Dengan cepat ia mendorong adiknya ke
samping. Kedua gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel
Kaliki terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat.
Namun sentuhan itu mengenai dada kiri
Sawung Sariti. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas
dari Gunung Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan.
Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang
tersentuh tangan Bugel Kaliki itu serasa seperti terhantam reruntuhan
bukit Merbabu. Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di
tanah. Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat
kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.
Tetapi
hantu itu tidak mau menyerah pada keadaannya. Dengan tertatih-tatih ia
bangkit kembali. Sekali terdengar umpatan kotor dari mulutnya serta
matanya menyorot sinar kemarahan yang liar. Kemudian dengan sekuat
tenaga ia melempar Mahesa Jenar dengan senjatanya. Untunglah Mahesa
Jenar tetap waspada, sehingga secepat itu pula ia berhasil menghindari
senjata Bugel Kaliki itu.
Wanita
itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun
lalu, anak yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula
dimarahinya karena kenakalannya. Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk
kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya. Dan terasa tiba-tiba dada
yang tipis itu menggelombang. Meledaklah sebuah tangis kegembiraan. “Arya, bukankah kau Arya Salaka?”
Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung mendengar suara Rara Wilis, “Tinggalkan tempat ini. Menghadaplah Ki Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf kepadanya.”
Wulungan
menundukkan kepalanya. Dadanya bergolak seperti darah dijantungnya itu
mendidih. Perlahan lahan ia mengangkat mukanya dan menoleh ke arah
Endang Widuri yang masih berdiri tegak ditepi jalan. Tetapi Wulungan
kini tidak memandangnya sebagai seorang gadis yang nakal, yang tidak
tahu akan bahaya, tetapi kini ia memandangnya sebagai penyelamat
jiwanya. Karena itu sambil berjongkok ia menunduk hormat, “Angger,
betapa besar terimakasihku kepada angger yang telah menyelamatkan
nyawaku. Aku sama sekali tak menduga angger mampu berbuat sedemikian
rupa mengagumkan.”
Bugel Kaliki yang telah berhasil
menjatuhkan satu lawannya tertawa berderai, membelah sepi malam. Ia
yakin, bahwa anak kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu
bertahan diri meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.
Pertempuran itu untuk sesaat terhenti
dengan sendirinya. Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan sakit.
Namun dari mulutnya telah mengalir darah yang merah.
Sesaat kemudian, ketika Arya Salaka
menyadari apa yang terjadi, menggelegaklah dadanya seperti akan meledak.
Betapa prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik
sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah menuntut
pembelaan padanya. Anak itu adalah sisiran kulit dagingnya. Sehingga
bencana yang menimpanya berarti bencana pula baginya. Apalagi tangan
yang telah melukai adiknya itu adalah tangan orang dari gerombolan
hitam. Karena itu, maka tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Ia telah
melupakan hidup matinya sendiri. Yang terukir di hatinya adalah,
menuntut balas.
Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring
sambil meloncat dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning
berkilau itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi
yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung
sikatan yang menghindar. Suara tertawanya masih menggetar memenuhi
udara. Namun suara itu kemudian berhenti ketika datang serangan Karang
Tunggal yang tidak pula dapat menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang
terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan
kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan
perhatiannya. Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat, Karang
Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat banyak perlawanan darinya.
Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati menghadapinya. Sentuhan keris itu
di ujung rambutnya, akan berarti maut baginya.
Maka terulang kembalilah pertempuran yang
sengit di bawah pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah
berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak
terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka
bersama, sehingga dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan
perlawanan, harus memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu,
atau hancur lumat bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki
itu pun tidak berkurang, namun ia telah melihat titik kemenangan di
pihaknya. Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka.
Setelah itu maka ia akan berhadapan dengan anak yang keras hati yang
bernama Karebet itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, memeras
keterangan darinya, di mana ia mendapatkan Kyai Sangkelat dan di manakah
ia mendapat ilmu Lembu Sekilan. Baru apabila keterangan-keterangan itu
telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan caranya.
Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak
semudah yang diduga. Anak itu benar-benar menyimpan angin di dalam
dadanya. Meskipun Arya telah bertempur mati-matian, namun nafasnya masih
mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.
Sedangkan Sawung Sariti agaknya
benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya
dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun
namun sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.
Pada saat yang demikian itulah Galunggung
melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah tidak mampu
lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat
kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan
malahan beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia
bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.
Ketika matanya menjadi semakin kabur,
hatinya menjadi cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di
hadapannya dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan.
Setidak-tidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar yang
dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba
hatinya berdebar cepat, pikirnya, “Bagaimanakah kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”
Galunggung memperlambat langkahnya.
Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya. Meskipun demikian, ia
mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu. Kalau
orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya begitu
saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya
sudah hampir putus.
“Tiga orang” desisnya di antara deru nafasnya.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak
sekeras-kerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika
menjadi semakin dekat padanya, menjadi semakin jelas pula, “Tuan…” suaranya terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.
Orang yang ditemuinya itu tertegun
sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang yang berlari-lari ke
arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya. Galunggung.
“Kenapa kau Galunggung?” tanya salah seorang.
Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena itu dengan lemahnya ia terjatuh di tanah. “Tuan…” desisnya. Nafasnya masih saja berkejaran. “Bugel Kaliki.”
“Bugel Kaliki?” sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
“Di mana dan mengapa?”
Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah. Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar. “Di bawah pohon nyamplung.”
“Pohon nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.
Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata, “Di manakah pohon nyamplung itu?”
“Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon” jawab yang lain.
“Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya,” kata yang lain lagi. “Berilah aku ancar-ancar.”
Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana
ia harus pergi untuk sampai dibawah pohon nyamplung. Begitu ia selesai
berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari sekencang-kencangnya
seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak seperti
sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir kegelapan
sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh udara malam, dan
matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan keluar.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka,
mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar
ingat kepada muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau
Arya pergi bersama Sawung Sariti, tersimpan prasangka yang kurang
menyenangkan. Karena itu tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk
berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika
ditemuinya seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar
halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu
terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya.
Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian
antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan Arya Salaka masih berjalan
dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka
untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga, akhirnya kedua
anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa hantu
bongkok itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat
dari umur mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin
lama terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena
beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah matang itu melihat
dengan jelas, di manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua lawannya
yang pantas menjadi cucunya itu.
Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu
tertawa berderai mengerikan, seolah-olah daun pohon nyamplung yang lebat
itu ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh berbeda
dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang didalamnya
dilontarkan pula aji GelapNgampar, namun suara tertawa Bugel Kaliki itu
benar-benar menyakitkan hati.
Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah. “Tutup mulutmu hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu dengan Kiyai Sangkelat ini.”
Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya
sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan udara malam. Bahkan
kemudian Bugel Kaliki berkata, “kalau kau mampu berbuat begitu anak yang perkasa, pastilah sudah kau lakukan.”
Karang Tunggal menjadi bertambah marah.
Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya. Orang yang bongkok
itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari setiap
serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu
menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak
mampu melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka.
Dan kesempatan itu semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua
anak muda itu berada diambang bahaya.
Tetapi dengan tak mereka sangka, dari
tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu muncullah dua sosok
bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur itu
menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping,
mencari kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang
Tunggal dan Arya Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin
mengetahui siapakah yang datang langsung kepada mereka.
Melihat gerakan mereka berdua, Bugel
Kaliki terkejut bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi
ketika keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti
siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri
sudah terlalu sempit sebab orang yang datang itu pasti akan mengejarnya,
sampai diujung langitpun. Karena itu maka tidak ada yang dapat
dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi untuk melawan
orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa. Apalagi
kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang
dihadapinya. Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan
diri, apapun caranya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah
berada tidak lebih lima depa didepan mereka. Mahesa Jenar berdiri tegak
dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat seseorang
berbaring ditanah. “Siapakah dia” gumamnya
“Adi Sawung Sariti,” sahut Arya Salaka. namun matanya masih tertanam dimata Bugel Kaliki.
“Sawung Sariti,” ulang Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan. Kebo Kanigarapun segera melangkah
mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau melepaskan
diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik, “Sawung Sariti”
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan suara lemah, “siapakah kau?.”
“Kebo Kanigara” jawabnya.
“Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?” desis Sawung Sariti lirih.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara
pendek. Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun demikian
perasaan sakit di dalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba
untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang
perlahan-lahan.
“Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali” kata Kebo Kanigara.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya, “Nah
kalian sudah datang. Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah
kepada kalian, apakah mau bertempur secara jantan atau mengeroyokku
sebagai betina pengecut, berempat sekaligus.”
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat, “setan,” desisnya marah, “ia telah melukai dadaku.”
Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan perasaanya
itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh.
dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di
tanah.
“Jangan bergerak,” kembali Kebo Kanigara menasihati. Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu dibawanya menepi.
“Iblis itu,” desis Sawung Sariti
“Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya.”
“Apakah paman Mahesa Jenar disini?,” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara
“Syukurlah,” gumam Sawung Sariti, “mudah-mudahan nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua.”
Dalam pada itu, terdengar Bugel Kaliki berkata pula, “Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku lukai?”
“Diamlah!” potong Mahesa Jenar, “Jangan
mencoba mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin
bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian. Kau tak usah
mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. “Gila!” geramnya. “Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu.”
“Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil melukai anak-anak,” bantah Mahesa Jenar.
“Mereka yang mulai. Bukan aku,” jawab Bugel Kaliki.
Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka
membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat
diurungkan. Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang
Jati, ada di tempat itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia
kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka menengadah. Meskipun
demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba
melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan
pun masih diterapkannya.
Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terkejut pula melihat keris di tangan Karang Tunggal, juga kehadirannya
yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat menanyakannya,
sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan terdengar hantu itu
berkata, “Mahesa Jenar, kau benar-benar lantip. Kau tidak mau aku
berkata melingkar-lingkar. Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku
binasakan. Kau atau sahabatmu itu. Atau anak-anak tikus yang tak tahu
diri itu.”
Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya, “Akulah yang sudah berdiri paling dekat.”
“Bagus!” teriak Bugel Kaliki.
Berbareng dengan itu ia pun segera
meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun Mahesa Jenar pun telah
bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia berhasil
menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian
yang sengit dibawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah
Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang
berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan. Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping
Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari setiap gerak dari
mereka yang sedang bertempur mati-matian itu. Arya Salaka dan Karang
Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman mereka
mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali
mereka melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian
mereka melihat Bugel Kaliki meluncur beberapa langkah mundur.
Demikianlah pertempuran di bawah pohon
nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak
meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu menyerangnya
seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya.
Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing. Dan apabila Bugel
Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa
Jenar pun melawannya setangguh seekor banteng jantan.
Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa
oleh Bugel Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian
yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra
tak mampu melawannya. Karena itu, maka untuk keselamatan diri, akhirnya
diurainya senjata andalannya, yang seakan-akan tak pernah disentuhnya.
Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah, dan di salah satu
sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning. Pusaka peninggalan nenek
moyangnya. Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu
diputarnya seperti baling-baling.
Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan
hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu,
maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sawung
Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia
masih mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek
menahan sakitnya. Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan
minyak yang menyiram nyala kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan
hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya.
Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris cakrawala di ujung
barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih berlangsung
terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya. Bugel
Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung
alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang
ketakutan.
Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya
yang mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan namanya dan
wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya
menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat
lawannya dari segenap arah.
Mahesa Jenar merasakan kedahsyatan dan
kecakapan Bugel Kaliki mempermainkan senjata aneh itu. Beberapa kali ia
terpaksa meloncat surut dan beberapa kali timah lawannya itu mengiang
dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa Jenar
terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu bongkok itu
menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar yang kokoh itu terpaksa
terdorong surut. Bahkan sekali-kali tangan Bugel Kaliki itu sempat
menyentuh tubuh Mahesa Jenar dan sekali-kali mendorongnya mundur.
Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa
melawannya dengan sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar bertubuh
kuat sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya berusaha untuk
melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun demikian,
senjata Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya. Sulitlah bagi Mahesa
Jenar untuk menembus lingkaran timah baja kuning yang berterbangan
mengitari tubuhnya. Namun Mahesa Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia
memperhitungkan setiap kemungkinan. Betapapun sulitnya, sekali-kali ia
berhasil juga mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau dengan
tangannya. Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak banyak berarti,
karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu menghalang-halanginya.
Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas
Karebet memandangi perkelahian itu dengan penuh perhatian sehingga
nampaknya seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap
gerak, baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat mereka
menjadi bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat setiap kali
Bugel Kaliki berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-kali kemudian
berhasil melontarkannya surut.
Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di tempat masing-masing dengan ketegangan yang semakin meningkat.
Maka setelah mereka bertempur semakin
lama, serta usaha Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih belum
berhasil, karena senjatanya yang aneh itu, bahkan terasa betapa tekanan
Bugel Kaliki semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah baja
kuningnya yang seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar, sehingga ia
tidak sempat untuk menyerang. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat
lain daripada mempertahankan hidupnya dengan ilmu tertinggi yang
dimilikinya. Dengan demikian, Mahesa Jenar dengan lincahnya meloncat ke
samping beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan timah baja
kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan garangnya ia
mengangkat satu kakinya, ditekuknya ke depan, satu tangannya diluruskan
ke atas seperti akan menyentuh bintang-bintang di langit, tangannya yang
lain menyilang dada. Dan dalam pada itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra
Birawa.
Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun telah mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa Jenar sedang mateg aji
yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia meloncat sambil memutar senjatanya
demikian kerasnya sehingga terdengar angin berdesing. Namun apa yang
dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu cepat. Sehingga ketika serangan
itu tiba, Mahesa Jenar sempat meloncat mundur sambil merendahkan
dirinya. Timah baja kuning itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi
sesaat kemudian ia telah tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia
meloncat maju. Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat menghantam
tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih mencoba untuk menghindar, namun
ia terlambat. Sebuah hantaman yang dahsyat telah mengenainya.
Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian melenting dan jatuh terguling
di tanah.
Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki
mengumpat, kemudian jatuh kembali, terjerembab. Arya Salaka memalingkan
wajahnya melihat saat-saat terakhir yang mengerikan dari hantu yang
hampir membunuhnya itu.
Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti
patung. Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah. Mati.
Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya terpanjatlah
ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyelamatkannya
dari senjata Bugel Kaliki yang mengerikan, serta telah memberinya
kekuatan, bahkan membinasakan hantu yang menakutkan itu. Bersyukurlah
bahwa ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi atas
kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi.
Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo
Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula.
Seakan-akan sesuatu yang menekan dadanya telah dapat dipunahkan. Bahkan
tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan ketika ia
mendengar teriakan ngeri, “Paman, apakah yang terjadi?”
Kebo Kanigara memandang wajah anak itu. Tampaklah kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan sakit. Maka jawabnya, “Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena pamanmu Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran.”
“Bagaimana dengan hantu bongkok itu?” tanya Sawung Sariti lemah.
“Ia sudah binasa,” sahut Kebo Kanigara.
“Tuhan Maha Besar,” desisnya.
Tetapi hatinya sendiri tergetar mendengar suaranya. Selama ini tak
pernah ia menyebut nama Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja
kata-kata itu terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu
terasa betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Maka timbullah keinginannya
untuk sekali lagi menyebut nama itu, nama yang selama ini terlupakan
olehnya. Maka katanya, “Tuhan Maha Besar. Ya, Tuhan Maha Besar.”
Mahesa Jenar menoleh mendengar suara
Sawung Sariti itu. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berjongkok di
sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Tenangkan hatimu, Sawung Sariti.”
“Terimakasih, Paman,” jawabnya lirih. “Hatiku telah puas. Hantu itu telah binasa.”
Tampaklah senyum mengambang di bibir Sawung Sariti. Meskipun demikian
nafasnya terdengar semakin cepat mengalir dari lubang hidung dan
mulutnya, sedang dari mulut itu masih menetes darah yang merah.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Apakah tidak sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat pengobatan?”
Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, “Obat yang paling baik, telah aku dapatkan, Paman.”
“Apakah itu?” tanya Kebo Kanigara.
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, “Di manakah Kakang Arya Salaka?”
Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa Jenar, berdua dengan Karang Tunggal.
“Mendekatlah Arya,” kata Mahesa Jenar.
“Kakang...” Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun matanya telah memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di dadanya.
“Tenangkan hatimu Adi,” pinta Arya Salaka mengulangi kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali lagi Sawung Sariti tersenyum.
“Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit,” kata Kebo Kanigara. “Mungkin Paman Sora Dipayana dapat mengobatinya.”
“Sebaiknyalah demikian, Kakang,” jawab Mahesa Jenar, “Dan biarlah Arya Salaka menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti.”
Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya, berdesislah Sawung Sariti. Katanya lemah, “Tolonglah Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali.”
“Baiklah Adi,” jawab Arya, “Akan aku bawa Bibi Lembu Sora bersama ibuku ke Pamingit.”
Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya semakin sayu. Katanya, “Terimakasih Kakang.”
Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil
mengangkat tubuh Sawung Sariti perlahan-lahan. Dalam pada itu terdengar
Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, “Paman, aku telah menyulitkan Paman.”
“Jangan berpikir demikian Sawung Sariti,” jawab Kebo Kanigara. “Adalah kewajiban manusia untuk saling membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi
hatinya menjadi terharu. Apakah Kebo Kanigara akan berbuat demikian
manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?
“Hem...” Ia menggeram. Perasaan
sesal meronta-ronta di dalam dadanya. Sesal atas segala macam pekertinya
yang jauh tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang
berbeda-beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar ke Sarapadan, sedang Kebo
Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan, apakah boleh pergi bersamanya.
“Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo Kanigara?” tanya Arya Salaka, “Barangkali
Paman Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung Sariti.
Di Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak
mampunyai ceritera yang menarik.”
“Oh!” Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat membantu pamannya itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah Adi, aku membantu Paman Karang Jati.” Dan berlari-larilah Karebet menyusul pamannya.
Ketika ia telah berjalan di belakang pamannya, berkatalah ia perlahan-lahan, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung.”
Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak
segera menjawab. Karena itu hati Karang Tunggal menjadi berdebar-debar.
Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Hatinya berdesir ketika pamannya itu bertanya, “Kenapa kau berada di sini, Karebet?”
Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut kepada pamannya itu.
“Kenapa?” ulang Kebo Kanigara.
Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, “He, Karebet. Kau akan ikut aku ke Pamingit?”
“Ya, Paman,” jawab Karebet singkat.
“Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari pasukan Nara Manggala,” sambung Kebo Kanigara.
Karebet terkejut bukan buatan. “Nara Manggala?” ulangnya.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh. “Ki Gajah Alit, dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron.”
“Benarkah keduanya di sini?” desak Karebet semakin terkejut.
“Kenapa?” tanya Kebo Kanigara.
Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Karebet...” kata Kebo Kanigara kemudian, “Seharusnya
kau menjadi gembira. Bukankah kau akan bertemu dengan perwira-perwira
dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah menjadi lurah Wira Tamtama.”
“Ya, Paman, tetapi…” Karebet tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Tetapi kenapa?” desak Kebo Kanigara.
Sekali lagi Karebet terbungkam.
Akhirnya terdengar Kebo Kanigara berkata dengan suara yang berat, “Karebet, apakah yang sebenarnya terjadi?”
Karebet masih berjalan dengan muka tunduk
di belakang pamannya. Ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi
sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih hidup dan lepas
dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena Sultan sejak
semula telah tertarik kepada keperwiraan dan kecekatannya, sehingga
kasih yang dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding dengan para
prajurit lainnya.
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku
sudah tahu apa yang kau lakukan di Demak, Adol bagus. Kau sangka di
seluruh kolong langit ini hanya kau sendiri seorang laki-laki?”
Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu wajahnya menjadi semakin tumungkul memandang ujung-ujung jari kakinya yang bergerak-gerak karena langkahnya.
Tiba-tiba ia terkejut ketika dengan
tiba-tiba pula pamannya berhenti. Bahkan tanpa sengaja ia mengerutkan
pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada kemenakannya yang nakal itu. Maka katanya, “Karebet, bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para perwira dari prajurit Demak itu?”
Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi
berlega hati ketika pamannya tidak memaki-makinya. Setelah debar
jantungnya mereda, ia berkata, “Aku kira lebih baik tidak, Paman.”
“Nah, kalau demikian, jangan ikuti
aku. Pergilah ke Banyubiru. Setelah semuanya selesai, aku akan ke sana
mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus berkata
sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan.”
“Baik Paman,” jawab Karebet. “Aku sekarang berada di rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki Lemah Telasih.”
“Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau tempuh?”
tanya Kebo Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir seluruh jalan di
sekitar pegunungan Merapi, Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara,
Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di daerah barat dan timur telah
dilintasinya.
Karebet pun kemudian mengambil jalan lain
untuk langsung pergi ke Banyubiru. Daerah yang tidak terlalu dekat.
Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya sehari-hari.
———-oOo———-
II
Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat
langkah kemenakannya itu. Karebet benar-benar memiliki tubuh idaman bagi
setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah keprawiraan.
Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh
kuat seperti baja. Sedang geraknya lincah cekatan seperti burung
sikatan. Dan Karebet mempunyai modal yang cukup lengkap. Selain tubuhnya
yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan. Tetapi wajahnya yang
tampan itulah yang menyebabkan ia diusir dari Demak.
Kebo Kanigara tidak yakin bahwa
kemenakannya itu benar-benar membunuh orang Demak. Cara Paningron
menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum yang aneh.
Dan ia telah memaklumi maksudnya.
Pada saat itu bintang-bintang di langit
telah bergeser jauh dari tempat semula. Lamat-lamat terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar Sawung
Sariti berbisik, “Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke Banyubiru? Aku ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa itu.”
Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan agak cepat. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab “Barangkali lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada masa-masa yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat.”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam.
Terasa seolah-olah beribu-ribu jarum menusuk-nusuk dadanya dari dalam.
Dengan lirih ia berdesis, “Mudah-mudahan aku mempunyai waktu.”
“Jangan berangan-angan demikian.” Kebo Kanigara menasihati, “Berdoalah supaya lukamu sembuh kembali.”
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat
anak muda dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan semakin
cepat, supaya segera sampai ke Pamingit.
Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa
Jenar berjalan ke arah yang berlawanan. Sekali-kali Arya memandang ke
langit yang bersih. Perlahan-lahan ia berkata, “Hujan sudah jauh berkurang, Paman.”
“Sudah kita lampaui mangsa kesanga,” sahut pamannya. “Mudah-mudahan hari-hari yang akan datang tidak selalu diliputi oleh awan yang kelam.”
“Hari-hari yang cerah,” desis Arya Salaka.
Kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Arya berkata, “Paman,
ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat yang aku sangka. Bukankah ia
termasuk tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan sebagainya?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi
pengaruh keadaan telah menyebabkan ia kehilangan pengamatan. Ia
benar-benar telah putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya
menjadikan Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat
kehadiranku dan Kakang Kebo Kanigara bersama-sama. Sedang sebelum itu
pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah
melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa. Apalagi
dengan Sangkelat di tangannya. Yang lebih mempercepat kekalahannya
adalah bongkah di punggungnya. Sejak semula aku melihat, betapa ia
melindungi punggungnya itu, sehingga aku berpikir bahwa orang itu pasti
memiliki kelemahan di punggungnya itu. Demikianlah ketika tanganku
mengenai tengkuknya, ternyata Bugel Kaliki tak mampu melawannya.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sekali lagi ia yakin, bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus
mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat
diketahuinya, kekuatan dan kelemahan lawan.
Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh suara kokok ayam jantan dari desa di hadapan mereka, Surapadan.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi
berdebar-debar. Kakinya serasa gemetar, dan ingin meloncat berlari
mencari pondok yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari
gardu di mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya
berjalan di sampingnya.
Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ibumu dan bibimu berada di desa itu Arya?”
“Ya paman,” jawab Arya.
“Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, “Ya paman”.
“Apakah yang terjadi?” berkata Mahesa Jenar pula.
“Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet tiba-tiba saja berada di tempat itu pula,” jawab Arya bimbang.
“Sebelum itu apakah yang terjadi?” desak Mahesa Jenar.
Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak
segera menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa ia lebih dahulu bertempur
melawan Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar Mahesa Jenar
berkata, “Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan
Bugel Kaliki sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh
tangannya maka akibatnya akan sama seperti yang diderita oleh Sawung
Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah yang melukaimu?.”
Mulut Arya menjadi berat seberat
perasaannya untuk menyebut nama adiknya. Ia mencoba untuk berusaha
melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar mendesaknya.
Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa berkata, “Sawung Sariti, paman.”
“Aku sudah menduga,” desis Mahesa Jenar. “Dan kaupun telah melukai pundaknya.”
“Ya, paman,” Arya tidak dapat mengelak lagi.
“Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh?.”
“Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan oleh Karang Tunggal.”
“Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?,” tanya Mahesa Jenar.
“Sudah paman,” Sahut Arya,
kemudian diceritakannya apa yang diketahuinya. Sejak ia pergi bersama
Sawung Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti
dibawah pohon nyamplung Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung
Sariti telah menunggunya disitu.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah, “itulah gardu dimulut lorong.”
Kembali dada Arya berdebar cepat sekali.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke tempat ibunya menyembunyikan
diri. Namun ia masih mendengar gurunya bergumam, “untunglah kau
tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap
orang, juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan melihat
kesaktian pusaka itu. Dan kaulah pembunuh yang sebenarnya dari adik
sepupunya.”
Arya menundukkan wajahnya. “Ya untunglah yang demikian tidak terjadi.”
Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu di mulut lorong desa Sarapadan itu. Dan terdengarlah ia bergumam. “Kita membelok ke kiri paman, tiga halaman dari gardu ini.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti
saja Arya yang melangkah perlahan menyusuri lorong itu sambil
menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu
ternyata cukup luas.
Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah
melampaui halaman yang ketiga, di dadanya serasa telah menggetarkan
seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Halaman ketiga ini
dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya runtuh
dan rumah yang berdiri di halaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah
gubuk bambu beratap ilalang.
“Di sinikah ibu beserta bibi itu?,” desis Arya Salaka ragu-ragu.
“Ya,” sahut Mahesa Jenar pasti.
“Tetapi….,” kata-kata Arya tertutup.
“Eyangmu Titis Anganten telah mencoba
mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau pasti menduga bahwa Ibu
dan Bibimu berada dirumah yang paling baik di desa ini?.”
Arya mengangguk.
“Orang lainpun akan menduga demikian. Karena itulah maka ibu dan bibimu berhasil bersembunyi.” sahut Mahesa Jenar.
“Oh”, Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Kemudian dengan dada berdebar-debar ia
melangkahi bongkah kayu yang berserak serak disamping regol halaman itu.
Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu.
“Ketuklah,” desis Mahesa Jenar.
Perlahan lahan Arya mengetuk pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu
terdengar sapa perlahan, suara laki-laki tua. “Siapa?.”
“Aku kakek,” sahut Arya Salaka.
“Aku siapa?,” orang itu menegaskan.
Arya telah menerima pesan dari Titis
Anganten bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa kedatangannya sudah
persetujuan Titis Anganten. Orang yang menitipkan dua orang pengungsi
kepadanya.
“Aku kek, burung elang dari lereng bukit,”
sahut Arya. Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya
tetapi ketika Arya Salaka menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa Jenar
maksud jawaban itu.
Kemudian terdengarlah langkah perlahan
menuju ke pintu. Dan sesaat kemudian terdengarlah derak pintu lereg itu
terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok dimuka pintu
sambil berusaha mengamati tamunya.
“Masuklah,” orang tua itu mempersilahkan.
“Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu masih disini?,” bertanya Arya Salaka seperti pesan Titis Anganten.
Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua
orang yang berdiri di muka rumahnya itu adalah orang-orang
setidak-tidaknya suruhan orang yang menitipkan kedua pengungsi
kepadanya. Karena itu ia menjawab, “Ya, ya, aku telah menjaganya dengan baik.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah
masuk. Dipersilahkannya mereka duduk di bale-bale bambu.
Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu
memberati bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata, “Nyai telah datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari.”
“Sudahkah kau yakin kakek?” terdengar suara seorang wanita.
“Aku yakin, nyai,” jawab orang itu.
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan
keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari lima enam tahun yang
lampau. Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa sadar Arya
menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat
betapa muridnya menjadi gemetar.
“Siapakah kau?,” bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar. “Adakah Nyai lupa kepadaku?,”
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia berkata, “Adi Mahesa Jenar.”
“Ya, aku Mahesa Jenar,” jawab Mahesa Jenar.
“Oh,” terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah. “Lalu siapa anak muda ini?.”
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa
dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan. Tetapi Arya Salaka
yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan Banyu
Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas
tahunan. Dan sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar
dan berdada bidang. Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata, “Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah namanya?.”
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi
hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar. Dan kemudian tiba-tiba
saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki ibunya.
“Ibu….”
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, “Kau kah itu.”
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu. Sedangkan matanya menjadi panas.
Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun.
Seabagai laki laki yang tabah menghadapi setiap bahaya maut yang
mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini ia tidak
kuasa menahan diri. Meneteslah sebutir air mata.
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia
tidak tahu apakah yang bergejolak didalam dadanya.. Anak ini pada saat
terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya seperti ini.
Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada
telapak kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak
sempat memperhatikannya. Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau,
diciumnya keningnya dan dibasahi dahi anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusora pun terharu melihat
pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga mengalir air mata. Ia
tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara
suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka
sebagai kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun
terharu melihat pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun
didsisi ibunya.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan
wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka sendiri. Ia akan dapat
menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa mengecewakan
mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora
kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula
kepada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya, “Kemana kau selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali dan kau meninggalkan aku seorang diri dalam sepi dan duka”
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita
bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan ibunya. Ia ingin
mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejap pun terhapus dari
angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi
semakin besar pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa
kali.
Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai Gajahsora. Katanya, “Oh, kau sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu, seperti belahannya dalam cermin.”
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata
itu. Meskipun suaminya telah pergi selama enam tahun, namun setiap
ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak berkurang. Dan
dalam suasana yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya.
Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan
menantinya? atau mencemaskannya ?. Dan tiba-tiba pula teringatlah ia
kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti, meskipun umurnya
selalu menghantuinya. Hari demi hari…..
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia
menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut matanya disambarnya
setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara mereka
yang melihat perubahan wajahnya.
“Hem,” ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata, “jangan berangan-angan seperti pemuda meningkat dewasa.”
Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusora pun
segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera kembali ke Pamingit.
Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan tentang
keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas,
maka kedua perempuan itu segera minta diri kepada penghuni rumah yang
sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak terimakasih atas
perlindungan yang diberikan.
“Eh,” sahut kakek tua itu. “Sudah
menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua.
Sedang yang aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan
sekedar tempat untuk beristirahat.”
“Aku tidak akan melupakan kau, kek,” sahut Arya Salaka. “Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini.”
“Terimakasih ngger, terimakasih.” Jawab orang itu.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka
berempat menuju Pamingit. Didalam dada mereka masing-masing bergetarlah
angan angan menyongsong hari yang akan datang. Nyai Ageng Gajahsora
menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang dan
kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang
langit yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan
kepalanya menghitung masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar
pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal menghadapkan Arya Salaka kepada
ayah bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang Tumaritis menanyakan
panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra dan
Sabuk Inten. Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi
bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang meloncat dari
balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun
semakin redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan
seakan ikut berdendang bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu
menyanyikan lagu riang gembira menyongsong hari yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang berbahaya.
Langit biru, batang batang jagung yang
hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit ditepi jalan.
Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun
bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau
burung-burung liar yang riang berloncatan dari dahan ke dahan.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di
bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat Bugel Kaliki.
Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua.
Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui
jalan di bawah pohon nyamplung itu.
“Paman,” tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar. “Bagaimana dengan mayat Bugel Kaliki?.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “lihatlah dan kalau masih ada singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya.”
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata, “Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu.”
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora, “Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?.”
“Tidak ibu,” jawab Arya, “kedadaan
sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan disebelah pohon
nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan
terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain.”
“Oh,” Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu Arya, “pergilah.”
Arya pun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di sana. “Hilang,”
pikirnya. Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir
dari lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia
melihat pakaiannya. Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai
bajunya dengan noda-noda merah kehitam-hitaman. Tetapi luka didadanya
tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan bibinya telah melihat
luka itu. Tetapi mereka berdua tak mengucapkan sepatah pertanyaan pun. “Ah!” desisnya. “Adalah hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang mengalami luka di tubuhnya.”
Ketika ia menengok ke belakang,
dilihatnya ibunya, bibinya serta Mahesa Jenar sudah berjalan semakin
dekat. Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah yang mewarnai
tanah di bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan
melingkar-lingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki? Apakah ia
masih belum benar-benar mati dan kemudian bangkit kembali?
Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir
terlalu panjang. Ia terpaksa berpura-pura berjalan ke parit yang
menyilang jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika
ia melihat aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil
yang berserak-serakan di atas pasir. Aliran air di parit itu masih
seperti kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis. “Hem,” gumam Arya, “Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam.”
Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin
dekat. Dari jauh mereka melihat Arya Salaka membungkuk-bungkuk kemudian
duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi mereka tidak
tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu.
Ketika itu Arya sedang memungut sebatang
pedang yang dipergunakan melawan Sawung Sariti, serta sebatang pedang
Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan oleh Sawung
Sariti untuk melawan Bugel Kaliki.
Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali
memandang langit yang biru bersih. Di Sarapadan, kemarin setetes pun tak
turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan lebat
kalau parit itu benar-benar banjir.
Ketika mereka sampai di tepi parit itu,
maka Nyai Ageng Gajah Sora pun menjadi heran. Parit itu tidak lebih dari
sebetis dalamnya. “Sudah tidak banjir lagi, Arya?” ia bertanya.
“Tidak Ibu,” jawab Arya.
Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam wajah ibunya, namun tak satupun yang terkatakan.
Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan menyusur jalan kecil, maka berbisiklah Mahesa Jenar, “Bagaimana dengan mayat itu?”
“Hilang,” bisik Arya singkat.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Hilang?” ia mengulang.
“Ya, hilang!” jawab Arya.
“Aneh,” desis Mahesa Jenar
sambil menarik nafas. Pada saat ia melihat Bugel Kaliki terbaring di
tanah, ia sudah yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa
Jenar pun tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia sedang
berpikir.
Di perjalanan itu, tidak banyak yang
sempat mereka pertanyakan. Mereka sibuk dengan angan-angan di kepala
masing-masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan tekunnya,
semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan terbanting
di atas batu-batu padas yang kemerah-merahan.
Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba
ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia pada masa kanak-kanaknya.
Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu. Apabila
didapatnya, disimpannya didalam ketupat janur yang masih kosong.
“Kita sudah memasuki ujung musim kemarau,” desisnya.
“Suara garengpung itu?” tanya gurunya.
“Ya,” jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka
menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat dikejauhan, disela-sela
batang-batang jagung yang telah rusak, desa yang mereka tuju, jantung
Daerah Perdikan Pamingit.
Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin
cepat tanpa mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa
yang telah terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang yang
mereka kasihi. Sanak keluarga dan tetangga-tetangga yang baik hati.
Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di
pusat pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur terbakar dan
beberapa lagi menjadi porak poranda.
“Beginikah Pamingit sekarang?” keluh Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-orang dari segerombolan hitam, Bibi,” sahut Arya, “Sedang orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan.”
“Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?” tanya Nyai Ageng Lembu Sora.
“Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi kita selama kita berada di atas kebenaran,” jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan, “Kebenaran
dalam firman-firman Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita
masing-masing, sebab akan berlipat-lipatlah dosa kita kalau kita
mengaburkan batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran yang sekadar
menguntungkan kita sendiri.”
Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka menjadi saling berbisik, “Itulah, Nyai Ageng Lembu Sora telah kembali.”
Dan jawab yang lain, “Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat. Tak ada kabar beritanya selama ini, kemana Nyai Ageng pergi.”
Dan beberapa orang kemudian menemuinya di
perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk mengucapkan selamat. Nyai
Ageng Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang tulus. Senyum
yang memancarkan kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur bahwa ia
masih sempat bertemu dengan mereka.
Ketika mereka menginjak halaman rumah
Nyai Ageng Lembu Sora, di hadapan alun-alun yang tak begitu luas sekali
lagi hati mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan menjadi terpaku
di regol halaman. Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal beberapa
bagiannya yang masih tersisa dan roboh berserak-serakan.
Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia bergumam, “Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit.” Dan di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata, “Aku
telah mencoba mencegah Ki Ageng supaya tidak terlalu memanjakan nafsu,
namun agaknya tak dihiraukannya. Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa
keluarga Pamingit.”
Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, “Bibi, Eyang dan beberapa orang lain berada di banjar desa sebelah. Marilah kita pergi ke sana.”
Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir airmata yang menetes.
Maka pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang ditempati untuk sementara waktu oleh para pemimpin Pamingit.
Ketika mereka sampai di Banjar itu,
ternyata beberapa orang telah berada pula di sana. Di antara mereka,
Arya melihat pula ayahnya, Gajah Sora.
Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian. Semua orang mengangkat wajahnya dan bergumam di dalam hati mereka. “Itulah mereka datang.”
Yang paling terkejut di antara mereka
justru Nyai Ageng Gajah Sora. Seperti orang bermimpi ia melihat
suaminya, Ki Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu.
Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih
tetap berada di tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri.
Telah sekian lama ia menahan keinginannya untuk mengetahui keselamatan
isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang. Karena itu maka ia pun
segera melangkah ke pintu menyongsong kedatangan isterinya itu.
Dada Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar
bergoncang. Yang berdiri di muka pintu itu adalah suaminya. Bukan dalam
mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya yang hilang
telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi lebih
dahulu dari anaknya, berdiri pula di hadapannya.
Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai Ageng berdesis, “Arya, apakah itu benar ayahmu?”
“Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora,” jawab Arya perlahan-lahan.
Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi
menahan perasaannya. Ia pun segera berlari dan bersimpuh di kaki
suaminya sambil menangis sejadi-jadinya.
Sekali lagi dada Mahesa Jenar seperti
diguncang. Seorang isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali.
Di Banyubiru, ketika Gajah Sora itu datang bersamanya dari Gunung Tidar,
Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah Sora menerima kedatangan suaminya
dengan membersihkan kakinya dengan air dingin yang jernih. Pada saat
itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya penerimaan yang demikian
itu di hati suaminya. Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh
kaki suaminya dengan air yang bening, tetapi ia telah membasuhnya
dengan air mata.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu
atas pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung
dan membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis.’Namun kemudian
setelah ia tersadar dari pesona itu, diangkatnya isterinya supaya
berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam banjar desa itu. Maka kemudian
suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan mengharukan. Meskipun
kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih meneteskan air mata, namun air
mata yang memancarkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah
mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya.
Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi
bergembira pula. Ia ikut bersyukur bersama kakak iparnya itu. Keluarga
yang seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul
kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian,
hatinya menjadi kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka.
Bahkan setelah mereka duduk beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu Sora tidak
juga menampakkan diri. Meskipun demikian, ia tidak sampai hati untuk
menanyakannya.
Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat
menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di dalam peperangan, dapat
saja segalanya terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati.
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke banjar desa itu. Kepada Wulungan yang duduk di dekat pintu, ia berkata, “Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah datang?”
“Ya,” jawab Wulungan, “Belum terlalu lama.”
“Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?” Orang itu berjalan pula.
“Ya, beserta keduanya,” jawab Wulungan pula.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia berkata pula perlahan-lahan, “Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke pondoknya. Ki Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini.”
Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah
tahu kalau Sawung Sariti terluka. Karena itu ia tidak bertanya lebih
lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum
diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku diberitahu akan hal ini.” Karena itu ia berkata, “Baiklah, aku persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera datang.”
Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora. Dengan tergagap ia bertanya, “Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tidak apa-apa, Nyai,” jawab Wulungan. “Ki
Ageng Lembu Sora dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin ada yang harus
diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai Ageng pergi ke
sana. Marilah aku antarkan.” Kemudian pandangan mata Wulungan pun
beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar, Gajah Sora dan
yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan, “Bagaimanakah dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan Sawung Sariti pun segera menjawab hampir bersamaan, “Aku ikut serta.”
“Marilah,?” sahut Wulungan. Dan
sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa itupun pergi ke pondok
Ki Ageng Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu. Nyai
Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa
Jenar dan Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya beberapa
ratus tombak itu, bagi Nyai Ageng Lembu Sora terasa begitu panjangnya.
Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit, di antara dinding-dindingbatu
halaman-halaman rumah yang sudah sangat dikenalnya. Rumah Si Santa,
rumah Si Gersik, Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang
sering dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan
menjadi bertambah panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah
dilihatnya sebelum terjadi peperangan.
Beberapa saat kemudian sampailah mereka
ke satu halaman yang sedang. Rumah itu pun pernah dilihatnya. Rumah Ki
naripan. Di situlah Lembu Sora berada selama rumahnya sendiri belum
dapat didiami
Nyai Ageng Lembu Sora menjadi semakin cemas ketika dari lubang pintu ia melihat beberapa orang berada di dalam rumah.
Seakan-akan jarak yang terentang di hadapannya itu akan diloncatinya.
———-oOo———-
III
DEMIKIAN Nyai Ageng Lembu Sora sampai di
muka pintu, segera ia berlari masuk. Beberapa orang telah berada di
ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang dengan
suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya. “Oh!”
Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya
berguncang ketika pandangan matanya terbanting di atas bale-bale bambu,
dimana sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni oleh beberapa orang.
Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum dikenalnya dan dua
orang gadis yang belum pernah dilihatnya pula. Ketika orang-orang itu
melihat kehadirannya, segera mereka menduga bahwa itulah Nyai Ageng
Lembu Sora, dan karena itu segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai
Ageng Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas
bale-bale bambu itu. Anak laki-lakinya, Sawung Sariti.
Sesaat ia menjadi terbungkam melihat
tubuh yang pucat dan memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan
tiba-tiba ia memekik sambil berlari memeluk tubuh Sawung Sariti,
“Sariti!” Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang
tenggelam dalam tangisnya yang meledak.
Sawung Sariti mendengar jerit itu.
Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia masih merasa betapa mesra ibunya
memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
“Ibu,” desisnya perlahan-lahan.
“Ngger, kenapa kau?” tanya ibunya sambil menangis. Diciumnya kening anaknya beberapa kali.
Tak seorang pun yang dapat melepaskan
diri dari cengkereman keadaan itu. Semua orang menundukkan kepalanya.
Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu Sora. Dan
sekarang jiwa anak itu berada di ujung bahaya.
Tetapi Sawung Sariti sendiri tersenyum
dengan penuh keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang
yang hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan Nyai
Ageng Gajah Sora, ayahnya, eyangnya yang telah mendidiknya dengan tekun
dan mengharapnya dapat menyelamatkan daerah ini dari terkaman
orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara yang perkasa, yang telah
mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang mengagumkan, baik
kekuatan jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang
sebagian menurun kepada muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis
lincah yang bernama Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek
sepupunya itu, betapa sejuk dan lunak, selunak hati gurunya. Tiba-tiba
terdengar bibirnya berdesis, “Kakang Arya, kemarilah.”
Suara itu perlahan sekali, tetapi karena
bilik itu dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka pun mendengar suara itu
dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti kehilangan
kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya.
Ketika Arya Salaka sudah berjongkok di
samping bale-bale pembaringannya, maka sekali lagi Sawung Sariti
tersenyum. Hampir tidak kedengaran ia berkata, “Bagaimana dengan luka di dadamu, Kakang?”
Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru luka di dadanya itu. Maka jawabnya, “Baik Adi. Sudah baik.”
“Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan,” bisik Sawung Sariti kemudian, “Di
dadamu, Kakang, akan tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis
itu tak akan hilang. Apabila Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening,
maka Kakang akan melihat goresan luka itu. Dan teringatlah Kakang
kepadaku.”
Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia berkata, “Aku akan selalu mengenangnya. Dan peristiwa itu tak akan berulang.”
“Ya, tak akan berulang kembali,”
desis Sawung Sariti. Suaranya menjadi bertambah lemah. Meskipun Ki
Ageng Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan ramuan daun-daunan
yang diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah
berbahaya.
“Kakang,” kembali Sawung Sariti berdesis, “Kau maafkan aku?”
“Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah,” jawab Arya.
Sawung Sariti tersenyum, katanya, “Jangan berkata begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau maafkan kesalahan itu, Kakang?”
“Ya, ya tentu, tentu,” jawab Arya cepat-cepat.
“Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga?” bisik Sariti kemudian.
“Tentu, tentu,” jawab Arya pula.
“Kakang telah memaafkan aku, Uwa
Gajah Sora berdua juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan
Kuning, dan Sawungrana….”
“Jangan sebut-sebut itu, Adi,” potong Arya Salaka. “Lupakanlah. Mereka semua sudah memaafkanmu.”
Dada Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar
dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayana pun segera berjongkok di sampingnya.
Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu. Tuhan telah
memanggilnya. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik ditelinga anak
muda itu. “Sebutlah nama Tuhan. Tuhan Maha Pengampun.”
“….Tuhan Maha Pengampun…..” Kata kata itu hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah
keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora memekik dan memanggil nama
anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi. Dengan air mata yang berlinang
Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik iparnya. Namun
usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan
menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan
serta cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan
kembali. Karena itu seakan-akan nyawanya sendirilah yang telah lepas
dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik baginya seandainya
nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri boleh
menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.
Lembu Sora masih berdiri seperti patung.
Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil. Matanya yang tajam menjadi
suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya, tetapi
kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang
pucat pasi. Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan.
Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran
peristiwa yang pernah terjadi. Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi
bukan salah anak itu. Dialah yang telah mendorongnya tampil kedepan.
Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang. Dimana dikayalkan
kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah Perdikan
Pangratunan.
Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan
yang tak terkira telah menghentak dadanya seperti akan pecah. Demikian
dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya
mejadi lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua
tangannya menutupi wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap
kenangan yang datang silih berganti. Hanya sesaat saat ia mendengar
jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu.
Arya Salakapun tak dapat menahan rasa
harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir direnggut tangan adiknya namun
ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam dihadapannya. Karena
itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah
keluar meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara
tangis bibinya masih terdengar jelas. Akhirnya ia berdiri saja disitu,
bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada tubuhnya
sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung.
Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka gugur pada saat anak
muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja orang
Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan
betapa daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan
pemimpinnya. Pemimpin bagi masa depan.
Sehari-hari itu suasana Pamingit menjadi
suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman jenasah pahlawan yang
masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan Hantu Bongkok
yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di
Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan diselenggarakan
pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran. Seluruh penduduk
Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati
iringan jenazah. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap
pahlawannya, yang telah menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran
rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi bertambah hidmad dengan hadirnya
dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan
ditengah tengah reruntuhan pendapa rumahnya. Dengan sengaja reruntuhan
itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan Banyu
Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang
berserak-serakan di sekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa
orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan tombak di tangan. Sedang di
alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan mengantarkan jenasah
sampai ke peristirahatannya terakhir.
Keranda pahlawan dengan latar belakang
reruntuhan dan abu merupakan perpaduan pandangan yang menggetarkan.
Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta para pemimpin
yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian
bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang
sedang berada di Pamingit.
Ketika matahari telah memanjat sampai ke
ujung cemara disisi alun-alun, maka sampailah waktunya jenasah itu
diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di banjar
desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada
di gardu-gardu, di langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan
dari sisi keranda itu menggemalah bunyi sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu
Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang berani itu. Ketika jenasah
diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran, Penjawi
dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki
Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah
Gajah Alit atas nama pemerintahan Demak. Gajah Alit yang memakai pakaian
kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan betapa besar terimakasih
dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang diberikan oleh
Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya,
rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah
Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar sesorah itu dirangkapi
suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan anaknya.
Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia
menjadi bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi. Namun adakah
karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat
terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel
Kalikilah yang telah membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah
bertempur melawan demit itu.
Maka ketika datang saatnya jenazah itu
diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora memekik tinggi. Ia
kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara Wilis.
Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati.
Didekatinya isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di
telinganya kata-kata pemupus, “Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap
Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur sebagai pahlawan. Ikhlaskan
dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang”.
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan
kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya untuk memadukan
perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan
suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya
menjatuhkan dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu
Sora tak tahu lagi apa yang terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai
bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak muda yang tegap
perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka
yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak.
Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya.
Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di
otaknya. Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya,
dan sesekali ia berdoa semoga Tuhan menerima adiknya disisinya. Kalau
kemudian matanya terasa panas, Arya segera mengangkat mukanya
seolah-olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang putih dihembus
angin lembut dari pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri
berhimpitan ditepi jalan meneteskan air matanya. Mereka melepas pahlawan
dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah
satu-satunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang
agak terlalu dimanjakan.
“Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya,” desis mereka.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang arwahnya berjalan menghadap Tuhannya.
Di belakang keranda itu berjalanlah kedua
perwira dari Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan
kepala tertunduk, sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula dibelakangnya
dan disampingnya adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Barisan pengiring semakin lama semakin
panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan serta merta mengikuti
dibelakangnya mengantar sampai ke makam.
Pamingit benar-benar berkabung.
Demikianlah Sawung Sariti telah
mendapatkan penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan. Apapun yang
pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani. Sehingga setelah ia
gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang
mengantarkan jenazah itu, didalam pondok yang kecil, terbaringlah
Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan
mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan
matanya, namun kemudian ia pingsan kembali.
Tetapi ketika nafasnya telah berangsur
baik, maka Galunggung pun menjadi sadar. Sadar akan dirinya. Perlahan ia
bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba untuk minum,
didengarnya bunyi kentongan. “Tanda apakah itu?,” terdengar ia bertanya lemah.
“Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan,” jawab salah seorang bawahannya yang sedang merawatnya.
“Apa katamu?,” kata Galunggung membelalakkan matanya.
Bawahan Galunggung itu terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga, “Ya jenazah angger Sawung Sariti dimakamkan.”
“Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?” berkata Galunggung.
“Ya” jawab bawahannya itu.
“Omong Kosong!,” bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan, “Angger Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.”
Dada Galunggung bergoncang keras. Dan tiba-tiba ia berteriak, ”Kau berkata sebenanya?”
”Ya” jawab orang itu sambil menyeka peluh di keningnya.
“Gila, gila!,” Galunggung
tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan. Tetapi
tenaganya lemah. Sehingga sekali lagi ia terbanting ditempat
pembaringannya. Galunggung pingsan kembali.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung
membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan merenggut kain penyejuk
dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang sempit itu.
Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia
berdiri tegak dan berteriak. “He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?”
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya, “tidak.”
“Sawung Sariti mati karena
penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya Salaka.
Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!,” teriak Galunggung dengan mata bertambah liar.
“Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki,” sahut bawahannya.
“Bodoh, Bodoh kalian,” teriak Galunggung. “Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam.”
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka
menjadi bingung. Dan mereka menjadi terkejut ketika tiba-tiba
Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tiba-tiba ia
meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman.
Sesaat kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi
bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi
sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang berbahaya. Karena
itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan
kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas
meninggalkan halaman itu.
“Kemana?,” tanya salah seorang dari mereka.
“Menyusul ke makam,” jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan yang masih sangat muda itu di makamkan.
Pada saat itu, keranda jenazah berhenti
disamping liang kubur yang sudah dipersiapkan. Ketika jenazah sudah
dibaringkan, doapun dipanjatkan.
Pemakaman itu berlangsung dengan selamat.
Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan
meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang
masih baru pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok disamping
gundukan tanah itu. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata,
namun tak seorangpun yang mendengarnya. Lembu Sora sendiri agaknya telah
berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada
menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun
peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah
dilepaskan, sedangkan daerah perdikan menjadi hancur berantakan.
Sesaat kemudian makam itu telah sunyi
kembali. Seonggok tanah dan sepasang maejan baru berada di
tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin
pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi,
sesepi hati Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit
yang beterbangan mencari makanan buat anak-anaknya yang ditinggalkan di
atas sarang.
Di perjalanan pulang itulah mereka
melihat tiga orang berjalan bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora
Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron
dan Gajah Alit segera bertanya kepada mereka.
“Apa yang terjadi?”.
Orang itu pun berceramah tentang
Galunggung. Mereka menyangka bahwa Galunggung telah pergi ke makam dan
mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada diantara mereka,
karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya. Galunggung adalah
gambaran diri seorang yang mabuk pada kekuasaan, pangkat dan
penghargaan. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan
sekarang orang itu agaknya kehilangan keseimbangan pikirannya. Sebab
dengan hilangnya Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut lenyap pula.
“Wulungan….”, Ki Ageng Lembu Sora memanggil.
Wulungan pun segera berjalan di sampingnya.
“Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu,” desisnya.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera berjalan mendahului orang-orang yang pulang dari makam itu.
Ketika Galunggung meninggalkan regol
halaman, ia memang tidak bermaksud pergi ke makam. Otaknya yang
dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak dapat lagi
bekerja dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar
desa.
Di dalam banjar desa itu, beberapa orang
perempuan sedang mencoba menenangkan hati Nyai Ageng Lembu Sora yang
beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis
melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek kesayangannya.
Namun semakin lama ia menjadi semakin tenang.
Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan
oleh kedatangan Galunggung. Pedangnya yang telanjang itu diayun-ayunkan
sambil berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah
perempuan-perempuan desa itu bercerai berai.
Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak
dan berlari-larian. Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah
Galunggung itu. Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan,
apalagi perempuan-perempuan muda. Sekarang orang yang menakutkan itu
membawa pedang sambil berteriak memaki-maki.
Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga
melihat kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada keadaan dirinya
sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian
keluar, maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata, “He, di mana Arya Salaka?”.
“Galunggung!”, panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
“Aku mencari Arya Salaka”, jawab Galunggung.
“Kenapa dengan Arya Salaka?”, tanya Nyai Ageng.
“Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama dengan Bugel Kaliki,” jawab Galunggung.
Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau keliru Galunggung. Mereka berdua telah berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki itu.”
“Omong kosong!”, bentak Galunggung.
“Galunggung!”, potong Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau kenal aku bukan?”
“Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora,” jawab Galunggung.
“Nah, kalau demikian dengar kata-kataku,” sahut Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau terlalu letih barangkali. Beristirahatlah.”
“Tidak!” jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar. “Aku harus membunuh Arya Salaka.”
Semua orang yang masih tinggal di dalam
banjar itu melihat betapa mata Galunggung itu menjadi merah dan bola
matanya bergerak-gerak dengan buasanya. Nyai Ageng Lembu Sora yang telah
mengenalnya dengan baik menjadi ngeri juga memandangnya. Apalagi
perempuan-perempuan lain. Mereka menjadi kemetar dan mencar-cari jalan
untuk lari ke luar apabila Galunggung itu berbuat sesuatu.
“Jangan sembunyikan monyet itu,” bentaknya.
“Jangan membentak-bentak aku Galunggung,” jawab Nyai Ageng Lembu Sora, “Aku adalah ibu Sawung Sariti itu, dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah perdikanmu.”
Sejenak Galunggung terdiam. Ia berhadapan
dengan istri kepala daerah perdikannya. Tetapi sesaat kemudian otaknya
yang sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak kembali. Dan tiba-tiba
ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti suara hantu
yang kegirangan.
“Diam!” bentak Nyai Ageng Lembu Sora.
Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya bertambah keras.
“Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka. Kalau
demikian, akulah tinggal satu-satunya orang yang setia. Setia kepada
Sawung Sariti dan setia kepada cita-citanya. Mempersatukan tanah
perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Lembu Sora sendiri pun sudah
tidak setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan. Arya Salaka,
Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu.”
“Galunggung!” teriak Nyai Ageng Lembu Sora, “Kau sudah gila!”
Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya ia berkata, “Kalian, perempuan-perempuan ini pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan di mana Arya Salaka berada.”
“Jangan mengigau,” potong Nyai
Ageng Lembu Sora, tetapi hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng
Gajah Sora, menjadi gemetar. Galunggung agaknya telah benar-benar
kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayun-ayunkan,
bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi
menggigil dan yang lain menjadi lemas tak berdaya.
“Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat keluar, aku akan dapat mengejar kalian. Dan kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!” Kembali suara tertawanya membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.
“Galunggung…” kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun suaranya sudah agak gemetar, “Kau telah mengkhianati Ki Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu.”
“Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu
tidak setia kepada cita-citanya. Kenapa tidak dibunuhnya Arya Salaka.
Dan kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!” teriaknya.
Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat
apa-apa lagi. Galunggung telah menjadi gila dan tidak dapat mendengarkan
kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi ketika
kemudian setapak demi setapak sambil tertawa berkepanjangan, Galunggung
melangkah maju. “Tak ada gunanya kalian lari.”
Tetapi perempuan-perempuan itu
memekik-mekik dan mereka menghambur keluar dari ruangan itu. Beberapa
orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu Sora dan
Nyai Ageng Gajah Sora sambil berbisik, “Selamatkan diri Nyai Ageng berdua.”
“O!” teriak Galunggung. “Kemana kalian akan menyelamatkan diri?”
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng
Gajah Sora benar-benar tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri.
Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan. Karena itu
mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga keduanya menjadi
saling berpegangan dengan eratnya.
Namun di antara perempuan-perempuan itu,
tidaklah semua menjadi ketakutan dan kehilangan akal. Tidak semua
berlari-lari sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benar-benar tak
dapat mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia
melangkah maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua
orang gadis, berdiri tegak dengan tenangnya di hadapan dan membelakangi
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah Sora itu.
Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka terdengarlah bisik Rara Wilis perlahan, “Tenangkan hati Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu.”
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng
Gajah Sora terkejut, bahkan Galunggung yang gila itu pun terkejut
melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka
itu.
Yang mereka ketahui hanyalah nama kedua
gadis itu, dan bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis Pamingit dan bukan
pula gadis Banyubiru.
“Nini…” panggil Nyai Gajah Sora, “Kemarilah.”
Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak
bergerak lagi dari tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandangan
mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat tajam.
Meskipun demikian Rara Wilis menjawab, “Biarlah aku coba, Nyai.”
“Jangan Nini,” Nyai Ageng Lembu
Sora pun mencoba mencegahnya. Ia tahu benar betapa berbahayanya
Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.
Sejenak Galungung memandangi keduanya. Mula-mula matanya menjadi bersinar-sinar. Sambil tertawa dalam gilanya, “Hai
gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku selesaikan
urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri
kepala daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru. Kau dan kau.” Ujung
pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis dan Endang Widuri.
Namun kedua gadis itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Nini,” panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas, “Menyingkirlah.”
Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa
kali menghadapi lawan. Bahkan ia pernah behadapan dengan orang yang
sedang terganggu syarafnya. Gila.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan hati Galunggung,katanya, “Galunggung,
kalau ada persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan
antara kau dan Arya Salaka atau antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi
kami perempuan-perempuan di sini, tidaklah tahu persoalan itu. Dan kalau
kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.”
Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan
Nyai Ageng Lembu Sora menjadi keheran-heranan. Kata-kata Rara Wilis
diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan.
Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya
tiba-tiba menjadi suram. Meskipun otaknya tak wajar lagi, namun
lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis itu.
Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya menjadi
tegang ketika kemudian teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua
gadis itu. Sehingga terlontarlah dari mulutnya, “He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?”
“Kau masih mengenal kami?” jawab Widuri. “Bukankah
kau pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina dari
Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa Pening?”
“Gila!” teriak Galunggung.
Matanya menjadi liar kembali. Kedua gadis itu ternyata pernah menghadapi
laskarnya sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah
bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung
itu benar-benar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah sesaat
terpencar di kepalanya. Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya.
Karena itu maka sekali lagi ia tertawa, “Bagus, bagus. Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah perempuan itu melarikan diri.”
“Jangan maju lagi,” potong Rara Wilis.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan
oleh Rara Wilis. Tetapi sekali lagi mereka mendengar gadis itu
memerintah, “Galunggung, tetap di tempatmu.”
Galunggung yang hampir saja melangkah
maju, terhenti juga. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajamnya. Matanya
telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring, “Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?”
Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis
itu benar-benar menjadi cemas, mereka tidak mau mengorbankan orang lain
untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah Sora berkata, “Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.”
“Tenangkan hati Nyai Ageng berdua,” sahut Wilis, dan kedua perempuan yang ketakutan itu menjadi semakin tidak mengerti.
Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri
sudah tidak melihat kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu
dengan kekerasan. Karena itu tiba-tiba Widuri berbisik, “Serahkanlah kepadaku, Bibi.”
Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi
ragu-ragu. Gadis kecil ini masih terlalu sukar untuk mengendalikan
dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih belum
diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena itu maka ia
menjawab, “Aku sajalah yang menyelesaikannya, Widuri.”
“Ia bersenjata,” jawab Widuri, “sedangkan bibi tidak. Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian wajar untuk bertempur.”
“Kau juga tidak Widuri,” sahut Wilis. Ketika Galunggung kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata, “Berikan
kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala macam senjata,
selain kekhususan dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik
daripada sulur-sulur kayu yang pernah aku pakai berlatih dengan eyang
Pandan Alas.”
Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas, “serahkanlah. Orang gila itu sudah hampir mulai.”
Widuri tidak dapat berbuat lain daripada
melepaskan kalung peraknya. Kemudian ia melangkah surut berdiri
disamping Nyai Ageng Gajah Sora yang menjadi bertambah cemas. “Pergilah, pergilah,” teriaknya.
“Biarlah nyai,” sahut Widuri, “Bibi Wilis akan dapat menjaga diri.”
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung sudah berdiri
selangkah dimuka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilis terpaksa menyangkut
ujung kain panjangnya pada sabuknya.
———-oOo———-
IV
Pada saat itulah pedang Galunggung teracung didadanya. Sambil tertawa ia berkata, “sayang dada ini akan tembus oleh senjataku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata
orang itu benar-benar mengerikan. Namun Rara Wilis adalah gadis yang
tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah bersiap
menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai Widuri di
pangkalnya dan menggunakan Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk
melawan Galunggung. Tetapi Rara Wilis memegang pada ujungnya dimana
cakra itu tersangkut. Bahkan Cakra itu dilepaskannya, dan diserahkan
kepada Widuri. Widuri melihat bagaimana Rara Wilis mempergunakan
senjatanya. Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis agaknya
hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa itu.
Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis membentaknya dengan nada yang tinggi, “Diam, dan tinggalkan tempat ini!.”
Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis dengan mata merah, katanya, “Apa maumu?.”
“Tinggalkan tempat ini,” ulang Rara Wilis.
Galunggung memandang semakin tajam. Gadis
ini memang cantik. tapi baginya, bagi otaknya yang sudah tidak waras
lagi, lebih baik menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada
menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada kedudukan kepala daerah
perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal membunuh Arya
Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah sekali, mudah sekali.
Karena itu ia menggeram, “jangan gila. Jangan menghalangi aku!”
“Kau yang gila,” bantah Rara Wilis.
Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan
tiba-tiba ia menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang
telanjang itu diacung-acungkannya dengan gerakan menghentak-hentak.
Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Namun
Rara Wilis bergeserpun tidak.
“Jangan berlaku seperti Buta Terong,” teriak Widuri yang tidak dapat menahan gelinya melihat solah Galunggung.
Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah
Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah
dalam kegilaannya itu dianggap sebagai suatu pertunjukan yang
mengasyikkan oleh gadis ini.
Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata Widuri itu telah memanaskan kupingnya. Karena itu ia berteriak,”tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya.”
Widuri benar-benar nakal. Ia malahan
tertawa kecil. Dan karena Galunggung tak dapat menahan diri lagi.
Langsung ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis
tetapi menyerang Endang Widuri.
Bagaimanapun Galunggung mencoba
mempergunakan setiap kemampuan yang ada dalam dirinya, namun dengan
lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor kijang
ia melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Rara
Wilis, karena itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor
kelinci dan bersembunyi di belakang Rara Wilis. Namun tawanya masih saja
terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha untuk menahannya.
Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika Widuri sudah berdiri dibelakangnya ia berbisik, “Jangan terlampau nakal Widuri.”
“Aku tidak dapat menahan geli bibi,” jawabnya. Namun ia tidak berani lagi mengganggu orang gila itu.
Galunggung telah benar-benar menjadi
marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya diatas kepala. Sambil
berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis
sudah bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat ke samping, kemudian rantai
di tangannya pun diurainya.
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora meskipun tidak memiliki kemampuan bertempur dan tata bela
diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang dalam
kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian, meskipun
hanya dalam latihan-latihan laskar-laskar mereka. Karena itu, ketika
mereka melihat bagaimana Endang Widuri menghindar dan bagaimana Rara
Wilis dengan gerak sederhana membebaskan dirinya dari serangan
Galunggung, mereka pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua gadis itu
sama sekali tidak takut menghadapi Galunggung.
Maka, ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa rucah
(tak berguna) yang bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa.
Meskipun ia berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah
meloncat-loncat tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis
telah menyentuh tubuhnya, dan membuat bekas luka yang nyeri. Kulitnya
seperti terkelupas dan darah menetes dari luka-luka itu. Namun Wilis
tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu, sengatan rantai itu pun
tidak terlampau berbahaya.
Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin
menggila, Rara Wilis pun menjadi muak. Karena itu serangannya
dipertajam, dan Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian
masih saja ia berteriak dan memaki-maki.
Akhirnya serangan Rara Wilis semakin
terasa berat. Pangkal rantai perak itu mematuk-matuk seluruh permukaan
kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit Galunggung itu
telah dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah.
“Persetan dengan orang itu,” jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya terkatub, pangkal rantai itu benar-benar mengenai bibirnya. “Gila!” teriaknya, dan darah mengalir dari bibir yang tebal itu.
“Jagalah mulutmu,” bentak Rara Wilis, “Pergi dan turuti perintahku.”
Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa
bahwa ia tak akan dapat melawan gadis itu. Karena itu tiba-tiba matanya
yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan yang
celaka itu.
Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi
tubuhnya disakiti oleh rantai Rara Wilis, Galunggung meloncati pintu
dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya ketika ia
melihat Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan
mengacung-acungkan pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu
sambil memaki habis-habisan. Akhirnya Galunggung berkata, “Aku tidak
dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi kalau lain kali
kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.”
Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa tertahan-tahan, sedang kedua tangannya menutup mulutnya.
“Jangan banyak tingkah,” teriak Galunggung dari halaman. “Gadis kecil itu akan aku lumatkan kalau ia berani menghina aku lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.”
Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah
setapak maju sambil memutar rantainya. Melihat sikap Rara Wilis,
Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar
tubuhnya dan menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya
masih terdengar, “Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau.”
Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia
harus menangkap orang gila itu. Ia akan menjadi sangat berbahaya bagi
penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah kalau ia
bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit
mengeroyoknya beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.
Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa
dua pasang tangan memeluknya sambil terisak-isak. Nyai Ageng Gajah Sora
dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya dengan uraian air
mata.
“Duduklah Nyai Ageng,” kata Wilis, lalu kepada Widuri ia berkata, “Widuri,
lihatlah di luar regol, kalau-kalau Galunggung berbuat sesuatu terhadap
orang-orang yang ditemuinya, tetapi jangan berbuat terlampau jauh.”
“Baik, Bibi,” jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar setelah ia menerima rantainya kembali.
Dengan langkah yang cepat, Widuri
berjalan di jalan kecil di muka halaman banjar desa itu. Kemudian ia
membelok ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia
berhenti. Di kejauhan ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan
dengan seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri
menyelinap, dan kemudian menyusup halaman, ia pergi mendekati orang gila
itu. Sekali-kali Widuri harus meloncati pagar-pagar batu, dan
sekali-kali ia harus menyusup gerumbul-gerumbul liar yang masih
berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang kosong dan terbentang
di antara rumah-rumah kecil.
Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka ia pun mendengar apa yang dipercakapkan mereka.
“Galunggung…” terdengar orang yang tinggi besar itu berkata, “Marilah
kita pergi ke banjar desa. Sebentar lagi Ki Ageng Lembu Sora akan
datang. Darinya kau akan mendengar beberapa keterangan yang perlu.”
Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian jawabnya, “Aku temui di sini seorang pengkhianat lagi.”
“Jangan berkata begitu,” sahut lawan bicaranya, orang tinggi itu.
Ketika Widuri sempat mengintip mereka,
maka tahulah Widuri, bahwa orang yang tinggi itu adalah salah seorang
pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan nama
Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.
“Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah Sora, Arya Salaka atau Galunggung” kata Galunggung kemudian.
“Apanya yang harus aku pilih?” tanya Wulungan.
“Mereka adalah
pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal Sawung Sariti, akulah yang paling
berhak atas kedudukan yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang
paling setia. Dan akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk
mencapai cita-citanya itu” jawab Wulungan.
Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar itu. Maka katanya, “Katakanlah itu kepada Ki Ageng.”
“Akulah kepala daerah perdikan sekarang” kata Galunggung.
“Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku.” Wulungan menjadi tidak sabar lagi.
“Apa kau bilang?” bantah Galunggung, “Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit? Omong kosong. Akulah kepala daerah perdikan itu.”
Mata Galunggung menjadi semakin merah dan liar, bahkan ujung pedangnya
sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila itu berteriak, “Pengkhianat ini harus aku selesaikan.”
Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu,
Galunggung sudah menyerangnya. Untunglah Wulungan cekatan. Ia berhasil
menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah Galunggung. “Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng Lembu Sora akan menghukummu.”
Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak, “Akulah yang akan menghukumnya.”
Sekali lagi Wulungan terpaksa meloncat
menghindari, namun Galunggung yang gila itu tidak mau berhenti. Bahkan
ia menyerang semakin buas. Sehingga kemudian, terpaksa Wulunganpun
mencabut pedangnya dan di jalan desa itu pun terjadilah suatu
perkelahian antara Galunggung, pemomong Sawung Sariti yang otaknya
digoncangkan oleh kekecewaan, melawan Wulungan yang terpaksa membela
dirinya.
Karena itu, Wulungan telah melawannya
dengan pedang pula, maka Widuri tidak menampakkan diri. Ia masih saja
berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi. Tetapi akhirnya
ia tidak puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia
meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.
Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata Galunggung yang liar itu menyambarnya beberapa kali. Kemudian ia berteriak, “He gadis gila. Kubunuh kau.”
Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan menjawab, terdengar Wulungan berkata, “He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini dapat berbahaya bagimu.”
Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih berjuntai. Sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak, Paman Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman Wulungan.”
“Ah,” desis Wulungan. Sekali
lagi matanya menyambar gadis itu. Tampaknya Widuri memang tidak takut
sama sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya,
semata-mata karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab
Wulungan masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk
memikirkan nasib Widuri. Serangan Galunggung semakin lama menjadi
semakin garang, bahkan kemudian membabi buta. Mula-mula Wulungan selalu
mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil menunggu kedatangan
rombongan dari makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap
Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat berlaku demikian.
Serangan Galunggung benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan
kemudian terpaksa membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga akhirnya
pertempuran itu pun menjadi bertambah sengit.
Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya
tidak terganggu, masih selalu berusaha untuk berhati-hati.
Serangan-serangannya tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia
ingin melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.
Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau
Endang Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela diri berada dalam tataran
yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak bertempur dalam
puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-sangka, sebuah
goresan menyobek pundaknya. Wulungan terkejut dan dengan satu lontaran
panjang ia melangkah surut. Terasa betapa pedihnya pundak kiri yang
terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka itu, betapa ia menjadi marah.
Darahnya mengalir melumuri baju dan menetes membasahi tanah
kelahirannya oleh tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram pendek, dengan suara gemetar. “Galunggung, apakah kau sudah benar-benar gila?.”
Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak itu ia berkata: “Kakang
Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau
telah menjadi pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah
kepala daerah perdikan yang baru.”
Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang
bergelora. Meskipun ia telah lama bergaul dalam satu lungkungan suka
duka dengan Galunggung, namun sifat-sifat Galunggung sejak lama tidak
disukainya. Kini, orang itu telah melukai dan menghinanya. Dengan
demikian, maka seperti tergugahlah semua ketidak senangannya akan
sifat-sifat Galunggung itu. Karena itu, maka untuk terakhir kalinya ia
berkata, “atas nama Ki Ageng Lembu Sora, aku memperingatkan kau sekali lagi untuk yang terakhir.”
“Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia sesudah aku membunuhmu” jawab Galunggung dengan sombongnya.
Mendengar jawaban itu, hati Wulungan
benar-benar terbakar. Ternyata Wulungan benar-benar gila. Gila dengan
pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka Wulungan
tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang. Pedangnya
terjulur. Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung, dada atau
leher lawan. Betapapun marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud
membunuh lawannya itu.
Tetapi karena keragu-raguan itulah maka
Galunggung sempat menghindarkan diri. Pedang Wulungan yang mengarah
kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring Galunggung memutar
pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan Wulungan. Tetapi
Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam setiap ayunan
pedangnya. Karena itu serangannya sangat berbahaya. Wulungan terkejut
melihat sambaran pedang Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan
kepalanya.
Dan berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya.
Dengan demikian akhirnya Wulungan
mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan
yang ada padanya. Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun seandainya ia
terpaksa membunuh lawannya. Maka, kemudian adalah perkelahian yang
seru. Galunggung menyerang seperti angin ribut, sedang Wulungan bertahan
dan menyerang kembali seperti Srigala yang marah.
Widuri yang melihat pertempuran itu kini
tidak tertawa-tawa lagi. Ia melihat bahaya yang mengancam keduanya.
Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang sama,
maka mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh atau di
bunuh.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan
perkelahian itu berlangsung. Apakah ia harus mencegah perkelahian itu,
membantu Wulungan atau membiarkannya.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan
perkelahian itu berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti.
Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing,
sebab mereka masing-masing tidak mau dadanya ditembus oleh pedang
lawan. Dalam keadaan itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi, apakah
Galunggung itu akan ditangkapnya hidup atau mati. Yang ada dikepalanya
adalah pilihan hidup atau mati.
Gemerincing pedang beradu telah
mengejutkan daun-daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung
dan belalang beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang
sesekali diselingi oleh teriakan Galunggung memaki.
Dalam keadaan yang demikian, Widuri
menjadi semakin berbimbang hati. Tetapi lambat laun dilihatnya bahwa
keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan ternyata
memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak menggunakan otaknya
dengan baik. Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian
pengamatan diri, sehingga ia bertempur tanpa mempergunakan perhitungan
yang cermat.
Sedang Wulungan, meskipun kemarahan telah
memuncak dan membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih dapat
melihat segala kemungkinan dengan baik.
Widuri yang melihat perkelahian itu
menarik nafas lega. Ia benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat
seperti orang dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan.
Sebelah kakinya memasuki masa kedewasaan, sebelah kakinya masih berada
didunia anak-anak. Dalam masa pancaroba itu Widuri sering berbuat yang
aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk berkelahi melonjak lonjak didalam
dadanya, tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang sejuk.
Pada saat itu Widuri dapat melihat
keadaan dengan baik. Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka
dibiarkannya pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan
urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki Ageng
Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi dengan tanpa campur
tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan
siapapun di luar lingkungan kekuasaannya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar
dugaannya. selagi Widuri menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung
dengan tiba-tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat
berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya.
Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah
ia memejamkan matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan
matanya, sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula.
Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan mengumpat, “Gila kau Galunggung.”
Dan Wulungan mencoba membuka matanya, namun mata itu telah menjadi
kabur. Ia tidak dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya
yang hitam seperti bayangan hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan hanyalah
meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk mendapatkan waktu membersihkan
matanya itu, namun Galunggung pun meloncat menyusulnya.
Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan
muaknya tiba-tiba bangkit kembali. Dengan serta merta ia melompat turun,
dan berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He Galunggung, kau telah berbuat curang.”
Galunggung tidak mau mendengarkan
kata-kata itu. Lawannya telah hampir lumpuh. Alangkah mudahnya untuk
membunuhnya pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu
Wulungan mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis
yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena itulah ia
berteriak, “pergilah ngger, pergilah.”
Pedang Galunggung sudah terjulur kearah
perut Wulungan. Betapapun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk
melihat gerak Galunggung. Namun sekali lagi ia hanya melihat bayangan
hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan putus asa, Wulungan menggerakkan
pedangnya seperti baling-baling. Ia mencoba untuk melindungi dirinya.
Namun ia sadar bahwa usahanya itu adalah usaha yang sia-sia.
Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak
segera menyentuh tubuhnya dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia
mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan. Wulungan segera mengusap
matanya, dan membersihkannya dengan ujung kainnya. Ketika ia membuka
matanya, meskipun masih agak kabur, ia melihat Galunggung bertempur.
Hampir ia tidak percaya pada matanya yang kabur itu. Galunggung
bertempur dengan gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi.
Dengan mulut ternganga ia melihat perkelahian itu. Benar-benar
mengagumkan. Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih
berkilat-kilat di tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran
itu seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung benar-benar
mirip seekor tikus raksasa yang sama sekali tak berdaya menghadapi
kucing kecil itu.
Ketika mata Wulungan itu telah sembuh
kembali, dan kembali ia dapat melihat setiap garis di wajah Galunggung,
maka timbullah rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu, kemudian
ia pun berkata, “Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku yang menangkapnya.”
“Kau sudah baik, Paman?”, tanya Widuri.
“Mudah-mudahan aku dapat melawannya,”
sahut Wulungan. Suaranya datar dan rata, namun di dalamnya mengandung
tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung atas segala
perbuatan gilanya dan kelicikannya.
Widuri kemudian melepaskan lawannya.
Kembali ia menonton sebuah perkelahian yang sengit. Galunggung masih
saja berteriak-teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin terasa, bahwa
Wulungan akan menguasai keadaan.
Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba
untuk berbuat sekali lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi
Wulungan bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk
kedua kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung membukuk, dan
dengan tangan kirinya mencakup segenggam pasir, Wulungan meloncat dengan
cepatnya. Secepat kilat. Gerakan yang belum pernah dilakukan selama
hidupnya. Tetapi didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah
melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar kemampuannya.
Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri.
Darah yang merah memancar dari lambung Galunggung. Kemudian tubuh itu
terdorong surut beberapa langkah.
Ketika Wulungan mencabut pedangnya, ia
melihat Galunggung itu masih tegak berdiri dengan pedang ditangannya.
Matanya yang merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang
berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal memilih, Lembu Sora atau Galunggung.” Galunggung yang luka parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah hilang, dan jatuhlah ia terguling di tanah.
Meskipun demikian, matanya yang liar
masih saja memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap. Tetapi
tiba-tiba ia menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah ia berteriak,
“He Wulungan, kau berani menyakiti aku?”
Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat
mulut Galunggung yang berbusa-busa itu masih memaki-maki, dan kemudian
Galunggung itu menggeliat menahan sakit.
Widuri bukan seorang gadis berhati kecil.
Tetapi ia belum pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia belum
pernah melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian.
Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya yang kecil
sambil berkata nyaring, “Kasihan orang itu, Paman.”
Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi
ia tidak mampu lagi berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin
cepat mengalir. Meskipun demikian masih terdengar ia berkata, “Hai, Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.”
Wulungan akhirnya menjadi beriba hati.
Bagaimana pun juga ia pernah mengalami suka duka bersama-sama
bertahun-tahun. Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan yang
sama. Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah
Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang Galunggung
telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya. Karena itu, kemudian
Wulungan melangkah maju dan berjongkok di samping kawannya yang gila
itu. Dengan suara yang berat ia berkata, “Maafkan aku, Adi Galunggung.”
Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki, “Setan, panggil aku Ki Ageng.”
“Maafkan aku Ki Ageng” sahut Wulungan.
Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi
mengendor. Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah
orang pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah
memihaknya. Karena itu pekerjaannya untuk merebut tanah perdikan
Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya, “Bagus, kau memihak aku?”
Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk, “Ya, Ki Ageng.”
Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun
kemudian wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya
terdengar ia berkata lemah dan gemetar, “Akhirnya tercapai juga cita-citaku.”
Oleh kata-katanya sendiri Galunggung
menjadi tenang. Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah
satu-satu meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah
kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil tersenyum
bangga. Kata-kata yang terakhir keluar dari mulutnya, “Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung.” Dan kata-kata itu hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan penuh kebanggan dalam kegilaan.
———-oOo———-
V
Wajah Widuri menjadi kemerahan
mendengarkan pujian itu. Karena itu, malahan ia tidak dapat berkata
sepatah katapun selain berdesis, “ah.”
Tetapi Wulungan masih berdiri diatas lututnya. “Aku tak akan dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan mengaruniakan Kasihnya yang berlimbah.”
Widuri menjadi semakin malu. Ia tidak
tahu apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan. Karena itu
tiba-tiba ia memutar tubuhnya berlari ke banjar desa sambil berteriak, “aku akan ke banjar desa paman.”
Wulungan menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil bergumam, “Hem, alangkah bangga orang tuanya.”
Ketika Widuri telah hilang di balik
tikungan, kembali Wulungan merenungi mayat Galunggung. Sekali-kali ia
menebarkan pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar seperti
dicekam kesepian yang mengerikan.
Sebenarnya beberapa perempuan yang
tinggal di rumah ditepi jalan itu menjadi ketakutan, dan menutup pintu
mereka rapat-rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar teriakan
Galunggung menjadi berbimbang hati, “Apakah yang sebenarnya terjadi?” Tetapi, mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka menunggu sampai suami mereka kembali dari perlayatan.
Ketika sekali lagi Wulungan memandang
keujung jalan di kejauhan, dilihatnya orang pertama yang datang dari
makam. Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan perlahan
lahan menuju ke arahnya.
Melihat kedatangan mereka, Wulungan
menjadi berdebar-debar. Apakah ia tidak berbuat kesalahan? tetapi ia
telah berbuat demikian untuk membela dirinya, mempertahankan hidupnya.
Tubuh Galunggung yang terkapar di jalan
itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki
Ageng Lembu Sora dan yang lain-lain.
“Apa yang terjadi Wulungan?” terdengar suara Ki Ageng Lembu Sora datar.
Wulungan mengangguk hormat. Kemudian dijawabnya, “Kami bertengkar dan inilah akhirnya.”
Lembu Sora melihat luka di pundak
Wulungan, karena itulah ia tahu bahwa Wulungan telah bertempur sengit
melawan Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih ditangannya,
sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.
“Sarungkan pedangmu Wulungan” berkata Ki Ageng Lembu Sora.
Wulungan menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan pedangnya.
“Kami tidak menyalahkan engkau” kembalim terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata.
Wulungan tersentak, kemudian sekali lagi ia membungkuk sambil berkata, ”Terima kasih Ki Ageng”
Orang Pamingit menjadi saling
berpandangan dan menebak-nebak apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Beberapa orang menjadi kecewa. Pengikut Galunggung bergumam di dalam
hati mereka, “kenapa Galunggung terbunuh?.”
Ki Ageng Lembu Sora dapat melihat gelora
hati mereka. Mereka memandang Wulungan dengan marah. Bahkan di antaranya
terpancarlah perasaan dendam dan benci. Seperti Galunggung yang
menggantungkan harapannya kepada Sawung Sariti, maka demikianlah
beberapa orang yang telah menerima janji dari padanya. Karena itu, maka
kematiannya benar-benar disesalkan. Tetapi, disamping mereka yang
mendendam Wulungan karena peristiwa itu, beberapa orang berdiri tegak di
belakangnya. Tak ada kata-kata yang mereka ucapkan, namun dari wajah
mereka terpancarlah janji, ”Jangan cemas Kakang Wulungan, kami akan bersama-sama memikul akibatnya”
Tetapi karena itu alangkah sedih Lembu
Sora. Kematian anaknya telah memukul jantungnya sedemikian parah.
Sekarang ia melihat sinar mata bermusuhan diantara rakyatnya. Karena itu
dengan sedih ia berkata, “telah banyak korban jatuh. Daerah
perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik. Sergapan
gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita. Marilah kita
jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan Galunggung yang lenyap
karena kehilangan keseimbangan jiwa, adalah contoh mereka yang
kehilangan akal karenanya.” Kemudian Lembu Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang Pamingit yang berada di sekitarnya, “siapa akan menyusul?”
Suasana dicengkam oleh kesepian. Tak ada
yang terdengar selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun
yang digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang Wulungan
dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di belakang Wulungan,
menundukkan wajah mereka.
Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata, “Para
pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum matahari terbenam.
Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran atas peristiwa ini selain
aku sendiri.”
Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Wulungan, ikut aku.”
Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Baik Ki Ageng.”
Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata, “Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”
Kemudian orang-orang yang berdiri
berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian
menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing.
Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa
orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya.
Besok, sekali lagi mereka akan
menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara
kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan
diselenggarakan sebaik-baiknya.
Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya, “Kakang, mayat Bugel Kaliki lenyap.”
Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum, “Aku belum memberitahukan kepadamu.”
“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat itu” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam, “Sederhana sekali.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum, “Ya, sederhana sekali. Apa
kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali maka
mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi
kita harus berjuang melawan mereka.”
Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula. “Ah,” sahut anak muda itu. “Aku menjadi gelisah karenanya.”
Ketika mereka sampai di banjar desa,
mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis
dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa mereka dapat
menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka
bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri.
Pertanyaan- pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara
Wilis mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.
“O,” sahut salah seorang, “Jadi orang tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu kakekku” sahut Rara Wilis.
“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain.
Ketika orang-orang yang datang dari
pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka
perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum
serta makanan yang akan mereka hidangkan.
Demikianlah Pamingit dan Banyubiru telah
melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka
lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah terbaring
di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah
terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan
masing-masing tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat,
dengar dan alami, namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan
Lembu Sora sendiri merasakan betapa kelakuannya hampir saja
menenggelamkan kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian,
akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang
menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Demikianlah agaknya
Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan
yang telah digariskan.
Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk
bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara.
Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan
kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
“Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya,” terdengar Gajah Alit berkata, “Sultan
menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan
Pamingit. Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa
pertumpahan darah antara keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu
adalah karena perjuangan mereka mempertahankan tanah mereka dari
sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke
tahta Demak.”
Gajah Alit berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Tetapi
selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat
perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya, “Sebagai tawanan?”
“Tidak. Sama sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat. “Persoalan
yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak
saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami
kegoncangan kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian,
tak apalah kalau Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka
karena Kakang meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya
Sultan mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang
kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan
pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami
kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak
seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar
menyesal pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat
itu. Tetapi masa itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah
selanjutnya. Dan kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana
memangilnya.
“Adi…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku
tidak dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku
ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku
menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah berjanji pula pada diri
sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri usahaku itu sampai kapanpun,
sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.”
Gajah Alit tersenyum. Jawabnya, “Tepat.
Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan
karena itu Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang
kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan
diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat menemukan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa
apa yang telah Kakang lakukan dapat dilupakan. Sebab berhasil atau
tidak, namun Kakang telah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga
Kakang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sampaikan
sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku.
Mudah-mudahan Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan
kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu.
Di luar, malam menjadi semakin pekat.
Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega
yang putih mengalir dihembus angin.
Malam itu adalah malam terakhir Paningron
dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa
kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya.
Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara Pamingit
dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba
menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak
perlu mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga
Tohjaya yang tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri
di atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah
Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun
akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke
tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan
tanah yang selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus
segera mengetahui bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali
di antara mereka. Karena itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula
ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan
telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya
orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru, rampak
dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan yang
menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang
bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan.
Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain.
Laskar itu akhirnya berjalan mendahului
di bawah pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah
berani itu berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng
pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing,
mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.
Untuk sementara Ki Ageng Sora Dipayana
tetap tinggal di Pamingit. Orang tua itu masih ingin mendampingi putera
bungsunya yang masih belum dapat melupakan apa yang baru saja terjadi.
Karena itu ia tidak ikut serta pergi ke Banyu Biru bersama putera
sulungnya.
Sementara itu Titis Anganten yang tidak
mempunyai kepentingan-kepentingan lain, kecuali menuruti hasrat hati
menikmati hari tuanya dengan kegemarannya merantau dan berjalan dari
satu tempat ke tempat lain, melihat daerah-daerah yang belum pernah
dikunjungi, berziarah ke tempat-tempat yang dianggap suci, terpaksa
memenuhi pemintatn sahabatnya, Ki Ageng Sora Dipayana untuk tinggal
menemaninya di Pamingit.
Tetapi Ki Ageng Pandan Alas lebih senang
pergi bersama-sama dengan cucunya ke Banyu Biru. Meskipun ia tidak
mempunyai kepentingan apapun, selain cucunya itu, namun ia tak dapat
ditahan-tahan lagi. Karena itu maka ia pun berkemas-kemas untuk ikut
serta dalam rombongan ke Banyu Biru. -
Rombongan itu ternyata terpaksa
menunda-nurda keberangkatannya. Ada-ada saja sebabnya. Ketika mereka
sudah bersiap di halaman banjar desa. mereka terpaksa masuk kembali ke
dalam banjar. Nyai Ageng Lembu Sora mengharap mereka untuk makan siang
lebih dahulu, sebelum menempuh perjalanan.
”Tak baik menolak rejeki” berkata Ki Ageng Gajah Sora sambil tersenyum.
”Makan besar” sela Arya Salaka.
”Tak seberapa” sahut Ki Ageng Lembu Sora, ”sekedar pernyataan terima kasih dari rakyat Pamingit.”
Alangkah nikmatnya makan bersama.
Di langit matahari berjalan terus.
Semakin lama semakin tinggi. Ketika telah dicapainya titik puncak, maka
kembali matahari itu menurun ke arah barat.
Akhirnya rombongan itu pum bersiap pula.
Beberapa ekor kuda untuk mereka telah menanti di halaman. Sejenak,
sebelum Mahesa Jenar meloncat ke punggung kuda, berbisiklah Ki Ageng
Lembu Sora, ”Ki Rangga Tohjaya, ternyata Ki Rangga telah membuat aku
kembali menjadi manusia.”
” Kenapa aku?” bertanya Mahesa Jenar.
”Baru pada saat-saat terakhir aku mengagumi sikap Ki Rangga”
sahut Ki Ageng Lembu Sora tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar.
Tetapi pembicaraan itu terhenti. Tiba-tiba mereka melihat Nyai Ageng
Lembu Sora berlari dan dengn serta merta memeluk Arya Salaka yang sudah
berdiri di sampinq kudanya. Sambil menangis terisak-isak ia berkata,
”Arya, adikmu Sawung Sariti telah tak ada lagi. Karena itu, kaulah
menjadi ganti anakku. ”
Arya menundukkan wajahnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara Nyai Ageng Lembu Sora. Kali ini kepada Ki Ageng Gajah Sora. ”Kakang, biarlah aku ngempek kamukten. Kalau kakang berkenan di hati, biarlah aku ikut serta mengaku Arya Salaka sebagai anakku.
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya, sebelum ia menjawab terdengar Nyai Ageng Gajah Sora berkata,
”Adi, anakku adalah anakmu. ”
Tangis Nyai Ageng Lembu Sora bertambah nyaring, serta pelukannya menjadi bertambah erat, seakan-akan tak mau melepaskannya lagi.
Tak seorang pun mengganggunya. Bahkan
mereka ikut serta merasakan betapa dalam luka yang menggores hati isteri
kepala Tanah Perdikan Pamingit itu. Luka yang tidak akan dapat sembuh
kembali apa pun obatnya.
Sesaat kemudian barulah tangis itu
mereda. Perlahan-lahan Arya dilepaskan. Di antara isak yang masih
terdengar berkatalah Nyai Ageng Lembu Sora, ”Maaflah kalau aku
mengganggu perjalanan ini.”-
”Arya akan sering berkunjung kemari, adi” sahut Nyai Ageng Gajah Sora.
”Terima kasih” desis Nyai Ageng Lembu Sora, sedang dari matanya masih menetes sebutir-sebutir air matanya.
Akhirnya rombongan itu pun dilepas pergi.
Kuda-kuda itu berjalan beriring-iringan. Orang-orang Pamingit
menyaksikan dengan bangga dan melepas mereka dengan lambaian tangan
sampai mereka hilang di balik kelokan jalan. Hanya kepulan debu yang
putih yang masih mereka lihat naik ke udara.
Di perjalanan itu Widuri menjadi gembira.
Dilarikannya kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan
dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun,
namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang berbaris
seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.
Ketika ia menengadahkan wajahnya,
dilihatnya matahari telah condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka
berangkat terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru
sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan dapat cepat,
karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat menunggang kuda dengan baik.
Meski demikian Widuri kadang-kadang memacu kudanya jauh ke depan.
Kemudian sambil menanti kawan-kawannya ia berhenti diatas sebuah punhtuk
yang menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang
terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha Besar Sang
Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu, berjuta kali
lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang gumelar di hadapannya.
Rombongan itu berjalan terus. Meskipun
perlahan-lahan namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat
dengan Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah membayanglah
punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian membayanglah warna kuning tajam
di atas pegunungan Candik Ala.
Widuri tersenyum memandang warna itu.
Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang
lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh
sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi.
Mereka telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!” gumamnya, “Alangkah gagahnya anak itu.”
Tiba-tiba wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke
arah rombongannya. “Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,” pikirnya.
Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada pengakuannya, bahwa ia telah
mengagumi Arya Salaka.
Karena itu sekali lagi ia melarikan
kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya
tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia
berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali.
Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah
dengan kecepatan sedang seluruh rombongan. Gajah Sora mendampingi
istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas
berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat
kenakalan anaknya yang jauh di depan.
Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar,
dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di
perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang
daerah yang mereka lewati.
Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara Wilis, “Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan Banyubiru?”
Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya, “Aku tidak tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”
Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya.
Pandangannya kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih
bertebaran di lembah. “Tanah itu belum digarap” katanya.
“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan yang akan menggarapnya.”
Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara
Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat
Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan yang tidak
terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian sekali-kali
mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang
seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun
merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.
“Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?”
Mahesa Jenar tersentak mendengar
pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu
bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang
duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa
betapa sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya
dalam-dalam.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar
mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak semula ia memang
mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari
Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan
Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu
lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia
mempunyai waktu itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di
wajah yang cantik itu, tampaklah beberapa bintik air mata.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik
itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya kesempatan
melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua
pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat
mendatang bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu,
namun ia sudah mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.
Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis
itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan
hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia
membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin
menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian.
Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata, “Wilis, kalau sampai
sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku ingin hidup kelak tidak
terganggu oleh kesanggupan dan janji diri. Aku ingin hidup tentram
setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku harap kau dapat mengerti,
bahwa apa yang aku lakukan adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan
semata-mata aku membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi
tanpa mempertimbangkan pendapatmu. Sebab ...”
“Kakang!” potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya. Katanya meneruskan, “Kenapa
Kakang berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas
semua yang pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian,
untuk memenuhi kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai
sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya
membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan
tenang. Tentang diriku sendiri? Aku telah lama melupakan kepentingan
itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia.”
Rara Wilis tak dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi
semakin deras mengalir dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
“Maafkan aku Wilis,” desis
Mahesa Jenar. Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan didalam
hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama
sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata, “Wilis, sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku telah selesai” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.
“Keris itu sudah aku ketemukan” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali. Katanya, “Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut, “Tidak,
tidak Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya
kedua pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu
benar-benar telah dapat diketemukan.”
Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi
cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih
memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak
terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia
berkata, “Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris
itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu berada.
Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka itu kembali ke
istana.”
“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya. Mahesa Jenar ragu sejenak. Karena itu maka Rara Wilis segera berkata, “Maafkan, barangkali aku tidak perlu mengetahuinya.”
“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat. “Kau boleh mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan Ismaya.”
“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar, “Namun
apa yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin
menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari Panembahan Ismaya sendiri” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam.
Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung
Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih menjadi
teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat penanggungan hati
Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak tahu menhapa Mahesa
Jenar tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak
bertanya-tanya lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa
Jenar tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk
mencarinya.
Rara Wilis kemudian berdiam diri. Namun
di dalam hatinya bergolaklah angan- angan seorang gadis. Seorang gadis
yang telah berdiri di ambang pintu idaman.
Yang berbicara kemudian adalah Mahesa Jenar, “Karena itu Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri kita.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Dadanya
serasa berdesir. Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya akan datang. Namun
ia tidak menjawab.
“Segala kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mudah-mudahan kita tidak terlalu tua untuk mulai dengan suatu kehidupan baru.”
Betapa menyenangkan kata-kata itu. Namun
Rara Wilis telah melampaui masa pergolakan jiwa. Karena itu ia dapat
menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang mengendap. Katanya, “Tidak
Kakang. Tidak semua kesulitan telah selesai. Dalam hidup yang baru itu,
kesulitan-kesulitan lain justru baru akan mulai. Kesulitan-kesulitan
yang sekarang belum dapat kita bayangkan.”
Mahesa Jenar tersenyum. Senyum yang memancar dari hatinya yang cerah. “Kau benar Wilis.”
Kemudian keduanya berdiam diri.
Angan-angan mereka terbang mengawang bersama mega-mega putih di langit.
Tanpa dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah
berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak mereka
berdua pun telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo
Kanigara. Maka berkatalah Mahesa Jenar kemudian, “Marilah kita susul mereka.”
Mereka mempercepat langkah kuda-kuda
mereka. Ketika mereka telah berada tepat di belakang Ki Ageng Pandan
Alas dan Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri pun telah
memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan menunggu
kawan-kawan seperjuangannya.
Angin malam berdesir menggerakkan
daun-daun dan ujung batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang
saling bersahutan, menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan dengan
tenangnya. Sekali-sekali mendaki dan sekali-kali menurun.
“Kita belum melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya Endang Widuri.
“Mereka telah sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki Banyubiru” jawab Arya Salaka.
“Bukankah kita juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.
“Ya!” jawab Arya, “Dari balik bukit di hadapan kita itu kita akan dapat melihat dataran di hadapan bukit Telamaya dan Rawa Pening.”
Widuri tidak berkata-kata lagi. Ia
mengharap agar perjalanan itu lekas berakhir. Malam nanti ia dapat
beristirahat dengan tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya.
Ia akan dapat menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang
tanpa suatu kegelisahan apapun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling
Putih dan Uling Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya. Dengan getek
ia dapat bermain-main di Rawa itu, sambil mengail. Hatinya menjadi
berdebar-debar ketika rombongan itu sampai di punggung bukit. Sebentar
lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu yang memancar dari lubang-lubang
pintu. Atau obor-obor di simpang-simpang jalan yang gelap. Karena itu
tiba-tiba ia mempercepat jalan kudanya, kembali mendahului rombongan
itu.
Namun tiba-tiba ketika ia mencapai
punggung bukit itu, ia terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit
Telamaya, dilihatnya api menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti
beribu-ribu obor.
Melihat nyala api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Kebakaran!”
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 26
No comments:
Write comments