
“Kenapa kau kecewa,“ bertanya Mahisa Agni.
“Aku ingin mengembalikan kepadamu untuk
menebus kebodohanku. Aku sama sekali tidak mencoba menghalangi
perbuatan Tunggul Ametung dan Kuda Sempana, pada saat mereka mengambil
gadis itu. Ternyata sikap Witantra jauh lebih baik dari padaku. Tetapi
kini ternyata Witantra menyetujui sikap Tunggul Ametung, meskipun
alasannya dapat aku mengerti. Maksudnya adalah, untuk mengurangi
penderitaan yang menimpa perasaan gadis itu.
Mahisa Agni kembali memandang ke kejauhan, menembus keremangan malam yang kuning oleh cahaya bulan yang redup.
Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Kuda Sempana itu tiba-tiba berkeliaran disini?”
“Mungkin ia menjadi kecewa,“ sahut Ken Arok.
“Aku sudah menyangka, tetapi sampai
sejauh itu? Bukankah dengan demikian ia telah melakukan pemberontakan
terhadap Akuwu Tunggul Ametung?”
Ken Arok mengangguk. Jawabnya, “Ya. Anak
itu benar-benar telah memberontak. Tetapi kemungkinan itu memang akan
terjadi. Hukuman atasnya memang terlalu berat baginya.
“Hukuman atas kesalahannya mengambil Ken Dedes?”
Ken Arok mengangguk.
“Aneh. Bukankah Akuwu sendiri ikut serta?”
“Itulah keanehan yang dapat saja
terjadi. Akuwu sendiri turut melakukan kesalahan itu. Tetapi ternyata
ia ingin memperbaiki kesalahannya dengan mengorbankan Kuda Sempana. Kau
tahu, apakah hukuman itu?”
“Bagaimana aku bisa tahu,“ sahut Agni.
“Hukuman itu benar-benar aneh. Hukuman
itu semula sama sekali bukan atas kehendak Tunggul Ametung sendiri.
Tetapi atas kehendak gadis yang dilarikannya itu,“ berkata Ken Arok
seterusnya.
Mendengar kata itu Mahisa Agni
terperanjat. Tanpa disengaja ditatapnya wajah ketiga kawannya yang
mendengarkan pembicaraannya dengan keheran-heranan.
Ken Arok melihat keheranan yang
membayang di wajah Mahisa Agni. Maka katanya, “Ya. Demikianlah. Hukuman
itu sebenarnya datang dari adikmu itu.”
“Bagaimana hal itu dapat terjadi?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Sekali ia melihat kudanya yang makan dengan asyiknya, dan sekali
ditatapnya wajah ketiga kawan Mahisa Agni.
Baru sesaat kemudian katanya, “Ternyata adikmu menerima lamaran Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sudah menyangka dan bahkan ia berdoa mudah-mudahan dengan
demikian Ken Dedes, merasa terhibur atas hilangnya dua orang yang
dicintainya sekaligus. Ayahnya dan Wiraprana. Namun di dalam sudut
hatinya yang paling dalam luka hatinya serasa seolah-olah meneteskan
darah.
Meskipun demikian ia bertanya,
“Bagaimana mungkin gadis itu menerima lamaran Tunggul Ametung. Ia
mencintai Wiraprana lebih dari semua orang selain ayahnya. Apakah gadis
itu sudah mendengar kabar tentang bakal suaminya.”
Ken Arok mengangguk. Katanya, “Emban
tua, pemomongnya telah menyampaikan kabar itu. Sebelumnya kami pun
telah mengatakannya, tetapi ia lebih percaya kepada embannya.”
Mahisa Agni berdesir mendengar Ken Arok
menyebut pemomong Ken Dedes. Tak seorang pun tahu bahwa orang itu
adalah ibunya. Ken Dedes juga tidak.
“Tetapi bagaimana Ken Dedes dapat menghukum kuda Sempana itu?” bertanya Mahisa Agni kemudian.
“Mudah sekali baginya,” sahut Ken Arok,
“Tunggul Ametung itu akhirnya tergila-gila kepadanya. Apa yang
diucapkannya akan terjadi.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Desir
di dadanya menjadi semakin tajam. Ada semacam pergolakan yang terjadi
dalam dirinya. Meskipun ia merasa bahwa Ken Dedes akan menemukan
sekedar penghibur atas segala dukanya, tetapi apakah ia dapat mendengar
bahwa seseorang tergila-gila kepadanya?”
Tetapi Mahisa Agni tidak berkata sepatah
katapun. Dan Ken Arok lah yang berkata pula, “Dan salah satu dari
permintaan Ken Dedes ternyata adalah pelepasan dendamnya kepada Kuda
Sempana itu.”
Mahisa Agni masih diam mematung. Ia
mendengar Ken Arok meneruskan, “Nah, apa yang diminta oleh ken Dedes
itu atas Kuda Sempana? Aneh sekali Adikmu itu minta Kuda Sempana
mendapat hukuman atas kesalahannya apabila Akuwu benar-benar
menghendakinya. Hukuman itu adalah, Kuda Sempana harus menjadi pelayan
yang paling rendah baginya. Membersihkan lantai, mencuci pakaian dan
waktu selebihnya, duduk di bawah tangga di serambi di belakang
biliknya.”
Mahisa Agni terperanjat mendengarnya.
Benar-benar terperanjat. Apalagi ketika Ken Arok meneruskan, “Agaknya
Ken Dedes itu ingin membalas sakit hatinya dengan penghinaan atas Kuda
Sempana. Hina yang sehina-hinanya.”
“Ken Arok,“ potong Mahisa Agni, “apakah benar Ken Dedes menghendakinya?”
Ken Arok mengangguk, “Ya, sebenarnyalah
bahwa Ken Dedes menghendakinya. Dan Ken Dedes mempunyai cukup pengaruh
atas Tunggul Ametung. Ketahuilah, bahwa Tunggul Ametung yang garang itu
seakan-akan benar-benar telah bersimpuh di bawah kaki adikmu.”
Darah Mahisa Agni tersirap. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa Ken Dedes dapat berlaku sekasar itu.
Dendam yang betapapun dalamnya, namun penghinaan itu telah terlampau
jauh.
Dan didengarnya kemudian Ken Arok
meneruskan, “Itulah keadaan adikmu dan Kuda Sempana yang aku dengar.
Itu pulalah sebabnya, kenapa Kuda Sempana kemudian melarikan diri dari
istana yang menjadi tempat yang sehinanya baginya. Sebagai seseorang
yang masih mempunyai harga diri, maka sudah tentu ia tidak menelan
penghinaan itu begitu saja.
Mahisa Agni mengangguk perlahan-lahan.
Terdengar ia berdesis. Dadanya semakin terasa menghentak-hentak. Ia
sama sekali tidak dapat mengerti, perubahan-bahan yang tajam telah
terjadi atas Ken Dedes itu. Ledakan-akan di dalam jantung gadis itu
telah menyeretnya dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Mahisa Agni.
“Ken Arok,“ terdengar suara Mahisa Agni dengan nada yang rendah, “apakah aku dapat minta tolong kepadamu?”
Ken Arok menarik nafasnya. Katanya bertanya, “Apakah yang harus aku lakukan?”
“Sampaikan pesanku kepada gadis itu,“ berkata Mahisa Agni yang pertama kali adalah kabar keselamatan.”
Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat
Ken Arok menggeleng, “Aku kini jarang sekali masuk ke istana selain di
tempat-tempat tugasku. Hampir aku tak pernah melihat adikmu itu setelah
aku ikut Akuwu mengambilnya dari Panawijen. Sampai kini aku belum
begitu mengenal wajahnya. Apalagi kini Ken Dedes telah benar-benar
sebagai seorang permaisuri meskipun ketetapannya dan upacaranya masih
akan menyusul, sehingga aku tak akan sempat menemuinya.”
Kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya terbayang di dalam kepalanya, Ken Dedes kini telah menjadi
seorang permaisuri. Menjadi seorang yang berada dalam lingkungan
kebesaran dan kebahagiaan. Namun ia masih tetap tidak dapat mengerti,
bahwa di dalam diri gadis itu timbul perubahan sikap dan watak yang
terlampau tajam. “Mungkin keparahan hati yang tak tertanggungkan telah
mendorongnya ke dalam suatu sikap yang berlebih-lebihan sebagai
imbangan,“ gumamnya di dalam hati.
“Kalau begitu,” sambung Mahisa Agni kemudian, “apakah kau pernah bertemu dengan emban pemomongnya itu?”
Ken Arok menganggukkan kepalanya,
jawabnya, “Ya. Aku sering bertemu Pemomong Ken Dedes itu tinggal di
rumah Witantra beberapa hari sebelum diijinkan menemui momongannya.”
“Apakah orang tua itu sekarang masih berada di rumah Witantra?”
“Tidak,” jawab Ken Arok, “perempuan tua itu kini telah berada di istana atas permintaan Ken Dedes.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukan
kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau demikian, aku minta tolong
kepadamu. Sampaikanlah kepada perempuan tua itu.”
“Pesan?”
“Ya. Pesan untuknya dan untuk Ken Dedes.”
“Akan aku coba.”
“Terima kasih,“ Mahisa Agni berhenti
sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan pesannya kepada Ken
Arok. Ia belum tahu pasti, bagaimanakah sikap Ken Dedes kini
terhadapnya. Meskipun demikian akhirnya ia berkata, “Ken Arok. Kalau
kau bertemu dengan perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu, sampaikan
baktiku kepadanya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Perempuan itu adalah seorang pemomong, namun agaknya Mahisa Agni memang
suka merendahkan dirinya, sehingga ia menyampaikan bakti kepada
seorang emban. Tetapi Ken Arok tidak berkeberatan apa pun terhadap
sikap itu, sehingga sahutnya, “Baik. Aku sampaikan baktimu apabila aku
bertemu nanti di istana.”
“Terima kasih,“ Mahisa Agni meneruskan,
“kemudian kalau emban itu dapat menyampaikan kepada Ken Dedes, yang
sekarang sudah berada di istana itu, kecuali kabar keselamatan adalah
pesan, supaya gadis itu tidak melupakan dirinya, asalnya dan segenap
keadaan masa lampaunya sebagai imbangan berpikir untuk menentukan
hari-hari mendatangnya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya, katanya, “Kenapa pesanmu berbunyi demikian?”
“Tidak apa-apa,” sahut Agni, “aku hanya
ingin memperingatkannya, supaya ia tidak tenggelam dalam dunia yang
asing baginya, sehingga ia kehilangan dasar tempat berpijak. Ia adalah
seorang gadis padesan yang biasa hidup di padesan. Ia adalah seorang
puteri dari seorang pendeta yang hidup prasaja dan penuh ketekunan
dalam kebaktiannya kepada Yang Maha Agung. Ia kemudian adalah seorang
gadis yang mengalami kepahitan yang menghunjam terlalu dalam di
hatinya. Nah, semua peristiwa-peristiwa itu akan dapat menggoncangkan
keseimbangan antara perasaan dan pikirannya. Yang kini dapat kita lihat
adalah sikapnya terhadap Kuda Sempana. Bagaimana pun juga dendam
tersimpan di dadanya, namun dengan penghinaan yang berlebih-lebihan
itu, Ken Dedes telah melakukan kesalahan menurut penilaianku.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya. Ia
dapat mengerti pesan itu. Dan ia dapat membenarkannya. Betapa bencinya
kepada Kuda Sempana, namun Ken Arok heran juga melihat hukuman yang
dijatuhkan atas anak muda itu. Lebih baik Kuda Sempana digantung di
alun-alun, atau diranjap dengan panah daripada dihinakan sedemikian
rendah. Karena itu, adalah sudah sewajarnya apabila anak muda itu
meninggalkan istana.
Tetapi Tunggul Ametung tidak dapat
mempertimbangkannya lagi. Ia sedang dilanda oleh perasaan yang
meluap-luap. Apa pun yang dikehendaki oleh Ken Dedes, selagi Tunggul
Ametung dapat memberikannya, pasti akan dipenuhinya. Apalagi hanya
seorang Kuda Sempana, bahkan Tumapel sekalipun sudah diserahkannya.
Dada Ken Arok berdesir. Dan tiba-tiba
saja ia berkata kepada Mahisa Agni, “Agni keberuntungan adikmu tidak
saja sejauh itu. Tetapi lebih daripada itu. Menurut pendengaranku, di
istana telah menjalar kabar, bahwa bukan saja Kuda Sempana telah
dikorbankan, tetapi kepada gadis itu telah diserahkan hak atas
pemerintahan Tumapel.”
Alangkah terkejutnya Mahisa Agni
mendengar kabar itu, sehingga ia beringsut maju. Dengan wajah tegang ia
bertanya, “Benarkah kabar yang kau dengar itu?”
“Aku benar-benar mendengar kabar itu,“ sahut Ken Arok, “tetapi kebenaran atas kabar itulah yang aku tidak tahu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam,
kalau kabar itu benar-benar terjadi, maka alangkah besar karunia atas
gadis itu. Karunia yang diterimanya lewat kepahitan dan kedukaan.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun luka di hatinya serasa menjadi semakin dalam.
Dalam nada yang rendah ia berkata,
“Berbahagialah anak itu. Mudah-mudahan ia menemukan masa depan yang
baik. Kalau benar kabar yang kau dengar Ken Arok, bukankah berarti
bahwa Ken Dedes akan mendapat kesempatan menurunkan Akuwu-Akuwu
berikutnya?”
Ken Arok mengangguk, “Ya. Itulah adalah suatu karunia yang tiada taranya.”
Keduanya kemudian terdiam untuk sesaat.
Kembali bergelut di dalam dada Mahisa Agni berbagai perasaan. Bangga,
gembira, sedih, dan kecewa. Ia bersyukur kepada Yang Maha Agung atas
karunia itu, namun ia menjadi cemas, apakah kebahagiaan itu akan dapat
kekal sepanjang umur Ken Dedes, di samping perasaannya sendiri yang
masih saja menyentuh-nyentuh hati. Perasaan seorang lelaki terhadap
seorang perempuan.
Namun baik Mahisa Agni maupun Ken Arok
tidak mengetahui, apakah yang telah mendorong Tunggul Ametung terbenam
dalam keadaannya itu. Tunggul Ametung telah disilaukan oleh cahaya yang
seakan-akan memancar dari tubuh gadis Padepokan Panawijen itu. Cahaya
yang hanya dapat dilihatnya sendiri.
Akuwu itu kemudian ternyata dengan
diam-diam menemui seorang ahli nujum yang meramalkan, bahwa seorang
gadis yang bercahaya dari dalam tubuhnya itu, kelak akan dapat
menurunkan bukan saja Akuwu-Akuwu seperti Tunggul Ametung, tetapi gadis
itu akan dapat menurunkan Raja-raja yang akan berkuasa melampaui
kekuasaan Akuwu, dan bahkan akan melampaui kekuasaan Raja di Kediri.
Ramalan itulah yang mendorong Tunggul
Ametung untuk berbuat seperti orang yang kehilangan kesadaran. Setiap
patah kata yang diucapkan oleh Ken Dedes pasti akan berlaku baginya,
melampaui semua Undang-undang dan peraturan yang telah ada.
Kembali untuk sejenak mereka terbenam
dalam kediaman. Angin malam yang lembut mengalir mengusap tubuh mereka
yang basah karena keringat. Daun-daun perdu berdesir seperti sedang
melagukan lagu yang rawan.
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Di
dalam dadanya bergetar berbagai persoalan yang saling membelit. Namun
kemudian ia tidak sampai hati untuk berpesan kepada Ken Arok, bahwa
Empu Purwa telah menghilang dari Panawijen. Ada banyak pertimbangan
yang mengurungkan niatnya untuk mengucapkan pesan itu. Ia tidak sampai
hati untuk membuat luka di hati ken Dedes menjadi semakin parah, dan ia
tidak sampai hati pula untuk mengganggu ketentraman dan kebahagiaan
yang sedang berada di ambang pintu hati gadis itu.
Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut ketiga Ken Arok itu berdiri. Katanya, “Aku tidak akan terlalu lama tinggal disini.”
“Apakah kau akan kembali ke Tumapel?”
Ken Arok mengangguk, “Ya,“ jawabnya
perkerjaanku sebagian sudah selesai. Aku sudah tahu, siapakah yang
menamakan dirinya hantu Karautan itu kini.”
“Hanya cukup mengetahui saja.”
Ken Arok tersenyum, “Tentu tidak,” katanya, “bukankah kau juga tidak akan membiarkannya.”
Mahisa Agni pun tersenyum pula ia pun
kemudian berdiri dan berkata, “Tetapi Akuwu Tumapel tidak akan
membiarkan pemberontakan ini meluas. Hantu Karautan itu ternyata bukan
saja seorang hantu, tetapi ia adalah seorang pemberontak.”
“Salahnya sendiri. Nafsunya terhadap
gadis itu terlampau berlebih-lebihan. Sehingga akhirnya ia sendiri
terjerumus dalam kesulitan karenanya.”
“Tetapi akibatnya tidak hanya melihat diri Kuda Sempana. Tetapi padang ini akan menjadi daerah yang menakutkan kembali.”
“Mudah-mudahan tidak berlangsung terlalu
lama. Aku akan mengadakan perondaan di daerah ini apabila Akuwu
mengijinkan beberapa orang prajurit. Mungkin Witantra akan menaruh
perhatian pula atas hantu Karautan ini.”
“Mudah-mudahan,“ desis Mahisa Agni.
Namun angan-angannya telah menjorok jauh meliputi rencana pembuatan
bendungan ini. Kuda Sempana adalah seorang yang perkasa. Ia tidak akan
dapat menjadi sedemikian kuatnya dengan tiba-tiba. Ia pasti mempunyai
seorang guru, dan bahkan saudara seperguruan yang telah pernah
dikenalnya dalam perjalanannya dari Lereng Gunung Semeru. Apakah mereka
akan membiarkan kuda Sempana hidup dalam keadaannya itu, meskipun
gurunya adalah seorang guru upahan? Apakah Kuda Sempana tidak dapat
menjanjikan sesuatu kepada guru serta saudara-saudara seperguruannya
untuk bantuan mereka kepadanya. Yang pertama-tama akan mengalami
kesulitan adalah dirinya dan rencana bendungannya. Kemudian apabila
Kuda Sempana berhasil mengumpulkan murid-murid dari saudara-saudara
seperguruannya, yang memakai cara yang sama dengan gurunya sendiri
dalam mendapatkan ilmunya, maka Kuda Sempana tidak dapat diabaikan
dalam-dalam tata pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Mahisa Agni itu pun kemudian mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata, “Agni, aku akan kembali
ke Tumapel. Sudah tentu aku akan menyampaikan apa yang kau ketahui
tentang hantu Karautan ini kepada Akuwu Tunggul Ametung. Aku kemudian
akan menjalankan perintahnya. Apakah aku akan mendapat perintah untuk
menangkapnya, atau aku hanya sekedar menjadi penunjuk jalan bagi
prajuritnya yang akan menangkap Kuda Sempana itu.”
“Bukankah kau berkepentingan langsung Ken Arok? Sebab nama hantu Karautan itu pasti akan menyangkut namamu.”
“Tak seorang pun yang tahu bahwa hantu Karautan itu pernah berganti.”
Mahisa Agni tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, meskipun senyumnya muram.
“Sudahlah,“ berkata Ken Arok, “pergilah
ke Tumapel kalau kau ingin bertemu dengan adikmu. Mungkin Akuwu tidak
akan berkeberatan.”
“Terima kasih,“ sahut Mahisa Agni. Namun
hatinya berkata, “Tak akan ada artinya. Pertemuan yang demikian itu
hanya akan menambah parah perasaanku.”
Ken Arok itu pun kemudian meloncat ke
atas punggung kudanya, dan sambil menyentuh perut kudanya dengan
tumitnya ia berkata, “Sampai bertemu Agni.“ Kepada ketiga kawan Mahisa
Agni Ken Arok berkata sambil tertawa, “Jangan takut terhadap hantu
Karautan. Hantu itu sekarang sudah jinak.”
Ketiga kawan Mahisa Agni pun
menganggukkan kepalanya. Terdengar Sinung Sari berkata, “Selamat jalan.
Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”
Ken Arok tertawa. Sementara itu kudanya
sudah mulai bergerak maju menusuk keremangan malam. Mahisa Agni masih
melihat anak muda yang gagah itu melambaikan tangannya, kemudian
kudanya meluncur semakin cepat. Debu yang putih menghambur di belakang
derap kaki kuda itu bergulung-gulung semakin lama semakin jauh.
Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya.
Baru ketika kuda itu telah semakin kecil dan semakin kabur, ia
berpaling kepada ketiga kawan-kawannya. Katanya, “Itulah hantu Karautan
yang sebenarnya. Tetapi ia tidak senang apabila hal itu diketahui oleh
orang lain. Karena kalian telah terlanjur mengetahuinya, maka aku
minta apa yang kalian ketahui itu harus kalian rahasiakan.”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu mengangguk.
Yang terdengar adalah desis Patalan, “Kalau demikian, benar kata
orang, bahwa hantu Karautan sebenarnya adalah hantu yang tampan.”
“Tidak saja tampan, tetapi hantu itu
sangat sakti pula. Namun kini hantu itu sudah tidak ada lagi. Apakah
kau percaya kepadaku? Hantu itu kini benar-benar sudah menjadi seorang
Pelayan Dalam di istana Tumapel.”
Ketiga kawan-kawannya itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka, siapa pun yang
menjadi hantu, namun hati mereka tidak akan dapat tenteram. Meskipun
hantu itu bernama Kuda Sempana.
Betapa sempitnya pengetahuan mereka,
namun mereka tahu pula, bahwa Kuda Sempana menyimpan dendam kepada
Mahisa Agni, kepada Ken Dedes dan dendam itu akan dapat melimpah kepada
seluruh penduduk Panawijen. Kuda Sempana itu kelak akan dapat
merupakan bahaya bagi mereka, bagi orang-orang Panawijen yang sedang
membuat bendungan.
Kalau Kuda Sempana itu datang seorang
diri maka soalnya tidak akan terlalu sulit. Ternyata sampai saat ini
Mahisa Agni masih dapat mengatasinya. Tetapi bagaimana kalau Kuda
Sempana itu kemudian mendapat kawan dalam penumpahan dendamnya? Dalam
keadaannya maka Kuda Sempana tidak akan memilih kawan. Mungkin para
penjahat, para perompak dan para penyamun. Mungkin orang-orang jahat
yang sedang menjadi buruan. Dan hati mereka, kawan-kawan Mahisa Agni
itu, pasti akan menjadi semakin kecut apabila mereka mengetahui, apa
yang sedang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, yaitu kawan-kawan
seperguruan Kuda Sempana beserta murid-muridnya dan bahkan gurunya
pula.
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya
kepada ketiga kawan-kawannya itu. Ia menyadari akibatnya apabila
kawan-kawannya mengetahui tentang Kuda Sempana beserta perguruannya.
Bahkan kemudan ia berkata, “Nah.
Sekarang kalian telah melihat sendiri, bahwa yang menamakan diri hantu
Karautan itu tidak lebih dari Kuda Sempana. Karena itu jangan takut.
Mudah-mudahan aku akan dapat mencegahnya apabila ia mencoba mengganggu
pekerjaan kita.”
Ketiga kawan-kawannya mengangguk. Tetapi
tampaklah wajahnya tidak meyakinkan. Sehingga Mahisa Agni bertanya,
“Bagaimana? Apakah masih ada yang kalian cemaskan?”
Kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Baru sejenak kemudian Sinung Sari berkata, “Bagaimana dengan Kuda Sempana itu?”
“Ia tidak berbahaya,” sahut Agni.
“Kalau ia seorang diri,“ sambung Sinung Sari.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia menjawab, “Aku juga tidak seorang diri. Bukankah aku akan
melakukan pekerjaan yang berat itu bersama-sama seluruh rakyat
Panawijen? Seandainya Kuda Sempana akan datang kembali bersama
kawannya, maka aku pun akan siap menyambutnya bersama-sama
kawan-kawanku. Anak-anak muda Panawijen yang lain, diantaranya kalian
bertiga.”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu terdiam.
Mereka sebenarnya masih ingin menjelaskan bahwa mungkin Kuda Sempana
mendapat kawan-kawan yang berbahaya. Sedang anak-anak muda Panawijen
bukanlah orang-orang yang siap bertempur seperti Mahisa Agni. Tetapi
mereka malu kepada diri mereka sendiri. Mereka malu, bahwa mereka sama
sekali tidak mampu berbuat apapun dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, maka merayaplah perasaan
yang lain di dalam diri ketiga anak-anak muda itu. Tumbuhlah
pertanyaan di dalam diri mereka sendiri, kenapa mereka sama sekali
tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu? Apakah mereka masih
juga akan tetap berdiam diri seandainya kelak datang Kuda Sempana
bersama para penyamun, penjahat dan perampok mencelakai Mahisa Agni?
Apakah mereka akan tetap berdiam diri sebagai penonton yang tidak
mempunyai sangkut paut sama sekali?”
Mereka berempat kini duduk berdiam diri.
Masing-masing terbenam dalam angan-angan yang berbeda-beda. Mahisa
Agni dengan gambaran-gambaran tentang bendungan, Kuda Sempana,
saudara-saudara seperguruannya, sedang ketiga kawannya sedang mencoba
melihat ke diri mereka masing-masing. Namun terasa bahwa mereka kini
menjadi sangat malu kepada diri mereka sendiri, kepada Mahisa Agni dan
kepada Ken Arok. Juga kepada Kuda Sempana.
Tiba-tiba menyalalah di dalam hati
mereka, suatu tekad yang belum pernah dimilikinya sejak. mereka
menyadari diri mereka, sejak mereka masih kanak-kanak. “Kita harus
berbuat sesuatu apabila bahaya datang menimpa kita kembali. Kita tidak
boleh menyerahkan diri kita kepada orang lain, kepada pertolongan yang
belum pasti akan datang pada waktunya. Kita tidak boleh menggantungkan
diri kepada kekuatan diluar diri kita sendiri. Diri pribadi kita, dan
diri kita dalam satu kesatuan. Rakyat Panawijen.
Angin malam masih berhembus mengusap
tubuh mereka. Semakin lama semakin terasa, dingin malam
menyentuh-nyentuh. Embun yang sejuk turun perlahan, hinggap di dedaunan
dan pada batang-batang rumput kering. Di kejauhan terdengar suara
burung kedasih melas asih, seperti ratapan biyung yang kehilangan
anaknya.
Bulu kuduk kawan-kawan Mahisa Agni
meremang. Bunyi burung kedasih mempunyai kesan yang khusus. Terasa
malam menjadi semakin muram.
Ketika mereka menyadari diri kembali,
dan mereka melihat Mahisa Agni duduk merenungi bara api yang sudah
semakin muram pula, sekali lagi perasaan malu hinggap di sudut hati
mereka. Bunyi burung kedasih adalah bunyi yang dikenalnya sejak kecil.
Dan burung itu tidak akan dapat mengucapkan bunyi yang lain dari pada
bunyi itu. Bahkan jantung mereka pasti akan berhenti berdegup apabila
mereka mengetahui, bahwa seekor burung kedasih bersiul dengan nada
suara burung kutilang.
Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara membelah sepi malam, “Aku sudah mengantuk.”
Ketiga kawannya menarik nafas, “Hem,“ Patalan mengeluh, “kau mengejutkan kami Mahisa Agni.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya,
kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Ah, kalian membuat
bayangan-bayangan yang aneh di dalam hati kalian, sehingga kalian
menjadi sangat mudah terkejut.”
Kawan-kawan-nya tidak menjawab. Mahisa Agni telah menebak dengan tepat.
“Nah, sekarang marilah kita tidur.”
“Bersama-sama?” bertanya Jinan.
“Ya. Kenapa?”
“Bagaimana kalau ada bahaya yang mendatang selagi kita tidur?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Bagus, marilah kita bergantian. Aku dan dua diantara kalian
akan tidur dahulu. Siapa yang pertama bangun?”
“Berdua-dua,“ sahut Sinung Sari, “supaya ada kawan bercakap-cakap.”
“Baik,“ jawab Agni, “siapa yang tidur kemudian atau dahulu bersama aku.”
“Aku,“ jawab ketiganya hampir bersamaan.
Mahisa Agni menarik nafas panjang
sekali. Ternyata mereka masih saja dikuasai oleh kecemasan. Karena itu
maka katanya, “Jadi apakah kalian bertiga berjaga bersama aku dahulu,
kemudian kalian bertiga berjaga lagi sesudah itu bersama aku pula?
Sehingga dengan demikian kita semuanya tidak jadi beristirahat
bergantian?”
Ketiga kawan Mahisa Agni menundukkan
kepalanya, mereka masing-masing ingin mendapat giliran bersama Mahisa
Agni. Namun mereka tertawa juga di dalam hati mendengar kata-kata
Mahisa Agni itu.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar Mahisa Agni itu berkata, “Tidak perlu berjaga-jaga bergantian.”
“Kenapa?” bertanya Sinung Sari.
“Lihat, fajar telah membayang di langit. Sebentar lagi kita akan melihat matahari terbit.”
Ketiga kawan Mahisa Agni menarik nafas
dalam. Ketika mereka hampir bersamaan mengangkat wajah mereka dan
melihat warna semburat merah membayang di ujung timur, hati mereka tiba
pula menjadi sejuk, seakan-akan mereka terbangun dari sebuah mimpi
yang menakutkan.
“Hem,” desah Patalan, “kita telah dibebaskan dari malam yang mengerikan.”
Mahisa Agni tidak menjawab meskipun ia
menjadi sedih melihat kenyataan itu. Kenyataan tentang kawan-kawannya
dan anak-anak Panawijen pada umumnya. Namun yang dikatakannya adalah,
“Ya, kita telah melampaui malam yang akan sangat berkesan ini. Tetapi
pekerjaan kita belum selesai. Kita masih harus berjalan menyusur sungai
ini.”
Dada ketiga kawan Mahisa Agni berdesir, “Kita meneruskan perjalanan,“ bertanya Sinung Sari.
“Apakah kita akan kembali tanpa hasil apapun,“ bertanya Mahisa Agni kembali.
Sinung Sari terdiam. Mereka memang pergi
untuk mencari kemungkinan membuat bendungan. Bukan sekedar bertamasya
dipadang Karautan. Namun hatinya masih juga dibayangi oleh peristiwa
semalam, meskipun kini di sudut hatinya telah tumbuh keinginan untuk
tidak sekedar menonton saja, apabila peristiwa itu terulang kembali
atas Mahisa Agni. Namun mereka masih belum memiliki keberanian untuk
itu.
Karena Sinung Sari tidak menjawab, maka
Mahisa Agni meneruskan, “Kita adalah duta dari rakyat Panawijen. Duta
yang harus dapat menyelesaikan pekerjaan kita. Bukan duta yang harus
melamar gadis-gadis cantik, bukan duta untuk menyampaikan bulu bekti
dan persembahan, tetapi kita adalah duta-duta yang akan menentukan
hidup dan mati rakyat kita. Duta yang akan menjadi tempat bergantung
bagi masa depan. Kalau kita yang muda-muda ini gagal melakukan tugas
kita, maka kita semuanya akan tenggelam dalam kegelapan.”
Ketiga kawan-kawannya menundukkan
kepalanya. Mereka dapat mengerti kata-kata itu. Mereka sependapat
dengan Mahisa Agni, tetapi keadaan mereka sebelumnya telah terlampau
banyak mempengaruhi sifat-sifat mereka, sehingga mereka tidak
mendapatkan keseimbangan antara tekad mereka dan keberanian mereka.
Sementara itu langit menjadi semakin
lama semakin terang. Cahaya yang kemerah-merahan di Timur, semakin lama
menjadi sesaat semakin jelas, dan kemudian matahari yang cerah mulai
menampakkan dirinya di punggung bukit.
“Kalian lihat matahari,“ bertanya Mahisa
Agni. Kembali ketiga kawannya menengadahkan wajahnya. Cahaya yang
masih kemerah-merahan tercurah ke wajah-wajah mereka.
“Sebentar lagi kita akan berjalan
kembali. Kalau kalian masih ingin beristirahat, beristirahatlah
sebentar. Mungkin kalian ingin makan atau minum lebih dahulu.”
Ketiga kawannya mengangguk. Kini
tiba-tiba terasa perut mereka menjadi sangat lapar. Jinan segera
mencoba mencari sisa-sisa bara yang masih ada di perapian,
dihembus-hembusnya bara itu dan ditaruhkannya beberapa genggam rumput
kering ke atasnya. Ketika kemudian api menyala kembali meskipun kecil,
mereka meletakkan makanan yang mereka bawa ke atas api itu.
Sesudah mereka selesai dengan makan,
maka segera Mahisa Agni bersiap kembali untuk berangkat. Kawannya telah
mengumpulkan alat-alat yang mereka bawa sebagai bekal di perjalanan.
Bumbung-bumbung kecil, bahan-bahan makanan dan beberapa macam barang
yang lain.
Ketika matahari kemudian merayap semakin
tinggi, maka keempat orang itu kembali menempuh perjalanannya, dengan
segan ketiga kawan Mahisa Agni menyeret kaki-kaki mereka sambil
mengeluh di dalam hati. Tetapi apabila mereka teringat kepada harapan
yang disertakan kepada mereka oleh rakyat Panawijen, maka hati mereka
menjadi besar kembali.
Kini mereka berjalan menyusur sungai.
Batu-batu padas menjorok di sana sini, sehingga sekali-sekali mereka
harus berloncatan dari batu ke batu. Pohon-pohon perdu yang rimbun
kadang-kadang menghalangi mereka dan dengan pedang-pedang mereka,
mereka terpaksa menebasi ranting-ranting kecil dan bahan-bahan yang
melintang bujur dihadapan mereka, dibeliti oleh tumbuh-tumbuhan yang
merambat dan bahkan berduri.
“Tebing ini semakin tinggi,“ gumam Mahisa Agni.
“Ya,“ sahut kawannya, “perjalanan kita akan sia-sia”
“Belum tentu,“ jawab Agni, “mungkin di sebelah kita akan menemukan dasar sungai itu naik pula.”
Kawannya tidak menjawab. Mereka kini
tinggal berjalan saja di belakang Mahisa Agni. Bahkan Jinan
hampir-hampir telah menjadi berputus asa dan kehabisan tenaga untuk
berjalan terus.
Tetapi Mahisa Agni seakan-akan sama
sekali tidak memperhatikan mereka itu. Ia berjalan terus, dan
perhatiannya bulat-bulat tertuju kepada kemungkinan mendapat tempat
untuk membuat bendungan.
Matahari semakin lama semakin tinggi.
Panasnya seolah-olah menembus sampai ke tulang. Keringat keempat orang
yang berjalan di bawah terik panas itu seakan-akan diperas dari dalam
tubuhnya. Namun sama sekali tidak tampak kelesuan di wajah Mahisa Agni.
Dengan tekad yang menyala sepanas api,
Mahisa Agni berjalan terus. Meskipun dahinya kadang-kadang tampak
berkerut-kerut apabila dilihatnya jarak antara bibir tebing dan dasar
sungai menjadi semakin jauh. Tetapi ia masih memiliki harapan
seakan-akan tak akan kunjung padam, meskipun kadang-kadang dirayapi
keragu-raguan.
Mereka berjalan terus di bawah panas
cahaya matahari. Jinan yang berjalan di ujung paling belakang sekali
terdengar mengeluh. Patalan dan Sinung Sari masih juga berjalan dengan
hati yang kosong dekat-dekat di belakang Mahisa Agni.
Sekali-sekali Mahisa Agni berhenti,
menjenguk sungai di sampingnya. Dari sela-sela rumput-rumput liar,
batang-batang perdu dan ilalang, Mahisa Agni melihat air yang bening
gemericik mengalir di antara batu-batu yang berserakan.
Tiba-tiba ia terhenti. Dengan serta merta ia berkata kepada kawannya, “Kau lihat, disini batu berserakan melimpah-limpah.
Tetapi dengan muramnya Sinung Sari menjawab, “Tebing disini terlampau tinggi. Apakah kita dapat menaiki air setinggi ini?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang pekerjaan itu hampir tidak mungkin dilakukan. Tetapi
disini batu terlampau banyak, dan cukup besar-besar. Ada yang sebesar
kerbau, ada yang sebesar kambing. Dan ada juga yang jauh lebih besar,
namun hampir memenuhi dasar sungai itu, batu-batu sebesar kepala
kucing.
“Tetapi tebing terlampau tinggi,“ gumam Mahisa Agni.
Sinung Sari menganggukkan kepalanya, “Ya. Terlampau tinggi dan curam.”
“Marilah kita berjalan terus. Mudahan batu-batu itu akan terdapat di sepanjang sungai ini.”
“Apakah kita akan berjalan lagi,“ sela Jinan.
“Ya,“ Mahisa Agni mengangguk.
Jinan mengeluh. Katanya, “Kita harus bermalam semalam lagi dipadang ini.”
“Tidak,“ jawab Agni, “kalau tempat itu sudah kita ketemukan kita segera kembali.”
“Tetapi jarak kembali itu akan kita tempuh lebih dari satu hari seperti kita datang.”
“Kita dapat berjalan terus. Kalau kita
pulang, kita tidak perlu lagi melihat sungai itu. Meskipun betapa
gelapnya, kita akan tetap dapat meneruskan perjalanan.”
“Kakiku akan patah,” sahut Jinan.
“Ya,“ sambung Patalan dan Sinung Sari hampir bersamaan, “kita akan lelah sekali.”
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak dapat
berkata apapun lagi. Meskipun perjalanan ini sama sekali, tak berarti
dibandingkan dengan perjalanan yang pernah dilakukan, baik bersama
gurunya, maupun seorang diri, dan yang terakhir adalah perjalanannya ke
sisi seberang Gunung Semeru, maka apa yang dilakukannya kali ini
adalah sebuah tamasya yang tak berarti bagi sepasang kakinya, namun ia
tidak dapat menyangkal, bahwa ketiga kawan-kawannya benar-benar telah
kelelahan.
Meskipun demikian sejenak kemudian ia
berkata, “Kita mencoba sedikit lagi. Kita berjalan beberapa saat,
mungkin dekat di atas ini sungai menjadi semakin tinggi.”
Ketiga kawannya saling berpandangan. Tetapi tidak seorang pun yang membantah.
“Apakah kita akan beristirahat dulu?”
Ketiga kawan-kawannya masih diam. Mereka
dihadapkan pada kebimbangan, kecemasan dan hampir keputus-asaan. Kalau
mereka kini beristirahat, maka waktu yang akan dipergunakannya akan
bertambah panjang. Dengan demikian, mereka mungkin akan bermalam dua
malam lagi dipadang rumput ini sebelum mereka sampai ke Panawijen.
Tetapi kalau mereka berjalan terus, kaki mereka seolah-olah benar-benar
telah akan patah.
Dalam kebimbangan itu terdengar Mahisa
Agni berkata, “Biarlah kita berjalan sebentar lagi. Kalau kita masih
juga belum menemukan tempat itu, kita akan beristirahat.”
Kata-kata itu sama sekali bukanlah yang
diharapkan oleh ketiga kawan-kawannya. Beristirahat sekarang atau
nanti, bagi mereka akan berakibat sama. Memperpanjang perjalanan.
“Agni,“ berkata Sinung Sari, “apakah kita masih akan membuang-buang waktu, menyusuri sungai yang menjadi semakin dalam ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Tak ada pilihan lain Sinung Sari. Kita harus
berjalan terus sampai kita menemukan tempat itu.”
“Kita tidak akan berhasil,“ potong
Patalan, “bukankah tempat ini menjadi semakin sulit bagi pembangunan
sebuah bendungan. Mungkin bekas bendungan yang lama itu lebih baik
daripada tempat ini.”
“Tidak,“ bantah Agni, “seandainya kita
tidak menemukan tempat lain, maka tempat ini lebih baik dari bekas
bendungan itu. Disini kita dapatkan batu berlimpah ruah. Kita tinggal
membuat berunjung-berunjung bambu sebanyak yang dapat kita buat. Kita
isi brujung itu dengan batu, dan kita susun bertimbun-timbun. Tetapi
apa yang dapat kita lakukan di bekas bendungan itu. Kita harus membuat
brunjung, kita isi dengan sampah dan dedaunan diantara batu-batu yang
tidak terlampau banyak. Setiap kali kita masih harus menimbuni dengan
tanah yang akan selalu hanyut dibawa air. Berapa banyak daunan dan
tanah yang kita perlukan. Pepohonan seluruh padukuhan itu kita tebang
semuanya, agaknya masih belum akan mencukupi. Setiap kali daun-daun itu
membusuk, setiap kali itu pula kita harus menambahnya.”
Ketiga kawan Mahisa Agni terdiam. Memang
pekerjaan itu pun tak mungkin dilakukannya. Tetapi untuk berjalan
terus, mereka benar-benar telah kehilangan gairah.
“Atau kita kembali dan tidak lagi
berpikir tentang bendungan?“ bertanya Mahisa Agni, “kita biarkan
Panawijen menjadi kering, dan sawah-sawah kita menjadi kering pula
tanpa membuat tanah persawahan yang baru?”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu pun masih
terbungkam. Pertanyaan Mahisa Agni itu benar-benar tidak dapat
dijawabnya. Bahkan betapapun kecilnya, namun pertanyaan itu telah
mempengaruhi mereka pula. Bendungan itu adalah harapan bagi seluruh
rakyat Panawijen. Karena mereka tidak menjawab, maka Mahisa Agni
kemudian berkata, “Aku tahu bahwa kalian telah menjadi sangat lelah.
Aku pun menjadi sangat lelah pula. Tetapi aku merasa bahwa seluruh
rakyat Panawijen menitipkan harapan pada perjalanan kami ini. Karena
itu aku akan berjalan terus. Apabila kalian merasa, bahwa kalian sudah
tidak mungkin lagi meneruskan usaha ini, maka aku persilahkan kalian
berjalan kembali. Aku akan berjalan kembali. Aku akan berjalan terus.
Kawan-kawan Mahisa Agni itu terkejut
mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta Patalan menjawab, “Tidak
Agni. Kami tidak akan kembali.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia
melihat kecemasan membayang di wajah ketiga kawan-kawannya itu, “Mereka
tidak akan memilih,“ gumam Mahisa Agni di dalam hatinya, Ia tahu benar
bahwa ketiga kawan-kawannya itu tidak akan berani menempuh perjalanan
kembali tanpa dirinya.
Meskipun demikian ia masih bertanya,
“Kenapa kalian tidak akan kembali? Bukankah kalian telah hampir tidak
percaya lagi bahwa usaha ini akan berhasil?”
“Tidak. Bukan begitu. Kami masih
mempunyai harapan yang besar untuk menemukan tempat yang kita cari,“
sahut Jinan dengan wajah yang pucat.
Mahisa Agni diam sesaat. Namun tiba-tiba
ia berkata, “Kalian tidak berjalan terus karena keyakinan kalian bahwa
usaha ini akan berhasil, tetapi kalian berjalan terus kalian tidak
berani berjalan kembali.”
Serentak ketiga kawan Mahisa Agni
mengangkat wajahnya. Mereka pandangi wajah Mahisa Agni dengan tajamnya.
Namun sesaat kemudian wajah-wajah itu tertunduk lesu. Tebakan itu
tepat seperti sebuah cermin yang dihadapkan di muka wajah hati
masing-masing. Wajah-wajah yang pucat dan ketakutan.
Mahisa Agni melihat ketiga kawannya itu
tertunduk. Wajah mereka yang pucat menjadi semakin pucat dan suram.
Tiba-tiba timbullah iba di hatinya. Katanya, “Sudahlah. Aku hanya ingin
bergurau. Sekarang marilah kita beristirahat sejenak. Mudah-mudahan
kita akan mendapatkan kesegaran kembali.”
Mereka, kawan-kawan Mahisa Agni tidak
membantah. Ketika kemudian Mahisa Agni menjatuhkan dirinya di bawah
pohon-pohon perdu di tepi tebing sungai, maka mereka pun duduk pula di
sampingnya.
Dengan tanpa gairah, mereka kemudian
mencoba mengisi perut mereka dengan makanan yang mereka bawa dari
padukuhan. Namun ketika mereka minum beberapa teguk, maka
bumbung-bumbung mereka telah menjadi kering kembali
“Kita perlu air,“ desis Mahisa Agni.
Ketiga kawannya mengangguk serentak, “Ya,“ sahut Sinung Sari, “aku haus sekali.”
Tetapi mereka menjadi sangat kecewa
ketika mereka memperhatikan tebing sungai yang curam. Tebing yang
mengeras karena batu padas yang basah.
“Tebing ini sangat curam dan licin,“ gumam Mahisa Agni.
Ketiga kawannya hanya dapat
menganggukkan kepala mereka tanpa dapat memberikan pertimbangan apapun.
Namun dalam keadaan yang demikian wajah-wajah mereka menjadi semakin
putih. Seakan-akan darah mereka terhenti di leher mereka sebelum
merayap ke wajah-wajah itu.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri.
Dipandanginya tebing yang curam dengan beberapa jenis perdu yang tumbuh
hampir rapat. Tetapi Mahisa Agni tidak yakin, bahwa akar-akar perdu
itu cukup kuat apabila ia mencoba menuruni tebing sambil berpegangan
pada batangnya. Apabila ternyata akar perdu itu terlepas, maka ia pasti
akan terlempar jatuh di atas batu-batu padas yang menjorok
runcing-runcing di pinggir sungai itu. Tetapi apabila terpandang
olehnya pantulan sinar matahari di atas air yang jernih itu, lehernya
serasa terbakar karena kehausan.
“Hem,“ desahnya. Dan tiba-tiba ia
berkata, “Marilah kita berjalan kembali. Mudahan kita segera
mendapatkan tebing yang dapat aku turuni. Aku pun haus sekali.”
Mereka bertiga segera berdiri dan
berjalan kembali tersuruk-suruk di belakang Mahisa Agni. Kini mereka
bersama-sama, kehausan di bawah terik sinar matahari. Namun tekad
Mahisa Agni yang membaja telah menyeretnya untuk berjalan terus.
Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling.
Dilihatnya ketiga kawannya menjadi semakin lelah dan lemah. Jinan
seolah-olah sudah tidak mampu untuk berjalan. Kakinya yang lemah itu
diseretnya sambil mengeluh di dalam hati, “Apakah aku akan mati
dipadang rumput ini?”
Patalan dan Sinung Sari masih agak baik
keadaannya dari pada Jinan. Tetapi matahari serasa membakar tubuhnya.
Perasaan haus yang sangat telah menyerangnya, sehingga seakan-akan
ludahnya menjadi kering dan lehernya menjadi lekat.
Berkali-kali mereka menjilat-jilat
bibir-bibir mereka. Tetapi bibir itu pun telah menjadi kering pula.
Sedang di bawah kaki-kaki mereka, terdengar gemericik air yang bening.
“Agni,“ desis Patalan yang tidak dapat menahan diri, “aku haus sekali.”
Langkah Mahisa Agni terhenti. Sekali
lagi ia memandangi bumbung kecil yang tersangkut diikat pinggangnya.
Bumbung itu telah kosong, bahkan telah kering sampai ke dasarnya.
Sekali ia menarik nafas. Kini
disadarinya bahwa ia tidak akan dapat berjalan terus. Karena itu,
sekali lagi dipandanginya tebing yang curam itu, apabila ia menemukan
kemungkinan untuk merayap turun.
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa.
Tebing itu ternyata terlalu curam, seakan-akan sama sekali tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk mendapatkan pancadan. Tetapi untuk
berjalan tanpa air, agaknya benar-benar tidak mungkin bagi ketiga
kawan-kawannya.
Sesaat Mahisa Agni berdiri mematung.
Sementara itu ia masih saja mendengar kawan-kawannya berdesah. Ketika
ia berpaling memandangi wajah-wajah itu, Mahisa Agni melihat, bahwa
ketiga kawannya itu benar telah kehausan. Karena itu ia menjadi
bingung.
“Bagaimana Agni,“ terdengar suara Sinung Sari serak, “apakah kau dapat mengambil air untuk kita?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “Tebing itu terlalu curam,“ desahnya.
“Lalu bagaimana?” desak Jinan. Anak itu kini telah duduk dengan lesunya di atas rerumputan kering.
“Berteduhlah di bawah perdu itu,“ berkata Mahisa Agni kepada kawan-kawannya.
“Kami tidak kepanasan,” jawab Patalan, “tetapi kami kehausan.”
“Dengan berteduh, maka badan kita akan merasa segar. Mungkin rasa haus itu pun akan berkurang.”
“Tidak. Kami perlu air.”
Mahisa Agni menjadi bertambah cemas.
Ketiga anak-anak muda itu kini benar-benar menjadi seperti anak kecil
yang sedang merengek minta minum kepada ayahnya. Mereka sama sekali
bukan kawan yang baik untuk menghadapi kesulian dan mencoba
mengatasinya. Namun Mahisa Agni tidak sampai hati untuk mengatakannya
kepada mereka. Sebab Mahisa Agni mengetahui sebab dan pengaruh yang
telah membentuk anak-anak muda Panawijen tidak mampu mengatasi
kesulitan.
Kini Mahisa Agni tidak boleh hanya
sekedar mencari kesalahan dan alasan-alasan untuk menghindarkan diri
dari kewajibannya menyelamatkan kawan-kawannya itu. Kembali ia berpikir
dan kembali ia merenungi tebing. Beberapa pepohonan tampak tumbuh
melekat pada batu-batu padas namun ia tidak yakin, bahwa akar-akarnya
mampu untuk menahan berat tubuhnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengangkat dadanya. Setelah berdiam diri sejenak, maka katanya lantang, “Kalian mau menolong aku turun?”
“Tentu,” sahut mereka tanpa berpikir.
“Lepaslah kain panjangmu.
Ketiga kawan-kawannya saling
berpandangan. Tetapi mereka sudah sangat haus, sehingga mereka menjawab
serentak, “Baik, adalah dengan demikian kau mendapatkan air. Apakah
kami harus menukar air itu dengan kain kami?”
Dahi Mahisa Agni berkerut. Apalagi
ketika ia mendengar Sinung Sari berkata, “Agni. Di rumah kami masih
mempunyai kain yang lebih baik dari ini. Nanti aku akan menukarnya
dengan yang baik itu.”
“Terima kasih,” sahut Agni. Betapa ia
menjadi jengkel mendengar jawaban-jawaban itu. Tetapi sekali lagi
disadarinya bahwa pikiran ketiga kawannya itu agaknya telah benar-benar
terganggu oleh perasaan haus yang mencengkam mereka.
“Aku memang memerlukan kain-kain itu,“
berkata Mahisa Agni. “Tetapi aku tidak akan menukarnya dengan air. Aku
minta kalian menyambung-nyambung kain itu. Empat kain dengan yang aku
pakai aku kira akan dapat menolong aku turun ke bawah di samping
akar-akar perdu di sepanjang tebing itu. Tetapi jangan sayang kalau
kain itu masih harus dibelah supaya panjangnya mencapai dasar.
Sekali lagi ketiga kawan-kawannya saling
berpandangan. Dan terdengar Mahisa Agni berkata pula, “Kalau kalian
sayang akan kain itu, maka kalian tidak akan mendapatkan air, sebab aku
tidak mempunyai cara lain untuk turun. Nanti apabila kita kembali ke
padukuhan, biarlah kita memasuki rumah kita masing-masing dimalam hari
supaya tidak terlihat oleh siapa pun bahwa kain kita sudah terbelah.”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu pun segera
menyetujui. Mereka sudah tidak tahan lagi menderita haus yang amat
sangat. Sedang matahari di langit masih saja memancarkan panasnya,
seakan-akan ingin membakar seluruh bola bumi.
Segera mereka berempat melepaskan
kain-kain panjang mereka. Kain itu pun kemudian disobek di
tengah-tengah membujur, dan kemudian satu sama lain diikat dalam satu
jalur yang panjang.
“Mudah-mudahan aku dapat sampai ke dasar
sungai dan memanjat naik kembali lewat sambungan kain itu. Pegang
ujungnya kuat-kuat. Kalau kalian bertiga gagal menahan berat badanku,
dan aku terpelanting jatuh, maka kalian pun akan kehausan disini.
Mungkin kalian akan mati pula seperti aku. Karena itu kalian bertiga
harus mampu menahan berat badanku apabila kalian benar-benar ingin
minum.”
Kata-kata itu merupakan ancaman yang
sangat mereka takuti. Apabila mereka gagal menahan tubuh Mahisa Agni,
mereka pasti akan mati kehausan, bukan mati terpelanting ke dalam
jurang.
Karena itu, maka mereka berjanji kepada
diri sendiri bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga dengan
demikian akan merupakan dorongan bagi mereka untuk mengerahkan
sisa-sisa kekuatan mereka. Demikian besar nafsu mereka untuk
mendapatkan air. Maka tenaga mereka pun seakan-akan menjadi
bertambah-tambah kuatnya.
Mereka bertiga dengan hati-hati
memegangi ujung dari kain yang bersambungan itu, sedang Mahisa Agni
perlahan-lahan merayap turun. Kaki-kakinya yang kuat, mencoba mencari
pancadan yang dapat memperingan berat tubuhnya di atas batu-batu yang
menjorok dan pada pokok batang-batang perdu. Ternyata diantara
batang-batang perdu itu ada juga yang cukup kuat untuk menahan berat
badannya.
Dengan sangat hati-hati akhirnya Mahisa
Agni dengan selamat dapat mencapai dasar sungai itu. Dasar yang keras.
Di antara batu-batu yang berserakan hampir memenuhi dasar sungai, maka
di tepian, batu-batu padas yang runcing menjorok di sana sini.
Mahisa Agni menarik nafas
panjang-panjang. Sekali ia menengadahkan kepalanya. Dilihatnya ketiga
kawannya menelengkup di atas tebing melihatnya dengan penuh harapan.
Ketiga kawan Mahisa Agni itu sama sekali
tidak membantunya dalam kesulitan, bahkan seakan-akan mereka adalah
momongan-momongan yang hanya dapat mengganggu saja.
Tetapi mereka bertiga telah terlanjur
dibawanya sampai ke tempat ini. Apabila terjadi sesuatu atas mereka,
maka orang-orang Panawijen akan menjadi mudah berprasangka terhadapnya.
Karena itu, maka ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan ketiga
kawan-kawannya itu.
Kini Mahisa Agni berpaling memandangi
arus sungai yang bening jernih. Suaranya gemericik diantara batu-batu
yang berserakan besar kecil.
Ketika Mahisa Agni memandang lurus ke
depan, dilihatnya sebuah jalur jurang yang menganga panjang.
Seolah-olah sebuah jalur perak yang putih diantara sepasang dinding
baja yang tegak sebelah menyebelah.
Ketika ia memandang jauh ke depan,
tiba-tiba Mahisa Agni itu tertegun. Wajahnya menegang dan darahnya
menjadi seolah-olah beku. Jauh dihadapannya, di ujung jalur sungai yang
keputihan, dilihatnya sebuah dinding yang putih mengkilap.
Dengan sigapnya Mahisa Agni meloncat
semakin menepi sungai itu. Bahkan kemudian ia menceburkan diri, dan
berjalan ke tengah. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi celananya
menjadi basah kuyup oleh arus air hampir setinggi perutnya.
Ketiga kawannya yang melihat Mahisa Agni
berjalan ke tengah sungai menjadi heran. Apakah yang dilakukannya di
sana? Bahkan Patalan yang kehausan berteriak tidak sabar, “Agni. Apakah
kau menunggu aku mati?”
Mahisa Agni masih berdiri dengan
tegangnya. Bahkan setelah ia bersentuhan dengan air ia menjadi lupa
akan perasaan hausnya. Semula ia hanya ingin menahan diri untuk tidak
tergesa-gesa meneguk air, supaya perutnya tidak menjadi sakit dan
gembung. Namun kini bahkan ia tidak lagi mengingat perasaan hausnya
itu.
“Agni,“ teriak Sinung Sari dan Jinan hampir bersama.
Mahisa Agni terkejut mendengar teriakan itu, seolah-olah ia sedang terbangun dari sebuah mimpi.
“Agni, cepat sebelum aku mati.”
Kini Agni berpaling kepada ketiga
kawan-kawannya. Tetapi ia tidak segera mengisi bumbungnya. Dengan
lincahnya ia meloncat ke tepian sambil berteriak, “Naik, naiklah
menurut arus air.”
“He,“ sahut Patalan.
“Naiklah. Lihatlah beberapa ratus langkah di atas kita sepanjang sungai ini.”
“Apa,“ teriak Jinan, “maksudmu supaya aku berlari-lari dan mati karena leherku tersekat kering.”
“Tidak, cepat berlari beberapa ratus langkah.”
“Apakah kau gila Agni. Ada apa di atas jalur sungai itu?”
“Apakah kalian tidak melihat,“ sahut Agni seperti orang yang dilanda oleh kegelisahan, “pergilah cepat.”
Kawan-kawannya pun menjadi gelisah dan heran. Bahkan mereka menjadi bingung.
“He,“ teriak Agni, “apakah kalian tidak melihat?”
“Kami tidak melihat apa-apa selain sungai itu,” jawab kawan-kawannya.
“Dan tidak mendengar?”
“Tidak.”
Mahisa Agni terdiam sesaat.
Dimiringkannya kepalanya dalam keasyikan mendengarkan sesuatu, “Aku
mendengarnya meskipun lamat-lamat.”
“Kau mendengar apa?“ bertanya Sinung Sari.
“Pergilah menyusur sungai ini. Aku akan lewat di bawah.”
“Ya, tapi kemana dan kenapa?”
“Jeram. Apakah, kau tidak mendengar
suara air itu terjun? He. Di atas kita ada jeram yang cukup tinggi.
Tebing sungai di sebelah jeram itu pasti tidak akan terlalu tinggi.
Marilah kita lihat apakah kita dapat membuat bendungan di atasnya.”
Kawan-kawannya yang kehausan itu pun
tiba-tiba terpengaruh. Jeram? Kalau benar kata Mahisa Agni, maka mereka
akan menemukan dasar sungai yang cukup dangkal, sehingga mereka akan
dapat langsung terjun ke dalam air dan minum sepuas-puasnya. Karena
itu, maka tiba-tiba kekuatan mereka serasa tumbuh kembali. Harapan
untuk mendapatkan air sebanyak yang diinginkan, akan terpenuhi.
Tiba-tiba seperti disentakkan oleh
tenaga ajaib mereka serentak berdiri dan berlari ke hulu. Kain panjang
yang bersambung-sambung itu mereka tarik saja seperti ekor yang panjang
sekali, yang kadang-kadang tersangkut pada batang perdu. Karena itu,
maka kain-kain mereka menjadi tercabik-cabik oleh duri dan
ranting-ranting. Bahkan sekali-sekali mereka tersentak dan
hampir-hampir jatuh menelentang karena kain itu tertahan oleh sebuah
sangkutan yang agak kuat. Namun betapapun juga mereka masih cukup
sadar, bahwa kain itu harus tetap mereka seret bersama mereka.
Kini panas yang terik seolah-olah tidak
terasa lagi. Mereka sedang digerakkan oleh tenaga ajaib yang demikian
saja tumbuh dari desakan harapan yang kuat. Seakan-akan mereka telah
digerakkan bukan oleh diri mereka sendiri. Namun mereka sama sekali
tidak menyadarinya, bahwa kekuatan-kekuatan yang demikian itulah, yang
lajim disebut kekuatan-kekuatan cadangan. Kekuatan-kekuatan yang bagi
mereka yang terlatih dapat dimanfaatkan setiap saat dengan penuh
kesadaran. Tetapi bagi mereka yang tidak memeliharanya dan bahkan tidak
menyadarinya, kekuatan itu hanya akan timbul dalam saat-saat tertentu
justru diluar kehendak wajar dan kesadaran.
Demikian mereka bertiga berlari seperti
sedang berpacu, berkejar-kejaran. Sedang jauh dibawa dinding tebing
sungai itu Mahisa Agni pun berlari jauh lebih kencang dari mereka
bertiga, sehingga Mahisa Agni yang pertama-tama sampai ke bawah
jeram-jeram itu. Namun Mahisa Agni sama sekali tidak puas melihat
jeram-jeram itu dari bawah. Tidak puas mendapat siraman air sejuk
dingin yang gemercik jatuh di atas batu-batu. Yang telah memantulkan
sinar matahari dalam tujuh warna seperti, warna pelangi. Ingatlah
Mahisa Agni saat itu sedang terpancang pada bendungan. Karena itu, maka
segera ia berusaha mencari kemungkinan untuk memanjat tebing yang kini
tidak securam tebing-tebing di sepanjang yang pernah dilaluinya.
Meskipun demikian untuk memanjat tebing
itu sama sekali bukan pekerjaan yang mudah. Mahisa Agni harus mendapat
pancadan pada batu-batu padas yang menjorok tidak lebih dari tebal
telapak kakinya. Sedangkan tangannya harus berpegangan pada batu-batu
yang serupa atau pada akar-akar perdu.
Dengan hati-hati Mahisa Agni merayap naik. Tubuhnya menjadi kotor oleh lumpur dan tanah yang hitam kemerah-merahan.
Tetapi Mahisa Agni pernah merayap lereng
gunung Semeru. Merayap masuk ke dalam goa di lereng gunung itu.
Meskipun apa yang dilakukan kali ini tidak lebih mudah dari memanjat
dinding Gunung Semeru, namun tebing yang dihadapinya kali ini jauh
lebih rendah dari lereng goa di kaki Gunung itu. Karena itu, meskipun
tenaga Mahisa Agni yang lelah itu menurut ukuran kawan-kawannya, namun
ia dapat melakukannya dengan baik dan cepat. Ketika ia sampai ke atas
jeram-jeram itu, maka yang pertama dilihatnya adalah sebuah sungai yang
mengalirkan air yang jernih. Tepian sungai itu, yang terdiri dari
tanah-tanah padas, menanjak pada sebuah tebing sungai itu pula, di sisi
Padukuhan Panawijen. Karena itu, maka yang pertama-tama meledak dari
bibir Mahisa Agni adalah, “Terpujilah Yang Maha Agung. Disini kita akan
membangun bendungan itu.”
Sejenak terasa debar jantung Mahisa Agni
seolah-olah berhenti. Betapa ia merasakan kurnia tiada taranya, karena
ia telah dituntun untuk menemukan jeram itu. Dengan demikian, maka
sungai di atas jeram itu, merupakan tempat yang tepat untuk membangun
bendungan seperti yang diimpikannya.
“Hem,“ gumam Mahisa Agni kemudian,
“ternyata apa yang dikatakan Empu Purwa itu tepat benar. Dipadang ini
kita akan dapat membangun sebuah bendungan, sebuah saluran yang baik
dan tanah persawahan menurut perencanaan yang baik pula. Apakah
sebelumnya guru telah melihat daerah ini pula?”
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara parau di belakangnya, “Air. Air. Kita mendapatkan air.”
Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya ketika
kawannya berlari tertatih-tatih. Sinung Sari masih menyeret kain
panjang mereka yang sudah tercabik-cabik oleh duri dan ranting-ranting
perdu. Namun ketika dilihatnya air sungai yang jernih itu, tiba-tiba
kain itu dilepaskannya. Dengan penuh gairah dan nafsu ia meluncur
bersama Jinan dan Patalan. Mata mereka seolah-olah menjadi liar dan
lidah mereka menjilat-jilat bibir.
Mahisa Agni menjadi cemas melihat mereka
itu. Seandainya mereka dibiarkannya, maka mereka pasti akan langsung
menyurukkan kepala mereka ke dalam air karena perasaan harus yang
menyekat leher. Dengan demikian, maka mungkin mereka akan mendapat
bahaya karenanya. Air yang tiba-tiba saja mengalir lewat kerongkongan
mereka tanpa diperhitungkan akan dapat mengganggu pernafasan mereka,
dan kemudian adalah mungkin sekali mereka akan minum terlalu banyak.
Karena itu ketika Mahisa Agni melihat mereka semakin dekat maka segera ia berteriak, “Berhenti. Berhentilah sebentar.”
Ketiga anak-anak muda itu berpaling sesaat, namun segera mereka berlari semakin kencang.
“Berhenti,“ teriak Mahisa Agni sambil berlari di samping mereka.
Tetapi mereka tidak mendengar suara itu.
Mereka berlari terus dan dengan mata yang liar memandangi aliran air
yang gemericik. Bahkan jarak yang sudah semakin dekat itu seakan-akan
tidak pernah dapat dicapainya.
“Berhenti,“ teriak Mahisa Agni sekali lagi.
Namun kali ini pun mereka seolah-olah
sama sekali tak mendengarnya. Mahisa Agni menjadi semakin cemas.
Beberapa langkah, ia berlari mendahului. Kini mereka telah sampai ke
tebing sungai. Beberapa saat lagi mereka berloncatan turun ke tepian.
Tetapi karena tubuh-tubuh mereka yang lemah, maka mereka bertiga jatuh
berguling bersama-sama. Tetapi usaha mereka untuk segera mendapat air
sama sekali tidak terpengaruh. Meskipun mereka kini terlentang di
tepian, namun dengan penuh nafsu mereka merayap-rayap seperti ular
menuju ke pinggir sungai. Luka-luka yang timbul pada tubuh mereka, sama
sekali tak terasa.
“Jangan minum dengan menyurukkan kepala kalian ke dalam air.“ minta Mahisa Agni, “duduklah, dan ambillah air dengan tangan.”
Seruan itu sama sekali tidak mendapatkan
perhatian mereka. Beberapa langkah lagi mereka akan dapat memasukkan
mulut mereka langsung ke dalam air.
Tiba-tiba Mahisa Agni meloncat maju
dihadapan mereka, tepat di pinggir sungai. Kakinya membenam setinggi
mata kaki di dalam air. Dengan serta merta dicabutnya pedangnya dan
diacungkannya kepada ketiga kawan-kawannya yang hampir saja membenamkan
wajah-wajah mereka.
Ketiga kawan-kawannya itu terkejut.
Betapapun juga ketika mata mereka menatap tajam pedang Mahisa Agni,
hati mereka berdebar-debar dan karena itu tanpa mereka sengaja, maka
mereka pun berhenti tepat ketika setapak lagi mereka telah menyentuh
air. Tetapi tajam pedang Agni itu pun hanya sejengkal saja dihadapan
hidung mereka.
“Duduk,“ terdengar perintah Mahisa Agni.
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu telah
hampir kehilangan perasaan mereka. Namun dengan ujung pedang Mahisa
Agni berhasil memaksa mereka untuk duduk.
“Nah, minumlah dengan cara yang baik
supaya kalian tidak mati justru ketika kalian menemukan air.“ minta
Agni, “ambillah air dengan kedua telapak tanganmu, dan minumlah air itu
sedikit demi sedikit.”
Mahisa Agni kemudian melihat mereka
bertiga dengan tergesa-gesa mengambil air di atas. telapak tangan
masing-masing dan langsung dihisapnya. Sekali dua kali, namun mereka
seakan-akan tidak menjadi puas. Tetapi ketika mereka mengerling, mereka
masih melihat pedang Agni seolah-olah telah melekat di ujung hidung
mereka.
“Cukup,“ bentak Agni sesaat kemudian.
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu
mendengar pula bentakan itu, tetapi leher mereka serasa masih saja
kering. Karena itu maka mereka sama sekali tidak menghiraukannya
seandainya Mahisa Agni tidak menggerakkan pedangnya sambil mengulangi,
“Cukup.”
Ketiganya terpaksa berhenti minum.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni dengan wajah yang memancarkan kekecewaan
hati mereka. Bahkan dengan terbata-bata Sinung Sari bertanya, “Apakah
artinya ini Agni. Apakah kau benar-benar ingin melihat kami kehausan?”
“Bukankah kalian telah minum?” bertanya Agni.
“Hanya seteguk.”
“Tidak. Coba sekarang kalian tenangkan hati kalian. Cobalah menyadari keadaan. Apakah kalian masih terlalu haus?”
“Ya. Kami masih terlalu haus,“ sahut Patalan.
“Tetapi kalian telah minum dan telah membasahi kerongkongan kalian. Sekarang datang giliranku untuk minum.”
“Agni, air sungai ini tidak akan habis kita minum bersama-sama. Minumlah dan biarlah kami minum.”
“Tidak, sekarang akulah yang akan minum. Kalau kalian masih juga akan minum, maka aku bunuh kalian disini.”
Ketiga kawan Mahisa Agni menjadi kecewa.
Sangat kecewa. Tiba-tiba timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati
mereka yang masih belum terlampau jernih. Apakah memang Mahisa Agni
ingin membunuh mereka?”
Kini mereka melihat bagaimana Mahisa
Agni itu minum. Ia berlutut di pinggir sungai itu. Dengan tangannya ia
mengambil air sungai yang melimpah-limpah itu, dan dihirupnya
seteguk-teguk. Tidak lebih dari tiga kali. Kemudian ia pun berhenti
minum, dan berpaling kepada kawan-kawannya.
Jinan. Patalan dan Sinung Sari melihat
cara Mahisa Agni itu minum perlahan-lahan dan tidak terlampau banyak
meskipun tak ada yang mencegahnya. Tidak lebih dari yang mereka minum
itu pula. Sehingga dengan demikian, timbullah berbagai pertanyaan dalam
hati mereka.
“Apakah kalian masih haus?” bertanya Agni tiba-tiba. Ketiga kawan-kawannya mengangguk.
“Tunggulah sesaat. Nanti kalian akan dapat minum lagi sepuas-puasnya. Air ini tidak akan habis.”
“Kenapa nanti?”
“Supaya kalian tidak mati.”
Ketiga kawan-kawan Agni itu menarik
nafas dalam-dalam. perlahan-lahan disadarinya ketergesa-gesaannya.
Kalau Mahisa Agni tidak mencegahnya, mungkin perut mereka kini telah
menjadi gembung. Atau mungkin air yang diteguknya akan mengalir tidak
lewat jalan yang sewajarnya di dalam kerongkongan mereka karena masih
belum siap untuk dialiri air sebanyak-banyaknya tetesan hampir melekat
karena kekeringan.
Kini mereka baru mengerti, apakah maksud
Mahisa Agni sebenarnya. Dan karena itu maka terasa pula, kerongkongan
mereka tidak lagi terlalu kering. Ketika mereka kemudian menjadi
tenang, barulah mereka berkata, “Terima kasih Agni. Kau telah mencegah
kami, sehingga kami tidak mendapat bencana karena perasaan haus yang
tak tertahankan.”
Mahisa Agni tersenyum. Terbayang di
wajahnya sinar matanya yang cerah. Sambil mengangguk ia berkata,
“Kalian telah kehilangan ketenangan dan kejernihan otak kalian karena
perasaan haus itu. Tetapi kini kalian telah menyadarinya.”
“Ya,” jawab mereka serentak.
“Kini, kalian harus mengingat
kepentingan kalian datang ke tempat ini. Bukan sekedar mencari minum.
Tetapi ada yang lebih penting. Ternyata yang pertama-tama kalian ingat
waktu kalian sampai ke tempat ini adalah air untuk minum. Bukan bentuk
sungai ini.”
“He,“ ketiga kawan-kawannya tersentak
mendengar keterangan itu. Tiba-tiba mereka dengan nanar memandang
keadaan di sekelilingnya. Tebing sungai ini tidak terlampau dalam,
bahkan cukup rendah. Karena itu maka terloncatlah dari mulut mereka.
“Tebing ini cukup rendah. Kita akan dapat menaikkan airnya dengan
mudah. Agni, disini kita dapat membuat bendungan itu.”
Mahisa Agni tersenyum kembali. Dengan
puas ia berkata, “Nah, kenalilah tempat ini baik-baik. Bukan sekedar
tempat untuk mendapatkan minum. Tebing ini memang cukup rendah,
sehingga kalian yang meloncat terjun sama sekali tidak mengalami
cedera, selain lecet-lecet di beberapa tempat pada tubuh kalian.”
Ketiga kawannya tersenyum pula. Serentak
mereka berdiri. Memang kini mereka merasa bahwa tubuh-tubuh mereka
menjadi pedih, namun kegembiraan mereka ternyata telah melonjak,
sehingga mereka sama sekali tidak merasakannya.
“Agni,“ berkata Sinung Sari, “bukankah tempat ini amat baiknya?”
“Ya,” jawab Agni, “tebingnya rendah, dan
di sekitar tempat ini cukup banyak bahan yang dapat kita pergunakan.
Batu dan dedaunan, ranting-ranting kecil dan sebagainya. Kita akan
dapat segera membangun bendungan itu disini.”
Penemuan itu ternyata telah melenyapkan
segala perasaan sakit dan lelah. Mereka merasa bahwa tugas mereka
berhasil. Menemukan tempat yang baik untuk membangun bendungan. Karena
itu maka kini mereka dapat beristirahat dengan tenang, tanpa takut lagi
akan kehausan. Sebab dihadapan mereka, air yang jernih mengalir
melimpah-limpah.
Namun dalam pada itu, timbul pulalah
gangguan yang lain bagi ketiga kawan-kawan Mahisa Agni. Matahari
ternyata semakin condong ke barat, dan bahkan menjadi terlalu rendah.
“Agni. Bagaimanakah dengan kita kini. Apakah kita akan segera kembali?“ bertanya Jinan.
“Apakah kalian tidak lelah?“ bertanya Agni.
Jinan terdiam. Ia memang lelah sekali. Tetapi perasaan cemas dan takut kembali merayap di hatinya.
“Kita bermalam disini,“ berkata Agni,
“jangan takut. Bukankah hantu Karautan telah tidak ada lagi. Bukankah
Kuda Sempana pun telah terusir?”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka, tetapi tampaklah bahwa wajah-wajah
mereka sama sekali tidak meyakinkan kebenaran kata-kata Mahisa Agni.
Mahisa Agni pun menyadarinya. Tetapi ia
tidak berkata-kata lagi. Dengan tenangnya ia membaringkan dirinya pada
sisa-sisa sinar matahari yang telah menjadi semakin rendah untuk
mengeringkan celananya yang basah kuyup dan kotor karena lumpur. Namun
pada bibirnya membayang kepuasan hatinya bahwa usahanya selama dua hari
ini, kini telah berhasil. Meskipun dengan susah payah dan berbagai
kesulitan, tetapi apabila kemudian di tempat ini benar-benar dapat
dibangun sebuah bendungan, maka manfaat dari jerih payahnya adalah
berlipat-lipat.
Mahisa Agni yang lelah tetapi mendapat
kepuasan hati itu pun bahkan kemudian tertidur lelap. Meskipun
celananya masih basah dan tubuhnya dikotori dengan butiran-butiran batu
padas dan lumpur.
Ketiga kawan-kawannya bahkan menjadi
sangat gelisah. Tetapi mereka tidak berani membangunkan Mahisa Agni.
Selama matahari masih bersinar, mereka masih dapat menahan kecemasan
mereka. Tetapi ketika cahaya kemerahan di ujung barat semakin lama
menjadi semakin kelam, dan burung-burung liar telah berterbangan pulang
ke sarang, maka mereka tidak dapat lagi menahan kegelisahan mereka.
Meskipun tidak langsung, namun mereka pun mencoba membuat suara-suara
yang akan dapat membangunkan Mahisa Agni.
Ternyata usaha mereka itu pun berhasil.
Mereka merasa tenteram ketika mereka melihat Mahisa Agni menggeliat dan
kemudian bangkit duduk di samping mereka.
“Senja,“ desisnya.
“Ya. Senja hampir lampau,” jawab Sinung Sari.
“Alangkah segarnya tubuhku kini. Apakah kalian tidak ingin tidur?”
“Sebenarnya. Tetapi kami menjadi gelisah. Kami tidak akan dapat tidur bersama-sama.”
“Kalau demikian, apabila kalian inginkan, tidurlah. Aku akan berjaga-jaga setelah aku mendahului tidur nyenyak.”
Ketiganya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ketika mereka melihat Mahisa Agni berdiri, serentak
mereka bertanya, “Kemana Agni?”
“Mencari rumput-rumput kering dan ranting?”
“Untuk apa?”
“Perapian.”
“Jangan,“ teriak mereka bersama-sama,
“tempat kita akan segera diketahui orang. Mungkin Kuda Sempana yang
datang membawa kawan-kawannya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia sependapat dengan mereka, meskipun hanya disimpannya di dalam
hati, supaya kawannya itu tidak menjadi semakin cemas. Bahkan katanya,
“Hem. Kalian masih saja dibayangi oleh ketakutan.”
Ketiga kawan-kawannya tidak menjawab.
Namun mereka merasa agak tenteram ketika mereka melihat Mahisa Agni
seakan-akan tidak menjadi gelisah sama sekali meskipun senja menjadi
semakin gelap.
Mahisa Agni pun kemudian duduk kembali.
Tetapi ketika angin senja menyentuh tubuhnya terasa alangkah dinginnya.
Dan tiba-tiba diingatnya kain panjangnya yang masih bersambung
sambungan dengan kain kawan-kawannya. Karena itu, maka segera kembali
ia berdiri.
“Kemana Agni,“ serentak kawan-kawannya pun bertanya kembali.
“Kain panjang kita,“ sahut Agni.
Ketiga kawan-kawannya tidak bertanya
lagi. Mahisa Agni kemudian berjalan memungut kain panjangnya yang
terbelah dan terikat satu sama lain. Dicobanya untuk mengurai ikatan
itu. Tetapi ternyata kemudian bahwa kain itu telah hampir menjadi
compang-camping. Meskipun demikian, dipakainya juga kain yang telah
berlubang-lubang dan kotor itu untuk menutup badannya menahan dingin.
Ketiga kawan-kawan nya pun berbuat serupa. Hanya karena itu, maka badan
mereka menjadi gatal-gatal.
Meskipun kemudian Mahisa Agni tetap
duduk berjaga-jaga, namun ketiga kawan-kawannya tidak segera dapat
tertidur. Betapa perasaan lelah merayapi segenap tulangnya, namun
perasaan cemas dan gelisah ternyata telah menindasnya. Sekali-sekali
terasa angin yang sejuk menghanyutkan mereka sekejap-sekejap, tetapi
segera mereka tergagap bangun. Seakan-akan sesuatu telah siap untuk
menerkam mereka satu demi satu. Namun ketika terpandang oleh mereka
dalam keremangan malam Mahisa Agni masih duduk memeluk kedua lututnya,
maka mereka pun menarik nafas dalam-dalam.
Ujung malam itu semakin lama menjadi
semakin dalam. Langit yang biru gelap terbentang di atas padang rumput
yang luas bertaburkan bintang-bintang yang semakin lama seolah-olah
menjadi semakin banyak. Sehelai-sehelai awan yang putih dihanyutkan
oleh angin perlahan-lahan mengalir ke utara.
Hati kawan-kawan Mahisa Agni itu
benar-benar tidak dapat tenteram. Dikejauhan kembali terdengar suara
burung kedasih sayup-sayup melas asih. Seperti suara tangis biyung yang
kehilangan anaknya tersayang. Sayup-sayup menyusup di hati diantara
desir angin yang lembut.
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu
mengeluh di dalam hati. Mereka belum pernah mengalami pekerjaan seberat
ini. Bukan saja tenaga mereka yang terperas habis, tetapi juga
perasaan mereka yang gelisah, cemas, takut dan segala macam perasaan
yang mengerikan.
Sekali-sekali mereka mencoba juga
menghibur diri mereka. Di samping mereka masih ada Mahisa Agni. Tetapi
agaknya kecemasan dan ketakutan mereka benar-benar telah memenuhi
segenap rongga dada mereka.
Padang itu semakin lama menjadi semakin
sunyi. Sehingga suara burung kedasih itu pun menjadi semakin jelas
bergema memenuhi padang Karautan. Kadang-kadang perlahan-lahan, namun
kadang-kadang menjadi semakin jelas.
Tetapi tiba-tiba diantara keluh burung
kedasih itu, terdengar suara yang lain. Lamat-lamat dalam irama yang
seakan akan teratur. Semakin lama semakin jelas.
Ketika suara itu telah mereka yakini, maka serentak terdengar ketiga kawan Agni itu berkata parau, “Kuda. Derap kuda.”
Mahisa Agni pun kemudian mengangkat
kepalanya. Sebenarnya telah didengarnya pula suara derap kuda itu.
Namun ia masih saja berdiam diri untuk tidak mencemaskan hati
kawan-kawannya. Tetapi kini kawan-kawannya itu telah mendengar sendiri.
Bahkan mereka telah dapat menyebutnya, bahwa suara itu adalah suara
derap kaki kuda. Karena itu, maka Mahisa Agni pun menjawab, “Ya. Derap
kaki kuda.”
“O,“ desah Patalan, “pasti Kuda Sempana datang bersama kawan-kawannya.”
Mahisa Agni mempertajam pendengarnya. Sesaat kemudian ia menjawab, “Pasti bukan. Suara itu hanya suara derap kaki seekor kuda.”
“Kenapa hanya seekor,“ bertanya Sinung Sari.
Mahisa Agni heran mendengar pertanyaan itu, “Kenapa?“ ulangnya, “ya kenapa?”
“Maksudku, apakah kau tahu benar bahwa suara itu suara derap kaki seekor kuda?“ Sinung Sari menjelaskan.
“Ah,” sahut Agni, “bukankah kalian dapat juga membedakan.”
Sinung Sari kemudian terdiam. Kawan-kawannya pun terdiam. Namun gelora di dalam dada mereka mulai bergolak kembali.
“Kali ini jangan memperbodoh diri,“
berkata Mahisa Agni kemudian, “seandainya yang datang itu orang yang
akan membawa bencana, jangan kau serahkan kepalamu untuk dipenggalnya.
Kalau tidak ada jalan lain, maka kalian harus memilih, di penggal atau
memenggal kepala orang itu. Bukankah kalian membawa pedang? Selama aku
masih dapat melindungi kalian, aku akan mencobanya. Tetapi kalau tidak,
bukan salahku kalau kalian mati dipadang rumput ini. Ayo. Tengadahkan
wajahmu. Sambutlah setiap tantangan untuk diatasi. Jangan menyerah.”
Terasa kebenaran kata-kata Mahisa Agni
itu. Sebuah getaran menyusup ke dalam hati mereka. Mereka pun
sebenarnya ingin pula berbuat demikian. Tetapi mereka sama sekali belum
pernah bertempur melawan apapun. Ada juga diantara mereka di masa
kanak-kanaknya berkelahi satu sama lain. Bahkan kadang-kadang mereka
pun sering melakukan permainan yang menyerupai perkelahian, binten,
bantingan dan sebagainya. Tetapi sama sekali tidak berbahaya bagi
keselamatan mereka.
Mahisa Agni melihat keragu-raguan itu,
sehingga katanya, “Seterusnya terserah kepada kalian. Apakah kalian
ingin mati, apakah kalian akan mencoba menghindarinya dengan sebuah
usaha.”
Sekali lagi sebuah getaran menyusup ke dalam hati mereka.
Mereka dihadapkan pada dua buah pilihan, Mati atau berusaha menyelamatkan diri.
Derap kuda itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Namun Mahisa Agni yang jauh lebih berpengalaman dari
ketiga kawan-kawannya segera dapat mengetahuinya, bahwa Kuda itu tidak
berjalan terlalu cepat. Derap kakinya yang memukul batu-batu padas pun
tidak terdengar terlalu keras meskipun kuda itu sudah menjadi semakin
dekat.
“Kita bersembunyi,“ bisik Mahisa Agni
kepada kawan-kawannya, “Tetapi itu bukan berarti bahwa kita adalah
pengecut. Namun kita harus mengetahui lebih dahulu siapakah yang datang
itu. Kalau tidak ada persoalan yang memaksa, kita akan dapat
menghindari setiap persoalan yang tidak kita kehendaki.”
Sebelum Mahisa Agni berbuat sesuatu,
ketiga kawan-kawannya telah mendahuluinya, menyurukkan diri mereka
sendiri ke dalam semak-semak. Mereka mengumpat-umpat di dalam hati
mereka, apabila pedang-pedang mereka ternyata malahan mengganggu,
karena tangkai-tangkainya, dan kadang-kadang sarungnya menyangkut
ranting-ranting kecil
Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia
tidak berkata sepatah katapun. Yang terakhir, ia sendiri berusaha
menyembunyikan diri pula di balik-balik gerumbul kecil sambil berusaha
mengawasi penunggang kuda yang sudah menjadi semakin dekat.
Sesaat kemudian, seakan-akan muncul dari
keremangan malam, sesosok tubuh duduk di atas seekor kuda yang besar.
Semakin lama semakin dekat. Dan mata Mahisa Agni yang tajam, segera
dapat melihat sebilah pedang tergantung di lambung penunggangnya.
Sebenarnya kuda itu tidak berjalan terlalu cepat. Bahkan sekali-sekali berhenti dan seakan-akan memang ada yang dicarinya.
Dada Mahisa Agni berdesir ketika baru
saja disadarinya, beberapa macam barang-barang milik kawannya
tertinggal di tempat mereka beristirahat. Bumbung-bumbung kecil dan
sebuah bungkusan bekal makanan.
“Hem,“ Mahisa Agni berdesah di dalam
dadanya. Sebenarnya ia ingin menghindari setiap persoalan dengan
menyembunyikan dirinya. Tetapi kalau penunggang kuda itu melihat
beberapa macam benda-benda yang berserakan itu, maka pasti orang itu
menyangka bahwa setidak-tidaknya tempat ini merupakan tempat yang harus
mendapat perhatian. Meskipun Mahisa Agni sama sekali tidak takut
seandainya ia harus berhadapan dengan siapa pun yang mengganggu
usahanya tetapi baginya, kemungkinan-kemungkinan yang demikian akan
dihindirinya sejauh mungkin.
Mahisa Agni menggigit bibirnya ketika ia
melihat kuda itu menjadi bertambah dekat. Dan apa yang dicemaskannya
itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika penunggang kuda itu melihat
beberapa benda yang terserak-serak, maka segera ia menghentikan langkah
kudanya. Dengan lincahnya ia meloncat turun, dan kemudian dengan
saksama ia memperhatikan benda-benda yang berserakan itu.
Kini Mahisa Agni seakan-akan menahan
nafasnya. Ia berada di balik sebuah gerumbul yang tidak terlalu dekat
dengan orang yang baru datang itu. Apalagi daun-daun perdu di gerumbul
itu selalu saja mengganggunya, apabila ia mencoba untuk melihat orang
yang baru saja datang itu. Namun lamat-lamat disela-sela dedaunan,
meskipun tidak jelas ia melihat orang itu membongkokkan badannya,
memungut beberapa macam benda-benda yang terserak-serak itu.
Tetapi orang itu masih berdiam diri.
Ketika kemudian ia berdiri tegak terdengar tarikan nafasnya. Sambil
berjalan beberapa langkah, orang itu bergumam, “Pasti disini. Di
sekitar tempat ini.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Kata-kata itu hanya didengarnya lamat-lamat. Namun tiba-tiba terasa
olehnya, bahwa ia pernah mengenal orang yang baru datang itu.
Mahisa Agni kemudian melihat orang itu
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sesaat orang itu berdiam diri. Dan
kemudian terdengar ia tertawa. Dari dalam sebuah gerumbul ia mendengar
dengus nafas berdesah semakin cepat.
“Ha,“ katanya, “di situ kalian bersembunyi.”
Jinan, Patalan dan Sinung Sari mendengar
kata-kata itu. Darah mereka seakan-akan berhenti mengalir. Tetapi
sesaat kemudian teringatlah mereka akan kata-kata Mahisa Agni, bahwa
mereka jangan menyerahkan kepala mereka tanpa perlawanan. Namun,
sangatlah berat tangan mereka untuk bergerak menarik pedang mereka itu.
“Kenapa kalian bersembunyi,“ terdengar
orang itu bertanya sambil berjalan beberapa langkah maju. Sedang nafas
di dalam gerumbul itu menjadi semakin cepat memburu lewat lubang-lubang
hidung mereka.
Namun tiba-tiba orang itu terkejut.
Selangkah ia turut, dan dengan tangkai ia memutar tubuhnya ketika ia
mendengar suara di belakangnya, “Disini aku. Bukan di situ.”
Suara itu adalah suara Mahisa Agni.
Ketika ternyata orang itu mengetahui tempat persembunyian kawannya, ia
tidak dapat langsung bersembunyi sambil berdiam diri. Mahisa Agni
terpaksa menampilkan dirinya untuk melindungi ketiga kawannya.
Tetapi Mahisa Agni lah yang kemudian terkejut mendengar orang itu menyebut namanya, “Mahisa Agni.”
“Ya.”
Orang itu berjalan mendekatinya. Semakin lama semakin dekat, “Kau telah mengenal namaku,“ bertanya Mahisa Agni.
“Ken Arok berkata kepadaku, bahwa kau
berada di padang ini bersama ketiga kawan-kawanmu. Salah seorang yang
berani menyatakan dirinya, pastilah hanya Mahisa Agni.”
Mahisa Agni mengawasi orang itu dengan
saksama. Ketika orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengar
Mahisa Agni berkata, “Oh, kau Mahendra. Kau mengejutkan kami disini.”
Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak
sengaja. Tetapi Ken Arok telah berceritera kepadaku, bahwa kau berada
dipadang Karautan bersama tiga orang yang aneh.”
“Di situlah mereka,“ sahut Mahisa Agni sambil menunjuk ke gerumbul tempat kawan-kawannya bersembunyi.
“Ya. Aku telah mendengar tarikan nafas mereka.”
“He, Jinan, Patalan dan Sinung Sari,” panggil Mahisa Agni, “Kemarilah. Yang datang adalah kawan kita sendiri.”
Kembali ketiga kawan Mahisa Agni itu
tersuruk-suruk keluar dari tempat persembunyian mereka. Dengan agak
malu-malu mereka berjalan mendekati.
“Inilah mereka,“ berkata Mahisa Agni memperkenalkan kawan-kawannya.
“Kenapa kalian bersembunyi?” bertanya Mahendra.
Ketiganya tunduk tersipu-sipu. Namun kemudian Sinung Sari menjawab, “Mahisa Agni menyuruh kami bersembunyi.”
“Oh,“ desis Mahendra sambil tersenyum, “benar begitu?”
Mahisa Agni pun tersenyum pula.
jawabnya, “Ya. Akulah yang menyuruh mereka bersembunyi, meskipun sama
sekali tidak mereka kehendaki, sebab aku ingin menghindari persoalan
yang dapat timbul kemudian, seandainya yang datang bukan kawan sendiri.
Persoalan yang mungkin tidak ada gunanya, selain hanya untuk memenuhi
kesenangan mereka bertiga. Bukan begitu Sinung Sari?”
Seandainya terlihat oleh mereka, maka
wajah Sinung Sari menjadi kemerah-merahan. Ia sama sekali tidak
menjawab pertanyaan Mahisa Agni itu, dan bahkan kepalanya menjadi
semakin tunduk dalam-dalam.
Mahisa Agni dan Mahendra tidak dapat
menahan senyum mereka. Dari Ken Arok, Mahendra telah mendengar ceritera
tentang ketiga kawan Mahisa Agni itu. Karena itu serba sedikit ia
dapat mengetahui sifat-sifat mereka.
Ketika Sinung Sari sama sekali tidak
menjawab, dan bahkan dengan perasaan malu ia berkisar ke samping, maka
berkatalah Mahisa Agni, “Mari, Mahendra, duduklah.”
Mereka itu pun kemudian duduk melingkar di atas tanah yang berdebu. Di sana-sini rumput liar tumbuh dengan lebatnya.
Sesaat malam menjadi hening, sehening
padang yang tidak berpenghuni. Sayup-sayup di kejauhan masih terdengar
suara burung kedasih menggetarkan sepi malam.
“Mahendra,“ terdengar suara Mahisa Agni kemudian, “apakah kau juga ingin menjadi hantu padang Karautan?”
Mahendra mengangkat wajahnya. Sekilas
tampak senyumnya. menggerakkan bibirnya. “Sebetulnya,” sahutnya,
“tetapi aku tidak tahan dingin, karena itu maksud itu aku urungkan.”
“Lalu apakah keperluanmu berada dipadang ini?” bertanya Mahisa Agni.
“Kakang Witantra menyuruhku datang kemari, setelah pagi-pagi tadi kami bertemu dengan Ken Arok.”
“Apa katanya?”
“Ken Arok melihat hantu padang Karautan saling berkelahi.”
Keduanya tertawa pendek. Lalu Mahendra
meneruskan, “Tetapi kakang Witantra tidak tertarik kepada hantu-hantu
itu. Ia lebih tertarik pada ceritera Ken Arok yang lain”
“Ceritera yang manakah itu?”
“Mahisa Agni,“ berkata Mahendra dengan
nada yang lain. Tampaknya kini ia mulai bersungguh-sungguh, “Apakah
benar Ken Arok telah mengatakan kepadamu tentang adikmu itu?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Bahwa Akuwu Tunggul Ametung menghendakinya?”
“Tetapi kenapa kau tidak mau menerimanya seandainya Akuwu itu akan datang kepadamu untuk mewakili ayah gadis itu.”
Mahisa Agni kini menggelengkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak, tidak perlu. Gadis itu
dibawa dengan cara yang kasar. Biarlah cara itu dilakukan untuk
seterusnya.”
“Tetapi yang melakukan itu adalah Kuda Sempana.”
“Bukankah Akuwu Tunggul Ametung bersamanya pada waktu itu?”
Mahendra terdiam sesaat. Jawaban Mahisa
Agni itu dapat dimengertinya. Luka hatinya pada saat ia kehilangan
adiknya ternyata terlampau parah, sehingga setiap sentuhan padanya,
masih juga akan terasa betapa sakitnya.
Mahisa Agni sendiri kemudian menundukkan kepalanya.
Sakit di hatinya itu jauh lebih parah
dari yang disangka oleh Mahendra. Meskipun demikian, sama sekali tidak
terucapkan kepada siapapun juga. Yang dapat mengetahui, apa sebenarnya
yang mencengkam jantungnya, hanyalah emban tua, pemomong Ken Dedes,
yang tidak lain adalah ibunya sendiri dan gurunya yang tua, ayah Ken
Dedes.
Sesaat mereka duduk berdiam diri. Gelap
malam semakin lama menjadi semakin dekat dan bintang-gemintang di
langit yang biru bertebaran dari ujung ke ujung. Terasa udara menjadi
semakin dingin sampai menggigit tulang.
Dalam keheningan itu, kemudian terdengar
Mahendra berkata, “Agni. Aku tahu betapa hatimu tersinggung karena
sikap Kuda Sempana yang pada saat itu datang dalam lindungan Akuwu
Tumapel. Tetapi menurut kakang Witantra, Akuwu Tunggul Ametung menjadi
kecewa sedalam-dalam terhadap perbuatannya, dan bahkan atas nama Akuwu,
kakang Witantra telah berhasil memisahkan Ken Dedes daripada Kuda
Sempana. Bahkan kemudian, setelah Akuwu Tunggul Ametung mendengar bahwa
Wiraprana telah terbunuh, jatuhlah perasaan ibanya yang tulus kepada
Ken Dedes.”
Mahendra berhenti sesaat seolah-olah ia
menunggu katanya itu menghunjam ke pusat jantung Mahisa Agni. Namun
masih saja dilihatnya Mahisa Agni menunduk.
Maka berkatalah ia seterusnya, “Agni.
Secara jujur aku katakan, bahwa aku pun kecewa melihat Ken Dedes akan
menjadi seorang permaisuri, sebab bagiku belum ada seorang gadis yang
lain yang mampu menyentuh hatiku. Namun adalah lebih baik baginya, bagi
gadis itu sendiri, apabila ia akan dapat menemukan ketenteraman dan
kebahagiaan sebagai permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.”
“Hem,“ Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali, sedalam luka yang menusuk ke dalam
jantungnya. Tetapi ia belum menjawab. Dibiarkannya Mahendra berkata
terus, “Agni, Akuwu telah menetapkan hari perkawinannya. Karena itu,
atas namanya kakang Witantra mengharap kau akan dapat menerimanya,
mewakili ayahmu menyerahkan Ken Dedes kepada Akuwu Tunggul Ametung.”
Mahendra menatap wajah Mahisa Agni
dalam-dalam. Sesaat ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Mahisa
Agni itu. Tetapi dadanya berdesir ketika ia melihat Mahisa Agni
menggelengkan kepalanya, “Tak ada gunanya Mahendra. Akuwu telah
mengambil keputusan. Mungkin Ken Dedes telah menerima lamarannya pula.
Karena itu, biarlah mereka memutuskan kehendak mereka sendiri. Mereka
telah cukup dewasa.”
“Tetapi itu tidak lajim, Agni.”
“Sejak permulaan peristiwa itu sudah berjalan tidak sewajarnya.”
Kini Mahendra lah yang menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya pendirian Mahisa Agni telah tidak mungkin dapat
dirubahnya. Meskipun demikian ia masih mencobanya, “Agni. Witantra
minta dengan sangat kau merubah pendirianmu. Sebab dengan demikian, Ken
Dedes akan merasa kau lepaskan seorang diri. Mungkin ia merasa bahwa
kau tidak merestuinya.”
Mahendra menjadi semakin kecewa ketika ia melihat Mahisa Agni menggeleng sekali lagi.
“Kau tetap pada pendirianmu Agni?”
“Maaf Mahendra. Aku tidak dapat menerima
Tunggal Ametung. Pembicaraan telah berlangsung tanpa aku. Biarlah
persoalan itu selesai tanpa aku pula.”
“Agni. Kau terlalu perasa.”
Mahisa Agni menggigit bibirnya.
Perkataan Mahendra itu tepat menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak kuasa
untuk mengatasi perasaannya. Sehingga dengan demikian kembali ia
berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi Mahendra dengan itu telah dapat
mengetahui, bahwa Mahisa Agni benar-benar tidak dapat memaafkan Kuda
Sempana dan Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan demikian sakit hatinya,
sehingga ia sama sekali tidak mengingat lagi kepentingan gadis yang
disangka adiknya.
“Agni,“ berkata Mahendra kemudian,
“Perkawinan itu akan berlangsung segera. Aku mengharap kau sempat
mempertimbangkan keputusanmu, supaya adikmu tidak seolah-olah sehelai
daun kering yang diterbangkan angin. Ia tidak dapat menolak keinginan
Akuwu, tetapi ia merasa diasingkan dari keluarganya.”
Mahisa Agni terdiam. Kepalanya masih ditundukkannya. Namun ia masih tidak mampu mengatasi perasaan sendiri.
Kembali mereka terlempar ke dalam
suasana sunyi. Masing-masing terbenam dalam pikiran sendiri. Ketiga
kawan-kawan Mahisa Agni pun mendengar percakapan itu dengan pertanyaan
yang membelit hati. Kenapa Mahisa Agni menolak bertemu dengan Akuwu?
Bukankah suatu kurnia tiada taranya, gadis sedesanya dapat menjadi
seorang Permaisuri, dan gadis itu adalah saudara Mahisa Agni, meskipun
kawan-kawannya tahu bahwa gadis itu adalah saudara angkatnya, karena
Agni menjadi murid Empu Purwa. Tetapi mereka sama sekali tidak mau
mencampuri persoalan yang tidak diketahui benar ujung pangkalnya.
Mereka takut kalau-kalau dengan demikian mereka berbuat kesalahan.
Dalam kesenyapan itu tiba-tiba Mahisa
Agni berkata, “Ah, lupakanlah semua itu Mahendra. Marilah kita
berbicara tentang hal yang lain.” Mahisa Agni itu berhenti sejenak.
Tiba-tiba ia berdiri sambil berkata lantang, “Lihat, disini aku akan
membuat bendungan. Bendungan itu akan mengaliri tanah padang rumput
ini, sehingga padang ini akan menjadi tanah persawahan.”
Mahendra pun memandang ke arah sungai
yang ditunjuk oleh Mahisa Agni. Namun ia tidak dapat melepaskah
persoalannya dengan tiba-tiba. Ia masih dicengkam oleh perasaan yang
aneh tentang sikap Mahisa Agni terhadap Akuwu Tunggul Ametung.
Karena itu meskipun ia memandangi arus
air yang gemercik di sampingnya, namun ia tidak segera menjawab
kata-kata Mahisa Agni. Yang terdengar kemudian adalah suara Mahisa
Agni, “Mahendra, apabila kami telah berhasil mengangkat air, dan
menyalurkannya ke dalam parit-parit yang akan kita buat pula, maka
tanah ini akan menjadi tanah subur. Tidak kalah suburnya dengan
tanah-tanah persawahan di Panawijen yang sekarang menjadi kering.
Bahkan apabila air nanti cukup banyak, kami akan menyalurkannya pula ke
tanah-tanah yang sekarang menjadi kering di Panawijen,“ Mahisa Agni
berhenti sebentar, kemudian katanya melanjutkan, “Tetapi jarak untuk
itu terlalu jauh.”
Ketika Mahisa Agni kemudian berpaling
memandangi wajah Mahendra, maka Mahendra itu mengangguk kosong.
Katanya, “Ya. Mudah-mudahan.”
Mahisa Agni pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata lagi. Kini ia
berjalan perlahan-lahan mendekati air yang mengalir tanpa ada
henti-hentinya. Berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin telah beratus-ratus
tahun.
Tetapi Mahisa Agni itu terkejut ketika
Mahendra berkata kepadanya, “Mahisa Agni. Jadi bagaimana jawabmu yang
harus aku sampaikan kepada kakang Witantra?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tetapi
ia masih berdiri di pinggiran sungai. Bahkan ujung kakinya telah
menyentuh air yang gemercik di bawah kakinya, mencerminkan bayangan
bintang-bintang di langit. Berkilat-kilat dan bergetar karena arusnya.
“Maaf. Aku minta maaf kepada kakak
seperguruanmu itu. Aku minta maaf kepada Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu
itu tidak perlu datang kepadaku. Katakanlah kepada Witantra agar
disampaikannya kepada Akuwu, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Ken
Dedes sendiri. Kalau ia menghendakinya, maka biarlah dilakukannya apa
yang baik untuknya.”
“Hem,“ Mahendra menarik nafas
dalam-dalam. Sekali lagi ia bertanya, “Tetapi bagaimana sikapmu secara
jujur? Apakah kau berkenan di hati atau sebaliknya?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
pertanyaan itu. Kemudian jawabnya, “Aku tidak dapat memandang persoalan
ini dengan sejujur hatiku. Persoalan ini sudah terlanjur masuk ke
dalam keadaan yang tidak aku kehendaki.”
“Mungkin ada soal-soal yang dapat dibicarakan, dicari kemungkinan yang dapat memberimu kepuasan.”
Mahisa Agni itu tiba-tiba menggelengkan
kepalanya. Tetapi kemudian terdengar giginya gemeretak. Tiba-tiba
sekali lagi ia berkata lantang, “Mahendra. Jangan kau risaukan lagi
persoalan itu. Lihat. Lihat arus sungai ini. Cukup besar dan cukup kuat
untuk mengaliri padang ini. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau melihat
pula kemungkinan itu,” tiba-tiba suaranya menurun, “Maaf jangan kau
singgung lagi tentang adikku itu. Biarlah ia menentukan jalannya
sendiri. Aku akan selalu merestuinya. Tetapi bagaimana dengan rencanaku
membuat bendungan disini?”
Sekali lagi Mahendra menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Mahisa Agni itu benar-benar sudah tidak mau lagi
diajaknya untuk membicarakan masalah adiknya dan Akuwu Tunggul Ametung.
Karena itu maka ia tidak mau bertanya lagi, sebab dengan demikian akan
dapat menyinggung perasaan anak muda perasa itu.
Bahkan Mahendra itu pun kemudian berdiri
dan melangkah maju mendekati Mahisa Agni. diamat-amatinya sungai yang
mengalir dalam gelap malam itu.
Mahendra itu terkejut ketika tanpa
disangka-sangkanya Mahisa Agni menepuk punggungnya sambil berkata, “He,
bagaimana? Bukankah tempat ini akan menjadi tempat yang sangat baik
untuk membangun bendungan?”
Dengan serta merta, diluar sadarnya Mahendra menjawab, “Ya. Baik. Tempat ini baik sekali untuk membuat bendungan.”
Mahisa Agni tertawa masam. Ia sadar
bahwa jawaban Mahendra itu demikian saja meluncur dari bibirnya. Tetapi
Mahisa Agni tidak mendesaknya lagi.
Ketika kemudian mereka terdiam sesaat,
terdengar suara gemercik air itu menjadi semakin keras. Di bawah
mereka, sayup-sayup terdengar gemerajak air jeram. Bahkan apabila angin
mengalir semakin keras, maka suara jeram-jeram itu pun terbawa pula ke
telinga Mahisa Agni, Mahendra, dan ketiga kawan-kawannya, semakin
keras pula. Namun dalam pada itu, ternyata di dalam dada Mahisa Agni
terdengar suara yang jauh lebih riuh lagi dari suara arus sungai itu
dan bahkan lebih gemuruh dari suara gerojogan jeram-jeram di sebelah.
Untuk menindas kegelisahannya tiba-tiba Mahisa Agni berkata. “He, Mahendra, darimana kau tahu bahwa aku berada di tempat ini?”
Mahendra mengerutkan keningnya. Dengan segan ia menjawab pendek, “Dari Ken Arok.”
“Aku bertemu dengan Ken Arok tidak disini.”
“Kau menelusur sungai ini,” sahut Mahendra, “aku pun berbuat demikian menurut petunjuk Ken Arok.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi suara di dalam dadanya masih saja berdesingan.
Sehingga kembali ia mencoba melepaskan tekanan perasaan itu, “Kenapa
kau berjalan sendiri? Dimana saudara seperguruanmu yang nakal itu, Kebo
Ijo?”
“Ia kini bekerja di istana.”
“He, apakah yang dikerjakannya?”
“Seperti kakang Witantra. Baru beberapa
hari atas ajakan kakang Witantra, supaya ia tidak berkeliaran saja
sepanjang jalan sambil mengganggu gadis-gadis.”
“Bagus. Itu lebih baik baginya,” sahut Mahisa Agni.
Tetapi Mahendra tidak berkata
apa-apalagi, sehingga kembali suasana menjadi kaku dan sepi. Kembali
suara air gemericik itu menyentuh-nyentuh sepinya malam.
Namun tiba-tiba Mahisa Agni dan Mahendra
mendengar suara yang lain-lain. Bukan suara gemericik air, dan bukan
pula suara jeram-jeram di sebelah. Suara itu semakin lama menjadi
semakin jelas … semakin jelas.
Sesaat Mahendra dan Mahisa Agni saling
berpandangan. Hampir bersamaan pula mereka berpaling memandangi ketiga
kawan Mahisa Agni yang duduk membeku memeluk lutut-lutut mereka.
Bersamaan pula mereka segera mendapat
kesimpulan, bahwa bukan mereka bertiga itulah yang sedang
berbisik-bisik. Tetapi pasti orang lain. Karena itu, maka dengan
matanya Mahisa Agni memberi isyarat kepada Mahendra, dan Mahendra pun
segera menangkap maksudnya.
Tanpa berkata sepatah kata pun mereka
kemudian berjalan kembali ke samping kawannya. Namun mereka tidak
segera duduk bersama mereka, bahkan kemudian Mahisa Agni dan Mahendra
itu pun berdiri berhadapan, sehingga mereka masing-masing dapat
melihat, apa yang ada di belakang mereka sebelah menyebelah.
Sejenak mereka tidak lagi mendengar
apapun. Suara berbisik itu seakan-akan lenyap. Dengan demikian mereka
mendapat kesimpulan, bahwa suara itu berada lebih dekat pada tempat
mereka berdiri semula, atau orang-orang yang sedang berbisik-bisik itu
kini telah berdiam diri.
Tetapi Mahisa Agni dan Mahendra tidak
kehilangan kewaspadaan. Segera mereka mempertajam pendengaran mereka,
untuk mencoba menangkap setiap suara yang betapa pun lemahnya,
menyentuh telinga mereka.
Dan sejenak kemudian kembali mereka
mendengar suara itu perlahan-lahan. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara tertawa yang menggetarkan udara malam.
Mahisa Agni dan Mahendra segera
menyadari bahaya yang datang. Apalagi ketiga kawan-kawan Mahisa Agni.
Tubuh mereka tiba-tiba menggigil seperti orang kedinginan. Namun mereka
sama sekali tidak berani beranjak dari tempat mereka masing-masing,
sebab mereka tidak melihat siapakah yang sedang tertawa menyakitkan
telinga itu.
“Orang itukah yang bernama Mahisa Agni,“ terdengar suara dari balik-balik gerumbul di pinggir sungai.
“Ya,“ jawab suara yang lain.
“Bagus. Aku ingin melihatnya dari dekat,“ berkata suara yang pertama.
Mahisa Agni segera memutar tubuhnya
menghadap ke arah suara itu. Mahendra pun kemudian melangkah maju, dan
tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya.
Sejenak kemudian mereka melihat tiga
orang yang muncul dari balik gerumbul. Seorang tua bertongkat hampir
sepanjang tubuhnya. Seorang lagi anak muda yang berpakaian seperti
pakaian pelayan dalam namun dalam keadaan yang kusut, yang segera
mereka kenal, Kuda Sempana. Sedang di sampingnya masih ada lagi seorang
yang lain.
Dada Mahisa Agni berdesir. Dugaannya
ternyata terjadi. Seperti yang dicemaskan oleh ketiga kawan-kawannya
itu, Kuda Sempana datang dengan kawan-kawannya.
Dalam pada itu terdengar Mahendra
berbisik, “Kuda Sempana. Aku mendengar pula dari Ken Arok. apa yang
telah dilakukan dipadang ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
Hatinya yang sedang risau itu tiba-tiba seperti terbakar melihat
kedatangan Kuda Sempana kembali. Anak muda itu adalah sumber dari
segala bencana yang menimpa gurunya, Ken Dedes dan dirinya sendiri.
Bahkan akibatnya telah menimpa Panawijen pula, sehingga malam ini ia
terpaksa berada dipadang Karautan. Karena itu, maka Mahisa Agni itu
tiba-tiba menggeretakkan giginya.
Tiga orang yang datang itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Orang yang bertongkat hampir sepanjang
tubuhnya itu ternyata seorang yang telah lanjut usia. Janggutnya tidak
seberapa panjang, namun dalam kelam malam, Mahisa Agni dapat
membedakannya, bahwa janggut itu telah mulai memutih. Tetapi Mahisa
Agni lebih terkejut lagi ketika kemudian dilihatnya kawan Kuda Sempana
yang seorang lagi. Ternyata orang itu pernah dikenalnya.
Orang itu adalah saudara seperguruan
Kuda Sempana yang pernah bertempur dengannya di sebuah padukuhan di
kaki Gunung Semeru. Pedukuhan Kajar. Dan orang itulah yang dahulu
pernah dikenalnya dengan nama Bahu Reksa Kali Elo. Kini orang yang
menyimpan dendam di hatinya itu datang kembali kepadanya. Dahulu orang
itu pernah berkata kepadanya, bahwa ia pada suatu saat akan menebus
kekalahannya. Kini ternyata orang itu benar-benar datang. Bukan seorang
diri, namun bersama-sama dengan orang lain yang menyimpan dendam pula
kepadanya, sebagaimana ia mendendamnya, Kuda Sempana.
Tanpa disadarinya Mahisa Agni berpaling.
Dipandanginya wajah Mahendra yang tegang. Tangannya masih melekat di
hulu pedangnya. Namun Mahisa Agni tidak dapat menangkap kata hati anak
muda itu. Apakah yang kira-kira akan dilakukannya, seandainya ia
terlibat dalam perkelahian yang seru dan bahkan ia harus melawan
orang-orang yang datang itu sekaligus. Apalagi ketika kemudian Mahisa
Agni mencoba menduga siapakah orang tua yang berjanggut putih
jarang-jarang itu? Apakah orang itu guru mereka? Guru Kuda Sempana dan
Bahu Reksa Kali Elo itu?”
Ketiga orang itu pun kemudian berhenti
beberapa langkah dihadapan Mahisa Agni dan Mahendra. Mereka memandangi
Mahisa Agni seperti memandangi hantu. Namun kemudian terdengar orang
tua itu bertanya, “Bukankah yang ini yang bernama Mahisa Agni itu?”
Kuda Sempana mengangguk. Jawabnya, “Ya. Itulah.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali-sekali dipandanginya pula Mahendra, namun ia tidak
berkata apapun, tentang anak muda itu.
Yang kemudian berkata adalah Bahu Reksa
Kali Elo. Suaranya terdengar parau diantara suara tertawanya yang
menyakitkan hati, “He, Mahisa Agni. Apakah kau masih ingat kepadaku?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah itu tajam-tajam. Tiba-tiba ia menjadi muak melihat
mukanya, karena itu maka sama sekali ia tidak bernafsu untuk menjawab
pertanyaannya.
Karena Mahisa Agni masih saja berdiam
diri, maka berkatalah orang itu pula, “Agni, jangan berpura-pura tidak
mengenal aku lagi. Apakah kau takut aku membalas sakit hatiku saat
itu?”
Warna merah menjalar ke wajah Mahisa
Agni mendengar kata-kata orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo
itu. Alangkah memuakkan. Apalagi ketika kemudian ia mendengar orang itu
tertawa, “Ha. Kau sekarang menjadi pucat melihat kehadiranku disini?
Tetapi sayang, semuanya sudah terlambat. Aku tidak dapat menarik diri
lagi, sebab aku sudah bertekad untuk melepaskan dendamku.”
Gigi Mahisa Agni menjadi gemeretak
karena kemarahan yang membakar dadanya. Namun justru karena itu, terasa
mulutnya seakan-akan terbungkam. berjejal-jejal kata-kata yang akan
diucapkan, namun tak sepatah kata pun yang dapat meloncat keluar selain
suara gemeretak giginya.
Yang menjawab kata-kata itu justru
Mahendra. Anak itu menjadi muak juga melihat tampang orang yang berkata
seenaknya seolah-olah ia sendiri orang laki-laki di kulit bumi ini.
“Jangan membual. Siapa kau?”
Orang itu berpaling. Ditatapnya wajah Mahendra. Kemudian masih sambil tertawa ia bertanya, “Siapa kau?”
Mahendra menggeram. Ia menjadi semakin
tidak senang mendengar orang itu tidak menjawab pertanyaanya, malahan
ia bertanya seperti kepada pelayannya. Karena itu maka Mahendra
membentak, “Jangan membadut. Jawab pertanyaanku, siapa kau?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali-sekali ia mengusap wajahnya yang kasar, “Kau ingin tahu namaku?“ katanya.
Mahendra tidak menjawab. Ditatapnya
wajah itu tajam-tajam seakan-akan dari matanya memancar api yang
langsung akan menjilat wajah itu.
Orang itu berpaling kepada Kuda Sempana.
Dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati ia berkata, “Inikah
cucurut yang bernama Ken Arok itu?”
Kuda Sempana menggeleng, “Bukan. Itu bukan Ken Arok.”
“O,“ orang yang menamakan diri Bahu
Reksa Kali Elo itu menganggukkan kepalanya. Bahkan orang tua yang
bertongkat hampir sepanjang tubuhnya menganggukkan kepalanya pula,
“Siapa orang ini? Apakah kau mengenalnya juga?”
“Namanya Mahendra,“ jawab Kuda Sempana.
“Nama yang bagus,“ sahut orang yang
menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo. Kemudian kepada Mahendra ia
bertanya, “Apakah kau saudara seperguruan Mahisa Agni?”
Mahendra itu pun kemudian menjadi sedemikian muaknya, sehingga ia tidak mau lagi menjawab pertanyaannya.
“He, apakah kau tidak mendengar?”
Mahendra masih berdiam diri.
“Kedua-duanya menjadi bisu,“ teriak orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
Namun baik Mahendra maupun Mahisa Agni sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Akhirnya orang yang bertongkat dan
berjanggut putih, maju selangkah. Diamat-amatinya kedua anak muda itu
dengan saksama. Kemudian katanya, “Agaknya kalian telah saling
mengenal. Kalian berdua dengan kedua anak ini. Tetapi baiklah aku
memperkenalkan diriku, dan barangkali ada diantara kalian berdua yang
belum mengenal salah seorang anak ini. Yang pertama adalah Kuda
Sempana, agaknya kalian sudah mengenal. Sedang yang lain yang lebih tua
ini bernama Cundaka. Tetapi ia lebih senang disebut Ki Bahu Reksa Kali
Elo,“ orang tua itu berhenti sesaat. Sedang Mahisa Agni dan Mahendra
masih berdiri dengan tegangnya.
Tanpa mereka sangka-sangka orang tua itu
menunjuk kepada ketiga kawan Mahisa Agni yang benar-benar telah
membeku, “kuda Sempana, itukah ketiga kawanmu yang kau katakan?”
“Ya,“ sahut Kuda Sempana.
Orang tua itu tertawa. Suaranya yang
benar-benar menyakitkan telinga dan hati. “Pantas. Orang-orang yang
demikian itulah yang malahan akan mati lebih dahulu. Orang-orang yang
sangat memuakkan.”
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni mendengar
pula kata-kata itu. Dan sebelum sesuatu menyentuh tubuhnya, mereka
sudah merasa, seakan-akan mereka telah benar-benar mati.
“Sekarang,“ berkata orang tua itu kepada
Mahisa Agni dan Mahendra, “kalian pasti ingin mengenal aku bukan? Nah,
sebut saja aku dengan nama Empu Sada. Ya, itulah namaku.”
Dada Mahisa Agni dan Mahendra menjadi
berdebar-debar. Orang ini agaknya mempunyai kelebihan dari Kuda Sempana
dan Cundaka yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo. Mungkin Kuda
Sempana sengaja membawanya untuk melepaskan dendamnya kepada Mahisa
Agni. Bahkan mungkin pula orang ini adalah gurunya.
Dalam derap jantungnya yang semakin
cepat, Mahisa Agni dan Mahendra mendengar orang itu berkata lebih
lanjut, “Ketahuilah, akulah guru kedua anak-anak ini.”
Darah Mahisa Agni dan Mahendra serasa
berhenti mengalir mendengar penjelasan itu, meskipun mereka telah
menyangka pula. Guru Kuda Sempana pasti bukan orang yang dapat
disejajarkan dengan diri mereka. Karena itu, maka segera kecemasan
merayap ke dalam jantung mereka. Apakah yang dapat mereka lakukan
terhadap guru Kuda Sempana itu?”
Namun Mahisa Agni dan Mahendra bukanlah
laki-laki pengecut. Apapun yang akan dihadapinya, namun mereka tidak
akan berlutut dan mohon belas kasihannya.
Kemudian terdengar orang itu berkata,
“Nah Mahisa Agni, Kepadamulah kami berkepentingan. Anak ini, yang
bernama Mahendra sama sekali tidak kami kenal. Namun karena ia hadir
juga disini, maka ia akan mendapat bagian juga, meskipun tidak sebanyak
Mahisa Agni.”
Kembali dada Mahisa Agni dan Mahendra
berdesir. Namun kata-kata itu ternyata telah membulatkan tekad mereka,
untuk menghadapi setiap kemungkinan dengan sikap jantan. Karena itu.
justru pada saat-saat yang tegang Mahisa Agni menggeram, “Hem. Ternyata
Kuda Sempana dan Setan itu sama sekali tidak berani menyelesaikan
persoalan mereka sendiri.”
Telinga Kuda Sempana dan Cundaka yang
menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu seperti disengat api mendengar
kata-kata Mahisa Agni. Karena itu, maka sambil mengumpat Cundaka
menjawab. “Demit busuk. Ayo, sekarang kau masih juga mencoba
menyombongkan dirimu? Hari ini adalah hari terakhirmu. Celakalah kau
bertemu aku dipadang Karautan.”
“Jangan banyak bicara,“ potong Mahisa Agni, “apa maumu?”
Cundaka itu mengerutkan keningnya. Ia
merasa bahwa ia pernah dikalahkan oleh Mahisa Agni. Sedang apa yang
dicapainya selama ini, setelah ia berjanji untuk lain kesempatan
bertemu kembali, hampir tidak ada sama sekali. Ia lebih senang berjalan
dari satu tempat ke tempat yang lain mencari apa saja yang dapat
dimilikinya. Bahkan ia telah pula kembali ke Kajar mencari Pasik.
Tetapi Pasik telah menghilang. Karena itulah maka dendamnya kepada
Mahisa Agni menjadi semakin bertambah-tambah Seandainya Pasik masih ada
padanya, maka ia akan dapat dipergunakannya untuk memungut bulu bekti
di daerah kaki Gunung Semeru yang jauh itu. Sedang apabila ia sendiri
harus pergi ke sana setiap kali, maka rasanya ia tidak akan sanggup.
Untuk sesaat Cundaka itu berdiam diri.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni dan Mahendra berganti-ganti. Kemudian ia
berpaling kepada Kuda Sempana seolah-olah ia ingin mendapat
pertimbangannya.
Kuda Sempana itu pun mengumpat di dalam
hatinya. Ia membawa saudara seperguruannya untuk melepaskan sakit
hatinya atas Mahisa Agni itu, seperti juga Cundaka ingin melepaskan
sakit hatinya. Namun tiba-tiba di tempat itu hadir pula Mahendra.
Karena itu maka ia pun menjadi ragu-ragu.
Namun diantara mereka, hadir pula guru mereka. Empu Sada. Apakah gurunya itu akan membiarkan mereka dalam kebimbangan?”
Ternyata Empu Sada itu pun tersinggung
pula mendengar kata-kata Mahisa Agni. Meskipun ia tidak menganggap
murid-muridnya sebagai saluran cita-citanya, bahkan murid-muridnya
baginya tidak lebih dari sapi perahan untuk mendapatkan kekayaan, namun
ketika ia langsung melihat dihadapannya, muridnya seakan-akan menjadi
kecut, mau tidak mau harga diri perguruan Empu Sada pun tidak dapat
membiarkannya.
Sejenak kemudian ketika kedua muridnya
seakan-akan terdiam membeku, maka terdengar ia berkata, “Kuda Sempana
dan Cundaka. Bagaimana dengan rencana kalian. Bukankah kalian berdua
ingin mengikat Mahisa Agni dan menarik di belakang kuda kalian ke arah
yang berlawanan?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
pertanyaan itu. “Gila,” geramnya di dalam dadanya. Bahkan Mahendra pun
terdengar menggeretakkan giginya.
“Ya guru,“ jawab Kuda Sempana, tetapi jawaban itu sama sekali kurang meyakinkan.
“Kenapa kau sekarang menjadi ragu-ragu,“
bertanya gurunya, “apakah kau menjadi iba setelah kau melihat wajahnya
yang pucat seperti mayat itu.”
“Tidak,“ sahut Cundaka lantang, “aku akan melakukan rencanaku. Bukan begitu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana mengangguk. Tetapi ia cukup mengenal Mahendra. Dan apakah Mahendra akan tetap berdiam diri?”
“Nah, apakah yang kalian tunggu?” bertanya gurunya.
Kuda Sempana menggeram. Ditatapnya wajah Mahendra yang tegang setegang wajahnya sendiri.
Tiba-tiba terdengar Mahendra itu
berkata, “Kuda Sempana. Dendammu itulah yang kelak pasti akan
menghancurkan dirimu sendiri. Agaknya kau tidak mau melihat kenyataan.”
“Tutup mulutmu Mahendra. Kau tidak bersangkut paut dengan urusanku.”
“Kau pasti telah pernah mendengar pula
apa yang terjadi atasku. Aku hampir gila seperti kau pula ketika aku
tidak berhasil mendapat gadis Panawijen itu. Tetapi kemudian aku
menyadari keadaan. Aku melihat kenyataan. Karena itu aku tidak menjadi
gila seperti kau.”
“Persetan dengan bicaramu. Kalau kau ingin selamat tinggalkan tempat ini.”
“Jangan mengancam. Tak ada gunanya. Aku
sudah dapat mengukur sampai dimana kemampuanmu Kuda Sempana. Kau tidak
mampu mengalahkan Witantra. Meskipun aku adik seperguruannya, namun aku
pasti akan mampu pula melawan ajimu Kala Bama yang tidak berarti itu.”
Wajah Kuda Sempana menjadi merah padam
mendengar tantangan Mahendra itu. Namun bukan saja Mahendra tetapi juga
Cundaka merasa tersinggung karena anggapan yang menyakitkan hati atas
Kala Bama, ilmu yang dibanggakan. Apalagi guru Kuda Sempana itu.
Betapapun juga, ia adalah sumber dari ilmu itu. Ia adalah guru yang
telah menurunkan ilmu itu, sehingga kata-kata Mahendra itu benar-benar
menyinggung perasaannya.
Karena itu maka orang yang bertongkat
hampir sepanjang tubuhnya itu maju selangkah. Ditatapnya wajah Mahendra
baik-baik. Kemudian katanya sambil memiringkan kepalanya, “He, anak
muda. Apakah kau sadari kata-katamu. Kau menghina perguruanku.”
“Sebaiknya kau tidak usah mencampuri
urusan ini,“ sahut Mahendra dengan beraninya. Sebab ia merasa bahwa ia
sudah terjerumus dalam pertentangan yang mendalam dengan perguruan Empu
Sada, karena ia telah terlanjur menghinakan ilmunya. Tetapi sebagai
laki-laki Mahendra tidak juga beranjak surut.
Tiba-tiba guru Kuda Sempana yang bernama
Empu Sada itu tertawa. Suara tertawanya benar-benar menyakitkan
telinga. Katanya, “He, Kuda Sempana dan Cundaka. Biarlah aku turut
dalam permainan ini. Semula aku hanya ingin melihat anak muda yang
bernama Mahisa Agni itu, tetapi tiba-tiba aku ingin menangkap kelinci
dipadang ini. Kini, teruskan rencanamu. Kau berdua harus dapat
menangkap Mahisa Agni. Ikat ia dengan kedua kuda kalian dan paculah ke
arah yang berbeda. Aku akan mengikat anak ini pada kudaku, nanti aku
akan melihatnya terkelupas seperti pisang.“ Kembali terdengar suara
tertawa menyakitkan hati berkepanjangan memenuhi padang Karautan itu.
Terasa dada Mahisa Agni dan Mahendra
bergetar mendengar kata-kata itu. Menurut penilaian Mahisa Agni dan
Mahendra, maka Empu Sada itu pasti tidak sekedar bergurau dan
mengancam. Menilik sikap dan nada tertawanya, ia pasti akan dapat
melakukannya seperti yang dikatakannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian menduga,
bahwa mereka pasti telah menyembunyikan kuda mereka, atau sengaja
mereka menuntun kuda-kuda mereka, sebelum mereka menemukan tempatnya.
Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang kuda. Ia kini harus bersikap
menghadapi hantu-hantu yang melampaui kebiadaban hantu Karautan yang
pernah menggemparkan seluruh Tumapel.
Yang terdengar kemudian adalah sisa-sisa
nada tertawa Empu Sada. Kemudian katanya pula, “Sebenarnya aku harus
mengucapkan terima kasih kepadamu Mahendra, bahwa dengan mengikutimu,
ternyata kau telah menunjukkan kepada kami, dimana Mahisa Agni
bersembunyi. Nah, karena kau telah menghina perguruanku, maka sekarang
aku terpaksa berbuat sesuatu atasmu. Karena itu, supaya aku tidak
merubah rencanaku dengan rencana lain yang lebih dahsyat, marilah ikuti
aku ke tempat kudaku aku tambatkan, sebelum aku mengikutimu dengan
berjalan kaki. Sebab menurut perhitunganku, Agni yang mimpi membuat
bendungan itu pasti akan tertarik perhatiannya pada jeram-jeram ini.
Ternyata perhitunganku benar, sehingga aku tidak menyimpan kuda itu
terlampau jauh.”
Sekali lagi Mahendra menggeram.
Kata-kata itu benar-benar merupakan penghinaan baginya. Karena itu
jawabnya lantang, “Jangan banyak bicara tikus tua. Kalau kau mau
membunuh Mahendra, bunuhlah dengan cara yang kau sukai. Tetapi jangan
mencoba menakut-nakuti aku dengan segala macam kata-kata yang bagiku
tak akan berarti.”
Empu Sada mengerutkan keningnya.
Tampaklah alisnya yang tebal bergerak-gerak. Sekali-sekali ia
mengerling kepada Mahisa Agni, namun kemudian kembali ditatapnya wajah
Mahendra, “Huh, kau terlampau kasar. Seharusnya kau mati dengan cara
lain.”
Empu Sada itu kini sudah tidak tertawa
lagi. Bahkan kemudian katanya kasar kepada kedua muridnya, “Ayo, apa
yang kalian tunggu. Tangkap Mahisa Agni. Biarlah anak ini aku
selesaikan.”
Kedua murid Empu Sada itu terkejut, dan
dada Mahisa Agni pun berdesir. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia
harus melawan dengan segenap kekuatan yang ada padanya.
Untuk menghadapi kedua lawannya Mahisa
Agni tidak boleh kehilangan waktu. Sebab kecuali mereka hadir pula guru
mereka, Empu Sada yang pasti memiliki banyak kelebihan dari kedua
muridnya. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan Mahendra mengalami
bencana pula. Karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain, dari pada
segera membinasakan lawan-lawannya.
Demikianlah maka diam-diam Mahisa Agni
memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya. Tanpa bersikap
disusunnya getaran-getaran di dalam dadanya. Dialirkannya segenap
kekuatannya ke dalam telapak tangannya.
Sementara itu ia mendengar Cundaka
tertawa. Meskipun tidak setajam suara gurunya namun suara itu pun
benar-benar telah menyakitkan hati Mahisa Agni.
“Kuda Sempana,“ berkata orang yang
menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu, “kali ini jangan lepas lagi.
Kita akan dapat melepaskan dendam kita sekehendak hati. Kalau anak itu
telah kami ikat kaki dan tangannya, maka kita akan mendapatkan
permainan yang mengasyikkan.”
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
Tetapi mulut pada wajahnya yang selalu gelap itu sama sekali tidak
tertawa. Tersenyum pun tidak. Namun ialah yang mendekat lebih dahulu
sambil bergeremang, “Agni. Beberapa kali kau menggagalkan rencanaku
untuk dapat memiliki Ken Dedes. Kalau bukan kau yang selalu
menghalangi, maka aku tidak akan mengalami nasib sejelek sekarang ini.
Aku tidak perlu menyangkutkan kepentinganku dengan Akuwu yang ternyata
curang. Ternyata Akuwu sendiri mempunyai pamrih atas gadis itu. Nah,
jangan menyesal sekarang. Sudah jauh terlambat. Terimalah nasibmu yang
jelek sebagaimana nasibku sendiri.”
Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab.
Ketika dengan sudut matanya, ia memandangi wajah Mahendra, dilihatnya
wajah anak muda itu menjadi tegang. Ternyata Mahendra sama sekali tidak
memperhatikan dirinya sendiri dan Empu Sada. Perhatiannya sama sekali
tercurah pada Mahisa Agni.
Sekali lagi terdengar gigi Mahisa Agni
gemeretak. Ketika ia melihat Kuda Sempana bergerak, maka dituntaskannya
segenap getaran di dalam dadanya. Kini ia tinggal memerlukan dorongan
untuk melepaskan puncak kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya, sebab
ia sudah tidak melihat kemungkinan lain. Dengan demikian ia mengharap
segera dapat mengurangi satu lawannya untuk kemudian menghadapi lawan
yang jauh lebih kuat dari padanya.
Meskipun sesaat Mahisa Agni menjadi
bimbang untuk dengan tiba-tiba saja mempergunakan puncak ilmu pada
gerak yang pertama, namun diamatinya perjuangannya yang akan menjadi
jauh lebih berat dari setiap perjuangan yang pernah dilakukan. Melawan
Empu Sada.
Kuda Sempana dan Cundaka pun kemudian
berjalan semakin dekat. Kedua wajah itu bagaikan bumi dan langit. Kuda
Sempana memandang Mahisa Agni dengan penuh dendam dan gejolak
kemarahan, sedang orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu
masih saja tertawa penuh hinaan. Namun keduanya bagaikan wajah-wajah
hantu yang haus melihat maut.
Tetapi tiba-tiba Kuda Sempana dan
Cundaka tertegun. Sesaat mereka justru diam mematung. Baru kemudian
disadarinya, bahwa bahaya maut justru telah mengancam mereka.
Dalam gerak yang cepat secepat tatit,
mereka melihat Mahisa Agni menyilangkan kedua tangannya di muka
dadanya. Hanya sesaat sebagai unsur daya penggerak dan pelontar
kekuatannya.
Sesaat kemudian, anak muda itu telah
meloncat dengan dahsyatnya sambil mengayunkan tangannya dalam gerak
pelepasan kekuatan puncaknya, Aji Gundala Sasra, mengarah kepala Kuda
Sempana.
Bukan main terkejut Kuda Sempana dan
Cundaka. Loncatan itu sedemikian cepatnya, sehingga sama sekali tak
memberi mereka waktu untuk berbuat sesuatu. Apalagi Kuda Sempana, Ia
melihat Mahisa Agni seolah-olah anak panah yang meluncur seperti tatit
menyambarnya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
dirinya. Tak ada waktu baginya untuk membangunkan kekuatan Aji Kala
Bama untuk mengimbangi kekuatan Aji lawannya. Meskipun seandainya
kekuatan kedua aji itu kurang seimbang, namun ia pasti tidak akan dapat
dilumatkan oleh lawannya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan itu.
Satu-satunya usaha yang dapat dilakukan adalah mengelak dan meloncat
jauh-jauh. Namun Mahisa Agni pasti akan memburunya, dan kemudian
memukul tengkuknya sehingga tulang lehernya akan terpatahkan.
Meskipun demikian, Kuda Sempana masih
juga berusaha. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia melontar ke
samping, untuk mencoba menghindarkan diri dari sambaran maut di tangan
Mahisa Agni.
Mahisa Agni melihat gerak lawannya.
Cepat ia menggeliatkan dan sekali lagi menyentuh tanah dengan kakinya,
sehingga geraknya pun berubah arah. Ia benar-benar ingin membinasakan
Kuda Sempana untuk segera dapat melakukan perlawanannya atas
lawan-lawannya yang tinggal dan yang jauh lebih kuat dari dirinya
sendiri meskipun berdua dengan Mahendra.
Kuda Sempana terkejut melihat perubahan
sikap Mahisa Agni. Sekali lagi ia melihat maut menyambarnya. Karena
itu, maka sekali lagi ia terpaksa menghindar. Kuda Sempana itu kemudian
menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali menjauhi Mahisa Agni.
Namun yang sama sekali tidak mereka
sangka-sangka. Ketika sekali lagi Mahisa Agni menjejakkan kakinya di
tanah dan melontarkan diri mengejar Kuda Sempana, ia melihat sebuah
bayangan yang melontar cepat sekali dihadapannya. Demikian cepatnya
sehingga Mahisa Agni tidak sempat menghentikan dirinya sendiri. Dalam
keadaan yang demikian itulah, maka Mahisa Agni dengan menghentakkan
giginya, menyambar bayangan itu dengan telapak tangannya. Telapak
tangan yang telah dipenuhinya dengan kekuatan yang disebutnya Gundala
Sasra.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
Bayangan itu tergetar. Namun tetap tegak di tempatnya. Sedang Mahisa
Agni sendiri terpental surut beberapa langkah. Terdengar tubuhnya
terbanting jatuh di tanah. Dan terdengar pula ia mengeluh tertahan.
Ternyata ayunan tangan Mahisa Agni itu
telah membentur tubuh Empu Sada. Guru Kuda Sempana. Betapapun juga ia
tidak dapat melihat muridnya dihancur lumatkan dihadapan hidungnya.
Meskipun ia sekedar seorang guru upahan, yang mengajar muridnya bukan
karena keyakinannya, namun hubungan yang telah terjalin sedemikian
lamanya, antara dirinya dan muridnya itu, telah mendorongnya untuk
mencoba menyelamatkannya.
Ketika ia melihat Mahisa Agni berdiri
saja seperti patung melihat wajahnya yang tegang, melihat cahaya
matanya yang bergetar dan dadanya yang menggelombang, maka Empu Sada
yang sudah kenyang melihat hitam putihnya berbagai macam ilmu, segera
menyadari bahaya yang sedang disusun oleh anak muda itu. Karena itu
maka ia tidak melepaskan kesiagaan seandainya muridnya menjadi lengah.
Dan ternyata hal itu terjadi. Muridnya hampir saja dapat dibinasakan
oleh anak muda yang akan ditangkapnya, karena itu, maka ia tidak dapat
membiarkannya. Segera ia meloncat memotong gerakan Mahisa Agni yang
sedang mengejar Kuda Sempana yang mencoba menghindari lawannya sambil
berguling-guling di tanah.
Benturan yang terjadi itulah yang
kemudian telah melemparkan Mahisa Agni. Betapa dahsyat ilmunya, namun
ia masih belum mampu melawan keteguhan ilmu Empu Sada. Meskipun Empu
Sada tidak menyerangnya, namun benturan itu telah menghentakkan
kekuatan Mahisa Agni sendiri, sehingga ia tidak mampu untuk menjaga
keseimbangannya. Bahkan dadanya seakan-akan diketuk oleh suatu kekuatan
yang dahsyat, sehingga terasa sesaat nafasnya menjadi sesak.
Mahendra melihat apa yang terjadi itu
dengan getaran yang dahsyat di dadanya. Sesaat ia hanya dapat mengikuti
peristiwa yang terjadi sedemikian cepatnya itu dengan matanya.
Tubuhnya sendiri seolah-olah terpaku sehingga untuk sesaat ia tetap
berdiri saja mematung.
Baru kemudian setelah ia melihat Mahisa
Agni berguling di tanah disadarinya apa yang terjadi. Ia melihat bahaya
tidak saja mengancam Mahisa Agni, tetapi akan mengancam dirinya
sendiri. Karena itu, maka segera ia bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Ia ingin berbuat seperti Mahisa Agni. Langsung menyiapkan
ilmu puncak di tangannya, sehingga setiap waktu ia akan dapat
mempergunakannya. Meskipun ilmu itu belum dikuasai sesempurnanya, namun
ia sudah mampu mempergunakan untuk menjaga dirinya.
Tetapi apa yang dilihatnya telah
menggetarkan dadanya. Ketika ia sedang mencoba menyusun ilmunya,
tiba-tiba ia mendengar Empu Sada tertawa dengan nada yang tinggi
menyakitkan hati. Namun yang lebih mencemaskannya, adalah, tiba-tiba
saja orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo, yang melihat
Mahisa Agni terbanting di tanah dan belum mampu bangkit berdiri, segera
ingin mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepatnya ia meloncat
menyerang Mahisa Agni yang masih terbaring di tanah.
Mahendra tidak dapat membiarkannya
terjadi, cepat ia mengambil sikap. Ia mengurungkan niatnya, untuk
membangkitkan ilmunya, tetapi segera iapun meloncat secepat Cundaka
meloncat. Langsung dengan kakinya ia melontarkan serangan ke arah
lambung Bahu Reksa Kali Elo.
Cundaka terkejut melihat kesiagaan
Mahendra. Karena itu, segera ia menggeliat, dan mencoba menghindari
serangan itu. Dengan sebuah hentakan di tanah. Cundaka berhasil
melontarkan ke samping menghindari serangan Mahendra yang meluncur
secepat kilat di sampingnya.
Demikian kaki Mahendra berjejak di atas
tanah, cepat-cepat ia memutar tubuhnya siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Tetapi ternyata Cundaka belum menyusulnya dengan sebuah
serangan balasan. Meskipun Mahendra melihat sikap orang yang menamakan
dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu sebagai suatu sikap yang berbahaya,
namun ia masih berada di tempatnya.
Ternyata gurunya, Empu Sada lah yang
telah mencegahnya. Kini yang terdengar adalah suara tertawanya yang
melengking menyakitkan telinga. Diantara suara tertawanya terdengar ia
berkata, “Hem, anak-anak muda yang perkasa. Meskipun kalian tidak
berasal dari satu perguruan, namun kalian ternyata memiliki kemampuan
yang cukup untuk saling bekerja bersama-sama.
Mahendra tidak menjawab. Ia menarik
nafas ketika ia melihat Mahisa Agni telah berdiri. Sekali-sekali
dikibaskannya tangannya dan diaturnya pernafasannya. Agaknya Mahisa
Agni telah berhasil mengurangi perasaan sakitnya dan perlahan-lahan
kekuatan yang ada di dalam tubuhnya telah mampu untuk bangkit kembali.
Empu Sada itu masih tertawa, meskipun
semakin lama semakin perlahan-lahan. Kemudian katanya pula, “Anak-anak
muda, aku telah mengenal berbagai macam ilmu dari berbagai macam
perguruan. Meskipun aku tidak bergaul dengan orang-orang sakti itu,
namun sedikit-sedikit aku dapat mengenal nama mereka. Ternyata kalian
adalah murid dari orang-orang sakti yang disegani. Namun nasib kalian
agaknya memang kurang baik. Kalian telah melakukan pekerjaan yang
berbahaya di tempat yang berbahaya. Karena itu untuk menghilangkan
setiap usaha pembalasan dendam, maka kalian harus binasa. Kalau kalian
masih hidup, maka kalian akan menyampaikan peristiwa ini kepada
guru-guru kalian sehingga mereka pasti tidak akan tinggal diam. Nah,
mudah-mudahan guru-guru kalian tidak bermimpi buruk di rumah malam ini.
Kemudian kepada ketiga anak-anak muda
kawan Mahisa Agni yang seakan-akan membeku orang tua bertongkat hampir
panjang tubuhnya itu berkata, “Sayang. Kalian pun harus mati untuk
melenyapkan saksi-saksi yang akan mungkin menyebar luaskan berita
tentang peristiwa ini. Tetapi jangan takut, kalian akan mati dengan
cara yang baik. Kalian akan ditusuk langsung di arah jantung, sehingga
kalian tidak akan mengalami derita. Kematian yang demikian itulah yang
dicari oleh hampir setiap orang. Mati tanpa menderita. Tetapi tidak
demikian dengan Mahisa Agni dan Mahendra. Mereka akan mati dengan cara
yang lain sebab mereka telah berani melawan Empu Sada dan
murid-muridnya.
Suasana segera meningkat semakin tegang.
Kini Mahisa Agni telah hampir menguasai segenap kekuatannya kembali.
Dengan gigi gemeretak ia berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
renggang. Beberapa langkah dari padanya, Mahendra pun telah siap untuk
menghadapi segenap kemungkinan.
“Nah, Kuda Sempana dan Cundaka. Jangan
kau dekati Mahisa Agni dalam kewajaran. Siapkan aji Kala Bama.
Hantamkan kepadanya bersama-sama apabila seorang-seorang dari pada
kalian belum dapat memadainya. Ia akan jatuh sekali lagi. Tetapi ia
cukup tahan untuk tidak mati. Nah, kemudian kalian akan dapat
menangkapnya dan menariknya di belakang kuda-kuda kalian selagi ia
masih hidup. Sedang yang satu ini serahkan kepadaku. Bukankah kalian
tidak berurusan dengan anak muda yang bersama Mahendra ini?”
Tak seorang pun yang menyahut kata-kata
itu. Tetapi mereka kemudian segera memusatkan kekuatan lahir dan batin.
tanpa berjanji, keempat anak muda itu telah membangunkan kekuatan
puncaknya. Kuda Sempana dan Cundaka telah menyusun Aji Kala Bama,
Mahendra dengan Aji Bajra Pati seperti yang dimiliki oleh Witantra dan
Mahisa Agni telah memperbaharui kekuatannya dalam ilmunya, Aji Gundala
Sasra.
Dalam ketegangan yang memuncak itu
kembali terdengar suara tertawa Empu Sada sambil berkata, “Lucu. Aku
melihat kelucuan disini. Kalian, keempat anak-anak muda, sedang
membangkitkan ilmu kepercayaan masing-masing. Sebentar lagi
kekuatan-kekuatan itu telah siap berbenturan. Namun apakah gunanya kau
melawan Mahisa Agni? Dan apa pula gunanya kau mempersiapkan permainan
yang buruk itu. Mahendra? Melihat sikapnya, aku menyangka bahwa kau
sedang mempersiapkan kekuatan yang dinamai oleh penyusunnya, Aji Bajra
Pati. Kau sudah melihat Gundala Sasra tak berarti apa-apa bagiku.
Karena itu, lebih baik kalian menyerah. Kalian akan segera diikat dan
ditarik di belakang kuda. Bukankah semakin cepat semakin baik?”
“Tutup mulutmu,“ bentak Mahendra tanpa
mengenal takut, justru setelah ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat
menghindar lagi dari bahaya maut, “Ayo, jangan banyak bicara. Kalau aku
tak mampu membunuhmu, biarlah aku mati dipadang Karautan.”
Orang tua itu menarik nafas. Pandangan
matanya kini menjadi semakin buas, seperti burung elang yang melihat
anak ayam di plataran. “Hem,“ desahnya, “kau memang berani. Tetapi kau
sedang membuat dirimu sendiri sengsara.”
“Kau hanya mampu berbicara,“ potong Mahendra. “tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa.”
Orang tua itu agaknya menjadi marah
sekali. Sebelum Mahendra dapat berbuat sesuatu, tiba-tiba ia merasa
sebuah tamparan di pipinya. Tamparan tangan orang tua bertongkat itu.
Gerak itu sedemikian cepatnya sehingga Mahendra seakan-akan tidak lebih
dari sebuah patung. Terasa pipi Mahendra disengat oleh perasaan pedih.
Ia terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping. Dengan sekuat tenaga
ia mencoba menguasai keseimbangannya.
“Anak gila,“ terdengar suara Empu Sada
berat parau, “Nah, kau lihat apa yang dapat aku lakukan. Meskipun kau
tengah membangun aji yang kau bangga-banggakan namun kau tidak berdaya
melawan sebuah pukulan yang sangat sederhana. Apa katamu sekarang?”
Mahendra menggeram. Namun ia masih menjawab, “persetan. Kau mulai dengan curang sebelum aku bersiap.”
Dada Empu Sada benar-benar terbakar oleh jawaban itu. karena itu maka katanya, “Aku memang tidak mempunyai banyak waktu.”
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah
bersiap dengan Aji Gundala Sasra itu pun tidak dapat tinggal diam.
Sekali lagi ia mengerling ke arah Kuda Sempana yang sedang dengan
asyiknya melihat gurunya yang sedang marah itu.
Mahisa Agni masih tetap dalam
pendiriannya, bahwa ia harus segera dapat mengurangi jumlah
lawan-lawannya. Tetapi anak muda itu mengumpat di dalam hatinya ketika
ia mendengar Empu Sada memperingatkan muridnya, “Kuda Sempana jangan
tidur. Sekali lagi kau akan diserang oleh Gundala Sasra. Jangan kau
lawan seorang diri. Lawanlah bersama-sama. Kalian akan mendapatkan
Mahisa Agni itu seperti seonggok sampah. Nah, kau akan dapat berbuat
apa saja atasnya.”
Kini tidak ada jalan lain bagi Mahisa
Agni daripada melawan kedua orang itu bersama-sama. Karena itu, maka
segera Mahisa Agni mengambil sikap. Ia harus berusaha mendapatkan arah,
yang memungkinkan ia melawan kedua lawannya itu satu demi satu. Karena
itu, maka ia harus menjadi semakin berhati-hati.
Dalam pada itu Empu Sada pun telah
melangkah maju mendekati Mahendra. Perlahan-lahan sekali, seperti
seekor kucing sedang menakut-nakuti seekor tikus yang kecil. Namun
dalam pada itu ia masih berkata kepada murid-muridnya, “Hati-hatilah.
Meskipun musuhmu itu hanya seorang, tetapi ia cerdik seperti demit.”
Mahisa Agni menggeram. Kedua lawannya
selalu mendapat peringatan dari gurunya. Namun ia tidak dapat mengeluh
saja di dalam hatinya. Ia harus menghadapi bahaya itu, dan ia harus
melawan sekuat tenaga yang ada di dalam dirinya. Ia sama sekali tidak
akan dapat minta bantuan kepada ketiga kawan-kawannya yang sama sekali
tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu. Dan Mahisa Agni pun
sama sekali tidak menyesali mereka. Sebab apapun yang mereka lakukan
sama sekali akan tak berarti.
Ketika Kuda Sempana dan orang yang
menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu melangkah semakin dekat, serta
keduanya kemudian mengambil jarak yang cukup untuk memecah perhatian
Mahisa Agni, maka terdengar suara Cundaka menggeram, “Mampus kau kerbau
gila. Sebut nama ayah bundamu. Tataplah langit untuk yang terakhir
kalinya sebelum kau memeluk bumi. Supaya kau tidak menyesal di dalam
alam lain kelak.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Ia benar-benar telah bersiap menghadapi sepasang kekuatan Aji Kala Bama.
Tetapi ketika kedua lawannya itu
melangkah semakin dekat, terjadilah sesuatu yang sama sekali diluar
perhitungan mereka. Tiba-tiba meluncurlah sebuah batu dari arah ketiga
kawan-kawan Mahisa Agni yang duduk membeku. Demikian kerasnya dan
langsung mengenai dada Cundaka sehingga terdengar orang itu mengaduh
pendek.
“Gila,“ ia mengumpat keras-keras, “he,
kelinci betina. Apakah kau akan ikut campur dalam persoalan ini
sehingga kau akan ikut aku ikat di belakang kudaku?”
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni
benar-benar telah membeku sehingga mereka sama sekali tidak dapat
menjawab. Bahkan tubuh mereka menjadi semakin gemetar dan tulang-tulang
mereka seperti dilolosi.
“Kalau sekali lagi kalian berbuat gila, maka kalianlah yang akan mengalami nasib yang paling mengerikan.”
Tak ada jawaban sama sekali. Ketiganya masih saja duduk seperti patung batu. Diam kaku.
Empu Sada pun melihat sesuatu terbang
dari arah ketiga anak-anak muda itu. Ia mengetahui pula, bahwa salah
seorang muridnya telah terkena lemparan batu. Namun ia tidak melihat
salah seorang dari ketiga anak-anak muda yang ketakutan itu bergerak.
Karena itu, timbullah kecurigaannya, sehingga ia berkata, “He, Cundaka,
apakah kau dapat dikenainya?”
“Ya guru, batu sebesar telur merpati. Tepat mengenai dadaku. Alangkah sakitnya.”
“Batu sebesar telur merpati dapat membuat kau kesakitan selagi kau mateg Aji Kala Bama?”
“Ya guru.”
“Setan,“ geram Empu Sada. Kemudian
kepada ketiga anak muda itu ia berteriak, “He, apabila ada diantara
kalian seorang yang sakti, yang mampu melempar tanpa menggerakkan
tangan, bahkan mampu menyakiti muridku, kenapa kalian atau salah satu
dari kalian berpura-pura takut? Sungguh tidak jujur. Ayo, kalau salah
satu dari kalian ternyata mampu berbuat demikian, sebutlah namamu dan
tampillah ke dalam arena.”
Ketiga anak-anak muda kawan Mahisa Agni
itu mendengar kata-kata Empu Sada. Namun mereka sama sekali tidak
mengerti maksudnya, sehingga justru dada mereka seolah-olah telah
tersobek-sobek oleh pedang di lambung Kuda Sempana, atau berlubang
ditusuk tongkat orang tua itu.
Tetapi Empu Sada masih saja berkata
kepada mereka. “Ayo, jangan curang. Jangan menyerang sambil bersembunyi
dalam selubung ketakutan. Kalau salah seorang dari kalian tidak ada
yang mengaku, maka kalian bertigalah yang akan aku binasakan dengan
cara yang tidak pernah dapat kalian bayangkan. Sebab aku akan dapat
memotong setiap anggauta badanmu perlahan-lahan, dari yang paling tidak
berbahaya dan yang terakhir adalah lehermu. Ayo cepat katakan.”
Tubuh-tubuh itu kini benar-benar telah
menjadi lemas. Demikian takutnya, sehingga dengan tangan gemetar mereka
menutupi wajah-wajah mereka sendiri. Bahkan Jinan sudah menangis
seperti kanak-kanak yang ditinggalkan ibunya seorang diri digelapnya
malam.
“Ha,“ berkata Empu Sada lantang, “kau
pura-pura menangis? Mungkin kaulah yang telah melakukan keajaiban itu.
Melempar sedemikian kerasnya tanpa menggerakkan tanganmu. Kini kau
pura-pura menangis melolong-lolong. Apakah kau akan menyerang muridku
dengan Aji yang dapat kau lontarkan lewat lolonganmu?”
Jinan menjadi semakin ketakutan. Karena
itu maka tangisnya menjadi semakin pedih. Ia ingin mengatakan bahwa ia
tidak berbuat apa-apa, tetapi suaranya tersekat di kerongkongannya
karena ketakutan yang mencengkam dadanya.
Empu Sada yang marah bukan buatan itu
tidak sabar lagi. Selangkah ia mendekati ketiga anak-anak muda itu.
Namun kini, bukan Cundaka yang akan terkena lemparan batu, tetapi batu
itu mengarah kepada dirinya. Namun ia adalah seorang yang cukup sakti,
sehingga ketika butiran batu itu menyambarnya, ia masih mampu
memukulnya dengan tongkatnya.
Namun ketika tongkatnya membentur batu kecil itu, Empu Sada terkejut dan mengumpat, “He. Demit buruk. Siapa kau?”
(Bersambung ke jilid 15).
No comments:
Write comments