Berbeda dengan beberapa pelayan dalam
yang hadir di tepi arena itu. Seperti juga para prajurit, mereka tidak
menghiraukan persoalan yang tengah mereka perjuangkan. Mereka kini hanya
dapat melihat suatu kebanggaan di dalam lingkungannya. Kuda Sempana
ternyata tidak kalah tangkas dan lincahnya, meskipun ia sedang bertempur
melawan seorang perwira prajurit pengawal istana. Salah seorang dari
mereka tidak dapat mengendalikan perasaannya. Sehingga dengan penuh
gelora kebanggaan ia berbisik kepada seorang pelayan dalam lain yang
duduk di sampingnya, “Lihat, bukankah di lingkungan kami, ada juga
seorang yang tidak kalah tangkasnya dari mereka yang telah disebut
prajurit sepenuhnya?”
“Gila kau,” sahut kawannya itu, “itu
bukan suatu keistimewaan. Sedang seorang petani, anak padesan mampu
mengalahkan Kuda Sempana itu. Bahkan membunuhnya pun ia mampu.”
“Ah. Petani yang mana?”
Kawannya itu mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Aku mendengar dari seorang perempuan tua, keluarga
petani itu. Kuda Sempana pernah diampuninya, meskipun seandainya ia mau,
maka ia akan dapat memenggal leher Kuda Sempana itu dengan mudahnya.”
Pelayan dalam yang sedang berbangga itu
mengerutkan keningnya. Apakah yang dikatakan kawannya itu sebenarnya
telah terjadi atau hanya kawannya itu menjadi iri hati atas ketrampilan
Kuda Sempana.
Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya, atau perempuan tua itu membual?”
“Sebenarnya. Kuda Sempana belum apa-apa.
Lihat, kalau Witantra telah dapat menindas keragu-raguannya maka Kuda
Sempana akan segera dapat dilemparkan dari arena.
“Gila. Apakah kau tidak berbangga atas kemenangan kawan kita itu?”
“Hm. Tidak. Terkutuklah Kuda Sempana itu. Kau iri hati.”
“Tidak. Aku berani melawannya. Aku pernah
bertempur dengan anak padesan yang mampu mengalahkan Kuda Sempana itu.
Dan anak muda itu belum mampu mengalahkan aku.”
Pelayan dalam itu berpaling. Ia terkejut
ketika dilihat wajah kawannya yang merah membara. Kawannya itu ternyata
adalah Ken Arok.
Pelayan dalam, kawan Ken Arok yang tidak
banyak mengetahui persoalannya itu menjadi sangat heran. Kenapa Ken Arok
seolah-olah menjadi marah melihat perkelahian itu, sehingga tanpa
sesadarnya ia bertanya, “Kenapa kau Ken Arok.”
Ken Arok tidak menjawab. Matanya yang bulat masih saja memandang perkelahian itu hampir tanpa berkedip.
“Ken Arok,” berkata kawannya, “bukankah
dengan demikian maka orang tidak akan dapat menganggap kami orang-orang
banci yang tidak berarti di halaman istana ini selain menjadi pesuruh.
Mengantarkan perintah Akuwu akan melihat gedung-gedung perbendaharaan,
memelihara pusaka-pusaka dan pekerjaan itu yang semacamnya. Bukankah
dengan demikian mata seluruh penduduk Tumapel akan terbuka, bahwa kami
pun prajurit-prajurit yang mampu mengerahkan tenaga dan bertempur
seperti selayaknya prajurit.
“Tidak perlu,” sahut Ken Arok pendek.
Kawan itu menjadi semakin heran. Dengan
dahi berkerut-kerut ia bertanya pula, “Kenapa? Apakah kita tidak
memiliki kebanggaan atas kesatuan kita?”
“Kali ini yang penting bukan kesatuan.
Bukan seorang pelayan dalam dan seorang prajurit. Kalau kau berpikir
demikian, dan para prajurit itu juga berpikir seperti kamu, maka akan
segera timbul pertengkaran antara kita.”
“Bukan begitu Ken Arok. Bukan begitu.”
“Sudahlah. Lihat, sekarang Witantra sudah
agak maju. Ia sudah hampir berhasil menindas kebimbangannya. Ia terlalu
jujur dan baik hati.”
Kawannya masih tetap tidak dapat
mengerti, kenapa Ken Arok tidak berpihak kepada Kuda Sempana. Sehingga
sekali lagi ia bertanya, “Kenapa kau berpihak pada perwira itu, apakah
sebentar lagi akan berpindah ke kesatuannya.”
“Tidak. Tetapi aku melihat persoalannya.
Bukan siapakah yang sedang melakukan. Aku tidak peduli apakah Kuda
Sempana itu dari kesatuanku apakah ia adikku atau ayahku sekalipun. Ia
berada di pihak yang salah.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Sekali ia
menarik nafas. Kenapa Kuda Sempana bersalah. Kalau ia bersalah, maka
Akuwu pasti akan menangkap dan menghukumnya. Pasti ada sesuatu sebab,
kenapa Akuwu memberinya kesempatan. Tetapi ketika ia hampir membuka
mulutnya, terdengar ken Arok berdesis tajam, “Jangan bicara lagi. Aku
tidak senang mendengarnya. Sebab kau berpihak tanpa mengetahui
persoalannya. Sedang aku berpihak pada kebenaran. Nanti kita akan
bertengkar sendiri. Besok kalau kau sudah mendengar ceritera yang
sebenarnya kau akan sependapat dengan aku.”
Orang itu mengurungkan niatnya. Ketika ia
memperhatikan perkelahian di arena, maka kembali keningnya berkerut.
Perkelahian itu telah berubah sama sekali. Ia tidak melihat lagi Kuda
Sempana mendesak Witantra terus menerus. Kini yang dilihatnya
perkelahian itu menjadi agak seimbang. Hanya sekali-kali Kuda Sempana
berhasil mendorong Witantra surut dan mencoba memburunya. Namun sesaat
kemudian Witantra telah menemukan keseimbangannya kembali, sehingga
dengan cepatnya ia mendahului menyerang dan segera ia mendapatkan
tempatnya kembali.
Pelayan dalam kawan Ken Arok, mengerutkan
keningnya. Ia mulai ragu-ragu dengan penglihatannya. Apakah benar
Witantra akan dapat mengalahkan Kuda Sempana? Namun kemungkinan itu
masih jauh. Sekali-kali ia masih melihat Kuda Sempana menguasai arena.
Karena itu ia menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan kembali ia bergumam, “Kedudukan Kuda Sempana masih cukup baik.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia
menggigit bibirnya untuk menahan kejengkelannya. Namun kawannya itu
agaknya sama sekali tidak puas dengan pendirian Ken Arok, sehingga ia
berkata, “Huh, aku sangka, Witantra itu tidak akan bertahan lebih lama.
Ia hanya sekedar orang yang berlagak sakti. Lihat itu adik-adik
seperguruannya yang nakalnya bukan main. Kebo Ijo. Untung ia tidak jadi
kawin dengan adikku. Sekarang bakal isterinya hampir-hampir tak pernah
diperhatikannya lagi. Ia sudah akan kawin meskipun masih terlalu muda
karena kebengalannya. Masih terpandanglah adiknya yang lain Mahendra.
Ken Arok menjadi semakin jemu mendengar
kata-kata itu. Kalau tidak di lingkungan orang banyak maka mulut orang
itu pasti sudah disumbatnya. Namun kini ia hanya dapat menggeser untuk
beberapa jengkal.
Tetapi orang itu benar-benar
menjengkelkan. Ia bergeser pula mengikutinya sambil berkata, “He, Ken
Arok. Apakah kau ingin supaya kau yang mengganti Kuda Sempana bertempur
melawan Witantra supaya kau mendapat hadiah itu?”
Ken Arok menggeram. Akhirnya ia menjawab. “Aku ingin menggantikan Witantra dan mencekik leher Kuda Sempana.”
Kawannya tertawa perlahan. Desisnya, “Kau benar iri. Kalau tidak kau tidak akan berbuat begitu.”
Ken Arok hampir tak dapat menguasai
dirinya. Sesaat ia bingung bagaimana caranya membungkam mulut kawannya
itu. Tiba-tiba itu, tangannya yang kuat itu perlahan-lahan menyobek
tikar tempat duduknya, dan dari bawah tikar itu diambilnya sebuah batu.
Ketika kawan di sampingnya masih berkata pula, Ken Arok memotongnya, “Kau mau diam atau tidak?”
Orang itu bahkan tertawa meskipun
perlahan-lahan. Kemudian jawabnya, “Itu adalah urusanku. Apakah aku mau
berkata terus, atau aku mau diam.”
“Tetapi kau mengganggu aku.”
“Salahmu. Kalau kau terasa terganggu.”
“Jangan tunggu sampai aku membungkam mulutmu.”
Orang itu membelalakkan matanya dengan marahnya. Bahkan ia berkata, “Jangan sombong orang baru. Aku bunuh kau nanti.”
Kini Ken Arok benar tidak dapat menahan
dirinya. Sehingga dengan geramnya ia menunjukan sebuah batu di tangannya
itu sambil berkata, “Lihat, inilah mulutmu itu.”
“Mau apa kau,“ tantang kawannya.
Ken Arok tidak menjawab, tetapi tiba-tiba kedua tangannya meremas batu di tangannya sehingga pecah menjadi tiga.
Ternyata karena luapan kemarahannya, Ken
Arok telah menghimpun kekuatannya di dalam tangannya itu, sehingga
dengan satu gerakan yang luar biasa dahsyatnya, tangannya berhasil
memecahkan batu itu tanpa berkisar dari tempat duduknya.
Kawannya pelayan dalam yang duduk di
samping, yang dengan bicaranya telah membakar kemarahan Ken Arok itu
terkejut bukan alang kepalang. Seperti melihat hantu di bawah terik
matahari ia membelalakkan matanya.
“Batu itu pecah,” gumamnya di dalam hati, “ya, pecah. Dan sepasang mata ini telah melihat.”
Tiba-tiba tubuhnya menggigil menahan
perasaannya yang bergolak itu. Hampir tidak mungkin terjadi, dan ia
tidak akan percaya seandainya orang lain yang mengatakan kepadanya,
bahwa sambil duduk tepekur Ken Arok mampu memecahkan batu-batu dengan
jari-jarinya. Tetapi itu telah terjadi.
Mulut orang itu bergetar, namun ia tidak
dapat mengucapkan sepatah katapun. Ketika Ken Arok meletakkan pecahan
batu itu di pangkuannya, orang itu sama sekali tidak mampu untuk
menerima dengan tangannya. Apalagi ketika ia mendengar Ken Arok
berdesis, “Nah. Lihat batu itu, Kalau kau berkata sepatah kata lagi,
apalagi memuji Kuda Sempana atau mengancam membunuh aku, maka mulutmulah
yang akan aku remas seperti batu itu. Aku yakin bahwa mulutmu pasti
lebih lunak daripada batu. Bagaimana?”
Seperti dikuasai oleh kekuatan yang tak
dimengerti maka orang itu menganggukkan kepalanya berkali-kali
seakan-akan ia ingin meyakinkan, bahwa ia benar-benar tidak akan berkata
sepatah katapun lagi.
“Lihat arena itu,“ geram Ken Arok.
Orang itu mengangkat wajahnya, dan dilihatnya apa yang terjadi di arena.
Kembali ia terkejut. Keseimbangan
perkelahian itu benar-benar telah berubah. Ternyata, Witantra yang
mendapat tekanan terus menerus tanpa terkendali, akhirnya sedikit demi
sedikit kesabarannya berguguran seperti batu padas di pinggir lautan.
Sedikit demi sedikit gelombang menggamitnya siang dan malam. Sehingga
akhirnya, selapis demi selapis, betapapun tipisnya, batu padas itu pun
akan rontok.
Demikianlah Witantra kemudian telah
hampir kehilangan kesabaranya. Dengan sekuat tenaga ia telah berhasil
menindas keragu-raguannya. Namun meskipun demikian, ia sama sekali tidak
kehilangan ketenangan dan kesadarannya, bahwa apa yang dilakukan
bukanlah suatu nyala dendam di dalam hati, bukan suatu keharusan untuk
memusnahkan, tetapi sekedar untuk menundukkan hati Kuda Sempana yang
keras sekeras batu hitam.
Demikianlah kemudian ternyata, bahwa
prajurit perwira pengawal istana itu dapat menguasai keadaan
sebaik-baiknya. Betapapun dahsyatnya tenaga dan kemampuan Kuda Sempana,
namun ilmu yang tersimpan di dalam diri Witantra mampu mengimbanginya.
Witantra adalah seorang yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang
sangat luas. Perang tanding, gelar-gelar perang dan bahkan dalam
perang-perang berubuh yang kacau. Itulah sebabnya, maka ia mempunyai
banyak cara untuk menundukkan musuh-musuhnya.
Kali ini Witantra menempuh cara yang
sangat sederhana. Dibiarkannya lawannya bekerja mati-matian. Dilayaninya
lawan itu secukupnya, asal dirinya sendiri tidak terjatuhkan karenanya.
Dan kemudian dibiarkannya lawan itu menjadi sedemikian bernafsu.
Akhirnya lawannya akan berhenti kelelahan.
Demikianlah maka setiap kali Witantra
hanya memancing nafsu Kuda Sempana yang sedang meluap-luap. Sekali ia
menyerang, menyentuhnya apabila mungkin, atau menekannya
seketat-ketatnya. Apabila Kuda Sempana kemudian melepaskan semua
kekuatan, kemampuan dan tenaganya, maka dibiarkannya kuda Sempana
menghabiskan nafasnya sendiri. Witantra melawannya sekedar untuk
membebaskan dirinya dari serangan yang berbahaya.
Beberapa orang melihat cara yang ditempuh
Kuda Sempana itu. Akuwu Tumapel pun melihat pula. Dalam kebingungannya
Akuwu Tumapel tidak dapat menilai, apakah cara itu adalah cara yang
sebaik-baiknya. Sekali-kali ia berpaling, dicarinya orang-orang yang
akan dapat diajaknya berbicara untuk mengurangi ketegangan yang
menghimpit perasaannya. Tetapi orang-orang yang duduk di belakangnya
adalah orang-orang yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan itu
dengan baik, sehingga Akuwu takut, seandainya ada kata-katanya yang
terloncat tanpa disadarinya.
Tetapi agak jauh di belakang, tiba-tiba
dilihatnya Ken Arok dengan wajah yang tidak kalah tegangnya dengan wajah
Tunggul Ametung sendiri. Karena itu dengan serta merta, Tunggul Ametung
melambaikan tangannya, memanggil Ken Arok untuk maju dan duduk di
sampingnya.
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak.
Sekali-sekali ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Ia
mengerutkan keningnya ketika dirasanya semua mata sejenak melepaskan
perkelahian di arena dan memandang kepadanya.
Sekali lagi Tunggul Ametung melambaikan
tangannya. Dan Ken Arok tidak dapat menolaknya. Apabila ia tidak segera
datang, maka Tunggul Ametung itu pasti akan berteriak-teriak
membentaknya. Karena itu, sambil berjongkok ia beringsut maju. Melampaui
beberapa pemimpin pelayan dalam dan kemudian beberapa perwira dari
berbagai kesatuan. Akhirnya ia duduk di belakang Tunggul Ametung. Namun
terasa Tunggul Ametung itu menyambar tangannya dan menariknya dekat di
sampingnya.
Alangkah kuatnya tangan itu. Ketika
jari-jari Tunggul Ametung menyentuhnya, serasa sebuah himpitan besi
melingkari tangannya. Sehingga sebelum ia menyadari keadaannya, ia sudah
terpaksa beringsut maju.
Ken Arok menjadi berdebar-debar. Bukan
saja karena ia duduk di samping Akuwu, di muka para perwira dan pimpinan
pemerintahan, namun demikian, diketahuinya, betapa kuatnya tangan Akuwu
Tunggul Ametung. Betapa tenaga yang tersirat dan di dalam tubuhnya.
Baru Sejenak kemudian, tubuh Ken Arok
telah dibasahi oleh keringat dinginnya. Sebagai seorang pelayan dalam
dari tingkat yang paling rendah, maka tiba-tiba ia harus duduk di
samping Akuwu Tunggul Ametung, di muka para perwira dan pimpinan
pemerintahan. Betapapun juga hati Ken Arok bergetar semakin cepat.
Mungkin Akuwu lebih mengenalnya dari kawan-kawannya, dan itu hanya
karena seorang Pendeta langsung menyerahkannya untuk menghamba kepada
Tunggul Ametung sendiri. Tetapi untuk kemudian langsung duduk di
sampingnya dalam keadaan yang resmi itu benar-benar mendebarkan.
Ternyata beberapa orang pun menjadi
heran, kenapa Akuwu memanggil seorang pelayan dalam yang belum lama
menghambakan diri di Tumapel. Namun segera mereka kehilangan perhatian
atas persoalan itu, sebab mereka semuanya telah mengenal tabiat dari
Akuwu Tunggul Ametung.
Di samping kegelisahannya tentang
dirinya, Ken Arok tak habis pikirnya, kekuatan apakah yang menyebabkan
tangan Akuwu itu serasa sekeras besi. Seorang pelayan dalam, kawannya,
hampir mati beku melihat jari-jarinya mampu memecahkan sebutir batu.
Apalagi kalau dirasakannya betapa keras dan kuatnya tangan Tunggul
Ametung dalam keadaan yang wajar itu. Bagaimanakah kira-kira kekuatan
tangan itu apabila dilambari oleh pemusatan kekuatan lahir dan batinnya.
Mustahil seorang Akuwu tidak menyimpan ilmu yang kuat di dalam dirinya.
“Kalau Akuwu Tunggul Ametung sendiri yang tampil di arena, maka aku kira Kuda Sempana akan menjadi lumat,” pikir Ken Arok.
Sementara perkelahian masih berlangsung
terus. Witantra masih membiarkan lawannya menyerangnya dengan sepenuh
nafsu kemarahannya. Witantra masih melayaninya dengan cara yang sama,
membiarkan lawannya berhenti kelelahan.
Akuwu Tunggul Ametung menggeram-geram dan
demikian katanya kepada Ken Arok perlahan serangan dengan lihat dalam
perkelahian itu?”
Ken Arok menjadi bingung. Bagaimana ia
harus menjawab pertanyaan itu. Apakah sebenarnya yang dilihatnya? Kuda
Sempana bertempur mati-matian dan Witantra berjuang untuk mempertahankan
dirinya?”
Sekali lagi Tunggul Ametung mendesaknya, “He apa yang kau lihat? Apakah kau tidur?”
Ken Arok tidak dapat menjawab lain dari
pada yang dilihatnya, Karena itu dengan terburu-buru ia berkata, “Hamba
melihat kakang Witantra mencoba mengalahkan lawannya dengan memberinya
kesempatan berbuat sebanyak-banyaknya sehingga kemudian ia akan menjadi
sangat lelah.
“Ya. Kedua-duanya tolol,” geram Tunggul
Ametung, “alangkah bodohnya Kuda Sempana. Ia dapat berbuat lain dari
pada menghabiskan nafasnya. Dan alangkah bodohnya Witantra. Ia dapat
mempersingkat perkelahian itu dan ia akan cepat selesai pula.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pendapat Akuwu Tunggul Ametung itu tepat benar menurut penilaian Ken
Arok. Sekali ia berpaling memandangi wajah Akuwu yang tegang, namun
kemudian kembali matanya terlempar ke arena, kepada Witantra dan Kuda
Sempana yang lagi memeras tenaganya.
Tetapi, Witantra dan Kuda Sempana sendiri
ternyata berada dalam keadaan yang berbeda. Meskipun di dalam dada
Witantra kadang-kadang timbul pula keinginannya untuk segera mengakhiri
perkelahian, namun untuk menundukkan Kuda Sempana bukanlah pekerjaan
yang terlalu mudah baginya. Sekali-kali ia telah mencoba pula, menyerang
seperti badai menghantam gunung meskipun ia masih selalu diganggu oleh
kesadarannya bahwa ia tidak harus mencederai lawannya, namun Kuda
Sempana mampu saja menyelamatkan dirinya, dan masih saja berhasil
bertahan dan menyerangnya … terasa oleh Witantra bahwa agaknya Kuda
Sempana masih dapat mengendalikan dirinya sehingga geraknya … kan
segenap kemarahan dan sakit hatinya … kemudian dipergunakan oleh
Witantra.
Dalam pada itu Kuda Sempana yang sedang
berkelahi mati-matian itu, benar-benar kehilangan pengamatan. Bagi
mereka yang duduk diluar arena, segera dapat melihat, bahwa Witantra
menunggunya sampai tenaganya terperas habis. Tetapi bagi Kuda Sempana
sendiri yang berada di arena, yang melihat perkelahian itu tanpa jarak,
tidaklah segera ia dapat merasakan siasat Witantra itu. Apalagi Witantra
melakukan dengan baik dan cermat. Sekali-kali Witantra ia memancingnya
dalam pemerasan tenaga dan nafas, namun kemudian dibiarkannya Kuda
Sempana menyerangnya bertubi-tubi.
Ia hanya berusaha menghindari serangan-serangan itu dan mencoba membiarkan Kuda Sempana menjadi semakin garang.
Namun perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin cepat pula. Kuda Sempana benar-benar telah mengerahkan
segenap kemampuan dan kecakapannya. Sehingga beberapa orang yang berada
diluar arena menjadi semakin tegang. Apakah Witantra akan tetap pada
pendiriannya? Membiarkan Kuda Sempana berhenti dengan sendirinya?”
Tetapi keadaan ternyata segera berubah.
Witantra semakin lama semakin kehilangan kesempatan untuk mempertahankan
diri. Serangan-serangan Kuda Sempana mengalir seperti banjir bandang.
Dilandanya semua yang menghalang-halanginya. Semakin lama semakin
dahsyat, dan semakin lama derunya semakin cepat. Sehingga kemudian
Witantra pun selalu terdesak.
Akhirnya Witantra tidak dapat bertahan
dengan caranya. Meskipun ia akan dapat lebih lama bertahan, namun
apabila pada suatu ketika serangan Kuda Sempana benar-benar berhasil
mengenainya di tempat-tempat yang berbahaya, maka ia pasti akan
kehilangan semua kesempatan. Karena itu, maka tiba-tiba ia merubah
caranya. Meskipun ia tidak ingin mencelakakan Kuda Sempana, tetapi
melawan seseorang yang bertempur diantara hidup dan mati, maka adalah
bukan salahnya apabila ia terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang
ada pula.
Itulah sebabnya kemudian Witantra menggeram dan dengan dahsyatnya ia mulai membalas setiap serangan dengan serangan.
Perubahan pada tata gerak Witantra
benar-benar menarik perhatian mereka yang berada diluar arena. Mereka
melihat bahwa Witantra berusaha untuk menemukan keseimbangan dalam
perkelahian itu. Namun dengan demikian, maka dapat terjadi
kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tidak dikendaki. Dalam
perkelahian yang sama-sama keras dan tegang, maka perkelahian itu akan
benar-benar menjadi perang tanding dalam tingkat yang tertinggi. Sampai
mati.
Witantra semula sama sekali tidak
menghendakinya. namun ia tidak mau menjadi korban karenanya. Ia
menghindari pembunuhan, tetapi ia juga tidak mau terbunuh dalam arena
itu.
Serangan-serangan Witantra yang kemudian
menjadi semakin dahsyat, terasa pula oleh Kuda Sempana. Anak muda yang
semula merasa bahwa ia akan berhasil mengusai lawannya, tiba-tiba
menjadi cemas dan ragu-ragu. Kenapa tiba-tiba saja Witantra mampu
melawan semua serangan-serangannya dan bahkan dengan dahsyatnya segera
menyerang kembali? Dalam kecemasan itu, Witantra mendesaknya terus.
Bahkan kemudian terdengar Witantra berdesis, ”Sampai kapan perkelahian
itu akan berlangsung adi?”
Kuda Sempana menggeram. Ia tidak peduli
apa saja yang akan terjadi atas dirinya. dan diri lawannya sehingga
karena itu ia menjawab, “Sampai setiap orang tahu bahwa memang akulah
yang berhak atas gadis itu.”
“Jangan berkeras kepala,“ sahut Witantra,
“aku akan memperketat serangan seterusnya, apabila kau tidak segera
mengakui, bahwa kau akan melepaskan niatmu memiliki Ken Dedes itu.”
“Setan,“ hampir saja Kuda Sempana
berteriak, namun untunglah bahwa suaranya seolah-olah tersangkut di
kerongkongan. Namun dengan demikian kemarahannya menanjak sampai ke
puncak ubun-ubunnya. Sehingga tanpa sesadarnya, Kuda Sempana telah
benar-benar memeras segenap tenaga yang ada di dalam dirinya.
Tetapi ternyata Kuda Sempana benar-benar
tidak mampu melampaui ketangguhan tenaga Witantra yang mempunyai
pengalaman yang sangat luas itu. Apalagi ketika Witantra tidak ia lagi
sekedar menunggu Kuda Sempana kelelahan, setelah ia menentukan tekad,
bahwa apabila terjadi sesuatu di dalam arena itu, ia sama sekali tidak
menghendakinya. Namun adalah mungkin sekali bahwa bermain air akan dapat
menjadi basah.
Meskipun demikian, Witantra masih saja
menyadari keadaan. Ia benar-benar tidak ingin mencelakakan lawannya,
apalagi membunuhnya. Ia hanya ingin menjatuhkannya, dan apabila terpaksa
melukainya, maka luka itu akan segera dapat disembuhkan.
Tetapi tidak demikian dengan Kuda
Sempana. Ia telah kehilangan segala macam ketenangan berpikir. Kini ia
merasa bahwa tenaganya semakin lama menjadi semakin surut sebelum ada
tanda-tanda bahwa ia akan segera mampu mengalahkan Witantra, bahkan
Witantra itu nampaknya semakin lama menjadi semakin garang. Karena itu,
setelah ia kehabisan segenap pertimbangannya, setelah ia kehilangan
setiap kesempatan untuk memenangkan pertandingan itu, maka sampailah ia
pada kesimpulan yang berbahaya. Ia kini sedang melakukan perang tanding,
sehingga apapun yang dilakukan, yang bersumber pada dirinya, baginya
sama sekali tidak menyalahi ketentuan dan kejantanan. Karena setiap
kemampuan yang ada pada dirinya adalah bagian dari dirinya itu, dirinya
yang sedang melangsungkan perang tanding di arena.
Maka dengan demikian, Kuda Sempana sampai pada kesimpulan bahwa suatu ketika akan dipergunakannya kemampuannya yang tertinggi.
Tunggul Ametung yang menyaksikan
perubahan-bahan di dalam tata gerak Witantra, mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya kini tidak lagi setegang beberapa saat sebelumnya,
seakan-akan ia telah menemukan keyakinan, bahwa Witantra akan dapat
menguasai keadaan betapapun lambatnya.
Semula Tunggul Ametung benar-benar tidak
telaten melihat cara Witantra bertempur. Menunggu, membiarkan lawannya
berbuat terlampau banyak. Itu membuang waktu dan waktu baginya adalah
sangat penting pada saat-saat itu. Karena tiba-tiba saja ia ingin
melihat, apakah gadis yang sedang sakit itu telah menjadi berkurang,
atau bahkan menjadi semakin keras.
“Mudah-mudahan dukun tua itu mampu mengurangi penderitaannya,“ gumamnya di dalam hati.
Namun dengan demikian, nafsunya untuk
segera melihat perkelahian itu berakhir menjadi semakin besar. Ia ingin
segera meninggalkan tempat itu dan pergi ke sentong tengen melihat gadis
Panawijen yang telah menggemparkan istana Tumapel itu.
Ketika Akuwu Tunggul Ametung itu
berpaling, dilihatnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, Ken Arok itu
pun segera menemukan perubahan-bahan yang terjadi dalam perkelahian itu.
Karena itu, maka iapun menjadi berlega hati.
“Apa,” desis Tunggul Ametung.
Ken Arok terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga tanpa sesadarnya ia menyembah, “Ampun tuanku. Hamba tidak apa-apa.”
“Ada sesuatu yang kau lihat?”
“Hamba tuanku.”
“Witantra mau mati?”
“Tidak tuanku. Kakang Witantra merubah tata geraknya.”
“Anak yang bodoh itu masih saja
membuang-buang waktu. Ia takut Kuda Sempana lecet kulitnya. Apa
pedulinya kalau Kuda Sempana sendiri bertempur dengan sepenuh tenaganya,
bahkan dengan kasar dan keras.”
Ken Arok tidak menjawab. Ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba mata Ken Arok itu pun
terbelalak. Bukan saja Ken Arok tetapi hampir semua orang yang berada di
tepi arena itu. Apalagi Tunggul Ametung sendiri. Sesaat ia terdiam
seperti patung, namun kemudian mulutnya berdesis, “Gila, Kuda Sempana
itu.”
Tetapi Kuda Sempana berbuat terus. Ia
sudah bertekad untuk membunuh atau dibunuh, sehingga karena itulah maka
tidak ada pilihan lain dari pada melepaskan puncak kesaktiannya, aji
Kala Bama.
Apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana
benar-benar mengejutkan para perwira dan kesatria yang berada diluar
arena. Segera mereka memaklumi apa yang akan dilakukan oleh Kuda
Sempana. Sebagian dari mereka menjadi cemas, heran dan sebagian lagi
merasa aneh bahwa Kuda Sempana memiliki kekuatan yang akan disalurkan
lewat sebuah ilmu yang pasti dahsyat sekali. Namun mereka masih harus
menilai, sampai sejauh mana kekuatan itu dapat menembus kekuatan
lawannya.
Bahkan ada diantara mereka yang terpaksa
menahan nafasnya. Mereka yang merasa dalam dirinya tidak memiliki
rangkapan apapun selain kekuatan-kekuatan tenaganya serta ketrampilan
geraknya menjadi ngeri. Apakah Witantra akan mampu melawan Kuda Sempana
dalam puncak kekuatannya. Mereka hanya mengharap ketrampilan dan
kelincahan Witantra, sehingga ia mampu menghindari setiap sentuhan dari
kekuatan yang akan dipancarkan oleh lawannya.
Ketika Kuda Sempana merentangkan
tangannya dan kemudian sekali meloncat ke udara sambil menggeram
mengerikan, maka semua orang menjadi tegang. Bahkan demikian tegangnya
Akuwu Tunggul Ametung, sehingga tanpa sesadarnya, Akuwu itu bangkit
berdiri dengan serta merta dan gigi gemeretak. Lamat-lamat terdengar
suaranya yang seolah-olah ditelannya kembali, “Kala Bama.”
Sebenarnya Tunggul Ametung adalah seorang
sakti yang luas pengetahuan serta pengalamannya, sehingga dengan
gerak-gerak pemusatan tenaga, segera ia mengenal bahwa Kuda Sempana
telah menyiapkan sebuah ilmu yang mengerikan, Kala Bama.
Dengan cemasnya Tunggul Ametung
memandangi Witantra yang betapa terkejutnya melihat lawannya memusatkan
segenap kekuatan lahir batinnya dalam sebuah Aji yang dahsyat. Sekilas
Witantra melihat Akuwu Tunggul Ametung berdiri dan Ken Arok menegakkan
kepalanya dengan mata yang terbelalak. Disadarinya apa yang sedang
dihadapinya. Ternyata Kuda Sempana benar-benar telah menempatkan dirinya
dalam pertempuran antara hidup dan mati.
“Alangkah mahalnya nilai gadis itu bagi
Kuda Sempana,“ desis Witantra di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat
membiarkan dirinya binasa. Tidak dapat membiarkan dirinya lumat digilas
oleh nafsu Kuda Sempana yang menyala-nyala. Nafsu untuk menguasai apa
saja yang dikehendakinya tanpa mempertimbangkan keperluan, hak dan
kepentingan orang lain.
Witantra adalah seorang prajurit yang
pilih tanding, Seorang yang hampir seluruh hidupnya diserahkan dalam
satu perjuangan dalam lingkungan keprajuritan. Karena itu, maka adalah
sudah diketahuinya, sudah diduganya, bahwa suatu ketika ia akan
berhadapan dengan bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itulah maka
Witantra pun telah menyiapkan dirinya menghadapi bahaya-bahaya yang
demikian.
Demikianlah, ketika ia melihat Kuda
Sempana menyiapkan dirinya dalam puncak ilmunya, maka Witantra pun
segera merendahkan dirinya pada kedua lututnya. Digenggamnya kedua
tangannya dan disilangkannya kedua lengannya di muka dadanya. Sesaat
Witantra terpaku di tempatnya, seolah-olah kedua kakinya menghunjam ke
dasar bumi. Wajahnya menegang, dan tubuhnya seperti menjadi kejang.
Namun sesaat kemudian terpancarlah dari wajahnya, seakan-akan ungkapan
dari kekuatan yang terhimpun di dalam dirinya.
Ketika Tunggul Ametung melihat sikap dan
kemudian wajah Witantra yang tegang itu, tiba-tiba ia menarik nafas
dalam-dalam. Kengerian yang membayang di matanya kini telah berkurang.
Dengan demikian, maka Witantra pun memiliki bekal untuk melawan aji Kala
Bama, dan bahkan Tunggul Ametung itu pun berdesis meskipun seolah-olah
hanya di dalam mulutnya, “Ayolah Witantra, apapun kekuatanmu itu,
lawanlah Kala Bama dengan sekuat tenaga. Bukankah kau tengah menyiapkan
Aji Bajra Pati.”
Namun waktu seakan-akan berjalan cepat
sekali. Yang mereka lihat, kemudian adalah Kuda Sempana menggeram
dahsyat dan dengan sebuah loncatan yang cepat, secepat petir meloncat di
langit, tangannya menyambar dada Witantra.
Witantra masih tegak seperti tonggak. Ia
sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Namun ketika ia melihat Kuda
Sempana seperti terbang memekik dari udara menerkam dirinya, maka
kembali tubuhnya seakan-akan menjadi kejang. Kedua tangannya yang
bersilang itu digerakkannya beberapa jari ke depan menyongsong tangan
Kuda Sempana yang menyambarnya dengan dahsyatnya.
Sesaat kemudian terjadilah benturan
antara keduanya. Kala Bama melawan kekuatan yang terpancar dari tubuh
Witantra dalam lambaran Aji yang diterima dari gurunya, “Bajra Pati.”
Benturan itu benar-benar menggeletarkan
setiap hati mereka yang menyaksikannya. Benturan antara dua kekuatan
yang dahsyat, dua kekuatan yang sukar dicari tandingannya. Dan di arena
itu, di belakang istana, kedua kekuatan itu telah berbenturan.
Kuda Sempana yang telah menjadi mata
gelap dan melontarkan kekuatannya yang terakhir, mengharap bahwa dengan
demikian ia akan segera dapat mengakhiri perkelahian yang menjemukan
itu. Ia mengharap, meskipun ia terpaksa membunuh Witantra, namun Ken
Dedes akan tetap menjadi miliknya. Seandainya Akuwu kemudian mengingkari
janjinya dan bahkan menangkapnya, maka namanya akan menjadi buah bibir
dan semua orang akan mengaguminya sebagai seorang pahlawan dalam
bercinta. Ia telah membuktikan bahwa seorang wanita bagi kesatria sama
harganya dengan pusaka dan nyawanya.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika
tiba-tiba ia melihat sikap Witantra yang meyakinkan. Namun ia masih
tidak percaya bahwa ada orang lain kecuali anak Panawijen yang gila,
Mahisa Agni, yang mampu melawan aji Kala Bama.
Tetapi ternyata, demikian tangannya
menyentuh tangan Witantra, terasa seakan-akan tangannya itu membentur
benteng baja. Demikian hatinya berdesir tajam, demikian ia menyadari,
bahwa kekuatan Witantra ternyata mampu mengimbanginya, seperti kekuatan
Mahisa Agni seakan-akan telah melumpuhkannya beberapa hari yang lampau.
Sesaat matanya menjadi gelap kunang-kunang. Meskipun demikian ia masih
melihat Witantra terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang.
Tetapi Kuda Sempana tidak melihat apa
yang terjadi dengan Witantra seterusnya. Tiba-tiba saja dadanya serasa
menjadi sesak, dan nafasnya seakan-akan tersumbat.
Kuda Sempana memejamkan matanya ketika
langit seolah-olah runtuh menimpa kepalanya. Sekali ia merasa dirinya
berputar, kemudian terbanting diatasi tanah. Ketika ia berusaha untuk
bangkit kembali, maka Kuda Sempana sama sekali tidak berhasil
menggerakkan tubuhnya yang menjadi sangat lemah. Seakan-akan segala
otot-ototnya telah terlepas dari kulit dagingnya. Meskipun demikian ia
berusaha sekuat-kuat tenaganya, untuk mempertahankan kesadarannya.
Kuda Sempana masih mendengar suara
bergemeremang di sekitar arena. Suara yang bersahut-sahutan namun tidak
jelas baginya. Ia masih juga merasakan langkah-langkah kaki
mendekatinya. Namun ia masih tetap berdiam diri, mengatur semua kekuatan
yang tersisa di dalam tubuhnya. Memusatkan segenap pikiran dan perasaan
supaya ia tidak menjadi pingsan.
Perlahan-lahan, karena hembusan angin
yang lemah, maka terasa tubuh Kuda Sempana menjadi semakin segar,
perlahan-lahan terasa darahnya yang seolah-olah membeku mengalir kembali
menyelusuri urat nadinya. Sedikit demi sedikit kekuatannya terasa
timbul kembali.
Ketika terasa beberapa pasang tangan
menyentuhnya dan mencoba mengangkatnya, Kuda Sempana telah dapat
menggerakkan tangannya. Didorongnya tangan yang akan membantunya atau
mengangkatnya menepi. Dengan sepenuh sisa tenaganya, Kuda Sempana
membuka matanya dan berdesis, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.”
Tangan-tangan yang telah menyentuhnya dan
mencoba mengangkatnya itu pun kemudian serentak melepaskannya. Beberapa
orang yang berdiri di sekitarnya surut selangkah, dan membiarkan Kuda
Sempana mencoba bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya.
“Aku tidak apa-apa,“ desisnya. Meskipun
demikian nafasnya masih mengalir tidak teratur dan matanya serasa masih
berkunang-kunang. Namun ia mengharap bahwa keadaannya masih lebih baik
dari Witantra.
Tetapi ketika memandang orang-orang yang
berdiri di sekitarnya, dadanya bergetar serasa akan pecah. Kembali
matanya menjadi gelap dan hatinya berguncangan sedahsyat ombak didorong
prahara di tengah lautan.
Kuda Sempana menggeram. Di hadapannya berdiri Witantra tegak di atas kedua kakinya.
“Setan,“ geramnya, “kau tidak mampus Witantra?”
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Selangkah ia maju, namun ketika ia berjongkok dihadapan Kuda Sempana
untuk menjawab pertanyaannya itu tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka,
Kuda Sempana menendangnya dengan sekuat tenaga yang masih ada padanya.
Aneh. Aneh. Kuda Sempana yang lemah itu tiba-tiba dapat melepaskan
kekuatan yang cukup besar, sehingga tiba-tiba Witantra terlempar
selangkah dan jatuh menimpa beberapa orang yang berdiri di belakangnya.
Sebenarnya tubuh Witantra masih belum
cukup kuat setelah ia menerima hantaman yang dahsyat dari kekuatan Aji
Kala Bama. Meskipun itu tidak pingsan, dan meskipun ia segera dapat
bangkit kembali setelah jatuh terduduk, namun daya tahannya telah
menjadi jauh berkurang, seakan-akan terperas habis untuk melawan Aji
Kala Bama. Itulah sebabnya, maka ketika tanpa disangka-sangkanya,
dadanya terhantam oleh kaki Kuda Sempana betapapun kekuatan Kuda Sempana
sendiri tidak lagi sepenuh kekuatan wajarnya, namun karena Witantra
sama sekali tidak bersedia, maka serasa dadanya menjadi hancur
karenanya. Hantaman itu benar-benar menggoncangkan kesadarannya.
Meskipun ia dapat menerima pukulan Aji Kala Bama, namun pada saat ia
sudah siap untuk menerimanya, dalam lambaran ajinya pula. Tetapi kini
tiba-tiba saja serangan itu menghantam dadanya. Meskipun demikian,
meskipun mata Witantra menjadi berkunang-kunang namun Witantra tidak
menjadi pingsan. Ia merasa beberapa orang berusaha menyangga tubuhnya
dan perlahan-lahan meletakkannya di atas tanah.
Witantra sendiri segera berusaha melawan
kegoncangan-kegoncangan yang terjadi pada dirinya. perlahan-lahan namun
pasti, bahwa ia akan segera dapat berhasil.
Mereka yang melihat perbuatan Kuda
Sempana itu tiba-tiba merasa, alangkah liciknya anak muda itu. Betapapun
kemarahnya menguasai kepalanya, namun seharusnya ia tidak berbuat
demikian. Akuwu Tunggul Ametung yang melihat perbuatan itu menjadi marah
bukan buatan. Namun ia tertegun, ketika ia melihat seorang anak muda
meloncat seperti tatit ke tengah-tengah arena, menyelusup diantara
beberapa orang yang berdiri mengitari Kuda Sempana. Orang itu adalah Ken
Arok yang kehilangan kesabaran. Tetapi segera ia diam mematung ketika
dilihatnya, setelah melepaskan segenap kekuatan terakhirnya, justru Kuda
Sempana menjadi pingsan.
“Hem,” geram Ken Arok, “untunglah anak itu menjadi pingsan.”
“Kenapa,” bertanya seorang perwira yang berdiri di sampingnya.
Ketika Ken Arok berpaling dan dilihatnya
perwira itu bertolak pinggang, segera Ken Arok membungkukkan dadanya
sambil berkata, “Tidak apa-apa tuan.”
Namun di dalam hatinya ia berkata, “Kalau
saja Kuda Sempana tidak pingsan, mungkin aku sudah membunuhnya. Hem,
alangkah jahatnya hati ini. Kenapa aku masih saja mudah menjadi
kehilangan penguasaan diri?”
Ternyata apa yang terjadi itu telah
menyudutkan Kuda Sempana sendiri dalam keadaan yang sulit. Beberapa
orang yang berdiri di sekitar arena, dan yang kemudian mencoba menolong
mereka yang seakan-akan hampir pingsan kedua-duanya itu, menjadi tidak
senang melihat sikap Kuda Sempana. Mereka mendapat kesan yang sangat
buruk terhadap sifat anak muda yang sebenarnya memiliki beberapa
kelebihan dari kawan-kawannya, bahkan dari beberapa orang prajurit.
Karena itu, ketika tiba-tiba terdengar
Akuwu bertanya kepada mereka siapakah yang menang dalam perang tanding
itu, maka jawab mereka mbata rubuh, “Witantra. Witantra telah menang.”
Suara itu bergema terus menerus beberapa
lama. Hampir setiap orang mengulang-ulang kalimat itu, “Witantra lah
yang menang, Witantra lah yang menang.”
Suara yang bergemuruh itu seakan-akan
telah membangunkan Kuda Sempana dari pingsannya. Lamat-lamat ia
mendengar suara itu, yang semula disangkanya suara Gunung Kawi yang
runtuh menimpanya. Namun ketika kesadarannya telah hampir pulih kembali
maka semakin jelaslah apa yang didengarnya itu. Bahkan akhirnya dapat
didengarnya dengan pasti kalimat-kalimat yang telah diulang-ulang
diucapkan oleh beberapa orang meskipun tinggal satu dua kali, “Witantra
lah yang menang.”
Bunyi dan makna kata-kata itu ternyata
bagi Kuda Sempana jauh lebih dahsyat dari pada seandainya Gunung Kawi
runtuh menimpanya. Karena itu, maka tiba-tiba terasa darahnya mengalir
semakin cepat dan semakin panas, sehingga seakan-akan terhimpunlah
kembali segenap kekuatan di dalam tubuhnya. Dengan serta merta ia
bangkit berdiri sambil berteriak lantang, “Tidak. Witantra belum menang.
Kuda Sempana masih hidup.”
Namun kembali ia dihinggapi oleh
keadaannya yang wajar. Lemah dan hampir-hampir tak berdaya. Seperti
orang yang kehilangan segenap tulang belulangnya, Kuda Sempana
terhuyung-huyung. Untunglah beberapa orang lain cepat menangkapnya
sehingga Kuda Sempana tidak lagi terbanting jatuh.
Ketika mata Kuda Sempana yang menjadi
liar itu menatap berkeliling maka dilihatnya Witantra dengan lemahnya
duduk di tanah sambil meraba-raba dadanya. Dan apa yang dilihatnya itu
telah membangkitkan kembali harapannya, sehingga Kuda Sempana itu
berteriak pula dengan suara gemetar, “Lihat. Lihat Witantra hampir mati.
Mungkin dadanya pecah, atau bagian dalam dadanya remuk
berkeping-keping.”
Namun kembali mata Kuda Sempana menjadi
gelap ketika ia mendengar Akuwu mengulangi pertanyaannya kepada
orang-orang yang berdiri di sekitar dan di dalam arena. “Siapakah yang
menang?”
Tetapi kali ini tidak semua orang
menyahut seperti pertanyaan itu diucapkan untuk yang pertama kali. Hanya
beberapa orang yang yakin akan dirinya menjawab, “Witantra lah yang
menang.”
Dan diantara suara mereka terdengar suara Ken Arok paling keras, “Witantra lah yang menang.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya mereka yang kini menundukkan
kepalanya tanpa berani menyebut nama Witantra, apalagi menjawab
pertanyaannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu pasti, apakah
dirinya dapat menyamai kesaktian Kuda Sempana. Mereka tidak mau menjawab
ketika diketahuinya Kuda Sempana telah sadar akan dirinya dan sadar
tentang apa yang dihadapinya. Mereka tidak mau mendapatkan dendam dari
anak muda itu. Tetapi mereka heran tidak habis-habisnya, bahwa seorang
pelayan dalam yang baru, dengan beraninya menyatakan kemenangan Witantra
dihadapan Kuda Sempana. Apakah ia tidak takut seandainya Kuda Sempana
mendendamnya. Namun mereka tidak tahu bahwa Ken Arok sama sekali tidak
takut kepada Kuda Sempana. Ken Arok sama sekali tidak heran, melihat
Kala Bama, dan bahkan sama sekali tidak tercengang melihat tandang Kuda
Sempana.
Beberapa orang yang belum mengenal Ken
Arok merasa kasihan kepadanya, bahwa apa yang telah dilakukan itu akan
dapat membuat Kuda Sempana marah kepadanya. “Mungkin anak itu tidak tahu
akan bahaya yang setiap saat dapat menerkamnya,“ gumam mereka di dalam
hati, “atau mungkin ia sedang berusaha mendapatkan nama dihadapan Akuwu
Tunggul Ametung. Dan bukankah anak itu pula yang tadi telah dipanggil
untuk duduk di samping Akuwu.”
Dalam pada itu terdengar Akuwu Tunggul
Ametung berkata, “Nah, Kuda Sempana semua orang menjadi saksi. Witantra
telah memenangkan perang tanding ini.”
Terdengar gigi Kuda Sempana gemeretak.
Dengan terbata-bata ia menjawab, “Tidak adil. Siapakah yang telah
mengambil keputusan itu? Bukankah tuanku lihat, alangkah lemahnya kakang
Witantra kini? Hamba telah mampu untuk berdiri tegak sendiri tanpa
bersandar kepada orang lain namun apakah kakang Witantra mampu berbuat
demikian.”
“Tetapi kau berbuat curang atasnya,“
bantah Tunggul Ametung, “ketika Witantra mencoba mendekatimu, pada saat
kau terbanting karena kekuatan Aji Kala Bama itu sendiri, kau telah
menyerangnya tanpa disangka-sangka.”
“Itu adalah salahnya sendiri,” sahut Kuda
Sempana, “hamba belum dinyatakan kalah. Sehingga perkelahian itu belum
berhenti. Apapun yang hamba lakukan masih dapat dianggap syah.”
“Tidak,“ potong Akuwu Tunggul Ametung, “semua orang melihat itu sebagai suatu kecurangan.”
“Siapa? Ayo siapa yang berani menjadi
saksi bahwa aku telah berbuat curang,“ teriak Kuda Sempana tiba-tiba.
matanya dengan nanar memandangi setiap orang yang berdiri di sekitarnya.
Kini ia telah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain. Ia telah dapat
berdiri sendiri betapapun lemahnya.
“Ayo siapa. Siapa yang berani menyatakan dirinya menjadi saksi?”
Tak seorang pun yang segera menjawab.
Beberapa orang perwira prajurit sekalipun yang menjadi ngeri melihat Aji
Kala Bama menjadi ragu-ragu. Namun ada pula diantaranya yang sudah siap
untuk menerima akibat apapun dalam menyatakan kesaksiannya dengan
jujur. Namun yang mula-mula menjawab adalah Ken Arok, “Aku. Aku adalah
salah seorang saksi yang melihat kecuranganmu kakang Kuda Sempana. Kau
menyerang bukan pada saatnya. Nah, apa katamu?”
Bukan main marahnya Kuda Sempana
mendengar jawaban itu, sehingga tanpa sesadarnya ia melangkah maju.
Meskipun langkahnya masih belum tegak benar, namun ia berkata,
“berkatalah sekali lagi Ken Arok. Mungkin aku masih mampu menyobek
mulutmu itu.”
Beberapa orang tergetar hatinya melihat
kemarahan Kuda Sempana kepada Ken Arok. Beberapa orang menyesalkan anak
muda yang lancang mulut itu. Sebaiknya ia berdiam diri saja. Biarlah
orang lain yang menjawab pertanyaan Akuwu Tumapel. Sebab dengan
demikian, maka jawaban itu akan membahayakan dirinya. Dan kini ternyata
Kuda Sempana itu menjadi sangat marahnya kepada Ken Arok. Mungkin saat
ini Kuda Sempana yang lemah itu tidak akan mampu berbuat apa-apa, tetapi
nanti atau besok atau lusa, maka dendam yang tersimpan di dalam dadanya
akan dapat meledak setiap saat.
Dengan cemas mereka melihat Kuda Sempana
melangkah tertatih-tatih mendekati Ken Arok yang tidak bergerak dari
tempatnya. Tetapi ada beberapa orang diantara mereka yang sama sekali
tidak menjadi cemas melihat peristiwa itu. Akuwu Tunggul Ametung
sendiri, Witantra dan kawan Ken Arok yang melihat anak muda itu
memecahkan batu dengan jarinya.
“Ken Arok,” desis Kuda Sempana dengan marahnya, “jangan membuat persoalan dengan Kuda Sempana. Apa kau sudah jemu hidup?”
Ken Arok masih tegak di tempatnya. Ketika
Kuda Sempana menjadi semakin dekat, maka orang-orang yang melihatnya
menjadi semakin cemas.
Diantara para Perwira terdengar salah
seorang berkata, “Kuda Sempana. Anak muda itu berkata sebenarnya.
Witantra lah yang menang. Apakah kau tidak mengakui kemenangannya?”
Kuda Sempana berpaling ke arah suara itu.
Seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Ia
mencoba menarik perhatian Kuda Sempana kepadanya, sebab ia sendiri
merasa bahwa betapa saktinya Kuda Sempana, namun ia akan dapat
mengimbanginya seandainya Kuda Sempana kelak mendendamnya.
Tetapi terdengar Kuda Sempana berdesis,
“Bagus. Ada dua orang yang harus aku ingat di dalam arena ini. Pertama
Ken Arok, dan kedua adalah seorang perwira yang perkasa itu.”
Namun semua orang tiba-tiba terkejut
mendengar Ken Arok tertawa. Sangat menyakitkan hati. Katanya, “Jangan
ribut Kuda Sempana. Kalau kau ingin membuat soal-soal baru, aku tidak
akan ingkar. Namun kali ini kau dikalahkan oleh kakang Witantra.”
“Diam,” teriak Kuda Sempana, “diam, atau wajahmu aku hancurkan.”
“Kakang Kuda Sempana,” sahut Ken Arok,
“keadaanmu sekarang lemah sekali. Apakah yang dapat kau lakukan dalam
keadaan itu. Nah. Biarlah tubuhmu menjadi kuat kembali. Marahlah kepada
Ken Arok. Besok atau lusa. Tetapi sekarang sadarilah keadaanmu.”
Tubuh Kuda Sempana bergetar karena
kemarahan yang memuncak. Tetapi ia tidak dapat mengingkari keadaannya.
Dikenangnya pada saat Ken Arok memukul mati seorang prajurit di
perjalanan kembali dari Panawijen dengan satu kali pukulan. Dikenangnya
apa yang dapat dilakukan anak muda itu ketika ia bertempur melawan
Mahisa Agni. Karena itu, maka Kuda Sempana hanya dapat menggeretakkan
giginya. Namun ia tidak berbuat apa-apa atas anak muda itu.
Meskipun demikian banyak diantara mereka
yang semakin menyesalkan sikap Ken Arok itu, di samping mereka menjadi
semakin muak melihat kesombongan Kuda Sempana. Namun diantara mereka
tumbuh juga di dalam hatinya pertanyaan. “Apakah yang dapat dilakukan
oleh Ken Arok itu sehingga ia berani menentang Kuda Sempana yang sudah
dilihatnya memiliki ilmu yang sedahsyat itu?”
Demikianlah maka ketegangan itu
dipecahkan oleh suara Akuwu Tunggul Ametung, “Kuda Sempana. Jangan
mengingkari kenyataan. Witantra telah memenangkan perkelahian ini.
Apakah kau tidak mengakuinya.”
Alangkah Kuda Sempana mendengar keputusan
itu. ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata memandang
kepadanya dengan penuh tekanan, seakan-akan mereka itu telah bersekutu
untuk menyatakan kekalahannya. Ketika sinar matanya sampai pada
Witantra, maka dilihatnya orang itu telah berdiri tegak dan
memandanginya pula dengan tajamnya.
Terasa dada Kuda Sempana berdesir.
Diantara sekian banyak orang, ia merasa seorang diri. Semua orang
seolah-olah telah memihak kepada Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan beberapa
orang kawan-kawannya pelayan dalam pun sama sekali tidak menunjukkan
kesetia kawanan mereka. Apalagi pelayan dalam yang bernama Ken Arok itu.
Karena itu maka hatinya serasa terbakar oleh kemarahan yang
meluap-luap. Marah kepada Witantra, kepada Akuwu Tunggul Ametung, kepada
semua orang yang berada di sekitarnya. Tetapi ia tidak segera dapat
berbuat apa-apa.
Tiba-tiba otak Kuda Sempana yang licik
itu mulai berputar. Ia kini mulai berpikir, apakah sebaiknya yang
dilakukan. Disadarinya bahwa dalam keadaan yang demikian, ia tidak akan
dapat menuruti perasaannya saja. Lambat laun disadarinya, bahwa para
perwira yang berdiri di sekitarnya itu pun bukanlah anak-anak yang dapat
ditakut-takutinya. Karena itu, maka tiba-tiba Kuda Sempana
menganggukkan kepalanya sambil berkata lirih, “Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung, hamba mengakui kekalahan hamba kali ini.”
Beberapa orang menjadi lega mendengar
pengakuan itu. Namun Witantra dan Ken Arok mengerutkan keningnya
tinggi-tinggi seakan-akan, tersirat di dalam hati mereka bahwa Kuda
Sempana tidak berkata sejujur hatinya. Dan ternyata mereka kemudian
mendengar Akuwu Tunggul Ametung bertanya, “Kenapa kali ini? Apakah pada
saat yang lain kau merasa bahwa kekalahan ini tidak wajar.”
Kuda Sempana menarik dahinya
tinggi-tinggi. Sekali lagi ia mengangguk hormat sambil menjawab, “Ampun
tuanku. Hamba merasa kekalahan hamba.”
Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itu
merasakan pula sesuatu yang tidak wajar pada Kuda Sempana yang hanya
dimiliki oleh Akuwu itu sendiri. Jauh lebih tajam dari yang dirasakan
oleh Witantra dan Ken Arok. Sehingga karena itu maka Akuwu itu berkata,
“Kuda Sempana, kalau suatu ketika kau merasa bahwa kekalahanmu kali ini
tidak adil maka biarlah kau mencoba untuk lain kali. Aku sendirilah yang
akan turun ke arena.”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Namun
dari kedua matanya memancar sinar yang aneh. Sudah tentu ia tidak akan
dapat berkata apapun dihadapan Tunggul Ametung saat ini. Tetapi amat
banyaklah kata-kata yang tersimpan di hatinya. Amat banyaklah janji yang
diucapkan di dalam hati itu. Janji untuk menuntut dendam.
“Biarlah kali ini aku melepaskan
keinginanku untuk sesaat,” geramnya di dalam hati, “bagiku hanya ada dua
kemungkinan. Memiliki bunga dari lereng Gunung Kawi itu meskipun aku
harus melenyapkan Akuwu, atau memunahkannya.”
Tetapi Tunggul Ametung ternyata
berprasangka pula atas sinar mata Kuda Sempana itu, sehingga sekali lagi
ia berkata, “Kuda Sempana, dendammu kau simpan di dalam hati. Tetapi
jangan kau sangka bahwa aku akan memusnahkan dengan kekuasaanku. Tidak.
Dalam persoalan ini kita berhadapan sebagai laki-laki. bukan sebagai
orang yang berkuasa dan bawahannya. Yakinkanlah ini. Karena itu aku,
Tunggul Ametung akan siap menghadapi setiap persoalan yang akan timbul
karenanya.”
Kuda Sempana menundukkan kepalanya.
Tetapi terdengar giginya gemeretak. Sedang beberapa orang lain menjadi
bingung. Bagaimana mungkin orang dapat memisahkan dirinya sendiri
apabila akan dihadapinya kesulitan. Bagaimana mungkin Tunggul Ametung
melepaskan hak dan kekuasaannya untuk mempertahankan keinginannya. Dan
bagaimana mungkin Kuda Sempana sebagai seorang pelayan dalam masih harus
berkeras kepala bersaing dengan Akuwunya.”
“Gila,“ desah beberapa orang diantara
mereka, “Kenapa di istana ini timbul persoalan yang sedemikian anehnya,
sehingga membuat beberapa orang pemimpin terpenting di Tumapel menjadi
seakan-akan gila. Mereka telah melupakan adat dan tata cara. Mungkin
mereka masing-masing ingin mempertahankan harga diri mereka sebagai
seorang laki-laki. Atau gadis itu benar-benar memiliki daya yang dapat
membuat orang-orang menjadi gila?”
Dalam pada itu Akuwu Tunggul Ametung pun
segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Sesaat ia memandang
berkeliling kemudian katanya, “Sayembara tanding ini telah selesai.
Witantra memenangkan pertandingan sehingga ia mempunyai wewenang atas
kemenangannya. Kemudian kepada Witantra ia berkata, “Kau boleh
beristirahat dahulu Witantra, nanti malam datanglah ke istana bersama
Ken Arok. Sekarang biarlah Ken Arok mengantarmu pulang.”
Sekali lagi para perwira dan para
pemimpin pelayan dalam yang lain, kecuali Kuda Sempana terkejut. Ken
Arok sekali lagi mendapat kehormatan untuk menghadap Akuwu. Sehingga mau
tidak mau mereka terpaksa mengkaitkan anak muda itu dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di saat-saat terakhir. Mungkin karena
Ken Arok pada saat itu ikut serta dalam rombongan Akuwu ke Panawijen
sehingga anak muda itu dianggap banyak mengetahui persoalan-persoalan
yang telah timbul. Mungkin Akuwu melihat beberapa kelebihan pada anak
muda itu. Namun ada juga yang sedang berpikir, “Mungkin Akuwu sedang
menyuap Ken Arok, supaya ia tidak mengatakan apa yang diketahuinya
tentang gadis Panawijen itu.”
Tetapi orang-orang itu kemudian
melepaskan semua kesibukan angan-angan serta pikirannya. Sambil
menggelengkan kepala, seakan-akan mengusir persoalan-persoalan yang tak
mereka ketahui dengan pasti itu, mereka pergi meninggalkan halaman
belakang istana setelah Akuwu pun kemudian berjalan kembali ke istana
diantar oleh beberapa orang pelayan dalam dan beberapa orang.
Beberapa orang masih bercakap-cakap
mempercakapkan apa yang telah mereka lihat. Namun beberapa orang lagi
menganggap persoalan itu telah selesai. Berkata diantara mereka, “Ah,
biarlah persoalan itu berlaku. Aku tidak berkepentingan sama sekali.
Bukankah dengan perang tanding ini semuanya telah selesai?”
Kawannya yang berjalan-jalan di samping
tersenyum sambil menjawab, “Barangkali kau tidak mau dipeningkan oleh
soal-soal yang tak berarti. Tetapi kami lupa bahwa Kuda Sempana masih
menyimpan dendam di dalam hatinya. Nah, bukankah itu bagaikan api
disimpan dalam sekam.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “He, apakah kau telah melihat gadis itu?”
Kawannya menggeleng lemah.
“Kalau sudah, mungkin kau akan turut serta dalam sayembara tanding itu,“ berkata kawan itu lagi.
Orang yang berjalan di samping tertawa.
Ketika disadarinya beberapa orang berpaling kepadanya, maka dengan serta
merta suara tertawanya terputus. “Jangan main-main,“ gumamnya, “kalau
isteriku mendengarnya, maka ia akan berontak.”
Kedua orang itu tersenyum, tetapi mereka
tidak berkata-kata lagi. Mereka melihat kemudian Kuda Sempana berjalan
tergesa-gesa melampaui mereka, meskipun masih nampak betapa ia sangat
lemah. Beberapa orang menarik nafas dalam melihat anak muda yang keras
kepala itu. Namun yang lain memalingkan wajahnya.
Sesaat kemudian karena itu telah menjadi
sunyi kembali. Semua orang telah pergi. Yang tinggal hanyalah Witantra
dan Ken Arok. Mereka berdiri saja mengawasi punggung-punggung yang
membelakangi mereka, semakin lama semakin jauh.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia
sadar bahwa Kuda Sempana tidak akan tinggal diam untuk seterusnya. Namun
Ken Arok pun mengetahui pula, bahwa Kuda Sempana mendendamnya.
“Anak yang keras kepala,“ gumam Witantra.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Sungguh-sungguh keras kepala.”
Sesaat mereka terdiam. Di regol halaman
belakang masih dilihat oleh mereka, punggung-punggung yang terakhir
meninggalkan halaman itu.
“Marilah adi, kita pulang.”
“Aku mendapat perintah untuk mengantar kakang.”
Witantra tersenyum. Namun ia menjawab, “Marilah antarkan aku.”
Ketika keduanya mulai melangkah
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat
mereka mendengar suara Daksina. “Hem,“ gumam ken Arok, “anak itu sama
sekali tidak mempedulikan apa saja.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Suara Daksina memang baik, seperti desir angin yang kadang-kadang
lembut, namun kadang-kadang deras menyentak, bahkan kadang-kadang
bagaikan prahara yang melanda pepohonan dan menghentak gelombang di
lautan. Namun kemudian kembali terdengar suaranya yang lembut, selembut
gemersik angin pagi mengusap ujung dedaunan.
“Smaradahana,“ gumam Witantra.
Ken Arok hanya mengangguk-angguknya
kepalanya. Ia telah banyak pula belajar tentang banyak hal mengenai
kitab-kitab dan pengetahuan dari seorang pendeta yang memungutnya dari
padang rumput Karautan, tetapi pengetahuan itu masih jauh dari cukup.
Meskipun demikian, ternyata jiwanya mampu pula menerima sentuhan yang
halus dari suara Daksina.
“Apakah kau pernah membaca kakawin itu?” bertanya Witantra.
Ken Arok mengeleng, “belum.”
“Ceritera tentang Dewa Cinta, Kama dan isterinya Ratih.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia sama sekali belum pernah membaca ceritera itu, meskipun
sedikit ia pernah juga mendengar tentang Dewa Kama yang terbakar oleh
sinar mata Siwa yang sedang tiwikrama menjadi Rudra.
“Ceritera yang amat menarik,“ Witantra
meneruskan, “terutama bagi anak-anak muda. Sindiran terhadap Baginda
Kameswara dari Kediri beberapa puluh tahun hampir seabad yang lampau.”
Kembali Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Daksina memilih ceritera itu.“ Witantra
melanjutkan karena ia tahu, bahwa di arena ini menyala persoalan yang
langsung menjangkiti cinta anak-anak muda. Meskipun aku yang harus maju
ke arena, namun aku hampir tidak berkepentingan selain aku ingin melihat
kesewenang-wenangan Kuda Sempana dibatasi.”
Ken Arok masih belum menjawab selain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia senang pula mendengar suara
Daksina yang bening bersih.
“Sebaiknya anak itu berhenti membaca,” tiba-tiba Witantra bergumam.
“Kenapa?” bertanya Ken Arok.
“Apabila Akuwu mendengar, maka ia marah. Ia merasa bahwa anak itu menyindir.”
“Tidak. Bukankah Akuwu bersungguh-sungguh dengan alasannya itu. Bukankah kemudian gadis itu akan dikembalikan ke Panawijen?”
Witantra tersenyum, jawabnya, “Kalau
gadis itu bersedia, maka apakah halangannya seandainya Akuwu pun
benar-benar menghendakinya, bukankah dengan demikian Ken Dedes akan
merasa sedikit terhibur karenanya?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Tidak baik. Sebaiknya Akuwu menyerahkanya kembali kepada ayahnya.”
“Kecuali kalau gadis itu menolak Akuwu.
Seharusnya Akuwu menyerahkannya kembali kepada ayahnya. Tetapi kalau
gadis itu bersedia, apakah salahnya?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak menjawab. tetapi hatinya berkata, “Tidak. Seharusnya Akuwu
benar-benar bersih dari segenap pamrih mengenai gadis itu. Kalau Akuwu
bersedia mengembalikan Ken Dedes kepada ayahnya, maka Akuwu benar
seorang yang berhati jantan. Seorang yang bersedia mengakui
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Meskipun Witantra tak akan
mungkin dihidupkan lagi, tetapi setidak-tidaknya di dalam lingkungan
keluarganya Ken Dedes akan mendapatkan hiburan.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara yang
lain di dalam lubuk hatinya, “Bagaimanakah kalau Ken Dedes merasa
terhibur, apabila ia menjadi permaisuri Akuwu.”
Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi tegang,
ia tidak tahu apakah sebabnya ia menjadi risau mengenai nasib gadis itu
seterusnya. “Persetan,” geramnya di dalam hati.
Ken Arok itu kemudian terkejut ketika Witantra berkata, “Marilah adi, apakah kau akan mengantarkan aku pulang?”
“Oh,“ sahut Ken Arok tergagap, “Ya, aku
akan mengantarkan kakang pulang. Sebaiknya aku tidak kembali ke barak.
Kalau Kuda Sempana datang ke bilikku, dan aku kehilangan kesabaran, maka
kami pasti akan bertengkar.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Tinggallah sehari ini di rumahku. Mudah-mudahan besok atau
lusa Kuda Sempana telah dapat berpikir bening, sehingga ia akan dapat
melupakan segala peristiwa yang telah terjadi atasnya.”
“Mudah-mudahan,“ desis Ken Arok. Namun kemudian ia berkata, “Diamlah aku menyuruh Daksina berhenti membaca.”
Witantra tersenyum. Dibiarkannya Ken Arok
melangkah ke gubug di sudut di balik dinding halaman belakang istana.
Sesaat setelah Ken Arok itu menghilang di balik dinding, maka suara
Daksina pun berhenti.
Keduanya itu pun kemudian pergi
meninggalkan halaman belakang istana itu pergi ke rumah Witantra.
Kuda-kuda mereka masih tertambat di tempatnya. Dan sejenak kemudian
terdengarlah kaki-kaki sepasang kuda berlari meninggalkan istana
Tumapel.
Dalam pada itu, Akuwu Tunggul Ametung
berjalan tergesa-gesa kembali ke istana. Tetapi ia sama sekali tidak
langsung menuju ke biliknya. Dengan tergesa-gesa seakan-akan ia akan
kehilangan kesempatan, Akuwu itu berjalan masuk ke ruang dalam, dan
langsung menuju ke Sentong tengen.
Sejenak Tunggul Ametung berdiri diam di
muka bilik itu. ia tidak mendengar sesuatu kecuali nafas yang memburu.
Namun sesaat kemudian terdengar langkah seorang keluar dari bilik itu.
Demikian melampaui warana, emban yang
ikut merawat Ken Dedes terkejut melihat Akuwu Tunggul Ametung berdiri
tegak di muka pintu, sehingga dengan tergesa-gesa ia bersimpuh sambil
menyembah, “Ampun tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak apa-apa. Aku ingin menengok gadis itu.”
Emban itu masih bersimpuh sambil menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Gadis itu masih belum tenang benar tuanku.”
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah sekarang gadis itu tertidur?”
Emban itu menggeleng, “Tidak tuanku.”
“Apakah aku boleh masuk?” bertanya Akuwu itu.
Emban itu heran mendengar pertanyaan
Tunggul Ametung. Tunggul Ametung adalah Akuwu Tumapel. Tunggul Ametung
adalah pemilik istana ini, dan semua orang akan tunduk pada perintahnya.
Tetapi tiba-tiba Akuwu itu bertanya kepadanya, apakah ia boleh masuk ke
dalam bilik ini. Karena itu, maka emban itu pun menjadi bingung,
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu.
“Bagaimana, apakah boleh masuk?” desak Tunggul Ametung.
“Ya. Ya.” emban itu tergagap, “sekehendak tuankulah.”
Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Terima kasih.
Aku akan masuk ke sentong tengen.”
Emban itu menjadi semakin tidak mengerti.
Kenapa Akuwu berterima kasih kepadanya. Namun Akuwu itu tidak berkata
apa-apalagi. perlahan-lahan ia melangkah maju. Melampaui tlundak pintu,
kemudian melingkari warana memasuki ruang tidur Ken Dedes yang masih
saja ditunggui oleh Nyai Puroni.
Tetapi demikian Tunggul Ametung masuk,
Akuwu itu terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja, ketika Ken Dedes
melihatnya, dengan serta merta gadis itu bangkit dan menunjuk wajahnya.
Sambil berkata lantang, “Nah, kaulah Tunggul Ametung. Kaulah sumber dari
bencana yang menimpa keluarga. Ayo kembalikan aku ke Panawijen, atau
bunuh aku sama sekali.”
Sesaat Akuwu berdiri mematung. Ia adalah
Akuwu yang memegang seluruh kekuasaan Tumapel di tangannya. Ia adalah
orang yang paling berkuasa di dalam dan diluar istana. Juga di
Panawijen. Tiba-tiba gadis itu menudingnya sambil membentaknya tanpa
takut.
Yang terdengar kemudian adalah suara Nyai
Puroni cemas, “Nini, tenanglah ngger. Tenanglah. Tidurlah, biarlah
nanti aku memberitahukan kepadamu, apa yang telah terjadi, Jangan risau
anakku dan jangan menjadi bingung Tuanku Tunggul Ametung adalah Akuwu
Tumapel.”
“Apa peduliku, apakah Tunggul Ametung
menjadi Akuwu, apakah ia menjadi Maharaja sekalipun, namun ia tidak
lebih dari seorang perampok yang keji. Ayo, Tunggul Ametung. Bunuhlah
aku.”
Tunggul Ametung adalah seorang yang aneh.
Seorang yang mudah tersinggung, dan seorang yang mudah pula menjadi
sangat cemas apabila tiba-tiba Akuwu itu kehilangan kesabaran. Ia tidak
tahu, apakah yang telah terjadi, namun mengumpati Tunggul Ametung adalah
berbahaya sekali bagi kesalamatannya.
Tetapi Nyai Puroni itu benar-benar
menjadi heran. Ia melihat Akuwu yang garang itu, berdiri kaku di
tempatnya. Kepalanya terkulai tunduk dalam-dalam. Sepatah katapun ia
tidak menyahut dan bahkan Akuwu itu sama sekali tidak berani menatap
wajah gadis yang sedang marah itu.
Sekali-kali Tunggul Ametung mencoba
mengangkat wajahnya, namun kembali ia turtunduk. Bahkan kemudian
tubuhnya menjadi gemetar dan terasa seakan-akan dadanya bergetaran.
“Apakah aku benar-benar sudah gila,“ desahnya di dalam hati. Karena
ketika ia mencoba memandang gadis itu, ia dikejutkan oleh cahaya yang
berkilat cerah. Namun setiap kali ia berusaha memandang cahaya itu tak
dapat tertangkap oleh wadagnya.
Sementara itu masih terdengar suara Ken
Dedes lantang, “Ayo Tunggul Ametung. Kenapa kau berdiri saja seperti
patung. Bukankah kau mempunyai seribu pusaka di istanamu. Ayo, ayo,
bukankah di lambungmu itu tergantung senjata sipat kandel Tumapel?
Kenapa kau diam saja seperti patung.”
Desir di dada Tunggul Ametung menjadi
semakin tajam. Baru kini disadarinya, bahwa pusakanya masih tergantung
pada ikat pinggangnya. Pusaka yang tidak setiap orang pernah melihatnya.
Nyai Puroni menjadi semakin cemas. Tetapi
ia tidak dapat berbuat sesuatu. Usahanya untuk melilihkan hati Ken
Dedes selalu sia-sia.
Tetapi kembali Nyai Puroni mendengar
sendiri mulut Akuwu Tunggul Ametung itu berdesis, “Maafkan aku Ken
Dedes. Aku sama sekali tidak sengaja membuat kau mengalami nasib yang
sedemikian jeleknya.”
Mata Ken Dedes itu pun menjadi semakin
menyala karenanya. Dan terdengar suaranya lantang, “Jangan bersembunyi
Tunggul Ametung. Kau datang membawa bencana di padepokan ayahku. Kau
telah membawa bencana bagi keluargaku, bagi hidupku. Kenapa kau tidak
saja membunuh aku? Kenapa kau lindungi Kuda Sempana yang biadab itu?
Kenapa?”
Akuwu masih menundukkan kepalanya. Suatu
hal yang hampir tidak pernah dilakukan. Dihadapan setiap utusan Maharaja
di Kediri sekalipun Tunggul Ametung selalu menengadahkan wajahnya.
Namun kini, dihadapan seorang gadis padesan Tunggul Ametung itu tunduk
tumungkul seperti seorang tawanan.
Dan terdengar kemudian Tunggul Ametung
itu menjawab perlahan-lahan, “Ken Dedes. Aku telah mencoba memperbaiki
kesalahanku. Kuda Sempana tidak akan dapat mengganggumu lagi.”
Ken Dedes itu terhenyak sejenak.
Tampaklah kerut-kerut di wajahnya yang pucat. “Apa katamu?” terdengar ia
bertanya untuk meyakinkan.
“Kuda Sempana tidak akan dapat mengganggumu lagi,” sahut Akuwu.
“Kenapa?”
Seperti anak-anak yang mendapat
pertanyaan-pertanyaan dari ibunya yang sedang marah, Tunggul Ametung
menjawab dengan jujur. “Kuda Sempana telah dikalahkan dalam perang
tanding, dengan perjanjian, untuk seterusnya ia harus melepaskan
tuntutannya atas dirimu.”
Ken Dedes tidak segera mengerti
keterangan Akuwu Tunggul Ametung itu. Apakah yang dimaksud dengan perang
tanding yang dapat melepaskan tuntutan Kuda Sempana atas dirinya?
Karena itu maka untuk sejenak Ken Dedes terdiam. Tanpa mengenal takut,
ditatapnya wajah Tunggul Ametung, yang tunduk. Tetapi Akuwu itu tidak
meneruskan kata-katanya sebagai penjelasan.
Karena itu, maka terdengarlah suara Ken Dedes, “Apakah maksudmu Tunggul Ametung.”
Alangkah janggalnya panggilan itu di
telinga Nyai Puroni serta emban yang duduk di pintu. Ken Dedes langsung
menyebut nama Akuwu Tunggul Ametung tanpa sebutan apapun.
Kalau Akuwu itu kemudian menyadarinya,
maka ia pasti akan sangat marah. Bahkan seandainya dirinya sendiri, atau
emban yang duduk di pintu itu, bahkan seorang senapati pun, apabila
berani mengucapkan nama Akuwu itu tanpa sebutan apapun maka adalah suatu
pertanda bahwa hidupnya akan mendapat kesulitan.
Tetapi sekarang, gadis pedesan itu dengan
beraninya bahkan dengan menuding wajah Akuwu itu. Aneh. Apakah yang
sebenarnya telah terjadi.
Tunggul Ametung. Sendiri tidak segera
menjawab pertanyaan Ken Dedes itu. Sekali ia mengangkat wajahnya namun
ketika dilihatnya mata gadis itu, kembali ia menunduk. Mata yang
memancarkan tuntutan atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Mata yang
memancarkan jeritan hatinya yang duka. Dan mata yang memancar itu adalah
mata seorang gadis yang aneh. Seorang gadis yang seakan-akan memiliki
cahaya yang bersinar dari tubuhnya. Cahaya yang membuat Akuwu Tunggul
Ametung itu merasa dirinya hampir menjadi gila. Gadis itu bukan gadis
kebanyakan,“ desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya.
Karena Tunggul Ametung tidak segera
menjawab, maka terdengar Ken Dedes mengulangi pertanyaannya, “He Tunggul
Ametung, apakah yang kau maksud dengan perang tanding. Dan apakah
hubungannya dengan Kuda Sempana?”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia ingin mencoba menyampaikan beberapa
penjelasan mengenai perang tanding itu. Mencoba mengatakan kepada Ken
Dedes bahwa dengan kekalahan Kuda Sempana dalam perang tanding itu, maka
tuntutannya atas Ken Dedes telah digugurkan. Ia mengambil gadis itu
dengan kekerasan, maka dengan kekerasan pula usaha itu telah digagalkan.
“Gila,“ teriak Ken Dedes. Napasnya
tiba-tiba menjadi sesak dan dengan terbata-bata ia berkata, “Kenapa aku
kau perlakukan seperti itu Tunggul Ametung. Kenapa aku kalian perlakukan
seperti barang yang dapat kalian perebutkan dengan berkelahi dan saling
membunuh sekalipun. Tunggul Ametung, Akuwu yang memiliki kekuasan
tertinggi di Tumapel, kenapa kau berbuat demikian? Kenapa kau menganggap
bahwa aku tidak lebih daripada barang yang seandainya paling berharga
sekalipun, sehingga dipertaruhkan dengan nyawa? Tidak. Aku mempunyai
pendirianku sendiri. Aku mempunyai kehendak, akal dan penilaian atas
persoalanku. Bukan kalian yang akan menentukan jalan hidupku. Tetapi
aku. Aku sendiri.”
Peristiwa itu adalah peristiwa yang
benar-benar aneh bagi Nyai Puroni. Aneh, karena semang gadis padesan
dengan beraninya menentang Akuwu, membaluti kata-katanya kata dengan
kata, kalimat dengan kalimat. Tak pernah dijumpai sepanjang umurnya
seorang gadis yang sedemikian beraninya. Setiap perempuan di Tumapel,
setiap gadis, pada umumnya selalu menundukkan kepalanya, menerima nasib
yang diletakkan oleh orang tuanya, oleh suaminya apalagi seorang Akuwu
atasnya. Tetapi gadis ini tidak berbuat demikian.
Namun, Akuwu Tunggul Ametung adalah orang
yang benar-benar aneh. Semakin banyak Ken Dedes berbicara, semakin
tajam Ken Dedes mengumpat-umpatinya, hatinya menjadi semakin tertarik
kepada gadis itu. Gadis itu baginya menjadi seakan-akan sebuah mutiara
yang bercahaya dengan sinarnya. yang tajam menusuk langsung ke hulu
hatinya.
Gadis yang berani itu pasti memiliki
kekhususannya dari gadis-gadis yang lain. bahkan gadis kota sekalipun.
Meskipun gadis itu gadis padesan, namun tanda-tanda yang dirasakan oleh
Akuwu Tunggul Ametung menjadikannya semakin yakin, bahwa gadis itu
adalah gadis yang memiliki kelebihan-kelebihan.
Karena itulah maka sekali lagi Akuwu
ingin menjelaskan persoalan yang dikehendakinya dengan perang tanding
itu. katanya, “Ken Dedes. Karena aku mempunyai penilaian yang demikian
atasmu, bahwa kau memiliki pendirian, penilaian dan lebih-lebih lagi
adalah hak atas dirimu sendiri dan jalan hidupmu, maka aku telah
melepaskan kau dari Kuda Sempana.”
“Apakah artinya itu?” bertanya Ken Dedes.
“Kau kini dapat menentukan hidupmu
sendiri. Tidak ada keharusan bagimu untuk tunduk pada setiap kehendak
orang lain kecuali atas kerelaan hatimu.”
“Tetapi apa artinya kedatangan kalian ke Panawijen. Kau tidak mencegah perbuatan Kuda Sempana, dan bahkan kau melindunginya.”
“Aku terdorong dalam kekhilafan, Ken Dedes. Kuda Sempana telah menipuku.”
“Kau dapat menghukumnya, bahkan menghukum mati sekalipun.”
“Ya. Tetapi aku sendiri telah melakukan
kesalahan pula. Karena itu aku tidak dapat menghukumnya karena alasan
itu, sebab ia berbuat dalam perlindunganku. Satu-satunya cara untuk
menebus kesalahanku itu adalah membebaskan kau dari tangannya dengan
cara yang sama seperti yang dilakukannya atas keluargamu.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia
merasakan di dalam hatinya bahwa Akuwu Tunggul Ametung itu berkata
dengan jujur. Ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya,
seakan-akan semua kemarahan dan luapan perasaannya perlahan-lahan
menjadi tenang.
Meskipun demikian, hati Ken Dedes itu
masih juga gelap. Apakah yang akan terjadi atas dirinya selanjutnya.
Apabila seseorang telah berhasil melepaskannya dari Kuda Sempana, lalu
apakah hak orang itu atas dirinya? Apakah dengan demikian ia hanya akan
berpindah tangan kepada orang yang bahkan sama sekali tak dikenalnya?
Bagaimana kalau ada orang lain yang berbuat demikian pula atas orang
yang kedua itu.”
Tiba-tiba teringatlah Ken Dedes itu
kepada Mahisa Agni. Kenapa kakaknya itu membiarkannya dilarikan oleh
Kuda Sempana? Apakah Mahisa Agni tidak tahu apa yang terjadi atasnya?
Kalau saja Mahisa mengetahui, bahwa dengan perang tanding dirinya akan
dapat dibebaskan, ia mengharap, bahwa pada waktu ketika Mahisa Agni
datang ke Tumapel dan melepaskannya. Tetapi kapan? Sehari, seminggu atau
sebulan. Atau sesudah ia kehilangan harapan untuk dapat kembali ke
padepokan?”
Dalam pada itu, maka kembali terdengar
Ken Dedes bertanya, “Akuwu Tunggul Ametung. Setelah perang tanding ini
berlangsung, dan menurut katamu, setelah aku dapat dibebaskan dari Kuda
Sempana, lalu apakah aku akan dapat segera pulang?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan
Tunggul Ametung. Tiba-tiba ia dihadapkan pula suatu masalah yang sangat
berat baginya. Seharusnya, menurut rencananya semula, ia hanya ingin
membebaskan Ken Dedes dari tangan Kuda Sempana sebagai tebusan atas
kesalahannya. Tetapi tiba-tiba alangkah beratnya untuk melepaskan gadis
itu pulang kembali ke Panawijen. Alangkah sulitnya untuk memenuhi
rencananya. Setelah ia melihat Ken Dedes dari dekat, setelah ia
mendengar Ken Dedes menangis, dan setelah ia sendiri melihat Ken Dedes
dengan beraninya mempertahankan kebebasannya untuk menentukan jalan
hidupnya, serta setelah ia melihat gadis itu dengan tabahnya
mengumpat-umpatinya, maka tiba-tiba Tunggul Ametung benar-benar lelah
terpesona. Ken Dedes telah benar-benar menarik hatinya. Karena itu,
ketika ia mendengar pertanyaan Ken Dedes itu, hatinya seolah-olah
membeku. Tak ada jawaban yang dapat diberikannya.
“Akuwu,“ Ken Dedes mengulang,“ bagaimana?”
Tunggul Ametung tergagap. Ia harus
menjawab. Tetapi ia tidak segera mendapatkan jawaban itu. Sehingga
kembali terdengar Ken Dedes mendesaknya, “Akuwu Tunggul Ametung, apakah
aku segera dapat kembali pulang.”
Tiba-tiba dalam kebingungan Tunggul
Ametung bertanya, “Ken Dedes. Kalau kau ingin segera pulang, apakah yang
menarik bagimu di Panawijen?”
Ken Dedes merasa aneh mendengar
pertanyaan itu sehingga sahutnya, “Panawijen adalah tempat kelahiranku.
Panawijen adalah padepokan ayahku. Panawijen adalah tempat aku bermain
bersama kakakku Mahisa Agni, dan Panawijen adalah tempat aku menyongsong
masa depanku.”
Tunggul Ametung menjadi semakin bingung.
Dan dalam kebingungan itu ia menjawab, “Ya. Ken Dedes. Sebenarnya kau
akan segera dapat pulang ke kampung halaman, tetapi aku takut, apabila
dengan demikian luka di hatimu akan menjadi semakin parah,”
Mendengar jawaban itu, maka kegelisahan
di hati Ken Dedes menjadi menyala kembali. Dengan penuh ketegangan ia
memandang Akuwu Tunggul Ametung.”
Terdengarlah kemudian suaranya gemetar, ”Kenapa Akuwu?”
Tunggul Ametung .menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi ia telah terdorong
menyatakan tentang luka di hati gadis itu. Karena itu ia menjawab, ”Ken
Dedes, Terserahlah kepadamu seandainya kelak kau ingin kembali ke
Panawijen. Tetapi jangan segera.”
“Kenapa? Ya, kenapa?”
Tunggul Ametung terdiam sesaat. Dicobanya
menatap wajah gadis itu. Namun kembali ia menundukan kepalanya. Di
dalam mata Ken Dedes itu seakan-akan tercermin segenap kesalahan,
kekhilafan dan ketergesa-gesaan yang pernah dilakukannya. Seakan-akan
dilihatnya kembali bagaimana Kuda Sempana datang kepadanya, dan
mengusulkan untuk pergi berburu ke arah lain dari pada arah Panawijen.
Diingatnya bagaimana Kuda Sempana merajuknya, mengatakan kepadanya bahwa
ia ditolak karena seorang pelayan dalam Akuwu Tumapel.
“Gila,” geramnya di dalam hati. Ia
menyesal bahwa ia terlalu cepat mengambil keputusan. Namun itu adalah
sifatnya-sifatnya yang dibawanya sejak ia dilahirkan. tergesa-gesa,
lekas marah dan kadang-kadang kurang pertimbangan.
Sekarang ia mengalami kegoncangan akibat
sifat-sifatnya itu. Sifat-sifatnya yang kurang menguntungkannya. Baik
sebagai seorang Akuwu, maupun sebagai manusia yang bergaul diantara
sesama.
Dan sekarang ia harus menjawab pertanyaan Ken Dedes yang mendesak itu, ”Kenapa?”
“Ken Dedes,” jawab Tunggul Ametung,
“tinggallah disini beberapa saat. Kemudian kau akan dapat mengambil
keputusan menurut kehendakmu. Tetapi jangan tergesa-gesa kembali.
Biarlah kelak aku sendiri akan mengantarkanmu.”
“Tetapi aku ingin tahu, kenapa luka hatiku akan menjadi semakin parah?”
Ketika Akuwu tidak segera menjawab, maka
angan-angan Ken Dedes sendiri telah beredar, mencoba mencari jawabnya.
tiba-tiba dikenangnya, bahwa pada saat Kuda Sempana mengambilnya,
Witantra telah dijatuhkannya. apakah yang terjadi atas anak muda itu
seterusnya. Dalam kegelisahan, kebingungan dan ketakutan pada saat itu
ia melihat Wiraprana terbanting jatuh. Ia masih dapat mengingat kembali,
ketika tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya. pada anak muda itu.
Dikenangnya betapa pucat wajah Wiraprana saat itu. Dan apakah saat itu
Wiraprana masih bernafas? Tiba-tiba Ken Dedes yang duduk dengan
tegangnya itu memekik kecil. Ditutupinya wajahnya dengan kedua tangannya
seakan-akan ingin menghilangkan bayangan-angan yang hilir mudik di
dalam rongga mata hatinya.
“Wiraprana,“ desisnya, “bagaimana dengan Wiraprana?”
Tunggul Ametung terkejut mendengar Ken Dedes memekik dan kemudian menyebut nama anak muda yang ternyata telah terbunuh itu.
Sentong tengen itu sesaat dicengkam oleh
kesepian yang tegang. Ken Dedes mencoba menunggu apakah Akuwu Tunggul
Ametung dapat memberinya keterangan tentang Wiraprana. Namun Akuwu
Tunggul Ametung itu menjadi terpaku diam, keragu-raguan dan kecemasan
merayap-rayap di dalam dadanya. Apakah akibatnya seandainya
diberitahukannya tentang nasib Wiraprana itu.
Tetapi Ken Dedes itu kemudian mendesaknya, “Akuwu, bagaimanakah dengan Wiraprana itu?”
Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dicobanya mengingkari, katanya, “Aku tidak tahu
apa yang terjadi kemudian Ken Dedes. Aku pergi bersama Kuda Sempana
meninggalkan Panawijen. Aku melihat Wiraprana terjatuh, tetapi aku tidak
tahu apa yang terjadi kemudian. Bukankah kau juga melihatnya.”
“Ya. Aku melihat. Tetapi aku segera menjadi tak sadar lagi. Nah, apakah yang telah terjadi?”
“Aku tidak tahu.”
“Bohong.”
Sekali lagi Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Ia kini benar-benar menjadi bingung. Nyai Puroni yang
melihat percakapan itu dengan penuh keheranan, melihat, seakan-akan yang
berdiri dengan gelisah dan cemas itu bukan Akuwu Tunggul Ametung yang
dikenalnya sehari-hari. Bukan seorang yang keras hati, yang
membentak-bentak dan berteriak-teriak. Bukan seorang yang aneh seperti
yang sering dilakukannya atas hamba-hambanya. Sekali waktu dipukulnya
seorang pelayan dalam, namun tiba-tiba orang itu dipanggilnya, dan
diberinya ia hadiah sepotong kain panjang. Atau pernah seorang emban
disiramnya dengan air jahe yang terlalu pedas, tetapi ketika ia melihat
emban itu menangis, maka segera diberinya emban itu uang.
Sekarang Tunggul Ametung benar-benar
seperti seorang anak yang merasa dirinya berdosa terhadap orang tuanya.
Seperti seorang anak yang menghadapi ibunya yang sangat diseganinya.
Tunduk dan gelisah.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ken Dedes serak, “Akuwu, bagaimanakah nasib Wiraprana itu?”
Tiba-tiba pecahlah ketahanan Tunggul
Ametung mendengar pertanyaan itu. Seperti orang yang berbuat tidak atas
kehendaknya sediri ia berkata, “Wiraprana terbunuh.”
Alangkah dahsyatnya suara itu terdengar
di telinga Ken Dedes, seperti petir yang langsung menyambar
dinding-dinding hatinya. Meledak dan seakan-akan memecahkan jantungnya.
Sesaat Ken Dedes terpaku seperti patung. Namun tiba-tiba gadis itu
menjatuhkan dirinya di pembaringan sambil menelungkupkan wajahnya.
Sekali ia memekik, menyebut nama Wiraprana, kemudian ia tenggelam dalam
tangisnya yang sedih.
“Hem,“ Akuwu Tunggul Ametung berdesah.
Ditatapnya gadis yang malang itu. Ketika terdengar olehnya tangis itu
semakin keras, maka kembali penyesalan menghentak-hentak dada Akuwu
Tunggul Ametung. Dan sejalan dengan itu, maka keinginannya untuk menebus
kesalahannya pun menjadi semakin besar.
Tiba-tiba terdengarlah suara Tunggul Ametung itu dalam nada yang rendah, “Maafkan aku Ken Dedes.”
Ken Dedes masih menangis terus,
seakan-akan ia tidak mendengar kata-kata itu. Tetapi Akuwu itu kemudian
melangkah maju, benar-benar seperti tidak atas kehendak sendiri. Dua
langkah dari pembaringan Ken Dedes, Tunggul Ametung berhenti. dari
antara bibirnya itu kemudian terloncat kata-kata, “Ken Dedes. aku minta
maaf kepadamu. Aku telah berusaha berbuat apa saja untuk mengurangi
kesalahanku. Kalau apa yang sudah aku lakukan itu masih belum cukup
bagimu Ken Dedes, maka apa saja yang kau ingini seterusnya pasti akan
aku penuh i. Aku adalah Akuwu Tumapel. Kekuasaanku atas tanah ini berada
di tanganku.
“Tuanku,” potong Nyai Puroni yang
menyangka bahwa Tunggul Ametung benar-benar telah kehilangan segala
pengamatan diri. Ia ingin memperingatkan kepadanya, supaya setiap kata
dan perbuatannya benar-benar dipertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi
sebelum ia berkata lebih lanjut, Akuwu Tunggul Ametung telah berkata,
“Ken Dedes. Berkatalah. Apakah yang kau kehendaki daripadaku untuk
menebus kesalahan itu. Aku serahkan semua yang ada padaku kepadamu. Aku
sendiri, tanah ini dan segenap kekuasaan atas Tumapel.”
“Tuanku,“ sekali lagi Nyai Puroni memotong.
Namun Tunggul Ametung seakan-akan tidak
mendengarnya. Bahkan Akuwu itu berkata, “Ken Dedes. Tak ada yang lebih
berharga yang ada padaku dari pada itu. Sehingga dengan sejujur-jujurnya
aku berkata, bahwa apa yang ada padaku telah aku sediakan untuk menebus
kesalahanku. Karena itu Ken Dedes, jangan kau sedihkan yang telah
terlanjur terjadi. Akulah orang yang paling menyesal atas peristiwa yang
menyedihkan itu. Tinggallah untuk sementara disini. Tenangkan hatimu,
dan barulah kau berpikir apakah yang akan kau lakukan kemudian. Namun
ada harapanku yang akan dapat kau pertimbangkan. Menyerahkan istana ini
kepadamu dengan segenap isinya.”
Ken Dedes mendengar kata-kata itu dengan
jelas. Kalimat demi kalimat. Namun ia tidak memperhatikannya. Kepalanya
yang tertelungkup itu masih saja tersentak-sentak oleh isaknya. Sehingga
karena itu, ia sama sekali tidak menjawab, apalagi mengangkat wajahnya.
Dibiarkannya Akuwu Tunggul Ametung berdiri mematung di samping
pembaringannya.
Tunggul Ametung itu terkejut ketika ia
merasa Nyai Puroni menggamit ujung kakinya. Ketika ia berpaling
dilihatnya wajah Nyai Puroni yang tegang.
Tunggul Ametung segera menyadari apa yang
terkandung di dalam hati orang tua itu. Tetapi seakan-akan ia telah
terbenam dalam tekad yang bulat. Menebus kesalahannya dengan apa saja
yang ada padanya. Tetapi dalam penilaian Nyai Puroni, Tunggul Ametung
itu tidak saja menyesal atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan
dan yang tidak diketahui oleh perempuan tua itu, namun Tunggul Ametung
itu benar-benar sedang jatuh cinta. Cinta bagi seorang yang masih semuda
Tunggul Ametung adalah bagaikan kekuatan yang tersimpan di dalam perut
Gunung Semeru. Setiap saat akan meledak dengan dahsyat, sedahsyat
ledakan yang terjadi saat ini. Menyerahkan apa saja yang ada padanya
kepada gadis Panawijen itu.
Tetapi Nyai Puroni itu sama sekali tidak
dapat berbuat apa-apa. Ia sudah tidak mungkin lagi mencegah perbuatan
Akuwu Tunggul Ametung itu, atau setidak-tidaknya memberinya peringatan.
Semuanya sudah dikatakan oleh Akuwu dan perkataan seorang Akuwu adalah
janji yang sulit untuk dicabut kembali tanpa alasan-alasan yang terlalu
kuat.
Namun di samping itu, dukun tua itu
benar-benar merasa kecewa, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah benar-benar
tenggelam dalam arus perasaannya. Bukankah dengan demikian berarti
bahwa Ken Dedes akan dapat menjadi permaisurinya dan langsung dapat
mencampuri tata pemerintahan. Bukankah dengan demikian maka gadis
padesan itu dapat membuat putih hitam atas tanah Tumapel?”
Nyai Puroni, yang telah mengabdikan diri
sejak bertahun-tahun itu menjadi sangat menyesalkan keadaan itu. Kenapa
Akuwu tidak dapat mengendalikan perasaannya?”
Tetapi bukan saja ia menyesalkan sikap
Tunggul Ametung, namun tiba-tiba ia menjadi sangat kecewa pula kepada
Ken Dedes. Gadis itu seakan-akan telah melanggar segala adat dan
kebiasaan istana Tumapel. Gadis itu sama sekali tidak tunduk pada setiap
peraturan yang berlaku bahkan ia telah berani menyebut nama Tunggul
Ametung begitu saja. Betapapun juga kemarahan seseorang, namun kepada
Akuwu ia tidak akan dapat berbuat demikian. Tetapi ken Dedes itu telah
melakukannya. Namun dukun tua itu menyimpan kekecewaan itu di dalam
dadanya. Ia tidak berani mengatakannya di muka Tunggul Ametung yang
sedang jatuh cinta itu.
Sesaat kemudian bilik itu menjadi sepi,
yang terdengar adalah suara isak Ken Dedes yang pedih. Nyai Puroni yang
telah menjadi kecewa itu, sama sekali tidak bernafsu lagi untuk
menghiburnya. Bahkan ia menjadi jemu menunggui gadis itu di sentong
tengen. Telah hampir satu hari satu malam ia berada dalam bilik itu, dan
hanya keluar sesaat apabila ia pergi ke belakang dan makan,
berganti-gantian dengan emban yang sekarang duduk diluar. Namun ternyata
bahwa ia menemui kekecewaan. Ketika Akuwu Tunggul Ametung kemarin
mengucapkan janjinya, Nyai Puroni telah merasa aneh dan heran. Tetapi ia
mengharap bahwa Akuwu akan berubah pendirian selagi janji itu belum
didengar oleh orang lain, apalagi Ken Dedes sendiri. Tetapi kini janji
itu langsung telah diberikan kepada gadis Panawijen itu. Gadis padesan
yang terlalu kecil dibandingkan dengan kebesaran Akuwu Tumapel.
Tetapi Tunggul Ametung sendiri memandang
Ken Dedes tidak terlampau kecil. Bahkan Akuwu itu melihat kebesaran yang
memancar dari diri gadis itu. Dari sikapnya dan dari balik
kewadagannya.
Sejenak kemudian, ketika Ken Dedes masih
juga menangis, berkatalah Tunggul Ametung, “Ken Dedes, aku tidak ingin
kau mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Pikirkanlah semua kata-kataku.
Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Semuanya aku katakan dengan
jujur. Seperti aku dengan jujur mengakui segenap kesalahanku. Sekarang
cobalah tenangkan hatimu. Apa yang sudah terjadi tak akan dapat diulang
kembali. Namun pertimbangan apa yang aku katakan, menjelang hari depanmu
yang masih panjang.”
Kali in pun Ken Dedes seolah-olah tidak
mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung. Ia masih saja terbenam dalam
isak tangisnya, kekecewaan dan penyesalan yang tiada taranya.
“Baiklah aku pergi dulu Ken Dedes,“
berkata Tunggul Ametung itu. Namun kata-kata lenyap tiada jawaban.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tunggul Ametung melangkah surut,
kemudian kepada Nyai Puroni ia berkata, “Nyai, rawatlah gadis ini
baik-baik.”
Nyai Puroni menganggukkan kepalanya, tetapi betapa hambar perasaannya. Jawabnya, “Hamba Tuanku.”
Tunggul Ametung kemudian tidak berkata
apapun lagi. Segera ia melangkah meninggalkan ruang itu. Di muka pintu
dilihatnya seorang emban duduk bersimpuh dan menyembahnya ketika ia
lewat.
“Layani gadis itu seperti kau melayani aku,” perintah Tunggul Ametung.
Emban itu menjadi heran. Dipandanginya wajah Akuwu sesaat, namun kemudian jawabnya, “Hamba tuanku.”
Tunggul Ametung itu pun kemudian pergi ke biliknya, kepada seorang pelayan diperintahkannya memanggil Daksina.
“Hamba tuanku,“ sahut pelayan itu.
“Cepat. Ia harus datang sekarang membawa kitab yang paling baik yang dikenalnya.”
“Hamba tuanku,“ sahut pelayan itu yang kemudian berlari-lari pergi ke rumah Daksina di halaman belakang istana.
Sejenak kemudian Daksina datang sambil membava Kidung yang lagi dibacanya di rumahnya, Smaradahana.
“Ya bacalah,“ perintah Akuwu.
Dengan suaranya yang lembut Daksina kemudian membaca rontal Kidung Smaradahana.
Akuwu yang sedang dilanda oleh berbagai
perasaan itu merasa betapa hatinya menjadi penat. Suara Daksina itu
seolah-olah langsung menyentuh membelai seisi dadanya. perlahan-lahan
Akuwu dapat mengendapkan kesibukan perasaannya, sehingga sesaat kemudian
Tunggul Ametung itu tertidur.
Ken Dedes yang kemudian ditinggalkan oleh
Akuwu Tunggul Ametung, masih saja meratapi nasibnya yang pahit. Ia
tidak dapat mengerti kenapa hal itu harus menimpa pada dirinya. Namun
sekejap-sekejap terngiang juga kata-kata Akuwu Tunggul Ametung di
telinganya. Terasa bahwa Tunggul Ametung telah mencoba berkata setulus
hatinya. Terasa bahwa Akuwu itu benar-benar telah menumpahkan segenap
perasaan yang tersimpan di dalam dadanya. Bahkan kadang-kadang di
telinga Ken Dedes itu masih juga terulang-ulang kata-kata Tunggul
Ametung, “Ken Dedes, berkatalah. Apakah yang kau kehendaki dari padaku
untuk menebus kesalahan itu. Aku serahkan semua yang ada padaku
kepadamu. Aku sendiri, tanah ini dan segenap kekuasaan atas Tumapel.“
Kemudian Tunggul Ametung itu berkata pula, “Ken Dedes, tak ada yang
lebih berharga yang ada padaku daripada itu. Sehingga dengan
sejujur-jujurnya aku berkata, bahwa yang ada padaku telah aku sediakan
untuk menebus kesalahanku.”
Ketika Ken Dedes kemudian mengangkat
wajahnya, dilihatnya Nyai Puroni duduk tepekur di sisi pembaringannya.
Karena tidak ada orang lain, maka kepada Nyai Puroni itulah Ken Dedes
ingin menyeriterakan dan menumpahkan segenap tekanan yang menghimpit
dadanya selama ini. Ketika dilihatnya Nyai Puroni masih saja menundukkan
wajahnya, maka perlahan-lahan terdengar Ken Dedes itu memanggil,
“Nyai.”
Nyai Puroni mengangkat wajahnya. Tetapi
wajah itu sudah tidak sebening ketika ia pertama-tama memasuki ruangan
itu. “Apa ngger,” sahutnya.
“Apakah Nyai mengetahui maksud Akuwu Tunggu Ametung dengan segenap kata-katanya itu?”
Nyai Puroni mengangkat keningnya. Kemudian sambil mencibirkan bibirnya ia berkata, “Perkataan seorang laki-laki biasa.”
“Kenapa Nyai?” bertanya Ken Dedes.
Nyai Puroni tidak segera menjawab. Sekali
dipandangnya wajah gadis padesan itu. “Memang cantik,” gumamnya di
dalam hati. Tetapi tiba-tiba pula merayap pada dinding jantungnya,
perasaan iri hati atas nasib Ken Dedes yang sangat baik itu. Telah
berapa tahun ia mengabdikan diri pada Akuwu Tunggul Ametung, namun tidak
pernah ia menerima limpahan kebaikan hati sepersepuluh dari yang
diterima oleh Ken Dedes. Sebagai seorang dukun, ia masih saja harus
melakukan pekerjaannya dengan keadaan yang sama seperti dua tiga tahun
yang lampau. Kemenakannya, seorang gadis yang cantiknya menyamai
bidadari dan diabdikannya pula di istana ini, sejak ia menginjak gerbang
istana dua tahun yang lampau sampai saat ini masih saja tidak lebih
dari seorang emban juru makanan. Sekali-kali Akuwu Tunggul Ametung
memuji kepandaiannya memasak. Namun besok Akuwu telah melupakannya pula.
Sekarang tiba-tiba di istana itu hadir seorang gadis desa, berkain
lurik kasar, berkulit kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari, namun
langsung ditempatkan oleh Akuwu di sentong tengen. Dan bahkan
telinganya sendiri mendengar betapa Tunggul Ametung telah mengucapkan
suatu janji yang tak ternilai.
Ketika dukun tua itu tidak segera
menjawab, maka kembali Ken Dedes bertanya, “Kenapa Nyai? Kenapa dengan
seorang laki-laki biasa?”
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya, “Kau masih terlalu muda ngger. Kau belum tahu apa
yang dikatakan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan. Bukankah
kau mendengar bahwa Tunggul Ametung itu akan menyerahkan apa saja yang
ada padanya kepadamu? Nah, itulah suatu pertanda bahwa Akuwu Tunggul
Ametung itu sedang mencoba merayumu. Tetapi jangan kau harap bahwa kau
akan dapat menjadi seorang permaisuri yang benar-benar memiliki
kekuasaan di Tumapel melampaui kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung.”
Ken Dedes memandang Nyai Puroni dengan
heran. Ia mendengar Akuwu berkata demikian kepadanya. Tetapi ia melihat
perubahan sikap, nada dan tekanan kata-kata Nyai Puroni.
Dan sebelum Ken Dedes berkata apapun,
maka kembali Nyai Puroni itu berkata, “Nah, karena itu jangan terlalu
berbangga dengan dirimu ngger. Kau kini berani menyebut nama Akuwu
Tunggul Ametung tanpa sebutan apapun. Mungkin kini Akuwu masih dapat
menahan kemarahannya karena keinginannya untuk mendapat kesediaanmu.
Tetapi nanti, apabila ibarat bunga, madumu telah habis dihisapnya, maka
kau akan dilemparkan ke dalam parit.”
“Nyai,“ potong Ken Dedes.
Nyai Puroni, dukun tua yang berwajah
bening dan lembut itu tiba-tiba tertawa. Suaranya bernada tinggi
meskipun perlahan-lahan. Katanya, “Jangan takut. Itu adalah akibat biasa
bagi seorang gadis yang diingini oleh Tunggul Ametung. Pembaringan ini
dapat menjadi saksi. Berapa banyak gadis seperti angger ini, yang
mula-mula berbaring di sentong tengen akhirnya berkeliaran di sepanjang
jalan Tumapel. Ada diantara mereka yang menjadi gila dan ada pula yang
membunuh dirinya sendiri.”
“Nyai terlalu mengerikan.”
“Ya. Aku berkata sebenarnya.”
“Tetapi, aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menjadi apapun disini, apalagi seorang permaisuri.”
Nyai Puroni tersenyum. Senyumnya menjadi
semakin menakutkan. Wajahnya kini sama sekali berubah. Sinar matanya
yang lembut tiba-tiba kini seakan-akan membakar jantung Ken Dedes.
Katanya, “Oh, oh. Jangan mengelabui orang tua ngger. Adakah di dunia ini
seseorang yang menolak kebahagiaan itu tanpa mengetahui akibatnya?”
“Nyai,” bantah Ken Dedes, “bukankah Nyai
melihat keadaanku pada saat aku datang? Kalau aku benar-benar
berkeinginan seperti yang Nyai katakan, maka aku sekarang akan terbakar
oleh kegirangan tiada bandingnya.”
“Aku orang tua ngger. Aku memang pernah
melihat, seorang gadis tanpa diminta pendapatnya, langsung dibawa oleh
Akuwu. Gadis itu menjadi ketakutan seperti angger ini. Tetapi ketika
diketahuinya bahwa yang akan didapatnya adalah istana dan kekuasaan atas
Tumapel, maka dengan serta merta ia menerimanya. Tetapi akibatnya?”
“Oh,“ Ken Dedes menutup wajahnya. Tetapi
bagaimanapun juga Ken Dedes bukan seorang yang sangat bodoh. Ia melihat
pada saat-saat Akuwu Tunggul Ametung datang bersama Kuda Sempana. Ia
melihat, bahu a Akuwu belum mengenal dirinya. Dan ia mengetahui apa yang
pernah dilakukan oleh Kuda Sempana atasnya. Karena itu ia menjadi
bimbang atas keterangan Nyai Puroni itu. Mungkin Akuwu pernah berbuat
demikian, namun kehadiran dirinya di Tumapel bukan atas kehendak Tunggul
Ametung, tetapi atas kehendak Kuda Sempana. Meskipun demikian, Ken
Dedes tidak membantah lagi. Dibiarkannya Nyai Puroni berkata terus “ Nah
ngger. Terserah kepada angger. Apakah angger akan menerima nasib
seperti itu? Seperti gadis-gadis yang kemudian membunuh diri atau
berkeliaran sepanjang jalan karena terganggu ingatannya.
Ken Dedes menutupi wajahnya semakin rapat. Suara itu benar-benar seperti suara hantu di tengah-tengah tanah pekuburan.
Nyai Puroni yang melihat Ken Dedes
ketakutan, menjadi gembira. Ia mengharap gadis itu menolak. Dengan
demikian ia tidak harus menyembah seorang gadis desa apabila ia benar
diangkat menjadi seorang permaisuri. Mungkin Nyai Puroni dapat mencari
gadis-gadis terhormat atau bahkan seorang gadis dari istana Kediri untuk
permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Bukan hanya seorang gadis dari
Panawijen.
Sebelum Akuwu berhasil mendapatkan
seorang permaisuri, dapat saja Tunggul Ametung mengambil satu atau dua
orang selir. Kalau berkenan di hati Akuwu, maka kemanakannya yang kini
menjadi juru makanan dapat juga diambilnya. Tetapi jangan gadis desa
ini. Gadis yang menjadi seorang selir pun kurang pantas meskipun cantik.
Ketika kemudian Nyai Puroni masih saja
menakut-nakuti, maka akhirnya hati Ken Dedes menjadi tidak tahan lagi.
Sahutnya, “Nyai, bukankah Nyai telah mendengarnya sendiri, bahwa yang
membawa aku kemari adalah Kuda Sempana. Sama sekali bukan Akuwu Tunggul
Ametung. Apalagi atas persetujuanku.”
Nyai Puroni terdiam sesaat, sejak semula
memang ia telah menyangka bahwa semua itu adalah pokal Kuda Sempana.
Bahkan semula menaruh belas yang dalam kepada gadis yang malang itu.
Tetapi tiba-tiba perasaan iri dan dengki
telah menyala di dalam hatinya, seolah-olah telah membakar hangus segala
sifatnya. Sifat seorang dukun yang pengasih dan berhati lembut. Harga
dirinya sebagai seorang perempuan istana menghadapi seorang gadis desa,
mendorongnya untuk menolak kehadiran Ken Dedes di dalam istana Tumapel.
Setelah berdiam diri sejenak maka Nyai
Puroni itu kemudian menjawab, “Apapun sebabnya ngger, namun kau sekarang
telah berada di sentong tengen ini. Kalau kau mau mendengar nasehatku,
jangan kau penuhi permintaan Akuwu. Meskipun dikatakannya untuk menebus
kesalahan dan apa saja. Kau harus dapat membedakan. Seorang laki-laki
berkata sungguh-sungguh atau seorang laki-laki sedang merayu. Kalau
benar Tunggul Ametung akan menebus kesalahannya, dan segenap
permintaanmu akan dipenuhi, cobalah, mintalah kau dikembalikan ke
rumahmu. Mintalah tanah yang luas dan mintalah ternak dan iwen untuk
bekal hidupmu kelak. Mudah-mudahan kau akan menemukan suami yang baik
kelak dan kau akan dapat hidup dengan baik pula ngger.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak menjawab lagi. Kata-kata Nyai Puroni mempunyai pengaruh
yang sangat aneh di dalam dirinya. Ken Dedes, gadis desa yang manja,
yang kurang sekali memiliki pengalaman itu, ternyata dapat membedakan
nada dan tekanan kata-kata yang diucapkan oleh Tunggul Ametung dan Nyai
Puroni. Ia melihat kejujuran membayang di wajah Akuwu yang suram dan
dalam. Tetapi di balik kata-kata Nyai Puroni terasa ada yang kurang
wajar. Orang tua yang baik dan lembut itu tiba-tiba saja berubah menjadi
seorang yang berlidah tajam. Tetapi Ken Dedes sama sekali tidak segera
dapat menarik kesimpulan dari semua pembicaraan yang didengarnya.
Tetapi karena itu, maka ia terpaksa
berpikir. Dengan demikian maka ia tidak lagi tenggelam dalam arus
perasaannya. Perasaan duka dan hampir putus asa. Justru karena itu, maka
tiba-tiba ia mulai dengan pertimbangan-pertimbangan yang semakin lama
menjadi semakin bening. Ia mulai berpikir dan mempertimbangkan semua
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi atas dirinya, atas keluarganya
dan atas Wiraprana yang malang.
Ketika kemudian terbersit di dalam
hatinya. bahwa segala akhir dari peristiwa adalah terletak di tangan
Yang Maha Agung, maka Ken Dedes benar-benar dapat mengendapkan hatinya.
Adalah wewenang dari setiap orang untuk mempertimbangkan, merencanakan
dan mengusahakan jalan dan arah hidupnya. Namun kadang-kadang yang Maha
Agung berkehendak lain dari kehendak orang itu sendiri. Namun yang
berlaku itulah keadilan yang sebenarnya yang dianugerahkan oleh sumber
Hidup manusia kepada manusia. Sedang Yang Maha Agung itu pun pasti akan
mendengar setiap permohonan dari mahluk terkasihnya, sepanjang
permohonannya itu wajar menurut penilaian tertinggi, bukan penilaian
manusia. Itulah sebabnya maka manusia diwajibkan berusaha, sebagai
ungkapan kesungguhan atas permohonannya.
Beberapa saat kemudian Nyai Puroni masih
saja memberikan beberapa pendapat kepada Ken Dedes. Berbagai-bagai hal
dikemukakannya dan diberikannya beberapa contoh yang dapat menambah
kecemasan hati gadis Panawijen itu. namun kini Ken Dedes sama sekali
tidak menjawab. Satu patah katapun tidak. Sehingga akhirnya Nyai Puroni
itu berhenti dengan sendirinya.
Namun dukun tua itu, sama sekali tidak
dapat menangkap kesan wajah Ken Dedes. Ia mengharap gadis itu ketakutan,
dan nanti apabila Tunggul Ametung datang kembali, maka ia akan minta
dikembalikan ke Panawijen, sesuai dengan janji Akuwu, akan memberi apa
saja yang dimintanya.
Karena Ken Dedes sama sekali tidak
menjawab semua kata-katanya, dan tidak segera dapat memberinya kesan
atas semua kata-katanya, maka Nyai Puroni itu menjadi kecewa. Meskipun
demikian ia mengharap bahwa gadis desa itu akan menuruti kata-katanya.
Untuk memberinya waktu, maka Nyai Puroni itu pun kemudan berkata,
“Pikirkan nasehatku ngger. Aku ingin Akuwu tidak membuat korban-korban
baru. Aku akan pergi ke belakang sebentar. Biarlah emban diluar itu
mengawasimu disini. Tetapi ingat, jangan kau katakan nasehatku kepada
siapapun, supaya kau tidak terancam oleh kekerasan. Sebab Akuwu dapat
merayumu dengan kata-kata, namun dapat juga memaksamu dengan senjata.
Bukankah kau seorang gadis yang lemah? Nah, simpanlah nasehatku dan
pertimbangkanlah seorang diri.”
Kali ini Ken Dedes mengangguk sambil berkata, “Baik Nyai.”
Nyai Puroni itu pun kemudian berdiri dan melangkah keluar. Diluar dijumpainya seorang emban duduk sambil mengantuk.
“He,“ desis Nyai Puroni sambil menyentuh pundaknya.
Emban itu terkejut. “Ada apa Nyai,” sahutnya tergagap.
“Aku akan pergi sejenak. Tungguilah gadis
itu. Jangan kau ganggu dengan ceritera-ceritera yang aneh-aneh. Ia
masih saja mengigau. Mungkin ia masih dibayangi oleh ketakutan, sehingga
pertanyaannya sangat aneh.”
Emban yang masih menguap sekali dua kali itu mengangguk sambil menjawab, “Baik Nyai. Dan sekarang Nyai akan pergi kemana?”
“Aku akan ke belakang sebentar.”
“Bukankah Nyai tidak pergi terlalu lama?
Aku takut menunggui gadis itu seorang diri. Kalau tiba-tiba ia pingsan
kembali, maka aku akan menjadi pingsan pula.”
“Tidak, aku tidak terlalu lama. Tetapi
ingat. Gadis itu masih dipengaruhi oleh ketakutan. Karena itu, jangan
membantah pertanyaannya. Biarkan saja apa yang dikatakan. Kau dengar.”
Meskipun emban itu tidak mengerti maksud Nyai Puroni namun ia menganggukkan kepalanya, “Baik Nyai,“ jawabnya.
“Pertanyaannya sangat aneh,“ Nyai Puroni
meneruskan, “tetapi ingat-ingat, jangan dibantah, sebab ia akan menjadi
kecewa dan pingsan kembali. Ia mendendam Akuwu, sehingga ia menganggap
Akuwu terlalu jahat. Tetapi ingat, jangan dibantah.”
“Ya, ya,“ sahut emban itu.
Nyai Puroni itu pun kemudian melangkah
pergi. Menuruni tangga di ruang dalam dan kemudian menyeberang serambi
dan sampailah ia ke halaman belakang.
Sepeninggal Nyai Paroni, emban yang
ditinggalkan di muka pintu pun segera melangkah masuk. Ditemuinya Ken
Dedes berbaring di pembaringan sambil mengusapi air matanya, namun gadis
itu sudah tidak menangis lagi.
Ketika dilihatnya seorang emban berjalan masuk ke bilik itu, Ken Dedes bangkit dan menganggukkan kepalanya.
“Silahkan berbaring, puteri … eh … “
“Jangan panggil aku demikian. Aku adalah seorang gadis desa, gadis Panawijen.”
“Bagaimana aku harus memanggil?”
“Panggil namaku, Ken Dedes. Siapakah namamu?”
“Oh,“ emban itu menjadi gelisah. Katanya selanjutnya, “namaku Madri.”
“Madri,“ ulang Ken Dedes, “nama yang bagus.”
Emban itu menjadi heran mendengar Ken
Dedes memuji namanya. Kesan yang dikatakan oleh Nyai Puroni sama sekali
tak ditemuinya pada wajah gadis Panawijen itu. Bahkan gadis itu sempat
menanyakan namanya dan memuji nama itu. Meskipun demikian emban itu
tidak berkata-kata untuk sejenak. Diletakkannya tubuhnya di samping
pembaringan Ken Dedes.
“Duduklah disini Madri,“ ajak Ken Dedes.
“Oh. Jangan. Jangan. Aku adalah seorang emban meskipun namaku bagus.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Gadis emban ini menarik perhatiaunya. Agaknya gadis ini gadis yang cukup jujur.
“Apakah emban tidak boleh di pembaringan ini?” bertanya Ken Dedes.
“Tidak. Emban hanya boleh duduk di lantai.”
Kembali Ken Dedes mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah emban yang menunduk itu. Kemudian
dipandanginya tubuhnya sendiri. Ternyata emban itu tampak lebih bersih
daripadanya. Kulitnya, pakaiannya dan rambutnya. Tetapi kini Ken Dedes
tidak mau lagi hanyut dalam arus perasaannya. Ia mencoba untuk
menghadapi setiap persoalan dengan akal pikirannya.
Karena itu, meskipun ia melihat kekurangannya, namun ia tidak segera merasa betapa kecil dirinya.
Setelah mereka terdiam sesaat, maka
timbullah keinginan Ken Dedes untuk mengetahui kebenaran kata-kata Nyai
Puroni. Meskipun semula ia menjadi ragu-ragu, namun kemudian terdengar
ia bertanya, “Emban, siapakah yang pernah berbaring di pembaringan ini?”
Emban itu mengangkat wajahnya. Sejenak ia
menjadi ragu-ragu. Teringat pula olehnya pesan Nyai Puroni untuk tidak
membantah setiap kata-kata gadis itu. Namun pertanyaan ini tidak
berkesan apa-apa baginya, bukan pertanyaan seorang yang ketakutan dan
akan jatuh pingsan. Karena itu maka dijawabnya. “Belum ada. Belum pernah
ada seorang pun yang dibaringkan di pembaringan ini.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Pada
pertanyaannya yang pertama ia telah semakin meragukan kebenaran
keterangan Nyai Puroni. Karena itu, maka ia bertanya pula, “Madri,
sentong apakah ini namanya. Begitu baiknya, penuh dengan ukiran dan
perhiasan-perhiasan.”
“Sentong ini adalah sentong yang selama ini selalu kosong. Sentong ini disediakan untuk permaisuri.”
Dada Ken Dedes berdesir mendengar jawaban
itu. Kalau demikian apakah maksud Tunggul Ametung sebenarnya? kenapa ia
ditempatkan di sentong ini sejak permulaan?”
Kembali Ken Cedes bertanya kepada emban
yang muda itu, “Kenapa bukan kau Madri. Kenapa bukan kau yang cantik itu
dibaringkan di pembaringan ini?”
“Ah,” desah Madri sambil menggigit ujung kainnya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Jadi Akuwu Tunggul Ametung belum pernah mempermaisuri?”
“Belum. Belum,” jawab emban itu.
“Belum berselir?”
“Belum, belum.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia ingin mencoba bertanya. Kali ini Ken Dedes ingin
mengetahui, kenapa Nyai Puroni tidak memberi gadis itu pesan, agar ia
berbohong pula kepadanya. Katanya, “Tetapi Madri. Aku pernah mendengar
bahwa Akuwu Tunggul Ametung pernah beberapa kali mengambil gadis-gadis
dan kemudian segeralah tidak dipakainya lagi, maka gadis-gadis itu
dibuangkannya ke tepi-tepi jalan? Begitu?”
Madri terkejut mendengar pertanyaan itu.
Namun kemudian teringatlah ia akan pesan Nyai Puroni supaya ia mengiakan
semua pertanyaan gadis yang sedang mendendam itu, supaya gadis itu
tidak gusar dan pingsan kembali. Tetapi sebenarnya Madri bukanlah gadis
yang terlalu bodoh. Bahkan ia mempunyai otak yang cukup baik, apalagi
emban itu adalah emban yang jujur. Meskipun demikian ia tidak berani
menolak pesan Nyai Puroni. Seandainya terjadi hal-hal yang tak
diinginkan pada gadis itu, maka pasti dirinyalah yang akan
dipersalahkan. Namun emban itu masih ingin bertanya kepada Ken Dedes
katanya, “Darimanakah berita itu?”
Ken Dedes menggeleng, “Tidak dari seorang pun disini.”
Emban itu mengerutkan keningnya. Sekali
ditatapnya wajah Ken Dedes. Namun pada wajah itu sama sekali tidak
dilihatnya kesan yang dikatakan oleh Nyai Puroni kepadanya, kesan bahwa
gadis itu sedang dalam ketakutan dan mendendam.
“Bagaimana Madri,” bertanya Ken Dedes itu pula.
Madri menjadi ragu-ragu. Ia tidak dapat
menduga maksud Nyai Puroni yang sebenarnya. Tetapi kembali ia merasa
takut untuk melanggar pesan itu. Karena itu, meskipun sama sekali tidak
memancar dari lubuk hatinya ia menjawab ragu-ragu, “Ya. ya tuan …”
“Panggil namaku, Ken Dedes,” sahut Ken Dedes.
“Ya demikianlah.”
“Jadi pendengaranku itu benar?”
Emban itu mengangguk penuh kebimbangan, “Ya. Ya benar.”
Tetapi Ken Dedes menjadi semakin tidak
yakin akan jawaban itu. Maka desaknya. “Jadi, adakah seadainya
pembaringan ini dapat mendengar, maka ia akan mendengar banyak sekali
keluhan gadis-gadis korban Akuwu Tunggul Ametung itu, dan seandainya ia
dapat berceritera maka akan banyak sekali ceritera sedih yang dapat
diberikan kepada kita, Madri.”
Madri menjadi semakin bimbang. Namun kembali ia mengangguk, tetapi sama sekali tidak meyakinkan, “Ya. Demikianlah.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Kini
ia telah menemukan keyakinan, bahwa Nyai Puroni tidak berkata
sebenarnya, dan emban yang jujur itu pun telah mencoba untuk
membohonginya.”
Meskipun demikian Ken Dedes tidak
menanyakan kepada Madri, manakah yang benar menurut kata-kata emban itu
sendiri, bahwa pembaringan ini masih belum pernah dipergunakan, atau
pembaringan ini telah menyimpan banyak sekali kisah pahit dari gadis
yang kemudian dilemparkan begitu saja di tepi-tepi jalan.
Namun emban itu agaknya telah merasa
kejanggalan jawabnya sendiri. berkali-kali ia menelan ludahnya. Ingin
ia, memberikan beberapa penjelasan. Tetapi suaranya seakan-akan
tersumbat di kerongkongan. Sehingga karena itu, maka tubuhnya menjadi
basah oleh keringat dingin yang mengalir dari seluruh lubang-lubang
kulitnya. Dadanya terasa seolah-olah bergelora, karena detik jantungnya
yang semakin cepat, namun di dalam kepalanya sempat ia membuat
perhitungan-perhitungan.
“Tak seorang pun pernah mengatakan
seperti berita yang pernah didengar gadis itu,“ desisnya di dalam hati,
“sanak kadangku yang tinggal di desa-desa dan yang tinggal di dalam kota
ini sekalipun, tidak pernah ada yang menyebut-nyebut tentang ceritera
semacam itu. Dan tidak pernah pula mendengar dari seorang pun bahwa
Akuwu pernah mengambil seorang gadis dan mengorbankan gadis itu dengan
amat kejinya. Apalagi melihat. Tidak, Akuwu tidak pernah berbuat
demikian, dan tak ada seorang pun yang pernah memfitnahkan demikian.”
Tetapi emban itu tiba-tiba mengerutkan
lehernya. Serasa seluruh bulu-bulunya tegak berdiri, ketika ia sampai
pada kesimpulan yang ditemui oleh gadis ini pertama-tama adalah Nyai
Puroni. Apakah orang tua itulah yang telah membuat ceritera yang
mengerikan itu? Emban itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Bukan Nyai
Puroni. Orang itu tidak mempunyai kepentingan apa-apapun dengan Ken
Dedes maupun Akuwu Tunggul Ametung,” desisnya di dalam hati, “tetapi
siapa? Atau benar seperti yang dikatakan oleh Nyai Puroni, bahwa Ken
Dedes selalu dikejar-kejar oleh perasaan takut dan dendam, sehingga
dikarangnya sendiri ceritera semacam itu atau dibayangkannya, bahwa
sebelum dirinya sendiri, banyak gadis-gadis yang mengalami bencana
semacam itu? Tetapi wajah gadis itu sedemikian tenangnya.”
Emban itu menjadi bingung sendiri. Tetapi
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Ah, apa peduliku? dengan
berpusing-pusing tentang gadis ini gajiku belum pasti akan mendapat
kenaikan. Biarlah aku melakukan pekerjaanku seperti yang diperintahkan.”
Tetapi emban itu terkejut ketika Ken Dedes berkata, “Jadi ceritera itu benar-benar telah terjadi, Madri?”
“Ya,” jawab emban itu singkat.
“Tetapi kenapa kau tidak takut
menghambakan dirimu di istana ini? Kau terlalu cantik Madri. Jauh lebih
cantik dari setiap gadis yang pernah aku jumpai. Apalagi kau masih muda
dan sehat. Apakah senyummu itu tidak sangat berbahaya bagimu?”
Pertanyaan itu sama sekali tidak
diduganya. Karena itu maka emban itu pun menundukkan wajahnya yang
menjadi kemerah-merahan. Ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab
pertanyaan itu, namun ia menjadi malu atas pujian yang
berlebih-lebihan. karena itu, maka Madri itu pun sama sekali tidak
menjawab.
Ken Dedes pun tidak mendesaknya pula. Ia
telah menemukan keyakinan. Dan karena ini ia menjadi senang. Gadis
Panawijen itu ternyata menjadi heran sendiri atas ketenangan yang
menyelimuti jiwanya. Pasrah diri pada sumber hidupnya, dan agaknya
peristiwa yang telah menggoncangkan jiwa dan raganya ini, benar-benar
telah menggoncangkan segala macam sifat kekanak-kanakan dan
kemanjaannya. Dalam beberapa hari, Ken Dedes telah benar-benar berubah
menjadi seorang gadis dewasa. kejutan atas perasaannya telah mempercepat
dan mematangkan jiwanya. Sehingga karena itu pula, ia mampu kini
berpikir dalam alam kedewasaannya.
Karena itulah, maka ia tidak ingin
membuat emban itu bertambah bingung. Dikisarkannya pembicaraannya ke
segi-segi yang sama sekali jauh menghindar dari persoalan-persoalan
dirinya.
“Madri, emban yang manis,” berkata Ken Dedes, “sudah berapa lamakah kau berada di dalam istana ini?”
Mendengar pertanyaan itu dada Madri berdesir. Dijawabnya sambil menundukkan kepalanya, “Hampir dua tahun tuan.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambungnya, “Jadi kau sudah melihat hampir segenap sudut istana bukan?”
Madri mengangguk.
“Kau pernah melihat, dimana seisi istana ini harus mandi?”
Madri kini mengangkat wajahnya, “Ya,“ sahutnya.
“Madri, sudah dua hari aku tidak menyentuh air.”
Emban itu menarik keningnya. Dua hari
terpisah dengan air bagi seorang perempuan adalah cukup lama. Seandainya
Ken Dedes dalam dua hari itu tidak sedang dilanda oleh berbagai
kegoncangan maka yang dua hari itu pasti benar-benar memusingkan
kepalanya untuk menyentuh air.
“Jadi apakah tuan akan mandi?” bertanya emban itu.
“Panggil namaku, Ken Dedes.”
“Ya,” sahut Madri dengan kaku, “apakah tuan akan mandi?”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya kehadirannya di ruangan ini sangat berpengaruh baginya sehingga
emban itu tidak berani menyebut namanya. Tetapi Ken Dedes tidak ingin
memperbincangkannya lebih banyak. Karena itu jawabnya, “Aku ingin
mencuci muka dan tanganku.”
Madri dapat mengerti, bahwa Ken Dedes
benar-benar memerlukan air. Tetapi apakah ia dapat mengantarkan gadis
itu ke belakang? Apakah dengan demikian ia tidak bersalah, dan
bagaimanakah seandainya gadis itu melarikan diri?”
Madri benar-benar menjadi bingung, sehingga untuk sejenak ia tidak dapat menjawab.
“Bagaimana Madri?”
“Ya tuan, tetapi apakah tuan dapat menunggu Nyai Puroni?”
“Kenapa aku harus menunggu?”
Kembali emban itu menjadi bingung. Sekali-kali dijenguknya bilik pintu itu, dan sambil berdesis ia menunggu Nyai Puroni.
“Siapa yang kau tunggu?” bertanya Ken Dedes itu tiba-tiba.
“Nyai Puroni tuan,” sahut Madri.
“Aku tidak perlu menunggunya. Marilah antarkan aku ke belakang.”
“Ya, ya. Tetapi …. “ emban itu tidak meneruskan kata-katanya.
Ken Dedes melihat keragu-raguan itu.
Akhirnya iapun dapat memahami kesulitan Madri. Karena itu maka kemudian
katanya, “Baiklah aku menunggu Nyai Puroni.”
Madri menganggukkan kepalanya. Tetapi ia
menjadi gelisah. Demikian gelisahnya, sehingga ia berkata, “Aku akan
keluar sebentar tuan, menjenguk apakah Nyai Puroni ada di emper
belakang.”
Ken Dedes mengangguk, “Pergilah. Cepat kembali, aku tidak tahan lagi.”
Emban itu berlari-lari keluar. Ketika ia
menjenguk ke serambi belakang, alangkah terkejutnya. Yang mondar-mandir
di serambi adalah Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu segera berjongkok
sujud menyembah.
“Apa? “ bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Sehingga emban itu menjadi tergagap karenanya.
“Mau kemana?” bertanya Akuwu itu pula.
“Ampun tuanku, hamba akan mencari Nyai Puroni.”
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. “Kemana Nyai Puroni.”
“Ke belakang tuanku.”
“Kau tinggalkan gadis itu Sendiri?”
“Ampun tuanku, gadis itu akan pergi ke
belakang. Hamba takut mengantarkannya sebelum hamba minta ijin dahulu
kepada Nyai Puroni.”
“Kenapa minta ijin Nyai Puroni?”
Kembali emban itu menjadi bingung. Ia
tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Akuwu itu, sehingga emban itu
pun menundukkan wajahnya yang pucat.
“Nah, antarkan gadis itu sekarang.”
“Hamba tuanku,” sahut emban itu sambil
menyembah. Kemudian sambil berjongkok ia beringsut kembali masuk ke
dalam bilik kanan di ruang dalam.
Ken Dedes itu pun segera diberitahukannya, bahwa Akuwu sendiri telah mengijinkannya untuk pergi.
“Apakah aku seorang tawanan Madri?” bertanya Ken Dedes.
Pertanyaan itu sama sekali tidak
diduga-duga. Sekali lagi ia dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang
tak dimengerti jawabnya. Kali ini Madri itu menjawab dengan jujur,
“Tuan, aku adalah seorang emban, sehingga tidak banyaklah yang aku
ketahui tentang diri tuan. Bahkan tentang diriku sendiri di dalam istana
ini.”
Ken Dedes tersenyum. Ditepuknya bahu emban itu sambil berkata, “Kau jujur Madri.”
Ken Dedes itu pun kemudian mengikuti
Madri berjalan lewat pintu samping, menyeberangi serambi jauh di ujung
untuk menghindari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka mendengar tepuk tangan. Ketika mereka berpaling,
mereka melihat Akuwu berjalan bergegas-gegas kepada mereka, sehingga
dengan serta merta emban itu pun menjatuhkan diri berjongkok sambil
menyembah. Ken Dedes yang sudah menemukan ketenangannya pun segera
berjongkok pula di belakang Madri.
Tetapi terdengar Tunggul Ametung berkata dari tempat yang masih agak jauh, “Berdirilah. Berdirilah.”
Madri menjadi bingung. Kenapa ia harus
berdiri. Ketika ia mencoba memandang Akuwu, dilihatnya tangannya memberi
isyarat untuk berdiri.
Dengan ketakutan Madri perlahan-lahan
berdiri. Terasa kakinya menjadi gemetar. Tetapi kembali ia membanting
dirinya ketika ia mendengar Akuwu berkata lantang, “Bukan kau emban yang
bodoh. Bukan kau yang harus berdiri.”
Madri menjadi semakin gemetar. Terasa
seolah-olah ubun-ubunnya telah terbuka. Karena itu, segera ia menyembah
sambil berkata gemetar, “Ampun tuanku. Ampun. Hamba menjadi sangat
bingung.”
Ternyata Akuwu sama sekali tidak mempedulikannya. Sekali lagi ia berkata kepada Ken Dedes, “Berdirilah.”
“Terima kasih tuanku,“ sembah Ken Dedes, “hamba tidak dapat melakukannya dihadapan tuanku.”
“Hem,” Tunggul Ametung menggeram.
Perubahan sikap Ken Dedes itu menjadikan kepalanya semakin pening, dan
wajah Ken Dedes itu baginya semakin mempesona.
Karena itu, maka untuk sesaat Akuwu
Tunggul Ametung terpaku diam seperti patung. Sedang Madri masih saja
duduk dengan gemetar. Pandangan matanya menghunjam dalam-dalam ke ujung
kaki Tunggul Ametung yang kemudian berdiri di mukanya.
Baru sejenak kemudian Akuwu itu berkata, “Nah, antarkanlah Ken Dedes ke pakiwan.”
“Hamba tuanku,“ sembah Madri.
Maka setelah menyembah keduanya pun lalu bergeser surut, dan kemudian menuruni tangga serambi istana menuju halaman belakang.
Tiba-tiba mereka terhenti ketika mereka mendengar Akuwu bertanya, “He, mau kemana?”
Madri benar-benar tidak mengerti. Akuwu
Tunggul Ametung itu kini benar-benar seperti orang yang tidak punya
pekerjaan lain dari pada mengawasi mereka. Apakah Akuwu itu sekarang
memang sudah kehilangan semua gairahnya untuk melakukan pekerjaannya
yang lain dari pada mengurusi pakiwan?”
Namun Madri menyembah, “Hamba akan mengantarkan gadis ini ke pakiwan.”
“Kenapa ke sana?”
Madri benar-benar menjadi bingung. Hampir
dua tahun ia menghambakan diri di istana. Tetapi ia belum pernah
mengalami kebingungan seperti ini. Sehingga karena itu ia tidak mampu
untuk menjawab.
“Emban,” teriak Tunggul Ametung keras-keras.
Tetapi emban itu sudah terlalu biasa
mendengarnya. Meskipun ia masih juga gemetar tetapi ia tidak sedemikian
terkejut seperti Ken Dedes.
“Hamba tuanku,” sahut emban itu.
“Apakah kau gila. Bukankah pakiwan dalam ada di ujung serambi ini. Kenapa kau bawa gadis itu ke halaman belakang?”
Sekali ini dada Madri berdesir kembali.
Pakiwan dalam adalah bilik mandi khusus untuk Akuwu Tunggul Ametung.
Sekarang ia mendapat perintah untuk membawa Ken Dedes ke bilik itu.
Dengan demikian maka kepala emban itu seakan-akan benar-benar akan
terlepas dari lehernya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari menurut perintah itu.
Setelah ia menyembah sambil membungkuk
dalam-dalam, maka berbisiklah emban itu kepada Ken Dedes, “Marilah tuan,
tuan diperkenankan mempergunakan bilik mandi di ujung serambi itu.”
Ken Dedes tidak menjawab. Ia tidak tahu
bedanya pakiwan yang manapun. Karena itu ia mengikuti Madri di
belakangnya menyusur serambi belakang menuju ke pakiwan yang disebut
pakiwan dalam. Sekali dua kali Madri ini berpaling ketika tidak
dilihatnya lagi Akuwu Tunggul Ametung, maka ia menarik nafas
dalam-dalam.
“Kenapa Akuwu marah?” bertanya Ken Dedes.
“Tidak,“ sahut Madri, “Akuwu tidak marah. Adalah menjadi kebiasaannya untuk berteriak-teriak dan memaki.”
Ken Dedes menarik nafas pula. Ia sejak
saat itu harus membinasakan diri mendengar Akuwu Tunggul Ametung
berteriak-teriak dan memaki-maki.
Mereka sekali lagi terhenti ketika mereka mendengar seseorang memanggil, “Madri. Madri.”
Serentak mereka berpaling, dan mereka melihat Nyai Puroni berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.
“Akan kemanakah kalian?” bertanya Nyai Puroni itu.
“Aku akan mengantarnya ke pakiwan, Nyai.”
“Kenapa ke sana?”
“Ke pakiwan dalam.”
“He?” Nyai Puroni terkejut sehingga wajahnya menjadi merah, “apakah kau sudah gila emban?”
Emban itu memandangi wajah Nyai Puroni
yang kemerah-merahan. Sekali lagi ia dihadapkan pada persoalan yang
dapat merontokkan rambutnya. Namun demikian emban itu menjawab, “Nyai,
Akuwu sendiri memerintahkan aku mengantarkannya ke sana.”
“Bohong,” sahut Nyai Puroni, yang
kemudian berkata kepada Ken Dedes, “jangan berbuat hal-hal yang dapat
merugikan dirimu sendiri ngger. Seharusnya kau tidak berbuat demikian.
Aku kasihan kepadamu. Betapa kau mengalami goncangan-goncangan yang
dahsyat. Mungkin kau sedang ketakutan dan mendendam, atau mungkin kau
ingin menunjukkan bahwa kau tidak mau dihinakan, namun jangan melampaui
batas-batas kesopanan. Betapapun buruk perangainya, namun Akuwu Tunggul
Ametung memiliki kekuasaan yang tiada taranya di Tumapel.”
Ken Dedes pun kemudian menjadi bingung.
Ia belum pernah tinggal di dalam istana. Bahkan melihat bagian dalamnya
pun baru kali ini. Alangkah sulitnya hidup di istana. Soal pakiwan saja
telah membuatnya pening. Dalam kebingungannya Ken Dedes itu bertanya
kepada Madri, “Madri, aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebaiknya
aku lakukan.”
Emban itu menggeleng lemah, “Jangankan tuan. Aku pun rasa-rasanya benar-benar menjadi gila.”
“Kalau kau tidak berbuat aneh-aneh emban,
maka kau tidak akan menjumpai persoalan-persoalan yang membuatmu
menjadi bingung. Nah, antarkan angger Ken Dedes ini ke belakang, ke
halaman belakang.”
“Aku sudah akan membawanya ke sana, Nyai, tetapi Akuwu Tunggul Ametung membuat perintah lain. Aku harus membawanya kemari.”
Nyai Puroni tertawa. Katanya, “Kau
benar-benar telah menjadi gila emban. Kau merasakan hal-hal yang tidak
pernah dan tidak mungkin terjadi.”
“Ah,” desah Ken Dedes kemudian, “aku
hanya ingin mendapatkan air. Kemanapun aku dibawa, bukan soal bagiku.
Janganlah terlalu dirisaukan kemana aku dibawa. Aku perlu air.”
Tetapi Ken Dedes itu pun terkejut ketika
ia melihat Madri menangis. Betapa ia menahan diri, namun air matanya
meleleh juga di pipinya. Desahnya, “Aku tidak tahu apa yang harus aku
kerjakan. Aku tidak berani melawan perintah Akuwu. Kepalaku akan
dipancungnya nanti.”
Nyai Puroni memandangi wajah Madri dengan
kemarahan yang memancar dari kedua matanya. Ketika ia melihat Madri
menangis maka katanya, “He emban cengeng, kenapa kau menangis?”
Madri tidak menjawab. Bahkan air matanya semakin banyak meleleh di pipinya.
Namun yang menjawab adalah Ken Dedes,
“Nyai, aku pun mendengar pula perintah Akuwu itu. Aku diperintahkannya
membawa ke pakiwan dalam.”
“He?” Nyai Puroni menjadi semakin marah,
“ngger kau belum seorang permaisuri. Kau masih harus mengikuti adat dan
peraturan yang berlaku disini.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah hubungan antara permaisuri dan pakiwan itu?”
“Hem,“ geram dukun tua itu. Namun di
dalam hatinya ia mengumpat, “pantaslah gadis desa yang bodoh. Kau tidak
tahu perbedaan penggunaan bangunan-bangunan di dalam istana ini.”
“Nini,“ jawab Nyai Puroni itu kemudian, “pakiwan itu adalah pakiwan khusus untuk Akuwu dan sudah tentu permaisurinya kelak.”
“Oh,“ Ken Dedes berdesah, “kalau demikian Madri, bawa aku ke belakang.”
“Akuwu akan murka kepadaku.”
“Biarlah aku menanggung kesalahan itu,” sahut Ken Dedes.
Madri tidak menjawab. Dengan ragu-ragu ia
berjalan ke belakang. Ketika mereka berpaling dilihatnya Nyai Puroni
berdiri mengawasi mereka sambil tertawa. Suara tertawanya sedemikian
anehnya sehingga emban itu hampir-hampir tak mengenal bahwa suara itu
adalah suara Nyai Puroni.
Ken Dedes berjalan sambil menundukan
kepalanya. Mudah-mudahan Akuwu tidak melihat mereka lagi. Sehingga Madri
akan mengalami kesulitan pula.
Dan ternyata kemudian, bahwa Akuwu
benar-benar tidak melihat mereka lagi di halaman belakang. Karena Akuwu
kemudian masuk ke dalam biliknya.
Yang Kemudian terpancang di dalam hati
Ken Dedes, bukanlah tentang pakiwan itu lagi. Meskipun soalnya adalah
soal pakiwan, namun gadis itu ternyata mampu mengurangi persoalannya
lebih jauh. Apakah keberatan Nyai Puroni tentang kesempatan yang
diberikan oleh Akuwu kepadanya? Ken Dedes yang telah didorong ke dalam
suatu dunia yang lain dari dunianya, dunia kekanakan, kemanjaan dan
lingkungan padepokan yang sepi ke dalam dunia yang penuh dengan
kegoncangan, dunia yang memerlukan akal dan pikirannya untuk mengimbangi
perasaannya, maka mulailah ia mencoba menghubung-hubungkan. Semua
keterangan-keterangan yang didengarnya dari Akuwu Tunggul Ametung dari
Nyai Puroni dan dari Madri. perlahan-lahan ia mulai menemukan beberapa
kesimpulan yang mantap. Dirasakannya nada penyesalan yang terungkapkan
dalam setiap kata Akuwu Tumapel, perubahan sikap dan kekasaran Nyai
Puroni dan kejujuran Madri yang selalu diliputi oleh kebingungan,
ketakutan dan kecemasan.
Ketika Ken Dedes telah kembali ke
biliknya, maka segera ia membaringkan dirinya di pembaringan sentong
tengen, seakan-akan pembaringan itu adalah pembaringan yang memang
tersedia untuknya. Dengan tenang ia berkata kepada Madri dan Nyai
Puroni, “Nyai, aku akan beristirahat.”
Nyai Puroni mengerutkan keningnya. Tetapi
ia tidak menjawab. Dibiarkannya Ken Dedes berbaring dan dibiarkannya
emban yang mengawaninya pergi keluar. Ia sendiri duduk bersimpuh di
lantai bersandar dinding.
Dalam pada itu, Ken Dedes masih juga
menganyam angan-angannya. Hilir mudik kembali ke dalam rongga
kenangannya. Kuda Sempana, Wiraprana yang malang, Mahisa Agni, kemudian
Tunggul Ametung, Nyai Puroni, Madri dan seorang emban tua yang
merawatnya sejak ia masih kecil dan kini ditinggalkannya di Panawijen.
Tetapi Ken Dedes kini berada di dalam
bilik itu seorang diri. Ia tidak dapat minta pertimbangan kepada
siapapun setelah ia menyadari, bahwa Nyai Puroni ternyata tidak jujur
menghadapinya.
Namun terasa sesuatu merayapi dinding
hatinya. Terasa seolah-olah Nyai Puroni telah menghinakannya. Ia hanya
seorang gadis desa. Terngiang kembali bentakan orang tua itu dalam nada
penghinaan, “ngger, kau belum seorang permaisuri.”
Alangkah sakit hatinya. Ia sendiri tidak
pernah bermimpi untuk menjadi permaisuri. Ia sudah puas apabila ia dapat
hidup rukun dengan pemuda sedesanya, Wiraprana. Namun Wiraprana itu
telah mati. Dan akalnya mengatakan kepadanya, bahwa yang mati itu tak
akan hidup kembali.
“Alangkah pahit hidupku ini,” desahnya di
dalam hati. Namun terasa sesuatu yang merayap di dinding hatinya itu
datang kembali. Lamat-lamat, namun semakin lama semakin kuat. Ken Dedes
menggeleng lemah. Ia mencoba membunuh perasaan itu. Tetapi setiap kali
ia menyingkirkannya dari dinding hatinya, setiap kali perasaan itu
datang kembali. Dan perasaan itu berkata kepadanya, ”Ken Dedes, apakah
kau menerima hinaan itu? Tidakkah kau ingin membuktikan bahwa kau bukan
seorang gadis yang hina dina. Bahwa kau benar-benar mampu menjadi
seorang permaisuri. Ken Dedes, kau akan dapat melawan hinaan itu tanpa
membantah kata-kata itu, dan kau dapat menunjukkan kepada Kuda Sempana,
bahwa anak yang kasar itu tidak cukup bernilai bagimu.”
Ken Dedes memejamkan matanya. Ia ngeri
mendengar suara perasaannya sendiri. Kembali ia mencoba memutar
nalarnya. Apakah hal itu dapat dilakukannya. Namun ternyata nalarnya
memperkuat perasaan itu. Harga diri dan kemarahannya yang tiada taranya
kepada Kuda Sempana, sehingga tanpa disadarinya, tumbuhlah dendam di
dalam hatinya. Dan dendamnya itu pun merupakan salah satu unsur yang
mendorongnya untuk mengambil sikap untuk menempatkan dirinya, tidak lagi
sebagai seorang gadis yang malang, yang mengeluh akan nasibnya, yang
selalu disaput oleh kepedihan. Ken Dedes itu kemudian menelungkupkan
wajahnya ketika ia mendengar lagi hatinya berkata, “Wiraprana telah
mati. Karena itu maka aku tidak mengkhianatinya. Sebab yang mati tidak
akan hidup kembali.”
Beberapa lama Ken Dedes bergulat dengan
perasaan sendiri. Berbagai pertimbangan datang dan pergi. Berbagai
masalah hilir mudik di dalam rongga dadanya.
Dada Ken Dedes itu pun seakan-akan hampir
meledak karenanya. Ia tidak dapat melupakan Wiraprana. Cintanya kepada
pemuda itu adalah cinta yang kudus. Namun ia tahu pasti bahwa Wiraprana
itu sudah tidak ada lagi.
Nyai Puroni yang duduk bersandar dinding,
memandangi Ken Dedes dengan senyum dibibirnya. Terasa bahwa ia akan
berhasil mengurungkan niat Akuwu Tunggul Ametung dengan menakut-nakuti
gadis ini. Karena itu maka dibiarkannya Ken Dedes bergulat dengan
angan-angannya sendiri. Tetapi sama sekali tidak disangka-sangka bahwa
Ken Dedes sama sekali tidak berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan
yang pedih bagi dirinya. Ia sudah menemukan keyakinan, bahwa ceritera
Nyai Puroni, sama sekali tidak dapat dipercaya. Dan karena itu maka
ceritera itu tidak perlu dipikirkannya. Yang menjadi persoalan di dalam
diri Ken Dedes kini adalah, bagaimana ia dapat membebaskan dirinya dari
himpitan perasaan yang selalu mengejarnya. Sebenarnyalah bahwa hilangnya
Wiraprana benar-benar telah menggoncangkan perasaannya. Bahwa cintanya
yang tumbuh telah direnggut patah dari dahannya.
Tanpa mereka sadari, maka waktu pun
berjalan terus. Lambat-lambat namun pasti, merayap dari saat ke saat. Di
langit matahari mengapung dengan lambatnya, seperti seorang perantau
yang lesu menghadapi hari-hari mendatang yang kelam. Namun ia berjalan
terus. Beredar menurut garis edarnya. Seperti saat-saat yang pernah
dilampuinya. Dari Timur ke Barat, dan bergeser dari Utara ke Selatan dan
dari Selatan ke Utara dalam lintasan tahun ke tahun.
Ketika ruangan sentong tengen itu
kemudian berangsur menjadi gelap, maka seorang emban telah memasang
lampu minyak dan menggantungkannya pada sebuah gantungan yang indah.
Nyalanya yang kemerahan memancar menerangi seluruh ruangan.
Ketika emban itu pergi, maka Nyai Puroni
berkata kepada Ken Dedes yang masih terbaring di pembaringan itu dengan
kepala yang semakin pening. “Nini, baiklah aku pergi ke belakang.
Tinggallah bersama emban yang bernama Madri itu sebentar. Kalau kau
ingin membersihkan dirimu pula Nini, pergilah ke pakiwan belakang.
Jangan terlalu bangga bahwa kau telah dibaringkan di sentong ini.”
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Sesaat ia
memandangi wajah orang tua. Wajah yang telah berubah tidak lagi seperti
saat ia pertama-tama melihatnya. Senyumnya kini tidak lagi sesejuk
senyumnya kemarin. Tetapi senyumnya kini terasa menusuk sampai ke pusat
jantung. Alangkah pedihnya. Meskipun demikian Ken Dedes menjawab, “Baik
Nyai. Aku tidak ingin pergi ke pakiwan.”
Nyai Puroni tidak menjawab. Tetapi ia
tertawa dengan nada yang tinggi. perlahan-lahan ia berjalan keluar dan
sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Madri duduk
terkantuk-kantuk di muka pintu. “Madri,“ tegurnya tak ada yang pernah
kau lakukan selain menguap dan mengantuk.”
(Bersambung ke Jilid 12)
No comments:
Write comments