KEMUDIAN Agni merasa
tangan-tangan yang berkeriput itu membelai rambutnya dan kemudian
menepuk pundaknya, “Bangkitlah Mahisa Agni. Duduklah supaya orang tidak
melihat kejanggalan ini.”
Mahisa Agni pun kemudian bangkit dan
duduk di samping emban tua itu. Tetapi wajahnya masih ditundukkannya,
memandang dalam-dalam ke dalam gambaran-gambaran di benaknya. Wajah
perempuan itu, matanya, hidungnya, dahinya. “Ah,” desah Agni di dalam
hati kenapa aku tidak melihatnya sebelumnya. Hampir saya aku melukai
hatinya.”
Yang terdengar kemudian ibunya berkata,
“Agni. Sekarang kau melihat, apakah sebabnya aku menggantungkan harapan
masa depanku sejalan dengan keadaanmu. Namun anakku, bahwa apa yang
terjadi sebenarnya adalah satu peristiwa timbal balik, hutang piutang
dan sebab akibat. Kau yang sama sekali tidak bersalah, kini harus
menerima akibat dari kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan
sebelumnya. Aku telah mengecewakan hati laki-laki, bahkan dua orang
sekaligus. Dan kini kau, anakku, agaknya telah dikecewakan oleh seorang
gadis pula.”
Agni masih menundukkan wajahnya. Ia
tidak membantah lagi. Tidak seharusnya ia menyembunyikan perasaannya
kepada ibunya. Ibu yang meskipun baru saja dikenalinya.
“Tetapi anakku,” berkata ibunya, “kau
telah mendengar cerita tentang ibumu, ayahmu dan laki-laki yang merantau
itu. Meskipun kau kini mengalami nasib yang mirip dengan laki-laki
itu, tetapi kau jangan kehilangan masa depanmu. Kau dapat memilih satu
di antara dua. Namun dengan ikhlas dan jujur. Merebut gadis itu atau
melepaskan dengan ikhlas. Sudah temu kau tidak akan mengorbankan
hubunganmu sebagai seorang murid terhadap gurunya yang telah
bertahun-tahun memeliharamu. Tidak saja sebagai seorang murid, namun
sebagai seorang anak yatim piatu. Nah Agni, aku ingin mendengar dari
mulutmu, apakah yang akan kau lakukan?”
Agni masih diam menekurkan kepalanya. Ia
tidak merasa tersinggung lagi kini. Bahkan serasa ia mendapat saluran
yang wajar untuk meluapkan perasaannya. Karena itu maka ia pun menjawab,
“Ibu. Aku sudah memutuskan untuk melepaskannya dengan ikhlas. Sebab
aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat memaksanya untuk mengalihkan
perasaannya dengan paksa. Meskipun seandainya aku berhasil berbuat
sesuatu yang dapat memaksa gadis itu mengubah pendiriannya, namun aku
tidak yakin, apakah gadis itu tidak akan tersiksa sepanjang hidupnya.
Dan apakah aku tidak tersiksa pula karena aku hanya dapat memiliki
tubuhnya, namun bukan hatinya.”
Perempuan tua itu mengangguk-angguk.
“Syukurlah,” katanya. Tetapi kau jangan mengorbankan masa depanmu yang
panjang. Kalau kau sudah menerima keadaan itu, jangan kau bunuh hari
depanmu dengan keputus-asaan.”
Agni menggeleng lemah. “Tidak ibu,” jawabnya.
“Demikianlah, Anakku,” sahut ibunya, “terimalah akibat ini. Akibat dari perbuatan ibumu.”
“Karma,” desah Agni di dalam hatinya. Dan terdengar ibunya melanjutkan, “Dan akibat itu datang terlampau cepat.”
Ibunya diam untuk sesaat. Tetapi
kemudian ia berkata pula, “Sepeninggal ayahmu Agni, aku telah mencarimu.
Akhirnya aku temukan kau dalam asuhan orang lain yang baik hati
kepadamu. Tetapi aku tidak dapat mengambil kau sebagai seorang ibu
mengambil anaknya. Karena itu, apabila selama masa pembuangan diri itu
aku mengabdikan diriku di sini, di padepokan Empu Purwa maka aku minta
dengan sangat, supaya Empu Purwa mengambil seorang anak laki-laki kecil
sebagai muridnya. Tentu aku tidak mengatakan, bahwa laki-laki itu
adalah anakku. Tetapi aku berhasil membujuknya dengan mengungkit rasa
belas kasihannya.”
Kini Agni menjadi jelas. Dan terasa
kemudian, betapa emban Ken Dedes itu sangat baik kepadanya. Mula-mula ia
menyangka bahwa emban itu baik hati kepadanya, karena ia murid Empu
Purwa, yang seakan-akan telah menjadi saudara kandung putrinya. Namun
kalau demikian halnya maka sikap emban itu agak
berlebih-lebihan. Dan kini perempuan itu meneruskan kata-katanya, “Aku
menjadi cemas dengan keadaanmu sejak semalam. Tetapi kini aku sudah
mendengar dari mulutmu sendiri. Karena itu aku menjadi berlega hati.
Nah, Agni, sebagai emban Ken Dedes, maka biarlah aku minta
kepadamu. Sampaikan permintaan yang telah kau ketahui itu kepada
Wiraprana. Demi kelangsungan masa depanmu dengan perguruanmu. Sudah
tentu kau tak akan mengatakan kepada siapa pun juga, siapakah sebenarnya
aku ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan terdengar ia berkata lirih, “Senja nanti Wiraprana akan datang kemari.”
Perempuan tua itu tersenyum. Sekali lagi ditepuknya bahu Mahisa Agni. Katanya, “Aku harap kau berjiwa besar.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahisa Agni.
Emban tua itu pun kemudian
bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Namun di muka pintu ia
berhenti sejenak, berpaling dan berkata, “Aku akan pergi kepada gadis
putri Empu Purwa itu. Mengatakan kepadanya, bahwa Mahisa Agni telah
menyanggupinya, menyampaikan pesannya kepada Wiraprana. Begitu?”
Mahisa Agni mengangguk lemah.
“Baiklah,” gumam ibunya. Dan sesaat kemudian perempuan tua itu telah hilang di balik pintu.
Kini kembali Mahisa Agni seorang diri di
dalam biliknya. Bilik yang semula. Tetapi terasa betapa ada perbedaan
di dalam dirinya. Kini ia tidak lagi merasa terlalu sepi. Tiang-tiang,
dinding dan sudut-sudut biliknya tidak setegang tadi. Dan terasa oleh
Mahisa Agni, bahwa padepokan itu masih mengikatnya kembali. Ibunya
berada di padepokan itu pula. Dengan demikian, maka masih diharapkannya
untuk tinggal di tempat ini. Mudah-mudahan ia memberikan baktinya
kepada ibunya itu. Meskipun ibunya seakan-akan tak pernah berbuat
sesuatu untuknya, namun perempuan itu telah berjuang melawan maut pada
saat melahirkannya, kemudian menyusuinya dengan penuh harapan, bahwa
bayinya akan dapat hidup terus dan menjadi besar. Dan kini ia telah
menjadi besar. Lalu apakah yang akan dilakukan untuk ibunya itu?
Beberapa saat berselang, ibunya
memberinya beberapa petunjuk dan pesan-pesannya. Pesan seorang ibu. Dan
tiba-tiba hati Mahisa Agni menjadi besar. Dengan dada tengadah ia
menanti kedatangan Wiraprana, “Aku akan berkata kepadanya. Mudah-mudahan
akan dapat memberinya kegembiraan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringannya. Betapa penat telah
menjalari seluruh tubuhnya. Namun ia tidak dapat memejamkan matanya.
Kini ia sedang mereka-reka, bagaimana ia harus mengatakan kepada
Wiraprana.
Matahari di langit berjalan di dalam
garis edarnya. Semakin lama semakin condong ke barat. Cahaya-cahaya
merah telah bertebaran di atas pohon-pohon kelapa dan mewarnai
lereng-lereng perbukitan. Burung-burung seriti beterbangan menangkapi
belalang di padang-padang rumput. Dan hari yang cerah itu pun
berangsur-angsur menjadi suram.
Menjelang senja Mahisa Agni telah
membersihkan dirinya. Mandi di sumur belakang rumah gurunya. Kemudian
duduk dengan gelisahnya di regol halaman menunggu Wiraprana. Ia harus
segera menyampaikan pesan itu sebelum ia bertemu dengan gurunya. Mungkin
gurunya pun akan bertanya kepadanya, apakah pesan putrinya telah
sampai kepada anak buyut Panawijen itu. Meskipun ia sadar, bahwa
gurunya pun akan memaksa dirinya sendiri untuk menuruti permintaan
putri satu-satunya. Tetapi, ada juga kemungkinan lain. Ken Dedes sama
sekali tidak mengatakan kepada ayahnya sampai pada suatu ketika ayahnya
mengadakan permainan sayembara pilih kembali.
“Biarlah, apa yang akan dilakukan,” berkata Agni di dalam hati, “namun aku harus menyampaikannya kepada Wiraprana.
Hati Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
ketika dari kejauhan ia melihat anak muda yang ditunggunya itu datang.
Karena itu segera ia pun berdiri. Sesaat ia tegak di tengah-tengah regol
itu, namun kemudian ia melangkah menepi bersandar pada tiang pintu.
Tetapi sesaat lagi ia telah berjalan hilir mudik melintasi jalan di muka
regol halaman itu.
Wiraprana yang berjalan ke arahnya itu
pun tidak kalah gelisahnya. Anak muda itu melihat Mahisa Agni berjalan
hilir mudik, berdiri tegak, kemudian berjongkok kembali. Karena itu maka
Wiraprana pun tak ada habis-habisnya berpikir, “Apakah aku telah
berbuat suatu kesalahan kepadanya, atau kepada Ken Dedes?”
Tetapi ia berjalan terus. Apapun yang
dihadapinya, akan diterimanya dengan baik. Seandainya ternyata ia
bersalah, maka adalah menjadi kewajibannya untuk minta maaf. Baik kepada
Mahisa Agni maupun kepada Ken Dedes.
Akhirnya Wiraprana itu pun sampai di
regol itu pula. Dilihatnya Mahisa Agni tersenyum dan kemudian berkata,
“Aku menunggumu sejak tadi Wiraprana.”
Wiraprana pun tersenyum pula. “Bukankah kau minta aku datang sesudah senja?”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Wiraprana, apakah sudah mengairi sawahmu?”
Wiraprana mengangguk. “Sudah,” jawabnya.
“Bagus,” jawab Agni, “kalau demikian kau tidak akan tergesa-gesa.”
Dada Wiraprana berdesir. Selama ini ia
selalu datang ke rumah ini. Tidur di sini, makan di sini. Kenapa
tiba-tiba kini Mahisa Agni bersikap demikian. Apalagi kemarin ia tampak
terlalu tergesa-gesa. Namun ia menjawab juga, “Semua pekerjaanku sudah
selesai Agni.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Marilah kita pergi ke bendungan.”
Wiraprana mengangguk. Meskipun terasa
betapa canggungnya pertemuannya kali ini. Berpuluh kali ia telah pernah
mendengar Mahisa Agni mengajaknya ke bendungan, namun kali ini hatinya
berdebar-debar juga. Meskipun demikian Wiraprana mengangguk juga sambil
menjawab, “Marilah.”
Agni tidak berkata apa-apa lagi.
Keduanya kemudian berjalan bersama-sama ke bendungan. Kemarin, dua hari
yang lampau, tiga hari yang lampau, lima, sepuluh dan beratus-ratus
kali di saat-saat lampau, keduanya sering pula berjalan ke bendungan.
Tetapi kali ini keduanya seperti asing. Mereka berjalan sambil berdiam
diri. Cepat-cepat seperti takut terlambat.
Ketika mereka telah tegak di bedungan, berkatalah Mahisa Agni, “Duduklah Wiraprana.”
“Hem,” desah Wiraprana. “Agni memang
aneh akhir-akhir ini,” katanya di dalam hati, “biasanya tak pernah ia
mempersilahkan demikian. Apakah aku akan berjungkir balik, atau akan
terjun sekalipun, tak pernah ia menegurku.”
Meskipun terasa betapa kaku pertemuan
itu, namun Wiraprana kemudian duduk juga di samping Mahisa Agni. Untuk
sejenak mereka masih berdiam diri. Wiraprana memandang jauh-jauh ke
kelokan sungai, memandang air yang berputar-putar dan kemudian lenyap
seperti ditelan hantu, hilang di balik kelokan.
Beberapa kali Mahisa Agni menarik nafas.
Ketika melihat warna-warna yang semakin kelam di ujung pepohonan ia
menjadi gelisah. Sebenarnya Mahisa Agni ingin langsung menyampaikan
pesan Ken Dedes. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk memulainya.
Tetapi ia sadar, lambat atau cepat ia harus berkata. Karena itu
akhirnya di cobanya juga berkata, “Wiraprana, kali ini aku ingin
menyampaikan sebuah pesan untukmu.”
Wiraprana kemudian berpaling. Ditatapnya
wajah Agni yang menunduk. Karena Mahisa Agni tidak segera meneruskan
kata-katanya maka Wiraprana pun menyahut, “Agni. Sudah terasa betapa
janggal sikapmu akhir-akhir ini. Supaya aku tidak selalu berteka teki,
maka sudah sepantasnya kalau kau mengatakan sesuatu kepadaku. Apakah aku
telah berbuat kesalahan, atau apapun yang mengecewakanmu atau
mengecewakan Ken Dedes.”
“Tidak!” Mahisa Agni menggeleng, “Kau tidak mengecewakan siapa pun. Aku tidak, Ken Dedes apalagi.”
Mahisa Agni diam sesaat. Dicobanya
mengatur perasaannya. Ia harus mengatakan sesuatu yang dirasakannya
terlalu pahit. Namun ketika diingatnya pesan ibunya, maka ia pun menjadi
agak tenang. Maka katanya, “Sudah lama aku mengenalmu, dan sebaliknya.
Kau pun telah mengenal seluruh keluarga kami. Guruku, aku dan Ken
Dedes. Wiraprana, hampir setiap hari kau berkunjung ke rumah guru.
Apakah benar-benar hanya karena aku ada di sana?”
Wiraprana terkejut mendengar pertanyaan itu. Sahutnya, “Apakah maksudmu Agni?”
Agni menarik nafas. Dengan sangat
berhati-hati ia mengulangi supaya tidak menimbulkan salah mengerti,
“Wiraprana, maksudku, apakah kehadiranmu setiap hari di rumah Empu Purwa
itu benar-benar karena kau ingin menemui aku?”
“Tentu!” jawab Wiraprana cepat-cepat.
Wajah anak muda itu pun menjadi merah, dan hatinya semakin
berdebar-debar, “Apakah kau menyangka lain, Agni?”
“Tidak,” sahut Agni, “mula-mula aku tidak menyangka lain, namun sekarang aku mengharap, semoga kau mempunyai maksud yang lain.”
“Ah,” desah Wiraprana, “aku tidak mengerti, jangan membuat aku bingung, Agni. Katakanlah.”
“Prana,” berkata Mahisa Agni, “betapa
berat pesan yang dititipkan kepadaku untukmu. Sebagai seorang kakak, aku
wajib memenuhinya. Namun aku mengharap kau tidak menjadi kecewa,
justru karena pesan itu. Kau jangan salah menilai, bahwa seorang gadis
sedemikian berani memberikan pesan yang tak ternilai harganya kepada
seorang anak muda. Prana, besuk atau lusa kau akan tahu sebabnya. Kini,
dengarlah pesan dari adikku itu. Ia mengharap kehadiranmu dalam
perjalanan hidupnya.”
Kembali Wiraprana terperanjat. Dan
kembali warna merah membersit di wajahnya. Karena itu ia menjadi seakan
terbungkam. Mahisa Agni telah memberitahukan pesan itu terlalu
langsung. Agni pun kemudian merasakan pula kekakuan kata-katanya. Namun
untuk mengucapkannya ia sudah harus berjuang di dalam dirinya. Karena
itu ia tidak dapat berbuat lebih baik daripada apa yang telah
dilakukannya.
Sejenak kemudian keduanya dicengkam oleh
debar yang cepat di dada masing-masing. Wiraprana bahkan menjadi
bingung. Apakah yang dapat dikatakannya? Sedang Mahisa Agni sibuk
menguasai perasaannya. Dengan sekuat tenaga ia berjuang untuk
menenangkan diri. Baru kemudian ia dapat berkata pula, “Wiraprana,
jangan menyangka bahwa Ken Dedes dengan tiba-tiba saja merendahkan
dirinya dengan pesannya itu. Ia tidak akan berbuat demikian seandainya,
sikapmu, kata-katamu sebelumnya tidak meyakinkannya. Setidaknya
menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Sehingga pada saat gadis itu
terdesak oleh keadaan, seperti yang terjadi dengan Kuda Sempana, ia
harus menjatuhkan pilihan.”
Wiraprana mengangkat wajahnya. Kemudian dengan gemetar ia bertanya, “Kenapa pilihan itu jatuh atasku?”
Agni menarik nafas. Kemudian ia
meneruskan, “Sudah aku katakan, sikapmu dan kata-katamu menumbuhkan
harapan di hati adikku. Ketika Ken Dedes mengeluh atas keadaannya, atas
sikap Kuda Sempana dan lamaran-lamaran lain yang datang kepada ayahnya,
namun tak seorang pun sesuai dengan hatinya, maka aku nasihatkan
kepadanya untuk segera menentukan pilihan. Wiraprana, adikku itu telah
lama mengenalmu. Aku pun telah mengenalmu pula, hampir segenap watak dan
tabiatmu. Karena itu, aku nasihatkan kepada Ken Dedes, supaya ia
bersedia menerima kehadiranmu di dalam masa-masa hidupnya yang akan
datang. Agaknya kami, aku dan Ken Dedes sependapat, bahwa tak ada orang
lain yang lebih baik dari padamu. Karena itu, apakah Ken Dedes akan
memberikan pesan untukmu atau tidak, suatu saat aku pasti akan
mengatakannya kepadamu.”
Terasa sesuatu bergelora di dalam dada
Wiraprana. Kini ia tidak dapat berbohong lagi. juga kepada dirinya
sendiri. Sejak lama terasa sesuatu di dalam sudut hatinya. Tetapi ia
tidak berani melihatnya. Ia merasa bahwa tak sepantasnya ia
berangan-angan tentang seorang gadis putri pendeta yang menenggelamkan
hidupnya dalam pengabdiannya terhadap sumber hidupnya. Ia merasa, bahwa
dirinya akan terlalu kasar untuk itu. Wiraprana merasa, bahwa ia tidak
lebih dari seorang petani yang lebih mengenal dirinya sendiri, alam dan
semesta ini pada wadagnya. Karena itu ia telah bertekad untuk menekan
segenap perasaan yang timbul di dalam dadanya. Namun demikian, setiap
kali selalu timbul keinginannya untuk datang ke rumah guru sahabatnya
itu. Karena itu, tiba-tiba timbul pula pertanyaan di hatinya, “Apakah
aku datang setiap hari mengunjungi Mahisa Agni itu benar-benar karena
aku ingin bertemu dengan anak itu?”
Wiraprana menjadi malu sendiri. Agni pun bertanya demikian kepadanya. Dan ia tidak dapat menjawabnya.
Wiraprana kemudian menundukkan wajahnya.
Di dalam dadanya bergolak berbagai perasaan. Terkejut, gelisah namun
tebersit pula kegembiraan di dalam hatinya. Karena itu, selagi ia sibuk
dengan persoalannya sendiri, maka ia tidak melihat betapa Mahisa Agni
berjuang untuk menguasai perasaannya. Di dalam dadanya pun bergelora
pula berbagai perasaan. Pedih, sakit dan kecewa. Namun ia sudah bertekad
untuk menghayatinya.
Gemericik air di bendungan terdengar
seperti sebuah lagu yang lincah. Nadanya meloncat-loncat dalam irama
yang cepat. Ketika Wiraprana memandang ke dalamnya, tampaklah bayangan
bintang-bintang di langit seakan-akan meloncat-loncat dipermainkan oleh
getaran permukaan air yang riang.
“Agni,” tiba-tiba ia berkata. Agni mengangkat wajahnya, dan ditatapnya wajah Wiraprana yang cerah.
“Adakah kau berkata sebenarnya?” bertanya anak muda itu.
“Tentu,” jawab Agni.
“Apakah Ken Dedes benar-benar bermaksud
demikian? Agni, aku takut kalau Ken Dedes sekedar menuruti
permintaanmu,” Wiraprana menegaskan.
Agni menarik nafas. Terasa dadanya
menjadi sesak. Namun ia menjawab, “Tidak Ken Dedes benar-benar menyadari
pesannya itu.” “Ah,” desah Wiraprana.
Kembali mereka berdiam dari. Wiraprana
kini melihat masa depan yang cerah terbentang di hadapannya. Nanti ia
akan berkata kepada ayahnya apa yang didengarnya dari Mahisa Agni.
Ayahnya segera pasti akan memenuhi adat itu. Datang kepada ayah Ken
Dedes dengan sebuah upacara. “Hem,” katanya di dalam hati, “Bukankah
ayahku Buyut Panawijen? Seharusnya aku tak perlu merasa terlalu kecil
untuk melakukannya?.
Dan tiba-tiba Wiraprana itu tersenyum
sendiri. Meskipun demikian, Wiraprana masih ingin meyakinkan. Karena itu
ia bertanya, “Agni, bagaimanakah pendapatmu tentang pesan itu. Apakah
sudah sepantasnya aku menerimanya?”
Sekali lagi sebuah goresan melukai hati
Mahisa Agni. Tetapi ia menjawab, “Tentu Wiraprana. Seharusnya kau penuhi
permintaan itu. Pandanglah dirimu dengan jujur, apakah tak ada
perasaanmu untuk melakukannya. Jangan hiraukan tanggapan orang lain
tentang dirimu, tentang gadis itu dan tentang masa depan kalian berdua.
Kebahagiaan kalian di masa mendatang tergantung kepada kalian sendiri.
Tidak kepada orang lain dan tidak pula tergantung kepadaku.”
Wiraprana mengangguk-angguk. Senyumnya
kembali membayang di wajahnya. Katanya, “Terima kasih Agni. Aku tidak
menyangka bahwa aku akan tertimpa ndaru. Aku sebenarnya gelisah melihat
sikapmu yang aneh akhir-akhir ini. Tetapi kini aku menjadi sangat
berterima kasih kepadamu.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi kemudian ia mengatupkan giginya. Desahnya di dalam hati, “Berbahagialah kau, anak muda.”
Tetapi Wiraprana tak melihat luka di
dalam dada Agni. Yang dilihatnya adalah keriangannya sendiri. Dan
tiba-tiba ia berkata, “Agni. Marilah kita pulang. Aku akan mengatakannya
kepada Ayah. Supaya Ayah segera dapat melakukannya. Besok atau lusa.”
Mahisa Agni mengangguk. Tetapi ia masih belum ingin pulang. Maka jawabnya, “Pulanglah dahulu, Prana. Aku masih akan ke sawah.”
Wiraprana tidak dapat merasakan apapun
selain keinginannya untuk segera menyampaikan kabar itu kepada ayahnya.
Ayahnya pasti tidak akan menolaknya. Meskipun ia harus meyakinkan,
bahwa keluarga Ken Dedes seluruhnya telah menerima kehadirannya apabila
dikehendaki. Karena itu, maka katanya, “Baiklah, aku pulang dahulu.”
Mahisa Agni mengangguk, “Pulanglah. Aku segera menyusul.”
Wiraprana tidak berkata apa-apa lagi. Segera ia melangkah dari batu ke batu. Kemudian meloncat dan berjalan cepat-cepat pulang.
Mahisa Agni kemudian berdiri.
Dipandangnya Wiraprana yang berjalan tergesa-gesa itu. Semakin lama
semakin dalam membenam di hitamnya malam.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas.
Perlahan-lahan pandangan matanya berkisar di seputar bendungan. Air di
grojoggan masih memercik beruntun. Di langit ujung timur, Mahisa Agni
melihat semburat kuning membayang di atas ujung-ujung pepohonan. Bulan
sesaat lagi akan melambung di langit yang biru.
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni
berjalan menuruni bendungan. Dilangkahinya anak-anak tangga di tebing
kali. Sehingga akhirnya sampailah ia di pinggir belumbang kecil.
“Di sinilah aku telah menyelamatkan kedua-duanya,” desisnya.
Agni menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika ia melihat wajahnya di air belumbang yang terang itu, seakan-akan
dilihatnya masa-masa lampaunya yang penuh dengan keprihatinan. Tetapi
justru karena itulah, maka Mahisa Agni mampu menahan arus perasaannya,
betapapun sakitnya.
Ketika bulan telah tersembul di atas
punggung bukit, Agni teringat bahwa gurunya memerlukannya. Karena itu
dengan langkah yang berat, seberat beban di hatinya, ia melangkah
pulang. Ketika dilewatinya sawah gurunya itu, diperlukannya membuka
tutup pematang, untuk mengalirkan air ke dalamnya.
Ketika ia memasuki regol halaman
rumahnya, dilihatnya halaman rumah itu sangat sepi. Lampu-lampu minyak
telah menyala di setiap ruang di dalam rumah. Seseorang telah menyalakan
lampu di biliknya pula. Di pendapa Agni melihat seorang cantrik
melintas. Kepadanya Agni bertanya, “Di manakah Empu Purwa sekarang?”
“Di pringgitan,” jawabnya.
Mahisa Agni mengangguk. Ia ingin
langsung menemui gurunya. Mungkin ada sesuatu yang penting Mungkin ada
hubungannya dengan Ken Dedes mungkin pula tidak.
Perlahan-lahan Mahisa Agni membuka
pintu. Dilihatnya gurunya duduk bersila. Di hadapannya terhidang
bintang, teko dan sebuah mangkuk kecil.
“Marilah, Agni,” berkata gurunya. Dan
Agni pun kemudian berjongkok dan duduk di muka Empu Purwa. Meskipun
telah berbilang ribuan ia duduk menghadap gurunya namun kali ini hatinya
berdebar-debar juga.
Tetapi debar jantung Agni pun menjadi semakin kusut ketika ia melihat wajah gurunya yang bening tenang.
“Marilah, Agni. Mumpung masih hangat,” ajak gurunya sambil menyodorkan mangkuk kecil untuknya.
Mahisa Agni pun mengangguk, dan seperti
biasanya segera ia meraih teko dan kemudian segumpal gula kelapa. Adalah
menjadi kebiasaan gurunya, mengajaknya minum bersama. Menurut gurunya
minum bersama terasa jauh lebih nikmat daripada sendiri.
Ketika setengah mangkuk kecil telah terminum, Mahisa Agni meletakkannya kembali di dalam nampan kuningan.
Sejenak mereka berdua masih berdiam
diri. yang terdengar kemudian hanyalah bunyi-bunyi jangkrik dan
angkup-angkup nangka yang meringkik-ringkik di kejauhan.
Kemudian Empu Purwa itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mencarimu tadi pagi, Agni.
Tetapi tak ada keperluan apa-apa. Aku hanya ingin minum bersama
seseorang. tetapi ternyata kau tidak ada. Tak seorang pun yang melihat.
Aku sangka kau sedang pergi sawah.”
Kembali Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar. Ditundukkannya kepalanya, dan dibiarkannya gurunya
berkata meneruskan, “Apakah kau benar-benar pergi ke sawah?”
Mahisa Agni menjadi bingung. Meskipun demikian ia menjawab, “Baru saja aku pulang dari sawah guru.”
Empu Purwa tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Apakah padimu telah merunduk?”
“Hampir Empu, tidak sampai berbilang hari,” jawab Mahisa Agni.
“Ah, syukurlah,” sahut orang tua itu, “mudah-mudahan tanaman itu dijauhkan dari hama den kerusakan.”
“Mudah-mudahan,” gumam Mahisa Agni.
“Kalau demikian, Agni,” berkata Empu
Purwa, “itu sudah hampir sampai masanya kau membuat gubuk untuk menjaga
sawahmu dari gangguan burung.”
“Ya, Empu,” jawab Agni, “sebentar lagi akan aku buat.”
Empu Purwa mengangguk-angguk.
Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan seksama, seakan-akan ada sesuatu
yang aneh pada anak muda itu. Sehingga ketika Mahisa Agni menyadarinya,
maka ia pun menjadi gelisah. Dan kembali wajahnya terpaku di dalam
anyaman tikar yang didudukinya.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu berkata
pula, “Agni. Adalah menjadi hak kita untuk mengusir setiap burung yang
akan mencuri padi kita di sawah, sebab kitalah yang menanamnya,
memeliharanya dan dengan tertib berbuat untuk kepentingan tanaman itu.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya.
Kata-kata gurunya itu agak mengherankannya. Bukankah hal itu sudah
wajar. Tak ada sesuatu yang terasa baru pada kata-kata itu.
Empu Purwa melihat pula wajah Agni yang
memancarkan berbagai pertanyaan itu. Maka sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Empu Purwa berkata, “Kita akan merasa kehilangan Agni, apabila
meskipun hanya sebutir padi kita yang dimakan oleh burung-burung pipit
liar itu. Karena itu kita akan selalu mengusirnya apabila mereka
datang.”
Mahisa Agni menjadi semakin heran. Namun ia tidak bertanya. Bahkan kembali ia menundukkan wajahnya.
“Tetapi Agni,,” sambung gurunya.
Suaranya menjadi berat dan dalam, “Padi yang kita pertahankan dari
serbuan burung-burung pipit, dan kadang-kadang kita harus bekerja siang
dan malam, apabila hujan lebat dan parit-parit menjadi melimpah itu,
ada kalanya tidak sampai ke lumbung-lumbung kita.”
Empu Purwa berhenti sejenak, lalu
katanya seterusnya, “Meskipun kita tidak mengikhlaskan sebutir padi pun
kepada burung-burung pipit Agni, namun kadang-kadang kita berikan tidak
hanya sebutir, bahkan lebih dari itu, seikat, kepada orang lain,
apabila kita yakin orang itu membutuhkannya. Dan kita yakin karena itu
maka orang itu menjadi berbahagia karenanya.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
kata-kata gurunya itu. Sekejap ia mengangkat wajahnya, namun sekejap
kemudian wajah itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Kini ia tahu,
apakah yang akan dikatakan gurunya itu.
“Agni,” berkata Empu Purwa, “aku tidak
dapat menolak apabila seseorang yang kelaparan datang kepadaku, dan
minta supaya aku memberinya padi. Sedang padi itu ada padaku.”
“Tentu saja Agni. Aku dapat
memberikannya kepada siapa saja sesuka hatiku, tetapi bagaimanakah kalau
yang dapat aku berikan itu sangat terbatas?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika teringat pesan ibunya, maka Mahisa Agni pun segera dapat
menguasai perasaannya. Karena itu berangsur-angsur kegelisahannya pun
menjadi lenyap. Bahkan kini ditengadahkannya wajahnya, dan didengarnya
kata-kata gurunya itu dengan hati yang terang.
Maka gurunya itu pun berkata, “Ah,
Anakku. Aku tidak dapat menyamakannya dengan butiran padi itu. Mungkin
orang lain berbuat demikian. Tetapi aku tidak. Kadang-kadang aku
mengingat juga lumbung-lumbung atau tempat penyimpanan orang yang datang
itu. Bahkan lebih dari itu, Agni”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Tetapi ia sudah tidak gelisah. Karena itu ketika Empu Purwa bertanya
kepadanya, maka dengan tatag ia menjawabnya.
Berkatalah empu tua itu, “Agni. Ternyata
kau turut memelihara sawahku itu dengan tekun. Bahkan kaulah yang
setiap saat melakukannya. Bagaimanakah pendapatmu, kalau suatu ketika
hasil sawah itu aku serahkan kepada rakyat Panawijen, atau orang yang
dapat mewakilinya?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Kini ia tidak menundukkan wajahnya. Bahkan dengan tenang
ia menyahut, “Guru, adalah menjadi kewajibanku untuk ikut memelihara
setiap milik guru. Sawah, ladang, halaman ini bahkan dengan segala
isinya. Dan apabila kemudian Empu mempunyai keputusan tentang itu
semuanya, adalah sudah seharusnya aku pun menjadi bergembira karenanya.”
Empu Purwa itu pun tersenyum, katanya,
“Tetapi, Agni. Bagaimanakah kalau lumbung kita sendiri menjadi kosong.
Dan apakah kita tidak takut, suatu ketika kita sendiri akan menjadi
lapar?”
Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata
gurunya. Tetapi ia telah menjadi tenang benar. Karena itu sama sekali
tak tampak kegelisahan dan perubahan di wajahnya. Selalu diingatnya
pesan ibunya. Cerita ibunya tentang dirinya dan ayahnya. Maka jawabnya,
“Guru, apabila kita masih mencemaskan keadaan diri sendiri, maka
pemberian kita itu menjadi tidak dilambari dengan keikhlasan.”
“Hem,” Empu Purwa menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan penuh
haru. Maka terdengar ia berkata, “Kau telah menemukan nilai-nilai
dirimu Mahisa Agni. Nilai-nilai yang hampir rontok dalam usia mudamu.
Usia yang paling berbahaya dalam hidup ini.”
Kini Mahisa Agni benar-benar terkejut.
Apakah gurunya tahu, betapa ia hampir menjadi gila mendengar pengakuan
Ken Dedes di hadapan ibunya?
Tetapi Mahisa Agni justru menjadi
terbungkam karenanya. Kemudian ia mendengar gurunya itu berkata pula,
“Agni, pagi tadi aku ikuti kau bertamasya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Gurunya
benar-benar mengetahui apa yang sudah terjadi. Dan gurunya itu masih
berkata, “Aku melihat kau hampir-hampir kehilangan keseimbangan,
Anakku.”
Ketika Agni akan menjawab, Empu Purwa
mendahului, “Jangan kau sembunyikan perasaanmu. Orang setua aku, Agni,
adalah orang-orang yang pernah mengalami masa-masa semuda kau. Dan apa
yang kau lakukan adalah wajar. Sewajar orang mengusir burung pipit di
sawahnya. Aku melihat sejak kau bermain-main dengan serulingmu. Aku
melihat Ken Dedes datang kepadamu. Aku melihat, betapa kau menempelkan
telingamu, untuk mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes kepada
pemomongnya. Dan aku ikut berlari-lari sepanjang tengah malam itu. Dan
aku mendengarkan semua percakapanmu dengan hantu di padang rumput itu,
Agni. Aku tidak akan berani mengatakan semua ini kepadamu, apabila kau
masih belum menemukan nilai-nilai yang tersimpan di hatimu. Meskipun apa
yang dikatakan oleh Ken Arok itu membantumu, namun keikhlasan yang
terpancar di wajahmu, membayangkan betapa kau memiliki nilai-nilai di
dalam hatimu melampaui dugaanku.”
Mahisa Agni mendengar kata-kata gurunya
dengan hati yang berdebar-debar. Namun satu hal yang tak diketahui oleh
gurunya, ibunya kini telah hadir pula di dalam hatinya. Namun Mahisa
Agni tak berkata sepatah kata pun.
Sesaat kemudian terdengar gurunya berkata, “Agni. Seorang setia berkata bahwa wanita sana harganya dengan curiga.
Dan sama pula harganya dengan nyawanya. Aku tidak keberatan Agni.
Namun aku ingin memberinya arti yang agak berbeda dengan arti yang
pernah diberikan oleh anak-anak muda. Wanita, curiga, pusaka
dan sebagainya adalah lambang dari cita-cita. Setiap cita-cita memang
mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Kalau cita-cita itu dinilai sama
dengan nyawa kita, maka adalah sudah seharusnya kita mengejar cita-cita
itu sepanjang umur kita. Dan kau telah sampai pada nilai-nilai yang
lebih tinggi dari nilai-nilai wadagnya Agni.”
“Bukan wanita dalam wadagnya, tetapi
wanita sebagai lambang yang memancarkan kehalusan, yang memancarkan
sifat-sifat pengabdian pada anak-anaknya, pada penerus hidup kita.
Pengabdian bagi masa yang akan datang. Wanita tidak sekedar hidup untuk
hidupnya, tetapi wanita hidup untuk hidup masa mendatang. Dan adakah
kita telah melakukannya. Adakah kita telah menerapkan hidup kita tidak
sekedar untuk hidup kita sendiri. Adakah kita sudah menempatkan diri
kita dalam pengabdian bagi masa datang?”
“Agni, curiga dan pusaka yang harus kita udi pun,
janganlah dinilai sebagai bentuk wadagnya. Keris, tombak, bahkan
segala jenisnya. Namun setiap kita menempatkan pusaka apapun di hati
kita, maka kita menilainya dari setiap unsur yang dapat kita lihat
daripadanya. Unsur yang dipancarkan olehnya. Kejantanan, keperkasaan dan
keluhuran budi. Atau apapun menurut penilaian kita atasnya.”
Empu Purwa itu pun berhenti sejenak.
Dicobanya untuk mengetahui, apakah kata-katanya itu dapat dimengerti
oleh muridnya yang masih muda itu. Agni kini menekurkan kepalanya.
Didengarnya semua nasihat gurunya itu. Dan dicobanya untuk
mencernakannya di dalam hatinya.
Seterusnya gurunya itu berkata
perlahan-lahan, namun langsung menyusup ke jantung Mahisa Agni, “Agni.
Betapapun juga, aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang hilang dari
hatimu. Hanya orang-orang yang tabah, dan telah menemukan nilai-nilai
kemanusiaannyalah yang dapat menghadapi peristiwa semacam itu dengan
tenang dan berhati terang. Dan kau telah melakukannya dalam umur mudamu.
Karena itu mudah-mudahan kau selalu diselamatkan oleh Maha Pencipta.
Namun, meskipun demikian Agni, aku akan mencoba mengurangi
tekanan-tekanan yang berat itu. Meskipun kau pasti akan kuat
memanggulnya, namun sebaiknya, aku, gurumu, ikut pula membantumu.
Maksudku, aku tidak akan mengubah pendirian anakku, sebab dengan
demikian aku akan merampas kebahagiaannya. Dan menurut penilaianku, kau
telah memaafkannya.”
“Dan kini, aku akan memberimu imbangannya. Sebuah pusaka.”
Mahisa Agni tersentak sehingga ia
bergeser madu. Diangkatnya wajahnya, dan dipandangnya wajah gurunya yang
sejuk bening. Dan didengarnya gurunya itu meneruskan kata-katanya,
“Agni, kau pernah melihat sebuah trisula yang kecil itu? Sudah pernah
aku katakan kepadamu, pusaka itu diberikan turun temurun dari guru
kepada muridnya yang tepercaya. Dan kini, aku telah mengambil keputusan
untuk memberikannya kepadamu. Namun, ingatlah Agni. Pusaka yang
berbentuk senjata itu bukan alat pembunuh. Pusaka itu adalah alat untuk
menegakkan sendi-sendi kebenaran dan kemanusiaan menurut Sumbernya.
Jadi menurut sumbernya, Agni. Bukan menurut kehendakmu dan
kepentinganmu. Meskipun kau tak akan mengerti seluruhnya, kebenaran
menurut Sumbernya itu, namun kau harus berusaha mendekatkan diri
pada-Nya. Kalau kau menemui keingkaran pada kebenaran itu Agni, yang
pertama-tama kau lakukan adalah melenyapkan keingkaran itu. Bukan
melenyapkan seseorang. Jangan kau lenyapkan seseorang yang mengingkari
kebenaran, selagi kau melihat kemungkinan untuk melenyapkan
keingkarannya tanpa mengorbankan orangnya.”
Kini Mahisa Agni menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Meskipun gurunya pernah berkata kepadanya di padang rumput
Karautan, bahwa pusaka berbentuk trisula itu adalah pusaka turun
temurun, dan bahkan gurunya pernah berkata pula, bahwa suatu ketika
pusaka itu akan diberikan kepadanya, namun pada sangkanya, tidak secepat
yang terjadi. Justru karena itu, maka dada Mahisa Agni terasa menjadi
sesak oleh berbagai perasaan yang bergulat di dalamnya. Bahkan kemudian
terasa matanya menjadi panas, dan terasa sesuatu menyumbat mulutnya.
Demikianlah, malam itu, dengan penuh
keharuan dan terima kasih, Mahisa Agni menerima sebuah pusaka dari
gurunya. Apapun bentuknya, namun itu adalah suatu pertanda bahwa gurunya
telah menumpahkan kepercayaan kepadanya. Kepercayaan pada ilmu yang
telah dimilikinya, dan kepercayaan pada pengalaman yang akan
dilakukannya.
Dalam keharuannya, sekilas Mahisa Agni
teringat kepada gadis putri gurunya itu. Karena itu hatinya berdesir.
Tetapi kemudian perasa hatinya menjadi tenang kembali setelah
disadarinya, bahwa sebagai gantinya, telah didapatnya dua penemuan yang
sangat berarti dalam hidupnya. Ibunya dan sebuah pusaka.
Maka, meskipun tak terucapkan, namun
betapa Mahisa Agni mengucapkan syukur di dalam hatinya kepada Maha
Pengasih atas karunianya yang tak ternilai.
Ketika malam telah menjadi semakin
malam, dan bulan di langit telah membuat garis-garis tegak di atas
padepokan, maka Empu Purwa melepaskan Mahisa Agni kembali ke biliknya.
Di samping pendapa Mahisa Agni melihat
sebuah bayangan di bawah rimbun daun kemuning, Pandangan matanya yang
tajam segera mengenalinya. Orang itu adalah ibunya.
“Apa yang terjadi?” bisik ibunya, ketika Mahisa Agni telah dekat di sampingnya.
Dengan bangga Mahisa Agni menceritakan
kepercayaan gurunya kepadanya. Dan dengan bangga pula ditunjukkannya
pusakanya kepada ibunya. Namun ibunyalah yang lebih berbangga dari
Mahisa Agni sendiri. Sedemikian bangganya sehingga perempuan itu tak
dapat menguasai perasaannya. Setetes demi setetes, air matanya menitik.
Tetapi ia tidak bersedih. Bahkan dengan sebuah senyum ia berkata,
“Berbahagialah kau Agni, dan aku pun berbahagia pula. Pandanglah hari
depanmu dengan penuh gairah di dalam dadamu.”
Malam itu adalah malam yang tak akan
dilupakan oleh Mahisa Agni. Namun demikian, anak muda itu tidak menjadi
takabur. Dengan tekun ia justru menempa dirinya. Setiap saat ada
kesempatan, dengan tekad, bahwa nama perguruannya, nama gurunya dan
kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya, harus dijunjungnya
tinggi-tinggi. Dan karena itu pulalah maka Empu Purwa pun berbangga pula
karenanya. Ternyata muridnya benar-benar seorang anak muda yang baik.
Karena itu, maka Empu Purwa pun untuk selanjutnya telah menempa Mahisa Agni dalam tataran ilmunya yang tertinggi.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni
tenggelam dalami penekunan tanpa henti atas ilmunya, maka Wiraprana
telah pula berhasil meyakinkan ayahnya. Sehingga akhirnya Buyut
Panawijen itu pun tak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan
anaknya.
Ternyata semuanya berlangsung seperti
yang diharapkan, Empu Purwa tidak mau menunda persoalan itu
berlarut-larut. Ketika ia menerima sebuah utusan dari Buyut Panawijen,
maka dilambari dengan penuh pengertian atas hasrat yang tersimpan di
dalam dada anaknya, maka dipanggillah Ken Dedes menghadapnya.
“Ken Dedes,” berkata Empu Purwa
kemudian, “pengikut sayembara kali ini hanya seorang, Wiraprana, putra
Buyut Panawijen. Bagaimanakah pendapatmu?”
Ken Dedes menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Berbagai perasaan bergolak di dadanya. Ia gembira, menerima
pertanyaan itu, tetapi ia tidak kuasa untuk menganggukkan kepalanya.
Karena itu ia menjawab lirih, “Ayah. Terserahlah kepada Ayah.”
Empu Purwa tersenyum. Seorang yang telah
berumur lanjut, segera mengetahui isi hati seorang gadis yang telah
ditunggunya setiap saat. Ken Dedes tidak menolak.
“Nah, Anakku,” kata ayahnya, “aku harap
kau tidak menemui persoalan-persoalan yang sulit di kemudian hari,
seperti apa yang telah terjadi. Sebab segera semua orang di Panawijen
akan mendengar kabar, bahwa lamaran Buyut Panawijen telah diterima. Kita
tinggal memperhitungkan hari yang sebaik-baiknya untuk keperluanmu
itu.”
Ken Dedes tidak menjawab. Kepalanya masih ditundukkannya dalam-dalam. Namun ia berdoa, mudah-mudahan semuanya segera selesai.
Ketika ayahnya mengizinkannya pergi, Ken
Dedes langsung berlari-lari ke bilik Mahisa Agni. Dengan serta-merta ia
mengguncang-guncang tubuh Agni yang sedang berbaring, setelah dengan
sekuat tenaga memeras diri dalam latihannya.
Betapa terkejutnya anak muda itu. Segera ia bangkit bertanya, “Ada apa Ken Dedes?”
“Kakang,” berkata gadis itu
terbata-bata, namun wajahnya tampak betapa cerahnya, secerah bintang
pagi, “Ayah telah menerima lamaran dari Buyut Panawijen.”
“He?” Agni tersentak. Dan warna merah
tiba-tiba tebersit di wajah Ken Dedes. Ia menjadi malu kepada kakaknya,
dan malu kepada diri sendiri. Karena itu, kemudian ia terduduk di
samping Agni sambil menundukkan wajahnya.
Sesaat darah Agni bergolak. Namun hanya
sesaat. Kemudian terasa darahnya mendingin kembali. Dengan tenang ia
berkata, kata-kata yang sudah sewajarnya diucapkan oleh seorang kakak
kepada adiknya yang berbahagia, “Syukurlah, Ken Dedes. Wiraprana tidak
mengecewakan kita.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya perlahan-lahan, “Aku berterima kasih kepadamu, Kakang.”
“Bukankah sudah menjadi kewajibanku Ken
Dedes? Kau adalah adikku. Adalah menjadi kewajiban saudara tua untuk
mendengarkan tangis adiknya,” jawab Mahisa Agni, kemudian ia meneruskan,
“Kalau kau berbahagia adikku, aku pun berbahagia pula karenanya.
Mudah-mudahan Wiraprana dapat menempatkan diri, dan mudah-mudahan kau
pun dapat menyesuaikan dirimu pula.”
Di hari-hari berikutnya, tampaklah
betapa cerah wajah Ken Dedes. Ia kini tidak mengurung diri lagi di dalam
biliknya. Dengan rajin ia bekerja seperti dahulu, sebelum hatinya
menjadi murung. Mencuci pakaian, membersihkan halaman dan bekerja di
dapur bersama-sama gadis-gadis pembantunya.
Kini Ken Dedes tidak pernah membuang
waktunya dengan berbagai pekerjaan tak berarti. Setiap kali ia sibuk
membersihkan rumah dan biliknya. Seakan-akan besok pagilah perhelatan
perkawinannya akan diselenggarakan.
Mahisa Agni pun telah berusaha
sekuat-kuatnya untuk melupakan luka-luka yang pernah ada di hatinya.
Diusahakannya untuk berbuat seperti apa yang selalu dilakukan. Ke sawah,
mencangkul halaman, belumbang, tanaman-tanaman dan petak-petak di
belakang rumahnya.
Namun, sama sekali tak pernah
diketahuinya, bahwa setiap kali gurunya, mengawasinya diri sudut
sanggarnya sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan pandangannya
yang penuh iba, kadang-kadang orang tua itu bergumam, “Kasihan kau,
Anakku. Mudah-mudahan kau mendapat karunia, kesabaran.”
Kabar tentang hubungan yang telah diikat
antara Wiraprana dan Ken Dedes itu pun segera tersebar di segala
sudut-sudut padukuhan Panawijen. Ramailah anak-anak muda
membicarakannya. Bunga di kaki Gunung Kawi itu kini akan dipetik orang.
Sambil tertawa-tawa, kawan-kawan Wiraprana selalu mengganggunya. Di
rumah, di sawah di bendungan bahkan di mana saja mereka bertemu.
“Mahisa Agni,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa bukan aku yang kau ambil menjadi adikmu?”
Mahisa Agni tersenyum. Betapa pedih luka
di hatinya. Namun dijawabnya sambil tertawa, “Kau bukan Wiraprana.
Namun kau belum pernah berkelahi dengan Kuda Sempana.”
Yang mendengar jawaban itu pun tertawa
riuh. Sambil menunjuk wajah kawannya itu mereka bersorak, “Kalau menjadi
adik Mahisa Agni, dan Kuda Sempana itu datang kembali, apa katamu?”
“Lari,” jawabnya sambil tertawa pula.
Wiraprana sendiri tak pernah menyahut.
Ia hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun kadang-kadang ia mengeluh atas
gangguan kawan-kawannya, namun sebenarnya ia berbangga juga.
Tetapi sejak saat itu Wiraprana tidak
pernah lagi mengunjungi Mahisa Agni di rumah Empu Purwa. Ia menjadi
segan, dan adalah kurang baik apabila ia datang ke rumah itu, sebab Ken
Dedes berada di rumah itu pula. Bahkan Mahisa Agnilah yang selalu
datang kepadanya. Mahisa Agni sama sekali tidak mau mengubah hubungan
yang telah berlangsung bertahun-tahun. Mereka masih saja bergaul
seperti biasa, ke sawah, ke bendungan dan membersihkan parit bersama
kawan mereka. Tak ada kesan apapun dalam tingkah laku Mahisa Agni. Dan
karena itu Wiraprana tidak pernah mengetahuinya, apa yang sebenarnya
telah terjadi dengan sahabatnya itu.
Berita tentang hubungan yang telah
disetujui bersama antara Wiraprana dan Ken Dedes itu ternyata tidak saja
menggemparkan desanya sendiri, namun berita itu kemudian tersebar
sampai jauh di luar daerah pergaulan mereka. Lebih-lebih bagi mereka
yang pernah mengirimkan utusan untuk melamar gadis itu.
Berbagai tanggapan telah tumbuh di dada anak-anak muda itu. Ada di antara mereka yang acuh tak acuh.
“Biarlah,” katanya di dalam hati, “gadis di dunia ini tidak hanya seorang Ken Dedes saja.”
Namun ada juga yang kemudian dengan
sedihnya meratapi nasibnya. Mengurung diri di dalam biliknya. Kerjanya
siang dan malam menggurat-gurat rontal untuk menumpahkan kepedihan
hatinya. Berhelai-helai. Dan disimpannya rontal itu di bawah bantalnya.
Tetapi di antara mereka ada juga yang
mempunyai tanggapan lain pula. Ketika kabar itu sampai di telinganya,
maka seakan-akan telinganya itu terjilat api.
“Benarkah?” geramnya.
Tetapi kabar itu benar-benar
meyakinkannya, bahwa Ken Dedes telah menerima lamaran dari seorang anak
muda. Bukan dirinya. Sehingga akhirnya datanglah kepadanya, utusan Empu
Purwa, yang mengabarkan, bahwa dengan rendah hati dan permintaan maaf
yang sebesar-besarnya lamarannya tak dapat diterima.
Anak muda itu adalah Mahendra. Putra sahabat Empu Purwa di Tumapel. Seorang anak muda yang tangkas dan tanggon.
Dengan wajah yang merah membara ia datang kepada ayahnya. Katanya,
“Ayah, Bukankah penolakan itu berarti penghinaan bagi keluarga kita?”
Ayahnya menggeleng lemah, jawabnya,
“Tidak, Anakku. Seharusnya kau sadari, seandainya datang dua tiga
lamaran. Apakah yang harus dilakukan oleh Empu Purwa itu, Tentu ada di
antaranya yang harus ditolak. Dan itu sama sekali bukan suatu
penghinaan.”
“Ayah,” sahut Mahendra, “kalau Ken Dedes
itu menolak kami, tetapi ia kemudian menerima orang lain yang lebih
tinggi tingkat dan derajatnya, maka aku tak akan tersinggung karenanya.
Tetapi Ken Dedes itu telah menerima lamaran seorang anak muda yang
bernama Wiraprana yang menurut pendengaranku tidak lebih dari anak Buyut
Panawijen. Tidakkah itu suatu Penghinaan?”
Kembali ayahnya menggeleng. Katanya, “Ken Dedes adalah gadis Panawijen. Anak itu adalah anak muda Panawijen.”
Mahendra terdiam. Namun hatinya masih
berbicara terus. “Siapakah gerangan anak muda yang bernama Wiraprana
itu? Apakah ia seorang maha sakti tak ada bandingnya di seluruh daerah
Tumapel?”
Ayahnya melihat betapa dendam menjalar
di dada enaknya. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi. Anaknya adalah anak
yang sukar dikendalikan. Tetapi ia tidak menyangka bahwa anak itu tidak
saja merasa terhina, dan mengumpatnya habis-habisan, namun anak itu
benar-benar berhasrat untuk menilai anak muda yang bernama Wiraprana.
Karena itu, maka pada suatu malam, tanpa
setahu ayahnya, Mahendra pergi meninggalkan rumahnya. Dengan dikawani
oleh dua orang saudara seperguruannya ia pergi ke Panawijen.
“Dengan tekad yang teguh. Kita bertukar darah, Wiraprana!” gumamnya.
Mereka sampai ke Panawijen menjelang
senja berikutnya. Tetapi mereka tidak segera menciri rumah Buyut
Panawijen. Mereka menunggu sampai malam tiba. Di malam yang kelam, tak
ada orang yang akan mengganggu pertemuan itu.
Awan yang kelabu, mengalir seperti
lembaran-lembaran kapuk yang diterbangkan angin. Bintang satu demi satu
mulai menyala di langit yang biru.
Ketika seorang petani tua berjalan pulang dari sawahnya, Mahendra menghentikannya dan berkata, “Kaki, apakah Kaki kenal dengan Wiraprana?”
Petani tua itu mengamat-amati ketiga anak muda itu dengan seksama, kemudian ia pun bertanya, “Siapakah Angger bertiga?”
“Kami datang dari jauh, Kami adalah sahabat-sahabat Wiraprana,” jawab Mahendra,
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, “Adakah yang Anakmas maksud itu putra Buyut Panawijen?”
“Ya,” jawab Mahendra pendek.
“Apakah Angger akan menemuinya?”
“Ya.”
“Marilah, biarlah Anakmas bertiga saya antarkan ke rumahnya.”
Mahendra menggeleng. Jawabnya, “Tidak Kaki. Aku tidak akan datang ke rumahnya. Tolonglah sampaikan kepadanya sahabatnya dari Tumapel menunggunya. Namanya Mahendra.”
Orang tua itu memandangnya dengan heran. Maka bertanyalah orang tua itu, “Kenapa Anakmas tidak mau datang ke rumahnya?”
“Tidak apa-apa,” jawab Mahendra singkat, “kami menunggu di sini.”
Orang tua itu tidak bertanya lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya.”
Meskipun demikian, petani tua itu pun
tak habisnya berpikir, “Aneh, tamu yang datang sedemikian jauhnya,
tetapi tidak mau diantarkannya ke rumahnya.”
Namun petani tua itu memenuhi pula
permintaan ketiga anak-anak muda dari Tumapel itu. Ia tidak langsung
pulang ke rumahnya, tetapi diperlukannya singgah ke rumah Buyut
Panawijen. Di muka regol halaman dilihatnya Mahisa Agni. Karena itu
orang tua itu pun berkata, “Mahisa Agni, apakah Wiraprana ada di
rumahnya?”
“Ada Kaki,” jawab Mahisa Agni, “kita berjanji akan pergi ke sawah bersama. Dan aku sedang menunggunya. Apakah Kaki akan menemuinya?”
“Oh. Tidak,” berkata orang itu pula,
“aku hanya ingin menyampaikan pesan untuknya. Nah, Katakanlah kepadanya
Agni. Tiga orang anak-anak muda dari Tumapel menunggunya di ujung
desa.”
“Tumapel?” bertanya Mahisa Agni dengan herannya.
Orang tua itu mengangguk. “Ya,” jawabnya, “namanya Mahendra.”
“Mahendra?” ulang Agni. Dan dada Mahisa
Agni ini menjadi berdebar-debar. Ia pernah mendengar nama itu. Mahendra,
adalah salah sebuah nama yang pernah disebut-sebut oleh gurunya.
Karena itu segera ia menghubungkannya dengan Ken Dedes.
“Nah Agni,” berkata petani tua itu, “bukankah kau sedang menunggu Wiraprana? Sampaikanlah pesan itu kepadanya.”
“Baik. Baik Kaki,” sahut Agni terbata-bata. Sedang angan-angannya masih sibuk dengan anak muda yang bernama Mahendra itu.
Sepeninggal petani tua itu. Mahisa Agni
sibuk berpikir, “Apakah keperluan Mahendra dengan Wiraprana?” bertanya
Mahisa Agni di dalam hatinya, “Ada dua kemungkinan.”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“Mungkin Mahendra akan memberikan ucapan selamat kepada Wiraprana.
Tetapi ada kemungkinan lain. Anak muda itu membawa dendam yang membara
di hatinya.”
Namun anak muda yang telah banyak
mengenyam berbagai pengalaman itu, mempunyai firasat, bahwa kemungkinan
yang terakhirlah yang akan terjadi. Kalau anak-anak muda dari Tumapel
itu, bermaksud baik, maka mereka pasti akan datang ke rumah ini.
“Bagaimanapun juga, Wiraprana harus berhati-hati,” desisnya.
Dalam pada itu Wiraprana pun telah turun
dari pendapa rumahnya. Dengan senyumnya yang selalu memancar di
wajahnya, ia berjalan seenaknya melintasi halaman rumahnya.
“Apakah kau tidak singgah dahulu,” bertanya Wiraprana.
Agni menggeleng. Jawabnya, “Nanti, apabila pekerjaan kita sudah selesai.”
“Baiklah,” jawab Wiraprana, “marilah kita pergi.”
“Tetapi Wiraprana,” berkata Agni kemudian, “seseorang memberikan pesan untukmu. Tiga anak-anak muda dari Tumapel.”
“Dari Tumapel?” bertanya Wiraprana sambil mengangkat alisnya, “Apakah keperluannya?”
“Tak disebutkan,” jawab Mahisa Agni, “mereka menunggu di ujung desa.”
Wiraprana berpikir sejenak. “Aneh,” gumamnya.
“Kenalkah kau dengan anak muda yang bernama Mahendra?” bertanya Agni.
Wiraprana menggeleng.
“Mahendra adalah salah seorang yang pernah melamar Ken Dedes pula,” berkata Agni seterusnya.
“Oh,” desis Wiraprana, “lalu apakah keperluannya dengan aku? Bukankah aku tidak mempunyai persoalan dengan anak itu?”
“Demikianlah Wiraprana,” sahut Mahisa
Agni, “tetapi tidak semua orang berpikir seperti itu. Mungkin ia
mempunyai tanggapan tersendiri. Karena itu, berhati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Direnunginya malam yang gelap seakan-akan ada yang sedang
dicarinya. Kemudian terdengar ia berkata,” Baiklah aku menemuinya Agni.
Aku tak pernah merasa membuat persoalan dengan siapa pun. Karena itu,
di antara aku dan anak muda itu pun tak pernah terdapat persoalan
apa-apa.”
Tiba-tiba Mahisa Agni pun teringat, apa
yang pernah dilakukan pada malam ia mendengar pengakuan Ken Dedes
terhadap emban tua yang ternyata adalah ibunya. Karena itu ia menjadi
berdebar-debar. Tidak mustahil bahwa orang lain pun akan berbuat serupa
itu. Bahkan diingatnya pula anak muda yang bernama Kuda Sempana. Apakah
salah seorang dari ketiga anak muda itu Kuda Sempana?
“Ah,” bantahnya sendiri, “pasti bukan. Kalau demikian anak itu pasti sudah dikenal.”
Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata, “Wiraprana, aku akan ikut dengan kau.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Katanya, “Apakah kehadiranmu tidak akan mengganggu pertemuan itu?”
“Mungkin Wiraprana, namun mungkin pula tidak. Bukankah mereka datang bertiga?” jawab Agni.
Wiraprana berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baiklah. Kita pergi bersama-sama.”
Maka pergilah mereka berdua ke ujung
desa. Dengan hati yang dirisaukan oleh berbagai pertanyaan Mahisa Agni
berjalan di samping Wiraprana. Namun ia hampir pasti, bahwa pertemuan
ini bukanlah pertemuan yang menyenangkan.
“Apakah sangkamu maksud kedatangan anak-anak muda itu Agni,” bertanya Wiraprana.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jauh
di relung hatinya terdengar sebuah suara yang sumbang, “Biarkanlah Agni.
Biarlah Wiraprana menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarlah ia
mengetahui, bahwa seorang istri itu memerlukan perlindungannya. Apakah
ia akan mampu melakukan? Apalagi seorang istri seperti Ken Dedes yang
telah menggerakkan hampir setiap hati anak-anak muda di lereng Gunung
Kawi ini. Biarlah ia belajar untuk tidak mengenyam nangkanya saja,
tetapi juga berlumur getahnya. Kalau karena pertemuan ini Wiraprana
ditelan oleh bencana, syukurlah. Pintu untukmu terbuka kembali.”
Suara itu terdengar melengking
berulang-ulang, meskipun perlahan-lahan. Karena itulah maka wajah Mahisa
Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya
keras-keras sambil bergumam, “Tidak, Tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya Wiraprana.
“Oh?” Mahisa Agni tersadar. Jawabnya, “Aku sedang berpikir tentang mereka bertiga.”
“Ya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan?”
“Aku tak dapat menebaknya dengan pasti Prana. Tetapi firasatku mengatakan, bahwa kau harus berhati-hati.”
Wiraprana tersenyum, “Kita adalah
manusia-manusia yang beradab. Yang memiliki tata pergaulan dalam
hubungan kita antara manusia. Karena itu seandainya ada persoalan antara
aku dan Mahendra itu, maka tidak perlu kita risaukan. Kita akan dapat
menyelesaikannya dengan baik.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Apabila setiap orang berpikir seperti kau Prana,
aku sangka dunia ini akan lekas mengenyam perdamaian yang dirindukan
oleh hampir setiap manusia. Tetapi orang lain ternyata berpendapat lain.
Kadang-kadang orang ingin menyelesaikan persoalan tanpa memikirkan
kepentingan orang lain. Seseorang mengulurkan tangan kanannya untuk
bersahabat, namun di tangan kirinya digenggamnya senjata sambil berkata,
“Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan baik. Dan marilah kau
turuti saja sekehendakku. Dengan demikian tak ada masalah lagi di antara
kita’.”
Wiraprana menundukkan wajahnya.
Seakan-akan ia sedang menghitung jumlah batu-batu yang dilampaui
kakinya. Sedang terdengar Mahisa Agni berkata terus, “Ternyata
Wiraprana, kau pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Kuda
Sempana.”
Wiraprana menganggukkan kepalanya.
Meskipun demikian ia masih bergumam di dalam hatinya, “Ah. Apapun yang
akan dilakukan, apabila aku tak melayaninya, aku sangka tak akan timbul
peristiwa yang tak diinginkan.”
Kemudian mereka berdua itu pun saling
berdiam diri. Mereka berjalan sambil berangan-angan. Masing-masing
diliputi oleh berbagai pertanyaan yang melingkar-lingkar di dadanya.
Ketika mereka sampai di ujung desa, hati
Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya jalan yang
menjelujur di hadapannya. Dan hatinya kemudian berdesir ketika
dilihatnya tiga anak muda sedang duduk dengan tenangnya di tanggul parit
di tepi jalan. Di samping mereka, kuda-kuda mereka terikat pada
batang-batang perdu liar yang tumbuh di atas tanggul.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit, Wiraprana, sehingga mereka berdua itu pun berhenti.
“Mengapa,” bertanya Wiraprana.
“Jangan terlampau tergesa-gesa. Tak ada gunanya. Waktumu masih panjang,” jawab Agni.
Sementara itu, Mahendra pun telah
melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka serentak mereka bertiga
berdiri, berjajar tegak dengan kaki renggang.
Mahisa Agni menarik nafas. Sikap itu
tidak menyenangkannya. Kenapa mereka bertiga segera bersikap demikian,
seakan-akan mereka sedang menanti lawan-lawan mereka yang sudah
bertahun-tahun dilumuri dendam.
Karena itu Mahisa Agni berbisik,
“Wiraprana, sambutan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Karena itu
sekali lagi, hati-hatilah.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun hatinya berkata, “Apa saja yang akan mereka lakukan. Aku harus bersikap baik.”
Selangkah demi selangkah Wiraprana dan
Mahisa Agni pun berjalan maju. Dan ketiga anak muda itu kini telah
berdiri benar-benar di tengah jalan, seakan-akan mereka ingin menutup
jalan itu, supaya Wiraprana tidak lewat melampauinya.
Tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari anak muda itu bertanya, “Adakah di antara kalian bernama Wiraprana.”
“Hem,” Agni menarik nafas, “jarak mereka masih cukup jauh. Kenapa anak muda itu ber-teriak-teriak?”
Tetapi Wiraprana itu pun menjawab juga, “Ya, akulah Wiraprana.”
“Bagus,” sahut suara itu, “aku adalah Mahendra. Ternyata kau jantan juga.”
“Oh,” desah Mahisa Agni. Kemudian ia berbisik, “Sambutan yang benar-benar menyenangkan.”
Wiraprana menggigit bibirnya. Kemudian gumamnya, “Aku tidak peduli, apa yang akan dilakukan . Aku harus menemuinya.”
Namun Mahisa Agni pun sekali lagi
menggamitnya. Dan ketika mereka berhenti, mereka tiba-tiba terkejut.
Mahendra telah mulai menggertak dengan gerakan yang mengagumkan. Sekali
ia meloncat, dan diraihnya sebuah cabang pohon cangkring yang tegak di
tepi jalan. Dengan satu renggutan, cabang itu patah berderak-derak.
Kemudian dengan lantangnya ia berkata, “Aku telah mendapat senjata, apa
senjatamu?”
Mahisa Agni dan Wiraprana masih tegak di
tempatnya. Dada mereka pun menjadi berdebar-debar karenanya. Maka bisik
Mahisa Agni, “Apakah mereka dapat diajak berbicara?”
“Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki,” gumam Wiraprana.
“Perkelahian,” sahut Mahisa Agni.
“Hem,” Wiraprana menarik nafas, “Akan aku coba untuk menghindarkannya.”
“Tak mungkin,” jawab Agni, “kau lihat sendiri, apa yang telah dilakukannya.”
“Mengagumkan,” desahnya, “setan manakah yang telah memberinya kekuatan.”
Sejenak mereka berdiam diri. Wiraprana
pun menjadi bimbang. Kekuatan yang ditunjukkan Mahendra benar-benar
mengejutkan. Anak muda itu tidak kalah berbahayanya dari Kuda Sempana.
Tetapi kini ia tidak dapat menggantungkan diri kepada orang lain. Ken
Dedes adalah tanggung jawabnya. Apapun yang terjadi, namun tidak
sepantasnya ia bergantung kepada Mahisa Agni seperti pada saat ia di
lumpuhkan oleh Kuda Sempana. Namun meskipun demikian Wiraprana masih
berpikir, “Tidakkah aku dapat menemuinya dan berbicara dengan baik?”
Wiraprana terkejut ketika dengan lantang
Mahendra itu berkata, “Siapakah di antara kalian yang bernama
Wiraprana. Marilah kita berkenalan. Inilah Mahendra yang sudah kau
hinakan. Apakah benar-benar kau berhak berbuat demikian.”
Sekali lagi dada Wiraprana berguncang. Namun ia tidak dapat berbuat lain daripada menyambutnya.
Sedang Mahisa Agni masih berdiri seperti
patung. Dengan melihat kekuatan Mahendra, maka Mahisa Agni segera dapat
mengetahuinya, bahwa Mahendra adalah seorang yang luar biasa. Bahkan
mungkin melampaui Kuda Sempana. Namun dalam pada itu, suara di relung
hatinya yang jauh, kembali terdengar mengganggunya, “Biarkan saja Agni,
biarlah.”
Di depan mereka kembali terdengar Mahendra bertanya, “Ayo, yang manakah yang bernama Wiraprana?”
Hampir saja Wiraprana melangkah maju dan
menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia terkejut bukan kepalang. Bahkan ia
menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang
dirasakannya, adalah tangan Mahisa Agni menahannya, kemudian
mendorongnya ke samping. Kemudian sahabatnya itulah yang melangkah maju
sambil menjawab lantang, “Inilah Wiraprana.”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata kau
benar-benar jantan. Majulah. Kita melihat, apakah benar-benar kau berhak
menghinakan Mahendra. Kalau kau berhasrat meniadakan hadirnya Mahendra
dalam kehidupan Ken Dedes, maka seharusnya kau berkenalan dengan orang
itu. Nah. jangan buang-buang waktu. Apakah senjatamu?”
“Oh. Apakah aku harus bersenjata? Aku
tak tahu, apakah gunanya senjata. Bukankah kita tidak memerlukannya.
Mahendra, aku ingin mempersilakan kau datang ke rumahku. Bukankah
perkenalan itu menjadi lebih akrab.”
Meskipun Mahisa Agni hampir yakin, bahwa
Mahendra tidak dapat diajaknya berbicara, namun ia mencobanya juga,
seperti apa yang akan dilakukan oleh Wiraprana, supaya anak itu
menyalahkannya kelak.
Tetapi ternyata, Mahendra yang sejak
dari rumahnya sudah dibekali oleh hasrat untuk berkelahi dan memamerkan
kelebihannya dari anak-anak muda sebayanya, tak mau mendengarkannya.
Yang ada di dalam dadanya adalah, memaksa Wiraprana untuk membatalkan
niatnya, memetik bunga di kaki Gunung Kawi itu.
Karena itu, ketika ia mendengar jawaban
Mahisa Agni, ia menyahut, “Wiraprana, aku datang dari Tumapel untuk
melihat, betapa anak Panawijen mampu menjaga kembang di halamannya. Ayo,
jangan merengek seperti anak-anak. Aku sudah siap dengan dahan ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sekali ia berpaling kepada Wiraprana, seakan-akan berkata, “Nah, kau
lihat? Orang itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara.”
Wiraprana masih tegak mematung. Berbagai
perasaan bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia tidak dapat melangkah
surut. Namun Agni itu pun telah melangkah pula beberapa langkah maju.
Katanya untuk meyakinkan dirinya sendiri dan Wiraprana, “ Mahendra, aku
hormati kedatanganmu. Seorang yang berhati jantan dan penuh dengan rasa
harga diri. Namun perkelahian tak akan dapat mengubah hati seseorang.
Apakah kalau kau memenangkan perkelahian ini dengan tiba-tiba saja hati
gadis itu tertarik kepadamu?”
“Ha,” sahut Mahendra, “ternyata aku
salah sangka. Aku kira kau adalah seorang laki-laki jantan. Ternyata kau
seorang banci yang tak tahu diri. Wiraprana, seorang gadis pun pasti
akan dapat menghargai kejantanan. Nilai seseorang juga dapat ditentukan
dengan nilai-nilainya sebagai seorang laki-laki.”
“Mahendra,” jawab Agni, “nilai-nilai
kemanusiaan pasti akan lebih tinggi dari setiap bentuk perbuatan kita.
Ingatlah, gadis itu adalah putri seorang pendeta? Apakah ia akan dapat
menghargai kekasaran dan kekerasan jiwa, betapa pun dapat dikatakan
sebagai sikap kejantanan?”
“Omong kosong!” bantah Mahendra, “kau
jangan menggurui aku. Jangan kita bicarakan lagi perasaan orang lain.
Marilah kita bicarakan nilai-nilai kita sendiri. Ayo, Wiraprana,
katakanlah bahwa kita akan bertaruh. Siapa yang kalah, harus melepaskan
niatnya untuk mendapatkan gadis itu.”
Tiba-tiba dada Agni itu seperti terbakar
mendengar kata-kata Mahendra, Ken Dedes seakan-akan dianggapnya sebagai
benda yang mati, yang hanya dapat dijadikan barang taruhan. Dan
tiba-tiba pula, Mahisa Agni lupa pada keadaannya. Seakan-akan dirinya
sendirilah yang kini sedang mempertahankan gadis yang dicintainya itu
dari kerakusan hati seorang laki-laki. Karena itu, maka gigi Mahisa Agni
terkatup rapat, dan matanya memancarkan sinar kemarahan yang membakar
jantung. Ketika ia melihat Mahendra itu melangkah maju. Agni pun maju
pula beberapa langkah sambil menggeram, “Mahendra. Jangan kau hinakan
gadis itu. Ken Dedes bukan sekedar barang taruhan. Nilainya sama dengan
nilai nyawaku sendiri.”
Dada Mahendra berdesir mendengar
kata-kata Mahisa Agni itu. Ternyata laki-laki yang disangkanya Wiraprana
itu benar-benar jantan. Dilihatnya Mahisa Agni telah benar-benar
bersiap untuk bertempur. “Pasti ia akan bertempur mati-matian,” berkata
Mahendra di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sudah lama bersiap. Sejak
ia berangkat dari Tumapel, telah bulat tekad di dalam dadanya.
Bertempur.
“Apakah yang dapat dilakukan oleh
anak-anak desa seperti Wiraprana itu,” pikirnya, “Ia hanya memiliki
keberanian, tetapi ia tidak akan mampu melihat, bahwa Mahendra adalah
seorang anak muda yang tidak saja memiliki kekuatan tubuh, namun
memiliki pula pengetahuan yang luas dalam tata perkelahian.”
Maka terdengar sekali lagi Mahendra berkata, “Ayo, Wiraprana, mana senjatamu?”
Agni menggeleng. Sahutnya, “Tak ada gunanya senjata bagiku.”
Dada Mahendra menggelegar mendengar
jawaban itu. Benar-benar suatu penghinaan. Anak desa Panawijen itu
begitu sombongnya sehingga dengan beraninya ia melawannya tanpa senjata.
Karena itu Mahendra pun berteriak pula, “Baik. Kau takut melihat
senjata.”
Dan terkejutlah mereka yang menyaksikan.
Dahan kayu cangkring itu dengan serta-merta ditekankannya pada lututnya
dan patah berderak-derak. Kemudian kedua potongan itu pun
dilemparkannya jauh-jauh. Demikian jauhnya sehingga mereka tidak dapat
melihat lagi, di mana kedua potongan kayu itu terjatuh. Benda-benda itu
seakan-akan terbang dan lenyap ditelan awan yang kelam.
Wiraprana melihat semuanya itu dengan
dada yang berdebar-debar. Sebuah pameran kekuatan yang mengerikan. Dan
kini ia merasakan kebenaran kata-kata Mahisa Agni. Laki-laki yang sedang
dibakar oleh kekecewaan yang berlebih-lebihan itu tak dapat diajaknya
berbicara.
Mahendra dan Mahisa Agni itu pun kini
telah maju pula beberapa langkah. Dengan dada yang bergelora oleh
kemarahan yang membakar dada masing-masing, mereka mempersiapkan diri.
Kedua orang saudara seperguruan Mahendra
pun kini telah berdiri berseberangan. Mereka memperhatikan keadaan
dengan seksama. Sedang Wiraprana pun telah berdiri mendekat. Seperti
tonggak ia tegak di tengah-tengah jalan.
“Nah,” berkata Mahendra, “berjanjilah. Siapakah yang kalah di antara kita, akan membatalkan niatnya.”
“Persetan dengan igauan itu!” sahut Agni dengan marah.
“Kau menolak perjanjian itu?”
“Sudah aku katakan, Ken Dedes bukan barang taruhan.”
“Bagus, kalau demikian nyawa kita yang kita pertaruhkan.”
“Mahendra!” tiba-tiba terdengar salah seorang saudara seperguruan itu mencegahnya, “Jangan!”
Tetapi Mahendra tidak mendengarnya. Apalagi ketika kemudian Agni pun menjawab, “Bagus. Lebih baik nyawa kita, kita pertaruhkan.”
Mahendra telah benar-benar kehilangan
pengamatan diri. Demikian ia mendengar jawaban Mahisa Agni, segera ia
melontarkan diri dengan cepatnya menyerang lawannya. Namun Mahisa Agni
pun telah bersiap pula.
Karena itu, dengan tangkasnya pula ia
berhasil membebaskan dirinya dari serangan itu. Namun Mahendra yang
sedang dibakar oleh kemarahannya, segera melepaskan serangan beruntun.
Geraknya sedemikian cepat dan lincah, dilambari oleh suatu keyakinan,
bahwa tulang-tulang lawarnya, anak desa Panawijen yang disangkanya hanya
mengenal cangkul dan bajak itu, akan segera dipatahkannya.
Tetapi Mahendra terkejut. Betapa anak
desa itu dengan kecepatan yang mengagumkan, selalu berhasil mengelakkan
serangan-serangannya. Karena itu, Mahendra menjadi semakin marah.
Dilepaskannya serangan-serangan yang semakin berbahaya,
menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh Mahisa Agni. Sehingga sesaat
kemudian Mahendra itu pun seakan-akan tinggal sebuah bayang-bayang yang
melontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Agni,
Seorang anak muda yang hampir sempurna dalam menekuni ilmu yang mengalir
dari gurunya, Empu Purwa. Karena itu, betapapun juga, Mahisa Agni
menghadapinya dengan ketabahan dan ketenangan. Lawannya yang melandanya
seperti angin pusaran itu tidak berhasil membingungkannya. Bahkan,
Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin tangguh. Setangguh seekor
banteng muda yang perkasa.
Demikianlah kedua anak muda itu
bertempur semakin lama semakin sengit. Mahendra adalah seorang anak muda
yang berhati keras dan memiliki harga diri yang berlebih-lebihan.
Namun setelah ia bertempur beberapa saat, terasa bahwa lawannya, anak
desa Panawijen itu bukan sekadar anak-anak yang hanya mampu
menggerakkan cangkul saja, tetapi anak itu ternyata memiliki bekal yang
cukup untuk melawannya. Karena itu, kemarahan Mahendra menjadi semakin
menyala.
“Gila!” umpatnya di dalam hati, “anak ini benar-benar melawan dengan kemampuan yang baik.”
Tetapi Mahendra telah bertekad untuk
bertempur mati-matian. Telah dibulatkannya tekad di dalam hatinya. Anak
Panawijen itu harus dilumpuhkannya, Apabila terpaksa anak itu terbunuh
karenanya, maka beberapa saksi telah mendengar, adalah menjadi
persetujuan mereka berdua, bertempur sampai mati.
Itulah sebabnya Mahendra kemudian
mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya, apapun yang akan terjadi
dengan lawannya. Apakah lawannya itu akan hancur lumat, atau akan luluh
sekali pun.
Tetapi kedua saudara seperguruan
Mahendra itu melihat suatu keanehan pada lawan Mahendra itu. Betapapun
Mahendra menyerangnya, namun lawannya itu selalu dapat menghindarkan
dirinya, dan bahkan semakin lama tampaklah betapa anak Panawijen itu
dapat bergerak semakin cepat. Mahisa Agni ternyata kemudian tidak
membiarkan dirinya dihujani oleh serangan-serangan beruntun. Ketika ia
telah berhasil melihat, titik-titik kekuatan dan titik-titik kelemahan
lawannya, segera ia mulai dengan serangan-serangannya yang membadai.
Kini keduanya bertempur dengan riuhnya. Semakin lama semakin seru.
Mahendra akhirnya merasa perlu untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan
tubuhnya, sehingga dengan sengaja ia membenturkan kekuatannya dengan
serangan Mahisa Agni yang datang seperti tatit menyambarnya.
Mahisa Agni, yang sedang menyerang
lawannya itu melihat, bahwa Mahendra sama sekali tak berusaha
menghindari serangannya. Karena itu, segera Mahisa Agni tahu, bahwa anak
muda dari Tumapel itu siap melawan serangannya dengan kekuatannya yang
penuh. Maka Mahisa Agni pun segera memusatkan tenaganya untuk
menggempur lawannya.
Terjadilah kemudian suatu benturan
kekuatan yang dahsyat. Sedang akibatnya pun mengejutkan pula. Mahisa
Agni terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia
mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak terpelanting
jatuh. Sedang akibat yang dialami oleh Mahendra ternyata lebih berat
daripadanya. Anak muda itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian
terbanting di tanggul parit di tepi jalan. Ketika Mahendra mencoba untuk
melenting berdiri, kaki kirinya terperosok dan tergelincir masuk ke
dalam air.
Sesaat kemudian Mahendra telah tegak
berdiri di dalam parit dengan pakaian yang basah kuyup. Tubuhnya yang
kokoh itu menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena kemarahan
yang meluap di dalam dadanya.
Maka terdengarlah anak muda itu
menggeram, “Dahsyat kau Wiraprana. Namun aku telah berjanji, nyawa kita
menjadi taruhan. Nah, marilah kita mengadu keprigelan olah senjata.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia
maju selangkah ketika dilihatnya Mahendra dengan lincahnya meloncat ke
atas tanggul di tepi jalan. Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika
dilihatnya Mahendra menggenggam senjata di tangannya. Sebilah keris yang
seakan-akan dapat menyala di malam hari.
Ketika Agni masih berdiam diri, terdengar sekali lagi Mahendra menggeram, “Carilah senjata!”
Mahisa Agni tidak membawa senjata.
Tetapi menilik nafsu lawannya yang meluap-luap agaknya ia benar-benar
harus bertempur mati-matian.
Belum lagi Mahisa Agni tahu, apa yang
dilakukan, tiba-tiba Mahendra meloncat dengan tangkasnya ke arah salah
seorang temannya, dan terdengarlah ia berkata lantang, “Berikan
kerismu!”
Kawannya terkejut. Sama sekali tak
diduganya, Mahendra akan menarik kerisnya dengan serta-merta. Karena itu
ia tidak dapat mencegahnya, sehingga dengan demikian di kedua sisi
tangan Mahendra tergenggam dua bilah keris.
“Wiraprana,” berkata Mahendra, “pilihlah, manakah yang kau sukai?”
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku tidak pandai memilih.”
“Jangan merajuk,” sahut Mahendra,
“sebelum kau terbunuh, aku beri kesempatan kau berbuat yang sama. Supaya
perkelahian ini adil dan jujur.”
Mahisa Agni memandang kedua senjata itu
dengan seksama. Keduanya adalah senjata-senjata yang baik. Karena itu
maka dijawabnya, “Kalau kau ingin bertempur dengan senjata, Mahendra.
Berikan kepadaku, mana yang tidak kau sukai.”
Kemarahan Mahendra menjadi semakin memuncak. Dengan wajah yang menyala ia berkata, “Bagus. Inilah!”
Dengan baiknya Mahendra melemparkan
keris di tangan kirinya kepada Mahisa Agni. Senjata itu meluncur cepat,
dan dengan baiknya pula Mahisa Agni berhasil menangkapnya.
Demikian tangan Agni menggenggam keris
itu, demikian ia mendengar Mahendra berkata lantang, “Kita tentukan
nasib kita sebelum fajar.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandangnya
lawannya dengan tajamnya. Dilihatnya setiap geraknya dan didengarnya
setiap kata-katanya. Anak itu benar-benar anak yang memiliki keteguhan
hati, namun sayang, agaknya ia masih terlalu muda. Terlalu muda dalam
menanggapi setiap persoalan meskipun umurnya sebaya dengan umurnya
sendiri.
Mahisa Agni melihat Mahendra telah siap
untuk menyerangnya. Karena itu ia pun segera bersiap pula. Sesaat
kemudian dilihatnya anak muda dari Tumapel itu meluncur menyerangnya,
langsung mengarah ke dadanya. Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelakkan
serangan itu. Tangannya sendiri pun mampu mempermainkan segala jenis
senjata. Maka keris di tangannya itu pun menjadi sangat berbahaya
karenanya.
Kembali perkelahian itu menjadi sengit.
Kira mereka sudah sampai ke puncak ilmu masing-masing. Mereka menyerang
dalam setiap kesempatan. Setiap gerak masing-masing benar-benar
diperhitungkan, sehingga setiap gerak tangan mereka seakan-akan mereka
menaburkan biji kematian.
Malam pun semakin lama menjadi semakin
dalam membenam dalam tambah banyak. Namun mereka berdua yang sedang
bertempur itu masih saja bertempur dengan sepenuh tenaga.
Tetapi semakin lama, betapapun Mahendra
memiliki kekuatan melampaui kekuatan tangan sesamanya serta
ketangkasannya olah senjata, namun kini ia bertemu dengan anak muda yang
sama sekali tak diduganya. Anak muda yang disangkanya hanya mampu
mengayunkan cangkul itu ternyata memiliki ketangguhan dan kelincahan
yang luar biasa.
Demikianlah Mahendra harus melihat
kenyataan. Keris di tangan Mahisa Agni itu seakan-akan mematuknya dari
segenap penjuru. Bahkan seakan-akan menjadi bersayap dan
menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Mahisa Agni tidak saja menyerang
dengan tangan kanannya, namun keris itu seperti meloncat-loncat dari
satu tangan ke tangan lainnya dan dengan cepatnya pula meluncur ke perut
lawannya.
Dengan demikian maka mau tidak mau
Mahendra lebih banyak bertahan daripada menyerang. Setiap kali ia
terpaksa melangkah surut, menghindari sentuhan keris kawannya di tangan
Mahisa Agni. Karena ia pun menyadarinya, sentuhan keris itu pasti akan
berakibat maut, seperti seandainya ia berhasil menyentuh tubuh
lawannya. Namun karena keduanya harus berhati-hati dan menghindari
setiap sentuhan, maka perkelahian itu seakan-akan tidak akan berakhir.
Seperti anak-anak yang asyik dengan permainan yang menyenangkan
sehingga mereka lupa segala-galanya.
Tetapi semakin lama, menjadi semakin
jelas, bahwa perkelahian itu akan menuju ke akhirnya. Ternyata semakin
lama Mahendra semakin terdesak. Mahisa Agni seolah-olah menyimpan nafas
rangkap di dadanya, sehingga ketika lawannya telah mulai diganggu oleh
pernafasannya, maka Agni pun masih tetap segar sesegar ketika mereka
baru mulai.
Mahendra yang mencoba untuk bertahan
mati-matian itu, benar-benar telah memeras tenaganya, sehingga segenap
kekuatannya telah dicurahkannya. Dengan demikian, maka tenaganya itu pun
lebih dahulu surut daripada Mahisa Agni. Meskipun demikian, Mahendra
yang keras hati itu masih saja bertempur mati-matian. Ia sudah bertekad
mempertaruhkan nyawanya. Dan akan diakhirinya perkelahian ini dengan
jantan.
Tetapi Mahisa Agni pun bertempur dengan
seluruh kemampuannya. Sehingga anak muda itu benar-benar dapat bergerak
secepat sikatan menyambar belalang namun mampu pula bertahan setangguh
batu karang.
Maka akhirnya ternyatalah bahwa Mahisa
Agni mampu menguasai lawannya. Dengan suatu tusukan rendah, Agni memaksa
lawannya untuk menghindar ke samping, namun Agni kemudian memutar
kerisnya dan menyambar lambung. Mahendra melihat sambaran yang cepat
itu. Dihindarinya keris itu dengan memutar tubuhnya, dan ketika Agni
belum sempat menarik tangannya, Mahendra berusaha menggurat pergelangan
tangan Agni dengan ujung kerisnya. Tetapi Agni dapat bergerak melampaui
lawannya, sehingga tangannya dapat dibebaskannya, bahwa dengan tak
terduga-duga, tangan kiri Agni dengan cepatnya menyambar pergelangan
tangan Mahendra.
Sambaran tangan itu demikian cepat dan
kerasnya, sehingga Mahendra tidak sempat mengelakkannya. Terdengarlah
sebuah seruan tertahan dan dalam pada itu semua mata yang mengikuti
perkelahian itu melihat dengan dada yang gemuruh. Keris Mahendra
terlepas dari tangannya. Mahendra sendiri terkejut bukan buatan,
sehingga ia melangkah surut. Namun Agni segera meloncat dan ujung
kerisnya telah melekat di dada lawannya.
Kini keduanya tegak dengan tegangnya.
Mahendra menunggu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni. Sedang
saudara-saudara seperguruannya pun tegak seperti patung. Demikian pula
Wiraprana. Perasaannya telah bergelora dan seakan-akan menjadi
sedemikian kacaunya, sehingga ia tidak mampu untuk melakukan sesuatu
apapun.
Mahisa Agni berdiri tegak dengan keris di dalam genggamannya. Ujungnya masih mengarah ke dada lawannya.
“Apa yang kau tunggu,” geram Mahendra. Meskipun ia tidak bergerak, namun matanya menyalakan kemarahan yang membakar dadanya.
Tetapi Mahisa Agni tetap tidak bergerak.
Ketika ia memandang wajah Mahendra yang membara itu, seakan-akan
dilihatnyalah wajahnya sendiri pada saat ia mendengar pengakuan Ken
Dedes kepada ibunya.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Perasaan itu sangat mengganggunya. Karena itu maka
kemarahannya pun menjadi semakin susut. Ia akan dapat melakukan apa saja
yang dikehendaki atas anak muda yang bernama Mahendra itu. Tetapi
apakah akan dilakukannya?
Sesaat Mahisa Agni terbenam dalam
kebimbangan. Dan sesaat itu dilihat oleh Mahendra. Mahendra adalah
seorang anak muda yang keras hati. Karena itu, ketika dilihatnya wajah
Agni yang ragu, Mahendra dapat mempergunakannya dengan sebaik-baiknya.
Dengan tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni. Mahendra dengan cepatnya
merendahkan dirinya, dan dengan satu tendangan yang keras pada
pergelangan tangan Agni, maka Mahendra telah berhasil melemparkan keris
di tangan lawannya.
Mahisa Agni terkejut bukan main. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh Mahendra.
Karena itu maka ia tidak kuasa untuk mempertahankan kerisnya. Dilihatnya
keris itu melambung tinggi dan kemudian jatuh beberapa langkah
daripadanya.
Tetapi Agni tidak sempat berbuat lain,
karena Mahendra telah mulai menyerangnya beruntun dengan kakinya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang terlatih
matang. Dengan demikian, meskipun dengan lontaran yang panjang ia
berhasil membebaskan dirinya dari serangan Mahendra yang mengalir
seperti banjir bandang.
Mahisa Agni menjadi semakin terkejut
pada saat ia mendengar salah seorang kawan Mahendra itu berkata nyaring,
“Mahendra, inilah senjatamu!”
Mahisa Agni masih sempat melihat anak
muda itu meloncat dengan tangkasnya memungut keris Mahendra yang
terlepas, kemudian dilontarkannya kepada Mahendra. Dada Mahisa Agni
berdesir melihat kecurangan itu. Tetapi ia dikejutkan pula oleh kawan
Mahendra yang seorang lagi. Anak muda itu pun meloncat dengan lincahnya,
lebih lincah dari yang lain. Tangannya dengan cepatnya menyambar keris
yang sedang meluncur ke arah Mahendra itu. Ketika keris itu sudah
ditangkapnya, terdengar ia berkata, “Jangan Kebo Ijo!”
Semuanya terkejut melihat
peristiwa-peristiwa yang berturut-turut itu. Mahisa Agni, Mahendra dan
anak muda yang disebutnya Kebo Ijo dan Wiraprana. Anak muda yang
menyambar keris itu berdiri tegak di antara mereka sambil memandang
berkeliling. Katanya, “Jangan menodai nama perguruan kami.”
“Bukankah itu keris Mahendra sendiri,” bantah Kebo Ijo.
“Keris itu sudah terlepas dari tangannya. Biarlah ia memungut kerisnya sendiri apabila mampu.”
Mahendra memandang saudara
seperguruannya itu dengan penuh pertanyaan. Apakah sudah tidak ada rasa
kesetiakawanan lagi di antara mereka. Maka katanya, “Apakah salahnya ia
menolong aku?”
“Tidak adil,” sahut anak muda itu,
“akulah yang tertua di antara kalian. Aku tidak rela melihat kecurangan
itu. Meskipun aku bersedih karena Mahendra tidak dapat memenangkan
perkelahian ini, namun aku akan lebih bersedih lagi, apabila kalian
berbuat curang.”
Mahendra tidak menjawab dan Kebo Ijo itu
pun menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar anak muda itu berkata
kembali, “Mahendra kau kalah.”
Mendengar kata-kata kakak
seperguruannya, yang seakan-akan merupakan keputusan tentang
kekalahannya itu, wajah Mahendra menjadi merah membara. Terdengar
giginya gemeretak dan matanya seakan-akan memancarkan api. Maka
jawabnya, “Kakang, aku masih hidup. Kekalahan bagiku hanya ditandai
dengan kematian.”
Kakak seperguruannya itu menarik
alisnya, katanya, “Kau benar-benar seorang anak muda yang berani
Mahendra, yang tak mengenal takut meskipun menghadapi kematian sekali
pun. Namun keberanianmu itu belum sempurna. Kau masih memiliki
ketakutan.”
“Tidak!” sahut Mahendra, “Aku tidak
takut apapun yang terjadi. Sudah aku katakan, mati pun aku tidak takut.
Apalagi? Apakah yang lebih jauh dari mati itu?”
Kakak seperguruannya menarik nafas. Katanya, “Mahendra, kau masih takut melihat kenyataan.”
Mahendra tersentak mendengar jawaban
itu. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya dengan tajamnya, namun
ketika kakak seperguruannya itu memandang langsung ke biji matanya, maka
Mahendra pun menundukkan wajahnya.
“Mahendra,” berkata kakaknya itu pula,
“seorang yang jantan tidak perlu membunuh dirinya dalam perkelahian.
Seorang yang berjiwa besar harus dapat melihat kenyataan. Dan kenyataan
yang terjadi sekarang, kau kalah. Apakah yang lebih jantan dari melihat
kenyataan itu? Adakah yang lebih besar dari mengakui kekalahan?
Mahendra, kaudapat bertempur mati-matian, bahkan sampai tetes darahmu
yang terakhir. Namun dalam persoalan yang berbeda. Persoalan di mana
hakmu dilanggar oleh sesama. Tetapi sekarang kau menghadapi persoalan
yang lain. Hakmu dan hak Wiraprana itu sama jauhnya. Bahkan secara jujur
harus kauakui, bahwa hak Wiraprana untuk berkelahi lebih besar dari
padamu.”
Mahendra tidak menjawab. Wajahnya yang
membara itu pun menjadi semakin tunduk. Namun hatinya masih juga
bergelora. Sedang Kebo Ijo tidak begitu senang mendengar kata-kata kakak
tertuanya itu. Katanya, “Kakang, Mahendra datang lebih dahulu kepada
gadis itu. Apakah bukan haknya untuk mempertahankannya. Bukankah dengan
demikian Wiraprana telah merampas masa depannya?”
“Bukan salah Wiraprana,” sahut kakak
seperguruannya itu, “apakah Mahendra datang yang pertama kepada gadis
itu. Kalau ada orang lain yang lebih dahulu, apakah Mahendra tidak
melanggar haknya pula?”
Kebo Ijo terdiam. Namun usianya yang
muda itu masih belum dapat mengerti kata-kata kakak seperguruannya.
Bahkan dengan agak memaksa ia kemudian berkata, “Perkelahian ini belum
selesai. Wiraprana datang berdua. Biarlah kami berdua melawannya.”
“Bagus,” sambut Mahendra.
Kakak seperguruannya ternyata seorang
yang berpandangan tajam. Segera ia mengetahui, bahwa kawan anak muda
yang disangkanya bernama Wiraprana itu tidak memiliki kemampuan
berkelahi seperti Kebo Ijo dan Mahendra. Karena itu maka sekali lagi ia
menyesal atas sikap adik-adik seperguruannya itu. Maka katanya, “Tidak
ada gunanya. Kawan Wiraprana itu tak mempunyai sangkut paut dengan
perkelahian ini.”
“Ada,” sahut Kebo Ijo, “ia datang
bersama Wiraprana, seperti aku datang bersama Mahendra. Meskipun tak ada
persoalan apapun dengan gadis itu, biarlah kita melihat, apakah
perguruan kami tidak mampu melawan anak-anak Panawijen yang sombong
itu.”
Dada Wiraprana pun berdebar-debar pula.
Telah dilihatnya, betapa Mahendra mampu bertempur seperti seekor harimau
lapar. Maka saudara seperguruannya itu pun pasti tidak terpaut jauh.
Apabila ia harus melawannya, maka apakah yang dapat dilakukan? Namun
Wiraprana tidak takut menghadapi apapun, meskipun ia sadar, bahwa pada
serangan yang pertama, pasti ia sudah tidak akan dapat bangkit kembali.
Tetapi Wiraprana itu terkejut mendengar
jawaban saudara seperguruan Mahendra. Bukan saja Wiraprana, tetapi
Mahisa Agni, dan bahkan Mahendra dan Kebo Ijo sendiri. Katanya, “Kebo
Ijo, kalau kau akan memaksakan perkelahian, karena hanya kau ingin
berkelahi, maka baiklah kita hadapkan kalian berdua dengan Wiraprana
berdua. Tetapi Wiraprana berdua dengan aku sendiri.”
“Kakang?” potong Kebo Ijo, “Apakah katamu itu?”
“Aku di pihak Wiraprana,” sahut arak muda itu, “biarkan kawan Wiraprana menjadi saksi.”
Kebo Ijo dan Mahendra terdiam. Betapa ia
melihat kakak seperguruannya itu benar-benar marah kepada mereka.
Karena itu maka mereka pun menundukkan wajah-wajah mereka.
Dalam pada itu dada Mahisa Agni pun
bergelora melihat sikap yang mengagumkan itu. Sikap yang benar-benar
jantan. Tidak saja jantan dalam menghadapi bahaya apapun namun
kejantanan dalam menghadapi kebenaran. Diam-diam Mahisa Agni bergumam di
dalam hatinya, “Sebenarnyalah lebih mudah menghadapi kematian daripada
menghadapi kebenaran.”
Sesaat mereka dicengkam kesepian.
Kesepian yang tegang. Namun tiba-tiba terdengar kakak seperguruan
Mahendra itu berkata, “Marilah kita pulang! Persoalanmu sudah selesai
Mahendra.”
Mahendra dan Kebo Ijo saling
berpandangan. Namun mereka tidak berkata apapun. Per lahan-lahan mereka
memungut keris yang masih tergeletak di tanah, dan kemudian berjalan ke
kuda-kuda mereka, dan kakak seperguruan Mahendra itu pun berkata
kepada Mahisa Agni, “Selamat tinggal. Mudah-mudahan kau berbahagia.
Kembang di kaki gunung Kawi itu telah mendapatkan juru taman yang
tangguh dan berhati jantan. Selamat.”
Mahisa Agni melihat anak muda itu pun
kemudian berjalan meninggalkannya. Ketika mereka bertiga meloncat ke
atas punggung kuda masing-masing dan lenyap ditelan gelap malam, maka
gemuruhlah dada Mahisa Agni. Pesan kakak seperguruan Mahendra itu
menghantam dadanya melampaui tangan Mahendra. Kini ia sadar, bahwa apa
yang dilakukan itu, bukanlah untuk dirinya sendiri. Ia telah
mempertahankan Ken Dedes dengan bertaruh nyawa. Tetapi nama yang
dipergunakannya adalah Wiraprana. Ya, Wiraprana.
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni pun terkulai
dengan lemahnya. Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut mendengar tegur
Wiraprana, “Agni, sungguh mengagumkan.”
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling.
Dilihatnya wajah Wiraprana yang tegang memandang jauh ke dalam gelap, ke
arah anak-anak muda dari Tumapel itu lenyap. Sesaat kemudian Wiraprana
itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Bukan main. Aku
menjadi bertanya-tanya di dalam hati, betapa kecilnya Wiraprana berada
di antara kau dan anak-anak itu.”
“Semuanya sudah lampau. jangan kau
pikirkan lagi, Prana,” jawab Agni, “Masa-masa berbahaya telah lewat.
Apakah masih ada di antara mereka yang akan datang pula seperti
Mahendra? Aku sangka tidak. Dan mudah-mudahan sebenarnya tidak.”
“Agni,” perlahan-lahan terdengar
Wiraprana berkata, namun terasa memancar dari sudut hatinya yang paling
dalam, “telah dua kali kau menyelamatkan nyawaku.”
“Jangan kau sebut-sebut itu Prana. Adalah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan hubunganmu dengan adikku itu,” jawab Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Matanya yang selalu riang, kini tampak sayu.
“Marilah kita pulang, Prana. Lupakan semuanya,” ajak Agni.
Wiraprana tidak menjawab. Tetapi ia
melangkah perlahan-lahan di samping Agni. Mereka berjalan pulang ke
rumah Ki Buyut Panawijen.
Malam yang sudah semakin malam itu
ditandai oleh kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Angin yang dingin
mengalir perlahan menggerakkan daun-daun padi yang basah oleh embun. Di
kejauhan terdengar lamat-lamat bunyi kentongan beruntun.
“Tengah malam,” gumam Mahisa Agni.
Wiraprana mengangkat wajahnya.
Dilihatnya bintang-bintang di langit berhamburan seakan-akan biji-biji
mutiara yang ditaburkan di atas permadani yang biru gelap. Bulan tua
masih tampak bertengger di ujung gunung. Cahayanya yang suram memancar
kekuning-kuningan mewarnai dedaunan yang hijau.
Ketika mereka hampir memasuki desa
Panawijen, tiba-tiba Wiraprana berhenti. Dengan pandangan yang suram
ditatapnya wajah Mahisa Agni. Kemudian terdengar ia berkata lirih,
“Agni. Adakah aku berhak atas gadis itu?”
Mahisa Agni terkejut. Katanya, “Apa yang
sedang kaupikirkan Wiraprana? Persoalanmu sudah selesai. Jangan membuat
persoalan-persoalan baru.”
Wiraprana menundukkan wajahnya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Agni, bukankah gadis itu bukan adikmu.”
Dada Agni pun menjadi berdebar-debar
karenanya. Dan didengarnya Wiraprana meneruskan, “Agni. Tidakkah pernah
timbul di dalam hatimu untuk mengubah hubunganmu dengan gadis itu?
Tidak sebagai kakak beradik seperti sekarang ini?”
“Prana!” potong Agni. Namun terasa
betapa nafasnya menekan jantungnya. Katanya kemudian, “Jangan
mempersulit keadaanmu. Jangan berpikir tentang sesuatu yang tak pernah
ada. Prana, aku adalah kakaknya. Meskipun aku bukan kakak yang
dilahirkan dari kandungan seorang ibu yang sama, namun demikianlah
keadaan kami sekarang. Berapa tahun aku tinggal di rumah itu sebagai
seorang anak yatim piatu, di bawah asuhan Empu Purwa yang baik hati.”
“Dijadikannya aku anak laki-lakinya yang
tunggal dan dipersaudarakannya aku dengan Ken Dedes. Nah, Wiraprana.
Apakah dengan demikian Ken Dedes itu bukan adikku? Adakah dengan
demikian akan dapat timbul di dalam hatiku untuk memutuskan ikatan
persaudaraan itu menjadi ikatan yang lain?” Agni menekankan kata demi
kata untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya itu. Namun sebenarnya,
kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri. Dicobanya
untuk menekan hatinya yang bergolak dengan kata-katanya itu.
Wiraprana menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Hanya nafas mereka
berdualah yang terdengar di antara gemeresik daun-daun ditiup angin,
“Marilah kita pulang, Prana,” ajak Agni.
Wiraprana mengangguk, dan kembali mereka
berjalan memasuki jalan yang gelap oleh rimbunnya daun-daun di atas
mereka. Hanya kadang-kadang saja mereka masih melihat bulan dan
bintang-bintang di antara sela-sela dedaunan.
Tak seorang pun penduduk Panawijen yang
tahu, apakah yang pernah terjadi dengan Wiraprana dan Mahisa Agni.
Adalah kebetulan bahwa pada malam itu tak seorang pun yang pergi ke
sawahnya. Karena itu, maka Wiraprana pun lambat laun berhasil
menghilangkan kenangan pahit itu. Meskipun Wiraprana sama sekali bukan
seorang pengecut namun, apakah yang dapat dilakukan di antara
orang-orang berilmu seperti Mahisa Agni dan Mahendra. Karena itu, maka
timbullah keinginannya untuk setidak-tidaknya dapat menambah ilmunya.
Mungkin pada suatu saat akan berguna. Tetapi dalam pada itu selalu
diingatnya pula kata-kata kakak seperguruan Mahendra, bahwa seseorang
akan dapat berjuang sampai tetes darah yang penghabisan, namun untuk
mempertahankan haknya yang dilanggar oleh sesama. Dan berjanjilah ia di
dalam dirinya, bahwa ilmu yang kelak akan dimilikinya, bukanlah alat
untuk melanggar hak orang lain.
Ketika maksudnya itu disampaikannya kepada Mahisa Agni, Mahisa Agni pun menjadi gembira.
“Bagus,” katanya, “kita akan berlatih setiap malam di bendungan.”
“Kau menjadi guruku,” berkata Wiraprana.
Agni menggeleng, “Tidak. Aku tidak
berhak menjadi guru sebelum guruku mengizinkannya. Kita hanya dapat
berlatih bersama. Itu pun kalau guru memperkenankan.”
Demikianlah mereka berjanji untuk
melakukan latihan-latihan itu, namun Mahisa Agni telah memesan kepada
sahabatnya, bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu yang tidak
perlu diberitahukannya kepada siapa pun juga.
Ketika Mahisa. Agni berhasrat untuk
menghadap gurunya, untuk menyampaikan maksud Wiraprana, itu tiba-tiba
ditemuinya Ken Dedes datang kepadanya.
“Kakang,” berkata gadis itu, “Ayah memanggilmu. Sekarang!”
“Oh. Apakah ada sesuatu yang perlu?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak tahu. Baru saja seorang tamu meninggalkan sanggar. Sahabat ayah. Lalu Ayah memanggilmu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Siapakah tamu itu?”
Ken Dedes menggeleng, “Entahlah. Sahabat ayah.”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Siapakah
sahabat gurunya itu? Ia menjadi cemas, apakah seseorang telah datang dan
menuntut atas kekalahan Mahendra oleh seorang yang disangkanya bernama
Wiraprana, namun yang sebenarnya adalah Mahisa Agni. Mau tidak mau
Agni pun melihat kesalahan di dalam dirinya. Kakak seperguruan Mahendra
tidak mau melihat seseorang membantu adik seperguruannya itu, bahkan
saudara mereka pula. Namun apakah yang dilakukannya? Jauh lebih banyak
dari membantu. Bahkan ialah yang bertempur melawan Mahendra. Apakah
sikap itu dapat disebut sikap yang jantan. Namun Mahisa Agni mempunyai
pertimbangan lain. Ia telah bersedia jawaban yang akan diberikannya
kepada gurunya yang penting baginya bukan siapakah yang harus bertempur,
namun bagaimana ia mempertahankan hak Ken Dedes dalam menentukan
pilihannya sendiri. Jangankan Mahendra, bahkan suara hatinya sendiri pun
telah ditindasnya.
Mahisa Agni sadar ketika ia mendengar suara Ken Dedes, “Kakang, Ayah menunggumu!”
“Oh, baiklah,” sahut Mahisa Agni cepat-cepat.
Ketika Ken Dedes telah meninggalkannya,
kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Selangkah demi selangkah ia
pergi kepada gurunya yang masih berada di bagian depan dari sanggarnya.
Detak jantungnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia melihat
gurunya duduk menantinya. Wajahnya yang bening tampaknya seakan-akan
sedang disaput oleh mendung yang tebal. Suram.
Ketika ia melihat Mahisa Agni, Empu
Purwa itu pun tersenyum. Namun terasa oleh Agni, senyum yang lain dari
senyumnya sehari-hari.
“Duduklah Agni,” gurunya itu mempersilakan.
Agni pun kemudian duduk bersila di hadapannya. Wajahnya yang tegang ditundukkannya dalam-dalam.
“Udara terlalu panas,” gumam gurunya.
“Ya, Empu,” sahut Agni.
“Agaknya mendung di langit akan menjadi semakin tebal.”
“Mungkin Empu. Awan mengalir dari selatan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sesaat ia memandang ke halaman. Bayangan mendung di langit
tampak mengalir dihanyutkan angin. Sesaat sinar matahari menjadi buram
karena awan yang kelam membayangi wajahnya.
Dan tiba-tiba Empu Purwa itu berkata, “Aku baru saja menerima seorang tamu Agni. Sahabatku dari Tumapel.”
Mahisa Agni tersentak. Apakah dugaannya tenang peristiwa beberapa hari yang lalu itu benar?
Dan didengarnya gurunya itu berkata pula, “Sahabat yang baik. Ia tahu apa yang benar dan apa yang salah.”
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi
hatinya masih tegang. Apalagi ketika Empu Purwa itu meneruskan, “Tamuku
adalah ayah Mahendra, Agni.”
Darah Mahisa Agni serasa berhenti
mengalir. Apakah yang telah dikatakan oleh tamu itu tentang dirinya.
Dicobanya mencuri pandang atas wajah gurunya. Ia mencoba untuk mendapat
kesan daripadanya. Apakah gurunya sedang marah, kecewa atau sedih.
Tetapi ia tidak dapat menemukan kesan apapun dari wajah itu. Yang
dilihatnya bahwa wajah itu suram, sesuram langit yang sedang dilapisi
awan itu. Ketika gurunya itu berkata pula, Mahisa Agni kembali
menundukkan wajahnya.
“Agni,” berkata Empu Purwa pula. Nadanya
rendah, namun jelas kata demi kata, “tamuku itu bercerita tentang
peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu di ujung desa kita ini.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin
tunduk. Dan didengarnya gurunya meneruskan, “Agni, apakah Wiraprana
bertengkar dengan Mahendra?”
Mulut Mahisa Agni serasa terkunci.
Karena itu untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sehingga gurunya
berkata pula, “Aku sangka kau tahu atau setidak-tidaknya pernah
mendengar peristiwa itu karena hubunganmu yang erat dengan Wiraprana.”
Mahisa Agni masih tenggelam dalam kebingungan dan kebimbangan. Hanya tiba-tiba saja mulutnya berkata, “Aku mendengar guru.”
“Nah, kalau demikian peristiwa itu
benar-benar pernah terjadi. Menurut ayahnya, Mahendra menjadi sakit
hati, karena lamarannya ditolak. Bahkan kemudian ia berhasrat untuk
mengadakan semacam sayembara tanding. Begitu?”
“Ya guru,” jawab Mahisa Agni tergagap.
Namun ia berusaha untuk menutupi kesalahan yang mungkin akan dilimpahkan
kepadanya. Katanya, “Namun apakah Mahendra berhak mengadakan sayembara
semacam itu?”
“Tentu tidak, Agni,” jawab gurunya, “Tetapi tantangan itu diterima oleh Wiraprana.”
“Ya,” jawab Agni.
“Dan mereka pun berkelahi.”
“Ya.”
“Menurut ayah Mahendra, Mahendra dapat dikalahkan.”
“Ya.”
“Oleh Wiraprana?”
Mahisa Agni terdiam. Gejolak di dalam
dadanya serasa melanda jantungnya, sehingga akan meledak. Ia tidak dapat
mengucapkan sepatah kata pun sehingga gurunya berkata, “Agni, Mahendra
adalah seorang anak yang tanggon. Aku telah mengenal anak itu, sebab
ayahnya adalah sahabatku. Aku tidak menyangka bahwa Wiraprana dapat
mengalahkannya.”
Empu Purwa berhenti sejenak. Kemudian
orang tua itu berkata pula, “Menurut ayah Mahendra, Wiraprana itu datang
berdua. Apakah kau ikut serta?”
Kini Agni tidak dapat menyimpan sesuatu
lagi di dalam dadanya yang hampir pecah itu. Karena itu maka seperti
bendungan yang pecah meledaklah jawabnya, “Ampun guru. Wiraprana sama
sekali tak berkelahi melawan Mahendra. Tetapi aku terpaksa melawannya,
meskipun aku memakai nama Wiraprana.”
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk ditatapnya muridnya itu dengan mata yang sayu.
Sebenarnya ia telah menduga bahwa demikianlah yang terjadi. Namun
ketika ia mendengar pengakuan itu, hatinya masih juga terharu. Terharu
karena ia tahu, apa sebenarnya yang bergolak di dalam dada muridnya.
Perasaan apakah yang telah melandanya terhadap anak gadisnya.
Mahisa Agni sama sekali tak berani mengangkat wajahnya. Ia duduk tumungkul memandang ibu jari kakinya.
“Kenapa kau Agni?” tiba-tiba terdengar gurunya bertanya.
Mahisa Agni tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. jawaban yang telah disusunnya tiba-tiba seperti hilang
dari ingatannya. Sehingga yang terdengar adalah kata-kata gurunya pula,
“Mahendra adalah anak yang tangkas. Menurut ayahnya, ia agak keras
kepala. Apakah dengan demikian kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk
itu?”
Mahisa Agni tidak tahu apa yang
tersimpan di hati gurunya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu harus
dijawabnya. Maka setelah sesaat ia berjuang, maka jawabnya, “Ya guru.
Terpaksa aku harus menghadapinya.”
“Ya, kenapa? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuk itu?”
Mahisa Agni mencoba menenangkan hatinya.
Kemudian jawabnya, “Aku tidak dapat melihat, kemungkinan lain guru.
Sebab mereka mempertaruhkan Ken Dedes dalam perkelahian itu. Kalau
Wiraprana kalah, akibatnya akan tidak baik bagi Ken Dedes.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya muridnya itu dengan penuh kekaguman di dalam
hatinya. Ia sama sekali tidak membiarkan Wiraprana dilumpuhkan untuk
mendapat kesempatan menjadi pahlawan. Dengan demikian maka kemungkinan
bagi dirinya sendiri akan menjadi lebih baik.
Sejenak kemudian Empu Purwa itu pun
berkata kepada Mahisa Agni, “Mahisa Agni, jangan cemas. Ayah Mahendra
yang baik itu datang untuk minta maaf kepadaku atas kelakuan anaknya.”
Mahisa Agni terkejut, sehingga tak
disengajanya ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Empu Purwa itu
tersenyum. Meskipun senyum yang hambar. Dan orang tua itu meneruskannya,
“Ia sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Malahan ia
mengharap, bahwa dengan demikian anaknya akan melihat, bahwa di dunia
ini ada orang-orang lain yang tak dapat dikalahkannya. Mudah-mudahan ia
menyadari keadaannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata dugaannya keliru. Ayah Mahendra sama sekali tidak menuntut atas
kekalahan anaknya, bahkan ia telah minta maaf atas perbuatan Mahendra.
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Seandainya, dirinya sendiri
yang telah melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Mahendra itu,
siapakah yang akan minta maaf untuknya? Tiba-tiba diingatnya ibunya
yang tua. Yang selama ini seakan-akan telah hilang dari hidupnya. Maka
bersyukurlah Mahisa Agni di dalam hatinya, bahwa yang Maha Agung telah
mempertemukannya dengan ibunya, dan membekalinya dengan ketabahan dan
kesabaran menghadapi cobaan dalam usianya yang masih muda itu. Dengan
demikian maka telah pula ditemuinya suatu pelajaran yang bermanfaat bagi
hidupnya kelak. Ternyata Mahendra itu telah mengagumkan baginya.
Ternyata kekaguman seorang laki-laki tidak saja ditujukan kepada mereka
yang dengan berani memainkan pedangnya dan bahkan yang telah berhasil
membunuh lawan-lawannya dengan sikap-sikap yang disangkanya jantan.
Namun sikap ayah Mahendra itu pun tak kalah jantannya. Memang kejantanan
seseorang tidak dapat diukur dengan senjata, tetapi diukur dengan
tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.
Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Di langit awan masih mengalir lambat. Dan mendung pun menjadi semakin tebal di langit.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian,
“ternyata kau sekali lagi telah menyelamatkan anakku dari kehancuran.
Kau telah berjuang dan meskipun tidak secara langsung, ikut serta
membina masa depannya. Mahisa Agni, masa depan gadisku satu-satunya itu
adalah masa depanku sebagai seorang ayah. Karena itu, betapa aku
berbesar hati atas sikapmu itu. Aku tidak menilai, apakah dengan
demikian perkelahian itu wajar, namun aku menilai dari segi lain. Aku
melihat pengorbananmu yang tanpa pamrih.”
Mahisa Agni mendengar pujian itu dengan
hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba terasa betapa dadanya menjadi sesak.
Ia pun terharu karenanya. Ternyata gurunya tidak memarahinya, bahkan
dengan tulus telah menyatakan kebesaran hatinya atas sikapnya.
“Karena itu Agni,” berkata gurunya pula,
“aku harus memberimu pertanda dari terima kasihku. Sebagai seorang
ayah, aku menggantungkan masa depanku kepada Ken Dedes, namun sebagai
seorang guru dalam olah kanuragan jaya kesantikan, aku menggantungkan
harapanku kepadamu. Dengan demikian Agni, maka sudah sampai saatnya kini
aku memberikan kesempurnaan ilmu kepadamu. Kesempurnaan yang aku
miliki. Kesempurnaan manusia yang selalu tidak sempurna. Kau mengerti
maksudku itu?”
Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya.
Betapa hatinya menjadi bergejolak mendengar kata-kata gurunya. Sebagai
seorang murid, maka kesempurnaan ilmu gurunya itu selalu didambanya.
Kini, setelah dengan tekun ia mesu diri dalam pengabdian kepada gurunya
itu, gurunya berkata bahwa kesempurnaan ilmunya itu akan diberikannya
kepadanya. Meskipun kesempurnaan seorang manusia yang selalu tidak
sempurna, yang selalu masih jauh daripada kesempurnaan yang sejati.
Namun apa yang akan diterimanya itu akan dapat menjadi bekal yang tak
ternilai bagi hidupnya.
Namun tiba-tiba Agni menjadi bimbang.
Kalau kesempurnaan ilmu gurunya itu telah diterimanya, apakah yang akan
dilakukannya. Apakah ia akan pergi ke segenap penjuru negeri. Berkelahi
dengan orang-orang sakti untuk menunjukkan kemampuannya? Apakah ia
akan menjadi seorang prajurit yang akan selalu memenangkan setiap
pertempuran? Dan apakah kesaktian itu kelak tidak akan membawanya ke
dalam lembah ketakaburan. Ia bersyukur bahwa ia menyadarinya. Ia
bersyukur bahwa pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Sebab
dengan demikian, ia akan selalu ingat pula kepada jawabnya.
Kemudian didengarnya gurunya itu berkata
pula kepadanya, “Agni. Aku pernah memberimu sebuah pusaka. Namun pusaka
itu sama sekali bukan alat pembunuh. Pusaka itu tak akan dapat kau
pergunakan untuk menyobek jantung lawan. Dan kini aku akan memberimu
sebuah senjata yang lain. Kelengkapan dari pusaka yang aneh itu. Namun
pusaka itu tidak akan dapat berdiri sendiri. Trisula itu bermanfaat
bagimu, meskipun tak ada rangkapannya. Namun rangkapannya itu sama
sekali tak berarti tanpa trisula yang kecil itu.”
Mahisa Agni mendengarkan kata-kata
gurunya itu dengan seksama. Disadarinya kemudian, bahwa pusaka yang
diberikan kepadanya itu belum sempurna.
Kemudian gurunya melanjutkan, “Tetapi
Agni. Ketahuilah, bahwa pusaka yang aku janjikan itu kini belum berada
di padepokan Panawijen.”
Mahisa Agni menengadahkan wajahnya.
Terbayanglah suatu pertanyaan pada cahaya matanya. Karena itu Empu Purwa
menjelaskannya, “Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus
dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya.
Semoga kau akan dapat menemukannya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sadarlah ia kini, bahwa gurunya memberinya kepercayaan untuk
mencari sebuah pusaka yang tak ternilai harganya. Lebih-lebih lagi,
apabila ia dapat menemukan, maka pusaka itu akan dimilikinya. Tetapi
Mahisa Agni masih berdiam diri.
Maka gurunya itu meneruskan, “Apabila
kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka
yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga
orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun
lawannya. Kau mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam.
Hatinya tergetar mendengar keterangan gurunya itu. Apabila ia memiliki
kedua pusaka itu bersama-sama, maka ia akan menjadi manusia yang pilih
tanding.
“Hem,” Mahisa Agni bergumam. Kemudian
katanya di dalam hatinya, “Suatu anugerah yang tak terduga. Dengan
pusaka-pusaka itu, maka banyak persoalan yang dapat aku atasi. Tetapi
persoalan-persoalan apa? Pusaka-pusaka itu adalah alat untuk bertempur
dan berkelahi. Haruskah aku mengatasi semuanya dengan perkelahian dan
pertempuran?”
Namun kemudian ditemukannya jawabnya,
“Suatu ketika aku harus mempergunakan pusaka-pusaka itu. Tetapi untuk
persoalan-persoalan yang imbang. Memang kadang-kadang ada hal-hal yang
tak dapat diatasi dengan cara lain. Mudah-mudahan aku dapat
membedakannya.”
Kemudian Mahisa Agni mendengar gurunya
berkata pula, “Agni. Aku ingin mendengar jawabanmu. Adakah kau bersedia
mencari pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni mengangguk kembali, jawabnya
dengan penuh kesungguhan hati, “Tentu guru. Aku bersedia apapun yang
Empu perintahkan. Jangankan sebuah pusaka untukku sendiri. Apapun akan
aku lakukan dengan keikhlasan.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya muridnya dengan tajam. Kemudian katanya,
“Mahisa Agni. Kau harus menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan
yang mungkin sama sekati tidak menyenangkan bagimu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Dengan demikian berarti bahwa ia harus meninggalkan Panawijen.
Meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama. Meninggalkan rumah
gurunya dan ibunya. Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya.
Namun adalah menjadi kewajibannya untuk melakukan perintah-perintah
gurunya. Apalagi perintah untuk kepentingannya sendiri.
Karena itu, maka jawabnya, “Apapun yang
harus aku lakukan guru, bagiku tak ada yang lebih menggairahkan daripada
menjalankannya dengan senang hati.”
“Bagus,” sahut gurunya, “kalau kau
temukan rangkapan pusakamu itu, kau akan menjadi seorang laki-laki yang
sakti. Sukar untuk mencari tanding. Kau akan dapat melakukan semua
kehendakmu. Siapa pun yang menghalangimu, maka itu tak akan banyak
berarti. Karena itu, pusaka itu harus kau temukan. Apapun rintangan yang
akan kau temui.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Akan aku coba untuk melakukannya.”
“Nah Agni,” berkata gurunya, “dengarlah.
Perjalanan yang harus kau tempuh adalah cukup jauh. Kau harus
melingkari Gunung Semeru. Bukankah kau pernah pergi ke kaki gunung itu
dari arah timur bersama aku?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
karenanya. Perjalanan itu pernah ditempuhnya tiga tahun yang lalu.
Perjalanan yang berat di antara belukar dan lereng-lereng gunung. Hanya
kadang-kadang saja ditemuinya padukuhan-padukuhan kecil atau
kelompok-kelompok penduduk yang tidak menetap, yang berpindah-pindah
dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari tanah yang mungkin
diusahakan oleh mereka. Kini ia harus menempuh perjalanan itu kembali.
Mahisa Agni kemudian menekurkan
kepalanya. Dicobanya untuk mengingat kembali jalan-jalan yang pernah
dilaluinya. Hutan-hutan dan lereng-lereng terjal. Kemudian diingatnya
pula, apa yang pernah dilihatnya pada kaki Gunung Semeru itu, sebagai
pertanda yang akan dapat dipergunakannya untuk menemukan jalan kembali.
“Agni,” terdengar gurunya itu menyambung
kata-katanya, “mungkin kau akan dapat mengingatnya kembali jalan-jalan
yang pernah kau tempuh. Kalau tidak Agni, maka kau dapat mencari jalan
lain. Namun kau dapat menandai daerah yang pernah kita kunjungi di kaki
Gunung Semeru itu. Kau pernah melihat sebuah rawa yang luas bukan?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Kau melihat batu karang di tengah rawa-rawa itu?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” berkata gurunya, “aku harap
rawa-rawa itu masih ada sekarang. Aku mengharap bahwa batu karang itu
pun masih dapat kau temukan. Nah. Apabila batu karang itu kau temukan,
maka kau akan menempuh jalan yang pendek. Kau dapat menyusurinya ke
barat dan kau akan sampai pada sebuah dinding yang terjal, dinding yang
gundul. Kau ingat?”
“Ya, Guru,” jawab Agni.
“Agni,” nada suara gurunya menjadi
semakin rendah, “Ketahuilah bahwa di dalam gua, yang pernah kita
kunjungi itu, yang terdapat di tengah-tengah dinding yang gundul,
terdapat benda yang sangat berharga itu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali.
Pada saat itu ia hanya dapat melihat gua itu. Tetapi ia tidak dapat
mencapainya. Ia pada waktu itu tidak sanggup untuk mendaki tebing yang
gundul dan curam.
Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Pada tiga tahun yang lampau, ia hanya dapat melihat
gurunya itu mendaki tebing yang sengat curam dan berbahaya. Dan
ditinggalkannya ia sendiri menanti di bawahnya.
Dan sekarang ia sendiri harus mendaki tebing itu, untuk mencapai gua di tengah lereng gundul di kaki Gunung Semeru.
“Suatu perjalanan yang berat,” desisnya di dalam hati.
Gurunya yang melihat wajah Mahisa Agni
itu menjadi suram segera berkata pula, “Agni, kesempatan ini akan
menjadi satu ujian bagimu. Ketika kau berhasil Agni, maka hidupmu di
kemudian hari akan penuh ditandai dengan kemenangan-kemenangan dalam
setiap persoalan. Kau akan menjadi seorang jantan yang namamu akan
ditakuti oleh setiap orang yang mendengarnya. Sedang apa yang akan kau
lakukan kemudian tergantung kepada keadaanmu dan tujuan hidupmu. Sebab
sesudah taraf yang terakhir ini, maka aku tidak akan dapat ikut serta
menarik garis yang melingkari hidupmu. Kau adalah seorang murid yang
sudah dewasa, yang seharusnya sudah lepas dari induknya. Hitam putih
namamu tergantung padamu sendiri.”
Mahisa Agni masih menekurkan kepalanya.
Dengan penuh kecermatan ia mengamati persoalannya. Namun tak ada yang
dapat dilakukan selain melakukan tugas itu. Meskipun demikian, sempat
juga ia merenungkan kata-kata gurunya itu, dan yang terakhir, ‘Hitam
putih namamu tergantung padamu sendiri’.
Tetapi terasa pula di dada Mahisa Agni
sesuatu yang agak lain dari kebiasaan gurunya. Gurunya yang penuh dengan
pengabdian dan kebaktian diri kepada sumber hidupnya itu tiba-tiba
memberinya beberapa petunjuk yang seakan-akan hanya diwarnai oleh tata
lahiriahnya saja. Ia akan menjadi seorang yang sakti. Seorang yang
hampir tak akan dapat dikalahkan. Seorang yang hidupnya akan ditandai
oleh kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Mahisa Agni tidak
mengerti seluruhnya apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Apakah hanya itu?
Namun ia tidak berani bertanya. Mungkin ada sesuatu yang perlu
direnungkannya.
“Pada suatu ketika aku akan menemukan jawabnya,” pikirnya.
Yang kemudian dikatakan oleh gurunya
adalah, “Mahisa Agni. Sejak hari ini kau harus mempersiapkan dirimu.
Lahir batin untuk menempuh perjalaran itu. Kamu harus menguasai setiap
persoalan yang akan kau temui di sepanjang perjalananmu. Amati persoalan
itu dengan seksama. Baru kemudian kau cari pemecahannya.”
Mahisa Agni mengangguk dengan khidmatnya. Jawabnya, “Ya, Guru.”
“Mungkin kau harus mengalami gangguan
lahir batin. Nah. kemudian tergantung kepadamu, karena kau akan pergi
seorang diri. Ingatlah, perjalanan itu akan merupakan ujian bagimu.
Kalau kau berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan oleh
pengujimu sesuai dengan maksudnya, maka pasti kau akan lulus dalam ujian
itu. Namun kalau tidak, maka kesempatan itu tidak akan terulang
kembali.”
“Aku akan melakukan dengan kesungguhan hatiku,” jawab Agni, “Mudahkan yang Maha Agung memberikan tuntunan kepadaku.”
“Mudah-mudahan,” sahut gurunya.
Terdengar suara menjadi serak. Dan ketika Agni mencoba melihat wajah
gurunya, ia terkejut. Wajah itu sedemikian sayunya, dan bahkan ketika
terpandang olehnya mata gurunya itu, bergolaklah perasaan Mahisa Agni.
Dilihatnya meskipun hanya sekejap, bahwa sepasang mata gurunya itu
menjadi basah.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?”
pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Bahkan timbul pula prasangka di
dalam dadanya, “Apakah sebenarnya Guru marah kepadaku? Apakah
sebenarnya yang diminta oleh ayah Mahendra?”
Dan tiba-tiba saja mengianglah di sudut hatinya, “Apakah aku sedang dibuang oleh guruku?”
Tidak, dicobanya untuk mengatasi
perasaannya yang sedang bergelora dengan riuhnya di dalam dirinya.
Timbullah bermacam-macam prasangka. Namun akhirnya ia mendapatkan suatu
kesimpulan. “Guru akan memberikan hadiah itu kepadaku. Adalah wajar
kalau aku harus mengambilnya sendiri. Kalau guru akan menghukumku atas
permintaan ayah Mahendra, maka guru pasti akan berterus terang kepadaku.
Sebab aku adalah muridnya sejak kecilku.”
Mahisa Agni tersadar dari renungannya
ketika gurunya berkata dengan nada yang dalam, “Agni. Masih ada beberapa
pesanku untukmu. Apabila sudah kau temukan rawa-rawa itu dan kau
temukan batu karang di dalamnya, maka untuk seterusnya kau harus
menempuh jalan di malam hari sampai kau capai dinding yang gundul itu.
Kemudian baru kau akan mendakinya di siang hari.”
Syarat itu bertambah memberatinya.
Karena itu maka debar jantung Agni pun bertambah-tambah pula. Meskipun
demikian jawabnya, “Ya. Guru, akan aku lakukan semuanya.”
“Bagus Agni. Sekarang beristirahatlah. Kau tentukan sendiri kapan kau akan berangkat,” kata gurunya pula.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
kemudian ia mohon diri untuk beristirahat. Ia sudah tidak ingat lagi
akan permintaan Wiraprana untuk memberinya beberapa petunjuk tata bela
diri.
Mahisa Agni langsung pergi ke biliknya.
Perlahan-lahan ia berbaring di pembaringannya. Ditatapnya kayu-kayu yang
malang melintang di atap rumahnya. Dan akhirnya ia menarik nafas
panjang-panjang.
“Ujian,” desisnya. Dan diulanginya, “ujian yang berat.”
Dicobanya untuk membayangkan apa yang
kira-kira akan dialaminya dalam perjalanan itu. Binatang buas.
Kelompok-kelompok orang jahat yang akan dapat ditemuinya di
perjalanannya. Berjuang melawan alam yang garang. Kalau itu semua dapat
diatasinya, maka akan didapatnya kesaktian.
“Aku berguru dalam olah kanuragan untuk
mendapatkan kesaktian,” gumamnya, “dengan kesaktian banyak yang dapat
aku lakukan. Aku akan dapat mencapai dan menegakkan nilai-nilai
kebenaran, melawan kesaktian-kesaktian yang akan memaksakan kemungkaran
dan kejahatan.”
“Hem,” Agni menarik nafas. Katanya
kepala dirinya sendiri, “Tetapi kau harus ingat, hitam putih namamu
ditentukan oleh perbuatanmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, namun terdengar kata-kata di dalam dirinya, “Apapun yang akan
aku lakukan, kalau aku orang yang maha sakti, adakah yang akan
merintanginya?”
Wajah Mahisa Agni pun kemudian menjadi
tegang. Kata-kata itu kembali terngiang di hatinya, “Aku akan menjadi
seorang yang maha sakti. Betapapun hitam namaku kelak, namun apa
peduliku. Tak seorang akan berani menghalangi aku. Seandainya aku ingin
membunuh Wiraprana, Mahendra, bahkan siapa saja, siapakah yang dapat
menuntut aku? Kekuasaan Tumapel tak akan berarti bagiku, juga kekuasaan
Kediri. Semua akan hancur oleh kesaktianku.”
Dada Mahisa Agni menjadi bergemuruh
karenanya. Kesaktian, kekuatan berarti kekuasaan. Kalau kesaktian dan
kekuatan ini tak terkalahkan, maka kekuasaannya pun tak akan
tergoyahkan.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar
langkah seseorang masuk ke dalam biliknya. Ketika ia berpaling, maka
dilihatnya ibunya. Seorang emban yang sudah tua.
Agni pun kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.
“Adakah kau menghadap gurumu Agni?” bertanya ibunya sambil duduk di sisinya.
“Ya, Ibu,” jawab Agni.
“Kau menghadap seperti biasa, ataukah ada sesuatu yang penting?”
“Ada sesuatu yang penting. Bahkan penting sekali bagi masa depanku.”
“Apakah itu?”
“Sekali lagi guru memberi aku hadiah.”
“Hadiah?” ibunya mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni mengangguk. Lalu
diceritakannya apa yang baru saja didengarnya untuk mengambil rangkapan
pusaka di kaki Gunung Semeru.
“Oh,” ibunya menarik nafas panjang, “Apakah gunanya pusaka itu?”
Agnilah yang kemudian menjadi terkejut.
Ditatapnya wajah ibunya yang telah mulai berkeriput oleh garis-garis
umur. Maka katanya, “Bukankah pusaka itu idaman setiap lelaki? Aku
berguru pada Empu Purwa karena aku ingin mendapatkan kesaktian sebagai
bekal hidupku kelak. Kini aku akan mendapat pusaka rangkapan trisula
itu, dan aku akan menjadi seseorang laki-laki yang pilih tanding.
Bukankah itu satu kebahagiaan bagiku. Apa yang aku kehendaki akan
berlaku.”
“Itu saja?” bertanya ibunya pendek.
Kembali Agni terkejut. Ia tidak tahu maksud ibunya. Sehingga terdengar pertanyaannya, “Apakah yang ibu maksudkan?”
“Kau berguru kepada Empu Purwa hanya untuk mendapat kesaktian, sehingga semua kehendakmu akan berlaku?”
“Apa lagi?”
“Oh,” ibunya mengeluh. Dan Mahisa Agni menjadi bingung.
“Agni,” berkata ibunya, “adakah Empu
Purwa tidak memberimu pesan, apa yang harus kau lakukan setelah kau
mendapat pusaka-pusaka itu?”
Mahisa Agni menggeleng. Tetapi kemudian
ia berkata, “ Empu Purwa hanya sekedar memberi aku peringatan, ‘Hitam
putih namaku tergantung atas perbuatanku’.”
Ibunya mengangguk-angguk. Namun ia bergumam, “Nah, kata-kata itu pendek saja. Cobalah mengerti artinya.”
Mahisa Agni mengangkat keningnya.
Katanya, “Tetapi kalau aku seorang yang tak ada bandingnya, apakah
artinya pesan itu? Apapun kata orang tentang diriku, tentang namaku,
namun mereka tak akan dapat berbuat apapun atasku. Sebab aku tak akan
terkalahkan.”
Sekali lagi ibunya terkejut. Dengan
wajah yang tegang perempuan tua itu bertanya, “Agni. Apakah sebenarnya
yang dikatakan oleh gurumu? Hanya itu saja? Mengambil pusaka supaya kau
menjadi sakti tanpa tanding? Kemudian membiarkan kau menentukan namamu
sendiri?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Aneh?” gumam ibunya.
“Kenapa aneh?” bertanya Mahisa Agni.
Namun pertanyaan itu memang sudah tersimpan di dalam dirinya, sejak ia
mendengar gurunya memberinya beberapa petunjuk mengenai letak
tempat-tempat yang harus ditujunya.
Perempuan tua itu pun merasakan sesuatu
yang agak berbeda dari kebiasaan Empu Purwa. Kali ini Empu itu hanya
memandang persoalannya dari sudut lahiriah. Pusaka dan kesaktian. Apakah
itu sudah cukup?
“Mahisa Agni,” berkata ibunya kemudian,
Perlahan-lahan, namun penuh dengan tekanan sebagai seorang ibu, “aku
senang mendengar kau akan menerima pusaka rangkapan dan kau akan menjadi
seorang yang sakti. Namun sebagai seorang ibu, aku pun mencemaskan
nasibmu. Perjalanan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Namun yang
lebih mencemaskan aku adalah, bagaimanakah kau sesudah memiliki
pusaka-pusaka itu, Agni.”
“Kenapa?”
“Kalau kau salah langkah, maka kau akan terjerumus ke dalam satu dunia yang penuh dengan pertentangan dan permusuhan”
“Bukankah kalau aku menjadi seorang yang
tak terkalahkan, aku tak usah cemas, meskipun seandainya orang di
seluruh dunia ini memusuhi aku?”
“Benar Agni. Tetapi apakah kau sangka bahwa kau tak perlu mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanmu itu?”
“Bertanggung jawab kepada siapa? Akuwu
Tumapel? Maharaja Kediri atau siapa? Mereka tak akan mampu mengalahkan
aku meskipun semua laskarnya dikerahkan.”
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilihatnya keragu-raguan memancar di mata anaknya. Karena itu ia menjadi
gembira. Katanya, “Kau tidak yakin akan kata-katamu Agni. Aku menjadi
berbahagia karenanya. Karena masih ada suara lain di dalam hatimu Nah,
Agni. Aku ingin mempertegas suara hatimu yang lain itu. Kau tidak akan
bertanggung jawab kepada Akuwu Tumapel atau kepada Maharaja Kertajaya.
Mereka adalah manusia-manusia biasa. Kalau kau menjadi sakti tanpa
tanding dan melampaui kesaktian-kesaktian mereka, malahan, kau akan
dapat mengusir mereka dari kedudukannya, dan kesaktianmu benar-benar
dapat membentuk kekuasaan melampaui kekuasaan mereka itu.”
“Lalu kepada siapa?”
“Kekuasaan yang tak dapat dilampaui oleh kekuasaan apapun, Yang Maha Agung.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh.
Dan wajahnya pun kemudian ditundukkannya
dalam-dalam. Ia tidak pernah melupakan Yang Maha Agung, yang telah
menjadikannya. bahkan seluruh alam dan isinya. Namun kadang-kadang
gelora jiwa jantannya sering mengganggunya. Kerinduannya pada
kesempurnaan ilmu kanuragan kadang-kadang telah membawanya ke alam yang
penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Kadang-kadang direka-rekanya
juga permusuhan-permusuhan yang akan terjadi.
“Kalau tidak ada permusuhan-permusuhan, kapankah aku dapat menunjukkan kesaktianku dan kapankah orang lain akan mengagumi aku?”
Namun setiap kali ia berhasil menyadari kesalahannya, meskipun baru di dalam angan-angan.
Maka kemudian didengarnya ibunya berkata
pula, “Agni, sebenarnyalah bahwa kesaktian dan kekuatan yang
dipancarkannya, kemenangan dalam setiap pertentangan dan permusuhan,
bukanlah kekuasaan. Apabila demikian, maka hidup manusia ini tidak akan
lebih baik dari kehidupan binatang-binatang di dalam rimba. Harimau
yang kuat, dan memiliki senjata yang kuat, pula pada tubuhnya, kuku,
gigi dan taring-taringnya akan dapat memaksakan kehendaknya kepada
binatang-binatang yang lemah. Kijang, rusa dan sebagainya, yang hanya
memiliki kesempatan untuk melarikan diri apabila mampu. Bahkan sampai
merampas nyawanya sekali pun. Namun binatang tidak memiliki kesadaran
akan ‘adanya dan diadakannya’. Karena itulah maka binatang tidak
memiliki sifat-sifatnya yang langgeng. Hidup sesudah hidup ini. Di mana
akan diperhitungkan semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Itulah
sebabnya manusia mengenal nilai-nilai hidupnya. Nilai-nilai hidup
kemanusiaan. Nah, Agni. Apakah sekarang artinya kesaktian dan kekuasaan
duniawi ini?”
Wajah Agni menjadi semakin tunduk.
Kata-kata ibunya itu mengetuk-ngetuk dadanya. Sudah sering kali ia
mendengar nasihat-nasihat gurunya tentang hidupnya dan hidup di
masa-masa langgeng. Namun ketika ibunya sendiri yang mengucapkannya
berasa seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsumnya.
“Agni,” berkata ibunya, “aku hidup di
padepokan ini telah bertahun-tahun. Karena itu aku telah sering kali
mendengar Empu Purwa mengatakannya itu semua, meskipun tidak kepadaku.
Mungkin kepada anaknya, atau kepada muridnya, kau. Atau kadang-kadang
aku mendengarnya diri balik dinding apabila ada beberapa orang tamu,
sahabat-sahabat Empu Purwa yang kadang-kadang mengadakan sarasehan.”
“Karena itu apa yang aku katakan,
mungkin telah kaudengar langsung dari gurumu. Namun aku adalah ibumu.
Umurku telah berlipat dari umurmu. Karena itu aku ingin mengatakannya
kembali kepadamu. Aku sangka umur mudamu kadang-kadang masih
mengganggumu.”
Agni tidak menjawab. Namun kepalanya
masih tunduk. Diangguk-anggukkannya kepalanya perlahan-lahan dan dengan
penuh minat ibunya berkata pula, “Karena itu Anakku. Kesaktian baru
bermanfaat apabila ia dipergunakan untuk menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri. Kalau ada kekuasaan di muka bumi ini, kekuasaan
manusia, maka ia harus dilambari atas nilai-nilai itu pula,
nilai-nilai hidup bersama yang ditentukan bersama pula dalam pergaulan
hidup yang memberikan kebahagiaan bersama. Nah, terhadap kekuasaan yang
demikian itulah kesaktian wajib diamalkan untuk menegakkannya. Bukan
untuk merampasnya.”
Ibunya berhenti sejenak. Ditatapnya anak
laki-lakinya yang bertubuh kokoh kuat dengan jalur-jalur ototnya
menjalar di seluruh permukaan kulitnya.
Kemudian terdengar kembali perempuan itu
berkata, “Nah, Agni. Pergilah ke kaki Gunung Semeru. Usahakan supaya
perintah gurumu dapat kau penuhi. Dan sadarilah apa yang akan kau
perbuat kelak sesudah pusaka-pusaka itu berada di tanganmu.”
“Baik, Ibu,” jawab Mahisa Agni lirih, namun sampai ke dasar hatinya.
Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian
sambil berdiri ia berkata, “Kalau sampai saatnya kau pergi anakku,
pergilah dengan tekad yang bulat. Dengan janji di dalam hati, bahwa apa
yang kau capai semata-mata untuk tujuan yang baik, maka Yang Maha Agung
akan selalu memberkahi.”
“Baik, Ibu,” sahut Mahisa Agni sambil
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berdiri pula dan melepaskan ibunya
pergi dari mulut pintu biliknya.
Kata-kata ibunya itu merupakan penegasan
dari segenap perasaan-perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Dan ia
bersyukur karenanya. Maka kemudian dibulatkannya tekad di dalam dadanya,
“Aku akan pergi ke Gunung Semeru.”
Kepada Wiraprana, Mahisa Agni terpaksa
membatalkan janjinya untuk sementara, katanya, “Prana, besok kalau aku
kembali dari perantauan ini, aku berjanji akan memenuhi permintaan itu.
Bukankah aku menjadi bergembira pula dengan hasratmu itu. Tetapi sayang
aku terpaksa menundanya.”
Wiraprana pun menjadi kecewa karenanya.
Tetapi ia menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang penting dalam
perjalanan yang akan ditempuh oleh sahabatnya itu.
“Mudah-mudahan kau lekas kembali Agni. Apakah perjalanan itu jauh?”
Agni menggeleng. “Tidak. Tidak begitu jauh.”
Wiraprana memandang wajah Agni dengan
penuh pertanyaan. Tetapi pertanyaan itu tak diucapkannya. Ia sadar,
bahwa bukan menjadi haknya untuk mengetahui segala persoalan sahabatnya
itu. Namun kepergian itu pasti akan memerlukan waktu yang cukup panjang
sehingga dengan demikian, Panawijen akan terasa sepi baginya. Meskipun
banyak anak-anak muda yang lain, tetapi di samping Mahisa
Agni,Wiraprana merasa tenang dan sejuk.
“Ah,” katanya di dalam hati, “aku harus
dapat menyejukkan hatiku sendiri. Kelak kalau aku sudah meyakini diriku
sendiri sesudah Mahisa Agni kembali, maka aku akan tegak di atas
kemampuan sendiri.”
Setelah sampai saatnya Mahisa Agni
merasa dirinya siap untuk berangkat menempuh perjalanan itu, maka sekali
lagi ia menghadap gurunya. Diharapkannya gurunya akan memberinya
pesan-pesan terakhir yang bermanfaat bagi perjalanannya lahir dan batin.
Namun Mahisa Agni menjadi kecewa. Gurunya tidak memberinya pesan-pesan
baru kepadanya, selain bentuk dari benda yang dicarinya.
Mahisa Agni mendengarkan setiap
kata-kata gurunya dengan tekun, supaya ia kelak tidak keliru. Setelah ia
menempuh perjalanan yang sulit itu ia tidak ingin menemukan benda yang
sama sekali bukan benda yang dikehendakinya.
“Agni,” berkata gurunya, “benda itu
tampaknya memang tidak berharga sama sekali. Bentuknya tidak lebih dari
sebatang akar wregu. Namun akar itu berwarna putih. Panjangnya kurang
lebih hanya dua cengkang. Benda itu terbalut kain berwarna merah muda
bertepi putih.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Betapa ia menjadi heran. Sebatang akar wregu berwarna putih
dan sudah dibalut dengan kain. Siapakah yang meletakkannya di sana?
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan,
tetapi Empu Purwa dapat merasakan perasaan itu. Maka katanya, “Tak
seorang pun yang tahu, siapakah yang meletakkan benda itu di sana. Dan
mungkin pula tak seorang pun yang tahu, bahwa ada benda itu di sana. Aku
mengetahuinya dari sebuah mimpi. Dan aku pernah membuktikannya melihat
sendiri benda itu beberapa tahun yang lampau. Namun pada saat itu aku
belum dapat mengambilnya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ingin ia bertanya kenapa pada saat itu gurunya belum dapat
mengambilnya. Tetapi ia tidak berani.
“Ah. Pasti ada sebab-sebab yang penting,” katanya di dalam hati.
“Agni,” berkata gurunya pula. Nadanya
menjadi semakin dalam, “Ingat! Apabila kau telah menemukan batu karang
itu, kau harus menempuh perjalananmu di malam hari. Ada banyak sebabnya.
Yang terpenting, perjalananmu tidak boleh dilihat oleh seorang pun.
Meskipun hanya oleh seorang pencari kayu sekali pun. Namun aku sangka
daerah itu tak pernah dikunjungi orang.”
“Ya, Guru,” jawab Agni, “akan aku penuhi semua perintah.”
“Bagus,” sahut Empu Purwa sambil mengangguk-anggukkan kepala, “mudah-mudahan kau berhasil.”
“Pangestu Guru untukku,” pinta Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tampaklah pada wajahnya yang suram, sepasang matanya yang
sayu. Setelah ia berdiam diri sejenak, maka katanya, “Agni, bawalah obat
penawar racun ini. Mungkin kau aku bertemu dengan ular-ular berbisa,
atau serangga yang tak kalah tajam bisanya. Sebuah sengatan sudah cukup
untuk membunuhmu dalam waktu sekejap.”
Diberikannya oleh Empu Purwa sebuah tabung kecil. Ketika tabung itu dibuka dilihatnya di dalamnya beberapa gelintir ramuan obat.
“Agni,” berkata gurunya, “aku membuat
param itu dari akar-akar dan beberapa jenis racun. Kalau kau akan
mempergunakannya, cairkanlah param itu dengan air. Kemudian gosokkanlah
pada seluruh tubuhmu. Atau apabila kau telah terlanjur tergigit ular
atau terkena racun apapun, gosokkanlah obat itu di lukamu. Tetapi kalau
racun itu masuk ke dalam tubuhmu melalui mulutmu Agni, maka pakailah
ramuan yang lain.”
Empu Purwa itu berhenti sejenak. Sebuah
tabung yang lain diberikannya pula kepada Mahisa Agni. Di dalam tabung
itu pun terdapat beberapa butiran ramuan obat-obatan. Namun jauh lebih
kecil dari butiran-butiran obat yang pertama.
“Ingat Agni,” berkata gurunya, “Jangan
sampai keliru! Kalau kau keliru mempergunakan, maka akibatnya akan
sebaliknya. Obat yang pertama hanya boleh kau gosokkan di tubuhmu,
sedang obat yang kecil itu, harus kau telan.”
“Ya, Guru,” sahut Mahisa Agni.
Empu Purwa memandang muridnya dengan
pandangan yang aneh. Sedang Mahisa Agni masih saja menundukkan wajahnya.
Tetapi tiba-tiba wajahnya itu pun menjadi tegang ketika gurunya
berkata pula, “Mahisa Agni. Tinggallah kini pesan terakhir bagimu.
Dalam perjalanan yang berbahaya itu Agni, sebaiknya trisulamu kau
tinggalkan saja di padepokan ini.”
Mahisa Agni terkejut mendengarnya justru
dalam perjalanan yang berbahaya itu diperlukannya kawan dalam
perjalanannya. Bukankah pusaka itu dapat dijadikannya kawan yang baik
apabila ia berhadapan dengan bahaya. Tetapi sebelum ia berkata apapun
didengarnya gurunya meneruskan, “Agni. Trisula itu adalah benda yang
sangat berharga. Karena itu apabila pusaka itu hilang, maka hilanglah
semuanya bagi padepokan kita. Semua perjuangan masa lampau akan lenyap
bersamanya apalagi harapan bagi masa mendatang. Karena itu janganlah hal
itu terjadi. Kau ingin menemukan rangkapannya, namun pusaka itu
sendiri jangan sampai lepas dari tangan kita.”
Mahisa meng-angguk-anggukkan kepalanya,
meskipun ia tidak tahu seluruh persoalannya. Namun ia tidak berani
membantahnya. Ia percaya saja kepada gurunya yang tentu jauh lebih
bijaksana daripadanya. Meskipun kadang-kadang juga timbul prasangkanya,
namun segera perabaan itu dihimpitnya ke dasar hatinya. Ayah Mahendra,
sahabat guru sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya.
Berkali-kali ia menegaskan kepada dirinya sendiri karena itu guru pun
sama sekali tidak marah kepadaku.
Demikianlah maka sampailah pada saatnya
Mahisa Agni meninggalkan padepokan itu. Di pagi yang cerah, ketika
matahari membangunkan wajah bumi yang tetap, Mahisa Agni mohon diri
kepada ibunya. Perempuan itu memandang wajah anaknya yang teguh sambil
tersenyum, namun di matanya menitik beberapa butir air mata. Diciumnya
kening anak itu sambil berbisik, “Pergilah, Anakku. Mudah-mudahan kau
capai cita-citamu. Harapan masa depanmu masih panjang.”
(bersambung ke jilid 04)
No comments:
Write comments