Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar
marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata.
Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi
agak bingung. Dengan demikian, aku menduga bahwa orang itu sama sekali
tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami
duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain
itupun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan
kepadanya.
“Gila,” gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus.
Bugel Kaliki berloncat seperti kijang,
dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia
menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah
pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang
bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh
suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah
dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan
gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel
Kaliki tidak dapat membunuh mereka.
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan. “Kalau demikian..” Arya meneruskan, “Paman-paman
yang perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam
pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari seluruh
laskar Banyubiru ke Pamingit. Kita tempatkan diri di bawah pimpinan
Eyang Sora Dipayana untuk menumpas golongan hitam itu. Apakah kalian
sependapat?”
Ketika
Ki Ageng Sora Dipayana dan Wulungan melihat Arya, merekapun menjadi
terkejut. Dengan serta merta Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya, “Kau Arya.”
“Kalau
demikian, biarlah Paman Titis Anganten kita perhitungkan pula. Siapakah
para pemimpin golongan hitam dari angkatan tua itu?” tanya Mahesa Jenar.
Bugel
Kaliki tak mau berbicara lagi. Setelah memandangi pertempuran itu
sekali lagi, tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak tinggi. Ki Ageng
Sora Dipayana pun telah bersedia pula. Karena itu segera ia menghindar
untuk segera meloncat dengan tangkasnya menyerang kembali. Demikianlah,
kedua orang itu kemudian bertempur dengan dahsyatnya di antara hiruk
pikuk pertempuran. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar harus memusatkan
segenap perhatiannya untuk melawan hantu bongkok dari Gunung Cerme itu.
Karena itu, ia tidak mempunyai kesempatan mengamati pasukannya. Meskipun
demikian, ia merasa bahkan laskar Pamingit dan Banyubiru bersama-sama,
dapat mengimbangi laskar lawan, bahkan sedikit demi sedikit terasa,
garis pertempuran itu bergeser maju.
“Orang ini agaknya orang gila,”
pikir Nagapasa. Dengan demikian ia kehilangan nafsu untuk berbuat
sesuatu. Melawan orang gila baginya hanya akan membuang-buang waktu
saja. Kembali Nagapasa berpaling kepada orang yang dicekiknya. Kepada
orang itu ia akan menumpahkan kejengkelannya. Dengan menggeram ia
berkata, “Nasibmu tak begitu baik, tikus yang malang. Berdoalah sebelum kepalamu aku pecahkan.”
Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora
Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang
tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih
saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak
buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka.
Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga
dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka.
Gupita pun ternyata adalah seorang
pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya.
Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak
teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik.
Pada dasarnya setiap orang dari golongan
hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita,
namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih
banyak, maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup.
Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng
Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua
ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku
ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati.
Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan
Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang.
Tak seorangpun yang mengganggu
perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun
laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati
mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku
tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha untuk
melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit
itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan. Setiap Bugel
Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu
melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya.
Demikian pertempuran itu berlangsung
sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan,
selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran
itupun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah
pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang
hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari
Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak
orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit
sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan
lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung
perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam
tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan
pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang
sangat, segera menarik diri mereka masing-masing. Orang dari golongan
hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun
agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik
pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran. Hanya
Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan
Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa
orang tua itupun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran,
sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi
semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa
bahayanya menjadi semakin besar.
Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan
pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga
mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula.
Demikianlah pertempuran di hari pertama
itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin
untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang
Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki
Ageng berpesan, ”Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada
cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah
jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku
mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari,
mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan
jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran
akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir
orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat
Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang
setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami
akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung
pula ke sana.” Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun, ”Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu.”
Jaladri mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya
yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di
hatinya.
Suasana di pendapa itu menjadi sepi
hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang
tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu
dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan, “Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya
memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap
wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas
dalam-dalam iapun menjawab, “Aku tidak mengalami pertempuran seperti
Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang
sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi
sebelumnya.
Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora
dan Sawung Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara
orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra,
Pasingsingan dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi. “Gila….” desis Wanamerta.
“Ya...” Penjawi meneruskan, “Karena
itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa
orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke
Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk
tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada
bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang
diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing
memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi
kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa
Ijo dan Jaka Sora.”
Ketika Penjawi berhenti berceritera,
kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang
lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang.
Sesaat kemudian Penjawi meneruskan,
“Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar
golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itupun
tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka
mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan
mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada. Sehingga dengan demikian
korbannyapun menjadi semakin banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari
golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora
tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika
matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena
tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri.
Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah
mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya.
Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya.
Ketika itu, laskar Pamingit telah
terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke
pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang
Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang
itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba
memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap
setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di
tempatnya. Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini.
Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar
Pamingit.”
Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi
ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari
keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu
kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri
menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga
setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru. Berkali-kali terngiang di
telinga mereka, “Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambah-tambah.”
DALAM kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya, “Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh orang yang tak kau kenal itu?”
Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab, “Sungguh
tak tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang mengaggumkan.
Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang perempuan. Suaranyapun kecil,
nyaring seperti suara perempuan.”
“Titis Anganten…” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Orang sakti dari Banyuwangi.”
“Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka hampir berbareng. “Ya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”
“Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara, “Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”
“Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.
Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut dalam angan-angan mereka sendiri.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka, “Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”
Tak seorangpun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam kediaman yang beku.
Ketika tak seorangpun yang bersuara, bertanyalah Mahesa Jenar, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang
berkeliling, seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun
demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud pertanyaan
gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan eyangnya kepada
Jaladri, ”Aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir
orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah,
apakah aku masih dapat bertemu dengan cucuku itu.” Maka kemudian iapun berkata lantang, “Nah,
apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan dapat
menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian Banyubiru akan
menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian akan kita duduki
setelah kita berhasil menumpas laskar dari golongan hitam.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu
tiba-tiba terkejut mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka
datang ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu
keganjilan di dalam dada mereka.
“Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka. “Kesempatan ini tak akan berulang.”
Para pemimpin Banyubiru itu masih diam.
Mereka tidak tahu perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka
sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia
masih berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan
muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa muridnya adalah
seorang yang berhati jantan, namun berotak cemerlang. Karena itu ia
masih menanti maksud Arya Salaka.
Memang Arya Salaka benar-benar seorang
pemuda yang cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat
yang pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia mendengar
ceritera Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya perasaan yang
bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar Banyubiru itu.
Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan mereka telah berjanji untuk
berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta
kalau perlu mereka akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan
mereka, namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang
Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam, timbullah
perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apapun yang terjadi di
antara mereka, permusuhan yang bagaimanapun tajamnya, namun orang
Banyubiru dan Pamingit adalah orang-orang dari cabang aliran darah yang
sama. Mereka semula adalah orang-orang dari daerah perdikan
Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama
bekerja untuk tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Bagi orang Banyubiru,
orang-orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut
dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah
kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman mereka.
Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian, apakah mereka akan
merelakan darah mereka yang mengalir didalam tubuh saudara-saudara
mereka itu memercik dari luka-luka mereka, karena pokal orang-orang
golongan hitam? Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih
tetap berdiam diri.
Agaknya Arya Salaka telah mengamati
keadaan dengan tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian
Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang
tersirat di hatinya. Karena itu iapun menjadi terharu. Tetapi ia tidak
berkata apapun, selain beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka. “Paman-paman
sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya aku tahu apa
yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku ajukan beberapa
pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri, sebab kalian tidak
menyakini apa yang bergolak didalam dada kalian. Karena itu, cobalah,
biar aku menebaknya. Bukankah kalian merasa bahwa kalian tidak rela
mendengar ceritera bahwa saudara-saudara kalian terpaksa mengalami
tekanan yang berat dari golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa
orang-orang hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah
perdikan Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah
payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek serta
ayah-bunda kalian?”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih
agak bingung. Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya Salaka.
Akhirnya Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti terangnya
matahari di siang yang panas itu. “Nah, paman-paman sekalian.
Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan
pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya ingin
mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah kalian masih marah
dan mendendam kepada saudara-saudara kita dari Pamingit itu. Tetapi
ternyata kalian telah menempuh pergolakan perasaan, yang membendung
perasaan dendam itu. Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun
seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap berada di
pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk
melepaskan dendam kita.”
“Pasti…!” teriak mereka serentak. “Kami sependapat. Dan kami segera akan melaksanakannya.”
“Bagus,” potong Arya Salaka. “Kita akan berangkat segera setelah separo dari laskar kita berkumpul di alun-alun.”
Arya tidak perlu mengulangi perintahnya
kembali. Para pemimpin itu segera berdiri, dan berloncatan ke halaman.
Segera mereka berada di atas punggung kuda masing-masing, untuk kemudian
melesat seperti angin. Mereka ternyata masih menyala rasa
kesetiakawanan yang mendalam. Mereka ternyata lebih mendendam kepada
golongan hitam, daripada kepada orang-orang Pamingit. Dan sekarang
perasaan itu diungkatnya kembali.
Sepeninggal mereka, di pendapa itu masih
duduk selain Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis,
Endang Widuri, Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Penjawi,
Jaladri dan Sendang Parapat. Kemudian kepada Mahesa Jenar, Arya Salaka
berkata, “Adakah kita yang berada di pendapa ini akan berangkat semuanya?”
“Jangan Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Kita
harus berhati-hati. Bukankah tersebar berita bahwa Nagasasra dan Sabuk
Inten masih berada di Banyubiru? Kita dapat menduga bahwa kabar itu
sengaja disiarkan untuk menimbulkan keributan, namun kita dapat menduga
lain. Mungkin mereka benar-benar masih berpendapat bahwa keris-keris itu
berada di Banyubiru. Karena itu biarlah Kiai Wanamerta dan Sendang
Parapat yang belum sembuh benar, tinggal di sini, didampingi oleh Kakang
Mantingan dan Wirasaba. Selain itu biarlah Wilis tinggal di sini pula.
Dan bagaimanakah sebaiknya dengan Endang Widuri?” tanya Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
“Aku ikut dengan Paman Mahesa Jenar.” Endang Widuri menyahut sebelum ayahnya menjawab.
“Jangan Widuri,” potong ayahnya, “Kali ini jangan. Kita menghadapi lawan yang tak terduga kekuatannya.”
“Aku telah dapat menduganya,” jawab Widuri. “Laskar
Eyang Sora Dipayana hanya terpaut sedikit dari kekuatan Bugel Kaliki di
hari pertama. Di hari kedua, kekuatan itu akan lebih banyak mengalami
kegoncangan. Katakan bahwa laskar Pamingit mengalami kekalahan
dua kali lipat dari hari pertama. Tetapi kekuatan Eyang Sora Dipayana
masih lebih dari tigaperempat dari kekuatan lawan. Nah kalau demikian,
mereka malam nanti pasti sudah mundur ke Pangrantunan. Dengan tambahan
laskar Kakang Arya Salaka yang segar, kekuatan akan berimbang kembali.
Lebih-lebih tokoh-tokohnya akan mampu lagi berbuat seenaknya. Dan apakah
gunanya ayah ikut serta kalau ayah tidak mampu mengalahkan orang yang
bernama Nagapasa, atau Sima Rodra atau Sura Sarunggi?”
“Jangan sesorah panjang-panjang, Widuri,”
potong ayahnya. Sedang orang-orang yang mendengarkan terpaksa
tersenyum-senyum. Namun di dalam hati mereka, terasa betapa mereka
mengagumi gadis itu. Agaknya ia benar-benar dapat membuat gambaran dari
medan di Pamingit dengan perhitungan yang baik. Kemudian terdengarlah
Kebo Kanigara meneruskan, “Meskipun agaknya kau benar, namun kita
harus berhati-hati. Mereka akan berbuat jauh lebih dahsyat daripada yang
kau duga, sebab orang-orang dari golongan hitam itu membenarkan segala
cara untuk mencapai tujuan. Bahkan cara-cara yang kadang-kadang
melanggar hukum-hukum perikemanusiaan. Meski akan menakut-nakuti kau
dengan cara-cara yang tak wajar.”
“Aku tidak takut,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya, katanya; “hanya prajurit yang baik yang dapat bertempur melawan golongan hitam.”
“Aku prajurit yang baik,” jawab Widuri
“Prajurit yang baik akan selalu patuh kepada perintah. Nah dengarlah perintah pemimpin pasukan, Arya Salaka,” sahut ayahnya.
Endang Widuri mengerutkan keningnya.
Beberapa orang terpaksa tertawa mendengarkan perdebatan itu. Dengan
wajah cemberut gadis itu memandang Arya Salaka. Arya Salaka sendiri
menjadi bingung. Ia tahu maksud Kebo Kanigara akan tetapi di dalam hati
kecilnya ingin mengajak gadis itu serta. Entahlah, apa sebabnya. Tetapi
diingatnya bahwa bahaya akan datang setiap waktu, maka ia pun
berpendapat, bahwa sebaiknya Endang Widuri tidak ikut serta. Apalagi
Rara Wilis pun tidak.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, terdengar Endang Widuri berkata, “baiklah, baiklah. Aku sudah tahu jawaban kakang Arya Salaka, ia pasti akan berpihak kepada ayah.”
Arya Salaka tersenyum.
Kemudian terdengar Widuri meneruskan, “Biarlah aku tinggal bersama bibi Wilis dan eyang Wanamerta. Bukankah begitu bibi?”
“Tentu,” jawab Wilis ”kau menemani aku disini”.
“Dan biarlah paman Mantingan nanti bercerita tentang Bharata Yudha,” Rara Wilis meneruskan, ”dan paman Wirasaba akan meniup seruling hingga beringin kurung itu nanti menari-nari bukan begitu paman?,”
“Mudah-mudahan,” sahut Wirasaba sambil tertawa.
“Tetapi itu tidak penting,” Widuri meneruskan, ”sebenarnya paman Mahesa Jenar yang paling berkeberatan aku ikut serta,”.
“Kenapa aku?” sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah paman menghendaki aku
tinggal, menunggu bibi Wilis, supaya bibi Wilis tidak hilang? Paman
Mahesa Jenar takut kalau orang yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan
datang menjemput bibi, dan…..” Kata-kata Widuri terputus, ia memekik kecil ketika Rara Wilis mencubitnya.
“Tobat bibi aduuuuh”
Rara Wilis tiba-tiba menundukkan mukanya. Terasa rona merah yang panas menjalar ke pipinya.
“Jangan nakal Widuri,” ayahnya menasehatinya.
“Tidak aku tidak nakal lagi, jangan jangan cubit dagingku akan terkupas. Bibi kalau mencubit sakitnya bukan main.”
Mau tidak mau Wilis terpaksa tersenyum.
Memang WIduri benar-benar nakal. Ia tidak perduli berhadapan dengan
siapapun, kalau teringat sesuatu yang menarik hatinya untuk menggoda, ia
pun berbuatlah.
Sementara itu para pemimpin Banyu Biru
telah sampai kepasukan masing-masing. Segera mereka mempersiapkan laskar
mereka. Separo akan dibawa ke Pamingit. Mula-mula setiap orang didalam
laskar Banyu Biru menjadi heran, mengapa tiba-tiba mereka harus membantu
Pamingit. Namun setelah mendapat penjelasan dari para pemimpinnya,
merekapun sadar akan tugas itu. Tugas yang harus dikedepankan. Menumpas
setiap gerombolan yang menghianati kemanusiaan. Menghianati ketentraman
hidup rakyat yang tinggal jauh disekitar daerah mereka. Bahkan tujuan
jangka jauh yang telah mereka rintis. Mencari pusaka yang dapat membawa
mereka kepada jabatan tertinggi di Demak.
Yang tinggal di Banyubirupun segera
mempersiapkan diri mereka pula. Mereka mengamati senjata-senjata mereka,
apakah senjata mereka telah siap untuk melawan musuh yang berbahaya.
Beberapa orang yang harus tinggal di
Banyubiru menjadi kecewa. Sebenarnya mereka ingin turut didalam laskar
yang kan pergi ke Pamingit tetapi merekapun sadar bahwa mereka mempunyai
tugas yang penting pula di Banyubiru.
Demikianlah ketika matahari telah
memanjat lebih tinggi lagi diatas pucuk pohon sawo kecik di halaman
Banyubiru itu, mulailah ujung laskar Banyubiru memasuki alun-alun.
Kelompok demi kelompok. Dari wajah mereka tampaklah betapa besar hati
mereka setelah berkesempatan untuk menginjakkan kaki mereka diatas tanah
pusaka. Betapa mereka merasakan kenikmatan yang mengetuk ngetuk dada
mereka, meskipun terasa bahwa tanah tercinta ini telah mengalami
beberapa kemunduran. Tetapi telah beberapa tahun mereka mengasingkan
diri, didalam masa-masa yang prihatin, akhirnya mereka dapat
menginjakkan kaki mereka dibumi tercinta ini kembali. Disekitar
alun-alun itupun kemudian berduyun duyun rakyat Banyubiru menyaksikan
putera putera daerah mereka yang setia, yang selama ini menghilang dari
kampung halaman karena tekanan tekanan orang Pamingit. Namun ternyata
mereka sekarang datang kembali dengan senjata di tangan.
Setelah pasukan itu semuanya memasuki
alun-alun, maka berkumpulah setiap pimpinan kelompok laskar itu,
dihadapan Arya Salaka. Dengan hati-hati Arya Salaka memberikan beberapa
penjelasan kepada mereka apakah sebabnya mereka kini harus menempatkan
diri dibawah pimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. “Dalam keadaan seperti sekarang ini,” katanya, ”ki
Ageng Sora Dipoyono memang harus memegang seluruh pimpinan atas
Banyubiru dan Pamingit. Tak ada orang lain yang lebih berhak
daripadanya. Sedang Ki Ageng Sora Dipayana sekarang sedang berjuang
melawan golongan hitam. Namun lawannya terlalu besar. Lawannya memiliki
keunggulan yang tak dapat diatasinya. Nah apakah kalian, pewaris tanah
perdikan Pangratunan yang kemudian bernama Banyubiru ini akan tinggal
diam menyaksikan orang yang cikal bakal tanah ini mengalami bencana?”.
Terdengar jawaban mbata-rubuh. “Kami bela Ki Ageng Dipayana dengan segenap tenaga yang ada pada kita.”
“Terimakasih,” jawab Arya, ”tentukan
separo dari kalian akan kubawa ke Pamingit, separo tetap tinggal disini
untuk menjaga kemungkinan yang tak kami harapkan di tanah ini.
Kemudian, siang hari kalian kami perkenankan untuk beberapa saat
meninggalkan pasukan, barangkali kalian ingin melihat sanak keluarga dan
orang yang kalian rindukan. Nanti kalau matahari telah membuat
bayanganmu sepanjang badan, kalian harus berkumpul kembali di alun alun
ini. Aku mengharap, sedikit lewat tengah malam kalian harus sudah berada
di Pangrantunan,”
Ketika penjelasan Arya Salaka itu
diberikankepada setiap kelompok oleh para pemimpin kelompok, bersoraklah
mereka. Mereka menerima kebijaksanaan Artya dengan sepenuh hati, tidak
saja sebagai lajimnya seorang prajurit yang baik. Namun karena ternyata
Arya Salaka telah berfikir seperti apa yang mereka pikirkan. Arya tidak
menutup mata atas kemungkinan yang ada didalam dada laskarnya. Sebab ia
sendiri merasakan, betapa rindunya kepada halamannya, kepada setiap
bunga yang berkembang, lebih lagi kepada bundanya. Tetapi sampai saat
ini orang yang dirindukannya masih belum diketemukannya. Bahkan ia tidak
tahu apa yang terjadi atas ibunya di Pamingit. Apakah orang-orang dari
golongan hitam itu tidak mengganggunya?. Tiba-tiba Arya menjadi tidak
sabar lagi, namun ia sadar tidak bisa membawa laskarnya ke jurang ke
kebinasaan, hanya karena dirinya merindukan ibunya. Karena itu, ia telah
mencoba menekan perasaannya untuk mempertahankan keseimbangannya
sebagai seorang pemimpin.
Sesaat kemudian bubarlah barisan yang
berada di alun-alun itu. Masing masing berjalan dengan tergesa-gesa,
bertebaran ke segenap penjuru Banyubiru. Beberapa orang yang tidak
mempunyai kepentingan lagi dengan orang lain, karena hampir seluruh
keluarganya telah menyertainya ke Gedongsanga, ingin juga berjalan jalan
berkeliling kota melihat-lihat perubahan yang timbul selama kota ini
ditinggalkan. Kadang mereka singgah juga ke rumah kenalan mereka. Namun
kenalan mereka telah menerima mereka dengan ketakutan. Jangan jangan
laskar Banyubiru ini akan mengganggunya seperti cerita yang selama ini
selalu didengar tentang mereka, bahwa laskar Banyubiru tidak lebih dari
gerombolan penyamun dan perampok yang hanya mampu membuat kacau dan
bencana. Namun setelah mereka mengetahui apa yang telah dilakukan laskar
Banyubiru itu yang dengan ramah menyapa mereka, mereka memberi salam
gairah seperti dahulu. Sadarlah mereka bahwa laskar Banyubiru adalah
laskar yang selama ini berjuang untuk kepentingan mereka. Untuk
kepentingan rakyat Banyu Biru. Mereka ternyata selama ini telah berusaha
dengan gigihnya melenyapkan penghisapan orang lain atas mereka.
Sisa waktu mereka pergunakan untuk
beristirahat. Di bawah pohon-pohon yang rindang, di gardu-gardu dan di
tempat yang sejuk. Mereka tidak tahu apakah nanti mereka masih mempunyai
waktu untuk beristirahat.
Arya Salaka pun mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Meskipun hatinya selalu digelisahkan oleh keadaan ibunya
yang tak diketahuinya, namun ia mencoba juga untuk membaringkan
dirinya.
Ketika matahari telah mulai condong ke
barat, sibuklah kembali alun-alun Banyu Biru. Beberapa orang yang
singgah di rumah keluarganya, kenalan-kenalannya atau sahabat-sahabatnya
telah membenahi diri. Mereka telah menyiapkan diri, untuk segera
memenuhi tugas mereka, pergi kealun-alun sebelum bayangan mereka tumbuh
tepat sepanjang tubuh.
Sesaat kemudian alun-alun Banyu Biru itu
telah riuh kembali, Terdengarlah suara sangkakala mengaum dengan pada
yang bergelora. mengetuk setiap hati mereka yang mendengarnya. Suaranya
terlempar dari tebing bukit Telamaya, merayap ke segenap penjuru,
melontarkan panggilan suci. Panggilan kemanusiaan untuk menegakkan
hukum-hukumnya, sebagai suatu panggilan pengabdian yang luhur.
Sekali lagi Arja berdiri berhadapan
dengan para pemimpin; kelompok laskarnya. Namun kini telah terbagi.
Sebagian dari, mereka dengan menyesal terpaksa tidak turut serta ke
Pamingit., namun mereka pun sedang mengemban tugas yang berat pula,
mengamankan Banyu Biru.
Kali ini Arya berbicara singkat saja,
memberi mereka petunjuk-petunjuk kemana laskar itu harus pergi. ”Kita
langsung pergi ke Pangrantunan, sebagai tempat yang ditentukan untuk
membuat garis pertahanan baru apabila eyang Sora Dipayana terdesak.
Kita semuanya akan menempatkan diri dibawah pimpinannya. Perjuangan kali
ini merupakan sebagian dari perjuangan kalian untuk mempertahankan
Banyu Biru. Bahkan dari tangan orang-orang yang jauh lebih jahat dan
biadab dari orang2 Pamingit. Yaitu goloiigan hitam. Tetapkanlah hati
kalian. Tuhan bersama kita.”
Kemudian terdengar kembali sangkakala
memecah udara Banyu Biru. Bersamaan dengan itu bergetar pulalah setiap
hati laskar yang sudah siap itu.
Sesaat kemudian terdengarlah aba-aba dari
para pemimpin mereka, dan ketika terdengar bende berdentang untuk
ketiga kalinya, maka ujung barisan itupun mulai bergerak, diikuti oleh
barisan-barisan yang }ain, sehingga akhirnya dialun-alun itu tinggallah
separuh dari mereka. Meskipun demikian, yang separuh itu pun,
seolah-olah merasa jantung mereka berderab bersama-sama dengan pasukan
yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian mereka sadar oleh suara
Wanamerta, ”Nah, kalian yang tinggal. Jangan menghilangkan
kewaspadaan, Mungkin besok, mungkin lusa kalian harus bertempur pula.
Nah sekarang kalian dapat membubarkan barisan ini. Kembalilah kedalam
barak2 yang telah ditentukan buat kalian. Tetapi kalian harus tetap
dalam kesiap siagaan yang tertinggi.”
Ketika laskar yang separuh itu kemudian
meninggalkan alun-alun itu pula, maka kembalilah Wanamerta ke pendapa
untuk duduk bersama-sama dengan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dar
Endang Widuri. Di pundak merekalah tanggung jawab atas Banyu Biru
diletakkan, sepeninggal Arya Salaka
———-oOo———-
II
Di Perjalanan, tak banyaklah yang
dipersoalkan oleh Arya Salaka dengan gurunya serta Kebo Kanigara.
Angan-angannya lebih banyak dicengkam oleh kegelisahan tentang nasib
ibunya. Namun demikian ia tetap dalam keseimbangan yang baik. Dua orang
telah diperintahkannya untuk berjalan berkuda mendahuluinya. Mereka
harus mengetahui, apakah laskar Pamingit yang dipimpin oleh Wulungan dan
Ki Ageng Sora Dipayana berada di Pangrantunan atau di Kepandak.
Untuk menghindari salah paham dengan
laskar yang langsung dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, Arya Salaka
menempuh jalan melingkar agak jauh di sebelah timur Pamingit, langsung
menuju ke Pangrantunan. Apabila kemudian laskar itu akan menembus
Pamingit, mereka akan datang dari arah tenggara.
Ketika malam turun, laskar Arya Salaka
telah menembus hutan-hutan yang tipis di sebelah timur Pamingit. Untuk
beberapa saat laskar itu beristirahat. Mereka sekadar melepaskan lelah
mereka dengan mempersegar tubuh mereka di sumber air yang mereka temui
diperjalanan itu. Kemudian mereka masih sempat menikmati bekal yang
mereka bawa. Ketupat sambal.
Setelah beristirahat sejenak, kembali
pasukan itu meneruskan perjalanan. Bulan di langit separoh bulat telah
naik tinggi di atas bukit-bukit yang membujur seperti raksasa yang
lelap. Angin malam yang lemah bertiup dari utara mengusap pohon-pohon
perdu yang dengan lembutnya. Sedang di kejauhan sayup-sayup terdengar
anjing-anjing liar menggonggong berebut makanan.
Di tempat yang telah ditentukan, dua orang berkuda, yang ditugaskan oleh Arya Salaka untuk mengamati keadaan, telah menunggu.
“Bagaimana?” tanya Arya kepada mereka.
“Ki Ageng Sora Dipayana telah menarik pasukan ke Pangrantunan,” jawab orang itu.
“Sejak kapan?” tanya Arya Salaka.
“Baru malam ini. Semua tenaga telah dikerahkan. Setiap laki-laki di Pangrantunan telah memanggul senjata,” jawab orang itu.
“Adakah golongan hitam telah menyusul ke Pangrantunan pula?” bertanya Arya Salaka lebih lanjut.
“Aku kurang jelas. Namun hal itu mungkin sekali,” jawab mereka.
“Bagaimana dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora?”
“Tak aku ketahui. Namun mereka belum
sampai di Pangrantunan sore tadi. Tetapi seorang pengungsi mengatakan
bahwa Sumber Panaspun telah dikosongkan. Laskar Ki Ageng Lembu Sora
terdesak hebat sampai mereka terpaksa meninggalkan garis perang dalam
keadaan tak teratur.”
Arya menarik nafas panjang. Agaknya
kekuatan golongan hitam betul-betul tak dapat dianggap ringan. Suatu
gabungan dari sarang-sarang gerombolan yang mengerikan. Alas Mentaok,
Nusakambangan, Gunung Tidar, Rawa Pening dan seorang hantu dari Lembah
Gunung Cerme. Terbayanglah di dalam angan-angannya, bahwa Pamingit
benar-benar sedang dilanda oleh taufan yang maha dahsyat. Ki Ageng Lembu
Sora, yang beberapa saat yang lampau dapat bekerja sama dengan mereka,
akhirnya sampailah saatnya ia digilas oleh arus hitam yang mengerikan
itu, karena orang-orang dari golongan hitam itu sadar, bahwa Lembu Sora
adalah suatu usaha saling memperalat semata-mata. Bukan suatu kerja sama
yang tulus.
Tetapi kini golongan hitam itu
benar-benar salah hitung. Mereka mengharap Ki Ageng Lembu Sora terpaksa
membagi laskarnya. Sebagian menghadapi laskar hitam itu, dan sebagian
menghadapi laskar Arya Salaka. Mereka mengharap bahwa dengan demikian,
menggilas Pamingit akan sama mudahnya seperti menggilas ranti, untuk
kemudian menghantam hancur sisa-sisa laskar Arya Salaka dan Lembu Sora
yang parah di Banyubiru. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa
kejernihan dan ketulusan hati Arya Salaka merupakan badai yang berhembus
dengan dahsyatnya, memporakporandakan rencana mereka.
Arya Salaka kemudian memerintahkan
laskarnya untuk mempercepat perjalanan. Hatinyapun menjadi semakin
risau, apakah kira-kira yang telah terjadi di Pamingit dan apakah yang
telah terjadi dengan ibunya? Ia menjadi cemas. Terbayanglah di dalam
rongga matanya orang-orang seperti Pasingsingan, Sima Rodra dan
sebagainya, dengan kasarnya memasuki setiap ruang rumah pamannya di
Pamingit. Apakah ibunya diketemukan di rumah itu pula oleh mereka?
Mudah-mudahan Tuhan memberikan perlindungan kepadanya.
Hampir tengah malam, laskar Arya Salaka
telah mendekati Pangrantunan dari arah utara. Dari jauh mereka telah
melihat beberapa kelompok perapian yang menyala di sekitar desa itu.
Karena itu segera Arya Salaka menghentikan laskarnya untuk menghindari
kesalah-pahaman.
Kepada gurunya ia berkata, “Paman, bukankah sebaiknya aku menghadap Eyang Sora Dipayana lebih dahulu?”
Mahesa Jenar mengangguk, jawabnya, “Baik
Arya, sebab di malam yang samar-samar demikian ini, akan mudah sekali
timbul salah mengerti. Laskar eyangmu itu mungkin sama sekali tak akan
menduga bahwa kau akan datang membantu mereka.”
Kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, Arya Salaka berjalan mendahului, untuk melaporkan
kehadirannya bersama laskarnya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Beberapa tonggak dari Pangrantunan,
segerombol pengawal menghentikan mereka. Dengan penuh kewaspadaan para
pengawal itu menyapa mereka dengan pertanyaan sandi. “Ke manakah mulut gua menghadap?”
Arya tidak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu ia berkata terus terang, “Aku bukan dari laskar Pamingit.”
“Dari golongan hitam?” bentak
para pengawal itu, dan bersamaan dengan itu tombak-tombak mereka segera
mengarah ke dada Arya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Arya menggeleng, jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Kalau aku dari golongan hitam, apakah agaknya aku akan bunuh diri?”
“Siapakah kalian?” tanya salah seorang daripada para pengawal itu.
“Dari Banyubiru,” jawab Arya.
“Banyubiru…? Siapa…?” desak mereka.
Arya Salaka termenung sejenak, apakah ia
harus mengatakan dirinya…? Dengan demikian, laskar Pamingit yang tak
dapat berpikir panjang akan menuduhnya memata-matai mereka untuk
selanjutnya memukul mereka dari belakang. Dalam keragu-raguan itu
terdengar orang Pamingit mendesaknya kembali, “Siapa?”
Mahesa Jenar lah yang kemudian menyahut, “Kami adalah utusan dari Angger Arya Salaka. Ada pesan yang harus kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang itu masih ragu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Apakah
pesan itu? Dan adakah kau membawa pembuktian diri bahwa kau orang
Banyubiru? Kalau kau dapat menyatakan dirimu sekalipun, apakah jaminanmu
bahwa kau tak bermaksud jahat?”
Setelah berpikir sejenak, Mahesa Jenar menjawab, “Kau
dapat bertanya apa saja tentang Banyubiru. Kami akan menjawab
sebagaimana anak daerah yang mengetahui segala sesuatu mengenai
daerahnya.”
“Kemudian apakah jaminan bahwa kau tidak akan berbuat hal yang merugikan laskar kami?” tanya pengawal itu.
“Kami hanya bertiga. Apakah yang
dapat kami lakukan? Bawalah kami menghadap Ki Ageng Sora Dipayana. Di
hadapan orang tua itu, kami tak akan mungkin berbuat sesuatu,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi kau bersenjata,” kata pengawal itu sambil menunjuk Kyai Bancak yang digengam Arya erat-erat.
“Tombak ini justru bukti kebenaran
kami. Ki Ageng Sora Dipayana segera akan mengenal tombak ini, dan
mempertanyai kami bahwa kami benar-benar utusan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Para pengawal itu berpikir sejenak.
Mereka memang pernah mendengar, bahwa Arya Salaka memiliki tombak yang
sakti, berrnama Kyai Bancak. Ketika mereka melihat mata tombak yang
seolah-olah bercahaya kebiru-biruan di dalam siraman cahaya bulan, maka
percayalah mereka bahwa tombak itulah yang bernama Kyai Bancak sebagai
pertanda kebesaran Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.
Ketika Mahesa Jenar melihat para pengawal itu ragu, ia mendesak, “Bawalah kami kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Kalau
kami bermaksud jahat, kami pasti tidak akan menempuh jalan ini. Apalagi
di antara kami bertiga hanya seorang yang bersenjata. Itu saja karena
kami ingin membuktikan bahwa kami benar-benar utusan Angger Arya Salaka.”
Para pengawal itu akhirnya percaya, bahwa
tiga orang itu pasti tak akan bermaksud jahat. Karena itu maka segera
salah seorang di antara mereka berkata, “Bawalah orang-orang ini menghadap Ki Ageng.” Kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Jangan
berbuat hal-hal yang dapat menyelakakan dirimu sendiri. Di sekitar
daerah ini bertebaran ratusan pengawal dari Pamingit yang akan dapat
memenggal lehermu di setiap tempat dan di setiap saat.”
“Baiklah Ki Sanak,” jawab Mahesa Jenar, “Aku akan taat kepada pesanmu itu, sebab aku masih ingin dapat kembali dengan selamat ke Banyubiru.”
Kemudian dengan diantar oleh lima orang
bersenjata tombak, Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dibawa
langsung ke Pangrantunan.
Di ujung desa itu, di dalam sebuah pondok
yang sedang, tampaklah penjagaan yang lebih rapi daripada tempat-tempat
yang lain. Dengan demikian segera dapat dikenal, bahwa di rumah itulah
Ki Ageng Sora Dipayana serta pimpinan laskar Pamingit itu berada.
Setelah melalui beberapa penjagaan, maka akhirnya seseorang langsung
menyampaikan berita tentang kehadiran tiga orang Banyubiru itu kepada Ki
Ageng Sora Dipayana.
“Siapakah mereka?” tanya Ki Ageng. “Belum kami ketahui namanya, Ki Ageng,” jawab orang itu.
“Apakah mereka bersenjata?” tanya Wulungan yang mendengar laporan itu.
“Hanya seorang, yang dua orang sama sekali tidak,” jawab pengawal itu.
Wulungan mengangkat keningnya, kemudian kepada Ki Ageng Sora Dipayana ia bertanya, “Apakah aku yang menerimanya?”
“Biarlah, bawalah kemari,” jawab orang tua itu.
Akhirnya pengawal itu membawa Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masuk ke dalam pondok itu.
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengangguk hormat. “Ya, Eyang,” jawab Arya.
Dengan pertanyaan yang melingkar-lingkar
di dalam rongga dada, orang tua itu mempersilahkan tamunya bertiga untuk
duduk di atas tikar, di bawah cahaya obor yang samar-samar. Namun
meskipun demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menangkap,
betapa perasaan orang tua itu bergolak.
“Kedatangan kamu mengejutkan kami di sini, Arya,” kata kakeknya perlahan-lahan. “Adakah
kau mempunyai keperluan yang tak dapat ditunda lagi sampai persoalanku
dengan orang-orang dari golongan hitam itu selesai?”
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo
kanigara segera menangkap kecemasan hati Ki Ageng Sora Dipayana. Agaknya
orang tua itu menjadi gelisah, kalau Arya Salaka kemudian mengubah
pendiriannya tentang tuntutannya atas Banyubiru.
“Kapankah kira-kira persoalan Eyang akan selesai?” tanya Arya.
Ki Ageng Sora Dipayana menggelengkan-gelengkan kepalanya, jawabnya, “aku
tidak tahu Arya. Besok, lusa atau seminggu, dua minggu lagi. Seandainya
persoalan ini selesai, akupun tidak dapat membayangkan bentuk
penyelesaiannya. Apakah orang-orang dari golongan hitam itu akan dapat
aku usir dari Pamingit atau kamilah yang harus binasa dalam pelukan
kewajiban kami.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Perasaan ibanya kembali melonjak-lonjak. Karena itu kemudian ia berkata, “Dapatkah aku ikut mempercepat penyelesaian ini Eyang?”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
Diangkatnya wajahnya yang telah dipenuhi oleh jalur-jalur umurnya, namun
kesegaran dan kewibawaan yang terpancar dari wajah itu mengesankan
bahwa Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang berjiwa besar dan penuh
dengan pengalaman hidup.
Tetapi kali ini orang tua itu tidak
segera dapat mengerti maksud Arya Salaka. Dengan pandangan yang dipenuhi
oleh persoalan-persoalan ia bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya Salaka menggeser tempat duduknya, ia
tidak segera menjawab, tetapi ia memandang saja kepada gurunya. Agaknya
ia minta kepada Mahesa Jenar untuk menyampaikan maksudnya kepada
kakeknya, supaya segala sesuatu dapat menjadi jelas, karena ia merasa
bahwa ia tidak pandai untuk menyampaikan perasaan dengan kata-kata.
Mahesa Jenar menangkap maksud Arya Salaka, dan karenanya ia menganggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar berkata, terdengarlah suara riuh diluar pondok itu.
“Ada apa diluar?” tanya Ki Ageng sora Dipayana.
Kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Setelah duduk bersila dengan hormatnya, ia berkata, “Ki Ageng, laskar Ki Ageng Lembu Sora yang terpaksa ditarik mundur telah datang.”
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam, Sambil mengangguk- angguk ia berkata, “Di manakah Lembu Sora dan Sawung Sariti?”
“Sedang menuju kemari,” jawab orang itu.
“Baiklah,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana pendek.
Sebelum orang itu keluar, masuklah orang
yang dikatakannya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Pakaian mereka
yang bagus telah menjadi kotor dan kumal. Sedang wajah mereka yang
dilapisi oleh debu berminyak tampak membayangkan betapa perasaan mereka
bercampur baur bergolak dalam dada mereka.
Kedua orang itu terkejut sekali ketika
mereka melihat Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di
dalam ruangan itu. Tetapi sebelum mereka menyapanya, terdengar Ki Ageng
Sora Dipayana bertanya, “Bagaimana dengan laskarmu?”
Lembu Sora menggeram. “Terpaksa aku tarik kemari,” jawabnya.
“Seluruhnya?” tanya ayahnya pula.
“Ya.” Ia masih ingin berkata
lagi, namun agaknya ia menjadi ragu. Karena itu sekali lagi ia memandang
Arya Salaka dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia bertanya kasar, “Ada apa anak itu kesini?”
“Duduklah.” Ki Ageng Sora Dipayana menyilahkan. “Biarlah kita berbicara. Aku belum sampai pada pertanyaan itu.”
Dengan segan Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk. Namun mereka masih memandang Arya dengan sorot mata yang asing.
“Aku sedang bertanya kepadanya.“ Ki Ageng Sora Dipayana berkata setelah Lembu Sora dan Sawung Sariti duduk.
“Kau akan memaksakan kehendakmu ketika kami sedang dalam kesulitan, kakang Arya.” Sawung Sariti mendahuluinya. Arya Salaka memandang adik sepupunya dengan sudut matanya, namun ia tidak menjawab.
“Nah, Arya. Berkatalah, apakah maksud kedatanganmu kemari.” Ki Ageng Sora Dipayana menengahi.
Kembali Arya memandang gurunya. Dan kembali Mahesa Jenar sadar bahwa muridnya memerlukan bantuannya.
Tetapi sebelum Mahesa Jenar menjawab, terdengarlah Ki Lembu Sora berkata, “Jangan
ragu-ragu. Katakan apa yang tersirat di dalam hatimu. Sebenarnya kami
tidak perlu bertanya lagi. Terlihat dari wajahmu. Sebab apa yang
tersirat didalam hati, pasti akan terbayang pada tata lahir. Lihatlah
betapa kelam warna wajah-wajah kalian, pakaian kalian dan laskar kalian.
Apakah kalian memungkiri bahwa kalian termasuk di dalam deretan
golongan hitam?”
Betapa tersinggungnya hati Arya Salaka
dan Mahesa Jenar mendengar kata-kata itu. Tanpa sesadarnya Mahesa Jenar
mengamati warna pakaiannya. Hijau gadung. Memang betapa kelam warna itu.
Dan ketika tiba-tiba matanya terlempar
kepada baju Arya, ia menarik nafas dalam-dalam. Arya Salaka mengenakan
baju pendek sangat sederhana. “Hmm….” Terdengar ia menggeram. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara berkata dengan sarehnya. “Ki
Ageng Lembu Sora. Janganlah Ki Ageng mempersoalkan pakaian-pakaian
kami. Kesederhanaan bentuk lahiriah bukanlah karena kekelaman hati.
Betapa tenang warna hijau gadung yang gelap dan betapa sederhananya
pakaian Arya Salaka dan laskarnya. Ki Ageng, jangan biasakan membaca
batin seseorang pada tata lahirnya yang nampak. Seseorang yang yang
berpakaian indah, dengan tretes intan berlian, apakah pasti bahwa ia
berhati indah ? Sedangkan mereka dalam tata lahirnya nampak kelam dan
jelek, apakah Ki Ageng pasti bahwa hatinya hitam?”
Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Lembu Sora
tertawa nyaring. Sedangkan Sawung sariti mencibirkan bibirnya dengan
penuh hinaan. Katanya, “Sebuah dongeng yang bagus.”
“Benar Ki Ageng,” sahut Kebo Kanigara. “Sebuah dongeng yang bagus.”
“Sekarang katakan keperluanmu,” potong Lembu Sora dengan tidak sabarnya. “Menuntut
balas? Menuntut supaya Lembu Sora dipenggal lehernya atau apa? Kalian
benar-benar dapat kembali gunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian
kau dapat memiliki Banyubiru, dan Pamingit akan kau jadikan sebagai
hadiah buat golongan hitam itu.”
Tubuh Arya Salaka tiba-tiba menjadi
bergetar. Ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata pamannya. Namun
demikian terdengan Kebo Kanigara merkata-kata dengan tenangnya, “Ki
Ageng. Memang kadang-kadang terjadilah hal-hal diluar dugaan wajar.
Tetapi sebenarnya tidak perlu Ki Ageng menjadi heran maupun curiga. Aku
juga pernah mendengar sebuah cerita yang menarik. Cerita anak-anak
bersumber pada cerita Panji. Meskipun Candrakirana selalu mendapat
perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang ditemuinya, baik dalam
cerita Klenting Kuning maupun dalam cerita Limaran dan lain-lain, namun
ia tidak pernah mendendamnya. Bahkan akhirnya ketika ia mendapatkan
kamukten-nya kembali, orang-orang yang pernah mendurhakainya itupun
dimuliakannya pula.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Cepat-cepat ia mendahului Lembu Sora, “Mudah-mudahan aku dapat menduga maksud cerita itu. Nah, cucuku Arya Salaka, katakan apa maksud kedatanganmu.”
Dada Arya Salaka masih tergetar oleh perasaan kecewa. Karena itu Mahesa Jenar mewakilinya, “Ki
Ageng, Arya Salaka datang dengan laskarnya. Sebagai bakti seorang cucu
kepada pepundhen-nya. Ia bersedia menempatkan dirinya di bawah pimpinan
Ki Ageng untuk ikut serta mengusir golongan hitam itu.”
Pondok kecil itu seolah-olah menjadi
tergetar oleh kata-kata itu. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa
demikianlah maksud kedatangan anak itu. Ki Ageng Lembu sora seketika itu
terdiam seperti patung. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergelora didalam
rongga dadanya. Sesaat ia kehilangan kesadaran diri. Seperti ia sedang
terbang didunia mimpi. Dengan susah payah ia berusaha untuk meyakinkan
pendengarannya.
Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
menundukan wajahnya. Keluhuran hati anak itu telah memukul jantungnya
sedemikian hebatnya sehingga tiba-tiba tanpa sesadarnya, dari matanya
mengembanglah air mata, yang menetes satu-satu diatas pangkuannya.
Sebagai seorang laki-laki, Ki Ageng Sora Dipayana telah mengalami
kesulitan, penderitaan dan kepahitan. Namun ia tak pernah membiarkan
perasaannya hanyut dan tenggelam dalam kesulitan itu. Sekarang,
tiba-tiba ia tak mampu menguasai diri, sehingga satu-satu jatuhlah air
matanya.
Untuk sesaat ruangan itu terlempar ke
dalam kesepian. Hanya nafas mereka yang saling memburu, terdengar
sedemikian jelasnya. Diluar, terdengarlah derap para pengawal hilir
mudik melakukan kewajibannya dengan tertib.
Kemudian dengan gemetar terdengar suara Ki Ageng Sora Dipayana, “Arya, coba ulangilah kata-kata Angger Mahesa Jenar, supaya aku menjadi yakin karenanya.”
“Benar Eyang’” jawab Arya, “Aku datang dengan laskarku. Aku ingin menunjukkan, apakah yang dapat aku serahkan sebagai tanda baktiku kepada orang tuaku. Sebagai pernyataan terima kasih serta sebagai suatu kenyataan atas adaku.”
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin
terharu karenanya. Sambil mengangguk-angguk kepalanya ia memandangi
anaknya, Lembu Sora yang masih duduk kaku di tempatnya.
“Kau dengar Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Lembu Sora seperti orang yang tersadar
dari mimpinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang mula-mula
memancarkan kemarahan tiba-tiba menjadi pudar. Ia ingin menyatakan
perasaannya yang bergelora di dalam dadanya, namun yang keluar dari
mulutnya dengan suara yang bergetar hanyalah, “Ya, aku dengar ayah.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Dimanakan laskarmu sekarang, Arya?”
“Beberapa tonggak di sebelah utara desa ini, Eyang.” Jawabnya.
“Bawalah mereka mendekat, supaya segala perintah dapat tersalur dengan cepat sebaik-baiknya,” perintah Ki Ageng Sora Dipayana.
“Baik, Eyang’” jawab Arya.
Kemudian iapun berdiri dan mohon diri untuk membawa laskarnya masuk ke
Pangrantunan. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tinggal bersama-sama
dengan eyangnya di pondok itu.
Di halaman, Arya Salaka terkejut ketika seseorang menggamitnya sambil berkata, “Aku turut dengan tuan, supaya tidak terjadi salah pengertian dengan laskar Ki Ageng Lembu Sora.”
Baru Arya Salaka sadar bahwa ia berada di
daerah peperangan antara laskar-laskar yang pernah berhadapan sebagai
lawan yang hampir saja menumpahkan darah.
Ketika ia menoleh, Wulungan berjalan di belakangnya. “Terima kasih Paman Wulungan.” Jawabnya.
Kemudian mereka berdiam diri dan berjalan
dalam keremangan cahaya bulan muda yang telah hampir tenggelam.
Beberapa orang penjaga mengangguk hormat ketika mereka melihat Wulungan
lewat di depan mereka.
Di pinggir desa Pangrantunan, Arya Salaka
melihat laskar yang berserak-serak. Nampak betapa parah keadaan mereka.
Beberapa orang yang luka masih belum terawat dengan baik.
“Kakang Wulungan?” sapa salah seorang dari mereka.
“Ya,“ jawab Wulungan. “Bagaimana keadaan laskarmu?”
“Parah,“ jawab orang itu. “Keadaan kalian disini agaknya masih lebih baik.”
“Demikianlah,” sahut Wulungan, “Tetapi besok atau lusa kita akan mengalami keadaan yang sama.”
Orang itu tertawa. Seram sekali. Tawa yang sama sekali tidak sedap, sebagai pelepas kejengkelan dan kemarahan.
Hati Arya berdesir ketika ia mengenal
orang itu kembali. Ia pernah melihatnya beberapa tahun yang lampau di
Gedangan. Namun ia berdiam diri. Ketika mereka sudah meninggalkan laskar
itu, bertanyalah Arya, “Paman Wulungan, benarkah orang tadi bernama Galunggung?”
“Ya. Dari siapa Angger mengenalnya?” sahut Wulungan.
“Ia termasuk orang baru di dalam
laskar kami. Baru beberapa tahun. Namun karena sifatnya yang disukai
oleh Angger Sawung Sariti, ia cepat sekali menanjak ke tempatnya yang
sekarang. Pengawal pribadi Angger Sawung Sariti.”
Kemudian kembali mereka berjalan sambil
berdiam diri. Angin malam masih mengalir perlahan-lahan membawa udara
yang sejuk. Di langit, bintang-bintang berkedip-kedip dengan cerahnya.
Tiba-tiba terdengar kembali suara Wulungan, “Angger….”. Arya Salaka menoleh, namun tidak menjawab.
“Beruntunglah laskar Banyubiru mendapat seorang pemimpin seperti Angger ini.” sambung Wulungan.
Arya mengerutkan keningnya, “Kenapa Paman?”
“Sudah lama aku mengagumi kejantanan
Angger. Agaknya sifat-sifat ayahanda Gajah Sora tercermin di dalam hati
Angger. Apalagi Angger mendapat asuhan dari seorang yang mengagumkan
dalam perjalanan hidup Angger selama ini, sehingga dengan demikian
sempurnalah sifat-sifat kepahlawanan di dalam tubuh Angger. Orang setua
aku inipun tak akan membayangkan bahwa pada suatu ketika Angger datang
dengan laskar yang segar untuk kemudian membantu pamanda dalam kesulitan
ini. Alangkah jauh bedanya sifat-sifat itu dengan sifat-sifat Angger
Sawung Sariti.”
“Jangan memuji, Paman,” sahut Arya Salaka.
“Aku berkata atas keyakinan,” jawab Wulungan, “Aku adalah salah seorang dari laskar Angger Sawung Sariti itu.”
Arya tersenyum mendengar pujian itu. Ia
sama sekali tidak membanggakan diri karena sifat-sifat yang baik dan
dikagumi orang, tetapi ia berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, bahwa
karena kuasa-Nya, maka ia selalu mendapat petunjuk-petunjuk dan mendapat
sinar terang di hatinya. Selalu diingatnya sebuah ceritera yang pernah
diceriterakan oleh gurunya, tentang dua orang hamba seorang raja dan
yang seorang adalah pemungut pajak yang kejam. Ketika mereka berdua
bersama-sama menghadap raja, maka berkatalah penghulu istana, ”Maha
Raja yang bijaksana. Aku adalah orang yang sebaik-baiknya di kerajaanmu.
Aku selalu berbaik hati kepada rakyatmu dan memberikan kepada mereka
hadiah-hadiah yang berharga, sehingga dengan demikian segenap rakyatmu
akan mencintai aku. Karena itu, kalau Maha Raja akan memberi hadiah
kepada hambanya, maka akulah orangnya yang paling pantas untuk
menerimanya.”
Sedang pemungut pajak itu kemudian bersujud di bawah kaki Maha Raja yang bijaksana itu, katanya, ”Duh
Maha Raja yang bermurah hati. Aku adalah orang yang sejahat-jahatnya di
kerajaanmu. Aku telah menjalankan pekerjaanku dengan lalimnya karena
aku inginkan pujian dari atasku. Karena itulah maka rakyat di kerajaanmu
sangat membenci aku. Namun Maha Raja yang bijaksana, karena itulah aku
akan bertobat. Dan aku akan menerima hukuman yang akan ditimpakan
kepadaku atas kelalaianku itu.”
Ketika kemudian Raja yang bijaksana itu
memberikan hadiahnya, maka pemungut pajak itulah yang berhak
menerimanya. Bukan penghulu istana. Kemudian ternyatalah bahwa pemungut
pajak itu benar-benar bertobat dan membagi-bagikan hadiahnya kepada
mereka yang pernah dicederainya, sedang penghulu istana kemudian
berontak terhadap raja, hanya karena ia tidak menerima hadiah. Sebab
kebaikan yang dilakukan selama itu hanyalah terdorong oleh keinginannya
untuk menerima hadiah.
Demikianlah Arya Salaka menerapkan
ceritera itu dalam hidupnya sehari-hari. Kebaikan dan keikhlasannya
berkorban bukanlah semata-mata karena jiwa pengabdiannya serta
kesetiaannya pada kewajibannya.
Beberapa langkah kemudian sampailah
mereka di pusat pengawalan. Ketika mereka melihat Wulungan dan seorang
lain lewat, segera pemimpin pengawal itu membungkuk hormat kepadanya
sambil menyapa, “Kakang Wulungan…?”
“Ya,” jawab Wulungan, “Bagaimana keadaannya?”
“Selama ini baik, Kakang,” jawab orang itu.
“Tak ada yang mencurigakan?” tanya Wulungan pula.
“Tidak Kakang,” jawab orang itu.
“Bagus. Aku akan pergi sebentar. Menjemput laskar Banyubiru,” sahut Wulungan.
“Laskar Banyubiru…?” Orang itu menjadi heran. Bahkan beberapa orang lainpun menjadi keheranan pula sehingga mereka mendesak maju.
“Ya,” jawab Wulungan sambil memperhatikan wajah-wajah yang kecemasan itu.
Beberapa orang menjadi saling
berpandangan. Berita kedatangan laskar Banyubiru itu bagi mereka
seakan-akan bunyi kentong pelayatan atas jenazah mereka.
Melihat kegelisahan yang membayang itu Wulungan menyambung kata-katanya, “Mereka akan datang membantu kita.”
“He…?” terdengar mereka berteriak terkejut. “Membantu kita atau membinasakan kita?”
Para pengawal itu masih ingat dengan jelas beberapa hari yang lalu
mereka sudah berhadapan dengan laskar Banyubiru itu dengan
kesiapan-kesiapan tempur.
“Percayalah kepadaku. Mereka datang untuk membantu kita menumpas golongan hitam itu.” Wulungan menjelaskan.
“Suatu harapan yang akan mengecewakan,” sahut pemimpin pengawal itu.
“Dengarlah sendiri apa yang dikatakan oleh pemimpin laskar Banyubiru itu,” berkata Wulungan.
“Pemimpin laskar Banyubiru? Siapakan dia dan di manakah dia?” tanya beberapa orang bersama-sama.
“Arya Salaka. Inilah orangnya,” jawab Wulungan.
Kembali mereka terkejut. Orang itulah
yang tadi datang bersama-sama dengan dua orang lainnya, yang mengatakan
bahwa mereka adalah utusan Arya Salaka. Ternyata anak muda yang membawa
tombak itu sendirilah yang bernama Arya Salaka. Ketika mereka masih
keheranan, terdengarlah Arya Salaka berkata, “Jangan berprasangka.
Aku datang untuk membantu kalian. Bukankah kalian seperti kami juga dari
Banyubiru, adalah pewaris Tanah Perdikan Pangrantunan?”
Wajah-wajah yang sudah pucat karena putus
asa itu tiba-tiba menjadi berangsur merah. Saat-saat terakhir mereka
hanya dapat menunggu sampai tangan-tangan hitam itu membinasakan mereka
satu demi satu. Tetapi tiba-tiba terulurlah tangan Arya Salaka untuk
menyelamatkan mereka. Karena itu tiba-tiba melonjaklah keharuan di dada
mereka. Sehingga tanpa sesadarnya pemimpin pengawal itu segera
berjongkok di hadapan Arya sambil berkata, “Tuan, Tuan datang sebagai datangnya malaikat yang akan menyelamatkan kami, tanah kami serta kebesaran nama Pangrantunan.”
“Aku datang sekadar menetapi kewajiban,” sahut Arya sambil menarik lengan orang itu. ”Berdirilah,” katanya.
Orang itu kemudian berdiri. Tetapi
kepalanya tertancap jauh ke tanah dekat di ujung ibu jari kakinya.
Terlintas di dalam kepalanya, kepahitan hidup yang dialaminya
bersama-sama laskar Lembu Sora yang lain. Kecurangan, kenaifan dan
sifat-sifat yang lain. Sekarang terasa betapa jujur kata-kata anak muda
itu. Arya Salaka yang selama ini dikejar-kejar oleh laskar Pamingit
untuk dibunuhnya. Oleh kenangan itu terasa bahwa mulutnya tiba-tiba
seperti tersumbat. Banyak sekali terima kasih yang akan diucapkan, namun
tak sepatah katapun yang terlahir.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Wulungan, “Kami
akan berjalan. Perintahkan kepada para pengawal untuk tidak berbuat
hal-hal yang dapat menimbulkan salah mengerti antara laskar Pamingit dan
laskar Banyubiru. Kami seterusnya akan bersama-sama berjuang untuk
tanah kami.”
“Baik Kakang,” jawab pemimpin pengawal itu.
Arya Salaka bersama-sama Wulungan
kemudian meneruskan perjalanannya, menjemput laskar Banyubiru yang
ditinggalkan beberapa tonggak dari Pangrantunan.
———-oOo———-
III
Berita tentang akan datangnya laskar
Banyubiru itupun segera tersebar. Dalam waktu yang sangat singkat.
Setiap pengawal yang bertugas telah mendengarnya. Berbagai tanggapan
bergelut di dalam dada mereka. Setengahnya mereka tidak percaya, sedang
setengahnya menjadi gembira. Kalau pada umumnya mereka telah berputus
asa, tiba-tiba timbullah harapan dan gairah mereka kembali atas tanah
mereka. Meskipun mereka belum yakin bahwa di dalam laskar Banyubiru itu
ada orang-orang yang tangguh seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti, apalagi seperti Ki Ageng Sora Dipayana dan pendatang yang aneh,
yang mirip dengan perempuan dan bernama Titis Anganten. Namun
setidak-tidaknya nasib mereka berbagi.
Di dalam pondok kecil masih berkumpul Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara. Tiba-tiba timbullah keinginan Ageng Sora Dipayana
untuk melihat laskar Banyubiru itu. Apakah mereka akan dapat memberikan
bantuan yang berarti.
“Marilah kita lihat laskar Arya itu,” katanya. “Marilah Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang kecut, sambil berkata, “Ayah, dapatkah anak itu kami percaya?”
Mata Lembu Sora masih saja membayangkan
kekeruhan hatinya. Sebenarnya ia melihat betapa wajah kemanakannya
benar-benar meyakinkan, bahwa anak itu telah berkata dengan jujur.
Karena itu ia tidak dapat menjawab pertanyaan anaknya. Yang terdengar
adalah jawaban Ki Ageng Sora Dipayana, “Kau terlalu dihantui oleh perasaanmu sendiri cucuku. Percayalah kepada kakangmu. Aku yang menjadi jaminannya.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora berkata pula, “Aku mempercayainya Sawung Sariti.”
Mata Sawung Sariti menjadi redup. Senyum
yang aneh membayang di bibirnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi muak
melihat senyum itu, mirip benar seperti senyuman Jaka Soka dari
Nusakambangan. Namun demikian ia tidak berkata apa-apa.
Mereka semuanya kemudian melangkah keluar
pondok itu dan berjalan untuk melihat laskar Arya Salaka yang akan
datang masuk ke Pangrantunan. Mereka untuk sementara akan ditempatkan di
halaman Banjar Desa untuk menunggu tempat yang lebih baik bagi laskar
itu, seperti juga laskar Lembu Sora yang masih belum mendapat
penampungan yang baik.
Ketika Arya Salaka tampak mendatangi laskarnya, segera Bantaran dan Penjawi menyongsongnya, sambil berkata, “Bagaimana Angger?”
“Kami dapat diperkenankan memasuki desa Pangrantunan, Paman. Dan inilah Paman Wulungan,” jawab Arya Salaka.
Bantaran menganggukkan kepalanya, demikian juga Penjawi yang segera dibalas oleh Wulungan.
“Aku mengucapkan selamat atas kedatangan kalian,” sambut Wulungan dengan ramahnya.
“Terima kasih,” jawab Bantaran.
Ketika kemudian muncul Jaladri diantara
mereka, berkatalah ia kepada Wulungan dengan akrabnya, seperti kepada
sahabatnya yang karib. “Selamat malam Wulungan. Sudahkah kau sediakan makan malam buat kami?”
Nasib mereka dalam sehari, pada saat-saat
mereka bertempur melawan Bugel Kaliki, telah membentuk persahabatan
yang akrab di antara mereka. Dengan tertawa Wulungan menjawab, “Tentu Jaladri. Tetapi sayang bahwa kau tak akan mendapat bagian.” Jaladri kemudian tertawa.
Ketika kemudian segala sesuatu telah
dipersiapkan, maka segera laskar itupun berangkat memasuki desa
Pangrantunan. Bagaimanapun juga, di dalam dada laskar Banyubiru itu,
masih juga tersangkut rasa persaingan dengan laskar Pamingit. Meskipun
kemudian mereka tidak akan bertempur, namun di hati Bantaran, Penjawi,
Jaladri dan lain-lain pemimpin laskar itu, masih ada keinginan untuk
memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak berada di bawah tingkatan
laskar Pamingit. Karena itulah, maka mereka memasuki Pangrantunan dengan
upacara yang menggemparkan. Meskipun menjelang tengah malam, namun
laskar Banyubiru berjalan dalam derap irama sangkalala dan genderang
yang menggema melingkar-lingkar di lereng bukit Merbabu itu.
Suara sangkalala dan genderang itu telah
mengejutkan segenap laskar Pamingit. Baik yang sedang bertugas, maupun
yang sedang beristirahat. Karena itu segera mereka bangkit. Mereka yang
kurang mengerti persoalannya, segera memegang senjata masing-masing.
Tetapi kemudian para pemimpin mereka memberi mereka
penjelasan-penjelasan yang didengarnya dari pemimpin pengawal yang
sedang bertugas. Seperti juga yang lain-lain, mereka ragu. Karena itu
mereka ingin menyaksikan kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata
di tangan.
Laskar Banyubiru memasuki Pangrantunan
dengan derap yang mengagumkan. Di ujung barisan itu berjalan dengan
tegapnya Bantaran, kemudian Penjawi. Diikuti oleh pasukan yang segar,
yang memancarkan keteguhan hati mereka. Meksipun laskar ini tidak
mempergunakan kesegaran yang khusus, namun di dalam dada mereka berakar
tekad yang seragam. Mengabdi kepada tanah pusaka, tanah tercinta, yang
diperuntukkan oleh Maha Pencipta bagi mereka.
Laskar Pamingit yang pecah, ketika
melihat kedatangan laskar Banyubiru itu, merasa seolah-olah mendapatkan
kekuatan baru dalam dirinya. Karena itu, tanpa disengaja, secara serta
merta, mengumandanglah teriakan-teriakan mereka. “Hidup laskar Banyubiru…. Hidup laskar Banyubiru….”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat
laskar Banyubiru lewat di hadapannya dalam keremangan cahaya bulan.
Sungguh tak diduganya, betapa anak-anak Banyubiru, yang selama ini
terpaksa menyingkir karena pokal Lembu Sora itu, dapat merupakan
kesatuan yang sedemikian mengagumkan. Dengan dada tengadah, dan percaya
kepada keadilan Yang Maha Kuasa, yang telah menempa mereka menjadi
laskar yang pilih tanding. Lembu Sora sendiri melihat pasukan itu dengan
hati yang pecah-pecah. Setiap derap langkah mereka, merupakan pukulan
yang dahsyat, yang seakan-akan memecahkan rongga dadanya. Satu-satu
berterbanganlah kenangan-kenangan masa lampaunya yang memalukan.
Teringatlah, betapa ia berusaha mati-matian untuk meniadakan Arya
Salaka. Dan tiba-tiba anak itu sekarang datang menyelamatkannya,
menyelamatkan tanahnya.
Apalagi ketika Lembu Sora menyaksikan
laskar Banyubiru dengan mata kepala sendiri. Ia menjadi bertambah malu.
Disangkanya bahwa laskar Arya Salaka tidak lebih dari gerombolan
berandal yang hanya mampu mencegat orang pergi berbelanja ke pasar.
Namun ketika sudah disaksikannya sendiri laskar itu, bergetarlah
jantungnya, seperti udara yang digetarkan oleh suara genderang laskar
Banyubiru itu.
Dan terngianglah kembali kata-kata Kebo Kanigara, “Golongan
hitam bukanlah mereka yang hitam pada wadag dan tata kelahirannya, tapi
golongan hitam adalah mereka yang berhati hitam.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Ia tidak
kuasa lagi menyaksikan laskar yang perkasa itu. Tetapi lebih daripada
itu, ia menjadi terharu atas kenyataan yang dialaminya. Terbayanglah di
dalam rongga matanya, seolah-olah semua mata memandangnya dengan penuh
penyesalan atas perbuatannya.
Lembu Sora terkejut ketika sekali lagi terdengar sorak, “Hidup laskar Banyubiru.”
Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Tampaklah di luar barisan
berjalan Arya Salaka dengan tobak Kyai Bancak di tangannya bersama-sama
Wulungan. Dada Lembu Sora menjadi berdentang karenanya. Tiba-tiba ia
seolah-olah melihat kakak Gajah Sora berjalan di mukanya, memandangnya
dengan marah dan berkata kepadanya, “Lembu Sora, coba bunuhlah anakku itu kalau kau berani.” Sekali lagi wajah Lembu Sora terbanting di tanah.
Yang mempunyai tanggapan lain adalah
Sawung Sariti. Ketika pasukan Banyubiru itu lewat, terasa dadanya
berdesir pula, karena iapun sama sekali tak menyangka, bahwa laskar itu
dapat berbaris dengan tertib serta penuh kepercayaan pada dirinya.
Betapa mereka menggenggam senjata mereka dengan cermatnya, sebagai tanda
bahwa mereka menguasai setiap senjata yang berada di tangan mereka
dengan baiknya. Di dalam hati kecilnya, Lembu Sora bersukur pula bahwa
laskarnya tak terlibat dalam pertempuran dengan laskar Banyubiru itu.
Sebab dengan demikian, ia akan terpaksa meninggalkan Banyubiru dengan
nama yang ternoda, kalau terpaksa laskarnya tak mampu melawan laskar
Arya Salaka itu. Tetapi yang kemudian menguasai perasaan Sawung Sariti
adalah sifat-sifatnya yang kurang baik. Ia menjadi iri hati. Iri hati
terhadap kemampuan Arya Salaka memimpin laskarnya, iri hati terhadap
kegagahan laskar itu. Apalagi ketika ia melihat eyangnya tampak bangga,
dan ayahnya bersedih. Sebelum laskar itu habis sampai ke ujungnya, ia
sudah memalingkan mukanya.
“Bagaimana Anakmas?” terdengar suara di belakangnya.
“Hem…” geramnya. “Bagaimana menurut pendapatmu Galunggung?”
“Tak berarti,” sahut orang itu. “Besok atau lusa laskar yang sombong itu pasti sudah akan dihancurkan oleh arus laskar gabungan dari golongan hitam itu.”
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. “Laskarnya tak begitu banyak. Apa yang dibanggakan?”
“Yang datang hanya separuh, Tuan.”
Tiba-tiba terdengar suara lain di sampingnya. Ketika keduanya menoleh, dilihatnya Srengga berdiri di situ.
“Dari mana kau tahu?” tanya Sawung Sariti
“Dari pengawal,” jawab Srengga.
“Omong kosong,” sahut Galunggung dengan wajah yang dilapisi oleh kedengkian.
Srengga kemudian berdiam diri. Yang lain
pun diam. Sekali lagi mereka melayangkan pandangan mereka kepada pasukan
yang lewat. Namun sesaat lagi habislah barisan itu. Mereka yang
menyaksikan, segera kembali pula ke tempat masing-masing. Sebagian besar
dari mereka merasa bahwa pekerjaan mereka akan diperingan karena
kedatangan laskar itu. Bahkan mungkin, nyawa merekapun akan selamat
pula. Laskar Pamingit akan bebas dari kemusnahan mutlak. Meskipun
demikian, kemampuan tempur laskar Banyubiru masih perlu diuji.
Malam itu laskar Banyubiru beristirahat
di tempat yang sudah ditentukan. Di halaman Banjar Desa yang tak begitu
luas, sehingga sebagian besar dari mereka, harus duduk bersandar pagar
di sepanjang jalan desa di muka banjar itu. Namun mereka dapat merasakan
kenikmatan dari waktu istirahat itu.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
kembali duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu
Sora, Sawung Sariti dan Wulungan. Ki Ageng Sora Dipayana kemudian
mengambil seluruh pimpinan di tangannya.
“Tak ada pilihan lain ayah,” jawab Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukan kepalanya. “Terima kasih atas keikhlasanmu Lembu Sora.”
Selanjutnya, orang tua itu membuat
perintah-perintah yang harus dilakukan oleh Arya Salaka beserta
laskarnya, dan Lembu Sora dengan laskar Pamingit.
“Menurut perhitunganku, serta
pengintai-pengintai yang datang sampai saat terakhir, mereka tidak akan
menyerang kedudukan kita sekarang ini,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Sebab
mereka merasa, bahwa jumlah laskar mereka tidak terlalu banyak,
sehingga mereka lebih senang menanti kita datang menyerang.”
Tak seorangpun yang mengajukan pendapatnya.
“Karena itu…” orang tua itu meneruskan, “Kita
masih mempunyai satu hari untuk beristirahat. Lusa kitalah yang
mengambil peran, menyerang kedudukan mereka. Kita mengambil daerah
pertempuran yang luas dengan gelar Jinatra Sawur atau gelar-gelar yang
lain, yang menebar. Garudha Nglayang atau Sapit Urang.” Tiba-tiba
orang tua itu teringat bahwa di antara mereka duduk seorang bekas
perwira prajurit pengawal raja, yang pasti mempunyai
perhitungan-perhitungan yang cukup cermat dalam peperangan antara dua
pasukan yang berjumlah besar. Karena itu segera ia berkata, “Bukankah begitu Angger Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar sadar pada kedudukannya. Maka iapun menjawab, “Demikianlah
Ki Ageng, namun aku ingin mengusulkan, untuk melawan mereka yang biasa
bertempur tanpa aturan, dan terlalu percaya pada kesaktian
pemimpin-pemimpin mereka. Biarlah di antara kita pun ada beberapa orang
yang terlepas dari ikatan gelar, untuk melayani pemimpin-pemimpin mereka
yang tak mau mengikat diri itu.”
“Bagus,” sambut orang tua itu. “Kita pun mempunyai orang-orang semacam itu di sini. Titis Anganten, misalnya.”
Baru saat itulah Mahesa Jenar teringat
bahwa di dalam laskar Pamingit itu terdapat seorang sakti yang bernama
Titis Anganten. Karena itu kemudian ia bertanya, “Di manakah Paman Titis Anganten itu?”
“Ia berkeliaran sepanjang hari,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Tapi ia hadir dalam setiap pertempuran.”
“Bugel Kaliki, Sima Rodra, Pasingsingan, Nagapasa dan Sura Sarunggi,” jawab Sora Dipayana.
“Nah, kalau demikian kitapun harus
melepaskan lima orang dari ikatan gelar itu. Bahkan barangkali lebih
dari itu, untuk melawan tokoh-tokoh muda mereka, seperti Lawa Ijo dan
Soka,” sahut Mahesa Jenar. Ki Ageng Sora Dipayana
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi siapakah lima orang itu? Mungkin
dirinya sendiri dapat melayani setiap tokoh sakti lawan mereka itu,
orang kedua adalah Titis Anganten, tetapi lalu siapa? Mahesa Jenar
sendiri merasa, bahwa iapun sanggup untuk menyerahkan dirinya dalam
pengabdian itu, namun agaknya sulitlah baginya untuk menyatakan diri.
Tetapi dengan tak diduga-duga, terdengarlah suara Sawung Sariti dengan
nada yang tinggi, “Siapakah lima orang dari kamu itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas. Ia
melihat wajah cucunya dengan kecewa, juga nada suaranya tak
menyenangkan. Namun orang tua itu menjawab, “Sudah menjadi kewajibanku untuk menjadi orang yang pertama cucu, sedang yang kedua eyangmu Titis Anganten.”
Kata-kata orang tua itu terputus. Ia ragu-ragu untuk meneruskan, dan memang tak diketahuinya siapa yang akan disebut namanya. “Lalu siapakah yang ketiga, keempat dan kelima…?” Sawung Sariti mendesak. Ki Ageng Sora Dipayana menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu, Sariti.”
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang mengundang seribu satu macam kemungkinan. Katanya, “Kenapa bukan Paman Mahesa Jenar yang perkasa serta sahabatnya dari Karang Tumaritis itu?”
Sawung Sariti mengharap bahwa Mahesa
Jenar tidak akan menolak di hadapan sekian banyak orang. Kalau Mahesa
Jenar menerima tawaran itu, apakah ia mampu berbuat demikian? Di
Gedangan, Sima Rodra dan Bugel Kaliki pernah mengalami kekalahan, namun
ia tidak yakin, bahwa kekalahan itu disebabkan karena Mahesa Jenar dan
sahabatnya itu. Beberapa laskarnya melihat seorang berjubah abu-abu ikut
serta membantu mereka. Dan ia tidak tahu, siapakah orang berjubah
abu-abu itu. Apakah ia Pasingsingan. Tetapi Pasingsingan tidak akan
gila. Malahan mungkin eyangnya itu sendiri atau Titis Anganten, atau Ki
Ageng Pandan Alas. Sekarang, tanpa bantuan seorang pun Mahesa Jenar
pasti akan binasa. Bukankah Arya Salaka tak banyak berarti tanpa Mahesa
Jenar? Oleh perhitungan itu Sawung Sariti menjadi tegang menunggu
jawaban dari orang yang dijerumuskannya ke dalam kesulitan itu. Mahesa
Jenar tidak dapat tepat menebak maksud anak itu, namun ia merasa bahwa
ada sesuatu maksud terkandung dibalik kata-katanya. Meskipun demikian
perlahan- lahan ia menjawab, “Baiklah Angger, kalau Angger Sawung
Sariti berpendapat demikian, serta Ki Ageng Sora Dipayana menyetujuinya,
aku dan sahabatku dari Karang Tumaritis ini akan bersedia untuk
membantu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut mendengar kesanggupan Mahesa Jenar itu. Karena itu ia segera memotong, “Angger
Mahesa Jenar, sebenarnya tidak perlu diartikan bahwa setiap orang harus
melawan satu di antara mereka. Aku pernah memakai cara yang lain.
Kelompok demi kelompok.” Sebelum Ki Ageng meneruskan kata-katanya, Sawung Sariti telah menyela, “Usaha itu ternyata gagal. Setiap kali, lima atau enam di dalam kelompok itu terbunuh.”
“Kalau demikian…” Mahesa Jenar menengahi, “Biarlah
aku berada dalam kelompok- kelompok itu. Demikian juga Kakang Putut
Karang Jati ini. Biarlah ia berada pada kelompok yang lain.”
Ki Ageng Sora Dipayana tak dapat berbuat
lebih baik lagi selain menyetujui terakhir Mahesa Jenar itu. Sawung
Sariti menjadi agak kecewa karenanya, namun bagaimanapun juga ia
mengharap Mahesa Jenar akan masuk kedalam perangkapnya.
Demikianlah akhirnya, mereka
masing-masing meninggalkan pertemuan itu kembali ke dalam lingkungannya.
Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara ke halaman Banjar Desa,
sedang Lembu Sora dan Sawung Sariti kembali ke dalam pasukannya yang
payah. Di dalam kelompok yang kecil itu tinggallah Ki Ageng Sora
Dipayana dan Wulungan. Yang akhirnya mereka mempergunakan sisa malam itu
untuk beristirahat.
Pagi-pagi benar, Ki Ageng Sora Dipayana
telah bangun. Ia menunggu kalau ada tanda-tanda atau laporan bahwa
orang-orang dari golongan hitam mulai bergerak. Tetapi ternyata bahwa
perhitungannya benar. Hari itu mereka masih dapat beristirahat sehari
penuh, sebelum pada keesokan harinya mereka harus bekerja mati-matian.
Kesempatan hari itu dipergunakan untuk
menyusun kembali pasukan Pamingit, serta menempatkan mereka ke dalam
pondok-pondok di desa itu. Demikian juga laskar Banyubiru pun telah
disediakan tempat-tempat untuk bernaung dari dinginnya embun malam.
Pada malam harinya, keadaan menjadi
bertambah tegang. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, sebab mereka
tahu bahwa besok mereka harus bertempur kembali. Yang paling tegang di
antara mereka adalah Arya Salaka. Ia selalu teringat kepada ibunya.
Kalau besok ia menerobos pertahanan golongan hitam, dan dapat
mendesaknya, apakah yang akan dilakukan oleh golongan hitam itu terhadap
ibunya? Tetapi ketika ia sedang berangan-angan di muka pondoknya,
tiba-tiba muncullah dari kegelapan malam, seorang yang bertubuh kecil,
berjalan seperti seorang perempuan mendekatinya. Beberapa langkah
dimukanya orang berhenti dan bertanya, “Arya Salakakah ini?”
Arya Salaka tahu siapa yang datang. Karena itu ia berdiri dan enyambutnya, “Ya, Eyang.”
Orang itu tertawa perlahan-lahan. “Kau sedang bersedih?”
“Tidak Eyang,” sahut Arya tergagap.
“Jangan berdusta. Kau rindu pada ibumu?” tanya Titis Anganten pula.
Arya Salaka tertegun. Orang tua itu dapat
menebak perasaannya dengan tepat. Namun demikian ia agak malu juga
untuk mengiyakan. Ketika Arya diam, bertanyalah Titis Anganten itu, “Pamanmu ada…?”
“Ada, eyang. Apakah Eyang mau bertemu dengan Paman Mahesa Jenar?” tanya Arya pula.
“Tidak,” jawab orang tua itu sambil duduk di samping Arya. “Aku hanya perlu kau. Ada sebuah berita untukmu.”
Arya menjadi tertarik pada berita yang dibawa oleh Titis Anganten itu. “Berita pentingkah itu Eyang?” tanya Arya.
“Sangat penting bagimu, bagi ketentraman hatimu,” jawab Titis Anganten. “Berita tentang ibumu.”
Arya terlonjak. “Ibu…?” Ia menegaskan.
“Ya.”
“Bagaimanakah dengan ibu?” Ia tidak sabar lagi.
“Duduklah Arya. Dengarlah baik-baik. Aku akan berceritera tentang ibumu,” kata Titis Anganten perlahan-lahan.
Arya duduk kembali. Ia menjadi sedemikian ingin segera mengetahui, berita apakah yang akan disampaikan kepadanya.
“Ketika golongan hitam itu menyerbu Pamingit” Titis Anganten mulai, “Pamingit
sedang kosong. Pamanmu Lembu Sora dan adikmu Sawung Sariti berada di
Banyubiru. Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadapi laskarmu. Nah,
dengan mudahnya golongan hitam itu dapat masuk ke dalam kota. Hampir
tanpa perlawanan. Semua laskar Pamingit yang ada lari cerai berai. Tak
ada seorang pun yang ingat untuk menyelamatkan Nyai Lembu Sora dan
ibumu. Untunglah bahwa aku sejak semula selalu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Aku melihat persiapan-
persiapan yang dilakukan oleh golongan hitam. Sehingga dengan demikian
aku sempat menyingkirkan bibi serta ibumu itu.”
“Jadi ibuku selamat?” tanya Arya.
“Ya. Ibumu selamat,” jawab Titis Anganten.
Tiba-tiba rongga dada Arya serasa tersumbat. Nafasnya menjadi sesak. Dan tidak setahunya ia berbisik, “Tuhan Maha Besar.” Kemudian Arya memutar duduknya dan bersujud kepada orang tua yang menyelamatkan ibunya itu sambil berkata, “Tak dapat aku menyatakan betapa besar terima kasihku kepada Eyang Titis Anganten.”
Orang tua itu tertawa nyaring. Kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia berdiri dan berjalan pergi.
“Eyang….” Arya mencoba
memanggil. Tetapi Titis Anganten tidak berhenti. Yang terdengar hanyalah
derai tawanya. Lamat-lamat kemudian terdengar ia berkata, “Aku sudah mengantuk. Besok aku akan turut bertempur dengan eyangmu.”
Kembali Arya tertegun diam. Ia tidak
sempat bertanya di mana ibunya sekarang. Namun ia percaya bahwa Titis
Anganten telah menempatkan ibunya itu di tempat yang aman. Dengan
demikian hati Arya Salaka menjadi agak tenteram. Tidak perlu lagi ia
mencemaskan nasib ibunya, meskipun seandainya orang-orang golongan hitam
nanti menghancurlumatkan Pamingit.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin
dalam, Arya pun segera masuk ke dalam pondok yang disediakan untuknya.
Dilihatnya gurunya sedang tidur dengan nyenyaknya di samping Kebo
Kanigara. Di luar, beberapa orang masih duduk berjaga-jaga.
Tetapi malam itu Arya dapat tidur dengan
nyenyaknya. Ia tidak peduli lagi apa yang terjadi atas dirinya besok
pagi. Namun ia malam itu bermimpi indah. Ia melihat ibunya segar bugar,
tersenyum kepadanya sambil berkata, “Arya, sambutlah dengan kedua tanganmu. Hari akan cerah.” Dan Arya tersenyum di dalam tidurnya.
Pagi-pagi ia terbangun oleh kesibukan di
halaman. Beberapa orang telah siap dengan senjata di tangan, meskipun
beberapa orang masih enak-enak menikmati minum air sere yang hangat,
dengan segumpal gula kelapa. Dilihatnya gurunya, Mahesa Jenar dengan
Kebo Kanigara pun sedang minum dengan segarnya.
Cepat-cepat Arya mengambil air wudlu.
Sesudah sembahyang Subuh, kemudian ia pun turut serta duduk di sekitar
perapian sambil menghangatkan tubuhnya. Sebentar kemudian datanglah
beberapa orang mengantar nasi hangat, dengan srundeng kelapa dan
segumpal sambal wijen. Betapa nikmatnya mereka makan bersama sebelum
mengadu nasib, berjuang di antara hidup dan mati. Nasi itu adalah
mungkin sekali nasi yang terakhir yang dapat dinikmatinya.
“Kita berada di sayap kiri.” Terdengar gurunya bergumam.
Arya mengangguk sambil menelan segumpal nasi lewat lehernya.
Setelah mereka mengaso sejenak,
terdengarlah tengara dibunyikan. Laskar Banyubiru itupun segera bersiap,
dan berbaris menuju ke sawah di depan desa Pangrantunan. Mereka, dengan
tidak menghiraukan lagi tanaman-tanaman yang sedang tumbuh, segera
merapatkan diri dalam barisan. Beberapa orang pemimpin dari laskar
masing-masing segera menghadap Ki Ageng Sora Dipayana untuk mendapat
beberapa cara menghadapinya. Apabila mungkin, mereka harus memilih
lawan. Jangan sampai ada korban sia-sia.
Ketika sangkalala berbunyi, barisan itu
mulai bergerak. Dalam keremangan pagi, tampaklah barisan itu seperti
seekor naga raksasa yang berenang di dalam air yang keruh. Di depan,
berjalan laskar Pamingit, di bawah pimpinan Lembu Sora sendiri, dibantu
oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Sedangkan di belakang,
berjalan laskar Banyubiru, di bawah pimpinan Arya Salaka, dibantu oleh
Bantaran, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat. Di tangan Arya Salaka
tergenggam erat-erat pusaka Banyubiru, Kyai Bancak.
Beberapa orang pengintai telah dikirim
lebih dahulu, untuk mengetahui di mana kira-kira orang-orang dari
golongan hitam itu mempersiapkan diri. Biasanya mereka sama sekali tidak
membuat garis-garis pertahanan yang tegas. Mereka bertempur di mana
saja mereka ingin dan kapan saja mereka sempat. Tetapi jelas, bahwa kali
ini mereka berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan Pamingit.
Bahkan mereka merasa bahwa lawan mereka telah separo hancur, sehingga
untuk menumpasnya tidaklah terlalu sulit. Tetapi agaknya pengawas
merekapun telah mengetahui kedatangan laskar Banyubiru, sehingga dengan
demikian mereka menjadi heran, apakah agaknya Arya Salaka telah menjadi
gila. Apalagi kemudian, kedua laskar itu berada di Pangrantunan
bersama-sama. Tidak seperti yang mereka harapkan, bertempur satu sama
lain.
Tetapi, dengan bangga atas kekuatan sendiri, Sima Rodra berkata, “Kalau di dalam laskar Banyubiru itu ada Mahesa Jenar, akulah lawannya. Sebab ia telah membunuh menantuku.”
Beberapa lama kemudian pengintai dari
Pamingit itupun melaporkan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa
orang-orang golongan hitam itu tidak bergerak dari Kepandak. Namun
orang-orang mereka yang di Sumber Panas pun telah ditariknya. Mereka
memusatkan kekuatan di satu tempat, untuk menghadapi laskar Pamingit dan
Banyubiru.
Demikianlah ketika mereka telah
berhadap-hadapan dengan desa Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayanapun
menghentikan laskarnya. Kemudian diperintahkannya laskar Pamingit dan
Banyubiru membentuk gelar perang Sapit Urang. Laskar Pamingit dan Laskar
Banyubiru itu pun segera bergerak dalam garis yang menebar, laskar
Pamingit di sayap kanan, laskar Banyubiru di sayap kiri, yang
masing-masing merupakan sapit dari seekor udang raksasa yang siap
menerkam lawannya. Di pusat gelar yang justru tidak terlalu banyak,
tampaklah beberapa bagian laskar Pamingit dan dua orang yang berdiri
lepas dari gelar, masing-masing Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis
Anganten. Sedang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di muka laskar
Banyubiru, sapit sebelah kiri, di bawah pimpinan Arya Salaka.
Di hadapan mereka, berjajar rapat di tepi
desa Kepandak, orang-orang dari golongan hitam. Merekapun agaknya telah
mengerahkan segenap laskar mereka. Mereka sama sekali tidak membentuk
gelar apapun, karena itu, mereka dapat menyerang ke mana saja mereka
inginkan. Tetapi ketika orang-orang dari golongan hitam itu melihat
gelar lawannya, mau tidak mau merekapun harus menyesuaikan diri mereka.
Melawan bagian-bagian yang terberat dengan orang-orang yang terkuat.
Ketika di timur cahaya matahari sudah
semakin terang, sebelum bola api itu muncul di wajah-wajah langit, kedua
laskar itupun telah berhadap-hadapan dalam kesiagaan tempur.
Jarak mereka sudah tidak begitu jauh
lagi, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas siapakah yang berada di
pihak masing-masing. Di muka barisan laskar golongan hitam itu berdiri
beberapa orang pemimpin mereka, yang dengan tertawa-tawa menanti
kedatangan lawan. Mereka itu adalah Pasingsingan dengan jubah
abu-abunya, Sima Rodra yang kali ini lengkap dengan kulit harimau
hitamnya, namun ia tidak mengenakan topengnya. Nagapasa, Naga dari
Nusakambangan, Sura Sarunggi dari Rawa Pening yang menyimpan dendam
tiada taranya atas kematian muridnya, sepasang Uling dari Rawa Pening.
Dan hantu dari Gunung Cerme, Bugel Kaliki.
“Adakah laskar Banyubiru serta?” tanya Bugel Kaliki kepada Pasingsingan.
“Ya, tetapi tak seberapa. Mereka tak akan berarti apa-apa menghadapi laskar kita,” jawab Pasingsingan. “Namun yang harus mendapat perhatian adalah Mahesa Jenar.”
Sima Rodra tertawa. “Biarlah aku selesaikan,” katanya.
Pasingsingan mengangguk-anggukkan
kepalanya, namun ia ragu. Sima Rodra belum tahu, sampai di mana tingkat
kemajuan yang telah dicapai oleh Mahesa Jenar. Namun demikian ia berdiam
diri. Mudah-mudahan Sima Rodra benar-benar dapat menandingi.
“Sekarang mereka mendapat bantuan
anak gila dari Banyubiru itu. Sungguh suatu perbuatan yang tak dapat aku
mengerti. Kenapa Arya Salaka tidak saja merebut tempatnya kembali.
Kenapa justru ia membantu Pamingit?” tanya Sura Sarunggi.
“Ia benar-benar gila,” jawab Pasingsingan. “Sedang perhitungan kita memang terlalu cepat satu hari saja. Kalau
kita tunda serangan kita dengan satu hari, keadaannya akan lain. Laskar
Banyubiru dan Pamingit pasti sudah bertempur. Tetapi bagaimanapun juga,
tak ada bedanya. Kita pasti akan melawan kedua-duanya. Sekarang atau
besok. Bahkan kehadiran laskar Banyubiru itu akan mempercepat
penyelesaian.”
Nagapasa mengangguk-angguk sambil berdesis. tepat seperti desis seekor naga. “Siapakah yang harus dilawan dari mereka?”
“Seperti kemarin dulu,” jawab Pasingsingan. “Sora Dipayana, Titis Anganten. Dan sekarang tambah satu lagi, Mahesa Jenar. Tetapi agaknya Sima Rodra ingin menyelesaikan.”
Tiba-tiba kening mereka berkerut ketika mereka melihat seseorang yang dengan serta merta, menerobos masuk dalam laskar Pamingit.
“He…!” seru Bugel Kaliki, “Orang gila itu datang pula.”
Mereka menjadi terdiam. Namun kehadiran satu orang di dalam barisan Pamingit itu benar-benar diperhitungkan.
Demikianlah, Ki Ageng Sora Dipayana
sendiri terkejut atas kehadiran seorang sahabat lamanya. Namun
terbersitlah kegembiraan di hatinya. Dengan kehadiran orang ini, sedikit
banyak akan dapat mengubah keseimbangan laskar di kedua belah pihak.
Karena itu dengan tersenyum ia menyambut kedatangan orang itu dengan
penuh gairah. “Selamat datang Danyang Gunung Kidul.”
“Eh, aku hampir terlambat,” jawabnya. “Agaknya orang Banyuwangi itu telah ada pula di sini.”
Titis Anganten tertawa. “Kau terlalu malas,” jawabnya. “Aku, yang berjarak ribuan tonggak telah datang lebih dahulu.”
Danyang Gunungkidul itu, Ki Ageng Pandan Alas, tertawa. Sahutnya, “Kerjamu tidak ada lain kecuali berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang aku masih harus menunggu jagung tua.”
“Ah, orang yang hidupnya terikat pada tanaman jagung. Kalau dunia ini akan meledak, kau masih saja menunggui jagungmu?” sela Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Namun ia sudah berjalan pula di samping Sora Dipayana. “Nah, pilihlah aku lawan,” katanya.
“Terserah kepadamu,” jawab Sora Dipayana.
“Yang bongkok, yang berkulit macan, yang berkepala besar atau yang mana?”
“Mana saja yang terdekat,” jawab
Pandan Alas seenaknya. Tetapi meskipun demikian, dalam waktu yang cepat
ia telah berhasil menilai lawan-lawannya. Ia benar-benar terkejut
ketika ia melihat Mahesa Jenar berdiri di sapit sebelah kiri. Namun ia
agak tenteram setelah dilihatnya Putut Karang Jati yang bernama pula
Kebo Kanigara. Ia telah mengenalnya sebagai putra Ki Ageng Pengging
Sepuh di bukit Karang Tumaritis. Ia berdoa di dalam hatinya,
mudah-mudahan kedua orang itu dapat menempatkan diri sebaik-baiknya,
sehingga kedua-duanya tak menemukan cidera. Juga ia berdoa mudah-mudahan
Arya Salaka dapat membawa dirinya di antara laskarnya.
———-oOo———-
IV
Sesaat kemudian, kedua laskar itu telah
mencapai jarak yang menentukan. Sebelum laskar Pamingit mulai,
terdengarlah orang-orang laskar itu berteriak nyaring, sambil
berloncatan menyerbu.
Sementara itu Ki Ageng Lembu Sora segera
menggerakkan tangannya yang telah menggenggam pedangnya yang besar
sekali, memberi aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur. Tanda itu
segera diteruskan oleh Sawung Sariti, Wulungan dan Galunggung. Merekapun
memutar pedang masing-masing di udara, sebagai perintah untuk
bertempur.
Di sayap kiri, tampaklah berkilauan
tombak pusaka di tangan Arya Salaka. Dengan tekad yang bulat, ia telah
menyerahkan dirinya untuk melakukan pengabdian. Dengan doa di dalam
hati, “Tuhan akan menyertai kami dan memberkahi pengabdian kami.”
Ketika ia mengangkat tombaknya,
berkilat-kilat pulalah pedang Bantaran, Penjawi dan tombak bermata dua
ditangan Jaladri. Merekapun meneruskan aba-aba Arya Salaka kepada laskar
mereka, yang bergerak sebagai sapit kiri dari gelar Sapit Urang.
Sesaat Arya Salaka melihat Bantaran
beserta laskarnya mendesak maju. Mereka melingkar untuk kemudian
menyerang dari lambung. Tetapi orang-orang dari golongan hitam itu tidak
mempergunakan gelar tertentu, sehingga merekapun menghambur menyerang
laskar Bantaran dari arah yang mereka sukai. Meskipun demikian, Bantaran
tidak menjadi bingung. Ia tetap bertempur dalam gelar kiri. Laskarnya
yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri, bertempur seperti
banteng-banteng yang tangguh. Demikian juga laskar Jaladri di bagian
tengah sapit kiri. Laskar yang sebagian besar bersenjata tombak inipun
bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Mereka sadar, betapa
orang-orang dari golongan hitam itu harus dimusnahkan. Sebab satu saja
mereka tinggal, akan dapat merupakan benih buat masa datang. Sedang
laskar Penjawi berada dekat dengan induk pimpinan. Seperti juga Penjawi
sendiri, laskarnya bertempur tanpa mengenal takut, meskipun mereka sadar
bahwa orang-orang dari golongan hitam itu dapat berbuat hal-hal di luar
batas-batas perikemanusiaan. Namun justru karena itulah maka mereka
harus dimusnahkan.
Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, masih
berdiri, di antara kedua pihak yang sudah terlibat dalam pertempuran
itu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya, kemudian pandangannya menebar
ke segenap penjuru pertempuran.
Di sebelah kirinya, tidak terlalu jauh,
ia melihat Ki Ageng Pandan Alas menyusup ke dalam daerah pertempuran
untuk mendekati Pasingsingan. Agaknya ia benar-benar ingin tahu, apakah
Pasingsingan ini benar-benar Pasingsingan sahabatnya dahulu. Ia masih
ingat, di alun-alun Banyubiru, ia pernah bertempur dengan Pasingsingan
itu. Meskipun Pasingsingan itu mempunyai pusaka-pusaka dengan ciri-ciri
khususnya, namun ia tetap meragukannya. Demikianlah, supaya
kedatangannya di Pangrantunan ini ada juga hasilnya, apabila ia
benar-benar dapat mengetahui, siapakah yang bersembunyi di balik topeng
yang jelek itu. Pandan Alas menyesal, bahwa ketika ia dengan
tergesa-gesa berangkat dari Gunungkidul, ketika didengarnya kabar,
tentang kerusuhan di Banyubiru, yang ternyata seterusnya berkembang
menjadi kerusuhan-kerusuhan di Pamingit dan Pangrantunan, tidak diajak
serta muridnya, Sarayuda, yang setidak-tidaknya akan dapat membantu
memperingan pekerjaan laskar Pamingit dan Banyubiru. Tetapi yang
didengarnya semula adalah persoalan yang lain. Persoalan antara
Banyubiru dan Pamingit.
Di arah yang lain, ia melihat Titis
Anganten, berdiam diri sambil tersenyum-senyum. Orang itu pun agaknya
sedang menikmati kesibukan pertempuran itu. Ia menunggu saja, siapakah
yang akan datang kepadanya. Hanya sekali-kali ia harus bergerak
menghindari serangan dari laskar golongan hitam, yang menyangka bahwa
Titis Anganten itu dapat dikenainya dengan mudah. Para penyerang itu
menjadi kecewa setelah mereka sadar, bahwa yang berdiri di hadapannya
adalah Titis Anganten. Karena itu segera mereka mencari sasaran lain,
dan menyerahkan Titis Anganten itu kepada para pemimpin mereka. Namun
sesaat kemudian, ia melihat Titis Anganten itu tertawa, sambil meloncat
maju menyongsong seorang yang bertubuh tegap tinggi dan berkepala besar.
Sura Sarunggi dari Rawa Pening.
Sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana
melihat Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Gunung Cerme, datang ke arahnya.
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Agaknya ia harus bertempur melawan
hantu bongkok itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar bahwa Si
Bongkok itu seperti bertangan bara. Sentuhan-sentuhan atas tubuh
lawannya oleh tangan Bugel Kaliki itu, kulitnya pasti akan terkelupas.
Namun Bugel Kaliki itupun sadar. Sentuhan tangan Ki Ageng Sora Dipayana
dapat merontokkan isi dada, dan dapat menghentikan peredaran darah.
Bagian dari aji Lebur Sakethi sungguh tak dapat diabaikan. Apalagi Lebur
Saketi dalam ujud kasarnya. Akan luluhlah setiap sasaran yang dapat
dikenainya.
Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menyambut
lawannya, ia mencoba untuk melihat sapit sebelah kiri. Dadanya berdesir
ketika ia melihat Sima Rodra mengaum dengan dahsyatnya menerkam Mahesa
Jenar. Apalagi ketika melihat Mahesa Jenar menyambutnya seorang diri,
tidak dengan perlindungan laskarnya sama sekali. Namun ia tidak sempat
berbuat sesuatu, selain berdoa, mudah-mudahan Mahesa Jenar segera
menempatkan dirinya dalam lingkaran laskarnya. Ia juga cemas akan nasib
sahabat Mahesa Jenar yang bernama Putut Karang Jati. Bahkan ia dengan
sengaja menempatkan diri di garis lintas Naga dari Nusakambangan.
Nagapasa itu benar-benar orang yang dapat berbuat seperti ular naga.
Hampir seluruh tubuhnya dapat dipergunakannya untuk bertempur.
Tetapi sesaat kemudian, Bugel Kaliki telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa kecut hantu itu berkata, “Selamat
pagi Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti. Jangan kau perhatikan nasib
orangmu yang bernama Mahesa Jenar itu. Biarlah ia lumat di tangan
Harimau Tua dari Lodaya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan
keningnya. Ternyata Bugel Kaliki memperhatikannya, dan mencoba
mempengaruhi perhatiannya, agar ia tidak dapat memusatkan pikirannya
untuk melawan Bugel Kaliki itu. Karena itu ia tertawa sambil menjawab,
“Buat apa aku risaukan orang yang bernama Mahesa Jenar itu? Ia bukan sanak, bukan kadang. Biarlah ia berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.”
Mata Si Bongkok itu tiba-tiba menjadi sipit. Meskipun demikian ia berkata, “Bagus.
Agaknya kau tidak peduli pula atas anakmu yang bernama Lembu Sora.
Dapatkah ia melawan Jaka Soka? Dan cucumu Sawung Sariti yang harus
bertahan melawan Wadas Gunung, murid Pasingsingan? Sedang cucumu yang
satu lagi sedang dilibat oleh aji Alas kobar Lawa Ijo dari Mentaok?”
Ki Ageng Sora Dipayana sekali lagi
memandang berkeliling. Daerah pertempuran itu sudah semakin ribut.
Masing-masing berjuang dengan segenap tenaga yang ada. Terhadap Lembu
Sora, Ki Ageng Sora Dipayana tak perlu cemas. Ia tidak perlu khawatir
bahwa Jaka Sora akan dapat mengalahkan anaknya dengan mudah. Apalagi
Lembu Sora berada di dalam barisan Pamingit yang penuh, setelah laskar
Banyubiru datang membantu. Juga Sawung Sariti tak perlu dirisaukan.
Wadas Gunung adalah murid Pasingsingan yang tidak banyak mendapat
perhatian dari gurunya. Sebab segenap harapan ditumpahkan kepada Lawa
Ijo.
Terhadap Arya Salaka, ia perlu
menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa Arya Salaka setidak-tidaknya memiliki
ketangkasan dan ketangguhan sama dengan Sawung Sariti. Namun kali ini ia
harus berhadapan dengan Lawa Ijo, yang memiliki kesaktian lebih dahsyat
dari Wadas Gunung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Ki Ageng Sora Dipayana
memperhatikan sapit sebelah kiri dari gelar Sapit Urang-nya. Ia bangga
atas kesempurnaan gelar itu. Ia melihat di ujung laskar Banyubiru, suatu
lingkaran yang menganga dan menyerang orang-orang Pamingit dengan
dahsyatnya. Namun sayap kiri itu baginya sangat mencemaskan. Di sayap
itu berkumpul tokoh-tokoh Nagapasa dan Sima Rodra bersama-sama dengan
Lawa Ijo.
Namun kali ini ia tidak banyak mempunyai waktu, sebab sekali lagi ia mendengar Bugel Kaliki mendengus. “Ha, kau ingin pergi ke sayap kirimu yang mulai rusak…?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, “Aku
sedang menilai pertempuran. Agaknya keseimbangan dari kedua laskar itu
telah berubah sama sekali. Apa katamu tentang laskar Banyubiru yang
seperti taufan melanda laskarmu?”
Tiba-tiba Bugel Kaliki itu tertawa terbahak-bahak, jawabnya, “Buat
apa aku ributkan laskar yang sedang bertempur itu? Aku datang kemari
seorang diri. Tak peduli apakah laskarmu atau laskar kawan-kawanku yang
akan binasa.”
“Dan kau sendiri…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku sendiri akan dapat menjaga diriku. Aku dapat berbuat sekehendakku,” sahut Bugel Kaliki.
“Lalu sekarang apa yang kau kehendaki?” tanya Sora Dipayana.
“Nagasasra dan Sabuk Inten. Berikan itu kepadaku. Nanti aku akan membantu laskarmu,” jawab hantu bongkok itu.
“Buat apa?” tanya Ki Ageng.
Bugel Kaliki tertawa. Jawabnya, “Buat apa kau sembunyikan keris itu?”
Ki Ageng Sora Dipayana sama sekali tidak
perlu memberikan keterangan, sebab ia yakin bahwa kata-katanya akan
dipercaya. Karena itu ia menjawab seenaknya, “Mungkin suatu waktu perlu untuk melawan serangan seperti yang terjadi kali ini.”
Bugel Kaliki tiba-tiba menjadi tegang. “Kalau begitu kedua keris itu benar-benar masih kau simpan?”
“Apa kepentinganmu?” sahut Sora Dipayana.
“Aku akan mencoba mempertahankan diri. Meskipun aku sudah tua, namun mati karena tanganmu, sungguh tak menyenangkan,” sahut Ki Ageng Sora Dipayana.
Bugel Kaliki itu, meskipun punggungnya
melengkung karena bongkoknya, namun gerakannya sangat berbahaya. Ia
dapat meloncat-loncat dengan lincahnya, menerkam dan menghantam. Bahkan
kakinya pun tak kalah tangkasnya. Ia dapat berloncatan seperti kijang,
namun sekali-kali menerkam seperti serigala. Tetapi Ki Ageng Sora
Dipayana adalah seorang yang telah cukup makan pahit-getirnya
penghidupan. Dengan tak kalah lincahnya, ia meloncat menghindari setiap
serangan yang kemudian dengan lincahnya pula ia menyerang lawannya
kembali. Kedua tangannya bergerak dengan cepatnya, seperti sayap seekor
burung branjangan. Dengan dahsyatnya kedua tangan orang tua itu
mematuk-matuk, ke pusat-pusat simpul syaraf. Inilah yang mengerikan.
Sekali tubuh lawannya tersentuh jarinya, akan bekulah seluruh
daging-daging syarafnya. Dan ini pun dimaklumi oleh lawannya. Sehingga
Bugel Kaliki pun berjuang keras untuk melindungi setiap kemungkinan itu.
Ia percaya kepada ketangkasannya dan kekuatannya. Kepada kesaktiannya,
yang dapat menjadikan tangannya sepanas bara. Ia menamai kesaktian itu
Candra Mawa, di samping ilmunya yang tak kalah dahsyatnya, yang dengan
bangga disebutnya Dasa Prahara.
Dengan demikian maka pertempuran itu
merupakan pertempuran yang dahsyat antara dua orang perkasa. Sehingga
setiap orang di sekitarnya terpaksa bergesa-gesa menjauhkan diri. Untuk
sesaat pertempuran antara laskar Pamingit dan laskar golongan hitam, di
sekitar kedua tokoh tua itu terhenti. Dengan keheran-heranan mereka
memandang perkelahian yang berubah seperti lesus yang berputar-putar
mengerikan. Tetapi ketika mereka tersadar, segera mereka terlibat
kembali dalam pertempuran yang sengit.
Matahari semakin lama menjadi semakin
tinggi beredar di langit yang bersih. Begitu cepat, seakan-akan begitu
tergesa-gesa untuk dapat melihat medan pertempuran itu dengan jelas.
Untuk kesekian kalinya bola api yang terapung itu melihat betapa manusia
bertengkar dan bertempur di antara mereka. Sudah berapa banyak darah
yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, telah berapa banyak air
mata yang mengalir karenanya. Namun manusia itu tidak jemu-jemunya,
saling membunuh karena mereka bertentangan kepentingan. Terdoronglah
kepentingan mereka, golongan mereka, diri mereka, maka kadang-kadang
mereka lupa, betapa, manusia tercipta karena cinta. Larutlah cinta itu
seperti kabut yang dilanda angin, apabila mereka dihadapkan pada
pemanjaan diri. Pemanjaan nafsu jasmaniah. Dan lupalah mereka akan
hari-hari yang dijanjikan. Hari pengadilan di ujung zaman.
Namun Tuhan Maha Tahu. Didengar-Nya apa
yang terlontar dari bibir kita, apa yang terucapkan oleh mulut kita.
Bahkan tahulah Tuhan apa yang terukir di dalam hati kita. Sehingga
dengan demikian kebaktian bukanlah janji, namun sebenarnya kebaktian
adalah tingkah laku dan pengamalan.
Semakin tinggi matahari memanjat langit,
pertempuran di lereng Gunung Merbabu itu menjadi semakin riuh.
Berdentanglah bunyi senjata beradu, dibarengi teriakan seram dan pekik
ngeri kesakitan.
Di pangkal sayap kanan, Titis Anganten
sedang sibuk melayani Sura Sarunggi yang bertubuh tegap kekar dan
berkepala besar. Dengan gerak yang kasar penuh kebencian, Sura Sarunggi
menyerang lawannya tanpa pengendalian diri. Ia ingin segera melihat
Titis Anganten menjadi lumat. Titis Anganten yang bertubuh kecil dan
sama sekali tak segagah lawannya itu dapat bertempur dengan sempurna.
Gerak-geraknya yang tampak lemah dan tak bertenaga, namun seakan-akan
memiliki pengaruh yang tak dapat diduga akibatnya. Titis Anganten
benar-benar berkelahi seperti perempuan. Kalau saja tangannya menyentuh
lawannya, maka ia segera mencubitnya. Namun cubitan itu benar-benar luar
biasa, sehebat sengatan seribu lebah bersama-sama. Sedang lawannya
adalah seorang yang bertenaga raksasa. Sambaran tangannya menimbulkan
desir angin dingin yang mengerikan. Kalau suatu kali ia terpaksa membuat
benturan kekuatan, maka mereka bersama-sama akan tergetar surut.
Di bagian lain, dengan penuh kemarahan
dalam hati, Pasingsingan berhadapan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Ketika
Pasingsingan memandangnya seperti memandang hantu, berkatalah Ki Ageng
Pandan Alas, “Apakah aku aneh?”
Pasingsingan menggeram, jawabnya, “Kenapa kau hadir juga di sini?”
“Apa salahnya? Sahabat-sahabatku
semua berada di sini. Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten dan kau
Pasingsingan. Bukankah sudah sebaiknya kalau aku datang pula?” sahut Pandan Alas.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram. “Jangan
banyak ribut. Jangan bicara lagi tentang sahabat, tentang masa lampau
dan segala macam kenangan tak berarti. Yang sebaiknya segera kau lakukan
adalah meninggalkan daerah ini.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Kenapa aku harus pergi. Atas hak yang sama, maka seperti kau aku hadir dalam pertemuan ini.”
“Aku sebenarnya menyayangkan nyawamu. Jangan kau mati tanpa arti. Sebab persoalan kami bukanlah persoalan yang dapat kau campuri,” sahut Pasingsingan.
“Kenapa tidak? Daerah ini daerah Pangrantunan. Ki Ageng Sora Dipayana gembira melihat kehadiranku. Kenapa kau tidak?” kata Pandan Alas.
Pasingsingan menggeram kembali. Suaranya
melingkar-lingkar di dalam perutnya. Sekali-kali melayangkan
pandangannya ke seluruh daerah pertempuran. Ia melihat Bugel Kaliki
berhadapan dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, sedang Sura Sarunggi
bertempur melawan Titis Anganten. Di ujung lain ia melihat Mahesa Jenar
bertempur melawan Sima Rodra yang menyimpan dendam di dadanya.
Pasingsingan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, bagaimana mungkin
Mahesa Jenar dapat melawan aji Alas Kobar beberapa waktu yang lampau
didekat Candi Gedong Sanga. Malaekat manakah yang telah memberinya
kesaktian sedemikian tiba-tiba? Sedang di bagian lain, Pasingsingan
melihat kawan Mahesa Jenar bertempur melawan Nagapasa. Ia mengharap
Nagapasa segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Dengan demikian,
kelebihan yang seorang itu, akan mempunyai banyak akibatnya. Nagapasa
dapat membantu salah seorang dari tokoh-tokoh hitam itu, memusnahkan
lawan-lawan mereka satu demi satu dengan cepat.
“Apa yang kau renungkan?” tanya Ki Ageng Pandan Alas.
“Bukan apa-apa,” sahut Pasingsingan. “Aku sedang berbangga.”
“Apa yang kau banggakan?” desak Pandan Alas.
“Laskarku dari Mentaok. Sekarang
mereka akan menghancurkan laskar Banyubiru dan Pamingit. Lusa mereka
akan menghancurkan laskar Demak,” jawab Pasingsingan.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Jangan
mimpi. Kau kira Demak itu seperti apa? Itulah contohnya, satu di antara
prajuritnya yang bernama Rangga Tohjaya. Bahkan seandainya kau dapat
mengalahkan laskar Banyubiru dan Pamingit sekalipun, maka Banyubiru dan
Pamingit berhak mendapat perlindungan dari Demak, seandainya mereka
benar-benar tak mampu mengatasi kesulitan mereka. Nah apa katamu? Apakah arti laskar alasan itu?”
Pasingsingan menjadi marah. Jawabnya, “Lihat, sebagian dari laskar gabungan kami. Kami masih menyimpan tenaga cadangan di Pamingit dan di daerah kami sendiri-sendiri.”
“Bagus. Agaknya kau benar-benar
menghemat. Sedikit-sedikit saja orangmu yang bunuh diri di medan ini,
supaya kau sempat berbuat aneh-aneh didalam pertempuran. Kau agaknya
dapat melepaskan nafsu-nafsu yang aneh di sini. Bau darah dan
teriakan-teriakan yang mengerikan dapat menyegarkan tubuhmu,” sahut Pandan Alas.
“Gila. Jangan banyak bicara lagi. Tinggal pilih, kembali ke asalmu atau mati berkubur debu di sini,” gertak Pasingsingan.
Pandan Alas tidak menjawab. dengan
tersenyum ia bersiaga. Dan apa yang diduga benar-benar segera terjadi.
Dengan garangnya Pasingsingan mengembangkan tangannya, dan dalam satu
loncatan ia menerkam lawannya.
Cepat Pandan Alas mengelak dengan satu
langkah ke samping sambil merendahkan dirinya. Tangan kanan Pasingsingan
menyambar di atas kepalanya dengan cepatnya seperti desis angin yang
keras. Tetapi dalam sekejap Pandan Alas telah memutar tubuhnya dan kaki
kanannya melontar ke arah lambung Pasingsingan. Pasingsingan menggeliat
dengan lincahnya, dengan sikunya ia melindungi dirinya.
Demikianlah kedua orang itu segera
terlibat dalam perkelahian pula seperti yang lain-lain. Mereka
masing-masing mempunyai kekhususan yang sulit diketahui. Sekali-kali
mereka melontar kian-kemari, namun di saat lain mereka berbenturan
dengan hebatnya. Serangan Pasingsingan benar-benar seperti topan yang
dahsyat, namun Ki Ageng Pandan Alas tidak kurang dari angin ribut yang
mengerikan. Kedua orang itu berjuang dengan segenap kekuatan dan tenaga,
dengan segenap kepandaian dan kemampuan. Ketika keringat mereka mulai
mengalir membasahi pakaian-pakaian mereka maka pertempuran itu menjadi
kian sengit. Bahkan kemudian yang tampak seakan-akan seperti gulungan
asap yang berputar-putar dengan cepatnya, seperti gulungan awan mendung
di langit. Sekali-kali terdengar benturan-benturan seperti ledakan
guntur menjelang datangnya prahara. Daerah pertempuran itupun menjadi
kabur oleh hamburan debu yang melingkar-lingkar menaburi kedua orang
yang sedang berjuang di antara hidup dan mati. Sedang gerak kedua
bayangan di dalam lingkaran debu itu tak dapat diamati lagi.
Di sayap kiri gelar Sapit Urang dari
laskar gabungan antara Pamingit dan Banyubiru itu pun terjadi
pertempuran yang dahsyat. Laskar golongan hitam bertempur membabi buta.
Siapapun dan apapun yang ada di hadapannya pasti akan dihancurkannya.
Namun mereka terpaksa menelan ludah mereka, ketika mereka membentur
laskar Banyubiru. Bantaran di ujung sapit, Jaladri di tengah-tengah, dan
Panjawi di pangkalnya, merupakan benteng-benteng yang kokoh kuat, yang
tak tergoyahkan oleh arus banjir dari orang-orang golongan hitam itu.
Di antara mereka itu terdapatlah Sima
Rodra yang sedang mengaum-ngaum dengan kerasnya. Betapa ia mencurahkan
dendam di dadanya kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu. Orang yang
telah membunuh menantunya serta membebaskan tawanan anaknya di bukit
Karang Tumaritis. Selain itu, ternyata bahwa Rara Wilis, yang dalam
pengertian Sima Rodra diselamatkan oleh Mahesa Jenar di Karang Tumaritis
itulah yang membunuh anak perempuannya. Karena itu ia ingin melepaskan
beban yang selama ini menghimpit jantungnya kepada Mahesa Jenar. Tetapi
sekali dadanya berguncang ketika ia mendengar Mahesa Jenar tertawa.
Tidak terlalu keras, namun nadanya hampir memecahkan dadanya.
“Gila…!” teriaknya. “Apa yang kau tertawakan?”
“Bukan apa-apa,” jawab Mahesa Jenar. “Aku hanya menyatakan kegembiraan hatiku setelah lama kita tak bertemu.”
“Bukan saatnya bergurau. Lebih baik kau menyebut nama nenek moyangmu selagi kau sempat,” geram harimau dari Lodaya itu.
“Kau ingin melunakkan hatiku? Jangan
kau sangka bahwa hatiku sekecil hati kelinci dan selunak hati kucing
yang dihadapi daging. Aku adalah Sima Rodra dari Alas Lodaya,” teriak harimau itu dengan garangnya.
“Aku sudah tahu dan aku sudah
mengenalmu sejak lama. Sejak kau mencegat aku di jalan silang ke Bergota
dari Gunung Tidar bersama Kakang Gajah Sora. Kemudian di Gedangan kita
bertemu lagi,” jawab Mahesa Jenar, tetapi ia lupa bahwa Kebo
Kanigara berperankan diri di Karang Tumaritis membebaskan Wilis. Karena
itu Sima Rodra berteriak, “Kau ingin mengurangi kesalahanmu. Di
Karang Tumiritis kau telah menghinakan kami. Kau berhasil membebaskan
perempuan tawanan anakku, cucu Pandan Alas. Bahkan karenanya akhirnya
perempuan itu membunuh anakku.”
Ketika Mahesa Jenar teringat peristiwa itu, kembali ia tertawa. Ia mencoba tertawa seperti Kebo Kanigara tertawa. Katanya, “Inilah murid perguruan Pengging. Mahesa Jenar.”
Kembali dada Sima Rodra terguncang.
Tertawa yang demikian itu pulalah yang didengarnya pada saat itu di
bukit Karang Tumaritis, ketika seorang yang menamakan diri Mahesa Jenar
tiba-tiba seperti terbang dan hinggap di atas batu karang sambil
berkata, “Inilah Mahesa Jenar, murid perguruan Pengging.”
“Gila. Jangan kau berbangga atas
kemenanganmu saat itu. Kau memang mempunyai kelebihan dari kami dalam
hal melarikan diri dan bersembunyi,” bentak Sima Rodra. “Tetapi marilah kita sekarang berhadapan. Tidak melarikan diri dan tidak bersembunyi.”
“Kali ini aku tidak akan bersembunyi dan melarikan diri. Aku
kini berdiri di antara laskar yang sedang bertempur. Karena itu akupun
harus bertempur seperti mereka. Menang atau kalah, marilah kita serahkan
kepada keputusan tertinggi. Sebab aku yakin, kebenaran tak akan dapat
ditindas oleh kejahatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Huh, pandangan hidup yang didasarkan
pada keputusasaan. Bagiku menang atau kalah tergantung kepada kita
sendiri. Dan bahwa suatu ketika kebenaran akan lenyap oleh kejahatan dan
di atasnya akan aku bangun kebenaran yang baru menurut seleraku,” bantah Sima Rodra.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sima
Rodra akan membangun kebenaran di atas bangkai-bangkai dan kejahatan.
Benar-benar seorang yang tidak tanggung-tanggung. Kebenaran baginya
tidak lebih dari pemuasan nafsu sendiri. Akhirnya ia menjawab, “Semakin
banyak orang seperti kau di dunia ini, semakin parahlah tata kehidupan
manusia. Peradaban yang kau bina, seperti yang dilakukan oleh anak
menantumu di Gunung Baka, di kaki bukit Karang Tumaritis, dan barangkali
di seribu tempat lain, menunjukkan betapa kau telah menghilangkan batas
antara manusia dan binatang, antara manusia dan setan. Pemanjaan nafsu,
pemutarbalikan tata kesopanan, pemujaan pada kekejaman dengan
mengorbankan gadis-gadis di atas batu-batu pemujaan yang kau buat,
dengan mengalirkan darahnya.”
“Jangan berlagak seperti malaikat yang bersih suci,” potong Sima Rodra. “Hidupku dan hidupmu tidak akan lebih dari kisaran satu abad. Kenapa tidak kau nikmati hidupmu yang pendek itu?”
Tiba-Tiba tubuh Mahesa Jenar bergetar
karena tekanan perasaannya. Ia melihat orang yang berdiri di hadapannya
dengan baju kulit harimau hitam, seperti ia melihat campur baur dari
segala kejahatan dan nafsu. Karena itu ia bergumam seperti kepada diri
sendiri, “Aku harus menghentikannya sebelum ia menjadi berkembang.”
Sima Rodra tertawa. Keras sekali. “Apa yang akan kau hentikan?”
“Untuk membunuh harimau, jangan ditunggu harimau itu menjadi besar,” sahut Mahesa Jenar.
“Kau akan membunuh aku? Ha, kaupun telah mimpi untuk menjadi seorang pembunuh,” kata Sima Rodra.
“Ada bedanya? Membunuh kau sama
artinya dengan menegakkan kemanusiaan, karena kau ingin memperkosa
kemanusiaan itu. Dan karena sifat-sifatmulah maka aku menolak adamu,” jawab Mahesa Jenar.
“Terlalu berbelit-belit,” jawab Sima Rodra. “Yang aku ketahui, kalau kita berkelahi, aku atau kau yang menjadi pembunuh.”
“Otakmu terlalu beku. Atau sama sekali diselimuti oleh noda-noda hitam dalam hidupmu…?” Mahesa Jenar menyela.
“Persetan. Jangan gurui aku. Menyerahlah, aku akan membunuhmu dengan cepat,” jawab Sima Rodra.
“Bagaimana kalau sebaliknya?” bantah Mahesa Jenar.
“Hem, kalau begitu aku akan melukai wajahmu yang tampan, dan membiarkan kau mati perlahan-lahan,” geram Sima Rodra dengan marahnya.
“Tak ada pilihan lain,” sahut Mahesa Jenar.
Sima Roda kemudian mengaum keras sekali.
Beberapa orang di sekitarnya terkejut, meskipun laskar dari golongan
hitam sendiri. Hanya orang-orang dari Gunung Tidar sajalah yang
bertambah semangat di dalam dada mereka mendengar auman yang mengerikan
itu. Dengan suatu loncatan yang buas, sebuas harimau lapar, Sima Rodra
menyerang langsung kepada Mahesa Jenar. Demikian cepatnya serangan itu,
sehingga Mahesa Jenar agak terkejut. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian
ia seakan-akan menancapkan kedua kaki dalam-dalam, menyiapkan diri
menyambut serangan itu. Ia sengaja tidak menghindar, tetapi ia ingin
membentur tangan lawannya untuk menjajagi sampai di mana kekuatan Sima
Rodra yang pernah menggemparkan itu.
Kalau hal itu terjadi beberapa tahun
lalu, maka Mahesa Jenar pasti akan terlempar dan terbanting mati, karena
Sima Rodra dengan marahnya telah mengerahkan kekuatannya. Tetapi yang
terjadi adalah berbeda, Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan yang
tersembunyi di dalam tubuhnya, setelah ia mesu diri di Bukit Karang
Tumaritis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah benturan yang
dahsyat. Demikian dahsyat sehingga seakan-akan terjadi benturan guntur
di langit. Tubuh masing-masing tergetar dan kemudian terdorong selangkah
surut.
Sekali lagi Sima Rodra mengaum dahsyat.
Meskipun ia tidak mengalami cidera, namun betapa herannya melihat Mahesa
Jenar masih tegak berdiri dihadapannya. Karena itu sekali lagi ia
menyerang dengan dahsyatnya. Namun kali ini Mahesa Jenar telah menemukan
nilai-nilai kekuatan lawannya, sehingga ia dengan sempurna dapat
menempatkan diri pada keadaan yang seharusnya. Dengan tangkas Mahesa
Jenar menghindarkan diri, dengan meloncat ke samping. Namun harimau yang
hampir gila itu benar-benar tangkas. Demikian kakinya menyentuh tanah,
kakinya yang lain diputar ke arah lambung lawannya. Sekali lagi Mahesa
Jenar terpaksa menarik tubuhnya condong kebelakang. Tetapi sekali lagi
harimau tua itu menyerangnya dengan tendangan ganda.
Kali ini Mahesa Jenar tidak dapat hanya
menyondongkan dirinya. Ia pun terpaksa melompat mundur. Tetapi dengan
demikian ia menemukan kelemahan lawannya. Sekali lagi kaki Sima Rodra
mesih terjulur, Mahesa Jenar menangkapnya pada bagian bawah lututnya.
Namun Harimau Lodaya itupun tangkas pula. Ia tidak mau membiarkan hal
itu terjadi. Ketika tangan Mahesa Jenar menyentuh kakinya, segera ia
melipatnya, sehingga dengan demikian tangan Mahesa Jenar menjadi
terjepit. Mahesa Jenar menggeram perlahan-lahan, tetapi segera ia
mendorong tubuh lawannya yang tegap besar itu dengan siku tangannya yang
lain di arah lambung. Demikian kerasnya sehingga Sima Rodra dan Mahesa
Jenar bersama-sama jatuh terguling. Tetapi dengan demikian, Mahesa Jenar
telah melepaskan jepitan lawannya, bahkan ketika ia melihat Sima Rodra
meloncat bangkit, Mahesa Jenar pun telah berdiri pula.
Maka segera mereka terlibat kembali dalam
perkelahian. Masing-masing adalah orang-orang perkasa, yang mempunyai
kelebihan dari orang lain. Sima Rodra dengan penuh nafsu kebuasan
bertempur mati-matian. Sebab ia sadar bahwa orang-orang seperti Mahesa
Jenar adalah penghalang utamanya. Di pihak lain, Mahesa Jenar pun
bertempur dengan penuh kesadaran akan kewajibannya sebagai manusia yang
mengabdikan diri pada kemanusiaan. Kegagalannya kali ini, lebih-lebih
kegagalan laskar Pamingit dan Banyubiru berarti runtuhnya martabat
manusia, setidak-tidaknya di Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia
bertekad untuk bertempur yang terakhir kalinya dengan Harimau Gila itu.
Biarlah ia terbunuh kalau ia tidak berhasil, namun kalau ia berhasil,
maka telah diletakkannya satu di antara berjuta-juta batu yang akan
membentuk bangunan kemanusiaan.
Pertempuran itu semakin lama semakin
dahsyat. Sima Rodra dengan mengaum-aum mengerikan, menyerang dengan
buasnya. Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap, tetapi
kemudian terjulur untuk menerkam lawannya seperti harimau. Jari-jarinya
yang kokoh dan kuat merupakan bahaya yang setiap saat dapat menembus
daging lawannya. Dalam pertempuran yang hiruk pikuk itu, Sima Rodra
tampak sebagai seekor harimau hitam di antara beratus-ratus kelinci yang
sedang berjejal-jejalan. Namun lawan yang dihadapinya kini bukan
kelinci-kelinci itu. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh.
Seekor Banteng yang dengan tenang dan yakin pada dirinya atas lambaran
kebenaran, berjuang menegakkan sendi-sendi kemanusiaan. Sehingga dengan
demikian maka pertempuran di antara mereka, adalah pertempuran yang akan
diakhiri dengan lenyapnya salah satu dari keduanya. Pertempuran yang
melambangkan pertempuran yang akan terjadi di sepanjang jaman. Kebenaran
melawan kemungkaran dan kejahatan. Pertempuran di antara mereka yang
berjalan di jalan Allah, melawan mereka yang melawan cinta Tuhan. Tetapi
Tuhan Maha Pengampun. Karena itu, bagi siapa saja yang bertobat serta
menyebut nama-Nya dengan ikhlas serta penyerahan yang tulus, maka pintu
Rumah-Nya selalu terbuka.
Sejalan dengan matahari yang semakin
tinggi, semakin seru pulalah pertempuran itu. Setiap senjata telah
menjadi merah oleh darah. Darah sesama manusia. Dan tanah telah menjadi
merah pula oleh siraman darah yang merah segar.
Tetapi karena bau darah itulah maka
mereka menjadi semakin buas. Mereka tinggal memilih dua kemungkinan di
dalam peperangan itu. Mati terbunuh atau terpaksa membunuh. Tetapi
mereka telah bertindak atas suatu keyakinan. Bagi golongan hitam,
membunuh adalah pekerjaan mereka untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan
kemungkinan yang menimbulkan harapan. Kali ini mereka mengharap untuk
mendapat bagian dari tanah yang mereka perebutkan. Pamingit, dan lusa
Banyubiru, serta segala kekayaan di atasnya. Bahkan atas setiap
laki-laki untuk diperintahnya dan berkuasa atas setiap perempuan untuk
diperlakukan dengan sekehendak hati mereka.
Sedang masa mendatang, mereka mendapat
harapan yang lebih baik lagi apabila benar-benar mereka dapat memecahkan
kerajaan Demak. Siapa tahu mereka akan dapat pangkat Tumenggung, dengan
rumah yang besar-besar dan selusin isteri yang cantik-cantik.
Sebaliknya, laskar Banyubiru dan
Pamingit berjuang atas keyakinan mereka pula. Mereka terpaksa membunuh
untuk menghentikan kebuasan manusia atas manusia. Mempertahankan tanah
mereka dan milik mereka. Mempertahankan karunia Tuhan untuk mereka.
Karena itulah maka, kedua belah pihak
bertempur mati-matian. Siapa yang lengah, dadanya akan tertembus
senjata. Dan mataharipun seakan-akan menjadi suram karena sinarnya yang
ditakbiri oleh debu yang mengepul di udara seperti kabut.
Di antara deru senjata dan teriakan penuh
nafsu, terdapatlah beberapa titik-titik perkelahian yang paling
dahsyat. Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki yang berputar
seperti angin pusaran. Ki Ageng Pandan Alas melawan Pasingsingan seperti
beradunya angin prahara yang bertentangan arah. Titis Anganten melawan
Sura Sarunggi yang seolah-olah menjadi tenggelam dalam kabut yang gelap.
Di bagian lain, Mahesa Jenar bertempur melawan Sima Rodra demikian
dahsyatnya seperti guntur dilangit yang saling sambar menyambar.
Tetapi ada di antara mereka, tokoh yang
dahsyat dari golongan hitam itu yang masih berdiri saja di antara kedua
laskar yang bertempur. Hanya sekali-kali saja ia menggerakkan tangannya
untuk melawan serangan-serangan laskar Banyubiru, dan sekali-kali ia
terpaksa menghindar kalau dua tiga orang yang gagah berani menyerangnya
bersama-sama. Namun tangannya benar-benar seperti tangan hantu. Sekali
ia berhasil merampas sebuah pedang, dan menancapkan pedang itu dengan
mudahnya di dada pemiliknya. Dengan tertawa menyeringai ia berpaling
sambil bergumam, “Tikus yang sombong.” Kemudian ia melangkah
pergi di antara kacau-balaunya pertempuran, seperti berjalan di dalam
kesibukan pasar saja. Ia melihat betapa sahabat-sahabatnya bertempur
mati-matian. Ia melihat betapa Sima Rodra berjuang sekuat tenaga melawan
Mahesa Jenar. Orang itupun menjadi heran pula. Bagaimana mungkin Mahesa
Jenar dapat mengimbangi Sima Rodra yang ganas itu. Terhadap Ki Ageng
Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten ia tidak perlu
heran. Pertempuran diantara mereka dapat berlangsung lama. Sehari, dua
hari, bahkan tanpa batas, seperti kalau ia sendiri tanpa lawan. Karena
itu ia sedang berpikir apakah yang harus dilakukan. Membunuh
sebanyak-banyaknya, atau membantu salah seorang dari keempat sahabatnya.
Ia harus yakin bahwa kawan-kawannya itupun dapat membawa diri. Karena
itu biarlah ia bekerja sendiri. Tetapi membunuh laskar-laskar kecil yang
berserak-serakan seperti tikus itupun tak akan berarti. Sebagai seorang
tokoh yang ditakuti tidak saja di Nusa Kambangan, ia merasa terlalu
berharga untuk berperang melawan laskar-laskar Banyubiru yang tak
berarti itu. Sekali-kali ia memandang jauh ke sapit sebelah kanan.
Terhadap muridnya Jaka Soka pun ia tidak terlalu cemas. Seandainya Jaka
Soka itu harus berhadapan dengan Lembu Sora sekalipun.
Karena itu tidak ada kerja lain baginya
daripada membunuh. Bukankah di dalam peperangan yang berjumlah besar,
membunuh siapapun yang ada didekatnya bukan berarti merendahkan diri.
Pertempuran yang demikian adalah pertempuran yang kacau. Setiap senjata
dapat mengarah setiap dada lawan. Maka akhirnya Nagapasa itupun menjadi
puas terhadap pendiriannya. Daripada berdiri saja di situ, memang lebih
baik berbuat sesuatu yang dapat memperingan pekerjaan laskar dari
golongan hitam.
Kemudian setelah ia mendapat ketetapan
hati, mulailah ia bergerak sekali sambar, kembali ia merampas sebuah
tombak. Ia memutar tombak itu sekali diudara kemudian dengan satu
gerakan kemungkinan untuk menghindar. Demikian cepat dan keras. Tetapi
tiba-tiba Nagapasa menarik kembali tombak itu ketika tiba-tiba ia
mendengar seseorang menyapanya, “Alangkah dahsyatnya Tuan.”
Nagapasa menoleh. Ia melihat seorang
bertubuh tegap kekar berdiri di sampingnya. Orang itu belum pernah
dikenalnya. Karena itu ia mengacuhkannya. Maka kembali ia mencari orang
yang hampir terbelah dadanya oleh tombaknya sendiri. Tetapi orang itu
sudah lari menghilang di antara hiruk pikuk pertempuran, mencari lawan
yang tak bertangan hantu.
Nagapasa kecewa. Ia menggeram dan sekali
lagi menoleh kepada orang yang menyapanya. Tiba-tiba ia menjadi muak
melihat wajahnya yang tenang. Orang itu pasti salah seorang dari laskar
Banyubiru. Tetapi tiba-tiba Nagapasa kehilangan nafsu untuk membunuh
orang itu. “Mungkin ia belum mengenal aku. Biarlah aku bermain-main
dahulu. Biarlah ia menjadi ngeri dan baru kemudian aku akan membunuhnya
setelah ia melihat bagaimanakah caranya aku membunuh,” pikirnya.
Mendapat pikiran itu, segera Nagapasa
mendesak maju ke dalam laskar Banyubiru. Ia akan berbuat hal-hal yang
aneh untuk menakut-nakuti orang yang menyapanya dengan tenang. Tetapi
orang itu mengikutinya dalam jarak yang dekat sekali. Seakan-akan ia
melekat pada jarak yang ditetapkan. Namun Nagapasa tidak
memperdulikannya, bahkan lebih baiklah bila orang itu dapat melihat
dengan seksama bagaimana ia dapat mematahkan leher seorang dengan
tangannya, mencukil matanya dengan jari-jarinya, dan memecahkan kepala
itu dengan pukulan tangannya.
Ketika seseorang bertempur di dekatnya,
iapun segera meloncat menangkap orang Banyubiru. Tangannya mencekik
leher, sedang tangannya yang lain terayun ke dahi orang itu. Benar-benar
suatu pemandangan yang mengerikan.
Tetapi kembali Nagapasa mengurungkan
niatnya, ketika ia mendengar orang yang mengikutinya itu tertawa.
Meskipun suaranya lunak sekali namun nadanya benar-benar tak
menyenangkan. Kemudian terdengar ia berkata, “Tidak tanggung-tanggung. Suatu pameran kekuatan yang luar biasa.”
Nagapasa memandang orang itu dengan
seksama, sementara tangannya masih mencekik leher. Ia mengamat-amati
orang itu dengan tanpa berkedip. Benar-benar orang itu belum pernah
dikenalnya. Tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti bukan orang
kebanyakan atau salah seorang dari laskar biasa dari Banyubiru.
“He, kau siapa?” tanya Nagapasa acuh tak acuh.
Orang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Laskar Banyubiru.”
“Aku sudah tahu,” bentak Nagapasa marah. “Namamu dan jabatanmu?”
“Kebo Kanigara,” jawabnya. “Laskar biasa.” Nagapasa menggeram.
Nagapasa menggeram. Nama itu benar-benar belum pernah dikenalnya. Tetapi sikap orang itu sangat menyakitkan hatinya.
”Sudahkah kau mengenal aku?” bertanya Nagapasa
“Ya, aku kenal,” jawab Kanigara. “Bukankah Tuan yang menamakan diri Nagapasa?”
Nagapasa menjadi semakin jengkel. Ternyata orang itu telah mengenalnya, tetapi kenapa ia sedemikian berani menghadapinya.
“Bagus,” kata Nagapasa lebih lanjut. “Kalau demikian kau kenal juga dari mana Nagapasa datang?”
“Ya,” jawab Kanigara pula. “Nagapasa
berasal dari Nusakambangan dengan muridnya yang bernama Jaka Soka.
Nagapasa adalah seorang yang sakti, sejajar kesaktiannya dengan
Pasingsingan, Sima Rodra, Sura Sarunggi dan Bugel Kaliki.”
Nagapasa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menjadi semakin heran. Orang yang bernama Kebo Kanigara itu
mengenalnya dengan lengkap, namun ia masih berani menyapa seenaknya
saja. Apakah orang ini benar-benar ingin bunuh diri?
“Kalau demikian...” Nagapasa berkata pula, “Apa maksudmu mengikuti aku?”
“He…” Kanigara berpura-pura terkejut, meskipun ia tahu apa yang tersirat di dalam pikiran Nagapasa itu, “Bukankah kita berada di dalam peperangan. Dan bukankah setiap kita dari Banyubiru dan dari golongan hitam dapat menjadi lawan?”
Nagapasa menjadi semakin marah mendengar jawaban itu, katanya, “Kau akan melawan aku?”
“Apakah aku harus memilih lawan” sahut Kanigara. “Siapa yang ada di hadapanku adalah lawanku.”
“Kau sudah menjadi gila,” teriak Nagapasa. “Lihat
betapa orang ini hampir mati karena tanganku. Aku dapat memperlakukan
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang seperti ini.”
“Ya, aku percaya,” jawab Kanigara.
“Kau ingin aku berbuat demikian terhadapmu?” bentak Nagapasa semakin keras.
“Tidak,” jawab Kanigara.
Kejengkelan Nagapasa menjadi semakin memuncak. “Lalu apa maumu?” Ia berteriak lebih keras lagi.
“Kita berperang. Mauku bertempur melawan Tuan,” sahut Kanigara.
Kemudian terayunlah kembali tangan Hantu
Laut dari Nusakambangan itu. Sedang orang yang dicekiknya telah
kehilangan harapan untuk dapat hidup. Ia kenal siapakah Nagapasa itu.
Dan menyesallah bahwa ia kurang berhati-hati, bertempur di dekat orang
bertangan maut itu. Namun akhirnya ia memejamkan matanya pasrah diri.
Dalam perjuangan maut adalah tantangan. Kalau maut itu datang, biarlah
ia menelannya. Namun ia yakin bahwa ia telah berjuang menegakkan
kebenaran.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal
yang tak terduga-duga. Ketika tangan Nagapasa hampir saja memecahkan
kepala orang yang telah pasrah diri itu, terjadilah suatu benturan yang
keras. Tangan Nagapasa terasa bergetar hebat. Ia merasa bahwa tangannya
telah mengenai sesuatu, tetapi sama sekali bukan kepala orang yang
dicekiknya. Dan kepala itu sama sekali tidak dipecahkannya, malahan
tangannya sendiri merasa tergetar. Belum lagi ia sadar akan peristiwa
itu, kembali terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai tangannya yang
lain, yang sedang mencekik orang yang telah berputus asa itu, demikian
kerasnya sehingga tanpa disengaja tangannya terlepas, dan orang yang
dicekiknya itu terpental beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.
Nagapasa melompat selangkah mundur. Ia
telah berpuluh tahun hidup dalam kancah perkelahian, pertempuran dan
pembunuhan. Karena itu ia telah memiliki pengalaman yang tak terkira
banyaknya. Sehingga dengan demikian segera ia sadar, bahwa sesuatu telah
terjadi, sesuatu yang berada di luar perhitungan. Ketika ia sadar
memandang berkeliling, yang dilihatnya hanyalah orang yang bernama Kebo
Kanigara itu, selain beberapa orang yang sedang bertempur melawan lawan
masing-masing. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kebo
Kanigara lah orangnya, yang telah mencoba membentur tangannya.
Nagapasa menjadi marah sekali. Wajahnya
tiba-tiba menjadi merah, semerah darah. Meskipun bibirnya terkatup
rapat, namun terdengar betapa giginya gemeretak. Dengan tangan yang
bergetar ia menunjuk wajah Kebo Kanigara sambil berkata dengan gemetar, “Kau…?”
Kebo Kanigara masih setenang tadi. Sambil mengangguk ia menjawab singkat, sesingkat pertanyaannya, “Ya.”
Nagapasa sadar bahwa orang yang bernama
Kebo Kanigara itu bukan orang gila seperti yang disangkanya. Tetapi Kebo
Kanigara benar-benar orang perkasa, yang telah menempatkan diri sebagai
lawannya dalam pertempuran itu dengan penuh kesadaran. Dengan demikian
darahnya kini telah benar-benar mendidih. Karena itu ia sudah tidak
mampu lagi untuk bertanya-tanya. Dengan memekik tinggi ia meluncur
seperti ular yang mematuk lawannya, dengan tangan terjulur ke arah wajah
Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara bukan anak-anak yang terkejut
melihat ular sawah yang melingkar di pematang. Ia cukup dewasa untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
Karena itu, ketika ia mendapat serangan
dari Nagapasa, sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan tenangnya Kebo
Kanigara membuat perhitungan yang tepat. Ketika serangan Nagapasa itu
hampir menyentuhnya, tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya menelentang. Kedua
kakinya segera menyambar perut lawannya, dan dengan lemparan yang
keras, Nagapasa terpelanting keudara. Tetapi Nagapasa pun cukup
mempunyai bekal untuk bertempur melawan Kebo Kanigara. Ia mula-mula
terkejut mengalami peristiwa itu, namun segera ia menguasai dirinya
kembali. Dengan sebuah putaran ke udara, ia telah mencapai
keseimbangannya. Karena itu Nagapasa dapat dengan baiknya menjatuhkan
diri di atas kedua kakinya. Tetapi ketika ia berhasrat untuk meloncat
menyerang lawannya, Kebo Kanigara pun telah siap pula tegak seperti
bukit karang yang tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun dahsyatnya.
Sesaat kemudian, kembali Nagapasa
menyerang dengan kerasnya dibarengi dengan sebuah teriakan tinggi. Dan
kembali Kebo Kanigara melawannya dengan tenang, namun penuh gairah.
Sebab Kebo Kanigara pun yakin, bahwa orang-orang seperti Nagapasa adalah
sumber dari segala macam bencana bagi umat manusia. Maka karena itulah
pertempuran antara kedua orang perkasa itu segara menjadi semakin
dahsyat. Nagapasa bertempur seperti seekor naga. Tubuhnya seolah-olah
menjadi lemas dan dapat bergerak ke segenap arah. Tulang-tulangnya
seakan-akan menjadi selemas daun. Begitu baiknya Nagapasa menguasai
tubuhnya, sehingga setiap bagiannya dapat berubah menjadi senjata yang
berbahaya. Jari-jarinya, sikunya, kepalanya, lutut dan jari kakinya,
tumitnya dan segala bagian yang lain. Ia dapat meluncur dengan cepatnya,
melingkar-lingkar seperti pusaran air yang menghisap segenap benda yang
tersentuh jari-jari lingkarannya, menelannya dan
menghancur-lumatkannya. Demikian dahsyatnya Nagapasa bertempur sehingga
benar-benar mirip seekor naga raksasa yang bertempur didalam lautan yang
digelorakan oleh ombak yang dahsyat.
Tetapi lawannya adalah Kebo Kanigara.
Seorang yang telah memiliki ilmu yang sempurna. Benarlah kata orang,
yang bahkan almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh sendiri mengakui, bahwa
sebenarnya Kebo Kanigara telah melampaui kemampuannya. Kebo Kanigara
telah menemukan cara untuk menempa diri dengan dahsyatnya. Ia hanya
memerlukan waktu tidak lebih dari semperempat waktu yang diperlukan oleh
Ki Ageng Pengging Sepuh dengan caranya. Karena itulah maka Kebo
Kanigara benar-benar memiliki sifat yang luar biasa. Ia dapat bertempur
selincah anak kijang di padang rumput, namun ia dapat garang seperti
singa. Di saat-saat yang lain Kebo Kanigara bertempur seperti seekor
garuda dengan sayap-sayapnya yang kokoh seperti baja namun trengginas
seperti sikatan. Seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara juga memiliki
kekhususan. Ia benar-benar tangguh sebagaimana ciri-ciri khusus
Perguruan Pengging. Seakan-akan berkulit tembaga, bertulang besi. Serta
apabila keringatnya telah membasahi punggungnya, tandangnya menjadi
semakin garang, seperti banteng ketaton.
Demikianlah, ketika matahari memanjat
langit semakin tinggi, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kebo
Kanigara dan Nagapasa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun
disamping kemarahan yang semakin memuncak, Nagapasa pun menjadi heran.
Apakah ia sebenarnya sedang bertempur melawan seorang manusia, ataukah
tiba-tiba saja ada malaikat yang menjelma dan melawannya?
“Persetan dengan malaikat. Aku tidak takut melawan malaikat seandainya ia benar-benar ada.” Nagapasa mengumpat di dalam hati, namun di dalam relung hatinya yang terdalam ia mengeluh, “Gila benar orang ini. Siapakah sebenarnya dia?”
Kebo Kanigara pun berjuang terus. Ia
sadar bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa. Hantu Laut yang
memiliki kesaktian dan pengalaman yang mengerikan. Karena itu, Kebo
Kanigara pun cukup berhati-hati. Namun sedikit demi sedikit, akhirnya ia
berhasil mengetahui segi-segi kedahsyatan ilmu lawannya, tetapi juga
segi kelemahan-kelemahannya. Suatu hal yang tak dapat dilihat oleh orang
biasa. Kebo Kanigara memiliki daya pengamatan yang lebih tajam dari
manusia kebanyakan. Dengan demikian, apa yang selama ini tak diketahui
orang, dapatlah diketahuinya, dan apa yang tak dapat dikerjakan orang
lain, ia dapat melakukannya.
Pertempuran di lereng Gunung Merbabu
itupun menjadi semakin riuh. Percikan darah berhambur-hamburan membasahi
tanah pegunungan dan rumput-rumput liar. Kedua belah pihak berjuang
semakin gigih. Sebab tak ada pilihan lain, apabila seseorang telah
berada di tengah-tengah api peperangan.
Debu mengepul semakin tinggi di udara. Putih gelap, seperti kabut ampak-ampak di lereng-lereng bukit.
Ki Ageng Sora Dipayana masih bertempur
melawan Bugel Kaliki. Silih ungkih, singa lena. Desak-mendesak,
serang-menyerang silih berganti. Tetapi keduanya sadar, bahwa kesaktian
mereka benar-benar berimbang. Sekali-kali, baik Ki Ageng Sora Dipayana
maupun Bugel Kaliki, berusaha untuk menebarkan pandangannya ke
bagian-bagian pertempuran yang lain, seperti juga apa yang dilakukan
oleh Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, Titis Anganten dan Sura
Sarunggi. Sekali-kali mereka pun ingin mengetahui apa yang telah terjadi
di bagian-bagian yang lain. Dari celah-celah deru senjata, Ki Ageng
Sora Dipayana, yang bertempur seorang diri di antara laskar Banyubiru
dan Pamingit yang saling bertempur pula. Semula Ki Ageng Sora Dipayana
mencemaskan nasib Mahesa Jenar, tetapi kemudian ia menjadi heran. Mereka
telah cukup lama bertempur, namun agaknya Mahesa Jenar masih tetap
bertahan dengan gigihnya.
“Apakah yang telah terjadi dengan Angger Mahesa Jenar selama ini?” pikirnya. Dan tiba-tiba sesaat kemudian orang tua itupun terkejut pula. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Kebo Kanigara itu?”
Timbul pertanyaan pula di dalam hatinya. Bahkan ia menjadi semakin
heran ketika melihat, bahwa Kebo Kanigara dapat bertempur melawan
Nagapasa sebaik dirinya sendiri atau orang-orang seangkatannya. Bahkan
karena darah yang jauh lebih muda daripada darahnya dan orang-orang
seangkatannya, Kebo Kanigara tampak betapa tangkas dan perkasanya.
“Hem…” desisnya, “Siapakah sebenarnya orang itu?”
Ternyata di bagian lainpun terdengar Ki Ageng Pandan Alas berdesis, “Benar-benar Angger Kebo Kanigara sakti tiada taranya.” Di bagian lain lagi Titis Anganten bergumam, “Aneh. Belum pernah aku mengenalnya. Namun tiba-tiba ia telah mengejutkan kami.”
Bukan saja orang-orang Banyubiru dan
Pamingit yang keheran-heranan melihat keperkasaan Kebo Kanigara, namun
orang-orang dari golongan hitampun menjadi cemas melihat tandangnya.
Ketika orang-orang lain sedang sibuk
menilai dirinya, Kebo Kanigara sempat menyaksikan betapa Mahesa Jenar
berjuang di antara hidup dan mati. Tanpa sesadarnya merayaplah perasaan
bangga di dalam dirinya. Ia melihat benih subur tumbuh di dalam tubuh
Mahesa Jenar yang kemudian bahkan telah berkembang dengan rimbunnya. Ia
melihat Mahesa Jenar itu telah dapat menguasai ilmunya. Tidak saja
Mahesa Jenar itu telah dapat mensejajarkan diri dengan almarhum gurunya,
namun dalam penglihatan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar bahkan telah
melampauinya. Masa-masa pembajaan diri yang dahsyat telah menempa Mahesa
Jenar dan muridnya sedemikian dahsyat pula. Dan sekarang Mahesa Jenar
mencoba menerapkan ilmunya dalam suatu perjuangan yang menentukan.
Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo
Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak
muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan kejahatan.
Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu menyambar-nyambar seperti seribu
mata tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati panjang yang
berkilat-kilat ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah
tumbuh menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya,
dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo
sama sekali tak mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui
ilmunya dengan segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang
pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil
menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana seekor
kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman
serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor
banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil
merobek perut seekor harimau yang justru menyerangnya dengan garang.
Melihat pertempuran itu Kebo Kanigara
menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia
hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil
membunuh anak muda itu.
Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana
muridnya itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta
kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka bertempur
mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga
kebenaran akan memenangkan kemungkaran.
Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan
gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah
serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang memburunya
selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta
nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya.
Seakan-akan terdengar suara yang berputar di udara, “Lembu Sora, kau
harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan.
Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa
pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram. “Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.”
Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan,
terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia iapun
tersenyum. Katanya, “Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”
Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa
bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung
kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada
saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora.
Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia
harus dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun
bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak
laut yang buas. Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang
menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan
kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang gadis yang cantik
dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia
berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa
sebab. Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di
antara merekapun menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam
dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga, sedang
Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang
dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, Nagapasa.
Akhirnya mataharipun perlahan-lahan
melampau puncak langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat.
Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di
ujung-ujung senjata.
Setiap orang dalam pertempuran itu
berusaha untuk memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya.
Masing-masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun
tak seorangpun dari mereka yang dengan senang hati menyerahkan nyawanya.
Karena itulah maka pertempuran itu bertambah-tambah riuh dan ribut.
Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang
meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan
pedih yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali
tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan
senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk bermanja-manja.
Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas
hilanglah harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari.
Mereka akan terjatuh dan diinjak-injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin
oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada
saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan diri
dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat memapahnya dan
menyingkirkannya.
Sawung Sariti tak pula kalah garangnya.
Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula
penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo.
Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid Ki
Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang
yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang
hutan, datang membantunya dengan senjata-senjata yang mengerikan.
Bola-bola besi yang bertangkai.
Orang yang bertubuh bulat itu adalah
Bagolan. Bola besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di
antara kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung.
Namun, pedang Sawung Sariti seolah-olah
mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah,
terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung
Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas
Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang
berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti dapat
membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung
Sariti seperti juga pedang ayahnya, berukuran tidak wajar. Pedangnya
lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu
tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti
mampu mematahkan besi gligen.
Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran
itu menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga
bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-saat hidup
dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas.
Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-sama
dari arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti
lingkaran angin yang melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga
tak seujung jarumpun dapat ditembus oleh senjata lawannya.
Wulungan ternyata seorang jantan. Ia
bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan
pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun tidak
mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan
tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan
lincahnya, mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin.
Beberapa orang dari golongan hitam telah
mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka
memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai
lawan. Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan
diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh
kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan
penuh nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur
seperti seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun
seperti seekor serigala lapar.
Laskar golongan hitam yang bertempur
berhadapan dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika
mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka duga. Sri Gunting
dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar
Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja.
Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok
lawannya. Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu
benar-benar tangkas. Jaladri, yang mempimpin kelompok di bagian tengah
sapit kiri itu, dengan gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah
Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati.
Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang
Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa
pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia
mendapat kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.
Demikian juga Bantaran yang berada di
ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan
lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari
samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam
usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan
Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran
telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menyelamatkan dirinya.
Di bagian yang lebih padat, tampaklah
Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati
di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian.
Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun
karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan
Penjawi menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan
kuku-kukunya yang runcing tajam.
Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan.
Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang
Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu bertempur,
menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya seandainya mereka,
orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar Banyubiru
itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda
yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau
merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka.
Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong
Sanga itu adalah benar-benar pejuang yang mengabdikan diri pada
cita-citanya.
Matahari kian lama menjadi semakin
rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di wajah langit yang biru.
Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang
menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di udara.
Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya
darah yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu
sebelum anjing-anjing liar dan serigala-serigala lapar mendahuluinya.
Tetapi pertempuran itu masih ribut. Dan burung-burung itupun menjadi
semakin tidak sabar dan berteriak-teriak tinggi.
Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit
berhasil mendesak laskar golongan hitam, namun pergeseran garis
pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa
kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang
akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai
kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata.
Melihat semuanya itu Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya. Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya.
Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya
mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk sembilu.
Tiba-Tiba Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu
segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh
perasaan yang demikian itu, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat
sesuatu, atau mereka belum berhasil untuk berbuat sesuatu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan
sedih, korban-korban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang
memancar dari luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya,
namun lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan
segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana.
Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng
Pandan Alas dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat
tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin
baik bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan
mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan
benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap
lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap. Tiba-tiba saja di
tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau
belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat
senjata itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu
andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar,
atau kedua-duanya. Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya
mempunyai cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil
ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan
cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit Pandan Alas, adalah
suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya. Tetapi
Pandan Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika
pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan
tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris
yang tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara
keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah
laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam dari daerah sekitar
mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah-olah bagi mereka
sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.
Daerah pertempuran, yang berupa padang
rumput dan sawah-sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan
daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada
bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian memungkinkan
bagi mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya.
Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu
mempunyai gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau
mereka berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul
tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di
sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di
tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah
tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga sehingga tak seorangpun yang
berani mendekati.
Ketika matahari telah surut ke ufuk
barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam
tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali
perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan
berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia
sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua
minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan betahan terus, tetapi
laskarnya akan semakin surut.
Namun demikian, apa yang dilakukan adalah
batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha
untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu.
Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten.
Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah
hal yang agak berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung
membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat
Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum
kecil. Memang pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan
yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora
Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo
Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka pula, mencemaskan betapa
korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila
keseimbangan pertempuran tidak segera berubah. Karena itu, ketika senja
mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali lagi
dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan
dahsyatnya sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu
terbayanglah betapa keji perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan.
Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah
kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa puluh gadis
yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh?
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram.
Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil
suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan permulaan
yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar.
Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan. Sima Rodra itu mengaum
dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang
yang menggigil kedinginan. Mahesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan
yang demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa pada saat
itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan aji Sima Rodra
yang dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya kini
pun sudah tidak memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia
berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik,
memusatkan segenap pancaindra dan pikirannya. Diangkatnya satu kakinya,
satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain diangkatnya
tinggi-tinggi seperti akan menggapai langit. Demikianlah, pada saat
yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam, “Dengan
Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada
kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.” Pada
saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan
kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk
tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan
lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian dengan satu putaran
ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang telah melancarkan
kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa pula,
menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong
selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar
berputar lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau
yang telah menjadi gila itu.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 22
No comments:
Write comments