Timbullah kemudian persoalan tersendiri
di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di
Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis
sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar.
Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah
mereka sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya
kepada Bantaran. “Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa
Widuri benar-benar hilang?”
“Ya. Semua orang menganggap demikian.” sahut Bantaran.
“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.
“Ada juga dugaan demikian,” jawab
Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri
berkelahi, dan seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di
belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.”
“Bukan main” desis Mahesa Jenar. “Widuri
adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya,
maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”
Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah
juga didengarnya di Banyubiru.
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi.
Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi
gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada
Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya yang
muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang
dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena
hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa
kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.
Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar
tidak akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran
kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar
memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu
sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka
adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari
setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang
dikasihinya.
Lima enam tahun ia mengolah anak itu
supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak
yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk kedudukannya
yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa Arya
Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah
pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena
sebuah persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup
di masa depan.
Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang
bergolak di dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat
diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa
depannya pula.
Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu
beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa
Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar ingin
mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap
mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula.
Namun karena itulah maka ia menjadi
gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan
wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada
Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya
dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka
menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?
Betapa pun sulitnya, namun kemudian
Mahesa Jenar itu pun berkata pula. “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas
berita yang dibawa oleh Bantaran?”
Mahesa Jenar menjadi semakin
berdebar-debar ketika Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat wajahnya.
Namun meskipun demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”
“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula
Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan
kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang.
Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang
dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus
diketemukan.”
“Ya” sahut Rara Wilis.
Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu
pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat
dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya.
Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur
kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan anak
itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau
terbersit pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya.
Tetapi ia sendiri sedang menghadapi
persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang
diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu,
terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera
datang.
Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat
lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus
dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari
kejaran perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.
Karena itu, maka dengan susah payah ia
pun berkata. “Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke
Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”
Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa
Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan
lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera
dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya
berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan sebenarnyalah ia
menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan menjadi
semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang
dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu
tiba-tiba tertutup kembali.
Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat
menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia
mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada
tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan
daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat
mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah
menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan sama sekali bukanlah
kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa Jenar datang
kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga
tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan
selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa?
Orang yang menculiknya itu? Orang itu sama sekali tidak bersangkut paut
dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini.
Lalu bagaimanakah dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang
yang sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa
ia tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar
hati Rara Wilis itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan
pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak
dapat disembunyikan.
“Rara Wilis” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau dapat mengerti.”
Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata
itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya
dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak dapat
mengerti persoalan yang sedang kau hadapi kakang?”
Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata
dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu.
Karena itu maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau
menyetujuinya?”
Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.
Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun
menjawab. “Kakang, aku sama sekali tidak akan bermaksud menghalangi
pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku.
Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui
kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang. Aku pun merasa
kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena aku
terlalu mementingkan diriku sendiri.”
Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia
tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam
mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya
pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang
tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang
disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah
lagu yang rawan.
Sesaat mereka berdiam diri dalam
keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak.
Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam
sikapnya. Tetapi ia tidak menangis.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata,
“Wilis. Aku dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti
perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam
keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati ketenangan ini
setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-guncang oleh arus yang tak
kau ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh
peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan masa
depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali
terakhir.”
“Jangan berjanji kakang”, potong Rara
Wilis. “Aku tidak ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita
jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji
bukanlah satu-satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa
yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing, janji
yang tersimpan di dalam hati itu.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah
orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia
tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk menemukan
keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya.
Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan
janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji pribadi.
Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil
keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan
yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya.
Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan
yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan
perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat
mengerti sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan
yang belum memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup.
Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.
Ki Ageng Pandan Alas melihat pula
kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti
kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat
keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia
akan keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang
keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan
kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri
kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku turut dengan angger ke
Banyubiru.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban
itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula
dengan wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak
tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku ingin
membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku
percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka semakin
cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger
Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
Kata-kata itu berdenyut di dalam dada
Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih
karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak
saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat
penyelesaian.
Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga ikut kakang.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”
“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di Gunungkidul ini.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap
persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan
wajahnya.
Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka
ruangan itu pun menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka
ketika terdengar suara di belakang. “Kakang Demang, kuda kakang telah
disiapkan.”
“Baik” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku akan pergi ke banjar sebentar.”
Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah dinding dan hilang ke pendapa.
Dada Rara Wilis berdentang mendengar
langkah itu, mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka
telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia. Kalau ia
tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia melihat
kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin kesepian. “Apakah aku
menjadi cemburu.” katanya di dalam hati. “atau iri hati?”
Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku akan ikut ke Banyubiru.”
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang
telah banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai
seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-lawannya, dengan
penjahat-penjahat dan dengan penyamun-penyamun, namun ia pernah juga
merasakan duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat
anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang
perempuan yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh
suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang
laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia merasa
kehilangan isterinya. Meskipun kemudian ternyata bahwa ia hanya
berprasangka, seperti Lawa Ijo.
Karena itu, orang tua itu mengerti
perasaan yang tersimpan di dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia
menjawab, “Angger Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah
Wilis ikut serta ke Banyubiru.”
“Hem” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti perjalanan ke Gunungkidul ini?”
Pertanyaan itu pun terdengar pula di
dalam hati Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai
jawabannya. “Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan
kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang tersentuh.
Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin
melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam batas-batas kemampuan yang ada
padanya.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa
menerima permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap kedatangannya
ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang menyenangkan untuk
mempersiapkan masa-masa yang dinanti-nantikannya bersama Rara Wilis.
Demikianlah maka di suatu pagi yang
cerah, bersiaplah sebuah rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul.
Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi
kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu pergi. Beberapa
orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan
Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya sekali
sehingga dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan untuk menculiknya.
Tetapi beberapa orang yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya
seorang gadis di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai
pertanyaan di dalam hati mereka.
Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki
Ageng Pandan Alas ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar
berkata, “Ki Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu
nanti yang menaikimu.”
Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.
Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan
meninggalkan Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di
daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja.
Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Bahwa suatu
ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi.
Ketika mereka sampai di alun-alun kecil
di muka rumah Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa
Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang Sarayuda
dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati isterinya. Mereka
melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu
seakan-akan sama sekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu adalah
senyum kebahagiaan mereka sendiri.
Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu
tampak kepucat-pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu,
maka segera ia masuk kembali ke halaman.
Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa, masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang itu sakit?”
Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.
“Ia tidak sakit,” jawabnya.
“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada dipembaringannya.”
“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”
“Oh” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi.
Tanpa disengaja ia telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu
sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya,
memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-merahan
karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit kapur yang
kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-sawah yang menghijau
segar. Gunungkidul adalah suatu daerah yang bercampur baur.
Ketika kemudian mereka telah melintasi
perbatasan induk Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki
Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas
punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan
katanya perlahan-lahan. “Marilah, mumpung masih pagi.”
Bantaran yang berkuda dipaling depan,
mempercepat kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di
atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara,
menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya
sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya.
Kini mereka menghadapi jalan yang
terbentang memanjang. Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira
panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan
mendaki tebing. Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang
menjorok dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan
dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-jalan
yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang berlawanan.
Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka. Pada saat mereka datang dan
pada saat mereka meninggalkan daerah yang baru sebentar saja disinggahi
sepanjang hidupnya.
Betapa pun panjang jalan yang harus
ditempuh itu, namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti
sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu
akhirnya akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya
jurang dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat,
padang-padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan Gunungkidul
dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.
Setelah mereka menempuh jarak yang
panjang itu, setelah mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka
kemudian melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang
di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.
Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu,
maka hatinya menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang
sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota
Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya. Penduduk yang
rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak tentang kemampuan diri
sendiri. Namun dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha
mereka itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih payahnya kepada
anak cucu mereka.
Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa
asing baginya. Baru beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun
kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti
orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang
ditinggalkannya beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia.
Banyubiru bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang
tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit,
tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di lereng bukit
itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai persoalan.
Ketika Mahesa Jenar melampaui
daerah-daerah perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang
berjaga-jaga. Gardu-gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh
orang-orang yang sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru
sedang berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi kemungkinan
orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru atau sengaja membawa
Widuri keluar untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan
sama sekali tidak berarti. Widuri masih belum diketemukan, seperti
lenyap ditelan lereng-lereng bukit.
Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”
Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”
Bantaran tidak berkata lagi. Mereka
berpacu semakin kencang, seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada
itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”
“Gelap,” sahut Bantaran.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Apakah ia dapat berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan
itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat dilakukannya,
seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga dengan Ki Ageng Pandan
Alas dan Rara Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri, termasuk
orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng
Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak
dapat bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih
mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua ruang di dalam
rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal halaman mereka sendiri.
Mereka mengenal setiap penduduk Banyubiru seperti mereka mengenal istri
dan anak-anak mereka sendiri.
Dan ternyata mereka itu tidak berhasil
menemukan Endang Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi
betapa ia menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat
berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah berhasil
apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat dipecahkannya.
Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat sesuatu.
Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan
kesan yang menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar
telah terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan dirabanya.
Rombongan itu pun meluncur di antara
sawah-sawah dan ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit
Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang
tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang
memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-akan mereka sama
sekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batang-batang
padi dan palawija itu telah menyembunyikan rahasia yang tak boleh
diketahui oleh Mahesa Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang
Widuri yang hilang itu telah disembunyikan pula disana.
Tetapi rombongan itu berpacu terus.
Beberapa orang petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya
satu-satu di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula
untuk menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut
mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan mereka.
Beberapa orang yang melihat rombongan itu
merayapi tebing bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng
Gajah Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan serta
merta. “Bantaran telah kembali?”
“Ya”, jawab orang itu.
“Sendiri?”
“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”
“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka.
Karena itu segera ia menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu.
Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang
selama ini hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke punggung
kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian
dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka melihat rombongan itu masuk
ke halaman.
Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para
penunggangnya segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa
Jenar, tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan
seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya itu pun
segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis. “Selamat datang paman.
Aku menjadi sangat gelisah, seandainya paman tidak datang ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata, “Aku ikut prihatin Arya.”
“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan datang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut
langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan bahkan Ki
Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri
dengan pandangan yang kosong Kebo Kanigara.
Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar
dengan penuh gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan
jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka kepada
Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan memenuhi pendapa
itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa atas keselamatannya
dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka telah bertahun- tahun
berpisah.
Dan sambutan itulah yang menjadikan
Mahesa Jenar semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya.
Seakan-akan Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena
berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi pusat
perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk mengadukan nasib
mereka.
Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir
karenanya, ketika ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu
menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam
kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan Mahesa Jenar itu
terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang
gadis ia merasa, bahwa kali ini ia sama sekali tidak
diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang ingat bahwa ia hadir
pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan subasita, mempersilahkannya
duduk. Namun kemudian perhatian mereka terampas oleh
persoalan-persoalan yang telah menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang
pun lagi yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke
Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu
itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu kepadanya. Mahesa
Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.
Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng
lemah. Dicobanya mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku
terlalu mementingkan diriku sendiri. Disini, Banyubiru kini, sedang
dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat pemecahan. Kenapa
aku tidak sanggup untuk melupakan persoalanku sendiri seperti masa-masa
yang telah lampau? Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”
Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis
berhasil mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia sama
sekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti
masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun seakan-akan tak
ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk
berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa
percakapan mereka hanya semata-mata berkisar kepada persoalan Widuri
yang hilang itu.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak
dapat melupakan kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara
Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng
Gajah Sora. “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”
“Oh, ada. Ada” sahut Gajah Sora
terbata-bata. Ia tidak segera mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga
Mahesa Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai
Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”
“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja disini.”
Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa Jenar masih juga mengingat dirinya.
Karena itu segera ia menyahut. “Baiklah kakang. Lebih baik aku kebelakang.”
Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari
siapa pun. Segera ia bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya
dari kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun
ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang nakal itu.
“Gadis itu harus diketemukan”, desisnya seorang diri.
———-oOo———-
II
Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat
banyak bahan yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka
berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula dari
mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana seorang laki-laki
telah mencukungnya menghilang ke dalam semak-semak.
Persoalan itu menjadi semakin rumit di
dalam hati Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib
Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti
pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencari
anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari Endang Widuri tidak dapat
diketemukan, namun Kebo Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng
Gajah Sora. Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri
namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang malam hari ia
pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah berada di biliknya
pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat
menanyakannya langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang
pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk
menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.
Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.
Ketika hampir semua orang berputus asa,
maka terjadilah suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat
Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang
berkepanjangan.
Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di
Banyubiru, maka tiba-tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari
melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang
itu disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat
berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan membiarkannya
pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan apakah
keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak mau mendekat, bahkan
ketika beberapa orang berusaha mendekatinya, orang itu pun mencoba
berlari.
Dengan sigapnya para peronda itu
mengejarnya. Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga
orang yang mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.
“Siapakah kau?” desak penjaga itu.
Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.
”Siapa” desak penjaga itu.
Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya, “Apakah kepentinganmu dengan namaku?”
Para penjaga itu benar-benar keheranan
sehingga sesaat mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya
bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari Banyubiru. Kami
mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap orang yang berada didalam
wilayah perondaan kami. Karena itu, maka katakanlah siapakah Ki Sanak
dan apakah keperluan Ki Sanak.”
Kembali para penjaga itu terkejut. Orang
yang tak mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah
kalau kau ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya.
Nama itu asing bagi mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula.
“Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di malam hari
begini?”
“Tidak apa-apa”, jawab orang yang ternyata bernama Karebet itu.
“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”
“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”
Para penjaga itu menjadi semakin curiga.
Sehingga kemudian salah seorang daripadanya membentak. “Jangan
mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau
berkunjung ke salah seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau
kunjungi itu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ia bertolak pinggang dan berkata lantang. “Jangan ganggu aku. Biarlah
aku berbuat sesuka hatiku.”
“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin
seseorang akan dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini
ada peraturan-peraturan yang harus ditaati.”
“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”
“Jangan berkeras kepala, Karebet” bentak
seorang penjaga yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing
kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”
“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”
“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami. Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”
“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat
aku,” sahut Karebet lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang
tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah
kakiku, pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”
Para penjaga itu benar-benar menjadi
heran. Apakah orang itu orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun
menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka,
sehingga karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.
Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula. “He, apakah yang akan kalian lakukan?”
“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban
kami, Ki Sanak harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang
sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau tidak, kami
terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah Kepala Daerah Tanah Perdikan
ini.”
Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian berkata sebenarnya?”
“Tentu”
“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku
katakan, bahwa peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku
serta pedang dilambungku.”
Para penjaga itu serentak bergerak maju.
Tetapi Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan
sebuah serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya
bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima penjaga
itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa langkah dan
terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan
tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa punggungnya menjadi sakit,
sehingga karena itu, maka tenaganya sudah jauh berkurang.
Keempat kawannya tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka
berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan mengagumkan.
Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat banyak. Mas Karebet itu
mampu bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar dengan
garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan
yang tiada taranya.
Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan
seorang lagi yang telah hampir tak berdaya itu pun sama sekali bukan
pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak
dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka kini sedang
melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang
sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka mereka pun pasti masih akan
tetap bertempur.
Sehingga dengan demikian perkelahian itu
menjadi semakin seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk
meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang
masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet itu
meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting pula
beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah.
Alangkah marahnya para peronda itu. Namun
tidak banyaklah yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas
serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.
Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan
mereka. Satu demi satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk
bangun kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan dada
mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha, namun tenaga
mereka benar-benar terbatas jauh di bawah kemampuan Mas Karebet itu.
Akhirnya para peronda itu menjadi
benar-benar hampir tidak berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk
berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya.
Sekali-kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka
tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.
Karebet itu berdiri bertolak pinggang.
Ditatapnya wajah para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia
tertawa nyaring. Katanya disela-sela suara tertawanya, “He, katakan
sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati peraturanmu?”
Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun penuh ketegasan. “Ya”
Tetapi kembali terdengar suara Karebet
itu tertawa berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa
peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah tenagaku.
Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku akan tunduk kepada
kalian.”
“Mungkin kau mampu mengalahkan kami”
sahut salah seorang peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus
peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat
menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak untuk
selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati
peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan Banyubiru.”
“Omong kosong” sahut Karebet. “Kau tidak
mau mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada
persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini. Hati
kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera melupakannya.”
“Tidak” sahut peronda yang lain. “Kami
tidak akan dapat melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat
meloloskan diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak
akan terulang kembali.”
Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian
adalah laskar yang baik” katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut
pun kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka
Banyubiru menjadi kuat.”
“Jangan terlalu sombong.”
“Aku tidak sombong. Aku berkata
sebenarnya. Dan kau pun berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak
terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa
saja yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”
“He” para peronda itu terkejut seperti
disengat labah-labah biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka
melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan tadi.
Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau maksudkan?”
“Ya” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”
“Setan” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat. “Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”
“Apakah kau ingin bertempur lagi?”
“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan”
sahut peronda itu. Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan
pedang itu pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya
pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula peronda
itu. “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa.
Kini kami melihat, bahwa seandainya kami melukai dan bahkan apabila
terpaksa membunuhmu, bukan salah kami. Kami tidak biasa berbuat demikian
dalam keadaan yang damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun
keadaan yang tidak bisa pula.”
Karebet mundur selangkah. Katanya,
“Jangan menjadi gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan
senjata. Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai
pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”
“Kami berpijak pada kewajiban kami.”
“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran ini?”
“Hanya ada satu kemungkinan” sahut peronda itu. “Serahkan Endang Widuri.”
“Syaratmu terlalu berat”
“Tidak ada syarat yang lain”
“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”
Sebelum para peronda itu menjawab, maka
Karebet itu pun telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak
terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para peronda
itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak dapat
berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?”
Para peronda itu tidak menjawab. Kembali
mereka mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka
melihat tiba-tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya.
Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka dengan getar
kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah pedang
dari kelima pedang itu telah terlempar jatuh.
“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.
Mereka menjadi semakin marah. Dengan
serta mereka ketiga kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet
tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu
payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun, maka
kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian
lakukan kemudian?”
Para peronda itu menggeram. Namun
kata-kata itu dapat dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi
berlari-larian mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di
antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu.
Akhirnya, para peronda itupun berhenti
dengans endirinya. Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di
tangannya, namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang anak
muda yang aneh itu.
“He para peronda yang baik” berkata
Karebet itu kemudian. “Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan
menjadi pingsan karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah
Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri yang
hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari daerah
Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan. Nanti
beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka Baginda Sultan Trenggana
akan berburu di hutan Prawata. Pada saat itulah gadis itu akan aku
serahkan kepada Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya
Salaka tidak merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah
ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya akan aku
sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang
terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk mengamankan perbuatanku ini.”
Para peronda mendengar kata-kata itu
dengan tubuh yang gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan
kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu
melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira
Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu
sudah seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh.
Apakah dengan demikian, maka Karebet benar-benar telah berbuat
sebaik-baiknya sebagai seorang Wira Tamtama?
Bukan main marah para peronda itu,
sehingga salah seorang dari padanya yang tidak tahan lagi mendengar
kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontarkan pedangnya. Tetapi
dengan tawa yang menyakitkan hati, pedang itu disentuh oleh Mas Karebet
dengan pedangnya pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu,
memberitahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu terlempar jatuh ke
dalam lereng yang terjal.
“Lihatlah bulan yang hampir bulat di
langit. Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda
bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”
Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu,
maka bayangan anak muda yang berdiri di atas batu karang itu
seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu
masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak menemukan
lagi. Jejaknya pun tidak.
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada
para peronda itu. Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang
hilang. Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya.
Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah
dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara parau
peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu, maka sudah
pasti Endang Widuri tidak akan berhasil dikalahkannya. Bukankah anak
gadis itu sendiri mampu bertempur melampaui kita masing-masing. Bahkan
kita berlima sekaligus.”
Yang lain-lain menganggukkan kepala
mereka. Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman.
Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar
itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan mereka. Karena
itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka.
Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh
keheranan dan kekaguman.
“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng” berkata peronda itu.
“Kenapa kalian tidak memberi tahukan
kepada kami? Mungkin kami akan dapat membantu menangkap orang itu,
apabila kami datang bersama-sama.”
“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”
Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Kedatangan mereka benar-benar
mengejutkan. Para penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula.
Dengan serta merta mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”
“Penting sekali” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki Ageng.”
“Malam-malam begini? tidak besok pagi?”
“Terlalu penting.”
“Soal apa?”
“Gadis yang hilang itu.”
“He” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”
“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”
“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”
“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa sekali.”
“Oh” penjaga itu pun sadar, bahwa ia
harus membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke
samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan
Ki Ageng.
“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.
“Kami, para penjaga Ki Ageng.”
“Ada apa?”
“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang itu.”
“He” Ki Ageng Gajah Sora terkejut
sehingga ia terloncat dari pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu
mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah
tergesa-gesa keluar dari dalam biliknya.
Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki Ageng muncul di ambang pintu.
“Siapa yang membangunkan aku?”
Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”
“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang gadis itu.”
Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima
orang peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng
Gajah Sora pun segera menerima mereka.
“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.
“Ya, Ki Ageng” jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.
“Ya” jawab peronda itu.
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan
tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”
Para penjaga itu pun segera membangunkan
tamu-tamu Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah
itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka. Sehingga
sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi suatu pertemuan yang
lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora
Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka
dan Kebo Kanigara beserta beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk
dengan dada berdebar-debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya
dengan suara parau sambil mengusap matanya yang masih agak
kemerah-merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”
Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi
berdebar-debar pula setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang
dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah
seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya kata-kata
Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”
Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan
mengembang. Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah
saktinya dengan Mas Karebet.
“He. Kenapa kau malah tertidur.” bentak Arya Salaka.
Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak. Aku tidak tertidur.”
“Katakanlah”
Salah seorang dari peronda itu pun
kemudian mulai dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan.
Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang
menculik Endang Widuri.
“Hem” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat menangkapnya.”
“Tidak” jawabnya.
“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang itu?” desak Arya tidak sabar.
“Orang itu menyebut namanya”
“He” bukan main terkejut Arya Salaka, dan
bahkan semua yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut
namanya,” suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya.
Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa. Bahkan ia
menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya kepada diri
sendiri. “Siapakah nama orang itu?”
Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia
menjadi ragu-ragu. Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka
akan sia-sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya
sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah pernah
mengenalnya?
Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi jengkel, sehingga ia berteriak. “Siapa namanya he?”
Kembali peronda itu terkejut, dan dengan
serta merta pula ia mengucapkan nama itu, katanya. “Ia menyebut namanya
sendiri Karebet.”
“Karebet” tanpa disengaja Arya Salaka
mengulangi nama itu dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan
mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau bilang.”
Peronda itu mengangguk. “Ya”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi
pendapa. Benar-benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang
Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah mendengar
nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya Salaka,
Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah Kebo Kanigara.
Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram perlahan. “Karebet.”
“Paman” tiba-tiba Arya Salaka itu
berteriak. “Paman Kebo Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat
curang itu justru Karebet. Kenapa?”
Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju.
dengan sabarnya ia berkata. “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit.
Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang.”
“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo Kanigara?”
“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu
Kebo Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi
ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”
“Oh” Arya Salaka menekan dadanya. Dada
itu serasa akan pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya.
Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian,
maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah daripada
dirinya.
Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”
Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin
yang dingin telah menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati
mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.
Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka gemetar. “Sekarang dimanakah Karebet itu?”
“Anak muda itu telah menghilang.”
“Hem” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah kita akan dapat menemukannya?”
“Ya” sahut peronda itu.
“He. Apakah yang kau katakan” Arya Salaka menjadi semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk menemukannya?”
“Ya” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”
“Gila” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”
“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik, Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”
“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”
“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu” sahut orang itu. “Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”
“Itu sudah kau katakan.”
“Ya. ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan
karenanya maka kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu,
maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk
puteranda Pangeran Timur.”
“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.
“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu,
bahwa seandainya Arya Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak
merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar
sapapan. Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya
dengan senang hati.”
“Begitu katanya?” teriak Arya.
“Ya”
Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan
diri. Sambil mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak. “Dimana kau
temui Karebet itu?”
“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”
Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia
meloncat berlari ke belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun
Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu,
segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil kudanya.
Karena itu maka keduanya hampir bersamaan memanggilnya. “Arya. Arya
Salaka.”
Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia
berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya
pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian
terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah
Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti
angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng
Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang
sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa
tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas
Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka
benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.
Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu
duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang
kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo
di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang
pedih.
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah
membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik
nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu
yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa
kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan
sebaik-baiknya.
Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap
itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya
yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau
apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya
hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah
dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua
orang sahabat yang akrab.
“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati
berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun
yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun
bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang
Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang
tua-tua.”
Semakin diangan-angankannya, maka darah
Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi
menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.
Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat
itu. Tempat yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang
berserak-serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran
disana-sini.
Arya Salaka yang marah itu menghentikan
kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung
hitam diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya
gerumbul-gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak
mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan
yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan tajam matanya.
Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang melonjak-lonjak ia
berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya gerumbul-gerumbul yang
rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi
yang dicarinya tidak diketemukannya.
Arya Salaka itu seakan-akan telah
benar-benar kehilangan kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke
atas batu karang sambil berteriak keras-keras. “He Karebet. Jangan
menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita
selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan
perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet………”
Suara Arya Salaka menggeletar memukul
tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di
lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti. Tak
seorang pun yang menyahut.
Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali
lagi ia berteriak. “Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau
akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai
jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan. Karebet……”
Suara itu pun menggelepar di kesunyian
malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk.
Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab
oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan
angin.
Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu
adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain.
Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu
karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan.
Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang
dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan,
berkilat-kilat.
“Arya” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.
Arya yang sedang dibakar oleh
kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara yang telah
dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara
gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas
batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga
dapat ditenangkannya.
“Arya” suara itu didengarnya kembali.
Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar
berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya
di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas punggung
kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
“Arya” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”
Arya masih berdiri di atas batu karang
itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir
lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia
berkata nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera
bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”
“Sabarlah Arya” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita bicarakan soalmu ini.”
Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia
memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu
karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang
hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.
“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang
wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam
malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu.
Selain, tegang.
“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.
“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.
Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya.
“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka itu kemudian menjadi
seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah
dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati
yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia
mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan
menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini.
Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke
rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan
melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang
semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi
dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya.
Arya Salaka menengadahkan wajahnya.
Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia
mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan
sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda
dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka. Mereka
seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas
punggung kuda.
———-oOo———–
III
Ketika matahari mulai melemparkan
cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar
telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan
tergesa-gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya. “Akan
kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”
“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.
“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas
dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam
kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan
kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada
sesuatu keperluan yang mendesak?”
KI Ageng Lembu Sora lah yang kini
memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa
yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab
juga. “Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak
akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka
menghadapi Karebet di hutan Prawata.”
“He” Mahesa Jenar benar-benar terkejut
seperti disambar petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil
keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar
karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya
saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-sungguh itu. Baru
kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata, “Ki Ageng apakah
itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana
pula?”
“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana
tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan
pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan lama
termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan Pamingit dari
genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau. Apakah
sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak
orang lain?”
“Hem” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki
Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun
dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu
untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng
Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah
dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan
hati Arya Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah
aku mencoba menemui kakang Gajah Sora”.
Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa
Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak
sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet? Tetapi
Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia
mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih
orang-orang yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata
nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka
sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.
Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari
Ki Ageng Gajah Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama
dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah membara sedang
tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna
kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.
Ketika mereka melihat Mahesa Jenar
mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya
duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya
yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia
menundukkan wajahnya.
“Kakang” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.
“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.”
Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung.
Ditatapnya pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya.
Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang
bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.
Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”
Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak
beberapa kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak.”
Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka
mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan.
Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”
Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan
wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan
jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?” Pertanyaan
itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah
anaknya yang merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak
satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah
perdikan ini. Bahkan, ia dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?
Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab,
maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka,
katanya, “Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira
dapat terjadi dengan keputusan itu?”
Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab. “Tak ada pilihan lain paman.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah mencobanya?”
Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat dicoba?”
“Arya” berkata Mahesa Jenar. “Dalam
persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau
ternyata Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya
menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak
sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan
ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan
menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu macam kemungkinan
yang lain.”
“Tidak paman”, jawab Arya tegas. Mahesa
Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap
demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah
jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran
Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani
mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah
itu bukan merupakan penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri?
Tetapi hal itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman,
seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan merasa
dihinakan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata,
bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena penghinaan yang
dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing
kemarahan Arya Salaka?
Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya.
Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa
Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian,
ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu.
Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir
dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu
tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu. Tetapi di belakangnya
akan terlibat beratus-ratus orang.
Mahesa Jenar itu pun hanya dapat
merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia
tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti,
bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu bahwa
hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan
pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang
lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu.
Pertentangan yang timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih
bernilai. Persoalan yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan
Sabuk Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini
soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan
ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting
adalah gairah bagi masa depannya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian
meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun
kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk
menyiapkan laskarnya.
Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah
Sora masih duduk merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah
dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan
ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat tuduhan
menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat
kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati.
Bendera yang melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang
melambangkan persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan
anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah
Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah
dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah
anaknya berbuat demikian.
Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng
Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk
kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka
memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang
Widuri untuk puteranya.
Semuanya kemudian berjalan di luar
kemauan Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya
melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng
Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun Arya
Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala
akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah Arya Salakalah yang
telah mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu
Sora maupun dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk
mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian
dalam kemarahan Arya Salaka itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus
asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan
laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih
berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.
Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap
persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan
akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya
untuk melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi
maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik
yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa
Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan
Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi
maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik
yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa
Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan
Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
“Terima kasih kakang”, sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan
bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang
paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat
bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama.
Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng
Pengging Sepuh.
Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa
amatlah canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari apakah
sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara
mereka yang kurang sewajarnya.
Setelah mencobanya menenangkan hatinya,
maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang.
Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan
membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”
Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya
keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya
jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan
dapat dijumpainya.
Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo
Kanigara berkata, “Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya
Salaka, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad
yang tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo
Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang
dan membantu Arya Salaka pula.”
Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat.
“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah
bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah
Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa Arya Salaka
dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian sehingga Baginda
tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik kata-kata
Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan
mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”.
Kebo Kanigara masih berdiam diri.
Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar
Mahesa Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua
pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap menghadapi
Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus
orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau Baginda
tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa.
Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan
Arya Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang
baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”
“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo
Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa
hal-hal yang demikian dapat terjadi.”
“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang
sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah
sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Yang mula-mula berkata di antara mereka
adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah
sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku
sedang bersedih karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat
berpikir, jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya.
Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet dan
akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada pilihan lain dari
pada datang merebutnya.”
”Dengan kekerasan?”
”Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”
“Kakang” berkata Mahesa Jenar
ber-sungguh-sungguh, “kakang masih mempunyai kesempatan untuk
menghindarkan pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara
putera Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat
menghadap Baginda dan menjelaskan persoalannya kepada Baginda? Dan
bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri kakang itu sendiri?
“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah
seorang yang keras hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda,
maka tak seorang pun akan dapat merubahnya.”
“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan
kakang. Karebet sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah
kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu kepada
kakang?”
”Karebet memang takut kepadaku, Mahesa
Jenar. Namun ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan
yanq akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat
sedemikian atas Widuri itu.”
“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat
berbuat lain dari yang dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada
kakang Kebo Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda,
sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari kakang Kebo
Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan menghinakan Arya Salaka
dan menantangnya untuk mengambil Widuri di hutan Prawata nanti pada saat
Purnama naik?”
Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan
kembali Mahesa Jenar berkata “Apakah karena Karebet ingin melihat
pertumpahan darah di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet
ingin menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana? Atau
apa?”
“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”
“Kakang, baiklah aku berterus terang.
Apakah kakang cukup berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak
yang kakang kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menunjukkan usaha
untuk menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku
berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala
perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan Widuri
dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya Salaka dengan
alat Karebet itu?”
“Mahesa Jenar.” potong Kebo Kanigara.
Tetapi Kebo Kanigara tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya
menundukkan wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang
kelam itu benar-benar mendebarkan.
Di antara gemerisik angin malam, kembali
terdengar suara Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang,
tetapi sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di
hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang. Sebenarnya aku
tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja bersikap acuh tak acuh
atas hilangnya Widuri.”
Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah
yang tiba-tiba menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia
bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk terhadapku?”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab.
Bahkan terjadilah beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut
kata-kata Kebo Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi
sedemikian bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar.
Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian kehilangan
segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi anaknya itu, namun sudah
pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap dalam keseimbangan. Ia pasti akan
berusaha mencari anaknya. lebih dari yang telah dilakukannya sekarang.
Tidaklah mungkin kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu
bantuan Arya Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan
yang akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena anak
puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam Mahesa Jenar di
dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia menjawab pertanyaan Kebo
Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku menjadi sangat heran. Aku tidak tahu
apa sebenarnya yang telah kakang lakukan. Namun dalam tangkapan
perasaanku, kakang telah berbuat diluar kewajaran.”
“Hem” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “apakah yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”
“Menyelesaikan persoalan ini tanpa
pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa
memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”
“Apakah aku mampu berbuat demikian?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang
tentu mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan
memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-benar
dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat menjelaskan
persoalannya.”
“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”
“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi
tegang pula. “Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah
sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang
sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca antara Arya Salaka dan
Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya kepada
keluarga Arya Salaka?”
“Tetapi apa yang kakang lakukan
benar-benar menimbul-kan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah
kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk
menyelesaikan persoalan ini.”
“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”
“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku
penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang
Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan Sultan
Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga kakang dan
lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya
Karebet dari istana Demak?”
Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi
suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan
sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan menyatakan
alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata. “Sampai
hati kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat.
Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh
pula. “Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah
bertekad dan membiarkan Arya membuat penyelesaian menurut caranya?”
Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya.
Terasa benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya.
Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini
bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.
Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab. “Untuk sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan
berhasil untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak
dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga alasannya, apakah
ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru dan Demak
di hutan Prawata nanti? Apakah ia akan dapat melihat laskar Banyubiru
binasa? Laskar yang telah berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang
maha berat, membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam.
Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang mutlak? Sedang
apabila Sultan tidak berprasangka akan datangnya bahaya itu, apakah ia
juga akan dapat melihat bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin
Sultan sendiri binasa?
Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya
serasa benar-benar akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta
diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya “Baiklah kakang. Biarkan kakang
beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi semakin
banyak besok.”
Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah. “Baiklah Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian segera
meninggalkan bilik Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan
dikejauhan dalam nada dara muluk.
“Tengah malam” gumamnya. Dan sesaat
kemudian para penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam
nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan wajahnya,
maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir bulat mengapung di
langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis terbang menyapu
wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar berterbangan
berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak
tertarik pada kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang
sangat menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga
perlahan-lahan ia bergumam sendiri. “Empat hari lagi purnama penuh akan
naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat perkemahan di hutan
Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya dan menuntut Widuri
kembali. Kalau mereka tidak menemukan kata sepakat, maka keduanya akan
bertempur dan akan saling membinasakan.”
Kembali Mahesa Jenar menarik nafas
dalam-dalam. Udara yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia
berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya, mayat yang
bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama sekali bukan
lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan
yang seharusnya berada dalam persatuan dan kesatuan yang bulat. Tetapi
sudah hampir pasti bahwa mereka tidak akan pernah menemukan kata
sepakat. Seandainya benar Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda
sudah tentu tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah
mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan bersedia apabila
ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan menjelaskan persoalannya
dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam pendiriannya. “Aneh”
sekali lagi ia bergumam. “Aneh, dan tidak wajar.”
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di
dalam dada Mahesa Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa
masih ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau
orang itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo
Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka
timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan langkah
yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat.
Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan
sebaik-baiknya.
Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat
beristirahat sama sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan
lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya,
sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan
kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari
dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk beberapa lama ia
tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Hem” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai
seorang yang terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan
sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan
benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya.
Ketika ia bangkit dari pembaringannya di
pagi-pagi benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng
menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam rumah itu,
kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara Wilis
itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut. Dan
tanpa sesadarnya ia menyapa. “Kakang, apakah kakang sedang sakit?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”
“Kakang pucat sekali.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil
menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata, “Wilis duduklah sebentar.
Ada yang ingin aku katakan kepadamu.”
Rara Wilis itu pun segera duduk di
samping Mahesa Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan.
Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Wilis.
Nanti aku antar kau pulang ke Gunungkidul”.
Rara Wilis terkejut bukan kepalang.
Sesaat ia terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia sama sekali tidak
tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa
Jenar. “Aku tidak berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau
membantuku menyelesaikan persoalan ini.”
“Oh” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. “Kakang mengejutkan aku.”
“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga, bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke Gunungkidul.”
Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau
harus mohon diri pula kepada semua orang disini. Katakan bahwa kau ingin
sekali segera kembali.”
Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk.
Dan setelah Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara
Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta
keluarganya.
Tentu saja semuanya yang mendengar
keinginan itu terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka
dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata
apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka mencegah
maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta
untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan penuh
permintaan mengharap gurunya mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar
tetap pada pendiriannya.
Katanya kepada Arya Salaka. “Aku dapat
menempuh perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali tepat
pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut ke hutan
Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.
Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang
saja melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah
mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua
itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak
dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu
benar-benar pergi meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali tidak
membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa
anak panah untuk berburu di perjalanan.
Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada Mahesa Jenar, “Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?”
“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut Mahesa Jenar lemah.
“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo Kanigara pula.
“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang
mengungsikan Rara Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah
kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku
selamatkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
Terasa sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula,
“Adakah sesuatu yang tersembunyi?”
“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi,
kakang ada yang tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada
yang tersembunyi di dalam dadaku.”
“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah.
Dan mereka, yang tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar
dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu
pertanyaan mengiringi kepergian itu.
Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa
Jenar dan Rara Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan
yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki kuda
itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang berhembus
dari pegunungan.
Ketika mereka telah melampaui batas kota
Banyubiru, maka Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan
dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya. “Kakang, apakah
sebenarnya yang akan kita lakukan?”
Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah
Rara Wilis yang gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya
sambil menjawab, “Kita pergi bertamasya Wilis.”
“He?”
Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu
Rara Wilis menjadi semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir
tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu,
tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata kepadanya,
bahwa mereka sedang bertamasya.
Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati
Rara Wilis. Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih
lama lagi. Maka jawabnya, “Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap
Panembahan Ismaya.”
“Oh” Rara Wilis menarik nafas. “Apakah Panembahan akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”
“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang
kuat atas kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat
memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang
pahit akan dapat dihindarkan.”
Rara Wilis mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah
melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar
bahwa Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil pasukannya.
Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara
Wilis, Kebo Kanigara benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa
Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang
ayah yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki Ageng
Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir
mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar adalah seorang
yang berotak tenang.
Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba
menemui Ki Ageng Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya, “Ki
Ageng, kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi?”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan
keningnya. Jawabnya sambil tersenyum, ”Bukankah sudah dikatakan, bahwa
Mahesa Jenar akan mengantarkan Wilis pulang ke Gunungkidul?
”Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?” bertanya Kebo Kanigara.
“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah
untuk pergi berkuda kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat disini
sambil menunggu Mahesa Jenar kembali.”
“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo
Kanigara agaknya benar-benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan
yang terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa.
Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab. “Ah. Pertanyaan yang aneh.
Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku
antarkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
Jawaban itu dapat dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat
juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo Kanigara
itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik, namun
pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat
dijawabnya.
———-oOo———-
IV
PANEMBAHAN Ismaya terkejut ketika seorang
cantrik datang kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan
Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu
menyambut sendiri kedatangan tamunya.
Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan
Rara Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang
dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu. Sejuk dan
tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung pada tiang-tiang dan
dinding. Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang jelek
dan kasar tergantung di antara beberapa buah topeng yang lain. Apakah
topeng itu sudah tidak pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu?
Tetapi Mahesa Jenar tidak ingin menanyakannya.
Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu
mempersilakan tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan tua
itu menyapa keselamatan mereka.
“Demikianlah Panembahan” jawab Mahesa
Jenar. “Tuhan melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan
pun demikian pula hendaknya.”
“Syukurlah ngger.” sahut Panembahan Ismaya.
Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan
mereka menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu soal
ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga akhirnya
Panembahan itu berkata, “Aku menjadi berdebar-debar akan kedatangan
angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang kepada kalian. Bukankah aku
sanggup datang ke Gunungkidul untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar.
Nah, sekarang kalian telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera
aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke
Gunungkidul.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang
wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar
menjawab. “Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama kali,
kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal itu.”
“Aku tidak pernah lupa ngger.” sahut Panembahan.
“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu.”
“Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat berbuat sesuatu.”
Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika
ia sampai pada maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia
ingin berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang
sebenarnya dibawanya. Katanya, “Panembahan, sebenarnya disamping
persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain, yang aku kira cukup
penting untuk aku sampaikan kepada Panembahan.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain
persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu untuk
memikirkan persoalan-persoalan lain.”
“Panembahan” berkata Mahesa Jenar, “Kali ini tidak ada orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk.
Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu
persoalan-persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada
waktu nanti, besok atau lusa?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ketika ia ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik
masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena itu,
maka ia menjadi terdiam.
Yang berkata kemudian adalah Panembahan
Ismaya. “Marilah ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan
makanan pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”
Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara
Wilis sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika
Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para cantrik itu.
Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi
kecewa. Meskipun kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan
itu masih saja berkata. “Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok
sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum juga pulang
sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru bersama angger
berdua.”
Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat
kesempatan untuk segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan
kecewa mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu
pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu. Dari
ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang rindang. Kebun
bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka terbentang sebuah
ngarai yang subur pula, dimana para cantrik bercocok tanam.
Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba
saja teringat pula olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh
Sawung Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar.
Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu pernah
terjadi suatu malam yang mengerikan. Dimana janda Sima Rodra mengadakan
semacam upacara untuk menyatakan kegembiraan mereka setelah mereka
berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara
orang-orang dari golongan hitam itu.
Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar
berpaling kepada Rara Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat
setelah perjalanan yang berat itu.
“Wilis” katanya, “Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah itu pernah terjadi?”
“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat
melupakan. Bukankah di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat
meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang
akan mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”
“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.
Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, “Wilis, apakah kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”
Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata, “Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”
“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,”
jawab Rara Wilis. “Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda
Manik. Aku tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”
“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.
Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun
kengerian benar-benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka
tiba-tiba ia merenung.
Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin
pegunungan berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di
halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka, sehingga
terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.
Namun Mahesa Jenar masih saja
digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak
mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu.
Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah
Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena kebimbangan
itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan karena
itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu.
Desakan di dalam dadanya itu menjadi
sedemikian kuatnya sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara
Wilis. “Wilis, kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini
segera?”
Wilis terkejut. Ketika ia berpikir
dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu,
maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau
lagi.
“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan sengaja menghindarinya?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata, “Marilah kita menghadap sekarang.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apakah Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”
“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”
Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya
saja kemana Mahesa Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar
menyatakan keinginannya untuk bertemu Panembahan.
“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri.”
Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali
lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya, “Kenapa angger
sedemikian tergesa-gesa?”
“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar. “Sudah
aku katakan, bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku
sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan
perang.”
“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.
“Ya” sahut Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan belum mendengar bahwa Widuri telah hilang?”
“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut. “Widuri anak Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya Panembahan?”
“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”
“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh Karang Tunggal itu.”
Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu
berubah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam. “Anak itu
tidak juga menjadi jera.”
Mahesa Jenar itu pun segera
menceriterakan serba singkat apa yang diketahuinya tentang hilangnya
Widuri. Dan akhirnya ia berkata, “Panembahan, apakah kemungkinan
pertumpahan darah itu tidak akan dapat dihindari?”
Panembahan Ismaya menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Kenapa Sultan Trenggana
itu tidak saja menghendaki gadis yang lain?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia
menjadi semakin heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu.
Panembahan Ismaya sama sekali tidak menyesalkan tindakan Karebet atau
ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula disesalkan adalah
Sultan Trenggana. Apalagi ketika Panembahan itu berkata, “Adalah wajar
sekali kalau Kebo Kanigara menjadi marah.”
“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara
berlebih-lebihan Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat
mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak terjadi. Arya
Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan dapat reda, apabila
Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya.
Sekali lagi jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar. “Mungkin Kebo Kanigara
dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka, sehingga mereka
tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan mohon belas kasihan kepada
Sultan itu.”
Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi
bingung. Apakah dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan
kejantanannya sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang
harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia sudah
terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga, sehingga
penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar sebagai suatu tindakan
yang terlalu lemah dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya? “Apakah
aku telah berubah?” pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun
demikian maka ia mencoba berkata pula. “Panembahan, mungkin kakang Kebo
Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula karena
sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi
bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh
Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai
sangkut paut yang dekat dengan Sultan Trenggana?”
“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa
Jenar,” sahut Panembahan itu. “Pangeran Buntara telah tidak ada lagi.
Yang ada sekarang Panembahan Ismaya.”
“Apakah Pasingsingan yang sakti juga
tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya
dengan mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet
menyerahkan Widuri kembali?”
“Dengan demikian soalnya juga tidak akan
selesai, Mahesa Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri
kembali, sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga
akan dapat membayangkan akibatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Ia benar-benar tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa
Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang
dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak dapat
mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan
kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya. “Tidak.
Aku tidak akan membiarkan pertumpahan darah itu terjadi.”
Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar
itu memberanikan diri berkata, “Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali
lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat
bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki Endang Widuri
itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana
pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan demikian terhindarlah segala
bencana.”
“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan Ismaya.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar
kemudian dengan takzimnya. “Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik
kepada Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku, kalau
ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku ingin
menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan. Keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke istana,
atau Endang Widuri.”
“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya.
Wajahnya sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang
kembali. Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, “Apakah maksudmu?”
“Panembahan. Kalau berkenan di hati
Panembahan, maka apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara
apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya menghadap Sultan,
memohon untuk menukar Endang Widuri dengan pusaka-pusaka itu.”
“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan.
“Kedua pusaka itu adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan
mendapat tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke
istana. Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka
kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang Widuri
akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di antara mereka,
sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat penghargaan apapun
juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung.”
“Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Aku
sama sekali tidak memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya
dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak
mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka terhindarlah
kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Apakah artinya jasa yang dapat
aku persembahkan kepada Demak, apabila Demak akan mengalami bencana?
Apakah artinya penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami
cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan tetap dalam
keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu, Demak akan
menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung
perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak
perlu Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya.”
Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya.
Tampaklah wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu
menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia mengangkat
wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.
Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa
Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan
Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang berada di
tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan keadaan
kepadanya.
Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar
itu. Alangkah pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya
itu menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih. “Jangan Mahesa Jenar.
Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah
kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”
“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi
parau karena hatinya yang pedih. “Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah
sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini. Aku telah
mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun aku tidak mendapat
tanggapan yang sewajarnya. Kini aku mencoba menghadap Panembahan dan
bahkan aku ingin mencoba mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu.
Namun aku menjumpai pendirian yang sama sekali tidak dapat aku mengerti
Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi seorang
pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah aku kini sudah tidak
pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara yang rumit seperti
sekarang? Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku menyingkir.
Meskipun umurku belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah
tidak sesuai lagi dengan keadaan kini.”
Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar
bergelora. Tetapi tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka
tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar
kemudian, “Apabila demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku
tidak melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke
Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti apa-apa
lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan bersedia
menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Biarlah
orang lain melakukannya.”
“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat
merasakan betapa hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan
mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau petunjuk
dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun sebenarnya tidak
seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat kau menjadi
kehilangan kepercayaan pada dirimu dan pendirianmu. Usahamu
menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak
dapat berbuat apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo
Kanigara. Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki
Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan yang kau
perlukan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Kini ia melihat lebih jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu
lingkaran yang sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang
dipasang oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi persoalan puterinya telah
sampai ke Karang Tumaritis. Sekarang, barulah diingatnya bahwa
sebenarnya Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam persiapan yang
dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih gelap baginya, apakah
sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus pergi kepada orang itu. Apa pun
yang akan dilakukan, maka usaha itu masih belum dilepaskannya.
Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis
mohon diri kepada Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta
mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat
memenuhinya.
“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan.”
Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak
ia menjadi ragu-ragu. Katanya bertanya, “Bukankah pada saat Purnama naik
Banyubiru akan mengalami ketegangan?”
“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.
“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?”
“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku disini menenangkan hati bersama Panembahan.”
Panembahan tua itu mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya. “Sejak dahulu
aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu benar-benar
tajam. Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat purnama
naik aku tidak ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau katakan
kepadaku? Ternyata kau benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang
lain pun aku kira benar pula.”
Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi,
atau memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena itu,
maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan Padepokan itu.
Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya
meninggalkan pondok itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar
menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun
ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di
dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung
mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang. Namun Mahesa
Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis. Demikian
mereka melampaui pagar halaman, segera mereka berdua itu pun berlari
menuruni tebing bukit Telamaya.
Beberapa lama Panembahan Ismaya masih
tegak di ambang pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua.
Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia bergumam.
“Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam pengabdian yang luhur.”
Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk
ke dalam pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya.
“Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku sampai tiga hari
setelah purnama naik.”
“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.
Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam sanggarnya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang
meninggalkan bukit Karang Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang.
Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar,
namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan
apa-apa.
———-oOo———-
V
Semalam sebelum purnama naik, hutan
Prawata telah sibuk dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh
Baginda. Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu
masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai sepuluh hari.
Beberapa orang yang mendahului Baginda
telah mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para
pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak
pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari
kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan kesatuan Nara Manggala.
Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi
ramai dan riuh. Di malam hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor
telah menyala bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah
lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu.
Sementara itu, Banyubiru pun menjadi
ramah. Namun penuh dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap
pula di alun-aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh
tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan mereka.
Arya Salaka telah memerintahkan kepada
mereka, bahwa apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus
mulai bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan Prawata
dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus sudah mengepung
perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh laskar
Banyubiru dan Pamingit.
Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau
Baginda menerima Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan
terjadi. Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan
Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama yang
dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup menghancurkannya, seandainya
Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti
akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan, maka
ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan dibelakangnya, maka mau
tidak mau permintaannya untuk menerima kembali Widuri pasti akan
dipertimbangkan.
Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu
matahari terbenam di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir
di halaman rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar
yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Dipendapa rumahnya
dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur, pamannya, Lembu Sora, Kebo
Kanigara, dan ayahnya. Namun tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan
gemetar. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak
mampu bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa. Apalagi
kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis duduk pula di
pendapa itu bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis
tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar tampak membayang
di wajahnya.
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang langit
dikejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram. Sesuram hati Arya
Salaka.
Arya Salaka yang kemudian duduk pula di
tangga pendapa itu, menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di
dalam angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan Endang
Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela diri itu tidak
sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan sebenarnyalah Endang
Widuri telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang
pun maka Widuri itu telah bertempur dengan gigihnya.
Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya
di belumbang, ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis
itu terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu
Karebet ,, maka ia menjadi gembira.
Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba mengajaknya pergi ke Demak.
“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.
Karebet memandangi wajah Widuri dengan
pandangan yang aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum. “Buat apa kau
tinggal di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti
disana.”
“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang” bentak Widuri.
Namun Karebet masih juga
tersenyum-senyum, sehingga Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya.
Tetapi Widuri tidak sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri
berusaha membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya. Widuri tidak
dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam keadaan
pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke dalam semak-semak.
Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya.
Demikianlah, maka ketika matahari telah
hilang dibalik cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan
langkah yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya.
Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar Banyubiru dan
Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru berada di bawah pimpinan
Bantaran sedang laskar Pamingit berada di bawah pimpinan Wulungan.
Dibelakang Arya Salaka berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan
laskar Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis. Namun tak
seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang tersimpan di dalam
dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri berjajar dalam barisan yang
sama, namun barisan Arya Salaka kali ini adalah barisan yang penuh
menyimpan berbagai persoalan di setiap dada mereka. Persoalan yang satu
sama lain berbeda-beda dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang
berbeda pula.
Tetapi yang tampak, yang kasat mata,
mereka kemudian berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan
Pamingit yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi
menuju ke hutan Prawata.
Tepat pada saat purnama naik, maka hutan
Prawata benar-benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini
sudah terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun
diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan rumput
dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya seakan-akan
menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang berjuntai di atasnya.
Cahaya yang kemerah-merahan terlempar jauh menusuk ke dalam sela-sela
daun-daun yang tidak begitu rimbun.
Baginda kini telah berada di dalam barak
yang terbesar di tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang
pemburu, maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat
sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan yang
dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam peralatan
yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan selingan yang
menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang menjadi terlalu jemu
dengan isi istana. Di dinding-dinding barak itu, kini tergantung busur
dan anak panah. Pedang, tombak dan segala macam senjata. Bukan saja
senjata-senjata untuk berburu, namun juga senjata-senjata untuk
berperang dari para pengawal Baginda.
Malam yang demikian akan menjadi sangat
menyenangkan bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda
mulai berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat
sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan
bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang menyusup ke dalam
rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di atas tanah yang lembab.
Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak
sedemikian gembira seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan
gelisah. Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di
dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga dilepaskannya.
Terasa sesuatu yang selalu membayangi kegembiraan Baginda.
Ketika seorang perwira masuk ke dalam
biliknya beserta seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya
duduk dekat-dekat di hadapannya.
“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama seorang pemburu.”
“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah. “Ternyata kita belum sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”
“Bagaimana dengan kabar itu?”
“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah dikepung rapat-rapat.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perwira itu. “Paningron. Apakah kau dapat menduga kekuatannya?”
“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat kekuatan kita disini.”
Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang
tidak lain adalah Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya.
Pasukan yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak, sebab
Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini Baginda
Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang sedemikian kuatnya,
sehingga Baginda harus berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri.
Dilepaskannya baju keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada
prajurit yang duduk disampingnya Baginda berkata. “Berikan bajumu.”
Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda itu berkata, “Berikan baju dan kelengkapanmu.”
Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.
“Terlalu kecil,” gumam Sultan.
“Ya” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud Sultan.
“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?”
bertanya Baginda sambil tersenyum. “Baju itu hamba pakai sejak hamba
mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.
“Pantas?”
”Apanya Baginda”
“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum
Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika
Baginda berkata, “Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang yang
ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti aku menjawab,“
Jangan ganggu aku.”
“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu.
Baginda berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya, “Baik, kalau begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila
aku tidak memanggil namamu.”
“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron
segera meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga
yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama, tidak
menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.
Ternyata Baginda membawa Paningron untuk
melihat sendiri kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan
rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang bersenjata. Di
sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya perapian yang menyala-nyala.
Dan karena itulah maka Baginda kadang-kadang dapat melihat bayangan
orang yang berjalan hilir mudik.
“Kau benar Paningron,” berkata Baginda. “Kekuatan itu benar-bebar tidak dapat diabaikan.”
“Hamba telah meneliti tuanku.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan mengendap-endap Baginda itu berkata, “Siapakah yang memimpinnya?”
“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah
hamba saksikan sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar
mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama
kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”
“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”
“Hamba tuanku.”
“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”
“Belum hamba ketahui.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam.
Disadarinya bahwa apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap
pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan.
Paningron yang melihat Baginda kemudian
termenung, segera berkata, “Baginda, apakah hamba dapat mengirim
seseorang untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-orang
Banyubiru.”
Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala
api yang melonjak-lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian
orang-orang Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan
kepalanya. “Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat menembus
kepungan orang-orang Banyubiru.”
“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”
“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”
Paningron tidak lagi berkata-kata.
Diikutinya saja kemudian Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di
sudut lapangan rumput itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan
dengan serta merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera
melihat, sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.
“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.
“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan itu.
“Oh” sahut Baginda.
“Eyang ternyata benar-benar datang.”
“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.
“Hamba sudah berjanji.”
“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”
“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang
dapat hamba sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah
hamba sampaikan sebelumnya.”
“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai untuk kepentingan seorang Karebet.”
“Jangan Baginda menilai Karebet kini.
Tetapi Karebet pada masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam
hati Baginda. Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”
“Persetan dengan anak itu.”
“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”
Baginda itu pun kemudian termenung
sesaat. Ternyata Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri
Baginda telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu dapat
di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang hilang. Namun
untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari yang dilampauinya dengan
gairah. Apalagi sebenarnya Sultan sendiri tidak terlalu membeci
Karebet. Justru Baginda sendiri pernah melihat kelebihan-kelebihan yang
ada pada anak itu.
“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.
“Hem. Eyang telah membingungkan aku.
Kalau aku membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan
dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”
“Mereka sama sekali tidak memberontak terhadap Baginda. Mereka datang untuk mencari Karebet.”
Sekali lagi Baginda termenung. Dan
didengarnya bayangan itu berkata, “Selain dari itu Baginda, bukankah
hamba telah menolong Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan
memanggil kembali anak itu, dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana
adalah Sultan yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat
memusnahkan mereka?”
“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan
berani melawan Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan
pertempuran. Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula
Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-panji
itu.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.
“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang
tua yang telah tidak mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun
hamba menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi bertambah
baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di dalamnya.”
“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”
“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan dapat menghapus kenyataan itu.”
“Ya. Eyang benar. Anak itu ada disini pula sekarang.”
“Penangsang?”
“Ya”
Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi
bingung mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang
didengarnya kemudian adalah suara Sultan. “Lalu bagaimana eyang?”
“Tergantung pada Baginda.”
“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan
bersiap menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat.
Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”
Bayangan itu pun kemudian
mengangguk-angguk dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata.
“Baginda ternyata telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang
tua yang sama sekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan
lagi bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri dibawah duh
Baginda.”
“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”
“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”
“Jangan eyang. Eyang harus berada disini. Kalau ada sesuatu kesalahan, maka eyang akan dapat membetulkannya”.
“Atau untuk menjadi tanggungan?”
“Tidak.”
“Baiklah. Aku ikut Baginda.”
Bayangan itu pun kemudian berjalan
mengikuti Baginda disamping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga
dimuka barak, sama sekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat
dihadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang lain sama
sekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu, bahwa Paningron
adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di Demak.
Bulan yang bulat mengapung di langit
dengan sangat lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda
tiba-tiba menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari kedalam barak
masing-masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah
menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi setiap
kemungkinan. “Kekuatan mereka jauh lebih besar dari kekuatan kita,”
berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.
Tetapi seorang perwira Wira Tamtama
menanggapinya dengan sebuah senyum. Katanya di dalam hati, “Apakah yang
dapat dilakukan oleh orang-orang pedesaan?” Orang itu sama sekali tidak
mau memikirkannya lagi. “Besok mereka akan aku musnahkan,” katanya.
Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang perwira Wira Tamtama yang
terlalu menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya.
Malam itu semua prajurit siap
ditempatnya. Beberapa penjaga selalu mondar-mandir mengawasi keadaan.
Sedang yang lain beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan
mereka lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat di
tangan.
Ketika matahari mulai membayang di pagi
dini hari, maka mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para
prajurit Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru. Arya Salaka
dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya, segera
memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang
yang mendampinginya menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka
tidak terdapat Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal
di Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta, semoga
semuanya dihindarkan dari bencana.
Semakin dekat mereka dengan perkemahan
Baginda, maka semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam
pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang
dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati mereka masih
juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah bersiaga pula
disekeliling perkemahan.
Mereka melihat betapa pasukan Demak telah
menanti kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak
dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka
mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya
pasukan yang kecil itu.
Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira
Tamtama di bawah panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar
dengan tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang, dan
di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah mereka
memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Di dalam lingkungan Wira Tamtama
tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari
pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun
ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan
penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang
mendekati mereka.
Yang paling dalam meskipun jumlahnya
terlalu sedikit, namun pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa
Jenar. Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir
ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang demikian pernah
dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-hadapan dengan laskar Demak
lima enam tahun yang lampau di Banyubiru. “Kenapa peristiwa-peristiwa
semacam ini masih harus terulang?” desah di dalam hati. Di lingkaran
yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala
Pati dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu
terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling
mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa.
Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki
Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.
“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, “Mudah-mudahan semuanya berlangsung baik.”
Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang
dalam gelar Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya.
Ia tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu banyak,
apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga kelengkapan
mereka pun bukan kelengkapan perang secara sempurna, namun pasukan Demak
adalah pasukan yang telah masak.
Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus.
Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat
apa saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia
memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati, “Manakah
anak muda yang bernama Karebet itu?”
Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya
berjalan terus sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan
Baginda Sultan Trenggana.
Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba
melihat seorang yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan
Nara Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, kemudian
datang lebih mendekat lagi.
“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.
Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu.
Arya Salaka menggeretakkan giginya.
Kemudian katanya kepada ayahnya. “Ayah, Baginda sudah tahu maksud
kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet disini.
Dan Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”
Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.
“Bagaimana adi? “ bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar kemudian melambaikan
tangannya kepada Arya Salaka untuk melihat rontal ditangannya. Kemudian
wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Terimalah Arya. Sebaiknya kau
menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi korban yang
bakal jatuh dalam perang brubuh.”
Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata
Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian kembali ia memandang kekejauhan.
Sekali-kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun
yang meloncat dari mulutnya.
Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata, “Hasrat yang paling besar
untuk menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan dari
pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau yang akan tampil
kedepan melawan seseorang yang akan dikirim oleh Baginda di lapangan
itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”
Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo
Kanigara terkejut mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya
berkerut-kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata
apapun juga.
Namun kata-kata Mahesa Jenar itu
benar-benar telah membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian
ia melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda itu dengan
dada tengadah. “Aku terima tawaran itu. Aku, Arya Salakalah yang akan
datang ke gelandang.”
Suasana ditengah-tengah lapangan rumput
itu benar-benar menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah,
terdengarlah sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap
orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar. Hampir
semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk
menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru dan Baginda, telah
disepakati untuk mengadakan perang tanding. Meskipun hampir semua orang
dari pasukan Demak tidak tahu, apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka
itu.
Arya Salaka segera membenahi pakaiannya.
Ia kini membawa tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai
Suluh, pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.
Ketika Arya Salaka melihat seseorang
berjalan maju ke lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka
Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan
gurunya sambil berbisik. “Ayah dan paman-paman. Restuilah aku, semoga
aku akan berhasil.”
“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan
orang-orang yang mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak kalah
tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.
Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan
pula ke tengah lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari
perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis
melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat olehnya
seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu mengerutkan
keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka. Prajurit yang
mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi kecewa. “Hanya seorang
anak-anak,” desisnya.
Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga.
Ketika mereka kemudian bertemu di
tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa
orang prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian
mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi.
Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak.
Karena itu maka segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar. “Siapakah yang
akan datang ke arena?”
Beberapa orang menjadi saling
berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka
untuk sesaat saling berdiam diri.
“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya.
“Jangan kakang. Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik.
Kakang Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”
“Hem” Kebo Kanigara bergumam sambil
menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Jangan aku. Orang-orang Demak
telah menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”
“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar. “Kakang Gajah Sora sendiri barangkali?”
Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya. “Tidak” katanya. “Aku tidak sanggup.”
Kembali mereka berdiam diri sambil
berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan
Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik
nafas panjang dan kemudian katanya. “Apakah kau dapat mewakili kami
Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi
kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kami bukan orang Banyubiru.”
“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.
“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Tetapi biarlah salah seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin
angger Bantaran atau yang lain?”
“Aku bersedia pergi, “ tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
“Bagus” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Marilah kita pergi dengan Bantaran.”
Mereka berempat pun kemudian berjalan
pula ke tengah-tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas,
seorang yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin
laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis ramping dengan
pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang itu benar-benar menarik
perhatian segenap prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang,
benar-benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu, dan
yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka mengerutkan keningnya.
Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang dapat dibanggakan seperti Lembu
Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam arena itu seorang anak muda saja.
Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal
kumisnya sendiri.
Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.
Ketika keempat orang Banyubiru itu telah
berdiri melingkari dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang
prajurit Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang
prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah. Dengan
penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya
wakil tertua dari Banyubiru, sambil berkata. “Ki Ageng perang tanding
akan segera dimulai.”
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat
menyembunyikan perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit
dan Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya. “Silakan,” jawab
Ki Ageng Pandan Alas.
“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili
prajurit Demak adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira
Wira Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka.
Begitu?”
“Ya” sahut Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. “Kenapa bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?”
Paningron menarik alisnya. Jawabnya. “Perintah Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa
anak muda itu menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat
sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang ia harus
mewakilinya?
“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam
hatinya. “Aku harus menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya
Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan.”
Paningron kemudian melanjutkan
kata-katanya. “Ki Ageng Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah
kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang
sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti
setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan, supaya
Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang kalah dapat
disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh tinutuh, sehingga
orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena menurut
pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”
Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan
kepalanya. Orang tua itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang
direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu sama
sekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.
“Baiklah” berkata Paningron. “Perang tanding akan segera dimulai.”
Paningron itu pun kemudian melangkah
surut. Kemudian diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan
itu mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam perang
tanding itu.
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar
karenanya. Dari kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah
mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira Tamtama yang
akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya. Namun pernah ia dahulu
melihatnya. Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat
tahulah ia bahwa orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi
lurah Wira Tamtama.
Arya Salaka yang didorong oleh
ketegangan, kemarahan dan tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam
dadanya, tidak berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera
mulai dengan perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi
anak muda yang gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum.
Anak dari Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak
menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya. “Hem” desahnya.
“Anak ini adalah anak yang sombong.”
Sedang Arya Salaka dengan penuh
kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari,
seandainya orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak
akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak dalam
arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada waktu gurunya
masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin lebih. Karena itu
Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.
Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun
mulai bergerak. Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya
menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang
bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis.
Ketika tangan Prabasemi bergerak
menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya berguncang
ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor
harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.
Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan
diri lagi. Ia mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang
laki-laki. Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang
lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah, apakah ada
orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya atau Kebo Kanigara?
Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya,
atau gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya
gurunya serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya
sendiri.
“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya didalam hati.
Karena itu, ketika ia masih melihat
Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya
menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin
memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-sungguh, namun
akibatnya benar-benar mengherankan. Prabasemi terkejut bukan buatan
melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia benar-benar tidak sempat
menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur selangkah untuk
mengurangi tekanan tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah
mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar
terdorong beberapa langkah.
Wajah perwira Wira Tamtama itu menjadi
merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling
arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia
mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya. “Setan,”
desisnya. Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang
menyandang pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa
menyala membakar segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak
tersenyum-senyum lagi. Bahkan dengan penuh dendam ia memandang Arya
Salaka yang belum pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan
namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak.
Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia melumpuhkan
Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai seorang
Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia menyerang.
Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar
bersama-sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan
cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan kanan
Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Prabasemi
pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini Arya tidak sempat
menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus melawan serangan
itu. Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan
kekuatan lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan
tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
Prabasemi yang marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar
tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah
tangannya, maka benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya.
Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam
tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang
kemudian seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya.
Prabasemi menyeringai. Meskipun mereka
bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya
ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama sekali tidak
menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang dirasakannya.
Wajah Prabasemi yang marah itu
benar-benar menjadi membara karenanya. Sekali lagi ia memandang
berkeliling. Dan sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah
Rara Wilis. Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya
melihat pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa
gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi
ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya
memandanginya. “Gila,” desahnya. “Anak itu harus segera kulumpuhkan.
Kalau ia mati karenanya, sama sekali bukan salahku, sebab di dalam
perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja terjadi.”
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi
semakin cemerlang dihadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di
luar baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui apakah
yang akan terjadi. Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya.
Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar
surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian
dengan gerak yang menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta
ditekuknya. Kedua tangannya menelentang ke belakang mengepal di
lambungnya. Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya
Aji Sapu Angin.
Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu.
Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam
umurnya yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan
dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas, dilihatnya orang tua itu
mengangguk. Maka dengan tidak berpikir panjang, Arya Salaka itu pun
segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah-olah hendak
menggapai langit, tangannya yang lain bersilang didada, sedang satu
kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah
siap dengan Ajinya Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang.
Paningron terkejut melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk
melerai mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju.
Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah kekepala Arya Salaka. Namun
ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir. Apakah yang
dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun menyadari. Arya Salaka telah
berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan tertinggi yang dimilikinya.
Sesaat kemudian terjadilah sebuah
benturan yang dahsyat. Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah.
“Arya,” namun suara itu tidak didengarnya.
Benturan kedua Aji itu benar-benar
mengejutkannya. Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan
pendek, namun kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap
menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia
masih dapat berusaha untuk bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung
ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening,
namun ia masih dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan
dilihatnya dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah.
Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan susah
payah. Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia
mengangkat kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun
kemudian ia terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak
mengumpat-umpat. Tetapi Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan
lawannya, bahkan dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya.
Betapa hatinya terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang
dapat dilakukannya?
Beberapa orang kemudian mendekatinya
untuk membawanya menepi. Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. “Pergi.
Pergi. Tak seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan
kepalanya. Pergi.”
Namun sekali lagi Paningron memberi
isyarat kepada mereka, dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi,
meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Peristiwa itu telah benar-benar
menggemparkan para prajurit Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di
dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan
Prabasemi.
Arya Salaka masih berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti
membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi
semakin segar pula.
Paningron yang mengatarkan Prabasemi
masuk ke dalam baraknya segera kembali ke arena. dengan sareh ia
bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. “Ki Ageng, lawan yang pertama
telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua seperti
yang dijanjikan.”
Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya
Salaka. Dilihatnya anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya
yang sedang marah itu menjawab lantang. “Aku masih tetap berdiri disini
sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala akibatnya.”
Para prajurit Demak sesaat menjadi
ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk
menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak
banyak orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding
seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan adalah
Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan. Apabila serta
maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau beberapa orang
lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak
beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi
adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk yang
terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan
segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit Demak menjadi
berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu?
Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan
gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya,
mesikipun jumlahnya tidak seimbang.
Tetapi perang tanding itu telah dimulai.
Karena itu maka pasti akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian,
maka setiap prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah
kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap
orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka mereka menunggu
perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.
Paningron menarik nafasnya. Sekali ia
melambaikan tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari
dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang kedua yang
akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata terpancang kepada orang itu.
Orang yang telah hilang dari Demak beberapa saat lampau. Diantara desah
pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata lantang. “Kali
ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang
dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari Baginda
atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon Wira
Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka
nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang
telah membawa persoalan itu kemari.”
Di sekitar lapangan itu benar-benar
menjadi gempar. Baik para prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru.
Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka
yang masih tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu
tiba-tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani hukumannya.
Arya yang melihat kehadiran Karebet itu
tiba-tiba menjadi gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan
dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena itulah, maka
seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu menemukan kekuatannya kembali.
Kekuatan yang berlipat. Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya.
Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. “Karebet.
Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”
Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya
mendekati Arya Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan
dengan kata-kata yang akrab ia menyapa. “Selamat bertemu kembali adi
Arya Salaka.”
Arya Salaka bergumam. Jawabnya. “Tidak
ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah
yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja
mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan pengampunan atas
kesalahanmu itu.”
Karebet mengerutkan keningnya.
Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun
tidak jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara.
Tetapi dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada
disana. Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang
lain, ada juga di sekitarnya.
Dalam pada itu kembali terdengar Arya
Salaka berkata. “Nah, Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena
memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga
kau bertindak dengan sekehendak hatimu?”
Sekali lagi Karebet mengerutkan
keningnya. Namun sebelum ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata
terus. “Kau telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang
sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti. Ini Arya
Salaka telah datang.”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini
ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala
itu. Sesaat tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan
ludahnya beberapa kali barulah ia berkata. “Terpaksa aku lakukan adi.”
“Omong kosong” bantah Arya Salaka. “Ternyata kau sampai hati menjual adik sepupumu itu?”
Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia
harus menjawab kata-kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi
gelisah dan Arya Salaka berkata terus. “Sekarang aku datang memenuhi
tantanganmu.”
Sesaat Karebet memandang berkeliling.
Beberapa orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena
itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang. “Marilah adi.
Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”
Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya,
Arya Salaka yang dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan
sebuah serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan dirinya
dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun membuka serangan
pula.
Maka terjadilah kemungkinan sesuatu
perkelahian yang sengit. Masing-masing mencoba untuk melawan dengan
sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk
menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa.
Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan
benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang
Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan
tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu
titik ke titik yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan
hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran
yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya,
ternyata telah mendorong perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi
ini perkelahian itu benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang
berlaga di udara.
Sambar menyambar, terkam menerkam.
Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah
surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak
dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang.
Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya
dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar
melontarkan bahaya yang bernada maut.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa,
sehingga mereka berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu
pusaran yang membingungkan.
Di dalam barak, di samping barak yang
dipergunakan oleh Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh
mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam
rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat. “Gila. Kenapa Karebet
itu telah berada di tempat ini pula”.
Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja
menjadi marah dan malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi
terguncang ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada
dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.
Di samping Prabasemi, berdiri seorang
anak muda pula yang bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di
tengah rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang
perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman matanya itu
segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu, adalah anak-anak
muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah
menimbulkan gairah pula di dalam hatinya. “Kenapa pamanda Baginda tidak
menunjuk aku untuk maju ke arena,” desisnya.
Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang. “Hem,” desahnya. “Seharusnya tuanlah yang maju ke arena.”
“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian katanya pula. “Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”
Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, “Tangan anak itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”
Arya Penangsang tersenyum. Katanya, “Aku tahu benar. Anak muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.
“He?,” Prabasemi terkejut. Namun kembali
ia menundukkan wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan
dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya Penangsang.
Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam baraknya sambil berpegangan dinding. “Persetan.”
Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini menjadi semakin kendor.
Tak seorang pun yang mengetahui apakah
sebabnya. Mungkin karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang
daripadanya telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu
terdengar Karebet berbisik. “Maafkan aku adi.”
Arya Salaka terkejut. “Kenapa? Tak ada
jalan yang harus aku maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah
kita selesaikan perkelahian ini.”
“Adi,” berbisik Karebet itu pula. “Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata sebenarnya.”
Arya Salaka mula-mula sama sekali tak
memperhatikannya. Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata. “Kali
ini tak ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan
tanpa menunggu lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah
maka perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.
Ketika Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar Arya Salaka berkata. “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Aku berkata sebenarnya.”
“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”
“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-benar.”
“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah
keragu-raguan membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak
kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia melihat
wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-tiba ia tersenyum
meskipun dicobanya untuk menyembunyikan dalam-dalam. “Gila. Kau
benar-benar bermain api kakang. Apakah aku harus bersimpuh menyembahmu?”
“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”
“He?,” Arya Salaka terkejut. “Apakah sebenarnya maksudmu?”
“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak
akan melawan. Tetapi aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku
dan adi akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak berbahaya,
meskipun tubuh kita akan kesakitan.”
Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih
lama. Menilik wajah dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata
sebenarnya. Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra
Birawa itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa
itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak memiliki
kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu apapun yang dilakukan
oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan mempergunakan kekuatan
tertinggi itu.
Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang
itu pun terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya.
Ketika ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik. “Mulailah.”
Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain
daripada memenuhi permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya
sebelah tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain
di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan menggenggam
Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra Birawa.
Dalam pada itu, Karebet yang melihat Arya
Salaka telah siap, segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya
kakinya dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya
segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan
sejauh-jauhnya yang dimilikinya.
Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat.
Seakan-akan sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet
telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak
menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar beberapa
langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali ditanah. Namun sesaat
kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya
terasa seakan-akan membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah
menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa langkah.
Dengan kerasnya ia terbanting ditanah. Sesaat matanya menjadi
berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh menimpanya. Karena itu
ia segera memejamkan matanya dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada
padanya. Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar
biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera. Namun untuk
sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan kekuatan sendiri.
Melihat anaknya terbanting jatuh, dada
Gajah Sora seperti akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap
pertimbangannya. Dengan serta merta ia berkata, “Akulah yang akan
menjadi orang kedua.”
Kebo Kanigara terkejut mendengar
perkataan itu. Karena itu segera ia mencegahnya sambil berkata.
“Tunggulah. Apakah yang akan terjadi kemudian.”
“Apa yang harus aku tunggu?”
Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak
semula ia telah menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah
Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora ditengah lapangan itupun telah
menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu pedangnya.
Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun
terkulai ketika tiba-tiba ia melihat Sultan Tranggana dikejauhan keluar
dari dalam baraknya.
“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?”
terdengar Gajah Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi
wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam. “Kalau saja Sultan tidak
ada disana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu tidak berkibar disana
pula.”
“Jangan cemas kakang”, tiba-tiba
terdengar suara Mahesa Jenar. “Akupun orang buangan seperti Karebet.
Birlah aku maju ke arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku
tidak akan menyesal.”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan.”
“Aku tidak sampai hati melihat Arya
Salaka dan aku tidak sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan
anaknya satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.
“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah.
Ketika ia memandang kelapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena.
Dibelakangnya berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.
“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang
bergelar Panembahan Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai
seorang yang bernama Pasingsingan.”
“Ya,” sahut Kebo Kanigara.
“Apa peduliku.”
“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah.
Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar
tertawa. Aneh sekali. Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan
mereka mendengar Mahesa Jenar itu berkata, “Aku telah bertemu di Lemah
Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku semuanya.”
“Oh,” Kebo Kanigara berdesah. “Kau mencemaskan aku.”
“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”
Gajah Sora memandang mereka dengan penuh
pertanyaan. Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada
mereka. “Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar. Kita menghadapi Baginda.”
Baginda pun kemudian melihat mereka
datang. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum
Baginda menerima mereka, sambil berkata, “Eyang Buntara. Apakah mereka
akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”
“Ya cucunda Baginda.”
“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron.
Baginda itu memandang Arya Salaka sesaat.
Kemudian dihampirinya anak yang masih menyeraingai itu. Ditepuknya
pundaknya sambil berkata, “Kau pun anak luar biasa. Mari, masuklah ke
dalam kemahku.”
Terasa sesuatu yang aneh di dalam dada
Arya Salaka. Perlahan-lahan ia menyembah, dan kemudian diikutinya
Baginda masuk ke dalam perkemahan.
“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. “Jadi semuanya ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”
“Ya,” jawab Pangeran Buntara. “Namun
dengan demikian Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan.
Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih
hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan
Gajah Sora pun berkata. “Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara
tidak tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet telah
mendapat ijin daripadanya.”
Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi
ngeri pula kalau dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi
ketika pada suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha
menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.
Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran
Buntara itu pun berkata.”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil
kembali Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka
Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat Karebet
kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu agaknya telah luluh
dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan Baginda akan berhasilnya cara
ini, maka kini perkenankan Mahesa Jenar menyerahkan pula keris-keris
yang selama ini dicarinya, Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta Baginda berkata, “Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”
Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya penuh haru. “Hamba Baginda.”
“Dimanakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi
ditatapnya wajah Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu
pun berkata, “Kedua keris itu aku simpan Baginda.”
“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian. “Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kau pun akan
kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang
teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku perlukan.”
Mahesa Jenar menyembah dengan penuh
hormat. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia
menjawab. “Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah
Baginda.”
Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini telah terbuka.
Ketika Baginda diperkenalkan satu demi
satu dengan orang-orang yang menghadap, maka Baginda berkata. “Jadi
gadis ini adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”
“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.
“Dengan pedang dilambungnya?”
“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil menyembah.
“Yang ini, kakeknya?”
“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”
“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan
tiba-tiba Baginda itupun berkata. “Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku
melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu? Sebenarnya
aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan Mahesa Jenar dan cucumu
yang tertunda-tunda itu. Dan kini pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah
selesai.”
“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu.
Betapa ia menjadi sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang
diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah. Jawabnya,
“Bukan main anugerah yang hamba terima.”
“Jangan tunggu umurnya bertambah tua,
Mahesa Jenar. Bulan ini biarlah kakek itu merayakan peralatan
perkawinannya. Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu
setengah bulan.”
Mereka berpaling ketika mereka mendengar
isak Rara Wilis yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu
kini benar-benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu
akan sampai pula kepadanya.
Arya Salaka pun kemudian mendapat
pengukuhan kembali atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman
Baginda berkata, “Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo
Kanigara itu?”
Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia
masih menyeringai kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang
membentur Aji Lembu Sekilan.
“Gadis itu tidak berada disini,” berkata Baginda. “Tetapi besok akan segera kau jumpai di Banyubiru.”
Hari itu adalah hari yang menentukan bagi
Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet.
Meskipun para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat
perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika mereka melihat
para pemimpin mereka menjadi gembira. Pertentangan itu benar-benar telah
berakhir.
Namun dalam pada itu Baginda terkejut
melihat Arya Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan
lantang ia berteriak. “Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku dapat
berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui paman dan adinda
puteri bungsu.”
Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi oleh Tumenggung Prabasemi.
Angin pegunungan bertiup semakin kencang
mengguncang daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda
terasa seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu.
Persoalan-persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya
menyatukan tanah tumpah darah.
Tetapi kembali Baginda diganggu oleh
sebuah persoalan yang baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang,
kemanakannya itu tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya.
“Tentu pokal Prabasemi,” pikir Baginda.
Namun ketika Penangsang kembali,
Prabasemi tidak turut serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang.
Disadarinya bahwa Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan
mendapat kesusahan karena itu.
Tetapi persoalan itu tidak akan segera
memerlukan tangan Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan
dapat dirampungkan pada saat-saat mendatang.
Ketika awan yang putih berarak ke utara,
maka Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secara
hatinya. Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya
Salaka dan Karebet bersendaugurau dengan gembiranya. Tetapi lebih-lebih
lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang dilambungnya
tersenyum kepadanya sambil berbisik. “Kakang, hari itu akan segara
datang.”
“Ya Wilis. Segara akan datang. Semoga.”
Keduanya pun kemudian menundukkan
wajah-wajah mereka. Sedang hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih
serta do’a kepada Tuhan yang Maha Esa, semoga mereka akan sampai pada
saat-saat yang ditunggu-tunggu itu.
———-oOo———-
TAMAT
No comments:
Write comments