MENDENGAR teriakan
Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa sesadarnya kakinya menyentuh perut
kudanya, sehingga kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul
Endang Widuri.
Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil mengerutkan keningnya ia berpikir, ”Aneh. Api itu terlalu besar.”
Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke
dekat mereka pula. Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat
ke udara seperti akan menggapai bintang-bintang di langit.
Orang-orang
yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa harus minggir. Bukankah
mereka harus memecahkan tangkis batu itu? Tetapi segera mereka
berloncatan ketika mereka melihat Arya Salaka berdiri tegak di atas satu
kakinya, kakinya yang lain diangkatnya ke depan, satu tangannya
menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi
seperti api yang menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan
kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju. Tangannya itu
diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah sebuah benturan yang
dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam tangkis itu. Maka pecahlah beberapa
batu dan terlontar berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian
terlontar keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya
bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya segera
meloncat menghindari air itu. Demikian juga beberapa orang yang berdiri
keheran-heranan melihat tandang anak muda itu. Diantara mereka yang
menjadi keheran-heranan adalah Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping
harapannya yang tumbuh karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat
mempengaruhi api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran
melihat tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa
itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat menerapkan ilmunya
tidak saja untuk melawan musuh dan membinasakannya, namun kini
mempergunakannya untuk keselamatan daerah Banyu Biru dari bahaya api.
Jaka
Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari
bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati
lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji
dengan mesranya.
Perlahan-lahan mereka berlima berjalan mendekati Panembahan Ismaya. Sambil membungkuk hormat Kebo Kanigara menyapanya, ”Selamat malam, Panembahan.”
Tetapi
sementara itu Karebet pun menjadi semakin gila. Seperti Prabasemi yang
tersinggung oleh pokal Karebet, maka Karebet pun tidak mau melepaskan
kesempatan yang telah didapatnya. Sejak ia tahu Prabasemi kasmaran
kepada puteri Sultan, sejak itu ia bertambah jauh tenggelam dalam
permainan yang berbahaya. Sebenarnya ia mengatakan apa yang diketahuinya
tentang Prabasemi kepada puteri itu. Namun puteri berkata kepadanya “terserah kepadamu Karebet.”
Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan. Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis, “Kebakaran.” Belum lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara kentongan dilereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.
“Kebakaran?” Ki Ageng Gajah Sora mengulang. Tampaklah wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya melanjutkan “Inilah sambutan tanah kelahiranku atas kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku kembali?”
“Jangan berfikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan Alas, “ada bermacam-macam sebab yang menimbulkan kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”
Ki Ageng GajahSora menoleh kepada isterinya. Ia ingin memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu.
Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya “pergilah
angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang terjadi. Mungkin ada
bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena kelengahan sendiri.
Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora dalam perjalanan yang
tinggal beberapa langkah ini.”
Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora, “aku mendahului paman.”
”Perdilah kalian bersama-sama” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Gajah Sora tidak berkata-kata lagi.
Disendalnya kendali kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur
seperti angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah
dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian dengan gembiranya Widuri
berpacu meskipun malam menjadi semakin gelap.
“Hati-hatilah Widuri” ayahnya berteriak memperingatkan
Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Derap kuda itu seperti akan memecahkan
selaput telinga. Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu.
Meskipun jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang
dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu.
Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat. Hanya
kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi cahayanya yang
kuning lemah.
Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu
Biru, tampaklah dihadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan
tipis menyaput langit.
“Itulah mereka” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan dimuka perjalanannya.
Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Dibelakang barisan Banyu Biru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak, “beri aku jalan.”
Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah Sora berkata, “api. kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”
“Ya,” sahut Bantaran berteriak, “kami mempercepat perjalanan kami.”
Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah Arya Salaka, “Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa mencari bela.”
Arya pun tidak sempat menungu jawaban
mereka. Barisan Banyu Biru hanya melihat bayangan yang terbang disamping
mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara telapak kaki kuda
mereka, bayangan itupun telah lenyap pula ditelan oleh lindungan batang
batang pohon dan ilalang.
Suara kentongan semakin nyaring. Dan
penuhlah lembah Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu
pula kuda GajahSora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun
Banyu Biru.
Banyu Biru menjadi ribut karena api yang
tiba-tiba saja membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api
tidak segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing.
Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun akan
terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api. Bukit itu
sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan diatasnya.
Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan dihutan-hutan peliharaan
akan musnah.
Di alun-alun tampaklah beberapa orang
sedang sibuk. Beratus-ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak
saja orang lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap
membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-canting
besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu, mereka tidak akan
dapat menguasai api yang membakar batang ilalang. Angin yang bertiup
dari lembah seperti membantu mendorong api itu naik dilereng bukit yang
damai itu.
Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu
Wanamerta yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda.
Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang, “Putuskan daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang !”
Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka
melemparkan lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka
berlari-lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata
tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-batang ilalang.
Rakyat Banyu Biru menjadi kacau seperti
gabah dalam tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk
menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi
petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.
“Jangan bingung !” terdengar suara Mantingan gemuruh, “Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.”
Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi, “Nah,
yang sudah bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga.
Jangan menunggu api api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke
daerah api itu.”
Wirasaba sendiri mendahului pergi ke
lereng bukit Telamaya. Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon
perdu seperti menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar
dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih mungkin di
selamatkan demi keselamatan Banyu Biru. Rakyat Banyu Biru pun segera
menggulung lengan baju mereka atau melepas baju mereka sama sekali.
Dengan pedang, cangkul dan apa saja di tangan mereka, mereka berusaha
untuk membuat antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng
itu sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat ke
atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang panjang, untuk
kemudian perlahan-lahan mendaki tebing.
Gajah Sora sampai di alun-alun ketika
rakyat Banyu Biru sudah mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu.
Dilihatnya Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka.
Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak, “Apa yang sudah Paman kerjakan?”
Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak
lama tak didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya
kembali. Dengan lantang pula ia menjawab “Aku mencoba memisahkan daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di batasi.”
“Bagus,” sahut Gajah Sora. “Aku akan pergi ke lereng.”
Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan
dalam kesibukan itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran
yang wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya sekejap
mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan Banyu Biru.
Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja keluar dari rumahnya di
samping alun-alun itu.
Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia
melihat rakyat Banyu Biru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan
pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Namun api itu menjalar terus.
Sebentar kemudian datanglah laskar Banyu
Biru yang lain. Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka
tidak sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga mereka.
Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang pohon-pohon dan
ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu. Beratus-ratus orang telah
bekerja dengan dengan segenap tenaga, namun seakan-akan pekerjaan mereka
tidak maju-maju. Gajah Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak,
“Pecahkan tangki yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan
tumpah dan mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya
segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”
Beberapa orang segera berlari-larian
ketempat penyimpanan air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan
cukup luas. Rakyat Banyu Biru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah
mereka di musim kering yang panjang. Tetapi kini mereka terpaksa
memecahkan tangkis blumbang itu, untuk menyelamatkan bukit Telamaya dari
kehancuran yang lebih besar, meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu
untuk memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa
mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus menenaminya
dengan palawija saja. Namun apa yang harus dilakukan sekarang ternyata
tak dapat lain daripada mengalirkan air itu ke daerah yang terbakar.
Dengan cangkul, mereka berusaha
memecahkan tangki batu itu. Satu-satu mereka mendongkelnya dengan
linggis dan kapak. Alangkah lambatnya. Arya menjadi tidak telaten.
Segera ia pun berlari ke tempat itu, sambil berteriak nyaring ia
meloncat di antara mereka yang sedang sibuk menyobek tangkis batu itu. “Semua minggir. Cepat.”
Air itu mengalir seperti seekor naga.
Dengan cepatnya meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat
jalur-jalur untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang
sedang berkobar itu.
Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin
ribut. Orang-orang berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas
batang-batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap
untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang akan
sekedar membantu mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut
sibuk pula membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan
mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar
tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap yang
bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak mengamat-amati
asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo Kanigara, maka Kebo Kanigara
pun mengangguk. Dengan berlari-lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya
sambil berbisik, “Kakang, aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah
minyak kelapa, jarak atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu
yang tidak pada tempatnya.”
“Aku berpikir demikian sejak tadi” jawab Kebo Kanigara.
“Marilah kita lihat.” Jawab Mahesa Jenar.
“Aku ikut!” tiba-tiba suara
kecil menyahut dibelakang mereka. Ketika mereka menoleh, mereka melihat
Endang Widuri tersenyum. Sedang disampingnya berdiri Rara Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.
“Tenaga kami tak seberapa membantu disini, kakang.” Kata Mahesa Jenar, “Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran ini.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Denga
tergesa-gesa ia melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa
Jenar, Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat
dibelakangnya.
Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu
dengan lajunya. Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda
itu, karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis pemisah
antara api dan tanah mereka.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis
dan Endang Widuri segera mencari jalan, melingkari api yang sedang
menyala-nyala itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.
“Dari tempat itulah aku kira api menyala” kata Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat.
Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama
semakin cepat. Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda
yang makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati
jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus
menyusur jalan setapak di lereng bukit.
Api yang menyala-nyala itupun menjadi
semakin luas. Di ujung nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di
langit, meskipun sudah semakin tipis.
Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah
tampan, berdiri bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di
hadapannya agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis,
selalu membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang redup
memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun
betapa matanya membayangkan kebencian dan dendam sebesar bukit.
Ketika orang itu melihat api yang semakin
besar, maka sambil bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak.
Suaranya gemuruh memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya
itu terdengarlah ia berkata, “Musnahlah Banyu Biru sekarang.
Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku semula.
Apabila Banyu Biru itu sudah menjadi abu, barulah puas hatiku. Dan
barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”
Kembali suara tertawanya mengguntur.
Namun tiba-tiba suara itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor
kuda mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga, bahwa
yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.
“Siapakah mereka?” gumamnya, “Kalau
yang datang itu cecurut-cecurut Banyu Biru, maka mereka akan aku
binasakan di dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar?”
“Ah!” kata-katanya itu dibantahnya sendiri. “Mahesa Jenar masih berada di Pimingit.”
Meskipun demikian hatinya menjadi tidak
enak. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang
itupun meloncat ke punggung kudanya. “Lebih baik aku menyingkirkan siapa pun yang datang.”
Dan segera kudanya itu pun dilarikannya.
Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang tajamnya melampaui mata burung alap-alap masih melihat
bayangan itu bergerak menjauhi api. “Itulah dia.” desis Mahesa
Jenar dan dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya
habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya
Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang Widuri menjadi
gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi Rara Wilis terpaksa
semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut berlari pula
kencang-kencang. Tetapi kuda orang yang mereka kejar pun kuda yang baik
pula, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo Kanigara berteriak nyaring, “Ayah, aku memotong jalan.”
Kebo Kanigara terkejut. “Jangan !”
jawabnya. Namun Widuri telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata
Widuri memang mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia
mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun
sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan
gerumbul-gerumbul kecil. Kebo Kanigara tidak tega membiarkan anaknya
menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu. Karena itu pun ia
berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa Jenar dan Rara Wilis tetap
menempuh jalan semula, sebab mereka tidak mau buruannya kali ini
terlepas.
Ternyata Widuri cakap memperhitungkan
waktu. Ia berhasil memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu
loncatan panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja
dihadapan kuda buruannya.
Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa
depa sebelum ia berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang
tiba-tiba itu telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu
meloncat berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik.
Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata penunggangnya itu
benar-benar cakap, sehingga sejenak kemudian kembali ke arah yang dapat
dikuasainya dan dipacunya untuk berlari ke arah yang berlawanan. Namun
sekali lagi ia terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat
dibelakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-kuda mereka.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat
melepaskan dirinya lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung
kuda, Kebo Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun
meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis.
Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis
melihat senyum itu. Ia sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi
perasaan aneh selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah
itu. Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang senyum itu
saja pun hatinya berdebar-debar.
Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api
dikejauhan jatuh di atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan
warna-warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu terdengar
Mahesa Jenar menggeram,”Kau agaknya Jaka Soka?”
Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya “Ya, kenapa?”
“Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa Jenar.
Jaka Soka tertawa, katanya, “Aku tahu pasti. Banybiru akan musnah.”
“Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.
“Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka, “Dan itulah tujuanku”.
“Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.
“Ya. Semua yang hidup di atasnya” jawab Jaka Soka.
“Setan,” desis Widuri.
Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya, “Apa
pedulimu terhadap perempuan dan anak-anak Banyu Biru? Aku sama sekali
tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah menyaksikan
pertunjukan yang mengasikkkan. Perempuan dan anak-anak Banyu Biru
menangis melolong-lolong ketakutan”. Sekali lagi suara tertawa Ular
Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas itu. Panas
karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang
terbakar oleh kemarahan.
“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar. “Perempuan
dan anak-anak di Banyu Biru tidak menangis dan melolong-lolong dan
berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang
batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa, “Kau bermimpi agaknya,” kanyanya, ”perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyu Biru” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya, “Sejak
kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap
sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai
menangkap bersama-sama laskar Banyu Biru.”
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu
benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu
terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia
akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar
telah berhasil membunuh Sima Rodra tua dari Lodaya.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka, “Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?”
Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu
benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil
tersenyum dengan mata yang redup, “Akhirnya kaulah yang mencari aku, Wilis.”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah. Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula. Katanya, “Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua
mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja
sambil berkata terus, “Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia
memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak
melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus, “Alangkah
indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan.
He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak
pernah melupakanmu. Sayang, rakyat Banyu Biru sedang mencari tumbal
untuk memperbaiki tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk
memadamkan apimu. Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan.
Sehingga mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami alami
lagi.”
“Tutup mulutmu!” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya, “Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”
“Gila Kau!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan terlawan.
Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya
menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara
Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian, “Nah,
seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan
menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka menjadi benar-benar marah,
sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu
berkicau. Karena itu ia berteriak, “Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka” jawab Mahesa Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka, “Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar, “Kami
ingin membawa kau kepada rakyat Banyu Biru. Mintalah maaf kepada
mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu,
tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang
ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar, “Kami
tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat
kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang
baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka. “Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam, “Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa, “Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?”
“Sudah kami jawab” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka, “Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar, “Sebenarnya
kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau
ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada
lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena
itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka, “Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri, “Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat. “Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka, “Aku
tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati
jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia
tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang
untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata, “Kalau
kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati
kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur
seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani
bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus. “Kalau demikian, akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu
berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya
belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud
yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara
mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba
terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring, “Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.”
Semua terkejut mendengar jawaban itu.
Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda
masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara
menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka
akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan
Ular Laut dengan tongkat hitamnya?.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia
melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung
dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain,
Kelabang Sayuta.
Tiba-Tiba wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira, “Keputusan telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.”
Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri
tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam, “Kau akan mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka. “Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula, “Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan, “Biarlah aku menerima pilihannya.”
Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis
dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara,
ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat
sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka
dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya
wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang.
“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya. “Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”
Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin
tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan
itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara
Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan?
Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata, “Bagaimana? Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa
Jenar bergetar. Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari
kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka
Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di
dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah
menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
“Ha?” kata Jaka Soka, “Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis, “Aku sudah siap.”
“Hem” Jaka Soka berkata lagi, “Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?”
Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya.
Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata, “Wilis,
aku akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku
atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.”
“Gila!” teriak Widuri marah, “Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka, “Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis, “Jangan mengigau.”
“Sayang,” jawab Jaka Soka, “Setangkai
bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk
memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu.
Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda. “Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak
dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar senditi tak berbuat sesuatu
pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut
yang licik itu.
Tiba-Tiba terdengar suara Mahesa Jenar berdesir, “Wilis. Kau dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis, “Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram.
Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan
hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan
dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu.
———-oOo———-
II
Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan
dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap
duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun.
Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata
masing-masing. Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang
wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis
telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum, “Selamanya aku menghormati perempuan.”
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera
ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng
Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar,
sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat
memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah. Namun
kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan
perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan
lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun
berkobar dengan dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya,
mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala
arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang
dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak
dapat mendekatinya.
Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian
menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyu Biru
beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap
kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya.
Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja
menyentuh tubuhnya.
Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia
dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak
juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia
mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu
pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum,
“Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia
meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu
lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya
menjadi gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun
ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar
kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil
kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis
masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan
Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan
sengitnya. Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan
hati seorang gadis.
Karena itu Ular Laut yang ganas itu
menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa
Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi
permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat
kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan
sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu. Tetapi
bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia
menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan
keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya.
Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram, “Soka, kau telah berbuat curang.”
Jaka Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya. Jawabnya “Aku
berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah indahnya wajah yang bulat
ini. Apalagi kau Wilis sedang bersungut-sungut. Benar-benar gila aku
dibuatnya.”
Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi
perasaan Rara Wilis. Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya.
Namun karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur perasaan
yang tak dapat dikendalikan.
“Kalau kau berbuat curang, aku pun tidak akan memperdulikan perjanjian kita lagi” sahut Mahesa Jenar, ”aku akan terjun dalam pertempuran.”
“Bagus”, jawab Jaka Soka “sejak
semula aku telah mempersilahkan. Ternyata dugaanku benar, bahwa ajaran
Pandan Alas tidak lebih dari pelajaran tari menari yang hanya dapat
menumbuhkan perasaan kagum pada penarinya. Apalagi penari secantik Rara
Wilis.”
“Gila”, geram Mahesa Jenar.
Dadanya bergelora karena marah. Tetapi ia tidak berani berbuat dengan
tergesa-gesa. Rara Wilis ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai
harga diri.
Tetapi Rara Wilis kini benar-benar
dipengaruhi oleh sifat-sifat kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia
terpaksa meloncat surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa
betapa tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah.
Berkali-kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur
mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali membelit hati.
Jaka Soka melihat lawannya menjadi
gelisah. Karena itu ia mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia
mencoba untuk mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan
sentuhan-sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.
Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal
dengan sifat-sifat keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha
untuk menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung atau
tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji. Ia tidak
dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya. Ia tidak dapat
menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat hatinya itu mengalami
perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir saja ia lupa diri.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu
peristiwa yang dapat merubah keadaan itu. Lamat-lamat dibawah angin
pegunungan terdengar suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin
lembut membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan. Tembang
Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin jelas.
Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya.
Mula-mula ia tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang
yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar lereng
pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara hidup dan mati.
Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal suara itu baik-baik.
Suara yang telah banyak menolongnya dalam berbagai keadaan. Pada
saat-saat ia hampir dibinasakan oleh Pasingsingan di alas Tambak Baja
maupun di Banyu Biru.
Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang, “Kakang Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula itu?”
Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula, “Paman Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”
“Bagus”, sahut Mahesa Jenar, “Orang
tua itu tidak terikat pada perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang
gila itu. Bukankah perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang
tak berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang
menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu yang
menari disini.”
“Gila. Setan. Iblis”, tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-habisan. “Apa kerja kambing tua itu disini?”
“Melihat muridnya menari”,
tiba-tiba terdengar suara kecil. Suara Endang Widuri. Selama ini urat
syarafnya menjadi tegang setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah
mengendor dan gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula.
Karena suara tembang itu pula, maka
keseimbangan perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi
seperti seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta
sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya kembali.
Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan perasaan kegadisannya
yang selama ini mengganggunya. Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini
menjadi gelisah. Ia sadar, bukan tidak sengaja Mahesa Jenar
berteriak-teriak, bahwa orang orang tua itu tidak terikat dengan suatu
perjanjian apapun. Karena itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan
kehadiran Pandan Alas.
Dengan demikian, pertempuran pun menjadi
berubah. Rara Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik.
Sekali-kali pedang itu menyambar dengan dahsyatnya kearah-arah yang
berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan
pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung
terus. Setapak demi setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka
Soka sekali-kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun
karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak berhasil.
Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan Rara Wilis semakin
teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu harus dibinasakan.
Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak, “He, kalau kalian orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti mengembik.”
Yang menjawab adalah Mahesa Jenar, “Tak
ada sangkut paut antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji
menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas
berdendang untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan dalam persoalan lain.”
“Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah, “Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri, “Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang menggairahkan?”
Jaka Soka menggeretakkan giginya.
Dipusatkannya panca inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara
tembang yang dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja
mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan kemarahan yang
meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-jadinya. Namun dengan demikian ia
telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sedang lawannya
perlahan-lahan telah berhasil menguasai keseimbangan perasaan
sepenuhnya.
Maka akhirnya berlakulah segala kehendak
Tuhan. Setiap kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan
menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilislah yang menjadi lantaran.
Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu, namun karena
kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya maka ia telah kehilangan
sebagian kegarangannya. Demikianlah tiba-tiba saja ketika serangannya
tak mengenai sasarannya, Rara Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya
pedang tipisnya terjulur lurus kearah lambung lawannya. Terasa ujung
pedangnya menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah
keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar, maka
memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah menganga.
Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah
menyeringai menahan sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua
buah senjata dikedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri
tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu
melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari matanya yang
redup itu pun memancar sinar yang aneh.
Dalam keadaan yang demikian itu ia masih
mencoba melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari
sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata, “Wilis. Kau memang cantik.”
Rara Wilis menjadi ngeri melihat
peristiwa itu, seakan-akan sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap
untuk menerkamnya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergi!”
Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan
darah yang memancar dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah
maju. Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang matanya
yang redup masih juga memancarkan sinar yang menggelisahkan hati setiap
gadis yang melihatnya.
Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju
setapak lagi, Rara Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali
terdengar ia berteriak, “Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya, “Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.”
Dan ketika setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis
memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia meloncat
berlari sekencang-kencangnya menjahui hantu yang mengerikan itu. Ia
sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu terhuyung-huyung dan kemudian
jatuh tertelungkup.
“Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar
terkejut bukan kepalang. Dengan suara yang lantang ia berteriak
memanggil. Namun Rara Wilis berlari terus dan terus. Karena itu segera
Mahesa Jenar berlari mengejarnya, “Wilis!” terdengarlah suara
Mahesa Jenar memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan
lembah-lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak
mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang daripadanya,
sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat disusulnya. Dengan tangannya
yang kokoh kuat, Mahesa Jenar memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara
Wilis itu meronta-ronta sambil berteriak, “Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke asalmu.”
“Wilis” bisik Mahesa Jenar.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin keras.
MAHESA JENAR sadar, bahwa segala
ketakutan, kengerian yang disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka
Soka kini meledak dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba
menenangkannya. “Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar”.
Nama itu benar-benar berpengaruh dihati
Rara Wilis. Kini ia tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh,
dilihatnya laki-laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar
tubuhnya dan dijatuhkannya kepalanya didada laki-laki itu. Tangisnya
pecah seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya
terdengar suaranya gemetar. “Kakang aku takut”.
“Jangan takut Wilis.” Kata-kata
Itu bagi Rara Wilis seperti air sejuk yang menyiram tenggorokannya pada
saat ia kehausan. Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras.
Dan kembali kata-katanya yang gemetar terdengar. “Kakang, aku hampir gila dibuatnya”.
“Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis”, jawab Mahesa Jenar.
“Ia tidak mengejar aku ?” bertanya Rara Wilis.
“Ular Laut itu telah mati”. Jawab Mahesa Jenar.
“Mati?” ulang Rara Wilis. ”Siapakah yang membunuhnya?”
“Kau. Pedangmu”, jawab Mahesa Jenar.
“Oh..” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat.
Sesaat mereka tenggelam ke dalam perasaan
yang tidak menentu. Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang
Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia tidak
akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka. Matanya yang
redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya. Memang sejak pertemuan
yang pertama dengan Ular Laut itu dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah
dapat tenang apabila wajah yang selalu membayangkan senyum dibibir
tipisnya serta sinar yang memancar dari matanya yang redup namun penuh
nafsu itu membayang didalam angan-angannya.
Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa.
Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa
Pening dan segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun
bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-wajah yang
buas bengis itu, daripada wajah tampan yang memancarkan nafsu yang
mengerikan. Lebih baik dadanya terbelah hancur dan mati daripada ia
harus jatuh ke tangan Ular Laut dari Nusakambangan itu.
Tetapi masa-masa yang mengerikan itu
telah lampau. Kini ia berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan
harapannya dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa
ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat
wajahnya. Ketika matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala
itu, terdengar ia bergumam. ”Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa, namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyu Biru”.
Rara Wilis kemudian terdampar dibumi
kenyataan setelah angan-angannya melambung tinggi setinggi
bintang-bintang dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya
memandang api yang menyala-nyala itu, “Bagaimana dengan api itu kakang?”
“Marilah kita kembali”, ajak Mahesa Jenar.
Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului Mahesa Jenar kembali ke tempat kuda-kuda mereka.
Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara
dan Endang Widuri berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah
berdiri pula seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas.
Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.
“Tidakkah kau mengalami sesuatu”, terdengar Ki Ageng Pandan Alas bertanya kepada cucunya.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya.
Tetapi ketika terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di
muka kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.
“Aku melihat semua yang terjadi di sini”, berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Ketika
aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah Sora aku melihat kalian
berkuda. Aku sudah mengira apa yang akan kalian lakukan, namun aku tidak
segera dapat menyusul. Aku terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu
kepada suaminya, baru aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku
melihat dikejauhan lima orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu
aku mendekatinya dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian
tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku melihat
kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan lawannya.Karena itu aku
terpaksa berdendang lagu Dandang Gula.”
“Suara eyang merdu sekali”, tiba-tiba Widuri menyela.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya, ”lalu bagaimana dengan api itu?”
Serentak mereka menoleh kearah api
dilereng bukit. Api itu masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh
maju. Bahkan dibeberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi
menjilat langit.
“Api itu susut”, gumam Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyu Biru berhasil”, sahut Kebo Kanigara.
“Api itu tidak akan dapat menjalar terus”, sambung Widuri.
“Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh Rakyat Banyu Biru itu”, sahut Mahesa Jenar.
“Marilah kita lihat”, berkata Ki Ageng Pandan Alas. “Aku akan mengambil kudaku.”
Sesaat kemudian mereka telah mengambil
kuda masing-masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati
padas-padas dilereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk
mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah berpencar ke
Banyu Biru.
Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba berhenti. Katanya, “Paman Pandan Alas, api itu berhenti di sini.”
Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan keningnya, “Ya, api itu berhenti di sini.”
“Aneh,” desis mereka hampir bersamaan.
Untuk sesaat mereka berhenti
termangu-mangu. Api itu tidak menjalar terus keatas. Dikejauhan masih
terdengar campur baur dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan
suara teriakan-teriakan orang-orang Banyu Biru yang masih berusaha
menarik garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api
dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-hutan
buah-buahan.
Sekali-kali mereka masih melihat beberapa
ekor kijang, babi hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari
meninggalkan daerah yang panas itu.
Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang
dahsyat. Dalam bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat
sesosok tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang.
Demikian terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang, kau lihat orang itu?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia
pun melihat bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun
akhirnya melihat pula.
“Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.
“Pasti bukan Jaka Soka”, sahut kakeknya.
Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh.
Seseorang berdiri diantara batang-batang ilalang yang sedang dimakan
api. Kalau api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi
abu pula. Namun agaknya api itu berhenti.
“Angin tidak bertiup lagi”, desis Mahesa Jenar.
“Batang-batang ilalang itu belum kering benar”, sahut Kebo Kanigara.
Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil berkata, “Akan aku dekati orang itu.”
“Tetapi kalau api itu menjalar”, Wilis mencoba untuk mencegahnya.
“Tidak. Api itu benar-benar berhenti disini. Kalau tiba-tiba api itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya”, jawab Mahesa Jenar.
“Aku pergi bersamamu”, sahut Kebo Kanigara.
“Kita pergi bersama-sama”, sambung Endang Widuri.
Mahesa Jenar tidak dapat mencegah mereka.
Segera yang lain pun berloncatan pula dari atas kuda mereka. Tetapi
demikian mereka menginjakkan kaki mereka, terasa air memercik membasahi
pakaian mereka.
“Air”, teriak Widuri.
Baru Mahesa Jenar merasa, bahwa kakinya pun terendam air. Maka katanya, “Air dari blumbang yang dijebol.”
Kemudian, mereka diam. Perlahan-lahan
mereka berjalan mendekati bayangan yang dilindungi oleh batang-batang
ilalang. Cahaya yang kemerah-merahan bergerak-gerak dengan garangnya dan
pancaran panasnya terasa meraba-raba tubuh mereka. Baru beberapa
langkah mereka berjalan, peluh telah mengalir dari lubang-lubang di
kulit mereka.
Selain panas yang membelai wajah mereka,
merekapun harus berhati-hati. Apakah orang itu salah seorang dari kawan
Jaka Soka, atau orang lain yang belum mereka kenal. Mereka tidak tahu
apakah maksud orang itu, berdiri menghadap api yang sedang marah.
Semakin dekat, hati mereka semakin
berdebar-debar. Ketika mereka kemudian dapat melihat orang itu, sekali
lagi mereka terkejut. Orang itu adalah seorang tua yang berwajah tenang
dan dalam dan mengenakan jubah putih.
“Panembahan Ismaya.” Hampir bersamaan kelima orang itu bergumam.
“Ya, Panembahan Ismaya,” Kebo Kanigara menegaskan.
Mereka menjadi yakin ketika orang tua itu
menoleh ke arah mereka. Dan kemudian wajahnya yang dibayangi oleh
cahaya api itu memancarkan sebuah senyum.
“Marilah, marilah mendekat,” katanya perlahan-lahan.
Panembahan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah Datanglah kemari.”
Mereka berlima melangkah lebih dekat
lagi. Dan sekali lagi mereka menekan gelora di dalam dada mereka, ketika
mereka melihat bahwa Panembahan Ismaya memegang di kedua tangannya
sepasang keris yang bercahaya. Bahkan demikian terguncang hati Mahesa
Jenar, sehingga tanpa sengaja ia berdesis, “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Rara Wilis dan Endang Widuri terkejut.
Agaknya itulah keris-keris pusaka Kraton Demak yang menggemparkan itu.
Sehingga tiba-tiba terdengarlah Widuri berkata, “Pantas, api itu berhenti di sini.”
Panembahan Ismaya tertawa perlahan-lahan. Perlahan-lahan terdengar Panembahan itu berkata, “Aku sedang berusaha membantu rakyat Banyu Biru.”
“Panembahan.” Terdengar Kebo Kanigara bertanya, “Apakah karena kedua keris itu maka api berhenti di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Panembahan Ismaya, “Aku
tidak tahu kenapa api itu berhenti. Apakah karena angin tidak bertiup
lagi, apakah karena batang-batang ilalang disini masih jauh lebih basah
daripada lereng-lereng di bagian bawah, ataukah karena air yang mengalir
di bawah kaki kita ini. Atau karena kesaktian keris-keris ini. Atau
karena semuanya. Tetapi yang jelas adalah Tuhan telah berkenan memenuhi
permintaan rakyat Banyu Biru. Api itu tidak membinasakan mereka,
pedukuhan mereka dan sumber hidup mereka.”
Yang mendengar kata-kata itu menundukkan
wajah mereka. Terasa betapa Maha Kuasanya Yang Maha Agung. Air,
keris-keris itu dan segala usaha yang lain adalah pernyataan permohonan
kepada Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan mereka. Dan Yang Maha Kuasa
telah memenuhinya.
“Api itu telah surut.” Kembali terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Mudah-mudahan sebentar lagi api akan dapat dikuasai dan menjadi padam.”
“Mudah-mudahan.” Sahut Kebo Kanigara. Kata-kata itu seperti demikian saja meloncat dari bibirnya.
Kemudian kepada Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya berkata, “Sesudah ini Mahesa Jenar, pekerjaanmu akan segera selesai.”
Dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar.
Dipandangnya api yang semakin lama semakin susut. Bahkan diujung
lereng, api telah hampir padam sama sekali. Hanya merah-merah baranya
yang masih tampak memecah kepekatan malam.
Air di bawah kaki mereka masih mengalir
terus, meskipun tidak sederas semula. Sejalan dengan itu api menjadi
semakin suram. Sekali-kali terdengar suara rakyat Banyu Biru
berteriak-teriak, “Api telah susut, api telah susut!” Dan sahut yang lain meninggi, “Alirkan air dari segenap parit ke mari. Terus, jangan berhenti sebelum padam sama sekali.”
Panembahan Ismaya kemudian mengangkat
kedua keris di tangannya, melampaui ubun-ubunnya dan kemudian
menyarungkannya di warangkanya masing-masing.
Wajahnya yang tenang, dalam, dan penuh
ungkapan kedamaian itu masih memandangi sisa api yang memercik ke udara.
Sekali masih tampak lidahnya menjilat tinggi, namun kemudian kembali
surut.
Kemudian Panembahan Ismaya memutar
tubuhnya menghadap kepada kelima orang yang berdiri di sampingnya.
Ketika ia melihat kehadiran Pandan Alas, Panembahan itu menyapanya, “Ah, agaknya Ki Ageng Pandan Alas juga melihat api itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Api itu benar-benar mengejutkan, Panembahan.”
“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam” jawab Panembahan Ismaya. “Dan dengan demikian akan selesai pula kisah perantauan Rangga Tohjaya.”
“Apakah pekerjaanku sudah selesai Panembahan?” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah, meskipun belum bulat,” jawab Panembahan Ismaya, “Tetapi sisanya tak dapat kau lakukan sekarang, nanti atau seminggu dua minggu, atau sebulan atau dua bulan lagi.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Apakah ia masih harus menunggu sampai waktu yang tak tertentu. Namun
agaknya Panembahan tua itu mengerti gelora perasaannya, sehingga dengan
senyum ia berkata, “Meskipun demikian Mahesa Jenar, pekerjaan yang
tersisa itu adalah pekerjaan yang semudah-mudahnya, sehingga kau tak
usaha prihatin karenanya. Selama ini kau dapat melaksanakan segala
rencana pribadimu.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya, dan tiba-tiba wajah Rara Wilis pun menjadi kemerah-merahan.
“Apakah sisa pekerjaan itu, Panembahan?” tanya Mahesa Jenar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Menyerahkan keris-keris ini ke Demak” jawab Panembahan Ismaya.
“Kenapa tidak besok, lusa bahkan seminggu dua minggu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sudah aku katakan sebabnya,” sahut Panembahan tua itu. “Dan
sekarang aku menjadi semakin jelas menghadapi persoalan keris-keris
ini. Aku telah bertemu dengan seorang Wali yang waskita, yang meramalkan
bahwa seorang anak gembala akan merayap naik ke atas tahta. Kepada Wali
yang bijaksana itu pun aku telah mengaku bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten ada padaku. Tetapi Wali itu berkata, “Simpanlah dan
serahkanlah ke Demak bersama-sama anak gembala itu.” “Dan beruntunglah
kau Kebo Kanigara bahwa anak gembala itu adalah kemenakanmu yang nakal
itu.”
“Karebet?” sahut Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Panembahan Ismaya.
“Ia berada di sini sekarang, Penembahan,” kata Kebo Kanigara, “Justru sedang dalam pembuangan karena ia melakukan kesalahan di istana.”
“Anak itu sekarang berada di rumah Ki Buyut,” jawab Panembahan Ismaya, “Ia sedang membuat suatu rencana permainan yang mengasyikkan.”
“Apakah rencana itu?” desak Kebo Kanigara.
Panembahan Ismaya menggeleng lemah, “Aku tak tahu,” jawabnya. Namun tampak di wajah orang tua itu ia sedang merahasiakan sesuatu.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening.
Yang terdengar adalah sisa-sisa api dan teriakan-teriakan orang-orang
Banyu Biru yang masih memenuhi lereng. Mereka agaknya belum puas sebelum
mereka melihat api itu padam sama sekali.
Kemudian terdengar Panembahan Ismaya berkata, “Kembalilah
kepada mereka. Kalian akan dapat tidur nyenyak untuk seterusnya. Banyu
Biru akan pulih kembali. Gajah Sora telah berada di tempatnya, dan Lembu
Sora telah meyakini kesalahannya. Bahkan anaknya satu-satunya telah
menjadi korban. Sedangkan kau Mahesa Jenar, keris yang kau cari telah
kau ketemukan. Bahkan kau telah menemukan pula sebuah hati, hati yang
setia dan teguh pada janji.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar terbanting
ke tanah. Ketika ia mencuri pandang ke arah Rara Wilis, hatinya menjadi
berdebar-debar. Dilihatnya setitik air mata menggantung di pelupuk
gadis itu, berkilat-kilat karena cahaya api yang kemerah-merahan.
“Ki Ageng,” tiba-tiba terdengar suara Panembahan Ismaya bersungguh- sungguh, “Sungguh
aku tak mengenal kesopanan, namun kesopanan-kesopanan itu akan dipenuhi
kelak. Ki, aku tak sabar lagi menunggu saat yang telah sekian lama
terendam di dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Baiklah aku mendahului
segalanya, bahwa pada saatnya aku dan Kanigara akan bersedia mewakili
keluarga Mahesa Jenar datang kepada Ki Ageng untuk melamar cucu Ki Ageng.”
“Oh!” Orangtua dari Gunungkidul itu mengangguk-angguk, “Telah lama aku menyediakan diri untuk menerima lamaran itu.”
Kembali suasana menjadi sepi hening.
Sekali lagi wajah Panembahan Ismaya menyapu api yang sudah hampir padam.
Kemudian setelah menarik nafas panjang, Panembahan itu berkata, “Marilah
kita sowang-sowangan untuk sementara. Aku akan kembali ke Karang
Tumirits. Kalian agaknya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat Banyu Biru.” Kemudian kepada Mahesa Jenar Penambahan berkata, “Setiap
saat kau dapat datang kepadaku bersama-sama dengan Kebo Kanigara. Dan
setiap saat kau dapat mengajak aku ke Gunungkidul. Jangan terlalu lama
menunggu. Sesudah itu, baru kau pikirkan bagaimana kau akan menyerahkan
Karebet bersama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang untuk
sementara biarlah aku simpan dahulu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat. Jawabnya dengan penuh perasaan, “Terimakasih Panembahan.”
Kepada Ki Ageng Pandan Alas, Panembahan Ismaya berkata, “Ki Ageng dapat menyediakan lembu, kambing dan ayam sejak sekarang. Kami akan segera datang.”
“Terimakasih. Terimakasih” jawab Ki Ageng Pandan Alas sambil tertawa.
Panembahan tua itu akhirnya berjalan
perlahan-lahan meninggalkan mereka. Sama sekali tidak menunjukkan
kesaktiannya sebagaimana apabila ia sedang mengenakan jubah abu-abu dan
rana di wajahnya. Ia tidak lebih dari seorang Panembahan tua yang
berjalan tertatih-tatih di antara batang-batang ilalang dan batu-batu
yang terendam air.
Namun beberapa langkah kemudian Panembahan itu berhenti dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Tak perlu orang-orang lain mengetahui bahwa masalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah hampir mendapat pemecahan. Tak
perlu kau berceritera tentang anak nakal itu kepada siapapun.
Keris-keris itu kini tak usah kalian persoalkan lagi. Pada saatnya ia
akan muncul kembali bersama-sama dengan Kyai Sangkelat yang kini telah
berada di tangan Karebet. Dan kaulah salah seorang yang paling berjasa
dalam usaha penemuan keris-keris itu. Satu- satunya orang selain kalian
yang berada di sini, hanyalah Ki Ageng Gajah Sora yang boleh
mendengarnya.”
Mahesa Jenar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Baik Panembahan.”
“Seluruh isi istana akan berterimakasih kepadamu.” Panembahan itu bergumam perlahan-lahan, kemudian ia meneruskan perjalanannya kembali.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
orang-orang lain masih saja berdiri mematung, mengawasi punggung
Panembahan Ismaya. Ketika mereka melihat orang tua itu menyusup
alang-alang yang lebat, maka hati mereka terguncang. Apalagi mereka yang
belum mengenal siapakah sebenarnya Panembahan tua itu. Bahkan
terdengarlah Widuri berbisik, “Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum
di dalam hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia tahu
bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan sepuh yang dahulu pernah
bergelar Pangeran Buntara. Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi
heran, bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang putut-nya dan
bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang setua Panembahan Ismaya
menempuh perjalanan sendiri ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak
terlalu dekat dari Banyu Biru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau
tak ada sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat demikian. Dan
bahkan Panembahan itu pasti akan minta kepada putut-nya untuk
mengantarkannya.
“Ayah,” terdengar Endang Widuri mengulangi kata-katanya, “Apakah Ayah tidak mengantarkannya?”
“Kasihan Panembahan,” desis Kebo Kanigara. Kemudian kepada Widuri ia berkata, “Antarkanlah, Widuri. Aku masih mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di sini.”
Widuri mengerutkan keningnya. “Kenapa aku?”
“Selain aku, kaulah orang yang terdekat” jawab Kanigara.
“Emoh” sahut Widuri sambil menggeleng.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan Panembahan” sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab, “Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang berbeda seperti kemarin.”
”Besok kita kembali ke Banyu Biru” desak ayahnya.
”Emoh” Widuri menggeleng lebih keras, ”aku mau tinggal di Banyu Biru”
“Apa kepentinganmu disini?” bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah
kepentingannya di Banyu Biru?. Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah
perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajar-jajar seperti
benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening yang berkilat memantulkan
cahaya matahari disiang hari dan memantulkan cahaya bulan dan
bintang-bintang dimalam hari?.
Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa.
Widuri terkejut. Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh
menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan tahulah ia bahwa ayahnya
sedang menggodanya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Serta merta
dicubitnya lengan ayahnya keras-keras
“Jangan Widuri,” ayahnya
berdesis. Cubitan Widuri memang sakit. Tetapi justru karena itu,
orang-orang lainpun mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya
pula, “apakah di Banyu Biru ada yang mengikatmu Widuri?”.
“Ada” sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
“Siapa?” desak Wilis.
“Jaka Soka” jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula meskipun Widuri masih bersungut-sungut.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, “Biarkanlah
Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya yang
mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng Gajah Sora.”
Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka
sekali-kali memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat kemudian
merekapun segera mendapatkan kuda-kuda mereka lalu meloncat ke
punggungnya. Mereka kini tidak perlu berpacu lagi. Meskipun demikian
kuda-kuda itupun berlari cukup cepat.
Banyak persoalan yang berputar-putar
dikepala Rara Wilis dan bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas.
Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan Panembahan
Ismaya. Mereka telah pernah mendengar cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki
Ageng Pandan Alas, sesaat setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan
Gajah Sora segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan mengatakan
bahwa sepasang keris itu diambil oleh seseorang yang mengenakan jubah
abu-abu, bahkan pada saat itu, Mahesa Jenar dan GajahSora menyangka
bahwa orang itu adalah Pasingsingan. Meskipun demikian, dengan bijaksana
mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai nanti pada saatnya, Mahesa
Jenar pasti akan mengatakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa
Jenar menoleh ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak
berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih kemerahan masih tampak
mengepul tinggi, kemudian pecah berserakan ditiup angin malam yang
lemah. Sehelai helai asap itu masih nampak mengalir ke selatan
menghantam bukit.
“Api telah padam” desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng.
Sebuah lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya. Bekas-bekas
api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang menempel di tebing
bukit.
Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi
lagi, sampailah mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul
setelah mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang serta mengalirkan
parit ke lereng bukit.
Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri bersandar tangkai pacul maka segera disapanya, “pekerjaan paman ternyata berhasil.”
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia menjawab, “Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “pekerjaan kita semua.”
“Dari manakah anakmas tadi?” Wanamerta bertanya.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera
meloncat turun dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu,
berkatalah Mahesa Jenar, “Mengejar kelinci.”
“He” Wanamerta heran.
“Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini”
“He” sekali lagi Wanamerta keheranan.
“Nanti aku ceritakan,” sahut Mahesa Jenar, ”dimana kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?”
“Disana,” jawab Wanamerta, ”disebelah timur”.
“Aku ingin menemuinya” kata Mahesa Jenar sambil melangkah.
“Nanti dulu,” tiba-tiba Wanamerta berteriak, “Siapa?”
“Kakang Gajah Sora” jawab Mahesa Jenar.
“Gajah Sora. Gajah Sora?” orangtua yang gemuk itu bergumam, “O...” tiba-tiba Wanamerta seperti disengat kelabang. “Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah bercakap-cakap dengan Ki Ageng.” Wanamerta mengingat-ingat, “Tetapi, bukankah Ki Ageng berada di Demak?”
“Sudah pulang” jawab Mahesa Jenar pendek.
“Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya” ulang Wanamerta.
Dan tiba-tiba saja orang tua itu
melemparkan paculnya. Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang
ke arah timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak, “He, Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.”
Laskar Banyu Biru yang baru saja datang
dari Pamingit tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang
mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu Biru, teriakan
itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati mereka keras sekali.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun
segera mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orang-orang Banyu
Biru yang masih berdiri di sana-sini dengan alat-alat di tangan mereka.
Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah
Sora berdiri di samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora,
terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras, “Angger, kau telah datang di antara kami.”
Dan sebelum Gajah Sora menjawab, orang tua itu telah menubruknya.
Dirangkulnya Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan
kini ditemuinya kembali. Gajah Sora terkejut, bahkan ia menjadi heran.
Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia berdiam diri dan membiarkan
orang tua itu menangis terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu
menangis. Di sela-sela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, “Aku
telah melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat syarafku, maka
aku menyangka bahwa Angger sudah lama tidak berada di Banyu Biru. Dan
kini Angger telah kembali. Kembali seperti apa yang kami harapkan.
Bahkan kami yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali.”
“Terimakasih Paman” jawab Gajah Sora.
Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan
tangannya. Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan Mantingan
dan Wirasaba yang selama ini ikut serta membantu mereka, merasakan pahit
getir bersama rakyat Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita
mereka, setia pada tanah mereka.
Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan
lagi antara Pamingit dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara Banyu
Biru dan gerombolan-gerombolan liar yang dikemudikan oleh orang-orang
sakti yang berilmu nasar. Sebab mereka telah dibinasakan oleh
kekuatan-kekuatan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam bertambah dalam juga. Api di lereng
telah padam. Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang
dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing. Menemui keluarga
mereka untuk menyatakan keselamatan diri. Beberapa orang terpaksa
berkabung karena kehilangan sanak kadang mereka. Namun mereka yakin
bahwa arwah-arwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha
Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk menegakkan rasa
cinta kasih sesama, rasa cinta kasih kepada Tuhannya.
Yang akan datang adalah hari esok yang
penuh dengan kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali
lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air hujan. Namun
kerja itu akan dilakukan dengan hati yang cerah di hari-hari yang cerah
pula.
Ketika matahari pada keesokan harinya
memancarkan cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa Pening,
sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja masing-masing. Wajah-wajah
mereka yang riang menggambarkan isi hati mereka yang terang. Mereka
telah merencanakan untuk menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai
pernyataan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah
melimpahkan cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyu Biru.
Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah
Perdikan Banyu Biru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada
bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan pakaian yang
lungset kumal. Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala
Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia melihat betapa
rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang akan mereka rayakan bersama.
Beberapa orang memasang janur-janur kuning dan yang lain membuat
obor-obor yang besar.
Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia
melihat seorang gadis duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun
berwajah cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi
selangkah ia pergi menemui gadis itu.
“Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?” ajak Arya Salaka.
Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk kembali ia menggeleng, “Nanti Kakang, Ayah sedang mandi.”
“Kita pergi berdua” ajak Arya Salaka.
Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya
tiba-tiba saja timbullah perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang
selama ini tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab, “Aku menunggu Ayah.”
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu
telah mengalami suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka
tidak mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun telah
mengajaknya pula. Maka katanya, “Baiklah Widuri. Nanti aku datang kembali.”
Dan Arya Salaka pun perlahan-lahan melangkah pergi. Kembali ia menemani
kerja rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan mereka di
hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk menyongsong hari-hari yang
bahagia bagi anak cucu mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem
kerta raharja.
Sementara itu di gandhok wetan duduklah
dalam satu lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas.
Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan beberapa
persoalan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga
akhirnya Ki Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan
kepalanya, “Baru sekarang aku menjadi jelas. Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa pekerjaanmu sudah hampir selesai.”
“Ya, Paman,” jawab Mahesa Jenar, “pekerjaanku telah hampir selesai”
“Pada suatu saat, Anakmas…” kata Ki Ageng pula, “Aku
ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu. Tunjukkan kepadaku
rumah orang yang bernama Paniling dan Darba, seperti yang Anakmas
ceriterakan. Alangkah lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan
kami yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan di dalam
mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa Pasingsingan telah
melampaui tiga masa.”
“Baiklah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar, “Besok aku antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran.”
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka mendengar hiruk-pikuk di halaman.
“Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini” desis Rara Wilis.
“Aku akan melihat mereka,” kata Ki Ageng Pandan Alas sambil melangkah keluar.
Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis
dan Mahesa Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak sepatah
kata pun terlontar dari sela-sela bibir masing-masing. Bahkan kemudian
terdengar nafas Rara Wilis semakin cepat mengalir.
Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Adakah kau ingin kembali ke Gunung Kidul?”
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, “Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang akan menentukan.”
“Kita tentukan bersama-sama,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya, “Terserahlah kepada Kakang.”
“Wilis,” tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguh-sungguh. “Aku
akan selalu mendekati keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Bagaimanakah kalau kami kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama
Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku menyerahkannya kembali
ke Demak bersama-sama Jaka Tingkir?”
“Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan juga. Tenang dan tentram.”
Kembali mereka terdiam. Namun di
angan-angan mereka terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan
karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan, namun karena hati
mereka yang telah bertemu dan berpadu, setelah sekian lama berjuang
untuk mengabdikan diri mereka kepada tugas-tugas mereka.
Mahesa Jenar sama sekali tak mengharapkan
bahwa kelak namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal atau
dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapura-gapura. Ia hanya
mengharap, agar Demak kembali menemukan kekuatannya. Menemukan sipat
kandel-nya. Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang seharusnya
dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa
pengabdian tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar istana. Di
antara rakyat pun ia akan dapat melakukan pengabdian. Pengabdian bagi
sesama dan pengabadian bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar
yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera
meninggalkan Banyu Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus
ditungguinya. Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi, dan Kebo
Kanigara masih harus menemui Mas Karebet.
Namun hari-hari yang akan datang adalah
hari-hari yang cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Hari yang cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari yang cerah pula
bagi Arya Salaka dan Endang Widuri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan
menunggu waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu merayap-rayap
meninggalkan usia mereka.
Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi
semakin sepi. Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat
masing-masing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia, sedang
Mantingan harus kembali ke gurunya dan kepada pekerjaannya, Dalang.
“Kakang Mahesa Jenar,” kata Mantingan pada saat ia minta diri dari Banyu Biru, “Aku
akan datang kembali menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang
memerlukan aku. Mantingan sebagai seorang dalang. Bukankah akan nikmat
sekali, apabila aku mendapat kehormatan untuk meramaikan perhelatan
perkawinan Kakang? Aku akan membawakan ceritera yang paling menarik,
Parta Krama”
Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum
menanggapi kata-kata Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan
wajahnya yang kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar berjanji di dalam
hatinya, bahwa ia akan menerima sumbangan itu kelak pada saatnya.
Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.
Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin
sepi. Namun kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk rakyatnya
yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus mereka kerjakan untuk tanah
perdikan mereka.
Hanya dengan kerja, maka tanah mereka
akan mencapai nilai-nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan
orang-perorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan. Sehingga
karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk berselisih, bersitegang
dengan kebenaran menurut tafsiran masing-masing, bersikeras hati
mempertahankan pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Yang ada
kemudian adalah kerja, membanting tulang. Kini mereka bermandi keringat
bersama-sama, namun kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.
———-oOo———-
III
Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu
Biru, maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya sendiri.
Persoalan kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang
didengarnya dari Paningron dan Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan
Ismaya, bahwa seorang Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang
buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu ternyata sedang disingkirkan
oleh Sultan, karena pelanggaran-pelanggaran yang telah dibuatnya.
Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara
itu memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut, tetapi mereka
bersepakat untuk bertemu di ujung hutan perdu di lereng Bukit Telamaya,
supaya setiap pembicaraan dapat mereka lakukan dengan tidak bersegan
hati terhadap orang-orang lain yang mendengarnya.
Malam itu langit yang cerah ditandai oleh
sepotong bulan muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas,
sedang Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di hadapannya, seakan-akan
seorang tertuduh yang sedang menunggu keputusan tentang dirinya.
“Karebet” kata Kebo Kanigara perlahan.
Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau, “Ya, Paman.”
“AKU telah mendengar beberapa
ceritera tentang dirimu diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa
disingkirkan karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit,
kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung Ngawuk hanya dengan sadak
kinang. Namun, dari pancaran senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan
itulah yang telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah
sebabnya kau diusir dari istana?”
Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam.
Dadanya berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
“Katakanlah, Karebet,” desak Kebo Kanigara.
Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Bukan semata-mata salahku paman”
Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara mendesaknya, “Apa yang terjadi?”
“Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku” jawab Karebet terbata-bata.
“Lalu?”
“Aku pun bersikap baik kepadanya” jawab Karebet
“Hanya itu?”
Karebet mengangguk, “Ya.”
Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya, “Hanya itu?”
“Oh. Tidak Paman” sahut Karebet cepat-cepat.
“Lalu?”
“Pergaulan kami menjadi semakin baik,” jawab Karebet, “Mula-mula
aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi ternyata perasaan kami
masing-masing berkehendak lain. Tetapi ternyata Sultan tidak senang
melihat pergaulan itu. Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah
Tamtama pada waktu itu.”
“Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?”
Karebet mengangguk.
“Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?”
Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, “Ya.
Tetapi bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi setiap
kali kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai seorang tamtama,
sedang putri Sultan itu, entahlah apa saja yang dilakukan di luar
keputren.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mempercayai sebagai ceritera kemenakannya. Namun ia tahu
pula sifat-sifat anak itu. Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata
pula, “Kemudian akulah yang menerima akibat dari pergaulan kami itu. Sultan marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku dipindahkannya.”
“Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi kepada Sultan?”
“Aku telah mencoba,” jawab Karebet, “Tetapi ada orang ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Tumenggung Prabasemi.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Apakah kepentingannya?”
Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas
Karebet itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat
menjawab pertanyaan pamannya. Namun kemudian diceriterakannya apa saja
yang pernah dialaminya. Satu-satu. Tak ada yang dilampauinya. Bahkan
ceritera itu seakan-akan merupakan tuangan kekesalan hatinya, atas
peristiwa yang tak diharap-harapkan.
“Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan berbuat sampai sedemikian jauh,” kata Karebet. “Kau kenal orang itu baik-baik?”
“Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi
dengan baik. Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun karena
kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang sekarang. Seorang
perwira Tamtama yang gagah perkasa.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk
mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan
peristiwa-peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali. Peristiwa
demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.
Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan
putri Sultan itu belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat
merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun pada suatu ketika,
masuklah orang yang bernama Tumenggung Prabasemi itu kedalam lingkaran
pergaulan mereka, sejak Tumenggung itu pada suatu saat bertemu dengan
puteri Sultan yang cantik itu.
Karebet adalah bawahan Tumenggung
Prabasemi yang paling menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama yang
masih sangat muda itu, seakan-akan tak pernah terpisah daripadanya.
“Karebet,” kata Tumenggung Prabasemi, “Kau
adalah anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik. Kau adalah
seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak muda yang bertebaran
disana sini langsung oleh Sultan sendiri. Sehingga dengan demikian,
kesempatan yang kau dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang
ada pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami yang
mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam tugas-tugas kami.
Tetapi kau pernah mendapat kesempatan itu. Kesempatan yang berada di
luar tata peraturan para tamtama.”
Karebet masih belum tahu, apakah
sebenarnya yang akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia
menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata, “Karebet. Adalah aneh,
kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya melihat wajah
putri bungsu Sultan. Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun
sejak putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian mengalami
pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi. Namun tiba-tiba aku mendapat
kesempatan untuk memandang wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya,
sehingga aku menjadi silau karenanya.”
Dada mas Karebet berdesir mendengar
kata-kata itu. Memang puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun
apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka hati mas
Karebet itu terasa seakan-akan meronta.
Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata pula, “Barangkali
aku telah menjadi gila, Karebet. Namun aku benar-benar ingin mendapat
kesempatan yang lebih banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan
yang kedua aku dapat memandang wajahnya, adalah dua hari yang lampau.
Ketika putri Sultan itu bermain-main di gerbang keputren.”
Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung itu, “Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?”
Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu tertawa. Katanya, “Alangkah
bodohnya kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih baik
daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul gila.” Kemudian setelah diam sesaat ia berkata, “Apakah kau dapat menolong aku?”
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan?”
“Karebet…”, kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu, “Kalau
sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila kau lewat di muka
gerbang Kaputren, serta kau lihat putri itu di sana, maka katakanlah,
bahwa seorang Tumenggung menyampaikan sembah sujudnya untuk putri.”
Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus, namun kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet itu bertanya, “Hanya itu saja?”
“Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan putri itu.”
Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan itu?”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa, “Kau
memang bodoh Karebet. Biarlah tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan
itu. Namun apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri itu,
sampaikan pesan itu kepadaku.”
Mas Karebet tersenyum. Katanya, “Aku
memang bodoh. Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung
sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi, bukankah puteri itu putri
Sultan.”
Prabasemi tersenyum, “Itulah. Mungkin
aku benar-benar sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa
seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri raja? Aku adalah
Tumenggung yang mendapat kepercayaan Sultan dalam bidang keprajuritan.
Apa salahnya, apabila pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah
pesisir wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?”
“Mudah-mudahan,” jawab Karebet, “Dan Tumenggung akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi.”
Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan
angan-angannya. Ia mengharap Karebet akan memenuhi permintaannya. Dan
ia mengharap putri itu pun telah pernah mendengar namanya dari Sultan
sendiri, seorang Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti. Bukankah dengan
demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat wajah perwira yang
sakti itu?.
Tetapi, ternyata yang dipesannya adalah
seorang anak muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang selalu
menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang terlalu aneh. Demikianlah
beberapa hari kemudian, Prabasemi itu berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah kau sudah mendapat kesempatan itu?”
Mas Karebet tersenyum, jawabnya, “Sudah, Ki Tumenggung.”
“He…?” Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban itu.
“Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin” kata Karebet.
“Untuk apa?”
“Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar memijit?” sahut Karebet.
“Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu” kata Prabasemi. “Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan putri?”
Karebet mengangguk. “Ya, Ki Tumenggung,” jawab Karebet. “Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki Tumenggung.” “Gila,” gerutu Prabasemi dengan kecewa, “Kenapa?”
“Aku tidak dapat mendekatinya,” sahut Karebet, “Putri itu hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu.”
“Apakah hadiah itu?” tanya Karebet.
“Lembu, kerbau, uang atau apa?”
“Baik. Baik Ki Tumenggung” jawab Karebet.
Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu datang kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil tersenyum ia berkata, “Ki Tumenggung, aku telah menghadap Sultan pula.”
“Memijit?” bertanya Prabasemi.
“Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur” berkata Karebet.
“Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan pesan itu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Ketika
Sultan tertidur, maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan
Sultan. Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan kembali ke
keputren bersama dua orang embannya.”
“Kau sampaikan pesan itu?”
Karebet menggeleng. “Tidak, Ki Tumenggung.”
“Gila!” teriaknya, “Apakah kau juga gila seperti aku, Karebet? Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila karena gadis itu.”
Karebet hanya tersenyum saja. Katanya, “Apakah Ki Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya itu mendengar?”
“Jangan. Jangan” potongnya.
“Nah, itulah sebabnya,” sahut Karebet, “Lain kali akan aku coba.”
Tetapi beberapa hari kemudian Karebet
menemui Prabasemi dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut karenanya.
Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia berkata, “Bagaimanakah dengan pesan itu Karebet?”
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram. Perlahan-lahan ia berkata, “Ki Tumenggung. Kali ini aku telah benar-benar dapat bertemu dengan putri.”
“Ha?” sahut Prabasemi, “Kau sampaikan pesan itu?”
“Ya” jawab Karebet.
“Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka. Tetapi kenapa kau bersedih?”
“Aku ditamparnya” sahut Karebet.
“Siapa yang menampar?”
“Putri.”
“Benar?”
“Ya.”
“Oh!” Tiba-tiba Prabasemi berdesah, “Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku hampir saja membalasnya.”
“He?” teriak Prabasemi, “Kau benar-benar gila. Apakah dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat dihukum, bahkan hukuman mati?”
“Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang aku sampaikan itu.”
“Lalu?” Prabasemi menjadi tidak sabar.
“Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf kepadaku.”
“He?” Prabasemi semakin terkejut, “Putri minta maaf kepadamu?”
“Ya,” sahut Karebet, “Dan putri memberikan pesan pula untuk Ki Tumenggung.”
“Jadi putri kenal aku?” tanya Prabasemi.
Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.
“Oh,” katanya, “Apakah putri belum pernah mendengar nama Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?”
Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya, “Putri menyangka bahwa yang bernama Prabasemi adalah seorang perwira Nara Manggala yang gemuk bulat.”
“Setan!” desis Prabasemi, Katanya, “perwira itu bernama Gajah Alit.”
“Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan istana? Tanya putri itu.” Karebet berkata seterusnya.
“Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?”
“Mungkin” sahut Karebet.
“Apakah kau tidak mengatakan, bahwa
Prabasemi dari kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau Manggala
Sraja atau yang lain-lain?”
“Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah
mengatakannya. Dan putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya.
Melupakan putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah akan menginjak
masa perkawinannya?”
“Bohong!” bentak Tumenggung itu, “Putri itu bohong, atau kau yang bohong?”
“Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku
benar-benar pernah menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak
percaya, inilah, aku dapat membuktikannya.”
Ki Tumenggung Prabasemi menarik
keningnya. Ia melihat Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya.
Kemudian ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah kesalahan Karebet
yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang pahit.
Sehingga akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan hampir saja
jiwanya menjadi korban pula karenanya.
Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan Karebet tergenggam sekuntum bunga yang telah layu.
Tumenggung itu segera mengetahui maksud
mas Karebet. Ia tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu pasti bahwa
Karebet mengatakan kepadanya, bahwa harapannya itu tidak lebih daripada
setangkai layoning kembang. Karena itu, Prabasemi itu menjadi marah.
Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan giginya gemeretak.
Karebet terkejut melihat akibat
permainannya. Ia memang ingin bermain-main dengan Tumenggung itu. Tetapi
ia tidak menyangka bahwa akibatnya akan sedemikian parahnya.
Tumenggung yang marah itu dengan serta
merta menarik bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat karenanya.
Dengan gemetar Prabasemi berkata, “Kau menghina aku Karebet?”
“Tidak Ki, tidak” sahut Karebet.
Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah merah, semerah darah. Katanya pula, “Aku sangka kau adalah bawahanku yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah yang pertama-tama menghina aku.”
“Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu terlalu jauh jangkauannya” jawab Karebet.
“Persetan dengan mulutmu. Kau adalah
bawahanku. Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda dari
umurku. Jangan menggurui aku.”
Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau
membuat Tumenggung itu menjadi semakin marah. Seandainya ia menjawab
satu patah kata saja lagi, maka sudah pasti mulutnya akan ditampar oleh
Tumenggung yang sudah lupa diri. Dan sudah pasti ia akan membalasnya.
Namun untunglah bahwa Karebet berhasil menguasai dirinya.
Sejak saat itu, maka
Prabasemi tak memerlukan Karebet lagi. Seandainya Karebet bukan seorang
yang langsung diambil oleh Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan
kekesatuannya, maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir bahkan sudah
dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih takut, seandainya Sultan
memerlukan anak itu.
Namun sejak itu, Prabasemi menjadi
semakin gila. Ia ingin membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil
menemui puteri Sultan itu dan berhasil memikatnya. Tumenggung bukan
pangkat yang terlalu rendah. Dalam peperangan ia telah berhak untuk
memegang jabatan panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan ia yakin
kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya. Juga akan dapat
menentukan apakah puteri Sultan itu akan menaruh perhatian akan dirinya
atau tidak.
Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama
perwira yang pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya dari angkatan
yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala, bernama Gajah Alit tak
kurang saktinya. Seorang lain dari panglima pasukan Demak yang berada di
Bergota. Arya Palindih, adalah orang yang sakti. “Tetapi apakah kau tidak dapat menyamai kesaktian mereka?” katanya dalam hati
Tetapi sebagai seorang perwira yang masih
muda, ia hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi
bersama-sama dengan mereka yang mempunyai nama dalam keprajuritan Demak.
Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu belum pernah mendapat
kesempatan untuk melihat atau memperlihatkan kesaktiannya masing-masing
angkatan sebelumnya dan dirinya sendiri. Itulah agaknya yang menyebabkan
Prabasemi haus pada kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan
lapangan permainan yang digemarinya, sekedar untuk mengukur diri. Tak
pernah diperhatikannya, apakah akibat dari peperangan itu. Tak pernah
terpikirkan olehnya, berapa orang yang gugur. Ia ingin namanya akan
semakin menanjak keatas, merayap kesamping nama-nama yang pernah
didengar sebelumnya.
Dengan demikian Prabasemi merupakan
Perwira yang namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setia
persoalan yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah Demak, bahkan
daerah perdikan akan diselesaikan oleh Prabasemi dengan kekerasan.
Dengan dalih yang dibuat-buat, Prabasemi selalu mengakhiri tugasnya
dengan pertumpahan darah di wilayah yang sangat kecil pun.
Ada anak buah yang senang dengan
kebiasaan itu, namun ada yang membencinya. Karebet termasuk orang yang
muak dengan perbuatan itu. tetapi sebagai seorang yang patuh pada
ketetapan yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak
yang dapat ia lakukan. Dan sebenarnya untuk sementara Prabasemi mendapat
sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan semua tugas yang
diserahkannya pasti dapat diselesaikannya.
Dan kini Prabasemi telah sampai pada
tangga yang cukup tinggi. Tumenggung. Namun nafsunya yang berlebihan
masih belum juga surut.
Bahkan kini ia terdorong dalam satu
persoalan yang lebih gila lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah
dilupakannya. Dan ia bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis
itu. Apa yang dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut
yang semakin gelap.
“Apakah artinya aku ini puteri” kata Karebet. “Aku tidak lebih dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah Tumenggung sakti dari kesatuan yang sama.”
Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu tersenyum sambil berkata, “Kalau
kau mau Karebet, aku tidak hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi
aku akan mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang Adipati.”
Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar, “Kenapa puteri tidak mau?”
“Apakah kau menghendaki demikian?” bertanya puteri itu.
“Ah” desah Karebet. “Aku sedang berfikir, bagaimana cara sebaik-baiknya untuk bunuh diri.”
“Kenapa bunuh diri?”
“Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan. Mungkin dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan Tumenggung Prabasemi.”
“Jangan mengigau Karebet” potong puteri itu.
Karebet tersenyum. Kemudian katanya, “lalu bagaimana aku harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah itu?”
“Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya.”
Demikianlah Karebet semakin yakin akan
dirinya. Ia tidak akan dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi
segala macam nafsu itu.
Tetapi Tumenggung Prabasemipun tidak
putus asa. Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang, pakaian
dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka menyampaikan beberapa
pesan untuk puteri itu. Namun usaha Tumenggung itupun sia-sia. Puteri
Sultan Trenggana tak pernah memperhatikan pesan itu. Dan bahkan puteri
selalu berpura-pura belum pernah mendengar nama Prabasemi. Dengan
demikian Prabasemi semakin prihatin. Kadang apbila pikiran jernih datang
dan bekerja di benaknya, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya
adalah laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya wajah itu, maka
pikiran gilanya kembali menguasai kepalanya. Dan kembali Tumenggung itu
memutar otaknya.
Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa
tak disangka-sangka oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang
emban yang telah disuapnya berlari kepadanya.
“Ada apa?” bertanya Prabasemi terges-gesa, ”Apakah puteri memanggil aku?”
Emban itu menggeleng, dan Tumenggung itu pun menjadi kecewa.
“Ki Tumenggung,” berkata emban itu terengah-engah, ”aku tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil”
Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya sambil bertanya menyentak, “Apa katamu?”
“Ki Tumenggung,” sahut emban itu, ”seseorang telah mendahului menyentuh hati tuan puteri…”
“He, “ Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat, ”Apa katamu”
“Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung”
“Bohong,” teriaknya, ”aku juga pernah dibohongi demikian”
“Aku tidak bohong” sahut emban.
“Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah mendahului aku?”
“Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini aku melihatnya sendiri.”
“Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua?”
“Anak muda itu selalu datang ke
istana. Baginda sering memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu
melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang disukainya.”
“Siapa dia?”
“Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama seperti Ki Tumenggung.”
“Gila, siapa dia? He, siapa?”
wajah Tumenggung itu menjadi merah padam. Ia percaya kata-kata emban
itu. Karena itu maka dadanya bergetar seperti seratus guntur meledak
bersama-sama di dalamnya.
Emban tidak dapat menjawab. Memang ia
tidak tahu siapakah nama anak muda itu. Namun ia dapat mengatakan, bahwa
Baginda sering memanggilnya untuk memijat kakinya. Atau kadang-kadang
anak muda itu diajak bermain panah, membidik sasaran-sasaran yang
aneh-aneh. Dan bahkan bermain kecerdasan. Macanan atau mul-mulan dengan
asyiknya.
Mendengar keterangan emban itu, menggigillah tubuh Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya, “Apakah anak muda itu masih sangat muda ?”
“Ya” jawab emban itu.
“Bertubuh tegap, berdada bidang?”
“Ya.”
“Selalu tersenyum?”
“ya.”
“Gila. Setan itu bernama Karebet? Kau dengar?”
bentak Prabasemi. Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya.
Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia akan berusaha
membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah emban itu. Emban yang menggigil
ketakutan.
“Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren?”
“Ya.” Emban itu mengangguk.
“Aku akan kesana. Aku bunuh anak itu” teriak Prabasemi.
“Jangan Tuan” pinta emban itu.
“Kenapa?”
“Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara Manggala seperti anak muda itu?”
Prabasemi menggeram. Ia tidak mempunyai
wewenang apa pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti Karebet.
Kalau ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan Nara Manggala. Sedang
kalau Nara Manggala itu dimintanya untuk menyergap kaputren
beramai-ramai, maka Karebet pasti sempat melarikan diri. Dan apabila
tidak ditemui bukti, maka Baginda pasti akan murka.
Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu
itu seolah-olah sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah
mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu hanya bisa
menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya. Dengan gemetar ia berdiri
dan berjalan mondar-mandir sambil mengumpat, “Setan, Karebet itu. Seharusnya ia dibunuh.”
Namun akhirnya Tumenggung itu pun
berhenti mondar-mandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan
tiba-tiba Tumenggung Prabasemi tersenyum.
Emban yang ketakutan itu pun terkejut
melihat perubahan sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia tidak
berani bertanya sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin gelisah ketika
kemudian Prabasemi itu berhenti beberapa langkah dihadapan emban yang
duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Emban…” katanya, “Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu menuruti kehendak sendiri.”
Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung pertanyaan.
“Namun putri itu pun harus mendapat
pelajaran. Aku tak akan dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu
Emban, apakah tidak sebaiknya melaporkannya kepada ibunda permaisuri
apabila kau melihat anak muda itu datang kembali?”
Emban menggeleng, “Aku tidak berani
tuan. Dan dengan demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin
putri akan dihukum didalam istana, dan mungkin anak muda itu dapat
dihukum mati.”
Prabasemi tertawa. Katanya, “Bukankah itu hukuman yang wajar?”
“Putri akan berduka.”
Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya, “Jadi
apakah sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu? Apakah dengan
demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak
muda itu terdorong kedalam keadaan yang makin parah?”
Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi
itu memang benar. Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam perbuatan
yang lebih sesat lagi, maka dirinyapun akan mendapat hukuman pula
beserta seluruh emban yang lain.
Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban
itu terkejut ketika dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang
berkilat-kilat. Dengan mulut ternganga ia menengadahkan wajahnya menatap
wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih tersenyum. Katanya, “Pakailah,
supaya kau tidak lupa kepadaku. Dan supaya kau tidak lupa nasehatku.
Sebaiknya kau laporkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Bukankah tugasmu
momong Gusti Putri? Dan bagiku Gustri Putri itu sama sekali sudah tidak
menarik lagi sejak aku melihat kau.”
“Ah”, desis emban itu. Namun ia
pun menjadi berbangga akan kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba
timbullah keinginan untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung itu.
Sehingga sambil mengerling emban itu berkata, “Tuan jangan berolok-olok.”
Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Kenapa
aku berolok-olok. Aku baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku
telah melihat kau dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi karena
kau sering datang kemari, aku telah melihat hampir seluruhnya yang ada
padamu. Tingkah lakumu, sifat-sifatmu, senyummu.”
“Ah”, wajah emban itu menjadi kemerah-merahan. Namun ia menjadi semakin berbangga.
“Nah, lakukanlah pesanku itu”, berkata Prabasemi kemudian perlahan-lahan, “kau
akan mendapat hadiah daripadaku. Lebih banyak dari yang sudah aku
berikan. Biarlah seandainya putri itu mendapat pingitan yang lebih keras
dari ibunda. Aku tidak peduli lagi, asalkan kau tidak ikut dipingit
pula.”
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia berjanji untuk melakukannya, “Ya Ki Tumenggung, akan aku beritahukan kepada Permaisuri apabila anak muda itu datang kembali.”
“Bagus, bagus”, sahut Prabasemi, “jangan tanggung-tanggung Rumah ini masih kosong.”
Dan emban itu pun berdesir. Tanpa
dikehendakinya ia memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah
Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alat-alat rumah tangga
yang bagus. Tempat duduk dari kayu berukir, geledek-geledek berukir dan
tirai-tirai sutera di muka sentong tengah dan kedua sentong samping.
Bahkan tiang-tiangnya pun diukir pula dengan bagusnya dengan warna-warna
sungging yang indah. Tanpa disadarinya pula emban itu tersenyum.
PRABASEMI membiarkan emban itu berangan-angan. Namun hati Tumenggung itu mengumpat, “Gila pula agaknya emban ini seperti aku. Apa disangkanya ia cukup bernilai untuk bermimpi menjadi istri Tumenggung?” Bibir Tumenggung itu membayangkan sebuah senyum. Dan senyumnya itu telah mendebarkan hati emban yang mabuk kesenangan.
———-oOo———-
IV
Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih
tersenyum-senyum sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa
cincinnya itu memenuhi janjinya. “Apabila benar yang dikatakan itu,”
Prabasemi bergumam sendiri, “Maka umur Karebet itu menjadi amat
pendeknya. Kasihan. Tetapi ternyata ia lebih gila daripadaku.”
Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata
cerdik. Betapa darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia
selalu dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada Karebet seakan-akan
menjadi bertambah baik. Dibawanya anak muda itu ke mana-mana. Dibawanya
Karebet itu ke tempat-tempat yang disukainya. Ke pasar dan ke
warung-warung. Apabila Tumenggung itu membeli kain baru untuk dirinya,
maka dibelikannya pula Mas Karebet.
Namun otak Mas Karebet bukan otak yang
tumpul. Ia merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mula-mula
Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba sikap itu berubah.
Meskipun demikian ia belum dapat mengetahuinya dengan pasti, apakah
maksud Tumenggung itu sebenarnya. Dan ternyata Mas Karebet meraba ke
arah yang tidak tepat. Ia menyangka, bahwa Tumenggung itu sedang
menyuapnya supaya ia bersedia menyampaikan pesan-pesannya kepada Gusti
Putri.
Karena itulah maka Karebet tidak juga
menyadarinya, bahwa seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren,
sepasang mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri bungsu itu tak
pernah terlepas dari pengawasan emban yang haus kemukten itu, apalagi
Mas Karebet berada di sekitarnya, meskipun dengan bersembunyi-sembunyi.
Akhirnya datang pula saat itu.
Ketika malam sedang merayap semakin
dalam, dan bintang-bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam dalam
pelukan awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang panjang menyala di
langit yang gelap, disusul dengan suara gemuruh diudara. Angin yang
dingin bertiup semakin lama semakin kencang.
Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas
masuk ke pintu gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang
sedang bertugas menyapanya, “He, berhenti. Siapa?”
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menjawab, “Kaki Baginda terkilir.”
“Oh, kau Karebet?” tanya prajurit itu.
Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki pintu gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke gardunya.
“Karebet,” gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya, “Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan seperti putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya. Ada-ada saja.”
“Kenapa bukan aku?” kelakar orang bertombak itu.
“Aku juga sedang belajar, meloncat
mundur sambil berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu
berbuat demikian di halaman masjid, maka Karebet itu dipungutnya?”
“Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik,” jawab yang lain, “Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak itu.”
Beberapa orang prajurit yang sedang
berjaga-jaga di gardu itu pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang
memegang dadu melemparkannya ke sudut, lalu menguap. Katanya, “Alangkah dinginnya.”
“Tidurlah,” sahut yang lain, “Giliranmu adalah seperempat malam terakhir.”
Orang itu tidak menjawab, namun ia
merangkak kesudut. Dan kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang
lain yang sudah mendengkur. Mereka adalah petugas-petugas yang akan
mendapat giliran pada perempat malam terakhir.
Karebet pun kemudian memasuki halaman
dalam istana. Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis kebilik
Baginda. Namun ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur nyenyak
dimalam yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak muda itu pun kemudian
seakan-akan lenyap dibawah bayang-bayang pepohonan. Tak seorang pun yang
melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di antara tananam di pertamanan
itu menuju kesisi halaman yang lain. Kaputren.
Angin malam masih bertiup menggoyangkan
daun-daunan dan menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering. Lamat-lamat
di antara desir angin terdengarlah suara burung bence. Perlahan-lahan
dan jarang-jarang. Bukan suara burung yang sesungguhnya. Tetapi tak
seorang pun yang mengetahuinya selain Gusti Putri.
Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu
kaputren. Sesaat kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang
berkerudung kain menyelinap keluar dan berjalan tersuruk-suruk ke
samping dinding kaputren itu.
“Ah kau” desis gadis itu.
Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah Tuan Putri sudah tidur?”
“Belum,” jawab putri itu, “Aku menunggumu.”
Putri itu pun kemudian duduk di tanah di
samping Karebet, di balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat masih
menyambar di langit dan guruh masih menggelegar satu-satu. Namun kedua
anak-anak muda itu sama sekali telah tenggelam dalam keasyikan, sehingga
tak dilihatnya cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh guntur.
Di sudut lain, emban yang mengenakan
cincin emas di jari-jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding,
tampak tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin
menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk.
Namun kemudian ia bahkan mengharap keadaan akan bertambah parah. Bahkan
ia mengharap Sultan menjadi sangat murka kepada putrinya, dan kemudian
mengenakan pingitan yang sangat berat. Dengan demikian, maka Ki
Tumenggung Prabasemi pasti akan melupakannya. Melupakan putri itu.
Bukankah dengan demikian, kesempatan baginya menjadi lebih luas lagi?
Istri Tumenggung adalah impian yang sangat menyenangkan. Selagi
kawan-kawannya masih tetap menjadi emban, dan satu dua akan diambil oleh
jajar atau setinggi-tingginya bekel juru taman, maka ia telah menjadi
seorang istri Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama.
Kini kesempatan itu terbuka baginya.
Karena itu, dengan tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian
dengan tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang, menuju bilik
Permaisuri.
Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik
itu, ia menjadi ragu-ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah
akibatnya tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri berduka? Namun
kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi, “Apakah dengan
demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak
muda itu terdorong ke dalam keadaan yang semakin parah?”
Ketika emban itu sedang bimbang, ia
menjadi terkejut bukan buatan ketika terasa seseorang menggapit
pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya di belakangnya berdiri seorang
emban Permaisuri. Dengan tersenyum, emban itu bertanya, “He, kenapa kau malam-malam, berada di sini?”
“Oh” jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas tergagap. “Tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa?” tanya emban Permaisuri dengan heran.
Emban bercincin emas itu diam sesaat.
Dicobanya untuk mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan
oleh benturan-benturan perasaannya. Namun ketika emban Permaisuri itu
mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya, “Ah. Sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting terjadi di kaputren.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kenapa? Apakah Putri sakit?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” katanya.
“Lalu kenapa?”
“Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri.”
Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya sehingga harus kau sampaikah hari ini?”
“Ya. Sedemikian pentingnya.”
“Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Tidak” jawabnya, “Persoalannya sangat penting dan harus diselesaikan malam ini.”
Emban Permaisuri itu mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang
emban bercincin emas itu mengikutinya.
“Belum lama Permaisuri tidur,” kata emban itu, “Baru saja Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan yang penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri.”
“Soal ini pun tak kalah pentingnya,” desak emban bercincin emas.
Akhirnya emban Permaisuri itu pun
mengetuk pintu perlahan-lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun
apabila persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti tidak akan
murka.
Sesaat kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik itu, “Siapa?”
“Hamba, Gusti.”
“Emban?”
“Hamba, Gusti.”
“Kau mengetuk pintu?”
“Hamba, Gusti.”
“Ada sesuatu?”
“Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap.”
“Oh.”
Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit
pintu bilik itu. Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan
Permaisuri itu telah berdiri di ambang pintu.
“Siapakah yang ingin menghadap?”
Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata, “Hamba Gusti.” Namun terasa suaranya bergetar.
“Ada apakah? Apakah Putri sakit?”
“Tidak Gusti,” sahut emban itu. Suaranya menjadi semakin gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata, “Gusti, Putri tidak sedang sakit, tetapi sedang….” Tiba-tiba suaranya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
“Sedang apa?” desak permaisuri.
Keringat dingin mengalir di seluruh wajah
kulit emban yang bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar
ketika Permaisuri bertanya, “Apakah persoalan ini sangat penting sehingga kau harus menghadap malam ini?”
“Hamba, Gusti” jawab emban itu.
“Membawa pesan Putri?”
Emban itu menggeleng, “Tidak Gusti.”
Permaisuri menjadi heran. Katanya, “Lalu apakah keperluanmu?”
“Gusti…” jawab emban itu
tergagap. Sedang emban permaisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah
kawannya ini? Apakah agaknya ia diganggu oleh hantu-hantu pertamanan?
Dan terdengarlah emban bercincin emas itu meneruskan dengan kata-kata
yang patah-patah. “Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi sesungguhnyalah
bahwa hamba mengatakannya yang sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba
dari bebendu.” Emban itu berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin terengah-engah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin heran.
“Tuanku,” kata emban itu pula, “Ampunkanlah hamba. Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba atas Tuan Putri di kaputeren.”
“Apa yang akan kau katakan, Emban” tanya Permaisuri.
“Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?”
“Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya.”
“Oh.” Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk mengatur perasaannya, baru kemudian ia berkata, “Sesungguhnya Gusti, di keputren Putri sedang menerima seorang tamu.”
Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata emban itu. Maka katanya, “Menerima tamu, katamu? Siapakah tamunya?”
“Itulah yang menyedihkan kami, Gusti,” sahut emban itu, “Tamunya adalah seorang pria.”
Kali ini Permaisuri itu pun tersentak
seperti disengat kala. Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan
tubuhnyalah yang menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya
tiang-tiang pintu bilik itu.
Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata, “Emban, apakah katamu benar?”
“Ya, Gusti.”
“Kau pernah melihat sendiri?”
“Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena itu hamba segera menghadap kemari.”
Putri itu kini mengigil seperti orang
yang sedang sakit. Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk
ke dalam biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya.
Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada embanya, “Emban, aku akan menghadap Baginda.”
Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil
pula. Kabar itu tak diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan
perlahan-lahan ia berbisik, “Apakah kau benar-benar melihatnya?”
Emban bercincin emas itu mengangguk. “Ya” jawabnya.
Emban Permaisuri itu mengusap dadanya
sendiri. Tak pernah terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan mengalami
masa-masa yang demikian mengerikan. Apakah kata Baginda nanti? Emban
Permaisuri itu menjadi semakin menggigil karenanya. Sekali lagi ia
berbisik, “Apakah kau pernah memperingatkannya, atau setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?”
Emban bercincin emas itu menggeleng. “Belum, aku tidak berani.”
“Kenapa?” desak emban Permaisuri, “Bukankah
kau pemomongnya? Adalah menjadi kewajibanmu untuk memberi peringatan
kepada Putri apabila pada suatu saat Putri mengalami kegoncangan
keseimbangan. Sebab bagaimanapun juga Putri itu pun manusia yang sering
khilaf seperti kita.”
Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban permaisuri itu berkata, “Sekarang persoalan itu akan menjadikan seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak banyak orang yang mengetahuinya.”
Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian kepalanya ditundukkannya.
Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan tergesa-gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan kemudian berkata, “Kalian berdua ikut aku.”
Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan mengikuti Permaisuri ke bilik raja.
Di halaman, mereka berhenti, karena
seorang peronda Nara Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di
tangan, terdengar ia menyapa, “Siapa?”
Emban Permaisuri menjawab, “Permaisuri.”
“Oh!” Peronda itu pun kemudian
membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun dari sorot matanya terpancar
pula beberapa pertanyaan di dalam dadanya. Kenapa Permaisuri memerlukan
menghadap Baginda di malam yang dingin ini?
Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda.
Tetapi ia tidak berani bertanya. Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda.
Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut
bukan buatan. Berita itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya.
Namun Baginda adalah seorang yang telah terlalu sering menghadapi
bermacam-macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan
mengkhawatirkan. Karena itu Baginda dapat lebih cepat menguasai
perasaannya. Maka dengan tenang Baginda itu bertanya, “Kau melihatnya sendiri, Emban?”
“Hamba, Tuanku.”
Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Aku ingin membuktikannya.”
Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menangkap mereka?”
Baginda menggeleng lemah, katanya, “Tidak.
Aku ingin menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut
serta menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini tersebar di
seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan dapat melindungi nama Putri
itu?”
“Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?” tanya Permaisuri.
“Aku sendiri akan melihatnya.”
“Sendiri?” Permaisuri itu terkejut.
Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya. Kalau aku dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini akan menjadi sangat terbatas.”
“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Putri.
“Hanya terhadap para penjahat aku
akan menyerahkan persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini
sangat berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya pula.”
“Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti para penjahat?”
Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin. Karena itu aku bersenjata.”
Ternyata Permaisuri tidak dapat
mencegahnya lagi. Baginda tidak bersedia memanggil, meskipun hanya
seorang perwira Nara Manggala yang sedang bertugas malam itu. “Aku
tidak dapat membayangkan apakah akibatnya seandainya seseorang dari
mereka mengetahui peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini segera
akan tersebar.”
“Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk merahasiakan-nya.”
“Semakin banyak orang yang
mengetahuinya, maka rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang
emban ini sudah cukup banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia ini
sekuat-kuatnya.”
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah
lagi. Baginda itu kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka berbentuk
keris terselip di pinggangnya. Kemudian katanya sambil tersenyum untuk
menenangkan hati Permaisuri, “Aku adalah seorang Senapati Perang. Apakah aku tidak dapat bertempur seandainya keadaan memaksa?”
Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi tegang.
“Aku melalui pintu butulan,” desis Baginda. “Kalian bertiga tetap di sini.”
Baginda itu pun kemudian keluar dari
bilik peraduannya lewat pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian
kerajaan. Dengan hati-hati Baginda menyelinap di antara batang-batang
perdu di petanaman menuju ke keputren. Dari emban, Baginda telah
mengetahui dimana mereka berdua, putrinya dan laki-laki itu berada.
Sebenarnya Baginda bukan seorang raja
yang hanya dapat duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benar-benar
seorang Panglima Perang. Baginda sendiri selalu berada di garis paling
depan dalam peperangan-peperangan yang besar dan berbahaya. Karena itu,
Baginda tidak saja dapat memberikan perintah-perintah untuk bertempur,
namun Baginda sendiri selalu mengalaminya.
Demikianlah malam itu Baginda pun mampu
melakukan pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati
tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki.
Ketika Baginda mendengar suara laki-laki itu meskipun perlahan-lahan,
maka bergetarlah dada Baginda.
“Gila, anak itu,” desahnya di dalam hati. Langsung Baginda dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang bercakap-cakap dengan putrinya itu.
Karena itu maka segera Baginda mendekati
mereka. Setapak demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi telinga
Karebet adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, dan
tiba-tiba pula ia berbisik, “Seseorang mendekati kami.”
Putri yang belum mendengar sesuatu itu
menjadi heran. Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak ada
yang dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu pun menjadi gelisah.
Desisnya, “Kau berkata sebenarnya?”
Karebet mengangguk.
Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah
baiknya dari telinga Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan
jelas, meskipun betapa lirihnya Karebet berbisik.
Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan didalam hatinya, “Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya.”
Dan sejalan dengan itu, Sultan pun menjadi semakin berhati-hati. Yang
dihadapinya adalah seorang anak muda yang sejak dilihatnya untuk pertama
kali, telah sangat menarik perhatiannya.
Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik, “Masuklah ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat ini.”
Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah.
Kalau benar seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya. Dan
tiba-tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar ia berkata, “Karebet, apakah benar kau mendengar seseorang mendekat kami?”
Karebet mengangguk.
“Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?”
“Tidak Putri,” sahut Karebet, “Masuklah. Aku akan pergi ke bilik Sultan.”
“Untuk apa?”
“Aku akan keluar dari arah itu.”
“Aku takut, Karebet” desah Putri itu.
“Jangan takut,” hibur Karebet, “Biarlah aku sendiri berusaha menyelesaikannya.”
Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan. “Aku takut, Karebet.”
“Jangan Putri,” desak Karebet, “Sekarang
masuklah. Biarlah aku melihat, siapakah yang datang itu. Apabila Tuan
Putri masih di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut. Tetapi Karebet itu mendesaknya, “Pergilah Putri.”
Putri itu pun kemudian beringsut dan
perlahan-lahan berdiri. Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam
biliknya. Tetapi alangkah terkejutnya putri itu ketika tiba-tiba sesosok
tubuh telah meloncat dari dalam gerumbul langsung berdiri di
hadapannya, sehingga terdengarlah Putri itu menjerit kecil.
Karebet pun tidak kalah terkejutnya.
Dengan serta merta ia meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba
mengamat-amati siapakah yang telah berani mengintip pertemuannya dengan
Putri Sultan itu. Dan dilihatnya seseorang yang bertubuh tegap, bertolak
pinggang di hadapannya. Secarik kain kepala melingkar menutupi sebagian
wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap itu Karebet tidak segera
dapat mengatahuinya, siapakah yang telah mengganggunya itu.
Orang itu masih berdiri bertolak pinggang
ketika Karebet melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu
tertawa sambil berkata parau, “Apakah yang telah kalian lakukan di sini?”
Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?”
Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu menjawab, “Apakah perlumu mengenal namaku?”
Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu. Setapak ia maju sambil berkata “jangan berbuat gila. Kutanya siapa engkau dan apa maksudmu?”
Sekali lagi Karebet mendengar orang itu
tertawa lirih. Dari balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu
Karebet mendengar jawabannya, “Katakanlah juga kepadaku, apakah keperluanmu datang kemari.”
Karebet benar-benar menjadi marah. Ia
harus menangkap orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian Karebet sama
sekali tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya Karebet harus menghapuskan
kesaksian orang itu. Membawanya keluar dari halaman, kemudian apabila
orang itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat mengingkarinya.
Tetapi dihalaman itu apabila ada orang lain lagi yang mengetahuinya,
atau melihat perselisihan itu maka sudah tentu ia tidak akan dapat
mengingkari lagi.
Karena itu Karebet pun menggeram, “Jangan membuat persoalan disini. Ikuti aku supaya kau selamat.”
“Aneh,” desisi orang itu, “kalau
aku selamat dengan menuruti perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini
tidur saja aku dirumah. Aku datang kemari, karena kau ada disini.
Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau lakukan disini.”
Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah lagi ia maju. Dengan geram ia berkata, “Ikuti aku.”
Namun jawab orang itu mengejutkan pula, “tundukkan kepalamu dan berjongkok dihadapanku. Aku akan menangkapmu.”
“Persetan,” desis Karebet. Kini
ia menyadari bahwa orang yang datang itu benar-benar berbahaya baginya.
Sudah tentu ia bukan orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia menyangka
bahwa orang itu Tumenggung Prabasemi. Meskipun Karebet belum yakin
benar, namun kemungkinan pertama adalah Tumenggung yang didadanya
menyala segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak dapat berbuat lain
kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang dilakukan. Ia tidak sempat
memikirkannya lagi. Dengan marahnya Kareber berkata, “Bagus kalau kau berkeras menangkap aku, cobalah.”
Sekali lagi orang itu berkata, “jangan melawan. Sia-sia.”
“Mulailah,“ potong Karebet. “Aku akan mempertahankan diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu.”
“Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi nyawanya sendiri. Menyerahlah.”
“Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan melemparmu keluar dinding halaman.”
“Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku. Baru kau dapat keluar dari halaman istana.”
Kini Karebet tidak dapat menahan diri
lagi. Sekali lagi ia menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang
dilihatnya hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan
bintang-bintang di langit. Karena itu maka Karebetpun sekali lagi maju
melangkah sambil menggeram, “Benar-benar kau menghendaki kekerasan.”
Orang itu mengangguk, katanya, “Ya dengan kekerasan aku ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah.”
Karebet tidak menunggu lagi. Secepat
kilat ia meloncat menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan
serangannya yang pertama supaya ia segera dapat menyingkir. namun
Karebet menjadi kecewa. Dengan tangkasnya orang itu menghindari serangan
Karebet, dan bahkan dengan kecepatan tak terduga orang itu menggeliat
dan kaki kirinya berputar setengah lingkaran menyambar lambungnya.
Karebet sama sekali tidak menyangka,
bahwa orang itu mampu bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia
samasekali tak dapat menghindari. Dengan tangannya ia menangkis serangan
kaki itu. Namun alangkah terkejutnya ketika sebuah benturan terjadi,
maka Karebet terdorong beberapa langkah surut. Sedang orang itu masih
saja tegak ditempatnya, bahkan sesaat kemudian meluncurlah serangannya
susul menyusul seperti deru ombak dilautan, menyentuh pantai.
Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir
itu terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu
memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka dugaannya bahwa orang
itu adalah Tumenggung Prabasemi lenyap. Ia pernah melihat Tumenggung
bertempur. Ia pernah menilai ilmu Tumenggungnya. Dan sudah pasti
Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat demikian.
Karena itu Karebet terpaksa meloncat
surut beberapa kali. Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir
melanda dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya mengakhiri
pertempuran, maka segera ia mengetrapkan ilemu tersembunyi didalam
dirinya, ilmu yang jarang dimiliki oleh siapapun, apalagi oleh
Tumenggung Prabasemi. Aji Lembu Sekilan.
Ketika serangan berikutnya beruntun
mengejarnya, maka Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin
menundukkan lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia
memiliki ilmu yang dahsyat itu.
Demikianlah maka berturut-turut beberapa
serangan lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakan-akan telah
menjadi kebal, sehingga serangan-serangan lawannya itu tak berdaya
melumpuhkannya.
Orang yang bertutup kain di wajahnya itu
melontar mundur. Dengan heran ia memandang wajah Karebet dengan
tajamnya. Terdengar ia berdesis, “Lembu Sekilan?”
Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada Putri bungsu yang menggigil ketakutan, “Masuklah Putri, orang ini tidak akan mengganggu. Biarlah urusan kami, kami selesaikan tanpa sepengetahuan Putri.”
Putri itu pun tidak segera beranjak dari
tempatnya. Terasa seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka
seakan-akan kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah. Sehingga kemudian
terdengar Karebet itu mengulangi, “Masuklah Tuan Putri.”
Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar
dari kecemasannya yang telah memuncak. Dilihatnya lawan Karebet itu
masih berdiri di tempatnya, sehingga karena itu ia menjadi ragu-ragu
untuk bergerak.
Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah Putri Sultan. Karebet membentaknya, “Jangan menakut-nakuti. Kaulah yang harus berjongkok dan menyerah.”
Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun tertawa. Katanya, “Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku sebagai tawananmu? Apakah karena Lembu Sekilan itu?”
“Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,” jawabnya, “Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan ilmu yang dapat dicari di tepi-tepi parit.”
Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu
Lembu Sekilan adalah ilmu yang jarang- jarang dimiliki oleh siapa pun.
Bahkan orang-orang dari Karang Tumaritis pernah mengagumi ilmu itu, pada
saat ia berkelahi melawan Surayuda, Demang Gunungkidul. Tetapi
tiba-tiba orang yang tak dikenalnya itu kini menghinanya. Karena itu,
maka kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap pengekangan dirinya.
Dengan segenap ilmu yang ada padanya, dengan kemarahan yang memuncak,
maka disergapnya orang yang telah menghinanya.
Kini sekali lagi pertempuran seorang
lawan seorang itu berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka
Mas Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya. Hampir
setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh tubuhnya, karena lambaran
ilmu Lembu Sekilan itu. Namun lawannya itu pun lincah bukan buatan.
Betapa pun Karebet mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu pun
sangat sukar untuk dikenainya.
Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin
marah. Namun kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar di
hatinya. Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara Manggala melihat
mereka, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari mala petaka.
Karena itu selagi sempat ia berkata sambil bertempur, “Tuan Putri masuklah. Tinggalkan tempat ini.”
Namun suaranya itu disahut oleh lawannya, “Tuan
Putri apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini sampai
pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan memberikan beberapa pesan
sebelum ia mengakhiri hidupnya.”
“Jangan mengigau,” potong
Karebet dengan marahnya. Dan darahnya serasa mendidih ketika didengarnya
orang itu tertawa berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya.
Karena itu, maka Karebet menjadi semakin memperketat geraknya.
Serangannya menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bergulung-gulung
seperti angin prahara dipadang-padang rumput.
Namun lawannya benar-benar selincah
sikatan, selicin belut. Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun
sentuhan sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat menyakiti tubuh
lawannya, karena serangan itu seakan-akan tergelincir. Tubuh lawannya
itu benar-benar licin. Meskipun sekali-kali Karebet berhasil menangkap
tangan atau kaki lawannya, namun ia tidak dapat menggenggamnya. Tubuh
lawannya itu dengan mudah, meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya
ia menggenggam.
Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu
Sekilan itu menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan
tenaganya melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari
tubuhnya, tubuhnya itupun menjadi semakin licin. Karena itu dengan
geramnya ia mendesis, “Aji Welut Putih.”
Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia
tidak berkata apa-apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat.
Keduanya seakan tidak dapat disentuh oelh serangan lawannya. Dengan
demikian maka pertempuran itu tidak dapat dibayangkan kapan berakhir.
Itulah yang sangat mencemaskan Karebet.
Betapa ia berusaha memeras segenap kemampuan yang ada padanya.
Kelincahan, kekuatan dan segenap tenaganya. Namun orang itupun selalu
mengimbanginya.
Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan
Trenggana sendiri sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang
dipungutnya dari tepi jalan itu ternyata memiliki kemampuan yang
dahsyat. Baginda itu menjadis angat terkejut ketika menyadari Karebet
memiliki ilmu Lembu Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu yang sudah
jarang diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat, bahwa ilmu itu
tersembunyi didalam tubuh anak itu. Karena itu Baginda menjadi sangat
menyesal atas peristiwa itu. Seandainya, Karebet itu tidak
mendahuluinya, masuk keputren sebelum diijinkannya, maka kesempatan anak
itu didalam jabatan keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri
perkelahian dengan Karebet, Baginda segera menilai kemampuannya.
Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan telah melampau Tumenggung
Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan datang sangatlah luas bagi
Karebet. Namun sayang bahwa anak muda itu kini ditemukan di keputren.
Perkelahian itu berlangsung dengan
serunya. Masing-masing mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang
mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari orang
kebanyakan. Dan karena itulah Mas Karebetpun menjadi semakin cemas.
Sehingga akhirnya terasa bahwa ia tidak mampu mengalahkannya, meskipun
ia menyangka, bahwa dalam keadaan demikian, lawannyapun tidak dapat
mengalahkannya pula.
Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet,
bahwa tekanan lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin
lincah, dan keringatnya semakin banyak, sehingga tubuhnya menjadi
semakin licin pula.
Sebenarnyalah Bagindapun sedang berusaha
untuk mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit yang
mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam dirinya, sebagaimanapun ia
harus memiliki berbagai macam bekal dalam perjalanannya sebagai seorang
raja dan sekaligus Senapati Perang.
Demikianlah akhirnya, maka Karebet
merasakan tekanan lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan
didadanyapun semakin melonjak. Ia menajdi heran, bahwa tiba-tiba saja ia
berhadapan dengan seorang sakti yang mampu menghadapi ilmunya, Lembu
Sekilan. Karena itupun Karebet mencoba mengingat nama semua yang pernah
dikenalnya. Para Perwira Nara Manggala, para Perwira dari Wira Tamtama
dan beberapa orang yang lain. Gajah Alit, Prabasemi, Paningron,
Danapati, Palindih dan yang lain-lain. Namun seandainya mereka, apakah
dengan mudahnya melawanLembu Sekilan, tanpa melepaskan ilmu-ilmu mereka
yang lain? Ternyata orang ini mampu. Bukan saja dengan ilmu Welut Putih,
namun serangan tanpa dilambari ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan
Bahkan kemudian terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk dinding
Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam, namun Karebet merasa,
ada kekuatan yang mapu menerobos pertahanan ilmunya.
Karena itupun Karebet menjadi bingung.
Orang ini pasti orang luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba
mencari nama orang sakti diluar istana. Orang-orang golongan hitam
hampir semua dikenali cirinya, sehingga orang ini pastilah bukan salah
seorang dari mereka. Namun adakah orang sakti dari daerah lain?, atau
mungkin justru pamannya yang sedang mencoba mengujinya? Paman Kebo
Kanigara? Namun akhirnya Karebetpun pasti bahwa orang itu bukan Kebo
Kanigara.
Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian
bingungnya. Ia tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak
punya pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu. Kemudian
menyembunyikan puteri di keputren dan membuat cerita yang masuk akal,
tentang seseorang memasuki istana berkerudung ikat kepala. Meskipun
seandainya orang itu adalah perwira Nara Manggala sekalipun namun ia
tidak dalam kelengkapan pakaian Nara Manggala.
Karena itu Karebet yang sudah kehabisan
akal itu dengan serta merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia
mempersiapkan diri dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang
dipelajari dalam suasanya aneh. Ilmu yang disusunya tanpa seorang
gurupun. Dan dinamainya sendiri ilmu itu Aji Rog-Rog Asem. Nama yang
ditemukan dalam daerah penggembalaan, apabila para gembala sedang
berebut asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut dahulu mendahului,
namun dengan ilmunya, Karebet mampu menggetarkan pohon asam yang
betapapun besarnya, sehingga hampir segenap buahnya rontok karenanya.
Meskipun demikian belum pernah seorang temanpun melihat perbuatannya.
Mereka hanya menyangka bahwa angin pusaran telah merontokkan pohon asam
itu.
Ilmu itupun pada dasarnya berpangkal pada
pengungkapan kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja mendasarkan pada
kekuatan yang mampu meremukkan iga, namun juga mampu meremas
tulang-tulang lawannya, memutar tubuh lawannya sehingga tulamg
belakangnya patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-Rog Asem. Ilmu dari seorang
anak gembala yang aneh bernama Mas Karebet.
Kali ini, Karebet tidak melihat
kemungkinan lain. betapapun licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin
bahwa Rog-Rog Asem akan dapat menembusnya. Betapapun kuatnya orang itu
apabila tersentuh Aji Rog-Rog Asem, maka sudah pasti bahwa ia akan
lumpuh.
Sultan yang telah merasakan tekanan
tekanannya berhasil, menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur. Ia
melihat anak itu menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian dengan
garangnya anak muda itu meloncat dengan kaki renggang, menekuk kedua
lututnya, siap melontarkan sebuah serangan.
Baginda yang telah kenyang makan garam
perkelahian dan pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak muda itu
telah siap dalam puncak ilmunya. Karena itu sultanpun menjadi cemas. Ia
belum dapat menilai sampai berapa jauh ilmu yang dimiliki Karebet itu.
Kalau kemudian baginda melawan ilmu itu dengan ilmunya yang didasari
dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-kira yang akan terjadi ?
seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan ilmu Baginda itu jauh lebih
dahsyat dari ilmu lawannya, maka terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda
tidak ingin membunuhnya. Membunuh anak sangat menarik perhatiannya itu.
Karena itu Baginda tidak segera
mengetrapkan ilmunya yang dahsyat yang dinamainya Bajra Geni. Tetapi
Baginda segera mateg ilmunya yang lain. Ilmu Tameng Waja. Menurut
perhitungan Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu lawannya, namun menilik
usianya, serta kemungkinan-kemungkinan yang lain sesuai dengan tingkat
ilmu Lembu Sekilan yang dimilikinya, maka ilmu itupun belum pasti akan
berhasil meruntuhkan oertahanan ilmu Tameng Waja.
Maka dengan demikian, ketika Baginda
melihat Karebet meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem,
justru baginda berdiri tegak bertolak pinggang. Dengan wajahnya yang
tegang, Baginda mengetrapkan ilmunya Aji Tameng Waja dalam puncak
kekuatannya.
Sesaat kemudian terjadilah benturan
dahsyat. Benturan dari ilmu Ms Karebet yang disebutnya Rog-Rog-Asem
menghantam benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji Tameng Waja.
Baginda telah dipenuhi pelbagai
pengalaman dan pengetahuan dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut
mengalami hantaman Aji Rog-Rog-Asem. Aji yang dilontarkan oleh seorang
anak muda yang pantas menjadi anaknya. Terasa didada Baginda sebuah
benturan yang seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu dengan
mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong beberapa langkah
surut. Terasa nafasnya menjadi sesak, dan hampir tidak dapat menguasai
keseimbangan. Dengan terhuyung-huyung akhirnya Baginda berhasil tegak
dalam keadaan keseimbangan yang mantap.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 26
No comments:
Write comments