“Langit bersih,” desis salah seorang di antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.
“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda
yang berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening
memancarkan cahaya keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan
penuh pengharapan, namun penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi
dengan pasrah diri tulus ikhlas kepada takdir Yang Maha Agung.
“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan kasar.
Melihat
anak muda yang duduk di atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi
terang. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya dan dari sela-sela
tertawanya terdengar ia menyapa, “Kuda Sempana!”
Kuda
Sempana memandang wajah Agni dengan mata yang memancarkan
keragu-raguan hatinya. Benarkah Agni berkata demikian atau telinganya
telah rusak karena pukulan-pukulan Agni yang keras. Tetapi sekali lagi
ia mendengar Sempana berkata, “Ambillah kerismu.”
Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka
masih terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju
terus menyusur dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah
mereka di Desa Panawijen.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung pendeta tua itu.
“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.
Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun
ia berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat
gemblengan lahir dan batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih
saja ia dianggapnya anak-anak yang selalu mendapat perhatian yang
berlebih-lebihan.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dapat
mengerti sepenuhnya. pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak
beranak laki-laki. Ia hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak
itu Ken Dedes yang didapatnya sebelum ia mengenakan pakaian pendeta.
Bahkan, dirasanya bahwa sikap gurunya jauh melampaui sikap seorang guru
biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti anak sendiri.
Kadang-kadang, Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat dari
sikap gurunya. Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu
cantiknya bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di
antara semak-semak yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan,
diam-diam ia bersyukur pula atas kesempatan yang pernah ditemuinya
itu. Berdiam dalam satu rumah dengan seorang gadis yang tiada taranya.
Kecantikannya dan kejernihan hatinya.
Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi, “Kau tidak lelah Agni?”
“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi
senyum itu tiba-tiba lenyap seperti asap ditiup angin.
Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang
wajah gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi
ketika ia memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa
Agni mengerutkan keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini
diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran
gurunya.
Meskipun tak sepatah kata pun yang
terlontar dari mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan
beberapa pertanyaan tentang padang rumput yang terkenal itu kepada
gurunya. Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga
dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Itulah padang rumput
Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang
yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat
Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”
Mahisa Agni memandang tanah yang
terbentang di hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang
matahari. Namun matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik
gunung. Dan malam yang hitam pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti
Gunung Kawi.
“Apakah hantu itu benar-benar ada?”
bertanya Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi
hatinya. Ia hanya ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang
Karautan.
“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum pula.
“Aku terlalu sering mendengar cerita tentang hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni
menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat
hantu itu. Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan
memiliki sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi
korban,” jawab Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani
lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam
keadaan telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut
Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa
yang sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar
mengerikan. Namun tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Meskipun ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya.
Tetapi, ketika ia melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang,
langkahnya pun menjadi tenang pula.
Ketika bintang gubuk penceng menjadi
semakin jelas di ujung langit sebelah selatan, sampailah mereka di
padang rumput yang mengerikan itu. Ketika Mahisa Agni menginjakkan
kakinya di atas batu-batu padas dan kemudian menjejakkannya pada
rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya berdebar-debar. Ditatapnya
dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan. Seonggok demi
seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam telaga
yang luas.
Tak sepatah kata pun yang meloncat dari
mulut kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di
samping gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang.
Seakan-akan mereka sedang menikmati sinar bulan yang cemerlang.
Ketika seekor kelinci meloncat dari
semak-semak di depan mereka, Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia
tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?” pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes
yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia.
Gagah tegap. Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang
pernah melihatnya di bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan
meskipun kotor. Tetapi sifat-sifatnyalah yang mengerikan. Hantu itu
tidak biasa membiarkan korbannya hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga
yang tak dibunuhnya. Dan yang tinggal hidup itulah yang menyebarkan
cerita tentang hantu di padang rumput Karautan. Tak seorang pun yang
dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya. Jagabaya-jagabaya dari
pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah mencobanya. Bahkan
bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu pandai
menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba
gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang
mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa
berkata dengan ramahnya, “Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau
menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang
pun. Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik
daun-daun di dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian
terdengarlah dengus kasar dan sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya,
seperti petir yang berlari di langit. Sesaat kemudian bayangan itu
telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali.
Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken
Dedes saja namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya.
Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian
ketika didengarnya hantu itu tertawa. Nadanya tinggi seperti memanjat
tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu maka terasa telinganya
menjadi sakit.
Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata, “Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”
“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,” pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu pula.
“Ya,” jawab gurunya pula.
“Kau terlalu sombong,” kembali bantu itu tertawa menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Ada keperluanmu menemui aku?”
“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa Agni.
“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan tenangnya. “Apakah waktumu terlalu sempit?”
“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” jawabnya.
Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.”
Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang
mengejutkan hatinya. “Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih
takut kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.
Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat
memandang wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia.
Bahkan ia tidak melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang
panjang terurai dengan liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang.
Dalam keremangan malam, tak dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada
tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat dengan kabar yang pernah
didengarnya, hantu itu berwajah tampan.
“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan minum darah kalian,” teriak hantu itu.
Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri.
Ngeri juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati
namun mati dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam
benaknya. Apalagi kemudian darahnya akan diminumnya pula.
“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab Empu Agni dengan tenang. “Apakah kau selalu haus?”
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku isap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu
berkata, “Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap
darah, mengisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan
oleh gigi-gigi hantu itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan
kemudian mengisap darahku, aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah
dengan seksama, bagaimana caranya melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya.
Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa
yang dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi
tidak saja Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba
menjadi bingung pula. Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di
mukanya maka segera ia bergeser surut.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Kembali hantu itu menjadi bingung.
Matanya tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus.
Kau juga anak muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa.
“Biarlah ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah
melubangi tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang
itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia
telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa
yang kau ketahui tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati
di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu,
tiba-tiba Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu
itu, yang ditariknya dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu
memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata
kalau hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah.
Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat
hantu itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat
tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan
Mahisa Agni yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat
menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di
hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan merendahkan
diri, hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa Agni.
Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan
yang bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu
lagi. Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan
diri untuk mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat
maju, hantu itu telah menyerangnya pula. Serangannya cepat dan
berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat tenaganya. Satu kakinya terjulur
ke depan sedangkan kedua tangannya seperti akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid
Empu Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini,
benar-benar merupakan bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika
serangan hantu itu tiba, Mahisa Agni segera menghindar dengan cepatnya.
Menarik satu kakinya ke belakang dan mencondongkan tubuhnya. Hantu itu
seperti terbang beberapa cengkang di hadapannya. Dengan cepatnya
Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan kirinya segera terayun
deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena.
Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya
segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah. Namun
benar-benar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk
kemudian melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri
tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan
tangan dan jari-jari yang mengembang, seperti hendak meremas muka
Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup
terlatih. Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan
beberapa pengetahuan dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula.
Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara bertempur seperti yang
dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan main. Bahkan
seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa pun yang mengikatnya.
Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan. Tetapi satu
kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu
seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis
batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas.
Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia
biasa.” Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu
tak akan dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat
menyentuh dan merasakan sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh
tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu hatinya menjadi semakin
besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin sengit.
Hantu itu masih bertempur dengan
kasarnya. Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari
segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian
saja meluncur dengan derasnya seperti batu meluncur dari tangan.
Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan
dirinya. Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar, dan menyerang.
Dicarinya celah-celah dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur
itu.
Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai
kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari
padang rumput Karautan maka pukulannya yang pertama pasti telah
meruntuhkan lawannya, yang sama sekali tidak memiliki ilmu tatabela
diri itu. Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur, sekali ia meloncat
bangkit. Sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia melenting
berdiri.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin
heran. Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu
masih saja melayaninya dengan caranya yang khusus.
Mula-mula anggapannya tentang hantu itu
telah hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu.
Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi.
Ia berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat
betapa Mahisa Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah
diturunkannya kepada anak muda itu. Cepat, lincah, dan tangguh.
Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang melingkar-lingkar tetapi
kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam di pasir pantai.
Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun
sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu
benar-benar aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah
menyentuh tubuh lawannya, namun lawannya itu benar-benar seperti kebal,
kalis dari segala macam bahaya yang menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan
sengitnya. Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala
macam ilmu yang dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu
yang tidak pandai dalam ilmu tata bela diri namun tak dapat
dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Hantu padang rumput itu menyerang membabi-buta. Semakin lama semakin
kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki, tangan, dan
pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan
jatuh terjerembab namun sesaat kemudian ia telah maju pula.
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi
bingung, bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun
beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang
kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak
berarti.
Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan
keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi
seakan-akan menyala. Dan dadanya bergetar seperti gempa.
Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan
cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu.
Samar-samar namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu.
Pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang
kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya
pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.
Malam yang kelam, semakin lama menjadi
semakin dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai
batang-batang rumput di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas
hati Mahisa Agni, dan betapa panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah
bahwa lawannya itu pun menjadi marah sekali. Tak pernah ia menemukan
lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera dikerahkan segenap
kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya. Dan
kemarahan itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di
ubun-ubunnya.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi
semakin dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat
sedangkan lawannya menjadi semakin keras dan kasar.
Empu Purwa melihat bayangan warna merah
itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk
meyakinkannya. Dan akhirnya, sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Brahma. Hem, aneh.
Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di padang rumput
ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada menyamun,
membunuh, dan memerkosa?” Kembali ia memandangi warna merah di
ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas
baginya.
“Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada
pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya
trisula itu dari almarhum gurunya. Turun-temurun dari guru ke murid.
Dan trisula itu pun kelak akan diserahkannya kepada Mahisa Agni.
Menurut cerita gurunya, trisula itu pertama-tama turun ke bumi sebagai
sinar yang membelah langit, kemudian seperti guruh meledak di lereng
Gunung Semeru. Yang pertama-tama menemukan trisula itu adalah Empu
Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru. Ketika
Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening maka timbullah
kecurigaan di dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar
dipanjatnya tebing Gunung Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar
yang memancar tegak sebesar lidi jantan menusuk langit. Ketika ia
mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, Empu sakti itu pun harus
bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di atas kepalanya.
Berkata suara itu, “Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh segala
bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke
titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda
kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda
kebesaran namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun
kepada murid-murid terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama
sekali bukan alat pembunuh. Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh
yang bagaimana pun saktinya.”
Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan
muridnya jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling namun sesaat
kemudian telah tegak kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya
seperti seekor serigala lapar menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni
bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan diri, diangkatnya kaki
kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya
terpental dan terbanting. Namun sekali lagi hantu padang rumput itu
meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh namun ia masih segar,
sesegar mula-mula mereka bertemu.
Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat
muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh
tubuhnya dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka
yang bergulat antara hidup dan mati itu.
“Agni, kau tak akan mampu
mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu. Karena itu maka segera ia harus
menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan lawannya yang keras dan
kasar.
Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya.
Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu
padang rumput itu adakah kekasih Brahma sedangkan pusaka di tangannya
adalah hadiah Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati
titik pertempuran.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu
Purwa mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua
sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap
angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
Mahisa Agni heran mendengar tegur
gurunya. Selama ini, apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah
ditariknya kembali sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut
telah hampir menelannya. Meskipun ia merasa tenaganya telah surut namun
hantu itu pun tak mampu menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu
keanehan pada gurunya kali ini. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak
berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia melepaskan
lawannya.
“Tak ada gunanya ia meneruskan.”
“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu dengan cara demikian.”
“Cara apa pun yang akan dipergunakannya, mari maju bersama-sama,” potong hantu itu.
“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”
“Kenapa?” sahut lawan Agni.
“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua itu.
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan.
“Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini.
Tetapi ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja
perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya.
Karena itu ia berteriak, “Kalian curang.
Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat
untuk menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri
tidak tahu, kenapa lawan muridnya itu menjadi silau sedangkan muridnya
sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali
ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma.
Maka terdengar jawaban pendeta tua itu,
“Senjata itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa
kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari
setan-setan yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni
dengan kasarnya. “Sekarang kau akan menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari
setan-setan, bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan
setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam
jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras
sekali. Ia tidak mau berbicara lagi. Dengan satu loncatan panjang ia
menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali
namun Empu Purwa dengan cepat dapat menghindarkan diri. Ia adalah
seorang pendeta yang mumpuni. Meskipun tak ada hasratnya untuk
berkelahi namun adalah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya.
Mahisa Agni pun tidak tinggal diam.
Segera ia meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi
perkelahian yang sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan
trisula di tangan. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu
apakah gunanya senjata itu apabila sama sekali tidak boleh ditusukkan
ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani melanggar pantangan itu.
Karena itu dipegangnya trisula itu dengan
tangan kirinya sedangkan tangan kanannya dengan tangkas menangkis
setiap serangan dan bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya.
Dengan trisula di tangan kiri itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru
terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya itu.
Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa
meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi
matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar
menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir
Mahisa Agni. Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang
yang menari-nari di udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak.
Dengan demikian Mahisa Agni dapat mengenainya lebih banyak, dan
betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun terasa juga
nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar sekuat
raksasa. Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni
benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding.
Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya
menjadi semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah
terperas habis. Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur.
Semakin lama semakin jauh. Hingga akhirnya hantu itu berteriak, “Kalau
kau jantan, lepaskan trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi! Dengarkan kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu
wibawa yang agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali
tak dapat berbuat lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak
saja Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya
pun tiba-tiba meloncat mundur. Sehingga dengan demikian, pertempuran
pun menjadi terhenti karenanya.
Empu Purwa melangkah semakin dekat di
antara kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki
tanda-tanda yang khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.
“Ya,” jawab Empu Purwa.
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara jalma mati. Aku lubangi tengkuknya dan aku hisap darahnya.”
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu
tanpa mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan
perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia
menjawab Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan
menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
“Hantu tidak pernah punya nama,” jawabnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.
“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.
Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Hantu yang menakutkan setiap orang itu
tiba-tiba menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas
bahunya. Angin yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan
ujung-ujung rambut yang terurai lepas sebebas rumput alang-alang di
padang rumput itu.
Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab, “Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu.
Tidak saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut
pula. Dengan lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk
seterusnya kau tak akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua
akan kubunuh malam ini agar Ken Arok tetap tak dikenal orang.”
Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali.
Nama Ken Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu
di padang rumput Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni
dengan lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi
ternyata kau adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai
hayat kita menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil
keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu.
“Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku bunuh. Apa artinya kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni
telah siap untuk bertempur kembali namun segera Empu Purwa berkata,
“Perkelahian di antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu
tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia
biasa sedangkan Agni membawa pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni, “sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”
“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,” potong Ken Arok.
“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu
berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau?
Bagaimanakah kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni
memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat membalasnya sebab aku akan
menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Pertanyaan itu benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan
kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku telah menjadi kebal.
Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa.
Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan
kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak
menjawab. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau
menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa
lunak, “Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali
tidak tahu maksud pendeta tua itu. Karena itu, untuk sesaat mereka
berdiri mematung sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya,
“Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh
keragu-raguan namun Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken
Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran,
Ken Arok melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di
samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya
kau sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas
dirimu. Kau memiliki beberapa kelebihan dari orang lain tetapi
kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab.
Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu
seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring
menjelang tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah
menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang
menggeletak mati di padang rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat
lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan kengerian pada
saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan goresan
yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri mereka yang
menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang
laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan
pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken
Arok. Di rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki
itu tak akan pernah pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang
pun berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa
kanak-kanaknya, ayah angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan,
dan orang-orang yang pernah datang pergi dalam perjalanan hidupnya.
Yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah yang gelap. Judi, tuak,
perempuan, dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali hidupnya
terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar. Namun tak sempat didengarnya
nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu
mula-mula asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang
menetes dari langit. Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering
menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing itu di hati Ken Arok.
Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa ada dunia
lain dari dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya.
Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan
air mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar.
“Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,” katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi
sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah
anak panas. Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang
menyalahkan aku. Kemudian menurut kata orang, pada masa aku masih bayi
merah, aku dibuang di pekuburan. Aku dipelihara oleh Bapak Lembong.
Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian mengikuti cara
hidupnya?”
“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu
dengan seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula.
Matanya kini sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram.
Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak
tahu apakah masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku
telah dijauhi oleh sanak-kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa,
“meskipun kau dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau
tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia
yang jauh lebih berharga dari sanak-kadang, handai, dan taulan.”
“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa.
Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok. Mahisa Agni telah
sering mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang
Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, kemudian
memeliharanya dan kelak akan datang masanya langit dan bumi akan
dihancurkannya.
Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan,
“meskipun kau hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia
kalau Yang Maha Agung itu tidak meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata
pendeta tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal
kepada Yang Maha Agung itu.
Tetapi dalam kesibukan berpikir,
tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar
oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi
orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada
saat ia telah kehilangan akal, terdengarlah suara dari langit, “Ken
Arok, potonglah dua helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau
akan dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal serta dinaiknya, seakan-akan ia terbang melintasi sungai.
Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan
menusuk benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?”
Suara itu telah lama dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada.
Tetapi suara itu kini terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja
diucapkan. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan. Itulah suara Yang
Maha Agung.
Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan
yang ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya
peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan,
perkosaan, dan segala jenis kejahatan. Tiba-tiba Ken Arok menjadi
takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang didapatnya. Kalau
benar Yang Maha Agung itu ada maka akan diketahui semua perbuatannya.
Ken Arok menjadi gemetar seperti orang
kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken
Arok bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung
itu kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni, dan kepada semua manusia di
dunia ini seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut
ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia
berteriak, “Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat
berdiri. Dengan kesiagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri
tegang di muka gurunya. Matanya yang sayu suram kini menjadi liar
kembali. Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang
masih duduk dengan tenangnya. Katanya, “Kau ingin melawan aku dengan
cara pengecut itu? Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur sampai
binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat
menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia
meloncat menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu
meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar
tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari
ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat
mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya
terhenti karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami
tindakan gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah
orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan
wajah yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di
dadanya, ia berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,”
berkata orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan
muridnya, bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam
nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni
menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian
berjalan di samping gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke
belakang tabir kelamnya malam. Hantu padang rumput Karautan telah
hilang seakan-akan ditelan oleh raksasa hitam yang maha besar. Meskipun
demikian Mahisa Agni tidak bertanya-tanya lagi.
Bintang gemintang di langit masih
bercahaya gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat.
Dan embun pun perlahan-lahan turun.
Agni masih berjalan di samping gurunya.
Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang terbentang di
hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan.
Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih, “Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya.
Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa
mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya
untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang
tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya,
dan wajahnya yang tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan.
Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti kepada diri sendiri, “Tak
ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.”
Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah,
“Memang tidak ada Agni namun ada cerita yang aneh tentang anak muda
yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya
dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua
itu. Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta
tua itu segala sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang
terlindung dari sentuhan angin.
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah
menganggap bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya,
ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang
menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya
beberapa macam pertanyaan yang kadang-kadang sangat aneh baginya.
Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di tangannya. Ya, di tangan
kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang terlalu kecil baginya.
Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama. Trisula itu
benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya.
Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya
gurunya berkata, “Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan
cerita tentang orang buruan itu.”
Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa meneruskan.
Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni.
Karena itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat
menjalankan kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah
dengan demikian berarti bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu?
Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan
namun Empu Purwa telah dapat menangkap dari wajah muridnya, maka
katanya, “Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh
Brahma, Siwa, dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang
yang menurut cerita bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan
dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa atau Wisnu, itu
bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab, baik Siwa, Brahma, maupun
Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan
keesaan kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan
Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut-paut
dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian
dipeliharanya untuk kemudian, apabila sampai saatnya, dihancurkannya.”
Kini kembali Mahisa Agni menundukkan
wajahnya. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah
sebabnya, maka gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok,
yang menurut kata orang adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri.
Kemudian, gurunya itu tidak berkata-kata
lagi. Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan
setapak demi setapak mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.
Ketika mereka menjadi semakin dekat
semakin dekat maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di
tangannya, pada cerita tentang Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian
yang baru saja dialami. Yang ada di dalam angan-angannya kemudian
adalah kampung halamannya. Kampung halaman di mana ia meneguk ilmu dari
gurunya, Empu Purwa.
Tetapi, kampung halaman itu tidak akan
demikian memukaunya apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di
dalam hatinya, selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu.
Yang mula-mula hadir di dalam
angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti
yang dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni
menjadi heran, apabila dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah
ayahnya. Ayahnya bukanlah seorang yang berwajah tampan pada masa
mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari yang kamanungsan.
Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu sendiri pun
tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken Dedes
itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa
setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke
Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja
kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat
mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu.
Seharusnya Ken Dedes tidak menganggapnya sebagai seorang kakak.
Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri.
Perlahan-lahan Mahisa Agni
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya
berkata, “Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku
mengharap bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan
dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada
gurunya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan
mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka,
terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali
Mahisa Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah
sahabatnya. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata
hitam mengkilat. Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir
setiap hari Mahisa Agni bermain-main bersamanya. Menggembala kambing
bersama. Bekerja di sawah bersama. Saling membantu seperti
kakak-beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai banyak persamaan
tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka sehari-hari.
Keduanya bekerja di antara penduduk
Panawijen yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai, dan
membersihkan jalan-jalan desa, memelihara pura-pura, dan segala macam
pekerjaan. Namun ada yang tak dapat dipersamakan di antara mereka.
Mahisa Agni adalah seorang pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna
dalam ilmu tata beladiri dan tata bermain senjata. Berkelahi seorang
diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang. Sedangkan Wiraprana, anak
muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak muda yang tak banyak
perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun dipelajarinya serba
sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja namun ia
tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian, karena
Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul
dengan rapatnya.
Mereka memasuki desa mereka pada saat
cahaya merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur
suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar
pula gerit senggot orang menimba air dari perigi-perigi di belakang
rumah mereka.
Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa
Agni, memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu
setinggi orang, mereka melihat api menyala di ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula
ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang
merebus air sambil menunggu kedatangan mereka.
Sekali mereka berjalan melingkari
pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka
berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari, kolam itu
dipenuhi oleh itik, angsa, dan berati, berenang dengan riangnya.
Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes
dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam,
“Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur.
Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah.
Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan. Ia
tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan
yang sebenarnya di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu
kelinci di Padang Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”
Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi
wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju
mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu.
“Kenapa wajahmu, Kakang?” bertanya Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.
Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa
wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di
samping noda yang kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu
Karautan menghantam wajahnya itu pada saat ia berkelahi.
“Pipiku tersangkut dahan pada saat aku merunduk menangkap kelinci,” jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi
namun tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya.
Kemudian tanpa disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
“Kau terlalu lelah Agni,” berkata Empu Purwa. “Beristirahatlah.”
Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah.
Perkelahiannya dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya.
Karena itu ia pun segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah
maka ia pun segera jatuh tertidur.
Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat
tidur terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun
pagi-pagi sebelum matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah
timur.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat
juga. Ketika ia membuka mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi
dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan
segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri.
Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam, Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan, “Kau kerinan, Agni.”
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut
bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk
bersila. Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya.
Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, “Aku terlalu lelah.”
“Kau baru pulang semalam?” bertanya Prana.
“Bukan semalam,” jawab Agni, “pagi ini.”
“Lama benar kau pergi,” sahut Prana.
“Sepekan,” jawab Agni.
“Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau tidak terlalu lelah,” ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi
diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa
kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk
mencari Ken Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia
berpapasan dengan seorang cantrik, maka ia bertanya, “Ke mana Ken
Dedes?”
“Ke sungai, Ngger,” jawab cantrik itu.
“Apa yang dilakukan?” desak Agni.
“Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya bakul cucian,” jawab cantrik itu pula.
“Bapa Pendeta?” bertanya Agni pula.
“Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger,” jawab cantriknya itu.
Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan pula keluar halaman.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika
mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda
yang berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan
Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar
itu dengan kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan
pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat,
celana hitam mengkilat, dan timang bermata berlian. Di punggungnya
terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, “Kau akan kecewa, Agni.”
Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya
namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan
menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu.
Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, “He, Kuda Sempana!”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu
memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni.
Namun hanya sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia
melanjutkan perjalanan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda
Sempana baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak
itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya, Mahisa Agni masih
tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika
tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru
halaman rumah gurunya.
“Bukankah itu Kuda Sempana?” tanpa sesadarnya Agni bertanya.
“Ya,” jawab Wiraprana.
“Kawan kita bermain dahulu?” Agni menegaskan.
“Ya,” jawab Prana.
“Bukankah anak itu baru beberapa tahun meninggalkan kita,” Agni meneruskan.
“Ya,” sahut Prana pula.
“Aneh,” berkata Agni seperti orang yang menyesal.
“Sudah aku katakan,” jawab Prana, “kau
akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau
sekarang. Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul
Ametung. Ia menjadi kaya dan tak mengenal kita lagi.”
“Barangkali ia tergesa-gesa,” Agni mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
“Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia memandangku seperti orang asing,” sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak
masuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu
Tumapel, seseorang dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa
kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka
katanya sambil tersenyum, “Agni, agaknya kau tidak yakin akan
kata-kataku. Cobalah kau temui anak itu.”
“Marilah,” ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, “Aku segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul.”
Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu.
Tetapi bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana.
Apalagi anak muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu
akhirnya ia berkata, “Baiklah Prana, tunggulah aku di atas tanggul. Aku
segera menyusul.”
Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian
ia memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang
karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan
kembali ke halaman rumahnya.
Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya
Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap
seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
“Sudah lama ia pergi?” terdengar Kuda Sempana itu bertanya.
“Sudah Angger,” jawab cantrik itu.
“Sendiri?” bertanya Kuda Sempana.
“Dengan beberapa endang, Angger,” jawab cantrik itu.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ditebarkan pandangannya ke seluruh sudut halaman.
Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan akrabnya ia berkata, “Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang.”
Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam. Kemudian katanya, “Ya.”
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang
kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih
menyapanya lagi, “Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Aku tergesa-gesa.”
Perasaan kecewa mulai menjalari dada
Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang
diragukan itu benar-benar dapat terjadi.
Namun sekali lagi Agni bertanya, “Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?”
Sempana menggeleng.
“Tidak,” katanya, “Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada
Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang,
siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu.
Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu.”
Anak muda yang gagah itu tidak menunggu
jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang
tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur
meninggalkan halaman yang luas dan sejuk itu.
Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik
pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni, “Bukankah anak muda
itu Angger Kuda Sempana?”
“Ya,” jawab Agni sambil mengangguk-angguk kepalanya.
“Tetapi,” cantrik itu meneruskan, “bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?”
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya, “Begitulah.”
Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika
dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Karena itu, segera ia kembali
pada pekerjaannya membersihkan halaman dan tanam-tanaman.
Agni pun kemudian tidak berkata-kata
pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke
tanggul. Di sana Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana
melarikan kudanya lewat jalan yang akan dilaluinya namun ia sama sekali
sudah tidak menaruh perhatian kepada anak muda yang sombong itu.
Karena itu segera angan-angannya kembali kepada sahabatnya, Wiraprana.
Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah
tanggul sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak
jauh dari desanya. Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran
air. Karena itu, baik Agni maupun Wiraprana sering benar pergi ke
tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak muda namun gadis-gadis pun
selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian mereka dan
mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Tetapi Agni tidak langsung pergi ke
tanggul itu. Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi
garapannya, ia berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh
di antara tanaman-tanamannya meskipun masa matun baru saja lampau.
Karena itu ia memerlukan waktu sejenak untuk menyiangi tanamannya itu.
Wiraprana yang sudah sampai di pinggir
kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak
tinggi. Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka
yang dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya
untuk melihat apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.
Wiraprana meredupkan matanya ketika ia
melihat seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal
bahwa di atas punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak
tahu maksud kedatangan anak muda itu namun perasaan tidak senang telah
menjalari dirinya sehingga tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik
batu padas itu. Ia sama sekali tidak ingin untuk bertemu dengan anak
yang sombong itu meskipun timbul juga keinginannya untuk mengetahui,
apakah maksud kedatangan anak muda itu ke bendungan.
Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya
ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang
gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang
dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang
namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi
itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian
ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia
berkisar ke balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi
dengan Kuda Sempana setelah hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.
Tetapi didesak oleh perasaannya maka
dengan hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong
itu. Ia menahan nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa
langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing
sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat
kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat
Wiraprana, Mahisa Agni, dan anak-anak muda dari desa mereka berada di
atas tanggul bendungan itu. Namun anak muda dengan pakaian yang
sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat. Tetapi ketika anak
muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah hampir bersamaan
dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang, “Kuda Sempana!”
Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku.
Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi
riuh, namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga
akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan
sendirinya.
Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken
Dedes menjadi pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti
kedinginan. Ia melihat kedatangan Kuda Sempana seperti melihat hantu.
Bagaimanapun ia mencoba menguasai dirinya namun tampak juga tubuhnya
bergetar. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya
memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di
tepi belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu
seakan-akan tak dilihatnya selain seorang gadis yang dengan gemetar
memperhatikan segala tingkah lakunya.
“Ken Dedes,” kemudian terdengar kata-kata
itu meluncur dari mulutnya. Meskipun ia berdiri dengan garangnya namun
terdengar kata-katanya itu lunak dan lambat. Oleh kata-kata Sempana
itu maka gadis-gadis itu pun seperti terpikat oleh sebuah pesona,
bersama-sama menoleh ke arah Ken Dedes yang kemudian menundukkan
wajahnya.
Ken Dedes sama sekali tidak menjawab sapa
itu. Bahkan tubuhnya seraya menjadi lemas. Detak jantung di dadanya
seakan-akan berdentang seperti guntur. Ketika sekali lagi ia mendengar
anak muda itu memanggilnya maka ditundukkannya wajahnya semakin dalam.
“Ken Dedes,” berkata Sempana kemudian,
“aku tidak banyak mempunyai waktu. Tinggalkan cucianmu sebentar. Ada
sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”
Gadis-gadis yang lain pun saling
berpandangan. Mereka memuji ketampanan Kuda Sempana namun mereka
berteka-teki pula, mengapa Kuda Sempana menemui seorang gadis di
pemandian. Sudah tidak adakah waktu yang lain?
“Aku telah datang ke rumahmu, Ken Dedes,” Kuda Sempana meneruskan, “Tetapi kau tak ada. Karena itu aku terpaksa menyusulmu.”
“Kakang Sempana,” akhirnya Ken Dedes
terpaksa menjawabnya, “Tunggulah aku di rumah. Aku akan dapat
membicarakannya dengan ayah dan Kakang Agni.”
“Marilah kita pulang bersama-sama,” ajak Sempana.
“Aku belum mandi,” bantah Ken Dedes, “dan cucianku belum selesai. Bukankah hari masih terlampau pagi?”
“Besok aku harus kembali ke Tumapel,”
sahut Kuda Sempana, “siang nanti aku akan berkemas. Seandainya kau
bersedia…” Sempana tak meneruskan kata-katanya. Ketika ia mendengar
beberapa orang gadis menahan senyumnya, ditatapnya wajah gadis-gadis
itu dengan tajamnya sehingga gadis-gadis itu pun menjadi ketakutan dan
menjatuhkan pandangan mereka ke atas pasir.
Ken Dedes menjadi semakin gemetar. Ia
tidak tahu apa yang akan dilakukan. Tetapi pasti bahwa ia tak dapat
memenuhi permintaan Kuda Sempana. Karena Ken Dedes tidak segera
menjawab, Sempana mendesaknya, “Ken Dedes, berpakaianlah!”
Nafas Ken Dedes menjadi sesak. Apalagi
ketika didengarnya Kuda Sempana meneruskan, “Bukankah tidak baik
apabila aku menyatakan maksudku di sini?”
Sekali lagi terdengar suara-suara tertawa
yang tertahan. Dan sekali lagi mata Sempana yang tajam beredar ke
setiap wajah gadis-gadis di belumbang itu, dan sekali lagi gadis-gadis
itu melemparkan pandangan jauh-jauh.
Mulut Ken Dedes telah benar-benar seperti
membeku. Karena itu tak sepatah kata pun dapat diutarakan meskipun
hatinya meronta-ronta. Adalah suatu aib yang mencoreng di wajahnya
apabila kemudian Sempana tak dapat menahan hatinya dan melamarnya
langsung tidak setahu ayahnya. Meskipun ia dapat menolak tetapi sikap
yang demikian dari seorang pemuda adalah sikap yang tercela. Hanya
gadis-gadis yang tak berhargalah yang akan pernah mengalami perlakuan
demikian. Maka merataplah Ken Dedes di dalam hatinya, “Apakah aku ini
termasuk dalam lingkaran gadis-gadis yang demikian sehingga Sempana
memperlakukan aku begini?” Hampir saja air mata Ken Dedes meledak
seandainya ia tidak berusaha sekuat-kuatnya untuk menahannya.
Tetapi Sempana, pelayan dalam Akuwu
Tumapel itu, benar-benar seperti orang mabuk. Katanya, “Ken Dedes,
bukankah sejak aku pulang, aku telah berkata kepadamu bahwa suatu
ketika aku akan datang ke rumahmu? Seharusnya kau tahu akan maksudku
itu. Karena itu sekarang marilah kita pulang.”
Ken Dedes masih saja menundukkan
wajahnya. Karena itu kemudian Kuda Sempana menjadi tidak sabar lagi.
Sorot matanya menjadi semakin tajam. Beberapa orang gadis pergi
menjauhinya. Mereka takut melihat sikap Sempana yang menjadi semakin
garang. Dada Ken Dedes pun menjadi semakin sesak. Hatinya menjadi
tegang. Tak ada yang dapat dilakukannya. Sekali ia mencoba menatap
wajah Sempana tetapi wajah itu terlalu menakutkan baginya sehingga
akhirnya kembali kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba
didengarnya sebuah suara yang lain dari suara Kuda Sempana. Tidak
terlalu keras namun kata demi kata dapat didengarnya dengan baik.
Katanya, “Kuda Sempana, adakah kau akan ikut serta mencuci pakaianmu di
belumbang ini?”
Kuda Sempana terkejut. Ketika ia menoleh,
dilihatnya Wiraprana berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Karena itu
wajah Sempana segera menjadi merah. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya
menghadap Wiraprana. Dan dengan suara lantang ia berkata, “Apa kerjamu
di sini?”
“Menunggui tanggul,” jawab Wiraprana singkat.
Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar menjadi marah. Katanya, “Kau mencoba mencampuri urusanku?”
Wiraprana mengerutkan keningnya, “Apa
yang aku campuri? Setiap hari aku berada di tempat ini. Mengail,
membuka parit, mencuci pakaian, dan segala macam pekerjaan anak desa.
Kaulah yang aneh. Seorang pelayan dalam Tumapel berada di bendungan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sempana.
Gadis-gadis yang melihat peristiwa itu
menjadi ketakutan pula. Tubuh mereka bergetaran dan dada mereka menjadi
sesak. Apalagi Ken Dedes sendiri. Di samping perasaan takut yang
membelit hatinya maka ia pun merasa bahwa dirinyalah sebab dari
pertengkaran itu. Karena itu maka ia menjadi semakin cemas. Meskipun ia
merasa bersyukur pula atas kehadiran Wiraprana namun agaknya Kuda
Sempana memandang kehadiran Wiraprana sebagai tantangan. Kuda Sempana
tidak menjadi malu atau segan, bahkan ia bersikap sebagai lawan.
Pada saat Wiraprana berada di balik batu
padas, dilihatnya sikap Kuda Sempana yang kurang wajar. Karena itu
perlahan-lahan ia merunduk di balik-balik batu mendekatinya. Meskipun
ia tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi namun adalah pasti baginya
bahwa Ken Dedes berada dalam kesulitan. Maka sikap Sempana itu adalah
merupakan penjelasan baginya. Anak muda yang sombong itu benar-benar
telah berbuat suatu kesalahan. Karena itu jawabnya tatag, “Kuda
Sempana. Jangan terlalu kasar. Bukankah dahulu kau setiap hari juga
berada di bendungan ini. Bahkan malam hari pun kau kadang-kadang tidur
di atas pasir di tepian itu bersama-sama aku? Marilah kita bersikap
wajar. Juga terhadap gadis-gadis, kau sebaiknya bersikap wajar.”
“Jangan gurui aku anak desa yang sombong.
Selama hidupmu kau dikungkung oleh kepicikan akal dan kesempitan
pengetahuan,” jawab Sempana, “Aku telah mencoba berlaku sopan kepada
Ken Dedes. Aku hanya ingin persoalanku cepat selesai.”
“Soalmu dan Ken Dedes benar-benar bukan
urusanku,” sahut Wiraprana, “Kalau kalian berdua telah bersepakat maka
adalah suatu dosa bagiku apabila aku datang kepadamu sekarang. Tetapi
aku melihat sikap Ken Dedes lain dari sikap yang kau harapkan. Dan kau
terlalu bersikap garang kepadanya.”
“Wiraprana!” bentak Kuda Sempana, “sekali lagi aku peringatkan, tinggalkan tempat ini!”
“Jangan bersikap demikian, Sempana,”
jawab Wiraprana, “Jangan bersikap seperti orang hendak berkelahi. Aku
bukan orang yang biasa berbuat demikian. Namun aku hanya ingin
memperingatkan kepadamu. Pulanglah. Pergilah kepada ayahnya dan biarlah
ayahnya bertanya kepadanya, apakah ia bersedia menerima kehadiranmu di
dalam perjalanan hidupnya.”
Kuda Sempana yang sombong itu tidak mau
lagi mendengar kata-kata Wiraprana. Karena itu selangkah ia meloncat
maju. Tangan kanannya terayun menampar mulut Wiraprana. Gerak Sempana
cepat seperti kilat sehingga Wiraprana tak sempat mengelak.
Terdengarlah seperti sebuah ledakan cambuk di pipi Wiraprana. Wiraprana
terkejut. Ia terdorong beberapa langkah ke samping. Terasa betapa
nyeri pukulan itu. Tetapi untunglah bahwa ia tidak terbanting ke air.
“Sempana,” katanya sambil berdesis menahan sakit, “jangan terlalu kasar.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana, “Tinggalkan tempat ini!”
“Kau telah melanggar kebiasaan kampung halaman kita, Sempana,” berkata Wiraprana lantang, “adat itu tetap kita hormati.”
Sekali lagi Kuda Sempana tidak dapat
mengendalikan dirinya. Tangannya terayun kembali ke wajah Wiraprana.
Namun, kali ini Wiraprana tidak mau dikenai untuk kedua kalinya. Karena
itu cepat-cepat ia membungkukkan badannya. Tangan Kuda Sempana hanya
sejari terbang di atas kepalanya. Tetapi Sempana adalah pelayan dalam
istana sehingga dengan cepat ia dapat membetulkan kesalahannya. Ketika
dirasa tangannya tak menyentuh tubuh Wiraprana, segera ia mengulangi
serangannya. Geraknya benar-benar tak diduga oleh Wiraprana. Karena
itu, selagi ia masih membungkuk, terasa sebuah tamparan menyengat
pipinya yang lain. Sekali lagi Wiraprana terdorong ke samping dan
sekali lagi ia berdesis menahan sakit.
Ketika Wiraprana telah tegak kembali,
terdengarlah giginya gemeretak dan matanya memancarkan sinar kemarahan.
Telah dua kali pipinya di kedua sisi merasakan betapa berat tangan
Kuda Sempana. Bagaimanapun juga Wiraprana adalah laki-laki juga seperti
Kuda Sempana. Karena itu katanya lantang, “Kuda Sempana. Jangan
membusungkan dada hanya karena kau telah mendapat kedudukan baik di
samping Akuwu Tunggul Ametung. Persoalanmu adalah persoalan adat
kampung halaman.”
“Apa pedulimu!” bentak Kuda Sempana,
“Kalau aku tidak dapat menemui ayah gadis yang aku senangi, aku masih
mempunyai cara lain. Aku akan melarikannya. Kelak aku akan kembali
dengan seorang cucu yang manis bagi Empu Purwa. Dan ia harus menerima
kedatangan kami.”
Wajah Wiraprana menjadi merah padam. Katanya kepada Ken Dedes, “Adakah kau telah bersepakat untuk kawin lari?”
“Tidak! Tidak!” teriak Ken Dedes serta-merta.
“Hem,” geram Wiraprana kepada Kuda
Sempana, “kalau kau telah bersepakat, aku tak dapat menghalangimu.
Tetapi kalau tidak, dan kau akan memaksakan cara itu, aku akan
mencegahmu.”
Kuda Sempana tertawa dengan sombongnya.
Katanya, “Bagus. Seseorang dibenarkan untuk melakukan pencegahan.
Tetapi tatacara itu pun menuntut pengorbanan bagi gadis yang diidamkan.
Nyawaku menjadi taruhan.”
Wiraprana mengangkat alisnya. Ia ngeri
mendengar kata-kata Kuda Sempana. Mengorbankan nyawa berarti kematian.
Dan ia ngeri memikirkan kematian. Tetapi ia harus mencegahnya. Karena
itu katanya, “Aku tidak menghendaki bencana apa pun. Baik bagimu maupun
bagiku. Tetapi aku hanya akan mencegahmu.”
Kuda Sempana tidak sabar lagi. Dengan
berteriak nyaring, ia meloncat menyerang Wiraprana. Tetapi kali ini
Wiraprana telah bersiaga. Karena itu, ia pun berhasil mengelakkan
serangan Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak puas dengan
serangannya yang gagal. Segera ia pun memperbaiki kedudukannya dan
dengan garangnya ia mengulangi serangannya.
Segera terjadilah perkelahian antara
keduanya. Wiraprana yang bertubuh tinggi tegap itu cukup mempunyai
kekuatan namun Kuda Sempana, yang tidak sebesar Wiraprana, mempunyai
kelincahan yang mengagumkan. Serangannya benar-benar datang seperti
sikatan yang menari-nari di padang rumput yang hijau.
Gadis-gadis yang melihat perkelahian itu
menjadi semakin ketakutan. Mereka berlari bercerai-berai sambil
memekik-mekik. Namun ada di antara mereka yang sedemikian takutnya
sehingga mereka terduduk lemas, seakan-akan tulang-belulangnya
dicopoti.
Ken Dedes sendiri, seperti orang yang
kehilangan kesadarannya, duduk di atas pasir di tepi belumbang.
Beberapa kali ia mencoba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Tetapi kadang-kadang ia terpaksa mengintip perkelahian itu dari
celah-celah jarinya. Ia takut melihat perkelahian itu namun ia terpaksa
untuk melihatnya. Perkelahian yang demikian benar-benar jarang terjadi
di Panawijen yang tenteram. Hampir tak pernah terdengar perselisihan
di antara anak-anak muda. Namun tiba-tiba mereka harus melihat sebuah
perkelahian yang mengerikan.
Kuda Sempana benar-benar memiliki
kelincahan dan ketangkasan. Sebagai seorang abdi yang dipercaya,
Sempana mempunyai bekal yang cukup. Karena itu ia pun memiliki ilmu
tata berkelahi yang baik. Sedangkan Wiraprana, meskipun dari ayahnya,
Buyut Panawijen, telah pernah dipelajarinya ilmu itu namun anak muda
itu sama sekali tidak menekuninya. Ketenteraman hidup dan kedamaian
hati penduduk Panawijen tidak pernah menuntunnya ke dalam persoalan
yang dapat memaksanya untuk menekuni ilmu semacam itu.
Karena itu, sesaat kemudian, terasa bahwa
Wiraprana yang tinggi tegap itu tak akan dapat mengimbangi kelincahan
dan ketangkasan lawannya. Berkali-kali ia terdorong surut dan
berkali-kali ia terhuyung karena pukulan-pukulan lawannya.
Untunglah bahwa pekerjaan-pekerjaan berat
yang selalu dilakukan dapat menolongnya. Tubuhnya menjadi kuat dan
untuk beberapa lama ia dapat menahan sakit yang menjalar hampir di
setiap bagian tubuhnya. Pukulan yang bertubi-tubi telah mematangkan
kulit wajahnya. Merah biru, dan dari bibirnya mengalir darah yang merah
segar. Tetapi betapa kuat tubuh Wiraprana, akhirnya terasa juga
semakin lama semakin menjadi lemah. Nyeri dan pedih menyengat-nyengat
tak henti-hentinya dan setiap kali pula tangan Kuda Sempana masih saja
mengenainya. Namun Wiraprana tak mau melepaskan lawannya. Kalau ia
melepaskan Sempana dan melarikan diri, Kuda Sempana pasti akan
melaksanakan maksudnya. Telah terucapkan dari bibirnya bahwa ia akan
dapat menempuh cara yang keji terhadap gadis idamannya. Karena itu,
tidak mustahil bahwa ia pada saat itu pula akan memaksa Ken Dedes
mengikutinya ke Tumapel. Ia akan dapat bersembunyi di istana Tunggul
Ametung sampai kelahiran anaknya. Dan sesudah itu, tak seorang pun
dapat menuntutnya. Tetapi di samping itu, terasa pula oleh Wiraprana
bahwa akhirnya ia tak akan mampu berbuat apa-apa. Sesaat kemudian ia
akan jatuh terjerembab. Mungkin pingsan dan mungkin terjadi peristiwa
yang mengerikan itu. Nyawanya harus dipertaruhkan.
Kuda Sempana masih berkelahi dengan penuh
nafsu. Meskipun ia sadar bahwa Wiraprana tak akan mampu menandinginya
namun ia tetap berlaku kasar. Tangannya menjambak bertubi-tubi, dan
bahkan Kuda Sempana menjadi semakin marah karena Wiraprana tidak segera
jatuh. Karena itu, akhirnya ia berketetapan hati untuk menyelesaikan
perkelahian itu. Dengan garangnya ia menyerang lawannya dan dengan
kedua tangannya ia menghantam wajah Wiraprana bertubi-tubi. Sekali
wajah Wiraprana terangkat karena pukulan Kuda Sempana yang tepat
mengenai rahangnya namun sesaat kemudian kepalanya terkulai ke samping
oleh tangan lawannya yang lain.
Oleh keadaannya itu, hampir Wiraprana
menjadi putus asa. Ia merasa bahwa ia tak akan dapat berbuat banyak.
Terbayang di matanya kesudahan dari peristiwa itu. Panawijen akan
berkabung. Anak Buyut Panawijen terbunuh dan putri Pendeta Panawijen
dilarikan orang.
Ketika Wiraprana hampir menyerahkan
dirinya kepada nasib, lamat-lamat didengarnya Ken Dedes memekik kecil.
Gadis itu menjadi ngeri ketika dilihatnya darah mengalir dari bibir dan
hidung Wiraprana. Namun bagi Wiraprana, pekik itu seakan-akan telah
menggugah kembali semangatnya. Tiba-tiba terpikir olehnya, kenapa gadis
itu tidak saja lari dan pulang ke rumah. Karena itu tiba-tiba, dengan
tidak menghiraukan keadaan dirinya, Wiraprana mendekap tubuh Kuda
Sempana erat-erat. Bersamaan dengan itu terdengar ia berkata parau,
“Ken Dedes, tinggalkan tempat ini. Cepat, sebelum aku kehabisan
tenaga!”
Ken Dedes pun kemudian seperti orang
bangkit dari mimpi. Segera ia meloncat berdiri dan berlari meninggalkan
belumbang yang mengerikan itu. Tak diingatnya lagi barang-barang
cuciannya serta pakaiannya yang basah kuyup.
Sementara itu, Kuda Sempana menjadi marah
bukan kepalang. Ketika Wiraprana mendekap tubuhnya, ia tidak sempat
mengelak karena hal itu sama sekali tak diduganya. Tangan Wiraprana itu
kemudian seakan-akan terkunci di pinggangnya. Meskipun dengan sekuat
tenaga ia menghantam tengkuk, punggung, dan kepala Wiraprana namun
tangan itu seperti tangan yang telah melekat dengan jaringan kulitnya
sendiri. Sehingga, karena marah, jengkel bercampur baur, ia pun
berteriak, “Wiraprana, jangan gila. Kau tidak berkelahi seperti
laki-laki. Lepaskan dan marilah kita berhadapan secara jantan.”
Tetapi Wiraprana tak mendengar kata-kata
itu. Telinganya seolah-olah telah tuli dan mulutnya membisu. Tangannya
yang melingkar itu menjadi kaku seperti tangan golek kayu.
Kuda Sempana mengempas-empaskan tubuhnya,
menendang, memukul, dan segala macam. Apalagi ketika dilihatnya Ken
Dedes telah berlari memanjat tebing.
Tetapi tiba-tiba langkah Ken Dedes
terhenti. Hampir saja ia melanggar sesosok tubuh yang tiba-tiba saja
muncul dengan tergesa-gesa. Terdengarlah gadis itu memekik kecil tetapi
kemudian terdengar ia berteriak nyaring, “Kakang Mahisa Agni!”
Mahisa Agni berdiri tegak seperti batu
karang yang kokoh kuat di tepi lautan. Sesaat wajahnya menyapu
berkeliling, kemudian terhenti pada tubuh-tubuh yang sedang bergulat di
bawah bendungan. Dilihatnya Kuda Sempana dengan bengisnya menghujani
tubuh Wiraprana yang menjadi semakin lemas. Dan bahkan akhirnya
dilihatnya pelukan Wiraprana terlepas dan anak muda itu jatuh terkulai
di atas pasir tepian.
Ketika tangan Wiraprana terlepas dari
tubuhnya, segera Kuda Sempana meloncat berlari. Ia tidak mau melepaskan
Ken Dedes lagi. Telah bulat hatinya untuk melarikan saja gadis itu.
Kalau ia sempat menangkap dan membawanya ke atas kudanya. Ia tak perlu
pulang. Berita tentang dirinya akan memberitahukan kepada keluarganya
bahwa ia telah kembali ke Tumapel. Ia yakin pula bahwa tak seorang pun
berani mengganggu keluarganya itu sebab ia akan dapat menakut-nakuti
mereka dengan kedudukannya sekarang.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti
ketika dilihatnya Ken Dedes berdiri rapat di belakang seorang anak muda
yang tegak seperti patung raksasa. Kakinya yang renggang seakan-akan
berakar jauh terhujam ke dalam tanah. Serta wajahnya yang tengadah
membayangkan betapa teguh hatinya.
Sebelum ia sempat berkata sepatah kata
pun, terdengar batu karang itu seperti menggeram, “Kuda Sempana. Apakah
yang telah kau lakukan?”
Mata Kuda Sempana seakan-akan menyala
karena kemarahannya. Mahisa Agni itu pun akan mencoba
menghalang-halanginya. Maka katanya, “Agni. Jangan bersikap seperti
seorang perwira tamtama. Lihatlah Wiraprana. Ia telah mencoba melawan
kehendakku.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Kuda Sempana itu dahulu adalah kawannya bermain pula
seperti Wiraprana. Tetapi tiba-tiba ia menjadi muak melihat wajah yang
sombong itu. Maka katanya, “Kuda Sempana. Jangan kau mencoba
memperkecil arti kami, anak-anak Panawijen. Kau juga anak dari tanah
ini. Kau mampu menjabat pekerjaanmu sekarang. Demikian juga anak-anak
yang lain. Kau telah menghina kampung halamanmu sendiri.”
“Diam!” bentak Kuda Sempana.“Kalau kau ingin mengalami nasib seperti Wiraprana, bilanglah.”
Selangkah demi selangkah Mahisa Agni
berjalan maju, menuruni tebing. Wajahnya menjadi tegang dan matanya
menjadi bercahaya. Kemarahan di dadanya telah menjalari kepalanya.
Ditatapnya wajah Kuda Sempana seperti menatap wajah hantu. Ya, baru
semalam Mahisa Agni berkelahi melawan hantu padang Karautan. Dan hantu
itu tidak dapat mengalahkannya meskipun ia pun tak akan dapat
memenangkan perkelahian itu. Tetapi yang berdiri di hadapannya sekarang
bukan hantu Karautan yang menakutkan setiap orang. Yang ada di
hadapannya tidak lebih dari Kuda Sempana.
Tetapi Mahisa Agni tak pernah merendahkan
orang lain. Karena itu tak pernah ia kehilangan kewaspadaan.
Demikianlah pada saat ia berhadapan dengan Kuda Sempana. Diamatinya
setiap lekuk kulit anak yang sombong itu. Pakaian yang mewah namun
sudah kusut dan kotor karena perkelahiannya melawan Wiraprana.
Kuda Sempana, yang telah mendapat tempaan
keprajuritan beberapa tahun di Istana Tumapel, itu pun tidak sabar
lagi. Dengan garangnya ia berlari menyongsong Mahisa Agni. Tak ada
sepatah kata pun lagi yang meluncur dari mulutnya. Yang dilakukannya
adalah langsung menyerang lawannya.
Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya.
Karena itu, dengan cepat ia mengelakkan diri. Sekali ia melingkar dan
dengan sapuan yang cepat, ia berhasil menyentuh lambung lawannya dengan
tumitnya. Sentuhan itu tidak terlalu keras dan Kuda Sempana pun tidak
merasakan sesuatu karena sentuhan itu. Namun sentuhan itu telah
benar-benar mengejutkannya.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa
Agni mampu bergerak sedemikian cepatnya. Karena itu, sentuhan itu
telah memperingatkannya bahwa Mahisa Agni mampu mengelak dan sekaligus
menyerang dengan cepatnya sehingga ia tidak seharusnya melayani Mahisa
Agni seperti melayani Wiraprana yang tegap tinggi itu. Tetapi Kuda
Sempana terlalu percaya kepada dirinya. Dikenalnya seluruh anak-anak
muda di Panawijen. Di antara mereka, tak seorang pun yang pernah
menerima gemblengan seperti yang dialaminya di Istana Tunggul Ametung.
Wiraprana tidak dan Mahisa Agni pun juga tidak. Karena itu, kembali ia
membusungkan dadanya. Dengan penuh keyakinan kepada diri sendiri, Kuda
Sempana meloncat dan menyerang kembali dengan garangnya. Namun Mahisa
Agni menyambut serangan itu dengan tangkas. Disadarinya bahwa lawannya
kali ini telah memiliki bekal yang cukup bagi kesombongannya. Karena
itu Mahisa Agni sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Kuda Sempana menyerang Agni seperti badai
yang melanda-landa. Cepat, keras, dan kuat. Tangan dan kakinya
bergerak terayun-ayun membingungkan. Berputar, melingkar tetapi
kadang-kadang menempuh dadanya seperti angin ribut menghantam gunung.
Namun Mahisa Agni benar-benar seperti
gunung yang tegak tak tergoyahkan. Angin ribut dan badai yang betapapun
kuatnya, seakan-akan hanya sempat mengusap tubuhnya, seperti angin
yang silir membelai kulitnya. Serangan-serangan Kuda Sempana, betapapun
cepat dan kerasnya, tak banyak dapat menyentuh kulit Mahisa Agni.
Sehingga dengan demikian Kuda Sempana menjadi semakin marah. Sama
sekali tak diduganya bahwa Mahisa Agni telah memiliki ilmu tata
beladiri sedemikian baiknya. Anak itu dikenalnya beberapa tahun yang
lalu sebagai anak yang patuh kepada gurunya, patuh melakukan ibadah,
dan rajin bekerja di sawah ladang dan di rumah gurunya. Tetapi sama
sekali tak diketahuinya bahwa di balik dinding-dinding batu yang
memagari rumah Empu Purwa, Agni mendapat tempaan lahir dan batin. Di
setiap perjalanan yang mereka lakukan, di setiap kesempatan yang ada,
bahkan hampir di setiap tarikan nafas, Agni selalu menekuni dan
mendalami ilmu lahir dan batin dari gurunya. Ilmu yang akan dapat
menjadi penguat tubuh dan nyawanya. Tubuhnya yang harus melawan setiap
tantangan lahiriah dan nyawanya yang harus dipersiapkan untuk menghadap
Yang Maha Agung.
Demikianlah maka perkelahian antara Kuda
Sempana dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin sengit.
Kuda Sempana telah kehilangan pengamatan diri. Anak itu telah lupa
segala-galanya selain secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.
Wiraprana, yang kemudian telah mendapat
seluruh kesadarannya kembali, dengan susah-payah mencoba mengangkat
wajahnya yang penuh lumuran darah. Dari sela-sela pelupuk matanya yang
bengkak, ia melihat perkelahian yang sengit antara Mahisa Agni dan Kuda
Sempana. Sekali-kali tampak mulutnya menyeringai menahan sakit namun
kemudian tampak ia tersenyum. Tetapi senyum itu pun segera lenyap dari
bibirnya. Bahkan ia menjadi cemas apabila Mahisa Agni akan mengalami
nasib seperti dirinya.
Wiraprana mencoba mengumpulkan segenap
sisa-sisa kekuatannya. Perlahan-lahan ia mencoba mengangkat tubuhnya
dan duduk di atas pasir. Kedua tangannya yang lemah dengan susah-payah
berhasil menyangga tubuhnya.
Pandangan matanya yang semula agak kabur,
kini berangsur terang. Lambat laun ia dapat melihat perkelahian antara
Kuda Sempana dan Mahisa Agni dengan jelas. Desak-mendesak,
hantam-menghantam singa lena.
Meskipun Wiraprana tidak memiliki ilmu
sebaik Mahisa Agni maupun Kuda Sempana namun Wiraprana telah mampu
menilai keduanya. Dengan bekal ilmunya yang sedikit, Wiraprana dapat
mengetahui bahwa keadaan Mahisa Agni cukup baik. Diam-diam ia berbangga
dan berharap di dalam hatinya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat
memenangkan perkelahian itu.
Kuda Sempana yang dibakar oleh kemarahan
dan kesombongannya bertempur dengan seluruh tenaganya. Matanya yang
menyala memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya. Sekali-sekali ia
melontarkan pandangannya kepada Ken Dedes. Ia masih melihat gadis itu
berdiri kaku di tanggul bendungan. Kuda Sempana mengharap gadis itu
untuk tetap tinggal di sana. Sehabis pekerjaannya ini, ia akan
menangkap gadis itu dan membawanya lari. Perkelahian yang terjadi di
antara anak-anak muda itu akan menutup kemungkinan yang sebaik-baiknya
baginya untuk menempuh cara yang wajar dan sopan. Ia takut kalau Empu
Purwa akan keberatan.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat
dikalahkan. Bahkan anak itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin
kuat dan cekatan. Memang, ketika tubuh Agni telah dibasahi oleh
peluhnya maka tenaganya menjadi seakan-akan bertambah.
Akhirnya Kuda Sempana benar-benar menjadi
mata gelap. Ia sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan
lagi dengan otaknya. Hanya ada satu pilihan yang ada padanya. Membawa
Ken Dedes bersamanya ke Tumapel saat itu juga. Karena itu, siapa yang
menghalang-halangi harus disingkirkan. Dengan cara kasar atau halus.
Wiraprana telah dilumpuhkan dan kini Mahisa Agni melintang di
hadapannya. Tiba-tiba terdengar Kuda Sempana berteriak nyaring, “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!”
Bersamaan dengan itu terdengar pula Ken Dedes berteriak nyaring dibarengi geram Wiraprana parau. Katanya, “Agni, hati-hatilah!”
Mahisa Agni meloncat surut. Ditatapnya
Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Adakah
itu pilihanmu Kuda Sempana yang perkasa?”
“Wanita adalah sama berharganya dengan pusaka,” sahut Sempana, “taruhannya adalah nyawa. Kau atau aku yang binasa.”
Mahisa Agni menggeram. Terdengar
gemeretak giginya oleh kemarahannya yang meluap-luap. Ternyata Kuda
Sempana tega pada pati uripnya untuk mendapatkan gadis idamannya.
Dilihatnya di tangan anak muda itu sebilah keris.
Kini Mahisa Agni tak dapat berbuat lain
kecuali berkelahi mati-matian. Ia sama sekali tak bersenjata. Namun ia
pun tak dapat disilaukan hatinya oleh Kuda Sempana yang kini
bersenjata.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggosokkan
kedua telapak tangannya. Tetapi tiba-tiba ia menggeleng lemah.
Diamatinya kedua telapak tangannya itu. Terdengar ia bergumam perlahan
sekali sehingga hanya dapat didengarnya sendiri, “Tidak. Belum waktunya
aku mempergunakan pusaka pula. Aku akan mencoba menyelesaikan
perkelahian ini dengan wajar.”
Namun yang terdengar adalah suara Kuda Sempana, “Agni, aku masih memberimu sekedar waktu. Tinggalkan tempat ini!”
Mahisa Agni menggeleng lemah, jawabnya, “Harus ada seseorang yang mencegah perbuatan gilamu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu mulut Agni mengatub. Seperti tatit ia menyambar dada lawannya dengan ujung kerisnya.
Untunglah bahwa Agni tetap bersiaga
sehingga ia berhasil menyelamatkan dirinya. Dengan tangkas ia
menghindari ujung maut yang menghampirinya. Berbareng dengan
kemarahannya yang merayap ke ubun-ubunnya. Kuda Sempana telah
benar-benar bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Agni pun kemudian tidak mau
diombang-ambingkan oleh ketidaktentuan dari ujung dan pangkal
perkelahian itu. Meskipun anak muda, murid Empu Purwa itu, belum
mempergunakan senjata apa pun namun ia telah melepaskan segenap ilmu
lahiriahnya. Telah diperasnya tenaga serta keprigelannya untuk
melawan keris Kuda Sempana. Dan keris Kuda Sempana memang berbahaya.
Ujungnya seperti seekor lalat yang mendesing-desing di sekeliling
tubuhnya. Tetapi Agni cukup lincah sehingga lalat itu tidak sempat
hinggap di kulitnya. Meskipun demikian, seluruh tubuh Agni telah
basah-kuyup oleh keringatnya yang mengalir semakin lama semakin deras.
Namun Mahisa Agni adalah murid Empu Purwa
yang tekun. Tak ada kesempatan yang dilepaskannya. Karena itu Agni
memiliki beberapa kelebihan dari Kuda Sempana. Meskipun anak muda itu
bersenjata namun akhirnya terasa bahwa ujung kerisnya sama sekali tak
dapat mengimbangi ujung jari-jari Mahisa Agni. Ujung jari-jari Agni
dengan lincahnya menyentuh-nyentuh Kuda Sempana hampir di setiap bagian
tubuhnya yang dikehendaki. Dan jari-jari Mahisa Agni benar-benar
seperti batang-batang besi. Sehingga kedua tangan Agni itu mirip benar
seperti dua batang tombak yang masing-masing bermata lima. Tetapi keris
Kuda Sempana pun keris yang ampuh pula. Namun, meskipun keris itu
berbisa setajam bisa ular bandotan, serta meskipun Mahisa Agni tak
berani terkena akibat meskipun sentuhan seujung rambut sekali pun
dengan keris itu, tetapi lambat-laun namun pasti Mahisa Agni tampak
selalu menguasai lawannya.
Ken Dedes yang tidak dapat menilai
perkelahian itu mengikutinya dengan gemetar. Perasaan takut dan ngeri
menjalari dadanya. Tetapi setiap kali ia menutup matanya, setiap kali
ia mengintipnya dari sela-sela jarinya, bahkan kemudian, seperti
terpukau, ia memandang pergulatan itu dengan hati yang tegang dan
kehilangan kesadaran.
Dada Wiraprana pun tak kalah tegangnya.
Masih terasa betapa berat tangan Kuda Sempana. Dan di tangan itu kini
tergenggam keris. Namun ia percaya bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki
ketangkasan jauh melampaui ketangkasannya.
“Aku tidak mengira,” desisnya lemah, “Aku
tidak pernah melihat anak itu membentuk dirinya menjadi seekor burung
rajawali yang perkasa.”
Mahisa Agni kini benar-benar bertempur
seperti seekor rajawali yang garang. Sekali-sekali ia menyambar dengan
tangkasnya dan sekali-sekali ia mematuk dengan cepatnya. Jari-jari
Mahisa Agni benar-benar tidak kalah berbahayanya dari keris Kuda
Sempana. Mula-mula Kuda Sempana tidak mau melihat kenyataan itu.
Matanya benar-benar dibutakan oleh kesombongannya.
Namun lambat-laun hatinya digetarkan oleh
kenyataan. Mahisa Agni melawannya dengan gigih. Karena itu hatinya
menjadi semakin gelap dan anak muda itu bertempur membabi-buta.
Akhirnya Mahisa Agni menjadi tidak sabar
lagi. Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Matahari yang
merambat dari kaki langit kini telah hampir mencapai puncak ketinggian.
Meskipun hampir segenap perhatian Mahisa
Agni tertumpah pada perkelahian itu namun didengarnya pula suara riuh
yang semakin lama semakin dekat. Terlintaslah di dalam benaknya bahwa
suara riuh itu pasti suara orang-orang Panawijen yang telah mendengar
berita perkelahian itu. Beberapa orang gadis yang lari ketakutan telah
menceritakan tentang peristiwa itu kepada orang-orang tua mereka,
kepada kawan-kawan mereka, dan kepada anak-anak muda seluruh desa.
Karena itu maka beramai-ramailah mereka pergi ke sungai.
Agaknya Kuda Sempana pun mendengar suara
riuh itu. Maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia yakin, meskipun
dikerahkan segenap tenaga dan kemampuannya namun Agni tak akan dapat
dikalahkan. Bahkan tiba-tiba tanpa diduganya, Agni menyerangnya
bertubi-tubi seperti prahara. Beberapa kali ia melangkah surut. Namun
putaran angin prahara itu seakan-akan telah memeluknya.
Sebenarnya Agni telah berusaha sedapat ia
lakukan untuk memperpendek perkelahian itu. Ia ingin menyelesaikannya
sebelum orang-orang Panawijen datang. Agni tidak akan dapat
mengira-ngira apakah yang akan mereka lakukan terhadap Kuda Sempana.
Agaknya usaha Mahisa Agni itu berhasil.
Dengan sebuah serangan lambung yang mendatar, Mahisa Agni berhasil
memutar tubuh Kuda Sempana yang berusaha untuk menghindar. Namun
tiba-tiba Mahisa Agni meloncat ke sisi. Dengan tangannya ia menghantam
tengkuk lawannya. Sekali lagi Kuda Sempana berusaha menghindari. Dengan
merendahkan diri ia berputar menghadap lawannya. Tangan kanannya
tiba-tiba terjulur lurus dan ujung kerisnya mengarah ke dada Agni.
Namun Agni cukup tangkas. Setengah langkah ia miring. Ketika keris itu
lewat secengkang di hadapan dadanya, cepat-cepat ia memukul pergelangan
tangan Kuda Sempana. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga
terdengarlah seakan-akan tulang pergelangan tangan itu retak. Kuda
Sempana terkejut bukan kepalang. Gerak yang sedemikian cepatnya itu
sama sekali tak pernah diduganya. Apalagi dilakukan oleh Mahisa Agni,
anak yang menghabiskan waktu remajanya di belakang dinding Desa
Panawijen.
Tetapi yang terjadi adalah, kerisnya
terlepas dan terpelanting lebih dari tiga langkah daripadanya.
Sedangkan perasaan sakit yang menyengat pergelangan tangannya,
seakan-akan merambat sampai ke ubun-ubunnya. Terdengar Kuda Sempana
mengaduh tertahan. Kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Ia hanya
dapat menunggu apa yang akan dilakukan Mahisa Agni atasnya. Meremukkan
tulang-tulang iganya atau merobek wajahnya. Kuda Sempana telah mengakui
di dalam hatinya bahwa ia tak akan mampu membela diri seandainya
Mahisa Agni akan membunuhnya.
Suara riuh di kejauhan semakin lama
menjadi semakin dekat. Karena itu, Kuda Sempana menjadi semakin
gelisah. Kalau penduduk Panawijen menganggap bahwa ia telah mencoba
melarikan Ken Dedes serta penduduk itu berhasil menangkapnya, akibatnya
dapat mengerikan sekali. Sekali-sekali terlintas di dalam otaknya
bahwa lebih baik berkelahi mati-matian daripada menyerahkan diri. Kalau
ia mati, dua-tiga orang pasti dapat dibunuhnya. Kuda Sempana tahu
benar bahwa penduduk Panawijen yang tenteram itu tidak terlalu
berbahaya baginya. Bahkan mungkin tak seorang pun yang akan berani
menangkapnya, apalagi anak Buyut Panawijen telah ditundukkannya. Tetapi
tiba-tiba Kuda Sempana menyadari bahwa di hadapannya berdiri Mahisa
Agni. Karena itu maka terdengar giginya gemeretak menahan hati.
“Kuda Sempana,” terkejut ketika terdengar Mahisa Agni berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana, ambil kerismu.”
Kuda Sempana masih ragu. Kakinya masih
tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga Mahisa Agni mengulangnya
sekali lagi, “Ambillah kerismu.”
Seperti mimpi, Kuda Sempana berjalan
beberapa langkah, kemudian membungkuk memungut pusaka. Tetapi ia tidak
tahu, apa yang harus dilakukan kemudian.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi bingung,
apa yang sebaiknya dilakukan. Kuda Sempana adalah pelayan dalam Akuwu
Tumapel. Kalau terjadi sesuatu atasnya di desa kelahirannya, apakah
Tunggul Ametung akan berdiam diri.
Selagi Mahisa Agni menimbang-nimbang,
suara riuh itu pun telah dekat benar di belakangnya. Ketika ia menoleh,
di atas tanggul muncullah beberapa orang laki-laki, yang langsung
berlari menghambur menuruni tebing sungai.
Kuda Sempana melihat mereka itu pula.
Dengan gerak naluriah ia bersiap. Meskipun perasaan sakit pada tubuhnya
semakin terasa seakan-akan menggigit tulang namun ia masih berdiri
dengan kokohnya.
Yang mula-mula mencapai tepian, tempat
perkelahian antara anak-anak muda itu terjadi, adalah seorang yang
bertubuh tinggi kekar, berdada bidang. Ia adalah Buyut Panawijen.
Rambutnya yang digelung tinggi di kepalanya tampak sudah mulai
ditumbuhi uban di pelipisnya. Dengan penuh wibawa ia memandang
berkeliling. Kepada Mahisa Agni yang masih tegak seperti tonggak, Kuda
Sempana yang berdiri dengan kaki renggang dan berwajah tegang. Kemudian
kepada anaknya Wiraprana. Anak muda itu dengan susah payah mencoba
berdiri. Ketika ditatapnya wajah ayahnya tiba-tiba ia tersenyum.
“Latihan yang jelek, Ayah,” katanya.
Tetapi Buyut Panawijen itu sama sekali
tidak tersenyum. Bahkan tampak ia menyesal. Desisnya, “Kalian telah
menjadikan pedukuhan yang damai ini menjadi gempar.”
Wiraprana tidak tersenyum lagi.
Tertatih-tatih ia berjalan mendekati ayahnya. Sementara itu, beberapa
orang laki-laki tiba-tiba saja telah melingkari mereka bertiga.
Seakan-akan sengaja mengepung rapat-rapat.
“Apakah yang telah terjadi?” geram Buyut Panawijen itu.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian.
Wiraprana, Mahisa Agni, dan Kuda Sempana menundukkan wajah mereka.
Apalagi ketika kemudian mereka mendengar suara nyaring dari tebing,
“Agni, apakah yang kau lakukan?”
Agni mengangkat wajahnya. Hatinya
berdebar-debar ketika ia melihat gurunya yang tua itu berlari
tersuruk-suruk. Sesaat kemudian semua mata memandang ke arahnya, Empu
Purwa, ayah gadis yang menimbulkan perkelahian tanpa dikehendakinya
itu.
Kuda Sempana pun melihat orang tua itu.
Timbullah beribu-ribu pertanyaan di dalam dadanya. Orang tua itu sama
sekali tidak tampak sebagai seorang sakti selain seorang yang tekun
beribadah. Apakah Agni mempunyai guru yang lain dalam pengolahan badan
wadagnya? Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa anak muda itu telah
mengalahkannya.
“Agni,” berkata Empu Purwa terengah-engah
setelah ia sampai ke tempat orang-orang Panawijen itu berkerumun,
“Adakah kau telah membuat onar?”
Mahisa Agni tak berani memandang wajah
gurunya. Ingin ia mengatakan apa yang sudah terjadi sebenarnya tetapi
mulutnya seperti terkunci. Ia takut kalau dengan demikian ia akan
menyinggung Ken Dedes dan menjadi semakin malu karenanya.
“Agni,” terdengar Empu Purwa berkata
pula, “Apakah pula sebabnya engkau berkelahi? Apakah kau ingin
menunjukkan bahwa kau adalah laki-laki muda yang pandai bertengkar?”
Mahisa Agni menarik nafas. Namun mulutnya tetap membisu sehingga terdengar Wiraprana berkata, “Bukan salah Agni, Empu.”
Empu Purwa menoleh. Dilihatnya Wiraprana yang wajahnya menjadi merah biru. Katanya, “Adakah itu perbuatan Agni?”
“Bukan, Empu,” jawab Wiraprana cepat-cepat, “Agni tak akan berbuat demikian.”
Orang tua itu kemudian merenungi Mahisa
Agni, seakan-akan anak itu belum pernah dilihatnya. Kemudian matanya
beredar dan hinggap di wajah Kuda Sempana. Dengan terbata-bata Empu
Purwa itu bertanya, “Angger Kuda Sempana, kenapa Angger nganggar keris. Apakah Agni mengganggumu?”
Kuda Sempana pun tak dapat menjawab
pertanyaan itu sehingga tanpa disadarinya kembali pandangan matanya
terkulai di atas pasir tepian.
“Empu,” terdengar kemudian Buyut Panawijen berkata, “aku pun sedang berusaha mengerti, apakah yang sedang terjadi di sini.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Katanya,
“Ya, ya Ki Buyut. Aku menjadi gemetar ketika aku mendengar anak-anak
berteriak-teriak di jalan, katanya Angger Kuda Sempana, Angger
Wiraprana, dan Mahisa Agni saling berkelahi. Aku jadi sedemikian
bingung sehingga aku tidak sempat bertanya-tanya lagi.”
“Aku pun mendengar dari anak-anak itu,” sahut Ki Buyut Panawijen. Kemudian kepada Wiraprana ia bertanya, “Benarkah itu Prana?”
“Tidak seluruhnya,” jawab anak muda itu, “Yang mula-mula berkelahi adalah aku dan Kuda Sempana.”
“Kau?” ulang ayahnya.
“Ya,” jawab Wiraprana, “tidakkah anak-anak itu berkata demikian?”
“Aku tak sempat mendengarnya,” sahut ayahnya.
“Dan akhir dari perkelahian itu,” Wiraprana meneruskan, “Aku kalah. Tidakkah Ayah lihat mukaku yang bengap?”
“Aku tidak bertanya akhir dari perkelahian itu,” potong ayahnya, “tetapi kenapa perkelahian itu mulai?”
Wiraprana pun menjadi ragu-ragu.
Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang masih tunduk dalam-dalam. Kemudian
ketika ia melayangkan pandangannya ke atas tanggul, dilihatnya beberapa
kepala gadis-gadis tampak berderet-deret mengintip. Dan tiba-tiba
dilihatnya Ken Dedes masih berdiri menggigil di tebing sungai.
Orang-orang yang berdiri memagari itu pun
menjadi gelisah. Beberapa orang sebenarnya telah mendengar apa yang
sebenarnya terjadi dari anak-anak mereka namun ketika di tempat itu
hadir pula Empu Purwa maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk
mengatakannya.
Tetapi sesaat kemudian Ki Buyut itu pun mendesak pula, “Wiraprana, tidakkah kau bisa berkata?”
Wiraprana menarik nafas dalam-dalam dan
ketika ia sudah tidak dapat mengelak lagi, maka katanya, “Ayah,
bertanyalah kepada mereka yang menceritakan perkelahian itu. Itulah
mereka, anak-anak yang tadi sedang mencuci pakaian di belumbang ini.
Mereka kini sedang mengintip apa pula yang akan terjadi di sini.”
Mendengar jawaban itu maka semua mata
tiba-tiba bergerak ke atas tanggul. Sehingga tampak pulalah oleh mereka
itu, kepala-kepala gadis yang sedang mengintip dengan keingintahuan,
bagaimanakah akhir dari peristiwa itu.
Ken Dedes yang melihat semua mata
memandang ke arah tanggul di atasnya, merasa seolah-olah mata itu
memandangnya dengan penuh hinaan dan penyesalan. Ia merasa bahwa
dirinya sebab dari keributan itu. Karena itu maka perasaan bersalah,
malu, sesal, dan segala macam bercampur-baur di dalam dadanya. Alangkah
rendah martabatnya sehingga beberapa orang laki-laki terpaksa
berkelahi karenanya. Karena itu maka tiba-tiba perasaan yang bergolak
di dadanya itu tak dapat dibendungnya lagi sehingga tiba-tiba gadis itu
berlari menghambur sambil berteriak, “Ayah, akulah yang bersalah.”
Empu Purwa terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia melihat anaknya berlari kepadanya, ia pun menyongsongnya.
Demikian Ken Dedes sampai kepada ayahnya
itu maka dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya sambil menangis
sejadi-jadinya. Katanya di sela-sela tangis itu, “Ayah. Akulah sumber
dari malapetaka yang menimpa padukuhan kita yang damai. Karena itu
Ayah, betapa hinanya aku maka adalah lebih baik bagiku kalau Ayah sudi
membunuhku. Biarlah aku mati di hadapan penduduk Panawijen yang
tenteram ini untuk menebus kesalahan dan arang yang mencoreng di wajah
keluarga.”
“Ken Dedes,” sahut ayahnya, “kenapakah kau ini?”
“Bunuh saja aku, Ayah,” tangis gadis itu.
Empu Purwa kemudian tegak seperti patung. Ditatapnya rambut anaknya yang panjang berombak, terurai menutup punggungnya.
“Bangunlah anakku,” bisiknya, “katakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku adalah ayahmu.”
“Tidak!” teriak Ken Dedes, “Bunuh aku, Ayah.”
Ki Buyut Panawijen pun kemudian
mendekatinya pula. Dengan lembut ia berkata, “Ken Dedes, jangan
menyalahkan diri sendiri. Berkatalah apa yang terjadi.”
Mula-mula gadis itu tidak juga mau
berkata. Tetapi lambat laun, setelah beberapa orang membujuknya, Ken
Dedes pun mengangkat wajahnya, memandang ayahnya dengan sayu. Katanya,
“Apakah ada gunanya?”
“Berkatalah, supaya kami mendengar,”
sahut Ki Buyut Panawijen. Sebenarnya Ki Buyut itu pun telah dapat
menduga, apa sebabnya maka tiba-tiba saja pedukuhannya yang tenteram
itu diributkan oleh sebuah perkelahian yang mengerikan. Dan tiba-tiba
pula ia pun menjadi malu. Satu di antara mereka yang berkelahi adalah
anaknya.
“Hem,” pikirnya. “Adakah anakku berkelahi karena seorang gadis?”
Ken Dedes pun kemudian bercerita
terbata-bata. Dikatakannya apa yang telah terjadi, sejak awal sampai
orang-orang itu melihat apa yang terjadi di tepi sungai itu.
Kuda Sempana pun mendengar kisah itu
pula. Setiap kata yang diucapkan oleh gadis itu, serasa sebuah pukulan
yang menampar dadanya. Diamat-amatnya setiap wajah dari orang-orang
Panawijen. Terbayanglah pada wajah-wajah itu, perasaan sesal dan marah.
Kuda Sempana tahu pasti bahwa orang-orang itu pasti akan
menyalahkannya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan? Nafas anak muda
itu pun menjadi semakin cepat mengalir, dan karena itu maka
digenggamnya hulu kerisnya semakin erat.
Tetapi kemudian Kuda Sempana itu pun
sadar bahwa di hadapannya berdiri Mahisa Agni. Ketika dipandangnya
wajah anak muda itu, hati Kuda Sempana berdesir. Dilihatnya Mahisa Agni
pun telah bersiap pula.
“Hem,” geram Ki Buyut Panawijen setelah
Ken Dedes selesai berbicara. Dipandanginya wajah Kuda Sempana yang kaku
tegang. Kemudian terdengar Buyut Panawijen itu berkata, “Angger Kuda
Sempana. Benarkah cerita putri Empu Purwa itu?”
Kuda Sempana mengerling ke setiap wajah
laki-laki Panawijen yang berdiri melingkar di sekitarnya. Kemudian
disambarnya pula wajah Mahisa Agni dan Wiraprana dengan sudut
pandangannya. Kuda Sempana tak dapat mengelak lagi. Di hadapannya
berdiri beberapa orang saksi. Selain Wiraprana dan Mahisa Agni,
dilihatnya pula beberapa orang gadis berderet-deret di atas tanggul.
Sehingga karena itu terpaksa ia mengangguk sambil berkata, “Ya, Ki
Buyut. Tetapi aku terdesak oleh keadaan. Aku telah mencoba datang ke
rumah Ken Dedes. Tetapi gadis itu tak ada di rumah,”
“Adakah demikian adat di pedukuhan kita?”
desak Ki Buyut, “Kenapa Angger Kuda Sempana tidak mencari ayahnya.
Bahkan seharusnya dengan sebuah upacara?”
“Aku ingin mendapat kepastian sedangkan waktuku terlalu pendek. Besok aku harus terus kembali ke Tumapel,” jawab anak muda itu.
“Di pinggir sungai?” bertanya Ki Buyut.
Kuda Sempana tak dapat menjawab. Tetapi
hatinya mengumpat. Hampir saja ia menyebut ada yang akan ditempuhnya.
Melarikan Ken Dedes dan menyembunyikannya sampai terdapat keturunan
daripadanya. Tetapi niat itu urung. Akibat dari adat itu pun tak akan
mau ditanggungkan. Sebab bila niat itu gagal dan keluarga gadis yang
dilarikan itu menuntutnya, ia akan dapat perlakuan yang mengerikan.
Mati dirampok orang seperti seekor harimau yang masuk ke dalam
padukuhan.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab maka
sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah gemericik air
yang mengalir dan jatuh berderai dari atas bendungan. Bulatan demi
bulatan melingkar di wajah air yang jernih itu, semakin lama semakin
besar. Dan kemudian pecah membentur tepian. Yang satu disusul dengan
yang lain. Tak henti-hentinya sejak bendungan itu selesai dibuat
beberapa tahun lampau.
Di dalam kepala Ki Buyut Panawijen itu
pun melingkar-lingkar pula berbagai pertanyaan. Tanpa terucapkan namun
ia tahu apa yang akan ditempuh oleh Kuda Sempana. Dikenalnya anak itu
sebagai anak yang cenderung menuruti kemauan sendiri. Karena itu
tiba-tiba ia berdesis, “Sayang. Sebenarnya kami, penduduk dari
pedukuhan ini, merasa bangga bahwa seorang anaknya telah berhasil
merebut hati sang Akuwu Tumapel sehingga mendapat tempat yang baik di
sisinya. Kepercayaan itu sebenarnya kami rasakan sebagai suatu
kepercayaan pula buat kami, penduduk Panawijen yang sepi. Angger Kuda
Sempana akan dapat menjadi tempat kami untuk berteduh jika hujan turun
dan bernaung jika terik matahari membakar tubuh. Tetapi sayang.
Sayang….” Penyesalan yang dalam membayang di wajah Buyut Panawijen itu.
Tak seorang pun menyambung kata-kata itu.
Mereka tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan
pedukuhan itu. Namun timbullah di dalam setiap kepala, keragu-raguan
untuk berbuat sesuatu. Pikiran itu bertolak dari pendapat yang sama
pula. Kuda Sempana adalah pengawal dalam Akuwu Tumapel. Sedang setiap
orang tahu sifat dan tabiat yang aneh dari Tunggul Ametung itu. Tunggul
Ametung dapat berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Akuwu namun ia
dapat pula berbuat sekejam-kejamnya. Akuwu itu benar-benar orang yang
keras hati, sekeras batu akik namun pada suatu saat hati itu dapat
selunak kapas.
Karena itu tak seorang pun dapat
membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung jika salah
seorang pengawalnya mengalami perlakuan yang jelek di kampung
halamannya. Meskipun demikian, adat harus ditegakkan. Meskipun Kuda
Sempana itu senapati sekali pun, seharusnya ia mendapat perlakuan yang
sama apabila telah dilakukan sesuatu kesalahan.
Dan semuanya itu tergantung kepada Empu Purwa, ayah dari gadis yang akan dilarikan itu.
Maka akhirnya semua mata pun tertuju
kepadanya. Apakah yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Apabila orang
tua itu menganggap bahwa Kuda Sempana telah melarikan anak gadisnya
dan maksud itu dapat dicegah maka ia dapat menuntut hukuman atas anak
muda itu.
Kuda Sempana pun sadar akan hal itu.
Namun telah bulat tekad di dalam hatinya, bahwa wanita, pusaka, dan
nyawanya tak berbeda nilainya. Karena itu maka ia pun telah bersiap
untuk menghadapi segala kemungkinan. Menghadapi Mahisa Agni sekali pun
meskipun akan berakibat maut baginya.
Empu Purwa menyadari keadaannya.
Ditatapnya setiap wajah dari tetangga-tetangganya itu. Dilihatnya
keragu-raguan dan kecemasan di wajah-wajah itu. Sekali dipandangnya
wajah anaknya pula. Pucat dan gemetar. Hatinya masih saja dicengkam
oleh perasaan malu dan hina. Ketika kemudian Empu Purwa memandang wajah
Mahisa Agni, dilihatnya wajah itu merah membara. Dengan tajam anak
muda itu tak melepaskan pandangannya atas Kuda Sempana.
“Angger Kuda Sempana,” kemudian terdengar orang tua itu berkata, “adakah angger tadi benar-benar bermaksud melarikan Ken Dedes?”
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Ketika
terpandang olehnya wajah Wiraprana yang bengap merah biru, dilihatnya
anak muda yang tinggi besar itu tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Persetan!” umpatnya di dalam hati namun mulutnya terpaksa menyahut, “Ya, Empu.”
Empu Purwa menarik nafas dan hampir setiap mulut kemudian mengucap berbagai kata-kata yang tidak jelas.
Ketika untuk sesaat kemudian Empu Purwa
terdiam maka keadaan menjadi tegang. Orang-orang Panawijen itu melihat
wajah Empu Purwa seakan-akan tanggul yang sudah penuh dengan air.
Apabila tanggul itu bobol maka akan datanglah banjir. Dan orang-orang
yang berdiri tegak memagari itu pun harus ikut serta. Dan Kuda Sempana
adalah biduk yang akan digulung oleh kedahsyatan banjir itu.
Tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh pertanyaan Empu Purwa kepada Kuda Sempana, “Angger, adakah Angger menyesal?”
Pertanyaan itu benar-benar tak terduga.
Baik oleh Kuda Sempana sendiri maupun oleh orang-orang Panawijen.
Karena itu Kuda Sempana tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Empu
Purwa dengan ragu sSehingga Empu Purwa yang tua itu mengulangi
pertanyaannya, “Angger, adakah Angger menyesal atas perbuatan itu?”
Pertanyaan itu jelas. Kata demi kata.
Setiap orang tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu setiap orang
menarik nafasnya. Seakan-akan mereka melihat air yang memenuhi tanggul
itu menjadi surut. Namun Kuda Sempana masih belum menjawab. Di dalam
dadanya timbullah suatu pergolakan yang riuh. Sudah pasti sama sekali
tak dihendakinya apabila orang-orang sekampungnya akan beramai-ramai
mengeroyoknya seperti seekor harimau yang tersesat masuk ke kampung.
Tetapi untuk menarik diri terasa bahwa harga dirinya tersentuh. Ketika
dilihatnya Mahisa Agni tegak seperti karang, sekali lagi ia mengumpat
di dalam hatinya, kalau saja anak gila itu tidak ada di sini maka
orang-orang Panawijen, laki-laki perempuan, tua muda, akan dihadapinya.
Tetapi kini Agni yang garang itu masih berdiri tegak di hadapannya.
Maka sesaat Kuda Sempana pun membuat perhitungan-perhitungan. Ia tidak
takut mati. Namun ia masih ingin menunda kematian itu. Meskipun
demikian anak muda yang gagah itu pun tidak segera menjawab sehingga
kemudian kembali terdengar suara pendeta tua itu, “Angger, aku tahu,
betapa berat untuk mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan.
Apalagi oleh seorang satria seperti Angger Kuda Sempana. Karena itu
maka baiklah aku pakai cara seorang tua. Kalau Angger Kuda Sempana
menyesal, sarungkanlah keris angger.”
Kembali keadaan menjadi tegang. Semua
mata terpaku ke tangan Kuda Sempana yang menggenggam kerisnya
erat-erat. Kuda Sempana sendiri pun memandang tangannya itu. Dan tangan
itu menjadi gemetar. Setiap orang yang memandang tangan itu pun
kemudian menjadi ngeri. Keris itu benar-benar pusaka yang menakjubkan.
Kalau Kuda Sempana tak mau menyarangkan keris itu maka keris itu pun
segera akan menari-nari. Setiap orang akan dapat mengalami nasib yang
jelek karenanya.
Ketika tangan Kuda Sempana itu bergerak
perlahan-lahan maka orang-orang yang terdekat pun bergeser. Namun semua
orang menarik nafas lega ketika mereka melihat, ujung keris yang
gemetar itu manjing ke dalam wrangkanya.
“Syukurlah berkata Empu Purwa kemudian sambil mengangguk-angguk kecil, “ternyata Angger berjiwa besar.”
Kemudian, pendeta tua itu pun berkata
kepada Buyut Panawijen, “Ki Buyut, marilah persoalan ini kita hadapi
dengan jiwa besar pula. Marilah semuanya ini kita lupakan.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-angguk
pula. Di dalam hatinya pun tersimpan perasaan semacam itu. Meskipun di
sudut hati itu yang paling dalam melengking pula pertanyaan, “Adakah
Kuda Sempana itu akan dibiarkan membawa kesalahannya tanpa hukuman
apapun?” Namun terdengar pula jawaban dari sudut yang lain, “Ayah gadis
itu tak menuntutnya. Dan, bukankah anak muda itu pengawal dalam istana
Tumapel.”
Ki Buyut Panawijen memandangi Kuda
Sempana yang gagah itu. Pakaian kelengkapannya yang indah meskipun
kotor dan kusut, sabuk bertimang emas dengan mata berlian.
Akhirnya Buyut Panawijen itu pun berkata,
“Angger Kuda Sempana. Angger telah berbuat kesalahan. Tetapi untunglah
segala sesuatu masih belum terlanjur. Aku tak dapat menyalahkan
Wiraprana dan Angger Mahisa Agni, bukan karena Wiraprana itu anakku.
Berterima kasihlah Angger Sempana kepada anak-anak muda yang mencegah
Angger, sebelum Angger sempat menyentuh gadis yang akan Angger larikan,
sehingga kebebasan Angger dari setiap hukuman tidak terasa sebagai
pelanggaran yang mutlak atas adat di kampung kita. Namun janganlah hal
ini menjadi contoh. Kalau Empu Purwa menghendaki, hukuman itu mempunyai
alasan yang cukup untuk dijatuhkan. Tetapi dengan demikian, peristiwa
ini akan benar-benar mengganggu ketenteraman pedukuhan kita. Maka
bijaksanalah Empu Purwa. Meskipun demikian, tak dapat angin lalu tanpa
menggoyangkan daun-daun pepohonan. Karena itu, baiklah aku minta,
sebagai orang yang diserahi tanggung jawab atas pedukuhan ini, agar
Angger Kuda Sempana segera meninggalkan kampung kita. Jangan kembali
sebelum sampai pada bilangan tahun.”
Kuda Sempana yang gagah itu mengerutkan
keningnya. Ia memandang hampir semua orang yang berdiri di
sekelilingnya. Hukuman yang jauh lebih ringan dari yang diduganya itu
tidak juga menyenangkan hatinya. Terasa bahwa sejak saat itu, ia akan
dipisahkan dari tanah kelahirannya, sedikitnya untuk setahun. “Persetan
tanah kelahiran yang beku ini!” pikirnya, “Di Tumapel aku mempunyai
lingkungan yang jauh lebih baik dari orang-orang yang bodoh dan keras
kepala ini. Apakah artinya bagiku, bendungan, belumbang, rumpon, sawah,
parit, dan segala macam yang pasti akan menjemukan. Di Tumapel, aku
dapat bermain-main dengan kuda, tombak, dan kemewahan.” Tetapi Kuda
Sempana memandang Ken Dedes yang masih duduk di pasir tepian. Terasa
hatinya berdesir. Dan tiba-tiba menyalalah dendam yang membakar hatinya
atas kampung halamannya, atas orang-orang yang melingkungi hidupnya
semasa kanak-kanaknya. Dan dendam itu harus ditumpahkan. Kalau ia tak
dapat memetik bunga dari lereng Gunung Kawi itu maka biarlah bunga itu
akan digugurkan saja dari tangkainya. Sama sekali ia tidak rela melihat
orang lain, apalagi pemuda-pemuda desa seperti Agni atau Wiraprana,
kelak akan memetiknya.
Sekali lagi Kuda Sempana memandangi
setiap wajah itu dengan muaknya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia
meloncat pergi meninggalkan mereka dengan dendam yang membara di
dadanya.
Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti
langkah pemuda yang gagah itu. Sesaat kemudian Kuda Sempana telah
meloncat ke atas punggung kudanya yang sedang asyik makan rerumputan
segar. Namun ketika terasa sentuhan pada lambungnya, segera kuda yang
tegar itu menengadah dan meloncatlah ia dengan lajunya meninggalkan
tepian sungai itu.
Beberapa orang menarik nafas lega. Mereka
seakan merasa terlepas dari bencana. Ki Buyut Panawijen dan Empu Purwa
pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Anak yang keras kepala,” desis Ki Buyut.
Tak seorang pun yang menyahut.
“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Buyut Panawijen itu pula.
Beberapa orang yang lain pun segera
bergerak mengikuti Buyut Panawijen itu. Tanpa berkata-kata sepatah pun,
mereka mendaki tebing dan hilang di belakang tanggul.
Yang tinggal kemudian adalah Empu Purwa,
Ken Dedes, Mahisa Agni, dan Wiraprana. Sedangkan gadis-gadis yang
mengintip dari atas tanggul, satu demi satu menuruni tebing untuk
mengambil cucian-cucian mereka yang tinggal di belumbang.
Untuk beberapa saat Empu Purwa, Mahisa
Agni, dan Wiraprana masih memandang ke arah Kuda Sempana menghilang.
Empu yang tua dan bijaksana itu mengeluh di dalam hatinya Sebenarnya
Empu Purwa yang telah cukup banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan,
segera dapat mengerti bahwa Kuda Sempana sama sekali tidak ikhlas atas
keputusan yang diambilnya. Namun perasaan itu sama sekali tak
diungkapnya. Tetapi betapa pendeta tua itu terkejut ketika terdengar
suara Mahisa Agni lirih, “Bapa, adakah Kuda Sempana menerima keputusan
ini dengan jujur?”
Empu Purwa memandang Agni dengan seksama.
Ia pun sadar bahwa tidak mustahil orang-orang lain pun menyimpan
pertanyaan yang demikian di dalam hatinya. Meskipun demikian ia
menjawab, “Angger Kuda Sempana adalah seorang satria yang berjiwa
besar. Seorang yang demikian akan melihat kenyataan dengan jujur.”
Mahisa Agni kecewa mendengar jawaban itu.
Tetapi ia sadar, bahwa di kampung halamannya, gurunya itu tidak lebih
dari seorang pendeta yang meluluhkan diri dalam ketekunan beribadah. Di
pedukuhan yang tenteram damai itu, tak seorang pun yang pernah melihat
bahwa Empu Purwa yang tua dan alim itu mampu menggenggam segala macam
senjata di kedua sisi tangannya. Mampu menghantam hancur lawan yang
betapa pun tangguhnya hanya dengan tangannya. Tetapi masa-masa yang
demikian telah lampau bagi pendeta tua itu. Namun demikian, ia tidak
menutup mata atas suatu kenyataan bahwa kadang-kadang kebenaran harus
dibela dengan kemampuan yang demikian. Kadang-kadang diperlukan
kekuatan jasmaniah untuk menegakkan keadilan dan terutama untuk melawan
segala bentuk kejahatan dan pengingkaran atas kebenaran dan keadilan
itu. Kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Kebenaran dan
keadilan yang dibenarkan oleh Yang Maha Agung. Karena itulah maka ia
menempa anak muda yang bernama Agni itu. Semoga anak itu dapat
mengamalkan ilmunya. Mengamalkan, dan bukan sebaliknya.
Pendeta tua itu tersentak ketika kemudian Wiraprana berkata, “Empu, aku melihat sesuatu membayang di wajah Kuda Sempana.”
“Apakah itu?” bertanya Empu Purwa.
“Dendam,” jawab Wiraprana.
“Oh,” sahut Empu Purwa, “Tidak. Jangan berprasangka, Ngger. Tak baik orang menyimpan dendam di dalam dirinya.”
“Yang menyimpan dendam itu bukan aku, Empu,” jawab Wiraprana sambil tersenyum, “tetapi Kuda Sempana.”
“Ya, ya,” potong pendeta itu cepat-cepat, “maksudku bukan Angger. Tetapi siapa saja,. semua orang.”
Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun wajahnya masih merah biru namun anak muda itu selalu
tersenyum saja. Hanya kadang-kadang tampak ia menyeringai, kalau
nyeri-nyeri di punggungnya terasa seperti menyengat-nyengat sampai ke
ubun-ubun.
Sesaat kemudian Empu Purwa itu teringat
kepada anaknya yang masih duduk lesu di atas pasir. Dengan lembut orang
tua itu berkata sambil menarik lengan putrinya, “Ken Dedes, marilah
kita pun pulang. Ambillah cucianmu.”
Ken Dedes menatap wajah ayahnya. Wajah seorang yang paling dikasihi dari semua orang yang dikenalnya.
“Adakah kau sudah selesai dengan cucianmu?” bertanya ayahnya.
Ken Dedes menggeleng.
“Apakah kau ingin menyelesaikannya,” bertanya ayahnya pula.
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
“Kalau demikian, marilah kita pulang. Biarlah kau selesaikan di rumah,” ajak Empu Purwa.
Perlahan-lahan Ken Dedes berdiri dan
berjalan ke belumbang untuk mengambil cuciannya. Namun wajahnya yang
pucat itu selalu ditundukkannya. Tak berani ia menatap wajah
kawan-kawannya yang seakan-akan memandangnya dengan penuh persoalan.
Sesaat kemudian mereka itu pun pulang
bersama-sama. Empu Purwa berjalan membimbing putrinya. Di belakang
mereka berjalan Mahisa Agni dan Wiraprana, Namun kadang-kadang
Wiraprana masih harus berpegangan pundak sahabatnya itu.
Di perjalanan itu pun mereka tak banyak
bercakap-cakap. Mereka sedang asyik bermain-main dengan angan-angan. Di
dalam kepala Mahisa Agni masih saja membayang wajah Kuda Sempana yang
menyala-nyala liar. Karena itu, mau tidak mau Mahisa Agni harus
berpikir, “Bagaimanakah kalau anak itu datang sebelum waktu yang
ditentukan? Apalagi kalau anak itu datang tidak seorang diri, tetapi
dengan beberapa kawannya dari Tumapel?”
Tetapi kemudian dihiburnya sendiri
hatinya, “Empu Purwa pasti tidak akan membiarkan anaknya mengalami
nasib sedemikian Kalau perlu, perlu sekali, maka orang tua itu pasti
akan membela anaknya. Kalau terpaksa, pasti ia akan mempertahankan
dengan kekerasan pula.” Demikianlah batin Mahisa Agni menjadi agak
tenteram karenanya.
Setelah mengantarkan Wiraprana, Agni pun
segera pulang ke rumah gurunya. Dan sehari itu sama sekali tak
dijumpainya Ken Dedes, yang kemudian merendam diri di dalam biliknya.
Empu Purwa pun tidak dijumpainya di
halaman atau di pendapa. Seorang cantrik berkata kepadanya bahwa Empu
Purwa sedang berada di sanggarnya.
Terasa sehari-hari rumah itu menjadi
sepi. Mahisa Agni berjalan hilir-mudik dengan gelisah. Sekali
dipegangnya senggot timba untuk mengisi jambangan tetapi belum lagi
pekerjaan itu selesai, Mahisa Agni telah berpindah pekerjaan.
Diambilnya cangkul dan sabit. Dicobanya melupakan kegelisahan dengan
menyiangi pertamanan di belakang. Namun pekerjaan ini pun tak
menyenangkannya. Burung-burung peliharaannya yang bernyanyi riuh itu
pun tak menarik perhatiannya. Akhirnya Mahisa Agni pun menyekap diri di
bilik belakang. Bilik yang dipergunakannya untuk mesu diri, melatih
tubuh wadagnya sejak ia mulai berguru kepada Empu Purwa itu. Dengan
serta-merta dilepasnya ikat pinggangnya, diikatkan di pinggangnya.
Dengan sebuah loncatan tinggi Mahisa Agni mulai dengan latihannya.
Latihan yang lain daripada saat-saat berlatih. Ia hanya ingin
melepaskan kesepian dan kegelisahan yang mencengkamnya. Dilakukannya
berbagai gerakan, dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit
yang pernah dipelajarinya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat seperti
kijang. Melingkar, berputar, dan melambung ke udara. Ketika ia telah
menjadi jemu dengan segala gerakan itu, tiba-tiba di tangannya telah
tergenggam sebilah pedang yang diraihnya dari dinding biliknya. Dengan
lincahnya Mahisa Agni mempermainkan pedangnya. Kadang-kadang ia mencoba
membuat gerakan-gerakan yang indah namun tiba-tiba gerakannya menjadi
cepat dan kaku. Demikianlah Mahisa Agni melepaskan kejemuan dengan
berbagai-bagai senjata. Pedang, tombak, cemeti, dan jenis-jenis senjata
lain. Sehingga akhirnya Mahisa Agni menjadi lelah. Satu demi satu
senjata-senjata itu dikembalikannya pada tempatnya, dan yang terakhir
Mahisa Agni meletakkan tubuhnya di sudut bilik itu. Demikian lelahnya
setelah semalam ia harus bertempur melawan hantu Karautan, pagi itu,
dengan Kuda Sempana dan masa latihannya berlebih-lebihan, maka akhirnya
Mahisa Agni pun tertidur dengan nyenyaknya.
Betapa mimpi yang aneh-aneh telah
mengganggunya. Dilihatnya di dalam mimpi itu, Ken Dedes meloncat ke
dalam perahu yang megah di sebuah danau yang tenang. Tetapi tiba-tiba
air danau itu pun bergolaklah. Sebuah angin yang kencang telah
mengguncang perahu yang megah itu sehingga perahu itu bergoyang dengan
kerasnya. Ken Dedes yang berada di dalam perahu itu terlempar dan
segera ditelan oleh gelombang yang ganas. Dan yang terakhir Mahisa Agni
melihat perahu itu tenggelam. Bagaimanapun ia mencoba untuk menolong
Ken Dedes maupun perahunya namun sia-sia. Bahkan akhirnya dirinya pun
terguncang keras-keras.
Mahisa Agni terkejut. Perlahan-lahan ia
membuka matanya. Dilihatnya bilik itu menjadi gelap. Seorang tua dengan
lampu di tangan berdiri di sampingnya. “Agni,” berkata orang itu,
“Apakah kau sedang bermimpi?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni bangkit. Dilihatnya keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia masih berada di dalam biliknya.
Sekali ia menggeliat, kemudian jawabnya, “Ya Guru, sebuah mimpi yang jelek.”
“Aku sudah menduga. Di dalam tidur kau menggeram,” sahut gurunya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Syukurlah bahwa semuanya itu hanya terjadi di dalam mimpi. Namun
meskipun demikian mimpi itu sangat mengganggunya. Sehingga kemudian
terluncur juga dari mulutnya, “Guru, mimpiku menggelisahkan sekali.
Adakah setiap mimpi itu mempunyai arti?”
“Apakah mimpimu itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni mencoba untuk menceritakan
mimpinya. Sejak awal sampai betapa ia meronta-ronta melawan ombak yang
menghempas-hempaskannya.
Empu Purwa mengerutkan keningnya.
Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum,
katanya, “Waktu mimpimu itu adalah waktu yang tak membawa arti. Mimpi
yang mengandung makna adalah mimpi pada saat-saat antara ayam jantan
berkokok untuk kedua dan ketiga kalinya. Mimpimu adalah mimpi seseorang
yang terlalu banyak tidur, Agni.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Tetapi
senyumnya itu pun sama sekali tidak meyakinkan. Mahisa Agni telah
mengenal gurunya baik-baik, sehingga ia tahu benar tabiat orang tua
itu. Meskipun orang tua itu mencoba menghapuskan kesannya atas mimpi
Mahisa Agni, namun tertangkap juga oleh Mahisa Agni, kegelisahan yang
membayang di wajah itu, meskipun hanya sesaat. Tetapi ia tidak berani
bertanya lebih lanjut.
“Agni,” berkata Empu Purwa kemudian,
“bersihkanlah dirimu. Kami sudah makan malam. Makanlah dahulu, kemudian
datanglah kepadaku. Ada yang akan aku bicarakan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Gurunya memanggilnya. Pasti ada sesuatu yang penting.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri dan
perlahan-lahan berjalan keluar. Panggilan gurunya itu agak
mengganggunya, di samping mimpi yang menggelisahkan itu.
“Mimpi seseorang yang terlalu banyak
tidur,” gumamnya, “Mudah-mudahan.” Namun meskipun demikian Mahisa Agni
tak dapat melupakannya.
Setelah membersihkan diri, Mahisa Agni
segera pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Dedes duduk di atas bale-bale
bambu. Ketika dilihatnya ia datang, segera gadis itu menyapanya, “Kau
tertidur di bilik belakang Kakang?”
Mahisa Agni mengangguk. Ditatapnya wajah
gadis itu. Pucat, dan tampak bendul di kedua pelupuk matanya. Agaknya
gadis itu sehari-harian menangis di dalam biliknya.
Ken Dedes memalingkan wajahnya. Ia merasa
Mahisa Agni memandang bendul di pelupuk matanya itu. “Apa yang kau
tatap itu Kakang? Apakah kau belum pernah melihat mataku?” katanya
sambil mencoba tersenyum.
“Bukan apa-apa,” jawab Agni. Dan
tiba-tiba saja sikapnya menjadi canggung. Ia telah berkumpul dengan Ken
Dedes dalam satu rumah bertahun-tahun lamanya. Namun kini terasa gadis
itu menjadi asing baginya.
(Bersambung ke Jilid 2)
No comments:
Write comments