TERNYATA SENTUHAN batu
kecil itu benar-benar tidak diduganya. Tenaga dorongnya telah mampu
menggetarkan tongkatnya. Karena itu, maka dengan demikian segera Empu
Sada mengetahui bahwa kekuatan orang yang melemparkan batu itu
benar-benar kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.
Kini ia telah dapat meyakini, bahwa
sebenarnya memang bukan salah seorang anak-anak Panawijen itulah yang
melemparkan batu itu. Ketika ia sedang menghadap kepada ketiga anak itu
dan memandangi mereka, maka dilihatnya batu itu melontar dari
gerumbul di belakang anak-anak yang membeku itu. Dengan demikian maka
segera Empu Sada mengetahuinya, bahwa seorang telah bersembunyi di
balik gerumbul itu.
Empu Sada itu pun kini tidak mau
melangkah maju lagi. Seseorang yang melampaui kekuatan kebanyakan orang
sedang menunggunya. Mungkin suatu ketika orang yang bersembunyi itu
tidak melemparnya dengan batu, tetapi suatu kali dapat terjadi orang
itu melempar dengan sebilah pisau, atau dengan jarum-jarum baja yang
runcing sebangsa paser yang kecil.
Yang dapat dilakukan oleh orang tua itu
kemudian adalah berteriak-teriak lantang, “He, pengecut yang
bersembunyi di balik gerumbul. Ayo keluarlah. Jangan menyerang sambil
bersembunyi.”
Namun suaranya itu lepas saja tanpa ada
yang menyahut. Gemanya mengelentang memukul tebing-tebing perbukitan
dan menyelusur dinding sungai, mengatasi desir air terjun di bawah
jeram-jeram.
Sesaat Empu Sada itu terdiam.
Dipandanginya gerumbul itu dengan tajamnya, seakan-akan sorot matanya
ingin menembus rimbunnya daun-daun perdu di dalam alam yang semakin
gelap. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Empu Sada sama sekali tidak
dapat menangkap tanda-tanda yang menunjukkan kepadanya, siapa dan
berapa orang yang bersembunyi di belakang gerumbul itu. Namun dengan
demikian, menilik cara orang itu mengatur pernafasannya, cara orang
itu sampai ke sana dan bersembunyi di sana tanpa diketahuinya, maka
pasti orang itu bukan orang kebanyakan.
Agak di belakang Empu Sada sebelah
menyebelah, berdiri keempat anak-anak muda dengan tegangnya. Mahisa
Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka. Mereka terpaku di tempatnya
seperti sebatang tonggak yang kokoh. Namun perhatian mereka pun sama
sekali terampas oleh peristiwa yang mendebarkan itu. Lebih-lebih Kuda
Sempana dan Cundaka. Mereka menyangka, bahkan hampir pasti, bahwa orang
yang bersembunyi itu, akan berdiri di pihak Mahisa Agni dan Mahendra.
Ternyata ia telah mencoba menghalangi Cundaka dan Empu Sada sendiri.
Meskipun demikian, kedua orang itu
terlampau percaya kepada gurunya. Gurunya adalah seorang sakti yang
pilih tanding. Seorang yang disegani oleh orang-orang sakti yang lain,
sehingga tidak banyak diantara mereka yang sanggup bergaul, bersaing
dan bertemu dalam ilmu dengan gurunya.
Sesaat padang rumput itu terbenam dalam
suasana yang sunyi. Angin malam yang lembut mengalir mengusap
tubuh-tubuh yang kaku tegang, menggetarkan dedaunan dan membuat suara
yang sayu. Sekali-sekali suara jeram-jeram yang dihanyutkan oleh
silirnya angin terdengar gemerasak beruntun susul menyusul. Namun
kemudian semakin lama menjadi seolah-olah semakin jauh.
Empu Sada masih berdiri dengan
tegangnya. Tongkatnya siap untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia
menyangka bahwa orang yang bersembunyi adalah seorang yang sakti.
Namun tidak berani beradu dada dengannya, sehingga orang itu hanya dapat melawannya dari tempat yang tersembunyi.
Kemarahan Empu Sada semakin lama menjadi
semakin memuncak pula. Ia tidak sabar lagi menunggu keadaan
berkembang semakin jelas. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“He, Kuda Sempana dan Cundaka. Jangan hiraukan kelinci yang
bersembunyi di dalam semak-semak itu. Ayo, selesaikan pekerjaanmu,
mengikat Mahisa Agni di belakang punggung kudamu. Biarlah orang ini
berada di tempat persembunyiannya sampai kita meninggalkan tempat
ini.”
Kuda Sempana dan orang yang menamakan
dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu seolah-olah tersadar. Sekali mereka
menghentakkan dirinya, maka kini mereka siap menghadapi lawannya.
Mahisa Agni.
Tetapi kembali mereka tertegun, karena
tiba-tiba Mahendra berkata, “Nah, Agni. Marilah kita melawan keduanya.
Pilihlah olehmu, manakah yang lebih menarik perhatianmu satu diantara
mereka.
Mahisa Agni berpaling ke arah Mahendra
sesaat. Cepat ia dapat menangkap maksudnya. Ia menganggukkan kepalanya
dan berdesis di dalam hatinya, “Mahendra cukup cerdik menanggapi
keadaan.”
Namun dalam pada itu Empu Sada
menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He, Mahendra. Jangan turut
campur. Biarlah mereka menyelesaikan persengketaan mereka sendiri.
Sebelum Mahendra menjawab terdengar
suara Mahisa Agni parau. “Dan kau biarkan Mahendra terlalu lama
menunggu kau membunuhnya. Ia tidak cukup sabar. Biarlah salah seorang
muridmu mewakilmu.
“Tidak,“ teriak Empu Sada, “aku sendiri akan membunuh Mahendra.”
“Silahkan,“ sahut Mahisa Agni pula, “tetapi agaknya kau lebih tertarik pada permainan baru itu.”
Sekali lagi Empu Sada menggeretakkan
giginya. Kedua anak itu ternyata mampu mempergunakan kesempatan.
Meskipun tak seorang pun diantara mereka yang mengetahui, siapakah yang
berada di dalam semak-semak itu, tetapi mereka merasa bahwa orang
yang berada di dalam semak-semak ini, tidak ingin melihat Mahisa Agni
dan Mahendra mengalami nasib yang sangat buruk. Setidak-tidaknya orang
itu ingin melihat persoalan ini berakhir dengan jujur. Tanpa ikut
campurnya orang-orang luar seperti Empu Sada.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dan
Mahendra sendiri pun diliputi oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Ia
tidak tahu pasti, apa yang dikehendaki oleh orang yang bersembunyi itu.
Yang dapat dilakukan kini hanyalah kemungkinan yang dapat
menguntungkan saja dalam keadaan yang sangat berbahaya itu.
Sesaat Empu Sada berdiri termangu-mangu.
Ingin ia segera meloncat mencekik Mahendra, namun sebagian
perhatiannya terikat pada orang yang bersembunyi di dalam gerumbul
itu. Kalau ia lengah, mungkin sebuah pisau dapat menembus lambungnya.
Karena itu, yang terdengar kemudian orang tua itu mengutuk
habis-habisan, “Setan pengecut. Ayo keluarlah. Kalau tidak, maka aku
segera akan membunuh Mahendra. Mungkin kau saudaranya atau gurunya
sekali atau apa?”
Masih tak ada jawaban. Namun pertanyaan
Empu Sada itu bahkan mengungkat dugaan Mahendra atas orang yang
bersembunyi itu. Gurunya memang berada di Tumapel saat ini. Gurunya
melihat kakak seperguruannya menyuruhnya pergi ke Padang Karautan.
Gurunya mendengar pula, apa yang diceriterakan oleh Ken Arok kepada
Witantra.
Tetapi kembali Mahendra menghapus
dugaannya itu. Gurunya tidak berkepentingan apa-apa dengan padang
Karautan, dengan Mahisa Agni, Ken Dedes maupun Tunggul Ametung.
“Aku tidak peduli siapa yang bersembunyi
itu,“ katanya di dalam hati, “tetapi aku akan mengucapkan terima
kasih kepadanya seandainya aku masih tetap hidup dan dapat keluar dari
padang ini, karena ia telah menyelamatkan aku dan Mahisa Agni.”
Namun kesenyapan padang itu kembali
tersayat oleh suara Empu Sada, “Bagus. Kalau kau tidak menampakkan
dirimu. Aku sudah kehabisan waktu. Tunggulah, aku akan memutar leher
Mahendra sehingga ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Aku ingin
melihat tubuhnya terkelupas di belakang kudaku yang berlari kencang.
Empu Sada itu pun dengan hati-hati
melangkah surut. Ia ingin menjauhi gerumbul itu untuk kemudian meloncat
mencekik Mahendra. Namun kembali ia mengumpat. Dengan sigapnya ia
terpaksa menggerakkan tongkatnya memukul sebutir batu yang terbang ke
arah dadanya.
“Gila. Gila.“ teriaknya, “ayo pengecut,
jangan bersembunyi saja. Kalau kau tidak berani berhadapan muka dengan
Empu Sada, jangan mengganggu. Pulang saja ke rumah. Ambil periuk, dan
lebih baik menanak nasi daripada berada di medan.”
Empu Sada menunggu sesaat. Ia menjadi
semakin gelisah ketika ia melihat Mahisa Agni ternyata telah
mempersiapkan dirinya. Ia kini cukup yakin bahwa orang di gerumbul itu
memang berusaha untuk mengikat Empu Sada, sehingga orang itu sama
sekali tidak sempat mengganggu perkelahian anak-anak muda itu.
Mahendra yang melihat Mahisa Agni bersiap, segera menyiapkan dirinya
pula. Ia pun telah mendapat keyakinan seperti Mahisa Agni, sehingga
dengan tenang, akan dihadapinya lawannya. Salah satu dari kedua murid
Empu Sada itu.
Tetapi keduanya segera terganggu.
Ternyata orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu tidak ingin
bersembunyi terus. Sejenak kemudian terdengar suara tertawa lirih,
dalam nada yang rendah. “Hm,“ terdengar suara dari dalam gerumbul itu,
“ternyata nyamuknya bukan main banyaknya, sehingga aku tidak betah
tinggal di dalam gerumbul ini terlampau lama.”
Kembali terdengar gemeretak gigi Empu
Sada. Ternyata orang itu sengaja menghinanya. Bukan karena dirinya,
tetapi justru hanya karena digigit nyamuk, maka orang itu keluar dari
persembunyiannya. Namun Empu Sada masih berdiam diri. Betapapun
kemarahannya menyala di dalam dadanya, tetapi orang itu, yang
bersembunyi di belakang gerumbul masih belum menampakkan diri, selain
baru suaranya.
Bahkan kembali suara itu terdengar,
“Bukan hanya nyamuk, tetapi semutnya pun banyak sekali. He Empu Sada,
apakah kau membawa param untuk menghampiri gigitan semut ngangrang.”
“Gila, setan betina. Ayo jangan banyak
bicara,“ bentak Empu Sada yang tidak dapat menahan kemarahannya, “ayo
keluarlah dan marilah kita berhadapan sebagai orang-orang jantan.”
Kembali terdengar suara tertawa dalam
nada yang rendah, “Jangan marah.“ terdengar jawaban, “baiklah aku
keluar dari persembunyian ini.”
Sesaat kemudian Empu Sada membelalakkan
matanya. Ia melihat daun-daun yang bergerak. Ternyata orang yang
bersembunyi itu benar-benar akan meloncat keluar.
Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan
orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, tertegun kaku.
Pandangan mata mereka pun melekat pada daun-daun yang bergerak-gerak
itu. Dengan hati yang berdebar-debar mereka menunggu, siapakah yang
akan muncul dari dalamnya.
Tiba-tiba mereka melihat bayangan itu.
Tidak meloncat dengan atau sigap melangkah dengan gagahnya. Tetapi
bayangan itu perlahan-lahan menyibak dedaunan dan dengan langkah
satu-satu maju menyusup diantara daun-daun dan ranting-ranting kecil.
Empu Sada benar-benar tidak sabar
melihat orang itu. Dengan nada yang tinggi ia berteriak, “Cepat he
siput tua. Aku tidak sabar menunggu kau merayap.”
“Jangan tergesa-gesa,“ sahut orang itu, “aku sudah tua, dan malam gelapnya bukan main.”
“Jangan mengada-ada. Kau mampu melemparkan batu sekeras itu. Kenapa kau tidak meloncat dan menepuk dada, inilah aku.”
“Tidak-tidak. Kalau aku menepuk dadaku sendiri aku akan terbatuk-batuk.”
“Kau benar-benar setan. Kau ingin mempengaruhi tanggapanku atasmu, supaya aku menjadi lengah. Pengecut,“ geram Empu Sada.
“Ia pun tidak. Bersiagalah, supaya kau
tidak mati melawan aku. Tetapi jangan membentak-bentak. Biarlah aku
berbuat sesuka hatiku.”
Dada Empu Sada serasa benar-benar telah
menyala. Kini ia melihat bayangan itu telah melangkahkan kakinya,
menerobos lembaran daun terakhir. Demikian orang itu tampak diluar
gerumbul demikian terdengar Empu Sada berkata lantang, “setan.
Benar-benar Setan. Jadi kau yang telah mengganggu pekerjaanku. Kenapa
tiba-tiba saja berada di tempat ini?”
Bukan saja Empu Sada yang terkejut melihat kehadiran orang itu, tetapi juga Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka.
Meskipun sebab dari kejutan itu berbeda-beda, namun sesaat mereka justru terpaku di tempatnya.
Empu Sada terkejut karena tiba-tiba saja
ia melihat orang yang sama sekali tak di sangkanya akan hadir di
tempat itu. Sedang Mahisa Agni, Mahendra, Kuda Sempana dan Cundaka
terkejut karena sama sekali belum pernah mengenal orang itu. Demikian
orang itu ada diantara mereka, demikian orang itu telah memilih
pihak.”
Orang itu sendiri berdiri sambil
mengkibaskan pakaiannya. Sekali-sekali ia tersenyum dan kemudian
katanya, Hm. Bukan main gatalnya. Nyamuk, semut dan segala macam
serangga.”
“He Ki Sanak,” potong Empu Sada kemudian, “kenapa kau tiba-tiba saja berada di tempat ini?”
Orang itu mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Kebetulan saja aku berada di tempat ini.
berhari-hari aku membayangi anak yang bernama Mahisa Agni. Aku
mencarinya dan kini aku telah menemukannya.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar jawaban itu. “Orang itu juga mencarinya. Siapa dan kenapa?”
Namun dalam pada itu terdengar Empu Sada berkata. “Untuk apa kau cari anak itu?”
“Seperti kau. Seperti apa yang akan kau lakukan atasnya.”
“He, apakah kau mempunyai kepentingan
yang sedemikian penting dan menyangkut persoalan yang langsung
menyinggung dirimu, sehingga kau berusaha merebutnya dari tangan
muridku?”
“Ya,“ sahut orang itu, “lepaskan Mahisa Agni. Akulah yang akan menyelesaikannya.”
Mereka berdua sesaat berdiam diri. Empu
Sada mengawasi orang itu dengan tajamnya. Namun sekali-sekali ia
berpaling juga kepada Mahisa Agni dan kedua muridnya.
Tetapi sesaat kemudian Empu Sada itu
tertawa. Suaranya melengking tinggi menyakitkan telinga. Diantara suara
tertawanya itu terdengar kata-katanya, “Ha, Mahisa Agni. Nasibmu
memang terlampau jelek. Agaknya kau sudah menyangka bahwa seseorang
telah datang menolongmu. Tetapi keledai tua ini ternyata sedang
mencarimu pula, karena kau telah berbuat dosa atasnya. Hem. Anak
semuda kau ini telah mempunyai musuh di segala penjuru angin. Hanya
orang-orang yang berwatak jail, suka mencampuri urusan orang lain
seperti kau inilah, maka kau mempunyai musuh dimana-mana.”
“Nah, aku minta tinggalkan Mahisa Agni,“ berkata orang itu.
“Namun sekali lagi terdengar Empu Sada
tertawa, “Jangan mengigau. Aku tahu bahwa kau akan dapat melakukan apa
saja yang kau kehendaki atasnya. Tetapi aku ingin memberi sekedar
permintaan kepada kedua muridku. Mungkin kau ingin melihat permainan
itu pula.”
“Permainan apa?”
“Apakah kau belum mendengar? Sejak tadi aku telah menyebut-nyebutnya.”
“Menariknya di belakang seekor kuda?”
“Ya.”
Orang itu terdiam sesaat. Namun tiba-tiba ia menjawab, “Aku dapat juga melakukannya.”
Jawaban itu benar-benar menggetarkan
dada Mahisa Agni. Ia belum pernah berbuat sesuatu atas orang itu. Ia
belum pernah mempunyai persoalan apapun. Namun tiba-tiba orang itu
datang membawa dendam kepada dirinya.”
Dada Mahisa Agni benar-benar
digoncangkan oleh berbagai perasaan. Bingung, cemas dan beribu
pertanyaan melingkar-lingkar. Ia sama sekali tidak mencemaska nasibnya
kini. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi apapun, apalagi setelah
ia mendapat kesimpulan bahwa ia kini sedang menjelang harinya yang
terakhir, namun ia merasa bingung dan cemas, bahwa ternyata ia telah
menyalahi dan menumbuhkan dendam kepada orang lain atas dirinya tanpa
disadarinya. Kalau demikian, maka alangkah rendah budinya. Alangkah
bodohnya. Ia sama sekali tidak ingin membuat orang lain menjadi sakit
hati, apalagi mendendamnya. Kini tiba-tiba ia berhadapan dengan orang
semacam itu. Sakit hati dan mendendam.
Namun Mahisa Agni masih saja berdiam
diri. Ia ingin mendengar apa saja yang akan dipercakapkan oleh Empu
Sada. Mungkin dalam percakapan itu ia akan dapat menangkap, siapa dan
apa saja yang menumbuhkan dendam itu kepadanya.
Kini yang terdengar adalah suara Empu Sada, “Aku ragu-ragu akan kata-katamu.”
“Kenapa?” sahut orang itu, “apakah kau
ragu-ragu bahwa aku akan dapat menangkapnya hidup-hidup dan mengikatnya
di belakang seekor kuda. Namun kini aku tidak sedang membawa kuda.
Meskipun demikian kau tentu akan memberi kesempatan aku meminjam
kudamu.”
“Tidak,“ sahut Empu Sada, “aku tidak
ragu-ragu. Aku kenal kesaktianmu. Tetapi adalah bukan kebiasaanmu
berbuat demikian. Selama ini kau selalu menentang tindakan-tindakan
yang menyenangkan itu. Kau selalu menganggapnya sebagai suatu
kebiadaban dan keganasan, sehingga kau menganggap orang-orang yang
harus dijauhkan dari pergaulan. Nah, sekarang kau datang dan akan
melakukan perbuatan yang serupa.”
“Khusus untuk anak itu,“ sahut orang itu.
Empu Sada tertawa terbahak-bahak,
sehingga tongkatnya terguncang-guncang. Katanya, “Huh, ternyata sifatmu
yang selama ini kau bangga-banggakan adalah hanya sekedar pulasan.
Ternyata apabila kau sendiri langsung tersentuh perasaanmu, maka
sifat-sifatmu yang asli itu terungkapkan. Kalau demikian, maka akulah
yang lebih jujur dari padamu. Aku tidak pernah menyembunyikan segala
macam sifat watak dan kesenanganku seperti kau. Dan lihat, muridku pun
bukan hanya sekedar anak-anak Padesan. Kuda Sempana adalah seorang
pelayan Dalam istana.”
“Jangan ribut,“ potong orang itu, “serahkan Mahisa Agni kepadaku.”
Empu Sada tidak segera menjawab. Sesaat
ia masih dicengkam keraguan. Dikenalnya orang yang datang itu sebagai
seorang yang selama ini menentang hampir segala perbuatannya. Meskipun
mereka berdua berkawan sejak kecil, namun setelah mereka menempuh
jalan hidup masing-masing, maka seakan-akan mereka berdua selalu
bermusuhan meskipun tidak berterus terang.
Hampir setiap usaha Empu Sada
bertentangan dengan selera orang itu. Sehingga setiap kali mereka pasti
berselisih pendapat. Akhirnya mereka berdua dipisahkan oleh keadaan.
Masing-masing menuruti jalannya sendiri-sendiri. Hanya kadang-kadang
mereka masih bertemu dalam pertentangan pendirian. Semakin lama semakin
tajam. Sehingga setelah mereka kemudian tumbuh menjadi orang-orang
sakti menurut saluran ilmunya masing-masing yang diterima dari guru
yang berbeda-beda, maka mereka hampir tidak ingin berjumpa kembali
yang satu dengan yang lain. Mereka masih menghormati persahabatan masa
kanak-kanak mereka, namun mereka saling membenci karena pandangan
hidup mereka yang jauh berbeda, bahkan berlawanan.
Tetapi pada suatu saat mereka harus berjumpa kembali. Dipadang rumput Karautan yang sepi.
Apabila Empu Sada mengenang segala
peristiwa yang pernah terjadi dalam hubungannya dengan orang itu, maka
ia yakin, bahwa orang itu datang untuk meneruskan usahanya,
menghalang-halangi semua perbuatannya, yang dianggap oleh orang itu
bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan. Karena itu, akhirnya Empu
Sada pun mampu menarik kesimpulan atas segala macam kata-kata orang
yang baru datang itu.
Tiba-tiba padang rumput Karautan yang
sepi itu tersayat oleh suara tertawa Empu Sada yang tinggi melengking.
Semua orang yang mendengar suara itu terkejut. Hanya orang yang masih
berdiri di muka gerumbul itu sajalah yang seakan-akan sama sekali
tidak mendengar suara Empu Sada itu.
Lebih-lebih Mahisa Agni sendiri. Hatinya
selama ini selalu terguncang-guncang oleh berbagai persoalan. Kini
tiba-tiba ia menghadapi persoalan baru yang sama sekali tak dikenal
ujung dan pangkalnya. Orang yang sama sekali belum dikenalnya,
tiba-tiba merasa menyimpan dendam di dalam hatinya.
Mahisa Agni yang merasakan keanehan itu
masih juga berusaha memandangi wajah orang baru itu. Namun agaknya
kepekatan malam telah mengaburkan pandangan matanya ia tidak berhasil
mengenal wajah itu. Apalagi ia berdiri tidak begitu dekat. Namun
betapapun ia mencoba mengingat-ingat bentuk tubuhnya, suaranya dan apa
saja yang memungkinkan ia mengenalnya, tetapi usaha itu sia-sia. Malam
gelap dan hati Mahisa Agni pun gelap. Dan kini suara tertawa Empu
Sada itu benar-benar telah menyakitkan telinganya dan
mengguncang-guncang isi dadanya.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu surut
dengan cepatnya ketika terdengar orang yang baru datang itu mendehem
beberapa kali. Bahkan tiba-tiba orang itu menguap sambil berkata, “Aku
mengantuk sekali. Apakah malam ini telah terlampau dalam?”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Suara
tertawanya kini telah berhenti. Ditatapnya wajah orang yang baru datang
itu dengan tajam. Lalu katanya, “Hem, kau sangka aku termasuk
anak-anak yang dapat kau kelabui. Apa hubunganmu dengan Mahisa Agni
sehingga kau akan melepaskan dendammu kepadanya? Aku tahu apa yang
akan kau lakukan atasnya. Sekali lagi kau akan menghalang-halangi
maksudku.”
“He,“ orang itu seperti acuh tak acuh saja berkata, “apa begitu?”
“Gila,“ Empu Sada mengumpat, “kau masih
saja gila sejak dahulu. Setelah umurmu melampaui pertengahan abad, kau
masih saja berbicara tanpa ujung pangkal. Ayo, katakan yang
sebenarnya.”
“Kau telah menyebutnya Empu.”
“Hmm, jadi benar dugaanku. Kau akan mencegah murid-muridku membuat permainan yang dapat menyenangkan hati mereka.”
Pembicaraan itu telah membuat Mahisa
Agni menjadi pening karenanya. Ia sama sekali tidak mampu membuat
tanggapan yang sebenarnya dari pembicaraan itu. Dan sampai sejauh itu,
baik Empu Sada maupun orang yang baru datang itu sendiri belum pernah
menyebut namanya. Karena itu, dalam kepepatan perasaan tiba-tiba
terdengar Mahisa Agni berteriak, “Kalian membicarakan tentang nasibku.
Tetapi aku belum mengenal siapakah kau orang yang baru datang?”
Orang itu berpaling. Dipandanginya
Mahisa Agni dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Kemudian
terdengar ia berkata, “Mahisa Agni, apakah kau ingin mengenal aku?”
“Tentu. Meskipun aku tidak tahu maksudmu
sebenarnya, apakah kau akan membunuh aku apakah kau akan berbuat apa
saja, namun aku ingin tahu siapakah kau ini.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian kembali ia berpaling kepada Empu Sada sambil berkata, “Anak
itu belum mengenal aku Empu.”
“Hem,“ geram Empu Sada, “apakah aku harus memperkenalkan Ki Sanak kepada anak itu?”
“Silahkan,” sahut orang itu.
“Sebutlah namamu sendiri. Kau yang
datang mencampuri urusanku. Mustahil kalau kau belum mengenalnya Atau
kalau demikian, aku menjadi semakin pasti, bahwa kau pasti hanya ingin
menggagalkan maksudku. Lain tidak.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya kepada Mahisa Agni, “Agni, aku kenal kepada
gurumu meskipun tidak begitu rapat. Aku kenal guru anak yang bernama
Mahendra itu, juga meskipun tidak begitu rapat. Tetapi hubunganku
dengan kau Agni, jauh lebih rapat dari hubunganku dengan gurumu atau
guru angger Mahendra.”
Mahisa Agni mendengarkan kata orang itu
dengan terheran-heran. Hubungan apakah yang ada antara dirinya dan
orang itu. Namun Mahisa Agni tidak bertanya. Dibiarkannya orang itu
berkata terus.
“Sejak beberapa hari aku sengaja
membayangimu Agni. Aku sudah mendengar kabar tentang gurumu yang
beberapa hari yang lalu pergi meninggalkan Panawijen. Karena itu, aku
harus menemuimu.”
Agni masih saja berdiri seperti patung.
Dan ketika orang itu akan berkata terus terdengar Empu Sada memotong,
“He, apakah yang sedang kau katakan itu? Rupa-rupanya kau sedang
mengarang sebuah ceritera supaya kau mempunyai alasan untuk berbuat
sesuatu.”
Orang itu tertawa, “Kau terlalu curiga kepadaku Empu.”
“Tentu aku mempunyai alasan untuk bercuriga. Selama ini kau selalu berusaha mencampuri urusan orang lain.”
“Tetapi kali ini bukan urusan orang lain, Mahisa Agni bagiku sama sekali bukan orang lain.”
“Omong kosong.”
Orang itu tertawa kembali. Suara lunak
dalam nada yang rendah. Katanya kemudian, “Aku melihat kau malam
kemarin bertempur melawan angger kuda Sempana yang menamakan dirinya
hantu Karautan dan menyembunyikan wajahnya di belakang secarik kain.
Sejak itu aku merasa bangga kepadamu Agni. Kau benar-benar mewarisi
ketangkasan ayahmu dahulu.”
Dada Mahisa Agni berdesir. Orang itu
menyebut-nyebut ayahnya yang telah meninggal. Dan didengarnya orang itu
berkata, “Aku sangka bahwa aku tidak akan dapat bertemu dengan kau
lagi Agni. Tetapi beberapa waktu yang lampau aku mendengar dari
seseorang yang datang kepadaku atas suruhan ibumu, bahwa kau masih
ada, dan kau berada di dalam asuhan Empu Purwa. Dan ternyata kau
mencerminkan perguruan Panawijen dengan baiknya.”
“Jangan ngelantur,“ bentak Empu Sada
yang kehilangan kesabaran, “perkenalkan dirimu. Lalu kau mau apa? Kalau
kau mau berbuat sesuatu untuk anak itu, melindunginya misalnya. maka
aku tidak mempunyai cara lain dari menyingkirkan kau Ki Sanak.”
“Aku minta waktu sesaat lagi,“ jawab
orang itu. Kemudian kepada Mahisa Agni ia berkata, “Agni, kau mempunyai
sebilah keris peninggalan ayahmu?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengangguk.
Keris peninggalan ayahnya buatan pamannya itu hampir tak pernah
terpisah daripadanya apabila ia sedang melakukan tugas-tugas yang
penting dan mungkin berbahaya. Meskipun ia membawa pedang, namun ia
lebih tenang apabila kerisnya itu dibawanya pula. Keris yang baginya
bukan sebagai senjata biasa. karena itulah maka keris itu justru jarang
sekali atau bahkan tidak pernah dipergunakannya. Sebab ia tahu benar
betapa tajam kekuatan yang tersimpan padanya. Setiap goresan, meskipun
hanya seujung rambut akan dapat berarti maut.
Dalam pada itu terdengar orang itu
berkata, “Apakah kau pernah mendengar baik dari ibumu atau dari orang
lain bahwa keris peninggalan ayahmu itu dibuat oleh seseorang.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
“Siapakah yang membuatnya?”
“Paman,“ jawab Agni, “paman Empu Gandring.”
“Apakah kau pernah mengenal pamanmu itu?”
“Pernah,” sahut Agni demikian saja meluncur dari bibirnya.
“Kapan?”
Mahisa Agni terdiam sesaat. Ia pernah
mengenal pamannya dahulu. Dahulu, pada waktu ia masih kecil. Pamannya
adalah seorang yang bertubuh gemuk, kekar dan berwajah bulat. Pamannya
adalah seorang Empu yang riang. Namun itu sudah berlalu jauh di
belakang, belasan tahun yang lampau.
Orang yang berdiri di dekat gerumbul itu
tersenyum. Orang itu bertubuh kecil meskipun tidak pendek. Yang
dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Nah Agni. Akulah
yang membuat keris itu.”
Dada Mahisa Agni tersentak mendengar
pengakuan itu. Orang itu sama sekali tidak gemuk seperti pamannya.
Karena itu maka dengan serta merta Agni berkata, “Paman Empu Gandring
bertubuh gemuk.”
Kini orang itu tertawa, “Umurku telah
memanjat dari tahun ke tahun. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.
Banyak persoalan yang harus aku selesaikan. Ternyata aku semakin tua
menjadi semakin kurus.”
Mata Mahisa Agni masih memancarkan
keragu-raguan. Namun terdengar Empu Sada kemudian memutus pembicaraan
mereka, “He, Ki Sanak. Apakah monyet ini kemanakanmu?”
“Ya,” sahut orang yang menyebut dirinya Empu Gandring itu, “ia adalah kemanakanku.”
“Setan,“ umpat Empu Sada, “kau bohong. Kau hanya mencari sebab untuk mencegah perbuatanku.”
“Kali ini tidak,“ sahut Empu Gandring,
“meskipun aku akan mencegah perbuatanmu, tetapi bukan sekedar
mencampuri persoalan orang lain. Tetapi Mahisa Agni adalah
kemanakanku.”
Padang rumput Karautan itu sesaat
tenggelam dalam keheningan yang tegang. Mahisa Agni berdiri tegak
seperti patung memandangi orang yang berdiri di dekat gerumbul itu.
Tiba-tiba terangkatlah kembali kenangannya yang lamat-lamat tentang
pamannya. Ciri itu masih dirasakannya. Pamannya adalah seorang yang
suka bergurau. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Apakah paman ini
paman Empu Gandring yang sebenarnya?”
Orang itu tertawa, “Apakah ada Empu Gandring yang lain?”
Mahisa Agni terdiam. Ditatapnya wajah
orang itu dengan saksama, dan melonjaklah keharuan di dalam dadanya
seakan-akan ia menemukan sesuatu yang hilang yang tak pernah
disangkanya akan ditemukannya lagi. Beberapa saat yang lampau, hampir
ia lari mencari pamannya ini untuk membantunya mendapatkan anak
Gurunya. Tetapi maksud itu tak pernah dilakukannya.
Dan kini tiba-tiba pamannya itu telah
berdiri dihadapannya tanpa dicarinya. Karena itu terasa dada Mahisa
Agni berguncang-guncang. Meskipun ia masih berdiri tegak seperti
sebuah patung batu. keragu-raguan yang dahsyat telah melanda hatinya.
“Kau ragu-ragu,“ terdengar Empu Gandring
itu bertanya, “baiklah. Kau sudah bertahun-tahun tidak melihat aku
lagi. Adalah wajar kalau kau menjadi ragu-ragu. Tetapi itu tidak
penting. Yang penting sekarang bagaimana caranya supaya kau tetap
melakukan pekerjaan yang dipercayakan kepadamu oleh orang-orang
Panawijen itu.”
“Jangan mengigau,“ potong Empu Sada,
“aku sudah menyangka sejak aku melihat tampangmu, bahwa kau masih saja
selalu menghalang-halangi aku. Jangan kau ganggu muridku yang sedang
menemukan permainan yang baik sekali bagi mereka.”
“Tidak,” sahut Empu Gandring, “aku tidak akan mengganggu mereka.”
“Kalau begitu pergilah sebelum aku marah.”
“Baik,“ sahut orang itu pula, “marilah
kita pergi. Sudah lama aku tidak bertemu dengan kau Empu. Aku sudah
rindu. Rindu pada masa kanak-kanak yang tak akan kembali lagi di masa
mendatang. Tetapi marilah kita pulang bersama-sama, sehingga dengan
demikian kita akan dapat mengenang sebagian masa itu. Masa kanak-kanak
yang manis.”
“Jangan mimpi. Aku bukan pemimpi seperti kau. Aku adalah seseorang yang melihat masa kini dan masa depan.”
“Tetapi masa lampau adalah kenangan yang
menyenangkan. Apakah kau dapat menghapuskan masa-masa itu? Apakah kau
dapat menghapus peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa-masa
lampau? Bukankah masa-masa lampau itu yang menentukan keadaanmu
sekarang?”
“Aku tidak peduli masa lampau. Sekarang
pergi dari tempat ini. Tinggalkan kami. Tinggalkan anak muda yang kau
katakan kemanakanmu itu.”
Orang tua itu menggeleng. Bahkan setapak
ia maju sambil berkata, “Empu Sada. Aku pun bukan seorang pemimpi
melulu. Aku juga ingin melihat masa depan yang baik bagiku dan bagi
orang-orang yang bersangkut paut dengan darah keturunanku. Mahisa Agni
adalah kemanakanku. Apakah aku harus membiarkannya kehilangan masa
depannya. Empu Sada, aku sendiri mempunyai anak-anak di rumah. Aku
pernah merasakan betapa cemasnya orang-orang tua yang anak-anaknya
mengalami bahaya. Nah, bagaimana aku akan dapat membiarkan kau berbuat
curang. Biarlah anak-anak muda menyelesaikan persoalan mereka
sendiri.”
Empu Sada menggeram. Ia tidak menjawab perkataan-perkataan itu, tetapi ia pun melangkah maju.
Kedua orang tua itu kini berdiri saling
berhadapan. Empu Gandring kini sudah tidak tertawa-tawa lagi. Wajahnya
kemudian menjadi bersungguh-sungguh.
“Jadi kau tetap pada pendirianmu?” bentak Empu Sada.
“Seperti apa yang akan kau lakukan.
Kalau kau tetap dalam usahamu menciderai anak kemanakanku itu, maka aku
tetap dalam usahaku menyelamatkannya.”
Wajah Empu Sada menjadi merah padam.
Tetapi ketika ia berpaling memandang ke arah kedua muridnya, maka
hatinya berdesir. Ia melihat kedua muridnya berhadapan dengan kedua
anak-anak muda yang sudah siap untuk melawan mereka. Mahisa Agni dan
Mahendra Karena itu hatinya menjadi berguncang. Sesaat ia menjadi
ragu-ragu. Apakah kedua muridnya mampu melawan kedua anak muda itu?”
Dalam keragu-raguan itu terdengar Empu Gandring berkata, “Nah, apakah katamu Empu?”
Sejenak Empu Sada tidak menyahut.
Timbullah kini pergolakan di dalam hatinya. Betapapun juga ia masih
sempat memperhitungkan, apa yang sedang dihadapinya. Empu Gandring
adalah seorang yang cukup sakti untuk mengimbanginya. Sedang Mahisa
Agni sudah pasti dapat mengalahkan kuda Sempana. Apabila Mahendra
dapat mengimbangi Cundaka maka keadaannya akan menjadi sulit. Mungkin
salah seorang muridnya atau kedua-duanya akan terbunuh. Karena itu
tiba-tiba Empu Sada itu tersenyum. Sambil menganggukkan kepalanya ia
berkata, “Hem. Sayang kau datang. Aku tidak sampai hati merusak
kenanganmu yang manis itu. Aku tidak sampai hati mematahkan mimpimu
yang menyenangkan. Seandainya bukan kau yang datang sambil merajuk
tentang masa-masa lampau, maka hatiku sudah tidak akan dapat
dilunakkan. Tetapi terhadapmu aku masih belum dapat melenyapkan
perasaan belas kasihan. Sejak anak-anak kau seorang pemimpi dan
perajuk. Karena itu, baiklah aku penuhi permintaanmu kali ini. Ingat
hanya kali ini.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Sebelum ia menjawab terdengar Empu Sada berkata, “Kuda Sempana,
ternyata Mahisa Agni adalah kemanakan sahabatku. Karena itu,
maafkanlah anak muda itu kali ini. Tetapi hanya kali ini.”
Kuda Sempana berdiri membeku di
tempatnya Tiba-tiba dari matanya memancar beribu-ribu pertanyaan yang
bergolak di dalam dadanya. Namun akhirnya ia mengetahui pula maksud
gurunya. Bahwa orang yang datang itu adalah orang yang cukup sakti
pula, sehingga gurunya menganggap perlu untuk menunda maksudnya sampai
di saat-saat yang lain.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak
dapat mengertinya. Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Apakah Kuda
Sempana kali ini masih akan dilepaskan lagi?”
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Ia
pernah mendengar persoalan yang terjadi antara Mahisa Agni, Kuda
Sempana, Ken Dedes dan bahkan sampai orang-orang lain dalam persoalan
ini menurut ceritera seseorang. Tetapi ia tidak tahu dengan pasti,
sebab Empu Gandring sendiri jarang-jarang meninggalkan kampung
halamannya, Lulumbang, karena pekerjaannya yang terlampau banyak,
membuat keris. Hanya karena dorongan keadaan yang sangat penting,
untuk menemukan kemanakannya, kini ia meninggalkan rumah dan tugasnya.
Sehingga karena itu, maka ia menjawab pertanyaan Mahisa Agni,
“Biarkan Kuda Sempana dibawa gurunya. Biarlah gurunya mengajarnya
untuk berlaku sopan dan baik.”
Empu Sada menggeram mendengar sindiran
Empu Gandring, namun Mahisa Agni tidak kalah kecewanya. Kuda Sempana
baginya adalah penyebab dari segala macam bencana yang menimpa keluarga
gurunya dan bahkan seluruh penduduk Panawijen. Mungkin orang yang
menyebut dirinya Empu Gandring itu tidak merasakan, betapa ia menderita
lahir dan batin karena anak muda yang bernama Kuda Sempana itu.
Tetapi Mahisa Agni pun masih mampu
berpikir. Bahwa guru Kuda Sempana baginya adalah lawan yang tidak
seimbang. Sedangkan Mahisa Agni merasa pula, bahwa ia tidak akan dapat
memaksa Empu Gandring itu untuk bertempur apabila memang tak
dikehendakinya. Karena itu, yang terdengar kemudian adalah gemeretak
gigi Mahisa Agni. Terasa perasaannya melonjak-lonjak, seakan-akan ingin
ia menerkam anak muda yang bernama Kuda Sempana itu. Namun nalarnya
telah mencegahnya.
Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang
dicengkam oleh kekecewaan. Bahkan Mahendra pun menjadi sangat kecewa
pula. Namun seperti Mahisa Agni, ia menyadari kedudukannya. Menyadari
kemampuannya.
“Hem,“ desahnya di dalam hati, “kalau
saja guruku ada di tempat ini. Mungkin Kuda Sempana dan orang yang
bernama Cundaka itu pasti sudah dapat kami lumpuhkan.”
Tetapi Empu Gandring ternyata
berpendirian lain. Empu Gandring ingin melepaskan mereka, dan mengharap
Empu Sada dapat memberi tuntunan kepada murid-muridnya untuk berlaku
lebih baik.
“Sia-sia. Seperti guru dahulu
berpendirian begitu,“ pikir Mahisa Agni. Tetapi sekali lagi ia hanya
dapat menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat memaksa Empu Gandring
bertempur tanpa dikehendakinya sendiri.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada
berkata, “Jangan terlalu sombong. Murid-muridku sama sekali tidak perlu
lagi mendapat ajaran tentang kesopanan dan kebaikan budi. Mereka
adalah orang baik-baik. Mereka adalah seorang hamba istana Tumapel,
dan seorang lagi adalah seorang pedagang keliling yang terhormat.
Kaulah yang harus mengajari kemanakanmu itu untuk melihat dirinya. Ia
tidak lebih dari anak padesan. Anak Panawijen.”
Empu Gandring tidak menjawab kata-kata
itu, bahkan kemudian ia berkata, “Selamat malam Empu. Selamat
beristirahat. Kalau Empu ingin meninggalkan tempat ini, segera kami
persilahkan. Namun untuk seterusnya, ajarilah murid-murid Empu untuk
tidak mengganggu Mahisa Agni.”
“Jangan gurui aku. Sudah aku katakan,
lain kali kami tidak dapat memaafkan kalian lagi. Apabila Mahisa Agni
masih kembali ke Padang Karautan, maka saat itu pula, akan kami ikat
tubuhnya di belakang kuda-kuda kami.”
“Ah. Jangan berbicara seperti kepada
anak-anak Empu. Aku sudah tahu, seperti kau tahu pula. Siapa Empu Sada,
siapa Empu Gandring, siapa Empu Purwa dan siapa Panji Bojong Santi,
guru angger Mahendra itu. Nah, apa katamu sekarang?”
Wajah Empu Sada menjadi merah padam
mendengar Empu Gandring menyebut-nyebut nama beberapa orang sakti.
Tiba-tiba orang tua itu menggeram keras sekali sambil menghentakkan
tongkatnya di tanah. Katanya, “Kau mengancam?”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Aku sama sekali tidak mengancam. Aku hanya menyebutkan beberapa
nama yang dapat terlibat dalam persoalan seterusnya, apabila kau
tetap berbuat gila.”
Empu Sada tidak segera menjawab. Terasa darahnya seakan-akan mendidih di dalam jantungnya.
Sementara itu, dada Mahendra berdesir
mendengar Empu Gandring menyebut nama gurunya. Dengan serta merta ia
bertanya, “Apakah Empu mengenal guruku?”
Empu Gandring berpaling. Jawabnya,
“Mustahil seseorang tidak mengenal Panji Bojong Santi. Apalagi orang
tua sebaya aku dan Empu Sada.”
Mahendra menganggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi Empu Gandring termasuk salah seorang sahabat guru?”
“Aku belum mengenal terlampau rapat.
Tetapi sekali-sekali dua kali kami pernah bertemu. Seperti aku pernah
bertemu dengan Empu Purwa meskipun baru satu kali. Namun meskipun
belum, namanya pasti sudah dikenal oleh setiap orang-orang setua aku.
Dan dari namanya itu pun aku akan dapat mengetahui, siapa-apa mereka
itu.”
Mahendra kembali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi gembira ketika diketahuinya bahwa Empu Gandring
pernah mengenal gurunya. Ia masih ingin mengatakan beberapa hal lagi,
namun terdengar suara Empu Sada memecah ketegangan yang mencengkam
hatinya sendiri, “Baik. Baik. Kau telah menyebut beberapa nama. Kau
sangka aku akan gentar menghadapi mereka semua. Kau, Empu Purwa dan
Bojong Santi yang kurus kering itu Empu Gandring, kau pun pasti sudah
mengenal nama-nama lain dari mereka. Kebo Sindet, Wong Sarimpat. Nah,
apa katamu?”
Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Ah.
Apakah kau akan memaklumkan perang bersama orang-orang dengki itu?
Sayang Empu. Meskipun kadang-kadang kau juga berbuat hal-hal yang
aneh-aneh misalnya muridmu kau biarkan membuat permainan yang
mengerikan, menarik seseorang di belakang seekor kuda, namun namamu
masih jauh lebih terhormat daripada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
Terdengar kemudian Empu Sada tertawa.
Suaranya melengking menyakitkan hati. Kemudian katanya, “Jangan gemetar
mendengar nama-nama itu. Mereka adalah orang-orang bodoh yang dapat
saja aku peralat. Meskipun mereka mempunyai kesaktian-kesaktian yang
mengerikan, namun otak mereka adalah otak yang sangat tumpul. Kau tahu
maksudku.”
Empu Gandring menganggukkan kepalanya, “Terserahlah kepadamu.”
“Bagus. Kalau kau berani menghadapinya, biarlah aku sekarang meninggalkan tempat ini.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Pergilah. Tetapi pikirkan sekali lagi kalau kau
akan mempergunakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mereka tidak sebodoh
yang kau sangka.”
Mendengar kata-kata Empu Gandring itu,
Empu Sada tertawa. Jawabnya, “Hem. Kau belum mengenal kedua orang itu
baik-baik. Mungkin kau tidak dapat mempergunakannya seperti apa yang
kau inginkan. Tetapi terhadapku, mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa.”
“Terserahlah kepadamu,“ sahut Empu Gandring, “tetapi bagaimana pun juga, aku tidak senang melihat kau mengganggu kemenakanku.”
Empu Sada tidak menjawab. Ia berpaling
kepada kedua muridnya dan berkata, “Kali ini sahabatku, Empu Gandring,
minta kau memaafkan kemanakannya. Nah, maafkanlah. Biarlah ia
menikmati hari-hari yang akan datang, memandang matahari terbit dan
terbenam. Tetapi apabila kesombongannya tidak juga berkurang, maka
kesempatan itu tidak akan berlangsung lama.”
Mahisa Agni menggeram. Hampir saja ia
berteriak, tetapi Empu Gandring mendahuluinya, “Biarkan Agni. Jangan
kau dengarkan kata-katanya. Adalah wajar, apabila seseorang yang
merasa ada kekurangan dalam dirinya, berusaha untuk menyembunyikannya,
menutupinya dengan berbagai perbuatan dan perkataan yang justru
berlebih-lebihan dan mentertawakan.”
Empu Sada berpaling. Wajahnya masih menyala. Tetapi yang terdengar hanyalah gemeretak giginya.
Kuda Sempana bukanlah seorang penakut.
Ia kadang-kadang tidak dapat melihat dan mendengar
pertimbangan-pertimbangan, apabila maksudnya telah memanjat sampai
kekepalanya. Tetapi kali ini gurunya telah memperingatkannya. Dan ia
dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, betapa sakit hatinya mendengar
sindiran-sindiran Empu Gandring yang tepat menusuk jantungnya, namun ia
tidak membantah maksud gurunya.
Demikian pula orang yang menamakan
dirinya Bahu Reksa Kali Elo, yang disebut oleh gurunya sebagai seorang
pedagang keliling. Namun ternyata ia lebih licik dari Kuda Sempana.
Karena itu, demikian ia melihat gurunya berputar, cepat-cepat ia
melangkah menjauhi Mahendra yang memandanginya seakan-akan hendak
menelannya bulat-bulat.
Empu Gandring, Mahisa Agni dan Mahendra
berdiri saja tegak di tempatnya ketika mereka melihat Empu Sada
membawa kedua muridnya pergi. Mereka berjalan tergesa-gesa menghilang
digelapnya malam. Namun sebelum mereka terlampau jauh terdengar Empu
Sada berkata, “Empu Gandring, kau pasti akan menyesal kelak, bahwa kau
telah mencampuri urusan aku kami murid-muridku yang tersebar di
banyak tempat akan membantu aku di samping Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Kalau kelak kau dengar rencanaku, maka kau akan jatuh
pingsan karenanya.”
Empu Gandring tidak menjawab. Orang tua
itu hanya sekedar tersenyum. Namun yang terdengar adalah suara Mahisa
Agni, “Paman. Kalau benar paman Empu Gandring, mungkin paman belum
mengenal Kuda Sempana sebaik-baiknya.”
Empu Gandring masih tersenyum. Jawabnya, “Biarkan saja Agni. Orang itu tidak akan berbuat apa-apa.”
“Telah terlampau banyak yang dilakukan Paman.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya,
“Apa saja? Tetapi percayalah itu semua hanyalah ungkapan kekecewaannya,
bahwa ia gagal mendapat gadis yang dikehendaki. Apabila kemudian
hatinya telah menjadi tenang, maka ia akan menemukan keseimbangan
kembali, seperti angger Mahendra. Bukankah begitu?”
Mahendra menundukkan kepalanya. Terasa
seperti api menyala di dadanya. Namun kemudian padam kembali. Ia telah
bertekad untuk melupakan Ken Dedes, yang kini telah hampir menjadi
seorang permaisuri.
Tetapi Mahisa Agni Kemudian menjawab, ”Kuda Sempana terlalu berkeras kepala.”
“Darahnya memang panas. Namun akan
datang saatnya darah itu menjadi sejuk. Apalagi apabila ia menyadari
keadaannya dan kenyataan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Tetapi ia ragu-ragu mendengar kata-kata itu. Apalagi apabila diingatnya
kata-kata Empu Sada, sehingga kemudian ia bertanya kembali, “Paman,
apakah Empu Sada tidak akan benar membawa orang-orang yang bernama Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat? Dan siapakah mereka berdua itu?”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. perlahan-lahan ia berjalan mendekati Mahisa Agni dan
Mahendra, kemudian berpaling kepada ketiga kawan Mahisa Agni yang duduk
lemah seperti tak bertulang.
“Hem. Kenapa kalian menjadi ketakutan?”
Empu Gandring itu bertanya kepada mereka. Tetapi Jinan, Patalan dan
Sinung Sari masih dikuasai oleh kebingungan yang sangat, sehingga
mereka tidak segera dapat menjawab.
“Nah, tenangkan dahulu hatimu. Dua malam
dipadang Karautan ini akan menjadi kenangan seumur hidupmu. Tetapi
mudah-mudahan kalian dapat mempergunakannya sebagai pelajaran, bahwa
menghadapi orang-orang seperti Empu Sada dan murid-muridnya apalagi
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, kita tidak boleh mengharap belas
kasihannya. Juga terhadap murid-murid mereka. Kita harus berbelas
kasihan kepada diri sendiri dan melindunginya.”
Ketiga anak-anak muda itu masih belum dapat menjawab. Tetapi mereka mencoba mengangguk.
Empu Gandring itu pun kemudian duduk
pula diatasi rumput-rumput kering, “Duduklah,“ katanya mempersilahkan
Mahisa Agni dan Mahendra.
Mahisa Agni dan Mahendra pun kemudian
duduk pula. Terasa suasana yang aneh meliputi dada Mahisa Agni.
Pamannya itu telah bertahun-tahun tak ditemuinya, dan kini ketika
mereka bertemu, suasananya terasa tidak terlalu akrab, karena
persoalan-persoalan yang melingkar-lingkar di dalam hati masing-masing.
Meskipun demikian, hati Mahisa Agni merasa berkembang pula. Apabila
kelak gurunya tak dapat dicarinya, maka ia menemukan tempat lain untuk
mengadu apabila orang-orang yang berhati dengki seperti Empu Sada dan
kawan-kawannya datang mengganggunya, mengganggu rencananya membangun
bendungan, saluran-saluran air, dan tanah persawahan.
“Agni,“ terdengar Empu Gandring itu bertanya, “apakah ibumu sekarang berada di Tumapel?”
Mahisa Agni ragu-ragu untuk menjawab.
Ibunya sedang berusaha untuk selalu menunggui Ken Dedes. Karena itu,
sekali ia memandang Mahendra dengan sudut matanya, dan kemudian
menundukkan kepalanya.
Tetapi Mahendra sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan itu. Yang sedang berkecamuk di dalam otaknya
adalah orang-orang semacam Empu Sada, dan orang-orang lain yang
disebut-sebut namanya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Aku akan mengatakannya kepada guru,“ berkata Mahendra di dalam hatinya, “mungkin guru telah mengenal mereka itu.”
Dalam pada itu Empu Gandring agaknya
dapat menangkap perasaan Mahisa Agni. Agaknya anak muda itu belum
bersedia diajak berbicara mengenai ibunya. Karena itu maka segera
pembicaraannya dialihkannya katanya, “Agni, apakah kau benar-benar akan
membangun sebuah bendungan?”
“Ya paman,“ jawab Agni.
“Di tempat ini?”
“Ya paman.”
“Bagus. Tempat ini adalah tempat yang baik untuk membangun sebuah bendungan. Tebing sungai disini tidak begitu dalam.”
“Ya paman.”
“Kapan akan kau mulai rencanamu itu.”
“Secepatnya paman.”
“Bagus.“ Empu Gandring
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa jawaban Mahisa Agni terlampau
pendek-pendek. Dan terasa bahwa masih ada sesuatu yang tersangkut di
dalam perasaan anak muda. itu. Karena itu maka Empu Gandring untuk
sesaat berdiam diri. Dibiarkannya Mahisa Agni mendapat kesempatan
mengatakan perasaannya.
Ketika Empu Gandring kemudian berdiam
diri sambil mengangguk-angguk maka bertanyalah Mahisa Agni, “Paman.
Apakah paman mengenal orang-orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Terdengar ia berdesis, dan kemudian berkata, “Jangan hiraukan mereka.”
“Tetapi orang-orang itu akan dapat berbahaya bagi rencanaku membangun bendungan ini.”
“Jangan hiraukan yang lain-lain.
Sekarang bagaimana dengan rencanamu? Apakah kau sudah membayangkan,
dimana saluran air akan kau buat. Agni tanah ini akan dapat menjadi
tanah yang subur apabila cukup mendapat air. Kalau kau berhasil
menaikkan air dari sungai itu, maka daerah ini akan segera menjadi
daerah yang sangat ramai.”
“Ya paman.”
Empu Gandring tersenyum. Kembali ia
mendengar jawaban itu. Dan kembali Empu Gandring mendengar pertanyaan
yang serupa, “Paman. Mereka pasti tidak akan membiarkan bendungan ini
terwujud. Bukan karena mereka berkepentingan atas sungai dan padang
Karautan, tetapi mereka hanya sekedar ingin menggagalkan usaha ini.”
“Mungkin,“ sahut Empu Gandring sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pikiran kemanakannya itu memang bukan
suatu gambaran yang dibuat-buat. Karena itu, ia kini tidak dapat
menghindar lagi. Semula ia sama sekali tidak ingin berbicara tentang
orang-orang yang mengerikan itu. Empu Gandring tidak ingin mempengaruhi
rencana kemanakannya terganggu karena gambaran-gambaran yang
mencemaskan yang belum pasti akan datang. Tetapi kemudian disadarinya
bahwa kemanakannya bukanlah seorang penakut. Tetapi ia hanya ingin
membuat perhitungan-perhitungan yang cermat dan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Karena itu maka jawabnya
kemudian, “Kedua orang itu memang orang yang aneh. Tetapi jangan
terlampau kau pikirkan. Mereka adalah orang-orang yang selalu menuruti
keinginan sendiri. Mungkin Empu Sada dapat mempergunakan mereka.
Tetapi mungkin tidak. Namun seandainya mungkin sekalipun, maka kedua
orang itu bukan orang yang perlu terlampau dikagumi. Mereka masih
belum melampaui Empu Sada sendiri. Belum dapat menyamai guru angger
Mahendra Panji Bojong Santi dan belum dapat menyamai gurumu Empu
Purwa.”
“Tetapi guru tidak ada disini paman.”
Empu Gandring tersenyum. Jawabnya, “Ia
tidak pergi terlampau jauh. Bukankah gurumu mengetahui bahwa kau akan
membuat bendungan disini?”
“Bukankah gurumu tahu bahwa kau berselisih dengan Kuda Sempana?”
“Ya.”
“Gurumu tahu, tahu dengan pasti,
siapakah guru Kuda Sempana meskipun tidak pernah mengatakannya. Gurumu
pasti telah memperhitungkan apa yang dapat terjadi dipadang Karautan
ini. Bahkan aku menduga bahwa gurumu kali ini pun tidak melepaskan kau
sendiri. Seandainya aku dapat menahan diri sekejap lagi di belakang
gerumbul itu, mungkin gurumulah yang akan mencegah perbuatan Empu
Sada.”
Dada Mahisa Agni berdebar-debar
mendengar kata-kata pamannya. Tiba-tiba tanpa dikehendakinya sendiri,
ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah takbir yang
hitam mengelilinginya di atas padang rumput yang luas. Beberapa onggok
gerumbul tampak tersembul dalam keremangan malam. Selebihnya adalah
hitam pekat.
Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Nah
beristirahatlah. Sementara aku akan bersamamu Agni. Aku ingin melihat
apa yang akan kau lakukan atas sungai dan padang ini.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni mengembang.
Ternyata tanpa dimintanya, pamannya bersedia tinggal beberapa lama
diantara orang-orang Panawijen yang akan membuat bendungan untuk
merubah padang Karautan menjadi tanah persawahan.
Namun sebelum ia menjawab, pamannya
tiba-tiba telah menjatuhkan dirinya, begitu saja tanpa alas, berbaring
di atas rerumputan yang telah dibasahi oleh embun. Tetapi Mahisa Agni
tidak mengusiknya. Dibiarkannya pamannya berbaring dan bahkan kemudian
ia berkata kepada Mahendra, “Berisirahatlah Mahendra.”
Mahendra mengangguk, jawabnya, “Aku
ingin beristirahat. Tetapi besok aku harus sudah menghadap kakang
Witantra kembali membawa jawabanmu Agni.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba angannya tentang bendungan itu tersentak bergeser kepada
puteri gurunya, Ken Dedes yang kini berada di istana Tumapel.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera
menjawab. Terasa jantungnya berdegupan. Matanya jauh terlempar ke dalam
kelamnya malam, seakan-akan ingin menembus sampai ke ujung padang
Karautan.
Mahendra pun untuk sesaat berdiam diri.
Tanpa sesadarnya pandangan matanya pun mengikuti arah pandangan Mahisa
Agni. Jauh, menghunjam ke dalam kelam.
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar Jinan dan Patalan berdesah dan Sinung Sari terbatuk-batuk kecil.
“Tidurlah,“ berkata Mahisa Agni kepada mereka.
Mereka menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka tetap duduk membeku saling berdesak-desakan seperti orang yang kedinginan.
Sejenak kemudian kembali padang itu
menjadi sepi. Kembali terdengar angin yang silir mengusap dedaunan,
mendendangkan kidung yang ngelangut.
“Mahendra,“ berkata Mahisa Agni
kemudian, “sebaiknya kau sampaikan jawabku itu kepada Witantra. Aku
mohon maaf kepada Akuwu, bahwa sebenarnya Akuwu tidak perlu datang
menemui aku. Biarlah Ken Dedes membuat keputusannya sendiri.”
Mahendra menggigit bibirnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian ia berkata, “Apakah keputusanmu sudah bulat?”
“Ya.”
“Apakah kau sakit hati Agni? Apakah kau tidak dapat melupakan peristiwa yang menyakiti hatimu itu.”
Mahisa Agni terdiam. Dan Mahendra pun
terdiam pula. Tetapi dalam pada itu Mahendra telah menemukan
kesimpulan, bahwa Mahisa Agni tidak akan bersedia merubah
keputusannya.
“Baiklah kalau demikian,“ berkata Mahendra di dalam hatinya, “besok akan aku sampaikan jawaban itu.”
Malam pun kemudian menjadi bertambah
malam. Bahkan kemudian menjelang keakhirannya. Mahisa Agni dan Mahendra
masih duduk sambil memeluk lutut mereka. Tetapi mereka tidak
berbicara lagi. Mereka mencoba memejamkan mata mereka sambil
meletakkan dahi mereka di atas lutut.
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni pun
kemudian mencoba membaringkan diri mereka masing-masing. Tetapi sekejap
pun mereka tidak segera berhasil memejamkan mata mereka. Apabila
mereka mencoba juga memejamkan mata mereka, tiba-tiba datanglah
berbagai gambaran yang mengerikan mengganggu otak mereka. Seolah-olah
berduyun-duyun hantu berdatangan dari segenap penjuru padang rumput
Karautan.
Ketika Mahisa Agni mengangkat wajahnya
ditatapnya bintang cemerlang di Tenggara, Panjer esuk. Bintang yang
seakan-akan memberinya pertanda bahwa sebentar lagi, fajar akan memerah
di ujung Timur.
Dan fajar itu datang terlampau lambat.
Seakan-akan Mahisa Agni tidak dapat menyabarkan diri lagi. Berbagai
kejemuan telah melanda dinding jantungnya. Padang yang sepi. Bendungan
dan saluran-saluran air yang terbayang di pelupuk matanya semuanya itu
seakan-akan telah terbentang dihadapannya. Sawah yang hijau dan air
gemericik di parit-parit, melingkari setiap pematang kotak demi kotak.
Tetapi Mahisa Agni itu seakan-akan
direnggut dari dunia yang penuh dengan harapan dan terdorong ke dalam
lembah yang bernafaskan kecemasan dan kegelisahan.
“Persetan dengan Ken Dedes,“ ia mencoba
menghentakkan dirinya di dalam hati, “betapa aku mencoba
melindunginya, apabila ia telah bersetuju menjadi isteri Tunggul
Ametung yang telah membantu melarikannya itu. Tak ada lagi hakku untuk
turut mencampuri persoalannya. Ia bukan adikku, bukan sanak bukan
kadang.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika ia
kemudian melihat Mahendra bangkit perlahan-lahan ia melangkah mencari
kudanya sambil berkata, “Aku akan melepas pelana kudaku dan
memandikannya. Sebentar lagi aku harus sudah kembali ke Tumapel.”
Mahisa Agni tidak menyahut. Dengan
matanya ia mengikuti langkah anak muda itu berjalan kebelakang
gerumbul. Kemudian terdengar ia bersiul memanggil kudanya, dan sesaat
kemudian Mahendra telah menuntun kudanya menuju ke tepian sungai.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika kemudian fajar yang ditunggunya membayang di langit dengan
hamparan warna merah, anak muda itu menggeliat. Ketika ia berdiri ia
melihat Mahendra telah datang kembali.
“Aku akan segera kembali ke Tumapel Agni,“ berkata Mahendra.
“Aku juga,“ sahut Agni, “pagi ini aku kembali ke Panawijen. Beberapa hari lagi aku harus sudah mulai dengan bendungan ini.”
“Mudah-mudahan kau berhasil,“ Mahendra bergumam seakan-akan diperuntukkannya kepada diri sendiri.”
“Terima kasih.”
Ketika kemudian matahari melepaskan
sinarnya menghampar di atas padang rumput itu, maka Mahendra segera
minta diri kepada Mahisa Agni, kepada Empu Gandring yang sudah duduk
bersila, kepada ketiga kawan-kawan Mahisa Agni yang sudah terbangun
pula. Dengan sigapnya ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan
sigapnya pula kudanya meloncat. Seperti anak panah kuda itu berlari.
Kepulan debu yang putih berterbangan di belakang kuda itu.
Bukan saja Mahendra, namun Mahisa Agni pun segera berkemas-kemas pula. Dengan berbagai gambaran di dalam dadanya.
Mahisa Agni kemudian membawa ketiga kawan-kawannya itu kembali ke Panawijen bersama pamannya Empu Gandring.
Tak ada yang penting bagi Mahisa Agni
beserta kawan-kawannya itu dalam perjalanan pulang. Mereka harus
menginap satu malam lagi dipadang rumput itu. Tetapi bersama Empu
Gandring dan Mahisa Agni ketiga kawan-kawannya tidak begitu ketakutan
lagi. Hanya kadang-kadang mereka mengeluh karena terik matahari dan
haus yang menyengat-nyengat leher mereka.
Seperti yang telah mereka rencanakan,
mereka memasuki Panawijen di malam hari, supaya tak seorang pun yang
melihat, bagaimana pakaian mereka menjadi compang camping.
Namun pada pagi harinya, Panawijen
seolah-olah telah menerima seseorang yang membawa harapan bagi mereka,
bagi anak cucu mereka. Itulah sebabnya dengan penuh gairah mereka
menyambut Mahisa Agni beserta kawan-kawannya di halaman rumah Ki Buyut
Panawijen.
Rakyat Panawijen menunggu keterangan
Mahisa Agni tentang hasil perjalanannya. Mereka tidak dapat menunggu
terlalu lama. Sawah-sawah mereka telah mulai mengering dan isi
lumbung-lumbung mereka telah mulai menipis. Mereka harus segera
menemukan tempat untuk meletakkan diri menghadapi masa-masa yang masih
terlampau panjang. Anak cucu dan keturunan mereka. Alangkah besar dosa
mereka, apabila mereka tidak sempat memberikan peninggalan bagi
keturunan mereka di masa-masa datang.
Mungkin mereka masih dapat mengharap
hasil sawah di musim-musim basah. Namun di musim kemarau, apabila
mereka itu tidak mendapat air dari saluran-saluran, maka sawah-sawah
mereka akan menjadi padang yang kering dan mati.
Pagi itu Mahisa Agni sudah bersedia
memberikan beberapa keterangan menjadi perjalanannya kepada para tertua
Panawijen. Dan bahkan para tetua Panawijen yang tidak sabar lagi,
telah siap pula untuk melakukan apa saja yang menurut Mahisa Agni
dianggap baik.
Namun diluar pendapa rumah Ki Buyut
Panawijen, di mana Mahisa Agni duduk diantara beberapa orang-orang tua,
anak-anak muda sibuk mengerumuni Jinan, Patalan dan Sinung Sari.
Seperti air banjir mereka bertiga berceritera berganti-ganti. Yang satu tidak mau kalah dahsyatnya dari yang lain.
“Sayang waktu itu pedangku tidak di
tanganku,“ berkata Patalan kepada kawan-kawannya, “sehingga aku tidak
dapat sempat membantu Mahisa Agni melawan hantu Karautan.”
Kawan-kawannya memandangi dengan penuh
kekaguman. kemudian disusulnya oleh Jinan, “Sayang. Keduanya berkelahi
terlampau kasar, sehingga aku tidak mendapat kesempatan untuk
mengayunkan pedangku. Mereka saling berdesakan, saling dorong mendorong
dengan senjata masing-masing dan berputaran seperti baling-baling.
Aku takut apabila pedangku justru akan mengenai Agni sendiri.”
Anak-anak muda Panawijen menjadi semakin
asyik mendengarkannya. Apalagi ketika Sinung Sari berkata, “Hem. Aku
sengaja berdiam diri. Aku ingin melihat, apakah Mahisa Agni mampu
melawan hantu Karautan. Hantu yang namanya ditakuti oleh semua orang di
sekitarnya padang rumput ini. Tetapi ternyata hantu itu sama sekali
tidak menakutkan. Aku biarkan Mahisa Agni bertempur sendiri sebab aku
sudah dapat memperhitungkan, bahwa hantu itu tidak akan dapat
mengalahkannya. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa aku pasti
tidak akan sampai hati membiarkan Agni mengalami cidera.”
“Bukan main,“ desah anak-anak itu.
Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “He, siapakah yang datang
bersama kalian. Itu orang tua yang duduk di samping Mahisa Agni?”
“O, pamannya,“ jawab Sinung Sari, “orang
itu adalah paman Mahisa Agni yang berjumpa saja di perjalanan. Orang
itu sengaja akan meninjau kemanakannya disini.”
Anak-anak muda itu kembali
mengangguk-angguk kepalanya. Mereka benar-benar terpesona oleh ceritera
Jinan, Patalan dan Sinung Sari yang dengan penuh gairah
menceriterakan pengalamannya. Bahkan kadang-kadang dengan dan kaki
berselendangan, menirukan beberapa macam gerak yang dilihatnya.
“Sayang,“ berkata Sinung Sari, “Agni
kurang lincah sedikit, sehingga sekali-sekali ia dapat dikenai
lawannya. Ia telah berbuat beberapa kesalahan kecil yang dapat
memperlambat penyelesaian perkelahian itu sehingga orang Tumapel itu
datang.”
“Ah, hampir aku salah sangka,“ berkata
Jinan, “untunglah aku belum mulai. Kalau orang Tumapel itu tidak segera
memperkenalkan dirinya sebagai orang istana, mungkin kami pun sudah
bertempur pula.”
Kawan-kawannya yang mengangguk-anggukkan
kepalanya itu menjadi semakin kagum. Perjalanan itu ternyata
merupakan perjalanan yang dahsyat. Ada diantaranya yang menjadi ngeri,
namun ada yang kemudian berangan-angan, “Ah, seandainya aku mendapat
kesempatan turut dalam perjalanan itu. Aku akan melihat berbagai
kejadian-kejadian yang dahsyat dan mengasyikkan.”
“Huh,“ potong Patalan, “kau akan mati ketakutan.”
Kawan-kawannya yang lain serentak tertawa. Dan anak muda yang berangan-angan itu tersenyum tersipu-sipu.
“Tetapi betapapun sulit perjalanan kami,
namun kami telah berhasil menemukan tempat itu. Tempat yang tepat
sekali untuk membangun sebuah bendungan, menaikkan air dan membuat
saluran-saluran di tanah yang tidak terlampau keras. Tanah yang datar
dan ditumbuhi rumput yang lebat. Tanah itu akan merupakan tanah yang
subur. Kalian dapat mengambil tanah sekuat-kuat kalian dapat
mengerjakannya. Dan bendungan itu segera akan kita bangun,“ berkata
Sinung Sari dengan bersungguh-sungguh.
Kembali anak-anak muda Panawijen itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka telah berjanji berbuat apa
saja untuk kepentingan rakyat Panawijen.
Tetapi di pendapa pembicaraan antara
Mahisa Agni, Empu Gandring dan orang-orang tua Panawijen berjalan lebih
bersungguh-sungguh! Orang-orang tua itu mendengarkan penjelasan
Mahisa Agni dengan penuh minat. Justru hanya tentang jeram-jeram, air
terjun dan bendungan itu sendiri. Sama sekali tidak disentuh-sentuhnya
mengenai hantu Karautan, Empu Sada yang akan dapat mengganggu kerja
mereka dan orang-orang lain lagi. Bagi Mahisa Agni hal itu dianggap
belum waktunya untuk menguraikannya. Sebab dengan demikian, hal-hal
tersebut hanya akan dapat memperkecil hati orang-orang Panawijen yang
pada dasarnya sudah tidak begitu tatag.
“Jadi kita buat bendungan itu di sana?” bertanya seseorang.
“Ya kaki,“ sahut Mahisa Agni, “tempat itu adalah satu-satunya yang aku ketemukan.”
“Kita harus mulai lagi,“ desahnya.
“Kalau Empu Purwa tidak menjadi waringuten dan kehabisan akal, maka
kita tidak akan bersusah payah membangun sebuah bendungan.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tetapi
ia dapat mengerti bahwa orang-orang tua itu seharusnya sudah tinggal
menikmati hari-hari tuanya saja.
Karena itu Mahisa Agni tidak menjawab.
Dibiarkannya orang tua itu menyesali gurunya. Betapapun hatinya merasa
tersinggung namun ia mencoba menyimpan perasaan itu dalam-dalam di
dalam dadanya.
“Sekarang kita harus mulai dari permulaan lagi,” berkata orang tua itu.
Tetapi seseorang yang duduk di belakang
Ki Buyut Panawijen menjawab, “Sudahlah, biarlah yang sudah terjadi
itu. Orang tua itu sudah-merasa bersalah. Dan ia sudah berusaha untuk
menebus kesalahannya.”
“Huh,“ desah orang yang pertama, “itu hanya sekedar untuk memperkecil kesalahan.”
“Sama sekali tidak,“ berkata orang yang
duduk di belakang Ki Buyut. “Orang itu sama sekali tidak mengingkari
kesalahannya Tetapi kita harus merasa bersalah pula. Empu Purwa telah
memberi kita bendungan, saluran-saluran air dan apa saja. Tetapi ketika
anaknya mengalami bencana, kita tidak dapat menolongnya. Bahkan
seakan-akan kita mencuci tangan kita, hanya karena kita takut menjadi
sasaran kemarahan Kuda Sempana dan Akuwu waktu itu. Kemudian karena
kekecewaan yang menghentakkan keseimbangannya, maka ia telah berbuat
kesalahan itu. Mengambil bendungan itu kembali. Bendungan yang sudah
diserahkan kepada kita.”
“Kenapa hal itu dilakukannya? Bukankah
disadarinya bahwa dengan memecahkan bendungan itu, meskipun bendungan
itu dibuatnya sendiri, akibatnya akan menimpa seluruh Rakyat
Panawijen?”
“Ia adalah seorang manusia biasa.
Manusia yang mempunyai sifat khilaf dan salah. Dan Empu Purwa tidak
mengingkari kesalahannya. Tetapi terkutuklah Kuda Sempana, sumber dari
segala bencana ini.”
“Sudahlah,“ potong Ki Buyut Panawijen,
“jangan mengada-ada. Kita jangan selalu dicengkam oleh
peristiwa-peristiwa yang telah lampau. Dengan demikian kita tidak akan
dapat menghadapi hari depan kita. Kini, yang penting bagi kita adalah
bendungan itu. Bendungan dan saluran-saluran air. Semua tenaga di
padukuhan ini kita perlukan. Kalau kita masih saja menyalankan, maka
kita tidak akan dapat mulai. Nah. Siapa yang tidak ingin melihat
bendungan itu kita bangun?”
Semuanya terdiam. Semuanya menundukkan kepalanya.
Pendapa itu sesaat menjadi sepi. Mahisa
Agni mencoba memandangi setiap wajah yang ada di sekitarnya. Namun
wajah-wajah itu tunduk menusuk lantai. Betapa hatinya sendiri menjadi
pedih mendengar seseorang tidak habis-habisnya mengumpati gurunya,
namun ia masih dapat menahan diri. Yang penting bagi Mahisa Agni
adalah, bagaimana bendungan itu harus terwujud. Bagaimana ia dapat
mewujudkan sesuatu yang telah hilang karena gurunya yang sedang
kehilangan keseimbangan berpikir. Bagaimana Mahisa Agni dapat
melakukan petunjuk-petunjuk dari gurunya itu. Membangun bendungan dan
saluran-saluran air.
Karena tidak seorang pun yang menjawab,
maka Ki Buyut Panawijen itu berkata, “Nah, Kalau demikian, maka kita
semuanya sependapat. Kita kerahkan semua tenaga, kekuatan dan apa saja
yang kita miliki untuk membangun bendungan itu. Bendungan itu harus
segera selesai sebelum kita akan mengalami paceklik yang panjang.”
Pendapa itu kembali menjadi sepi. Tetapi
Mahisa Agni mendengar nafas yang memburu dari setiap dada mereka yang
duduk melingkar di pendapa itu. Bahkan kemudian Mahisa Agni pun
melihat beberapa orang diantara mereka mengangkat wajahnya. Dari
wajah-wajah itu menyalalah tekad mereka membangun bendungan,
saluran-saluran air dan pesawahan baru. Arti daripada kerja itu bukan
sekedar menyambung hidup mereka sendiri. Tetapi arti dari kerja itu
adalah menentukan masa depan anak cucu mereka.
Pada hari itu pula, Panawijen mulai
dihangatkan oleh rencana pembangunan yang akan menelan segenap tenaga,
pikiran, tekad dan kemauan dari segenap penduduk Panawijen. Dari
kakek-kakek sampai kepada anak-anak, seakan-akan serentak mengucapkan
rencana itu di segenap kesempatan. Bahkan anak-anak gembala yang
menunggui domba dan kambing di pangonan, telah menyusun lagu menurut
irama mereka sendiri. Sebuah tembang, tentang bendungan dan
parit-parit. Sawah yang hijau segar serta pedukuhan yang subur dan
makmur. Rakyat yang sejahtera dan makmur. Rakyat sejahtera merata.
Gemah-ripah kerta-raharja.
Mulailah segala persiapan diadakan. Alat, bahan-bahan, dan apa saja yang akan diperlukan nanti dalam pembangunan bendungan itu.
Tetapi meskipun demikian ada juga
diantara mereka yang menanggapinya dengan acuh tak acuh. Mereka yang
masih saja merasa bahwa mereka tidak seharusnya bekerja berat untuk
itu. Mereka ingin bahwa bendungan itu akan jadi dengan sendirinya.
Sawah-sawah akan tercetak dipadang rumput Karautan tanpa dikerjakan
oleh tangan. Mereka ingin kampung halaman mereka menjadi hijau subur
tanpa meneteskan keringat. Dan mereka itu masih saja bermimpi pada
saat guntur di langit bersabung dan gunung-gunung menggelegar
menggetarkan bumi.
Berhari-hari persiapan dilakukan,
berhari-hari Mahisa Agni memeras keringat bersama kawan-kawannya
mempersiapkan segala perlengkapan yang dianggapnya perlu. Namun ia
masih sempat tersenyum apabila ia mendengar Jinan, Patalan dan Sinung
Sari berkata sambil menepuk dada, “Kalau tidak ada aku, maka Panawijen
akan menjadi kering kerontang. Akulah yang telah menemukan
jeram-jeram itu bersama beberapa kawan yang mengikuti aku di belakang.
Tetapi segera mereka mengerutkan leher mereka, apabila mereka melihat
Mahisa Agni lewat sambil tertawa dihadapan mereka. Namun Jinan sempat
juga berbisik kepada Agni, “Agni, jangan kau katakan kepada mereka,
bahwa aku hampir mati ketakutan dipadang Karautan. Dan menanggapi
bisikan itu Mahisa Agni hanya dapat tersenyum kecil.
Pada saat-saat yang demikian itu, pada
saat-saat Panawijen tenggelam dalam kesibukan, maka jalan-jalan di
padesan itu telah dikejutkan oleh derap kaki-kaki kuda. Beberapa
orang-orang penunggang kuda, berdatangan ke padukuhan itu.
Kepada seseorang, salah seorang penunggang kuda itu bertanya, “Dimana rumah puteri Ken Dedes?”
Orang itu mengerutkan keningnya. “Puteri Ken Dedes,“ desisnya di dalam hati.
Orang yang ditanya itu menjadi heran.
Ken Dedes, anak Empu Purwa itukah yang dimaksud dengan Puteri Ken
Dedes. Karena itu untuk mendapat kepastian orang itu bertanya, “Apakah
yang tuan maksud itu, Ken Dedes puteri Empu Purwa?”
Penunggang kuda itu mengerutkan
keningnya. Sesaat mereka saling berpandangan, dan kemudian terdengar
salah seorang dari mereka menyahut, “Puteri Ken Dedes, adik dari anak
muda yang bernama Mahisa Agni.”
“O,” orang Panawijen itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak akan salah lagi. Ken
Dedes yang dimaksud adalah anak Empu Purwa. Meskipun demikian ia
menyahut, “Tetapi Ken Dedes kini tidak ada di rumahnya.”
“Ya, kami sudah tahu,“ sahut penunggang kuda itu, “justru kami adalah utusan dari tuan puteri itu.”
“O,“ orang Panawijen itu menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi ia tidak berani bertanya terlampau banyak.
“Dimanakah rumah itu?” desak penunggang kuda itu, “dan apakah kakaknya berada di rumah?”
“Ya. Ya,“ sahut orang Panawijen itu
tergagap, “tuan dapat menyusur jalan ini. Kemudian tuan akan menembus
desa Panawijen. Di ujung yang lain dari jalan ini tuan akan menemukan
sebuah padepokan. Itulah rumah Empu Purwa, ayah gadis itu.”
“Terima kasih,“ sahut orang-orang berkuda itu, yang sesaat kemudian telah memacu kudanya kembali menuju ke padepokan Empu Purwa.
Ketika kuda-kuda itu berderap di depan
regol padepokan, beberapa orang cantrik yang dengan setia menunggui
padepokan Empu Purwa menjadi sangat terkejut. Berkali-kali mereka
dikejutkan, bahkan mengalami banyak peristiwa-peristiwa yang tidak
menyenangkan apabila mereka mendengar derap kuda berhenti di halaman.
Kali ini pun derap kuda itu mengejutkau mereka. Karena itu segera
mereka berlarian mengambil senjata, apa saja yang dapat dipegangnya.
Mereka tidak mau menjadi barang-barang mati yang hanya dapat melihat
peristiwa demi peristiwa berlangsung tanpa berbuat sesuatu. Mereka
tidak mau berdiri saja dengan mulut ternganga seperti masa-masa yang
lalu, yang ternyata telah membawa malapetaka bagi padepokan itu,
bahkan bagi segenap padukuhan Panawijen.
Mahisa Agni yang sedang berada di belakang rumah pun mendengar derap kuda itu. Tidak hanya seekor, tetapi empat atau lima.
Mahisa Agni itu pun kemudian tegak
berdiri dengan wajah tengadah. Seperti para cantrik, maka ia pun
bercuriga. Peristiwa demi peristiwa telah mengajarnya untuk setiap kali
berhati-hati.
Ketika ia melihat seorang cantrik dengan
tergesa-gesa mengambil sebatang besi pengupas sahut kelapa, ia
berkata, “Siapakah yang berkuda itu?”
“Kami belum tahu.”
“Kenapa kau mengambil potongan besi itu?”
“Kami akan menghadapi segala kemungkinan dengan senjata. Tidak seperti masa-masa yang lampau.” Sahut cantrik itu.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
jawaban itu. Tetapi ia tahu benar, bahwa para cantrik itu sama sekali
tidak mendapat didikan untuk berkelahi. Sehingga mereka hampir dapat
dianggap tidak berarti, apabila mereka ingin membuat perlawanan,
apalagi bagi mereka yang sudah masak dengan berbagai pengalaman.
Namun, hati Mahisa Agni sendiri pun
terpengaruh juga melihat para cantrik yang mencoba mendapatkan senjata.
Ia sadar bahwa apabila ada bahaya, maka tak akan ada orang lain yang
dapat membantunya, selain dirinya sendiri dan apabila dikehendaki,
pamannya Empu Gandring yang berada di dalam rumah itu pula. Tetapi
Mahisa Agni tidak ingin mengusik pamannya. Ia tidak ingin membuat kesan
yang tidak menyenangkan baginya. Karena itu, maka Mahisa Agni
berhasrat untuk menjumpai para penunggang kuda itu sendiri.
Meskipun demikian, tanpa disengaja
Mahisa Agni itu berjalan lewat biliknya sendiri. Diraihnya sebilah
keris di dalam glodok pakaiannya dan diselipkannya di punggungnya,
Keris itu adalah keris buatan pamannya. Sebab sedapat mungkin, terjadi
bahaya yang tidak diinginkannya.
Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni itu
pun kemudian berjalan ke rumah depan. Dari pendapa ia sudah melihat
beberapa orang berkuda diluar halaman. Namun menilik kesan yang ada
pada mereka, mereka sama sekali bukan orang-orang yang pantas
dicurigai.
Kepada seorang cantrik Mahisa Agni menyuruhnya, mempersilahkan para penunggang kuda itu masuk ke halaman.
Sekali lagi Mahisa Agni mendapat kesan
yang baik dari para penunggang kuda itu. Mereka tidak memasuki halaman
di atas punggung kuda, tetapi segera mereka berloncatan turun, dan
sambil menuntun kuda mereka, mereka berjalan ke pendapa.
Menilik pakaian yang mereka kenakan,
segera Mahisa Agni dapat mengenal, bahwa mereka adalah pasukan pengawal
istana Tumapel. Anak buah dari Witantra. Apalagi ketika diantara
mereka itu, dilihatnya seorang anak muda yang telah dikenalnya Kebo
Ijo.
“Selamat bertemu kembali kakang Mahisa Agni,“ sapa Kebo Ijo sambil tertawa.
Mahisa Agni menganggukan kepalanya. Sambil tersenyum ia menyahut, “selamat adi. Marilah, naiklah ke pendapa.”
Dengan penuh hormat Mahisa Agni menerima
mereka. Dipersilahkannya tamunya duduk di atas sehelai tikar pandan
yang putih. Disapanya tamunya dengan segala tata cara.
Namun dalam pembicaraan itu, Mahisa Agni
menjadi sangat heran dan tidak mengerti, kenapa para prajurit itu
menjadi sangat hormat kepadanya, kecuali Kebo Ijo. Bahkan agaknya
terlampau berlebih-lebihan. Meskipun demikian Mahisa Agni segan untuk
bertanya sebab-sebab itu.
Ketika Mahisa Agni selesai dengan
pertanyaan-pertanyaan tata cara, maka sampailah para tamunya itu kepada
persoalan yang dibawanya. Persoalan yang harus disampaikannya sebagai
utusan Tuan Puteri Ken Dedes. Bakal Permaisuri Akuwu Tumapel.
Dan Mahisa Agni masih saja
terheran-heran melihat sikap para prajurit itu, selain Kebo Ijo yang
tersenyum-tersenyum saja. Seorang yang paling tua diantara mereka
berkata dengan takjimnya, “Tuan muda Mahisa Agni. Kami adalah utusan
dari Tuan Puteri Ken Dedes untuk menyampaikan pesan kepada tuan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dengan kaku ia menjawab, “Tuan, apakah pesan yang tuan bawa itu?”
“Tuan puteri telah mendengar laporan
kakang Witantra kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, bahwa tuan tidak
ingin menerima Akuwu Tunggul Ametung sebagai wakil ayahanda.”
“Ya,“ sahut Mahisa Agni.
“Tuan Puteri menjadi sangat berduka atas keputusan tuan itu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kata-kata itu langsung menyentuh hatinya, sehingga terasa sesuatu
berdesir di dadanya. Tiba-tiba terbayanglah wajah gadis yang murung
itu. Seperti pada saat ia melihat gadis itu menangis di sampingnya, di
atas bale-bale bambu pada saat bulan sedang mengambang di langit.
Pada saat-saat ia sedang dirisaukan pula oleh gadis itu. Terbayang di
mata Mahisa Agni, betapa Ken Dedes menyampaikan perasaannya kepada
seorang emban tua, pemomongnya. Betapa suara gadis itu seperti petir
yang menyambar kepalanya, pada saat ia mendengar bahwa yang diharapkan
olehnya adalah sebuah nama yang lain dari namanya. Nama itu adalah
Wiraprana.
Kini Wiraprana itu telah terbunuh.
Betapa mungkin ia akan mengalami peristiwa yang serupa untuk kedua
kalinya. Bagaimana dapat menahan dirinya menerima Akuwu Tunggul Ametung
yang datang untuk melamar adiknya itu. Adik yang telah pernah melukai
hatinya. Dan luka itu kini seakan-akan menjadi kambuh kembali.
Karena Mahisa Agni masih berdiam diri,
maka prajurit itu berkata, “Tuan, apakah tuan tidak menjadi iba dan
belas mendengar bahwa Tuan Puteri itu menjadi berduka?”
Mahisa Agni masih terdiam. kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
Dan prajurit itu berkata pula, “Apakah tuan tidak dapat merubah keputusan itu?”
Terasa dada Mahisa Agni seakan-akan
bergolak. Kata-kata itu benar-benar telah menggerakkan hatinya. Tetapi
apabila kemudian bayangan-bayangan yang aneh hilir mudik di kepalanya,
maka kembali hatinya menjadi pedih. Dan sambil menggelengkan
kepalanya ia berkata, “Tidak tuan. Aku tidak akan merobah pendirianku.
Ken Dedes kini telah cukup dewasa untuk menentukan pilihannya
sendiri.”
“Tuan benar,“ sahut prajurit tertua itu,
“tuan benar. Tuan Puteri telah menjatuhkan pilihan. Tuan Puteri
memang telah menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi Tuan
Puteri tidak mau meninggalkan adat tata cara. Tuan adalah satu-satunya
wakil bagi ayahanda yang menurut berita yang sampai di istana telah
meninggalkan Padepokan.”
“Ya,“ sahut Mahisa Agni, “Empu Purwa
telah meninggalkan padepokan justru karena ia kehilangan gadisnya.
Justru ia kehilangan Ken Dedes itu.”
“Kalau Empu Purwa itu dapat diketemukan, ia akan mendapatkan puterinya itu kembali. Justru setelah Puterinya menerima anugerah.”
“Orang tua itu telah kehilangan segenap
harapan. Empu Purwa menjadi sakit hati. karena gadisnya dilarikan
orang. Bagaimana mungkin ia dapat menerima Akuwu itu menghadap
seandainya ia masih berada di padepokan sekalipun?”
“Tetapi bukankah yang membawa Tuan Puteri pada saat itu adalah adi Kuda Sempana?”
“Bukankah Kuda Sempana mendapat perlindungan dari Akuwu Tunggul Ametung.”
“Akuwu kini telah menyesal.”
“Tetapi ia tidak mengembalikan gadis itu. Malahan gadis itu diambilnya sendiri.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Terbayanglah keheranan yang memancar pada sepasang matanya. Ia tidak
dapat mengerti kenapa Mahisa Agni menjadi kecewa, justru adiknya akan
diangkat menjadi seorang permaisuri. Bahkan bukan itu saja. Telah
tersebar desas-desus yang luas, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah
berjanji untuk menyerahkan kekuasaan atas Tumapel kepada gadis
Panawijen itu.
Namun untuk sesaat prajurit itu berdiam diri. Ia menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dikatakannya lagi.
Tiba-tiba mereka yang sedang duduk
termenung dalam angan-angan masing-masing itu dikejutkan oleh suara
tertawa yang meledak diantara mereka. Ketika semuanya berpaling, mereka
segera melihat, bahwa yang tertawa itu adalah Kebo Ijo.
“Mahisa Agni,“ katanya, “apakah kau masih tetap bersakit hati? Sayang, adikmu telah bermimpi untuk menjadi seorang permaisuri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Prajurit yang tertua dan bahkan semuanya yang ada di pendapa itu pun
menjadi heran, kenapa Kebo Ijo tiba-tiba saja tertawa.
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
Ditatapnya wajah Kebo Ijo itu dengan saksama. Namun anak muda itu masih
saja tertawa sambil berkata, “Apakah sebenarnya yang kau kehendaki
Agni. Adikmu telah diangkat menjadi permaisuri. Kau harus berterima
kasih karenanya. Dan kau harus berterima kasih pula kepada Kuda
Sempana. Kalau Kuda Sempana tidak menjadi gila, mata Akuwu Tunggul
Ametung tidak akan pernah melihat adikmu itu.”
Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menjadi merah. Terasa nafasnya menjadi semakin cepat mengalir. Namun ia masih berdiam diri.
Prajurit yang tertua itulah kemudian
yang berkata, “Sudahlah adi Kebo Ijo. Jangan berkata yang aneh-aneh.
Sekarang baiklah aku menyampaikan pesan Tuan Puteri itu. Apabila tuan
Mahisa Agni masih tetap pada pendiriannya itu, maka Tuan Puteri minta
Tuan menghadap adik tuan itu ke istana.”
Tetapi warna merah di wajah Mahisa Agni
masih saja membara. Kata-kata Kebo Ijo benar-benar telah menusuk
jantungnya. Meskipun demikian, Mahisa Agni masih berusaha untuk menahan
dirinya.
Dan prajurit yang tertua diantara mereka
itu masih berkata terus, “Tuan. Sebaiknya tuan menaruh belas akan
Tuan Puteri itu. Apabila tuan sudi datang, maka tuan Puteri akan
merasa bahwa tuan telah merestuinya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam
untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Perkataan prajurit itu memang
dapat menyentuh perasaannya. Alangkah sedihnya Ken Dedes apabila ia
menolak semua permintaannya itu. Namun kemudian penyakitnya kambuh
kembali, sebuah goresan yang pedih di dalam dadanya, akibat segala
macam peristiwa yang terjadi, sejak ia mendengar nama Wiraprana
disebut, kemudian Kuda Sempana yang telah memeras segala tenaganya
untuk mempertahankan gadis itu, bahkan hampir saja nyawanya sendiri
melayang. Dan yang kemudian sekali gurunya telah meninggalkannya pula.
Namun akhirnya gadis itu tanpa setahunya telah menerima lamaran Akuwu
Tunggul Ametung. Dada Mahisa Agni menjadi pedih, sehingga
terloncatlah jawabnya, “Sayang tuan. aku tidak dapat datang menghadap
gadis itu. Kalau ia memerlukan aku, biarlah ia datang kepadaku. Bukan
aku yang harus menghadapnya.”
Dada prajurit itu berdesir. Tetapi ia
berpaling ketika ia mendengar Kebo Ijo tertawa, “Adi Kebo Ijo,”
katanya, “akulah yang diserahi pertanggungan jawab atas kalian, dan
seluruh tugas ini.”
Dengan senyum yang menyakitkan hati Kebo
Ijo menahan suara tertawanya. Kemudian ia berusaha untuk melepaskan
perhatiannya atas pembicaraan itu. Dengan nanar ia memandang
berkeliling. Kepada pepohonan, bunga-bunga dan rumput yang bertebaran
di halaman. Namun daun-daun dan mahkota bunga tampak olehnya tidak
begitu segar.
Prajurit itulah kemudian yang berkata
kepada Mahisa Agni, “Tuan. Mungkin aku salah mengatakannya kepada tuan.
Maksudku, Tuan Putri mengutus kami untuk menyampaikan kepada tuan,
bahwa Tuan Puteri ingin bertemu dengan tuan. Ingin berbincang mengenai
beberapa hal dan mungkin Tuan Puteri akan minta ijin kepada tuan,
untuk menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung. Karena Tuan Puteri tidak
dapat meninggalkan istana, maka apakah tuan sudi datang
mengunjunginya.”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Sayang. Aku tidak dapat pergi ke Tumapel. Padukuhan ini.
tidak dapat aku tinggalkan. Aku sekarang sedang terikat oleh suatu
pekerjaan yang besar. Besar bagi padukuhan kami, meskipun hanya membuat
sebuah bendungan. Sebab bendungan kami telah pecah beberapa waktu
yang lampau.”
Prajurit itu menggigit bibirnya. Agaknya
Mahisa Agni akan tetap pada pendiriannya. Karena itu ia menjadi
ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Ia tidak mendapat kekuasaan untuk
melakukan tugasnya dengan segala cara, menghadapkan Mahisa Agni ke
Tumapel. Ia hanya mendapat tugas untuk menyampaikan pesan itu. Dan
ternyata pesan itu telah ditolaknya.
Namun prajurit itu masih mencoba untuk
meyakinkan Mahisa Agni, bahwa sebaiknya ia datang, katanya, “Tuan
Kasihanilah adik tuan itu. Mungkin adik tuan ingin datang mengunjungi
tuan, tetapi adik tuan sama sekali tidak mendapat kesempatan. Bukan
karena adik tuan itu tidak ingin, apalagi tidak sudi, tetapi sebagai
seorang puteri istana ia terikat pada beberapa ketentuan yang tidak
dapat dilanggarnya.”
“Anak itu adalah anak Panawijen,“ sahut
Mahisa Agni, “gadis padepokan yang berada di istana karena dilarikan
orang. Ia sama sekali bukan seorang puteri yang wajar menerima berbagai
tata-cara kebesaran sebelum ia benar-benar menjadi seorang
permaisuri.”
Sekali lagi prajurit itu
mengangguk-angguk sambil menggigit bibirnya. Kini seakan-akan semua
jalan yang dapat ditempuhnya telah buntu. Ia benar-benar tidak dapat
mengatasi kekerasan hati Mahisa Agni dengan kata-kata.
Namun kembali mereka terkejut ketika
tiba-tiba mereka melihat Kebo Ijo dengan serta merta meloncat berdiri
dan berjalan turun dari pendapa. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Kakang, aku tidak telaten. Jangan kau bujuk dengan rayuan cengeng anak
manja itu. Kakang hanya tinggal menyampaikan pesan gadis Panawijen
itu, kemudian apakah kakaknya akan memenuhi atau tidak, bukanlah
urusan kita. Kita bukan budak-budak yang harus merendahkan diri,
merajuk seperti jejaka yang sedang jatuh cinta.”
“Kebo Ijo.”
Teriakan itu benar-benar mengejutkan.
Hampir bersamaan Mahisa Agni dan prajurit itu memotong kata-katanya.
Hampir bersamaan pula mereka berdua serentak berdiri. Bahkan Mahisa
Agni dan prajurit itu pun terkejut pula melihat sikap masing-masing
menghadapi Kebo Ijo.
Namun Kebo Ijo itu masih berdiri di
bawah tangga pendapa dengan dada tengadah. Bahkan kemudian ia berkata,
“Tak ada gunanya membujuk Mahisa Agni yang keras kepala.”
Mahisa Agni kemudian tidak dapat menahan
dirinya lagi. Tiba-tiba ia meloncat turun pula dari pendapa. Namun
prajurit yang tertua itu meloncat pula secepat Mahisa Agni meloncat.
Dengan penuh hormat, seperti pada saat ia datang dan berbicara, ia
berkata kepada Mahisa Agni, “Tuan. Aku adalah tetua rombongan kecil
ini. Aku minta maaf atas perbuatan adi Kebo Ijo. Mudah-mudahan aku
akan dapat mencegahnya lain kali.”
Tetapi belum lagi kata-kata itu berakhir, telah terdengar suara tertawa Kebo Ijo itu kembali.
Betapa wajah prajurit tertua itu menjadi
merah padam. Seakan-akan ia menerima tamparan langsung di wajahnya.
Meskipun demikian ia menyadari, bahwa Kebo Ijo adalah adik seperguruan
Witantra. Itu pulalah agaknya, yang menyebabkan anak muda itu menjadi
keras kepala. Ia merasa bahwa di belakangnya berdiri seorang yang
disegani. Baik oleh Mahisa Agni maupun oleh tetua rombongan prajurit
itu.
Prajurit yang tertua itu pun kemudian
menyadari, bahwa lebih baik baginya untuk segera meninggalkan halaman
itu sebelum terjadi sesuatu. Ia telah mengenal sikap dan sifat Kebo Ijo
meskipun belum begitu banyak, dan ia telah mendengar beberapa macam
ceritera tentang anak muda kakak Ken Dedes itu. Prajurit itu telah
mendengar pula ceritera tentang Mahisa Agni, ketika ia terpaksa
berkelahi melawan Mahendra di Tumapel beberapa waktu yang lalu.
Namun sebelum prajurit itu berkata
sesuatu dilihatnya Kebo Ijo berjalan dengan senyum-senyum yang
menyakitkan hati ke arah kudanya. Dengan satu loncatan yang cepat, anak
muda itu telah berada di punggung kuda.
“Selamat tinggal sampai bertemu kembali
Agni. Mudah-mudahan kau tidak terlalu murung menghayati kenyataan
seharusnya kau menjadi gembira mendengar kabar tentang adikmu. Tetapi
tiba-tiba kau malahan menjadi bersedih.”
“Cukup,“ bentak prajurit yang memimpin rombongan itu, “jangan mengigau terus adi Kebo Ijo.”
Kebo Ijo tertawa. Digerakkannya kendali
kudanya, dan perlahan-lahan kudanya bergerak meninggalkan halaman
rumah itu. Namun suara tertawanya masih saja terdengar menggeletar di
halaman.
“Maaf, sekali lagi aku minta maaf atas segala tingkah lakunya,” minta prajurit itu.
Mahisa Agni berdesis. Seandainya
prajurit itu tidak bersikap manis, maka Mahisa Agni sudah tidak dapat
lagi menahan dirinya. Namun ketika sekali lagi prajurit itu minta maaf
kepadanya, maka sadarlah Mahisa Agni, bahwa ia berhadapan dengan Kebo
Ijo. Seharusnya ia telah mengenal sifat anak yang bengal itu. Maka
dengan mengangguk-anggukkan kepalanya Agni menjawab, “Baiklah tuan.
Seharusnya aku tahu, bahwa demikian itulah sifat Kebo Ijo. Sejak aku
mengalami singgungan perasaan yang kadang-kadang hampir tak
tertahankan.”
“Ya,“ sahut prajurit itu, “mudah-mudahan
setelah ia berada dalam lingkungan yang lebih luas, dalam lingkungan
keprajuritan, sifat-sifatnya akan berkurang.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, meskipun terasa degup jantungnya masih belum tenang kembali.
“Kini, kami akan mohon diri tuan,“
berkata prajurit itu, “aku akan menyampaikan segala jawaban tuan atas
permintaan Tuan Puteri.”
“Baik,“ sahut Agni, “sampaikan kepadanya Aku sedang terlampau sibuk.”
Prajurit itu membungkuk hormat. Beberapa orang kawannya pun berbuat serupa, “Kami segera akan kembali.”
Ketika kuda-kuda para tamu itu berderap,
dada Mahisa Agni pun serasa berderap sekeras derap kuda itu. Hampir
ia berteriak memanggil mereka, dan menyatakan kesediaannya untuk pergi
bersama mereka ke Tumapel menemui Ken Dedes. Namun tiba-tiba
terdengar giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau perlahan-lahan,
“Tidak. Aku tidak akan datang menemuinya. Aku tidak akan dapat
merestui perkawinan itu. Guru sendiri telah berkata dalam kutuknya,
bahwa matilah mereka dengan keris, yang ikut serta melarikan anaknya.
Bukankah Tunggul Ametung termasuk pula diantaranya?” Namun Mahisa Agni
segera memejamkan matanya ketika timbul pertanyaan dalam hatinya,
“Apakah itu alasanmu satu-satunya?”
Mahisa Agni itu pun kemudian terkejut
ketika terasa pundaknya tersentuh tangan. Ketika ia berpaling
dilihatnya pamannya berdiri di belakangnya sambil tersenyum.
Dada Mahisa Agni berdesir. Kemudian tatapan wajahnya tertunduk menghunjam disela-sela jari kakinya.
“Kenapa kau tidak pergi bersama mereka. Bukankah gadis itu puteri gurumu?” bertanya pamannya.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kepalanya masih tunduk dalam-dalam dan hatinya bergolak semakin cepat.
Empu Gandring yang bijaksana melihat
kerusuhan hati kemanakannya. Karena itu ia tidak mendesaknya. Bahkan
kemudian ia berkata, “Sudahlah Agni. Kalau kau sudah berketetapan hati
tidak akan pergi baiklah. Tetapi perasaanmu jangan terbenam dalam
keragu-raguan. Nah, sekarang bagaimana dengan bendunganmu?”
Seperti orang yang terbangun dari
tidurnya, Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Tiba-tiba ia tersenyum
dan menjawab, “Semua persiapan telah selesai paman.”
“Bagus,“ sahut pamannya, “lalu apa yang akan dikerjakan hari ini?”
“Brunjung harus mulai dibawa ke jeram-jeram itu,“ jawab Agni
“Bagus,” sahut pamannya, “apakah sudah kau sediakan gerobag-gerobag yang akan membawanya?”
“Sudah paman.”
“Mari, biarlah aku mempunyai pekerjaan
disini, daripada hanya duduk termenung setiap hari. Apakah aku dapat
turut membawa berunjung-berunjung itu?”
“Ah,“ Mahisa Agni berdesah, “sebaiknya paman tidak usah terlalu bersusah payah.”
“Jangan beranggapan bahwa aku seorang
yang hanya pantas diberi makan dan minum saja Agni. Biarlah aku pergi
bersama-sama membawa brunjung itu ke jeram-jeram dipadang Karautan.”
“Apabila paman kehendaki, aku akan mempersilahkan.”
“Dari mana berunjung-berunjung itu dibawa?”
“Dari rumah Ki Buyut, paman. Di sana
semuanya telah siap, Ki Buyut sendiri akan membawa berunjung-berunjung
itu ke sana. Tinggal menanti aku yang masih harus mempersiapkan
beberapa pekerjaan disini.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya,
“Baik. Kalau kau belum sempat pergi, biarlah aku bersama mereka.
Mungkin aku dapat membantu mereka.”
Mahisa Agni pun kemudian menyadari
kata-kata itu. Ki Buyut belum menyadari bahaya yang akan dapat
mengancam mereka, karena Mahisa Agni belum mengatakannya. Sedang apa
yang didengar oleh Ki Buyut dari Jinan, Patalan dan Sinung Sari hanya
dianggapnya sebagai sebuah lelucon yang dahsyat. Dan kini pamannya
bersedia pergi bersama mereka.
Karena itu Mahisa Agni merasa bahwa
pamannya bersedia untuk melakukan sebagian dari pekerjaannya. Terutama
melindungi orang yang sedang mengantarkan peralatan bagi bendungan
yang akan mereka bangun.
Maka jawab Mahisa Agni, “Terima kasih
paman. Apabila paman bersedia berangkat bersama dengan Ki Buyut, maka
pekerjaan akan terbagi. Brunjung itu akan sampai di jeram-jeram itu,
sementara aku sempat menyelesaikan beberapa pekerjaan disini. Dengan
demikian kita tidak kehilangan waktu hanya untuk menunggu aku.”
Empu Gandring tersenyum, “Bukankah lebih baik begitu?”
Demikianlah maka pada hari itu juga
Mahisa Agni segera mempersiapkan, berunjung-berunjung untuk dibawa ke
Padang Karautan. Hampir semua gerobag yang ada di padukuhan itu dipakai
oleh Ki Buyut Panawijen untuk mengangkut brunjung-brunjung dan
berbagai macam peralatan yang lain.
Kepada mereka Mahisa Agni berpesan,
bahwa mereka harus menaruh banyak perhatian terhadap air, supaya mereka
tidak kehausan di jalan.
Maka pada pagi harinya, berangkatlah
iring-iringan gerobag dan sebagian orang-orang Panawijen, berjalan
menuju ke padang rumput Karautan. Diantara mereka terdapat Ki Buyut
Panawijen, Empu Gandring dan sebagai penunjuk jalan adalah Jinan,
Patalan dan Sinung Sari. Hampir segenap penduduk Panawijen melepas
iring-iringan itu dengan doa dan harapan, semoga mereka menemukan
kembali kesuburan dan kesejahteraan seperti yang pernah dialami.
Sementara itu Mahisa Agni dan beberapa
anak-anak muda yang lain masih sibuk menyiapkan patok-patok dan tali
temali dari ijuk untuk bendungan itu pula. Mereka mengharap, bahwa
apabila pekerjaan mereka itu telah siap, maka segera mereka akan dapat
pergi menyusul gerobag-gerobag yang berjalan jauh lebih lambat dari
berjalan kaki biasa. Apalagi Mahisa Agni dan kawan-kawannya kelak akan
dapat menyusul mereka berkuda. Patok-patok bambu dan tali temali itu
akan dapat dimasukkan ke dalam kreneng-kreneng yang besar dan
digantungkan pada sisi-sisi kuda sebelah menyebelah.
Dengan demikian maka pekerjaan itu
berjalan menurut tugas masing-masing. Dengan penuh kesungguhan dan
harapan, rakyat Panawijen bekerja keras untuk kesejahteraan mereka dan
anak cucu mereka.
Kalau kemudian malam tiba, maka Mahisa
Agni dengan kelelahan beristirahat di padepokan. Sebelum ia ingin
tidur, maka ia selalu berbaring-baring di pendapa atau duduk di
teritisan. Betapa sepinya padepokan itu kini. Sekali-sekali Mahisa
Agni masih juga sempat mengenangkan masa-masa lampaunya. Ketika ia
masih menghayati padepokan ini dengan segenap penghuninya. Penghuni
yang masing-masing mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya. Empu
Purwa, gurunya yang telah menuntunnya dalam olah kanuragan dan olah
kebatinan. Yang menuntunnya menanggapi kehadirannya di dunia namun
juga menanggapi cinta kasih Penciptanya. Kemudian Ken Dedes, gadis
yang aneh baginya. Dan seorang emban tua, ibunya.
Malam itu Mahisa Agni setelah
membersihkan dirinya, berjalan-jalan di pekarangan rumahnya. Dicobanya
untuk mengenal kembali setiap tanaman yang ada dipetamanan-petamanan.
Bunga-bunga yang pernah ditanamnya dan rerumputan yang pernah
dipeliharanya. Meskipun kini terkadang ia sama sekali tidak lagi
tertuju kepada tanam-tanaman itu, namun para cantrik agaknya telah
meneruskan pemeliharaan atas tanaman-tanaman itu, sehingga meskipun
telah sekian lama tidak disentuhnya, namun tanaman-tanaman itu masih
tetap terpelihara rapi.
Ketika ia melangkah terus, tiba-tiba ia
tertegun. Dilihatnya sebuah bale-bale bambu di teritisan. Bale-bale
yang dulu itu juga. Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Bukan saja
bale-bale bambu itu, tetapi dilihatnya pula sebatang seruling terselip
pada dinding rumah.
“Hem,“ Mahisa Agni menarik nafas. Tanpa
sesadarnya ia melangkah dan menjatuhkan dirinya dialas bale-bale itu.
Terdengar suaranya berderak dan terdengar pula nafas Mahisa Agni
terputus sesaat.
Namun kemudian anak muda itu menjulurkan tangannya, meraih serulingnya yang telah lama terselip di situ.
Dengan hati yang tersentuh-sentuh oleh
kepahitan perasaan, Mahisa Agni membersihkan serulingnya.
Perlahan-lahan diangkatnya seruling itu dan dilekatkan ke mulutnya.
Sesaat kemudian melontarkan sebuah lagu
menelusur sepi malam. Menjerit tinggi diantara desir dedaunan yang
digerakkan oleh angin malam yang lembut, seakan-akan ikut pula berlagu,
mendendangkan sebuah kidung yang sedih.
Para cantrik yang masih duduk-duduk di
belakang rumah terkejut mendengar suara seruling itu. Serentak mereka
mengangkat wajah-wajah mereka, namun segera wajah-wajah itu tertunduk
kembali. Lagu itu adalah lagu yang murung. Dan wajah-wajah para cantrik
itu pun menjadi murung pula.
Sedang di ruang samping, para endang
yang sedang bergurau pun tiba-tiba berhenti. Seperti dikejutkan oleh
suara hantu, mereka memasang telinga mereka tajam-tajam. Dan mereka pun
mendengar suara seruling itu.
“Hem,“ desis seorang endang.
“Kenapa,“ bertanya yang lain.
“Lagu itu.”
“Kenapa?”
Endang itu tidak menjawab. Tetapi
matanya menjadi sayu. Ia adalah endang yang selalu melayani Ken Dedes
pada saat gadis itu masih berada di padepokan. Dan suara seruling itu
telah menuntunnya ke dalam suatu kenangan atas gadis padepokan yang
bernama Ken Dedes itu.
Tetapi kawan-kawannya tidak sempat
bertanya kenapa ia menjadi sedih. Bahkan kawan-kawannya pun segera
menundukkan wajah-wajah mereka. Terasa sebuah kenangan yang pahit telah
menyentuh-nyentuh hati mereka pula.
Tetapi tiba-tiba suara seruling itu
menyentak berhenti, sehingga baik para cantrik maupun para endang
menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Namun mereka tidak tahu, bahwa
Mahisa Agni yang sedang meniup seruling itu telah dikejutkan oleh suara
langkah tergesa-gesa mendekatinya.
Langkah itu masih belum terlalu dekat.
Tetapi telinga Mahisa Agni yang tajam telah dapat mendengarnya. Langkah
itu adalah langkah seseorang yang berjalan ke arahnya.
Namun demikian suara serulingnya
berhenti, suara langkah itu pun berhenti pula. Betapapun Mahisa Agni
memasang pendengarannya baik-baik, tetapi ia kini sudah tidak mendengar
suara itu lagi.
Hati anak muda itu pun menjadi
berdebar-debar. Berbagai pertanyaan hinggap di dalam hatinya. Namun
Mahisa Agni yang cukup terlatih itu merasakan bahwa langkah itu
bukanlah langkah seseorang yang cukup mempunyai kecakapan untuk
menyembunyikan suara langkahnya. Dengan demikian Mahisa Agni menjadi
agak tenang. Mungkin langkah itu adalah langkah seorang cantrik atau
seorang endang yang ingin mengintipnya dan bersembunyi di balik sudut
rumah itu.
Tetapi ketika Mahisa Agni itu berdiri
dan berjalan menyusuri jalan-jalan dipetamanan, kembali ia terkejut.
Didengarnya suara memanggilnya perlahan-lahan, “Mahisa Agni.”
Agni berpaling. Dilihatnya sebuah
bayangan di dalam gelap berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Terasa dada
Mahisa Agni berdesir melihat bayangan itu. Dan sekali lagi terdengar
bayangan itu memanggilnya, “Agni.”
“Ibu,“ desis Mahisa Agni sambil melangkah tergesa-gesa ke arah bayangan yang ternyata adalah ibunya.
“Ya,” sahut ibunya, “aku ibumu.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Ibunya memerlukan
datang kepadanya. Pasti ada sesuatu yang penting.
“Marilah ibu,“ Agni mempersalahkan
ibunya masuk ke dalam rumah. Tetapi ibunya menjawab, “Aku adalah
seorang emban tua disini Agni.”
“Oh,“ desah Mahisa Agni, “lalu?”
“Bawalah aku ke pendapa. Aku datang bersama dengan dua orang prajurit Tumapel.”
“Kenapa ibu membawa prajurit-prajurit itu?”
“Aku tidak membawanya, tetapi kedua orang itu mendapat perintah untuk mengantarku.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kalau begitu marilah,“ ia mempersilahkan.
“Tidak sekarang Agni.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu maksud ibunya sehingga karena itu ia bertanya, “Kenapa ?”
Ibunya memandang wajah Mahisa Agni
dengan lembut. Terasa sinar keibuan memancar dari sepasang mata yang
redup diantara kerut kemerut wajah yang telah dijaluri oleh garis-garis
umur.
“Marilah, duduklah disini sebentar Agni,“ minta ibunya.
Sebelum Mahisa Agni menjawab, terasa tangan ibunya menarik lengannya, dan dituntunnya ke bale-bale di teritisan.
“Duduklah Agni.”
Seperti anak yang baru pandai berjalan di dalam bimbingan ibunya, Mahisa Agni sama sekali tidak mengelak.
Ketika kemudian Mahisa Agni terhenyak di atas bale-bale itu, maka ibunya pun segera duduk pula di sampingnya.
Sejenak mereka masih saling berdiam
diri. Ibunya sedang mencoba mengatur pernafasannya yang terengah-engah.
Baru saja ia menempuh perjalanan yang terlalu jauh bagi seorang
perempuan tua, meskipun di atas punggung kuda. Namun karena ia bukan
seorang penunggang kuda yang baik, maka terasa seluruh badannya menjadi
penat dan sakit. Jarak yang sama antara Tumapel dan Panawijen telah
ditempuh dalam waktu dua kali bahkan tiga kali lipat, dari pada waktu
yang diperlukan oleh mereka yang pandai berkuda dengan kecepatan yang
sedang saja. Karena itulah maka perempuan tua itu datang terlampau
malam di Panawijen.
Sedangkan Mahisa Agni, kini dirisaukan
oleh berbagai dugaan atas kedatangan ibunya. Namun segera ia
menghubungkan kedatangan ibunya itu dengan kedatangan serombongan
prajurit beberapa hari yang lalu. Karena itu, maka hatinya menjadi
berdebar-debar.
Baru sesaat kemudian terdengar ibunya
berkata, “Agni. Aku sangat penat. Tetapi aku ingin segera mendengar
beberapa persoalan dari mulutmu sendiri. Karena itu, biarlah kita
bicarakan dahulu beberapa persoalan tanpa didengar oleh para prajurit
yang mengantarkan aku itu, kemudian barulah aku dan prajurit-prajurit
itu kau jamu sekedarnya. untuk menghilangkan haus dan lapar.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, seperti sudah seharusnya saja ia berbuat demikian.
“Agni,“ berkata ibunya, “apakah beberapa hari yang lalu datang beberapa orang prajurit kemari?”
Kembali Mahisa Agni mengangguk. Debar di dadanya terasa semakin keras.
“Apakah mereka minta kepadamu supaya kau pergi ke Tumapel?”
Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk.
“Dan kau menolak.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Pertanyaan itu sudah diduganya. Namun terasa bahwa pertanyaan itu menyulitkannya.
“Agni. Kenapa kau menolak? Dua persoalan
telah diberikan kepadamu. Yang pertama, Akuwu Tunggul Ametung,
seorang Akuwu telah bersedia datang kepadamu untuk mewakili gurumu,
menerima lamarannya atas Ken Dedes, karena kau dianggap sebagai
kakaknya, meskipun bukan kakak kandungnya. Bukankah Ken Dedes sudah
tidak mempunyai keluarga seorang pun selain ayahnya itu? Yang kedua,
karena kau menolak, maka Ken Dedes ingin menemuimu. Dan kau menolak
pula. Apakah sebabnya Agni?”
Kini dada Mahisa Agni tidak lagi sekedar
berdebar-debar. Tetapi terasa dada itu kini bergelora. Sebenarnya ia
telah jemu mendengar pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Sejak ia
bertemu dengan Ken Arok dipadang Karautan, kemudian Mahendra yang
menemuinya atas perintah Witantra, seterusnya beberapa orang prajurit
datang lagi kepadanya atas perintah Ken Dedes. Dan kini, yang datang
itu adalah ibunya. Karena itu maka terasa dada Mahisa Agni menjadi
sesak karenanya. Sesak oleh berbagai persoalan yang diberati pula oleh
persoalan yang serupa, namun kini ibunyalah yang membebankannya.
Justru karena itu, karena
pertanyaan-pertanyaan yang terakhir itu meluncur dari mulut ibunya,
maka terasa bahwa sentuhan-sentuhan pada dinding hatinya terasa
menjadi semakin tajam.
Mahisa Agni yang menundukkan kepalanya,
tidak segera dapat menjawab. Nafasnya seakan-akan menjadi semakin
cepat mengalir, namun jantungnya serasa akan berhenti berdetak.
“Agni,” desak ibunya, “kenapa kau tidak
bersedia pergi ke Tumapel untuk menemui Ken Dedes? Gadis itu perlu
kedatanganmu. Ia sampai kini, merasa bahwa hidupnya terlalu jauh
terpencil dari keluarganya. Ketika ia mendengar bahwa ayahnya pergi
dari Panawijen, ia menjadi pingsan. Satu-satunya harapan yang akan
dapat menenteramkan hatinya adalah kau Agni. Kalau kau juga menolak,
maka gadis itu akan berputus asa. Ia akan merasa hidupnya terlalu
sepi. Sendiri dalam kesibukan hidup sehari-hari.”
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.
Kata-kata itu seperti mengetuk-ngetuk otaknya. Bahkan menusuk-nusuk
seakan-akan sedang mengorek dinding otaknya untuk membuat sebuah lubang
yang dalam. Alangkah sakitnya.
“Kau dengar Agni?”
Suara itu bagaikan derak gunung yang meledak, menggelegar di atas kepalanya.
Mahisa Agni menjadi pening,
perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya. Tetapi ia tidak memandang wajah
ibunya. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh menembus kelamnya
malam, hinggap pada sinar-sinar delupak yang mengintip dari
lubang-lubang dinding dapur.
“Bagaimana Agni?”
“Tidak,“ tiba-tiba suara Agni menyentak, sehingga ibunya terkejut.
“Jangan membentak,” sahut ibunya.
“Aku tidak akan pergi. Ia tidak akan
menjadi kesepian. Gadis itu akan menjadi seorang permaisuri. Hidupnya
akan dikelilingi oleh dayang-dayang dan emban. Semua kata-katanya akan
terjadi, dan semua keinginannya akan terpenuhi. Apa gunanya aku lagi.
Apa?”
“Agni,“ potong ibunya, “tetapi kau tidak memandang ke dalam hatinya. Kau hanya melihat tata lahiriahnya Agni.”
“Kalau hatinya merasa kesepian, kalau
hatinya tidak tertimbuni oleh keinginan-keinginan lahiriah, maka apakah
ia akan menerima lamaran Akuwu sebelum ia berbicara dengan siapa pun?
Sebelum ia berbicara dengan ayahnya, atau dengan aku yang dianggap
dapat mewakili ayahnya?”
“Agni,“ potong ibunya semakin keras. Sehingga suara Agni itu pun terputus pula.
“Kau tidak dapat mengerti perasaan hati
seorang perempuan. Ken Dedes sudah cukup mengalami derita batin yang
hampir tak tertanggungkannya. Matinya Wiraprana, hilangnya Empu Purwa
dan kini kau masih akan menyiksanya dengan berbagai tuntutan yang tak
masuk akal. Apa yang dihadapi Ken Dedes saat itu bukanlah keadaan yang
wajar. Tetapi ia tersekap dalam satu ruang yang sempit dengan himpitan
perasaan yang tajam. Tiba-tiba ia melihat uluran tangan dari seorang
laki-laki yang dianggapnya sangat baik kepadanya. Laki-laki yang telah
membebaskannya dari Kuda Sempana yang sangat dibencinya. Laki-laki
yang dapat memberinya harapan bagi masa-masa depannya sepeninggal
Wiraprana. Laki-laki yang berusaha menghiburnya pada waktu hatinya
sedang pedih. Apalagi Agni, Apalagi? Tetapi laki-laki itu tidak akan
berbuat sekehendak hatinya dan liar. Ia masih ingat tata cara yang
meskipun tidak sepenuhnya, tetapi sejauh-jauh yang dapat dilakukan. Ia
bersedia datang kepadamu. Dan laki-laki itu adalah seorang Akuwu.
Nah, apa katamu?”
“Sejak semula aku tidak mencampuri
urusannya dengan Akuwu itu. Akuwu yang telah melarikannya, melindungi
Kuda Sempana, merampas anak orang. Aku telah mencoba mempertahankannya,
bahkan nyawaku hampir diambilnya. Kini, peristiwa itu sudah
dilupakan. Kini mereka menemukan jalan sendiri yang akan
membahagiakan, sedang luka di punggungku masih berbekas. Bahkan
ayahnya sendiri, Empu Purwa telah mengutuknya. Betapa kecewa hati
orang tua itu? Betapa? Betapa kecewa pula hatiku? Orang memandang
setiap persoalan dari kepentingan sendiri.”
“Agni?“ potong ibunya.
Tetapi Mahisa Agni masih berkata terus,
“Apa yang aku peroleh dari setiap usahaku mempertahankannya dari Kuda
Sempana? Apakah yang aku lakukan tidak senilai apa yang dilakukan oleh
Akuwu itu. Justru Akuwu yang melindungi perbuatan hina itu pula?”
“Agni, Apakah kau sedang menimbang jasa? He?“
Kini suara Agni benar-benar terpotong.
Dan ibunya berkata terus, “Jadi kau ingin mendapatkan imbalan dari
jasamu itu? Agni. Aku adalah seorang tua. Aku tahu apa yang tersimpan
di dadamu. Ternyata kau sama sekali tidak ikhlas melepaskan Ken Dedes.
Nah, katakanlah kepadaku Agni. Apakah kau masih menghendakinya.
Apakah kau masih menyimpan keinginan dalam dadamu, bahwa suatu ketika
kau sendiri akan mengawininya. Kalau benar-benar demikian, aku, ibumu
akan sanggup memenuhi keinginan itu. Aku berkewajiban Agni. Kalau
demikian, besok aku akan kembali ke Tumapel. Aku akan membunuh Tunggul
Ametung. Kau tidak percaya? Aku yakin bahwa aku akan dapat
melakukannya. Aku dapat meracuninya. Kalau Akuwu itu sudah terbunuh,
kemana larinya gadis itu? Ia akan kembali ke padepokan ini, meskipun
aku akan digantung karena pembunuhan itu. Nah, setelah ia berada di
padepokan ini seorang diri, kau dapat berbuat apa saja atasnya. Kau
dapat berbuat apa saja sekehendak hatimu. Tanpa memikirkan perasaan
gadis itu. Tanpa menimbang apakah itu dapat membahagiakannya atau
menghancurkannya.”
“Cukup. Cukup,” suara Agni menggelepar
menggetarkan udara malam yang sepi. Beberapa orang cantrik dan emban
mendengar suara itu. Namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka
tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan mereka menyangka bahwa Agni sedang
marah kepada pembantu-pembantunya yang sedang menyiapkan bendungan.
Suara ibunya terputus karenanya. Sesaat
malam dicengkam oleh kesepian yang menggelisahkan. Sepi, namun dada
Mahisa Agni sedang dibelit oleh kegelisahan yang dahsyat.
Yang terdengar kemudian adalah suara
angin yang berdesir menyentuh dedaunan. Kelopak dan mahkota-mahkota
bunga bergerak-gerak seperti sedang menggelengkan kepalanya melihat
betapa Mahisa Agni menahan gelora di dadanya.
Dengan serta merta anak muda itu berdiri. Tatapan matanya masih menyangkut dikejauhan, menembus gelapnya malam.
“Agni,“ bisik ibunya.
Tetapi Mahisa Agni tidak berpaling. Tetapi ia menjawab, “Ibu telah mengorek luka di hatiku.”
“Jadi apakah maksudmu sebenarnya?”
“Aku sudah tidak mempunyai sangkut paut
lagi dengan Ken Dedes. Aku kini sedang sibuk dengan kewajibanku
sendiri. Menyelesaikan bendungan itu atas perintah Empu Purwa untuk
mengganti bendungan yang pecah. Aku tidak ada waktu untuk
mengurusinya. Bagiku, rakyat Panawijen jauh lebih penting daripada Ken
Dedes itu seorang diri.”
“Jangan mengada-ada Agni. Bendungan itu
adalah pekerjaan yang memerlukan waktu. Sedang Ken Dedes hanya
memerlukan kau tidak lebih dari sehari saja. Pagi-pagi kau dapat
berangkat berkuda ke Tumapel untuk menemuinya, maka dimalam harinya kau
sudah berada di Panawijen kembali.”
“Tak ada waktu.”
“Jangan menunggu Akuwu marah. Akuwu
masih dapat menahan dirinya ketika ia mendengar bahwa utusan Ken Dedes
kau tolak, karena Ken Dedes masih akan berusaha memanggilmu. Dan aku
telah menyanggupkan diriku, karena aku adalah ibumu. Aku menyangka
bahwa betapapun kecilnya, aku masih mempunyai pengaruh atas anakku.
Tetapi ternyata aku keliru. Aku sama sekali sudah tidak memiliki
apapun lagi. Dan itu adalah salahku, karena aku memisahkan kau sejak
kanak-kanak. Adalah wajar kalau kau sekarang merasa, bahwa ibumu tidak
berarti lagi bagimu.”
Kembali terasa dada Mahisa Agni itu
bergelora. Betapa sakitnya ia mendengar kata-kata ibunya. Betapa
pedihnya. Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan perasaan yang
menghimpit jantungnya.
Tetapi Mahisa Agni itu terkejut ketika
ia mendengar suara isak di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
ibunya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan ujung kainnya, orang
tua itu menyeka matanya yang basah.
Dada Mahisa Agni berdesir. Tanpa
dikehendakinya sendiri, tiba-tiba ia terkenang kepada seorang perempuan
tua yang menangisi anaknya yang hampir mati dibunuhnya. Perempuan tua
itu adalah ibu Pasik. Meskipun perempuan itu pernah mengalami
perlakuan yang kasar dari anaknya, namun ketika anaknya terluka, maka
anak itu ditangisinya. “Alangkah jauh bedanya. Kasih seorang ibu
dibandingkan dengan kasih seorang anak,“ katanya di dalam hati. Dan
kini ia melihat ibunya itu menangis. Menangis karena sikapnya yang
kasar. Menangis karena ia menolak nasehatnya.
Sesaat Mahisa Agni menjadi ragu-ragu.
Dikenangnya kembali apa saja yang diucapkan oleh ibunya. Dikatakannya
bahwa ia tidak dapat mengerti perasaan seorang perempuan.
“Hem,“ Mahisa Agni berdesah di dalam
hati, “kenapa hanya laki-laki saja yang harus mengerti perasaan
perempuan. Kenapa tidak sebaliknya pula? Aku harus mencoba mengerti
betapa hati Ken Dedes akan menjadi pedih apabila aku tidak memenuhi
permintaannya. Tetapi kenapa Ken Dedes tidak mau mengerti, betapa
hatiku lebih-lebih akan menjadi parah. Kalau aku datang lagi
kepadanya.”
Tetapi ketika sekali lagi ia memandangi
wajah ibunya yang tunduk, maka hatinya menjadi luluh. Tiba-tiba Mahisa
Agni itu pun kembali menghenyakkan dirinya di samping ibunya. Dengan
suara yang terpatah-patah ia berkata, “Jangan menangis ibu.”
Ibunya menggelengkan kepalanya, “Tidak
Agni. Aku mencoba untuk tidak menangis. Aku akan mencoba mengerti apa
yang baru saja terjadi. Aku tidak menyalahkanmu.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.
Kini ia tidak dapat lagi melawan perasaan seorang anak yang ingin
mencoba berbakti kepada ibunya. Karena itu katanya, “Ibu, aku akan
memenuhi permintaan ibu.”
Ibunya terkejut mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya sambil bertanya, “Bagaimana?”
“Aku akan pergi ke Tumapel, semata-mata karena permintaan ibu.”
“Agni. Jadi kau bersedia?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya
“Oh,“ ibunya berdesah. Sekali lagi ia
menundukkan dan terdengar ia berguman, “Aku tahu betapa hatimu seperti
tergores sembilu. Namun Agni, pengorbanan akan bermanfaat bagi gadis
yang malang itu.”
Mahisa Agni tidak menjawab.
Kembali untuk sesaat keduanya saling
berdiam diri. Kembali terdengar di telinga mereka suara angin yang
berdesir menyentuh dedaunan.
Baru sejenak kemudian terdengar ibu
Mahisa Agni itu berkata, “Agni, di pendapa ada tamu. Prajurit-prajurit
dari Tumapel yang mengantarkan aku. Apakah kau akan menemui mereka?”
Keduanya pun kemudian melangkah ke
Pendapa untuk menemui pengantar emban tua itu. Ketika Mahisa Agni telah
sampai di pendapa dan bercakap-cakap dengan kedua prajurit itu, maka
emban tua itu segera pergi kebelakang. Alangkah terperanjatnya para
endang dan cantrik melihat kehadirannya. Beberapa endang memeluknya
sambil menangis, dan yang lain lagi bertanya tidak ada henti-hentinya.
“Sekarang,“ berkata emban tua itu, “di pendapa ada tamu. Apakah kalian masih bersedia merebus air dan menanak nasi?”
“Tentu. Tentu,“ sahut para endang. Dan
segera mereka pun menyalakan api di dapur. Merebus air dan menanak
nasi. Sementara itu, para endang dan cantrik masih saja sibuk dengan
berbagai pertanyaan. Mereka ingin mendengar ceritera tentang Ken
Dedes. Namun sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ibu Mahisa
Agni itu selalu saja dibayangi oleh perasaan sendiri, “Alangkah
kejamnya aku sebagai seorang ibu terhadap anak laki-lakiku. Aku telah
menyiksa perasaannya dan aku telah menyakiti hatinya.”
Tetapi ibu Mahisa Agni itu pun tidak
sampai hati melihat Ken Dedes merasa hidupnya menjadi terlampau pedih.
Orang tua itu merasa sangat kasihan kepada Ken Dedes, yang telah
kehilangan laki-laki tempat ia menggantungkan kasihnya, kemudian
ayahnya telah meninggalkannya pula.
Malam itu, emban tua pemomong Ken Dedes
beserta dua orang prajurit pengantarnya bermalam di padepokan. Kedua
prajurit itu merasa sangat heran, kenapa tiba-tiba saja Mahisa Agni
bersedia pergi ke Tumapel. Prajurit itu telah mendengar ceritera
kawan-kawannya, bahkan Kebo Ijo telah menyebarkan berita, bahwa Mahisa
Agni sedang bermanja-manja, menolak permintaan Ken Dedes untuk
menemuinya.
Tetapi kedua prajurit itu tidak mau
berpening kepala memikirkan persoalan yang tak diketahuinya. Mereka
hanya menyimpan keheranannya itu di dalam hatinya. Kemudian karena
lelah mereka segera jatuh tertidur setelah mendapat jamuan makan dan
minum.
Pagi-pagi benar Mahisa Agni telah
bangun. Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, dengan
tergesa-gesa Mahisa Agni menemui beberapa orang kawan-kawannya, ia
minta ijin untuk dua hari meninggalkan Panawijen.
“Kau akan pergi kemana Agni?” bertanya salah seorangnya kawannya.
“Aku harus pergi ke Tumapel,“ jawab Agni.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku mempunyai keperluan keluarga yang cukup penting.”
“Tetapi kau akan segera kembali?”
“Tentu. Hanya dua hari satu malam.”
Kawan-kawannya tidak dapat mencegahnya.
Dan pagi itu pula Mahisa Agni pergi ke Tumapel bersama ibunya dan
kedua orang prajurit pengantarnya.
Alangkah pepat hati Mahisa Agni di
sepanjang jalan. Ketika terik matahari menyengat tubuhnya, terasa
betapa panasnya. Tetapi panas matahari itu masih belum sepanas hati di
dadanya.
Ibunya yang dapat mengerti sepenuhnya,
betapa pedihnya hati anak laki-lakinya itu, hampir tidak berkata
sepatah kata pun di sepanjang perjalanan. Kedua prajurit itu pun
hampir berdiam diri pula. Hanya sekali-sekali ibu Mahisa Agni itu
menawarkan minum atau makanan yang mereka bawa sebagai bekal di
perjalanan. Namun setiap kali Mahisa Agni hanya menggelengkan
kepalanya sambil menjawab, “Terima kasih bibi.”
Tetapi berbeda dengan kedua prajurit
yang mengantarkan itu. Dengan serta merta mereka memungut jenang alot
yang disodorkan kepada mereka. Dua tiga potong sekaligus.
“Alangkah enaknya,“ gumam mereka.
“Jenang itu dibuat oleh para endang di padepokan,“ berkata emban tua itu.
“Kami tidak melihat para endang itu bibi,“ berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Mereka bersembunyi di belakang. Mereka
malu menampakkan dirinya dihadapan para prajurit-prajurit muda yang
tampan seperti kalian.”
Kedua prajurit itu tertawa. Namun mulut
mereka masih saja bergerak-gerak mengunyah jenang alot dari Panawijen.
Emban tua itu tersenyum pula, meskipun hanya bibirnya bukan hatinya.
Sebab ketika ia memandang wajah Mahisa Agni dengan sudut matanya,
dilihatnya wajah anak muda itu masih juga tegang. Sendau gurau itu sama
sekali tidak dapat mempengaruhi kepahitan perasaannya. Karena itu
emban tua itu tidak bergurau lagi. Kini bahkan ia ikut merasakan
sedalamnya betapa risaunya hati anaknya.
Perjalanan itu terasa terlampau lambat
bagi Mahisa Agni. Kalau ia pergi seorang diri, maka jarak yang telah
ditempuhnya akan berlipat tiga empat kali dari jarak yang dilampauinya
kini. Tetapi ia tidak dapat memacu kudanya. Ibunya bukanlah seorang
penunggang kuda yang baik.
Meskipun perjalanan itu terasa terlampau
lambat, namun setapak demi setapak mereka maju juga. Tumapel menjadi
semakin lama semakin dekat.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar ketika kuda-kuda itu mulai menginjakkan kaki-kakinya di
atas jalan-jalan kota. Gemeretakan kakinya di atas batu terasa seperti
gemeretak jantung di dalam dada Mahisa Agni menghentak-hentak tiada
hentinya. Betapa ramainya jalan-jalan kota itu, namun terasa di hati
Mahisa Agni, alangkah sunyi hidupnya. Sekali-sekali ia berpaling ke
arah perempuan tua yang duduk di atas punggung kuda berpegangan erat
pada kendali. Sekali-sekali ia mencoba untuk memandangi rumah-rumah
yang berserakan di pinggir jalan. Namun semuanya hampir tak menyentuh
perasaannya yang kosong.
Ketika Mahisa Agni menengadahkan
wajahnya, dilihatnya langit sudah menjadi suram. Matahari telah
terlampau rendah untuk dapat menyentuh ujung pepohonan dengan sinarnya,
meskipun tepi-tepi mega di langit masih juga diwarnai oleh cahayanya
yang kemerah-merahan.
Dada Mahisa Agni berdentang semakin
keras ketika di hadapannya kemudian terbentang tanah lapang yang luas.
Alun-alun Tumapel. Di sisi Alun-alun itulah berdiri dengan megahnya
istana Tumapel. Istana Tunggul Ametung. Dan di dalam istana itulah ia
harus menjumpai Ken Dedes.
Debar hati Mahisa Agni hampir tak dapat
dikuasainya ketika mereka berhenti di samping regol alun-alun.
Satu-satu mereka berloncatan turun untuk kemudian menuntun kuda
mereka, memasuki regol halaman belakang istana Tumapel.
Seorang penjaga segera menyapa mereka,
tetapi ketika mereka melihat kedua orang kawannya, maka mereka berempat
pun segera dipersilahkan masuk.
Mereka kemudian berhenti di regol dalam,
halaman belakang istana. Prajurit itu pun kemudian berkata kepada
Mahisa Agni, “Tuan tunggu disini. Kami, beserta bibi emban, akan masuk
untuk berusaha menghadap Akuwu, mohon ijin untuk tuan, sebelum tuan
menemui Tuan puteri.”
Wajah Mahisa Agni segera menjadi merah.
Tiba-tiba ia menyahut dengan tegangnya, “Aku datang bukan atas
kehendakku sendiri. Kenapa aku harus menunggu ijin untuk itu?”
Kedua prajurit itu terkejut mendengar
kata-kata itu sehingga mereka menjadi saling berpandangan. Namun emban
tua itulah yang kemudian menjawab, “Adalah menjadi adat disini, Agni.
Adat istana, bahwa setiap orang pasti mendapat ijin dahulu untuk
bertemu dengan keluarga Akuwu.”
“Aku tidak hendak bertemu dengan keluarga Akuwu. Tetapi Ken Dedes lah yang memanggil aku untuk menemuinya.”
“Ya. Demikianlah,“ sahut emban tua itu,
“maksudku, untuk menemui orang-orang yang dianggap penting, kita
memerlukan ijin lebih dahulu sesuai dengan tingkat orang yang ingin
kita temui. Kadang-kadang ijin para penjaga sudah cukup kuat bagi
kita, apabila kita ingin menemui keluarga kita yang tinggal di dalam
istana apabila keluarga kita itu seorang pelayan atau seorang juru
masak. Tetapi kita memerlukan ijin seorang pimpinan peronda dari
pengawal istana apabila kita ingin menemui seorang pejabat
kepujanggaan atau yang setingkat dengan itu. Kini meskipun atas
panggilannya, namun kau ingin menemui seorang bakal permaisuri Akuwu,
sehingga kau memerlukan ijin dari orang yang paling berkuasa di dalam
istana ini. Orang itu adalah Akuwu Tunggul Ametung.”
“Bagaimana kalau aku tidak diijinkan
masuk? Apakah dengan demikian aku masih tetap seorang yang tidak tahu
perasaan perempuan? Apakah aku masih orang yang tidak mempunyai belas
kasihan dan masih seorang yang dibakar oleh nafsunya sendiri?”
“Tidak, tidak Agni,“ jawab ibunya
tergesa-gesa, “jangan berpikir terlampau jauh. Ijin bagimu seakan
hanyalah suatu sikap resmi dari Akuwu, supaya kau tidak melanggar adat
dan tata cara utama. Kedatanganmu sebenarnya memang sudah lama
ditunggu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Terasa sesuatu menekan perasaannya. Ia datang bukan atas kehendaknya,
bahkan ia datang dengan perasaan yang sangat berat. Kini ia masih harus
menunggu diluar regol dalam untuk menunggu ijin baginya. Alangkah
kecil dirinya. Seolah-olah ia tidak lebih dari segumpal tanah liat
yang tidak dapat menolak untuk dibentuk menjadi apapun juga. Ia harus
datang, kemudian dengan rendah hati ia harus menunggu ijin masuk. Ia
baru dapat masuk kalau ijin itu telah diberikan kepadanya dari orang
yang turut berkepentingan atas kehadirannya.
“Mungkin Akuwu akan mempunyai banyak
syarat untuk mengijinkan aku masuk,“ katanya di dalam hati, “mungkin
aku harus melepaskan beberapa kepentingan rakyat Panawijen, atau
mungkin banyak hal-hal yang tidak dapat aku penuhi,“ Mahisa Agni
menggeretakkan giginya, kemudian suara di hatinya itu berkata lagi,
“Kalau demikian, kalau banyak kesulitan yang aku hadapi, lebih baik
aku kembali ke Panawijen.”
Mahisa Agni itu terkejut ketika ibunya,
emban tua itu berkata, “Nah, Agni. Tunggulah disini. Jangan terlalu
dipengaruhi oleh berbagai prasangka. Aku akan segera kembali.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya
sambil menjawab singkat, “Silahkan. Aku akan menunggu. Tetapi tidak
terlalu lama. Kalau aku nanti menjadi jemu menunggu, maka aku akan
kembali ke Panawijen.”
Ibu Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantahnya, namun ia berkata, “Aku akan
berusaha secepatnya kembali.”
Kemudian bersama kedua prajurit itu Ibu
Mahisa Agni berjalan memasuki halaman, langsung ke serambi belakang.
Meskipun tidak terucapkan, namun kedua orang prajurit kawan
seperjalanan ibu Mahisa Agni itu, menjadi heran melihat sikap Mahisa
Agni. Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi atasnya? Tetapi kedua
prajurit itu saling berdiam diri.
Di depan regol Mahisa Agni menunggu
kedua orang prajurit beserta ibunya dengan gelisah. Sekali ia berdiri
dan berjalan mondar mandir, namun kemudian ia menghenyakkan dirinya,
duduk dialas batu kerikil yang berserak-serak di halaman.
Ia berusaha untuk menenangkan hatinya.
Namun justru semakin lama ia menunggu, maka debar jantungnya
seakan-akan menjadi semakin cepat. Berkali-kali ia berdiri, dan
mencoba melihat ke arah ibunya menghilang. Namun emban tua itu masih
belum juga menampakkan dirinya. Bahkan semakin lama malam menjadi
semakin gelap, sehingga karena itulah maka Mahisa Agni menjadi semakin
gelisah karenanya.
“Terlalu,“ gumamnya kepada diri sendiri,
“aku seakan-akan dijadikan barang mainan yang menyenangkan.
Dipanggilnya aku ke Tumapel, kemudian dibiarkan aku disini menjadi
makanan nyamuk. Hem.”
Di sana-sini Mahisa Agni kemudian
melihat beberapa lampu telah dinyalakan. Di pinggir-pinggir halaman dan
di regol. Sehingga karena itulah maka Mahisa Agni itu seakan-akan
menjadi tidak dapat bersabar lagi. Tenaganya akan lebih bermanfaat
apabila ia berada di Panawijen, membantu membuat tambang-tambang ijuk
dan patok-patok bambu yang akan sangat berguna bagi bendungannya,
daripada duduk sambil menggaruk-garuk punggungnya di depan regol istana
Tumapel.
Tiba-tiba kejemuan Mahisa Agni memuncak.
Dengan serta merta ia meloncat berdiri dan berdesis, “Lebih baik aku
kembali ke Panawijen.”
Namun sebelum Mahisa Agni melangkah
meninggalkan regol itu, tiba-tiba ia tertegun. Dilihatnya dua orang
prajurit datang kepadanya.
“Hem,“ geram Mahisa Agni, “baru sekarang mereka datang sesudah membiarkan aku duduk disini hampir satu senja.”
Tetapi Mahisa Agni itu menjadi sangat
kecewa. Ternyata bayangan dua orang prajurit yang mendekat itu, setelah
menjadi semakin dekat, sama sekali bukan kedua prajurit kawan ibunya.
Sehingga dengan demikian kejemuan Mahisa Agni kembali merayapi
kepalanya.
Ternyata kedua prajurit itu pun terkejut
pula melihat Mahisa Agni berdiri di samping regol. Salah seorang
daripadanya segera bertanya, “Siapa kau?”
Mahisa Agni memandangi keduanya dengan
saksama. “Hem,“ geramnya di dalam hati. Namun ia menjawab sambil
mengangguk hormat, “Aku Mahisa Agni dari Panawijen.”
Kedua prajurit itu berhenti beberapa langkah dari Mahisa Agni. Dicobanya untuk mengenalnya di dalam keremangan malam.
“Nyalakan lampu itu,“ berkata salah seorang dari padanya.
Yang lain pun kemudian melangkah
mendekati lampu yang tersangkut di regol. Agaknya mereka memang sedang
bertugas menyalakan lampu-lampu. Dengan batu titikan dan dimik
belerang, maka prajurit itu membuat api. Ketika lampu itu telah
menyala, maka cahayanya yang kemerah-merahan langsung memancar dan
jatuh di atas wajah-wajah ketiga laki-laki yang berdiri di depan regol
itu.
“Hem,“ geram salah seorang dari kedua prajurit itu, “aku belum pernah mengenalmu.”
Mahisa Agni yang sedang dibakar oleh kejengkelannya terhadap kedua prajurit dan ibunya, menjawab, “Aku juga belum mengenalmu.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan.
Jawaban itu memang aneh bagi mereka, sehingga kemudian salah seorang
dari kedua prajurit itu berkata, “Kenapa kau berada disini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Pertanyaan itu memang sudah diduganya. Maka jawabnya, “Aku menunggu
disini, menunggu ijin untuk menemui Ken Dedes.”
“Ken Dedes, siapa?”
“Ken Dedes yang menurut pendengaranku akan di angkat menjadi Permaisuri Tunggul Ametung.”
“Tuanku Akuwu Tunggul Ametung maksudmu?”
“Ya. Akuwu Tunggul Ametung.”
Kembali kedua prajurit itu saling
berpandangan. Mereka memang pernah mendengar dari para pemimpin mereka
bahwa Akuwu akan mengambil seorang permaisuri. Dan permaisuri itu kini
telah berada di dalam istana. Bahkan banyaklah yang mereka dengar
desas-desus tentang puteri bakal permaisuri itu. Namun demikian, mereka
tidak dapat mengerti bahwa seorang yang akan menemuinya datang
seorang diri dan berdiri saja di muka regol halaman dalam. Kenapa ia
menunggu di tempat itu?”
Karena itu maka kedua prajurit itu pun bertanya pula. “Apakah keperluanmu bertemu dengan puteri.”
“Aku tidak tahu. Bukan aku yang berkepentingan, tetapi Ken Dedes.”
Jawaban Mahisa Agni itu pun terdengar
terlampau aneh bagi kedua prajurit itu. Apalagi Mahisa Agni yang sedang
berhati pepat itu, tampaknya menjawab pertanyaan mereka dengan
jawaban-jawaban yang tidak mereka mengerti, bahkan hampir seperti acuh
tak acuh saja.
“Apakah kau salah seorang dari keluarganya?”
Mahisa Agni menjadi semakin jengkel
mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Ia datang karena Ken Dedes
memerlukannya. Kini ia terpaksa menunggu dan mendapat
pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tak menyenangkannya. Dalam
keadaan itu, Mahisa Agni benar-benar kehilangan kesabarannya. Ia dapat
berlapang dada menghadapi lawan dalam perkelahian, namun menghadapi
keadaan ini, dimana hatinya sendiri seakan-akan tersayat-sayat, maka
sikapnya pun menjadi jauh berbeda dengan sikapnya sehari-hari.
“Apakah kau keluarganya?“ terdengar prajurit itu mendesak.
Mahisa Agni mengangguk, jawabnya, “Ya.”
“Apakah hubungan keluarga itu? Paman, kakak atau apa?”
“Kakak. Aku adalah kakaknya,” sahut
Mahisa Agni. Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya. Mungkin anak ini
memang kakaknya, sebab menurut pendengarannya Ken Dedes itu pun
datang dari Panawijen. Tetapi mungkin juga bukan. Mungkin orang yang
mengaku kakak calon permaisuri ini, sekedar orang yang ingin mendapat
keuntungan saja dari padanya. Maka kembali terdengar pertanyaan
prajurit itu, “Apakah kau kakak kandungnya?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia ragu-ragu untuk menjawab.
Kalau pertanyaan itu diiakan, maka
jangan-jangan Ken Dedes telah mengatakan, bahwa ia adalah anak tunggal
Empu Purwa. Tetapi Mahisa Agni yang sedang dirisaukan oleh berbagai
persoalan itu tidak mau berpening-pening kepala memikirkannya, maka
jawabnya, “Bukan, aku bukan kakak kandungnya. Aku adalah kakak
angkatnya.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi di dalam kepala mereka, merayaplah kecurigaan atas
anak muda yang mengaku kakak bakal Permaisuri itu. Karena itu, maka
salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kau tidak menunggu
disini. Mari, ikutlah kami ke gardu regol pertama.”
Mahisa Agni menjadi makin tidak senang. Katanya, “Aku telah melewati regol pertama itu.”
“Kenapa kau dapat masuk sebelum kau mendapatkan ijin? Kenapa baru disini kau menunggu ijin itu?”
“Aku tidak tahu. Aku datang berempat, dua orang prajurit, seorang emban tua dan aku.”
“Siapakah nama prajurit-prajurit itu?”
Kembali Mahisa Agni tidak dapat
menjawab. Kemarin ia mendengar juga nama itu di sebut-sebut oleh sesama
mereka. Tetapi sejak pertama, Agni sudah diliputi oleh kegelapan
pikiran, maka ia sama sekali tak memperhatikan nama kedua prajurit itu.
“Siapa?” desak mereka.
Mahisa Agni menggeleng, “Aku tak tahu nama-nama mereka.”
“Hem,“ prajurit itu menarik nafas. Kemudian mereka berkata pula. “Marilah ikut aku ke gardu pertama.”
“Aku sudah melampauinya. Kuda-kuda kami berada di dalam regol di samping gardu itu.”
“Ikut kami,“ berkata prajurit itu pula, “nanti kami akan menyelesaikan ijin itu.”
“Bukan salahku aku berada disini. Kedua
prajurit yang membawa aku seharusnya tahu, bahwa aku harus menunggu di
regol pertama, tetapi kenapa mereka membawa aku kemari?”
Kedua prajurit itu menjadi ragu-ragu.
Meskipun mereka bercuriga namun jawaban Mahisa Agni yang jujur itu
hampir meyakinkan mereka. Namun kedua prajurit itu menjadi kurang
senang atas sikap yang seolah-olah acuh tak acuh. Sebab mereka sama
sekali tidak tahu, bahwa perasaan Mahisa Agni benar-benar dirisaukan
oleh keadaan dirinya sendiri.
Tetapi kedua prajurit yang sedang
bertugas itu tidak dapat berbuat dalam kebimbangan. Bagi mereka lebih
baik ditempuh jalan yang paling dapat dipertanggung jawabkan. Karena
itu maka berkata salah seorang dari mereka, “Aku terpaksa membawamu ke
gardu pertama Ki Sanak. Aku sama sekali tidak berkeberatan atas
kehadiranmu. Tetapi sebaiknya kau tidak membuat kami ragu-ragu.”
Barulah kini Mahisa Agni menyadari,
bahwa ia berhadapan dengan dua orang yang sedang bertugas. Ia tidak
dapat menyalahkan mereka, sebab apa yang dapat dikatakannya tentang
dirinya sama sekali kurang meyakinkan kedua prajurit yang sedang
bertugas itu. Apabila kemudian kejengkelan Mahisa Agni itu memuncak,
maka kejengkelannya itu ditujukannya kepada kedua prajurit kawan
seperjalanan ibunya. Seharusnya mereka tahu apa yang harus
dilakukannya. Namun Mahisa Agni yang sedang sibuk dengan perasaannya
sendiri itu tidak mau membuat persoalan-persoalan baru. Baginya lebih
baik menghindarkan diri dari segala persoalan yang dapat menambah
kesulitan-kesulitannya. Karena itulah maka kemudian Mahisa Agni
berkata, “Baik. Aku akan ikut dengan kalian. Tetapi aku tidak akan
menunggu di gardu pertama. Aku sudah terlalu lama menunggu disini.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Lebih baik bagiku kembali ke Panawijen.”
“Bukan maksud kami mengusir kau Ki
Sanak. Tetapi kami ingin meyakinkan diri kami sendiri, bahwa kau
benar-benar berhak untuk masuk ke istana.”
“Terima kasih,“ jawab Agni, bahkan
kemudian di tambahkannya, “aku terpaksa kembali ke Panawijen. Tolong
sampaikan nanti kepada kedua prajurit dan emban tua yang datang bersama
mereka itu, bahwa aku tidak sabar menunggu.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Marilah ke gardu pertama.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia berjalan saja di samping kedua prajurit yang sedang bertugas itu.
(Bersambung ke jilid 16).
No comments:
Write comments