Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu
yang sangat singkat. Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk
mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata kemudian, Sima
Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila, secepat petir
menyambar.
Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan
Alas, Titis Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga
Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang
sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah
menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti
dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi,
ketika mereka melihat apa yang terjadi kemudian.
Dalam
pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari
keduabelah pihak terlibat kembali dalam pertempuran, warna-warna yang
kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung. Perlahan-lahan warna itu
merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa
silirnya mengusap tubuh.
“Aku
akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan
dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok
pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan. “Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.
“Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung. “Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”
Tiba-tiba
ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa
Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…? Namun sebelum ia sempat bertanya
terdengar Wirasaba menggeram, “Hem, kau Wadas Gunung.”
Lawa
Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia
berusaha menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan
tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang
tajam. Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan
dirinya sedemikian kerasnya. Cakra pemberian Kebo Kanigara itu
benar-benar senjata yang luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah
suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo
memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa
kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi semakin
nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.
Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak
berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada
diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di
lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu
tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun
dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra
Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk
bertahan. Tetapi apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan
setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan
disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut. Kemudian apa
yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya. Nagapasa,
seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan
yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan
hitam maupun lawan-lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak
sempat sedikit pun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa
hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua
kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara,
orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun
oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit. Sedang tidak jauh darinya,
Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian diam untuk
selama-lamanya. Mati.
Untuk beberapa saat, semua orang yang
menyaksikan peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung
Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya
kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh.
Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru
berteriak-teriak, “Nagapasa mati, Nagapasa mati...!” Kemudian disusul, “Sima Rodra mati, Sima Rodra mati...”
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana
mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula.
Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi
sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke
segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat
meragukan.
Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa
itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama
lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh
kekaguman dan keheranan.
“Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana.
Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan
gelora perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa
diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama
Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar pengaruhnya
terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak diduganya bahwa Kebo
Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang. Bahkan
sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya,
bahwa orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan
mereka. Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata,
sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu
benturan ilmu. Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa
orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat
daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng
Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan
membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian
bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai
membunuh Nagapasa. Tetapi di samping itu, Mahesa Jenar pun ternyata
dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra
Birawa yang diayunkannya. Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil
menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan
mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir
pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.
“Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten.
Sedang Lembu Sora, setelah mendapat suatu
kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar.
Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa punggungnya
meremang. Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa
Jenar, bahkan sampai terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat
mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun
apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar itu
telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya Sasra Birawa
itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi?
Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan
pecah berserak-serakan. Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan
sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat.
Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa,
namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu
sikap yang jarang ditemuinya.
Sesaat kemudian, di antara derai
sorak-sorai laskar Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu.
Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang
sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari
antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar
mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan
Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun
lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi
bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang
mendekat?
Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam
menjadi gelisah. Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa
yang sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini, mati
di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia ini. Ia
menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas
permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa
menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab
ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah
membawa guru mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka
memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi gurunya tidak
ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi. Karena
itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami
kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya.
Sebab kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan
atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat
mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu
dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi itu mustahil
terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan
Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan
nafsunya untuk bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya
supaya tidak mati. Ketika ia memandang langit yang telah hampir
kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan
medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau
tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah
kehilangan lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam dan
tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar mereka
benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam,
jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu.
Akhirnya malampun datang merebut waktu.
Medan itu menjadi semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah
kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah
sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika
sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera
mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak
lagi mengambil kesempatan-kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak
mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam
itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka
mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu
diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka
berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu
berhenti.
Laskar golongan hitam itu segera menarik
diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa
ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu
pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah
rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak.
Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka meninggalkan medan.
Satu-Dua orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan
memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak ambil pusing
kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan
hampir merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan
parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun sama sekali tidak
mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan
hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan
rahasia mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri.
Berbeda dengan laskar Pamingit dan
Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing.
Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar
mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk
gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas
khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan
perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka. Bahkan tugas mereka
melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak
mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.
Demikianlah medan pertempuran itu segera
menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas
mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib kembali
ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu
istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok mereka masih harus bertempur
lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa
keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka
telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan
Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi
bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika mereka
telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka
mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku
karenanya. Mereka pun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya
dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, “Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan
Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah
kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh
Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan
sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati
kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat menyamai
kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki
kesaktian jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu
diri.”
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia
tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari
tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus
menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, “Ada
kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula.
Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.”
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar
kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai
orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa
Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.
Sementara itu, mereka yang mendapat tugas
di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan
tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang
terluka.
Ki Ageng Sora Dipayana dan
kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di
sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu
masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu masih
harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka.
Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian
melampaui kesaktian mereka sendiri.
Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora
Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan mereka
dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk
mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak-gerik dari laskar golongan
hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan
laporan setiap saat dengan tertib.
Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil
mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat
peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.
Mahesa Jenar berhenti pula ketika
tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya
bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa
Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap
hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar?
Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, “Tuhan telah menerangi hatinya.”
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, “Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku hampir saja putus asa. Lembu
Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri
kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa sama
sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi…” kata-kata orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya.
“Tetapi…” Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata itu.
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi wajah
Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit
hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana
melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak
bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil
berdiam diri.
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, “Dari mana kau Arya?”
Arya berhenti, kemudian ia menjawab, “Sesuci Eyang.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?”
Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.”
“Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu.
“Baiklah Eyang,” jawab Arya.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.
“Angger Mahesa Jenar agaknya
beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan
batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,”
gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar
mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya,
Sawung Sariti.
Malam itu, ketika semuanya telah selesai,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi
mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi
tadi.Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa
seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang
seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di
sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar
suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika
ia mendengar Sendang Papat berceritera. Anak itu memang pandai
berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan
lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas
anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata
masing-masing.
Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi yang segar.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang
mendekati mereka. Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang
kepada mereka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan, “Marilah Ki Ageng.”
Lembu Sora mengangguk hormat dengan
tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk
pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.
“Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati…” Ki Ageng Lembu Sora mulai, “Aku
memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala
kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar
dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak
terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah
kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas
ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih lagi atas Pamingit
dan Banyubiru.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora
memandang kepada diri sendiri.
Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa nyamannya.
Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, “Dalam
keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru
dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu.
Mudah-mudahan aku belum terlambat.” Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. “Tetapi
Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini,
biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora
kelak.”
“Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar. “Meskipun
aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora
adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan
diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”
“Ya...” Lembu Sora menjawab, “Aku
tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa
kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku
telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan
membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di antara
kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan
itu.”
“Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.”
“Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?” Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian bodohnya.
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar, “Meskipun
hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan
menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang
benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di pihak
Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.”
Lembu Sora terdiam. Matanya yang muram,
merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya.
Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya
betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan,
kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang
tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak,
dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan
kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya
Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang
Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi
ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka
kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu
tertunduk lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui
betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora.
Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh.
Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali.
Untuk sesaat suasana dicekam oleh
kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana
sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan
mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan.
Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada
malam hari ketika mereka sedang nyenyak tertidur.
Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika
ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama
dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan
duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya.
Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan
serta merta diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak
dahulu.
“Arya…” desisnya, “Maafkan pamanmu.”
Arya pun merasa betapa hatinya bergetar
mendengar kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi
seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, “Aku akan berusaha melupakannya, Paman.”
Kemudian ketika kepala itu dilepaskan,
mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat
keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki
Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.
Kembali suasana terlempar ke dalam
heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang
bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal
telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa.
Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam
pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di manakah
adikmu?”
Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar
pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, “Aku
tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira
Adi bersama-sama dengan Paman.”
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di
dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang sama
sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan
manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri
sendiri. Kenapa selama ini hal itu dibiarkannya. Ia tidak pernah
membatasi perbuatan anaknya yang diandalkannya untuk dapat
mendampinginya dalam rencana-rencana jahatnya. Bahkan anak itulah yang
didorongnya di depan. Sekarang anak itu terlalu jauh tersesat lebih jauh
daripada dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya,
adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat
melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian.
Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang benar?”
“Mudah-mudahan, Paman,” jawab
Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik
sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya
itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha.
Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah
Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya
Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan
yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas?
Tetapi karena persoalannya sedemikian
penting, maka Wulungan pun tidak segan- segan menanyakannya. Maka ia pun
kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada
Mahesa Jenar, “Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. “Belum Wulungan,” jawabnya. “Laporan tentang apa?”
“Ataukah laporan ini disampaikan
kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora
Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan.
“Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.
“Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. “Kalau demikian…” ia melanjutkan, “Biarlah aku panggil orang itu.”
———-oOo———-
II
Wulungan segera berdiri dan berjalan
dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun
bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama
seorang pengawas dari Pamingit. Diajaknya orang itu duduk pula, dan
berkatalah ia, “Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.”
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia, “Katakanlah apa yang kau lihat?”
Orang itu pun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, “Aku
adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan
laskar golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada Angger
Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya
sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar
atau Ki Ageng Sora Dipayana. Lembu Sora mengerutkan keningnya. Seperti
Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya
dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah
terdengar suara berdesing ditelinganya. “Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.”
“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram.
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?”
Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora
mendesaknya, “He, apa kerjanya di sana?”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api
yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah
perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang
dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-kotornya di
Pangrantunan. Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi
yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal
karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya
menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan
kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin
tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci.
Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri.
Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, “Bagus,
jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu.
Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau
Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang
dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu.
Lembu Sora menggelengkan kepalanya. “Belum.”
“Agak terlambat,” katanya. “Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya, “Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.
“He…!” Arya hampir berteriak. “Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. “Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Aku pun pasti,” sahut pengawas itu, “Tetapi
aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka
berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku.
Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula
meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak
ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku
tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian
langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang
Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora. “Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan…” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, “panggil mereka!”
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. “Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu. “Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?” desis mereka
bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa
berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.
“Arya…” panggil Mahesa Jenar, “Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!” Hanya kata-kata itulah
yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak
muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng
Lembu Sora, “Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia
tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar
saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan
Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka. Mahesa Jenar sendiri mungkin
dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan
dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya?
Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa
Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam
keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.
Sementara itu, Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, “Ada apa Tuan-tuan?”
“Baik Adi,” jawab Lembu Sora. “Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar, “Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.”
Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia
tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan
tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka
tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat
kuda-kuda dipersiapkan.
Mereka masih dapat melihat Arya melarikan
kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik.
Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran. Yang mereka dengar
hanyalah kata-kata Arya tadi, “Aku ambil seekor.” Lalu anak itu
pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa.
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, “Kami sedang berlatih berpacu kuda.”
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak
percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya
berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar
suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka tidak sempat
bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka
terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal
yang penting akan terjadi di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora
berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada
Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka
kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan
Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang
Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula. Mereka mendengar
dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak
diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi
gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi
agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta,
Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru.
Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke
tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung
telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu
sambil menggeram, “Apa kerjamu Sawung Sariti?”
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia
terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang
demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya. Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. “Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya. “Terlambat,” geram Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora. “Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya, ”Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi
bingung. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika
Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, “Kemana? Tidakkah kau sampaikan
laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam
supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?”
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung.
Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin
menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi
tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, “Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, “Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah
memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan
perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, “Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, “Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora.
Sawung Sariti menjadi beragu. Ia tidak
berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya.
Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap
eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa
disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya
Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu.
Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab, “Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi beragu. Kenapa Ki
Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak
pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan. Tiba-tiba
seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, “Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu.
Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti
terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain.
Kemarahan yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba
berkata membela diri, “Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?”
Mata Lembu Sora bertambah menyala, “Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung,
tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki
Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut
Galunggung sambil berteriak, “Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung terdorong ke samping. Hampir
saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha
tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah
merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi
ia tidak berani berbuat sesuatu.
“Lembu Sora…” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya, “Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu.
Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali
tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah
mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba
merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu.
Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu.
Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya, “Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali
dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya,
terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, “Sudahlah Lembu
Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak
dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang.
Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah
bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi
cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka,
apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali
lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang
memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. “Nah, Sawung Sariti…” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, “Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun
segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan
suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan
keadaan, “Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Ke Banyubiru?” ulangnya.
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?”
bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak.
Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, “Mati kau pengawas gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata, “Panggillah kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, “Baiklah Eyang.”
Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia
meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat
Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada.
Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, “Kau lihat Kakang Arya?”
Wulungan menggelengkan kepala. “Tidak Angger.”
Kemudian Sawung Sariti melangkah pula
dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah
katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang
mereka.
Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, “Tak akan dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya, “Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. “Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, “Dari mana anak itu mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,”
jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai
pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula
bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya
dalam genggaman.
“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya. “Namun
sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu
Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati
mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. “Mereka
orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami
semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada
bandingnya di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora. “Mudah-mudahan
segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan
Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih
yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang
lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. “Mahesa
Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan
baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita
lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian
juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan
Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora
sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk
beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang
melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya
bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut.
Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya
di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti
sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin
dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan
itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan
Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka
menyesalkan pengawas itu.
Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas
itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring
tidur, Sawung Sariti menggeram, “Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. “Benar angger,” jawabnya. “Aku telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud
Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung
Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata
sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu
telah memarahinya. Karena itu ia berkata, “Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. “Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa
yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba
Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya, “Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.”
Pengawas itu masih tetap berdiam diri.
Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak
seorangpun yang berani mencampurinya.
Tiba-tiba Galunggung itu berkata, “Ikuti aku.”
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia
berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung
Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan
atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya
itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat
hukuman.
Galunggung berjalan semakin lama semakin
cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa.
Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa
Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat
Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang
akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya, “Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar. “Seandainya
aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati
dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku
sebaik-baiknya.”
“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain.” jawab Sawung Sariti, ”Dengan
perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang
dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di
hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan
kesalahanku.”
Pengawas yang malang itu menjadi semakin
ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi
pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya
sendiri.
Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri. “Angger
Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku
dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki
Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat
gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari
Nusakambangan.”
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia
mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat
yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi
keadaannya? Namun ia menjawab, “Aku dapat menyangkal
kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan
kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang
sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku
pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata, “Kalau
ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan
salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala
sesuatu akan menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Galunggung. “Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.”
Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain
didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali
telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang
kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran.
Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut
dimana ia harus mempertahankan diri. Dirasanya sesuatu terselip di ikat
pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama
sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati
seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk
membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya,
sambil melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh
kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia
melangkah maju sambil menggeram, “Jangan melawan, sebab kalau kau
melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang
terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya.
Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa. “Benar-benar kau sedang sekarat.” Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu
dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang,
namun penuh pengaruh. Katanya, “Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.”
Seperti disambar petir, Galunggung dan
Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya
Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di
lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata, “Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti, “Lalu
apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu
bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora
Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.
“Tidak apa-apa.” jawab Wulungan, “Aku
tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak
melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di
sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas
tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu
Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk
mengulangi laporannya.”
“Hem…” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi. “Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
“Tidak,” jawab Wulungan. “Tak
ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku
adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa
kanak-kanakku, maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti. “Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan
lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka
kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari
selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora
Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti
mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar
dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu. “Ki
Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung
melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan
lain.”
Langkah Galunggung terhenti karenanya.
Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang
pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap
kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan
dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau
berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar
Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya.
Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata, “Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?”
Wulungan menarik nafas. Tangannya masih
terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun
demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan
namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab, “Tidak banyak Angger.
Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi.
Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, “Kepalamu memang harus dipenggal.”
Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya, “Kau
dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan
mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini.
Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata, “Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.
Sekali lagi Galunggung menggeram, katanya, “Apa jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan. “Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata, “Baiklah
aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri
kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya dibelakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan
kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam
dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua
berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian
Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya
orang itu akan mencoba menyergapnya.Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung
berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah
merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau
Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan
segera mengetahui apa yang terjadi atasnya.
Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka. “Persetan dengan anak itu,” geramnya. “Dan persetan dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.
———-oOo———-
III
MALAM berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.
Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu
menuju ke Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang
dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah
di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di belakangnya adalah
Kebo Kanigara.
Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah
dan marah mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu
kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada Sawung
Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk
menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya.
Semakin dalam ia berpikir tentang
gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin
gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin
segara sampai.
Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang
berkuda menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta
Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi
keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara
orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di
Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka tahu benar,
bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas keduanya.
Mahesa Jenar pasti tidak mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara
akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi
sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan
atau Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang
pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari
golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang
tak bersalah. Melepaskan dendamnya kepada orang- orang yang dijumpainya.
Kepada Eyang Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.
Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak
sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu
kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh
itu.
Demikianlah di malam yang gelap itu Arya
Salaka memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang
menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing
yang curam.
Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya
Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan, mereka
mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah
memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.
Suara raung anjing-anjing liar
mengumandang dari tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin
garang karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat
jurang-jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang
sedang bermalas-malas.
Suara-suara malam itu telah membuat Arya
menjadi semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang
seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan
batu-batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut
ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari
kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya
seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya, “Arya, tolonglah aku….”
Tetapi suara itu seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya
baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang
bercahaya-cahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata
orang yang berjubah abu-abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya
Pasingsingan. Tiba-tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar
Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang sedang
marah pun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu berjubah abu-abu itu.
Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai
Bancak itu di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia
menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”
“Tetapi….” Hatinya membantah sendiri, “Kalau segala sesuatu telah terjadi?”
Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit nyaring. Arya Salaka
terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik burung
hantu yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali
malam menjadi bertambah sepi.
Dan malam yang sepi itu benar-benar
sedang merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit,
Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng
bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya malam.
Sebagian besar dari penduduknya sedang
lelap dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari
bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib
suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit.
Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi.
Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan
malasnya dibelai angin malam.
Dua orang penjaga berdiri menahan
kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu
dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di
pendapa bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.
“Beristirahatlah Paman.” Terdengar suara Mantingan lemah.
“Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.
“Ya,” sahut Mantingan.
“Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam.
Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
“Adakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya Wanamerta.
“Mungkin,” jawab Mantingan. “Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati.”
Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam
diri. Yang terdengar kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa
angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.
“Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.
“Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui
batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening
sepi, namun penuh kemesraan hati manusia.
“Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.
“Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab Mantingan.
Wanamerta mengangguk-angguk. Namun
kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya
bertambah hari bertambah tajam.
Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.
Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
“Aneh,” gumam Wanamerta.
“Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta.
Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya berdesir halus. “Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya.
Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba
berubah. Nadanya menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi
gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu.
Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya. “Berhenti,” desisnya.
“Ya,” sahut Wanamerta, “Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.”
Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia
tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di
halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah.
Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon
sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya
diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan
hilir mudik di luar regol.
Tiba-tiba keduanya terkejut ketika
terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki
Wirasaba berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya
berjalan Sedang Parapat yang telah hampir sembuh.
Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang. “Ah….” gumam Wanamerta. “Kenapa aku berubah menjadi penakut?”
“Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.
“Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu,” jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya
pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat
pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya.
Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi
menatap daun-daun sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian
matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu
tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia
menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak,
dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan, kemudian
dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?”
Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat
pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih
belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka
mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat bahwa
daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal
baik-baik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan
Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lawa Ijo,” gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang
melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh
tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat
orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya.
Mantingan menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan, “Wadas Gunung. Siapakah dia?”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula.
Wirasaba menggeleng. “Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju. “Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,”
katanya. Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir
meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik, “Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut. “Kebakaran,” desis Wanamerta.
Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, “Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia
harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi
ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa,
muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia belum pernah
melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan
berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.
“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya, “Jangan risaukan siapa aku.”
Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa, “Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu
penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian
meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika
tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat
terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara
titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang
terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika
seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang
pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul
kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu telah
membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru
Banyubiru.
Banyubiru yang sedang tidur lelap itu
menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali
berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar
bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu.
Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut.
Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu
yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya
yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa
yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan
tergesa-gesa ke tempat kebakaran.
Orang yang berwajah tampan itupun
mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, “Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.”
Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera
ia menarik pedangnya. Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang
itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di
belakangnya, “Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang Parapat menghentikan langkahnya.
Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi
ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia
harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka
adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya.
Ketika Jaka Soka melihat gadis itu,
hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah
gadis itu selalu terbayang. Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum.
Senyum yang aneh.
Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya
suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa
orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang
meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai
ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini.
Matanya yang redup itupun menjadi
bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan
seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa,
bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini,
sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, “Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?”
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan.
Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan
dengan gadis manis yang menyapanya, ”Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka.”
Jaka Soka tersenyum, jawabnya, “Bukan,
Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang
kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya ia pun tetap menanti.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali
dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah
tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia
melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun
telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang
itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut ketika
terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara
Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang
semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya
bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya.
Lawa Ijo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata, “Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo tertawa ketika ia melihat sekali
lagi wajah Rara Wilis menjadi merah. Namun gadis itu tidak menjawab.
Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, “Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia
memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, “Ha, dengar.
Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya
kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri
di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar
itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis
itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama
sekali, katanya, “He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijo pun tertawa pula. Terdengar Lawa Ijo menyahut, “Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram.
Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak
bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau
saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu
memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang
berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya,
adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena
itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun
nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu
benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung
lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main
dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya.
Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk
bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang
demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat
hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya.
Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu
digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika
penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka
terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun
terkejut. Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat
orang yang datang itu. Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek,
dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka
adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi.
Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram. “Lawa
Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja
mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang
Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak
banyak.”
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah
melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan
mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, “Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya.
Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia
tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk
Inten benar-benar masih ada di sini.”
Terdengar Mantingan dan Wirasaba
menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia
sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk
memancing laskar Banyubiru.
Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.
Ketika Pasingsingan dan Sura Sarunggi
berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka
memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di
tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba tegak
seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah
melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri
pun tidak berani bermain-main. Ia telah pernah melihat hantu berjubah
dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo.
Karena itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser
diri. Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang
jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada Lawa Ijo. Tetapi
kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura
Sarunggi, Pasingsingan segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka
yang menggemparkan itu.
Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata, “Jaka Soka, jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak.”
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia
melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada saat
yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar bahwa Ular
Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika
teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi sekarang ia
harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak untuk
bunuh diri, tetapi untuk membunuh lawannya itu.
Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba
dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang besar itu
berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan
Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua belah tangannya telah tergenggam
dua buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian
yang sengit. Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar
biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba
kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar
pulih kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke
Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian pertempuran itu
menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan senjata mereka
berdentang-dentang menyobek sepi malam. Demikian kerasnya sehingga
berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai,
dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu.
Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat
dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban
Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo.
Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah
berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan tangkasnya ia menyongsong
serangan trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat
dalam suatu perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian.
Untuk segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu
meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah
lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran
itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar Wutah.
Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak dengan cepatnya
menyerang tubuh lawannya dari segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun telah
mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan
itu. Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan
berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang tak ada orang yang
akan menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia
akan berhasil.
Wirasaba yang bertempur dengan Wadas
Gunung pun telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang
pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta.
Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya di Pliridan, ia pernah
melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak sedemikian
jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia harus
bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia
harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia
harus berjuang mati-matian. Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama
Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai
seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain
dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah memiliki
pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang
bernama Wadas Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak
dapat diselisihkan. Masing-masing memiliki kekhususannya yang cukup
berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang
dengan ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang
melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu seakan-akan
dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya. Sehingga dengan
demikian ujung pisau lawannya sama sekali tak berhasil menyentuh
pakaiannya.
Endang Widuri sementara itu masih berdiri
tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan
dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-matian.
Ia melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan bagaimana
dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar. Namun dilihatnya pula betapa
dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang.
Yang belum mulai, di antara mereka adalah
Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh.
Sekali-kali ia memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung
menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan seksama
pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan. Sebagai seorang yang
cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai
pada puncak perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk
melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum. Sebentar
lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu
untuk menakut-nakuti lawannya ia berkata, “Wilis, lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal lehernya, atau terbelah dadanya.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia
melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah
mengetahui pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa
Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya.
Sebab apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya.
Seandainya ia terbunuh dalam pertempuran itu, ia tidak akan menyesal.
Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta
mempertahankan hak atas Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan
Sabuk Inten yang tak begitu dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak
begitu banyak menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang
sedemikian telah diduganya sejak semula. Sejak ia menjatuhkan pilihannya
atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa
Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada Demang
Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau Sarayuda seolah-olah telah
menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini, sehingga
dengan demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka
Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat
hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk
menempatkan dirinya pada tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia sama
sekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang untuk
kepentingan yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri,
kepentingannya sendiri. Seperti halnya usahanya menemukan keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kamukten yang akan diharapkan. Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa
pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada kemanusiaan.
Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di tangan golongan
hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia, akan musnahlah sendi-sendi
pergaulan manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk menjalankan
ibadah mereka, memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu
negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah yang kuat, merekalah yang
berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada.
Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan
kembali Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah perjuangan tanpa
pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia yang melihat
kebenaran terinjak-injak.
Dengan demikian, sebagai seorang yang
telah menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara
Wilis sama sekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya,
bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti apa yang dilakukan oleh
Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak pertemuannya yang pertama.
Tetapi ia menjadi ngeri, kalau Ular Laut
akan berhasil menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti
yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas kehadiran
tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, jangan-jangan ia akan membantu
Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya.
Namun karena itu, ia berkeputusan untuk melawan mati-matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.
Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, “Jaka
Soka, jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang
ketakutan melihat senyum yang aneh serta matamu yang redup. Nah, marilah
kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku yang mati karenanya.”
Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata sungguh-sungguh.
“Cabutlah pedangmu,” desis Rara Wilis, “Supaya aku tidak membunuh orang yang tidak bersenjata.”
Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke arah leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur.
“Wilis...” katanya, “Aku
tidak akan melukai kulitmu. Apakah yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar
tidak akan kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit.”
Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang kembali. Katanya, “Siapakah yang telah membunuhnya?”
“Paman Pasingsingan,” jawab Jaka Soka.
Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras. Katanya, “Pasingsingan
tak akan mampu melawan Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka.
Lain kali kau perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba berbohong.”
Mata Jaka Soka menjadi semakin redup.
Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas
Gunung yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena
Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat yang lain, Jaka Soka
memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik keadaannya. Meskipun
demikian Ki Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.
Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat
selangkah ke belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di
tangan kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan
kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah tongkat yang berwarna hitam.
Rara Wilis tidak menunggu lebih lama
lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan terjulur lurus. Pedangnya
mengarah kedada lawannya.
jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada menekuni ilmunya.
jaka soka terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada menekuni ilmunya.
Sendang Parapat berdiri seperti patung
melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang
Mantingan berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo. Wirasaba dengan
garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis dengan
lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan demikian, ia merasa
bahwa tenaganya tak akan berguna sama sekali seandainya ia mencoba untuk
membantu salah seorang di antaranya. Malahan mungkin ia akan mengganggu
kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi pening. Mereka
tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-tokoh itu. Apalagi
lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolah-olah telah menjadi sedemikian
sulitnya untuk dipisah-pisahkan lagi di antara lawan dan kawan. Yang
tampak di mata mereka adalah bayangan yang melontar berputar-putar
dengan cepatnya. Karena itu, perhatian mereka segera tertuju kepada
kawan-kawan mereka yang luka. Empat orang.
Hanya Endang Widuri-lah yang dapat
mengerti betapa suasana maut telah melingkar-lingkar di halaman itu.
Kali ini gadis yang nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat
lagi bergurau dalam keadaan yang demikian, sehingga senyumnya sama
sekali telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening itupun menjadi
tajam, setajam gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa
Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas Gunung. Bahkan
pengembala itupun dapat bertempur dengan kasar pula. Kapaknya
mendesing-desing mengerikan. Sekali terayun ke dada Wadas Gunung, namun
kemudian tangkainya mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua pisau belati
panjang di tangan Wadas Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula.
Mematuk-matuk ke segenap tubuh Wirasaba, sehingga kemudian yang tampak
hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.
Rara Wilis pun dengan lincahnya
menggerakkan pedangnya dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang tipis
itu selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat
bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar untuk kemudian meloncat,
mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis berhasil melawannya
seperti seekor sikatan yang dengan lincahnya menari-nari dengan
sayap-sayapnya yang cepat cekatan. Demikian ia meloncat-loncat seperti
anak-anak yang menari-nari riang namun ketika tiba-tiba seekor ular
mematuknya, cepat-cepat ia meloncat melenting, untuk kemudian dengan
lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya. Dengan demikian,
maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi pakaian Jaka Soka
yang gemebyar karena tretes intan pada timang dan anak kancing bajunya.
Tiba-tiba ia merasa malu. Seandainya gadis itu benar-benar dapat
dibawanya ke Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk
menjadi isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul perselisihan
antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka apakah ia mampu untuk
mengatasinya. Karena itu kemudian yang menjalar dalam hati Jaka Soka
bukan lagi perasaan seorang laki-laki terhadap seorang gadis seperti
beberapa saat yang lampau. Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar
terancam, maka yang ada di dada Jaka Soka kemudian adalah kemarahan yang
menyala-nyala. Dengan setinggi gunung atas kematian gurunya, Nagapasa.
Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya. Juga
gadis yang garang ini harus dibinasakan.
Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah
kehilangan kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis
cantik yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang berbahaya
bagi jiwanya.
Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara
Wilis bertambah marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah
pertempuran yang menentukan. Kalau ia terbunuh, biarlah ia mengorbankan
dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan laki-laki itu, maka ia
akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang mengejar-ngejarnya
sepanjang umurnya.
Tetapi berbeda dengan mereka berdua.
Mantingan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah
melawan Lawa Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo
benar-benar memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu dapat
ilmu yang paling licik disamping ilmunya yang memang dahsyat dan
bertempur dengan segala macam cara. Yang paling kasar, sampai yang
menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak terus. Hanya karena
ketabahan dan kepercayaannya pada Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih
mampu bertahan dalam ketenangan.
Melihat keadaan itu, Widuri menjadi
cemas. Ia telah kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya
yang benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan penuh
tekad dan keberanian, mendidihlah darah Pengging Sepuh di dalam
tubuhnya. Ketika Widuri melihat Mantingan terdesak, maka ia tidak mau
membiarkannya. Dengan lincahnya ia meloncat sambil berkata nyaring di
antara desing rantainya yang berputar seperti baling-baling, “Paman Mantingan, biarlah aku ikut serta.”
Mantingan memandang dalam sekejap, gadis
itu melontarkan diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan dilihatnya
Lawa Ijo menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari Mentaok itu
meloncat beberapa langkah surut. Dengan liarnya matanya memandang kepada
Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai pada saat terakhir itu, namun
kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi suram ketika memandang Widuri yang
sudah berdiri dihadapannya dengan senjatanya yang berbahaya itu.
Tiba-tiba terdengar suara Lawa Ijo itu perlahan-lahan, “Ngger,
jangan ikut campur dengan persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua
menyelesaikan masalah kami dengan cara yang kami senangi.”
Widuri melihat mata yang suram itu. Namun
ia tidak mau terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu.
Maka jawabnya, “Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan membawa senjata
dan hasrat yang hitam di dalam hatimu. Bukankah kau telah dibekali oleh
nafsu untuk membunuh…? Marilah, kami telah bersedia untuk melawannya.
Kami bukan sebangsa cacing yang membiarkan diri kami terbunuh tanpa
perlawanan. Karena kami sadar bahwa saat ini adalah saat-saat
kami terakhir. Sebab seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan
berhasil membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada
didalam rumah inipun segera akan menangkap kami dan membunuh kami
bersama. Terhadap mereka, kami tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena
itu, biarlah kami melawan selagi kami masih sempat. Nah, lihatlah dada
kami yang tengadah di hadapan ujung-ujung belatimu itu.”
Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram itu menjadi menyala. Katanya, “Aku sudah berusaha untuk mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras kepala.”
Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil menjawab, “Kenapa
kau mencegah aku? Bukankah kau datang untuk melepaskan nafsumu?
Membunuh dan kemudian kau sangka akan kau temukan keris-keris itu di
sini…?”
Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada
longgar. Karena itu ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia
mencoba memperingatkan, “Kalau kau mau menyingkir, aku akan
membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah aku membunuh Ki
Dalang yang masyhur ini.”
Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab, “Kami
mempunyai pendirian yang berbeda dengan golonganmu. Kami memiliki
kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan kemanusiaan. Bunuhlah Paman
Mantingan bersama kami semua.”
Lawa Ijo menggeram, “Sekehendakmulah,”
desisnya. Lalu ia mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat
menyerang Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga
ia masih sempat untuk menghindarkan dirinya.
Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali
dengan serangannya yang dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar
cepat seperti baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya.
Sekali cakranya mengarah ke leher. Mendapat lawan baru yang lincah
disamping lawan lamanya, Lawa Ijo merasakan, bahwa keadaan pertempuran
itu menjadi jauh berubah. Kembali ia mengagumi gadis itu. Betapa
berbahayanya permainan rantai yang berputar-putar, disamping ujung
trisula Mantingan yang mematuk-matuk dalam ilmu gerak Pacar Wutah.
Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram.
Sambil memusatkan segenap tenaganya ia mencoba untuk mengatasi desakan
lawan. Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu bertempur. Kedua pisau
belatinya seakan-akan merupakan kuku yang panjang diujung sayap-sayapnya
yang mengembang dan bergerak gerak dengan cepatnya. Namun untuk
menghadapi dua orang sekaligus terasa betapa beratnya.
Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya
memiliki bekal yang berbeda, namun meeka berusaha untuk menyesuaikan
dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan Mantingan.
Dengan gerak-gerak yang tangguh Endang Widuri berjuang dengan berani.
Darah Ki Ageng Pengging Sepuh yang mengalir didalam tubuhnya telah
membekalinya dengan api yang menyala nyala didalam dada gadis itu. Api
yang mengobarkan semangat berjuang dan keteguhan hati.
Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam
hatinya. Ia pernah bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan
muridnya yang bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis yang
bernama Endang Widuri. Namun gadis ini memiliki tatanan berkelahi sama
hebatnya dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri ini juga muridnya
Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak sempat menemukan jawabannya, sebab
lawannya semakin lama semakin mendesaknya kedalam bahaya.
Mantingan melihat keadaan itu. Juga
Widuri dapat merasakan bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai
keadaan. Karena itu Endang Widuri dan Mantingan berjuang semakin sengit
untuk segera dapat mengakhiri pertempuran. Dengan demikian mereka akan
mendapat kesempatan untuk memusnahkan orang lain yang telah mencoba
untuk menghancurkan Banyubiru, sebelaum tokoh-tokoh sakti yang sedang
mengaduk seluruh isi rumah itu tanpa dapat dicegah selesai dengan
pekerjaan mereka. Sebab apabila mungkin mereka harus berusaha untuk
menyelematkan diri mereka atau mereka harus berusaha untuk berada di
antara laskar Banyu Biru.
Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar
biasa. Tentu saja ia tidak mau untuk dengan demikian saja menerima
kekalahan. Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya, iapun berjuang
semakin keras. Bahkan, akhirnya ia melompat mundur beberapa langkah.
Kemudian terdengarlah ia menggeram dengan keras. Dengan gerak yang
dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian sekali lagi ia menggeram keras.
Yang kemudian terasa, betapa udara yang
hangat mengalir perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh
Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya
jadi panas. Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam
Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang
mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya
Alas Kobar. Demikian pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu
tergesa-gesa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu.
Kini ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.
Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya
untuk mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat
berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil
memancarkan ilmunya, namun Widuri masih sempat menyerangnya, sehingga
dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari
sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya. Tetapi sesaat kemudian
Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji
Alas Kobar. Udara disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi
panas. Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang
sungsum mereka. Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri
terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi lawannya. Namun
Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan.
Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya.
Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya Mantingan
merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat
meloncat lagi.Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa Ijo
menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas telah
menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan
masih mencoba untuk mengangkat trisulanya menanti saat-saat terakhir
yang mengerikan. Widuri yang meloncat ke arah yang berlawanan, melihat,
betapa maut menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi
tegang dan dadanya bergolak hebat.
Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan
sepenanggungan itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia
tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang dahsyat itu.
Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah
terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah
seorang yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa
petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan.
Ayahnya itu pernah berkata kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus
asa. Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan Yang Maha
Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha. Berusaha sampai kemungkinan
terakhir.
Demikianlah akhirnya Widuri mengambil
suatu keputusan yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu.
Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti
serigala meloncat memburu Dalang Mantingan, berputarlah cakranya
beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya
terakhir untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra itu
dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal yang tak terduga.
Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan perhatiannya kepada
Dalang Mantingan. Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan.
Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke
arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun.
Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam pada
saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas nyawanya, Mantingan
menjadi seperti orang yang kebingungan. Tetapi cepat ia menguasai
kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan
Tangan-tangannya yang Adil telah membebaskannya. Karena itu, ketika ia
melihat kesempatan terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya
yang terakhir, ia mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan
senjata yang dibelinya dari pandai besi. Trisulanya itu adalah pemberian
gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan
yang luar biasa. Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya. Lawa Ijo yang
telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu meluncur
menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini
benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian
iapun terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang
telah dibasahi oleh darahnya. Halaman Banyubiru itu benar-benar
dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah
menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah,
sedang ranting-ranting yang kering berpatahan.
Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri
menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam dirinya.
Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu
ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa
disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh
tertunduk di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang
remang-remang.
Wadas Gunung juga tak kalah terkejutnya
mendengar pekik yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertama-tama
mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan
kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo
telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah
jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya.
Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang kehilangan kekuatannya.
Demikianlah Wadas Gunung yang gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu,
kehilangan pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi
pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia dihadapkan pada saat yang
menentukan. Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya.
Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan kemampuan. Karena
itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut oleh jerit
ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah ia
bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang
pendek itu banyak mempunyai arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret
sinar yang menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong
beberapa langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha
untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia tak berhasil
mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap
arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk
menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya, dan dengan
tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini
tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah keseimbangan
perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak
Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu
menyampar punggung Wadas Gunung. Kini sekali lagi halaman itu digetarkan
oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk
tidak akan bangun kembali.
Sesaat kemudian, halaman itu menjadi
sepi. Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena
pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihindarinya
lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat
darahnya berdesir cepat, jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah.
Dua kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu.
Sebenarnya Jaka Soka tidak akan
terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan.
Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari
usahanya. Mukti atau mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang
demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang
berturut-turut, baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat
memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang dibangga-banggakan
telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh pula. Karena
itu darah di dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang
melanda dinding jantungnya. Diawasinya orang-orang yang berdiri di
sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar
tangkai kapaknya yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan
Widuri pun masih saja berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai
seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula. Untunglah bahwa ia tidak
kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang
menggelisahkan.
———-oOo———-
IV
Sesaat kemudian dari pintu rumah itu
muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang yang
berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling.
Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah.
Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih
bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
“Lawa Ijo…” desis Pasingsingan itu.
Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali Pasingsingan memanggilnya, “Lawa Ijo….”
“Hem…” Lawa Ijo berusaha untuk
menjawab. Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa.
Meskipun darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya,
namun ia masih dapat membuka matanya. Pasingsingan kemudian tegak
berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam
bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara Wilis.
Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di tempat masing-masing itu
sama sekali tak diperhitungkan.
“Aku tidak menyangka…” Hantu bertopeng itu menggeram. “Bahwa
kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar ia memekik, aku
menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa
kedua muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi
jiwanya telah terancam.” Kemudian tangan hantu itu perlahan-lahan
terangkat dan menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman itu.
Mula-mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri, Wirasaba dan
Rara Wilis. “Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah sombongnya
kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan di hadapan gurunya.
Benar-benar suatu perbuatan yang gila. Karena itu kalian harus mati
dengan cara yang paling menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku
tidak mau dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami ikat di
belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit. Besok
sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat kalian yang sudah
terkelupas seperti pisang.”
Semua yang mendengar kata-kata itu
menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan
cara yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata
di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar bermaksud
demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri. Dengan
satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka
hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis
menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain.
Sebab Jaka Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan
mengenai dirinya.
Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar, “Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?”
Pasingsingan menoleh kepada muridnya.
Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang yang
berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping muridnya.
Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun mengerti, bahwa
nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
“Apakah permintaamu?” jawab Pasingsingan.
“Pertama…” Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya. “Nyawa Dalang Mantingan.”
“Hem…” Pasingsingan menggeram
sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak.
Lamat-lamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu.
Namun ia sudah tidak terkejut.
“Kedua…” Lawa Ijo meneruskan, “Jangan bunuh gadis nakal itu.”
Pasingsingan menarik nafas. “Kenapa…?” Ia bertanya.
Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.
“Guru…” desis Lawa Ijo, “Dapatkah aku melihat senjata itu?”
Pasingsingan menjulurkan tangannya.
Rantai dan cakra yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di
sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan kepada muridnya. Lawa IJo
dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu. “Luar biasa,” desisnya. “Lumrah kalau Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini,” katanya pula.
Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud
muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat
masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar
menelan beberapa rumah yang sama sekali tak bersalah.
“Widuri, kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil.
Panggilan itu terasa aneh. Widuri
mula-mula tidak percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo
itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam? Ketika
Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa
Ijo memanggil, lebih keras, “Widuri, kemarilah.”
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan
Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada
suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat.
Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, “Guru, panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta jangan ganggu dia.”
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia berkata, “Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu.”
Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi cemas. Katanya, “Jangan, Widuri.”
“Hem…” Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di dadanya, “Sebelum aku mati..”, mintanya.
Widuri masih tegak sepergi tonggak.
Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya.
Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut dahulu setelah
ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat tenaga mengayunkan kapaknya
pada saat terakhir. Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan dan apa
yang akan diperbuat tentang Widuri.
“Guru…” tiba-tiba Lawa Ijo berkata, “Silahkan guru meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”
“Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…?” tanya Pasingsingan.
“Gadis itu.” jawabnya, ”Aku
sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku
melihat untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini
aku melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan
tangannya, mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia
masih hidup, ia pasti sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak
itu,”
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di
dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti perempuan
cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir
berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia
berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar, “Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.”
Lawa Ijo yang lemah itu kemudian berusaha
untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini
menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya dengan kain
bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan
jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang
mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu. Tiba-tiba ia
bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke
arahnya, sambil berkata, “Widuri.”
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia
menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak
oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai pada
akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis kecil itu.
Maka perlahan-lahan ia berkata, “Aku adalah manusia seperti kalian,
meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya seperti binatang.
Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah aku menginjak alam
lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan menambah dosa.”
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula.
Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri
memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga Widuri kemudian
perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok yang
hampir sampai ajalnya itu. “Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah aku kenal,” desis Lawa Ijo.
“Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu.”
Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih
memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan
Lawa Ijo itu. Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin
dengan mata akik yang berwarna merah menyala.
“Lawa Ijo…!” Pasingsingan berkata lantang. “Apakah yang kau berikan itu?”
“Kelabang Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.
“Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan. “Akik Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”
“Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak
melukai hati muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa
dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh Endang
Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan yang mengerikan.
“Biarlah akik itu diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya.”
Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya
ketika Lawa Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada
gadis itu. Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak
saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis
yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri
berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang
terhunus di tangannya.
“Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.” Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. “Mudah-mudahan
aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima
cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh.
Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut,
kecuali Mahesa Jenar. Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan
dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau benci
kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu.” Lawa Ijo
berhenti. Nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan
terdengar ia mengeluh. Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo
itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang
keras dan kejam itu, maka kini perasaan itu telah hilang.
“Widuri…” bisiknya. “Bukankah namamu Widuri?” Widuri mengangguk. “Aku
telah membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika aku menyangka ibunya
berbuat sedheng dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian
aku bunuh pula istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku
satu-satunya yang masih kecil, memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku
dengan membabi buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai
anakku itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu kemudian
mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku lempar ke sungai.”
Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian
berbisik kembali perlahan-lahan. “Tetapi ternyata aku salah sangka.”
Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka matanya,
lalu meneruskan, “Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang
berbuat bengis. Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku
adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati
tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu
mati pula. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor
binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan.
Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi
dan membuat orang lain menjadi putus asa dan menderita. Kadang-kadang
aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh
keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku
Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang
mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya
Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam. Tetapi
ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya yang mendidih.
“Matilah segera Lawa Ijo,” kata hatinya. Pasingsingan sudah tidak mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka muridnya. “Sesudah
itu aku akan membunuh setiap orang di sini. Mantingan, Wirasaba, Rara
Wilis dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di matanya
untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka di belakang kuda dan
dipacunya ke Pamingit untuk meruntuhkan keberanian dan ketahanan
perlawanan orang-orang Banyubiru.”
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan
matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi
sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu,
dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya.
Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini
telah kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya.
Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi
berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya. Endang
Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi
panas. Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa
sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin
bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta. Tetapi ia menjadi
terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang
seperti bergulung-gulung di dalam perutnya. “Widuri, agaknya kau
telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena
kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan
anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk
membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian
pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada
lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan
melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan
kuda-kuda itu ke Pamingit.”
Setiap hati yang mendengar kata-kata
Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar
dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo,
mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun
sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan
iblis bertopeng dari Alas Mentaok.
Mantingan tiba-tiba meloncat dengan
cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di samping Lawa Ijo
setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa
depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang
masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-hati ia
mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu
longgar, namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya,
maka cincin itu tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh
dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin
menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan
orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh. “Aku
menjadi geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata
mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang
menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka, “Soka, masihkah kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab, “Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.”
Pasingsingan tertawa. “Lalu…?” ia bertanya pula. Jaka Soka menggeleng, jawabnya, “Selama ia masih seperti sekarang, aku tidak memerlukan lagi.”
“Bagus,” sahut Pasingsingan, “Perempuan
itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama
dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda
itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, “Sayang.”
Tetapi Pasingsingan sudah tidak
mendengarnya lagi. Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya
satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang
terakhir adalah mayat muridnya. “Ia mati di luar lingkungan kami” desisnya.
“Ya,” sahut Sura Sarunggi. “Ia
mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu
bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling
Rawa Pening.”
“Persetan semuanya!” Tiba-tiba Pasingsingan berteriak. “Aku tidak punya banyak waktu.”
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan
aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera
berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di
tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara Wilis, kapak raksasa dan
rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara.
Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain,
betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan,
merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun bagi Pasingsingan,
senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun
berhati-hati pula.
“Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi, “Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?”
“Ya,” jawab Pasingsingan. “Aku
menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi
jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan
menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan
tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.”
“Tetapi jangan membuang-buang waktu.” sahut Sura Sarunggi.
“Aku senang melihat mereka ketakutan,” jawab Pasingsingan. Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, “Kau
benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar menyenangkan. Meskipun
demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa
kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.”
“Bagus,” kata Pasingsingan pula. “Aku
akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui
kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya
pekerjaanku segera selesai.”
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju
mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain.
Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu
kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak
berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang
Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian. Mereka
lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di
belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke Pamingit.
“Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi” desis Pasingsingan.
“Hadiah yang tak ternilai” jawab Sura Sarunggi.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti.
Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba
mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
“Hem….” geram Pasingsingan, “Apakah ini?”
Mata Sura Sarunggi menjadi liar.
Mantingan dan kawan-kawannya yang telah
hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di
balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang mengganggu
mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun
juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir
dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan
dan hilang di belakang tabir yang kelabu. Angin yang basah bertiup
semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin
dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi
masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun
menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi?
Tak seorang pun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan…?
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku
seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat
apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam.
Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar,
bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata, “Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?”
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil, “Ayah barangkali?”
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu
kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura
Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya
yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain
pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat
mereka itu menjadi ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri.
Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap
kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.
“Tetapi siapakah selain mereka?”
bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi
gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat
lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar
beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua
orang aneh itu berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan
berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya. Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan. “Akulah yang datang.”
“Siapa?” teriak Pasingsingan.
“Pasingsingan,” jawab suara itu.
Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan…? “Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti suara Pasingsingan.
Ketika kemudian kilat memancar di langit,
maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap
orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat
yang hanya sesaat tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah
abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring, “Siapakah kau? Apakah kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus Pasingsingan?”
“Aku Pasingsingan” jawab suara itu.
“Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan. “Aku satu-satunya.”
“Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. “Aku juga Pasingsingan.”
Ketika semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya
obor, tampaklah seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu
dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada
mereka.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka.
Pasingsingan menjadi marah sekali
karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan
liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan dirinya itu
berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, “Apakah kalian tidak sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang yang menamakan diri mereka
Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka melangkah
mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan
kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang
dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya, “Suatu
permainan yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah
abu-abu dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi
kalian? Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan
bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau sekarang tiba-tiba ada tiga,
atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh,
maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”
“Kau benar,” sahut Pasingsingan. “Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.”
“Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.” Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab. “Tetapi
terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan,
apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak
seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah
aku atau orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.”
Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu.
Yang mendengar suara itu menjadi
bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah.
Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan batin mereka untuk menahan
kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah
terduduk karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak
kuat menahan getaran yang memukul dadanya, sehingga dengan demikian,
iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian
akhirnya iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan
tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayap-layap seperti orang
yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan
Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran
beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian
agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan
terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka
Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya
dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah justru kedua orang yang lain
itu lebih berbahaya bagi mereka.
Pasingsingan masih terus tertawa dengan
nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah
kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang terlepas
dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah
tanpa daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih.
Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin
lama menjadi semakin lemah. Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah
melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun menjadi
gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar.
Sura Sarunggi berdiri tegak sambil
mengangkat dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh
aji sahabatnya itu. Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?”
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh
bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin
basah dari lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak
melipat tangan di dadanya.
Sejalan dengan arus udara yang aneh itu,
terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan
Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam
dirinya. Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar
di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih
mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri.
Bagaimanapun juga Mantingan adalah
seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang
yang banyak mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang
tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu tergetarlah
hatinya. Sehingga tak sesadarnya ia berbisik, “Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.”
Widuri, Wilis dan Wirasaba mendengar
bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat
bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat
terinjak mati di tengahnya.
“Dahsyat…!” Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak. “Aku
merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji Gelap Ngampar.
Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya
telah berhasil mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu
sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.”
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini
sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah
membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin
marah. Sambil menunjuk ke arah topeng kasar dari orang yang berdiri di
samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata, “Setan.
Agaknya kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu
bukti bahwa kau berhak menamakan dirimu Pasingsingan. Sebab
Pasingsingan tidak saja mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau
menamakan dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji Gelap
Ngampar?”
“Hem…” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya. “Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
“Setiap orang dapat menyebut dirinya
Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap
Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut Pasingsingan hampir berteriak.
Orang yang menamakan dirinya
Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya
itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia menarik nafas panjang.
Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
“Kau juga bernama Pasingsingan?” Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.
“Akulah Pasingsingan itu” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, “Aku
tidak peduli apakah kau menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang.
Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka
kau hanya akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.”
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir.
Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap
Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah
kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri.
Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti
orang yang tak tahu keadaan diri.
“Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu. “Tetapi
aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan
dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu
terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan, maka
tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan
menderita karenanya.”
“Jangan mencoba mengajari aku” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo, ”apapun yang terjadi, namun Gelap Ngampar benar-benar ditakuti orang”.
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan itu tertawa, “Ki
Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan
dengan Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku,
misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau
hanya mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat
topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. “Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.”
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek, jawabnya, “Kau
mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak tahu
kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang
demikian itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran
yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh
pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran
tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan dengan kebenaran
yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
“Huh…” potong Pasingsingan, “Tak
ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di
hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah
salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya
sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem
sekenyang-kenyangnya. Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya
kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku sedang mendaki
puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat
dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang
berusaha.”
“Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan.
“Jangan berpura-pura” jawab Pasingsingan.
“Hem…” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi.
“Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
“Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan.
“Apakah yang kalian perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. “Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau
itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang
dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya,
bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak?”
”Apa pedulimu?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo.
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula, “Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?”
“Mereka menghalangi maksudku, seperti kau,” jawab Pasingsingan.
“Kalau seseorang berusaha menemukan
keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau
berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
“Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak, “Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa arti?”
“Kebesaran yang akan kau dapatkan itu
tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak.
Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu.
Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
“Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan. “Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. “Kalian
berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat mengambil
kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus
mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang datang
bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan
berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar,
aji Alas Kobar dan segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
“Tetapi aku akan memberimu kepuasan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan. “Kau ingin melihat aku melepaskan aji Gelap Ngampar?” Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata, “Kau juga ingin melihat kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa
Ijo itu berdebar-debar. Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki
Gelap Ngampar seperti dirinya? Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak,
siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang dari
Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu
melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri. Kecuali mereka, Jaka
Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi
pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan
untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan
yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai
saat yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu
kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling. Kepada
setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan
kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang Parapat dan para penjaga yang sudah
kehilangan kesadaran mereka. “Hem…” desahnya, “Kalau aku melepaskan aji Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.”
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa. “Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?”
“Tidak… tidak,” sahut Pasingsingan itu. “Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
“Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi Pasingsingan di samping
Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi
ragu. Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di
samping Sura Sarunggi, ia berkata, “Kalau kau ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan.”
“Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.
“Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
“Menjemukan,” sela Sura Sarunggi. “Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo. “Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
Pasingsingan belum sempat menjawab,
ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa.
Perlahan-lahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang
menggeletar menggetarkan udara halaman Banyubiru itu, seolah-olah
geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru.
Terasa disetiap dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga
runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih erat lagi pada
dahan-dahannya.
Suara Pasingsingan itu tidaklah seperti
suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang
sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak
mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya
adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia, “Aji Gelap Ngampar.”
Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba,
Widuri dan Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk
berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga
tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh
terkulai tak sadarkan diri.
Tetapi, Mantingan dan kawan-kawannya,
bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka
mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari
persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan
pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan
senjata-senjata mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat
bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan
mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun
kering yang berguguran di halaman itu.
Meskipun demikian, terasa perbedaan pada
kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar
tenaga yang pertama.
Namun, ketika dada mereka akan runtuh,
dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di
dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan
namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap Ngampar itu.
Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
“Hem…” geramnya, “Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,”
katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi.
Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya
terlipat di dada.
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa, “Permainan yang mengasyikkan” katanya. “Jangan bermain-main terlalu lama. Aku
tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang
datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan
kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu Gelap
Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari
mata air yang sama.”
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri
tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar.
Dengan suara yang berat ia berkata pula, “Gila. Kalian memiliki aji
gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba
melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri
Pasingsingan.”
“Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan. “Mungkin
kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu
itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah
kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar
ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu
kelaparan yang kehilangan mangsanya. “Gila, darimana kau dapatkan benda itu?”
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di
samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati
panjang yang bercahaya kuning menyilaukan. “Inikah yang kau maksud?” katanya.
“Hem…” desis Pasingsingan di samping Mantingan. “Kalian mau bermain-main dengan senjata.”
Ia tidak berkata lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah
pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati Pasingsingan yang lain
itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi
semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena
itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya.
Sebuah belati panjang yang berkilau.
Kini ketiga orang yang menamakan diri
Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa.
Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh
luar biasa. Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada
duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada dua orang yang
menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya
Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang yang kuning berkilauan.
Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, “Setan.
Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada
lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang
bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah
kalian mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang
Sajuta?”
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening
sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang kelabu
menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur
bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema
diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara
seperti Ular Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit. Menurut
ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu
sedang terjadi pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang
sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala
Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena
ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman
Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan
guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang
Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam
pendirian masing-masing.
Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, “Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 23
No comments:
Write comments