan kesadaran. Dengan demikian ia tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Diguncang-guncangnya tangan mertuanya. Namun mertuanya itu
pun telah menjadi sangat bingung pula.
Dalam keadaan yang demikian, maka halaman
itu benar-benar dicengkam oleh suasana yang mengerikan. Semua dada
seakan-akan berdentingan. Mereka yang melihat tetua mereka itu menjadi
sangat kasihan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Nasib mereka
masing-masing pun masih belum mereka ketahui. Dengan diam-diam mereka
mencoba menilai apa-apa yang sudah dibawanya. Jangan-jangan benda-benda
itu tidak menyenangkan hati Pasik, kecuali mereka yang sudah mendapat
pesan untuk membawa benda-benda tertentu. Memang kali ini Pasik berbuat
lebih jauh dari masa-masa yang lampau. Kali ini Pasik ingin
memperlihatkan kepada gurunya, apa yang dapat dilakukannya di kampung
halamannya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya kali ini benar-benar
mengejutkan dan sangat menakutkan bagi penduduk Kajar.
Pasik itu pernah datang bersama-sama
beberapa orang saudara seperguruan. Pernah diambilnya seorang gadis
untuk saudara seperguruan itu. Pernah dibunuhnya seorang anak muda
kawannya bermain semasa kanak-kanak. Pernah juga dilakukan hal-hal yang
mengerikan. Namun belum pernah Pasik mengundang orang sebanyak ini
untuk datang di halaman rumahnya. Apabila termasuk tetua padukuhan
mereka. Bahkan anak perempuannya pula dikehendakinya. Kali ini Pasik
benar-benar ingin memperlihatkan kekuasaannya di antara penduduk tempat
ia dilahirkan.
Ketika Pasik itu masih melihat menantu
tetua padukuhan itu masih belum beranjak dari tempatnya, maka ia pun
menjadi semakin marah. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “He,
apakah yang kau tunggu? Apakah kau ingin kepalamu bengkak dahulu?”
Laki-laki itu benar-benar menjadi ketakutan. Karena itu dengan gemetar ia berdiri untuk pergi memanggil istrinya.
Tetapi laki-laki itu terkejut, ketika
Mahisa Agni menggamitnya. Dengan isyarat ia mencegah laki-laki itu.
Namun laki-laki itu tidak segera dapat menangkap isyaratnya, sehingga
perlahan-lahan Mahisa Agni berbisik, “Jangan pergi! Lindungilah istrimu
itu.”
Laki-laki itu menjadi bertambah bingung. Ia sependapat dengan Mahisa Agni. Namun ia tidak berani menentang kehendak Waraha.
Ketika Waraha melihat orang itu berhenti, maka sekali lagi ia berteriak, “Apakah kau benar-benar bosan hidup?”
Dengan gemetar orang itu melangkah kembali. Namun sekali lagi Mahisa Agni mencegahnya. Bahkan kali ini ia menahan tangannya.
“Jangan!” katanya.
Kali ini Pasik melihat tangan Mahisa Agni
menarik tangan laki-laki itu. Karena itu betapa ia menjadi sangat
marah. Dengan serta-merta ia mengumpat sambil berkata, “Setan!Apakah
yang kau lakukan itu?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya ingin memperingatkannya, biarlah istrinya berada di rumah.”
Wajah Pasik itu seakan-akan menjadi menyala mendengar jawaban Mahisa Agni, sehingga agaknya ia perlu meyakinkan pendengarannya.
“He, apa katamu?” Ia bertanya.
Sekali lagi Mahisa Agni menjawab, “Aku hanya ingin memperingatkannya, sebaiknya istrinya tetap berada di rumah.”
Tubuh Pasik itu kemudian menjadi gemetar.
Kini ia mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh orang yang
baru saja dikenalnya itu. Katanya, “Ki Sanak, jangan membuat keributan
di sini. Apakah kau belum pernah mendengar nama Waraha,
setidak-tidaknya dari orang tua tempat kau menginap itu?”
“Sudah,” jawab Mahisa Agni singkat.
“Setan!” Waraha itu mengumpat, “sekarang berikan kerismu itu.”
Mahisa Agni masih tetap berada di
tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak, apalagi memberikan kerisnya,
sehingga sekali lagi Pasik berteriak, “Berikan kerismu perantau, atau
kau akan berkubur di padukuhan yang asing bagimu ini?”
“Kedua-duanya tidak menyenangkan Pasik,” jawab Mahisa Agni.
“He?” teriak Pasik, “Sebut namaku!”
“Ya. Bukankah namamu Pasik?”
“Diam! Sebut namaku sepuluh kali!”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Pasik itu benar-benar telah memuakkan. Karena itu ia justru berdiam
diri. Bahkan dengan acuh tak acuh ia menarik tangan menantu tetua
Padukuhan Kajar sambil berkata, “Marilah! Duduklah di sini.”
Semua yang melihat, apa yang telah
dilakukan Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Kini mereka
melihat Waraha menggertakkan giginya. Seseorang yang duduk di samping
Mahisa Agni itu menggamitnya sambil berbisik, “Angger. Jangan membuat
Angger Waraha itu marah.”
Tetapi sebelum Mahisa Agni sempat
menjawab, terdengar kata-kata Pasik, “He, perantau yang malang.
Sebentar lagi guruku pasti datang. Karena itu cepat berikan keris itu,
lalu kau boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi kalau kau mengganggu
pertemuan ini, maka terpaksa aku membunuhmu, meskipun Guru ada di sini.
Sebenarnya bukanlah suatu suguhan yang baik. Mayat seorang perantau.
Tetapi apa boleh buat.”
Mahisa Agni mengambil kerisnya yang
terselip diikat pinggangnya. Kemudian dengan tenangnya keris itu
diamat-amatinya. Dan dengan tenang pula ia berkata, “Ki Sanak. Kerisku
adalah keris peninggalan ayahku. Karena itu, alangkah sayangnya kalau
keris ini aku berikan kepada seseorang. Apalagi seseorang yang tak
memerlukannya lagi seperti Ki Sanak. Tanpa senjata pun Ki Sanak adalah
seorang yang sakti. Tetapi bagiku, keris ini akan sangat berguna.
Sebab…”
“Cukup!” bentak Pasik, “Berikan sekarang. Dan biarlah laki-laki cengeng itu menjemput istrinya.”
“Jangan!” sahut Agni, “keris ini tak akan aku berikan kepada siapa pun, dan laki-laki ini tak akan menjemput istrinya.”
“Angger,” desis laki-laki tetua padukuhan
itu. Tubuhnya yang kurus itu semakin berkerut, “jangan membuat Angger
Waraha menjadi semakin marah. Maka akibatnya, seluruh penduduk Kajar
akan mengalami bencana.”
Kini Mahisa Agni sudah tidak melihat
kesempatan lain. Ia tidak dapat membiarkan kelaliman itu berjalan
terus. Ia sudah cukup melihat kenyataan yang berlaku di hadapan
hidungnya. Dan ini harus dihentikan. Apakah ia akan berhasil atau
tidak, bukanlah menjadi soal. Tetapi ia mengharap,bahwa usahanya akan
berhasil. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri.
Ditariknya kerisnya dari wrangkanja. Kemudian diangkatnya di atas
kepalanya. Katanya “Pasik. Bagi seorang laki-laki, keris atau curiga
adalah lambang dari kelaki-lakiannya. Karena itu, betapa aku menilai
kerisku ini seperti aku sendiri.”
Semua hati yang tersimpan di dalam dada
setiap orang di halaman itu tergetar karenanya. Orang yang masih asing
bagi mereka itu, agaknya benar-benar belum mengenal Waraha. Karena itu,
mereka pun menjadi berdebar-debar. Apabila ada kesempatan bagi mereka,
mereka pasti akan memperingatkannya. Tetapi kini hal itu telah
terjadi. Dan wajah Waraha itu telah menjadi semerah darah.
“Hem,” Waraha menggeram. Tetapi tiba-tiba
ia tertawa. Di antara suara tertawanya itu ia berkata “He, para
tetangga yang baik. Sediakanlah sebuah lubang untuk mengubur orang gila
ini. Aku ingin mematahkan tulang belakangnya. Kemudian sebelum ia
mati, biarlah ia menikmati sejuknya tanah perkuburan.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu
dengan kerut-kerut di keningnya. Agaknya Pasik itu benar-benar dapat
berbuat sebuas itu. Karena itu maka kemudian jawabnya “Jangan marah
Pasik.”
Suara Mahisa Agni itu terputus karena Pasik berteriak, “Sebut namaku, orang gila!”
“Ya. Pasik. Pasik. Sebenarnyalah nama itu baik sekali. Tidak sebuas nama Waraha.”
Pasik itu kini benar-benar telah menjadi
gemetar menahan kemarahannya. Matanya yang liar menjadi semakin liar.
Dan tiba-tiba ia meloncat, melanggar satu dua orang sehingga jatuh
berguling-guling, mendekati Mahisa Agni. Dengan gemetar pula ia
menggeram, “Setan! Bersiaplah untuk mati!”
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser
selangkah surut. Kerisnya itu pun kemudian disarungkannya. Dan dengan
tenang ia berkata “Pasik. Aku tidak akan memberikan kerisku ini. Apakah
kau akan memaksa?”
Pasik itu menggeram seperti seekor
harimau. Orang-orang yang berada di halaman itu pun kemudian
berloncatan menepi. Mereka kini melihat Pasik dan Mahisa Agni telah
berdiri berhadap-hadapan.
Pasik memandang mata Mahisa Agni dengan
buasnya. Kini Pasik itu dapat melihat, bahwa sikap Mahisa Agni bukanlah
sikap dari seorang yang ingin membunuh diri. Namun sikap Mahisa Agni
adalah sikap seekor banteng yang siap melawan seekor harimau yang
betapa pun garangnya dengan tanduk-tanduknya yang runcing tajam.
Kini Pasik tidak mau berbicara lagi.
Dengan garangnya ia meloncat maju menerkam wajah Mahisa Agni yang masih
saja tetap tenang dan teguh.
Orang tua, tetua Padukuhan Kajar, ketika
ia melihat Pasik meloncat menyerang Mahisa Agni, terdengar mengeluh
pendek, sedang menantunya benar-benar telah menjadi seakan-akan
membeku. Bukan saja mereka berdua, tetapi seluruh penduduk Kajar yang
menyaksikan peristiwa itu menahan nafasnya.
Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan
wajahnya disobek oleh Pasik. Selangkah ia mundur sambil berkata,
“Pasik. Apakah kau benar-benar ingin memaksa aku untuk berkelahi?”
Gerak Pasik itu terhenti juga oleh
kata-kata Mahisa Agni. Sekali lagi ia memandang wajah Mahisa Agni yang
masih tetap tenang. Sehingga karena itu maka Pasik mulai menyadari,
dengan siapa ia berhadapan. Maka katanya kemudian,”Sejak semula aku
sudah menyangka, bahwa kau bukan sekedar seorang perantau dungu.
Kerismu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau sebenarnya seorang yang
menyimpan ilmu di dalam dirimu. Tetapi meskipun demikian, kau sekarang
berhadapan dengan Waraha, andel-andel Padukuhan Kajar. Karena itu
jangan menyangka bahwa kau akan dapat meninggalkan padukuhan ini dengan
selamat.”
Mahisa Agni seakan-akan tidak mendengar
kata-kata Pasik itu. Bahkan ia berkata, “Pasik. Apakah kau tidak
menyadari,bahwa perbuatanmu itu telah menimbulkan bencana, justru di
tanah kelahiranmu sendiri?”
Pasik mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa pedulimu?”
“Kalau kau seorang yang sakti, Pasik,
maka sudah wajar bahwa kau akan menjadi andel-andel padukuhan tempat
kelahiranmu. Tetapi apakah benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Tampak Pasik itu mengerutkan keningnya.
Dan pertanyaan Agni itu sekali lagi terngiang di telinganya, “Apakah
benar kau andel-andel Padukuhan Kajar?”
Pertanyaan itu benar-benar mengetuk hati
Pasik. Namun tiba-tiba kembali nafsunya melonjak sampai ke
ubun-ubunnya. Karena itu ia berteriak, “Tutup mulutmu perantau yang
malang. Ternyata umurmu akan segera berakhir di padukuhan ini.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Desisnya, “Pasik, aku bukan seorang yang biasa mencari pertentangan.
Tetapi kalau kau hendak memaksakan kehendakmu, maka aku terpaksa akan
menghadapimu dengan berperisai dada.”
“Tataplah langit dan ciumlah bumi untuk kesempatan yang terakhir sebelum kau kehilangan setiap kesempatan untuk melakukannya.”
Mahisa Agni tidak mendapat kesempatan
untuk menjawabnya. Sekali lagi Pasik meloncat dan menyerang segarang
harimau lapar. Namun sekali lagi Mahisa Agni mundur selangkah untuk
menghindarinya. Tetapi Pasik itu kini tidak membiarkan lawannya
mempunyai kesempatan lebih banyak lagi. Dengan cepatnya ia meloncat
maju untuk dengan berturut-turut melontarkan serangan berganda dengan
kedua kakinya berganti-ganti. Tetapi Mahisa Agni pun telah bersiap
sepenuhnya. Karena itu, serangan yang datang bertubi-tubi itu sama
sekali tidak mengejutkan Mahisa Agni. Dengan tangkasnya pula ia
menghindari setiap bahaya yang akan menyentuhnya.
Untuk beberapa saat sengaja Mahisa Agni
tidak segera membalas setiap serangan dengan setangan. Ia ingin
meyakinkan dirinya dalam penilaiannya terhadap lawannya itu.
Orang-orang Kajar menyaksikan perkelahian
itu dengan tubuh gemetar. Mereka belum pernah melihat seseorang berani
melawan kehendak Pasik, sejak Caruk terbunuh. Kini datang orang yang
belum mereka kenal dan melakukan perlawanan terhadap Pasik. Dahulu
Pasik berhasil dengan sekali pukul melumpuhkan anak muda yang bernama
Caruk, yang mencoba melawan kehendaknya. Apalagi pada waktu itu dua
saudara seperguruan Pasik ikut campur, sehingga Caruk itu terbunuh.
Kini Pasik itu tidak datang bersama saudara-saudara seperguruannya.
Tetapi ia dalang tersama gurunya. Karena itu, maka setiap dada
orang-orang Kajar itu diliputi oleh kecemasan dan ketegangan. Mereka
cemas akan nasib orang yang belum mereka kenal itu, dan mereka cemas
juga akan nasib mereka sendiri. Kemarahan Pasik pasti akan menimpa
mereka pula. Apalagi kemarahan gurunya.
Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa pun
juga. Perkelahian itu telah berlangsung. Kini mereka melihat Mahisa
Agni itu beberapa kali melangkah mundur. Meskipun demikian, di sudut
hati mereka sebenarnya tersiratlah keinginan mereka, bahwa
sekali-sekali biarlah Pasik itu mendapat pelajaran tentang cara-cara
yang baik bagi hidup berkeluarga dalam lingkungan yang kecil itu.
Karena itu sebenarnya mereka pun berdoa, semoga orang yang belum mereka
kenal itu dapat menolong mereka, membebaskan dari ketamakan Pasik.
Tetapi yang mereka lihat sekarang, orang itu selalu terdesak surut.
Dalam pada itu, Mahisa Agni semakin lama
semakin melihat nilai dari lawannya. Sebenarnya Pasik bukanlah seorang
sakti yang perlu dicemaskan. Mahisa Agni meyakini dirinya, bahwa ia
akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun, kalau Pasik telah
mampu berbuat demikian,maka gurunyalah yang perlu mendapat
perhatiannya. Tetapi sampai saat itu, ia belum melihat kehadiran guru
Pasik. Karena itu, ia harus berhati-hati. Setiap tindakan perlu
diperhatikannya dengan seksama.
Pasik itu masih menyerang terus-menerus
dengan buasnya. Tangannya, kakinya dan bahkan seluruh tubuhnya
bergerak-gerak dengan kasarnya, sehingga tampaklah betapa garangnya.
Namun gerakan-gerakan itu adalah gerakan-gerakan yang masih mentah.
gerakan-gerakan yang sebenarnya sangat sederhana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni melihat,
bahwa nilai-nilai dari inti gerak itu adalah sangat berbahaya. Apabila
guru Pasik yang melakukannya dengan unsur-unsur yang sama, maka
akibatnya pasti akan sangat berlainan. Dan sebenarnyalah dalam
penilaian Mahisa Agni, bukanlah Pasik itu yang perlu diperhitungkan,
tetapi gurunya.
Karena itu, setelah Mahisa Agni menemukan
nilai-nilai yang diperlukan, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan
dihadapi atas guru Pasik itu, maka sampailah ia pada kesimpulan, bahwa
ia harus menyelesaikan perkelahian yang pertama ini secepat-cepatnya.
Apabila guru Pasik benar-benar belum ada di sekitar tempat itu, maka ia
akan mempunyai waktu untuk mempersiapkan dirinya lebih dahulu.
Demikianlah maka Mahisa Agni kemudian
tidak membiarkan Pasik itu menyerangnya terus menerus. Kini Mahisa Agni
telah siap untuk segera menyelesaikan permainan Pasik yang kasar itu.
Namun Pasik yang kurang menyadari keadaan
lawannya itu, menyerangnya dengan garangnya. Bertubi,” tubi, karena ia
pun segera ingin menyelesaikan perkelahian itu secepatnya. Ia ingin
segera mengambil barang-barang berharga dari orang-orang yang sudah
berkumpul di halaman itu. Perlawanan seorang tolol ini akan
dijadikannya contoh, bahwa tak seorang pun boleh melawan kehendaknya.
Tetapi Pasik itu menjadi semakin marah,
ketika serangan-serangannya seolah-olah tak pernah menyentuh
sasarannya. Meskipun lawannya itu selalu terdesak surut.
Namun tiba-tiba pertempuran itu pun
segera berubah. Mahisa Agni tiba-tiba tidak menghindari lagi serangan
Pasik. Dengan hati-hati Mahisa Agni mencoba untuk menangkis serangan
lawannya, sehingga terjadilah suatu benturan di antara mereka. Namun,
alangkah terkejutnya Pasik itu. Serangannya kali ini serasa menghantam
batu karang. Dan bahkan batu karang itu telah mendorongnya dengan satu
kekuatan raksasa .Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya itu
terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
Bukan saja Pasik, tetapi semua yang
melihat peristiwa itu terkejut bukan buatan. Dan bahkan bukan saja
mereka, tetapi Mahisa Agni itu pun terkejut sekali melihat akibat dari
dorongan tenaganya. Sejak ia menekuni ilmunya di kaki Gunung Semeru,
agaknya ia telah terlepas dari setiap kemungkinan yang tersimpan di
dalam dirinya sendiri, sehingga karena itu,Mahisa Agni belum dapat
mengukur kekuatan-kekuatan yang dilontarkannya dengan baik. Kali ini
Mahisa Agni hanya ingin sekedar memunahkan serangan Pasik yang melanda
dirinya, namun akibatnya betapa dahsyatnya. Pasik itu terlempar surut
dan terguling di tanah. Apalagi ketika Mahisa Agni itu melihat
akibatnya kemudian. Dengan tertatih-tatih Pasik itu mencoba berdiri,
namun sekali lagi ia terjerembab jatuh dan sesaat kemudian ia tidak
sadarkan dirinya.
Halaman rumah Pasik itu kemudian
seakan-akan diterkam oleh kesenyapan yang tegang. Mahisa Agni masih
berdiri tegak di tempatnya. Sedang orang-orang Kajar melihat peristiwa
itu seperti melihat kisaran kejadian di dalam mimpi. Mereka tidak akan
menyangka bahwa Waraha yang ganas itu dapat dengan mudahnya dilumpuhkan
oleh seorang yang sama sekali belum mereka kenal.
Tetapi sesaat kemudian kesepian itu
dipecahkan oleh jerit seorang perempuan. Dengan berlari-lari ia
melintasi halaman untuk kemudian menjatuhkan dirinya memeluk tubuh
Pasik yang masih terbaring diam di halaman itu.
“Pasik. Pasik,” panggil perempuan itu.
Sekali lagi semua orang di halaman itu
terkejut. Juga Mahisa Agni terkejut. Perempuan itu adalah ibu Pasik.
Seorang ibu yang menangis karena melihat anaknya cedera.
“Pasik. Pasik,” perempuan ini masih
memanggil-manggil. Diguncang guncangnya tubuh anaknya yang masih
pingsan itu dan disiram wajahnya dengan air mata. Namun Pasik itu masih
berdiam diri. Seorang laki-laki, ayah Pasik itu pun kemudian berjalan
mendekati istrinya dan berjongkok di sampingnya. Dengan wajah sedih ia
memandangi wajah anaknya. Kemudian diangkatnya kepala anaknya itu
sambil bergumam, “Pasik. Sadarlah Anakku.”
Orang-orang yang berada di halaman itu
masih tetap tak beranjak dari tempat mereka. Hanya Mahisa Agnilah
kemudian yang melangkah setapak maju. Betapa pun juga, ia terharu
melihat seorang ibu yang sedang menangisi anaknya. Satu-satunya
anaknya.
Sesaat kemudian, Pasik itu pun membuka
matanya. Perlahan-lahan ia mulai bergerak-gerak dan mencoba menarik
nafas dalam-dalam. Ketika ia membuka matanya, yang pertama-tama
dilihatnya adalah wajah ayah dan ibunya.
Pasik itu mengerutkan keningnya. Ia ingin
melepaskan diri dari tangan ayahnya. Namun ketika ia mencoba
bergerak,terdengar ia mengaduh perlahan.
“Jangan bergerak anakku,” desis ibunya.
Pasik mencoba mengangguk. Punggungnya,
tangannya dan hampir segenap sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan
buatan. Sehingga nafas Pasik itu pun menjadi terengah-engah.
“Sakit,” desisnya.
“Jangan bergerak dahulu Pasik,” gumam ayahnya.
Terdengar Pasik itu mengerang. Dan kemudian dengan susah payah Pasik itu berkata, “Air, Air, aku haus sekali.”
“Air,” ayahnya mengulangi sambil
memandang ke sekeliling, seakan-akan ia minta kepada seseorang untuk
mengambil air. Tetapi orang-orang yang sedang terpukau oleh peristiwa
yang tak mereka duga-duga sebelumnya itu sama sekali tak ada yang
beranjak dari tempatnya, sehingga ayah Patik itu terpaksa mengulangi,
“Air.”
—–
Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya, Mahisa Agni. itu, terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
—–
Pasik yang kurang dapat menilai diri dan lawannya, Mahisa Agni. itu, terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh terbanting di tanah.
—–
Sementara belum seorang pun yang
menyadari keadaannya, maka yang mula-mula bergerak adalah Mahisa Agni.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang rumah Pasik, dan setelah ia
berputar-putar beberapa saat, ditemukannya sebuah kendi di atas
grobogan. Ketika ia menyerahkan kendi itu kepada ibu Pasik,dilihatnya
setetes darah mengalir dari mulut Pasik.
Sekali lagi ibu Pasik itu menjerit. “Darah!” katanya.
Tetapi ayah Pasik ternyata lebih tenang
dari istrinya. Diilingnya air dari dalam kendi itu setetes demi
setetes. Dan karena itulah maka nampaknya nafas Pasik menjadi lebih
teratur.
“Sakit,” terdengar sekali lagi Pasik itu mengeluh.
“Jangan bergerak-gerak dahulu, Pasik,” minta ayahnya.
Perlahan-lahan Pasik mengangguk. Namun
darah dari mulutnya masih mengalir terus. Betapa ibunya menjadi
bertambah cemas melibat keadaan anaknya. Dan bahkan kemudian dengan
nanar ditatapnya wajah Mahisa Agni. tiba-tiba dengan serta-merta, tanpa
diduga-duga ibu Pasik itu berdiri sambil menunjuk wajah Mahisa Agni
dengan jarinya. Katanya dengan suara gemetar, “Kau, Kau yang telah
membunuh Anakku. Lihat, betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak
kecil. Melahirkan dengan menahan sakit dan menantang maut.
Membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya.”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung.
Ditatapnya wajah perempuan itu dan wajah Pasik berganti-ganti. Dalam
pada itu tampaklah Pasik bergerak-gerak. Tetapi ia masih sedemikian
lemahnya.
“Kalau kau mau membunuh,” berkata ibu Pasik itu, “bunuhlah aku!”
“Aku sama sekali tidak ingin membunuhnya, Bibi,” jawab Mahisa Agni.
“Bohong!” teriak perempuan itu, “Kau lihat, akibat dari kejahatanmu itu?”
“Aku tidak sengaja,” sahut Agni, “bukankah Bibi melihat apa yang telah terjadi?”
“Ya. Aku lihat. Kau mencoba menghinanya. Dan karena itu aku pun merasa terhina pula.”
Mahisa Agni kini tidak menjawab lagi.
Seharusnya ia berdiam diri menghadapi perempuan yang sedang marah.
Dalam keadaan demikian maka perempuan itu tidak akan dapat
mempergunakan pikirannya, namun perasaannya sajalah yang berbicara.
Tetapi perempuan itu berhenti berbicara
ketika ia mendengar Pasik bergumam. cepat-cepat ia berjongkok dan
bertanya “Apa Pasik? Apakah yang kau minta?”
Pasik itu memandang wajah ayah dan ibunya
dengan pandangan mata yang aneh. Tiba-tiba ia berdesah “Bukankah ayah
akan menyembelih tiga ekor kambing kalau aku mati?”
“Tidak. Tidak Pasik,” sahut ayahnya cepat-cepat, “aku akan menyembelih tiga ekor kambing kalau kau sembuh.”
Pasik itu menarik nafas. Baru saja ia
mendorong ibunya sampai terbanting di tanah. Beberapa saat yang lampau
ayahnya itu hampir dibunuhnya dan ibunya itu telah dicekiknya pula.
Tetapi kini, ketika seseorang melukainya, maka ia mendengar ibunya itu
berkata, Betapa aku melahirkan dan memeliharanya sejak kecil.
Melahirkan dengan menahan sakit menentang maut. Memeliharanya dan
membesarkannya. Kini kau datang membunuhnya. Kemudian ibunya itu
berkata pula, ‘Kalau kau mau membunuh, bunuhlah aku’.
Dalam penderitaan karena luka-luka di
dalam dadanya, karena pantulan tenaganya sendiri serta dorongan tenaga
Agni itu, Pasik sempat memperbandingkan kasih ibu serta ayahnya
kepadanya dengan apa yang pernah dilakukannya. Alangkah jauh
perbedaannya. Seandainya, ya seandainya ayah atau ibunya yang mengalami
bencana itu, maka Pasik itu tak akan bersedih. Tetapi kini ayah serta
ibunya itu meratap untuknya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di
dalam dadanya. Sesuatu yang tumbuh karena keadaan yang sedang
dialaminya. Dan tiba-tiba terasa bahwa kasih sayang ibu serta ayahnya
telah memberinya ketenteraman. Ketika Pasik itu menggeser kepalanya,
dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti batu karang. Tetapi orang itu
tidak menyerangnya terus, dan benar-benar tidak berusaha membunuhnya.
Dengan demikian, maka berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya.
Beberapa keanehan kini sedang bergolak di dalam dirinya. Ibunya,
ayahnya yang telah pernah hampir dibunuhnya dan orang yang belum
dikenalnya itu.
Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa
itu pun menjadi berdiam diri seperti patung. Mereka kini melihat orang
yang mereka takuti terbaring dalam pelukan ayahnya. Betapa pun mereka
membenci Pasik, namun Pasik adalah anak yang dilahirkan di padukuhan
mereka, yang sejak kecilnya mereka lihat bermain-main di sepanjang
jalan padukuhan, di sawah bersama anak-anak mereka.
“Mudah-mudahan anak itu menyadari keadaannya,” gumam tetua Padukuhan Kajar.
Namun tiba-tiba halaman itu dikejutkan
oleh kehadiran seorang yang bertubuh pendek kekar dan hampir di seluruh
kulit wajahnya dijalari oleh otot-ototnya yang kukuh kuat.
Orang itu terkejut ketika ia melihat
Pasik terbaring diam di tangan ayahnya. Cepat-cepat ia meloncat seperti
seekor kijang, dan dengan tangkasnya ia segera berjongkok di samping
Pasik.
“Apa yang terjadi Waraha?” suaranya kecil melengking-lengking.
Halaman itu menjadi tegang. Tiba-tiba
pula seluruhnya yang berada di halaman itu menjadi cemas. Orang ini
adalah guru Pasik. Apakah ia akan berdiam diri melihat muridnya
terlukai?
Mahisa Agni pun melihat orang itu pula.
Segera ia mengetahuinya bahwa pasti orang ini guru Pasik. Namun ia pun
menjadi heran, guru Pasik itu masih sangat muda. Kalau demikian, pasti
orang ini bukan yang dikatakan oleh gurunya. Menurut gurunya orang itu
sudah agak lanjut umurnya,meskipun lebih tua dari Agni, namun tidak
terpaut banyak.
Ketika Pasik melihat gurunya datang,
sesaat wajahnya menjadi cerah, namun sesaat kemudian wajah itu menjadi
suram kembali. Yang terdengar kemudian adalah suara guru Pasik,
“Waraha, apakah yang terjadi atas dirimu?”
Kembali halaman itu menjadi sunyi.
Orang-orang yang ada di halaman itu seakan-akan tinggal menunggu nasib
mereka. Kalau Pasik itu mengatakan sebab-sebabnya, maka gurunya itu
pasti akan marah. Dan kemarahannya pasti akan menimpa mereka.
Pasik menarik nafas dalam-dalam. Dan
tiba-tiba terdengarlah jawabnya yang sama sekali tak disangka-sangka,
“Aku tidak apa-apa, Guru.”
Guru Pasik itu menjadi heran. Wajahnya
yang keras itu terangkat. Kemudian diedarkannya pandangan matanya
berkeliling. Ketika ia memandang Mahisa Agni yang masih berdiri tegak,
maka tampaklah keningnya berkerut.
“Waraha,” katanya kemudian “katakan apa sebabnya kau terluka?”
Sekali lagi Waraha menggeleng. Kemudian katanya “Seseorang menyerangku guru. Tetapi itu bukan salahnya.”
“He?” guru Pasik itu terkejut, “kenapa bukan salahnya?”
“Aku menyerangnya lebih dahulu,” jawab Pasik.
Sekali lagi guru Pasik itu mengerutkan
keningnya. Betapa anehnya kelakuan muridnya ini. Selama ini belum
pernah terjadi, salah seorang muridnya merasa bersalah dalam suatu
perkelahian. Di samping itu, timbul juga herannya, bahwa di padukuhan
kecil itu ada juga orang yang dapat mengalahkan muridnya. Karena itu
tiba-tiba sekali lagi ia memandang Mahisa Agni. Dan dengan serta-merta
ia berkata, “Kau, kaukah itu?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan
Bahu Reksa Kali Elo itu. Ia sudah bersedia untuk menerima tuduhan itu.
Sebab di antara sekian banyak orang-orang yang berada di halaman itu,
maka sikap Mahisa Agni tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang
lain.
Guru Pasik itu pun kemudian berdiri.
Dengan wajah yang merah membara ia bertanya pula, “ He, anak muda.
Apakah kau yang telah berani melukai muridku?”
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun terdengar Pasik itu berkata perlahan-lahan, “Biarkan anak itu, Guru.”
Tetapi guru Pasik itu sudah tidak mau
mendengar kata-kata muridnya. Karena itu, tiba-tiba ia menyambar lengan
salah seorang yang berjongkok paling dekat. Dengan satu tangannya
orang itu ditariknya, sehingga kedua kakinya terangkat.
“Ampun,” teriak orang itu.
Guru Pasik itu memandangnya dengan
bengis. Namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Jangan
takut tikus kecil. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Siapakah yang
telah melukai Waraha?”
Orang itu menjadi ragu-ragu, sesaat ia memandang wajah Mahisa Agni, dan sesaat pula ia memandang wajah guru Pasik.
Tiba-tiba orang itu terkejut ketika guru Pasik itu membentak,” jawab!”
“Bukan aku. Bukan aku,” jawabnya tergagap,
Mata guru Pasik itu menjadi semakin
menyala. Bentaknya, “Aku sudah tahu, pasti bukan kau tikus yang malang.
Tetapi siapa? Kalau kau yang melakukan itu, maka aku akan menyembahmu
sepuluh kali.”
Kembali orang itu terdiam. Tetapi kembali
guru Pasik itu membentak-bentaknya. Bahkan kemudian dipegangnya leher
orang itu sambil menggeram, “Katakan! Siapa yang melukai Waraha?”
Mahisa Agni akhirnya tidak sampai hati
melihat orang itu hampir mati ketakutan. Karena itu, maka segera ia
melangkah maju sambil berkata, “Lepaskan orang itu. Ia sama sekali tak
ada sangkut pautnya dengan luka Pasik.”
“Apa?” teriak guru Pasik, “Kau memerintah aku? Dan coba sekali lagi, sebutlah nama muridku itu!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Agaknya ia benar-benar berhadapan dengan seorang yang keras kepala.
Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin
memerintah seseorang. Tetapi aku ingin kau berlaku bijaksana. Orang itu
sama sekali tidak tahu menahu tentang luka muridmu yang bernama Pasik
itu.”
“Diam!” bentak Bahu Reksa Kali Elo.
“Kau bertanya, dan aku menjawab,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar ia tertawa parau. Katanya,
“Hem, ternyata kau benar-benar menyadari apa yang kau lakukan. Agaknya
kau menepuk dada setelah kau berhasil melukai muridku. Lihat, aku
adalah gurunya. Aku tidak akan dapat membiarkan kau melukai muridku.”
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terdengarlah lamat-lamat suara Pasik, “Guru, biarkan anak itu.”
“Hem,” guru Pasik itu menarik nafas,
tetapi seakan-akan kata-kata itu tak didengarnya. Bahkan kini ia
melangkah mendekati Mahisa Agni sambil menarik orang yang masih
digenggam lengannya itu. Katanya, “He, anak muda. Siapa namamu?”
“Mahisa Agni,” jawab Mahisa Agni pendek.
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Nama yang bagus. Tetapi kenapa kau berlaku kasar?”
“Bertanyalah kepada muridmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menggeram. Ditariknya
orang yang masih dipegangnya itu dekat-dekat ke dadanya, “Ayo bilang.
Siapa yang bersalah di antara mereka?”
Orang itu menjadi gemetar. Dengan tergagap ia menjawab, “Pasik. Pasik yang bersalah.”
“Apa? Apa?” guru Pasik itu
membentak-bentak sambil mengguncang-guncang tubuh orang yang sama
sekali tidak berdaya itu. Bahkan demikian takutnya, sehingga semua
tulang-tulangnya seakan-akan telah terlepas dari segenap persendiannya.
Apalagi ketika ia mendengar guru Pasik membentaknya kembali, “Ayo
jawab, siapakah yang bersalah di antara mereka?”
Kembali orang itu tergagap. Dan seperti
orang kehilangan akal ia menjawab, “Oh, anak itu. Anak itulah yang
bersalah. Mahisa Agni.”
“Ha,” guru Pasik itu tiba-tiba tertawa.
“Dengar,” katanya, “dengar. Kau dengar kesaksian orang ini. Orang-orang
Kajar adalah orang yang jujur. Mereka tak pernah berbohong seperti
kau. Bukankah kau bukan orang Kajar? Nah, apa katamu sekarang?”
Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia
melihat suatu permainan yang benar-benar memuakkan. Apalagi ketika guru
Pasik itu berkata, “He, Mahisa Agni, Apakah kau perlu saksi yang
lain?”
“Tidak!” jawab Mahisa Agni, “Apapun yang dikatakan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?”
Mata guru Pasik itu pun menjadi redup.
Katanya, “Aku tidak biasa menghukum orang yang tak bersalah. Kini
bukti-bukti akan mengatakan bahwa kau bersalah. Karena itu jangan
menyangkal dan jangan mencoba membela diri. Setiap kesalahan harus
mendapat hukuman tanpa kecuali. Meskipun kau tamu di padukuhan ini,
namun kau telah melakukan kesalahan.”
“Cukup!” potong Mahisa Agni. Ia telah
benar-benar menjadi muak mendengar kata orang yang menamakan dirinya
Bahu Reksa Kali Elo itu.
Guru Pasik itu terkejut sehingga dengan
demikian kata-katanya pun terhenti. Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan
tajamnya, kemudian katanya, “Kau berani membentak aku, he?”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan
itu, tetapi ia berkata, “He, Ki Sanak. Jangan berbuat aneh-aneh di
padukuhan ini .Pergilah dan biarlah Pasik menerima ketenteraman hidup
di antara keluarga dan sanak kadangnya. Jangan meracuni hidupnya dengan
perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang-orang yang
kehilangan akal budi.”
Guru Pasik itu terkejut mendengar
kata-kata Mahisa Agni sehingga matanya terbelalak karenanya. Kemudian
dengan geramnya ia berkata, “Sekarang aku yakin bahwa ternyata kau
benar-benar anak yang sombong anak yang tak tahu diri. Maka bagiku tak
ada pilihan lain daripada mengajarimu sedikit sopan santun supaya kau
dapat sedikit menghargai orang lain.”
“Aku pun sedang berpikir demikian juga atasmu,” sahut Mahisa Agni.
Guru Pasik itu menjadi semakin marah. Ia
terasa terhina karenanya. Karena itu beberapa langkah ia maju.
Diamatinya seluruh tubuh Mahisa Agni. Kemudian katanya
“Hem, muridku telah berkata kepadaku semalam, bahwa seorang perantau telah membawa sebilah keris yang sangat bagus.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat guru Pasik itu berkisar pada jari-jari kakinya. Karena itu cepat Mahisa Agni bersiaga.
“He, Agni,” berkata orang itu pula, “Kini kakinya yang sebelah telah beringsut ke belakang, manakah kerismu itu?”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri,
tetapi ia melihat kaki itu bergerak Dan apa yang disangkanya
benar-benar terjadi. Guru Pasik itu tiba-tiba saja meloncat dengan
garangnya menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni telah bersiaga
sepenuhnya, sehingga dengan tangkasnya ia meloncat menghindari.
“Setan!” guru Pasik itu mengumpat ketika
ia melihat bahwa korbannya berhasil menghindar diri. Dan wajahnya pun
menjadi seakan-akan menyala ketika Mahisa Agni berkata, “Apakah kau
ingin aku menjawab pertanyaanmu yang kauajukan tetap pada saat kau
bersiap untuk menyerang.”
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali
Elo itu menggeram. Cepat ia memutar tubuhnya. Ia ingin menebus
kegagalannya. Karena itu sekali lagi ia menyerangnya dengan kecepatan
yang luar biasa.
Orang-orang yang berada di halaman itu
pun menjadi cemas hati. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu tak akan
dapat dihindarkan. Namun, apakah yang dapat dilakukan oleh perantau
itu melawan guru Waraha? Mungkin ia masih dapat mengalahkan Pasik.
Tetapi melawan gurunya?”
Dan ternyata serangan guru Pasik itu pun
datang seperti badai. Dengan penuh kemarahan yang meluap-luap ia ingin
segera membinasakan perantau yang bodoh dan sombong itu. Ia ingin
menebus kekalahan muridnya dengan satu pertunjukkan yang pasti akan
menyenangkan dirinya. Ia ingin berkata kepada muridnya, bahwa ia harus
tetap di tempatnya, dalam barisan yang berderap di jalan-jalan yang
telah dipilihnya selama ini. Kalau tiba-tiba muridnya bersikap aneh,
itu karena kekecewaan yang dialaminya. Kekalahan yang tak
disangka-sangka itu pasti telah melemahkan keteguhan hatinya. Dan kini
kekalahan itu harus ditebusnya. Hati muridnya itu harus dibesarkannya
dengan melumpuhkan Mahisa Agni secepat-cepatnya, mematahkan tangannya
dan membiarkan Pasik untuk menyelesaikannya. Dengan demikian, maka
keteguhan hatinya akan dapat dipulihkan kembali.
Tetapi guru Pasik itu benar-benar menjadi
seolah-olah menyala karena panas hatinya. Serangannya yang kemudian
itu pun ternyata tak dapat menyentuh lawannya.
Tetapi meskipun demikian, serangannya itu
benar-benar telah mengejutkan Mahisa Agni. Serangan guru Pasik itu
datang seperti tatit. Untunglah bahwa ia masih mempunyai kesempatan
untuk menghindar. Kalau tidak, maka dadanya pasti sudah akan pecah.
Dengan demikian, maka dugaannya atas guru
Pasik itu ternyata benar. Dengan unsur-unsur gerak yang sama, guru
Pasik itu melibat Mahisa Agni dalam perkelahian yang ribut. Namun
unsur-unsur gerak itu kini dilepaskan oleh guru Pasik, bukan oleh Pasik
yang mentah itu. Karena itu, terasa oleh Mahisa Agni, betapa
berbahayanya.
Dan karena itu pula, Mahisa Agni segera
memusatkan,segenap perhatiannya pada perkelahian itu. Dicobanya untuk
melihat setiap gerak lawannya. setiap kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi dengan gerak-gerak itu.
Namun guru Pasik itu pun segera menyadarinya pula, dengan siapa ia berhadapan.
“Pantaslah Waraha dijatuhnya dengan
mudah,” katanya di dalam hati. Dan sejalan dengan itu,maka
serangan-serangannya pun semakin membadai. Geraknya semakin lama
menjadi semakin cepat dan keras. Tubuhnya yang kokoh kuat itu
melontar-lontar dengan kecepatan yang mengagumkan, dan bahkan
kadang-kadang orang itu berhasil membingungkan Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni yang baru saja
menekuni inti dari ilmunya itu, segera dapat menyesuaikan diri. Bahkan
kadang-kadang ia pun menjadi heran sendiri. Tidak saja kekuatannya yang
bertambah, namun kecepatannya bergerak pun terasa men-jadi bertambah
pula. Bahkan kadang-kadang geraknya melampaui kecepatan perasaannya
dalam suatu tujuan tertentu.
“Ah,” katanya di dalam hati, “kalau aku tidak segera menguasai diri,maka akan berbahaya bagiku sendiri.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun
kemudian mencoba melakukan pengamatan atas dirinya lebih saksama.
Perkelahiannya kali ini adalah penggunaan yang pertama segala macam
kekuatan dan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya setelah ia menempa
diri.Karena itu, maka sekaligus Mahisa Agni dapat menilai apa pun yang
pernah dicapainya selama ini.
Dengan demikian, maka pertempuran itu
semakin lama menjadi semakin seru. Serang menyerang dan desak mendesak.
Keduanya memiliki bekal yang cukup, serta keduanya berusaha untuk
segera mengalahkan lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian
itu, kemudian berlari berpencaran. Mahisa Agni dan guru Pasik itu
kadang-kadang melontar jauh ke samping, kemudian melontar kembali dalam
serangan-serangan yang berbahaya. Karena itu, maka mereka yang
menyaksikannya menjadi gemetar dan ketakutan
Waraha yang masih dalam kesakitan itu,
menyaksikan perkelahian antara gurunya dan perantau yang bernama Mahisa
Agni itu dengan seksama. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah
terjadi. Namun kemudian kembali ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam
dirinya. Seakan-akan terasa sesuatu yang selama ini tak pernah
dirasakannya. Namun tiba-tiba dikenangnya, bapak ibunya yang
mengasihinya, kampung halaman yang memberinya kenangan yang
menyenangkan.
Mata Pasik itu melihat perkelahian yang
terjadi antara gurunya dan Mahisa Agni, namun hatinya tiba-tiba saja
terbang ke masa-masa lampaunya. Seakan-akan ia menatap wajah gurunya
yang kasar bengis, dan kemudian ditatapnya wajah ibunya yang lembut,
dan wajah bapanya yang sedang berduka.
Sehingga tiba-tiba pula melontarlah suatu
pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah yang telah terjadi dengan dirinya
selama ini?” Kata-kata Mahisa Agni berkali-kali berputar di dalam
dadanya. Kata-kata yang selalu terngiang di telinganya, Pergilah, dan
biarlah Pasik menikmati ketenteraman hidup di antara keluarganya dan
sanak kadangnya. Jangan ganggu dia lagi, dan jangan meracuni hidupnya
dengan perbuatan-perbuatan aneh seperti perbuatan-perbuatan orang yang
kehilangan akal budi.
Pasik itu kemudian memejamkan matanya.
Seolah-olah telah ditemukannya apa yang hilang selama ini. Ketenteraman
hidup di antara keluarga dan anak kadang.
Ketika sekali lagi ia membuka matanya,
dan ditatapnya wajah ibunya yang lembut, hatinya menjadi meronta-ronta.
Disadarinya kini apa yang telah dilakukannya selama ini. Bahkan hampir
saja ia membunuh ayah dan ibunya, namun ayah dan ibunya itu sama
sekali tak mendendamnya. Cinta kasihnya tak runtuh seujung rambut pun.
Dalam pada itu, di halaman rumah Pasik
itu masih berlangsung pertempuran yang semakin lama semakin dahsyat.
Mereka masing-masing benar-benar telah berjuang mati-matian. Guru Pasik
sekali-kali terdengar berteriak mengerikan sejalan dengan
serangan-serangannya yang keras dan cepat. Seperti seekor serigala
kelaparan, orang yang bertubuh kokoh kuat itu melonjak-lonjak menyergap
dari segenap arah. Namun Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai
dirinya dengan sebaik-baiknya. Betapa pun lawannya menjadi bertambah
ganas, tetapi Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah mapan juga. Setelah
dikenalnya dengan baik setiap unsur gerak lawannya, serta setelah
dikenalnya pula dengan baik segenap kemampuan yang dapat
dipergunakannya yang tersimpan di dalam tubuhnya, maka perlawanannya
pun menjadi semakin kuat dan tangguh.
Karena itu maka guru Pasik itu pun
menjadi semakin heran. Ternyata ia berhadapan dengan seorang anak muda
yang luar biasa. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Agni itu akan
benar-benar dapat menguasai keadaan.
Orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo
itu pun kemudian menyadari sepenuhnya, siapakah yang sedang dihadapinya
kini. Karena itu, maka sampailah ia kemudian pada tetapan hatinya,
untuk membinasakan Mahisa Agni dalam puncak ilmunya.
Demikianlah maka guru Pasik itu pun
kemudian meloncat beberapa langkah surut menjauhi Mahisa Agni. Dengan
berteriak nyaring ia merentangkan kedua tangannya, kemudian dengan
ganasnya sekali ia meloncat ke udara, dan dengan kedua kakinya yang
kokoh itu ia tegak kembali di atas tanah dalam kesiagaan penuh untuk
melontarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya.
Pasik yang melihat perkelahian itu
tiba-tiba saja menjadi sangat terkejut. Ia melihat betapa gurunya
merentangkan tangannya, kemudian seperti seekor singgat melenting ke
udara untuk kemudian bersiap dalam sikap yang teguh kuat seperti gunung
yang siap untuk meledak.
Dan tiba-tiba pula, tanpa sesadarnya
Pasik itu merasa, bahwa Mahisa Agni berada dalam bahaya. Ia tidak tahu,
kenapa ia merasa wajib untuk menyelamatkannya. Karena itu tiba-tiba ia
berteriak “Guru, jangan dengan ilmu itu!”
Tetapi gurunya sama sekali tidak
mendengar. Bahkan terdengar ia tertawa nyaring. Kini ia sama sekali
tidak bergerak, seolah-olah ia menunggu Mahisa Agni menyerangnya, untuk
kemudian dengan satu pukulan, anak itu akan dibinasakannya.
Mahisa Agni melihat sikap itu. Ia melihat
tubuh orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu bergetar.
Sebagai seorang yang telah menekuni olah kanuragan, maka segera Mahisa
Agni pun mengetahuinya, bahwa lawannya sedang mengerahkan setiap
kekuatan lahir dan batinnya dalam puncak ilmu yang dimilikinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun tidak
mau dirinya dibinasakan oleh Orang yang bengis itu. Ia menjadi heran
ketika lamat-lamat ia mendengar Pasik itu mencoba mencegah gurunya dan
bahkan kemudian Pasik itu berkata, “Mahisa Agni, jangan mendekat!”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Mahisa Agni. Dalam kesibukannya menghadapi lawannya, maka perasaannya
dapat menangkap suatu ungkapan yang jujur yang dilontarkan oleh Pasik
yang sedang terluka itu, tetapi ia tidak mempunyai waktu terlalu lama
memperhatikan anak muda yang agaknya dalam perkembangan keadaan yang
dialaminya di dalam jiwanya. Yang segera harus dilakukan adalah
menyelamatkan diri dari kemungkinan yang sangat mengerikan. Karena itu,
maka dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya, maka Mahisa Agni kini
sama sekali tidak menyerang lawannya. Bahwa ia pun meloncat atau
langkah surat. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, dan
dipanjatkannya hasrat di dalam hatinya, pemusatan kekuatan lahir dan
batin.
Ketika Mahisa Agni melihat kaki lawannya
bergeser, maka segera Mahisa Agni pun menarik kakinya kanannya setengah
langkah ke belakang, sedang pada kedua lututnya kemudian Mahisa Agni
merendahkan dirinya, siap dalam kekuatan aji yang baru saja
ditekuninya, Gundala Sasra.
Dalam waktu sekejap, Mahisa Agni sudah
merasakan,seolah-olah ada getaran-getaran yang mengalir di dalam
dirinya. Getaran-getaran kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya.
Yang karena ketekunannya, maka ia telah berhasil mengungkap segenap
kekuatan-kekuatan yang tersimpan itu. Meskipun ilmu yang dimilikinya
itu belum sempurna benar, namun aji Gundala Sasra adalah aji yang
nggerisi.
Kini Mahisa Agni masih berdiri pada
sikapnya. Meskipun sikap itu bukanlah sikap yang mutlak harus
dilakukan, sebagaimana gurunya berkata, bahwa sikap itu adalah suatu
cara untuk mengungkapkan ilmu itu, tetapi pengungkapan itu dapat
dilakukannya dalam sikap yang paling tepat pada saat-saat tertentu
dalam unsur-unsur gerak pokok yang tak dapat disingkirkan.
Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali
Elo itu pun ternyata seorang yang telah banyak berpengalaman. Itulah
sebabnya, ketika ia melihat Mahisa Agni tidak menyerangnya, justru
meloncat mundur sambil menyilangkan tangannya, serta ketegangan di
wajah anak muda itu, maka guru Pasik itu pun segera menyadari, bahwa
lawannya telah pula bersiap dalam puncak ilmunya.
Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, “Apa yang sedang kau lakukan itu?”
Mahisa Agni masih belum bergerak dari
tempatnya. Ia pun menunggu sampai lawannya datang menyerangnya. Maka
jawabnya, “Aku sedang berpikir, apakah kau sedang mengungkapkan
kesaktianmu yang tertinggi?”
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya.
Ternyata Mahisa Agni menyadari keadaannya. Katanya, “Kita telah sampai
pada saat penentuan. Aku masih ingin mencoba memperingatkan kau sekali
lagi anak yang malang. Berikan kerismu dan jangan melawan. Mungkin aku
akan membunuhmu dengan keris itu, tidak dengan cara-cara yang lain yang
akan dapat menyiksamu pada saat-saat terakhir.”
“Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni, “kau masih
saja hidup di dunia yang gelap ini. Sebaiknya kau bangun dan sadari
keadaanmu kini. Kau berada di antara manusia dan hidup bersama-sama
dengan mereka. Kenapa berlaku demikian? Seolah-olah kau hidup di
tengah-tengah rimba dan memaksakan segala kehendakmu kepada pihak-pihak
yang kau anggap lebih lemah.”
“Tutup mulutmu!” bentak Guru Pasik itu.
Matanya yang merah menjadi semakin merah, “Jangan ribut. Berikan keris
itu, dan tundukkan kepalamu. Aku ingin melibat darah memancar dari
lehermu.”
“Ki Sanak ,” jawab Mahisa Agni, “kalau aku harus mati, maka akan mati dengan wajah menengadah.”
Guru Pasik itu menggeram. Terdengar
giginya gemeretak,dan tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya
ia menerkam Mahisa Agni tepat seperti serigala yang buas menerkam
mangsanya. Tetapi Mahisa Agni telah sampai di puncak ilmunya. Karena
itu betapa cepatnya ia menghindarkan diri dari terkaman itu, sehingga
orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu terdorong oleh
kekuatannya sendiri meluncur beberapa langkah. Namun orang itu agaknya
telah benar-benar menguasai segenap gerak dan tubuhnya. Demikian ia
menginjak tanah, demikian ia melenting dan memutar tubuhnya siap untuk
melontarkan serangan kembali. Mahisa Agni pun segera mempersiapkan
dirinya pula kembali, dan bahkan kini ia tidak ingin perkelahian itu
berlangsung berlarut-larut. Demikian ia melihat guru Pasik itu
menyerangnya kembali dengan dahsyatnya, maka segera ia bergeser ke
samping dan merendahkan dirinya. Kali ini Mahisa Agni tidak melepaskan
kesempatan itu, dengan cepatnya ia meloncat menyerang lambung lawannya.
Namun lawannya itu pun dengan sigapnya memperbaiki keadaannya,
sehingga tepat pada saat serangan Mahisa Agni datang, Guru Pasik itu
pun telah siap pula melawannya dengan garangnya.
Demikianlah maka terjadilah benturan yang
dahsyat dari dua macam ilmu yang berlawanan. Benturan itu seakan-akan
meledaknya petir yang sedang bersabung.
Pasik yang melihat benturan itu,
tiba-tiba memejamkan matanya. Terdengar ia berdesah. Ia tidak mau
melihat peristiwa yang mengerikan itu berulang. Beberapa, saat yang
lampau, ia pernah melihat gurunya mempergunakan ilmu itu pula, ketika
mereka gagal memaksa seseorang untuk menyerahkan barang-barangnya di
perjalanan. Ternyata orang itu pun mampu melawan gurunya dalam
pertarungan jasmaniah. Namun kemudian gurunya itu mempergunakan ilmunya
yang dahsyat itu.
—–
Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
—–
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
—–
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Tetapi sesaat kemudian Pasik itu menjadi
heran. Ia mendengar tubuh-tubuh yang berjatuhan, namun ia tidak
mendengar gurunya itu tertawa nyaring seperti pada saat ia membunuh
orang di jalan itu. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk melihat apa
yang terjadi. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dan pertama-tama
dilihatnya adalah Mahisa Agni yang sedang berusaha untuk berdiri di
halaman itu. Namun tampak betapa ia menjadi sangat letih. Sekali-sekali
ia masih terhuyung-huyung hampir jatuh. Namun kemudian ia menemukan
keseimbangannya kembali.
Sebenarnyalah pada saat benturan itu
terjadi, Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut, kemudian betapa
dahsyatnya tenaga lawannya sehingga ia terguling beberapa kali. Baru
kemudian dengan susah payah, ia berusaha berdiri.
Tetapi lawannya pun tidak kurang pula
parahnya. Seperti seonggok kayu ia terlempar, kemudian terbanting di
tanah. Sesaat orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu
seakan-akan tak dapat lagi bernafas. Dadanya serasa pecah dan matanya
berkunang-kunang. Karena itu maka segera dipusatkannya segenap kekuatan
lahir dan batinnya untuk segera menemukan kesadarannya kembali. Dan
akhirnya guru Pasik itu pun mampu pula mengangkat kepalanya.
Perlahan-lahan ia bangkit betapapunggungnya terasa sakit. Ketika ia
telah berhasil duduk dan bertelekan di atas kedua tangannya, dilihatnya
Mahisa Agni telah berdiri di hadapannya.
“Setan!” desisnya, “hantu mana yang telah menyelamatkanmu dari aji Kala Bama?”
Mahisa Agni menarik nafas. Kala Bama. Aji
itu pun betapa dahsyatnya sehingga hampir saja dadanya dipecahkannya.
Namun Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu.
Ditatapnya wajah orang itu dengan tajamnya. Dan dibiarkannya ia berusaha untuk berdiri pula.
Dengan tertatih-tatih akhirnya orang itu
pun tegak pula. Namun sesaat kemudian ia berdiam diri seperti sedang
merenung. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka orang itu memutar
tubuhnya dan terhuyung-huyung meloncat berlari meninggalkan halaman
yang celaka itu.
Sesaat Mahisa Agni terpaku di tempatnya,
namun kemudian disadarinya bahwa orang itu akan tetap berbahaya
baginya. Karena itu maka segera ia pun berusaha untuk mengejarnya.
Tetapi keadaan tubuhnya sendiri betapa letihnya, sehingga tenaganya pun
telah menjadi sangat jauh berkurang. Meskipun demikian, orang yang
dikejarnya itu pun tidak dapat berlari terlalu cepat.
Mahisa Agni dan guru Pasik itu pun
kemudian dengan terhuyung-huyung berlari berkejaran. Tetapi tiba-tiba
ketika Mahisa Agni hampir meloncati dinding halaman yang rendah, guru
Pasik itu pun berhenti. Secepat kilat ia memutar tubuhnya dengan
sisa-sisa ketangkasannya yang terakhir, kemudian dengan tiba-tiba pula,
Mahisa Agni melihat sebilah pisau yang meluncur terbang ke arahnya.
Mahisa Agni terkejut melihat pisau itu.
Cepat ia mengendapkan diri dan pisau itu terbang beberapa jengkal di
atasnya. Namun karena ia tergesa-gesa dan kekuatannya pun telah hampir
habis, maka dengan tak disangka-sangka Mahisa Agni itu pun tergelincir
jatuh di tanah.
Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya.
Pada saat ia bangun ia mendengar orang itu tertawa tinggi sambil
berkata hampir berteriak, “Mahisa Agni. Kau menang kali ini. Tunggulah
beberapa lama, apabila guruku telah selesai dengan pekerjaannya menempa
Kuda Sempana, maka akan datang giliranmu untuk aku penggal lehermu.
Mahisa Agni itu pun berusaha bangun
secepat-cepatnya. Namun karena tenaganya yang lemah itu, maka ketika ia
berhasil berdiri masih di dalam pagar, maka guru Pasik itu telah tidak
dilihatnya lagi.
“Alangkah liat kulitnya,” gumam Mahisa
Agni. Bagaimanapun juga ia terpaksa mengagumi orang yang menamakan diri
Bahu Reksa Kali Elo itu, sebagaimana orang itu mengaguminya. Mereka
masing-masing telah mempergunakan ilmu tertinggi yang mereka miliki.
Namun mereka mampu untuk bertahan, meskipun dada mereka seakan-akan
menjadi rontok karenanya.
Tetapi yang mengejutkan Mahisa Agni,
orang itu telah menyebut nama Kuda Sempana. Karena itu maka ia menjadi
gelisah. Apakah hubungannya dengan Kuda Sempana
Tiba-tiba Mahisa Agni itu ingat kepada
Pasik. Anak itu masih berbaring di tangan ayahnya. Mungkin ia bisa
bertanya kepadanya apakah hubungan antara orang ini dan Kuda Sempana.
Karena itu, maka kemudian dilepaskannya
maksudnya untuk mencari guru Pasik itu sebelum keadaan tubuhnya
memungkinkan. Bahkan segera ia berjalan kembali ke halaman untuk
menemui Pasik yang masih dengan lemahnya berbaring. Tetapi ketika ia
melihat Mahisa Agni datang kepadanya tiba-tiba ia tersenyum. Kemudian
dengan lemahnya ia berusaha untuk duduk.
“Tuan ternyata luar biasa,” desisnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya
wajah ibu Pasik yang agaknya masih marah kepadanya. Tetapi ketika
perempuan itu mendengar kata-kata Pasik itu, dan dilihatnya anaknya
tersenyum, ia menjadi heran.
Dan tiba-tiba perempuan itu bertanya kepada anaknya, “Apakah kau sudah berangsur baik?”
Pasik berpaling. Dipandangnya wajah
ibunya yang penuh kecemasan. Kemudian ditatapnya pula wajah ayahnya
yang sayu. Tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dan tanpa
sesadarnya ia berkata, “Maafkan aku Ibu, maafkan aku Ayah.”
Ibunya terkejut ketika dengan tiba-tiba
ia mendengar kata-kata anaknya itu. Beberapa saat ia terdiam seperti
patung. Namun tiba-tiba pula diraihnya kepala anaknya, dan dipeluknya
anaknya itu seperti ketika masih kanak-kanak. Ibu Pasik itu pun
menangis sejadi-jadinya.
Beberapa orang masih tampak di halaman
itu. Selangkah demi selangkah mendekat. Mereka merasakan sesuatu yang
berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Dan mereka melibat Mahisa Agni
masih di halaman itu. Dengan demikian maka mereka menjadi tenang.
Ayah Pasik itu pun menggosok-gosok
matanya yang menjadi nyeri. Satu-satunya anaknya kini telah kembali
kepadanya, kepada ayah dan ibunya. seakan-akan anak yang telah hilang
itu datang kembali pulang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Betapa ia ikut serta mengalami keharuan melihat peristiwa itu. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia mengucap syukur di dalam hatinya.
Mudah-mudahan untuk seterusnya Pasik menyadari keadaannya. Ia adalah
anak Kajar, dilahirkan di Kajar dan dibesarkan di Kajar pula.
Baru sesaat kemudian, kepala Pasik itu
pun dilepaskan. Namun air mata masih saja mengalir meleleh di pipi
perempuan yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur dan duka.
Patik itu kemudian menatap Mahisa Agni
dengan mata yang buram. Katanya, “Tuan telah membuka hatiku. Dan tuan
telah mengampuni aku. Sebab kalau tuan mau membunuh aku, maka aku pun
pasti sudah mati. Ternyata tuan benar-benar menyelamatkan diri dari aji
Kala Bama, dan bahkan tuan berhasil mengusir Bahu Reksa Kali Elo dari
halaman ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Katanya, “Jangan pikirkan itu. Sekarang sembuhkan luka-lukamu. Luka
badan dan luka jiwamu. Mudah-mudahan kedua-duanya akan lekas menjadi
sembuh.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Katanya
lirih kepada ayahnya, “Ayah. Mintakan aku maaf kepada penduduk Kajar.
Kepada tetua padukuhan ini, dan kepada siapa saja.”
“Mereka akan memaafkan kau, Pasik,” terdengar suara di belakang mereka. Suara tetua padukuhan itu.
“Terima kasih Kiai,” sahut Pasik.
Halaman itu kemudian hening untuk sesaat.
Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angannya. Mereka sedang
menilai peristiwa yang haru saja mereka saksikan. Peristiwa yang telah
menolong seorang anak padukuhan mereka yang selama ini tenggelam dalam
arus yang hitam.
Tetapi kegelisahan di dada Mahisa Agni
masih saja mengguncangnya. Ia ingin segera tahu hubungan guru Pasik itu
dengan Kuda Sempana. Dalam tangkapannya, maka Kuda Sempana yang
digarap pula oleh guru Pasik itu, adalah saudara seperguruan dengan
orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
Karena itu, ketika halaman itu telah
menjadi tenang, maka Mahisa Agni itu pun segera melangkah mendekati
Pasik yang sudah dapat duduk bersandar kedua tangannya.
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni itu pun
berkata kepada ayah Pasik. Katanya, “Paman, apakah tidak sebaiknya
Pasik dibawa masuk untuk mendapatkan perawatan yang baik?”
“Ya, ya,” jawab ayah Pasik itu tergagap.
Dan kemudian dibantu oleh Mahisa Agni, maka Pasik itu pun dipapah masuk
ke rumahnya. Dengan perlahan-lahan anak muda itu dibaringkannya di
atas pembaringan.
“Terima kasih,” desis Pasik, “aku sudah mendingan.”
“Jangan banyak bergerak, Pasik,” Mahisa Agni berpesan. Dan Pasik itu pun mengangguk.
Setelah Pasik itu minum kembali beberapa
teguk, maka keadaannya menjadi semakin baik. Dan kata-katanya yang ke
luar dari mulutnya pun menjadi semakin lancar.
Beberapa orang yang berdiri di halaman
satu-satu menengok juga dari lubang ke dalam rumah, namun mereka tidak
berkehendak masuk. Bahkan kemudian satu-satu mereka meninggalkan
halaman itu pulang ke rumah masing-masing. Namun di dalam dada mereka
tersimpan suatu perasaan yang lain daripada saat mereka datang dengan
tergesa-gesa ke halaman itu.
Rumah Pasik itu pun kemudian menjadi sepi
yang berdiri di pintu adalah tertua padukuhan Kajar, dan menantunya
berdiri di belakangnya. Walaupun ia melihat bahwa Pasik itu terluka,
namun ketakutannya masih juga belum mereda.
“Angger Mahisa Agni,” berkata orang tua itu, “aku akan pulang dahulu. Apakah Angger pergi bersama-sama aku ke rumahku?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan menyusul, Bapa.”
Orang itu pun kemudian minta diri pulang bersama menantunya yang masih berdebar-debar
Ketika halaman itu telah benar-benar
sepi, maka barulah Mahisa Agni bertanya kepada Pasik. Katanya, “Pasik,
apakah kau pernah mendengar nama Kuda Sempana?”
Pasik itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, “Ya, Tuan. Aku pernah mendengar.”
“Panggillah aku dengan namaku,” sahut Mahisa Agni.
“Ya, ya Mahisa Agni,” berkata Pasik dengan kaku.
“Nah. Demikianlah,” sambut Mahisa Agni, kemudian katanya melanjutkan pertanyaannya, “siapakah Kuda Sempana itu?”
“Dari mana tuan, eh, kau tahu nama itu?´ bertanya Pasik.
“Aku mendengar dari gurumu. Ia akan
datang mencari aku setelah gurunya selesai dengan pekerjaannya, menempa
orang yang bernama Kuda Sempana.”
Pasik menganggukkan kepalanya. Kembali ia
beragu. Tetapi ketika ditatapnya wajah Mahisa Agni yang bening ia
berkata, “Kuda Sempana adalah adik seperguruan guruku.”
“Hem,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapakah dia?”
“Kuda Sempana adalah seorang prajurit pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi Kuda Sempana itu benar-benar Kuda
Sempana yang pernah dikenalnya. Bukan orang lain yang hanya kebetulan
bernama sama.
“Siapakah guru dari gurumu itu?” bertanya Mahisa Agni.
Pasik menggeleng. “Aku tak tahu. Guruku
mempunyai saudara seperguruan yang cukup banyak. Ada di antaranya
prajurit, ada pula pejabat, namun ada pula penjudi dan penjahat. Mereka
akan diterima menjadi murid asal mereka dapat menyerahkan berbagai
macam imbalan. Namun jumlah murid itu tidak lebih dari sepuluh orang.
Di antaranya adalah guruku. Karena itulah maka guruku harus memeras
orang-orang di sekitarnya untuk dapat memberikan imbalan kepada
gurunya.”
“Dan agaknya gurumu berbuat serupa.”
“Ya. Ia pun menerima beberapa orang murid dengan cara yang sama untuk menutup kebutuhannya.”
“Hem,” kembali Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Guru orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu
pasti seorang yang sakti pula. Ternyata bahwa muridnya memiliki
kesaktian yang mengagumkan. Namun agaknya orang itu telah memilih jalan
yang sesat, yang menjual kesaktiannya untuk kepentingan-kepentingan
lahirlah. Itulah sebabnya maka muridnya tersebar dari segala penjuru.
Ternyata siapa pun yang mampu memberinya imbalan sesuai dengan
permintaannya, maka mereka akan dapat menghisap ilmu daripadanya tanpa
dihiraukannya akibat. Dan akibatnya, itu pada umumnya adalah sangat
tidak baik.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Agni pun
segera menghubungkan penempaan diri Kuda Sempana dengan kekalahan yang
pernah dialaminya di padukuhannya. Karena itu, maka ia bertanya pula,
“Apakah kau kenal dengan Kuda Sempana secara pribadi, Pasik?”
Pasik menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “namun aku pernah melihat orangnya Aku pernah mendengar ia bercakap-cakap dengan guruku.”
“Kenapa Kuda Sempana itu berguru pula pada guru Bahu Reksa Kali Elo itu?”
“Aku tidak tahu,” kembali Pasik menggeleng.
“Apakah kau tahu, apa yang mendorongnya
sehingga ia dengan tergesa-gesa menempa diri? Apakah memang sudah
saatnya ia menerima ilmu itu, ataukah hanya karena Kuda Sempana sudah
mempunyai cukup uang untuk berbuat demikian?”
“Mungkin,” sahut Pasik, “namun Kuda Sempana itu juga menyimpan dendam di dalam hatinya.:
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa
Agni. Dan ia pun kemudian mendengar Pasik itu meneruskan, “Kuda Sempana
telah mengalami kekecewaan terhadap seorang gadis. Karena itu, ia
telah bersiap untuk menebus kekecewaannya.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “dari mana kau tahu?”
Pasik menjadi heran atas tanggapan Mahisa Agni itu. Kemudian katanya, “Apakah tuan, eh, kau kenal Kuda Sempana.”
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Pasik, tetapi ia berkata, “Dari mana kau tahu?”
“Aku pernah melihat Kuda Sempana
mengatakan itu kepada saudara-saudara seperguruannya, termasuk guruku.
Meskipun aku tidak sengaja mendengarkannya.”
Denyut jantung Mahisa Agni pun terasa
menjadi semakin cepat mengalir. Nafasnya pun kemudian seakan-akan
menjadi semakin cepat mengalir berebut dahulu lewat lubang hidungnya.
Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apa katanya?”
Pasik menjadi semakin heran. Karena itu ia bertanya, “Kenapa tuan menaruh perhatian yang sangsi besar atas orang itu?”
Sekali lagi Mahisa Agni tidak mendengarkan pertanyaan Pasik. Bahkan ia mendesaknya, “Apa yang dikatakan Kuda Sempana itu?”
Pasik tidak segera menjawab. Namun Mahisa Agni itu pun mendesaknya sekali lagi, “ Apa?”
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada
menjawab pertanyaan itu, katanya, “Kuda Sempana perah dikecewakan oleh
seorang gadis. Katanya, ‘Apabila aku tak dapat memetik bunga itu, maka
lebih baik akan aku gugurkan saja daun-daun mahkotanya’.
Darah di dalam tubuh Mahisa Agni serasa
mengalir lebih cepat. Kata-kata semacam itu pun pernah didengarnya
dahulu dari mulut Kuda Sempana sendiri, meskipun tidak sejelas itu.
Tetapi apa yang dikatakan itu adalah benar-benar mencemaskan hatinya.
Pasik yang melihat perubahan wajah Mahisa
Agni menjadi semakin heran. Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Mahisa
Agni, apakah kau mengenal Kuda Sempana?”
“Aku pernah mendengar namanya,” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau terpengaruh oleh berita yang kau dengar.”
“Setiap orang akan terpengaruh mendengar
cerita itu. Bukankah itu akan merupakan pelanggaran atar sendi-sendi
pergaulan. Ia akan memaksakan kehendaknya atas seorang gadis, sedang
gadis itu tidak menerimanya. Apakah haknya untuk memaksa gadis itu?
Apalagi orang tua gadis itu pun sama sekali tak menyetujuinya. Bahkan
gadis itu dengan resmi telah dipertunangkan. Bukankah itu suatu
perkosaan atas nilai-nilai kemanusiaan?”
Pasik mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba ia berkata, “Mahisa Agni kau pasti mempunyai hubungan dengan
Kuda Sempana. Dari mana kau tahu bahwa gadis itu tak menerimanya?”
—–
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, “Kuda Sempana pernah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, ‘Apabila aku tak dapat memetik bunga ini maka akan kugugurkan daun-daun mahkotanya’.
—–
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, “Kuda Sempana pernah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, ‘Apabila aku tak dapat memetik bunga ini maka akan kugugurkan daun-daun mahkotanya’.
—–
“Dari mana kau tahu bahwa ayah gadis itu tak menyetujuinya? Dan dari mana kau tahu bahwa gadis itu telah dipertunangkannya?”
“Oh,” Mahisa Agni terkejut mendengar
pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya.
Karena itu maka ia harus menjawabnya. Namun sesaat ia menjadi
ragu-ragu. Pasik adalah orang yang jauh dari lingkungan pergaulan
mereka, sehingga tak ada perlunya untuk memberitahukannya. Namun
mulutnya sudah terlanjur mengucapkannya.
“Mahisa Agni,” bertanya Pasik Tiba-tiba, “apakah kau anak muda yang dipertunangkan dengan gadis itu?”
“Tidak, tidak,” cepat Mahisa Agni
menjawab hampir berteriak sehingga Pasik itu pun terkejut. Ibunya yang
sedang berada di dapur pun berdiri sesaat menengok ke ruang depan.
Tetapi ketika dilihatnya Pasik masih berbaring, dan di sampingnya duduk
Mahisa Agni dan ayahnya, maka perempuan itu pun kembali merebus air.
Sedang ayahnya yang duduk di samping Pasik itu sama sekali tidak tabu,
apakah yang sebenarnya mereka percakapkan.
Bahkan Mahisa Agni sendiri pun terkejut
mendengar suaranya sendiri. Namun yang lebih berpengaruh di hatinya
adalah pertanyaan Pasik itu. Bukankah ia sendiri bukan laki-laki yang
dipertunangkan dengan gadis itu. Bukankah gadis itu telah mempunyai
seorang calon suami yang akan dapat melindunginya?
“Persetan dengan gadis itu!” katanya di dalam hati, “Bukankah Ken Dedes menjadi kewajiban Wiraprana.”
Tetapi getar di dalam dada Mahisa Agni
pun menjadi semakin cepat. Betapa ia berusaha menekan perasaannya,
namun kegelisahannya bahkan menjadi semakin mengganggunya. Meskipun Ken
Dedes, gadis yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu merupakan duri di
dalam hatinya, namun duri itu merupakan sebagian dari seluruh keindahan
dari Bunga kaki Gunung Kawi itu. Karena itu, maka jantungnya semakin
lama menjadi semakin keras berdentang. Meskipun betapa pedihnya
luka-luka yang tergores di hatinya karena tajamnya duri itu, namun ia
tidak rela melihat seluruh keindahan Bunga kaki Gunung Kawi itu akan
digugurkan.
“Pasik,” tiba-tiba Mahisa Agni itu berkata, “aku akan mohon diri.”
Pasik terkejut. Terkejut sekali sehingga
tiba-tiba ia bangkit. Namun kembali terasa dadanya akan pecah, dan
dengan lemahnya ia terkulai kembali.
“Jangan bergerak dahulu,” minta Mahisa Agni ketika ia melihat mulut Pasik menyeringai.
“Kenapa kau menjadi sedemikian tergesa-gesa. Apakah kau akan pergi ke tempat Kuda Sempana karena kau mendengar ceritaku?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “aku akan pergi ke rumah tetua Padukuhan Kajar.
“Oh,” Pasik menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun bergumam, “Aku menjadi sangat terkejut. Aku sangka kau
akan pergi ke rumah Kuda Sempana. Bukankah dengan demikian kau akan
membunuh diri?”
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng. Namun
terdengar ia bertanya, “Kenapa membunuh diri? Bukankah Kuda Sempana
itu adik seperguruan gurumu?”
“Ya,” jawab Pasik, “tetapi penempaan yang
dilakukan oleh gurunya ini merupakan penempaan yang tertinggi. Apakah
dengan demikian Kuda Sempana itu tidak akan menjadi lebih dahsyat dari
guruku?”
Mahisa Agni itu pun merenung. Namun
akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa guru Kuda Sempana itu pasti tak
akan ikut terjun dalam setiap bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya
memberikan ilmu untuk sekedar mendapat upah. Kalau upah itu telah
diterimanya serta ilmu yang dibeli itu telah diberikannya, maka apapun
yang akan dialami oleh muridnya adalah tanggung jawab murid-murid itu
sendiri. Guru yang demikian, pasti tidak mau ikut seria melibatkan diri
apabila persoalannya akan dapat membahayakan dirinya pula. Karena itu,
maka ilmu diberikannya pasti ilmu yang hanya terbatas dalam tataran
yang tertentu.
Karena itu, maka menurut perhitungan
Mahisa Agni, murid-murid guru Bahu Reksa Kali Elo itu pasti hanya akan
mendapat bagian yang sama dari ilmu gurunya itu. Kalau ada perbedaan
sedikit-sedikit, maka itu pasti hanya karena kemampuan murid-murid itu
sendiri.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu pun
dapat memperhitungkan kemungkinan yang dimiliki oleh Kuda Sempana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak boleh merendahkan siapa pun.
Satu-satunya jalan yang terbaik, ialah mematangkan ilmunya sendiri.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh
menunda-nunda waktu lagi. Kuda Sempana setiap saat dapat datang ke
Panawijen. Adalah berbahaya sekali apabila gurunya, Empu Purwa masih
juga belum pulang, sehingga dengan demikian Kuda Sempana akan dapat
berbuat sesuatu yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Meskipun
demikian, betapapun saktinya Kuda Sempana, namun apakah Kuda Sempana
mampu melawan kekuatan seluruh penduduk Panawijen. Sebab apabila
terjadi sesuatu dengan Ken Dedes, maka seluruh penduduk Panawijen pasti
akan membelanya. Tetapi kalau Kuda Sempana datang berdua atau bertiga
saja, apalagi lebih, maka keadaannya pasti akan menyulitkan, sekali.
Maka yang segera harus dilakukan adalah pulang kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni itu pun kemudian sekali lagi
minta diri ke pada Pasik. Betapa Pasik mencoba mencegahnya, juga ayah
ibunya, namun Mahisa Agni yang mencemaskan nasib padukuhannya, ternyata
sudah tidak dapat menunda rencananya. Meskipun yang dikatakannya
kepada Pasik, Mahisa Agni hanya akan kembali ke rumah tetua padukuhan
Kajar, karena ia sudah berjanji untuk segera menyusulnya.
“Ah,” berkata Pasik, “nanti malam pun tak, mengapa. Bukankah kau tidak takut kepada apapun?”
“Terima kasih Pasik. Tetapi orang tua itu
nanti terlalu lama menunggu,” sahut Mahisa Agni, “nanti, besok, atau
kapan lagi aku akan dapat menengokmu kembali.”
Dan keluarga Pasik itu benar-benar sudah
tidak dapat mencegahnya. Dengan ucapan terima kasih yang tak berhingga,
maka Mahisa Agni itu pun kemudian dilepas pergi.
Mahisa Agni itu pun kemudian benar-benar
singgah di rumah tetua padukuhan Kajar, tetapi hanya untuk minta diri.
Kegelisahan yang menghentak-hentak dadanya tak dapat ditunda-tundanya
lagi. Seolah-olah selalu didengarnya, kampung halaman di mana ia
mendapatkan pendidikan dan keteguhan tabir batin, memanggilnya untuk
segera pulang kembali. Orang tua, tetua padukuhan Kajar itu pun mencoba
mencegahnya. Mereka mempersilakan Mahisa Agni untuk berada di
lingkungan keluarga mereka sehari atau dua liari. Apalagi anak serta
menantunya, merasa bahwa Mahisa Ainlah yang telah mengurungkan bencana
yang akan menimpa mereka. Bencana yang akan memisahkan mereka suami
istri. Namun Mahisa Agni dengan menyesal sekali menolak permintaan itu.
Meskipun demikian, supaya orang tua itu tidak terlalu kecewa, maka
Mahisa Agni pun menunggu sesaat, sampai nasi jagung yang mereka masak
menjadi masak.
“Bawalah Ngger,” berkata orang tua itu, “Angger memerlukan bekal di perjalanan Angger yang tak tentu kapan akan berakhir.”
“Terima kasih Bapa,” jawab Mahisa Agni, “demikianlah pekerjaan seorang perantau. Dan aku senang akan pekerjaan itu.”
Mahisa Agni pun kemudian menerima bekal
itu dengan senang hati. Dimasukkannya bekal itu ke dalam bungkusannya
yang ditinggalkannya di rumah tetua padukuhan Kajar itu. Kemudian
disangkutkannya bungkusan itu di ujung tongkat kayunya.
Kembali kini Mahisa Agni berjalan dengan
memanggul bungkusan kecilnya sebagai seorang perantau. Selangkah demi
selangkah ia meninggalkan halaman rumah orang tua. Suami istri beserta
anak menantunya mengantarkan Mahisa Agni sampai ke regol halaman rumah
mereka. Dan kemudian mereka mengawasi langkah perantau yang baik hati
itu sampai hilang di tikungan jalan.
Ketika Mahisa Agni sampai di mulut lorong
padukuhan Kajar, sekali lagi ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat
seseorang di belakangnya. jalan itu sepi. Di sebelah tikungan di
belakangnya didapatinya rumah tetua padukuhan Kajar. Dan di ujung yang
lain didapatinya rumah Pasik. Dua buah rumah yang meninggalkan kenangan
di hati Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni menempuh jalan
kembali ke Panawijen. jalan yang pernah dilaluinya beberapa waktu yang
lampau. Namun kini perjalanan Mahisa Agni seolah-olah jauh lebih cepat
daripada saat ia berangkat, ia tidak perlu mencari-cari kemungkinan
untuk tidak tersesat. Dengan bekal ingatan serta pengenalannya yang
baik, ia segera dapat menemukan kembali jalan yang dahulu dilewatinya.
Sehingga perjalanannya kali ini hanya memerlukan waktu separuh dari
waktu yang diperlukannya pada saat ia berangkat.
Hutan dan ngarai yang panjang, serta
padang rumput yang luas dilewatinya dengan tergesa-gesa. Tenaga Mahisa
Agni seakan-akan menjadi jauh lebih besar dari tenaganya semula.
Ketangkasannya bergerak serta pernafasannya yang semakin teratur, telah
menambah kecepatan perjalanannya. Meskipun demikian, apabila ia bangun
di pagi-pagi hari setelah ia bermalam di cabang-cabang pepohonan,
sekali-sekali diperlukannya juga memperlancar getaran-getarannya
bergerak-gerak di dalam tubuhnya dalam ilmunya Gundala Sasra. Semakin
sering ia menerapkan ilmunya, maka getaran-getaran itu semakin cepat
mencapai tempat-tempat yang dikehendakinya. Bahkan kemudian seakan-akan
Mahisa Agni sudah tidak memerlukan lagi waktu, sejak saat ia
menerapkan ilmunya itu, sampai pada penggunaannya. Apabila ia telah
menyilangkan tangannya di muka dadanya, sambil memusatkan pikiran serta
segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka sesaat itu pula, ilmunya
telah mapan untuk dilontarkannya lewat, bidang-bidang permukaan
tubuhnya yang dikehendakinya. Berkali-kali ia telah mencoba di
sepanjang perjalanan itu. Batu-batu padas, batu-batu hitam dan bahkan
pepohonan dan binatang-binatang buas yang menyerangnya.
Sesuai tuntunan-tuntunan yang diberikan
oleh gurunya, Mahisa Agni selalu dengan tekun mencoba meningkatkan
setiap kemampuan dari ilmu Gundala Sasra itu. Di sepanjang jalan dan di
setiap kesempatan.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah,
Mahisa Agni telah meninggalkan daerah-daerah hutan yang lebat, dan di
mukanya membentang daerah yang subur dan ramai. Mahisa Agni telah
menginjak batas jantung pemerintahan Tumapel.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan
melewati kota. Sudah beberapa lama ia berada di tengah-tengah hutan
yang sepi. Karena itu ia kini ingin melihat tempat-tempat yang agak
ramai, meskipun tanpa sesuatu maksud tertentu.
Maka Mahisa Agni itu pun segera
membersihkan dirinya di sebuah kali. Ia tidak ingin masuk kota sebagai
seorang yang tampaknya terlalu kotor. Dipakainya pakaiannya yang masih
terlipat di dalam bungkusannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni
menjadi agak bersih karenanya, setelah ia tinggal di antara rimbunnya
dedaunan di hutan yang lebat, serta bekas-bekas param yang diberikan
oleh gurunya untuk mencegah keracunan karena gigitan binatang-binatang
serangga beracun. Ketika matahari kemudian menjadi semakin tinggi,
setinggi ujung rumah-rumah joglo, maka Mahisa Agni telah masuk ke
keramaian kota Tumapel.
Tetapi Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut.
Dari kejauhan ia melihat seorang anak muda yang gagah dia tas punggung
kuda. Semakin lama semakin dekat. Dan hati Mahisa Agni itu pun menjadi
ber-debar-debar. Anak muda itu adalah Kuda Sempana.
Ketika kuda itu lewat di sampingnya, Mahisa Agni mencoba melambaikan tangannya sambil tertawa. “Kuda Sempana,” sapanya.
Kuda Sempana menarik kekang kudanya.
Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Tak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Namun dari matanya itu memancar sinar dendam yang
menyala-nyala meskipun demikian, Mahisa Agni masih mencoba untuk
tersenyum. Bahkan kemudian sekali lagi ia menyapa, “Kuda Sempana, akan
ke manakah kau sepagi ini?”
“Hem,” Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia
tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba Kuda Sempana itu menggerakkan kendali
kudanya, dan sesaat kemudian kuda itu telah berlari kembali di
jalan-jalan kota.
Beberapa orang mengawasi Mahisa Agni.
Mereka menjadi heran, apakah anak yang berkuda itu bendaranya yang
sedang marah kepada budaknya. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling juga,
dan dilibatnya wajah-wajah yang memandangnya dengan aneh. Bahkan ada
di antaranya yang tersenyum-senyum dan ada pula yang menjadi iba.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kembali dikenangnya pergaulan di padukuhannya. Pergaulan yang rapat dan
jujur di antara sesama. Ia menjadi sangat kecewa terhadap Kuda
Sempana. Namun Mahisa Agni ini kemudian menyadarinya, bahwa Kuda
Sempana masih sangat marah kepadanya, Ia tidak ingin berprasangka
terhadap anak-anak muda dari kota.
Tetapi ketika Mahisa Agni melangkahkan
kakinya, untuk meninggalkan tempat itu, Tiba-tiba ia mendengar suara
tertawa berderai tidak jauh di belakangnya, kemudian terdengar suara,
“Anak yang malang. Agaknya ia bersahabat karib dengan Kuda Sempana,
pelayan dalam Akuwu Tumapel itu.”
Mula-mula Mahisa Agni tidak menghiraukan
ejekan itu. Sebagai orang yang asing di kota itu, maka Mahisa Agni tak
ingin mengalami perselisihan. Karena itu, kembali ia melangkahkan
kakinya untuk meninggalkan tempat yang tak menyenangkannya itu.
Tetapi ketika ia baru satu langkah maju, kembali suara tertawa itu terdengar. Bahkan kemudian disusul oleh suara yang lain.
“Kenapa Kuda Sempana itu tak menjawab,” sapanya.
Berkata yang lain, “Bukankah Kuda Sempana juga anak Panawijen seperti anak itu.”
Keduanya tertawa-tawa. Dan terdengar salah seorang berkata pula.
“Kuda Sempana takut kepada anak Buyut padukuhannya yang garang itu. Takut kalau anak muda yang gagah itu minta uang kepadanya.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
mereka. Cepat ia dapat menebak siapakah yang telah sengaja
membangkitkan kemarahannya itu. Yang menyangka bahwa dirinya adalah
anak Buyut Panawijen yang bernama Wiraprana adalah Mahendra.
Dan sebenarnyalah. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra berdiri di tepi jalan di samping saudara seperguruannya. Kebo Ijo.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kedua anak itu masih tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian Mahendra
itu melangkah maju sambil berkata, “Selamat pagi Wiraprana yang
perkasa.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Namun ia mengangguk pula sambil menjawab, “Selamat pagi Mahendra.”
“Apa kerjamu sepagi ini di sini, Wiraprana?” bertanya Mahendra.
“Aku baru datang dari suatu perjalanan Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku hanya singgah sebentar.”
Mahendra tertawa. Kemudian sambil menunjuk arah Kuda Sempana pergi, anak muda itu berkata, “Kau kenalan anak muda berkuda itu?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Mahendra masih tertawa, “Tetapi ia tidak
kenal kepada mu. Sayang kalau ia segera pergi, aku ingin
memperkenalkannya kepada anak Buyut Panawijen. Aku kenal baik
kepadanya.”
“Terima kasih,” sahut Agni pendek.
“Barangkali kau memerlukan pekerjaan daripadanya di istana?” ejek Mahendra.
Sekali lagi Mahisa Agni menggigit
bibirnya ia menyadari bahwa Mahendra sedang mencoba membangkitkan
kemarahannya. Anak itu sedang mencari sebab yang memungkinkan timbulnya
pertengkaran. Seperti Kuda Sempana, maka Mahendra pun agaknya
mendendamnya.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas. Tidak
disangkanya, bahwa ia akan mempunyai banyak lawan yang tak
diharapkannya. Alangkah senangnya apabila hidupnya dipenuhi oleh rasa
persahabatan dengan siapa pun juga. Namun ia dihadapkan pada suatu
keadaan yang tak dapat disingkirkannya. Baik Kuda Sempana, maupun
Mahendra seolah-olah memang dilahirkannya sebagai lawan-lawannya.
Meskipun demikian, Mahisa Agni benar-benar tidak ingin berselisih di
tengah-tengah kota yang ramai dan asing baginya. Maka katanya,
“Sudahlah Mahendra, aku akan meneruskan perjalananku.”
“Ke mana?” bertanya Mahendra dengan nada tinggi.
“Pulang ke Panawijen.”
“Apakah kau sudah mendapat pekerjaan di
kota? Menjadi juru pekatik atau apapun? Kalau belum kau dapat ikut aku.
Kudaku memerlukan seorang perawat yang baik.”
Terasa dada Mahisa Agni terguncang
mendengar ejekan itu. Apalagi kemudian terdengar Kebo Ijo tertawa
berkepanjangan. Bahkan tidak saja Kebo Ijo, tetapi juga beberapa pemuda
yang lain. Agaknya Mahendra dan Kebo Ijo berada di tempat itu
bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
untuk meredakan gelora di dadanya. Ia mencoba untuk tidak menampakkan
perubahan di wajahnya. Bahkan kemudian ia berkata, “Mahendra, sebaiknya
kita tidak usah bertemu di tempat ini.”
Mahendra tertawa, katanya, “Kita tidak
ketemu di sini Ki Sanak. Aku tadi melihatmu di seberang jembatan. Aku
sengaja mengikutimu. Ternyata kau berjumpa dengan Kuda Sempana. Aku
kira kau akan minta pekerjaan kepadanya.”
“Tidak Mahendra,” jawab Mahisa Agni, “aku tidak memerlukan pekerjaan.”
Mahendra tertawa semakin keras. Kebo Ijo
dan kawan-kawannya pun tertawa pula. Salah seorang dari mereka
bertanya, “Siapakah anak itu sebenarnya?”
“Putra Buyut Panawijen. Wiraprana,” jawab Mahendra dengan menekankan setiap suku kata.
Kini Mahisa Agni tidak berkata-kata lagi.
Dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang muda yang berdiri di
belakang Kebo Ijo. “Tujuh orang,” desisnya di dalam hati, “sembilan
dengan Mahendra dan Kebo Ijo.”
Dan anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. “Kasihan,” berkata salah seorang daripadanya.
Mahendra yang berdiri paling dekat dengan Mahisa Agni berkata, “Wiraprana, apakah tawaranku kau terima?”
Mahisa Agni menggeram. Jawabnya,
“Mahendra, apakah maksudmu sebenarnya? Kau sebenarnya tahu benar, bahwa
aku sama sekali tidak sedang mencari Kuda Sempana. Kau tahu betul
bahwa sikapmu itu tidak pada tempatnya. Mahendra, apakah kau sengaja
memancing persoalan supaya kau mendapat alasan untuk berkelahi?”
Mahendra terdiam. Tampaklah kerut-kerut
di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan berkata langsung
menebak maksudnya. Tetapi sesaat kemudian Mahendra itu sudah tertawa
lagi. Memang sudah disengaja olehnya, Mahisa Agni yang disangkanya
Wiraprana itu, akan dibuatnya marah. Ia ingin sekali lagi mengadu
tenaga. Sekarang kawan-kawannya akan menjadi saksi. Setelah beberapa
bulan ia mencoba mengembangkan ilmunya, maka apabila ada kesempatan
bertemu dengan Mahisa Agni, ia akan menebui kekalahannya.
Karena itu Mahendra menjawab, “Apakah kau
marah Wiraprana? Jangan lekas marah. Di Tumapel, jangan kau samakan
dengan padukuhan yang sepi Panawijen, meskipun kau di Panawijen menjadi
putra tetua padukuhanmu, tetapi kau tidak dapat mengangkat wajahmu di
Tumapel. Seorang Buyut pun apabila masuk ke kota ini harus menundukkan
wajahnya. Apalagi kau, hanya anak seorang buyut. Kau tidak dapat
memperlakukan anak-anak muda di sini seperti anak-anak muda di desamu.
Kau, bagi kami di sini sama sekali tidak berarti.”
Mahisa Agni kini sudah pasti, bahwa
sebenarnyalah Mahendra sedang memancingnya ke dalam suatu bentrokan.
Karena itu, maka untuk yang terakhir kalinya ia mencoba menghindari
bentrokan itu apabila mungkin. Jawabnya, “Baik Mahendra. Baik. Aku
adalah anak Panawijen. Anak dari pedesaan. Dan aku memang tidak ingin
berbuat apapun di sini. Aku hanya akan lewat, seperti anak-anak desa
yang lain yang tak pernah mendapat gangguan dari siapa pun apabila ia
lewat di jalan kota. Sekarang biarlah aku berlalu.”
Mahendra terkejut mendengar jawaban itu.
Sama sekali tak disangkanya bahwa Mahisa Agni itu tidak segera marah
mendengar ejekan-ejekan yang telah dilontarkannya. Karena itu sesaat ia
menjadi bingung untuk membangkitkan kemarahan anak muda itu.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu
memutar tubuhnya dan melangkah pergi, maka dengan tergesa-gesa ia
memanggilnya, “Wiraprana. Jangan pergi!”
Wiraprana terhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra melangkah maju mendekatinya.
“Jangan pergi!” bentak Mahendra.
“Apakah hakmu melarang aku pergi,” sahut Agni.
Mahendra menjadi bingung. Ketika ia
terpaling ke arah kawan-kawannya melihat Kebo Ijo menjadi tegang.
beberapa orang kawan-kawannya itu pun sudah tidak tertawa lagi. Bahkan
kemudian Kebo Ijo itu berkata, “Jangan biarkan anak itu pergi. Ia telah
menghina kita.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
Kebo Ijo. Tetapi sekali lagi ia merasa, bahwa apapun yang dikatakan
oleh anak-anak muda itu adalah suatu kesengajaan untuk memancing
persoalan. Karena itu Mahisa Agni kemudian tidak melihat lagi
kemungkinan untuk meninggalkan daerah itu tanpa timbulnya suatu
perselisihan. Maka kini Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha untuk
menghindar. Ia berdiri saja menunggu apapun yang akan terjadi.
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Agni
itu pun menjadi marah. Karena itu, maka ia pun tidak ingin
melingkar-lingkar lagi. Ternyata Mahisa Agni tidak dapat dipancingnya
untuk marah dan mendahuluinya menyerang. Dengan demikian, maka Mahendra
tidak dapat menghindari tuduhan, ialah yang mulai apabila timbul
perkelahian. Tetapi kini mau tidak mau ia harus mendahuluinya, sebab
Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya.
Ketika Mahendra ini sekali lagi
berpaling, maka dilihatnya beberapa orang yang lewat, tertarik juga
melihat ketegangan yang terjadi. Apabila semula mereka hanya melihat
anak-anak muda itu tertawa-tawa, kini mereka melihat sikap-sikap yang
keras dan tegang. Karena itu beberapa orang yang melihat mereka itu pun
berhenti. Beberapa di antaranya saling mendekat dan berdiri di sekitar
anak-anak muda itu. Beberapa orang saling berpandangan dan bertanya
sesamanya, “Apakah yang terjadi?”
Mahendra kini melangkah beberapa langkah
maju. Dengan wajah yang menyala ia berdiri tegak seperti tonggak di
hadapan Mahisa Agni.
Seorang yang telah menjelang setengah
abad, menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Anak-anak muda.
Kerjanya tak ada lain membuat ribut saja.”
Seorang kawan Kebo Ijo yang mendengar
gumam orang tua itu memandang dengan tajamnya. Dan orang tua itu
menjadi ketakutan. Sambil merunduk-runduk ia berjalan pergi menjauhi
pertengkaran itu.
Anak-anak muda kawan Mahendra itu pun
kemudian berdesakan maju di antara beberapa orang yang lain. Seorang
yang berkumis tebal mencoba melerai mereka. Katanya, “Apakah yang
kalian perselisihkan?”
Kebo Ijo sama sekali tidak senang melihat
kehadiran orang itu. Meskipun ia berkumis tebal dan bertubuh tegap,
namun dengan sekali dorong orang itu terpental beberapa langkah. Dan
seterusnya ia tidak berani mendekat lagi. Hanya perlahan-lahan ia
berkata, “Anak-anak muda tak ubahnya seperti kuda-kuda liar yang lepas
kendali.”
Mahisa Agni- mendengar beberapa orang
yang menyesal atas peristiwa itu. Dan ia pun sebenarnya lebih menyesal
dari mereka itu. Tetapi ia dihadapkan pada dua pilihan. Dihinakan atau
mempertahankan harga diri.
Dan Mahisa Agni pun ternyata bukan anak
dewa-dewa yang lepas dari segala macam kesalahan, kekhilafan dan
kebanggaan lahiriah. Sehingga dengan demikian, betapapun yang terjadi,
Mahisa Agni tidak mau menjadi permainan anak-anak muda dari kota yang
kehilangan pengekangan diri.
Mahendra kini benar-benar sudah sampai ke
puncak rencananya. Sekali lagi bertempur dengan anak Panawijen itu.
Meskipun ia sudah tidak akan dapat mengharapkan Ken Dedes lagi, namun
setidak-tidaknya ia dapat melepaskan sakit hatinya dengan melumpuhkan
Mahisa Agni Bahkan menjadikan anak itu cacat atau apapun yang akan
membuat anak Panawijen itu menyesal sepanjang hidupnya atas
keberaniannya mendesak Mahendra dari arena sayembara pilih.
Dengan senyum yang menyakitkan hati
Mahendra itu maju setapak sambil berkata, “Nah, Wiraprana. Apakah kata
mu sekarang? Apakah kau masih akan menengadahkan wajahmu? Aku sama
sekali sudah melupakan gadis kaki Gunung Kawi itu. Namun aku sama
sekali tak dapat melupakan kekalahan yang pernah aku alami. Kekalahan
yang tidak adil, hanya karena kakak seperguruanku menganggap aku kalah.
Kini kita dihadapkan kepada saksi yang lebih banyak lagi. Apakah kau
masih berkata bahwa Mahendra dapat dikalahkan oleh anak pedesaan?”
“Aku sama sekali tidak pernah
mempersoalkan tentang kalah dan menang,” jawab Mahisa Agni yang telah
mulai kehilangan kesabarannya, “Katakan saja, apakah maksudmu
sebenarnya? Menantang aku berkelahi atau apa?”
Dada Mahendra berdesir mendengar
ketegasan sikap Mahisa Agni. Namun ia pun harus bersikap setegas itu
pula. Maka jawabnya, “Ya. Marilah kini buktikan kebenaran dari
keseimbangan di antara kita. Kita akan yakin, sebab kita dihadapkan
kepada saksi-saksi.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
meletakkan bungkusannya serta tongkat kayunya. Kemudian ia bersiap
untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sekali lagi dada Mahendra berdesir. Sikap
Mahisa Agni benar-benar meyakinkan, seolah-olah tak ada suatu apapun
yang ditakutinya. Sehingga meskipun ia dihadapkan pada suatu keadaan
yang pasti tidak disangka-sangkanya, namun ia tidak kehilangan
ketenangannya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara Kebo Ijo, “He, Wiraprana. Apakah yang ada di dalam bungkusan mu itu? Ular atau jampi-jampi?”
Kata-kata ini disusul oleh derai suara tertawa dari beberapa orang kawannya.
Alangkah sakit hati Mahisa Agni. Ketika
ia melihat Mahendra tertawa pula, maka berkatalah Agni dengan
lantangnya, “Ayo Mahendra, apakah yang sebenarnya kau kehendaki?”
Mahendra berhenti tertawa. Dengan tajam
ia memandang wajah Mahisa Agni yang telah mulai menjadi
kemerah-merahan. Bahkan Mahisa Agni itu kemudian berkata, “Mumpung hari
masih pagi. Aku akan segera meneruskan per jalanan.”
“Jangan mengigau!” bentak Mahendra, “Kau sangka kau berhadapan dengan seekor tikus?”
“Aku berhadapan dengan seorang manusia. Karena itu, maka ia pun akan berlaku sopan dan menghargai orang lain.”
Bukan main marahnya Mahendra mendengar
sindiran itu. Kini ia sudah siap dengan setiap kemungkinan. Ketika
Mahendra itu bergeser setapak ke samping, maka kaki Mahisa Agni pun
segera merenggang.
“Hem,” geram Mahendra, “kau yakin akan dirimu Wiraprana. Tetapi sebentar lagi kau akan menyesal.”
“Aku menyesal sejak semula ketika aku sadari, bahwa pertemuan ini tidak bermanfaat sama sekali,” sahut Agni.
“Diam!” bentak Mahendra. Kemudian katanya, “mulutmu setajam bisa ular. Ayo, minta maaf kepadaku.”
Mahisa Agni pun anak muda semuda
Mahendra. Karena itu darahnya pun masih hangat-hangat panas. Ketika ia
sudah tidak berhasil menahan diri lagi, maka ia pun menjawab, “Aku
sudah bersiap untuk mempertahankan harga diriku, bukan untuk
menyembahmu.”
Jawaban itu seakan-akan membakar telinga
Mahendra. Karena itu tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan satu
loncatan, maka Mahendra menyerang Mahisa Agni dengan dahsyatnya.
Tangannya terjulur lurus mengarah dada lawannya. Kecepatan gerak
Mahendra benar-benar mengagumkan. Namun Mahisa Agni benar-benar telah
bersiap. Karena itu dengan kecepatan yang sama, ia segera mencondongkan
tubuhnya sehingga seakan-akan tangan Mahendra yang terjulur itu
terhenti beberapa cengkang saja di muka dadanya.
Tetapi Mahendra tidak membiarkan
kegagalan itu. cepat ia meloncat sekali lagi. Kali ini kakinya berputar
setengah lingkaran pada tumitnya, dan kakinya yang lain menyambar
lambung Mahisa Agni. Namun sekali lagi Mahisa Agni dengan lincahnya,
meloncat ke samping menghindari kaki lawannya. Bahkan dengan cepat,
Mahisa Agni berhasil menyentuh kaki itu dengan telapak tangannya,
sehingga Mahendra terdorong selangkah ke samping.
Mahendra terkejut mengalami kegagalan
yang berulang itu. Ia merasa seakan-akan ilmunya sudah jauh meningkat
sejak beberapa bulan yang lampau. Tetapi ia masih gagal dalam
serangannya berganda atas lawannya. Karena itu, maka kemarahannya
menjadi semakin menyala. Apalagi kini beberapa orang kawannya
menyaksikan perkelahian itu. Sehingga setiap kegagalan yang dialaminya,
pasti akan menyebabkan kawan-kawannya itu menjadi kecewa. Mereka
menganggap bahwa di antara mereka Mahendra adalah seorang anak muda
yang pilih ta ding. Sehingga tidak ada di antara mereka yang berani
melawannya.
Mahendra kali ini ingin memamerkan kepada
kawan-kawannya. bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu yang tak dapat
diabaikan. Karena itu, maka sengaja dipancingnya persoalan atas Mahisa
Agni itu.
Dengan demikian, maka Mahendra itu pun
kemudian menyerang lawannya kembali. Bertubi-tubi seperti angin ribut
melanda ujung-ujung pepohonan. Tetapi ternyata lawannya kali ini sangat
mengejutkannya. Mahisa Agni mampu bertahan sekokoh batu karang. Betapa
angin melandanya, namun ia tetap tegak di tempatnya tanpa tergeser
seujung rambut pun.
Namun Mahendra pun kemudian mengerahkan
segenap kemampuannya. Tangannya bergerak-gerak dengan tangkasnya,
menyambar-nyambar seperti ujung cambuk yang mematuk-matuk. Sepasang
tangan itu seakan-akan berubah menjadi sepuluh, bahkan ratusan pasang
tangan yang menyambar dari segala arah. Namun Mahisa Agni dapat pula
bergerak selincah burung sikatan. Tubuhnya melontar seperti bayangan
melingkar, kemudian menyambar seperti burung rajawali. Namun kemudian
menyerbu dengan dahsyat, sedahsyat banteng jantan.
Maka perkelahian itu pun semakin lama
semakin menjadi sengit. Dan orang-orang pun semakin lama semakin banyak
berkerumun di sekitar perkelahian itu. Beberapa orang perempuan
berteriak-teriak, dan beberapa orang laki-laki mencoba bertanya-tanya,
apakah sebab dari perkelahian itu. Tetapi tak seorang pun yang mendapat
jawabnya.
Kawan-kawan Mahendra melihat pertempuran
itu dengan tegangnya. Kebo Ijo bahkan ikut meloncat ke sana kemari,
seakan-akan ikut terputar bersama gerakan-gerakan mereka yang berkelahi
itu.
Di panas yang semakin lama semakin terik,
di tepi jalan kota jantung pemerintahan Tumapel itu, terjadi
pergulatan yang semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa orang yang
menyaksikan perkelahian itu mengenal, bahwa salah seorang dari mereka
adalah Mahendra, tetapi siapa yang seorang.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi
kekar mendesak maju mendekati Kebo Ijo. Digamitnya Kebo Ijo sambil
bertanya, “Dengan siapakah Mahendra itu berkelahi?”
Kebo Ijo berpaling. Ketika dilihatnya
orang bertubuh tinggi itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Dengan anak Panawijen. Wiraprana.”
“Apakah sebabnya?”
“Anak itu menghina kami. Anak-anak muda Tumapel.”
“He?” bertanya orang bertubuh kekar itu, “ia menghina kita?”
“Ya.”
“Apa katanya?”
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab
pertanyaan itu. Karena ia katanya, “Aku tidak jelas. Mahendra yang
mendengarnya, dan karena itu ia marah kepada anak Panawijen itu.”
“Hem,” geram orang yang bertubuh kekar itu, “kenapa lehernya tidak dipatahkannya saja.”
Kebo Ijo sekali lagi berpaling. Ia
tersenyum di dalam hati. Orang yang tinggi besar itu adalah seorang
prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Maka katanya untuk membakar hati
prajurit itu, “Kaulah yang berhak memutar lehernya.”
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian sekali lagi ia menggeram, “Aku tidak bersangkut paut dengannya.”
“Kenapa? Apakah kau tidak terhina pula?”
“Anak itu anak Panawijen seperti Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu. Aku tidak mau berselisih dengan anak muda itu.”
Kebo Ijo tertawa pendek. Katanya, “Kuda Sempana tidak mengenalnya.”
Prajurit pengawal Akuwu Tumapel itu
mengerutkan keningnya..”Aneh,” pikirnya. Tetapi ia tidak bertanya. Kini
ia memperhatikan perkelahian itu. Mahendra agaknya telah mengerahkan
segenap tenaganya, namun ia nama sekali tidak dapat menguasai keadaan.
Bahkan kemudian tampaklah kelebihan-kelebihan yang mengagumkan dari
lawannya itu. Kelincahan dan ketangguhannya. Bahkan kekuatannya pun
melampaui kekuatan Mahendra.
Dan sebenarnyalah Mahisa Agni telah
meloncat lebih jauh dari lawannya itu. Meskipun selama ini Mahendra
telah berhasil meningkatkan ilmunya, namun kecepatan Mahisa Agni dalam
olah kanuragan jauh lebih pesat daripadanya. Sehingga dengan demikian
jarak dari keduanya menjadi semakin jauh.
Orang yang tinggi besar itu menjadi
heran. Mahendra adalah anak muda yang pilih tanding. Tetapi kini,
berhadapan dengan anak yang datang dari pedesaan, agaknya ia mengalami
kesulitan-kesulitan.
Prajurit itu menarik nafas.
Seorang-seorang ia tidak lebih dan Mahendra. Tetapi bukankah ia
prajurit pengawal Akuwu yang mempunyai lingkungan yang cukup banyak.
Bahkan di antara mereka, pemimpinnya adalah seorang yang pasti
melampaui keunggulan Mahendra, yaitu kakak seperguruannya. Witantra.
Maka prajurit itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat
bahwa Mahendra tidak segera dapat mengatasi keadaan, bahkan semakin
lama tampaknya semakin terdesak, maka prajurit itu pun segera melangkah
pergi, menerobos di antara para penonton yang semakin lama semakin
berjejal-jejal.
“Anak itu harus mendapat sedikit pelajaran,” gumamnya sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah
Witantra. Ia ingin mendapatkan pujian darinya. Namun dengan menyesal ia
tidak menemuinya di rumah. Maka, karena itu segera ia pergi ke barak
penjagaan prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Namun di sana Witantra itu
pun tak ditemuinya. Ia takut terlambat karenanya. Sehingga akhirnya ia
ingin bertindak sendiri. Dengan beberapa orang kawannya, prajurit yang
bertubuh tinggi tegap itu pergi ke tempat Mahendra berkelahi melawan
Mahisa Agni.
Sementara itu, pertempuran antara
Mahendra dan Mahisa Agni masih berlangsung terus. Mahendra benar-benar
telah kehilangan pengamatan diri. Kalau mula-mula ia hanya ingin
menunjukkan kemampuannya yang telah bertambah-tambah, serta membuat
Mahisa Agni menyesali diri atas keberaniannya bersaing dengan Mahendra,
maka kemudian Mahendra telah melupakan segala-galanya. Ia telah sampai
pada puncak kemarahannya. Bertempur antara hidup dan mati.
Sedang Mahisa Agni justru bersikap lain.
Ketika ia telah dapat menjajaki kekuatan lawannya, maka ia menjadi
bertambah tenang. Ternyata ilmunya telah meloncat sedemikian jauhnya,
sehingga Mahendra sebenarnya bukanlah lawan yang dapat memancarkan
keringat. Kalau kemudian ia bertempur, maka sebenarnya ia tidak lebih
daripada melayani lawannya. Hanya sekali-sekali ia memberi
tekanan-tekanan yang berat, supaya Mahendra cepat menjadi lelah dan
berhenti dengan sendirinya. Tetapi ternyata Mahendra pun mempunyai
tenaga yang kuat. Betapa ia terdesak, namun ia masih juga berjuang
sekuat tenaganya. Bahkan geraknya masih nampak garang, dan
serangan-serangannya tetap berbahaya.
Namun demikian, betapa kecemasan merayapi
dadanya. Anak muda itu benar-benar menjadi heran. Apakah Mahisa Agni
itu anak gendruwo.? Mahendra yang merasa bahwa ilmunya telah meningkat,
namun Mahisa Agni itu masih belum dapat dikalahkan. Bahkan semakin
lama tandangnya menjadi semakin mantap dan serangan-serangannya menjadi
semakin dahsyat.
Tetapi Mahendra tidak mau menunjukkan
kekurangannya di hadapan kawan-kawannya. Ia harus dapat mengalahkan
lawannya supaya namanya tetap dikagumi oleh kawan-kawannya itu. Karena
itu maka diperasnya tenaganya habis-habisan. Geraknya menjadi semakin
cepat, secepat burung seriti menari-nari di udara, selincah anak kijang
berkejar-kejaran di padang rumput. Tubuhnya melontar-lontar dengan
cepatnya, berputar dan melibat lawannya seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak
menjadi bingung karenanya. Dengan tenangnya ia melawan serangan angin
pusaran yang melibat dirinya dari segala arah itu. Seperti gunung
anakan, ia tegak menghadapi badai yang betapapun kencangnya.
Mahendra semakin lama menjadi semakin
cemas. Mahisa Agni benar-benar sekukuh batu karang. Sekali-kali terasa
bahwa tenaganya menjadi semakin susut, sedang lawannya masih belum juga
mampu dikuasainya. Malahan Mahisa Agni itu sekali-sekali menekannya
dan memaksanya untuk meloncat mundur dan mundur.
Kebo Ijo yang mengikuti perkelahian itu
dengan seksama menjadi heran. Kakak seperguruannya ternyata telah
benar-benar mengerahkan ilmunya. Namun agaknya lawannya itu benar-benar
seperti asap yang tak dapat disentuh tangan. Dari perkelahian itu Kebo
Ijo pun dapat menilai, bahwa sebenarnya ilmu Mahisa Agni yang
disangkanya Wiraprana itu benar-benar melampaui ilmu kakaknya. Karena
itu, maka. Kebo Ijo pun menjadi bingung. Ia tidak mau melihat
seandainya kakak seperguruannya itu dikalahkan. Tetapi ia tidak dapat
terjun membantunya. Apabila demikian, dan kakak seperguruan mereka yang
lebih tua, Witantra, mendengarnya, maka akibatnya akan tidak
menyenangkan sekali. Namun demikian ia mempunyai satu harapan lagi.
Kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi kekar, datang kembali bersama
kakak seperguruannya itu. Mahendra, dirinya dan beberapa kawannya akan
dapat dijadikan saksi, bahwa Mahisa Agni telah menghina mereka.
Mudah-mudahan kakaknya mempercayainya dan merasa terhina pula.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama
semakin nampak, bahwa kekuatan Mahendra menjadi semakin berkurang.
Sehingga akhirnya Mahendra menjadi hampir berputus asa, dan bertempur
tanpa kendali. Ia menyerang dengan garangnya dan dengan penuh
kegelisahan Namun serangan-serangan itu seperti angin yang lewat di
antara batu-batu karang yang kokoh kuat. Lewat, tanpa kesan dan tanpa
meninggalkan bekas.
Tiba-tiba, beberapa orang yang menonton
perkelahian itu terkejut ketika mereka mendengar beberapa bunyi cambuk
berledakan di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat
beberapa orang prajurit pengawal Akuwu berada di sekitar mereka. Karena
itu dengan gugupnya mereka berpencaran dan berlarian menjauh.
Seorang yang berperawakan tinggi tegap
berdada bidang setegap kawan Kebo Ijo, namun tidak berkumis, segera
tampil ke depan. Dengan cambuk di tangan ia berteriak lantang,
“Berhenti!”
Mahendra segera meloncat mundur. Dan Mahisa Agni pun tidak mengejarnya, sehingga perkelahian itu pun berhenti.
“Kenapa kalian berkelahi?” bertanya orang yang tinggi besar itu.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Persoalan ini akan menjadi semakin berlarut-larut. Ia tergesa-gesa
pulang ke Panawijen karena kegelisahannya atas nasib padukuhannya dan
nasib Ken Dedes, tetapi tiba-tiba ia akan terpaksa berhenti beberapa
lama di Tumapel.
Yang mula-mula menjawab adalah Mahendra.
“Bertanyalah kepada mereka yang melihat persoalan ini dari permulaan,”
katanya sambil menunjuk Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain.
Kebo Ijo kemudian melangkah selangkah
maju. Meski pun ia belum begitu mengenal prajurit itu, namun ia pernah
melihatnya sekali dua kali. Kemudian katanya, “Anak itu menghina kami,
Kakang.”
Orang itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah yang sudah dilakukan?”
Kebo Ijo berpaling kepada Mahendra. Ia
tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Mahendra pun kemudian
mengerutkan keningnya. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Anak
Panawijen ini menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak
liar. Apakah demikian keadaan kami?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa Mahendra akan sampai hati berkata
demikian atas dirinya. Ia tidak menyangka bahwa Mahendra dapat
melakukan fitnah. Alangkah mengherankan. Dan bahkan hampir tak masuk di
akalnya.
Sebenarnya Mahendra sendiri terkejut
mendengar kata-katanya itu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Semula
sesekali memang tidak terkandung maksud untuk melakukan perbuatan itu,
tetapi ia dihadapkan pada peristiwa yang sama sekali tak
diperhitungkannya.
Maksudnya mula-mula hanyalah untuk
menghinakan Mahisa Agni. Menebus sakit hatinya atas kekalahan yang
pernah dialaminya. Namun tanpa diduganya, ternyata ia sama sekali tidak
mampu untuk melakukan pembalasan dendam itu. Bahkan sekali lagi ia
dikalahkan. Karena itu, ketika ia dihadapkan pada pertanyaan yang
tiba-tiba itu, maka dijawabnya tanpa mempertimbangkan baik dan
buruknya.
Prajurit itu, yang bertubuh tinggi tegap
dan berdada bidang, dengan cemeti di tangannya, mengerutkan keningnya.
Dipandangnya Mahisa Agni dari ujung rambut sampai ke ujung hatinya.
Kemudian dipandanginya Mahendra dengan tajamnya. Kepada Mahendra
prajurit itu pernah melihatnya sekali dua kali. Dan pernah dikenalnya
pula namanya.
Suasana di sekitar tempat itu menjadi
sepi tegang. Semua mata tertancap kepada prajurit yang memegang cambuk
itu. Ketika kakinya bergeser setapak, tiba-tiba saja Mahisa Agni pun
menggeser kakinya.
Namun Prajurit itu tidak berbuat apa-apa.
Ia menjadi bimbang. Pernah didengarnya nama Mahendra sebagai seorang
arak muda yang perkasa. Dikenalnya nama itu sebagai adik seperguruan
pemimpinnya.
Tiba-tiba terdengarlah suara prajurit itu parau,” He, anak muda, siapakah namamu?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Mahendra, Kebo Ijo mengenalnya sebagai Wiraprana, putra Buyut Panawijen.
Karena Mahisa Agni masih belum menjawab, maka prajurit itu membentaknya, “He siapakah namamu?”
“Wiraprana,” jawab Agni gemetar.
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia berpaling kepada Mahendra, dan sekali lagi ia bertanya,
“Apa yang dikatakan tentang kalian?”
Kini Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia malu
untuk mengurungkan tuduhannya. Namun yang menyahut Kebo Ijo, “Ia
menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak yang liar.
Bukankah itu suatu penghinaan?”
Prajurit itu mengangkat alisnya. Dalam
waktu y mg singkat ia mampu membuat perhitungan. Mahendra adalah anak
yang memiliki ilmu tata bela diri tinggi. Namun sudah lama anak muda
dari Panawijen itu tak dapat dikalahkan. Dengan demikian, maka anak
mula itu setidak-tidaknya memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra.
Jawaban prajurit itu kemudian benar-benar
mengejutkan Kebo Ijo dan kawan-kawannya, katanya, “Hem. Aku sangka
kata-kata anak muda itu tidak terlalu salah.”
“Apa?” teriak Kebo Ijo, “Kau berkata sebenarnya?”
Prajurit itu mengangguk. Sahutnya, “Aku
menganggap bahwa kata-katanya tidak terlalu salah. Anak ini datang dari
pedesaan. Apakah kau sangka bahwa ia berani berbuat sesuatu kalau
kalian tidak memulainya?”
Wajah Kebo Ijo, Mahendra dan anak-anak
muda yang lain menjadi merah padam Sehingga Kebo Ijo kemudian berteriak
lantang, “Jadi kau membenarkan binaan itu?”
Prajurit itu menggeleng, katanya, “Aku
tidak membenarkan suatu penghinaan dari siapa pun untuk siapa pun.
Namun aku ragu-ragu akan kebenaran kata-katamu.”
“Kami menjadi saksi,” sahut salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo, “dan kalian dapat bertindak atasnya.”
“Anak ini anak Panawijen,” berkata
Prajurit itu, “aku tidak mau berselisih dengan anak-anak Panawijen yang
tinggal juga di dalam istana.”
“Kuda Sempana?” sahut Mahendra.
Prajurit itu mengangguk.
“Kuda Sempana tak mengenal anak ini. Baru
saja Kuda Sempana lewat berkuda di jalan ini, dan ia memandang anak
ini seperti memandang hantu.”
Prajurit itu kini benar-benar mengerutkan
dahinya. Sejenak ia berpikir. Dan sekali lagi kata-katanya
mengejutkan, “Aku sangka anak-anak pedesaan lebih bersikap jujuur dari
kalian. Biarlah aku bertanya kepadanya.”
“Bohong!” sahut Kebo Ijo sambil melangkah
maju. Wajahnya yang merah menyala menunjukkan kemarahannya. Sebenarnya
Kebo Ijo adalah anak yang berani. Seandainya Mahendra tidak
menggamitnya maka prajurit itu pasti sudah ditantangnya berkelahi.
Namun meskipun demikian ia masih berkata, “Anak-anak pedesaan adalah
anak-anak muda yang licik.”
Tetapi jawab prajurit itu tegas, “Aku adalah anak pedesaan.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin merah
karenanya. Dan karena itu maka justru ia terdiam. Namun terdengar
giginya gemeretak menahan kemarahannya yang telah memuncak. Sedang
Mahendra pun menjadi marah pula. Diamat-amatinya prajurit itu dengan
seksama. Katanya di dalam hati, “Suatu ketika kita akan membuat
perhitungan.”
Tetapi Prajurit itu bukan seorang
penakut. Karena itu dengan lantang ia bertanya kepada Mahisa Agni,
“Wiraprana, apakah kata-kata mereka itu benar?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak!” sahutnya.
Prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Mahendra ia berkata, “Kau dengar?”
Dari mata Mahendra telah menyala
kemarahan yang tiada taranya. Namun sebelum ia menjawab, maka prajurit
kawan Kebo Ijo maju selangkah. Tubuhnya tidak kalah garangnya dengan
prajurit yang bercemeti itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata
lantang, “Aku anak muda Tumapel. Anak-anak muda Tumapel bukan anak-anak
muda yang liar.
Prajurit yang bercemeti itu terkejut. Tak
disangkanya sama sekali kalau seorang kawannya tiba-tiba telah berbuat
demikian. Karena itu ia mencoba membetulkan kata-katanya, “Tidak semua
anak-anak muda dari kota Tumapel berbuat demikian. Tetapi apakah kau
tidak kenal sebagian dari anak-anak muda ini?”
Prajurit kawan Kebo Ijo itu menjawab, “Aku kenal mereka. Mereka adalah kawan-kawan ku.”
“Nah,” sahut prajurit itu, “kalau demikian kau pasti sudah tahu, apa saja yang sudah mereka lakukan.”
“Mungkin mereka sering melakukan kenakalan-kenakalan anak-anak. Tetapi kami, anak-anak muda dan Tumapel tidak mau dihinakan.”
Prajurit bercemeti itu menggigit
bibirnya. Namun kemudian katanya, “Marilah kita lihat, siapakah yang
sebenarnya bersalah. Jangan bertanya kepada mereka, dan jangan bertanya
kepada anak Panawijen itu.”
“Hanya akan membuang-buang waktu,” sahut
prajurit kawan Kebo Ijo, “anak itu harus ditangkap. Biarlah ia tahu,
bahwa seseorang tidak boleh melakukan penghinaan.”
Prajurit bercemeti itu menjadi bingung.
Ditatapnya beberapa wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian katanya
berbisik, “Terserahlah kepadamu. Semuanya ini bukan tanggung jawabku.
Aku tidak mau ikut serta. Sebab kau sudah berpihak. Kalau aku kemudian
berpihak pula, maka kita tidak akan dapat menegakkan
peraturan-peraturan yang berlaku. Kita akan ditelan oleh perasaan kita
sendiri-sendiri. Dan kita akan melihat kebenaran dari pihak kita
masing-masing. Karena itu, aku lebih baik tidak berbuat sesuatu. Supaya
kita tidak saling bertengkar sesama kita di hadapan orang banyak.”
Kawannya itu tidak menjawab. Tetapi ia
merasa bahwa kawannya yang bercemeti itu segan kepadanya. Karena itu,
maka ia pun melangkah maju sambil berkata lantang, “Wiraprana, kau aku
tangkap!”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Dilihatnya beberapa orang prajurit yang lain maju pula. Mereka adalah
kawan-kawan prajurit yang akan menangkap Agni itu. Sedang prajurit yang
bercemeti itu masih berdiri di tempatnya. Tetapi ia kini berdam diri.
Dengan penuh kesadaran ia lebih baik tidak ikut campur dalam persoalan
ini supaya tidak menimbulkan kesan yang jelek bagi orang-orang yang
melihat, bahwa di antara para prajurit itu timbul pendapat yang
berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Sedang kawan Kebo Ijo itu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat menyenangkannya. Orang itu akan
diserahkannya kepada Witantra, kakak seperguruan Mahendra. Pasti orang
itu akan memujinya dan seterusnya biarlah Mahendra yang mengatakan,
apa yang sudah dilakukan oleh anak Panawijen itu.
Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat
ketetapan hati. Ketika ia melihat bahwa tidak semua prajurit dengan
membabi buta menelan saja pengaduan yang sama sekali tidak benar itu,
ia menjadi tenang. Karena itu, maka ia bertekad untuk menurut saja, apa
yang akan dilakukan oleh prajurit-prajurit itu. Ketika sekali lagi ia
mendengar prajurit itu berkata kepadanya, maka jawab Mahisa Agni,
“Baiklah. Aku tidak akan melawan kalian, sebab kalian adalah
prajurit-prajurit Tumapel.”
“Jangan banyak mulut,” bentak prajurit
kawan Kebo Ijo itu sambil menarik lengan Mahisa Agni. Tetapi prajurit
itu terkejut Mahisa Agni itu sama sekali tak dapat digesernya walaupun
setapak.
Karena itu maka wajahnya tiba-tiba menjadi merah. “Jangan melawan!” bentaknya.
“Tidak,” sahut Mahisa Agni, “aku tidak akan melawan. Tetapi aku sudah dapat berjalan sendiri.”
“Setan!” desis prajurit itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian sama sekali tidak melawan ketika ia dibawa oleh para prajurit itu ke barak mereka
Mahendra, Kebo Ijo dan beberapa orang
yang lain ikut pula beramai-ramai di belakang para prajurit itu.
Sekali-kali terdengar mereka berteriak-teriak. Kebo Ijo benar-benar tak
dapat menguasai luapan perasaannya sehingga kata-katanya semakin lama
menjadi semakin kotor. Tetapi sekali-kali Mahendra membentaknya pula,
“Kebo Ijo, jangan berteriak-teriak!”
“Biarlah ia jera. Untuk lain kali ia tidak berani menghina kita lagi, Kakang.”
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun
terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dengan tanpa disengaja Kebo Ijo
telah memperingatkan akan kesalahannya, sehingga perlahan-lahan ia
berdesis, “Apakah benar Wiraprana menghina kita Kebo Ijo?”
Kebo Ijo itu terdiam. Tetapi kebenciannya
kepada Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu melampaui Mahendra.
Sedang Mahendra sendiri tiba-tiba menjadi malu atas perbuatannya. Namun
semuanya telah terlanjur. Dan ia kini tinggal mempertahankan
ketelanjurannya itu. Sekali ia berdusta, maka ia akan berbuat serupa
terus menerus untuk mempertahankan kedustaannya itu.
Iring-iringan itu berjalan semakin lama
semakin panjang. Beberapa orang yang melihat mereka bertanya di antara
sesama. Anak-anak muda yang lain pun ikut serta di antara
kawan-kawannya, sedang mereka yang sebenarnya anak-anak nakal,
seakan-akan mendapat suatu permainan. Tetapi sekali-kali prajurit yang
bercemeti, yang berjalan di paling belakang, membentak mereka, dan
mengusir mereka itu pergi.
Mahendra yang berjalan di belakang
prajurit bercemeti itu menundukkan wajahnya. Ia menyesal akan sikapnya.
Lebih baik ia menerima kekalahan yang dialaminya daripada
menjerumuskan dirinya dalam suatu sikap yang memalukan itu.
“Hem,” Mahendra menarik nafas dalam-dalam. “Sudah terlanjur,” gumamnya berkali-kali.
Tetapi berbeda sekali dengan sikap Kebo
Ijo. Bahkan anak itu meloncat ke sana kemari, membisiki kawan-kawannya
yang baru saja mereka temui di perjalanan itu. Mereka yang mendengar
ceritanya dengan serta-merta tertawa tergelak-gelak. Ada juga di antara
mereka yang dengan sengaja bertanya dengan suara keras-keras, supaya
Mahisa Agni mendengarnya. Namun mereka itu terdiam apabila mereka
mendengar meledaknya cambuk dari prajurit yang bertubuh kekar itu.
Bahkan sekali-sekali didorongnya beberapa anak muda sampai jatuh
berguling. Namun setiap kali ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba iring-iringan itu terkejut,
ketika mendengar derap kuda berlari. Kemudian muncullah dari tikungan
jalan di depan mereka, dua orang berkuda kencang-kencang ke arah
iring-iringan itu.
Ketika prajurit kawan Kebo Ijo melihat
orang berkuda itu, maka ia pun tersenyum. Kepada Mahisa Agni ia
berkata, “Itulah pemimpin kami. Kau akan dihadapkan kepadanya.”
Mahisa Agni pun terkejut melihat orang
itu. Ia pernah melihatnya. Meskipun pada waktu itu di dalam gelapnya
malam, namun ia masih cukup dapat mengenalnya. Orang itu adalah kakak
seperguruan Mahendra.
Demikian kuda itu sampai di hadapan
mereka, maka Witantra, penunggang kuda itu, segera menarik kekang
kudanya sambil berkata lantang, “Aku dengar, kau bertengkar Mahendra?”
Mahendra mengangguk. Tetapi sebelum ia
menyahut, terdengar Kebo Ijo berkata, “Itulah Kakang. Anak Panawijen
yang barangkali telah Kakang kenal. Ternyata ia masih merindukan
kemenangan yang pernah dilakukan. Ketika ia bertemu dengan Kakang
Mahendra, maka dengan serta-merta ia menghinanya. Tetapi ternyata bahwa
Kakang Mahendra bukanlah Kakang Mahendra beberapa bulan yang lalu.
Untunglah bahwa beberapa orang prajurit sempat melerainya, dan membawa
anak itu kepada Kakang. Kalau tidak entahlah, apa yang akan dilakukan
oleh Kakang Mahendra atasnya.”
Sekali lagi Mahisa Agni heran mendengar pengaduan itu. Apakah sebabnya maka Kebo Ijo itu sedemikian mendendamnya?
Witantra pun ternyata terkejut sekali melihat Mahisa Agni, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Apakah kau Wiraprana?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya,” jawabnya.
Witantra memandangnya dengan kecewa. Sama
sekali tak disangkanya bahwa anak Panawijen itu dapat berlaku sombong.
Karena itu ia bertanya kepada Mahendra, “Apakah kata-kata adikmu Kebo
Ijo itu benar?”
Mahendra ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus menjawab. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain, selain menganggukkan kepalanya.
Witantra itu menarik nafas panjang.
Mula-mula ia mengagumi Mahisa Agni itu, ketika mereka bertemu untuk
pertama kalinya. Namun kini ia menjadi kecewa, kenapa anak itu dapat
menyombongkan dirinya. Bahkan kemudian didengarnya seorang anak muda
berkata, “Ia tidak saja menghina Kakang Mahendra, tetapi ia menghina
kami. Disebutnya anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak yang liar.
Karena itu kami marah pula karenanya.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun berkata lantang, “Bawa ia ke rumahku.”
Mahisa Agni masih mencoba untuk
menjelaskan persoalannya. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi.
Witantra segera menarik kekang kudanya dan berlari meninggalkan mereka
bersama seorang kawannya.
(bersambung ke jilid 07)
No comments:
Write comments