Mahisa Agni yang
berlutut di muka ibunya itu meneium pada tangan ibunya yang dingin.
Katanya, “Ibu, doakan aku, semoga Yang Maha Agung memberkahi.”
“Tentu anakku, yang Maha Agung memberkahi perjalananmu.”
Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri.
Diambilnya sebuah bungkusan dari pembaringannya. Bungkusan bekal di
perjalanannya. Beberapa potong pakaian, bahan-bahan makanan dan sebuah
keris peninggalan ayahnya, buatan pamannya Empu Gandring. Dihiburnya
dirinya sendiri dengan pusaka ayahnya itu, karena Trisulanya harus
ditinggalkannya di padepokan.
Setelah sekali lagi Agni mencium tangan ibunya, maka melangkahlah ia meninggalkan biliknya.
Di muka pintu bilik itu Mahisa Agni
berpaling. Dilihatnya air mata ibunya semakin deras mengalir di pipinya
yang berkeriput. Namun perempuan itu tersenyum kepadanya.
Dianggukkannya kepalanya sambil bergumam, “Selamat jalan anakku.”
Terasa sesuatu merambat di tenggorokkan
Mahisa Agni. Matanya pun menjadi panas sehingga ditengadahkannya
wajahnya memandang langit-langit rumah Empu Purwa itu. Baru kemudian ia
menjawab, “Terima kasih ibu.”
Di pendapa Agni melihat gurunya dan Ken
Dedes berdiri memandang cahaya matahari pagi. Ketika mereka melihat
Agni dengan sebuah bungkusan kecil yang diikatnya di ujung tongkat
kayu, gurunya menggigit bibirnya.
Kemudian katanya, “Perjalanan yang berat, Agni. Mudah-mudahan kau berhasil.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Juga
tangan gurunya itu diciumnya. “Mudah-mudahan aku berhasil memenuhi
harapan guru,” berkata Mahisa Agni. Suaranya seakan-akan tertahan di
dadanya.
“Aku selalu berdoa untukmu Agni.”
“Terima kasih, Guru.”
Ken Dedes yang berdiri seperti patung,
tiba-tiba mengusap matanya yang basah. Dengan terbata-bata ia bertanya,
“Apakah perjalananmu akan memerlukan waktu yang panjang Kakang?”
Mahisa Agni memandang wajah gurunya,
seakan-akan ia akan bertanya kepadanya. Namun gurunya berdiam diri
sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Karena itu, maka Mahisa Agni menjawabnya, “Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Ken Dedes.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya, namun tangannya masih saja sibuk mengusap matanya.
“Nah, Agni,” berkata gurunya, “mumpung hari masih pagi. Selamat jalan.”
“Terima kasih, Guru,” sahut Agni, yang
kemudian dengan hati yang berat dilangkahinya satu persatu tangga
pendapa yang sudah bertahun-tahun didiaminya.
Ketika sekali lagi ia berpaling, hatinya
berdesir. Ia hanya sempat melihat gurunya berjalan tergesa-gesa
meninggalkan pendapa langsung masuk ke sanggarnya. Yang berdiri di
pendapa itu kini tinggal Ken Dedes dan di belakangnya embannya,
perempuan tua yang memandang Agni dengan mata berkaca-kaca.
—–
Ken Dedes yang berdiri seperti patung, tiba-tiba mengusap matanya yang basah. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apakah perjalananmu memerlukan waktu yang panjang, Kakang?”
—–
Ken Dedes yang berdiri seperti patung, tiba-tiba mengusap matanya yang basah. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Apakah perjalananmu memerlukan waktu yang panjang, Kakang?”
—–
Ketika Agni sudah sampai di halaman,
didengarnya Ken Dedes berteriak, “Lekaslah kembali Kakang, supaya
padepokan ini tidak menjadi sepi.”
Mahisa Agni berpaling sekali lagi. Perlahan-lahan ia mengangguk. Jawabnya, “Tentu. Tentu aku akan segera kembali.”
Agni menarik nafas panjang. Gadis itu
benar-benar telah menumbuhkan seribu macam persoalan pada dirinya.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar sebuah tangis yang meledak.
Ketika ia menoleh, dilihatnya Ken Dedes menangis di pelukan embannya
yang tua. Tetapi Mahisa Agni tidak berhenti. Dengan tetap ia melangkah
meninggalkan rumah itu, betapa pun berat hatinya. Di rumah itu tinggal
gurunya yang telah menempanya siang malam pada tingkat yang mula-mula
sekali, kemudian berturut-turut membuatnya menjadi seorang yang teguh
lahir dan batin. Juga di rumah itu tinggal seorang gadis yang
hampir-hampir saja menghancurkan masa depannya. Apalagi kemudian
diketahuinya, bahwa ibunya berada di rumah itu pula. Ibunya yang telah
melahirkannya.
“Aku pergi untuk kembali,” gumamnya seorang diri.
Akhirnya dilangkahinya regol halaman, dan
dengan tergesa-gesa ia membelok menurut jalan desanya hampir melekat
pagar. Dengan demikian maka ia akan segera lenyap dari pandangan mata
orang-orang yang mengikutinya dari halaman dan pendapa rumahnya.
Tetapi kembali hatinya berdebar-debar.
Dilihatnya dari kejauhan dengan tergesa-gesa Wiraprana datang
kepadanya. Anak muda itu sudah beberapa lama tidak pernah datang ke
rumah itu, justru karena hubungannya dengan Ken Dedes.
“Agni,” katanya hampir berteriak, “benarkah kau berangkat pagi ini?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Aku mendengar dari seorang cantrik di sudut desa. Kenapa kau tak memberitahukan kepadaku?”
“Aku bermaksud singgah sebentar di rumahmu Prana,” sahut Mahisa Agni.
“Oh. Marilah,” ajak Wiraprana.
“Kita sudah bertemu di sini.
“Lalu?”
“Aku tak usah singgah ke sana.”
“Oh,” Wiraprana menjadi kecewa.
“Sampaikan baktiku kepada Bapa Buyut Panawijen. Aku mohon diri untuk beberapa lama.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik. Baik,” katanya, “Tetapi apakah kau tidak singgah meskipun hanya sebentar?”
“Terima kasih Prana, terima kasih,” jawab Agni.
Wiraprana benar-benar menjadi kecewa. Ditatapnya wajah sahabatnya. Kemudian katanya,”Selamat jalan Agni.”
Mahisa Agni tersenyum. Senyum yang
memancar dari berbagai perasaan di dalam dirinya. Terdengar anak muda
itu berkata perlahan-lahan, “Prana, meskipun kau belum menjadi suami
Ken Dedes, tetapi jagalah dia dari jarak yang ada sekarang. Kalau kau
mengalami kesulitan-kesulitan apa pun, terutama apabila terjadi
kekerasan karena persoalan gadis itu, sampaikanlah secepatnya kepada
ayahnya.”
Wiraprana mengerutkan keningnya.
Timbullah pengakuan di dadanya atas kekurangannya, sehingga orang lain
harus menolongnya dalam persoalan yang seharusnya ditanggungkannya.
Karena itu maka katanya, “Kepergianmu sangat mengecewakan aku, Agni.
Keinginanku untuk mendapatkan kemampuan setidak-tidaknya untuk menjaga
diriku tertunda karenanya. Namun aku tak dapat mementingkan diriku
sendiri. Aku menghormati kepentinganmu pula. Karena itu mudah-mudahan
kau lekas kembali.”
Akhirnya Wiraprana dan Mahisa Agni pun
berpisah pula. Diantarkannya Agni sampai ke sudut desa, kemudian
dilepasnya sahabatnya itu dengan hati yang berat.
“Aku hanya pergi untuk beberapa lama,”
berkata Mahisa Agni, “Jangan risaukan aku. Sampaikan kepada Ken Dedes
apabila kau sempat bertemu, juga kepada pemomongnya, perempuan tua itu.
Aku tidak sedang berangkat perang. Tetapi hanyalah sebuah perjalanan
biasa. Mungkin akan merupakan sebuah tamasya yang menyenangkan. Melihat
lembah dan ngarai yang belum pernah aku lihat.”
Wiraprana tersenyum. Senyum yang masam.
Jawabnya, “Apakah bedanya perjalananmu dengan sepasukan prajurit yang
sedang berangkat ke medan perang? Mungkin daerah pertempuran yang kau
jumpai jauh lebih luas dari daerah peperangan. Mungkin musuh yang kau
jumpai pun jauh lebih banyak dari musuh setiap prajurit dolan
peperangan.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Kemudian
katanya, “Nah, Selamat tinggal Wiraprana, selamat tinggal
sahabat-sahabat yang lain. Sampaikan salamku kepada mereka.”
Wiraprana mengangguk, dan Mahisa Agni pun
kemudian memutar tubuhnya, dan berjalan dengan hati yang tetap
meninggalkan padukuhan yang telah bertahun-tahun didiaminya.
Ketika Mahisa Agni menengadahkan
wajahnya, memandang langit yang biru bersih, dilihatnya burung-burung
manyar beterbangan. Awan yang putih sehelai-sehelai hanyut dalam arus
angin yang lembut.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dilihatnya di sekitarnya, alam yang maha luas. Pepohonan, burung-burung
di udara, air dan binatang-binatang di dalamnya, rumput dan perdu.
Terasalah betapa tangan yang Maha Agung telah memelihara semuanya itu.
Dan karena itulah maka Mahisa Agni menjadi semakin berbesar hati.
Ternyata di segala sudut bumi, di antara hutan-hutan belukar, di antara
lembah dan ngarai, di segala tempat, bahkan di manapun yang
diangan-angankannya, hadirlah Yang Maha Agung itu. Dan pada-Nya Mahisa
Agni memperoleh ketenteraman.
Mahisa Agni berjalan terus dengan cepat.
Tujuannya adalah ukup jauh, sehingga setiap saat harus dimanfaatkannya.
Ketika ia berpaling, lamat-lamat dilihatnya padukuhan Panawijen. Anak
muda itu menarik nafas dalam. Padukuhan itu seakan-akan melambai
kepadanya. Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengangguk-angguk. “Aku akan
segera kembali padamu Panawijen.
Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu berdesir
di dada Mahisa Agni. Mahisa Agni sendiri terkejut karenanya. Ketika ia
memandang berkeliling tak dilihatnya apa pun, selain dataran, sawah
yang sudah semakin tipis, pepohonan dan di kejauhan gunung yang biru.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Tetapi kemudian dihiburnya hatinya sendiri. “Ah, alangkah cengengnya
aku ini. Aku adalah seorang laki-laki yang dewasa. Sudah sepantasnya
aku melakukan perjalanan-perjalanan yang berbahaya.”
Namun terdengar suara di hatinya, “Aku
tidak mencemaskan perjalanan ini, tetapi justru mencemaskan nasib
Panawijen, nasib Ken Dedes.”
Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahisa Agni
teringat pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Mimpinya tentang Ken
Dedes yang meloncat ke dalam sebuah perahu. Namun akhirnya, baik Ken
Dedes sendiri mau pun perahunya tenggelam ditelan oleh ombak yang
ganas.
Mahisa Agni tiba-tiba menggeram. Namun
kemudian diingatnya pula gurunya berkata, “Mimpimu adalah mimpi
seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni.”
“Mudah-mudahan,” gumamnya, “mudah-mudahan mimpiku hanyalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur.”
Meskipun demikian ia masih menjadi gelisah karenanya. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk kembali ke Panawijen.
“Hambatan yang pertama,” katanya
menggeram, “memang hambatan yang paling sulit di atasi, adalah
hambatan- hambatan yang timbul dari diri sendiri.”
Karena itu, segera Agni berusaha untuk
membulatkan tekadnya kembali. Digelengkan kepalanya seperti akan
melepaskan setiap kenangan yang akan dapat menghambatnya. Dan kembali
Mahisa Agni berjalan cepat-cepat menjauhi Panawijen.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin
tinggi, dan Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin jauh dari
desanya. Kini telah dilampauinya daerah-daerah persawahan yang paling
jauh sekali pun. Di hadapannya terbentang sebuah padang rumput yang
diselingi oleh gerumbul-gerumbul perdu.
Mahisa Agni pun masih berjalan terus. Ia
dapat menempuh jalan yang berbeda-beda. Yang mana pun tak ada bedanya.
Namun arahnyalah yang harus dijaganya supaya ia tidak tersesat. Gunung
Semeru. Dan ia harus melingkari Gunung itu dan mencapai kakinya dari
arah timur. Ia tidak tahu berapa hari perjalanannya itu berlangsung.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin
berjalan lewat padang rumput Karautan. Ia tidak tahu, kenapa padang
rumput itu menariknya. Sebenarnya ia dapat menempuh jalan lain, lewat
Talrampak atau Kaligeneng. Meskipun telah diketahuinya bahwa kini hantu
yang bernama Ken Arok itu telah tidak ada di sana, namun sebuah
kenangan yang aneh telah menariknya.
Sebelum Mahisa Agni menyadari, ia telah
berjalan menurut jalan ke padang rumput Karautan. Meskipun betapa
panasnya. Ditaruhnya bungkusan bekalnya di atas kepalanya, untuk
mengurangi panas yang seakan-akan membakar rambutnya.
Tetapi padang rumput itu tampaknya masih
sepi. Jalan yang menjelujur di antaranya masih belum tampak banyak
dilewati orang, bahkan masih ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Hanya
rombongan- rombongan yang besarlah yang berani lewat di padang rumput
itu.
“Jalan ini sebenarnya sudah aman,”
gumamnya, “tetapi belum juga banyak orang yang berani lewat di sini.
Ah, mungkin para pedagang masih meragukan kebenaran berita, bahwa hantu
Karautan telah berpindah tempat.” Agni tersenyum sendiri. Alangkah
lucunya seandainya ia sendiri menggantikannya di sini. “Kalau saat itu
aku bunuh Ken Arok, mungkin sekali aku menjadi penghuni di padang
rumput ini.”
Tetapi kini padang rumput itu telah tidak
menakutkan lagi. Meskipun masih terlalu sepi. Mahisa Agni berjalan
dengan langkah yang cepat dan tetap. Matahari yang terik semakin lama
telah semakin condong ke barat.
Sebuah kenangan yang aneh telah menyentuh
perasaan Mahisa Agni ketika ia berjalan di antara gerumbul-gerumbul di
mana hantu Karautan sering bersembunyi. Di antara gerumbul-gerumbul
itu pulalah ia mendengar Ken Arok berkata kepadanya, bahwa jalan yang
benar itu terlalu sempit dan jelek, sedang jalan ke arah yang salah itu
selalu licin dan lapang.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas. Kata-kata itu disimpannya di dalam hatinya.
Akhirnya, ketika senja turun, Mahisa Agni
telah melampaui padang rumput yang sepi itu. Dilewatinya beberapa buah
padukuhan kecil dan akhirnya ia sampai ke tepi sebuah hutan yang
rindang. Hutan yang setiap hari dikunjungi orang yang sedang mencari
kayu. Di situlah Mahisa Agni berhasrat untuk beristirahat. Hutan itu
telah sering dilewatinya dengan gurunya. Dengan setiap kali ia pergi ke
daerah-daerah yang agak jauh bersama gurunya, maka diajarinya ia
mencari tempat-tempat untuk bermalam.
Demikianlah Mahisa Agni telah melampaui
perjalanannya untuk satu hari. Namun apa yang dicapainya barulah sebuah
permulaan yang pendek. Di hadapannya masih terbentang perjalanan yang
berlipat-lipat jauhnya.
Malam itu Mahisa Agni tidur dengan
nyenyaknya. Perjalanan itu seakan-akan betapa lancarnya. Di pagi
harinya, dengan sebuah bandil Agni berusaha untuk berburu binatang. Dan
ternyata Agni adalah seorang anak muda yang tangkas. Dalam waktu yang
tidak terlalu lama, ia telah mendapatkan buruannya untuk makan paginya.
Demikianlah, Agni melampauinya hari demi
hari. Perjalanannya semakin lama menjadi semakin berat. Hutan yang
kadang- kadang sedemikian rapatnya ditumbuhi oleh segala jenis tumbuh-
tumbuhan. Sungai-sungai yang deras dan apa pun yang melintang di
hadapannya.
Tetapi di samping itu perjalanan Agni pun
tidak sepi dari persoalan-persoalan yang sudah diduganya sejak semula.
Binatang buas, dan orang-orang jahat yang dijumpainya. Namun karena
ketabahan hatinya, satu demi satu semuanya berhasil diatasinya.
Akhirnya, sampailah pada suatu ketika,
Mahisa Agni mencapai kaki Gunung Semeru. Kaki gunung yang tak
terkirakan tingginya. Hutan-hutan yang padat tumbuh melingkarinya.
Ketika dilihatnya pohon-pohon raksasa
yang tumbuh di hutan-hutan itu, serta daun-daunnya yang menjulang ke
langit, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Telah banyak
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di perjalanan. Telah banyak
penderitaan yang dialami. Namun kini keadaan yang terakhir terbentang
di hadapannya. Apakah ia akan berhasil menempuh ujiannya?
Mahisa Agni berhenti sejenak. Ditatapnya
gunung yang tegak di hadapannya. Pohon-pohonan yang seakan-akan mendaki
tebingnya. Perlahan-lahan namun pasti, akhirnya sampai juga menutupi
lambung bukit itu.
Tetapi perjalanannya masih belum akan
berhenti. Meskipun gunung itu seakan-akan telah tegak di hadapannya,
namun perjalanan yang harus ditempuhnya masih jauh. Apalagi ia harus
menemukan sebuah rawa-rawa di lereng sebelah timur gunung itu. Sehingga
dengan demikian ia masih harus berjalan melingkar.
Kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya.
Kini ia tidak berjalan terlalu cepat. Perlahan-lahan, sedang berbagai
persoalan membelit hatinya. Ia merasa, betapa kecil dirinya di antara
pohon-pohon raksasa, batu-batu besar dan gunung yang menjulang itu. Dan
betapa kecil pula dirinya, lebih-lebih lagi dihadapkan kepada yang
telah menciptakan alam ini.
Namun, betapa pun juga, Mahisa Agni
merasa bersyukur bahwa sebagian perjalanannya telah dilampauinya. Jarak
yang ditempuhnya telah melampaui jarak yang akan dilaluinya.
Kini Mahisa Agni mencoba untuk
menghindari hutan-hutan yang lebat itu, meskipun jaraknya menjadi agak
jauh. Diselusupnya daerah-daerah yang tidak begitu padat, yang tidak
terlalu sulit dilaluinya. Meskipun jaraknya makin jauh, namun dengan
demikian ia mengharap, perjalanannya menjadi semakin cepat.
Di daerah- daerah yang demikian, Mahisa
Agni tidak melupakan pesan gurunya. Setiap saat ia akan dapat digigil
ular-ular kecil yang berkeliaran di tanah, dan serangga- serangga yang
berbisa. Karena itu, tubuhnya dilumurinya dengan param pemberian Empu
Purwa. Sekali ia merasakan pula, sentuhan-sentuhan pada tubuhnya oleh
binatang-binatang kecil. Namun binatang-binatang itu segera meloncat
menghindar. Mungkin di dalam ramuan param itu, terdapat berbagai ramuan
yang tak disukai oleh jenis-jenis serangga berbisa.
Setelah Mahisa Agni bermalam satu malam
lagi, sampailah ia di daerah sebelah timur Gunung Semeru. Dilewatinya
padang- padang rumput dan perdu, kemudian Mahisa Agni menarik nafas,
ketika ia sampai pada suatu daerah yang berpenghuni. Dilihatnya ladang-
ladang hijau ditumbuhi oleh berbagai tanaman. Meskipun sama sekali
kurang teratur, namun Agni yakin, bahwa tanaman-tanaman itu ditanam
orang.
Dugaannya ternyata benar. Tidak
sedemikian jauh lagi, dilihatnya sebuah padukuhan kecil. Padukuhan yang
dipagari oleh pagar batu setinggi orang. Rumah-rumah kecil dan
batang-batang semboja di halaman. Tempat-tempat sesajen dan
kandang-kandang sederhana.
Ketika Mahisa Agni menghampiri padukuhan
itu, dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan lagi sibuk
bekerja di halaman masing-masing, di ladang-ladang dan di sawah-sawah.
“Penduduk yang rajin,” katanya di dalam hati.
Ketika mereka melihat kedatangan Mahisa
Agni, tampaklah keheranan membayang di wajah mereka. Mereka satu dengan
yang lain saling berpandangan, seakan-akan mereka ingin bertanya,
“Siapakah orang asing yang datang ini?”
Dengan demikian Mahisa Agni mengetahuinya, bahwa daerah ini adalah daerah yang jarang-jarang didatangi orang lain.
Meskipun demikian, Mahisa Agni pun telah
memaksa dirinya untuk mendekati salah seorang di antaranya. Ia ingin
menanyakan apakah di sekitar daerah itu terdapat sebuah rawa-rawa
seperti yang pernah dilihatnya dahulu.
Tetapi, sudah barang tentu Mahisa Agni
tidak dapat bertanya berterus terang. Sebab selalu diingatnya pula
gurunya berkata, bahwa jangan seorang pun yang tahu akan kedatangannya
ke gua di lereng gundul Gunung Semeru itu.
Orang yang di dekati oleh Mahisa Agni
adalah seorang tua, berambut putih dan berjenggot putih. Dengan sinar
mata yang keheran-heranan ia memandang Mahisa Agni dari ujung kepalanya
sampai ke ujung kakinya. Serta ketika Mahisa Agni mengangguk hormat
padanya, maka dengan tergopoh-gopoh orang itu pun menganggukkan
kepalanya pula.
“Bapak,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah aku dapat bertanya kepada Bapak?”
Orang tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab dengan serta-merta, “Tentu,tentu Ngger, tentu.”
Mahisa Agni menarik nafas. Melihat sikap
orang tua ini, maka segera Mahisa Agni menduga, bahwa penduduk
padukuhan ini, atau setidak-tidaknya orang tua itu adalah seorang yang
ramah. Karena itu maka ia bertanya, “Apakah aku boleh mengetahui Bapak,
apakah nama padukuhan ini?”
“Tentu Ngger,” jawab orang itu pula, kemudian katanya meneruskan, “nama padukuhan ini adalah Padukuhan Kajar.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dicobanya untuk mengingat-ingat, apakah beberapa tahun yang
lampau, dilaluinya juga Padukuhan Kajar ini? Tetapi nama itu belum
pernah didengarnya, dan agaknya daerah ini pun belum pernah dilihatnya.
Sebelum Mahisa Agni bertanya lagi,
terdengarlah orang tua itu berkata, “Siapakah Angger ini? Dari mana
atau ke manakah tujuan Angger?”
“Namaku Mahisa Agni, Bapak,” jawab Agni, “aku datang dari daerah yang jauh. Dari kaki Gunung Kawi.”
“Oh,” orang tua itu terkejut, “alangkah
jauhnya.” Tetapi kemudian orang itu tersenyum, “Ah, tidak begitu jauh.
Seseorang pernah lewat di padukuhan ini. Ketika kami tanyakan
kepadanya, dari mana ia datang, katanya ia datang dari kaki Gunung
Merapi.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gunung
Merapi terletak jauh sebelah barat dari Gunung Kawi. Tiba-tiba ia
tertarik pada keterangan itu, sehingga ia bertanya, “Siapakah orang itu
Bapak?”
Orang itu mencoba mengingat-ingat, namun
beberapa saat ia belum juga menjawab. Akhirnya ia berkata, “Aku telah
tidak ingat lagi namanya.”
“Apakah keperluannya?” bertanya Mahisa Agni.
Orang tua itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, katanya, “Tak seorang pun yang mengetahuinya. Ia hanya lewat
dan lenyap lagi dari antara kita.”
“Kapankah itu terjadi?” bertanya Mahisa Agni pula.
“Belum lama. Tiga hari yang lampau?”
Dada Mahisa Agni tiba-tiba menjadi
berdebar-debar. Tiga hari yang lampau. “Apakah tak ditanyakan sesuatu
kepada Bapak atau kepada seseorang?”
Orang tua itu menggeleng. “Tidak,” katanya.
Mahisa Agni tiba-tiba mencoba
menghubungkan kedatangan orang itu dengan akar wregu di dalam gua
seperti yang ditunjukkan gurunya. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya
kepada orang tua itu. yang ditanyakan kemudian adalah, “Ke manakah
orang itu pergi Bapak?”
“Ke selatan,” jawabnya.
“Sampai ke manakah jalan yang ke selatan ini?” bertanya Mahisa Agni.
“Jalan itu buntu, Ngger,” jawab orang itu.
“Lalu ke manakah orang dari kaki Gunung Merapi itu pergi?”
Orang tua itu menggeleng. Katanya, “Entahlah. Yang kami ketahui jalan ke selatan ini akan menuju ke rawa-rawa.”
“Ke rawa-rawa?” Mahisa Agni mengulang.
Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menjadi heran. Mahisa Agni ternyata menaruh minat pada keterangannya.
“Apakah rawa-rawa itu masih jauh?”
“Tidak terlalu jauh,” jawabnya, “tidak sampai sehari Angger akan sampai ke rawa-rawa itu.”
Dahi Mahisa Agni pun kemudian tampak
berkerut-kerut. Orang dari Gunung Merapi itu benar-benar menarik
perhatiannya. “Ah, mudah-mudahan orang itu mempunyai keperluan yang
lain,” katanya di dalam hati.
Kemudian terdengar Mahisa Agni bertanya pula, “Bapak, apakah masih ada padukuhan lain di sekitar padukuhan ini?”
“Ada Ngger. Di sebelah utara,” jawab orang itu.
“Yang lebih dekat di bawah kaki Gunung Semeru?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Hutan
itu masih terlampau padat. Tak seorang pun yang ingin menebangnya. Di
daerah-daerah lain, tanah masih berlimpah-limpah.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Baiklah Bapak. Aku hanya ingin lewat di
padukuhan ini. Lima enam hari lagi, mungkin aku akan kembali lewat
jalan ini pula.”
Orang tua itu pun menjadi bertambah heran. Katanya, “Apakah Angger juga akan pergi ke selatan?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Ke rawa-rawa itu?”
Mahisa Agni ragu-ragu sebentar. Namun kemudian ia mengangguk pula sambil menjawab, “Aku hanya ingin melihat rawa itu.”
Tampaklah sinar mata yang aneh memancar
dari wajah orang tua itu. Gumamnya, “Aneh. Rawa itu sangat berbahaya.
Banyak binatang-binatang berbisa di sekitarnya. Dan tak ada sesuatu
yang menarik untuk dilihat.”
“Apakah Bapak pernah mengunjungi rawa itu?”
“Tentu. Setiap laki-laki di daerah ini
harus mengenal daerah-daerah di sekitarnya. Aku pernah juga mendaki
kaki gunung itu meskipun begitu tinggi. Tetapi seperti yang aku
katakan, bagi Angger, tak ada yang dapat menarik perhatian.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Terima kasih, Bapak. Mungkin tak ada yang
akan menarik perhatian setelah aku melihatnya. Namun aku ingin
membuktikannya.”
Orang tua itu pun menjadi bertambah
heran. Katanya pula, “Angger hanya akan membuang-buang waktu saja. Atau
apakah Angger mengenal orang dari Gunung Merapi itu?”
Mahisa Agni menggeleng. “Tidak,”
jawabnya, “Aku sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan orang
itu, juga dengan rawa-rawa di sebelah selatan. Aku adalah seorang
perantau. Aku hanya ingin melihat apa saja.”
“Aneh,” gumam orang tua itu, “Tetapi
terserahlah kepada Angger. Namun kami, penduduk Kajar, ingin
mempersilakan Angger untuk mampir di padukuhan kami.”
Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Terima kasih Bapak. Nanti apabila aku kembali.”
Orang tua itu tidak berhasil
mempersilakan Agni untuk singgah di kampungnya. Mahisa Agni tiba-tiba
menjadi tergesa-gesa. Orang yang lewat tiga hari yang lalu sangat
mempengaruhi perasaannya. “Adakah orang lain yang pernah mendengar pula
tentang akar wregu yang berwarna putih itu?” katanya di dalam hati.
Karena itu dengan tergesa-gesa Mahisa Agni meneruskan perjalanannya lurus ke selatan.
Tiba-tiba setelah ia berjalan beberapa
lama, segera ia tertegun. Dilihatnya sebuah sungai yang curam menjalar
di tepi jalan setapak yang semakin lama menjadi semakin sempit.
Dilihatnya pula sebatang pohon mahoni raksasa di tepi lereng sungai
yang curam itu. Dan tiba-tiba saja tumbuh kembali dalam ingatannya.
Daerah ini pernah dilihatnya. Dengan serta-merta ia meloncat ke bawah
pohon Mahoni raksasa itu. Beberapa tahun lampau ia pernah menggoreskan
pedang pada batang mahoni itu. Dan Mahisa Agni tersenyum. Dilihatnya
goresan bersilang itu masih ada, meskipun tidak begitu jelas lagi.
Namun ia masih melihat dan mengingatnya. Goresan bersilang itu telah
dibuatnya dengan pedangnya.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditepuk-tepuknya batang mahoni raksasa itu seakan-akan
menepuk pundak seorang sahabat yang telah bertahun-tahun tak berjumpa.
Pohon mahoni itu ternyata telah mengungkap segenap ingatannya kembali.
Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya batang-batang pohon raksasa
yang pernah dilihatnya dahulu.
“Ah,” gumamnya seorang diri, “aku telah mengambil jalan yang lain. Dahulu aku sampai ke tempat ini dari jurusan yang berbeda.”
Dan suaranya itu disaut oleh gemeresik
daun-daun kering yang berjatuhan dihembus angin yang semakin lama
menjadi semakin keras. Sejalan dengan kegembiraan itu, maka Mahisa Agni
pun mengucap syukur di dalam hatinya kepada Yang Maha Agung. Jalan
yang akan ditempuhnya sudah tidak begitu sulit lagi dicarinya.
Kemudian Mahisa Agni pun segera berjalan
kembali. Satu-satu masih dapat dikenalnya. Batu-batu besar, pohon-pohon
raksasa. Lereng-lereng yang curam dan beberapa macam benda yang lain.
“Belum banyak perubahan yang terjadi,”
katanya kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan rawa-rawa dan batu karang
itu masih ada di tempatnya pula.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
ketika akhirnya terasa tanah di bawah kakinya semakin lama menjadi
semakin basah. Dilihatnya beberapa jenis tumbuh-tumbuhan air telah
banyak bertebaran di antara rumput-rumput dan pohon-pohon perdu yang
tumbuh di antara batang-batang raksasa. Dan hutan pun menjadi semakin
lama semakin padat.
Tetapi kalau ia berjalan ke arah yang
benar, maka ia akan sampai ke daerah rawa-rawa. Daerah yang menampung
arus sungai di lereng timur Gunung Semeru.
Perjalanan Mahisa Agni pun semakin
dipercepat. Meskipun tumbuh-tumbuhan menjadi semakin padat, namun
dengan tekad yang menyala, semuanya itu sama sekali tidak memperlambat
perjalanannya. Sehingga ketika matahari telah hampir tenggelam, maka
sampailah Mahisa Agni di tempat yang dapat dipergunakannya sebagai
ancar-ancar untuk menemukan titik tujuannya.
Mahisa Agni menjadi semakin gembira,
ketika dalam keremangan senja dilihatnya sebuah bayangan yang
kehitam-hitaman. Kini Mahisa Agni menjadi semakin tidak sabar lagi.
Meskipun matahari telah lenyap di balik gunung, namun Mahisa Agni sama
sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia kemudian berlari-lari kecil,
melompati pohon-pohon perdu dan menyusup batang-batang menjalar yang
tersangkut, di pepohonan. Semakin dekat, menjadi semakin jelaslah,
bahwa bayangan raksasa yang kehitam-hitaman di tengah rawa-rawa itu
adalah sebuah batu padas yang menjulang ke atas, seakan-akan batu
karang yang kokoh di tengah-tengah lautan.
Mahisa Agni menarik nafas. Sekali lagi ia
bersyukur di dalam hatinya. Kini jalan yang harus ditempuhnya tidak
begitu jauh lagi. Ia harus menyusur tepi-tepi rawa ke arah barat. Dan
nanti akan ditemuinya sebuah lereng yang gundul, seakan-akan sebuah
dinding raksasa yang membatasi dua dunia yang berlainan.
Tetapi tiba-tiba diingatnya kembali pesan
gurunya. Seterusnya ia harus berjalan malam hari. Banyak alasan yang
menyebabkan gurunya berpekan demikian kepadanya. Dan ia pun percaya
sepenuhnya, bahwa apabila tak ada sesuatu yang sedemikian pentingnya,
maka tak akan gurunya berpesan demikian kepadanya.
Ketika Mahisa Agni menebarkan
pandangannya, dilihatnya daerah sekitarnya pun menjadi semakin kelam.
Bahkan kemudian warna-warna yang hitam seakan-akan turun dari langit
menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Namun Mahisa Agni masih ingin
beristirahat. Duduklah ia di atas sebuah batu yang cukup besar.
Diurainya bungkusan bekalnya. Masih ditemukannya beberapa jenis
buah-buahan yang didapatnya di perjalanannya.
“Sebentar lagi aku harus berjalan
kembali,” katanya di dalam hati, “kalau aku beristirahat malam ini,
maka ini berarti bahwa malam besok aku baru dapat berjalan kembali.
Dengan demikian aku akan banyak kehilangan waktu.”
Dan kembali hatinya berdesir ketika
diingatnya kata-kata orang tua di Kajar, bahwa seseorang telah berjalan
ke rawa-rawa ini tiga hari yang lalu. “Apakah orang itu juga akan
mengambil akar wregu di gua itu?” Pertanyaan itu melingkar-lingkar di
dalam dadanya. Dan karena itu maka tiba-tiba Agni berdiri. Katanya, “Ah
aku harus berangkat sekarang.”
Sekali lagi Mahisa Agni menebarkan
pandangannya berkeliling. Gelap dan yang dilihatnya hanyalah
warna-warna hitam, seakan-akan dunianya telah dibatasi oleh dinding
hitam kelam.
Mahisa Agni itu pun kemudian membenahi
bungkusan-bungkusannya kembali. Kini bungkusan itu tidak
disangkutkannya lagi di tongkatnya. Dipergunakannya tongkatnya untuk
meraba-raba jalan yang akan dilaluinya.
“Ah,” desahnya, “aku rasa jalan sudah
tidak terlampau jauh. Namun gelapnya bukan main. Mudah-mudahan sebelum
pagi aku telah mencapai dinding gundul itu.”
Mahisa Agni pun kemudian mulai
melangkahkan kakinya kembali. Perasaan penatnya tiba-tiba tersapu oleh
kegelisahannya. Gelisah karena seseorang pun telah pergi ke daerah
rawa-rawa ini.
“Kalau orang itu pergi juga ke gua itu,
maka pasti ia belum kembali. Aku sangka, ia pun akan kembali lewat
jalan ini, sebagaimana ia datang,” katanya di dalam hati untuk
menghibur kegelisahannya sendiri.
Sementara itu, setapak demi setapak
Mahisa Agni itu maju juga. Alangkah sulitnya berjalan di malam hari di
daerah-daerah yang hampir tak dikenalnya. Untunglah bahwa gurunya telah
membekalinya dengan sejenis param yang dapat menghalau binatang
berbisa dari tubuhnya.
Malam itu kelamnya bukan main. Seleret ia
melihat bayangan bintang-bintang dan sinar dari kutub yang dipantulkan
oleh wajah air rawa yang kotor. Selebihnya hitam.
Namun Mahisa Agni mencoba untuk tidak
tersesat. Ia berusaha berjalan sepanjang pinggir rawa-rawa yang tidak
begitu dapat ditumbuhi pepohonan. Bahkan kemudian sampailah ia di satu
dataran yang luas, yang hanya ditumbuhi oleh rumput liar dan beberapa
jenis perdu.
“Tetapi,” katanya kemudian, “daerah
seberang padang rumput ini adalah daerah yang terjal. Aku harus sangat
berhati-hati, supaya aku tidak terguling masuk ke dalam rawa.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Suasana ujian yang berat,” gumamnya. Namun hatinya yang bulat itu sama
sekali tak tergerak oleh kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Sebab
sadar, bahwa taruhannya pun sangat berharga.
Kemudian katanya kepada diri sendiri, “Apakah aku akan dapat mencapai lereng gundul itu sebelum pagi?”
Kemudian dijawabnya sendiri, “Aku tidak perlu tergesa-gesa. Besok atau lusa tak ada bedanya.”
“Tetapi orang yang lewat tiga hari yang
lalu itu?” terdengar sebuah pertanyaan di sudut hatinya. Karena itu,
maka kegelisahan di hati Mahisa Agni menjadi semakin melonjak-lonjak.
Dan karena itu, ia berusaha untuk mempercepat langkahnya.
“Kalau orang itu pergi juga ke sana,” katanya di dalam hati, “semoga aku sempat menyusulnya.”
Dan Mahisa Agni pun berusaha untuk
berjalan lebih cepat. Dilihat bintang- bintang di langit supaya ia
tetap pada arahnya. Bintang Gubug Penceng yang menolongnya menentukan
arah perjalanannya.
Tetapi tiba-tiba langkah Mahisa Agni
terhenti. Perlahan-lahan ia mendengar gemeresik daun di dalam gerumbul
perdu. Mahisa Agni mencoba untuk mempertajam pendengarannya. Dan
gemeresik itu didengarnya kembali.
Ketika ia memandang daun-daun di
sekitarnya, ternyata angin tidak cukup kencang untuk menimbulkan bunyi
itu, sehingga segera diketahuinya bahwa pasti ada sesuatu di dalam
gerumbul itu. Binatang atau manusia.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera
bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat datang. Kalau
yang bersembunyi itu binatang, maka akan sangat menggelikan sekali.
Namun ingatannya sealu saja tersangkut kepada orang yang lewat tiga
hari yang lalu di daerah ini.
Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika
tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang aneh. Namun kemudian ia pasti,
suara itu adalah suara seseorang yang sedang mengerang. Maka, dengan
gerak naluriah Mahisa Agni segera meletakkan bungkusannya dan bersiaga
untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sesaat kemudian meledaklah suara tertawa
dari dalam gerumbul itu. Semakin lama semakin jelas. Nadanya tinggi
melengking memekakkan telinga. Semakin lama suara itu menjadi semakin
keras. Bahkan kemudian terasa seperti menghentak-hentak pada Mahisa
Agni. Dengan demikian Mahisa Agni pun harus memusatkan segenap daya
tahannya. Lahir dan batin untuk melawan suara tertawa itu. Suara yang
pengaruhnya seakan-akan dapat mengguncangkan kesadarannya.
Dengan mendengar suara itu Mahisa Agni
segera dapat meraba-raba betapa berbahayanya orang yang bersembunyi
itu. Suara tertawanya sudah mampu mengguncangkan dadanya tanpa
menyentuhnya. Apalagi tangannya. Namun Mahisa Agni telah dibekali
dengan berbagai ilmu oleh gurunya, sehingga dengan demikian, maka
betapa pun ia masih mampu untuk mempertahankan kesadaran dan
keseimbangan perasaannya. Bahkan kemudian terdengar Mahisa Agni itu
berkata lantang, “Ah tuan ternyata menunggu aku di sini.”
Suara tertawa itu tiba-tiba berhenti. Dan
meloncatlah dari dalam gerumbul itu sebuah bayangan hitam yang tidak
begitu jelas di dalam malam yang kelam. Namun Mahisa Agni masih juga
dapat melihat ujud dan bentuk rubuh itu. Tidak terlalu tinggi, namun
tampaknya dadanya lebar dan perutnya besar. Tetapi ia tidak dapat
melihat tubuh itu dengan jelas. Yang terdengar kemudian orang itu
berkata dengan suaranya yang parau, “He, akhirnya kau lewat juga di
sini setelah berbulan-bulan aku menunggumu.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
orang itu. Berbulan-bulan ia menunggu. Dengan demikian maka orang ini
sama sekali bukan orang yang digelisahkannya, yang tiga hari yang
lampau berjalan mendahuluinya. Meskipun demikian Mahisa Agni masih
harus mencoba mengetahui, siapakah yang sedang dihadapinya itu.
Orang itu, yang baru saja meloncat dari
dalam gerumbul itu, kemudian berjalan perlahan-lahan mendekatinya.
Dalam malam yang gelap itu, jelas dapat dilihat oleh Mahisa Agni bahwa
orang itu berjalan agak timpang. Meskipun demikian nampaknya orang
timpang, itu cukup tangkas dan lincah.
Beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni,
orang timpang itu berhenti. Ditatapnya wajah Agni dan kemudian dengan
suaranya yang parau ia bertanya, “Nah, anak muda. Akhirnya kau datang
juga.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar mendengar sapa itu. Jawabnya, “Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini?”
“Ah, jangan berpura-pura. Aku sudah
menunggumu sejak berbulan-bulan yang lalu. Hampir aku menjadi putus
asa. Namun akhirnya kau datang juga,” sahut orang timpang itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Kemudian tiba-tiba ia berkata menyentak, “Jangan bohong! Kau baru tiga
hari datang di tempat ini. Bukankah kau baru datang dari Gunung
Merapi?”
Orang timpang itu terkejut. Sesaat ia
berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar kemudian tawanya berderai.
Jawabnya, “Jangan mengada-ada. Apakah kau sedang bermimpi?”
Mahisa Agni pun tertawa. Ia tidak mau
tenggelam dalam pembicaraan yang melingkar-lingkar, yang seakan-akan
ingin menyeretnya dalam persoalan yang tak dimengertinya. “Orang ini
sedang menjebak aku,” katanya di dalam hati. Karena itu ia menjawab,
“Apakah kau melihat aku sedang tidur?”
Orang timpang itu mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia menatap wajah Mahisa Agni dengan seksama. Gumamnya,
“Sayang, malam begini gelap. Namun aku dapat menduga bahwa kau adalah
seorang anak muda yang tampan. Siapakah namamu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia
menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah orang itu perlu mengetahui namanya?
Maka sebelum persoalannya menjadi jelas, maka ia tidak ingin menyebut
namanya. Karena itu ia tidak menjawab pertanyaan orang timpang itu,
bahkan terdengar ia bertanya, “Siapakah kau?”
Orang itu menjadi heran mendengar
pertanyaan Agni. Katanya, “He, anak muda. Kau benar-benar tidak
mengenal sopan santun pergaulan. Meskipun telah berbulan-bulan aku
menyingkir dari pergaulan, namun aku masih menerapkannya. Apakah kau
sangka meskipun di dalam rimba yang sepi ini, di antara kita,
manusia-manusia ini, sudah tidak perlu lagi tata kesopanan?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil tertawa pendek ia menjawab, “Apakah kau
memperkenalkan dirimu dengan sopan kepadaku? Apakah suara tertawamu itu
pun menunjukkan tata pergaulan orang-orang beradab? Ki Sanak, aku
telah mencoba menyesuaikan diriku dengan caramu menyambut
kedatanganku.”
Terdengar orang timpang itu menggeram.
Suaranya yang parau menjadi semakin parau. Dalam keremangan malam itu,
semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin jelas melihat wajah orang
timpang itu. Wajahnya pun agaknya telah berkerut-kerut dan beberapa
bagian tampaknya telah menjadi cacat.
“Hem,” sahut orang timpang itu, “jangan terlalu sombong.”
“Tidak,” jawab Agni, “pertemuan kita
adalah pertemuan yang aneh. Apakah dalam pertemuan yang demikian kau
perlu mengenal namaku? Kalau kau merasa, bahwa kedatangan seseorang
yang telah kau tunggu-tunggu, maka aku sangka kau telah mengenal aku.”
“Kau memang pandai berbicara anak muda,”
berkata orang timpang itu, “tetapi kepandaianmu berbicara belum
mencerminkan kejantananmu, meskipun aku yakin, bahwa kau pasti bukan
orang kebanyakan. Ternyata kau telah berani penempuh perjalanan ini.”
“Nah, sekarang katakan, apa perlumu?” bertanya Agni tiba-tiba.
Kembali orang itu terkejut. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia menjawab, “Kau belum menjawab, siapa namamu.”
“Pertanyaanmu tak akan kujawab. Kau pun
menyembunyikan beberapa persoalan. Kau sama sekali belum lama berada di
daerah ini. Kenapa kau katakan telah berbulan-bulan.”
“Aku memang telah berbulan-bulan berada
di tempat ini. Ketahuilah, orang yang kau katakan, yang datang tiga
hari yang lampau ke daerah ini, dan datang dari Gunung Merapi itu,
selamanya tidak akan kembali lagi.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
jawaban itu. Matanya tiba-tiba menjadi semakin tajam memandang wajah
orang timpang yang menyeramkan ini. Dan tiba-tiba saja, Mahisa Agni
telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Yang terdengar kemudian ia
bertanya, “Ke mana orang itu?”
“Orang itu pun terlalu sombong seperti
kau. Ia tidak mau menyebut namanya, selain asalnya itu, dari Gunung
Merapi. Nah, sekarang tak seorang pun yang tahu, mayat siapakah yang
telah terapung-apung di rawa-rawa itu.”
“Orang itu kau bunuh?”
“Ya. Ia menjengkelkan sekali seperti kau.”
“Hanya karena itu sudah cukup alasan bagimu untuk membunuh?”
“Tentu. Orang itu tidak mau menjawab
pertanyaanku. Karena itu, aku menyangka bahwa orang itulah yang aku
tunggu-tunggu selama ini. Namun akhirnya setelah orang itu mati,
ternyata yang aku cari tak ada padanya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Orang ini agaknya benar-benar orang yang telah menjadi buas. Namun ia
masih bertanya, “Apakah sebenarnya yang kau cari?”
“Baik, aku akan memberitahukan kepadamu.
Tetapi kalau bersikap seperti orang Gunung Merapi itu kau pun akan
mengalami nasib yang sama,” orang itu berhenti sejenak. Dan tiba-tiba
saja ia bertanya, “Kau datang dari mana?”
Mahisa Agni berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,Aku datang dari kaki Gunung Kawi.”
“Hem,” gumam orang itu, “orang-orang dari
berbagai gunung datang ke kaki Gunung Semeru. Nah, sekarang katakan
kepadaku, apakah kau akan mengambil akar di dalam gua di lereng itu?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan
Mahisa Agni. Ternyata bahwa selain gurunya ada orang lain yang
mengetahui akar wregu putih di dalam gua tersebut. Namun Mahisa Agni
bukan menjadi bingung karenanya. Jawabnya, “Apakah orang yang kau bunuh
itu juga mencari benda yang kausebutkan itu?”
—–
“Orang itu kau bunuh?”
“Ya, ya menjengkelkan sekali seperti kau.”
“Hanya karena itu sudah cukup alasan bagimu untuk membunuh?”
—–
“Orang itu kau bunuh?”
“Ya, ya menjengkelkan sekali seperti kau.”
“Hanya karena itu sudah cukup alasan bagimu untuk membunuh?”
—–
“Jangan membuat aku marah!” bentak orang
itu, “Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku. Kau selalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Sekarang jawab pertanyaanku, apakah
kau juga sedang mencari akar wregu putih itu?”
“Kau juga jangan membuat aku marah,”
jawab Agni dengan berani. Perjalanan telah ditempuh sekian lamanya.
Kini gua itu sudah di depan hidungnya. Karena itu, apa pun yang akan
dihadapinya ia tidak akan gentar.
Mendengar jawaban Mahisa Agni, orang
timpang itu menjadi bertambah heran. Terdengar ia menggeram, “Alangkah
beraninya kau anak muda. Apakah kau belum pernah mendengar sebuah nama
yang cukup terkenal di sekitar daerah Gunung Semeru ini. Akulah yang
bernama Empu Pedek.”
Dada Mahisa Agni bergetar mendengar nama
itu. Meskipun nama itu belum pernah didengarnya, namun terasa sesuatu
yang telah menggetarkan dadanya. Meskipun demikian ia tetap pada
sikapnya. Siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan jawabnya, “Hem.
Baru sekarang kau mau menyebut namamu. Tetapi kau belum menyebut apakah
yang sebenarnya sedang kau cari, sehingga kau bunuh orang dari kaki
Gunung Merapi itu.”
Orang timpang itu memandang Mahisa Agni
seperti hendak membelah dadanya dengan sinar matanya. Kepalanya
dimiringkannya ke kanan, dan kemudian terdengar suaranya parau,
“Ternyata kau pun akan mengalami nasib yang sama. Orang dari Gunung
Merapi itu pun akan mengambil akar wregu putih itu. Tetapi ia
benar-benar orang gila. Akar itu sendiri tak akan bermanfaat bagi
seseorang. Sekarang katakan kepadaku hai anak muda, supaya nyawamu aku
biarkan tinggal di dalam tubuhmu. Manakah trisula itu?”
Dada Mahisa Agni seakan-akan tertimpa
guruh yang langsung menyambar dirinya. Pertanyaan itu benar-benar
mengejutkannya. Ternyata orang yang menamakan diri Empu Pedek itu,
tidak saja mengetahui akar wregu putih di dalam gua yang sedang
ditujunya, namun ia tahu juga tentang trisula, rangkapan akar wregu
itu. Karena itu, kini Mahisa Agni pun menjadi semakin pasti, bahwa ia
tidak akan dapat meninggalkan tempat itu tanpa beradu kesaktian. Karena
itu, maka segera diaturnya perasaannya. Disiapkannya segala ilmu yang
telah dimilikinya, untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tidak mustahil,
bahwa Empu Pedek ini adalah seorang yang sakti. Dan ia sama sekali
tidak dapat menduga, apakah ia akan mampu untuk menahan kemarahan orang
timpang itu..
Namun betapa pun juga, Mahisa Agni
pantang surut. Telah banyak bahaya yang diatasinya di sepanjang
perjalanan. Namun ia sadar bahwa bahaya kali ini, jauh lebih berarti
dari segenap rintangan yang pernah ditemuinya.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka kembali terdengar suara parau Empu Pedek, “He anak muda. Manakah trisula itu?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab, “Ternyata bukan aku yang sedang bermimpi, tetapi kau.”
“Setan!” sahut orang itu. Suaranya yang
parau itu bergetar. Mahisa Agni merasakan, betapa orang timpang itu
mengendalikan kemarahannya. Katanya, “Anak muda. Bagimu akan berakibat
sama. Kau pasti akan kehilangan trisula itu. Hidup atau mati.”
“Trisula apakah yang sedang kau katakan itu?”
“Jangan bohong seperti orang Gunung
Merapi itu. Kau pasti memiliki sebuah trisula kecil yang bernama
kekuning-kuningan. Kalau tidak, tak akan kau cari akar wregu itu.”
“Apakah orang dari Gunung Merapi itu juga berbohong?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian sambil membentak ia berkata, “Apa pedulimu? Orang itu telah mati.”
“Dan trisula itu tak ada padanya,” potong Agni.
“Karena itu pasti ada padamu.”
“Kau akan membuat kesalahan untuk kedua kalinya. Aku tidak membawa Trisula itu,” jawab Agni.
Mata orang timpang itu tiba-tiba menjadi
liar. Sekali-kali ia memandang wajah langit yang biru gelap, kemudian
merayap ke segenap penjuru. Namun akhirnya kembali hinggap di wajah
Mahisa Agni.
“Aku tidak peduli. Akan aku bunuh semua orang yang lewat di sini. Akan aku cari pada mayatnya, trisula itu.”
Betapa pun kata-kata itu membuat
bulu-bulu Mahisa Agni meremang. Bukan karena ia menjadi ketakutan,
namun betapa orang yang dihadapinya itu benar-benar telah menjadi buas.
Karena itu maka hatinya justru menjadi semakin teguh. Dan bahkan
tiba-tiba ia berkata, “Empu Pedek. Sebenarnya di antara kita tidak ada
persoalan. Aku minta kepadamu supaya kau batalkan niatmu.”
Terdengar Empu Pedek itu tertawa nyaring.
Sedemikian nyaringnya sehingga seakan-akan daun-daun pepohonan menjadi
bergoyang karenanya. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras dan
memuakkan. Perlahan-lahan terasa di dada Mahisa Agni getaran-getaran
aneh yang merayap-rayap seakan-akan melibat jantungnya. Tetapi Mahisa
Agni tidak membiarkan jantungnya menjadi beku. Ia sadar, bahwa orang
timpang itu telah mulai menyerangnya. Karena itu ia harus mengadakan
perlawanan. Namun karena orang timpang itu belum menyerang dengan
tubuhnya, Mahisa Agni pun masih ingin bertahan dengan kekuatan batinnya
Dalam keadaan yang demikian, betapa Agni berterima kasih kepada
gurunya. Ilmu diberikan kepadanya ternyata telah cukup banyak, sehingga
ia telah berhasil mengatasi sebagian dari rintangan-rintangan di dalam
perjalanannya. Bukan saja perjalanan kali ini, namun perjalanan
seluruh hidupnya, yang pasti akan ditemuinya rintangan-rintangan yang
tak kalah beratnya. Juga Mahisa Agni kini menyadari kebenaran
perhitungan gurunya, supaya trisulanya tidak dibawanya serta. Ternyata
setidak-tidaknya Empu Pedek ini pun telah mengetahuinya, kedahsyatan
pusaka rangkap itu.
(hilang beberapa paragraph)
….. bersiaga penuh. Dengan tangkasnya ia
menghindari serangan itu, dan setangkas itu pula Mahisa Agni membalas
serangan itu dengan sebuah pukulan pada tengkuknya selagi ia masih
ditarik oleh tenaga serangannya. Namun orang itu pun cekatan pula.
Dengan cepat ia merendahkan tubuhnya, meskipun kemudian ia harus
berguling sekali. Tetapi dengan lincahnya ia melenting berdiri tegak.
Bahkan sudah siap pula dengan serangan-serangannya. Sekali lagi Mahisa
Agni melihat jari-jari tangan orang itu mengembang seperti hendak
mencengkeram. Dan sekali lagi Mahisa Agni melihat orang itu dengan
kasarnya menyerangnya dengan satu terkaman. Kali ini pun Mahisa Agni
sempat menghindarkan diri dan bahkan membalasnya dengan serangan kaki
yang mendatar, namun dengan menggeliat orang timpang itu pun berhasil
lepas dari garis serangannya.
Demikianlah mereka akhirnya terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Meskipun kaki Empu Pedek itu timpang
namun tandangnya bukan main. Keras dan kasar. Serangan-serangannya
datang beruntun seperti ombak yang menghentak-hentak pantai. Tak
henti-hentinya memukul-mukul dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Agni pun
mampu mengimbanginya dengan kelincahan dan ketangkasan yang
mengagumkan. Seperti seekor burung yang bermain-main di atas ombak
lautan. Sekali menukik menyentuh gelombang lautan dengan
sayap-sayapnya, namun kemudian dengan tangkasnya menghindarkan diri
apabila gelombang yang deras melandanya.
Mahisa Agni pernah bertempur melawan
hantu padang rumput Karautan yang dengan kasar menyerangnya. Namun
kekuatan mereka berbeda. Hantu padang Karautan itu sama sekali bukan
seorang yang tangkas dan mampu menghindari serangan-serangan lawannya,
namun tubuhnyalah yang seakan-akan menjadi kebal. Tetapi hantu kaki
Gunung Semeru ini benar-benar memiliki ketangkasan dan kecepatan
bergerak. Namun kekuatannya tidak sebesar hantu Karautan. Sekali-sekali
apabila kekuatan mereka berbenturan, maka Empu Pedek itu pun terdorong
surut meskipun Mahisa Agni pun tergetar pula. Tetapi sekali-kali
Mahisa Agni mendengar orang timpang itu berdesis menahan sakit seperti
dirinya yang kadang-kadang harus menyeringai oleh sengatan-sengatan
tangan orang timpang itu.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Dalam malam yang kelam itu, keduanya seolah-olah telah
menjelma menjadi bayangan-bayangan kabut yang berputar-putar karena
angin pusaran. Masing-masing melihat lawannya dari arah yang
membingungkan, meskipun mereka berdua kadang-kadang terpelanting pula,
terbanting di atas tanah yang lembab itu.
Meskipun mereka masing-masing telah
berkelahi dengan segenap tenaga, namun tak seorang pun di antara mereka
yang mengalahkan lawannya. Orang timpang itu ternyata bertenaga sekuat
tenaga seekor harimau belang, namun Mahisa Agni pun mampu bertempur
setangguh banteng jantan.
Namun betapa pun mereka berdua memiliki
tenaga yang melampaui tenaga orang kebanyakan, serta betapa mereka
mampu mengungkit tenaga-tenaga cadangan yang tak dapat dilakukan oleh
orang lain, namun karena mereka telah memeras diri dalam perkelahian
itu, maka tenaga mereka pun semakin lama menjadi semakin susut. Tidak
saja karena mereka kehilangan banyak tenaga, namun tubuh mereka pun
telah menjadi merah biru dan perasaan nyeri hampir membakar segenap
tulang daging mereka.
Demikianlah, maka perkelahian yang
dahsyat, yang seolah-olah benturan dari dua angin pusaran yang
berlawanan arah itu, semakin lama menjadi surut. Dengan sisa-sisa
tenaga mereka yang terakhir mereka mencoba untuk menenangkan
perkelahian itu.
“Gila!” terdengar Empu Pedek mengumpat, “kau mampu bertahan melampaui orang dari Gunung Merapi itu?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun ia pun menggeram, “Bukan main. Tetapi jangan coba halangi aku.”
“Kembalilah sebelum tulang-tulangmu remuk.”
“Tulangku tak selunak lempung,” sahut Mahisa Agni.
Orang itu menggeram pula. Sekali-kali ia
masih menyerang dengan gerak yang berbahaya. Namun kecepatan telah jauh
berkurang, sehingga meskipun Mahisa Agni pun telah kelelahan, namun ia
masih mampu untuk setiap kali menghindarinya. Bahkan Agni pun masih
juga sempat membalasnya dengan serangan-serangan yang tidak kalah
berbahayanya. Malahan kemudian dengan sisa-sisa tenaganya yang
terakhir, Mahisa Agni masih mampu untuk mengenainya beberapa kali.
Dengan sebuah sambaran kaki mendatar, Mahisa Agni berhasil menghantam
lambung orang timpang itu. Empu Pedek tidak menyangka bahwa hal
demikian masih bisa terjadi. Karena itu, tiba-tiba ia terdorong
beberapa langkah surut.
Mahisa Agni tidak melepaskan kesempatan
itu. Betapa pun kakinya terasa berat, namun dipaksanya juga ia meloncat
dua loncatan, kemudian tangan kanannya terayun deras sekali mengenai
dagu Empu Pedek. Terdengarlah sebuah rintihan yang patah, dan wajah itu
pun terangkat dan sekali lagi sebuah sentakan tangan Agni mengenai
perutnya. Kini Empu Pedek sekali lagi terdorong surut, dan kepalanya
tertarik ke depan. Namun orang timpang itu tidak mau mukanya jadi
hancur sama sekali. Ketika ia melihat tangan Mahisa Agni menyambar
sekali lagi, orang itu sempat memiringkan kepalanya, sehingga tangan
itu meluncur di samping telinganya. Demikian kerasnya Agni mengayunkan
tangannya dengan sisa-sisa tenaganya maka kini ia terhuyung-huyung oleh
tarikan tenaganya sendiri. Empu Pedek pun tak membiarkannya
memperbaiki keseimbangannya. Sebuah pukulan menyentuh tengkuk Mahisa
Agni. Tidak terlalu keras, karena tenaga orang timpang itu telah hampir
habis pula, namun sentuhan itu telah cukup mendorongnya, sehingga
Mahisa Agni jatuh terjerembab. Mahisa Agni yang telah kehilangan
sebagian besar dari tenaganya itu, tidak mampu lagi untuk segera
melenting berdiri, sehingga karena itu, maka segera ia berguling dan
melihat apa yang akan dilakukan oleh Empu Pedek itu.
Empu Pedek yang melihat Agni terjerembab,
dan kemudian berguling menengadah, tiba-tiba menyeringai mengerikan
sambil tertawa liar. Katanya hampir berteriak, “Akhirnya aku pun
berhasil membunuhmu.”
Mahisa Agni masih menyadari keadaannya
sepenuhnya. Ia mendengar orang timpang itu berkata demikian. Karena
itu, maka segera Agni pun mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan
menanti apakah yang akan dilakukan oleh Empu Pedek itu.
Ternyata Empu Pedek itu segera bersikap,
kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari-jari mengembang. Dengan
dahsyatnya ia berteriak. Kemudian dengan satu loncatan panjang ia
menerka m Mahisa Agni. Tetapi loncatannya telah tidak sedemikian
garang. Namun Agni pun tidak setangkas semula, sehingga ia tidak mampu
menghindari terkaman itu. Dengan jari-jari tangannya Empu Pedek
berusaha untuk mencekik leher Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni tidak
membiarkannya kuku-kuku orang timpang itu menembus kulit lehernya.
Dengan secepat yang dapat d lakukan, Agni memasukkan kedua tangannya di
antara tangan-tangan Empu Pedek. Dengan satu gerak yang menyentak ia
mengembangkan tangannya.
“Setan!” teriak Empu Pedek. Dengan
serta-merta tangannya itu pun terlepas, sehingga hampir saja wajahnya
terjerembab menghantam wajah Mahisa Agni.
Meskipun demikian, Empu Pedek tak mau
melepaskan Mahisa Agni. Dengan serta-merta pula, orang timpang itu
melingkarkan tangannya ke leher Agni, sehingga dengan sebuah tekanan
yang kuat, leher anak muda itu terjepit di antara kedua bagian tangan
lawannya. Dengan kedua tangannya Agni mencoba melepaskan jepitan itu.
Namun sia-sia Bahkan terasa tangannya seakan-akan telah lenyap.
Karena itu, maka kemudian Agni pun
berbuat serupa. Dilingkarkannya tangannya ke leher Empu Pedek, dan
dengan sisa-sisa tenaganya, ia pun menjepit leher itu dengan kedua
bagian tangannya.
Kini mereka berdua ber-guling-guling di
tanah yang lembab becek itu. Tangan mereka masing-masing seakan-akan
telah terkunci di leher lawan. Dengan segenap tenaga-tenaga yang
dikenal sehari-hari, tenaga ungkapan dari ilmu-ilmu mereka, serta
tenaga-tenaga cadangan telah mereka kerahkan. Seandainya peristiwa itu
terjadi pada saat-saat mereka baru mulai, mungkin kedua-duanya tak akan
mampu untuk meneruskan perkelahian itu, sebab nafas-nafas mereka akan
terputus karenanya. Tetapi kini mereka telah kelelahan, sehingga tenaga
mereka pun telah jauh berkurang.
Dalam keadaan yang demikian itu, dalam
keadaan yang seakan-akan tak berakhir itu, Agni sempat menyentakkan
tangannya. Terdengar lawannya berdesah, namun tiba-tiba lawannya itu
memekik keras, dan dengan sebuah sentakan ia menggeliat, dan melepaskan
diri dari jepitan tangan Agni setelah tangannya sendiri dilepaskannya.
Mahisa Agni terkejut. Ia berusaha
menangkap kembali orang timpang itu, namun Empu Pedek segera
berguling-guling. Mahisa Agni pun segera menggulingkan dirinya pula.
Tetapi ia terlambat beberapa saat. Dengan terhuyung-huyung Empu Pedek
berdiri dan dengan serta-merta ia berlari tertatih-tatih masuk ke dalam
semak-semak yang rimbun.
Mahisa Agni pun segera berdiri pula.
Tetapi kakinya serasa seberat timpah. Beberapa langkah ia maju mengejar
Empu Pedek, tetapi ketika kakinya terperosok sebuah lekukan tanah yang
kecil, ia kehilangan keseimbangan dan hampir saja ia jatuh kembali.
Namun ia masih mendengar Empu Pedek itu
berkata dari balik rimbunnya daun-daun belukar, “Sekarang kau
memenangkan perkelahian ini anak muda. Namun jangan mengharap kau dapat
kembali. Aku akan menunggumu sampai kau turun dari gua itu.”
“Kenapa kau licik?” teriak Agni yang
marah, “marilah kita selesaikan persoalan kita sekarang. Jangan besok
atau lusa atau kapan pun.”
Tetapi Empu Pedek tidak menyahut. Yang
terdengar kemudian adalah nafas Mahisa Agni sendiri. Terengah-engah dan
serasa hampir putus di dadanya. Bahkan kembali terasa Mahisa Agni
kehilangan keseimbangan. Kepalanya menjadi pening dan dunia ini
seakan-akan berputar. Ternyata anak muda itu telah memeras habis
segenap tenaganya, sehingga ia hampir-hampir menjadi pingsan karenanya.
Mahisa Agni menyadari keadaannya. Segera
ia duduk di atas tanah yang becek di samping bungkusannya.
Dipejamkannya matanya, dan dipusatkannya kekuatan batinnya untuk
menemukan kembali setiap tenaga yang ada di dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mencoba mengatur pernafasannya.
Ditenangkannya getaran-getaran di dalam dadanya yang bergelora
Akhirnya, meskipun lambat sekali, namun
Mahisa Agni berhasil menguasai kesadarannya sepenuhnya. Nafasnya
perlahan-lahan menjadi teratur kembali dan getaran-getaran di dadanya
pun menjadi berkurang. Darahnya kini telah tersalur sewajarnya. Namun
betapa lemahnya ia setelah dengan matian-matian ia mengerahkan segenap
kemampuannya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
bersyukur atas karunia Yang Maha Agung. Ternyata ia telah dapat
membebaskan dirinya dari orang yang menamakan dirinya Empu Pedek itu.
Seandainya, ya seandainya Empu Pedek mampu bertahan untuk sesaat saja,
maka keadaannya pasti akan sangat berbeda. Sesaat lagi, apabila ia
masih harus memeras tenaganya, mungkin ia akan menjadi benar-benar
pingsan. Apabila demikian, betapa pun lemahnya Empu Pedek, tetapi ia
akan dapat membunuhnya tanpa perlawanan. Namun agaknya orang timpang
itu pun telah kehabisan tenaga seperti dirinya. Karena itu, nasibnya
menjadi lebih baik dari nasib orang dari Gunung Merapi yang datang tiga
hari sebelumnya.
Ketika getar di dadanya telah benar-benar
menjadi tenang, Mahisa Agni menggeliat. Digerak-gerakkannya tangan dan
kakinya perlahan-lahan untuk menyalurkan darahnya secara wajar. Dengan
hati-hati ia berjongkok, kemudian dijulurkannya kaki-kakinya
berganti-ganti.
Apabila tubuhnya terasa sudah wajar
kembali, meskipun kekuatannya sama sekali belum pulih, maka kembali
Mahisa Agni duduk di samping bungkusannya. Di dalam bungkusan itu masih
ditemukannya beberapa buah-buahan segar. Dengan buah-buahan itu Mahisa
Agni berusaha untuk menyegarkan tubuhnya kembali. Tubuhnya yang
seakan-akan telah dilolosi segala tulang belulangnya.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas.
Buah-buahan itu terasa betapa segarnya dan tubuhnya pun terasa semakin
segar pula. Namun demikian keringatnya masih saja mengalir tanpa
henti-hentinya. Dari dahi dan keningnya, menitik di pangkuannya. Dari
punggungnya, dari seluruh wajah kulitnya. Belum pernah Mahisa Agni
bertempur seperti apa yang baru saja dilakukannya. Bahkan ia menjadi
heran atas tenaganya sendiri. Dengan tekad yang menyala-nyala, serta
taruhan yang sangat berharga, ia telah berjuang seakan-akan melampaui
kemampuan yang wajar. Seakan-akan dorongan tekadnya telah menambah
kemampuannya bahkan berlipat-lipat. Kini Mahisa Agni sempat
mengenangkan orang timpang itu kembali sambil beristirahat. Orang itu
bertempur kasar dengannya. Untunglah ia mampu bertahan, meskipun ia
tidak dapat mengalahkan lawannya dengan mudah. Dan kini lawannya itu
sempat melarikan dirinya.
“Ke manakah larinya?” ia bertanya kepada
diri sendiri. Ia menyesal bahwa orang itu tidak dikejarnya. Namun
ketika disadarinya keadaannya, maka hal itu tak akan mungkin
dilakukannya. Apalagi mengejarnya, bahkan berdiri pun ia hampir tidak
mampu lagi.
Tetapi kemudian timbullah beberapa
pertanyaan lain di dalam benaknya. Orang timpang itu mungkin pergi
mendahuluinya ke gua tempat penyimpanan akar wregu putih itu.
“Orang itu adalah orang ketiga setelah
gurunya dan aku sendiri yang mengetahui persoalan akar wregu putih itu.
Mungkin orang dari Gunung Merapi itu pun mengetahuinya pula, namun
orang itu kini telah tidak ada lagi,” gumamnya seorang diri. Tetapi
tiba-tiba ia menjadi cemas.
“Apakah akar wregu itu benar-benar masih
berada di dalam gua itu? Mungkin orang yang bernama Empu Pedek itu
telah mengambil lebih dahulu.”
“Hem,” Mahisa Agni menggeram. Kalau
demikian maka perjalanannya yang panjang, serta segala macam
kesulitan-kesulitan yang pernah dilampauinya itu akan menjadi tanpa
arti.
“Aku harus membuktikannya dahulu,”
gumamnya, “apabila di dalam gua itu telah tidak dapat aku temukan akar
wregu putih itu, maka pekerjaanku akan berganti. Aku harus menemukan
orang timpang yang bernama Empu Pedek itu. Dan bernama Empu Pedek itu.
Dan akan kembali ke Panawijen tanpa akar wregu putih itu. Biar pun
puluhan tahun, bahkan sepanjang umurku sekali pun.”
Tiba-tiba saja dada Mahisa Agni bergelora
kembali. Meskipun tubuhnya masih lemah sekali, serta persendian
tulang-tulangnya masih terasa sakit, dan bahkan pedih-pedih di hampir
segenap tubuhnya, namun dengan susah payah ia berdiri. Diikatkannya
bungkusan kecilnya pada pundaknya, serta dengan tongkat di tangannya.
Mahisa Agni melangkah meneruskan perjalanannya. Tertatih-tatih,
bertelekan tongkat dalam malam yang gelap.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak
menyesal, bahwa ia telah menempuh perjalanannya yang berat itu. Apapun
yang akan terjadi adalah satu akibat yang wajar dari perjuangannya.
Karena itu, maka betapa pun beratnya, betapa perasaan sakit dan nyeri
menjalar hampir di seluruh tubuhnya, betapa penat dan lelahnya, bahkan
betapa jiwanya dipertaruhkan, namun hatinya telah bulat. Akar wregu
putih itu harus ditemukan.
Kini ia berjalan setapak demi setapak
maju. Dalam kelamnya daun-daunan hutan. Dengan tongkatnya Mahisa Agni
meraba-raba jalan, dan dengan pandangan matanya yang tajam ia mencari
arah. Untunglah, meskipun belum sempurna, namun Mahisa Agni telah cukup
terlatih, sehingga ia dapat membedakan, tanah yang gembur berlumpur,
tanah yang rapuh dan tanah yang cukup keras.
Dalam perjalanannya yang sangat lambat
itu, Mahisa Agni selalu mencoba untuk menduga-duga, apakah akar wregu
putih itu masih berada di tempatnya, atau telah hilang diambil oleh
orang timpang yang menamakan dirinya Empu Pedek itu.
Demikianlah, setiap kegelisahannya
melonjak di dadanya, maka kakinya pun seakan-akan ingin meloncat
berlari. Namun Agni tak dapat melakukannya. Kakinya masih lemah,
selemah tangkai bunga yang kehabisan air. Lesu. Sedang jalan yang
terbentang di hadapannya sangat gelapnya. Batang-batang pohon liar.
Perdu berduri den segala macam tumbuh-tumbuhan yang buahnya dapat
dimakan, sampai tumbuh-tumbuhan beracun dan buah-buahan makanan ular.
Tetapi Mahisa Agni pantang mundur. Ia
berjalan terus dalam gelapnya malam. Di selatan ia masih melihat
bintang Gubug Penceng yang dapat menuntunnya mencari arah. Ia harus
berjalan lurus ke barat apabila ia tidak ingin tersesat. Apa pun yang
ada di jalan yang akan dilampauinya. Binatang buas, orang-orang jahat
atau apa pun, meskipun seandainya hantu-hantu yang menghadangnya, maka
ia pun tak akan dapat digentarkan.
Jalan itu pun semakin lama menjadi
semakin sulit. Setelah lapangan yang sempit. Mahisa Agni sampai ke
daerah yang berlereng curam. Dengan demikian ia harus lebih
berhati-hati. Kadang-kadang Mahisa Agni merangkak, kadang-kadang bahkan
berjalan sambil berjongkok. Dan bahkan kadang-kadang ia terduduk
dengan nafas terengah-engah.
Di kejauhan masih terdengar auman harimau
berebut mangsa, dan sekali-kali salak anjing-anjing hutan menyobek
sepi malam. Dan setiap suara yang terdengar, rasa-rasanya menyentuh
sampai ke ulu hati. Tetapi semuanya itu sama sekali tidak menarik
perhatian Mahisa Agni. Pikirannya bulat-bulat ditelan oleh gua, akar
wregu putih dan orang timpang.
Meskipun sangat lambat namun Mahisa Agni
semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan lereng gundul yang
ditujunya. Ketika embun malam menitik setetes di tubuhnya, terasa
betapa segarnya.
Ketika Mahisa Agni menengadahkan
wajahnya, dilihatnya cahaya semburat merah membayang di timur. Bintang
Gubug Penceng kini telah berguling ke barat dan hampir hilang dibalik
cakrawala.
“Hampir fajar,” desis Mahisa Agni. Namun
kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia dapat meneruskan perjalanannya
di siang hari? Gurunya berpesan mewanti-wanti kepadanya, supaya ia
berjalan di malam hari sejak batu padas di tengah rawa-rawa itu. Baru
setelah sampai di lereng gundul ia boleh mendakinya di siang hari.
Karena itu, sebelum hari menjadi terang, Mahisa Agni berusaha
mempercepat langkahnya. Tetapi kecepatan yang dapat dicapainya sangat
terbatas. Dengan demikian Mahisa Agni menjadi cemas, seakan-akan takut
dikejar oleh matahari yang segera akan timbul di timur. Tetapi Mahisa
Agni tidak dapat mencegah matahari itu. Bahkan ternyata bahwa matahari
itu datang terlampau cepat dari yang diharapkan.
Ketika cahayanya yang pertama terlempar
di atas daun-daun pepohonan dan menyangkut di atas ujung-ujung
batang-batang raksasa, Mahisa Agni menarik nafas. Sekali ia menggeliat
dan kemudian ia menguap. Lelah dan sakit-sakit di punggungnya masih
terasa. Namun kesegaran fajar telah menyegarkannya pula.
Ketika ia memandang ke selatan, ia masih
melihat di antara pepohonan yang tidak begitu pekat dan dari atas
ujung-ujung pepohonan yang tumbuh di lereng-lereng, jurang-jurang yang
dalam. Kemudian tampaklah sebuah dataran hutan yang lebat.
Mahisa Agni menarik nafas. Alam di
sekitarnya adalah alam yang dipenuhi oleh warna-warna hijau segar. Daun
yang hijau, rumput-rumput yang hijau dan batang-batang perdu yang
hijau. Tetapi ketika kemudian ia berpaling ke barat, ke arah yang akan
ditujunya, Mahisa Agni terkejut bukan kepalang. Dari balik kabut pagi,
Mahisa Agni melihat seakan-akan muncul di hadapannya sebuah dinding
raksasa yang berwarna kemerah-merahan. Dinding batu padas dan tanah
liat yang terbentang sedemikian luas. Mahisa Agni tegak seperti
tonggak. Dilihatnya dinding itu dengan dada yang bergelora. Ternyata
dinding yang dicarinya itu seolah-olah tiba-tiba saja muncul tidak jauh
lagi di hadapannya.
Karena itulah, maka tiba-tiba Mahisa Agni
menjadi sangat gembira. Ia tidak usah menunggu sampai besok. Tidak
usah menunggu malam datang. Apakah jarak yang sudah tinggal beberapa
langkah lagi itu harus ditempuhnya malam nanti dan membiarkannya hari
ini lewat? Tidak. Jarak yang pendek itu akan segera dicapainya.
Mahisa Agni pun kemudian melangkah pula.
Semakin cepat yang dapat dilakukan. Kini ia dapat melihat jalur-jalur
yang dapat dilewatinya, sehingga dengan demikian perjalanannya pun
benar-benar menjadi semakin cepat. Kakinya yang luka-luka oleh
ber-macam-macam duri dan batu-batu yang runcing sama sekali tak terasa.
Yang ada di dalam hatinya adalah gua itu. Selebihnya tak
dihiraukannya. Karena itu maka apapun yang terjadi padi tubuhnya
seakan-akan tak terjadi padanya.
Ketika matahari telah menjadi semakin
tinggi, dan ketika hari menjadi semakin terang, Mahisa Agni kini dapat
melihat, sebuah lubang yang hitam pada dinding raksasa itu.
Kini dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Gua di lereng yang gundul itulah yang harus didaki.
Mahisa Agni itu pun berhenti sejenak.
Sekali lagi ditatapnya seluruh permukaan dinding raksasa itu. Alangkah
besar kekuasaan yang mampu membangunkannya. Ketika kemudian Mahisa Agni
memandang kepada dirinya sendiri, maka ia tidak lebih dari sebuah
anak-anakan yang sangat kecil dibanding dengan kebesaran alam yang
dihadapinya. Apalagi dengan Maha Penciptanya.
Tetapi tiba-tiba disadarinya pula, bahwa
dirinya adalah sebagian dari alam itu, justru merupakan ciptaan yang
paling berharga di antara segenap isi alam ini. Ia adalah manusia. Dan
Maha Pencipta telah menciptakan manusia untuk memelihara dan
memanfaatkan alam yang diciptakannya pula. Bahkan sebagai wadah dan
sekaligus dikuasainya. Maka sebenarnyalah Maha Pencipta menciptakan
alam dan manusia di dalamnya dengan sifat Maha Cintanya seolah-olah
menempatkan seorang juru taman dalam pertamanan yang indah. Namun bukan
pertamanan sendiri. Apa yang dilakukan seharusnya berdasarkan atas
kehendak pemilik taman itu, bukan atas kehendak juru taman itu sendiri,
meskipun juru taman itu wenang melakukan apa pun atas pertamanan yang
diserahkan kepadanya. Ia dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat,
namun ia dapat juga mengkhianati dan merusak taman yang diserahkan
kepadanya. Ia dapat mempergunakan hasil taman itu untuk melakukan
hal-hal yang menggembirakan pemiliknya, namun ia dapat juga berbuat
sebaliknya. Akibatnya, pemilik taman itu dapat berterima kasih dan
bersenang hati kepadanya, atau sebaliknya pula.
Dan kini Mahisa Agni tegak di hadapan
dinding raksasa itu seperti seorang juru taman tegak di antara
tanaman-tanaman yang maha luas. Ialah yang wenang melakukan apa pun
atas tanaman-tanaman itu, bukan sebaliknya. Dan kini Mahisa Agni pun
merasakan dirinya sebagai manusia yang berhadapan dengan alam. Alam itu
harus ditundukkannya.
Demikianlah, maka kini Mahisa Agni
memandang lereng yang curam gundul dan berbatu-batu itu sebagai suatu
tantangan yang harus diatasinya. Betapa pun sulitnya, ia tidak boleh
menyerah melawan kesulitan-kesulitan, namun kesulitan itu harus
ditundukkannya.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dada
Mahisa Agni. Tekadnya yang bulat kini menjadi semakin mantap. Dengan
dada tengadah ia berdoa di dalam hatinya, semoga Yang Maha Agung
memberkahinya.
Karena itu, maka seakan-akan menjalarlah
suatu kekuatan baru di dalam tubuhnya. Kekuatan yang mengalir dari
pusat kehendaknya. Dari pusat kehendaknya, dari pusat tekad yang
menyala di dalam dadanya. Sehingga dengan demikian segera Mahisa Agni
melangkahkan kakinya kembali. Kini lebih mantap dan lebih cepat. Apa
pun yang akan dihadapinya kelak, Empu Pedek, atau apa saja. Meskipun
seandainya Empu Pedek itu datang bersama seorang kawannya, dua orang,
sepuluh atau berapa pun.
Mahisa Agni kini seolah-olah berlari-lari mengejar tantangan yang dihadapinya. Lereng yang terjal itu akan didakinya. Sekarang.
Mahisa Agni tidak memerlukan waktu
terlalu lama untuk mencapai lereng yang curam itu. Sebelum matahari
sampai ke pusat langit, Mahisa Agni telah sampai di bawah tebing gundul
itu. Sekali lagi ia mengagumi dinding raksasa itu. Ditengadahkannya
wajahnya, memandang jauh ke atas. Tinggi, tinggi sekali. Demikian
tingginya seakan-akan dinding itu akan roboh menimpanya.
Ketika tangan Mahisa Agni meraba dinding
itu, terasa di tangannya betapa dinding itu sekeras batu. Tetapi
beberapa ujung yang runcing menjorok seperti tonggak kayu yang aus.
Sekali-kali Mahisa Agni
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa tahun lampau ia pernah
mengagumi dinding itu pula. Bahkan saat itu ia lebih kagum lagi. Kini
ia sudah semakin dewasa. Dan kini ia telah berkeyakinan, bahwa
betapapun curam dan terjalnya, namun dinding harus ditaklukkannya.
Sekali lagi Mahisa Agni meraba-raba
lereng yang gundul itu. Kemudian dilepasnya bungkusan yang tersangkut
di pundaknya. Disangkutkannya pada batang-batang perdu beserta tongkat
kayunya.
Mahisa Agni kemudian tegak seperti
seseorang yang siap menunggu seorang lawan yang akan menerkamnya. Kedua
kakinya merenggang dan tangannya tergantung lurus di samping tubuhnya.
berpegangan pada pahanya, seakan-akan takut kakinya akan terlepas.
Ditatapnya batu-batu padas, batu-batu yang hitam kemerah-merahan serta
sebuah lubang yang hitam hampir di tengah-tengahnya. Kemudian
dipandangnya matahari yang kini telah tegak di atas kepalanya.
“Hem,” bergumam Agni seorang diri, “aku
akan menjadi silau karenanya. Biarlah aku menunggu sampai matahari itu
lewat di balik dinding ini.”
Namun Mahisa Agni masih tegak di
tempatnya. Ia menunggu matahari condong sedikit, sehingga matanya tidak
menjadi silau pada saat ia mendakinya.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Agni itu
terloncat seperti didorong hantu. Langsung ia berjongkok di bawah
tebing yang curam dan tinggi itu. Dengan mata terbelalak ia mengamati
sesuatu yang sangat menggetarkan hatinya. Telapak kaki manusia.
“Apakah artinya ini?” geramnya. Dan
sekali lagi ia mengamati telapak kaki itu. Satu, dua dan beberapa lagi
dapat ditemukannya di sekitar tempat itu. Apalagi akhirnya Mahisa Agni
melihat, telapak kaki itu hilang timbul di kaki lereng gundul itu. Pada
tanah yang agak liat ia melihat telapak itu condong ke atas. Dan
sekali lagi Mahisa Agni menggeram. Dari sini seseorang pasti pernah
naik ke gua ini.
“Pasti bukan telapak guru beberapa tahun yang lalu,” katanya di dalam hati.
“Pasti,” ulangnya. Dan Mahisa Agni pun memang pasti seperti apa yang sebenarnya, telapak itu masih agak baru.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berguncang karenanya. Kini ia pasti bahwa seseorang telah naik ke gua
itu. Dugaannya yang pertama adalah Empu Pedek.
“Kalau orang itu memanjat setelah kami
bertempur, maka orang itu pasti masih berada di dalam gua ini,”
pikirnya, “karena itu aku harus mendaki sekarang juga.”
Mahisa Agni kini tidak mau menunggu
apapun lagi. Kegelisahannya telah mendorongnya untuk segera mendaki
tebing itu. Dengan tergesa-gesa ia meloncat meraih bungkusannya.
Diambilnya keris pusaka peninggalan ayahnya, yang kemudian
diselipkannya di pinggangnya. Dengan keris itu ia sudah siap menghadapi
setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Mungkin ia harus membunuh,
meskipun karena terpaksa apabila ia tidak mau dibunuh. Mungkin ia harus
berbuat hal-hal yang belum pernah dilakukannya. Dan kemungkinan yang
paling pahit, ia tidak akan keluar lagi dari gua itu.
Bungkusan dan tongkat kayu Mahisa Agni
itu pun ditinggalkannya. Selain keris dan tubuhnya, tidak ada lagi yang
perlu dalam perjalanannya yang berbahaya itu.
Ketika tubuh dan jiwanya telah siap
benar-benar, maka mulailah Mahisa Agni dengan pendakian itu. Kini ia
telah sampai pada taraf terakhir dari ujiannya. Mendaki tebing,
menghadapi orang yang telapak kakinya telah ditemukannya. Namun mungkin
belum yang sebenarnya terakhir. Di perjalanan pulang pun masih mungkin
pula ditemuinya berbagai kesulitan-kesulitan.
Kini Mahisa Agni telah mulai dengan
pendakian itu. Seperti seekor semut ia merayap-rayap berpegangan dari
satu batu yang menjorong ke batu yang lain. Dengan hati-hati kakinya
setiap kali mencari pancadan yang kuat. Setapak demi setapak. Untunglah
bahwa matahari segera melampaui titik tertinggi di pusat langit,
sehingga kini Mahisa Agni telah tidak sedemikian silaunya. Dengan
pemusatan tenaga lahir batin, Mahisa Agni merambat terus di tebing yang
hampir tegak itu. Beberapa kali kakinya telah menganjak batu yang
salah, sehingga batu-batu itu berguguran jatuh ke bawah. Namun Mahisa
Agni cukup ber-hati-hati, sehingga ia sendiri selalu dapat
menghindarkan kakinya sebelum terlambat.
Tetapi batu-batu itu ada yang terlalu
runcing dan tajam, sehingga kaki-kaki Mahisa Agni pun kemudian menjadi
sakit dan pedih Tangannya telah luka di beberapa tempat. Meskipun
demikian Mahisa Agni masih tetap mendaki terus. Ia harus mencapai mulut
gua itu sebelum malam menjadi terlalu kelam.
Mahisa Agni yang muda itu ternyata
memiliki kekuatan melampaui manusia kebanyakan. Meskipun tenaganya
hampir terperas habis setelah ia bertempur melawan orang timpang yang
menamakan dirinya Empu Pedek, namun dengan waktu istirahat yang pendek
itu, ia telah mampu membawa dirinya pada suatu pendakian yang
berbahaya. Bahkan di sana sini batu-batu padas yang menjorok itu
menjadi basah oleh tetesan-tetesan mata-mata air yang kecil di dinding
terjal itu. Dengan demikian maka pekerjaan Mahisa Agni menjadi semakin
berbahaya.
Sekali-kali Mahisa Agni pun melihat pula,
batu-batu padas yang patah di atas kepalanya. Dengan melihat
bekas-bekasnya, Mahisa Agni mengetahui, bahwa bekas-bekas itu masih
sangat baru. Dengan demikian maka ia menjadi semakin pasti, bahwa
seseorang telah mendaki tebing ini sampai ke gua di atas itu.
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah
karenanya. Tetapi kegelisahannya itu mendorongnya untuk merayap semakin
cepat. Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkan dirinya kehilangan
pengamatan atas alam yang sedang dihadapinya.
Tubuh Mahisa Agni itu pun semakin lama
menjadi semakin tinggi melekat padat tebing yang curam itu. Apabila ia
sekali-kali menengok ke bawah, dilihatnya pohon-pohon sudah berada di
bawah kakinya. Sekali-kali ia terpaksa berhenti merapatkan tubuhnya
pada lereng yang terjal itu untuk sekedar beristirahat. Betapapun besar
hasratnya untuk segera sampai ke mulut gua itu, namun tenaganya pun
terbatas. Dan Mahisa Agni tidak bisa mengingkarinya apabila ia ingin
selamat sampai ke mulut gua itu.
Demikianlah perjalanan Mahisa Agni itu menjadi lambat, tetapi ia tetap maju menuju sasaran.
Matahari di langit semakin lama menjadi
semakin condong juga. Sinarnya yang putih tampak berkilat-kilat
menampar wajah mega-mega yang putih pula. Di kejauhan tampak berbagai
warna bertebaran di permukaan bumi. Warna-warna hijau segar, padang
rumput yang kekuning-kuningan dan hutan belantara yang menyeramkan.
Beberapa batang sungai tampak seperti ular-ular raksasa yang menjalar
ke pegunungan.
Mahisa Agni masih merambat terus.
Perlahan-lahan namun pasti. Betapa lelahnya dan betapa sulit perjalanan
itu. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Dan tangan dan
kakinya pun berkeringat pula. Sekali-kali ia merasakan pula kaki dan
tangannya menjadi pedih. Namun hanya sesaat, kemudian apabila teringat
olehnya akar wregu putih dan telapak- telapak kaki di bawah lereng ini
serta beberapa bekas batu-batu yang berguguran, maka perasaan pedih dan
lelahnya itu seperti lenyap disapu angin dari selatan yang bertiup
perlahan-lahan.
Semakin dekat Mahisa Agni dengan mulut
gua itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kalau orang itu masih
di dalam gua, dan menunggunya di mulut gua itu, maka keadaan itu akan
sangat berbahaya baginya. Apalagi kalau orang itu, orang timpang yang
baru saja bertempur melawannya. Dengan satu sentuhan kecil, maka ia
sudah akan terpelanting jatuh ke bawah yang tingginya beberapa puluh
depa itu.
Dengan demikian, dengan
kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan itu, maka Mahisa Agni
tidak langsung menuju ke mulut gua itu. Ia menuju beberapa depa di
sampingnya,untuk kemudian mendekati gua itu dari arah samping. Dengan
demikian ia dapat menghindari atau setidak-tidaknya mengurangi
kemungkinan yang dapat sangat menyulitkannya.
Sebelum Mahisa Agni mendekati gua itu, ia
berhenti pula untuk beristirahat. Ketika didapatinya bongkahan batu
yang baik, maka ia pun berdiri di atas batu itu untuk beberapa saat
sambil bersandar lereng itu. Dicobanya untuk mengumpulkan kembali
sisa-sisa tenaganya. Mungkin masih akan dihadapinya bahaya yang lebih
besar lagi justru di mulut gua itu. Mungkin seseorang menunggunya dan
menyentuhnya, supaya ia terlempar jatuh.
Kini Mahisa Agni tidak perlu tergesa-gesa
lagi. Ia telah berdiri beberapa langkah di samping mulut gua itu. Baru
ketika kekuatannya terasa telah tumbuh kembali meskipun lambat, ia
merayap pula semakin dekat semakin dekat.
Mahisa Agni itu pun kemudian telah
berdiri dekat di samping mulut gua itu. Sekali lagi ia berhenti.
Dicobanya untuk menangkap setiap suara yang ada di dalam gua. Namun
yang didengarnya hanyalah siul angin yang bertiup semakin kencang.
Dengan sangat hati-hati Mahisa Agni
berusaha untuk melihat gua itu. Alangkah gelapnya. Namun mulut gua itu
tidak terlalu gelap. Cahaya yang tidak langsung betapa lemahnya, yang
bertebaran di mulut gua itu telah cukup untuk meneranginya. Dan Mahisa
Agni tidak melihat apa pun. Apalagi seseorang.
Kembali dada Mahisa Agni berdebar-debar.
Dan kembali ia memusatkan segenap panca inderanya. Namun ia tetap tidak
menangkap sesuatu yang mencurigakan. Gua itu tetap sepi.
Maka Mahisa Agni itu pun segera bersiap.
Diaturnya segenap geraknya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Dengan
gerak yang cepat Mahisa Agni menggeser dirinya, sehingga tiba-tiba ia
telah berada di dalam gua itu bersandar dinding tepinya, dengan penuh
kesiagaan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata tak seorang pun yang berada di mulut gua itu. Dengan demikian
ia bergeser semakin dalam. Tetapi ia belum berani untuk langsung masuk
ke dalam gelapnya gua itu. Sebab firasatnya mengatakan kepadanya bahwa
sesuatu pasti akan dihadapinya. Dan firasat itu telah diperkuat oleh
telapak- telapak kaki yang ditemukan di bawah tebing ini.
Kini Mahisa Agni duduk tepekur. Dicobanya
untuk memulihkan tenaganya lebih dahulu. Sebab kemungkinan yang
dihadapinya adalah sama gelapnya dengan gua itu sendiri. Mungkin ia
harus bertempur mati-matian, dan mungkin pula, ia harus berkubur di
dalam gua ini.
Ketika nafasnya telah teratur kembali dan
tenaganya telah sebagian besar dimilikinya, maka Mahisa Agni pun
bersiap pula. Sekali lagi ia berdoa kepada yang Maha Agung, semoga
perjalanannya kali ini akan berhasil.
Mahisa Agni itu pun kemudian
perlahan-lahan berdiri. Sekali-kali dirabanya keris dilambungnya.
Kemudian perlahan-lahan pula ia melangkah memasuki gua yang semakin
pekat. Namun lambat laun, matanya menjadi biasa pula dalam kegelapan,
sehingga semakin lama, meskipun hanya remang-remang ia dapat juga
melihat beberapa bagian dari gua itu. Apalagi mata Mahisa Agni yang
cukup terlatih itu. Dilihatnya pula dinding-dinding gua yang
seolah-olah bergerigi tajam. Beberapa ujung yang runcing menjorok
mengerikan.
Kaki Mahisa Agni semakin pedih juga.
Luka-luka yang ditimbulkan oleh ujung-ujung batu dan karang telah
melukai kakinya, tetapi luka-luka itu kemudian tak terasa lagi, ketika
segenap perhatiannya terpusat pada pusat gua yang gelapnya bukan
kepalang.
Ternyata gua itu cukup dalam. Namun
terasa oleh Mahisa Agni bahwa jalur-jalur di dalam gua itu semakin lama
semakin menanjak. Ternyata gua itu bertambah naik. Bahkan
kadang-kadang terasa Mahisa Agni seakan-akan naik di atas tingkatan
tangga yang dibuat oleh tangan manusia.
“Hem,” desahnya, “ternyata guruku bukan satu-satunya orang yang pernah mengunjungi gua ini.”
Tetapi kemudian anak muda itu bergumam pula, “Atau mungkin guru pula yang membuat anak tangga ini?”
Tetapi kemudian segenap perhatian Mahisa
Agni pun tenggelam dalam keasyikannya mendaki tangga-tangga yang lebih
sulit lagi. Semakin lama semakin tinggi. Dan jalur-jalur gua itu masih
menghunjam terus seakan-akan menembus ke pusat Gunung Semeru.
Mahisa Agni tidak tahu, sudah berapa
dalam ia masuk ke dalam lubang tanah yang menganga seperti mulut seekor
ular raksasa itu. Ia berjalan terus dan bahkan kadang-kadang harus
merangkak dengan susah payah. Bahkan kemudian Mahisa Agni masih
terpaksa beristirahat untuk beberapa saat lamanya.
Ketika kemudian Mahisa Agni berjalan
kembali, ia terkejut melihat cahaya di hadapannya. Gua itu pun semakin
lama menjadi semakin terang.
“Aneh,” katanya di dalam hati, “apakah aku sudah akan sampai ke ujung yang lain?”
Namun pertanyaan itu segera terjawab.
Ternyata gua itu telah jauh menanjak, sehingga kemudian tampaklah oleh
Mahisa Agni sebuah lubang yang tegak lurus ke atas. Dari lubang itulah
sinar yang tak langsung menusuk ke dalam gua itu. Meskipun demikian,
setelah sekian lama Mahisa Agni tersekap di dalam kegelapan, maka sinar
yang lemah itu terasa betapa nyamannya. Terasa seakan-akan ia baru
saja terlepas dari satu kungkungan yang menjemukan. Dari lubang itu
Mahisa Agni dapat memandang langit yang biru. Meskipun lubang itu tidak
begitu besar, bahkan karena panjangnya, maka ujung lubang itu
seakan-akan terkatup, namun daripadanya, Mahisa Agni segera dapat
mengetahuinya bahwa hari sudah menjelang senja. Dilihatnya sepintas
awan yang bergerak di langit, diwarnai oleh sinar yang kemerah-merahan.
Tetapi karena itu Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar karenanya. Kalau sebentar kemudian malam tiba, maka gua
itu akan menjadi semakin gelap.
Karena itu, maka kemudian Mahisa Agni itu
pun berusaha mempercepat langkahnya. Secepat yang dapat dilakukannya.
Dengan berpegangan dinding gua ia berjalan setapak demi setapak.
Seperti yang sudah dilakukannya, kadang-kadang ia harus merangkak,
sebab gua itu masih cenderung naik.
Lubang yang tegak menembus lambung Gunung
Semeru itu ternyata tidak hanya sebuah. Di mukanya, kembali Mahisa
Agni melihat cahaya yang kemerah-merahan. Ia pasti, bahwa cahaya itu
pun jatuh dari lubang yang serupa dengan lubang yang pernah dilihatnya.
Tetapi langkah Mahisa Agni itu pun segera
terhenti. Dalam cahaya yang kemerah-merahan itu, dilihatnya sesuatu
yang bergerak-gerak. Sebuah desir yang tajam menggores dada anak muda
itu. Benda yang bergerak-gerak itu tampak remang-remang di seberang
cahaya yang kemerah-merahan sehingga Mahisa Agni tidak dapat segera
melihatnya dengan seksama. Namun kemudian anak muda itu melonjak. Dan
terdengar nyaring di dalam hati, “Seseorang telah mendahului aku.”
Mahisa Agni itu pun menggeram, Kini
ternyata dugaannya benar. Tapak kaki yang dilihatnya serta bekas-bekas
guguran batu-batu padas itu bukanlah sekedar karena angan-angannya
saja. Kini orang itu telah berada beberapa langkah di hadapannya.
Namun agaknya orang itu belum melihat
kehadiran iya. Karena itu Mahisa Agni pun berhenti di tempatnya. Bahkan
ia kemudian duduk di lantai gua yang lembab itu.
“Syukurlah, aku yang lebih dahulu melihatnya,” pikir Mahisa Agni.
Kini ia benar-benar menenangkan dirinya.
Ia hanya tinggal mengawasi orang itu. Sementara itu ia sempat untuk
memulihkan kembali segenap tenaganya setelah ia bertempur melawan Empu
Pedek, dan setelah ia memeras sisa tenaganya untuk mendaki lereng
gundul di kaki Gunung Semeru itu.
Mahisa Agni telah bertekad untuk tidak
menyapanya lebih dahulu. Ia masih memerlukan waktu untuk memulihkan
tenaganya kembali. Mungkin orang itu telah beristirahat pula sehingga
orang telah memiliki kesegaran tenaganya kembali. Bahkan mungkin telah
dua tiga hari ia berada di tempat itu, atau bahkan mungkin ia telah
berhasil mengambil akar wregu putih itu.
Bahkan kemudian timbul pula pertanyaan di
dalam dirinya, apakah orang itu Empu Pedek yang timpang? Kalau
demikian, maka ia harus mengulangi pertempuran sekali lagi seperti yang
pernah terjadi. Namun kali ini ia tidak akan menanggung akibat dari
kekalahannya melawan orang timpang itu. Karena itu tiba-tiba ia meraba
hulu kerisnya. Meskipun keris itu tidak sesakti trisula kecil pemberian
gurunya, namun kerisnya adalah pusaka yang berbentuk senjata, yang
benar-benar dapat dipergunakannya untuk bertempur dan menyobek dada
lawannya. “Kalau aku harus bertempur sekali lagi, maka aku terpaksa
mempergunakannya,” katanya di dalam hati, “sebab akar wregu itu pun
sebuah pusaka rangkapan yang tak ternilai harganya.”
Di samping itu timbul pula berbagai
pertanyaan di dalam dadanya. Menurut gurunya, akar wregu putih itu
adalah rangkapan sebuah pusaka lain yang berbentuk trisula, seperti
yang dikatakan oleh Empu Pedek pula. Namun ternyata yang mencari akar
wregu itu terdapat seorang yang datang dari Kaki Gunung Merapi pula.
Apakah di samping sebagai pusaka rangkapan trisula, akar wregu putih
itu mempunyai nilai yang lain pula?”
Tetapi Mahisa Agni tidak mau diganggu
oleh berbagai pertanyaan itu. Apa pun yang akan dihadapinya, namun ia
telah bertekad untuk mendapatkan benda itu. Ia sudah siap menghadapi
kemungkinan yang paling pahit. Berkubur di dalam gua ini.
—–
Namun kali ini ia tidak akan menanggung akibat dari kekalahannya melawan orang timpang itu. Karena itu tiba-tiba ia meraba hulu kerisnya.
—–
Namun kali ini ia tidak akan menanggung akibat dari kekalahannya melawan orang timpang itu. Karena itu tiba-tiba ia meraba hulu kerisnya.
—–
Cahaya yang kemerahan itu pun semakin
lama semakin pudar. Gua itu pun semakin lama menjadi semakin kelam.
Dengan demikian Mahisa Agni tidak akan dapat menyelesaikan pekerjaannya
kini, kecuali apabila terpaksa. Karena itu, maka kemudian ia hanya
dapat menggeser dirinya, duduk tepat di tengah-tengah gua itu. Apapun
yang dilakukan oleh orang yang dilihatnya itu, namun apabila orang itu
akan meninggalkan gua, maka pasti ia melampauinya. Dalam kesempatan itu
ia akan dapat mencegahnya.
Demikianlah malam yang kelam turun
menyelimuti Gunung Semeru itu. Yang terdengar kemudian adalah siulan
angin pada lubang-lubang di lereng-lereng gunung raksasa itu.
Mahisa Agni masih saja duduk tepekur di
tempatnya. Ia mencoba untuk menunggu sampai besok. Meskipun gua itu
hampir tak ada bedanya antara siang dan malam, namun di siang hari,
masih juga betapa pun lemahnya, samar-samar yang dapat membantunya. Di
siang hari, mata Mahisa Agni yang tajam itu, masih dapat melihat
walaupun sama sekali tidak jelas, setiap bayangan yang ada di dalam gua
itu. Apalagi, ternyata bahwa di dalam gua itu terdapat lubang-lubang
yang dapat menampung sinar-sinar matahari yang jatuh menghambur di
lambung Gunung Semeru itu.
Tetapi terasa betapa panjangnya waktu.
Mahisa Agni merasa bahwa seakan-akan malam itu tidak akan berujung.
Akhirnya ia menjadi jemu. Menunggu baginya adalah pekerjaan yang paling
tidak menyenangkan.
Karena itu timbul dalam pikirannya, untuk
mendekati orang yang dilihatnya siang tadi. Mungkin ia dapat menangkap
desah nafasnya atau bunyi apa pun yang ditimbulkannya. Karena Mahisa
Agni telah melihatnya lebih dahulu, maka ia akan dapat lebih hati-hati
daripada orang itu. Ia akan dapat mengatur gerak dan pernafasannya
sehingga tidak menimbulkan bunyi.
Demikianlah akhirnya Mahisa Agni tidak
dapat menunda keinginannya itu. Perlahan-lahan sekali ia menggeser
dirinya mendekati bayangan seseorang yang dilihatnya tadi. Semakin lama
semakin dekat. Namun kadang-kadang timbul pula keragu-raguan di hati
Mahisa Agni. Apakah orang itu masih berada di tempatnya?
Tetapi kemudian dada Mahisa Agni itu pun
menjadi berdebar-debar. Akhirnya didengarnya juga desah nafas orang
yang dicarinya itu. Perlahan-lahan sekali dan betapa nafas itu sangat
teratur.
“Orang itu tertidur,” bisik Agni di dalam hatinya.
Tiba-tiba timbullah keinginan di dalam
hati Mahisa Agni untuk mendahului orang itu. Namun ia menjadi
ragu-ragu. Kalau orang itu Empu Pedek, maka betapa pun untuk tidak
menimbulkan suara, namun pasti pendengaran orang itu cukup baik,
sehingga maksudnya tak akan dapat dilakukannya.
“Aku dapat membinasakannya selagi ia
masih tertidur,” terdengar suara di sudut hatinya, namun terdengar
suara yang lain, “Pengecut!”
Dalam keragu-raguan itu, Mahisa Agni terduduk kembali. Ia menjadi bingung apa yang akan dilakukannya.
Tetapi ia terkejut ketika ternyata suara
nafas yang didengarnya itu semakin lama semakin jauh. Ternyata orang
itu sama sekali tidak tertidur. Bahkan orang itu ternyata sedang
berjalan semakin dalam masuk ke dalam gua ini.
Hati Mahisa Agni berdesir karenanya. Dan
tiba-tiba pula ia pun berdiri. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan akar wregu putih itu. Karena itu ia pun berjalan pula
dengan hati-hati menelusuri tepi gua mengikuti suara nafas orang yang
telah berjalan mendahuluinya.
Kini hati Mahisa Agni tidak tenggelam
lagi dalam kejemuan, namun kini hati itu menjadi tegang. Dengan
hati-hati dan penuh kewaspadaan ia mengikuti suara nafas orang di
hadapannya, namun karena malam demikian kelam, apalagi di dalam relung
gua itu, maka Mahisa Agni belum berhasil melihat orangnya. Tetapi
karena pendengaran Mahisa Agni yang tajam, maka ia dapat mengira-ngira
apa yang sedang dilakukan oleh orang itu.
Mahisa Agni berjalan cepat apabila engah
nafas itu pun berjalan cepat pula, dan ia terpaksa berhenti apabila
orang itu pun berhenti.
Dalam pada itu Mahisa Agni pun mencoba untuk menduga-duga, apakah orang yang berjalan itu telah mengetahui kehadirannya pula
Dalam ketegangan itu, Mahisa Agni telah
lupa akan peredaran waktu. Ia tidak tahu lagi saat dan waktu. Apakah ia
telah berada di pertengahan malam, sebelumnya atau sesudahnya. Tetapi
ia merasa bahwa kakinya telah menjadi penat pula dan pedih-pedih di
telapak kaki dan tangannya menjadi semakin pedih. Namun ia tidak akan
berhenti sebelum akar wregu putih itu dikuasainya.
Ternyata bahwa ketegangan yang
mencengkeram dada Mahisa Agni itu telah merampas segenap perhatiannya
atas apa saja. Ternyata kemudian Mahisa Agni terkejut bukan kepalang,
ketika tiba-tiba saja dilihatnya di kejauhan bayangan yang meremang.
Cahaya yang suram yang jatuh ke dalam gua itu
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Katanya
di dalam hati, “Ternyata hari telah pagi.” Dan sejalan dengan itu,
tubuhnya pun terasa semakin lemah.
Tetapi desah nafas orang itu masih saja
didengarnya semakin dalam masuk ke pusat gua. Dan karena itu, berapa
pun penatnya, Mahisa Agni tidak juga mau berhenti. Bahkan akhirnya
Mahisa Agni siap untuk mengambil keputusan, menentukan nasibnya di
antara mereka berdua. Mahisa Agni tidak akan membiarkan tenaganya
menjadi terperas habis, baru kemudian menghadapi orang itu. Kini selagi
masih cukup tenaga padanya, apa pun yang akan terjadi akan segera
dihadapinya.
Karena itu, maka Mahisa Agni segera
mempercepat langkahnya. Semakin lama semakin mendekati orang itu. Desah
nafas orang itu pun semakin terdengar nyata. Namun tidak teratur
seperti yang didengarnya sebelumnya. Maka katanya di dalam hati, “Orang
itu pun kelelahan.”
Mahisa Agni kemudian membiarkan orang itu
sampai di bawah sinar keremangan pagi yang menembus dari lubang-lubang
dalam gua itu. Namun karena cahaya itu masih demikian lemahnya, maka
yang dilihatnya hanyalah sebuah bayangan yang kelam.
Tetapi bayangan itu sudah cukup
mengejutkan dada Mahisa Agni. Ternyata bayangan itu bukanlah seorang
yang timpang dan berperawakan mirip dengan Empu Pedek. Orang itu
ternyata seorang yang bongkok meskipun tidak timpang. Ia berjalan
tersuruk-suruk berpegangan pada dinding gua. Bahkan nafasnya pun
terdengar semakin terengah-engah.
Tetapi Mahisa Agni hanya dapat melihatnya
untuk sesaat. Sebab sesaat kemudian orang itu pun telah lenyap kembali
dalam kelamnya relung gua.
Sesaat Mahisa Agni menjadi ragu-ragu.
Kini datanglah gilirannya untuk menyeberangi daerah yang remang-remang
itu. Namun ia telah bertekad untuk menghadapi setiap kemungkinan, dan
bahkan ia ingin mempercepat penyelesaian yang mendebarkan itu. Karena
itu, tiba-tiba terdengarlah Mahisa Agni itu berkata nyaring, dan
suaranya menggelegar memukul-mukul dinding gua, seolah-olah
melingkar-lingkar di dalamnya.
“He, Ki Sanak,” katanya, “berhentilah!”
Mahisa Agni tidak melihat orang itu.
Namun tiba-tiba ia melihat bayangan itu muncul kembali dalam keremangan
cahaya pagi yang jatuh ke dalam gua itu.
“Siapakah kau?” terdengar orang itu bertanya dengan suara yang lemah.
“Aku!” jawab Mahisa Agni. Dan kemudian ia bertanya pula, “Dan siapa kau ini?”
Orang itu tidak segera menjawab. Ia masih
mencoba memandang ke arah Mahisa Agni. Namun agaknya orang itu masih
belum melihat Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi heran, ketika ia
melihat orang bongkok itu berjalan tersuruk-suruk, maju mendekatinya
tanpa prasangka apapun. Bahkan kemudian terdengar ia berkata, “Di
manakah kau?”
Mahisa Agni justru mundur beberapa
langkah. Ia melihat bayangan itu menjadi semakin dekat. Mahisa Agni
berdiri di tempat yang lebih baik, namun ia harus cukup waspada. Dari
tempatnya berdiri ia yakin bahwa orang itu belum melihatnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni berkata pula, “Berhenti di tempatmu!”
“He?” ternyata orang itu terkejut ketika
tiba-tiba itu mendengar suara Agni telah begitu dekat di mukanya.
Karena itu ia pun segera berhenti pula. Katanya, “Siapakah kau?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dengan cermatnya ia mencoba melihat keseluruhan dari orang itu. Namun ia masih terlalu lemah.
Sesaat gua itu menjadi sepi. yang
terdengar hanyalah desah nafas orang bongkok itu terengah-engah.
Tangannya pun tampak berpegangan pada dinding gua untuk menahan berat
badannya. Dan sekali lagi tanpa prasangka apa pun ia maju selangkah.
Namun langkahnya tampak betapa beratnya. Dan terdengar ia bertanya
pula, “Siapakah kau?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Namun ia
masih belum merasa perlu menyatakan dirinya. Bahkan kemudian terdengar
ia pun bertanya, “Siapakah kau?”
Orang bongkok itu mengangguk-angguk.
Nafasnya masih terengah-engah dan bahkan kemudian ia bergumam, “Aku
lelah sekali. Biarlah aku duduk di sini.”
Kembali Mahisa Agni menjadi keheranan.
Orang itu sekali tidak berprasangka. Orang itu sama sekali tidak dalam
keadaan bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan dengan
tenangnya ia duduk bersandar dinding.
Terdengarlah orang itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Ah. Betapa lelahnya.”
Namun Mahisa Agni tidak mau terjerat oleh
keadaan yang belum diketahuinya benar. Mungkin orang itu adalah
seorang yang sakti, yang merasa dirinya tak terkalahkan, sehingga ia
tidak perlu berkecil hati, siapa pun yang akan dihadapinya. Mungkin
pula orang itu sedang memancingnya untuk menghilangkan kewaspadaannya
untuk kemudian dengan serta-merta menyerangnya dan sekaligus
membinasakannya. Karena itu, Mahisa Agni masih tetap berdiri tegak
dalam kesiagaan penuh.
Ketika kemudian Mahisa Agni melihat orang
itu masih saja duduk seakan-akan tak ada sesuatu yang dipikirkannya,
maka terdengarlah ia sekali lagi bertanya, “He, Ki Sanak. Siapakah kau
ini?”
Orang itu tersentak. Kemudian terdengar
ia menjawab, “Oh. Hampir aku lupa akan kehadiranmu Ki Sanak. Aku adalah
Buyut Ing Wangon.”
“Buyut dari Wangon?” ulang Mahisa Agni.
“Ya,” sahut orang itu. Kemudian ia
menggeser duduknya menghadap ke arah suara Mahisa Agni, “Siapakah kau
Ki Sanak. Marilah, duduklah di sini. Kenapa kau berada di dalam gelap?”
Sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran.
Kata-kata orang itu pun seperti sikapnya pula. Tanpa prasangka. Namun
Mahisa Agni pun yang masih tetap berprasangka. Karena itu maka ia tidak
segera menjawab pertanyaan orang itu. Bahkan kemudian terdengar ia
bertanya pula, “Apakah maksud Ki Buyut Wangon datang kemari?”
Orang itu mengangkat alisnya. Tampaklah
dalam keremangan pagi yang semakin terang, orang bongkok itu
menggerakkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kemarilah Ki Sanak.
Duduklah, biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik. Aku sama
sekali belum melihat bayanganmu. Di sini, meskipun tidak jelas, aku
akan dapat melihat di mana kau sedang duduk.”
Tetapi Mahisa Agni masih tetap berada di
tempatnya. Sejengkal pun ia tidak bergeser. Bahkan ia terkejut ketika
ia mendengar orang yang menyebut dirinya Buyut Ing Wangon itu tiba-tiba
mengeluh, “Bagus. Bagus jangan dekati aku. Kau akan dapat kejangkitan
penyakit terkutuk ini pula. Oh, alangkah malangnya apabila aku tak
berhasil pulang kembali dengan obat itu.”
Dada Mahisa Agni menjadi ber-debar-debar
karenanya. Dari kata-kata itu Mahisa Agni dapat mengetahuinya, bahwa
orang bongkok itu sedang mencari obat untuk penyakitnya. Penyakit
menular. Namun meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera dapat
mengambil kesimpulan. Dan terdengarlah ia bertanya, “Ki Buyut. Apakah
sakit Ki Buyut itu. Dan apakah obat yang sedang Ki Buyut cari di dalam
gua ini?”
Sekali lagi Mahisa Agni melihat, Buyut
Wangon itu mencoba menatapnya di dalam gelap. Tetapi agaknya orang
bongkok itu masih belum berhasil melihatnya.
“Ki Sanak,” katanya kemudian, “kenapa Ki Sanak bersembunyi?”
“Aku tidak bersembunyi,” jawab Mahisa Agni.
“Oh,” orang itu menarik nafas. Kemudian terdengar ia bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”
Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi semakin
curiga. Apakah orang ini sedang memancingnya untuk mengetahui siapakah
sebenarnya dirinya, dengan perhitungan-perhitungan yang tertentu?
Mungkin orang itu ingin mengetahui nama dan tempat tinggalnya. Baru
kemudian ia berusaha untuk mencari trisulanya. Kalau kemudian dirinya
dapat dikalahkan, dan trisula itu tidak ada padanya, maka orang itu
akan dapat mencarinya ke tempat kediamannya. Bahkan Mahisa Agni
kemudian menyangka, bahwa tidak mustahil orang itu salah seorang kawan
Empu Pedek. Karena itu tiba-tiba saja Mahisa Agni menjawab, “Aku adalah
Empu Pedek.”
Mahisa Agni menjadi heran. Dan pertanyaan
di dalam dadanya semakin menghunjam ke pusat jantungnya. Ternyata
orang itu sama sekali tidak terkejut mendengar jawabannya.
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya terdengar orang itu bergumam, “Empu Pedek. Dari manakah Ki Sanak datang?”
Kalau demikian maka Mahisa Agni merasa
dugaannya ternyata meleset. Dan tiba-tiba saja angan-angannya segera
bergeser kepada orang yang datang dari Gunung Merapi. Apakah orang ini
pun datang dari kaki Gunung Merapi itu? Untuk meyakinkan dugaannya itu
maka Mahisa Agni menjawab, “Aku datang dari Gunung Merapi.”
Orang itu kini terkejut. “Gunung Merapi?” ulangnya.
“Ya,” sahut Mahisa Agni.
Namun kemudian Mahisa Agni pun menjadi
kecewa. Sebab orang itu tidak terkejut karena sesuatu hubungan dengan
dirinya sendiri. Bahkan orang itu kemudian bertanya, “Alangkah jauhnya.
Apakah yang telah memukau Ki Senak terpaksa menempuh jarak yang
sedemikian panjang?”
Kembali Mahisa Agni tidak dapat segera
menjawab pertanyaan itu. Kembali ia menjadi bimbang. Sesaat Mahisa Agni
diam mematung. Dan karena itu, maka suasana di dalam gua itu pun
menjadi sepi. yang terdengar hanyalah desah nafas orang yang menamakan
diri Buyut dari Wangon itu.
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh
pertanyaan Mahisa Agni yang tiba-tiba, “Ki Sanak, apakah yang
sebenarnya kau cari di dalam gua ini? Kalau Ki Sanak sedang menderita
sakit, apakah penyakit itu dan obat apakah yang harus kau temukan?”
Sekali lagi orang bongkok itu menatap
gelapnya gua. Namun tak dilihatnya seorang pun. Meskipun demikian
terdengar ia menjawab dengan jujur, “Ki Sanak, kami, hampir semua orang
dalam padukuhan kami di Wangon terserang penyakit yang aneh. Mereka
menjadi lemah dan kemudian meninggal dunia. Tidak saja orang-orang dari
Wangon, namun orang-orang padukuhan di sekitarnya pun demikian pula.
Akhirnya, kami mendapat petunjuk dari seorang wiku sakti, bahwa
penyakit itu akan dapat dilenyapkan dengan obat yang terdapat di dalam
gua ini. Akar wregu yang berwarna putih.”
Meskipun Mahisa telah menduganya, namun
ketika ia mendengar orang bongkok itu mengucapkan nama akar wregu
putih, hatinya berdesir pula. Ternyata orang itu pun mempunyai
kepentingan yang sama meskipun alasannya berbeda-beda. Dan ternyata
pula, akar wregu putih itu mempunyai nilai yang ganda pula. Tidak saja
sebagai rangkapan trisulanya sehingga kedua pusaka itu akan menjadi
satu kesatuan yang sakti tiada taranya, namun orang dari Wangon itu
memerlukannya untuk obat penyakitnya.
Karena itu, maka Mahisa Agni tidak dapat
berbuat lain daripada berjuang kembali untuk mendapatkan pusaka itu.
Buyut dari Wangon yang telah berhasil memasuki gua ini pun pasti
seorang yang telah dibekali oleh ilmu yang cukup. Bahkan, Mahisa Agni
menjadi heran, apakah orang ini tidak berjumpa dengan Empu Pedek
sebelum memasuki gua ini? Atau Buyut dari Wangon ini telah berhasil
mengalahkan orang timpang itu? Namun apa pun yang telah terjadi, maka
kini Buyut Ing Wangon itu harus berhadapan dahulu dengan Mahisa Agni,
murid dari padepokan Panawijen.
“Ki Sanak,” kemudian terdengar suara
Mahisa Agni “tidak adakah obat lain yang dapat menyembuhkan
penyakit-penyakit itu selain dari akar wregu putih dari dalam gua ini?”
Buyut Ing Wangon itu menjadi heran.
Katanya, “Kalau ada obat yang lain, maka obat itu pasti sudah kami
pergunakan. Beribu-ribu macam obat telah kami coba, namun tak ada yang
bermanfaat bagi kami. Bahkan dari hari ke hari, korban dari penyakit
itu semakin bertambah-tambah. Mula-mula hampir setiap lima enam hari
sekali, ada korban yang meninggal dunia. Kemudian dua tiga hari seorang
meninggal, jarak itu menjadi semakin dekat semakin dekat. Akhirnya
kini setiap hari padukuhan kami selalu diramaikan oleh jerit tangis
anak yang kehilangan orang tua mereka, atau orang-orang tua yang
kehilangan anak-anak mereka. Tidak saja seorang sehari, bahkan
kadang-kadang saling berpapasan di perjalanan usungan-usungan mayat
yang akan dikubur. Bahkan kadang-kadang kami membakarnya lebih dahulu
belum sempat menguburkannya.”
“Akhirnya turunlah seorang wiku sakti,
petapa di dekat kepundan Gunung Bromo. Wiku itu telah mendengar wisik
dari Hyang Widi, bahwa penyakit yang sedang melanda padukuhan Wangon
itu dapat disembuhkan dengan akar wregu putih yang terdapat di dalam
gua, di lereng gundul Gunung Semeru. Nah, karena itulah aku datang
kemari. Namun ternyata sebelum aku berangkat, penyakit itu telah
melekat pula dalam tubuhku, sehingga kini aku merasa, tenagaku semakin
lama menjadi semakin lemah. Tidak saja karena aku kelelahan, namun
penyakit itu telah menghisap sebagian dari kekuatanku.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar pula. Akar wregu putih itu sangat berarti baginya. Ia
telah menempuh jarak yang demikian panjang, dari kaki Gunung Kawi.
Telah dilampauinya bermacam-macam bahaya. Binatang buas, orang-orang
jahat di perjalanan. Alam dan kesulitan-kesulitan yang lain. Yang
terakhir adalah seorang timpang yang bernama Empu Pedek, yang hampir
saja merampas nyawanya. Kemudian lereng gundul itu sendiri. Apakah
kemudian, ia tidak akan berhak memiliki akar wregu putih itu?
“Apakah yang akan aku hadapi, akar wregu
itu harus aku bawa pulang dan aku serahkan kepada guruku, meskipun akan
diberikan kepadaku,” katanya di dalam hati. Karena itu tiba-tiba
Mahisa Agni menggeram, selangkah ia maju dan dengan lantang ia berkata,
“Ki Sanak, Buyut dari Wangon. Sayang, bahwa kau tidak akan dapat
memiliki akar wregu putih itu.”
Ki Buyut dari Wangon itu terkejut bukan buatan. Dengan terbata-bata ia berkata, “Kenapa? Kenapa Ki Sanak?”
Terdengar pula jawaban Mahisa Agni lantang, “Akar wregu putih itu adalah milikku!”
Ki Buyut Wangon itu terdiam sejenak. Ia
masih mencoba melihat bayangan Agni dalam kegelapan. Namun tak satu pun
yang dapat ditangkap oleh matanya. Sejenak kemudian ia berkata, “Jadi
adalah akar wregu putih itu milik seseorang?”
“Ya,” sahut Agni pendek.
Orang itu menggeleng. Cahaya keremangan
di belakang orang itu menjadi semakin terang. Namun wajah orang itu pun
masih belum dapat dilihat dengan jelas oleh Mahisa Agni.
“Aneh,” gumamnya, “Wiku yang sakti itu
berkata, bahwa akar wregu putih itu telah berada di tempat ini sejak
tujuh ratus empat puluh tiga tahun yang lampau. Seandainya akar itu
milik seseorang, apakah orang itu masih hidup sampai saat ini?”
“Aku adalah ahli warisnya,” sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
“Oh,” gumam orang itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tujuh ratus tahun adalah
waktu yang panjang. Keturunan ke berapakah Ki Sanak ini?
Mahisa Agni terdiam untuk sesaat.
Pertanyaan itu sulit dijawabnya. Meskipun demikian Mahisa Agni itu
meneruskan jawaban pula, “Aku tidak tahu Ki Buyut, namun kami mendengar
turun temurun dari nenek-nenek kami, bahwa kami adalah ahli waris dari
akar wregu di dalam gua di lereng gundul Gunung Semeru.”
Orang itu diam pula sejenak. Sambil
mengangguk-anggukkan kepala ia kemudian berkata, “Hem. Bagaimanakah
kalau aku juga berkata demikian. Aku juga mendapat hak dari pewarisnya.
Wiku sakti itu adalah ahli waris yang sah dari akar wregu itu.”
“Bohong!” potong Mahisa Agni, “Bukankah Wiku itu mendengar dari wisik Sang Hyang Widi?”
“Aku belum mengatakan bagaimana bunyi wisik itu,” sahut Buyut Wangon.
“Tidak perlu!” kembali Agni memotong, “kau akan membuat suatu cerita tentang bunyi wisik itu.”
“Ki Sanak,” berkata Buyut dari Wangon
itu. Kemudian kata-katanya terdengar lemah dan perlahan-lahan,
“Baiklah. Seandainya ada ahli waris dari pemilik akar wregu itu sekali
pun. Namun kita berdua datang pada waktu yang berbeda. Aku ternyata
lebih dahulu dari Ki Sanak. Kita telah datang pada saat yang hampir
bersamaan. Dan kita masing-masing tak dapat menunjukkan kebenaran
tentang ahli waris itu. Karena itu biarlah aku yang datang lebih dahulu
dapat memilikinya.”
Dan Mahisa Agni berdesir mendengar
perkataan Buyut Wangon itu. Dengan demikian, semakin yakinlah ia, bahwa
ia harus merebut akar itu dengan suatu perjuangan pula. Karena itu
maka jawabnya, “Ki Buyut, Kita tidak sedang berlomba berebut dahulu.
Terapi kita sekarang memperebutkan akar wregu putih itu.”
Buyut Wangon itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian terdengar ia berkata, “Ki Sanak bersikeras untuk
mendapatkan akar itu, apakah sebenarnya keperluan Ki Sanak dengan akar
itu? Apakah di daerah Ki Sanak juga terdapat wabah penyakit seperti
daerah Wangon?”
“Apapun yang akan aku lakukan atas akar itu, bukanlah kepentinganmu,” sabut Mahisa Agni.
Kembali Ki Buyut itu terdiam. Dengan
lemahnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun agaknya orang itu
tidak berputus asa. Katanya, “Ki Sanak. Aku minta dengan sangat,
biarlah aku membawa akar ini, demi keselamatan beratus-ratus bahkan
lebih dari seribu orang di berbagai daerah sekitar Wangon.”
“Tidak!” jawab Agni tegas.
Tiba-tiba orang bongkok itu berdiri.
Dengan berpegangan pada dinding gua ia berkata, “Aku akan mengambil
akar wregu itu. Aku tidak dapat membiarkan seluruh penduduk Wangon dan
sekitarnya menjadi tumpas karena penyakit terkutuk itu Dan tentu saja
aku ingin menyelamatkan nyawaku sendiri pula.”
Sebelum Mahisa Agni menjawab orang itu
sudah melangkahkan kakinya. Namun tiba-tiba ia terhenti pula ketika
Mahisa Agni membentak, “Berhenti! Jangan maju lagi meskipun hanya
selangkah!”
Orang itu berpaling. Namun belum juga
dilihatnya Mahisa Agni. Katanya, “Apakah Ki Sanak tidak juga dapat
mengerti? Apakah tidak ada rasa perikemanusiaan sama sekali di dalam
dada Ki Sanak?”
Namun akar wregu putih itu, bagi Mahisa
Agni adalah benda yang sangat berharga. Karena itu jawabnya lantang,
“Ki Buyut dari Wangon. Kita bersama-sama menganggap benda itu sangat
penting bagi diri kita masing-masing. Kita masing-masing sudah menempuh
jarak yang tak terkirakan jauh dan bahayanya. Kini kita berhadapan di
dalam gua ini. Karena itu, biarlah kita selesaikan persoalan kita,
seperti persoalan-persoalan lain yang timbul di perjalanan. Kita
tentukan siapakah di antara kita yang berhak memiliki akar wregu putih
itu.”
Orang bongkok itu masih berdiri di
tempatnya sambil berpegangan dinding gua. Ketika ia mendengar kata-kata
Mahisa Agni itu pun ia menjadi terkejut. Maka katanya, “Apakah maksud
Ki Sanak itu? Bagaimanakah kita akan menentukan, siapakah di antara
kita yang berhak memiliki wregu itu?”
“Kita adalah laki-laki,” sahut Mahisa
Agni, “Kita telah berani menempuh perjalanan ini. Karena itu nyawa kita
pertaruhkan. Nah, bersiaplah. Kita akan bertempur sampai ada di antara
kita yang mencabut keinginan kita untuk memiliki benda itu. Hidup atau
mati!”
“Oh,” ternyata Buyut Wangon itu terkejut
bukan buatan. Dan terlontarlah pertanyaan dari mulutnya, “Jadi haruskah
kita berkelahi?”
“Ya!” jawab Mahisa Agni pendek.
“Oh,” orang itu tiba-tiba mengelus
dadanya, dan tampaklah tiba-tiba pula ia menjadi gemetar. Katanya, “Ki
Sanak, aku datang kemari dari jarak yang jauh itu untuk menghindarkan
kematian dari orang-orang di Wangon. Kenapa tiba-tiba aku di sini
dihadapkan pada kemungkinan untuk mati dengan cara yang demikian? Ki
Sanak, aku tak pernah membayangkan, bahwa seseorang dapat berbuat
seperti Ki Sanak itu. Aku tidak pernah dapat mengerti, kenapa seseorang
harus berkelahi?”
“Sekarang kau akan mengerti Ki Buyut,”
sanggah Mahisa Agni, “dalam keadaan seperti keadaan kita sekarang. Tak
ada cara penyelesaian yang lain!”
“Aku kira Ki Sanak bisa mengerti, demi perasaan ke perikemanusiaan yang ada di dalam dadamu, meskipun hanya sepercik kecil.”
Mahisa Agni terdiam sesaat. Namun benda
itu sudah diusahakannya dengan melintasi bahaya. Karena itu kembali
tekad yang bulat mencengkam dadanya. Maka jawabnya,” Aku akan mengambil
akar itu.”
“Jangan Ki Sanak!” pinta Buyut Wangon itu
sambil gemetar, “Aku tidak pernah membayangkan untuk berkelahi dengan
siapa pun, namun ribuan orang di sekitar daerah Wangon menanti
kedatanganku dengan obat itu.”
“Aku tidak peduli!” jawab Agni singkat.
Orang itu masih memegangi dadanya
seakan-akan takut akan pecah. Dan terdengarlah ia berkata lirih, “Ki
Sanak. Katakanlah, apakah gunanya akar itu bagi Ki Sanak? Apakah Ki
Sanak akan mempergunakannya sebagai obat seperti aku akan
mempergunakannya? Apabila demikian Ki Sanak, biarlah aku mengalah.
Sebab kegunaan akar wregu itu akan sama saja, di tempat Ki Sanak atau
di Wangon. Kedua-duanya memungkinkan tertolongnya ribuan jiwa, termasuk
perempuan dan kanak-kanak. Atau apabila Ki Sanak rela, aku hanya ingin
mendapat sepotong daripadanya. Mudah-mudahan akan mampu menolong jiwa
orang-orang di sekitar tempat Ki Sanak dan orang-orang di Wangon
sekaligus.”
Kembali terasa sesuatu berdesir di dalam
dada Mahisa Agni. Ribuan orang akan diselamatkan oleh akar wregu putih
itu. Tetapi ketika kembali diingatnya, bahwa akar itu adalah rangkapan
pusakanya, yang dapat menjadikannya sakti tiada taranya, maka kembali
ia berkata, “Jangan ributkan kegunaannya! Minggir! Aku akan mengambil
akar wregu itu.”
Kini Mahisa Agni tidak menunggu jawaban
lagi. Ia maju beberapa langkah sambil berkata, “Kalau kau ingin
menentukan siapa di antara kita yang berhak memiliki akar wregu itu,
bersiaplah. Kalau tidak, minggirlah!”
Orang itu tidak menjawab pertanyaan Agni.
Bahkan dengan serta-merta ia memutar tabuhnya, dan dengan sekuat ia
dapat, maka orang bongkok itu mencoba berlari tersuruk-suruk masuk ke
pusat gua itu.
Sesaat Mahisa Agni tertegun. Ia menjadi
sedemikian heran. Orang bongkok itu sama sekali tidak bersiap untuk
melawannya, tetapi orang itu telah mencoba untuk berlari mendahuluinya.
Ketika Mahisa Agni tersadar akan keadaan
itu, maka ia pun tidak mau terlambat. Karena itu segera ia berteriak
nyaring, “He, Buyut Ing Wangon. Berhentilah!”
Tetapi orang bongkok itu berlari terus.
Terhuyung-huyung dan kadang-kadang tubuhnya terbanting-banting di sisi
gua. Namun ia berlari terus.
Mahisa Agni kemudian menjadi marah
karenanya. Dan terdengarlah sekali lagi ia berteriak, “He, bongkok!
Berhenti atau aku terpaksa menghentikanmu!”
Kali ini pun Buyut Ing Wangon itu
seolah-olah tidak mendengarnya. Ia masih berlari terus, namun larinya
tidak lebih dari kecepatan anak-anak yang sedang belajar berjalan.
Mahisa Agni itu kini benar telah menjadi
marah. Ia merasa seakan-akan Buyut Ing Wangon itu sama sekali tak
menghiraukan kehadirannya. Karena itu tiba-tiba Mahisa Agni itu pun
meloncat menyusulnya. Tidak lebih dari sepuluh langkah Mahisa Agni
telah mencapai buyut bongkok itu. Dengan satu sentuhan yang menyentak
orang bongkok itu telah terpelanting membentur mulut gua, dan kemudian
jatuh terjerembab di lantai yang lembab.
Mahisa Agni kemudian berdiri di sisinya
sambil menggeram. Dengan tajam ia memandangi Buyut Wangon itu sambil
berkata, “Jangan mencoba melawan kehendakku!”
Terdengar Buyut Ing Wangon itu mengeluh. Sesaat terdengar pula ia merintih. Katanya, “Ki Sanak, kenapa Ki Sanak menyakiti aku?”
“Kau tidak mau mendengar kata-kataku.
Kalau kau ingin mendapat akar wregu putih itu, marilah kita bertempur.
Kalau tidak jangan mencoba menghalangi aku,” sahut Mahisa Agni.
Dengan susah payah Buyut Ing Wangon itu
mencoba duduk. Mulutnya masih saja berdesis menahan hati. Dan
terdengarlah ia berkata terbata-bata, “Ki Sanak. Apakah hal yang
demikian itu wajar?”
“Lalu?” bertanya Agni, “Apakah kau mempunyai cara lain?”
“Sudah aku katakan Ki Sanak. Aku datang
lebih dahulu diri Ki Sanak,” jawab Buyut Wangon itu. Sesaat ia berhenti
menelan ludahnya. Kemudian katanya, “Kalau hal itu Ki Sanak menganggap
tak sepantasnya, maka katakanlah, apakah keperluanmu dengan akar wregu
itu. Marilah kita bicarakan manakah yang paling penting penggunaannya.
Ki Sanak atau aku. Kalau ternyata keperluan Ki Sanak jauh lebih
penting dari keperluanku, biarlah aku mengalah Aku tak akan kembali
lagi ke Wangon, sebab aku sendiri pasti sudah akan mati karena
penyakitku itu di sini.”
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Mahisa Agni. Namun sekali lagi ia membulatkan tekadnya.
Pusaka itu akan ditebusnya dengan apa saja. Dengan tenaganya, dengan
darahnya dan dengan mengorbankan perasaannya.
Karena itu Mahisa Agni itu pun menjawab, “Jangan bertanya lagi kegunaan akar wregu itu bagiku.”
Buyut Ing Wangon itu menarik nafas
dalam-dalam. Terdengar ia mengeluh kemudian katanya lemah, “Lalu
bagaimanakah kita bisa menentukan, siapakah yang lebih penting di
antara kita?”
“Jangan ributkan kepentingan kita masing-masing,” bantah Agni.
“Oh, alangkah malangnya dunia ini,” desah
Buyut Wangon, “apabila setiap persoalan hanya dapat ditentukan dengan
kekerasan. Akan lenyaplah martabat kita sebagai manusia yang berakal
budi.”
Kata-kata Buyut Wangon itu langsung
menghunjam ke jantung Mahisa Agni. Sesaat ia terbungkam, dan terasa
getaran-getaran di dadanya. Namun demikian dicobanya sekuat tenaga
untuk menekan perasaan itu, “Aku bukan perempuan yang cengeng, yang
dapat terpengaruh oleh persoalan-persoalan yang tak berarti.”
Dan tiba-tiba saja meledaklah jawabnya,
“Buyut dari Wangon. Jangan menjual belas kasihanku di sini. Kalau aku
berbuat seperti berbuat seperti perbuatanku kini, pastilah sudah aku
pertimbangkan baik buruknya. Kau hanya mampu berpikir pada
masalah-masalah sekitar daerahmu saja. Daerah Wangon dan sekitarnya.
Namun aku telah menjelajahi berbagai daerah, berbagai persoalan dan
berbagai masalah. Karena itu akar itu jauh bermanfaat bagiku daripada
bagimu.”
Buyut Wangon itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tetapi beribu-ribu jiwa di Wangon menanti
penyembuhannya. Kalau tidak, maka mereka akan menjadi seperti babatan
paying. Malang melintang, mati tak terurus. Sebab semua orang akan mati
pula karenanya.”
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan melemparkan getaran kata-kata Buyut Wangon yang menyentuh telinganya.
“Tidak! Tidak!” tiba-tiba ia berteriak, “Aku tidak peduli urusanmu!”
Mahisa Agni tidak menunggu orang bongkok
itu berkata-kata pula. Seakan-akan ia menjadi takut terhadap setiap
persoalan yang dikatakan oleh orang bongkok itu. Dengan serta-merta,
Mahisa Agni itu pun segera memutar tubuhnya, dan bersiap untuk segera
memasuki gua itu lebih dalam lagi.
Tetapi ia terkejut, ketika tiba-tiba
terasa Buyut Ing Wangon itu memeluk kakinya sambil memeganginya
kuat-kuat. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Jangan Ki Sanak, jangan
kau ambil akar wregu itu. Beribu-ribu jiwa hidupnya tergantung dari
perjalananku sekarang.”
—–
“Jangan Ki Sanak, jangan kau ambil akar wregu itu. Beribu-ribu jiwa hidupnya tergantung dari perjalananku sekarang.”
—–
“Jangan Ki Sanak, jangan kau ambil akar wregu itu. Beribu-ribu jiwa hidupnya tergantung dari perjalananku sekarang.”
—–
Mahisa Agni menghentak-hentakkan kakinya. Terdengar ia pun berteriak, “Lepaskan! Lepaskan!”
Namun Buyut Wangon tidak mau
melepaskannya. Bahkan orang bongkok itu mencoba untuk memegangnya lebih
erat lagi. Sehingga dengan demikian Mahisa Agni menjadi marah kembali.
Dengan satu hentakkan yang keras, Buyut Wangon itu terlempar beberapa
langkah dan terbanting di lantai gua itu. Terdengar ia berteriak
kesakitan. Namun ia masih juga berkata di antara desisnya, “Jangan Ki
Sanak. Jangan.”
Tetapi Mahisa Agni tidak mau mendengarnya
lagi. Cepat-cepat ia berlari. Berlari. Sedang kedua tangannya dengan
kerasnya menyumbat kedua telinganya.
Mahisa Agni berusaha secepat-cepatnya
untuk menjauhi Buyut Ing Wangon – yang masih terkapar sambil
merintih-rintih – seakan-akan takut dikejarnya. Namun sebenarnya Mahisa
Agni tidak merasa takut sedikit pun seandainya Buyut Wangon itu
mengejarnya dan berusaha melawannya. Sejak semula ia sudah siap untuk
bertempur. Tetapi ia takut terhadap perasaannya sendiri. Keluhan orang
bongkok itu ternyata selalu menimbulkan getaran-getaran di dalam
dadanya. Dan ia tidak mau perasaannya menjadi runtuh karenanya.
Sekali-kali kaki Mahisa Agni terperosok
pada lubang-lubang di lantai gua. Bahkan beberapa kali Mahisa Agni itu
jatuh terjerembab, namun kemudian ia bangkit lagi dan berlari kembali
sambil meraba-raba dinding. Meskipun ia tidak dapat lari
secepat-cepatnya, namun semakin lama ia menjadi semakin jauh dari Buyut
Wangon. Dan ketika ia sudah tidak mendengar suara rintihan orang
bongkok itu, Mahisa Agni pun berhenti Perlahan-lahan Mahisa Agni
berpaling. Namun yang dilihatnya adalah sebuah takbir yang kelam di
belakangnya. Kini barulah ia sadar, bahwa dirinya berada di dalam
cengkaman dinding-dinding gua yang hitam pekat.
Nafas Mahisa Agni itu pun terdengar
berkejar-kejaran dari lubang hidungnya. Terasa betapa cepatnya. Dengan
susah payah Agni mencoba menenangkan dirinya.
Buyut dari Wangon itu ternyata mempunyai
kesan yang aneh di dalam hati Mahisa Agni. Setelah ia menempuh
perjalanan yang berat, dan mengalami banyak rintangan-rintangan,
orang-orang jahat dan orang-orang yang mencoba mencegahnya tanpa
menimbulkan kecemasan di dalam dirinya, namun kini tiba-tiba ditemui
seorang yang lemah, sakit, bahkan hampir mati. Namun orang itu
benar-benar mengganggu perasaannya
“Persetan dengan orang itu!” tiba-tiba
Mahisa Agni menggeram. Ia ingin mencoba menekan perasaannya. Akar wregu
putih itu baginya adalah benda yang akan menjadi sangat berharga.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Sekali
lagi ia berjuang untuk tidak terpengaruh oleh setiap perasaan yang
mengganggu pekerjaannya. Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun melangkahkan
kakinya. Ia harus segera menemukan akar wregu putih itu.
Ternyata Mahisa Agni sudah tidak begitu
jauh lagi dari pusat gua. Ketika sekali lagi menemui lubang udara, maka
segera ia pun mengetahui, bahwa matahari telah tinggi di langit yang
biru. Dari lubang itu Mahisa Agni melihat betapa cerahnya udara, dan
cerahnya sinar matahari. Namun ia masih harus berada di dalam gua yang
hitam kelam itu.
Mahisa Agni berjalan kembali beberapa
langkah, kemudian terasa kakinya menyentuh tangga-tangga yang
membawanya mendaki. Namun tangga-tangga itu tidak begitu tinggi,
sehingga, segera ia sampai di ujungnya. Sekali ia membelok ke kiri,
kemudian sekali lagi Mahisa Agni melihat seberkas sinar jatuh di lantai
gua.
Mahisa Agni masih melangkah maju. Bahkan
ia masih tetap berjalan dengan penuh kewaspadaan. Ternyata beberapa
orang telah ditemuinya. Dan di antara mereka telah mengetahui pula
adanya akar wregu putih itu sehingga tidak mustahil bahwa ada
orang-orang lain lagi yang telah mengetahuinya pula, selain Buyut dari
Wangon, Empu Pedek, orang dari Gunung Merapi yang tak diketahui
namanya, dan gurunya.
Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin
berdebar-debar pula. Tiba-tiba ia cemas. Tidak pula mustahil, bahwa
akar itu telah diambil pula oleh seseorang yang datang lebih dahulu
daripadanya beberapa hari atau beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun
yang lalu, setelah gurunya mengunjungi gua ini.
“Hem,” gumamnya, “kenapa guru tidak mengambilnya saja pada waktu itu?”
Namun Mahisa Agni menyadarinya kembali,
bahwa pasti ada alasan-alasan tertentu, sehingga gurunya berbuat
demikian. Alasan-alasan yang tak diketahuinya dan tak diberitahukannya
kepadanya.
Tiba-tiba debar jantung Mahisa Agni itu
pun menjadi semakin cepat. Terasa sesuatu menyentuh perasaannya.
Firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa perjalanannya hampir sampai ke
tujuannya.
Ketika sekali lagi Mahisa Agni menikung
ke kanan, dilihatnya kembali semakin terang. Dan ternyata lubang ini
agak lebih besar daripada yang pernah ditemuinya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah
maju. Dengan penuh kewaspadaan dipandangnya setiap sudut gua yang
terbentang di hadapannya. Tiba-tiba langkah Mahisa Agni itu pun
terhenti. Di bawah berkas sinar yang jatuh itu dilihatnya dinding gua
itu terputus. Ia tidak melihat lagi sebuah lubang pun pada
dinding-dinding itu, sehingga tiba-tiba ia bergumam, “Apakah aku sudah
sampai ke ujung gua ini?”
Debar dada Mahisa Agni menjadi kian
cepat. Dan darahnya terasa seakan-akan membeku ketika matanya terbentur
pada sebuah lubang kecil di dinding gua. Di dalam lubang itu
dilihatnya, apa yang dicarinya selama ini. Kain yang berwarna merah,
namun karena tuanya, maka warna itu telah hampir lenyap dan bertapikan
kain putih yang sudah kekuning-kuningan.
Tiba-tiba tubuh Mahisa Agni menjadi
gemetar karenanya. Terasa sesuatu melonjak di dalam ruang dadanya.
Sesaat ia diam mematung, seolah-olah ia menjadi kehilangan kesadaran
Namun sesaat kemudian dengan serta-merta
ia meloncat untuk meraih benda yang akan dapat ikut serta menentukan
perjalanan hidupnya. Tetapi karena ia sedemikian tergesa-gesa sehingga
Agni itu pun terpeleset dan jatuh terbanting di lantai gua yang
berbatu-batu padas. Terdengar ia mengeluh pendek. Namun perasaan sakit
di lututnya sama sekali tak dihiraukannya. Sekali lagi ia bangkit, dan
sekali lagi ia meloncat. Kali ini ia berhasil. Digenggamnya benda itu
erat-erat, dan kemudian dengan tangan yang gemetar diurainya kain
pembalutnya. Sekali lagi dadanya berdesir. Kini digenggamnya sepotong
akar wregu yang panjangnya kira-kira dua cengkang. Dengan tangan yang
gemetar diciumnya akar wregu itu sambil bergumam dengan suara parau,
“Terpujilah Namamu, Yang Maha Agung.”
Betapa besar hati Mahisa Agni setelah ia
memegang benda yang selama ini dicarinya dengan banyak pengorbanan.
Benda yang akan menjadikan manusia jantan yang pilih tanding. Benda
yang dapat menjadikannya manusia yang sukar dicari bandingnya. Karena
itu untuk sesaat Mahisa Agni seakan-akan tenggelam dalam sebuah mimpi
yang indah. Mimpi tentang masa depannya yang cerah. Terngianglah di
sudut hatinya kata-katanya sendiri, “Ayo, siapakah yang akan berani
melawan kehendak Mahisa Agni? Apapun yang akan aku lakukan tak seorang
pun yang dapat mencegahnya. Dengan benda ini dan trisula yang sakti
itu, akan dapat aku gulung dunia ini.”
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun tertawa
sendiri. Dan tiba-tiba ia berdiri bertolak pinggang sambil berkata
lantang, “Inilah Mahisa Agni. Manusia tersakti di muka bumi.”
Dan seperti orang yang kehilangan ingatan, sekali lagi akar wregu putih itu diciuminya.
Namun semakin lama, Mahisa Agni itu pun
menjadi semakin tenang. Seolah-olah anak muda itu tersadar dari
tidurnya yang ditandu dengan mimpi yang mengagumkan. Perlahan-lahan
segenap ingatan yang terang kembali merayapi hati Mahisa Agni kemudian
berhasil kembali menguasai dirinya, menguasai luapan perasaannya.
Bahkan tiba-tiba ia menjadi malu sendiri, setelah disadarinya, Apa yang
baru saja dilakukannya
Maka Mahisa Agni itu kemudian dengan
langkah satu-satu berjalan menepi. Kemudian perlahan-lahan pula ia
meletakkan dirinya duduk bersandar dinding gua. Diambilnya sebuah
tarikan nafas yang panjang sekali. Dan baru kemudian ia mengamat-amati
akar wregu di tangannya.
Akar wregu itu adalah akar wregu seperti
yang pernah dilihatnya. Tidak ada kekhususannya, selain warnanya yang
memang agak keputih-putihan. Bahkan warna putih itu pun tidak
memberikan kesan apa pun pada penglihatan Mahisa Agni. Namun bagaimana
pun juga, gurunya telah berkata kepadanya bahwa benda itu akan dapat
menjadi rangkapan pusakanya, sehingga kedua pusaka itu akan merupakan
sepasang pusaka yang tak ada bandingnya.
Sekali-kali terasa juga keragu-raguan di
dalam dada Mahisa Agni itu. Apakah tidak mustahil bahwa seseorang telah
datang mendahuluinya dan menukar akar wregu ini dengan akar wregu yang
lain? Ketika sekali lagi Mahisa Agni memandang akar wregu dalam cahaya
yang jatuh lewat lubang-lubang di atas gua itu, sekali lagi tergores
suatu pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar akar yang dicarinya
itu, adalah yang kini digenggamnya?
“Ah, tentu,” gumamnya tiba-tiba. Ia telah
berjalan sampai ke ujung gua ini. Dan benda inilah satu-satunya yang
ditemukannya. Apabila seseorang telah datang lebih dahulu daripadanya,
apakah perlunya orang itu menukarnya? Kenapa tidak saja benda itu pun
diambilnya?
Dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera
teringat kepada orang timpang di kaki lereng gundul ini. Empu Pedek.
Beberapa keanehan telah mengganggu otaknya. Kenapa Empu Pedek itu tidak
mendahuluinya mengambili pusaka ini. Seandainya demikian, bukankah
akibatnya akan sama saja baginya. Ia masih akan tetap pada keadaannya,
dan kemungkinan untuk mengetahui orang-orang lain yang akan mengambil
akar itu, dengan harapan untuk menemukan trisulanya. Sebab sebelum
seseorang memiliki kedua-duanya, maka ia belum seorang yang sakti tanpa
tanding. Sehingga betapapun saktinya Empu Pendek, namun tak semua
orang di bawah kolong langit ini dapat dikalahkannya. Juga belum pasti
orang yang memiliki trisula itu pun dapat dikalahkannya pula.
Dalam pada itu timbul pula dugaannya,
bahwa sebenarnya seseorang telah mengambil akar wregu yang sebenarnya.
Namun telah ditukarkannya dengan benda yang lain, sehingga dengan
demikian, tak ada orang yang akan mengejarnya. Orang yang menemukan
akar itu kemudian akan menyangka bahwa akar itu adalah akar yang
sebenarnya, dan tidak dicarinya pula akar wregu putih itu, sehingga
sampai pada saatnya, ditemukannya rangkapannya. Trisula.
Berbagai-bagai persoalan datang hilir
mudik di kepala Mahisa Agni. Namun akhirnya ia mengambil suatu
kesimpulan, “Biarlah apa yang ada ini aku bawa kembali. Guru telah
pernah melihatnya dahulu, sehingga Empu Purwa itu pasti akan dapat
mengetahuinya, apakah akar wregu inilah yang sebenarnya harus aku cari.
Apabila ternyata keliru, maka betapapun beratnya, aku harus berjalan
kembali untuk menemukan akar yang sebenarnya itu. Yang pertama-tama
harus ditemukan adalah orang timpang yang menamakan diri Empu Pedek
itu.”
Kini Mahisa Agni telah benar-benar
menjadi tenang. Bahkan kini terasa olehnya, betapa tubuhnya menjadi
penat. Telah sehari semalam, bahkan lebih, ia berada dalam ketegangan
lahir batin. Apalagi setelah ia berjuang memeras tenaga melawan
rintangan-rintangan yang dihadapinya. Karena itu, maka baru kini
terasa, persendiannya sakit-sakit dan pedih-pedih menjalari di seluruh
telapak tangan dan kakinya. Bahkan dilihatnya pula beberapa goresan
merah pada lutut dan lengannya.
“Aku harus beristirahat,” gumamnya. Sebab
Mahisa Agni itu pun sadar bahwa perjalanan pulang ke Panawijen itu pun
akan mempunyai persoalan-persoalannya sendiri. Tidak terlalu jauh. Di
bawah lereng ini, Empu Pedek masih menunggunya. Orang itu pasti belum
akan melepaskan niatnya untuk memiliki trisulanya dan sekaligus akar
wregu putih ini.
“Sayang,” desah Agni tiba-tiba, “Kalau
trisula itu aku bawa serta maka aku akan keluar dari gua ini dengan
pasti, bahwa tak seorang pun akan dapat mengalahkan aku.”
Tetapi tiba-tiba pikiran itu terdorong
pula oleh sebuah pikiran yang lain, “Bagaimana kalau aku binasa sebelum
sampai ke gua ini, atau akar ini bukanlah akar wregu putih yang
sebenarnya?”
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak mau berpikir lagi. Ia
hanya ingin beristirahat, untuk kemudian keluar dari gua ini dengan
tenaga yang cukup untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Demikianlah kemudian Mahisa Agni itu
duduk sambil menjulurkan kedua kakinya lurus-lurus sambil bersandar ke
dinding. Dicobanya untuk benar-benar dapat beristirahat dan
mengumpulkan segenap kekuatannya kembali.
Meskipun perlahan-lahan namun pasti,
Mahisa Agni telah menemukan kesegaran tenaganya kembali, sekali-kali
dipijitnya kakinya dan direntangkannya tangannya.
Sesaat kemudian Mahisa Agni itu berdiri.
Ketika kantuknya tiba-tiba menyerang, dicobanya pula untuk melawannya.
Ia tidak mau tertidur dan ia tidak mau seseorang datang kepadanya,
membunuhnya selagi ia tidur dan mengambil akar wregu yang sudah di
tangannya itu.
Setelah beberapa kali menggeliat, serta
telah digerak-gerakkannya tangan serta kakinya, maka Mahisa Agni
merasa, bahwa sebagian besar tenaganya telah pulih kembali. Meskipun
hampir dua hari ia tidak makan apapun, namun Mahisa Agni telah menjadi
biasa dengan keadaan itu. Di padepokannya pun ia sering melakukannya.
Tidak makan dan tidak minum sebagai laku prihatinnya. Dan kini,
ternyata apa yang sejak lama telah dilakukannya itu sangat bermanfaat
baginya. Apalagi pada saat-saat ia mempertaruhkan benda yang
dianggapnya sangat berharga itu, maka Mahisa Agni itu pun sama sekali
tidak merasakan lapar.
Kini Mahisa Agni telah bersiap untuk
keluar kembali dari gua. Diaturnya perasaannya serta diaturnya
tenaganya. Se….. (hilang beberapa paragraph)
(bersambung ke jilid 05)
No comments:
Write comments