“Maafkan kami,“ berkata kedua prajurit
itu, “kami bertugas di dalam halaman istana sehingga kami tidak
mengetahui kehadiran tuan. Apabila demikian, marilah tuan kami antarkan
ke serambi belakang istana di samping regol itu tadi. Namun terpaksa
tuan masih harus menunggu, sampai tuan mendapatkan ijin masuk ke istana.
Hal itu adalah diluar wewenang kami.”
Tetapi Mahisa Agni sudah kehilangan
kesabaran. Kegelisahan dan kerisauan perasaannya sudah demikian
pepatnya. Apalagi Mahisa Agni sendiri tidak yakin apakah ia dapat
berhadapan dengan Ken Dedes sebagai seorang kakak? Sehingga ia menjadi
semakin jemu untuk menunggu di samping regol, di dekat pintu serambi
belakang. Maka jawabnya, “Aku sudah terlalu lama menunggu. Aku datang
kemari bukan atas kehendakku, dan sekarang aku harus menunggu terlampau
lama. Apabila nanti ada petugas lain yang melihat aku, pasti aku harus
menjawab berbagai pertanyaan pula.”
“Mungkin tuan sudah tidak akan terlalu lama menunggu.”
“Aku sudah terlalu lama berdiri di samping regol di dekat serambi itu.”
“Mungkin Akuwu sedang bersantap,
sehingga beberapa emban yang melayaninya tidak berani menyampaikan
permohonan kedua prajurit itu. Mereka harus menunggu beberapa saat.”
“Aku sama sekali tidak memerlukan
mereka,“ desis Mahisa Agni perlahan-lahan sehingga kedua prajurit itu
tidak mendengarnya dengan jelas. Namun kemudian Agni itu berkata, “Aku
akan kembali ke Panawijen. Tolong sampaikan kepada mereka, bahwa aku
sudah kembali.”
“Tuan,“ berkata salah seorang dari kedua
prajurit itu cemas, “kami minta maaf bahwa kami telah mengganggu tuan.
Mungkin tuan kecewa atas perbuatan kami. Kami benar-benar tidak tahu
siapakah tuan.”
“Tidak,“ sahut Agni, “aku tidak
menyalahkan kalian. Kalian benar-benar sedang melakukan kewajiban
kalian. Tetapi aku sudah jemu untuk menunggu.”
Kedua prajurit itu menjadi bingung. Para
penjaga regol pun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap
Mahisa Agni. Mereka tidak mempunyai wewenang untuk mencegahnya, sebab
mereka tidak tahu, sampai seberapa jauh kepentingan Mahisa Agni hadir di
istana Tumapel.
Namun kedua prajurit yang merasa menjadi
penyebab langsung dari kejemuan Mahisa Agni itulah yang kini menjadi
bertambah gelisah. Sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Apakah
tuan ingin menunggu di regol ini. Tuan dapat duduk dengan tenang.
Biarlah kami berdua saja yang menunggu di samping regol di dekat serambi
belakang. Nanti kami akan memanggil tuan apabila ijin itu telah tuan
dapatkan.”
Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Terima kasih. Aku akan pulang saja ke Panawijen.”
Ternyata prajurit-prajurit itu tidak
lagi mampu mencegah, mereka tidak berani menahan Mahisa Agni dengan
kekerasan, sebab mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk itu. Sehingga
mereka kemudian hanya dapat memandangi debu yang mengepul di belakang
derap kuda Mahisa Agni. Sesaat kemudian, hilanglah ia di belakang tabir
kegelapan malam.
Prajurit-prajurit itu menjadi gelisah.
Mereka tidak tahu pasti, apakah mereka tidak bersalah karena melepaskan
anak muda itu pulang. Namun apakah mereka dibenarkan seandainya mereka
terpaksa menahan Mahisa Agni dengan kekerasan.
Dalam serba ketidak tentuan itu, mereka
kemudian melihat tiga bayangan berjalan tergesa-gesa ke regol pertama.
Sepintas, para penjaga itu segera dapat mengenal, langkah kedua kawannya
yang datang bersama Mahisa Agni sore tadi, beserta seorang emban tua.
Hati para penjaga dan kedua prajurit
yang menyalakan lampu di regol tempat Mahisa Agni menunggu, menjadi
berdebar-debar. Kedua prajurit itu merasa, seakan-akan merekalah yang
menyebabkan Mahisa Agni itu kembali ke Panawijen. Kalau anak muda itu
benar-benar diperlukan, maka mereka pasti akan mendapat marah dari Akuwu
Tunggul Ametung.
“Sial benar kita kali ini,“ desis salah
seorang daripada mereka, “kalau saja kita tidak bertugas menyalakan
lampu-lampu sambil meronda keliling, kita tidak akan menemui soal yang
menggelisahkan ini.”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi debar jantungnya tidak kalah cepatnya dengan kawannya yang lain.
Ketika ketiga orang, kedua prajurit dan
emban tua telah sampai di regol pertama, maka dengan serta merta
terdengar emban tua itu bertanya, “Dimanakah Mahisa Agni? Apakah kalian
melihatnya?”
Sesaat para penjaga regol itu saling
berpandangan. Kemudian prajurit yang membawa. Agni ke regol ini
menjawab, “Aku melihat tuan Mahisa Agni itu. Kini ia telah kembali ke
Panawijen.”
“He,“ suara itu meledak bersama-sama dari ketiga orang yang baru datang, “kenapa tidak kalian cegah?”
“Kami telah mencobanya,“ sahut pemimpin
penjaga, “tetapi ia tetap pada pendiriannya. Menurut pesannya anak muda
itu telah jemu menunggu.”
“Oh,“ desis emban tua itu sambil menekan
dadanya. Nafasnya tiba-tiba menjadi semakin cepat mengalir, “Agni.
Agni. Bukan main. Hati yang telah lapuk ini masih juga kau lukai. Oh,
alangkah besar dosa yang aku tanggungkan,“ perempuan itu mengeluh. Namun
keluhan di hatinya jauh lebih pedih dari yang diucapkannya,
seolah-olah Agni sengaja menyakiti hatinya, “Hem,“ perempuan tua itu
menarik nafas panjang, “Salahku,“ keluhnya di dalam hati, “anak itu
tidak pernah merasakan betapa kasih sayang seorang ibu mengusap
keningnya. Bagaimana ia kini harus mencintai ibunya? Apalagi mematuhi
permintaannya? Bukan salah Mahisa Agni. Permintaanku terlalu berat,
sedang aku belum pernah memberinya sesuatu.”
Sesaat regol itu menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angannya. Namun wajah-wajah mereka
kini benar-benar membayangkan kegelisahan hati.
Sejenak kemudian emban tua itu berkata kepada kedua prajurit yang mengantarnya ke Panawijen, “Bagaimana?”
“Terserah kepada bibi,“ sahut keduanya.
Sekali lagi emban tua itu mengeluh, katanya, “Apakah yang harus aku katakan kepada Tuanku Akuwu?”
Semuanya masih terbungkam. Dan semuanya
masih juga berdebar-debar. Sementara itu terdengar emban itu berkata,
“Akuwu sendiri telah menyambutnya di ruang dalam. Dengan tergesa-gesa
beliau berkemas sehabis makan malam. Tetapi anak itu telah pergi.”
Yang mendengar keterangan itu menjadi
semakin berdebar-debar. Demikian pentingnyakah anak muda itu sehingga
Akuwu sendiri akan menyambutnya di ruang dalam?”
Karena itu maka salah seorang dari
mereka berkata, “Bibi emban, apakah sebaiknya kami, salah seorang atau
dua orang pergi menyusulnya?”
Emban itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Jangan.”
“Kenapa? Bukankah kami akan dapat membawanya kemari, menghadap Akuwu Tunggul Ametung.”
“Anak itu keras hati. Mungkin ia tidak akan bersedia kembali.”
“Kalau memang perlu sekali, kami akan mencoba memaksanya.”
Sekali lagi emban itu menggeleng. Emban
yang sudah mengenal Mahisa Agni itu dengan baik berkata di dalam
hatinya, “Jangankan satu atau dua orang. Empat orang penjaga bersama
empat orang prajurit yang lain itu pun tak akan dapat memaksanya dengan
kekerasan. Bahkan apabila kemudian Mahisa Agni menjadi marah dan
menjadi gelap hati, maka ia akan dapat membuat cedera beberapa diantara
para prajurit itu. Dengan demikian maka anak itu akan terjerumus ke
dalam kesulitan yang lebih dalam.”
Namun yang terloncat dari mulutnya adalah, “Akulah yang bersalah. Aku memang membiarkan anak muda itu terlampau lama menunggu.”
“Lalu apakah yang akan bibi kerjakan?”
Emban itu terdiam sesaat. Namun sesaat itu telah ditemukannya sikap atas peristiwa kembalinya Mahisa Agni ke Panawijen.
“Biarlah aku mempertanggung
jawabkannya,“ katanya di dalam hati. Ternyata perempuan tua itu telah
menimpakan semua kesalahan pada dirinya sendiri. Karena itu ia telah
bertekad untuk melindungi anaknya. Satu-satunya anaknya. Lebih baik
semua kesalahan dibebankan kepadanya dari pada harus menyentuh anaknya
itu.
“Kita menghadap Akuwu,“ berkata emban itu kemudian.
“Tanpa Mahisa Agni?” bertanya kedua prajurit yang mengantarkannya ke Panawijen.
Perempuan itu menggeleng, “Mahisa Agni telah pergi.”
Kedua prajurit itu tidak menjawab.
Mereka kemudian berjalan di belakang perempuan itu sambil menundukkan
wajahnya. Mereka sudah membayangkan apa yang akan terjadi di ruang
dalam. Akuwu adalah seorang yang aneh. Seorang yang dapat bertindak
menurut kehendaknya sendiri. Hampir dalam sekejap Akuwu dapat berbuat
hal-hal diluar dugaan. Karena itu, semakin berdebar-debar.
Sementara itu Akuwu ternyata telah
memanggil Ken Dedes pula untuk datang ke ruang dalam. Akuwu itu menjadi
sangat gembira ketika ia mendengar Mahisa Agni telah bersedia datang.
Selain ia akan dapat bertemu dengan salah seorang keluarga Ken Dedes,
sehingga jalan yang ditempuhnya tidak akan terasa terlampau kasar dan
melanggar adat, juga Akuwu menganggap bahwa apabila Mahisa Agni
bersedia, maka ia akan dapat memperkuat kesatuan pengawal istana di
samping Witantra, setelah ia melihat sendiri, betapa anak muda itu mampu
bertempur melawan Ken Arok dengan baik.
Sebagai seorang Akuwu maka
kepentingannya dengan Mahisa Agni langsung tersangkut dengan kepentingan
kedudukannya. Telah terbayangkan olehnya, bahwa di samping Witantra,
pasukan pengawal istana akan diperkuat dengan Ken Arok yang akan
dipindahkannya dari seorang pelayan dalam langsung ke dalam lingkungan
keprajuritan, dan Mahisa Agni.
Dalam kesempatan inilah Akuwu akan
memanfaatkan pertemuannya dengan Mahisa Agni. Yang pertama, dengan resmi
minta supaya keluarga Ken Dedes tidak merasa tersinggung dengan
caranya mengambil Ken Dedes, dalam hal ini akan dicobanya untuk
menjelaskan, bahwa sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung pada waktu itu
terseret oleh ketamakan Kuda Sempana, dan yang kedua akan ditawarkan
kepada Mahisa Agni sebuah kedudukan yang cukup baik di bawah pimpinan
Witantra bersama-sama dengan Ken Arok, setelah Akuwu menerima Kebo Ijo
masuk pula ke dalam lingkungau itu.
Sesaat kemudian Akuwu Tunggul Ametung
lah yang menjadi gelisah menunggu di serambi di muka biliknya. Belum ada
seorang pun yang datang kepadanya dan memberitahukan, bahwa Mahisa
Agni telah menunggunya di ruang dalam, sekali Akuwu Tunggul Ametung itu
berdiri, dan sesaat kemudian ia pun terhenyak duduk di atas sebuah
tempat duduk yang rendah. Sekali-sekali dipandanginya pintu ke ruang di
sebelah, namun belum juga seorang emban pun yang datang kepadanya.
“Gila,“ gumannya, “apakah aku dibiarkan jemu menunggu disini?”
Tetapi ketika teringat olehnya, gadis
bakal permaisurinya, maka ia mencoba menekan perasaannya. Kembali ia
duduk sambil membelai kumisnya, namun ia menjadi gelisah kembali,
seperti nyala pelita minyak yang tergantung pada dinding papan tertiup
angin yang silir.
“Heh,“ Akuwu itu mengeluh, “terlalu lama.”
Akhirnya Akuwu itu tidak sabar lagi.
Hampir saja ia berteriak memanggil pelayannya yang duduk di atas tangga
serambi, namun niatnya itu diurungkannya ketika ia mendengar beberapa
langkah mendekatinya.
“Ha,“ Akuwu itu tersenyum, “agaknya anak muda itu telah datang dan menunggu aku di ruang dalam.”
Tunggul Ametung kemudian berdiri. Sekali
lagi ia membelai kumisnya, lalu berjalan perlahan-lahan mendekati
pintu. Tetapi ia menjadi terkejut ketika ia melihat, yang datang
kepadanya, di serambi sebelah adalah emban tua, dua orang prajurit, dan
yang lebih mengejutkan lagi, Ken Dedes beserta dengan mereka pula.
“He,“ teriak Akuwu kepada seorang pelayan yang mengantar mereka, “kenapa kalian datang kemari?”
Pelayan itu menjadi bingung.
“Kenapa,“ bentak Akuwu pula.
“Bibi dan tuanku puteri minta aku membawa kemari.”
Akuwu mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Masuk ke ruang dalam. Di sana aku akan menemui kalian.”
Dada emban tua itu menjadi semakin cepat
bergetar. Namun Kembali ia membulatkan niatnya untuk memikul semua
kesalahan di atas pundaknya. Karena itu maka segera, setelah mereka itu
bersimpuh duduk di lantai diluar pintu menyembah sambil berkata, “Ampun
tuanku. Hamba ingin memberitahukan sesuatu ke bawah duli tuanku.”
Tunggul Ametung mengerinyitkan alisnya, “Apa?” ia bertanya.
“Tentang anak muda yang bernama Mahisa Agni.”
“Ke ruang dalam,“ berkata Akuwu lantang. Seandainya tidak ada Ken Dedes pada saat itu, pasti ia sudah berteriak keras sekali.
“Hamba tuanku, tetapi apa yang hamba katakan semula ternyata keliru.”
“He,“ kini Tanggul Ametung benar-benar berteriak sambil membelalakkan matanya, “apa yang keliru?”
Bagaimanapun juga maka hati emban tua
itu pun berdebar-debar pula. Ketika ia mencoba memandang wajah Akuwu,
maka segera ia menundukkan kepalanya. Dari sepasang matanya, seakan-akan
memancar api yang menyala dari dadanya.
Karena emban tua itu tidak segera menjawab, maka sekali lagi Akuwu itu membentak keras-keras, “Apa yang keliru he, apa?”
“Ampun tuanku,“ emban tua itu menyembah.
Dicobanya mengatur hatinya supaya ia mampu mengatakannya dengan jelas,
“hamba bertiga telah benar-benar datang bersama Mahisa Agni ke istana
ini.”
“Sudah kau katakan, sudah kau katakan,“
potong Akuwu Tunggul Ametung, “aku tidak menyangkal. Lalu kau katakan
bahwa apa yang kau katakan itu keliru.”
Debar di dada emban tua itu menjadi
semakin keras. Wajahnya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Dengan nafas
yang terengah-engah ia berkata, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah demikian.
Aku telah terlampau lama membiarkan anak itu menunggu diluar regol.
Aku tidak berpesan supaya ia tetap menunggu hamba meskipun lama,
sehingga anak itu kini telah kembali ke Panawijen.”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung benar-benar
telah membara. Dadanya seolah-olah pecah mendengar keterangan itu. Namun
justru karena itu, maka Akuwu itu seperti terbungkam. Yang terdengar
hanyalah gemeretak giginya beradu.
Sesaat ruangan itu menjadi sunyi. Mereka
saling berdiam diri dalam keadaan yang berbeda-beda. Akuwu terdiam
justru karena kemarahan menghentak-hentak dadanya, sedang orang-orang
yang lain menundukkan wajahnya karena ketakutan.
Tetapi emban tua itu, setelah kata-kata
yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya itu terloncat keluar, maka
hatinya kini justru menjadi bertambah tenang, sehingga karena itu,
sehingga ia dapat mempergunakan pikirannya kembali. Bagaimana ia dapat
melepaskan Mahisa Agni dari kesalahan.
Maka dengan penuh kesungguhan untuk
kepentingan anaknya, emban tua itu berkata, “Namun tuanku, bukan salah
anak muda itu. Akulah yang salah berpesan kepadanya. Aku minta ia
menunggu di regol, tetapi kalau aku terlalu lama tidak kembali, berarti
ia tidak mendapat ijin untuk menghadap. Karena itu ia dapat pulang
kembali ke Panawijen untuk lain kali menghadap kembali.”
Akuwu memandangi wajah emban tua yang
tunduk itu dengan mata yang menyala-nyala. Betapa kemarahan
menghentak-hentak dadanya sehingga seakan-akan dadanya itu akan meledak.
Dengan gemetar Akuwu Tunggul Ametung berkata terpatah-patah justru
karena kemarahannya, “Jadi Mahisa Agni itu telah kembali?”
“Hamba tuanku?”
“Hanya karena terlalu lama menunggu?”
“Hamba tuanku.”
“Dan kesalahan itu terletak padamu,
karena kau sengaja berpesan kepadanya supaya ia pulang saja kalau
terlampau lama menunggu diluar.”
“Hamba tuanku.”
“Gila,“ teriak Akuwu, “kau sudah gila
dan Mahisa Agni sudah gila pula. Kenapa ia tidak mau menunggu hanya
selama aku makan? Akulah Akuwu Tumapel. Semua orang harus menuggu
perintahku. Jangankan selama aku makan, sehari ia harus menunggu,
seminggu, sebulan, bahkan aku dapat memaksanya menunggu bertahun-tahun
dan selama hidupnya.”
Desir di dada emban tua itu menjadi semakin tajam. Tetapi tekadnya benar-benar telah bulat. Agni tidak bersalah.
“Kenapa anak itu tidak mau menunggu aku
selesai makan, kenapa? Apakah disangkanya bahwa ia berhak memutuskan
waktuku, apa saja yang sedang aku kerjakan? Itu adalah perbuatan gila.
Aku tidak dapat memaafkannya lagi. Beberapa waktu yang lampau aku telah
dihinakannya dengan menolak perintahku menghadap ke istana. Sekarang ia
menghina aku lagi dengan cara lain.”
“Bukan salahnya tuanku,“ potong emban
tua itu, “bukan salah Mahisa Agni. Hambalah yang salah. Pesan hambalah
yang keliru. Hamba sangka Tuanku belum pasti dapat mengijinkan anak itu,
sehingga hamba berpesan demikian.”
“Itu adalah sangkamu saja bukan?“ teriak
Akuwu semakin keras, “tetapi ketika telingamu sudah mendengar, bahwa
aku sedang bersantap, bukankah mulutmu dapat mengatakannya kepada anak
muda itu supaya ia menunggu?”
“Hamba tuanku. Itulah kesalahan hamba.”
“Tutup mulutmu,“ teriak Akuwu itu pula,
sehingga seolah-olah dinding-dinding ruangan itu turut bergetar. “sekali
kau membuka mulutmu, aku sumbat mulutmu dengan tumitku.”
Emban tua itu terdiam. Ia tidak berani
berkata sepatah kata pun lagi. Meskipun demikian ia masih tetap dalam
tekadnya, melindungi anaknya dan mengambil segala kesalahan di
pundaknya.
Kedua prajurit yang ikut menghadap saat
itu, sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Wajah yang keras
karena pekerjaan berat, terik matahari di siang hari dan tetesan embun
dimalam hari, kini terhujam dalam-dalam. Debar dada mereka terasa
menjadi semakin cepat dan keras, serasa jantung mereka akan pecah
menahan arus darah mereka yang seolah-olah semakin kencang. Namun
meskipun demikian, kedua prajurit itu tidak habisnya menjadi heran.
Kenapa emban itu meletakkan kesalahan pada dirinya. Kedua prajurit itu
melihat dan mendengar apa yang dipesankan oleh emban tua itu kepada
Mahisa Agni. Kedua prajurit itu mendengar dengan telinganya bahwa Mahisa
Agni memang telah mengancam sebelumnya, bahwa ia akan kembali ke
Panawijen apabila ia harus terlalu lama menunggu diluar regol. Ternyata
anak muda itu benar-benar kembali. Tetapi tiba-tiba emban itu
membebankan kesalahan itu kepada dirinya.
Dalam pada itu terdengar kata-kata
lantang dari Akuwu yang sedang marah itu, kali ini tidak terpatah-patah
lagi, tetapi mengalir seperti banjir, “He, emban tua. Kalau bukan
karena kesanggupanmu membawa anak itu kemari, maka aku pasti sudah
memerintahkan menangkapnya dan membawa kemari dengan paksa. Aku dapat
berbuat apa saja di Tumapel ini tanpa persetujuannya. Apalagi Ken Dedes
telah menyatakan perasaan. Sebagai seorang gadis yang telah dewasa, ia
bukan lagi sebuah golek kayu yang hanya dapat mendengarkan pendapat
orang lain. Bahkan seandainya keluarganya tidak dapat membenarkan, aku
dapat juga mempergunakan cara seperti yang dilakukan Kuda Sempana,
melarikannya. Bahkan aku dapat mempergunakan kekuasaanku sebagai seorang
Akuwu.”
“Tetapi aku mencoba mencari jalan lain.
Jalan yang sebaik-baiknya. Jalan yang lumrah, yang dapat ditempuh tanpa
menimbulkan geseran perasaan. Tetapi kemauanku yang baik itu telah
dihinakannya. Dianggapnya aku terlampau lemah dan tidak sanggup berbuat
lebih baik dari apa yang aku kerjakan.”
“Dan sekarang aku tidak dapat
memaafkannya lagi. Aku juga tidak dapat memaafkanmu. Kau juga telah
menghinaku. Bahkan Kaulah sumber dari kesalahan itu setelah kau mencoba
memperbaiki kesalahan Mahisa Agni.”
Emban tua itu tidak menjawab. Kepalanya
menjadi semakin tunduk. Namun emban tua itu sama sekali sudah tidak
gelisah lagi. Justru ia menjadi tenang. Ia bergembira karena sebagian
terbesar kesalahan itu telah dituduhkan kepadanya, ialah sumber
kesalahan itu. Setiap hukuman yang aku terima, adalah cara sebaiknya
untuk mengurangi tali yang membelenggu diriku selama ini. Dengan
demikian barulah aku seorang ibu bagi anakku itu. Seorang ibu yang dapat
memberinya sesuatu,“ katanya di dalam hati, “bukankah selama ini aku
belum pernah berbuat sesuatu atas anakku itu,“ kata-kata itu selalu
berulang-ulang bergema di dalam dadanya. Kenangan masa lampaunya setiap
saat tumbuh dan berkembang di dalam angan-angannya. Dan emban tua itu
dengan demikian selalu dikejar oleh perasaan bersalah.
Akuwu yang marah itu seolah-olah menjadi
kian marah Kata-katanya masih membanjir terus, “Kini, aku harus segera
mengambil sikap. Baik kepadamu, he emban yang bodoh, mau pun kepada
Mahisa Agni. Tetapi kaulah yang harus menerima hukuman yang terberat.
Mahisa Agni telah bersedia datang, tetapi karena kebodohanmu maka anak
itu pergi. Aku sudah tidak dapat memberimu kesempatan lagi.”
Tiba-tiba emban tua itu mengangkat
wajahnya. Wajah yang sayu dipenuhi oleh berbagai derita hidup yang
pernah dialaminya. Dengan tenang dipandanginya wajah Akuwu Tunggul
Ametung yang bagaikan bara yang sedang menyala itu.
Tetapi sesaat kemudian Akuwu Tunggul
Ametung itu justru berpaling. Dengan serta merta ia berdiri dan
melangkah beberapa langkah menjauhi orang-orang yang menghadapnya.
Dengan gemetar Akuwu Tunggul Ametung berdiri membelakangi mereka.
Seandainya pada saat itu tidak ada Ken
Dedes diantara mereka, maka tingkah laku Akuwu Tunggul Ametung pasti
sudah tidak terkekang lagi. Mungkin ia berteriak-teriak memanggil
beberapa orang prajurit dan memerintahkannya agar emban itu disekap
dalam tahanan, atau mendapat hukuman-hukuman lain yang berat.
Tetapi demikian besar pengaruh kehadiran
Ken Dedes itu sehingga Akuwu Tunggul Ametung masih mencoba untuk
menekan perasaannya meskipun dadanya serasa akan meledak.
Tiba-tiba sambil membelakangi mereka,
Akuwu itu berkata dengan suara bergetar, “Aku tidak akan memerintahkan
menangkap Mahisa Agni dan memaksanya membawa kemari. Aku sudah tidak
memerlukannya lagi. Kalian berdua akan dibuang dari telatah Tumapel ke
dalam hutan. Itu adalah hukuman yang paling ringan yang dapat aku
berikan kepada kalian.”
Emban tua itu menyembah meskipun Akuwu
Tunggul Ametung tidak melihatnya. Dengan tenang ia menjawab, “Hamba
menyatakan terima kasih hamba tiada taranya atas kemurahan tuanku. Namun
sebenarnyalah Mahisa Agni tidak bersalah. Biarlah hamba menerima
hukuman hamba dua lipat ganda, asal tuanku sudi mempertimbangkan hukuman
yang tuanku berikan kepada Mahisa Agni.”
“Tutup mulutmu,“ kembali Tunggul Ametung
itu berteriak sambil memutar tubuhnya. Hampir saja ia meloncat dan
menampar mulut perempuan yang berani menjawab kata-katanya, “akulah
Akuwu Tumapel. Bukan kau. Akulah yang menentukan hukuman itu. Bukan kau.
Kau dengar He?”
Emban tua itu tidak menjawab. Kini kembali wajahnya menghunjam ke tanah. Tetapi ia masih tetap dalam ketenangan.
Akuwu yang marah menjadi kian marah.
Tubuhnya bergetar seperti orang yang menggigil kedinginan. Wajah merah
membara dan kakinya menghentak-hentak lantai.
“Besuk sebelum ayam jantan berkokok
untuk yang terakhir kalinya, kalian harus sudah tidak berada di dalam
wilayahku. Kalau aku masih melihat kalian di daerah ini, maka kalian
akan mendapat hukuman mati. Kau dengar?”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian berarti malam ini ia harus meninggalkan Tumapel menuju
ke Panawijen dan membawa Mahisa Agni meninggalkan Panawijen, sebab
Panawijen pun masih termasuk daerah Tumapel.
Dada emban tua itu menjadi
berdebar-debar. Baginya hukuman itu sama sekali tidak terlalu berat. Ia
dapat berada dimana saja. Tetapi anaknya adalah tunas yang menghadap ke
hari depan yang panjang. Kecuali untuk dirinya sendiri lalu
bagaimanakah dengan bendungan yang akan dibangun itu? Padang Karautan
pun termasuk daerah Tumapel pula, sehingga Mahisa Agni pasti tidak akan
dapat membangun bendungan di daerah itu.
Dalam pada itu terdengar perintah Akuwu
itu kembali kepada kedua orang prajurit yang semula mengantarkan
perempuan tua itu menjemput Mahisa Agni, “He kedua prajurit yang bodoh
pula. Karena kau tersangkut pula dalam kebodohan ini, maka untuk
menyingkirkan kedua orang yang menghina Akuwu Tunggul Ametung dari
Tumapel ini adalah kuwajibanmu. Kuwajiban itu harus selesai sebelum ayam
jantan berkokok menjelang fajar. Kalian harus sudah melaporkan
pelaksanaan perintah ini sebelum tengah hari, kau dengar?”
Kedua prajurit itu menyembah sambil
membungkuk dalam-dalam. Mereka sudah tahu benar sifat-sifat Akuwunya,
sehingga mereka sama sekali tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam keadaan yang demikian, maka mereka hanya dapat menyembah dan
membungkuk dalam-dalam. Melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan
melaporkan hasilnya.
Kini mereka mendapat perintah untuk
menyingkirkan emban tua itu bersama Mahisa Agni dari wilayah Tumapel.
Untuk itu mereka harus menyembah dan siap melakukannya.
Ruangan itu sesaat menjadi sunyi. Tak
seorang pun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Semuanya
menundukkan wajahnya dalam-dalam pula.
Baru sejenak kemudian terdengar Akuwu
itu membentak keras-keras, “Ayo pergi. Apa yang kalian tunggu disini?
Pergi dari halaman istana dan pergi dari Tumapel. Kalian orang yang
tidak pantas tinggal di daerah kekuasaanku. Kalau kalian berada di
Tumapel kembali, maka kalian adalah orang buruan.”
Emban yang telah bersedia menghadapi
segala bentuk hukuman itu sama sekali tidak menjadi cemas tentang
dirinya sendiri, tetapi yang digelisahkan adalah Mahisa Agni beserta
rencana yang telah disiapkannya. Namun ia tidak sempat untuk berpikir
saat itu. Sekali lagi ia mendengar Akuwu Tumapel membentak, “Pergi,
pergi sebelum aku memaksamu pergi.”
Emban tua itu menyembah kembali. Ketika
kemudian ia berpaling kepada kedua prajurit yang bertugas
menyingkirkannya, ia melihat kedua prajurit itu masih juga ragu-ragu.
Meskipun demikian kedua prajurit itu pun menyembah sambil berkata,
“Hamba akan menjalankan perintah tuanku.”
Kemudian kepada emban tua, kedua
prajurit itu berkata dengan bimbang, “Marilah bibi, aku harus
menjalankan perintah tuanku Akuwu.”
Emban tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya sama sekali tidak dibebani oleh perasaan takut,
cemas dan pedih. Apa yang harus dilakukan itu dihadapinya dengan penuh
ketabahan seorang yang telah, mengendapkan hatinya.
Tetapi ketika emban tua itu bergerak
sambil berbisik kepada Ken Dedes, “Sudahlah Nini. Tinggallah disini.
Semoga kau bahagia untuk seterusnya.“ Maka gadis itu pun tak dapat
menahan perasaannya. Emban itu adalah pemomongnya. Pemomongnya sejak ia
masih kanak-kanak. Pemomongnya yang seakan-akan telah menggantikan
ibunya yang hampir-hampir belum pernah dikenalnya.
Emban itu adalah seorang perempuan tua
yang sangat baik baginya. Yang mendukung pada saat ia masih seorang
anak-anak, menyuapinya dan membelainya menjelang tidur. Melagukan
tembang yang sejuk dan berceritera tentang burung podang yang berdendang
di pupus pisang dalam ceritera Kiranya pada masa yang baru saja silam.
Kini ia melihat perempuan itu mendapat
bencana karena usahanya untuk melapangkan jalannya menuju ke tempat yang
tak pernah diimpikan di saat kanak-kanaknya, bahkan sampai saat
terakhir sebelum ia berada di istana in pun, Ken Dedes tidak pernah
membayangkan bahwa suatu ketika ia akan menjadi seorang permaisuri Akuwu
Tumapel.
Karena itulah maka betapa perasaannya
tidak rela melihat embannya harus meninggalkan istana, bahkan
meninggalkan Tumapel dalam buangan. Merantau dari satu tempat ke lain
tempat. Berjalan terbongkok-bongkok karena umurnya yang telah menjadi
semakin tua tanpa tempat untuk hinggap. Siang hari kepalanya akan
dibakar oleh terik matahari, sedang di malam hari, kulitnya yang telah
berkeriput akan digigit oleh dinginnya embun malam.
Ken Dedes yang dilanda oleh luapan
keharuan itu tiba-tiba menangis sambil memeluk emban tua itu.
Terdengarlah suaranya terbata-bata, “Bibi, aku ikut kau bibi. Tak ada
tempat yang paling baik bagiku daripada kelembutan pelukanmu.”
“Jangan puteri,“ jawab emban itu
cepat-cepat, “jangan. Kau telah menemukan tempat berpijak yang mantap.
Ayahmu adalah seorang yang baik dan tekun dalam pengabdiannya kepada
yang Maha Agung serta kepada sesama. Kini kurnia telah melimpah
kepadanya, lewat puterinya yang tunggal.”
“Tidak. Tidak bibi. Aku tidak dapat
hidup dalam kesepian. Aku tidak dapat terpisah dari orang-orang yang
baik kepadaku. Bibi dan kakang Mahisa Agni. Kalau kalian berdua hidup
dalam pembuangan, apakah aku dapat hidup tenteram di dalam istana ini.”
“Nini,“ potong emban tua itu, “jangan
seperti kanak-kanak lagi. Kau sudah dewasa. Pandanglah ke depan.
Hari-hari yang mendatang masih panjang.”
“Tidak bibi, tidak,“ Ken Dedes itu menangis semakin keras. Pelukannya pun menjadi semakin kuat.
Dalam pada itu Akuwu Tumapel yang sedang
marah, berdiri tegak dihadapan mereka seperti patung. Betapa keras
hatinya, sekeras batu akik, namun ketika ia melihat Ken Dedes menangis
memeluk emban tua yang dianggapnya berdosa itu pun hatinya menjadi
luluh. Sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi Akuwu Tumapel, ia hanya
bergaul dengan para prajurit dan para pimpinan pemerintahan. Berlatih
dalam olah keprajuritan, jaya kawijayan dan kanuragan. Berbicara tentang
Tumapel dan apabila ia jemu menghadapi suatu keadaan, maka segera ia
membawa beberapa orangnya keluar istana, pergi berburu. Itulah sebabnya,
maka Akuwu Tunggul Ametung jauh dari pengenalan watak seorang
perempuan. Karena itu, ketika ia melihat seorang gadis menangis
dihadapannya, maka ia menjadi bingung. Kemarahannya yang telah memuncak,
tiba-tiba seperti dihanyutkan oleh arus air mata Ken Dedes.
Terdengar Tunggul Ametung itu menggeram
perlahan-lahan. Gadis itu tidak boleh berduka. Gadis yang telah menjerat
hatinya, bukan saja karena wajahnya dan tubuhnya, namun juga terasa
seakan-akan gadis itu memiliki sesuatu yang dikurniakan oleh Yang Maha
Agung. Ketika seakan-akan ia melihat sinar yang memancar dari jantung
gadis itu telah terbersit di hatinya, gadis ini adalah gadis pilihan
untuk melaksanakan sesuatu maksud dari Yang Maha Agung bagi tanah tempat
kelahirannya.
Dalam kebingungan itu, Akuwu masih
mendengar emban Ken Dedes itu berkata, “Nini, jangan dihanyutkan oleh
perasaan kekanak-kanakan. Kau harus melihat kepentingan yang lebih
besar. Kepentingan yang jauh lebih berharga dari perempuan tua ini.”
“Tidak, tidak,“ Ken Dedes masih
menangis. Ia seakan-akan sudah tidak dapat mendengar apapun lagi.
Hatinya meronta melihat peristiwa yang menggores perasaannya itu.
Emban tua itu pun menjadi bingung.
Tangis momongannya telah menyentuh perasaan harunya pula. Ternyata gadis
itu adalah gadis yang dapat menghargai sikap orang lain kepadanya.
Menghargai apa yang pernah dilakukannya. Namun karena itu, maka ia pun
terdiam pula. Bahkan terasa sesuatu memanasi kerongkongannya.
Kembali ruangan itu menjadi sepi. Tangis
Ken Dedes lah yang seolah-olah memenuhi ruangan. Tangis yang tulus,
yang memancar dari dasar hatinya.
“Hem,“ sekali lagi terdengar Tunggul
Ametung menggeram perlahan-lahan. Ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Ia tidak tahu, bagaimana ia harus menghibur Ken Dedes supaya
ia tidak menangis lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah
berjalan mondar mandir sambil berdesah berkali-kali.
Kedua prajurit yang duduk di belakang
emban tua itu pun menjadi bingung. Sejak semula mereka telah ragu-ragu
untuk melakukan perintah Akuwu. Mereka sama sekali tidak dapat mengerti,
kenapa emban tua itu telah menyalahkan dirinya sendiri, dan bahkan
dengan tabah dan tenang mendengarkan hukuman yang harus dijalankan.
Apalagi kini ia melihat puteri bakal permaisuri Akuwu itu menangis
memeluknya dan bahkan seolah-olah hukuman yang diberikan kepada
perempuan tua itu harus diberikan kepada dirinya pula.
Orang-orang yang duduk di dalam ruangan
itu, benar-benar telah dicengkam oleh kebingungan. Kebingungan
menghadapi persoalan masing-masing. Persoalan yang berbeda-beda, namun
mempunyai titik singgungan yang sama. Bahkan pelayan yang telah membawa
mereka menghadap pun duduk dengan mulut ternganga sehingga ia menjadi
kehilangan kesempatan untuk menanggapi peristiwa itu dengan
kesadarannya.
Akuwu yang berjalan mondar-mandir masih
saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Sekali-sekali ia
berhenti, berpaling memandangi Ken Dedes yang masih menangis, namun
kemudian kembali ia menundukkan kepalanya sambil menarik nafas
dalam-dalam. Persoalan yang dihadapi saat ini baginya terasa jauh lebih
berat, dari pada ia harus menghadapi musuh yang datang dengan prajurit
segelar sepapan.
Kesepian yang tegang, tangis Ken Dedes
dan desah nafas perempuan itu, terasa sangat menyesakkan nafas Akuwu
Tunggul Ametung. Bahkan kemudian kepalanya terasa menjadi pening, dan
kemudian kehilangan akal untuk mengatasi keadaan.
Tangis Ken Dedes lah yang semakin lama
menjadi kian surut. Gadis itu kemudian mencoba menenangkan hatinya,
ketika dengan lembut pemomougnya berkata, “Jangan menangis putri. Kau
bukan lagi seorang anak kecil yang hanya pandai menangis. Aku sekarang
sudah tidak kuat lagi mendukungmu sambil berdendang kidung yang luruh
supaya kau tertidur. Aku tidak lagi dapat membelai rambutmu sambil
berceritera tentang seekor kancil yang cerdik. Ceritera untukmu kini
harus sudah berbeda nini. Ceritera yang baik bagimu adalah ceritera
tentang Arjuna dan Sumbadra. Dan aku tidak akan mampu menceriterakan
kepadamu. Karena itu, jangan menangis. Angkatlah wajahmu. Pandang hari
depan dengan penuh gairah untuk menyongsongnya.”
Tangis Ken Dedes kemudian benar-benar
mereda. Gadis itu benar-benar mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak
memandang hari depannya dalam lingkungan yang sempit. Peristiwa yang
telah terjadi atasnya, benar-benar telah membentuknya menjadi dewasa.
Karena itu tiba-tiba timbullah pikiran di dalam hatinya, “Akulah yang
akan menemui kakang Mahisa Agni.”
Pikiran itu kemudian membulat di dalam
hatinya. Dengan tatag kemudian ia menyembah sambil berkata kepada Akuwu
Tunggul Ametung, “Ampun tuanku, apakah hamba diperkenankan untuk
menyampaikan perasaan hamba?”
Tunggul Ametung terkejut mendengar suara
Ken Dedes. Gadis itu kini sudah tidak menangis lagi, meskipun
sekali-sekali tangannya masih sibuk mengusap air matanya.
“Berkatalah,” sahut Tunggul Ametung
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepalanya itu masih terasa
pening. Gadis itu sudah tidak menangis dengan sendirinya, sebelum ia
dapat berbuat sesuatu untuk menenangkannya.
“Tuanku, yang pertama-tama hamba mohon maaf bagi bibi emban dan kakang Mahisa Agni.”
Dahi Tunggul Ametung berkerut. Ia harus
mempertimbangkan kembali keputusannya. Terasa dadanya bergetar. Untuk
pertama kali ia mendapat tekanan dari seseorang dalam pertimbangannya
untuk menjatuhkan hukuman. Meskipun pada saat ia mengucapkan hukuman
terhadap emban tua serta Mahisa Agni telah memerlukan suatu perjuangan
di dalam dadanya, supaya ia sedikit dapat mengendalikan dirinya, namun
kini tekanan itu menjadi sangat sulit untuk dihindarkan. Hukuman yang
sudah terlampau ringan itu masih harus di pertimbangkannya kembali.
Tetapi permohonan itu dilontarkan lewat
mulut Ken Dedes. Apalagi permohonan ampun bagi seorang emban tua dan
Mahisa Agni, bahkan apapun yang akan dimintanya, Akuwu itu pasti tidak
akan kuasa menolaknya.
Tetapi ia adalah seorang Akuwu Tumapel.
Dihadapannya duduk bersimpuh beberapa orang dan dua orang prajurit.
Karena itu, maka bagaimanapun juga, namun ia masih harus tetap
mempertahankan kewibawaan seorang Akuwu.
Karena itu, maka untuk tidak melepaskan
kekuasaan yang ada di tangannya, maka Akuwu itu berkata, “Kenapa kau
mohon ampun untuk mereka itu Ken Dedes? Aku telah menjatuhkan hukuman
atas mereka, karena mereka telah menghina Akuwu Tunggul Ametung. Apakah
pertimbanganmu tentang itu?”
Sikap Ken Dedes pun kemudian benar-benar
mengagumkan. Meskipun ia tetap dalam sikap yang sangat hormat, sambil
menyembah ia berkata, “Tuanku, kesalahan yang mereka lakukan sama sekali
tidak mereka sengaja. Mereka sama sekali tidak ingin menghina Akuwu
Tunggul Ametung. Tetapi keadaan telah mendorong mereka, sehingga mereka
mengabaikan perintah dan keinginan Akuwu. Kesalahan yang demikian
menurut pendapat hamba, bukanlah kesalahan yang harus mendapat hukuman.
Tetapi kesalahan yang demikian, adalah kesalahan yang terjadi bukan
atas kehendak mereka sendiri.”
“Tidak,“ sahut Akuwu Tunggul Ametung,
“mereka tetap bersalah. Mahisa Agni telah menolak mewakili ayahmu dan
telah menolak datang ke Tumapel beberapa waktu yang lampau. Bukankah itu
suatu sikap yang menentang?”
“Tuanku,“ jawab Ken Dedes, “tuanku tidak
dapat mengerti hubungan yang ada antara hamba dan kakang Mahisa Agni.
Hamba adalah saudara muda, sehingga memang kurang pantaslah apabila
hamba memanggil kakang Mahisa Agni. Menurut sopan santun keluarga,
hambalah yang harus datang kepadanya.”
“Tetapi kedudukanmu dapat kau pergunakan sebagai alasan untuk memanggilnya. Kau adalah bakal permaisuri Tumapel.”
“Kedudukan itu datang kemudian. Tetapi
susunan keluargaku itu sudah ada sejak aku lahir. Karena itu tuanku,
hamba mohon ijin sekali untuk menemui kakang Mahisa Agni. Apabila hamba
dapat bertemu, maka semuanya akan menjadi baik. Tidak ada sedikit pun
geseran perasaan diantara kita. Hamba, kakang Mahisa Agni dan tuanku,
sehingga tuanku tidak perlu mempergunakan cara yang lain yang
seolah-olah tuanku mempergunakan kekuasaan tuanku untuk kepentingan
ini.”
Sekali lagi Tunggul Ametung itu
berpikir. Ia tidak dapat menolak permohonan itu, tetapi ia harus
bijaksana untuk meluluskannya. Karena itulah maka Akuwu Tunggul Ametung,
yang biasanya berbuat apa saja sesuka hatinya, bahkan selalu menuruti
perasaannya yang meledak-ledak setiap saat, kini harus mempertimbangkan
perbuatannya.
Akhirnya Akuwu itu pun menemukan jawaban
pula, katanya, “Ken Dedes. Meskipun kau belum seorang permaisuri, namun
kau sudah aku anggap memiliki kesempatan seperti seorang permaisuri.
Seorang permaisuri dapat mengajukan beberapa permohonan yang akan
dipertimbangkan oleh Akuwu. Kalau saat ini kau mohon aku mengampuni
emban tua serta Mahisa Agni, maka aku pun akan melakukannya, namun aku
mempunyai syarat untuk itu.”
Sekilas wajah Ken Dedes menjadi cerah
mendengar keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Kalau benar Akuwu mengampuni
mereka, maka emban tua itu tidak akan pergi dari sisinya, dan Mahisa
Agni pun tidak akan lenyap dari keluarganya.
Namun sesaat kemudian kening Ken Dedes berkerut kembali. Akuwu memberikan pengampunan, namun Akuwu mempunyai syarat untuk itu.
Tetapi Ken Dedes tidak bertanya, apakah
syarat yang di kehendaki oleh Tunggul Ametung. Ia menunggu sampai Akuwu
itu mengatakannya.
Ternyata sejenak kemudian Akuwu Tunggul
Ametung menyambung kata-katanya, “Ken Dedes. Syarat itu sama sekali
tidak berarti. Aku ampuni kesalahan emban tua itu beserta Mahisa Agni,
apabila Mahisa Agni bersedia datang menyelesaikan segala persoalan ini
dan segera kita dapat memasuki suatu dunia baru tanpa kerikil-kerikil
tajam dan batu-batu yang dapat menjadi hambatan-hambatan kecil bagi
perasaan kita.”
Mendengar syarat yang diajukan oleh
Tunggul Ametung itu Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia telah
mendengar dari pemomongnya apa yang sebenarnya terjadi. Syarat itu
sebenarnya sama sekali tidak terlampau berat. Syarat yang tidak
berlebih-lebihan, bahkan hanyalah sekedar pelengkap dari pengampunan
yang diberikan oleh Tunggul Ametung karena ia telah terlanjur
menjatuhkan putusan untuk menghukum emban tua dan Mahisa Agni.
Tetapi bagi Ken Dedes dan pemomongnya,
syarat itu benar-benar telah membebani perasaan mereka. Emban tua itu
merasa, bahwa baginya sama sekali sudah tidak ada jalan lagi untuk dapat
membawa Mahisa Agni ke Tumapel. Tidak ada gunanya lagi apabila ia
datang dan dengan pengaruh seorang ibu, minta Mahisa Agni datang ke
Tumapel menyelesaikan persoalan yang masih menyangkut perasaan Akuwu
Tunggul Ametung sebelum ia mengambil keputusan untuk mengambil cara
lain, cara yang kasar, dan cara yang tidak terpuji.
Tanpa dikehendakinya sendiri emban tua itu menggeleng lemah, sedang Ken Dedes menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Aku minta syarat itu dipenuhi, seperti aku mencoba memenuhi permohonan pengampunan itu.”
Sejenak mereka kemudian terdiam. Mereka mencoba untuk menemukan jawab atas persoalan yang membelit hati masing-masing.
Dalam keheningan itu maka tiba-tiba Ken
Dedes mengangkat wajahnya. Dengan takjimnya ia menyembah sambil berkata,
“Tuanku. Biarlah hamba mencoba untuk memenuhi syarat yang tuanku
berikan. Hamba mohon ijin, untuk pergi ke Panawijen menemui kakang
Mahisa Agni.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Tetap kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Bukan maksudku supaya kau menemui Mahisa Agni. Pembicaraan itu tidak
hanya sekedar memuaskan perasaanmu saja, tetapi aku juga ingin mendengar
dan mendapat ketenteraman dari pembicaraan itu.”
“Maka hamba tuanku,” sembah Ken Dedes, “hamba ingin mencoba membawa kakang Mahisa Agni kemari.”
Sekali lagi Akuwu itu berpikir sejenak.
Sebenarnya ia tidak rela untuk melepaskan Ken Dedes itu pergi. Ken Dedes
baginya seakan-akan barang yang paling berharga di muka bumi, sehingga
apabila ia kehilangan gadis itu, maka hidupnya pasti akan menjadi
terlampau sunyi.
Karena itu Akuwu Tunggul Ametung tidak
segera menjawab. Sebenarnya ia sangat berkeberatan untuk mengijinkannya,
tetapi sekali lagi ia tidak ingin menyakitkan hati gadis itu. Sehingga
dengan demikian, Akuwu itu kembali dihadapkan pada keragu-raguan.
Namun Akuwu itu tidak dapat menduga,
bahwa Ken Dedes sebenarnya telah membuat rencana sendiri pula untuk itu.
Sejak Mahisa Agni menolak mewakili ayahnya untuk menemui Tunggul
Ametung, hatinya telah merasa kecewa Apalagi kejadian-kejadian yang
kemudian susul menyusul. Ken Dedes merasa bahwa Mahisa Agni marah
kepadanya Tetapi Ken Dedes tidak dapat meraba dengan tepat, alasan yang
telah menahan Mahisa Agni untuk memenuhi permintaannya Ken Dedes hanya
dapat menyangka, bahwa Mahisa Agni merasa bahwa ia telah melampauinya.
Bahwa ia tidak minta pertimbangannya sebelum ia menerima lamaran Akuwu
Tunggul Ametung. Ken Dedes kecewa atas sikap itu. Harga diri yang
berlebihan. Seakan-akan Mahisa Agni lah yang berhak mengambil keputusan
untuk menerima atau menolak lamaran Akuwu Tunggul Ametung sepeninggal
ayahnya. Bahkan setelah Mahisa Agni sampai di dalam istana, ia masih
juga merajuk. Meninggalkan istana hanya karena merasa terlampau lama
menunggu.
Di dalam hati Ken Dedes itu tumbuh juga
keinginannya untuk menunjukkan kedewasaannya kepada kakaknya. Ia ingin
melepaskan kejengkelannya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki juga
sesuatu yang memberinya wewenang untuk mengambil keputusan bagi dirinya
sendiri. Bahkan Ken Dedes itu ingin menunjukkan beberapa kelebihan yang
dimilikinya kini. Kesempatan yang tak akan datang lagi sepanjang
hidupnya. Kalau kakaknya marah kepadanya, karena ia seakan-akan hanya
menuruti kehendaknya sendiri, maka ia akan menunjukkan unsur-unsur yang
telah memaksanya untuk mengambil sikap.
Bagi Ken Dedes, Mahisa Agni dianggapnya
masih saja mengenangkan sahabatnya, Wiraprana. Ken Dedes merasa bahwa ia
sama sekali tidak mengkhianati Wiraprana. Ia mencintai Wiraprana
sedalam-dalamnya. Bahkan pada saat Wiraprana itu terbunuh, ia rela
seandainya ia mati sama sekali. Tetapi ketika saat-saat itu telah
berlalu, maka apakah ia masih juga harus selalu dibayangi oleh duka
hatinya itu? Seandainya Wiraprana itu kini sedang pergi merantau, maka
beberapa puluh tahun lagi ia akan menunggunya dengan setia. Bahkan
sampai matinya sekalipun. Tetapi Wiraprana itu sudah tidak akan kembali.
Tidak akan, sampai kapan pun. Namun ia harus mempunyai alasan yang
cukup untuk memenuhi rencananya itu, dan Ken Dedes telah menemukan
alasan itu.
Karena itu selagi Akuwu Tunggul Ametung
berbimbang hati untuk mengambil keputusan atas permohonan Ken Dedes itu,
tiba-tiba ia mendengar gadis itu berkata, “Tuanku. Meskipun hamba akan
mencoba untuk memanggil kakang Mahisa Agni, namun hamba mohon agar
tuanku mengijinkan hamba datang ke Panawijen tidak sebagai seorang gadis
padesan. Hamba mohon tuanku mengijinkan hamba datang ke Panawijen
sebagai seorang calon permaisuri. Ada berbagai pertimbangan yang dapat
hamba berikan. Diantaranya hamba takut kalau hamba akan bertemu dengan
Kuda Sempana yang melarikan diri itu.”
Tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung
berpaling, bahkan kemudian memutar tubuhnya menghadap gadis itu. Sesaat
ia termenung, namun kemudian wajah Akuwu yang tegang itu mengendor.
Tunggul Ametung itu bahkan kemudian
tersenyum, katanya, “Ken Dedes, apa yang kau minta itu justru telah ada
di dalam kepalaku. Aku tidak ingin melepaskan kau sendiri, sedang aku
tidak akan dapat mengantarmu ke Panawijen karena aku seorang Akuwu,
“Tunggul Ametung itu berhenti sejenak. Di dalam hatinya ia berkata untuk
yang pertama kali, “Kalau aku bukan seorang Akuwu.” Namun ketika ia
meneruskan berkatalah ia, “Ken Dedes, aku akan memenuhi permintaanmu.
Kau akan datang ke Panawijen bukan saja sebagai seorang bakal
permaisuri, tetapi kau akan datang sebagai seorang permaisuri. Prajurit
pengawal akan mengantarmu di bawah pimpinan Witantra sendiri. Witantra
akan membawa pasukannya seperti ia mengawal aku, dalam barisan
kebesaran Tumapel.”
Dada Ken Dedes berdesir mendengar
jawaban Akuwu itu atas permintaannya. Ternyata Akuwu memberikan lebih
banyak dari yang diharapkan. Namun Ken Dedes menjadi berbesar hati
karenanya. Ia ingin menebus kejengkelannya atas Mahisa Agni. Ia ingin
menunjukkan kepada Mahisa Agni, apa yang dapat dicapainya, apa yang
tersedia untuknya, sehingga Mahisa Agni akan menyadari, bahwa kesempatan
ini memang tidak boleh dilewatkan. Kesempatan yang datang sepeninggal
Wiraprana, bukan kesempatan yang memaksanya untuk berkhianat.”
Karena itu maka Ken Dedes segera
menyembah, “Ampun tuanku, apabila berkenan di hati tuanku, hamba
mengucapkan beribu terima kasih untuk kemurahan tuanku.”
“Itu adalah hakmu Ken Dedes, hakmu sebagai seorang permaisuri.”
Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi kini
wajahnya kembali terhunjam ke lantai istana yang mengkilap. Ia menjadi
sangat terharu atas kesempatan yang didapatnya kini. Namun karena itulah
maka ia kembali terkenang kepada ayahnya. Katanya di dalam hati,
“Seandainya ayah masih ada di Panawijen. Ayah akan ikut serta menikmati
kurnia yang besar ini. Tetapi ayah itu telah pergi, justru karena aku
meninggalkannya, mendaki kesempatan yang diperuntukkan kepadaku ini.”
Tiba-tiba air mata gadis itu berlinang.
Ketika air matanya tetes satu-satu, Akuwu Tunggul Ametung terkejut.
Kenapa Ken Dedes itu tiba-tiba menangis lagi? Tetapi Akuwu itu sama
sekali tidak dapat mengerti perasaan haru yang mencengkam hati Ken
Dedes, sehingga karena itu, maka kembali Akuwu itu menjadi gelisah.
Tetapi bukan saja Akuwu Tunggul Ametung
yang menjadi gelisah. Meskipun alasannya berbeda, namun emban tua
pemomong Ken Dedes itu pun tidak kalah gelisahnya. Kalau benar Ken Dedes
akan datang dengan upacara kebesaran seorang permaisuri, alangkah
pedihnya hati Mahisa Agni. “Kasian anak itu,“ desah ibu Mahisa Agni di
dalam hatinya. Tetapi ia tidak mempunyai alasan yang cukup untuk
mencegah Ken Dedes yang akan mendapat pengawalan menurut upacara
kebesaran. Apalagi alasan Ken Dedes benar-benar dapat diterima oleh
Akuwu Tunggul Ametung. Kuda Sempana. Bahkan mungkin Akuwu telah
memperhitungkan bahwa mungkin sekali Kuda Sempana telah bergabung dengan
orang-orang yang tidak disukai, sehingga merupakan sekelompok kecil
bencana yang dapat menghadang di tengah jalan.
Dengan demikian, maka emban tua itu
hanya dapat menekan perasaannya. Alangkah mahalnya tebusan bagi
pengampunan ini. Kalau ia bukan ibu Mahisa Agni, maka ia akan dengan
senang hati mengikuti upacara kebesaran momongannya, dalam iringan yang
megah, berjalan ke Panawijen. Tetapi ia tahu benar, bahwa di Panawijen
sebuah hati akan terpecah-belah. Hati itu adalah hati anaknya.
Ken Dedes sama sekali tidak tahu, apa
yang tersimpan rapat-rapat di dalam hati Mahisa Agni. Menurut keluhan
gadis itu yang telah didengarnya, Ken Dedes menganggap bahwa Mahisa Agni
terlampau tinggi hati. Hanya karena ia tidak diajak berbincang
mengenai lamaran Akuwu, maka Mahisa Agni, sebagai seorang saudara tua,
merasa tersinggung.
“Bukan sekedar itu,” teriak emban itu di
dalam hatinya, “bukan sekedar karena ia tersinggung. Betapa Mahisa Agni
merelakan dirinya sendiri terhempas ke tepi, tetapi ia adalah seorang
anak muda. Anak muda, bukan anak yang turun dari langit, sehingga dapat
menjadikan dirinya luar biasa dalam ketahanan tubuh dan perasaannya.
Ia adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Apalagi seorang ibu
yang hina seperti aku ini.”
Namun kembali emban itu hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mampu mencegah Ken Dedes menunjukan
kesempatan yang telah memaksanya menerima lamaran Tunggul Ametung.
Emban itu tahu benar bahwa Ken Dedes bermaksud mengatakan kepada Mahisa
Agni, “Kakang, aku bukan orang gila yang dapat melepaskan kesempatan
ini. Lihat, aku datang dengan upacara kebesaran. Aku harus menerima
ini, dan kau pun harus berbangga atas kesempatan yang diperoleh oleh
adikmu ini. Panawijen harus berbangga, karena pilihan Akuwu jatuh
kepada gadis dari Padukuhan ini.”
Tetapi emban itu tidak berkata sepatah
katapun. Yang kemudian didengarnya adalah kata-kata Ken Dedes parau,
“Tuanku, Akuwu. Kalau tuanku telah berkenan, maka biarlah hamba segera
akan berangkat untuk mencoba memenuhi keinginan tuanku. Hamba akan
mencoba membawa kakang Mahisa Agni. Apabila hamba gagal, maka
terserahlah kepada tuanku untuk melakukan apa yang baik untuk tuanku.”
“Kapan kau akan berangkat?” bertanya Tunggul Ametung.
“Secepatnya tuanku.”
“Baik. Besok aku akan mengadakan persiapan. Lusa kau sudah dapat pergi.”
“Terima kasih tuanku. Hamba akan melakukan perintah tuanku untuk seterusnya.”
Akuwu itu pun tersenyum pula. Ia telah
melupakan segala persoalan-persoalan lain. Ia telah melupakan hukuman
yang diucapkan. Ia telah melupakan Mahisa Agni yang pergi meninggalkan
istana hanya karena terlampau lama menunggu. Kini ia hanya berpikir
tentang kesempatan yang akan diberikannya kepada Ken Dedes besuk lusa.
Demikianlah maka sejenak kemudian Ken
Dedes, emban tua dan para prajurit itu pun bermohon diri dari hadapan
Akuwu Tunggul Ametung, setelah tidak ada lagi yang harus mereka
bicarakan. Akuwu telah menyanggupi Ken Dedes untuk menyiapkan pengawalan
dalam waktu dua atau tiga hari. Namun secepat itu selesai, secepat itu
pula Ken Dedes harus berangkat. Besok Akuwu akan memanggil Witantra
dan mendengar pendapatnya. Seterusnya persiapan itu akan banyak
tergantung pada Witantra itu sendiri.
Ketika ruangan itu telah sepi, Akuwu
masih saja berjalan mondar mandir. Ia menjadi riang tanpa disadarinya.
Meskipun Mahisa Agni tidak menghadapnya malam ini, tetapi ia senang
bahwa Ken Dedes telah memajukan permohonan kepadanya. Permohonan tentang
sesuatu yang segera dapat diberikannya. Bagi Akuwu Tunggul Ametung,
hal itu telah merupakan suatu kepuasan tersendiri. Memberikan sesuatu
kepada seorang gadis yang dicintainya.
“Apalagi permintaan-permintaan kecil itu
Ken Dedes,“ katanya di dalam hati, “Tumapel ini adalah milikmu. Cahaya
yang memancar dari pusat jantungmu adalah pertanda, bahwa kau seorang
gadis yang akan mampu memberikan sesuatu kepada tanah ini.”
Tiba-tiba Akuwu itu berteriak memanggil
pelayan yang menunggui pintu ruang itu. Dengan tergesa-gesa pelayan itu
berjalan tersuruk-suruk, kemudian setelah ia melihat Akuwu di dalam
biliknya, pelayan itu pun berjalan jongkok perlahan-lahan. Ketika ia
sedang menyembah, ia hampir terloncat karena terkejut.
Didengarnya Akuwu itu membentaknya, “Cepat. Panggil Daksina. Bawa kemari kakawin Baratayuda.”
“Hamba tuanku,“ sembah pelayan itu sambil bergeser surut.
“Cepat,“ teriak Akuwu itu pula.
Pelayan itu pun cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Dengan berlari-lari kecil ia pergi ke halaman belakang mencari Daksina.
Tetapi anak itu tidak berada di dalam
rumahnya. Karena itu maka dengan gelisah pelayan itu bertanya kepada
orang di rumahnya, “Dimana Daksina?”
“Kenapa? Ia baru keluar.”
“Malam-malam begini?”
“Ya. Mungkin di gardu-gardu penjaga.”
“Apa kerjanya?”
“Berceritera. Ia terlampau banyak
membaca sehingga kepalanya menjadi penuh Karena itu kadang-kadang ia
memerlukan tempat penuangan ceritera-ceritera yang tersimpan di
kepalanya.”
“Omong kosong,“ sahut pelayan itu,
“Daksina tahu betul kalau para peronda sering membawa jenang alot atau
ketan serundeng. Nah, untuk itu ia melayap ke gardu-gardu.”
“Mungkin. Tetapi apakah ada sesuatu yang penting.”
“Oh. Akuwu memanggilnya.“ orang serumah
itu pun tiba-tiba menjadi pucat. Setiap kali Akuwu memerlukan anak itu
harus ada. Meskipun demikian orang itu bertanya juga, “Malam-malam
begini?”
“Ya.”
Orang itu segera menjadi gelisah, “Baiklah, aku akan mencarinya.”
“Aku juga harus mencarinya,“ berkata pelayan itu, “sebelum Akuwu menjadi marah.”
Keduanya segera pergi untuk mencari
Daksina. Ternyata benar dugaan mereka, Daksina berada di gardu belakang,
menunggui para peronda sambil ikut serta menghabiskan bekal mereka.
Ketan serundeng. Tetapi para peronda itu senang juga apabila Daksina ada
diantara mereka. Banyak sekali ceritera yang dapat disampaikannya
kepada para peronda untuk mencegah kantuk.
Ketika ia mendengar bahwa Akuwu
memanggilnya, segera ia berlari. Untunglah bahwa rontal kakawin
Baratayuda berada di rumahnya sehingga ia tidak perlu mencarinya di
bilik perpustakaan. Dengan tergesa-gesa ia membawa rontal itu menghadap
ke bilik Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi alangkah kecewanya ketika ia
sampai di muka bilik, dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung sudah tertidur
masih dalam pakaiannya. Bahkan pintunya pun masih juga terbuka.
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Ia
menjadi bingung. Kalau ia pergi, dan kemudian Akuwu itu terbangun, maka
segera Akuwu itu akan teringat bahwa ia telah memerintahkan
memanggilnya. Tetapi apakah kemudian ia harus menunggui Akuwu itu tidur?
Bagaimana kalau Akuwu itu kemudian tidak terbangun lagi sampai pagi?”
Tetapi kemudian Daksina tidak berani
meninggalkan bilik itu. Dengan terkantuk-kantuk ia duduk di muka pintu.
Bahkan kemudian anak itu pun tertidur pula sambil memeluk rontalnya.
Di bilik lain, di sentong tengen, Ken
Dedes masih duduk berbincang dengan embannya. Ia kini sudah tidak dalam
perawatan Nyai Puroni lagi. Perempuan yang banyak menyimpan perasaan
iri terhadap gadis yang menurut pendapatnya sedang menyimpan wahyu di
dalam tubuhnya.
“Bagaimana bibi, menurut pendapatmu,“
bertanya Ken Dedes kepada pemomongnya, “apakah kau tidak keberatan
dengan rencanaku? Bukankah kau telah mengenal kakang Agni seperti
mengenal aku?”
Orang tua itu mengangguk. Tetapi wajahnya tampak menjadi semakin suram.
“Apakah kau mempunyai pendapat lain?”
Emban itu tidak segera menjawab. Kalau
ada cara lain, maka ia akan mengusulkannya. Tetapi ia tidak segera
menemukan. Ia tidak dapat minta Ken Dedes pergi sendiri, atau dengan
seorang dua orang prajurit. Akuwu pasti tidak akan melepaskannya. Sebab
adalah masuk akal apabila Kuda Sempana yang mendendamnya itu dapat
berbuat hal-hal diluar perhitungan apabila anak muda itu tahu, bahwa Ken
Dedes sedang berada di Panawijen.
Meskipun demikian emban tua itu berkata, “Nini, apakah kau perlu datang dengan segala macam kehormatan dan kebesaran itu?”
“Ya bibi, itu adalah satu kebanggaan
bagiku, bagi kakang Mahisa Agni dan bagi Panawijen. Dan kebanggaan ini
harus membuka hati kakang Mahisa Agni bahwa ia telah salah sangka selama
ini. Ia tidak mendalami maksud Akuwu yang sebenarnya atas aku dan
keluargaku.”
Emban tua itu menundukkan wajahnya.
Kembali ia menyalahkan diri sendiri, Kalau ia mempunyai pengaruh sebagai
seorang ibu atas Mahisa Agni dan membawa Mahisa Agni menghadap Akuwu
Tumapel, maka Mahisa Agni pasti tidak akan mengalami kepahitan yang
lebih parah lagi.
Tetapi semuanya itu berada diluar
kemampuannya. Mahisa Agni telah berhasil dibawanya ke Tumapel, tetapi
belum lagi Mahisa Agni menghadap, apalagi menghadap Akuwu, bertemu
dengan Ken Dedes saja pun belum.
Dalam pada itu terdengar Ken Dedes
berkata, “Bibi, apabila benar Akuwu akan memperkenankan permohonanku,
maka kau akan ikut serta. Bukankah kau telah rindu pula kepada padukuhan
itu?”
Dada emban tua itu berdesir. Meskipun
sebelumnya ia sudah menduga, bahwa ia pasti akan diminta untuk
mengantarkan Ken Dedes itu pula. Tetapi gambaran-gambaran tentang
anaknya, tentang Mahisa Agni telah sangat mempengaruhinya. Apakah ia
harus menyaksikan betapa hati anaknya seperti diiris dengan sembilu.
Apakah ia harus menyaksikan Mahisa Agni semakin parah ketika ia melihat
Ken Dedes datang kepadanya dengan kebesaran seorang permaisuri? Apabila
Mahisa Agni itu benar-benar kakak kandung Ken Dedes, maka kemarahan
Mahisa Agni pasti akan sangat terbatas. Mungkin dugaan Ken Dedes benar,
bahwa Mahisa Agni marah karena tersinggung perasaannya sebagai seorang
saudara tua. Tetapi Mahisa Agni tidak sekedar tersinggung perasaannya.
Tidak sekedar karena tidak diajaknya berbincang mengenai lamaran
Tunggul Ametung. Tidak.
Ketika emban tua itu tidak segera
menjawab, maka Ken Dedes mendesaknya sekali lagi, “Bagaimana bibi,
bukankah kau ingin juga melihat kampung halaman itu? Sungainya yang
jernih, bendungan yang megung, sawah ladang yang hijau. Alangkah
segarnya setelah aku sekian lama terkurung di dalam bilik yang sempit
ini.”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia menjawab perlahan-lahan sambil menggeleng, “Tidak nini.”
“He,“ Ken Dedes benar-benar terkejut
mendengar jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka, “kau tidak ingin
ikut ke Panawijen?”
Sekali lagi emban itu menjawab, “Tidak nini. Biarlah aku menunggumu disini.”
“Bibi,“ bertanya Ken Dedes dengan herannya, “kenapa bibi tidak ingin turut ke Panawijen?”
Emban tua itu tidak segera menjawab.
Wajahnya yang suram tertunduk ke lantai. Alangkah berat hatinya
mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya ia tidak ingin terpisah dari
momongannya. Momongan yang sejak kecil selalu dalam dukungannya.
Sebenarnya sepotong hatinya ingin mengajaknya serta dalam satu
arak-arakan yang meriah, mengunjungi kampung halaman yang sudah sejak
bertahun-tahun didiaminya. Namun belahan hatinya yang lain menahannya.
Ia tidak akan sampai hati menyaksikan anaknya, anaknya sendiri, meskipun
tidak pernah dibelainya di saat-saat menjelang tidur, mengalami
goncangan-goncangan perasaan.
Tetapi emban itu merasa, bahwa ia tidak
akan dapat berdiam diri saja. Ia harus menjawab pertanyaan Ken Dedes,
sehingga dengan ragu-ragu dijawabnya saja dengan alasan-alasan yang
dicari-carinya, “Nini, aku tidak dapat pergi ke Panawijen. Perjalanan
itu akan memerlukan waktu. Aku akan terlampau lelah. Mungkin Nini akan
mempergunakan tandu dalam perjalanan itu. Tetapi aku akan berjalan kaki.
Aku sudah terlampau tua nini.”
“Tidak bibi,“ potong Ken Dedes, “apabila disediakan tandu untukku, maka bibi akan berada di dalam tandu itu pula.”
“Ah,“ sahut emban itu, “tandu itu akan terlampau berat.”
“Aku akan minta disediakan tandu yang lain.”
Emban itu menggeleng, “Tidak nini.
Banyak yang memberati hatiku. Aku adalah seorang perempuan cengeng.
Perempuan perasa. Mungkin aku tidak akan tahan lagi melihat padepokan
yang sepi itu. Mungkin hatiku akan menjadi pedih.”
“Oh,“ Ken Dedes mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku juga pasti akan mengalami perasaan
semacam itu bibi. Tetapi marilah kita melihat kenyataan. Kepahitan hidup
adalah sesuatu yang sama sekali tidak kita ingini. Tetapi apabila hal
itu datang kepada kita sebagai suatu kenyataan, kita tidak akan dapat
memejamkan mata kita. Kita tidak harus lari dari padanya, mencari
kepuasan-kepuasan lain yang mungkin akan menjerumuskan kita kepada
kesulitan-kesulitan baru. Padepokan yang kosong itu jangan menjadi hantu
bagi kita bibi. Marilah kita lihat, apakah kita masih mungkin untuk
mengisinya kembali, menyegarkannya seperti masa-masa lampau, setidaknya
mendekati masa-masa itu?”
Emban tua itu mengangkat wajahnya Ketika
terpandang olehnya wajah gadis momongannya itu, maka emban tua itu
tertunduk kembali. Dalam sekilas, teraba oleh orang tua itu, bahwa Ken
Dedes sebenarnya tidak sedang menasehatinya. Tetapi gadis itu lebih
banyak berbicara kepada dirinya sendiri. Gadis itu sedang mencoba
memperteguh perasaannya sebelum ia sendiri melihat Panawijen. Sebelum ia
melihat Padepokan ayahnya yang kini telah hampir-hampir menjadi
kosong.
Emban itu tidak akan mengecewakan hati
Ken Dedes atas nasehatnya yang lebih banyak diperuntukkan bagi diri
gadis itu sendiri. Tetapi ia tidak dapat mempercayai dirinya, apakah
hatinya yang telah lapuk karena umurnya itu masih akan mampu bertahan
melihat hati yang terpecah belah.
Karena itu maka emban tua berkata,
“Maafkan aku nini. Aku terpaksa tidak dapat ikut serta ke Panawijen.
Mudah-mudahan lain kali aku akan pergi. Baru kemarin aku melihat
padukuhan itu. Baru kemarin hatiku menjadi sedih. Apakah besok atau lusa
aku akan melukai hati ini kembali? Nini, biarlah aku agak
memperpanjang umurku dengan melepaskan diri dari setiap kemungkinan
yang dapat mendukakan hati.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Emban tua itu agaknya benar-benar tidak ingin pergi ke Panawijen,
sehingga karena itu, maka Ken Dedes tidak dapat memaksanya meskipun ia
menjadi kecewa karenanya.
Meskipun demikian Ken Dedes itu tidak
habis-habisnya dikejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang melingkar di
dalam hatinya. Emban itu hampir tidak pernah menolak permintaannya.
Tetapi tiba-tiba kini ia menolak ajakannya justru dalam kesempatan yang
dapat dibanggakan, “Apakah emban tua ini sependapat dengan kakang
Mahisa Agni,“ pikir gadis itu. Tetapi ia tidak berani meyakinkan
dirinya. Emban itu masih tetap terlampau baik kepadanya selama ini.
“Mungkin emban itu berkata dengan jujur.
Hatinya sedih melihat Panawijen yang sepi,“ berkata Ken Dedes pula di
dalam hatinya. Bahkan kemudian ia sendiri menjadi ragu-ragu,
“Jangan-angan aku akan mengalami kesedihan seperti emban itu pula.”
Tetapi akhirnya Ken Dedes menemukan
kemantapan, ia harus pergi. Bukan saja untuk meyakinkan Mahisa Agni
bahwa sebenarnya maksud Tunggul Ametung cukup baik, tetapi juga untuk
membebaskan Mahisa Agni dan emban tua itu dari hukuman Akuwu Tunggul
Ametung.
Ternyata kemudian Akuwu Tunggul Ametung
memenuhi janjinya. Akuwu Tumapel itu telah memerintahkan kepada Witantra
untuk mempersiapkan sebuah pengawalan yang cukup kuat dan megah bagi
Ken Dedes yang akan pergi sendiri ke Panawijen untuk berbagai keperluan.
Akuwu pun menyadari, bahwa Ken Dedes bukan saja ingin bertemu dengan
Mahisa Agni, tetapi juga karena Ken Dedes telah merindukan kampung
halamannya.
Dua hari diperlukan oleh Witantra untuk
mempersiapkan diri beserta pasukannya. Pasukan khusus pengawal Tunggul
Ametung di bawah pimpinan Witantra sendiri. Di samping persiapan para
prajurit, telah dipersiapkannya pula sebuah tandu yang megah. Tandu yang
akan dipergunakan oleh Ken Dedes.
Pada hari yang ditentukan, maka semua
persiapan itu pun telah selesai. Witantra sendiri melihat semuanya
dengan cermat. Sejak para pelayan, yang akan memanggul tandu sampai para
perwira prajurit yang akan menjadi paruh dari perjalanan ini.
Arak-arakan ini adalah arak-arakan yang
terbesar yang pernah diadakan di Tumapel sejak ibunda Akuwu Tunggul
Ametung meninggal dunia. Tumapel sejak itu tak pernah dimeriahkan dengan
sebuah arakan-akan seperti ini. Sejak itu Akuwu seakan-akan hidup
dalam kemurungan. Sekali-sekali Akuwu keluar juga dari istana. Tetapi
tidak pernah dalam suatu bentuk arakan. Kalau Akuwu ingin menikmati
udara diluar istana, maka Akuwu akan pergi berkuda dengan beberapa
orang pengawal berburu ke hutan-hutan. Sekali-sekali Akuwu sering pula
melihat-lihat kotanya, Tumapel, namun selalu dalam sikap seorang
prajurit.
Kini sejak seorang gadis Panawijen
tinggal di dalam istana, maka seakan-akan istana Tumapel menemukan
kembali kesegarannya. Meskipun kebesaran Tumapel tidak pernah surut,
namun kebesarannya selama ini seolah-olah menjadi kering. Kini, gadis
Panawijen itu seperti embun yang menetes dimalam hari dan seperti
gerimis yang jatuh di siang hari. Tumapel menjadi segar oleh kemeriahan.
Tiga hari kemudian sejak Akuwu
menjanjikan pengawalan itu kepada Ken Dedes, maka arak-arakan itu
benar-benar telah terwujud. Di halaman dalam Akuwu Tunggul Ametung
sendiri melepas arak-arakan itu.
Ken Dedes yang saat itu telah berada di
dalam tandu menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah, “Hamba
akan segera kembali tuanku.”
Akuwu tersenyum. Katanya, “Aku telah
memerintahkan kepada Witantra. Mereka harus segera kembali. Dan kau pun
akan terbawa kembali pula.”
Sekali lagi Ken Dedes menyembah, “Tentu tuanku.”
Akuwu menganggukkan kepalanya. Ternyata
anak Panawijen itu benar-benar telah mempesonanya. Bahkan telah
mempesona segenap rakyat Tumapel. Dalam pakaian yang indah, Ken Dedes
benar-benar tampak bercahaya, seperti bintang pagi di tenggara.
Tetapi hati Ken Dedes itu berdesir
ketika ia melihat emban pemomongnya berdiri di samping tandunya. Dengan
serta merta ia bertanya, “Apakah kau benar-benar tidak dapat merubah
pendirianmu bibi?”
Emban tua itu menarik nafas. Sambil menggeleng ia menjawab, “Maafkan tuan puteri.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya.
Panggilan itu terasa janggal di telinganya apabila emban tua itulah yang
mengucapkannya. Emban tua itu telah mengenalnya sejak kecil sebagai
seorang gadis Padesan. Bagaimana mungkin kini ia harus memanggilnya tuan
puteri. Tetapi Ken Dedes sendiri tidak berani menegurnya. Akuwu
menghendaki panggilan itu bagi semua hamba Tumapel. Namun demikian
pertanyaan yang melingkar-lingkar di dalam hati Ken Dedes masih belum
dapat disingkirkannya. Apakah sebab yang sebenarnya emban itu tidak mau
pergi bersamanya. Apakah ia berkata jujur, atau sekedar samudana.
Bahkan tiba-tiba Ken Dedes teringat
kepada dukun tua yang merawatnya saat pertama kali ia masuk ke dalam
istana ini. Jelas terbayang dan terungkapkan dalam kata dan perbuatan,
dukun tua itu menjadi dengki atas kurnia yang diterimanya. Apakah emban
tua itu menjadi dengki pula.
“Tidak. Tidak mungkin,“ terdengar suara
di dalam dada Ken Dedes demikian tegasnya. Apalagi ketika kemudian ia
melihat setitik-setitik air mata menetes dari mata yang cekung itu.
Ken Dedes menjadi terharu pula karenanya. Tetapi ia tidak pula dapat mengerti, apakah arti air mata itu?”
Akhirnya arakan itu pun mulai bergerak.
Emban tua, pemomong Ken Dedes, mencium momongannya pada punggung telapak
tangannya. Terasa tangan itu menjadi basah.
“Selamat jalan tuan puteri. Hamba menunggu sampai tuanku kembali.”
Ken Dedes mengangguk. Tetapi ia tidak dapat menjawab dengan kata-kata, karena tenggorokannya terasa tersumbat karenanya.
Ketika arak-arakan itu semakin lama
menjadi semakin jauh, maka air mata emban tua itu pun mengalir semakin
deras. Air mata yang menitikkan berbagai arti. Seperti bunga, maka air
mata dapat berarti gembira, namun dapat pula berarti duka. Setitik air
mata emban itu diperuntukkan bagi momongannya. Ia, emban tua itu,
berbahagia dan berbangga karenanya. Sedang setitik lainnya
diperuntukkannya bagi anaknya. Alangkah pedih hati anaknya itu.
Akhirnya, ketika pangkal dari
arak-arakan itu telah hilang di balik regol halaman dalam, maka emban
tua itu pun segera menyadari keadaannya. Ketika ia berpaling, ternyata
Akuwu yang semula berdiri di atas tangga telah masuk pula ke dalam
istana. Di sana-sini tinggal beberapa orang saja yang masih membenahi
beberapa peralatan yang tinggal. Beberapa orang penjaga dilihatnya hilir
mudik di muka regol halaman dalam itu.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian perlahan-lahan ia berjalan sambil menundukkan wajahnya, pergi
ke biliknya di halaman belakang. Disitulah ia telah mendapatkan sebuah
bilik tersendiri, sejak ia mengikuti Ken Dedes di istana Tumapel. Dari
muka bilik itu ia mendengar lamat-lamat suara Daksina berdendang. Ketika
emban tua itu berpaling ke arah suara Daksina itu, dilihatnya anak itu
duduk di bawah sebatang pohon kemuning. Di tangannya tergenggam
sepotong kayu watu dan sebilah pisau yang tajam. Anak itu ternyata lagi
membuat sebuah patung ukiran.
“Seorang anak muda periang,” desis emban
tua itu. Dalam pada itu dikenangnya anaknya yang murung. Mahisa Agni
bukan termasuk seorang anak muda periang seperti Daksina, meskipun bukan
pula seorang pemurung. Namun tusukan perasaan yang dalam telah
menjadikannya semakin kehilangan keriangannya.
“Pengaruh yang membentuknya
menjadikannya demikian,” berkata emban itu di dalam hatinya, “Mahisa
Agni berada di pengengeran sejak kanak-kanak. Ia harus selalu tekun
belajar dan bekerja.”
Suara Daksina masih saja mengumandang di
sela-sela gemersik dedaunan di pagi yang bening. Seperti siul burung
yang riang menyambar hari yang baru, suara Daksina terdengar semakin
lama semakin segar.
Emban tua itu pun kemudian masuk ke
dalam biliknya. Betapa ia mencoba menyenangkan hatinya dengan
mendengarkan dendang Daksina, namun wajah orang tua itu pun masih juga
disaput oleh kesuraman hatinya.
Sementara itu iring-iringan yang membawa
Ken Dedes menuju ke Panawijen telah menyelusuri jalan-jalan kota.
berbondong-bondong penduduk Tumapel, tua muda keluar dari rumah
masing-masing. Mereka telah mendengar bahwa hari itu Ken Dedes, seorang
gadis dari padepokan di Panawijen akan keluar dari istana dalam sebuah
iring-iringan kebesaran. Gadis yang bakal menjadi permaisuri Tumapel
itu akan pergi mengunjungi kampung halamannya, Panawijen.
Setiap mata yang memandang gadis yang
berada di atas tandu itu menjadi terpesona. Alangkah cantiknya gadis
itu. Sama sekali tidak berkesan pada wajah yang cerah itu, bahkan Ken
Dedes adalah seorang gadis padesan. Wajah itu benar-benar membayangkan
seorang yang sangat pantas untuk menjadi seorang permaisuri. Demikianlah
maka setiap mulut telah bergumam memuji keserasian tubuh gadis yang
berada di atas tandu itu. Betapa bahagianya seorang gadis yang memiliki
kecantikan yang hampir sempurna itu. Adalah sudah sewajarnya apabila
Akuwu Tunggul Ametung telah memilihnya untuk menjadi seorang permaisuri.
Apalagi kini gadis itu berada di dalam
sebuah iringan kebesaran yang sudah cukup lama tidak dilihat oleh
penduduk Tumapel. Sehingga dengan demikian, maka hampir setiap rumah
menjadi kosong karena penghuninya berlari-lari ke pinggir jalan untuk
melihat wajah bakal permaisuri Akuwunya.
Ken Dedes sendiri sama sekali tidak
menyangka, bahwa ia akan mendapat sambutan yang sedemikian riuhnya dari
penduduk Tumapel. Karena itu untuk beberapa saat ia menjadi bingung.
Ketika para penduduk ingin memandangi wajahnya yang cerah itu, maka Ken
Dedes malahan berusaha bersembunyi di balik tirai-tirai tandunya.
Beberapa orang menjadi kecewa, namun beberapa orang lain yang sempat
memandang wajah itu, memujinya tak kunjung habis.
Di muka sekali, di ujung iring-iringan
itu, seorang yang tegap mendahului di atas punggung kuda bersama
beberapa orang prajurit. Orang itu adalah pemimpin pasukan pengawal.
Witantra. Di sampingnya adalah dua orang perwira bawahannya. Sedang di
belakangnya berkuda seorang anak muda, namun ia tidak mengenakan pakaian
keprajuritan meskipun di lambungnya tergantung sebilah pedang. Anak
muda itu adalah Mahendra. Ia telah dibawa oleh kakak seperguruannya.
Tanpa sepengetahuan Akuwu dan Ken Dedes, Witantra telah mempunyai
perhitungan tersendiri. Ia mengenal beberapa sifat Mahisa Agni yang
keras. Karena itu ia mempunyai perhitungan, bahwa apabila Mahisa Agni
tidak dapat diketemukan di Panawijen, ia pasti telah berada dipadang
Karautan. Karena itu maka dibawanya Mahendra yang akan dapat menjadi
penunjuk jalan menemui Mahisa Agni, dengan tidak usah mencari-cari.
Di belakang Mahendra, berkuda seorang
prajurit muda. Wajahnya riang namun garis-garis mulutnya menunjukksn
kepicikan perhitungannya. Prajurit itu adalah Kebo Ijo. Ia mendapat
tugas pula dari Witantra, kakak seperguruannya untuk mengawal
panji-panji Tumapel yang berada di muka tandu Ken Dedes dibawa oleh
seorang prajurit pula.
Ketika iring-iringan itu telah sampai ke batas kota, maka Kebo Ijo mempercepat jalan kudanya, mendekati Mahendra.
Ketika ia telah berada di sampingnya, terdengar ia berbisik, “Berapa lama kita berada di Panawijen?”
Mahendra menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
“Tiga hari atau sepasar?”
Sekali lagi Mahendra menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Dalam sepuluh hari ini aku harus berada di rumah,“ gumam Kebo Ijo.
“Kenapa?”
Kebo Ijo itu tertawa. Namun ketika
Witantra berpaling kepadanya segera ia menundukkan wajahnya.
Perlahan-lahan ia berkata kepada Mahendra, “Aku akan kawin kakang.”
“Oh,“ Mahendra terkejut. Tetapi ia pun tertawa pula. Sahutnya. “Kau berkata sebenarnya?”
Kebo Ijo mengangguk, “Ya. Sebenarnya aku akan kawin tengah bulan ini.”
Mahendra menganggukkan kepalanya.
Meskipun demikian agaknya ia masih meragukan kata-kata adik
seperguruannya itu, sehingga Kebo Ijo merasa perlu untuk menegaskan,
“Kakang Mahendra. Sebenarnya aku pun masih belum ingin untuk kawin.
Tetapi beberapa orang keluargaku selalu saja mendesakku.”
Mahendra tertawa berkepanjangan.
Dilihatnya wajah Kebo Ijo yang tersipu-sipu, “Kenapa kau akhirnya
bersedia pula?” bertanya Mahendra.
“Ah,“ Kebo Ijo tersenyum, tetapi ia tidak menjawab.
“Gadis manakah yang akan kau ambil?” bertanya kakak seperguruannya.
“Tetangga sendiri. Masih ada sangkut paut kekeluargaan.”
“Siapa namanya?”
“Bukan Ken Dedes,“ jawab Kebo Ijo.
Keduanya tertawa, sehingga sekali lagi
Witantra berpaling. Tetapi perwira itu tidak banyak menaruh perhatian
atas percakapan kedua adik seperguruannya itu.
Iring-iringan itu masih berjalan dengan
tenangnya. Kini mereka telah meninggalkan kota Tumapel. Meskipun
demikian, orang-orang yang tinggal di desa-desa di tepi jalan pun
berjejal-jejal untuk menyaksikan arak-arakan yang megah itu. Bahkan dari
desa-desa yang jauh sekalipun, apabila orang-orangnya mendengar berita
tentang perjalanan bakal permaisuri itu, berbondong-bondong mereka
pergi ke tepi-tepi jalan yang akan dilampaui oleh arak-arakan itu.
Matahari yang tergantung di langit,
semakin lama merayap semakin tinggi pula. Sinarnya yang cerah berserakan
di atas dataran sawah-sawah dan memantul di permukaan air. Namun
terasa bagi para prajurit yang sedang berjalan dalam arak-arakan itu
seperti serangga yang merayap di seluruh permukaan kulit punggungnya.
Gatal.
Ken Dedes yang duduk di dalam tandu,
memandangi sawah, ladang dan padesan dengan wajah yang segar.
Pemandangan yang telah lama tidak dilihatnya Warna hijau segar yang
memancarkan harapan pada hari-hari mendatang. Apabila padi yang
menghijau di sawah itu telah bunting, maka berkembanglah hati para
petani. Sebentar kemudian, maka hutan yang menghijau akan berganti warna
seperti lembaran emas yang terbentang dari ujung ke ujung bumi.
Apabila padi telah menguning, maka berdendanglah setiap hati, disertai
dengan doa semoga mereka diperkenankan memetik buah dari jerih payah
mereka.
Perjalanan itu terasa bagi Ken Dedes,
alangkah lambatnya. Langkah-langkah kaki para prajurit yang berderap di
atas tanah berdebu, seolah-olah langkah seorang anak-anak yang malas
lagi belajar berjalan. Terlampau lambat. Tetapi Ken Dedes yang duduk di
atas tandu tidak dapat mempercepat perjalanan itu. Ia hanya dapat
mengikuti kecepatan para pemanggulnya. Namun ketika Ken Dedes sempat
memandangi orang-orang yang mengangkat tandunya itu, timbullah rasa
ibanya. Peluh telah membasahi segenap tubuh mereka. Sebentar-sebentar
orang-orang yang memanggul tandu itu saling berganti. Namun meskipun
demikian, tampak juga, bahwa mereka menjadi sangat letih karenanya.
Demikianlah maka perjalanan itu pun
merambat setapak demi setapak. Di tengah hari mereka memerlukan
beristirahat di pinggir-pinggir belukar. Para prajurit dan para pelayan
bahkan semua orang di dalam iring-iringan itu memerlukan makan dan
minum. Mereka masih harus berjalan dalam jarak yang cukup jauh.
Namun untuk seterusnya Witantra telah
mengambil kebijaksanaan bahwa mereka tidak akan melintas padang
Karautan. Mereka lebih baik berjalan lewat hutan Karautan. Di
tengah-tengah padang itu nanti, panas matahari pasti akan membakar
mereka. Apalagi padang itu terlampau panjang, sehingga mungkin mereka
akan kehabisan air di tengah-tengah jalan. Tetapi apabila mereka
menyusuri hutan, maka mereka akan menjadi sejuk. Apalagi hutan Karautan
bukanlah hutan rimba belantara yang pepat padat. Hutan Karautan
termasuk hutan yang agak jarang, sehingga merupakan hutan perburuan
yang cukup baik.
Tetapi mereka tidak akan dapat sampai di
Panawijen hari itu juga. Mereka pasti akan bermalam di perjalanan
apabila mereka ingin tetap segar sampai di Panawijen besok. Sebab
apabila mereka berjalan terus, maka mereka pasti akan kemalaman dan
kelelahan. Apalagi mereka yang memanggul tandu meskipun bergantian.
Ken Dedes sama sekali tidak berkeberatan
atas kebijaksanaan itu. Ia dapat mengerti, bahwa padang Karautan pasti
akan sepanas bara di siang hari. Karena itu, maka perjalanan
seterusnya, iring-iringan itu akan masuk menyusur jalan di dalam hutan
Karautan.
Demikianlah ketika iring-iringan itu
berjalan kembali, maka tidak beberapa lama, mulailah ujungnya menusuk
masuk ke dalam hutan. Seperti seekor naga yang masuk ke dalam liangnya,
maka semakin lama iring-iringan itu menjadi semakin dalam, sehingga
kemudian ekornya pun lenyap ditelan rimbunnya dedaunan.
Betapa lambatnya perjalanan itu, namun
mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan Panawijen.
Ketika matahari kemudian hinggap di punggung bukit di ujung Barat, maka
mulailah para prajurit mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk
berkemah. Di tengah-tengah hutan yang tidak terlampau pepat, diantara
batang-batang kayu yang besar, iring-iringan itu bermalam.
Apabila kemudian gelap malam mencengkam
hutan itu, dibuatnya oleh para prajurit, beberapa onggok api yang
menyala-nyala seperti obor-obor raksasa, menerangi tempat mereka
bermalam.
Witantra yang bertanggung jawab atas
keselamatan Ken Dedes dan segenap iring-iringan itu, sekali-sekali
berjalan pula mengitari perkemahan dengan Mahendra dan Kebo Ijo.
Sekali-sekali mereka berkelakar untuk menghilangkan kejemuan mereka.
Witantra yang mendengar bahwa Kebo Ijo akan segera ka win, tertawa pula
berkepanjangan Anak itu masih terlampau muda, dan baru saja ia bekerja
di istana.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa Witantra
itu terhenti. Hampir bersamaan mereka bertiga mendengar desir dedaunan
di sekitar mereka. Ketika mereka memandangi perkemahan, maka agaknya
para prajurit masih tetap berada di tempat masing-masing.
Sesaat mereka saling berpandangan.
Tetapi Witantra tidak ingin membuat keributan diantara para prajuritnya,
apalagi membuat Ken Dedes menjadi cemas. Karena itu maka katanya
kepada Kebo Ijo, “Kebo Ijo, kembalilah ke lingkungan para prajurit yang
lain. Hati-hatilah. Tetapi jangan mengatakan sesuatu kepada mereka.
Apabila terjadi sesuatu, beritahukan para perwira supaya mereka dapat
mengambil tindakan. Aku akan melihat suara apakah yang terdengar itu
bersama Mahendra.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya,
jawabnya, “Biarlah aku ikut kakang Witantra. Sebaiknya kakang Mahendra
saja yang kembali ke perkemahan.”
“Mahendra bukan seorang prajurit,“ sahut
Witantra, “tetapi kau adalah salah seorang dari mereka, sehingga
hubunganmu dengan mereka lebih baik daripada Mahendra.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia dapat
mengerti kata-kata itu, apalagi ketika Witantra berkata, “Apalagi kau
sedang menjelang hari perkawinanmu Kebo Ijo, jadi lebih baik kau tidak
berbuat hal-hal yang berbahaya.”
Kebo Ijo tersenyum. Jawabnya, “Baiklah kalau itu perintah kakang.”
Witantra berkata pula, “Nah cepat kembalilah.”
Tetapi kembali mereka bertiga terkejut
ketika terdengar suara di belakang mereka. Suara itu perlahan-lahan saja
namun jelas, “He, apakah angger Kebo Ijo akan kawin?”
Telinga Witantra menjadi merah seperti
tersentuh bara. Ia benar-benar merasa mendapat tantangan langsung dari
suara itu. Demikian dekatnya suara itu daripadanya, sehingga semua
pembicaraannya dapat didengar, tetapi ia sendiri bertiga tidak
mengetahui kehadiran orang itu. Karena itu sekali lagi ia berkata kepada
Kebo Ijo, “Cepat kembali. Langsung sampaikan kepada Sidatta apa yang
terjadi disini. Tetapi ingat, jangan menimbulkan kegelisahan. Hanya
Sidatta yang boleh mengetahuinya. Ia harus mengambil alih pimpinan
selama aku tidak ada.”
“Baik kakang,“ sahut Kebo Ijo.
Namun kembali Kebo Ijo itu tertegun.
Kembali mereka mendengar suara tertawa dekat di belakang mereka. Betapa
marahnya mereka bertiga, apalagi Kebo Ijo. Hampir saja ia meloncat ke
arah suara itu, namun terdengar Witantra berkata, “Cepat.”
Kebo Ijo menggeram. Tetapi ia segera pergi meninggalkan tempat itu karena perintah kakak seperguruannya sekaligus pimpinannya.
Kini Witantra dan Mahendra berdiri
berdua. Sejenak mereka saling berdiam diri memperhatikan setiap keadaan
di sekitarnya. Perlahan-lahan Witantra memutar tubuhnya sambil bertanya
lirih, “Siapa kau?”
Yang terdengar adalah gemerisik dedaunan di dalam gerumbul di sampingnya.
“Siapa kau?” ulang Witantra.
Yang terdengar adalah suara tertawa. Juga perlahan-lahan.
Ternyata Mahendra menjadi tidak bersabar
karenanya. Tetapi ketika ia meloncat maju, terasa tangan kakaknya
mencegahnya. “Jangan,” bisik Witantra. Witantra adalah seorang yang
telah jauh lebih banyak berpengalaman dari pada Mahendra. Karena itu
maka segera ia mengetahui, bahwa orang yang tertawa itu bukan orang
kebanyakan. Bahkan bukan pula orang yang sekedar memiliki keberanian.
Mahendra pun sebenarnya menyadari pula,
dengan siapa ia berhadapan. Tetapi darah mudanya ternyata masih
terlampau cepat terbakar. Karena itu kadang-kadang ia kehilangan
kewaspadaannya.
Suara tertawa itu masih saja terdengar. Bahkan kini suara itu berkata, “Hem, kau benar-benar anak yang berani Mahendra.”
“Kau mengenal aku?” desis Mahendra.
“Aku mengenal kalian bertiga. Witantra, Mahendra dan Kebo Ijo. Bukankah begitu?”
Mahendra menggeram. Tetapi Witantra tertawa.
Mahendra menjadi heran melihat kakak
seperguruannya itu tertawa. Tetapi ia tidak bertanya. Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata Witantra, “Tidak aneh apabila kau mengenal
kami. Bukankah kau telah bersembunyi dan mengikuti kami sejak tadi? Dari
percakapan kami kau tahu, siapa aku, siapa kedua adikku ini. Apakah
itu termasuk kelebihan bagimu?”
“Hem, kau cerdik Witantra,“ sahut suara itu.
“Tidak. Itu persoalan yang terlampau sederhana.”
“Ternyata kau melampaui dugaanku,“ berkata suara itu, “kalau begitu biarlah aku pergi.”
“Tunggu,“ cegah Witantra, “aku ingin tahu, siapakah kau ini.”
“Tak ada gunanya.” Dan sesaat kemudian
Witantra dan Mahendra mendengar suara daun tersibak. Cepat mereka maju.
Namun suara itu pun menjadi semakin cepat menjauh pula.
“Jangan lari,“ desis Witantra.
Tetapi tak ada yang menyahut. Yang terdengar hanyalah suara ranting-ranting patah dan gemerisik dedaunan.
Mahendra yang hatinya sudah meluap-luap segera berlari. Tetapi kembali Witantra menahannya, “Jangan tergesa-gesa Mahendra.”
Mahendra menjadi kecewa, katanya, “Orang itu sudah semakin jauh.”
“Hati-hatilah.”
Mahendra mengangguk. Tetapi
hampir-hampir ia tidak mampu menahan dirinya. Kini ia terpaksa maju
bersama kakaknya. Tidak terlampau cepat, karena Witantra menyadari
siapakah yang sedang dikejarnya itu. Orang itu adalah pasti orang yang
cukup berilmu.
“Biarlah aku mencoba menangkapnya kakang.“ minta Mahendra.
Witantra menggeleng, jawabnya, “Kau
belum tahu siapa orang itu. Hutan ini terlampau gelap. Sadarilah, bahwa
orang itu hanya sekedar memancing kita menjauhi para prajurit yang
sedang berjaga-jaga.”
Mahendra menarik nafas. Ia sadar akan
ketergesa-gesaannya. Ternyata apa yang dikatakan kakak seperguruannya
itu benar-benar masuk diakalnya.
Karena itu pun kini Mahendra menjadi
semakin berhati-hati pula. Setiap tapak ia maju, ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Orang yang dicarinya itu dapat saja tiba-tiba berada di
sisinya atau bahkan di belakangnya.
Namun setiap kali Mahendra mendengar desir dedaunan di depannya, maka dadanya pun berdesir pula.
Akhirnya Witantra menggamit Mahendra
sekali lagi sambil berkata, “Kita sampai disini saja Mahendra. Ternyata
orang itu tidak ingin menemui kita.”
Mahendra berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Tetapi pasti ada suatu maksud yang dikandungnya.”
“Ya. Dan maksud yang sesungguhnya aku tidak tahu. Karena itu, jangan pedulikan lagi orang itu.”
Ketika Mahendra akan menjawab, Witantra
memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya. Mahendra menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun ia pun berdiam diri.
Perlahan-lahan kemudian mereka mendengar
orang di dalam gerumbul itu berkata, “Kau benar-benar cerdik Witantra.
Kau dapat mengetahui bahwa ada terkandung maksud di dalam hatiku.”
“Ah,“ Witantra kemudian tertawa kecil,
“aku bukan anak-anak yang menari-nari karena sanjungan-sanjungan kecil.
Aku tidak sebodoh yang kau sangka Ki Sanak. Kalau aku mengatakan bahwa
kau pasti mempunyai maksud tertentu maka sama sekali tidak diperlukan
suatu kecakapan khusus untuk itu. Setiap orang, bahkan anak-anak pun
akan dapat mengatakan, kalau kau pasti mempunyai suatu maksud dengan
mengintai rombonganku dan bahkan memancing kami berdua supaya kau dapat
memisahkan kami dari rombonganku. Juga anak-anak akan dapat membuat
perhitungan dengan itu. Dengan memisahkan aku dari rombonganku, maka ada
dua kemungkinan yang kau kehendaki. Aku dan Mahendra, atau segenap
rombongan yang lain. Atau kau sudah mempersiapkan dua gerombolan pula
untuk menghadapi kami berdua dan rombongan yang lain.”
Terdengar orang yang bersembunyi itu tertawa, “Hebat. Hebat.”
“Tidak hebat. Bukan hal yang sulit
ditebak. Yang sulit diketahui adalah maksudmu yang sebenarnya. Apakah
maksud itu baik atau jahat. Itulah yang tidak kami ketahui.”
“Apakah kau tidak dapat merabanya Witantra.”
“Tentu tidak.”
“O,“ terdengar nada kecewa dari orang
yang bersembunyi itu, “ternyata benar yang kau katakan. Otakmu tidak
secerdas yang aku sangka.”
Mahendra sama sekali tidak telaten
mendengar percakapan yang seakan tidak berpangkal tidak berujung itu.
Dengan serta merta ia berteriak, “Aku tahu maksudmu yang sebenarnya.
Kalau kau bermaksud baik, maka kau tidak akan melakukannya dengan
bersembunyi. Ayo, tampakkan dirimu.”
Witantra mengerutkan keningnya. Adiknya
masih terlampau muda sehingga amat sulit baginya untuk mengendalikan
perasaannya. Yang dihadapinya kini bukan saja seorang yang berilmu,
tetapi juga seorang yang licik. Namun ia tidak mencegah adiknya kali ini
Asal adiknya itu tidak meloncat menyerang orang yang masih saja
bersembunyi itu.
“Ternyata adikmu lebih cerdas dari padamu Witantra,” terdengar suara itu pula.
“Ya,“ sahut Witantra, “sebenarnya demikian.”
“Baik. Kalau demikian aku tidak akan
bertemu kau lagi. Kau terlampau bodoh untuk diajak berbincang mengenai
masalah-masalah yang terlampau penting.”
“Jangan banyak bicara,” potong Mahendra, “tunjukkanlah dirimu.”
“Tidak perlu. Aku akan pergi.”
“Kau tidak akan dapat melepaskan diri,“
sahut Mahendra. Tetapi Mahendra menjadi heran ketika kakaknya, “Biarlah
Mahendra. Biarlah orang itu pergi. Ia menganggap bahwa kita kurang
mampu untuk diajaknya berbincang. ternyata orang itu mempunyai suatu
keperluan khusus yang memerlukan kecerdasan otak. Sedang syarat itu
tidak kita penuhi.”
“Apakah kita biarkan orang itu pergi?”
“Ya. Biar saja orang itu pergi.”
Tiba-tiba Mahendra dan Witantra
mendengar orang yang bersembunyi itu menggeram. Katanya, “Ternyata
dugaanku benar pula kali ini. Witantra, pemimpin pengawal istana dan
Akuwu Tumapel bukan saja orang yang tumpul otaknya, tetapi juga seorang
penakut.”
“Gila kau,” teriak Mahendra. Sekali lagi Mahendra siap untuk meloncat. Dan sekali lagi Witantra menahannya.
Bahkan Witantra itu berkata, “Maafkan
aku Ki Sanak. Aku barangkali tidak dapat memenuhi harapanmu. Aku memang
berotak tumpul dan seorang penakut pula. Karena itu aku tidak berani
mengejarmu. Namun betapa aku seorang penakut, tetapi aku tidak
bersembunyi seperti kau Ki Sanak.”
Sekali lagi terdengar orang itu menggeram, “Ayo, tangkap aku,” katanya.
Mahendra menggeretakkan giginya. Tetapi
Witantra masih tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan menangkapmu. Betapa
otakku tumpul, namun aku masih mampu membuat perhitungan. Kau ingin
memisahkan dan memecah kekuatan rombonganku dengan memisahkan kami
berdua dari padanya. dalam jarak ini, aku masih dapat memanggil setiap
orang yang aku perlukan. Sebaliknya aku masih akan dapat mendengar apa
yang terjadi di dalam rombonganku.
Mendengar kata-kata itu Mahendra
menggigit bibinya. Sekali lagi ia menyadari, bahwa ternyata ia kurang
mempertimbangkan berbagai masalah yang dihadapinya. Untunglah bahwa
kakaknya dapat berpikir setenang itu.
“Witantra,” tiba-tiba terdengar suara di
balik gerumbul itu, “sebenarnya bagiku tidak terlampau banyak bedanya.
Apakah kau berada di situ, atau kau berada di tempat lain yang lebih
jauh. Dengan sekali sentuh, kalian berdua pasti sudah tidak akan dapat
berteriak memanggil siapapun. Jarak ini telah cukup memenuhi harapanku.
Karena itu, bersiaplah untuk mati.”
Bagaimanapun juga keberanian kedua
saudara seperguruan itu, namun hati mereka berdesir pula mendengar
ancaman itu. Ancaman yang seakan-akan terlampau meyakinkan. karena itu,
maka keduanya segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Sesaat kemudian mereka mendengar
gemerisik di samping mereka. Serentak mereka berdua memutar diri
menghadapi orang yang datang itu.
Dalam keremangan malam, mereka melihat
sesosok tubuh muncul dari balik dedaunan. Yang mula mereka lihat adalah
kepalanya, baru kemudian segenap tubuhnya.
“Aku sekarang sudah berdiri disini,” desis orang itu, “nah, apakah kalian akan melawan?”
Dada Mahendra berdesir mendengar
suaranya yang semakin jelas, melihat sikapnya dan bentuk tubuhnya. Dan
yang meyakinkannya adalah bahwa orang itu membawa tongkat hampir
sepanjang tubuhnya. Karena itu dengan serta merta ia bergumam, “Empu
Sada.”
Witantra terkejut pula mendengar nama
itu. Ia pernah mendengar nama itu dari Mahendra. Dan ia tahu apa yang
pernah dilakukan pula oleh orang itu. Karena itu, maka hatinya menjadi
berdebar-debar.
Orang yang baru datang itu menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kau masih mengenal aku Mahendra?”
Mahendra tidak menjawab. Tetapi tanpa dikehendakinya tangannya meraba hulu pedangnya.
“Kau memang anak muda yang berani dan
keras kepala,“ katanya kepada Mahendra, “dan kakakmu itu adalah seorang
perwira yang sabar, cerdas dan bertindak atas dasar perhitungan yang
masak.”
“Jangan memuji Empu,” potong Witantra
yang sudah bersiap-siap pula. Ia tidak dapat berbuat lain daripada
mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Banyak kemungkinan
yang dapat terjadi. Empu Sada itu datang seorang diri, atau bersama-sama
dengan kedua muridnya, Kuda Sempana dan orang yang menyebut dirinya
Bahu Reksa Kali Elo, atau malahan telah datang pula bersama dengan Empu
Sada itu orang-orang yang disebutnya bernama Wong Sarimpat dan Kebo
Sindet. Tetapi siapa pun yang datang, Witantra harus menghadapinya. Ia
membawa beberapa orang prajurit pilihan. Mungkin mereka harus bertempur
mati-matian menghadapi hantu-hantu itu.
Meskipun demikian kecemasan merambat
pula di dalam hati Witantra. Bagaimana kalau lawan yang dihadapinya
berada diluar kemampuan orang-orangnya. Witantra tidak mencemaskan
dirinya sendiri. Bahkan dalam tugas ini, nyawanya menjadi taruhan.
Tetapi bagaimana dengan Ken Dedes, bakal permaisuri Tunggul Ametung?
Witantra tahu benar bahwa Empu Sada adalah guru Kuda Sempana. Witantra
dapat menyangka bahwa Empu Sada telah berbuat karena tangis muridnya.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada
berkata, “Witantra, apakah kau masih akan memanggil satu dua orang lain
untuk bersama-sama melawan aku? Kesempatan masih ada. Berteriaklah
memanggil adikmu Kebo Ijo, atau perwira yang kau sebut namanya Sidatta,
atau ada orang lain yang lebih sakti lagi? Atau barangkali kau akan
berteriak memanggil segenap pasukanmu?”
Kejantanan kedua anak muda itu
benar-benar tersinggung. Namun mereka harus memperhitungkan pula
keadaan. Kini mereka tidak sekedar mempertahankan harga diri, tetapi
mereka harus mempertanggung jawabkan bakal permaisuri raja itu. Karena
itu maka mereka harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin mereka
harus mengorbankan harga diri mereka untuk kepentingan yang lebih
besar. Harga diri dalam pengertian yang terlampau luas. Sebab di dalam
pertempuran yang bukan perang tanding, maka tidak ada keharusan untuk
melawan musuh seorang-seorang, meskipun untuk kepentingan apa yang
disebut harga diri itu.
Namun Witantra masih harus juga
mempunyai pertimbangan lain. Kalau ia memanggil beberapa orang yang
cukup tangguh bersama dengan Kebo Ijo apakah itu tidak berarti memberi
peluang kepada orang lain untuk mengambil Ken Dedes? Kuda Sempana
bersama saudara-saudara seperguruannya misalnya? Karena itu sesaat
Witantra menjadi ragu-ragu.
Dalam keragu-raguan itulah ia mendengar
Empu Sada berkata, “Jangan mematung. Ambil sikap secepatnya sebelum aku
menyobek lehermu dengan tongkatku ini.”
Witantra tidak menjawab. Tetapi
tiba-tiba ia menarik pedangnya. Mahendra yang berdiri di sampingnya,
segera menarik pedangnya pula. Kini sepasang kakak beradik seperguruan
itu telah bersiap menghadapi segenap kemungkinan.
Empu Sada yang masih tegak di depan
gerumbul itu tertawa. Katanya, “Kalian memang anak muda yang gagah
berani. Aku iri melihat ketangkasan, keberanian dan keteguhan hati
kalian. Mungkin murid-muridku masih harus mendapat didikan khusus
mengenai keteguhan hati. Aku menyesal bahwa aku memelihara muridku
dengan acuh tak acuh sampai kini, asal mereka mencukupi keperluanku,
kebutuhanku, bagiku sudah cukup. Sebagai imbangan aku memberi mereka
beberapa jenis ilmu. Ternyata sekarang aku menyesal. Aku harus membentuk
muridku seperti kalian ini.”
Witantra dan Mahendra masih tegak di
tempatnya. Witantra sendiri yang sedang sibuk dengan berbagai
pertimbangan, hampir-hampir tak mendengar kata-kata Empu Sada itu. Ia
masih tetap ragu-ragu, apakah ia harus memanggil kawan-kawannya atau
membiarkan mereka menjaga Ken Dedes dengan kekuatan sepenuhnya.
Dalam pada itu Witantra dan Mahendra
melihat Empu Sada itu melangkah maju sambil berkata, “Kalian tidak
memanggil seorang pun diantara anak buah Witantra. Baik, mari kita
lihat, sampai dimana selisih kemampuanmu dengan murid-muridku.”
Sebelum Witantra menyahut, dilihatnya
Empu Sada menjulurkan tongkatnya. Ujung tongkat itu bergetar dengan
cepatnya. Di dalam gelap malam, maka mereka harus benar-benar memusatkan
segenap kemampuan mereka untuk melawan tongkat Empu Sada itu.
Witantra dan Mahendra adalah dua
bersaudara dari satu perguruan. Karena itu, mereka segera dapat
menyesuaikan dirinya. Ketika ternyata Empu Sada telah mulai, maka mereka
pun berloncatan ke arah yang berlawanan. Pedang-pedang mereka segera
bergerak dalam gerak ilmu pedang yang mereka terima dari guru mereka.
Sepasang anak-anak muda itu tidak
membiarkan dirinya diserang, sehingga merekalah yang melancarkan
serangan beruntun berganti-ganti. Tetapi lawannya adalah seorang guru
yang namanya cukup dikenal, meskipun kurang sedap. Sehingga karena itu,
maka serangan-serangan mereka berdua, seolah-olah tidak lebih dari
suatu permainan yang menjemukan bagi Empu Sada.
Tetapi kedua anak muda itu pun tidak
terlampau mengecewakan. Sekali-sekali serangan mereka berbahaya juga,
sehingga kadang-kadang Empu Sada pun terpaksa berloncatan ke samping.
Demikianlah, maka Witantra dan Mahendra
bertempur berpasangan dengan serasi. Mereka dapat isi mengisi dan
benar-benar menggabungkan kekuatan mereka dalam suatu kesatuan
seolah-olah Empu Sada kini berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki
kemampuan dua kali lipat dari apabila harus dilawannya seorang demi
seorang.
Namun Empu Sada itu masih juga sempat
tertawa sambil berkata, “Huh, aku benar-benar iri melihat cara kalian
bertempur. Serasi benar seperti otak kalian dihubungkan dengan satu
perintah, sehingga gerak dari yang seorang merupakan rangkaian gerak
dari yang lain.
Witantra dan Mahendra sama sekali tidak
menjawab. Tetapi mereka merasa bahwa Empu Sada belum benar-benar hendak
menjatuhkan mereka. Mereka sadar, bahwa kini Empu Sada sedang mencoba
menjajagi, sampai dimana kemampuan mereka berdua dibandingkan dengan
murid-muridnya sendiri.
Sementara itu terdengar Empu Sada
berkata pula, “Dimanakah saudara seperguruanmu yang satu lagi? Apabila
kalian bertempur bertiga alangkah dahsyatnya. Mungkin kalian bertiga
akan merupakan pasangan yang paling serasi yang pernah aku lihat.”
Witantra dan Mahendra masih tetap
berdiam diri. Namun di dalam dada Witantra bergolaklah kebimbangan
hatinya. Apakah ia harus memanggil beberapa orang untuk menemaninya
bertempur, atau ia harus menghadapi setan itu berdua. Masing-masing
mempunyai bahayanya sendiri-sendiri.
Dalam pada itu, Kebo Ijo telah
menyampaikan pesan Witantra kepada perwira bawahannya, Sidatta. Perwira
itu mengerutkan keningnya sambil bertanya perlahan-lahan, “Dimana
kakang Witantra sekarang?”
“Masih di tempatnya. Mungkin kakang Witantra ingin menangkap orang itu.”
“Bukankah itu cukup berbahaya? Orang itu mungkin sengaja memancing kakang Witantra untuk menjauhkannya dari rombongan ini.”
“Mungkin.”
“Kalau demikian, apakah kita perlu datang menolongnya?”
Kebo Ijo terdiam sejenak, otaknya pun
tidak terlalu tumpul betapapun bengalnya anak itu. Karena itu maka ia
pun bertanya kembali, “Apakah kita akan meninggalkan Ken Dedes itu
bersama-sama?”
Sidatta terdiam. Tentu ia tidak dapat
melepaskan prajurit ini tanpa pimpinan. Namun diantara mereka masih ada
seorang lagi yang dapat diserahinya. Tetapi Sidatta kini menjadi
ragu-ragu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dan memandang berkeliling,
dilihatnya hutan di sekitarnya terlampau sepi. Dilihatnya beberapa orang
prajurit berbaring di tempat yang berserakan. Sedang beberapa orang
yang lain, masih berjaga-jaga di tempat yang sudah ditentukan. Adalah
lebih baik demikian daripada mereka berkumpul menjadi satu. Dalam
keadaan yang demikian, maka apabila mereka harus menghadapi bahaya, maka
kesempatan akan menjadi lebih banyak.
Sementara itu Kebo Ijo pun menjadi
gelisah pula. Witantra dan Mahendra tidak segera kembali membawa atau
tidak membawa orang yang akan ditangkapnya itu.
Karena itu maka tiba-tiba ia berkata
kepada Sidatta, “Aku akan melihat kakang Witantra dan Mahendra. Kenapa
ia terlampau lama tidak juga kembali.”
“Lalu bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya Sidatta, “apakah aku ikut serta pula?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah perwira itu. Sebenarnya perwira itulah yang harus
mengambil keputusan. Tetapi karena Kebo Ijo yang dianggapnya lebih
mengetahui persoalannya, maka Sidatta merasa perlu mendengar
pertimbangannya.
Sejenak kemudian Kebo Ijo itu menjawab,
“Aku akan pergi sendiri lebih dahulu. Ken Dedes masih perlu mendapat
pengawalan yang kuat.”
“Baiklah sahut Sidatta, tetapi hati-hatilah.”
Kebo Ijo pun kemudian melangkah pergi.
Tidak tergesa-gesa, seakan-akan tidak ada suatu keperluan apapun,
sehingga langkahnya tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi para prajurit
yang lain dan bagi Ken Dedes yang duduk di samping tandunya.
Ketika Kebo Ijo telah menghilang di
balik dedaunan, maka Sidatta pun berdiri pula dan berjalan mendekati
perwira yang lain. Mereka bercakap-cakap sebentar. Kemudian kembali
Sidatta meninggalkan kawannya. Tetapi Sidatta tidak kembali ke
tempatnya, namun ia pergi menemui Ken Dedes. Katanya, “Tuan Puteri,
apakah tuan Puteri tidak ingin beristirahat? Mungkin tuan Puteri dapat
berbaring melepaskan lelah, meskipun barangkali tempat ini sama sekali
tidak menyenangkan bagi tuan Puteri.”
Ken Dedes mengangguk, katanya, “Aku belum mengantuk kakang Sidatta.”
Sidatta mengangguk kepalanya, kemudian
katanya, “Sebaiknya tuan puteri beristirahat sebaik-baiknya, supaya
besok tidak terlampau lelah. Perjalanan ke Panawijen sebenarnya sudah
tidak begitu jauh lagi. Sebelum matahari sepenggalah, kita besok pasti
sudah sampai. Meskipun begitu, perjalanan yang sehari ini barangkali
terlampau melelahkan.”
“Terima kasih,“ sahut Ken Dedes.
Tetapi Ken Dedes tidak segera berbaring
atau bersandarkan diri pada tandunya. Ia masih saja duduk bersimpuh
memandangi nyala perapian dihadapannya.
Sidatta tidak mempersilahkannya lagi. Namun ia segera bergeser dan duduk tidak terlampau jauh dari gadis itu.
Di sisi yang lain tanpa setahu Ken
Dedes, dan bahkan hampir tidak mendapat perhatian dari siapapun juga,
perwira yang seorang lagi bergeser pula mendekati Ken Dedes. mereka
berdua harus selalu berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang
dapat terjadi. Titik puncak dari pertanggungan-jawab mereka kali ini
adalah bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu.
Kebo Ijo yang telah hilang di balik
dedaunan, segera meloncat dengan tangkasnya mencari kedua kakak
seperguruannya. Dengan hati-hati dicarinya kembali jalan yang
dilampauinya ketika ia meninggalkan kedua kakak seperguruannya. Tetapi
ketika ia sampai ke tempat yang dicarinya, Witantra dan Mahendra telah
tidak ada di tempat itu.
Kebo Ijo menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipasangnya telinganya baik-baik, barangkali ia mendengar sesuatu. Dan
ternyata ia memang mendengar sesuatu. Tidak terlampau jauh, karena itu
segera ia meloncat ke arah suara itu.
Suara itu adalah suara batang-batang
perdu yang terinjak kaki-kaki mereka yang sedang bertempur.
Ranting-ranting yang patah dan kadang-kadang diselingi dentang senjata
beradu. Pedang Witantra dan Mahendra, berbenturan dengan tongkat Empu
Sada. Tongkat itu tampaknya terlampau kecil dan panjang, namun ternyata
tongkat itu pun mempunyai kekuatan yang mengagumkan.
Ketika Kebo Ijo muncul di dekat
perkelahian itu, terdengar suara Empu Sada tertawa. Katanya, “Nah,
ternyata adikmu datang pula Witantra. Ayo, jadilah pasangan yang manis.”
Kebo Ijo menggeram. Sekali ia meloncat maju langsung menerkam Empu Sada dengan pedangnya.
Kini Witantra bertempur bertiga dengan
adik-adik seperguruannya. Kekuatan mereka pun bertambah pula dengan Kebo
Ijo. Namun mereka bertiga hampir-hampir tidak berdaya menghadapi Empu
Sada yang jauh terlampau sakti daripada mereka. Empu Sada adalah
seorang guru yang setingkat dengan guru mereka sendiri.
Yang tertua dari mereka adalah Witantra
kecuali tertua dalam perguruannya, umurnya pun tertua pula diantara
mereka bertiga. Pengalamannya pun yang terbanyak pula. Sehingga otak
daripada ketiga bersaudara seperguruan itu terletak padanya. Ialah yang
mengambil sikap dari pasangan mereka bertiga, dan ialah yang mengatur
serangan dan perlawanan mereka terhadap Empu Sada yang sakti itu. Dengan
berbagai tanda Witantra berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya,
memberikan perintah-perintah kepada kedua adik seperguruannya.
Empu Sada heran melihat kerapihan
kerjasama diantara mereka. Ketiganya benar-benar murid yang sangat baik.
Murid yang mempunyai ikatan yang cukup dalam berbagai segi. Bahkan
saja dan segi ilmu mereka, Tetapi juga ikatan ketaatan yang muda
terhadap yang lebih tua. Sehingga dengan demikian, maka mereka bertiga
benar merupakan satu gabungan kekuatan yang dahsyat.
Meskipun demikian Empu Sada masih juga
sempat tertawa sambil berkata, “Bukan main. Aku sudah menyangka, bahwa
kalian bertiga akan merupakan kekuatan yang tangguh. Aku juga akan
membuat murid-muridku menjadi sebaik kalian. Aku juga ingin melihat
murid-muridku dapat bertempur berpasangan dengan rapi seperti murid
Panji Bojong Santi ini. Alangkah baik cara Panji kurus itu mengajari
muridnya.”
Witantra dan kedua adiknya sama sekali
tidak menyahut. Mereka berusaha untuk memperketat serangan mereka
terhadap lawannya. Namun usaha mereka itu seakan-akan sia-sia saja. Empu
Sada setiap kali mampu melepaskan diri dari kepungan mereka. Setiap
kali orang tua itu sudah berada di belakang mereka, menyerang dengan
tongkatnya yang panjang.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Tetapi Empu Sada agaknya masih belum ingin
mengakhiri pertempuran itu. Bahkan ia masih berkata, “Witantra, kalau
kau memanggil bawahanmu yang bernama Sidatta dan barangkali ada beberapa
kawan lain yang cukup bernilai untuk bertempur, kau masih mempunyai
kesempatan untuk melarikan dirimu, untuk menyelamatkan nyawamu. Nah,
apakah kau tidak akan mencoba memanggilnya?”
Witantra menggeretakkan giginya. Kini
semakin jelas baginya, bahwa Empu Sada berusaha untuk melepaskan Ken
Dedes dari pengawasan yang baik. Mungkin Empu Sada saat itu datang
bersama dengan Kuda Sempana dan murid-muridnya yang lain, namun mereka
masih tetap bersembunyi. Apabila pengawasan atas Ken Dedes telah menjadi
kian lemah, baru mereka akan berbuat sesuatu. Menculik gadis itu.
Karena itu Witantra pun segera menjawab,
“Aku tidak akan mengumpankan orang lain untuk keselamatanku. Empu,
jangan mencoba mengelabui kami. Aku tidak akan memanggil seorang pun
lagi dari rombonganku meskipun nyawaku terancam. Bukankah dengan
demikian muridmu akan mendapat kesempatan menculik gadis itu.”
Empu Sada tertawa. Jawabnya, “Ternyata
otakmu tidak setumpul otak udang. Tetapi meskipun kau tidak memanggil
orang-orangmu, maka akhir daripada ceritera ini akan sama saja. Kalian
bertiga akan mati aku bunuh. Aku dan murid-muridku kemudian akan
mengambil gadis itu. Bukankah sama saja? Karena itu lebih baik bagimu
untuk mencoba menyelamatkan dirimu.”
Witantra sekali lagi menggeram. Tetapi
ia tidak menjawab. Bahkan serangannya menjadi bertambah garang. Kini
Witantra itu menyadari benar-benar, apakah yang sedang dihadapi. Karena
itu, semuanya akan tergantung kepadanya, kepada kemampuannya melawan
Empu Sada itu.
Dengan demikian maka seakan-akan
Witantra menjadi semakin tangguh. Kini ia semakin didorong oleh
tekadnya. Tekad memeluk tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Melihat tandang Witantra, Empu Sada
mengumpat di dalam hati. Perwira prajurit pengawal Akuwu itu benar-benar
memiliki kemampuan jasmaniah yang luar biasa. Bukan saja Witantra,
tetapi kedua saudaranya yang lain pun segera mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Mereka harus mencoba bertahan sejauh-jauh mungkin.
Mereka tidak ingin gagal dalam tugasnya. Ken Dedes itu benar-benar telah
dipercayakan kepada mereka oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kalau
mereka tidak mampu melawan Empu Sada, maka berarti mereka gagal
menjalankan tugas mereka. Karena itu, maka hanya mautlah yang dapat
menghentikan perjuangan. mereka, melakukan tugas mereka dengan penuh
tanggung jawab.
Witantra bertiga dengan kedua saudara
seperguruannya itu pun kemudian menyerang Empu Sada seperti angin
pusaran. Mereka berputaran dalam satu lingkaran mengelilingi orang tua
itu. Setiap kali mereka melontarkan serangan berganti-ganti.
Namun berkata-kata mereka menjadi
kecewa. Apabila mereka menekan orang tua itu dengan segenap kemampuan
mereka, tiba-tiba Empu Sada itu melenting, dan sesaat kemudian orang itu
telah berada diluar lingkaran mereka. Bahkan kemudian Empu Sada lah
yang mengambil sikap, menyerang ketiganya dalam gerak yang beruntun.
Tetapi betapa tekanan Empu Sada atas
mereka bertiga, namun Witantra sama sekali tidak berhasrat memanggil
seorang atau dua orang bawahannya Ia yakin, bahwa di dalam semak-semak
itu masih bersembunyi beberapa orang yang siap untuk bertindak. Bahkan
Witantra yakin, bahwa Kuda Sempana ada diantara mereka. Apabila para
pengawal lengah, Kuda Sempana sendiri akan mengambil Ken Dedes. Sikap
itu adalah sikap yang dapat memberinya kepuasan, seakan-akan ia
sendirilah yang berhasil menyergap rombongan bakal permaisuri itu.
Sedang apabila ada satu dua orang yang berhasil menyampaikan kejadian
ini kepada Akuwu, maka Kuda Sempana sendirilah yang harus bertanggung
jawab. Bagi Kuda Sempana yang telah melarikan diri dari istana itu, maka
baginya hampir tak ada bedanya. Memberontak seperti keadaannya
sekarang, atau memberontak karena melarikan Ken Dedes. Ia pasti telah
mempunyai perhitungannya sendiri. Kemana ia harus bersembunyi.
Ternyata perhitungan Witantra itu
sebagian besar adalah benar, Empu Sada sengaja memperlambat
serangan-serangannya, supaya Witantra berusaha untuk memanggil
orang-orangnya, atau orang-orangnyalah yang akan bertebaran mencarinya.
Tetapi agaknya Kebo Ijo telah menyampaikan pesan Witantra dan para
perwira berhasil membuat perhitungan pula, sehingga mereka sama sekali
tidak berusaha mencari Witantra dan kedua saudara seperguruannya. Karena
itu, maka segera Empu Sada membuat cara lain untuk memancing
orang-orang Witantra yang hampir tidak tahu sama sekali apa yang telah
terjadi selain kedua perwiranya. Empu Sada akan berusaha menekan
Witantra dan kedua saudaranya justru mendekati perkemahan rombongannya.
Demikianlah maka sesaat kemudian gerak
Empu Sada itu pun menjadi semakin lincah. Dengan tongkat panjangnya ia
menyerang ketiga bersaudara seperguruan itu semakin sengit.
Tongkat panjangnya berputar dari satu
arah, seolah-olah ia sedang menggembalakan itik dan. membawanya ke dalam
air yang tergenang.
Apabila orang-orang di dalam rombongan
itu melihat pemimpinnya bertempur, maka mau tidak mau, mereka pasti akan
tergerak dengan sendirinya. Pada saat itulah Kuda Sempana dan
kawan-kawannya harus bertindak. Setelah mereka berhasil membawa Ken
Dedes, maka rombongan prajurit itu harus segera ditinggalkan. Apabila
mungkin jangan ada korban satu pun yang jatuh. Dengan demikian, maka
peristiwa itu pasti akan menggemparkan Tumapel. Peristiwa itu bagi Empu
Sada dan murid-muridnya akan merupakan suatu permainan yang sangat
menggembirakan. Sebab yang akan terjadi kemudian adalah, Witantra,
Mahendra, Kebo Ijo dan kawan-kawannya pasti dinyatakan bersalah, dan
kemungkinan yang terbesar adalah, dihukum gantung di alun-alun. Hukuman
itu pasti lebih baik daripada apabila Witantra dan kawan-kawannya mati
di dalam pertempuran ini. Sebab dengan demikian, maka Witantra masih
akan mendapat kehormatan, sebagai seorang yang gugur dalam melakukan
tugasnya.
Tetapi Witantra yang cukup berpengalaman
itu dapat menebak maksud Empu Sada, sehingga dengan demikian, ia
berusaha sekuat-kuatnya, untuk menghindari tekanan Empu Sada itu.
Apabila mungkin Witantra berusaha untuk mengelak dan meloncat ke arah
yang lain. Tidak ke arah rombongannya.
Namun Empu Sada ternyata benar-benar
sakti. Dengan berbagai macam unsur gerak dan serangan-serangan, tanpa
dikehendakinya, bahkan tanpa disadarinya, Witantra semakin lama menjadi
semakin dekat dengan perkemahan Ken Dedes. Bahkan Witantra itu pun
terkejut bukan buatan, ketika di ujung pepohonan, sekali-sekali ia
melihat sinar api yang menyentuh dedaunan. Dengan demikian, Witantra
segera mengerti bahwa ia telah berada semakin dekat dengan rombongannya.
Dengan marahnya Witantra menggeram.
Tetapi yang terdengar adalah suara Empu Sada, “Nah, aku sekarang
mempunyai rencana yang lain. Aku tidak memancingmu menjauhi rombonganmu,
supaya kawan-kawanmu mencarimu, tetapi justru aku mendekatkan kalian
kepada rombongan kalian. Apabila ada diantara mereka yang mendengar
suara pertempuran pasti mereka akan menjadi ribut dan mau tidak mau
mereka pasti akan mencoba membantumu.
Witantra tidak menjawab. Namun ia masih
berusaha menjauhi rombongannya sebelum seorang pun dari mereka
mengetahui. Tetapi alangkah marahnya perwira prajurit itu. Ternyata Empu
Sada benar-benar licik. Dengan lantangnya ia berkata, “Ha, Witantra,
apakah kau masih mengharap untuk dapat hidup?”
Suara Empu Sada itu menggema seakan-akan
memenuhi seluruh hutan. Sehingga dengan demikian, maka suara itu telah
mengejutkan para prajurit yang berada di perkemahan. beberapa diantara
mereka segera berloncatan bangun dengan menggenggam senjata mereka,
sedang beberapa orang yang lain, masih mencoba mendengarkan darimana
arah suara itu.
Sidatta yang telah mendengar pesan
Witantra lewat Kebo Ijo, terkejut pula mendengar suara itu. Suara itu
sama sekali bukan suara Witantra. Karena itu, maka ia pun berdiri pula
sambil memperhatikan perkembangan keadaan dengan saksama. Demikian pula
perwira yang seorang lagi. Segera ia pun berdiri pula, dan tanpa
sesadarnya tangannya telah hinggap di hulu-hulu pedangnya.
Ken Dedes mendengar pula suara Empu Sada
itu. Terasa dadanya bergetar. Namun kemudian dilihatnya para
pengawalnya yang telah bersiap menghadapi kemungkinan. Karena itu
hatinya menjadi agak tenteram.
Witantra yang tahu benar maksud Empu
Sada mengumpat di dalam hatinya. Apabila pancingan itu berhasil maka
akan lemahlah pengawalan atas Ken Dedes, sehingga akan memberi
kesempatan kepada Kuda Sempana untuk menculiknya.
Dalam pada itu sekali lagi terdengar
Empu Sada berkata sambil tertawa, “Jangan lari Witantra. Disinilah
gelanggang untuk mengadu tenaga. Bukan di situ.”
“Setan,“ Witantra tidak dapat lagi
menahan hati. Untuk mencegah anak buahnya berlarian ke pertempuran itu
segera ia pun berteriak, “Tetap di tempatmu Sidatta. Aku hanya menangkap
kelinci tua. Aku tidak perlu orang-orang lain.”
Empu Sada tertawa terkekeh-kekeh. Namun
tongkatnya masih saja berputar, bahkan melanda ketiga saudara
seperguruan itu seperti badai. Tekanan Empu Sada benar-benar terasa
sangat ketatnya, sehingga pertempuran itu pun setapak demi setapak
beringsut ke tempat yang tidak dikehendaki oleh Witantra.
Betapa marahnya hati perwira tertinggi
pasukan pengawal istana itu. Tetapi betapa ia telah mencurahkan segenap
kemampuannya bersama kedua adik seperguruannya, namun ia sama sekali
tidak berhasil mendorong Empu Sada masuk ke dalam hutan yang lebih
dalam. Bahkan Empu Sada itu pun menjadi semakin cepat bergerak, seperti
sebuah bayangan yang meloncat-loncat mengitari ketiga bersaudara itu.
Tetapi Witantra dan kedua saudaranya
tidak berputus asa. Mereka masih tetap dalam perlawanan yang rapi.
Betapa saktinya Empu Sada, tetapi melawan ketiga anak-anak muda itu,
diperlukan pula hampir segenap kemampuannya.
Para prajurit di perkemahan menjadi
gelisah. Apalagi ketika mereka menunggu beberapa saat, Witantra masih
belum muncul diantara mereka. Berbagai pertimbangan melingkar di dalam
kepala Sidatta.
Apalagi ketika terdengar kembali suara
tertawa Empu Sada semakin dekat. “Lihat Witantra. Betapa buruk
perangaimu. Tak, seorang pun diantara anak buahmu, yang bukan
seperguruan denganmu, bersedia membantumu. Betapa luka hampir memenuhi
tubuhmu, namun mereka akan bergembira, apabila kau mati di hutan ini.
Sidatta akan segera mendapat pengangkatan, menggantikan kedudukanmu,
sedang yang lain pun akan desak mendesak setingkat keatas.
“Jangan berputus asa,” tiba-tiba
terdengar Witantra memotong, “Bertempur lah dengan senjata, jangan
dengan kata. Mungkin kau kecewa setelah kau melihat cara Witantra
mempertahankan dirinya. Kau semula pasti menyangka bahwa pasukan
pengawal Akuwu adalah semacam pasukan kehormatan, yang hanya mampu
memanggul panji-panji dan tunggul. Tetapi sekarang kau menghadapi salah
seorang dari padanya dalam suatu perkelahian.”
Empu Sada menggeram. Kemarahannya
semakin lama semakin menyala membakar ubun-ubunnya, “Kau jangan gila
Witantra,“ katanya, “kalau aku menjadi benar-benar marah, maka kau
benar-benar akan aku bunuh bertiga.”
Kini Witantra lah yang tertawa, “Kalau kau mampu membunuh kami, maka pasti sudah kau lakukan.”
Tetapi suara Witantra itu terputus,
ketika tongkat Empu Sada menyambar keningnya. Untunglah bahwa ia masih
sempat menghindar meskipun tergesa-gesa. Dalam keadaan itu,
hampir-hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
Empu Sada yang sudah menjadi semakin
marah, melihat kesempatan terbuka baginya. Kalau ia ingin membunuh
Witantra, itulah saat yang sebaik-baiknya. Ia dapat menusuk dada
Witantra dengan ujung tongkatnya yang meskipun tidak terlampau runcing.
Namun kekuatannya cukup untuk melubangi dada panglima pasukan pengawal
itu. Tetapi sesaat Empu Sada ragu-ragu. Ia ingin Witantra mati di tiang
gantungan sebagai seorang pengkhianat yang tidak mampu melakukan
tugasnya dengan baik, tidak di medan peperangan. Namun kalau kesempatan
ini tidak dipergunakan, apakah akan datang kesempatan yang sama, dan
apakah benar Witantra dianggap bersalah nanti oleh Akuwu.
Tiba-tiba Empu Sada menggeram. Ternyata
kemarahannya telah menggelapkan perhitungannya. Witantra, apakah perlu
akan dibunuhnya saat itu juga.
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata
telah menyelamatkan Witantra. Ketika Empu Sada sedang diragukan oleh
perasaannya sendiri. Witantra sudah sempat memperbaiki keadaannya.
Apalagi demikian Empu Sada mengambil sikap, Mahendra dan Kebo Ijo datang
bersama-sama dalam sebuah serangan berpasangan yang berbahaya.
Sehingga Empu Sada terpaksa meloncat menghindar. Namun demikian kakinya
menjejak tanah, demikian ia melenting sambil mengayunkan tongkatnya.
Sekali lagi pelipis Witantra hampir disambar oleh tongkat itu. Sekali
lagi Witantra meloncat surut beberapa langkah untuk menghindari tongkat
itu. Namun Empu Sada pun kemudian menyerangnya seperti banjir bandang.
Witantra menjadi kesulitan pula
menghindari serangan-serangan itu. Serangan yang semakin cepat dan
berbahaya. Tetapi kembali Mahendra dan Kebo Ijo mencoba memotong setiap
serangan Empu Sada dengan serangan-serangan yang cukup berbahaya pula.
Kedua anak muda itu bertempur seperti sepasang alap-alap di udara.
Sedang Witantra itu pun kemudian memimpin kembali perlawanan atas Empu
Sada sebagai seekor rajawali.
Namun yang tidak dikehendaki oleh
Witantra adalah, mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahannya.
ketika sekali lagi ia terdorong surut bersama Mahendra, maka mereka
ternyata telah meloncat ke dalam daerah cahaya perapian dari kawan-kawan
mereka.
Para prajurit Tumapel terkejut melihat
perkelahian itu. Apalagi mereka melihat Witantra dan Mahendra berada
dalam bahaya. Namun mereka segera melihat, Kebo Ijo melontarkan diri
seperti tatit menyambar di langit, menusuk langsung lambung Empu Sada.
Meskipun serangan Kebo Ijo itu dapat dielakkan, namun saat yang pendek
itu telah memberi kesempatan kepada Witantra dan Mahendra untuk
memperbaiki kedudukannya.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada
tertawa kembali dengan lantangnya ia berkata, “He para prajurit Tumapel
yang perkasa. Inilah pemimpin yang sedang menangkap kelinci tua itu.
Lihatlah, apakah ia mampu melawan Empu Sada yang sudah tua ini. Tidak
hanya seorang diri, tetapi bertiga dengan kedua saudara seperguruannya.”
Semua mata melihat perkelahian itu. Semua hati menjadi berdebar-debar pula karenanya.
Ken Dedes pun kemudian dengan serta
merta berdiri. dengan penuh kekhawatiran ia melihat perkelahian yang
kemudian berkobar kembali dengan sengitnya.
Sidatta masih berdiri terpaku di
tempatnya. Sesaat ia dicengkam oleh keragu-raguan. Ingin ia meloncat
membantu Witantra melawan Empu Sada, Tetapi segera teringat olehnya, Ken
Dedes yang berdiri gemetar. Gadis itu harus mendapat pengawalan yang
baik menurut pesan Witantra.
Namun sekian lama ia menjadi semakin
cemas melihat perkelahian yang berlangsung. Ia membiarkan beberapa orang
prajurit mencoba membantu, Witantra. Namun Witantra sendiri berkata,
“Jangan mempersulit pekerjaan kami. Minggir, jangan dekati orang tua
gila ini.”
Empu Sada tertawa, katanya, “Mari, marilah beramai-ramai menangkap kelinci.
Witantra menggeram, namun Empu Sada mendesaknya terus.
Akhirnya Sidatta tidak tahan lagi
melihat pertempuran itu. Dengan lantang ia berkata kepada perwira yang
seorang lagi, “Bawa beberapa orang prajurit pilihan kemari. Pagari tuan
puteri dengan pedang dan tombak. Aku akan ikut serta dalam perkelahian
itu.”
Perwira yang satu itu pun segera
mengatur beberapa orang prajurit, berdiri rapat melingkari Ken Dedes
dengan senjata telanjang di tangannya. Mereka telah bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Beberapa orang prajurit yang lain dengan ragu-ragu
berlari-lari kian kemari, mencoba membantu Witantra menghadapi Empu
Sada. Tetapi apa yang mereka lakukan, hampir tak berarti sama sekali.
Setelah Sidatta melihat persiapan yang
dapat dipercaya dalam pengawalan Ken Dedes, barulah ia meloncat
mendekati Empu Sada. Dengan garangnya segera ia menerjunkan diri ke
dalam pertempuran itu. Dengan tenaganya yang masih segar, Sidatta
berusaha untuk berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Witantra yang juga melihat cara Sidatta
memagari Ken Dedes tidak menolak bantuan Sidatta itu. Bagaimanapun juga
ia harus mengakui, betapa mereka bertiga mengalami banyak kesulitan
untuk melawan Empu Sada.
Dengan kehadiran Sidatta, maka
tekanan-tekanan Empu Sada pun menjadi berkurang. Meskipun Sidatta bukan
saudara seperguruan Witantra, namun karena ketrampilannya, segera ia
berhasil menyesuaikan dirinya dalam pertempuran bersama itu.
Meskipun beberapa, orang prajurit yang
mencoba membantu mereka melawan Empu Sada hampir tak berarti, namun
ternyata mereka telah mempengaruhi gerak orang tua itu, sehingga dengan
geramnya ia berkata, “Hem, apakah cucurut-cucurut ini juga ingin
melawan Empu Sada. Pergilah sebelum ada diantara kalian yang mati
terinjak-injak kaki.
Tetapi para prajurit itu tidak
meninggalkan perkelahian. mereka tetap berlari berputaran, mencari
kesempatan. Namun kesempatan itu seakan-akan tidak pernah datang kepada
mereka. Bahkan ada diantara mereka yang saling berbenturan dan saling
berdesak-desakkan. Apabila salah seorang dari mereka mencoba menghindari
ayunan tongkat Empu Sada maka tanpa disengaja ia telah mendorong
kawannya sehingga mereka berdua jatuh berguling-guling.
Sekali Empu Sada melihat juga seluruh
daerah perkemahan itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit siap rapat
mengelilingi Ken Dedes hanya di bawah pimpinan seorang perwira. Sedang
yang lain, yang tidak ikut dalam perkelahian ini, mencoba menjaga setiap
sudut perkemahan itu.
Tiba-tiba Empu Sada itu tersenyum.
Perwira yang menjaga Ken Dedes adalah perwira bawahan Sidatta, sehingga
setinggi-tinggi ilmunya, masih belum melampaui Kuda Sempana atau
murid-muridnya yang lain. Karena itu Empu Sada itu menganggap bahwa
waktunya telah cukup masak untuk memanggil Kuda Sempana dan
kawan-kawannya, untuk bertindak. Mereka akan datang dari jurusan yang
berbeda. Beberapa orang murid dari murid-muridnya, diantaranya
murid-murid orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo, dan murid-murid
dari seorang saudara seperguruannya yang lain, Sungsang.
Murid-murid itu tidak perlu bertempur
mati-matian untuk membinasakan prajurit-prajurit Tumapel itu. Mereka
hanya berkewajiban untuk memancing perhatian para prajurit. Apabila
mereka telah terlibat dalam satu pertempuran, maka adalah kuwajiban Kuda
Sempana, Cundaka dan Sungsang untuk mengambil Ken Dedes.
“Semuanya akan berjalan dengan lancar,“
berkata Empu Sada di dalam hatinya, “perhitunganku tidak terlampau jauh
dari keadaan kini. Tiga orang muridku telah cukup. Aku tidak perlu
memanggil mereka yang bertempat tinggal terlampau jauh. Dan
murid-muridku itu telah membawa murid-muridnya cukup banyak untuk
keperluan ini. Empu Sada itu tersenyum. Kuda Sempana akan mendapatkan
Ken Dedes, sedang muridnya yang lain akan mendapatkan perhiasan gadis
itu yang tidak ternilai harganya. Perhiasan yang dikenakan oleh seorang
bakal permaisuri.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada itu berteriak nyaring melontarkan aba-aba untuk segera melakukan rencana mereka.
Beberapa orang terkejut mendengar
teriakan itu, tetapi setiap orang segera menyadari, bahwa bahaya yang
lebih besar lagi segera akan menimpa rombongan itu.
Perwira yang satu, yang bertugas
mengamankan Ken Dedes menangkap pula isyarat itu sebagai suatu perintah
kepadanya, untuk menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. karena
itu, maka segera ia meloncat semakin dekat di samping tandu Ken Dedes
sambil berbisik, “Tuan puteri, jangan cemas. Namun tuan puteri pun
sebaiknya bersiap-siap di samping tandu. Mungkin tuan puteri harus
segera naik dan melakukan perjalanan yang tergesa-gesa dimalam hari
ini.”
Wajah Ken Dedes pun segera menjadi
pucat. Peringatan itu baginya justru suatu berita, bahwa bahaya yang
sebenarnya adalah cukup besar. Namun gadis itu tidak menjawab. Setapak
ia beringsut mendekati tandunya, sedang para pengusung pun segera
bersiap pula di sampingnya. Setiap saat para pengusung itu harus
memanggul tandu Ken Dedes, mungkin dengan berlari-lari, bahkan mungkin
mereka harus memegangi tandu dengan sebelah tangan, sedang tangan yang
lain harus menggenggam senjata mereka.
Apa yang mereka tunggu-tunggu itu pun
segera datang. Dari dalam semak-semak di sekitar mereka, segera
berloncatan beberapa orang dengan pedang di tangan. Mereka
berteriak-teriak dengan riuhnya seperti kanak-kanak sedang mengejar
tupai.
Sidatta yang sedang bertempur
bersama-sama dengan Witantra dan kedua saudara seperguruannya menjadi
bimbang. Apakah ia harus meninggalkan perkelahian itu, atau ia harus
tetap berkelahi bersama dengan Witantra. kedua-duanya baginya sama
beratnya.
Tetapi segera ia mengambil keputusan di
dalam hatinya, “Aku akan melihat apa yang terjadi. Apabila prajurit
Tumapel tidak berdaya menghadapi orang-orang itu, maka aku harus segera
membantu mereka.
Dalam pada itu, para pengawal segera
berloncatan pula menyongsong penyerangnya. Beberapa orang benar-benar
telah bersiap di sudut-sudut perkemahan, sedang yang lain masih tetap
dalam lingkaran di sekitar Ken Dedes bersama seorang perwiranya.
Wajah Ken Dedes menjadi bertambah pucat
melihat orang-orang yang ganas dan kasar itu menyerang para pengawalnya
sambil berteriak mengerikan. Dengan pedang yang terayun-ayun di atas
kepalanya, mereka benar-benar telah menggemparkan hati para prajurit
Tumapel. Untunglah bahwa sebagian dari para prajurit itu pun telah cukup
berpengalaman, sehingga sesaat kemudian mereka telah menemukan
keseimbangan mereka kembali. Dengan demikian maka mereka kemudian dapat
bertempur dalam sikap yang wajar.
Segera terjadi hiruk pikuk di perkemahan
itu. Hampir di segala sudut terjadi perkelahian-perkelahian yang ribut.
Orang yang menyerang perkemahan itu benar bertempur menurut kehendak,
mereka sendiri. Dimana pun dan dalam sikap yang bagaimana pun juga.
Tetapi ketika perkelahian telah
berlangsung beberapa lama segera Witantra melihat, bahwa orang-orang itu
sengaja memancing perkelahian menjauhi gadis bakal permaisuri Akuwu
Tumapel itu.
Witantra menjadi semakin cemas
menghadapi gerombolan yang tampaknya benar-benar liar. Tetapi Witantra
menyadari, bahwa sebenarnya orang-orang yang menyerang rombongannya
bukanlah orang-orang yang terlampau liar, namun sengaja mereka membuat
kesan, bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat sekehendak hati
mereka tanpa ada orang lain yang dapat mencegahnya. Liar, kasar dan
ganas.
Ternyata bukan saja Witantra yang
menjadi cemas, tetapi juga Mahendra dan Sidatta, bahkan Kebo Ijo yang
hampir tidak menaruh perhatian apa pun terhadap Ken Dedes, bahkan
kadang-kadang ia menghina di dalam hatinya, namun kali ini hatinya
dicengkam oleh kecemasan juga. Cemas bahwa Akuwu pasti akan menimpakan
kesalahan kepada Witantra, dan cemas bahwa nilainya sebagai seorang
laki-laki dan prajurit, apalagi dalam satu rombongan, benar-benar
dibinasakan oleh sebuah gerombolan dari orang-orang yang tidak mempunyai
kedudukan dan nama.
Perwira yang masih tetap berdiri di
samping Ken Dedes menyadari pula atas apa yang sedang terjadi. Karena
itu, ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah pedang yang mengkilap, sedang di tangan kirinya sebuah
pisau belati panjang. Sesuatu pasangan senjata yang selama ini
diandalkannya di medan-medan perang.
Beberapa orang yang berdiri memagari Ken
Dedes pun diperintahkannya untuk tetap berada di tempatnya. Selama
keadaan mereka yang bertempur tidak terlampau jelek, maka setiap orang
yang berjaga-jaga di sekitar Ken Dedes masih harus tetap di tempatnya.
Dalam pada itu pertempuran di sekitar
tempat itu semakin lama menjadi semakin ribut. Orang-orang Empu Sada
bertempur tanpa mengingat nilai-nilai yang biasanya menjadi pegangan
bagi setiap orang yang merasa dirinya cukup jantan. Mereka bertempur
sambil berlari-lari, berteriak-teriak dan kadang-kadang mempergunakan
senjata-senjata yang kotor. Batu dan pasir.
Witantra mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi ia sama sekali tidak dapat melepaskan Empu Sada. Orang itu
bertempur semakin lama justru menjadi semakin dahsyat, meskipun kini ia
harus berhadapan melawan empat orang terbaik dari rombongan pengawal
Ken Dedes.
Bahkan orang tua itu masih sempat tertawa dan berkata, “Nah. Apakah yang dapat kalian lakukan untuk melawan orang-orangku?”
“Orang-orang seliar Serigala,“ bentak Witantra, “mereka tidak menghormati sama sekali nilai-nilai perseorangan.”
“Apa pedulimu,” sahut Empu Sada, “tetapi
sadarilah, bahwa apabila kau tidak memerintahkan menghentikan
perlawanan, maka semua orang-orangmu akan tertumpas habis.”
“Persetan,“ teriak Witantra.
Empu Sada itu pun masih saja tertawa.
Tiba-tiba sekali lagi ia berteriak, “Jangan terlampau lama bersembunyi.
Nah, kini sudah waktunya bagi kalian untuk memetik bunga itu. Di
sampingnya hanya ada seorang yang perlu kalian perhatikan, yang lain
adalah semudah mematahkan ranting-ranting kering.
Kata-kata Empu Sada itu terdengar
benar-benar seperti petir menyambar di atas kepala Witantra, Mahendra,
Kebo Ijo, Sidatta dan para prajurit Tumapel yang lain. Dengan demikian,
segera mereka menyadari bahwa lawan mereka segera akan bertambah. Dan
yang akan datang pasti bukan sekedar gerombolan liar yang hanya mampu
berlari-lari dan berteriak-teriak, tetapi pasti orang-orang terpilih
dari antara orang-orang Empu Sada itu.
Perwira yang berdiri di samping Ken
Dedes pun menyadarinya, sehingga karena itu segera pula keluar
perintahnya, “Hadapi setiap kemungkinan tanpa ada kesempatan
meninggalkan tempat ini bagi kalian dan kami semuanya.”
Perintah itu tegas dan jelas bagi setiap prajurit Tumapel. Perintah itu sama bunyinya dengan, “Bertempur sampai mati.”
Setiap prajurit Tumapel mengatupkan
mulutnya rapat-rapat, namun gigi mereka bergemeretak. Mereka menyadari
sepenuhnya apa yang harus mereka lakukan demi tugas mereka, Ken Dedes
bagi mereka hampir sama nilainya dengan Akuwu sendiri, sebab gadis itu
kini dalam sikap kebesaran seorang permaisuri.
Orang-orang Empu Sada yang lain, yang
mendengar perintah itu, segera bersorak semakin riuh. Mereka
berteriak-teriak seperti serigala kelaparan. Namun dalam pada itu,
serangan-serangan mereka pun meningkat semakin garang pula.
Dari dalam semak-semak segera muncul
beberapa orang berloncatan menerjunkan diri ke dalam pertempuran itu.
Seperti orang-orang yang terdahulu, segera mereka pun berteriak-teriak
dan memutar senjata-senjata mereka. Namun belum seorang pun dari mereka
yang menyerang para prajurit Tumapel yang berdiri melingkari Ken
Dedes.”
Witantra dan para prajurit Tumapel yang
melihat datangnya orang-orang baru itu menjadi heran. Tidak ada
tanda-tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang terpilih. Gerak,
tandang serta cara mereka bertempur tak ubahnya dengan cara-cara yang
dipergunakan oleh kawan-kawan mereka sebelumnya. Namun karena itu, maka
Witantra dan para prajurit yang lain itu masih harus menunggu, bahwa
akan datang saatnya, lawan-lawan yang lebih berat akan berdatangan.
Tetapi pertempuran itu sudah berjalan
beberapa saat. Sedang keadaan medan masih belum berubah. Empu Sada masih
harus menghadapi keempat lawannya yang tidak dapat dianggap seperti
sedang bermain kucing-kucingan, sedang orang-orang lain masih bertempur
dengan riuhnya. Namun prajurit yang bertugas khusus di sekitar Ken
Dedes beserta pimpinannya, sama sekali belum tersentuh oleh lawan.
Mereka masih tetap berdiri kaku tegang. Bahkan mereka hampir tidak
tahan lagi menunggu terlampau lama, siapakah yang harus menjadi
lawan-lawan mereka.
Dalam kegelisahan Witantra sempat
memperhatikan sikap Empu Sada yang gelisah pula. Sekali-sekali orang tua
itu memerlukan waktu untuk menjauhi lawannya, dan menebarkan matanya
berkeliling. Kesimpulan Witantra adalah, Empu Sada masih menunggu
orang-orangnya yang lain.
Sebenarnyalah bahwa Empu Sada menjadi
gelisah. Seharusnya orang-orangnya yang terpenting dalam rencana ini,
sudah mulai berbuat sesuatu. Mungkin mereka segera akan berhasil.
Tetapi orang yang ditunggunya itu sama sekali belum menampakkan dirinya.
“Apakah perubahan kecil ini telah
mempengaruhi mereka pertanyaan itu menyentuh dinding hati Empu. Sada.
Tetapi kemudian dijawabnya sendiri, “perubahan itu tidak terlalu sulit.
Orang-orang lain, bahkan orang-orang yang lebih bodoh dari mereka,
dapat mengerti keadaan yang tidak tepat mengerti keadaan yang tidak
tepat seperti rencana semula ini, dan mereka dapat segera menyesuaikan
dirinya pula. Orang-orang ini dapat mengerti, bahwa aku tidak jadi
membawa Witantra dan orang-orang penting lainnya meninggalkan
perkemahan, justru aku membawa mereka masuk kedalamnya namun mengikat,
mereka dalam suatu pertempuran. Mustahil, mustahil kalau perubahan
kecil ini menjadikan mereka kebingungan.
(Bersambung ke jilid 17).
No comments:
Write comments