Sebenarnyalah Karebet pada saat itu telah
benar-benar kehilangan pengamatan diri. Karena goncangan pada Aji Lembu
Sekilan akibat serangan-serangan kedua lawannya bersama-sama, maka
hatinya pun serasa diguncang-guncang. Karena itu, maka pada saat
terakhir ia tidak mampu menahan kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya
untuk membunuh saja kedua lawannya dengan aji Rog-rog Asem.
Sembada dan Sambirata yang melihat sikap
Karebet segera menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum
menggunakan Aji lain daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak
kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau anak muda
itu kemudian mempergunakan kekuatan terakhirnya. Karena itu, tanpa
saling berjanji mereka meloncat saling mendekat, dan tanpa berjanji
mereka menyiapkan kekuatan Aji mereka bersama-sama untuk melawan aji
yang akan dilontarkan oleh Karebet itu.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal
yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Tidak oleh Karebet, maupun
Sembada dan Sambirata. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak
ketegangan karena pengerahan Aji masing-masing, maka tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara. Suara itu tidak demikian kerasnya, namun
benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.
Belum lagi mereka menyadari keadaan
mereka masing-masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah
bayangan meloncat dekat diantara mereka dan dengan sengaja seakan-akan
melerai pertempuran.
Yang menjadi sangat terkejut diantara
mereka adalah Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian
bahkan ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali ia
memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan aji Rog-rog
Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram pandangan matanya erat
melekat pada orang yang baru datang itu.
Orang itu masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata, “Sudahlah Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”
Tetapi Karebet masih tetap dalam
sikapnya. Setiap saat ia dapat meloncat sambil melepaskan Aji Rog-Rog
Asem. Ia tidak mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit
itu. Karena itu kembali ia menggeram dan berkata. “Pasingsingan, apakah kau menjadi sraya Tumenggung?”
Orang yang datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa lirih, sambil memandangi jubahnya ia berkata, “Yah aku memang mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri-ciri yang serupa.”
Mendengar jawaban itu Karebet menjadi
bimbang sesaat. Namun ia tidak mau terpengaruh karenanya. Dengan
demikian ia masih tetap dalam sikapnya.
Sedang dua orang yang lain, terkejut pula
mendengar Karebet menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu juga pernah
mereka dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka pahami.
Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa Pasingsingan memang
mengenakan jubah berwarna abu-abu dan menggunakan topeng. Kini orang
yang berdiri dihadapan mereka mengenakan jubah serta topeng untuk
menutupi wajahnya.
Sesaat kemudian kembali terdengar orang itu berkata, “Karebet, jangan segera berprasangka. Aku datang untuk melerai perkelahian yang tak ada gunanya ini.”
Karebet memandang orang ini dengan seksama. Dengan penuh kewaspadaan ia bertanya, “Apa sebabnya kau melerai perkelahian ini?”
Kembali orang itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia berkata, “Ki
Sanak lepaskan maksudmu untuk membunuh anak muda ini. Sebab dengan
demikian, kalian telah melakukan kesalahan yang sangat besar.”
Sesaat Sembada dan sambirata saling berpandangan. Namun kemudian terdengar Sembada berkata, “Siapakah kau sebenarnya?”
“Namaku dan diriku sama sekali tidak penting bagimu. Namun kau minta, pikirkan sekali lagi. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Karebet?”
Kembali Sembada dan Sambirata terdiam.
Namun seperti Karebet merekapun memandang orang yang tegak dihadapan
mereka, dengan jubah yang keabu-abuan itu dengan tidak berkedip.
Sehingga, sesaat kemudian, terdengar orang itu berkata “Sekarang pulanglah kalian kerumah masing-masing. Karebet ke Tingkir, dan kalian berdua serta kawan-kawan kalian kembali ke Demak.”
Sembada mengerutkan keningnya. Sekilas
terbayang sebuah timang emas bertretes berlian. Kalau ia pulang sebelum
berhasil membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari tangannya.
Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya sama
sekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera dapat mendahului
perjalanan Karebet.
Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada
saat yang menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja
dengan tangan hampa. Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu
benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Meskipun demikian Sembada berkata pula, “Aku
telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula
berbagai usaha untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat sebelum
pekerjaanku selesai kau datang mengganggu kami.”
“Jangan marah Ki Sanak” sahut orang bertopeng itu. “Aku hanya mencegah, janganlah terjadi permusuhan diantara sesama.”
Sambirata mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata “Apakah hubunganmu dengan Karebet itu?”
Orang itu menggeleng, “Tidak ada” katanya.
Oleh jawaban itu, maka Sambirata berkata pula, “Katamu
demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-masing.
Sebaiknya kau jangan mencampuri urusan orang lain yang tak kau ketahui
ujung pangkalnya.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian terdengarlah suaranya parau dari belakang topengnya. “Kenapa kalian berdua berusaha membunuh Karebet?”
Sambirata diam sejenak, kemudian jawabnya, “Itu adalah urusan kami.”
Kembali orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian gumamnya, “Aku yakin bahwa kalian mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan. Tetapi apakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang menjadi persoalan.”
“Hem” Sembada yang keras hati itu menggeram. Katanya, “Kalau kau sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan mengganggu kami?”
“Tergantung pada alasan itu” sahut orang berjubah itu. “Kalau aku cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”
“Jangan terlalu sombong” bentak Sembada yang kasar itu. “Apakah
dengan demikian kami akan terpengaruh karenanya? Apakah apabila kau
mencoba mengganggu sekalipun, maka kami tidak akan menyelesaikan
pekerjaan kami?”
Orang berjubah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ki
Sanak benar. Meskipun aku mencoba mengganggu sekalipun, namun aku tidak
akan dapat berbuat banyak. Tetapi bukankah setidak-tidaknya dengan
demikian aku akan memperlambat pekerjaan kalian.”
“Bagus. Bagus” teriak Sembada yang tidak sabar. “Kami adalah keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh Karebet itu?”
“He?” Bukan main terkejut hati
Karebet. Ia sama sekali tidak mengenal nama Dadungawuk. Dan ia sama
sekali tidak melakukan pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong. “Bohong. Aku tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”
“Aku sudah menyangka bahwa kau akan ingkar” sahut Sembada. “Watakmu yang licik dan sifat-sifatmu yang sombong itu adalah gabungan dari ujud seorang pengecut yang sebenarnya.”
“Jangan membual” teriak Karebet yang menjadi semakin marah. “Katakan yang sebenarnya. Bukankah kau seraya Tumenggung Prabasemi?”
Sambirata tertawa. Katanya, “Sudah
aku katakan. Tak ada gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami
akan membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau
benar. Keputusan kami, akan kami lakukan.”
Kata-kata itu benar-benar membakar hati Karebet. Dengan serta merta ia berteriak. “Minggirlah.
Kalau kau bukan Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan
menyebutmu. Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah
memutuskan pula untuk mengakhiri perkelahian yang memuakkan ini.”
Kata-kata itu benar-benar berkesan dihati
Sembada dan Sambirata. Mau tidak mau mereka pun harus berpikir tentang
kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur terlibat dalam
persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan dapat berhenti
ditengah jalan, meskipun lawan mereka benar-benar mempunyai kekuatan
yang tak mereka sangka-sangka.
Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja ditempatnya. Bahkan ia masih berkata, “Jangan berusaha saling membunuh. Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik daripada saling membunuh?”
“Tidak ada” sahut Sembada. “Kecuali kalau Karebet mau membunuh dirinya.”
Ucapan itu seolah-olah sebuah bara api
yang menyentuh telinga mas Karebet. Karena itu, hampir saja ia meloncat,
menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh perbawa orang berjubah
itu berkata “Karebet, jangan lakukan. Seharusnya kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak sebelum kau berbuat sesuatu.”
Karebet tertegun mendengar peringatan
itu. Namun kemarahannya yang telah membakar seluruh isi dadanya itu,
alangkah sukarnya untuk dikendalikan.
Tetapi dalam pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya. “Karebet,
kau sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal itu sebelum kau
bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi. Karena itu keadaanmu sama sekali
tidak menguntungkan setiap perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau
membunuh seseorang, dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu
akan menjadi berlipat ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin murka
kepadamu. Pada saat kau bertempur melawan Prabasemi pun, hampir-hampir
aku mencegahmu. Namun ketika aku tahu bahwa kau sadari keadaanmu, maka
niatku itu pun aku urungkan.”
Karebet terkejut mendengar kata-kata itu.
Kalau demikian, maka orang berjubah itu telah mengikutinya sejak ia
meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia telah
bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya ia
mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam pada itu,
peringatan yang diberikan kepadanya benar-benar telah menyentuh hatinya.
Peringatan yang sebenarnya sejak semula telah dipikirkannya. Tetapi
ketika kemarahannya telah memuncak, serta hidupnya sendiri telah
terancam, maka pertimbangan-pertimbangan itu lenyap dari kepalanya. Dan
kini, ia mendengarkan dari orang lain. Orang lain yang tidak dikenalnya.
Tetapi peringatan yang diucapkan oleh
orang berjubah itu telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata.
Orang berjubah itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti akan
berhasil membunuh mereka berdua. Meskipun mereka datang hanya sekedar
untuk mendapatkan timang emas, dan meskipun harga nyawanya jauh lebih
mahal dari harga timang emas itu, namun mereka tidak mau pula bahwa
harga diri terlalu direndahkan. Karena itu, maka terdengar Sembada
menjawab. “He, orang bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa
kami. Apakah kau sangka bahwa Karebet itu dapat membunuh kami berdua?
Kalau kau sudah melihat sejak permulaan dari perkelahian ini, maka kau
akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat diujung rambutnya. Namun
sesaat sebelum ia mati, maka kau datang mengganggu kami.”
“Omong Kosong,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi panas kembali.
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Karebet ia berkata, “Ingat-ingatlah
pesanku. Jangan terpancing kedalam keadaan yang akan menyulitkan
kedudukanmu. Kau sekarang masih dapat mengharapkan ampunan dari Baginda,
namun kalau kau telah melakukan kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan
kau harapkan sama sekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam
berbagai macam keadaan. Prabasemi dapat mengatakan apa saja yang dapat
menambah kemarahan Baginda. Diantaranya, orang yang terbunuh itu adalah
keluarga Dadungawuk seperti yang baru saja dikatakannya.”
“Aku tidak mengenal Dadungawuk” potong Karebet.
“Itu adalah suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Prabasemi.”
Karebet itu pun terdiam, namun segera ia
teringat kata-kata Prabasemi dihadapan Baginda Sultan Trenggana, tentang
seorang calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang berteriak, “He orang bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang bertopeng itu menggeleng. Katanya, “Sudah aku katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”
“Bagus” sahut Sembada. “Tetapi jangan ganggu kami.”
Orang bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-kata itu, bahkan kepada Karebet ia berkata, “Karebet, pikirkan baik-baik.”
“Tetapi apakah aku harus berdiam diri saja, seandainya mereka akan membunuhku.”
“Pergilah” jawab orang bertopeng itu.
“Pergi?” Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya, “Apakah kalau aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?”
“Biarkanlah mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari bencana yang lebih besar lagi.”
Karebet menjadi bingung. Ia telah
mengenal orang itu. Semula ia menyangka bahwa orang bertopeng itu
Pasingsingan. Bahkan ia menyangka bahwa Pasingsingan itu pun telah
mendapat tugas pula dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu
memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya. Namun bagaimana
ia harus melaksanakannya? Apakah ia harus pergi dan membiarkan orang itu
mengejar dan membunuhnya? Atau bagaimana?
Dalam pada itu Sambirata berkata, “Hem.
Ki Sanak yang bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri
urusan kami. Karebet kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau
demikian, maka kau telah bertekad untuk menggantikannya. Begitu?”
Orang bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya. “Aku
tidak mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud menyelamatkan
kalian dari perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian berdua.”
“Jangan banyak bicara” teriak
Sembada. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa orang itu bukan Pasingsingan
yang menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng. “Sekarang kau pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet. Atau kami harus membunuhmu dulu, baru membunuh Karebet.”
Orang bertopeng itu seakan-akan sama sekali tidak mendengar teriakan itu. Katanya, “Menyingkirlah Karebet. Kalau mungkin, pertumpahan darah harus dihindari.”
Sembada itu kini sudah tidak sabar lagi. dengan marahnya ia menggeram. Selangkah maju sambil berkata, “Kalau kau mati disini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan sombong.”
Melihat Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah maju pula. Namun terdengar orang itu berkata, “Ingat,
Sultan sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu dengan
perbuatan-perbuatan yang tak berarti. Serahkan orang-orang ini kepadaku.”
Kata-kata itu benar-benar berpengaruh dihati Karebet. Terasa sesuatu
bergolak di dalam dadanya. Dan terasa bahwa ia tidak akan dapat menolak
permintaan itu.
Tetapi Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai kepuncak kemarahan mereka. Karena itu, maka Sembada berteriak, “Bagus. Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru anak yang bernama Karebet itu.”
Orang berjubah itu tidak sampai menjawab.
Ketika ia hampir mengucapkan beberapa patah kata, maka Sembada yang
kasar itu telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya Sapu Angin.
Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu meluncur lewat
tangan-tangan Sembara kearahnya. Namun ia sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya.
Karebet yang melihat serangan itu
terkejut. Tetapi ia berdiri berseberangan dengan Sembada, sehingga ia
tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berteriak, “Hei, Ki Sanak. Menghindarlah.”
Tetapi orang berjubah itu sama sekali
tidak bergerak. Dibiarkannya Sembada menghantamnya dengan Aji Sapu
Angin. Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya, tampak
orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu Angin membentur
tubuhnya.
Namun yang terjadi benar-benar
mengejutkan. Orang yang berjubah itu masih tegak ditempatnya. Ia hanya
bergetar sedikit. Namun kemudian ia berdiri tegak kembali, seolah-olah
tidak pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang itu
dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah dan jatuh
terguling karena benturan kekuatannya sendiri. Tangannya yang
melontarkan Aji Sapu Angin itu terasa membentur benteng baja. Karena
itulah maka ia sendirilah yang terlempar mundur.
Tetapi lebih dari itu. Ketika Sembada
tidak terguling lagi, maka terdengar ia mengeluh pendek. Dengan susah
payah ia berusaha bangkit. Namun tiba-tiba ia terduduk kembali dengan
lemahnya. Nafasnya serasa sesak, dan seakan-akan bagian dalam dadanya
pecah berkeping-keping.
Sambirata menjadi ragu sesaat. Ia melihat
kawannya telah jatuh karena pukulannya sendiri. Karena itu apakah ia
akan mengulangi kesalahan Sembada. Kini Sambirata memperhitungkan setiap
kemungkinan. Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah dan
bertopeng itu, namun dibelakangnya masih berdiri anak yang bernama
Karebet. Anak yang belum dapat dikalahkannya meskipun ia berdua dengan
Sembada. Apalagi kini Sembada sudah tidak mampu untuk berdiri.
Sesaat Sambirata tegak saja seperti
tonggak. Pikirannya berjalan hilir mudik tak menentu. Ketika sekali lagi
ia memandang kawannya yang terduduk lemah itu, maka iapun mengeluh
didalam hatinya. “Apakah yang datang berjubah ini sebangsa demit atau Hantu Alasan?.”
Sambirata kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara orang bertopeng menggeram dari balik topengnya, “hem, apakah kau juga akan coba memukul aku?”
Kembali Sambirata menjadi bimbang. Namun
akhirnya ia menggeleng. Kini telah ditemukannya jawaban. Ia tidak
memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu. Juga timang emas yang
dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya. Bahkan sampai
pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka tanpa malu-malu Sambirata
menjawab, “Tidak Kiai. Aku tidak akan melawan kehendak Kiai.”
Karebet mengerutkan keningnya ketika
mendengar jawaban itu. Bahkan ia mengumpat-umpat didalam hatinya.
Alangkah liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia sama sekali
tidak berkata apapun.
Yang menjawab adalah orang bertopeng, “apakah kau benar-benar tidak akan berbuat sesuatu?”
“Tentu Kiai,” sambut Sambirata. “Aku
pun sebenarnya tidak mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi
terbawa oleh kesetiakawanan aku terpaksa membantu orang itu.”
Sembada berdesah mendengar kata
Sambirata. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun. Kalau ia membantah,
maka Sambirata akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi keadaan
wajar, ia tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini,
tulang-tulangnya seakan remuk.
Orang bertopeng itu memandangi Sambirata
dan Sembada berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia
menarik nafas panjang. Dan kemudian ia berkata, “Kembalilah kalian
ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan kembali ke
Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda mengampuni kesalahannya.”
Sambirata mengangguk. Kemudian katanya,” Tentu Kiai kami akan kembali ke Demak.”
Tetapi Sembada yang menyeringai kesakitan itu berkata, “Alangkah mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke Demak, maka kepalaku akan dipenggal oleh Prabasemi.”
Sambirata tiba-tiba tertawa. Katanya, “Sudahlah adi Sembada. Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini, biarlah timang-timang ini dikembalikan saja.”
“Timang?,” tiba-tiba Karebet memotong.
“Ya” jawab Sambirata. “Kami harus membunuh angger. Dan kami akan mendapat timang emas.”
Tangan Karebet menjadi gemetar mendengar pengakuan itu. Tetapi sebelum ia menjawab, orang berjubah itu berkata, “Lupakan
semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum menjual diri kalian
dengan harga yang sangat murah itu. Apakah artinya timang emas itu?
Seandainya kalian mampu membunuh Karebet sekalipun, namun apakah yang
dapat kau miliki itu cukup bernilai untuk menebus tanggung jawab yang
harus kau berikan pada masa-masa langgeng? Pada masa kau berhadapan
dengan Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi dari kekuasaan Prabasemi,
bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekalipun?”
Orang berjubah itu diam sesaat. Sembada
yang masih menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata menundukkan
wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk
menyelamatkan hidupnya, maka tiba-tiba tersentuhlah perasaan Sambirata
oleh kata-kata orang bertopeng itu. “Ya,” katanya di dalam hati, “Alangkah murahnya harga diriku. Sebuah timang emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak berkata sepatah katapun.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu. “Seandainya
kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan timang-timang emas itu,
maka apakah kalian dapat memakainya dengan tenang? Setiap kali timang
itu melekat di lambung kalian, maka setiap kali kalian akan teringat,
bahwa timang itu sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak
bersalah kepada kalian.”
Sambirata semakin menundukkan wajahnya.
Sentuhan-sentuhan pada parasaannya semakin terasa. Dan karena itulah
tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu. Namun justru karena
itulah maka ia berdiam diri.
“Nah. Pikirkanlah kata-kataku” berkata orang berjubah itu pula. Tiba-tiba Sambirata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan hormat ia menjawab, “Baik Kiai. Akan aku pikirkan baik-baik kata Kiai.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya, ”Sekarang
kembalilah ke Demak. Kau dapat menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau
menempuh jalan yang sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang
pada saat kau berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong
diantara hutan-hutan belukar. Itu adalah gambaran dari pengakuanmu atas
perbuatan-perbuatan yang tidak wajar pula yang akan kau lakukan. Sebab
kalau kau berlaku wajar, maka kau tidak perlu melalui jalan-jalan yang
tersembunyi.”
Sekali lagi Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya, “Ya Kiai. Aku menyadarinya”
Tetapi ketika Sambirata itu berpaling kearah Sembada, maka katanya “Apakah kau sudah mampu berjalan Adi?”
Sembada mengerang perlahan-lahan. Sekali
lagi ia berusaha bangkit. Namun punggungnya masih terasa sakit. Tetapi
ia tidak mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka katanya “Bertanyalah kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?”
Sambirata itupun kemudian menebarkan
pandangan matanya kearah murid-muridnya yang masih berserakan
disekitarnya. Ada yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun ada
juga yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu,
tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-orang itu
hanya untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka timbullah iba didalam
hatinya. Iba kepada murid-muridnya yang tidak tahu menahu ujung pangkal
dari perbuatannya.
Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang paling parah diantara mereka. Perlahan-lahan ia berbisik. “Maafkan aku.”
Muridnya itu menjadi heran. Apakah yang harus dimaafkannya?
Meskipun demikian muridnya itu tidak bertanya apapun kepada gurunya. Mereka hanya menyeringai menahan sakit dan berkata jujur. “Aku belum dapat berjalan Kiai”
Sambirata menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu benar-benar sulit. Karena itu maka katanya, “Aku tidak tergesa-gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu kalian disini.”
Orang bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang ditempat itu. Sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Baiklah
kalau kalian masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin
untuk berjalan kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama aku.”
Sambirata mengangguk sambil menjawab, “Silakan Kiai. Aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai.”
Orang bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada Mas Karebet, “Ikuti aku.”
Karebet ragu-ragu sejenak. Ia belum
mengenal orang itu. Ia pernah mendengar bahwa orang yang berjubah
abu-abu adalah Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang
berjubah abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat
timbullah beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia menyangka
bahwa orang itu hanya sekedar merebut korbannya dari Sambirata dan
Sembada, supaya Pasingsinganlah yang berhasil membunuhnya untuk mendapat
hadiah dari Prabasemi. Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka
orang bertopeng itu bukanlah seorang yang bernama Pasingsingan.
Akhirnya Karebet tidak mempunyai pilihan
lain. Kalau orang itu Pasingsingan, maka dimanapun, orang itu pasti akan
dapat membunuhnya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain.
Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya orang berjubah abu-abu
itu. Namun selama itu, anak muda yang masih mengetrapkan ilmunya, Aji
Lembu Sekilan dan sekaligus ditangannya masih menjing Aji Rog-rog Asem.
Beberapa langkah kemudian, ketika
orang-orang yang terbaring dipinggir jalan hutan itu telah tidak nampak
lagi, maka orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya mata Karebet
dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia berkata, “Duduklah Karebet.”
Orang itu tidak menunggu jawaban Karebet.
Namun segera ia berjalan kebalik gerumbul dan duduk diatas
rumput-rumput kering. Karebet kembali menjadi ragu- ragu. Tetapi
seolah-olah sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk
dihadapan orang berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.
“Karebet” berkata orang itu. “Hampir kau melakukan sebuah kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”
Kelunakan dan kesungguhan kata-kata orang
itu memberi keyakinan kepada Karebet, bahwa orang itu sebenarnya bukan
Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya “Ya, Kiai. Aku sedang menjalani sebuah hukuman.”
“Apakah sebabnya?” bertanya orang itu.
Karebet sesaat menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian terluncur pula dari mulutnya, persoalan-persoalan yang
menyebabkannya diusir dari istana. “Tetapi Kiai”, berkata kemudian. “Janganlah hal ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah kepadaku.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Karebet.
Aku mengikutimu sejak kau meninggalkan istana, berrjalan bersama-sama
dengan Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada
kalian berdua. Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang akan
terjadi. Ternyata dihutan Santi kalian berdua terlibat dalam suatu
perkelahian. Ketika aku melihat Prabasemi jatuh, aku hampir saja
mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu masih dapat menguasai
dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi disini, agaknya kau telah
benar-benar menjadi mata gelap.”
Karebet mengangguk, “Ya Kiai” jawabnya. “Aku tidak ingin mati ditangan kedua orang itu.”
“Aku tidak menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu. “Aku hanya ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang akan dapat mendorongmu semakin jauh dari istana.”
Karebet menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Tetapi siapa?.
Dan tiba-tiba saja ia bertanya. “Tetapi apakah aku boleh mengetahui, siapakah Kiai ini?”
Orang itu menggeleng. “Tidak ada gunanya,” jawabnya.
Karebet menarik nafas. Ia tidak bertanya
lagi kepada orang itu Sebab sekali ia merahasiakan dirinya, maka
betapapun ia mencoba bertanya, namun pasti ia tidak akan mendapat
jawaban.
Karebet itu kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu bertanya. “Sekarang, ke manakah kau akan pergi?”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan pergi? Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “Aku akan ke Tingkir”
”Tidak” jawab karebet, ”aku
tidak yakin bahwa Prabasemi akan melepaskan maksudnya membunuhku.
Mungkin ia akan meminta orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu.
Dalam keadaan yang demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran,
dan membunuh orang itu sehingga dengan demikian Sultan Trenggana akan
semakin murka kepadaku.”
“Kau benar” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi kemana?”
Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah kau tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara ditempat lain?” bertanya orang bertopeng itu.
Karebet diam sejenak. Tiba-tiba
terbayanglah di rongga matanya, sebuah lembah yang luas dengan padi yang
hijau subur dikaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang sangat
menarik yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan
ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.
“Bagaimana?” bertanya orang itu pula.
Karebet menggeleng. Jawabnya, “Aku
mempunyai sahabat, saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk
dengan persoalan mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah
keributan mereka, apabila aku datang kepada mereka itu?”
Terdengar orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya seolah-olah bergumam saja didalam mulutnya. “Hem.
Kau memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku bahwa
kau akan datang untuk membantu memecahkan persoalan mereka itu.”
Karebet menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah sesuatu dari wajahnya. Katanya didalam hati, “Ya, aku adalah seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan mereka itu?”
Tiba-tiba Karebet itu berkata, “Pendapat Kiai baik sekali. Aku dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin tenagaku akan berguna.”
“Bagus”, orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Topengnya bergerak-gerak seperti kepala
hantu-hantuan di sawah untuk menakut-nakuti burung.
“Baiklah Kiai”, berkata Karebet pula, “Aku akan pergi kesana.”
“Kemana?”
Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia berkata lantang. “Banyubiru.”
“Banyubiru”, orang bertopeng itu mengulang. Kemudian katanya, “Pergilah ke Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.”
“Baik Kiai” sahut Karebet.
Orang bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya Karebet dengan seksama. Kemudian katanya, “Kita
berpisah disini setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan
aku terhindar dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu
dapat mengekang dirimu sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke Bergota.”
Karebet mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia bertanya.
“Kenapa ke Bergota?”
“Tidak ada hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya Palindih” jawab orang itu.
Kembali Karebet menjadi sangat tertarik
kepada jawaban itu. Tetapi orang itu berkata, bahwa kepergiannya itu tak
ada hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian, ia bertanya-tanya
juga didalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah mengatakan
kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota seandainya Prabasemi tidak
mencegahnya? Meskipun demikian Karebet itu tidak bertanya lagi.
Orang bertopeng itupun kemudian minta
diri dan perlahan-lahan ia berjalan meninggalkan Karebet. Tetapi, ia
tidak berjalan lewat jalan yang terbentang di tengah-tengah hutan itu,
namun berjalan menyusup lewat gerumbul-gerumbul di hutan itu. Sebelum
orang itu hilang dari pandangan mata Karebet, terdengar ia berkata, “Karebet,
aku tadi berkata kepada Sambirata, bahwa ia menempuh jalan yang tidak
wajar karena tuduhan yang tidak wajar. Kini akupun menempuh jalan yang
tidak wajar karena keadaanku pun tidak wajar dan tujuanku pun tidak
wajar. Namun percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik bagimu dan
bagi Demak.”
Karebet mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa didalam hatinya. “Kenapa bagiku dan bagi Demak? Apakah ada hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah” desahnya. “Aku hanya seorang lurah Wira Tamtama.”
Tetapi tiba-tiba ia berdesis. “Bukan, Lurah Wira Tamtama pun bukan. Aku adalah orang buangan.”
Ketika orang bertopeng itu lenyap dibalik
rimbunnya daun-daun rimba yang hijau, maka Karebet itu menjadi
bersedih. Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya.
Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani akibat dari
perbuatan-perbuatannya yang salah itu.
Sesaat Karebet itu masih tegak
ditempatnya. Sekali-kali diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang
bertopeng itu melenyapkan dirinya.
”Orang Aneh,” gumam Karebet. “Memang
di dunia ini selalu ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu.
Apakah gunanya orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah wajahnya
itu terlalu jelek dan kasar, atau seorang buruan yang sedang
menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas kalau orang itu menyembunyikan
dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia adalah seorang yang
sakti, ternyata Aji Sembada sama sekali tidak mampu mendorongnya
selangkah pun.”
Karebet itupun kemudian dengan segan
melangkah pergi. Kini ia berjalan dengan tujuan yang pasti. Ke Tingkir
kemudian ke Banyubiru.
Ketika ia muncul dari balik-balik
gerumbul, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk menengok kembali
Sembada dan Sambirata. Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka.
Dari kejauhan dibalik tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada
ditempatnya.
Sembada kini sudah duduk menepi, dan
beberapa murid Sambirata pun semuanya telah berbaring dan duduk-duduk di
rerumputan. Bahkan dilihatnya Sembada dengan lahapnya sedang makan
bekal yang dibawanya.
Ketika mereka melihat Karebet datang
kepada mereka, maka Sembada dan Sambirata itupun berdesir hatinya.
Apakah maksud kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka? Apakah
setelah orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya,
bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah tidak
bernafsu lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah terdengar
suara-suara yang belum pernah didengarnya. Dan suara-suara itu telah
mendorongnya untuk menghindari bentrokan langsung dengan Karebet itu.
Tetapi wajah Karebet sama sekali tidak
menunjukkan ketegangan. Bahkan ketika ia melihat Sembada yang masih saja
menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata, “Alangkah nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”
“Makanlah kalau kau mau” berkata
Sembada itu tanpa berpaling. Meskipun demikian denyut jantungnya
menjadi semakin cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang
sesingkat itu Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja
terjadi.
Tetapi Karebet benar-benar anak yang
aneh, yang berbuat apa saja menurut keinginannya sesaat-sesaat.
Tiba-tiba saja ia duduk di samping Sembada dan berkata, “Aku juga lapar, kakang Sembada.”
Sambirata menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat kejujuran yang memancar dalam diri Karebet. Kejujuran yang tidak
dibuat-buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa atas perbuatannya.
Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia berhasil membunuh
Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya apabila ia kelak
mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila Karebet yang
membunuhnya, maka kasihanlah anak itu. Sebab dengan demikian ia akan
mendapat hukuman yang lebih berat dari Baginda.
Dengan penuh penyesalan ia melihat
Karebet itu meraih sepotong makanan bekal yang mereka bawa dari Demak.
Dan tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu kedalam mulutnya. “Enak” gumam Karebet itu.
“Sifat itu sangat menyenangkan”“ berkata Sambirata di dalam hatinya. Dan dibiarkannya Karebet itu kemudian makan sepuas-puasnya.
Sembada yang sedang makan itupun menjadi
heran pula melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu
ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak akan
meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan menguntungkannya.
Hanya beberapa murid Sambirata yang
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Punggung-punggung mereka masih terasa
sakit karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet itu
makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.
“Makanlah angger” Sambirata itu mempersilakan dengan ramahnya.
“Aku akan kenyang, paman” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula Karebet itu berdiri.
Sembada lah yang paling terkejut. Ia
masih belum dapat menghilangkah kecemasannya apabila Karebet itu
tiba-tiba membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas dalam-dalam,
ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil menggeliat. “Aku sudah terlalu kenyang paman”, katanya kepada Sambirata. “Sekarang biarlah aku meneruskan perjalananku ke Tingkir. Apakah paman masih akan mencegah aku?”
“Tidak, tidak ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan mengganggu angger lagi.” sahut Sambirata.
Tetapi Sembada yang kasar itu menjawab, “Pergilah. Tapi jangan mencoba mengganggu kami.”
Karebet itu berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum, jawabnya “Baiklah. Aku tidak sengaja mengganggumu, kakang. Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.”
“Bukan soal makanan” bentak Sembada. “Tetapi jangan halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.”
Sekali lagi Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah kakang sudah dapat berjalan dengan baik.”
Sembada tidak menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-lahan, “Persetan.”
Karebet itupun kemudian berjalan
meninggalkan mereka. Ditelusurinya jalan sempit ditengah-tengah hutan
yang semakin lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian ia akan sampai
ke mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang memberinya kesan
tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha merampas nyawanya untuk
yang kesekian kalinya. “Hem,” gumamnya, “Orang itu benar-benar
berusaha menghilangkan aku karena otaknya yang gila seperti aku. Tetapi
aku tidak mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku
sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan dengan segala
cara. Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun.
Sekali lagi Karebet menarik napas.
Kemudian ditatapnya jalan yang terbentang dihadapannya. Kini ia
meninggalkan hutanitu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya
langit yang cerah. Awan yang tipis selembar demi selembar mengalir ke
Utara, dan burung berterbangan di angkasa seakan menari dengan riangnya.
Karebet mengusap dahinya yang basah. Angin yang lembut perlahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor.
Ketika Karebet mengangkat wajahnya,
hatinya menjadi berdebar-debar. Dihadapannya terbaring seonggok warna
hijau ke hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan oleh ibu
angkatnya Nyi Tingkir.
Langkah Karebetpun tertegun sesaat.
Kembali ia berbimbang hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan
langkah yang tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru.
Angin yang lembut sekali lagi mengusap
wajah Karebet yang basah oleh keringat. Dan kembali persoalan itu hanyut
satu persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda yang sedang
berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya.
———-oOo———-
II
Malam itu langit cerah yang ditandai oleh
sepotong bulan muda. Ketika Karebet mengangkat wajahnya, yang tampak
dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau kehitam-hitaman, tetapi
sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi yang menghijau
melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang dilemparkan oleh bulan
sepotong di langit tampak berkilat-kilat memantul dipermukaan air Rawa
Pening.
Karebet kembali kepada keadaanya kini.
Dihadapannya duduk pamannya yang disegani. Kebo Kanigara yang
mendengarkan ceritanya dengan asyik.
Ketika Karebet itu berhenti berbicara,
maka Kebo Kanigara itu menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan
terdengarlah ia bergumam, “Bukan main. Itulah sebabnya maka sepeninggalmu, timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”
Karebet tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan malam menjadi semakin dingin, karena arus angin pegunungan.
”Darimana kau tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu, yang kau alami dan tidak kau alami?”
Dengan kepala masih tertunduk Karebet menjawab, “Sebagian aku alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang sahabat yang dapat dipercaya.”
“Siapakah orang itu?”
“Sambirata!”
“He, Sambirata yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat Tingkir itu?”
“Ya, ternyata ia telah menyesali
perbuatannya. Karena itu ia berusaha mencari kebenaran tentang diriku.
Aku tidak tahu, apa saja yang sudah dilakukannya, namun ia berhasil
mengetahui sebagian besar keadaanku, dan ia pun berhasil mencari aku, ketika aku masih berada di Tingkir.”
“Hanya orang itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, tetapi paman Sambirata aku minta
menghubungi sahabatku yang lain di dalam lingkungan Wira Tamtama.
Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”
“Siapakah orang itu?”
“Santapati. Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama juga.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sesaat ia berdiam diri, dan Karebet tidak berkata apapun.
Karena itu maka keadaan di lereng menjadis epi kembali. Di kejauhan
terdengar suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali
terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya.
Sesekali Kebo Kanigara memandang wajah
kemenakannya yang suram. Dilihatnya penyesalan yang dalam menggores
didadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun menjadi iba
juga kepadanya. Kepada satu-satunya kemenakannya. Karebet adalah
penyambung keturunan Pengging disamping Widura. Karena itulah maka
adalah menjadi keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang
baik, sebagai seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila
Karebet apabila Karebet itu tidak saja menjadi seorang buangan dan
sekedar Lurah Wira Tamtama.
“Hem” geram Kebo Kanigara didalam hatinya.” Trenggana ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”
Tiba-tiba terbersitlah sesuatu di kepala
Kebo Kanigara. Karebet adalah kemanakannya. Nasib Karebet dihari
kemudian akan menentukan darah keturunan Pengging. Kalau Karebet itu
akan hancur menjadi debu di pembuangan, maka darah Pengging akan kering
seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu dihari-hari
lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar terik matahari, maka
keagungan airnya pasti akan dilupakan orang. Demikianlah kalau Karebet
itu benar-benar akan lenyap dari percaturan pemerintah Demak, maka darah
Pangeran Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan
Widuri untuk merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat hubungan
yang akrab antara putrinya itu dengan Arya Salaka. Meskipun Arya Salaka
bukan darah yang tetes dari istana, namun ia bangga atas anak muda itu.
Anak muda yang menyadari keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan
ia puas dengan keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia.
Apalagi putrinya itu sejak kecilnya sama sekali tidak pernah mengenyam
kehidupan istana. Karena itu, maka apa yang dicapainya itu benar-benar
telah memberinya kebahagiaan.
Karebet menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik paman. Aku akan tinggal di Banyubiru sampai paman memerintahkan aku berbuat lain.”
Kembali mereka terlempar dalam
kesenyapan. Dan kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan desir
angin di dedaunan. Awan yang putih segumpal hanyut di wajah bulan kuning
pucat.
Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata, ”Karebet. Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam pertempuran melawan Sultan Trenggana?”
“Aku tidak mengenal paman. Sultan
menggunakan tutup wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan sama sekali
tidak mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”
“Apakah kau tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?”
“Tidak paman. Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda, karena Baginda mempergunakan Aji Welut Putih.”
“Kenapa dengan Aji Welut Putih.”
“Bukankah Aji itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat yang berusaha melepaskan diri dari kejaran?”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Baginda mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang paling baik.”
“Aku kurang menyadari itu paman.
Mungkin Baginda sengaja mempergunakan Aji Welut Putih untuk lebih
mengaburkan anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan kambuh lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan mencampuri lagi segenap persoalanmu.”
“Baik paman” jawab Karebet.
Kebo Kanigara itupun kemudian bangkit sambil berkata. “Kembalilah
kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut Banyubiru itu akan
memberimu banyak tuntunan yang akan bermanfaat bagi hidupmu.”
Karebet itupun kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik paman.”
Ketika pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka Karebet itu pun segera kembali kerumah Ki Buyut Banyubiru.
Sebenarnyalah Karebet, sejak dari Tingkir
segera ia pergi ke Banyubiru. Semula ia mengharap bahwa Arya Salaka
Telah berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata ditemuinya
tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena itu, maka untuk
sementara ia mencari tempat yang dapat dipakainya untuk menyembunyikan
dirinya. Sehingga akhirnya ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut
Banyubiru, yang baik hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan
beberapa orang murid Ki Lemah Telasih yang lain. Mereka termasuk
orang-orang yang lebih mementingkan persoalan-persoalan pengobatan dan
ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis dedaunan untuk pengobatan
daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah Telasih adalah seorang
yang tekun beribadah. Itulah sebabnya Karebet betah tinggal dirumahnya.
Ditemuinya persoalan-persoalan dalam hidupnya. Cara-cara pengobatan itu
sangat menarik hati anak muda yang aneh itu.
Diperjalanan kembali ke rumah Ki Ageng
Gajah Sora, Kebo Kanigarapun selalu diganggu oleh berbagai pesoalan.
Apakah ia akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan yang telah
pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan kepahitan
yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami oleh setiap
prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya. Tetapi Kebo
Kanigara pun tahu pula, bahwa Baginda masih memiliki kesayangan yang
besar kepada anak yang aneh itu.
Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata didalam hatinya, “Biarlah orang-orang tua mencoba membantu menyelesaikan masalah ini.”
Malam itu Kebo Kanigara hampir tak dapat
tidur nyenyak. Ia bangun pagi-pagi benar dan tampaklah bahwa perasaannya
sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat.
Mahesa Jenar yang mengetahui serba
sedikit tentang Karebet, segera dapat menduga, bahwa Kebo Kanigara
benar-benar sedang dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu
sebagai seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan dirinya
untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh
Kebo Kanigara itu.
Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan dilakukan itu berkata, “Bukan main. Anak itu telah jauh tenggelam kedalam gelora darah mudanya.”
“Apakah kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau besar, sehingga tidak akan mungkin mendapat pengampunan kakang,” bertanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara merenung sejenak. Kemudian desahnya, “Mudah-mudahan. Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Serba sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa yang pernah
didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada
persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain.
Meskipun orang lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama ini
selalu berbuat bersama-sama, berjuang bersama-sama dan bahkan hidup mati
mereka berdua seakan-akan telah dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah
yang dihadapi oleh Kebo Kanigara sebagian adalah masalah yang
berhubungan dengan keluarganya. Berhubungan dengan saluran darah
Majapahit yang mengalir ditubuhnya dan ditubuh Karebet, namun juga
ditubuh Sultan Tranggana.
Karena ada beberapa persoalan yang tidak
dapat dikatakannya kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar pun tidak
segera dapat melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu
memecahkan persoalan itu.
“Mahesa Jenar” berkata Kebo Kanigara kemudian, “Jangan
kau ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh
Karebet. Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang telah
lama kau tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah datang?”
Mahesa Jenar tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar menjawab, “Baiklah kakang. Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan aku, maka aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”
“Terima kasih, Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan memberitahukannya kepadamu.“
Namun dalam pada itu, sesuatu tersimpan didalam hati Kebo Kanigara.
Sesuatu yang tidak dapat segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun
pada suatu saat pasti akan menyangkut perasaannya. “Hem” gumam Kebo Kanigara didalam hatinya, “Biarlah Mahesa Jenar menikmati masa-masa yang paling baik dalam hidupnya.”
Sejak itu Kebo Kanigara berusaha untuk
menghilangkan kesan-kesannya yang menggelisahkan karena pokal
kemenakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet, tetapi ia
tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa Jenar. Dibiarkannya
Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri.
Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak
mendengar dari Kebo Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang
Tumaritis dan telah kembali ke Banyubiru.
Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan Alas
merasa bahwa ia telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka
ia pun minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara,
kepada Mahesa Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.
“Kenapa Ki Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?” bertanya Gajah Sora.
“Aku sudah cukup lama tinggal di sini angger. Karena
itu aku ingin sekali-kali melihat tanah kelahiranku. Aku ingin pulang
ke Gunungkidul, menyampaikan kabar yang sebaik-baiknya bagi sanak kadang
dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami akan mengharap Wilis
sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman. Dan sudah tentu kami akan
mengharap bahwa kami dapat menyaksikan hari yang paling baik bagi
hidupnya di kampung halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan
dilakukan, dan kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi
kami.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Sebenarnya
Banyubiru akan sangat berterima kasih kalau kesempatan itu tidak kami
terima di sini, sebagai tanah yang telah menerima limpahan pengabdiannya
yang tanpa pamrih itu.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Terima kasih. Terima kasih.” sahutnya, “Tetapi
biarlah kami pada suatu ketika membawanya dahulu kembali. Kami ingin
memperkenalkan angger Mahesa Jenar kepada sanak kadang serta
sahabat-sahabat kami.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ki
Ageng, kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira untuk melihat
tanah tempat kelahiran Wilis. Dan aku akan bergembira untuk dapat
mengenal sanak kadang di tanah itu.”
“Bagus. Biarlah kelak seseorang
datang menjemput kalian di sini. Begitu aku sampai di Gunung Kidul,
begitu aku minta seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak usah
mencari-cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan
Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo, ataupun
Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun maka angger Mahesa
Jenar sudah pasti tidak akan takut. Dan aku tidak perlu menebang pohon
di hutan itu dan kemudian berdendang Dandang Gula.”
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan
kepalanya. Suatu kenangan yang mengesankan. Dihutan itu pula ia
pertama-tama bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Di
hutan itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun didesa itu
pula ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara kapaknya dan
kemudian disusul dengan tembang Dandang Gula yang melontarkan ciri
kehadirannya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas itu pula. “Sungguh
tidak sedap berlagu di tengah-tengah hutan yang lebat. Setiap kali aku
membuka mulut, setiap kali beberapa ekor nyamuk masuk bersama-sama.
Tetapi aku tidak dapat berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan
berhasil mencegah Pasingsingan berbuat menurut caranya.”
Kembali Mahesa Jenar mengenangkan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Betapa ia hampir menjadi gila
karena tiba-tiba Rara Wilis hilang. “Hem” desahnya di dalam hati. Sebuah tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.
Ki Ageng Pandan Alas melihat perasaan
yang melintas di hati Mahesa Jenar. Karena itu ia tersenyum. Namun
ketika ia menatap wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu mengerutkan
keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air telah
membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua yang jenaka itu
tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau. Katanya kemudian, “Kalau
aku akan mengirim orang untuk menjemput kalian, maka aku hanya ingin
supaya kalian tidak usah mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara
Wilis masih dapat mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian
akan dapat mencari jalan dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini
adalah perjalanan yang jauh berbeda dengan setiap perjalanan yang
pernah kalian tempuh. Kalian dapat berjalan menyusup hutan belantara
mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan keadaannya. Sedang
Gunungkidul adalah suatu daerah yang tidak akan dapat berpindah-pindah.
Namun akan lebih baik bagi kalian, apabila kalian tidak usah bersusah
payah untuk mencari jalan itu sendiri.”
“Terima kasih, Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar, “Kami akan menunggu dengan senang hati.”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Tersenyum
karena ia melihat masa depan satu-satunya cucunya menjadi cerah,
secerah matahari pagi.
Demikianlah, akhirnya Ki Ageng Pandan
Alas meninggalkan Banyu Biru. Meninggalkan cucunya dan meninggalkan
kesan yang membekas di hati yang ditinggalkannya. Namun, orang tua itu
pun membawa kesan yang cerah pula di dalam hatinya.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang
pejalan. Ia dapat berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun
perjalanannya ini terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke
Gunungkidul dan menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja
ia tidak membawa cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia ingin
menghormati cucunya serta bakal suaminya dengan suatu jemputan yang
cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki apapun di Gunungkidul. Namun
muridnya yang sekarang sudah menjadi Demang, pasti akan mau membantunya.
Sepeninggalan Ki Ageng Pandan Alas, maka
timbullah beberapa keragu-raguan dihati Mahesa Jenar. Kalau ia harus
menetap di Gunungkidul, maka persoalannya menjadi agak sulit baginya.
Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum kembali ke Demak.
Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada Panembahan Ismaya, namun tanpa
diketahui sebabnya ia selalu ingin tinggal didekatnya untuk sementara
sebelum keris-keris itu kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak
akan dapat menolak permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara
Wilis menjadi bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera melihat
kampung halaman, dan bergembira bahwa ia akan dapat berada didalam
lingkungannya semasa kanak-kanak.
Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang menentukan.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau
mengecewakan Rara Wilis. Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu
dapat dibicarakannya dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan
dapat mengertinya.
Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru.
Selama itu banyaklah yang sudah mereka
kerjakan diantara rakyat Banyubiru, membangun tanah perdikan itu.
Memperbaiki tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan memperbaiki
jalur-jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang gundul
karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka.
Tak ada seorang pun yang sempat duduk
bertopang dagu. Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah yang
dibelanja selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut
membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang Tumaritis, dan
ia kerasan tinggal di Banyubiru.
Kebo Kanigara yang semula sudah siap
kembali ke Karang Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga oleh kemenakannya.
Ada sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru karena kehadiran
Karebet. Sehingga karena itu, maka ia pun menunda keberangkatannya.
Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira karenanya. Ia lebih senang
tinggal di Banyubiru. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa
ayahnya selama ini telah disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet.
Bahkan ia tidak menyadari pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar
kesibukan-kesibukan pikiran dan perasaan. Namun karena Kebo Kanigara
sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu kembali ke Istana, maka
akan banyaklah persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi Kebo Kanigara tidak mau
menyulitkan orang lain. Karena itu semuanya disimpan didalam dadanya.
Hanya sekali-kali ia menyuruh Karebet pergi ke Karang Tumaritis, minta
nasehat dan pertimbangan Panembahan Ismaya dan memberitahukan kepada
Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat lagi.
Dengan demikian, meskipun mereka
bersama-sama masih tetap tinggal di Banyubiru, dan meskipun mereka
tampaknya dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun didalam hati
mereka, mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis sekedar
menunggu jemputan dari Gunungkidul, Endang Widuri karena sesuatu telah
mengikatnya di Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sedang
Kebo Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap persoalannya.
———-oOo———-
III
Demikianlah pada suatu hari, Banyubiru
diributkan oleh kedatangan sebuah rombongan orang-orang berkuda.
Rombongan itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh
orang, namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar, memecah
kesepian tanah yang damai itu.
Seseorang yang sedang bekerja disawah
melihat rombongan itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan dilembah,
mendaki Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir didalam dadanya.
Rombongan itu sama sekali bukan rombongan dari Pamingit. Dipaling depan
tampaklah seorang dalam pakaian yang mewah, beludru berkilat-kilat.
Sebuah pedang panjang tersangkut dilambungnya. Pedang dengan sebuah
wrangka yang putih berkilau. Pedang yang jarang-jarang dimiliki oleh
orang biasa.
Orang itu sama sekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan para pengiringnya sama sekali bukan orang Pamingit.
Petani itu berpikir didalam hatinya.
Masih terbayang apa saja yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau.
Terbayangllah laskar-laskar dari golongan hitam yang bersama-sama
menyerang Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul
didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya.
Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang
akan dilakukan untuk mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu
maka segera ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang dilihatnya
kepada anaknya.
“Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?”
“Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak. Kemudian katanya kepada ayahnya, “Biarlah aku sampaikan kepada kakang Bantaran.”
Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya kerumah Bantaran.
Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka itu?”
Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka itu?”
“Aku tidak tahu”, jawab anak muda itu.
“Marilah ikut aku”, sahut Bantaran.
Keduanya kemudian memacu kuda mereka,
mendaki tebing yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka melihat
serombongan orang-orang berkuda sudah semakin dekat. Serombongan
orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-senjata mereka.
“Dua puluh orang kira-kira”, gumam Bantaran.
“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya, “Apapun
maksud mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan
disini. Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan
hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan
pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan lewat.
Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”
Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.
Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-katanya, “Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”
Anak petani itupun kemudian kembali ke
tempat Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak
lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang
harus dilaluinya masih cukup panjang.
Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani itu. “Kembalilah,
sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa berita tentang
kedatangan orang-orang berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman
Wanamerta.”
Sepeninggalan anak petani itu, segera
Bantaran pergi ke gardu pertama. Gardu yang masih ditempati oleh
beberapa orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang,
namun peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka
berhati-hati.
Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata “Jangan terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”
Meskipun demikian, beberapa orang di
gardu itu telah menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan yang
lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping mereka berdiri.
Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar. “Ha, itulah mereka” gumam Bantaran.
Tetapi mereka masih menunggu cukup lama.
Jalan yang melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang
jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.
Meskipun demikian, akhirnya muncullah
dari tikungan beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling
depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju
beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah pedang yang
bagus berjuntai disisi kudanya.
Orang itu terkejut ketika dilihatnya
beberapa orang yang berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang
itu menyadari, bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang
penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu memperlambat
kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah dari Bantaran.
Wanamerta yang telah mendengar laporan
Penjawi, menjadi gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah
Sora, dan memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi.
Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya, “Tetapi menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”
Meskipun demikian berita itu telah
menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk
dipendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba
menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu. Namun
mereka tidak dapat menemukan jawaban.
Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya, “Dimanakah Penjawi sekarang?”
“Penjawi sedang pergi menyusul
Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya orang-orang itu
berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa diantara
mereka.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga berkata, “Sebuah rombongan berkuda.”
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki Ageng berkata, “Baik. Kembalilah ketempatmu.”
Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga.
Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka
berusaha menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki regol
halaman.
Tetapi langkah mereka segera tertegun.
Yang mula-mula masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi.
Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya. “Siapakah mereka?”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka
dan Endang Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih adalah Rara
Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga terdengar
kembali orang itu berkata. “Apakah kau lupa kepadaku?”
Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab. “Tidak. Aku tidak melupakan kau, Sarayuda.”
Sarayuda, orang yang baru datang itu
tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun
dari kudanya ia berkata. “Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”
Wajah Rara Wilis segera menjadi
kemerah-merahan. Ia tidak dapat melupakan, apakah yang telah terjadi
antara mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu,
maka segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.
Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar, “Terima kasih Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”
Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata. “O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-sita.”
“Marilah Ki Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan, “Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Maka seluruh rombongan itu pun kemudian
memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang
menguasai suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki
Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat
dan subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orang-orang yang
bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan rakyatnya. Karena itu, maka
segera mereka dapat menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab,
meskipun ada beberapa perbedaan sifat diantara mereka. Sarayuda adalah
seorang yang menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan,
sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki
Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.
Segera pembicaraan mereka berkisar kepada
maksud kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian, “Kakang Gajah
Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku, Ki Ageng Pandan
Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di
Gunungkidul telah mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran
Rangga Tohjaya didaerah mereka. Karena itu, maka Gunungkidul sedang
dihinggapi oleh perasaan yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang
ditunggu-tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang
cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa
kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat mereka,
seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah memakai nama Pudak
Wangi dan telah berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu
pernah menggemparkan daerah itu, yang kemudian bernama Nyai Sima Rodra.
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian
itu, sedang Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi
kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat diucapkan.
Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama, tersenyum-senyum
kecil. Dengan nakalnya ia berkata. “Ah. Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?”
“Ya tentu” jawab Sarayuda, “Aku dan rakyatku akan menyambutnya.”
“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri. “Apakah aku boleh ikut serta?”
“Tentu” jawab Sarayuda. “Aku
dan setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke
Gunungkidul. Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur
diantara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit
Telamaya ini.”
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata, “Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?”
Rara Wilis tidak segera dapat menjawab.
Sekali dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun
tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.
Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukankah kita akan ikut ke Gunungkidul.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan. “Sayang Widuri kita tidak dapat ikut serta.”
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam. “Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan disini.”
“Apakah yang harus dikerjakan?”
”Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis.”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata. “Sayang
adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut
serta mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan
yang harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang
Tumaritis.”
Sarayuda menarik nafas. “Ya sayang.”
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri, “Kalau
ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku
ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah
menjemput aku.”
Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya, “Tidak
Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah
kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan
Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”
“Emoh” seru gadis itu. “Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”
“Bukankah sama saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya. “Besok atau sekarang.”
“Tidak” sahut Widuri. “Aku ingin melihat, bagaimana rakyat Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis dipersandingan.”
“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”
Rara Wilis menjadi iba melihat Endang
Widuri. Tetapi ia tidak berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah
wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya dengan
senyum yang hambar.
Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya, “Begitulah
angger Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh
beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau
angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula
ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi bersama ayah.”
Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa. Katanya kemudian, “Aku tidak mau dijemput oleh sembarang orang.”
Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia
berdiri dan berlari masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya,
bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka
berdua bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka
benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan
berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka dalam suatu ikatan
yang sangat erat. Tidak saja Widuri yang menjadi sedih akan perpisahan
itu, tetapi Rara Wilis pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian
tanpa gadis yang nakal itu.
Tetapi Kebo Kanigara benar-benar
berhalangan untuk turut serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu
pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh
kemenakannya yang nakal.
Mahesa Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu berkata, “Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya. “Aku
juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti
apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke
Gunungkidul bersama Widuri.”
Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya
Salaka menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke
Gunungkidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa
Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam rombongan itu,
maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar,
namun terasa sesuatu yang menahannya untuk tinggal di rumah. Karena itu,
anak muda itu bahkan menjadi bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya
berdiam diri saja.
“Ah, terserah apa yang akan aku
lakukan nanti,” desisnya di dalam hati. “Kalau tiba-tiba aku ingin
berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku
tinggal.”
“Tetapi”, berkata pula hatinya. “Bagaimana kalau guru mengajakku?”
“Entahlah”, jawabnya sendiri di dalam hati.
Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya
bermalam di rumah itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para
tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang
dirangkap supaya tidak terlalu dingin.
Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara
Wilis pun segera mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang
mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri
selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada. Hanya
beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi
Mahesa Jenar hal itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya.Tetapi bagi
Rara Wilis, terasa sekali alangkah miskinnya. Ia sama sekali tidak
memiliki perhiasan apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya
adalah sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah.
Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba
dilihatnya wajah Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang
berdebar-debar mencoba bertanya. “Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu?”
Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan
itu. Segera dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah
senyuman yang dipaksakan ia menjawab, “Kenapa? Aku tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan datang.”
“Oh” Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak membantah. Namun ketika
dilihatnya sekali lagi Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir
sudah kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.
“Hem “ desahnya di dalam hati. “Ternyata
aku tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau
padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu
tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun dalam
kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan
seorang gadis.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun.
Ia masih belum tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang
dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak akan
mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan matanya, seandainya
pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek
itu. “Itu merupakan suatu kewajiban”, desahnya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan
keluar bilik Rara Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah
berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih
duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-jalan
di luar regol halaman.
Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol
pula, maka orang-orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang
beberapa hal kepadanya.
“Tanah ini cukup subur” berkata salah seorang dari mereka, “Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya.”
“Demikianlah” sahut Mahesa Jenar, “Tanah yang telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”
Tamu dari Gunungkidul itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tanah kami adalah
tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang
menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat
dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu
melulu.”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini
adalah tanah yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air
mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk
kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan siapa
yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati hasil dari jerih
payahnya itu.
“Tetapi aku tidak dapat ikut serta” desis Mahesa Jenar didalam hati.
Timbullah didalam hatinya sesuatu yang
tak pernah dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga
yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Diantaranya,
bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu, maka sampailah
Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan. “Bekerja”.
“Ah” kembali ia berdesah di dalam hati, “Akhirnya
aku sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan
yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini
dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap pengabdian
harus terhenti?”
“Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Aku akan dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”
Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu
kepada masa-masa lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai
seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-kawannya yang
pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya didalam hati, “Mereka dapat melakukan kedua-duanya. Pengabdian dan keluarga.”
“Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus”, katanya pula. “Disini,
aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk
keluarganya, namun mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya.
Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan
surau-surau tempat pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk
kesejahteraan keluarganya dan kesejahteraan bersama.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada
ceritera Wanamerta tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya
dengan timang emas bertretes berlian. “Bukan itu”, desah Mahesa Jenar di
dalam hatinya, “Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri
sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian . Justru ia menghisap
hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang
disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa
batas.”
Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar
dihadapkan pada suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah
keluarga yang bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak kalah sucinya dari
kuwajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan keluarga yang
baik Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan jumlah
manusia di dunia untuk memelihara dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan
baik.
Demikianlah, rombongan Sarayuda itu
tinggal di Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah
melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah
Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa yang baik
bagi Banyubiru telah disarankannya pula.
Sehingga sampailah pada saatnya mereka
meninggalkan Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu
meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki Ageng
Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama mereka pergi ke
Gunungkidul karena keadaan daerahnya yang masih harus mendapat
pengawasannya. Kebo Kanigara terikat pada suatu kuwajiban yang tak dapat
ditinggalkannya pula. Sedang Endang Widuri dengan penuh penyesalan
terpaksa tidak dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunungkidul. Pada saat-saat
terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk tidak turut
bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang melonjak-lonjak.
Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora
Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke
Banyubiru untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar.
Orang yang aneh didalam tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat
dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang memiliki
jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.
Sebelum matahari sepenggalah, maka
rombongan itu telah bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan
Rara Wilis tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor
kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan oleh Ki
Ageng Gajah Sora. Dipunggung kuda itu terdapat sebuah beban yang tak
diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi Ageng Gajah Sora
bersama Nyi Ageng Lembu Sora.
Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda
yang seekor itu tentu saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti
hati Ki Ageng Gajah Sora kakak beradik.
Perpisahan itu merupakan perpisahan yang
mengharukan. Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika Mahesa Jenar akan
kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu untuk
terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian Sarayuda minta
diri dengan serta merta gadis itu berlari menghambur memeluk Rara Wilis.
Sambil menangis Widuri berkata, “Bibi, jangan pergi terlalu lama.”
Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena
itu maka ia pun tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika
dilihatnya Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi
berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-saat
mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang dihinggapi oleh
kegilaannya tentang pangkat dan kekayaan, sehingga hampir saja mereka
berdua dibunuhnya. Untunglah pada saat itu Rara Wilis hadir diantara
mereka, sehingga sebenarnyalah gadis itulah yang telah menyambung
umurnya.
“Widuri” berkata Rara Wilis itu kemudian. “Perpisahan ini tidak akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke Gunungkidul?”
Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan daripadanya.
Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan
juga kepada putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya,
karena ia sendiri tidak dapat pergi. Anak itu adalah anak yang sangat
nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu tidak sampai hati
melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi nanti Mahesa Jenar dan Rara
Wilis sedang disibukkan oleh persoalan mereka sendiri, maka Widuri akan
sangat mengganggu mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari
pengawasan.
Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha untuk tetap melarang anaknya ikut serta.
Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya, “Ya
Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunungkidul. Kemarin aku sudah
mendapat ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan mana yang
harus kita tempuh, dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau bersabar sedikit
bukankah pamanmu Sarayuda bersedia untuk menjemputmu?”
Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya
juga, meskipun tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara Mahesa
Jenar menepuk punggung muridnya. “Kau sudah menjelang dewasa penuh
Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu itu. Bekerja keras
membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang diharapkannya selain daripadamu.”
Arya mengangguk sambil menjawab, “Ya paman”.
Maka kemudian sampailah saatnya rombongan
itu berangkat. Perpisahan yang mengesankan. Rara Wilis masih melihat
Endang Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai Ageng
Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya. Sebuah salam yang erat
sebagai tanda terima kasih yang tak ada batasnya, telah diberikan oleh
Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu justru hampir tak mampu lagi
mengucapkan kata-kata terima aksihnya. Terima kasih atas segenap bantuan
yang telah diberikan oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada
itu, Mahesa Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi harapan bagi masa
datang.
Satu demi satu, maka kemudian keluarlah
mereka dari halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi Mahesa
Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh itu terasa aneh.
Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan yang pernah mereka
lakukan. Kalau pada masa lampau mereka berjalan dengan penuh
keprihatinan, maka perjalanan kali ini adalah perjalanan menunju ke
hari-hari yang cerah. Namun karena itulah maka dada mereka menjadi
berdebar-debar.
Setelah mereka meninggalkan halaman itu
maka mulailah kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang melihat
rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka memberikan hormat
setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Bahkan Ki
Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi telah ikut serta dengan
rombongan itu, mengantarkan sampai ke perbatasan kota. Bukan hanya
mereka. Beberapa orang lain pun telah ikut pula, sehingga rombongan itu
menjadi semakin panjang.
Di perbatasan kota mereka berhenti
sesaat. Wanamerta yang tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan,
mengucapkan terima kasih atas nama segenap rakyat Banyubiru dan ternyata
orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu meneteskan air
mata.
“Selamat tinggal paman” berkata Mahesa Jenar kemudian.
Wanamerta mengangguk. Ingin ia menjawab, namun suaranya tersangkut dikerongkongan.
Yang terdengar kemudian hanyalah sebuah jawaban pendek, “Ya, ya angger.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian meneruskan
perjalanannya. Dimuka sendiri Demang Sarayuda mulai mempercepat jalan
kudanya. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang. Namun mereka
tidak usah takut terhadap siapa pun sehingga mereka tidak perlu memilih
jalan-jalan yang tersembunyi. Atau mereka pun sama sekali tidak
berkepentingan dengan apapun selama perjalanan mereka. Karena itulah
maka perjalanan itu akan tidak terganggu.
Disepanjang jalan itu Rara Wilis telah
mulai menganyam angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang. Hal
yang lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak masa-masa yang telah
lama mereka tunggu-tunggu. Rara Wilis pun adalah seorang gadis biasa.
Meskipun kadang-kadang dilambungnya tersangkut sebilah pedang, dan
bahkan pedang yang telah berbekas darah, namun dalam saat-saat yang
demikian ia adalah seorang gadis. Tidak lebih daripada itu. Karena
itulah maka ia mendambakan masa yang berbahagia, masa yang bagi Rara
Wilis sebenarnya telah terlalu lambat.
Sepeninggal Mahesa Jenar dan Rara Wilis
terasa rumah Ki Ageng Gajah Sora menjadi sepi. Apalagi ketika Ki Ageng
Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Pamingit. Namun
meskipun demikian, kehadiran Endang Widuri di Banyubiru, masih dapat
menyejukkan suasana rumah Ki Ageng Gajah Sora itu.
Untuk menghilangkan kejemuannya Endang
Widuri bekerja apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami halaman, yang
seakan-akan halamannya sendiri. Ikut menanam padi disawah. Menyiangi dan
pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagai seorang gadis Widuri senang juga
membantu Nyai Ageng Gajah Sora didapur. Menyiapkan makan dan minuman.
Ki Ageng Gajah Sora pun masih mempunyai
kawan bercakap-cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada saat-saat terakhir
Kebo Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak pernah ia berkata
tentang apapun juga kepada putrinya. Widuri pun menyadari keadaanya. Ia
merasa masih terlalu kecil untuk berbicara tentang masalah-masalah yang
berat dengan ayahnya. Karena itu, maka jarang sekali Widuri
bertanya-tanya tentang pekerjaan ayahnya. Gadis itu lebih senang
bercakap-cakap dengan Arya Salaka di pendapa atau dengan Nyai Ageng
Lembu Sora di belakang.
Meskipun demikian gadis itu tidak
melupakan ilmu yang pernah dipelajarinya. Di saat-saat tertentu ia
berlatih bersama Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu yang
sama. Ilmu yang dipancarkan dari perguruan Pengging.
Namun sekali-kali gadis itu teringat pula kepada Rara Wilis. Karena itu, maka sekali-kali ia bertanya pula kepada ayahnya. “Ayah, apakah pekerjaan ayah masih belum selesai?”
Kebo Kanigara menggeleng, “Belum Widuri.”
“Kapan kita menyusul bibi Wilis?”
“Sebentar lagi”, sahut ayahnya. “Sebentar
lagi aku akan pergi ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar berpesan
kepadaku, untuk atas namanya, mohon diri kepada Panembahan. Bukankah
Panembahan telah berjanji untuk pergi ke Gunungkidul? Kau dengar juga
bukan? Nah. Kalau demikian, sebaiknya kita pergi bersama dengan Panembahan kelak.”
Dengan kesanggupan itu hati Widuri
terhibur pula sedikit. Tetapi dalam pada itu, ia heran juga, apa sajakah
yang dilakukan oleh ayahnya di Banyubiru?
Namun Kebo Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya. Dan Widuripun tidak bertanya-tanya pula.
———-oOo———-
IV. WIDURI HILANG
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu
peristiwa yang menggemparkan Banyubiru yang belum beberapa lama
mengalami ketenangan kini telah diguncangkan kembali dengan suatu
peristiwa yang tak disangka-sangka sama sekali.
Pada hari itu, segenap kentongan tanda
bahaya menggema di lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang benar-benar
mengejutkan setiap orang. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun yang
terjadi, namun tiba-tiba mereka mendengar tanda bahaya itu.
Sesaat kemudian mereka melihat, beberapa
orang penunggang kuda berlari-lari memacu kudanya kesegenap penjuru.
Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang menjadi gila. Gajah Sora,
Kebo Kani gara, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan semua laskar
di Banyubiru memencar di atas kuda masing-masing.
“Apakah yang terjadi?” bertanya seseorang.
Orang yang ditanyanya menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian wajahnya menjadi pucat pula. “Entahlah.”
Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang berkuda berlari dihadapan mereka, maka berteriaklah mereka itu, “Ada apa?”
“Endang Widuri hilang.”
“He”, tetapi orang berkuda itu
telah jauh. Dua orang yang lain menyusul pula dibelakang orang berkuda
yang pertama. Tetapi kepada orang itu pun mereka tidak sempat bertanya
apa-apa.
Nyai Ageng Gajah Sora pada saat itu
menangis di dalam biliknya. Gadis itu bukan anaknya, tetapi benar-benar
seperti anak gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis itu memang
nakal, tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik dilakukan oleh
gadis itu. Apabila tak seorang pun yang ada, pada saat Nyai Ageng
membutuhkan beberapa butir kelapa, maka dengan tangkasnya gadis itu
memanjatnya. Bahkan sampai batang yang paling tinggi sekalipun. Namun
gadis itu pandai juga memasak dan bercerita. Pandai menjahit dan pandai
juga berdendang.
Namun tiba-tiba gadis itu hilang.
Di hadapan Nyai Ageng Gajah Sora itu
duduk bersimpuh seorang gadis pula. Gadis itu juga menangis seperti Nyai
Ageng. Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita tentang
hilangnya Widuri.
Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya berkata, “Apakah tak ada orang lain di belumbang itu?”
Gadis itu menggeleng, “Tidak Nyai
Ageng. Waktu aku datang, aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku
berlari-lari menengoknya, aku hanya melihat bayangan seorang anak muda
memapahnya berlari masuk ke dalam semak-semak.”
Nyai Ageng Gajah Sora termenung sejenak.
Adalah aneh sekali, bahwa hal itu dapat terjadi. Widuri bukanlah gadis
biasa seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu. Widuri adalah
seorang gadis yang memiliki beberapa macam keanehan. Gadis itu mampu
berkelahi seperti laki-laki. Bahkan melampaui kemampuan seorang laskar
Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung. Kenapa ia tidak memukul
saja anak muda yang menculiknya itu?
Berbagai persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya. Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh persoalan yang lain.
“Apakah kau dapat mengira-irakan, kemana Endang Widuri itu dibawa?” bertanya Nyai Ageng itu pula.
Gadis itu menggeleng, “Aku tidak tahu
Nyai. Namun aku melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk
seterusnya aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari memberitahukannya
kemari.”
Nyai Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam kegelapan nalar Nyai Ageng hanya dapat menangis.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah
bukan buatan. Gadis itu hilang di dalam wilayahnya. Endang Widuri
baginya adalah seorang tamu. Karena itu, maka ia merasa bertanggungjawab
pula atas kehilangan itu. Dengan menggeratakkan giginya, Ki Ageng Gajah
Sora memacu kudanya pergi ke belumbang yang sebenarnya tidak begitu
jauh. Demikian ia sampai di belumbang, demikian ia meloncat turun, di
ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo Kanigara sendiri, disamping beberapa
orang lain. Tanpa mendapat perintah segera mereka memencar diri,
mengamat-amati setiap pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk
mengetahui, siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.
Di belumbang itu masih tinggal beberapa
potong pakaian Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa helai
telah dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa helai yang lain masih
kering terletak di tepian.
“Anak itu tidak banyak mendapat kesempatan,” desis Gajah Sora.
Kebo Kanigara memandangi pakaian anaknya
dengan mata yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat. Tak sepatah
kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan yang gemetar ia berjongkok,
meraih pakaian-pakaian anaknya itu, dan kemudian dimasukkannya kedalam
bakul. Perlahan-lahan kemudian terdengar ia bergumam, “Biarlah pakaian Widuri ini aku simpan baik-baik. Aku yakin, pada suatu saat ia akan kembali lagi kepadaku.”
Mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu
Gajah Sora hanya dapat menarik nafas. Namun terucapkan janji didalam
hatinya, bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru harus mampu menyerahkan
anak itu kembali kepada ayahnya.
Arya Salaka kemudian tidak mau
merenung-renung lebih lama di tepi belumbang itu. Ia telah mendengar
pula, bahwa Widuri di bawa menyusup ke arah timur. Karena itu, maka ia
pun mencoba melihat arah yang dikatakan itu. Di amat-amatinya setiap
jengkal tanah, mungkin ia akan dapat menemukan jejak.
Hati Arya Salaka terlonjak ketika
benar-benar ditemukannya jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke
dalam gerumbul ke arah Timur. Karena itu dengan hati-hati ia mengikuti
jejak itu. Namun alangkah kecewanya anak muda putera Kepala Daerah Tanah
Perdikan Banyubiru itu. Jejak itu hanya dapat di ikuti beberapa
langkah. Kemudian hilang di atas rerumputan yang liar. Betapa pun Arya
Salaka mencoba mencarinya, namun sia-sia saja.
Arya Salaka itu pun kemudian menyusup
lebih dalam lagi. Ia kini mencari jejak pada ranting-ranting di
sekitarnya. Sekali ia melihat sebuah ranting yang patah. Namun kembali
ia kehilangan kesempatan untuk mengikutinya.
“Setan”, desis Arya Salaka yang
benar-benar menjadi gemetar karena marah. Namun ia tidak tahu, bagaimana
ia akan menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap
dahan, ranting dan apa saja yang teraba oleh tangannya.
Ketika Arya Salaka itu sudah yakin, bahwa
tidak akan diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan kemana
mereka harus mencari, maka segera Arya meninggalkan belumbang itu
langsung meloncat di atas kudanya.
Dengan kecepatan penuh, Arya berpacu ke
arah timur. Tetapi ia tidak tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia pergi
demikian saja karena gelora di dalam dadanya, tanpa diketahuinya arah
yang pasti.
Demikian juga para pemimpin dan laskar
Banyubiru yang lain. Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun
hanya sekadar mencoba mencari kemungkinan untuk melihat atau menemukan
gadis yang hilang tanpa pegangan yang pasti. Mereka itu sedang berusaha
mencari yang hilang tanpa petunjuk-petunjuk sama sekali.
Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu,
seluruh daerah Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir
setiap orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun Endang Widuri
tidak dapat diketemukan. Gadis itu seakan-akan hilang di telan oleh
retak tanah perdikan Banyubiru.
Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun
para penunggang kuda telah jauh menjorok ke segenap arah. Namun usaha
mereka sia-sia belaka. Arya Salaka sendiri bersama beberapa orang telah
sampai ke daerah Rawa Pening. Di obrak-abriknya daerah bekas sarang
Uling Putih dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa gerombolan itu
yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun Endang Widuri tidak ada di
sana, dan tak diketemukannya pertanda, bahwa tempat itu masih didiami
orang.
Malam itu, para pemimpin Banyubiru
berkumpul di pendapa rumah Ki Ageng Gajah Sora. Peristiwa hilangnya
Widuri bagi Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu persoalan yang
kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan hadirnya golongan hitam di
tanah mereka. Karena itu maka setiap kekuatan yang ada harus dikerahkan
untuk memecahkan peristiwa itu.
Namun tak seorang pun yang dapat
mengemukakan pendapat mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka
diliputi oleh suasana yang gelap pekat. Tak ada setitik api pun yang
dapat memberi petunjuk kepada mereka, tentang persoalan yang
menggemparkan itu.
Dalam ketegangan itu terdengar Arya Salaka berdesis, “Peristiwa ini benar-benar memalukan tanah perdikan ini ayah. Karena itu, maka Endang Widuri harus diketemukan segera.”
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gajah Sora dan bahkan beberapa orang lain mengetahui bahwa Arya Salaka
tidak saja tersinggung kehormatan atas hilangnya tamunya itu, namun jauh
lebih daripada itu. Hampir setiap orang di pendapa itu mengetahuinya,
bahwa Arya Salaka dan Endang Widuri agaknya telah masuk ke dalam suatu
ikatan tanpa ssadar mereka itu. Ikatan yang tidak dapat dikatakan dan
tidak dapat dirumuskan oleh mereka yang mengalaminya. Karena itu, maka
adalah wajar sekali kalau Arya Salaka benar-benar menjadi sangat marah
dan bingung.
“Aku sependapat dengan kau Arya”, jawab ayahnya. “Kini kita sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu.”
“Apa pun yang akan terjadi, kita harus menemukannya kembali.” sahut Arya pula.
“Ya. Tentu,” berkata ayahnya
pula. Namun terbayang di wajahnya Ki Ageng Gajah Sora keragu-raguan yang
menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu? Sejak pagi, Ki Ageng
Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang yang pergi ke Pamingit.
Memberitahukan kehilangan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng
Sora Dipayana. Dan ternyata, Pamingit pun telah menjadi gelisah pula.
Senja itu telah datang utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk menanyakan
apakah Endang Widuri sudah diketemukan.
Dan utusan itu pun kembali dengan membawa berita, bahwa persoalan Widuri masih gelap.
Dalam kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya
Salaka teringat kepada gurunya, Mahesa Jenar. Meskipun ia kini telah
berhadapan dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada di antara mereka,
ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis itu, namun ada sesuatu yang
menyentuh perasaannya, bahwa gurunya akan dapat membantunya. Mahesa
Jenar bagi Arya Salaka merupakan tempat untuk berlindung hampir enam
tahun lamanya. Tempat Arya Salaka menggantungkan hidup matinya dalam
masa-masa yang berbahaya. Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya
selalu teringat kepada gurunya itu. Demikian juga kali ini. Maka
tiba-tiba saja ia berkata, “Ayah, aku akan berusaha memberitahukan kehilangan ini kepada paman Mahesa Jenar.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangkat wajahnya.
Dilihatnya Kebo Kanigara pun terkejut mendengar kata-kata Arya itu,
sehingga kemudian katanya, “Jangan Arya. Jangan mengganggu pamanmu itu.”
Ki Ageng Gajah Sora ternyata sependapat
pula dengan Kebo Kanigara. Karena itu maka ia berkata pula, “Ya, Arya.
Biarlah pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini hampir-hampir
seluruh hidupnya telah dicurahkan untuk kepentingan orang lain.
Kepentingan kita. Karena itu, maka biarlah kali ini pamanmu Mahesa Jenar
tidak terganggu. Biarlah kita yang berada di Banyubiru ini berusaha
sekuat-kuat tenaga kita. Tetapi kita sudah berjanji kepada diri sendiri
bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Tetapi
ia tidak puas dengan jawaban-jawaban itu. Betapa pun juga, maka dalam
kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya ada
disampingnya.
Kebo Kanigara melihat perasaan yang tergores di hati Arya Salaka. Maka katanya, “Arya.
Marilah kita mencoba menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya aku sendiri
sangat gelisah atas hilangnya Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah
orang-orang yang hanya dapat meratap. Aku sendiri sudah tentu akan
berusaha untuk menemukan anak itu. Dan aku akan berterima kasih
seandainya Ki Ageng Gajah Sora, beserta kekuatan-kekuatan yang ada di
Banyubiru untuk membantunya. Namun dengan sepenuh hati aku tidak pernah
meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. Apalagi kepada Banyubiru
sebab hal yang demikian itu akan dapat terjadi, kapan saja dan dimana
saja. Karena itu, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri dan Banyubiru.”
Arya Salaka masih belum menjawab.
Dicobanya untuk mencari alasan yang sebaik-baiknya, agar orang-orang
lain tidak mau mengerti, kenapa ia berkepentingan akan hadirnya Mahesa
Jenar. Sebenarnya Arya Salaka pun menyadari, apa yang dapat dilakukan
oleh gurunya itu. Gurunya tidak melihat pada saat Endang Widuri itu
hilang. Kalau Kebo Kanigara, ayah gadis itu sendiri yang sedang berada
di Banyubiru, tidak segera dapat menemukannya, apalagi Mahesa Jenar.
Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa tingkat kesaktian gurunya tidak akan
dapat melampaui Kebo Kanigara itu. Meskipun demikian, perasaannya selalu
mendesaknya supaya memberitahukan peristiwa itu kepada gurunya.
Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi
hening sepi. Angin malam yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di
halaman. Dikejauhan terdengar lamat-lamat suara anjing liar di
lereng-lereng bukit sedang berjuang berebut makanan.
Melihat daun-daun sawo itu yang
bergerak-gerak itu, tiba-tiba bulu kuduk Wanamerta berdiri. Meskipun ia
tidak takut, namun apabila teringat bahwa ia pernah melihat daun-daun
itu bergetar, dan kemudian terjunlah seseorang yang menamakan dirinya
Wadas Gunung, hatinya masih saja berdesir. Untunglah bahwa kekuasaan
Yang Maha Kuasa ternyata telah menyelamatkan Banyubiru.
Dalam keheningan itulah kemudian terdengar Arya Salaka
berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar kata demi kata. “Ayah.
Aku tidak ingin mengganggu paman Mahesa Jenar. Aku sudah cukup menerima
perlindungan dan bahkan apa saja yang ada pada paman Mahesa Jenar itu.
Ilmunya dan ajaran-ajaran yang sangat berguna. Tetapi karena itulah
barangkali yang telah mengikat aku dalam satu sikap, seakan-akan
semuanya tergantung kepada paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih
akan memberitahukan hilangnya Endang Widuri kepada paman Mahesa Jenar,
maka hal itu pasti juga karena terpengaruh oleh perasaanku itu. Tetapi
seandainya demikian, seandainya aku masih harus mengganggu guru,
mudah-mudahan kali ini untuk yang terakhir kalinya. Dan biarlah aku
hanya sekadar memberitahukan akan kehilangan itu. Kalau paman Mahesa
Jenar masih belum sempat berbuat sesuatu, biarlah guru tidak usah datang
ke Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat merasakan apa yang sedang bergolak didalam dada
anak itu. Anak itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila gurunya
bertanya kepadanya, kenapa hal itu tidak diberitahukannya. Karena itu,
maka akhirnya Ki Ageng Gajah Sora itu berkata. “Arya. Kalau kau akan
memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat, hanya sekadar
memberitahukan. Jangan sekali-kali kau mengharap pamanmu itu datang
kemari apabila tidak atas kehendaknya sendiri.”
Arya kemudian mengangkat wajahnya. Ia
menjadi bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya
setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya akan
bertambah. Namun di samping itu timbul pula perasaan malunya, bagaimana
nanti kalau gurunya itu menganggap bahwa ia masih saja tidak mampu
berbuat sendiri.
Tetapi kali ini ia memandang kejadian itu
sangat pentingnya. Endang Widuri telah melakukan banyak hal dalam
lingkungan bersama dengan gurunya dan Rara Wilis. Maka mau tidak mau,
pasti ada sesuatu ikatan yang menghubungkan mereka. Sehingga tidaklah
akan berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada gurunya.
Namun Kebo Kanigara agaknya menjadi kecewa atas keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Ki Ageng, aku akan sangat berterima kasih atas segala susah payah yang telah Ki Ageng lakukan. Tidak saja pada saat-saat anakku satu-satunya itu hilang. Tetapi
selama ini, aku telah mendapat tempat yang sangat baik di Banyubiru.
Karena itu tidak sewajarnya kalau aku akan selalu terus menerus
membebani Ki Ageng dengan persoalan-persoalanku. Kini persoalan
hilangnya Widuri. Juga terhadap Mahesa Jenar yang selama ini hampir
tidak pernah dapat menikmati hari-hari yang tenang. Karena itu, biarlah
aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi penghargaan atas segala
bantuan Ki Ageng, namun adalah menjadi bubuhanku bahwa Endang Widuri
harus diketemukan.”
“Tidak paman,” tiba-tiba Arya menyahut. “Tidak saja paman, tetapi kami, kita semua kebubuhan mencarinya. Juga paman Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa ini.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora menyambung, “Arya
benar, kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban,
disamping sebagai pernyataan terima kasih atas apa saja yang pernah
kakang lakukan di Banyubiru dan Pamingit. Dan apa yang pernah dilakukan
oleh Endang Widuri sendiri.”
Kebo Kanigara sudah barang tentu tidak dapat menolak uluran tangan itu. Maka jawabnya, “Terima kasih Ki Ageng.”
Sekali lagi pendapa itu diterkam oleh
kesepian. Sekali-kali Wanamerta melihat daun-daun sawo bergoyang-goyang.
Dan sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi ketika ia melihat
daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka katanya di dalam hati, “Hem. Angin yang nakal telah menggodaku.”
Dalam keheningan itu tiba-tiba mereka
mendengar derap kuda di antara desir angin malam. Beberapa orang yang
mendengar suara itu segera mengangkat wajah mereka. Dan mereka
sependapat bahwa suara itu adalah suara serombongan orang-orang berkuda
yang telah memasuki alun-alun. Namun karena mereka tidak mendengar suara
kentongan dan tanda-tanda yang lain, maka suasana di pendapa itu masih
tetap dalam ketenangan.
Beberapa saat kemudian, para penjaga
regol telah menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki halaman.
Namun ketika mereka melihat para penumpangnya, maka mereka segera
menganggukkan kepalanya sambil mempersilakan para penunggang kuda itu
untuk masuk.
“Siapa?” terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya.
“Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya,” sahut orang yang berdiri di dalam gardu.
“Oh”, desis Ki Ageng. Dan orang-orang yang berada di pendapa itu pun segera berdiri menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.
Sebelum duduk, Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya, “Bagaimana dengan Endang Widuri?”
Ki Ageng Gajah Sora menggeleng, “Belum kami ketemukan.”
“Hem” terdengar seseorang
menggeram. Ketika Ki Ageng Gajah Sora berpaling kepada orang itu, maka
dilihatnya Wulungan menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia berguman, “Angger
Widuri telah menyelamatkan aku. Ketika Adi Galunggung menjadi gila dan
menaburkan pasir kemataku pada saat kami berkelahi, maka nyawaku telah
berada di ujung pedangnya. Namun untunglah, angger Widuri berhasil
mencegahnya, sehingga akhirnya aku pun selamat.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dipersilakan tamunya duduk di pendapa itu pula.
Pembicaraan tentang Widuri menjadi
semakin riuh. Semua orang di pendapa bertekad untuk menemukannya. Bahkan
Ki Ageng Lembu Sora berkata, “Aku dapat mengerahkan setiap orang di Pamingit untuk ikut serta mencarinya, kakang.”
“Terima kasih” jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Tetapi Kebo Kanigara masih saja
menundukkan kepalanya. Pembicaraan yang didengarnya tentang anaknya
benar-benar telah mengharukannya, sehingga malahan ia tidak dapat
berkata apa-apa tentang itu.
Beberapa orang yang sempat menatap
wajahnya menjadi terharu pula. Widuri adalah satu-satunya kawan
hidupnya. Bahkan hidupnya sendiri agaknya tidak sedemikian menarik
dibanding dengan hidup anaknya itu. Anak satu-satunya yang akan dapat
menjadi penyambung masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu hilang.
Hilang seperti tenggelam dalam kekelaman malam.
Malam itu orang-orang yang berkumpul di
pendapa Banyubiru, sama sekali tidak dapat menarik kesimpulan apa pun
tentang hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak dapat menolak, bahwa
besok Arya Salaka akan mengirim utusan ke Gunungkidul untuk
memberitahukan hilangnya Endang Widuri dari Banyubiru.
Malam itu pun berjalan menurut
ketentuannya sendiri, sama sekali tidak menghiraukan kerisauan hati Arya
Salaka yang berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya menjadi
gelisah, marah dan bermacam perasaan lagi bercampur baur di dalam
dadanya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya.
Angan-angannya hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah yang akan
dipersalahkan atas hilangnya Widuri. “Seandainya aku tahu siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun lagi. Aku bunuh dengan tanganku.”
Anak muda itu menjerit di dalam hatinya. Tapi tak seorang pun yang
dapat memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang
Widuri.
Akhirnya Arya Salaka itu tidak betah lagi
tersekap di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar. Lewat
longkangan gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.
Tiba-tiba Arya Salaka itu berdesir.
Dilihatnya sesosok bayangan bergerak di halaman belakang rumahnya. Cepat
seperti kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah bayangan itu.
Namun sesaat ia kehilangan jejaknya. Tetapi Arya Salaka adalah seorang
anak muda yang terlatih dalam menghadapi segala macam persoalan. Cepat
ia berjongkok dan memasang telinganya baik-baik. Namun ia masih belum
mendengar sesuatu.
Alangkah terkejutnya hati anak muda itu,
ketika tiba-tiba ia melihat bayangan yang dikejarnya, telah meloncat
pagar halamannya yang cukup tinggi itu.
“Gila” desisnya. Terdengarlah
giginya gemeretak karena marah. Tetapi ia tidak mau kehilangan bayangan
itu, meskipun disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat berbuat serupa
itu. Meloncat pagar yang sedemikian tingginya hampir tanpa bersuara
adalah suatu pekerjaan yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun
berlari ke arah bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia masih
melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman dan kemudian
masuk menyuruk ke dalam rimbunnya semak-semak.
Meskipun demikian Arya pun berlari
menyusulnya. Sesaat ia masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara
desah langkah bayangan itu serta batang-batang yang terdengar. Bahkan
akhirnya Arya sempat melihat orang itu meloncati parit dan berlari ke
tengah-tengah rumpun bambu.
Dengan segenap kemampuan yang ada
padanya, maka Arya mempercepat larinya. Diterobosnya rimbunnya
rumpun-rumpun bambu itu tanpa menghiraukan apa saja yang dapat terjadi
atasnya. Tetapi kali ini ia gagal. Bayangan itu seakan-akan lenyap
begitu saja di tengah-tengah rumpun bambu itu. Dengan penuh kemarahan
Arya mencarinya, menghentak-hentakkan setiap batangnya, bahkan beberapa
batang telah dipatahkannya dengan suara yang berderak-derak. Namun
bayangan itu benar-benar telah hilang.
Suara berderak bambu-bambu patah itu,
telah mengejutkan beberapa orang disekitarnya. Bahkan ada pula di antara
mereka yang keluar rumah dengan obor-obor di tangan.
Ketika Arya Salaka melihat obor-obor itu, maka terdengarlah ia berteriak. “Bawa obor itu kemari.”
“Siapa kau?” orang yang membawa obor itu bertanya.
“Arya Salaka” sahut Arya.
“Oh, kaukah itu ngger”
Orang yang membawa obor itu kemudian
berlari-lari ke arah suara Arya Salaka. Orang itu terkejut melihat Arya
berada di tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam yang gelap. Karena
itu maka dengan serta merta orang itu bertanya. “Hem ngger. Kenapa angger berada di dalam rumpun bambu di malam buta? Apakah angger tadi di gondol wewe?”
Arya menggeram, “Omong kosong. Aku tidak dicuri oleh kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan obormu itu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka yang berdiri di tengah-tengah rumpun bambu itu.?
Karena orang itu tidak mau mendekat, maka
dengan jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun itu dan merampas
obor yang masih menyala-nyala sambil berkata, “Aku bukan anak gendruwo. Aku Arya Salaka.”
Kemudian tidak hanya orang itu saja yang
keluar dari rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang dari rumah yang
satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena itulah maka di bawah
rumpun bambu itu kemudian menjadi ribut. Beberapa orang bertanya-tanya,
apakah yang sedang dicarinya.
“Orang” jawab Arya. “Aku
mengejar seseorang yang memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di
dalam rumpun bambu ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang.”
Beberapa orang kemudian mengucapkan
kata-kata yang tidak jelas di dalam mulutnya sambil gemetar. Bahkan
salah seorang berbisik, “Itu adalah Kiai Jenggot ngger. Jangan dicari lagi.”
“Bohong. Aku melihatnya di halaman rumahku. Bukan Kiai Jenggot. Tetapi seseorang.”
Berita itu pun kemudian menjalar sampai
ke gardu penjagaan regol rumah Arya Salaka, dan penjaga gardu itu
melaporkannya ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang terbangun kemudian
tidak saja Ki Ageng Gajah Sora, namun juga Ki Ageng Lembu Sora, beberapa
orang pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka bersama-sama pergi, ke
rumpun bambu di mana orang yang dikejar oleh Arya Salaka itu melenyapkan
dirinya.
Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu
telah menyala lebih dari sepuluh buah obor. Semua orang berusaha untuk
ikut mencari orang yang telah bersembunyi di bawah rumpun bambu itu.
Tetapi orang itu tidak dapat diketemukan.
“Aneh” desis Arya Salaka. “Aku
telah mengejarnya, sedang jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti,
bahwa orang itu menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba ia telah
hilang.”
Semua orang menjadi tegang. Apakah
perisitwa ini ada hubungannya dengan hilangnya Widuri? Tetapi kalau
demikian, maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki Ageng Gajah Sora?
Tanpa mereka sengaja maka sebagian dari
mereka segera menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal yang gaib, yang
tidak dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki Ageng Gajah Sora, Lembu
Sora, Wanamerta segera menghubungkannya dengan keris-keris Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.
“Apakah masih ada yang menyangka bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru?” berkata mereka di dalam hati mereka. “Seandainya demikian, siapakah yang masih akan mencoba mencurinya?”
Yang paling mungkin adalah mereka,
sisa-sisa dari gerombolan hitam yang masih belum punah benar. Tetapi di
antara mereka, sudah tidak ada seorang pun yang akan mampu mengganti
kedudukan pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apabila ada
pendatang-pendatang baru yang akan merebut kedudukan golongan itu.
Setelah puas mereka mencari, dan ternyata
mereka tidak menemukan apa-apa, maka segera mereka kembali ke rumah Ki
Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di sekitarnya kembali pula ke
rumah-rumah masing-masing sambil bergumam. “Hem, Kiai Jenggot itu kini mengganggu lagi.”
Kembali di pendapa Banyubiru, beberapa
orang berkumpul membicarakan keanehan yang baru saja di lihat oleh Arya
Salaka. Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah
Sora. “Arya, apakah kau benar-benar melihat seseorang, atau hanya
karena hatimu yang sedang gelap itu saja, maka kau seolah-olah melihat
seseorang di halaman ini?”
“Aku melihat sebenarnya ayah”, jawab Arya. Namun tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia merasa bahwa ia melihat seseorang.
Melihat keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah Sora, “Atau sebuah mimpi yang buruk?”
Arya menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata. “Marilah kita lihat.”
Arya tidak menunggu jawaban dari siapa
pun. Segera ia turun ke halaman dan menyuruh beberapa orang penjaga
menyalakan obornya. Ayahnya, pamannya, Kebo Kanigara dan orang-orang
lain segera mengikutinya. Mereka pergi ke halaman belakang dengan obor
di tangan.
Beberapa saat kemudian terdengar Arya itu berteriak. “Inilah ayah. Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas kakiku sendiri?”
Semua orang kemudian mendekatinya. Di
bawah dinding mereka melihat beberapa berkas bekas kaki. Seberkas adalah
kaki Arya Salaka, sedang beberapa langkah di sampingnya diketemukan
pula seberkas telapak kaki. Salah satu dari berkas-berkas itu adalah
kaki orang yang dikejarnya.
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka kini percaya bahwa seseorang telah memasuki halaman ini tanpa
diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara masih perlu menempatkan
beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.
“Aneh” gumam mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal itu sangat mengherankan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.
Malam itu, kemudian hampir tak seorang
pun dari mereka yang berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur. Mereka
mondar-mandir saja kesana kemari. Meskipun kemudian Lembu Sora masuk
juga ke gandok wetan, namu orang itu tidak juga dapat tidur. Sedang Kebo
Kanigara masih belum beranjak dari tempatnya di pendapa Banyubiru.
Hanya kini ia duduk bersandar tiang. Pandangan matanya jauh menyusup ke
dalam gelapnya malam, menyentuh ujung pepohonan di kejauhan. Gelap.
Malam itu semakin gelapnya.
Ketika ia melihat Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk di sampingnya, maka terdengar Kebo Kanigara itu bertanya lirih. “Kenapa kau tidak membangunkan seorang pun Arya.”
Arya duduk dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya, “Aku tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku hanya mengharap untuk dapat menangkapnya.”
“Orang itu bukan orang kebanyakan.
Sangat berbahaya bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki sesuatu yang lebih
berbahaya dari Sasra Birawa.”
Arya menundukkan kepalanya. Kata-kata
Kebo Kanigara ittu dapat dimengertinya. Namun ia benar-benar tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat banyak.
Demikianlah malam itu Banyubiru diliputi
oleh suasana yang aneh. Mirip dengan suasana yang pernah mereka alami
sebelum Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat Banyubiru. Demikian
pula suasana di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Dahulu mereka juga berjaga di
pendapa itu. Dahulu mereka duduk dengan kesiagaan penuh di pendapa, di
luar pendapa bahkan beberapa orang berjaga-jaga di halaman belakang.
Namun keris-keris yang mereka simpan ternyata lenyap pula.
Gajah Sora menarik nafas. “Hem”, desahnya “Waktu
itu ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan pusaka-pusaka
itu. Tetapi sekarang siapa? Apakah Panembahan itu pula?”
Gajah Sora itu menggeleng dengan
sendirinya Panembahan Ismaya tidak akan membuat mereka menjadi bingung
lagi tanpa maksud-maksud tertentu yang tidak mereka mengerti sebelumnya.
“Apakah kali ini juga terkandung maksud seperti itu?”
Namun tak seorang pun yang dapat duduk
dengan tenang. Wanamerta pun menjadi gelisah. Bantaran, Penjawi, Jaladri
berjalan hilir mudik di halaman dengan pedang di pinggang
masing-masing. Bahkan Jaladri tidak lupa pula membawa senjatanya yang
aneh, canggah, tombakbermata dua.
Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora
benar-benar di kuasai oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan
suasana peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti siapakah musuh yang
harus mereka hadapi.
Malam itu pun semakin lama menjadi
semakin tipis. Ketika di timur telah membayang warna merah, maka
terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang terakhir
kalinya. Kabut yang tebal turun membawakan udara yang sangat dingin.
Sehingga kepekatan malam itu pun kemudian disusul dengan kabut yang
keputih-putihan memagari pandangan. Meskipun malam telah hampir lenyap,
namun lereng Telamaya itu kini seakan-akan berselimut dengan kabut yang
tebal, seperti seorang raksasa yang berbaring kedinginan.
Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa
terjadi sesuatu yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki hari
mendatang dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa yang terjadi pada
malam itu sangat mempengaruhi ketentraman hati para pemimpin Banyubiru.
Pagi itu Arya Salaka telah mengutus tiga
orang untuk menyampaikan kabar tentang hilangnya Endang Widuri ke
Gunungkidul. Arya telah berpesan dengan sungguh-sungguh, bahwa mereka
hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala sesuatunya kemudian
terserah kepada Mahesa Jenar sendiri, meskipun di dalam hati Arya
mengharap agar gurunya itu mengambil keputusan untuk datang ke
Banyubiru. Arya yang masih muda itu sama sekali tidak dapat
mempertimbangkan persoalan-persoalan lain yang menyangkut kehidupan
gurunya.
Demikianlah maka ketiga orang itu, yang
dipimpin oleh Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki
kuda berderak-derak memecah kesunyian pagi. Beberapa orang melihat
Bantaran memacu kudanya secepat angin. Maka timbullah beberapa
pertanyaan di hati mereka. Ke manakah Bantaran sepagi ini?
Sepeninggalan Bantaran orang-orang di
Banyubiru masih meneruskan usaha mereka mencari Endang Widuri. Arya
Salaka sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru. Namun Endang Widuri
benar-benar lenyap. Karena itu, maka Arya Salaka menjadi gelisah, cemas
dan marah yang meluap-luap.
Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah,
seandainya ia harus mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka
Banyubiru sekalipun. Sebab ia akan dapat mempergunakan waktu yang
panjang. Seminggu, sebulan bahkan setahun dua tahun sebelum benda itu
diketemukan. Namun tidak akan dapat terjadi demikian dengan Endang
Widuri. Ia tidak dapat menunggu sebulan, dua bulan atau lebih. Sebab
dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi dengan gadis itu.
Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi dengan pusaka-pusaka atau
benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa Endang Widuri bukanlah benda-benda
itu.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka
terasa sekali pada Arya Salaka, bahwa ia tidak sekadar kehilangan tamu
atau kawan bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan hilangnya Endang
Widuri, terasa ada sesuatu yang hilang pula dari hatinya. Sesuatu yang
tidak jelas dapat dikatakannya. Namun dapat dirasakannya.
Ibunya, Nyai Ageng Gajah Sora menjadi
sangat bersedih pula. Bukan saja karena Widuri sudah menjadi sangat
cumbu padanya. Namun sebagai seorang ibu, segera ia dapat melihat, luka
yang tergores di hati anaknya. Nyai Ageng sangat iba melihat Arya Salaka
kadang-kadang merenungi titik-titik di kejauhan, namun kadang-kadang ia
menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu sering sekali dengan serta
merta meloncat di atas punggung kudanya dan berlari menghambur ke
tempat yang tak diketahuinya, apabila perasaannya mendesaknya untuk
segera menemukan Endang Widuri. Namun kemudian Arya Salaka kembali
pulang dengan wajah yang pedih.Widuri belum diketemukan.
Tidak saja Arya Salaka yang mencarinya
hampir sepanjang hari di setiap hari. Namun Kebo Kanigara pun kemudian
jarang-jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hampir setiap hari
apabila matahari telah terbit ke Timur, Kebo Kanigara segera minta diri
untuk mencari anaknya. Dengan seekor kuda yang dipinjamnya dari
Banyubiru, Kebo Kanigara berputar ke segenap penjuru. Tetapi seperti
Arya Salaka, maka Kebo Kanigara itu pun kemudian pulang seorang diri.
Sehingga akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki Ageng Gajah Sora, “Ki
Ageng. Apabila Endang Widuri tidak segera dapat aku ketemukan, maka aku
akan mohon diri untuk mencarinya. Aku tidak akan dapat mengatakan,
berapa lama waktu yang akan aku pergunakan untuk itu.”
Ki Ageng Gajah Sora menjadi gelisah pula. Namun jawabnya, “Jangan tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru kakang. Kita disini masih berharap untuk menemukannya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang meninggalkan Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah Sora tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Sebenarnya akan sangat menggelisahkan apabila diketahui
bahwa Endang Widuri sudah tidak berada di Banyubiru lagi. Tetapi
bagaimana?
Bahkan kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu
telah sampai pada suatu keputusan, untuk menyebar orang-orangnya jauh ke
luar Banyubiru, di samping para pengawas yang telah di tempatkan di
setiap pintu kota, dan di garis batas. Mungkin Endang Widuri berada di
Demak, di Pajang, Jipang atau Bergota. Namun ia masih menunggu, apakah
yang akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia kembali dari Gunungkidul.
“Biarlah aku menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng” berkata Kebo Kanigara. “Mudah-mudahan tidak terlalu lama, sehingga aku tidak akan terlambat.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mencoba ikut merasakan apa yang menyebabkan Kebo Kanigara
menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi kalau Ki Ageng itu melihat
Arya Salaka menjadi seperti anak yang kehilangan sikap. Sekali-kali ia
berbaring dibiliknya, namun tiba-tiba ia berlari keluar untuk hanya
sekedar duduk di bawah pohon sawo sambil bertopang dagu.
Bantaran yang mendapat tugas untuk pergi
ke Gunungkidul, berusaha melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya. Dengan
kecepatan yang sebesar-besarnya ia memacu kudanya di atas jalan
berbatu-batu. Di turuninya lereng bukit Telamaya, dan kemudian di atas
jalan-jalan ngarai ia menerobos hutan-hutan rindang menempuh jalan yang
telah di ancar-ancarkan. Namun Bantaran itu menyadari, bahwa
perjalanannya bukan perjalanan yang ringan. Sekali-kali ia harus
menempuh belukar yang pepat dan jarang-jarang dilewati orang. Karena
itulah maka di sisi kudanya tersangkut pula sebuah busur dan endong yang
penuh dengan anak panah. Apabila keadaan memaksa, maka dengan senjata
itu ia dapat mempertahankan dirinya dalam jarak yang jauh sambil
berkuda. Namun yang penting baginya apabila mereka harus bermalam di
perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya untuk berburu binatang.
Selain panah-panah itu, dilambungnya
tersangkut pula sebilah pedang panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah
berpisah dari tubuhnya sejak ia menyingkir ke Gedong Sanga.
———-oOo———-
V
Sementara itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai ke Gunungkidul.
Perjalanan yang mereka tempuh adalah
benar-benar perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya mereka
selalu berada dalam perjalanan yang diliputi oleh ketegangan-ketegangan
yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu diliputi oleh sendau
gurau yang riang.
Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang
lebih baik, seperti yang telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada Kebo
Kanigara apabila ia akan menyusul kelak, namun kali ini Sarayuda sengaja
menempuh jalan yang lain. Jalan yang sangat sulit. Tetapi kesulitan itu
benar-benar tidak terasa oleh Rara Wilis. Karena itu, maka perjalanan
mereka kali ini melewati daerah-daerah yang sukar. Mereka ternyata
memasuki hutan-hutan yang pepat. Bahkan kemudian mereka melewati daerah
Gelangan dan menjelujur di kaki bukit Tidar.
Mahesa Jenar yang pernah bertempur di
atas bukit itu melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit kecil itu
dengan kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah menggores di dadanya.
Seandainya pada saat itu, Aji Sasra Birawa yang ada padanya tidak
seimbang dengan Aji Lebur Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng Gajah Sora,
maka entahlah apa yang terjadi. Namun agaknya Ki Ageng Sora Dipayana
benar-benar telah mengukur kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya
waktu itu, dan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam diri anaknya.
Tetapi saat ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah Pangrantunan, namun perjalanan itu mengarah terus ke selatan.
Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke hutan yang cukup lebat. Mentaok.
“Apakah kita akan ke hutan ini Sarayuda?” bertanya Mahesa Jenar.
“Ya” sahut Sarayuda “Jalan yang paling dekat”.
Mahesa Jenar meragukan jawaban itu.
Tetapi ia tidak menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat
jalur jalan yang dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya sampai juga di
Pliridan dan tanpa setahu Mahesa Jenar, tiba-tiba mereka sudah berada di
depan sebuah goa. Mahesa Jenar terkejut melihat goa itu. Goa yang
pernah ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.
“Apakah kau pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar tersenyum. Kemudian katanya, “Entahlah, bertanyalah kepada Wilis.”
Rara Wilis hanya dapat menundukkan
wajahnya. Kenangan itu tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia
adalah seorang gadis. Tanggapannya atas kenangan itu tidak seperti
Mahesa Jenar. Karenanya tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Dan
setetes air mata jatuh dipangkuannya.
Sarayuda dan Mahesa Jenar kemudian
berdiam diri. Tetapi mereka tidak menjadi cemas, meskipun mereka melihat
Rara Wilis itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa gadis itu sedang di
ganggu oleh sebuah kenangan. Kenangan yang menakutkan seperti terjadi
saja di dalam mimpi.
Sebenarnya memang Rara Wilis sedang
mengenangkan masa-masa lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir saja
membunuh dirinya, seandainya tidak ada seorang yang bernama Mahesa Jenar
itu, yang sekarang ini berada di dekatnya sebagai seorang yang telah
merampas segenap hatinya. Di hutan ini pula ia bertemu dengan kakeknya,
Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia hampir di terkam Ular
Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu sudah lampau. Semua pahit
getir penghidupan telah dialami. Bahaya yang dilampauinya tidak saja di
hutan Mentaok ini, namun kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk
merebut kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar.
Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis
yatim piatu.
Di hutan itu, di daerah Pliridan yang
sepi itulah mereka bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka
suatu kenangan yang pahit.
Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan
oleh kehadiran beberapa orang yang bertubuh besar dan bengis. Mereka
dengan serta merta mengancungkan senjata- senjata mereka kepada
rombongan itu.
“Apakah kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin mereka.
“Harta atau nyawa?” gertak mereka.
Sarayuda tertawa. Jawabnya, “Kenallah kalian kepada kami?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya, “Persetan
dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali ini.
Semua pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan buat kami.”
“Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang akan dapat melawan kalian.”
“Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti
membawa beberapa orang pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur.
Pekerjaan ini sudah kami lakukan bertahun- tahun.”
Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin mereka membentak. “Jangan tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin dari para pengawal.”
Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya, “Berapa orangkah jumlah kalian?”
Tiba-tiba sebelum Sarayuda menjawab, maka Mahesa Jenar telah melangkah maju pula. Dengan tenangnya ia berkata. “Jangan membual. Apakah kau sekarang bergabung dengan sisa anak buah Lawa Ijo?”
Pemimpin rombongan itu terkejut. Diamat-amatinya Mahesa Jenar dengan seksama. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
“Sakayon” jawab Mahesa Jenar.
“He?” mata orang itu terbelalak. “Darimana kau tahu namaku?”
“Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah Sima Rodra.”
Orang itu menjadi semakin heran. Namun
ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi
semakin jelas, maka terdengar suaranya parau, “Apakah kau Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya “Kau masih mengenal aku? Kapankah kau melihat wajahku?”
Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar
beberapa kali. Ia ikut dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula
mencegat laskar Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa Jenar
bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam.
Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang berdiri dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya terbata-bata. “Mahesa
Jenar, kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah rombonganmu. Karena
itu, maka aku mencegatnya. Aku sangka bahwa rombongan ini adalah
rombongan para pedagang yang akan menyeberangi hutan ini.”
“Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja kalian lakukan setelah lurahmu mati?”
Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?”
Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia
berpaling. Dilihatnya beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi ada di
antaranya yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak buah Sima Rodra
dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi oleh
ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya, mencoba untuk
masih menunjukkan kegarangannya. “Siapakah orang itu kakang Sakayon?”
“Mahesa Jenar” jawab Sakayon gemetar.
“Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut kepadanya.”
“Bukan saja anak gendruwo” jawab salah seorang di antara mereka bekas anak buah Lawa Ijo. “Tetapi anak malaekat.”
Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar Sakayon menjawab. “Aku percaya Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”
“Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan.” berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti. “Kami
mendapat tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih saja
mengacau di hutan Mentaok ini. Kami harus membersihkan hutan Mentaok,
Tambak Baya dan daerah-daerah Beringan dan Pacetokan, seluruhnya.”
“Ampun. Kami minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi semakin gemetar dan cemas.
“Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”
Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat
apakah yang akan dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia
menunggu Mahesa Jenar berkata, “Sakayon. Kami mendapat tugas untuk
memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji untuk
menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni. Namun kalau
tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih lama lagi. Kemana saja
kalian bersembunyi, maka kami pasti akan dapat menemukan. Kami bawa
kalian ke Demak dan kalian akan kami adu melawan harimau di alun-alun
sebagai tontonan.”
Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”
Mahesa Jenar tertawa. Katanya, “Aku
sudah mengenal watak kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian
menghadapi bahaya. Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini.
Kembalilah kerumahmu masing-masing, dan cobalah hidup seperti
orang-orang lain. Mereka tidak perlu mengalami kegelisahan seperti yang
selalu kau alami. Dengan demikian maka kau akan dapat hidup tenteram.”
Sakayon menggeleng. Jawabnya, “Aku sudah tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang kabur kanginan.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia berkata, “Sakayon.
Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan adalah daerah yang
ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau dapat mengusahakan tanah
ini. Dengan tekad yang baik, kau akan dapat berhubungan dengan
orang-orang lain untuk mengadakan tukar menukar hasil tanah ini dan
mungkin hasil hutan yang dapat kau usahakan.”
Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terjadilah suatu pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar itu
tanpa sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam
hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam hatinya, “Mahesa Jenar berkata sebenarnya.”
Ditambah lagi dengan rasa takutnya atas ancaman Mahesa Jenar untuk
membawanya ke Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang
ia percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat berbuat
demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi.
Karena itu maka katanya. “Mahesa
Jenar. Aku berterima kasih atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk
mengusahakan tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami
dengan tekad yang baik. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu Sakayon sambil berkata. “Sarungkan senjatamu.”
Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan goloknya sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di
dengarnya seorang daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh
tinggi tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan lantang. “He, kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan cengeng.”
Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya. “Jangan melawan Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”
Anak muda yang bernama Gendon itu sama
sekali tidak puas. Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling
penting di dalam gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju
sambil menunjuk wajah Mahesa Jenar. “He apakah kau memiliki guna-guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk kepada kemauanmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak. Aku tidak dapat merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.”
Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah Sakayon, namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata Mahesa Jenar.
Maka dengan lantangnya ia berkata, “Kalau kau tidak ikut kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini sendiri. Ayo, siapa ikut aku?”
Beberapa orang di antara mereka melangkah
maju. Namun mereka menjadi heran, justru orang-orang lama, anak buah
Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka
bangga-banggakan sama sekali tidak bergerak. Bahkan diantaranya berkata.
“Jangan”.
Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama
ini selalu berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia menunjuk
wajah Mahesa Jenar. “Ayo, berikan semua harta bendamu.”
Mahesa Jenar memandang anak muda itu
dengan sedih. Anak itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap
yang meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam lingkungan yang
kelam.
Karena Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar anak itu membentak kembali. “Ayo. Cepat”.
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk Sarayuda ia berkata. “Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula di lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?”
Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya. “Tidak peduli. Serahkan harta benda yang kau bawa.”
Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika
ia berpaling, masih dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda duduk
dengan tenangnya. Mereka sama sekali hampir tidak tertarik pada
gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat dilakukan
oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah meraba hulu pedang
mereka. Hanya Rara Wilis lah yang kemudian bangkit berdiri sambil
berkata. “Sakayon. Apakah kau tidak mau membawa orang-orangmu pergi.”
“Oh” Sakayon tergagap.
Namun Gendon itu berteriak. “Ha.
Ternyata ada seorang gadis pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak
kurang cantiknya. Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya, “Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu rombongan ini.”
“Ah” desah Rara Wilis. Ia tahu
Mahesa Jenar akan menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya.
Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata. “Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian, asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa pula.”
Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu berkata. “Pergilah anak muda. Pergilah.”
Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan pedangnya. “Pergilah.”
Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa Jenar. “Anak itu bukan Jaka Soka Wilis.”
“Ah” kembali Rara Wilis mendesah.
Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan melawannya.
Sarayuda yang membiarkan pedangnya
ditarik oleh Rara Wilis tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya
Rara Wilis yang paling tidak senang melihat gerombolan itu, sebab
ingatannya tentang gerombolan semacam itu, benar-benar mendirikan bulu
romanya. Karena itu maka segera ia berusaha untuk mengusirnya.
Tetapi ketika Gendon menyadari
keadaannya, ia menjadi sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia
menyerang Rara Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk
menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal yang tak di sangka-sangka.
Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan pedangnya dalam putaran untuk melibat
golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu. Pedang Rara Wilis itu
seakan-akan melilit goloknya dan sebuah tekanan yang kuat telah
melemparkan goloknya beberapa langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu
terasa ujung pedang Rara Wilis melekat di dadanya.
Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak keubun-ubunnya.
Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar Mahesa Jenar mendahului, “Bagaimana? Apakah kau benar-benar ingin membawa gadis itu?”
“Tidak-tidak” suara Gendon menjadi gemetar seperti tubuhnya. Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun kemudian ia berkata, “Aku minta ampun untuknya, Mahesa Jenar.”
“Pergi, pergi” berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri saja dimukanya.
“Baiklah” sahut Sakayon, “Kami akan pergi. Dan kami akan mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.”
“Cobalah” sahut Mahesa Jenar. “Hari depanmu masih cukup panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh dan jiwamu.”
Sakayon itu pun kemudian mengajak
kawan-kawannya pergi. Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan
wajahnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan seorang
gadis garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari Sakayon.
Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu. Terutama Mahesa
Jenar dan Rara Wilis.
Ketika kemudian malam itu telah lampau,
dan matahari pergi dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki
langit, maka rombongan itu berangkat pula meneruskan perjalanan mereka.
Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak Baya, tetapi mereka
menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke Gunungkidul.
Di iringi oleh angin pagi, dan kicau
burung-burung liar, mereka berjalan dengan hati yang terang seperti
terangnya matahari. Langit yang biru bersih sekali membayang di
sela-sela dedaunan di hutan yang semakin lama menjadi semakin tipis.
Sehingga akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang rumput
dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan sehari penuh,
maka mulailah mereka sampai pada lembah-lembah yang subur di daerah
Gunungkidul.
“Kami tidak akan bermalam lagi” berkata Sarayuda. “Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan malam ini juga.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh
tanaman-tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang cukup
jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang terapung di
tengah-tengah lautan yang hijau.
“Daerah yang luas dan terpencar-pencar.” berkata Sarayuda ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang bersungguh-sungguh.
“Ya” sahut Mahesa Jenar. “Dimanakah induk Kademanganmu.”
Sarayuda tertawa. “Masih jauh,” jawabnya. “Kami harus mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, disanalah aku tinggal.”
“Kenapa tidak di lembah yang subur ini?”
“Dari bukit ini aku dapat melihat,
hampir seluruh tanah-tanah ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit.
Bukankah Ki Ageng Gajah Sora membuat rumahnya di lereng Telamaya pula?
Tidak di ngarai?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya kembali. Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas bukit
benar-benar menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit benar-benar
menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas
penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka yang berada di
lereng menjadi lebih baik.
Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki
induk desa Kademangan Gunungkidul. Demikian mereka mendekati pedesaan
itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih dahulu
menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka
mendengar kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya
memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di Kademangan
Gunungkidul.
“Orang-orang di Gunungkidul telah
berpesan kepadaku, apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan
Rara Wilis, maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan itu
adalah tanda untuk itu.”
“Hem. Terlalu berlebih-lebihan” gumam Mahesa Jenar.
“Bukan maksudku. Mereka menganggap
bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah
Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar, bahwa Rara
Wilis telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang pernah
merobek-robek hati ibunya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia
menjadi terharu ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh.
Betapa pun gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan yang
berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya. Suara
kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan perasaan yang
melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang terbentang di hadapannya
benar telah menumbuhkan berbagai kenangan. Kenangan tentang dirinya di
masa-masa kanak-kanak, tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya
betapa perempuan yang cantik namun berhati ganas telah merampas ayahnya.
Di kenangnya ketika ia mencoba memanggil ayahnya di rumah perempuan itu
pada saat ibunya sakit. Namun bukan main marah ayahnya kepadanya. Dan
di usirnya seperti anjing di iringi oleh derai tertawa perempuan iblis
itu. Tetapi perempuan itu telah mati. Mati karena ujung pedang yang
diterimanya dari kakeknya, Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya
dikenal dengan nama Ki Santanu.
Dan kini, setelah bertahun-tahun ia
meninggalkan kampung halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu, ia
akan kembali pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah
itu, tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang melambaikan
tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi saja seperti ia memang
harus pergi.
Tetapi ketika kini ia kembali, maka
hampir seluruh penduduk induk Kademangan itu mengelu-elukannya.
Menyambutnya sebagai seorang yang sedemikian penting di Kademangan itu.
“Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan sambutan untukku ini,” desah di dalam hatinya. “Tetapi ibu itu telah meninggal dalam keadaan yang pedih.”
Air mata Rara Wilis itu masih menetes
terus. Dan karena itu maka Mahesa Jenar dan Sarayuda sama sekali tidak
berkata sepatah kata pun juga.
Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh
obor keluar dari induk desa dihadapan mereka. Obor-obor itu berkumpul di
sebuah lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah Sarayuda.
Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang yang kaya
raya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi
berdebar-debar karenanya. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan
bahwa mereka akan mengalami sambutan yang demikian meriahnya. Sambutan
yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan.
Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara
Wilis dan Mahesa Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan kesan
tentang luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka yang sebenarnya tak
akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur Sarayuda telah berusaha.
Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang ikhlas. Dan gadis
itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya.
Demikian mereka memasuki halaman rumah
Sarayuda, maka demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir. Di
pendapa Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang
tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena itu, demikian mereka
melihat rombongan itu memasuki halaman, demikian mereka serentak berdiri
dan turun ke halaman.
Rara Wilis tertegun ketika ia melihat
seorang perempuan muda datang menyambutnya. Seorang yang pernah
dikenalnya dimasa kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini
perempuan itu benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi
dalam pakaian yang cukup baik.
“Kau Rati” sapa Wilis.
Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua lengan Rara Wilis dengan eratnya. “Kau tidak lupa kepadaku, Wilis.”
“Tentu tidak” sahut Wilis. “Kita sama-sama mengalami masa-masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu bahwa hari ini aku akan datang?”
Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda. Katanya, “Kakang Sarayuda memberitahukan kepadaku.”
“Wilis,” berkata Sarayuda. “Rati kini adalah istriku.”
“Oh” suara Wilis terputus.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak dimengertinya bergolak di dalam
dadanya. Dengan cepatnya melintas di dalam angan-angannya, betapa
Sarayuda pernah menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda
binasa dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.
Kini setelah Sarayuda itu melepaskan
niatnya dengan ikhlas, maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain
di masa kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu maka
tiba-tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya
perempuan itu erat-erat.
“Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau akan menemukan kebahagiaan untuk seterusnya.”
Rati pernah mendengar, apa yang terjadi
atas kawannya itu. Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang
berkata dengan jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati sama sekali
tidak berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting baginya,
masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan. Namun masa depan
itu sendirilah yang terlebih penting baginya. Dan ia percaya bahwa
Sarayuda benar-benar telah melepaskan semua hasratnya terhadap gadis
cucu gurunya itu.
Rati itu pun menangis pula ketika Rara
Wilis menangis sambil memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang
bernama Rara Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis. Gadis yang
dipengaruhi oleh segala macam keadaan di masa kanak-kanaknya, sehingga
Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa. Seorang gadis yang
mudah meruntuhkan keharuan.
Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan
Gunungkidul itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai sebuah
perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan
tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan itu
benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan yang sama sekali
tak disangka-sangkanya.
Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak
dapat berkata apa pun dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang,
maka seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat Pandan Alasnya.
Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk berjajar
sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi terharu, ketika
ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan mendapat tempat yang baik di
dalam perjalanan hidupnya. “Mudah-mudahan Wilis dapat menyambung darah keturunan Pandan Alas” katanya di dalam hati.
Demikianlah maka sejak hari itu, Mahesa
Jenar dan Rara Wilis hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka
tidak boleh meninggalkan rumah, meskipun rumah rumah Rara Wilis yang
dahulu masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang keluarganya
meskipun sudah jauh. Namun Sarayuda minta kepada mereka untuk tinggal
bersamanya.
“Rumahku cukup luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda. “Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal digandok kulon.”
“Terima kasih Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa sesuatu berdesir di dadanya. Rumah itu bukan rumahnya sendiri.
Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga,
ia akan tinggal di rumah orang lain pula? tidak dirumah sendiri? Suatu
persoalan yang selama ini belum pernah dipikirkannya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa
selama ini ia telah menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu
pengabdian. Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu, maka Mahesa
Jenar pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari yang akan datang.
Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa perkawinan bukanlah
pertanda bahwa segalanya telah selesai, namun perkawinan juga merupakan
pertanda akan mulainya persoalan-persoalan baru yang tidak kurang
rumitnya.
Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai
seorang gadis tidak dapat melupakan sejenak pun akan hari-hari yang
dijelangnya. Dari Rati ia mendengar, betapa hari-hari permulaan
benar-benar memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis pun merindukan
hari-hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu telah
mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri.
Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda dari yang
penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus lagi bermain-main
dengan pedang, namun harus digenggamnya sebilah pisau dapur untuk
menyiapkan masakannya.
Tetapi tiba-tiba angan-angan itu
digetarkan oleh peristiwa yang benar-benar mengejutkan. Dengan
tergesa-gesa seseorang memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu yang ingin
menemui Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu,
dadanya pun tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu,
siapakah yang datang itu.
“Tiga orang berkuda dari Banyubiru” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menjadi semakin
berdebar-debar. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi.
Tetapi sebagai seorang tamu, ia tidak dapat menerima orang itu tanpa
setahu Sarayuda. Namun Sarayuda segera berkata, “Marilah. Persilahkan mereka kemari. Dimanakah mereka sekarang?”
“Mereka masih di alun-alun,” jawab orang itu. “Seorang anak muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka sebagai penunjuk.”
Orang itu pun kemudian mempersilakan
tamu-tamu itu masuk ke halaman Kademangan. Demikian orang itu memasuki
halaman, desir dada Mahesa Jenar menjadi semakin keras. “Bantaran.” desisnya.
Setelah mereka dipersilakan duduk di
pendapa Kademangan, maka dengan ramahnya Demang Sarayuda bertanya-tanya
tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang mereka
tinggalkan.
“Semuanya baik Ki Demang,” sahut Bantaran. “Perjalananku baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”
“Syukurlah” sahut Demang itu.
Namun Mahesa Jenar melihat sesuatu yang menggelisahkan diwajah Bantaran.
Sehingga setelah mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar yang
segera ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya. “Apakah ada
sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau hanya
sekadar melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak beberapa orang
dari Banyubiru akan berkunjung kemari?”
Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya. Katanya, “Kedatanganku
yang pertama-tama memang hanya sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang
kira-kira akan ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari Banyubiru
akan berkunjung kemari.” Bantaran itu berhenti sejenak. Namun
Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun demikian
dibiarkannya Bantaran berkata terus. “Tetapi di samping itu” berkata Bantaran itu. “Aku mendapat pesan dari angger Arya Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di sini.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah pesan itu?”
“Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah disini dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,” potong Sarayuda.
Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya,
“Sebenarnya aku ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan
pesan itu. Kalau kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku
akan sangat bersenang hati.”
“Baiklah” sahut Mahesa Jenar, “Sarayuda pasti tidak akan berkeberatan.”
Sarayuda itu pun tertawa. “Silakanlah. Mungkin
Mahesa Jenar segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa
pesan itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.”
“Entahlah” jawab Bantaran, “Mudah-mudahan tidak.”
“Nah. Katakanlah” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.
Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya supaya ia dapat mengatakannya dengan baik dan jelas. “Kakang Mahesa Jenar,” berkata Bantaran itu. “Pesan itu sangat pendek. Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,” kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin tidak sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan. “Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah hilang.”
“He?” alangkah terkejutnya
Mahesa Jenar mendengar berita itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga
Sarayuda dan Rara Wilis. Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang
meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis
bertanya, “Endang Widuri puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya” sahut Bantaran.
Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka akan dapat terjadi.
Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar, “Apakah kakang Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?”
“Belum” jawab Bantaran.
“Belum?” ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.
“Ya belum.”
Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar. Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru. “Kenapa anak gadisnya itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat diketemukan?”
Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya, “Apakah yang sudah dilakukan di Banyubiru?”
“Semua orang telah mencoba untuk
mencarinya. Ki Ageng Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya
Salaka dan bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru. Semua
orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru. Semua
jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang Widuri hilang.
Bahkan beberapa orang telah dikirim keluar Banyubiru. Namun Endang
Widuri belum diketemukan.”
“Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?”
“Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo
Kanigara itu mencarinya hampir setiap saat. Hanya pada malam harinya
saja kakang Kebo Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam hari
pun kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya.
Apalagi setelah ia mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya
Salaka.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 29
No comments:
Write comments