Mahendra melihat wajah Mahisa Agni
tertunduk. Sekilas ia memandang wajah Sidatta yang tegang. Di dalam hati
perwira itu berkata, “Anak muda yang keras hati. Tetapi hatinya adalah
hati malam. Hatinya mudah sekali menjadi luluh karena haru, bukan karena
cemas dan takut.
Tetapi kini Mahendra lah yang menjadi
cemas. Ia telah mengatakan sikap Ken Dedes yang belum pasti benar
terjadi. Kalau kemudian kedatangan Mahisa Agni disambut dengan wajah
yang merah tegang karena marah, kalau kedatangan Mahisa Agni kemudian
disambut oleh sikap yang sama sekali berlawanan dengan apa yang
dikatakan, maka Mahisa Agni pasti akan merasa ditipunya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia harus dapat mengajak Mahisa Agni ke Panawijen.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri.
Mahisa Agni sekali-sekali terdengar menarik nafas dalam-dalam. Mahendra
masih saja menghadapi sisa-sisa makanannya dan sekali-sekali tangannya
masih menyentuh sambal kacang. Tetapi debar di hatinya terasa menjadi
semakin cepat. Dalam pada itu Sidatta merenungi perapian tidak jauh dari
padanya. Apinya menjilat-jilat seperti sedang menari-nari. Dikejauhan
dilihatnya beberapa anak muda terbaring diatas alas rerumputan kering.
Dingin padang mulai merayap tubuhnya.
Mahisa Agni yang tertunduk itu masih juga
tertunduk. Kalau benar kata Mahendra, maka anak itu akan mengalami
siksaan batin meskipun ia akan menjadi seorang permaisuri. Dalam pada
itu tiba-tiba diingatnya kata-kata ibunya. Kata-kata emban pemomong Ken
Dedes yang sudah semakin tua. Sebenarnya hatinya sedang dibakar oleh
sebuah perasaan yang mementingkan dirinya sendiri. Bukan sekedar
perasaannya tersinggung karena keputusan Ken Dedes diluar
persetujuannya. Tetapi jauh lebih dalam dari pada itu.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah udara padang rumput itu menjadi sedemikian tipisnya.
Mahendra memperhatikan perubahan-bahan
yang terjadi pada Mahisa Agni dengan saksama. Tetapi ia masih belum
mendapat kesimpulan apakah Mahisa Agni akan bersedia datang memenuhi
undangan adiknya.
Sejenak mereka masih berdiam diri.
Sidatta berusaha untuk menahan diri, dan memberi kesempatan kepada
Mahendra untuk membujuk Mahisa Agni.
Dalam pada itu Mahendra pun kemudian berkata, “Bagaimana Agni. Apakah kau besok pagi-pagi benar bersedia datang ke Panawijen?”
Mahendra menjadi kecewa ketika Mahisa
Agni menggeleng, “Tidak Mahendra. Aku tidak sempat meninggalkan
pekerjaan ini. Aku harus selalu berada diantara kawan-kawanku yang
sedang membangun bendungan ini.”
Tanpa dikehendakinya sendiri Mahendra
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu lagi, apa yang harus
dikatakan untuk melunakkan hati Mahisa Agni.
Namun dalam pada itu terdengar Sidatta berkata, “Sebaiknya kau datang adi Mahisa Agni.”
Mahisa Agni memandangi wajah perwira itu.
Wajahnya tenang dan dalam. Perwira itu adalah seorang perwira yang
bermata cekung. Bibirnya banyak membayangkan senyum, tetapi wajah itu
berkesan sebuah tekanan yang pernah membebani hidupnya. Tetapi Mahisa
Agni tidak ingin menilai perwira itu, dan perwira itu pun tidak ingin
berceritera tentang dirinya, tentang penderitaan hidup yang pernah
dialaminya, sehingga meskipun ia masih muda, tetapi perasaannya telah
cukup mengendap.
Bahkan Mahisa Agni menjadi bertanya-tanya di dalam hati. “Apakah perwira ini yang sebenarnya bertugas untuk menangkapnya?”
Mahendra pun menjadi berdebar-debar pula.
Ia tidak mengharapkan bahwa karena kejengkelan, kekecewaan dan ketidak
sabaran Sidatta, maka perwira itu akan dapat menimbulkan salah faham.
Tetapi Sidatta itu berkata sekali lagi, “Tuan Puteri sangat mengharap kedatanganmu.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Sebutan untuk
Ken Dedes itu benar-benar telah menggelitik telinganya. Tetapi ia tidak
segera menjawab. keragu-raguan dan kebimbangan yang sangat telah
mengganggu perasaannya. Ada keinginannya untuk memenuhi permintaan Ken
Dedes oleh dorongan berbagai perasaan. Ingatan tentang ibunya, tentang
pergaulan masa kanak-kanaknya dan tentang berbagai macam kenangan masa
silam. Tetapi apabila tiba-tiba ia terantuk pada dirinya sendiri,
hatinya meronta, “Persetan dengan anak itu.”
“Maaf kakang Sidatta,“ sahut Mahisa Agni, “aku tidak dapat datang.”
Sidatta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahendra memandanginya dengan cemas. Sudah tentu ia tidak dapat melarang
Sidatta mengucapkan perasaannya. Dengan demikian ia akan menyinggung
perasaan perwira.
Tetapi yang diucapkan oleh Sidatta
kemudian adalah, “Sayang sekali,“ Kemudian kepada Mahendra Sidatta itu
berkata, “Adi Mahendra, kalau adi Mahisa Agni tidak bersedia menemui
adiknya, tuan puteri Ken Dedes, maka adalah salah kami semua para
pengawal.”
Sekarang Mahendra lah yang tidak tahu
maksud Sidatta mengucapkan kata-kata itu Mereka memang tidak mengadakan
persetujuan apa yang harus mereka katakan, sehingga mereka telah membuat
cara masing-masing untuk memancing kesediaan Mahisa Agni. Tetapi
Mahendra menyadari, agaknya Sidatta pun sedang mencoba melunakkan hati
Mahisa Agni.
Dengan ragu-ragu Mahendra menjawab, “Ya kakang, kamilah yang bersalah.”
Mahendra sama sekali tidak mengerti,
kesalahan apa yang telah dilakukannya, namun ia merasa wajib untuk
mengiakan, supaya cara Sidatta tidak terganggu.
Tetapi Sidatta benar-benar menjadi
kecewa. Ia ingin Mahendra bertanya, kenapa kesalahan itu diletakkan
kepadanya dan kawan-kawannya supaya ia mendapat jalan untuk menjelaskan.
Sebuah persoalan yang telah dikarangnya. Karena itu dengan menggigit
bibirnya Sidatta menarik nafas dalam-dalam.
Melihat wajah Sidatta yang berkerut-kerut
Mahendra menjadi heran. Kemudian timbullah kekhawatirannya, bahwa ia
telah membuat tanggapan yang salah.
Tetapi tidak dengan sengaja, Mahisa Agni itu bertanya, “Kenapa kalian yang bersalah?”
Sekali lagi Sidatta menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Semula tuan puteri telah menyangka bahwa adi
Mahisa Agni berada dipadang ini. Tuan puteri telah memerintahkan kepada
kami untuk langsung datang kemari karena betapa rindunya tuan puteri
kepada satu-satunya kadang yang masih ada. Tetapi kamilah yang
menasehatkannya. Supaya tuan puteri datang lebih dahulu ke Panawijen.
Mungkin adi masih berada di padepokan, dan kemungkinan yang lain adalah,
tuan puteri akan tidak tahan panas matahari yang terik. Tetapi ketika
kami sampai di padepokan adi, ternyata padepokan itu kosong. Yang ada
hanyalah para cantrik dan endang. Betapa kecewa hati tuan puteri. Yang
dilakukan pertama-tama adalah menangis. Memanggil kami dan betapa tuan
puteri marah kepada kami. Sebelum kami sempat duduk, aku dan adi
Mahendra harus berangkat lagi menebus kesalahan kami. Tetapi kalau adi
Mahisa Agni tidak bersedia datang, makan apabila kesalahan ini didengar
oleh Akuwu Tunggul Ametung, maka kedudukan kami akan terancam. Lebih
dari pada itu, tuan puteri akan menjadi sangat bersedih. Adalah pasti
tuan puteri akan menjadi berangkat kemari betapapun alam
menghalang-halanginya dengan terik matahari, haus dan mungkin
gangguan-gangguan yang lain.”
Kata-kata itu serasa menusuk-nusuk ulu
hati Mahisa Agni. Kalimat demi kalimat menghunjam ke dalam dadanya
seperti pisau yang senyari demi senyari menembus semakin dalam.
Tiba-tiba dalam kepedihan itu Mahisa Agni memotong dengan kasarnya,
“Cukup, cukup.”
Sidatta terdiam mendengar Mahisa Agni
tiba-tiba membentak-bentak. Tetapi perwira itu tidak menunjukkan sikap
apapun. Ia masih tetap duduk dengan tenangnya sambil memandangi nyala
api yang sedang menjilat udara.
Dalam pada itu, Mahendra lah yang menjadi
semakin cemas. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia melihat Sidatta
tetap dalam sikapnya.
Sidatta yang meskipun umurnya tidak
terlampau jauh terpaut dari umur Mahendra dan Mahisa Agni, namun karena
pengalaman hidupnya yang luas, segera dapat merasakan, bahwa di dalam
hati Mahisa Agni kini terjadi suatu pergolakan. Ia mengharap
mudah-mudahan pergolakan di dalam dada Mahisa Agni itu akan mendorong
Agni untuk dapat memenuhi maksud kedatangan mereka.
Kembali suasana menjadi kian sepi.
Beberapa anak-anak muda Panawijen telah tertidur nyenyak. Namun beberapa
yang lain mendengar lamat-lamat Mahisa Agni memotong kata-kata tamunya
dengan keras. Terasa dada mereka berdesir. Tetapi mereka tidak melihat
sikap-sikap yang menegangkan hati. Karena itu, maka kembali mereka
menikmati masa-masa istirahat mereka.
Sidatta kini membiarkan Mahisa Agni
berbicara dengan diri sendiri. Dilihatnya anak muda itu menundukkan
kepalanya, namun sekali-sekali tangannya tampak memegangi keningnya yang
menjadi berat dan pening.
Tiba-tiba kesepian suasana itu dipecahkan oleh kata-kata Agni. “Kau membingungkan aku kakang Sidatta.”
Sidatta berpura-pura terkejut. Dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa?”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Kembali
wajahnya menunduk dan terdengar sekali-sekali ia berdesah. Namun kembali
dengan tiba-tiba Mahisa Agni berkata sambil meremas tangannya, “Tidak.
Aku tidak akan pergi. Biar anak itu marah, mengumpat-umpat atau
mengutukku sekali. Aku tidak ada sangkut paut lagi dengan Ken Dedes.
Hidupku lebih penting bagi rakyat Panawijen dari pada untuknya.
Seandainya ia akan datang kemari biarlah ia datang. Biarlah ia dibakar
terik matahari, biar ia kalap ditelan hantu sekalipun.”
Sidatta menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Tidak adi. Tuan puteri tidak akan mengumpat-umpat, memaki atau
mengutuk seandainya adi Mahisa Agni tidak mau datang ke Panawijen.
Tetapi tuan puteri itu pasti hanya akan dapat menangis dan merasa
dirinya tidak berharga di mata saudara tuanya. Ia tidak akan
memerintahkan menangkap tuan, tetapi ia akan meratap dan merasa dirinya
dikejar-kejar oleh dosa karena telah melukai hati kakaknya.”
“Oh,“ terdengar Mahisa Agni berdesah.
Kini kedua tangannya memegang kepalanya erat-erat seperti ia takut
kepala itu akan terlepas dari lehernya.
Kembali Sidatta membiarkan Mahisa Agni
bertengkar dengan perasaan sendiri. Ia dihadapkan pada dua kemungkinan
yang saling bertentangan. Dalam keraguan itu kembali terdengar suara
ibunya terngiang di telinganya. Suara yang seakan-akan telah mendorong
untuk pergi ke Tumapel beberapa hari yang lampau. Kini ia dihadapkan
lagi pada keadaan yang serupa. Ragu-ragu.
Malam yang kelam menjadi semakin kelam. Di kejahuan terdengar burung malam melagukan lagu yang sayu.
Tiba-tiba dalam keheningan itu Mahisa Agni berkata lemah, “Baiklah aku besok akan pergi bersama kalian.”
Mahendra terkejut mendengar kesediaan
yang terasa terlampau tiba-tiba itu, sehingga ia bergeser maju sambil
mengulangi kata-kata Agni, “Kau bersedia?”
Mahisa Agni mengangguk.
Sidatta tersenyum. Katanya, “Tuan puteri akan sangat bergembira karena kesediaan adi Mahisa Agni.”
Mahisa Agni tidak menyahut, tetapi
kembali wajahnya terhunjam ke tanah. Sedang Mahendra
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia merasa bersyukur karena
kesediaan Mahisa Agni itu, tetapi ia menjadi iba pula. Bahkan ia kini
menjadi cemas. Mereka berdua, Mahendra dan Sidatta ternyata telah
mempergunakan kelemahan hati Mahisa Agni untuk memaksanya pergi ke
Panawijen. Tetapi apabila kedatangan besok disambut oleh adiknya dengan
sikap yang bertentangan dengan yang dikatakannya, maka dapat
dibayangkan, betapa terpecah-belah hati anak muda itu.
Tetapi Mahendra tidak dapat berbuat lain,
seperti juga Sidatta tidak mempunyai cara lain untuk memaksa Agni
datang ke Panawijen, meskipun seperti Mahendra, Sidatta pun menjadi
cemas.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni
berkata, “Kalian telah menyulitkan perasaanku. Tetapi biarlah aku sekali
ini menuruti kehendak Ken Dedes. Mungkin pertemuan ini adalah pertemuan
yang terakhir. Mungkin ia akan memberikan pesan atau mungkin ia akan
memaki-maki aku. Mudah-mudahan perasaanku sendiri tidak menjadi tersiksa
karenanya setelah aku, melihat anak itu. Anak yang tidak tahu diri.”
Sidatta dan Mahendra tidak menyahut.
Terbayang di dalam kepalanya, betapa hati Mahisa Agni telah benar-benar
terluka. Luka karena tersinggung perasaan. Namun dugaan itu kurang tepat
seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Tak seorang pun selain ibu
Mahisa Agni sendiri yang tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam
dada Mahisa Agni.
Malam yang menjadi semakin malam telah
menelan perkemahan itu. Hampir semua orang telah tertidur. Mahisa Agni
pun kemudian mempersilahkan kedua tamunya beristirahat diatas sehelai
tikar pandan. Ketika kemudian ia kembali ke tengah-tengah perkemahan itu
dilihatnya Ki Buyut Panawijen pun telah tertidur. Tetapi ia melihat
pamannya duduk memeluk lututnya, masih seperti ketika ditinggalkannya
seolah-olah orang itu sama sekali tidak bergerak.
“Siapakah mereka Agni?” bertanya gurunya.
“Mereka adalah orang-orang Ken Dedes yang datang untuk memanggil aku ke Panawijen besok,“ sahut Mahisa Agni.
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia pernah mendengar persoalan antara Agni dan anak gurunya itu. Namun
belum seluruhnya. Empu Gandring belum mengetahui sedalam-dalamnya
persoalan yang seolah-olah selalu menghantui perasaan kemenakannya itu.
Karena itu maka dengan hati-hati ia bertanya, “Apakah kau besok akan
pergi juga ke Panawijen.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Jawabnya lirih, “Ya paman. Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa aku
akan datang memenuhi panggilan itu. Apakah paman tidak setuju?”
“Kenapa aku tidak setuju, Agni? Aku
mengharap segala sesuatu menjadi baik. Kalau kau tidak bertemu dengan
adikmu, maka kau tidak akan mendengar keterangan yang langsung
diucapkan. Mungkin dengan demikian kalau telah salah paham, akan segera
dapat diakhiri. Yang tidak dapat kau mengerti dapat langsung kau
tanyakan kepadanya, yang tidak kau setujui kau langsung dapat
menyampaikannya. Hanya persoalan menjadi baik dengan pembicaraan yang
baik. Tetapi kalau salah faham itu kau simpan saja di hatimu, maka untuk
seterusnya tidak akan ditemukan pengertian diantara kalian.”
Mahisa Agni menganggukkan, kepalanya.
Desisnya, “Mudah-mudahan paman. Sebenarnya aku sudah jemu mengurus soal
Ken Dedes yang akan kawin dengan Tunggul Ametung. ketika mereka mulai
dengan persoalan itu, mereka sama sekali tidak membawa aku dalam
pembicaraan, tetapi kemudian persoalan itu selalu mengganggu aku kemana
aku pergi.”
“Karena itu,“ sahut pamannya, “segera kau
selesaikan soal itu. Apakah keberatannya? Untuk seterusnya kau tidak
akan terganggu lagi.”
Mahisa Agni terdiam. Namun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Beristirahatlah Agni,“ desis pamannya kemudian.
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab, “Ya paman.”
Perlahan-lahan anak muda itu bangkit dan
berjalan ke sebuah gubug dengan atap anyaman daun kelapa. perlahan-lahan
pula ia membaringkan dirinya pada sehelai tikar. Namun untuk seterusnya
Mahisa Agni tidak segera dapat memejamkan matanya. Bahkan seolah-olah
semua peristiwa yang pernah dialami, kembali membelit angan-angannya.
Seruling, amben bambu teritisan. Kemudian tangis Ken Dedes, dan ibunya
yang mencoba menghibur gadis itu, kemudian betapa dadanya serasa pecah,
ketika ia mendengar Ken Dedes menyebut nama Wiraprana.
Mahisa Agni memejamkan matanya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir kenangan yang pahit
itu. Tetapi kenangan itu selalu datang mengganggunya.
Betapa tubuhnya sehari-harian diperas oleh kerja membuat bendungan, namun Mahisa Agni sama sekali tidak dapat tidur sekejapun.
Ia terkejut ketika tanpa disengaja, ia memandang langit di Timur telah dilapisi oleh warna semburat merah.
Bahkan sejenak kemudian beberapa orang kawannya telah bangun dan satu dua diantaranya telah pergi ke sungai untuk mengambil air.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika kemudian ia bangkit dan pergi ke tempat Sidatta dan Mahendra
beristirahat, ternyata mereka pun telah bangun pula.
Pagi itu, Mahisa Agni terpaksa
meninggalkan kawan-kawan mereka. Meskipun hatinya masih saja dikejar
oleh keragu-raguan, namun ia tidak membatalkan niatnya untuk pergi ke
Panawijen. Setelah minta diri kepada Ki Buyut dan pamannya Empu Gandring
beserta kawannya, maka Mahisa Agni pun kemudian pergi ke Panawijen
bersama dengan Sidatta dan Mahendra.
Di sepanjang jalan, Mahendra
menceriterakannya serba sedikit apa yang dilihat dan dialaminya di
perjalanan. Diceriterakannya pula, bahwa Empu Sada telah mencoba
membantu muridnya merampas Ken Dedes. Untunglah bahwa gurunya, Panji
Bojong Santi, dalam saat yang tepat telah menolong mereka.
“Seandainya guru tidak ada, maka Empu Sada pun tidak akan berhasil membawa tuan puteri,“ berkata Mahendra.
Mahisa Agni yang mendengarkan ceritera
itu dengan getar di dadanya, menarik nafas dalam-dalam. Betapa bencinya
kepada Kuda Sempana yang masih saja ingin mendapatkan gadis itu tanpa
menghiraukan keadaan dan kenyataan. Tetapi Mahisa Agni tertarik pada
ceritera terakhir Mahendra, sehingga ia bertanya, “Kenapa Empu Sada
tidak juga akan berhasil apabila Panji Bojong Santi tidak menolong
kalian.”
“Ada orang lain yang telah siap menolong pula.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Siapa?” ia bertanya.
“Empu Purwa.”
“He,“ Mahisa Agni terkejut, tetapi kemudian katanya, “apakah kau sedang bergurau?”
Mahendra menggeleng, “Tidak. Aku tidak sedang bergurau. Empu Purwa benar-benar hadir menurut guruku.”
Mahisa Agni memandang wajah Mahendra
dengan tajamnya. Namun kemudian kembali wajahnya merenungi padang yang
luas terbentang dihadapannya. Kembali angan-angannya melambung pada
masa-masa yang silam dan pada masa-masa yang tak pernah dialaminya.
Terasa suatu dunia yang aneh melingkar-lingkar di dalam benaknya. Dunia
kenyataan yang tak dapat diingkarinya, bercampur baur dengan dunia
angan-angannya yang berbenturan dengan segala macam kekecewaan dan
penyesalan. Tetapi Mahisa Agni tidak menumpahkannya kepada siapapun.
Dunia itu tetap menjadi rahasia bagi dirinya sendiri.
Sementara itu di Panawijen, Ken Dedes
menunggu Mahendra dan Sidatta dengan gelisah. Menurut perhitungan
Witantra, lewat tengah hari secepat-cepatnya Mahendra baru akan datang.
Dengan atau tidak dengan Mahisa Agni. Namun Ken Dedes yang hampir tidak
sabar menunggu itu pun telah memerintahkan kepada Witantra untuk
mengatur para prajuritan, supaya Mahisa Agni melihat, bahwa yang hadir
di Panawijen kini adalah seorang bakal permaisuri. Seorang yang
mempunyai kesempatan dan kemungkinan yang gemilang di hari depan.
Hampir semalam penuh Ken Dedes
mereka-reka, bagaimana ia harus bersikap nanti apabila Mahisa Agni
datang. Kadang-kadang kekecewaannya kepada kakak angkatnya itu
sedemikian menyembul dari permukaan pertimbangannya, sehingga
kadang-kadang timbullah keinginannya untuk memperlihatkan kebesarannya.
Namun kadang-kadang timbul pula perasaannya yang lain. Perasaan seorang
gadis yang memerlukan perlindungan dari saudara laki-lakinya.
Tetapi bagaimana pun juga, ia harus
menunjukkan kepada Mahisa Agni, bahwa ia bukan seorang gadis kecil lagi.
Bukan seorang gadis yang dapat merengek seperti pada saat-saat ia masih
tinggal di padepokan ini. Bukan lagi Ken Dedes yang hanya pantas
melayani Mahisa Agni makan di dapur, menuangkan sayur dan menyediakan
gendi untuk minum. Bukan lagi anak-anak yang berlari-lari mencari Mahisa
Agni, apabila dilihatnya sesuatu yang mencemaskan hatinya,
berteriak-teriak hanya karena seekor kambing yang lepas dari ikatannya
masuk dan mengunyah dedaunan dalam petamanannya.
“Tidak,“ katanya di dalam hati, “aku
sudah dewasa. Kakang Mahisa Agni pun harus bersikap dewasa dalam
persoalanku. Aku harus dapat menunjukkan kepadanya, bahwa dalam keadaan
ini aku mempunyai pertimbangan yang benar. Bukan sekedar karena berputus
asa. Kebesaranku akan melimpah kepada kakang Mahisa Agni dan seluruh
padukuhan Panawijen.”
Ken Dedes itu pun kemudian hatinya
menjadi tetap. Ia akan menyambut Mahisa Agni dalam sikap kedewasaan.
Berbicara dengan sikap yang dewasa.
Karena itu, ketika kemudian matahari
mencapai puncak langit, maka Ken Dedes pun telah bersedia duduk di
pendapa padepokannya. Ia telah memerintahkan kepada Witantra untuk
menjaga regol halamannya dan beberapa petugas lain di sudut-sudut
pendapa. Witantra sendiri duduk bersila di pendapa itu bersama-sama Kebo
Ijo. Namun betapa Kebo Ijo mengumpat-umpat di dalam hatinya. Katanya,
“Gadis Panawijen ini terlalu banyak bertingkah. Apa pula perlunya tata
cara resmi yang tidak dilakukan di istana ini. Bukankah ia belum seorang
permaisuri? Hem, apalagi nanti, apabila Ken Dedes itu telah resmi
menjadi seorang permaisuri. Kami setiap hari masih harus mencium telapak
kakinya.”
Tetapi ketika ia melihat kakak seperguruannya duduk tepekur dengan khidmatnya, maka ia pun menundukkan kepalanya.
Ken Dedes sendiri, duduk di tengah-tengah pendapa, di depan pintu masuk ke ruang dalam. Diatas sehelai tikar yang putih.
Di belakangnya duduk beberapa endang yang
berumur sebayanya. Para endang itu sendiri tidak tahu, kenapa ia harus
duduk pula di belakang Ken Dedes. Tetapi ketika mereka melihat para
prajurit yang dengan sikapnya yang garang berada di sekitar halaman dan
di sekeliling pendapa, bahkan panji-panji dan umbul-umbul pun dipasang
pula, mereka sama sekali tidak berani menanyakannya. Terasa pula, bahwa
Ken Dedes kini bukan lagi Ken Dedes yang dahulu. Apalagi setelah mereka
mendengar bahwa Ken Dedes adalah seorang gadis yang bakal menjadi
permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun mereka tidak dapat mengerti
hubungan peristiwa yang telah terjadi atas Ken Dedes itu, namun mereka
kini melihat suatu kenyataan, bahwa Ken Dedes mendapat kesempatan yang
tidak pernah diimpikan.
Kalau semula mereka meratap dan menangisi
gadis yang dilarikan oleh Kuda Sempana, namun kini mereka melihat
kebesaran gadis itu. Dan mereka pun menjadi ikut berbangga pula
karenanya.
Ken Dedes yang duduk di tengah-tengah
pendapa itu merasa, betapa ia sudah terlampau lama menunggu namun
Mahendra masih belum juga datang. Dengan gelisahnya ia berkali-kali
mengingsar tubuhnya. Sekali ke sisi kemudian kembali ke tempat semula.
Pandangan matanya seolah-olah tersangkut di regol halaman. Dari sana
nanti Mahendra akan datang bersama Mahendra dan Mahisa Agni.
“Bagaimana kalau kakang Mahisa Agni tidak mau datang?” desahnya di dalam hati.
Kekecewaan Ken Dedes menjadi semakin
bertambah-tambah. Mahisa Agni benar-benar seorang yang tinggi hati.
Seorang yang tidak mau melihat kepentingan orang lain. Seorang yang
hanya dapat berpikir menurut kepentingan dan keinginan diri sendiri.
Seorang yang diperbudak oleh ledakan-ledakan perasaan tanpa disertai
dengan nalar dan pikiran. Semua peristiwa selalu ditanggapinya dengan
hati yang gelap.
“Alangkah menjemukan,“ geramnya di dalam
hatinya, “kakang Mahisa Agni benar-benar menjemukan. Sekali-sekali ia
harus mendapat pelajaran bahwa sikapnya sama sekali bukan sikap yang
baik. Bukan sikap yang dapat dibanggakan. Baiklah dirinya sendiri,
maupun oleh keluarga di sekitarnya. Aku kira, ayah tidak pernah
mengajarinya demikian.“ Kemudian perasaannya pun meledak-ledak pula.
Katanya di dalam hatinya, “Ia harus datang. Ia harus datang. Ia harus
bersedia pergi ke Tumapel, menemui Akuwu Tunggul Ametung. Biarlah
seandainya ia tidak mau merestui perkawinanku. Tetapi ia harus belajar
menghormati orang lain. Menghormati mereka yang seharusnya mendapat
kehormatan yang sepantasnya. Apabila ia datang, ia harus melihat
kebesaran Akuwu Tumapel. Maksud baik yang terkandung didalamnya dan
kewajibannya sebagai seorang saudara tua terhadap adiknya.”
Dengan demikian sikap Ken Dedes pun
menjadi semakin garang. Dipaksanya dirinya untuk dapat menunjukkan
kebesaran yang diwakilinya dari istana Tumapel. Ia ingin membuat Mahisa
Agni tunduk karena wibawa kebesaran Akuwu Tunggul Ametung. Baru
kemudian, anak muda itu akan mudah menerima keterangannya setelah ia
dicengkam oleh kewibawaan itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak juga segera datang.
Dalam pada itu, Mahendra, Sidatta dan
Mahisa Agni masih berada di perjalanan. Perjalanan yang seolah-olah
menyusur sepanjang tepi neraka. Betapa panasnya udara dan betapa
panasnya terik matahari. Berkali-kali mereka terpaksa berhenti.
Mengambil air ke sungai dan membiarkan kuda-kuda mereka minum dan
sekedar beristirahat. Sejenak kemudian barulah mereka berjalan kembali.
“Alangkah beratnya pekerjaanmu Agni,
“gumam Mahendra, “membuat bendungan di bawah terik matahari yang
seakan-akan membakar punggung.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Pekerjaannya memang pekerjaan yang cukup berat. Apalagi bagi penduduk
Panawijen yang selama ini seolah-olah dimanjakan oleh keadaan alam di
sekelilingnya. Rakyat Panawijen merasa bahwa apa pun yang diletakkan di
tanah, pasti akan tumbuh dan memberikan hasil bagi mereka. Makan mereka
seolah-olah begitu saja meloncat dari dalam bumi tanpa banyak kesulitan.
Air yang melimpah dan jenis tanah yang subur.
Tetapi kini mereka harus bekerja keras.
Tidak ada pilihan lain dari pada bekerja keras. Kerja yang mula-mula
terasa betapa beratnya. Namun kemudian meresap ke dalam setiap diri
rakyat Panawijen, bahwa adalah menjadi kuwajiban mereka untuk
mengerjakan pekerjaan itu apabila mereka tidak ingin menjadi kelaparan.
Apabila mereka tidak ingin dikutuk oleh anak cucu mereka karena mereka
telah menyia-nyiakan saat-saat hidup mereka yang berharga.
Karena itu apabila bendungan itu kemudian
dapat berwujud, maka bendungan itu akan menjadi kebanggaan rakyat
Panawijen pada masanya. Akan menjadi kenangan bagi anak cucu, bahwa pada
masanya, rakyat Panawijen telah bekerja keras membuat peninggalan yang
berharga bagi mereka.
“Adalah suatu kebanggaan bagimu Agni,
bahwa kau mampu menggerakkan seluruh isi padukuhan Panawijen untuk
melakukan pekerjaan yang pasti akan sangat bermanfaat itu,“ berkaca
Mahendra pula.
“Kerja itu didorong oleh suatu kesadaran,
bahwa kami bersama-sama memerlukannya. Mahendra. Akan berbeda apabila
pekerjaan itu hanya akan bermanfaat bagiku saja. Apabila aku dapat
menggerakkan seluruh rakyat Panawijen untuk kepentinganku sendiri,
barulah aku merasa bangga. Aku akan merasa, bahwa aku mempunyai pengaruh
yang kuat atas mereka. Kecuali apabila aku menipu mereka. Menipu
rakyat. Seolah-olah aku membawa mereka dalam satu kerja yang besar untuk
kepentingan bersama, tetapi sebenarnya kerja itu hanya untuk
kepentinganku atau beberapa orang yang dekat dengan aku.”
“Untunglah bahwa yang kini terjadi tidak
demikian. Tidak kedua-duanya. Tidak untuk aku sendiri karena kekuasaan
atau pengaruhku atas mereka, juga bukan suatu penipuan atas rakyat itu.
Mudah-mudahan aku dan para pamong padukuhan Panawijen serta Ki Buyut
akan selalu mendapat tuntunan dari Yang Maha Agung, bahwa kerja ini
adalah kerja kita untuk kita. Bendungan itu kami bangun untuk
kepentingan kami. Bukan kami yang dikorbankan untuk bendungan itu.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Disampingnya Sidatta mendengar kata-kata Mahisa Agni itu dengan saksama.
Sama sekali tak disangkanya, Bahwa di
Panawijen, seorang anak padesan akan dapat berkata demikian. Alangkah
bahagianya Panawijen memiliki sepasang kakak beradik Mahisa Agni dan Ken
Dedes. Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang bertekad keras,
memandang setiap kesulitan sebagai tantangan yang harus diatasinya.
Sedang adiknya, adalah seorang gadis yang cantik. Yang tanpa
disangka-sangka, setelah mengalami kepahitan perasaan yang mencengkam
jantungnya, maka ia telah dituntun memasuki bilik kanan istana Tumapel.
Demikianlah perjalanan itu menjadi
semakin dekat dengan pedukuhan Panawijen. Matahari di langit kini telah
melampaui puncak ketinggian. Panas yang dilontarkannya seolah-olah
menghunjam di ubun-ubun.
Namun semakin dekat perjalanan itu, hati
Mahendra dan Sidatta menjadi semakin berdebar-debar. Apakah benar Ken
Dedes akan bersikap demikian mengharukan. Bagaimanakah sakit hati Mahisa
Agni, apabila sikap yang ditemui akan berbeda. Bagaimanakah kalau benar
Ken Dedes itu akan menyambut dengan wajah yang merah karena marah,
dengan kata-kata yang keras yang melontarkan kekecewaan hatinya.
Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak
berbuat lain. Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi apa yang
bergolak di dalam hati mereka adalah serupa.
Agni sendiri kemudian menjadi risau pula.
Tiba-tiba jantungnya segera menjadi semakin cepat berdetak.
Sekali-sekali ia menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan gelora
di dalam dadanya. Apabila dipandangnya wajah Mahendra, ia menjadi iri.
Anak muda itu justru lebih dahulu dari padanya, dapat menguasai diri dan
melihat kenyataan, meskipun Mahendra ini dahulu pernah menjadi hampir
gila dan hampir saja membunuh Wiraprana. Pada saat itu, ia berdiri di
pihak, bahkan menjadikan dirinya Wiraprana itu untuk melawan Mahendra.
Tetapi di hati Mahendra itu kini seolah-olah sama sekali tidak berbekas
lagi. Ia dapat melihat, mengantarkan, bahwa menerima perintah-perintah
Ken Dedes dengan hati yang sama sekali tidak membayangkan apa yang
pernah terjadi.
“Hem,“ Mahisa Agni menarik nafas,
kemudian di dalam hatinya ia berkata, “aku berkumpul dengan gadis itu
sejak kanak-kanak. Gambaran-gambaran tentang dirinya, jauh lebih dalam
terpahat di dinding hatiku dari pada Mahendra.”
Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni itu
mengumpat-umpat sendiri di dalam hati. Katanya, “Persetan. Aku tidak
peduli lagi dengan gadis itu. Aku tidak mempunyai kepentingan sama
sekali. Kalau aku kini datang kepadanya, adalah karena aku menjadi iba
kepadanya. Ini adalah suatu sikap yang baik.“ Tetapi Mahisa Agni menjadi
kecewa sendiri kepada angan-angannya. Seolah-olah ia adalah seorang
yang sangat baik hati. Yang mementingkan kepentingan orang lain jauh
lebih dahulu dari kepentingannya. Apalagi anggapan itu tumbuh di dalam
angan-angannya sendiri.
Untuk seterusnya, mereka bertiga
seolah-olah telah kehilangan kesempatan untuk saling berbicara. Mereka
masing-masing dicengkam oleh kegelisahan mereka sendiri-sendiri. Apalagi
ketika kemudian tampak dikejauhan, padukuhan Panawijen yang masih cukup
hijau, seperti segerombol gerumbul yang tumbuh diantara padang yang
kering kerontang.
Yang terdengar kemudian adalah derap
kuda-kuda mereka. Tanpa mereka kehendaki, maka kuda-kuda itu pun
berjalan semakin cepat, seakan-akan terasa oleh binatang-binatang itu,
bahwa perjalanan yang panas itu hampir berakhir.
Ladang dan sawah-sawah telah mereka lalui. Hampir tak ada bedanya dengan padang rumput Karautan. Panas.
Namun sejenak lagi mereka telah sampai ke
ujung lorong yang memasuki padukuhan Panawijen. Terasa angin yang sejuk
tiba-tiba menampar wajah-wajah mereka, sehingga dengan serta merta
mereka menarik nafas dalam-dalam. Lindungan dedaunan dan silirnya angin
di padukuhan telah membuat kuda-kuda mereka bertambah tegar.
Tetapi hati merekalah yang kini tidak
menjadi semakin sejuk. Bahkan terasa dada mereka bertambah panas oleh
kegelisahan masing-masing. Sidatta dan Mahendra berdoa, mudah-mudahan
Ken Dedes itu tidak terlampau mengecewakan kakaknya. Apabila demikian,
maka hati Mahisa Agni yang keras itu pun akan menjadi semakin membatu.
Beberapa gadis-gadis muda dari Panawijen
ketika melihat Mahisa Agni dan kedua orang kawan seperjalanan memasuki
padukuhan, dengan serta merta berteriak hampir bersamaan, “Agni, adikmu
telah kembali.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia
tersenyum sambil menyahut, “Ya. Aku kembali karena Ken Dedes.“ Namun
jawabannya itu tidak melontar dari dasar hatinya yang tulus. Ia telah
mencoba memulas perasaannya.
Mendengar jawaban itu gadis-gadis
Panawijen itu pun menyahut, “Berbahagialah adikmu Agni. Aku dengar, kau
akan beripar dengan Sang Akuwu Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia mencoba tersenyum pula sambil menjawab, “Adalah karunia bagi keluarga kami.”
Gadis-gadis itu tidak lagi
berteriak-teriak ketika Mahisa Agni dan kawan-kawannya menjadi semakin
jauh. Yang tinggal adalah kepulan debu yang putih.
Sidatta mencoba memandang wajah Mahisa
Agni. Tetapi terasa olehnya, bahwa apa yang diucapkan bukanlah yang
dirasakannya. Ia tersenyum, meskipun hatinya pedih. Tetapi untuk mencoba
menghilangkan kejemuannya Sidatta berkata, “Adi Mahendra, ternyata
gadis-gadis Panawijen cantik-cantik. Apakah adi Mahendra tidak ingin
meniru Akuwu Tunggul Ametung, mengambil satu dari mereka.”
Dada Mahendra berdesir. Tetapi segera ia
menjawab, “Tentu kakang. Aku akan melamar salah seorang dari mereka.
Biarlah Mahisa Agni memilih untukku. Bukan begitu Agni.”
Mahisa Agni mengangguk kaku. Ia tahu
bahwa Mahendra tersentuh pula perasaannya. Namun sekali ia mengagumi
kebenaran hati anak muda itu, sehingga sama sekali tak berkesan pada
wajah dan sikapnya.
“Sayang, anak laki-lakiku masih terlampau
kecil. Kalau aku kelak akan memilih menantu, maka aku akan selalu ingat
pada gadis-gadis Panawijen,“ berkata Sidatta kemudian.
Mahendra tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut, sehingga kembali mereka terlempar dalam kediaman.
Kuda-kuda mereka kini telah menyelusur
jalan Pedukuhan Panawijen. Derap kaki-kaki kuda mereka diatas tanah
berbatu-batu terdengar seperti derap jantung mereka sendiri. Semakin ia
mendengar semakin keras. Bahkan ketika mereka telah menjadi demikian
dekatnya, derap kuda mereka telah tidak mereka dengar lagi. Mereka
disibukkan oleh suara yang riuh di dalam hati masing-masing.
Ketika itu, maka para penjaga regol di
halaman rumah Ken Dedes telah melihat kedatangan mereka bertiga. karena
itu, maka salah seorang dari padanya segera masuk ke halaman dan
melaporkannya kepada Witantra.
“Benarkah adi Sidatta?” bertanya Witantra.
“Menurut penilikan kami, sebenarnyalah demikian. Berapa ekor kuda yang kau lihat? Tiga.”
Witantra menganggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Tuan puteri, agaknya adi Mahisa
Agni bersedia datang. Ternyata yang datang adalah tiga ekor kuda.”
Dada Ken Dedes berdesir. Bahkan kemudian menjadi berdebar-debar semakin lama semakin cepat.
Dicobanya kemudian menenangkan hatinya
dan bersikap seperti yang telah direncanakan. Kalau Mahisa Agni nanti
datang, maka ia akan menyambutnya dengan sikap seorang yang cukup
dewasa. Ia akan memandangi Mahisa Agni itu sesaat. Tidak perlu dengan
tersenyum atau tertawa. Kemudian mempersilahkan Mahisa Agni itu duduk.
Ditanyakannya bagaimana keadaannya selama ini, apakah ia selalu
sehat-sehat saja. Pertanyaan-pertanyaan itu harus pendek-pendek dan
hanya beberapa masalah yang paling penting. Seterusnya ia harus bertanya
kenapa bendungan itu pecah, bagaimana mereka sekarang membuat bendungan
yang baru. Yang terakhir ia harus mengajak Mahisa Agni pergi ke
Tumapel. Jangan ditanyakan kesediaannya, tetapi lebih condong pada suatu
perintah yang harus ditaati. Perintah dari seorang Akuwu yang berkuasa
di Tumapel dan sekitarnya.
Ketika Ken Dedes itu kemudian mendengar
derap kuda-kuda itu, maka terasa jantungnya mengembang. Bukan oleh
kebanggaan, tetapi oleh suatu perasaan yang aneh. Tiba-tiba darahnya
mendidih dibakar oleh kegelisahan.
Namun darah itu kemudian serasa membeku
ketika ia melihat para penjaga regol menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Tentu mereka memberikan hormat kepada perwiranya Sidatta.
Dan benarlah. Sesaat kemudian dilihatnya
seekor kuda muncul dari regol itu, kemudian disusul yang lain, kuda
Mahendra. Yang terakhir dengan penuh keragu-raguan adalah kuda Mahisa
Agni. Mahisa Agni sendiri telah turun dari punggung kudanya. Dituntunnya
kuda itu memasuki halaman. Halaman rumah yang didiaminya sejak
kanak-kanak. Tetapi ketika ia melihat beberapa orang prajurit,
umbul-umbul dan panji-panji, maka terasa bahwa ia telah terdampar ke
suatu daerah yang asing.
Sejenak Mahisa Agni tegak seperti patung.
Ketika matanya beredar di sekeliling halaman itu, maka hatinya
berguncang. Rumah yang didiaminya sejak kanak-kanak, padepokan gurunya
itu, seolah-olah kini telah diduduki oleh orang asing yang tak
dikenalnya.
Hampir saja perasaannya meledak melihat
keadaan itu, seandainya matanya tidak segera terbentur pada seorang
gadis yang duduk di tengah-tengah pendapa, dihadap oleh Witantra dan
Kebo Ijo.
Hati Mahisa Agni berdesir. Gadis itu
adalah puteri Empu Purwa. Puteri satu-satunya dari pemilik padepokan
ini, sehingga bagaimanapun juga, Mahisa Agni harus merasa, bahwa Ken
Dedes lebih berhak atas padepokan ini dari pada dirinya.
Tetapi lebih daripada itu dadanya pun
bergoncang pula. Dilihatnya Ken Dedes seolah-olah bintang yang bercahaya
cemerlang di tengah-tengah langit yang gelap pekat. Seorang gadis dalam
pakaian kebesaran diantara para endang yang sederhana, pendapa
padepokan yang sederhana pula, di tengah-tengah halaman yang hampir
menjadi kering.
Dalam goncangan-goncangan perasaan itu,
Mahisa Agni berdiri tegak seperti patung. Kakinya serasa menjadi beku
dan seluruh aliran darahnya seolah-olah berhenti. Ia tidak tahu apa yang
harus dikerjakan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan
dihadapkan pada suatu kelompok orang-orang yang berada dalam sikap-sikap
resmi. Ia tidak menyangka, bahwa di padepokan itu seolah-olah telah
terjadi suatu sidang pasewakan.
Mahendra dan Sidatta melihat perubahan
yang terjadi pada wajah Mahisa Agni. Wajah yang mula-mula menjadi
tegang, namun kemudian wajah itu telah berubah menjadi beku. Namun
mereka berdua pun selalu diliputi oleh kecemasan akan sikap Ken Dedes
terhadap kakaknya. Apakah sikap itu akan menyayat hati Mahisa Agni, atau
akan meluluhkannya? Kalau Ken Dedes bersikap keras maka Mahendra dan
Sidatta yakin, bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat ditundukkan. Tetapi
kalau Ken Dedes bersikap seperti yang telah dibayangkan kepada Mahisa
Agni, maka hati anak muda itu pun akan cair.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang duduk di
pendapa pun tidak kalah tegangnya ketika ia melihat Mahisa Agni berdiri
mematung. Dengan sekuat tenaganya Ken Dedes mencoba mempertahankan
perasaannya supaya ia dapat bersikap seperti yang dikehendakinya.
Tetapi yang dilihat adalah Mahisa Agni
yang telah berubah dari Mahisa Agni yang dulu Mahisa Agni itu, setelah
tidak bertemu beberapa lama, menjadi demikian kurus, dan wajahnya
menjadi merah kehitam-hitaman terbakar sinar matahari. Matanya menjadi
cekung terlindung di bawah alisnya yang tebal.
Melihat kenyataan itu dada Ken Dedes
seperti tertimpa reruntuhan Gunung Kawi. Alangkah mengharukan. Mahisa
Agni yang kekar itu tiba-tiba menjadi sangat berubah. Apakah sebenarnya
yang telah terjadi padanya? Mungkin Panawijen yang kering ini, mungkin
kerja yang dilakukannya tanpa mengenal istirahat untuk membangun
bendungan.
Dada Ken Dedes itu serasa menjadi
terguncang-guncang. Sejenak ia masih mencoba untuk tetap dalam sikapnya,
“Biarlah ia tahu,“ katanya di dalam hati, “bahwa ia harus melihat
kenyataan. Kenyataan yang ada padaku dan kenyataan bagi dirinya sendiri.
Bahwa ia tidak akan dapat mengingkari kawajibannya. Kawajiban untuk
memenuhi panggilan Akuwu Tunggul Ametung sebagai penguasa tertinggi di
Tumapel dan kuwajiban sebagai saudara tua.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba Ken
Dedes itu merasa dirinya menjadi terlampau kecil ketika ia melihat sinar
mata Mahisa Agni yang menyorotkan kebesaran pribadinya. Wibawa yang
justru menyengsara dirinya. Bukan Mahisa Agni yang jatuh ke dalam
pengaruh wibawa yang diangan-angankan. Sorot mata yang cekung itu adalah
sorot mata Mahisa Agni yang dahulu juga, meskipun tubuhnya kini menjadi
kurus, dan wajahnya telah menjadi hitam kemerah-merahan dibakar oleh
terik matahari.
Ken Dedes itu seolah-olah melihat, betapa
dirinya sendiri sedang berusaha untuk meluruskan jalan mendaki ke
tingkat tertinggi bagi seorang gadis Tumapel. Permaisuri adalah
kesempatan yang tidak akan ditemui oleh gadis yang lain. Tetapi apa yang
dilakukannya itu adalah untuk dirinya sendiri. Tidak untuk orang lain.
Sedang Mahisa Agni yang telah menjemur dirinya sendiri di padang
Karautan adalah bekerja keras untuk kepentingan bersama. Kepentingan
rakyat Panawijen yang mengalami kekeringan. Terasa betapa rakyat
Panawijen telah memeras keringat mereka untuk mengatasi kesulitan yang
telah merasa melanda padukuhan itu. Seolah-olah terbayang betapa mereka
bekerja, memecah batu, menggulung berunjung-berunjung dan kemudian
bersama-sama seperti semut mengangkat berunjung-berunjung raksasa dan
menjatuhkannya ke dalam air. Dalam pada itu terik matahari dengan
panasnya menyengat punggung-punggung mereka yang telanjang. Sebagian
yang lain telah bekerja membuat parit-parit induk, mencangkul tanah
terbungkuk-bungkuk sambil bermandikan keringat.
Tiba-tiba Ken Dedes itu tersentak. Ia
kini benar-benar telah dicengkam oleh suatu perasaan yang tidak
dimengertinya. Ketika sekali lagi terpandang olehnya sorot mata Mahisa
Agni, maka dadanya serasa telah meledak. Mahisa Agni yang kurus, yang
wajahnya terbakar oleh sinar matahari namun yang sorot matanya masih
setajam sorot mata yang dahulu, bahkan sorot mata itu kini menjadi
semakin bercahaya, seperti cahaya yang memancar dari tekadnya yang bulat
menghadapi kerja.
Ken Dedes kini telah kehilangan segala
macam pertimbangan. Ken Dedes sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja
ia telah berdiri dan dengan serta-merta berlari turun ke halaman.
Terdengar suaranya serak terloncat dari tenggorokannya, “Kakang. Kakang
Mahisa Agni.”
Mahisa Agni masih berdiri seperti patung.
Tetapi kemudian kedua tangannya pun bergerak, ketika terasa gadis itu
mendekapnya sambil menangis sejadi-jadinya.
“Kakang,“ suara Ken Dedes tenggelam dalam tangisnya.
Halaman padepokan itu kini benar-benar
dicengkam oleh kesepian. Justru karena itu, maka suara tangis Ken Dedes
pun terdengar semakin keras. Tangis yang seolah-olah sebuah ledakan yang
dahsyat dari segenap pergolakan yang terjadi di dalam dadanya.
Mahisa Agni, yang berdiri tegak,
seakan-akan terpukau oleh sebuah peristiwa yang tak dapat dimengertinya
sendiri. Namun didengarnya suara tangis Ken Dedes, dan dirasakannya
kehangatan air matanya menetes di tangannya.
Tiba-tiba mulut Mahisa Agni itu pun bergerak, dan meluncurlah kata-katanya, “Sudahlah Ken Dedes, jangan menangis.”
Kata-kata itu benar-benar telah memberi
kesejukan pada hati Ken Dedes. Seperti kata-kata yang dahulu selalu
didengarnya pada masa kanak-kanak. Kalau Ken Dedes menangis karena
bermacam-macam sebab, mungkin karena kakinya terantuk batu, mungkin
karena gadis itu terjatuh, mungkin karena ayahnya telah memberinya
sekedar peringatan atas kenakalannya, maka selalu didengarnya apabila ia
menangis kata-kata Mahisa Agni
“Sudahlah Ken Dedes, jangan menangis.“ Kini kata-kata itu didengarnya lagi.
Ken Dedes masih juga mendekap tubuh
Mahisa Agni seolah-olah tidak akan dilepaskannya lagi. Bagi Ken Dedes,
Mahisa Agni adalah satu-satunya keluarganya. Mahisa Agni kini bukan saja
kakaknya, tetapi Mahisa Agni adalah ayahnya, bahkan Mahisa Agni adalah
ibunya. Karena itu, maka kini Ken Dedes seakan-akan mendapat naungan
dari terik panas yang membakar tubuhnya.
Sekali lagi Ken Dedes mendengar Mahisa Agni berkata, “Jangan menangis Ken Dedes.”
Tangis Ken Dedes itu pun kemudian mereda,
perlahan-lahan tangannya terlepas, dan diusapnya air matanya. Tetapi
semua rencana yang telah disusunnya telah lenyap dari kepalanya.
Urut-urutan pertanyaan yang sudah dianyamnya dengan penuh pertimbangan
hampir semalam suntuk, kini telah tidak diingatnya lagi. Ken Dedes sama
sekali tidak mampu untuk menanyakan keselamatan Agni, kemudian keadaan
padukuhan ini dan bendungan yang dibangunnya. Ken Dedes sudah tidak
dapat lagi mengucapkannya, berurutan seperti yang dikehendakinya.
Apalagi minta supaya Mahisa Agni pergi ke Tumapel bukan sebagai suatu
permintaan, tetapi harus dinyatakannya sebagai suatu perintah.
Yang pertama-tama diucapkan oleh Ken
Dedes adalah, “Kakang, kenapa kau menjadi kurus dan kulitmu menjadi
merah kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari.”
“Aku tidak apa-apa Ken Dedes. Aku sehat.”
“Tetapi kau menjadi kurus.”
“Mungkin,“ sahut Mahisa Agni kemudian,
“tetapi bukan karena suatu kesulitan. Tetapi karena kerja yang
menyenangkan dipadang Karautan.”
Ken Dedes terdiam sesaat. Dipandanginya
tubuh Mahisa Agni yang semakin lama tampak semakin hitam. Namun sorot
matanya masih juga menyala seperti sorot mata Agni dahulu.
Para prajurit yang berdiri di sekitar
halaman itu terpaku diam. Mereka menyaksikan pertemuan yang mengharukan
dari dua orang kakak beradik. Perpisahan yang terjadi sebenarnya belum
terlampau lama. Namun selama ini mereka telah dirisaukan oleh perasaan
masing-masing, sehingga ketika mereka mendapat kesempatan untuk bertemu
maka meledaklah segala yang tersimpan di dalam hati.
Sidatta dan Mahendra menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata apa yang mereka katakan tentang gadis itu
benar-benar terjadi. Karena itu maka Sidatta dan Mahendra mengharap,
bahwa hati Mahisa Agni akan dapat dicairkan.
Sejenak kemudian Mahisa Agni telah
mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali. Disadarinya bahwa
berpasang-pasang mata memandanginya. Karena itu maka katanya kepada Ken
Dedes, “Ken Dedes, kembalilah ke pendapa.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi
para prajurit yang berdiri di sekitar pendapa, Witantra dan Kebo Ijo
yang duduk di pendapa serta segala macam umbul-umbul dan panji-panji,
kini telah tidak menarik lagi baginya. Ia telah kehilangan segala macam
rencananya yang telah direka-rekanya tidak saja semalam suntuk, tetapi
sejak ia masih berada di istana Tumapel.
Mahisa Agni pun kemudian membawa Ken
Dedes naik ke pendapa. Dipersilahkannya Ken Dedes duduk di tempatnya
semula, diantara para endang yang duduk dengan wajah yang aneh. Mereka
menjadi bingung apa yang mesti mereka lakukan. Ketika mereka melihat Ken
Dedes menangis maka apabila mereka berada dalam keadaan seperti biasa,
seperti yang pernah dialaminya dahulu, maka mereka pasti sudah
berlari-lari mendatangi. Menghibur dan menggandengnya masuk ke dalam
biliknya. Tetapi mereka kini berada dalam keadaan yang tak mereka kenal,
sehingga mereka tidak berani beranjak dari tempatnya.
Ketika Ken Dedes telah duduk kembali,
maka setiap prajurit di halaman itu menarik nafas dalam-dalam. Witantra
dan Kebo Ijo pun menganggukkan kepala mereka, seakan-akan mereka telah
terlepas dari cengkaman keadaan yang menegangkan urat syaraf mereka.
Namun dalam pada itu, Ken Dedes menjadi
seolah-olah membisu. Ditundukannya kepalanya dan sekali-sekali jari-jari
tangannya mengusap air matanya yang masih menetes satu-satu. Sehingga
kembali pendapa itu menjadi sunyi. Beberapa orang duduk dengan kaku,
seperti tiang-tiang pendapa itu sendiri.
Witantra lah yang kemudian memecah
kesunyian itu. Perlahan-lahan ia bertanya kepada Mahisa Agni, “Mahisa
Agni. Bukankah kau selamat selama ini?”
Mahisa Agni berpaling. Seakan-akan ia baru bangun dari tidurnya. Tergagap ia menjawab, “Ya Witantra. Aku selamat.”
Witantra menarik nafas, katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan padukuhanmu tidak mengalami sesuatu.”
“Kita berharap demikian. Tetapi kau telah melihat sendiri apa yang terjadi.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya ia memang ingin tahu, apa yang telah terjadi di Panawijen dan
dipadang Karautan.
Meskipun sebagian dari pada apa yang
terjadi di Panawijen dan dipadang Karautan telah diketahuinya, namun
Witantra itu bertanya pula, “Mahisa Agni. Aku hampir tidak dapat
mengenal lagi daerah ini. Panawijen dengan cepatnya telah berubah.”
“Ya,“ sahut Agni dengan nada datar, “Panawijen telah berubah. Segalanya berubah.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kembali ia bertanya, “Panawijen agaknya telah mengalami masa
kering yang dahsyat, sehingga tumbuh-tumbuhan cepat kehilangan
kesegarannya.”
Kembali Mahisa Agni menyahut dengan nada datar, “Ya. Panawijen telah menjadi kering sejak bendungan itu pecah.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ketika mulutnya bergerak untuk mengucapkan pertanyaan-pertanyaan
berikutnya, tiba-tiba ia terkejut. Ken Dedes dengan serta-merta
memotongnya, “Cukup, cukup kakang Witantra.”
Sejenak Witantra terpaku, namun kemudian
ditundukkannya kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Ampun tuan puteri,
kalau pertanyaan-pertanyaan hamba tidak berkenan di hati.”
“Aku tidak mau mendengar, kakang,“ jawab
Ken Dedes. Tetapi ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Terasa
kerongkongannya seolah-olah tersumbat.
Kembali pendapa itu terdampar dalam suatu
kesenyapan. Sekali-sekali para prajurit saling berpandangan. Namun
kembali mereka menundukkan kepala-kepala mereka. Mereka dihadapan pada
suatu keadaan yang sama sekali asing bagi mereka. Bagi para prajurit
itu, ujung pedang dan tombak tidak akan menggelisahkan mereka seperti
saat itu. Mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak dapat
dimengerti.
Tetapi Witantra, Sidatta dan Mahendra
mempunyai perasaan yang lebih tajam dari para prajurit itu. Mereka
mengerti, bahwa Ken Dedes tiba-tiba dilanda oleh suatu ketakutan
mendengar jawaban-jawaban Mahisa Agni. Mahisa Agni pada saatnya pasti
akan mengatakan bahwa bendungan itu telah pecah. Dan Mahisa Agni pasti
akan mengatakan, seperti berita yang telah mereka dengar, dan yang Ken
Dedes telah pula mendengarnya, bahwa ayah Ken Dedes, Empu Purwa lah yang
memecahkan bendungan itu, sebagai suatu kutukan atas padukuhan
Panawijen. Panawijen akan menjadi kering, karena penduduknya tidak
melindungi anak gadisnya yang dilarikan orang.
Kebo Ijo pun dapat merasakan ketakutan
itu pula. Tetapi tanggapannya agak berbeda dengan kedua saudara
seperguruannya. Bahkan seluruh isi pendapa itu terkejut ketika tiba-tiba
terdengar Kebo Ijo itu tertawa tertahan-tahan, sehingga suaranya mirip
dengan ringkik kuda.
“Kebo Ijo,“ bentak Witantra sambil memandangi wajah anak muda itu dengan tajamnya, “kenapa kau tertawa?”
Dengan susah payah Kebo Ijo menahan
tawanya. Jawabnya, “Menurut kata orang-orang tua, kakang. Kalau
pembicaraan tiba-tiba terhenti, maka pada saat itu di sekitar tempat
pembicaraan itu ada setan yang sedang lewat.”
Witantra menggeram. Hampir saja tangannya
bergerak menampar kening Kebo Ijo seandainya tidak segera disadarinya,
bahwa dihadapannya duduk seorang gadis yang pasti akan menjadi ngeri
melihat perbuatannya. Tetapi karena itu, maka terdengar Witantra itu
membentak betapapun ia mencoba menahan-nahan, “Kebo Ijo. Pergi ke
halaman belakang. Kawani perwira dan prajurit yang berjaga-jaga di
sana.”
Kebo Ijo pun kemudian menundukkan
wajahnya. Ia menjadi takut juga kepada kakak seperguruannya.
perlahan-lahan ia beringsut mundur. Akhirnya ia pun turun dari pendapa
dan berjalan ke halaman belakang. Tetapi Mahisa Agni yang memandangi
wajah anak muda itu masih melihat bibir Kebo Ijo tertarik ke sisi.
Betapa hati Mahisa Agni menjadi panas melihatnya. Namun ia tidak berbuat
sesuatu. Bahkan kembali Mahisa Agni mengagumi, betapa Witantra selalu
berbuat dengan tepat, meskipun terhadap adik seperguruannya sendiri.
Ken Dedes pun menjadi tidak senang
melihat tingkah laku Kebo Ijo. Namun gadis itu pun tidak mengatakan
sesuatu. Bahkan kemudian kembali dadanya dilanda oleh perasaan takut dan
cemas. Ia memang tidak mau mendengar lagi ceritera tentang pecahnya
bendungan Panawijen. Ceritera itu merupakan sebuah ceritera yang akan
dapat selalu menghantuinya. Bagaimana ayahnya menderita, sehingga
kehilangan keseimbangan berpikir karena kehilangan dirinya. Namun
tiba-tiba ia telah menyerahkan diri kepada orang yang melindungi
melarikannya pada saat itu.
“Apakah aku telah mengkhianati ayahku pula?” tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan mengguntur di dalam dadanya.
“Dan apakah karena hal-hal yang demikian ini pula, maka Kakang Mahisa Agni telah melepaskan aku?”
Tiba-tiba dada Ken Dedes menjadi sesak.
Ia menjadi semakin ketakutan apabila tiba-tiba saja Mahisa Agni dengan
kehendak sendiri, bahkan mungkin dengan sengaja akan menceriterakan
segala macam peristiwa yang pernah dialami dihadapan para perwira dan
prajurit Tumapel.
Karena itu, karena kegelisahan, kecemasan
dan perasaan yang lain yang mendesaknya, maka Ken Dedes merasa
seolah-olah dikejar-kejar oleh bayangan tentang masa-masa lampau itu,
sehingga dengan serta-merta ia berkata lantang, “Kakang Mahisa Agni.
Kedatanganku ke Panawijen didorong oleh keinginanku bertemu dengan
kakang Mahisa Agni. Karena itu, biarlah aku berbicara dengan kakang
tanpa orang-orang lain yang mendengarkannya.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia
sendiri tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan serupa
itu. Tetapi dengan tiba-tiba ia menjadi sangat iba kepada gadis itu.
Sama sekali bukan karena pengaruh kewibawaannya, tetapi karena air mata
yang telah membasahi wajah Ken Dedes. Dengan demikian maka tidak ada
pilihan lain baginya dari pada memenuhi permintaan itu, seperti pada
masa kanak-kanak mereka. Mahisa Agni tidak pernah menolak permintaan Ken
Dedes apabila ia mampu melakukannya.
Ken Dedes tidak menunggu jawaban Mahisa Agni. Segera ia bangkit sambil berkata, “Marilah kakang.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum ia menjawab, Ken Dedes sudah mendahuluinya berjalan
memasuki ruang dalam rumahnya.
Mahisa Agni pun kemudian bangkit pula.
Kepada Witantra, Mahendra dan Sidatta ia berkata, “Baiklah aku
mengikutinya. Mungkin ada persoalan-persoalan penting yang akan
dikatakannya.”
“Silahkan,“ jawab mereka hampir serentak.
Mahisa Agni pun kemudian berjalan dengan
langkah yang berat mengikuti Ken Dedes menghilang di balik pintu, masuk
ke ruang dalam rumah gurunya. Rumah yang sudah didiaminya sejak masa
kanak-kanaknya.
Sepeninggal Ken Dedes para emban pun
menjadi gelisah. Mereka belum pernah melakukan upacara seperti itu.
Karena itu mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka sama
sekali tidak berani beranjak dari tempatnya. Meskipun mereka menjadi
penat dan jemu, namun mereka masih saja duduk di tempatnya. Apalagi
mereka ketahui bahwa Witantra, Sidatta, Mahendra dan para prajurit yang
lain pun sama sekali tidak berajak dari tempat mereka.
Ketika Mahisa Agni menutup pintu dinding
yang memisahkan ruang dalam dan pendapa rumah itu, dadanya kembali
bergelora. Ia tidak segera melihat Ken Dedes di ruang itu. Karena itu
maka Mahisa Agni pun melangkah lagi, semakin dalam. Telah beratus,
bahkan beribu kali ia menginjak lantai yang kini diinjaknya, telah
beratus bahkan beribu kali ia lewat ruangan itu, dan berapa ribu kali
pula ia melangkahi tlundak dinding penyekat ruang dalam, namun terasa
kini semuanya itu asing baginya. Ia tidak segera menemukan Ken Dedes di
dalam ruangan-ruangan itu. Kini Mahisa Agni berjalan lagi ke ruang
belakang. Ruang itu pun kosong sama sekali.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika terpandang olehnya selintru yang menutup bilik Ken Dedes, Mahisa
Agni menjadi ragu-ragu. Apakah gadis itu berada di dalam biliknya. Bilik
yang telah lama ditinggalkannya. Namun Ken Dedes harus menemuinya.
Mungkin gadis itu ingin mengatakan sesuatu yang penting kepadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah ke
pintu bilik itu, perlahan-lahan tangannya berpegangan pada uger-uger
pintu. Namun kembali ia menjadi ragu-ragu. Perasaan yang dahulu tidak
pernah dimilikinya apabila ia ingin memasuki ruangan itu, meskipun
seandainya Ken Dedes baru tidur sekalipun.
Tetapi sesuatu mendesak dadanya. Ia harus
menemui gadis itu. Dengan penuh kebimbangan Mahisa Agni beringsut maju.
perlahan-lahan ia menjengukkan kepalanya lewat pintu bilik yang
menganga lebar. Tetapi kembali ia menarik nafas dalam-dalam. Bilik itu
pun ternyata kosong.
“Dimanakah gadis itu?” desisnya.
Mahisa Agni pun melangkahkan kakinya
kembali. Sekarang ia menuju ke serambi belakang. Ruang satu-satunya yang
tinggal dari rumah induk itu selain tiga sentongan yang hampir tak
pernah dipergunakan. Kalau di serambi itu Ken Dedes tidak ada, maka ia
pasti berada di dapur atau di bilik di belakang serambi itu. Bilik itu
adalah biliknya.
Sekali lagi Mahisa Agni melompati tlundak
pintu samping. Lewat serambi gandok Mahisa Agni berjalan kebelakang.
Tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia melihat bahwa Ken Dedes memang
berada di serambi itu. Serambi yang terbuka ke arah belakang.
“Kakang,“ desisnya ketika ia melihat Mahisa Agni.
Mahisa Agni tidak menyahut, tetapi ia
berjalan mendekati gadis itu. Ketika ia duduk di tikar di depan Ken
Dedes, hatinya berdesir. Di balik dinding inilah, terletak bale-bale
bambu. Kalau bulan terang, maka kadang-kadang ia berbaring-baring di
tempat itu sambil meniup serulingnya dahulu. Tetapi sekarang seruling
itu hampir tak pernah disentuhnya.
“Kakang,“ ulang Ken Dedes ketika Mahisa
Agni telah duduk, “banyak sekali yang sebenarnya ingin aku katakan,
tetapi tiba-tiba semuanya itu lenyap dari kepalaku. Meskipun demikian
kakang, aku mengharap kakang sudah dapat mengetahui maksud kedatanganku.
Sebab sebelum aku telah datang pula bibi emban pemomongku yang bahkan
telah datang bersamamu ke Tumapel. Tetapi kau tidak sempat menemui siapa
pun sampai kau kembali ke Panawijen.”
Terasa kata-kata itu meluncur seperti
tanpa dapat dikendalikan. Simpang siur, karena Ken Dedes telah
kehilangan ketenangannya, apalagi rencana yang telah disusunnya semalam
suntuk.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ditunggunya Ken Dedes berkata terus, “Kakang, apakah kakang dapat memenuhi permintaan itu?”
Pertanyaan yang terlalu langsung itu sama
sekali tidak disangkanya. Mahisa Agni menduga bahwa Ken Dedes akan
mengucapkan berbagai alasan-alasan, baru kemudian minta kepadanya untuk
pergi ke Tumapel, sehingga dugaan itu sama sekali bertentangan dengan
rencana Ken Dedes sendiri. Untunglah bahwa Ken Dedes menjadi gelisah dan
kehilangan ketenangannya, sehingga semua rencana itu tidak dapat
dilakukan. Sebab dengan demikian, maka akibatnya pasti akan berlawanan
dari yang dikehendakinya. Mahisa Agni sama sekali tidak akan dapat
disilaukan oleh sikap dan keadaan Ken Dedes karena goresan-goresan yang
telah membekas terlampau dalam pada dinding hatinya.
Tetapi kini Ken Dedes itu berkata
terbata-bata tanpa dapat menyusun urutan yang teratur sehingga justru
karena itu Mahisa Agni tidak menjadi semakin tersinggung karenanya.
Meskipun demikian, permintaan itu sendiri
bukanlah permintaan yang menyenangkan bagi Mahisa Agni. Permintaan itu
adalah permintaan yang menjemukan.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam
diri. Serambi itu seakan-akan dicengkam oleh suasana yang terlampau
sepi. Betapa degup jantung Ken Dedes menunggu Mahisa Agni mengucapkan
jawaban atas permintaannya itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Bahkan kemudian anak muda itu seolah-olah membeku. Sorot matanya jauh
hinggap pada dedaunan diluar yang bergerak-gerak disentuh angin. Tetapi
dedaunan itu sudah tidak sesegar dahulu.
Dan daun-daun yang kekuning-kuningan itu
telah mengingatkan Mahisa Agni kepada gurunya, kepada bendungan yang
pecah dan kepada kerja yang sedang dilakukan.
Ia berpaling ketika ia mendengar Ken Dedes bertanya mendesak, “Bagaimana kakang?”
Tetapi Ken Dedes telah menjadi semakin
kehilangan ketenangannya. Sekali lagi ia mendesak, “Bagaimana kakang,
bukankah kau akan pergi ke Tumapel?”
Mahisa Agni merasakan kegelisahan yang
melonjak-lonjak di dada Ken Dedes. Tetapi ia merasakan gejolak di dalam
dadanya sendiri pula. Dalam benturan-benturan perasaan yang terjadi di
dalam dirinya. Mahisa Agni menarik nafas berulang kali. Ia mencoba
menenangkan hatinya dan mencoba mendapatkan kesimpulan yang
sebaik-baiknya.
Akhirnya Mahisa Agni itu berkata, “Ken
Dedes. Apakah sebenarnya keperluanku pergi ke Tumapel? Bukankah kita
telah bertemu disini? Tak ada persoalan lagi dengan saat-saat kawinmu
nanti. Kalau aku dapat kau anggap sebagai ganti ayahmu, maka aku telah
merestuimu,“ Mahisa Agni berhenti sesaat. Terasa nafasnya menjadi
semakin cepat mengalir seperti katanya yang mengalir semakin cepat pula,
seakan-akan sengaja dikatakannya terlampau cepat agar dirinya sendiri
tidak mendengarnya. Lalu dilanjutkannya, “Yang penting bagimu, bahwa kau
telah mendapat restu itu. Dengan demikian kau tidak meninggalkan adat
yang lajim berlaku.”
“Tidak, tidak, kakang,“ potong Ken Dedes,
“itu tidak cukup. Adat kita mengatakan, bahwa perkawinan ditentukan
oleh orang-orang tua. Apalagi bagi gadis-gadis. Karena itu, biarlah
kakang menghadap Akuwu Tunggul Ametung untuk menunjukkan bahwa tak ada
persoalan apa-apa di dalam keluargaku. Satu-satunya orang yang ada
sekarang adalah kau kakang. Kepadamu aku menangis. Tidak kepada orang
lain.”
Mahisa Agni kini menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Ia tidak tahu perasaan apakah sebenarnya yang bergetar di
dalam dirinya. Tetapi terasa keringat dinginnya mengalir di seluruh
wajah kulitnya.
“Kau harus pergi kakang. Kau harus pergi.”
Ternyata Ken Dedes tidak dapat bersikap
lain daripada sikapnya itu. Sikap seperti sikapnya pada masa kanak-kanak
apabila ia menginginkan sesuatu dan Mahisa Agni mencoba mencegahnya.
Namun apabila demikian, maka biasanya Mahisa Agni tidak akan dapat
menolak lagi, meskipun seandainya ia harus memanjat sebatang pohon jambe
yang tinggi sekali hanya sekedar mengambil sebutir buahnya yang
berwarna jambu.
Tetapi yang dihadapinya kini bukan
sekedar sebutir buah jambe yang berwarna jambu. Bukan sekedar seuntai
bunga manggar yang sedang mekar diatas pelepah kelapa.
Yang kini harus dipetiknya untuk gadis itu adalah jantungnya sendiri.
Tetapi kembali hati Mahisa Agni luluh
apabila ia melihat Ken Dedes menangis. Ia ingin memenuhi permintaan itu,
tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Sehingga
dengan demikian, hati Mahisa Agni itu pun terasa seperti diremas-remas
oleh suara tangis Ken Dedes.
“Ken Dedes,“ berkata Mahisa Agni
kemudian, “bukankah sudah aku katakan. Kalau kau menganggap aku wakil
dari bapa guru, Empu Purwa, maka aku sudah merestuimu. Apakah
keuntungannya kalau aku datang ke Tumapel. Bukankah restuku akan sama
saja nilainya? Kalau persoalannya adalah persoalan adat yang harus
ditempuh, kenapa Akuwu Tunggul Ametung tidak memerintahkan dua atau tiga
orang tua-tua untuk datang melamarmu kemari?”
Ken Dedes tersentak mendengar jawab itu,
sehingga tangisnya terhenti. Dalam kata-kata itu benar-benar terasa
olehnya, menurut tangkapannya, bahwa Mahisa Agni merasa dirinya
terlampaui. Harga diri kakaknya itu agaknya telah melampaui segala macam
pertimbangan tentang kedudukan Akuwu Tunggul Ametung, tentang kekuasaan
yang ada di tangannya.
“Kakang,“ berkata Ken Dedes masih dalam isak tangisnya yang terputus, “apakah kau menyadari kata-katamu itu?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk ia menjawab, “Ya. Aku menyadari kata-kataku.”
“Apakah kakang menyadari kedudukan dan kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung?”
“Ya, aku menyadari,“ sahut Agni pula.
“Kenapa kakang masih menganggap bahwa
Akuwu Tunggul Ametung lah yang harus datang melamar kemari? Ke padepokan
terpencil yang justru berada di dalam wilayah kekuasaan Akuwu Tunggul
Ametung?”
Kini dada Mahisa Agni lah yang berdesir.
Ternyata maksudnya untuk membuat alasan supaya ia tidak harus datang ke
Tumapel telah menimbulkan salah paham. Namun ia masih mencoba untuk
memperbaikinya, “Bukan maksudku demikian Ken Dedes. Aku hanya
memperbandingkan adat yang kau sebut-sebut. Kalau disadari atas
kekuasaan, kedudukan dan wewenang Akuwu Tunggul Ametung, maka aku kira
aku sudah tidak diperlukan lagi. Semua keputusan dapat diambil oleh
Akuwu Tunggul Ametung tanpa pertimbangan orang lain. Tanpa
pertimbanganku dan bahkan seandainya kau menolak sekalipun, Akuwu akan
dapat berbuat di dalam lindungan kekuasaannya. Tetapi maksudku ingin
mengatakan, bahwa aku tidak sempat pergi ke Tumapel karena pekerjaanku
yang terlampau banyak di padukuhan ini.”
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa karena
Ken Dedes justru menangkap kata-katanya semakin jauh dari maksudnya. Ken
Dedes yang sejak dari Tumapel sudah dibekali dengan kekecewaan atas
sikap Mahisa Agni, kini seakan-akan dengan tiba-tiba mendapatkan saluran
untuk meledak.
Sesaat Ken Dedes menatap wajah Mahisa
Agni dengan tajam, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Pekerjaan
apakah yang telah mengikat kakang disini?”
“Bendungan itu Ken Dedes?”
“Apakah kakang tidak dapat meninggalkannya sepekan atau dua pekan?”
“Aku bertanggung jawab atas pembuatan bendungan itu di samping Ki Buyut Panawijen sendiri.”
“Jadi kau memberatkan bendungan itu?”
Mahisa Agni terdiam sejenak, seolah-olah
memberi kesempatan kepada Ken Dedes untuk menumpahkan segala macam
kekecewaan hatinya. Mengalir seperti saat bendungan Panawijen yang pecah
karena tangan Empu Purwa, “Kakang, jadi apakah kakang lebih menaruh
perhatian atas bendungan itu dari pada perintah Akuwu Tunggul Ametung?
Juga lebih mementingkan bendungan itu dari pada memenuhi panggilannya?
Kakang, bendungan adalah barang mati yang tidak akan dapat menuntut apa
pun kepadamu, apalagi seandainya pekerjaan itu hanya tertunda seminggu
atau dua minggu. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu.
Seorang yang memiliki berbagai macam perasaan. Ia dapat menjadi kecewa,
marah dan bahkan dapat menentukan sikap apa pun yang dikehendakinya di
seluruh daerah Tumapel. Karena itu, kakang, perhitungkanlah
sebaik-baiknya. Bendungan itu, atau Akuwu Tunggul Ametung atas
permintaanku.”
Mahisa Agni benar-benar tersinggung
mendengar kata-kata Ken Dedes yang seperti banjir melanda dinding
jantungnya. Tetapi ia masih berusaha untuk berkata setenang-tenangnya,
“Ken Dedes, ternyata kau salah mengerti tentang bendungan itu. Memang
bendungan adalah benda mati, yang terdiri tidak lebih dari batu-batu,
kayu dan tali-tali ijuk serta berunjung-berunjung bambu. Tetapi di balik
benda-benda yang mati itu bernaung kehidupan yang besar. Kehidupan yang
meliputi seluruh segi kehidupan di Panawijen. Ken Dedes, benda-benda
mati itu adalah perlambang dari hidup matinya penduduk Padukuhan kita
ini. Karena bersumber pada benda-benda mati itu kita akan membuat suatu
kehidupan baru. Padukuhan baru. Sepekan bagi kami adalah sangat penting
artinya. Kalau kami terlambat sepekan, maka keadaan kami akan menjadi
terlampau parah. Juga bukan maksudmu mengabaikan Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi aku mengharap Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti keadaanku.”
“Kakang,“ potong Ken Dedes, “Akuwu
Tunggul Ametung adalah orang yang paling berkuasa di Tumapel. Kenapa
Akuwu yang harus menunggumu? Tidak kakang, kau harus mendengarkan
perintah ini. Akuwu Tunggul Ametung akan dapat berbuat hal-hal diluar
dugaanmu. Meskipun bendungan itu telah jadi, tetapi Akuwu akan dapat
memerintahkan untuk memecahnya kembali apabila ia menjadi marah.”
“Jangankah memecah bendungan itu Ken
Dedes,“ sahut Mahisa Agni yang menjadi semakin kecewa pula kepada adik
angkatnya itu, “Akuwu Tumapel dapat memerintahkan membunuh kita sekalian
sekaligus tanpa menunggu kita semua disini mati kelaparan. Adalah lebih
baik lagi kami Ken Dedes, sebab kami tidak perlu menderita terlampau
lama.”
“Kakang,“ wajah Ken Dedes menjadi merah.
Kini ia tidak saja dibakar oleh kekecewaan hatinya yang memuncak, tetapi
Ken Dedes itu telah dijalari oleh perasaan marah, “Kau jangan berkata
demikian kakang. Kau menghina Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ketahuilah,
bahwa Akuwu Tunggul Ametung pasti akan tahu, bahwa bendungan itu
hanyalah sekedar alasanmu yang tak berarti. Apa kau sangka bahwa kau
adalah seorang pahlawan besar di Panawijen yang tak ada duanya? Mungkin
kau seorang yang paling pandai berkelahi di Panawijen kakang, tetapi
bukan seorang yang paling mengetahui tentang bendungan. Apa kau sangka
bahwa tanpa kau bendungan itu tidak akan jadi? Apakah kau sangka bahwa
Ki Buyut Panawijen dan orang-orang tua disini adalah sedemikian
bodohnya, sehingga hanya Mahisa Agni lah yang mampu membuat bendungan
itu?”
“Ken Dedes,“ potong Mahisa Agni. Tetapi Ken Dedes berkata terus, “Jangan ingkar. Semua itu telah diketahui.”
“Tetapi aku bertanggung jawab atas
pekerjaan itu. Aku harus mengawasi dan memberikan beberapa petunjuk.
Mungkin aku bukan seorang yang paling cakap untuk pekerjaan ini, dan aku
memang tidak ingin menjadi seorang pahlawan bagi penduduk Panawijen,
Ken Dedes. Tetapi aku tidak dapat melepaskan kepercayaan yang diberikan
kepadaku. Itu bukan maksudku sendiri. Bukan kehendakku. Aku tidak pernah
berteriak-teriak di perapatan dan mengatakan bahwa akulah satu-satunya
orang yang pantas memimpin mereka membuat bendung itu. Tidak. Tetapi
mereka percaya kepadaku. Mereka mengharap aku bertanggung jawab. Apakah
aku dapat melepaskan kepercayaan ini?”
“Itu pun hanya perasaanmu sendiri
kakang,“ sahut Ken Dedes, “kalau seseorang telah melakukan pekerjaan,
betapapun orang lain tidak menyukainya, maka adalah segan bagi mereka
untuk mengatakan langsung kepada yang berkepentingan. Itu adalah watak
dari tetangga-tetangga kita disini. Kalau kau telah menjajakan tenagamu,
maka tak seorang pun yang akan sampai hati mengatakan bahwa sebenarnya
kau tidak diperlukan.”
“Ken Dedes,“ Mahisa Agni pun kemudian
kehilangan kesabarannya. Kata-kata Ken Dedes ternyata terlampau tajam
baginya, yang seolah-olah langsung menghunjam ke pusat jantungnya.
Bahkan kemudian dadanya menjadi gemetar. Dan dengan suara yang gemetar
pula ia berkata, “Memang Ken Dedes. Aku telah menjajakan tenagaku.
Diterima atau tidak diterima oleh penduduk Panawijen. Aku ingin menebus
kesalahan yang telah terjadi, benar atau tidak benar langkah ini. Tetapi
hatiku telah didesak oleh suatu keinginan untuk menebus kesalahan yang
dilakukan oleh keluarga padepokan ini. Ketahuilah, bahwa yang memecah
bendungan itu adalah ayahmu. Guruku. Mungkin ini telah kau dengar. Nah,
apa kata rakyat Panawijen tentang Empu Purwa. Tentang penghuni padepokan
yang selama ini berlindung di dalam wilayah padukuhan Panawijen? Itulah
alasannya kenapa aku menjajakan tenagaku, diterima atau tidak diterima,
karena kesetiaanku kepada guru dan keinginanku membersihkan
sekurang-kurangnya memperkecil kesalahan guruku itu.”
Jawaban Mahisa Agni itu terdengar seperti
petir yang meledak di dalam dada Ken Dedes. Betapa dahsyatnya, serasa
dada itu akan menjadi pecah. Jawaban itu adalah jawaban yang telah
menghempaskan Ken Dedes ke dalam suatu suasana yang menakutkan. Ia takut
mendengar keterangan itu. Namun karena kemarahan yang telah mendidihkan
darahnya, maka ia berusaha untuk lari dari ketakutan itu. Ia berusaha
untuk tetap bertahan pada pendiriannya.
Karena itu katanya, “Aku tidak peduli
siapa yang memecahkan bendungan itu. Meskipun hantu-hantu dari padang
Karautan sekalipun. Tetapi kau tidak perlu merasa dirimu pemimpin yang
tak dapat beranjak dari tempatmu seolah-olah kau adalah seorang yang
sangat penting. Seolah-olah bendungan itu tidak akan jadi kalau tidak
ada Mahisa Agni. Kakang Mahisa Agni. Jangan kau sangka bahwa aku tidak
tahu, apakah alasan sebenarnya yang mencegah kau pergi ke Tumapel.”
Kini dada Mahisa Agni lah yang bergelora.
Apakah benar Ken Dedes mengetahui dorongan yang paling kuat yang
tersimpan di dalam dadanya, kenapa ia menjadi berkeras hati untuk selalu
menghindari permintaan Akuwu Tunggul Ametung itu? Sejenak Mahisa Agni
tidak menjawab. Bahkan terasa di dalam hatinya, goresan-goresan yang
tajam menyentuh-nyentuhnya. “Ya, kenapa aku tidak mau pergi ke Tumapel?“
pertanyaan itu berkejaran di dalam dirinya, “Kalau aku memenuhi
permintaan ini sejak saat itu, maka aku tidak akan dikejar-kejar lagi
oleh persoalan yang menjemukan ini.”
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar
suara Ken Dedes kembali, “Kakang, bagaimana? Kenapa kau berdiam diri?
Jangan kau sangka bahwa aku tidak mengetahui alasanmu. Alasanmu yang
sebenarnya kenapa kau tidak mau pergi ke Tumapel.”
Kini Mahisa Agni lah yang terdorong dalam
suatu suasana yang ditakutinya. Kalau Ken Dedes itu benar mengetahui
perasaannya maka alangkah malunya. Alangkah kecilnya nilai hati Mahisa
Agni.
Ketika terdengar suara Ken Dedes sekali lagi berkata, “Kau ingin mendengar alasan itu kakang?”
Maka Mahisa Agni dengan serta merta memotongnya, “Tidak. Tidak. Jangan kau katakan Ken Dedes.”
“Kenapa?” desak Ken Dedes, “kenapa kau
takut mendengarnya? Bukankah kau sendiri yang telah menumbuhkan alasan
itu di dalam dirimu. Alasan yang sebenarnya terlampau dibuat-buat.”
“Jangan, jangan,“ potong Mahisa Agni
pula. Wajahnya yang tenang kini telah dilumuri oleh peluh dingin yang
mengalir dari kening. Wajah Ken Dedes yang cantik dalam pakaian yang
cemerlang itu, seolah-olah telah berubah menjadi wajah hantu yang
mengerikan dari hantu padang Karautan yang pernah dikenalnya.
“Aku akan mengatakannya,” berkata Ken
Dedes tegas, “aku akan mengatakannya alasan yang telah menahanmu untuk
tidak pergi ke Tumapel.”
Sebelum Mahisa Agni sempat memotongnya,
maka Ken Dedes pun telah berkata pula, “Kakang, ternyata kau memang
menilai dirimu terlampau berlebih-lebihan. Mungkin karena kau
satu-satunya anak muda di Panawijen yang mampu mengalahkan Kuda
Sempana.”
“Ken Dedes,“ potong Mahisa Agni.
Tetapi Ken Dedes sama sekali tidak
mempedulikan. Dengan lantangnya ia berkata keras, “Dengan demikian kau
merasa bahwa dirimu terlampau berharga. Mungkin kau memang sangat
berharga dan dikagumi oleh anak-anak muda Panawijen, tetapi jangan
menilai Tumapel yang luas ini sepicik kau menilai Panawijen kakang.
Sehingga terhadap Akuwu Tumapel pun kau masih juga menganggap dirimu
terlampau berharga. Aku tahu alasanmu, kepada kau tidak mau datang ke
Tumapel,“ Ken Dedes berhenti sesaat dan peluh yang menetes dari dahi
Mahisa Agni menjadi semakin deras. Namun kini justru mulutnya serasa
terkunci dan dibiarkannya Ken Dedes berkata terus, “Alasan itu adalah,
bahkan kau merasa tersinggung karena aku tidak minta pertimbanganmu pada
saat aku menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung. Kau merasa bahwa
sepeninggal ayah, kau berhak menentukan jalan hidupku. Kau merasa bahwa
kaulah yang harus mengatakan, apakah aku dapat menerima lamaran itu atau
tidak. Bahkan mungkin kau berpikir, bahwa kau boleh dan berhak menerima
atau menolak lamaran itu. Nah, apa katamu kakang? Bukankah dengan
demikian kau menganggap dirimu terlampau penting, tidak saja dalam
persoalan bendungan itu, tetapi juga dalam persoalanku. Ayahku dahulu
memberi kesempatan kepadaku untuk memilih. Sekarang ayahku tidak ada,
dan kau menjadi wakilnya. Apakah kau dapat berbuat lebih keras dari
ayahku terhadap aku?”
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia kini telah mendengar apa yang dikatakan Ken Dedes alasan
yang tersimpan di dalam dirinya.
Dada Mahisa Agni itu bahkan kini serasa
menjadi lapang. Sangat lapang setelah ia mendengar sendiri betapa Ken
Dedes menilai dirinya. “Syukurlah,“ desisnya di dalam hati. “Kalau hanya
itu yang ditimpakan kepadaku,“ tiba-tiba hati Mahisa Agni pun menjadi
dingin. Ia tidak lagi dicengkam oleh kemarahan dan kecemasan. Kini yang
dilihatnya duduk dihadapannya bukan lagi wajah hantu betina yang
mengerikan, tetapi yang duduk dihadapannya adalah seorang gadis cantik
yang sedang dicemaskan oleh keadaan dirinya sendiri, bahkan hampir
dibayangi oleh perasaan putus asa.
Selanjutnya Mahisa Agni kini dapat mendengarkan kata-kata Ken Dedes dengan tenang.
“Kakang,“ berkata Ken Dedes yang masih
saja membanjir, “karena kekecewaanmu itu, maka kini kau menolak
meneruskan persoalan yang kau anggap dirimu tidak perlu mencampuri
karena sejak semula kau tidak dibawa berbincang. Karena persoalan harga
dirimu yang berlebih-lebihan itu, kau telah menolak perintah Akuwu
Tunggul Ametung. Kakang, apakah yang kau lakukan itu bukan suatu
pemberontakan terhadap pimpinan pemerintahan, seperti yang dilakukan
oleh Kuda Sempana?”
Betapapun Mahisa Agni telah berhasil
menguasai perasaannya, namun ia terkejut juga mendengar tuduhan itu.
Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Ken Dedes, kenapa kau menuduh
aku sedemikian jauhnya, sehingga kau telah menganggap aku memberontak
terhadap Akuwu Tunggul Ametung?”
“Bukankah yang terjadi demikian kakang?”
berkata Ken Dedes dengan lantangnya, “Kau menolak mematuhi perintahnya.
Perintah seorang Akuwu. Apakah itu sebenarnya, bukan suatu
pemberontakan? Seperti Kuda Sempana telah menolak mematuhi perintah
Akuwu Tunggul Ametung,“ Ken Dedes berhenti sejenak. Seakan-akan ia
memberi kesempatan kepada Mahisa Agni untuk mencernakan kata-katanya.
Sejenak kemudian ia meneruskan, “Tetapi kakang, aku masih kecil dapat
menghormati Kuda Sempana lebih dari padamu. Kuda Sempana memberontak
karena ia kehilangan cita-cita. Kehilangan sesuatu yang telah
diperjuangkannya dengan gigih. Tiba-tiba yang seakan-akan telah
dicapainya itu telah direnggutkan oleh Akuwu Tunggul Ametung dari
tangannya. Tegasnya, Kuda Sempana tidak dapat mencapai maksudnya karena
Akuwu Tunggul Ametung. Maka ia pun telah meninggalkan istana dan
melakukan perlawanan. Tetapi kau, apakah yang kau lakukan? Sama sekali
bukan karena suatu cita-cita. Bukan karena kau kehilangan yang telah
pernah kau miliki karena dirampas oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kau
memberontak hanya karena kau merasa tersinggung. Tersinggung karena kau
mempunyai harga diri yang berlebih-lebihan. Nah apa katamu kakang?”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya.
Alangkah sakitnya tuduhan itu menggores dinding jantungnya, seperti
tergores sembilu. Namun Mahisa Agni benar-benar telah berhasil menguasai
dirinya sejak ia mendengar tuduhan Ken Dedes atas alasan yang
dianggapnya bermukim di dalam dadanya. Ia menjadi tenang, ketika ia
merasa bahwa Ken Dedes tidak melihat apa yang sebenarnya tersimpan rapat
di dalam relung hatinya yang paling dalam.
“Kang,“ terdengar suara Ken Dedes, “katakan, katakan bahwa kau tidak memberontak hanya karena alasan yang tidak masuk akal itu?”
Mahisa Agni perlahan-lahan mengangkat
wajahnya yang suram. Betapa suram wajah itu. Ia merasa bahwa Ken Dedes
kini telah menganggap dirinya sama sekali tidak berharga. Jauh lebih
tidak berharga dari Kuda Sempana yang dianggapnya berjuang untuk suatu
cita-cita.
Namun Mahisa Agni itu pun menjawab dengan
hati-hati, “Ken Dedes. Kenapa kau menganggap bahwa aku telah
memberontak? Aku tidak sebodoh itu Ken Dedes. Bahkan betapa bodohnya
aku, anak padesan, namun aku masih mempunyai kesadaran bahwa tanah ini
adalah tanah yang memberi aku makan dan minum. Tanah ini adalah tanah
dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dimana aku bermain-main dan
mengalami masa-masa lampauku. Dan tanah ini adalah tanah Tumapel. ”
“Ken Dedes. Kau tahu apa yang telah
dilakukan oleh ayahmu? Betapa orang tua itu menjadi kecewa dan marah
karena kehilangan puteri satu-satunya. Puteri itu adalah kau Ken Dedes.
Tetapi apa yang dilakukan oleh ayahmu? Ayahmu tahu benar, bahwa diantara
mereka yang datang ke padepokan ini adalah Akuwu Tunggul Ametung.
Ayahmu tahu benar bahwa benar-benar Tunggul Ametung telah melindungi
Kuda Sempana mengambil anak satu-satunya. Anak itu adalah miliknya yang
paling berharga di dunia ini.”
“Tetapi Ken Dedes, ayahmu itu tidak
memberontak. Memberontak dalam pengertian yang sebenarnya. Memang ayahmu
untuk sejenak kehilangan keseimbangan dengan memecah bendungan itu.
Tetapi setelah itu ayahmu tidak berbuat apa-apalagi. Ia lebih baik
membuang dirinya dengan hati yang pedih. Kalau ia mau Ken Dedes, kalau
ia ingin merebut kau kembali dengan kekerasan, maka tidak mustahil bahwa
itu akan dapat dilakukan. Empu Purwa adalah seorang yang baik hati.
Kawan-kawannya tersebar di seluruh Tumapel. Kawan-kawan sebayanya.
Kawan-kawannya yang mampu memecah bendungan dengan tangan seperti yang
dilakukan oleh ayahmu.”
“Tetapi Empu Purwa tidak berbuat
demikian. Empu Purwa tidak memberontak, karena ia menyadari keadaannya.
Menyadari akibat yang dapat terjadi. Pertumpahan darah dan penderitaan.
Mungkin Empu Purwa berhasil mendapatkan anaknya kembali, tetapi ia akan
mendapatkannya diatas tumpukan mayat sesama. Bukan itu saja. Kalau
terjadi peperangan di Tumapel, perang saudara, maka akan hancurlah
peradaban. Akan terinjak-injaklah segala macam ketentuan dan peraturan
oleh kekerasan dan kekuatan.”
“Karena itu Empu Purwa tidak merebutmu
dengan kekerasan meskipun mungkin ia mampu. Tetapi ia tidak sebodoh itu.
Orang tua itu pun merasa bahwa tanah ini adalah tanah yang memberinya
makan dan minun. Tanah tempat ia bernaung di bawah rimbun
tetumbuhananya. Tanah tempat ia hidup dalam lingkungan yang serasi.
Tanah ini adalah tanah tumpah darah yang tidak sepantasnya
dihancurkannya sendiri, hanya karena kepentingan pribadi, kepentingan
seorang saja dari seluruh Tumapel ini,“ Mahisa Agni berhenti sejenak
untuk menelan ludahnya. Seolah-olah mulutnya telah menjadi kering.
Tetapi matanya yang suram masih juga memandangi wajah Ken Dedes yang
kini tunduk. Sesaat kemudian Mahisa Agni meneruskan, “Ken Dedes. Empu
Purwa adalah guruku. Guruku tidak mau melihat pertentangan terjadi
diantara kita di Tumapel. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh muridnya?”
“Ken Dedes. Aku bukan seorang pengkhianat
yang sampai hati berkhianat terhadap tanah ini. Dan aku pun telah
mencoba tidak melenyapkan diri seperti Empu Purwa yang benar-benar telah
kehilangan segala-galanya, karena kau hilang. Tetapi aku mencoba
berbuat lain. Aku tidak akan berbuat sesuatu karena kau. Baik karena
harga diriku maupun karena sebab-sebab lain. Tetapi lebih baik bagiku
untuk berbuat sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat
Panawijen, sebagian dari tanah Tumapel. Karena itu, aku bekerja keras
membuat bendungan. Tidak ada gunanya bagiku untuk berbuat sebodoh Kuda
Sempana, berkhianat karena kepentingan pribadi, dan aku juga tidak ingin
menghilang tanpa tujuan, sebab dengan demikian hidupku tidak akan
berarti lagi meskipun umurku masih cukup muda. Tidak. Aku membuat jalan
sendiri. Bekerja untuk kepentingan sesama, untuk kepentingan tanah ini.
Panawijen sebagian dari Tumapel yang besar.”
Setiap kata yang diucapkan oleh Mahisa
Agni serasa menyusup langsung ke pusat jantung Ken Dedes. Las-lasan. Tak
ada satu pun yang terlampaui. Kata-kata yang memberinya kesadaran
tentang dirinya, tentang orang yang dihadapinya dan tentang semua
peristiwa yang telah terjadi.
Hati Ken Dedes itu pun kemudian bergolak.
Belum lagi. Sepemakan sirih hatinya digetarkan oleh kenyataan yang
tampak pada diri Mahisa Agni. Meskipun Ken Dedes telah merencanakan
segala sesuatu untuk menyambut kakak angkatnya, namun ketika ia melihat
tubuh Mahisa Agni yang kurus dan kulitnya yang terbakar oleh terik
matahari, maka air matanya telah runtuh. Saat itu ia telah menemukan
nilai yang wajar atas kerja yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu. Tetapi
karena kemudian hatinya sendiri dibakar oleh perasaannya yang
meluap-luap tentang hubungannya dengan Mahisa Agni, maka seolah-olah
penilaiannya yang wajar atas Mahisa Agni itu telah dilupakan.
Kini kembali ia menemukan penilaian itu.
Kini kembali ia melihat apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni, dan apa
yang telah dilakukannya. Bahwa kerja Mahisa Agni mencakup suatu
kebutuhan yang luas, yang akan memberi sumber bagi kehidupan rakyat
Panawijen di hari kemudian, bahkan sampai pada anak cucu. Sedang yang
terjadi pada dirinya adalah, perjuangan untuk diri sendiri.
Tiba-tiba wajah Ken Dedes yang tunduk
menjadi semakin dalam menghunjam lantai. Dan tiba-tiba pula Mahisa Agni
melihat butiran-butiran air menetes satu-satu. Karena itu Mahisa Agni
berhenti berbicara. Tetesan air-mata itu telah menyentuh hatinya, dan ia
menjadi iba karenanya.
“Maafkan aku kakang,“ terdengar suara Ken Dedes sangat perlahan, hampir tidak kedengaran.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Kau mengerti Ken Dedes,“ bertanya Mahisa Agni.
Ken Dedes mengangguk perlahan-lahan ia menyahut, “Ya aku mengerti.”
“Nah, kalau begitu, bagaimana seterusnya?” bertanya Mahisa Agni.
“Kau benar kakang. Kau telah berbuat
untuk orang banyak. Kau telah berjuang untuk sesama. Dalam pada itu aku
sedang bekerja keras untuk diriku sendiri, untuk kepentinganku seorang,“
Ken Dedes berhenti sejenak. Kemudian kata-katanya telah mengejutkan
Mahisa Agni, “Kakang, aku akan berbuat seperti kau. Tak ada gunanya aku
kembali ke Tumapel. Aku akan duduk diatas singgasana permaisuri Tumapel,
namun kakiku akan beralaskan kebahagiaan ayah, kau dan rakyat
Panawijen.”
“Ken Dedes,“ potong Mahisa Agni. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar.
“Aku akan kembali ke padukuhan ini. Bekerja seperti orang lain bekerja. Menderita seperti orang lain menderita.”
Mahisa Agni terbungkam untuk sesaat.
Terasa dadanya menjadi bergelora. Ia tidak tahu pasti, perasaan apakah
yang sedang melanda jantungnya.
Sekilas terbayang gadis itu datang
kembali ke padepokan ini. Seperti bunga yang layu, maka padepokan ini
akan menemukan kesegarannya kembali karena hujan yang turun semalam.
Hati yang kering akan kembali bersemi. Gadis itu akan dapat menumbuhkan
gairah yang dahsyat menghadapi kerja. Dan hidupnya sendiri tidak akan
menjadi gersang seperti sawah yang terentang di sekitar padukuhan ini.
Kehadiran Ken Dedes pasti akan menjadi sumber tenaga yang tak akan
kering-keringnya, seperti bendungan yang sedang dibangunnya itu.
Tetapi ketika Mahisa Agni melihat gadis
itu, Ken Dedes dalam pakaian yang cemerlang, namun tetesan-tetesan air
mata masih juga berjatuhan, hatinya memekik tinggi.
“Tidak,“ teriak hatinya, “tidak. Itu juga
semacam kebutuhan pribadi. Aku ternyata juga mementingkan diriku
sendiri dari kepentingannya.”
Mahisa Agni itu menggelengkan kepalanya.
Ia tidak sampai hati membiarkan Ken Dedes melepaskan pakaian kebesaran
yang telah pernah dikenakannya, hanya karena kerakusannya.
Terdengar Mahisa Agni berdesah. Namun
kemudian ia berkata, “Tidak Ken Dedes. Kau jangan terlampau banyak
mengorbankan dirimu, salah seorang dari kita, dari keluarga ini telah
cukup. Aku telah menebus semua hutang yang telah dibuat oleh keluarga
kita. Pergunakanlah kesempatanmu baik-baik. Mudah-mudahan kau tidak akan
mengalami kepahitan lagi seperti masa-masa lampaumu.”
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Matanya
yang basah berkaca-kaca memandangi wajah Mahisa Agni yang merah
kehitam-hitaman oleh terik matahari. Namun dari mata yang cekung itu
masih terasa sinar mata yang dahulu, meskipun mata itu kini menjadi
suram.
“Kakang, aku adalah sebagian dari padepokan ini.”
“Ya,“ sahut Agni, “tetapi kau berhak
menentukan hari depanmu seperti ayahmu pernah mengatakan. Bukankah Empu
Purwa pernah membuat sebuah permainan yang disebutnya sayembara pilih
meskipun para pengikut sayembara itu tidak hadir?”
Ken Dedes menundukkan wajahnya kembali.
Tetapi ia tidak dapat melupakan permintaan Akuwu Tunggul Ametung untuk
bertemu dengan Mahisa Agni.
Tiba-tiba Mahisa Agni menangkap
kebimbangan di dalam diri Ken Dedes. Kebimbangan yang telah memeras air
matanya semakin banyak mengalir.
Kini kembali terjadi pergolakan d:dalam
dada Mahisa Agni. Ia tidak dapat melihat kepedihan itu. Seperti pada
masa kanak-kanak mereka, Mahisa Agni tidak dapat melihat dan membiarkan
Ken Dedes menangis. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Ken Dedes, biarlah
aku besok mengantarmu ke Tumapel. Biarlah aku mematuhi perintah Akuwu
Tunggul Ametung untuk kepentinganmu. Mudah-mudahan kau akan dapat
menemukan kebahagiaan.”
Hati Ken Dedes tergetar mendengar
kesedian Mahisa Agni itu. Tetapi tidak seperti pada saat-saat Mahisa
Agni bersedia memetik sebuah jambe yang berwarna merah jambu, kali ini
Ken Dedes tidak memekik kegirangan. Gadis itu tidak melonjak dan
menari-nari. Bahkan Ken Dedes itu masih saja menundukkan wajahnya.
Terasa betapa Mahisa Agni mencoba untuk membuatnya berbesar hati, namun
terasa pula bahwa Mahisa Agni memenuhi permintaannya dengan hati yang
berat.
Ken Dedes kini menganggap bahwa Mahisa
Agni telah bersedia melepaskan perasaan harga dirinya, karena perasaan
iba dan belas kasihan.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni
berkata, “Sudahlah Ken Dedes. Jangan risaukan lagi semua peristiwa yang
terjadi. Yang pernah terjadi biarlah terjadi. Jadikanlah semuanya
sebagai pangilon dimana setiap kali kita dapat bercermin. Kemudian
marilah kita memandang masa depan kita. Kau dengan masa depanmu yang
cemerlang, seperti kecemerlangan pakaianmu itu, dan Panawijen akan
menjadi segar dan hijau kembali, meskipun kami terpaksa bergeser
beberapa tonggak dari tempat ini.”
Perlahan-lahan Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi gadis itu belum mampu mengucapkan sepatah katapun.
Yang berkata kemudian adalah Mahisa Agni
pula, “Ken Dedes, kembalilah ke pendapa. Bukankah kau tidak datang
sendiri ke padepokan ini? Para prajurit pasti sudah menunggumu. Mereka
pasti bertanya-tanya apa saja yang dipercakapkan oleh Ken Dedes dan
Mahisa Agni selama ini.”
Ken Dedes mengusap air matanya dengan ujung kainnya Kemudian gadis itu mengangguk kecil sambil berkata, “Ya kakang.”
“Kau sekarang bukan Ken Dedes yang
dahulu. Bukan lagi puteri Empu Purwa, seorang pendeta yang tinggal di
padepokan kecil di Panawijen. Tetapi kau sekarang adalah seorang calon
permaisuri. Kau harus bersikap lain dan bertingkah laku lain. Sebab
ternyata meskipun kau telah berpakaian seindah itu, dikawal oleh
sejumlah prajurit, namun kau masih saja suka menangis.”
“Ah,“ desah Ken Dedes.
Tetapi Mahisa Agni berkata terus untuk
memecahkan ketegangan yang selama ini menghimpit hatinya, “Kau tidak
dapat bersikap demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung nanti. Kau dapat
menangis, merengek terhadap kakakmu, tetapi tidak terhadap suamimu.
Suamimu akan bersedih melihat kau menangis. Kalau ia sedang dirisaukan
oleh pekerjaannya sebagai seorang Akuwu maka mungkin sekali akalnya akan
buntu. Tetapi hatinya akan segar apabila ia selalu melihat kau tertawa.
Wajah yang cerah bagi seorang suami jauh lebih berharga dari apapun
juga.”
“Ah,“ sekali lagi Ken Dedes berdesah.
“Sekarang kembalilah ke pendapa. Aku akan segera menyusul.”
“Apakah kau akan lari lagi kakang?” bertanya Ken Dedes tiba-tiba.
Kali ini Mahisa Agni tersenyum. Ia
mencoba untuk melenyapkan segala macam perasaan yang sebenarnya masih
bersilang tindih di hatinya. Katanya, “Jangan takut Ken Dedes, aku tidak
akan lari kali ini. Aku hanya akan mempersiapkan hidangan yang pantas
untuk tamu-tamu kita.”
“Para endang telah melakukannya dengan baik kakang.”
“Oh, baiklah,“ sahut Mahisa Agni, “tetapi pergilah dahulu ke pendapa.”
Ken Dedes tidak membantah. perlahan-lahan
ia bangkit dan membenahi pakaiannya yang agak kusut. Kemudian ia pun
pergi meninggalkan Mahisa Agni ke pendapa.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri pula.
Sepeninggal Ken Dedes, kembali wajahnya menjadi suram. Tetapi kali ini
ia tidak lagi berniat ingkar, “Aku akan segera menyelesaikan saja
persoalan ini, supaya aku tidak selalu terganggu. Pekerjaanku masih
banyak dan memerlukan waktu yang cukup panjang.”
Ketika Mahisa Agni kemudian pergi ke
halaman belakang untuk mencuci mukanya yang serasa menjadi panas,
tiba-tiba ia mendengar suara tertawa di sudut halamannya. Ketika ia
berpaling dilihatnya Kebo Ijo duduk diatas rumput-rumput kering bersama
seorang perwira lainnya.
Mahisa Agni menarik nafas panjang.
Ternyata kemudian ia melihat beberapa orang prajurit yang lain berdiri
berjaga-jaga di sudut-sudut yang lain.
“Hem,“ desahnya, “rumah ini seperti
istana seorang bangsawan yang memerlukan penjagaan demikian kuatnya,“
Tetapi kemudian disadarinya, bahwa yang kini berada di dalam rumah itu,
justru orang kedua sesudah Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Seorang gadis
yang bakal menjadi permaisurinya.
Sekali lagi Mahisa Agni berpaling ke arah
Kebo Ijo ketika ia masih saja mendengar anak muda itu tertawa. Bahkan
kemudian ia bertanya kepada Mahisa Agni, “He Mahisa Agni. Rupa-rupanya
nasibmu memang terlampau baik. Untunglah bakal iparmu yang bernama
Wiraprana itu mati, sehingga kau akan mendapat ipar seorang Akuwu yang
bernama Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia melihat perwira yang seorang lagi itu pun memandangi wajah Kebo Ijo dengan herannya.
“Bukankah begitu Mahisa Agni?”
Betapa perasaan Mahisa Agni bergetar, namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Kebo Ijo.”
Kebo Ijo menjadi kecewa mendengar jawaban
itu. Ternyata Mahisa Agni menurut tangkapannya tidak menjadi jengkel.
Karena itu maka justru ia terdiam. Apalagi ketika Mahisa Agni kemudian
berkata, “Kalau tidak terjadi demikian, maka kau tidak akan sudi
berkunjung kemari, meskipun kali ini kau datang bukan atas kehendakmu
sendiri.”
Kebo Ijo menggigit bibinya. Tetapi ia tidak menjawab. Ditatapnya saja Mahisa Agni yang pergi ke pakiwan dengan mata yang merah.
Ketika Mahisa Agni sudah tidak tampak
lagi, maka Kebo Ijo itu bergumam, “Anak itu akan menjadi semakin sombong
dan besar kepala apabila nanti adiknya menjadi seorang permaisuri.”
Perwira yang duduk di samping Kebo Ijo
tidak menjawab. Tetapi menurut kesannya, Mahisa Agni sama sekali bukan
anak muda yang sombong.
Dalam pada itu, para endang di pendapa
telah hampir menjadi pingsan. Mereka duduk kaku tanpa berani
menggerakkan ujung jarinya sekalipun. Mereka duduk dalam kebingungan.
Hanya sekali hitam matanya saja yang bergerak-gerak.
Ketika mereka melihat Ken Dedes keluar
dari pendapa, maka hampir berbareng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kembali mereka menjadi tegang ketika mereka melihat Witantra, Sidatta
dan Mahendra membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
Ken Dedes kemudian duduk kembali di
tempatnya. Meskipun ia tersenyum, namun setiap orang yang melihatnya,
dapat mengetahuinya, bahwa ia baru saja menangis.
“Kakang,” berkata Ken Dedes, “kakang kini dapat beristirahat. Besok kita akan kembali ke Tumapel.”
Witantra mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba tuan puteri. Tetapi apakah kakanda tuan puteri akan beserta kita?”
“Ya.”
Sekali lagi Witantra mengangguk. Kemudian katanya, “Kami mohon diri untuk beristirahat tuan puteri.”
“Silahkan kakang.”
Witantra, Sidatta dan Mahendra pun
kemudian turun dari pendapa. Mereka berjalan perlahan-lahan ke gandok
kanan, tempat yang telah disediakan untuk mereka. Sedang para prajurit
yang bertugas, masih juga berdiri dengan senjata di tangan.
Kini para endang pun saling berpandangan.
Para perwira itu tampaknya sama sekali tidak menjadi lelah, pening atau
pun gelisah selama mereka duduk diam di pendapa. Para endang itu tidak
dapat membayangkan, bahwa dalam pasewakan-pasewakan yang sebenarnya di
istana Tumapel, maka para prajurit, para pimpinan pemerintahan harus
duduk lebih lama lagi untuk memperbincangkan berbagai masalah yang
penting.
Tetapi bagi para endang itu, yang tidak
pernah mengalami peristiwa-peristiwa semacam itu, merasa seolah-olah
duduk diatas bara api. Kini satu-satunya harapan mereka di dalam hati
adalah, meninggalkan pendapa itu secepatnya.
Ketika Ken Dedes tidak juga bangkit, maka
salah seorang endang yang tidak lagi dapat menahan diri bertanya
terbata-bata, “Ken Dedes, sampai kapan kita akan duduk disini? Bukankah
para prajurit itu telah pergi, dan kau dapat meninggalkan tempatmu
pula?”
Ken Dedes berpaling. Tiba-tiba ia
tersenyum melihat wajah para endang yang tegang, “Kenapa kalian menjadi
seolah-olah kebingungan?”
“Kami hampir pingsan Ken Dedes,“ sahut endang yang lain.
Ken Dedes tidak dapat menahan tawanya. Katanya, “Biasakan dirimu duduk tenang. Mungkin akan berguna bagi saat-saat mendatang.”
“Apakah kalau kau menjadi seorang permaisuri kami harus duduk sedemikian lamanya?”
“Kalau kalian berada di istana, maka kalian harus duduk bersimpuh lebih lama lagi dari pada kali ini.”
“Lebih baik aku tinggal di padepokan. Aku
tidak akan terikat berbagai peraturan yang mengurangi kebebasanku,“
gerutu seorang endang yang masih sangat muda.
Ken Dedes tersenyum. Tetapi terasa
sesuatu berdesir di dalam dadanya. Endang itu lebih senang tinggal di
padepokan. Istana baginya adalah perlambang dari suatu lingkungan yang
akan mengikatnya dengan berbagai aturan yang menjemukan.
“Marilah, kita meninggalkan pula tempat
ini. Di istana, para prajurit dan para pemimpin pemerintah baru dapat
meninggalkan pendapa apabila Akuwu telah masuk ke dalam istana. Tetapi
aku tidak perlu berbuat demikian di istana terhadap para prajurit.”
Para endang itu pun kemudian berdiri
dengan serta-merta. Mereka tidak menunggu Ken Dedes berdiri lebih
dahulu. Bahkan ada diantara mereka yang dengan tanpa segan-segan berdiri
dihadapan Ken Dedes sambil mengibas-ngibaskan kakinya yang semutan.
Namun Ken Dedes menyadari, bahwa mereka belum mengenal tata-cara istana
yang sebenarnya harus dilakukan.
Hari itu bagi Ken Dedes terasa terlampau
lama. Dengan tegangnya ia menunggu matahari terbenam. Namun malam yang
kemudian turun dengan malasnya terasa bertambah-tambah panjang pula.
Ketika ia terbangun, maka yang terdengar adalah bunyi kentongan
dara-muluk.
“Aku merasa telah terlampau lama tidur,
tetapi ternyata baru tengah malam,“ desisnya. Gadis itu seolah-olah
tidak sabar lagi menunggu esok. “Jangan-angan kakang Mahisa Agni malam
ini mengambil keputusan lain dan pergi meninggalkan padepokan.”
Tetapi akhirnya fajar pecah di timur.
Para prajurit pun segera berkemas-kemas. Pagi itu mereka akan
meninggalkan Panawijen kembali ke Tumapel bersama Mahisa Agni.
Orang-orang Panawijen yang meskipun hanya
sejenak telah sempat bertemu dengan Ken Dedes, pagi itu berdiri di
sepanjang jalan melihat iring-iringan yang mengantarkan Ken Dedes
kembali ke Tumapel. Seperti pada saat datang, Ken Dedes kali ini pun
mengenakan pakaian kebesarannya. Pakaian dalam warna-warna yang
cemerlang, sehingga perempuan-perempuan, gadis-gadis kawannya
bermain-main, memandanginya dengan mulut ternganga.
“Gadis itu benar-benar cantik,“ gumam seorang perempuan tua.
Tetapi seorang gadis yang menjadi iri berkata, “Yang cantik adalah pakaiannya, bukan orangnya.”
Iring-iringan itu pun kemudian berjalan
perlahan-lahan meninggalkan Panawijen, diantar lambaian tangan
orang-orang Panawijen yang menyaksikannya.
Tetapi ketika iring-iringan itu telah
sampai di bulak yang kering, maka tanpa mereka sadari, beberapa pasang
mata yang tajam, setajam mata burung hantu mengawasi dengan penuh dendam
dan benci.
Tetapi orang-orang yang sambil
bersembunyi-sembunyi mengintai iring-iringan itu tidak dapat berada di
tempat yang terlampau dekat, sehingga mereka tidak dapat melihat dengan
jelas, siapa-apa saja yang berada di dalam iring-iringan itu.
Mereka itu adalah Empu Sada dan kedua
muridnya yang terdekat, Kuda Sempana yang pernah menjadi seorang hamba
istana dan orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, yang
menurut pengakuannya adalah seorang pedagang keliling.
“Kita tidak dapat mengulangi kesalahan kita,“ gumam Empu Sada.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Panji yang kurus itu pasti masih selalu mengawasi mereka, “sambungnya.
Kembali kedua muridnya menganggukkan kepalanya.
Kini untuk sejenak mereka berdiam diri.
Mereka mencoba untuk mengenal orang-orang di dalam iring-iringan itu.
Tetapi jarak mereka terlampau jauh. Karena itu maka mereka tidak melihat
bahwa Mahisa Agni berada di dalam barisan itu.
“Guru,“ berkata Kuda Sempana kemudian,
“apakah guru benar-benar ingin berhubungan dengan paman Kebo Sindet dan
paman Wong Sarimpat?”
Empu Sada tidak segera menjawab.
Sebenarnya ia sendiri sampai saat itu masih diliputi oleh keragu-raguan.
Ia tahu benar bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat adalah orang-orang
yang tidak mengenal tata tertib pergaulan. Mereka ingin berbuat apa saja
yang dikehendakinya, sehingga mereka sampai saat ini menjadi
orang-orang yang sama sekali tidak disukai, baik oleh rakyat Tumapel
maupun oleh pimpinan pemerintahan.
“Bagaimana guru,“ desak Kuda Sempana.
Empu Sada masih memandangi iring-iringan yang meninggalkan debu yang putih mengepul ke udara.
“Kuda Sempana,“ terdengar suara Empu Sada tiba-tiba menjadi berat, “apakah kau masih inginkan gadis itu?”
Pertanyaan itu benar-benar menggetarkan
dada Kuda Sempana. Terasa nada pertanyaan gurunya seolah-olah tidak lagi
mengandung gairah perjuangan. Bahkan seolah-olah nada pertanyaan itu
melemahkan semangatnya.
Karena itu, maka Kuda Sempana ingin
menunjukkan bahwa tekad di dalam dadanya telah bulat. Katanya, “Tentu
guru. Kalau aku tidak berhasil, maka sudah aku katakan, bahwa aku akan
menghancurkannya. Semua orang yang menghalang-halangi kehendakku ini
akan aku anggap telah berbuat salah dan harus dihancur-lumatkan.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian desahnya, “Kau terlalu berkeras hati. Bukankah kau telah
melihat, bahwa di sekitar Ken Dedes berdiri para prajurit pengawal
istana.”
“Apakah guru dapat digetarkan hanya oleh Witantra.”
“Tak ada orang yang dapat menggetarkan
hatiku Kuda Sempana,” sahut gurunya, “tetapi marilah kita perhitungkan
kekuatan yang ada. Witantra tidak berdiri sendiri. Bukankah kau telah
mengenal gurunya, Panji Bojong Santi? Sedang Mahisa Agni pun kini
mendapat kawan baru yang katanya adalah pamannya, Empu Gandring, tukang
keris itu.”
“Karena itu guru dapat berhubungan dengan Wong Sarimpat dan Kebo Sindet,“ sahut Kuda Sempana pula.
Gurunya kembali terdiam. Ia melihat
kekerasan hati muridnya. Tetapi sebagai seorang yang telah berumur
lanjut, maka hatinya jauh lebih mengendap dari Kuda Sempana, sehingga
Empu Sada itu mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang dihadapinya.
Katanya, “Kuda Sempana, pekerjaan ini terlampau berat.”
“Guru, aku tidak akan menyentuh apa saja
yang dimiliki oleh Ken Dedes. Perhiasan, pakaian dan kekayaannya. Aku
hanya memerlukan orangnya.”
Orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa
Kali Elo itu menelan ludahnya. Kekayaan itu pasti berlimpah-limpah.
Tetapi di dalam dirinya tersembunyi pula pengertian bahwa merebut Ken
Dedes akan sama sulitnya dengan merebut tahta Akuwu Tunggul Ametung.
Karena itu, maka ia sama sekali tidak mengemukakan lagi pendapatnya.
“Kuda Sempana,“ berkata Empu Sada, “kau
tahu bahwa merebut Ken Dedes kini tidak semudah pada saat ia masih
berada di Panawijen. Ia kini berada dalam istana yang mempunyai prajurit
yang tidak saja cukup banyak, dan mereka adalah prajurit-prajurit yang
tangguh.”
Kuda Sempana telah mengenal pula keadaan
istana Tumapel dengan baik. Ia tahu benar, bahwa ia tidak akan mendapat
kemungkinan untuk merebut Ken Dedes dalam keadaannya kini. Karena itu,
maka sekali lagi ia berkata, “Guru, sekali lagi aku ingin bertanya
bagaimana dengan paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
“Kau belum mengenal mereka sebaik aku
mengenal Kuda Sempana. Mereka adalah orang-orang yang dapat disebut
orang-orang liar. Orang-orang yang berada diluar lingkungan masyarakat
yang beradab. Mereka adalah orang-orang buruan.”
Empu Sada terkejut ketika ia mendengar jawaban Kuda Sempana yang tidak disangka-sangkanya, “Kita pun orang-orang buruan guru.”
“He?”
“Kita sudah mulai. Apalagi aku. Guru pun
telah melakukan perlawanan atas Witantra yang membawa kekuasaan Tunggul
Ametung di hutan didekat padang Karautan.”
Wajah Empu Sada menjadi berkerut-kerut.
Kata-kata Kuda Sempana itu benar. Ia telah terdorong pula ke dalam suatu
keadaan yang sulit. Apabila Witantra nanti sampai di Tumapel, dan Akuwu
mendengar laporannya tentang dirinya, maka Empu Sada dan murid-muridnya
adalah orang-orang buruan seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sejenak Empu Sada berdiam diri.
Direnungkannya dirinya dan apa saja yang telah dilakukannya. Tetapi
bagaimanapun juga ia masih melihat perbedaan yang tajam antara dirinya
dan kedua orang-orang liar itu. Bahkan apabila ia dapat menarik dirinya
kembali, ia masih belum terjerumus terlampau jauh.
Tetapi muridnya yang bernama Kuda Sempana
itu agaknya benar-benar telah berkeras hati. Ketika ia melihat gurunya
ragu-ragu maka katanya, “Guru. Kita sudah terjun ke tengah-tengah
sungai. Terus atau kembali, kita sudah terlanjur basah kuyup.”
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas.
Katanya masih dalam nada yang rendah, “Kuda Sempana, kau pernah menjadi
seorang hamba Tunggul Ametung. Apa kau sangka kita meskipun bersama
dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mampu mengalahkannya?”
“Aku sama sekali tidak ingin merebut kedudukan Tunggul Ametung, guru.”
“Menginginkan seorang permaisuri akan sama artinya dengan menginginkan kedudukannya.”
“Tidak. Kalau aku sudah mendapatkan Ken Dedes, aku akan pergi jauh sekali keluar Tumapel, bahkan mungkin keluar Kediri.”
“Alangkah bodohnya kau,“ gurunya
menggerutu, “kau sendiri pernah menjadi pelayan dalam. Kau sangka bahwa
merebut Ken Dedes tidak berarti perang melawan Tunggul Ametung. Meskipun
kau tidak menginginkan kedudukannya, tetapi perang itu sudah terjadi.”
Kuda Sempana terdiam. Hatinya gelap telah
menutup segenap kemauannya untuk berpikir. Tetapi kali ini ia mendengar
kata-kata gurunya. Dan kata-kata itu mampu menyelusup ke dalam hatinya
yang gelap.
Tetapi meskipun demikian ia menjawab, “Guru, bukan maksudku untuk berbuat demikian. Bagaimana kalau gadis itu diculik?”
“Pekerjaan itu pun bukan pekerjaan yang mudah Kuda Sempana.”
Kembali Kuda Sempana terdiam. Namun
gejolak di dalam dadanya sama sekali tidak mereda. Ketika ia mengangkat
wajahnya, ia melihat ekor dari iring-iringan itu sudah menjadi semakin
jauh, dan hampir lenyap ditikungan. Yang tampak kemudian hanyalah
tanaman-tanaman yang kering kekuning-kuningan.
“Persetan dengan bencana yang menimpa
Panawijen,“ tiba-tiba Kuda Sempana menggeram. Dendamnya kepada Panawijen
manjadi semakin memuncak. Panawijen tempat ia dilahirkan, tempat ia
dibesarkan dan tempat orang tuanya bergelut dengan hidup keluarganya,
sama sekali tidak menarik perhatiannya. Bahkan baginya Panawijen adalah
mereka yang telah membakarnya selama ini. Apalagi anak muda yang bernama
Mahisa Agni, benar-benar telah menyalakan segala macam kebencian di
dalam dadanya.
Dalam pada itu, tiba-tiba Kuda Sempana
itu bergumam, “Guru, bagaimanapun juga, sebaiknya kita coba. Berhasil
atau tidak berhasil, sebaiknya guru menghubungi Wong Sarimpat dan Kebo
Sindet. Kalau aku tidak berhasil mendapatkan Ken Dedes, maka aku akan
membuat pembalasan dengan caraku. Menghancurkan bendungan yang sedang
dibangun, menangkap dan membunuh Mahisa Agni sehingga akibatnya pasti
akan menyiksa perasaan Ken Dedes. Biarlah hatinya tersiksa seperti
hatiku.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kalau hanya itu yang dikehendaki dan dapat memberinya kepuasan, maka
kiranya tidak terlalu sulit untuk dilakukannya. Karena itu maka
jawabnya, “Kuda Sempana, mungkin kita akan dapat berbuat demikian.
Memecah rencana yang tengah dibuat oleh Mahisa Agni itu, bahkan
membinasakan. Tetapi seterusnya, untuk mendapatkan Ken Dedes adalah
terlampau sulit bagimu kini.”
“Mahisa Agni adalah sumber dari kegagalan itu guru.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sejenak kemudian ia menjadi berbimbang hati. Kalau ia melakukan
perbuatan itu, apakah keuntungan yang didapatkannya, selain diburu dan
di kejar-kejar oleh Akuwu Tunggul Ametung? Tetapi dalam pada itu kini
menyelusup perasaan lain pula di dalam dadanya, Empu Sada itu sendiri
tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba ia ingin membela muridnya dengan
kemauan yang berbeda dari saat-saat lampaunya. Pada masa-masa yang
lampau, setiap perbuatannya pasti diperhitungkannya, upah apakah yang
akan diterima dari muridnya yang dibantunya. Tetapi setelah ia melihat
beberapa perguruan lain, melihat, bagaimana sikap Panji Bojong Santi
terhadap muridnya, maka pendirian itu tanpa dikehendakinya sendiri telah
bergeser pula karena harga dirinya yang tampil ke depan. Empu Sada
tidak mau perguruannya menjadi bahan ejekan dari perguruan-perguruan
lain karena setiap usaha dan kemauan murid-muridnya selalu tidak pernah
terpenuhi.
Tetapi Empu Sada itu terkejut ketika
tiba-tiba muridnya berkata, “Kalau demikian, mengapa tidak malam ini
saja kita menghancurkan rencana Mahisa Agni dan menangkapnya?”
“Sudah aku katakan,“ sahut gurunya, “di
samping Mahisa Agni kini ada pamannya Empu Gandring. karena itu kita
tidak boleh terlampau tergesa-gesa.”
Namun terasa Kuda Sempana tidak bersabar
lagi. Tetapi ketika ia ingin menyatakan perasaannya itu, terdengar orang
yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo berkata, “Aku mempunyai cara
yang baik untuk menyiksa perasaan Mahisa Agni.”
Kuda Sempana dan Empu Sada itu pun berpaling kepadanya. Hampir bersamaan mereka berkata, “Apakah cara itu?”
“Kita biarkan Mahisa Agni membuat
bendungan itu sampai saat hampir selesai. Nah, ketika mereka merasa
bahwa mereka pasti akan menikmati hasil usahanya itu, maka bendungan itu
kita pecahkan. Kita hanyutkan Mahisa Agni di dalam arusnya yang keras.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Terlampau lama. Berapa bulan lagi hal itu terjadi?”
“Tetapi peristiwa itu akan menyenangkan
sekali. Bukan saja Mahisa Agni, alangkah kecewanya orang-orang Panawijen
yang lain. Kalau bendungan itu kau rusakkan sekarang, maka kerugian
mereka tidak seberapa banyaknya. Dalam pada itu, guru masih mempunyai
kesempatan untuk bertemu dengan paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
Kuda Sempana terdiam sesaat. Tetapi
katanya kemudian, “Aku sependapat, tetapi kita tidak perlu menunggu
bendungan itu selesai. Aku tidak ingin pembalasan ini datang terlampau
lama.”
Empu Sada pun mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Pendapat muridnya yang seorang itu memang menyenangkan
sekali. Sebagai suatu cara untuk melepaskan sakit hati, maka cara itu
pasti akan mencapai maksudnya. Bahkan Empu Sada itu menyambung,
“Pendapat itu baik sekali. Kalau Mahisa Agni dapat ditangkap, maka
jangan tergesa-gesa dimasukkan ke dalam arus air. Berilah kesempatan
kepadanya melihat bendungan yang telah dikerjakannya itu pecah. Beri
kesempatan ia menjadi kecewa. Sangat kecewa. Biarlah ia melihat
parit-parit yang sudah digalinya menjadi kering kembali.
Dengan demikian ia dapat membayangkan,
penduduk Panawijen segera akan ditimpa bencana. Bahkan seandainya Mahisa
Agni tidak dibunuh sekalipun, maka siksaan yang akan dialaminya akan
jauh lebih sakit dari pada sakit hatimu Kuda Sempana.
“Tidak guru,“ sahut Kuda Sempana tiba, “tidak ada sakit hati yang melampaui sakit hatiku.”
“Ya, ya,“ jawab Empu Sada cepat-cepat, “aku tahu. Maksudku, pembalasan itu akan cukup memadai dengan perbuatannya.”
Kuda Sempana terdiam sejenak. Kini mereka sudah tidak melihat lagi iringan yang mengantarkan Ken Dedes kembali ke Tumapel.
“Sekarang bagaimana?” bertanya orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo.
“Sudah tentu kita tidak akan dapat pulang
ke rumah, ke padepokanku. Kalau sakit hati Witantra belum sembuh benar,
ia pasti akan datang mencoba menangkapku,“ berkata Empu Sada, “tetapi
aku kira anak itu tidak akan membuat sesuatu kerusakan. Biar sajalah
para cantrik menerima kedatangannya. Kini kita akan pergi ke
Kemundungan, memberitihukan kepada setiap murid-murid yang ada, supaya
mereka menghindari benturan-benturan dengan orang-orang Witantra. Lebih
baik mereka menyingkir untuk sementara.”
Orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa
Kali Elo itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang itu memang
harus disingkirkan pula. Tetapi dengan demikian, mereka harus membuat
tempat penampungan bagi mereka. Namun saudara-saudara seperguruan yang
lain pasti akan bersedia membantu mereka.
“Setelah itu,“ berkata Empu Sada
seterusnya, “kita mencari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kita
akan dapat menemaninya di Sempadan. Setidak-tidaknya salah seorang dari
mereka.”
“Apakah kita tidak melihat bendungan itu
guru? Supaya kita dapat menentukan kapan kita akan datang kembali?”
bertanya Kuda Sempana.
“Kau terlalu bernafsu Kuda Sempana,“
sahut gurunya, “kita harus berlomba dengan Witantra. Kita harus lebih
dahulu sampai di Kemundungan. Biarlah mereka yang membuat bendungan itu
sekarang tidak terganggu, supaya mereka tidak menyiapkan dirinya
menghadapi kehadiran kita kelak. Tidak sampai sebulan kita akan kembali
membawa orang-orang yang cukup banyak untuk menghancurkan bendungan dan
apabila perlu, serta mereka yang mengadakan perlawanan. Adalah lebih
baik kalau Empu Gandring sudah meninggalkan tempat itu dan Empu Purwa
tidak lagi berkeliaran. Apalagi Panji yang kurus itu.”
Kuda Sempana kali ini terpaksa menurut
kehendak gurunya. Mereka kemudian meninggalkan telatah Panawijen tanpa
berbuat sesuatu untuk dengan tergesa-gesa pergi ke Kemundungan. Namun di
sepanjang jalan, kepala Kuda Sempana selalu dipenuhi oleh
gambaran-gambaran tentang pembalasan sakit hati yang akan dilakukan.
Namun bagaimanapun juga, gambaran tentang Ken Dedes tidak juga dapat
lenyap dari kepalanya.
Sementara itu iringan yang membawa Ken
Dedes semakin lama menjadi semakin jauh meninggalkan Panawijen. Terasa
matahari di langit semakin panas menyengat kulit mereka. Seperti pada
saat mereka berangkat, maka mereka memilih jalan di sepanjang hutan
daripada menyeberang padang rumput Karautan untuk menghindari panas yang
tak tertahankan dipadang itu. Lebih-lebih bagi seorang gadis seperti
Ken Dedes.
Apabila mereka berkuda cepat-cepat, maka
masih juga terasa silirnya angin karena kecepatan perjalanannya. Tetapi
berjalan kaki dipadang itu, adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan pengalaman mereka, pada saat
mereka berangkat, maka dalam perjalanan kembali itu mereka selalu
diliputi oleh kewaspadaan yang setinggi-tingginya. Bahaya setiap saat
dapat mengancam, bahkan mungkin menjadi lebih berat daripada saat mereka
berangkat.
Tetapi seandainya mereka tahu, bahwa
dalam saat yang bersamaan Kuda Sempana dan gurunya sedang berjalan
menuju ke Kemundungan, maka mereka pasti tidak akan setegang itu. Bahkan
mungkin mereka sempat berkelakar di sepanjang jalan. Namun kali ini
perjalanan itu seolah-olah diselubungi oleh kecemasan dan kekhawatiran
sehingga hampir tidak terdengar suara mereka bercakap-cakap. Kecuali
sekali dua kali terdengar suara tawa Kebo Ijo yang berjalan agak di muka
tandu.
Tidak seperti pada saat mereka berangkat,
maka dalam perjalanan kembali ini, mereka tidak memerlukan bermalam di
perjalanan. Seakan-akan mereka demikian ingin melihat kota Tumapel
kembali. Meskipun hari telah malam, namun mereka meneruskan perjalanan.
Mereka tidak takut kalau mereka akan jatuh terjerumus karena kaki-kaki
mereka terantuk batang-batang yang roboh atau tersangkut sulur-sulur
pepohonan, sebab ketika itu, mereka telah meninggalkan hutan di
sepanjang tepi padang Karautan yang panas.
Kehadiran mereka di kota, hampir di
tengah malam buta, mengejutkan para peronda. Tetapi Witantra yang
berjalan di muka, selalu mencoba mencegah mereka membuat keributan.
“Jangan ribut. Biarlah mereka yang tidur
tidak terganggu. Mereka tidak perlu melihat iring-iringan ini, sebab
mereka telah melihat pada saat kami berangkat,“ berkata Witantra kepada
para peronda.
Meskipun demikian, ada juga diantara
mereka yang sempat membangunkan anak isterinya, dan membawa mereka ke
tepi jalan raya untuk menyambut iringkan bakal permaisuri. Bahkan
iring-iringan itu tampak lebih megah lagi dibawah cahaya beberapa buah
obor yang menyala berkobar-kobar.
Tetapi para prajurit Tumapel yang lelah
itu sama sekali tidak lagi sempat memperhatikan orang-orang yang berdiri
di pinggir jalan. terkantuk-kantuk mereka berjalan dengan langkah yang
panjang-panjang supaya mereka segera dapat beristirahat. Di dalam tandu,
Ken Dedes sekali-sekali tersandar dengan mata terpejam. Kadang-kadang
ia kehilangan kesadaran karena kantuknya yang mencengkam. Tetapi apabila
tandunya tergoyang karena para pemanggulnya bergantian, Ken Dedes itu
kembali mencoba membelalakkan matanya. Terasa pula bahwa badannya
menjadi semakin penat.
“Hem,“ desahnya di dalam hati, “apalagi mereka yang berjalan kaki. Lebih-lebih yang harus memanggul tandu ini.
Di belakang ada pula prajurit yang
berjalan tersuruk-suruk. Hampir tidak lagi ia kuat menarik kakinya.
Tombaknya terayun-ayun bukan karena lawan berdiri dihadapannya. Tetapi
tangannya telah terlampau letih memegang senjata itu. keringat di
telapak tangannya telah membuat landean tombaknya menjadi licin.
Ternyata bahwa rasa kantuk mereka jauh
lebih mengganggu dari perasaan lelah, meskipun keduanya saling
mempengaruhi. Mereka menjadi sangat kantuk karena lelah.
Ketika iring-iringan itu kemudian
memasuki alun-alun, dan kemudian terpaksa berhenti di muka regol untuk
menanti sejenak para penjaga membuka palang pintu yang besar, maka
beberapa orang diantara mereka dengan serta menjatuhkan dirinya duduk
bersandar pada dinding halaman istana.
“He,“ terdengar suara Kebo Ijo perlahan-lahan, “apakah kalian tidak lagi mampu berdiri?”
Seorang prajurit yang bertubuh tinggi,
berdada bidang dan berkumis tebal menjawab, “Lebih baik aku pergi
bertempur malam ini, daripada disiksa oleh perasaan lelah dan kantuk.”
Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Kalau kau
bertempur saat ini, maka perutmu pasti akan segera berlubang karena kau
tidak lagi dapat melihat ujung senjata lawanmu.”
Prajurit yang berkumis itu tidak
menjawab. Bahkan dipejamkannya matanya sambil menguap. Katanya, “Hem,
alangkah segarnya duduk sambil terkantuk-kantuk dibawah pohon beringin
setelah hampir sehari penuh berjalan menyusur daerah yang kering
kerontang.”
“Apakah kau mimpi?” bertanya Kebo Ijo,
“bukankah kita baru saja meninggalkan daerah yang hijau segar. Bukankah
Panawijen daerah yang paling subur dari pada daerah Tumapel?”
“Hu,“ prajurit itu mencibirkan bibirnya.
Tetapi matanya masih terpejam, “daerah itu adalah daerah mati. Aku
heran, kenapa di daerah itu masih juga ada penghuninya?”
Mahisa Agni yang mendengar percakapan itu
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Kebo Ijo
memandanginya pula sambil tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada
prajurit yang terkantuk-kantuk itu, “Kini baru dibuat sebuah bendungan
untuk mengairi padukuhan itu supaya menjadi bertambah subur.”
“Alangkah bodohnya,“ sahut prajurit itu
antara sadar dan tiada, “lebih baik menjadi pekatik di kota dari pada
membuat bendungan.”
Terdengar Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak
sambil memandangi wajah Mahisa Agni yang berkerut-kerut, sehingga
beberapa orang berpaling ke arahnya. Witantra yang berdiri di muka
regol. untuk menunggu para penjaga membuka palang pintu pun berpaling
pula.
Namun tiba-tiba suara tertawa Kebo Ijo
itu terputus. Semula memang ada maksud Mahisa Agni untuk menjawab
kata-kata itu, sebab ia merasa benar bahwa kelakar itu sengaja
dilontarkan oleh Kebo Ijo untuk menyindirnya. Tetapi ia menjadi
ragu-ragu. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun menggigit bibirnya,
seolah-olah ia ingin menahan agar mulutnya tidak melontarkan kata-kata.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara halus dari dalam tandu, “Kau benar Kebo Ijo. Karena itu aku pun mengungsi ke kota.”
Bukan saja Kebo Ijo. Bahkan prajurit yang
terkantuk-kantuk itu pun tersentak seperti disengat lebah. Sejenak ia
mencoba menyadari apa yang terjadi. Tetapi ketika ia yakin bahwa
kata-katanya telah terdorong terlampau jauh, dan bahwa yang didengarnya
adalah suara puteri calon permaisuri itu, maka dengan serta merta ia
meloncat. Tandu itu memang tidak terlampau jauh daripadanya. Dengan
tubuh gemetar ia duduk bersimpuh di tanah sambil berkata, “Ampun tuan
puteri. Bukan maksud hamba mengatakan demikian, tetapi hamba seakan-akan
terbius oleh pertanyaan-pertanyaan Kebo Ijo, sehingga jawaban hamba pun
tidak lagi dapat hamba kendalikan.”
Ken Dedes tidak menjawab. Bahkan
memandang wajah prajurit itu pun tidak. Dengan jarinya ia menunjuk
gerbang yang telah terbuka sambil berkata kepada para pengusung
tandunya, “gerbang telah terbuka. Marilah.”
Tandu itu pun kemudian bergerak. Beberapa
orang prajurit yang semula sama sekali tidak memperhatikan percakapan
itu, percakapan antara Kebo Ijo dan prajurit berkumis itu pun terpaksa
bertanya-tanya, apakah yang sudah dikatakannya. Tetapi para pengusung
dan satu dua orang prajurit yang mendengarnya berkata di dalam hatinya,
“Salahmu, mulutmu terlampau lancang.”
Tetapi Ken Dedes tidak meletakkan
kesalahan pada prajurit itu. Prajurit itu hanya sekedar ingin melepaskan
perasaannya yang diganggu oleh lelah dan kantuk. Tetapi kejengkelannya
ditumpahkannya kepada Kebo Ijo. Sejak di Panawijen sikap anak muda itu
tidak menyenangkan hatinya. Tetapi ia tahu bahwa Kebo Ijo adalah orang
terdekat dari Witantra di samping Mahendra yang sampai saat ini tidak
juga mau menjadi seorang prajurit.
Ketika tandu itu kemudian berjalan,
Witantra, Mahendra dan para perwira berdiri tegak di sisi pintu gerbang
itu. Ketika tandu itu telah melampauinya, maka barulah mereka melangkah
memasuki halaman. Namun sekali-sekali Witantra memalingkan wajahnya
mencari Kebo Ijo. Ia ingin tahu, apa saja yang dipercakapkannya dengan
prajurit yang duduk bersimpuh di samping tandu Ken Dedes.
Kesan Ken Dedes dan Mahisa Agni atas Kebo
Ijo menjadi semakin kurang sedap. Anak itu benar-benar anak yang bengal
dan bahkan kurang dapat mengendalikan dan mengetrapkan diri dalam suatu
keadaan tertentu.
Tunggul Ametung yang telah tidur nyenyak
di dalam biliknya terkejut ketika ia mendengar suara ribut diluar. Ia
mendengar beberapa orang berjalan hilir mudik. Ia mendengar langkah
mendekati pintu biliknya, tetapi kemudian berhenti dan kembali langkah
itu menjauh.
“Bagaimana?” terdengar seseorang berbisik.
“Aku kira Akuwu tidak perlu dibangunkan,“ sahut yang lain.
“Apa begitu?” berkata suara yang pertama.
“Bukankah tidak ada soal yang perlu diselesaikan malam ini,“ terdengar suara kedua. “sebenarnya aku takut membangunkan Akuwu.”
Suara-suara itu pun kemudian terdiam.
Namun kedua orang itu seakan-akan terlonjak ketika tiba-tiba saja mereka
melihat Akuwu Tunggul Ametung sudah berdiri di muka pintu biliknya.
“Apakah yang kalian lakukan disini?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung itu.
Kedua prajurit itu dengan serta-merta
menjatuhkan dirinya dan seorang pelayan istana hampir terperosok di
tangga ketika dengan tergesa-gesa ia bersimpuh.
“Ampun tuanku,“ sahut pelayan juru panebah itu, “hamba takut membangunkan tuanku ketika kedua prajurit ini memintanya.”
Dipandanginya wajah kedua prajurit yang tunduk itu. Yang seorang dari mereka adalah Sidatta.
“Apa perlunya kau menghadap malam-malam Sidatta?”
“Ampun tuanku,“ sahut Sidatta sambil
membungkuk dalam-dalam, “hamba ingin menyampaikan berita kehadiran
kembali tuan puteri Ken Dedes setelah tuan puteri mengunjungi
Panawijen.”
“He,“ wajah Tunggul Ametung yang gelap itu tiba-tiba menjadi cerah, “Ken Dedes datang kembali?”
“Hamba tuanku.”
“Bagus,“ berkata Tunggul Ametung itu, “suruh ia menghadap.”
“Baik tuanku,“ jawab Sidatta, “tetapi
tuan puteri lelah sekali. Sekarang tuan puteri sedang membersihkan diri
di pakiwan dilayani oleh beberapa emban.”
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya kemudian, “Baik, baik. Biarlah ia beristirahat. Besok
pagi-pagi kalian harus menghadap bersama-sama. Apakah kalian datang
bersama Mahisa Agni?”
“Hamba tuanku,“ jawab Sidatta.
“Baik. Baik,“ Tunggul Ametung itu
mengangguk-angguk pula, “sekarang kalian boleh beristirahat. Ken Dedes
boleh beristirahat pula. Besok pagi-pagi kalian harus datang menghadap.
Tempatkan Mahisa Agni sebaik-baiknya. Biarkanlah tempat yang pantas. Ia
adalah kakang Ken Dedes itu.”
“Hamba tuanku,“ sahut Sidatta.
Setelah mengangguk dalam-dalam, Sidatta
itu pun kemudian mengundurkan dirinya membawa pesan Akuwu Tunggul
Ametung kepada Ken Dedes, Mahisa Agni dan para prajurit. Mereka
diperkenankan beristirahat, sedang para perwira besok pagi-pagi harus
menghadap Akuwu Tunggul Ametung bersama dengan Ken Dedes.
Sepeninggal Sidatta kembali Tunggul
Ametung membaringkan dirinya. Tetapi kini matanya sudah tidak dapat
dipejamkannya lagi. Terasa malam terlampau lamban baginya seakan-akan
waktu berhenti beredar.
Namun akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu
pun mendengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya. Perlahan-lahan
ia bangkit dari pembaringannya, menggeliat dan kemudian melangkah keluar
dari biliknya. Ia masih melihat pelita yang menyala di segala penjuru
istananya. Ia masih melihat seorang pelayan duduk terkantuk-kantuk di
tangga serambi belakang.
“He, siapa yang duduk di situ?” panggil Akuwu Tunggul Ametung.
Pelayan itu berjingkat. Dan dengan tergesa-gesa ia menyuruk merangkak-rangkak mendekati Akuwu Tunggul Ametung.
“Aku akan mandi,“ berkata Tunggul Ametung itu.
Pelayan itu heran. Hari masih terlampau
pagi. Tetapi ia tidak berani bertanya. Terdengar jawabnya, “Hamba
tuanku. Akan hamba sediakan untuk keperluan itu.”
Ketika kembali pelayan itu berjalan
jongkok meninggalkan Akuwu Tunggul Ametung, terdengar Tunggul Ametung
membentaknya, “Cepat, jangan bekerja seperti siput sakit-sakitan.”
Orang itu pun kemudian mempercepat
geraknya, kemudian meloncat turun ke halaman dan berlari-lari kebelakang
mengambil air hangat. Tetapi air itu baru saja diletakkan diatas api.
Ketika matahari muncul dari balik
punggung-punggung bukit, maka para perwira telah siap di paseban dalam.
Sebentar kemudian Ken Dedes pun telah hadir pula. Mereka menundukkan
kepala-kepala mereka ketika Akuwu memasuki ruangan itu.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung hampir
tidak sabar untuk berbicara tentang dirinya sendiri ketika dilihatnya
Mahisa Agni pun berada di dalam ruangan itu. Hampir tak ada yang
dipersoalkannya dengan para perwira. Akuwu hanya bertanya tentang
keselamatan mereka, perjalanan mereka dan sekedar berterima kasih.
Kemudian katanya, “Kalian pasti sangat lelah. Karena itu kalian tidak
perlu terlampau lama duduk disini. Kalian aku perbolehkan segera
meninggalkan tempat ini untuk beristirahat.”
Witantra menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Terima kasih tuanku. Lain
kali hamba akan menyampaikan ceritera tentang perjalanan ini lebih
banyak lagi.”
“Baik. Baik,“ berkata Tunggul Ametung, “sampaikan lain kali.”
Witantra yang melihat kegembiraan yang
membayang di wajah Akuwu Tunggul Ametung tidak sampai hati untuk
mengganggunya dengan laporan-laporan yang dapat menggelisahkannya
tentang Empu Sada dan Kuda Sempana. Karena itu disimpannya laporan itu
untuk disampaikannya pada kesempatan yang lain.
Sepeninggal mereka, maka kini Akuwu
tinggal duduk bersama Ken Dedes, Mahisa Agni dan beberapa emban.
Diantaranya adalah emban tua pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari
Panawijen.
Namun, menghadapi persoalan yang selama
ini tersimpan di dalam dirinya, Akuwu Tunggul Ametung merasa canggung.
Ia tidak tahu bagaimana ia harus memulainya.
Sejenak mereka yang berada di dalam
ruangan itu saling berdiam diri, sehingga ruangan itu menjadi sepi.
Hanya tarikan nafas merekalah yang terdengar berkejar-kejaran.
Sekali-sekali Akuwu mengedarkan pandangan matanya berkeliling.
Dilihatnya Ken Dedes duduk bersimpuh sambil menekurkan kepalanya, emban
tua di belakang dan kemudian Mahisa Agni dengan Wajah temungkul.
Tunggul Ametung itu menarik nafas
dalam-dalam. Semua kemarahan kejengkelan dan hukuman yang pernah
diberikannya kepada Mahisa Agni kini telah dilupakannya sama sekali.
Yang berjejal-jejal di dalam dadanya kini adalah persoalannya sendiri.
Akuwu Tunggul Ametung itu ingin mendapat
kesan, setidak-tidaknya untuk meringankan perasaan sendiri, bahwa ia
telah mengambil Ken Dedes menurut adat yang seharusnya. Meminang kepada
keluarganya untuk mengambil anak gadisnya. Dan mendengar keluarganya
atau salah seorang daripadanya dengan ikhlas memberikannya.
Tetapi bukan saja Akuwu Tunggul Ametung
yang menjadi gelisah. Ken Dedes pun sebenarnya sejak menghadap selalu
diliputi oleh kegelisahan pula. Ia ragu-ragu akan kakaknya. Apakah nanti
yang akan dikatakan oleh Mahisa Agni? Apakah kakak angkatnya itu akan
menjawab pertanyaan dan pernyataan Akuwu Tunggul Ametung seperti yang
diharapkannya.
Sekali-sekali Ken Dedes mencoba memandang
wajah Mahisa Agni dengan sudut matanya. Namun ia sama sekali tidak
mendapat kesan apapun dari wajah yang tertunduk itu.
Dalam pada itu Tunggul Ametung yang
perkasa, Raja wali dalam setiap peperangan, yang selama ini selalu
menuruti perasaan sendiri yang kadang-kadang meledak-ledak, tiba-tiba
merasa bahwa seolah-olah mulutnya menjadi terbungkam.
Namun setelah berjuang beberapa lama,
setelah tubuhnya basah oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap
lubang kulitnya, barulah Akuwu yang perkasa itu berkata, “Mahisa Agni.
Apakah kau sudah tahu, apakah sebabnya aku memanggilmu?”
Jantung Mahisa Agni berdesir. Apakah yang
harus dikatakannya? Kalau Akuwu itu akan melamar Ken Dedes, maka ialah
yang harus datang kepadanya, bukan memanggilnya. Tetapi ketika ia sudah
berhadapan dengan Tunggul Ametung di muka Ken Dedes itu sendiri, ia
tidak sampai hati untuk mengatakannya. Ia tahu, hati Ken Dedes pasti
akan hancur. Karena itu maka ia menjawab, “Hamba tuanku. Hamba dapat
mengira-ngirakan, apakah sebabnya maka tuanku memanggil hamba
menghadap.”
“Bagus,“ sahut Tunggul Ametung, “nah, sekarang katakan, apakah keperluan itu?”
Kening Mahisa Agni menjadi
berkerut-kerut. Ken Dedes pun terkejut mendengar kata-kata Tunggul
Ametung itu. Bahkan kegelisahannya pun menjadi semakin mencengkam
hatinya.
Ketika sesaat Mahisa Agni belum menjawab,
maka Akuwu itu pun berkata pula, “Bukankah kau sudah tahu, apa sebabnya
aku memanggilmu?”
Kini Mahisa Agni lah yang menarik nafas.
Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, “Ampun tuanku.
Hamba hanya dapat mengira-ngirakan. Tetapi kepastian dari persoalan ini
ada pada tuanku. Karena itu, maka hamba tiada berani mendahului titah
tuanku.”
Ken Dedes pun menarik nafas pula
mendengar jawaban Mahisa Agni. Ternyata sampai sekian Mahisa Agni telah
menunjukkan sikap dan kata-kata yang baik. Meskipun demikian,
kegelisahan gadis itu masih saja mencengkamnya.
Sejenak kembali mereka berdiam diri. Ken
Dedes sekali masih berusaha untuk mendapat kesan dari wajah kakaknya,
namun Mahisa Agni kini menjadi semakin tertunduk.
Pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu
benar-benar tidak menyenangkan Mahisa Agni. Ia merasa bahwa dalam
hubungan ini ia sama sekali berada dalam keadaan yang sulit. Sulit
karena perasaan sendiri yang bergolak, sulit karena kedudukan yang tidak
seimbang dari pihak-pihak keduanya, sulit karena sikap Akuwu itu.
Bahkan seandainya Ken Dedes itu adiknya sendiri, yang tanpa membekali
persoalan-persoalan di dalam hatinya pun, ia merasa kecewa mendengar
pertanyaan Tunggul Ametung itu. Seolah-olah menurut tanggapan Mahisa
Agni, ia harus datang menawarkan gadis itu kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Namun ketika kemudian sekilas Mahisa Agni
melihat Tunggul Ametung itu mengusap keringat di wajahnya, serta
duduknya yang tidak tenang, timbullah dugaannya yang lain. Mungkin Akuwu
Tunggul Ametung menyimpan sesuatu di dalam hatinya sebelum ia dengan
berterus terang ingin menyampaikan maksudnya.
Tetapi Akuwu itu tidak segera berkata
apapun. Ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, maka keringatnya
menjadi semakin deras mengucur. Sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung itu
tidak menyimpan apapun di dalam dadanya. Bahkan ia ingin segera sampai
kepada persoalan dirinya sendiri. Tetapi ia kurang mampu untuk
mengatakannya. Ia mengharap Mahisa Agni dapat membuka jalan dari
pembicaraan itu. Tetapi ketika Mahisa mengembalikan persoalannya
kepadanya, maka ia menjadi semakin gelisah.
Karena kesenyapan dan kegelisahan yang
menyelubungi ruangan itu, maka suasana pun menjadi tegang. Akuwu Tunggul
Ametung masih belum menemukan cara untuk menyatakan maksudnya, sedang
Mahisa Agni menjadi jemu untuk duduk menunggu dalam ketegangan. Baginya
apapun yang akan dihadapinya, lebih baik segera didengarnya. Apakah
Akuwu lebih dahulu akan memarahinya karena sikapnya di saat-saat lampau,
atau bahkan akan menghukumnya. Namun baginya, duduk berdiam diri sambil
menundukkan wajahnya terlampau lama adalah menjemukan sekali. Lebih
baik baginya duduk diterik panas matahari yang membakar punggungnya
dipadang Karautan.
Ken Dedes dan emban pemomongnya yang
duduk di belakang, merasakan pula ketegangan itu. Mereka melihat dengan
hati yang berdebar-debar kegelisahan yang semakin mencemaskan pada Akuwu
Tunggul Ametung dan pada Mahisa Agni. kegelisahan itu telah
menambah-nambah pula kecemasan dan kegelisahan Ken Dedes sendiri. Serasa
tangannya ingin mendorong Akuwu untuk segera mengatakan maksudnya
sebelum ketegangan itu meledak tanpa terkendali.
(Bersambung ke jilid 19).
No comments:
Write comments