Kl BUYUT PANAWIJEN mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia masih juga bersedih atas bendungan yang pecah
itu, tetapi ia berbesar hati pula, bahwa anak-anak muda di padukuhannya
kini telah bangkit untuk menyelamatkan padukuhannya.
Maka sejenak kemudian. Orang-orang Panawijen yang berdiri mengitari Mahisa Agni itu pun semakin lama semakin susut.
Satu demi satu mereka meninggalkan tepian
dan bendungan yang telah pecah itu. Sekali-sekali mereka berpaling,
dan sekali-sekali mereka masih juga tergetar hatinya. Bendungan yang
selama ini memberi mereka air sebagai sumber hidup mereka. Kini
Panawijen itu benar akan menjadi kering, seperti kutuk yang telah
diucapkan oleh Empu Purwa yang dunianya menjadi gelap, karena lekatan
kasihnya, puteri satu-satunya itu hilang. Puteri yang baginya sangat
berharga, melampaui segalanya yang ada di dunia ini.
Ketika orang-orang itu kemudian telah
habis kembali ke padukuhan, maka kembali Mahisa Agni berdiri seorang
diri. perlahan-lahan itu berjalan semakin ke tepi. Sekali lagi
diamat-amatinya bendungan yang pecah itu. Air berpancaran dan telah
menggugurkan tebingnya. Bahkan dasarnya pun seakan-akan telah
menghunjam semakin dalam.
“Memang tak mungkin,“ gumamnya, “tak mungkin dibangun bendungan di tempat ini.”
Namun bagaimanapun juga hati Mahisa Agni
terpecah pula seperti bendungan itu. Bukan saja karena Panawijen
menjadi kering, namun semua harapan dan anyaman perasaannya kini
benar-benar telah buntu. Empu Purwa ternyata sama sekali tidak ingin
untuk mengambil anaknya dengan cara yang sama. Empu Purwa benar-benar
tidak mau melawan Tumapel, sebagai tempat ia bernaung. Orang tua itu
tidak mau menimbulkan huru-hara dan menimbulkan kekacauan diantara
penduduk Tumapel. Tetapi ia mendendam orang-orang yang melakukan
perbuatan terkutuk itu, dengan mengucapkan ipat-ipat.
Dengan demikian, maka harapannya untuk
melihat Ken Dedes kembali ke Panawijen kini lenyap seperti lenyapnya
harapannya atas bendungan itu. Apalagi gurunya pun kemudian pergi
meninggalkannya tanpa singgah dahulu di padepokannya.
Tetapi Mahisa Agni tidak harus
menundukkan kepalanya, mengeluh dan berputus-asa. Ia baru saja
berbicara dihadapan orang-orang Panawijen. Apakah mereka hanya cukup
berputus asa? Ternyata kata-katanya itu tidak saja bermanfaat bagi
orang-orang Panawijen, tetapi juga bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Ternyata kata-kata itu pun tertuju pula kepada dirinya sendiri dalam
segi-segi yang berbeda.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dadanya
terasa berdebat. Tetapi kemudian ia mendapat kekuatan pula dalam
dirinya. Kekuatan seperti yang didapatkan oleh orang-orang Panawijen
yang lain. Karena itu, maka Mahisa Agni kini tidak lagi memandangi
bendungan itu dengan kepala tunduk. pecahnya bendungan itu baginya
merupakan tantangan yang harus dijawabnya. Ia tidak boleh
menghindarinya, melarikan diri dari kuwajiban seperti yang dikatakannya
sendiri kepada orang-orang Panawijen.
Dan Mahisa Agni pun kemudian segera menyiapkan dirinya menjawab tantangan itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan
pula meninggalkan bendungan yang telah pecah itu. Di kejauhan masih
dilihatnya punggung-punggung orang Panawijen yang berjalan
perlahan-lahan meninggalkan bendungan itu pula.
“Mereka telah bangun dari tidurnya yang
nyenyak, dan aku pun harus bangun pula dari tidurku yang dipenuhi oleh
mimpi yang mengerikan,“ desis Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni, di keesokan
harinya mulai dengan pekerjaanya. Ia telah memilih beberapa anak-anak
muda, dan tiga diantaranya akan dibawanya menyusuri sungai memilih
tempat yang paling tepat untuk membangunkan bendungan barunya.
Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang
mudah bagi Mahisa Agni. Membuat bendungan, betapapun sederhananya,
namun diperlukan pengenalan atas tempat dimana bendungan itu akan
dibangun, alat dan bahan-bahan yang dapat dipergunakannya. Meskipun
demikian Mahisa Agni telah membulatkan tekadnya, bahwa ia akan mampu
membangunkannya bersama-sama dengan anak-anak muda Panawijen.
Hari itu, Mahisa Agni bersama tiga orang
kawan-kawannya berjalan menyusuri sungai itu. Pagi-pagi benar mereka
berangkat. Mereka mengharap bahwa hari itu juga, mereka akan
mendapatkan tempat yang mereka cari.
Bagi Mahisa Agni perjalanan itu sendiri,
bukanlah perjalanan yang berarti baginya. Kesulitan yang akan dihadapi
adalah memilih tempat yang baik, yang mungkin dibuat bendungan. Tetapi
bagi ketiga kawan-kawannya, yang seakan-akan tidak pernah mengenal
jalan yang keluar dari padukuhan mereka, merasa bahwa perjalanan itu
adalah perjalanan yang sangat berat. Perjalanan yang akan memerlukan
ketrampilan, kekuatan dan tekad yang menyala-nyala. Namun Mahisa Agni
selalu menguatkan hati mereka. Bahwa apa yang akan mereka lakukan
adalah sebuah tamasya yang menyenangkan.
“Apakah kita akan menyusur sungai itu sampai ke padang rumput Karautan?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ya. Bahkan padang rumput Karautan
merupakan kemungkinan yang pertama-tama. Padang itu apabila mungkin
dialiri, maka pasti akan menjadi tanah yang subur,“ jawab Agni.
“Tetapi bagaimana dengan hantu Karautan itu.”
“Kau terlambat,“ sahut Agni sambil tertawa, “ hantu itu telah pergi.”
Ketiga anak muda itu terdiam. Tetapi
mereka masih mencemaskan hantu yang menakutkan itu, sehingga Mahisa
Agni terpaksa menjelaskan, “Aku mendengar dari hantu itu sendiri, bahwa
ia akan segera meninggalkan padang rumput ini.”
Tampaklah ketiga kawan-kawannya itu
kurang percaya. Salah seorang dari padanya berkata, “Ah, apakah kau
pernah bertemu dengan hantu itu.”
“Ya.”
“Dan kau masih tetap hidup?”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Hantu
itu tidak sejahat kata orang. Kalau kita tidak mengganggunya, maka
hantu itu pun tidak akan marah.”
Kembali tampak wajah-wajah anak muda itu
kurang percaya. Berkata salah seorang, “Mungkin hantu itu menipumu
Agni. Bukankah hantu sering menipu orang.”
“Tidak, dan bukankah di padang rumput
sekarang tidak pernah lagi terdengar berita tentang hantu itu. Bukankah
hantu itu menepati janjinya.”
Tetapi Mahisa Agni itu terkejut ketika
terdengar kawannya itu menjawab, “Aku masih mendengar bahwa seseorang
bertemu dengan hantu itu lagi Agni.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi
ia tidak segera menjawab, sehingga kawannya itu berkata, “Agni.
Mungkin kau terlalu sibuk memikirkan dirimu sendiri, memikirkan lukamu
dan mungkin juga hilangnya adikmu dan terbunuhnya bakal iparmu itu,
sehingga kau tidak pernah mendengar bahwa dalam beberapa hari ini hantu
Karautan itu telah menampakkan dirinya kembali.”
Mahisa Agni benar-benar heran mendengar
keterangan itu. Katanya, “Aku tidak dapat mengerti kata-katamu itu.
Hantu itu sudah berjanji kepadaku.”
“Apakah kau dapat mempercayai mulut hantu,“ bertanya kawannya yang lain.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tahu benar bahwa Ken Arok kini telah berada di istana Tumapel. Tetapi
apabila benar-benar hantu Karautan itu timbul lagi, pasti sama sekali
bukan Ken Arok. Tetapi siapa?”
Meskipun demikian Mahisa Agni itu
menjawab, “Ah, mungkin berita itu berita yang belum pasti kebenarannya.
Mungkin seseorang yang ketakutan karena bertemu dengan orang lain,
disangkanya hantu Karautan itu datang kembali.”
“Tidak Agni. Kabar itu telah aku dengar dari orang yang mendengar langsung ceritera seseorang yang mengalami sendiri.”
“Apa katanya?”
“Ketika orang itu menyangka bahwa hantu
Karautan benar-benar sudah tidak ada, setelah sekian lama hilang
beritanya maka ia memberanikan diri pulang sendiri di malam hari dari
Tumapel, setelah ia mengunjungi saudaranya dan menukarkan kerisnya
dengan milik saudaranya itu. Tetapi tiba-tiba dipadang ia bertemu
dengan hantu itu.”
“Apa yang dilakukan oleh hantu itu?”
“Mencegatnya. Dan memukulnya seperti memukuli seorang penjahat.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. “Keris yang dibawanya dari Tumapel itu dirampasnya.”
“Tidak. Hantu itu tidak mengambil apa-apa daripadanya. Tetapi orang itu dipukuli sampai pingsan. Kemudian ditinggalkannya.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Aneh.
Hantu yang dikenalnya dahulu, selalu merampas dan merampok orang-orang
yang lewat. Tetapi hantu yang sekarang itu hanya memukuli saja sampai
pingsan.”
“Aneh,“ desisnya tanpa disengajanya.
“Apa yang aneh,“ bertanya seorang kawannya.
“Hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Kenapa aneh? Bukankah hantu dapat saja berbuat apa saja sekehendaknya.”
“Sifat hantu itu berubah. Bukankah kita
dahulu selalu mendengar bahwa korhan hantu Karautan, sebagian besar
pasti mati. Dan semua kekayaan yang dibawanya habis dirampas?”
“Mungkin orang itu disangkanya mati pula.”
Mahisa Agni terdiam. Dicobanya untuk
mencari kemungkinan, apakah kira-kira yang telah terjadi dipadang
Karautan itu. Tetapi dengan kabar itu ia menduga bahwa hantu yang baru
ini sama sekali bukan hantu yang sudah dikenalnya. hantu ini
seakan-akan hanya ingin melepaskan dendam di hatinya, bukan merampok
apalagi membunuh.
Sesaat mereka masih saling berdiam diri.
Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri sungai naik ke udik. Tetapi
Mahisa Agni tidak dapat segera mempercayainya, bahwa dipadang rumput
itu kini telah dijumpai hantu yang menakutkan itu kembali.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni berdesir.
Gurunya telah meninggalkan padepokan dengan luka di hatinya. Tetapi
segera Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia takut sampai pada
kesimpulan itu. Bahkan segera ia mencari alasan untuk menindas
perasaannya.
“Guru baru kemarin meninggalkan padukuhan Panawijen. Sedang hantu itu telah dijumpai beberapa hari yang lalu.”
Tetapi tanpa dikehendakinya sendiri, di
sudut hatinya terdengar suara, “Mungkin guru sudah tahu, bahwa anaknya
hilang beberapa lama. Karena itu ia mendendam. Ketika ia datang menemui
aku di bendungan, ia hanya akan memberikan beberapa pesan saja dan
kemudian memecahkan bendungan itu. Seterusnya gurunya akan kembali ke
padang rumput ini.”
“Gila,“ desisnya.
Ketiga kawan-kawannya terkejut. Serentak mereka berpaling, dan salah seorang dari padanya bertanya, “Apa Agni.”
Agni lah yang kemudian terkejut. Dengan terbata-bata ia menjawab sekenanya, “Hantu itu.”
“Kenapa?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Kini
kepalanya tertunduk, dan hatinya menjadi risau. Kembali di dalam
dadanya terdengar suaranya sendiri melengking, “Tidak. Itu tidak
mungkin, betapa guru kehilangan keseimbangan, tetapi ia tidak akan
melakukan pekerjaan semacam itu. Dan bukankah guru tampaknya terkejut
sekali ketika aku memberitahukan apa yang telah terjadi di Panawijen?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan kemudian ia menjadi malu akan kecemasannya itu, seakan-akan ia
belum mengenal watak dan tabiat gurunya. Sehingga dengan demikian, maka
Mahisa Agni itu pun dapat menenteramkan hatinya sendiri. Katanya di
dalam hati, “Aku yakin. Pasti bukan Empu Purwa. Kalau hantu itu
ternyata guruku, biarlah aku dibunuhnya sekali. Tetapi aku yakin, bahwa
orang itu adalah orang lain.”
Mereka berempat itu pun semakin lama
menjadi semakin jauh dari pedukuhan mereka. Mereka berjalan
perlahan-lahan sambil mengamat-amati sungai yang mereka telusuri.
Mungkin mereka segera menemukan tempat yang baik untuk membangun
bendungan. Semakin dekat dengan padukuhan mereka semakin baik. Tetapi
sungai itu semakin lama agaknya menjadi curam. Tebingnya yang terdiri
dari batu padas menjorok tinggi. Tumbuh-tumbuhan liar seolah-olah
menutup tebingnya dengan daun-daunnya yang rimbun.
“Tebingnya menjadi semakin curam Agni. Semakin tidak mungkin lagi untuk membangun bendungan.”
“Kita berjalan terus. Suatu ketika akan menemukan tempat itu. Tempat yang baik untuk membangun bendungan.”
Mereka berempat pun berjalan terus.
Semakin lama semakin jauh. Semakin jauh dari padukuhan mereka, tetapi
semakin dekat dengan padang rumput Karautan.
“Kita akan sampai ke padang rumput itu Agni,“ berkata salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut Agni, “sudah aku katakan, kita akan memasuki padang rumput itu.”
“Tetapi hantu itu?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Hantu itu berada di bagian lain. Ia mencegat
orang-orang yang lewat. Daerah ini sama sekali tidak pernah dilewati
orang. Orang mencari ikan pun tak pernah sampai ke tempat ini.”
“Tetapi bukankah hantu itu mengetahui
dengan matanya yang tajam apa saja yang ingin dilihatnya? Bukankah
hantu itu dapat melihat juga kehadiran kita dipadang rumput ini, dan
hantu itu dapat terbang dalam waktu sekejap untuk mencegat kita?”
Mahisa Agni terpaksa tersenyum. Tetapi
justru karena itu kawan-kawannya menjadi kurang senang, seakan-akan
Mahisa Agni itu tidak mempercayainya.
“Jangan cemas. Kalau hantu itu
benar-benar kembali ke padang Karautan. Biarlah ia menemui aku. Aku
sudah kenal baik dengan hantu itu.”
Ketiga kawan-kawannya terdiam. Mereka
merasa bahwa Mahisa Agni tidak mempercayai ceritera mereka, atau
seandainya anak muda itu percaya, agaknya ia sama sekali tidak takut,
sehingga ketiga kawan Agni itu mempunyai tanggapan yang aneh kepadanya.
Campur baur antara cemas, curiga dan berbangga.
Sementara itu matahari semakin lama
semakin tinggi memanjat langit. Sinarnya yang terik bertebaran di atas
pepohonan dan tubuh-tubuh mereka yang sedang melakukan perjalanan
menyusuri sungai ke udik. Burung-burung liar tampak berterbangan di
udara, dan awan yang putih mengapung dihanyutkan angin ke utara.
Terasa panasnya seakan-akan membakar
kulit. Keringat mereka seolah-olah terperas dari tubuh-tubuh mereka
sehingga pakaian-pakaian mereka menjadi basah kuyup.
“Panasnya bukan main.” salah seorang kawan Mahisa Agni mengeluh.
“Ya,” sahut yang lain.
Tetapi Mahisa Agni masih saja berdiam
diri. Ia sudah terlalu biasa dengan panas di perjalanan. Meskipun
kawan-kawan mereka adalah petani-petani yang biasa berjemur di sawah,
namun kali ini mereka dirayapi oleh perasaan takut dan cemas, sehingga
seakan-akan sinar matahari itu menjadi jauh lebih panas dari matahari
di Panawijen.
“Apalagi ketika kemudian mereka melihat
sebuah padang rumput terkapar dihadapan mereka. Di sana sini mereka
melihat gerumbul-gerumbul liar bertebaran. Padang rumput itu adalah
padang yang langsung berhubungan dengan padang rumput Karautan.
Ketika mereka mulai menginjakkan
kaki-kaki mereka di atas padang itu, Mahisa Agni melihat, betapa
kecurigaan mencengkam hati mereka.
“Jangan cemas,“ desis Mahisa Agni. “padang ini belum padang Karautan.”
Tetapi kata-kata penenang itu sama sekali
tidak menenangkan hati mereka. Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu
masih saja diliputi oleh perasaan cemas dan ngeri. Mereka mengharap
bahwa sebelum mereka memasuki padang Karautan, mereka telah menemukan
tempat itu. Tempat yang baik untuk membuat bendungan.
Mahisa Agni melihat bahwa ketiga orang
itu hampir tak sanggup lagi berjalan karena kecemasannya. Pada ketiga
kawannya itu tampak sifat-sifat anak-anak muda Panawijen yang
sebenarnya. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi geli melihat bagaimana
anak-anak itu dengan nafsu yang menyala-nyala berteriak.
“Aku sanggup, aku sanggup. Namun apabila
di hadapannya membayang kesulitan dan bahaya, maka terasa hatinya
berkerut sebesar menir.”
Seperti apa yang pernah terjadi atas
mereka dihadapan Kuda Sempana. Dan apa yang akan dilakukan terhadapnya
sendiri. Kini ketakutan itu berulang kembali menghadapi hantu Karautan
yang belum pasti adanya.
Dalam pada itu mereka masih berjalan
terus. Sungai itu masih bertebing curam dan dalam. Tetapi Mahisa Agni
melihat tanda-tanda bahwa semakin lama tebing itu sudah menjadi semakin
rendah.
“Kalian lihat,“ berkata Mahisa Agni,
“tebing ini sudah menjadi semakin rendah. Kalau kita berjalan terus,
maka aku yakin bahwa akan kita temukan tempat yang tepat untuk membuat
bendungan.”
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba salah seorang berkata, “Mungkin tebing ini akan menjadi
rendah dan dasar sungai akan menjadi semakin tinggi. Tetapi belum pasti
bahwa di tempat itu akan banyak terdapat bahan-bahan untuk bendungan.”
“Ya. Mungkin begitu. Tetapi kita masih harus melihat dahulu.”
“Ternyata tempat yang paling baik adalah tempat yang lama Agni,“ berkata kawannya yang lain.
“Bagaimana mungkin,” jawab Agni, “sungai
itu seakan-akan menjadi semakin lebar, dua kali lipat. Semakin dalam
dan bahan-bahannya sukar kita cari. Bahan-bahan yang lama, kalau
misalnya masih mungkin kita kumpulkan, tidak akan cukup separuh dari
kebutuhan.”
“Kita cari bahan-bahannya di tempat lain,“ berkata yang lain pula.
“Terlalu sulit. Dan bukankah bendungan
itu akan menjadi lambang dari kerja yang kalian hasilkan sendiri. Kerja
yang kalian persembahkan kepada anak cucu. Kalian bisa dengan bangga
berkata Bendungan ini kita buat bersama-sama. Lebih bangga daripada,
Bendungan peninggalan Empu Purwa ini kita perbaiki.”
Ketiga kawan-kawannya terdiam. Sebenarnya
mereka tidak berkeberatan untuk melakukannya. Bahkan mereka ingin
menunjukkan bahwa mereka pun mampu melakukan. Tetapi ketika tiba-tiba
mereka melihat padang Karautan, maka hati mereka menjadi ragu-ragu.
Bukan karena kesulitan untuk mendapatkan tempat dan bahan-bahan, tetapi
mereka ragu-ragu apakah hantu Karautan akan membiarkan mereka membuat
bendungan dan merubah padang rumput kekuasaannya.
Mahisa Agni seakan-akan dapat meraba
gejolak hati mereka, sehingga tiba-tiba pula ia berkata, “Jangan takut
akan hantu itu. Yakini kata-kataku. Hantu itu tidak terlalu berbahaya.
Dan bukankah kita berempat.”
Ketiga kawan Mahisa Agni masih berdiam
diri. Mereka berjalan sambil menundukkan wajah-wajah mereka. Hanya
sekali-sekali mereka memandang tebing sungai yang curam dan ditumbuhi
oleh gerumbul-gerumbul liar.
Sementara itu matahari menjadi semakin
lama semakin jauh menuju ke puncak langit. Bahkan sesaat kemudian,
matahari itu telah melampaui titik tertinggi, dan perlahan-lahan
merayap turun ke Barat. Semakin lama semakin rendah menuju ke balik
bukit.
Semakin rendah matahari, ketiga
kawan-kawan Mahisa Agni menjadi semakin cemas. Bahkan kemudian salah
seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita berjalan terus Agni.”
“Ya, sampai kita menemukan tempat itu.”
“Bagaimana kalau kita kemalaman di perjalanan?”
“Ah. Itu sama sekali bukan soal. Bukankah
kita membawa bekal untuk keperluan itu?” Tetapi Mahisa Agni tahu
maksud pertanyaan itu sebenarnya. Mereka sama sekali tidak cemas
tentang bekal mereka, tetapi mereka cemas apabila mereka bertemu dengan
hantu Karautan.
Ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu
kembali berdiam diri. Hanya sekali-sekali mereka memandang langit yang
semakin sejuk. Tetapi hati mereka menjadi semakin berdebar-debar.
“Apakah kita tidak kembali saja dahulu Agni. Besok kita teruskan perjalanan kita di siang hari?”
“He,“ mau tidak mau Mahisa Agni harus
tertawa, katanya, “bagaimana hal itu mungkin. Kalau kita kembali, dan
besok berangkat lagi seperti hari ini, maka kita akan sampai di tempat
ini pada saat yang sama seperti sekarang. Dengan demikian kita akan
mengulangi perjalanan ini setiap hari.”
Kawannya itu pun tersenyum pula, ketika disadarinya bahwa pendapatnya itu menggelikan.
Kemudian mereka berjalan pula sambil
berdiam diri. Mereka telah berjalan jauh menjorok ke dalam padang
rumput. Keringat mereka telah terperas membasahi seluruh tubuh mereka,
seakan-akan mereka sedang mandi.
“Apakah kalian lelah,“ bertanya Mahisa Agni.
Serentak ketiga kawannya mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku lelah sejak tadi.”
“Baiklah kita beristirahat,“ ajak Mahisa Agni.
Ketiga kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.
Kalau mereka beristirahat, maka perjalanan mereka akan menjadi semakin
lama. Mungkin mereka benar-benar akan kemalaman dipadang rumput itu.
Tetapi untuk berjalan terus, mereka telah benar-benar lelah dan lapar.
Mahisa Agni yang melihat keragu-raguan
itu segera mengetahui perasaan ketiga kawan-kawannya itu. Maka katanya,
“Makanlah dahulu. Apapun yang akan kita jumpai, namun kita sudah
kenyang.”
Seorang, kawannya tiba-tiba bertanya, “Manakah batas dari padang rumput Karautan itu?”
“Kita sudah berada dipadang rumput Karautan,” jawab Agni.
Jawaban itu benar-benar mengejutkan
ketiga kawan-kawannya, terasa dada mereka berdesir. Tanpa mereka sadari
mereka telah berada dipadang yang mereka takuti.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni
berkata, “Batas antara padang Karautan dan padang rumput Panawijen
tidak jelas. Tak ada tanda-tanda yang dapat dipergunakan. Tetapi kita
hanya dapat menduga, bahwa setelah kita menempuh jarak tertentu kita
berada dipadang rumput yang bernama Karautan.”
Kawan-kawannya tidak menjawab,
seakan-akan mereka benar-benar menjadi ketakutan menyebut sesuatu yang
berhubungan dengan padang itu. Mereka merasa seakan-akan hantu Karautan
selalu mengintai mereka, dan menerkam mereka setiap saat. Hanya karena
harga diri, mereka tetap berada di sisi Mahisa Agni. Mereka malu untuk
menyatakan keinginan mereka, mengajak Agni kembali saja ke Panawijen
karena hantu Karautan, sebab ternyata Mahisa Agni agaknya sama sekali
tidak memperhitungkan hantu itu, bahkan mengabaikannya.
Mahisa Agni melihat kecemasan yang
membayang di wajah kawan-kawannya, tetapi seakan-akan ia sama sekali
tidak mengacuhkannya. Dibawanya kawan-kawannya itu duduk di bawah
gerumbul dan katanya kemudian, “Marilah kita buka bekal kita. Kita
makan dahulu. Nanti kita lanjutkan perjalanan kita.”
Dengan ragu-ragu kawan-kawannya membuka
bungkusan bekal mereka. Namun sekali-sekali mereka selalu menebarkan
pandangan mereka sekeliling padang itu. Setiap gerak dan setiap suara,
yang betapapun lembutnya, benar-benar telah mengejutkan mereka itu.
Hanya Mahisa Agni lah yang seolah-olah tidak mempedulikan apa saja di
sekitarnya. Dengan lahapnya ia menyuapi mulutnya.
“Marilah,“ katanya, “apakah kalian tidak lapar seperti aku?”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka
pun kemudian makan pula, tetapi mereka benar-benar tidak dihinggapi
nafsu. Seakan-akan perut mereka masih saja terasa kenyang.
Sambil makan terdengar Mahisa Agni bergumam, “Sudah pasti kita bermalam dipadang ini.”
Wajah ketiga kawan-kawannya menjadi pucat, tetapi mereka belum bertanya.
“Kita akan berjalan sampai matahari
terbenam. Dan kita akan bermalam di tempat itu. Besok pagi-pagi kita
teruskan perjalanan kita. Mudah-mudahan besok kita menemukan tempat
yang kita cari.”
Kawan-kawannya masih berdiam diri. Mereka
tidak dapat berbuat lain dari pada mengikut saja kemana Mahisa Agni
pergi. Untuk kembali bertiga pun mereka agaknya kurang berani. Dengan
demikian maka hidup mereka kini seakan-akan hanya tergantung saja
kepada Mahisa Agni.
Tetapi ada juga diantara mereka yang
menjadi semakin cemas karena melihat bayangan sendiri. Dihubungkannya
perjalanan ini dengan peristiwa di bendungan. Jangan-angan Mahisa Agni
marah kepada mereka, dan sengaja membawa mereka jauh-jauh dari
Panawijen untuk menumpahkan kemarahannya itu.
Karena itulah maka hanya Mahisa Agni
sajalah yang dapat menelan makannya dengan gairah karena kelelahan dan
lapar. Ketiga kawan-kawannya hampir tidak mampu untuk menelan makanan
mereka.
Selesai makan, Mahisa Agni masih juga
duduk-duduk di bawah gerumbul itu, seolah-olah ia sudah tidak mempunyai
rencana yang lain dari pada beristirahat.
“Kita tidak tergesa-gesa,“ katanya,
“sebab bagaimanapun juga kita pasti akan kemalaman dan bermalam
dipadang ini. Karena itu lebih baik kita bekerja perlahan-lahan tetapi
lebih cermat dan hati-hati memilih tempat.”
Ketiga kawan-kawannya benar-benar menjadi
seolah-olah bisu. Mereka hanya dapat mengangguk dan menggeleng. Tak
ada keinginan mereka untuk mengucapkan satu katapun, apabila tidak
terpaksa. Seakan-akan mereka takut suaranya akan didengar oleh hantu
Karautan.
Akhirnya Mahisa Agni jemu melihat
sikap-sikap itu. Diusahakannya untuk melupakan kecemasan itu, dengan
makan, istirahat seenaknya dan apa saja. Tetapi kecemasan itu masih
juga terasa melekat di hati ketiga kawannya itu. Karena itu maka Mahisa
Agni pun terpaksa sekali lagi memberi mereka peringatan, katanya,
“Kenapa kalian tampaknya selalu cemas? Sudah aku katakan, jangan
hiraukan hantu Karautan itu. Dan ia tidak akan mengganggu aku lagi.”
Ketiga kawan Mahisa Agni itu
mengangguk-angguk. Namun hatinya sama sekali tidak meyakini kata-kata
Mahisa Agni itu. Meskipun demikian mereka sama sekali tidak menjawab.
“Marilah kita teruskan perjalanan kita.
Kita akan menerobos padang Karautan. Akan kita telusur sungai ini terus
sampai kita menemukan tempat yang baik untuk bendungan itu. Seandainya
hantu itu benar-benar kembali, maka ia berada jauh di sebelah Timur,
di tepi jalan Sidatan ke Tumapel. Tidak di pinggir kali ini.”
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban ketiga
kawannya. Segera ia membenahi bekalnya. Kawan-kawannya yang melihat
itu pun segera berbuat serupa. Mereka takut Mahisa Agni akan
meninggalkan mereka di tengah-tengah padang yang mengerikan itu.
Kembali mereka berempat berjalan menyusur
sungai. Di perjalanan itu Mahisa Agni selalu berusaha untuk melupakan
ketakutan dengan menilai setiap lekuk liku sungai itu. Tetapi jawaban
yang didengarnya dari kawan-kawannya terlalu pendek.
“Hem,“ Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berbicara terus tentang sungai itu.
Semakin jauh mereka berjalan, matahari
pun menjadi semakin rendah. Kini mereka pun benar-benar telah berada
dipadang yang luas dan mengerikan. Di sana sini yang mereka lihat
hanyalah gerumbul-gerumbul liar dan batu-batu padas yang menjorok
diantaranya.
Ketika kemudian malam membayang di
langit, maka Mahisa Agni pun berhenti. Ia harus mendapatkan tempat yang
baik untuk bermalam bersama kawan-kawannya.
Diamat-amatinya tempat di sekitarnya. Gerumbul-gerumbul liar dan rerumputan.
“Kita bermalam disini,“ bertanya Mahisa Agni kepada kawan-kawannya.
Perasaan ngeri dan cemas semakin
menghunjam ke dalam jantung ketiga kawan-kawan Mahisa Agni itu.
Demikian cemasnya sehingga salah seorang daripada mereka, yang tidak
dapat menahan diri lagi, telah kehilangan perasaan malunya, sehingga
dengan gemetar ia berkata, “Apakah kita bermalam dipadang ini Agni?”
“Ya. Bukankah sebentar lagi hari akan malam?”
“Apakah tidak lebih baik kita berjalan?”
“Tidak. Lebih baik kita berhenti. Kalau
kita berjalan di malam hari, maka kita akan tidak dapat melihat sungai
itu. Kita akan mengetahui, apakah kita sudah sampai pada tebing yang
rendah.”
Kawannya itu terdiam. Tetapi bukan berarti bahwa ia telah kehilangan kecemasannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian berkata
pula, “Disinilah. Di atas rumput kering ini kita akan bermalam. Kita
harus berganti-gantian bangun, supaya kita tidak kehilangan
kewaspadaan. Mungkin ada binatang yang berbahaya.”
Bulu-bulu kuduk ketiga kawan Mahisa Agni
meremang. Meskipun mereka membawa senjata, namun senjata itu
hampir-hampir tak berarti bagi mereka.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Mahisa Agni itu kemudian meletakkan dirinya duduk di atas
rumput-rumput liar yang kering. Tempat itu adalah tempat yang tidak
menjadi rimbun karena batang-batang ilalang, karena tanah dibawahnya
adalah tanah yang berbatu padas.
Dengan dada yang berdebar-debar ketiga
kawan-kawannya pun duduk pula dekat-dekat di samping Mahisa Agni.
Sekali-sekali mereka memandang daerah sekeliling mereka dengan hati
yang kecut. Seakan-akan di sekeliling mereka, di belakang
gerumbul-gerumbul liar, di balik batang-batang ilalang, bersembunyi
berpuluh-puluh hantu dan binatang-binatang buas yang siap menerkam, dan
menyobek kulit daging mereka. Tetapi mereka mengumpat-umpat tak
habis-habisnya di dalam hati, apabila mereka melihat, Mahisa Agni
hampir acuh tak acuh saja terhadap keadaan di sekelilingnya.
“Marilah kita bentangkan tikar,“ berkata Mahisa Agni.
Kawannya yang membawa tikar, tidak
menjawab. Tetapi dengan dada dan tangan yang gemetar, ia membuka ikatan
sehelai tikar dan dengan hati-hati ia membentangkannya.
Demikian tikar itu terbentang, demikian
Mahisa Agni merebahkan dirinya sambil bergumam, “Ah, alangkah enaknya.
Setelah seharian berjalan, kita dapat beristirahat di bawah selimut
mega yang putih dan langit yang biru bersih.”
Kawan-kawannya sama sekai tidak dapat
ikut merasakannya. Mereka sama sekali tidak merasa lelah, apalagi
keinginan untuk berbaring seperti Mahisa Agni. Mereka tidak juga
melihat helaian awan putih yang berterbangan di langit dan warna yang
biru bersih di atas kepala mereka. Yang ada di dalam hati mereka,
adalah bayangan-bayangan yang mengerikan.
Tiba-tiba Mahisa Agni yang berbaring itu bangkit. Katanya, “Kita akan membuat api.”
“He,“ kawan-kawannya terkejut
mendengarnya. Berkata salah seorang dari mereka, “Api akan menunjukkan,
bahwa disini ada seseorang.”
“Apa salahnya?” sahut Mahisa Agni, “kita
tidak akan beku kedinginan. Apalagi kalau kita sempat menangkap
binatang buruan. Maka malam ini akan menjadi malam yang tidak akan
kalian lupakan.”
Mahisa Agni tidak menunggu kawan-kawannya
menjawab. Dalam keremangan ujung malam, Agni segera bangkit dan
mencari dahan-dahan dari gerumbul-gerumbul perdu di sekitarnya.
Kemudian dengan seonggok rumput kering, Agni segera membuat api dengan
batu yang dibawanya. Sepotong batu yang digosoknya keras-keras dengan
sepotong kecil kepingan baja. Lontaran bunga apinya dapat membakar
gelugut aren yang sudah dikeringkan. Dengan api itulah Agni membakar
onggokan rumput kering.
Sesaat kemudian api telah menyala. Lidahnya yang menjulur naik, seakan-akan ingin menjilat langit.
“Hangat,“ gumamnya, “biarlah api ini bertahan sampai pagi. Jangan sampai padam. Meskipun hanya baranya.”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun
semakin besar api itu menyala, hatinya menjadi semakin kecut. Namun api
itu segera menjadi susut. Dilemparkannya oleh Mahisa Agni beberapa
potong kayu, supaya apabila api itu padam, maka akan masih tinggal
baranya yang dapat dipakainya untuk memanaskan tubuh.
“Biarlah nyala itu padam,“ berkata Agni,
“tetapi jagalah supaya masih ada bara yang tertinggal. Supaya apabila
malam nanti kita kedinginan, kita dapat melemparkan rumput-rumput
kering ke atasnya dan api akan menyala kembali.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk
saja. Tetapi mereka seakan-akan menjadi beku. Mereka melihat Mahisa
Agni kemudian menumpuk beberapa potong kayu lagi di atas api dan
membiarkan api itu menjadi bertambah kecil, ketika dalam sesaat
rumput-rumput yang kering telah habis terbakar.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam
diri. Mata mereka menghunjam ke pusat api yang sudah tidak lagi
menjalar ke udara. Malam pun semakin lama menjadi semakin gelap, dan
bintang-bintang di langit menjadi semakin banyak menggantung dengan
cerahnya.
“Kita perlu air,“ tiba-tiba Agni memecah kesepian.
Kawan-kawannya saling berpandangan. Mereka memang merasa haus, tetapi mereka tidak menjawab.
“Siapa yang akan mengambil air ke sungai?”
Tak ada yang menjawab. Sehingga Agni meneruskannya, “Kalau demikian, aku akan pergi.”
“Lalu, bagaimana dengan kami,“ bertanya seorang kawannya.
“Tinggallah kalian disini sebentar. Hanya sebentar.”
Sejenak ketiga kawan-kawannya itu menjadi saling berpandangan. Mulut-mulut mereka ternganga namun hati mereka berkerut.
Ketika kemudian mereka melihat Mahisa
Agni bergerak menyambar bumbung yang sudah kosong, salah seorang dari
mereka berkata, “Jangan tinggalkan kami disini Agni.”
Mahisa Agni tertegun sejenak. Ditatapnya
ketiga kawan-kawannya yang gemetar. Katanya, “Kenapa? Kenapa kalian
tidak berani tinggal disini bertiga?”
Dengan nanar mereka memandang
berkeliling. Padang rumput ini adalah padang rumput Karautan. Tetapi
mulut-mulut mereka tidak berani mengucapkannya.
“Aku haus,“ berkata Mahisa Agni, “karena
itu aku perlu air. Kalau ada diantara kalian yang mau mengambilnya
untuk kita berempat, aku akan tinggal disini.”
“Kita mengambil bersama-sama,” minta salah seorang dari padanya.
“Hem,“ Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Jangan. Tungguilah bekal-bekal
kita, kalau-kalau ada anjing liar. Apakah kalian takut kepada
anjing-anjing liar itu? Bukankah kalian laki-laki yang di lambung
kalian tergantung pedang? Apakah gunanya pedang itu?”
Tanpa mereka sadari, tangan-tangan mereka
meraba hulu-hulu pedang yang tergantung di lambung masing-masing. Ada
juga ketenteraman yang menjalari di hati mereka. Pedang itu akan dapat
membantu mereka melindungi diri mereka. Tetapi Mereka bukan seorang
yang cakap bermain-main dengan pedang.
Mereka hanya sekedar dapat
menggerakkannya dan sedikit memutar dan mengayunkan. Tetapi apabila
yang datang-benar-benar hanya anjing-anjing liar, maka tiga bilah
pedang itu sudah berlebihan.
“Atau, kalian dapat menyalakan api itu kembali supaya binatang-binatang buas menjadi ketakutan dan tidak mendekati kalian.
Kawan-kawan Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi hati mereka serasa membeku.
“Nah, bagaimana? “ bertanya Mahisa Agni, “aku membawa kalian untuk kawan di perjalanan bukan sebagai momongan.”
Kata-kata itu benar-benar menyentuh hati
mereka. Sehingga dengan demikian tumbuh kembali rasa harga diri mereka
sebagai laki-laki. Bagaimanapun mereka bercemas hati, namun ketika
sekali lagi Mahisa Agni bertanya, terdengar mereka menjawab, “Baiklah
Agni, kami bertiga tinggal disini. Tetapi jangan terlalu lama, dan
jangan terlalu jauh, sehingga apabila kami memanggilmu, kau akan dapat
mendengarnya.”
“Baiklah,” sahut Agni sambil berdiri.
Perlahan-lahan ia berjalan ke arah tebing sungai. Sekali-sekali ia
berpaling melihat ketiga kawannya yang duduk hampir berdesak-desakan.
Pedang mereka telah tidak lagi tergantung di lambung mereka, tetapi
pedang itu telah siap di pangkuan.
Ketika Mahisa Agni melangkah terus,
dilihatnya bayangan tubuhnya di bawah kakinya. Memanjang ke barat.
Ketika ia berpaling dilihatnya bulan yang telah tidak bulat lagi
mengambang di langit yang biru.
Tiba-tiba Mahisa Agni tertegun.
Dilihatnya bulan, dataran rumput yang luas, diseling oleh gerumbul dan
padas yang menjorok, awan yang putih dan bintang yang berdesakan di
langit.
Mahisa Agni menarik nafas. Di wajahnya
seakan-akan terbayang seluruh bumi. Keindahan bulan, rumput-rumput
liar, hati yang bulat untuk melakukan sesuatu, tetapi diliputi oleh
kecemasan dan ketakutan, seperti kawan-kawannya yang duduk melipat
diri, kelelawar yang bebas di udara, namun juga kelinci yang hidupnya
selalu terancam oleh kekerasan binatang-binatang yang lebih besar dan
buas.
Mahisa Agni itu pun kemudian menundukkan
kepalanya. Terbayang di mata hatinya, betapa besar kekuasaan Yang Maha
Agung yang telah menjadikan semuanya itu.
Selangkah Mahisa Agni berjalan terus.
Semakin lama semakin dekat ke tebing sungai yang dalam. Tetapi
beruntunglah bahwa bulan telah membantunya menunjukkan jalan yang dapat
dilaluinya untuk menuruni tebing.
Meskipun demikian, Mahisa Agni melangkah
dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak takut kepada hantu Karautan yang
akan mencegatnya di tepian, atau harimau yang bersembunyi di dalam
rimbunnya belukar menunggu rusa mencari minum, atau binatang-binatang
buas yang lain, tetapi yang menjadi perhatian Mahisa Agni adalah ular
dan sebangsanya. Meskipun ia masih mempunyai ramuan obat penawar bisa,
tetapi baginya lebih baik tidak usah mempergunakannya, daripada ia
harus digigit ular. Apalagi ular yang bisanya sangat tajam, maka
meskipun ia akan dapat menawarkannya, namun ia pasti akan mengalami
demam.
Perlahan-lahan Mahisa Agni merayapi
tebing yang curam, turun ke bawah. Telah didengarnya gemercik air
sungai yang mengalir dibawahnya. Sekali-sekali ia melihat kilatan
pantulan cahaya bulan pada wajah air yang beriak kecil. Di
lambungkanannya tergantung bumbung tempat air, dan di lambung kiri
tergantung pedangnya. Adalah jarang sekali Mahisa Agni menyandang
pedang atau senjata apapun. Tetapi karena perjalanannya yang penting
kali ini, maka ia pun bersenjata pula seperti ketiga kawan-kawannya.
Mungkin senjata itu berguna tidak saja untuk berkelahi, tetapi untuk
menebas pepohonan dan kayu-kayuan apabila diperlukan.
Dalam pada itu ketiga kawannya masih
duduk mematung, seakan-akan mereka sama sekali tidak berani bergerak.
Hanya sekali-sekali mereka memandang jauh ke tempat Mahisa Agni
menghilang. Tetapi sekali-sekali mereka juga sempat melihat bulan yang
jernih. Namun tak seorang pun dari mereka yang mulai bercakap-cakap.
Tetapi tiba-tiba salah seorang dari
mereka menjadi pucat. Ketika ia memandang bulan yang kekuning-kuningan,
tiba-tiba di bawah bayangan cahaya bulan ia melihat sesuatu yang
bergerak. Mula-mula ia hanya menyangka, bahwa itu adalah daun-daun yang
di sentuh angin. Tetapi gerak itu ternyata terlalu jauh bergeser.
Dengan tangan yang gemetar digamitnya kawan-kawannya dan dengan dagunya
ia menunjuk ke arah bayangan itu.
Kawan-kawan-nya yang kemudian berpaling
pula, merasa seperti disengat lebah ditengkuknya. Mereka terkejut bukan
kepalang. Bayangan itu bergerak cepat sekali seperti hantu yang
terbang di atas padang rumput Karautan tanpa menyentuh tanah.
Tubuh mereka itu pun menjadi gemetar.
Hampir seluruh sendi-sendi tulang mereka serasa terlepas. Tiba-tiba
merayaplah di dalam dada mereka anggapan bahwa sebenarnya hantu itu
dapat bergerak cepat sekali tanpa menyentuh tanah.
Pedang-pedang yang berada di pangkuan
mereka itu sama sekali sudah tidak mereka ingat lagi. Apalagi untuk
berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat duduk membeku tanpa berani
menggerakkan ujung jarinya sekalipun.
Meskipun demikian, mereka mencoba juga
untuk melihat bayangan itu bergerak-gerak. Sekali-sekali cepat, namun
kemudian lambat, berkisar dari satu garis ke garis yang lain.
Dalam pada itu yang dapat dilakukan oleh
ketiga kawan Mahisa Agni hanyalah berdoa, semoga hantu itu tidak datang
kepada mereka. Dengan dada bergetar dan tubuh gemetar, mulut mereka
berkumat kumit.
Tetapi bayangan itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Namun mereka melihat bayangan itu berada pada garis yang
menyilang dihadapan mereka, sehingga mereka mengharap, bahwa bayangan
itu tidak berbelok lurus ke arah mereka.
Dengan mata terbelalak mereka menyaksikan
gerak bayangan itu. Hati mereka berdesir ketika mereka menyaksikan
itu. Hati mereka berdesir ketika mereka menyaksikan bayangan itu
berhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali bergerak berputar.
Mereka melihat gerak itu menjadi lebih lambat dan yang hampir
menjadikan mereka pingsan, bayangan itu berjalan ke arah mereka
bertiga, seolah-olah mereka bertiga itu sudah dilihatnya.
Ketakutan yang bergolak di dalam dada
mereka itu pun menjadi semakin memuncak. Tiba-tiba terdengar salah
seorang berdesis dengan gemetar, “Menuju kemari.”
Kawan-kawan-nya menyahut, “Ya.”
Mereka itu kemudian melihat bayangan itu
sudah semakin dekat. Di belakang bayangan itu mereka melihat selapis
asap yang bergulung-gulung. Asap putih yang tipis.
“Hantu itu berasap,“ gumam mereka di dalam hati. Karena itulah maka mereka menjadi semakin ketakutan.
Namun telinga mereka kini telah mendengar derap kehadiran bayangan itu. Derap itu seperti derap seekor kuda.
“Suara kuda,“ desis salah seorang dari mereka.
“Hantu itu naik kuda semberani,” sahut yang lain.
Hati mereka semakin lama menjadi semakin kalut, sehingga akhirnya mereka sampai ke puncak kecemasan.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Lari.”
“Kemana,” sahut yang lain.
“Kemana saja.”
“Tetapi kita tidak dapat berlari secepat kuda semberani.”
Sesaat mereka terdiam. Mereka memang
tidak dapat berlari secepat kuda semberani. Karena itu mereka menjadi
semakin bingung, sedang bayangan itu semakin lama semakin dekat dengan
mereka.
“Bersembunyi,“ desis yang lain.
Mereka segera mencoba mencari tempat
untuk bersembunyi. Yang ada di dekat mereka adalah sebuah gerumbul yang
cukup lebat, sehingga dengan serta merta kedua kawannya menyambut,
“Ya, kita bersembunyi.”
Serentak mereka bertiga merangkak
cepat-cepat memasuki gerumbul yang ada di samping mereka. Dengan
tersuruk-suruk mereka menyibak daun-daun perdu dan menyusup kedalamnya.
Sama sekali tidak mereka rasakan, goresan-goresan duri yang tajam pada
tubuh mereka.
Demikian mereka hilang di dalam belukar,
maka segera mereka mendengar derap kuda semakin dekat. Dan sesaat
kemudian mereka mendengar derap kuda itu berhenti.
Dari celah-celah rimbun dedaunan yang
melindungi mereka, mereka dapat melihat seekor kuda yang tegar kuat. Di
punggungnya duduk seorang dalam pakaian yang aneh. Pakaian yang tidak
teratur dan memakai tutup di wajahnya. Sesobek kain melingkar di bawah
mata dan diikat di bagian belakang kepalanya, di bawah gelungnya yang
tidak terpelihara.
Melihat kuda dan penunggangnya itu,
ketiga kawan-kawan Mahisa Agni benar-benar tidak lagi bergerak.
Bernafas pun rasa-rasanya menjadi sangat sulit. Gambarannya tentang
hantu itu sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya kini.
Meskipun demikian, ketakutannya menjadi bertambah-tambah. Wajah hantu
itu tidak sedahsyat yang disangkanya. Namun tidak juga tampan seperti
ceritera-ceritera yang pernah didengarnya, bahwa hantu Karautan adalah
hantu yang tampan, meskipun liar. Tetapi kali ini hantu itu mencoba
menutupi wajahnya, sehingga wajah itu sama sekali tidak dapat mereka
kenal.
“Apakah mulut hantu itu seperti mulut raksasa dalam ceritera-ceritera itu,“ pikir mereka.
Perasaan ketiga orang itu benar-benar
menjadi kacau. Campur baur antara ceritera yang pernah mereka dengar
tentang hantu yang tampan berambut liar, gambaran-gambaran mereka
tentang hantu yang berkepala besar dan bermata merah, dan kenyataan
yang dilihatnya kini. Meskipun demikian, mereka masih menduga bahwa
sebenarnya hantu itu adalah hantu yang tampan.
Hati mereka benar-benar membeku ketika
mereka melihat hantu itu turun dari kudanya. Mereka seakan-akan
berusaha mengkerutkan tubuh-tubuh mereka sekecil mungkin, supaya hantu
itu tidak dapat melihatnya Meskipun demikian, mereka merasa bahwa
mereka telah berada di ujung ubun-ubun.
Satu-satunya harapan mereka adalah,
menunggu Mahisa Agni datang. Tetapi kalau hantu itu, melihatnya sebelum
Agni datang, maka mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Mereka kemudian melihat hantu itu
perlahan-lahan berjalan mendekati perapian dan memperhatikan setiap
benda yang ada di sekitar perapian itu.
Dengan kakinya hantu itu menyentuh
benda-benda yang berserakan. Sebungkus bekal dan makanan. Beberapa
macam alat-alat, bumbung-bumbung kecil dan mangkok. Dan yang terakhir
adalah pedang-pedang kawan-kawan Mahisa Agni itu.
Terdengar hantu itu menggeram. Suaranya
mengerikan seperti suara sangkakala Dewa Maut. Perlahan-lahan, namun
dalam menusuk pusat jantung.
Ketiga kawan Mahisa Agni benar-benar
berkerut seperti tikus dihadapan seekor kucing yang garang. Hanya
bibir-bibir mereka sajalah yang bergerak-gerak. Namun seluruh tubuh
mereka menggigil seperti orang kedinginan.
Tiba-tiba hantu itu tertawa
perlahan-lahan. Diputarnya tubuhnya dan sambil menunjuk ke dalam
gerumbul itu terdengar suara bergumam, seakan-akan melingkar-lingkar
saja di dalam perutnya.
Dada ketiga kawan Mahisa Agni itu
benar-benar hampir meledak karena kecemasan melihat sikap hantu itu.
Seakan-akan hantu itu telah menunjuk hidung mereka masing-masing, dan
suara tertawanya adalah pertanda, bahwa maut telah siap untuk
menerkamnya.
“Siapa bersembunyi di sana?“ terdengar suara hantu itu berat.
Pertanyaan itu benar-benar seperti
ledakan petir di dalam kepala kawan-kawan Mahisa Agni itu.
Tulang-tulang mereka serasa benar-benar telah terlepas dari kulit
daging mereka. Dan karena itulah maka mereka dengan lemahnya terkulai
di tanah, di dalam gerumbul yang rimbun. Seandainya sebilah pisau
menyentuh kulit mereka, maka seakan-akan dari kulit itu tidak akan
menetes darah yang merah. Demikian takut dan cemas mereka, sehingga
tubuh-tubuh mereka menjadi putih seperti mayat, dan dingin membeku
seperti air embun yang menetes di malam hari.
Sejenak hantu itu tegak berdiri dengan
garangnya. Di tunggunya jawaban dari pertanyaannya. Tetapi tak ada yang
berani mengucapkan sepatah katapun. Apalagi menjawab pertanyaannya
hantu itu.
“He,” teriak hantu itu lebih keras, “siapa bersembunyi dalam gerumbul itu?”
Ketiga kawan Mahisa Agni masih berdiam diri. Bahkan hati mereka menjadi semakin membeku.
“Hem,“ hantu itu menggeram lagi, “jangan menghina aku. Jawab siapa kalian?”
Angin malam berhembus dengan lemahnya
menggerakkan daun gerumbul itu. Di langit bulan masih tergantung
diantara bintang-bintang yang bertaburan. Tetapi betapa kecutnya hati
ketiga orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu. Mulut mereka
benar-benar serasa terkunci.
Selangkah hantu itu maju mendekati
gerumbul itu, ternyata di lambungnya tergantung sebilah pedang yang
panjang. Terjuntai hampir menyentuh tanah.
Pedang itu semakin menggoncangkan dada
mereka yang sedang bersembunyi. Mula-mula mereka heran melihat pedang
itu. Tetapi kemudian terasa dada mereka menjadi pedih, seakan-akan
ujung pedang itu telah menghunjam menembus tulang-tulang iganya.
Hantu itu rupa-rupanya menjadi marah
ketika pertanyaan-pertanyaannya tidak berjawab. Dengan lantang
diulanginya pertanyaan, “He, siapa yang bersembunyi di situ. Aku minta
kalian menjawab pertanyaanku.”
Suara itu lepas, selepas angin yang bertiup dipadang rumput. Hilang tanpa kesan dan jawaban.
Dengan demikian maka hantu itu menjadi
semakin marah. Selangkah lagi ia maju. Dan kali ini ia mengancam, “Aku
sudah mengucapkan beberapa kali pertanyaan. Tetapi kalian tidak
menjawab. Kalau kalian tidak mempedulikan kehadiranku disini, maka
kalian akan mengalami nasib yang malang. Sekarang jawab pertanyaanku,
siapakah kalian?”
Ketiga orang yang bersembunyi itu
benar-benar menjadi ketakutan. Mereka harus menjawab pertanyaan hantu
itu supaya hantu itu tidak menjadi semakin marah. Tetapi tak seorang
pun yang mampu mengucapkan jawaban. Karena itu, hantu itu hanya
mendengar desah nafas yang berkejar-kejaran.
“He,” geram hantu itu pula. Dan tiba-tiba
ia berteriak, “Keluar. Keluar dari gerumbul itu Kalau tidak, maka
gerumbul ini akan aku bakar.”
Mereka yang bersembunyi di dalam gerumbul
itu menggigil semakin cepat. Tubuh mereka seakan-akan tidak lagi dapat
mereka kuasai. Meskipun mereka mendengar dan melihat, namun
seakan-akan mata mereka dan telinga mereka itu tidak lagi ada
hubungannya dengan anggauta badan mereka yang lain. Meskipun telinga
dan mata mereka mempengaruhi kehendak mereka untuk merangkak keluar
karena ancaman hantu itu, namun anggauta badan mereka seolah-olah telah
terlepas satu sama lain, sehingga tidak lagi mampu bergerak.
Hantu itu kemudian berdiri bertolak
pinggang. Kakinya merenggang dan dadanya menengadah. Terasa
kesabarannya semakin tipis, dan dengan penuh luapan kemarahan ia
berteriak, “Keluar. Keluar. Sekali lagi aku peringatan Kalau tidak,
kalian akan mati terbakar di dalam gerumbul ini.”
Ketakutan ketiga orang itu sudah
memuncak. Apalagi ketika mereka melihat hantu itu kemudian melangkah ke
perapian. Diambilnya seonggok rumput-rumput kering yang sudah mereka
kumpulkan. Kemudian rumput-rumput kering itu diletakkannya di sisi
gerumbul itu. Agaknya hantu itu benar-benar akan melakukan apa yang
dikatakannya.
Karena itu, maka ketiga orang yang
bersembunyi itu menjadi bingung. Demikian bingungnya sehingga
seolah-olah mereka telah menjadi gila. Meskipun demikian, dengan
sisa-sisa kekuatan dan keberanian yang terakhir, mereka masih mencoba
menghindarkan diri dari kemungkinan terbakar hangus di dalam gerumbul
itu. Seperti orang berjanji, mereka saling berpandangan. Dan dengan
tersuruk-suruk mereka merangkak keluar dari gerumbul itu.
Ketiga hantu itu melihat mereka muncul dari gerumbul itu, terdengarlah derai tertawanya, seakan-akan memecahkan telinga.
Suara tertawa itu benar-benar telah
menggoncangkan dada ketiga anak-anak muda Panawijen. Mereka merasa
seakan-akan dada mereka bergelora. Sehingga tubuh-tubuh mereka itu
menjadi semakin gemetar karenanya.
“Hem,“ geram hantu itu, “ternyata di
dalam gerumbul itu bersembunyi kelinci-kelinci. Nah, bukankah dugaanku
benar. Tiga ekor kelinci.”
Ketiga anak muda itu sama sekali tidak
berani memandang wajah hantu yang bertutup sesobek kain. Mereka duduk
dengan lemahnya, sambil menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“Kemari,“ bentak hantu itu.
Ketika anak muda Panawijen itu masih berdiam diri. Mereka seakan-akan tidak mampu lagi untuk bergerak maju.
“Kemari,” teriak hantu padang itu.
Suara itu menggelegar seperti petir
menyambar di langit. Kembali mereka tersuruk-suruk merangkak mendekati
hantu yang berdiri bertolak pinggang dan kaki renggang.
Ketiga anak muda itu seakan-akan seorang
hamba yang sedang menghadap tuannya. Duduk dengan kepala tunduk dan
hati yang bergolak penuh kecemasan, ketakutan dan kengerian.
Rupa-rupanya sikap mereka benar-benar menyenangkan hantu padang itu. Sekali lagi terdengar hantu itu tertawa berderai.
Suaranya bergulung-gulung melontar ke segenap sudut padang Karautan.
Tetapi ketika ketiga anak muda Panawijen
itu semakin dekat, maka tiba-tiba suara tertawa itu berhenti. Dengan
mata terbelalak hantu itu memandangi anak-anak muda yang duduk di
hadapannya. Bahkan kemudian tanpa sesadarnya hantu itu berdesis,
“Anak-anak Panawijen. Bukankah kalian anak-anak Panawijen?”
Ketiga anak-anak muda itu menjadi semakin
kecut. Wajahnya semakin pucat karena mereka mendengar hantu itu
menyebut mereka dengan tepat sebagai anak-anak muda Panawijen.
Namun sesaat kemudian hantu itu sudah
tertawa lagi. Dengan nyaring ia berkata, “Hai anak-anak Panawijen.
Jangan heran. Aku tahu siapa kalian. Adalah suatu kesenangan yang sukar
dicari di kesempatan lain.”
Hantu itu berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkannya, “Jangan ingkar. Bukankah kalian anak-anak muda Panawijen?”
Ketiga anak-anak muda itu tidak segera
menjawab. Mereka benar-benar telah membeku. Sehingga hantu itu terpaksa
membentak keras, “Ayo jawab. Kalau tidak aku cekik kalian sampai
mati.”
Ngeri. Dan kengerian itu telah memaksa salah seorang dari ketiga anak muda itu menjawab dengan suara parau gemetar.
“Ya.“ Mereka sama sekali tidak berani
mengingkari, sebab menurut dugaan mereka, hantu dapat melihat apa saja
dan mengerti apa saja.
“Bagus,” sahut hantu itu. Dan tiba-tiba
hantu itu semakin mengejutkan dan menakutkan. Suaranya menjadi semakin
kasar. Dengan tajamnya hantu itu berkata, “Aku mempunyai dendam yang
dalam terhadap anak-anak muda Panawijen.”
Mendengar kata-kata terakhir dari hantu
itu, maka nyawa-nyawa mereka serasa telah bergerak ke ubun-ubun. Dengan
satu sentuhan dari hantu itu, maka nyawa-nyawa itu sudah akan terlepas
dari tubuh-tubuh mereka. Sehingga sedemikian ketakutan itu mencengkam
hati mereka, ialah seorang dari mereka, terpaksa mencoba berkata,
“Kenapa tuan mendendam kami?”
Kembali terdengar derai tertawa hantu
itu. Jawabnya, “Aku mendendam setiap orang yang berani menginjakkan
kakinya dipadang ini. Tetapi lebih-lebih lagi anak-anak muda Panawijen,
apalagi yang datang dengan membawa senjata. Nah, apakah kalian ingin
melawan aku dengan senjatamu itu? Ambillah. Lawan aku oleh kalian
bertiga bersama-sama.”
“Tidak. Tidak,“ cepat-cepat salah seorang
mereka berdesis, “kami tidak berani melawan tuan. Pedang-pedang kami
hanya sekedar untuk menjaga diri kami dari sergapan binatang buas dan
untuk menebas pepohonan.”
“Apa? Jadi kalian ingin membunuh
binatang-binatang peliharaanku dipadang ini he. Jinan, Patalan dan
Sinung Sari?” bentak hantu itu.
Hampir pingsan mereka bertiga, ketika
mereka mendengar nama-nama mereka disebutkan Benar-benar diluar
kemampuan berpikir mereka. Dan dengan demikian telah mempertebal
kepercayaan mereka, bahwa hantu itu dapat mengetahui apa saja dan dapat
mengerti apa saja, sampai nama-nama mereka pun dikenal pula oleh hantu
itu.
“Jangan terkejut kalau aku mengenal
nama-nama kalian. Aku dapat mengenal setiap nama orang-orang yang lewat
dipadang ini meskipun baru untuk pertama kali. Aku dapat mengenal
tempat mereka dan mengenal orang tua mereka.”
“Ternyata nasibmu memang lagi malang. Jangan menyesal bahwa kalian telah bertemu dengan hantu padang Karautan ini.”
“Tetapi,“ berkata salah seorang dari mereka tergagap-gagap. “tetapi aku tidak pernah berbuat sesuatu.”
“Jangan ribut,“ teriak hantu itu, “aku mendendam Panawijen. Semua anak-anak muda Panawijen. Termasuk kalian.”
Tubuh-tubuh itu kini, sudah semakin
lemah. Mereka benar-benar telah kehilangan harapan untuk dapat
melepaskan diri dari tangan hantu itu. Yang dapat mereka lakukan adalah
duduk bertelekan tangan mereka yang lemah dan memohon kemurahan hantu
itu.”
“Ampun tuan. Aku minta ampun.”
Hantu itu tertawa berkepanjangan.
Jawabnya, “Tidak ada maaf untuk kalian dan untuk semua anak-anak muda
yang berani menyentuh padang ini. Apalagi kalian telah berusaha
membunuh binatang peliharaanku, tebusannya adalah nyawa-nyawamu.”
Kini ketiga anak muda itu telah terlempar
dalam suatu suasana yang tidak dimengertinya. Dada mereka seolah-olah
tidak lagi mampu bergerak untuk menarik nafas dan darah mereka serasa
telah berhenti mengalir.
Mereka masih dapat melihat hantu itu
bertolak pinggang dan kemudian melangkah maju, tetapi mereka sudah
tidak mampu berbuat apa saja.
Mereka sama sekali tidak dapat lagi berusaha untuk menghindarkan diri dari bencana yang semakin lama semakin mendekati mereka.
Sejenak kemudian mereka masih mendengar
hantu itu berkata, “Jinan, Patalan dan Sinung Sari. Apakah kalian tidak
akan mencoba melawan untuk memperpanjang umurmu?”
Ketiga anak-anak muda itu sama sekali
benar-benar sudah tidak berdaya. Yang terloncat dari mulut mereka
adalah suatu keluhan, “Ampun. Ampunkan kami tuan. Kami tidak akan
mengganggu padang rumput ini lagi.”
“Persetan,” sahut hantu itu, “aku harus
melepaskan dendamku. Karena kalian tidak melawan, maka kalian akan aku
bunuh dengan senjata, supaya kalian tidak tersiksa oleh penderitaan
sebelum kematian kalian.”
“Ampun, ampun tuan,“ ketiga anak-anak muda itu merangkak-rangkak dan bahkan kemudian mereka bertiarap di bawah kaki hantu itu.
Tetapi yang mereka dengar jawaban hantu
itu, “Hanya ada dua kemungkinan bagi kalian. Melawan, namun kalian akan
mengalami penderitaan di saat-saat terakhir, atau menurut kehendakku
dan kalian akan mengalami saat-saat yang menyenangkan menjelang
kematian kalian.”
Ketiga anak muda itu sudah tidak mampu
menjawab. Tubuh mereka menggigil ketakutan dan nyawa mereka benar-benar
terasa telah terlepas dari tubuh-tubuh mereka.
Hantu itu kini sudah berdiri tepat
dihadapan ketiga anak-anak Panawijen yang menggigil. Tampaklah matanya
membayangkan dendam dan kepuasaan. Hantu itu agaknya senang sekali
melihat sikap ketiga anak-anak muda Panawijen yang ketakutan dan hampir
pingsan karenanya. Semakin menggigil anak-anak muda itu, semakin
senang hati hantu itu. Dan karena itulah maka hantu itu ingin berbuat
hal-hal yang aneh-aneh yang dapat menimbulkan kesan-kesan yang
mengerikan. Ia ingin menyebarkan berita bahwa sebenarnya hantu Karautan
telah timbul kembali. Bahkan semakin menakutkan dan semakin mengerikan
dari tabiat hantu itu dahulu sebelum menghilang beberapa lama.
Karena itu maka terdengar hantu itu
berkata, “He anak-anak muda Panawijen. Karena belas kasihanku kepada
kalian maka aku ingin salah seorang dari kalian yang akan tetap hidup
untuk mengabarkan apa yang telah terjadi disini. Tetapi yang hidup itu
akan mengalami cacat sepanjang umurnya. Aku ingin memotong kedua
pergelangan tangannya dan melepaskannya pergi. Nah, siapakah yang ingin
hidup diantara kalian?”
Hati ketiga anak muda yang sudah
terguncang-guncang itu semakin ngeri mendengar pertanyaan itu. Namun
mereka benar-benar hampir menjadi pingsan sebelum hantu itu menyentuh
tubuh mereka.
“Siapa?” terdengar hantu itu berteriak,
“beberapa hari yang lalu aku juga menangkap seorang yang lewat dipadang
ini. Aku pukuli dia, tetapi aku tidak membunuhnya, sebab aku ingin
berita itu tersebar. Tetapi orang itu pun pasti cacat sepanjang
umurnya. Karena ia ingin melawan, maka aku patahkan tulang punggungnya.
Dengan demikian ia akan mengalami kelumpuhan seumur hidupnya. Nah,
sekarang pilihlah diantara kalian, siapakah yang masih ingin hidup dan
mengabarkan ceritera ini kepada segenap penduduk Panawijen?”
Ketiga anak muda itu sama sekali tidak
mampu untuk menentukan pilihan yang mengerikan itu. Mereka kini
benar-benar telah berputus asa, dan mereka tinggal menunggu saat-saat
yang dahsyat itu tiba.
Sejenak suasana padang rumput itu menjadi
hening. Hantu itu masih saja berdiri memandangi ketiga korbannya yang
ketakutan. Agaknya ia sedang memilih, siapakah yang akan dihidupinya.
Karena itu, dengan kakinya ia meraba-raba ketiga-tiganya pada
punggungnya. Namun, sentuhan-sentuhan itu terasa seakan-akan ujung jari
Dewa Maut telah meraba-raba mereka.
Tetapi dalam ketakutan, kecemasan dan
kengerian itu, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara tertawa
melengking di belakang gerumbul yang tidak sedemikian jauhnya dari
mereka. Suara itu melonjak dalam kesepian malam dipadang rumput
Karautan dalam nada yang parau dan liar.
Bukan saja ketiga anak-anak muda yang
berputus asa itu, tetapi hantu itu pun terkejut pula, sehingga dengan
serta merta ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, mereka
melihat sebuah bayangan muncul dari balik gerumbul itu. Sebuah bayangan
yang melonjak-lonjak seperti bayangan seorang gila yang sedang
menari-nari. Semakin lama semakin dekat.
Ketika bayangan itu menjadi semakin
jelas, maka sekali lagi dada anak-anak muda Panawijen dan bahkan hantu
yang berdiri di sampingnya itu berdesir. Bayangan itu adalah bayangan
sesosok tubuh yang menakutkan. Ternyata seseorang telah menghampiri
mereka dalam pakaian yang liar. Orang itu sama sekali tidak mengenakan
sepotong kain pun, kecuali sebuah celana yang dibeliti oleh daun-daun
dan sulur-sulur perdu. Orang ini pun mempergunakan secarik kain untuk
menutup wajahnya seperti hantu yang telah berdiri di samping ketiga
anak muda Panawijen itu, namun orang yang datang itu rambutnya dengan
liar terurai sama sekali.
Semakin dekat, tampaklah gerak-gerik
orang itu benar-benar menakutkan. Sekali-sekali meloncat-loncat namun
kemudian merunduk sambil tertawa seperti orang gila.
Terdengar hantu yang berdiri di samping Sinung Sari dan kawannya itu menggeram, “He, siapakah kau orang gila?”
Yang disebut orang gila itu tertawa
terkekeh-kekeh. Kemudian dengan nada suaranya yang melengking menjawab,
“He, akulah hantu Karautan. Aku sudah lama menghilang dari padang ini.
Tetapi tiba-tiba ada orang yang menamakan diri hantu Karautan. Nah,
kini kita bertemu. Dengar, akulah hantu Karautan itu.”
Yang mendengar jawaban itu benar-benar
menjadi pening. Apalagi ketiga anak muda Panawijen itu. Dadanya
terguncang-guncang tak menentu sehingga hampir-hampir pecah karenanya.
Hantu yang datang pertama-tama di atas
punggung kuda itu pun tidak kurang gelisahnya. Ditatapnya hantu yang
datang kemudian dengan saksama. Kemarahannya merayap membakar seluruh
tubuhnya, sehingga tubuh itu bergetar karenanya.
“Jangan mencoba mengacaukan rencanaku,“ bentak hantu yang datang berkuda, “atau kau yang pertama-tama aku bunuh?”
Hantu yang mirip orang gila itu tertawa
terkekeh-kekeh. Tubuhnya terguncang dan dengan langkah-langkah kecil ia
meloncat-loncat. Sahutnya dalam nada yang tinggi. “O, o. Kau akan
membunuh aku. Pernahkah kau mendengar ceritera tentang hantu Karautan
yang sebenarnya? Bukan hantu seperti tampangmu? Hantu Karautan tidak
bisa mati. Hantu Karautan akan tetap hidup untuk seterusnya.”
Api kemarahan yang memancar dari mata
hantu yang datang pertama-tama menjadi semakin menyala. Kini ia maju
setapak dan suaranya menggelegar, “Kalau benar kau hantu Karautan, kau
pasti tahu, siapakah ketiga anak-anak muda yang ketakutan ini?”
“O, o, o,“ teriak hantu gila itu mengerikan, “kenapa kau tanyakan nama-nama mereka?”
“Hantu tahu segala-galanya. Aku tahu
namanya, rumahnya dan orang tuanya. Nah, kalau kau benar-benar hantu
Karautan, sebutlah namanya.”
“Baik. Baik Aku akan menyebut namanya.
Tetapi aku ingin melihat wajahnya dengan jelas.“ hantu yang mirip orang
gila itu melangkah kecil-kecil mendekati ketiga anak muda Panawijen
yang ketakutan. Satu-satu dirabanya tengkuk anak-anak muda itu. Dan
dengan nyaring ia berkata, “Hantu Karautan membunuh korbannya dengan
luka di lehernya. Aku suka menghisap darah. Apalagi darah-darah anak
muda semuda anak-anak ini. Alangkah segarnya. Dan apabila darah mereka
bertiga belum cukup, maka darahmu akan aku hisap pula. Darah orang yang
mengaku dirinya hantu Karautan.”
“Diam,“ bentak hantu berkuda, “sebutkan namanya, sebelum kepalamu terpancung.”
“Hantu tidak pernah memancung kepala
korbannya,“ jawab hantu yang lain, “dan aku belum perah sekalipun naik
kuda. Aku dapat berlari melampaui kecepatan kuda dengan kakiku.”
“Persetan. Tetapi kau tidak mampu menyebut nama anak-anak muda itu.”
“O o. o,“ suaranya melengking-lengking,
“Baik. Baik aku sebut namanya satu-satu.“ Kemudian hantu itu menyentuh
ketiga anak muda itu satu demi satu. “Yang ini bernama Jinan. He.
Bukankah aku tahu. Yang ini Patalan dan yang satu lagi Sinung Sari.”
Terdengar hantu berkuda itu menggeram. Dengan lantang ia berkata, “Kau mendengar aku menyebut namanya.”
“O, maaf. Aku mendengar dan melihat apa
yang kau lakukan. Mengintai di kejauhan. Melihat apa yang menyala
disini. Kemudian kau datang ke arah api itu, begitu? Kau kemudian
menakut-nakuti mereka dengan menamakan dirimu hantu Karautan.”
“Cukup.“ hantu berkuda itu menjadi marah sekali. Selangkah ia maju mendekati hantu yang mirip orang gila itu.
Dalam luapan kemarahan ia berkata,
“Jangan banyak bicara. Sekarang kita tentukan, siapakah yang berhak
menguasai padang ini dengan kekuatan.”
“O, o, o. Bagus, Bagus,” jawab hantu yang
mirip orang gila itu, “taruhannya adalah ketiga anak-anak muda itu.
Siapa yang menang berhak memilikinya. Jinan, Patalan dan Sinung Sari.
Alangkah segar darahnya dan darahmu sekali.”
“Tutup mulutmu bersiagalah,“ bentak hantu berkuda itu. Dan tiba-tiba saja pedangnya telah ditariknya dari wrangkanya.
“Eh, kau akan bertempur dengan pedang?”
“Cepat, bersiagalah.”
“Baik. Baik. Aku juga akan bertempur
dengan pedang. Hantu mampu bertempur dengan apa saja. Bahkan dengan
batu dan pasir.“ Hantu gila itu kemudian berjalan-jalan tersuruk-suruk
memungut pedang Patalan yang terletak di samping perapian. Katanya
kepada Patalan, “Aku pinjam pedangmu. Mudah-mudahan aku menang,
sehingga kau akan mati dengan nikmat. Aku akan menghisap darahmu
perlahan-lahan. Aku tidak sekejam hantu berkuda ini.”
Tetapi hantu berkuda itu sama sekali
tidak sabar lagi. Cepat ia meloncat dengan pedang terjulur, langsung
mengarah ke dada hantu yang lain. Namun hantu yang lain itu pun cepat
menghindar ke samping dan dengan tangkas pula ia menggerakkan
pedangnya. Demikianlah mereka berdua terlibat dalam perkelahian dengan
pedang. Ternyata masing-masing dapat menggerakkan pedangnya dengan
tangkas dan cepat. Kelincahan mereka menunjukkan bahwa mereka
benar-benar mampu bertempur dengan pedang di tangan.
Hantu berkuda itu bergerak dengan mantap.
Langkahnya tetap dan berat Ayunan pedangnya mencampakkan angin yang
kencang dan menimbulkan bunyi yang nyaring. Sedang hantu yang lain
bergerak dengan lincahnya. Langkahnya pendek-pendek dan
melonjak-lonjak. Pedangnya pun bergerak dengan ayunan yang kecil-kecil.
Sekali mendatar, namun kemudian mematuk-matuk.
Ketiga anak-anak Panawijen melihat
perkelahian itu. Mereka masih juga mendengar apa saja yang
dipercakapkan oleh hantu-hantu itu, dan apa yang dibicarakannya. Bahkan
mereka masih juga mendengar hantu yang datang kemudian itu membuat
taruhan atas mereka. Dan mereka juga mendengar betapa hantu yang gila
itu mengatakan alangkah segarnya darah mereka.
Tetapi seakan-akan mereka telah mati
sejak lama, seakan-akan mereka sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa
atas tubuh mereka sendiri. Kehendak yang ada di dalam hati mereka,
tidak mampu lagi untuk menggerakkan tubuh mereka. Sebenarnya mereka
kini tidak lebih dari seonggok tanah mati. Pertanda bahwa mereka masih
hidup adalah matanya yang berkedip-kedip meskipun memancarkan sinar
yang aneh. Beku. Serta arus nafas mereka yang tersendat-sendat.
Sehingga apapun yang terjadi di hadapan wajah-wajah mereka, namun
mereka sudah tidak mampu untuk membuat tanggapan apapun atas semua
kejadian itu. Seperti juga mereka kini melihat kedua hantu itu
bertempur. Tetapi hati mereka telah beku.
Dengan demikian ketiga anak-anak muda
Panawijen sama sekai tidak beranjak dari tempatnya. Duduk bersimpuh
dengan nafas yang hampir-hampir terputus. Dalam keremangan cahaya bulan
mereka dipaksa melihat perkelahian yang semakin lama semakin dahsyat
tanpa dapat berbuat sesuatu dan bahkan apa yang tampak itu seolah-olah
bayangan saja di dalam mimpi yang menakutkan. Dan apa yang terjadi atas
dirinya seperti juga di dalam mimpi, sama sekali tidak dapat
dikendalikannya sendiri.
Perkelahian diantara kedua bayangan yang
mengaku diri masing-masing hantu Karautan itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Masing-masing telah bergerak dalam tata perkelahian
yang aneh yang lain daripada tata perkelahian yang biasa. Mereka
mengayunkan pedang-pedang mereka diiringi oleh teriakan nyaring dan
pekik yang melengking-lengking.
Hantu yang datang berkuda benar-benar
mampu bergerak dengan langkah-langkah yang penuh melontarkan tenaga,
namun hantu yang lain mampu menyusup dalam setiap gerak lawannya dengan
patukan-patukan pedang yang sangat berbahaya.
Semakin lama perkelahian itu menjadi
semakin sengit. Seperti dua ekor ayam jantan yang berlaga. Ketika
tubuh-tubuh mereka telah dibasahi oleh keringat, maka tenaga mereka pun
menjadi semakin dahsyat. Desak mendesak, dorong mendorong dalam
kekuatan yang seimbang.
Ketiga anak muda Panawijen sama sekali
tidak dapat menilai, bagaimanakah perkelahian itu terjadi. Mereka hanya
melihat saja gerak yang liar dan kasar. Lontar melontar dalam sikap
yang ganas dan buas, seperti binatang buas yang berlaga berebut mangsa.
Keduanya sama sekali tidak pernah mempertimbangkan apa saja yang
sedang mereka lakukan untuk mengalahkan lawannya.
Sesaat perkelahian itu menjadi semakin
jelas karena tiba-tiba onggokan kayu di atas bara di perapian menyala
dengan sendirinya. Menyalanya tidak begitu besar, namun cukup
melontarkan sinar yang kemerah-merahan jatuh di atas tubuh-tubuh mereka
yang sedang bertempur, sehingga tubuh-tubuh yang basah oleh keringat
itu seolah-olah berlapis tembaga yang merah mengkilap.
Namun sesuatu yang tidak diketahui oleh
ketiga anak-anak muda Panawijen itu adalah perkembangan dari
perkelahian itu. Perkelahian yang kasar dan liar itu justru semakin
lama menjadi semakin teratur. Ketika tenaga mereka telah menjadi
semakin susut, maka mulailah mereka dengan sungguh-sungguh berusaha
untuk memusnahkan lawan-lawan mereka. Karena itulah maka kemudian
mereka lelah didorong dalam suatu keadaan yang memaksa. Mereka tidak
dapat lagi bergerak-gerak dengan liar dan asal saja mengayunkan
pedang-pedang mereka. Bagaimanapun juga, maka akhirnya, mereka akan
sampai pada tata gerak perkelahian yang sebenarnya.
Ketika kedua belah pihak telah merasa
jemu dengan segala macam tingkah laku yang gila itu, tanpa mereka
sadari, maka mulailah perkelahian itu meningkat dalam perkelahian yang
sebenarnya. Hantu yang berkuda benar-benar telah kehilangan
kesabarannya melawan hantu gila yang memekik-mekik dan melonjak-lonjak
seperti monyet kepanasan, sehingga lambat laun, maka tata geraknya pun
berubah pula. Semakin mantap dan semakin tenang. Hantu itu tidak lagi
menyambar-nyambar dengan lontaran-lontaran yang panjang dan gerak-gerak
yang dahsyat. Justru semakin lama geraknya semakin dibatasi dan
semakin mapan.
Ternyata lawannya pun mengimbanginya.
Hantu gila itu kini sudah tidak memekik-mekik lagi. Meskipun mula-mula
ia masih mencoba melawan hantu berkuda itu dengan cara yang gila, namun
lambat laun hantu itu pun dipaksa untuk merubah tata gerak
perkelahiannya. Karena hantu berkuda itu menjadi semakin tenang dan
mapan, maka hantu yang gila itu pun menjadi semakin tenang pula.
Berbareng dengan itu, maka teriakan-teriakan dan pekik yang
melengking-lengking itu pun berkurang pulalah.
Kini mereka bertempur semakin wajar.
Hantu berkuda itu dengan tangkasnya memutar senjatanya dalam arah-arah
yang berbahaya dan mengerikan. Ujung pedangnya tidak lagi asal
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya seperti orang menakut-nakut burung
di sawah. Demikian pula hantu yang gila itu. Pedangnya seakan-akan
menjadi semakin tenang pula. Meskipun kadang-kadang pedang itu berputar
seperti baling-baling dan mematuk dari segenap arah, tetapi semuanya
telah diperhitungkan dengan cermat
Hantu-hantu itu sendiri semakin lama
semakin menyadari kedudukannya pula. Mereka tidak lagi dapat membuat
dirinya berbuat aneh-aneh lagi. Kini mereka telah tenggelam dalam
pertempuran antara hidup dan mati dengan ilmu-ilmu mereka yang semakin
lama semakin wajar.
Namun sekali-sekali masih terdengar hantu
yang datang berkuda itu mengumpat-umpat dalam bahasa yang kasar.
Seakan-akan ia sama sekali tidak rela menghadapi lawan yang mampu
mengimbanginya. Dan bahkan ternyata semakin lama hantu yang gila itu
semakin menggelisahkannya. Ketika pertempuran itu kemudian mencapai
puncaknya, maka menggeramlah hantu yang gila itu. Dengan sinar mata
yang menyala-nyala ia menyerang lawannya sejadi-jadinya, sehingga
beberapa kali hantu yang datang berkuda itu melangkah surut. Namun
hantu yang datang berkuda itu pun tidak kurang marahnya. Dicobanya
untuk memeras segenap kemampuan yang ada padanya, dan dicobanya untuk
segera membinasakan lawannya dengan pedangnya yang berkilat-kilat
memantulkan cahaya api kemerah-merahan.
Akhirnya mereka sampai pada saat-saat
yang akan menentukan perkelahian itu. Mereka telah memeras tenaga
mereka habis-habisan. Kini mereka tidak lagi bertempur dengan kasar dan
liar. Tetapi mereka seakan-akan dua panglima perang yang bertemu dalam
satu pertempuran atau antara dua orang kesatria yang sedang berkelahi
untuk mempertaruhkan kebesaran nama masing-masing.
Dalam pada itu angin malam masih juga
berhembus perlahan. Daun-daun perdu di gerumbul-gerumbul di sekitar
perkelahian itu bergerak-gerak dalam belaian malam yang lembut.
Suaranya gemercik memilukan, seakan-akan mereka sedang merintih melihat
perkelahian antara hidup mati dari dua orang yang menamakan diri
masing-masing hantu padang Karautan.
Dalam saat-saat terakhir itu, mereka
tidak dapat lagi menyembunyikan kedahsyatan ilmu-ilmu mereka
masing-masing. Ilmu-ilmu itu tanpa mereka kehendaki, telah melancar
dalam kedahsyatan perkelahian, karena keadaan mereka yang semakin lama
menjadi semakin sulit. Libatan-libatan serangan lawan telah memaksa
mereka masing-masing untuk mempergunakan ilmu puncak yang mereka
miliki.
Dengan demikian, maka mereka tidak lagi
sekedar bertempur karena mereka masing-masing ingin mempertahankan
gelar yang mereka perebutkan. Hantu Karautan. Namun mereka telah
benar-benar dibakar oleh nyala dendam di dalam hati mereka
masing-masing.
Dalam pada itu, api di perapian semakin
lama menjadi semakin besar juga. Onggokan kayu yang begitu saja
ditimbun di atasnya kini telah menyala seluruhnya, sehingga tempat di
sekitar perkelahian itu menjadi semakin terang.
Api itu ternyata tidak saja menerangi
tempat di sekitarnya, namun nyalanya lepas sampai ke tempat yang jauh.
Seperti juga hantu berkuda itu melihat api dari kejauhan dan
mendekatinya, maka tiba-tiba orang-orang yang berada di dekat perapian
itu sekali lagi terkejut. Kedua hantu yang sedang bertempur itu pun
terkejut pula, sedang ketiga anak-anak muda Panawijen hampir tidak tahu
apakah yang dirasakannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi
kemudian. Dalam keremangan cahaya bulan, dan disela-sela dering senjata
beradu, sekali lagi bergemalah suara derap kaki kuda. Mau tidak mau
hantu yang sedang bertempur itu berusaha untuk melihat siapakah yang
datang mengganggu perkelahian itu.
Sebenarnyalah dari kejauhan mereka
melihat seekor kuda berpacu cepat sekali mendatangi mereka. Debu yang
putih melontar naik ke udara. Rupa-rupanya api yang menyala itu telah
menarik perhatian penunggangnya.
Tanpa dikehendaki sendiri, maka
pertempuran itu mengendor sesaat. Mereka bersama-sama ingin melihat
siapakah yang baru datang itu. Apakah orang itu juga akan mengaku hantu
padang Karautan dan akan turut serta bertempur diantara mereka, atau
orang lain yang hanya tertarik oleh nyala api itu saja.
Demikian penunggang kuda itu semakin
dekat, maka dada kedua hantu yang bertempur itu menjadi semakin
berdebar-debar. Orang berkuda, itu adalah seorang yang berpakaian
lengkap sebagai seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel. Pelayan Dalam itu
agaknya terkejut pula melihat perkelahian dipadang rumput Karautan.
Karena itu, maka segera ia memacu kudanya semakin cepat.
Ketika Pelayan Dalam istana itu sudah
semakin dekat, tiba-tiba terdengar salah seorang hantu itu melengking,
“He, apa kerjamu disini?”
Pelayan Dalam itu tidak segera menjawab.
Demikian sampai di tempat itu, maka segera ia menarik kekang kudanya
dan mengamat-amati daerah di sekitarnya dengan saksama. Ia melihat
kemudian tiga anak-anak muda yang duduk membeku. Dilihatnya pula
beberapa alat dan perlengkapan yang berserakan di dekat perapian. Dan
dilihatnya pula kedua hantu yang berpakaian aneh-aneh.
Kehadiran penunggang kuda itu benar
mempengaruhi perasaan kedua hantu yang sedang bertempur itu. Namun
hantu gila tiba-tiba berteriak sambil meluncurkan ujung pedangnya.
Jangan hiraukan kehadirannya. Marilah kita selesaikan persoalan kita.
Akulah hantu padang Karautan.
Hantu yang datang berkuda terkejut. Namun
segera ia berhasil menguasai dirinya. Dengan cepatnya ia menghindari
serangan itu, dan dengan cepatnya pula ia telah melibatkan diri dalam
perkelahian yang semakin sengit.
Senjata-senjata mereka berputar dengan
dahsyatnya, melontarkan udara maut. Dari mata mereka memancar dendam
yang tiada taranya satu sama lain, sehingga seakan-akan hanya mautlah
yang dapat menghentikan perkelahian itu.
Penunggang kuda yang berpakaian seorang Pelayan Dalam itu, melihat perkelahian kedua hantu itu dengan saksama.
Sekali-sekali tampak keningnya berkerut,
namun sekali tampak wajah itu menjadi tegang. perlahan-lahan ia
meloncat turun dari kudanya dan berjalan mendekati titik perkelahian
itu. Sebuah pedang yang besar tergantung di sisi tubuhnya dalam
sarungnya yang putih gemerlap.
Hantu yang gila itu tiba-tiba berteriak nyaring, “He, pedang kalian berdua mirip benar bentuk dan sarungnya.”
Hantu berkuda itu menggeram. Tetapi ia tidak menjawab, sedang penunggang kuda yang datang itu mengerutkan keningnya.
Dicobanya untuk menangkap setiap gerak yang terlontar dan setiap ilmu yang memancar dari kedua hantu itu.
Tetapi orang itu belum berbuat sesuatu.
Hanya kadang-kadang tampak tangannya meraba-raba hulu pedangnya. Tetapi
kembali kedua tangannya tergantung lepas di sisi tubuhnya.
Namun ketika sekali lagi terpandang
olehnya ketiga anak-anak muda yang ketakutan itu, maka kembali dahinya
berkerut-kerut. perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya sambil
bertanya, “He, siapakah kalian bertiga?”
Ketiga anak-anak muda itu memandanginya
dengan wajah kosong. Tetapi ketika tampak olehnya bahwa orang itu sama
sekali bukan sejenis kedua hantu yang bertempur, maka tiba-tiba di
sudut hatinya memancar kembali harapan betapapun kecilnya. Karena itu,
maka dengan penuh ketakutan salah seorang dari mereka menjawab, “Kami
anak-anak Panawijen tuan.”
“Kenapa kalian berada di tempat ini?”
Pertanyaan itu telah mengingatkannya
kepada tugas yang menyeretnya ke tempat terkutuk itu. Maka dengan
terbata-bata Patalan menjawab, “Kami datang bersama Mahisa Agni tuan.
Kami ingin mencari tempat untuk membuat bendungan.”
Penunggang Kuda yang berpakaian Pelayan
Dalam istana itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, “Dimana
Mahisa Agni sekarang?”
“Ke sungai tuan. Mencari air,” jawab Sinung Sari.
Pelayan Dalam itu mengangguk-angguk, desisnya, “Jangan takut. Aku akan mengatasi keadaan.”
Harapan yang tumbuh di dalam dada
anak-anak muda Panawijen itu menjadi semakin berkembang. Sekali lagi
dicobanya untuk menatap wajah Pelayan Dalam yang tegap, tampan dan
meyakinkan. Bahkan terdengar Jinan berkata, “Tuan, hantu-hantu itu
telah menakutkan kami. Mereka akan membunuh kami.”
Pelayan Dalam itu berpaling. Dilihatnya
kedua hantu itu masih bertempur dengan sengitnya. Terdengar ia berkata,
“Keduanya memiliki tenaga yang luar biasa. Siapakah mereka?”
“Kami tidak tahu tuan,“ sahut Sinung Sari, “mereka menamakan diri mereka hantu Padang rumput Karautan.”
Pelayan Dalam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia berdiri tegak dengan kaki renggang. Sebagai seorang
petugas Istana maka ia memiliki keberanian untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Juga terhadap sepasang hantu yang sedang bertempur itu.
Sinung Sari yang masih gemetar itu tiba-tiba berkata, “Apakah tuan dapat mengusir mereka berdua?”
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya.
Ia tidak segera menjawab. Tetapi dicobanya untuk melihat pertempuran
itu dengan saksama.
“Bagaimana tuan,” desak Patalan, “apakah tuan dapat mengusir hantu-hantu itu?”
“Hantu-hantu itu benar-benar menakutkan,“ desisnya, “tetapi jangan takut. Mudah-mudahan ia tidak akan berbahaya bagiku.”
Ketiga anak-anak muda Panawijen itu
menjadi agak tenang. Setidak-tidaknya mereka akan mendapat perlindungan
dari Pelayan Dalam ini. Sebagai seorang pejabat Istana, maka ia pasti
akan berbuat sesuatu. Bukankah ia seorang yang perkasa menilik sikap
dan ketenangannya? Sementara itu, ketiga anak-anak muda itu masih
mengharap kehadiran Mahisa Agni. Mungkin bersama-sama Mahisa Agni, maka
Pelayan Dalam itu akan dapat mengalahkan kedua hantu itu. Atau salah
satu diantaranya sesudah yang lain dikalahkan oleh hantu itu sendiri.
Sekali-sekali ketiga anak muda itu
memandangi tebing sungai yang kelam dan ditutupi oleh rimbunnya
dedaunan. Di sana tadi Mahisa Agni menghilang. Dan dari sana pula
mereka mengharap Mahisa Agni akan muncul.
Tetapi Mahisa Agni itu tidak segera
datang kembali. Sungai itu tebingnya terlalu curam. Memang agak terlalu
sulit untuk menuruni dan kemudian mendaki tebing itu dimalam hari.
Namun beruntunglah ketiga anak-anak muda itu, bahwa tiba-tiba hadir
dipadang rumput ini seorang pejabat dari Istana.
Kedua hantu itu masih bertempur dengan
dahsyatnya. Bahkan semakin lama semakin sengit. Hantu yang berkuda itu
kini tidak lagi melontar-lontarkan dirinya, dan hantu gila itu sudah
tidak melonjak-lonjak lagi sambil memekik-mekik. Mereka bertempur
dengan serunya, sebagai sepasang burung elang yang berlaga di udara.
Sambar menyambar, patuk-mematuk dengan ujung-ujung senjata
masing-masing.
Namun semakin lama Pelayan Dalam itu
melihat, bahwa hantu yang datang berkuda, semakin lama menjadi semakin
sulit. Ia terpaksa beberapa kali melontar mundur, dan seolah-olah sudah
tidak mendapat kesempatan lagi untuk menyerang hantu itu hanya mampu
bertahan dan menghindar.
Pelayan dalam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, seakan-akan ia sudah dapat menemukan siapakah yang akan
memenangkan pertempuran itu. Bahkan ia sedang menilai kesaktian
keduanya. Tetapi tiba-tiba pelayan Dalam itu tersenyum.
Kedua hantu yang bertempur itu
benar-benar telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri
masing-masing. Namun seperti pengamatan Pelayan dalam itu, mereka pun
agaknya telah menyadari akhir dari perkelahiannya. Hantu yang datang
berkuda itu benar-benar telah terdesak. Beberapa kali ia meloncat surut
dan beberapa kali ia mengeluh di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba terjadilah sesuatu diluar
dugaan. Diluar dugaan Pelayan Dalam yang menyaksikan perkelahian itu,
dan diluar dugaan hantu yang mirip orang gila.
Tiba-tiba saja, hantu yang datang berkuda
itu melontar mundur beberapa langkah. Kemudian ujung pedangnya
mengungkit tanah berdebu di bawah kakinya diarahkan ke wajah lawannya.
Segumpal tanah melontar menghambur ke wajah hantu gila itu. Dengan
demikian, maka ia terpaksa berhenti dan berusaha menutup matanya supaya
tidak kemasukan debu.
Kesempatan itulah yang ingin didapat oleh
hantu berkuda itu. Ketika ia melihat lawannya menutup matanya dan
bahkan dengan tangan kirinya mengusapi debu di wajah, cepat-cepat ia
berlari dan meloncat ke punggung kudanya. Dengan satu sentakan kuda itu
melonjak dan kemudian meloncat berlari meninggalkan perapian, hantu
gila dan Pelayan Dalam yang berdiri keheranan. Namun dengan demikian
pelayan dalam itu menyadari keadaan, ia pun siap berlari ke arah
kudanya, untuk mengejar hantu berkuda itu. Tetapi alangkah kecewanya.
Dengan menggeram ia mengumpat tak habisnya. Hantu berkuda itu sempat
menyentuh pantat kuda Pelayan Dalam itu sehingga kuda itu terkejut dan
melonjak melingkar-lingkar.
“Gila,” gerutu Pelayan Dalam itu sambil
berusaha menenangkan kudanya kembali. perlahan-lahan ditepuk-tepuknya
leher kudanya dan dengan siulan ia mencoba menguasai kudanya itu.
Lambat laun kuda itu dapat ditenangkannya. Namun hantu berkuda yang
akan dikejarnya telah menghilang jauh ke tengah-tengah padang rumput.
Dalam keremangan cahaya bulan masih tampak lamat-lamat debu yang
mengepul. Tetapi untuk mengejarnya, adalah sangat sulit bagi Pelayan
Dalam itu. Jaraknya telah terlampau jauh.
Karena itu maka ia sama sekali tidak
berusaha untuk mengejarnya. Kini yang dihadapinya adalah hantu yang
gila itu. Hantu yang rambutnya terurai dan sama sekali tidak
mempergunakan secarik kain pun kecuali hanya celananya yang disangkuti
dedaunan dan sulur-sulur perdu.
Sesaat mereka berdiri dengan tegangnya.
Hantu gila itu masih menggenggam pedangnya. Selangkah ia maju, dan
sambil tertawa ia berkata melengking, “Kenapa tidak kau kejar orang
yang mencoba menamakan diri Hantu Karautan itu?”
Pelayan Dalam itu tertawa. Wajahnya kini
sudah tidak tegang lagi. Ia pun melangkah maju sambil menjawab, “Kenapa
kau juga tidak mengejarnya?”
“Aku tidak membawa kuda,” jawab hantu itu.
“Apakah hantu memerlukan kuda?” Sahut Pelayan Dalam.
Hantu itu terdiam sesaat. Diamat-amatinya Pelayan Dalam yang berdiri tegak dalam pakaian yang lengkap dan pedang di lambungnya.
“Apa kerjamu di sini,“ bertanya hantu itu.
“Melihat hantu-hantu berkelahi,“ jawabnya.
“Hanya ada satu hantu dipadang Karautan. Kau lihat, orang yang menamakan dirinya hantu itu telah pergi.”
“Itulah yang ingin aku ketahui. Siapakah yang sebenarnya hantu Karautan. Kau atau yang terpaksa lari berkuda itu?”
Hantu itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya
wajah Pelayan dalam itu dengan saksama. Baru kemudian terdengar
jawabnya melengking, “Aku. Akulah hantu Karautan.”
Pelayan dalam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apa yang akan kau lakukan sekarang
sesudah orang yang menamakan hantu itu pergi?”
Kembali hantu itu ragu-ragu sejenak.
Kemudian dipalingkannya wajahnya memandangi ketiga anak-anak muda
Panawijen yang ketakutan itu. Namun kini hati mereka telah agak
tenteram.
Sebab mereka akan dapat mencari perlindungan kepada Pelayan Dalam yang perkasa dan meyakinkan itu.
Meskipun demikian ketiga anak-anak muda
itu terkejut bukan buatan ketika hantu itu menjawab, “Aku kini akan
menikmati kemenanganku.”
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya, kemudian terdengar ia bertanya, “Apakah yang kau dapatkan dari kemenangan itu?”
“Ketiga anak-anak muda itu akan menjadi korbanku. Korban hantu Karautan.”
Sekali lagi Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya, dan sekali lagi hati ketiga anak muda Panawijen menjadi berdesir.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Hantu Karautan itu memiringkan kepalanya. Kemudian dengan suara melengking ia menjawab, “Menghisap darahnya.”
“Tuan,“ terdengar Sinung Sari memekik kecil, “Tolonglah kami.”
Pelayan Dalam itu menarik nafas. Sekali dipandangnya wajah ketiga anak-anak muda yang ketakutan.
Ketiga anak-anak muda itu menggigil
ketika ia mendengar Pelayan Dalam itu berkata, “Nah, hantu itu tinggal
satu. Apakah kalian bertiga tidak berani melawannya?”
Jinan yang gemetar berkata tergagap, “Tolonglah kami. Kami tidak pernah berkelahi. Apalagi melawan hantu.”
“Jangan banyak bicara,” teriak hantu gila
itu, “sekarang kalian satu demi satu, bersimpuh di hadapanku. Aku akan
menghisap darahmu lewat tengkukmu. Dan kepada Pelayan Dalam hantu itu
berkata, “Bukankah begitu kebiasaan hantu-hantu. Menghisab darah lewat
tengkuk korbannya yang harus bersimpuh sambil menundukkan kepalanya?”
Pelayan dalam itu menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian sahutnya. “Kenapa kau bertanya kepadaku?”
Terdengar hantu itu menggeram. Kemudian suara tertawanya melonjak tinggi. Berkepanjangan membelah kesepian Padang Karautan.
Tanpa dikehendakinya Pelayan Dalam itu pun tersenyum. Tetapi segera ia membentak, “He, kenapa kau tertawa?”
Hantu itu menjawab, “Kau pun akan menjadi
korban yang seharga. Ayo, apakah kau yang pertama-tama akan duduk
bersimpuh di hadapanku sambil menundukkan kepala?”
“Aku datang terakhir. Karena itu, kalau kau kehendaki, aku adalah korban yang terakhir.”
“Bagus. Bagus. Sekarang biarlah ketiga anak-anak muda itu dahulu.”
“Tuan,“ Patalan menjerit, “tolonglah kami tuan. Bukankah tuan telah sanggup?”
“Kenapa kalian menjadi ketakutan
menghadapi hantu yang hanya satu ini,“ bertanya Pelayan Dalam itu,
“bukankah kalian bertiga dan bersenjata?”
“Aku tidak. Senjatakulah yang dibawa oleh hantu itu.”
“Oh, kalau demikian, biarlah senjata itu aku minta untukmu. Atau kau ingin memakai senjataku?”
“Tidak tuan,” minta Jinan, “tuan akan menolong kami.”
“Baik Aku akan menolong kalian, kalau
kalian telah berbuat sesuatu. Karena itu, lawanlah hantu itu, nanti
kalau kalian ternyata tidak mampu, biarlah aku melawannya.”
Ketiga anak-anak itu terdiam. Namun
tubuhnya menggigil karena ketakutan. Hanya sorot mata merekalah yang
berbicara. Mohon belas kasihan Pelayan Dalam yang perkasa itu.
“Bagaimana?” bertanya pelayan dalam itu.
Mulut ketiga anak-anak muda Panawijen itu
seakan-akan telah terbungkam. Mereka sama sekali tidak memiliki
kekuatan untuk berbuat sesuatu. Apalagi melawan hantu itu.
Tetapi tiba-tiba adalah seorang dari
mereka teringat, bahwa mereka sedang menunggu Mahisa Agni. Mereka
mengharap bahwa Mahisa Agni itu akan segera kembali. Karena itu maka
katanya kepada Pelayan Dalam itu. “Tuan Kami mempunyai seorang kawan
lagi. Kalau kawan kami itu segera datang, maka kami mengharap, bahwa ia
akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu tuan, kami mengharap tuan
menolong kami sampai kawan itu datang.”
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya, “Siapakah yang kau maksud?”
“Mahisa Agni tuan,” jawab Patalan, “seperti yang sudah kami katakan.”
“Apakah kau pasti bahwa ia akan datang?”
“Pasti tuan. Ia akan segera datang.”
Pelayan Dalam itu berpaling kepada hantu
yang gila itu. Katanya, “Apakah kau sudah bertemu dengan seorang anak
muda yang bernama Mahisa Agni di tebing sungai? Atau barang kali
darahnya sudah kau hisap pula?”
Sebelum hantu itu menjawab, terdengar
Sinung Sari berkata, “Tuan, Mahisa Agni berkata, bahwa ia sudah kenal
dengan hantu Karautan.”
Hantu itu sesaat berdiam diri. Hanya matanya sajalah yang tampak berkedip-kedip di atas secarik kain yang menutupi wajahnya.”
“Bagaimana,” desak Pelayan Dalam itu,
“bagaimana dengan Mahisa Agni. Apakah sudah kau hisap darahnya, apakah
betul kata anak muda itu, bahwa Mahisa Agni telah mengenal hantu
Karautan.”
Hantu itu mengangguk-angguk, kemudian
terdengar ia menggeram, “Bagaimana sebaiknya,“ katanya kepada Pelayan
dalam itu, “apakah sebaiknya aku minum darahnya atau tidak?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku?” sahut Pelayan dalam itu.
“Kau lebih tahu, apa yang harus dilakukan oleh hantu Karautan,” jawab hantu itu.
“Jangan mengigau,“ bentak Pelayan Dalam itu, tetapi kemudian ia tersenyum. Hantu itu pun tertawa melengking.
Ketiga anak-anak muda Panawijen menjadi
semakin tidak mengerti. Kenapa pembicaraan keduanya terasa bersimpang
siur tak menentu. Bahkan kemudian hantu Karautan itu berkata, “Lalu,
bagaimana dengan ketiga anak-anak muda itu?”
Dada ketiga anak-anak muda Panawijen itu
menjadi kembali bergetaran. Harapannya untuk mendapat perlindungan
Pelayan Dalam itu semakin tipis. Bahkan kemudian timbullah ketakutan
yang lain di dalam hatinya, apakah yang berpakaian Pelayan Dalam itu
hantu pula yang sedang menyamar?”
Dalam ketakutan itu ia mendengar Pelayan
Dalam berkata, “Apapun yang akan kau lakukan, perhitungkanlah
baik-baik. Apabila Mahisa Agni nanti datang, maka kau harus bertanggung
jawab kepadanya.”
Hantu gila itu memiringkan kepalanya,
kemudian terdengar ia bertanya kepada anak-anak muda Panawijen, “Apakah
betul Mahisa Agni akan datang kemari?”
Tiba-tiba tanpa sesadarnya Patalan menyahut, “Ya. Ia pasti akan datang kemari.”
“Omong kosong,” teriak hantu itu.
“Benar,” sahut Sinung Sari dan Jinan hampir bersamaan, “Ia pasti akan datang.”
Tiba-tiba hantu itu menjadi gelisah.
Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Kemudian katanya, “Kau
hanya ingin menakut-nakuti aku.”
“Tidak. Sebenarnya ia akan datang.”
Hantu itu menjadi semakin gelisah.
Tiba-tiba ia meloncat berlari meninggalkan tempat itu sambil berteriak
nyaring. “Lebih baik aku pergi sebelum Mahisa Agni datang. Meskipun
hantu Karautan tidak takut terhadap siapapun, namun aku tak mau
bertengkar dengan Mahisa Agni itu.“ kemudian kepada Pelayan Dalam itu
ia berkata lantang, “Bukankah begitu? Bukankah hantu padang Karautan
tidak takut kepada siapapun juga. Kepada hantu berkuda yang lari itu,
dan kepada Mahisa Agni?”
“Gila,“ gumam Pelayan Dalam itu. Tetapi
ia tidak menjawab. Dibiarkannya hantu gila itu berlari melonjak-lonjak
dan kemudian menghilang di balik gerumbul-gerumbul liar yang bertebaran
dipadang itu.
Ketiga anak-anak muda Panawijen
memandangi hantu yang gila itu dengan berdebar-debar. Mudah-mudahan apa
yang dikatakan itu benar. Meskipun ia tidak takut kepada Mahisa Agni,
namun ia tidak akan mau menemui dan bertengkar dengannya.
Tetapi sepeninggal hantu itu, ketiga
anak-anak muda Panawijen menjadi gelisah pula karena Pelayan Dalam yang
aneh itu. Apakah benar dimalam hari yang sepi ada seorang Pelayan
Dalam berkeliaran dipadang Karautan ini? Apakah Pelayan Dalam ini bukan
sekedar hantu yang lain yang sedang menyamar, bahkan lebih berbahaya
dari hantu yang lari itu? Kalau demikian maka pasti ada lebih dari satu
hantu dipadang ini, seperti hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni
tidak akan lagi berada dipadang ini, namun ternyata masih ada
hantu-hantu yang lain yang berkeliaran.
Dalam kecemasan dan kegelisahan itu,
mereka bertiga melihat Pelayan Dalam itu datang kepada mereka sambil
tersenyum-senyum. Meskipun Pelayan Dalam itu tersenyum, namun senyumnya
itu sama sekali tidak memberi ketenangan kepada mereka seperti ketika
ia baru datang.
Tiba-tiba Pelayan Dalam itu bertanya, “Kau belum mengenal hantu padang Karautan?”
Pertanyaan itu menjadi semakin
mendebarkan hati mereka. Dengan terbata-bata Patalan menjawab, “Belum
tuan. Baru kali ini aku melihat mereka berdua bertempur.”
Pelayan Dalam itu tertawa. Katanya, “Kenapa kalian menjadi sangat ketakutan?”
“Kami tidak pernah bertemu dengan hantu.”
“Seharusnya kalian tidak takut. Bukankah kalian laki-laki yang tegap dan gagah?”
“Tetapi hantu-hantu adalah mahluk yang sakti.”
“Kau percaya?”
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk
bersama-sama. Karena itulah maka orang yang berpakaian Pelayan Dalam
itu tertawa terbahak-bahak.
“Terlalu,“ katanya, “kalian adalah
penakut-penakut yang sama sekali tidak percaya kepada diri sendiri.
Seharusnya kalian berusaha untuk melindungi diri kalian dengan
ketegapan dan kekekaran tubuh kalian. Aku kira tenaga kalian tidak akan
kalah dengan tenaga hantu yang paling dahsyat sekalipun seandainya
kalian berusaha.”
Ketiganya tidak menjawab. Namun darah
mereka serasa berhenti ketika tiba-tiba mereka mendengar Pelayan Dalam
itu berkata lantang, “Akulah sebenarnya hantu Karautan.”
Orang yang berpakaian lenglap sebagai
seorang hamba istana itu bertolak pinggang. Dengan sinar yang tajam
menusuk jantung, dipandanginya ketiga anak-anak Panawijen yang hampir
menjadi pingsan.
“Nah. Apakah kalian tidak percaya bahwa
akulah sebenarnya hantu Karautan? Lihat, kedua orang yang mengaku-ngaku
hantu itu semuanya telah melarikan dirinya. Dan bukankah kau dengar
hantu yang terakhir itu mengatakan bahwa aku lebih tahu apa yang harus
dilakukan oleh hantu Karautan,“ berkata orang itu lebih lanjut.
Darah ketiga anak-anak muda Panawijen itu
seakan-akan sudah benar-benar membeku, sehingga mereka sudah tidak
dapat memberikan tanggapan apapun atas pertanyaan orang itu. Hanya mata
mereka sajalah yang berkedip-kedip dan nafas merekalah yang berkejaran
semakin cepat.
Tetapi tiba-tiba, dari balik gerumbul
dihadapan mereka, sekali lagi mereka melihat sesosok bayangan yang
berjalan semakin lama semakin dekat menjinjing bumbung bambu.
Dengan serta merta hampir bersamaan, ketiga anak muda Panawijen itu berdesis, “Agni. Mahisa Agni telah datang.”
Orang yang berpakaian dalam itu mengerutkan keningnya, “Apa? Kau menyebut-nyebut nama Mahisa Agni?”
“Ya. Mahisa Agni telah datang,“ jawab
mereka bersamaan. Wajah-wajah mereka tiba-tiba menjadi agak cerah dan
harapan timbul kembali di dalam dada mereka.
Sebenarnya orang yang datang itu adalah Mahisa Agni.
Orang yang berpakaian hamba istana dan
menamakan diri hantu Karautan pula itu pun berpaling. Ia pun segera
melihat Mahisa Agni berjalan ke arah mereka. Semakin lama semakin
dekat.
“Itukah yang kau sebut Mahisa Agni,“ geram Pelayan Dalam itu.
“Ya.”
Pelayan Dalam itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya sosok tubuh yang semakin dekat itu.
Mahisa Agni, yang berjalan dengan
tenangnya, segera sampai pula diantara anak muda Panawijen yang masih
menggigil ketakutan. Dengan heran Mahisa Agni memandang wajah-wajah
mereka, sehingga kemudian ia bertanya, “Kenapa kalian menggigil seperti
orang kedinginan.”
Sinung Sari menunjuk kepada orang yang berpakaian pelayan Dalam itu sambil berkata gemetar, “Hantu Karautan.”
“He?” Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sekali lagi Sinung Sari menunjuk orang itu. Tetapi mulutnya terbungkam.
Mahisa Agni kemudian meletakkan
barang-barang yang dijinjingnya. Bumbung-bumbung bambu dan sebilah
pedang terhunus. Sedang pedangnya sendiri masih tergantung di
lambungnya.
“Benarkah kau hantu padang Karautan,“ bertanya Mahisa Agni.
Pelayan Dalam itu mengangguk sambil bertolak pinggang, “Ya Akulah hantu Karautan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian selangkah ia maju. Sambil tersenyum ia berkata,
“Bagus. Adalah kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan hantu padang
Karautan. Duduklah.”
Pelayan Dalam yang menamakan dirinya
hantu padang Karautan itu tertegun sejenak. Namun Mahisa Agni telah
mendahului duduk di samping perapian, diantara barang-barangnya yang
berserakan.
“Duduklah,“ ia mempersilahkan sekali lagi.
Ketiga anak muda Panawijen itu terbelalak ketika mereka melihat, hantu itu pun kemudian duduk di samping Mahisa Agni.
“He, kemarilah.” panggil Mahisa Agni
sambil berpaling kepada ketiga kawan-kawannya, “mungkin kau belum
mengenal hantu ini. Aku mula-mula agak lupa melihat tampangnya yang
gagah. Tetapi akhirnya aku dapat mengenalnya meskipun ia menyamar
sebagai Pelayan Dalam istana Tumapel.”
Sesaat ketiga kawan-kawannya saling
berpandangan Namun kembali terdengarlah Mahisa Agni memanggil,
“Kemarilah, hantu ini sama sekali tidak menakutkan. Ia adalah hantu
yang baik hati.”
Ketika mereka melihat Mahisa Agni sama
sekali tidak menjadi cemas dan tegang menghadapi hantu itu, maka
perlahan-lahan mereka bertiga pun beringsut maju mendekati perapian.
Satu demi satu mereka duduk di belakang Mahisa Agni.
“Inilah hantu itu sebenarnya,” berkata
Mahisa Agni, “kenapa kalian menjadi sangat ketakutan. Apakah hantu ini
sudah menyakiti atau menaku-akuti kalian.”
Ketiga anak muda itu menggeleng.
“Sudah aku katakan. Hantu Karautan sama
sekali tidak menakutkan. Bahkan sekarang kau dapat membuktikan sendiri,
bahwa hantu itu benar-benar berwajah tampan setampan Panji Asmara
Bangun.”
“Ah,“ desis hantu itu sambil tersenyum.
Ketiga anak-anak muda Panawijen sama
sekali tidak mengerti, bagaimanakah sebenarnya persoalan yang mereka
hadapi. Karena itu, setelah hatinya agak tenang, Sinung Sari berkata,
“Agni. Kalau yang satu ini benar-benar hantu pula, maka ada tiga hantu
dipadang Karautan ini.”
“He,“ Mahisa Agni berpaling, “tiga hantu?”
“Ya. ketiga-tiganya baru saja berkumpul disini. Mengitari perapian itu.”
“Ah,” sahut Agni, “apakah hantu-hantu itu kedinginan?”
Sinung Sari memandang hantu berpakaian Pelayan Dalam itu dengan sudut matanya. Kemudian katanya, “Bertanyalah kepadanya.”
“Kepada siapa?” bertanya Mahisa Agni.
“Kepada hantu itu,“ sahut Sinung Sari.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak segera bertanya tentang hantu-hantu itu. Tetapi kepada
kawan-kawannya ia berkata, “Apakah kalian tidak haus. Minumlah. Jalan
menuruni tebing itu sangat sulit, sehingga aku harus sangat
berhati-hati.”
Kawan-kawan Mahisa Agni itu sama sekali
tidak merasa haus, karena perasaan mereka yang masih dicengkam oleh
ketakutan atas apa yang sedang dihadapinya. Karena itu mereka sama
sekali tidak ada minat untuk menyentuh bumbung Mahisa Agni.
“Apakah kalian tidak haus?“ sekali lagi Mahisa Agni bertanya.
Patalan memandangi wajah Agni dengan
penuh pertanyaan yang membayang. Sekali-sekali anak muda itu menggigit
bibirnya, dan sekali-sekali dicobanya untuk menatap wajah Pelayan Dalam
yang seakan-akan penuh menyimpan rahasia. Rahasia padang rumput
Karautan.
Mahisa Agni melihat pertanyaan yang
bergelut di dalam dada kawan-kawannya. Namun ia tidak segera
menjelaskan siapakah yang menyebut dirinya hantu Karautan yang sedang
menyamar sebagai Pelayan Dalam itu, bahkan ia bertanya, “Jadi menurut
kata kalian, disini tadi ada tiga hantu yang berkumpul bersama-sama?”
Ketiga kawannya serentak mengangguk. Dan terdengar Jinan berkata, “Ya, bertiga. Satu diantaranya adalah yang masih tinggal itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah yang mereka kerjakan disini?” bertanya Agni pula.
“Yang dua saling berkelahi. Yang satu itu datang kemudian,“ sahut Jinan.
“Lupakanlah hantu yang dua itu. Mereka
tidak akan berani mengganggu kalian, selagi hantu yang baik hati ini
masih disini,” gumam Mahisa Agni seolah-olah kepada dirinya sendiri.
Tetapi gumam itu masih belum menjawab
pertanyaan yang bergelut di dalam dada anak-anak muda Panawijen itu.
Sehingga akhirnya Sinung Sari bertanya perlahan-lahan, “Bagaimana Agni.
Apakah kau tidak bertanya kepadanya, tentang kedua hantu yang lain
itu?”
Mahisa Agni mengangguk, “Baik,” jawabnya, “tetapi apakah kalian tidak ingin mendengar nama hantu yang satu ini?”
Anak-anak muda Panawijen itu saling
berpandangan, memang hantu-hantu pun biasanya memiliki sebuah nama.
Karena itu, maka serentak mereka menyahut, “Ya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat hantu yang berpakaian lengkap sebagai seorang hamba istana itu
tersenyum sambil berdesah, “Ah. Ada-ada kau ini Agni.”
“Bukankah kau hantu padang ini, Hantu
yang berhak mendapat segala macam gelar untuknya. Hantu yang tampan.
Hantu yang mengerikan, menakutkan dan sekarang hantu yang baik hati?
Bukan hantu-hantu yang lain-lain.”
“Sekehendakmulah,” sahut Pelayan Dalam itu.
“Nah, dengarlah,“ berkata Mahisa Agni,
“bukankah sudah aku katakan bahwa aku sudah mengenal hantu Karautan
yang sebenarnya ini? Kalau ada hantu-hantu yang lain, maka hantu-hantu
itu pasti bukan hantu yang sebenarnya. Hantu yang sebenarnya tidak akan
membiarkan daerahnya menjadi sumber malapetaka. Karena itu sebagaimana
kau lihat, hantu ini hadir pula disini menyelamatkanmu. Sebab
hantu-hantu yang lain itu pun telah pergi.”
Jantung Jinan, Patalan dan Sinung Sari
menjadi berdebar-debar. Mereka ingin segera tahu nama hantu yang tampan
itu. Tetapi mereka tidak bertanya, seakan-akan mereka takut
kalau-kalau pertanyaannya tidak menyenangkan hati hantu itu.
Mahisa Agni pun kemudian meneruskan, “Bukankah kau ingin tahu nama hantu itu? Baiklah. Dengar, namanya Ken Arok.”
Ketiga anak-anak muda Panawijen itu
mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dada mereka.
Ken Arok. Namun namanya itu masih asing bagi mereka.
Mahisa Agni sejenak berdiam diri. Ia
ingin melihat getaran apakah yang timbul di dalam dada kawan-kawannya
itu setelah mereka mendengar nama hantu itu. Namun Mahisa Agni hanya
melihat wajah-wajah itu berkerut. Sesudah itu tidak ada tanggapan
apapun lagi.
Ternyata kawannya belum pernah mendengar
nama Ken Arok. Nama itu akan sama artinya bagi kawan-kawannya apabila
ia menyebut nama yang lain. Witantra misalnya, atau Mahendra atau Kebo
Ijo atau siapapun. Sebab nama-nama itu pun pasti belum pernah mereka
dengar. Tetapi apabila Mahisa Agni menyebutkan nama hantu berkuda yang
melarikan diri itu, pastilah mereka akan terkejut sekali.
Ken Arok sendiri menarik nafas
dalam-dalam ketika sama sekali tidak tampak persoalan-persoalan yang
tumbuh karena namanya. Mula-mula ia menjadi bimbang. Mungkin namanya
sudah dikenal oleh ketiga anak-anak muda itu dahulu sebagai orang
buruan, sebelum ia bersembunyi dipadang Karautan. Dan menyebut dirinya
dan disebut orang hantu padang Karautan.
“Bukankah sekarang telah kalian saksikan
sendiri,“ berkata Mahisa Agni, “bahwa hantu Karautan adalah hantu yang
baik hati. Dan seandainya ada hantu-hantu yang lain, maka hantu-hantu
yang lain dan jahat itu sama sekali bukan hantu Karautan.”
“Siapakah mereka itu,“ perlahan-lahan terdengar Sinung Sari bertanya.
“Hantu tiruan,“ sahut Agni cepat-cepat, “dan bukankah nyata bahwa tak ada satu pun dari mereka yang berani melawan hantu ini?”
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk.
“Hantu ini pun kini telah menjelma
menjadi seorang manusia biasa. Ia sama sekali tidak sedang menyamar
sebagai Pelayan Dalam Istana Tumapel. Tetapi ia benar-benar menjadi
Pelayan Dalam.”
Ketiga anak-anak muda itu menjadi beragu
sejenak. Mereka tidak dapat mengerti bagaimana seorang Pelayan Dalam
Istana itu sebenarnya adalah hantu.
Mahisa Agni melihat keragu-raguan itu.
Karena itu ia menjelaskan, “Jangan ragu-ragu akan keteranganku. Ken
Arok bukan hantu. Ia adalah seorang manusia biasa. Hantu Karautan itu
sama sekali tidak ada.”
Ketiga kawan Mahisa Agni menjadi bingung.
Sekali-sekali mereka saling berpandangan, namun sekali-sekali mata
mereka berpindah-pindah dari Mahisa Agni kepada Ken Arok
berganti-ganti.
Apalagi ketika Mahisa Agni itu berkata
seterusnya, “Yang dua, yang bertempur itu pun sama sekali bukan hantu.
Mereka hanya ingin menakut-nakuti kalian dan menamakan diri mereka
hantu padang Karautan.”
“Jadi siapakah mereka itu, “sela Patalan.
Mahisa Agni diam sesaat. Ditatapnya wajah
ketiga kawan-kawannya berganti-ganti dan sesaat kemudian ditatapnya
wajah Ken Arok yang duduk di sampingnya. Dilihatnya wajah ketiga
kawannya itu menjadi tegang karena kebingungan yang semakin mendesak di
dalam dada mereka.
Baru sesaat kemudian Mahisa Agni berkata,
“Apakah kau juga ingin tahu siapakah yang datang berkuda dan menamakan
dirinya hantu Karautan itu?”
Ketiga kawan-kawannya mengangguk.
“Orang itulah yang telah membuat bencana
selama ini,“ desis Mahisa Agni. “Pasti orang itu pula yang telah
melakukan pencegatan dipadang rumput Karautan beberapa hari yang lalu
seperti berita yang kau katakan pada saat kita akan memasuki padang
ini.”
Ketiga kawan-kawannya mengangguk.
“Seharusnya kau mengenalnya,“ berkata
Mahisa Agni pula, “seperti hantu jadi-jadian itu mengenal namamu.
Bukankah hantu itu mengenalmu, mengenal namamu satu persatu?”
Jinan, Patalan dan Sinung Sari
mengangguk, tetapi mereka menjadi semakin bingung. Bagaimana mungkin
mereka dapat mengenal nama hantu itu, meskipun hantu jadi-jadian
sekalipun?”
Namun mereka hampir menjadi pingsan
ketika Mahisa Agni benar-benar menyebut nama hantu itu, katanya, “Nah,
ketahuilah, hantu itu bernama Kuda Sempana.”
“Kuda Sempana,“ berbareng ketiga anak-anak muda Panawijen itu mengulangi nama itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, “Ya, hantu itulah Kuda Sempana.”
Sesaat ketiga anak muda itu diam
mematung. Sesaat mereka tenggelam dalam perasaan yang aneh. Kuda
Sempana. Bagaimana mungkin anak itu berada dipadang rumput dalam
pakaian yang tak teratur dan kusut. Bukankah anak muda itu berada di
Istana.
Dengan penuh kebimbangan Sinung Sari
bertanya, “Mahisa Agni. Apakah mungkin terjadi, Kuda Sempana yang
perkasa itu berada dipadang ini? Bukankah ia berada di Tumapel?”
“Orang itu sebenarnya Kuda Sempana,”
jawab Mahisa Agni. Tetapi aku tidak tahu, apa sebabnya ia berada di
padang ini. Mungkin Ken Arok dapat menjawab pertanyaan itu, dan mungkin
Ken Arok pun akan dapat mengatakan, kenapa ia sendiri pun berada
dipadang ini pula.”
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, “Mungkin
aku dapat mengatakan kepada kalian, kenapa Kuda Sempana berada dipadang
rumput ini, meskipun apa yang aku ketahui pun tidak terlalu banyak.
Yang paling aku ketahui tentang diriku sendiri, kenapa aku berada
dipadang rumput ini.”
“Ya. Juga tentang dirimu,” sahut Agni.
“Aku datang kembali ke padang rumput ini
karena aku juga mendengar bahwa hantu Padang Karautan telah timbul
kembali,“ berkata Ken Arok, “adalah benar-benar menyinggung perasaanku,
bahwa hantu yang telah hilang itu datang kembali dipadang ini untuk
melakukan pekerjaannya. Karena itulah, maka aku minta ijin kepada
atasanku untuk berusaha menangkap hantu itu.”
Mahisa Agni tertawa mendengar keterangan Ken Arok, katanya, “Bukankah kau merasa bahwa pekerjaanmu disaingi?”
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, “Tentu.
Orang masih akan tetap menyangka bahwa hantu yang dahulu itu pulalah
yang datang kemudian.”
“Apakah pemimpinmu tahu, bahwa hantu yang dahulu bernama Ken Arok?”
“Tidak seorang pun tahu, selain Empu Purwa bersama muridnya. Dan kini, karena kau, ketiga kawan-kawanmu itu tahu pula.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Kau mendapat ijin itu agaknya. Tetapi kau
belum berhasil menangkap hantu itu.”
“Ya. Tetapi aku sudah melihat hantu itu dan aku dapat mengenalnya pula, setelah beberapa malam aku berkeliaran dipadang ini.”
“Tetapi kenapa kau tertarik ke tempat ini? Bukankah daerah perburuan hantu-hantu itu tidak disini?”
“Aku melihat api. Barangkali karena api itu pula, maka hantu itu datang kemari.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya, “Nah,
sekarang kau dengar serba sedikit ceritera tentang hantu Karautan.
Sekarang kau akan percaya bahwa hantu itu bernama Kuda Sempana?”
Ketiga kawannya pun mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba Patalan bertanya, “Tetapi hantu itu ada dua.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Dua?“ ia mengulang.
“Ya. Dua,“ sahut Sinung Sari, “yang satu
yang kau sebut bernama Kuda Sempana itu. Ia datang berkuda dan
menakut-nakuti kami. Hantu itu akan membunuh kami berdua, dan
membiarkan salah seorang dari kami tetap hidup, namun tubuhnya akan
dijadikan cacat. Kemudian datang hantu yang kedua. Hantu yang aku
sangka orang gila. Keduanya bertempur sampai hantu yang ketiga itu
datang.”
“Itu bukan hantu,“ potong Mahisa Agni, “sudah aku katakan ia memang bekas hantu. Tetapi sekarang tidak.”
Ken Arok tersenyum, dan Sinung Sari
membetulkan kata-katanya, “Ya. Maksudku tuan yang bernama Ken Arok itu
datang. Dan tuan itu pun tahu, bahwa memang ada hantu yang lain selain
Kuda Sempana.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya berkali-kali seakan-akan ia mencoba untuk mengetahui dengan
pasti kata-kata Sinung Sari itu, bahwa ada hantu lain yang telah datang
di tempat ini. hantu yang menurut Sinung Sari adalah hantu yang mirip
dengan orang gila.
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab
pertanyaan kawannya itu. Bahkan kemudian ditatapnya gerumbul-gerumbul
di kejauhan dan kemudian ditatapnya pula bulan yang berwarna
kekuning-kuningan, di belakang awan tipis yang mengalir dengan lesu ke
tenggara.
Suasana dipadang rumput itu sejenak
dicengkam oleh kesenyapan. Masing-masing terdiam sambil memandang api
di perapian yang telah padam. Hanya bara-bara kayunya sajalah yang
masih memancar kemerahan.
Yang terdengar kemudian adalah Mahisa
Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdiri mengambil beberapa
potong bekal makanannya dan kemudian ditaruhkan dihadapan Ken Arok,
katanya. “Apakah kau juga mau makan makanan padesan seperti ini?”
Ken Arok tersenyum. Diambilnya sepotong makanan dan langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.
Jinan, Patalan dan Sinung Sari memandangi
mereka berdua dengan penuh kebimbangan. Seakan-akan ada sesuatu yang
tersimpan di dalam diri mereka. Sebuah rahasia yang tidak mereka
mengerti. Demikian desakan keinginan mereka untuk mengetahui, maka
sekali lagi Sinung Sari bertanya perlahan-lahan, “Agni. Kau belum
menjawab pertanyaanku.”
Mahisa Agni berpaling. Tampaklah
keningnya berkerut. Jawabnya, “Tak ada yang menarik yang dapat kau
ketahui dari hantu-hantuan itu. Yang perlu kau ketahui sudah aku
katakan. Yang ada disini sekarang inilah yang dahulu bernama hantu
Karautan, meskipun itu pun hanya hantu jadi-jadian. Ia adalah seorang
manusia biasa, seperti aku, seperti kalian. Dan hantu yang datang
berkuda itu adalah Kuda Sempana. Juga seorang manusia biasa. Seperti
aku, seperti kalian. Itulah yang penting. Yang lain-lain sama sekali
tidak ada hubungannya dengan kalian dan kalian pasti tidak akan
mengenalnya.”
Patalan mengerutkan dahinya. Mungkin ia
belum mengenal hantu yang gila itu. Tetapi ia masih juga berkeinginan
untuk mendengar serba sedikit tentang hantu-hantuan itu. Maka katanya,
“Tetapi ia datang juga kemari dan menamakan dirinya hantu Padang
Karautan, bahkan dapat mengalahkan Kuda Sempana. Atau barangkali tuan
sudah mengenalnya,“ bertanya Patalan kepada Ken Arok.
“Sudah,“ sahut Ken Arok sambil tersenyum, “aku mengenalnya menilik caranya memutar pedang dan melontarkan kakinya.”
“Ah,“ desah Mahisa Agni, “terlalu banyak
yang ingin kau ketahui Patalan. Jangan menyebut-nyebut tentang dirinya.
Mungkin ia akan datang lagi dan mengganggu kalian.”
“Bukankah sekarang kau ada disini dan tuan Ken Arok, yang berhak mendapat sebutan hantu Karautan itu ada pula?”
“Sebenarnya aku sama sekali tidak berbangga atas sebutan itu,“ sahut Ken Arok.
“Oh, maafkan kami,“ potong Patalan cepat-cepat.
“Aku tidak apa-apa. Tetapi mungkin sebutan itu akan sangat menyenangkan bagi hantu-hantuan itu.”
“Tetapi siapakah dia,” desak Sinung Sari pula.
Sekali lagi Ken Arok tersenyum. Senyum
yang memancarkan rahasia yang justru menjadikan ketiga anak-anak muda
Panawijen semakin ingin tahu.
“Hantu yang satu itu,“ berkata Ken Arok, “adalah yang lebih dekat dari kalian. Ia adalah Bahu Reksa Panawijen.”
Ketika anak-anak muda Panawijen itu mengerutkan keningnya. “Bahu Reksa Panawijen. Apakah artinya?”
Ken Arok kini tertawa kecil.
Dipandanginya wajah Agni yang berkerut. Bahkan Ken Arok itu berkata
pula, “Kau tahu Bahu Reksa Panawijen. Ia lebih dahsyat dari hantu
Karautan.”
Sinung Sari mengangguk-angguk. Tetapi ia melihat Ken Arok masih tertawa, sehingga katanya, “Bagaimanakah sebenarnya?”
Ken Arok itu kemudian bertanya kepada Patahan, “He, dimana pedangmu?”
Patalan terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta ia menjawab, “Diambil hantu yang mirip dengan orang gila itu.”
Ken Arok mengangguk-angguk. Kemudian ia
beringsut beberapa langkah maju. Ketika ia meraih sesuatu dihadapan
Mahisa Agni, maka katanya, “Apakah ini pedangmu?”
Patalan menjadi heran. Pedang itu sudah berada di dekat perapian, “Ya,“ katanya.
Ken Arok meneruskan, “Kau lihat siapakah yang membawa pedang ini kembali?”
Patalan menjadi bingung. Tiba-tiba ia
teringat bahwa ketika Mahisa Agni datang, ia menjinjing pedang. Bukan
pedangnya sendiri, karena pedang itu masih berada di dalam sarungnya.
“Agni,” teriak Patalan, “kau yang membawa pedangku kembali?”
“Ya,” jawab Agni. “aku berjumpa dengan hantu itu. Dan menitipkannya pedang itu kepadaku.”
Ken Arok kini tertawa keras?
Hampir-hampir tak dapat ditahannya lagi. Disela-sela derai tertawanya
terdengar ia berkata, “Kenapa hantu itu tidak memakai kain dan memakai
daun perdu untuk menutupi celananya? He? Untunglah tidak ada yang gatal
pada daun-daun itu. Kalau ada kalian akan cepat mengetahui siapakah
yang sibuk menggaruk-garuk tubuhnya itulah hantu gila itu.”
Ketiga anak-anak Panawijen itu semakin
bingung. Tetapi lamat-lamat mereka dapat menangkap maksud Ken Arok itu.
Apalagi ketika Ken Arok itu menjelaskan. Kalian pasti pernah melihat,
siapakah yang pernah mengalahkan Kuda Sempana? Nah itulah.
Hantu-hantuan yang datang berkuda itu kembali dikalahkan oleh
hantu-hantuan Bahu Reksa Panawijen.
Sinung Sari beringsut maju sambil berkata, “Agni. Apakah demikian?”
Agni tersenyum.
“Jadi kaukah hantu-hantu jadi-jadian yang aku sangka orang gila itu?” Agni mengangguk.
“Gila kau Agni,” teriak Jinan, “kenapa kau menakut-nakuti kami. Kenapa kau tidak saja datang dalam keadaanmu yang sewajarnya?”
Agni kini tertawa, seperti juga Ken Arok
tertawa. Maka jawab Mahisa Agni, “Ah. Sebuah permainan yang
menyenangkan. Aku ingin tahu, siapakah sebenarnya hantu Karautan yang
baru itu. Aku ingin mengetahuinya tanpa ia mengetahui aku, sebab aku
yakin bahwa hantu itu pasti bukan hantu yang sebenarnya. Bukan hantu
yang lama.”
Wajah ketiga anak-anak muda Panawijen
tiba-tiba menjadi merah. Mereka merasa malu sekali pada diri mereka
sendiri. Mereka merasa betapa mereka benar-benar seorang penakut.
“Tetapi Agni,“ berkata Sinung Sari,“
bukankah kau akan dapat mengenalnya juga seandainya kau datang dengan
wajar. Bukankah orang berkuda itu lari sebelum membuka tutup mukanya?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Mungkin. Tetapi apabila ia telah mengenal aku sebelumnya,
mungkin ia akan segera lari sebelum kami sempat bertempur.”
“Apakah yang kau dapat dari pertempuran itu?“ bertanya Patalan.
“Dari pertempuran itulah aku dapat mengenalnya.”
“Apanya yang dapat kau kenal?“ desak Sinung Sari.
Mahisa Agni dan Ken Arok tersenyum. Jawab
Mahisa Agni, “Ken Arok mengenal aku dan Kuda Sempana sesudah ia
melihat kami bertempur. Ken Arok mengenal aku sejak aku masih menjadi
orang gila itu. Karena itu, ia tidak bersikap melindungi kalian, karena
ia tahu benar bahwa hantu itu tidak berbahaya bagi kalian.”
“Tetapi apakah yang dapat menunjukkan bahwa orang itu bernama kuda Sempana dan yang lain Mahisa Agni?”
Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Gerak kami. Sifat dan watak-watak dari gerak kami masing-masing.
Ketiga anak-anak muda Panawijen itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengenalan itu berada diluar
kemampuannya, karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu gerak.
Meskipun demikian Sunung Sari masih saja menggerutu dengan jengkelnya,
“Tetapi Agni, setelah Kuda Sempana pergi, kau masih juga menakut-nakuti
kami. Apakah maksudmu?”
Mahisa Agni tertawa semakin keras.
Jawabnya, “Aneh. Seharusnya kalian tidak takut. Seperti kata Ken Arok
itu. Bukankah kalian bertiga dan membawa senjata? Seandainya
benar-benar kami bertemu dengan bahaya yang tidak dapat aku atasi
seorang diri, apakah kalian akan membiarkan aku sendiri? Nah, sekarang
renungi diri kalian sendiri. Manakah yang lebih baik. Mengangkat
senjata menghadapi keadaan seperti itu, atau membiarkan diri kalian
dihisap darah kalian lewat tengkuk kalian. Ingat, bahwa Kuda Sempana
benar-benar akan dapat berbuat demikian atas tanah yang akan kita
bangunkan nanti. Kalau kalian tidak dapat melindungi diri kalian dan
tanah kalian, maka apa yang akan kalian capai dengan susah payah, akan
merupakan tanah sadapan yang menyenangkan bagi orang lain. Orang lain
akan dapat menghisap darah dan di jalur-jalur nadi penghidupan kampung
halamanmu. karena itu, tengadahkan wajahmu dalam menghadapi setiap
persoalan. Jawablah semua tantangan. Asal kau yakin, bahwa kau sedang
mempertahankan hakmu, bukan sedang melanggar hak orang lain.”
Jinan, Patalan dan Sindung Sari
menundukkan kepalanya. Kembali wajah-wajah mereka dijalari oleh
warna-warna merah karena sindiran-sindiran yang tepat itu. Mau tidak
mau mereka harus mengakui kebenaran kata-kata Mahisa Agni, bahwa mereka
sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengatasi kesulitan
sendiri.
Kembali untuk sesaat mereka terbenam
dalam kesepian. Mahisa Agni sejenak berdiam diri sambil memandangi
bulan yang semakin jauh dari cakrawala. Kini bulan itu telah hampir
sampai ke ujung langit. Namun malam telah melampaui pusatnya.
Dibiarkannya ketiga kawan-kawannya
merenungkan kata-katanya. Mahisa Agni merasa, mungkin kata-katanya akan
menjadikan kawan-kawannya malu kepadanya dan kepada diri sendiri.
Namun ia mengharap, bahwa dengan demikian, maka akan timbul perubahan
di dalam kehidupan anak-anak muda Panawijen yang terlalu lama tenggelam
dalam suasana yang terlampau tenang dan diam. Tak ada perubahan, tak
ada gerak dan nyala di dalam kehidupan orang-orangnya. Jebolnya
bendungan itu pun ternyata dapat dicari manfaatnya di samping bencana
yang telah melanda Panawijen. Ternyata dengan jebolnya bendungan itu,
anak-anak muda Panawijen mendapat pelajaran untuk mencoba mengatasi
kesulitan yang menimpa diri sendiri tanpa menggantungkan kepada orang
lain.
Namun yang pertama-tama memecah kesepian
itu adalah Mahisa Agni pula. Bukan tentang hantu-hantu yang berkeliaran
di padang Karautan, tetapi ia benar-benar ingin tahu, kenapa Kuda
Sempana telah mencoba hidup dipadang yang sepi ini. Apakah anak muda
itu merasa bahwa ia memerlukan harta benda menjelang hari-hari dimana
ia hidup dalam satu keluarga. Mungkin Kuda Sempana merasa perlu untuk
membuat isterinya bahagia dengan menyimpan harta benda yang berlebihan
sebagai imbangan cara yang ditempuhnya sewaktu mengambil isterinya itu.
Atau barangkali Ken Dedes mempunyai permintaan-permintaan sehingga
Kuda Sempana terpaksa berbuat demikian merampok dan menyamun?”
“Ken Arok,“ bertanya Mahisa Agni
kemudian, “kenapa Kuda Sempana itu berkeliaran dipadang ini? Bukankah
kau sekarang menjadi kawan selingkungannya di istana?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Aku tidak tahu
persoalan seluruhnya. Tetapi sebagian aku akan dapat menceriterakan
sebabnya.”
“Biarlah yang sebagian itu aku dengar dahulu,” sahut Mahisa Agni.
Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Nasib anak itu tidak terlalu baik.”
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia memotong, “Bagaimanakah dengan Ken Dedes?
Bukankah Ia sehat walafiat?”
Ken Arok mengangguk. Jawabnya, “Gadis itu sehat-sehat saja.”
“Dimanakah gadis itu sekarang?”
“Di istana Tumapel.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “kenapa di istana. Apakah Kuda Sempana tinggal di istana pula?”
“Itulah sebagian yang aku ketahui. Tentang gadis itu dan tentang Kuda Sempana.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Baginya terdengar aneh, bahwa Ken Dedes berada di istana Tumapel, “Ah,“
desahnya di dalam hati, “ternyata Tunggul Ametung benar-benar berusaha
melindungi Kuda Sempana. Disembunyikannya Ken Dedes itu di istana
sampai mereka melahirkan anaknya yang pertama, untuk menghindarkan Kuda
Sempana dari setiap kemungkinan yang berbahaya. Sesudah itu, maka
semuanya akan menjadi baik bagi Kuda Sempana. Tetapi kenapa Kuda
Sempana itu berkeliaran disini dalam keadaan yang kusut?”
Pertanyaan itu ternyata semakin menyentuh
hatinya, sehingga sekali lagi ia berkata, “Katakanlah Ken Arok.
Katakanlah apa yang kau ketahui itu tentang Kuda Sempana dan Ken
Dedes.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tampak keningnya berkerut-kerut. Terbayanglah di wajahnya perasaannya
yang gelisah. Menurut pengetahuannya. Mahisa Agni adalah kakak Ken
Dedes, sehingga ia menjadi ragu-ragu sejenak untuk mengatakan apa yang
telah terjadi atas adiknya itu. Tetapi karena Mahisa Agni selalu
mendesaknya, maka terloncat pulalah ceritera tentang Ken Dedes di
Tumapel. Ceritera sejak Ken Dedes sampai di istana, sejak mereka
berdua, Ken Arok dan Witantra dipanggil menghadap Akuwu, tentang
Witantra yang harus masuk ke dalam arena atas nama Tunggul Ametung.
Namun dengan kecewa Ken Arok itu kemudian berkata, “Tetapi sayang.
Ternyata Tunggul Ametung itu mempunyai pamrih sendiri. Adikmu
diambilnya.”
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada
Mahisa Agni. Ia bersyukur bahwa Ken Dedes telah terlepas dari tangan
kuda Sempana. Namun ia tidak tahu, perasaan apa yang berdentang-dentang
di dalam dadanya itu, setelah ia mendengar bahwa Ken Dedes kini berada
di istana bukan sebagai isteri Kuda Sempana, namun karena gadis itu
dikehendaki oleh Tunggul Ametung sendiri.
Dalam pada itu, terdengar Ken Arok
berkata, “Untunglah bahwa Akuwu mengambilnya sebagai permaisurinya.
Bukan sekedar sebagai seorang selir.”
Mahisa Agni terperanjat juga mendengar
keterangan itu. Ken Dedes, seorang gadis padesan, telah diangkat
menjadi permaisuri seorang Akuwu yang besar dari Tumapel. Tetapi masih
saja bergelora perasaan yang tidak menentu di dalam dirinya. Ia
bergembira bahwa Ken Dedes menemukan tempat yang baik, namun ada juga
kekecewaan yang dalam menusuk jantungnya. ia sebenarnya mengharap Ken
Dedes kembali ke Panawijen.
“Tetapi ia akan menjumpai kepahitan di
Panawijen,” gumamnya di dalam hati, “ayahnya telah pergi, dan orang
yang dicintainya telah pergi pula untuk selama-lamanya.”
Mahisa Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Direnunginya tanah yang kering di bawah kakinya yang bersilang.
Dikais-kaisnya tanah itu dengan
jari-jarinya seolah-olah ia ingin mengetahui, apakah tanah itu cukup
subur untuk daerah pertanian. Namun hatinya bergumul dalam keadaan yang
tidak menentu. Kebanggaan, kekecewaan harapan dan putus asa, bergulat
menjadi satu.
Mahisa Agni itu mengangkat. wajahnya
ketika ia mendengar Ken Arok bertanya kepadanya, “Bagaimana Agni.
Apakah kau menjadi berbangga hati bahwa adikmu kini menjadi seorang
permaisuri Akuwu Tumapel?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Adalah
kanugrahan yang tiada taranya bagi seorang gadis dari padepokan
Panawijen. Adalah suatu kebanggaan buat keluarganya. Pahit getir yang
dialami oleh orang tuanya, keprihatinan dan ketekunan pengabdiannya
kepada sesama dan kebaktiannya yang tulus kepada Yang Maha Agung telah
menempatkan puteri tunggal itu dalam kedudukan yang baik. Tetapi jauh
di sudut hatinya, Mahisa Agni masih mendengar jerit yang pedih dari
perasaannya sendiri. Meskipun demikian perlahan-lahan ia menjawab, “Aku
berbangga Ken Arok.”
“Ya,“ sahut Ken Arok, “adalah wajar bahwa kau dan keluargamu akan berbangga hati.”
Tetapi wajah Mahisa Agni sama sekali
tidak membayangkan kebanggaan yang dikatakannya itu. Apalagi ketika
diingatnya sumpah kutukan Empu Purwa, maka dadanya pun berdesir.
Demikian marahnya orang tua itu, sehingga disumpahnya mereka yang telah
ikut serta mengambil anaknya. Disumpahnya mereka bahwa mereka akan
terbunuh dengan keris.”
Wajah Mahisa Agni menjadi semakin suram.
Seandainya Ken Dedes dapat menemukan kebahagiaan sebagai seorang
Permaisuri, tetapi seandainya sumpah Empu Purwa itu pun akan berlaku,
maka akan putus pulalah kebahagiaan itu. Tunggul Ametung adalah salah
seorang dari mereka yang turut mengambil Ken Dedes, sehingga akan
matilah ia ditusuk dengan keris.
Tetapi kecemasan dan kegelisahan itu
disimpannya di dalam hatinya, sehingga hati itu telah dipenuhi oleh
berbagai perasaan yang tak dapat dilahirkannya. Perasaan yang
mencengkamnya tentang gadis puteri gurunya, tentang kekhawatirannya
atas nasib gadis itu kemudian, dan atas banyak hal lagi yang tertimbun.
Bahkan yang terucapkan dari mulutnya
adalah, “Betapa besar terima kasihku kepada kalian. Kepada Witantra dan
kepadamu. Betapa kalian telah berusaha menolong adikku itu dari lembah
penderitaan di sepanjang hidupnya. Penderitaan yang tidak akan ada
habis-habisnya.”
“Tetapi kami tidak berhasil
mengembalikannya kepadamu,“ sahut Ken Arok, “kami telah gagal sebagian
dari maksud kami memisahkannya dari Kuda Sempana. Karena Tunggul
Ametung sendiri ternyata menghendakinya.”
“Mudah-mudahan nasibnya akan menjadi lebih baik,“ gumam Mahisa Agni.
“Mudah-mudahan,“ sahut Ken Arok, “menurut pendengaranku, Tunggul Ametung akan datang kepada ayah gadis itu untuk memintanya.”
Mahisa Agni terkejut. Namun tiba-tiba
wajahnya menjadi suram. Jauh lebih suram dari wajah itu sebelumnya.
Dari antara giginya terdengar ia berdesis, kemudian menggelengkan
kepala sambil berkata, “Tak ada gunanya.”
Ken Arok mengerutkan dahinya, Kini ialah yang menjadi terkejut mendengar desis Mahisa Agni itu, sehingga ia bertanya, “Kenapa?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Sorot matanya jauh menembus ke dalam keremangan malam yang kuning oleh cahaya bulan yang redup.
“Ayah gadis itu tidak ada lagi di padepokannya.”
“Apakah ia belum kembali?“ bertanya Ken
Arok, “pada saat gadis itu diambil oleh Kuda Sempana, ayahnya memang
tidak tampak di rumahnya.”
“Sudah. Orang tua itu sudah kembali,”
jawab Mahisa Agni, “tetapi setelah ia mendengar bahwa anaknya itu
hilang, anak yang dikasihinya melampaui segala isi dunia ini yang lain,
maka orang tua itu mengalami kegoncangan perasaan yang tak
terkendali.”
“Apakah syarafnya terganggu?”
Mahisa Agni mengangguk.
“Gila?”
“Tidak sejauh itu. Ia adalah seorang
pendeta yang taat-taat kepada kuwajibannya,“ berkata Mahisa Agni dalam
nada yang rendah. “Hanya karena ketebalan hatinyalah maka orang tua itu
tidak menjadi gila. Ia pasti akan dapat menemukan ketenangannya
kembali dalam kebaktiannya kepada Yang Maha Agung. Tetapi kejutan
pertama dari berita itu telah mendorongnya untuk meninggalkan
padepokannya. Ia ingin melupakan segala-galanya. Kepahitan yang paling
pahit dalam hidupnya.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya,
gumamnya, “Kasihan orang tua itu. Untunglah ia dapat menemukan
penghibur dalam dirinya sendiri. Kalau tidak, ia pasti tidak akan hanya
sekedar menyingkir dari padepokannya. Bukankah ia sekaligus gurumu?”
Mahisa Agni mengangguk. “Kalau orang tua itu marah, maka ia akan dapat berbuat hal-hal yang mengerikan.”
“Pasti tidak akan dilakukan.”
Ken Arok terdiam sesaat. Kemudian
katanya, “Aku mengharap kau akan dapat mewakilinya. Bukankah kau
muridnya, tetapi juga puteranya?”
Mahisa Agni menggeleng.
“Bukankah gadis itu adikmu? Atau saudara sepupu?”
Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Ia
tidak segera menemukan jawaban atas pertanyaan itu, sehingga Ken Arok
mendesaknya, “Bagaimana? Kau akan dapat mewakili ayahmu. Menerima Akuwu
itu sebagai wakil orang tuanya, merestui perkawinan adikmu.”
“Jangan. Jangan,“ sahut Mahisa Agni serta
merta. Tetapi kemudian ia terdiam kembali. Tarasa luka di hatinya yang
perlahan-lahan hampir dapat dilupakan itu, seakan-akan kembali
menggores tajam. Terasa hatinya menjadi pedih. Ia harus melihat
kenyataan itu. Namun dengan sekuat tenaganya ia mencoba menghilangkan
segala macam kesan yang dapat membayangkan perasaannya yang sedang
bergolak.
Ken Arok masih memandangi wajah anak muda
yang muram itu. Namun ia tidak tahu perasaan apa yang sedang bergolak
di dalam dadanya. Ia hanya dapat menyangka betapa sedihnya anak muda
yang merasa kehilangan adiknya itu. Meskipun seandainya bukan adik
sekandung, tetapi adik sepupu.
Tetapi Mahisa Agni sama sekali, tidak mau
menjelaskan hubungan apakah yang ada antara dirinya dan Ken Dedes.
Ketika Ken Arok mendesaknya sekali lagi maka jawabnya, “Tidak. Jangan
datang kepadaku. Biarlah Ken Dedes menentukan kehendaknya sendiri.
Kalau ia bersedia biarlah perkawinan itu berlangsung, tetapi kalau
tidak, jangan dipaksa.”
Ken Arok menciutkan keningnya. Katanya, “Ya. Terserahlah kepadamu. Tetapi aku sendiri kecewa melihat sikap Akuwu itu.”
(Bersambung ke jilid 14)
No comments:
Write comments