Tetapi Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang
yang ditunggu-tunggunya tidak juga segera datang. Apakah mereka tidak
mendengar segala macam keributan ini karena mereka terlampau jauh
bersembunyi, atau tiba-tiba mereka tertidur di tempat persembunyian
mereka?”
Dalam kegelisahan itu maka terdengar Empu
Sada berteriak nyaring, “Kuda Sempana. Telah sampai saatnya kau
melakukaa tugasmu.” Suara Empu Sada itu menggelora seolah-olah memenuhi
hutan itu. Daun-daunan bergetaran dan ranting-ranting bergoyang-goyang
karena gelombang suara orang tua itu. Gemanya memukul setiap pepohonan
dan membuat bunyi ulangan yang serupa melingkari sampai jarak yang
sangat jauh.
Tetapi Empu Sada tidak segera melihat
ketiga muridnya. Bahkan yang dilihatnya, para prajurit Tumapel semakin
lama semakin menguasai keadaan. Apalagi ketika Empu Sada kemudian
melihat, bahwa orang-orangnya telah mulai lelah karena gerak dan tandang
mereka yang berlebih-lebihan. Sebab menurut perhitungan mereka, apa
yang terjadi dengan mereka, tidak akan berlangsung lama.
Witantra dan kawan-kawannya pun menjadi
heran. Kenapa Kuda Sempana yang telah dipanggil oleh gurunya itu tidak
juga muncul. Namun dengan demikian timbullah berbagai dugaan diantara
mereka. Diantaranya menyangka bahwa Kuda Sempana sengaja menunggu sampai
orang-orang Tumapel menjadi lengah benar-benar, sedang yang lain
menganggap bahwa apa yang terjadi itu telah berubah dari rencana semula.
Tetapi bagi Ken Dedes sendiri, nama Kuda
Sempana itu telah hampir membuatnya pingsan. Kuda Sempana bagi Ken Dedes
sungguh menakutkan, melampaui hantu yang paling mengerikan sekalipun.
Ternyata kini orang yang menakutkan itu
datang kembali kepadanya, bahkan kali ini dengan membawa sejumlah kawan
yang bersedia membantunya.
Meskipun Ken Dedes merasa, bahwa para
prajurit Tumapel telah berusaha melindunginya sejauh-jauh mungkin, namun
melihat keributan perkelahian itu, hati Ken Dedes pun menjadi sangat
cemas karenanya. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut Kuda Sempana
sebagai alasan untuk memohon kepada Akuwu sejumlah pengawal yang akan
mengantarnya. Ternyata ucapannya itu kini terjadi, seperti sebuah mimpi
dara-asih.
Karena itu maka kini Ken Dedes telah
berpegangan erat-erat pada tandunya, seolah-olah ia ingin segera
meloncat masuk dan dengan cepat-cepat berjalan ke Panawijen.
Dalam keadaan yang demikian, teringat
olehnya murid ayahnya, Mahisa Agni yang sudah dianggapnya sebagai kakak
kandungnya sendiri. Telah beberapa kali Mahisa Agni melepaskannya dari
tangan Kuda Sempana. Meskipun kemudian Kuda Sempana berhasil membawanya,
namun yang terjadi itu adalah benar-benar diluar kemampuan Mahisa Agni.
Kini Kuda Sempana itu kembali menghantuinya. Dan disini tidak ada
Mahisa Agni. Justru ia sedang berjalan ke padukuhan Mahisa Agni, untuk
menunjukkan kebesarannya, supaya Mahisa Agni menyadari, bahwa ia telah
salah menafsirkan maksud Akuwu Tunggul Ametung.
Pertempuran yang hiruk pikuk masih
terjadi. Orang-orang Empu Sada masih saja bertempur sambil
berteriak-teriak. Namun Kuda Sempana dan kedua saudara seperguruannya
masih belum menampakkan dirinya.
Empu Sada yang gelisah, sekali lagi
berseru, “He Kuda Sempana, apakah kau tertidur? Cepat bangunlah,
pertempuran telah hampir selesai. Pintu telah terbuka bagimu.”
Suara Empu Sada itu pun melontar memenuhi
hutan. Dikejauhan terdengar suara anjing hutan menggonggong
berkepanjangan, seakan-akan menyahut seruan orang tua bertongkat panjang
itu. Namun Kuda Sempana belum juga tampil ke medan peperangan.
Empu Sada pun menjadi semakin gelisah.
Namun dengan demikian kemarahannya pun semakin menyala di dalam dadanya.
Dalam kegelisahan itu Empu Sada mencoba membuat perhitungan atas anak
buahnya dan para prajurit Tumapel. Ketika ia mendengar salah seorang
dari orangnya memekik tinggi dan kemudian jatuh terguling karena dadanya
tersobek oleh ujung tombak, maka matanya yang cekung, tiba-tiba seperti
memancarkan api. Korban telah jatuh di pihaknya, sedang Kuda Sempana
belum juga menampakkan dirinya. Di samping kemarahannya, orang tua itu
pun menjadi jengkel pula kepada Kuda Sempana.
Tetapi tempat yang paling baik untuk
menumpahkan kemarahannya itu adalah Witantra dan kawan-kawannya. Karena
itu, maka segera ia mengambil keputusan, untuk secepat-cepatnya
membinasakan Witantra dan kawan-kawannya, kemudian membinasakan segenap
prajurit Tumapel sebelum orang-orangnya menjadi punah. Bersama-sama
dengan orang-orangnya itu, maka ia pasti segera akan dapat melumpuhkan
pasukan Tumapel itu, untuk seterusnya dengan kasar mengambil gadis bakal
Permaisuri Akuwu Tumapel untuk muridnya. Tetapi apabila diingatnya,
bahwa muridnya kini sama sekali tidak menampakkan dirinya, maka Empu
Sada pun menjadi ragu-ragu untuk melakukan keputusannya dan bahkan
menjadi acuh tak acuh akan gadis itu. Namun berbagai pertimbangan yang
lain telah mendorongnya untuk meneruskan rencananya. Kalau Kuda Sempana
tidak meneruskan rencananya, biarlah. Aku sudah terlanjur melawan
pemimpin prajurit Tumapel ini. Mau tidak mau aku harus mengambil alih
pertanggungan jawabnya. Sehingga wajarlah kalau aku yang akan mengambil
keuntungan dari pencegatan ini. Bukankah bakal permaisuri itu memiliki
perhiasan yang tiada-tara nilai harganya.
Dengan ketetapan hati, Empu Sada itu pun
kemudian bertempur dengan hampir segenap kemampuannya supaya
pekerjaannya cepat selesai sebelum orang-orangnya semakin banyak menjadi
korban. Meskipun orang-orang itu adalah murid-murid dari
murid-muridnya, namun ia tidak dapat membiarkan korban berjatuhan
apabila hal itu masih mungkin dihindari.
Demikianlah pertempuran antara Empu Sada
dan keempat lawannya menjadi semakin dahsyat. Terasa bagi keempat
lawannya, bahwa Empu Sada telah benar-benar hampir sampai puncak
kewajaran ilmunya, meskipun ia belum mempergunakan ilmu pemungkasnya,
seperti yang telah diturunkannya kepada murid-muridnya, Kuda Sempana,
Cundaka dan beberapa orang yang lain.
Witantra dan ketiga kawannya terpaksa
memeras tenaganya pula. Namun bagaimanapun juga, terasa bahwa suatu
ketika mereka pasti akan dibinasakan oleh Empu Sada itu Kemudian akan
lenyap pulalah gadis yang harus dipertanggung-jawabkan.
Witantra itu pun kemudian menggeram.
Alangkah aib namanya. Ketika ia bertugas untuk mengawal Ken Dedes,
seorang bakal permaisuri Tumapel hanya dalam jarak antar Tumapel dan
Panawijen, ia telah gagal. Kematiannya bukanlah hal yang dicemaskannya.
Tetapi dengan hilangnya Ken Dedes, maka namanya akan menjadi buah
pembicaraan setiap prajurit dan bahkan setiap orang Tumapel, bahwa
hilangnya Ken Dedes, adalah karena tidak kemampuan Witantra, pimpinan
pasukan pengawal istana.
Tetapi ternyata bahwa kegelisahan Empu
Sada berpengaruh juga dalam pertempuran itu. Sekali-sekali orang tua itu
masih mencoba mencari Kuda Sempana diantara orang-orang yang sedang
bertempur hiruk-pikuk itu. Namun setiap kali orang itu menjadi kecewa
dan menggeram marah. Dalam hal demikian, kembali orang tua itu
memperketat serangannya.
Sehingga akhirnya tenaga Kebo Ijo semakin
lama semakin menjadi surut. Nafas Mahendra pun menjadi semakin
terengah-engah, bahkan seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat.
Tangkai pedangnya pun menjadi basah pula, dan terasa seolah-olah pedang
itu ingin meloncat dari genggamannya. Sidatta pun tidak kalah cemasnya
ketika tangannya seakan menjadi semakin lemah.
Tetapi Empu Sada pun tidak pula kalah
cemasnya. Ia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi, korban akan
berjatuhan di pihaknya apabila Kuda Sempana dan kawan-kawannya tidak
segera tampil ke medan. Betapa ia mengerahkan kemampuannya untuk
membunuh Witantra dan kawan-kawannya sebelum ia berhasil membantu
orang-orangnya, namun ia memerlukan waktu pula.
Karena itu dengan nada penuh kejengkelan sekali lagi ia berteriak, “He, Kuda Sempana, dimana kau?”
Pertanyaan itu telah menimbulkan pikiran
baru bagi para perwira yang berdiri di samping Ken Dedes. Pertanyaan itu
meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Sehingga
karena itu ia telah mengambil suatu sikap untung-untungan. Kepada
seorang prajurit yang dipercayainya ia berkata, “Gantikan tempatku.
Berdua, sebelah menyebelah. Aku akan membantu kakang Witantra dan kakang
Sidatta, kalau terjadi sesuatu, cepat, panggil aku kemari.”
“Baik,“ sahut prajurit itu yang kemudian
berdua dengan seorang kawannya mereka berdiri sebelah menyebelah tandu
Ken Dedes di dalam lingkaran beberapa kawannya yang lain. Di tangan
prajurit itu tergenggam sebatang tombak pendek dan Prajurit yang lain
menggegam pedang yang panjang.
Ketika kedua Prajurit itu telah bersiap
di kedua sisi tandu itu, maka berkatalah perwira itu kepada Ken Dedes,
“Tuan Puteri, hamba mohon ijin untuk membantu kakang Witantra yang
agaknya mengalami kesulitan. Apabila terjadi sesuatu disini, biarlah
hamba segera datang kemari.”
Ken Dedes ragu-ragu sesaat, tetapi ketika
ia melihat kedua prajurit yang bertubuh besar kekar dan berwajah keras
berdiri di kedua sisi tandunya ia mengangguk sambil berkata, “Tetapi kau
harus segera kembali apabila kami disini memerlukan.”
“Hamba tuan Puteri,“ jawab perwira itu.
Dan tanpa menunggu lagi segera ia meloncat menembus lingkaran prajurit
yang dibuatnya. Dengan tangkasnya segera ia terjun dalam pertempuran
bersama dengan Witantra dengan kawan-kawannya. Sepasang senjatanya
segera berputaran. Dengan kesegaran tenaganya cepat ia dapat
mempengaruhi keadaan.
Witantra terkejut melihat kehadirannya. Karena itu dengan serta merta ia bertanya, “Kau datang juga kemari?”
“Aku telah menyerahkannya kepada para prajurit pilihan. Aku akan segera kembali ke sana kalau diperlukan.”
Witantra tidak menjawab. Ia memang
memerlukan bantuan itu. Dan ia sependapat, apabila diperlukan, biarlah
ia meninggalkan arena ini.
Dengan kehadiran lawan barunya, maka
pekerjaan Empu Sada menjadi kian berat. Namun dengan demikian ia menjadi
semakin marah. Orang baru itu hanya akan mampu memperpanjang waktu,
tetapi tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari bencana.
Tetapi memperpanjang waktu itu pun
benar-benar telah mencemaskan hati Empu Sada. Di sekitarnya ia melihat
bahwa orang-orangnya pun telah menjadi kian sulit. Kalau semua mereka
sengaja membuat kegaduhan dengan serangan-serangan yang tidak teratur,
maka semakin lama mereka benar-benar menjadi tidak teratur bukan karena
kesengajaan. Ternyata prajurit Tumapel lebih berpengalaman dalam
pertempuran bersama. Mungkin orang-orang Empu Sada itu seorang-seorang
tidak kalah dari para prajurit Tumapel, tetapi kerja sama dan bertempur
dalam pasangan-pasangan yang serasi, ternyata para prajurit Tumapel
telah melampaui mereka.
Orang tua bertongkat panjang itu pun
menggeram. Kemarahannya kini telah memuncak. Dengan demikian maka tidak
lagi dapat mengekang dirinya dalam pertempuran itu. Namun melawan lima
orang perwira prajurit pengawal Akuwu Tumapel, ternyata Empu Sada
memerlukan waktu pula.
Sampai demikian jauh, ternyata Kuda
Sempana dan kawan-kawannya masih belum menampakkan dirinya pula. Bahkan
sampai saat-saat yang sangat mencemaskan Empu Sada, sehingga akhirnya
Empu Sada mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkelahian itu
menurut seleranya sendiri. Ia tidak tertarik lagi kepada rencananya yang
telah disusunnya bersama Kuda Sempana.
“Aku musnahkan saja semua orang Tumapel ini,“ katanya di dalam hati. Dan ia benar-benar ingin melaksanakannya.
Ken Dedes yang melihat perkelahian itu,
hatinya benar-benar menjadi cemas. Ia tidak tahu apa yang sedang
berlangsung antara Empu Sada dan kelima lawannya. Namun menurut
penilaian Ken Dedes, apabila lawan Witantra bukan benar-benar orang yang
sangat sakti, maka ia pasti tidak memerlukan tiga orang untuk mencoba
melawannya. Bahkan lima orang pun tidak segera dapat mengatasi keadaan.
Mereka seakan-akan mampu berlari-lari melingkari Empu Sada, untuk
kemudian berloncatan menjauh bersama-sama sebelum satu dua orang
menyerangnya dari arah yang berbeda.
Tetapi apabila Ken Dedes melihat
pertempuran di sudut-sudut yang lain, ia melihat para prajurit Tumapel
selalu berusaha mendesak dan bahkan mengejar orang-orang liar itu
berlari-lari melingkar-lingkar. Tetapi para penyerang itu masih saja
berteriak-teriak tak menentu dengan nada yang menyakitkan telinga,
meskipun suara teriakan-teriakan itu tidak sekeras pada saat-saat mereka
datang.
Ketika mereka kemudian telah sampai ke
puncak yang paling gawat dari pertempuran itu, baik bagi Witantra dan
kawan-kawannya, maupun bagi orang Empu Sada, yang masing-masing selalu
terdesak oleh lawan-lawan mereka, dikejauhan terdengar sebuah suitan
nyaring. Sekali, dua kali dan kemudian diulangi lagi sekali, sehingga
menjadi tiga kali. Suara itu seperti suara seekor burung yang melengking
memecah gelap malam.
Ternyata suara itu telah mengejutkan semua orang yang berada di arena pertempuran itu.
Bagi Witantra dan para prajurit Tumapel
suara itu seakan-akan suara hantu yang telah siap menerkam mereka dan
sikap yang sangat mengerikan. Dalam kesulitan itu, maka mereka masih
harus menunggu bencana yang bakal datang.
Para prajurit yang berada di sekitar Ken
Dedes pun segera merapatkan diri, seakan-akan mereka mendapat perintah
untuk menghadapi kemungkinan yang paling akhir dari perjuangan mereka.
Tetapi Witantra, Mahendra, Kebo Ijo dan
kedua perwira bawahan Witantra menjadi semakin terkejut melihat sikap
Empu Sada. Ternyata orang tua itu pun terkejut bukan buatan mendengar
suara suitan tiga kali berturut-turut. Seperti disengat seribu lebah
biru Empu Sada itu melontar surut beberapa langkah. Diangkatnya wajahnya
sambil memanjangkan lehernya.
Witantra dan kawan-kawannya yang menjadi
keheranan. justru berdiri saja tegak di tempatnya. Seolah-olah mereka
melihat sesuatu yang bukan seharusnya. Mereka menyangka bahwa suara
suitan itu adalah pertanda kehadiran Kuda Sempana dan kawan-kawannya
yang mungkin bukan saja tiga orang, tapi dengan beberapa orang lain.
Namun menilik sikap Empu Sada, maka kemungkinan itu pasti berbeda dari
peristiwa yang akan mereka hadapi.
Terdengar Empu Sada itu menggeram. Sekali
dilayangkannya pandangan matanya kepada orang-orangnya yang masih
bertempur melawan prajurit-prajurit Tumapel. Ternyata mereka semakin
menjadi terdesak.
Dalam ketegangan itu sekali lagi dikejauhan terdengar suara itu. Suara suitan tiga kali berturut-turut.
“Setan,“ geram Empu Sada, “apa pula yang terjadi dengan anak cengeng itu?”
Witantra masih tegak di tempatnya.
Kawannya pun masih belum berbuat sesuatu. Namun di dalam dada mereka
berdetaklah berbagai pertanyaan tentang sikap orang tua yang mengerikan
itu.
Tiba-tiba Witantra dan kawan-kawannya
dikejutkan oleh suitan Empu Sada itu. Mirip dengan sebuah siulan
panjang. Suaranya menyusup menembus gelap malam melingkar-lingkar di
dalam hutan.
Witantra dan kawan-kawannya tidak tahu
sama sekali sasmita sandi semacam itu. Karena itu, mereka harus
mempersiapkan diri mereka menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi. Mungkin siulan Empu Sada itu memperdengarkan kidung kematian
bagi mereka dan para prajurit Tumapel.
Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan
dugaan mereka. Mendengar suara siulan itu. maka serentak orang-orang
Empu Sada berteriak semakin keras, namun apa yang mereka lakukan justru
sebaliknya. Mereka berlari-larian di arena itu untuk sesaat, kemudian
dengan cepatnya mereka meloncat menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul yang
gelap di balik rimbunnya hutan.
Beberapa orang prajurit Tumapel berusaha mengejar mereka, namun terdengar Witantra memberi aba-aba, “Biarkan mereka.”
Para prajurit Tumapel terhenti di
tempatnya. Terasa pula oleh mereka itu, suasana yang seolah-olah
menyimpan rahasia. Suara-suara suitan dan siulan, kegelapan malam
diantara batang-batang pohonan, Empu Sada yang masih berdiri di
tempatnya dan suara teriakan-teriakan orang-orang yang berbuat
seakan-akan orang-orang liar itu yang semakin lama menjadi semakin
lemah. Keadaan itu pulalah yang memaksa Witantra mencegah anak buahnya
terjerumus di dalam keadaan yang tak mereka kenal.
Sesaat setiap orang di perkemahan itu
berdiri tegak di tempatnya. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang,
namun mulut mereka terkatub rapat-rapat. Witantra, Mahendra, Kebo Ijo,
kedua perwira bawahan Witantra. Para prajurit, Ken Dedes dan bahkan Empu
Sada sendiri.
Mereka seakan-akan sedang menunggu suatu peristiwa yang akan meledak setiap saat.
Tetapi yang terdengar kemudian sekali
lagi suara suitan kini menjadi kian dekat. Tiga kali berturut-turut.
bahkan kini tidak saja dilontarkan oleh seseorang, tetapi dua orang
hampir bersamaan.
Sekali lagi terdengar Empu Sada
menggeram. Diantara suaranya yang berat terdengar ia mengumpat, “Setan
manakah yang berani mengganggu Empu Sada dan murid-muridnya.”
Kata-kata Empu Sada itu pun mengejutkan
Witantra dan kawan-kawannya. Terasa bahwa Empu Sada merasa terganggu
karena suara-suara suitan itu. Karena itu maka Witantra dan
kawan-kawannya menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang sedang
terjadi.
Namun mereka terkejut ketika Empu Sada
itu berteriak lantang, “He, Kuda Sempana. Dimana kau? Siapakah yang
telah berani mencoba menghalangi rencana kami itu?”
Suara Empu Sada menggelegar seperti suara guruh di musim kesanga.
Tetapi suara Empu Sada itu tidak segera
mendapat jawaban. Sejenak mereka terpaku menunggu, apakah yang bakal
terjadi, dan apakah jawaban yang akan mereka dengar atas pertanyaan Empu
Sada itu. Namun jawaban itu tidak segera mereka dengar.
Empu Sada yang masih berdiri tegak itu
sekali lagi menggeram. Wajahnya menjadi semakin tegang dan tubuhnya
gemetar menahan marah. Tetapi dengan demikian, Witantra dan
kawan-kawannya perlahan-lahan dapat mengurai keadaan. Ternyata dugaan
mereka benar, ada sesuatu yang tidak wajar menurut rencana Empu Sada.
Ketika sejenak kemudian masih juga tidak
ada jawaban, maka sekali lagi terdengar Empu Sada berteriak, “Kuda
Sempana, sekali lagi aku beri tanda. Aku akan segera datang.”
Alangkah terkejut mereka bersama-sama
ketika sekali lagi terdengar suara tidak begitu jauh dari tempat mereka.
Meskipun suara itu tidak jelas, namun terdengar juga lamat-lamat, “Aku
disini guru. Ada orang gila yang menghalangi aku.”
Empu Sada tidak menunggu lebih lama lagi.
Cepat-cepat ia meloncat meninggalkan Witantra dan kawan-kawannya.
Hilang di dalam semak-semak. Adalah pasti bahwa Empu Sada berusaha untuk
menolong muridnya. Agaknya suitan-suitan itu adalah tanda dari
murid-murid Empu Sada untuk menyatakan, bahwa mereka berada dalam
bahaya.
Witantra masih berdiri sejenak di
tempatnya. Tetapi tanggapannya atas peristiwa itu telah memaksanya untuk
mencoba mengikuti Empu Sada. Karena itu maka katanya, “Sidatta,
tetaplah disini berdua. Aku, Mahendra dan Kebo Ijo akan mencoba melihat
apa yang terjadi dengan orang tua itu.
Wajah Sidatta yang masih tegang tampak
berkerut. Ia masih lihat peristiwa ini diliputi oleh suatu keragu-raguan
yang tidak menentu. Karena itu katanya, “Kakang Witantra, apakah tidak
terlampau berbahaya bagi kakang untuk pergi ke dalam semak-semak yang
tidak kakang kenal.”
“Aku tidak akan pergi terlampau jauh.
Kalau Kuda Sempana dapat kami dengar dari sini, maka suaraku pun pasti
akan kalian dengar apabila kalau aku memerlukan kalian.“ jawab Witantra.
Sidatta menganggukkan kepalanya.
Sebenarnya di dalam hatinya sendiri terpancar keinginannya untuk
melihat, kenapa Kuda Sempana tidak dapat menyelesaikan rencananya dengan
baik. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan perkemahan itu tanpa
penjagaan. Karena itu maka katanya, “Silahkan kakang. Tetapi kakang,
kita akan saling memberikan tanda apabila kita saling memerlukan.”
“Baik,“ sahut Witantra, yang kemudian
bersama dengan kedua adik seperguruannya, menyusup ke dalam semak-semak
dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.
Tetapi mereka bertiga tidak segera dapat
menemukan arah, kemana mereka harus pergi. Mereka hanya mampu membuat
ancar-ancar arah suara Kuda Sempana. Tetapi suara itu pun tidak begitu
jelas bagi mereka. Karena itu untuk sesaat mereka berjalan dengan
hati-hati ke arah itu.
Mereka menyibak dedaunan dan menyusup di
bawah akar-akar pepohonan. Mereka tidak dapat mencari jalan lain. Mereka
hanya dapat memintas lurus ke tempat yang mereka sangka akan didatangi
oleh Empu Sada pula. Namun dalam pada itu, mereka tetap dalam
kewaspadaan, sebab mereka masih belum dapat menentukan apa yang
sebenarnya telah terjadi. Mungkin mereka masih tetap berada dalam
jebakan Empu Sada yang membuat rencana demikian berbelit-belit.
Tetapi setelah mereka berjalan beberapa
lama, mereka sama sekali belum menemukan apa-apa. Mereka tidak mendengar
suara apapun dan bahkan mereka seolah-olah terkurung dalam sebuah goa
yang gelap pepat. Hitam dan kelam di sekeliling mereka. Yang dapat
mereka lihat hanyalah bayangan dedaunan yang menggapai-gapai ditiup
angin malam, seperti tangan-tangan hantu raksasa yang akan menerkam
mereka.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara tertawa yang seakan-akan meledak-ledak tidak begitu jauh dari
tempat mereka. Suara itu adalah suara Empu Sada dalam nada yang tinggi
menyakitkan telinga. Diantara suara tertawa itu terdengar ia berkata,
“He, rupanya kau yang datang kelinci kurus.”
Tak ada suara menyahut. Yang terdengar
masih saja suara tertawa Empu Sada. Bukan karena orang tua itu menjadi
bergembira, atau menemukan permainan yang menyenangkan, tetapi nada
suaranya melontarkan keheranan dan kebencian yang melonjak-lonjak di
dalam dadanya.
Witantra memasang telinganya baik-baik.
Perlahan-lahan ia menemukan arah yang harus dianutnya. Karena itu maka
segera ia berbisik kepada adik-adik seperguruannya, “Kita menerobos ke
Utara.”
Mahendra dan Kebo Ijo tidak menjawab.
Dengan pedang terhunus mereka berjalan terbongkok-bongkok menghindari
sulur-sulur yang bergayutan pada pepohonan. Tetapi kini mereka melangkah
dengan pasti. Mereka telah menemukan arah.
Semakin dekat mereka dengan arah suara
tertawa Empu Sada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi
kemudian suara tertawa itu tidak mereka dengar lagi. Meskipun demikian
mereka berjalan terus.
Tiba-tiba mereka tertegun ketika beberapa
puluh langkah lagi dihadapan mereka, terdengar suara Empu Sada, ”Kuda
Sempana, kenapa tidak kau bunuh saja kelinci ini he? kenapa kau dan
kedua saudara seperguruanmu itu berteriak-teriak memanggil aku? Bukankah
membunuhnya tidak lebih sulit dari pada membantai ayam sakit-sakitan.”
Tidak terdengar jawaban. Seolah-olah yang
berada di tempat itu hanyalah Empu Sada seorang diri. Setiap kali ia
berbicara, maka tak ada suara yang menyahut. Kali ini Kuda Sempana itu
pun tidak menjawab.
Kembali tumbuh keragu-raguan di dalam
hati Witantra. Apakah ini bukan salah satu pokal Empu Sada untuk
memisahkannya dari para prajurit yang lain, ataukah memang ada tujuan
tersembunyi yang tidak dimengertinya? Tetapi jarak itu sudah dekat,
sehingga Witantra pun memutuskan untuk maju beberapa langkah lagi.
Ketika mereka maju meloncati beberapa
dahan-dahan yang rontok dan melintang dihadapan mereka, maka segera
mereka melihat, bagian yang luang dari hutan itu. Bagian yang meskipun
sempit namun cukup memberikan tempat untuk bertempur seperti tempat yang
mereka pergunakan untuk berkemah.
Dengan hati-hati Witantra melangkah lagi
beberapa langkah. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan ia mencoba melihat,
apa yang ada di tempat yang agak longgar itu.
Namun malam gelapnya bukan kepalang.
Tetapi di tempat yang longgar itu, kepekatan malam seakan-akan menipis.
Sinar bintang-bintang di langit tidak tertutup oleh dedaunan dan
dahan-dahan kayu yang rimbun di atasnya.
Dan apa yang dilihatnya benar-benar
menggetarkan hatinya, meskipun seakan-akan hanyalah bayangan-bayangan
hantu yang hitam legam.
Mereka terdiri dari lima orang. Namun
Witantra dapat memastikan, bahwa seorang diantaranya adalah Empu Sada.
yang tiga adalah murid-murid Empu Sada sendiri. Namun yang satu, berdiri
agak terlampau ke sudut, sehingga Witantra hampir tidak dapat
melihatnya, seandainya bayangan itu tidak bergerak. Yang tampak hanya
hitam. Bahkan garis-garis bentuknya pun tak dapat dikenalnya.
Namun betapa terkejut Witantra yang tiba-tiba mendengar Empu Sada berteriak, “He, siapa yang mencoba mengintip pertemuan ini?”
Sebelum Witantra menjawab, ia melihat
salah seorang dari kelima bayangan itu memutar tubuhnya dan maju
selangkah, tepat ke arah Witantra dan adik-adik seperguruannya
bersembunyi.
Tetapi Witantra lebih terkejut lagi ketika ia mendengar bayangan yang di sudut itu berkata, “Biarkan mereka berada di sana.”
Sesaat Witantra terpaku di tempatnya.
Bukan saja Witantra, namun kedua saudara seperguruannya pun terkejut
pula mendengar suara itu. Bahkan Kebo Ijo, yang termuda diantara mereka
bertiga tidak dapat menahan perasaannya. Setelah sekian lama mereka
berjuang melawan Empu Sada, dan bahkan hampir saja mereka mengalami
bencana, tiba-tiba mereka melihat kehadiran orang itu. Karena itu,
meledaklah kegembiraan Kebo Ijo. Hampir berteriak ia memanggil orang
yang berdiri di dalam bayangan yang kelam itu, “Guru. Gurukah itu?”
Witantra menggamit tangan Kebo Ijo,
tetapi anak muda itu tidak memperhatikannya. Bahkan selangkah ia
meloncat maju dan sekali lagi memanggil, “Guru. Kami bertiga dengan
kakang Witantra dan kakang Mahendra.”
Orang yang berdiri di sudut yang gelap itu menyahut, “kemarilah.”
Kebo Ijo menjadi ragu-ragu. Dilihatnya
Empu Sada berdiri tegak seperti patung. Kalau ia berjalan ke tempat
gurunya berdiri, Empu Sada itu dapat dengan tiba-tiba memotong jalannya,
dan dengan sebuah serangan mungkin ia telah terpelanting untuk tidak
bangun lagi. Tongkat yang panjang itu pasti mampu mematahkan
tulang-tulang rusuknya. Sehingga dengan demikian, anak muda itu
berpaling kepada kedua saudaranya. Kalau mereka berjalan bersama-sama,
maka kemungkinan untuk mempertahankan diri menjadi lebih besar.
Agaknya gurunya melihat keragu-raguan
itu, sehingga katanya mengulangi, “Kemarilah. Witantra, Mahendra dan
Kebo Ijo. Jangan hiraukan Empu Sada. Ia orang yang baik hati. Ia pasti
tidak akan berbuat sesuatu.”
Empu Sada menggeram. Selangkah ia maju
sambil bergumam, “Kalau kalian bergerak selangkah, maka kalian akan
berkubur di hutan ini.”
“Kita akan terlampau banyak pekerjaan
Empu,” berkata bayangan di kegelapan, yang ternyata adalah guru Witantra
yang kekurus-kurusan dan bernama Panji Bojong Santi, “Kalau kau
membunuh murid-muridku, maka sedikitnya kita harus mengubur enam orang
sekaligus disini.”
“Kenapa enam,“ teriak Empu Sada.
“Apakah kau tidak mengerti hitungan sama sekali? Bukankah tiga ditambah dengan tiga itu berjumlah enam?”
“Kenapa enam?” sekali lagi Empu Sada berteriak, “aku hanya membunuh tiga orang.”
“Kau membunuh muridku tiga orang dan aku membunuh muridmu tiga orang. Bukankah jumlahnya enam.”
Sekali lagi Empu Sada menggeram. Kali ini lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menyahut.
“Nah, Witantra, kemarilah.“ Ulang Panji Bojong Santi.
Witantra, Mahendra, dan Kebo Ijo kemudian
melangkah bersama-sama. Pedang-pedang mereka masih erat di dalam
genggaman tangan mereka. Dengan penuh kesiap-siagaan mereka berjalan
beberapa langkah di samping Empu Sada. Tetapi Empu Sada itu berdiri saja
seperti tonggak.
Ketika mereka telah berada di samping
guru mereka, maka Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam sambil berkata,
“Untung guru segera datang. Kalau tidak, maka kami pasti akan ditelan
oleh anak-anak Empu Sada.”
Panji Bojong Santi tidak menjawab. Tetapi
ia berkata kepada Empu Sada, “Anak-anak ayam kini telah kembali ke
induk masing-masing. Nah, Empu yang baik. Apakah sebenarnya yang kau
kehendaki?”
Empu Sada memutar tubuhnya. Ditatapnya
Panji Bojong Santi dengan penuh kebencian. Namun ia tidak segera
menjawab. Ketika kemudian ia berpaling, dilihatnya ketiga
murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka yang lebih senang disebut Bahu
Reksa Kali Elo dan Sungsang pun masih menggenggam pedangnya
masing-masing.
Sesaat suasana menjadi sepi tegang.
Mereka berdiri berhadapan di dalam kelompok masing-masing, seolah-olah
mereka telah berjanji untuk mengadakan perang tanding. Seorang guru
dengan tiga orang murid masing-masing.
Yang terdengar kemudian adalah suara
angin malam yang mengalir diantara dedaunan. Suara burung malam
dikejauhan dan suara anjing-anjing liar berebutan makan.
Dalam keheningan itulah maka Empu Sada
mencoba membuat perimbangan dari dua kekuatan yang sudah
berhadap-hadapan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan.
Orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi para prajurit Tumapel yang
lebih banyak berpengalaman dan terlatih cukup baik. Apalagi kini ia
tidak sempat mengikat para pemimpinnya dalam satu perkelahian, karena
kehadiran Panji Bojong Santi. Karena itu, yang terdengar kemudian adalah
suara giginya yang gemeretak.
Yang berbicara kemudian adalah Panji
Bojong Santi, “Bagaimana Empu, apakah kita masih sempat untuk melihat
anak-anak kita berkelahi, atau kau mempunyai keputusan lain?”
Empu Sada menggelengkan kepalanya,
“Tidak,“ katanya dalam nada yang keras, “Kali ini rencanaku telah kau
rusakkan. Aku tidak dapat berkata lain dari pada itu. Tetapi kesalahan
yang telah kau lakukan ini membuat aku mendendammu, seperti aku
mendendam Empu Gandring yang mengganggu aku pula.”
“Aku telah mendengar dari Mahendra,“
sahut Panji Bojong Santi, “tetapi seperti Empu Gandring aku ingin
memperingatkanmu, jangan bermain-main bersama Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Kau akan dapat ditelannya Empu. Seperti Empu Gandring, menurut
Mahendra, aku mengganggapmu lain dari kedua orang-orang liar itu.”
Sekali lagi Empu Sada berteriak, “Apa pedulimu?”
“Aku hanya memperingatkan. Aku masih
mengharap kau lepaskan segala macam keinginanmu yang aneh-aneh itu.
Jangan terlampau kau manjakan muridmu yang bernama Kuda Sempana.
Seandainya Mahendra yang berbuat seperti Kuda Sempana, maka ia akan aku
lepaskan untuk berbuat sendiri, atas tanggung jawabnya sendiri. Tetapi
Mahendra tidak berbuat demikian. Ia menyadari keadaannya.”
Empu Sada tertawa, meskipun nadanya pahit. Katanya, “Kau menjadi ketakutan seperti Empu Gandring itu juga.”
Panji Bojong Santi tidak segera menjawab.
Dilihatnya Empu Sada berdiri dengan gemetar menahan marah. Tetapi
kemarahan itu benar-benar tidak mampu dilepaskannya, karena ia
berhadapan dengan Panji yang kurus itu. Kalau ia memaksa diri untuk
bertempur, maka pasti tidak akan mencapai penyelesaian. Perkelahian itu
tidak akan berkesudahan. Tetapi apakah murid-muridnya mampu melawan
ketiga murid Bojong Santi itu?”
Empu Sada menggeram. Ia menyesal bahwa
selama ini ia tidak benar-benar menempa muridnya dengan kesadaran. Ia
memberikan ilmunya dengan acuh tak acuh. Meskipun murid-muridnya menjadi
orang-orang yang melampaui orang kebanyakan, namun mereka tidak dapat
menyamai murid-murid Bojong Santi dan murid Empu Purwa yang bernama
Mahisa Agni. Empu Sada menyesal. Namun waktu telah berjalan terlampau
jauh. Saat-saat itu ia hanya sekedar menjual ilmunya. Dengan sedikit
harta dan benda, Empu Sada telah dengan mudahnya menerima seseorang
menjadi muridnya. Tetapi murid-murid itu pun tidak mempunyai tingkatan
yang serasi menurut urut-urutannya. Siapa yang lebih banyak memberinya
sesuatu, ialah yang lebih banyak menerima ilmu.
Tetapi ketika ia harus berhadapan dengan
perguruan lain, terasa bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Kini
harga dirinya langsung tersentuh, ketika ia berhadapan dalam jumlah yang
sama. Namun sudah pasti, bahwa ketiga muridnya tidak akan mampu
berhadapan dengan ketiga murid Panji Bojong Santi.
Untuk menenteramkan dirinya sendiri, Empu
Sada itu berkata di dalam hatinya. “Belum terlambat. Aku masih dapat
menempa beberapa orang diantara murid-muridku untuk menyamai ketiga
murid Panji yang gila ini. Mungkin ketiga muridku ini, mungkin yang lain
lagi. Namun kelebihanku adalah, aku mempunyai banyak murid, sedang
Panji yang gila ini hanya tiga dan Empu Purwa hanya satu. Apalagi
Gandring tukang membuat keris itu. Ia hampir tidak pernah mempedulikan
apa-apa selain keris-kerisnya.”
Keheningan yang sejenak itu kemudian
dipecahkan oleh suara Panji Bojong Santi, “Empu Sada, apakah kau masih
tetap berkeinginan bekerja bersama-sama dengan kedua orang liar itu?”
“Tentu,“ jawab Empu Sada, “aku sudah melihat kalian menjadi ketakutan. Kau dan Empu Gandring.”
“Ya, aku memang takut,” sahut Bojong Santi.
“Nah. Kau sudah mengaku. Karena itu, jangan menghalangi aku.”
“Kau belum tahu apa yang aku takutkan. Bukan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
“Apa yang kau takutkan?”
“Kau.”
“Kenapa aku?” Empu Sada menjadi heran.
“Aku takut kalau kau akan menjadi korban
ketamakanmu. Aku takut kalau kau akan lenyap ditelan oleh kedua orang
itu setelah kau mencoba menghubunginya.”
Sekali lagi Empu Sada tertawa. Tetapi tiba-tiba terdengar ia bersiul panjang.
Apa yang terjadi kemudian adalah
terlampau cepat sehingga Witantra dan saudara-saudara seperguruannya
berdiri saja memandangi mereka yang tiba-tiba meloncat dan menghilang ke
dalam semak-semak. Baru sejenak kemudian Witantra menyadari keadaan.
Dengan serta merta ia berkata, “Apakah kita biarkan mereka lari?”
“Jangan hiraukan mereka kini,“ jawab
gurunya, “bukankah kalian mempunyai tanggungan? Kalau kalian berhasil
menyelamatkan gadis itu, kalian harus sudah mengucap syukur atas
lindungan Yang Maha Agung.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Ya guru.”
Tetapi Kebo Ijo lah yang kemudian bertanya, “Kenapa guru tiba-tiba saja berada di tempat ini?”
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Aku sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
Sejak aku mendengar ceritera Mahendra yang bertemu dengan Empu Sada
dipadang Karautan. Berita tentang perjalanan Ken Dedes ini sudah
didengar oleh hampir setiap orang Tumapel yang pasti telah didengar pula
oleh salah seorang saudara seperguruan Kuda Sempana yang tersebar di
mana-mana. Aku sudah menyangka bahwa Empu Sada akan melakukan pencegatan
ini. Karena itu, aku memerlukan mengikuti arak-arakan sejak dari
Tumapel.
“Kenapa guru tidak berjalan saja bersama-sama kami dalam satu rombongan?”
“Aku lebih senang berjalan sendiri. Aku tidak biasa berjalan menurut irama yang ditentukan oleh Witantra.”
Witantra tersenyum. Katanya, “Terima
kasih guru. Kalau guru tidak hadir disini, maka aku dan semua anak
buahku akan musna. Bukan saja itu, tetapi namaku akan hancur pula
bersama lenyapnya bakal permaisuri.”
Tiba-tiba Bojong Santi menggeleng, “Tidak. Kau salah angka.”
“Kenapa?” bertanya ketiga muridnya hampir serentak.
“Ketika aku menahan Kuda Sempana dan
kedua kawan-kawannya, aku melihat seseorang di sekitar tempat itu. Aku
sudah mengenalnya meskipun belum terlampau akrab.”
“Siapa?”
“Ayah gadis itu.”
“Empu Purwa?”
“Ya. Ia berada di tempat ini juga
sekarang. Mungkin Empu Purwa mendengar pula percakapan ini. Kalau aku
tidak ada di tempat ini, orang tua itu tidak akan sampai hati membiarkan
gadisnya diambil oleh Kuda Sempana.”
“Tetapi kenapa Empu Purwa itu tidak menampakkan dirinya dihadapan puterinya.”
Panji Bojong Santi menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba dilayangkan pandangan matanya berkeliling,
seakan-akan mencari seseorang di dalam gelapnya malam. Tetapi yang
dikatakan adalah, “Kembalilah kepada tugasmu. Cepat. Sebelum Empu Sada
mendahuluimu. Kalau orang itu datang, beri aku tanda. Panggil saja
namaku keras, tanpa siul-siulan atau segala macam tanda sandi. Aku tetap
disini.”
Witantra segera menyadari keadaannya.
Saat itu ia masih harus mempertanggung jawabkan seorang gadis bakal
permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, Karena itu tiba-tiba ia menyahut, “Ya
guru. Aku akan segera kembali ke perkemahan.”
“Pergilah.”
Witantra pun kemudian segera mohon diri
bersama saudara-saudara seperguruannya. Dengan tergesa-gesa mereka
menyusuri dedaunan dan ranting-ranting perdu, kembali ke tempat para
prajurit Tumapel menunggu dengan cemas.
Ternyata jalan kembali itu agak lebih
mudah ditempuhnya daripada saat mereka mencari Empu Sada. Mereka kini
dapat melihat bayangan api di ujung pepohonan sebagai penunjuk arah,
meskipun kadang-kadang bayangan itu sama sekali tidak dapat mereka lihat
karena rimbunnya batang-batang kayu. Tetapi sekali-sekali cahaya yang
kemerah-merahan dapat menunjukkan kemana mereka harus pergi. Agaknya
beberapa orang prajurit tetap memelihara supaya api tidak padam,
sehingga mereka dapat lebih cermat mengawasi keadaan.
Sepeninggal Witantra dan kedua saudara
seperguruannya. Panji Bojong Santi masih saja berdiri tegak seperti
patung, seakan-akan sengaja ia membiarkan dirinya tidak bergerak dan
tidak dikenal diantara batang-batang kayu. Tetapi Panji Bojong Santi itu
agaknya sedang menunggu seseorang, ia yakin bahwa orang yang
ditunggunya itu pasti akan datang.
Ternyata Bojong Santi tidak menjadi
kecewa karenanya. Sejenak kemudian ia mendengar gemersik halus di
sampingnya. Namun orang tua yang kurus itu sama sekali tidak bergeser
dari tempatnya.
Ketika dari semak-semak muncul seseorang,
maka dengan serta merta Panji Bojong Santi itu memutar tubuhnya sambil
mengangguk dalam-dalam, katanya, “Selamat malam Empu.”
“Terpujilah tuan, karena tuan telah menolong anakku dari bencana. Langsung atau tidak langsung.”
Panji Bojong Santi tersenyum. Jawabnya,
“Empu terlampau merendahkan diri. Apakah artinya tenagaku dibanding
dengan Empu sendiri. Kalau aku tahu bahwa tuan ada disini, maka aku
tidak akan bersombong diri, mencegah perbuatan Kuda Sempana. Sebab pasti
tuan sendiri akan berbuat jauh lebih baik dari yang aku lakukan. Aku
melihat kehadiran tuan setelah aku terlanjur mengikat Kuda Sempana dalam
perkelahian.”
Orang yang baru datang itu, yang ternyata
adalah Empu Purwa, kini tersenyum pula. Katanya, “Tetapi aku memang
tidak dapat berbuat secepat tuan. Tuan telah mendahuluiku. Namun adalah
lucu sekali, bahwa agaknya maksud kita bersamaan. Aku pun sebenarnya
ingin memanggil Empu Sada dan ketiga muridnya seperti yang tuan
lakukan.”
Panji Bojong Santi tertawa. “Aku sudah
menyangka,” jawabnya, “kalau tidak tuan pasti langsung menolong puteri
tuan di perkemahan. Dan inilah yang tidak aku ketahui. Ketika Witantra
bertanya kepadaku, kenapa tuan tidak menampakan diri, bahkan langsung di
arena, maka aku tidak dapat menjawabnya.”
Empu Purwa kini tidak tersenyum lagi.
Bahkan kemudian ia menarik nafas dalam. Namun segera ia berusaha
menghilangkan segala macam kesan yang mencengkam perasaannya. Katanya,
“Aku mendengarkan percakapan tuan dengan murid-murid tuan. Aku
sebenarnya ingin tahu, apakah jawab tuan atas pertanyaan itu.”
“Tentu aku tidak akan dapat menjawab,“ sahut Panji Bojong Santi.
Sekali lagi Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya ingin bermain-main sembunyi-sembunyian seperti tuan.”
Panji Bojong Santi menangkap kesan yang
suram dalam kata-kata Empu Purwa. Terasa sebuah sentuhan halus pada
perasaan orang tua itu. Sehingga karena itu, maka berkata Panji kurus
itu, “Maaf Empu. Mungkin pertanyaan itu tidak berkenan di hati tuan.”
“Oh, tidak,“ jawab Empu Purwa
tergesa-gesa, “tidak. Tidak apa-apa. Mungkin ada baiknya aku mengatakan
kepada tuan supaya beban yang menyumbat dadaku dapat melimpah keluar.
Selama ini tak ada seorang pun yang dapat membantu meringankan
perasaanku.”
Panji Bojong Santi sama sekali tidak
menyahut. Ia menyesal bahwa pertanyaannya agaknya telah mengungkat
kepahitan perasaan Empu Purwa. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur
diucapkan.
“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian,
“pertanyaanya adalah pertanyaan yang wajar. Kadang-kadang aku sendiri
bertanya demikian. Kenapa aku tidak langsung menemui anakku yang mungkin
sangat mengharap hal itu terjadi.”
Panji Bojong Santi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
“Tetapi aku tidak dapat melakukannya,“
berkata Empu Purwa seterusnya, “meskipun sebenarnya keinginan yang
demikian melonjak-lonjak pula di dalam dadaku.”
Empu Purwa terdiam sesaat, sehingga
suasana menjadi sepi hening. Dikejauhan lamat-lamat terdengar suara
burung ekak menusuk-nusuk telinga dengan suaranya yang parau
menyakitkan.
“Tuan,“ berkata Empu Purwa kemudian,
“betapa rinduku kepada puteriku, namun betapa kecewanya aku terhadapnya.
Sejak anak itu hilang, aku sudah tidak mengharap dapat bertemu lagi.
Aku tidak mau kehilangan, tetapi apakah aku harus melawan Akuwu Tunggul
Ametung? Bukan karena Tunggul Ametung mempunyai kesaktian tanpa batas,
tetapi ia adalah pemimpin pemerintahan. Perlawananku akan dapat
menimbulkan malapetaka bagi Tumapel. Tiba-tiba aku mendengar kemudian,
bahwa anak itu telah menjadi seorang bakal Permaisuri. Alangkah
kecewanya hatiku. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan hati puteriku.
Kalau telah berkenan di hatinya, biarlah ia menemukan kebahagiaan.
Tetapi kekecewaanku terhadap tingkah laku Tunggul Ametung yang
melindungi Kuda Sempana mengambil anakku, tidak akan dapat terhapus dari
dinding hatiku. Karena itu, lebih baik aku tidak bertemu lagi dengan
puteriku. Biarlah ia menemukan kebahagiaan yang dikehendakinya, aku
adalah orang tua. Hari depannya masih jauh lebih panjang dari hari
depanku.”
Bojong Santi tidak berkata sepatah
katapun. Ia dapat merasakan betapa pedih hati orang tua itu. Ia
dihadapkan kepada keadaan yang serba salah.
Betapa rindunya orang tua itu kepada
puterinya, tetapi betapa kecewanya ia menghadapi perkembangan keadaan
puterinya itu. Mungkin ia dapat melepaskan perasaan rindunya dengan
menemui gadis itu, memeluknya seperti masa-masa lampau sambil menghibur
dan membesarkan hati gadis itu. Tetapi apabila disadarinya bahwa di sisi
gadis itu kelak akan berdiri Tunggul Ametung, maka dadanya pasti segera
akan menyala kembali.
Sesaat kedua orang tua itu saling berdiam
diri. Dibiarkannya angin malam membelai tubuh-tubuh yang sudah mulai
dihiasi lengan keriput-keriput kulit. Betapa mereka sakti tiada
tandingnya, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan tangan
Penciptanya. Mereka tidak akan mampu melawan umur mereka sendiri yang
semakin lama menjadi semakin tua. Meskipun mereka mampu bertempur
melawan setiap orang sakti, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan
maut yang semakin tua menjadi semakin mendekat.
Empu Purwa pun menyadari hal itu pula.
Apabila orang tua itu sedang merenungi kepahitan hidupnya, maka kelak ia
kembali kepada Sumber hidup itu sendiri. Dicarinya ketenteraman dan
hiburan yang sejati. Sehingga dengan demikian, maka hatinya pun menjadi
mengendap. Ia tidak lagi bernafsu membiarkan dirinya dikuasai oleh
kemarahan dan kekecewaan. Sehingga dengan demikian, kemudian ia dapat
menempatkan kepentingan anaknya yang masih muda itu di atas
kepentingannya sendiri.
Tetapi sebagai manusia, Empu Purwa adalah
manusia perasa. Manusia yang kadang-kadang hanyut dilanda perasaannya
sendiri. Perasaan yang tersinggung oleh sentuhan-sentuhan yang
kadang-kadang dapat menggoncangkan keseimbangan berpikir.
Empu Purwa pun menyadari pula. Ia
menyesal bahwa karena goncangan perasaan, ia telah mengutuk orang-orang
Panawijen, bahkan memecahkan bendungannya pula. Ia kini menyesal bahwa
ia mengutuk setiap orang yang turut melarikan anaknya, bahwa mereka akan
mati dengan keris.
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan orang
tua itu tidak mau terjadi pula peristiwa-peristiwa serupa. Karena itu,
lebih baik ia tidak bertemu dengan puterinya, supaya ia tidak mengalami
goncangan perasaan, dan berbuat diluar keseimbangan berpikir.
Malam yang sunyi itu pun menjadi semakin
malam. Di langit bintang-bintang yang gemerlapan seolah-olah ditaburkan
di atas layar yang hitam legam. Suara-suara burung engkak yang parau
sekali-sekali masih terdengar, menjerit-jerit.
Dalam kesunyian itu, kembali terdengar Empu Purwa berkata, “Aku lebih baik menemani tuan disini.”
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa betapa dalam luka di hati Empu Purwa. Karena itu maka
jawabnya kemudian, “Terima kasih tuan. Aku akan senang sekali apabila
tuan bersedia menemani aku disini.”
“Bukankah kita tidak lagi mempunyai
pekerjaan?” berkata Empu Purwa, “dan bukankah tuan berjanji kepada
murid-murid tuan, bahwa tuan akan tetap berada disini.”
Bojong Santi menjawab, “Ya. Itulah sebabnya, aku bergembira bahwa tuan sudi menemani aku.”
Empu Purwa tersenyum. Tetapi senyumnya
terasa hambar. Katanya kemudian, “Aku akan beristirahat. Mungkin tuan
juga lelah setelah bermain kejar-kejaran dengan murid-murid Empu Sada.”
Panji Bojong Santi pun tersenyum. Jawabnya, “Ya. Aku juga ingin duduk.”
Keduanya kemudian duduk berhadapan di
atas rumput-rumput kering. Namun sejenak mereka tidak berbicara apapun.
Empu Purwa masih mencoba menenangkan perasaannya yang terasa mulai
bergolak. Sedang Panji Bojong Santi mencoba memahami sepenuhnya semua
kata-kata Empu Purwa.
“Bersukurlah aku, bahwa gadisku tidak
mengalami banyak persoalan seperti gadis Empu Purwa,“ berkata Bojong
Santi itu di dalam hatinya. Ia berdoa semoga anaknya kelak akan
mendapatkan jalan yang baik, meskipun tidak usah menjadi seorang
permaisuri Akuwu. Karena Panji Bojong Santi itu pun mempunyai seorang
anak gadis pula, maka apa yang dirasakan Empu Purwa, seolah-olah dapat
dirasakannya pula. Namun di samping itu, Panji Bojong Santi itu pun
menyimpan perasaan iba terhadap Ken Dedes yang malang. Garis hidupnya
seakan-akan selalu diliputi oleh duka dan derita. Mudah-mudahan, seperti
Empu Purwa menginginkan, berbahagialah gadis itu kelak setelah ia
menjadi seorang permaisuri.
Sejenak kemudian barulah mereka mulai
berbicara kembali. Tetapi mereka sudah tidak membincangkan Ken Dedes
lagi. Apa yang mereka percakapkan adalah soal-soal yang tidak berarti,
menjelang hari-hari tua mereka. Tetapi akhirnya pembicaraan itu sampai
pula kepada Empu Sada, yang akan mencoba mempergunakan Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat.
“Kasian Empu Sada,“ gumam Empu Purwa, “ia akan terjerumus ke dalam kesulitan yang besar.”
“Mudah-mudahan ia mengurungkan niatnya,“ sahut Panji Bojong Santi.
Kembali mereka berdiam sejenak. Kembali
Bojong Santi mencoba merasakan perasaan Empu Purwa. Betapapun kekecewaan
membakar hati seorang ayah, namun ternyata ia tidak sampai hati melihat
anaknya mengalami bencana. Empu Purwa, meskipun tidak mau menemui
gadisnya, namun ia berada hampir di segala tempat untuk mengawasi
anaknya. demikianlah cinta orang tua terhadap anaknya, dan adakah
demikian pula sebaliknya?”
Dalam pada itu Witantra dan kedua saudara
seperguruannya telah berada kembali diantara anak buahnya. Sidatta
segera menanyakan apakah yang sebenarnya terjadi dengan Kuda Sempana.
Sebelum Witantra menjawab, maka Kebo Ijo
telah menyahut dengan lantangnya. Diceritakannya apa yang dilihatnya dan
apa yang dialaminya. Lancar dan penuh tekanan, sehingga setiap orang
menjadi sangat asyik mendengarnya. Tidak terkecuali Ken Dedes sendiri.
Gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul
Ametung itu mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak dapat
membayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirinya, apabila Kuda
Sempana berhasil dengan rencananya. Mungkin ia telah mengambil keputusan
untuk membunuh diri.
“Untunglah bahwa guru datang,“ berkata Kebo Ijo, “kalau tidak, kita semua pasti akan musnah dibakar oleh kemarahan Empu Sada.”
Yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka.
“Guruku adalah seorang yang bijaksana,
yang dapat memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi dengan kita
di perjalanan ini,“ berkata Kebo Ijo pula. Dan setiap orang pun menjadi
semakin kagum.
Tetapi dalam pada itu Witantra berkata, “Sudahlah Kebo Ijo jangan membual.”
“Bukankah sebenarnya demikian kakang,“
sahut Kebo Ijo, “langsung apa tidak langsung, bukankah guru kita yang
telah menyelamatkan puteri? Guru berbuat demikian tanpa pamrih. Kita
adalah prajurit-prajurit Tumapel. Adalah kuwajiban kita untuk
mempertahankan tuan puteri, tetapi guru, sama sekali tidak mempunyai
kepentingan apa-apa. Namun ia telah berbuat, dan bahkan menentukan.”
“Kau sendiri telah mengurangi nilai dari perbuatan guru kita Kebo Ijo,“ berkata Witantra.
“Kenapa?”
“Hanya orang-orang yang ingin menerima
pujian, ingin menerima balas jasa sajalah yang dengan bangganya
memamerkan jasa itu kepada orang lain,“ potong Mahendra, “apakah guru
akan senang mendengar kau berceritera semacam itu?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi murung, tetapi ia tidak berkata apapun lagi.
“Bukankah guru berkata, “Mahendra
meneruskan, “bahwa seandainya guru tidak hadir, maka ada orang lain yang
dapat berbuat serupa. Bahkan orang itu adalah ayah tuan puteri
sendiri.”
“Mahendra,“ potong Witantra.
Mahendra terkejut mendengar suara kakak
seperguruannya. Sesaat ia tidak mengerti maksud kakaknya, kenapa ia
memotong kata-katanya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia telah
terdorong menyebut ayah Ken Dedes, sedangkan orang tua itu sengaja tidak
mau menunjukkan dirinya. Meskipun Witantra dan Mahendra tidak tahu
sebabnya, kenapa orang tua itu tidak hadir di perkemahan ini, namun
pastilah ada sesuatu sebab, kenapa orang tua itu lebih baik bersembunyi
di belakang rumpun-rumpun liar.
Tetapi segera Mahendra terkejut ketika
didengarnya suara Ken Dedes dengan serta merta, “Mahendra, apakah kau
bertemu dengan ayah?”
Mahendra memandang Ken Dedes sesaat.
Hanya sesaat, kemudian ia menundukkan wajahnya. Hatinya menjadi
berdebar-debar. Bukan saja karena pertanyaan Ken Dedes itu, tetapi
sesaat ia melihat wajah yang pernah menggoncangkan hatinya itu, maka
jantungnya seakan-akan semakin cepat berdenyut.
Sementara itu, yang menjawab adalah
Witantra, “Tidak tuan puteri. Kami tidak bertemu dengan ayah tuan
puteri. Kami hanya membayangkan dan menduga, bahwa ayah tuan puteri
tidak akan sampai hati apabila bencana menimpa diri tuan puteri.”
“Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “berkatalah sebenarnya.”
“Hamba berkata sebenarnya tuan puteri,“
sahut Witantra sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam, “guru
hambalah yang berkata kepada kami bertiga, bahwa kemungkinan besar
adalah ayah tuan puteri akan selalu membayangi kemana tuan puteri pergi.
Namun itu hanyalah dugaan semata-mata.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wajahnya
yang pucat karena peristiwa yang mendebarkan jantung itu kini menjadi
semakin suram, perlahan-lahan gadis itu duduk di sisi tandunya. Sesaat
ia memandangi api yang masih menyala, namun kemudian tiba-tiba ia
menundukkan kepalanya dan mengusap matanya dengan selendangnya. Hati Ken
Dedes itu tiba-tiba serasa tersayat ketika ia mengenangkan keadaan
ayahnya dibandingkan dengan keadaannya sendiri, “Apakah ayah bergembira
melihat keadaanku?” katanya di dalam hati, “atau ayah kini telah
membenciku?”
Perkemahan itu kini menjadi sunyi senyap.
Mahendra yang menundukkan wajahnya, mencoba untuk menguasai
perasaannya. Ia tidak mau menjadi gila seperti Kuda Sempana. Ketika
sekali ia memandang Ken Dedes dengan sudut matanya, ia terkejut. Gadis
itu menangis meskipun ditahannya.
Mahendra menyesal bukan kepalang.
Perkataannyalah yang telah menuntun gadis itu ke dalam suatu kenangan
yang pahit. Ia kehilangan ayahnya.
Tak seorang pun yang kemudian berbicara
diantara mereka. Para prajurit itu pun kemudian beristirahat didekat
perapian, berkelompok-kelompok. Beberapa orang telah menyingkirkan
beberapa korban dari orang-orang Empu Sada. Seorang dari mereka yang
terluka, telah dicoba oleh para prajurit Tumapel untuk mengobatinya
dengan reramuan yang memang telah tersedia. Namun karena lukanya
terlampau parah, maka orang itu pun tidak tertolong pula. Tiga orang
yang terbunuh dalam pertempuran itu. Sedang dua orang prajurit Tumapel
mendapat luka-luka. Tetapi untunglah bahwa luka itu tidak terlampau
parah sehingga keadaan mereka tidak berbahaya.
Semalam itu hampir tak seorang pun yang
dapat memejamkan matanya. Meskipun Ken Dedes berusaha sambil bersandar
pada sisi tandunya, namun semua yang pernah terjadi seakan-akan selalu
membayang. Bahkan menjadi sedemikian jelasnya, sehingga terasa
seolah-olah baru siang tadi terjadi. berturut-turut sehingga saat yang
terakhir, yang baru saja terjadi. Kuda Sempana baginya benar-benar
seperti hantu yang selalu menakut-nakutinya kemana ia pergi dan dimana
saja ia berada.
Tetapi Witantra sendiri saat itu dapat
beristirahat dengan tenangnya meskipun tidak juga sempat tertidur. Ia
tahu benar bahwa gurunya berada tidak terlampau jauh dari padanya,
bahkan ia pun percaya bahwa ayah gadis itu pun berada di sana pula.
Meskipun demikian, perasaan Witantra
masih juga diganggu oleh pembicaraan antara gurunya dengan Empu Sada.
Gurunya telah menyebut-nyebut nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Witantra pernah mendengar nama-nama itu disebut gurunya sebelumnya
sebagai nama-nama yang telah dilumuri oleh noda-noda hitam. Jauh lebih
kotor dari nama Empu Sada. Tetapi Witantra belum pernah mendengar, apa
yang pernah dilakukan oleh orang-orang itu.
Tidak bedanya dengan Witantra, Mahendra
pun selalu digelisahkan oleh nama-nama yang belum banyak dikenalnya itu.
ketika ia mendengar nama itu dipercakapkan oleh Empu Sada dan Empu
Gandring, ia tidak begitu menghiraukannya. Tetapi gurunya telah menyebut
nama itu pula. Bahkan ketika ia menceriterakan nama-nama itu kepada
gurunya, tampak kerut-kerut kening orang tua itu.
Disebelah lain, Kebo Ijo berbaring diatas
rerumputan kering. Ia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan
dilakukan Empu Sada kemudian. Ia sama sekali tidak mempedulikan
nama-nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Anak muda itu sedang
mengenangkan apa yang telah terjadi. Bahkan tiba-tiba bulu-bulu
tengkuknya berdiri. Apakah jadinya seandainya gurunya tidak datang
menolong mereka?”
“Hem,“ desahnya di dalam hati, “hampir
aku menjadi daging. Alangkah kecewanya bakal isteriku nanti. Ayah dan
ibunya pasti menjadi pingsan. Mereka urung mendapat seorang menantu
seperti aku. Seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel.
Kebo Ijo itu tersenyum sendiri.
Diamatinya bayangan nyala api yang bermain-main di dedaunan. Ketika
angin menghembus tubuhnya disertai dengan suara gemerisik di sela-sela
pepohonan, Kebo Ijo mencoba memejamkan matanya. Tetapi ia tidak
berhasil. Yang bermain-main di rongga angan-angannya adalah, beberapa
hari lagi ia menjadi seorang mempelai. Namun dengan demikian, ia selalu
digelisahkan oleh kekhawatiran tentang dirinya. Katanya kemudian di
dalam hatinya, “Kalau aku harus bertempur kembali, sebaiknya kelak,
apabila aku telah melampaui hari-hari perkawinan itu. Mudah-mudahan Empu
Sada tidak mencegat perjalanan ini sekali lagi. Apalagi bersama-sama
dengan orang-orang yang disebutnya bernama Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat.”
Berbeda dengan mereka. Sidatta dan para
prajurit yang lain masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Mereka belum
dapat memastikan bahwa bencana tidak akan kembali malam nanti. Meskipun
Kebo Ijo telah mengatakan bahwa gurunya akan selalu mengawasi
iring-iringan itu, namun hatinya masih juga dicemaskan oleh
bayangan-bayangan yang selalu mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang
prajurit ia merasa bahwa seluruh pasukan itu bertanggung jawab atas
keselamatan Ken Dedes.
Malam berjalan menurut iramanya yang
ajeg. Sesaat demi sesaat, menjelang ujung hari berikutnya. Meskipun
betapa lambatnya, namun pagi hari yang mereka tunggu itu pun pasti akan
datang. Meskipun demikian, terasa bahwa tubuh-tubuh mereka menjadi
sangat penat. Bukan karena mereka baru saja bertempur, justru karena
mereka harus menunggu. menunggu bagi mereka adalah pekerjaan yang
menjemukan. Mereka tidak dapat berjalan dimalam yang gelap. Akibatnya
akan lebih berbahaya. Di belakang dedaunan dan di belakang pepohonan,
mungkin bersembunyi bahaya yang telah siap menerkam mereka.
Namun akhirnya langit pun menjadi
semburat merah. Bintang-bintang semakin lama menjadi semakin kabur, satu
demi satu bersembunyi di balik cahaya yang semakin cerah di langit.
Demikian cahaya fajar menyentuh hutan
itu, maka segera Witantra mempersiapkan diri beserta seluruh
iring-iringan. Setelah mereka mengemasi semua perlengkapan dan membenahi
diri, maka segera iring-iringan itu berangkat meninggalkan hutan.
perlahan-lahan mereka maju menyusup diantara pepohonan dan akar-akar
yang bergayutan dari cabang-cabang pohon yang besar.
Sekali-sekali Witantra yang kemudian
berjalan dialling depan bersama Sidatta, mencoba memperhatikan keadaan
di sekitarnya. Bahkan sekali-sekali Witantra mencoba mengetahui, apakah
gurunya ikut juga berangkat ke Panawijen meskipun tidak berada di dalam
rombongan itu.
Meskipun kemudian mereka berjalan dalam
limpahan cahaya matahari, namun bahaya masih juga dapat datang setiap
saat. Empu Sada mungkin akan menganggap bahwa di siang hari mereka akan
dapat lebih berhasil dari pada di malam hari. Mungkin mereka telah
berhasil menghubungi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk kemudian mereka
datang bersama-sama untuk menebus kekalahan semalam.
Tetapi ternyata mereka tidak lagi bertemu
dengan Empu Sada. Hutan itu pun semakin lama menjadi semakin tipis.
Perjalanan mereka sebenarnya termasuk perjalanan yang sulit. Namun
daerah yang paling pepat telah mereka lampaui.
Bahkan sekali-sekali mereka sempat
melihat binatang-binatang buruan yang berlari-lari ketakutan melihat
barisan itu menerobos sarang-sarang mereka.
Apabila mereka nanti meninggalkan hutan
itu, mereka masih juga harus melewati padang Karautan, meskipun tidak
terlampau panjang. Mereka akan melewati desa Talrampak untuk kemudian
sampai pada sebuah bulak panjang. Bulak itulah bulak yang terakhir harus
mereka lalui. Di ujung bulak itulah terletak pedukuhan Panawijen.
Ken Dedes yang duduk diatas tandu, merasa
betapa penatnya pula. Tandu itu bergetar apabila para pengusungnya
harus meloncati batang-batang yang roboh melintang perjalanan.
Kadang-kadang bergoyang demikian kerasnya apabila mereka harus menyusup
dan kemudian mendaki batu-batu padas. Bahkan sekali-sekali kepala gadis
itu terpaksa terantuk pada tiang-tiang tandunya sehingga terdengar ia
memekik kecil.
Kebo Ijo, yang kadang-kadang mendengar
pula pekik itu tersenyum di dalam hati. Kadang-kadang bahkan ia
mengumpat, “Anak itu seolah kurang saja yang dikerjakan. Kenapa ia ingin
menempuh perjalanan yang sesulit ini.”
Namun lepas dari bahaya yang datang dari
Empu Sada, berjalan lewat hutan ini agak lebih baik dari pada apabila
mereka dibakar terik matahari dipadang Karautan.
Kini, padang yang harus mereka lewati
hanyalah beberapa tonggak saja. Sebelum matahari naik terlampau tinggi,
mereka pasti sudah meninggalkan padang itu sampai di sebuah padang perdu
yang agak dingin. Seterusnya mereka akan memasuki daerah persawahan
dari pedukuhan Talrampak
Ketika iring-iringan itu lewat daerah
padukuhan Talrampak, maka seperti dihisap oleh sebuah tenaga gaib,
seluruh penduduk padukuhan kecil itu, keluar dari rumah-rumah mereka.
Dengan kagumnya mereka melihat iring-iringan itu. Iring-iringan yang
belum pernah dilihatnya. Hanya satu dua orang tua-tua yang pernah
mengunjungi Tumapel berkata, “Aku dahulu pernah melihat pula di Tumapel.
Tetapi sudah terlalu lama.”
“Tetapi waktu itu iring-iringan yang megah semacam ini tidak pernah keluar dari dinding kota,“ sahut orang tua yang lain.
Orang pertama menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya. Iring-iringan itu hanya berkeliling kota.”
Kemudian tak seorang pun yang dapat
memberi penjelasan, kenapa kali ini iring-iringan yang megah dikawal
oleh prajurit-prajurit yang perkasa lewat dekat dengan padukuhan mereka.
Ketika orang-orang Talrampak melihat
iring-iringan itu memasuki jalan di tengah-tengah bulak, maka segera
mereka tahu bahwa iring-iringan itu akan menuju ke Panawijen.
“Mereka pergi ke Panawijen,“ berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk. Katanya, “Apakah iring-iringan itu datang dari Tumapel untuk melihat keadaan Panawijen sekarang?”
Tetapi iring-iringan itu seakan-akan
tidak mempedulikannya. Iring-iringan itu berjalan terus dalam irama yang
tetap. Langkah para prajurit masih juga berderap dengan gagahnya. Satu
dua ekor kuda yang turut dalam barisan itu pun kadang-kadang terdengar
meringkik.
Ken Dedes yang sudah cukup lama tidak
melihat kampung halamannya, semakin dekat dengan Panawijen, terasa
justru semakin rindu. Seakan-akan ia ingin meloncat mendahului
iring-iringan yang dirasanya terlampau lambat. Namun ia berada diatas
tandu, sehingga ia tidak akan dapat mempercepat perjalanan menurut
kehendaknya.
Kini iring-iringan itu sudah memasuki
sebuah bulak yang panjang. Bulak terakhir yang harus mereka lalui, di
sana-sini masih terbentang lapangan-lapangan rumput dan perdu yang belum
diusahakan tangan. Sawah-sawah dari padukuhan Talrampak ternyata tidak
terlampau luas. Kemampuan penduduknya untuk menggarap sawah sangat
terbatas. Namun Ken Dedes tahu, bahwa di sebelah yang lain, akan
terbentanglah sawah-sawah yang subur, pategalan yang hijau segar dan
kemudian padukuhan yang aman damai.
Tetapi gadis itu mengeluh di dalam
hatinya. Padukuhan yang damai itu pernah digoncangkan oleh peristiwa
yang mengerikan. Peristiwa yang berkisar pada dirinya.
“Mudah-mudahan Panawijen tidak kehilangan sifat-sifatnya,“ desahnya di dalam hati.
Matahari yang beredar di langit semakin
lama menjadi semakin tinggi, dan iring-iringan itu pun menjadi semakin
mendekati Panawijen. Lapangan-lapangan rumput dan perdu itu pun semakin
lama menjadi semakin tipis. Beberapa tonggak lagi, mereka akan sampai ke
daerah garapan orang-orang Panawijen. Tegalan dan sawah-sawah yang
mendapat saluran air yang dibuat oleh orang-orang Panawijen. Sawah-sawah
yang lebih subur dan baik dari pada sawah dan tegalan orang-orang
Talrampak.
Tetapi semakin lama mereka berjalan,
timbullah berbagai pertanyaan di hati Ken Dedes. Lapangan rumput itu pun
semakin lama menjadi semakin tipis dan kering. Gerumbul-gerumbul perdu
liar yang rimbun yang hijau semakin lama menjadi semakin jarang.
“Apakah orang-orang Panawijen kini mampu
untuk mencoba menjadikan daerah ini sebuah tegalan,“ berkata Ken Dedes
di dalam hatinya, “apakah orang-orang Panawijen sudah mencoba merambas
pepohonan liar di lapangan perdu ini?”
Tetapi Ken Dedes tidak segera dapat menjawab. Namun yang dilihatnya kemudian adalah sebuah lapangan yang kering.
Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar.
Jauh-jauh ia memandang ke depan, tetapi ia belum melihat warna-warna
hijau segar yang dirindukan. Bahkan yang terbentang dihadapannya
seolah-olah padang rumput Karautan yang kering.
Ken Dedes menjadi gelisah. Apakah jalan
yang ditempuhnya ini keliru? Tidak mungkin. Ia adalah seorang gadis
Panawijen. Witantra, Mahendra dan beberapa prajurit Tumapel yang lain
pasti mengenal Panawijen pula. Namun apa yang dilihatnya benar-benar
bukan yang diangan-angankannya.
Gadis itu melihat Witantra kini berjalan
kaki saja di ujung barisannya. Di sampingnya berjalan Sidatta. Di
belakang tandu Ken Dedes beberapa orang pemanggul tandunya berjalan
berurutan untuk saling berganti. Dan di belakang lagi, para prajurit
berjalan dengan tegapnya. Di sisi tandu itu masih berkibar panji-panji
kebesaran dipanggul oleh para prajurit pula, tersangkut pada
tunggul-tunggul yang megah, dengan landean kayu berlian.
Tetapi ternyata bukan saja Ken Dedes yang
menjadi heran melihat alam yang terbentang dihadapannya. Witantra yang
berjalan di ujung barisan itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak
segera melihat, apakah yang tampak lain dari pada masa-masa sebelumnya.
Yang segera dilihat oleh Witantra adalah tanah yang kering di sisi-sisi
jalan. Debu yang berhamburan dan panas matahari yang menjadi semakin
terik.
“Kenapa parit-parit itu tidak disalurkan
kemari,“ katanya di dalam hati, “apabila demikian, maka tanah ini akan
dapat dijadikan tanah persawahan pula.“ Namun segera dijawabnya sendiri,
“Agaknya tanah masih berlebihan disini. Tanah ini mungkin merupakan
tanah cadangan. Baik orang Talrampak maupun orang-orang Panawijen tidak
cukup tenaga untuk merubah tanah ini menjadi tanah yang ditanami.”
Tetapi semakin jauh mereka berjalan, tanah di sekitar itu pun masih tetap tanah yang kering berdebu.
Di langit matahari merayap semakin
tinggi. Meskipun masih belum terlampau siang, namun terasa panasnya
bukan main. Meskipun mereka tidak berjalan di tengah-tengah padang
rumput Karautan, tetapi sinar matahari terasa menyengat tubuh mereka.
Angin yang kering terasa mengusap wajah yang berkeringat, memberikan
sedikit kesejukan. Tetapi kembali terasa panas matahari, seperti
membakar kulit.
Ken Dedes semakin lama menjadi semakin
berdebar-debar. Satu-satu dilihatnya juga pepohonan yang masih hijau.
Namun seolah betapa lesunya. Daunnya menunduk rendah tanpa pucuk-pucuk
baru di ujung-ujung rantingnya.
Tetapi iring-iringan itu berjalan terus.
Panji-panji kebesaran Tumapel berkibar dengan megahnya. Beberapa
umbul-umbul dan rontek berkibaran pula di sekitar tandu gadis Panawijen.
Namun rumput-rumput kering dan pohon-pohon perdu yang layu, sama sekali
tidak tertarik untuk menatap kemegahan itu. Seandainya mereka dapat
berbisik, maka akan terdengarlah bisikan sayu, “Air, air.”
Meskipun rerumputan dan pepohonan itu
tidak meneriakkannya, tetapi apa yang tampak oleh mata Ken Dedes dan
para prajurit Tumapel itu ada ungkapan dari jerit tumbuh-tumbuhan itu.
Dan hati Ken Dedes pun menjerit pula, “Kenapa daerah ini menjadi kering
kerontang?”
Dikejauhan Ken Dedes melihat lamat-lamat
sebuah padesan yang hijau. Ya. Ia masih melihat warna itu. Hijau. Dan
padesan itu adalah Panawijen.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Mudah-mudahan penglihatannya bukan sekedar sebuah khayalan. Karena itu,
maka kepada seorang prajurit yang berjalan di sisinya. Ken Dedes minta
untuk memanggil Panglima dari pasukan pengawalnya.
Dengan tergesa-gesa Witantra berjalan
menyongsong barisannya mendekati tandu Ken Dedes. Kemudian dengan
hormatnya ia bertanya, “Apakah perintah tuan puteri?”
Meskipun sudah berpuluh bahkan beratus
kali Ken Dedes mendengar sebutan yang diberikan kepadanya oleh Akuwu
Tunggul Ametung, namun kadang-kadang masih terdengar aneh di telinganya.
Apalagi kini ia berada dekat dari desanya. Sehingga sebutan tuan puteri
itu pun menjadi semakin janggal. Ia tidak ingin sebutan itu, tetapi ia
tidak berani melawan kehendak Akuwu Tunggul Ametung.
“Kakang,“ berkata Ken Dedes itu kemudian,
“aku menjadi sangat bimbang atas penglihatanku. Bukankah kita telah
hampir sampai ke Panawijen?”
Witantra menganggukkan kepalanya, “Hamba tuan puteri.”
“Bukankah yang tampak itu padukukan Panawijen?”
“Kalau hamba tidak salah tuan puteri.”
“Bukankah kau pernah mengunjungi Panawijen?”
“Hamba tuan puteri.”
“Seharusnya kau tahu pasti, apakah itu Panawijen?”
“Tuan puteri adalah gadis Panawijen sejak kecil. Agaknya tuan puteri menjadi ragu-ragu pula atas daerah ini.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dengan demikian ia mendapat kesimpulan bahwa bukan saja dirinya
yang menjadi bimbang atas pengamatannya, tetapi juga Witantra.
Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Tetapi ia
tidak dapat menahan diri. Sehingga kembali ia bertanya, “Kakang
Witantra, penglihatan atas daerah ini sangat mencemaskan sekali.”
Witantra tidak menjawab. Tetapi hatinya
mengiakannya. Bahkan ia menambahkan di dalam hatinya, “Daerah ini
seperti hutan yang terbakar.”
Karena Witantra tidak segera menjawab,
kembali Ken Dedes berkata, “Kakang, bagaimana menurut pendapatmu.
Seharusnya sebelum kita sampai ke Panawijen yang sudah tampak itu, kita
melalui suatu bulak persawahan yang panjang dan subur. Tetapi yang kita
lihat adalah sebuah lapangan yang kering.”
Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tuan puteri, aku pun menjadi sangat cemas melihat keadaan daerah ini.”
Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes kepada
embannya. Embannya itu tidak bersedia mengikutinya ke Panawijen. Apakah
karena emban itu tidak akan tahan melihat keadaan ini setelah ia
menyaksikannya beberapa hari yang lalu, pada saat ia menjemput Mahisa
Agni. Tetapi kenapa emban tua itu sama sekali tidak mengatakan kepadanya
tentang kampung halamannya.
Tetapi hari Ken Dedes masih cukup tenang
ketika semakin lama Panawijen menjadi semakin jelas. Warna-warna hijau
yang memancar dari padukuhan itu telah menenteramkan hatinya. Meskipun
ia tidak lagi melihat batang-batang padi yang hijau subur, serta tidak
lagi melihat air yang tergenang melimpah-limpah dan mengalir di
parit-parit, namun Panawijen masih hijau seperti Panawijen pada saat
ditinggalkannya.
Yang ada di sawah-sawah kini hanyalah
tanaman palawija. Tanaman-tanaman itu pun tampak betapa hausnya.
Daun-daunnya yang kecil dan kekuning-kuningan. Batangnya yang kerdil dan
tanah yang berbongkah-bongkah seperti akan pecah.
Ken Dedes menjadi semakin ingin lebih
cepat sampai. Tetapi ia harus menahan dirinya. Ia harus bersikap tenang.
Kini ia menjadi pusat perhatian setiap prajurit Tumapel. Ia tidak lagi
dapat berbuat menuruti luapan-luapan perasaannya. Seandainya Ken Dedes
yang duduk di dalam tandu itu adalah Ken Dedes yang masih tinggal di
Panawijen beberapa waktu yang lalu, maka gadis itu pasti akan meloncat
dan berlari mendahului. Tetapi Ken Dedes yang sekarang tidak berbuat
demikian. Betapa perasaannya menjadi berdebar-debar, namun ia duduk saja
di dalam tandunya.
Yang mendebarkan hati Ken Dedes bukan
saja Panawijen yang lain dari Panawijen yang ditinggalkan, tetapi apakah
nanti yang akan dikatakannya kepada kakak angkatnya? Apakah yang akan
diucapkannya dan bagaimanakah kira-kira tanggapan kakak angkatnya itu?
Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang gadis-gadis kawan-kawannya
bermain. Juga tidak tentang tetangganya. Apapun yang akan dikatakan oleh
mereka. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni?”
Semakin dekat dengan padukuhan Panawijen
hati Ken Dedes menjadi semakin berdebar-debar. Debu yang putih
menghambur dari belakang kaki-kaki para prajurit Tumapel mengepul di
bawa angin yang lemah. Kampung halaman, tempat Ken Dedes dibesarkan,
tempat gadis itu bermain-main setiap hari, kini terasa sangat asing
baginya.
Sejenak ia mereka-reka, bagaimana ia
harus bersikap. Bagaimana ia harus meyakinkan Mahisa Agni, bahwa ia
tidak dapat berbuat lain dari pada menerima kesempatan yang datang.
Bagaimana ia akan mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak perlu merasa
tersinggung, bahwa ia menerima Akuwu Tunggul Ametung sebelum minta
ijinnya karena keadaan yang hampir tak dapat dikuasainya. Bukankah
kemudian Akuwu telah ingin mendapat kesempatan menemuinya untuk
menjelaskan persoalannya dan memenuhi adat tata cara?”
Tetapi angan-angan Ken Dedes selalu saja
diganggu oleh panasnya udara, teriknya matahari dan parit-parit yang
kering. Bahkan sampai beberapa tonggak di muka padukuhan Panawijen,
sawah-sawahnya juga sama sekali tidak berair. Tidak ada batang-batang
padi yang hijau, tidak ada tanam-tanaman yang subur.
Witantra masih juga berjalan di samping
tandu Ken Dedes. Namun hatinya juga selalu dililiti oleh berbagai
pertanyaan tentang Panawijen yang kering.
Padukuhan dihadapannya masih nampak hijau
gelap. Pepohonan masih juga berdaun rimbun. Tetapi semakin dekat mereka
dengan padukuhan itu, semakin jelas bagi mereka, bahwa diantara
daun-daun yang hijau itu, bertebaranlah daun-daun yang mulai mengering.
Dengan dada yang berdebar-debar maka
iring-iringan itu kini telah mendekati Panawijen. Beberapa ratus langkah
lagi mereka akan menginjakkan kaki-kaki mereka, diatas jalan induk
padukuhan yang terasa sangat asing itu.
Beberapa orang anak-anak yang sedang
bermain-main, telah melihat iringan yang hampir memasuki desa mereka.
Dengan tergesa-gesa anak itu berlarian, berteriak-teriak memanggil
ibu-ibu mereka. Tetapi sebagian dari mereka menjadi ketakutan. Mereka
masih ingat beberapa waktu yang lampau, ketika beberapa ekor kuda
membawa Kuda Sempana datang ke pedukuhan itu untuk merampas seorang
gadis puteri Empu Purwa.
Tetapi beberapa orang tua-tua melihat
bahwa iringan itu bukanlah iring-iringan orang berkuda. Bahkan mereka
melihat, di dalam iring-iringan itu terdapat sebuah tandu. Karena itu
maka orang-orang tua mencoba membicarakan diantara mereka, apakah
sebenarnya yang mereka saksikan itu.
“Panji itu adalah panji-panji kebesaran Tumapel,“ berkata salah seorang yang berambut putih seperti kapas.
Di sampingnya, seorang laki-laki kurus
yang berjanggut panjang dan telah memutih pula menyahut, “Ya. Hanya
Akuwu lah yang berhak mendapat kehormatan dengan rontek, umbul-umbul dan
Panji kebesaran itu.”
“Apakah Akuwu akan datang sekali lagi ke
padukuhan ini seperti pada saat Akuwu itu merampas Ken Dedes, puteri
Empu Purwa,“ desis laki-laki yang pertama.
Laki-laki berjanggut putih menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Akuwu yang sekarang tidak akan telaten bepergian
sejauh ini dengan naik tandu. Kalau yang datang itu Akuwu Tunggul
Ametung, maka Akuwu itu pasti naik kuda.”
“Kalau begitu siapakah yang datang?
Tanda-tanda itu mengatakan bahwa di dalam tandu itu adalah Akuwu, atau
ayah bundanya. Tetapi ayah bundanya sudah tidak ada. Mungkin pula
permaisurinya. Tetapi Akuwu belum berpermaisuri.”
Keduanya kemudian berdiam diri. Anak-anak
sudah berlari-lari bersembunyi ke dalam rumah masing-masing. Tetapi
kedua orang tua itu mendapat firasat yang lain. Iring-iringan itu sama
sekali tidak mencemaskan mereka.
Karena itu maka kepada seorang perempuan
yang mengintip dari balik pagar batu halamannya ia berkata, “Tidak
apa-apa. Keluarlah, dan sambutlah iring-iringan itu. Mungkin sesuatu
yang akan mendatangkan kebaikan bagi padukuhan kita ini.”
Perempuan itu menjadi ragu-ragu. Tetapi
orang tua itu menjelaskan, “Kalau mereka ingin berbuat jahat, mereka
tidak akan membawa tandu itu. Mereka pasti datang berkuda dengan pedang
terhunus.”
Tetapi perempuan itu tidak mau keluar
seorang diri. Segera ia berlari ke rumah tetangganya. Ajakannya itu pun
kemudian tertebar dari pintu ke pintu, sehingga beberapa orang, walaupun
dengan ragu-ragu, keluar dari rumah-rumah mereka, berdiri di tepi-tepi
jalan menyambut kedatangan iring-iringan itu.
Iring-iringan itu pun semakin lama
menjadi semakin dekat. Laki-laki tua dan perempuan berdiri berjajar di
mulut pedukuhan. Semakin lama semakin banyak. Ketika biyung-biyung
mereka berani melihat iring-iringan itu, maka anak-anak pun bermunculan
pula, meskipun mereka tidak berani terlampau dekat dengan orang tua
mereka.
Ken Dedes melihat beberapa orang di mulut
lorong padukuhannya. Semakin lama semakin jelas. Ia melihat dua orang
tua yang pernah dikenalnya. Di dekatnya adalah perempuan-perempuan dan
agak kebelakang beberapa anak-anak kecil dengan ragu-ragu berdiri di
regol-regol halaman rumah.
Tetapi sekali lagi Ken Dedes menjadi
heran. Ia tidak melihat anak-anak muda yang biasanya berkeliaran di
sawah-sawah dan tegalan.
Hati Ken Dedes menjadi semakin gelisah. Panawijen benar-benar terasa asing baginya.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin
dekat, maka orang-orang itu pun menepi, memberi kesempatan yang
sebaiknya. Mereka menyangka bahwa iring-iringan itu pasti akan langsung
menuju ke rumah Ki Buyut Panawijen, atau hanya sekedar lewat di
padukuhan ini untuk tujuan yang lebih jauh.
Ketika ujung dari iring-iringan itu
hampir menginjakkan kakinya di padesan itu, maka orang-orang Panawijen
segera membungkuk dalam-dalam. Mereka mencoba menghormat orang-orang
besar dari Tumapel yang datang dalam sikap kebesaran.
Sidatta yang berjalan di ujung
iring-iringan itu menganggukkan kepalanya pula. Namun segera ia berhenti
dan berpaling ke arah Witantra. Ia belum tahu kemana iring-iringan itu
harus dibawa.
Witantra menangkap pertanyaan itu, tetapi
karena ia sendiri belum mendapat perintah, maka segera ia bertanya,
“Kemana kita akan pergi tuan puteri. Apakah kita akan pergi ke padepokan
ayahanda tuan puteri?”
Ken Dedes mengangguk, jawabnya, “Ya kakang. Aku akan terus langsung menemui kakang Mahisa Agni.”
Kini Witantra segera maju mendampingi Sidatta. Ia telah mengenal jalan, menuju ke padepokan di ujung desa Panawijen.
Ketika iring-iringan itu kemudian masuk
ke dalam padukuhan dan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu
melihat tandu diantara derap para prajurit menjadi semakin dekat, maka
hati mereka pun tiba-tiba berdesir. Darah mereka serasa akan berhenti
mengalir ketika mereka melihat siapakah yang duduk di dalam tandu itu.
Tiba-tiba seorang perempuan tua berdesis, “Apakah aku bermimpi?”
Perempuan lain yang berdiri di sampingnya
mengusap matanya sambil bergumam, “Kita semuanya sedang bermimpi.
Arak-arakan ini hanya dapat terjadi di dalam mimpi.”
Seorang perempuan yang lebih tua lagi
mencubit perempuan yang mengusap matanya itu. Ketika yang dicubit
berjingkat, maka katanya, “Kau tidak bermimpi. Kalau kau merasakan
sentuhan orang lain maka kau tidak sedang tidur.”
Tandu itu menjadi kian dekat. Iringan
rontek dan umbul-umbul telah melewati mulut jalan, kini sebuah
panji-panji berkibar dihembus angin. Kemudian beberapa orang prajurit di
sisi jalan, dan diantara mereka adalah tandu itu. Tandu yang sangat
bagus dan berukir. Di dalamnya duduk seorang gadis muda yang cantik
seperti patung terindah di candi-candi. Kulitnya yang kuning sekuning
temugiring, dengan pakaian kebesaran yang berwarna cemerlang, seperti
golek yang diwarnai oleh juru sungging yang sempurna.
Tetapi bukan kecantikan gadis itu yang
telah mempesona mereka, bukan pakaiannya yang cemerlang dan bukan
keperkasaan para prajurit Tumapel yang memandu panji-panji, tetapi yang
telah mencengkam jantung mereka adalah, bahwa wajah gadis itu pernah
dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang pernah menjadi buah bibir rakyat
Panawijen. Gadis yang pernah meruntuhkan air mata dari setiap mata
perempuan Panawijen.
Seorang perempuan yang sudah ubanan
berdiri dengan mulut ternganga memandangi gadis di dalam tandu itu.
Bahkan dengan serta merta terloncat dari sela-sela bibirnya, “Ken Dedes,
adakah kau Ken Dedes puteri Empu Purwa.”
Ken Dedes yang duduk di dalam tandu itu
pun tergetar dadanya. Dijulurkannya kepalanya sambil menjawab
terbata-bata, “Ya bibi. Aku Ken Dedes.”
Perempuan-perempuan itu pun seakan-akan
menjadi terpaku diam. Hati mereka benar-benar bergelora, dan jantung
mereka berdegupan semakin keras. Tetapi iring-iringan itu berjalan
terus. Ken Dedes hanya dapat menjulurkan sebagian dari badannya dan
melambaikan tangannya. Ia sebenarnya ingin meloncat turun dan memeluk
perempuan-perempuan yang telah dikenalnya dengan baik itu. Tetapi ia
menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan di anggap menyalahi
kedudukannya? Ken Dedes sendiri sebenarnya tidak ingin mendapat
penghormatan yang terlampau berlebih-lebihan. Tetapi ia sendiri masih
belum tahu benar batas-batas yang dapat dilakukan dan yang sebaiknya
tidak dilakukan sebagai seorang calon permaisuri. Karena itu, dengan
ragu-ragu ia hanya sempat melambaikan tangannya dari atas tandunya.
Kalau kali ini ia berkeras hati datang ke Panawijen dengan sebuah
iring-iringan kebesaran, hanyalah karena hatinya terlampau kecewa atas
sikap Mahisa Agni yang dirasakannya terlampau keras. Terlampau
menghargai diri sendiri tanpa melihat kepentingannya sebagai seorang
adik.
Iring-iringan dari Tumapel itu kini telah
memasuki Panawijen lebih dalam lagi. Sejenak kemudian Ken Dedes melihat
gadis-gadis Panawijen berlarian menyambut iring-iringan itu. Beberapa
orang yang dikenalnya baik-baik hampir-hampir tak dapat mengendalikan
diri mereka. Bahkan ada pula diantara mereka yang berteriak-teriak, “Ken
Dedes. Ken Dedes.”
Ken Dedes masih melambaikan tangannya.
Tidak disadarinya bahwa dari sepasang matanya mengalir butiran-butiran
air yang menetes satu dua di pangkuannya. Ken Dedes benar-benar terharu
melihat kampung halamannya. Sejenak ia dapat melupakan daun-daun kuning
yang berguguran semakin lama semakin banyak tanpa ada pupus-pupus hijau
yang tumbuh dari ujung-ujung ranting pepohonan.
Gadis-gadis Panawijen itu pun menjadi
sangat terharu melihat Ken Dedes yang pernah hilang dari kampung
halamannya. Mereka menyangka bahwa mereka tidak akan pernah dapat
melihat gadis itu lagi. Namun tiba-tiba gadis itu datang dalam suatu
iring-iringan yang megah, iring-iringan yang belum pernah dibayangkan
akan dapat dilihatnya.
“Apakah Kuda Sempana itu kini menjadi
orang yang sangat kaya-raya, sehingga mampu memelihara prajurit dan
perlengkapan sebanyak dan semewah itu,“ desis seorang gadis yang
bertubuh tinggi semampai.
Kawannya yang agak lebih pendek
daripadanya berdiri di atas ujung kakinya sambil memanjangkan lehernya,
“Aku tidak melihat Kuda Sempana.”
“Ya. Aku pun tidak,“ sahut gadis yang tinggi.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka tidak dapat menebak apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes itu.
Tetapi Ken Dedes pun sejak memasuki
padukuhannya selalu diliputi oleh sebuah pertanyaan yang belum terjawab
pula. Ia tidak melihat seorang laki-laki muda dan bahkan hampir tidak
dilihatnya laki-laki selain orang-orang tua. Hal itu telah menambah
kegelisahannya di samping keharuan yang menusuk-nusuk hati. Namun ia
masih belum sempat untuk bertanya kepada seseorang, kemana gerangan
setiap laki-laki dari pedukuhannya. Apakah Mahisa Agni pun tidak ada di
padepokannya? Dan apakah karena laki-laki Panawijen menjadi ketakutan
akan sesuatu, sehingga mereka pergi meninggalkan Padukuhan ini.
Kedatangan Ken Dedes telah benar
menimbulkan berbagai tanggapan bagi para penduduk Panawijen yang
melihatnya. Mereka belum pernah mendengar kabar yang meyakinkan sampai
ke kampung halamannya, bahwa Ken Dedes kini justru seorang bakal
permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Mahisa Agni yang mengetahui dengan
pasti akan hal itu, sama sekali tidak mengatakannya kepada
kawan-kawannya atau kepada siapapun, karena hatinya sendiri yang menjadi
resah.
Orang-orang Panawijen itu pun kemudian
berbondong ikut pula di belakang iring-iringan itu, sehingga semakin
lama menjadi semakin panjang. Perempuan-perempuan tua, gadis-gadis
anak-anak dan laki-laki tua. Hampir semua penghuni yang tinggal,
mengikuti iringan itu sepanjang jalan pedukuhan mereka.
Tetapi Ken Dedes masih belum melihat
seorang anak muda pun. Ia belum melihat Ki Buyut Panawijen. Belum
melihat laki-laki yang pernah dikenalnya selain yang sudah terlampau tua
dan sudah dipenuhi oleh uban diatas kepalanya.
Witantra yang kini berjalan di samping
Sidatta pun melihat keganjilan itu. Tetapi disimpannya pertanyaan yang
serupa dengan pertanyaan yang mengetuk hati Ken Dedes itu di dalam
hatinya. Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Sidatta. Tetapi
perwira itu agaknya tidak sempat memperhatikan para penyambutnya.
Matahari semakin tinggi mendaki langit,
maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dalam memasuki padukuhan
Panawijen. Iring-iringan itu langsung menuju ke padepokan di ujung
padukuhan itu. Padepokan Empu Purwa.
Ketika orang-orang Panawijen mengetahui
arah dari iring-iringan itu segera mereka berbisik diantara sesama.
Seorang perempuan yang kurus berdesis, “Apakah gadis itu akan pulang
kembali?”
Perempuan yang berjalan di sisinya
menyahut, “Mungkin gadis itu belum tahu bahwa ayahnya telah pergi
meninggalkan padukuhannya karena hatinya yang sedih kehilangan gadis
satu-satunya.”
Keduanya terdiam. Namun mereka menjadi iba di dalam hati.
Ken Dedes sendiri, merasa bahwa sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi di pedukuhannya. Tanah yang kering,
anak-anak muda yang seakan-akan lenyap dari padukuhannya adalah pertanda
yang pertama-tama dapat dilihatnya.
Untuk menghibur diri sendiri ia berkata
di dalam hatinya, “Mungkin anak-anak muda Panawijen yang bukan anak-anak
muda yang cukup berani. Mungkin mereka menjadi ketakutan melihat
iring-iringan ini sehingga mereka bersembunyi. Nanti apabila mereka
menyadari bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu, mereka pasti akan
datang kembali. Tetapi Kakang Mahisa Agni pasti berpendirian lain.
Kakang Mahisa Agni adalah bukan seorang penakut sehingga ia pasti tidak
akan turut bersembunyi dengan anak-anak muda yang lain.
Karena pikiran itulah, maka Ken Dedes berjalan terus menuju kepadepokannya.
Ketika iringan itu membelok pada tikungan
terakhir, hati Ken Dedes berdesir keras. Dikejauhan ia melihat ujung
lorong yang dilalui itu. Di sisi lorong itulah terletak padepokannya.
Padepokan Empu Purwa.
Dengan gelora yang semakin cepat di dalam
dada gadis itu, maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dengan
regol halaman Padepokan Empu Purwa.
Yang mula-mula sampai di regol itu adalah
Sidatta dan Witantra. Sejenak mereka berdiri tegak sambil memandangi
halaman Padepokan itu. Sidatta belum pernah melihatnya, karena itu ia
tidak melihat perubahan yang terjadi. Meskipun demikian ia berkata di
dalam hatinya, “Padepokan ini agaknya kurang terpelihara.
Taman-tamanannya menjadi layu dan rerumputannya menjadi kering. Tetapi
ia tidak berkata sepatah kata pun tentang tanggapannya itu.
Berbeda dengan Witantra. Ia pernah
melihat halaman yang dahulu sejuk segar. Halaman yang diwarnai oleh
kehijauan dedaunan dan bunga yang beraneka warna. Kini yang dilihatnya
adalah daun-daun kering, rumput-rumput kering dan bunga-bunga yang layu.
Kuning gersang. Dilumuri oleh debu yang putih.
Meskipun Witantra seorang prajurit yang
hampir tidak sempat menikmati warna-warna tetumbuhan, namun hatinya
serasa dilanda oleh suatu perasaan yang aneh. Halaman ini sekarang
seperti padang rumput yang kering.
Sementara itu tandu Ken Dedes berjalan
semakin maju. Di mukanya berjalan Mahendra dan kemudian Kebo Ijo dengan
beberapa orang prajurit. Mereka pun kemudian berhenti pula di belakang
Witantra dan Sidatta.
Para prajurit itu pun kemudian menyibak, memberi jalan kepada para pengusung tandu untuk maju mendekati regol halaman itu.
Demikian tandu itu sampai di depan regol,
terdengarlah Ken Dedes memekik kecil. Tanpa ada sesadarnya kedua belah
tangannya menutupi mulutnya. Matanya tiba-tiba terbeliak dan jantungnya
memukul terlampau keras. Apa yang dilihatnya tentang halaman rumahnya
benar-benar telah menghentak dadanya sehingga serasa akan pecah.
Sejenak para pengusung tandu itu
tertegun. Mereka mendengar Ken Dedes memekik kecil, sehingga mereka
tidak segera melangkahkan kaki-kaki mereka memasuki halaman.
Dalam pada itu, dari sisi pendapa rumah
di padepokan itu, muncullah beberapa emban. Emban yang telah dikenal
oleh Ken Dedes. Emban kawannya bermain sejak kanak-kanak. Betapa hatinya
tergetar ketika ia melihat emban-emban itu berdiri tegak dengan wajah
yang pucat. Bukan saja pucat karena ketakutan melihat iring-iringan
prajurit itu, namun wajah itu memang pucat dan sayu. Tubuh-tubuh mereka
tiba-tiba telah menjadi semakin kurus. Sekurus tanaman di halaman
padepokan itu.
Sesaat Ken Dedes terpaku diam. Bagaimana
mungkin semuanya segera berubah dalam waktu yang tidak terlampau lama.
Bagaimana mungkin emban-emban itu menjadi cepat bertambah kurus dan
sayu. Wajah-wajah yang dahulu memancar gembira, kini menjadi seolah-olah
pelita yang kehabisan minyak. Wajah emban-emban itu demikian suramnya
sehingga hampir-hampir Ken Dedes tak percaya, bahwa emban itulah yang
dahulu pernah dikenalnya.
Ken Dedes kemudian, setelah melihat
keadaan padepokannya, benar-benar tidak lagi dapat menguasai dirinya. Ia
tidak lagi teringat akan kedudukannya. Ia tidak peduli apakah yang
seharusnya dan sebaiknya dilakukan sebagai seorang bakal permaisuri.
Dengan serta merta ia berteriak, “Aku akan turun. Aku akan turun.”
Para pengusungnya terkejut mendengar teriakan itu, mereka menjadi ketakutan dan dengan tergesa-gesa mereka meletakkan tandu.
Ken Dedes pun segera meloncat turun dari
tandu itu. Sesaat ia memandangi para emban yang berdiri di sisi pendapa.
Tampaklah betapa wajah para emban itu menjadi tegang. Hampir tidak
percaya mereka melihat, bahwa yang turun dari tandu dalam pakaian yang
cerah itu adalah Ken Dedes.
Ken Dedes yang tidak dapat lagi menahan
diri segera berlari-lari mendapatkan emban-emban itu. Seorang emban yang
sebaya benar dengan Ken Dedes, yang hampir setiap hari bermain bersama,
berkumpul dalam setiap saat, mengerjakan pekerjaan mereka bersama,
ternyata menjadi sangat terharu. Seperti Ken Dedes ia pun tidak dapat
mengendalikan dirinya. Sambil berlari pula ia menyongsong gadis yang
pernah dianggapnya hilang itu.
Sejenak kemudian keduanya saling
berpelukan dan bertangisan. Para emban yang lain pun segera berkumpul,
mengelilingi kedua gadis itu.
Witantra, Sidatta, Mahendra dan para
prajurit yang lain melihat pertemuan itu dengan hati yang
tersentuh-sentuh pula. Tetapi mereka kini berdiri saja mematung,
menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan.
Tetapi rupanya Ken Dedes yang sedang
meluapkan rasa rindunya kepada orang-orang yang pernah dikenalnya
baik-baik dan seolah-olah tidak akan bertemu lagi itu, tidak lagi
mempedulikan para pengiringnya. Dengan air mata yang satu-satu menetes,
maka gadis itu kemudian berjalan diiringkan oleh beberapa orang emban
memasuki pendapa rumahnya dan hilang di balik pintu di belakang pendapa.
Witantra menggigit bibirnya. Ketika berpaling ke arah Sidatta, perwira itu mengangkat bahunya.
“Kita tidak mendapat perintah apapun,“ desis Witantra.
Sidatta mengangguk.
Kemudian Witantra harus mengambil sikap
sendiri untuk melindungi keamanan bakal permaisuri. Maka katanya kepada
Sidatta, “Kau disini bersama para prajurit, aku akan berada di halaman
belakang supaya tidak seorang pun yang tidak kita kehendaki memasuki
halaman ini dari belakang.”
“Apakah ada regol butulan di halaman belakang?” bertanya Sidatta.
Witantra tersenyum, jawabnya, “Aku belum
pernah melihat halaman belakang. Tetapi adalah berbahaya sekali kalau
kita tidak sempat mengawasinya. Seandainya tidak ada regol butulan
sekalipun agaknya untuk meloncati dinding batu setinggi ini tidak
terlampau sulit.”
“Mungkin seseorang atau beberapa orang
akan dapat memasuki tempat ini lewat belakang kakang, tetapi apakah
mereka akan dapat membawa tuan puteri meloncat dinding ini?”
“Adi Sidatta.” Sahut Witantra, “Seseorang
yang menjadi kecewa, bahkan merasa bahwa usahanya telah gagal, akan
dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Orang yang demikian akan dapat
menjadi berputus asa dan berpendirian, lebih baik dihancurkan sama
sekali daripada tidak berhasil memiliki.”
“Hanya orang yang berputus asa yang berbuat demikian.”
“Ternyata Kuda Sempana dan Empu Sada pun
telah menjadi putus asa. Apa yang dilakukan sekarang sebenarnya adalah
luapan dendam yang tak dapat diendapkan. Aku sangka Kuda Sempana sudah
tidak lagi mengharap akan memiliki Ken Dedes seperti impiannya masa-masa
lampau. Apa yang dilakukan sekarang adalah, pancaran dari hati yang
gelap.”
Sidatta menganggukkan kepalanya. Ia
sependapat dengan Witantra. Bukan saja dalam persoalan ini, persoalan
seorang gadis, namun dalam persoalan-persoalan yang akan terjadi pula
perbuatan serupa. Keinginan yang gagal memang dapat menimbulkan
perbuatan yang tidak terduga-duga.
Kisah-kisah kidung dan kakawin-kakawin
mengatakan, betapa kadang-kadang orang mengorbankan dirinya, keluarganya
dan bahkan negerinya untuk mendapatkan suatu cita-cita. Kalau cita-cita
itu menjadi kabur, maka yang tinggal hanyalah bentuk keputusasaan.
Demikian pulalah yang terjadi dalam pemerintahan. Seorang gadis akan
sama bentuknya dengan sebuah pusaka dan jabatan. Seseorang yang gagal
mendapatkan gadis idaman, atau sebuah pusaka keramat atau sebuah
keinginan untuk memangku jabatan agung, maka akibatnya dapat mengerikan
sekali. Kegagalan itu akan dikorbankan tanpa kesadaran bahkan
kadang-kadang timbullah malapetaka apabila kegagalan itu dibakar oleh
pandangan yang mengerikan, yang bertekad untuk hancur bersama, gagal
bersama. Karena pendirian yang demikian itu, akan terjadi, membakar
perahu yang sedang berlayar di tengah lautan, hanya karena orang itu
tidak tahan melihat orang lain menjadi nakhoda, bukan dirinya sendiri.
Betapa indahnya sebuah cita-cita, namun
apabila dilandasi oleh hati yang hitam, pikiran yang kelam dan cara-cara
yang sesat, maka akan lenyaplah keindahan yang hakiki. Dan manusia akan
menjadi korban dari ketamakan mereka sendiri. Manusia akan menggali
liang dimana ia sendiri akan terperosok kedalamnya.
Hanya mereka yang menyadari dirinya,
menyadari kemanusiaannya yang lahir dari sebuah kekuasaan yang Maha
Kuasa, akan dapat membuat neraca yang seimbang dari usaha, perjuangan
dan cita-cita lahiriahnya dengan kewajiban yang membebaninya akibat dari
adanya, atas kuasa dari Yang Maha Kuasa itu, sehingga akan terpenuhilah
Kebaktian yang utuh kepada Yang Maha Agung dan pengabdian yang tulus
kepada kemanusiaannya sebagai suatu sikap rohaniah dan badaniah.
Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempana telah
menjadi bureng, menjadi kehilangan keseimbangan, sehingga apa yang akan
dilakukan mungkin sekali diluar perhitungan.
Karena itu, maka Witantra tidak dapat
membiarkan halaman belakang tanpa pengawasan. Bersama saudara
seperguruannya, dan dua orang prajurit ia pergi ke halaman belakang dan
duduk di bawah sebatang pohon kemuning. Namun alangkah memelasnya. Pohon
yang rindang itu, selalu meruntuhkan daun-daunnya yang telah menjadi
kekuning-kuningan. Apabila hujan tidak segera turun, maka padukuhan
Panawijen pasti akan dilanda kekeringan yang dahsyat.
“Apakah sebabnya?” pikir Witantra. Tetapi ia tidak bertanya kepada siapapun.
Mahendra dan Kebo Ijo pun kemudian duduk
beristirahat di bawah rimbunnya dedaunan pula. Di sudut lain tampak
kedua prajurit Tumapel duduk pula bersandar dinding halaman. Udara di
padepokan itu terasa panas sekali.
“Pohon bunga-bungaan dan petamanan sudah
menjadi kering,“ pikir Witantra di dalam hatinya, “lalu apakah kerja
para emban yang menunggui padepokan ini, apabila untuk menyiram
tanaman-tanaman itu saja tidak dapat dilakukan?”
Tetapi Witantra itu berpikir lain ketika ia melihat kolam-kolam yang kering. Kolam-kolam yang tidak berair.
Di halaman depan, Sidatta segera mengatur
para prajuritnya. Beberapa orang segera dapat beristirahat, sedang dua
orang bergantian harus tetap berada di regol halaman. Mereka harus
mengawasi setiap keadaan yang mungkin dapat berakibat tidak seperti yang
diharapkan.
Perempuan dan orang-orang tua, anak-anak
dan gadis-gadis yang mengikuti iring-iringan itu pun kemudian berdiri
berjejal-jejal diluar regol.
Mereka kini yakin benar, bahwa yang
berada diatas tandu itu memang Ken Dedes yang pernah dilarikan orang.
Tetapi alangkah mengherankan, bahwa gadis itu kini kembali dalam keadaan
yang sama sekali tidak disangka-sangka. Tetapi orang-orang Panawijen
itu tidak berani memasuki regol halaman karena di dalam halaman itu
dilihatnya para prajurit Tumapel bertebaran dan dua orang penjaga yang
berdiri di sisi sebelah-menyebelah regol halaman.
Witantra yang di halaman belakang dan
Sidatta kini tinggal duduk menunggu, apa yang seharusnya mereka lakukan.
Dalam pada itu, Sidatta memerintahkan kepada para prajurit yang
berkewajiban untuk menyiapkan perbekalan mereka.
“Kita akan tinggal disini sampai kapan kakang?” bertanya perwira bawahan Sidatta.
Sidatta menggeleng sambil tersenyum, “Aku
tidak tahu. Tetapi menurut pesan Akuwu, tuan puteri harus segera
kembali, sesudah bertemu dengan kakaknya, Mahisa Agni. Bahkan tuan
puteri diharap untuk kembali bersama-sama dengan kakaknya itu.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ken Dedes yang masuk ke dalam rumahnya tanpa memberikan pesan
apapun itu, masih saja belum menampakkan dirinya.
Sementara itu Ken Dedes yang berada di
dalam rumah, segera dikerumuni oleh para endang. Betapa banyak
pertanyaan yang harus dijawab oleh Ken Dedes dari para endang itu,
tetapi betapa pula banyak pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya
sendiri. Karena itu, sebelum ia mengatakan tentang dirinya, maka yang
pertama-tama ditanyakannya adalah “Dimana kakang Mahisa Agni?”
Para endang itu saling berpandangan
sejenak, seolah-olah mereka menjadi ragu-ragu untuk menjawab, sehingga
Ken Dedes mendesaknya, “Dimana kakang Agni?”
Salah seorang endang mencoba untuk mengatakan jawabnya, “ke Padang rumput Karautan.”
“Ke Padang Karautan? Apa kerjanya di sana?”
“Membuat bendungan,“ sahut endang yang lain.
Dahi Ken Dedes tampak berkerut-kerut.
Tiba-tiba ia pun teringat akan semua penglihatannya di sepanjang jalan.
Kering kerontang. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Endang,
kenapa sawah-sawah di Panawijen menjadi kering. Halaman padepokan ini
pun menjadi kering dan bahkan Panawijen tampak begini gersang?”
Kembali para endang menjadi ragu-ragu.
Namun Ken Dedes mendesaknya lagi, sehingga seorang endang terpaksa
menjawab, “Bendungan kita itu pecah.”
“Pecah,“ Ken Dedes terkejut bukan buatan.
Umur bendungan itu sudah melampaui umurnya. Musim hujan dan banjir
telah berpuluh kali dilalui hanya dengan kerusakan-kerusakan kecil yang
segera dapat diperbaiki. Tetapi kenapa tiba-tiba bendungan itu pecah.
Endang yang mengatakannya bendungan itu berkata pula, “Empu Purwa lah yang memecahkan bendungan itu.”
“Ayah. Jadi ayah yang memecah bendungan itu?”
Endang itu mengangguk. Tetapi wajahnya
menjadi tegang. Ia menyesal bahwa ia telah mengatakannya. Tetapi
kata-kata itu telah terlanjur meloncat dari mulutnya.
Keringat Ken Dedes segera mengalir
membasahi pakaiannya yang cemerlang. Ia tidak dapat mengerti kenapa
ayahnya memecah bendungan itu. Sehingga karena itu maka ia bertanya
pula, “Kenapa ayah memecahkan bendungan itu?”
Endang itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin kakang Mahisa Agni dapat menjawab pertanyaan itu.”
Hati Ken Dedes menjadi kian berdebar-debar. Sekali lagi ia bertanya, “Dimana kakang Agni.”
“Ke Padang Karautan. Setiap laki-laki dan anak-anak muda pergi ke Padang Karautan untuk membangun bendungan itu.”
“Beberapa hari yang lampau kakang Agni telah datang ke Tumapel,“ sahut Ken Dedes.
“Ya, pada saat itu semua orang telah
berangkat ke Padang Karautan. Tinggal kakang Agni dan beberapa orang
yang masih menyelesaikan beberapa pekerjaan disini. membuat tampar ijuk
dan patok-patok. Begitu kakang Agni datang dari Tumapel, segera mereka
berangkat menyusul yang telah berangkat lebih dahulu bersama Ki Buyut
Panawijen.”
Terasa sesuatu bergolak di dalam Dada Ken
Dedes. banyak benar yang telah terjadi sepeninggalnya di kampung
halamannya ini. Namun keterangan emban itu bagi Ken Dedes merupakan
jawaban pula atas pertanyaan yang selalu mengganggunya sejak ia memasuki
padukuhan Panawijen. Sejak ia memasuki padukuhan ini, ia tidak melihat
seorang pun laki-laki dan anak-anak muda Panawijen. Itulah agaknya, maka
setiap laki-laki kecuali orang-orang tua tidak ada di rumah. Ternyata
mereka sedang berada dipadang rumput Karautan untuk membuat bendungan
yang baru.
Tetapi keinginan Ken Dedes untuk segera
bertemu dengan Mahisa Agni rasa-rasanya tak dapat ditunda-tunda. Apalagi
ia memang mendapat pesan dari Akuwu Tunggul Ametung, supaya segera
kembali bersama-sama dengan Mahisa Agni sebagai tebusan atas hukuman
yang telah dijatuhkannya kepada Mahisa Agni dan emban pemomongnya.
Tetapi Mahisa Agni kini tidak ada di rumah.
Tiba-tiba Ken Dedes menyadari keadaannya.
Ia datang sebagai seorang calon permaisuri yang disertai oleh
serombongan prajurit. Karena itu, maka katanya, “Biarlah aku minta
seseorang memanggil kakang Mahisa Agni.”
Para endang itu pun saling berpandangan.
Alangkah besarnya kekuasaan Ken Dedes kini. Ia dapat memerintahkan
seseorang untuk kepentingannya.
Dan para endang itu pun kemudian melihat
bahwa hal itu benar terjadi. Ketika Ken Dedes keluar dari rumahnya dan
berdiri di pendapa sambil melambaikan tangannya, maka segera
menghadaplah Sidatta. Sambil mengangguk dalam-dalam Sidatta bertanya,
“Apakah ada perintah tuan puteri.”
“O,“ dada setiap endang yang berdiri di
belakangnya melonjak. Serasa mereka berada di dalam mimpi. Ken Dedes
datang dengan pakaian yang cemerlang. Memanggil seorang perwira yang
gagah hanya dengan lambaian tangannya. Kini perwira itu membungkuk
hormat dihadapannya sambil menyebutnya tuan puteri.
“Dimanakah kakang Witantra?“ bertanya Ken Dedes.
“Di halaman belakang tuan Puteri,“ jawab Sidatta.
“Panggillah,“ perintah Ken Dedes.
Sekali lagi Sidatta menganggukkan kepalanya. Kemudian ia meninggalkan Ken Dedes yang masih berdiri saja di pendapa.
Seorang endang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba berbisik, “Siapakah orang itu?”
Ken Dedes berpaling. Betapapun hatinya
sedang risau, namun ketika terpandang mata endang yang aneh itu, ia
tersenyum. Jawabnya, “Namanya Sidatta. Ia adalah seorang perwira dari
prajurit pengawal Akuwu.”
“He,“ endang itu terkejut. Pandang
matanya menjadi semakin aneh. Kawan-kawannya pun terkejut pula. Hampir
tidak percaya endang itu bertanya pula, “Kenapa ia begitu hormat
kepadamu?”
Senyum Ken Dedes menjadi semakin lebar.
Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang dikatakan oleh emban pemomongku
beberapa hari yang lalu atau oleh kakang Mahisa Agni?”
Endang itu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tak ada yang dikatakan selain berita keselamatan.”
“Tidak dikatakan dimana aku berada?”
Endang itu berpikir sejenak, jawabnya, “Di Tumapel.”
“Maksudku, di Tumapel aku tinggal di rumah siapa?”
Para endang itu pun saling berpandangan.
Tetapi mereka benar-benar tidak banyak mengerti tentang keadaan Ken
Dedes, sehingga kemudian mereka itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba seorang endang yang lain, yang
agak lebih muda dari Ken Dedes berkata, “Kau belum menjawab
pertanyaan-pertanyaan kami tentang dirimu. Kamilah yang selalu menjawab
pemanyaanmu.”
Sekali lagi Ken Dedes tersenyum, tetapi ia tidak sempat menjawabnya, karena Witantra dan Sidatta kini telah naik ke pendapa.
“Kakang Witantra,“ berkata Ken Dedes kemudian, “ternyata kakang Mahisa Agni tidak berada di rumah.”
Witantra mengangguk, katanya, “Menurut pertimbangan tuan puteri apakah yang sebaiknya kami lakukan?”
Sejenak Ken Dedes berdiam diri. Ketika ia
memandang ke halaman dilihatnya beberapa orang prajurit sedang
beristirahat sambil mencari tempat untuk berteduh. Karena itu, tiba-tiba
ia menjadi ragu-ragu. Apakah mereka tidak terlampau lelah, apabila
beberapa diantaranya harus langsung menuju ke Padang Karautan?”
Dalam keragu-raguan itu terdengar Witantra bertanya, “Barangkali seseorang tahu kemana ia pergi?”
Ken Dedes mengangguk sambil menjawab,
“Ya. Menurut para endang, kakang Mahisa Agni pergi ke Padang rumput
Karautan untuk membuat bendungan.”
Witantra mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, “Apakah menurut pertimbangan tuan putri, salah
seorang dari kami perlu memanggilnya?”
Ken Dedes masih ragu-ragu. Ia melihat
betapa tubuh para prajurit itu telah dilumuri oleh keringat mereka yang
seperti diperas dari dalam tubuh mereka.
Tetapi Witantra berkata, “Apabila
demikian, maka biarlah salah seorang dari kami pergi menyusulnya.
Mahendra lah satunya orang yang pernah melihat tempat dimana bendungan
itu akan dibangun.”
“Bagaimana menurut pendapatmu kakang Witantra?”
“Apabila berkenan di hati tuan puteri.”
“Apakah Mahendra tidak terlampau lelah?”
“Ia akan pergi berkuda.”
“Sendiri?”
“Ia sudah mengenal padang Karautan. Ia sudah mengenal hantu padang. Meskipun demikian biarlah adi Sidatta pergi bersamanya.”
“Hamba akan melakukannya,“ berkata Sidatta.
“Apabila kalian tidak terlampau lelah,
terserahlah kepada Kakang Witantra. Tetapi, pesanku kakang, jangan
menimbulkan kesan yang dapat membuat keadaanku lebih sulit. Kakang Agni
hatinya terlampau keras.”
Sidatta mengerutkan keningnya. Ketika ia
berpaling memandangi wajah Witantra dilihatnya orang itu menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Ia tuan puteri. Hamba telah mengenal serba
sedikit tentang kakak tuan. Memang kakak tuan puteri berhati keras,
namun jujur. Karena itu, biarlah nanti adi Sidatta dan Mahendra dapat
menyesuaikan dirinya menghadapi kakak tuan puteri.”
Hati Sidatta menjadi bertanya-tanya.
Bukankah kakak Ken Dedes itu juga seorang anak muda Panawijen. Seorang
anak padesan? Tetapi pertanyaan itu dibiarkannya melingkar-lingkar di
dalam dadanya.
Sementara itu Ken Dedes berkata pula,
“Apabila terdapat kesulitan, jangan mencoba memaksa. Aku ingin kakang
Mahisa Agni datang kemari. Tetapi kalau terpaksa, aku akan menjemputnya
sendiri ke Padang Karautan.”
Witantra menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik tuan puteri. Biarlah Mahendra dan adi Sidatta berangkat sekarang.”
“Terserah kepadamu kakang.”
Keduanya kemudian mengundurkan diri dari
pendapa. Namun tampak betapa wajah Sidatta memancarkan beberapa macam
pertanyaan. Meskipun pertanyaan itu tetap disimpannya, tetapi Witantra
dapat merasakannya, sehingga katanya, “Mahisa Agni adalah seorang anak
muda yang berhati keras. Telah beberapa kali ia berkelahi melawan
Mahendra, tetapi Mahendra selalu dikalahkan.”
“Adi Mahendra dikalahkannya?” bertanya Sidatta yang menjadi keheran-heranan.
“Ya,“ sahut Witantra, “anak itu melampaui Mahendra dalam banyak hal.”
Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah nanti kalau anak muda itu bertemu
dengan adi Mahendra tidak akan terjadi sesuatu?”
Witantra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Mahendra telah minta maaf kepadanya.”
“Minta maaf?” Sidatta menjadi bingung.
“Ya. Mahendra selalu di pihak yang bersalah.”
Sidatta tidak berkata apa-apalagi. Ia
tahu benar sifat pemimpinnya itu. Ia tidak pernah berkata lain dari pada
menurut tanggapannya yang sewajarnya. Meskipun orang itu saudara
seperguruannya, kalau ia berbuat salah, maka Witantra akan berkata
demikian.
Witantra pun kemudian segera memanggil
Mahendra dari halaman belakang, sementara perwira yang seorang lagi
ditugaskannya mengawasi halaman belakang itu. Dalam pada itu Ken Dedes
telah kembali masuk ke dalam rumahnya.
Orang-orang yang masih berkerumun diluar
regol menjadi kecewa ketika mereka melihat Ken Dedes tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk menemuinya. Tetapi mereka tidak segera
pergi.
Sejenak kemudian Mahendra dan Kebo Ijo
pun telah datang menemui Witantra. Dengan berbagai macam pesan, maka
Witantra minta kepada Mahendra untuk memanggil Mahisa Agni ke Padang
Karautan bersama dengan Sidatta.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia
tahu benar, bahwa Mahisa Agni seolah-olah tidak mau lagi mempersoalkan
hubungan antara adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung. Mahendra mengerti
betapa perasaan Mahisa Agni tersinggung. Ia merasa dikesampingkan oleh
adiknya sebelum ia mengambil keputusan. Ia tidak mau menerima keadaan
adiknya itu, sebagai sesuatu yang telah terlanjur.
Tetapi ia tidak mau menolak perintah
kakaknya. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Baik kakang, Aku akan
mencoba bersama kakang Sidatta.”
Setelah keduanya berkemas, sedikit
mengisi perut mereka dengan bekal yang mereka bawa, maka segera mereka
meninggalkan halaman padepokan menuju ke Padang Karautan. Demikian
mereka meninggalkan padesan, maka segera terasa, sinar matahari
menyengat tubuh mereka.
“Bukan main panasnya,“ desis Mahendra.
Sidatta tersenyum. Jawabnya, “Sebuah perjalanan yang hangat.”
Mahendra mengangguk. Kemudian katanya
pula, “Kita akan menyusur tidak jauh sepanjang sungai yang mengalir
lewat padang itu. Pada sungai itulah bendungan akan dibangun. Tetapi
bukan itu soalnya. Kalau kita kehausan, kita akan segera mendapatkan
air.
Sekali lagi Sidatta tersenyum. Kemudian
mereka memacu kuda mereka meninggalkan kepulan debu yang putih. Mereka
meluncur di jalan-jalan diantara sawah-sawah yang mengering menuju ke
padang rumput Karautan yang panasnya bukan main.
Tetapi perjalanan dengan kuda adalah jauh
lebih cepat dari pada berjalan dengan kaki. Meskipun sekali-sekali
mereka beristirahat di tebing-tebing sungai untuk mengambil air, dan
memberi kuda mereka minum, namun waktu yang mereka perlukan tidak
terlampau panjang. Sebelum matahari terbenam, mereka telah sampai ke
tempat yang pernah dikenal oleh Mahendra.
“Kita hampir sampai,“ desis Mahendra sambil mengusap peluhnya.
Sidatta mengangguk. Wajahnya menjadi merah kehitaman dibakar oleh terik matahari.
“Kuda kita terlampau lelah,“ berkata Sidatta.
“Kita berjalan perlahan-lahan,“ sahut
Mahendra, “mudah-mudahan di tempat mereka bekerja terdapat sisa makanan
hari ini. Perutku terlampau lapar.”
Sidatta tertawa. Tetapi tertawanya masam sekali, sebab sebenarnya perutnya pun telah menjadi lapar.
Tetapi saat itu udara telah menjadi
sejuk. Matahari telah terlampau rendah, bahkan sejenak kemudian warna
merah di langit selapis demi selapis menjadi semakin hitam.
Mahendra dan Sidatta berjalan terus.
Kuda-kuda mereka kini tidak lagi berpacu terlampau cepat. Sebentar lagi
mereka sudah akan sampai di tempat yang mereka tuju.
Dalam pada itu, langit pun semakin lama
menjadi semakin pekat. Satu-satu bintang seakan muncul dari balik tirai
yang hitam. Sidatta sekali-sekali melayangkan pandangan matanya jauh ke
garis cakrawala. Padang rumput ini seolah-olah tidak bertepi.
“Adi Mahendra,“ berkata Sidatta kemudian, “apakah orang Panawijen akan membangun di tengah padang yang seluas ini?”
“Ya,“ sahut Mahendra sambil mengangguk.
“Mereka harus membuat saluran-saluran baru.”
“Tetapi kalau mereka berhasil,“ sahut
Mahendra, “maka mereka akan dengan leluasa membuat suatu perencanaan
menurut selera mereka. Mereka dapat mengatur sekehendak hati,
sawah-sawah, ladang dan saluran-saluran air.”
“Kenapa mereka tidak memilih tempat lain.
Menebas hutan misalnya? Mereka akan langsung mendapat suatu daerah yang
tidak seterik padang ini.”
Mahendra menggelengkan kepalanya, “Aku
tidak tahu. Mungkin mereka merasa bahwa dengan membuka padang rumput
ini, pekerjaan mereka jauh lebih ringan daripada menebas hutan. Kalau
mereka berhasil membuat susukan yang besar dan mengalirkan airnya ke
tengah-tengah padang rumput ini, maka padang ini pasti akan menjadi
daerah yang subur.”
“Tebing ini terlampau dalam,“ desis
Sidatta, “untuk menaikkan air dari dalam sungai itu, pasti diperlukan
pekerjaan yang maha berat.”
Mahendra tersenyum. Kemudian katanya, “Kau dengar suara gemuruh.”
Sidatta memasang telinganya baik-baik, “Ya lamat-lamat dibawa angin.”
“Suara yang hilang timbul itu adalah suara jeram-jeram.”
“Oh,“ sahut Sidatta, “kalau demikian, maka orang-orang Panawijen pasti membuat bendungan diatas jeram-jeram itu.”
Mahendra mengangguk.
“Kalau begitu kita sudah dekat,“ berkata Sidatta, “mari kita percepat perjalanan ini.”
Tanpa menjawab ajakan itu, Mahendra
menggerakkan kendali kudanya sehingga kudanya berjalan lebih cepat lagi.
Suara jeram itu ternyata telah menjadi semakin jelas, dan membawa
mereka ke arah yang dikehendaki.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka
disela-sela semak-semak yang tumbuh sepanjang tepi sungai, mereka telah
melihat beberapa perapian yang menyala. Itu adalah perkemahan
orang-orang Panawijen yang sedang bekerja membuat sebuah bendungan.
Mahendra dan Sidatta semakin mempercepat
kudanya. Langit kini telah menjadi hitam. Namun bintang-bintang
berdesakan memenuhi wajah yang kelam itu.
Ternyata suara derap kudanya telah
mendahului mereka. Beberapa orang yang mendengar derap kuda itu
terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka ingin menyampaikannya kepada Mahisa
Agni yang ada diantara mereka. Tetapi Mahisa Agni sendiri telah
mendengar derap itu pula.
“Aku mendengar derap kuda paman,“ desisnya.
Pamannya Empu Gandring yang duduk memeluk
lututnya mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya
ia menjawab, “Ya. Aku mendengar.”
Mahisa Agni kemudian berdiri. Katanya, “Aku akan melihatnya.”
“Hati-hatilah,“ pesan pamannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah
diantara kawan-kawannya yang sedang beristirahat setelah hampir sehari
penuh mereka melakukan pekerjaan mereka, membangun sebuah bendungan.
Dengan kemauan yang bulat mereka bekerja dengan sepenuh tenaga. Tak ada
tempat bagi mereka yang hanya mampu berbicara dan berteriak-teriak
tentang bendungan yang rusak. Tentang kesulitan dan tentang kelaparan
yang mungkin akan melanda mereka. Yang penting bagi penduduk Panawijen
kini adalah bekerja. Bekerja. Bendungan itu harus segera jadi, sebelum
persediaan di dalam lumbung-lumbung mereka terkuras habis.
Anak-anak muda Panawijen menyadari, bahwa
kini bukan masanya lagi untuk berbaring-baring di pasir tepian sungai
sambil berdendang dan bergurau. Bukan masanya lagi untuk
bersenang-senang dan mengadakan jamuan makan diantara mereka. Yang harus
mereka lakukan kini adalah bekerja dan berprihatin.
Mahisa Agni kini telah berdiri diluar
batas perkemahan orang-orang Panawijen. Beberapa langkah ia maju lagi
untuk menyongsong dua bayangan orang-orang berkuda yang sudah semakin
dekat.
Tetapi melihat derap dan langkah kuda
itu, Mahisa Agni menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang yang ingin
berbuat jahat terhadap mereka yang sedang membuat bendungan itu.
Meskipun demikian beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi cemas dan
berdebar-debar, meskipun kecemasan itu disimpannya saja di dalam hati.
Salah seorang dari mereka yang duduk di samping Sinung Sari berbisik, “Sinung Sari. Siapakah yang datang itu?”
Sinung Sari menggelengkan kepalanya sambil berbisik pula, “Aku tidak tahu.”
“Bukankah kau dahulu pernah datang
bersama dengan Mahisa Agni kemari? Dan bukankah kau berhasil mengalahkan
hantu Karautan atau siapa yang kau katakan dahulu? Kuda Sempana
barangkali? Mungkin orang itu datang kembali. Apakah kau tidak akan
melawannya.”
Dada Sinung Sari berdesir. Memang ia
pernah menyombongkan dirinya terhadap kawan-kawannya. Kalau benar yang
datang itu Kuda Sempana atau siapa pun yang akan mengganggu mereka,
apakah yang akan dilakukan? Ternyata Jinan dan Patalan yang mendengar
pertanyaan itu menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi mereka menjadi lega ketika mereka mendengar suara Mahisa Agni menyambut orang yang datang itu, “Kau Mahendra.”
Tetapi segera Mahisa Agni mengerutkan keningnya ketika ia melihat seorang prajurit datang bersama Mahendra itu.
Sebelum Mahendra menjawab, maka keduanya
telah berloncatan turun dari kuda mereka. Dengan akrabnya Mahendra
kemudian bertanya, “Bagaimana bendunganmu Agni?”
Mahisa Agni tersenyum kosong. Bendungan
itu belum lagi dimulai. Yang mereka kerjakan selama ini barulah
persiapan-persiapan untuk bendungan itu. Menancapkan patok-patok,
mengisi berunjung-berunjung dengan batu-batu dan membuat barak-barak
untuk berteduh di siang hari apabila mereka sedang beristirahat.
Maka jawab Agni kemudian, “Bendunganku sudah hampir siap. Siap untuk dimulai.”
Mahendra tertawa. Katanya kemudian, “Kau
mungkin belum mengenal kawan seperjalananku. Namanya Sidatta, adalah
salah seorang perwira dari pasukan kakang Witantra.”
Mahisa Agni mengangguk hormat dan Sidatta pun pula.
“Marilah tuan,“ Mahisa Agni mempersilahkan, “tetapi alangkah jeleknya tempat yang dapat kami pakai untuk menerima tuan.”
“Terima kasih,“ sahut Sidatta, “Kami
dapat mengerti, bahwa tuan berada di tempat pekerjaan yang sedang tuan
lakukan dengan tekad yang luar biasa. Membuat sebuah bendungan, membuat
susukan dan menggali parit-parit adalah pekerjaan raksasa bagi padukuhan
tuan.”
“Mudah-mudahan kami berhasil,“ gumam Mahisa Agni.
Maka mereka pun kemudian dibawa oleh
Mahisa Agni duduk diantara anak-anak muda Panawijen. Tetapi atas
permintaan Mahendra maka mereka mengambil tempat agak terpisah.
“Ada yang akan aku katakan,“ bisik Mahendra.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Mahendra. Apalagi ia datang
beserta seorang perwira dari Tumapel.
Mahendra yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni segera berkata, “Tetapi soalnya sama sekali tidak penting.”
Mahisa Agni menggigit bibinya. Ia tahu
bahwa Mahendra hanya ingin menenangkannya sebelum mereka membicarakan
persoalan yang sebenarnya. Tetapi bagi Mahisa Agni, persoalan yang
menyangkut dirinya sendiri dengan istana Tunggul Ametung adalah
menjemukan sekali. berkali-kali persoalan itu selalu membayanginya.
Mengganggu ketenangannya dan pasti akan dapat mengganggu rencana kerja
yang telah masak dan kini telah dimulai dilakukan bersama-sama dengan
seluruh rakyat Panawijen. Tidak ada bedanya dengan Kuda Sempana dan Empu
Sada. Orang-orang itu pasti akan mengganggu pekerjaannya pula dengan
caranya. Mungkin dengan orang-orang yang disebutnya bernama Wong
Sarimpat dan mungkin dengan orang-orang lain lagi. Meskipun bentuknya
berbeda, tetapi akibatnya akan sama saja. Memperlambat pekerjaan itu.
Bahkan mungkin dengan kekuasaan yang ada pada Akuwu Tunggul Ametung,
gangguan yang datang dari padanya akan justru lebih besar.
Tetapi Mahisa Agni mencoba menahan
perasaannya. Ia tidak segera menyahut. Ia menunggu apalagi yang akan di
katakan oleh Mahendra.
Mahendra itu pun kemudian bergeser maju.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni. Sekali ia memandang berkeliling. Dan
sambil berbisik ia berkata, “Agni. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi
aku tidak ingin mengganggumu.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Sambil mengangguk ia berkata, “Katakanlah Mahendra.”
“Baik,“ sahut Mahendra. Kemudian sekali
lagi ia bergeser maju. Katanya, “Agni. Pagi-pagi benar aku sudah
berjalan dari perkemahan di tengah-tengah hutan. Hampir tengah hari aku
sampai ke padepokanmu di Panawijen. Baru sekejab aku beristirahat, aku
harus berjalan kembali kemari. Aku ingin berterus terang Agni.“ Mahendra
berhenti sesaat, dan dada Mahisa. Agni pun menjadi kian berdebar-debar.
bahkan Sidatta pun menjadi berdebar-debar pula. Dalam pada itu Mahendra
meneruskan, “Aku ingin berterus terang kepadamu, tetapi tidak kepada
orang lain. Agni, aku agak terlampau lapar.”
“He?” mata Mahisa Agni terbelalak. Getar
di dadanya bertambah cepat, namun kemudian anak muda itu tertawa. “Hem,“
gumamnya, “segenap otot-ototku menjadi tegang.”
Sidatta pun kemudian menggamit Mahendra
sambil bertata, “Ah, terlampau berterus terang adi. Seorang ksatria
tidak akan kelaparan meskipun tidak makan empat puluh hari empat puluh
malam.”
Mahendra tertawa pula, “Aku tidak malu kepada mahisa Agni. Tetapi mungkin aku malu kepada orang lain.”
“Kalau hanya itu keperluanmu, maka aku
akan memenuhinya dengan senang hati,“ berkata Mahisa Agni sambil
tertawa. Kemudian ia pun bangkit dan berjalan ke barak, mengambil bekal
yang diminta oleh Mahendra. Nasi jagung dan sambal kacang.
“Apakah anak muda itu mau juga makan makanan seperti ini,“ gumamnya, “tetapi apa boleh buat. Aku tidak mempunyai yang lain.”
Dengan menjinjing sebuah bungkusan kecil
Mahisa Agni berjalan kembali ke tempat Mahendra dan Sidatta menunggu.
Semula ia tidak menaruh perhatian apa-apa atas ceritera Mahendra tentang
perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Mahendra itu
pagi-pagi benar sudah harus berangkat dari sebuah perkemahan di tengah
hutan. Kenapa dari sebuah perkemahan. Kalau ia hanya pergi berdua,
kenapa mereka terpaksa berkemah di tengah hutan. Kenapa mereka tidak
menempuh jalan lain, sepanjang padang rumput atau langsung menemuinya
seperti yang pernah dilakukan oleh Mahendra dahulu dipadang ini. Tetapi
anak muda itu telah pergi kepadepokannya, padepokan Empu Purwa.
Kini dada Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar kembali. Bukan karena kebetulan Mahendra menyebut
semuanya itu. Pasti tersembunyi sesuatu maksud di belakangnya. Karena
itu langkah Mahisa Agni menjadi semakin panjang. Ia ingin segera
mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh Mahendra berdua dengan
Sidatta.
Ketika Mahisa Agni sudah duduk di samping
Mahendra kembali, maka segera ia bertanya, “Mahendra, dari manakah kau
sebenarnya? Apakah kau baru saja menempuh perjalanan yang panjang
sehingga kau terpaksa bermalam di perjalanan?”
Tetapi Mahendra telah mengecewakan Mahisa Agni, sebab ia menyahut, “Bungkusan apakah yang kau bawa ini?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya ia segera ingin tahu, dari mana dan untuk apa Mahendra datang
kepadepokannya dan kemudian setelah beristirahat hanya sesaat yang
pendek ia harus dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu dan
datang ke padang ini, sehingga anak muda itu menjadi sangat lapar.
Meskipun sebenarnya Mahendra lapar,
tetapi ia tidak perlu dengan tergesa-gesa dan berterus terang
mengatakannya kepada Mahisa Agni. Maksud Mahendra adalah untuk
mengurangi ketegangan yang tampak di wajah Mahisa Agni. Tetap dalam pada
itu, setelah wajah Agni membayangkan senyum tiba-tiba kini wajah itu
menjadi tegang kembali.
Mahendra menjadi ragu-ragu. Apakah caranya itu dapat berhasil untuk berbicara dengan Mahisa Agni tanpa sikap yang tegang kaku.
Mahisa Agni yang sudah menjadi tegang
kembali itu, menyerahkan bungkusannya sambil menjawab, “Nasi jagung.
Apakah kau dan tuan Sidatta biasa makan nasi jagung?”
“Oh tentu,“ sahut Mahendra, “di Tumapel kami juga makan nasi jagung. Bukankah begitu kakang Sidatta?”
Sidatta mengangguk sambil tersenyum, “Ya. Aku juga biasa makan nasi jagung.”
“Apalagi sambal kacang,“ sela Mahendra setelah melihat isi bungkusan itu, “Apakah kau sendiri tidak makan Agni?”
“Baru saja,“ sahut Agni dengan dada yang
berdebar-debar. Ia seakan-akan menjadi tidak bersabar menunggu Mahendra
menyelesaikan makan. Seolah-olah terasa Mahendra sengaja makan terlalu
lambat seperti juga Sidatta. Bahkan kemudian Mahendra itu berkata, “Maaf
Agni. Aku perlu air. Aku terlampau haus.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berdiri juga untuk mengambil bumbung berisi air.
Dalam pada itu ketika Mahisa Agni sedang
meninggalkan Mahendra berdua dengan Sidatta, terdengar Mahendra
berbisik, “Kau lihat kakang. Baru melihat wajah-wajah kita, Mahisa Agni
telah menjadi tegang. Aku tahu, ia sudah jemu membicarakan masalah
adiknya yang satu itu. berkali-kali ia selalu diganggu oleh persoalan
itu.”
Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya. Desahnya, “Melihat sikapnya maka anak muda itu benar-benar keras hati.”
“Sebenarnya tidak. Ia anak muda yang
baik. Ia tidak mendendam seseorang. Aku pernah berkelahi melawannya
karena kesalahanku. Tetapi aku selalu saja dikalahkan. Meskipun ia
menang atasku, namun ia tidak berbuat apa-apa atasku ketika aku minta
maaf. Ia tidak menghina aku dan tidak ingin membalas dendam. Aku tidak
tahu kenapa ia bersikap terlampau keras terhadap adiknya. Mungkin karena
ia menjadi banyak kehilangan karena hilangnya adiknya itu. Ayah
angkatnya yang juga menjadi gurunya, bendungan, sahabatnya yang juga
bakal iparnya yang bernama Wiraprana yang dibunuh oleh Kuda Sempana, dan
ia sendiri hampir terbunuh untuk mempertahankan adiknya. Tiba-tiba ia
mendengar adiknya menerima lamaran Tunggul Ametung yang turut melarikan
gadis itu.”
“Perasaannya tersinggung karenanya,“ desis Sidatta.
“Tersinggung agak terlampau parah,“
sambung Mahendra. Tetapi percakapan itu terhenti ketika Mahisa Agni
datang sambil membawa bumbung air.
Mahisa Agni menjadi semakin kecewa ketika
ia melihat nasi jagung Mahendra masih hampir utuh. Karena itu maka
katanya, “Nasi itu sama sekali tidak memenuhi seleramu Mahendra?”
“O, tidak,“ sahut Mahendra, “aku senang sekali makan nasi jagung dan sambal kacang.”
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia mencoba
menyabarkan diri menunggu sampai mereka selesai makan. Tetapi hatinya
yang selalu bergolak itu tidak dapat ditahannya. Maka terloncatlah
pertanyaannya, “Dari manakah kalian berdua Mahendra?”
Mahendra berhenti menyuapi mulutnya.
Tetapi ia masih ragu-ragu untuk menjawab. Namun diluar kehendaknya
Sidatta lah yang menjawab, “Kami baru saja menempuh sebuah perjalanan.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia
menunggu Sidatta meneruskan, tetapi orang itu berdiam diri sambil
meneguk seteguk air dari bumbung. Karena Sidatta tidak meneruskan
kata-katanya maka kembali Agni bertanya, “Perjalanan jauh? Tetapi apakah
kalian telah singgah ke padepokanku di Panawijen?”
“Ya,” sahut Mahendra. Ia tidak dapat
menyembunyikan persoalan yang sebenarnya. Tetapi ia ingin mengatakannya
dengan cara yang lain, “Kami berjalan-jalan bersama kakang Witantra.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
menjadi semakin bercuriga. Katanya, “Apakah Witantra sekarang berada di
padepokanku di Panawijen?”
“Ya,“ sahut Mahendra acuh tak acuh sambil
menyuapi mulutnya, “perjalanan yang sama sekali tidak menarik. Kami
harus berjalan kaki dari Tumapel, lewat tengah hutan, untuk menghindari
terik matahari.”
“Kenapa?”
Seolah-olah tidak ada soal yang penting sama sekali, Mahendra menjawab, “Kami mengantarkan adikmu.”
“Ken Dedes?“ desis Mahisa Agni.
“Ya. Ia sedemikian rindunya kepadamu
sehingga ia memaksa untuk menemuimu. Tetapi setelah kami sampai di
padukuhanmu, kau tidak ada. Dengan serta merta aku harus berjalan lagi
ke padang rumput Karautan.”
“Bohong,” tiba-tiba terdengar suara
Mahisa Agni semakin tegang. Sidatta mengerutkan keningnya. Benar juga
pesan Witantra dan Ken Dedes. Mahisa Agni bersikap agak terlampau keras.
Tetapi Mahendra sama sekali tidak
terkejut. Ia masih tetap menyuapi mulutnya. Bahkan kemudian sambil
tertawa ia berkata, “Ah, nasibmu benar-benar luar biasa. Enak dan cepat
menjadi kenyang.”
“Aku tidak percaya Mahendra,“ berkata
Agni tanpa menghiraukan kata Mahendra, “kalian datang untuk menangkap
aku dan membawa aku menghadap Akuwu Tumapel karena aku pernah
meninggalkan Tumapel sebelum aku menghadap.”
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya masih tetap tenang, dan mulutnya masih tetap mengunyah makanannya.
Meskipun demikian, degup jantung Mahendra
tidaklah setenang wajahnya. Bahkan ia kemudian menjadi cemas, bahwa
caranya itu pun tidak akan menyenangkan Mahisa Agni.
Sidatta yang duduk di samping Mahendra
sudah tidak lagi dapat menelan makanannya dengan lancar. Ia tidak pula
bersabar mendengarkan cara Mahendra mengatakan maksudnya.
Dalam pada itu terdengar Mahendra
menjawab, “Ah. Kenapa kami harus menangkapmu? Bukankah tidak ada alasan?
Jangan berprasangka Mahisa Agni.”
Mahisa Agni terdiam. Ia melihat Mahendra
itu masih saja sibuk dengan nasi jagung dan sambal kacang, seolah-olah
memang tidak ada sesuatu yang penting. Tetapi kenapa ia begitu
tergesa-gesa mencarinya. Apakah benar hanya karena Ken Dedes segera
ingin menemuinya?”
Tetapi menilik cara Mahendra makan dan
ketenangannya menyampaikan ceritera perjalanannya, terasa bahwa Mahendra
memang tidak sedang mengemban tugas yang terlampau penting.
Sidatta sekali menggeser duduknya dengan
gelisah. Tetapi ia memahami cara Mahendra menyampaikan maksudnya,
sehingga karena itu, ia mencoba untuk menahan perasaannya.
Tiba-tiba terdengar Mahendra berkata, “Adikmu ada di Panawijen sekarang Mahisa Agni.”
“Biar sajalah,“ jawab Mahisa Agni kosong.
Mendengar jawaban itu dahi Mahendra berkerut dan terasa dada Sidatta berdesir.
“Ia sangat rindu kepadamu,“ Mahendra meneruskan.
“Anak itu telah menjadi seorang besar di Tumapel. Apalagi yang diharapkan daripadaku?”
“Bukankah ia adikmu?”
“Pada masa kita masih kanak-kanak ia
adikku. Tetapi sekarang kami menempuh jalan hidup kami masing-masing. Ia
tidak memerlukan aku lagi, dan aku tidak memerlukannya.”
Mahendra tersenyum. Senyum yang aneh.
Namun ia hampir kehabisan akal untuk mencari jalan supaya ia dapat
mengajak Mahisa Agni pergi ke Panawijen. Kalau ia tidak dapat membawa
Mahisa Agni ke Panawijen, maka kemungkinan terbesar adalah Ken Dedes
sendiri akan datang ke Padang Karautan untuk mengambil Mahisa Agni dan
membawanya ke Tumapel. Dalam keadaan yang demikian segalanya akan dapat
terjadi. Ken Dedes membawa serombongan prajurit yang sedang mengemban
tugas dan disini banyak anak-anak muda yang pasti akan berpihak kepada
Mahisa Agni. Tetapi Mahendra tidak mengetahui bahwa anak-anak muda yang
berada di padang ini sebagian terbesar adalah anak-anak muda seperti
Sinung Sari, Jinan dan Patalan.
Meskipun demikian Mahendra masih mencoba
berkata, “Aku tadi belum mendapat hidangan apa-apa di padukuhanmu Agni.
Seharusnya aku besok pagi-pagi harus sudah sampai di sana pula. Tetapi
aku kira aku tidak akan kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
itu. Bukan saja Mahisa Agni, tetapi juga Sidatta. Tetapi agaknya
Mahendra memang sedang memutar otaknya untuk memancing Mahisa Agni ke
Panawijen.
“Kenapa?“ bertanya Mahisa Agni.
“Kau tahu perasaanku Agni,“ berkata
Mahendra tiba-tiba dengan wajah yang bersungguh-sungguh, “Aku sudah
menerima keadaan yang aku hadapi sebagai suatu kenyataan yang tak dapat
aku ingkari. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan dapat melihat
gadis itu bersedih dan menangis terus menerus.”
“Kenapa?”
“Gadis itu merasa bahwa hidupnya kini
benar-benar tinggal sebatang kara. Seolah-olah semua orang yang
dikenalnya pada masa kanak-kanaknya, semua orang yang pernah dikasihinya
sejak ia masih kanak-kanak telah meninggalkannya. Ayahnya dan kau.”
(Bersambung ke jilid 18).
No comments:
Write comments