Gajah Alit tidak segera menjawab
pertanyaan Mahesa Jenar. Ditebarkannya pandangan matanya melingkari
ruangan itu. Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora berceritera. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang mengatakannya.”
“Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar.
Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan, sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa
yang dapat aku ceriterakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan
lewat Adi Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”
“Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit.
“Agaknya Adi Paningron lah yang paling tahu,” jawab Gajah Sora.
Gajah Sora menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berpikir, “Pasti, tak seorang pun mampu menangkapnya.”
Segera
orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan
langsung melangkah ke luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki Ageng
Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu.
Galunggung
yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil
meloncat. Pedangnya tepat mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri
kebingungan itu. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah
dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya
memiringkan tubuhnya. Dengan demikian, maka pedang Galunggung
menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri
dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan. Pada saat ia berusaha
memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman
mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret
kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba
terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah.
Demikianlah
maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan
Sawung Sariti adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga
jasmaniah mereka sedang berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh
yang selalu dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing. Arya Salaka
telah berkembang dalam lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung
Sariti menjadi perkasa karena ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu
yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau menjadi pasangan yang
mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.
Dalam pada itu terdengar Bugel Kaliki berkata, “Kalau
demikian, kaulah yang harus dibinasakan lebih dahulu. Sebab ajimu itu,
apabila kelak benar-benar dapat kau matangkan, maka kau akan menggulung
jagad. Tetapi sekarang, belum. Ternyata kau masih bergetar karena
dorongan tanganku. Kalau aku hantam sekuat tenagaku, meskipun kau
melambari dirimu dengan Lembu Sekilan, namun iga-igamu rontok seluruhnya.”
Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
“Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus berceritera. Tetapi aku tidak dapat berceritera seperti Adi Gajah Alit.”
“Ah…” desis Gajah Alit.
“Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan, “Kebetulan
aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda menganggap bahwa
Kakang Gajah Sora benar-benar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat
itu Kakang Gajah Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di
Rawa Pening, Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak
bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda
menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka itu menjadi semakin gigih.
Terutama Baginda mengharap ayah Kakang Gajah Sora dan
sahabat-sahabatnya berjuang mati-matian, dengan harapan untuk dapat
segera membebaskan Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang
ke arah yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan
jejak atas perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat
kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan. Mula-mula
kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya ketegangan
dalam pemerintahan rakyat Banyubiru seakan-akan kehilangan pegangan.
Kehilangan kiblat. Pada saat yang demikian itulah Baginda menganggap
Gajah Sora harus kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang
sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang
dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang umurnya untuk
persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang
demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-orang dari golongan hitam telah
memancing di air keruh. Dan inilah bahaya yang sebenarnya, yang akan
mengancam Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya
Gajah Sora akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora
Dipayana.
Yang mempercepat tindakan Baginda
adalah berita terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam
perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah
lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan menumpas
seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan
memadamkan sama sekali nyala api yang pernah dikobarkan oleh Ki Ageng
Sora Dipayana di atas tanah perdikan Pangrantunan.”
Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas
dalam-dalam, kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air
jahe yang hangat.
“Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar.
“Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan Pamingit.”
Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia
sudah memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang
seperti Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka
dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur-sayuran.
Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang kaya raya,
yang menjelajah kampung untuk mencari dagangan.
Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi
hubungan antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita
kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat berbuat
sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga. Untunglah
bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan laskar Pamingit itu di
Banyubiru dapat dihindarkan.”
“Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”
“Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran
itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng Sora
Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah
mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari
bencana kemusnahan.”
“Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau
pertempuran itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan
Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari
daerah yang berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa
Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme
Demikianlah kemudian pembicaraan mereka
berkisar dari satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan
Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat peristiwa itu?”
“Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi
orang-orang kami menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah mampu
bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu
kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang
Gajah Sora untuk menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu.”
Mahesa Jenar tersenyum.
Gajah Sora pun kemudian berceritera,
bagaimana mereka bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika
mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat. Namun
mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega hati. Yang terjadi
kemudian adalah pertempuran justru antara laskar Banyubiru bersama-sama
dengan laskar Pamingit melawan laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka
jumpai Banyubiru telah kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke
Pamingit. Namun pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang
petugas yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan
mendahului mereka.
“Nah, Adi Mahesa Jenar…” tanya Gajah Sora kemudian, “Bagaimana dengan Pasingsingan?”
Kemudian Mahesa Jenar lah yang berceritera. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan.
“Ceritera tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Lain
kali akan aku ceriterakan selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng
Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”
“Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum seorang pun yang tahu.”
Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam
saat-saat yang demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang
dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang.
Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah dipakainya.
Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk kuning keemasan dan
ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir
kuning. Sebilah keris berwarangka emas terselip di pinggangnya. Sedang
Paningron pun memakai pakaian kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah
Alit, tetapi ia tidak berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna
emas dengan permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron
terselip sebilah keris dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan, berkatalah Gajah Sora, “Adi
Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku ketahui, dan banyak yang ingin aku
dengarkan, tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu
menyampaikan sujud kepada Ayah, Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”
“Meskipun demikian…” Gajah Sora meneruskan, “Adi Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi Mahesa Jenar mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah itu?”
“Tidak begitu penting,” sahut Paningron.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia
menunggu persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah
tentang dirinya, atau yang lain?
Paningron memandang kepada Gajah Alit.
Belum lagi mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk.
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting, Kakang.”
MAHESA JENAR menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati.
Kemudian berkatalah Paningron, “Ada
dua masalah yang akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku
berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri
pun belum mengetahuinya.”
“Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar.
“Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah
Kakang Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah
bentuknya orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang
tahu pasti siapakah orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi
sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan. Orang itu berjubah abu-abu.”
“Adakah orang itu berhubungan dengan ceritera Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab, “Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah orang itu.”
Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu juga aku sampaikan.”
“Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
“Adakah orang lain di rumah ini?”
tanya Paningron. Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan
Endang Widuri tidak nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud
Mahesa Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.”
“Siapa?” sahut Paningron.
“Anakku” jawab Kebo Kanigara.
“O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.
“Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita percaya.”
“Sebelum ceriteraku sampai pada masalah yang kedua,” kata Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka itu.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
“Ini juga salah satu sebab yang
menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora
tidak menyimpan pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat, Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka itu.”
Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.
“Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora.
“Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah
abu-abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya,
apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang dibawanya.
Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem…” Gajah Sora berdesis.
“Tentu saja Kakang Arya Palindih
bertanya kepadanya, darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu
berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron meneruskan. “Tetapi
ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu
berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa Kakang Palindih mencoba
memaksanya. Tetapi orang itu luar biasa. Kakang Palindih tak mampu
melawannya. Dan kedua pusaka itu lenyap kembali.”
“Tetapi...” kata Paningron, “Bahwa
Kakang Gajah Sora terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi
yakin karenanya. Dan ini adalah salah satu sebab pula yang meyakinkan
Baginda.”
Paningron berhenti sejenak. Diteguknya wedang jahe di mangkuknya. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi kemudian orang itu muncul kembali.”
“Kapan?” bertanya Gajah Sora
“Dan inilah ceritera yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika
seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat tugas
untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-kalau orang baru
itu berbuat sesuatu.”
“Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.
“Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keperwiraannya. Ia
diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika Baginda hendak
bersembahyang. Anak muda itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat
meloncat mundur sambil berjongkok melampaui sendang di halaman masjid
itu.”
Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar
ceritera itu. Ia tahu bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang
dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya.
“Karena kecakapannya…” Paningron melanjutkan, “Dalam
waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok Wira
Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian
berbuat suatu kesalahan.”
“Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung Ngawuk” jawab Paningron.
“Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa soalnya?”
“Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang”
jawab Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia
hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang melihat
Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya, “Membunuh dengan sadak kinang.”
Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak
tahu kenapa mereka tertawa karenanya.
Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti
tertawa. Alisnya berkerut dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa
disengajanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan
Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!”
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa-apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh kembali.”
Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya, “Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?”
Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut.
Namun tanggapan mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena
sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya.
Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar terkejut
karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk dengan sadak kinang. Ia
mengurai lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda mengusirnya dari
istana.
Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan
kakang Kebo Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga
Jaka Tingkir adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo
Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?”
“Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.
Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.”
“Hem…” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia
tidak berkata sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo
Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat dingin.
“Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan
Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama yang baru
itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi Gajah Alit itu.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?”
“Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di Banyubiru” jawab Paningron.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi
ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di
Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.
“Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit.
Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga
terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka berusaha untuk
membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan.
Keluarga mereka yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan
anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu
saat, beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda
itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang
berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun mampu melawannya. Bahkan
orang berjubah itu berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali
yang Waskita berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”
Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka
sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali
yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang Wulungan
sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu.
Angin malam bertiup semakin kencang. Kini
udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah
hanyut disapa angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan
yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda
ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.
Namun meskipun mereka berbaring, tetapi
angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo Kanigara
membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman
istana. “Ah,” pikirnya, ”benar-benar anak nakal.
Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia
menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya”
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan
masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia
tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah
kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil
menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung
keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia masih belum menemuinya.
Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga
mata ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan
orang-orang lain ini.
Memang demikianlah pertanyaan tentang
isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu
untuk melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan
Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang
berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau
Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu? Apakah oleh Panembahan
Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai
sipat kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.”
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan
mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api
di pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak
buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora
telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana.
Sisa malam berjalan dengan tenangnya,
dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung
bukit. Mereka yang berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap
dibuai mimpi.
Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama.
Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala,
mereka telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka
bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan
diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya ke Pamingit dan kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng
Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit.
Rara Wilis dan Widuri pun terkejut
bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah
kembali dengan selamat.
Perjalanan di pagi yang segar itu terasa
sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu
mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka
mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun sebenarnya tidak
kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang
Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya.
Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan
lincahnya seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran.
Alangkah lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya, “Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya anak gadis seperti itu.”
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya
Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak
kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar,
kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis lebih
tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak
dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia
berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya, Arya
Salaka sudah akan mampu dibujur-lintangkan apabila ada mara bahaya
datang. Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia
dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra?
Tak banyak yang mereka percakapkan dalam
perjalanan itu. Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai,
tapi tak seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan
perasaan masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka
melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka
sampai di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain,
Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini.”
“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak sepi.”
Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk
ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu.
Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah
itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan
Wulungan memasuki rumah itu. Tidak lama kemudian mereka telah keluar
kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
“Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali.
“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah merampoknya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan rakyat Pamingit.”
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan
perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan
gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di
sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas rakyat Pamingit yang
mengungsi. Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari
kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
“Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
“Golek,” jawab Widuri. “Anak
yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia
didukung oleh ibunya berlari-lari, menghindarkan diri dari api
peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis kecil yang manis.”
Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis
Widuripun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain
meneteskan air mata. Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain
bergembira.
Golek kecil itupun diselipkan di ikat
pinggangnya. Kemudian dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung
kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu
menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari
golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak
sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir
seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka
tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi
mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke
Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat
ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg.
Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu yang
tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih
belum terurus. Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan
pemakaman sebagaimana seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan
itu menjadi lambat.
Ketika matahari telah jauh condong di
sisi barat dan cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu,
berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di
hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit.
Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian cepat. Dan dari
mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam, “Pamingit!”
Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu
menoleh kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan
matanya berkisar pada anaknya.
“Widuri.…” Ia memanggil.
Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya berkata, “Widuri, itulah Pamingit.”
Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan
di hati Widuri. Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat
pedukuhan di lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa
tidak berkepentingan sama sekali. Ia datang kemari karena ayahnya datang
kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang lain, apalagi
Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang yang
diperlukan untuk menempatkan kembali batas antara Banyubiru dan
Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, dan Ki Ageng
Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa
perlu untuk mengirimkan orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi
pertemuan itu.
Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun
diganggu oleh angan-angannya sendiri. Ia tidak tahu benar
persoalan-persoalan apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi
firasatnya mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan keris-keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa di dalam hati,
mudah-mudahan segera ia dapat menikmati cerahnya matahari. Tiba-tiba
tanpa disadarinya, Rara Wilis menghitung-hitung umurnya sendiri.
Gadis-gadis desanya yang sebaya dengan dirinya pada umumnya telah
mempunyai dua tiga orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi
berdebar-debar. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir
angan-angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini telah hampir memasuki pusat
pemerintahan. Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang
paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah penduduk
dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu. Namun meskipun
demikian daerah ini telah banyak penghuninya. Rumah-rumah yang masih
tegak telah dipenuhi oleh para pengungsi.
Sekarang Wulungan yang berkuda paling
depan. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya
hendak meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu
pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya terbentang
halaman bekas rumah kepala daerah perdikan Pamingit, di samping
alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak sebatang tiangpun yang masih
tegak, yang dapat mengangkat kemewahan rumah ini pada masa lampau.
Rombongan itu berhenti di regol halaman.
Mereka diam membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu
pemandangan yang mengerikan itu.
Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua
orang laskar Pamingit muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan
bergegas-gegas menemui mereka.
“Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan.
“Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua orang itu. “Marilah ikut kami.”
Kemudian, kedua orang itupun berjalan
bergegas-gegas ke arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh
rombongan mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung
memotong arah.
Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.
“Itulah banjar desa yang masih separo tegak,”
kata orang yang menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan
menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar desa itu,
dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki halaman banjar desa.
Ketika mereka yang ada di dalam banjar
desa itu mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun
menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang
tua yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di
dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?“
“Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab Wulungan.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab
segera Ki Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung
meloncat sujud di kaki ayahnya.
“Kau…” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat.
“Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.
“Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang bahagia itu.
“Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora.
Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Dalam keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang
asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu
agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng Sora
Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”
Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah
turun dari kudanya seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama.
Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan
alisnya. Timbullah seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya
Gajah Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun pertanyaan
yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian dilakukan oleh orang tua itu
adalah mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar desa yang telah
tidak utuh lagi itu.
———-oOo———-
II
Maka duduklah mereka berdesak-desakan di
dalam ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang
Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka.
Rara Wilis sejak kedatangannya,
sebenarnya ingin melihat, apakah kakeknya benar-benar berada di
Pamingit, namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka.
Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng Sora Dipayana, “Ruangan
ini kami pergunakan untuk sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah
dimakan api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran. Kami
menempati pondok-pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada
sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara,
bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru telah kami panggil.”
Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora
Dipayana itu ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa
jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut
dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang
Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang Papat
dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang
mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan
Arya Salaka telah datang pula Ki Ageng Gajah Sora.
Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada
keadaan. Ia tidak bisa mempersilahkan mereka masuk karena ruangan yang
sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu.
Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya
seperti sedang bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora
benar-benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar,
berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk menyambut salam
kepala daerah perdikan mereka yang mereka kasihi. Mereka menyambut
tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolah-olah tidak mau
melepaskannya lagi.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan anak buahnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara para
pemimpin laskar Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama
berkicau, berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan
dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora
menjawab, “Ceriteraku akan panjang sekali. Besok sajalah aku
ceriterakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian sekarang, bahwa aku
telah tiba kembali dengan selamat di hadapan kalian, tanpa cacat dan
tanpa cidera. Aku datang seperti saat aku pergi.”
Beberapa orang Banyubiru itu belum puas
mendengar jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin
mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi.
Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.”
“Ah,” terdengar mereka bergumam.
Tetapi akhirnya mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan
dapat berceritera dalam keadaan yang sedemikian.
“Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.”
Kemudian orang-orang Banyubiru itupun
meninggalkan pintu itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah
pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan
ceritera mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka
mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang sekiranya telah
terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka.
Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri
di muka pintu. Ia melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di
dalam ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng
Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis mengalir
dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh
selapis mendung.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora. “Kalau
terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-pondok yang
kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga beserta anaknya.”
Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora
terhenti, ketika dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi
banjar itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir
seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak
ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya.
Gajah Sora mengangkat dahinya.
Terbayanglah apa yang selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan
yang baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran
apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang datang
dengan ragu-ragu itu adalah adiknya.
Adiknya, yang dengan sengaja pernah
menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa
adiknya itu bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa
yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.
Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang
sekali ketika langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa
langkah di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir
serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan Banyubiru yang
melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang
akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Suara di dalam banjar desa yang tinggal
separo itu masih riuh. Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang
mengalir, diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada suara
orang-orang lain. Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak
anak-anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar
dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya
kadang-kadang saja terdengar tertawanya menyentak, sedang Arya Salaka
dan Rara Wilis tampak hanya tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh.
Apalagi ketika sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora
selama di Demak.
Widuri yang duduk bertentangan dengan
lubang pintu, tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya
kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar
ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana
Senapati Demak yang bulat pendek itu tertawa.
Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi
bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan
kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri,
ia melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora, juga
sepasang kaki yang renggang.
Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil berbisik, “Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?”
Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat
melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya
seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora.
Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua
melihat perubahan wajah Widuri dan Kebo Kanigara. Dengan cemas Ki Ageng
Sora Dipayana bertanya, “Ada apa Anakmas?”
“Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo Kanigara.
“Lembu Sora…” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang sudah lama kau tunggu.”
Kata-kata orang tua itu benar-benar
berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama sekali tak
bermaksud apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam
pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan
ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya
gemetar, dan dengan serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk
kaki saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta maaf.
Lembu Sora segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan
tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil
berteriak, “Cari Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar
desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti
sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah
kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang
memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di
muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-raguannya itu, dan
karena kesadaran diri akan kesalahannya yang bertimbun-timbun, ia
beberapa kali terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah
lagi, ia sudah tidak dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan
tiba-tiba ia melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun
menarik kakinya merenggang.
Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan
bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang
untuk minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya
atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul hancur
kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali
lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan
dirinya sendiri. Dengan langkah yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah
Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang
dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan
punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir
lambat, “Kakang Gajah Sora….”
Gajah Sora masih berdiri tegang. Di
belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa orang
berdesak-desakan. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit.
Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah
baginya untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya.
Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan
di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya
selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi
pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan kebenaran.
Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”
Gajah Sora menahan nafasnya.
Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong,
disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak
saja menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan
dibasahinya tangan itu dengan air mata.
Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya
yang serasa menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam
dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini
perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.
Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki
yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi
awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata
subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti
kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata sambil
menggenggam tangan kakaknya.
Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah
hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa
mereka sering bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau
Gajah Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu,
kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-kadang Gajah
Sora yang belum puas menikmati permainannya pun menjadi marah dan
berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi Lembu Sora mempertahankan
dengan tangisnya. Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati
Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali.
Seperti saat ini. Pada saat-saat yang
demikian itulah letak kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki
sejak masa kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah
bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan.
Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata, “Kakang,
aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku ingin untuk ikut
menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari
perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah bekas tanah perdikan
Pangrantunan seutuhnya,” seandainya demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri. Pastilah dengan gemetar ia berkata, ”Terserahlah Lembu Sora.” Tetapi,
tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak
pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.” Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu.”
Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah
demikian. Lembu Sora tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru,
dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya
sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya
daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan. Betapa pedih hati
Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa,
mendengar pekik tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk
memperpanjang hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah
yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret ke
jalan-jalan.
Tetapi peperangan itu sendiri serasa
menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang
kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah
yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang
ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang
lain, selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang!
Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan.
Tidak saja negara-negara besar di
Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang
besar, seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan
bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut
dan pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik,
Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu
diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah
mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban api peperangan.
Dan peperangan yang paling terkutuk, yang
selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di
Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan
Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang
saudara. Pemberontakan Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari
kemunduran Majapahit.
Karena itulah, didasari pada kesadaran
yang demikian, setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu
Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang
demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit
dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam
jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-lahan. “Masuklah Lembu Sora.”
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia mengangguk dan melangkah ke pintu.
Yang berada di pintu pun telah duduk
kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan
Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian
Gajah Sora dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya
adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora
ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam
ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap
sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya,
bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak,
lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah
menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi
sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima
kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak
dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia
mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan
di atas firman-Nya.
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar
halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki
Ageng Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah
karena marah.
Seorang berperawakan kokoh dengan
jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang
itu adalah Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan
Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?” Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya, “Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya, “Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.
“Laskarnya,” sahut Galunggung, “apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali
ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok
keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman
Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka
dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan Banyubiru akan jatuh di
tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia
telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas
Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan
demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?” tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?”
Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak
seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti.
Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana
mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan berdiri menyaksikan apa
yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap
ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan
telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan
tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan
apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena peristiwa pencegatan lima
tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu
dilakukan oleh golongan hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun
dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke
halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan
suara yang berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
“Siapakah yang berada di dalam?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang
memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah datang,
bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis.
Adakah Rara Wilis bersamanya?”
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas,
kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis.
Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka
salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,” katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.”
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas
muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia
tertegun, ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua
orang prajurit dalam pakaiannya.
“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya ….” suaranya terputus, lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora.
Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Terimakasih, Paman.”
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya. Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas,
ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas.
Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan
pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama
terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang
menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari
tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena
itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada
hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara
tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora tentang
pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas
dan Titis Anganten tentang lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun
agaknya malam telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing
dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-pencar.
Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah
Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru
benar-benar menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui
mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka,
yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga
mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa. Jaladri
pernah melihat Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam
pertempuran besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun
pernah dilihatnya. Ia sama sekali tidak menyangkal ceritera itu. Bukan
sekadar ceritera yang berlebih-lebihan, namun ceritera itu benar-benar
terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda yang
bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.
Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama
dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka
telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun
tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah
berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu
kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu
bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah adalah tempat untuk
beristirahat kedua prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Ketika Arya Salaka sedang merenungi
titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya
seseorang lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti
perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada
Arya Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri
mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah sesuatu, Eyang Titis Anganten?”
“Aku ingin mengatakan kepadamu dalam
pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira
itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga
Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.
Cepat hati Arya bergeser ke ibunya.
Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya
selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit
yang tercecer.
“Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu.”
“Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten, “Eyangmu
sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia segan untuk dengan
tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja
sampai aku datang membawanya kembali.”
Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya melupakan ibunya.
“Sekarang…” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang tanpa disangka-sangka.”
“Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu sekarang?”
“Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan, jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”
“Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.”
“Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapadan,” jawab Titis Anganten.
“Sarapadan,” ulang Arya.
“Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku
memang menyangka desa itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata
memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu sama sekali tak
tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang
dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang
dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu
datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.
“Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.
Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”
Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu
berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang
mengganggunya apabila ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia
tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
“Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku
kira Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku
kira ia pun mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”
Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula, “Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya.
Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu. Dengan
demikian ia akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu
tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia
agak segan-segan.
“Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.
“Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur.
Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?”
Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
“Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
“Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya.
Kalau ayah datang nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya.
Bukankah Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu
datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat menggembirakan hati ayahnya
itu.
Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan hati Ayah.”
“Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Eyang Titis Anganten bersedia
mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang
menyuruhku mengajak Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar bangkit dan duduk di
bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula
perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam
diri.
“Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku,” kata Arya Salaka.
“Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.
“Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.”
“Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi
berhati-hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa
siapapun. Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat.
Juga tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat
menunjukkan letak desa itu.”
“Baiklah Paman,” sahut Arya.
Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia
bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh.
Jalur jalannya pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia
akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada
siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga
gardu.
———-oOo———-
III
Maka segera Arya pun berangkat. Malam
menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala
penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara
anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan terdengar
suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti.
Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan.
Namun segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya
yang setia, Galunggung.
“Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.
“Ya, Adi,” jawab Arya.
“Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya Sawung Sariti pula.
Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia
berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta.
Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan
bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia tidak
menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus
terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”
“Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti pula.
“Ya,” jawab Arya pula.
“Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.
Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan
sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian
terdengar ia berkata, “Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga
berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang
tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya
itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu
hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun
cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka
Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam
bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika kayu.
Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
”Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu”
pikirnya. Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas
kecurigaannya itu. Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya,
melenggang dalam dingin malam.
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia dengan serta merta, ”Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan?”
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran, ”Ya inilah jalan itu. Kenapa?”
Arya mengamat-amati keadaan
sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat
sepasang pohon siwalan. Katanya, ”bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu?”
”Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.
”Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.
“Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang
hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa
Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak
mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi,
eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan
dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang
Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak saja?”
“Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal Sarapadan?
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”
Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis Anganten pada saat itu.”
“Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti.
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat
ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu.
Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-benar seorang perantau yang baik. Sedangkan
apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke
Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan
kepadanya, bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat
mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat menemukan
jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya
beribu-ribu kali lipat.”
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa
sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan
terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan
itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk menempuh
jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang Arya, kau lewat
jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun
barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan yang akan kau
tempuh itu agak terlalu jauh.”
“Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti?”
“Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.
“Baik. Kalau demikian biarlah kita
berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya
kita bisa pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
“Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu.”
Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti, “Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh.
Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi.
Sawung Sariti telah pergi meninggalkannya. Galunggung berjalan di
belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua
orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia
melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus
berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke
kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit. Ia dapat menempuh
dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun
kedua jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar
di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu
jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun akan sampai ke Sarapadan.”
Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat
hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung
Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti telah membawanya
lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala
sesuatu akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat
mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan berdinding runcing
seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi.
Untunglah, Tuhan telah membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan
sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak
habis-habisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu,
hatinya yang kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia
telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian
bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang
terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam jurang, atau
dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya
memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain.
Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa
Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam. Dengan
demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti
bahwa Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan
hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung Sariti.
“Ya,” jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung Sariti meneruskan.
”Belum pasti” jawab Galunggung, ”anak itu lebih senang berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul-tanggul”
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya
benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di
dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak
sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang
bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir.
Ia mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai
Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat
yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan
didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang.
Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung, “Angger
Sawung Sariti. Kita masih mempunyai kesempatan. Kita dapat menempuh
jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban
Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian
menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun
meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya tak
dapat melihatnya.
Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua
orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas
pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya
Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka
ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari
jalan yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat
diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah mereka
berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang-batang jagung sambil
membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di
bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka
memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan
dapat mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang
sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil
menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa
sudut bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan cermatnya
ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan
manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit
baginya. Sehingga ia pun tidak usah cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di
simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya
parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan
kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit.
Arya kemudian berhenti sejenak.
Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu. Mengalir dengan
tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu
sambil memperhatikan airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah
sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya
di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia
harus sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian juga
Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan bertempur Galunggung
jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan menyerangnya
secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka
mengharap, bahwa mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua.
Dengan demikian, Sawung Sariti dan
Galunggung dengan tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon
Nyamplung yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di
atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan kemudian
terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang
mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan
Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan
lambat sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan.
Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat menjadi
semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di
samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan
muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu, pasti akan muncul dari tanggul
di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan
terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di
hadapan mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya di dalam
parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan
percikan airnya.
Tetapi, akhirnya dari balik tikungan
itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam
keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan
kecil di muka pohon nyamplung itu.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi
bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan
sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus
melakukan tugas-tugas mereka yang berat.
Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu
menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia
menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung
Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang.
Semakin dekat bayangan itu, semakin
gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa
bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang
itu juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa
Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi
semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain.
Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah
yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu orangnya, Angger.”
“Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang sama sekali ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri.
Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah
orang itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah
Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah,
ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan
ada yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu
duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil
memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya, “Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat.
Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu
muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa
tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya?
Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih
mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah.
Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ,
maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun
harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya Sawung
Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang.
Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan garangnya, sambil mengacungkan
pedangnya kedada orang itu. “Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.
Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
“Jangan ke sana,” bentak Sawung
Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan
akan memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,” jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung.
Galunggung akhirnya tidak sabar sama
sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga.
Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.”
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak
Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian
waktu mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran
Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini.
Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus
disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi
membentaknya, “Pergi, cepat!”
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia
masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu
maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya
dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.”
Sawung Sariti melihat peristiwa itu
dengan mata yang terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu
terjerembab. Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun
cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu.
Tetapi sekali lagi Sawung Sariti
terkejut, pedangnya pun sama sekali tak menyentuh orang itu. Dengan
demikian Sawung Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah
sekadar seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang belum
tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya membebaskan diri,
baik dari tikaman pedang Galunggung maupun dari tusukan pedangnya
sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa orang itu sebenarnya orang yang
berilmu.
Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi
bertambah gelisah dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka
belum berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.
Ternyatalah kemudian, ketika Sawung
Sariti mengulangi serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar
dan meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian berusaha untuk membunuh aku.”
Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”
“Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku
hanya sekadar memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di
bawah pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.
“Omong kosong!” bentak Sawung
Sariti, sementara itu pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu
keturunan Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi
Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga pedangnya
seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga
untuk menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat
dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya sama sekali tak memiliki berat. Ia
meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar, kemudian mirip
dengan seorang yang sedang bermain-main berputar di udara. Ia selalu
menghindari saja setiap serangan yang datang.
Dalam pada itu Galunggung pun telah
bangun kembali. Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa
kali ia mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang
terlempar jauh.
“Setan!” geramnya. Tetapi ia pun
terbelalak ketika ia melihat orang yang akan dibunuhnya itu bertempur
melawan Sawung Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang
itu dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan agaknya
Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membunuhnya.
Karena itu, maka timbullah maksud
Galunggung untuk membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati
pertempuran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung
seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat lawannya itu
seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di padang rumput yang
hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan sekali-kali orang itu berkata
nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa salahku?”
“Persetan!” teriak Sawung
Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya Salaka akan dapat mendengar teriakannya
itu. Bahkan pedangnya menjadi semakin cepat berputar.
Galunggung kemudian tak mau membiarkan
pertempuran itu berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan
mereka di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu,
sekuat-kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya
Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.
Dengan garangnya Galunggung meloncat
sambil menggeram. Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang
menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya. Tiba-tiba
terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai pelipisnya. Demikian
dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan bintang-bintang yang melekat di
langit rontok bersama-sama menimpa dirinya. Sekali lagi Galunggung
terlempar ke sawah. Kini ia jatuh terlentang. Namun, tiba-tiba dadanya
berdesir ketika terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di tangannya
lagi.
Dengan susah payah ia mencoba menguasai
dirinya. Perlahan-lahan Galunggung mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi
jantungnya berdentang keras ketika dilihatnya, pedangnya sudah berada di
tangan lawan Sawung Sariti itu. Dengan demikian, kini ia menyaksikan
sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi. Masing-masing bergerak dengan
tangkas dan tangguhnya. Namun akhirnya terasa bahwa lawan Sarung Sariti
itu memiliki kekuatan dan kecepatan melampaui Sawung Sariti sendiri.
Dengan demikian, beberapa saat kemudian, Sawung Sariti sudah harus
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah langkah.
Sebelum melawan Arya Salaka, sudah harus ditemuinya lawan yang tangguh
dan bahkan memiliki tata gerak yang melampauinya.
Dalam kesibukan angan-angannya, tiba-tiba
bagai seleret pedang Sawung Sariti melihat bayangan yang muncul dari
tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam sekejap, segera
Sawung Sariti dapat mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya Salaka.
Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena kegelisahan dan
kecemasan bercampur baur dengan kemarahan yang meluap-luap. Namun Sawung
Sariti adalah anak muda yang licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam
hatinya, ketika terpikir olehnya, “Baiklah Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan kita dapat kita selesaikan besok atau lusa.”
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Arya
Salaka. Mula-mula ia berjalan saja seenaknya sambil menikmati sejuknya
angin malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya di bawah
pohon nyamplung, dua orang yang sedang bertempur mati-matian. Apalagi
keduanya telah memegang pedang ditangan. Karena itu Arya menjadi
tertegun sejenak. Siapakah mereka yang bertempur itu? Dengan hati-hati
ia melangkah mendekati. Tanpa disengaja tangannya meraba-raba
lambungnya. Dan terasa sebuah benda tersentuh tangannya, Arya menjadi
tenang. Sebab ia tidak tahu, siapakah yang bertempur dengan senjata itu.
Kalau perlu ia harus melibatkan diri, di lambungnya terselip Kyai
Suluh. Pusaka Pasingsingan yang ngedab-edabi.
Dengan demikian Arya melangkah semakin
dekat. Dan alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua orang yang
bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Adi Sawung Sariti, apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal, berhentilah.”
Sawung Sariti tidak mendengar teriakan
Arya Salaka. Ia bertempur terus, bahkan ia mengharap Arya membantunya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya dan nama
Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi bimbang. Apakah Arya Salaka telah
mengenal lawannya itu.
———-oOo———-
IV
Karang Tunggal pun segera meloncat mundur
beberapa langkah untuk membebaskan dirinya dari libatan serangan Sawung
Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata nyaring, “Selamat datang Adi Arya Salaka.”
Akhirnya Sawung Sariti pun terpaksa
berhenti bertempur. Dadanya berdegup ketika ternyata Arya benar-benar
telah mengenal lawannya itu.
Maka ia pun bertanya, “Apakah Kakang Arya telah mengenal orang ini?”
“Ya,” jawab Arya Salaka, “Ia adalah Kakang Karang Tunggal.”
“Hem!” geram Sawung Sariti.
Pikirannya menjadi berputar-putar dilibat oleh berbagai pertanyaan.
Kalau orang ini telah mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya
dengan kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?
“Kakang Karang Tunggal, apakah yang terjadi sehingga Kakang bertempur melawan adi Sawung Sariti?”
“Bertanyalah kepada adikmu,” jawab Karang Tunggal.
Arya mengalihkan pandangannya kepada
Sawung Sariti. Matanya menyorotkan pertanyaan yang bergolak di hatinya.
Untuk beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia agak bingung,
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga terpaksa
terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya, “Kenapa Adi Sawung Sariti bertempur dengan kakang Karang Tunggal?”
“Aku belum mengenalnya,” desis Sawung Sariti.
“Apalagi Adi belum mengenalnya,” desak Arya Salaka.
“Aku tidak tahu apa sebabnya,” jawab Sawung Sariti, “Tiba-tiba saja aku telah bertempur dengan orang itu.”
Arya mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa perlahan-lahan. “Aneh,” desisnya. “Aku juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau sebut Sawung Sariti itu.”
Wajah Sawung Sariti menjadi merah
mendengar sindiran itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, terdengar
Karang Tunggal meneruskan, “Aku merasa bahwa aku telah diserangnya.”
“Kau mengganggu aku,” bantah Sawung Sariti.
“Menyentuhpun aku tidak,” sangkal Karang Tunggal.
Arya menjadi bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya belum berkata sebenarnya.
“Suatu kesalahpahaman,” desis Arya. “Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian masing-masing.”
“Bukan kesalahpahaman,” jawab Karang Tunggal, “Tetapi adi Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.”
“Bukan tanpa sebab,” sahut Sawung Sariti yang mulai merah kembali, “Kau mengganggu aku.”
“Apamu yang aku ganggu?” tanya Karang Tunggal.
Sawung Sariti terdiam. Sudah tentu ia
tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Namun
keringat dinginnya mengalir semakin deras ketika Karang Tunggal berkata,
“Aku hanya datang kemari dan duduk di bawah pohon nyamplung ini. Apa salahku?”
Sawung sariti masih belum dapat menjawab. Namun terdengar giginya gemeretak.
Yang terdengar adalah kata-kata Karang Tunggal, “Dan kenapa aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan ke jurusan yang kau tentukan?”
Sawung Sariti menggeram. Namun ia belum menemukan jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal berkata terus, “Apakah dengan demikian aku mengganggumu? Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini dengan pedang terhunus?”
Dada Sawung Sariti semakin
berdebar-debar. Sedang Arya mengangkat alisnya. Apakah benar yang
dikatakan oleh Karang Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang
dengan pedang terhunus? Kalau demikian siapakah yang ditunggunya?
Pertanyaan itu tiba-tiba datang mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras, “Jangan mengigau!”
“Aku berkata sebenarnya,” sahut
Karang Tunggal. Tiba-tiba kembali Arya diganggu oleh angan-angan yang
tak menyenangkan hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti sebenarnya? Dan
kenapa tiba-tiba saja anak itu telah mendahuluinya? Karena itu tiba-tiba
terloncat dari mulut Arya, “Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Sudah aku katakan,” sahut Karang Tunggal, “Anak muda itu menunggu seseorang dengan pedang terhunus.”
“Apa pedulimu?” tukas Sawung Sariti, “Daerah
ini adalah daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan hitam
setiap saat berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di bawah
pohon ini dengan pedang terhunus?”
Tiba-tiba Karang Tunggal tertawa. Tertawa
seorang pemuda yang berdarah jantan, namun darah itu masih belum
mengendap di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah mengetahui apa yang
akan dikerjakan oleh Sawung Sariti. Mula-mula ketika ia melihat Arya
Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan bersama-sama
dengan adik sepupunya, namun maksudnya diurungkan, ketika dilihatnya
Arya berpisah dengan Sawung Sariti. Bahkan timbullah kecurigaannya
kepada adik sepupu Arya. Dengan demikian ia mengikutinya dan
mendengarkan semua percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah
sengaja ia mendahului Arya dan duduk di bawah pohon nyamplung itu. Ia
tahu benar bahwa dengan demikian Sawung Sariti akan marah kepadanya.
Tetapi tidak mengapa. Sebab dengan
demikian ia sudah berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia
sendiri tidak yakin, apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan
dapat dikalahkan, namun hal yang demikian itu benar-benar berbahaya.
Terbawa oleh sifat-sifatnya yang aneh,
yang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala di dalam dadanya, Karang
Tunggal yang juga bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir
itu memandang kehidupan sebagai suatu kancah perjuangan. Namun
kejantanannya menuntut setiap perjuangan harus dilakukan dengan adil dan
jujur.
Karena itulah maka ia menjadi muak
melihat cara Sawung Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia pernah mendengar
dari Ki Lemah Telasih, apa yang sebenarnya terjadi di Banyubiru.
Pergolakan antarkeluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan untuk
mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat mengatakan, bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah rentetan dari peristiwa-peristiwa itu.
Dengan demikian, akhirnya ia berkata di antara suara tertawanya yang berderai, “Hai
anak-anak muda. Kenapa kalian menyembunyikan tangan kalian di balik
punggung. Kenapa kalian tidak berani mengangkat dada, berkata dengan
lantang? Ayo kita pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk
bathuk, sanyari bumi. Mukti atau mati.”
Darah Sawung Sariti menjadi mendidih di
dalam dadanya. Ia kini hampir tak dapat mengelak lagi. Agaknya Karang
Tunggal telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia menggigit bibirnya,
sedang tangannya memegang pedangnya semakin erat. Di dalam hati ia
berkata, “Apa boleh buat. Kalau aku harus berhadapan dengan Arya Salaka. Aku laki-laki juga seperti dia.”
Arya Salaka masih berdiri tegak di
tempatnya. Ia dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Karang Tunggal.
Dan kini ia tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung Sariti.
Karena itu dadanya pun berdesir cepat.
Di tempat itu, di bawah pohon nyamplung
yang rimbun, berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah panas.
Anak-anak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri. Mereka masih
mengukur harga diri dengan sifat-sifat kepahlawanan yang sempit. Dalam
kesempitan perasaan, mereka menilai diri masing-masing dengan keberanian
mereka melihat darah.
Demikianlah maka terjadilah ketegangan
yang memuncak. Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri
demi kehormatan nama mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka tidak sadar,
bahwa di dunia ini ada cara lain yang jauh lebih baik daripada cara
yang mereka tempuh. Dalam keadaan yang demikian, mereka melupakan bahwa
ayah-ayah mereka akan dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang
baik, dengan laki-laki sejati, tanpa setetes darah pun yang tertumpah.
Seandainya, pada saat itu hadir seorang
dari ayah-ayah mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka
keadaannya pasti akan berbeda. Namun yang terjadi adalah, tak seorang
pun dari mereka yang hadir. Tak seorang pun yang dapat memberi
peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua diantara mereka adalah
Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal adalah seorang anak muda yang
sifat-sifatnya yang aneh.
Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi
membiarkan hatinya bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan
lantangnya ia berkata kepada Karang Tunggal, “Hai anak perkasa, apa maksudmu sekarang?”
“Tidak apa-apa,” jawab Karang Tunggal, “Aku hanya ingin melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan sembunyi-sembunyi dan curang.”
“Persetan dengan ocehanmu!” bentak Sawung Sariti, “Kau kira aku tidak berani berhadapan seperti laki-laki?”
“Nah, itulah kata-kata jantan,” sahut Karang Tunggal, “Apa katamu Adi Arya Salaka?”
Mulut Arya Salaka tiba-tiba seperti
terkunci. Ia sama sekali tidak mengharapkan hal yang demikian itu
terjadi. Tetapi ia pun tidak mau, apabila kelak ia benar-benar menjadi
korban tusukan dari belakang. Dalam saat yang pendek itu pun segera ia
dapat menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya itu.
Menyingkirkan dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan Banyubiru
sekaligus.
Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung Sariti, “Kakang
Arya Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku tidak tedheng aling-aling. Aku
ingin kemukten atas tanah Banyubiru sekaligus selain tanah Pamingit.”
“Hem!” Hanya itulah yang
terdengar dari mulut Arya Salaka. Apabila selama ini, ia sudah berusaha
melupakan segenap peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal adik
sepupunya itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali. Peristiwa demi
peristiwa. Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah
sendiri, kemudian setelah ia menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar.
Apabila seorang yang bernama Sarayuda tidak menolongnya, maka ia pun
kini tidak akan dapat melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit.
Juga dikenangnya apa yang terjadi di Gedangan. Kenangannya itulah yang
perlahan-lahan membakar dirinya. Dan kini, adiknya itu berdiri di
hadapannya dengan pedang terhunus.
“Jawab permintaanku,” sambung Sawung Sariti, “Banyubiru, Pamingit dan nyawamu.”
“Adi Sawung Sariti,” jawab Arya dengan gemetar, “Jangan memaksa aku membela diri.”
“Aku sebagai saksi!” Tiba-tiba Karebet berteriak, “Siapa
pun yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari dendam yang
menimpa dari kalian terbunuh, adalah nasib malang yang menimpa diri. Aku
tidak akan membuka mulutku kepada siapa pun. Tetapi kematian adalah
bukan tujuan kalian terbunuh. Karena itu hindarkanlah. Namun kalian
harus berjanji, bahwa kalian akan menerima keputusan yang kalian buat
bersama.”
Suasana di bawah pohon nyamplung itu
menjadi bertambah tegang. Dada ketiga anak muda itu bergetar cepat
karena darah mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung masih
terkapar di tanah liat yang becek, di antara tanaman-tanaman jagung
muda. Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia berusaha
untuk dapat duduk dengan tegak. Dalam keadaan itu, hatinyapun bertambah
tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata, “Pertemuan
yang demikian adalah jauh lebih baik daripada dendam yang membara di
hati kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa aku adalah saksi.
Dan kalian tidak akan mendendam di hati. Dengan demikian, setelah
pertemuan ini selesai, selesailah urusan kalian. Laki-laki sejati tidak
akan menelan ludahnya kembali.”
Darah Sawung Sariti kini benar-benar
telah mendidih. Sedang Arya Salaka dapat memaklumi maksud Karang
Tunggal. Anak muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam yang
berlarut-larut. Namun cara penyelesaian ini pun sangat tidak
menyenangkan hatinya. Yang sudah bulat hatinya adalah Sawung Sariti.
Hidup atau matinya telah dipertaruhkan untuk mencapai maksudnya.
Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora membakar kepalanya, terdengarlah ia berteriak, “Kakang
Arya Salaka. Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan
berusaha membunuhmu. Itu adalah ketetapan hatiku. Dan aku telah
menantimu di sini.”
Arya tidak sempat menjawab ketika ia
melihat Sawung Sariti meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah saja
dimukanya dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak
naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut pusaka
Kyai Suluh. Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal
berkata, “Biarlah perkelahian ini menjadi adil. Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang pedang.”
Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih
berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang. Namun sepintas lalu,
berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa
yang dimiliki oleh Arya Salaka dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri
Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih berbahaya daripada pedang.
Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat
itu. Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan
senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya untuk
mencegah terbenturnya kedua ilmu itu. Sedang pertempuran dengan pedang
antara dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya
tidak akan sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia
akan dapat mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya
telah terluka dan meneteskan darah.
Karena itu, segera ia berkata, “Adi Arya, pakailah pedang ini.”
Karang Tunggal tidak menunggu jawaban.
Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka.
Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya menerima
pedang itu dengan hati yang kosong.
“Nah, di tangan kalian telah tergenggam
pedang,” kata Karang Tunggal, “Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi
setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan
jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”
Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata
Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya.
Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu
lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk dada
kakak sepupunya. Namun Arya Salaka telah membayangkan bahwa hal yang
demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia menghindar. Pedang
Galunggung di tangannya itupun segara bergerak menyambar seperti elang
di udara. Sawung Sariti segara meloncat ke samping. Matanya telah
menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali
ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin
ribut.
Karang Tunggal menyaksikan pertempuran
itu dengan seksama. Ia melihat betapa keduanya sambar-menyambar dengan
tangkasnya seperti sepasang burung rajawali yang bertempur di udara.
Namun sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau yang
garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor banteng yang kokoh
kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan. Tetapi Karang
Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan
ketangkasan pada kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa
keduanya telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur
dengan tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja
akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau ilmu itu
tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti akan hancur lumat
bagian dalam tubuhnya.
Pedang di tangan Sawung Sariti berputar
dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan.
Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata pedang yang
menusuk dari ribuan arah. Namun Arya Salaka adalah murid dari perguruan
Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya
pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari
tubuhnya. Tak seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang
lawannya.
Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu
mengurung dirinya dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun
sekali-kali serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu
sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan hati lawannya.
Demikianlah mereka tenggelam semakin
dalam, dalam pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah
mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan
berputar-putar dalam satu daerah yang dilindungi oleh rimbunnya pohon
nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi
pokok pohon nyamplung yang besar itu. Pedang mereka berkilat-kilat
seperti tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua
senjata itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.
Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga
ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan
ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang dapat
menghentikan denyut jatung.
Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka
ternyata melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun
disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di
hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan, telah menjadikan tubuh
Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah
mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang merah kehitam-hitaman terbakar
matahari setiap hari itu seolah-olah menjadi lapisan tembaga yang
melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang menyentuhnya.
Karena itulah maka akhirnya kesegaran
tubuh Arya Salaka telah ikut serta menentukan pertempuran itu.
Benturan-benturan yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa
keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.
Demikianlah pada suatu ketika, Sawung
Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan
pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak
selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada saat
yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka
terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia
memutar tubuhnya setengah lingkaran pula dalam arah yang sama, sedang
ia mengangkat pedangnya, berusaha untuk menangkis serangan lawannya.
Sebagian Sawung Sariti berhasil. Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke
samping. Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar tidaklah
sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan demikian, pedang Arya
masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah menyobek kulit
Sawung Sariti. Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna merah
segar. Darah.
Sawung Sariti terkejut, ketika terasa
sebuah goresan menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa
disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang hangat terasa
di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak.
Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata, “Keputusan telah jatuh. Darah telah menetes dari luka.”
Sawung Sariti memandang Karang Tunggal
dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya.
Katanya tidak kalah lantangnya, “Apa maksudmu?”
“Perjanjian kita mengatakan,
keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes, pertempuran
berakhir, dan selesailah persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.
“Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.
“Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.
Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak.
“Tidak ada pertaruhan apa-apa!” Tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri. “Marilah kita lupakan persoalan kita.”
Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.
“Bagus,” katanya, “Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang terpisah.”
Bagi Sawung Sariti semuanya itu
seakan-akan merupakan ejekan atas kekalahannya. Didorong oleh harga diri
dan dilambari oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung Sariti telah
lupa pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang
bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan sifat
kepribadian yang sejak lama mencekam tata kehidupan daerah ini. Ia sudah
tidak memperdulikan lagi segala galanya. Dengan suara nyaring ia
berkata “Laki laki tidak mengenal darah yang menetes dari luka. Ayo kakang Arya Salaka, bersiaplah. Kita bertempur antara hidup dan mati.”
Dada Arya bergetar mendengar tantangan
ini, ia tidak menghendaki hal demikian terjadi. Namun terasa pula bahwa
dendam yang membara didada adiknya itu tak akan padam. Karena itu ia
menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia menyesal mengapa tidak
mengajak gurunya atau ayahnya menjemput ibunya. Kalau demikian
keadaannya mungkin berbeda. Tetapi didalam hatinya melontarlah kata-kata
“kalau Sawung Sariti tidak melakukannya sekarang, maka akan akan
datanglah saatnya pertentangan yang memuncak. bara api yang tersimpan
didalam dada anak itu bagai bara api yang tersembunyi didalam sekam.
Setiap saat akan berkobar membakar dirinya.”
Dalam pada itu Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung Sariti ternyata tidak berjiwa besar. Karena itu akhirnya ia berkata “kenapa kau mengingkari janji ?”.
“Aku tidak pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan atau tidak, aku akan bunuh kakang Arya Salaka,” jawab anak muda yang mata gelap itu.
Suasana dibawah pohon nyamplung kini
benar benar dicekam oleh ketegangan yang memuncak. Gemersik daun daunnya
yang rimbun terdengar seperti lagu maut yang membelai hati ketiga
anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya.
Arya Salaka masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang harus dilakukan?
Tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh dimulai hujan. “Jangan tegak seperti patung. Aku ulangi, melawan atau tidak, aku akan membunuhmu. Bersiaplah. Aku akan mulai.”
“Tunggu dulu,” sahut Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti sudah tidak mau
mendengarkan lagi. Ia telah meloncat seperti seekor serigala lapar
menerkam mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya dan
Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya sama sekali tidak
menduga Sawung benar-benar akan mengancam jiwanya pada saat ia sedang
mencoba mencegah perkelahian. Karena itu ia agak gugup. Ia melihat
pedang adik sepupunya yang besar dan panjang tiba-tiba saja terjulur
kedadanya. Dengan segala kemampuan yang ada padanya ia mencoba memukul
pedang tersebut. Namun terlambat. pedang Sawung berhasil mematuk
dadanya. Kemudian sebuah goresan yang panjang membekas menyilang.
Perasaan pedih menjalar menyusur segenap sarafnya. Arya berdesis
perlahan. Untunglah ia tangkas, sehingga goresannya tidak dalam. Namun
demikian darah yang mengalir dari luka itu, seakan akan minyak yang akan
menyiram api kemarahan anak muda dari Banyubiru. Arya Salaka bukan anak
dewa ataupun malaikat dari langit. Karena itu, maka iapun memiliki
sifat-sifat anak muda pada umumnya. Darahnya yang panas, serta jiwanya
yang meledak-ledak. Selagi Arya Salaka masih memiliki sifat-sifat
manusia pada umumnya. Marah, dendam dan nafsu mempertahankan diri.
Demikian akhirnya Arya telah kehilangan
semua kesabaran serta kelunakan hati. Yang didalam dadanya kini adalah
kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan kering di lereng
bukit dalam arus angin yang kencang. Hilanglah kini pengamatannya atas
adik sepupunya. Yang ada di hadapannya kini adalah lawan yang sedang
mempertaruhkan hidup atau mati. Karena itulah maka sambil menggeram
keras Arya meloncat dengan tangkasnya, kemudian seperti badai ia
menyerang Sawung Sariti. Namun Sawung Sariti telah bertekad bulat untuk
bertempur mati-matian.
Namun, Sawung Sariti pun telah bertekad
bulat. Ia telah memutuskan untuk bertempur mati-matian. Ia tidak akan
mau hidup bersama-sama dengan kakak sepupunya dalam lingkungan langit
yang sama. Kakak sepupunya atau ia yang harus mati.
Maka terulang kembali pertempuran sengit
dibawah pohon nyamplung. Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya
sedang mendidih sampai kekepala.
Karang Tunggal kini berdiri seperti
tonggak. Ia benar-benar menjadi kecewa. Ia kini tidak bisa berharap
bahwa dendam diantara keduanya akan terhapus karena ucapan jantan.
Karena itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi dan duduk ditepi jalan
bersandar pokok pohon nyamplung. Untuk menghilangkan kejengkelan
hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak keras-keras, “Aku tidak
peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi kemudian, aku tidak turut
campur. Juga seandainya kalian mati bersama-sama, aku akan berdendang
lagu Kinanti, sama sekali bukan Megatruh!”
Meskipun kata-kata Karang Tunggal itu
bergetar memenuhi udara, namun Sawung Sariti dan Arya Salaka tak
mendengarnya. Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada
perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing.
Pertempuran kali inipun semakin lama
menjadi semakin memuncak. Masing-masing telah melepaskan segenap ilmu
pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan ilmu pedang
dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang seimbang dan dimiliki oleh
dua orang anak muda dalam tataran yang seimbang pula.
Namun, sekali lagi nampak, betapa
kekuatan jasmaniah Arya Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti.
Itulah sebabnya maka Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya
untuk memukul lawannya. Namun agaknya Sawung Sariti tidak akan berhasil.
Sebab Arya Salaka pun mampu bertempur dalam kelincahan yang
mengagumkan. Bahkan kemudian keduanya seakan-akan berubah menjadi
bayangan yang melayang-layang secepat sikatan menyambar belalang.
Pedang Sawung Sariti bergerak dalam
bidang-bidang yang mendatar, mematuk dan kemudian berputar seperti
baling-baling. Sedangkan pedang Arya Salaka mengambil garis-garis silang
untuk mematahkan serangan Sawung Sariti dan kemudian bergerak
melingkari dirinya, untuk kemudian dengan dahsyatnya, sedahsyat angin
pusaran, pedang itu melibat lawannya. Dalam benturan-benturan yang
terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan tubuh Arya Salaka melampaui
kekuatan lawannya. Maka ketika Arya Salaka tidak lagi dapat
mengendalikan diri, pedangnya menyambar dengan cepat dan kerasnya ke
arah leher lawannya. Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah
daripada lawannya. Cepat ia merendahkan diri dan pedangnya menyilang,
melindungi tubuhnya. Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Seperti
bunga api menghambur di udara. Dalam benturan itu, Arya telah
mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah mempergunakan ayunan
pedangnya serta berat badannya untuk memperkuat serangannya. Dengan
demikian, kekuatan yang menghantam pedang Sawung Sariti jauh melampaui
kekuatan Sawung Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur, sedang
pedangnya bergetar cepat. Terasa jari-jarinya menjadi panas dan nyeri.
Cepat ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya, namun secepat itu pula
sekali lagi pedang Arya Salaka memukul pedang Sawung Sariti. Kali ini
Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan pedangnya. Dengan kerasnya
pedangnya terpukul jatuh ditanah. Sawung Sariti menggeram keras karena
terkejut dan nyeri-nyeri ditangannya.
Dengan cepatnya ia melontar mundur
sejauh-jauhnya. Namun Arya pun mampu bergerak secepat itu, sehingga
ketika Sawung Sariti berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya
seakan-akan telah melekat di dadanya. Sekali lagi ia mencoba menjauhkan
diri dari ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar maju dengan
kecepatan yang sama. Akhirnya Sawung Sariti berhenti. Tangannya
bergetar, namun tak sesuatu dapat dilakukan. Sedang ujung pedang Arya
masih saja menekan dadanya.
Melihat keadaan kedua anak muda yang
bertempur itu, Karang Tunggal menjadi tegang. Tanpa sesadarnya, ia
meloncat berdiri dengan wajah tegang menanti apa yang akan terjadi.
———-oOo———-
V
Pada saat itu, Arya benar-benar telah
menguasai lawannya. Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya
akan menembus dada adik sepupunya itu. Namun tiba-tiba tatit dari ujung
langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di wajah adiknya yang
tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari Banyubiru itu. Ia pernah
melihat wajah yang sedemikian itu di Gedangan, beberapa tahun lampau.
Kalau ia mau, pada saat itu Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung
tombak pusakanya. Tetapi pada saat itu ia tidak dapat membunuhnya.
Perasaannya dirisaukan oleh kenangan masa-masa silam. Masa kanak-kanak
dan masa-masa mereka bergaul sebagai saudara. Seperti juga pada saat
yang serupa, kini tangan Arya Salaka yang memegang pedang itu bergetar,
bergetar karena getaran di dalam jiwanya. Getaran perasaan seorang
kakak. Betapa pun kemarahan telah membakar dadanya, namun Arya masih
sadar, bahwa Sawung Sariti adalah adik sepupunya.
Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti lantang, seperti apa yang dikatakan beberapa tahun yang lampau, “Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku.”
Arya Salaka memandang wajah adiknya.
Tangannya masih bergetar. Namun mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
Bahkan kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata, “Kali ini bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.”
NAFAS Arya Salaka berjalan semakin cepat.
Bukan karena kelelahan, tetapi karena perasaannya yang bergolak
demikian dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah menggoncangkan
nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah adiknya dengan
seksama. Wajah yang masih memancarkan perasaan dendam dan benci. Namun
karena itulah maka Arya Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap
getaran perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu.
Karena itu tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar, “Adi Sawung
Sariti. Berjanjilah demi Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan melupakan
gegayuhan yang sesat itu. Kemudian biarlah kita menikmati hidup tenang.
Lepas dari rasa dendam dan prasangka.”
“Kakang,” jawab Sawung Sariti, “Aku sudah berkata, kau atau aku yang harus lenyap. Kita tak akan dapat hidup bersama di bawah cahaya matahari yang sama.”
Arya Salaka mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras mendengar jawaban Sawung Sariti.
Dalam pada itu, Karebet pun menjadi heran
melihat peristiwa itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka. Sebaliknya,
betapa keras kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang Tunggal
pun terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan terjadi.
Di dalam lumpur yang becek, Galunggung masih duduk dengan mulut
ternganga. Pertempuran yang terjadi benar-benar telah merampas segenap
kesadarannya. Dan kini ia melihat Sawung Sariti dalam bahaya.
Arya Salaka masih tegak di tempatnya.
Pedangnya masih melekat di dada adiknya dengan gemetar. Secepat getaran
di dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi lemas, dan karena
itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah.
Sawung Sariti melihat keadaan kakaknya.
Ia melihat pedang itu semakin renggang dan tunduk. Mula-mula ia merasa
aneh, kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti beberapa tahun yang
lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia merasakan sesuatu
yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di hatinya. Perasaan segan
dan lebih dari itu.
Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau
dipengaruhi oleh perasaannya. Ia tidak mau disebut sebagai seorang
pengecut, yang takut menentang maut. Karena itu ia masih mencoba
berkata, “Jangan menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat dadaku. Bunuhlah aku.” Namun suara Sawung Sariti sudah tidak selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar dan ragu.
“Hem!” Arya Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-benar terkulai. Dengan mata yang sayu ia berkata, “Adi Sawung Sariti, masihkah hatimu segelap itu?”
Kembali terasa sesuatu berdesir di dada
Sawung Sariti. Kakaknya itu benar-benar tak mau membunuhnya. Tetapi ia
berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya, “Apa pedulimu tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati itu.”
Arya menjadi kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi sangat kecewa. Karena itu Arya berkata putus asa, “Baiklah Adi. Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah yang akan mati di antara kita.”
Sekali lagi dada Sawung Sariti
bergoncang. Kesempatan itu masih didapatnya. Aneh. Apakah Arya Salaka
tidak melihat kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh pedangnya,
atau barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat
mengalahkannya? Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu benar-benar
mengacaukan perasaannya. Dan karena itulah ia tidak segera bergerak
memungut pedangnya. Malahan matanya dengan penuh pertanyaan memandang
Arya dan Karebet berganti-ganti. Getaran di dalam dadanya semakin lama
menjadi semakin keras. Akhirnya terdengarlah suara lamat-lamat jauh dari
dalam relung hatinya berbisik, “Sawung Sariti, alangkah luasnya hati Arya Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung air dari mana pun datangnya.” Dan karena itulah maka ia masih berdiri mematung.
Dalam kesepian yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah dari balik gerumbul-gerumbul di tepi parit, seseorang berkata, “Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.”
Semua yang mendengar suara itu terkejut.
Serentak mereka menoleh ke arahnya. Dan tampaklah sebuah bayangan yang
bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit. Dan suara itu
berkata lagi, “Aku telah mencoba menyabarkan diri, menunggu kalian
saling membunuh. Tetapi aku tidak telaten. Kalian berperasaan seperti
perempuan cengeng. Kenapa kalian tidak bertempur dan membunuh secara
jantan?”
Dada ketiga anak muda yang berdiri di
bawah pohon nyamplung itu menjadi semakin berdebar-debar, dan bayangan
itu masih saja berada di sana sambil meneruskan kata-katanya, “Aku
telah menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri tanganku.
Setidak-tidaknya aku hanya tinggal membunuh dua di antara kalian bertiga
atau satu, apabila kalian laki-laki dan bertempur seperti laki-laki.
Tetapi tidaklah demikian. Karena itu maka kalian telah memberatkan
pekerjaanku. Membunuh kalian bertiga dengan tanganku.”
Tidak seorang pun dari ketiga orang
dibawah pohon nyamplung itu yang bergerak. Semua berdiri mematung dengan
hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui siapakah yang
berbicara itu.
Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka
seakan-akan membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul
itu meloncat dengan tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu seperti
seekor burung gagak yang berwarna kelam di malam yang gelap. Mereka
menjadi semakin terkejut lagi ketika bayangan itu telah berdiri di
antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu. Ternyata bayangan itu
adalah seorang yang bertubuh bongkok dan berwajah mengerikan, seperti
wajah hantu.
“Bugel Kaliki,” desis Sawung Sariti.
Orang bongkok dari lembah Gunung Cerme itu tertawa berderai.
Katanya, “Kau pasti mengenal aku dengan baik.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian hantu bongkok itu berkata pula, “Nah,
aku juga ingin melihat bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini
laki-laki. Tetapi aku kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu.
Dan yang seorang ini aku tidak tahu, apakah hubunganmu dengan kedua anak
ini. Namun karena kau hadir juga di sini, maka kau pun akan aku binasakan.”
Karang Tunggal pun pernah mendengar
tentang Bugel Kaliki. Ia tahu benar bahwa Bugel Kaliki adalah tokoh
sakti dari golongan hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura
Sarunggi dan sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang
meluap-luap dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-lonjak
dipenuhi oleh daya hidupnya, maka ia pun marah bukan buatan. Dengan
berdiri tegak dan bertolak pinggang, ia berkata lantang, “Hai Bugel
Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah yang bernama Karang
Tunggal, yang disebut juga Mas Karebet dalam panggilan Jaka Tingkir.”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Ia
menjadi heran melihat sikap anak muda yang seakan-akan tak mengenal
takut kepadanya itu. Maka katanya, “Sudahkah kau kenal nama Bugel Kaliki dengan baik?”
“Aku sudah cukup mengenal,” jawab Karebet, “Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari lembah Gunung Cerme.”
Bugel Kaliki tertawa. Katanya di antara derai tertawanya, “Bagus, kau telah mengenal namaku. Tetapi kenapa kau berani bertolak pinggang di hadapanku?”
Kemarahan Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya, “Aku tidak mau kau hinakan dengan kata-katamu. Apakah kau kira membunuh kami bertiga ini semudah membunuh cacing?”
Sekali lagi Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Diam!” bentak Karebet, “Aku muak melihat tampangmu. Apalagi kalau kau sedang tertawa.”
Bugel Kaliki terkejut, sehingga
tertawanya berhenti. Bukan main. Anak itu berani membentak-bentaknya.
Karena itu matanya mejadi buram dan redup. Dipandangnya Karang Tunggal
dengan seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda itu. Arya
Salaka dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia harus
berdiri membiarkan Karang Tunggal mengalami bencana. Tiba-tiba terasa
pula perasaan dendam di antara mereka. Mereka merasa bahwa kini nasib
mereka serupa. Mereka bersama-sama akan mengalami bencana, apabila Bugel
Kaliki benar-benar bertindak atas mereka. Apalagi di dalam relung hati
Sawung Sariti telah memancar sepercik api yang menerangi kegelapan
hatinya itu. Maka ketika mereka melihat Bugel Kaliki melangkah
perlahan-lahan mendekati Karang Tunggal, tanpa mereka sengaja, Arya dan
Sawung Sariti pun melangkah maju.
Melihat kedua anak muda yang lain
bergerak, Bugel Kaliki berhenti. Pandangan matanya yang buas
berganti-ganti hinggap diwajah Arya dan Sawung Sariti. Kedua anak muda
inipun ternyata tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian
Bugel Kaliki menjadi semakin marah. Dan terdengarlah ia berteriak, “Apakah kalian bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”
“Selama kami berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami takuti,” jawab Arya Salaka.
“Gila!” geram Bugel Kaliki, “Kau berdua telah terluka. Membunuh kalian akan sama mudahnya dengan membunuh semut.”
“Aku sudah siap untuk mati sejak tadi,” sahut Sawung Sariti, “Namun
jangan mimpi, kami akan menyerahkan leher kami tanpa perlawanan. Dan
kalau aku mati karena tanganmu, maka aku akan mendapat penghormatan
sebagai seorang laki-laki dari Pamingit. Bukan karena pertentangan
antara keluarga sendiri. Aku sekarang menyesal bahwa aku telah melawan
kakang Arya Salaka.”
Arya Salaka dan Karang Tunggal bergetar
hatinya mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu. Ketika mereka memandangi
wajah Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari dasar hatinya.
Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik, “Terimakasih adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Dalam pada itu Bugel Kaliki menjadi
bertambah-tambah marah juga. Ia mengharap bahwa seharusnya ketiga anak
muda itu menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta ampun. Tetapi
ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka. Bahkan anak yang
bernama Karang Tunggal itu masih saja berdiri bertolak pinggang. Karena
kemarahannya itu tiba-tiba Bugel Kaliki berkata nyaring, “Hai
tikus-tikus yang tak tahu diri. Kalian telah berbuat kesalahan pada
akhir hayat kalian.Hem. Alangkah menyenangkan apabila aku melihat kalian
meronta-ronta dan menderita sakit pada saat ajal tiba.”
Kata-kata itu diucapkan oleh seorang
iblis yang mengerikan. Karena itu, maka dada ketiga anak muda itu pun
berdesir pula. Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang dikatakan
oleh orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun desiran
didada mereka terasa seperti menggores jantung, namun mereka tidak
menjadi gentar.
Terdengarlah Karang Tunggal menjawab, “Omong kosong. Kau ingin menakut-nakuti kami, supaya kami menjadi menggigil dan kehilangan nafsu perlawanan kami.”
Jawaban itu benar-benar membakar hati
Bugel Kaliki. Seperti tatit ia meloncat dan menampar mulut Karang
Tunggal. Gerakan Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan tidak
terduga-duga sehingga tak seorang pun mampu mencegahnya, bahkan Karang
Tunggal pun tak mampu mengelakkan. Namun gerakan Bugel Kaliki bukanlah
serangan yang sebenarnya. Ia menampar saja karena marah, meskipun
demikian tangan Bugel Kaliki adalah tangan hantu yang seakan-akan
gumpalan timah yang keras. Karena itulah maka tamparan itu pun
seolah-olah seperti ayunan bandul timah yang berat, menghantam pipi
Karang Tunggal.
Meskipun Karang Tunggal mencoba mengelak,
namun kecepatannya bergerak tidak dapat memadai kecepatan Bugel Kaliki,
sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak dapat
dihindari. Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting dan
terbanting jatuh. Kepalanya hanya tergeser sedikit dan ia terdorong
mundur beberapa langkah.
Bugel Kaliki melihat kenyataan itu. Ia
sudah mengatur kekuatan geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong
itu akan terpelanting dan jatuh berguling ditanah. Tetapi Karebet
ternyata tidak demikian. Bahkan terasa seolah-olah ada lambaran yang
membatasi tangannya dan tubuh anak itu. Karena itu, maka Bugel Kaliki
menjadi berdebar-debar. Dengan pandangan mata yang buas ia memandang
Karebet seperti hendak ditelannya hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba
terlontar kata-katanya, “Setan, dari mana kau miliki aji Lembu Sekilan itu?”
Karebet kini telah tegak kembali. Ia
telah mengetrapkan ilmunya sejak ia melihat kedatangan hantu yang dapat
bergerak secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka, bahwa Bugel
Kaliki pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun
selalu bersiaga. Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu bongkok itu.
Arya Salaka pun tergetar melihat
peristiwa itu. Sejak pertemuannya yang pertama dengan Karang Tunggal, ia
telah mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini ia menyaksikan
betapa Karebet berhasil mempertahankan keseimbangannya dari dorongan
tangan Bugel Kaliki. Apalagi Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika ia
mendengar Bugel Kaliki berkata, bahwa anak muda yang bernama Karang
Tunggal itu memiliki aji Lembu Sekilan. “Kalau demikian,” Pikirnya,
”ia tidak bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku
ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa karena
pedangnya. Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia dapat sekehendak
hatinya menusuk dadaku dari arah yang disukainya”
Karang Tunggal masih tetap berdiam diri,
namun ia benar-benar telah bersiaga. Kalau datang serangan yang
tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, ia pun telah bersiap mengelak.
“Nah, bersiaplah untuk mati. Kalian
bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya sebagai pembalasan dendam
atas kematian sahabat-sahabatku,” kata Bugel Kaliki seterusnya.
Karang Tunggal, Arya Salaka dan Sawung
Sariti sadar bahwa Bugel Kaliki pasti berusaha untuk melaksanakan
kata-katanya. Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa berjanji Arya
Salaka dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing. Mereka
berdiri sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu, sehingga mereka
dapat mengambil garis perkelahian yang berbeda-beda. Sekali lagi
terdengar Bugel Kaliki mendengus dan kemudian tertawa pendek. Setelah
itu, ia pun mulai bergerak menyerang Karang Tunggal. Namun Karang
Tunggal telah benar-benar siap. Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya
dari tangan Bugel Kaliki. Dan ketika Bugel Kaliki mencoba mengulangi
serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan Sawung Sariti
bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia menghindari
kedua ujung pedang itu. Namun gerakannya sedemikian tangkasnya, sehingga
sesaat kemudian ia pun telah berhasil meloncat menyerang Arya Salaka.
Ia menyilangkan pedangnya di muka dadanya. Tetapi Bugel Kaliki
menggeliat di udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung.
Arya terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan
pedangnya yang panjang menyerang langsung dengan garis mendatar,
memotong gerakan Bugel Kaliki. Sekali lagi Bugel Kaliki menggeram.
Ternyata anak-anak itu benar-benar bukan anak-anak kecil. Ketika ia
melihat perkelahian antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, memang ia
telah mendapat gambaran tentang ilmu kesaktian anak itu, namun kini ia
telah membuktikannya.
Namun Bugel Kaliki adalah seorang iblis
yang mengerti. Ketika pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki
melantingkan kesamping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret
kekuatannya yang dikerahkan seluruhnya. Bugel Kaliki terkejut. Ia
melihat Sawung Sariti sedang mencoba mempertahankan keseimbangan. Dalam
keadaan yang demikian ia menyerang, melihat serangan itu, tetapi ia
terhalang oleh adiknya. Yang kemudian dilakukan adalah menjulurkan
pedangnya, diatas punggung Sawung Sariti menanti kedatangan Bugel
Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak banyak berarti bagi Bugel Kaliki.
Dengan cepatnya ia melontar diri ke arah anak muda dari Pamingit itu.
Tetapi sekali lagi Bugel Kaliki menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak
habis-habisnya ketika tiba-tiba tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal
yang sengaja menghalang-halangi geraknya. Dengan demikian Bugel Kaliki
terhenti ditempatnya, namun Karang Tunggal terpelanting beberapa langkah
dan jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa ia berhasil menempatkan
dirinya sehingga tidak menimpa Sawung Sariti dan Arya Salaka.
“Gila!” teriak Bugel Kaliki, “Kau tidak mati karena benturan ini?”
“Sebagaimana kau lihat,” sahut
Karang Tunggal yang sudah berhasil berdiri. Ternyata aji Lembu Sekilan
telah menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting jatuh. Namun
ia tidak mengalami luka pada tubuhnya.
Kesempatan itu dapat dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya
mereka mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan yang
baru. Tetapi pertempuran yang baru sebentar itu telah memberi mereka
gambaran bahwa umur mereka tidak akan terlalu panjang lagi.
Bugel Kaliki segera bersiap maju. Matanya
menjadi bertambah merah karena kemarahan yang menyala di dadanya
semakin menjadi-jadi pula. Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan
beberapa saat menghadapinya. Karena itu ia menggeram tak henti-hantinya
dan mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan
serangannya, tiba-tiba ia terkejut sehingga ia tegak mematung. Ia
melihat anak yang bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam
bajunya dan ketika tangannya itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah
keris yang memancarkan cahaya yang buram, seperti bara. Dan tiba-tiba
pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis, “Sangkelat.”
“Ya,” sahut Karang Tunggal, “Inilah Kyai Sangkelat.”
“Setan!” Hantu itu bergumam.
Namun hatinya berdebar-debar cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat
keris itu tidak bercahaya berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan
pernah juga ia mendengar ceritera, bahwa Sangkelat yang demikian itu
menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa pemegangnya.
Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang Tunggal membenarkan dugaannya
bahwa yang dipegang itu adalah Kyai Sangkelat.
Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar
pula melihat keris itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun
terasa bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan yang
luar biasa. Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki menyebut nama
keris itu, “Sangkelat.” Dan nama keris itu pernah didengarnya.
Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai
Sangkelat itu telah memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa
pusaka yang dapat diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai
Sangkelat. Karena itu, dengan gerak diluar sadarnya, pedang di tangannya
berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya telah
memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya. Sekali lagi mulutnya berdesis, “Kyai Suluh.”
“Ya,” sahut Arya pendek.
“Hem!” geram Bugel Kaliki, “Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?”
“Ya,” sahut Arya.
“Persetan dengan pusaka-pusaka itu!” Tiba-tiba
ia berteriak. Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada
suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Melihat kedua kawan senasibnya memegang
pusaka-pusaka yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung Sariti berbesar
hati pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah
panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah keseimbangan
pertempuran itu. Maka karena itulah ia berkata dengan suara nyaring, “Kakang, berikan pedang itu kepadaku apabila tak kau pergunakan lagi.”
Arya memandangi adiknya. Ia telah
memegang pusaka yang cukup menggetarkan. Karena itu, dengan tidak
berkeberatan diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya.
Sambil menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam, “Akan aku coba ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora Dipayana kepadaku.”
“Pusaka-pusaka itu tak ada artinya
bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada kalian, karena
setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki pula.
Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.Jawabnya,”Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”
Bukan main marahnya hantu dari Gunung
Cerme itu mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak-anak. Karena itu
ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.
Namun anak-anak muda pun telah bersiaga.
Segera anak-anak itu bergerak pula memberikan perlawanan yang gigih.
Kyai Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang rangkap Sawung Sariti,
yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti saling membelit dan
mematuk-matuk berganti-ganti. Tetapi di antara mereka bertiga Bugel
Kaliki seakan-akan dapat bergerak-gerak seperti asap yang tak dapat
mereka sentuh dengan senjata-senjata mereka.
Namun meskipun demikian, Bugel Kaliki pun
tak dapat berbuat sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang
masih sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu
perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan yang rapi.
Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi dan saling memperkuat
serangan diantara mereka. Apalagi dengan kedua pusaka yang menggetarkan
hati di tangan Karebet dan Arya Salaka, maka Bugel Kaliki benar-benar
harus berhati-hati. Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah
kenyang makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam
kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian duduk di
atas bangkai itu sambil makan seenaknya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Dalam keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak
berada dalam keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis
diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun tidak
dapat melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya, namun ia dapat
menghindarkan dirinya dari sentuhan-sentuhan kecil hantu dari Gunung
Cerme itu. Dengan demikian, maka seakan-akan Karebetlah yang memimpin
kedua kawannya yang lain. Ialah yang mengambil sikap dan menentukan
permainan yang mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki bertambah
marah.
Tetapi, setelah mereka bertempur beberapa
saat, tampaklah tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain kelelahan yang
telah menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya.
Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan tangannya
sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak. Demikian juga darah
dari dada Arya yang telah tergores oleh pedang Sawung Sariti. Namun
ketahanan jasmaniahnya ternyata lebih besar daripada adik sepupunya itu.
Melihat keadaan itu, Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia
harus bekerja sekuat tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai
persediaan yang tak kering-keringnya didalam tubuhnya. Memang selain
sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula. Meskipun ia
memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak pertempuran itu dimulai,
namun semakin lama, seakan-akan ia menjadi semakin segar dan kuat.
Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam
burung hantu, melihat kelemahan itu. Karebet adalah anak yang sangat
berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka yang
pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu adalah Arya
Salaka atau Sawung Sariti.
Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan
yang erat pada Arya Salaka dan Sawung Sariti. Bugel Kaliki telah
mangerahkan serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti
sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat yang
menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya.
Ketika mereka sedang sibuk dengan
pertempuran itu, dimana perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha
mereka mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka
duga-duga. Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek, ketika
melihat kehadiran hantu dari Gunung Cerme itu, menjadi seakan-akan
membeku. Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki. Dengan demikian ia menjadi
putus asa. Semua impiannya kini telah benar-benar menjadi lenyap
seperti awan disapu angin. Impiannya tentang tanah yang berpuluh-puluh
bahu. Kekuasaan atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan kemewahan.
Sebab dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi Sawung
Sariti menjadi semakin tipis. Tetapi ketika ia melihat pertempuran di
antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan ketiga anak-anak muda itu
hatinya menjadi hidup kembali. Darahnya serasa mulai mengalir. Ia
melihat bagaimana ketiga anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri
mereka. Bahkan anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak
menyambar-nyambar seperti burung alap-alap di langit. Dengan demikian
pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan kembali. Mula-mula ia ingin
mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu tidak akan berarti.
Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya lagi.
Tiba-tiba timbullah pikirannya yang
bersih. Dengan sagat hati-hati ia merangkak masuk ke dalam tanaman
jagung muda itu semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti
kembali menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam
di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari
sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit. Siapa
pun yang akan dijumpainya pertama-tama, akan diberitahukan kepadanya
bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang bertempur melawan Bugel
Kaliki.
Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah
bertambah payah. Perlawanannya telah menjadi semakin kendor. Kedua
pedangnya yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang
bergulung-gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor.
Sedangkan serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang pula.
Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki
berhasil menerobos lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti.
Dengan kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti menyilangkan
kedua pedangnya dengan kekuatan raksasanya, sehingga tiba-tiba kedua
pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah. Sawung Sariti menjadi
gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki mengulangi serangannya langsung ke
dada Sawung Sariti. Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga
Sawung Sariti telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.
Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut
pula melihat Bugel Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos
serangan-serangan mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang
Tunggal meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung
terjulur lurus ke lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada dalam
jarak yang lebih jauh, tak mampu meloncat mencapai lawannya. Maka ia
hanya berusaha untuk menyelamatkan Sawung Sariti yang sedang kehilangan
keseimbangannya.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 25
No comments:
Write comments