Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab, “Kalau
kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki akik Kelabang Sayuta, akupun
akan membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri
yang lengkap seperti katamu.”
Mendengar jawaban itu, hati Pasingsingan
berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar.
Namun katanya kemudian, “Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati, diberikannya akik itu kepada Endang Widuri.”
“Hem...” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Kau sedang mengarang sebuah ceritera.”
Sesaat
kemudian ia pun meloncat dengan garangnya. Cemetinya berputar cepat
sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun
Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah
abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya
berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang. Demikianlah,
mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat. Sura Sarunggi,
iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia
meloncat-loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan
menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak
membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan
tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong serangan
lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti
bukit Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.
Demikianlah
maka pertempuran itu sampai pada akhirnya. Sura Sarunggi, seorang yang
selama ini menjadi tempat berlindung beberapa orang dari golongan hitam
di Rawa Pening, dan yang telah melahirkan dua orang kakak-beradik Uling
Putih dan Uling Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak
dapat menghindarkan diri dari terkaman maut. Karena pukulan tangan
Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka terdengar gemeretak
tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan melenting tinggi, kemudian ia
terjatuh beberapa langkah dari lawannya. Meskipun demikian ia masih
berusaha berdiri dan dengan mata yang merah menyala-nyala ia mengumpat
dalam bahasa kasar, “Setan belang, iblis laknat. Terkutuklah kau oleh jin dan peri….”
Kemudian Sura Sarunggi kehilangan segenap kekuatannya. Ia tak dapat
mengumpat-umpat lagi, bahkan akhirnya ia terhuyung-huyung dan kemudian
jatuh diam. Maut telah merenggutnya dari kehidupannya yang penuh dengan
noda-noda hitam.
Yang
terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran kehilangan waktu
hanya sekejap. Namun yang sekejap itu telah menentukan segala-galanya.
Sebuah sambaran yang dahsyat telah menghantam dadanya. Sambaran aji Naga
Angkasa. Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu
terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh sambil
berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali. Tetapi
tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha,
akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga
kemudian Umbaran itu roboh kembali di atas tanah yang basah oleh air
hujan yang melimpah dari langit.
“Bertanyalah kepada Endang Widuri.” Pasingsingan itu menegaskan.
Pasingsingan di samping Mantingan itu menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata, “Ciri
Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan. Tak ada ciri-ciri
yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut
lebih dari seribu macam pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.”
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki, “Setan, iblis, thethekan. Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.”
“Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki,” bantah Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi akik itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya, “Sudahlah
Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok.
Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.”
“Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
“Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping Mantingan, “Kalau
kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan
demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu,
bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia.
Bukan sebagai hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain
kuburan, mencari mayat.”
“Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan, “Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. “Penyelesaian
dengan pengertian, jauh lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan
darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar oleh
rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas
dengan dendam. Dengan demikian maka sepanjang umur kita, kita tidak akan
dapat menikmati ketenangan.”
“Pengecut!” potong Pasingsingan dari Mentaok. “Aku
adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku Kyai Suluh.
Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau
menolak kesempatan yang pertama.”
“Jangan,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan, “Kita
masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Jangan mengancam dan
menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia
dengan manusia. Kita berbicara tanpa tabir di wajah kita. Kita bicara
antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita
masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita
masing-masing.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba
Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang
yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar,
hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa
ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba
untuk menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya, “Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara dari hati ke hati?”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya, “Bagaimanapun
kotornya hati kita, namun kita adalah manusia. Kita memiliki hari-hari
lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang,
namun kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah
kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan bunuh diri dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata, “Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata, “Sudahkah senjatamu itu siap?”
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar
semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia
hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi,
ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui
tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya.
Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring,
“Hai Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.”
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada
Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat
pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip
dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi,
sebagaimana senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling
Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
Pasingsingan, Guru Lawa Ijo kini tidak
mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan
mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada
saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari
ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang
dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh
kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite
dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama
Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian
akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus berjuang dengan senjatanya itu.
Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di
jantungnya, “Hai orang-orang yang tak tahu diri, yang telah
menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan hatimu. Angkatlah
wajahmu. Pandanglah angkasa yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi
ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai penghormatan terakhir
pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan
mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.”
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Senjata bukanlah alat terakhir untuk menemukan kesepakatan.”
“Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi, “Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu
agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di
samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, “Tidak adakah jalan
lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri
Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan
yang seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami
tanpa campur tanganmu.”
“Tunggu…” Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam pekik lantang Sura Sarunggi. “Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya, “Aku lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya, “Meskipun
kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi
kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu
karena tanganku.”
“Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa,” jawab Pasingsingan itu. “Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening
itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur
lereng-lereng bukit. “Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.” Sura
Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan.
Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan
orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan
Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan
ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya
perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka hanyalah
bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan
itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan
keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke
mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang sepasang
itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan
dan kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama
menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih
ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
Jaka Soka tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam
yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan
lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih mendapat
kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo
telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah
terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia
menggeram dengan marahnya, “Lihatlah betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.”
Pasingsingan yang berdiri di samping
Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu
dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan
segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia berkata, “Hai orang yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”
“Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan, “Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?”
“Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo.
“Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan. “Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi
ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa
akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak, “Jangan mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
“Umbaran…” tiba-tiba terdengar
suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya.
Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah
bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan
oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang
menyebutnya dengan ketakutan, “Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung. Dalam kebingungan itulah ia berteriak, “Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
“Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu, “Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
“Diam!” bentak guru Lawa Ijo.
Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara
yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu
menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya.
Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata, “Jangan
marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih
mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar
Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”
“Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras. “Sayang,
bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran-
ajarannya, sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa
guru kita telah kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan.
Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.”
“Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo, “Apakah
kau selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini
bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita
kepadamu?”
“Tidak, Umbaran,” jawab orang itu. “Aku
merasa, betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk
mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan
baru yang akan menambah beban kehidupan sukmaku.”
“Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaik-baiknya” kata guru Lawa Ijo.
“Aku bangga terhadap mereka yang
berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan
orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.” Meskipun
kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa
Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya.
Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora
berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun
dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia
berkata lantang, “Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah
kau menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan mengorbankan orang lain
pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia
mati karena ketamakanmu?”
“Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan. “Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
“Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat
noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran
yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana perempuan itu?
Mana…?”
“Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.
“Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo. “Perempuan
itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau
berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati.
Mati. Mati….”
“Cukup!” potong orang itu
keras-keras. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya
perlahan-lahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa
panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk
memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan lawannya ia
berkata, “Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”
Orang yang berdiri di samping Mantingan
itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada
adik seperguruannya yang sedang bertempur. Mereka berputar-putar dengan
lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang berlaga.
Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan senjata masing-masing.
Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning
pisau belati lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang
kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan,
ke mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai
mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin
dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis,
sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa
saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur
dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya. Mirip
dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa
pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan…?
“Tidak mungkin!” Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.
Anggara pada saat itu memang sengaja
bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja
menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari
orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya
supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras.
Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura
Sarunggi dan Anggara.
“Jangan membeku seperti batu,” tegur Umbaran, “Sekarang apa katamu?”
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya, “Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”
“Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa.” Umbaran meneruskan, “Jangan mimpi aku berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.”
“Jangan bicara tentang perempuan!” Radite membentak. Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
“Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.
“Aku tidak akan mengganggu gugat
pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang
kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu,” jawab Radite. “Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.”
“Kau iri hati” kata Umbaran.
“Tidak,” jawab Radite, “Aku
mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu
lebih banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan
kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari
persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan
lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku
akan menghentikan semuanya itu.”
“Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi
marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya,
karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia
kehilangan kesabaran.
“Umbaran…” kata Radite dengan lantang, “Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”
Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah
Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada pilihan
lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya.
Radite masih berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran menjadi
berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat. Ia tidak segarang
biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia
benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia
masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan
perasaan masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan,
yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
“Setan,” desis Pasingsingan, “Mereka datang.”
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat
terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena
itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan
guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan
kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu
mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar atau
Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab
menyingkirpun tak ada kesempatan pula.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia
meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan
menyambar leher Radite. Radite terkejut mengalami serangan yang
tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu
mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi Umbaran
telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat berbuat lain daripada
melawannya. Maka sesaat kemudian kedua Pasingsingan itupun telah
bertempur pula. Masing-masing memegang pisau belati panjang di
tangannya. Umbaran dan Radite adalah dua orang yang memiliki ilmu yang
bersumber dari guru yang sama. Karena itu mereka pun bertempur dengan
ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami
beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu. Ilmu
Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan
kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran yang bersih.
Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite
dalam ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap
dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah
mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar
mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan
darah yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu
yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut. Dengan
berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang dengan sengitnya.
Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak, “Kalau kau masih belum mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu.”
Radite diam saja. Namun ia bertempur
terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga
bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah terjadi pada
dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila
ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan
banyak menimbulkan bencana. Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia
dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan
memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri
sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu. Dengan landasan kekuatan
golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan
pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa
siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara,
maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat
menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk
menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah
demi daerah. Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia
menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan.
Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam.
Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu kembali.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama
semakin sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan pertempuran.
Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun Radite bukan
anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu
melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih dahulu
kepada Pasingsingan Sepuh. Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati
ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya
mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari
perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorang
pun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang
ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga
Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan
celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia berkisar,
setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk
menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang
seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak
menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap
dan kemudian menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik
hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan
selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang
dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya pengecut,
apakah penakut, ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun
golongan hitam itu nampaknya bekerja bersama-sama, namun mereka sama
sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka terbentur
pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak
berlaku.
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya
seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya
perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga
berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang
menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak
pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal,
bahwa ia terlambat.
Di belakangnya berpacu Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga kedua
orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada
mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam yang pergi
ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka dengan
darah yang bergolak.
Suara kaki-kaki kuda mereka berderap
memecah sepi malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang
menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin
gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka
semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang Maha Kuasa
melindungi mereka dari bencana.
Arya Salaka melihat dua tiga orang
menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak
memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu
tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi
kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para
pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru.
Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian
waktu mereka akan semakin habis.
Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, “Terus ke rumahmu, Arya.”
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki belakangnya.
“Api,” jawab Arya.
Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan
terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, “Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu”.
Kembali Arya Salaka menggeretakkan
giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti
gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang
sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Ketika
mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin
berdebar-debar pula.
Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya, “Bagaimana dengan api itu paman?”.
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya, “Jangan perdulikan”, jawabnya “mereka
hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah
tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha
untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?”.
“Ya”, sahut Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.
———-oOo———-
II
Demikianlah mereka bertiga memacu
kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin
basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-mancar
di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi guruh yang
menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan.
Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi.
Ketika ia melihat sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti
meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang
mencurigakan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah
orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari
Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka
halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun
Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di
kejar hantu.
“Arya!”, teriak Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya
langsung menyerbu masuk ke halaman.
Di halaman itu masih bertempur dengan
sengitnya, Sura Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite.
Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka.
Yang paling gelisah dari mereka adalah
Umbaran. Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang
Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam
kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak
cepat dan menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah
seorang lawannya atau orang-orang Banyubiru yang datang untuk mengurangi
lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja,
meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh
salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi keadaan, meskipun
hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan
sebaik-baiknya.
Demikianlah ketika ia mendengar derap
kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah,
kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau
belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya Salaka. Arya
terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia
tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat
menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang menyambar itu demikian
cepatnya sehingga mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak
keras, “Arya, bungkukkan badanmu”.
Arya Salaka telah kehilangan keseimbangan
perhitungannya. Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan. Ia mencoba
membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu telah dekat sekali.
Tetapi tak sempat dilihatnya adalah sambaran pisau yang kedua. Pisau
belati panjang yang seakan-akan mengejar pisau yang pertama. Pisau
inipun tak kalah cepatnya, meluncur dari arah yang lebih rendah dari
pisau yang pertama, sehingga kedua pisau itupun seperti kilat di langit
yang sambar menyambar.
Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Demikianlah pisau itu pun tak terlepas dari pengaruh tangan Nya.
Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan
oleh Pasingsingan yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda
serta lebih rendah dari arah pisau yang pertama, berhasil mengenai pisau
yang pertama. Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-pisau itu.
Sehingga dengan demikian, selisih arah yang hanya setebal jari mengukit
arah yang pertama, telah menyelamatkan Arya Salaka. Meskipun ia belum
berhasil merapatkan tubuhnya sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak
menyentuh kulitnya. Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar dan
terbawa oleh pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya Salaka
berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit bibirnya. Maut serasa
telah hinggap diujung rambutnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpekik
kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju, namun kemudian mereka melihat
Arya Salaka masih duduk di atas punggung kudanya yang meluncur cepat di
halaman itu, yang kemudian melingkar memutar di samping gandok.
“Bagaimana kau Arya?”, teriak Mahesa Jenar.
Nafas Arya masih meloncat-loncat tak
teratur. Dadanya berdebar cepat dan jantungnya seperti
berdentang-dentang. Namun ia sempat menjawab terbata-bata, “Baik paman”.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik
nafas panjang. Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka
ditegangkan kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di halaman. Dalam
remang-remang cahaya obor di pendapa, mereka melihat Mantingan, Wilis,
Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu kelompok hampir berhimpitan
dengan kaku, di pendapa mereka melihat Wanamerta duduk lemas seperti
orang yang kehilangan akal, sedang Sendang Parapat pun duduk bersandar
tiang. Tangannya memegang senjatanya, namun senjata itu terkulai di
lantai. Sedang beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah, dan
mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan bergerak. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menjadi semakin terkejut ketika
mereka melihat dua lingkaran pertempuran. Dan hampir-hampir dada mereka
meledak ketika mereka melihat tiga orang yang memakai jubah abu-abu dan
bertopeng kasar.
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi”, gumam Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya
berkerut-kerut. Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan membabi
buta, ketika ia tidak berhasil membunuh Arya Salaka. Pada saat itu, ia
telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-anak yang
dapat dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa loncatan ia telah berhasil
menahan Pasingsingan yang menghantui Demak pada saat itu.
Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh
pekik kecil. Widuri tiba-tiba berhasil menguasai kesadarannya, ketika
dilihatnya ayahnya memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju.
Mula-mula ia seperti melihat malaikat hadir di halaman itu. Maka ketika
ayahnya berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya, “Ayah”,
panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang, Widuri bersembunyi
di balik sayap-sayap induknya. Kebo Kanigara pun menjadi terharu
karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan perhatiannya kepada keadaan
sekelilingnya, namun dipeluknya anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara
Wilis pun menjadi bertambah tenang, sebab mereka masih dapat mengharap
perlindungan dari orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah
ketegangan yang mencekik leher orang-orang di halaman itu menjadi
semakin terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan karena mereka
cemas dan takut bahwa mereka akan terbunuh, namun mereka cemas dan
takut bahwa mereka tidak dapat mempertahankan pusat pemerintahan
Banyubiru, dan karena itulah kini mereka yakin bahwa Banyubiru akan
dapat diselamatkan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih
berdiri tegak tak bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang
beredar dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa
Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis berdesirlah hatinya. Rara Wilis
kemudian menundukkan wajahnya, namun hatinya melonjak. Pada wajah gadis
itu, Mahesa Jenar dapat melihat ketegangan yang selama itu mencekam
hatinya.
Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-lahan, “Widuri, apakah yang terjadi? Bukankah kalian selamat?”.
Widuri tidak senakal dan semanja
biasanya. Kini benar-benar ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia
menjawab perlahan-lahan, “Tiga hantu bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi, yang datang bersama salah seorang dari hantu-hantu itu.”
Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi
ragu, apakah yang harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun
bersyukur kepada Yang Maha Agung bahwa anak serta sahabat-sahabatnya
telah diselamatkan.
Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah
memiliki beberapa pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara.
Ia telah mengenal lebih dalam mengenai Pasingsingan. Karena itu cepat
otaknya bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang dihadapinya.
Teringatlah ia kepada ketiga murid Pasingsingan yang bernama Radite,
Anggara dan Umbaran. Teringatlah ia kepada dua orang petani yang bernama
Paniling dan Darba di Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa Jenar segera
mengetahui bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara mereka adalah
Radite dan Anggara, sedang yang lain adalah Umbaran. Mahesa Jenar juga
memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura Sarunggi itu adalah salah
seorang dari kedua petani dari Pundak Pungkur itu, sedang yang bertempur
di antara dua orang yang berpakaian mirip itu adalah Umbaran melawan
salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara
keduanya yang bernama Radite dan yang manakah yang Umbaran?
Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara, “Kakang, ingatkah Kakang kepada dua orang petani di Pudak Pungkuran?”
“Ya,” sahut Kebo Kanigara.
Sebenarnya ingatannya pun mulai merayap kepada kedua orang petani itu.
Karena itu, pertanyaan Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu
kepastian tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.
“Tuhan Maha Besar,” Mahesa Jenar meneruskan, “Mereka datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah seorang dari mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat diselamatkan.”
“Ya,” jawab Kebo Kanigara. Pada
saat itu dua buah pisau belati panjang yang berwarna kuning terbang ke
arah Arya Salaka. Baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat salah
seorang dari mereka berjongkok. Orang itulah yang telah menolong Arya
dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang itulah
pasti salah seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika kemudian
keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang riuh, maka mereka
tidak dapat mengenal lagi yang manakah di antara keduanya yang telah
menolong Arya. Karena itu mereka tidak dapat segera berbuat sesuatu,
sebelum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebaik-baiknya.
Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan
keadaan. Ia yakin bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan
pekerjaan mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan Pasingsingan tak
mampu melawan kedua orang itu pula, sedangkan pada saat itu Radite dan
Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus dari perguruan
Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak dengan leluasa tanpa
pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-takut bahwa mereka akan
dikenal, sebab agaknya kehadiran mereka pada saat itu dengan ciri-ciri
kekhususan mereka, adalah karena Radite dan Anggara telah menemukan
suatu cara pemecahan.
Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari
kudanya. Kini jantungnya telah tidak berdentang-dentang lagi. Ia berdiri
tidak jauh dari gurunya, sambil memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak
mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan bertopeng.
Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.
Pertempuran di halaman itu semakin
sengit, Sura Sarunggi mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara benar-benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat sendiri
apa yang telah dialami oleh Sima Rodra dan Nagapasa. Kedua orang itu
pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-tiba ada setan,
gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang berjubah itu benar-benar
mengacaukan rencana. Kalau tak ada mereka, ia pasti akan berhasil
menghindari pertempuran ketika didengarnya kentongan rog-rog asem.
Tetapi sekarang tak ada kesempatan untuk meninggalkan halaman itu.
Tetapi justru karena itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai
nama yang besar di antara mereka, yang tahu akibat-akibat dari
perbuatannya, menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-ledak seperti
guruh di langit. Menyambar, melingkar, mematuk mengerikan. Senjata itu
dapat menyerang lawannya tidak saja dari muka atau dari samping, tetapi
ujungnya tiba-tiba dapat mematuk pula dari arah punggung lawannya.
Untunglah yang melawannya adalah Anggara yang memiliki kelincahan
melampaui ujung cemeti itu. Setiap kali ia meloncat-loncat menghindari
dari ujung senjata lawannya itu, selincah sikatan menyambar belalang di
rerumputan. Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan,
seolah-olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan pisau yang
bergerak bersama-sama.
Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi
memperhitungkan apa yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada
dibenaknya adalah bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang
telah berani merusak rencananya itu. Sesudah itu, apakah ia harus
mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan bernasib baik,
tidaklah menjadi soal baginya.
Demikianlah pertempuran antara Sura
Sarunggi dengan Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan.
Ketika Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun
segera memusatkan segela kemampuannya. Sehingga lambat laun, tampaklah
bahwa petani miskin dari Pudak Pungkuran itu dapat mendesak lawannya.
Sambil menggeram marah, Sura Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala
kesaktiannya. Namun ternyata Anggara memiliki beberapa kelebihan
daripadanya. Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain
daripada melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan.
Ilmu yang luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah
ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya keampuhan yang nggegirisi.
Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan lawannya menjadi nyeri dan
panas, seperti tersentuh oleh ulat yang paling berbahaya berlipat
seperti tersentuh oleh bisa ulat yang paling berbahaya berlipat
seribu. Dengan berteriak nyaring, Sura Sarunggi melenting tinggi.
Kemudian menyambar lawannya dengan tangannya yang mengembang. Sedang
tangannya yang lain masih juga mempermainkan cambuknya yang
meledak-ledak mengerikan.
Anggara yang melihat perubahan gerak
lawannya, segara mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah
melepaskan ilmu terakhirnya. Karena itu, iapun melontar mundur beberapa
langkah untuk mengambil jarak. Sebab, sudah pasti, untuk melawan ilmu
sakti itu, ia pun harus mempergunakan rangkapan pula.
Sura Sarunggi kemudian bertempur
benar-benar seperti Ular Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak
sebelumnya. Ia melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan
loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia menyerang dengan telapak
tangannya. Disusul dengan ledakan cambuknya memecah desir angin malam.
Akhirnya Anggara pun tak mempunyai
pilihan lain. Dalam sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam
kekuatan rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama dengan kakak
seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu yang diterimanya dari gurunya.
Ilmu yang tak kalah ampuhnya, yang dinamai Naga Angkasa. Tiba-tiba
Anggara dalam pakaian Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti
seekor burung garuda. Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang
selalu bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia
menanti lawannya menyerangnya kembali.
Demikianlah kedua orang itu bertempur
dalam tingkatan terakhir. Sura Sarunggi menjadi heran, kenapa
Pasingsingan ini tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau Alas Kobar,
tetapi ia lebih senang melawan ilmunya dengan ilmu gerak pula. Namun
Naga Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah mempengaruhi
kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas Alas Kobar, namun
pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga dengan demikian, terasa bahwa
ilmunya sendiri, Uler Kilan menjadi susut daya kemampuannya. Meskipun
demikian, Sura Sarunggi bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore.
Berpuluh-puluh tahun ia menekuni ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu
itu sampai tapis. Dengan demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah
sengit.
Namun kembali kepada sumber kekuatan,
yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun setan dan
iblis berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun
akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang akan menang. Dan akan mulailah kerajaan
Sorga yang abadi.
Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga
Angkasa yang dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang
dinamainya Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang kasar dan
bengis itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk dan luar biasa. Apalagi
kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang lain, yang
disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya dengan keringatnya,
sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian Anggara terpaksa untuk
kedua kalinya melepaskan ilmunya yang lain, ilmu yang benar-benar
diterima dari gurunya secara murni, Alas Kobar, setelah ia berusaha
menjauhkan lawannya dari pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar akan
memancar ke segala arah, sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak
untuk membebaskan orang-orang lain dari pengaruhnya.
Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa
lawannya itupun benar-benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak
mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak mau
berpikir lebih banyak lagi. Ketika terasa udara panas menyerangnya,
iapun segera membentengi diri, untuk membebaskan panas yang melibatnya.
Namun dengan demikian, terasa bahwa ilmunya menjadi semakin susut.
Kemampuannya tidak sedahsyat mula-mula. Naga Angkasa yang dirangkapi
Alas Kobar benar-benar menjadikannya cemas.
Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai
kesempatan untuk melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus
mengurai segenap kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah
putus asa, dan bertempurlah ia membabi buta.
Dalam keadaan yang demikian itulah,
akhirnya Sura Sarunggi benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika
Anggara menyerangnya dengan dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri
dengan melenting tinggi. Uler Kilan itu benar-benar telah
membebaskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan
cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu gerak Naga Angkasa,
ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura Sarunggi. Direnggutkannya
cambuk itu kuat-kuat, namun Sura Sarunggi tak akan melepaskan
senjatanya. Memang hal itu telah diperhitungkan oleh Anggara. Dengan
demikian, karena Anggara merasa bahwa Naga Angkasa dapat melampaui,
setidak-tidaknya menyamai kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan
waktu. Sura Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu telah
menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur maju, pada saat yang
bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati panjangnya bergerak
dengan cepatnya menyambar leher lawannya. Tetapi Sura Sarunggi tak mau
mati. Dengan gerak naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya dan
membungkukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi
untuk kedua kalinya Anggara menyerang dengan tangannya mengenai tengkuk
lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar mengagumkan. Meskipun saat itu
Sura Sarunggi dalam lambaran ilmunya, namun dengan kekuatan Naga
Angkasa, pukulan tangan Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang
menghantam dari langit.
Suaranya yang kasar dan keras itu telah
mempengaruhi suasana di halaman itu. Semua orang menoleh kepadanya. Agak
jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu berdiri tegak.
Beberapa langkah di hadapannya terkapar lawannya.
Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa
itu seperti peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang
mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan perasaan yang
kosong, setelah hatinya terampas oleh ketegangan yang terus-menerus.
Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam dada mereka. Ketika melihat
Sura Sarunggi jatuh tersungkur, menyalalah kelegaan di dada mereka.
Sedang Rara Wilis dan Endang Widuri kini telah benar-benar menjadi
tenang. Mereka telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah
dapat meyakinkan diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan yang
datang bersama hantu Rawa Pening itu pasti akan dapat dikalahkan.
Kehadiran Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menjadi kunci
penyelesaian apabila kedua orang berjubah yang lain tak mampu
memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua orang bertopeng yang tak
mereka kenal itu, akhirnya akan mengambil alih perbuatan-perbuatan kedua
orang yang lain itu. Apalagi kemudian mereka melihat bahwa salah
seorang dari dua orang yang menggoncangkan hati mereka telah dapat
dikalahkan.
Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak
kalah terkejutnya mendengar sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu
loncatan panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping untuk mendapat waktu
melihat apa yang terjadi atas Sura Sarunggi. Lawannya pun tidak
melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur di tanah, untuk
kemudian tidak bangun kembali.
Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya
bergulung-gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian terdengarlah
ia berteriak putus asa, “Ayo, majulah bersama-sama. Radite,
Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Bersama-sama mati pulalah
Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri. Inilah Umbaran,
tak akan mundur setapak.” Suaranya menggelegar seperti suara guruh
yang mengumandang di lembah yang berawa itu. Namun di balik suara yang
garang itu, terasa betapa kecemasan dan keputusasaan menguasainya.
Anggara masih berdiri di tempatnya, namun
ia telah memutar tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak
seperti patung, dan Radite yang langsung berhadapan dengan Umbaran
itupun belum juga bergerak. Bahkan kemudian terdengar Radite itu
berkata, “Umbaran, Anggara terpaksa membunuhnya.”
“Persetan dengan Sura Sarunggi,” jawab Umbaran.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik
nafas dalam-dalam. Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur
dengan Umbaran adalah Radite. Dan kini mereka telah dapat membedakan,
yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran. Meskipun demikian, mereka
tak akan mengganggu dua orang yang kakak-beradik seperguruan itu
menyelesaikan masalah mereka.
“Umbaran…” kata Radite, “Pergunakanlah
saat-saat terakhir ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan
menjadi lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian
bertobatlah.”
“Kenapa aku harus bertobat?” teriak Pasingsingan, “Aku
telah menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan, yang telah membentuk
diriku menjadi seorang yang bercita-cita. Aku sadar dan tahu
akibat-akibat dari perjuanganku. Aku tahu bahwa suatu kali aku harus
memilih, mukyi atau mati”
”Hem” Radite mengeluh, “jangan
begitu. Tak ada di dunia ini manusia yang bebas dari kesalahan. Kau,
aku, Anggara, Anakmas Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun
memiliki dosa masing-masing. Karena itu terhadap orang yang
telah bertobat, tak seharusnya dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun
bernoda. Kami akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita. Hanya
orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak menghukum setiap
orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke dalam lingkungan kebenaran.
Dan orang yang demikian itu tidak ada di dunia ini. Karena itu apabila
kau benar-benar bertobat, pasrah diri dengan tulus dan jujur, tak akan
ada orang yang mendendammu.”
“Bah!” jawab Umbaran, “Akan kau pikat aku dengan mulutmu. Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan membujuk dan menikam aku dari belakang.”
“Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh senjata,” sahut Radite, “Tetapi
ditentukan oleh caranya menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia
menghargai cinta atas sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.”
“Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah kita mulai,” kata Umbaran dengan lantang. “Aku
telah bertekad untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki
kuda. Kalau kau akan berbuat demikian atasku, ayolah, majulah
bersama-sama.”
“Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran…” kata Radite, “Maka
dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami tahu bahwa perbuatan itu
adalah perbuatan dosa dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Dan
dengan demikian, tak akan ada bedanya, siapakah yang dapat menikmati
cinta abadi, dan manakah yang masih hidup dalam kegelapan.”
Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama
Umbaran itu tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar mengumandang.
Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia tahu, bahwa tidak
akan ada gunanya. Tetapi ia tertawa karena berbagai perasaan bergulat di
dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan putus asa. Pada saat yang
demikian, seakan-akan berdatangan kenangan masa lampaunya. Sejak masa
kanak-kanaknya yang kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat
dibanggakan. Ia adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam
tak pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh kawan
bermainnya hanya karena uang seduwit, apalagi dalam persoalan-persoalan
yang lebih besar. Sebagai lazimnya penjudi, ayahnya adalah seorang yang
mabuk pada nafsu-nafsu keduniawian yang lain, makan, minum tuak dan
perempuan. Meskipun ayahnya tidak termasuk dalam lingkungan penjahat,
namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis daripada para
penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati. Dengan sedih ia berusaha
hidup dan menghidupi anaknya, Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan
itupun hanyut dalam arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki
datang dan menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini
kepada suaminya dan kesulitan yang disandangnya. Laki-laki datang dengan
berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu. Maka berulang kalilah
hal yang demikian itu terjadi. Laki-laki itu datang untuk kedua, ketiga,
keempat dan ketigapuluh kalinya. Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak
ada perhatian atasnya sebagai anak-anak yang memerlukan cinta kasih
orang tuanya. Ayahnya sibuk dengan dadu dan warna-warna di meja judi,
sedang ibunya sibuk melayani laki-laki yang datang mengisi kekosongan
hatinya selama itu.
Umbaran yang kecil, melihat kehidupan
dari segi yang kelam. Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci
laki-laki yang datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci
kepada ayahnya yang hampir menguras habis segala kekayaan dan harta
benda yang pernah dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya. Akhirnya ia
menerima keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya. Sebagai hal yang
seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia menganggap bahwa saat yang
pendek dalam dunia ini harus diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa
menghiraukan masa-masa mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi
yang akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia. Pada saat
manusia harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan peristiwa yang
bagaimanapun kecil dan gelapnya. Sebab pengadilan Tuhan mengenal setiap
manusia. Tuhan akan melihat, meskipun hanya setetes darah yang pernah
ditumpahkan, selembar rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat
dipungkiri. Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang
pernah memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak seorangpun yang
pernah berceritera kepadanya tentang kehadiran nabi-nabi di dunia.
Umbaran tak pernah mendengar semuanya
itu. Ketika akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras
batu. Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun nafsunya yang
melonjak-lonjak, yang dipupuknya sejak kanak-kanaknya, telah mendesak
cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya. Sehingga kemudian ia telah
bertekad untuk menutup pintu serapat-rapatnya dari segenap pekabaran
tentang kerajaan Allah yang Abadi. Kalau terasa padanya, adanya
kekuatan-kekuatan di luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia,
maka ia mencoba untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada
pohon-pohon beringin tua, pada relung-relung goa. Kepada kerajaan setan,
ia mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-kekuatan ajaib. Namun
kekuatan-kekuatan yang dilambari oleh kekuatan hitam, yang arahnyapun
untuk membuat malapetaka dan bencana bagi umat manusia.
Karena itulah ketika hatinya menjadi
gelap, maka gelaplah seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang
dapat memberinya arah. Ketika ia harus berhadapan dengan Radite itupun,
baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi suatu jurang yang dalam dan
kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke dalamnya. Ia tidak
tahu apakah di dalamnya akan dijumpainya istana gading yang indah, atau
di sana akan dijumpainya kandang serigala lapar yang siap untuk
menyobek-nyobek kulit dagingnya. Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah
basah kuyup di tengah-tengah arus sungai yang deras. Tak ada jalan
kembali.
Dengan tanpa berkata sepatah kata pun,
akhirnya Umbaran membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya. Ketika
kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar dari benaknya,
suara tertawanya pun menjadi surut, dan akhirnya terdiam. Demikian
mulutnya terkatup, dengan serta merta direnggutnya topeng yang selama
ini menutupi wajah aslinya. Dan tampaklah wajah tampan seorang yang
telah melampaui setengah abad. Matanya yang bulat bersinar-sinar penuh
nafsu, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram
topeng itu dibantingnya, dan terdengarlah ia berkata, “Radite, tak
ada artinya lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran
berhadapan dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.”
Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia
mengeluh dalam hati melihat kekerasan hati Umbaran. Namun perlahan-lahan
tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya, “Marilah kita
tidak berpura-pura lagi, tidak menjadikan diri kita orang-orang aneh
yang hanya mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita
kembali kepada diri kita, manusia yang kercil, dan tak berarti. Marilah
kita yang kecil ini mempersiapkan diri kita untuk mengharap Yang Maha
Agung. Umbaran, berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya
persoalan-persoalan lain pun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun
akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan dicapainya selama ini
tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.”
Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar mengerikan, katanya, “Jangan mengigau lagi, Radite. Bersiaplah.”
Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah
menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu kemarahan ia
mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang kehilangan
akal. Meskipun demikian, gerak-gerak yang dilontarkan menjadi semakin
berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir, “Marilah kita mati bersama-sama.”
———-oOo———-
III
Radite kemudian telah kehilangan
kesempatan untuk mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan
kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau
seharusnya tak terulang lagi. Pada saat seakan-akan ia membuka pintu
seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia
menyerahkan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan karena nafsunya yang tak
terkendalikan. Meskipun pada saat itu, ia sama sekali tidak menduga,
bahwa saudara seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang
bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di dasarnya dengan
sinar cinta yang abadi.
Demikianlah pertempuran itu kembali
berlangsung dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti
gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada
di hadapannya, sedang Radite melayaninya seperti seekor burung rajawali,
yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari ancaman
gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya, untuk kemudian menukik dengan
kuku-kukunya yang tajam dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya.
Tak seorang pun yang berani mencampuri pertempuran itu. Apalagi
Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak
beranjak dari tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju
ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah pasar yang
ribut. Arya Salaka masih juga berdiri seperti patung. Namun hatinya
berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang pula. Mereka sadar
bahwa yang dihadapinya adalah persoalan yang sama sekali berbeda dengan
persoalan yang sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak
bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka berebut
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak karena mereka berdua ingin
memiliki kesempatan untuk menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran
bertempur dengan nafsu yang meluap-luap untuk mempertahankan
cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite bertempur dengan harapan
untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan
kejahatan yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran. Radite sendiri sama
sekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi tetua para sakti dan tak ada
nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana Demak. Sebab ia tahu bahwa itu
bukanlah haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa
wahyu keraton padanya, tanpa wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa,
maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan kehancuran, apabila
mereka tidak segera menyadari kesalahannya.
Demikianlah pertempuran yang sengit itu
berlangsung tanpa gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka.
Dalam gelap malam yang semakin pekat itu,
bayangan mereka melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini
mereka telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya percaya kepada kekuatan
mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali
tak mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar maupun Alas Kobar,
sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu hanya akan berbenturan tanpa
arti. Mereka kini lebih mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang
akan ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang meskipun
sekejap.
Mendung di langit menjadi semakin tebal
dan tebal. Angin dari lembah kini sudah tidak bertiup lagi.
Sambaran-sambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek gelap
malam menjadi semakin sering, dan guruh pun menggelegar tak
henti-hentinya. Sesaat kemudian, meledaklah petir di udara, yang
kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari langit.
Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di genteng-genteng,
di cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh mereka yang dengan kaku berdiri
di halaman Banyubiru. Hujan yang seperti tertuang dari langit yang
pecah itu sama sekali tak mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak
seperti banjir bandang tak mereka dengar, sebab perhatian mereka sedang
terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang
bersaudara seperguruan. Hanya Anggara lah yang kemudian bergerak dari
tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahan-lahan ia
melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua saudara
seperguruannya sedang mengadu kesaktian, yang bersumber dari mata air
yang sama. Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap
mengalirkan air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran yang
hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar telah
mengalirkan air yang keruh. Anggara pun kemudian telah melepaskan
topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan topeng lagi. Ia sama
sekali tak merasa perlu mempergunakannya.
Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang
digerakkan oleh air hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang
memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh
kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi semakin liar
dan ganas. Namun Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan.
Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di hatinya. Seandainya, ya
seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah
menjadikannya seolah-olah lupa pada keadaan diri, maka apa yang
diprihatinkannya atas Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah
terjadi. Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah
berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir terlambat.
Terngiang kembali kata adik seperguruannya, “Kakang, agaknya Kakang
telah menunggu anak macan itu menjadi seekor macan yang ganas dan
trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan menjadi sangat berat.”
Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar berat.
Umbaran telah menambah ilmunya dengan segala macam ilmu yang didapatnya
dari daerah-daerah kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan
relung-relung goa dan dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram.
Namun Radite pun telah matang pula dengan
ilmunya. Selama ia bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak
Pungkuran bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri mendalami
ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin. Meskipun mereka menganggap diri
mereka telah hilang dari pergaulan para sakti, namun firasat mereka
tetap menuntut untuk menjagai kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu
saat mereka masih harus menampakkan diri.
Karena itulah maka kali inipun Radite
tidak dapat didesak oleh Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun
dengan tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok
itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa Umbaran lambat laun harus merasakan
betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.
Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat
kesempatan untuk lari. Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya.
Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu.
Mereka adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka adalah
orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui kesaktian golongannya.
Mahesa Jenar yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang tak
dapat dikalahkan sejak di Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil
membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa, sedang Anggara baru
saja membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.
Kini ia sendiri harus bertempur melawan
Radite. Dan ia merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja dan
seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang sungsumnya.
Namun demikian, hati Umbaran telah benar-benar dikuasai oleh iblis. Ia
tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan
terakhir dari saudara seperguruannya itu.
Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa
ia semakin terdesak. Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia
setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran berusaha untuk
menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat hujan yang
tercurah dari langit, namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang
tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin yang bagaimanapun
kencangnya.
Meskipun hujan masih belum surut, namun
berangsur-angsur gelap malam menjadi berkurang. Api di ujung kota telah
lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di
atap-atap rumah terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat
namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi. Sesaat kemudian terdengarlah
suara riuh di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang telah
berhasil mengusir orang-orang dari golongan hitam yang telah membakar
rumah dan banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala
daerahnya.
Mendengar suara riuh itu, dan mendengar
ayam jantan yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah
gelisah. Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar
sangat menggelisahkan. Apalagi suara riuh yang semakin lama semakin
dekat.
Karena itulah maka akhirnya ia menuntut
saat terakhir dari pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang
sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah maka
Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas Kobar.
Ia mengharap apabila ajinya tak dapat
mempengaruhi lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara
setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri.
Dengan demikian, udara yang panas kembali
menyala di halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati
tempat-tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya
Salaka.
Mahesa Jenar terkejut merasakan udara
yang panas itu. Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba
dan yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar tubuh mereka
di antara air hujan yang dingin.
Namun Anggara tidak membiarkan hal itu
terjadi. Segera ia melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan
batinnya untuk melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula,
seperti apa yang telah dilakukan. Bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
Alas Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka,
kekuatan-kekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh
kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di dalam dada mereka, yang
getaran demi getaran merayap sepanjang urat-urat mereka ke seluruh
permukaan tubuh. Namun mereka belum pernah mempelajari ilmu yang
sedemikian, sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke segenap
tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan sekitarnya.
Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki kelebihan daripada
mereka itu. Mereka dapat memancarkan kekuatan ilmunya, mempengaruhi
keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji Alas Kobar itu sendiri.
Radite yang pada saat itu sedang
bertempur, menjadi cemas. Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin
dalam perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia
menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orang-orang yang
berdiri di halaman itu. Karena itu, dalam saat yang pendek ia harus
dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain. Ia harus mempengaruhi
sumber dari udara panas yang membakar halaman itu. Karena itu ia
bertekad untuk melumpuhkan Umbaran pada saat yang pendek. Pada saat itu
pulalah maka terpencarlah ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar
dicari bandingnya. Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat di
langit, Radite menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil
memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian dahsyatnya,
demikian cepat dalam taraf tertinggi dari ilmunya Naga Angkasa.
Namun Umbaran tidak mau mengerti akan
keadaannya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk berdiri. Tetapi
karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat berguling-guling dan
meronta-ronta di atas tanah yang becek penuh lumpur.
Tergetarlah setiap hati yang melihat
peristiwa itu. Melihat Umbaran yang sama sekali tidak ikhlas menerima
kenyataan pada dirinya.
Radite yang berdiri beberapa langkah
darinya, berdiri tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat
maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan oleh
air hujan yang seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati Radite
berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian dengan hati-hati pula
ditenangkannya orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu. Katanya, “Umbaran, tenanglah.”
Umbaran menggeram. Ia masih berusaha
melepaskan diri. Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan
dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu
ketika Radite meletakkan kepala Umbaran di atas tangannya. Hanya kakinya
sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya menyentak-nyentak. Sekali
lagi terdengar Radite berkata, “Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.”
“Setan!” terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau. “Kau kira bahwa kau dapat mengalahkan aku?”
“Tidak, Umbaran,” jawab Radite, “Aku tidak dapat mengalahkan kau.”
“Kalau begitu…” kata Umbaran tersengkal-sengkal, “Kalau begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta maaf kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki kuda.”
“Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu,” sahut Radite.
Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang.
Tetapi kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia menggerakkan
tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah, namun orang yang telah
hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba meludahi muka Radite. Radite
terkejut. Itu adalah suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya
menarik nafas dalam-dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya dengan
lengan bajunya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara
pun kemudian melangkah mendekati Radite yang berjongkok di samping
Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan. Anggara,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun berjongkok pula. Beberapa langkah
darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri memalingkan
wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan peristiwa yang
mengerikan itu.
Kemudian terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-putus, “Kalian mau mengeroyok aku?”
“Tidak, tidak… Umbaran,” jawab Anggara. “Ayo
majulah bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu.
Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit
kalian berlapis baja dan nyawa kalian berangkap lima, namun Umbaran tak
akan mundur selangkah.”
“Tidak, Umbaran…” sahut Radite, “Aku dan Anggara adalah saudaramu seperguruan.”
“Hem…” Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta mulutnya.
Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu.
Apa yang disaksikan benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran keluruhan
budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya sama sekali tak
mendendam Umbaran, meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya.
Karena Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang merasa rendah diri
dan tak berarti, yang lebih baik bersembunyi di antara para petani,
daripada bergaul dengan orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang
mengemban tugas-tugas kemanusiaan.
Hujan yang lebat masih saja seperti
tercurah dari langit. Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan
disertai oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman
berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki
halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka melihat
halaman Banyubiru itu dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu
roma. Mereka masih sempat melihat dua orang berjubah abu-abu bertempur,
kemudian salah seorang darinya terbanting jatuh dan meronta-ronta di
tanah. Ketika beberapa orang laskar yang berdiri di bagian belakang
mendesak maju, pemimpin laskar itu berteriak, “Berdiri di tempatmu!”
Arya Salaka dan orang-orang yang berada
di halaman itu hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu.
Sesaat kemudian kembali perhatiannya beralih kepada Umbaran.
“Paman…” bisik Kebo Kanigara kepada Radite, “Bukankah lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?”
Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar Umbaran berteriak, “Apa? Apa yang akan kalian lakuan. Menipu aku lalu menusuk dari belakang?”
“Tidak, tidak Umbaran,” sahut Radite cepat-cepat. “Marilah kita naik ke pendapa.”
“Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku
adalah calon pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang
pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Kemudian akulah orangnya yang mampu menguasai seluruh tanah perdikan
Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton.”
Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah
mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah namun nafasnya
masih belum dapat diendapkan, meskipun agaknya ia telah berada di ambang
pintu maut.
“Umbaran…” bisik Radite, “Berdoalah, supaya maksudmu tercapai.”
“Ha…?” jawab Umbaran, “Kelinci yang bodoh. Hanya orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang berdoa.”
“Tuhan menentukan segala-galanya,” bisik Radite pula, “Kalau kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan mendapatkan apa yang kau kehendaki.”
Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi
semakin lemah, dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan
terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air
hujan yang jatuh di mulutnya.
Umbaran masih terbujur di tangan Radite.
Kadang-kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari
kekuasaan maut yang sudah merabanya.
“Di mana Lawa Ijo…?” Tiba-tiba Umbaran berteriak.
“Lawa Ijo telah meninggalkan kau” jawab Radite.
“Mati…?” teriak Umbaran. “Sura Sarunggi…?”
“Orang itu mati pula” jawab Radite seterusnya.
“Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak akan mati. Aku akan merajai Nusantara.” Umbaran masih mengigau.
“Berdoalah” bisik Radite.
“Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?” tanya Umbaran yang semakin payah.
“Lebih dari itu. Kau akan mengenal
kerajaan Surga, kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan bahagia
daripada kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak
mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan dan ketamakan” jawab Radite.
“Aku akan menjadi raja di sana?” tanya Umbaran dalam desahan nafas yang semakin lambat.
“Semua orang menjadi raja. Merajai
diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit
dilakukan di dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa.
Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain, meskipun beribu-ribu
bahkan berjuta-juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya” bisik Radite.
Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata, “Aku akan berdoa.”
“Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya” desak Radite.
Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya
tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi
tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan
berarti. Sebab maut adalah di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya
apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian juga
orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan
oleh Umbaran itu, namun mereka mengharap agar Umbaran dapat mengurangi
dosa-dosanya. Terdengarlah Radite berbisik, “Mudah-mudahan ia berdoa.”
Pada saat itulah nafas terakhir meluncur
dari hidung Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di
tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya
yang selama ini selalu dilapisi dengan topengnya yang kasar dan jelek.
Umbaran telah tidak ada lagi, setelah
lebih dari setengah abad ia tenggelam dalam arus nafsunya yang
melonjak-lonjak. Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya,
telah memancar dengan ungkapan yang mengerikan.
Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa
bahwa ia ikut serta membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa bahwa
ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan
oleh gurunya dan sebagian dari jerih payahnya. Tetapi ia tidak tahu,
bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam malam
yang paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu, bahkan
gurunyapun tidak. Seandainya gurunya mengetahuinya, pasti ia tidak akan
menerimanya sebagai muridnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Hanya
titik-titik air hujan sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar
di timur telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai
disingkirkan.
Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum,
namun juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya. Mereka
menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati. Radite tidak
membiarkan musuhnya mati dalam kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk
menunjukkan jalan kembali, ke daerah pelukan tangan Yang Maha Pengasih.
Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang
beku dingin itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di
atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah
Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain seakan-akan terlepas
dari suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya. Mereka kemudian
bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka
yang telah mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka yang melangkah ke regol halaman,
menerima pemimpin laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.
“Terima kasih,” jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai. “Beristirahatlah
kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan
di setiap jalan masuk. Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke
perkemahanmu.”
Laskar itupun kemudian meninggalkan
halaman itu, kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun
demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab
setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.
Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang
di balik dinding halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke
pendapa, dan duduk di belakang gurunya.
Hujan pun semakin lama semakin tipis,
sejalan dengan cahaya terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang
terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai memancarkan
cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit
perlahan-lahan hanyut dibawa angin yang bertiup dari pegunungan.
Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada gurunya, “Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis pertempuran di Pangrantunan?”
Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab, “Menurut
pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu berbahaya, Arya. Kita
tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik kalau hari ini kita pergi.
Tetapi menurut perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu
telah sebagian besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura Sarunggi dan
Umbaran telah tak ada lagi. Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka
Soka.”
Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikian
juga Kebo Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan kehadiran
Jaka Soka di halaman ini malam tadi. Sehingga terloncat dari mulut
Endang Widuri, “Paman, Jaka Soka tadi malam telah datang menjemput Bibi.”
Agaknya gadis itu telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah
segala sesuatu menjadi lebih tenang dan tidak menegangkan hati.
“Ah…” desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi, sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja.
Tetapi Radite dan Anggara masih dalam
keadaan seperti semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni
mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-masa
lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak pernah mengalami
suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa mereka
bersama-sama telah meneguk air dari sumber yang sama. Namun demikian,
terasa pula oleh mereka, bahwa tak seorang manusia pun yang sempurna.
Pasingsingan sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu
lahir dan batin. Namun ia adalah manusia biasa. Manusia yang kerdil daan
kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia yang
pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka Pasingsingan berbuat
salah. Ia telah menerima Umbaran itu berkhianat. Menodai nama baik
perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik kepada
saudara-saudara seperguruannya, Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan
terpercik ke gurunya pula. Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam
usahanya menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya dengan
ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti ilmu Umbaran itu
sendiri. Sebab belumlah pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya.
Melihat mereka, Radite dan Anggara masih
tenggelam dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri
sambil menundukkan wajahnya. Sehingga untuk beberapa saat pendapa itu
kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa Jenar
berkata, “Arya, suruhlah beberapa orang merawat mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-nodanya.”
Arya Salaka pun segera berdiri, menemui
beberapa orang di gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah
meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka yang
terlukapun telah mereka rawat sebaik-baiknya. Kepada mereka, Arya
memerintahkan untuk memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama
menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan kawan-kawannya.
Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya Radite berkata, “Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan, biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.”
Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya, “Kenapa mesti di bawa ke Pudak Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan penguburannya seperti yang Paman kehendaki.”
“Anakmas…” sahut Radite, “Umbaran
adalah saudara seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas
segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku
dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru datang
bertanya kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti, guru pasti sudah
mendengar berita tentang kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan
mencari aku untuk menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh
Pasingsingan pula.”
“Kalau demikian...” jawab Mahesa Jenar, “Terserahlah kepada Paman.”
“Terimakasih Anakmas,” jawab Radite, “Mudah-mudahan dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.”
“Paman…” jawab Mahesa Jenar, “Setiap
orang akan mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang
bersalah, juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi
Umbaran, manusia yang bernama Umbaran itulah yang berdosa. Dan ia telah
menerima hukumannya.”
Kembali mereka berdiam diri. Sesaat
kemudian kembali Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan
beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara kembali
ke Pudak Pungkuran dengan membawa mayat Umbaran.
Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya, “Anakmas,
barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas kerjakan.
Pekerjaan yang lebih penting daripada menemui aku di sini. Karena itu,
aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran.”
Radite dan Anggara tak dapat dicegah
lagi. Karena itu segera merekapun berangkat beserta beberapa orang yang
menyertainya mengusung Umbaran.
“Lain kali aku datang lagi,” kata Radite, “Dalam
kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti berkesempatan
bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi
orang tua itu pasti tak akan mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah
topeng kasar yang jelek itu.”
“Baiklah Eyang,” sahut Arya Salaka, “Aku akan sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak dikenal akan menemuinya.”
Kemudian berjalanlah iring-iringan itu
meninggalkan Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah
timur. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain
mengantar mereka sampai beberapa langkah ke luar alun-alun Banyubiru.
Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan, maka mereka
kembali ke pendapa duduk melingkar di atas tikar pandan.
Mantingan menceriterakan apa yang
dilihatnya, sejak awal sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang
bergoyang-goyang, muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka.
Kemudian Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua
orang yang menyerupai Pasingsingan pula.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka mendengarkan ceritera itu dengan hati yang berdebar-debar.
Akhirnya mereka mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan
orang-orang yang berada di pendapa itu.
———-oOo———-
IV
SEHARI itu mereka beristirahat di
Banyubiru. Mereka tidak perlu mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana
masih ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten
dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti apabila matahari telah condong
dan panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan, mereka
baru akan berangkat ke Pangrantunan.
Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis
maupun Endang Widuri seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang
selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar pun
merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan mereka yang masih
dibayangi oleh kecemasan itu duduk sendiri dengan gelisah. Widuri,
seperti anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu
mengikutinya ke mana ayahnya pergi. Kebo Kanigara menjadi geli
karenanya, meskipun ia dapat merasakan betapa pengaruh keadaan semalam
telah sedemikian dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu
sambil tertawa ia berkata, “Widuri, kenapa kau membayangi aku
terus-menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?”
“Ah….” Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya semalam.
“Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna hijau seperti yang kau impi-impikan?” tanya ayahnya pula.
“Ah….” Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang manja justru ia berkata, “Tentu.
Tentu ayah menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah ayah
sanggup membelikan buat aku? Janji ayah telah lebih setahun yang lalu.”
Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya
bergurau, sebab Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu membeli
kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka
mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja merayap di dalam hatinya suatu
janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan tegalannya di
Banyubiru seperti masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk
membeli kain sutera berwarna hijau. Meskipun ia tidak tahu, apakah
Widuri akan menerimanya, seandainya ia nanti memberikannya.
“Gila!” hatinya membantah sendiri, “Kenapa
aku ribut-ribut tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang
kita sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?”
“Apa salahnya…?” Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya,
mengusir perasaan yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk
melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang duduk di
hadapannya, “Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang berpakaian
mirip dengan Pasingsingan itu? Agaknya Paman telah mengenal mereka
dengan baik.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. “Ya, aku telah mengenal mereka” jawab Mahesa Jenar. “Mereka adalah saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya bernama Umbaran.”
Seterusnya Mahesa Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite
dan Anggara. Widuri yang mendengar segera berlari-lari ikut serta
mendengarkan ceritera itu. Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan
Sendang Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.
“Mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” desis Arya Salaka, ”Mereka berhasil mengalahkan dan bahkan membunuh Sura Sarunggi dan Pasingsingan”
”Ya, merekaadalah orang-orang yang
luar biasa, yang selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka
menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin di Pudak
Pungkuran, ketika mereka mereka merasa bahwa mereka telah berbuat suatu
kesalahan.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang
yang bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu
tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di Gedong Sanga, dan kemudian
ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra. Juga Kebo Kanigara
berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka mendapat
kesimpulan bahwa setidak-tidaknya gurunya memiliki ilmu setingkat dengan
Radite dan Anggara. Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum
mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-benar pernah
mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
pernah bertempur melawan Radite dan Anggara pada saat mereka mencoba
untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di Pudak Pungkuran.
Pada saat itu ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan
masing-masing.
Demikianlah mereka sehari-hari itu
beristirahat di Banyubiru. Ketika matahari sudah semakin rendah, maka
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk
kembali ke Pangrantunan. Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi,
sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat mereka
hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya.
Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar ingin melihat apa
yang terjadi di Pangrantunan. Kali ini Kebo Kanigara tak dapat
menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam rombongan itu. Karena
kemudian Rara Wilis tak mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di
Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut serta di dalam rombongan, apalagi
ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di Pangrantunan.
Dengan demikian ia akan dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya
keluarga yang masih ada.
Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta
beserta Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka
mendapat pesan, apabila ada kekalutan supaya langsung memberitahukan ke
Pangrantunan atau Pamingit. Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak
akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki kekuatan
lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan mencukupi.
Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang berdiri sendiri. Seorang diri,
tanpa laskar dan tanpa pengikut. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang
itupun tak akan datang. Agaknya orang bongkok dari lembah gunung Cerme
itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan Sabuk Inten.
Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya
kawan-kawannya atau lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan dengan
leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sementara itu golongan hitam telah kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.
“Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Jangan
layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya memerlukan Nagasasra dan
Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak
menemukan apa-apa.”
Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar
dengan baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat.
Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka bahwa cahaya
yang cerah telah mulai memancar di atas tanah perdikan Banyubiru. Awan
yang kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang berhembus tak
henti-hentinya. Mantingan jadi teringat pada ceritera-ceritera
pewayangan yang sering dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di
belakang layar putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun
akhirnya kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah pancaran
dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua sudah siap, maka segera
mereka naik ke punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda,
sedang Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan
setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang aneh-aneh di atas
punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya.
Tetapi ia tertawa saja apabila ayahnya memperingatkannya.
Demikianlah maka setelah sekali lagi
mereka mohon diri kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta
beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-kuda
itu meninggalkan halaman. Tetapi ketika Arya Salaka hampir sampai di
muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudanya, sehingga kuda itupun
berhenti.
“Ada apa Arya?” tanya gurunya, dan semua mata pun memandang ke arahnya.
“Pisau,” jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang tumbuh di samping regol.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua bilah pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning kemilau.
“Kyai Suluh,” desis Mahesa Jenar, “Ambillah Arya.”
Arya segera meloncat turun dari kudanya.
Dengan cekatan, ia memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian
diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama
lain, sehingga Arya tak mampu membedakannya.
“Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu?” tanya Arya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah” jawabnya.
“Cobalah Arya” pinta Kebo Kanigara.
Arya segera menyerahkan kedua pisau
belati itu. Mantingan pun kemudian berdiri pula di samping Kebo
Kanigara. Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai
batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya. Juga
perasaannya yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran
yang memancar dari besi-besi aji. Kanigara pun agaknya memiliki
pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata, “Inilah yang asli.”
Mantingan mengangguk. “Kakang benar.
Aku juga menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya,
meskipun keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip
dengan aslinya.”
“Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan yang luar biasa.” Kanigara meneruskan, “Pengaruhnya
atas ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang, pengaruh
itu pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan
hati serta keberanian Umbaran, namun aku menyesalkan atas tujuan yang
akan dicapainya.”
Tak seorangpun yang menyahut. Semua
membenarkan kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan yang
tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Siapakah yang berhak menerima pisau-pisau ini?”
“Paman Radite dan Anggara” jawab Mahesa Jenar.
“Mereka tak memerlukan lagi,” sahut Kebo Kanigara, “Ternyata
mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di halaman Banyubiru.
Bukankan maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa
Banyubiru?”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar. “Setidak-tidaknya pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti diperlukan, biarlah keduanya dikembalikan.”
“Baiklah,” kata Kebo Kanigara, “Agaknya Arya Salaka yang wajib menyimpannya.”
Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka
yang berdiri dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah
kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan,
di tengah-tengah sawah dan tegalan, di hutan dan di lautan. Namun dari
wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan
murni. Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan dan penderitaan
itu benar-benar memiliki kesederhanaan berpikir, meskipun otaknya cukup
cerdas. Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut
bergembira, segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah
pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya, meskipun belum
pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk seterusnya.
“Arya...” terdengar Kebo Kanigara meneruskan, “Simpanlah
pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu. Ketabahan serta
keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi
dapatlah menjadi peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk
mempergunakan pusaka itu dalam perjalanannya yang sesat.”
Dada Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju
selangkah, dan dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh dari
tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula, “Kau telah memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah dimiliki oleh Pasingsingan.”
“Aku akan selalu mengingatnya, Paman” jawab Arya Salaka. “Apa yang telah terjadi dengan Umbaran.”
Tiba-tiba terdengar Widuri menyela, “Ayah, aku juga punya cincin yang bermata merah menyala.”
Kebo Kaniara menoleh kepada putrinya, “Apakah itu?”
Widuri menunjukkan jarinya yang dilingkari oleh sebuah cincin yang bermata merah menyala.
“Kelabang Sayuta…” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Widuri, “Lawa Ijo menamakannya demikian.”
“Lawa Ijo,” sahut Widuri.
Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak
perempuannya yang mati dan tentang prangsangkanya yang salah terhadap
istrinya.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka pun mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo
telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban keadaan di
sekitarnya. Keluarganya, ruang pergaulan dan sahabat-sahabatnya. Bahkan
mungkin, selain mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan
beratus-ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin dalam
pergaulan dengan sahabat-sahabatnya, mungkin dalam keadaan yang tak
serasi di dalam rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang
sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang baik
diperlukan penilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak masa
kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan tempat mereka
menempa diri, yaitu perguruan-perguruan.
Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan bergumam, “Takdir telah menentukan atas kedua pusaka itu.”
Semua orang menoleh kepadanya. Di antara
mereka ada yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak
meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Wanamerta
lah yang menangkap maksud kata-kata itu. Kata-kata yang terlanjur
melontar demikian saja dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian
Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum, Mantingan ikut tersenyum pula.
Malahan Kiai Wanamerta berkata perlahan-lahan, “Kami orang-orang tua hanya berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.”
Yang lain tak dapat mengerti apa yang
mereka maksudkan. Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka bahwa
Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan orang-orang dari
golongan hitam. Namun sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara berpikir, “Apakah
kedua pusaka, yang masing-masing berada di tangan Arya dan Endang
Widuri itu akan menjadi perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?”
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa
Jenar tidak berkata apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat
kepada perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian
kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk meneruskan perjalanan itu.
Maka merekapun segera berkemas. Kyai
Suluh kini berada di pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih
menggenggam tombak Banyubiru. Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih
di bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak memerlukannya,
namun belum ada orang yang akan diserahinya untuk menyimpan pusaka itu.
Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara
berusaha untuk dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu.
Seperti juga Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai
pengaruh yang jelas kepada pemiliknya. Akik itu akan dapat mempengaruhi
keuletan dan keterampilan berpikir.
Demikianlah rombongan itu berjalan dengan
kecepatan sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam,
kemudian Rara Wilis dan Endang Widuri yang menjajarinya. Di belakang
mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka kini
merasa bahwa sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat sudah selesai.
Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi
Mahesa Jenar yang paling membesarkan hatinya, adalah sikap Lembu Sora.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan untuk
kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali kepada kesadaran diri atas
segala ketamakan dan keserakahannya.
Matahari semakin lama menjadi semakin
rendah, seakan-akan kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan
di sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap
arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi. Daun-daun yang hijau menjadi
semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama semakin pudar.
Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di lereng-lereng
bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik pegunungan.
Di langit kini bermunculan
bintang-bintang. Satu demi satu. Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung
lagi. Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain.
Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke utara. Yang kemudian
seakan-akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu kemudian
menjadi semakin tebal dan menjadilah lapisan mendung di langit yang
luas.
Rombongan kecil itu mempercepat
perjalanan mereka. Mereka takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat
malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat.
Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi. Lebih baik berbaring di samping
perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan
di hujan yang dingin.
Beberapa saat kemudian tampaklah di
kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak
Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari
semakin cepat. Perapian itu tampaknya hanya satu dua saja. Tidak seperti
kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan.
Ketika kuda Arya memasuki daerah itu, ia
benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok
orang-orang yang sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit
dan Banyubiru yang banyak itu?
Arya menarik kekang kudanya. Ia berhenti
agak jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka
berhenti.
“Kenapa sesepi ini, Paman…?” bisik Arya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama. Kata Mahesa Jenar, “Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru…?”
“Entahlah” jawab Arya.
Kembali mereka berdiam diri. Dengan
tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mencoba untuk mengetahui apa
yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di
samping perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan.
Sedang orang-orang yang berada di
perapian itu pun bersiaga ketika mereka mengetahui ada rombongan
orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa
langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun menyongsongnya
dengan tombak yang tunduk.
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang dari mereka.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orang-orang itu menjadi semakin dekat.
“Siapakah kalian…?” terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi.
Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka
bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut, “Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan.”
“O.…” sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
“Laskar manakah kau?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Pamingit,” jawab orang itu, “Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.”
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun mendekat.
“Kenapa sepi?” tanya Arya Salaka.
“Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke induk pasukan,”
jawab orang itu. Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat kesan yang baik.
Mahesa Jenar beserta rombongannya
kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka dibawa ke
pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi
memegang pimpinan pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia berkata, “Silahkan Tuan-tuan.”
Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal
orang itu, Wulungan. Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan
tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari kuda-kuda
mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale
yang besar, hampir memenuhi ruangan.
“Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan,” kata Wulungan. “Kami
mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi. Karena itu, ketika Tuan-tuan
tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana
berpesan, apabila malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus
menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.”
“Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan,” sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya, “Kami terkejut ketika kami melihat daerah ini sedemikian sepi.”
“Semuanya sudah selesai” jawab Wulungan.
“Selesai…?” ulang Arya Salaka.
“Ya. Pekerjaan kami sudah selesai.
Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah
Pamingit. Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika
kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah kosong. Seorang
pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah
ini, namun pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi,” jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya, katanya, “Jadi aku sudah terlambat?”
“Apa yang terlambat?” tanya ayahnya.
“Aku tidak dapat melihat pertempuran itu,” sahut Widuri.
“Beruntunglah kau,” kata ayahnya pula.
”Salah ayah. Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu” jawab Widuri.
“Beruntunglah kau,” ulang ayahnya, “Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir, melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.”
“Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan,” Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum, Mahesa Jenar pun tersenyum. “Tetapi bukankah kau masih utuh?” sambung ayahnya.
Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
“Nah, Tuan-tuan…” Wulungan memecah kesepian, “Beristirahatlah.
Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke Pamingit. Ki Ageng Sora
Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.”
“Siapakah tamu-tamu itu?” tanya Arya.
“Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten” jawab Wulungan.
Kemudian Wulungan meninggalkan mereka
untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh
angin. Tetapi udara terasa betapa panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan
udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk
menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk
berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih tampak menyala-nyala.
Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan
tubuh. Memang di udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin
daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang merebus
jagung.
Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika
ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua
senjatanya ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di
Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan demikian ia berjalan
saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa.
Namun yang tak diketahuinya, beberapa
pasang mata sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang
mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di balik pepohonan dan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu.
Menilik gerak-gerik mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat
diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah Arya
Salaka. Arya masih belum menyadarinya. Sehingga dengan demikian,
orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini
lebih merapat lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan
kewaspadaan.
Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata
telah benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa,
namun didengarnya gemersik daun-daun kering di kiri-kanan jalan sempit
itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi.
Arya Salaka tidak segera menoleh atau
mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang
lain, bahkan seandainya ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak
akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya,
gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya memperlambatnya
dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun
lambat pula. Akhirnya Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya
yang berjalan kembali lewat jalan itu pula. Suara gemersik itupun
berhenti dan berputar pula mengikutinya.
Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan
perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau
orang itu akan menyerang atau berkepentingan dengan dirinya, maka orang
itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat
dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan
mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan berhenti. Dengan demikian
menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu
dari mereka.
Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi.
Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang waktu, dan tak
mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di
mana telah menunggu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi.
Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin jelas, dan
tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah
seorang yang cukup memiliki bekal pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah
sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu,
segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Tetapi ketika ia melihat orang yang
berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun
beraninya, namun dada Arya Salaka berdesir pula. Di hadapannya kini
berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng
kulit kayu kasar.
“Pasingsingan,” desis Arya.
Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya, “Apakah hanya Pasingsingan yang memiliki topeng di dunia ini?”
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan
memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang jelek
dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain.
Ia tidak mengenakan jubah, dan topengnya dibuat dari klika kayu yang
sangat sederhana.
“Siapa kau?” tanya Arya Salaka.
“Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega” jawabnya.
“Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu?” tanya Arya pula.
“Bukankah kau Arya Salaka…?” tanya orang bertopeng itu.
Arya tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya, maka ia pun menjawab dengan jujur, “Ya, aku Arya Salaka.”
Orang itu tertawa. “Jadi kaulah yang mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru?”
“Kenapa kau sangka aku mengaku-aku..?” sahut Arya Salaka. “Aku tidak akan mengaku demikian seandainya ayahku bukan kepala daerah perdikan Banyubiru.”
Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati. Katanya “Di mana ayahmu sekarang?”
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka. Karena itu ia menjawab, “Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?”
“Ikut aku” kata orang itu.
“Lalu…?” sela Arya.
“Jangan bertanya” jawab orang itu.
“Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan” kata Arya.
“Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak?” desak orang itu pula.
Arya masih mencoba menyabarkan diri, meskipun hatinya bergelora. Meskipun demikian ia menjawab, ”Jangan memaksa”
”Jawab pertanyaanku. Mau atau tidak” berkata ora itu pula.
“Tidak” jawab Arya tegas.
“Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi mayat” kata orang itu.
Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang
ini. Apakah ia dari golongan hitam atau dari golongan lain yang tak
menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai
satu-satunya orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru?
Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama. Sebab orang itu membentaknya, “Bersiaplah!”
Arya tak sempat menjawab. Ia melihat
orang itu meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun
telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan
dengan lincahnya ia pun membalas menyerang lawannya. Demikianlah maka
segera terjadi perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih
meragukan lawannya. Namun ketika lawannya itu bertempur dengan
kerasnya, maka ia pun tak mempunyai pilihan lain daripada melayaninya
dengan sekuat tenaganya.
Orang bertopeng itu bertempur dengan
gigih. Ia tidak banyak bergerak, namun serangan-serangannya yang datang
tak ubahnya seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun
berguguran. Namun Arya telah bertempur selincah kijang. Dengan cepat dan
tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang
datang. Bahkan serangan-serangannya pun datang seperti badai yang
dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang demi gelombang.
Karena itupun maka pertempuran itu
menjadi semakin seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga untuk
mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap,
tangguh dan tanggon. Namun lawannya pun bertempur seperti seekor gajah
yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya.
Demikianlah pertempuran itu berjalan
semakin sengit. Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup
dapat mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu waspada.
Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan kanan jalan. Sehingga
kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya seorang. Ia pasti
mempunyai kawan. Dengan demikian ia harus selalu waspada, sebab setiap
saat kawannya itu akan dapat muncul dan menyerangnya bersama-sama.
———-oOo———-
V
Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya
bertempur, orang yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi
curiga. Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar
kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah, dengan lantang berkata, “Hai,
orang yang licik. Ayo keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan
bertempur bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan main
sembunyi-sembunyian.”
Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu
sajalah yang bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata
dengan marah, ia pun menyahut, “Jangan sombong, kau kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang bernama Arya Salaka…?”
“Aku tak berkata demikian,” jawab Arya sambil bertempur. “Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan mengambil kesempatan yang licik.”
“Aku bukan betina,” kata orang
bertopeng sederhana itu. Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin
keras. Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi
bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi Arya Salaka pun telah
kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah memuncak. Arya tidak
tahu dengan siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benar-benar
bertempur antara hidup dan mati. Karena itu ia pun bertempur
mati-matian. Ia tidak mau menjadi korban dalam persoalan yang gelap.
Pertempuran itu sudah berlangsung
beberapa lama. Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat memenangkan
perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap tenaga yang
mereka miliki, namun perlawanan merekapun menjadi semakin bertambah
sengit.
Tetapi lambat laun, Arya merasakan
sesuatu yang aneh pada lawannya. Seolah-olah ia pernah mengenal
gerak-gerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata
berkelahi yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika
Arya mendesak terus, lawannya itu tak mampu lagi mempergunakan tata
gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga akhirnya lawan Arya
yang bertopeng itu terpaksa mempertahankan dirinya dengan ilmu yang
sesungguhnya dimilikinya.
Arya Salaka mencoba mengamati setiap
gerak dan perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan tangannya
di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar
sikunya apabila ia mencoba melindungi lambungnya. Serangan-serangannya
pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang mengepal
berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung jari dari keempat
jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah leher dan perut. Dengan
sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek.
Kaki Arya pun dengan lincahnya bergerak dan meloncat. Kadang-kadang
seakan-akan tertancap di tanah seperti tonggak besi yang tak
tergoyahkan. Namun kadang-kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung.
Arya sempat mengingat-ingat sambil
berkelahi. Meskipun kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan
dahsyat. Sekali-kali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan
lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu menyambar dadanya, ia
menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya meloncat maju. Dengan
kaki yang lain, orang bertopeng itu menyapu kakinya yang baru saja
menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak sempat mengelak.
Karena sapuan itu, Aya kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang
yang cukup terlatih. Dengan demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya
dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.
Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan menyambar
dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia hanya sempat menarik wajahnya
untuk mengurangi tekanan pukulan lawannya, namun wajahnya itupun
terangkat pula. Perasaan sakit seperti menyengat dagunya itu. Ia
terdorong selangkah surut. Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan,
dengan tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau
menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali
lagi Arya meloncat ke samping, kemudian dengan lincahnya ia memutar
tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya. Terdengar lawannya
mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke arah dada. Sekali
lagi orang itu terdorong ke belakang. Dan Arya mengejarnya terus.
Dengan demikian pertempuran itu kian seru
dan berbahaya. Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian
perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang tiba-tiba dari
orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun
demikian Arya tak dapat dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah bahwa
Arya dapat melawan dengan baiknya dalam keseimbangan yang setingkat.
Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba
pula ia mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian dahsyat itu pernah
dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti. Gerakan-gerakan ini demikian
mirip dengan ilmu saudara sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu
Sawung Sariti? Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki
hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang.
Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung Sariti. Namun karena orang
itu berkerudung kain yang kehitam-hitaman, sehingga dengan demikian ia
tak dapat menilainya dengan jelas.
Meskipun dapat masuk di akal, apabila
tiba-tiba Sawung Sariti menyeranganya, namun ia tidak berani
berprasangka demikian. Apalagi ia meragukan bentuk tubuh lawannya itu.
Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini
eyangnya yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti
itu diterima dari eyangnya. Tetapi tubuh eyangnya pun tak sebesar itu.
Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa? Apakah
pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin. “Tidak,” hatinya melonjak, “Mudah-mudahan bukan Paman.”
Sambil berteka-teki Arya melayani
lawannya. Meskipun pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang,
namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya tidak
setinggi itu dan leher pamannya agak lebih panjang. Tetapi
sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah
pamannya dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung
Sariti yang berwajah bengis dan bernama Galunggung. Sebab ia tidak yakin
bahwa Galunggung memiliki ilmu sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat
menyangka bahwa orang itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu
mempergunakan ilmu Pangrantunan sampai tingkat itu. Apakah Wulungan
dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur. Jujur dalam menilai
diri sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-kesalahan sendiri.
“Siapa…? Siapa….?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang bersembunyi di balik pagar.
Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di
kejauhan. Obor orang-orang Pamingit yang bertugas menunggunya di
Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit
itu mungkin akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di pondok
penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah orang
Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam yang gelap itu.
Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka sempat melihat daun-daun
yang bergoyang di pagar dekat tempat mereka bertempur. Matanya yang
tajam melihat sebuah bayangan yang merapat di pagar bambu yang telah
rusak. Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti
akan menghadang orang yang membawa obor dan yang semakin lama semakin
dekat. Arya Salaka menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu
apa yang terjadi. Bahkan orang yang membawa obor itu mungkin seorang
atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia mendapat serangan yang
tiba-tiba, maka akan terancamlah jiwanya. Karena itu Arya tidak mau
membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia harus berbuat sesuatu untuk
menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani
lawannya yang menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak
henti-hentinya. Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib
orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak, “Hai, siapa yang membawa obor itu?”
“Kenapa kau berteriak-teriak?” tanya orang yang bertopeng.
“Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini,” sambung Arya tanpa memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
“Kau mencari kawan?” sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor, “Ada apa di situ?”
“Jangan mendekat,” teriak Arya
sambil bertempur terus. Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega
hati. Namun terdengar orang di balik pagar berdesis, “Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.”
“Siapa kau?” tanya Arya.
“Jangan ribut!” bentak orang di
balik pagar itu. Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh.
Malahan kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang
yang membawa obor itu telah berlari sekencang-kencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata, “Nah, jangan menunggu laskar-laskar yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian?”
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak
menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan
Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang
seperti ombak di lautan, beruntun menghantam tebing. Semakin lama
tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya
menjadi semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan
tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula oleh lawannya,
berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan
menghindar. Meskipun ia berusaha sekuat tenaganya, namun ia tak dapat
menekan Arya Salaka yang muda itu.
Meskipun demikian, orang di balik pagar
itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi
bertambah pusing. Kalau orang itu ingin membinasakan, kenapa orang di
balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya
bersama-sama. Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada,
apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang
setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki
yang tinggi hati?
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki.
Orang yang membawa obor itu adalah orang
Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia
mendengar teriakan Arya, ia menjadi ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin
ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok.
Ketika ia berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang
nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata, “Ki Sanak, ada bahaya di jalan ini.”
Laskar itu pun bertanya, “Dari mana kau tahu?”
“Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat…!” jawab orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. “Marilah kita bawa Kakang Wulungan.”
“Ayolah” jawab yang pertama.
Kedua orang itupun cepat-cepat berputar
lewat jalan lain menuju ke pondok Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan
berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia, “Apa yang terjadi?”
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
“Nah, itulah…” sahut Mahesa Jenar, “Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang diteriakkan.”
“Marilah kita lihat,” desis Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan, “Kau tetap di sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera
melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk
mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa
orang yang masih enak-enak duduk di samping perapian sambil merebus
jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan
kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka
kehendaki.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak mau
mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar Pamingit itu
lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar
bahwa jalan itu berbahaya. Karena itu mereka justru memilih kebun dan
gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani
lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik
daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak
orang bertopeng itu, meskipun untuk berbuat demikian Arya harus berjuang
ngetog kekuatan dan ilmunya. Disamping kemenangannya yang datang lambat
sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira dapat
dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu.
Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya
datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam
kelam. Seorang, lalu disusul seorang lagi.
Melihat mereka, Arya segera menyiapkan
diri. Arya belum pernah melihat mereka berdua. Yang seorang agak pendek
bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya
mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka. “Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat,” pikir Arya, “Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk melawannya.”
Di dalam gelap malam, Arya tidak
memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih
harus bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan
apa-apa mengenai wajah kedua orang itu.
Karena itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir. “Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?”
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, “Tutup mulutmu.”
“Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat?” Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng itu. “Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita?” sahut Arya.
“Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki” jawab orang bertopeng itu.
“Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah siapa kau.”
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari
adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar adiknya yang membawa
orang-orang asing untuk membunuhnya?
“Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu”
bentak orang bertopeng itu. Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya
pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini
benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di
hadapannya, kalau orang-orang itu benar-benar akan membinasakannya
apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian. Sebagai seorang
laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang
dada. Namun iapun tak mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha
untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya, suaranya dan
kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak
berkata sekasar itu, namun lebih licin, licik dan menyakitkan hati.
Tatageraknya pun agak berbeda. Adiknya licin dan cekatan, orang itu
tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli
lagi, siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak,
Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertaruhkan segenap
ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata
bertatagerak lain. Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka
agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa
Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum
segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia
melontar mundur agak jauh dari lawannya, dipusatkannya segala daya
kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu
terakhirnya, Sasra Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh
peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak
mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak, “Arya, jangan. Jangan.”
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu.
Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena
pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa
mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya menjalar ke sisi
telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara, “Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.”
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat
berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir
diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan
kanannya yaag sudah mulai bergerak, disilangkannya di muka dadanya untuk
meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya.
Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai
tubuh Arya sepenuhnya.
Arya Salaka melihat dua orang
perlahan-lahan menyusup di bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di
sampingnya. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya sama
sekali tidak mengesankan ketegangan yang dialaminya selama ia bertempur
melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan perlahan-lahan Mahesa Jenar
menepuk pundaknya sambil berkata, “Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.”
Dua orang kawan orang bertopeng itu
melangkah surut. Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah
pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak seperti
patung.
Arya menjadi keheran-heranan melihat
sikap gurunya, yang seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini.
Dirasanya dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh
keringatnya yang mengalir dari segenap wajah kulitnya. Namun Mahesa
Jenar menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan yang
menyenangkan.
Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap
gurunya. Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang bertempur melawannya
itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu pula bahwa kedua
kawan orang bertopeng itu adalah orang-orang yang tak berarti apa-apa
bagi gurunya dan Kebo Kanigara.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya, siapakah lawanmu itu?”
“Aku tidak tahu, Paman,” jawab
Arya. Mahesa Jenar menoleh kepada orang bertopeng kulit kayu yang
sederhana itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika
kayu yang dilubangi di kedua lubang mata, kemudian diikat pada
kepalanya dengan tali dan ikat kepalanya.
“Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk melawanmu?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ya, aku mengenal Paman” jawab Arya.
“Nah, ilmu siapakah itu?” desak gurunya.
“Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan” jawab Arya.
“Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki ilmu itu.”
Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat.
Lembu Sora dan Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab,
namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, “Ada dua, Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung Sariti.”
“Siapakah di antara mereka?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi
ia melihat orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki
sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak dapat ditebaknya
dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu.
Orang bertopeng itu berdiri seperti
patung. Dua orang kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan
pagar di tepi jalan. Akhirnya Arya menebak saja sekenanya. “Paman, orang itu bukan adi Sawung Sariti.”
“Jadi…?” desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap menjawab, “Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.”
“Apakah kau pasti?” tanya Mahesa Jenar.
Arya kini benar-benar bingung. Bingung
sekali. Ia tahu bahwa bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun
juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak
berbeda. Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Agaknya kau tidak pasti Arya.”
Arya mengangguk.
“Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan?”
Terdengar orang bertopeng itu menggeram.
“Tak ada,” jawab Arya.
Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang yang merapat di tepi jalan. Katanya kepada kedua orang itu, “Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat di leher kalian.”
“Hem….” kedua orang itupun menggeram.
“Arya...” kata Mahesa Jenar, „Adakah kau pernah menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?”
Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah
pada masa kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata
gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab, “Pernah, Paman.”
“Siapakah yang memberimu pelajaran?”
Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang memiliki ilmu itu, jawabnya, “Ada orang yang memiliki ilmu itu, Paman, tetapi…”
kata-kata Arya terputus. Orang itu adalah ayahnya. Dan ayahnya kini
sedang berada di Demak. Diingatnya kata-kata ayahnya pada saat ia
meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap dalam gelar
Dirada. Katanya pada saat itu, “Arya, aku akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali.”
Tiba-Tiba tubuh orang bertopeng itu
bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja
tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak
dapat lagi menahan hatinya. Demikian topengnya terlepas dari wajahnya,
berkatalah orang itu, “Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu perguruan Pangrantunan.”
Suara itu di telinga Arya Salaka
terdengar seperti suara runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras
sekali, dan jantungnya bergelora seperti akan meledak.
Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir berteriak, “Ayah!”
Sesaat Arya mengamat-amati wajah itu.
Meskipun di dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya telah tercetak di
dalam hatinya. Sehingga, dengan segera ia dapat mengenal kembali,
meskipun hanya garis lekuk-lekuk wajah itu. Hampir tak ada perubahan
sejak kira-kira lima enam-tahun yang lampau. Karena itu tiba-tiba
darahnya seperti melonjak-lonjak. Dan tanpa sesadarnya Arya melompat
maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar. “Ayah, betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.”
Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan tidak mengandung nada permusuhan, “Kau masih mengenal aku dengan baik bukan, Arya?”
Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba
penuh dengan kata-kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya segera
tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar keluar
hanyalah sepatah kata, “Ya.”
Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan
bangga. Kemudian anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia
memandang kepada Mahesa Jenar, “Hampir aku tak percaya, bahwa anak
inilah yang pernah aku tinggalkan lima tahun yang lampau.”
Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia
melangkah maju. Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh
Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu
dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh Mahesa Jenar bahwa tangan itu
gemetar.
Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat
Arya hampir bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan
yang sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-saat
yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu berdiri di hadapannya.
Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang berdiri merapat pagar. “Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?”
Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya menjawab, “Permainanmu ternyata lebih baik daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang.”
Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, “Hampir
aku tidak tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya bukan
main. Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya
menjadi semakin bingung.”
Kedua orang itupun kemudian melangkah
maju. Seorang bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir.
Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit
yang datang dari Demak.
Kedua orang itu mengulurkan tangannya
pula, yang disambut oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu
diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah
mendengar nama itu, namun baru kali inilah mereka berhadapan dengan
putra Ki Ageng Pengging Sepuh.
“Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah Sora” ajak Mahesa Jenar, “Barangkali Kakang Gajah Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu ceritera yang menarik.”
Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih belum terang, apakah kedua
prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora. Namun ia
berkata, “Mari Adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku mempersilahkan kalian.”
Gajah Sora menoleh kepada dua orang
prajurit yang ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit
itupun mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, “Marilah, akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas dan besar-besar.”
“Tidak Adi,” sahut Mahesa Jenar, “Tetapi barangkali Adi tidak biasa digigit nyamuk.”
“Ah…” desis Gajah Alit, “Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk?”
Mahesa Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak.
Kemudian berjalanlah mereka beriringan ke
pondok. Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih
berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di dalam
gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa Jenar, segera iapun melangkah
menyambutnya, “Apakah yang terjadi?” ia bertanya.
“Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka,” Mahesa Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya meneruskan, “Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya?”
Wulungan mengerutkan keningnya. Nyala
obor di muka rumah itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah
Sora itupun dapat dilihatnya.
Orang itu bertubuh gagah tegap, berdada
bidang, meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya.
Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora.
Tiba-tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil
berkata, “Selamat datang Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki Ageng.”
“Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini, Wulungan?” tanya Gajah Sora.
“Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering.
Ki Ageng cukup segar meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada
perubahan sejak aku melihat untuk yang terakhir kali” jawab Wulungan.
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian
merekapun melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di bale-bale
besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah siap merebus
air dan jagung muda.
Sambil menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa Jenar, “Kedatangan
Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan kami. Apalagi bersama-sama dengan
Kakang, ikut serta adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?”
Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali
wajahnya beredar di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah Arya
Salaka. Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, “Adi Mahesa Jenar.
Anakku ini benar-benar mengejutkan hatiku. Sebelum aku berceritera,
seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Adi. Agaknya
Adi Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku, mengasuh anak nakal ini,
bahkan melampaui harapan yang aku khayalkan tentang dirinya.”
Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, “Bukanlah
aku yang telah menjadikannya anak yang cukup bekal untuk menjaga
dirinya, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya merupakan
modal yang tak ternilai harganya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan ayah serta gurunya sedang menilai dirinya.
“Modal yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya,” jawab Gajah Sora pula. Kemudian ia meneruskan, “Aku
pernah bertempur dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi
betapa dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian
terpisah dari Adi lima-enam tahun yang lalu, dan kemudian aku mencoba
untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu keturunan dari
Pengging, aku merasa bahwa seakan-akan aku mengulangi pertempuran di
Gunung Tidar itu. Arya Salaka benar-benar telah memiliki ilmu seperti
yang Adi miliki pada saat itu. Dan ternyata bahwa Arya telah benar-benar
mencerminkan Adi Mahesa Jenar sewaktu adi bertempur di Gunung Tidar
itu.”
Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat anaknya.
Terbayang pula di dalam rongga mata
Mahesa Jenar, bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di Gunung
Tidar melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan aji
pemungkasnya, Sasra Birawa. Pada saat itu Gajah Sora tidak dapat berbuat
lain daripada menyelamatkan dirinya dengan aji andalan perguruan
Pangrantunan, Lebur Saketi.
Mahesa Jenar menjadi geli sendiri
mengenangkan peristiwa itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan
wajahnya. Tetapi sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan disapu
angin. Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak saja pernah berbenturan di
atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun kedua aji
itupun pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing dilontarkan oleh
Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari Pengging, melawan saudara sepupunya,
Sawung Sariti, yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan. Tetapi
benturan itu sama sekali bukan karena salahpaham, namun benar-benar
karena kemarahan yang tak tertahankan. Kesengajaan karena nafsu
kedengkian, ketamakan dan keserakahan.
Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh suara Gajah Sora. “Adi, mungkin Arya Salaka tidak akan menjadi anak seperti sekarang ini, seandainya aku sendiri yang mengasuhnya.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia tidak menjawab.
Kemudian Gajah Sora meneruskan, “Selain
kekagumanku atas kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun
menjadi heran, kenapa tiba-tiba aku berada di Pangrantunan.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Ya. Tentu saja kami menjadi gembira atas pertemuan ini.”
“Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini?” sela Gajah Alit sambil tersenyum.
Mahesa Jenarpun tertawa. “Ya,” jawabnya, “Kenapa kalian datang pula?”
“Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada kami, Kakang,”
kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron tersenyum. Memang ia tidak
begitu banyak berbicara. Ia lebih senang mendengarkan Gajah Alit
berkelakar daripada berbicara sendiri.
Mahesa Jenar sudah mengenal watak sahabatnya yang gemuk ini. Karena itu ia pun menjawab, “Agaknya
kau bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah
Sora akan melarikan diri seandainya Kakang mendapat kesempatan sehari
dua hari menengok tanah perdikannya?”
Gajah Alit tertawa. Jawabnya, “Tidak, aku tidak bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas menangkap Kakang Mahesa Jenar.”
“Kalau begitu,” sahut Mahesa Jenar, “Aku akan membantumu.”
Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya Salaka pun tertawa pula.
“Nah, bagaimanakah yang sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 24
No comments:
Write comments