“Aku akan ke belakang sebentar emban,“
berkata Nyai Puroni, “tunggulah kau di dalam, mengawani Angger Ken
Dedes. Tetapi ingat semua pesan-pesanku.”
“Baik Nyai,“ sahut Madri yang kemudian melangkah memasuki sentong tengen mengawani Ken Dedes.
Dalam pada itu, di ruang yang lain Akuwu
Tunggul Ametung sudah siap menerima Witantra dan Ken Arok. Ketika
kemudian seorang pelayan menyampaikan kepada Tunggul Ametung bahwa kedua
orang itu telah berada di halaman belakang, maka segera mereka berdua
dipanggilnya menghadap.
Setelah ditanyakan oleh Akuwu Tunggul
Ametung berbagai hal mengenai keselamatan mereka sebagai adat kebiasaan,
maka kemudian bertanyalah Tunggul Ametung kepada Witantra, “Witantra
bagaimanakah keadaanmu? Apakah kau tidak mendapat cedera apapun
mengalami benturan kekuatan aji Kuda Sempana?”
“Tidak Akuwu. Hamba tidak mengalami
sesuatu, Meskipun hamba kemudian menjadi lemah. Apalagi ketika Adi Kuda
Sempana menghantam dada hamba dengan sebuah tendangan yang keras, dimana
hamba sama sekali tidak menyangka.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya.
Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aji Kala Bama adalah aji
yang dahsyat. Tetapi kau berhasil memunahkannya.”
Witantra mengerutkan keningnya. Ternyata
aji yang dipergunakan oleh Kuda Sempana itulah aji Kala Bama yang pernah
didengar namanya. Untunglah bahwa ia telah memiliki perisai untuk
melawannya. Aji Bajra Pati.
Yang terdengar kemudian Akuwu Tunggul
Ametung meneruskan, “Aku sangat berterima kasih kepadamu Witantra. Kau
tentu akan menerima hadiah yang pantas untuk segenap jasa-jasa itu.”
Witantra menundukkan wajahnya, jawabnya
perlahan, “Tuanku. Adalah jauh dari pamrih tentang hadiah atau
kesempatan apapun yang akan Tuanku limpahkan kepada hamba. Tetapi hamba
hanya sekedar melakukan tugas hamba.”
“Kau telah berbuat melampaui tugas keprajuritanmu Witantra.”
“Mungkin tuanku, tetapi belum memadai tugas kemanusiaanku.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ia
menjadi bertambah kagumnya kepada perwiranya yang satu ini. Dan kepada
orang yang demikianlah kemudian Tunggul Ametung telah melimpahkan
kepercayaan untuk memperbincangkan masalah-masalah yang akan menentukan
jalan hidupnya kemudian.
Maka berkata Akuwu Tunggul Ametung itu,
“Witantra, aku telah melihat kesetiaanmu yang tiada taranya. Kesetiaanmu
kepadaku, namun lebih tinggi lagi adalah kesetiaanmu kepada
kemanusiaan, sehingga kau berani menolak perintahku di Panawijen. Karena
itu, maka biarlah kepadamu berdua aku ingin menyatakan perasaanku untuk
mendapatkan pertimbangan-angan.”
Witantra dan Ken Arok sama sekali tidak
menjawab. Mereka menundukkan wajah mereka sambil menunggu, apakah yang
akan diberitahukan oleh Akuwu itu kepada mereka.
“Witantra dan Ken Arok. Dengarlah.
Demikian mendalam kesan yang menusuk hatiku atas kesalahan yang telah
aku lakukan itu, maka aku ingin menebus kesalahan itu dengan kemungkinan
yang paling bernilai yang ada padaku. Witantra, bagaimanakah
pertimbanganmu seandainya gadis itu tidak usah dikembalikan ke
Panawijen?”
Witantra mengangkat wajahnya. Sedang Ken
Arok tergeser beberapa jari. Dengan dada yang berdebar-debar mereka
menunggu Akuwu memberi penjelasan lebih jauh.
Maka berkatalah Tunggul Ametung, “Aku
ingin gadis itu tetap berada di istana seandainya itu dapat
menyenangkannya. Tetapi sudah tentu bahwa apabila ia menolak, aku tidak
akan memaksanya.”
Witantra menarik keningnya. Kemudian ia kembali menundukkan wajahnya. Namun membayang diantara bibirnya sebuah senyum tertahan.
Tetapi berbeda benar dengan perasaan Ken
Arok pada saat itu. Kata-kata Akuwu Tunggul Ametung benar-benar memukul
jantungnya. Sekali ia mengangkat wajahnya, memandang wajah Akuwu yang
tampak suram, namun bersungguh-sungguh. Tetapi kemudian wajah itu
kembali terbanting di atas anyaman tikar pandan di muka lipatan kakinya.
Ken Arok hampir tidak percaya mendengar kata-kata Akuwu itu meskipun ia
sudah menduga sebelumnya. Ia mengharap bahwa dugaannya salah sehingga
ia masih tetap pada anggapannya atas Akuwu Tunggul Ametung itu. Tetapi
kini, tiba-tiba kebanggaannya terhadap Akuwu Tunggul Ametung langsung
surut seribu kali. Meskipun beberapa saat yang lalu, ia merasa kecewa
pula terhadap Tunggul Ametung, tetapi kekecewaannya kali ini terasa
semakin memuncak.
Terdengar hatinya berteriak lantang, “O,
jadi apa yang tuanku katakan itu semata-mata hanya rangkaian kalimat
penghias bibir. Ternyata tuanku sendiri mempunyai pamrih atas gadis
Panawijen itu. Kalau kakang Witantra tuanku dorong terjun ke arena,
bukan semata-mata sekedar untuk membebaskan yang dari Kuda Sempana,
namun sekaligus untuk membuka kesempatan kepada Akuwu sendiri. Hem.
Alangkah kisruhnya perasaanku sekarang ini. Namun demikian tak sepatah
katapun yang dapat diucapkannya dihadapan Akuwu Tunggul Ametung yang
memiliki kekuasaan tertinggi di Tumapel.
“Witantra,” terdengar Akuwu Tunggul Ametung itu berkata lirih, “Bagaimana pertimbanganmu?”
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya, “Hamba adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai
wewenang untuk memberikan pertimbangan tentang hal yang sangat penting
dalam perjalanan hidup Akuwu pribadi. Mungkin tuanku dapat memanggil
beberapa orang tua-tua untuk mendapat pertimbangan daripada mereka itu.”
Tunggul Ametung menggelengkan kepalanya, “Tidak,“ katanya, “mereka tidak berkepentingan apa-apa bagi masa depanku.”
“Tetapi mereka memiliki pandangan yang
luas, dan pengalaman serta pengetahuan yang cukup. Mereka memiliki
pertimbangan-angan dan nasehat-sehat yang pasti akan sangat berguna bagi
tuanku. Mungkin tuanku dapat memanggil beberapa orang pendeta, atau
orang-orang tua yang lain.”
“Tidak perlu Witantra,” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “aku akan menemukan jalan hidupku sendiri.”
Witantra terdiam sejenak. Ia tidak dapat
memberikan pertimbangan apapun karena keseganannya. Namun sekali ia
berpaling kepada Ken Arok, tetapi dilihatnya Ken Arok itu duduk diam
sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Kau tidak memberikan pendapatmu Witantra,” desak Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra menjawab sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam, “Ampun tuanku. Hamba sama sekali tidak cukup
pengetahuan untuk menjawab pertanyaan tuanku.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya, perlahan-lahan ia berkata, “Tetapi kau tidak akan menolak bukan Witantra?”
“Apakah hakku untuk menolak Tuanku?”
“Aku tidak berbicara tentang apakah kau
berhak atau tidak, tetapi aku ingin tahu, bagaimana perasaanmu terhadap
maksud ini. Perasaanmu. Berhak atau tidak berhak.”
Witantra tidak dapat mengelak lagi.
Sebenarnya sejak semula, ia tidak berkeberatan atas maksud Akuwu itu
untuk memberi tempat yang agak baik bagi Ken Dedes. Karena itu maka
jawabnya, “Ampun Akuwu. Perasaan hamba sama sekali tidak menentang
maksud Akuwu itu.”
“Terima kasih Witantra. Kaulah sebenarnya
yang telah membebaskan gadis itu. Menurut perjanjian, yang menang dapat
berbuat atas dasar kemenangannya.”
“Tetapi tuanku,“ sela Witantra tambahnya,
“bukanlah benda mati, sehingga yang berkepentinganlah yang paling
berhak untuk menentukan sikapnya.”
“Tentu, tentu Witantra. Aku tidak akan berbuat kesalahan untuk kedua kalinya.”
Witantra pun kemudian berdiam diri untuk
sejenak. Sekali-sekali ia berpaling kepada Ken Arok yang masih saja
menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terasa sesuatu yang kurang wajar pada
anak muda itu. Dan Witantra telah dapat menduganya. Seperti yang
dikatakannya siang tadi, anak muda kecewa atas maksud Tunggul Ametung
itu. Namun apabila hal itu dikehendaki oleh yang berkepentingan, maka
apakah salahnya?”
Ternyata Akuwu itu tidak juga membiarkan
Ken Arok tanpa mendapat kesempatan menyalakan perasaannya. Karena itu,
maka Akuwu Tunggul Ametung itu pun bertanya pula kepadanya, “Ken Arok
bagaimana pertimbanganmu? Jangan berkata bahwa kau tidak berhak menjawab
pertanyaan ini. Tetapi bagaimanakah kata hatimu?”
Bukan main terkejut Ken Arok mendengar
pertanyaan itu. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat pertanyaan
pula. Ia menyangka bahwa ia hadir di tempat itu hanya sebagai pelengkap
saja. Karena itu tiba-tiba terasa keringat dinginnya mengalir ke segenap
kulit tubuhnya. Sejenak Ken Arok itu terbungkam. Dengan wajah yang
tegang ia sekali-sekali berpaling memandangi wajah Witantra. Namun ia
tidak mendapatkan kesan apa-apa pada wajah perwira pengawal itu.
“Bagaimana Ken Arok,” desak Akuwu Tunggul Ametung.
Ken Arok benar-benar menjadi gelisah.
Betapa hatinya meronta mendengar keputusan Tunggul Ametung untuk mencoba
memiliki sendiri gadis itu. Tetapi apakah ia dapat mengatakannya
dihadapan Akuwu itu sendiri?”
Setelah sejenak Ken Arok berjuang di
dalam dirinya sendiri maka jawabnya sambil menyembah, “Ampun tuanku.
Hamba hanyalah seorang pelayan dalam.”
“Jangan menjawab demikian. Sudah aku
katakan. Siapapun kau, namun kau mempunyai pertimbangan di dalam dirimu.
Nah, jawablah dengan jujur.”
Sekali lagi Ken Arok terdesak dalam
kebimbangan yang dahsyat. Ia tidak dapat menutup perasaannya, namun
apakah ia dapat pula membukanya?”
Ketika ia sedang sibuk dalam pertentangan itu, maka sekali lagi ia mendengar Tunggul Ametung berkata, “Apa pertimbanganmu?”
Ken Arok harus segera menjawab. Namun Ia
masih mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang paling baik. Ia tidak
harus menyembunyikan perasaannya, tetapi sejauh mungkin jangan
menjadikan Tunggul Ametung marah. Karena itu maka akhirnya ia menjawab,
“Tuanku. Menurut perasaan hamba, maka alangkah mulianya apabila Akuwu
mengambil keputusan untuk mengembalikan gadis itu ke Panawijen. tetapi
meskipun demikian, segala sesuatu adalah dalam kebijaksanaan Tuanku.
Apalagi kalau gadis itu sendiri tidak berkeberatan untuk tinggal di
dalam istana.”
Warna merah memancar sekilas pada wajah
Tunggul Ametung. Terdengarlah giginya gemeretak. Namun kemudian Tunggul
Ametung itu menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali, dan wajahnya
yang merah itu pun berangsur tenang kembali.
Sedang Witantra pun terkejut mendengar
jawaban Ken Arok itu. Ia tidak menyangka bahwa dihadapan Tunggul Ametung
sendiri, Ken Arok akan berkata terus terang menurut kata hatinya.
Tetapi kembali Witantra terkejut, ketika
terdengar suara Akuwu gemetar, “Kau jujur Ken Arok. Aku senang mendengar
pertimbanganmu. Kau benar-benar telah mengatakan perasaanmu seperti
Witantra mangatakan apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Adalah
mungkin sekali bahwa pertimbanganmu dan pertimbangan Witantra berbeda.”
Sekali Ken Arok mengangkat wajahnya.
Iapun terkejut mendengar tanggapan Akuwu atas pendapatannya. Sehingga
karena itu maka terasalah dadanya bergetar.
Dalam pada itu terdengar Tunggul Ametung
berkata, “Aku telah mendengar pertimbangan kalian berdua. Dengan
demikian maka hatiku kini telah menjadi lapang. Apapun yang kau katakan
kepadaku, adalah pertimbangan-angan yang bernilai bagiku. Aku melihat
bahwa kalian telah berkata sejujur-jujurnya. Aku lebih senang mendengar
pertimbangan dan pendapat kalian. Aku sama sekali tidak ingin mendengar
pendapat penasehat-penasehatku yang tua-tua. Mereka adalah orang yang
hanya ingin menyenangkan hatiku tanpa mempertimbangkan akibat dari
pertimbangannya. Mereka ingin mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya di
dalam lingkunganku. Karena itu maka mereka adalah penjilat-jilat yang
memuakkan. Mereka bukanlah orang-orang yang jujur menghadapi setiap
persoalan seperti kalian. Bahkan Witantra dengan jujur, sesuai dengan
panggilan kemanusiaannya telah berani menentang perintahku. Ken Arok pun
dihadapan mataku telah berani membunuh seorang prajurit yang bertindak
tidak adil. Dan kini kau berani memberi pertimbangan yang jujur pula.
Terima kasih Kalian ternyata lebih bernilai bagiku daripada
penjilat-jilat itu. Daripada orang yang ingin mendapat hadiah-hadiah dan
kedudukan-kedudukan dengan memuji-muji dan menyanjung aku.”
Witantra menundukkan wajahnya semakin
dalam. ternyata Tunggul Ametung adalah seorang yang jujur pula menilai
dirinya. Meskipun seakan-akan orang itu adalah orang yang selalu
dihanyutkan oleh perasaannya yang meledak-ledak, marah, berteriak-teriak
dan memaki-maki, namun dalam pertimbangan yang penting ia adalah
seorang yang jujur. Mungkin sikapnya itu disebabkan karena goncangan
yang dahsyat setelah ia berbuat suatu kesalahan yang sangat besar,
karena hasutan Kuda Sempana. Namun bagaimanapun juga, kesadaran akan
dirinya, akan orang-orang yang berada di sekitarnya itu telah melibatkan
Akuwu Tunggul Ametung pada tempat yang semakin kuat.
Di samping Witantra, Ken Arok duduk
dengan dada yang bergelora. Betapa kekecewaannya atas Akuwu Tunggul
Ametung itu kian memuncak, namun tumbuh pula di sisinya kekaguman yang
semakin memuncak pula. Tunggul Ametung itu bagi Ken Arok benar-benar
merupakan seorang yang aneh. Seorang yang dikagumi atas segala sifat
kejantanan, kejujuran dan tanggapannya atasi sikapnya, sikap Witantra
dan sikap para penasehatnya yang berusaha menyenangkan Akuwu itu untuk
menerima hadiah dan kedudukan yang baik, namun Akuwu telah
mengecewakannya pula karena sikapnya terhadap gadis Panawijen. Pamrihnya
atas gadis itu setelah ia menyingkirkan Kuda Sempana. Apakah itu sikap
yang jujur seperti penilaian terhadap sikap para penasehatnya? Ken Arok
menjadi semakin pening. Akuwu itu hatinya seperti Dewa yang bersih dari
noda duniawi, namun jaga seperti iblis yang mengotori dirinya dengan
segala macam pamrih dan nafsu.
Ruangan itu sejenak dicengkam oleh
kesunyian. Tunggul Ametung, Witantra dan Ken Arok, masing-masing telah
terbenam di dalam angan-angan mereka sendiri. Berbagai persoalan yang
berbeda-beda telah melanda hati masing-masing.
Baru sejenak kemudian terdengar Akuwu
Tunggul Ametung berkata, “Ternyata ada suatu kesimpulan yang bersamaan.
Kalian berdua menyerahkan keputusan terakhir pada gadis itu. Baiklah.
Aku hanya akan menawarkan keinginanku. Terserah kepadanya, apakah ia
akan menerima atau ia akan menolaknya.”
Witantra mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Demikianlah tuanku.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri.
Baginya, kesediaan Ken Dedes atau seandainya gadis itu menolaknya sama
sekali tidak penting. Tetapi hasrat yang sudah tumbuh di dalam hati
Akuwu Tunggul Ametung itu benar-benar telah mengecewakannya. Apakah
hasrat itu akan terpenuhi atau tidak.
Yang terdengar kembali adalah suara Akuwu
Tunggul Ametung. Kalau demikian, maka kehadiranmu kali ini sudah cukup.
Besok aku akan mengadakan pertemuan dengan para pejabat pemerintahan
dan para perwira, apabila aku sudah menemukan kepastian. Aku hanya ingin
memberitahukan kepada mereka. Supaya mereka tidak terlalu banyak
mencampuri urusan pribadiku. Hubungan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Adalah hakku untuk menentukan pilihan, dan adalah hak
gadis itu untuk menerima atau menolak.”
Witantra tidak menjawab. Akuwu Tunggul
Ametung ternyata telah memilih jalan yang terdekat yang dapat
ditempuhnya. Ia tidak ingin terlalu banyak orang mempersoalkan
kepentingan pribadinya.
Namun Witantra masih juga menyampaikan
kata-katanya kepada Akuwu, “Tuanku, apakah hamba masih diperkenankan
menyampaikan sesuatu kepada tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah itu?”
“Tuanku,“ sambung Witantra, “di rumah
hamba kini telah menunggu seorang tua pemomong gadis Panawijen itu. Ia
ingin menemui momongannya, Ken Dedes. Apakah tuanku mamperkenankannya?”
Akuwu Tunggul Ametung terdiam sejenak.
Tampaklah ia berpikir. Di dalam hatinya timbullah beberapa pertimbangan
mengenai kehadiran orang baru itu di dalam istananya. Berbagai masalah
menjadikannya bimbang. Sehingga akhirnya ia berkata, “Tentu Witantra.
Aku pasti akan mengijinkannya. Tetapi tidak sekarang. Aku ingin
mendengar pendapat gadis itu sendiri, sebelum ia mendapat pengaruh dan
nasehat dari orang-orang lain. Aku ingin mendengar kata hatinya. Kalau
ia menolak, sebenarnyalah ia menolak. Kalau ia menerima, sebenarnyalah
ia menerima.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang Ken Arok nampak mengerutkan keningnya. Pertimbangan itu dapat
dimengertinya. Tetapi, apakah salahnya kalau emban tua itu menungguinya?
Apakah emban itu mempunyai pengaruh yang kuat atas gadis Panawijen itu.
Namun meskipun demikian, ia tidak mengemukakannya. Persoalan itu
baginya bukanlah persoalan yang penting. Bahkan ia sependapat dengan
Akuwu Tunggul Ametung, bahwa sebaiknya gadis itu menyatakan pendapatnya
sendiri. Meskipun baginya pendapat itu hampir tidak berpengaruh atas
rasa kecewanya terhadap Tunggul Ametung.
Witantra pun kemudian tidak lagi
mempunyai persoalan apapun. Karena itu, maka sejenak kemudian mereka
berdua, Witantra dan Ken Arok segera mohon diri meninggalkan ruangan
itu.
Di halaman depan, setelah mereka
mengambil kuda-kuda mereka dari tambatan, maka berkatalah Witantra,
“Adi, apakah kau akan bermalam di rumahku lagi?”
Ken Arok menggeleng, jawabnya, “Tidak
kakang. Aku akan kembali ke barak. Persoalanku dengan kakang Kuda
Sempana sudah jelas. Sebenarnya aku sama sekali tidak bersangkut paut
dengan usahanya yang gagal itu. Namun kalau ia akan membuat persoalan,
maka kini aku tidak akan menghindar lagi.”
Witantra mengangguk, jawabnya, “Kau benar. Namun apabila mungkin jauhilah setiap hubungan yang tidak baik.”
“Mudah-mudahan kakang. Aku tidak akan membuat persoalan. Kecuali kalau aku tersudut pada sebuah persoalan.”
Witantra tersenyum, katanya, “Sikapmu terpuji.”
Ken Arok pun tersenyum, jawabnya “ Jangan memuji kakang. Seperti Akuwu pun tidak senang mendapat pujian yang berlebih-lebihan.”
“Tetapi aku tidak memujimu karena pamrih
apapun,“ sahut Witantra, “aku tidak ingin kau tingkatkan pangkatku atau
aku tidak ingin mendapat hadiah apapun daripadamu.”
Ken Arok kini tertawa. Bukan saja karena
kata-kata Witantra yang jenaka, namun ia tertawa untuk melepaskan
berbagai perasaan yang menggelitik hatinya. Tetapi ia masih menjawab
kata-kata Witantra untuk tidak menimbulkan kesan yang kurang baik,
“Seandainya aku Akuwu Tumapel kakang, maka hadiahku akan segera
melimpah.”
Witantra pun tertawa pula. Tetapi sama
sekali tidak disadarinya, bahwa di belakang dinding hati Ken Arok, telah
tergores perasaan kecewa yang dalam atas Akuwunya.
“Adi,“ berkata Witantra pula, “kalau
demikian kita berpisah disini. Aku akan pulang dan adi akan kembali ke
barak. Mudah-mudahan kita tidak akan menemui persoalan-persoalan lagi.”
“Mudah-mudahan kakang,“ sahut Ken Arok.
Keduanya pun kemudian menuntun kuda-kuda
mereka sampai diluar regol halaman, kemudian dengan satu loncatan mereka
telah berada di punggung kuda masing-masing. Tetapi arah merekalah yang
kemudian berbeda-beda.
Di sepanjang jalan kembali, Ken Arok
masih saja dipengaruhi oleh perasaannya tentang Akuwu Tunggul Ametung
itu. Tetapi akhirnya ia mencoba untuk menenangkan hatinya, “Biarlah apa
saja yang akan dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Itu sama sekali
tidak menyangkut persoalan pribadiku.”
Berbeda dengan Ken Arok, maka hati
Witantra kini telah menjadi lapang. Ia seakan-akan telah terlepas dari
sebuah himpitan dosa yang selalu mengganggunya. Ia merasa betapa rendah
budinya pada saat ia membiarkan kelaliman berlaku dihadapan hidungnya
hanya karena ia takut kehilangan kedudukan dan segala macam yang telah
dimilikinya. Pangkat, berbagai macam kesenangan dan kekayaan. Tetapi
kini seolah ia telah membetulkan kesalahan itu. Ia telah membebaskan Ken
Dedes dari tangan Kuda Sempana, yang telah memperkosa masa depan gadis
itu.
“Mudah-mudahan gadis itu dapat menyadari
keadaannya. Mudah-mudahan ia dapat melihat, bahwa yang lampau itu tak
akan datang kembali. Dengan demikian, maka aku akan terlepas sama sekali
dari dosa itu,” gumamnya sepanjang jalan kembali.
Tetapi Witantra itu mengerutkan keningnya
ketika dikenangnya kata-kata Akuwu Tunggul Ametung tentang perempuan
tua yang berada di rumahnya. “Tetapi tidak sekarang. Aku ingin mendengar
kata hatinya. Kalau ia menolak, sebenarnyalah ia menolak. Kalau ia
menerima sebenarnyalah ia menerima.”
“Biarlah perempuan tua itu menunggu di rumahku,“ desisnya kepada diri sendiri.
Dan sesaat kemudian tanpa disadarinya, tangannya telah menggerakkan kekang kudanya, mempercepat perjalanannya.
Di istana, Akuwu Tunggul Ametung,
sepeninggal Witantra dan Ken Arok tidak langsung pergi ke biliknya.
Sekali lagi ia pergi ke Sentong tengen. Hatinya pun kini menjadi semakin
mantap. Setelah ia mendengar pendapat Witantra, yang seolah-olah
merupakan orang yang berhak ikut menentukan nasib Ken Dedes karena
kemenangannya, maka hatinya menjadi semakin bulat.
Ketika ia memasuki sentong tengen, maka
yang berada di dalamnya hanyalah Ken Dedes dan seorang emban, Madri.
Apabila mereka berdua melihat kedatangan Akuwu, maka segera mereka
menundukkan wajah-wajah mereka sambil menyembah. Ken Dedes pun segera
turun dari pembaringan dan duduk di sisi Madri.
“Tetaplah di tempatmu Ken Dedes,” berkata Tunggul Ametung.
Tetapi Ken Dedes segera menyahut, “Bukan sepantasnya hamba berbuat demikian Tuanku.”
Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Ken Dedes seakan-akan menjadi semakin cantik di bawah
cahaya lampu yang terbuai oleh angin malam yang lembut.
Setelah Tunggul Ametung itu sempat
mengatur getar di dadanya, maka barulah ia dapat mengucapkan kata-kata.
Namun kata-kata itu pun meloncat seperti berebut dahulu, sehingga
maksudnya menjadi sukar dimengerti. Meskipun demikian, lambat laun, Ken
Dedes dapat pula mendengar dan mengertinya dengan jelas. Seperti yang
pernah didengarnya. Akuwu menyerahkan segala-galanya kepadanya.
Hati Madri pun melonjak-lonjak mendengar
segala macam janji yang diucapkan oleh Akuwunya. Janji yang disangkanya
tak mungkin akan pernah terucapkan. Tetapi janji itu kini benar-benar
telah didengarnya.
“Alangkah bahagianya gadis ini,“ pikirnya.
Tetapi ia terkejut bukan buatan ketika ia
mendengar gadis yang seakan-akan tertimpa bulan itu menjawab, “Tuanku.
Perkenankanlah hamba berpikir dahulu. Supaya jawab hamba tidak hanya
sekedar ledakan perasaan hamba yang tidak berakar di hati hamba. Karena
itu tuanku, berilah hamba waktu.”
Gelora hati Tunggul Ametung seakan-akan
tidak dapat ditahannya lagi ketika ia melihat gadis itu berbicara dalam
bahasa yang utuh sebagaimana ia harus berbicara kepada seorang Akuwu.
Gadis itu tidak lagi memanggilnya tanpa sebutan karena luapan kemarahan
dan tidak menuding-nuding wajahnya lagi dengan mata yang menyala.
Namun Tunggul Ametung tidak dapat
memaksanya untuk menjawab seketika. Dengan hati yang berat, maka Akuwu
itu berkata, “Baiklah Ken Dedes. Aku beri kau waktu, tetapi waktu itu
jangan terlalu lama.”
Dengan takjimnya Ken Dedes menyembah,
“Hamba tuanku. Hamba sama sekali tidak mempertimbangkan, apakah hamba
berwenang untuk menentukan sikap, namun hamba sedang menimbang-nimbang
apakah sudah sepantasnya hamba menerima kemuliaan itu.”
Tunggul Ametung menganggukkan kepalanya.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku
menunggu keputusanmu Ken Dedes.”
“Hamba tuanku,“ sahut gadis itu tenang.
Dan ketenangan gadis itu telah merupakan persoalan tersendiri bagi Akuwu
Tunggul Ametung.
Namun demikian Akuwu Tunggul Ametung
meninggalkan bilik itu, maka meledaklah tangis Ken Dedes tanpa dapat
ditahannya. Berbagai perasaan telah melanda dinding hatinya. Berbagai
kenangan tentang dirinya, tentang kampung halaman dan tentang masa
depannya seakan-akan bercampur-baur di dalam rongga matanya. Kacau dan
membingungkannya.
Madri pun menjadi bingung pula. Ia tidak
tahu, bagaimana ia akan menghibur hati Ken Dedes itu. Karena itu maka ia
hanya dapat sekali-sekali menggamit lengan Ken Dedes, dan sekali-sekali
berkata, “Jangan menangis tuan. Jangan menangis.”
Tetapi Madri sendiri bahkan kemudian ikut menangis. Katanya diantara isaknya, “Kalau demikian, akan aku panggil Nyai Puroni.”
“Jangan,” tiba-tiba Ken Dedes menyahut, “jangan kau panggil Nyai Puroni. Aku takut.”
“Tetapi tuan menangis,” berkata Madri pula, tetapi ia menjadi heran kenapa Ken Dedes menjadi takut.
“Tidak. Aku sudah tidak menangis lagi,“
potong Ken Dedes sambil berusaha untuk menahan air matanya yang mengalir
dengan derasnya.
“Kalau tuan tidak menangis, aku tidak akan memanggil Nyai Puroni,” berkata Madri.
“Baik Madri. Aku tidak menangis lagi. Aku lebih senang tinggal bersamamu disini dari pada Nyai Puroni.”
Madri mengerutkan keningnya. Meskipun air
matanya sendiri masih membasahi matanya, namun perkataan Ken Dedes itu
benar-benar telah mempengaruhi perasaannya.
Madri itu menjadi semakin heran. Kenapa
Ken Dedes menjadi takut kepada Nyai Puroni? Menurut Nyai Puroni,
seharusnya Ken Dedes menjadi takut dan mendendam kepada Akuwu Tunggul
Ametung. Mungkin karena gadis itu telah dilarikan oleh Akuwu. Tetapi
sama sekali tanda-tanda itu tak dilihatnya, bahkan kemudian ternyata
bahwa Ken Dedes takut kepada Nyai Puroni.
Tetapi kini Ken Dedes itu benar-benar
telah tidak menangis lagi. Ia telah dapat mencoba mempergunakan
pikirannya kembali. Kini yang menyala di dalam hatinya adalah
kemarahannya yang memuncak kepada Kuda Sempana, sumber dari segala
malapetaka. Kekecewaan atas hinaan yang diterimanya dari nyai Puroni.
Seakan-akan derajatnya sedemikian rendahnya sehingga orang tua itu
selalu menyindir-nyindirnya, bahwa ia bukan permaisuri.
Namun persoalan itulah yang sebenarnya
telah mendorong Ken Dedes ke dalam suatu pilihan yang tak pernah
diimpikan sebelumnya. Ia ingin membuktikan, baik kepada Kuda Sempana
maupun kepada Nyai Puroni, bahwa ia bukan seorang gadis yang dikodratkan
menjadi seorang gadis yang hina dina. Apalagi setelah ia sempat
mengurai maksud Nyai Puroni dengan ceritera-ceriteranya yang mengerikan
tentang gadis-gadis yang pernah menjadi korban Akuwu Tunggul Ametung,
maka prasangkanya tentang ketidak jujuran Nyai Puroni menjadi semakin
dalam.
Karena itulah, maka dalam keheningan
malam itu, perlahan-lahan Ken Dedes terdorong ke dalam satu pilihan yang
sebenarnya hanya merupakan tindak keseimbangan dari kepedihan dan
kepahitan yang menimpanya selama ini. Ia hanya ingin menyatakan kepada
dirinya sendiri dan kepada orang lain, bahwa Ken Dedes bukanlah gadis
yang semalang-malangnya di dunia.
Ketika malam kemudian menjadi semakin
malam, maka Ken Dedes itu pun kemudian terlena ke dalam alam mimpi.
Mimpi yang menggelisahkan namun kadang-kadang mengasyikkan. Simpang siur
dan kusut. Tetapi menjelang fajar, mimpi Ken Dedes menjadi sangat
mengesankannya, seolah-olah gadis itu duduk di atas punggung seekor
gajah yang besar. Di mukanya berjalan dengan gagahnya Akuwu Tunggul
Ametung, sedang di belakangnya berjalan tertatih-tatih Kuda Sempana dan
Nyai Puroni. Namun tiba-tiba jauh di belakang sebuah gerumbul yang lebat
ia melihat seorang anak muda. Anak muda yang ada di dalam rombongan
Akuwu Tunggul Ametung pada saat mengambilnya, mengintai dengan sepasang
matanya yang menyala. Tetapi Ken Dedes sama sekali tidak takut melihat
api yang menyala itu, bahkan wajahnya pun sama sekali tidak mengerikan.
Di hari-hari yang mendatang, maka Ken
Dedes selalu dipengaruhi oleh mimpinya. Sehingga akan datang masanya,
Tunggul Ametung datang kepadanya untuk menanyakan keputusannya.
Dalam pada itu di Panawijen, Mahisa Agni
terbaring di dalam biliknya. Meskipun lukanya sudah berangsur-angsur
sembuh, namun terasa bahwa hatinyalah kini yang seakan-akan menjadi
bertambah pedih. Peristiwa-peristiwa yang datang beruntun, malapetaka
dan bencana, seakan-akan benar-benar telah menghancurkan segenap
kemungkinan di masa depan. Hilangnya Ken Dedes, terbunuhnya Wiraprana,
benar-benar menusuk jantungnya. Ia tidak tahu perasaan apakah yang telah
mencengkamnya kini. Tetapi setiap saat ia merasa dadanya berdesir
tajam. Kadang-kadang ia menjadi bingung, seakan-akan ada sesuatu yang
belum terselesaikan.
Panawijen kini terasa menjadi kian hari
kian bertambah sepi. Ibunya pun telah pergi pula ke Tumapel. Dan gurunya
masih juga belum datang kembali.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. Di halaman dilihatnya
beberapa orang cantrik membersihkan halaman.
Dengan langkah yang lemah, Mahisa Agni
datang kepada mereka. Namun kembali ia menemukan wajah-wajah yang suram
sesuram wajahnya sendiri. Agaknya para cantrik itu pun menjadi pedih
seperti hatinya. Karena itu maka Mahisa Agni sama sekali tidak
menegurnya. Perlahan-lahan ia berjalan terus menyusuri jalan-jalan
sempit di halaman, diantara kebun-kebun bunga yang menjadi pudar. Di
teritisan Mahisa Agni menemukan serulingnya. Seruling yang terselip pada
dinding rumahnya.
“Hem,“ desahnya. Sudah lama seruling itu
tak disentuhnya. Sejak malam itu. Sejak malam hatinya terbanting hancur.
Sejak malam ia mendengar pengakuan Ken Dedes bahwa hatinya terikat pada
seorang anak muda yang bernama Wiraprana. Tetapi semuanya itu
benar-benar seperti mimpi. Mimpi yang mengerikan. Dan tiba-tiba Mahisa
Agni itu benar-benar teringat pula pada mimpinya. Tentang biduk yang
ditumpangi oleh Ken Dedes. Biduk yang kemudian hancur dilanda oleh ombak
yang dahsyat.
“Hem,“ sekali lagi Mahisa Agni berdesah.
perlahan-lahan dihentakkannya dirinya pada sebuah amben bambu di
teritisan itu. Dilayangkannya pandangan matanya yang redup ke halaman,
kebun dan dinding halaman rumah gurunya. Sepi. Sepi dan diam. Ia melihat
juga seorang cantrik yang berjalan membawa air dengan sepotong bumbung.
Tetapi cantrik itu pun berdiam diri.
“Kalau demikian,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “mimpiku itu bukan sekedar mimpi karena aku terlampau banyak tidur.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Padepokan ini seakan-akan sama sekali tidak dapat mengikatnya lagi. Ken
Dedes, Ibunya, gurunya tak ada di padepokan ini. Seandainya pada saat
itu Empu Purwa telah kembali, maka ia tidak perlu menunggunya dalam
kesepian.
“Apakah aku harus mencari guru,“ gumamnya tiba-tiba.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Angannya
itu seakan-akan telah mendorong untuk melakukan sesuatu. Tetapi
kemudian wajahnya tertunduk kembali. “Kemana, dan jangan-jangan nanti
kita berselisih jalan. Aku pergi dan guru kembali. Apa katanya kalau
ditemuinya padukuhan ini kosong. Kosong bagi hati guru yang tua itu?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak dapat meninggalkan padepokan itu. Ia harus menunggu gurunya
kembali. Memberitahukan apa yang telah terjadi, dan mengharap gurunya
mempunyai jalan untuk mengambil anak satu-satunya itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian melangkahkan
kakinya kembali. Ia tidak tahu kemana ia akan pergi. Tetapi
dibiarkannya kakinya melangkah. Dan Mahisa Agni itu menuju ke regol
depan halaman rumahnya.
Di regol halaman Mahisa Agni berhenti. Ia
melihat beberapa orang berjalan membawa cangkul dan seorang gadis lewat
menjinjing bakul cucian. Agaknya gadis itu datang dari bendungan.
Ketika gadis itu tersenyum kepadanya, Mahisa Agni sama sekali tidak
mempunyai gairah untuk menegurnya. Karena itu iapun tersenyum hambar
sambil mengangguk.
Ketika gadis itu kemudian timbullah
keinginan Mahisa Agni untuk berjalan-jalan ke bendungan. Ia tidak tahu,
apa yang telah menariknya ke sana, namun perlahan-lahan ia melangkahkan
kakinya, berjalan menyusuri tepi jalan padukuhan Panawijen.
Seorang laki-laki tua yang berpapasan
dengan Agni, memandangnya dengan iba. Sambil membungkukkan badannya
dalam-dalam ia menegurnya. “Kemana Ngger?”
Dengan segan Mahisa Agni menjawab, “Ke sungai kaki.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia tanya, “Agaknya air telah mulai naik Ngger.
Mungkin telah jatuh hujan di udik, sehingga air sungai itu menjadi
semakin deras.”
Mahisa Agni tertarik akan ceritera itu, sehingga ia bertanya, “Tetapi bukankah bendungan itu tidak apa-apa?”
“Oh, tentu tidak Ngger. Bendungan itu
adalah bendungan yang sangat kuat. Anyaman brujung dan batu-batu sebesar
perut kerbau. Ah. Bendungan itu telah lebih tua dari umurmu Ngger.
Setiap tahun sungai itu melimpah. Namun bendungan itu tetap di
tempatnya. Hanya kerusakan-akan kecil yang setiap kali harus kita
perbaiki.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sejak ia datang ke padukuhan ini ia telah melihat bendungan itu.
“Bendungan itu adalah sumber hidup kami Ngger. Karena bendungan itulah maka sawah-sawah kami dapat kita airi.”
Mahisa Agni masih mengangguk-angguk.
Orang tua itu pun kemudian melangkah kembali sambil berkata, “Silahkan ngger. Silahkan pergi ke bendungan.”
“Baik kaki,” sahut Mahisa Agni. Dan
Mahisa Agni pun kemudian berjalan pula perlahan-lahan. Diamatinya setiap
pohon yang tumbuh di tepi-tepi jalan, seolah-olah baru kali ini
dilihatnya atau seolah-olah diamatinya untuk yang terakhir kalinya.
Mahisa Agni itu pun kemudian berhenti
sejenak ketika dari kejauhan dilihatnya sebuah tanggul yang membujur,
menyusuri jelujur sungai. Hatinya tiba-tiba menjadi berdebar-debar.
Tanggul itu adalah tempatnya bermain dengan kawan-kawannya, tempatnya
bergurau dan kadang-kadang beristirahat setelah mengairi sawah semalam
suntuk di tanggul bendungan itu. Dan ternyata bendungan itu telah
mengingatkannya kepada Wiraprana dan Ken Dedes.
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Hampir ia
tidak mampu meneruskan langkahnya. Namun tanpa dikehendakinya sendiri,
ia telah memaksa dirinya untuk berjalan terus ke bendungan.
Bendungan itu tampaknya demikian sepinya.
Tak seorang pun yang dilihatnya di sana. Tak ada anak-anak muda yang
membersihkan alat-alat pertaniannya dan tak ada gadis-gadis yang sedang
mencuci pakaiannya. Namun Mahisa Agni itu berjalan terus. Ketika ia
telah berdiri dekat samping bendungan, maka dijatuhkannya dirinya di
atas pasir yang kering.
Angin yang lembut mengalir membelai
wajahnya yang muram. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya daun
turi yang rimbun telah melindunginya dari sinar matahari. betapa
daun-daun yang kecil itu terayun disentuh angin. Sehelai-sehelai daun
yang kuning terlempar dari tangkainya dan terbang hinggap di atas pasir
yang putih. Ada diantaranya yang terlempar jatuh ke dalam air yang
memang sudah menjadi semakin tinggi.
“Benar juga kata orang tua itu,“ gumam Mahisa Agni, “air sudah semakin tinggi.”
Ketika terasa angin yang silir menyapu
tubuhnya, maka terasa alangkah sejuknya. Tiba-tiba Mahisa Agni
merebahkan dirinya di atas pasir yang lembut. Ditatapnya mega putih yang
berarak-arak di langit dari sela-sela rimbunnya daun turi.
Sehelai-sehelai hanyut ke utara, seperti iringan armada di laut biru,
menyerbu ke pantai lawan.
Mahisa Agni mengangkat alisnya ketika
lamat-lamat didengarnya suara seruling. Alangkah halus suaranya terselip
diantara suara gemericik air gerojogan di bawah bendungan. Seolah-olah
sengaja disusun dalam perpaduan yang serasi. Suara seruling yang
menanjak tinggi seperti burung elang yang terbang di angkasa dalam
hembusan angin yang semakin kencang. Tetapi suara gerojogan itu seperti
hilang-hilang datang. Justru pada saat-saat suara seruling dari kejauhan
itu melengking tinggi menggapai mega-mega di langit.
“Seruling anak-anak yang sedang
menggembala kambing,“ desah Mahisa Agni. Mahisa Agni sendiri senang
meniup seruling, bahkan ia termasuk salah seorang yang pandai. Bahkan
mungkin lebih pandai dari anak gembala yang kini sedang meniup
serulingnya di kejauhan itu.
Tetapi perpaduan antara lagu, angin dan
gemericik air, telah menyebabkan Mahisa Agni itu mengantuk. Hatinya yang
lelah seakan-akan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sehingga
tanpa dikehendakinya sendiri, anak muda itu pun jatuh tertidur di
bendungan, di atas pasir yang lembut, di bawah rimbunnya daun turi yang
hijau.
Mahisa Agni itu kemudian sama sekali
tidak menyadari, bahwa di kejauhan berjalan seorang tua dengan sebuah
tongkat di tangannya menuju ke bendungan itu.
Orang tua berjubah putih itu mengusap
keningnya. Keringatnya mengalir membasahi hampir seluruh tubuhnya.
Sebuah bungkusan kecil di ujung tongkatnya, seakan-akan merupakan
pertanda bahwa orang tua itu adalah seorang perantau.
Tetapi betapa wajah orang tua itu
terbakar oleh terik matahari, namun ketika di kejauhan dilihatnya
jelujur tanggul sungai, maka ia tersenyum. Desisnya, “Hem, aku telah
cukup lama meninggalkan kampung halaman. Mudah-mudahan aku menjumpai
keadaan yang jauh lebih baik dari pada saat aku tinggalkan.”
Orang tua itu berjalan terus dengan
langkah yang tetap. Semakin dekat ia dengan bendungan, hatinya menjadi
semakin rindu kepada padepokannya dan kepada para penghuninya.
Meskipun sejak mudanya, orang tua itu
adalah seorang pejalan dari satu tempat ke tempat yang lain, namun
setelah ia menetap di Panawijen dan ditinggalkan di padepokan itu
seorang puteri dewasa, maka perjalanannya kali ini seakan-akan telah
ditempuhnya bertahun-tahun. Ia selain tergesa-gesa meninggalkan
tempat-tempat yang harus dikunjunginya menurut rencana perjalanannya.
Saudaranya, kawan-kawannya yang telah lama tak dijumpainya.
Orang tua itu, Empu Purwa, menarik nafas
dalam-dalam ketika kakinya menginjak tanggul Sungai. Dilayangkannya
pandangan matanya menyusuri getaran-getaran air, hinggap di tepian yang
lain.
Empu Purwa mengerutkan keningnya ketika
ia melihat di bawah sebatang pohon turi di seberang, sesosok tubuh
terbaring diam. Alangkah nyamannya tidur di bawah daun yang hijau
rimbun.
“Mahisa Agni,“ desisnya. “hem, agaknya ia terlalu lelah.”
Ketika dilihatnya Agni tidur di tepian
itu, maka hati Empu Purwa menjadi lapang. Seakan-akan Mahisa Agni itu
sama sekali tidak sedang diganggu oleh kerisauan apapun juga. Namun
sebagai seorang pendeta tua yang telah kenyang mengalami berbagai soal
kehidupan, maka tiba-tiba hatinya berdesir. Tanpa setahunya, maka
firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa sesuatu telah terjadi di
Panawijen.
Empu Purwa itu melayangkan pandangan
matanya ke sekeliling bendungan. Sepi. Mahisa Agni itu beristirahat
sendiri. Tidak dengan Wiraprana.
“Bukankah itu mungkin sekali terjadi,“
desis orang tua itu kepada dirinya sendiri, “apakah Mahisa Agni dan
Wiraprana sama sekali tidak boleh terpisah.”
Empu Purwa tersenyum sendiri.
Perlahan-lahan orang tua itu melangkah maju. Mencelupkan kakinya ke dalam air yang tergenang semakin tinggi.
“Oh, alangkah segarnya. Setelah beberapa lama aku tidak menyentuh air di padepokanku sendiri.”
Orang tua itu pun kemudian berjalan melingkar, lewat di atas bendungan menyeberangi sungai. “Air telah mulai naik,“ gumamnya.
Ketika Empu Purwa telah sampai di
seberang, maka perlahan-lahan orang tua itu mendekati Mahisa Agni.
Selangkah-selangkah ia maju. Ia tidak mau mengejutkan anak muda yang
sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
Ketika Empu Purwa telah berdiri di sampingnya, maka orang tua itu tersenyum.
“Nyenyak sekali,“ desisnya. Dan karena
itulah maka Empu Purwa berkata di dalam hatinya, “Ah, biarlah ia tidur
sepuas-puasnya. Biarlah aku pulang dahulu. Kalau Mahisa Agni nanti
kembali, maka ia pasti akan terkejut melihat aku sudah berada di
padepokan.”
Tiba-tiba orang tua itu ingin mengganggu
Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia membungkukkan badannya sambil berkata
pula di dalam hatinya, “Biarlah aku letakkan tongkatku ini pada
tubuhnya. Kalau ia bangun ia pasti akan terkejut. Bukankah Agni merasa
tidak membawa tongkat ini?”
Tetapi ketika Empu Purwa membungkuk
semakin dalam, tiba-tiba dahinya yang sudah berkeriput itu semakin
berkeriput. Dilihatnya pada tubuh anak muda itu lumuran obat luka,
meskipun telah tidak demikian jelas.
“Luka,” desisnya, “Mahisa Agni terluka. Apakah yang terjadi atasnya?”
Sejenak Empu Purwa menjadi ragu-ragu.
Tongkatnya tidak jadi diletakkannya. Bahkan kemudian ia tegak kembali
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pasti ada sesuatu yang terjadi.
Tetapi Empu Purwa tidak segera dapat
melihat luka Mahisa Agni. Karena itu maka orang tua itu kembali
bergumam, “Luka itu mungkin berada di punggungnya. Kenapa?”
Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ingin
ia segera memiringkan tubuh Mahisa Agni untuk melihat luka yang
sebenarnya di punggungnya. Apakah luka itu disebabkan karena kecelakaan
atau karena apa? Tetapi Empu Purwa hampir pasti, bahwa Mahisa Agni
benar-benar telah terluka. Ia dapat mengenal dengan pasti, bekas-bekas
obat yang masih tampak bekas-bekasnya di sisi lambungnya.
Dalam kebimbangan itu, Empu Purwa melihat
Mahisa Agni bergerak-gerak perlahan-lahan. Bahkan kemudian anak muda
itu menggeliat, namun kembali Mahisa Agni itu tertidur. Tetapi kali itu
Mahisa Agni telah memiringkan tubuhnya sambil meletakkan kepalanya di
atas tangannya.
Dengan hati-hati Empu Purwa berjongkok.
Kini ia dapat melihat punggung Mahisa Agni. Sekali lagi dahi Empu Purwa
berkerut. Ia melihat jelas, punggung anak muda itu masih bertapal obat
lukanya. Meskipun punggung itu dikotori oleh pasir, namun Empu Purwa
dapat melihatnya. Luka, ya punggung Mahisa Agni telah terluka,
perlahan-lahan Empu Purwa membersihkan butiran-butiran pasir yang
melekat di punggung itu. Perlahan-lahan pula Empu Purwa meraba-raba
punggung Mahisa Agni. Namun ternyata, bahwa rabaan tangan Empu Purwa itu
telah mengejutkan Mahisa Agni. Sekali anak muda itu berguling menjauh,
dan dengan tangkasnya Mahisa Agni bangkit. Dengan segera ia mencoba
menguasai kesadarannya untuk melihat siapakah orang yang telah
mengganggunya itu.
Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang
terlatih baik. Itulah sebabnya maka segera ia berhasil menguasai
dirinya, menguasai kesadarannya. Segera ia mengenalnya, siapakah orang
tua yang berjongkok di hadapannya.
Dada Mahisa Agni berdesir cepat sekali.
Sesaat ia terpaku di tempatnya, seperti seonggok batu yang mati. Namun
tiba-tiba ia meloncat maju, bersujud dihadapan gurunya sambil berdesis,
“Guru.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dibelainya kepala muridnya seperti membelai anak sendiri.
Memang Mahisa Agni bagi Empu Purwa bukanlah sekedar seorang murid yang
akan meneruskan ciri-ciri dan cita-cita perguruannya, namun Mahisa Agni
baginya adalah seorang anak laki-laki yang baik. Anak laki-laki yang
dapat menjadi penggantinya di rumah apabila ia sedang pergi. Dan bahkan
kelak seandainya ia harus menghadap kembali kepada Yang Maha Agung.
Dada Mahisa Agni yang bergelora itu penuh
dengan ceritera yang seakan-akan saling berdesakan dahulu mendahului
untuk meloncat keluar. Namun justru karena itu, tak sepatah katapun yang
dapat diucapkan.
Yang terdengar kemudian adalah suara gurunya lirih, “Agni. Apakah kalian selamat di padepokan?”
Pertanyaan itu benar-benar menghantam dada Mahisa Agni sehingga ia menjadi semakin terbungkam.
“Agni,” berkata Empu Purwa pula, “apakah
tidak ada sesuatu yang terjadi? Aku harap demikian, dan bahkan aku harap
semuanya menjadi semakin baik.”
Gelora di dada Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Perlahan ia mengangkat wajahnya, dan sekilas dilihatnya wajah gurunya.
Mahisa Agni terkejut melihat wajah itu. Terbayang pada sinar mata gurunya, bayangan kecemasan hati orang tua itu.
“Apakah guru telah mendengar apa yang terjadi di padepokan ini? “ keluh Mahisa Agni di dalam hatinya.
Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.
Hatinya menjadi semakin cemas. Sekali lagi terasa ada firasat yang
kurang baik berbisik di dalam dadanya. Apalagi setelah orang tua itu
melihat wajah Mahisa Agni. Muram, dan di punggungnya terdapat sebuah
luka.
Karena itu, muka orang tua itu berkata, “Agni, bagaimana dengan dirimu sendiri?”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Kemudian ia mencoba menjawab pertanyaan gurunya.
Perlahan-lahan hampir tak terdengar, “Aku selamat guru.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa hatinya semakin berdebar-debar.
“Bagaimana dengan yang lain?”
“Baik guru,” sahut Mahisa Agni. Tetapi suaranya sama sekali tidak meyakinkan.
Empu Purwa adalah orang tua yang memiliki
banyak sekali pengalaman dan pengetahuan. Karena itu, kini terasa
benar, bahwa sesuatu telah terjadi di padepokannya. Meskipun demikian ia
tidak tergesa-gesa menanyakannya kepada Mahisa Agni.
Ia tidak ingin hatinya sendiri terbentur
kepada kenyataan akan adanya peristiwa yang mungkin dapat
mengecewakannya. Orang tua itu ingin mengetahui dengan perlahan-lahan,
sehingga ia sempat mengatur perasaannya sendiri.”
Karena itu maka yang mula-mula
ditanyakannya adalah keadaan Mahisa Agni sendiri, katanya, “Agni, kenapa
kau tertidur di bendungan.”
“Aku lelah sekali guru,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-angguk. Ia ingin
segera mengetahui, apakah sebabnya punggung Mahisa Agni terluka, namun
yang terloncat dari mulutnya adalah, “Kenapa kau seorang diri? Apakah
tidak ada kawan-kawanmu bersamamu disini?”
Dada Mahisa Agni berdesir. Pertanyaan itu
mendekati persoalan yang selama ini menggetarkan dadanya. Namun
jawabnya, “Ya guru. Aku sendiri.”
Empu Purwa mengangguk-angguk pula.
Kemudian kembali ia mengajukan pertanyaan yang disangkanya tidak
langsung menusuk ke persoalannya. Katanya, “Tidak dengan Wiraprana?”
Namun ternyata Empu Purwa salah sangka.
Pertanyaan itu telah benar-benar menyebabkan Mahisa Agni tergetar.
Hatinya yang terpecah seakan-akan menjadi semakin berkeping.
Sesaat ia terbungkam. Dari keningnya mengalir keringat dingin membasahi sisi wajahnya.
Empu Purwa melihat ketegangan wajah
Mahisa Agni itu. Hatinya menjadi semakin berdebar pula. Apakah yang
sebenarnya telah terjadi?”
Tiba-tiba kecemasan di hati Empu Purwa
itu memuncak. Mahisa Agni dan Wiraprana pada saat ditinggalkannya
memiliki persoalan yang tajam. Meskipun pada saat itu tampaknya Mahisa
Agni mampu mengendalikan dirinya, bahkan menguasai perasaan sepenuhnya,
namun ia adalah seorang anak muda yang sedang tumbuh. Seorang anak muda
yang sedang mengalami masa hiruk pikuk di dalam dirinya. Suatu waktu
mungkin Mahisa Agni benar-benar dapat mengendalikan perasaannya seperti
yang pernah dilihatnya, bahkan Wiraprana pernah pula mendapat
perlindungannya. Namun apabila hatinya sedang dibakar oleh masa
remajanya, maka bahaya akan dapat meledak setiap saat. Apalagi kini Empu
Purwa melihat luka di punggung Mahisa Agni. Apakah telah terjadi pula
perselisihan antara mereka? Tetapi kenapa luka itu berada di punggung?
Apakah seseorang telah menyerang Mahisa Agni dari belakang?”
“Tidak mungkin Wiraprana,“ desis Empu
Purwa di dalam hatinya, “betapapun juga, mereka bukan merupakan tanding
yang seimbang. Meskipun seandainya Wiraprana menyerang dari belakangpun,
Agni tidak akan dapat dilukainya. Karena itu, penyerangnya pasti orang
yang memiliki kemampuan yang cukup, sehingga Mahisa Agni terlambat
menghindarinya.”
Justru karena itulah maka keinginan Empu
Purwa untuk mengetahui keadaan padepokannya menjadi semakin mendesak. Ia
kini tidak dapat lagi menahan pertanyaan yang telah berdesakan di dalam
hatinya.
Karena itu maka wajah orang tua itu pun
menjadi semakin berkerut-kerut. Ditatapnya Mahisa Agni semakin tajam dan
tiba-tiba dari sela-sela bibirnya Empu Purwa bertanya, “Mahisa Agni.
Apakah punggungmu terluka?”
Keringat Mahisa Agni semakin banyak
mengalir. Sekali-sekali dilayangkan pandangan matanya berkeliling.
Kalau-kalau dilihatnya seseorang yang akan dapat membantunya mengatakan
apa yang telah terjadi di padepokan orang tua itu. Tetapi bendungan itu
terlalu sepi. Tak seorang pun yang tampak di sekitarnya. Bahkan suara
seruling di kejauhan yang didengarnya sebelum Mahisa Agni tertidur, kini
sudah tidak lagi menggetarkan udara.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
ingin mendapatkan seorang teman untuk mengatakan kepada Empu Purwa
apakah yang telah terjadi. Karena itu maka katanya, “Guru, marilah kita
kembali ke Padepokan. Di sana akan banyak peristiwa-peristiwa yang dapat
aku ceriterakan.”
Orang tua itu mengangkat alisnya.
Keinginannya untuk mengetahui sebab luka di punggung Mahisa Agni itu
semakin mendesak, sehingga jawabnya sambil tersenyum, meskipun senyumnya
itu terasa hambar, “Bagiku sama saja Agni. Di padepokan atau disini.
Aku hanya ingin tahu, apakah sebabnya punggungmu terluka.”
Kembali Mahisa Agni tergagap. Kembali ia
menebarkan pandangan matanya berkeliling. Namun kembali ia kecewa karena
tak seorang pun yang dilihatnya.
Tetapi ia tidak dapat berdiam diri atas
pertanyaan gurunya itu. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar namun ia
terpaksa menjawab juga, katanya, “Guru, lukaku ini hampir tak berarti
bagiku. Apalagi kini sudah hampir sembuh.”
Empu Purwa tersenyum kembali. Juga
senyumnya kali ini terasa hambar, diulanginya pertanyaannya, “Agni. Aku
ingin tahu kenapa punggungmu terluka? Apakah kau terjatuh dari
bendungan, dan punggungmu tepat menimpa sebuah patok? Atau kebetulan kau
tertidur di bawah bendungan dan sepotong batu karang menimpa
punggungmu? Tetapi luka itu bukanlah sebuah luka karena sebab-sebab yang
aku katakan. Luka itu terlalu kecil namun menilik bekasnya kau pernah
menderita karena luka itu.”
Dada Mahisa Agni bergetar semakin cepat.
Disadarinya, bahwa gurunya adalah seorang yang memiliki pengamatan yang
baik atas segala jenis luka. Karena itu, apakah ia dapat berbohong?
Akhirnya Mahisa Agni tidak dapat berbuat lain. Meskipun hatinya
terguncang-guncang, namun ia menjawab, “Ya. Guru. Luka di punggungku
adalah luka karena senjata.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku sudah menduga,“ katanya, “tetapi aku sedang berpikir,
senjata apakah yang meninggalkan bekas luka seperti luka di punggungmu.
Cis atau apa? Kalau kau bertempur dalam lingkaran pertempuran, maka
mungkin sebuah anak panah mengenaimu. Tetapi aku meragukannya.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin riuh,
Gurunya dapat meraba dengan tepat. Namun kemungkinan itu sebenarnya
memang sangat kecil sehingga gurunya meragukan. Tetapi ternyata bahwa
sebenarnya memang telah terjadi. Punggungnya terluka karena anak panah.
Sehingga Mahisa Agni untuk seterusnya tidak berani lagi berkata lain
dari pada yang sebenarnya. “Sebenarnyalah Guru, punggung terluka karena
anak panah.”
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Ia
memang sudah menyangka bahwa luka itu adalah luka karena anak panah.
Tetapi bagaimana mungkin Mahisa Agni terkena anak panah? Apakah anak itu
sama sekali tidak dapat mengelakkan dirinya? Penyerangnya pasti seorang
yang mampu menyembunyikan diri dengan baiknya, sehingga geraknya sama
sekali tak didengar oleh Mahisa Agni. Atau barangkali Mahisa Agni sedang
tidur?”
Tetapi Empu Purwa tidak mau berteka-teki lebih jauh. Segera ia bertanya, “Anak panah siapa Agni?”
Sambil menundukkan kepalanya Mahisa Agni menjawab, “Seorang prajurit Tumapel, guru.”
Jawaban ini benar-benar mengejutkan.
Segera Empu Purwa menghubungkan peristiwa ini dengan Kuda Sempana,
sehingga terloncat dari mulutnya, “Kuda Sempana?”
“Bukan Kuda Sempana sendiri.“ sahut Mahisa Agni.
“Tentu. Tentu bukan Kuda Sempana sendiri. Tetapi bagaimana peristiwa itu terjadi?”
Kembali dada Mahisa Agni bergetaran. Ia
masih tetap dalam keinginannya mendapat seorang kawan untuk
menceriterakan peristiwa yang telah terjadi. Karena itu sekali lagi ia
mencoba berkata, “Marilah kita kembali ke padepokan guru.”
“Tidak,” jawab Empu Purwa tegas-tegas. “Aku ingin segera mendengarnya.”
Kini Mahisa Agni tidak dapat mengelak
lagi. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, dan kemudian terbata-bata ia
berkata, “Ceritera itu panjang guru.”
“Sampai seminggu aku akan mendengarkannya.”
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Dicobanya untuk menatap wajah gurunya. Dan wajah itu pun tampaknya tegang sekali.
“Seseorang telah melukai muridku di punggungnya. Itu bukan perbuatan jantan,“ desis Empu Purwa.
“Oh,“ keluh Agni di dalam hatinya, “bukan
saja muridnya terluka. Tetapi gadis satu-satunya telah hilang dari
Panawijen. Hem. Bagaimana aku akan mengatakan.
Tetapi Agni itu terkejut ketika Empu
Purwa berkata, “Ceriterakanlah Agni. Seandainya kau terbunuh sekalipun,
namun secara jantan aku akan menangisimu. Tetapi aku tidak mendendam.
Mungkin aku akan menuntut balas hanya dalam batas-batas kebenaranmu.
Tetapi luka di punggung adalah hasil perbuatan yang licik, kecuali kalau
kau sengaja bertempur sambil membelakangi musuhmu.”
Mahisa Agni kini tidak melihat jalan lain
untuk menghindarkan dirinya. Karena itu, maka dengan suara
tertahan-tahan dan nafas yang terengah-engah, diceriterakannya apa yang
telah terjadi di padepokan Panawijen. Hati-hati, namun berurutan,
lengkap semuanya yang diketahuinya dan dialaminya.
Gurunya, Empu Purwa mendengarkan setiap
kata Mahisa Agni dengan seksama. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya,
namun kemudian wajah itu menjadi tegang.
“Kau berhasil mengusir Kuda Sempana?“ bertanya gurunya.
“Ya guru, di hari pertama.”
“Kenapa di hari pertama?”
“Aku mencoba mengejarnya ke Tumapel.
Mungkin aku akan mendapat penyelesaian yang baik. Mungkin akan dapat
minta pertolongan Witantra.”
“Witantra kakak seperguruan Mahendra?”
“Ya guru.”
Orang tua itu menganggukkan kepalanya.
Gumamnya, “Aku sangka orang-orang itu menyadari keadaannya. Mahendra
masih mengganggumu di Tumapel dan Kuda Sempana masih juga berusaha
mengambil gadisku.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
bergelora, ia ingin berhenti sampai sekian dan melanjutkan di padepokan.
Namun gurunya tiba-tiba bertanya, “Tapi kau belum mengatakan apakah
sebabnya punggungmu terluka?”
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Jawabnya
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanyaan gurunya. “Tetapi
Mahendra telah menyadari keadaannya. Ia banyak memberi aku pertolongan
bersama kakak seperguruannya Witantra.”
Empu Purwa mengangguk-angguk pula. Tetapi ia mendesak, “Syukurlah. Tetapi siapakah yang melukai punggungmu?”
Mahisa Agni menjadi semakin terdesak ke
sudut. Sehingga dengan penuh keragu-raguan ia menjawab, “Luka ini
terjadi di hari berikutnya guru.”
“Hari berikutnya? Apa yang terjadi di hari itu?”
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Tetapi ia terpaksa berkata, “Kuda Sempana mengulangi niatnya.”
“Oh. Kasihan anak itu.“ keluh Empu Purwa, “apakah anak muda itu membawa kawan-kawannya?”
“Ya guru.”
“Hem, lalu bagaimana?”
Kembali Mahisa Agni terpaksa
menceriterakan kelanjutan peristiwa yang menyakitkan hati itu. Meskipun
ia tidak melihat sendiri apa yang terjadi di Panawijen, saat Kuda
Sempana mengambil Ken Dedes, namun ia telah mendengarnya dari para
cantrik, sehingga karena itu, maka Mahisa Agni pun dapat mengulangnya
dengan baik. Meskipun ia mencoba mengatakannya sangat berhati-hati.
Namun betapapun juga ia merasa bahwa tampak perubahan yang nyata pada
wajah gurunya.
“Akuwu Tunggul Ametung sendiri datang?”
“Ya guru.”
“Dan mereka memasuki padepokan kita?”
“ Ya Guru.”
“Apa yang mereka lakukan?”
Mulut Mahisa Agni benar-benar seakan-akan tersumbat. Dengan dada yang gemetar ia menatap wajah gurunya yang tegang.
“Apa yang mereka lakukan Agni?”
“Ampun guru,“ desah Mahisa Agni. Namun ia terdiam, kembali.
Empu Purwa segera dapat menangkap
peristiwa itu. Ia dapat membayangkan bahwa sesuatu yang pahit telah
terjadi. Karena itu maka katanya, “Mereka mengambil anakku itu?”
“Ampun guru. Peristiwa itu terjadi diluar pengamatanku. Aku pada saat itu masih berada di Tumapel.”
“Benarkah seperti apa yang aku katakan? Mereka membawa anakku?”
“Ya guru,“ suara Mahisa Agni hampir tidak
terdengar. Namun meskipun demikian, suara yang lirih itu cukup
menggemparkan dada Empu Purwa. Dada itu serasa meledak. Anak itu adalah
anak satu-satunya. Anak yang dikasihinya melampaui seluruh isi dunia
ini. Dan anak itu ternyata telah hilang.
Empu Purwa yang tua itu, tiba-tiba
menegangkan tubuhnya. Hampir ia kehilangan penguasaan diri. Meskipun ia
seorang pendeta yang tekun. Namun ia adalah seorang manusia pula.
Manusia yang terdiri dari kulit daging. Manusia yang wadagnya masih
memerlukan air untuk minum dan nasi untuk makan. Manusia yang berjiwa
kerdil betapapun ia melampaui yang lain. Manusia yang lemah dan berakal
sempit, betapapun ia menguasai segala macam ilmu.
Dengan suara yang gemetar Empu Purwa
bertanya pula kepada Mahisa Agni, “Agni. Apakah di padepokan itu tidak
ada seorang manusia pun pada saat itu?”
“Ada guru.”
Empu Purwa menggeram. Dari sepasang
matanya memencar api kemarahan tiada terhingga. Belum pernah Mahisa Agni
melihat mata gurunya menyala sedemikian dahsyatnya, seakan-akan seluruh
bumi ini akan dibakarnya.
Mahisa Agni kemudian menundukkan wajahnya. Ia tidak berani lagi menatap gurunya itu.
Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut ketika gurunya bertanya kepadanya. “Agni kau tahu, kapan bendungan itu dibuat.”
Agni tidak tahu maksud pertanyaan
gurunya. Sekali lagi ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajahnya
tertunduk. Meskipun demikian ia merasa aneh akan gurunya itu. Wajahnya
merah menyala, tetapi pertanyaannya itu diucapkannya perlahan-lahan.
Namun di balik ucapannya yang tampaknya tenang itu, terasa bahwa
dibawahnya tergenang air yang berputar sedahsyat pusaran.
“Agni,“ terasa suaranya menjadi semakin keras. Dan Agni terkejut pula karenanya.
“Ya guru,” jawabnya.
“Kau tahu, kapan bendungan itu dibuat?”
“Tidak guru,“ jawab Agni tergagap,
“Bendungan itu umurnya lebih dari umurmu.
Akulah yang membuat bendungan itu pada masa aku masih berguru. Sekali
aku dibawa oleh guruku merantau, dan sampailah aku ke daerah ini. O,
alangkah keringnya daerah ini dahulu,“ desis orang tua itu.
Mahisa Agni menjadi semakin tidak tahu
kemana arah pembicaraan gurunya. Tetapi kembali dadanya berdesir ketika
ia mendengar gigi gurunya itu gemeretak.
“Alangkah marahnya Empu Purwa,“ desah Mahisa Agni di dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya itu.
Kembali Mahisa Agni terkejut ketika
terasa gurunya menarik lengannya. O, alangkah dahsyat tenaga itu. Hampir
ia jatuh terjerembab. Dan dirasanya tangan gurunya gemetar.
“Agni,“ berkata gurunya. Suaranya bergetar. Kini Mahisa Agni tahu, bahwa gurunya mencoba menahan perasaannya.
“Ketika kami, aku dan guruku, melihat
daerah ini sedemikian keringnya, padahal dataran ini merupakan dataran
yang baik sekali untuk tanah-tanah persawahan, maka guruku memerintahkan
kepadaku, katanya. “Kalau kau benar-benar setia pada perguruanmu,
jadikanlah bendungan di sungai yang membelah dataran ini. Dengan
demikian kau tidak saja berjasa dalam perjuangan melawan kekerasan dan
kejahatan dengan ilmu tata berkelahi dan beladiri, namun kau pun akan
berjasa bagi kemanusiaan dengan memberi lapangan hidup yang baru.
Memberi tanah pertanian yang subur.”
Demikianlah aku mulai dengan pekerjaanku.
Bersama beberapa orang cantrik dan seorang saudara seperguruanku. Nah,
akhirnya aku dapat memenuhi perintah guruku itu.
Dua tahun, aku ulangi Agni, dua tahun
kami mengumpulkan bahan-bahan untuk bendungan ini, dan hampir satu tahun
kami meletakkannya dan menyusunnya menjadi sebuah bendungan sehingga
dapat menaikkan air ke sawah-sawah. Bendungan itu pada dasarnya tidak
pernah rusak. Hanya perbaikan-perbaikan kecil memang harus selalu
dilakukan.”
Sesudah itu Agni. Sesudah bendungan itu
berhasil menaikkan air, maka mulailah daerah ini menjadi daerah yang
semakin lama semakin ramai. Banyak orang mulai membuka tanah pertanian
disini.”
“O, Agni. Aku tidak akan memperagakan
jasa-jasa itu ke padamu. Setiap orang-orang tua di Panawijen tahu,
akulah yang membuat bendungan itu.“ Empu Purwa berhenti sejenak. Namun
nafasnya menjadi semakin deras mengalir, dan terdengar giginya masih
saja gemeretak. Dan tiba-tiba suara orang itu mengeras, “Agni. Bukankah
anakku itu hilang?”
Mahisa Agni benar-benar terkejut dan
berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Sesaat ia terbungkam, sehingga
Empu Purwa mengulanginya dengan nyala kemarahan yang memancar dari
sepasang matanya, “Agni. Bukankah begitu?”
“Ya guru,” sahut Agni ketakutan.
“Dan lukamu itu?”
“Aku berpapasan dengan Kuda Sempana dan
Akuwu Tunggul Ametung. Aku mencoba mencegah mereka. Dan sekali lagi aku
harus bertempur dengan Ken Arok.”
“He? Siapa? Hantu Karautan itu yang kau maksud?”
“Ya guru.”
“Lalu kau dilukainya dari belakang?”
“Tidak guru. Bukan hantu Karautan itu
yang melukaiku. Tetapi seorang Prajurit Tumapel memanahku pada saat aku
sedang bertempur dengan Ken Arok.”
“Dan anakku dibawanya ke Tumapel?”
Mahisa Agni mengangguk penuh kebimbangan.
“Oh, kasihan Ken Dedes itu. Kasihan
anakku itu.“ suaranya Empu Purwa merendah. Terasa sesuatu menyumbat
kerongkongannya. Anak itu adalah anak satu-satunya. Dibayangkannya
bagaimana gadisnya itu menjadi ketakutan. Dibayangkannya betapa kasar
Kuda Sempana itu menarik tangan anaknya, kemudian dengan nafsu yang
menyala-nyala membawa anaknya itu ke Tumapel dalam perlindungan Akuwu
Tunggul Ametung.
Tiba-tiba orang tua itu kehilangan
keseimbangan nalarnya. Betapapun mumpuninya Empu Purwa dalam olah ilmu
lahir dan batin, namun ia adalah seorang manusia biasa. Sehingga karena
itulah maka apabila kelemahannya sebagai manusia telah menguasai
perasaannya, hilanglah segala macam ilmu dan kelebihannya dari manusia
lain. Empu Purwa itu pun kemudian kehilangan segala macam
kelebihan-kelebihannya, kesabaran, ke lapangan dada dan kelunakan hati.
Sehingga tiba-tiba terdengarlah dari sela
bibir orang tua itu kata-kata yang nyaring membelah kesepian. “Agni,
semoga suaraku ini didengar oleh Yang Maha Agung. Semoga suaraku ini
akan terjadi kelak. Terkutuklah. Terkutuklah mereka itu yang telah
bersepakat untuk melarikan anakku. Hai, orang yang melarikan anakku,
semoga tidak langsung mengenyam kenikmatan, matilah ia dibunuh dengan
keris.”
“Guru,“ teriak Mahisa Agni memotong
kata-kata gurunya. Anak muda itu dapat merasakan getar suara gurunya
yang benar-benar telah menjatuhkan kutuk yang dahsyat. Namun Empu Purwa
sama sekali tidak mendengarkannya. Bahkan kemudian orang tua itu
berpaling memandangi bendungan yang selama ini merupakan sumber
kesuburan Panawijen. Sekali lagi Mahisa Agni mendengar gurunya itu
berkata dengan suara gemetar terbakar oleh kemarahan yang meluap-luap,
“Bendungan itu menjadi saksi apa yang telah aku lakukan untuk Panawijen.
Tetapi orang-orang Panawijen sama sekali tidak mengimbanginya.
Dibiarkannya anakku dilarikan orang tanpa perlindungan. Apakah orang
sepedukuhan ini sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya. O, semoga
terjadi pula kata-kataku ini atas Panawijen. Semoga keringlah tempat
mereka mengambil air, semoga keringlah semua kolam-kolamnya, karena
mereka berdosa membiarkan anakku dilarikan orang dengan paksa.”
“Guru,“ sekali lagi terdengar suara
Mahisa Agni melengking. Namun sekali lagi Empu Purwa tidak mendengar
suara Mahisa Agni itu. Bahkan dengan serta merta orang itu meloncat
dengan cepatnya. Seakan-akan lebih cepat dari kilat yang menyambar di
udara. Mahisa Agni tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya mampu berdiri
tegak sambil ternganga melihat gurunya dengan kecepatan yang mengagumkan
berlari ke arah bendungan.
Mahisa Agni sama sekali tidak dapat
meraba maksud gurunya itu. Karena itu maka ia sama sekali tidak mencoba
untuk berbuat sesuatu.
Namun dada Mahisa Agni itu kemudian
berdesir tajam ketika ia melihat Empu Purwa meloncat dan meluncur ke
bawah bendungan itu, sehingga orang tua itu hilang dari pengamatannya.
Mahisa Agni yang ingin mengetahui, apakah
yang akan dilakukan oleh gurunya, tanpa dikehendakinya sendiri, iapun
melompat berlari meloncati tanggul di sisi bendungan itu. dari sana ia
melihat gurunya yang berdiri tegak di bawah air yang melontar dari atas
bendungan.
Semula Mahisa Agni tidak segera dapat
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Namun tiba-tiba terasa
sesuatu menampar dadanya. Terasa seakan-akan darahnya membeku dan
tubuhnya menjadi lemas. Dengan mata terbelalak ia melihat gurunya itu
berdiri tegak seperti tertanam jauh ke pusat bumi. Namun tiba-tiba ia
melihat gurunya menarik satu kakinya ke belakang dan menyilangkan kedua
tangannya di muka dadanya.
Apa yang dilihat oleh Mahisa Agni itu
benar-benar telah menghantam jantungnya, seakan-akan jantung di dalam
dadanya itu akan pecah. Dalam puncak kecemasan anak muda itu berteriak
nyaring, “Jangan guru, jangan.”
Tetapi suara Mahisa Agni itu seperti
desau angin yang meluncur tanpa bekas. Empu Purwa itu benar-benar telah
memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya.
Tiba-tiba sekali lagi Mahisa Agni
berteriak. Tinggi dan melengking, memancarkan kekhawatiran, namun juga
keputus-asaan, “Guru, guru, jangan.”
Tetapi Mahisa Agni itu sama sekali tidak
dapat mempengaruhi perasaan gurunya yang sedang gelap pepat. Perasaan
seorang ayah yang kehilangan gadis satu-satunya.
Mahisa Agni itu kemudian menutup wajahnya
dengan kedua tangannya. Namun ia ingin juga melihat apa yang terjadi,
sehingga tanpa dikehendakinya anak muda itu telah mengintip dari
sela-sela jari tangannya sendiri.
Mahisa Agni itu melihat Empu Purwa
meloncat tinggi seolah-olah melenting seperti seekor bilalang.
Sedemikian kuat daya loncatnya sehingga orang tua itu hampir-hampir
dapat mencapai bibir bendungan itu. Tetapi apa yang dilakukan adalah
mengerikan sekali. Dengan penuh luapan kemarahan, Empu Purwa telah
melepaskan kekutannya, lewat ajinya yang dahsyat, Gundala Sasra,
menghantam bibir bendungan itu.
Mahisa Agni mendengar suara gemuruh pada
bendungan itu. Dilihatnya permukaan air berguncang. Berguncang seperti
guncangan-guncangan di dalam dada Mahisa Agni sendiri.
Apalagi ketika ia melihat gurunya itu sekali lagi melenting, sekali lagi mengayunkan ke bibir bendungan itu.
Seakan-akan dadanya sendirilah yang terhantam oleh kekuatan yang dahsyat. Kekuatan aji Gundala Sasra.
Mahisa Agni sekali lagi mendengar suara
gemuruh di bendungan itu. Sekali lagi ia melihat dari sela-sela
jari-jarinya air terguncang dengan kerasnya. Namun kali ini ia melihat
juga batu yang meloncat berhamburan. Bibir bendungan itu kini
benar-benar telah pecah. Pecah berserakan. Berunjung-berunjung batu
berguguran seperti dihantam oleh ledakan gunung Semeru.
Mahisa Agni benar-benar menjadi ngeri.
Terdengar ia menjerit tinggi. Melengking diantara suara reruntuhan
batu-batu dan kemudian disusul oleh luapan air yang meluncur dengan
cepatnya, lewat celah-celah bendungan yang runtuh itu.
Sekejap Mahisa Agni masih melihat gurunya
meloncat menghindari air yang meluap. Dan sekejap Mahisa Agni melihat
betapa air yang meluap itu telah menambah luka bendungan itu menjadi
semakin parah. Batu demi batu hanyut meluncur diantara air yang mengalir
sangat derasnya. Sejengkal demi sejengkal luka bendungan itu menjadi
semakin lebar. Sehingga kemudian Mahisa Agni tidak tahan lagi
melihatnya.
Sekali lagi terdengar ia berteriak, “Hancur. Bendungan itu hancur.”
Mahisa Agni itu pun kemudian memutar
tubuhnya membelakangi bendungan yang semakin lama semakin parah. Di
tutupnya kedua lubang telinganya. Ia tidak mau mendengar suara yang
gemuruh itu. Suara yang ditimbulkan oleh guguran-guguran batu bendungan
yang semakin lama semakin keras. Seperti guguran-guguran di hatinya.
Terbayang sudah apa yang akan terjadi atas pedukuhan ini. Panawijen
benar-benar akan menjadi kering. Akan keringlah tempat mengambil air dan
akan kering pulalah seluruh kolam-kolamnya. Sawah-sawah akan tidak lagi
dapat diairi, sebab selokan-selokan pun akan menjadi kering pula
karenanya.
Terbayang kini, apa yang selama ini
pernah dilakukannya di Panawijen. Hampir separuh dari waktunya
sehari-hari dihabiskannya di sawah-sawah dan di bendungan ini. Bendungan
yang menjadi lambang kesuburan padukuhan Panawijen dan padepokan
gurunya. Bendungan yang dapat menjadi tempat yang menenangkan bagi
anak-anak muda. Pasir yang putih dan air yang tergenang. Wajah air yang
tenang, di mana kawan-kawannya dan dirinya sendiri sering bermain-main
di dalamnya. Berenang, berkejaran di dalam air dan bahkan beradu
ketangkasan.
Tetapi kini bendungan itu runtuh. Runtuh dan runtuhnya bendungan ini akan menjadi pertanda pula keruntuhan padukuhan Panawijen.
Mahisa Agni menjadi semakin ngeri.
Tangannya masih saja menyumbat kedua telinganya. Ia masih tidak mau
mendengar dan melihat gemuruhnya bendungan itu hancur.
Namun dengan demikian, ia sama sekali
tidak merasa bahwa tanah yang dipijaknya itu pun sedikit demi sedikit
menjadi goyah. Air yang deras itu telah menggugurkan tebing sungai itu
pula, sehingga sisi tanggul itu pun sedikit demi sedikit runtuh pula
dibawa arus.
Mahisa Agni baru menyadari keadaannya
ketika ia merasa dirinya terguncang. Betapa ia terkejut, ketika tanah
yang dipijaknya seolah-olah meluncur turun. Mula-mula perlahan-lahan
sekali, namun semakin lama semakin cepat.
Mahisa Agni segera dapat menduga apa yang
telah terjadi. Dengan gerak naluriah ia meloncat, untuk menghindarkan
diri dari bencana yang menyeretnya. Tetapi, tanah yang meluncur itu sama
sekali tidak dapat dipakainya sebagai tempat berjejak.
Dalam kesibukannya berusaha untuk
menyelamatkan diri, tiba-tiba Mahisa Agni merasa, sepasang tangan
menyambar lengannya, kemudian dengan satu kekuatan yang besar, ia
terlempar ke samping dan kemudian jatuh berguling di atas pasir. tetapi
ia tidak ikut runtuh bersama tanggul sungai itu. Dalam keadaannya itu
Mahisa Agni masih sempat melihat, seseorang yang menariknya itu meloncat
dan jatuh pula di sampingnya.
Cepat-cepat Mahisa Agni bangkit.
Dilihatnya orang yang menolongnya itu bangkit pula. Ternyata bahwa orang
itu adalah gurunya, Empu Purwa.
Sebuah getaran yang dahsyat telah melanda
dada anak muda itu. Sedemikian dahsyatnya sehingga ia tidak mampu lagi
untuk menahannya. Karena itu maka dengan seta merta Mahisa Agni meloncat
berjongkok dihadapan gurunya. Bahkan kemudian sambil memeluk kaki orang
tua itu Mahisa Agni berdesis, “Guru, guru, kenapa semua ini harus
terjadi. Panawijen sedang berkabung. Dan kini Panawijen menjadi semakin
hancur.”
Sejenak orang tua itu berdiam diri.
Matanya kini tidak lagi menyalakan kemarahan hatinya yang meluap-luap.
Bahkan mata itu kini menjadi redup, bagaikan pelita yang kehabisan
minyak.
“Agni,“ berkata Empu Purwa
perlahan-lahan, “aku tidak dapat menahan perasaanku. Kenapa orang-orang
Panawijen sama sekali tidak memiliki rasa kesetiakawanan. Kenapa
dibiarkan anakku satu-satunya itu dibawa orang.”
“Tidak Empu,“ bantah Agni, “Panawijen tidak berdiam diri. Dan Panawijen bahkan telah mengorbankan seorang anak mudanya.”
“Agni,“ Empu Purwa terkejut mendengar keterangan itu, “apakah yang kau maksudkan?”
“Guru. Dalam mempertahankan Ken Dedes Wiraprana terbunuh.”
“He,“ sebuah bentakan telah
menggoncangkan dada Empu Purwa. Baru kini ia mendengar bahwa telah
terjadi perjuangan untuk mempertahankan anaknya. Bahkan anak Buyut
Panawijen itu terbunuh.
Kembali Empu Purwa terdiam. Terasa
hatinya terpecah-pecah. Ketika ia berpaling, dan dilihatnya air yang
coklat bergulung-gulung mengalir menurut jalur-jalur sungai, Empu Purwa
menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Mahisa
Agni berkata, “Guru. Akuwu Tunggul Ametung datang dengan para
prajuritnya. Mereka membawa tombak, panah dan perlengkapan perang yang
cukup. Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh penduduk Panawijen itu.
Apakah mereka dapat menghadapi ujung tombak, pedang dan bedor-bedor
panah?”
Kepala Empu Purwa tertunduk mendengarkan
kata-kata Mahisa Agni itu. Tumbuhlah penyesalan di dalam dirinya.
Penyesalan atas kelemahannya, kelemahan jiwanya.
Namun Ken Dedes itu adalah satu-satunya.
Tempat ia meletakkan harapan untuk memperpanjang namanya. Kalau anak itu
menemui kesulitan, maka hari yang akan datang bagi orang tua itu,
adalah hari yang gelap. Lenyaplah urutan saluran darahnya.
Tetapi ternyata, kecintaannya kepada
satu-satunya anaknya itu telah menggelapkan hatinya. Menggelapkan
perasaannya, sehingga ia tidak menyadari apakah yang telah dilakukannya.
Dan benarlah kata-kata Mahisa Agni. Panawijen sedang berkabung, dan kini Panawijen menjadi hancur.
Empu Purwa itu pun kemudian duduk di
samping Mahisa Agni. Disuruhnya muridnya duduk pula. Dengan mata yang
sayu keduanya memandangi air yang masih saja meluap-luap menghanyutkan
batu-batu bendungan. Dan luka pada bendungan itu pun menjadi semakin
lama selebar.
“Agni,“ desis gurunya, “ternyata aku telah khilaf.
Agni menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa bendungan itu telah hancur.
“Agni,” berkata orang tua itu pula, “tak
ada kata-kata yang dapat aku pakai untuk menjelaskan, apa sebabnya aku
telah menjadi mata gelap. Tetapi aku mengharap kau dapat merasakannya.”
Mahisa Agni mengangguk. Perasaan
seseorang memang kadang-kadang serupa dengan seekor kuda. Betapa kuda
itu dapat dijinakkan, namun suatu ketika, dalam keadaan yang tidak dapat
dimengerti kuda itu dapat menjadi liar dan tanpa dapat dikuasainya.
Seperti yang pernah terjadi pada dirinya sendiri. Apabila pada saat itu
Wiraprana dapat diketemukan, pada saat ia merasa kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan Ken Dedes, mungkin ia sendirilah yang telah membunuh
anak muda itu.
Tetapi Empu Purwa adalah seorang pendeta.
Bukan lagi seorang anak muda yang binal seperti dirinya sendiri. Empu
Purwa selama ini selalu berbuat baik. Sabar dan seolah-olah tidak lagi
mempunyai kepentingan dengan masalah-masalah duniawi. Banyak
nasehat-sehatnya yang dapat mengendapkan perasaannya. Namun tiba-tiba
orang tua itu sendiri telah berbuat sesuatu yang tanpa pengendalian
diri. Tetapi Mahisa Agni tidak berani bertanya. Ia hanya dapat
memandangi wajah orang tua itu. Wajah yang sayu suram. Dan dengan
tiba-tiba Empu Purwa itu telah menjadi jauh semakin tua.
“Agni,” berkata orang tua itu,
“jadikanlah peristiwa ini peringatan bagimu. Mungkin kau menganggap aku
seorang guru yang baik. Seorang guru yang tanpa cacat tanpa cela. Tetapi
kau kini menyaksikan sendiri, bahwa aku adalah manusia biasa. Manusia
yang bagaimanapun juga, adalah manusia yang dikuasai oleh segala macam
masalah duniawi. Dan aku telah tergelincir pula kedalamnya. Masalah yang
sangat mementingkan diriku sendiri. Agni. Jadikanlah peristiwa ini
suatu peringatan. Bahwa manusia itu selalu dilumuri oleh kekerdilan
jiwa, nafsu dan kepentingan diri sendiri.
Ketika Mahisa Agni mencoba memandang
wajah orang tua itu, hati Mahisa Agni pun berdesir. Dilihatnya sepasang
mata orang tua itu menjadi semakin muram. Dan dilihatnya pula selapis
air yang tergenang.
“Agni,“ katanya lirih, “aku menyesal.
menyesal sekali. Tetapi semuanya telah terlanjur. Aku tidak menyangka
sama sekali bahwa Wiraprana telah terbunuh. Dan kini aku menjadikan
Panawijen semakin berkabung.”
Kata-kata itu terhenti, seakan-akan
sesuatu menyumbat kerongkongan Empu Purwa. Sekali orang tua itu
berpaling. Tetapi ketika dilihatnya bendungan itu semakin hancur dilanda
air, maka segera ia melemparkan pandangan matanya ke kejauhan Ke puncak
Gunung Kawi yang megah.
Angin yang lembut masih saja mengalir
mengusap tubuh mereka yang duduk lemah di atas pasir tepian. Awan yang
hanyut ke Utara. Di ujung Barat, awan berarak-arak menggamit tubuh
Gunung Kawi yang seolah-olah acuh tak acuh saja.
“Mahisa Agni,“ kembali terdengar gurunya
berkata, “betapa besar kesalahan yang telah aku lakukan, namun aku ingin
kau muridku, jangan membuat kesalahan yang sama berhati-hatilah anakku.
Namun jangan pernah merasa dirimu lepas dari segala kemungkinan yang
jahat. Karena itu, apabila kau melihat kesalahan, jangan kau maki yang
melakukan kesalahan itu. Jangan kau hinakan, dan jangan kau campakkan
dari pergaulanmu. Tetapi ingatlah bahwa kau pun akan dapat jatuh ke
dalam kesalahan. Kepada mereka, usahakanlah, luruskan jalannya, supaya
kesalahanmu diluruskan pula. Adalah keluhuran bagimu dihadapan Yang Maha
Agung, apabila kau dapat meluruskan yang bengkok menyadarkan yang
bersalah, daripada membinasakannya. Sebab bagi Yang Maha Agung, setiap
kesalahan yang disesali sepenuh hati, pastilah akan dimaafkannya. Yang
Maha Agung pasti akan memaafkan kesalahanmu pula Agni, apabila kau
memaafkan kesalahan orang lain. Tetapi aku tidak tahu, apakah
orang-orang Panawijen akan memaafkan aku.”
Mahisa Agni menunduk dalam-dalam. Dalam
keadaan yang sepahit-pahitnya gurunya masih sempat mengambil contoh yang
terdekat, contoh dari dirinya sendiri. Namun apa yang dikatakannya itu,
langsung menghunjam ke dalam hatinya.
Tetapi Mahisa Agni itu kemudian terkejut
ketika gurunya berkata, “Agni. Meskipun orang-orang Panawijen akan
memaafkan kesalahanku, tetapi aku tidak akan dapat hidup lagi di
padepokanku itu. Padepokan itu akan selalu mengingatkan aku kepada
anakku yang tunggal itu. Karena itu Agni, aku akan pergi. Aku akan
menghabiskan sisa umurmu ini untuk melakukan pendekatan diri. Pendekatan
diri untuk menghadap Yang Maha Agung, supaya aku dibebaskan dari
kemungkinan mengalami sengsara pada masa yang langgeng.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesah, “Guru, apakah guru akan meninggalkan Panawijen?”
“Ya.”
“Kemana?”
“Aku tidak tahu Agni. Aku akan pergi
menurut langkah kakiku. Tetapi hatiku akan menuntunku untuk mendekatkan
diri pada Sumber Hidupku.”
“Jangan guru,“ Mahisa Agni mencoba
mencegahnya, “biarlah guru tetap di Panawijen. Aku akan berbuat untuk
kepentingan guru. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan apabila
orang-orang Panawijen menjadi marah karena bendungan pecah. Bukankah aku
akan dapat juga mencoba memperbaikinya?”
“Apa yang akan kau lakukan terhadap orang-orang Panawijen?”
“Aku akan memintakan maaf kepada mereka.”
“Kalau mereka tidak memaafkan?”
“Mustahil.”
“Bukan mustahil Agni. Merekapun sedang diamuk oleh gelora perasaannya seperti aku.”
Mahisa Agni diam sejenak. Tiba-tiba ia
berkata lantang, “Guru. Aku adalah seseorang yang pernah mendapatkan
limpahan kemurahan Empu. Apakah aku tidak dapat berbuat sesuatu untuk
Empu disini? Seandainya orang-orang Panawijen itu marah dan tidak
mendengarkan permintaanku. Baiklah, apakah yang akan mereka kehendaki.
Kasar, halus, aku tidak akan gentar.”
Wajah Empu Purwa itu pun menjadi semakin
muram. Ditepuknya punggung Mahisa Agni sambil berkata, “Terima kasih
Agni. Aku mengucapkan terima kasih akan kesetiaanmu itu. Tetapi apakah
kau sudah berbuat dengan tepat, apabila benar-benar terjadi demikian?
Mungkin aku dapat juga berbuat seperti apa yang akan kau lakukan itu
Agni, namun akibatnya adalah benturan-benturan perasaan yang meluap-luap
tanpa terkendali. Korban akan berjatuhan, dan akan terkutuk pulalah
namaku dan namamu dihadapan orang-orang Panawijen. Bukan sekadar
dihadapan orang-orang Panawijen Agni, namun akan terkutuklah namaku dan
namamu dihadapan Yang Maha Agung. Karena aku dan kau telah
memperlihatkan kemenangan-kemenangan jasmaniah untuk melindungi
kesalahan yang telah aku lakukan.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
jawaban gurunya itu. Iapun kemudian menundukkan kepalanya, Wajahnya
menjadi merah karena malu. Ternyata bahwa perasaannya benar-benar
seperti kuda liar yang tidak tunduk pada kendalinya.
“Alangkah bodohnya aku,“ gumamnya di
dalam hati, “seandainya demikian apakah aku lebih sakti daripada guruku
itu? Seandainya harus bertahan dengan kekerasan. O, alangkah bodohnya
aku.”
Namun terdengar gurunya berkata,
“Sudahlah Agni. Kembalilah ke Panawijen. Mintalah maaf kepada
orang-orang Panawijen atas namaku. Aku akan pergi sebelum aku menyentuh
halaman Padepokanku dengan ujung kakiku.”
“Tentang bendungan ini Agni,
ingat-ingatlah. Jangan kau bangun kembali di bekasnya yang hancur itu.
Kau tidak akan berhasil. Di sekitar tempat ini kau tidak mendapat cukup
bahan untuk membangunkannya. Batu-batu yang tidak begitu banyak telah
habis aku kumpulkan beberapa puluh tahun yang lalu.”
“Tetapi aku dan anak-anak muda Panawijen akan mampu mengumpulkannya,“ jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa memandang wajah Mahisa Agni
yang bersungguh-sungguh. Terpancar dari kedua belah matanya, tekadnya
yang menyala untuk membangun bendungan itu kembali.
Namun gurunya itu berkata, “Tidak Agni.
Di daerah ini tidak cukup bahan untuk keperluan itu. Beberapa puluh
tahun yang lalu aku dan beberapa orang cantrik memerlukan waktu dua
tahun untuk mengumpulkan bahan-bahannya. Dan bahan-bahan itu kini sudah
tidak ada lagi di sekitar tempat ini. Karena itu, Agni. Kalau kau mau
mendengarkan kata-kataku, berjalanlah menyusur sungai ini ke hulu.
Bawalah orang-orang Panawijen untuk membangun bendungan di daerah Padang
Karautan. Padang rumput itu akan menjadi tanah persawahan yang subur.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Memang di daerah itu banyak terdapat batu-batu besar kecil. Tetapi
daerah itu bukanlah daerah yang telah siap untuk dikerjakan. Di daerah
itu masih harus dibangun parit-parit dan jalur-jalur air ke tengah
padang rumput itu.
Empu Purwa melihat keraguan di wajah
muridnya. Katanya, “Agni. Kalau kau bangun bendungan yang jebol itu,
maka kau akan menemui banyak kesulitan. Selain daripada itu Agni.
Bendungan itu akan selalu membangunkan kenangan pahit bagiku. Seandainya
suatu ketika aku berkesempatan lewat di daerah ini, maka hatiku pasti
akan terluka kembali karena kenangan yang pedih itu. Karena itu,
cobalah. Biarlah rakyat Panawijen bangun dari tidurnya. Rakyat Panawijen
yang selama ini seakan-akan tinggal memetik buah dari pepohonan yang
ditanam oleh orang lain itu, biarlah mencoba untuk menilai kekuatan
mereka sendiri. Sebab selama ini ternyata Panawijen telah menjadi suatu
daerah yang sangat lemah. Daerah yang diliputi oleh suasana yang terlalu
sepi dan diam. Cobalah Agni, Cobalah membangunkannya, supaya mereka
mengenal arti kerja yang sebenarnya. Usaha mengadakan yang belum ada.
Bukan sekedar puas apa yang telah dimilikinya.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
tidak dapat membantah perintah gurunya. Alasan-alasannya memang dapat
dimengerti seluruhnya. Bahan-bahan yang terlalu kurang, alasan-alasan
perasaan gurunya yang pahit dan kerja untuk membangunkan Panawijen yang
selama ini telah tertidur nyenyak.
Mahisa Agni itu kemudian terperanjat
ketika gurunya berkata sekali lagi kepadanya, “Agni. Biarlah sekarang
aku pergi membawa sisa hidupku. Aku dahulu pernah menjadi seorang
perantau. Sekarang aku akan mengulangi cara hidupku itu.”
“Tetapi guru,“ bantah Agni terbata-bata, “guru sekarang sudah semakin tua. Dahulu guru mungkin masih semuda aku.”
“Sekarang hatiku sudah semakin mengendap
Agni. Aku tidak akan mengulangi cara-cara hidupku pada masa-masa itu.
Sisa hidupku adalah kesempatan terakhir untuk menilai diriku di hadapan
Yang Maha Agung.”
“Jangan guru. Tinggallah sementara di
Panawijen, Guru dapat mengawasi pekerjaan kami, membangun bendungan di
tengah padang rumput itu.”
Empu Purwa menggeleng, “Tidak Agni.”
“Kenapa?” desak Agni.
“Kau adalah muridku. Umurmu sudah cukup
dewasa. Aku tidak perlu lagi menganggapmu anak-anak yang harus aku
tunggui siang malam dalam tugasmu. Cobalah. Kalau kau muridku, maka kau
akan mampu melakukannya, seperti aku dahulu melakukan. Aku membangun
bendungan ini, dan sekarang kau pun harus berbuat seperti aku. Melihat
kemampuan diri.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Ia
tidak dapat menjawab lagi. Karena itu, maka yang terasa kemudian adalah
debar yang semakin keras di dalam hatinya.
Ketika ia kemudian melihat gurunya
berdiri, dengan serta merta iapun meloncat berdiri sambil berdesis,
“Guru. Kemanakah aku harus pergi, seandainya suatu ketika aku ingin
bertemu dengan guru.”
“Bukan kau yang akan mencari aku Agni. Tetapi akulah yang akan datang kepadamu apabila aku masih mendapat kesempatan.”
“Mungkin suatu ketika aku harus menghadap guru, apabila aku melihat perkembangan yang terjadi atas Ken Dedes di Tumapel.”
Tiba-tiba Empu Purwa itu mengerutkan keningnya. Terasa bahwa sesuatu bergetar di dalam hatinya.
“Guru,“ berkata Agni kemudian, “aku minta ijin guru, untuk suatu ketika mengambil Ken Dedes dari Kuda Sempana.”
Empu Purwa menggeleng, “Agni. Apabila
Kuda Sempana sudah mendapat perlindungan Akuwu Tunggul Ametung, maka
persoalannya sudah menjadi semakin sulit. Kalau kau tentang perbuatan
itu dengan kekerasan, maka apakah kau dan bahkan mungkin aku, akan dapat
melawan seluruh Tumapel? Agni, jangan melawan Akuwu Tunggul Ametung
dalam kedudukannya. Dengan demikian berarti kau melawan kekuasaannya.
Karena itu Agni, aku menyesal, bahwa aku telah menghancurkan bendungan
itu, mengurungkan sumber air bagi Panawijen, tetapi aku benar-benar
tidak menyesal seandainya Yang Maha Agung benar-benar berkenan
membebaskan anakku dari mereka yang telah melarikannya dengan paksa.”
Sekali lagi Mahisa Agni tertunduk. Dipandanginya pasir yang memutih di bawah kakinya.
Dan kembali ia mendengar gurunya berkata,
“Agni. Aku akan pergi. Aku akan berdoa, semoga Yang Maha Agung
mendengarkan aku pula kali ini. Semoga anakku akan selamat dan mendapat
kebahagiaan yang besar.”
Demikian Empu Purwa selesai mengucapkan
kata-katanya, maka segera ia melangkah meninggalkan Mahisa Agni. Tetapi
Mahisa Agni itu berjalan pula di belakangnya sambil berkata, “Guru,
guru. Jangan pergi.”
Empu Purwa berpaling. Jawabnya, “Agni.
Kau bukan anak-anak lagi. Berbuatlah seperti seorang yang telah dewasa.
Aku akan pergi. Jangan kau ikuti aku. Bawalah rakyat Panawijen ke dalam
suatu suasana kerja. Mengadakan yang belum ada. Memperbaharui yang telah
rusak.”
Tetapi Mahisa Agni masih saja berjalan mengikuti gurunya sambil berkata, “Jangan Empu. Kami masih memerlukan tuntunan guru.”
Empu Purwa berhenti. Ditatapnya mata
Mahisa Agni tajam-tajam. Kemudian katanya, “Agni. Kau adalah muridku.
Jangan mengecewakan gurumu. Seorang anak muda yang seumurmu itu
seharusnya sudah mampu berdiri sendiri. Nah. Kembalilah ke Panawijen.
Dibanggakan akan kau temui Trisula kecil itu. Simpanlah benda itu
baik-baik. Sebagai aku telah menyimpannya. Kalau kemudian kau
mempercayai seseorang kelak Agni, kau dapat memberikannya kepada orang
itu. Seperti aku menyerahkan kepadamu.”
Mahisa Agni tertegun diam. Ketika gurunya
menyebut Trisula kecil itu hatinya bergetar. Apalagi ketika gurunya
berkata, “Agni, dengan Trisula itu, maka kau telah mewakili aku di
Padepokanku. Kalau kau kelak bertekun diri, maka ilmumu yang telah
lengkap itu akan menjadi semakin masak. Tanpa aku kau akan dapat menjadi
seorang yang kuat. Namun ingat Agni, ingat bahwa tak ada kekuatan,
kecakapan dan kemampuan yang sempurna. Yang satu akan mengalahkan yang
lain, dan yang lain lagi akan mengatasinya. Karena itu jangan bersombong
dengan ilmu dan pusaka yang telah kau miliki.”
Perlahan-lahan sekali terdengar Mahisa Agni bergumam, “Ya guru.”
“Nah, baiklah. Aku akan berjalan terus. Sekali-sekali aku akan mengunjungimu.”
Mahisa Agni masih berdiri mematung.
Ketika dilihatnya gurunya melangkah kembali maka dari mulutnya meluncur
kata-katanya, “selamat jalan guru.”
“Terima kasih Agni,“ sahut gurunya.
Mahisa Agni kemudian hanya dapat melihat
gurunya berjalan. Langkahnya adalah langkah seorang tua yang kelelahan.
perlahan-lahan dan bahkan tampak betapa sukar ia mengayunkan kakinya.
Sebuah tongkat tergenggam di tangannya.
“Hem,“ Mahisa Agni berdesah. Alangkah
jauh bedanya dengan Empu Purwa ketika meloncat dan memecahkan bendungan
itu. Alangkah jauh bedanya dengan orang yang pernah ditemuinya di kaki
Gunung Semeru dan menamakan dirinya Empu Pedek. Meskipun orang itu
berbuat seolah-olah timpang, namun geraknya tangkas dan lincah. Sekarang
dilihatnya Empu Purwa itu berjalan tertatih-tatih.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya langkah gurunya sampai jauh menyusur pinggir sungai.
Tiba-tiba di kejauhan Mahisa Agni melihat gurunya itu menuruni tebing,
dan dengan hati-hati berjalan menyeberangi sungai. Sungai di atas
bendungan itu ternyata telah menjadi semakin dangkal.
Anak muda itu diam mematung sampai Empu
Purwa hilang di balik tanggul di seberang sungai. Lamat-lamat ia melihat
orang tua itu seperti hilang ditelan bumi.
Tetapi alangkah terkejut Mahisa Agni
kemudian ketika ia mendengar suara hiruk pikuk. Ketika Mahisa Agni
berpaling, dilihatnya empat anak-anak muda berlari-lari menuju ke
bendungan itu. Dari jauh telah terdengar mereka berteriak, “Agni. Apakah
yang telah terjadi, kenapa sungai ini banjir, sedang hujan tidak turun?
Apakah bendungan itu rusak?”
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi terasa
hatinya berdesir. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan anak-anak muda
itu apabila mereka bertanya, kenapa bendungan itu pecah?”
Dengan gelisah Mahisa Agni melihat keempat anak-anak muda itu menjadi semakin dekat.
Demikian mereka sampai ke pinggir sungai,
maka segera mereka meloncat ke dekat bendungan yang pecah itu. Dengan
terbata-bata mereka serentak berdesah, “Oh. Bendungan ini pecah?”
Keempatnya memandangi arus air yang masih
saja mengalir dengan derasnya itu seperti memandang bencana yang sudah
terbayang deadpan matanya. “Pecah. Pecah.“ mereka mengulangi.
Kemudian salah seorang dari mereka berpaling kepada Mahisa Agni sambil bertanya, “Agni. Kenapa bendungan itu pecah?”
Agni tidak segera menjawab. Ia masih
dikuasai oleh kebimbangan hatinya. Sekali-sekali dipandanginya keempat
anak-anak muda itu. Betapa wajah mereka menjadi pucat seperti mayat.
Bibir mereka bergetar seperti orang kedinginan. Namun kemudian
dilayangkannya matanya ke bendungan yang pecah itu.
“Kenapa Agni,” desak mereka.
Agni menggeleng lemah. Katanya tanpa menjawab pertanyaan itu, pertanyaan tentang bendungan, katanya, “Dari manakah kalian?”
“Aku sedang berada di sawah Agni,“ jawab
salah seorang dari mereka. “Ketika aku mendengar suara riuh di dalam
sungai segera aku menengok Ternyata sungai itu tiba-tiba banjir,
sedangkan udara sangat cerah. Di hulu pun sama sekali tidak tampak awan
atau mendung. Karena itu aku menjadi cemas. Mencemasksn bendungan ini,
ternyata bendungan ini benar-benar pecah.”
“Kenapa bendungan ini pecah Agni. Bukankah kau berada di tempat ini? Mungkin kau melihat sebabnya,“ bertanya yang lain.
Mahisa Agni masih belum menjawab pertanyaan mereka. Katanya, “Apakah Ki Buyut Panawijen telah diberi tahu?”
“Belum,“ sahut salah seorang dari mereka. Dan tiba-tiba ia berkata pula, “Aku akan memberitahukan kepada Ki Buyut.”
Anak itu tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menuju ke padukuhan mereka.
Ketiga kawannya dan Mahisa Agni masih
merenungi bendungan yang pecah itu. Kini bendungan itu telah benar-benar
runtuh. Batu-batunya telah hanyut berserakan. Bahkan arus airnya yang
meluap-luap telah menggugurkan tebing-tebing sungai itu, sehingga sungai
itu seakan-akan menjadi semakin lebar.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di kepalanya masih terngiang suara gurunya, “Jangan kau
bangun kembali di bekasnya yang hancur itu. Kau tidak akan berhasil.”
Dan ternyata kini ia melihat di bekas
bendungan sungai itu seakan-akan menjadi semakin lebar dan curam.
Ternyata air tidak saja menggugurkan tebing, tetapi juga menggali dasar
sungai itu menjadi semakin dalam.
Tak seorang pun yang mulai berbicara.
Mereka masing-masing sedang merenungi angan-angan masing-masing. Ketiga
anak-anak muda itu tenggelam dalam kecemasan yang sangat. Pecahnya
bendungan itu berarti sawah-sawah mereka akan menjadi kering.
Kolam-kolam ikan, dan dengan demikian Panawijen akan menjadi kering
pula. Mereka sama sekali tidak dapat mengerti, kenapa bendungan itu
tiba-tiba menjadi pecah.
Sesaat kemudian, sekali lagi terdengar
hiruk pikuk mendekati tebing itu. Ketika anak-anak muda itu berpaling,
mereka melihat berbondong-bondong orang berlari-larian. Bukan saja Ki
Buyut Panawijen, tetapi juga orang-orang lain, laki-laki, perempuan tua
muda. Mereka ingin menyaksikan sumber hidup mereka yang rusak.
Seakan-akan berita itu sama sekali tidak pernah akan terjadi.
Ketika mereka sampai di pinggir kali itu,
maka serentak tertegun diam. Mereka hampir tidak percaya akan mata
mereka sendiri. Bendungan itu telah jebol. Hancur. Dan air yang
tergenang naik ke parit-parit kini telah semakin susut. Sebentar lagi
air itu akan semakin berkurang, sehingga bendungan itu nanti akan
menjadi sedangkan mata kaki.
Ki Buyut Panawijen berdiri dengan wajah
yang pucat. Sekali ia memandang rakyatnya yang tidak kalah cemasnya dari
dirinya sendiri.
Kemudian kepada anak muda yang memberitahukannya kepadanya, Ki Buyut bertanya, “Bagaimana mungkin bendungan ini pecah?”
Anak muda itu menggeleng, “Aku tidak tahu Ki Buyut.”
“Tidak adakah yang melihat sebab dari pecahnya bendungan ini,“ kembali terdengar suara Ki Buyut parau.
Anak muda itu menggeleng. Namun tiba-tiba
salah seorang dari ketiga anak muda yang ditinggal di tepi sungai itu
berkata, “Ketika kami sampai di bendungan ini, Agni telah berdiri
disini.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia berpaling ke arah Mahisa Agni. Katanya, “Agni. Apakah kau
melihat sebab dari pecahnya bendungan ini?”
Semua orang kini berdiam diri. Mereka
menunggu jawaban Mahisa Agni. Karena itu maka tepi sungai itu pun
kemudian menjadi sunyi. Yang terdengar hanya gemuruh arus air yang
meluap lewat pecahan bendungan yang sudah semakin menganga lebar. Bahkan
hampir musna sama sekali.
Mahisa Agni berdiri dengan tegangnya. Ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Ki Buyut Panawijen itu.
Ketika Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka kembali terdengar Ki Buyut bertanya, “Bagaimana Agni?”
Kembali suasana menjadi hening. Dan kembali yang terdengar adalah gemuruh air.
Ketika Mahisa Agni memandang berkeliling,
maka dilihatnya semua mata tertuju kepadanya, seakan-akan mereka sudah
tahu apa yang terjadi, dan seakan-akan mereka telah menyalahkannya.
Karena itu maka dada Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika kemudian matanya tertumbuk pada
sorot mata Ki Buyut Panawijen, maka dadanya terasa berdesir, dan tanpa
sesadarnya Mahisa Agni mengangguk.
“Oh,“ desah Ki Buyut. Dan hampir setiap
orang yang melihat Mahisa Agni itu mengangguk, berdesis pula. Debar di
dada mereka menjadi semakin cepat, seakan-akan mereka tidak sabar lagi
menunggu apakah sebabnya maka bendungan itu pecah.
“Kenapa ngger,“ bertanya Ki Buyut, “kenapa?”
Kembali Mahisa Agni diamuk oleh kebingungan di hatinya. Apakah ia harus berkata berterus terang?”
Sekali lagi orang-orang yang berdiri di
sekitarnya berdesis, mereka segera ingin tahu kenapa bendungannya itu
pecah. Dan sekali lagi Ki Buyut Panawijen mendesak, “Kenapa ngger?”
Mahisa Agni tidak mempunyai cara lagi
untuk mengelakkan diri dari pertanyaan itu. Karena itu maka
ditenangkannya hatinya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, dan baru
kemudian ia berkata, “Ki Buyut. Aku memang melihat saat bendungan ini
pecah. Dan aku memang ingin mengatakannya kepada Ki Buyut Panawijen
beserta rakyatnya. Namun sebelumnya baiklah aku menyampaikan permohonan
maaf dari guruku Empu Purwa.”
Ki Buyut Panawijen itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah gurumu telah kembali?”
“Sudah Ki Buyut. Tetapi Empu Purwa tidak sampai hati untuk menjenguk padepokannya, karena anaknya yang hilang itu.”
“Gurumu sekarang dimana?”
“Empu Purwa itu kemudian pergi
meninggalkan padepokannya untuk waktu yang tidak terbatas. Ia mencoba
menghindarkan diri dari kepahitan hidupnya, meskipun ia tahu, bahwa
kepahitan hatinya itu akan selalu ikut kemana ia pergi. Namun dengan
kepergiannya kali ini ia mengharap bahwa dengan mendekatkan diri kepada
Yang Maha Agung, maka Empu Purwa akan mendapat damai di hatinya.”
“Kasian orang tua itu,“ gumam Ki Buyut. Tetapi kemudian ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan bendungan ini?”
“Aku juga sedang mencoba mengatakan kenapa bendungan ini pecah.“ sahut Agni.
“Tetapi kau berceritera tentang gurumu?”
“Ya. Guru yang sedang dilanda oleh duka yang hampir tak tertanggungkan karena kehilangan anak tunggalnya.”
“Apakah hubungannya dengan bendungan yang pecah ini?” desak beberapa orang yang kehabisan kesabaran.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan debar jantungnya. Baru kemudian
ia menjawab dengan sangat hati-hati, “Ki Buyut. Pagi tadi aku tertidur
di tepi bendungan itu. Aku terbangun karena tiba-tiba terasa seseorang
menyentuh tubuhku. Ternyata orang itu adalah guruku yang telah agak lama
meninggalkan padepokan ini. Pada saat itu, ternyata aku tidak dapat
menghindarkan diri, untuk mengatakan apa yang telah terjadi di
Panawijen. Demikian berat pukulan yang menimpa perasaan Empu Purwa atas
hilangnya anak satu-satunya itu, maka tiba-tiba Empu Purwa itu
kehilangan kesabarannya.“ Agni berhenti sejenak. Ia mencoba melihat
perasaan apakah yang bergolak di setiap dada orang yang mendengarnya.
Orang-orang Panawijen mendengarkan
kata-kata Mahisa Agni dengan sepenuh perhatian. Namun sampai sedemikian
jauh mereka masih belum tahu, ke mana arah ceritera Mahisa Agni itu.
Sehingga dengan demikian, mereka masih saja berdiri mematung dengan tegangnya, menunggu Mahisa Agni meneruskan ceriteranya itu.
Baru sejenak kemudian Mahisa Agni berkata pula, “Pada saat Empu Purwa kehilangan keseimbangan diri itulah segalanya terjadi.”
“Ya. Pada saat itu bendungan itu pecah. Tetapi apa sebabnya,“ desak salah seorang dari mereka yang mengerumuni Mahisa Agni.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Ternyata orang-orang itu sama sekali belum mampu menghubungkan
ceriteranya dengan pecahnya bendungan itu. Maka jawabnya, “Bendungan itu
pecah karena Empu Purwa merasa bahwa ia kehilangan miliknya yang paling
berharga dalam hidupnya. Yaitu anak satu-satunya.”
“Agni,“ sahut Ki Buyut Panawijen, “kenapa
jawabmu sama sekali tidak dapat kami mengerti. Angger, cobalah.
Katakanlah, apa yang kau lihat? Apakah karena Empu Purwa merasa bahwa ia
menjadi sangat menderita tekanan atas hilangnya puterinya itu, lalu
bendungan itu meledak?”
“Oh,“ keringat dingin mengalir di seluruh
tubuh Mahisa Agni. Ia sadar, bahwa tak seorang pun dari penduduk
Panawijen yang mampu melihat betapa besar kekuatan ilmu yang tersimpan
di dalam tubuh gurunya yang tua itu. Namun untuk mengatakannya,
sangatlah terasa berat.
Tetapi ia tidak dapat terus menerus
menghindar dari pertanyaan itu. Disadarinya bahwa pada suatu ketika ia
harus mengatakan apa yang diketahuinya, atau ia harus membuat suatu
ceritera bohong yang dapat menipu rakyat Panawijen.
Namun ceritera semacam itu sama sekali
tak akan menguntungkannya. Seterusnya ia harus mempertahankan kebohongan
itu. Kalau kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya
mengenai ceritera bohongnya, maka ia harus berbohong pula. Semakin lama
semakin jauh dan jauh. Karena itulah maka Mahisa kemudian mengambil
keputusan untuk segera mengatakannya, apa yang sebenarnya terjadi.
Karena itu maka katanya, “Ki Buyut. Bahwa Empu Purwa merasa kehilangan
segala miliknya itulah permulaan dari bencana itu. Empu Purwa merasa
bahwa rakyat Panawijen sama sekali tidak mempunyai belas kasihan
terhadap anaknya. Terhadap Ken Dedes, anaknya yang tunggal. Karena itu
maka betapa marahnya. Dan kemarahannya itu ternyata tersalur lewat
kekuatannya yang dahsyat. Dan sebenarnyalah, aku tidak dapat menutup
kenyataan yang telah terjadi itu. Empu Purwa lah yang telah memecah
bendungan itu.”
Semua dada terasa berdesir mendengar
penjelasan Mahisa Agni. Sesaat orang-orang di sekitarnya itu terbungkam
karena jantungnya serasa terhenti. Namun sesasat kemudian warna-warna
merah telah merayap nada wajah-wajah mereka. Timbullah kemudian di dalam
dada mereka nyala kemarahan atas perbuatan Empu Purwa itu. Bendungan
itu adalah sumber hidup mereka, adalah jantung dari padukuhan Panawijen.
Dan sumber hidup itu dihancurkan orang.
Terdengarlah kemudian diantara mereka suara bergumam.
Beberapa orang menjadi sangat marah dan tanpa sesadarnya mereka telah melangkah semakin maju.
Ki Buyut Panawijen sendiri, sesaat tidak
dapat berkata sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
Empu Purwa lah yang telah memecahkan bendungan itu. Baru ketika ia telah
berhasil mengatur perasaannya kembali maka berkatalah Ki Buyut itu
dengan suara bergetar, “Agni. Apakah kau berkata sebenarnya?”
Agni mengangguk ragu. Namun terdengar mulutnya berkata, “Ia, Ki Buyut. Aku berkata seperti apa yang terjadi sebenarnya.”
Sekali lagi Ki Buyut terdiam. Tetapi
seorang anak muda berkata lantang, “Agni, kenapa Empu Purwa memecah
bendungan itu. Bendungan yang menjadi sumber hidup kita sekalian di
Panawijen ini?”
“Sudah aku katakan,” jawab Agni, “Empu Purwa merasa sangat menyesal bahwa puterinya itu hilang.”
“Itu bukan salah kami,” teriak anak muda yang lain.
“Ya. Bukan salah kalian. Tetapi Empu Purwa merasa bahwa kalian tidak melindunginya.”
“Itu pun bukan salah kami. Apakah kami
harus mati seperti putera Ki Buyut Panawijen seluruhnya? Sehingga rakyat
Panawijen menjadi tumpas?”
Mahisa Agni tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi tubuhnya.
“Agni,” berkata Ki Buyut Panawijen, “aku
menyesal bahwa hal itu telah terjadi. Empu Purwa benar-benar telah
menghancurkan hidupku. Anakku mati karena gadis yang hilang itu.
Sekarang Empu Purwa telah menghancurkan bendungan ini.”
“Ya,” teriak seorang anak muda pula, “kami menghormati pendeta tua itu. Tetapi ia merusak kehidupan kami di sini.”
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Ia
semakin tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Maka untuk mencoba
menenangkan mereka, ia berkata, “Guruku menyesal bahwa bendungan itu
dipecahkannya. Guruku minta maaf karena kesalahan itu.”
“Apa,” teriak seorang yang bertubuh
tinggi besar dan berbulu di dadanya, “apakah permintaan maaf itu sudah
cukup bernilai untuk menebus kesalahannya.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya.
“Agni,“ berkata yang lain, “kau adalah murid pendeta itu. Sekarang, bawalah gurumu itu kemari.”
“Guru telah pergi. Aku tidak tahu kemana perginya,” jawab Mahisa Agni.
“Bohong. Ia sedang bersembunyi. Dan kau
pasti tahu dimana ia bersembunyi. Jangan menunggu kami memaksamu Agni.”
Terdengar beberapa orang berteriak hampir bersamaan.
Mahisa Agni terkejut bukan kepalang
mendengar teriakan itu. Rakyat Panawijen selama ini dikenalnya sebagai
rakyat yang diam. Hampir tak pernah didengarnya atau dilihatnya, salah
seorang atau beberapa orang diantaranya menunjukkan sifat-sifat yang
keras, apalagi kasar. Mereka hampir acuh tak acuh terhadap apa saja yang
terjadi. Mereka hanya mengenal pekerjaan mereka sehari-hari. Ke sawah,
ke ladang, nderes kelapa, ke bendungan, ke kolam untuk memelihara ikan.
Itu saja. Setiap hari diulanginya. Mereka telah menjadi puas apabila
mereka dapat memetik tanaman mereka, menangkap ikan-ikan peliharaan
mencetak gula kelapa dengan tempurung. Itu saja.
Kini tiba Mahisa Agni melihat wajah-wajah
itu menjadi merah membara. Tiba-tiba Mahisa Agni mendengar mereka
berteriak dengan keras dan kasarnya.
“Hem,“ Mahisa Agni menggeram di dalam
hatinya, “ternyata betapapun lemahnya rakyat Panawijen, namun apabila
tersentuh kepentingan hidupnya yang paling dalam, maka hati mereka itu
pun tergetar pula. Mereka yang berdiri membatu ketika mereka melihat
Kuda Sempana berusaha menangkap Ken Dedes, kini aku buat mereka
menggeretakkan giginya.
Tetapi angan-angan Mahisa Agni terputus
ketika didengarnya suara di sekitarnya menjadi semakin riuh, “Mahisa
Agni. Di manakah pendeta tua itu? Ayo Tunjukkan kepada kami Biarlah kami
menghakiminya.”
Mahisa Agni memandang berkeliling.
Satu-satu ditatapnya pandangan-pandangan mata yang menyala. Beberapa
anak muda yang tidak lagi dapat menahan diri telah mengacungkan
tinjunya. Terdengar suara diantara mereka, “Agni, kami telah menerima
gurumu diantara kami. bertahun-tahun ia hidup seperti keluarga sendiri.
Tetapi tiba-tiba ia mengkhianati kami dengan merusak bendungan itu hanya
karena anaknya hilang. Satu orang itu apakah sudah cukup berharga untuk
menghancurkan kehidupan kami disini?”
“Ayo Agni.“ sahut yang lain, “jangan termenung seperti kera kedinginan.”
“Hem,“ kali ini Mahisa Agni benar-benar
menggeram. Kata-kata yang didengarnya agaknya telah terlalu tajam
baginya. Meskipun demikian ia masih berusaha menahan hatinya. Bahkan ia
masih mencoba berkata kepada Ki Buyut Panawijen, “Ki Buyut. Apakah Ki
Buyut memperkenankan aku berkata seorang diri dihadapan Ki Buyut
sehingga Ki Buyut akan dapat mengetahui persoalan yang sebenarnya?”
Buyut Panawijen pun ternyata benar-benar
telah marah. Ia merasa bahwa daerahnya telah dikorbankan oleh Empu
Purwa. Karena itu maka jawabnya lantang, “Angger. Aku adalah salah satu
dari rakyat Panawijen ini. Tak ada persoalan yang dapat kau sampaikan
kepadaku tanpa didengar oleh seluruh rakyat. Jangan mencoba membujuk
aku.”
“Tidak Ki Buyut,“ potong Agni
cepat-cepat, “tetapi aku mengharap bahwa Ki Buyut akan mampu berpikir
lebih tenang dari pada orang lain.”
“He, kau sudah mulai menghina pula,”
jawab Ki Buyut sama sekali diluar dugaan Mahisa Agni, “kau sangka
orang-orang Panawijen ini tidak mampu berpikir?”
Terdengar suara yang ribut di sekitar
Mahisa Agni. Beberapa anak muda berkata, “Jangan menghina kami Agni. Ayo
dimana gurumu. Kesabaran kami telah sampai ke ubun-ubun.”
“Bukan begitu Ki Buyut,“ sahut Agni
cepat-cepat, “maksudku, di dalam suasana ini, maka sulitlah dikemukan
pendapat yang jernih. Dalam suasana yang tenang, maka akan tampaklah
persoalannya, seperti sebutir batu di dasar air. Kalau airnya bergolak,
maka bentuk batu itu tidak akan kita lihat sewajarnya. Tetapi kalau air
itu tenang, maka apa yang kita lihat akan mendekati bentuk yang
sebenarnya.”
“Jangan mempersulit diri ngger,” jawab Ki
Buyut, “Aku sependapat dengan orang-orang lain, bawalah gurumu kemari.
Kau akan terlepas dari segala tuntutan. Dan bukankah gurumu itu lebih
mengetahui persoalannya daripada kau Agni? Kalau gurumu nanti dapat
memberi kami penjelasan sebaik-baiknya, dan penjelasan itu dapat kami
mengerti, maka selesailah sudah persoalannya.”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Hampir
setiap kata yang diucapkan terasa salah. Ia hampir tidak mendapat
kesempatan sama sekali untuk mengatakan seluruh persoalan. Dihadapan
suasana yang panas itu, maka hampir dapat dipastikan bahwa kata-katanya
akan mengalir seperti angin yang menggoyangkan daun-daun turi yang kini
telah condong, karena tanahnya tempat berpegangan sedikit demi sedikit
telah dihanyutkan air.
Mahisa Agni itu terkejut ketika terdengar Ki Buyut yang semakin marah itu membentak, “Agni, dimanakah gurumu?”
Agni kini tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Kepalanya menjadi pening. Pikirannya yang jernih pun
berangsur-angsur menjadi keruh. Dilihatnya orang-orang yang berdiri di
sekitarnya itu sebagai hantu-hantu yang akan menghisap darahnya. Karena
itu tiba-tiba dadanya bergolak. Kini Agni tidak lagi menundukkan
wajahnya, tetapi menjalarlah darah kemudaannya. Betapapun gurunya
mencoba berpesan kepadanya untuk berlaku sareh, namun ia adalah seorang
anak muda. Ketika sekali lagi ia mendengar Ki Buyut Panawijen
membentaknya, maka tiba-tiba ia merasa hatinya menjadi sangat pedih.
Gurunya, yang mengasuhnya sejak kanak-kanak, sama sekali tidak pernah
membentaknya. Apabila gurunya marah kepadanya, maka kemarahannya itu
selalu dapat diterimanya dengan hati terbuka. Tetapi kini, orang-orang
itu membentak-bentaknya seperti membentak-bentak orang buronan. Maka
diluar dugaan sekian banyak orang, Agni menjawab lantang. “Jangan cari
guruku. Jangan cari Empu Purwa yang tua itu. Disini berdiri muridnya.
Mahisa Agni. Segala kesalahan yang dilakukannya, segala permintaan maaf
yang tulus yang telah dipesankannya kepadaku, apabila itu sama sekali
tidak dapat kalian mengerti, maka adalah tanggung jawabku untuk
menyelesaikannya. Kini yang ada adalah Mahisa Agni. Mahisa Agni, kalian
dengar.”
Sesaat orang-orang yang berdiri di
sekitar Mahisa Agni itu terbungkam. Mereka memandang Mahisa Agni yang
berdiri tegak seperti patung.
Tetapi orang-orang Panawijen itu sudah
benar-benar dikuasai oleh kemarahannya, sehingga mereka sudah tidak
dapat berpikir tenang. Mereka telah kehilangan segala macam
pertimbangan-angan. Ketika mereka melihat Mahisa Agni berkeras hati
tidak mau menunjukkan Empu Purwa, yang disangkanya bersembunyi maka
terdengar beberapa orang berkata, “Agni. Tunjukkan gurumu, atau kau akan
mengalami nasib yang jelek seperti bendungan itu.”
Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menyala
seperti wajah-wajah orang Panawijen yang berdiri di sekitarnya. Kini ia
tegak diatasi kedua kakinya. Bahkan semakin kokoh. Dipandangnya sekali
lagi wajah-wajah orang-orang yang berdiri mengitarinya. Hampir semuanya
telah dikenalnya baik-baik. Anak-anak muda, orang-orang setengah umur,
orang-orang tua dan diantara mereka berdiri Ki Buyut Panawijen yang
pernah mengaku anak terhadapnya. Tetapi sahabatnya itu, dalam keadaan
yang langsung menyentuh sumber hidup mereka, maka mereka seakan-akan
telah melupakannya. Mereka tidak lagi dapat diajak berbicara. Dan sama
sekali tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan persoalannya dengan
tenang. Mereka berkeras menuduh gurunya bersembunyi.
Ketika sejenak Mahisa Agni tidak
menjawab, maka terdengar kembali suara diantara mereka, “Ayo. Jangan
mematung. Cepat sebelum kami kehilangan kesabaran.”
Kata-kata benar-benar tidak menyenangkan
hati Mahisa Agni. Tanpa sesadarnya ia berpaling, mencari siapakah yang
berkata itu. Dengan matanya ia menatap seorang anak muda yang tegap
kekar dan berwajah keras.
Tiba-tiba sekali lagi jawaban Mahisa Agni
mengejutkan mereka. Benar-benar tidak mereka sangka. Katanya, “Hai
anak-anak muda Panawijen. Aku kenal kalian dengan baik, seperti kalian
mengenal aku. Kalau kau sekarang berkeras menuduh aku menyembunyikan
guruku, dan kalian menganggap itu suatu kesalahan. Nah, kalian mau apa?”
Pertanyaan Mahisa Agni benar-benar
langsung menusuk setiap dada anak-anak muda yang sedang marah itu.
Hampir bersamaan mereka menjawab, “Agni. Jangan terlalu sombong. Hal ini
agaknya merupakan hari yang jelek bagimu.”
Mahisa Agni melihat anak-anak muda itu
bergerak selangkah maju. Tetapi Mahisa Agni masih tetap di tempatnya. Ia
benar-benar tidak takut mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga. Ia
sudah siap untuk berkelahi sekalipun melawan semua orang yang berdiri di
sekitarnya. Namun dalam pada itu tiba-tiba kembali terngiang suara
gurunya. Suaranya yang sejuk damai.
Mahisa Agni menggeretakkan giginya.
Apakah ia harus menyerahkan kepalanya dalam keadaan seperti itu. Apakah
ia harus berbaring dan dibiarkannya anak-anak muda Panawijen itu
berganti-ganti melemparinya dengan batu sehingga ia tertimbun mati.
Sesaat Mahisa kembali menjadi bimbang. Tetapi anak-anak muda itu maju
lagi beberapa langkah sambil mengumpat-umpatinya.
Mahisa Agni yang kemudian menjadi bimbang kembali itu berkata parau, “Ki Buyut apakah Ki Buyut tidak dapat menahan mereka.”
Ki Buyut itu mengerutkan keningnya.
Katanya, “Agni ternyata kau benar-benar berkeras kepala. Kau tidak mau
menunjukkan dimana Empu Purwa itu berada. Dengan demikian maka aku tidak
punya keinginan untuk menolongmu. Selagi kau tidak mau menolong kami
pula menemukan gurumu. Gurumu yang telah benar-benar merusak hidup
pedukuhan ini, dan hidupku. Anakku mati karena anaknya. dan pedukuhanku
akan mati juga karena perbuatannya.”
Kini Mahisa Agni tidak mempunyai
kesempatan lain. Namun tiba-tiba timbullah akalnya. Tak apalah
seandainya ia terpaksa sedikit menyombongkan dirinya, namun dalam pada
itu ia masih berusaha untuk yang terakhir kalinya menghindarkan
perkelahian atau bentrokan-bentrokan yang bisa saja tiba-tiba terjadi.
Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Agni menengadahkan dadanya. Sepasang
tangannya bertolak pinggang. Dengan lantangnya ia berkata kepada Ki
Buyut Panawijen, “Ki Buyut. Kalau Ki Buyut masih menggugat kematian
anakmu itu, maka menyesallah aku bahwa aku telah pernah
menyelamatkannya. Disini, di bawah bendungan ini Wiraprana itu hampir
mati pula dibunuh oleh Kuda Sempana. Pada saat itu, Wiraprana mencoba
bersombong diri, mencoba melawan Kuda Sempana meskipun maksudnya baik.
Tetapi seandainya aku tidak menolongnya, maka umur Wiraprana telah putus
pada saat itu pula. Pada saat belum tampak hubungan yang rapat antara
puteramu itu dengan puteri guruku. Untuk kedua kalinya aku menyelamatkan
nyawa puteramu itu ketika ia menerima tantangan seorang anak muda dari
Tumapel. Apakah Wiraprana tidak pernah mengatakannya? Anak muda itu
bernama Mahendra. Akulah yang pada saat itu menamakan diriku Wiraprana
dan bertempur melawannya. Kalau kemudian Wiraprana itu akhirnya terbunuh
juga oleh Kuda Sempana, itu pun bukan sekedar salah puteri guruku. Ki
Buyut sendiri tidak pernah mencoba menjatuhkan hukuman apapun kepada
Kuda Sempana. Dua kali aku dapat mengalahkannya di Panawijen, disaksikan
oleh Ki Buyut sendiri. Dimana anak-anak muda Panawijen tak seorang pun
yang berani berbuat apa-apa terhadap Kuda Sempana itu. Dimana anak-anak
Panawijen sama sekali tidak berani marah kepada anak muda yang telah
berusaha menodai padukuhan ini.“ Mahisa Agni berhenti sejenak.
Ditatapnya setiap wajah yang berdiri mengitarinya. Ki Buyut, anak-anak
muda dan kemudian orang-orang tua laki-laki perempuan. Kemudian katanya
kepada anak-anak muda Panawijen, “Nah. Apa yang telah kalian lakukan
untuk melindungi gadis itu. Tidak hanya pada saat terakhir, pada saat
Kuda Sempana datang bersama Akuwu. Tetapi sebelum itu. Sehari sebelum
itu? Kalian lebih senang bersembunyi. Kalian sama sekali tidak berani
berbuat apa-apa melawan Kuda Sempana. Sekarang ternyata kalian dapat
menjadi marah. Marah karena kepentingan kalian langsung yang kalian
persoalkan. Karena kebutuhan kalian sendiri.“ Sekali lagi Mahisa Agni
berhenti, sekali lagi ia memandang berkeliling.
Kata-kata itu kata-kata pameleh yang
diucapkan oleh Mahisa Agni itu, terasa menghunjam ke dalam dada setiap
anak muda di Panawijen. Mereka merasa kebenaran kata-kata itu, bahwa
mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa atas Kuda Sempana.
Ketika Ken Dedes minta perlindungan mereka maka mereka hanya
berjejal-jejal tanpa berbuat sesuatu. Bahkan, ketika Kuda Sempana maju
selangkah, mereka berloncatan tercerai-berai, meskipun kemudian ada juga
keinginan mereka membela Ken Dedes, namun ketakutan merekalah yang
selalu mencegah mereka.
Meskipun demikian sudah tentu, anak-anak
Panawijen yang merasa kehilangan sumber hidupnya, dan sedang dibakar
oleh kemarahan itu tidak mau menerima ucapan itu begitu saja. Dalam
nyala kemarahan, mereka merasa Mahisa Agni telah mengungkat-ungkat
hal-hal yang memilukan bagi mereka.
Maka jawab anak muda yang tinggi besar,
berdada bidang dan berwajah keras, “Agni, ternyata kau mencoba menggugat
lagi. Apapun yang kami lakukan sama sekali bukan suatu kesalahan. Kami
benar-benar tidak berani melawan Kuda Sempana. Apa salah kami? Apakah
ada seorang yang dapat memaksa kami untuk melakukan perbuatan yang kami
tidak berani melakukan? Apalagi gadis itu bukanlah langsung berhubungan
dengan kepentingan kami. Nah, bendungan adalah sumber hidup kami.
Bendungan bagi kami jauh lebih berharga dari seorang gadis, meskipun
gadis itu bernama Ken Dedes puteri Empu Purwa. Biarlah orang mengatakan
bahwa kami terlalu mementingkan diri kami. Tetapi bukan diriku sendiri.
Diri kami adalah seluruh penduduk Panawijen.”
Mahisa Agni menggeretakkan giginya.
Dengan lantang ia menjawab, “Bagus. Kalau kau sekarang menjadi seorang
pemberani karena kepentinganmu. Kepentingan kamu sekalian, nah, ayo
lakukan kehendakmu atasku. Aku adalah Mahisa Agni, murid Empu Purwa yang
telah mampu mengalahkan Kuda Sempana yang kau takuti. Kalau kalian
tidak berani melawan Kuda Sempana, dan Kuda Sempana itu dapat aku
kalahkan, bahkan kalau aku mau aku dapat membunuhnya, maka apa arti
kalian itu bagiku. Setiap langkah yang kalian buat, tebusan adalah nyawa
kalian. Tanganku akan mampu membunuh seseorang dengan satu pukulan.
Nah, marilah. Marilah, siapa yang ingin mati lebih dahulu. Barangkali
kalian berpikir, lebih baik mati karena tanganku dari pada mati
kelaparan. Mungkin kemudian aku akan mati pula karena lawan terlalu
banyak. Tetapi aku berkata sesungguhnya, bahwa lebih dari separuh dari
kalian akan mati juga bersama aku.
Kata-kata itu bergetar seperti getaran
guruh yang menggelegar di langit. Kata-kata yang diucapkan oleh Mahisa
Agni yang dengan sepenuh tenaga mencoba menahan perasaannya. Disusunnya
kalimat-kalimat itu dengan cermatnya. Dicobanya menyombongkan dirinya
untuk menakuti-takuti anak-anak muda Panawijen. Ia mengharap anak-anak
muda itu menjadi ngeri, dan mengurungkan niatnya, memaksanya untuk
mempertahankan diri.
Sesaat Mahisa Agni menunggu apa yang akan mereka lakukan.
Mahisa sadar, apabila anak-anak Panawijen
benar-benar menjadi pemberani, maka katanya akan mempercepat peristiwa
yang sama sekali tidak dikehendaki oleh gurunya.
Namun beberapa saat anak-anak muda
Panawijen itu masih berdiam diri. Ketika Mahisa Agni sekali lagi
memandangi mereka maka tampaklah perubahan pada wajah-wajah mereka.
Sebenarnyalah kata-kata Mahisa Agni itu
telah berhasil mempengaruhi perasaan anak-anak Panawijen. Mereka sama
sekali bukanlah pemberani, sebab mereka bisa hidup dalam suasana yang
tenteram damai. Itulah sebabnya ketika Mahisa Agni mengatakan, bahwa ia
mampu membunuh separuh dari mereka, maka tiba-tiba mereka menjadi ngeri.
Seperti mereka menghadapi Kuda Sempana, maka mereka hanya berani
berdiri saja melingkarinya. Dan ternyata Mahisa Agni dapat mengalahkan
Kuda Sempana itu.
Apa yang dikatakan Mahisa Agni telah
mengingatkan mereka, bahwa sebenarnya mereka telah melihat sendiri,
Mahisa Agni benar-benar dapat mengalahkan Kuda Sempana. Benar-benar
apabila anak muda itu mau, Kuda Sempana dapat dibunuhnya. Tatapi Mahisa
Agni tidak melakukannya. Sekarang, Mahisa Agni itu pun berdiri teguh
seperti Kuda Sempana. Bahkan karena kata-katanya, seakan-akan Mahisa
Agni menjadi bertambah garang.
Mahisa Agni melihat perubahan itu. Segera
ia mencoba menekan mereka lebih dalam lagi, katanya, “Ayo. Kenapa
kalian berdiam diri. Aku akan mengatakan sekali lagi kepastian tekadku.
Jangan mencari guruku. Aku akan mewakilinya.”
Wajah-wajah di sekitarnya tampak menjadi
semakin buram. Warna-warna merah yang merayapi wajah itu menjadi semakin
padam. Dan terdengar Mahisa Agni meneruskan, “Nah. Ingat, apa yang
dapat aku lakukan atas Kuda Sempana itu. Aku seorang murid Empu Purwa.
Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh guruku itu? Kalau kalian
benar-benar ingin menemuinya dan akan menghukumnya, dengarlah lebih
dahulu. Empu Purwa telah memecahkan bendungan ini karena luapan
perasaannya. Bendungan yang tak dapat digoyahkan oleh banjir yang setiap
tahun, setiap musim hujan itu, ternyata pecah oleh tangannya. Kalian
dengar. Pecah karena tangannya. Bagaimana kalau tangan itu menyentuh
kepala kalian?”
Yang mendengar kata-kata itu segera
mengerutkan lehernya. Alangkah mengerikan. Tangan itu dapat memecahkan
bendungan. Ya, bagaimana kalau tangan itu menyentuh kepala mereka?”
Mahisa Agni tidak melepaskan kemungkinan
yang semakin baik itu. Dengan suara gemuruh ia meneruskan, “Nah,
anak-anak muda Panawijen. Apakah yang akan kalian lakukan sekarang?
Kalau kalian merasa bahwa kalian telah berbuat untuk kepentingan kalian,
maka Empu Purwa pun berbuat untuk kepuasannya. Hai, orang-orang tua di
Panawijen. Katakanlah kepada anak cucumu yang sedang dibakar oleh
kemarahannya. Siapakah yang telah membuat bendungan itu. Siapa? Apakah
kalian pada saat kalian membuka tanah pertanian di Panawijen ini telah
membuat bendungan itu? Ayo, katakanlah dengan jujur, siapa yang telah
membuat bendungan itu untuk kalian, dan apakah yang telah kalian buat
untuknya?”
Ketika Mahisa Agni diam sesaat, maka
suasana benar-benar menjadi sepi dan tegang. Gemuruh air di bendungan
semakin lama telah menjadi semakin berkurang. Hanya kadang-kadang masih
terdengar guguran-guguran tanah tebing sungai yang menjadi semakin aus
dibawa arus air yang seakan-akan mengamuk.
Mereka terkejut ketika mereka mendengar
gemuruh tanah di samping mereka. Ketika Mahisa Agni berpaling,
dilihatnya pohon turi yang telah miring itu dengan cepatnya jadi semakin
condong dan akhirnya meluncur ke dalam arus air, Namun arus air sudah
tidak begitu deras lagi, sehingga sisa akarnya masih juga dapat
menahannya. Pohon turi itu kini seperti seorang yang sangat malang,
terbaring di permukaan air, berpegangan pada beberapa lembar akarnya
yang sudah lemah.
Sebenarnya Mahisa Agni sendiri, hanya
terasa tersayat melihat keruntuhan tebing sungai di sekitar bendungan
itu. Seperti juga anak-anak muda yang lain, bendungan itu mempunyai arti
yang sangat banyak baginya, bagi Panawijen dan bagi kehidupan di
padukuhan itu.
Meskipun demikian, ketika suasana sepi
itu menjadi semakin sepi, terdengar suaranya memecah, “Ayo, siapakah
diantara kalian yang berani berkata dengan jujur, siapakah yang telah
membuat bendungan itu? Siapa?”
Belum seorang pun yang menjawab
pertanyaan itu, sehingga Mahisa Agni bertanya kepada Ki Buyut Panawijen,
“Ki Buyut. Ki Buyut tentu mengetahui, siapakah yang telah merencanakan
dan membuat bendungan itu dengan susah payah dan diserahkannya kepada
Panawijen?”
Dada Buyut Panawijen itu berdesir
mendengar pertanyaan Mahisa Agni. Pertanyaan itu benar-benar tidak
disangkanya akan diberikan kepadanya. Karena itu sesaat ia berdiam diri.
Dicobanya untuk mengatasi debar jantungnya. Sehingga kini Mahisa Agni
lah yang mendesaknya, “Siapa? Siapa Ki Buyut. Biarlah anak-anak muda
yang sedang marah itu mendengarnya, siapakah yang telah menyediakan
sumber hidup mereka. Supaya mereka menyadari apa arti kata-kata mereka,
bahwa bendungan itu bagi mereka jauh lebih berharga dari seorang gadis
meskipun gadis itu bernama Ken Dedes, puteri Empu Purwa.”
Ki Buyut Panawijen menjadi semakin
bingung. Anak-anak muda Panawijen pun menjadi semakin bingung pula.
Mereka masih diliputi oleh suasana kecemasan, karena Mahisa Agni
benar-benar akan bertahan, yang pasti akan melampaui kekuatan Kuda
Sempana. Kini mereka melihat betapa Buyut Panawijen menjadi kebingungan.
Akhirnya, anak-anak muda Panawijen itu
terkejut bukan kepalang ketika mereka mendengar Ki Buyut itu menjawab
lirih dan penuh keragu-raguan, “Empu Purwa ngger. Yang membuat bendungan
itu adalah Empu Purwa.”
Betapa wajah-wajah di sekitar Mahisa Agni
menjadi sangat gelisah. Sesaat mereka tidak dapat mengerti jawaban itu,
bahkan mereka hampir tidak dapat mempercayainya. Namun terdengar Mahisa
berkata, “Nah, anak-anak muda Panawijen. Kalian dengar. Yang membangun
bendungan itu adalah Empu Purwa. Tiga tahun ia bekerja untuk itu. Tiga
tahun ia membanting tulang untuk menyediakan sumber hidup kalian, yang
kalian katakan jauh lebih bernilai dari seorang gadis, yang meskipun
gadis itu anak Empu Purwa.”
Tak seorang pun kini yang berani menatap
wajah Mahisa Agni. Betapa wajah itu membayangkan getaran perasaannya
yang bergelora. Meskipun Mahisa Agni tidak mengatakannya, namun terasa
betapa tuntutan keadilan memancar dari jiwanya.
Kembali suasana menjadi senyap. Namun
kini terasa betapa anak-anak muda Panawijen menjadi bimbang dan bingung.
Ternyata tidak banyak diantara mereka yang mengerti, siapakah yang
telah membuat bendungan itu untuknya, seperti dirinya sendiri yang baru
saja mendengar dari gurunya.
Tetapi tiba-tiba suara Mahisa Agni
memecah kesepian, “Empu Purwa tidak melakukanya, karena ia merasa berhak
berbuat apa saja atas bendungan yang dibuatnya sendiri. Empu Purwa
melakukannya karena ia sedang kehilangan keseimbangan perasaan, seperti
kalian pernah juga mengalaminya dan bahkan baru saja mengalaminya.
Meskipun Empu Purwa seorang pendeta yang baik, namun ia adalah manusia
biasa seperti yang dikatakannya sendiri. Manusia yang kerdil dan penuh
dengan kesalahan-kesalahan dan dosa. Manusia yang khilaf dan tidak
melihat kesalahan sendiri. Manusia yang hanya tahu kepentingan sendiri
lebih dari apapun. Nah, Empu Purwa pun mempunyai sifat-sifat itu. Namun
sifat itu diakuinya. Disadarinya kesalahannya, dan ia telah berpesan
untuk minta maaf kepada kalian.”
Yang menundukkan kepalanya menjadi
semakin tunduk. Bahkan kemudian Mahisa Agni melihat wajah itu menjadi
semakin suram. Akhirnya terasa nafas keputusasaan telah melanda mereka.
Bendungan itu telah pecah, dan mereka tidak, dapat berbuat apa-apa.
“Nah, apa kata kalian kini?“ bertanya Mahisa kini?”
Tak seorang pun dapat menjawab, sehingga Mahisa Agni mendesaknya, “Apa. Apa yang akan kalian lakukan.”
Ki Buyut Panawijen menggelengkan
kepalanya. Desahnya, “Hancur. Semuanya sudah hancur. Kami tidak dapat
lagi menuntut Empu Purwa seperti jalan pikiranmu ngger. Kau benar, Empu
Purwa telah berbuat atas barang yang dibuatnya sendiri. Tetapi kami akan
mengalami bencana karenanya. Bencana, yang tidak dapat kami hindari.
Sawah-sawah kami akan kering dan sumber hidup kami pun akan kering
pula.”
“Apakah cukup demikian?” bertanya Mahisa Agni.
Ki Buyut terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga terloncat pertanyaannya, “Apakah maksudmu Agni. Apakah yang cukup begitu?”
Mahisa Agni memandang wajah Ki Buyut yang putus asa itu. Dan hampir setiap wajah memancar perasaan yang Serupa. Putus asa.
“Apakah cukup dengan berputus asa,“ desis Mahisa Agni.
Tak seorang pun yang tahu akan maksud
Mahisa Agni. Karena itu mereka masih saja berdiam diri. Bahkan ada
diantara para pemuda yang menjadi sedemikian sedihnya, sedih tentang
bendungan yang pecah, sedih tentang Panawijen dan sedih tentang dirinya
sendiri, sehingga wajahnya menjadi pucat dan matanya berkaca-kaca.
Mahisa Agni melihat wajah yang pucat dan
berkaca-kaca itu. Karena itu tiba-tiba katanya lantang, “Kenapa kalian
hanya bersedih dan berputus asa saja?”
Ki Buyut Panawijen mengangkat wajahnya,
kemudian ia bertanya, “Lalu apakah yang harus kami kerjakan Agni? Sumber
hidup kami telah hancur. Kami tidak akan dapat bersawah tanpa air.”
Mahisa Agni kini merasa kebenaran
kata-kata gurunya. Ia harus membangunkan rakyat Panawijen yang sedang
tertidur itu. Maka katanya kemudian, “Nah, kalau demikian marilah kita
bersama-sama memandang ke hari depan. Jangan kita kini saling
salah-menyalahkan dan menganggap diri kita masing-masing dalam
kebenaran. Karena di lain persoalan yang kita tanggapi, mungkin
tanggapan kita berbeda-beda. Dengan demikian kita seakan-akan menganggap
kebenaran ada pada diri kita masing-masing. Kini marilah kita lupakan.
Marilah kita melihat sumber kesalahan yang paling dalam. Semuanya ini
adalah karena nafsu Kuda Sempana yang berlebih-lebihan. Nafsunya yang
tidak terkendali. Namun kita semua pun telah berbuat kesalahan pula.
Kenapa kita tidak berbuat sesuatu atas Kuda Sempana itu dahulu? Aku
telah mengalahkannya, tetapi aku tidak membinasakannya sama sekali,
sebab aku sangka ia akan menyadari kesalahannya. Tetapi ternyata
akibatnya menjadi semakin panjang. Wiraprana terbunuh, Empu Purwa
kehilangan keseimbangan meskipun untuk sesaat, tetapi yang sesaat itu
telah menentukan kehidupan Panawijen di Kemudian hari. Kalian pun
hampir-hampir terjerumus pula dalam persoalan yang tidak ada gunanya
seperti aku juga.“ Mahisa Agni berhenti sesaat untuk menelan ludahnya.
Ia tidak melihat perubahan sikap dari wajah orang-orang Panawijen. Namun
ia meneruskan, “Karena itu marilah. Jangan tangisi bendungan yang telah
pecah itu. Kita adalah laki-laki seperti Empu Purwa pula. Kalau
beberapa puluh tahun Empu Purwa mampu membuat bendungan, kenapa kita
tidak?”
Tiba-tiba Mahisa Agni melihat beberapa
orang mengangkat wajah mereka. Mula-mula mereka heran melihat sikap
Mahisa Agni yang meyakinkan. Namun tiba-tiba wajah mereka pun menjadi
semakin terang. Apalagi ketika sekali lagi Mahisa Agni berkata. “Dahulu
Empu Purwa melakukannya berdua dengan beberapa orang cantrik selama tiga
tahun. Nah, berapakah jumlah kita? Ayo, siapa yang cinta akan kampung
halaman ini, kita bertekad untuk membangun kembali bendungan ini. Tetapi
tidak disini. Lihat tebing sungai ini telah terlalu parah. Sungai ini
seolah-olah menjadi jauh lebih lebar dari sebelumnya. Marilah kita
lihat. Kita susuri sungai ini kemudian kita bangun bendungan baru. Kalau
kita berhasil, maka kita akan dapat membangun daerah persawahan baru.
Kita akan dapat bangkit kembali dari kehancuran akibat kelemahan
perasaan guru atas hilangnya anak tunggalnya, seperti diakuinya
sendiri.”
“Sekarang, ayo, siapakah yang mau
bersama-sama dengan aku melakukannya? Membangun bendungan baru dengan
cucuran keringat kita sendiri untuk kepentingan kita sendiri. Bukan
sekedar hadiah dari orang lain.”
Anak-anak muda Panawijen itu tergetar
hatinya mendengar kata-kata Mahisa Agni. Mereka benar-benar seakan-akan
tergugah dari dunia mimpinya yang indah. Mimpi yang tenteram sejuk
seperti langit senja hari. Namun tiba-tiba mendung dan petir menggelegar
di langit yang berwarna cerah itu. Dalam kecemasan dan ketakutan terasa
Mahisa Agni telah membangunkannya.
Kini dihadapinya kenyataan itu. Mereka
benar-benar harus berbuat sesuatu. Dan terdengar sekali lagi Mahisa Agni
berkata, “Marilah kita bekerja. Kita tandai penderitaan rakyat kita
dengan kerja. Kalau kerja itu berhasil, maka air yang akan kita teguk
dan makanan yang akan kita telan, terasa akan semakin nikmat dari pada
air dan makan yang kita terima dari orang lain. Meskipun mula-mula kita
harus makan apa saja yang dapat kita makan. Mungkin mula-mula kita akan
menjadi kurus karenanya, tetapi kita tidak mengorbankan anak cucu kita
karena kemalasan kita.”
Anak-anak muda Panawijen itu kini sudah
tidak menundukkan wajah mereka masing-masing lagi. Bahkan tampak wajah
Ki Buyut yang tua itu pun menjadi cerah. Dalam keheningan suasana yang
mencengkam kemudian, terdengar suara Ki Buyut parau, “Kau benar-benar
jantan Agni. Tanpa kau maka Panawijen sudah akan hancur. Dan kita
terpaksa mengungsi bercerai berai mencari sesuap nasi. Kini timbul
kembali harapan di dada kami, meskipun kami tidak akan dapat membangun
tanah persawaban di daerah ini, tetapi di daerah lain, kita masih akan
tetap bersama-sama dalam satu perjuangan untuk hidup kami dan anak cucu
kami tanpa menggantungkan diri kami kepada belas kasihan orang lain.
“Sekarang siapakah yang bersedia bekerja bersama aku,” teriak Mahisa Agni tiba-tiba.
Sesaat suaranya itu bergetar saja di
udara, seakan-akan tak seorang pun yang mendengarnya. Tetapi Mahisa Agni
menyadari, bahwa suaranya itu sedang bergolak di dalam dada anak-anak
muda Panawijen. Semakin lama semakin dahsyat, sehingga akhirnya
meledaklah sambutan atas ajakan itu. Anak-anak muda itu berteriak-teriak
seperti orang mabuk tuak, kata mereka, “Aku. Aku Agni. Aku akan turut
membangun bendungan itu bersamamu.”
Mahisa Agni melihat tangan-tangan yang
terangkat tinggi-tinggi untuk menyambung tubuh-tubuh mereka supaya dapat
dilihat oleh Mahisa Agni. Dan teriakan-teriakan itu masih terus
beruntun sahut menyahut. Bahkan, kemudian bukan saja anak-anak muda,
tetapi orang-orang tua dan perempuan pun berteriak nyaring, “Aku, aku,
aku, Agni. Aku ikut serta dalam pekerjaan itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukan kepalanya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Tetapi ia tersenyum karenanya.
Anak-anak muda Panawijen itu masih saja
berteriak-teriak tak habis-habisnya. Mereka sudah melupakan kemarahan
mereka terhadap Mahisa Agni. Mereka telah melupakan kemarahan mereka
terhadap Empu Purwa. Kini yang ada di kepala mereka, adalah sebuah
bendungan baru.
“Kalau kalian bersedia,” berkata Mahisa
Agni kemudian, “marilah pekerjaan itu segera kita mulai. Jangan menunggu
padi di dalam lumbung-lumbung kita habis. Jangan menunggu air semakin
deras karena hujan menjadi sering. Kalau kita bekerja keras dan penuh
kemauan, maka pekerjaan itu akan segera selesai. Tidak perlu menunggu
tiga tahun, seperti yang dilakukan oleh Empu Purwa yang hanya beberapa
orang itu, tetapi karena kita bekerja dengan tenaga yang berlipat
duapuluh kali, maka kita harus dapat menyelesaikannya dalam tiga bulan.
Apakah kalian sanggup?”
“Sanggup Agni. Sanggup,” teriak mereka.
Mahisa Agni kini menjadi semakin puas. Ia
telah berhasil membangunkan rakyat yang selama ini seakan-akan tertidur
dibuai oleh kesuburan tanahnya, sehingga seakan-akan makan dan minum
mereka dapat datang sendiri tanpa mereka berbuat sesuatu. Namun kini
mereka harus bekerja keras. Bekerja dengan tenaga sendiri untuk
kepentingan sendiri dan anak cucu. Supaya di masa-masa mendatang anak
cucu mereka tidak mengutuk mereka, sebagai orang-orang malas yang hanya
mampu makan apabila disuapi oleh orang lain.
“Kalau demikian,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “sekarang marilah kita pulang. Pulang ke rumah masing-masing.
Kita lihat apakah cukup alat pada kita untuk membangun bendungan baru.
Besok, aku dan beberapa anak-anak muda ingin berjalan menyusur sungai
itu ke udik untuk mencari tempat yang sebaik-baiknya, dimanakah
bendungan baru itu harus kita bangun. Tempat itu harus memenuhi beberapa
syarat. Tidak terlalu dalam dan tidak terlalu lebar, supaya air segera
dapat naik. Tetapi juga tempat yang cukup sarana untuk membangun
bendungan itu. Batu dan kayu.”
“Aku ikut dengan kau Agni,“ terdengar suara bersahut-sahutan diantara mereka.
“Terima kasih, tetapi sementara ini aku
hanya memerlukan dua tiga orang saja diantara kalian. Sekarang
pulanglah. Nanti aku akan menghubungi kalian yang akan pergi bersama aku
besok.
(Bersambung ke jilid 13).
No comments:
Write comments