Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.
Pada saat benturan itu terjadi, Karebet
pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan
buah-buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya
mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu
seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang sama sekali tak
tergoyahkan, sehingga kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu
sebagian telah melontar kembali melemparkan Karebet beberapa langkah
mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi
sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan
seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun mengerumuni
kepalanya.
Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah
pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah
dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu
seakan-akan menjadi menyala.
Baginda, seorang yang memiliki berbagai
pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet.
Mata itu benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap.
Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena
itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak itu
benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin
tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah,
Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan.
Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai
ayah, akan kehilangan nilai-nilainya yang wajar, apabila persoalan yang
tak pada tempatnya itu dibiarkannya.
Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang
anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam
kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun ia harus
mendapat hukuman dari perbuatannya itu.
Baginda tidak sempat berangan-angan.
Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam
mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu
mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang
masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera
mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan
perkelahian itu sebelum orang lain melihatnya. Sebab apabila orang lain
melihat perkelahian itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak
akan menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening, dan
wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.
Karena itu, segera Baginda mateg aji
kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda
benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda
mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan kecepatan
yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah
lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya
dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun
tidak pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah
Karebet, tanpa menyentuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet.
Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya
telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.
Karebet pun terkejut bukan kepalang.
Terasa wajahnya seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta
merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia
memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain ikat kepala
itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.
“Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya. “Tangannya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.
ORANG itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana
Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan
yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya
kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus
pertahanan Lembu Sekilanmu.”
Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya
ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu
kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu
Karebet menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mencemaskan
nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan
putri itu?
Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata, “Nah, apakah kau masih akan melawan.?”
“Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak dihadapanmu,” sahut Karebet.
“Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu kepadaku.”
“Apa?” Kata-kata Karebet
tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang meluap-luap. Sedang
Putri Sultan itu menjadi bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan
wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun
hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa
peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang berselubung
kain itu?
Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”
“Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.
Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”
Telinga Karebet menjadi merah karenanya.
Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika
ia mendengar orang itu mengulangi, ”Anak muda. Tak ada gunanya kau
melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali tak berarti
bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat memunahkannya.
Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau
membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?”
Sekali lagi Karebet mencoba melihat
siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti
bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak
dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang
sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang
ini bukanlah salah seorang dari mereka.
Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula, “Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”
Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar keras kepala.”
“Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala.”
“Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu. “Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”
Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat
menyebut beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba
menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan.
Panji Danapatipun bukan. Siapa?
Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?”
Karebet benar-benar mengigil mendengar
kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah
dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang
terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.
Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata, “Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”
“Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu.
“Ya,” sahut orang itu pendek.
Tubuh Karebet pun kemudian menjadi
gemetar. Dengan ragu-ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya.
Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan
Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya, Lebur
Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji
Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana.
Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan
darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.
Sebelum Karebet menyadari apa yang
terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian
meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain
itupun telah direnggutkan.
Demikianlah orang yang tegak berdiri
dengan gagahnya itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu
menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun
sesaat berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki
Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun kemudian
berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium tanah.
“Jangan menangis!,” bentak baginda. “Diam atau kututup mulutmu!”
Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan,
Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu
seakan-akan malahan meledak-ledak.
Baginda masih juga berdiri diatas kakinya
yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung
pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.
“Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?,” sahut baginda.
“Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis itu.
Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus melampaui mayatmu?.”
“Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”
“He,” Seru Baginda, ”jadi
kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau
berhadapan dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu ? Lembu Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?”
“Ampun Baginda,” Karebet semakin
tertunduk. Kini harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap.
Ia tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal
lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet
itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari
pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda
yang memiliki kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan
kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai
seorang ayah dan seorang raja.”
Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba
Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan
persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda
kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya. “Tak ada gunanya,”
katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang
membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan
kepadanya selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan
Baginda.
“Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku.” pikirnya.
Sebenarnya baginda marah sekali kepada
Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati
baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian anak itu
benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun berkata di dalam
hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya.
Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu
Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang
pilih tanding.”
Baginda sendiri mempunyai dua orang
putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula.
Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai penyakit
berat didalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang lagi, masih
terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.
Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya, “Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.”
Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!.”
Puteri Baginda itu tidak berani
mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk
serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya.
Langsung direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada
pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang
malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya
telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat
langsung apa yang terjadi.
Diluar Keputren Karebet duduk bersila
dengan wajah tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang
telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan
kini tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.
Sesaat kemudian Bagindapun menjadi
bimbanmg. Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri didalam
hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala keputusan yang
akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh oleh perasaannya itu.
“Karebet,” berkata Baginda kemudian, ”ikut aku ke Ksatriaan”.
“Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.
Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi
ditempat itu. Segera Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu
dihalaman, supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda
itu berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu.”
Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”
Maka keduanya pun berjalan mengendap
endap menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang
pun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu
samping.
“Karebet,” berkata Baginda setelah mereka didalam bilik ksatrian. “Tinggal
disini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat
menangkapmu kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku
perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak
seorangpun boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”
“Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani melanggar perintah Baginda.”
Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan
baju keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian
baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu
menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari, jika
beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk
membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang
pula kemari?
Tetapi Karebet lebih takut lagi akan
perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak
berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas
lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam perasaan
bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang kokoh kuat sekuat baja.
“Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“ terdengar suara didalam hatinya.
“Gila,” jawab suara yang lain
Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk
bersandar didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang
menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda setelah
itu.
Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan
pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan melakukan
hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan menanganinya ?
Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang
aneh. Betapun gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah
menggeliat, ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.”
Dengan tanpa kesan apapun atas segala
macam bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun
kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia sudah
tidur mendekur.
Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung
kembali ke bilik. Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala
ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan
datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan
menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka pun segera
duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di muka gardu.
Beberapa orang menjadi pucat, dan
beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga
Baginda datang sendiri kepada mereka.
Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata, “Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”
“Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, ”apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”
“Ya” jawab Baginda, ”bawa dia ke Kasatrian”
“Hamba Tuanku.” sahut orang tertua itu.
Kemudian ketika Baginda melangkah kembali
ke Kasatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan.
Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang sendiri. Aku kembali sendiri.”
Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi
kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani
bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi
Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.
Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, ”kenapa baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?”
Yang lain menggeleng, “memang aneh.”
Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”
“Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang lain, ”kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? bukankah ia prajurit Wira Tamtama?”
Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata, “entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”
“Apa?” bertanya yang lain
Orang itu menggeleng. Katanya, “kalau aku mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.”
Mereka itu pun kemudian terdiam.
Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka
duduk, seperti orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua
berteriak, “He, bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?”
“Oh,” sahut yang lain, ” hampir aku lupa kepada perintah itu.”
Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang
Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka
segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda keprajurutan.
Dengan pedang dilambung masing-masing berdua segera pergi menjemput
Tumenggung Prabasemi.
Meskipun kemudian tak seorang pun yang
bercakap-cakap, namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati,
apakah yang sebenarnya terjadi?
———-oOo———-
II
Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung
masuk kedalam biliknya dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang
menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar
sebuah tarikan napas panjang.
“Nah,” berkata Baginda, ”bukankah aku masih utuh?,”
Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba menjadi gelisah.”
Baginda kemudian memandangi kedua emban
yang duduk bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat
kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing masing emban.”
Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba Baginda.”
“Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, ”apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku pancung di alun-alun.”
Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya.
“Nah tinggalkan bilik ini.”
Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.
“Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri, “Kalau
aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami
bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang
berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang
mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”
Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit
pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah
yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan
yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum didalam hati. Putri itu
pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan
yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti
akan melupakannya.
Demikian kedua emban itu meninggalkan
bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya
serta apa yang telah terjadi.
Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita
yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta
merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah
putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh
kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.
“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri. “Padahal
menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk
menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan,
serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”
Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya
ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai
seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan kemarahannya
terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda
dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang
telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja,
Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini
masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang
tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama,
diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu
telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha
menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.
“Tetapi orang itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda didalam hatinya.
“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga keluarga istana?”
Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali
untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu
adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan
kadang, bukan sentana.
“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?”
“Hem.” Baginda menarik nafas
dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih
menyeka kedua belah matanya yang basah.
“Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”
“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.
“Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”
Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”
“Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”
“Akan diapakankah?”
“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”
“Hanya itu?”
Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa
Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat
mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara
keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak
muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji
Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti
mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat
mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang
mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah
Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari
mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti
Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.
Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya, “hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?.”
Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman
itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan
lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan
itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri itu juga.”
Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda,
apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku
yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda
memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri
adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda didalam
biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung
mempengaruhi hatinya.”
Permaisuri itu berhenti sejenak.
Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara
sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu.
Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda
atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas.
Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila puterimu
tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua.
Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari
kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak
akan terjadi.”
“Oh,” sahut permaisuri. “Baginda
telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari
sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin
puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi
lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu
pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis
yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya. Atau
mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup
tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara
meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan
cemburu, bermanja-manja atau merayu.”
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”
“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.
Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan
kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai
seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan
perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk,
kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda
berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu. Baginda
dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan
berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda
menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan
kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti,
betapa pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.
Meskipun demikian, Baginda masih ingin
untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih
diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat
ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka
setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini.
Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata, “Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.”
Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan
Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang
memiliki segala kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah
sambil berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat
terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas
bencana yang menimpa puterinya.”
Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya, “Aku
mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala
macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”
Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri.
Namun di kedua belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela
mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana
yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya
kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa
Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus
seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.
“Kenapa hal ini terjadi dengan
Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang
tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul
karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti
oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.
Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah,
aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah
puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk smeentara.”
Permaisuri menyembah, kemudian tanpa
berkata sepatah katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali
ke bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban tadi
duduk bersimpuh menungguinya.
“Kau masih disini?” bertanya Permaisuri.
Emban itu menyembah sambil menjawab , “Ampun Gusti”
Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu. Katanya, “kenapa kau menangis?.”
Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti”
“Apa yang kau takutkan?”
Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.
“Jangan takut,” berkata Permaisyuri, ”kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa”
Tetapi emban tidak berani mengangkat
wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri
berganti ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi
baginda tida berkata apapun.
Setelah permaisuri itu masuk kembali ke
dalam biliknya, maka segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka
pintu, baginda berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani Gustimu.”
“Hamba Baginda,” sahut emban
itu. Tetapi ia tidak berani masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak
memanggilnya. Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia
terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya, “apakah kau masih di muka pintu?”
“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”
“Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, ”aku ingin tinggal seorang diri”
Barulah emban itu berdiri dan kembali ke
biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis
sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah
goresan telah melukainya.
“Kenapa kau?,” tanya seorang temannya
Emban itu menggeleng.
“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”
“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak…..
Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya
apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa
kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka
menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang
jauh lebih muda daripadanya.
Dalam pada itu Baginda telah berjalan
menunju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat
dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu
pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.
Ketika Baginda sampai di pintu samping,
dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda
melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas
lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak
itu memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat
menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani
setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?”
Baginda menarik nafas. Kekagumannya
kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun
demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu
mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta
Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak
keras sekali.
Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang
tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam
sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika
kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika dilihatnya
Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta ia
menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba sama sekali tidak bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.”
Hampir Baginda tertawa melihat sikap
Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan
tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.
“Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.
“Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”
“Kenapa kau tidur?”
“Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.”
“Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?”
“Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.”
Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi
Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi
dan dua orang Nara Manggala.
Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda, “Masuklah.”
Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika
pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika
tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada
Tumenggung Wira Tamtama itu.
“Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar.
Dada Prabasemi pun serasa meledak
mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika
Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.
“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”
Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet
masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda
tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet menundukkan
wajahnya.
Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar
duduk bersila di hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian
menekurkan kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang
berdentang-dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.
Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi di sini.”
Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.
Sesaat Baginda masih berdiam diri.
Ditatapnya Tumenggung Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda
menjadi heran, kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan.
Karena itu maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”
Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”
“Apa yang tidak kau sangka?”
Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan
ketika sekali lagi ia memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet
masih saja tersenyum.
“Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?”
“Ya, ya, Baginda.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”
“Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar.
“Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”
Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga
Prabasemi sebagai suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian.
Dengan mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba sekali lagi
memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah menundukkan wajahnya.
“Gila, Setan, Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa”
Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah,
Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan
janji, bahwa apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka
umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”
Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”
“Dengarlah,” berkata baginda kemudian, ”apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?”
Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan, “Hamba, Tuanku.”
“Kau kenal namanya?”
“Hamba Baginda.”
“Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”
Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”
Baginda mengangguk anggukkan kepalanya.
Namun Baginda menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan
Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat melupakan
nasibnya sendiri.
“Prabasemi,” berkata Bagind pula, ”dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil darimu.”
Prabasemi terkejut mendengar kata-kata
Baginda yang tidak disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan
menjadi bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia
memandang wajah karebet.
Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda berkata seterusnya, “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.”
Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi
Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu
terkulai tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin
cepat.
Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya, “kenapa?.”
Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?”
Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi,
kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa
kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau.
Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak muda yang bernama Karebet.
Sedang kepada kakang Patihpun sama sekali aku tidak memberitahukannya.
Tetapi sekali lagi dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini
dari mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”
Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu
kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai
keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.”
Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak
kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan
ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu. Karena
itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil lagi. Meskipun
demikian ia masih mengumpat-umpat didalam hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.
Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh baginda, ”Ampun
Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet memang mempunyai tabiat kurang
baik. Sehingga, karena itulah ia melakukan perbuatan gila. Dengan
berbuat demikian, bukankah ia telah menghinakan tidak saja keluarga
Baginda, tetapi justru Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya
mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”
Karebet itu pun terkejut mendengar
kata-kata pemimpinnya itu, sehingga hatinya menjadi semakin
berdear-debar. Tetapi, Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena
itu, sambil mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”
Kini Prabasemilah yang terkejut bukan
alang kepalang. Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum
diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali
ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki
Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba.
Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba, memuji-muji puteri
baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk menemui puteri itu.
Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet hanya berkelakar dan
menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan
di luar istana. Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet
telah berbuat kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat
menebak apa yang telah dilakukannya.”
Darah Baginda serasa mendidih mendengar
kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka
dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang
terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung Brabasemi itu. Bahkan hampir
saja akan menjawabnya, dan mengatakan apa yang terjadi dengan
Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat
membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal lebih dari
fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan kepalanya.
Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila Baginda bertanya
kepadanya tentang kebenaran kata-kata Prabasemi itu.
Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya, “Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?.”
“Hamba Baginda” jawab Karebet sambil menyembah.
“Apa katamu tentang itu?”
“Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”
Jawaban Karebet itu benar-benar tak
disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan
membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam persoalan. Dengan
demikian Tumenggung itu akan dapat membuat Baginda semakin marah dengan
menuduhkan bahwa untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat
fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.
Baginda itu pun menjadi heran.
Kemarahannya yang telah memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar
jawaban itu. Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau berbuat demikan Karebet?.”
“Bohong!,” tiba-tiba Tumenggung
Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut,
disadarinya bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk
mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan gugup
Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”
Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya,
sebenarnyalah anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak
kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan
Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam
pelbagai persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada
Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun
demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan batin yang
mengagumkan.
Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada
suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang
memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda
berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku
jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah
ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya mengawasi bandar
Bergota.”
Prabasemi benar-benar terkejut mendengar
keputusan itu, seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang.
Karebet yang telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu
tiba-tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia
bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-akan tidak
pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-kesulitan hidup yang lain,
tiba-tiba menangis di bawah kaki Baginda. Bukan karena ia akan hidup
lebih lama lagi, namun terasa olehnya, betapa kasih Baginda itu
kepadanya.
Karena itu, justru ketika ia merasakan
bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari
tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia
menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya, dan ia
menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat besar bagi
adat kehidupan Demak.
Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi.
Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda.
Ternyata Karebet itu sama sekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya
sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada
saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak
masih terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia
baru akan dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada
Baginda, dicobanya juga untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah pertimbanganmu Prabasemi?”
“Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.”
Karebet yang sudah duduk kembali itupun
memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan
Tumenggung itu. Tetapi Karebet sama sekali tidak dapat mengatakan apakah
yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu. Karena itu,
yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat didalam hatinya.
Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata, “Prabasemi.
Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang
raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau,
bahwa setiap pengkhianat harus dihukum mati. Tetapi Karebet
tidak berkhianat. Ia hanya sekedar melakukan hubungan yang wajar antara
seorang pria dengan wanita. Tetapi caranyalah yang sama sekali tidak
wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti
menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua kalinya. Dan
apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali ini
diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.”
Prabasemi itu mengerutkan keningnya.
Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu
sekali lagi diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah
menjadi contoh yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba
akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang
prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan
perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit
yang lain.”
“Peristiwa ini tak akan dapat
dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang
pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan
alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”
Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika
sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi
tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada anak
muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau sampai anak cucumu.”
Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.
Bilik itu kemudian dicengkam oleh
kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali
lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia sama sekali tak
mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas,
jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya.
Ketika Baginda sedang berpikir, maka
Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi
permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi sedang
mencari cara lain yang sama sekali tak akan mudah diketahui. Tetapi
betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda
sangat sayang kepada Karebet.
Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya, “Baginda.
Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada permohonan yang paling
keras untuk menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan
perasaan, setelah hamba mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat
itulah yang telah mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi
dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak
dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi mendapat
kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan
menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka
setiap kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam
lingkungan keprajuritan, untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri
telah mendapat tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”
Baginda tidak segera menjawab kata-kata
Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi.
Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas perbuatan
Karebet itu. Namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam
dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila
pula. Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai
maksud-maksud yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan
oleh Karebet. Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain
daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.
Setelah Baginda menimbang beberapa saat,
akhirnya Baginda membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda
mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri sebagai ibu
putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet, yang dapat
dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu lagi.
Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk
membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak
itu sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid,
namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya.
Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak
itu adalah cucu Pangeran Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.
Mudah-mudahan mereka kelak dapat
melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan
anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat
dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab
sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada
orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-kata Prabasemi, bahwa kelak
dapat diambil kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan
tempat yang wajar bagi seorang putri raja.
Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet, apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?”
Karebet menyembah sambil membungkukkan
badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak
senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi bertambah-tambah.
Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti apapun yang
dapat diajukannya apabila ia ingin menceriterakan tentang maksud-maksud
Tumenggung yang licik itu.
“Nah, Karebet. Segala keputusan
adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali
ini, adalah tanggung jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru
tentang dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang
Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-pertimbangan lain.
Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu keputusan. Kau sejak
saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak ini bukan
keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan
apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan
dirimu lagi sampai keputusan ini aku cabut.”
Dada Karebet berdesir mendengar keputusan
itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah
sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia
mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan dan
disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika
disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun
kemudian mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan
dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus
mendapat hukuman.
Dan Karebet pun kemudian menerima setiap
keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan
Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak mempunyai
maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk
menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk
pergi ke Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda
telah menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan
sekadar pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang
diucapkan.
Mendengar keputusan Baginda, kembali
Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya,
seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam
perasaannya.
“Karebet…” kata Baginda kemudian, “Keputusan
itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan
istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”
“Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan
Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk
berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika
kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat
Karebet, harus mengusirnya.”
Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah
dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.
“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan,
bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya.
Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”
Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?”
Prabasemi merenung sejenak. Kemudian
katanya, “Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik.
Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh
seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah
Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin
menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”
“Setan,” desis Karebet di dalam
hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa
persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di
hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya.
Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.
Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat.
Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri.
Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali
ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran,
kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya,
ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan
darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada
Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat
melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi
seorang yang berharga bagi Demak.
Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut
keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda
menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat
ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui
keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda
kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada
siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi
hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.”
Karebet itu pun menyembah di kaki
Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata,
anak muda itu berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang
tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah
keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”
Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik.
Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak
saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini.
Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari
istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”
Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata, “Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”
Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”
Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”
“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”
Baginda tidak segera menjawab. Bahkan
Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu
menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang
langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda
menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak
tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu.
Karena itu maka berkata Baginda. “Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”
“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”
Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”
Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”
“Pergilah,” sahut Baginda.
Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”
———-oOo———-
III
Karebet sama sekali tidak menjawab.
Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu.
Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas
bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena
ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat
teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa
Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun
tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian
ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya
kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir
Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil
menundukkan wajahnya.
Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya, “Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”
Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat, “Sudah.”
“Apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.
Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki Baginda terkilir.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”
“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet, “Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”
Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran.
Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba
ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi
tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin
Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci.
Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”
Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.
Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”
Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”
Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah milikmu itu?”
“Pakaian, Ki.”
“Itu saja?”
“Ya.”
“Biarlah aku tukar dengan uang.”
“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”
Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata, “Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”
Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka
berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam
pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”
Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.
Sebenarnya Karebet sama sekali tidak
sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk
pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.
Demikianlah setelah Karebet itu
menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera
keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa
lembar pakaian.
“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.”
“Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.”
Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.
Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata, “Aku
telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan
persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu
kepada Kiai.”
Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.”
Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.
“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.
Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka
Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda
dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun
demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan
kepala tunduk.
Malam semakin lama semakin dalam
menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di
rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut
bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya.
Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.
Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan
dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka
takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke
akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di
timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.
“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”
Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di dalam hati.
Perjalanan mereka yang cepat itu tidak
memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka
sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah
persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah
seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak
terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis
binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.
Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.”
Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kenapa sampai ke hutan itu?”
“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”
“Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.”
“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.
Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung
Prabasemi itu berjalan di sampingnya.
Sesaat kemudian mereka berdua saling
berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet
mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi
membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.
Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia
tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri
jalan-jalan kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara
batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi
yang tertiup angin basah dari pegunungan.
“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.
Karebet masih berdiam diri.
“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”
Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang
wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia
masih berdiam diri.
“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”
“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.
Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit,
memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika
aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa
sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di
Kaputren.”
Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.
Tumenggung Prabasemi yang menunggu
jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar
pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah lama
mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu
kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”
Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar
karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri.
Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang kasempatan itu datang juga.”
“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.
“Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak
aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka
sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus
asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku
tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk
menyingkirkan kau dari daerah istana.”
Debar dijantung Karebet itu menjadi
semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat
tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang
tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus “Karebet,
selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha
dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan
sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu
setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.
Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu
Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini.
Tetapi Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”
Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan
tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi
semakin muak kepadanya.
Sementara itu kaki-kaki mereka terayun
terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih
sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang
pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam
hari.
Semakin dekat mereka dengan hutan itu,
semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi
semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat
berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah
Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”
Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu”.
“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.
Karebet semakin tidak tahu maksud orang
itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar
ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata
Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu”.
Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku
Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak,
namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke
istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini,
adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau dengar?”
Jantung Karebet tiba-tiba terguncang
keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang
dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya
tiba-tiba menjadi gemetar.
Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet,
kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku
disamping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri.
Dari emban itu pula aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu
pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.
Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama
kau masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau
untuk kembali ke istana, dan memungkinkan kau berceritera tentang aku.
Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu
sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu, namun Baginda masih
juga sayang kepada nyawamu. Sehingga kau masih akan diberi kesempatan
untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian Karebet, aku benar-benar
tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan
apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala,
maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”
Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
“Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.”
“Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak
berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari
hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan
berbuat melampaui putusan Baginda?”
Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena
itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi.
Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan
berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa
yang telah aku lakukan.”
“Tetapi lambat laun Baginda akan
mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau
kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”
“Tak seorang pun akan menemukan
mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan
serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya
menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.”
Karebet kini tidak dapat berkaka apapun
lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan
kadang-kadang terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung
Prabasemi masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini.
Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu keputusan,
melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku itu.
Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri
kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu.
Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada
tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah
yang harus aku pukul supaya kau…”
“Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang.
Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga
kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh
Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka.
Karebet sama sekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu
gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya.
Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi
terbungkam.
Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet,
apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku?
Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk
membunuh seseorang ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling
mengerikan yang dapat aku lakukan.”
Dada Karebet seakan-akan
terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu.
Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba
menjalarlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia
menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya
sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba
ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan
hubungan apapun lagi antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara
dirinya dengan tatacara Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat
kepuasan yang membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu
menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini seakan-akan
anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-main. Karena itu
tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.
Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, ”Setan. Kau sangka aku bermain-main?”
“Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, ”aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main”
“He, apa katamu?, kau hanya njangkar saja menyebut namaku?”
Karebet itu kini tidak hanya sekedar
tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa
tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian
herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?” katanya didalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.
Berkata anak muda itu, “Prabasemi.
Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama
lagi. Apabila demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku
menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada dibawah
pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi orangmumu. Sehingga antara
Karebet dan Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku
menghormatimu. Kalau kau sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak
memanggilmu tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi.
Prabasemi, kau dengar?”
“Setan,” geram Prabasemi. Kini
ia tidak saja lagi dipenuhi dendam didalam dadanya, tetapi
kemarahannyapun telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He
Karebet, apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan
kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk memilih cara yang
sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau menumbuhkan kemarahanku,
sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang dengarlah, aku akan
membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat?
jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.”
Betapapun juga, bulu roma Karebet
meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara
mengerikan karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu memberontak
terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai
contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu
dengan cara yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri
setelah diikat pada sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah
itu.
Prabasemi melihat perubahan di wajah
Karebet. karena itu timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat
lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan
kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap
pertempuran. Namun pertempuran-pertempuran yang pernah kau alami adalah
pertempuran-pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga
hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung
Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Tumenggung Prabsemi
adalah seorang tumenggung yang ditakuti.”
Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu tertawa kembali sambil berkata, ”Prabasemi.
Jangan membual. Kau memang sedang memilih cara kematian yang
sebaik-baiknya. Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati.
Tetapi, aku lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah
kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan
sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”
“Tutup mulutmu!,” bentak
Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu tiba.”
“Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”
“Gila!,” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Mampus kau anak gila.”
Prabasemi itu menconcat dengan garangnya
menyerang Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar
ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya. Karebet benar-benar
akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu.
Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak
dengan lincahnya. Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan
dirinya dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai
Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku nasehat, sebagai
seorang Wira Tamtama seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju
bertempur, maka ia akan maju terus. Hanya kematianlah yang dapat
menghentikan gerak maju itu. Dan bukankah kini aku sedang memenuhi
nasehat Kiai Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.”
“Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, ”atau aku harus menyobeknya.”
“Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.”
“Anak Setan,” geram Prabasemi.
Sedang kemudian serangan yang keduapun telah melucur dengan cepatnya.
Sebuah tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali
ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-sifatnya yang
aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut
mengalami serangan yang sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia
berkata, “Prabasemi, kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai
harganya. Kalau aku mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana.
Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua kesempatan.
Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan mendapatkan puteri yang cantik
itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau
gila juga seperti aku. Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi
isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama
menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut
Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”
“Tutup mulutmu,” Prabasemi
berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna bersahut-sahutan didalam
rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan
kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-benar tangkas.
Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai dua kali tanpa tersentuh
sama sekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin menyala-nyala
seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi
dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya,
seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya.
Karebet mengerutkan keningnya. Serangan
ini benar-benar berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat
tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada perkelahian
itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang mampu
bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu pun mampu
mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya,
dan bahkan kini serangan-serangannya pun datang pula seperti badai
diudara yang dengan dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa
dirinya raja dari seluruh langit itu.
Demikianlah pertempuran itu menjadi
sangat serunya. Masing-masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang
surut. Masing-masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu
daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun
bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah. Ranting
ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan.
Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah dibajak, dan tumbuh-tumbuhan
perdu dan batang-batang kecil telah roboh terinjak-injak kaki mereka.
Perkelahianpun semakin lama menjadi
semakin seru. Masing-masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya.
Lebih-lebih Prabasemi. Ia telah pernah mendengar dan melihat sendiri
beberapa kelebihan Karenet dari kawan-kawannya prajurit-prajurit Wira
Tamtama yang lain. Namun tidak disangkanya anak itu mampu melawannya
sampai beberapa lama dalam tingkatan yang sejajar. Karena itu maka
Tumenggung itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Yang ada
didalam otaknya adalah membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara
apapun.
Sedang Karebet pun sebenarnya mengagumi
pula ketangkasan Prabasemi. Tumenggung yang masih cukup muda, meskipun
agak lebih tua daripadanya. Namun ketangkasannya telah sedemikian
tingginya, sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa Prabasemi cepat
menanjak ketempatnya yang sekarang. Namun sayang, Tumenggung sakti ini
mempunyai sifat-sifat yang kurang pada tempatnya. Tumenggung itu terlalu
kejam dalam hampir segala tindakan yang diambilnya. Terlalu bernafsukan
harga diri dan kebanggaan atas tingkatan-tingakatn yang pernah
dicapainya. Apalagi kini ia menjadi semakin gila lagi dengan harapan
yang tumbuh didalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.
Tetapi kemudian Karebet pun berkata didalam hatinya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung itu?”
Karebet itu tersenyum. Tetapi tiba-tiba
senyumnya lenyap seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi
hampir mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat
mengarah ke pergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya
sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu bahkan ia masih mampu
berputar diatas tumitnya dan dengan tumit yang lain menyambar perut
Prabasemi. Tetapi Prabasemi tidak membiarkan perutnya menjadi sakit.
Cepat ia menggeliat, dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya
yang buncit.
Perkelahian itu berjalan semakin sengit.
Prabasemi benar-benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun
melayani dengan sepenuh tenaga.
Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan
mereka agak berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi
seorang sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya tumbuh
didalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik. Namun Karebet
adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih secara teratur, namun
ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi. Namun karebet adalah seorang
yang anak gembala dan sekaligus seorang perantau. Tubuhnya seakan-akan
ditempa sekitarnya. Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus
dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi kawan
gembala dari segala sergapan para pencuri ternak. Pengalaman yang
diperolehnya di Karang Tumaritis bersama pamannya dan kemudian Arya
Salaka, disamping Endang Widuri. Semuanya itu telah menempa tubuh
Karebet menjadi sekeras tembaga, tulang-tulangnya sekeras besi dan
otot-ototnya seliat jalur baja.
Itulah sebabnya semakin lama pertempuran
itu menjadi semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan
bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat menyamai
Karebet.
Prabasemi pun akhirnya merasakan keadaan
itu pula. Karena itu, betapapun betapapun jantungnya bergejolak dengan
dahsyat. Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah membakar
darahnya sehingga seakan-akan mendidih. Telah dikerahkan segenap tenaga
dan kecepatannya untuk mengalahkan lawannya, namun Karebet ternyata
memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Karena itu, sekali-sekali
terdengar Prabasemi menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan
yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Karena itu setelah ia yakin bahwa ia
tidak akan dapat mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali
menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir. Sebenarnya
malu juga Tumenggung Prabasemi itu. Melawan anak-anak yang selama ini
menjadi reh-rehannya, masih harus menggunakan ilmu simpanan
yang jarang-jarang sekali dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai
jalan lain daripada itu. Ilmu itu adalah ilmu gerak yang luar biasa.
Ilmu yang dinamai oleh gurunya Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila
ilmu itu dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti
menghalau angin.
Demikianlah ketika tidak ada jalan lain
yang dapat dilakukan untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh
Karebet itu atasnya, serta tuntutan dendam yang membara di dalam
dadanya, maka Prabasemi itu pun segera meloncat mundur. Secepat kilat
ditrapkannya ilmu gerak itu, Aji Sapu Angin. Dijulurkannya kedua
tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua lututnya
ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan menelentang
dilambungnya. Itulah pertanda, gerakan-gerakan pertama dari unsur Aji
Sapu Angin.
Karebet terkejut melihat sikap itu.
Tetapi ia segera menyadari bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu
tertingginya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi,
sedang tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai dimana
tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan kecepatan bergerak
serta tenaganya, namun ternyata masih belum dapat menyamainya. Karena
itu, ketika ia melihat Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka
Karebet tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang
kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah jarang-jarang
dimiliki oleh seseorang. Lembu Sekilan. Bahkan dalam pada itu, masih
sempat juga Karebet berkata, “Ait apakah kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?.”
“Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya. Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.
Karebet terkejut melihat gerak itu, namun
gerak itu terlalu cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali
ini Karebet benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka
serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet. Sambaran
tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-benar terasa
menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka Karebet terdorong
beberapa langkah.
Ketika Prabasemi merasakan sentuhan
tangannya itu, serta melihat bahwa Karebet benar-benar tak mampu
menghindari serangannya yang dilontarkan dalam lambaran ajinya itu, maka
terdengar Prabasemi itu berteriak, “Tataplah langit, peluklah bumi, Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”
Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung
Wira Tamtama itu, ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah
surut, terbanting ditanah dan berguling beberapa kali. Namun kemudian
dengan tangkas melenting berdiri diatas kedua kakinya yang meregang.
Sekali ia menyeringai, namun kemudian terdengar tertawa lirih. Katanya
sambil menarik nafas dalam-dalam, “Hem, alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?.”
Prabasemi menggigil karena marahnya.
Giginya beradu sehingga hampir-hampir menjadi patah. Betapa ia melihat
Karebet masih tegak berdiri dengan mulut tertawa.
“Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu mengumpat tak habis-habisnya.
Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata, “Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
“Lembu Sekilan?,” tanpa sesadarnya Prabasemi itu mengulangi. Berbagai perasaan berputar-putar di dalam lenaknya. “Lembu Sekilan?,”
berkali-kali Tumenggung itu mengulangi didalam hatinya. Hampir-hampir
ia tidak percaya. Tetapi, ia mengalaminya sendiri. Sentuhan ajinya yang
selama ini dibanggakan, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Lembu
Sekilan. Ajinya hanya mampu mendorongnya jatuh, namun anak itu tetap
segar. Bahkan masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.
Karebet masih berdiri di tempatnya. Ketika ia melihat Tumenggung itu menjadi tegang, maka katanya, “apakah kau sudah siap untuk membunuhku dengan cara yang sama seperti kau membunuh Bahu dari Tunggul?.”
Prabasemi memggeram. Alangkah panas hatinya mendengar ejekan itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia menjawab, “aku akan melakukannya lebih daripada itu!.”
“Bagaimana kalau sebaliknya?” balas Karebet.
Dada Prabasemi hampir meledak karenanya.
Karena itu maka sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya.
Dengan cepatnya ia meloncat, melontarkan sebuah pukulan yang dahsyat ke
arah wajah Karebet. Kali ini pun Karebet kalah cepat dari Aji Sapu
Angin, sehingga sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah, namun
ia tidak lagi terbanting jatuh.
Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya, “Gila juga Aji orang ini.”
Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya
kesempatan. Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke
perut Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya
segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali ini
Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan antara kekuatan
lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya sekalipun serangan Prabasemi
membenturnya namun Karebet tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan
kemudian anak muda aneh itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya
segenap kemampuan yang setinggi-tingginya. Namun ia sama sekali belum
mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.
Meskipun demikian ternyata Karebet tidak
segera dapat dikuasai lawannya. Meskipun serangan-serangan Karebet tidak
begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun karena
Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa lawan telah
mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya, bahkan sudah sampai pada
tahap ilmu yang terakhir.
Prabasemi semakin lama semakin cemas dan
bingung. Benar-benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki
kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa lurah Wira
Tamtama muda ini tidak lebih ataupun tidak jauh terpaut dari
kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti anak setan.
Karebet itu pun semakin lama semakin
menyadari akan kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu
Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya sehingga dengan
demikian maka seakan-akan Prabasemi sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk melawan. Meskipun ajinya juga mampu mengurangi tekanan
tangan Karebet yang menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh
Prabasemi, bahwa Karebet telah mampu melampauinya.
———-oOo———-
IV
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak
dapat menarik lagi ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh
Karebet itu. Ia sudah berkata bahwa apapun yang terjadi, maka maksudnya
itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itu pun telah berkata bahwa
mereka kini sedang berkelahi untuk satu taruhan.
Karena itu, maka tidak ada satu pun jalan
untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah di
wajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia sama sekali
tidak akan dapat membunuh Karebet itu, tetapi ia pasti bahwa Karebet
akan mampu membunuhnya.
Prabasemi bukanlah seorang penakut. Ia
adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali
berjuang melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan
bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya, benar-benar
sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini mati dalam
perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar. Meskipun demikian, ada
juga suatu yang bergetar di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak takut
mati. Namun mati karena anak muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak
senang juga. Walaupun demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya.
Demikianlah perkelahian itu menjadi
semakin seru pula. Aji Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat,
sehingga apabila Aji itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar
perkelahian itu maka terdengarlah suaranya berderak-derak patah.
Pohon-pohon muda dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah
perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang
menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan serta menggugurkan
daun-daunnya.
Apabila pertempuran itu terjadi di siang
hari, maka dari kejauhan akan nampaklah daun-daun yang
berguncang-guncang dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah
berhamburan, karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.
Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak
mampu menembus sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan
Karebet untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi.
Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan berkali-kali
ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan. Serangannya telah
benar-benar mengenai sasarannya, tetapi Karebet seolah-olah telah
menjadi kebal.
Namun kemudian ternyata, betapa
dahsyatnya Aji Sapu Angin itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan
jasmaniah Tumenggung Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras
tenaganya dalam kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran
ilmu di dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka
kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula.
Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet,
segera melihat apa yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa
peluh dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut mati,
tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya itu.
Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari seorang anak
yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula dalam keprajuritan.
Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira Tamtama.
“Apa boleh buat” desisnya, “Kalau mungkin, biarlah kita mati bersama”, katanya dalam hati.
Kini Karebet mendapat kesempatan lebih
banyak lagi dari beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena
kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun dipergunakan
sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak menyerang dengan
dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dari segenap
arah, menyerang hampir ke setiap permukaan tubuh Prabasemi. Dan
terasalah ujung tangan itu menyengat-nyengat seperti kerumunan
beribu-ribu lebah. Meskipun demikian Prabasemi sama sekali tidak
menyerahkan dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya
setiap kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya tidak
dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga Karebet,
seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian meloncat maju dengan
garangnya.
Demikianlah, maka lambat laun, tenaga
Tumenggung Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin
lama semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin menekannya.
Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika
ia sempat menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna semburat merah
membayang dilangit yang biru.
“Hampir fajar”, keluhnya. “Fajar terakhir”.
Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh
lagi. Dengan dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi
telapak tangannya. Tumenggung Prabasemi terguncang, dan kemudian
terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan nafasnya menjadi
sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama. Setiap kali ia
berteriak-teriak dihadapan anak buahnya, bahwa tak ada kemungkinan
melangkah mundur bagi Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati.
Demikianlah pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat
yang paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan
pedih-pedih didalam dadanya, namun Prabasemi itu masih berusaha untuk
tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki Karebet dengan kakinya.
Namun dengan lincahnya Karebet itu meloncat, dan seperti gunung yang
runtuh menimpa dadanya, kaki Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang
iga Tumenggung Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya.
Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa langkah dan kembali ia terbanting di tanah.
Terdengar Tumenggung itu menggeram.
Karebet masih melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun
ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi terjatuh
tertelungkup.
Karebet itu segera meloncat ke depan.
Kebenciannya kepada Tumenggung itu benar-benar meluap sampai ke
ubun-ubunnya. Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju
Prabasemi yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu
terangkat, sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah
Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jatuh menelentang.
Karebet yang masih dikuasai oleh
kemarahannya itu segera meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa
dadanya berdesir tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka
tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak
samar-samar darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini sama
sekali tak bergerak-gerak lagi.
“Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet. Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.
Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis, “Masih hidup”.
Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak
muda yang aneh itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan
mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi kalau
Tumenggung yang mati, maka pasti segera aka diketahui Sultan Trenggana
tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi pergi mengantarkannya sampai
keluar kota. Kalau kemudian Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali
kerumahnya maka Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya
Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi.
Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti
akan menjadi sangat murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang
untuk menangkapnya. Hidup atau mati.
Sekali lagi Karebet meraba tubuh
Prabasemi. Ia menjadi sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa
Tumenggung itu benar-benar belum mati.
“Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara didalam relung hatinya. “Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha membunuhku pula?”
Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan
wajahnya. Sebenarnya Karebet sama sekali tidak takut pada hukuman mati
itu. Kini ia telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak didalam
dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang jauh
lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa kemurahan hati
Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan Trenggana berusaha
mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Limpahan
kemurahan hati sejak ia dipungut oleh Baginda dari tepi kolam, kemudian
diangkat menjadi Wira Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah
menganugerahkan pangkat Lurah.
Karebet menarik nafas dalam-dalam.
Apalagi kalau pamannya kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya.
Membunuh dan karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil.
Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu.
Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi. Diangkatnya
kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.
“Kiai, Kiai Tumenggung” panggilnya.
Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena
itu Karebet menjadi bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia
menggerakkan tangan itu, maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang
tretes intan berlian melingkar diperut Tumenggung itu.
“Hem” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”
Tetapi, Karebet menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh
ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi
serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan
melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu
dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.
Karebet semakin lama semakin gelisah.
Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada
membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa
menunggunya.
Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet
kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia
mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa
marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet
melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah
yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.
“Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,”
desisnya. Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan
sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya
serigala itu.
Terdengar serigala itu melengking tinggi.
Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat
kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum
dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
“Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”
Kini kembali Karebet merenungi wajah
Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan
ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak.
Seperti anak-anak mendapat mainan,
Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan
tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu, “Kiai, Kiai Tumenggung.”
Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.
Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah
tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah
menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin
fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan
mengalir kembali.
Namun ketika sekali lagi Karebet melihat
Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak
menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar,
dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi
menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat,
Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari
tempat Prabasemi itu berbaring.
Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan
menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Karebet yang
bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah
Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak?
Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama
menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap
tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha
menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
“Hem….” Prabasemi kembali
mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit.
Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.
Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram. “Di mana setan itu?”
Tetapi kembali ia menyeringai.
Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya
terbaring untuk beberapa lama.
Di langit bintang-gemintang menjadi
semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya
kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok
bersahut-sahutan.
Prabasemi menarik nafas. “Ternyata aku masih hidup,”
desahnya. Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh
tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian
bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk.
Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
“Gila!” geramnya.
Karebet yang melihat kesulitan itu,
menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak
menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya,
keinginan itu ditahannya kuat-kuat.
Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami
kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya.
Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh
kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia
berteriak “He, di mana kau?”
Namun kemudian, nafasnya menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya.
Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar
tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian,
maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali
dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan
berpegangan pada batang-batang pohon Tumenggung itu mencoba untuk
berdiri.
“Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya. “Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.”
Sekali lagi Tumenggung itu memandang
berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu
tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak, “He Karebet, anak setan. Jangan bersembunyi.”
Karebet mengumpat di dalam hatinya.? “Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak?”
“He Karebet, pengecut,” katanya. “Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.”
“Gila!” Hampir-hampir Karebet
menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya,
ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana.
Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam, “Awas
kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan
dengan tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”
Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam
hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung.
Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon
berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas
cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis, “Hari telah pagi.”
Dan karena itulah maka langkahnya
terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau
ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang?
Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya. “Hem. Masih lengkap,” gumannya.
Dengan hati-hati dicobanya untuk
memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia
terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”
Kemudian ia menjenguk dari balik
dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun
sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua
tangannya.
Kini Karebet tinggal melihat kedalam
dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia
menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia?
Beberapa saat Karebet diam termenung.
Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak
oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun
tersenyum, gumamnya seorang diri, “Kasihan Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.”
Tetapi kemudian disadarinya, bahwa tempat
itu cukup berbahaya baginya. Kalau Tumenggung yang mendendamnya itu
sempat, pasti ia akan datang kembali dengan beberapa orang untuk
menangkapnya dan membunuhnya.
Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam
Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia
mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa
mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya.
Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di
pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia
menjadi ragu-ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu
di sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat
wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah
biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda
darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.
“Setan. Anak setan” umpatnya tak habis-habisnya .
Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa
menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau
seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira
Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka
bertanya, apakah sebabnya.
Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet.
Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa
di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar.
Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang
dapat dilakukannya untuk membalas dendam.
“Hem,” katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya. “Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba Prabasemi tersenyum, “bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?”
Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya.
Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
“Kakang Sembada harus berangkat malam nanti” desisnya.
Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan
gelisah Prabasemi berjalan hilir mudik didalam hutan. Sekali kali ia
membaringkan tubuhnya diatas rumput-rumput keringt, namun kembali ia
berjalan hilir mudik.
Namun udara hutan yang segar telah
menyegarkan badannya pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih
kembali. Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah
tidak terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemukannya.
Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir
tidak sabar lagi, maka matahari itupun tenggelam diujung Barang.
Cahayanya yang merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang
mengambang di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun
dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.
Prabasemi menarik napas dalam-dalam.
Kemudian dengan cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang kerumahnya.
Di sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh
anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.
Dan apa yang disangkanya itu benar-benar
terjadi. Ketika Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa
orang prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang
melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak, “Itu Kiai Tumenggung Prabasemi.”
Beberapa kawan-kawannya yang lain pun segera berkumpul. Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat.
Prabasemi datang dengan langkah tegap.
Meskipun kakinya masih terasa agak sakit, namun sama sekali ia tidak
timpang. Ia berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam
barisan.
Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung yang malang itu mendahului membentaknya, “Apa yang kalian kerjakan disini?”
Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kami
mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari ini kami tidak melihat kiai. Ketika
kakang lurah Santapati menghadapi Kiai, maka dijumpainya rumah ini
kosong, sehingga kakang lurah menjadi bingung. Setelah kakang
lurah menunggu sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga
datang, mnaka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai,
dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.”
“Gila, dimana Santapati?.”
“Di belakang.”
“Panggil dia”
Seorang prajurit segera berlari
kebelakang memanggil lurah Wira Tamtama Santapati. Santapati yang dengan
gelisahnya duduk di serambi belakang karena Tumenggungnya sehar-harian
tak dapat diketemukan, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat seorang
prajurit berlari-lari.
“Ada apa?” bertanya lurah itu
“Ki Tumenggung sudah datang.”
“Dimana sekarang?”
“Di serambi depan. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai Tumenggung.”
Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi
depan untuk menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang
mendengar laporan itu menjadi gembira pula karenanya. Meskipun Prabasemi
selalu membentak-bentak mereka, namun kalau maksudnya untuk sesuatu
tercapai, maka tidak segan-segan Tumenggung yang garang itu memberi
mereka hadiah.
Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat sambil berkata, “Selamat datang Kiai Tumenggung.”
Tumenggung itu memandangnya dengan tajamnya. Kemudian katanya parau, “He. Apa yang kau kerjakan di sini?”
“Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami temukan sehari tanpa kami ketahui kemana Kiai Tumenggung perginya.”
“Gila kau, Bukankah aku Tumenggung
Prabasemi? Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku
sudah cukup mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku
memerlukan kalian?”
“Ampun kiai. Kami hanya menjadi gelisah dan tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”
“Kau sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung Prabasemi?”
“Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan. “Kami hanya mencoba untuk menghubungi Kiai.”
“Bodoh kalian,” gumam Prabasemi. “Tetapi biarlah aku maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian diteruskannya, “Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?”
“Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami anggap hilang.”
“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi. “Jangan
sebut itu lagi. Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku
semalam. Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah
mendapat sesuatu di sana.”
“Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.
“Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu.”
Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa
Prabasemi baru datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian
kotornya, bahkan tubuhnya pun kotor pula, bahkan wajah Tumenggung itu
nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu mengawasinya
tanpa berkedip maka teriaknya, “Apa yang kau lihat?”
Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu dengan tergagap ia menjawab, “Tidak apa-apa Kiai.”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Lihat, apa yang telah terjadi di hutan Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor serigala belang.”
“Oh” Santapati terkejut.
“Untung aku berhasil membunuhnya”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya
dengan penuh kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata
apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor harimau belang.
“Nah,” kata Tumenggung itu kemudian, “Kalian sekarang harus pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah kau masih melihat Karebet sehari ini?”
Santapati menggeleng. “Tidak Kiai.
Kami juga menjadi gelisah karenanya. Sehari ini kami tidak dapat
menghubungi Kiai Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada
di tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung pula.
Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di istana. Sehingga
karena itu mereka akan menunggu sampai besok pagi.”
“Hem,” Prabasemi menggeram, “Benar,
Karebet berada di istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini,
Karebet tidak boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit
Wira Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk
membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari tata
pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat perlindungan apapun
dari kerajaan.”
Santapati terkejut. Karebet adalah
seorang anak muda yang baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang
dapat diceriterakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda itu
seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat berceritera
tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang di dalam
hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia, sampai ceritera
tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang pernah dikunjunginya.
Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari Demak?”
“Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?” Tumenggung itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya, “Ya.
Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat kesalahan.
Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang anak muda yang
ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama. Namun anak muda itu
agaknya telah menyakitkan hati Karebet, sehingga keduanya bertengkar.
Namun Karebet memiliki kelebihan dari anak muda yang bernama ….” Prabasemi diam sejenak. Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia berkata, “Namanya Dadungawuk.”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi berkata., ”Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri. Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”
“Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula. “Sayang,” desisnya. “Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka bertengkar?”
“Itu dapat terjadi dalam hubungan
perseorangan. Mungkin Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah
menyeret nama Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk.
Apakah kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari
kita berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira Tamtama?”
Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya, “Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga setiap orang boleh membunuhnya?”
“Bukankah dengan demikian, berarti
bahwa kita, Baginda sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat
dengan perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh
bagimu.”
Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk,
namun keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar
peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan kepadanya bukan
Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti tidak akan percaya. Tetapi
kali ini yang mengatakan adalah atasannya dan atasan Karebet itu pula.
Apalagi sebelum peristiwa ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu
dekat dengan anak muda itu.
Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu membentaknya, “He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi. Sekarang kalian boleh pergi.”
“Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak. ”Baik, baik Kiai. Baiklahaku mohon diri bersama anak-anak”
Tetapi, ketika Santapati mulai bergerak, maka Tumenggung itu berteriak, “Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk datang kemari malam ini. “
Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia
memutar tubuhnya kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk
dalam ia bertanya, “Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?”
“Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?”
“Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui
ada tiga. Lurah Pasar Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang
satu lagi Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”
“Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak. Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara mereka.”
Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata. “Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.”
“Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”
Santapati mengerutkan keningnya. Aneh.
Prabasemi memerlukan memanggil seorang jagal dari Kedung Wuni. Apakah
Tumenggung ini akan mengadakan selamatan dengan menyembelih beberapa
ekor lembu setelah ia mendapatkan sesuatu dari hutan Santi? Tetapi
Santapati tidak berani bertanya. Sekali lagi ia menganggukkan kepalanya
dalam-dalam, kemudian mohon diri meninggalkan rumah Tumenggungnya itu.
Walaupun di sepanjang jalan tak habis-habisnya ia berpikir. “Buat apakah Kiai Tumenggung memanggil jagal Kedung Wuni?”
Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.
Ketika Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka bertanyalah Sembada, “Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang melakukannya?”
“Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak
dapat meninggalkan pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka
keadaanku akan menjadi lebih buruk.”
“Tetapi kemungkinan untuk mengetahui
bahwa Kakang yang melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku
yang melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat menghubungkan setiap
peristiwa. Prabasemi tidak ada di rumahnya pada saat orang menemukan
mayat Karebet. Tetapi orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang
Sembada berada dirumah atau tidak pada suatu saat.”
Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
matanya terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan
timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang itu telah
menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi mempermainkan timang itu,
maka bertanyalah Sembada, “Adi Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?”
Prabasemi tersenyum. “Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang harus membawa lima atau enam kawan.”
“Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak, “Apakah anak itu anak setan?”
“Bukan, sama sekali bukan. Tetapi aku
ingin kali ini tidak akan gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga
daripada Kakang harus mengulanginya lain kali.”
“Baik. Baik,” sahut Sembada, “Tetapi ke mana aku harus mencari?”
“Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia
adalah murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke
rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama Jaka
Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang harus melakukan
pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum anak itu sempat sampai ke
rumahnya dan berceritera tentang dirinya, supaya tak seorang pun yang
akan meributkannya. Ibu angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih
berada di istana sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang
menemukan mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga
Dadaungawuk yang telah membunuhnya”
“Siapa Dadungawuk itu?”
“Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh Karebet itu.”
Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan aku.”
“Semuanya harus dicoba. Malam ini
sebaiknya Kakang berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat
kakang kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari
itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah dapat
menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya yang dapat
melindunginya, Lembu Sekilan.”
“Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak. “Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?”
“Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?”
Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin
memang dapat dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya
yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika Sembada baru
mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi berkata, “Lembu
Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena itu Kakang jangan cemas
karenanya. Meskipun demikian kawan-kawan kakang pun harus mampu
menyesuaikan diri dengan ilmu anak itu. Mungkin dengan senjata masih
mungkin menembus pertahanan ajian anak itu.”
Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang
segala kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa nama
yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tia ia tersenyum,
katanya, “Kenapa kita tidak minta tolong kepada perguruan Sembirata?
Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki beberapa kelebihan
daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang terpercaya dapat aku bawa
serta.”
“Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan pedang di pinggang Kakang.”
Sembada menggigit bibirnya untuk menahan
senyumnya. Ia menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun
demikian dengan tamaknya ia berkata, “Hem. Aku mengucapkan terima
kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata memerlukan
juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”
“Gila.” Prabasemi mengumpat di
dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan
bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya. “Hem, alangkah mahalnya putri itu.” Namun ia bersungut pula, “Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.” Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”
Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat
di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain,
bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.
Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.
“Kakang, “ kata Prabasemi kemudian, “Ikat
pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi
kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang
itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang
lebih memerlukan memakainya.”
Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal
betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah
yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu
akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan
kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih
didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi, “Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”
“Setan,” gumam Sembada. Namun ia
bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa
tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai
jagal tidak memberinya kemungkinan.
Sampai di rumahnya, diajaknya seorang
pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat
disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah
itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
“Kita pergi ke perguruan Sambirata” kata Sembada.
Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya. “Nanti akan kau dengar pula.”
Kiai Sambirata mendengar permintaan
sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa
kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata
untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka
ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah
juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas
orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan
bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh
beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan
kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung.
Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas
itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula
keinginannya untuk menerima barang berharga itu.
Karena itu, maka kali ini, permintaan itu
betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu
merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya.
Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata
masih belum melampaui Prabasemi. Namun otaknya yang tidak begitu cerdik
menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang.
Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang
demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan
untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.
Sambirata pun kemudian membawa beberapa
orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh
orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup
besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan
persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan
bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka
akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.
Sementara itu Jaka Tingkir pun masih
dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun
akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak
diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat.
Yang mula-mula akan dilakukan oleh
Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin
tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru
dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk
seterusnya.
Dengan penuh penyesalan, Jaka Tingkir
yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil,
kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu
menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan
Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya.
Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa
suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa
ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan
demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya?
Tetapi seandainya tidak pun, maka ia
tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan
kasih sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung
Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang
timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak
dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena
kelicikannya dapat tercapai? Terdengar Karebet menggeretakkan giginya.
Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung
yang gila itu. “Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.
Karebet berjalan terus siang dan malam.
Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di
hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau
didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula.
Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.
“Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”
Namun betapa pedih hati anak muda itu.
Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang
telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari
keprajuritannya.
“Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.
Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia
ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya.
Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini
seakan-akan menjadi semakin parah.
Namun ketika Karebet itu sudah semakin
dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya.
Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat
yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan
sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang
melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya.
Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang
melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari
menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya.
Kemudian terdengar ia bergumam, “Kalau kesepian itu disebabkan
karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya.
Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”
Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk
beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian,
kesepian itu masih meragukannya.
Dengan demikian, maka Karebet tidak mau
berjalan maju lebih jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk
bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah
dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya,
pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya,
pasti dilihatnya.
Tetapi alangkah terkejutnya anak muda
itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus
nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun
dengus ular. Nafas itu adalah nafas seseorang.
“Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya. “Kalau
sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering
dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan
menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?” Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa, “Manusia
pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih
dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”
Karena kesimpulannya itulah maka kemudian
Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu,
baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang
lain.
Dan apa yang diduganya itu segera
terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di
belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang
kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi
tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang
lebat tumbuh di dadanya. Alangkah terkejutnya Karebet melihat orang itu,
sehingga dengan serta merta ia menyapanya, “Kakang Sembada?”
Sembada tersenyum. “Ya akulah,” jawabnya.
Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat
wajah Sembada yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa
kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi Karebet tidak mau
segera berprasangka jelek. Dicobanya kemudian untuk menghilangkan
setiap kesan yang gelap dari wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet
kemudian berkata, “Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”
Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir itu. “Hem. Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati. “Apakah dalam tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?”
Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet bertanya pula, “Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang sampai kemari?”
Sembada menggeram. Ia ingin segera
menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara
melingkar-lingkar. Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki.
Dengan nada datar ia berkata, “Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung Prabasemi.”
Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak. Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga bertanya, “Apakah yang harus Kakang lakukan?”
Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan getar dadanya ia berkata, “Aku harus membunuh kau.”
Meskipun Karebet telah menyangka, namun
pengakuan yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku
diam. Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.
“Jangan mempersulit pekerjaanku,
Karebet. Aku dan kau tidak pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak
pernah menyakiti hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula.
Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali
ini supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus
bertimang emas tretes berlian,” berkata Sembada.
Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya dalam nadanya yang khusuk, “Baik Kakang. Baiklah aku menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan timang itu.”
Sembada mengerutkan keningnya. “Hem..”, geramnya dan kemudian katanya di dalam hati, “Anak
ini benar-benar anak yang luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang
dihadapi masih saja seperti menyongsong datangnya kekasih.” Namun Sembada tidak mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia membentak, “Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.”
Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya, “Kita
tidak pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan
membentak-bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama
tidak bertemu.”
“Diam!” bentak Sembada yang sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan. Apalagi
di hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo, tundukkan
kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-saat terakhir.”
Sembada menjadi marah bukan buatan ketika
Karebet malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya, anak
muda itu berkata, “Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di pembantaian, Kakang.”
Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun
sebelum ia membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar
desir di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati. “Benar dugaanku. Tidak hanya seorang.”
Dan sesaat kemudian Karebet menggeser
kakinya. Dari sisinya melontarlah seorang yang akan lebih tua dari
Sembada. Namun tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan
meyakinkan. Orang itulah Kiai Sambirata.
Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya. Dan dengan sareh ia berkata, “Apakah Angger yang bernama Karebet?”
Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia
harus lebih waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari
tempatnya, namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena
itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat, Lembu
Sekilan.
Sambirata melihat wajah Karebet yang
tegang. Tetapi ia tidak segera menyadari, bahwa dengan sikap yang
sederhana itu, Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu,
masih saja Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu
berkata, “Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?”
Karebet mengangguk, “Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut orang, Jaka Tingkir.”
Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akulah yang bernama Sambirata.”
Karebet memandang orang itu dengan
seksama. Di Demak, nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak
pernah menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya
dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka Karebet itu
benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar bahwa Sembada adalah
kakak seperguruan Prabasemi dan Sambirata adalah orang yang kurang
disenangi oleh masyarakat Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini
mereka berdua bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian
sebenarnya Karebet sama sekali tidak gentar. “Kalau perlu,” katanya, “aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan hidupku”.
Yang berbicara kemudian adalah Sambirata. “Angger.
Baiklah aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-muridku
datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin mencoba, lawanlah kami.
Kami tidak mampunyai banyak waktu.”
Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata
mereka tidak hanya berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya.
Wajahnya yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api kemarahan
yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari Tingkir itu menjawab, “Paman
dan Kakang Sembada. Kita adalah manusia yang mempunyai sifat
mempertahankan hidup yang dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba
mempertahankan hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa
berkenan, maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan
mendahului aku.”
“Jangan membual. Meskipun kau kekasih
Jim, Setan, Peri, Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin,
jangan mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan kasarnya.
“Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan darah di sini, bukan akulah yang bersalah” sahut Karebet.
Sembada sudah tidak dapat menahan diri
lagi. Timang emas bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi
anak muda itu benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu,
cepat-cepat ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet
melihat gerak Sembada itu, namun ia sama sekali tidak menghindarinya.
Namun wajahnya menjadi tegang dalam penerapan ajian yang
setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam Aji Lembu Sekilan.
Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar
biasa kuatnya. Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu.
Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah
terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang kedua
kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh menghujam ke pusat
bumi.
Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada
itu menghantam sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu
seakan-akan sama sekali tidak menyentuh dada Karebet.
Ketika ia menyadari serangannya itu
gagal, maka segera ia meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram,
sambil menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya. “Setan, gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak akan terlawan?”
Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia
melihat Sambirata bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan
dengan satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.
“Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”
Sambirata benar-benar tersinggung. Ia
memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan.
Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat menyalurkan
kekuatan itu. Namun ia sama sekali tak peduli, apakah nama dari
kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan Sambirata memang tidak
berpikir tentang nama itu meskipun dahulu gurunya menyebutnya, Aji
Wilet, namun yang dimilikinya telah banyak mengalami perubahan, sehingga
ia tidak menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu
menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari, bahwa lawannya
sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji Lembu Sekilan, maka
Sambirata pun segera mempergunakan ilmunya itu.
Dengan serta merta, Sambirata meloncat
pula dan langsung memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu,
dan ia pun menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan
tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang berbahaya.
Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu langkah ke samping,
sehingga serangan Sambirata dapat dihindari. Namun Sambirata benar-benar
lincah. Sekali lagi ia melenting seperti sikat, dan Karebet tidak
sempat untuk menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam
lambungnya.
Terjadilah suatu benturan yang tajam,
antara kekuatan ilmu Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun
dahsyat pula. Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong
oleh kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja. Terasa
pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia memusatkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan tekanan yang seakan-akan
menghentak-hentak di dalam dadanya itu.
Karebet yang baru saja berhasil menguasai
dirinya, setelah Aji Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak
terlalu berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan
Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu menjulurkan kedua
tangannya ke belakang, sedang kedua tangannya kemudian mengepal di
lambungnya.
“Seperti yang dilakukan Prabasemi,”
geramnya. Namun serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga
kali inipun Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi
Aji Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu
kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan yang belum
mapan kembali.
Sekali lagi Karebet berguncang dan
terbanting di tanah. Kali ini ia harus berguling beberapa kali untuk
mendapatkan jarak dari lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet
terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul
dari dalam belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan
pedang pendek, seperti ingin mencincangnya.
Namun Karebet adalah seorang yang aneh,
yang memiliki ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia
melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting berdiri, dan
dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan dirinya dari
orang-orang itu. Tetapi kemudian datanglah serangan Sambirata memotong
gerakannya.
Karebet menggeram. Betapa ia menjadi
marah bukan main. Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa
membunuh, maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.
Dengan demikian, maka kembali Karebet
menerapkan Aji Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa
Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun pasti tidak
akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi
senjata-senjata tajam itu pun perlu mendapat perhatiannya. Dengan
kekuatan yang baik, maka senjata tajam itu pun akan mampu menembus
benteng pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan
sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah dan darahnya
mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti akan menimbulkan
bahaya.
Kini Karebet itu pun sudah siap dengan
puncak keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau.
Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan beberapa orang
telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun sentuhan-sentuhan
Karebet yang harus mempertahankan diri dari setiap serangan itu, maka
tekanan-tekanan lawan-lawannya masih saja terasa menjadi semakin berat.
Meskipun demikian Karebet sama sekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa
hanya dua orang di antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang
khusus. Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni.
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi
semakin lama semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu sama
sekali tak berdaya menghadapi kelincahan Karebet. Mereka menjadi
benar-benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan
pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka sama sekali tak menyentuh
tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak berusaha untuk menghindar. Hanya
dalam kesempatan-kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat
mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat menggores kulit
Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari luka itu.
Namun setiap tetes darah yang tumpah,
seakan-akan merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di
dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak lagi
mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka ia pun segera
berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-murid Sambirata itu, jatuh
bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali mereka merasa bahwa lawannya
yang hanya seorang itu akan segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan
terasa gunung runtuh menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang
di sekitar rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka
sekali-kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh
menimpanya.
Apabila seorang di antara mereka mampu
merangkak bangun, maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga
mereka seakan-akan sama sekali tak berarti. Tetapi mereka sedang
bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung mereka serasa
telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan mereka yang terakhir,
mereka masih juga mencoba bangun. Berdiri dan bergeser setapak demi
setapak di sekitar perkelahian itu, untuk sesaat kemudian dada mereka
serasa meledak karena sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.
Dalam pada itu, Karebet pun merasakan
tekanan-tekanan yang berat dari kedua orang itu. Mereka masing-masing
ternyata tidak lebih dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan
mereka bergabung, maka Karebet benar-benar meng-hadapi pekerjaan yang
sangat berat. Aji Lembu Sekilan nya terasa sesekali terguncang. Dan
sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-kesempatan itu,
kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti dapat menembusnya
meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila hal itu berlangsung lama,
maka ada kemungkinan pertahanannya menjadi semakin lemah.
Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua
orang itu hampir tak berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan
beberapa pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan penuh
kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu dilumpuhkannya.
Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan
Sambirata. Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya.
Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula menghadapi
Aji Lembu Sekilan.
Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan
segenap perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang
bergelimpangan disana-sini. Ada di antara mereka yang masih mencoba
bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan telah terhisap habis,
sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh di tanah.
Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat tak habis-habisnya, katanya, “Tikus-tikus malang. Ternyata kalian sama sekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid Sambirata.”
Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka bergumam pula didalam hati. “Jangankan aku, sedang guru sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya seorang itu.”
Karebet kemudian sama sekali tak
memperhatikan lagi mereka yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya
kini adalah Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar
berhasrat akan membunuhnya.
Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar
pula dengan sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh
tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang sama, namun
mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka. Berganti-ganti mereka
menyerang dengan kedahsyatan ajian masing-masing. Seperti sepasang
burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya.
Tetapi Karebet benar-benar memiliki
kelincahan yang tak mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar
biasa Aji Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada
dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu mempertahankan
dirinya.
Meskipun demikian, sekali-kali
pertahanannya terguncang pula oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya.
Sehingga sekali-kali Mas Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun
demikian ia jatuh segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan
lambaran ilmunya, Lembu Sekilan.
Tetapi betapapun Karebet berjuang dalam
keadaannya itu, namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi.
Tetapi kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil
menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga sekali-kali
mereka berdua berhasil bersama-sama menghantamkan kekuatan ajinya atas
tubuh Mas Karebet yang masih muda itu.
Dengan demikian, maka Mas Karebet itu
semakin lama menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah
membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian memuncak,
seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia tidak mau mati karena
pokal Prabasemi.
Meskipun pusat kemarahannya berkisar
kepada Tumenggung Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang
yang datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang
suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu, namun
apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya untuk
menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya.
Karena itu, Karebet yang marah itu, masih
mencoba untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya.
Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh Sultan,
maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka kepadanya.
Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya, “Kakang Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?”
Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya. Meskipun demikian ia sempat juga menjawab, “Jangan banyak bicara. Aku bukan anak-anak.”
Dengan tangkasnya Karebet menghindari
serangan yang ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya
sambil berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu
tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi. Ajinya
yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet. Karebet masih
berusaha untuk menghindar, namun kesempatannya terlalu sempit. Yang
dapat dilakukan adalah meloncat surut selagi ia masih berjongkok.
Gerakan-gerakan khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu
Sambirata terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai
lawannya.
Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap
dengan serangannya pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada
meloncat dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah punggung
lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar sangat sempit. Karena
itu ia hanya dapat berputar dan dengan puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan
yang dimiliki ia melawan pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan
gerakan yang pendek itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai
sasarannya. Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang
pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga
pukulan yang melesat itu sama sekali tak mampu menerobos perisai Karebet
yang dahsyat itu.
Sembada menggeram. Namun kali ini
serangan Karebetlah yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu
kakinya, Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya
dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka. Karena itu, maka
Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut. Namun Karebet tidak
membiarkannya, sekali ia meloncat maju, dan sekali lagi kakinya menjulur
lurus kedada lawannya. Serangan itu sedemikian cepatnya, sehingga
Sembada tak mampu lagi untuk mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh
tenaga, dilawannya serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga
terjadilah benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang
melindungi serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin.
Sembada itu pun tergetar surut beberapa
langkah, namun Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan
dalam patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap pertahanan.
Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh anak muda dari
Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata telah melontarkan
serangannya pula, sehingga Karebet yang belum memiliki keseimbangan yang
mantap itu terpaksa menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali
menghindari kekuatan Aji Sambirata.
Keadaan Karebet semakin lama benar-benar
menjadi semakin sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil
digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama. Meskipun
demikian ia masih berteriak. “Kakang Sembada dan paman Sambirata.
Aku kini memperingatkan kalian untuk yang terakhir kalinya. Pergilah dan
katakan kepada Prabasemi bahwa Karebet telah mati. Aku tidak akan
datang ke Demak sebelum Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu
yang tidak tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan
dendamnya kepadaku.”
Yang terdengar kemudian adalah suara
Sembada dan Sambirata tertawa hampir bersamaan. Tetapi suara Sembada
yang lebih kasar dari Sambirata itu ternyata jauh lebih keras. Katanya
diantara gelak tawanya, “Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan dirimu.”
Dan terdengar Sambirata berkata pula, “Angger
ternyata menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya
angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang, dengan
demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk perjalanan itu.”
Karebet menjadi marah bukan alang
kepalang. Matanya kini memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar
mata harimau dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena
marah, “kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih baik membunuh daripada dibunuh tanpa sebab.”
Sekali lagi Sembada dan Sambirata
tertawa. Tetapi tiba-tiba suaranya terputus karena melihat Karebet
meloncat mundur. Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet
memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan wajah tegang
anak muda itu menggosokkan kedua telapak tangannya, meloncat dengan
garangnya dan tegak diatas kedua kakinya yang renggang. Sesaat kemudian
ditekuknya kedua lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji
Rog-rog Asem.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 28
No comments:
Write comments