KARENA MAHISA AGNI masih tegak di pintu, berkatalah Ken Dedes, “Apakah kau akan berdiri saja di situ?”
“Oh,” dan Mahisa Agni pun berjalan
memasuki ruangan itu. Dilihatnya beberapa endang sedang sibuk
membersihkan piring-piring tanah dan mangkuk.
“Kau terlambat makan Kakang. Ayah, para
cantrik dan endang, dan aku sudah makan. Ayah mencarimu tadi. Ternyata
kau ditemukannya di bilik belakang,” berkata Ken Dedes sambil
mempersiapkan makan Agni.
“Aku lelah sekali,” jawab Agni.
Di luar diniding Mahisa Agni mendengar percakapan itu. Pada saat Ken Dedes mengucapkan nama itu, …..
“He Hantu Karautan, inilah Mahisa Agni. Jangan menunggu orang- orang lemah ….
Ken Dedes menjadi bingung ketika Wiraprana berkata: “Ken Dedes, kenapa kau tidak minta aku …
Akhirnya,
laki-laki itu yang berkata. Pulanglah. Aku sudah tahu apa yang
terjadi. Dan aku akan merantau kembali membawa hatiku yang terbelah …..
Ken Dedes menundukkan wajahnya. Jawaban
Agni itu bagi Ken Dedes terdengar seolah-olah berkata, “Aku sangat lelah
Ken Dedes, setelah aku berkelahi mempertahankan kau”.
Dan tiba-tiba terdengar Ken Dedes berdesis, “Terima kasih, Kakang.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Maka ia pun bertanya, “Kenapa terima kasih?”
Ken Dedes tersadar dari angan-angannya.
Karena itu ia pun menjadi tersipu-sipu. Sahutnya, “Terima kasih, bahwa
kau masih akan memberi aku pekerjaan dengan bekas-bekas makan itu.”
“Oh,” Mahisa Agni pun tersenyum, “maafkan aku.”
Dan Mahisa Agni pun makanlah. Anak muda
itu duduk bersila di atas bale-bale bambu, sedang Ken Dedes duduk pula
di sampingnya. Dilayaninya Mahisa Agni dengan cermatnya. Tidak bedanya
ia melayani ayahnya.
Bagi Mahisa Agni, hal yang demikian itu
sudah sering benar dialami. Ken Dedes yang bersikap sebagai seorang adik
itu, tahu benar apa yang harus dilakukan untuk ayah dan saudara
tuanya. Namun, kali ini terasa sikap itu agak berbeda. Ken Dedes tidak
banyak berbicara seperti biasanya. Bahkan kadang-kadang ia tunduk diam
dan sekali-sekali dipandanginya titik-titik yang jauh di dalam
kegelapan malam.
Dan tiba-tiba terdengar gadis itu
bergumam tanpa melepaskan pandangannya yang menghunjam ke gelap malam,
“Kakang, Ayah memanggil aku menghadap setelah Kakang selesai makan
malam.”
Jantung Mahisa Agni pun berdesir. Gadis itu pun dipanggil pula oleh ayahnya.
“Kalau demikian,” pikir Mahisa Agni,
“masalahnya pasti masalah gadis itu. Mungkin akibat sikap Kuda Sempana
siang tadi. Agaknya gurunya pun melihat ketidak ikhlasan anak itu.
Tetapi mungkin, meskipun terdorong oleh peristiwa pagi tadi, ada juga
persoalan-persoalan lain.”
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
“Kenapa kau berdesah?” bertanya Ken Dedes.
Mahisa Agni terkejut. Dicobanya tersenyum. Jawabnya, “Aku lupa bahwa aku sudah terlalu kenyang.”
“Bohong!” bantah Ken Dedes.
Sikap manjanya kadang-kadang masih
tampak, meskipun ia mencoba bersikap sungguh-sungguh. Dan tiba-tiba saja
Ken Dedes kini telah benar-benar menjadi gadis dewasa di dalam
tangkapan Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba gadis itu memberengut. Katanya, “Kau tidak mengacuhkan aku.”
“Kenapa?” bertanya Agni, “bukankah aku memperhatikan setiap kata-katamu.”
“Tidak,” sahut gadis itu, “aku berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi mendengar pun kau tidak.”
“Aku mendengar,” jawab Agni.
“Apa yang aku katakan?” ia bertanya.
“Bapa Pendeta memanggil kau menghadap,” Agni mengulangi kata-kata Ken Dedes.
“Kau mendengarnya?” desis Ken Dedes, “kalau demikian kau benar-benar tidak menaruh perhatian.”
“Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh pula,” Agni mencoba membela diri.
“Kau tidak memberikan tanggapan apa-apa.
Kau tidak terkejut dan kau tidak bertanya, kenapa aku dipanggil Ayah.
Bahkan kau malahan berdesah karena kau makan terlalu kenyang. Mungkin
kau baru merenungkan sesuatu sehingga perut kakang sendiri pun Kakang
lupakan. Apakah Kakang Agni sedang merenungkan Witri atau Sita yang
manis itu?” tuduh Ken Dedes.
“Ah,” bantah Mahisa Agni, “jangan
mengada-ada Ken Dedes. Aku mendengar kata-katamu dan aku merenungkannya.
Aku sedang berpikir apakah kira-kira sebabnya.”
“Bohong,” Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia tersenyum melibat putri gurunya yang manja namun
bersungguh-sungguh itu.
“Aku benar-benar terlalu kenyang,” Mahisa Agni bergumam, “justru karena aku merenungkan kata-katamu.”
“Bohong. Bohong,” sekali lagi gadis itu mencibirkan bibirnya.
“Sudahlah Ken Dedes. Nanti Bapa Pendeta terlalu lama menunggu. Disangkanya aku terlalu lama makan,” berkata Agni kemudian.
“Bukankah sebenarnya demikian. Kakang makan terlalu lama meskipun Kakang makan terlalu cepat,” jawab Ken Dedes.
Mahisa Agni diam saya. Dipandangnya Ken
Dedes itu, yang kemudian berdiri membenahi piring-piring dan
mangkuk-mangkuk. Diambilnya kendi dari glodog dan disodorkannya kepada
Mahisa Agni.
“Terima kasih Ken Dedes,” sambut Mahisa Agni.
Ken Dedes yang hampir melangkah pergi berhenti memandangi Mahisa Agni, katanya, “Sejak kapan Kakang berterima kasih kepadaku?”
Agni menundukkan wajahnya. Ia tidak
menjawab kata-kata itu. Sehingga Ken Dedes pun melangkah pergi. Dengan
sudut matanya Mahisa Agni melihat gadis itu. Tidak terlalu tinggi, bulat
dan langsing. Pekerjaannya sehari-hari telah membentuk tubuh gadis itu
menjadi serasi. Kuat namun tidak terlalu kasar. Dan tiba-tiba Mahisa
Agni bergumam di dalam hatinya, “Hem, benar juga kata anak-anak muda.
Putri Bapa Pendeta itu bagaikan Bunga di lereng Gunung Kawi. Dan bunga
itu kini mulai kembang.”
Mahisa Agni menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan kembali ia tunduk dalam-dalam ketika Ken Dedes datang
kepadanya dan kembali duduk di sampingnya.
“Kakang,” gadis itu berkata pula. Kali ini bersungguh-sungguh, “Ayah memanggil aku.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, katanya, “Kenapa kau dipanggil?”
Tetapi tiba-tiba gadis itu memberengut kembali. Katanya, “Kakang, kau menggodaku sejak tadi.”
“He,” Agni tidak mengerti, “kenapa?”
“Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau bertanya karena aku tadi berkata demikian,” Ken Dedes bersungut.
“Ah,” desah Mahisa Agni, “lalu
bagaimanakah aku harus bersikap. Ken Dedes, sebenarnyalah aku ingin
mengetahui, apakah sebabnya kau dipanggil oleh Bapa Pendeta. Bukankah
hal yang demikian itu bukan menjadi kebiasaan?”
Ken Dedes mengangguk. Dan kembali ia bersungguh-sungguh. Katanya, “Aku tak tahu. Mungkin Ayah marah kepadaku.”
“Aku sangka tidak. Sebab kau tidak bersalah. Namun mungkin pula ada hubungannya dengan peristiwa pagi tadi.”
Mahisa Agni diam sebentar, kemudian ia meneruskan perlahan-lahan, “Aku pun dipanggilnya.”
“Oh,” desis Ken Dedes. Tetapi tak ada sepatah kata pun lagi yang melontar dari sela-sela bibirnya yang tipis itu.
Untuk sesaat mereka berdua berdiam diri.
Masing-masing sibuk dengan angan-angannya sendiri. Para endang telah
hampir selesai dengan pekerjaan mereka. Sehingga kemudian Agni pun
berkata, “Ken Dedes, pergilah kau dahulu. Bapa Pendeta sudah lama
menunggu.”
“Mungkin,” sahut Ken Dedes, “Baiklah aku pergi dahulu. Kapankah Kakang akan menghadap Ayah?”
“Sebentar lagi aku datang,” jawab Agni
Ken Dedes pun kemudian berdiri. Ketika
ia berjalan keluar. Mahisa Agni mengikutnya dengan pandangan matanya.
Tanpa sesadarnya ia mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba ia terkejut ketika
ia mendengar seorang cantrik batuk-batuk di sudut dapur.
“Apa kerjamu di situ?” pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Agni.
“Mengisi jambangan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ah,” Mahisa Agni kemudian tidak
memedulikan lagi. Segera ia pun berdiri dan dengan langkah
panjang-panjang ia pun pergi meninggalkan ruangan itu
Di pringgitan, Empu Purwa duduk di sudut
ruangan, di atas tikar pandan yang putih. Dilipatnya kedua tangannya di
dadanya, sambil duduk bersandar dinding. Kadang-kadang dikecupnya
mangkuk air sere hangat-hangat sambil menggigit gula kelapa. Sedap.
Dengan sabarnya ia menunggu putrinya dan
Mahisa Agni datang kepadanya seperti permintaannya. Hal yang demikian
hampir tak pernah dilakukan. Ia berbicara dengan kedua anak itu di mana
saja mereka bertemu. Di pendapa, di pertamanan, di tepi kolam atau di
perjalanan. Namun agaknya kali ini ada sesuatu yang dianggapnya
sedemikian pentingnya sehingga ia harus berbicara bersungguh-sungguh.
Ketika kemudian putrinya muncul dari
balik pintu, Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Duduklah Ken Dedes, di mana Mahisa Agni? Hampir aku mengantuk
menunggumu di sini.”
Ken Dedes adalah gadis yang manja.
Ayahnya itu pun suka pula bergurau. Namun kali ini tampaklah wajahnya
bersungguh-sungguh. Hening. Namun sepi.
Karena itu, Ken Dedes pun tidak berani
bersikap manja seperti sikapnya sehari-hari. Dengan wajah tunduk ia pun
segera duduk di muka ayahnya.
“Di mana Agni?” ayahnya bertanya.
“Di dapur Ayah,” jawab Ken Dedes, “baru saya Kakang Agni selesai makan.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. “Biarlah kita tunggu,” katanya.
Ken Dedes menjadi semakin
berdebar-debar. Apakah persoalan itu penting sekali? Meskipun demikian
ia sudah dapat meraba-raba. Pasti ayahnya akan bertanya kepadanya,
hubungan apakah yang pernah dilakukan dengan Kuda Sempana. Dan Ayahnya
itu akan menjadikan Mahisa Agni sebagai saksi.
Sesaat kemudian Agni pun datang pula.
Langsung ia duduk di atas tikar pandan itu. Seperti Ken Dedes, dada anak
muda itu pun berdebar-debar pula.
Setelah keduanya duduk beberapa saat,
berkatalah Empu Purwa, “Mahisa Agni dan Ken Dedes. Aku sangka kalian
menduga-duga di dalam hati, persoalan yang agak bersungguh-sungguh ini.
Namun aku rasa kalian telah menemukan jawabannya”
Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Belum
Bapa. Sewaktu Bapa minta aku datang sampai pada saat ini, tak ada yang
dapat aku kira-kirakan.
Empu Purwa tersenyum. Dipandanginya anak gadisnya. Kemudian katanya, “Benarkah begitu Ken Dedes?”
Ken Dedes mengangguk.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Aku menyesal bahwa peristiwa pagi tadi harus terjadi.
Dengan demikian keluarga kita akan menjadi buah percakapan.”
Ken Dedes pun menjadi semakin tunduk.
Perkataan ayahnya itu mengingatkannya kepada berbagai perasaannya yang
bercampur baur. Malu, sedih, takut dan segala macam, Karena itu,
tiba-tiba terasa air matanya mengambang di pelupuk matanya yang masih
bendul.
Ketika Empu Purwa melihat anaknya
bersedih, cepat-cepat ia meneruskan, “Tetapi itu bukan salahmu, Anakku.
Banyak saksi-saksi yang berkata demikian. Dan aku pun tak
menyalahkanmu.”
Justru karena kata-kata itu, air mata Ken Dedes menjadi semakin banyak, dan kemudian setetes demi setetes membasahi pangkuannya,
“Jangan menangis,” sambung ayahnya, “aku belum selesai. Bahkan aku belum sampai kepada persoalannya.”
Ketika Empu Purwa diam sejenak maka
pringgitan itu menjadi sepi. Di kejauhan terdengar bunyi jangkrik
sahut-menyahut dengan siul angkup nangka dihembus angin. Ngelangut.
Nyala lampu di dapur pun telah padam.
Tak terdengar lagi suara cantrik dan endang yang lagi bergurau,
Padepokan Empu Purwa telah mulai lelap tertidur.
“Ken Dedes,” suara Empu Purwa lirih,
namun dalam malam yang sepi itu terdengar jelas kata demi kata, “kalau
kau sekali-sekali becermin di belumbang di samping rumah kita ini, kau
akan sempat memperhatikan dirimu. Telah hampir dua puluh tahun kau
menikmati sinar matahari, Karena itu, sadari anakku, kau telah menginjak
masa dewasa.”
Wajah Ken Dedes yang tunduk itu menjadi
semakin tunduk. Sebagai searang gadis remaja Ken Dedes sudah merasakan,
betapa sesuatu selalu bergolak di dalam dadanya. Banyaklah keinginan-
keinginan yang tak dimengertinya sendiri Kadang-kadang timbullah
nafsunya untuk selalu menghias diri. Tiba-tiba gadis itu menjadi malu.
Apakah ayahnya sering melihatnya becermin di wajah air kolam yang tenang
diam itu?
Bahkan pernah gadis itu melempari angsa
dengan batu ketika tiba-tiba saja angsa itu menggoyang-goyang permukaan
air selagi ia becermin. Apalagi ketika terasa perubahan-perubahan yang
terjadi pada wadagnya, ketika tubuhnya mekar seperti bunga yang sedang
kembang. Dan sekarang jawaban atau persoalan-persoalan yang tak
dimengertinya itu didengarnya dari ayahnya. Ken Dedes sudah dewasa.
“Karena itu, Anakku,” terdengar ayahnya
berkata pula, “banyaklah persoalan-persoalan yang akan timbul karenanya,
karena kedewasaanmu itu.”
Kembali Empu Purwa berhenti. Ditatapnya
wajah anaknya yang tunduk. Orang tua itu ingin mengetahui. apakah yang
terasa di hati anak gadisnya.
Ken Dedes diam seperti patung. Hanya
sekali-kali terdengar isaknya. Dan sekali-kali pula ia mengusap
hidungnya dengan ujung kainnya.
“Tetapi kau jangan cemas anakku,”
sambung ayahnya, “persoalan-persoalan yang timbul karena kedewasaanmu
adalah persoalan-persoalan yang wajar, yang pasti akan timbul pula pada
orang-orang lain. Sebab setiap orang pada dasarnya akan mengalami
persoalan yang sama. Setelah ia menjadi dewasa maka akan dilampauinya
suatu masa yang penting dalam hidup ini.”
Mahisa Agni pun masih duduk tepekur.
Namun terasa seakan-akan jantungnya berdentang-dentang. Orang tua itu
berbicara terlalu lambat baginya. Ia ingin Empu Purwa berkata langsung
sampai ke ujungnya, untuk mengurangi ketegangan di hatinya. Tetapi
agaknya Empu Purwa ingin berhati-hati sehingga kata-katanya tidak akan
menyinggung perasaan anaknya.
“Ken Dedes,” berkata orang tua itu,
“setelah kau menyadari keadaanmu, maka apa yang terjadi pagi tadi adalah
persoalan yang wajar. Hanya bentuknyalah yang berbeda-beda bagi setiap
gadis. Ada yang langsung mengalami masa baik, namun ada pula yang
pernah melewati kesulitan-kesulitan yang panjang. Bahkan bagi mereka
yang tak beruntung, masa ini dilampauinya dengan melangkah bencana.
Karena itu anakku. Selagi bencana yang tak dikehendaki itu datang, aku
ingin memberi tahukan kepadamu, bahwa sebenarnyalah hal ini pernah
terjadi, namun aku belum pernah menyampaikan kepadamu. Sejak beberapa
minggu yang lampau telah datang berturut-turut kepadaku beberapa orang
dengan upacara yang tak kau mengerti maknanya. Yang pasti, hanya kau
sangka upacara-upacara keagamaan biasa. Namun ketahuilah anakku, mereka
adalah utusan-utusan yang datang untuk menanyakan, apakah Ken Dedes
telah cukup waktunya untuk meninggalkan masa remajanya.”
Ken Dedes berdesir mendengar kata-kata
ayahnya itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa hal itu pernah
terjadi. Dan kini ia mengerti, bahwa beberapa anak muda pernah datang
melamarnya.
Karena itu maka terasa jantungnya
semakin berdebar-debar. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah dan Ken Dedes
menahan hatinya dengan menggigit bibirnya.
Mahisa Agni menarik nafas
panjang-panjang. Belum pernah ia mendengar dari siapa pun bahwa hal itu
pernah terjadi. Dan tiba-tiba saja ia ingin benar mengetahui, siapa
sajakah yang pernah datang kepada gurunya untuk melamar gadis itu.
Tetapi ia tak sampai hati untuk bertanya. Karena itu Mahisa Agni menjadi
gelisah,
“Ken Dedes,” berkata Empu Purwa seterusnya, “aku adalah ayahmu. Karena itu aku wenang untuk menolak atau menerima lamaran itu.”
Mahisa Agni menjadi bertambah gelisah. Dan Ken Dedes pun menjadi gelisah pula, sehingga tak disengajanya ia menggeser duduknya.
Tetapi ayahnya meneruskan, “Anakku.
Adalah suatu kesulitan bagiku untuk menentukan pilihan dari sekian
lamaran-lamaran yang pernah aku terima. Seandainya, ya, seandainya kau
dilahirkan sebagai putri seorang raja atau setidak-tidaknya putri
seorang akuwu, maka aku dapat mendirikan sayembara untukmu. Sayembara
tanding atau sayembara ketangkasan. Tetapi kau tidak lebih dari seorang
anak pendeta yang hidup di pedukuhan yang terpencil. Kau tidak lebih
dari anak seorang kecil yang miskin. Karena itu anakku, aku tak akan
pantas untuk membuat sayembara apa pun.”
Kembali orang tua itu berhenti. Dan
kembali ruangan itu dicengkam kesepian. Hanya detak jantung Mahisa Agni
dan Ken Dedeslah yang serasa terdengar berdentingan di dalam dada
mereka.
Karena itu ketika Empu Purwa meneruskan
kata-katanya maka perhatian kedua anak muda itu tercurah seluruhnya
kepada setiap kata yang mereka dengar, “Meskipun demikian, Anakku. Masa
depanmu adalah di tanganmu. Karena itu, meskipun aku tidak mengadakan
sayembara terbuka, aku mengenal satu bentuk sayembara yang dapat aku
selenggarakan. Tetapi sudah pasti, aku tidak akan mengumumkannya kepada
siapa pun juga, sebab dengan demikian maka akan berteriaklah segenap
tetangga kita dengan tawa mereka yang asam. Empu Purwa tidak berpijak di
atas buminya, dan merasa dirinya terlalu besar. Karena itu anakku,
akan aku selenggarakan sayembara ini dengan diam-diam”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
tidak mengerti kata-kata gurunya. Bagaimana mungkin sayembara dapat
diselenggarakan dengan diam-diam. Bukankah sayembara itu diselenggarakan
untuk diikuti oleh mereka yang mengetahui dan dengan penuh kesadaran
akan tujuan sayembara itu. Karena itu maka Mahisa Agni menjadi semakin
berminat kepada setiap kata yang akan didengarnya
“Adapun bentuk sayembara itu, Anakku,” Empu Purwa berkata seterusnya, “adalah sayembara pilih.”
“Sayembara pilih?” Mahisa Agni bergumam.
“Sayembara ini,” kata orang tua itu,
“sering terjadi pula untuk putri-putri luhur. Sayembara semacam ini
biasanya diselenggarakan di tempat-tempat terbuka. Putri yang
diperebutkan itu berada di menara, sedang para pengikut berjalan
berturut-turut di bawah menara itu. Siapa yang menerima selendang putri
itu, ialah yang terpilih dan memenangkan sayembara.”
Malam yang sepi menjadi semakin sepi.
Yang terdengar kini adalah angin malam yang lembut membelai daun-daun
pepohonan yang sedang tertidur nyenyak. Gemeresik seperti suara orang
berbisik-bisik.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. “Adil,” serunya di dalam hati.
Himpitan ketegangan di hati Ken Dedes
pun tiba-tiba serasa berguguran. Sejak semula ia mendengarkan kata-kata
ayahnya dengan penuh kecemasan. Mula-mula ia menyangka bahwa ayahnya
akan menyebut untuknya sebuah nama dari nama-nama mereka yang datang
melamarnya. Apabila demikian, Ken Dedes memejamkan matanya. Ia tak tahu,
apakah yang terjadi dengan dirinya. Dan tiba-tiba disadarinya bahwa ia
pasti akan keberatan seandainya ayahnya menerima baginya siapa pun
dari mereka.
Ken Dedes menjadi malu sendiri.
Seakan-akan ayahnya dapat membaca setiap perasaan yang bergolak di dalam
dadanya. Apalagi ketika ayahnya meneruskan, “Tetapi Ken Dedes. Aku
tidak akan dapat menyelenggarakan sayembara pilih yang demikian itu. Aku
tidak akan membuat untukmu sebuah menara, dan di bawah menara itu
beberapa orang satria berkuda dengan pakaian yang indah-indah lewat
berturut-turut dengan penuh harapan untuk menerima kemurahan hatimu.
Tidak, Anakku. Yang akan aku selenggarakan adalah sebuah sayembara pilih
yang sederhana sekali. Dengarlah baik-baik Ken Dedes. Apabila
diperkenankan oleh Yang Maha Agung, maka menilik tata lahir yang
kasatmata, engkau masih akan menempuh suatu masa yang panjang. Karena
itu masa-masa itu harus kau lewati dengan gairah dan ketenteraman. Maka
adalah menjadi kewajibanmu untuk ikut serta menentukannya sendiri masa
depan itu, meskipun aku tak akan melepaskan tanganku.”
Empu Purwa berhenti sejenak. Dan Ken
Dedes pun menjadi gelisah kembali. Yang terdengar kemudian adalah
kata-kata Empu Purwa pula, “Anakku, supaya tak terulang peristiwa yang
tidak aku ingini dan tentu saja kalian juga, maka sudah sampai saatnya
kini, kau menentukan pilihan.”
Wajah Ken Dedes yang kemerah-merahan
menjadi panas. Terasa seluruh bulu-bulu tubuhnya meremang. Kata-kata itu
sudah diduganya. Namun ketika diucapkan juga oleh ayahnya, perasaannya
tersentuh pula. Untuk sesaat Ken Dedes menjadi bingung. Tak tahu apa
yang akan dilakukan. Hanya tiba-tiba saja, tanpa sesadarnya ia
mengerling kepada Mahisa Agni. Namun dilihatnya pemuda itu tunduk kaku.
Tetapi wajah itu kemudian menengadah ketika terdengar Empu Purwa
berkata, “Nah Ken Dedes, dapatkah kini sayembara pilih yang sederhana
ini kita mulai?”
Ken Dedes tidak menjawab. Namun desir di
jantungnya serasa semakin tajam menggores. Dan ia menjadi semakin
gelisah. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi tak sepatah
kata pun dapat diucapkan.
Karena Ken Dedes tidak menjawab, maka
berkatalah Empu Purwa, “Biarlah kau berapa dalam keadaanmu, seorang
gadis yang harus memilih satu di antara beberapa anak muda. Dan biarlah
aku menyebut nama-nama itu. Kalau nama itu berkenan di hatimu, Anakku,
maka aku harap kau menganggukkan kepalamu, supaya aku segera dapat
menjawab kepada orang-orang tua mereka.”
Ken Dedes menjadi bertambah bingung
karenanya. Sekali lagi tanpa disadarinya, gadis menatap wajah Mahisa
Agni. Namun Mahisa Agni itu telah menundukkan wajahnya kembali.
“Dengarlah nama itu baik-baik, Ken
Dedes,” berkata ayahnya, “kalau pada suatu saat kau menganggukkan kepala
mu, biarlah Mahisa Agni menjadi saksi.”
Tetapi mulut Ken Dedes terbungkam. Dan
ayahnya pun tidak memaksanya untuk menjawab Gadis itu hanya dimintanya
menganggukkan kepalanya, apabila telah jatuh pilihannya.
“Yang pertama,” berkata Empu Purwa. Ken Dedes menjadi bertambah bingung. Bahkan Mahisa Agni pun menjadi sangat gelisah.
“Seorang anak muda yang kaya, putra Buyut Tatrampak, Namanya Jumna. Bukankah anak muda itu pernah kau kenal?”
Wajah Ken Dedes masih terpaku pada
anyaman tikar pandan tempat duduknya. Dan ia sama sekali tidak
menggerakkan kepalanya. Meskipun anak muda itu tampan dan gagah, namun
sama sekali tak terlintas di kepala Ken Dedes, bahwa pada suatu saat ia
akan hidup bersamanya.
Empu Purwa menarik nafas. Tampaklah
kerut keningnya, “Baiklah. Kau tak menghendakinya,” gumamnya, “Sekarang,
dengarlah. Orang kedua. Kau pasti telah mengenalnya. Putra, pamanmu
Paniat. Saudagar yang terkenal sampai ke daerah Tumapel. Bukankah anak
itu kawan bermain Mahisa Agni? Namanya Pandaya.”
Mahisa Agni mengangguk kosong. Setiap
nama yang disebut gurunya, serasa sebuah goresan, di dadanya. Dua luka
telah menganga. Jumna dan yang kedua, Pandaya. Dengan tegang, Mahisa
Agni menatap wajah Ken Dedes yang tepekur. Sesaat ia menunggu, dan Ken
Dedes tetap mematung.
Empu Purwa lah yang kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian disebutnya anak muda yang
ketiga, Mahendra, seorang anak muda dari Tumapel, putra sahabat Empu
Purwa. Ken Dedes belum pernah mengenal anak muda itu, sehingga nama itu
sama sekali tak menarik perhatiannya.
Nama-nama berikutnya adalah Lembu
Santan, Jumerut dan Galung Paran. Namun seperti Mahendra, nama-nama itu
baru didengarnya kali ini, sehingga dengan demikian, jangankan
mengangguk, bahkan Ken Dedes menjadi jemu dan penat oleh ketegangan yang
menekannya. Sedang Mahisa Agni pun tak kalah tegangnya. Setiap kali
anak muda itu menarik nafas panjang, dan setiap Empu Purwa menyebut nama
yang lain, keningnya tampak berkerut.
Empu Purwa tak dapat melepaskan
tangkapan perasaan Mahisa Agni, namun ia masih akan menyebut satu nama
lagi, katanya, “Ken Dedes, nama ini, adalah nama yang terakhir. Terserah
kepada keputusanmu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa kini sedang
berlangsung sebuah sayembara? Akulah pengganti dari setiap pemuda yang
datang berturut-turut di bawah menaramu. Nah, dengarlah nama ini. Putra
sahabatku seorang empu yang bijaksana, ahli membuat senjata. Beberapa
kali anak muda itu pernah berkunjung kemari bersama ayahnya. Nama anak
itu Wajastra. Bukankah anak itu pernah kau kenali?”
“Wajastra?” nama itu diulang oleh Mahisa Agni di dalam hatinya. Nama yang baik dan anak muda itu pun baik pula kepadanya.
Wajastra adalah seorang pendiam. Seperti
ayahnya, anak muda itu berminat benar pada pekerjaan ayahnya. Dengan
tekun ia pun ikut pula membantu dan bahkan dengan pesatnya ia maju dalam
bidangnya.
Ken Dedes telah mengenal anak muda itu dengan baik, seperti Mahisa Agni mengenalnya.
Mendengar nama itu Mahisa Agni menjadi
tegang. Dan tiba-tiba kecemasan menjalar di dadanya. Ia sadar kini,
bahwa ia mencemaskan Ken Dedes. Diam-diam ia berdoa, mudah-mudahan Ken
Dedes kali ini pun tidak menganggukkan kepalanya.
Sesaat ruangan itu menjadi kaku dan
tegang. Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes dengan tajamnya,
seakan-akan kedua tangannya akan terjulur dan menahan kepala itu supaya
tidak bergerak. Sedang Empu Purwa masih duduk sambil melipat tangannya.
Orang tua itu pun memandangi putrinya dengan baik.
Tetapi kali ini pun nama itu tidak dapat
menggerakkan hati Ken Dedes. Karena itulah maka kepalanya pun tidak
bergerak pula. Meskipun Empu Purwa menunggunya beberapa saat. Namun Ken
Dedes itu sama sekali tidak mengangguk.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Dan terdengarlah ia berkata, “Anakku, sayembara pilih itu kini sudah
selesai. Namun tak seorang pun yang dapat memenangkan sayembara ini.
Karena itu, anakku, masalah ini, masalahmu, masih belum dapat
dipecahkan. Aku tidak tahu, apa yang tersimpan di dalam dadamu. Namun
demikian, adalah menjadi harapanku, apabila Ken Dedes segera menentukan
pilihan. Nah, kalau demikian, biarlah aku menunggu beberapa lama lagi,
tetapi tidak terlalu lama. Mudah-mudahan sepanjang waktu itu,aku akan
mendengar, bahwa salah seorang anak muda akan dapat menggerakkan
hatimu.”
Ken Dedes menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Ia tahu benar, betapa ayahnya mencemaskan nasibnya. Apabila
masalahnya itu akan berkepanjangan, maka orang tuanya pasti akan
bersedih. Tetapi, di dalam hatinya Ken Dedes merasa, betapa besar
kesempatan yang telah diberikan oleh ayahnya itu kepadanya, sehingga ia
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendiriannya. Tidak seperti
beberapa orang ayah yang lain, yang dengan serta-merta menentukan jodoh
anaknya tanpa setahu anak itu sendiri. Karena itu, betapa besar rasa
terima kasih itu menggores di hatinya, sehingga tiba-tiba terasa bahwa
memang sudah seharusnya ia membantu ayahnya segera. Tetapi sebagai
seorang gadis, Ken Dedes tidak dapat berbuat banyak.
Sebenarnyalah, di dalam dada Ken Dedes
telah terukir sebuah nama. Nama yang telah dikenalnya baik-baik, yang
telah disebutnya beratus, bahkan beribu kali. Tetapi alangkah kecewanya,
ketika ayahnya menyebutkan sekian nama yang telah melamarnya, namun
nama itu tak tersebutkan. Karena itu,maka tak sebuah nama pun yang
menarik minatnya. Ia menunggu nama yang telah tersimpan di hatinya.
Namun ia menunggu sampai nama yang terakhir. Dan ia masih harus menunggu
lagi.
”Sampai kapan?” desahnya di dalam hati.
Ken Dedes pun kemudian menjadi cemas. Kalau anak muda itu tidak segera
datang kepada ayahnya, maka jangan-jangan ayahnya akan kehabisan
kesabaran. Dan dipaksanya ia memilih satu di antara mereka. Dan di
antara mereka itu tak ada nama yang diharapkannya.
Sebagai seorang gadis, adalah tidak
mungkin baginya, untuk meminta ayahnya justru datang kepada pemuda itu.
Memintanya untuk menjadi menantunya. Dengan demikian tidak saja ayahnya
akan mendapat aib, namun dirinya pun demikian.
Ken Dedes masih menundukkan wajahnya,
Bahkan kini tubuhnya seakan-akan menjadi kejang. Tak berani ia
menggerakkan, meskipun hanya ujung jarinya. Dan gadis itu tidak berani
pula mengerling lagi kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni pun kemudian menekurkan
kepalanya, Namun terasa kini dadanya telah menjadi lapang kembali. Kini
ia tidak akan dapat mengingkari dirinya sendiri. Selama ini ia telah
dicengkam oleh ketakutan. Sebagai seorang laki-laki, Agni tidak pernah
merasa ngeri menghadapi setiap persoalan. Namun tiba-tiba ia merasa
ngeri mendengar beberapa nama disebut oleh gurunya.
Akhirnya Mahisa Agni sampai pada suatu
kesimpulan, meskipun selama ini ia telah mencoba untuk
menyembunyikannya. Ken Dedes baginya, bukanlah sekedar putri gurunya,
atau gadis yang menganggapnya seorang kakak saja. Lebih daripada itu.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan? Kini
ia sudah tidak berayah dan tidak beribu. Tak ada orang yang dapat
dimintanya untuk datang kepada gurunya dengan upacara, sebagai lazimnya.
Tak ada orang yang akan menempelkan namanya pada deretan nama-nama
yang pada suatu saat akan disebut oleh gurunya, seperti nama-nama
anak-anak muda yang lain. Jumna, Pandaya, Mahendra dan sebagainya. Dan
tiba-tiba Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya. Tak pernah hal yang
demikian itu dipikirkannya dahulu. Sepeninggal ayah dan ibunya, Agni
telah mencoba melupakannya dan meletakkan dirinya dengan tawakal dalam
asuhan Empu Purwa yang menerimanya sebagai seorang murid. Tetapi kini,
tiba-tiba timbullah suatu persoalan. Persoalan yang rumit baginya.
Empu Purwa melihat kedua anak muda yang
duduk, di hadapannya itu. Agaknya perasaan mereka selama ini menjadi
tegang dan penat. Karena itu katanya, “Nah, Ken Dedes. Keperluanku hari
ini telah selesai. Namun persoalannya yang belum selesai. Ingatlah
bahwa banyak persoalan yang dapat terjadi. Susul menyusul. Karena itu
jangan menunggu sehingga persoalan-persoalan itu menjadi bertambah
banyak dan rumit. Sekarang kalian berdua, beristirahatlah.”
Ken Dedes mengangguk. Izin itulah yang
ditunggu-tunggunya setelah sekian lama ia harus menahan hati.
Perlahan-lahan ia bangkit, dan kemudian ditinggalkannya ruangan yang
serasa menyesakkan nafasnya itu.
Mahisa Agni pun kemudian mohon diri. Ingin ia duduk di halaman di belakang untuk melapangkan dadanya.
Empu Purwa melibat anak muda itu
berjalan keluar pintu dengan langkah yang pasti dan tenang. Langkah
seorang laki-laki yang menyimpan berbagai ilmu di dalam dirinya. Ilmu
yang bermanfaat bagi tubuh dan jiwanya.
Sejak hari itu, para cantrik dan endang
dari padepokan Empu Purwa melihat beberapa perubahan dalam tata
pergaulan di dalam padepokan mereka. Meskipun Empu Purwa sendiri tidak
pernah mengubah sikapnya kepada siapa pun juga. Namun Ken Dedes dan
Mahisa Agni tidak demikian.
Tak seorang pun dari para cantrik dan
endang yang mengetahui, apakah sebabnya. Namun yang mereka lihat, Ken
Dedes tiba-tiba saja telah berganti sikap. Meskipun sifat kemanjaannya
belum lagi dapat ditinggalkannya, tetapi ia tidak lagi bersifat terlalu
kekanak-kanakan. Bahkan gadis itu menjadi lebih banyak tinggal di dalam
biliknya dan mengurung diri. Yang aneh bagi para pemomongnya, putri
Empu Purwa itu kadang-kadang menjadi bersedih tanpa sebab. Malahan
gadis itu kadang-kadang menangis di tengah malam.
Empu Purwa pun melihat perubahan itu.
Namun tak pernah ia bertanya. Sebab orang tua itu tahu pasti, mengapa
anaknya menjadi demikian.
Sedang Mahisa Agni pun kemudian menjadi
perenung. Anak muda yang rajin itu, kini, apabila pekerjaannya telah
selesai, lebih senang duduk seorang diri di halaman belakang, atau di
tepi kolam. Hanya kadang-kadang saja, Agni masih memerlukan pergi kepada
sahabatnya, putra Buyut Panawijen, Wiraprana. Tetapi Wiraprana sendiri
tak pernah memperhatikan perubahan itu. Karena itu, setelah tubuhnya
kuat kembali, maka diulangnya kebiasaannya dahulu. Hampir setiap hari ia
berkunjung ke rumah Empu Purwa. Bermain-main dengan Mahisa Agni. Maka
apabila anak itu datang, Mahisa Agni terpaksa menerimanya seperti
biasa. Bermain seperti biasa dan bekerja di sawah bersama seperti
biasa. Ke bendungan dan mengairi sawah di malam hari. Tetapi apabila
anak itu pergi, kembali Mahisa Agni menyepikan dirinya. Namun dengan
demikian, anak muda itu menjadi semakin tekun dengan ilmunya. Lahir
maupun batin.
Tetapi, akhirnya Agni sadar, bahwa
perasaan yang bergelut di dalam dirinya, bahwa keadaan yang dialaminya
itu, tak akan dapat selesai dengan sendirinya. Kegelisahan dan keadaan
yang tak menentu itu harus segera diakhiri. Namun bagaimana
mengakhirinya.
Itulah sebabnya Mahisa Agni semakin
bertambah murung. Terasa jarak yang menabiri antara dirinya dan Ken
Dedes menjadi bertambah luas. Gadis itu kini jarang benar dapat
ditemuinya. Hanya kadang-kadang ia melihat dari mata gadis itu sebuah
ucapan yang tak dimengertinya. Namun benar-benar terasa di dalam
hatinya, Ken Dedes ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Dan karena itu
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah.
Di saat-saat yang sepi, selalu datang
kembali ingatan tentang ayah bundanya yang hampir tak dapat diingatnya
lagi. Meskipun kepergian orang tuanya itu telah diikhlaskannya, namun
dalam kesempitan keadaan seperti keadaannya kini, Mahisa Agni berulang
kali menyebut namanya. Tetapi anak itu sadar, bahwa ayah dan bundanya
itu, sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu untuknya.
Ketika langit bersih, dan bulan
mengapung di udara, Mahisa Agni mencoba mencari ketenangan di luar
biliknya. Seperti biasa anak muda itu duduk di atas batu hitam di sudut
pertamanan. Dalam malam yang sepi, di taburan warna cahaya bulan yang
kekuning-kuningan, dipandangnya malam yang suram dengan hati yang suram.
Bunga-bunga yang beraneka warna. Daun-daun dan batang-batang perdu
yang ditanamnya berpetak-petak. Namun semuanya tak menyegarkan hatinya.
Yang tampil di hatinya, adalah kegelisahan dan kecemasan.
Tetapi Agni itu tiba-tiba mengangkat
wajahnya. Bulan yang kuning itu seakan-akan menjadi cerah seperti
hatinya. Perlahan-lahan bibirnya tergerak. Agni tersenyum sendiri. Ia
puas dengan penemuannya. Di dalam hatinya yang sepi itu, tiba-tiba saja
tampil sebuah nama yang hampir dilupakannya. Pamannya. Bukankah
pamannya itu dapat dimintanya untuk mengganti ayah bundanya?”
“Empu Gandring,” desisnya, “kenapa aku melupakan paman itu?”
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum.
Seakan-akan jalan yang terbentang di hadapannya adalah sebuah jalan yang
lurus dan licin. Direka-rekanya di dalam angan-angannya, besok atau
lusa ia akan mohon izin dari gurunya untuk menengok pamannya di
Lulumbang. Dan dua hari kemudian ia akan kembali beserta pamannya. Tidak
berdua saja, tetapi dengan beberapa orang membawa sebuah upacara.
Pamannya akan melamar Ken Dedes untuknya.
Tetapi tiba-tiba pula, kecemasannya
tumbuh kembali. Apakah gurunya akan mengizinkannya untuk berbuat
demikian. Bukankah Empu Purwa telah menganggapnya sebagai anak sendiri,
sebagai saudara tua Ken Dedes.
“Alangkah malangnya nasib ini, apabila
terjadi demikian,” gumamnya. Namun ia masih mencoba menghibur diri,
“Bukankah aku berhak ikut serta dalam sayembara pilih itu,” bisiknya
kepada diri sendiri.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba di matanya, bunga-bunga di pertamanannya itu
menjadi bertambah asri. Bunga kaca piring di tengah-tengah pertamanan
itu menebarkan bau yang harum tajam. Terasa di bahu Agni yang telanjang,
angin menyapu kulitnya perlahan-lahan. Sejuk.
Dalam kesejukan angan-angan yang penuh
harapan itu, Mahisa Agni kemudian berdiri dan berjalan perlahan-lahan
mengambil serulingnya di amben bambu di teritisan. Dengan tenangnya anak
muda itu duduk bersandar dinding dan kedua tangannya melekat pada
lubang-lubang serulingnya. Dengan hati yang lapang, Mahisa Agni
melekatkan seruling itu di bibirnya. Maka mengalunlah lagu yang sejuk
merdu. Lagu yang menggambarkan gairah cinta manusia. Cinta yang luhur
dan suci, seperti cinta Ratih dan Kama. Demikianlah nada kasih itu
membakar jiwa Agni dan malam itu pun dihangatkannya dengan kesyahduan
lagunya.
Beberapa orang cantrik menjadi terbangun
karenanya. Mereka seakan-akan mendengar bunyi gamelan lokananta di atas
langit yang dibunyikan oleh dewa-dewa. Sedang para endang yang
mendengar lagu itu, tersenyum-senyum di antara kesadaran dan mimpinya.
Didengarnya lagu yang syahdu itu lewat telinganya, namun dilihatnya di
dalam mimpinya Arjuna sedang tersenyum kepadanya. Dan ketika mereka
terbangun oleh gigitan nyamuk, maka mereka menjadi kecewa. Namun lagu
yang merdu itu masih didengarnya.
“Siapa?” bisik salah seorang dari mereka.
“Mahisa Agni. Siapa lagi?” jawab yang
lain. Namun serentak mereka memandang warana yang memagari ruangan itu
dengan pintu bilik Ken Dedes.
Endang itu pun kemudian saling
berpandangan. Terdengar salah seorang berbisik, “Alangkah bahagianya Ken
Dedes mendengar lagu itu.”
Para endang itu pun tertawa lirih.
Dan lagu itu masih menyusup lewat
lubang-lubang dinding, membuaikan mereka yang terkantuk-kantuk. Para
endang itu pun kemudian kembali menguap dan tertidur dengan senyum di
bibir mereka. Dan kembali pula mereka bermimpi indah.
Di belakang pintu bilik di sebelah
warana itu Ken Dedes mendengar pula lagu yang hening namun penuh gairah
atas masa depan yang gemilang. Gadis itu pun segera mengetahuinya bahwa
yang meniup seruling itu adalah Mahisa Agni. Dan karena lagu itu pula
hatinya bergetaran.
“Kenapa lagu itu?” desahnya di dalam hati, “apakah Kakang Agni tahu, apa yang tersimpan di dalam dadaku?”
Gadis itu pun kemudian berangan-angan di
antara oleh kesyahduan lagu Mahisa Agni. Sebagai seorang gadis, maka
Ken Dedes pun merindukan kasih dan kebahagiaan di masa depan.
Diangan-angankannya suatu masa yang mesra dalam perjalanan hidupnya.
Namun sebagai seorang gadis yang tahu
akan harga dirinya, maka gairah yang membakar dadanya itu pun
disimpannya di dalam hati. Tetapi sejak ayahnya memanggilnya bersama
Agni, sejak ayahnya menyebut beberapa nama untuknya, maka api yang
menyala di dalam dadanya itu menjadi semakin berkobar-kobar. Berbagai
perasaan telah bergulat di dalam dirinya. Takut, cemas namun tak dapat
ia berbuat banyak. Ingin ia berlari-lari kepada ayahnya, dan dengan
manjanya memeluk pinggangnya sambil berkata, “Ayah, aku telah jatuh
cinta kepada seorang anak muda. Tolong Ayah katakan kepadanya, supaya ia
segera datang melamar.”
“Tidak. Tidak,” desisnya.
Ia dapat berbuat demikian, apabila gadis
itu ingin sehelai kain tenun yang baru, atau subang bermata berlian.
Dan ayahnya selalu akan berkata, “Jangan ribut Ken Dedes. Besok biarlah
ayah belikan.”
Dan kalau ayahnya tidak mampu untuk
membelinya ayahnya selalu menghiburnya, “Mintalah yang lain anakku,
mintalah yang ayah mampu mengadakannya.”
Tetapi tidak demikian dengan seorang kekasih. Mungkin seorang pemuda dapat berbuat demikian. Tetapi tidak bagi seorang gadis.
Apabila kemudian para endang tertidur
dengan nyamannya, maka sebaliknya dengan Ken Dedes. Lagu itu telah
menggelitik hatinya, sehingga bahkan ia bertambah gelisah. Ketika di
luar biliknya, telah menjadi sepi, maka Ken Dedes justru bangkit dari
pembaringannya. Perlahan-lahan ia menjengukkan kepalanya dan memanggil
lirih, “Endang.”
Tak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi, namun sepi
“Mereka telah tertidur,” desis Ken Dedes.
Gadis yang gelisah itu, dengan hati-hati
melangkah di antara para endang yang tertidur nyenyak. Perlahan-lahan
sekali supaya mereka tidak terbangun. Ken Dedes sendiri tidak tahu,
mengapa ia bangun dan ke mana ia akan pergi. Tetapi ketika telah
dilangkahinya tlundak pintu terasa perasaannya makin gelisah.
Ken Dedes berjalan selangkah demi
selangkah, menyusuri jalan- jalan sempit di halaman. Angin yang silir,
mengalir lembut dan bermain-main dengan rambutnya yang terurai di
punggungnya.
Tanpa sesadarnya, Ken Dedes berjalan ke
arah suara lagu yang beralun di antara daun-daun perdu pertamanan. Dan
tiba-tiba saja gadis itu terkejut ketika suara lagu itu terhenti.
Mahisa Agni melihat Ken Dedes datang ke
arahnya. Karena itu pemuda itu menjadi berdebar-debar. Tak disangkanya,
bahwa di malam yang telah lama lelap itu, Ken Dedes akan datang
menghampirinya. Karena itu, maka anak muda itu menjadi gugup, dan
hilanglah nada-nada lagunya dari kepalanya, sehingga akhirnya ia
berhenti.
Langkah Ken Dedes pun terhenti pula.
Gadis itu pun kemudian melihat Mahisa Agni duduk di teritisan. Sesaat ia
menjadi bimbang. Tetapi gadis itu tidak melangkah kembali. Bahkan
dihampirinya Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Perasaan yang belum pernah terjadi padanya. Ken Dedes
telah bertahun-tahun tinggal sehalaman dengan anak muda itu. Setiap hari
mereka bertemu, bercakap, bergurau. Tak pernah Agni berdebar
karenanya. Tetapi kali ini perasaannya menjadi lain.
Mahisa Agni masih berdiam diri ketika Ken Dedes kemudian duduk di sampingnya, di amben bambu itu.
Sesaat mereka saling membisu. Hanya
nafas Mahisa Agnilah yang terdengar berkejaran. Sehingga ia tak dapat
lagi menyapa putri gurunya.
Ken Dedeslah yang mula-mula berkata.
Namun suaranya benar-benar telah mencerminkan kedewasaannya, “Lagumu
indah, Kakang,” katanya.
Agni berdesir mendengar pujian itu.
Pujian yang jauh lebih merdu dari suara serulingnya. jawabnya
terbata-bata, “Tidak Ken Dedes. Aku tidak pandai meniup seruling.”
“Lagumu bercerita tentang kesyahduan cinta,” berkata gadis itu pula.
“Aku tak tahu,” jawab Agni, “demikian saja aku meniup seruling itu. Dan apakah yang terpancar daripadanya?”
“Cinta dan gairah bagi masa depan,” sahut Ken Dedes.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dan untuk
sesaat Ken Dedes pun berdiam diri. Namun tiba-tiba di dalam dada gadis
itu pun tumbuh sebuah persoalan. Persoalan yang lama terpendam di dalam
dadanya. Beberapa waktu yang lalu, putri itu pun telah mengambil
keputusan untuk mengatakan persoalannya kepada Mahisa Agni. Namun ia
menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan menodai namanya. Tetapi ia
tidak akan dapat membiarkan persoalan itu semakin berlarut-larut. Dan
selalu terngiang kembali kata-kata ayahnya, ‘Jangan terlalu lama
anakku’.
Gadis itu pun kemudian menjadi gelisah.
Terdorong oleh keinginannya untuk mengungkapkan perasaan yang menghimpit
dadanya. Namun kemudian yang terloncat dari bibirnya, “Kakang, tiuplah
serulingmu kembali.”
“Tidak, Ken Dedes,” jawab Mahisa Agni.
“Kenapa?” bertanya gadis itu.
Agni menggeleng. “Tak tahu,” desisnya.
Kembali mereka membisu. Angin yang lembut membelai mahkota dan daun-daun bunga.
“Kakang…,” terdengar kemudian suara Ken Dedes lirih tertahan.
Agni tidak menjawab, tetapi hatinya berdesir.
Ken Dedes tidak segera meneruskan
kata-katanya. Matanya yang suram jauh memandang puncak-puncak pepohonan
yang bergoyang-goyang disentuh angin. Dan malam pun bertambah malam.
Gelora yang melanda dada Ken Dedes
menjadi semakin dahsyat. Akhirnya meledak juga kata-katanya, “Kakang,
bukankah kau telah mendegar sendiri, apa yang dikatakan Ayah kepadaku?”
Mahisa Agni mengangguk. Dan terasa tangannya bergetar.
“Bagaimanakah menurut pertimbanganmu, Kakang?” bertanya gadis itu.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.
Bahkan terasa keringat dinginnya mengalir dari segenap lubang-lubang
kulitnya. Sehingga karena anak muda itu diam saja, Ken Dedes
mendesaknya, “Apakah pertimbanganmu Kakang?”
Mahisa Agni menjadi gugup. Namun
dicobanya juga untuk me-nenangkan detak jantungnya. Bahkan kemudian Agni
dapat juga menjawab dengan suara bergetar, “Sebagian terbesar adalah
tergantung padamu sendiri Ken Dedes.”
Seandainya jawaban Mahisa Agni itu
diucapkan beberapa hari yang lalu, serta dalam persoalan yang berbeda,
Ken Dedes pasti akan mencubitnya dan berteriak dengan manjanya, “Buat
apa aku bertanya kepadamu, kepada kakakku, apabila persoalannya akan
diserahkan kembali kepadaku?”
Tetapi kali ini Ken Dedes bersikap lain. Dengan sayunya gadis itu menundukkan wajahnya.
“Ya,” desisnya, “sebagian terbesar adalah tergantung kepadaku.”
Tetapi gadis itu bergumam pula, “Tetapi tidakkah ada orang lain yang dapat menolongku?”
Mahisa Agni mendengar kata-kata itu.
Ingin ia menjawab. Bahkan ingin ia berteriak sambil menepuk dada, “Aku
Ken Dedes, aku yang akan menolongmu.”
Namun kata-kata itu terhenti, tersangkut
di kerongkongan. Dan yang terdengar oleh Ken Dedes adalah, “Adakah
orang lain yang dapat menolongmu?”
Ken Dedes mengangkat wajahnya.
Dipandangnya wajah Agni yang gelisah. Jawaban Agni sama sekali tak
memberinya keyakinan. Dan sekali lagi wajah Ken Dedes terkulai lemah.
Terasa matanya menjadi panas, dan tak disadarinya mata itu pun menjadi
basah.
“Kau sama sekali tidak menjawab
pertanyaanku Kakang,” desah Ken Dedes perlahan-lahan, “Malahan kau
menjadikan aku bertambah bingung.”
Tetapi Mahisa Agnilah yang lebih dahulu
bertambah bingung. Dalam kebingungannya itu, ia mencoba memperbaiki
kesalahannya. Dan tanpa terkendali ia berkata, “Ya. Ya, Ken Dedes. Aku
akan mencoba menolongmu.”
Sekali lagi Ken Dedes memandang wajah
Mahisa Agni. Dan tiba-tiba matanya yang redup menjadi sedikit menyala.
Katanya, “Benarkah Kakang akan menolong aku?”
Mahisa Agni mengangguk, tetapi dadanya bergetar.
Ken Dedes menarik nafas dalam sekali,
Katanya perlahan-lahan sekali, “Aku tidak tahu, apakah Kakang Agni dapat
merasakan perbedaan perasaan antara seorang anak muda dan seorang
gadis. Namun yang aku rasakan Kakang, alangkah rumitnya perjalanan hidup
ini.”
Ken Dedes berhenti sejenak, kemudian meneruskan, “Aku tidak mengeluh
karena aku seorang gadis. Bahkan menurut
Ayah aku harus berbangga, bahwa yang Maha Agung mempercayakan kepadaku
jenisku untuk menurunkan, membesarkan dan mengasuh angkatan yang bakal
datang Tetapi….”
Suara Ken Dedes terputus Dan kembali lehernya terasa tersekat.
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
Ketika Ken Dedes kemudian terisak, maka dengan gelisahnya Mahisa Agni
berdiri dan berjalan hilir mudik. Ingin ia menghibur gadis itu, namun ia
tidak tahu bagaimana melakukannya. Sebab tiba-tiba saja gadis itu
seakan-akan menjadi orang asing baginya.
“Kakang,” desah Ken Dedes, “aku takut
kalau peristiwa di belumbang itu akan terulang kembali, seperti Ayah pun
takut pula. Apalagi kalau pada suatu ketika, tak seorang pun yang
melihat peristiwa semacam itu. Apakah akan jadinya. Karena itu Kakang,
aku tak akan dapat menghindari permintaan Ayah.”
Mahisa Agni berhenti sesaat dan tegak seperti tonggak di hadapan Ken Dedes. Namun mulutnya masih terkunci.
“Tetapi Kakang,” Ken Dedes masih berkata
terus, “di hadapan Ayah, aku tak dapat berbuat sesuatu. Aku hanya dapat
mendengarkan Ayah menyebut nama demi nama. Tetapi aku tak dapat
mengucapkan sebuah nama pun. Tidak. Aku tidak dapat Kakang….”
Tangis Ken Dedes semakin menjadi-jadi.
Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin bingung. Sekali-kali ia memandang
dengan gelisahnya di antara daun-daun pertamanannya. Ia takut kalau ada
seseorang yang melihat mereka.
Akhirnya tangis Ken Dedes itu mereda
sendiri. Patah-patah gadis itu meneruskan, “Kakang, sekarang aku mencoba
datang kepadamu. Aku menyangka bahwa aku akan dapat mengatakan
sesuatu.”
Dada Mahisa Agni pun kemudian menjadi
sesak, seperti terhimpit. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai
perasaannya yang bergolak, sehingga setelah ia berjuang mati-matian,
maka dapatlah ia mengucapkan kata-kata, “Berkatalah Ken Dedes.”
Ken Dedeslah yang kemudian menjadi
gelisah. Kalimat demi kalimat telah disusunnya. Namun kalimat-kalimat
itu seakan-akan tersangkut di dalam dadanya. Sehingga tak sepatah kata
pun yang dapat diucapkan.
Malam pun menjadi semakin tetap. Sehelai
demi sehelai awan hanyut di wajah bulan yang kuning. Seperti buih di
lautan yang biru bersih.
“Tetapi, “terdengar suara Ken Dedes di antara isaknya, “bukankah kau mau menolong aku, Kakang?”
Sekali lagi Ken Dedes ingin meyakinkan.
Dan sekali lagi Mahisa Agni mengangguk dan terloncat jawabannya singkat, “Tentu.”
Tetapi Agni terkejut ketika tangis Ken
Dedes kembali meledak. Dengan kedua telapak tangannya gadis itu menutup
mulutnya seakan-akan takut apabila kata-katanya akan berloncatan
keluar.
Karena itu kembali Mahisa Agni mematung.
Tetapi dengan penuh harapan ia menanti. Namun tak sepatah kata pun yang
didengarnya. Bahkan Agni menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba saja
Ken Dedes berdiri, dan dengan tergesa-gesa ia berlari kembali ke
biliknya.
Mahisa Agni masih berdiri tegak di tempatnya Hanya satu kali terdengar ia memanggil, “Ken Dedes.”
Ketika Ken Dedes tidak berhenti, Mahisa
Agni tidak meng-ulanginya. Ia takut kalau-kalau ada orang lain yang
mendengar panggilannya. Karena itu dengan gelisah dan cemas dipandangnya
gadis putri gurunya itu lenyap di sudut rumah.
Ketika Ken Dedes sudah tidak tampak
lagi, Mahisa Agni mengusap dadanya. Dilepasnya sebuah tarikan nafas yang
panjang sekali. Tetapi ia kecewa. Dari Ken Dedes, ia belum mendengar
apapun tentang dirinya.
Sesaat kemudian, setelah gelora di
dadanya mereda, Mahisa Agni duduk kembali di amben bambu di teritisan.
Bahkan kemudian ia menyesal, kenapa bukan ia sendiri yang mengatakannya
kepada gadis itu.
“Kenapa aku harus menunggu?” pikirnya. Mahisa Agni menggeleng. “Mulutku pun terkunci.” desahnya.
Mahisa Agni kemudian menjadi gelisah
sendiri. Ia menjadi iri hati, kepada pemuda yang terbuka hatinya. Dalam
kesempitan yang demikian pasti tidak perlu lagi berteka-teki. Tetapi
Mahisa Agni, bukanlah pemuda yang demikian. Sejak ayahnya meninggal,
maka ia lebih banyak menyimpan perasaan daripada menyatakannya. Kepada
siapa pun juga. Demikian pula dalam persoalan ini.
Anak muda itu mencoba menghibur hatinya
dengan serulingnya. Tetapi ia tidak mampu lagi meniupnya. Karena itu,
kembali serulingnya diletakkannya. Dan tanpa dikehendakinya, ia berdiri
dan berjalan mondar-mandir di pertamanan itu.
Bulan di langit mengapung dengan
tenangnya. Mahisa Agni me-ngerutkan keningnya ketika dilihatnya sebuah
lingkaran putih di sekeliling bulan itu.
“Bulan berkalang,” gumamnya. Dan
dilihatnya sebuah bintang yang menyala dengan terangnya pada lingkaran
itu. Tidak di dalam, tetapi tidak pula di luar. Namun hati Mahisa Agni
sama sekali tidak tertarik pada bulan, lingkaran dan bintang yang
menyala pada lingkaran itu. Karena itu ia berjalan terus sambil
menunduk, menyusuri jalan-jalan kerikil di halaman rumah itu
Di dalam biliknya, Ken Dedes menjatuhkan
dirinya di pembaringannya. Ditelungkupkannya wajahnya di antara kedua
tangannya yang terlipat. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun tangisnya
meloncat juga. Ketika ia menahannya, maka terdengar isaknya menjadi
semakin keras.
“Nini,” didengarnya suara lirih di depan pintunya.
Cepat-cepat Ken Dedes mengusap matanya. Dan dicobanya menjawab perlahan-lahan, “Tinggalkan aku sendiri.”
“Nini,” terdengar kembali, “bolehkah aku masuk?”
“Pergi,” jawabnya, “aku akan tidur.”
“Tidak,” katanya pula, “kau tidak akan tidur. Kenapa kau menangis?”
Ken Dedes tidak menjawab lagi. Dan
dibiarkannya orang itu masuk. Ken Dedes mengenal orang itu seperti ia
mengenal dirinya sendiri. Seorang perempuan tua yang mengasuhnya sejak
kecil. Apalagi setelah ibunya meninggal .Perempuan itu mengasuhnya
melampaui anak sendiri.
“Kenapa kau bersedih, Nini,” terdengar suara perempuan tua itu sambil duduk bersimpuh di samping amben Ken Dedes.
Tangis Ken Dedes menjadi semakin deras betapapun ia me-nahannya. Dan terdengar di antara isaknya, “Tidak apa-apa, Bibi.”
“Jangan berbohong,” sahut orang tua itu,
yang seakan-akan turut serta menghayati kepedihan hati gadis itu, “aku
mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Aku mengenal tabiatmu seperti aku
melihat matahari. Karena itu, jangan bersembunyi di balik lidi sehelai.
Anakku, aku dapat menduga sebagian besar dari kedudukanmu.”
Sedikit demi sedikit tangis Ken Dedes
mereda. Seakan-akan orang tua itu dapat menjadi kawan berbagi duka.
Perlahan-lahan diangkatnya wajahnya. Dan di antara isaknya ia berkata,
“Kau tahu bibi?”
“Ya,” sahut pengasuhnya itu, “setiap
gadis remaja akan mengalaminya. Aku sudah mendengar apa yang dikatakan
Empu kepadamu dan Angger Mahisa Agni.”
Ken Dedes terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, “Dari manakah kau mendengarnya?”
“Ayahmu berkata kepadaku, embanmu yang tua ini,” sahut perempuan itu.
“Ayah?” bertanya Ken Dedes.
“Ya. Tetapi Ayahmu pun menjadi gelisah,
karena tak seorang pun yang kau kehendaki,” jawab pengasuh itu, “Tetapi
jangan kau sangka, bahwa kami orang-orang tua ini tidak dapat meraba
hati gadisnya.”
“Oh,” Ken Dedes menarik nafas, “apakah yang diketahuinya?”
Orang tua itu diam untuk sesaat.
Ditatapnya gadis itu dengan pandangan lembut. Tangannya yang telah
dipenuhi oleh garis-garis umur itu kemudian dengan mesranya membelai
rambut momongannya. “Jangan menangis anakku,” bisiknya.
Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar
karenanya. Apakah yang diketahui tentang dirinya oleh pengasuh dan
ayahnya. Dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah orang tua itu. Namun
untuk sesaat mereka masih berdiam diri.
Di luar angin masih bermain-main dengan
daun-daun talas dan kelopak-kelopak bunga. Dengan tak disengaja, Mahisa
Agni, lewat melintas di samping bilik Ken Dedes. Ketika ia mendengar
isak gadis itu, ia berhenti. Dan didengarnya kemudian Ken Dedes
bercakap-cakap. Anak muda itu tak kuasa untuk mencegah keinginannya,
mendengarkan percakapan dibalik dinding bilik itu Karena itu, dengan
hati-hati sekali ia melekatkan kepalanya dan mencoba menangkap setiap
kata-kata yang menggetarkan udara malam yang sepi.
“Nini,” terdengar pengasuh tua itu
berkata dengan hati-hati, “jangan berahasia kepadaku seperti aku juga
tidak berahasia kepadamu. Ketahuilah Nini, bahwa Empu Purwa pernah
bertanya kepadaku tentang dirimu. Disangkanya aku mengetahui seluruhnya,
apa yang tersimpan di hatimu. Karena itu anakku, untuk kepentinganmu,
berkatalah kepadaku.”
Ken Dedes tidak segera menjawab
pertanyaan pengasuhnya itu. Hanya isaknya sajalah yang terdengar memecah
sepi malam. yang terdengar kemudian adalah suara pemomongnya, “Tak ada
orang tua ingin melihat anaknya menderita di hari tuanya. Karena itu,
orang tua yang baik, pasti akan mendengarkan tangis anaknya. Nah
tangismu pasti akan didengarnya. Empu Purwa tidak akan marah apabila kau
minta kepadanya apapun yang ia dapat memberinya. juga kesempatan untuk
menentukan hari depanmu. Namun jangan dibiarkan kami, orang-orang tua
ini meraba-raba. Berilah kami penjelasan. Apakah yang kau tunggu, dan
siapakah anak muda itu?”
Dengan susah payah Mahisa Agni mencoba
menguasai pernafasannya yang mendesak. Seperti orang yang tertarik oleh
sebuah pesona yang tak dapat disingkiri, anak muda itu menjadi kaku
tegang melekat dinding.
“Bibi,” jawab Ken Dedes, “apakah Ayah tidak akan marah kepadaku?”
“Tidak Ngger, tidak,” sahut orang tua
itu, “Ayahmu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau akan mendapat
kesempatan untuk memilih sisihanmu itu. Meskipun kami dapat menduganya,
namun kau sendirilah yang harus mengucapkannya. Dan Ayahmu pasti akan
menunggu, pada saatnya orang-orang yang dianggapnya dapat mewakili anak
muda itu, pasti akan datang kepada Ayahmu.”
“Bibi, anak itu bukanlah anak yang
terbuka hatinya. Tetapi sinar matanya serta tutur katanya apabila kami
bercakap-cakap telah meyakinkan aku, bahwa pada suatu saat jalan hidup
kami akan bertemu.”
Ken Dedes berhenti sesaat, dan nafas Mahisa Agni serasa akan berhenti juga.
“Ya, ya Nini,” sela pengasuhnya itu.
“Aku telah mencoba mengatakannya kepada Kakang Agni, namun mulutku seperti terkunci,” Ken Dedes meneruskan.
Pengasuhnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Bibi,” berkata Ken Dedes pula, namun
suaranya menjadi serak dan seakan-akan sedemikian pepat dadanya,
sehingga kata-katanya itu menjadi terpotong-potong, “aku ingin berkata
kepada anak itu, supaya segera dipenuhinya adat dan tata cara.”
Ken Dedes berhenti sesaat untuk menelan ludahnya.
“Ya, Nini,” potong emban tua itu, “namun kau belum menyebut namanya.”
Ken Dedes menatap langsung ke dalam mata
orang tua yang bening itu. Dan tiba-tiba ia yakin bahwa orang tua itu
benar-benar akan menolongnya. Maka katanya, “Namanya Wiraprana.”
“Oh,” orang tua itu terkejut seperti
disengat lebah biru. Tanpa disengaja kedua tangannya menutup mulutnya
yang berteriak lirih itu, “Adakah kau menyebut nama Angger Wiraprana?”
Ken Dedes mengangguk. Dan orang tua itu pun kemudian tepekur.
Di luar dinding, Mahisa Agni mendengar
percakapan itu. Pada saat Ken Dedes mengucapkan nama itu, terasa
seakan-akan di malam yang terang itu, Mahisa Agni mendengar suara petir
meledak di kepalanya. Betapa ia terkejut mendegarnya, Wiraprana.
Wiraprana.
Tubuh Mahisa Agni menggigil seperti
orang kedinginan. Dadanya terbakar oleh suatu perasaan yang aneh.
Seperti belanga yang terbanting di atas batu, maka hatinya pecah re muk
berkeping-keping. Hampir ia tidak percaya pada pendengarannya. Apakah
yang didengarnya benar-benar nama Wiraprana?
Dari dalam bilik Ken Dedes itu kemudian masih terdengar Ken Dedes menyebut namanya. Namanya sendiri.
“Emban,” berkata Ken Dedes, “tak ada
orang lain yang dapat menyampaikannya kepada Kakang Wiraprana selain
Kakang Mahisa Agni. Kakang Agni adalah sahabat yang paling dekat
daripadanya. Kakang Agni akan dapat mendesaknya untuk segera
melangsungkan tata cara adat itu. Sehingga kemudian nama Kakang
Wiraprana pasti akan disebut oleh Ayah, apabila pada suatu kali aku
dipanggilnya kembali.”
“Oh,” orang tua itu mengeluh. Tetapi ia menahan gejolak perasaannya. Nama itu benar-benar tak disangka-sangkanya.
Mahisa Agni pun menggigit bibirnya
sehingga berdarah. Terdengar giginya kemudian gemeretak. Ia mencoba
menguasai keseimbangan perasaannya. “Persetan!” umpatnya di dalam hati,
“Terkutuk kau, Wiraprana!”
Mahisa Agni itu pun kemudian tidak tahan
lagi untuk tetap berdiri di tempatnya. Dengan berjingkat ia berjalan
tergesa-gesa ke biliknya sendiri. Dengan serta-merta dibantingnya
tubuhnya di atas pembaringannya, sehingga terdengar amben itu
berderak-derak. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat terbaring tenang.
Tubuhnya masih menggigil dan perasaannya menggigil pula. Tak disangkanya
bahwa pada suatu saat Wiraprana akan memotong hari depan yang
diidamkannya. Apakah ia akan berdiam diri?
“Kenapa aku turut campur pada saat Kuda
Sempana sedang bertempur dengan anak itu?” gumamnya. “Biarlah ia mati,
supaya tak ada orang yang melintang, di hadapanku,” Ia melanjutkan.
Bahkan kemudian timbul pula pikirannya, “Aku adalah Mahisa Agni. Apakah
aku tak akan mampu bersaing dengan anak muda itu? Biarlah besok aku
datang kepadanya. Kita adalah laki-laki jantan. Aku tantang ia bertempur
buat menentukan masa depan.”
“Tidak besok pagi. Sekarang!” geramnya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Dan Mahisa Agni itu pun segera meloncat
dari pembaringannya. Dengan gerakan yang cepat ia melambung di udara dan
kemudian tegak di atas kedua kakinya. Cepat ia membenahi pakaiannya.
Ikat pinggangnya dan kainnya ditariknya ke belakang. Mahisa Agni kini
siap untuk bertempur. Dengan satu loncatan panjang anak muda itu meraih
pusakanya. Bukan sekedar senjata untuk berlatih. Tetapi sebuah keris
peninggalan ayahnya, buatan pamannya, seorang Empu yang sakti. Empu
Gandring.
Dengan cepat anak muda itu meloncati
tlundak pintunya, dan kemudian berlari menghambur di antara
batang-batang perdu di pertamanannya.
“Kubunuh Wiraprana dan aku larikan Ken
Dedes,” Mahisa Agni menggeram di sepanjang jalan, “Kuda Sempana berani
berbuat demikian. Mengapa aku tidak. Aku tak perlu perlindungan dari
istana Tumapel. Akan aku bawa Ken Dedes ke Lulumbang. Apakah pamanku itu
tidak dapat melindungi aku seandainya Empu Purwa marah. Pamanku adalah
empu sakti pula.”
Mahisa Agni berlari semakin kencang
Ditelusurinya jalan desanya yang setiap hari selalu dilewatinya.
Berpuluh bahkan beratus kali. Setiap kali ia mengunjungi Wiraprana dan
pulang dari rumah anak itu, jalan ini pula yang selalu dilaluinya.
Tetapi terasa jalan itu, kali ini bertambah panjang.
Mahisa Agni hampir tak sabar dengan langkahnya sendiri. Ia berlari dengan langkah yang panjang-panjang.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai
rumah Buyut Panawijen itu tidak selalu lama. Hanya beberapa saat ia
telah berdiri di muka regol halaman Buyut Panawijen. Dilihatnya regol
itu tertutup, meskipun ia tahu pasti bahwa regol itu tidak terkunci.
Kalau ia mendorongnya sedikit, regol itu pasti terbuka.
Tetapi halaman itu begitu sepi.
Mahisa Agni ragu sejenak. Meskipun
gelora di dadanya serasa tak dapat dihambatnya lagi namun ia masih
sempat membuat perhitungan-perhitungan. Kalau ia masuk ke halaman, dan
memaksa bertemu dengan Wiraprana, maka Buyut Panawijen itu pun akan
terbangun. Dengan demikian, maka akibat yang akan timbul mempunyai
banyak kemungkinan. Mungkin ia harus bertempur melawan mereka berdua,
Wiraprana dan Buyut Panawijen. Meskipun kedua orang itu sama sekali tak
berarti bagi Mahisa Agni, namun peristiwa itu pasti akan menimbulkan
keonaran. Kalau Empu Purwa kelak mengetahuinya maka segala rencananya
akan gagal. Orang tua itu pasti akan menjaga anaknya baik-baik. Dan
apakah ia masih akan diperbolehkan tinggal di padepokan itu?
Dengan susah payah Mahisa Agni
menyabarkan dirinya. Gumamnya, “Biarlah aku tunggu sampai besok. Aku
ajak anak itu ke bendungan. Di sana dapat kita buat perhitungan.”
Mahisa Agni menggeram penuh kemarahan.
Sekali lagi ditatapnya rumah yang senyap itu. Dan sekali lagi ia
mengancam, “Awas kau Wiraprana!”
Kemudian tanpa disadarinya Mahisa Agni
berkata seperti yang pernah didengarnya dari Kuda Sempana, “Wanita sama
harganya dengan curiga. Taruhannya adalah nyawa.”
Kemudian Mahisa Agni itu pun melangkah
pergi, dengan menyimpan bara di dalam dadanya. Betapapun juga, dada itu
serasa akan meledak. Karena itu, Mahisa Agni berjalan dengan tanpa
tujuan. Kakinya yang kokoh itu menyepak apa saja yang dijumpainya. Batu,
kayu, bahkan pohon-pohon kayu pun tidak luput dari sasaran
kemarahannya. Sekali-sekali diraihnya cabang kayu di tepi jalan.
Kemudian dengan tenaganya yang luar biasa, cabang-cabang itu
direnggutnya, sehingga patah berderak-derak.
Beberapa orang yang rumahnya dekat di
pinggir jalan itu terkejut, namun mereka tak berprasangka apapun. Dan
kembali mereka tetap di dalam pelukan malam.
Mahisa Agni masih, berjalan terus
Tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang mengejarnya. Bulan di langit
serasa tersenyum mengejeknya. Dilihatnya sekali lagi lingkaran yang
mengelilingi bulan itu, dan dilihatnya sebuah bintang menyala di dalam
lingkaran.
“Bintang itu telah berada di dalam lingkaran,” geramnya, “besok pagi satu jiwa akan melayang.”
Dan Mahisa Agni masih berjalan menyusur
jalan itu. Terus. Sehingga tak dirasanya, Mahisa Agni telah meninggalkan
desa Panawijen dan berjalan di daerah persawahan. Dilihatnya kemudian
batang-batang padi yang hijau kekuning-kuningan di dalam limpahan
cahaya bulan.
Mahisa Agni adalah seorang pengagum
keindahan. Ia dapat duduk seperempat malam menatap gunung- gunung yang
berselimut mega, atau menunggui bendungan, mendengarkan gemericik air di
antara batu-batu kali. Tetapi kali ini perasaan itu seakan-akan
terbunuh mati. Yang tampak adalah malam yang suram sesuram hatinya.
Tiba-tiba Mahisa Agni tersentak ketika
ia melihat takbir malam yang terentang di hadapannya. Kalau ia berjalan
terus, maka ia akan sampai ke padang rumput Karautan.
“Ha,” tiba-tiba Mahisa Agni berkata sendiri, “apakah demit padang rumput itu masih di sana?”
Mahisa Agni merasa, seakan-akan ia
mendapat tempat untuk menumpahkan kemarahannya. Karena itu ia menggeram,
“Besok aku baru dapat membunuh Wiraprana pengecut itu. Biarlah
sekarang aku cari hantu Karautan. Setan itu pun harus mati. Empu Purwa
mencegah aku dahulu. Sekarang biarlah aku ulangi tanpa orang tua itu.
Biarlah aku tangkap atau bunuh sekali hantu Karautan yang sering
mengganggu orang.”
Dan tiba-tiba sekali lagi Mahisa Agni
meloncat berlari. Seperti sedang dikejar hantu ia berlari semakin lama
semakin cepat. Diloncatinya batu-batu besar yang berserak-serak di
padang rumput itu, dan disasaknya gerumbul-gerumbul kecil yang berada di
garis perjalanannya. Kelinci-kelinci dan binatang-binatang kecil
lainnya terkejut, dan berloncatan menjauh. Namun Mahisa Agni tak sempat
memperhatikannya. Matanya tertancap jauh-jauh ke tengah padang rumput
itu. Di sana ia beberapa waktu yang lampau bertemu dengan orang yang
ditakutinya, dan bernama Ken Arok. Dalam kemarahannya itu, ia tidak
ingat apa-apa lagi, selain membunuh, menghancurkan dan apa saja yang
dapat memberinya kepuasan.
Sekali-kali terlintas juga di kepalanya,
menurut kata gurunya, ia tak akan mampu mengalahkan hantu itu. “Omong
kosong!” geramnya dan diteruskannya kata-kata itu, “Aku dahulu dapat
menyentuhnya dengan tanganku. Kalau sekarang tersentuh keris Pamanku,
muka umur setan itu tak akan sampai esok pagi.”
Padang rumput Karautan adalah padang
rumput yang luas. Karena itu Mahisa Agni memerlukan waktu untuk sampai
ke tengah padang itu. Ia langsung menuju ke tempat ia bertemu dengan Ken
Arok di perjalanannya pulang bersama gurunya. Ia mengharap Ken Arok
masih berada di sana, dan mencegatnya. Hantu itu harus sadar, bahwa di
dunia ini ada orang yang tak takut kepadanya, dan tak dapat
dikalahkannya.
Mahisa Agni yang berlari-lari itu
akhirnya sampai juga ke tengah padang itu. Namun bulan telah jauh di
sisi cakrawala. Sebentar lagi bola langit itu segera akan tenggelam
dibalik punggung Gunung Kawi. Mahisa Agni kemudian berhenti. Nafasnya
terasa berkejaran, secepat ia berlari. Sesaat ia tegak di tengah-tengah
padang itu sambil mencoba menenangkan dirinya.
Beberapa kali Mahisa Agni menghisap
nafasnya dalam-dalam dan dihirupnya udara padang yang segar.
Perlahan-lahan nafasnya pun dapat diaturnya kembali.
Kini Mahisa Agni itu bertolak pinggang
dengan kaki renggang. Dipandangnya keadaan di sekelilingnya. Namun sepi.
Tak seorang pun dilihatnya. Tiba-tiba ia menjadi semakin marah. Maka
seperti orang yang kehilangan kesadarannya ia berteriak, “He, hantu
Karautan! Inilah Mahisa Agni! Jangan menunggu orang-orang lemah yang
dapat kaujadikan umpan keganasanmu. Keluarlah dari persembunyianmu!”
Suara Mahisa Agni itu seperti membelah
langit. Mengumandang dan melingkar-lingkar seluas padang Karautan. Namun
setelah gema suaranya itu berhenti, kembali malam menjadi sepi.
Mahisa Agni mengumpat-umpat tak
habis-habisnya, “Setan pengecut! Apakah kau sedang bersembunyi karena
kau lihat Mahisa Agni lewat?”
“He, hantu Karautan! Inilah Mahisa Agni!
Jangan menunggu orang-orang lemah yang dapat kau jadikan umpan
keganasan. Keluarlah dari persembunyianmu!”
Sekali lagi suaranya disahut oleh sepinya malam. Dan sekali lagi Mahisa Agni memandang berkeliling dengan nanar.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut
ketika ia mendengar gemeresik daun-daun perdu di sisinya. Cepat ia
memutar tubuhnya dan bersiaga.
“Nah, kaukah itu?” ia berteriak keras-keras, meskipun rumpun perdu itu tak jauh daripadanya.
Apa yang ditunggunya itu ternyata
datang. Dari balik daun-daunan yang rimbun itu, muncullah sebuah kepala.
Mahisa Agni segera mengenal orang itu. Sambil tertawa berderai ia
berkata, “Keluarlah dari persembunyianmu, hei setan yang menakutkan
orang seluruh wilayah Tumapel. Tetapi aku, Mahisa Agni, jangan kau
sangka takut seperti mereka itu. Marilah sekali lagi kita membuat
perhitungan. Dan kali ini biarlah salah satu dari kita membayar taruhan
ini dengan nyawa.”
Orang yang muncul dari balik gerumbul
itu sebenarnyalah orang yang bernama Ken Arok. Untuk sesaat ditatapnya
wajah Mahisa Agni yang menyalakan kemarahan hatinya. Tetapi hantu padang
rumput Karautan itu tidak segera menanggapinya. Bahkan perlahan-lahan
ia melangkahi ranting-ranting perdu dan dengan tenangnya ia berjalan
selangkah demi selangkah maju.
“Ayo, bersiaplah!” tantang Mahisa Agni,
“Meskipun kau bernyawa rangkap tujuh, kau tak akan mampu mempertahankan
hidupmu apabila kau tersentuh kerisku.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang, tetapi pandangannya tidak menjadi liar seperti
pada saat Mahisa Agni bertemu untuk yang pertama kalinya.
“Apa yang kau tunggu?” bentak Mahisa Agni.
Mahisa Agni menjadi heran ketika
dilihatnya hantu Karautan itu mengangguk-angguk. Kemudian terdengar ia
berkata tenang, “Mahisa Agni. Adakah kau mendendam?”
Mahisa Agni terkejut mendengar
pertanyaan itu. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya mata Ken Arok. Dan
seakan-akan dilihatnya wajah yang lain dari wajahnya dahulu. Meskipun
demikian, Agni itu pun berkata, “Jangan mencoba merajuk! Cerita tentang
hantu Karautan harus segera tamat.”
“Ya,” sahut Ken Arok, “cerita tentang hantu Karautan memang sudah tamat.”
Kembali Mahisa Agni terkejut. Sekali
lagi ditatapnya wajah Ken Arok, dan sekali lagi ia mendapat kesan lain
pada wajah itu. Karena itu kemudian Mahisa Agni menjadi bingung.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Arok.
Suaranya pun lain dari suara yang pernah didengarnya beberapa waktu yang
lampau, “Aku memang sedang menunggumu di sini. Berhari-hari. Aku
mengharap bahwa aku akan dapat bertemu dengan kau dan orang tua yang
lewat bersamamu dahulu.”
“Adakah kau tidak puas dengan pertemuan kita yang pertama itu,” bertanya Mahisa Agni dengan penuh prasangka.
“Ya,” jawab Ken Arok sambil mengangguk.
“Nah, sekarang aku telah datang. Apa maumu? Apakah kau masih ingin mencoba kesaktianmu?” bertanya Mahisa Agni.
Ken Arok menggeleng lemah. Rambutnya
yang terurai lepas ke pundaknya itu bergerak-gerak ditiup angin malam.
Tetapi rambut itu sudah tidak seliar seperti yang pernah dilihatnya.
Perlahan-lahan terasa pada Mahisa Agni, bahwa ia melihat perubahan pada
hantu Karautan itu. Apalagi ketika ia mendengar Ken Arok menjawab,
“Tidak Mahisa Agni. Sudah kukatakan, cerita tentang hantu Karautan telah
tamat.”
“Lalu apa maumu menghadang aku?” bertanya Agni.
“Berhari-hari aku menunggumu. Setiap
malam aku tidur di gerumbul ini. Tetapi aku tidak pernah lagi berniat
untuk menghentikan orang-orang yang lewat di padang ini. Aku hanya
menunggumu dan orang tua itu,” berkata Ken Arok.
“Ya, sudah kau katakan,” potong Mahisa Agni, “tetapi apa maksudmu?”
“Duduklah Agni,” pinta Ken Arok.
Mahisa Agni menggeleng, “Kau akan membuat aku tidak bersiaga?”
Wajah Ken Arok itu menjadi suram.
Katanya, “Aku sadar, bahwa kesan perkelahian itu tak akan terhapus di
sepanjang umurmu. Tetapi duduklah Agni.”
Agni menjadi semakin heran. Di mata anak
muda itu memancar sesuatu yang tak dimengertinya. Dan tiba-tiba saja
Mahisa Agni duduk di samping anak muda yang belum begitu dikenalnya.
“Mahisa Agni, apakah orang tua dahulu itu benar gurumu?” bertanya Ken Arok
“Ya,” jawab Agni singkat.
“Aku iri kepadamu,” gumam Ken Arok.
“Kenapa?”
“Agni, kata-kata itu terdengar terlalu
dalam. Aku melihat perubahan pada sikapmu. Apakah kau bersikap baik
hanya apabila gurumu ada?”
Mahisa Agni menjadi semakin heran mendengar pertanyaan itu. Dan kembali ia bertanya, “Kenapa?”
“Sikapmu dahulu tidak segarang sekarang, meskipun aku melihat kejantananmu sejak saat itu.”
Pertanyaan Ken Arok itu benar menembus
dada sehingga langsung menyentuh hatinya. Dicobanya untuk melihat
sikapnya sendiri. Kenapa orang yang hidupnya seliar Ken Arok berkata
demikian kepadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni bertanya, “Apakah yang
berubah. Sejak dahulu guruku berkata kepadaku, bahwa setiap kejahatan
harus ditumpas. Sekarang aku sedang berusaha menumpas kejahatan yang
merajalela di padang rumput ini.”
Ken Arok seakan-akan tidak mendengar
jawaban itu. Bahkan ia berkata terus, “Aku melihat, pada waktu kau
datang bersama gurumu. Betapa kagumnya aku melihat kejantananmu. Namun
sikap itu wajar. Sekarang sikapmu benar-benar lain daripada sikapmu
waktu itu. Adakah sesuatu yang terjadi? Atau karena gurumu kini tidak
ada?”
“Jangan mengigau!” bentak Mahisa Agni, ”Ayo berdirilah, kita bertempur. Aku tetap dalam perjuanganku.”
“Mahisa Agni,” berkata Ken Arok lirih, “Adakah kau sempat mendengar sebuah kisah yang pendek?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia terpengaruh oleh permintaan Ken Arok itu. Karena itu ia berdiam diri di tempatnya.
“Mahisa Agni,” Ken Arok mulai dengan
kisahnya, “aku telah bertemu dengan seorang Brahmana di tempat
perjudian. Brahmana itu bernama Danghyang Lohgawe.”
Tiba-tiba Mahisa Agni memotong, “Apa
peduliku dengan Danghyang Lohgawe. Apakah kau sedang menakut-nakuti aku
dengan gurumu yang baru itu?”
Ken Arok menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “orang itu bukan guruku. Dimintanya aku menjadi anaknya.”
“Nah. Suruhlah bapa angkatmu itu datang kemari!” sahut Agni.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas, “kau benar-benar tak seperti yang aku sangka.”
Kembali kata-kata itu langsung menyentuh
hatinya. Dan kembali Mahisa Agni berdiam diri. Sehingga Ken Arok sempat
meneruskan, “Orang tua itu berkata kepadaku seperti yang pernah
dikatakan gurumu kepadaku dahulu.”
“Apa katanya?” bertanya Mahisa Agni tak sesadarnya.
“Bukankah gurumu pernah berkata, bahwa
aku akan lebih berbahagia apabila aku dapat menempuh cara hidup yang
lain dari cara hidupku yang liar itu?” sahut Ken Arok.
“Adakah sekarang kau sependapat dengan nasihat guru?” bertanya Mahisa Agni pula.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Aku pernah bertanya kepada Brahmana itu. Apakah seorang yang
telah berjalan jauh dan ditempuhnya jalan yang sesat, ia akan dapat
menemukan jalan kembali?”
Ken Arok berhenti sejenak, kemudian
dilanjutkannya, “Brahmana itu berkata, jalan kembali itu tak akan pernah
tertutup selama-lamanya buat siapa pun juga.”
Kembali Ken Arok berhenti sejenak.
Kepalanya itu pun tertunduk lesu, dan seterusnya ia berkata, “Menurut
Danghyang Lohgawe, jalan itu terbuka pula bagiku.”
Mahisa Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Dan untuk sesaat mereka berdua tenggelam dalam sepi hati mereka berdua.
Sesaat kemudian terdengar kembali Ken
Arok berkata, “Brahmana itu pernah berkata pula kepadaku, bahwa jalan
yang benar itu terlalu sempit dan jelek, sedang jalan ke arah yang salah
itu selalu lapang dan licin, sehingga karena itu maka banyak orang
yang tersesat karenanya. Lebih banyak yang memilih jalan yang lapang
dan licin daripada yang sempit dari jelek. Namun jalan itu akhirnya
akan sampai ke daerah yang gelap, sedang yang jelek itu akan sampai ke
daerah ketenteraman abadi.”
Ken Arok menarik nafas sekali, namun
dalam sekali. Kemudian ia meneruskan, “Mahisa Agni, aku ingin berkata
kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan berusaha memilih jalan yang sempit
dan jelek. Gerbang di ujung jalan itu selalu terbuka, namun
jarang-jarang orang yang memasukinya. Aku sangka kau dari dulu telah
berada di jalan yang sempit itu pula. Mudah-mudahan sangkaanku itu
benar.”
Kata-kata Ken Arok itu benar-benar
menghunjam langsung ke pusat dadanya. Karena itu Mahisa Agni pun menjadi
berdebar-debar. Dilihatnya dirinya sendiri yang sedang dibakar oleh
perasaan yang tidak menentu. Hantu yang liar itu kini sedang berusaha
mencari jalan kembali. Lalu apakah yang akan dilakukan itu?
Mahisa Agni menarik nafas sedalam luka
di hatinya. Namun tiba-tiba hantu itu telah menariknya dari kealpaan.
Hampir saja ia terjerumus ke jalan yang lapang dan licin, yang
disebut-sebut oleh Ken Arok itu. Memang alangkah mudahnya terjun ke
daerah yang akan bermuara di dalam kegelapan. Dan hampir saja dirinya
terjun ke dalamnya. Kekecewaan yang memukul dadanya, pada saat ia
mendengar nama Wiraprana disebut oleh Ken Dedes, telah hampir saja
menyeretnya ke dalam daerah yang kelam itu. Dan kini, seakan-akan
dilihatnya sebuah cahaya yang menerangi hatinya yang gelap. Justru
dikatakan oleh hantu yang menakutkan itu.
Karena itu untuk sesaat Mahisa Agni jadi
terbungkam. Tak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya. Sedang Ken
Arok pun kemudian berdiam diri, sehingga kembali padang rumput Karautan
itu menjadi sepi.
Tetapi hati Mahisa Agni kini tidak
sesepi padang rumput itu. Terjadilah di dalam dadanya suatu pergulatan
yang sengit. Penilaiannya atas perbuatannya sendiri, serta kisah yang
diucapkan oleh Ken Arok telah menolongnya, membebaskannya dari suatu
tindakan yang kotor. Karena itu, sesaat kemudian terdengar ia berkata
parau, “Maafkan aku Ken Arok.”
Ken Arok terkejut, “Apa yang harus aku maafkan?”
“Pada saat kau menemukan jalan kebenaran
itu,” sahut Mahisa Agni, “justru bersamaan waktunya dengan keadaan yang
sebaliknya yang terjadi padaku. Pada saat-saat aku hampir terjebak
oleh kekecewaan dan nafsu.”
“Oh,” desis Ken Arok, “kini terasa pula olehmu, bahwa kau agak berubah.”
“Mudah-mudahan,” sahut Mahisa Agni.
“Kenapa mudah-mudahan?” bertanya Ken Arok.
“Mudah-mudahan tidaklah menjadi watakku
sejak semula. Mudah-mudahan apa yang aku lakukan kini benar-benar karena
hatiku yang gelap. Dan mudah-mudahan aku dapat meyakini kesalahan
itu,” jawab Mahisa Agni.
Ken Arok menatap wajah Mahisa Agni
seperti baru sekali itu dilihatnya. Dan wajah itu kini sedang diliputi
oleh kabut yang suram. Karena itu maka terdengar Ken Arok bertanya, “Aku
yakin bahwa bukan sifatmu sekasar itu. Tetapi apakah yang sudah
terjadi?”
Mahisa Agni menggeleng lemah, “Bukan apa-apa. Suatu kesalahan kecil di dalam lingkunganku.”
“Hem,” Ken Arok menarik nafas,
“kesalahan kecil yang hampir berakibat besar. Hati-hatilah untuk lain
kali. Apabila hal yang sekasar itu dilakukan oleh Ken Arok, maka itu
bukanlah sesuatu yang pantas disesalkan. Tetapi kalau itu dilakukan oleh
Mahisa Agni, maka kau pasti akan menyesal sepanjang hidupmu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Terima kasih,” gumamnya, “untunglah bahwa kau pun banyak
mengalami perubahan. Apabila tidak, akibatnya dapat dibayangkan.”
“Untunglah,” sahut Ken Arok, “aku
menyadari sepenuhnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam diriku.
Tanggapanku kepada dunia, kepada manusia di sekelilingku kini telah
berubah. Karena itulah sebenarnya aku ingin bertemu denganmu dan gurumu.
Aku minta kepadamu, supaya orang-orang di sekitar padang ini
mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat. Selebihnya
aku akan mohon diri kepadamu dan gurumu, bahwa aku akan segera pergi ke
Tumapel mengikuti Brahmana itu.”
“Apakah kau ingin berjumpa dengan Empu Purwa?” bertanya Mahisa Agni,
“Sayang, waktuku sudah terlalu sempit,”
jawab Ken Arok, “kesempatan ini adalah kesempatan yang sebaik-baiknya
bagiku untuk mengakhiri cara hidup yang liar ini. Danghyang Lohgawe akan
membawaku ke istana Akuwu. Mudah-mudahan aku diterima pengabdianku,
meskipun sebagai juru pakatik sekali pun.
“Syukurlah, “gumam Mahisa Agni, “kau akan menempuh suatu kehidupan yang lain dari masa-masa lampaumu.”
Ken Arok itu pun mengangguk lemah.
“Tekunilah kehidupan yang baru itu,” Mahisa Agni meneruskan, “mudah-mudahan kau sabar melampaui masa-masa peralihan itu.”
Kembali Ken Arok mengangguk. “Mudah-mudahan,” desisnya.
“Kapan kau akan berangkat?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku belum tahu pasti,” sahut Ken Arok, “tetapi aku harus segera pergi kepada Danghyang Lohgawe.”
Mereka berdua pun kemudian terdiam.
Langit di timur telah membayangkan warna fajar. cahaya yang ke
merah-merahan memancar di wajah langit yang biru. Bulan yang semalaman
berkisar dari satu titik kesatu titik di udara, kini telah tenggelam d
balik Gunung.
Sesaat kemudian terdengar Ken Arok berkata, “Aku akan segera pergi.”
“Adakah kau masih takut mendengar ayam jantan berkokok,” bertanya Mahisa Agni,
Ken Arok tersenyum. “Tidak,” jawabnya, “Ada soal lain. Sepeninggalku, tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini.”
Mahisa Agni pun tersenyum. Meskipun
mereka belum rapat berkenalan, namun pertemuan yang aneh itu,
menyebabkan hati mereka menjadi berat menghadapi perpisahan yang bakal
terjadi.
Ken Arok dan Mahisa Agni pun kemudian
berdiri. Ketika Ken Arok akan meninggalkan padang rumput, yang selama
ini menjadi daerah pengembaraannya di malam hari, maka sekali lagi ia
berpamitan, katanya, “Mahisa Agni. Baktiku buat gurumu. Ialah orang yang
pertama-tama membangunkan sebuah teka-teki di dalam hatiku. Teka-teki
tentang Yang Maha Agung. Doakan semoga aku dapat menyesuaikan diri
dengan cara hidup yang baru ini.”
“Aku akan berdoa untukmu,” sahut Mahisa Agni.
Ken Arok itu pun segera meninggalkan
Mahisa Agni. Dengan cepatnya ia berjalan melintasi padang rumput yang
selama ini telah mengikatnya. Ken Arok itu seakan-akan telah menjadi
bagian yang hidup dari padang Karautan. Dan kini daerah itu
ditinggalkannya.
Namun terngiang di telinga Mahisa Agni,
kata-kata Ken Arok, meskipun ia hanya ingin bergurau, “Sepeninggalku,
tak perlu kau menggantikan hantu di padang ini.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas
panjang, “Untunglah, semuanya belum terjadi. Seandainya ia berhasil
membunuh hantu itu dengan kerisnya. dan seandainya pula ia telah
terlanjur membunuh Wiraprana. Apakah akan jadinya? Dengan demikian,
mungkin aku akan benar-benar menggantikan anak muda itu menjadi hantu di
padang ini.”
Mahisa Agni menjadi ngeri sendiri. Dan
mengucaplah ia di dalam hatinya puji syukur kepada yang Maha Agung,
bahwa ia telah dibebaskan dari bencana itu.
Mahisa Agni pun kemudian melangkah
pergi. Tetapi ia tidak berlari lagi seperti pada saat ia datang. Di
sepanjang jalan itu, terasa betapa hatinya menjadi pedih. Pedih atas
hilangnya harapan bagi masa depan yang manis, pedih karena ia
hampir-hampir tenggelam dalam kegelapan.
“Wiraprana itu sama sekali tak
bersalah,” gumamnya, “Akulah yang bersalah. Kenapa aku selama ini
berdiam diri. Kenapa aku lebih senang menyimpan perasaanku daripada
melimpahkannya? Karena itu jangan menyalahkan orang lain.”
Namun betapapun juga, luka di dadanya
terasa betapa sakitnya. Tetapi Mahisa Agni kini telah menemukan dirinya
kembali. Karena itu tak seorang pun yang didendamnya. Wiraprana tidak
dan Ken Dedes pun tidak.
“Ayahnya, Empu Purwa tak bisa memaksanya,” katanya di dalam hati, “Apalagi aku.”
Bahkan tiba-tiba timbullah di dalam hati
Mahisa Agni itu, “Biarlah gadis itu menemukan kebahagiaannya. Dan
mudah-mudahan dengan demikian aku akan ikut berbahagia karenanya.”
Mahisa Agni itu berjalan perlahan-lahan
di dalam sentuhan angin pagi. Tetesan embun yang hinggap di dedaunan,
membentuk butiran-butiran, seakan-akan butiran mutiara yang satu-satu
lepas dari untaiannya, seperti butiran-butiran mutiara harapan yang
pecah dari ikatan hati Mahisa Agni.
Sebagai seorang anak muda yang sedang
melambungkan cita-citanya setinggi bintang, maka peristiwa itu tak akan
dapat dilupakannya. Namun ia pun dapat mengetahui bahwa tak seorang pun
akan mampu mengubah perasaan orang lain dengan paksa dalam
tanggapannya atas cinta.
Padang rumput itu adalah padang yang
luas. Karena itu maka kini terasa, bahwa perjalanan yang telah
ditempuhnya semalam adalah perjalanan yang cukup jauh. Mahisa Agni pun
tiba-tiba menjadi cemas, apakah kata orang apabila salah seorang di
antara tetangga-tetangganya melihatnya berlari-lari.
Matahari yang semakin tinggi di langit,
terasa panasnya semakin tajam menyengat kulit. Namun sinarnya yang
bertebaran di segenap wajah padang rumput itu sama sekali tak terasa.
Mahisa Agni sedang bergelut dengan angan-angannya, “Apakah yang harus
aku lakukan kini?”
Namun di sepanjang perjalanan itu tak
ditemuinya jawaban yang memuaskan hatinya. Kadang-kadang timbul
keinginannya untuk pergi saja meninggalkan gurunya dan desa Panawijen,
namun kadang-kadang ada juga maksudnya untuk melihat betapa Ken Dedes
dan Wiraprana berbahagia. Tetapi di dalam sudut hatinya yang lain
terdengar pula suara, “Biarlah apa saja yang akan mereka lakukan, jangan
mencampurinya dalam segala segi.”
Mahisa Agni menggeleng-geleng lemah.
Wiraprana ternyata belum tahu apa yang semestinya harus dilakukan, dan
Ken Dedes semalam menemuinya, bukan untuk menyatakan cintanya kepadanya,
tetapi gadis itu akan minta kepadanya untuk menyampaikannya kepada
Wiraprana. Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali. Gumamnya, “Ternyata
Wiraprana datang setiap hari ke rumah Empu Purwa tidak semata-mata
menemui aku. Ternyata di belakang tirai persahabatannya itu terkandung
maksud-maksud yang lain.”
Perjalanan pulang itu terasa betapa
menjemukan. Baru kemudian terasa, betapa lelahnya setelah semalam suntuk
matanya tak terpejamkan. Bahkan kemudian ia berlari-lari sepanjang
hampir setengah malam. Dan kini ia harus menempuh jalan itu kembali.
Ketika matahari telah hampir mencapai
puncak langit, maka tampaklah di hadapan Mahisa Agni beberapa buah desa
yang membujur di pinggir padang rumput itu. Sekali dilampauinya desa
yang pertama, kemudian ia akan segera sampai ke rumah gurunya. Namun
desa-desa yang hijau itu kini sama sekali tak memikatnya seperti
beberapa waktu yang lampau. Ikatan yang selama ini. terasa menjerat
dirinya, tiba-tiba kini telah terurai lepas. Desa itu tak menarik lagi
baginya, selain sebagai tempat tinggalnya.
Mahisa Agni memasaki desanya dengan hati
yang kosong. Selangkah demi selangkah ia menyusuri jalan yang semalam
dilaluinya. Masih dilihatnya beberapa ranting yang patah sebagai tempat
untuk menumpahkan kemarahan dan kegelapan hatinya semalam.
Ketika dari kejauhan dilihatnya pagar
batu yang melingkari halaman rumah gurunya, hatinya berdesir. Tak ada
gairah lagi untuk segera pulang. Tetapi apabila diingatnya, apa yang
telah dilakukan oleh gurunya untuknya, dan apa yang telah diberikan oleh
orang tua itu kepadanya, maka timbullah sedikit niatnya untuk kembali
masuk ke dalamnya.
Tetapi kembali hatinya berdesir ketika
ia melihat Wiraprana telah berdiri di muka regol halaman itu. Terungkit
kembalilah perasaan yang pedih di dadanya. Sekilas tebersitlah
kemarahannya kepada anak muda itu. Namun kemudian perasaan itu
ditekannya kuat-kuat.
Wiraprana tersenyum ketika ia melibat
Mahisa Agni. Anak muda itu kemudian berjalan menyongsongnya. Tak ada
suatu kesan apapun di wajahnya. Bersih.
Mahisa Agni melihat wajah yang jujur itu. Dan kembali ia berkata di dalam hatinya, “Anak itu tidak bersalah.”
“Dari mana kau, Agni?” bertanya anak muda itu.
Mahisa Agni menjadi agak bingung. Terasa
betapa canggungnya kali ini berhadapan dengan Wiraprana. Anak muda yang
telah bertahun-tahun bergaul dengan rapatnya, tiba-tiba terasa sebuah
jurang telah membujur di antaranya.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka Wiraprana mengulangi pertanyaannya seramah semula, “Dari mana kau Agni?”
Mahisa Agni merasa seperti orang yang
baru saja terbangun dari mimpi. Dengan terbata-bata ia menjawab
sekenanya, “Aku tidur di bendungan, Prana.”
Wiraprana terperanjat. “He,” sahutnya, “aku juga pergi ke bendungan semalam. Kenapa kita tidak bertemu?”
Mahisa Agni bertambah bingung. “Aku pergi sesudah tengah malam,” jawab Agni sekenanya.
“Oh,” berkata Prana, “tengah malam aku sudah pulang. Kenapa kau tak mengajak aku serta?”
Pertanyaan itu melingkar-lingkar seperti
putaran yang sangat membingungkan. Maka jawabnya, “Aku tak bermaksud
pergi ke bendungan. Aku hanya berjalan-jalan saja. Tetapi kemudian aku
sampai ke sana.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ketika dilihatnya keris terselip di pinggang
sahabatnya, Wiraprana mengerutkan keningnya. Mahisa Agni melihat
sambaran mata Wiraprana atas kerisnya itu. Karena itu ia menjadi semakin
bingung. Apabila anak itu bertanya tentang keris itu, apakah jawabnya.
Tetapi untunglah Wiraprana tak bertanya-tanya lagi.
“Ayolah,” ajak Wiraprana, “kau tampak lelah.”
Mahisa Agni tak menjawab. Maka
berjalanlah mereka berdua memasuki regol halaman rumah Empu Purwa yang
luas. Mahisa Agni melihat tanam-tanamnya yang hijau subur.
Bunga-bungaan, rerumputan dan perdu. Dilihatnya pula tanah yang
berpetak-petak dan di samping rumah itu sebuah kolam. Tetapi semuanya
itu kini terasa hambar. Bunga-bunga yang sedang kembang sama sekali tak
menarik perhatiannya. Batang-batang anggrek yang dipeliharanya dengan
hati-hati, serta bunga-bunganya yang putih bersih tampak betapa
suramnya.
Mereka berdua langsung pergi ke bilik
Mahisa Agni. Wiraprana duduk di sebuah bale-bale besar di ruangan dalam,
sedang Mahisa Agni langsung masuk ke biliknya. Dilihatnya biliknya itu
kotor dan barang-barangnya berhambur-hamburan. Agaknya semalam ia
telah dengan tidak sengaja menghambur-hamburkan barang-barangnya itu.
Dengan dada yang serasa akan retak, Mahisa Agni menarik keris dari
pinggangnya. Ketika ia menatap keris itu, terasa hatinya berdesir.
Untunglah bahwa keris itu belum ditariknya dari wrangkanya. Tanpa
disengajanya, diciumnya ukiran keris itu sambil berbisik, “Betapapun
kau telah diselamatkan dari penggunaan yang sia-sia.”
Mahisa Agni pun kemudian segera
membenahi barang-barangnya. Pakaiannya, beberapa alat-alat lain dan
lontar-lontar bacaannya. Adalah menjadi kebiasaannya untuk membersihkan
biliknya sendiri, sehingga jaranglah orang lain masuk ke dalamnya.
Dengan demikian, maka tak seorang pun yang mengetahui, bahwa bilik itu
menjadi kotor dan bercerai berai.
Setelah pekerjaan itu selesai, Agni pun
tidak segera keluar dari biliknya. Dengan lesunya ia duduk di sudut
pembaringannya. Matanya yang sayu. beredar dari satu benda ke benda yang
lain di dalam bilik itu. Terasa betapa ia menjadi asing.
Dinding-dinding, tiang, dan sebuah gelodog bambu. Dan tiba-tiba tebersit
pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah aku masih akan dapat tinggal di
tempat ini?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia
tersadar ketika didengarnya Wiraprana terbatuk-batuk di ruang dalam.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri, dan dengan lunglai ia berjalan
keluar menemui sahabatnya yang telah memadamkan harapannya di masa
depan.
Wiraprana tersenyum melihat Agni keluar
dari biliknya. Katanya sambil tertawa, “Ah, aku sangka kau tertidur
Agni. Aku takut kalau aku harus menunggumu sampai senja.
Kelakar itu pun demikian hambar di hati Mahisa Agni.
Meskipun demikian dipaksanya juga
bibirnya untuk tersenyum. Senyum yang pahit. Dan hatinya pun bertambah
pahit ketika ia melihat kenyataan bahwa Wiraprana itu sama sekali tak
berprasangka apa pun kepadanya. Tak ada perubahan pada tingkah lakunya
dan tak ada setitik kecurigaan apa pun dalam sikapnya. Hatinya tidak
akan sepedih itu seandainya Wiraprana itu bersikap kasar dan keras.
Seperti Kuda Sempana. Seandainya Wiraprana itu berkata kepadanya, “Agni,
marilah kita selesaikan persoalan kita dengan bertaruh nyawa.”
Meskipun seandainya ia kalah, bahkan
sampai pada ajalnya pun, maka ia akan mati dengan bangga. Tetapi
Wiraprana sama sekali tak bersikap demikian. Matanya yang bening
memancar seperti mata kanak-kanak yang belum mengenal dosa. Karena itu
Mahisa Agni mengeluh di dalam hatinya.
Dengan lesu Mahisa Agni duduk di samping Wiraprana. Dan dengan kaku ia bertanya, “Dari mana kau sepagi ini Prana?”
Wiraprana terperanjat, “He? Apakah kau sedang bermimpi? Lihatlah, bayangan matahari telah tegak di lantai.”
Mahisa Agni menyadari, kesalahannya, dan
dipaksanya juga dirinya untuk tertawa, “Ah, agaknya aku benar-benar
lelah dan bingung. Maksudku, apakah kau telah datang sejak pagi-pagi?”
Wiraprana memandang wajah Mahisa Agni
dengan herannya. Dilihatnya pada wajah itu suatu pancaran yang aneh. Tak
pernah ia melihat kerut-kerut di kening sahabatnya itu. Mahisa Agni
adalah anak yang selalu gembira. Ah, Mahisa Agni terlalu lelah, katanya
di dalam hati, namun yang terlontar dari mulutnya adalah, “Seharusnya
akulah yang bertanya Agni, dari mana kau sampai sesiang ini. Apakah kau
tidur di bendungan sampai matahari merambat ke puncak langit? Apakah
kau kemudian mencuci pakaianmu tanpa membawa rangkapan, dan kau tunggu
pakaian itu kering sambil merendam diri?”
Mahisa Agni benar-benar menjadi bingung.
Tak tahu bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Wiraprana. Karena itu ia
hanya dapat tertawa, namun hatinya merintih.
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni teringat
kepada Ken Arok yang baru dijumpainya di padang Karautan. Diingatnya
pesan anak muda itu kepadanya. Supaya orang-orang di sekitar padang ini
mendengar, bahwa cerita tentang hantu Karautan telah tamat. Karena itu,
maka Mahisa Agni bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
Katanya, “Wiraprana, sebenarnya aku tidak tidur di bendungan semalam.”
Sekali lagi Wiraprana terkejut, “Lalu ke manakah kau semalam malaman?”
“Ke padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
“He,” Wiraprana benar-benar terkejut mendengar jawaban itu sehingga ia bergeser maju, “adakah kau pergi ke sana?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Siapakah yang memaksamu, sehingga kau pergi ke daerah hantu yang mengerikan itu?’ bertanya Wiraprana pula.
“Tak ada,” jawab Agni, “aku hanya ingin melihat hantu. Karena itu kau lihat aku membawa senjata?”
“Ya, ya, Aku lihat kerismu.”
Mahisa Agni pun kemudian bercerita
tentang padang itu. Tentang pertemuannya dengan hantu itu untuk pertama
kali dan tentang pertemuannya yang terakhir. Mahisa Agni bercerita
sedemikian asyiknya dan kadang-kadang tak sesadarnya, diceritakannya
kemampuannya melawan hantu itu. Ia bercerita demikian saja untuk
melepaskan himpitan-himpitan yang menekan dadanya. Tidak saja sebagai
pelarian untuk menghindarkan pertanyaan Wiraprana, tetapi lambat laun
dengan tak diketahuinya sendiri, cerita itu telah berubah sebagai suatu
cerita untuk menolong kekerdilan perasaannya. Pilihan Ken Dedes atas
Wiraprana, telah menyebabkan Mahisa Agni merasa tak berharga. Dan kini
ia sedang menutupi perasaan itu dengan menceritakan kedahsyatannya.
“Alangkah dahsyatnya kau Agni,”
Wiraprana menyela dengan penuh kekaguman. Dengan jujur anak muda itu
berkata pula, “Sejak kau berkelahi dengan Kuda Sempana, aku telah
menjadi kagum dan tidak mengerti. Dari mana kau mendapat ilmu itu. Kini
ternyata kau pun sanggup melawan hantu itu. Ah. Alangkah kecilnya aku.
Kenapa baru sekarang aku tahu?”
Mendengar pujian yang diucapkan dengan
ikhlas itu, Mahisa Agni tersadar dari pelariannya. Karena itu betapa ia
menyesal. Namun semuanya terjadi, dan cerita itu tak akan dapat
ditelannya kembali. Dengan demikian, maka Agni pun justru terdiam, dan
luka di hatinya menjadi semakin parah.
Ketika ia sedang merenungkan dirinya,
kesombongannya dan ceritanya, didengarnya langkah kaki lewat di
sampingnya. Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya Ken Dedes
berjalan dengan tergesa-gesa. Ketika gadis itu melihatnya, segera ia
berhenti dan berkata, “Kakang, ke mana kau semalam? Ayah mencarimu.”
Hati Mahisa Agni berdesir. Apalagi
ketika dilihatnya, betapa Ken Dedes menundukkan wajahnya yang
kemerah-merahan ketika terpandang olehnya Wiraprana yang duduk di
sampingnya.
Mahisa Agni harus berjuang sekuat tenaga
untuk menenangkan hatinya yang bergelora seperti angin ribut di lautan.
Dengan gemetar ia menjawab, “Adakah guru menanti aku?”
“Tidak sekarang,” sahut Ken Dedes perlahan-lahan, namun wajahnya masih menatap lantai, “Ayah sedang di sanggar pamujan.”
“Oh,” Agni pun terdiam,
Suasana di ruang dalam itu menjadi kaku,
seperti garis-garis tiang yang lurus. Ken Dedes sama sekali tak berani
mengangkat wajahnya. Kehadiran Wiraprana benar-benar menjadikannya
segan. Apakah Kakang Agni telah mengatakannya, pertanyaan itu merayap di
hatinya. Kalau pengasuhnya yang tua itu telah menyampaikan perasaannya
kepada Mahisa Agni, maka ada kemungkinan Agni telah mengatakannya
kepada Wiraprana. Perasaan Ken Dedes sebagai seorang gadis menjadi
bergelora. Tiba-tiba ia tak dapat menahannya. Betapa ia malu seandainya
Wiraprana tak memenuhi harapannya. Bahwa apa yang dilihatnya di mata
anak muda itu, dan apa yang dirasakan di dalam kata-katanya saat-saat
bila mereka bercakap-cakap dan bergurau itu keliru.
Wiraprana merasakan kekakuan itu.
Suasana itu demikian anehnya pada perasaannya. Karena itu tiba-tiba ia
berkata, “Agni, apakah Ken Dedes menunggumu makan?”
Agni sadar, bahwa Wiraprana hanya
bergurau. Tetapi akibatnya kata-kata seperti air yang tepercik di
lukanya. Pedih. Maka jawabnya terbata-bata, “Tidak Prana.”
Tiba-tiba sekali lagi dada Agni berdesir
ketika Ken Dedes berkata lirih dengan sama sekali tak mengangkat
wajahnya, “Kakang. Aku mencari Kakang sejak tadi. Bukankah Kakang belum
makan?”
“Oh,” Agni mengeluh di hatinya. Pergaulan ini benar-benar menyiksanya.
“Nah,” sahut Wiraprana sambil tertawa,
“pantaslah. Ceritamu dan kata-katamu selama ini bersimpang siur tak
keruan. Makanlah Agni, supaya hatimu menjadi terang. Dan kau tidak akan
gemetar lagi.”
Perasaan Mahisa Agni benar seperti biduk
yang kecil di dalam permainan gelombang yang ganas. Tetapi ketika
sekali lagi ia menatap wajah sahabatnya itu, sekali lagi ia mengeluh di
dalam hatinya. Wajah itu sedemikian bersih dan jujur. Karena itu
kembali terdiam. Dan kembali suasana menjadi kaku.
Timbullah suatu harapan di hati Ken
Dedes, agar Wiraprana ikut makan bersama Agni seperti kebiasaan mereka.
Adalah menjadi kebiasaannya pula mengajak anak muda itu berbuat
demikian. Tetapi kali, ini mulutnya serasa terkunci. Dan tak sepatah
kata pun dapat diucapkan. Ken Dedes menjadi bingung ketika Wiraprana
berkata, “Ken Dedes, kenapa kau tidak minta aku makan bersama Kakang
Agni?”
Hati Ken Dedes berdesir mendengar
pertanyaan itu, dan hati Mahisa Agni pun berdesir. Pertanyaan itu bukan
untuk pertama kali diucapkan. Sepuluh, dua puluh bahkan anak itu sudah
sedemikian seringnya datang ke rumah ini, sesering Mahisa Agni datang
ke rumahnya. Mahisa Agni pun tidak tahu lagi berapa kali ia pernah
dipersilakan makan di rumah Ki Buyut Panawijen. Tetapi senda gurau
Wiraprana kali ini benar-benar memusingkan kepalanya.
Ken Dedes tidak dapat mengucapkan sepatah jawaban pun. Bahkan tiba-tiba gadis itu berlari meninggalkan mereka.
Wiraprana menjadi heran. Kenapa sikap
gadis itu tidak seperti biasanya. Apakah ia berbuat suatu kesalahan.
Wiraprana itu pun kemudian sibuk melihat dirinya, sikapnya dan
kata-katanya. Aku tidak berbuat kesalahan, katanya di dalam hati. Namun
perubahan sikap Ken Dedes yang manja itu benar-benar mencemaskan.
Betapa jujurnya hati Wiraprana ketika ia
mengucapkan sebuah pertanyaan kepada sahabatnya, “Agni, apakah kau
bertengkar dengan Ken Dedes?”
Mahisa Agni menjawab dengan gugup, “Tidak Prana. Tidak.”
“Syukurlah,” sahut anak muda itu, “aku melihat sesuatu yang agak lain.”
“Mungkin,” jawab Mahisa Agni sekenanya.
Tetapi ia terkejut sendiri atas jawabannya itu. Apalagi ketika Wiraprana bertanya, “Benarkah dugaan itu?”
Mahisa Agni merenung. Ia tidak tahu bagaimana akan menjawab pertanyaan itu.
Wiraprana menarik nafas. Kini ia tidak
bergurau lagi. Tiba-tiba ia mencoba menilai, apakah yang dilihatnya
sejak Mahisa Agni datang. Lesu dan berwajah sayu. Anak muda itu
seakan-akan menjadi bingung dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya
sekenanya saja, bahkan kadang-kadang menjadi gugup. Tertawanya yang
kosong dan keningnya yang berkerut-kerut.
“Hem,” Wiraprana berdesah. “Alangkah
tumpulnya perasaanku,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak dapat
segera berpamitan. Ia takut kalau Mahisa Agni salah mengerti, dan
menyangkanya kurang bersenang hati. Karena itu ia masih duduk saja di
amben yang besar.
Sesaat mereka saling berdiam diri,
Wiraprana menebak-nebak di dalam hati, sedang Mahisa Agni dengan susah
payah berusaha menekan perasaannya.
Kemudian terdengar Wiraprana berkata,
“Agni, makanlah. Biarlah aku menunggumu di tepi kolam. Adakah guramemu
sudah bertambah banyak?”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan
demikian setidak-tidaknya ia dapat melepaskan ketegangan perasaannya
meskipun hanya sesaat ia makan. Karena itu jawabnya, “Baiklah Prana.
Tetapi tidakkah kau ikut makan pula?”
Wiraprana menggeleng. Kemudian ia pun
berdiri dan berjalan keluar. Mahisa Agni melihat pemuda itu pada
punggungnya. Tinggi, berdada bidang. Rambutnya yang lebat digelungnya di
belakang kepalanya. Langkahnya yang tegap tenang. Tiba-tiba terdengar
ia bergumam lirih. Lirih sekali, “Berbahagialah kau Wiraprana.
Mudah-mudahan aku dapat ikut berbahagia karenanya.”
Dan tiba-tiba saja terloncat dari mulut Mahisa Agni, “Wiraprana, pulanglah. Datanglah kembali nanti senja.”
Wiraprana terkejut , sehingga ia berputar. Ditatapnya wajah Agni. Betapa ia menjadi heran. Tak sahabatnya itu berkata demikian.
Mata Wiraprana yang bening itu pun
menjadi suram. Dari dalamnya memancar pertanyaan melingkar-lingkar di
dadanya. Kini terasa benar, bahwa ada sesuatu yang terjadi di rumah itu.
Namun Wiraprana tidak bertanya lagi. Ketika ia melihat wajah Mahisa
Agni yang sayu, maka Wiraprana pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah
Agni. Senja nanti aku akan datang kembali.”
Tetapi hati Wiraprana itu pun menjadi
gelisah. Di perjalanan pulang, di rumah, di setiap saat ia berteka-teki,
“Apakah kira-kira yang akan dilakukan Mahisa Agni senja nanti?”
Sepeninggal Wiraprana, Mahisa Agni pergi
ke dapur. Dilihatnya makan baginya telah tersedia di amben. Tetapi ia
tidak melihat Ken Dedes. Memang ia tidak mengharap gadis itu
menungguinya makan seperti biasanya.
Meskipun demikian, setiap gumpal nasi
yang masuk ke mulutnya terasa seakan-akan menyumbat lehernya. Dan Agni
pun tidak dapat merasakannya, apakah yang sedang dimakan itu. Asin,
manis, masam atau apapun. Mahisa Agni benar-benar tidak mempunyai nafas
untuk makan.
Setelah makan, Mahisa Agni langsung
masuk ke biliknya. Ken Dedes tidak tahu, apakah yang sedang
dilakukannya, dan apakah yang terjadi atasnya, sebab Ken Dedes sendiri
itu pun kemudian merendam dirinya di dalam biliknya pula.
Mahisa perlahan-lahan meletakkan
tubuhnya di atas pembaringannya. Ia kini tidak membanting diri lagi
seperti semalam, sehingga ambennya berderak-derak. Dengan sekuat tenaga
ia mencoba mengatur perasaannya. Sehingga kemudian tumbuhlah pikirannya
yang hening. Kini ia tinggal menunda sampai senja. Ia mengharap
Wiraprana akan datang dan dengan demikian ia akan menyelesaikan
pekerjaannya. Ia menyadari, bahwa Ken Dedes benar memerlukan
pertolongannya. Betapa pun sakitnya. Ia tidak dapat berbuat lain,
daripada berkata dengan hati yang pedih kepada Wiraprana, seperti yang
didengarnya dari mulut Ken Dedes semalam. Diminta atau tidak diminta.
Biarlah mereka menemukan kebahagiaan, gumamnya.
Mahisa Agni terkejut, ketika ia
mendengar seseorang mengetuk pintu biliknya. Kemudian didengarnya sebuah
pertanyaan lirih, “Ngger, apakah Angger sedang tidur?”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Suara itu adalah suara emban tua, pengasuh Ken Dedes. Orang itu pasti
akan datang kepadanya, dan akan mengulangi permintaan Ken Dedes
kepadanya.
“Persetan!” teriaknya di dalam hati.
Tetapi sesaat kemudian ia menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan ia bangkit, dan membuka pintu biliknya.
“Masuklah, Bibi,” terdengar Mahisa Agni mempersilakan. Namun suaranya bergetar.
Orang tua itu pun masuk ke dalam bilik
Agni dan duduk di amben di samping anak muda itu. Wajahnya yang telah
berkerut-kerut itu ditundukkan jauh-jauh menghujam ke jantung bumi.
Nafas Mahisa Agni pun serasa
tertahan-tahan di hidungnya. Ia menanti kata-kata emban tua itu.
Kata-kata yang sudah didengarnya sendiri. Kata-kata yang telah menyobek
jantungnya. Tetapi untuk beberapa saat emban tua itu tidak berkata apa
pun. Bahkan terdengar betapa ia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam.
Bilik itu pun kemudian diliputi oleh suasana sepi. Sepi yang tegang. Namun orang tua itu masih berdiam diri.
Alangkah terkejutnya Mahisa Agni, ketika
kemudian ia melihat, air mata orang tua itu satu-satu menetes di
pangkuannya. Mahisa Agni menjadi heran. Apakah sebabnya? Seharusnya,
seandainya dirinya seorang perempuan, maka ialah yang harus menangis
melolong-lolong. Bukankah perempuan itu hanya harus datang kepadanya,
mengatakan seperti apa yang dikatakan Ken Dedes kepadanya? Tetapi kenapa
ia menangis?
“Kenapa Bibi menangis?” tiba-tiba terdengar Mahisa Agni bertanya.
Orang tua itu mengangkat wajahnya.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang suram. Kemudian orang tua itu
berdesah, “Ah. Alangkah anehnya hidup ini.”
“Apa yang aneh, Bibi?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak menyangka Ngger, bahwa
perjalanan hidupmu dan Ken Dedes, pada suatu saat akan sampai di
persimpangan,” jawab orang tua itu.
Melonjaklah hati Mahisa Agni mendengar kata-kata itu. Ia ingin meyakinkan pendengarannya, maka ia pun bertanya, “Kenapa?”
“Aku adalah orang tua Ngger,” sahut
orang tua itu, “sudah belasan tahun aku hidup di padepokan ini sebagai
emban pemomong putri Empu Purwa itu. Dan sudah belasan tahun pula aku
mengenalmu. Betapa aku melihat tingkah laku kalian berdua, hubungan
kalian berdua sebagai kakak beradik. Aku, yang hidup di luar ikatan itu,
merasa betapa kalian tak akan terpisahkan. Namun tiba-tiba semalam aku
mendengar suatu keajaiban. Keajaiban yang tak pernah aku
sangka-sangka.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya.
Ditatapnya kembali wajah orang tua itu. Orang tua yang seakan-akan
memancarkan perasaan belas kasihan kepadanya. Karena itu tiba-tiba luka
di hati Mahisa Agni seperti diungkit-ungkitnya. Sebagai seorang
laki-laki Mahisa Agni tidak akan tenggelam dalam kegagalan itu. Maka
justru harga dirinyalah yang tersinggung. Tetapi, jauh di dasar dadanya
terdengar hatinya menangis. Tidak, ia mencoba menutupi tangis itu.
Karena itu dengan gagahnya ia berkata, “Ada yang bibi tangiskan? Apakah
bibi menyangka bahwa aku dan gadis itu akan dapat tetap hidup
bersama-sama. Aku adalah laki-laki. Suatu ketika aku akan meninggalkan
padepokan ini. Bukankah aku di sini hanya sekedar berguru?”
Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang mulai berkeriput.
“Jangan Bibi berprasangka,” Agni
meneruskan, “tak ada hubungan apa pun antara aku dan gadis itu, selain
sebagai anak guruku. Apabila kemudian aku dan gadis itu akan sampai di
persimpangan jalan, itu adalah wajar. Aku atau gadis itulah yang akan
pergi dahulu meninggalkan padepokan ini. Aku akan dapat segera pergi
untuk merantau menambah pengalaman hidup dan pengalaman ilmu yang aku
miliki, atau gadis itulah yang pergi dahulu mengikuti suaminya di rumah
Buyut Panawijen.”
“Oh?” perempuan tua itu terkejut, sehingga ia berkisar maju.
Mahisa Agni pun terkejut, ketika ia
melihat emban tua itu sedemikian terkejutnya mendengar jawabannya.
Barulah kemudian ia sadar, bahwa kata-kata yang terloncat dari mulutnya
agaknya telah mendahului kabar yang akan dibawa perempuan itu
kepadanya. Ternyata pula kemudian orang tua itu bertanya, “Adakah Ken
Dedes telah mengatakannya kepadamu?”
Mahisa menjadi bingung. Ia tidak tahu
bagaimana akan menjawab pertanyaan itu, sehingga kemudian wajahnya pun
tunduk lesu. Dan mulutnya serasa terbungkam. Hanya tubuhnyalah yang
kemudian bergetar.
Emban tua itu menjadi sedemikian heran,
sehingga ia mengulangi pertanyaannya, “Angger, dari manakah Angger tahu,
bahwa Ken Dedes pada suatu ketika akan meninggalkan padepokan ini dan
mengikuti suaminya ke rumah Buyut Panawijen?”
Mahisa Agni akhirnya merasa, bahwa ia
harus menjawab pertanyaan itu. Tak mungkin ia mengelak lagi. Maka dengan
angkuhnya ia berkata untuk menutupi kekurangan yang mencengkam
perasaannya, “Kenapa tidak? Aku telah mengatakan kepadanya, Wiraprana
adalah pilihan satu-satunya baginya. Aku, yang telah menganggap Ken
Dedes itu sebagai adik kandungku, telah menyetujuinya gadis itu berbuat
demikian, daripada ia harus memilih salah satu dari anak-anak yang
belum dikenal watak dan tabiatnya.”
“Oh,” desah perempuan itu, namun ia bertanya, “sejak kapan kau mengatakan kepadanya?”
“Sudah lama aku berkata demikian
kepadanya,” jawab Agni. Ia sudah terdorong masuk ke lubang yang
digalinya. Karena ia tidak dapat meloncat keluar. Bahkan ia akan menjadi
semakin dalam terbenam ke dalamnya, sehingga kemudian terdengar
perempuan itu bertanya, “Sudah lama? Sehari?”
“Sebulan,” sahut Mahisa Agni.
“Oh,” kembali emban tua itu berdesah.
Dan alangkah gelisahnya Mahisa Agni, ketika ia melihat mata orang tua
itu, yang seakan-akan menjadi semakin kasihan kepadanya. Sedemikian
gelisahnya, sehingga Mahisa Agni itu bertanya, “Kenapa bibi memandang
aku sedemikian?”
“Aku kasihan kepadamu, Ngger,” jawabnya jujur.
“He?” Agni hampir berteriak, “kenapa
kasihan? Aku laki-laki yang tidak perlu belas kasihan orang lain. Juga
belas kasihan darimu, Bibi. Juga tidak dari Ken Dedes.”
Perempuan itu mengerutkan keningnya, “Kenapa Ken Dedes?”
Kembali Agni terbungkam. Dan kembali ia tidak tahu, bagaimana ia akan menjawabnya.
“Angger,” berkata perempuan itu kemudian
perlahan-lahan, “jangan membohongi aku. Pasti kau belum mengatakannya
kepada Ken Dedes, bahwa sebaiknya gadis itu memilih Wiraprana.”
Orang tua itu berhenti sejenak, lalu
lanjutnya, “Baru semalam gadis itu minta kepadaku untuk menyampaikannya
kepadamu. Tetapi kau sudah mendengarnya. Adakah semalam kau
mendengarkan percakapan kami?”
Mahisa Agni benar-benar terkejut
mendengar pertanyaan itu. Sehingga ia menjadi bingung dan gugup. Namun
ia tidak mau melihat kekurangan dirinya. Ia tidak mau seseorang
menganggapnya bahwa ia tidak dapat memadai Wiraprana, sehingga seorang
gadis lebih menyukai Wiraprana daripadanya. Karena itu maka katanya,
“Apa salahnya aku mendengar percakapan kalian. Aku sama sekali tidak
berkeberatan. Aku sudah berjanji, bahwa aku akan menyampaikannya kepada
Wiraprana. Membawanya kepada gadis itu. Kenapa tidak? Aku sama sekali
tak berkepentingan dengan keduanya, selain Ken Dedes adalah adikku dan
Wiraprana adalah sahabatku.”
Mahisa Agni masih berkata terus, namun orang tua itu memotong kata-katanya, “Adakah sedemikian juga kata hati mu?”
“Jangan mengada-ada, Bibi,” sahut Mahisa
Agni sambil berdiri. Kemudian ia melangkah beberapa langkah, dan
berdiri di pintu sambil bersandar tiang. Pandangannya jauh menyeberangi
ruang dalam seakan-akan menembus dinding-dinding rumah Empu Purwa.
Tetapi Mahisa Agni kemudian memutar
tubuhnya, dan sekali lagi ia heran. Perempuan itu menangis. Karena itu
sekali lagi Mahisa Agni bertanya, “Kenapa kau menangis?”
Kini emban tua itu menunduk. Dari
sela-sela isak tangisnya ia berkata, “Angger, aku ingin melihat kau
berbahagia. Aku ingin melihat kau dan Ken Dedes, hidup bersama-sama
dalam ikatan keluarga.”
“Tidak,” potong Mahisa Agni, “tidak!
Jangan Bibi mencoba mempengaruhi kemurnian anggapanku terhadap gadis
itu. Aku tidak lebih dari kakak kandungnya.”
“Agni,” kata perempuan itu, “jangan berbohong kepadaku. Dan jangan berbohong kepada diri sendiri.”
“Cukup!” Mahisa Agni membentak. Tetapi
ia menyesal. Karena itu ia berkata lirih sambil mendekati perempuan itu,
“Maaf, Bibi. Tetapi Bibi jangan menyebut-nyebut itu lagi.”
Mahisa Agni menjadi gelisah ketika
kembali wanita tua itu memandangnya. Sinar matanya itu seakan-akan
langsung menghunjam ke jantungnya. Karena itu sekali lagi Mahisa Agni
melangkah, bersandar uger-uger pintu.
“Aku menjadi bersedih, Ngger,” bisik
emban itu, “ketika aku mendengar Ken Dedes menyebut sebuah nama. Dan
nama itu bukan namamu.”
“Jangan pedulikan aku Bibi,” potong Agni.
“Tidak dapat Ngger. Aku menitipkan harapan di hari depanmu.”
Mahisa Agni tersentak. Cepat-cepat ia berpaling dan bertanya, “Kenapa?”
“Kau masih mau mendengar?”
“Tentang harapan itu, bukan tentang seorang gadis.”
Perempuan itu menunduk. Kemudian ia
berkata-kata, namun seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Kau
adalah satu-satunya harapan bagi masa depan yang panjang Agni. Bukankah
kau tidak bersaudara? Kalau masa depanmu suram, masa depanku pun
menjadi gelap. Lebih gelap daripada masamu itu. Sebab umurku tidak akan
melebihi hitungan jari sebelah tangan.”
Mahisa Agni menjadi semakin tidak tahu
arah pembicaraan perempuan tua itu. -Apakah hubungannya hari depannya
dengan hari depan orang tua itu. Karena itu, maka dengan berbagai
pertanyaan di dadanya ia mendengar perempuan itu berkata, “Kalau kalian
tidak terpisahkan. Maka aku pun akan selalu bersama kalian. Aku pasti
akan ikut Ken Dedes sebagai pemomongnya. Kalau kau terpisah daripadanya,
maka aku pun tak akan melihatmu lagi setiap hari.”
“Oh,” Agni menjadi kecewa mendengar
alasan itu. Betapa sederhana. Maka jawabnya, “Bibi terlalu mementingkan
kepentingan sendiri. Bibi hanya ingin mengikuti Ken Dedes dan melihat
aku setiap hari. Itu saja? Baik. Baik. Kelak aku juga akan ikut Ken
Dedes dan Wiraprana. Biarlah aku menjadi juru pengangsu atau menjadi
pakatik pemelihara kuda.”
Kata-kata Agni terputus ketika orang tua
itu menutup kedua wajahnya dengan tangannya yang kisut. Terdengarlah
orang tua itu terisak.
Dan Agni pun menjadi semakin tidak
sabar. Maka katanya, “Kenapa Bibi menangis saja? Bukankah Ken Dedes
minta Bibi menyampaikan kepadaku permintaan supaya aku berkata kepada
Wiraprana bahwa Ken Dedes menunggunya. Bahkan Wiraprana harus datang
kepada Empu Purwa dengan sebuah upacara lamaran. Dan bahwa lamaran itu
pasti akan diterimanya? Bukankah begitu?”
“Ya, ya, Agni,” potong perempuan itu, “demikianlah.”
“Nah. Kenapa Bibi tidak mengatakannya? Malahan Bibi menangis saja?”
“Aku ingin mengatakannya kepadamu.
Tetapi bukankah kau sudah mengetahuinya?” sahut emban itu, “karena itu
tentu sudah tidak akan menarik lagi bagimu. Tetapi Ngger, keinginanku
melihat kalian berdua hidup bersama bukan karena alasan yang terlalu
sederhana itu. Bukan itu. Dan aku tidak berkeinginan untuk memaksamu
atau mempengaruhi keikhlasanmu, seandainya kau benar-benar melihat
kenyataan itu. Bahkan aku ingin melihat kau melampaui kegagalan ini
dengan hati jantan.”
“Ah,” Agni berdesah.
“Tetapi,” orang tua itu meneruskan, “aku menjadi gelisah karena aku melihat keadaanmu.”
“Biar, biarlah aku dalam keadaanku,” sahut Agni.
“Angger, kau masih mau mendengar sebuah cerita?”
Agni menoleh. Ditatapnya kembali wajah
yang sudah berkeriput oleh garis-garis ketuaannya. Tetapi kembali Mahisa
Agni menatap titik di kejauhan. Gumamnya acuh tak acuh, “Cerita
tentang harapan di masa depan. Bukan tentang gadis.”
Orang tua itu menggeser duduknya.
Kemudian sambil menundukkan kepala ia mulai dengan kisahnya, “Dahulu
adalah seorang gadis yang sederhana. Sederhana ujudnya dan sederhana
hatinya. Tetapi di luar setahunya dan kemauannya, beberapa orang pemuda
telah mencintainya bersama-sama. Sudah tentu bahwa gadis itu tak akan
dapat memilih lebih dari satu di antaranya. Karena itu di luar
pengetahuan siapa pun, gadis itu telah berjanji untuk hidup bersama-sama
dengan salah seorang dari mereka. Seorang laki-laki yang keras hati
dan berkemauan teguh. Untuk bekal hidup mereka kelak maka laki-laki itu
memutuskan untuk pergi merantau, mencari daerah-daerah baru yang akan
dapat memberi mereka tanah untuk garapan, supaya mereka dapat hidup
dengan tenang dan tidak kekurangan makan. Gadis itu pun tidak
berkeberatan. Dilepasnya laki-laki itu dengan janji, bahwa gadis itu
akan menunggunya sampai ia kembali.”
Mahisa Agni mendengar juga cerita itu.
Kata demi kata. Tetapi ia sama sekali tidak menaruh minat. Ia
mendengarkan hanya karena ia tidak mau menyakitkan hati emban tua itu.
Apalagi ternyata cerita itu sama sekali tak menyinggung-nyinggung
hubungan antara masa depan perempuan tua itu dengan masa depannya. Dan
ia masih mendengar emban itu berkisah terus, “Setahun, dua tahun
sehingga akhirnya sampai pada tahun ketiga. Namun laki-laki itu tak
kunjung datang. Harapan-harapan yang telah dianyam oleh mereka berdua,
sedikit demi sedikit rontok dari hati gadis itu. Apalagi kemudian ayah
bundanya, dan keluarga di sekitarnya, telah mendesaknya untuk segera
meninggalkan masa-masa mudanya. Akhirnya gadis itu tak dapat berbuat
lain daripada memilih satu dari sekian banyak pemuda yang melamarnya.
Laki-laki yang pergi itu tak akan dapat diharapnya kembali.”
Perempuan tua itu berhenti sejenak
Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni tidak berpaling.
Anak muda itu masih memandang jauh ke depan, melewati pintu biliknya,
menyeberangi ruang dalam dan menembus dinding di sebelah sana.
“Kau mendengar ceritaku?” bertanya emban itu.
“Ya, ya, tentu,” Agni terperanjat.
Perempuan tua itu menarik nafas. Ia tahu
bahwa Mahisa Agni tidak berminat atas ceritanya, namun ia bercerita
terus. Pada suatu saat anak muda itu pasti akan menaruh perhatian kepada
ceritanya itu. Maka ia pun meneruskan, “Maka sampailah masanya gadis
itu memanjat ke hari-hari perkawinannya. Laki-laki yang dipilihnya kali
ini pun adalah laki-laki yang berhati teguh. Ia mengharap bahwa
suaminya akan dapat melindunginya apabila sekali-sekali kesulitan
datang. Sebab tidak mustahil, apabila anak-anak muda yang menjadi
kecewa kelak akan bermata gelap. Namun meskipun laki-laki itu berhati
teguh. dan beradat keras, namun ternyata adalah seorang suami yang
baik. Dilihatnya kepentingan sendiri, namun. tak diabaikannya
kepentingan istrinya itu Sehingga akhirnya, perkawinan itu menjadi
semakin terjalin oleh anaknya yang pertama. Laki-laki.”
Sekali lagi perempuan itu berhenti.
Matanya menjadi semakin sayu, dan wajahnya menjadi semakin tunduk.
Hampir-hampir ia tidak dapat meneruskan ceritanya, karena lehernya
serasa tersekat oleh setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia
memaksa bercerita terus. Katanya, “Tetapi pada suatu saat, datanglah
badai yang mengguncangkan ketenteraman hidup mereka. Laki-laki yang
telah disangkanya hilang itu, akhirnya datang kembali. Dengan bangga ia
mencari gadis yang telah berjanji menunggunya. Dengan luka-luka di
tubuhnya yang didapatnya dalam setiap persoalan di sepanjang jalan,
namun dengan dada menengadah ia berkata, ‘Aku sekarang adalah seorang
yang kaya raya’ ”
Tetapi akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu
mendengar cerita itu. Karena itu ia mendahului, “Aku sudah tahu
kelanjutan cerita itu. Kedua laki-laki itu akan bertempur satu sama
lain. Laki-laki yang merantau itu akan menang, dan perempuan itu akan
kembali kepadanya.”
Emban tua itu menjadi sedih. Katanya, “Sayang Ngger, cerita itu berkesudahan lain.”
“Oh,” sahut Agni, “jadi laki-laki yang pulang dari rantau itulah kalah?”
“Tidak,” jawab perempuan tua itu.
“Juga tidak. Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Agni.
Perempuan itu menarik nafas. Seakan-akan
sedang mengatur gelora di dadanya. Kemudian ia meneruskan, “Gadis yang
telah menjadi ibu itu pun mendengar bahwa laki-laki yang pernah
ditunggunya itu datang. Maka ia pun menjadi bingung. Terkenanglah ia
pada masa-masa gadisnya. Janjinya kepada anak muda itu. Dan kembali
terkenang masa-masa yang penuh gairah menghadapi masa depan.
Sebenarnyalah ia masih belum dapat melenyapkan laki-laki itu dari
hatinya. Namun disadarinya, bahwa untuk meninggalkan suaminya tak akan
dapat dilakukannya. Pergaulan hidup yang selama ini dialaminya, adalah
kehidupan yang manis. Karena itu, perempuan itu tak tahu bagaimana ia
harus menyelesaikan persoalannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa
kedua-duanya adalah orang-orang sakti yang sukar dicari tandingnya.”
“Maka ketika ia tidak dapat
menyembunyikan keadaan itu, akhirnya ia memutuskan untuk berkata
berterus terang kepada suaminya, dan ia mengharap daripadanya ia akan
mendapat pikiran-pikiran baru untuk menyelesaikan persoalan itu.”
“Ketika laki-laki itu mendengar
pengaduan istrinya, perasaan-perasaannya dan pengalaman-pengalamannya
dengan jujur, laki-laki itu terkejut. Ditatapnya mata istrinya dengan
penuh keganjilan. Tetapi laki-laki itu tidak berkata sepatah kata pun.
Dibiarkannya istrinya menangis. Bahkan kemudian laki-laki itu pun
meninggalkannya seorang diri. Perempuan itu menjadi cemas, bahwa
suaminya akan menemui laki-laki yang seorang lagi. Ia takut kalau
terjadi perkelahian di antara mereka. Karena itu, maka ia pun segera
berlari ke rumahnya. Tetapi suaminya tak ditemuinya di sana. Bahkan
laki-laki yang telah pulang dari rantau itulah yang menemuinya. Namun
perempuan itu pun tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya dapat menangis.
Akhirnya laki-laki itulah yang berkata, ‘Pulanglah. Aku sudah tahu apa
yang terjadi. Dan aku akan merantau kembali membawa hatiku yang
terbelah. Aku pulang dengan membawa harapan. Tetapi laki-laki itu lebih
memerlukan kau daripada aku. Kembalilah kepadanya, dan peliharalah
baik-baik’”
“Perempuan itu mengeluh. Diterimanya
nasihat itu, namun disadarinya bahwa ia telah merusak sebuah hati. Ia
tidak tahu, apakah hati yang dilukainya itu akan dapat sembuh kembali.
Dengan sedih perempuan itu pulang ke suaminya. Namun suaminya tak
ditemuinya di rumah. Akhirnya di dengarnya bahwa malapetaka telah
menimpanya tanpa disangka-sangkanya. Seorang pembantunya yang setia
datang kepadanya sambil berkata ‘Suamimu telah pergi. Ditinggalkannya
pesan untuk Nyai, hidup berbahagia dengan laki-laki yang telah
bertahun-tahun ditunggunya’”
“Perempuan itu hampir pingsan mendengar
berita itu, apalagi ketika pembantu setianya itu berkata, ‘Anakmu
laki-laki telah dibawa serta oleh suamimu, Nyai’”
Emban tua itu berhenti sejenak.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni yang tiba-tiba menjadi merah. Dengan
tiba-tiba pula Mahisa Agni berdiri, dan dengan suara yang bergetar ia
berkata lantang, “Bibi, adakah kau sedang menyindir aku. Apakah kau
sangka aku laki-laki cengeng seperti kedua laki-laki itu? Tidak. Atau
kau sedang menganjurkan kepadaku, supaya aku menjadi seperti kedua
laki-laki yang hanya mampu berpura-pura itu?”
“Katakanlah ia berbuat kebajikan.
Keluhuran budi, namun kedua-duanya tidak jujur. Bukankah Bibi mengatakan
bahwa hati mereka terbelah?”
“Agni..,” potong perempuan tua itu.
Namun Agni berkata terus, “Ataukah kau
menghendaki supaya aku bersikap jantan? Menantang laki-laki yang
menghalang-halangi aku. Dengan bertaruh nyawa untuk mencapai idaman
hati? Tidak. Tidak. Jangan gurui aku. Sebab aku mempunyai pendirian
sendiri. Perempuan itulah yang bersalah. Bukankah dengan demikian, ia
memecah dua buah hati sekaligus, atau apabila mereka laki-laki yang
rakus, bukankah mereka telah bertempur. Apabila salah seorang dari
mereka itu mati atau kedua-duanya, siapakah yang bersalah? Pasti
perempuan itu. Gadis itu.”
“Agni. Agni,” perempuan tua itu memekik
kecil. Sehingga Agni terkejut. Dengan demikian ia menjadi terdiam.
Bahkan ia pun kemudian sadar, bahwa ia telah berbicara terlalu keras,
sehingga apabila seseorang mendengarnya, pastilah orang itu menyangka
bahwa ia sedang bertengkar.
Tetapi Mahisa Agni menjadi lebih
terkejut lagi ketika dilihatnya mata perempuan tua itu. Mata itu
tiba-tiba menjadi bercahaya, dan mata itu menatapnya dengan tajam. Dan
dilihatnya bibir wanita itu bergetar. Perlahan-lahan namun pasti
perempuan tua itu berkata, “Kau benar Agni. Perempuan itulah yang
bersalah. Ia telah mengecewakan kedua-duanya. Karena itulah maka
perempuan itu harus dihukum. Kau benar anak muda. Perempuan itu harus
dihukum. Dan perempuan itu pun telah menghukum diri sendiri. Betapa ia
membuang diri dari lingkungannya. Dari keluarga dan sanak kadang.
Hiduplah ia kemudian sebagai seorang budak yang hina.”
Emban itu berhenti sejenak. Matanya
masih menyala. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi apakah yang dilakukan
oleh kedua laki-laki itu. Meskipun mereka tidak bertempur satu sama
lain, namun tak banyaklah artinya daripada itu. Mereka menumpahkan
kepahitan hidupnya pada orang-orang lain. Dan kedua laki-laki itu pun
tak berumur panjang. Sebelum matinya, laki-laki yang membawa anaknya itu
selalu berkata kepada anaknya, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Dan
akhirnya ayahnya pun meninggal pula.”
Ketika perempuan tua, emban Ken Dedes
itu berhenti sejenak Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Masih
dilihatnya mata emban itu memandangnya dengan tajam. Dan tiba-tiba saja
terasa seakan-akan sinar mata itu menusuk ulu hatinya, sehingga Mahisa
Agni pun dengan tergesa-gesa berpaling.
Kemudian terdengar emban itu meneruskan,
“Tetapi ke tahuilah Agni. Perempuan itu, ibu anak yang ditinggalkan
ayahnya itu, sebenarnya belum mati.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Terasa
sesuatu bergolak di dalam rongga dadanya. Apalagi ketika ia mendengar
emban itu meneruskan dengan suara lembut, namun dalam sekali, “Agni, kau
ingin melihat perempuan yang berdosa itu. Yang telah mengecewakan dua
orang lelaki sekaligus?”
Agni tidak menjawab. Tetapi ia memandang
mata perempuan tua itu. Dan telinganya mendengar emban itu berkata,
“Inilah perempuan itu.”
“Oh,” Agni terperanjat. Dan tak sesadarnya ia berkata, “Maafkan aku Bibi.”
“Kau benar Ngger. Tak ada yang harus aku
maafkan,” perempuan tua itu menundukkan wajahnya. Dan kembali air
matanya menetes satu-satu. Tetapi kini Agni melihat betapa sedih hati
perempuan itu. Justru karena ia menyadari, bahwa ia telah menghancurkan
harapan dari dua orang laki-laki bersama-sama.
Agni pun menundukkan wajahnya. Ia
menyesal akan ketelanjurannya. Ia menyesal bahwa ia telah bersikap
terlalu kasar kepada perempuan tua itu. Kini sedikit demi sedikit
terguratlah di dinding hatinya, maksud sebenarnya dari perempuan itu.
Mungkin perempuan itu akan mengatakan kepadanya, bahwa Ken Dedes pun tak
dapat disalahkannya. Meskipun perempuan itu tidak membantah, bahkan
mengakui, bahwa dirinya telah berdosa, tetapi tersimpan juga pertanyaan
di hatinya ‘Apakah sebenarnya aku bersalah?’.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Mungkin, katanya di dalam hati. Mungkin perempuan itu akan memberi
nasihat kepadaku, supaya aku tidak mendendam dan menjalani sisa-sisa
hidup dengan pedih dan duka. Tetapi Mahisa Agni tak berkata sepatah pun.
Untuk sesaat ruangan itu menjadi sunyi.
Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Dan perempuan tua itu sedang
sibuk mengusap air matanya dengan ujung kainnya.
Tetapi sampai saat itu Mahisa Agni masih
belum dapat menghubungkan, betapa perempuan itu menyimpan harapan
sejalan dengan masa depannya.
Sesaat kemudian terdengar emban itu
berkata, “Angger, kini kau tahu dengan siapa kau berhadapan.
Bagaimanakah anggapanmu kepada perempuan yang demikian? Masihkah ia
berhak menyebut dirinya di antara keluarganya?”
Mendengar pertanyaan itu, Mahisa Agni
menjadi bimbang. Apakah perempuan itu bercerita tentang dirinya, ataukah
ia sedang menjajaki tanggapannya terhadap Ken Dedes? Tetapi melihat
sinar matanya, maka Agni merasa, bahwa perempuan itu berkata dengan
jujur. Meskipun demikian Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan
itu. Sehingga perempuan itu terpaksa sekali lagi mengulangi.
“Angger, bagaimanakah anggapanmu
terhadap perempuan yang demikian? Apakah ia mutlak bersalah dan harus
dihukum untuk seumur hidupnya?”
Dengan serta merta Agni menjawab di luar kemauannya, “Tidak. Tidak Bibi.”
Perempuan itu menarik nafas. Kemudian ia
bertanya pula, “Bagaimanakah seandainya, perempuan itu termasuk salah
seorang keluargamu. Kakakmu misalnya atau adikmu perempuan?”
Kini Agni menjadi semakin bimbang.
Hampir ia kecewa terhadap perempuan itu. Apakah aku harus menentukan
tanggapanku terhadap Ken Dedes? Sekali lagi tebersit pertanyaan di dalam
hati. Namun akhirnya Mahisa Agni tak dapat lagi menyimpan pertanyaan
itu, sehingga akhirnya terlontar dari mulutnya, “Adakah Bibi sedang
ingin mengetahui, apakah aku mendendam kepada Ken Dedes?”
“Tidak Ngger. Tidak,” jawab perempuan
tua itu cepat-cepat, lalu disambungnya, “Aku bertanya kepadamu sejujur
hatiku. Kalau perempuan itu datang kepadamu Agni, apakah akan kau usir
dia?”
Agni memandang perempuan tua itu dengan
tajamnya. Ketika dilihatnya wajah yang sayu, maka ibalah hatinya. Ia
tidak mau menambah pedih hati yang luka itu. Karena itu ia menjawab,
“Tentu Bibi. Seandainya aku salah seorang dari keluarga bibi, maka akan
aku terima Bibi kembali kepadaku.”
“Oh,” perempuan itu akan berkata, namun
tiba-tiba kembali ia menangis. Dan Mahisa Agni pun menjadi semakin tidak
mengerti. Apakah sebenarnya yang terjadi dengan perempuan itu?
Disela-sela tangisnya Agni mendengar ia
berkata, “Agni. Aku tidak tahu, apakah kau berkata sebenarnya, atau kau
hanya ingin menyenangkan hatiku. Tetapi ketahuilah, bahwa perempuan
itu, aku, benar-benar ingin kembali kepada satu-satunya keluarganya
yang diketahuinya. Bahkan satu-satunya orang yang dapat menyebutnya
orang tua. Agni. Ketahuilah bahwa perempuan itu ingin datang kepada
anak laki-lakinya. Dan anak laki-laki itu kini telah ditemukannya.
Bahkan sebenarnya sudah sejak lama. Namun perempuan itu takut melihat
bayangannya sendiri.”
Perempuan itu berhenti sejenak.
Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan dada Mahisa Agni. Apalagi
ketika perempuan itu berkata seterusnya. Kata demi kata, bagaikan
guruh yang menggelegar di tengah-tengah hari yang cerah, “Agni.
Anak-anak laki-laki itu kini berada di sini pula. Di ruangan ini.”
“Bibi,” potong Agni terbata-bata, “Apakah yang dimaksudkan dengan anak laki-laki itu aku?”
Perempuan itu mengangguk. Lemah dan ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata pasti, “Ya Agni. Kau.”
“Jadi….?” Agni ingin berkata lagi. Namun
tiba-tiba terasa mulutnya seperti tersumbat dan jantung serasa beku.
Tubuhnya yang kokoh itu pun bergetar dan akhirnya terhuyung-huyung ia
melangkah maju, sambil berdesis, “Ibu. Benarkah?”
Perempuan itu mengangguk lemah. Lemah sekali.
Peristiwa itu benar-benar tak akan
disangka-sangka sebelumnya. Karena itu Mahisa Agni menjadi bingung.
Sesaat ia berdiri mematung, namun kemudian ia meloncat dua langkah maju
dan berjongkok di hadapan perempuan tua itu. Katanya, “Jadi benarkah
bahwa yang duduk di hadapanku ini ibuku?”
“Ya, Agni,” jawab perempuan itu, “ibu
yang melumuri tubuhnya dengan dosa. Tak ada yang pernah aku kerjakan
sebagai seorang ibu untuk anaknya. Dan sekarang terserah kepadamu Agni.
Apakah kau ingin menerimanya atau kau akan menolaknya.”
Agni tidak menjawab. Tetapi dengan
gemetar ia memeluk kaki perempuan tua itu. Dadanya yang bergelora serasa
akan meledak. Setetes demi setetes air mata perempuan tua itu menitik
di atas kepalanya.
Kembali bilik itu menjadi sepi. Yang
terdengar adalah nafas Mahisa Agni yang berdesak-desakan memburu keluar
dari lubang-lubang hidungnya. Seperti orang yang kehilangan kesadaran.
Agni tenggelam dalam suatu gelora perasaan yang dahsyat. Pertemuan itu
benar-benar mengejutkannya. Sebab telah tertanam di dalam hatinya suatu
pengertian, bahwa ibunya telah meninggal dunia. Kini perempuan itu
berkata, bahwa ia adalah ibunya. Meskipun kata-kata itu tak akan dapat
dibuktikannya, namun Agni mempercayainya. Dengan suatu keyakinan, yang
tumbuh di dalam hatinya, ia pasti, bahwa perempuan itu adalah ibunya.
(Bersambung ke Jilid 3)
No comments:
Write comments