SEKALI LAGI MAHISA AGNI MEMANDANGI AKAR
WREGU itu, dan kemudian dibalutnya dengan rapi. Diselipkannya akar itu
di ikat pinggangnya di bawah bajunya. Kini tangannya sekali-kali meraba
hulu kerisnya. Seakan-akan ia berkata kepada pusaka itu. Kita akan
menghadapi setiap kemungkinan bersama-sama untuk melindungi akar wregu
putih ini.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah
keluar dari ujung gua itu. Setelah sekali ia membelok maka ia sampai
pada daerah yang gelap. Sekali ia masih menemui lubang udara lagi,
namun sesaat kembali ia terlempar ke daerah yang kelam.
Dengan sangat hati-hati dan penuh
kewaspadaan Mahisa Agni berjalan sambil meraba-raba dinding. Dengan
hati-hati pula ia menuruni tangga dan kemudian menyusur daerah yang
lembab. Di kejauhan Mahisa Agni melihat remang-remang sinar jatuh ke
dalam gua. Sinar yang masuk lewat lubang-lubang seperti yang beberapa
kali telah dilihatnya.
Namun tiba-tiba langkah Mahisa Agni
terhenti. Di muka sinar yang samar-samar itu ia telah melemparkan Buyut
Ing Wangon. Karena ini tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Apakah
orang itu masih di sana? Pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Namun
dijawabnya sendiri, “Aku telah memiliki akar ini. Biarlah aku tidak
menghiraukannya lagi.”
Kemudian Mahisa Agni itu pun bahkan
mempercepat langkahnya. Ia ingin segera melampaui orang bongkok dari
Wangon itu. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan
semakin cepat pula.
Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia telah mendengar suara orang itu merintih.
“Gila!” desahnya, “Kenapa orang itu masih belum pergi juga?”
Ketika sekali lagi Mahisa Agni mendengar
rintihan itu terasa dadanya berdesir. Namun sambil mengatupkan giginya
rapat-rapat sambil menggeram ia melangkah maju. Ia ingin melompati
orang itu untuk kemudian dengan cepat meninggalkannya. Namun, desir di
dadanya itu semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian Mahisa
Agni itu terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat maju lagi.
Kini Mahisa Agni harus berjuang melawan
perasaannya. Suara orang dari Wangon itu terdengar sangat memelas.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan?
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun berteriak
sekeras-kerasnya untuk menindas perasaan yang semakin menggelora di
dalam dadanya. Katanya, “He, Buyut Ing Wangon. Menepilah! Aku akan
lewat, supaya kau tidak terinjak karenanya.”
“Oh,” terdengar orang itu berdesis. Tidak
terlalu keras, namun Mahisa Agni dapat mendengarnya, “kaukah Empu dari
Gunung Merapi itu?”
“Ya,” sahut Mahisa Agni pendek. Tetapi kemudian ia berteriak, “Aku akan membunuh siapa saja yang menghalangi aku!”
“Apakah kau sudah berhasil menemukan akar wreguitu?” terdengar Buyut itu bertanya.
“Sudah!” jawab Agni kasar, “Apakah maumu?”
“Syukur. Syukur,” gumam orang itu.
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.
Dan sekali lagi ia berusaha menindas perbuatannya. Ia berteriak-teriak
untuk mengusir setiap bisikan di dalam hatinya, “Pergilah supaya aku
tidak membunuhmu!”
“Kau tak usah melakukannya, Ki Sanak,”
terdengar suara itu semakin lemah, “sebentar lagi aku akan mati dengan
sendirinya. Tidak hanya aku, tetapi beribu-ribu orang lain.”
“Persetan! Persetan!” Mahisa Agni itu
berteriak-teriak seperti orang gila. Katanya seterusnya, “Pusaka ini
sangat penting bagiku. Matilah orang Wangon. Matilah bersama segenap
keluarga dan orang-orangmu.”
“Ya,” jawab Buyut Ing Wangon itu, “aku
memang akan mati. Dan sebelum mati aku akan mengucapkan selamat
kepadamu, Ki Sanak. Namun, apakah aku boleh mendengar kegunaan akar itu
padamu? Biarlah aku mengetahuinya .Mungkin pengetahuan itu akan
mempermudah perjalananku ke alam yang langgeng.”
Terasa dada Mahisa Agni itu bergelora.
Namun seperti orang gila ia berteriak-teriak pula, “Ketahuilah, he,
Buyut Ing Wangon. Pusaka ini akan menjadikan aku seseorang yang sakti
pilih tanding.”
“Oh,” desah orang itu, “hanya itu?”
“Kenapa hanya itu?” ulang Mahisa Agni,
“dengan kesaktianku aku akan dapat berbuat apa saja. Aku akan berbuat
kebajikan dan menjunjung kebenaran. Kau dengar?”
“Ya, ya. Aku dengar. Syukurlah apabila
demikian. Mudah-mudahan kau akan dapat mengamalkannya,” sahut Buyut
dari Wangon. Dan perlahan-lahan orang itu berkata pula, “Tetapi Ki
Sanak, apakah aku dapat menitipkan satu pesan kepadamu?”
Gelora di dalam dada Mahisa Agni semakin
lama menjadi semakin keras. Setiap kata yang terpancar dari mulut orang
bongkok itu serasa sebuah tusukan yang menghunjam dadanya. Meskipun
demikian Mahisa Agni menyahut juga, “Apakah pesan itu?”
“Ki Sanak,” berkata Buyut Ing Wangon yang sudah menjadi semakin lemah, “terima kasih.”
“Jangan berterima kasih kepadaku!” bentak Mahisa Agni, “aku belum menyatakan kesediaanku. Aku ingin mendengar dulu pesan itu.”
“Oh,” desah Buyut Wangon, “baiklah. Aku
ingin kau menyampaikan pesanku. Katakanlah kepada orang-orang Wangon,
bahwa Buyut Ing Wangon telah berusaha untuk mendapatkan obat itu. Namun
ia tidak berhasil. Sampaikan permintaan maafku yang sebesar-besarnya
kepada mereka, bahwa aku mati di dalam gua di mana akar wregu itu
disimpan. Dengan demikian..”
“Cukup!” bentak Agni semakin keras, “jangan lanjutkan supaya aku tidak menjadi semakin marah.”
“Oh,” sekali lagi Buyut Wangon itu
berdesah, “kenapa Ki Sanak menjadi marah. Atau barangkali Ki Sanak
berkeberatan untuk singgah di Wangon.”
“Aku belum pernah mendengar nama padukuhan Wangon,” jawab Mahisa Agni.
“Aku dapat memberimu ancar-ancar.”
“Tidak! Tidak!” dan tiba-tiba Mahisa Agni
tersandar di dinding gua. Dan tiba-tiba pula kedua telunjuk tangannya
menyumbat telinganya. Teriaknya, “Jangan berbicara lagi! Jangan
berbicara lagi! Aku harus memenuhi perintah guruku. Akar wregu ini
harus aku bawa pulang.”
Terdengar Buyut Wangon itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata. Meskipun Mahisa Agni telah
menyumbat kedua lubang telinganya namun suara itu masih terdengar, “Ya.
Ya. Bawalah Ki Sanak bawalah akar itu pulang.”
Mahisa Agni tiba-tiba terbungkam.
Tubuhnya pun kemudian bergetar secepat getaran di dadanya. Tanpa
sesadarnya Mahisa Agni itu berkata, “Bagaimanakah caramu mempergunakan
akar ini untuk mengobati sakitmu itu?”
“Tak ada gunanya,” jawab orang bongkok
itu. Mahisa Agni dapat mendengar kata-katanya dengan jelas. Meskipun
kedua ujung telunjuknya masih melekat di telinganya, namun ia berusaha
untuk mendengar jawaban Buyut Wangon itu.
“Bukankah Ki Sanak ingin menolongku
dengan mempergunakan akar itu dahulu kemudian akar itu tetap kau
miliki? Tidak bisa. Tidak bisa Ki Sanak. Sebab kami harus menyayat akar
itu lumat-lumat. Kemudian setiap orang yang sakit harus menelan
meskipun hanya sebagian kecil dari akar itu. Akar itu akan kami
lumatkan dan kami aduk dengan air sebanyak-banyaknya sehingga setiap
orang dapat minum air itu sebagai obat penyakitnya.”
“Gila!” teriak Mahisa Agni, “Jadi kau ingin merampas akar ini?”
“Tidak,” sahut orang itu cepat-cepat, “aku hanya mengatakan demikian.”
“Jangan berbicara lagi!” perintah Mahisa Agni.
“Tidak. Aku tidak akan berbicara lagi.
Tetapi aku ingin menjelaskan. Aku sama sekali sudah tidak bernafsu lagi
memiliki akar wregu itu. Milikilah, karena padamu pun wregu itu
memiliki nilai kegunaan yang tinggi. Dengan kesaktian yang akan kau
peroleh, kau akan dapat melakukan pengabdian pada kemanusiaan. Kau akan
dapat menolong sesama yang mengalami kesulitan-kesulitan dan kau akan
melakukan tindakan perikemanusiaan. Karena itu aku sekali lagi
mengucapkan selamat padamu. Kalau kau tak mau pergi ke Wangon pun tak
apa pula. Sebab di sana kau mungkin juga tinggal akan menemui
mayat-mayat mereka.”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Dan
tiba-tiba perjuangan di dalam dadanya menjadi dahsyat. Mahisa Agni
telah mengalami berbagai rintangan dalam perjalanannya. Ia harus
bertempur dengan orang-orang jahat, dengan binatang-binatang buas
sampai yang terakhir dengan Empu Pedek. Semuanya dapat di atasi dengan
penuh tekad dan hasrat untuk melaksanakan perintah gurunya dan demi
masa depannya.
Namun ketika ia harus berhadapan dengan
lawan yang terakhir maka Mahisa Agni menjadi seakan-akan lumpuh. Kini
ia tidak bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang
buas. Tetapi ia harus bertempur melawan perasaan sendiri. Sebagai
seorang anak yang prihatin sejak masa kecilnya, yang merasakan duka
derita manusia-manusia yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan, yang
telah menerima banyak pelajaran dan pendidikan mengenai manusia dan
kemanusiaan dari gurunya, yang pernah mendengar cerita tentang ibunya
yang membuang diri karena tekanan perasaan yang menghimpit hati, maka
kini Mahisa Agni tidak dapat mengelak lagi dari cengkeraman
perasaannya.
Dengan akar wregu putih itu ia masih
harus melakukan pengabdian. Ia masih harus mencari persoalan. ia masih
harus menemukan ketidak adilan dan pelanggaran atas sendi-sendi
kemanusiaan untuk ditegakkan dan dibelanya. Ia masih harus mencari
lawan, betapa lawan yang dicarinya itu adalah orang-orang jahat. Dan
sekarang kesempatan pengabdian yang nyata telah ada di hadapannya.
Bukankah dengan memberikan akar wregu putih itu ia telah melakukan
pengabdian kepada kemanusiaan dalam bentuk yang nyata dan langsung.
Beribu-ribu orang akan terbebas dari kematian yang mengerikan. Sakit,
semakin lama menjadi semakin lemah, dan akhirnya kematian menerkamnya.
Apakah dengan memiliki akar wregu putih itu kelak ia akan mendapat
kesempatan untuk membela, melindungi atau tindak apapun yang dapat
menyelamatkan jiwa sampai lebih dari seribu orang? Atau malahan dengan
akar wregu itu ia akan menjadi takabur dan menyombongkan diri?”
Pertempuran di dada Mahisa Agni itu pun
menjadi semakin dahsyat. Sekali-kali terbayang wajah gurunya yang
tenang sejuk dan dalam, namun sekali-kali terbayang mayat yang membujur
lintang di antara pekik anak-anak dan bayi yang mencari susu ibunya.
Namun ibunya telah mati, dan perlahan-lahan bayi itu akan mati pula.
Gambaran-gambaran yang mengerikan semakin
lama semakin jelas hilir mudik di kepala Mahisa Agni. Dan kini ia
benar-benar tidak mampu lagi untuk mengelakkan diri dari
terkaman-terkaman peristiwa-peristiwa yang membayanginya.
Mahisa Agni yang perkasa, yang mampu
bertempur melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas itu kini
terduduk dengan lemahnya bersandar dinding. Sekali-sekali ia
menggelengkan kepalanya untuk mengusir perasaannya yang telah
melumpuhkannya. Namun perasaan itu telah melekat dengan eratnya pada
dinding hatinya.
Ketika terngiang kembali pesan Buyut Ing
Wangon itu kepadanya supaya disampaikan permintaan maafnya kepada
orang-orang Wangon, maka Mahisa Agni menundukkan kepalanya, bahkan
tiba-tiba sepasang tangannya yang kokoh seperti baja itu menutupi
wajahnya. Sebab di dalam dadanya, pesan itu diperpanjangnya sendiri,
katanya kepada diri sendiri di dalam hati, “Buyut Ing Wangon itu gagal
dalam usahanya, dan beribu-ribu orang mengalami bencana, karena seorang
anak muda yang bernama Mahisa Agni telah merampas akar wregu itu untuk
membuat dirinya sakti tiada bandingnya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Kini ia tidak
tahan lagi melawan perasaannya, sehingga tiba-tiba dari mulutnya
terdengar kata-katanya gemetar, “Ki Buyut Wangon, apakah kau yakin
bahwa akar wregu ini akan dapat menyembuhkan orang-orangmu yang sakit
itu?”
“He,” Buyut Wangon itu terkejut. Namun kemudian terdengar suaranya lemahnya, “aku yakin.”
Sekali lagi mereka berdua berdiam diri. Dan kembali gua itu dicengkam oleh kesepian yang mengerikan.
“Ki Buyut,” berkata Mahisa Agni kemudian,
“apakah Ki Buyut ingin membuktikannya, bahwa akar wregu ini akan
bermanfaat bagi penyakitmu itu?”
“Tidak Ki Sanak,” jawab Buyut Wangon itu.
“Kenapa tidak?” Mahisa Agni menjadi heran.
“Ki Sanak,” jawab orang bongkok itu, “aku
bukan mencari akar wregu itu untukku sendiri. Tak ada gunanya
seandainya aku dapat sembuh karenanya, namun beribu-ribu orang lain
akan mati juga. Karena itu biarkanlah aku di sini.”
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeleng. Dan terloncatlah dari bibirnya, “Tidak. Aku tidak dapat membiarkan kematian-kematian itu.”
“He,” sekali lagi Buyut Wangon itu terkejut, “apa maksudmu. Ki Sanak?”
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
Terdengarlah ia berkata lirih, “Ki Sanak. Bawalah akar ini kembali ke
Wangon. Mudah-mudahan kalian akan benar-benar sembuh karenanya.”
“Apa katamu? Apa katamu?” orang bongkok
itu tiba-tiba bergeser dan dengan susah payah ia berteriak
terbata-bata, “Kau ingin memberikan akar itu kepadaku?”
“Ya,” sahut Agni pendek.
“Oh,” tiba-tiba orang itu menjadi lemah
kembali. “Jangan!” katanya, “jangan. Aku ternyata terlalu mementingkan
kepentinganku sendiri. Milikilah, masa depanmu masih panjang.
Mudah-mudahan jagat yang gumelar ini akan dapat kau miliki dengan
kesaktian itu.”
Tetapi hati Mahisa Agni menjadi semakin
pedih mendengar kata-kata Buyut Wangon itu, jawabnya, “Tidak Ki Buyut.
Betapapun aku akan dapat menggulung dunia seisinya, namun aku tidak
akan dapat melupakan, bahwa aku telah berdiri di atas beribu-ribu mayat
yang seharusnya dapat diselamatkan. Aku akan selalu ingat, bahwa
kematian-kematian itu disebabkan karena keinginanku untuk menjadi
seorang yang paling sakti di dunia. Dan bagiku tebusan itu terlalu
mahal, sedangkan manfaatnya masih belum dapat dipastikan.”
“Oh,” orang itu pun terdengar menarik
nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apabila demikian Ki Sanak, maka
aku akan mengucapkan terima kasih yang tak ada batasnya. Juga
orang-orang Wangon dan sekitarnya akan berterima kasih pula kepadamu.
Karena itu, apabila benar kau ingin menyerahkan akar wregu itu.
Marilah. Aku antarkan kepadanya. Serahkanlah sendiri akar wregu milikmu
itu. Dan kau akan diangkat menjadi pelindung mereka, atau tetua mereka
atau apa saja yang dapat diberikan kepadamu.”
Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, “Tidak Ki Sanak. Kau adalah tetua di daerahmu. Bawalah akar ini kepada mereka.”
“Kenapa kau tak mau singgah ke Wangon?”
“Tidak. Bawalah. Marilah, terimalah akar ini.”
Mahisa Agni dengan lemahnya merangkak
maju. Dan dengan tangan yang gemetar dicabutnya akar wregu itu dari
dalam bajunya. Ketika teraba benda itu, kembali ia menjadi ragu-ragu.
Namun ketika kembali bayangan mayat-mayat yang bergelimpangan hadir di
dalam rongga matanya, maka betapapun beratnya, akar wregu putih itu
diserahkannya pula.
“Inilah,” katanya.
Ternyata Buyut Ing Wangon itu telah
benar-benar menjadi sedemikian lemahnya. Tidak saja karena ia
terbanting di lantai gua dan membentur batu-batu padas, namun katanya,
“Penyakitku telah hampir sampai ke otakku. Sesaat lagi aku sudah akan
mati.”
“Tidak!” sahut Agni, “Karena itu cepat,
terimalah akar ini. Dan kaulah yang pertama-tama akan tahu khasiatnya,
apakah akar ini benar-benar bermanfaat bagi penyakitmu.”
“Oh,” jawab Buyut bongkok itu, “kau benar. Marilah, aku terima akar itu dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”
Tangan Buyut Wangon yang sangat lemah itu
pun bergerak-gerak menggapai akar yang diberikan Mahisa Agni
kepadanya. Demikian ia menyentuh benda itu, maka katanya, “Tolong Ki
Sanak, uraikan pembalutnya.”
Mahisa Agni pun memenuhi permintaan itu.
Dan diberikannya kemudian akar wregu putih itu kepada Buyut Wangon yang
sudah sedemikian lemahnya.
Dengan serta-merta, tangan yang lemah dan
gemetar itu telah membawa akar wregu putih itu ke mulutnya. Digigitnya
ujung akar itu sedikit. Dan bergumamlah Buyut Ing Wangon itu,
“Alangkah pahitnya.”
Mahisa Agni tidak menyahut sepatah kata
pun. Dibiarkannya Buyut Ing Wangon itu mengunyah sepotong serat yang
kecil, sekecil sebutir beras. Dengan berdebar-debar ia menunggu, apakah
akar itu benar-benar akan berpengaruh bagi penyakit yang aneh itu.
Sesaat kemudian Mahisa Agni dicengkam
oleh ketegangan. Kali ini bukan karena ia takut kehilangan akar wregu
putih itu, namun ia ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi dengan Ki
Buyut Wangon itu.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mendengar
Buyut Ing Wangon itu berdesis, kemudian terdengar ia bergumam, “Perutku
dan seluruh tubuhku terasa dijalari oleh arus yang panas.”
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia tidak
tahu, apakah arus panas di dalam tubuh Buyut Wangon itu menguntungkan
atau bahkan sebaliknya. Karena itu ia masih berdiam diri dan memandangi
bayangan Buyut Ing Wangon itu dengan wajah yang tegang.
Sesaat kemudian terdengar Buyut Wangon itu berdesis. Tetapi kemudian, kembali ia mengeluh, “Alangkah panasnya.”
Mahisa Agni ikut menjadi gelisah
karenanya. Namun ia ikut pula berdoa di dalam hatinya, “Mudah-mudahan
akar wregu itu benar-benar dapat menolongnya.”
Gua itu kemudian seakan-akan telah
tenggelam ke dalam kesepian yang tegang. Hanya kadang-kadang Mahisa
Agni melihat Buyut Ing Wangon itu menggeliat, namun kemudian diam
kembali. Hanya nafasnya sajalah yang terdengar berkejaran dari lubang
hidungnya. Dengan demikian Mahisa Agni itu pun menjadi bertambah cemas.
Jangan-jangan akar wregu putih itu telah menambah sakit Buyut dari
Wangon menjadi bertambah parah.
Tetapi kemudian Mahisa Agni terkejut,
ketika terdengar Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah
ia berkata, “Alangkah segarnya tubuhku kini.”
Mahisa Agni menggeser maju. Terdengar ia bertanya, “Apakah keadaan Ki Buyut menjadi berangsur baik?”
“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku menjadi baik
kembali. Setidak-tidaknya sakitku tidak menjadi bertambah parah. Tetapi
aku rasa bahwa sebagian kekuatanku justru telah pulih kembali.”
“Syukurlah,” desis Mahisa Agni,
“mudah-mudahan akar itu bermanfaat bagi Ki Buyut. Nah, selagi masih ada
kesempatan. Pulanglah ke Wangon dan selamatkanlah orang-orang di
daerah itu.”
“Terima kasih,” sahut Ki Buyut, “terima kasih. Namamu akan tetap kami kenangkan, Empu Pedek dari Gunung Merapi.”
“Oh,” Mahisa Agni menggeleng, “Aku bukan Empu Pedek dan Gunung Merapi.”
Buyut Ing Wangon itu terkejut. Katanya,
“Bukankah kau sebut namamu Empu Pedek? Dan bukankah kau katakan kau
datang dari kaki Gunung Merapi?”
“Bukan Ki Buyut,” sahut Mahisa Agni, “aku adalah Mahisa Agni dari kaki Gunung Kawi.”
“Oh,” orang yang bongkok itu menjadi heran, “jadi siapakah Empu Pedek dari kaki Gunung Merapi?”
“Aku tidak tahu, “ jawab Mahisa Agni.
Namun dengan demikian teringatlah olehnya seorang yang timpang yang
mungkin telah menunggunya di kaki lereng gundul ini. Karena itu maka
katanya, “Ki Buyut, yang kuketahui dengan Empu Pedek itu adalah, bahwa
ia telah berusaha untuk menahan perjalananku. Aku bertempur dengan
orang itu di bawah lereng gua ini.”
“Jadi kau bahkan telah bertempur dengan orang itu?”
“Ya.”
“Kalau demikian, maka nama Mahisa Agni
akan tetap terpatri di dalam setiap hati penduduk Wangon. Seorang
tukang yang paling cakap akan menulis nama itu di gapura-gapura
padukuhan dan seorang pujangga yang paling baik akan menulis nama itu
di lontar-lontar yang akan disimpan di pura-pura di seluruh daerah
Wangon dan sekitarnya.”
“Jangan!” jawab Mahisa Agni, “Aku akan
bergembira apabila beribu-ribu orang itu akan sembuh. Dan aku akan
bergembira apabila mereka dapat melangsungkan hidup keturunan mereka
seterusnya.”
“Mengagumkan,” desah Buyut dari Wangon itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar
Buyut Wangon itu tiba-tiba berkata dengan gemetar, “Sungguh tak ada
duanya. Kau benar-benar manusia yang terpuji.”
“Jangan memuji,” sahut Mahisa Agni, dan
kemudian dilanjutkannya, “Nah, sebaiknya, apabila Ki Buyut telah dapat
menempuh perjalanan pulang, pulanglah sebelum terlambat.”
“Baik,” jawab Buyut itu, “aku akan segera
pulang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Apabila aku terlambat, maka
aku akan mengembalikan akar wregu putih ini kepadamu. Aku cari kau ke
kaki Gunung Kawi. Apakah nama padukuhanmu?”
“Panawijen,” jawab Mahisa Agni tanpa sesadarnya.
Buyut Wangon itu pun perlahan-lahan
mencoba untuk berdiri. Dan ternyata ia berhasil. Bahkan kemudian
katanya, “Aku telah dapat berjalan seperti pada saat aku datang
kemari.”
“Syukurlah,” sahut Mahisa Agni.
Buyut dari Wangon itu pun kemudian
berjalan terbongkok-bongkok ke arah mulut gua. Seperti orang yang
kehilangan kesadaran, Mahisa Agni mengikutinya dari belakang. Mereka
berjalan-jalan menyusur jalan yang mereka lalui semula. Namun kini
perlahan-lahan sekali. Sebab orang bongkok itu benar-benar tak dapat
berjalan lebih cepat dari seekor siput. Meskipun demikian Mahisa Agni
dengan telatennya berjalan saja di belakangnya.
Perjalanan itu benar-benar makan waktu
yang panjang sekali. Ketika mereka telah sampai di mulut gua, maka yang
mereka lihat hanyalah warna-warna hitam melulu. Hari telah malam.
Ketika Mahisa Agni melihat orang bongkok
itu akan menuruni tebing, maka dicobanya untuk mencegahnya, “Ki Buyut,
adalah lebih baik Ki Buyut menuruni lereng ini besok pagi, apabila hari
telah menjadi terang Adalah berbahaya untuk melakukannya sekarang.”
Ki Buyut itu menggeleng. “Tidak,”
jawabnya, “aku tidak mau terlambat. Biarlah aku menuruni tebing ini
perlahan-lahan, namun aku tidak banyak kehilangan waktu.”
Buyut itu benar-benar tak mau dicegah
lagi. Karena itu, justru Mahisa Agni tidak sampai hati membiarkannya
turun sendiri. Betapapun sulitnya, maka Agni itu pun turut serta
menuruni lereng yang curam itu pada saat itu juga.
Apalagi perjalanan menuruni tebing ini.
Buyut Ing Wangon itu dengan hati-hatinya merayap setapak demi setapak.
Tubuhnya yang bongkok itu ternyata menambah perjalanannya menjadi
semakin sulit. Mahisa Agni yang merayap di belakangnya kadang-kadang
sangat cemas, dan seakan-akan ingin ia mendukungnya. Tetapi Mahisa Agni
itu terperanjat ketika dengan gembiranya Buyut dari Wangon itu
berkata, “Ki Sanak, tubuhku benar-benar telah pulih kembali.
Perjalananku menjadi sangat menggembirakan. Aku tidak menemui
kesulitan-kesulitan apapun.”
“Syukurlah, “sahut Mahisa Agni.
Namun ternyata perjalanan itu tidak
bertambah cepat. Dalam kegelapan mereka hanya dapat mengenal jalan
dengan meraba-raba dan kadang-kadang mereka terpaksa berhenti untuk
beberapa lama.
Menuruni tebing yang curam di malam hari
adalah pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun untunglah mata Mahisa Agni
yang terlatih itu cukup tajam untuk melihat batu-batu padas yang
menjorok di sekitarnya sehingga betapapun sulitnya, tetapi ia dapat
juga mempergunakan setiap keadaan untuk mempermudah penurunan itu.
Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak dapat turun lebih cepat lagi.
Buyut Ing Wangon itu benar-benar merayap lambat sekali. Tetapi Mahisa
Agni pun dapat menyadari keadaannya. Seorang yang telah lanjut usia,
bertubuh bongkok dan baru saja ia kehilangan hampir segenap
kekuatannya. Apalagi orang itu sama sekali tidak memiliki kelebihan
apapun dari manusia biasa. Ia tidak mempelajari apapun tentang
keterampilan jasmaniah, sehingga untuk melakukan pekerjaannya itu, ia
harus bekerja, dengan penuh ketekunan dan tekad. Inilah yang
mengagumkan Mahisa Agni. Ternyata tekad yang tersimpan di dalam dada
orang Wangon itu pun tidak kalah bulatnya dari tekad yang tersimpan di
dalam dadanya. Sehingga betapapun sulitnya perjalanan, namun Buyut dari
Wangon itu sampai juga ke dalam gua. Dan tekad itu ternyata juga pada
saat mereka menuruni tebing itu. Perjalanan itu pun memerlukan waktu
yang sangat panjang. Tetapi Buyut dari Wangon itu berjalan terus,
seakan-akan ia tidak mengenal lelah dan tidak menemui
kesulitan-kesulitan apapun.
Demikian, meskipun lambat, akhirnya
mereka sampai juga di bawah lereng gundul itu. Mengagumkan sekali.
Bahkan hampir-hampir Mahisa Agni tidak percaya, bahwa orang bongkok itu
telah berhasil melampaui perjalanan yang sedemikian sulitnya di malam
hari. Sehingga dengan demikian Mahisa Agni bergumam, “Luar biasa, Ki
Buyut. Ternyata Ki Buyut memiliki tenaga yang luar biasa pula.”
“Tidak Ki Sanak. Untunglah bahwa aku
mencoba memperhatikan setiap lekuk dan batu-batu padas yang menjorok,
sehingga aku dapat memilih jalan meskipun malam begini gelap.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berkata, “Nah, apakah yang akan Ki Buyut lakukan?”
“Aku akan berjalan kembali ke Wangon,”
jawab orang bongkok itu, “Dan sekali lagi aku ingin mempersilakan Ki
Sanak untuk datang ke padukuhan itu. Mudah-mudahan kedatangan Ki Sanak
akan sangat menggembirakan kami.”
Kembali terasa debar jantung Mahisa Agni
bertambah cepat. Sebenarnya betapa ia ingin melihat, orang-orang sakit
di Wangon menjadi sembuh kembali. Ia hanya ingin melihatnya, dan sama
sekali ia tidak ingin mendapat penghormatan apapun dari mereka. Namun
ketika kemudian terbayang wajah gurunya yang sayu seperti pada saat
gurunya itu melepaskannya pergi, maka segera ia mengurungkan niatnya.
Katanya, “Ki Buyut. Sayang aku tak dapat memenuhi permintaan Ki Buyut.
Aku harus segera kembali kepada guruku. Melaporkan apa yang terjadi,
dan menunggu apa yang akan ditentukan bagiku karena aku tidak berhasil
membawa akar wregu putih itu untuknya.”
“Oh,” desis Buyut Ing Wangon, “kalau demikian, biarlah akar ini aku serahkan kembali kepadamu.”
“Tidak. Tidak!” sahut Agni cepat-cepat,
“bukan maksudku demikian. Biarlah orang-orangmu menjadi sembuh dan aku
pun akan ikut berbahagia karenanya.”
“Terima kasih,” terdengar suara Buyut
Wangon itu bergetar, “kalau demikian, biarlah Ki Sanak pergi ke Wangon
setiap saat yang kau kehendaki.”
“Biarlah demikian,” jawab Agni, “suatu saat apabila ada kesempatan, aku akan mengunjungi Wangon.”
“Baiklah aku memberimu beberapa petunjuk.”
“Jangan sekarang,” pinta Agni.
Buyut Wangon itu menjadi heran. Namun
terdengar Agni berkata, “Setiap saat pendirianku dapat berubah-ubah.
Karena itu biarlah aku tidak tahu, di manakah letak padukuhan itu,
supaya apabila kelak hatiku digelapkan oleh persoalan-persoalan yang
timbul kemudian, aku tidak pergi ke padukuhan itu untuk merampas
kembali akar wregu itu dari tanganmu. Seandainya aku akan berbuat
demikian, maka aku akan memerlukan waktu yang panjang untuk menemukan
padukuhan itu, sehingga aku akan terlambat karenanya.”
“Jangan berpikir begitu,” sahut Buyut Ing
Wangon, “Ki Sanak seharusnya mempunyai kepercayaan kepada diri. Dan Ki
Sanak sebenarnya seorang yang sebaik-baiknya yang pernah aku temui.”
“Pergilah Ki Buyut!” potong Mahisa Agni, “Pergilah! Supaya aku tidak mengubah pendirianku.”
Buyut Wangon itu mengerutkan keningnya.
Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah Ki Sanak, baiklah.
Sebentar lagi akan datang fajar. Tetapi biarlah aku pergi meninggalkan
tempat ini dengan penuh kekaguman di dalam hati. Aku tak akan melupakan
kau.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa
kepalanya menjadi pening dan tubuhnya seakan-akan menjadi lemah sekali.
Betapa pikirannya menjadi bergolak. Akar wregu itu ternyata tidak
berhasil dimilikinya. Meskipun demikian ketika Buyut Wangon itu
berjalan ke arah timur sempat juga ia berkata, “Jangan tempuh
perjalanan itu. Kau akan bertemu dengan Empu Pedek. Biarlah aku lewat
jalan itu. Dan biarlah Empu Pedek mencegatku. Dengan demikian kau akan
selamat dari tangannya.”
Buyut Wangon itu berhenti sesaat,
kemudian ia berpaling. Dari matanya memancar sebuah pertanyaan. Namun
sebelum pertanyaan itu terucapkan berkatalah Mahisa Agni, “Ki Buyut,
carilah jalan yang lain. Di jalan itulah kemarin aku bertempur dengan
Empu Pedek. Adalah suatu kemungkinan bahwa ia mencoba mencegat aku pula
untuk merampas akar wregu itu. Karena itu, ambillah jalan yang lain.”
Buyut dari Wangon itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi Mahisa Agni mendengar suara
Buyut tua itu bergetar, “Luar biasa. Apakah Angger masih akan
mengorbankan diri sekali lagi untuk kepentinganku? Ki Sanak, kenapa
kita tidak ber-sama-sama saja mencari jalan lain?”
“Tidak,” sahut Mahisa Agni, “kalau Empu
Pedek itu tidak melihat aku lewat, maka ia pasti akan mencari aku di
segenap sudut hutan ini. Tetapi apabila sudah ditemukannya aku, maka ia
tidak akan mencari orang lain.”
“Terima kasih. Terima kasih Ki Sanak,”
desis Buyuti ng Wangon yang kemudian dengan tersuruk-suruk ia membelok
menyelinap di antara batang alang-alang sambil berkata, “Biarlah aku
menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak akan tersesat. Besok kalau
matahari sudah terbit aku akan tahu dengan pasti, ke mana aku harus
pergi. Sebab Wangon terletak tepat pada garis antara matahari terbit
dan ujung Gunung Semeru itu pada bulan ini.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia melihat
Buyut Ing Wangon itu hilang di antara batang-batang ilalang dan
gerumbul-gerumbul perdu. Namun pada saat itu pula terasa dadanya
bergelora. Akar wregu putih itu pun lenyap pula bersama lenyapnya Buyut
Ing Wangon.
Mahisa Agni itu pun kemudian dengan
lemahnya duduk di atas batu padas di kaki lereng gundul itu. Kembali
kedua tangannya yang kokoh kuat itu menutupi wajahnya. Perlahan-lahan
terdengar anak muda itu menggeram, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat
membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam
perjuanganku melawan perasaanku.”
Angin yang basah bertiup di antara
daun-daun perdu dan batang-batang ilalang yang liar. Terdengar di
kejauhan suara-suara burung malam bersahut-sahutan.
Namun Mahisa Agni masih duduk tepekur di
atas batu padas itu. Berbagai persoalan datang pergi di dalam
kepalanya. Riuh seperti angin yang kencang bertiup berputaran.
Sekali-kali tampak kabut yang lebat bergulung-gulung, namun di kali
lain beterbanganlah daun-daun yang berguguran dari batang-batangnya.
Semakin lama semakin kencang, semakin kencang. Dan Mahisa Agni terkejut
ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar aum harimau lapar.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. “Hem,”
ia menarik nafas dalam-dalam, “Bagaimanakah kalau Buyut Ing Wangon itu
bertemu dengan harimau itu?”
“Ah,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“ia sudah selamat sampai ke tempat ini. Ia pun akan selamat juga sampai
ke padukuhannya kembali”
—–
Perlahan-lahan terdengar anak muda itu menggeram, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam perjuanganku melawan perasaanku.”
—–
Perlahan-lahan terdengar anak muda itu menggeram, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat membawa akar wregu itu kembali, karena aku tidak berhasil dalam perjuanganku melawan perasaanku.”
—–
Dan kini kembali Mahisa Agni merenungi
dirinya sendiri. Terasalah kini betapa penat dan lelahnya setelah ia
menempuh pendakian dan kemudian turun kembali dalam ketinggian yang
cukup besar. Juga kini mulai terasa, betapa lapar dan hausnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri dan
berjalan ke tempat ia menyimpan bungkusannya. Ia menarik nafas lega,
ketika bungkusannya masih ditemukannya utuh seperti pada saat
ditinggalkan. Ketika bungkusan itu dibukanya, maka masih didapatinya
beberapa macam buah-buahan. Tetapi sebagian besar di antaranya telah
tidak dapat dimakannya lagi. Meskipun demikian, satu dua ia masih juga
menemukan di antaranya, yang masih baik untuk mengurangi hausnya.
Ketika Mahisa Agni kemudian menengadahkan
wajahnya, dilihatnya warna merah telah membayang di wajah langit.
Tanpa sesadarnya, tiba-tiba saja ia mengharap supaya fajar lekas
menyingsing. Namun agaknya ia tidak sabar lagi menunggu di tempat yang
sesepi itu. Setelah selesai dengan membenahi bungkusannya, kembali
Mahisa Agni menyangkutkan bungkusannya itu di ujung tongkat kayunya.
Dan kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya. Namun kini ia berjalan
dengan lesunya. Menempuh perjalanan yang berlawanan dengan jalan yang
telah dilaluinya dengan gairah dan tekad yang bulat untuk menemukan
akar wregu putih sebagai pelengkap pusakanya, untuk menjadikannya
seorang manusia yang sakti pilih tanding. Tetapi kini ia berjalan
kembali masih seperti pada saat ia berangkat. Ia sama sekali tidak akan
menjadi seorang yang sakti. Apalagi maha sakti.
Namun apabila diingatnya, bahwa dengan
demikian ia telah berusaha untuk menegakkan kemanusiaan, maka hatinya
menjadi tenteram. Biarlah ia melepaskan cita-citanya untuk menjadi
seorang yang pilih tanding, namun keseimbangan dari kegagalannya itu
pun cukup memadainya.
Demikian maka Mahisa Agni berjalan terus.
Kini kerisnya tidak lagi dimasukkan ke dalam bungkusannya. Bahkan
sekali-sekali tangannya melekat di hulu kerisnya itu sambil berbisik,
“Akhirnya aku mempercayakan diriku kepada tuntunan Yang Maha Agung,
kepada karunia yang telah aku miliki sampai kini. Biarlah dimiliki yang
menjadi hak orang lain, dan biarlah aku miliki yang menjadi hakku.”
Tetapi Kini Mahisa Agni harus
berhati-hati. Ia hampir sampai ke tempat di mana Empu Pedek kemarin
mencegatnya. Mungkin orang timpang itu kini telah bergeser maju dari
tempatnya semula. Mungkin pula ia telah pergi. Namun sebagai seorang
yang telah berbulan-bulan menunggu, pasti ia sampai saat ini
menunggunya pula. Mungkin tidak sendiri.
Dan tiba-tiba langkah Mahisa Agni itu pun
terhenti. Ia mendengar suara gemeresik daun di sekitarnya. Karena itu
segera ia mempertajam telinganya. Dan ternyata pendengarannya itu telah
meyakinkannya, bahwa seseorang berada dibalik daun-daunan yang rimbun.
Mahisa Agni itu pun segera mempersiapkan dirinya. Diletakkannya
bungkusan serta tongkat kayunya, dan ditengadahkannya dadanya. Meskipun
tempatnya berbeda, namun yang pertama-tama terlintas di otak adalah
Empu Pedek.
Beberapa saat Mahisa Agni menanti. Dengan
penuh kewaspadaan diamat-amatinya setiap gerumbul yang ada di
sekitarnya. Tetapi suara itu pun lenyap, seolah-olah hanyut dibawa
angin malam.
Meskipun demikian, namun telah
diketahuinya, bahwa seseorang telah mengintip perjalaannya. Karena itu
ia harus sangat ber-hati-hati. Timbul niatnya untuk menunggu sampai
matahari memancarkan wajahnya di pagi yang cerah nanti. Namun Mahisa
Agni justru menjadi gelisah. Karena itu, meskipun lambat dan penuh
dengan kewaspadaan ia berjalan juga. Namun firasatnya telah menuntunnya
untuk menjauhi setiap daun-daun yang rimbun dan setiap pohon-pohon
yang besar.
Kini Mahisa Agni tidak membawa
bungkusannya di ujung tongkatnya, namun disangkutkannya bungkusan itu
di pundak kirinya, sedang tangan kanannya memegangi tongkatnya. Setiap
saat tongkat kayu itu dapat diayunkannya untuk mempertahankan diri
apabila seseorang dengan tiba-tiba menyerangnya.
Tetapi untuk beberapa saat Mahisa Agni
tidak mendengar suara apapun lagi. Betapa ia mempertajam pendengarannya
yang telah terlatih baik, namun yang didengarnya hanyalah gemeresik
angin. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak lengah
seandainya bahaya dengan tiba-tiba datang menerkamnya.
Anak muda itu menerik nafas dalam-dalam
ketika dilihatnya samar-samar warna-warna yang cerah di balik dedaunan.
Ketika ia berpaling, alangkah cerahnya ujung Gunung Semeru itu. Hijau
kemerah-merahan oleh sinar-sinar yang pertama dari matahari yang
bangkit dari tidurnya.
Langkah Mahisa Agni pun terhenti.
Dipandanginya puncak Gunung Semeru itu dengan penuh kekaguman. Dan
terasa pula kesegaran pagi mengusap tubuhnya yang letih.
Kini Mahisa Agni itu pun benar-benar
ingin beristirahat. Hutan itu sudah tidak terlalu sepi. Hampir di
setiap dahan Mahisa Agni melihat burung-burung bermain dan bernyanyi.
Betapa riangnya. Tetapi apabila diingat akan dirinya, maka Mahisa Agni
itu pun mengeluh di dalam hatinya. Namun dicobanya juga melupakan
segala-galanya dan dicobanya menikmati kecerahan pagi yang segar itu.
Sesaat lagi ia akan sampai ke sebuah
dataran yang agak luas. Namun hatinya berdesir ketika sekali lagi
diingatnya orang timpang yang bernama Empu Pedek.
Dan dada Mahisa Agni itu pun berdesir
ketika sekali lagi ia mendengar gemeresik halus di sampingnya.
cepat-cepat ia tegak berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat.
Diletakkannya bungkusannya dan tongkatnya sekali. Dengan cermat
diamatinya setiap lebar daun di sekitarnya. Dan sekali lagi desir di
dadanya itu menyentuh jantungnya, ketika dilihatnya daun-daun yang
bergoyang-goyang dengan kerasnya. Kini Mahisa Agni menjadi pasti, di
balik daun itulah seseorang telah mengintipnya. Karena itu ia tidak mau
berteka-teki lagi. Ia ingin segera menyelesaikan persoalannya. Mungkin
dengan Empu Pedek, mungkin dengan orang lain. Maka terdengarlah anak
muda itu berkata lantang, “He, siapakah kau. Marilah, aku telah
menunggumu.”
Suara Mahisa Agni itu pun kemudian
terpantul oleh dinding-dinding batu padas di lereng gunung dan oleh
batang-batang pohon yang rapat, seakan-akan melingkar-lingkar di dalam
hutan. Namun sesaat kemudian suara gemanya berangsur-angsur lenyap.
Namun tak seorang pun yang menjawab.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu pun
terkejut bukan buatan. Hampir ia tidak percaya akan telinganya.
Didengarnya dari balik gerumbul itu suara batuk-batuk beberapa kali.
Suara yang telah dikenalnya baik-baik. Sehingga dengan demikian dada
Mahisa Agni itu pun menjadi berdebar-debar.
Dan apa yang disangkanya itu ternyata
benar-benar terjadi. Dari balik gerumbul itu muncullah seorang tua
dengan wajah dalam yang bening. Dari bibirnya terbayanglah senyumnya
yang segar.
Sesaat Mahisa Agni terpaku, di tempatnya.
Sama sekali tak disangka-sangkanya bahwa akan dijumpainya orang itu di
tempat itu. Terasa seakan-akan seluruh isi dadanya bergelora, dan
hampir segenap tubuhnya bergetar.
Ketika orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, Mahisa Agni segera meloncat maju sambil berlutut di
hadapannya. Desahnya, “Guru.”
Orang itu adalah Empu Purwa. Diangkatnya Mahisa Agni untuk berdiri. Katanya, “Ya Agni. Bagaimana dengan keadaanmu?”
“Baik Empu,” jawab Agni, “aku selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”
Empu Purwa itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dituntunnya Mahisa Agni seperti anak-anak yang
sedang belajar berjalan. Diajaknya ia duduk di atas batu padas.
“Kau tampak letih sekali Agni,” berkata gurunya.
Mahisa Agni mengangguk, jawabnya, “Ya, Guru.”
“Tetapi aku bergembira bahwa kau selamat.
Aku ingin melihatmu ke dalam gua. Sebab aku menjadi cemas, ketika kau
terlalu lama belum juga kembali. Tetapi ternyata aku berpapasan
denganmu hampir sampai di kaki lereng gundul itu. Dan aku mengikutimu
sampai di sini.”
Perkataan gurunya itu telah menggores
jantung Mahisa Agni. Segera disadarinya, bahwa ia tidak berhasil
membawa kembali akar wregu putih itu. Karena itu, kini segenap tubuhnya
menjadi basah oleh peluh yang dingin. Namun ia masih belum dapat
mengatakan sesuatu.
“Agni,” berkata gurunya kemudian, “aku
menjadi lebih bergembira lagi ketika aku melihat bahwa kau telah pergi
meninggalkan gua itu. Bukankah dengan demikian aku akan dapat
membanggakanmu?”
Kini wajah Mahisa Agni tertunduk lesu.
Dikenangnya segalanya yang pernah terjadi dalam perjalanannya.
Ditentangnya jurang dan ngarai. Dilawannya alam yang keras dan
dilawannya pula semua rintangan yang menghalanginya. Orang-orang jahat
dan binatang buas. Semuanya berhasil diatasinya. Namun, lawan yang tak
dapat ditundukkan adalah perasaannya sendiri. Karena itu, maka gelora
di dalam dadanya itu pun menjadi semakin gemuruh.
Apakah yang akan dapat dikatakan kepada
gurunya? Ternyata ia lebih mementingkan perasaan sendiri daripada
perintah gurunya itu. Namun kemudian timbul pula niatnya untuk berkata
berterus terang. Gurunya adalah seorang manusia yang baik, seperti apa
yang selalu diajarkan kepadanya. Apa yang harus dilakukan dalam
hidupnya. Kasih mengasihi antara sesama, sebagai pancaran kasih dari
Yang Maha Agung. Meskipun demikian getaran di dadanya menjadi semakin
deras, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, “Agni, apakah benar
dugaanku bahwa kau telah berhasil mendaki gua itu?”
Sesaat Agni memandang wajah gurunya.
Wajah yang dalam dan bening. Karena itu timbullah harapannya, bahwa
gurunya tidak akan marah kepadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menundukkan wajahnya kembali, dan dengan lemahnya ia mengangguk sambil menjawab lirih, “Ya, Guru.”
“Syukur, Syukurlah kalau kau telah
berhasil mendaki gua itu,” gumam gurunya sambil menepuk pundak
muridnya. Namun dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin tegang. Dan
berdesirlah dadanya seolah-olah sebuah goresan sembilu menyentuh
hatinya, ketika ia mendengar gurunya itu bertanya, “Apakah akar wregu
putih itu masih kau temukan?”
Mulut Mahisa Agni itu serasa terbungkam
oleh gelora yang berkecamuk di dalam dadanya. Dan karena itu maka
tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Wajah yang tunduk menjadi semakin
dalam menekuri batu-batu di bawah kakinya. Karena itu ia tidak segera
menjawab, sehingga Empu Purwa mengulanginya, “Bagaimanakah anakku.
Apakah kau masih menemukan akar wregu itu?”
Gemuruh di dada Mahisa Agni serasa akan
memecahkan jantungnya. Hampir saja Mahisa Agni berdusta. Ingin ia
mengatakan bahwa akar wregu putih itu sudah tidak ada di tempatnya.
Namun kejujurannya telah melawannya sehingga betapapun beratnya, ia
harus mengatakan apa yang dilihat dan dialaminya. Maka dengan tegangnya
ia menjawab, “Ya, Guru.”
“Oh,” sahut gurunya, “Syukurlah, Syukurlah. Jadi kau masih menemukan akar wregu itu di dalam gua?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Pasti!” berkata gurunya, “Akar itu pasti
masih di sana. Sebab tak seorang pun yang mengetahui, selain aku,
bahwa akar itu ada di dalam gua.”
Empu Purwa itu terkejut ketika Mahisa Agni menjawab, “Tidak, Guru. Ternyata ada orang lain yang mengetahuinya pula.”
“Orang lain?” ulang Empu Purwa.
“Ya,” jawab Agni, “seorang dari Gunung Merapi, seorang bernama Empu Pedek dan seorang Buyut dari Wangon.”
Empu Purwa itu mengangkat keningnya.
Tampaklah beberapa kerut di dahinya semakin nyata. Namun agaknya ia
tidak ingin mempersoalkan orang-orang yang juga mengetahui akar wregu
putih itu. Karena itu katanya, “Ah, biarlah orang-orang itu
mengetahuinya. Namun asal kau masih sempat menemukan akar wregu putih
itu.”
Kata-kata itu benar-benar menampar dada
Mahisa Agni. Sebuah getaran yang keras telah mengguncangkan jantungnya.
Kini ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Mahisa Agni itu pun kemudian menangkupkan
kedua telapak tangannya di muka dadanya. Sambil membungkukkan badannya
ia berkata dengan suara yang gemetar, “Maafkan Guru. Aku ternyata
tidak dapat memenuhi perintah guru. Membawa akar wregu putih itu
kembali ke padepokan Panawijen.”
Sesaat mereka berdua tenggelam dalam
kesepian. Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Ia menunggu apa yang
akan dikatakan oleh gurunya. Apa saja. Ia akan menerima keputusan itu
dengan ikhlas. Baru kemudian akan dikatakannya, alasan-alasan yang
telah memaksanya untuk menyerahkan akar wregu itu kepada orang lain.
Bukan karena kekerasan, dan bukan pula karena ketakutannya menghadapi
bahaya. Ia telah mengalahkan semua rintangan, kecuali satu yang justru
datang dari dirinya sendiri.
Perlahan-lahan ia mendengar gurunya bertanya, “Kenapa Agni?”
Mahisa Agni menjadi heran. Ketika ia
mencoba mencuri pandang wajah gurunya, ia pun menjadi semakin heran.
Wajah itu masih saja dalam dan bening. Ia tidak mendapat kesan bahwa
gurunya terkejut dan marah kepadanya. Dan ia tidak tahu, keadaan apakah
yang sebenarnya sedang dihadapinya. Apakah gurunya sedang
mempertimbangkan alasan-alasan yang harus dikemukakan, ataukah gurunya
sedang mencoba menahan diri. Namun kini gurunya itu bertanya, kenapa.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk mengatur perasaannya supaya ia dapat mengatakan segala
sesuatu dengan teratur dan dimengerti. Baru kemudian setelah hatinya
menjadi tenang, maka diceritakannya kepada gurunya itu, apa yang
dialaminya sejak ia meninggalkan padukuhan Panawijen. Perjalanan yang
berat, namun penuh dengan gairah untuk menyelesaikannya. Ditantangnya
kekerasan alam dan ditantangnya kekerasan manusia. Akhirnya sampailah
cerita Mahisa Agni kepada seseorang yang datang dari Wangon, yang
menyebut dirinya Buyut dari Wangon. Seorang tua yang bongkok dan
berjalan tersuruk-suruk. Namun tekadnya jauh melalui keadaan
jasmaniahnya. Betapa teguhnya kemauan yang tersimpan di dalam dada
orang itu, sehingga betapapun ia merasa dirinya tidak mampu melawan
dalam tindak kekerasan, namun orang itu dengan beraninya telah memeluk
kakinya untuk mencoba menahannya.
“Aku mengaguminya,” berkata Mahisa Agni,
“mengagumi tekadnya dan hasrat kemanusiaannya, di samping tanggung
jawabnya atas kewajibannya. Hidup dan mati beribu-ribu orang tergantung
kepadanya. Kepada akar wregu putih itu. Dan ternyata orang itu telah
memasuki gua tempat penyimpanan akar itu. Beberapa langkah lagi ia akan
berhasil menyelamatkan beribu-ribu orang itu. Pada saat harapannya
telah memenuhi dadanya, bukan saja harapan baginya, namun harapan bagi
beribu-ribu orang itu, maka datanglah Mahisa Agni itu. Aku. Guru, aku
tidak sampai hati merampas harapan itu. Merampas harapan beribu-ribu
orang untuk memperpanjang hidupnya.
Mahisa Agni berhenti sesaat. Terasa
seluruh tubuhnya menjadi basah, dan detak jantungnya menjadi semakin
cepat. Namun ia tidak dapat meraba, bagaimanakah tanggapan gurunya atas
peristiwa itu. Ketika sekali lagi ia mencoba memandang wajah gurunya,
wajah itu masih saja sebening semula.
Dengan nafas yang terengah-engah Mahisa
Agni meneruskan, “Itulah, Bapa. Buyut Ing Wangon telah berhasil
merampas akar wregu putih itu tidak dengan kekerasan. Hatiku luluh
ketika aku mendengar ia bertanya, apakah kekerasan yang dapat
menentukan segala-galanya. Apakah hanya dengan kekerasan kita harus
menilai semoa persoalan?”
“Bapa, Buyut Ing Wangon itu bertanya,
apakah kepentinganku dengan akar wregu putih itu? Seandainya akar itu
mempunyai nilai yang lebih besar padaku, maka dengan ikhlas Buyut Ing
Wangon itu akan menyerahkannya, namun apabila nilai akar itu lebih
bermanfaat padanya, maka ia minta akar itu untuk dibawanya. Aku
diajaknya untuk menilainya dengan wajar. Manfaatnya bagi manusia dan
kemanusiaan. Dan manfaat itulah yang akan menentukan. Bukan kekerasan,
bukan kemenangan jasmaniah. Bukan perkelahian dan pertempuran.”
Kembali Mahisa Agni berhenti. Dan peluh
yang dingin masih saja mengalir membasahi tubuhnya, pakaiannya dan batu
padas tempat duduknya. Angin yang lembut masih juga mengalir
perlahan-lahan. Dan jauh di sebelah selatan dilihatnya awan yang putih
seputih kapas terbang di atas kehijauan hutan dan lembah.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata
lembut Empu Purwa, selembut angin dari lembah, “Agni, jadi kau tidak
berhasil mendapatkan akar wregu itu?”
“Ampun, Guru,” jawab Agni, “aku gagal menjalankan tugasku kali ini. Aku tidak sampai hati.”
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Ditatapnya awan yang bertebaran di langit dan di pandangnya puncak
Gunung Semeru yang menjadi semakin cerah. Kemudian terdengarlah ia
bertanya, “Apakah kau masih akan dapat mengenal Empu Pedek dan Buyut
Ing Wangon itu apabila kau bertemu?”
Mahisa Agni berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya, “Kedua-duanya memiliki kekhususannya, Bapa. Empu Pedek itu
ternyata timpang dan Buyut Ing Wangon itu bongkok.”
“Apakah kau tahu letak padukuhan Wangon?”
Mahisa Agni menggeleng. Namun hatinya
menjadi berdebat. Apakah gurunya akan pergi sendiri mengambil akar itu
dari Wangon? Maka terdengar ia menjawab, “Tidak guru. Aku menghindari
petunjuk tentang padukuhan itu. Aku takut kalau pendirianku akan
berubah. Dan beribu-ribu orang itu tidak tertolong lagi karenanya.”
Kembali mereka berdua terdiam. Dan
kembali suara burung-burung di dahan-dahan menjadi semakin nyata.
Melengking dengan riangnya. Seriang daun-daun yang menari-nari ditiup
angin pagi. Namun hati Mahisa Agni tidak ikut serta menari-nari bersama
angin pagi.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian,
“apakah kausangka Empu Pedek itu masih belum melepaskan keinginannya
untuk mendapatkan akar wregu putih itu?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, maka jawabnya, “Ya Empu, aku menyangka demikian.”
“Dan bagaimanakah dengan Buyut dari Wangon itu?”
Mahisa Agni tidak segera dapat mengetahui
maksud gurunya. Buyut dari Wangon itu telah membawa serta akar wregu
putih itu pulang ke padukuhannya. Karena itu ia bertanya, “Apakah
maksud guru dengan Ki Buyut Ing Wangon?”
Mahisa Agni menjadi bingung ketika
dilihatnya gurunya itu tersenyum. Dan terjadilah kemudian hal yang sama
sekali tak disangka-sangka, sehingga Mahisa Agni itu pun terkejut
bukan kepalang. Sejengkal ia bergeser surut, dan dengan sinar mata yang
penuh dengan berbagai persoalan bercampur baur dipandanginya wajah
gurunya seolah-olah baru dikenalnya saat itu. Dan tebersitlah
kata-katanya, “Guru, apakah guru telah mendapatkannya?”
Empu Purwa masih tersenyum. Katanya kemudian masih sesareh semula, “Agni, bukankah akar wregu ini yang kaucari?”
—–
Empu Purwa masih tersenyum. Katanya kemudian masih sesareh semula, “Agni, bukankah akar wregu ini yang kaucari?”
—–
Empu Purwa masih tersenyum. Katanya kemudian masih sesareh semula, “Agni, bukankah akar wregu ini yang kaucari?”
—–
Kini pandangan mata Agni tertancap kepada
sebuah benda di tangan gurunya. Akar wregu putih yang diperebutkannya
dengan Buyut Ing Wangon. Dan ternyata akar itu kini berada di tangan
gurunya. Aneh. Apakah gurunya telah berhasil mencegat Buyut Ing Wangon
dan merampas dari tangannya? Demikianlah beribu-ribu persoalan bergulat
di dalam dada Mahisa Agni. Namun karena itu, maka tak sepatah kata pun
yang dapat diucapkannya.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata
Empu Purwa pula mendesaknya, “Benarkah pengamatanku ini Agni. Apakah
benda ini pula yang kau lihat di dalam gua itu?”
“Ya. Ya Empu,” sahut Agni terbata-bata.
Namun terloncat pula pertanyaannya, “Tetapi bagaimanakah benda itu
dapat sampai di tangan Empu?”
Empu Purwa tersenyum. Katanya, “Kepada siapa benda ini kau berikan?”
“Kepada orang bongkok dari Wangon. Buyut Ing Wangon,” sahut Mahisa Agni.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sudahlah, jangan kau
risaukan orang lain. Kau sekarang akan berhasil memiliki benda ini.
Akar wregu putih. Rangkapan pusakamu yang kecil itu. Bukankah dengan
akar ini kau dapat membuta tangkai trisula kecil itu?”
Mahisa Agni itu pun menjadi semakin
bingung. Bagaimanakah jadinya dengan Buyut dari Wangon? Apakah yang
akan dilakukannya seandainya akar wregu itu lenyap dari tangannya? Dan
bagaimanakah dengan beribu-ribu orang yang hampir mati karena
penyakitnya? Dan kini tiba-tiba tubuh Mahisa Agni itu pun bergetar
kembali. Betapa ia menjadi gelisah. Ia tidak tahu apakah sebenarnya
yang terjadi. Tetapi yang dilihatnya akar wregu putih itu sudah di
tangan gurunya.
“Guru,” terdengar Mahisa Agni bertanya dengan suara yang gemetar, “Di manakah Buyut Ing Wangon itu sekarang?”
Empu Purwa itu tidak segera menjawab.
Namun ditatapnya Mahisa Agni itu dengan pandangan yang sejuk. Dan
kediamannya itu telah membuat hati Mahisa Agni menjadi semakin tegang.
Sehingga diulanginya pertanyaannya, “Guru, apakah guru bertemu dengan
Buyut Ing Wangon dan mendapatkan akar wregu itu daripadanya?”
Dan jantung Mahisa Agni menjadi semakin
bergolak ketika ia melihat gurunya tersenyum. Timbullah berbagai
sangkaan di dalam hatinya. Apakah gurunya telah mencederai Buyut dari
Wangon itu? Tak mungkin. Buyut dari Wangon bukan seorang yang mampu
untuk berkelahi, apalagi melawan gurunya. Sehingga dengan mudahnya akar
itu akan dapat diambilnya.
Mahisa Agni menjadi semakin tidak
mengerti ketika kemudian gurunya itu menepuk bahunya, dan dengan lembut
berkata, “Kenapa kau prihatin atas Buyut yang bongkok itu?”
“Ya, kenapa?” Mahisa Agni mengulang
pertanyaan itu di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Karena itu maka dengan lemahnya ia menggeleng.
Jawabnya, “Entahlah, Bapa. Mungkin aku menjadi iba kepadanya, kepada
orang-orangnya yang menantinya dengan penuh kecemasan dan penderitaan.”
“Buyut Ing Wangon itu kini telah tidak ada lagi.”
“He?” Agni terkejut sehingga ia bergeser. Ditatapnya wajah gurunya dengan pancaran pertanyaan dari bola matanya.
Ketika ia melihat gurunya memandangnya dengan iba, maka desahnya di dalam hati, “Betapa aneh persoalan yang aku hadapi.”
“Agni,” berkata gurunya, “Buyut Ing Wangon itu benar-benar sudah tidak ada lagi. Yang ada kini adalah aku gurumu.”
Nafas Mahisa Agni menjadi semakin
terengah-engah, melampaui pada saat ia mendaki lereng yang gundul itu.
Dan ketika ia mendengar gurunya menjelaskan, serasa ia sedang dibuai
oleh mimpi yang aneh. Didengarnya gurunya itu berkata, “Kauserahkan
akar ini kepada orang yang menamakan diri Buyut Ing Wangon, Agni. Dan
sekarang kau lihat akar wregu ini berada di tanganku. Tak ada
perjuangan yang terjadi, tak ada perampasan dan pemerkosaan. Aku terima
akar ini langsung dari tanganmu.”
“He?” kini Mahisa Agni benar-benar
terkejut bukan buatan. Ia mendengar kata demi kata dengan jelas. Ia
mendengar dan mengerti maksud gurunya. Meskipun demikian dengan wajah
yang tegang ia bertanya, “Jadi, apakah mataku yang kurang wajar, atau
apa akukah yang tidak pada tempatnya. Apakah maksud guru mengatakan,
bahwa yang bertemu dengan aku di dalam gua itu guru sendiri?”
Empu Purwa mengangguk. Tampaklah
kebeningan matanya memancarkan keibaan hatinya. Karena itu ia berkata
seterang-terangnya, “Agni. Sadarilah. Akulah yang menamakan diri Buyut
Ing Wangon.”
Sekali lagi Mahisa menangkupkan kedua
telapak tangannya, di muka dadanya sambil membungkukkan badannya
dalam-dalam sehingga wajahnya hampir menyentuh tanah. Dengan suara
gemetar ia berkata, “Ampun, Bapa. Aku tidak tahu, apakah yang sudah aku
lakukan. Aku tidak tahu, bagaimana Bapa menilai diriku.”
Seterusnya Mahisa Agni itu menekurkan
wajahnya. Ia tidak berani memandang gurunya. Bahkan ujung kakinya pun
tidak. Ditatapnya tanah padas yang berlapis-lapis di bawah kakinya.
Namun hatinya sibuk dengan persoalan yang tak dapat dimengertinya. Ia
melihat seorang bongkok yang berjalan tersuruk-suruk di dalam gua itu.
Namun betapa gelapnya. Ia hanya melihat bayangan yang hitam dan
garis-garis tubuh yang bongkok itu. Tetapi apakah ia pernah melihat
wajah orang itu dengan jelas? Tidak. Ia tidak melihatnya. Dan
bagaimanakah dengan pakaiannya? Pakaian ini pun tak jelas diketahuinya.
Tetapi yang dilihatnya sekarang, gurunya tidak mengenakan jubah putih
dan tidak pula mengenakan kain kelengan seperti kalau gurunya itu
sedang bepergian, tidak dalam kedudukannya sebagai seorang pendeta.
Tetapi gurunya itu mengenakan kain lurik yang dibalutkan di tubuhnya.
Mahisa kemudian memejamkan matanya.
Dicobanya untuk mengingat-ingat bentuk tubuh orang yang ditemuinya di
dalam gua itu. Namun ia tidak berhasil.
Dalam pada itu terdengarlah gurunya
berkata, “Agni, jangan menyesal. Kau telah berbuat sesuatu yang
sebenarnya aku harapkan. Kau dihadapkan pada persoalan yang tak mudah
kau pecahkan. Di sinilah watak seseorang yang sebenarnya dapat dilihat.
Apabila ia dihadapkan pada kepentingan diri dan kepentingan manusia,
namun di luar dirinya. Betapa ia harus melihat kepentingan-kepentingan
itu dengan wajar. Apakah seseorang akan mementingkan dirinya sendiri,
apakah ia akan mementingkan manusia dan kemanusiaan di luar dirinya,
namun kepentingan itu jauh lebih besar. Dan ternyata kau berhasil
melihatnya dengan mata hatimu yang bersih. Kau berhasil menyingkirkan
nafsu diri sendiri untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan di luar
dirimu. Bahkan kau telah sanggup mengorbankan kepentinganmu itu, namun
kepentingan sendiri, seorang Mahisa Agni, untuk kepentingan yang lebih
besar. Meskipun ternyata kepentingan yang lebih besar itu sebenarnya
tidak ada, namun itu tidak akan mengurangi nilai pribadimu. Tidak akan
mengurangi kejernihan mata hatimu. Sebenarnyalah bahwa Yang Maha Agung
telah berkuasa di dalam hatimu dengan cinta kasihnya, sehingga dari
dalam hatimu itu pun memancar pula cinta kasih itu.”
Kini dada Mahisa Agni itu pun bergelora.
Namun dalam bentuknya yang lain. Setelah sekian lama ia ditegangkan
oleh teka-teki tentang orang bongkok itu, tiba-tiba kini ia mendengar
kata-kata gurunya itu. Jelas dan hatinya pun menjadi terang. Gurunnya
itu ternyata membenarkan sikapnya. Dan karenanya, maka ia pun menjadi
terharu. Betapa ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa Tangan Yang Maha
Besar telah menuntunnya untuk memilih sikap yang dibenarkan oleh
gurunya dan benar pula menurut keyakinannya.
Dan didengarnya gurunya itu berkata
seterusnya, “Meskipun demikian Mahisa Agni. Apa yang terpuji pada saat
ini bukan berarti untuk seterusnya tak akan terkena salah. Jangan
menjadi lupa diri. Akar wregu itu akan dapat menjadi alat untuk
mengenangkan masa ini. Sebenarnyalah hanya itu manfaat yang dapat kau
ambil daripadanya.”
Sekali lagi Mahisa Agni dikejutkan oleh
kata-kata gurunya itu. Akar wregu putih itu hanya akan bermanfaat
baginya untuk mengenangkan masa ini. Suatu masa di mana ia harus
berjuang untuk menumbangkan nafsu yang menyala-nyala untuk menjadikan
dirinya orang pilih tanding, karena suatu pengabdian pada kemanusiaan
memanggilnya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perjuangan yang terjadi
di dalam dirinya itu adalah hasil ciptaan gurunya untuk mengetahui
kematangan sifat dan wataknya sebagai manusia, namun apakah itu
mempunyai suatu pengaruh yang langsung atas khasiat akar wregu putih
itu?
Karena itu maka Mahisa Agni itu
memberanikan diri untuk bertanya, “Guru, apakah maksud guru dengan
mengecilkan arti akar wregu putih itu?”
Empu Purwa tertawa pendek. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Agni, aku sama sekali tidak
mengecilkan arti akar wregu putih ini. Sebab sebenarnyalah demikian.
Lihatlah. Akar ini tidak lebih dari sebuah akar wregu biasa. Apakah
bedanya? Kau melihat akar ini agak keputih-putihan. Demikianlah
sebenarnya warna akar wregu itu apabila kau sayat kulit arinya.”
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Jadi
apakah artinya perjuangan yang selama ini dilakukan, sejak ia
meninggalkan padepokan Panawijen dan menempuh perjalanan yang
sedemikian jauh, melawan kegarangan alam dan melawan berbagai kejahatan
manusia dan kebuasan binatang-binatang?”
Empu Purwa melihat beribu-ribu persoalan
bergelut di dalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka katanya kemudian,
“Mahisa Agni. Jangan menilai akar wregu ini ber-lebih-lebihan. Meskipun
demikian itu bukan salahmu. Aku memang mengatakan kepadamu, bahwa akar
ini akan mampu menjadikan kau seorang yang pilih tanding. Dan
ternyatalah demikian. Kau telah berjuang dengan tekad yang membara di
dalam hatimu. Kau telah melakukan apa saja yang jarang dapat dilakukan
oleh orang lain. Dan yang jarang dapat aku temui pada masa kini,
masa-masa yang lampau dan bahkan mungkin masa-masa yang akan datang,
adalah kesediaanmu berkorban. Bukankah dengan demikian kau telah
menemukan nilai-nilai yang sangat berharga bagi dirimu. Bukankah
perjalanan yang kau lakukan itu adalah suatu penempaan jasmaniah yang
tak ada taranya dan bukankah penyerahan akar ini kepada orang lain itu
pun akan merupakan penempaan rohaniah yang tak kalah nilainya dari
seluruh perjalananmu itu, sebab hasil perjalananmu itulah yang telah
kau korbankan bahkan masa depan yang panjang telah kau serahkan pula.
Karena itu ketahuilah anakku, akar wregu ini sebagai suatu benda tak
memiliki nilai apapun.”
Bergetarlah dada Mahisa Agni mendengar
keterangan gurunya itu. Benar-benar persoalan yang tak
disangka-sangkanya. Apakah ini yang dimaksud oleh gurunya suatu ujian
baginya? Dan gurunya sendiri telah hadir untuk mengujinya? Dan inilah
sebabnya, maka pada saat gurunya memerintahkannya pergi mencari akar
wregu itu terasa beberapa kejanggalan pada pesannya. Gurunya yang dalam
masa-masa yang lewat, selalu memandang hampir setiap persoalan dari
segala segi, keseimbangan antara lahir dan batinnya, namun pada
saat-saat ia berangkat meninggalkan Panawijen, gurunya seolah-olah sama
sekali tak menghiraukan masalah- masalah yang lebih dalam dari
masalah- masalah lahiriah. Yang disebut-sebut oleh gurunya itu tidak
lebih dari akar wregu putih yang akan mampu menjadikannya manusia yang
sakti. Lebih dari itu tidak. Namun gurunya itu kemudian berkata bahwa
‘Hitam putih namamu, tergantung kepadamu sendiri’.
Kini ternyata, bahwa gurunya dengan
sengaja berbuat demikian. Gurunya sengaja memberinya persoalan, dan
diserahkannya kepada dirinya, bagaimana ia akan memecahkannya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dalam sekali. Terasalah sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Tetapi
tiba-tiba Mahisa Agni itu menyadari, bahwa tidak hanya seorang gurunya
sajalah yang menginginkan akar itu, meskipun dengan maksud yang
berbeda-beda. Apakah orang lain percaya bahwa akar itu memiliki nilai
yang dapat mempengaruhi seseorang. Karena itu maka dengan serta-merta
ia bertanya kepada gurunya, “Bapa, seandainya akar itu dalam ujudnya
sebagai benda tak memiliki nilaianya yang khusus. Apakah artinya
perjuangan Empu Pedek untuk mendapatkannya. Berbulan-bulan ia berada di
tempat ini untuk menunggu seseorang yang akan lewat dengan membawa
sebuah trisula rangkapan dari akar wregu itu.”
Empu Purwa itu tertawa, namun dari
sepasang matanya memancarlah keibaan hatinya kepada muridnya itu.
Sekali lagi Empu Purwa menepuk bahu Mahisa Agni. Dengan lembut ia
berkata, “Anakku. Tak seorang pun di dunia ini yang pernah mendengar
tentang akar wregu putih itu. Bukankah sudah aku katakan.”
“Tetapi Bapa,” bantah Agni, “Empu Pedek itu menyebut-nyebutnya pula. Tepat diketahui nama dan kegunaan dari akar wregu itu.”
“Agni,” sahut gurunya, “ada dua
kemungkinan. Aku yang salah sangka tentang akar itu bahwa tak seorang
pun yang mengetahuinya, atau akar itu benar-benar hanya diketahui oleh
seseorang saja. Sehingga setiap orang yang menyebut nama akar wregu
putih itu adalah orang yang sama.”
“Guru,” potong Agni, “jadi juga yang menamakan diri Empu Pedek dan Buyut Ing Wangon itu guru sendiri?”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Sambil
tersenyum ia berkata, “Benar Agni. Dan telah aku korbankan sebagian
janggutku tersayang untuk kepentingan itu.”
“Oh,” Agni itu pun tertunduk kembali.
Berbagai masalah yang simpang siur, hilir mudik di dalam di kepalanya.
Sehingga kemudian ia berkata, “Jadi bagaimanakah dengan orang dari
Gunung Merapi yang datang tiga hari sebelum kedatanganku.”
“Itulah aku,” jawab gurunya.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini semuanya menjadi jelas. Itu pulalah sebabnya gurunya
berpesan kepadanya supaya ia berjalan dari batu karang itu pada malam
hari, supaya gurunya dapat mengganggunya.
Sesaat mereka berdua itu pun berdiam
diri. Matahari yang cerah telah semakin tinggi memanjat di kaki
langit,dan pagi itu pun menjadi semakin bening.
Namun masih ada satu soal yang ingin diketahui oleh Mahisa Agni, bagaimanakah akar wregu itu berada di dalam gua.
Maka kemudian diberanikannya pula untuk
bertanya kepada gurunya, “Bapa, bagaimanakah maka akar wregu putih itu
berada di dalam gua ini. Apakah guru telah meletakkannya tiga tahun
yang lampau?”
Kembali Empu Purwa tersenyum. Jawabnya,
“Bukankah Buyut dari Wangon itu telah memasuki gua lebih dahulu?
Alangkah mudahnya meletakkan akar wregu itu di sana, kemudian berbaring
kembali di tikungan dalam gua itu.”
Mahisa menggigit bibirnya. “Sederhana
sekali,” pikirnya. Sehingga anak muda itu tanpa sesadarnya telah
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini semuanya sudah jelas bagi Mahisa
Agni Apa yang dilakukan gurunya sebelum ia berangkat sampai saat iri.
Ternyata gurunya telah menjajaki kebulatan tekadnya dengan orang
timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek. Apakah ia benar-benar
pantang surut dalam perjuangannya mencapai masa depannya dengan
cita-cita yang diletakkan di hatinya. Namun dengan Buyut Ing Wangon
gurunya ingin mengetahui, apakah ia mampu memandang kepentingan
kemanusiaan yang lebih besar dengan mengorbankan kepentingan diri
sendiri.
Dalam pada itu kembali Empu Purwa itu
bertanya, “Mahisa Agni, apakah kau menjadi kecewa, setelah kau
mengetahui bahwa akar wregu putih itu sama sekali tak berarti bagimu
dalam olah kanuragan?”
Sebenarnya, di dalam hati Mahisa Agni
walau pun betapa kecilnya, ada juga rasa kecewa itu. Namun demikian,
dapat juga ia mengurangi keadaan, sehingga kemudian ia menjawab, “Tidak
guru. Kalau ada maka kekecewaan itu tak akan berarti, dibandingkan
dengan kebanggaan yang aku dapatkan karena Bapa telah membenarkan sikap
dan tanggapanku atas persoalan-persoalan yang Guru berikan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya pula, “Nah, meskipun demikian simpanlah akar wregu
ini. Sudah aku katakan, bahwa akar ini akan bermanfaat pula bagimu.
Akan selalu memberimu peringatan, bahwa menurut pendapat gurumu, kau
telah melakukan sesuatu yang terpuji. Karena itu, setiap kau menghadapi
persoalan yang serupa, maka akar wregu ini akan membantumu memecahkan
persoalanmu. Namun, kau adalah manusia biasa Agni. Suatu ketika kau
akan menghadapi persoalan-persoalan yang lebih sulit dan suatu ketika
kau akan mungkin melakukan pilihan yang salah. Namun kau harus berusaha
mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Sadarilah ini, supaya untuk
seterusnya kau tidak menganggap bahwa pilihanmu selalu benar, dan
apabila ada perbedaan pikiran dan pendapat dengan orang lain, kau
selalu merasa bahwa kau sendirilah yang benar.”
Mahisa Agni kini menundukkan wajahnya.
Kata-kata gurunya itu menyentuh hatinya dan menumbuhkan suatu
pengertian yang mendalam. Mahisa Agni itu pun kemudian menjadi sadar
akan keadaannya. Manusia yang lemah, jasmaniah maupun rohaniah. Manusia
yang selalu diliputi oleh kesalahan-kesalahan dan kebodohan-
kebodohan.
“Marilah Agni,” berkata gurunya pula,
“terimalah akar wregu ini. Jangan kau nilai benda itu berlebih-lebihan.
Namun jangan kau abaikan pula hikmah yang telah kau letakkan sendiri
pada benda itu.”
Mahisa Agni itu pun mengangkat wajahnya.
Dipandangnya akar wregu itu dengan perasaan yang aneh. Namun
dimengertinya pula nasihat gurunya. Karena itu, maka akar itu pun
diterimanya dengan hasrat yang mantap untuk mencoba memenuhinya.
Meskipun demikian terasa juga kehambaran di dalam dadanya.
Kembali mereka berdua terlempar dalam
kesenyapan. Dan kembali mereka membiarkan tubuh mereka dibelai angin
yang mengalir dari lembah. Namun angan-angan Mahisa Agni terbang
melambung ke daerah-daerah yang aneh. Ke masa-masa yang lewat dan ke
masa-masa yang akan datang.
Seperti orang tersentak diri mimpinya ia
mendengar gurunya berkata kepadanya, “Mahisa Agni. Aku tahu, bahwa kau
dengan peristiwa ini merasa kehilangan sesuatu, meskipun kau dapat
mengerti dan memahami artinya. Karena itu Anakku, sebenarnyalah bahwa
kau akan mendapatkannya sesuatu yang bermanfaat bagi hidupmu kelak.
Bukan dari akar wregu itu, tetapi dari dirimu sendiri.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Terasa
debar yang halus menyentuh hatinya. Dan didengarnya gurunya berkata,
“Agni, ada sesuatu yang ingin aku beri tahukan kepadamu. Bahwa aku
telah mendapat ilmu yang turun temurun mengalir dari guru ke muridnya
yang tepercaya. Itulah sebabnya, setiap guru yang akan memberikan
kepada muridnya, maka guru itu harus yakin akan sifat dan watak
muridnya itu. Itulah yang memaksa aku membuat cerita tentang akar wregu
putih, karena aku ingin mengetahui, apakah sudah masanya aku
menurunkan ilmu itu kepadamu. Apakah ilmu itu akan bermanfaat bagimu
dan bagi bebrayan manusia. Sebab seandainya ilmu itu kau terima, namun
penggunaannya tidak seperti yang diharapkan, maka ilmu itu akan
kehilangan artinya, bahkan akan menjadi sangat berbahaya. Namun kini
aku telah menemukan suatu keyakinan, bahwa ilmu itu padamu akan
menemukan sasaran pengamalan seperti yang diharapkan.”
Debar yang halus di dalam dada Mahisa
Agni itu pun menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian terasa tubuhnya
bergetar. Kata-kata gurunya itu seperti tetesan embun yang menyentuh
ubun-ubunnya. Namun kemudian seperti menyalanya bara harapan di dalam
hatinya.
Dan didengarnya gurunya itu berkata
seterusnya, “Mahisa Agni. Ilmu itu adalah ilmu yang didasari pada
kekuatan- kekuatan yang tersimpan di dalam dirimu sendiri. Karena itu
kau harus selalu ingat kepada sumbernya. Setiap penggunaan ilmu itu pun
harus diperuntukkan bagi sumber itu sendiri. Sumber kekuatan- kekuatan
di tubuhmu itu, dan lebih jelas lagi, adalah sumber hidupmu itu, Yang
Menciptakanmu. Yang Menciptakan manusia.”
Semuanya kini menjadi semakin terang bagi
Mahisa Agni. Dengan cepat ia dapat menghubungkan setiap peristiwa yang
pernah dialami dengan kata-kata gurunya itu. Sekali lagi terucapkan
puji dan sukur di dalam hati Mahisa Agni. Dan apa yang dikecewakannya
atas akar wregu putih itu, seakan-akan telah larut dihanyutkan oleh
harapan-harapan baru yang tumbuh di dalam hatinya. Harapan baru tentang
ilmu yang disebut oleh gurunya, namun dilandasi oleh semua penjelasan
dan nasihat-nasihat gurunya itu.
Maka kini ternyatalah baginya, bahwa gurunya telah menganggapnya lulus dari ujian yang dibebankan di atas pundaknya.
Sesaat kemudian gurunya meneruskan pula,
“Agni. Untuk menerima ilmu itu, maka kau tidak cukup memerlukan waktu
sehari dua hari. Namun sebenarnya sebagian besar dari dasar-dasarnya,
dan persiapan- persiapan jasmaniah telah kau miliki. Karena itu, kau
tinggal harus bekerja tidak lebih dari sebulan dua bulan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Waktu itu tidak terlalu lama. Perjalanan yang ditempuhnya
itu pun telah memakan waktu lebih dari sebulan. Dan kalau ia harus
bekerja keras sebulan dua bulan lagi, maka waktu itu tak akan berarti
baginya dibandingkan dengan waktu yang panjang yang terbentang di
hadapannya.
Dan berkata pulalah gurunya, “Agni. Ilmu
yang akan kauterima adalah ilmu yang harus kau tekuni untuk seterusnya.
Ilmu itu tidak sekaligus menjadi sempurna. Aku hanya akan memberikan
beberapa petunjuk dan membuka pintu saja bagimu. Seterusnya terserah
kepadamu sendiri.”
Gurunya berhenti sebentar, seakan-akan
menunggu kata-kata itu dicernakan oleh muridnya. Kemudian sambungnya,
“Anakku. Ilmu itu aku terima dari guruku dengan sebuah nama yang dibuat
oleh guruku sendiri. Nama ilmu itu tidak penting bagimu. Yang penting
adalah isi dan pengamalannya. Aku terima ilmu itu dengan nama Gundala
Sasra. Nah, sebaiknya kau sebut juga nama ilmu itu dengan nama Gundala
Sasra.”
Dada Mahisa menjadi berdebar-debar
mendengar nama itu. Gundala Sasra. Nama itu tidak, segarang nama-nama
ilmu yang pernah didengarnya. Bajra Pati, Guntur Geni, Sapu jagat, dan
lain-lainnya. Nama-nama yang pernah didengarnya dari gurunya itu pula,
sebagai senjata-senjata pamungkas dari beberapa orang sakti. Memang
sejak ia mendengar nama-nama ilmu itu, terbelit pula pertanyaan di
dalam dadanya, apakah gurunya sendiri tidak memiliki aji yang dapat
dibanggakan? Namun ia tidak pernah berani menanyakannya. Mungkin
gurunya tidak akan senang mendengar pertanyaan itu. Apalagi seandainya
gurunya itu benar-benar tidak memilikinya. Tetapi kini ternyata
pertanyaan itu telah terjawab. Gurunya pun memiliki ilmu yang
disimpannya baik-baik. Dan ilmu itu bernama Gundala Sasra, yang kini
akan diturunkannya kepadanya. Karena itu dengan penuh harapan ia
menyambut kata-kata gurunya itu. Bahkan telah dibayangkannya, bahwa ia
harus memeras tenaga, mesu diri untuk mendapatkan jalan menerima
kesaktian gurunya.
Yang didengarnya kemudian gurunya itu
berkata, “Mahisa Agni, namun ilmu harus kau terima dengan kerja dan
usaha. Aku tidak dapat meniup tengkukmu, dan kemudian ilmu ini telah
meresap dengan sendirinya ke dalam tubuhmu. Atau mengusap ubun-ubunmu
atau menghembus hidungmu. Namun aku sendirilah yang harus menempatkan
dirimu dalam keadaan yang memungkinkan bagimu untuk menerima ilmu ini.”
Kembali gurunya itu berhenti sesaat.
Sedang dada Mahisa Agni pun menjadi semakin berdebar-debar. Dan
didengarnya gurunya itu berkata pula, “Agni. Marilah kita hidup di
tengah-tengah hutan ini untuk beberapa lama, supaya kau leluasa
memperkembangkan dirimu dalam ilmu yang akan kau terima. Prihatin dan
mesu diri, menguasai tindak tanduk dan angan-angan adalah sumber dari
kekuatan ilmu ini. Namun kita manusia hanya dapat berusaha, sedang
ketentuan terakhir adalah di tangan Yang Maha Agung. Karena itu jangan
menyesal apabila kekuatan ilmu itu tidak seperti apa yang kau harapkan,
namun jangan sombong dan takabur apabila ilmumu akan berkembang
menjadi ilmu yang dahsyat. Sedahsyat seribu guntur yang menyala di
langit.”
Debar di dada Mahisa Agni menjadi semakin
bergelora. Kini titik-titik keringatnya menetes satu-satu dari
keningnya. Apa yang harus dihadapinya ternyata tidak lebih ringan dari
perjalanannya yang telah dilakukannya. Meskipun demikian, dihadapinya
masa-masa yang berat itu dengan penuh tekad. Dengan penuh gairah,
segairah pada saat ia berangkat untuk menemukan akar wregu putih itu.
Ternyata yang akan didapatnya bukan khasiat dari akar wregu itu, namun
ilmu yang tak akan kalah dahsyatnya.
Ternyata Empu Purwa tidak menyia-nyiakan
waktu. Setelah ia memberi kesempatan Mahisa Agni berburu sesaat dan
mendapatkan makanan secukupnya setelah berhari-hari ia menahan lapar,
maka Empu Purwa segera mulai dengan pekerjaannya, mengolah Mahisa Agni
untuk dapat mewarisi ilmunya.
Yang dilakukan oleh Empu Purwa adalah
membuka setiap kemungkinan pada setiap urat dan syaraf di dalam tubuh
Mahisa Agni. Dihilangkannya setiap simpul-simpul yang dapat mengganggu
mengalirnya kekuatan-kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan-kekuatan yang
tersimpan dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi.
Dan sejak hari itu, mulailah Agni
melewati hari-hari yang maha berat. Setiap hari, bahkan siang dan
malam. Dipelajarinya beberapa unsur-unsur gerak pokok. Dan dilatihnya
untuk dapat menguasai tubuhnya dengan baik. Dilatihnya untuk dapat
mengenal, memerintah menurut kehendak setiap gumpal daging di dalam
tubuhnya. Dilatihnya untuk dapat merasakan setiap titik darah yang
mengalir di dalam nadinya dan dilatihnya untuk mengatur setiap tarikan
nafas di dalam dadanya. Dan ternyatalah bahwa sejak lama Empu Purwa
telah menyiapkannya untuk pada suatu saat akan mengalami masa-masa yang
amat berat ini. Karena itu, maka betapapun beratnya, namun jasmaniah
dan rohaniah Mahisa Agni telah masak untuk melakukannya.
Namun bukan masalah lahiriah yang paling
berat harus diatasinya. Sebagai seorang manusia yang mendapatkan
kekuatan-kekuatan dari sumbernya, maka setiap hasrat dan angan-angannya
pun harus dikuasainya pula. Ditekuninya dirinya dalam setiap tindak
tanduk dan perbuatan, ditekuninya pula setiap pikiran, perasaan dan
angan-angan. Dipanjatkannya setiap hakikat dari gerak rohaniahnya,
melambung tinggi mencapai inti dari hidup dan kehidupan. Terpisahnya
dan terpadunya dunia yang besar di luar dirinya dengan dunia yang
sempit di dalam dirinya. Sehingga terbenamlah Mahisa Agni dalam suatu
perjuangan, untuk menemukan keserasian gerak timbal balik dalam
hubungan antara dirinya dan sumbernya, antara dirinya dengan wadaknya
dan wadak yang tergelar di sekitarnya.
Sebenarnya apa yang dilakukan Mahisa Agni
sangat beratnya. Namun Mahisa Agni mampu untuk melakukannya. Menerima
ilmu gurunya itu ternyata tidak semudah seperti dongeng-dongeng yang
pernah didengarnya. Seorang murid menundukkan kepalanya, kemudian
dengan meniup ubun-ubunannya maka menjalarlah ilmu itu lewat hembusan
gurunya dan hadir di dalam diri murid itu. Ternyata yang dilakukan
adalah jauh lebih berat daripada itu. Ia harus bekerja keras siang dan
malam. Menirukan unsur-unsur gerak yang baru dan memahami sampai ke
tujuan dan alasan-alasan gerak itu. Mempelajari segenap guratan-guratan
di dalam tubuhnya, urat darah dan nadi, urat-urat daging dan segala
macam unsur penggerak, unsur penguat dan unsur perangsangnya.
Dan ternyata pula apa yang pernah
dimiliki, kekuatan-kekuatan di sisi-sisi telapak tangannya, hanyalah
sekedar kekuatan lahiriah yang sangat kecil dibandingkan dengan
ungkapan-ungkapan kekuatan yang tersimpan dalam-dalam di dalam dirinya.
Demikianlah, maka di dalam hutan di kaki
Gunung Semeru itu telah terjadi suatu peristiwa yang penting bagi
perguruan Panawijen. Di balik dinding-dinding yang seakan-akan
membatasi daerah itu, dengan pohon-pohonnya yang lebat, Mahisa Agni
sedang berjuang untuk menampakkan dirinya pada keadaan yang
memungkinkan baginya, untuk menerima ilmu gurunya.
Sehari dua hari, seminggu dua minggu dan
lambat laun, terasalah beberapa perubahan di dalam diri Mahisa Agni
itu. Setelah dengan penuh tekad ia berusaha di bawah tuntunan gurunya,
maka akhirnya ditemukannya juga dasar-dasar yang dalam dari ilmu itu.
Gundala Sasra.
Pada taraf terakhir dari masa
penempaannya itu, Mahisa Agni benar-benar memeras segenap tenaga yang
mungkin di dalam tubuhnya. Setelah segenap petunjuk, tuntunan dan
latihan-latihan dengan gurunya dilakukan, maka akhirnya Mahisa Agni pun
sampai pada taraf menunjukkan hasil perjuangannya. Hasil perjuangan
yang memiliki nilai kembar yang saling bersangkut paut. Apa yang
dicapainya adalah hasil hubungannya timbal balik dengan sumbernya.
Cinta kasih yang memancar dari Sumbernya yang telah dapat dihayatinya,
dan kemudian terpancarlah cinta kasih dari dalam dirinya, dalam
kesetiaan dan pengabdiannya, maka Yang Maha Agung telah mengizinkannya,
mengungkapkan semua kekuatan-kekuatan yang memang dianugerahkan dalam
dirinya untuk melakukan hubungan timbal balik yang kedua dengan
sesamanya. Hubungan cinta kasih antara sesama titah dalam pengamalan
ilmunya.
Sehingga akhirnya sampailah saatnya kini
Mahisa Agni diliputi oleh getaran-getaran yang terakhir dari penerapan
ilmunya itu. Getaran-getaran yang seakan-akan menusuk-nusuk tubuhnya
dari segenap arah. Seakan-akan dunia ini pun kemudian ikut bergetar
pula dalam suatu gerak yang beraneka warna. Getaran-getaran yang kasar,
yang halus, yang tajam dan dalam segala bentuk. Kemudian menyusullah
getaran-getaran yang seakan-akan mengguncang-guncang tubuhnya. Seperti
gempa yang melandanya bertubi-tubi. Namun Mahisa Agni sadar, bahwa ia
harus menyelesaikan taraf yang terakhir ini. Karena itu dengan
memejamkan matanya ia duduk bersila. Kedua tangannya bersilang dan
telapak-telapak tangannya terletak di kedua pundaknya yang berlawanan.
Dengan sepenuh tenaga lahir dan batin Mahisa Agni menghayati masa-masa
terakhir itu.
Getaran-getaran itu pun semakin lama
menjadi semakin terasa, dan bahkan kemudian, meskipun Agni telah
memejamkan matanya, namun seolah-olah dilihatnya dunia ini dengan
jelasnya. Semua warna yang ada, berputar-putar di dalam rongga matanya.
Hijau, merah, hitam, kuning, ungu, biru dan segala macam warna. Namun
itu sendiri tidak membawa arti apapun bagi Mahisa Agni. Yang kemudian
dilihatnya adalah watak dari warna-warna seakan-akan wajah-wajah yang
bengis, pucat, licik, suram dan segala macam. Namun akhirnya
warna-warna itu berputaran dalam satu pusat. Bercampur baur menjadi
satu. Segala macam warna dengan wataknya masing-masing. Semakin lama
semakin cepat semakin cepat. Dan akhirnya luluhlah segala warna itu
menjadi warna yang tunggal. Putih.
Warna putih itu pun berputar dengan
cepatnya, Semakin lama menjadi semakin cepat. Dan seakan-akan dari
pusat warna itu memancarlah cahaya yang terang semakin terang semakin
terang. Akhirnya warna itu pun menjadi gemerlapan. Di dalam warna yang
terang itulah Mahisa Agni seolah-olah melihat dirinya sendiri. Betapa
lemahnya dirinya. Hanyut dalam pusaran warna yang putih dan gemerlap
itu. Semakin cepat semakin cepat. Namun Agni yang berputar itu pun
telah berusaha untuk menahan dirinya. Dengan segala usaha akhirnya
gambaran dirinya yang berputar itu pun semakin dapat menguasai
keadaannya. Sehingga akhirnya Agni itu pun kemudian berhasil tegak di
atas kedua kakinya. Tegak dalam pancaran cahaya yang putih. Sehingga
putaran cahaya yang putih itu pun menjadi semakin lambat, semakin
lambat. Namun demikian cahaya itu berhenti, kembali tampak segala macam
warna seolah-olah melanda warna yang putih itu. Namun cahaya yang
memancar dari dalam diri Agni itu pun kemudian berhasil mengusirnya.
Kini dilihatnya bayangan dirinya itu
membentangkan tangannya. Kemudian bersilang di muka dadanya sudut
menyudut, kedua telapak tangannya terbuka dengan keempat jarinya
merapat tegak. Dan dengan satu loncatan maju bayangan itu telah
mengayunkan tangannya. Betapa dahsyat akibatnya. Seolah-olah angin Yang
Maha Dahsyat melanda dirinya. Demikian dahsyatnya sehingga kepala
Mahisa Agni itu serasa berputar dalam saat-saat yang terakhir itu,
dunia telah menjadi gelap semakin gelap. Dan tubuh Mahisa Agni yang
lemah itu pun kemudian terjatuh di tanah.
Gurunya, yang duduk di belakang Mahisa
Agni, melihat perkembangan keadaan muridnya dengan tegang. Namun terasa
olehnya, bahwa muridnya telah berhasil memusatkan segenap panca
inderanya dalam satu karya. Bergabungnya segenap kekuatan, dan
terungkitnya kekuatan-kekuatan itu, telah membebani muridnya dengan
keadaan yang sangat berat. Demikian beratnya, sehingga akhirnya Mahisa
Agni itu menjadi seolah-olah pingsan. Namun itu adalah pertanda, bahwa
muridnya telah berhasil membuka hatinya dalam satu pemusatan pikiran
yang akan dapat melandasi ilmu Gundala Sasra dalam pelaksanaannya.
BAGIAN II – Bunga Kembang Di Angin Kencang
Ketika Matahari menjenguk dari punggung
cakrawala di timur, maka warna-warna yang kelam di dalam hutan di kaki
Gunung Semeru itu pun menjadi cair pula karenanya.
Mahisa Agni perlahan-lahan menggeliat.
Kemudian memandang berkeliling. Dilihatnya gurunya duduk menunggunya
seperti seorang yang sedang bersemadi. Namun ketika dilihatnya Mahisa
Agni terbangun maka orang tua itu pun kemudian tersenyum.
“Tidur yang nyenyak, Agni. Apakah kau bermimpi?”
Mahisa Agni pun tersenyum pula.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di muka gurunya. Diamat-amatinya
tubuhnya seperti ada sesuatu yang tidak dikenalnya pada dirinya. Namun
demikian, sebelum ia bertanya kepada gurunya, dicobanya untuk
mengetahuinya sendiri, perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi
pada dirinya itu. Tubuhnya kini terasa betapa segar dan ringan.
Darahnya yang hangat serta detak jantungnya, tarikan nafasnya dan
simpul-simpul sarafnya seakan-akan menjadi semakin teratur dan
dikenalnya dengan sempurna.
Ketika kemudian dikenangnya apa yang
telah terjadi kemarin, maka segera disadarinya, bahwa pasti ada
perubahan di dalam dirinya itu.
Empu Purwa itu melihat betapa muridnya
menjadi heran atas keadaan diri. Karena itu maka katanya, “Agni, adakah
sesuatu yang lain kau rasakan dalam dirimu?”
“Ya, Guru,” jawab Mahisa Agni.
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dirabanya tubuh muridnya. Dipijatnya setiap simpul-simpul
syaraf dan nadinya pada punggung dan tengkuk muridnya. Sebagai seorang
yang telah mengenal setiap simpul-simpul tubuh manusia, maka segera
Empu Purwa mengetahui, bahwa tubuh Mahisa Agni pun telah terbuka. Maka
katanya, “Agni, apakah yang terjadi pada dirimu?”
Mahisa Agni mencoba mengingat semua
peristiwa yang tampak olehnya dalam pemusatan pikiran, perasaan dan
angan-angannya. Satu demi satu, sehingga akhirnya semuanya menjadi
gelap.
“Mahisa Agni,” berkata gurunya,
“peristiwa yang terjadi dalam dunia yang tak kasatmata itu, tidak sama
bagi setiap orang yang menjalani pemusatan pikiran, perasaan dan
angan-angan seperti yang kau lakukan. Semuanya itu tergantung atas
tanggapannya terhadap dunia besar dari dunia kecilnya. Juga sikap yang
kau lihat itu pun tergantung pada unsur-unsur gerak yang paling
merangsang dalam dirimu. Namun, adalah satu persamaan, bahwa kau telah
diizinkan oleh Yang Maha Agung, untuk menguasai cara-cara yang
se-baik-baiknya untuk mengungkapkan setiap kekuatan di dalam tubuhmu.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir halus.
Sekali lagi ia mengucap syukur di dalam hatinya atas karunia itu Dan
karena itu maka betapa ia menjadi terharu. Dengan demikian, maka tak
sepatah pun yang dapat diucapkannya, karena kerongkongannya tiba-tiba
serasa tersumbat.
Apalagi ketika kemudian gurunya itu
berkata kepadanya, “Agni. Berdirilah. Lihatlah ke sekelilingmu. Dan
cobalah, apakah kau benar-benar mampu menyalurkan kekuatan-kekuatan di
dalam tubuhmu.”
Dada Mahisa Agni kini menjadi
berdebar-debar. Ditatapnya wajah gurunya seakan-akan minta penjelasan.
Sehingga kemudian gurunya itu pun berkata, “Berdirilah. Bersikaplah
menurut ungkapan indramu dalam unsur-unsur gerak yang paling merangsang
dalam dirimu. Salurkanlah kekuatan di dalam tubuhmu ke bagian-bagian
tubuh yang kau kehendaki. Niscaya kau akan berhasil.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun
berdiri. Meskipun dengan agak ragu-ragu, namun ia melangkah pula agak
menjauh. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Yang ada hanyalah
pokok-pokok kayu dan gumpalan-gumpalan batu padas yang
berbongkah-bongkah.
“Mulailah Agni,” berkata gurunya.
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Akan aku coba, Guru.”
Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri
tegak. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, diaturnya jalan
pernafasannya seperti yang telah dipelajarinya. Ketika terasa di dalam
dadanya getaran-getaran yang bergerak-gerak, maka dicobanya untuk
mengaturnya dan menyalurkannya ke telapak tangannya.
Tiba-tiba seakan-akan digerakkan oleh
tenaga yang tak dikenalnya, Mahisa Agni itu pun mengangkat kedua
tangannya, kemudian disilangkannya kedua tangannya itu di muka dadanya,
sedang keempat jari-jarinya tegak merapat. Satu kakinya pun kemudian
terangkat ke depan. Dan ketika getaran yang mengalir dari pusat dadanya
dan dari bagian-bagian tubuhnya yang lain seakan-akan telah mengendap
di telapak tangannya, maka Mahisa Agni itu pun meloncat maju. Dengan
telapak tangannya ia memukul sebongkah batu padas yang telah menjadi
kehitam-hitaman. Betapa dahsyat tenaganya. Batu itu pun seolah-olah
meledak dan pecah berserakan.
Mahisa Agni sendiri terkejut melihat
akibat dari pukulannya. Namun ketika ia berpaling kepada gurunya,
dilihatnya gurunya tersenyum.
“Bagus Agni,” berkata gurunya, “sekarang lepaskanlah kekuatan-kekuatan itu dan salurkan kembali ke tempatnya.”
—–
….maka Mahisa Agni itu pun meloncat maju. Dengan telapak tangannya ia memukul sebongkah batu padas yang telah menjadi kehitam-hitaman. Betapa dahsyat tenaganya. Batu itu pun seolah-olah meledak dan pecah berserakan.
—–
….maka Mahisa Agni itu pun meloncat maju. Dengan telapak tangannya ia memukul sebongkah batu padas yang telah menjadi kehitam-hitaman. Betapa dahsyat tenaganya. Batu itu pun seolah-olah meledak dan pecah berserakan.
—–
Mahisa Agni menarik nafas. Diangkatnya kedua tangannya merentang. Dan terasa otot-ototnya seakan-akan mengendur kembali.
“Kau harus melatihnya setiap kali Agni,”
berkata gurunya, “namun ingatlah bahwa ilmu itu, yang kau sebut untuk
seterusnya aji Gundala Sasra, bukan seperti permainan kanak-kanak yang
dapat kau pamerkan setiap saat. Tekunilah dan dalamilah. Namun aku akan
bergembira kalau kau tidak perlu mempergunakannya.”
Gurunya itu berhenti sesaat, kemudian
katanya pula, “Agni, kelak apabila ilmu itu telah mapan di dalam
tubuhmu, maka kau tidak akan memerlukan waktu lagi untuk melepaskannya.
Sesaat saja, setiap kau kehendaki. Namun mudah-mudahan itu tidak akan
terjadi.”
Mahisa Agni itu pun perlahan-lahan duduk
kembali. Betapa dadanya seakan-akan bergolak. Berbagai perasaan
merayap-rayap tak menentu. Bangga, gembira namun disadarinya pula
tanggung jawabnya atas ilmunya itu. Dan wajah Mahisa Agni pun tertunduk
karenanya.
Namun pekerjaannya yang berat kini telah
lampau. Masa pengasingan di hutan yang sepi itu pun telah lampau pula.
Karena itu, maka akan datang masa berikutnya, kembali ke Panawijen
dalam pergaulan antar manusia untuk mendapatkan kesempatan mengamalkan
ilmunya dengan wajar dan bertanggung jawab.
Matahari yang merayap di kaki langit itu
semakin lama menjadi semakin tinggi pula. Empu Purwa yang masih saja
duduk di atas batu padas itu pun kemudian berdiri. Diamatinya beberapa
coretan pisau di sebatang pokok kayu. Dihitungnya setiap goresan dan
kemudian katanya, “Empat puluh dua. Ya, kau telah tinggal di dalam
hutan ini selama empat puluh dua hari Agni, selain hari-hari yang
pernah kau tempuh untuk sampai ke tempat ini. Hari ini adalah hari yang
keempat puluh tiga.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Telah cukup lama ia meninggalkan padepokan Panawijen.
Meninggalkan sahabatnya Wiraprana. Ibunya dan gadis momongan ibunya,
Ken Dedes. Dan tiba-tiba tumbuhlah perasaan rindu kepada padukuhannya
itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni menunggu apa yang akan dikatakan
oleh gurunya. Ia mengharap bahwa gurunya itu akan membawanya pulang ke
padepokan.
Ternyata gurunya itu pun kemudian
berkata, “Mahisa Agni. Kita telah terlalu lama meninggalkan padepokan.
Karena itu, apabila telah memungkinkan, pulanglah kau ke Panawijen.
Padepokan itu telah hampir tiga bulan kesepian.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya,
jawabnya, “Guru. Aku sebenarnya memang telah rindu pada padukuhan itu.
Tetapi bukankah kita akan kembali bersama-sama?”
Empu Purwa menggeleng lemah. Katanya,
“Berjalanlah dahulu Agni. Aku masih akan singgah beberapa hari di
tempat sahabat-sahabatku yang telah lama tak pernah aku kunjungi.
Mumpung aku sampai di tempat ini pula. Namun tak ada soal yang penting.
Aku hanya akan sekedar mengunjunginya. Bukankah kau berani berjalan
sendiri?”
Mahisa Agni tersenyum mendengar pertanyaan gurunya. Empu Purwa itu tersenyum pula.
Hari itu adalah hari terakhir. Mahisa
Agni seolah-olah berada di dalam pengasingan. Bersama gurunya mereka
berdua pergi meninggalkan tempat itu. Tempat yang tak akan terlupakan
bagi Mahisa Agni. Tempat ia menerima anugerah yang tak ternilai
harganya bagi masa depannya.
Tetapi mereka berdua tidak seterusnya
berjalan bersama-sama. Gurunya itu pun kemudian memisahkan diri. Ia
masih ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya yang telah lama tidak pernah
ditemuinya.
Kini kembali Mahisa Agni berjalan seorang
diri. Ditempuhnya jalan yang hampir dua bulan yang lalu dilewatinya.
Menyusur tepi rawa-rawa ke arah timur.
Dan Mahisa Agni itu pun tidak takut lagi
bertemu dengan orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek.
Menggelikan sekali. Betapa ia tidak mengenal orang yang timpang itu.
Ia bergaul dengan gurunya hampir setiap saat. Namun dengan berjalan seakan-akan timpang ia telah menjadi pangling.
Kini Mahisa Agni dapat berjalan jauh
lebih cepat daripada saat ia datang. Jalan-jalan yang dilampauinya
seakan-akan telah dikenalnya baik-baik, sehingga ia tidak perlu lagi
bertanya-tanya kepada diri dan memilih-milih supaya tidak tersesat.
Karena itu, maka waktu yang diperlukannya pun jauh lebih pendek dari
waktu yang dipergunakannya dahulu.
Maka karena itu pula, Mahisa Agni sebelum
senja telah sampai ke padukuhan kecil yang dahulu dilewatinya pula.
Padukuhan yang oleh penduduknya disebut padukuhan Kajar. Tetapi ketika
Mahisa Agni sampai di ujung padukuhan, ia menjadi heran. Matahari masih
tampak di langit, walaupun sudah amat rendahnya, seakan-akan hinggap
di punggung gunung. Namun padukuhan itu tampaknya sudah terlalu sepi.
Tak seorang pun yang dapat ditemui oleh Mahisa Agni sebagaimana ia
melihatnya dahulu. Penduduk padukuhan kecil yang rajin itu kini
seakan-akan telah lenyap ditelan hantu. Rumah-rumah yang kecil di
padukuhan itu pun tampaknya tertutup rapat, seakan-akan menolak
kedatangannya.
Tetapi karena itu justru sangat menarik
perhatian Mahisa Agni. Dalam waktu hampir dua bulan ia tidak melihat
perubahan apapun di padukuhan kecil itu, namun perubahan suasananya
terasa sekali.
Mahisa Agni masih saja berjalan menyusuri
jalan berbatu-batu di tengah-tengah padukuhan itu. Ia menjadi
berdebar-debar ketika dilihatnya sebuah pondok kecil di tepi jalan itu.
Di dekat pondok itu dahulu ia bertanya kepada seorang tua yarg ramah.
Seorang tua yang berjanggut putih dan berambut putih.
“Apakah rumah itu rumah orang tua yang baik itu?” berpikir Mahisa Agni.
Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian katanya di dalam hati, “Ah, aku sama sekali tak bermaksud
jelek. Bukankah orang tua itu dahulu mengajak aku singgah ke rumahnya?”
Maka kemudian dengan ragu-ragu Mahisa
Agni memasuki regol halaman itu dan perlahan-lahan berjalan melintasi
beberapa pokok pohon samboja dan tempat-tempat sesaji, langsung menuju
ke pintu rumah. Perlahan-lahan pula Mahisa Agni mengetuk pintu rumah
itu. Sekali, dua kali bahkan sampai tiga kali, suara ketukannya tidak
mendapat sambutan. Namun telinga Mahisa Agni yang tajam mendengar
langkah orang di dalam rumah itu. Gemeresik dinding pintu dan nafas
orang di balik pintu itu.
“Ah, seseorang telah mengintip dari balik
pintu,” katanya di dalam hati. Karena itu ia tidak mengetuk lagi. Ia
menunggu, apakah kehadirannya akan diterima, atau tidak.
Sesaat kemudian ternyata pintu itu
terbuka. Benarlah dugaannya, rumah itu adalah rumah orang tua yang
dahulu pernah memberinya beberapa keterangan. Namun ia menjadi heran
ketika dengan tergesa-gesa orang itu bertanya, “Ngger, siapakah Angger
ini?”
“Aku Mahisa Agni, Bapak. Hampir dua bulan
yang lalu aku pernah lewat di padukuhan ini. Bukankah Bapak pernah
memberi aku beberapa petunjuk untuk mencapai rawa-rawa di sebelah
selatan?”
Orang tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, “Oh, ya. Aku ingat sekarang. Angger datang dari Gunung Kawi?”
Mahisa mengangguk sambil menjawab, “Ya, Bapak.”
“Marilah, marilah masuk,” ajak orang itu.
Dan sebelum Mahisa Agni menjawab, dengan serta-merta orang tua itu
menarik lengan Mahisa Agni. Mahisa Agni tidak menolak. Dan demikian ia
melangkah pintu, demikian orang tua itu dengan tergesa-gesa menutup
pintunya kembali.
Mahisa Agni pun menjadi semakin heran.
Seolah-olah di luar rumah itu sedang berkeliaran hantu-hantu, sehingga
orang tua itu menjadi ketakutan.
Dengan nafas yang terengah-engah seperti
orang baru saja berlomba lari orang itu mempersilakan Mahisa Agni duduk
di atas selembar tikar anyaman, “Silakan Ngger, silakan duduk.”
Mahisa Agni itu pun duduk pula.
Diletakkannya tongkat kayu serta bungkusannya. Dan dengan sebuah
anggukan Mahisa Agni menjawab, “Terima kasih, Bapak.”
“Ah,” desah orang tua itu, “hampir aku
melupakan Angger. Bukankah Angger pernah lewat di jalan di muka rumah
ini? Ah, Angger ternyata sekarang menjadi kurus. Jauh lebih kurus dari
saat Angger lewat dahulu.”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni
mengamat-amati tangannya. Memang ia menjadi bertambah kurus. Meskipun
demikian ia menjawab, “Tidak Bapak. Aku tidak menjadi kurus.”
Orang itu tertawa. Tetapi tampaklah
kegelisahan membayang di wajahnya. Namun demikian Mahisa Agni masih
belum menanyakan sesuatu kepadanya.
Orang tua itu pun kemudian pergi sesaat
ke belakang. Ketika ia kembali dibawanya dua bumbung legen.
Diserahkannya, “Marilah Ngger, barangkali Angger haus.”
Mahisa Agni menerima bumbung itu.
Alangkah segarnya setelah hampir tiga bulan tak pernah dihirupnya
minuman, selain air. Air dingin. Kini legen yang manis.
Namun kegelisahan orang tua itu ternyata
mempengaruhi perasaan Mahisa Agni. Ia pun menjadi gelisah pula. Apakah
kehadirannya itu tidak berkenan di hati orang tua itu. Atau ada sesuatu
yang lain. Karena, itu, akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menahan diri
lagi, sehingga kemudian katanya, “Bapak, alangkah sepi padukuhan ini.
Masih jauh menjelang senja, rumah-rumah sudah tertutup rapat. Di jalan
padukuhan ini, aku sudah tidak menjumpai seorang pun yang berjalan.
Jangan berjalan, di halaman pun tak aku lihat seseorang.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
Kemudian setelah berdiam diri beberapa saat ia menjawab, “Untunglah
Angger tak bertemu seseorang?”
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Karena itu ia menyahut, “Kenapa?”
Orang itu dengan gelisahnya memandangi
pintu rumahnya. Setelah sesaat ia berdiam diri, maka jawabnya
perlahan-lahan sekali seakan-akan ia sedang mengucapkan sebuah rahasia
yang tak boleh didengar oleh orang lain, katanya, “Padukuhan ini
sebenarnya tidak sesepi sekarang ini, Ngger.”
Mahisa Agni mengangguk. Memang pada saat
ia lewat dahulu, dilihatnya penduduknya yang rajin dan ramah.
Rumah-rumah terbuka lebar dan anak-anak bermain-main di halaman. Maka
didengarnya orang tua itu berkata selanjutnya, “Namun saat ini
padukuhan yang kecil ini sedang mengalami ketakutan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
sudah menyangka bahwa sesuatu yang tidak wajar pasti sudah terjadi.
Maka Mahisa Agni itu pun kemudian bertanya, “Apakah yang mencemaskan
penduduk padukuhan ini?”
“Terkutuklah anak itu!” desis orang tua
itu. Tetapi dengan cemasnya ia berkali-kali menatap daun pintu
leregnya. Katanya selanjutnya, “bersedihlah ibunya yang telah
melahirkannya dan menyesallah padukuhan ini, yang telah memberinya
kesempatan untuk dibesarkan. Karena akhirnya, terkutuklah anak itu.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni mendesak.
“Anak itu sebenarnya bukan anak yang
jahat,” sahut orang tua itu, “ia adalah salah satu dari anak-anak
keluarga padukuhan ini. Seperti anak-anak yang lain, ia adalah anak
yang rajin dan bekerja dengan tekun membantu orang tuanya. Tetapi
ketika ia menginjak umur sebelas dua belas tahun, anak itu dibawa oleh
pamannya ke rantau. Ternyata di sana bertemulah anak itu dengan seorang
guru. Terkutuk pulalah guru itu. Itulah sebabnya maka anak itu menjadi
jahat. Diajarinya oleh gurunya ilmu-ilmu yang kasar. Berkelahi dan
bertempur. Oh, alangkah jahatnya ilmu itu. Kenapa seseorang mesti
belajar berbuat hal-hal semacam itu. Kenapa seseorang mesti melatih
diri untuk berbuat kekasaran antara sesama.”
“Aku benar-benar tidak mengerti. Dan
beberapa orang ternyata telah melakukannya. Di antaranya anak itu. Dan
ia kemudian menjadi sakti pula karenanya. Dan kesaktiannya itulah yang
menjadikan anak itu seperti anak yang gila.”
Mahisa Agni mendengar kata demi kata itu
dengan wajah yang tunduk. Inilah salah satu contoh dari seorang anak
muda yang lepas kendali. Anak muda yang memiliki kesaktian, namun
kesaktiannya itu akhirnya telah menakut-nakuti orang di sekitarnya.
Tiba-tiba ia merasa bahwa ia telah dihadapkan pada satu cermin di mana
ia dapat melihat dirinya sendiri.
Dalam pada itu orang itu berkata
seterusnya, “Siang malam aku berdoa mudah-mudahan dilenyapkanlah
ilmu-ilmu semacam itu dari dunia ini, sehingga kami, orang-orang lemah
ini akan dapat menikmati hidup kami dengan tenteram.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia sadar bahwa kata-kata itu sama sekali tidak
ditunjukkannya kepadanya, namun ia merasa perlu juga untuk menjawab.
Katanya, “Bapak. Yang salah menurut hematku bukan ilmunya. Tetapi
karena ilmu itu dimiliki oleh seseorang, maka segala sesuatu tergantung
sekali kepada orang itu. Ia dapat memanfaatkan ilmunya untuk
tujuan-tujuan yang sebaliknya. Mempergunakan ilmunya untuk
tujuan-tujuan yang baik.”
“Apakah tujuan yang baik itu? Dapatkah tujuan yang baik itu dilandasi oleh kekerasan dan kekasaran semacam itu?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sebelum ia sempat menjawab, ia pun menjadi terkejut.
Seorang perempuan yang telah melampaui umur setengah abad, berlari
terjingkat-jingkat dari ruang dalam. Kemudian dengan cemasnya ia
berbisik, “Kiai, o Kiai, jangan sekali-kali menyebut-nyebut tentang
anak itu. Lihatlah, ia lewat di jalan di muka rumah kita. Aku telah
mengintipnya dari dapur.”
Orang tua itu pun tiba-tiba menjadi
pucat. Dengan gemetar ia merangkak ke dinding rumahnya. Setelah
ditemukannya sebuah lubang di antara anyaman dindingnya, maka ia pun
mengintip pula.
“Oh, apakah ia anak hantu?” desisnya.
“Jangan Kiai,” potong perempuan tua, yang
ternyata adalah istrinya, “ia tahu apa yang diucapkan oleh setiap
orang tentang dirinya.”
Orang itu masih mengintip dari lubang
dinding. Dan tiba-tiba Mahisa Agni pun ingin mengintip pula. Ia ingin
melihat orang yang telah menakut-nakuti seluruh padukuhan ini. Karena
itu pun segera Mahisa Agni mencari lubang pula di antara anyaman.
Dan sebenarnyalah, dilihatnya seorang
laki-laki lewat di jalan di muka rumah itu. Meskipun tidak begitu
jelas, namun Mahisa Agni dapat melihatnya, seorang anak muda yang
bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Namun ia tidak dapat mengenal
wajah anak muda itu dengan cermat.
“Oh, ampun,” tiba-tiba orang tua itu
berdesis. Mereka melihat orang yang mereka takuti itu berhenti di depan
regol halaman. Sesaat diamat-amatinya regol itu, kemudian
dilontarkannya pandangan matanya yang tajam itu ke pintu rumah. Mahisa
Agni yang ikut serta mengintip itu pun ikut berdebar-debar pula.
Didengarnya dengan jelas, nafas orang tua itu tersengal-sengal, bahkan
perempuan tua di belakangnya itu pun telah menjadi semakin pucat.
Tetapi orang tua itu kemudian menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda yang mereka takuti itu tidak
masuk ke halaman. Setelah ia berhenti dengan ragu-ragu, maka kemudian
anak muda itu meneruskan langkahnya menyusuri jalan-jalan padukuhan
tempat kelahirannya.
“Oh,” desis orang tua itu pula, “diselamatkannya kita oleh dewa-dewa.”
Meskipun demikian, seakan-akan ia masih
belum percaya pada penglihatannya, sehingga untuk beberapa lama masih
saja ia berjongkok mengintip. Baru setelah ia yakin, bahwa orang yang
mereka takuti itu telah pergi, maka beringsutlah orang tua itu dari
tempatnya, kembali duduk di atas tikar anyaman sambil mempersilakan
Mahisa Agni, “Duduklah, Ngger.”
Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali di
tempatnya. Dilihatnya laki-laki tua itu masih gelisah dan cemas. Namun
ia mencoba tersenyum. Katanya, “Sudahlah Nyai, pergilah ke dapur. Anak
itu telah pergi.”
Perempuan itu menyahut, “Jangan membicarakannya. Ia akan mendengarnya. Dan ia akan datang kemari.”
Laki-laki itu tidak menjawab.
Dipandanginya istrinya sampai di balik dinding. Kemudian setelah
istrinya itu tidak kelihatan lagi, maka katanya, “Semua orang menjadi
sedemikian ketakutan sampai orang tidak berani menyebut namanya.
Ternyata istriku juga dan aku agaknya akan menjadi takut pula.”
“Siapakah namanya,” tiba-tiba saja Mahisa Agni melontarkan pertanyaan itu.
Orang tua itu terkejut mendengar pertanyaan Mahisa Agni. Jawabnya, “Jangan bertanya namanya Angger.”
Mahisa Agni tersenyum. Dan orang itu
menjadi heran melihat senyum itu. Katanya, “Aku tidak sedang
berolok-olok, Ngger. Aku berkata sebenarnya.”
“Bapak tadi telah mengutuknya. Kalau ia
mengetahui setiap orang yang memerkarakan dirinya, kenapa ia tidak
singgah kemari dan mempersoalkannya?”
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mungkin Angger benar.”
“Aku pasti Bapak,” sahut Mahisa Agni, “ia tidak akan mendengar.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hampir saja ia menyebut nama itu, namun diurungkannya ketika
ia melihat istrinya datang untuk menyalakan, lampu minyak yang melekat
di dinding. Namun kemudian dengan selembar daun, nyala lampu itu pun
ditutupnya supaya tidak tampak terlalu terang dari luar.
Baru ketika perempuan itu telah pergi,
berkatalah orang tua itu, “Aku mengenalnya pada masa kanak-kanaknya
dengan nama Pasik. Tetapi kemudian nama itu diubahnya. Ketika ia datang
untuk pertama kalinya mengunjungi padukuhan ini sesudah berguru, maka
namanya berganti menjadi Waraha. Aku tidak tahu, mana yang lebih baik
namun Waraha benar-benar mempunyai kesan yang menakutkan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kesan nama itu benar-benar menakutkan. Dan bukanlah tanpa
maksud bagi Pasik untuk mengubah namanya. Perubahan nama itu telah
menunjukkan, nafsu yang tersembunyi pada anak itu. Nafsu untuk menang
dan nafsu untuk menguasai. Maka bertanyalah Mahisa Agni kemudian,
“Apakah yang kemudian dilakukan di tempat kelahirannya ini, sehingga
semua orang menjadi takut kepadanya?”
“Oh, benar-benar terkutuk anak itu!”
jawab laki-laki tua itu, “Setiap kali ia kehabisan uang, harta dan
benda, selalu ia datang ke rumahnya. Mula-mula ayahnyalah yang diperas
habis-habisan. Namun setelah ayahnya tidak memiliki apapun lagi, maka
menjalarlah kepada tetangga-tetangganya. Apa saja yang diinginnya,
diambilnya tanpa menghiraukan orang yang memilikinya. Perhiasan dan
kekayaan-kekayaan lain yang kami kumpulkan sedikit-sedikit dengan kerja
keras. Bahkan kemudian apabila diinginnya, sampai juga akhirnya pada
anak-anak gadis dan perempuan-perempuan yang telah bersuami sekali
pun.”
Mahisa Agni benar-benar tertarik pada
cerita itu. Karena itu maka katanya pula, “Tidak adakah seorang pun
yang dapat mencegah perbuatan itu?”
“Oh Ngger, Ngger. Ia adalah seorang yang
sakti. Dan ia tidak selalu datang sendiri. Pernah ia datang bertiga
dengan saudara-saudara seperguruannya. Dan bahkan kali ini ia datang
bersama-sama dengan gurunya.”
Orang tua itu berhenti sesaat. Sekali
lagi ia menatap pintu rumahnya, kemudian katanya melanjutkan
perlahan-lahan sekali, “Ayahnya sendiri hampir saja dibunuhnya, ketika
ayahnya itu mengutuknya. Kata ayahnya itu, kalau Pasik itu mati saja,
maka ayahnya akan menyembelih tiga ekor kambing sebagai ucapan terima
kasihnya. Tetapi ayahnya itu dipukulnya sambil berteriak, ‘Biarlah kau
mati dahulu tua bangka’. Dan ibunya pun pernah juga dicekiknya hampir
mati.”
Orang tua itu berhenti sejenak.
Sekali-kali ia berpaling ke arah pintu dengan cemasnya. Kemudian
katanya, “Ah. Sudahlah. Marilah kita berbicara tentang hal-hal yang
lain, yang dapat menggembirakan hati kita.”
“Baiklah, Bapak,” jawab Mahisa Agni,
“namun aku masih ingin bertanya sedikit tentang anak muda itu. Apakah
Pasik itu juga mengenal Bapak dengan baik?”
“Oh tentu, tentu,” jawab orang tua itu,
“ia mengenal aku seperti mengenal bapaknya sendiri pada masa
kanak-kanaknya. Ia adalah kawan bermain anak gadisku. Dan ibumu di sini
pun senang juga kepada anak itu dahulu. Apabila ia bermain-main
kemari, diberinya anak itu makanan dan dibuatkannya permainan-permainan
yang mengasihkan.”
“Sudah barang tentu sekarang tidak bukan bapak?” sela Mahisa Agni.
“Terkutuklah anak itu!” umpat orang tua
itu perlahan-lahan sekali, “Ibunya, ya ibunya sendiri pernah dicekiknya
hampir mati. Tetapi baik ayahnya maupun ibunya itu masih juga hidup
sampai sekarang.”
“Apakah yang sudah dilakukannya sejak ia pulang kali terakhir ini, Bapak?” bertanya Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng. “Belum ada,”
jawabnya, “dan karena kami selalu berdebar-debar. Ketika ia pulang yang
terakhir sebelum kali ini, diambilnya gadis anak tetangga sebelah
untuk seorang saudara seperguruannya. Ketika orang tuanya mencoba untuk
mencegahnya, maka orang itu diancamnya. Dan akhirnya tak seorang pun
yang mampu untuk mengurungkan niat itu.”
Cerita itu pun terhenti pula ketika
perempuan tua, istri laki-laki itu, masuk kembali sambil berbisik,
“Sudahlah, Kiai. Sudahlah. Jangan sebut-sebut lagi anak muda itu. Akan
celakalah nasib kita karenanya.”
Laki-laki tua itu menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Baik, baiklah, Nyai. Aku memang sudah akan
berhenti bercerita, namun Angger Agni ini masih bertanya pula.”
Perempuan tua itu memandang wajah Mahisa
Agni. Dari matanya memancar suatu permintaan, seakan-akan berkata,
“Sudahlah Ngger, jangan bertanya tentang anak itu lagi.”
Mahisa Agni pun memaklumi permintaan itu.
Dan ia pun menjadi iba juga kepada perempuan yang ketakutan itu.
Karena itu maka ia tidak bertanya-tanya lagi. Dan laki-laki tua itu pun
tidak bercerita lagi tentang anak muda yang menakutkan itu.
Kini laki-laki itu mulai bercerita
tentang anak perempuannya. Anak yang diperistri oleh tetangga sebelah.
Oleh kakak dari gadis yang dilarikan Pasik.
“Mudah-mudahan anak itu menjadi bahagia,”
desahnya, “dan mudah-mudahan anak itu tidak diganggu oleh anak muda
yang durhaka itu, atau oleh saudara-saudara seperguruannya.”
“Sst!” desis istrinya, “Kiai sudah akan mulai lagi?”
“Oh, tidak, tidak,” sahutnya cepat-cepat.
Dan sesaat orang itu berdiam diri. Istrinya pun tidak berkata-kata pula. Dengan demikian maka ruang itu menjadi sepi.
Namun betapa terkejutnya mereka itu
bertiga, lebih-lebih lagi laki-laki tua beserta istrinya, ketika
tiba-tiba didengarnya di muka pintu rumahnya suara tertawa
perlahan-lahan, namun terasa getarannya memukul-mukul dada. Suara
tertawa itu seolah-olah menyusup ke dalam rumah kecil itu dan
melingkar-lingkar bergelombang.
“Mati aku!” desis laki-laki tua itu.
Sedang istrinya tiba-tiba saja menjadi
gemetar seperti orang kedinginan. Terbata-bata ia berkata,” Oh Kiai,
Kiai, kau telah membunuh diri dan membunuh seluruh keluarga kita. Aku
sudah bilang, jangan kau memperkatakannya.”
Laki-laki itu pun menjadi gemetar. Mulutnya seakan-akan tersumbat.
Ketika didengarnya pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, perempuan tua itu dengan lemahnya terduduk d ilantai sambil gemetar.
“Selamat sore Kiai,” terdengar sapa halus
di belakang pintu rumah itu. Namun suami istri itu benar-benar seperti
orang yang kehilangan tenaga.
“Kiai,” sekali lagi terdengar suara di belakang pintu, “bukalah!”
Laki-laki tua itu masih terduduk di tempatnya. Mulutnya bergerak-gerak tetapi suaranya tak terdengar.
“Bukalah, Kiai!” suara di luar menjadi
semakin keras. Dan orang tua itu pun terkejut. Jawabnya terbata-bata,”
Ya, ya Ngger. Ya. Ya aku buka.”
Namun ia masih belum bergerak juga.
Tiba-tiba terdengarlah pintu rumah itu
berderak. Dan sebelum orang tua itu membuka pintunya, maka pintu rumah
itu pun telah terbuka. Ternyata orang yang berdiri di luar rumah itu
sama sekali tidak sabar lagi menunggu laki-laki itu membuka pintunya,
Mahisa Agni pun menggeser duduknya pula
menghadap pintu. Karena itu dilihatnya dalam cahaya lampu yang
remang-remang seorang anak muda yang gagah masuk ke dalam rumah itu.
“Selamat sore, Kiai,” sapanya sambil membungkukkan kepalanya.
Suami istri itu benar-benar telah menjadi
gemetar. Meskipun demikian laki-laki itu menjawab dengan kata-kata
yang parau dan bergetar, “Selamat malam Ngger, selamat sore.”
Anak muda itu tersenyum. Diraihnya
selembar daun yang menutup cahaya lampu minyak di dinding. Karena itu
maka ruangan itu pun menjadi semakin terang.
Kini Mahisa Agni dapat melihat anak muda
itu dengan jelas. Dilihatnya setiap garis di wajahnya. Wajah yang
keras, namun tidak sedemikian bengis seperti yang disangkanya. Bahkan
anak itu kelihatan tampan pula. Dengan tersenyum ia maju beberapa
langkah dan kemudian ikut duduk pula di antara mereka.
Kemudian anak muda yang mengubah namanya
sendiri menjadi Waraha itu tersenyum. Katanya, “Ah, sudah lama aku
tidak berkunjung kemari Kiai.”
Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Namun ia menjawab pula, “Ya, ya Ngger.”
Anak muda itu tertawa. Katanya, “Tetapi Kiai dan Nyai ternyata awet muda.”
Laki-laki tua itu pun mencoba untuk
tertawa. Namun tampaklah betapa masamnya. Dan wajah-wajah yang pucat
itu menjadi semakin pucat ketika anak muda itu berkata, “Ah. Ternyata
Kiai dan Nyai selama ini tidak pernah melupakan aku. Setiap pembicaraan
Kiai selalu masih menyebut-nyebut namaku.”
Kata-kata itu seolah-olah ledakan petir
di atas rumah yang kecil itu. Laki-laki tua dan istrinya menjadi
semakin menggigil karenanya, sehingga mereka tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun lagi.
Anak muda itu kemudian memandang
berkeliling ruangan itu. Ketika matanya hinggap di wajah Mahisa Agni,
maka anak muda itu tersenyum. Dengan ramah ia bertanya kepada laki-laki
tua itu, “Kiai, siapakah tamu Kiai ini?”
Laki-laki itu terkejut. Sesat ia menjadi bingung, namun kemudian ia menjawab, “Mahisa Agni Ngger, namanya Mahisa Agni.”
Pasik yang menamakan diri Waraha itu mengangkat alisnya. Katanya, “Nama yang baik. Mahisa Agni.”
Kemudian kepada Mahisa Agni ia bertanya, “Ki Sanak. Dari manakah Ki Sanak datang?”
Mahisa Agni menjadi heran. Anak muda ini tampaknya cukup sopan. Karena itu ia menjawab dengan sopan pula.
“Aku datang dari Gunung Kawi, Ki Sanak.”
Waraha mengernyitkan alisnya. Kemudian katanya, “Jauh sekali. Apakah keperluan Ki Sanak?”
“Aku adalah seorang perantau,” sahut Mahisa Agni.
Anak muda itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ditatapnya bungkusan Mahisa
Agni di samping tongkat kayunya. Katanya pula, “Ya. aku percaya kalau
Ki Sanak seorang perantau. Apakah yang Ki sanak simpan di dalam
bungkusan itu?”
“Oh,” desah Agni, “bukan apa-apa. Hanya sekedar kain usang.”
Laki-laki muda yang gagah itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan sopan pula ia berkata,
“Apakah aku boleh melihatnya?”
Mahisa Agni menjadi terkejut dan heran.
Anak muda itu mengucapkan kata-katanya dengan sopan, namun apa yang
akan dilakukan benar-benar bukan suatu pekerjaan yang sopan. Kini
tahulah Mahisa Agni, bahwa anak muda itu melakukan perbuatan-perbuatan
yang menakutkan penduduk Kajar dengan tingkah laku yang sopan
dibuat-buat. Karena itu Mahisa Agni menjawab, “Tak ada apa-apa di
dalamnya, Ki Sanak.”
Waraha tersenyum. Ia tidak berbicara
lagi. Beberapa langkah ia berjalan sambil berjongkok, dan dengan
sopannya ia berkata kepada laki-laki tua itu, “Maafkan aku Kiai.”
Dan sebelum Mahisa Agni dapat mencegahnya, Waraha telah meraih bungkusannya.
Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas.
Namun ia harus memperhatikan setiap perbuatan Pasik. Karena itu, Mahisa
Agni itu pun kemudian bergeser beberapa cengkang, mendekati Pasik yang
asyik membuka bungkusannya itu.
Anak muda itu terkejut ketika di dalam bungkusan itu dilihatnya sebilah keris.
“Ah,” katanya, “keris yang bagus.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Keris
itu adalah keris pusaka peninggalan ayahnya dan dibuat oleh pamannya.
Meskipun demikian masih dibiarkannya Pasik mengamat-amati keris itu.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Pasik itu bergumam, “Keris yang bagus. Bagus sekali. Dari manakah kau
dapat keris ini Ki Sanak?”
Mahisa Agni mengangkat keningnya jawabnya, “Aku menerimanya dari Ayah, Ki Sanak.”
“Apakah kau seorang yang ahli mempergunakan senjata, khususnya keris?”
Mahisa Agni cepat-cepat menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Keris pusaka. Aku bawa ke mana saja aku pergi.
Mudah-mudahan keris itu dapat memberi aku keselamatan.”
Waraha itu tiba-tiba tertawa. Katanya,
“Ah kau aneh Ki Sanak. Apakah kerismu ini juga dapat memberimu
keselamatan? Kau agaknya kurang dapat memahami kata-kata itu. Keris ini
akan dapat memberi keselamatan apabila kau mampu mempergunakannya.
Apakah kau mampu bertempur dengan keris?”
Mahisa Agni menggeleng pula. Jawabnya, “Mudah-mudahan keris itu bermanfaat bagiku.”
Pasik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba ia berkata menyentak, “Hai perantau. Apakah kau seorang
petualang yang sakti?”
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba ia
melihat Waraha menarik kerisnya dari wrangkanya. Ujung keris itu
tiba-tiba telah terayun ke dadanya.
Mahisa Agni itu pun kemudian bergeser
surut. Ia tidak mau membuat perselisihan sejauh mungkin. Karena itu ia
menjawab, “Jangan Ki Sanak, jangan.”
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula.
Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali
lagi ia berkata, “Ayo, lawanlah!”
Mahisa Agni pun bergeser pula mundur. Katanya, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”
Tiba-tiba Waraha itu tertawa. Tertawa
sepuas-puasnya. Katanya, “Hem. Sebaiknya kau tidak usah membawa
senjata. Senjata ini akan berbahaya bagimu sendiri seandainya kau tidak
mampu mempergunakannya.”
Mahisa Agni itu pun menjadi heran. Apakah
maksud Waraha dengan kata-katanya. Tetapi ia tidak boleh lengah.
Ketika ia berpaling ke arah sepasang orang-orang tua itu, maka Mahisa
Agni menjadi iba. Keduanya telah menggigil seperti orang kedinginan.
Demikian takutnya sehingga perempuan tua itu berpegangan suaminya
erat-erat.
Waraha itu pun kemudian menyarungkan
keris itu ke dalam wrangkanya. Kemudian dengan rapi keris itu
dikembalikan ke dalam bungkusannya pula. Dan kini kembali wajah Pasik
itu menjadi jernih. Dengan sopan ia berkata, “Ki Sanak. Ternyata keris
itu sedemikian bagusnya. Aku belum pernah melihat keris sebagus itu.
Apakah Ki Sanak benar-benar memerlukannya?”
“Tentu, tentu,” sahut Mahisa Agni
cepat-cepat, “keris itu adalah pusaka peninggalan ayahku. Dan keris itu
akan dapat memberi aku ketenangan.”
Waraha itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dipandangnya wajah Mahisa Agni yang tunduk. Ketika
Waraha itu berpaling ke arah laki-laki tua dan istrinya, ia tertawa.
Katanya, “Maafkan aku Kiai dan Nyai. Aku tidak ingin menakut-nakuti
kalian. Aku hanya bermain-main saja.” Dan tiba-tiba kepada Mahisa Agni
ia berkata, “Ki Sanak. Aku ingin kerismu itu.”
Mahisa Agni sudah menyangka bahwa Pasik
itu menginginkan kerisnya. Karena itu ia tidak terkejut. Meskipun
demikian ia menjawab, “Jangan Ki Sanak. Keris itu keris pusaka.”
—–
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, “Ayo, lawanlah!”
Mahisa Agni bergeser pula mundur Katanya, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”
—–
Namun Waraha itu pun beringsut maju pula. Kerisnya masih terarah ke dada Mahisa Agni. Sambil membentak sekali lagi ia berkata, “Ayo, lawanlah!”
Mahisa Agni bergeser pula mundur Katanya, “Jangan Ki Sanak. Jangan.”
—–
Waraha tertawa. Sekali lagi ia memandang
ke wajah laki-laki tua dan istrinya. Katanya, “Jangan takut, Kiai. Aku
tidak akan berbuat apa-apa. Aku sebenarnya hanya ingin berkunjung saja.
Bukankah Kiai dan Nyai telah banyak berbuat kebaikan kepadaku?”
Laki-laki tua itu mengangguk-angguk
kosong. Dari mulutnya terloncat kata-kata, satu-satu, “Ya Ngger. Terima
kasih, terima kasih.”
“Kenapa terima kasih?” bertanya anak muda itu.
Orang tua itu menjadi bingung, sedemikian
bingungnya sehingga ia menjawab, “Terima kasih Ngger, karena Angger
tidak akan berbuat apa-apa.”
“He?” jawab Pasik, “Apakah aku selalu
mengganggu orang? Sehingga apabila aku tidak berbuat demikian, maka itu
dapat dianggap suatu kebaikan?”
Orang tua itu menjadi semakin bingung. Terbata-bata ia menjawab, “Tidak, tidak. Maksudku tidak sedemikian.”
Pasik itu tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Semakin lama
semakin tampaklah bahwa kesopanan yang berlebih-lebihan itu adalah
dibuat-buatnya saja. Ternyata apa yang dilakukan semakin menjadi kasar
dan memuakkan.
Kepada Mahisa Agni kemudian anak muda itu
berkata, “Anak muda. Aku ingin kerismu itu. Besok kau harus
menyerahkannya kepadaku di rumahku. Ingat besok. Aku tidak akan
merampas keris itu di sini supaya aku tidak menakut-nakuti penghuni
rumah yang baik ini, meskipun sekarang sudah menganggap aku sebagai
anak durhaka, seperti orang seluruh padukuhan ini menganggap aku
demikian pula. Tetapi tak apa. Aku dapat hidup tanpa orang-orang di
padukuhan ini. Nah, ingat. Besok pagi. Jangan mencoba melarikan diri
malam nanti. Sebab nyawamu pasti akan melayang.”
Mahisa Agni itu pun mencoba bertanya, “Kenapa aku mesti menyerahkan keris ini kepada Ki Sanak.”
Pasik mencibirkan bibirnya. “Jangan
banyak bertanya,” jawabnya, “Malanglah kau, karena kau telah bertemu
dengan aku. Nah kini aku akan pergi.”
Ketika Mahisa Agni akan berkata sesuatu,
maka Pasik itu segera membentaknya, “Jangan bertanya dan berkata
apapun! Kau hanya dapat melakukan. Datanglah besok ke rumahku. Serahkan
keris itu kepadaku. Aku juga sedang menunggu beberapa orang yang akan
memberi aku bekal perjalanan dua tiga hari yang akan datang. Mereka
adalah sahabatku yang baik, yang dapat mengerti keadaanku.”
Dan Mahisa Agni pun kemudian tidak
berkata-kata pula. Dan bahkan timbullah keinginannya untuk melihat
rumah Pasik besok dan melihat apa saja yang akan dilakukannya dan siapa
sajakah yang besok harus datang pula ke rumahnya.
Pasik itu pun kemudian berdiri. Namun ia
tidak segera pergi. Dilepaskannya ikat pinggangnya beserta timang perak
murni yang berkilat-kilat kena sinar lampu minyak. Heranlah Mahisa
Agni ketika Pasik itu memberikan timang itu kepada orang tua penghuni
rumah itu. Katanya, “Ah, Barangkali aku perlu memberikan sesuatu kepada
Kiai. Bukan apa-apa, hanya sekedar tanda mata, supaya untuk seterusnya
Kiai tidak melupakan aku, anak nakal yang pernah menerima kebaikan
hati dari Kiai berdua.”
Orang tua itu pun menjadi tercengang.
Karena itu untuk sesaat ia diam memasung. Dipandangnya Pasik dengan
mata tak berkedip. Sehingga Pasik itu menyerahkannya sekali lagi,
“Inilah Kiai, terimalah tanda mata yang tak berarti.”
Seperti kena pukau, maka orang tua itu pun berdiri. Selangkah maju sambil menerima pemberian yang tak disangka-sangkanya.
“Terima kasih,” katanya lirih, hampir tak terdengar.
“Jangan berterima kasih Kiai,” jawab Pasik, “kenang-kenangan yang tak seberapa nilainya.”
Orang tua itu pun menganggukkan
kepalanya. Diamatinya timang perak itu dengan seksama. Baik juga
buatannya. Meskipun orang tua itu sebenarnya tak memerlukan timang itu,
namun tak habis juga herannya, kenapa pada suatu ketika orang yang
bernama Pasik itu sedemikian baik hati kepadanya.
“Sudahlah, Kiai,” Pasik itu minta diri.
“Ya, ya Ngger,” sahut laki-laki tua itu.
“Selamat malam, Nyai,” katanya pula sambil melangkah ke pintu.
“Terima kasih Ngger, terima kasih,” jawab
perempuan tua yang kemudian menjadi bertambah berani. Apalagi ketika
ia melihat anak yang ditakuti itu justru memberikan timang dan ikat
pinggang kepada suaminya. Suatu hal yang tak disangkanya, setelah
suaminya tidak habisnya mengumpat dan mengutuk anak itu di hadapan tamu
mereka.
Pasik itu pun kemudian membuka pintu, dan
satu kakinya melangkahi tlundak. Tetapi tiba-tiba ia berhenti di
tengah-tengah pintu. Sambil berpaling ia berkata, “Besok aku harap Kiai
datang juga ke rumah mengantarkan anak muda itu. Salam buat gadis
kiai. Tolong ajak juga ia serta. Jangan lupa, Kiai. Dan masih ada
permintaanku kepada Kiai. Aku juga ingin mendapat tanda mata barang
sedikit. Apapun asal dapat memberi aku kesan, bahwa Kiai pernah memberi
aku kesenangan di masa kecilku.”
Orang tua itu menjadi berdebar-debar.
Besok ia harus datang ke rumah anak itu dengan gadisnya. Ah, bukankah
ia sudah bukan gadis lagi? Namun sebelum ia sempat menjelaskan, Pasik
itu sudah berkata pula, “Kiai, barangkali Kiai tidak usah berpikir
terlalu repot tentang tanda mata itu. Apapun jadilah. Misalnya ikat
pinggang Kiai yang terbuat dari kulit kerbau itu bersama timangnya
sekali.”
Kini orang tua itu benar-benar merasa
seakan-akan disambar petir. Timangnya itu yang dimintanya. Timang emas
bersalut permata. Satu-satunya kekayaan yang ada padanya, yang
dikumpulkannya sejak mudanya.”
Karena itu, maka kembali tubuh suami
istri itu menggigil. Bahkan lebih keras dari semula, sehingga timang
perak murni itu terjatuh dari tangannya.
“Oh, oh,” berkata Pasik yang dengan
tergopoh-gopoh melangkah mengambil timang itu, “Jangan dibuang Kiai.
Simpanlah meskipun tak bernilai. Tetapi ingat, besok aku menunggu Kiai
di rumahku. Dan Kiai akan datang membawa tanda mata yang aku minta itu,
selain gadis kiai yang cantik dan anak muda tamu kiai itu.”
Pasik tidak menunggu orang tua itu
menjawab. Dikalungkannya ikat pinggangnya di leher orang tua itu. Dan
dengan langkah yang tegap tenang ia berjalan keluar dari rumah yang
pernah menjadi tempatnya bermain pada masa kanak-kanaknya.
Sepeninggal Pasik, sesaat orang tua itu
masih berdiri saja seperti patung. Baru kemudian ketika ia menyadari
keadaannya, diambilnya ikat pinggang yang tersangkut di lehernya itu.
Kemudian dibantingnya ikat pinggang itu sambil mengumpat, “Anak setan!
Sampai hati juga ia minta timang itu.”
Istrinya ternyata sudah tidak dapat
memberi sambutan apapun atas kejadian itu. Agaknya kepalanya menjadi
pening, dan tanpa berkata apapun juga, perempuan itu berjalan bergegas
masuk ke dalam biliknya.
Orang tua itu masih saja gelisah. Bahkan
kemudian ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpat tak habis-habisnya.
Namun kata-kata Pasik itu merupakan perintah baginya selama ia masih
sayang akan dirinya. Dipertimbangkannya keadaannya sebaik-baiknya.
Berulang-ulang. Namun tak dilihatnya jalan apapun selain menyerahkan
kekayaannya itu. Tetapi apabila diingatnya, Pasik minta ia datang
bersama anaknya yang ternyata bukan gadis lagi, maka otaknya menjadi
semakin pening, dan detak jantungnya seakan-akan memecahkan dadanya
yang sudah menjadi semakin tipis.
Mahisa Agni menjadi kasihan juga melihat
orang tua itu menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Meskipun demikian dicobanya juga untuk mengurangi penderitaan perasaan
itu. Katanya bertanya, “Kiai, apakah setiap perintah itu harus
dipenuhi?”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. “Hem,” desahnya, “kalau tidak, maka aku tidak akan menjadi gila seperti ini.”
“Bagaimanakah kalau sekali-kali permintaan itu ditolak?” bertanya Mahisa Agni pula.
“Belum pernah seseorang berbuat demikian sejak Carub terbunuh.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
jawaban itu. Kalau demikian maka Pasik itu sudah melangkah terlalu jauh
sehingga telah jatuh korban karena tangannya.
“Jadi Pasik itu pernah membunuh orang?” bertanya Agni
Orang tua itu mengangguk. Jawabnya, “Tidak sendiri. Bertiga dengan saudara-saudara seperguruannya.”
“Dikerubut?” desak Agni
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya,
“Salah seorang dari mereka telah cukup untuk membunuh Carub. Namun
mereka melakukannya bertiga. Beramai-ramai seperti membunuh tupai.
Mula-mula Pasik itu tidak akan melakukannya. Carub adalah kawannya
bermain sejak kecil. Ketika orang itu menolak memberikan seluruh
simpanannya sepuluh keping emas, maka Carub itu dipukul oleh Pasik.
Namun kawan-kawannya tidak puas melihatnya. Karena itu, maka mereka pun
ikut serta. Dan tubuh Carub itu kemudian seperti pisang busuk.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Sekali
ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Apakah Pasik itu
termasuk salah seorang tokoh sakti. Namun aku belum pernah mendengar
namanya. Waraha pun belum pernah didengarnya. Mungkin nama gurunya.”
Karena itu maka Agni pun bertanya, “Siapakah gurunya itu?”
“Tak seorang pun yang mengetahuinya. Ia
datang dari jauh. Dan disebutnya namanya seperti nama daerah asalnya.
Menurut Pasik nama gurunya itu adalah Bahu Rekso Kali Elo.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.
Nama itu belum pernah didengarnya, tetapi gurunya pernah
menyebut-nyebut bahwa di sekitar Tumapel ada seorang guru yang datang
dari daerah pusat Pulau Jawa. Namun sayang, tabiatnya kurang
menyenangkan, sehingga orang itu tak begitu dikenal, dan bahkan agak
terpencil dari pergaulan para sakti. Murid-muridnya tidak hanya dua
tiga orang. Hampir semuanya adalah para penjudi dan penjahat. Apakah
orang ini yang dimaksudkan, atau orang lain. Apabila benar orang itu,
alangkah jauh daerah pengaruhnya, sehingga orang di kaki Gunung Semeru
pun berguru pula kepadanya.
Dan ternyata orang itu kini ikut serta
dengan muridnya yang bernama Pasik itu berkunjung ke padukuhan kecil
ini. Dengan demikian kedatangan orang itu pasti akan mempunyai pengaruh
yang sangat jelek terhadap penduduk Kajar.
Namun betapapun juga, Mahisa Agni
terpaksa menilai diri dan orang-orang yang belum dikenalnya itu.
Apalagi gurunya, sedangkan muridnya pun belum diketahui tingkat
ilmunya. Seandainya, ya seandainya, Pasik memaksa untuk memiliki keris
peninggalan ayahnya itu, apakah ia harus tetap berdiam diri?
Malam itu, hampir tidak ada di antara
mereka bertiga,orang tua itu, istrinya dan Mahisa Agni yang sempat
memejamkan matanya. Orang tua suami istri itu selalu diganggu oleh
ketakutan dan kebingungan menghadapi permintaan Pasik. Sedang Mahisa
Agni tak dapat melepaskan perasaan ibanya kepada orang tua itu. Ingin
ia menjanjikan sesuatu kepada mereka namun apakah ia akan dapat
memenuhinya, belumlah pasti. Sebab kalau benar, Bahu Reksa Kali Elo itu
adalah orang yang dikatakan gurunya, maka ia tidak tahu apakah ia akan
dapat meninggalkan padukuhan ini dengan selamat apabila ia ingin
mempertahankan kerisnya.
Tetapi malam berjalan terus tanpa
menghiraukan kegelisahan, ketakutan, kecemasan yang mencengkam
Padukuhan Kajar. Tidak hanya orang tua itu saja yang ternyata tidak
dapat tidur semalaman. Namun banyak yang lain. Banyak di antara mereka
yang tidak dapat tidur karena harus menyerahkan cincin mereka, kalung
mereka atau apa saja yang diinginkan oleh Pasik itu, yang sebagian
besar adalah benda-benda berharga. Emas, permata dan sebagainya.
Dan malam itu pun berjalan menurut iramanya sendiri. Sekejap demi sekejap dilampauinya dengan ajeg menuju kepada akhirnya,
Ketika ayam jantan berkokok menjelang
fajar, orang tua yang malang itu telah tidak dapat bertahan lagi
berbaring di pembaringannya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dan
duduk di tlundak pintu. Sedang Mahisa Agni yang tidur di lantai, di
atas alas selembar tikar itu pun kemudian bangkit pula. Sekali ia
menggeliat, kemudian kedua belah tangannya ia menutupi mulutnya yang
sedang menguap.
Orang tua itu berpaling kepada Agni.
Perlahan-lahan ia berkata, “Aku sudah hampir menjadi gila. Apakah Ki
Sanak tidak sayang kepada keris itu?”
“Tentu, Bapa, tentu,” sahut Mahisa Agni terbata-bata.
“Pagi ini keris itu sudah harus Angger serahkan kepada si Pasik gila itu,” sambung orang tua itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “Bagaimanakah kalau aku
melarikan diri sekarang, Bapa?”
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Hampir tak ada gunanya Ngger. Pasik itu pasti segera akan
mengejarmu. Ke mana saja kau pergi, maka pasti akan dapat ditemukannya.
Kalau Angger lari, itu hanyalah seakan-akan menunda mala petaka untuk
sesaat. Namun Pasik pasti akan menebus susah payahnya itu dengan
kegembiraan-kegembiraan yang gila. Ia mungkin juga untuk menyiksa
seseorang demi kesenangannya, atau karena kejengkelannya.”
“Tetapi aku masih mempunyai cukup waktu sampai ia yakin aku tidak datang ke rumahnya.”
Orang tua itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian jawabnya, “Mungkin juga. Angger juga seorang
perantau, sehingga Angger dapat berjalan lebih cepat dan mencari
jalan-jalan yang sulit.”
Orang itu berhenti sejenak, nampaklah ia
berpikir. Sesaat kemudian ia meneruskan, “Mungkin bagi Angger.
Tetapi…….” Orang tua itu berhenti.
“Tetapi….?” ulang Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng, “Tidak apa-apa
Ngger. Namun kalau Angger ingin mencoba, cobalah, Biarlah aku tinggal
di sini. Aku sudah tua.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
mendengar kata-kata itu. Tetapi segera ia menangkap maksud kata-kata
itu, meskipun orang tua itu berusaha untuk menyimpannya di dalam hati.
Orang tua itu ternyata sedang membayangkan, apakah akibat yang akan
terjadi, kalau tamunya itu melarikan diri. Maka segala persoalan pasti
akan ditimpakan kepadanya. Dan sebenarnyalah Agni tidak ingin melarikan
diri. Bahkan ia ingin melihat, apa saja yang akan terjadi di rumah
Pasik itu.
Sementara itu pun, langit menjadi semakin
lama semakin terang. Warna yang kelam seakan-akan sedikit demi sedikit
larut dihanyutkan oleh angin pagi. Bintang-bintang yang masih
gemerlapan, semua tenggelam dalam cahaya yang semakin terang. Dan
bintang pagi pun kemudian sinarnya menjadi pudar dan lenyap ditelan
cerahnya sinar matahari pagi.
Demikian akhirnya malam itu pun
lenyaplah. Padukuhan Kajar itu kini kembali ditimpa oleh sinar
matahari. Namun padukuhan itu tidak segera terbangun. Seakan-akan
seseorang yang sedang sakit parah, yang tetap tinggal di pembaringannya
meskipun matahari telah mencapai tinggi sepenggalah.
Tetapi akhirnya, beberapa orang Kajar itu
harus ke luar juga dari rumah-rumah mereka. Mereka adalah orang-orang
yang telah dikunjungi oleh Pasik serta diminta untuk datang ke rumahnya
mengantarkan barang-barang yang dikehendakinya.
(bersambung ke jilid 06)
No comments:
Write comments