Kemudian kepada Wulungan ia berkata, “Memang.
Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman
Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar setiap saat. Nah,
sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora
Dipayana untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta mohon
restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa
menahan napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu keras.
Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan Wulungan,
pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada Srengga.
Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan dirinya.
Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang harus mempertegas
maksudnya.
Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka,
Wulungan tidak mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada orang
itu, timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya Salaka sejak kecil
menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka Wulungan menjadi
percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya
pada masa kecilnya.
Kebo
Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia mengambil tempat yang
cukup baik, menghadap ke arah pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung
melihat apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk
sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia
benar-benar tertarik melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin
bahwa Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang
membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang
bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan permainan tombak
yang manis dan cepat, Arya Salaka sama sekali tidak dapat ditembus oleh
serangan Sawung Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki
kekuatan yang mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya
setidak-tidaknya tidak melampaui kekuatan Arya.
“Apa yang pernah kau katakan kepadaku?” bertanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Suara rakyat itu semakin menggemuruh, seperti lebah berpindah sarang.
Sontani
merasa seolah-olah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tak
dikenalnya. Hitam dan kelam. Tetapi di titik yang sangat jauh tampaklah
cahaya yang terang menyorot langsung ke dalam jiwanya. Cahaya itu
semakin lama menjadi semakin tenang, bahkan kemudian ia menjadi silau
karenanya.
Bugel
Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram seperti
serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Demikianlah
akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain.
Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka
bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka
melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar. Aku
pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu
lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku
heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu. Melihat
perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi
seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun
demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu
berakhir.Kalau penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku binasa pula.
Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima kasih
kepadanya.
Karena itulah, maka ia menjadi lunak.
Permintaan Arya untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang
berlebih-lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang
berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu
Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak akan dapat berbuat sesuatu
kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon restu dan
menyampaikan bakti seorang cucu.
“Angger Arya Salaka…” jawab Wulungan, “Permintaan
Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah
keputusan yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima kehadiran
Angger.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
dan Wanamerta menarik nafas panjang mendengar keputusan Wulungan.
Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata, “Terimakasih Paman Wulungan.”
Tetapi ketika Wulungan memanggil
seseorang untuk menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.
Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara, “Agaknya kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”
Wulungan terkejut seperti juga Arya
Salaka, Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba
Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh
dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun dengan
mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.
Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.
Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya, “Apakah maksud Angger?”
“Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora,” katanya. “Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?”
Wulungan menarik nafas panjang, sebab
tiba-tiba nafasnya terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap Sawung
Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang sombong,
keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini berhati baja pula.
Namun ia merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang
kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah pimpinan laskar
pengawal pribadi Lembu Sora. Karena itu ia harus menjalankan
pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya, “Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki kota, apalagi halaman rumah ini.”
“Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya. “Apa yang akan Paman kerjakan?”
“Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak Sawung Sariti.
“Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan, namun ia meneruskan, “Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar ingin bertemu dengan kakeknya.”
“Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti.
Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda
itu. Ia biasa membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-kata
yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata, “Malahan
ayah Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang
dapat menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang
anak itu telah datang menyerahkan dirinya.”
Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu
baginya sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang
berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap seluruhnya.
Namun yang penting baginya, sikap yang demikian bukanlah sikap yang
jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk
menyampaikan sujudnya kepada kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat
kekuasaan lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan
tanggapannya itu. Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam
arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia sadar bahwa sikap
Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk menilai kembali setiap
perbuatan yang pernah dilakukan.
Sebagai orang yang jauh lebih tua,
Wulungan kadang-kadang merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu.
Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah putra
Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan
pangkat.
Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun, selain menundukkan kepala.
“Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung Sariti.
“Sekarang Angger ada di sini,” jawab Wulungan, “Aku menunggu perintah Angger.”
“Kalau aku tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.
Kembali Wulungan terdiam.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Wanamerta, yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut
tersinggung pula. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang tahu adat.
Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia berumur jauh
lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa sikap
Wulungan adalah bijaksana. Karena itu tiba-tiba timbullah keinginan
untuk menarik perhatian Sawung Sariti, katanya, “Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana.”
Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan. “Paman.
Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali. Meskipun
Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang
makan garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam
kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan
apapun.”
Wulungan masih menundukkan kepalanya.
“Kau dengar, Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.
“Ya, aku dengar,” jawab Wulungan.
“Nah. Laksanakan,” perintah Sawung Sariti.
Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya dengan tenang, “Angger, Angger telah mendengar perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini, dengan alasan apapun.”
“Alangkah liciknya anak muda itu,” pikir
Arya. Ia hanya berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang
hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba untuk sekali
lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya, “Adi, dapatkah Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin sekadar menghadap Eyang Sora Dipayana.”
Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan, “Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa.”
“Gila!” Arya Salaka berdesis. Ia
adalah anak muda pula. Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu
ia benar-benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, “Tak seorang pun yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri. Minggir kalian, atau aku harus membunuh kalian.”
Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah
di tangan kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang
berdiri di atas tanah.
Semua yang mendengar suara Arya Salaka
itupun terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya
dan tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya telah
siap menyerangnya. Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya
menyerbu, terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya. Dengan tenang gurunya
itu berkata, “Tahan dirimu Arya.”
Arya menarik nafas. Wajahnya telah
memerah darah, sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar
seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, “Apa yang dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku harus mengalami penghinaan itu?”
“Sawung Sariti…!” teriaknya, “Jangan berperisai orang setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus.”
Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya, “Turunlah. Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka.”
Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa Jenar tidak mencegahnya.
“Jangan Arya,” katanya, “Sawung Sariti bukanlah orang yang harus memberi keputusan terakhir.”
Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat
dari hidungnya. Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi
ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. “Minggir semua.
Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga daerahnya. Mampu
melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada orang lain.”
Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat. “Jangan
layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan teriakan-teriakan itu,
mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan
kesempatan kepadamu.”
Tubuh Arya telah benar-benar gemetar.
Tetapi ia masih mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun
ia terpaksa menggigit bibirnya.
Wulungan dan anak buahnya menyaksikan
peristiwa itu dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat
mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang dilihatnya
kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada tengadah. Ia
memandang Arya Salaka dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka
adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang
di atas punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan diri.
Sekali-kali terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api
kemarahan.
Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang, “Turunlah.
Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para penyamun
menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat melarikan diri?”
Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia
benar-benar lupa diri. Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya
dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di atas tanah
dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang bersamaan,
berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan panjang dalam
genggaman jari-jarinya yang kokoh.
Keadaan berkembang sedemikian cepatnya.
Ketika Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah
terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.
“Arya….” Terdengar Mahesa Jenar
memanggil. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan
garangnya ia meloncat langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang
berputar-putar seperti baling-baling. Arya Salaka pun dengan lincahnya
menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali melingkar dan sekali-kali
mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-kilau
memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai. Keduanya bertempur
dengan kemarahan yang menekan dada masing-masing.
Wulungan dan anak buahnya berdiri saja
seperti patung. Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti
bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki
Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya, Sawung
Sariti benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu
menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan lidi.
Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu. Menyambar seperti burung
elang, tetapi sekali-kali memagut seperti ular, disertai angin yang
berdesis mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu.
Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat
lawan Sawung Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip
seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya yang tajam.
Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya
sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti
menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan
dari mata tombak itu tampak melingkar-lingkar membingungkan.
Demikianlah kedua anak muda itu bertempur
dengan sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan dan
keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata
masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti dapat
bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti
terdapat biji-biji mata.
Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada
pertempuran itu. Ia menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk
menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Sedang Kebo
Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih sempat
melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri dengan mulut
ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun tangannya
telah meraba hulu pedangnya. Di halaman itupun ternyata para pengawal
telah siap dengan senjata masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung
Sariti untuk bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo
Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang dengan
kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas, apakah
tanggapannya terhadap perkelahian yang terjadi itu. Namun segera Kebo
Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora.
Ia melihat sepintas kepada Wanamerta.
Wanamerta pun kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak
buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka erat
tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka tersangkut
sebuah gendewa.
“Nyalakan obor,” perintah Wanamerta. “Obor
akan dapat menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan
gendewamu dan anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”
Kedua orang itupun segera mempersiapkan
alat-alat mereka. Yang seorang kemudian menyalakan obornya, yang seorang
lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan bumbung itu di ikat
pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.
Di halaman itu pertempuran semakin
bertambah sengit. Sawung Sariti yang bersenjata pedang, bertempur dengan
garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti gulungan sinar
putih yang mengerikan menyerang Arya Salaka dari segala arah. Namun di
antara sinar putih itu tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali
melingkar dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak panah
yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh lawannya.
Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat
pedang anaknya membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi
sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari tangannya. Tetapi
ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu yang terpental, tetapi
pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi. Bahkan
Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk memperbaiki pegangannya
atas pedangnya.
Karena itulah ia terpaksa melihat
perkelahian itu dengan menegang nafas. Perkelahian yang sengit antara
dua orang anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh
kemarahan yang memuncak. Demikianlah maka pada malam yang gelap itu,
berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api
yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka
masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing
telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa
penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan
lahir dan batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam
pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua
orang yang cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat
bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung
Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki Ageng
Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya.
Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa
ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan
main.
Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus
menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati
Lembu Sora yang berdiri di pendapa. Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh
perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka
adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia menjadi
kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar
dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa
berkisar pula ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan
perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar
obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya.
Perkelahian antara kedua anak muda itupun
memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin
cepat bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah
memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan membunuh lawannya
atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi semakin
tegang.
Tetapi ketika ketegangan telah memuncak,
muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar
mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia
berkata, “Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”
Suara itu mengumandang memenuhi halaman
rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah
kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka dengar.
Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil mengulangi
kata-katanya, “Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya
Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-masing,
namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga bagaimanapun
juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak mereka
menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat
kedua tangannya sambil berkata, “Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung
Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan
orang tua itu, selain berloncatan mundur.
“Bagus,” kata orang tua itu kemudian. “Kalian
berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu
yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa
darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti
bertempur sebagai seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat
menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa. Berbahagialah aku.
Berbahagialah aku.” Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia
mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.
Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan
kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah. Dengan seksama Arya
mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan
tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan
tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah
perang antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki
kakeknya serta mohon restu kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya
meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu,
sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di
hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.
“Eyang…” desisnya. Lalu suaranya
terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di
dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan
disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat
meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata
yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun
hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu
dengan mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada
anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu,
maka mata orang tua itu menjadi redup. Dibelainya kepala Arya Salaka
dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya
lengan anak itu dan ditariknya berdiri. “Berdirilah Arya,” katanya perlahan.
Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya.
Tetapi orang tua itu mengangkat wajah
Arya sambil berkata: “Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada
Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan
seperti kalian berdua.”
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada
kata kata yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya
menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum
pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora
Dipayana memandang berkeliling halaman.
“Kakang Wanamerta,” gumamnya. Wanamerta
mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah
tanah perdikan ini puluhan tahun.
Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil berkata: “Sokurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”
Wanamerta menggeleng, “bukan aku,” jawabnya, ”tetapi tuan berdua ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya: “tuan
ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid
dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya
bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku
Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi,
maka aku yakin bahwa anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: “Sekedar untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata: “Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk naik.
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki
Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung
Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi
segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.
Wulungan serta anak buahnyapun menjadi
seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan
suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda itu,
telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.
“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,” berbisik Wulungan kepada anak buahnya. “Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula, “tetapi
maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut
cerita yang aku dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar
biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu
bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti
itu?.”
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.
Di pendapa, Sora Dwipayana segera
mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang
putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama
yang telah lama berpisah darinya. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa
rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya
kepada kakeknya.
Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata: “Tubuhmu
mekar seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat,
betapa keras derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau
menjadi batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang
bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang bagaimanapun
kencangnya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi
terharu kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh
dan ditanyakan kepadanya; “apakah kau terjatuh, sayang.”
Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang
mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri
serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat
menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya,
untk sesuatu keperluan di belakang.
Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar
merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian,
ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam
hati muridnya.
“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “aku
telah mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari.
Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu
kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aku
menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang
sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya.”
Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku
tahu Angger. Memang Arya Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia
terpaksa turun dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu.
Sebagai anak muda yang pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin
darah orang tua-tua ini.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, “Jadi Ki Ageng melihat sejak awal kejadian itu?”
“Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku
melihat sejak semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku
membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah keinginanku untuk
mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama
anak itu meninggalkan aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas
yang berat, yang mungkin harus dihadapi dengan tenaganya.”
“Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.
“Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku lihat.” Ki Ageng Dipayana meneruskan, “Seperti
pernah aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku
harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan
terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak
mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu
mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat kami cintai ini. Dengan
sekuat tenaga aku telah berhasil memisahkannya dari antara mereka, dari
pergaulan yang menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan
malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin belum
memenuhi tuntutan hatiku.
Sayang bahwa selama itu, aku tidak
sempat menemukan Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk
mencari cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang
daerah ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun
segera kembali sebelum berhasil. Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku
pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya, tetapi
kemudian lenyap kembali.”
“Mangsa kasanga tahun lampau?”
Mahesa Jenar mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo
Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa pembajaan yang
mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang
Tumaritis, di bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di
Padepokan Panembahan Ismaya.
“Aku terlalu tergesa-gesa...” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan, “Karena
aku tidak sampai hati meninggalkan Banyubiru seperti kataku tadi.
Apalagi pada saat-saat terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu
keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih
selamat.”
Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu sambungnya, “Tetapi
aku belum tahu, apakah yang telah didapat anak itu selama perjalanannya
di bawah asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu
yang sama sekali membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi anak
muda yang luar biasa.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia
berbangga bukan karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia berbangga
karena eyangnya merasa bangga kepadanya.
Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata, “Semuanya
adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang mengalir di
dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah sekadar memberinya
petunjuk-petunjuk.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk
sambil tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan kagum dan
heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar dugaannya pula. Kalau
ia dapat menjadikan Arya Salaka sedemikian mengagumkan, bagaimanakah
dengan Mahesa Jenar itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa
Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam
tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah dicapainya
selama ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan,
sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal dunia.
“Ki Ageng…” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata. “Barangkali Ki Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena
itu kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng.
Bukankah maksud kami telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang
pertama?”
“Ya,” jawab Ki Ageng. “Aku sudah mengetahuinya. Dan aku menjadi berdebar-debar karenanya.”
“Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar. “Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”
“Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula. “Namun
apakah yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba
perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”
“Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam, atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”
“Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar. “Bukankah
golongan hitam telah mulai bertindak sendiri? Bahkan mereka telah
mencoba untuk memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten yang mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Tetapi
Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak Lembu Sora
terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru dengan para bangsawan
yang tidak puas atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada golongan
yang merasa dirinya disingkirkan oleh Sultan?”
“Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.
“Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa Jenar pula dengan cemas.
Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya berkerut. “Untunglah…” jawabnya, “Belum terlalu jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”
Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam.
Persoalan ini menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya Arya
Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang mungkin akan
meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan
Trenggana masih memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan
dapat dibatasi. Tetapi bagaimanakah kemudian…?
Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar
sekarang adalah persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah
berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka menunggu
sampai tengah malam atau sampai mereka melihat tanda panah api naik ke
udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.
“Ki Ageng…” kata Mahesa Jenar, “Laskar Arya Salaka telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah malam.”
Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana
berkerut-kerut. Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat
yang sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
“Berilah aku waktu sampai besok,” jawabnya.
“Sayang, Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Kalau tengah malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”
Orang tua itu menarik nafas panjang.
Tetapi ia belum menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan
Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu menghadapi
persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang dapat
dilakukannya?
“Angger…” Tiba-tiba orang tua itu berkata, “Marilah kita usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar besok pagi.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab.
Baginya sendiri, usaha ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau
mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana?
“Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini.” Orang tua itu meneruskan, “Dan
aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja
dibakar oleh kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai lawannya.” Ia berhenti sejenak. “Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke pasukanmu.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya, “Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu menunggumu sampai besok.”
“Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan kakeknya.
Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati
mendengar pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan dirinya,
sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia mengharap
laskarnya akan mentaatinya.
“Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora Dipayana.
Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Tidakkah laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”
“Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda sampai lusa,” jawab orang tua itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, “Arya, kau dapat memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan perjalanannya.”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah
kembali harapannya untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa
pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata, “Kalau kau sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”
Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari
kakeknya ia mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya
perintahnya, singkat namun jelas. “Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku
akan berada di antara kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan
perintah ini ke sayap pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”
Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya
yang semula membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki Ageng Sora
Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka. Dengan nada
seorang ayah ia berkata, “Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk
mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan membawa
pesan dari kemenakanmu itu.”
Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang. “Apakah pesan itu?” terdengarlah ia bertanya.
Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia
minta Arya menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora
dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin menolak permintaan ayahnya
itu, namun tiba-tiba mendapat pikiran lain.
“Apakah maksud penundaan itu?” Ia mencoba menegaskan.
“Aku minta kepadanya,” jawab ayahnya. “Sebab ada yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya Salaka.”
“Tak ada yang dapat dibicarakan,” potong Lembu Sora.
“Ada,” sahut ayahnya singkat.
“Tidak ada persoalan,” ulang Lembu Sora.
“Ada!” kembali ayahnya menyahut.
Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam
hati. Adakah ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya? Ia tidak
akan pedulikan itu. Ia mempunyai pasukan yang cukup banyak. Meskipun
seandainya di dalam laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang sakti,
namun jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta mengambil
peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar Arya Salaka, tidak ada
seorang pun yang harus disegani. Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang
datang bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang sama sekali tidak
menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang yang pernah
mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia melindungi Bantaran. Namun,
Lembu Sora tidak cemas menghadapinya.
Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak
berkenan di hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah
memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-orangnya. Karena itu,
waktu yang sehari, yang diperlukan oleh ayahnya itu akan
menguntungkannya pula. Malam nanti ia dapat memerintahkan orangnya
kembali ke Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar cadangan dan
laskar remaja. Dengan demikian ia mengharap bahwa ia akan berhasil
memusnahkan Arya Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia
berkata, “Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang perlu untuk
membiarkan laskar yang berkeliaran di perbatasan itu memperpanjang
umurnya dengan sehari lagi.”
Arya Salaka tersinggung benar mendengar
kata-kata pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa Jenar
menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah katapun yang
terucapkan. Mahesa Jenar pun sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa
atas kata-kata Lembu Sora itu.
“Nah,” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Berilah aku dua orang itu.”
Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman. Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.
Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan berdiri di bawah tangga pendapa. “Ada perintah Ki Ageng?” ia bertanya
“Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini kembali ke induk pasukannya,” perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya, “Dua orang sampai perbatasan, lewat penjagaan terakhir.”
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak
perlu tahu, apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah memanggil
dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua orang laskar Arya Salaka,
melampaui penjagaan terdepan, supaya mereka berdua tidak mendapat
gangguan apapun.
———-oOo———-
II
Sepeninggal kedua orang yang bertugas
untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud untuk
mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora
Dipayana berkata dengan tertawa, “Jangan kita berbicara mengenai
persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena aku telah
menemukan kembali cucuku yang hilang.” Kepada Lembu Sora ia berkata, “Lembu
Sora, marilah kita lupakan sejenak. Untuk malam ini saja
pertentangan-pertentangan yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok
atau lusa, harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku akan
meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku akan mengenang
peristiwa malam ini. Makan bersama-sama dengan anak-cucuku, serta
tamu-tamuku yang baik hati.”
Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan
ayahnya itu. Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga makan
bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, bersama-sama dengan
tamu-tamu yang sama sekali tak dikehendaki kehadirannya, dengan Arya
Salaka, Sawung Sariti dan Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan
mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan makanan serta segala
lauk pauknya di atas tikar pandan yang bersih.
Tetapi demikian kaki Arya melampaui
tlundak pintu, demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia
beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu pula
kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu melihat ayah bundanya
duduk bersama-sama, kalau malam turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba
saja ia teringat pada ibunya. Kenapa baru sekarang? Agaknya semula
hatinya terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti, sehingga ia
tidak ingat lagi kepada kepentingan-kepentingan lain.
Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi
gemetar. Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti, barangkali
dari sanalah ibunya akan keluar untuk menjumpainya. Tetapi sampai ia
duduk di atas tikar pandan menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga
nampak. Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun akhirnya
keluar juga pertanyaan kepada kakeknya, “Eyang, adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui ibuku?”
Ki Ageng Sora Dipayana tersentak
mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam dengan
wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu, Arya Salaka terkejut
pula. Karena itu ia mendesak, “Eyang, apakah Ibu selamat?”
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya, Arya, Ibumu selamat.”
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya kembali, “Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku sekarang. Atau akulah yang harus menghadap?”
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu.”
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Maka ketika Lembu Sora tidak segera menjawab, Arya mendesak lagi, “Di mana Ibu, Paman?”
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah Arya Salaka. “Ayah.
Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa mBakyu Gajah Sora perlu mendapat
perlindungan dan ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai
Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar memberinya ketenteraman
dan ketenangan.”
Sekali lagi Arya merasa tersinggung.
Agaknya pamannya benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun
demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih selamat, meskipun
tidak segera dapat ditemuinya. Namun dengan demikian, ia masih mempunyai
harapan bahwa pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke
Banyubiru. Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia berkata: “Eyang,
betapa rindukupada bunda. Namun kali ini kerinduanku terpakisa masih
aku simpan didalam dada. Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya.
“Mudah-mudahan Arya,” jawab eyangnya singkat. Yang kemudian disambungnya dengan cepat,” tapi jangan lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama. Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal kelak.”
Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng
Soradipayana mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik
sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah darurat. Dimana
setiap saat peperangan dapat berkobar. Meskipun demikian, orang tua itu
makan dengan lahapnya seolah olah benar-benar untuk yang terakhir
kalinya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha untuk
makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka telah makan
kenyang-kenyang. Hanya Arya Salaka yang agaknya tidak dapat menekan
perasaannya, sehingga setiap kali ia menelan, setiap kali ia merasakan
detak jantungnya semakin cepat.
“Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu Sora,” ayahnya memuji.
Lembu Sora sama sekali tidak menaruh
minat pada pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan yang
sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak memujinya.
“Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi,” orang tua itu meneruskan. “Makan
bersama anak cucu. Alangkah nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini
dapat aku alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat makan
bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku dan kedua cucuku.”
Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka orang tua itu meneruskan, “ memang agak berbedalah hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di udara luas. Tetapi
aku kira ada juga perasaan yang serupa dengan perasaanku ini. Apalagi
perasaan orang orang tua. Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat
menikmati hidup mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin
selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu mereka dan cucu
cucu mereka. Mereka akan mengutuk setiap usaha memisahkan mereka itu.
Mereka akan bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai.
Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak cucunya bertengkar
satu sama lain. Sebab dalam pertengkaran itu, orang orang tualah yang
pasti akan kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang menang.”
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa
betapa keras dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia
menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh. Meskipun demikian ia
tak berkata sepatah katapun.
Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa disusul dengan kata katanya:” Alangkah
pendeknya hidup bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus
meninggalkan dunia ini. Tetapi bagi naka muda, hidup ini akan
dihadapinya dengan penuh gairah.”
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan sikap yang angkuh ia meneruskan: “bagi
orang orang tua, sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi
dengan demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan, bahwa anak
anak muda harus berusaha untuk mencapai suatu masa yang cemerlang.
Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil mengangguk angguk, ia menyahut: “Sawung
Sariti benar, seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita
mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh kehangatan
jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya dengan suatu tanggung jawab yang
masak pula. Kepada diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita
sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab
tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka pencapaian
cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan di jalan Allah. Di jalan
yang telah dibatasi oleh hukum hukumnya.”
Kembali ruang itu direnggut oleh
kesepian. Tak seorang pun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah
mulut-mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh tangan-tangan
mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat merasakan lagi, betapa asinnya
garam, dan betapa manisnya gula.
Sawung Sariti tidak senang mendengar
kata-kata kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya telah
melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan kejujuran dan kebenaran.
Namun ia tidak menyesal bahwa ayahnya telah melakukannya. Meskipun
Sawung Sariti merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan
hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal-hal yang serupa,
sebagaimana pernah dilakukan oleh golongan hitam.
Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak
berkata-kata lagi. Ia merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk
menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa kemungkinan masih ada.
Tetapi yang tidak dapat dibacanya adalah ukiran di dinding hati anak
serta cucunya. Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang
menentang arus harus disingkirkan.
Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Tamu-tamuku
yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan
tenang. Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi. Bukankah
begitu Lembu Sora?”
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dengan sengaja.
“Bagus…” kata orang tua itu pula. “Sebelum kau lupa Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan bergerak sampai besok.”
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk pula.
“Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Di sana,” jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok wetan dengan dagunya.
Sikap itu memang sama sekali tidak
menyenangkan, namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya
Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka sama sekali tidak
memberikan kesan apapun atas kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih
mereka kepada Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan persoalan
antara kedua cabang aliran darahnya.
“Silahkan Angger.” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan. “Aku mengharap Angger berdua dan cucu Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun berkesan di hati orang-orang tua seperti aku.”
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu
jawaban. Ia berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya segera
mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu
Sora datang mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian
dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta rombongannya akan
beristirahat.
“Silahkan Angger.” Ki Ageng mempersilahkan kembali. “Sedemikian adanya. Besok
aku akan mengajak Lembu Sora bertemu dengan kalian. Apapun yang akan
kita putuskan bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui,
kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa Lembu Sora dan anaknya
tak dapat aku kuasai lagi dengan baik.”
“Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar, “Apalagi darah.”
“Mudah-mudahan.” Orang tua itu
bergumam. Kemudian setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali
lagi, Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok wetan.
Tidak banyak yang mereka percakapkan.
Mereka akan mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka
percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan terjadi sesuatu
malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora
memerintahkan kepada laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan
mereka. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk
menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik, namun yang dipersiapkan
adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah
diperintahkannya pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam,
laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota Banyubiru,
langsung menempatkan diri di garis pertahanan. Sebab menilik persiapan
laskar Arya Salaka, mereka akan memasuki kota dalam tiga gelar, lewat
sebelah timur, barat, dan induk pasukan akan menusuk dari utara. Karena
itu, Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga gelar
penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-kelompok kecil yang harus
mengacaukan gelar sayap-sayap pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan
cadangan ini akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut perhitungan
Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah laskar yang sama sekali tak
teratur, dan tak memiliki daya tempur yang baik. Menurut penilaiannya,
laskar itu semula hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan
Penjawi. Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada
laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap kekuatannya?
Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain. Daripada ia harus mengulangi
untuk kedua atau ketiga kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah
laskar Arya Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta dan
kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa
di dalam laskar Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan
pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala bertenaga raksasa
dari Karang Pandan di kaki gunung Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi
itu jauh sebelum mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading.
Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya Salaka, orang-orang
seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu
sebenarnya merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah
yang mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran. Karena itulah maka
ia sudah dapat membayangkan bahwa apabila terjadi peperangan antara
kedua cabang aliran darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah
dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur seperti gunung
berapi yang kokoh kuat, namun pecah karena kekuatan yang terkandung di
dalam perutnya sendiri.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari
balik bukit, Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan
Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil di sebalahnya.
Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi hiruk pikuk di halaman.
Karena itulah maka sebelum mereka sempat
berpakaian dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding gandok,
untuk dapat mendengar apakah yang telah menyebabkan keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora keras: “adakah kau sudah sampai di Pamingit?”
“Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi Sardu ini,” jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan memegangi kendali kudanya.
“Sardu,” teriak Ki Ageng Lembu Sora.
“Ya Ki Ageng,” jawab yang disebut Sardu dengan cemas. Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali kudanya.
“Benarkah laporan itu?,”
“Benar, Ki Ageng”
Dari celah celah daun pintu gandok,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat
bahwa wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya berdiri Sawung
Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng
Soradipanaya dengan wajah suram.
“Aku sudah menduga,” teriak Ki Ageng Lembu Sora, kemudian kepada ayahnya ia berkata: “ bukankah apa yang aku katakan itu benar benar terjadi?”
“Bukankah ini permainan kotor?,” sahut Lembu Sora. “Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang memuakkan dari orang gila.”
Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk
angguk. Agaknya ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada
anaknya. Karena itu ia berkata: “Jangan tergesa-gesa Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain,” ayahnya menyoba untuk menyabarkannya.
“Tak akan salah lagi,” bantah Lembu Sora.
”Jangan tergesa-gesa Lembu Sora” ayahnya mencoba untuk menyabarkannya.
“Wulungan!!!,” tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak keras.
Dari regol halaman, Wulungan datang
berlari lari. Pedang yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai
hampir menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk menahan
pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya.
“Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini,” teriak Lembu Sora.
“Baik Ki Ageng,” jawab Wulungan.
Ketika kemudian Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah
hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya Salaka.
“Apakah yang sudah terjadi?,” pikir mereka. Tetapi melihat Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu gandok itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Kebo Kanigara. Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera menyambar tongkatnya yang tersandar didinding. “Apakah yang akan mereka lakukan?,” bisiknya.
“Entahlah,” jawab gurunya.
“Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?” tanya Arya.
“Tapi panah Sendaren masih ada,” kata Mahesa, “bukankah demikian paman Wanamerta?”
“Ya,” jawab Wanamerta, “panah itu masih ada padaku”.
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia berkata: “Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk anda.”
Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar pintu. “Adakah sesuatu yag penting sekali paman?”
“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Wulungan “Baiklah kami segera akan datang,” jawab Arya
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya kemudian masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari luar pintu: “marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-gesa.”
Arya segera keluar kembali dengan tombak
di tangannya. Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut
bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren tetapi juga panah
berujung tajam. Sedang ditangan kanannya tergenggam busur yang besar,
dengan bola besi sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan
terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul yang
berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya diperintahkan untuk mendahului
membawa perintah Arya, busur itu dimintanya.
Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-masing menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan Pengging, Mahesa dan Kanigara.
Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah
mudahan orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah sendaren
tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga dengan demikian mereka akan
dapat melangsungkan setiap berita yang disampaikan apabila terjadi
sesuatu.
Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak; “Aku tidak mengharap kau naik!”
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu
kasar. Tapi ia ingin tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap
demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma suatu cara
memancingnya kedalam suatu pertengkaran. Karena itu iapun berhenti pula.
Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala nyala. Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak; “Aku kira kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga. Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan sekarang?”
Arya menjadi bingung, ia menjawab; “aku tidak tahu maksud paman.”
Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke lantai; “kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk memukul Pamingit.”
Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti
suara petir yang meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju selangkah.
“Apa yang Paman katakan?” Arya ingin penjelasan.
“Sudah kau dengar,” jawab Lembu Sora.
“Bohong,” bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas. Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu.
“Tak ada yang akan memaksa kau
mengakui perbuatan curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari,
bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu ternyata
hanya suatu cara untuk memancing laskar Pamingit,” sahut Lembu Sora keras.
“Tidak benar.” Arya menjadi gemetar, karena marahnya. Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di kerongkongan.
“Katakan kepadaku,” sambung Lembu Sora, “Apa
sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin, sejak kemarin
dulu atau sejak seminggu yang lalu? Apa hubungan kalian dengan
kedatangan orang-orang dari Nusakambangan beberapa minggu lampau,
kemudian menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari? Apa…?
Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian benar-benar telah
bekerja bersama dengan mereka. Kalau tidak, mereka tidak akan secara
kebetulan menduduki Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua
kalinya pagi tadi.”
“Bohong!” sekali lagi suara Arya
yang bergetar terhenti di kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu,
sebagaimana yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai berbantah.
Karena itu dengan tenang ia melangkah maju untuk mewakili muridnya
berkata, “Ki Ageng Lembu Sora, jangan menuduh kami seperti menuduh
pencuri. Kami bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri
sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga diri, bekerja bersama
dengan golongan hitam. Golongan yang akan terkutuk sampai seribu
keturunan.”
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak.
Tertawa untuk melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi.
Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata keras-keras, “Berkatalah
kepadanya. Berkatalah bahwa kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun
orang itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang-orang golongan
hitam menduduki Pamingit. Membakari rumah-rumah dan segala isinya. Orang
itu mendengar dengan telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa
orang-orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya kalian
mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah dihancurkan oleh Arya
Salaka dan Mahesa Jenar. Apa katamu?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
seekor kuda yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan
menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya sedang
berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia berkata di dalam hatinya, “Gila. Orang-orang golongan hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini.” Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, “Kau
terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang golongan
hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di dalam kekeruhan, adalah
mungkin sekali. Karena itulah maka aku selalu menganjurkan kepada Arya
Salaka, untuk menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam itu
mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa untuk memagari kota ini
dengan pasukannya.”
“Kau sama sekali tidak bermaksud
menyelesaikan masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi
keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika kau merasa
tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau meleburkan dirimu ke dalam
tubuh golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia masih mencoba menahannya. Katanya, “Kami adalah orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus dimusnahkan.”
Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk
melepaskan kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali bukan tertawa
karena ia menjadi gembira. Katanya meledak seperti guruh, “Mahesa
Jenar. Sejak semula aku sudah curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora
aku sudah pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini, kenapa
demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak lenyapnya Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten dari Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat
mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang dari mereka. Salah
seorang dari golongan hitam.”
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak
mendengar tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia
melangkah selangkah maju.
Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun
menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa Jenar
telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke arah wajah Ki Ageng
Lembu Sora, “Ki Ageng Lembu Sora. Kau jangan mengada-ada. Siapakah
yang pernah berhubungan dengan golongan hitam untuk meniadakan Kakang
Gajah Sora. Siapakah yang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
dengan Sima Rodra Muda atas tanah Pangrantunan? Dan siapakah yang telah
mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat pasukan dari Demak, pada saat
Gajah Sora sedang berusaha untuk memecahkan perselisihan yang ada antara
Banyubiru dengan Demak? Siapakah yang dengan senang hati menghadiri
pertemuan golongan hitam di lembah Rawa Pening? Siapa? Mahesa Jenar kah
itu…?”
“Diam…!” bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus, sambungnya, “Kau takut melihat kenyataan itu.”
“Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,” teriak Lembu Sora, “Dengan ocehanmu itu kau ingin mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini.”
“Huh,” Mahesa Jenar menyahut, “Katakan
kepadaku Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra Muda?
Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang telah kehilangan sifat
manusianya? Kau tidak pernah melihat cara mereka bergembira. Sayang.
Barangkali kau akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka
adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang Uling dari Rawa
Pening? Bukan kau? Bukan Ki Ageng Lembu Sora yang sekarang berdiri
dengan gagahnya di pendapa Banyubiru?”
Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat.
Ia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar
yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang pernah mendengar kabar,
bahwa Sima Rodra suami-istri dan sepasang Uling Rawa Pening telah
terbunuh. Namun kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam.
Apalagi kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening
seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi ragu atas
kebenaran berita itu. Dalam keragu-raguan ia mendengar Mahesa Jenar
meneruskan, “Ketahuilah Lembu Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima
Rodra Muda. Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya. Kalau
kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih dan Uling Kuning?
Nah, lihatlah anak yang berdiri di hadapanmu itu. Kemenakanmu sendiri.”
Yang mendengar kata-kata itu menjadi
terkejut. Lembu Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar
Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa Pening? Tetapi
mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Arya
Salaka lah yang pada masa orang-orang golongan hitam mabuk mencari
keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka
menelan Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga sangat
membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil ke depan melawan mereka.
Itukah yang kau tuduh sekarang ini tertelan oleh golongan itu?”
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara
Mahesa Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu kemudian ia
berteriak keras-keras, “Cukup. Cukup…! Kebohongan yang teratur
memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-peristiwa
itu benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau kelabuhi.
Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat semua yang telah
terjadi, dan aku mendengarnya pula. Sekarang aku tidak akan banyak
bicara. Kesempatan yang baik bagiku untuk menumpas kalian di sini
sekarang juga. Baru aku akan tenang kembali ke Pamingit untuk
memusnahkan orang-orang dari golongan hitam itu.”
Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak perlu
memberi keyakinan kepada Lembu Sora bahwa ia sama sekali tidak
mengadakan hubungan apapun dengan golongan hitam. Ia tidak perlu
mengabarkan bahwa yang terakhir ia bertempur mati-matian melawan
Pasingsingan. Sebab apapun yang dikatakan, tidak akan mempengaruhi
maksud Lembu Sora untuk memusnahkan mereka. Karena itu yang dapat
dilakukan adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang akan terjadi.
———-oOo———-
III
Dalam pada itu tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana melangkah maju. Agaknya ia dapat mengambil kesimpulan dari
pertengkaran antara anaknya dengan Mahesa Jenar. Maka katanya kemudian, “Lembu
Sora. Jangan kehilangan pegangan. Yang penting sekarang adalah
menyelamatkan tanahmu, Pamingit. Kalau kau buang waktu dan tenagamu di
sini, maka aku kira keadaan tanahmu dan dirimu sendiri akan menjadi
semakin parah.”
“Apakah yang dapat dilakukan oleh empat orang itu, Ayah…?” bantah Lembu Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana menyahut, “Empat
orang ini adalah orang-orang yang dapat kau lihat berdiri di sini Lembu
Sora. Tetapi di belakang mereka berdiri satu pasukan yang kuat di
perbatasan kota.”
“Pasukan itu tak akan berarti bagiku,” jawab Lembu Sora dengan sombongnya.
“Berarti atau tidak berarti, namun
itu telah mengurangi waktumu dan tenaga laskarmu. Kau lihat apa yang
tersimpan di dalam bumbung Wanamerta itu? Panah sendaren, yang dapat
menggerakkan laskar mereka dari jarak yang jauh. Dan kau dengan apa yang
dikatakan Angger Mahesa Jenar? Arya Salaka telah mampu membunuh
sepasang Uling dari Rawa Pening. Karena itu kau akan dapat
mengira-irakan, apakah yang dapat dilakukan oleh Angger Mahesa Jenar.”
“Aku tidak peduli,” potong Lembu Sora.
“Kau harus pedulikan itu,” sahut ayahnya. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana tidak sempat meneruskan ketika di luar regol terdengar suara ribut.
“Apakah itu?” tanya Lembu Sora keras-keras. “Laskar diperbatasan mulai bergerak?”
Seseorang berlari-lari datang kepadanya. Dengan hormatnya ia berkata, “Bukan Ki Ageng. Sama sekali bukan laskar dari perbatasan. Tetapi mereka adalah rakyat Banyubiru.”
“Apa yang mereka lakukan? Adakah mereka sudah gila?” bentak Lembu Sora.
“Tidak Ki Ageng,” jawab orang itu. “Mereka mencoba untuk memasuki halaman.”
“Kenapa?” Lembu Sora membentak-bentak.
“Mereka ingin melihat Arya Salaka,” jawabnya.
“Gila. Mereka telah benar-benar gila. Kenapa kau bilang tidak?” Lembu Sora menjadi semakin marah. Persoalan itu menambah kepalanya menjadi pening. “Bunuh mereka yang memaksa.”
“Jangan Lembu Sora,” ayahnya menyabarkan. “Kau
jangan menambah lawan. Rakyat Banyubiru adalah sebagian darimu selama
kau masih berdiri di sini. Karena itu dengarlah suaranya. Selama ini tak
pernah mengerti apa yang tersimpan di dalam hatinya. Kau paksa mereka
berkata seperti apa yang kau katakan.
Sekarang kau benar-benar di dalam
kesulitan. Biarlah aku menempatkan dirimu pada tempat yang seharusnya.
Pergilah ke Pamingit dan hancurkan golongan hitam yang telah menodai
kedaulatanmu.” Kemudian kepada Arya Salaka, kakeknya itu berkata, “Arya,
aku minta kepadamu, tundalah persoalanmu. Sebab setiap pertengkaran di
antara kita hanya akan memberi kesempatan kepada golongan hitam untuk
melumpuhkan kita. Kau mau?”
Arya ragu sejenak. Tiba-tiba ia
dihadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Hampir-hampir ia tidak dapat
lagi meredakan kemarahannya, seandainya bukan kakeknya yang bertanya
kepadanya. Karena itu, berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang
lebih jauh, Arya merasa tidak berkeberatan. Meskipun demikian ia
memandang juga kepada gurunya. Ketika gurunya mengangguk, Arya pun
menjawab, “Aku akan bersedia dengan sepenuh hati, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk gembira. Sambil tersenyum ia berkata, “Bagus. Aku memang sudah menduga bahwa hatimu bersih sebersih hati ayahmu.”
Kembali Lembu Sora menjadi sakit hati mendengar pujian itu. Dengan lantangnya ia berkata, “Ayah
terlalu memberi hati kepadanya. Biarlah ia tahu bahwa ia sama sekali
tak cukup bernilai untuk mempersoalkan kedudukan Kakang Gajah Sora.”
“Eyang…” sahut Arya yang hampir kehilangan kesabarannya kembali, “Biarlah paman memilih.”
“Jangan, jangan….” potong Sora
Dipayana cemas. Suaranya terputus oleh keributan yang semakin
menjadi-jadi di luar regol. Terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu
berteriak-teriak, “Berilah kami jalan. Biarlah kami melihat Arya Salaka.”
Para penjaga menjadi semakin sibuk.
Mereka merapatkan diri dengan senjata terhunus untuk menahan arus rakyat
yang sedemikian lama semakin banyak.
“Dari mana mereka tahu, bahwa Arya Salaka ada di sini?” tanya Sora Dipayana kepada salah seorang pengawal.
“Entah Ki Ageng,” jawabnya.
“Lembu Sora.” Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada anaknya, “Kesetiaan
mereka kepada kampung halamannya harus kau perhitungkan pula. Mereka
dapat menjadi lunak, namun dapat menjadi liar melampaui serigala.”
Lembu Sora terdiam. Ia menjadi
benar-benar ngeri menghadapi keadaan. Golongan hitam dengan ganasnya
telah melanda Pamingit. Sekarang rakyat Banyubiru seperti orang mabuk
berbondong-bondong datang untuk melihat Arya Salaka.
“Arya…” kata Ki Ageng Sora Dipayana, “Hanya
kau yang mampu menenangkan mereka. Pergilah kepada mereka, dan
berjanjilah bahwa kau akan menunda persoalan sampai pamanmu dengan
orang-orang golongan hitam itu selesai.”
Kembali Arya ragu. Namun sekali lagi ia melihat gurunya menganggukkan kepalanya. Maka Arya pun menjawab,”Baiklah Eyang.”
“Aku percaya kepadamu.” Kakeknya berkata seterusnya. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Apalagi
kepada Angger Mahesa Jenar sebagai penerus perguruan Pengging yang
terkenal. Aku percaya kepada Angger seperti aku percaya kepada setiap
kata yang diucapkan oleh Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Mahesa Jenar sadar, bahwa kata-kata itu
sama sekali bukanlah pujian, tapi baginya, Ki Ageng Sora Dipayana
menyatakan permintaannya yang sedalam-dalamnya, supaya ia dapat
mengendalikan Arya Salaka. Namun demikian ia menjawab, “Mudah-mudahan aku dapat menjunjung kepercayaan itu.”
Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata, “Kau
dapat pergi dengan tenang Lembu Sora. Anggaplah bahwa di Banyubiru
sekarang tidak ada persoalan apapun. Dengan demikian kau dapat
mencurahkan segenap perhatianmu kepada tanahmu.”
Lembu Sora masih ragu. Baginya sebenarnya
akan sama saja akibatnya. Dalam keadaan payah, ia masih harus
menghadapi lawan lain. Tetapi akhirnya ia benar-benar mengharap, agar
Arya menunda tuntutannya sampai ia dapat menyegarkan laskarnya kembali.
Ketika di luar suara rakyat Banyubiru
seolah-olah hendak membelah langit, maka sekali lagi Ki Ageng Sora
Dipayana berkata kepada Arya, “Arya, tenangkan mereka. Syukurlah
kalau mereka mau kau minta pulang ke rumah masing-masing, supaya tidak
menambah beban pembicaraan kita di sini. Sementara itu biarlah pamanmu
dan adikmu Sawung Sariti mempersiapkan keberangkatannya.”
Arya membungkuk hormat. Kemudian ia melangkah ke regol halaman diikuti oleh Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Demikian ia sampai di depan regol, terdengarlah suara rakyat Banyubiru itu. “Itukah Arya Salaka? Itukah…?” Kemudian suara itu menjadi semakin riuh. Akhirnya meledaklah suara mereka, “Arya Salaka…! Arya Salaka….!”
Kemudian Arya berdiri di atas sebuah
dingklik kayu. Mula-mula yang menyentuh perasaannya adalah keharuan yang
mendalam. Untuk sesaat ia tak dapat berkata sepatah katapun.
Seolah-olah lidahnya menjadi beku. Baru kemudian ia berkata, “Berbahagialah aku, karena kesempatan yang aku peroleh, berhadapan muka dengan rakyat Banyubiru yang setia.”
Arya Salaka mengangkat tangannya. Suara
itupun menjadi semakin berkurang, dan akhirnya hilang sama sekali. Para
pengawal masih saja berdiri rapat dengan ujung senjata yang rapat pula.
“Aku datang kembali ke Banyubiru, karena rinduku kepada kampung halaman dan kepada kalian,” sambung Arya Salaka. Suaranya terputus oleh tepuk tangan gemuruh. “Tetapi…” sambung Arya Salaka, “Maafkanlah bahwa aku belum mempunyai banyak waktu untuk menyambut kalian dengan tanggapan yang lebih baik. Karena
itu aku janjikan, lain kali aku akan menerima kalian, seluruh rakyat
Banyubiru di alun-alun ini. Sekarang, setelah terpenuhi permintaan
kalian, berhadapan muka dengan aku, aku harap kalian sudi meninggalkan
tempat ini, kembali ke tempat kalian masing-masing.”
Rakyat Banyubiru menjadi kecewa. Mereka
ingin mendengar kabar, apakah yang telah terjadi di dalam lingkaran
dinding rumah itu. Mereka ingin mendengar, apakah Ki Ageng Lembu Sora
masih akan tetap menguasai Banyubiru. Namun sekali lagi Arya minta
mereka untuk bubar, dengan janji secepat-cepatnya ia akan memberikan
kabar itu kepada rakyat Banyubiru. Sehingga dengan demikian, meskipun
hati mereka belum lapang seperti harapan mereka, namun setidak- tidaknya
mereka telah bertemu dengan anak muda yang mereka rindukan. Yang telah
mereka dengar kehadirannya dari Ira, yang sengaja menyebar kabar
kedatangan Arya Salaka.
Ketika rakyat yang berjejalan itu telah
surut, dan semakin lama semakin hilang, maka siaplah Lembu Sora beserta
putranya Sawung Sariti. Beberapa orang berkuda telah disebar untuk
menarik pasukan Pamingit dari perbatasan. Penarikan itu disambut dengan
berbagai pertanyaan di dalam hati.
Mula-mula, mereka yang menyandang senjata
karena gemerincingnya uang, merasa berbahagia sekali ketika mereka
mendengar bahwa pasukan itu ditarik dari garis pertempuran. Sebab mereka
memang sama sekali tidak mengharapkan darah mereka menetes, menyiram
tanah yang tak memberikan harapan apa-apa bagi mereka. Dengan demikian
mereka mengharap untuk dapat segera bertemu dengan anak istrinya atau
dengan kekasihnya, atau dengan orang tua mereka yang telah pikun dan
meletakkan harapan mereka kepada anak-anaknya. Tetapi ketika mereka
mendengar kabar, bahwa mereka harus berhadapan dengan golongan hitam
lebih dahulu, mereka menjadi kecewa. Bagi mereka, orang-orang golongan
hitam pasti akan jauh lebih buas dan biadab daripada orang-orang
Banyubiru. Tetapi ketika mereka teringat anak-istri mereka, sawah dan
ladang dimana mereka meletakkan harapan mereka untuk memberi anak-anak
mereka makan, maka tiba-tiba timbullah semangat mereka. Terasalah
perbedaan tanggapan, bahwa mereka akan lebih ikhlas berkorban apabila
mereka mempertahankan sawah ladang mereka, daripada mereka harus
merampas sawah ladang orang lain.
Di Alun-alun Banyubiru mereka berkumpul. Di hadapan mereka Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Rakyat
Pamingit yang berani…. Kenanglah masa-masa orang tuamu dahulu menempa
tanah ini menjadi daerah perdikan seperti yang kalian miliki ini. Karena
itu pertahankan tanah itu. Rakyat Pamingit, bagian dari tanah perdikan
yang semula bernama Pangrantunan, pasti akan tetap berdarah jantan.
Orang-orang golongan hitam bukanlah hantu yang harus kita takuti, tetapi
mereka adalah setan-setan yang harus kita musnahkan. Masa depan tanah
kalian berada di dalam genggaman kalian.”
Orang yang semula ragu-ragu hatinya, kini
menjadi teguh. Kalau ada di antara orang-orang laskar Pamingit itu
orang Pangrantunan, maka merekapun masih teringat, beberapa tahun yang
lampau, beberapa orang bawahan Sima Rodra selalu datang menarik tanda
panungkul kepada mereka. Mereka tak dapat berbuat sesuatu, sebab tanah
itu telah digadaikan oleh Lembu Sora. Tetapi sejak dua orang Lembu Sora
terbunuh, berbedalah keadaannya. Apalagi kemudian terjadi perubahan
perhubungan antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, apalagi
sepeninggal Sima Rodra muda suami-istri, sehingga gadai tanah itu
dicabut. Kini mereka harus berhadapan dengan golongan hitam itu. Bekal
dendam yang ada di dalam dada mereka telah menyalakan semangat mereka
untuk menumpas golongan hitam itu habis-habisan, meskipun ada di antara
laskar Pamingit itu yang pernah mengalami suatu masa, dimana mereka
harus bekerja bersama dengan laskar hitam itu.
Ketika matahari telah memanjat semakin
tinggi di kaki langit, terdengarlah bunyi sangkalala. Seperti air
mengalir laskar Pamingit itu bergerak, meninggalkan Alun-alun Banyubiru
kembali ke kampung halaman, untuk mempertahankan tanah mereka dari
terkaman orang-orang yang tergabung di dalam suatu lingkaran hitam yang
berhati kelam.
Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti,
dengan kuda masing-masing, berjalan di ujung pasukannya. Di belakangnya
berjalan dengan tekad yang bulat, pemimpin pengawal kepala daerah
perdikan itu, Wulungan. Seterusnya beberapa orang pilihan, yang
tergabung dalam laskar pengawal itu. Barulah kemudian berbaris membujur
ke belakang, kelompok-kelompok laskar Pamingit.
Sebenarnya Lembu Sora pun mempunyai
beberapa orang pilihan yang dapat membantunya, menghadapi tokoh-tokoh
hitam. Selain Wulungan, di dalam laskar Pamingit itu terdapat
orang-orang yang setingkat Galunggung, Welat Ireng, Pakuwon, Sampir, dan
beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi laskar
Pamingit itu, memimpin mereka dan mengolah mereka, disamping Lembu Sora
dan Sawung Sariti sendiri. Kepada merekalah Lembu Sora meletakkan
harapannya atas laskarnya.
Namun demikian, di sepanjang perjalanan
itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti selalu dikejar-kejar
oleh berbagai persoalan. Selain perasaan marah yang membakar dadanya,
melontar pula kecemasan di hatinya. Siapa sajakah yang turut serta di
dalam laskar yang menduduki Pamingit itu? Yang sudah jelas baginya,
adalah Joko Soka dari Nusakambangan. Betapa bencinya ia kepada bajak
laut yang gila itu. Kalau saja tak ada gerombolan lain yang membantunya,
maka ia yakin bahwa Jaka Soka bukanlah beban yang terlalu berat
baginya. Ia yakin bahwa jumlah laskarnya akan terlampau besar untuk
menghadapi Ular Laut itu. Tetapi adakah gurunya ikut serta. Nama
Nagapasa adalah nama yang cukup menggetarkan. Meskipun nama itu telah
lama tenggelam, namun setiap orang tahu, bahwa Jaka Soka adalah murid
dari bajak tua yang terkenal dengan nama ilmunya yang mengerikan,
Nagapasa. Apalagi kalau golongan hitam yang lain ikut serta mengambil
bagian dalam penyerbuan itu, maka pekerjaannya akan menjadi berat
sekali. Di dalam laskarnya tak seorangpun yang akan dapat berhadapan
seorang lawan seorang dengan Nagapasa itu. Kalau benar orang itu ada, ia
sendiri harus menghadapinya dengan bantuan sepuluh atau duapuluh orang
bersama-sama. Bahkan mungkin ia memerlukan lebih dari limapuluh orang,
sedang yang separonya pasti akan binasa. Bahkan mungkin dirinya pun akan
binasa.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba
terasa betapa kecil kekuatan Lembu Sora kini. Kalau saja kakaknya, Gajah
Sora, ada. Kalau saja ayahnya ada di antara laskarnya. Kalau saja Arya
Salaka….
“Tidak!” Tiba-tiba terdengar suara Lembu Sora tersentak.
Sawung Sariti terkejut. Ia menoleh kepada ayahnya. “Apa yang ayah maksud?”
Lembu Sora menggeleng. “Tak apa-apa.”
Meskipun jawaban itu sama sekali tidak
memuaskannya, namun ia tidak bertanya lagi. Ia sendiri sedang sibuk
berangan-angan. Apakah yang kira-kira akan dilakukan nanti. Sekali-kali
ia menoleh kepada laskarnya yang mengalir tak putus-putusnya. Dengan
tersenyum ia berkata dalam hatinya, “Betapa kuatnya orang perorang
dari golongan hitam, namun dengan ditimbuni mayat laskar Pamingit yang
tak terhitung jumlahnya, mereka pasti akan ngeri juga.” Memang, bagi Sawung Sariti jumlah korban dari laskarnya bukanlah soal. Meskipun demikian ia berpikir juga. “Tetapi kalau terlalu banyak laskar ini akan berkurang nanti, dengan apa aku harus melawan Arya Salaka?”
Ia pun menjadi bimbang. Sawung Sariti sadar bahwa ia harus bertempur,
sebab ia tahu benar bahwa orang hitam itu tak akan diajak berbaik hati.
Ia sadar bahwa kalau selama ini mereka berdiam diri, bahkan dalam
berbagai hal mereka membantunya, itu karena mereka mempunyai beberapa
persamaan kepentingan.
Tetapi kemudian timbul pula angan-angannya, “Ah, jumlah laskar anak itu, tak akan seberapa kuat.”
Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri,
meskipun setiap kali ia ingat kepada nama-nama Jaka Soka, Lawa Ijo,
apalagi Nagapasa, mungkin juga Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel
Kaliki, hatinya berdesir. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikan
perasaannya. Dan sekali lagi ia mencoba untuk membanggakan jumlah
laskarnya.
“Satu seratus,” bisiknya di dalam hati. “Laskarku pasti masih akan mempunyai banyak kelebihan.”
Dengan demikian Sawung Sariti menjadi
sedikit tenang. Sekali-kali ia menatap langit yang biru. Sehelai-helai
awan yang putih mengalir ke utara, seperti kapuk dihanyutkan angin.
Putih dan bersih. Tiba-tiba di balik awan yang bersih itu terbayang
wajah Arya Salaka. Alangkah cekatan tangannya memainkan tombaknya.
Disampingnya terbayang wajah yang meskipun memancarkan kesejukan
hatinya, namun suatu ketika wajah itu cepat menyala melampui nyala api.
Mahesa Jenar. Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh seorang yang
berwajah angker yang selalu berada bersama-sama dengan Mahesa Jenar?
Orang itu ternyata pernah menggemparkan laskarnya, ketika ia melindungi
Bantaran di tanah lapang, tempat orang-orang Banyubiru menyelenggarakan
tayub. Lalu terkenanglah ia kepada Wanamerta yang tua. Yang pada masa
kecilnya, pernah membelai kepalanya, mendukungnya di punggung dan
memberinya buah-buahan yang segar. Ketika awan yang putih itu telah
menjalar semakin jauh, muncullah segumpal awan yang lain. Tiba-tiba
tampaklah seolah-olah memandangnya dengan segan seorang wanita, yang
dikenalnya bernama Rara Wilis. Wanita inipun bukan wanita kebanyakan
yang berlari seperti kijang apabila ia mendengar dentang senjata. Bahkan
wanita ini pernah diketahuinya, bertempur di antara laskar Gedangan
melawan laskarnya. Yang muncul kemudian adalah wajah yang manis dari
seorang gadis lincah. Endang Widuri. Ia melihat gadis ini pertama-tama
di Karang Tumaritis. Tetapi kemudian di Gedangan, gadis ini dilihatnya
pula sepintas. Namun, dalam pertemuan yang sebentar itu, tertanamlah
suatu perhatian yang aneh kepadanya. Adakah gadis ini ikut serta di
dalam laskar Arya Salaka? Agaknya gadis inipun mampu mempermainkan
senjata.
Ketika angin yang kencang bertiup dari
pegunungan, awan yang putih itu pecah berserakan, seperti hati Sawung
Sariti yang pecah pula. Nama-nama itu, Arya Salaka, Mahesa Jenar, Putut
Karang Jati, Wanamerta, Rara Wilis dan Endang Widuri itupun pada suatu
saat akan berdiri berhadapan untuk dilawannya. Apakah pekerjaan ini
lebih ringan daripada melawan orang-orang golongan hitam?
“Satu seratus.” Kembali Sawung Sariti berdesis di dalam hatinya. “Tetapi bagaimana dengan rakyat Banyubiru?” Suara hatinya membantah sendiri, “Mereka agaknya masih tetap menunggu kedatangan Arya Salaka. Dan merekapun pasti tak akan dapat diabaikan.”
“Persetan!” Tiba-tiba hati Sariti mengumpat. “Semua
harus aku musnahkan. Baik golongan hitam maupun Arya Salaka. Pamingit
dan Banyubiru harus jatuh ke tanganku. Kemudian akan aku kuasai Kedu
Bagelan. Ke utara sampai ke Bergoto. Apalagi kalau Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten telah berada di tanganku.”
Sawung Sariti tersenyum sendiri. “Eyang
akan tahu nanti, bahwa cucunya akan mampu menggulung dunia.” Suara itu
mengumandang di dalam otaknya, dibarengi oleh mengumandangnya derap
langkah laskarnya.
Di Banyubiru, sepeninggal laskar anaknya,
Ki Ageng Sora Dipayana berdiri terpaku memandang debu yang mengepul
dibelakang laskar itu. Meskipun ia masih tegak di alun-alun, namun
hatinya serasa pergi bersama-sama dengan pasukan yang akan menghadapi
pekerjaan yang cukup berat. Melawan laskar golongan hitam. Setelah ekor
dari iring-iringan telah lenyap di balik tukungan, barulah ia beranjak
dari tempatnya, dan sambil menoleh kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Aku mengharap, bahwa peristiwa ini akan dapat mendorong anak itu menyadari keadaannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Marilah Angger…” ajak Ki Ageng Sora Dipayana, “Kita kembali ke pendapa.”
“Aku sudah menduga bahwa golongan hitam akan mengambil kesempatan ini,” kata Mahesa Jenar ketika mereka telah duduk kembali di pendapa Banyubiru.
“Bagaimana Angger dapat mengetahuinya?” tanya Sora Dipayana, meskipun sebenarnya untuk menduga hal itu tidaklah sulit.
“Bahkan aku hampir pasti,” jawab Mahesa Jenar, “Karena itu aku berusaha sedapat mungkin untuk menunda pertempuran.”
Mahesa Jenar berhenti sejenak sambil memandangi wajah Arya. Tetapi anak
itu menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Namun
darah yang mengalir di dalam tubuh anak-anak muda memang masih terlalu
panas. Bahkan darah di dalam tubuhku inipun rasa-rasanya masih terlalu
sering mendidih.”
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Kebo Kanigara pun tersenyum pula.
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan, apa
yang selama ini dialaminya di sekitar Candi Gedong Sanga. Kehadiran
gerombolan Lawa Ijo dan seorang berkuda yang meninggalkan tempatnya
menghilang di balik cakrawala ketika orang itu melihat laskar Arya
Salaka mendekati Banyubiru, kemarin.
“Golongan hitam pasti mengira bahwa
pagi ini pertempuran sudah berkobar di Banyubiru antara laskar Kakang
Lembu Sora melawan laskar Arya Salaka.” Mahesa Jenar mengakhiri keterangannya.
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Untunglah bahwa pertempuran di Banyubiru tertunda.”
“Tuhan Yang Maha Adil telah melaksanakan rencananya. Menyelamatkan rakyat Banyubiru dan Pamingit dari kekuasaan golongan hitam,” desis Mahesa Jenar. “Andaikata
pertempuran telah berkobar pagi ini, maka kedua laskar Pamingit dan
Banyubiru akan sama-sama hancur. Pamingit hari ini telah jatuh ke tangan
golongan hitam, lalu besok atau lusa Banyubiru inipun akan mereka telan
habis.”
Arya masih berdiam diri. Namun kini
membayang kembalilah di dalam pelupuk matanya, bagaimana gurunya
berusaha mati-matian untuk menunda pertentangan yang mungkin terjadi
antara laskarnya dengan laskar pamannya.
Arya kini dapat menyadari sepenuhnya,
bahaya apakah yang akan menimpa Pamingit dan Banyubiru apabila ia
benar-benar terlibat dalam pertempuran dengan pamannya. Di dalam hati
Arya berkali-kali mengucap syukur, serta berkali-kali ia menyebut
kebesaran nama Tuhan yang telah menunda pertempuran itu.
Dalam pada itu terasalah pada Arya Salaka
beserta rombongannya, betapa Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah.
Agaknya ia benar-benar tidak sampai hati melepaskan Ki Ageng Lembu Sora
dan Sawung Sariti pergi. Sebab iapun tahu bahwa golongan hitam itu
mempunyai orang-orang yang tak akan dapat dilawan oleh anaknya, meskipun
ia telah berusaha untuk menempa anak serta cucunya siang dan malam.
Hal ini ternyata kemudian ketika orang tua itu akhirnya berkata, “Arya
Salaka. Meskipun kau telah berjanji untuk menunda persoalanmu sampai
waktu yang tak ditentukan, tetapi aku minta kepadamu untuk mengawasi
Banyubiru. Sebab siapa tahu, ada orang-orang yang akan mengambil
kesempatan, mempergunakan kekosongan Banyubiru untuk memuaskan keinginan
diri. Merampas dan merampok. Jagalah keamanan Banyubiru atas nama
pamanmu Lembu Sora, sampai ada penjelasan yang mudah-mudahan tak perlu
mempergunakan kekerasan.”
Bagaimanapun juga, terasa dada Arya
berdesir ketika ia harus menjaga keamanan Banyubiru, tetapi atas nama
pamannya. Meskipun demikian ia benar-benar tidak mau mengecewakan
kakeknya. Karena itu ia menjawab, “Baiklah Eyang. Aku akan menjaga
Banyubiru sebaik-baiknya. Tidak hanya atas nama Paman Lembu Sora, tetapi
atas nama ayah Gajah Sora.”
Mahesa Jenar menarik nafas, sedang Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. “Baiklah…”
katanya, “Jagalah keselamatannya. Aku terpaksa meninggalkan kalian.
Bawalah sebagian dari laskarmu ke dalam kota, supaya kota ini tidak akan
menjadi kota yang kosong, kota yang sama sekali tak berkekuatan
senjata. Siapa tahu, kalau ada hal-hal yang gawat. Sebab golongan hitam
itupun mempunyai otak-otak yang cukup berbahaya.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya, “Akupun
akan segera kembali ke tengah-tengah laskarku sebelum tengah hari. Aku
akan menyerahkan sebagaian mereka. Tetapi biarlah Paman Wanamerta untuk
sementara memimpin daerah ini. Aku akan tetap berada di antara anak
buahku.”
Ki Ageng Sora Dipayana
mengangguk-anggukan kepalanya. Ia benar-benar menjadi kagum kepada Arya,
yang telah meluluhkan diri dengan laskarnya, sebagai ciri seorang
pemimpin yang merasa dirinya satu dengan anak buahnya. Sedang Wanamerta
menjadi terkejut karenanya. Katanya, “Apakah yang harus aku lakukan? Bukankah Cucu Arya Salaka telah berada di sini?”
“Aku akan menepati kata-kataku,” jawab Arya. “Biarlah
aku melepaskan persoalan ini sampai Paman Lembu Sora selesai. Namun
demikian aku juga berjanji bahwa aku akan menyelenggarakan keamanannya
sampai paman selesai.”
“Cucu tidak perlu menarik garis pemisah antara yang memerintah dan yang menyelenggarakan keamanannya,” Sahut Wanamerta, “Sebab seorang kepala daerah perdikan harus memegang kedua-duanya “
“Tetapi aku bukan kepala daerah perdikan, Eyang,” jawab Arya Salaka.
“Baiklah Wanamerta,” potong Sora
Dipayana. Ia tahu benar perasaan apakah yang bergolak di dalam dada
anak itu. Arya Salaka agaknya benar-benar segan untuk mewakili pamannya,
sehingga baginya lebih baik untuk menyerahkannya saja kepada orang
lain. “Kau pun berhak untuk berlaku sebagai wakil Lembu Sora Wanamerta.” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan. “Hanya untuk beberapa saat. Aku kemudian akan datang kembali. Mencoba menyelesaikan masalah tanah ini.”
Kemudian, setelah pembicaraan itu
selesai, minta diri kepada Ki Ageng Sora Dipayana untuk menyusul anaknya
ke Pamingit. Mungkin tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menemui
tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua. Sementara itu Arya Salaka segera
akan kembali pula ke tengah-tengah laskarnya. Katanya, “Eyang
Wanamerta, biarlah eyang tinggal di sini. Aku akan datang kemudian
dengan membawa beberapa orang yang akan membantu Paman di sini.”
Wanamerta tidak dapat berkata lain, kecuali mengiyakan.
———-oOo———-
IV
Maka sesaat kemudian berangkatlah Ki
Ageng Sora Dipayana, menyusul laskar Pamingit, berkuda seorang diri.
Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia segera dapat mengetahui,
apa yang harus dilakukan. Sedang Arya Salaka pun kemudian bersama-sama
dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, juga meninggalkan kota dengan
kuda masing-masing. Hanya Wanamerta lah yang terpaksa ditinggalkan
seorang diri di pendapa Banyubiru dengan dua tiga orang pengawal yang
tak berarti, orang-orang Banyubiru yang selama ini ikut serta di dalam
barisan Lembu Sora. Tetapi mereka sama sekali belum pandai memegang
tangkai pedang.
Ketika kemudian Wanamerta tinggal sendiri di pendapa itu, dipanggilnya salah seorang dari para pengawal itu, katanya, “Kemarilah. Aku ingin mendapat keterangan dari kau.”
Orang itu menjadi ketakutan. Sebenarnya
nyawa mereka serasa telah lepas sejak pasukan Pamingit meninggalkan
Banyubiru. Mereka merasa seperti cacing yang dilepaskan di tengah-tengah
abu hangat. Mereka menjadi takut, bahwa orang-orang Banyubiru akan
balas dendam kepada mereka. Tetapi agaknya wajah Wanamerta sama sekali
tidak menakutkan. Karena itu salah seorang darinya datang mendekat
dengan sangat hormatnya. “Ada perintah, Kiai…?” ia bertanya.
“Kemarilah, duduklah,” kata Wanamerta.
Orang itu ragu sebentar. Namun ia akhirnya naik, dan duduk di depan Wanamerta.
“Berapa orang kalian?” tanya Wanamerta.
“Tiga orang di regol Kiai, di ujung alun-alun tiga orang di setiap jalan masuk,” jawabnya.
“Siapakah pemimpinmu?” Wanamerta bertanya pula.
“Kerta Pitu,” jawab orang itu.
Wanamerta mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jalankan pekerjaanmu baik-baik, tetaplah waspada. Laporkan yang perlu kepadaku.”
Orang itu mengangguk hormat. “Baik Kiai,” jawabnya.
“Nah, kembalilah,” kata Wanamerta selanjutnya.
Orang itu pun segera kembali ke
tempatnya. Seorang yang lain telah disuruh oleh Wanamerta memanggil
Kerta Pitu untuk diberinya beberapa keterangan. Kerta Pitu harus
menempatkan di setiap gardu penjagaan seorang berkuda yang harus menjadi
penghubung setiap ada persoalan-persoalan penting. Meskipun sebenarnya
Wanamerta terlalu cemas, karena kira-kira limapuluh pengawal yang belum
mampu untuk bertempur itu bagi Banyubiru adalah kekuatan yang sama
sekali tak berarti. Beberapa orang yang telah cukup kuat, ternyata
dibawa di dalam laskar Lembu Sora untuk memperkuat laskar Pamingit.
Meski demikian Wanamerta menjadi sedikit tenang ketika diingatnya bahwa
di perbatasan berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka yang
selalu akan menolongnya apabila bahaya datang. Malahan Arya Salaka telah
menyanggupkan diri untuk membawa beberapa orang laskarnya ke dalam kota
dan menjaga keselamatan tanah ini dari segala yang mungkin akan
mengancam. Tetapi ia harus menunggu sampai laskar itu datang. Mungkin
malam nanti, mungkin besok pagi. Ia mengharap dalam waktu yang singkat
tidak akan terjadi sesuatu.
Ketika Wanamerta telah selesai memberikan
beberapa petunjuk, serta Kerta Pitu telah meninggalkan pendapa itu
untuk melaksanakan, Wanamerta pun masuk ke dalam rumah kepala daerah
perdikan Banyubiru itu. Beberapa orang pelayan, yang berada di dalam
rumah itu sejak masa Ki Ageng Gajah Sora, masih berada di rumah itu
pula, sedang beberapa orang lain adalah orang-orang baru. Namun
demikian, apa yang dilihatnya kini, adalah jauh berbeda dari kira-kira
lima-enam tahun yang lalu. Dulu ia berada di dalam rumah itu seperti di
dalam rumahnya sendiri. Bahkan ia telah mengenal dengan baik hampir
segenap sudut-sudutnya. Dulu, ketika Nyai Ageng Gajah Sora masih ada,
tampaklah rumah ini bersih dan terawat rapi. Tetapi kini rumah itu
menjadi seakan-akan tak berpenghuni. Tampaklah sarang labah-labah
bergayutan di langit-langit, di setiap sudut dan bahkan hampir di setiap
lekuk-lekuk dindingnya. Hitam-hitam langes dari lampu-lampu minyak,
membekas mengotori dinding dan tiang-tiangnya.
Melihat perubahan itu Wanamerta menekan
dadanya. Keadaan rumah ini benar-benar menggambarkan keadaan seluruh
tanah perdikan Banyubiru. Kotor dan tak terawat. Tetapi ia tidak
mempunyai wewenang untuk berbuat lebih jauh. Ia tidak berhak
mengumpulkan para bahu, kepala-kepala dukuh dan para pamong desa
lainnya. Ia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengadakan
peraturan-peraturan baru atau perubahan-perubahan apapun. Sebab ia hanya
berada di rumah itu untuk sementara. Mungkin sangat singkat. Seandainya
malam nanti Ki Ageng Lembu Sora telah selesai dengan pekerjaannya,
besok mereka pasti akan datang kembali. Mungkin dengan pasukan, dan
mungkin harus bertempur melawan orang itu. Karena itu, yang dapat
dilakukan adalah membiarkan segala sesuatu berjalan seperti biasa. Ia
hanya dapat memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam batas-batas
tertentu. Meskipun demikian, seandainya Lembu Sora memerlukan waktu
yang lama dalam perlawannya atas orang- orang hitam itu, iapun bermaksud
untuk berbuat lebih banyak lagi.
Ketika hari semakin siang, dan terik
matahari seperti membakar rumput di alun- alun, Wanamerta bermaksud
untuk beristirahat. Tetapi baru saja ia meletakkan tubuhnya di bale-bale
bambu di pringgitan rumah itu, terdengarlah seorang pengawal naik ke
pendapa, sambil berdiri di depan pringgitan ia berkata, “Kiai, seseorang ingin bertemu dengan Kiai.”
“Siapa?” tanya Wanamerta sambil bangkit.
“Sontani,” jawab orang itu.
“Sontani…?” ulang Wanamerta, “Apakah keperluannya?”
“Ya, Sontani. Aku tak tahu apa yang akan disampaikan kepada Kiai. Ia ingin berbicara langsung,” jawab pengawal itu.
Wanamerta berpikir sejenak. Apakah yang
akan dilakukan? Barangkali ia akan membalas dendam sakit hatinya, ketika
ia terpaksa menelan keadaan yang pahit di tanah lapang.
“Sendiri..?” tanya Wanamerta pula.
“Tidak Kiai,” jawab orang itu, “Dengan anak-istrinya.”
“He…?” Wanamerta terkejut. “Dengan anak-istrinya?”
Orang itu mengangguk. “Ya.”
“Baiklah, aku datang,” kata
Wanamerta kemudian. Namun demikian ia masih ragu. Apakah maksud
kedatangan orang itu. Kalau saja ia bermaksud jahat, tak akan ia membawa
anak-istrinya. Meskipun demikian, iapun tidak boleh kehilangan
kewaspadaan. Tetapi Sontani bukanlah orang yang harus ditakuti.
Ketika Wanamerta muncul di pintu,
dilihatnya Sontani benar-benar dengan istri dan seorang anaknya duduk di
pendapa. Demikian Sontani melihat Wanamerta, segera ia berlari
terbongkok-bongkok dan langsung bertiarap di kaki orang tua itu, sambil
berkata meratap, “Kiai, ampunilah segala dosa-dosaku. Aku merasa
bahwa aku telah bersalah terhadap Kiai, terhadap Banyubiru dan terhadap
Anakmas Arya Salaka. Tetapi semuanya itu adalah karena terpaksa. Aku
sebenarnya sama sekali tak ingin untuk sesuatu kedudukan apapun. Dan
sekarang aku menyerahkan kembali semua jabatan yang pernah aku terima
dari Lembu Sora, orang yang terkutuk itu. Orang yang telah merampas
ketentraman hidup keluargaku. Sebab bagiku, segala jabatan itu tak akan
berarti, selama aku tidak dapat menunjukkan kesetiaanku kepada kampung
halaman ini. Biarlah Ki Bakung kembali kepada jabatannya, Bahu Lemah
Abang. Dengan demikian Lemah Abang akan menjadi tentram kembali setelah
Lembu Sora mengacaunya. Biarlah orang terkutuk itu disambar petir, atau
mati dicincang oleh orang-orang dari Gunung Tidar atau Rawa Pening, atau
….” Suara Sontani terputus oleh kata-kata Wanamerta, “Jangan salahkan Lembu Sora, Sontani. Dan jangan kau umpati orang itu, sebab Lembu Sora adalah paman Arya Salaka. Putra Ki Ageng Sora Dipayana yang kita hormati.”
Sontani terkejut seperti disengat
kelabang. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di depan Wanamerta yang
masih berdiri dipintu. Ia tidak tahu kenapa Wanamerta tidak mau mengutuk
Lembu Sora. Bukankah Lembu Sora telah mengkhianati Banyubiru? Karena
itu tiba-tiba keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.
Sontani menjadi bingung. Bagaimanakah
tanggapan yang sebenarnya dari Wanamerta terhadap Lembu Sora? Ketika
untuk beberapa saat Wanamerta masih berdiam diri, berkatalah Sontani
dengan suara gemetar. “Kiai, kenapa Kiai tidak mengutuk Lembu Sora yang telah memecah belah rakyat Banyubiru?”
“Lembu Sora telah berjuang untuk
suatu cita-cita. Dihadapinya segala akibat dari perjuangannya. Ia tidak
takut mati karena cita-citanya itu. Meskipun jalan yang ditempuhnya
tidak benar, malahan bertentangan dengan keadilan, namun ia dapat
dihormati karena keberaniannya,” jawab Wanamerta. Kemudian ia melanjutkan, “Sedang
ada orang lain yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari
perjuangan Lembu Sora itu. Ia bersujud di bawah kakinya selagi
kesempatan memungkinkan. Tetapi kalau keadaan menjadi suram, maka ia
akan mencoba untuk menghindar, meloncat untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan baru. Seperti seekor bunglon yang dapat berwarna hitam kalau ia
berada di cabang yang hitam, dan berwarna hijau kalau ia hinggap di atas
daun-daun yang segar.”
Sontani benar-benar menjadi gemetar.
Sekali dua kali ia menoleh kepada istri dan anaknya, yang memandangi
dengan cemas. Tetapi Sontani masih belum berputus asa. Ketika Wanamerta
masih tegak berdiri, dan memandang ke arah cahaya terik matahari yang
berserak-serak dihalaman, maka tiba-tiba Sontani berkata, “Kiai,
entahlah apa yang dibawa oleh istriku. Barangkali Kiai akan dapat
menerimanya dengan senang hati, sebagai persembahan seorang kawula yang
setia mengabdi diri kepada Kiai.”
Wanamerta tidak sempat menjawab. Sontani
dengan terbongkok-bongkok bangkit dan melangkah turun dari pendapa.
Ketika ia naik lagi, di tangannya telah tersangkut sebuah bungkusan yang
besar.
“Kiai…” katanya setelah ia berjongkok kembali di hadapan Wanamerta, “Terimalah tanda kesetiaanku ini.”
Wanamerta memandang Sontani dengan
pandangan yang kosong. Ia bersedih hati, ketika ia melihat kenyataan
bahwa di Banyubiru ada seseorang yang berjiwa seperti orang yang
berjongkok dihadapannya itu. Ia lebih hormat kepada Lembu Sora, kepada
Sawung Sariti, yang dengan gigih bekerja keras untuk mencapai tempat
yang setinggi-tingginya buat dirinya sendiri, meskipun berdosalah mereka
yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan dan kesenangan diri.
Wanamerta masih belum berkata apapun
ketika Sontani membuka bungkusan itu dengan penuh harapan. Kalau
Wanamerta berkenan dihatinya, ia pasti dapat mempengaruhi Arya Salaka.
Mungkin ia tidak akan mendapat sesuatu hukuman, bahkan mungkin ia akan
tetap berada pada kedudukan yang sekarang, Bahu di Lemah Abang.
Ketika bungkusan itu telah terbuka,
Wanamerta melihat beberapa potong kain lurik didalamnya. Bahkan ia
melihat sehelai sutera yang bagus dan mahal. Ia melihat sebuah pendok
keris dari emas, dan beberapa benda-benda lain yang berharga.
“Kiai”, Sontani meminta, “adalah suatu karunia yang tiada taranya kalau Kiai sudi menerima barang-barang yang sama sekali tak berarti ini.”
Hati Wanamerta menjadi bertambah suram. Dan kesuraman hatinya itu terbayang di wajahnya.
Sekali lagi ia memandang bungkusan itu.
Ketika berkilat cahaya intan dibalik lipatan kain-kain itu, hatinya
berdesir. Agaknya Sontani membawa pula timang tretes intan berlian.
“Alangkah banyaknya barang-barang yang kau bawa Sontani”, berkata Wanamerta.
Sontani menjadi bergembira mendengar perhatian itu. Apakah artinya barang- barang itu dibanding dengan nyawanya?
“Tidak seberapa Kiai. Aku bukanlah orang yang cukup kaya untuk mempersembahkan barang-barang yang cukup bernilai”, jawab Sontani. Harapannya tiba-tiba menjadi tumbuh.
“Hampir seluruh umurku aku bekerja keras. Namun aku tak akan mampu mendapatkan barang-barang yang kau bawa itu”, sahut Wanamerta.
“Mudah-mudahan lain kali aku dapat menambahnya dengan barang-barang yang tak bernilai lainnya”,
jawabnya. Ia mengharap Wanamerta membungkuk dan membuka lipatan-lipatan
kain, mengamat-amati pendok emas dan timang tretes intan berlian itu.
Tetapi untuk beberapa saat Wanamerta masih tegak seperti tiang- tiang
pendapa rumah itu, sehingga akhirnya Sontani menjadi bingung. Bajunya
telah basah oleh keringat yang mengalir semakin deras.
Kemudian Sontani menjadi kecewa. Sangat kecewa, ketika Wanamerta berkata, “Sontani, darimanakah kau dapatkan barang-barang itu?”.
“Aku telah bekerja keras selama ini Kiai”, jawab Sontani terbata-bata.
“Aku juga bekerja keras selama ini.
Bantaran juga, Penjawi, Sendang Papat, Jaladri dan orang-orang lain.
Tetapi mereka tidak dapat, jangankan benda-benda serupa itu, sebagian
kecilpun tak dimilikinya”, berkata Wanamerta. Sontani menjadi
bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dalam kebingungan itu
terdengarlah Wanamerta berkata, “Sontani, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pemberianmu itu”, Wanamerta berhenti sejenak, sedang Sontani menengadahkan wajahnya. Tetapi Wanamerta meneruskan, “Namun
sayang, aku tak dapat menerimanya. Serahkanlah barang-barang itu
kembali kepada asalnya. Bukankah kau dapat membeli barang-barang itu
karena kau menjabat Bahu Lemah Abang. Karena kau memeras rakyat Lemah
Abang untuk kepentinganmu dan kepentingan Lembu Sora? Bukankah kau
dapatkan barang-barang itu karena rakyatmu kelaparan? Nah Sontani. Kalau
kamu ingin menebus kesalahanmu, setidak-tidaknya mengurangi, kembalikan
barang-barang itu. Kepada mereka yang berhak. Tidak kepadaku. Tidak
kepada cucu Arya Salaka.”
Sontani menjadi semakin bingung. Mulutnya
kini benar-benar terkunci. Ia masih berjongkok pada kedua lututnya
dengan gemetar, dan Wanamerta masih berdiri dipintu pringgitan.
“Sontani”, terdengar kembali suara Wanamerta, “ada
seribu jalan yang dapat kau tempuh untuk menyerahkan kembali
barang-barangmu itu. Kau dapat membantu mereka dengan alat-alat
pertanian. Kau dapat mendirikan untuk mereka gubug-gubug yang lebih
baik, banjar-banjar desa dan tempat ibadah yang layak.”
Mendengar kata-kata Wanamerta itu,
jantung Sontani serasa membeku dan darahnya serasa berhenti mengalir.
Tetapi nafasnya satu-satu berloncatan lewat lubang- lubang hidungnya.
Betapa panas udara siang ini, namun rasa-rasanya hembusan nafasnya jauh
lebih panas dari panasnya udara.
Tiba-tiba terdorong oleh kegelisahan yang bergelora didalam dadanya ia berkata putus-putus, “Tetapi, tetapi Kiai, bukankah Kiai memerlukan barang-barang ini?”
Wanamerta menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak, Sontani.”
Dalam kebingungan Sontani mendesak, “Kiai,
bukankah Kiai sendiri berkata bahwa Kiai tidak pernah dapat memiliki
barang-barang serupa ini meskipun Kiai bekerja keras dan membanting
tulang hampir seumur hidup Kiai. Dan sekarang aku datang untuk
mengantarkannya kepada Kiai. Bukankah waktu yang pendek ini akan jauh
lebih berharga daripada hampir seumur hidup Kiai?”
Wanamerta menarik nafas. Perlahan-lahan terdengar ia menjawab, “Sontani,
kau dan aku mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menjalani hidup ini.
Aku merasa berbahagia karena aku tidak akan dapat memiliki benda-benda
serupa itu. Sebab dalam kemiskinan, aku akan dapat menikmati kekayaan.
Miskin akan benda-benda duniawi, tetapi aku merindukan kekayaan
dihari-hari yang abadi. Sebab kekayaan duniawi melulu, tak akan ada
artinya di harapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menentukan akan
datangnya masa, dimana manusia bertanggungjawab kepada-Nya.
Sedangkan kau agaknya telah
terjerumus ke dalam kekuasaan nafsu duniawi. Tetapi kau tak akan pernah
merasa bahagia karenanya. Bahagia yang abadi. Kebaktian kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan pengabdian kepada titah yang dikasihi-Nya, manusia.
Dengan demikian hidupmu akan menjadi terasing. Terasing dari rasa kasih.
Kasih antara manusia dan kasih yang dilimpahkan Tuhan kepadamu. Karena
itulah maka kau semakin dalam membenamkan dirimu ke dalam timbunan
benda-benda serupa itu.”
Akhirnya sekali lagi ia bertiarap di
hadapan kaki Wanamerta. Kali ini ia benar-benar tak dapat menahan
keharuannya. Sontani, yang pernah menjabat Bahu pedukuhan Lemah Abang,
yang pernah dengan kekerasan mendesak kedudukan Kiai Bakung itu,
tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dengan keduabelah tangannya ia menutup
wajahnya. Ia menjadi sangat malu karena usahanya untuk menyuap
Wanamerta.
Wanamerta sadar bahwa kata-katanya tepat menyentuh perasaan Sontani, maka ia meneruskan, “Sontani.
Pulanglah. Bawalah benda-benda yang sama sekali tidak berarti bagiku
itu. Kembalikan mereka kepada yang berhak dengan bijaksana. Cepatlah
sebelum Arya Salaka datang dan melihat caramu yang sama sekali tidak
disukainya itu. Ia masih terlalu muda untuk dapat berbuat seperti aku.”
Sontani perlahan-lahan bangkit dan duduk
bersila di hadapan orang tua itu. Anak-istrinya yang gelisah,
memandanginya dengan penuh pertanyaan di dalam kepalanya.
Ketika detak jantung Sontani telah
menjadi tenang kembali, maka hatinya menjadi tenang. Tiba-tiba ia
menjadi tidak takut lagi kepada Wanamerta, juga kepada Arya Salaka.
Tidak takut untuk menerima dendamnya. Di dalam dadanya, kini
tersimpanlah suatu tekad untuk menebus nodanya. Meskipun seandainya ia
harus digantung di tengah-tengah beringin kurung.
“Kiai...” katanya kemudian, “Aku
akan pulang ke Lemah Abang. Aku akan coba untuk memenuhi pesan Kiai
Wanamerta. Menyerahkan kembali barang-barang ini kepada yang berhak.
Seterusnya, seandainya Anakmas Arya Salaka datang, dan menghendaki
hukuman atas pengkhianatanku, aku tidak akan membela diri. Apapun yang
akan ditimpakan atasku, akan aku jalani dengan ikhlas, meskipun
seandainya aku akan dihukum mati.”
Wanamerta menggeleng. Jawabnya, “Percayalah
Sontani. Darah Banyubiru bukanlah darah yang haus akan pembalasan
dendam dan pembunuh. Mungkin kau akan terbunuh oleh pedang yang
bersarang di dalam dadamu, seandainya kau tetap pada pendirianmu. Tetapi kau telah menemukan jalan kembali. Kembalilah. Tuhan Maha Pengampun.”
Sekali lagi Sontani bersujud di hadapan Wanamerta. Tetapi Wanamerta menahannya, dan dengan ramah ia berkata, “Jangan bersujud kepadaku. Duduklah bersama anak dan istrimu, aku akan duduk bersama-sama dengan kalian.”
Tetapi Sontani menolaknya. Ia akan
meninggalkan pendapa itu sebelum Arya Salaka datang seperti yang
dinasihatkan oleh Wanamerta. Sehingga dengan demikian iapun segera minta
diri beserta anak-istrinya yang sama sekali tidak mengerti persoalan
yang bergolak di dada suaminya.
Sepeninggal Sontani, kembali Wanamerta
membaringkan dirinya untuk beristirahat. Terbayanglah betapa kemunduran
lahir dan batin dari tanah perdikan ini. Sontani adalah salah satu dari
sekitar banyak orang yang kehilangan kepribadiannya. Mungkin masih
banyak orang lain yang justru lebih parah daripadanya.
Ketika kemudian ia tertidur karena
lelahnya, mendadak ia terbangun oleh derap kaki kuda. Cepat ia bangkit
dan meloncat ke pintu. Ia masih sempat melihat seekor kuda lari dengan
kencangnya memasuki halaman. Kemudian seorang pengawal meloncat turun
dan langsung datang kepadanya. Dengan tergesa-gesa pengawal itu berkata,
“Kiai, laskar di perbatasan bergerak mendekati kota.”
Wanamerta tidak terkejut karenanya. Ia
tahu persis, laskar Arya Salaka yang akan membantu mengamankan kota.
Karena itu ia bertanya, “Semua…?”
“Tidak Kiai,” jawab orang itu. “Hanya sebagian.”
“ Kau tahu, siapa pemimpinnya?” tanya Wanamerta pula.
“Entahlah,” jawab orang itu sambil menggeleng.
“Jemputlah mereka, dan bawalah mereka kemari,” kata Wanamerta kemudian.
Orang itu ragu sebentar, tetapi kemudian iapun segera berangkat melakukan perintah itu.
Di sepanjang jalan, hatinya diliputi oleh
kecemasan, seperti pada saat ia melihat laskar Pamingit meninggalkan
kota. Apakah yang akan dilakukan oleh laskar di perbatasan itu atasnya,
dan atas orang-orang Banyubiru yang lain, yang ikut serta dalam
kelaskaran Lembu Sora…?
Ketika ia melewati gardu penjagaan kedua,
tiga orang yang bertugas di gardu itu telah menghilang. Pengawal
berkuda itu tahu bahwa mereka akan berusaha menyembunyikan diri mereka,
karena mereka takut akan pembalasan. Dengan demikian pengawal itu
menjadi semakin ragu. Dalam keraguan itu kudanya berlari terus. Maka
sebelum ia mengambil keputusan, pengawal itu telah sampai di gardu
pertama. Ia menjadi berlega hati ketika di gardu itu, masih dilihatnya
empat orang berjaga-jaga.
Untuk meyakinkan pendiriannya, pengawal itu berhenti sejenak. Kepada orang-orang di gardu itu ia berkata, “Gardu kedua telah kosong.”
“Kosong?” tanya orang-orang di gardu pertama itu. “Kenapa?”
“Aku kira mereka takut,” jawab pengawal berkuda itu.
“Takut apa?” tanya orang-orang di gardu.
“Kalau laskar Arya Salaka itu datang, ada kemungkinan mereka akan ditangkap dan dihukum. Juga kita semua,” jawabnya.
Tiba-Tiba salah seorang dari mereka berempat itu tertawa. Dengan lantang ia berkata, “Jangan takut. Mereka tidak akan berbuat apa-apa selama mereka masih berada di bawah pimpinan Arya Salaka.”
“Kau yakin?” tanya pengawal berkuda itu.
“Jangankan kita, orang-orang Banyubiru. Terhadap orang Pamingit pun Arya Salaka tidak berbuat sesuatu. Pimpinan
gardu ini semalam telah mengalami perlakuan yang tak disangka-sangka
dari Arya Salaka. Meskipun orang itu dibawa serta, namun ia akhirnya
kembali dengan selamat, justru pada saat kita telah memukul tanda bahaya
untuk menangkap anak muda itu.”
Pengawal yang masih duduk di atas kudanya
itu masih ragu-ragu juga. Ia mendatangi orang yang berceritera itu,
yang tidak lain adalah Ira, dengan sorot mata yang bertanya-tanya.
Sehingga terdengar Ira menjelaskan, “Aku menjadi jaminan bagi
kalian. Kalau orang-orang yang ikut serta dalam laskar Arya Salaka itu
mendendam kalian, akulah yang pertama-tama akan naik ke tiang gantungan.”
Orang yang bertugas untuk menjemput
laskar yang semakin lama semakin dekat itupun menjadi percaya, meskipun
hatinya masih gelisah. “Baiklah…” katanya, “Mudah-mudahan katamu benar.”
Kemudian ia memacu kudanya kembali, ke
arah kepulan debu putih di depan mereka. Kuda itupun melemparkan debu
yang putih pula, yang kemudian lenyap dihembus angin pegunungan.
Semakin dekat orang berkuda itu dengan
barisan yang mendatang, hatinya menjadi semakin gelisah. Ketika kudanya
telah berada beberapa ratus langkah lagi, ia menghentikannya. Kembali ia
menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan orang-orang yang berada di dalam
barisan itu akan bersama-sama menyerangnya dan beramai-ramai
mencincangnya sebagai seorang pengkhianat. Tetapi kalau diingatnya
kata-kata Ira, ia menjadi agak tenang. Demikianlah ketika barisan yang
mendatang itu sudah semakin dekat, orang itu mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia tidak sedang menggenggam
senjata.
Di ujung barisan itu, seorang anak muda yang duduk di atas punggung kuda mengangkat tangannya pula.
Melihat anak muda itu, dada pengawal itu
berdesir. Ia tidak salah lagi. Pasti anak muda itulah Arya Salaka.
Dengan demikian ia menjadi berdebar-debar. Di samping anak muda itu,
dilihatnya seorang gadis yang juga duduk di punggung kuda. Tetapi ketika
ia melihat seorang yang berjalan dibelakangnya, kembali ia menjadi
gelisah. Orang itu adalah Bantaran.
Ketika barisan itu sudah semakin dekat lagi, meloncatlah ia turun dari kuda, dan dengan hormatnya ia membungkukkan dirinya.
Arya memandang orang itu dengan seksama. Ia pun mengangguk pula.
“Tuan...” kata pengawal itu dengan hormatnya, “Aku menjalankan perintah Kiai Wanamerta untuk menjemput Tuan, dan membawa Tuan ke halaman rumah Ki Ageng Lembu Sora.”
Arya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Haruskah aku pergi ke Pamingit?” Pengawal itu menjadi heran, jawabnya, “Tidak Tuan. Rumah Ki Ageng Lembu Sora di Banyubiru.”
“Adakah Ki Ageng Lembu Sora mempunyai rumah di Banyubiru?” tanya Arya.
“Ada Tuan, di sebelah alun-alun,” jawab pengawal itu. Ia menjadi bingung oleh pertanyaan Arya.
“Rumah itu adalah rumahku. Bukan rumah Ki Ageng Lembu Sora,” jawab Arya.
Berdentanglah jawaban Arya Salaka itu
ditelinganya. Benar, rumah itu memang milik rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Maka dengan cepatnya ia membetulkan kata-katanya, “Tuan benar. Kiai Wanamerta menunggu Tuan di rumah Tuan sendiri.”
“Apakah kau dari laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya.
Pertanyaan itu sungguh tidak
menyenangkan. Tetapi itu adalah karena kesalahannya. Sebab selama ini ia
memang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah Ki Ageng Lembu Sora.
Pengawal itu menjadi gelisah. Badannya mulai dialiri oleh keringat
dingin dari punggungnya. Ternyata dalam keadaan yang sulit itu ia kurang
berhati-hati. Ia merasa bahwa ia telah menggali lubang untuk dirinya
sendiri. Akhirnya ketika ia tak dapat berbuat lain maka iapun menjawab, “Ya, Tuan.”
Suaranya gemetar. Kini ia tinggal menunggu apakah yang akan dilakukan
oleh anak muda itu, atau oleh orang yang berdiri di belakangnya, atau
oleh seluruh barisan itu. Mungkin mereka akan melemparinya dengan batu
sampai mati, atau mungkin mengikatnya di belakang kuda itu dan
menariknya sepanjang jalan. Tetapi kalau demikian, ia tidak berteriak di
gardu pertama, bahwa Ira-lah yang pertama-tama akan naik ke tiang
gantungan.
Ketika untuk beberapa saat Arya Salaka
masih berdiam diri, ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Sekali-kali
ia mencuri pendang ke arah wajah anak muda itu, namun ia tidak dapat
mengetahuinya, apakah yang tersirat di wajahnya itu.
Tiba-tiba di dalam kegelisahannya ia mendengar jawaban yang mengejutkan, bahkan hampir tak dipercayainya. “Marilah. Naiklah ke punggung kudamu. Berjalanlah di depan.”
Untuk sesaat ia terpaku. Dengan
termangu-manggu ia memandang Arya Salaka yang masih duduk di atas
kudanya dengan tenang. Ketika tampak wajah anak muda itu tanpa berkesan
kemarahan, barulah ia percaya pada telinganya. Perlahan-lahan ia
mendekati kudanya, dan meloncat ke atasnya. Karena getar kakinya, maka
barulah loncatan kedua ia berhasil duduk di punggung kudanya. Kemudian
perlahan-lahan pula ia memutar kuda itu dan berjalan mendahuluinya.
Kembali barisan itu berjalan maju
mendekati kota. Akhirnya mereka sampai juga di gardu pertama. Keempat
penjaganya berdiri berjajar dengan tegak. Ira lah yang bertanggung jawab
atas keselamatan mereka, sehingga meskipun dengan gemetar mereka tidak
melarikan diri.
Arya melihat keempat orang itu. Tetapi ia
tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia segera dapat mengenal Ira. Dengan
tersenyum ia berkata, “Ira, tidakkah kau ikut Paman Lembu Sora ke Pamingit?”
Ira membungkuk hormat, jawabnya, “Tidak Tuan. Aku lebih senang menunggu kedatangan tuan di sini.”
“Terima kasih,” jawab Arya, “Agaknya Paman Lembu Sora memang tak memerlukan kau.”
“Aku bersenang hati kalau demikian,” jawab Ira.
“Tetapi kau tidak akan bersenang hati kalau itu terjadi kemarin atau lusa,” sahut Arya Salaka.
Ira diam. Memang ia tidak akan bersenang
hati. Sebab dengan demikian berarti ia kehilangan mata pencahariannya.
Sungguh lucu. Tetapi ia diam saja. Ia tidak berkata apa-apa ketika Arya
menjadi bertambah jauh. Ia melihat di belakang Arya Salaka itu seorang
yang baginya sangat menakutkan. Bantaran. Mudah-mudahan Bantaran pun
tidak mendendamnya.
Akhirnya barisan itu sampai juga di
halaman rumah kepala perdikan Banyubiru. Wanamerta menerima mereka
dengan perasaan lega. Kalau ada apa-apa kini, ia tidak cemas lagi.
Segera dipersilakannya Arya Salaka naik
ke pendapa. Di samping Arya Salaka, duduk dengan wajah yang cerah, putri
Kebo Kanigara, Endang Widuri. Ia mendapat izin dari ayahnya untuk
mengikuti anak muda itu mengantarkan laskarnya ke Banyubiru. Kemudian
Bantaran duduk bersama mereka. Sesudah mereka mengadakan pembicaraan
singkat, segera Bantaran membagi pekerjaan kepada laskarnya yang
berjumlah 100 orang itu. Mereka disebar di seluruh kota dengan pesan,
pekerjaan mereka adalah mengamankan dan melindungi rakyat Banyubiru.
Bukan menakut-nakuti. Terhadap laskar Banyubiru yang ditinggalkan oleh
Lembu Sora, mereka harus bersikap baik. Dengan demikian mereka harus
memberi kesan, bahwa kehadiran mereka benar-benar memberikan suasana
baru. Suasana yang tenang, tentram dan damai.
“Kalian kali ini adalah tenaga-tenaga
suka rela untuk membantu Ki Ageng Lembu Sora menjaga ketentraman tanah
ini. Namun kalian harus menunjukkan bahwa kalian mempunyai tanggungjawab
atas pekerjaan kalian. Kalian harus membuktikan bahwa jiwa kalian
berbeda dengan jiwa laskar Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Junjung tinggi
namamu dan nama pemimpinmu.” Arya Salaka menekankan setiap kata kepada laskarnya.
Ketika laskar itu mulai berpencaran,
terdengarlah suara riuh hampir di seluruh jalan-jalan di dalam kota.
Rakyat Banyubiru menyambut kedatangan laskar itu dengan keriangan yang
bergelora. Mereka melihat laskar yang berjalan dalam kelompok-kelompok
kecil itu sebagai pelindung mereka.
———-oOo———-
V
Kecuali laskar yang diserahkan kepada
Wanamerta, yang dipimpin langsung oleh Bantaran, Arya Salaka telah
menugaskan Penjawi dan Jaladri untuk pergi ke Pamingit. Mereka mendapat
tugas untuk mengetahui, sampai di mana kekuatan golongan hitam. Mereka
harus menyaksikan pertempuran yang terjadi antara laskar Lembu Sora dan
laskar hitam, dan kemudian kembali kepada Arya Salaka untuk melaporkan
hasilnya.
Malam itu Arya dan Endang Widuri bermalam
di rumah Arya yang telah ditinggalkan hampir enam tahun. Banyaklah yang
dapat diceriterakan kepada gadis itu tentang rumah ini. Ia dapat
menunjukkan di mana ia pada saat itu berhasil membunuh seorang yang akan
mengambil pusaka-pusaka simpanan ayahnya, namun ia sendiri terpukul dan
pingsan karenanya. Ia dapat menunjukkan pula, ke mana ia melarikan diri
ketika tiba-tiba rumah ini diserang oleh laskar yang tak dikenalnya.
Ketika ia telah berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tiba-tiba
ia dikeroyoknya. Untunglah Penjawi datang tepat pada saatnya. Widuri
mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi terharu
mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani oleh Arya Salaka
pada umurnya yang masih sangat muda.
“Kalau malam ini mereka datang kembali…” kata Arya Salaka, “Aku tak perlu berlari-lari lagi.”
“Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan? sahut Widuri.
“Tidak,” jawab Arya. “Sebab sekarang ada kau. Bukankah kalungmu itu menakutkan orang?”
Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang duduk bersama mereka, “Apakah Eyang takut juga kepada kalungku ini?”
Wanamerta tertawa. Jawabnya, “Aku tidak. Sebab aku tak bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”
“Ah…” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya.
Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah
di kejauhan gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng
pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan membawa udara yang
sejuk.
“Cucu Widuri…” kata Wanamerta kepada
gadis lincah itu, “Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah.
Biarlah aku dan Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.”
Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu
segera iapun berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia sama
sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka, Wanamerta
dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang yang
mengawal.
Sementara itu di perbatasan, Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar
Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan api untuk mematangkan kijang
hasil buruan mereka.
Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis
bertiduran di atas rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan.
Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi, membelit di antara
bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali ke
dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di antara
laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa.
Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia masih dapat
menikmati gemerlapnya bintang di langit…? Atau kalau Tuhan masih
mengurniakan umur panjang kepadanya, apakah ia masih dapat bertemu
dengan Mahesa Jenar…?
Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena
angan-angannya sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian.
Dilihatnya di antara mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya.
Tetapi laki-laki itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik
menikmati daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya
yang riang. Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup jenaka,
sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya.
Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai
seorang gadis ia kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang
bertambah-tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus berjalan dari satu
padang rumput ke padang rumput yang lain? Dari satu perkelahian ke
perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…? Tidakkah pada suatu saat ia
akan dihadapkan kepada suatu kuwajiban yang seharusnya dijalani oleh
setiap wanita…? Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin melepaskan pedang
dari pinggangnya dan menggantinya dengan pisau dapur yang sederhana. Ia
pada suatu saat pasti ingin melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang
kasar, dimana pedangnya selalu menggantung, dan menggantinya dengan
selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan masa yang
berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya, tetapi
bermain-main dengan anaknya.
Akhirnya, sebagai seorang manusia yang
lemah, ia hanya dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi,
mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan menikmati hidup
ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita biasa.
Ketika sekali lagi ia memandang ke
perapian, ia masih melihat mereka yang duduk melingkari perapian itu
bersenda-gurau. Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira
itu. Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan
berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.
Di langit, bintang gemintang satu-satu
berjalan di dalam garis edarnya. Sedang mega putih yang membayang di
selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung bukit Telamaya.
Malam itu berjalan setapak demi setapak
menjelang pagi. Baik yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak
di perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan, namun mereka
dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya. Mereka sadar bahwa
bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari laskar Lembu Sora maupun dari
laskar golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya petang tadi,
pasti sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar
mereka sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan.
Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada
apapun yang terjadi sampai matahari muncul di timur, diantar oleh
kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon perdu.
Lereng bukit itu seolah-olah disiram oleh
kesejukan cahaya pagi yang segar yang merayap turun dari ujung-ujung
pepohonan, dan jatuh berserakan di tanah merah.
Ketika Mahesa Jenar membuka matanya,
setelah beberapa saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia
terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya. Dalam
keremangan cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan
nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam
tarikan nafas pagi.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit.
Seperti terpaku ia melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia
menjadi heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah
padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna menurut
selera hatinya.
Ketika bayangan itu perlahan-lahan
melangkahkan kakinya, Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu
mendengar desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang Mahesa
Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.
“Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah.
Rara Wilis tersenyum. “Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya.”
Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum pula ia berkata, “Ia akan datang pada saat ia harus datang.”
“Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.
“Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.
“Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.
“Matahari…?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.
“Ya,” jawab Wilis
“Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula.
Keduanya tersenyum. Hanya mereka
berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka
masing-masing. Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi
di puncak bukit.
“Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis kemudian.
“Pergilah. Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis berjalan semakin cepat. Di
pinggangnya masih tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi
bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara
Wilis mendapatkan mata air yang kecil.
Hari itupun tak mereka jumpai
persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari
perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya,
sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di
Banyubiru.
Seperti malam kemarin. Malam inipun
berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya
Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan
keterangan-keterangan yang mereka perlukan.
Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu.
Derap dua ekor kuda yang lari dengan
kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala
daerah perdikan Banyubiru.
Para pengawal perbatasan segera
berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka
melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu,
maka mereka biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki
kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu. Kabar
apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian
mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari
pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-orang yang
berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran yang
berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak
mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali
setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman.
Demikian ketika kuda-kuda itu berhenti,
berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah
wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap.
Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras.
Namun demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.
Wanamerta menerima mereka dengan
tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang
pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum yang
hangat.
“Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.
“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,” sambung Wanamerta.
Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa
Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di
hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa
Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh
perjalanan yang berat. Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua
orang itu.
“Perjalanan yang menyenangkan.” Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan.
Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil menyebut, “Cemasnya yang tak terduga-duga.”
Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka. “Tetapi
aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila
keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan
pagi, biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua
pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang
Widuri. Aku kira mereka akan senang pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,” jawab Penjawi. “Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu banyak tertinggal.”
Jaladri tertawa, sambungnya, “Urutan yang bijaksana,”
Kemudian setelah minum teh hangat dengan
gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah
itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk mengganti
pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal. Dalam
kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para
pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan
dan Wirasaba.
Ketika matahari telah naik di ujung
cemara, pendapa Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin
laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan langsung
ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di pendapa itu
hadir juga Sendang Parapat.
Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di
samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
“Nah…” kata Arya Salaka kemudian, “Mulailah dengan kisah cemasmu.”
Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata, “Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada kalian.”
Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit.
“Lusa,” Penjawi mulai, “aku
dan Adi Jaladri berangkat ke Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng
Sora Dipayana meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat
mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah paman
Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora
ternyata benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami
terkejut ketika kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya langsung
menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk
pasukannya masih tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah
terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di
Sumber Panas.
Ini adalah suatu keadaan yang sama
sekali tak diduga oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya
mereka dapat didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah
maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi Jaladri
melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di Kepandak. Kami berjanji
bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami
mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun
menjadi agak sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah
pihak. Untunglah bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru
yang berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang mengambil
air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi Jaladri agak lebih
sulit.”
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya, “Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata, “Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.” Ia berhenti sebentar lalu meneruskan, “Pagi-pagi
buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu,
siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu.
Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku,
tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku
menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang
pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah yang
mengerikan.”
“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri. “Dengan
mata yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia
tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, – “Hai kelinci yang malang. Siapakah
namamu, dan apakah kerjamu di sini?” – Aku menjadi gemetar. Aku tahu
siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku,
gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa
yang dititipkan di dalam raga ini.”
“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu? – bertanya Sendang Papat tidak sabar.
“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri. “Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula – Kenalkah kau kepadaku?”
“Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya.
Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab
pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke
arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri, “Bukan karena aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”
“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar, “Apakah kau dibiarkan pergi?”
Jaladri tertawa. “Jangan terlalu
tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan
tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan
tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika
Bugel Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam
kepalaku, terdengar suara di belakangku. “Jangan Kaliki. Jangan
mengganggu anak-anak.”
Bugel Kaliki terkejut. Aku juga
terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh
Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan
dapat menyelamatkan aku.”
“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.
“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng. “Jangan teka-teki.”
“He…” jawab Jaladri, “Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.
“Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian.
Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan, “Bugel
Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk
memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh
barunya. ”Jangan ganggu aku” ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu
tertawa. Suaranya nyaring. ”Aku mengembara dari satu tempat ke tempat
lain tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan
pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu.”
Tetapi pertempuran itu kemudian
terganggu. Aku melihat bayangan lain yang datang di tempat itu pula.
Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki
berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam
keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak
mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir.
Namun agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua
tampaknya seperti dua orang sahabat yang baru bertemu. Mereka saling
mengguncang tangan masing-masing.”
“Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.
Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa. “Kiai…” jawab Jaladri, “Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak sabar.
“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….” Terdengar orang-orang
yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah
merekalah yang terlepas dari ancaman maut.
Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan, “Aku
hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak kukenal
itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki
Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, ”Apa kerjamu di sini Jaladri?”
Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi
kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali
mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan
hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, ”Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai.”
Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki
Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana
berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh
Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang
berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora
sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu
berkata, ”Kau biarkan anakmu sendiri?”
”Tak ada pilihan lain” jawab Ki Ageng
Sora Dipayana. ”Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari
setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel
Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas.”
”Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu?” jawab orang asing itu.
”Ia membawa laskar lebih banyak. Aku
sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk
menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai
panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya.”
”Belum cukup” jawab orang asing itu.
”Untuk sementara, tak ada cara yang
lebih baik. Tetapi aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka
sedikit demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan” jawab Ki Ageng
Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan, ”Soalnya terserah kepada
nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-kesalahannya.”
”Kalau begitu…” orang asing itu
menjawab, ”biarlah aku ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja
bersama-sama dengan anakmu.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. ”Kau..”- terdengar suaranya dalam.
Orang itu mengangguk, lalu
terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang
itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, ”Sebelum pagi,
mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, ”Terimakasih, terima kasih.”
Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana
terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar
orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka.
”Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu.”
Aku mengikuti di belakang Ki Ageng.
Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri
dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang
panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris.
Ketika ia melihat Ki Ageng Sora
Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia
melihat aku, tampaklah perubahan di wajahnya.
Ki Ageng Sora Dipayana tahu
perasaannya, katanya, ”Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang
membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian.”
Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat.
Ketika cahaya merah di atas
bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit
bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng
Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh.
Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari
golongan hitam itu, kelompok demi kelompok.
Aku sendiri, yang tidak tergabung
dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi.
Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan. Bahkan akhirnya Ki Ageng
itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata, “Kalau kau terpaksa
mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu
pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu
sekali lagi dengan Bugel Kaliki.”
Hatiku jadi berdebar-debar mendengar
kata-kata itu. Laskar Pamingit dapat melawan mereka dengan
kelompok-kelompok mereka. Aku bagaimana?”
Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana
memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata-katanya, ”Kaupun harus
membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk
dalam kelompok kecilmu.”
Aku menundukkan kepalaku, karena malu.
Ki Wulungan membawa laskarnya,
melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran
kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh
suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa bertempur
perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh-
tokoh golongan hitam.
Ketika terdengar sebuah tengara dari
Wulungan, maka dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung
menyerbu kedalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari
laskar hitam yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar
golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang
sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar namanya
dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa.
“Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.
“Ya,” sahut Jaladri. “Melihat
mereka berdua Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya,
”Wulungan, lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar
panahmu. Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan
jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga. Orang itu
mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang sama, bahkan
berhari-hari.”
Wulungan mengangguk sambil menjawab,
”Baik Ki Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku.
Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu.”
”Bagus” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
Kemudian kepadaku Ki Ageng itu berkata, ”Jaladri. Aku harus melayani
musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak,
tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk
memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan
musuhmu pagi tadi.”
Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa Wulungan agak bimbang menerima titipan itu.
Ketika aku berjalan di samping
Wulungan menuju kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, ”Jangan
curigai aku. Aku tak akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang
berada di dalam kerjasama antara kita dan laskarmu.”
Wulungan tersenyum. Jawabnya, ”Aku
mempercayaimu. Aku kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku
jantan seperti pimpinan mereka.”
Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia
benar-benar memuji, ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian
kami tak sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa orang
untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok kemudian saling
mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang lain masih di tempatnya
masing-masing, di bawah pimpinan seorang yang cukup mempunyai wibawa,
Gupita.
Laskar hitam itupun kemudian maju
menyongsong lawan mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar
perang, atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun
tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-masing.
Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan keganasan yang pernah mereka
lakukan dan akan mereka lakukan. Didalam mata mereka seolah-olah
tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang
berpuluh-puluh jumlahnya.
Aku pernah mengalami beberapa kali
pertempuran. Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Disekitarku
berjalan orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun
cara-cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui apakah
mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian
akhirnya aku harus melekatkan kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun
ringkihnya aku ini, namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri
kepada kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan,
kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah akhirnya kedua laskar ini
bertemu. Sesaat sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik
kepadaku, -Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah
persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur
terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan
memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami
sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan
hancur, namun besok di atasnya akan dapat kami tanami kembali, dengan
batang-batang padi yang lebih segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah
ini dengan darah putra-putra terbaik dari tanah ini.”
Aku terharu mendengar kata-katanya.
Sedang dari matanya terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya
berkorban untuk tanahnya.
Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh
teriakan-teriakan ngeri. Orang-orang hitam itu berloncatan sambil
memekik-mekik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada
saat yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak- anak
Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran
diudara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata mereka
menjadi gulungan perisai yang sangat rapat.
Demikianlah akhirnya pertempuran tak
dapat dihindari. Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur
mereka dan menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian,
riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik yang
mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu. Wulungan dengan
kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel Kaliki
untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya
benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka
berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang
mengerikan itu. Akhirnya marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang
menggeram, kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar
Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka menyerang
dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan, namun cukup memberi
perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 21
No comments:
Write comments