TETAPI sementara itu,
Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-kerut. Ia
melihat perubahan pada tata perkelahian lawannya.
Wanamerta tidak lagi melihat mereka
bersiap untuk menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga
sekalipun. Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat
sebuah gelang, mengelilingi mereka berdua.
“Setan,” desis Sendang Papat.
“Mereka mengepung kita,” sahut Wanamerta.
Sendang Papat memutar kudanya untuk
melihat keadaan di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari
itu, orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah lapang itu,
ia melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit
terbaring diantara beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada
yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu kekacauan yang mengerikan.
“Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.”
Anak muda itu meneruskan. Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang
lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda
itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan
anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang
bertaruh. Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh
berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur
otak yang menghambur-hambur. Orang yang semula melekat di punggung kuda
itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya
pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian
tubuhnya terlepas satu sama lain.
Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira. “Siapakah yang melukaimu?”
“Di
sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang
Sora Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun
reruntuhan itu, menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin
melampaui masa-masa yang lewat.”
III
Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, “Biarlah
seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami
sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus.”
IV
Karena
itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan
kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun meloncat
turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan
lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu terkejut
bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat bergerak
sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang menari-nari di udara.
Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa
seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu
menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu
mendesah menahan sakit. Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal.
Tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak
buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka.
Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang
Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya.
Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti.
Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur
oleh pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata, “Jangan meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”
V
Tetapi sementara itu, Wanamerta dan
Sendang Papat harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka
melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan
kuda-kuda yang mengepung itupun mulai bergerak maju.
Wanamerta adalah seorang tua yang
berpengalaman cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang
Pamingit itu. Maka desisnya, “Sendang, jangan beri kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?”
Sendang menggeleng lemah.
“Kita menyerang dari arah api. Aku
harap mereka terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding
yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang
yang lain, mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah perintah.
Sendang Papat telah menangkap maksud
orang tua itu. Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk
berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata, demikian ia
menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang Papat pun
segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya
api yang sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih cukup besar untuk
menerangi seluruh tanah lapang itu.
Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat
kesigapan Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira,
bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah begitu saja, namun
serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah menyebabkan mereka
kehilangan waktu beberapa saat untuk menilai gerakan itu.
Demikianlah, Wanamerta telah mencapai
dinding kepungan itu, dengan membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap
garis-garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu. Setiap
gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu hanya
melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat
melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah dilakukan oleh
dua hantu yang seakan-akan meloncat dari tengah-tengah itu. Karena itu
mereka menjadi gugup.
Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan
merekapun menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa
Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu.
Dengan demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya.
Ternyata perhitungan Wanamerta adalah
tepat. Ia dapat mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka
yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang
yang menghadang di hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya
merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung Wanamerta dan
Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung lama.
Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan
mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil keluar dari
lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang Papat. Tetapi Wanamerta
kemudian tidak mau disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan,
apabila ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan
arah kudanya ke kanan.
Tetapi orang-orang Pamingit itu telah
mendapatkan kesadaran mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul, dan
sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat telah
melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan mereka dari
satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga
kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat pun terdesak.
Menghadapi keadaan yang demikian, kedua orang Banyubiru yang gemblengan
itu malahan telah membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan
terakhir.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang
berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda
tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka, “Ayolah, kita mulai.”
Yang berada di tanah lapang itu kemudian
dikejutkan oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu.
Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan,
bertubuh tegap dan berdada bidang. Agaknya anak muda yang terakhir
itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda yang
lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah pertempuran.
“Ayolah Kiai,” teriak salah seeorang diantaranya, “Aku berada di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”
Wanamerta heran melihat kedatangan
mereka. Demikian juga Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru
sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum begitu
mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak ragu, siapakah yang
telah datang tepat pada saatnya membantu mereka berdua.
Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum
sempat bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian sengit.
Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang menyala-nyala.
Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta menjadi berkurang.
Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat orang,
yang harus melayani keempat anak muda yang bertempur dengan tenaga yang
penuh. Namun agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman,
sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi ternyata bahwa
mereka tidak lebih dari setiap orang dari laskar Pamingit itu. Sehingga
dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak terpengaruh oleh
kehadiran keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk menjaga
diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari
semula.
Maka semakin lama pertempuran itupun
menjadi semakin keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat
menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan bertempur
semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka kemudian mereka pun
berhasil sedikit demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran
itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang menjadi pusat perhatian
mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat. Sedang terhadap keempat anak
muda itu mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga mereka
supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta dan Sendang
Papat.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka
tiba-tiba pemuda yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas
punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya
itu sangatlah menarik perhatian. Baik orang Pamingit maupun Wanamerta
dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannyapun menoleh kepadanya.
“Permainan yang jelek,” katanya. “Tidakkah kalian dapat berkelahi lebih baik?”
“Apakah yang jelek?,” jawab salah seorang temannya.
“Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan diatas kuda kepang,” jawab anak muda itu….
Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang
menjawab. Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian
terdengar ia berkata pula, “Kiai Wanamerta dan Paman Sendang Papat
pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi cara-cara yang dipergunakan,
serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman Mahesa Jenar agaknya cukup
menarik.”
Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi
terkejut bukan main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur
gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar?
Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu meneruskan, “Tetapi
sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang berhasil mengambil keuntungan
dari gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari perguruan
Pengging.”
Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia
belum pernah mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang
dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda
keinginannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu,
sehingga sambil bertempur ia berteriak, “Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta.”
“Kalau begitu…” jawab anak muda itu, “Kakang Sendang pasti kenal salah seorang muridnya.”
“Siapakah dia?” tanya Sendang Papat.
“Wiraraga atau Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu.
Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu orang-orang Pamingit
menjadi semakin mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang
Papat benar-benar mengalami kesulitan. Dalam keadaan yang demikian
itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir tanah
lapang itu berkata lantang, “Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini.”
Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.
Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak
memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak terlalu jauh
terpaut dari keempat kawannya. Tetapi ketika anak muda itu telah
benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar mengejutkan. Dalam saat
yang sangat pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua orang
Pamingit dari kudanya.
“Gila…!” teriak salah seorang
yang terlempar itu dengan penuh kemarahan. Punggungnya terasa betapa
sakit, sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia
berusaha untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah ia
meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.
Sambil memungut pedangnya ia berteriak, “Anak gila, agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan Sendang Papat.”
Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya
menjadi semakin mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk kemudian
melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah menghindari setiap
serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan dua tiga orang
sekaligus.
“Aneh,” pikir Wanamerta dan
Sendang Papat seperti berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit kemudian
lebih banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat.
Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang keheranan.
Demikian juga keempat kawan-kawannya.
Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan
kekar dan tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran. Wajahnya
sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa cahaya api yang
semakin pudar, tidak memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang
Papat untuk mengenalnya dengan baik.
Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, “He,
kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-ngejar
Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-orang yang
bersalah tidak kau tangkapi?”
“Siapa yang bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan marah.
“Sontani dan orang-orangnya,” jawab anak muda itu.
“Omong kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.
Dengan enaknya anak muda itu mengelak
tanpa berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia
telah berhasil memukul dengan tangannya. Ya, dengan tangannya,
pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga terdengar ia
mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu
menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi anak muda itu,
sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah pedang yang lain yang
dipungutnya dari seorang kawannya yang telah terbaring di tanah.
Anak muda itu masih bertempur dengan
lincahnya. Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama sekali
dari perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang.
Sedang yang lain lebih banyak mencari perhatian untuk menjatuhkan pemuda
itu lebih dahulu.
Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata, “He,
kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan kalian alami,
kalau kalian pada suatu saat terpaksa bertempur melawan Arya Salaka.”
“Arya Salaka…?” u;ang salah seorang dari padanya, sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu.
“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” anak muda itu melanjutkan.
Tak ada yang terdengar menjawab
perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin
marah. Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan
mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat
dan keempat anak-anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu
seperti permainan saja.
“Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya. Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.
Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
“Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.
Tak seorangpun terdengar menjawab.
Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-kuda
mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung
anak muda itu. Namun tak seorangpun berani mendekati.
“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.
“Tetapi itu tidak mengherankan.”
Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata
anak muda itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia memandang orang
Pamingit itu.
“Kau tidak heran…?” Ia tanya.
Ternyata orang Pamingit itu menjadi
gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun
terbata-bata ia menjawab, “Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Hebat.
Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha
Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan
pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum
seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat pembarian
yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”
Anak muda itu berhenti sambil menarik
nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun
orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.
“Dengarlah…” katanya kemudian, “Sawung
Sariti berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari.
Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan
tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.
Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka?
Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam
masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari.
Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia
membaringkan dirinya, beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus,
minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan
kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus
jagung atau ketela pohon.
Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan.
Nah, katakan sekarang hai orang-orang
Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai
ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?”
Tak ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.
“Tidakkah ada yang dapat menjawab?”
tanya anak muda itu pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang
yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda
itu bertanya, “Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu,
jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan
pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir
dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa…?”
Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
“Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula.
Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa. “Jangan takut,” katanya. “Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”
Anak Muda itu diam sesaat, lalu meneruskan, “Ketahuilah
dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun
dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia
sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya
dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya
dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa
berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat
menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam
tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan tidak
mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka
dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur
Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.”
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat,
lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan
nyalanya pun telah menjadi semakin pudar pula.
“Kalau begitu…” akhirnya anak muda itu berkata pula, “Tinggalkan
tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka
akan datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu
Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat
memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan
kepala kalian semua.”
Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar
Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun juga adalah
laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan
tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak, “Kenapa kalian
belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang
lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu
berbuat demikian, apakah yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa
Jenar?”
Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak
menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari
mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang
lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang
mengerikan itu.
Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta,
Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan keempat kawannya. Dalam
cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak
batu.
Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata, “Paman
Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa
laskar Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun
barangkali aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat,
meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu
sama sekali kurang bijaksana. Bukankah Paman mendapat kesempatan untuk
pergi sekarang?”
“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus, “Aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda
kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota
ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami
gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat dikurangi.” anak muda itu meneruskan.
“Baik, baik Ngger,” jawab
Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia
teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh,
yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian, “Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini semuanya?”
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya, “Ah,
apakah keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya
kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah
menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya, “Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke perkemahan.”
“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta, “Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.”
Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya, “Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.” Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, “Antar
Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua
ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.”
Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya, “Sudahlah
Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih
baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya
Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman
Kebo Kanigara.”
Setelah itu, maka dengan tidak menunggu
jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang
memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah yang tetap
tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada
kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya
Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra
Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya
agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya
Salaka pun akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.
“Marilah Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.
Wanamerta terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap, “Marilah Angger.”
Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan.
Sendang Papat menggandeng kuda anak muda
yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk.
Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya, “Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?”
Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.”
Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak
itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran,
kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari
orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan
bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora
sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah
memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora.
Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia
merasa bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser
kepada Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu
lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka
sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat
menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan
tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu.
Sekali dua kali, ketukannya tidak
mendapat jawaban. Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang,
terdengarlah seseorang bertanya, “Siapa…?”
“Aku Sendang Papat,” jawabnya.
Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.
“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” Sendang Papat menjelaskan.
“Marilah Kiai,” ajak Prana, “Marilah masuk.”
Wanamerta mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Prana.” Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata, “Kami persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.
Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda
mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan
mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
“Anak-anak yang aneh,” gumam
Wanamerta. Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya
tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka
dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.
Ketika Wanamerta dan Sendang Papat
memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam
terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang Papat
meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya.
Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Maafkan aku Kakang, aku tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”
Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya, “Kau
telah berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu.
Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang, menyerang kau dari
belakang.”
“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.
“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta. “Kau
telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu
berbuat sesuatu, apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas
dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab Sendang Parapat, “Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.”
Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu. “Bagus…” bisik Wanamerta. “Kau akan segera kembali ke Banyubiru.”
Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya
sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah
tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan
jenis daun-daunan yang baik.
Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu, “Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”
“Sendang…” berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan anak muda itu?”
“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang Papat.
Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda?
Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata, “Aku dapat berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang juga.”
Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.
“Parapat...” jawab Wanamerta, “Baiklah kami berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi berkuda,” jawab Parapat.
Kemudian merekapun segera bersiap. Prana
tidak dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan
tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia
dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan
kakaknya.
“Kuda yang bagus,” desis Prana, ”Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”
“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab Wanamerta.
“Yang berempat tadi?” tanya Prana.
“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula. “Kawan dari yang empat ini.”
“O…” sahut Prana, “Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang Papat memotong, “Siapakah mereka?”
“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.
“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,” sahut Wanamerta, “Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru itu?”
“Ya.”
“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.
“Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.
Ki Prana menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa.
Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera
mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.
Sesaat kemudian mereka segera berangkat
beriringan. Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di
muka. Kemudian Sendang kakak-beradik.
Malam masih gelap bukan main. Di langit
bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar
perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh perjalanan.
Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh
Sendang Parapat.
Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
“Hampir pagi,” desis Wanamerta.
“Fajar telah membayang di timur,”
sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam. Masing-masing terbenam ke
alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai.
Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari
golongan hitam mulai mengganggu daerui8ah ini, disusul oleh nafsu
berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Dua bencana yang
sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda.
Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali
dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam
malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama
dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya.
Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang
pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau
pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian penernya, ia berjalan
menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga
kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik, “Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik, “Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.”
Tetapi yang terdengar di fajar yang
dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat merah mulai
tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun
menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah
dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka
sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju
mendekati kota.
Ketika mereka telah melampui batas,
legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi
semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan
mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang
Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari
atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan
kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka
dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu
Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
———-oOo———-
II
Tetapi semakin dekat mereka dengan
perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh
Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan
untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya
Salaka…?
Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk
memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah
keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka.
Namun disamping perasaan gelisah mereka
tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah
terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan
kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari.
Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di
hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam,
rumah-rumah kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru.
Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba.
Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang
menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah
berada di dalam sebuah benteng yang kuat.
Demikianlah kedatangan Wanamerta
mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan
tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam
mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang kembali.
Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.
“Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.
“He..?” sahut yang lain terkejut, “Apa katamu?”
“Sendang Parapat terluka,”
teriak orang pertama. Teriakan itu kemudian berkumandang, dan mengalir
dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang
kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu
berkata tergesa-gesa, “Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”
Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo
Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya
Salaka terloncat berdiri sambil bertanya, “Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”
Orang itu mengangguk.
Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh
berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur
menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan Arya melihat rombongan
kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya.
Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang
masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.
Ketika orang-orang yang mengerumuni
Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan
Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Arya Salaka memandang Sendang Parapat
yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada
darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar, “Kau terluka Kakang Parapat?”
Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar, “Kau terluka Kakang Parapat?”
Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”
Sendang Parapat tidak menjawab. Ia
menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya orang tua itulah yang
menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera, berkatalah Mahesa
Jenar, “Paman, bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah lukanya
mendapatkan perawatan. Sementara itu Paman dapat berceritera dengan
tenang tentang apa yang telah terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”
Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya
Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup
lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel pula
mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan
membersihkannya dengan air hangat.
“Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu. “Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.
Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan,
maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta, “Apakah yang
telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”
Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan
semua yang telah dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota,
sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menambahnya
sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-olah
menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana
mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan.
Mahesa Jenar mendengarkan setiap
kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo
Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di
hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia
merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari
bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang
menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya.
Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.
Ketika Wanamerta telah berhenti
berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang
akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.
“Paman.…” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan. “Kalau
demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini
orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat
melukai hati rakyat Banyubiru sebagai pembalasan dendam.”
Semua terdiam. Wanamerta sendiri
menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan
diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil.
Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi bukanlah salah Paman.”
Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu.
Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula, “Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?”
Wanamerta menggeleng lemah. “Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger.”
“Aneh...” Mahesa Jenar bergumam.
“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat, “Mereka
adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki
Banyubiru. Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara
tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan
itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia
menunduk malu.
“Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.
“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?” desak ayahnya.
“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.
“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata, “Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.”
Mahesa Jenar akhirnya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak
muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya
adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.
“Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.
“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara, “Nakalnya memang bukan main.”
Wanamerta menarik alisnya yang sudah
keputih-putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti
ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal
yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia
berkata, “Itulah sebabnya, maka anak muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng Supit, Wiraraga dan Mantingan.”
“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.
“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta. “Disebut-sebutnya nama-nama itu.”
“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara, “Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”
“Luar biasa….” Terdengar hampir setiap mulut bergumam.
Namun mereka tidak lama terpaku pada anak
muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan
yang cukup gawat. Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada
di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang Tumaritis, untuk mohon
diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke Demak? Apakah ia
telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari
tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan
kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung?
Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan.
Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab. Yang kemudian terdengar
adalah suara Mahesa Jenar, “Paman, bagaimana menurut tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”
Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab, “Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus mencegahnya.”
Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya
Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan
dada tengadah ia berkata, “Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”
Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu
ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta,
Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru
yang lain tiba-tiba serentak berkata, “Kita serahkan jiwa raga kita untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”
Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan
itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan
cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia
sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang
Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan
gelora kesetiaannya, “Kiai Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”
“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu. “Memang
masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu
pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini
dan untuk masa-masa yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun
seandainya kalian tidak akan mengecap kenikmatan hasil perjuangan
kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada
suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri
sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun
dengan cita-cita luhur dan murni.”
Dada para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru sekarang juga.
Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru sekarang juga dengan Arya Salaka.”
Ketika Mahesa Jenar berhenti berbicara,
tampaklah para pemimpin Banyubiru itu saling berpandangan. Mereka tidak
begitu mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Penjawi
bertanya, “Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang akan pergi ke Banyubiru?”
Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab, “Tidak. Kalian semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”
Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar agaknya masih akan mempergunakan cara damainya, yang
menurut dugaannya sama sekali tak akan berhasil. Karena itu
terdengarlah ia menyahut, “Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”
Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya.
Dengan ragu-ragu ia memandang Kebo Kanigara, seolah-olah minta
pertimbangan. Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya mengendalikan
perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi sama sekali
kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam pembicaraan itu. Sebab
laskar Banyubiru itu lebih banyak mengenal Mahesa Jenar daripada
dirinya. Dengan demikian Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan
kepalanya dan mencoba mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya
Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan untuk menenangkan seluruh
laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak muda itu, baik
Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat menekan dada mereka.
Sebab dari mata anak itu memancarkan api kemarahannya yang menyala-nyala
sehingga dalam mata itu seolah-olah membayangkan cahaya api yang
bergelora.
Apalagi ketika kemudian terdengar anak muda itu berkata, “Paman, matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Namun di
dalam hatinya berkecamuk kecemasan yang gemuruh. Kalau ia menuruti
perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar Banyubiru itu, maka
akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang terjadi kemudian adalah
pertempuran yang mengerikan antara sesama keluarga. Antara orang-orang
Banyubiru melawan orang-orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh
sebagian kecil orang-orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah
ibarat daun sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya,
namun apabila digigit, akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah belahan
dari tanah perdikan yang tunggal, tanah perdikan Pangrantunan.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia berkata, “Tentu.
Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau adalah
kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang pahit lebih
dahulu sebelum kita coba jalan yang licin?”
“Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” bertanya Arya Salaka.
“Kemungkinan masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau datang kepadanya,” jawab Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia
melihat Sendang Parapat terbaring, menyala kembalilah hatinya. Karena
itu ia menjawab, “Kalau Eyang Sora Dipayana mampu mencegahnya, maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban
itu. Agaknya Arya telah hampir tidak sabar lagi. Meskipun ia dapat
mengetahui perasaan apakah yang telah mendorong anak muda itu, namun apa
yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang
dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang dimilikinya,
maka ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan rakyat Banyubiru.
Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa usahanya bertambah sulit. Namun demikian ia menjawab, “Arya,
persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan
sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada
persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat bijaksana.”
Arya Salaka kurang dapat memahami cara
berpikir gurunya. Namun sebagai seorang murid yang selama ini merasakan
betapa gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan
tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk membantahnya. Di
sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh kepercayan yang kuat terhadap
gurunya itu. Kepercayaan yang sedikit terdesak oleh kemarahan yang
meluap-luap. Ia tahu pasti, bahwa seperti bisanya gurunya akan
membawanya lewat jalan yang paling bersih dari kemungkinan noda-noda
yang dapat memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu,
ketidaksabarannya telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah.
Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau
kemudian Arya Salaka itu diam, bukanlah karena ia dapat meyakini
kata-katanya. Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup
sekam. Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar
harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus tidak
mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak dapat membiarkan
anak-anak Banyubiru itu menjadi korban ketergesa-gesaan mereka.
Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-sama.”
Sambutan atas ucapan itu, terdengar
seperti gunung meledak. Laskar Banyubiru itupun bersorak dengan riuhnya.
Tiba-tiba di dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung senjata,
seperti anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat
ujung-ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji
setia yang diucapkan tak teratur berebut keras.
Para pemimpin laskar Banyubiru itupun
kemudian berpencaran ke pasukan masing-masing. Sesaat kemudian riuhlah
perkemahan itu. Semua hari bersama-sama menyanyi, “Kembali ke kampung halaman, kembali ke tanah kelahiran. Enyahkan kelalilman dan tegakkan keadilan.”
Arya Salaka pun menjadi bergembira pula.
Semakin cepat ia sampai ke kota itu akan semakin baiklah baginya. Banyu
Biru bagin Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak ternilai besarnya,
disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak.
Karena itu, tanpa dikehendakinya, iapun
melompat ke luar dari ruangan itu. Dengan wajah berseri ia melihat
laskarnya mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu kemah ke kemah yang
lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia ingin mengetahui
segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya.
Namun dalam pada itu, di dalam kemahnya,
Mahesa Jenar duduk termenung. Ia tidak dapat pergi meninggalkan laskar
Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar pengawasannya,
dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru merugikan nama baik
mereka dan bertentangan dengan tujuan mereka. Tetapi untuk membawa
mereka serta agaknya juga akan menjadi persoalan. Bagaimana
sebaik-baiknya menghentikan mereka, dan memberi kesempatan kepadanya
untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia
masih mengharap kewibawaan orang tua itu atas putra serta cucunya.
Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata, “Mahesa
Jenar, tipislah harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali
bertempur. Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri.
Dan Arya Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ia masih
mempunyai harapan untuk menghentikan pasukan itu di tengah jalan, dan
membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah caranya, sehingga
tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar yang setia itu?
“Kalau Arya dapat kau tenangkan,
Mahesa Jenar, mungkin seluruh laskar ini pun akan tunduk pada
perintahnya. Sebab api didalam dada mereka itupun semakin berkobar
ketika Arya Salaka berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.
“Tak ada jalan untuk berbuat demikian
Kakang. Arya telah waringuten. Agaknya ia tak dapat diajak berunding
lagi. Meskipun seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru
berbahaya bagi dirinya,” jawab Mahesa Jenar.
”Ya”, jawab Kanigara pendek, ”kau benar”
Kembali ruang itu ditekan oleh
kesenyapan. Masing-masing mencoba mencari jalan untuk memecahkan
persoalan laskar Banyu Biru yang meluap-luap itu.
Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata kepada Endang Widuri, “Endang, bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?”
Widuri tidak tahu arah persoalannya.
Meskipun ia mendengar pembicaraan ayahnya dan Mahesa Jenar, namun
sebenarnya ia lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka. Kenapa Banyubiru
itu tidak digempur saja. Mati atau ukti. Dengan demikian persoalannya
akan lekas selesai. Karena itu iapun menjawab, “Aku bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap jantan yang dimilikinya.”
Rara Wilis mengangguk-angguk. “Kaupun bersikap jantan,” katanya.
“Kenapa aku…?” sahutnya. “Aku hanya sekadar bergembira melihat sikapnya.”
Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata kepada diri sendiri, “Aku
teringat pada cerita Purwa, pada saat menjelang Baratayuda. Orang-orang
Pandawa pun menjadi ragu-ragu. Apakah mereka harus berjuang melawan
sanak kadang mereka sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak
dapat dihindari. Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah
dicoba. Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada
pamannya sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang bijaksana,
dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana sendiri.”
Yang mendengar ceritera itupun berdiam
diri. Masing-masing dengan tanggapannya sendiri. Namun tak seorangpun
yang memotong cerita itu.
“Ketika Bisma gugur…” lanjut Wilis, “Para
kadang Pandawa masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu.
Mereka masih sempat minta maaf dan minta pangestu kepadanya. Demikian
juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa sempat mengharap orang
tua yang sakti itu. Dengan air mata mereka berdua minta agar mereka
dijauhkan dari dosa mereka, karena mereka harus bertempur melawan
saudara-saudara mereka yang lebih tua.”
Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan dengan penuh minat. Tetapi wajahnya telah berubah dari semula.
“Ketika kedua junjungan para darah
Barata itu gugur, menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal
lagi mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap sebelumnya. Mohon
maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan lebih menyesal pulalah
mereka, seandainya sebelum Baratayuda itu mulai, mereka belum bersimpuh
di hadapan para junjungan itu.” Wilis meneruskan.
Widuri menarik nafas. Otaknya memang
benar-benar cemerlang seperti bintang pagi. Sebelum Rara Wilis
meneruskan, Widuri berkata perlahan-lahan, “Bukankah Arya Salaka
mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya Salaka itu
berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam bentrokan ini?”
Rara Wilis mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan perlahan-lahan pula ia menjawab, “Tak seorangpun yang
mampu menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah kau mau
menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya kelak?”
Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar,
Wilis dan orang-orang lain di dalam ruangan itu dengan senyum yang
kecil. Tiba-tiba ia merasa berbahagia menerima tugas itu. “Tidak adakah orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.
“Akan aku coba,” katanya, “Supaya
Kakang Arya Salaka tidak berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi
sebaiknya Arya Salaka sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah
dengan demikian Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya? Namun
apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal seandainya
eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah bersujud di bawah
kakinya.”
Semua yang mendengar percakapan itu
menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas
kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai
tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan Endang
Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum
pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar
sempat juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya,
Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui
dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang
lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang
menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak
saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi.
Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran tangan saudara tua
seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana, sebagai seorang
isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang
kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh
penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan,
manusia serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya
yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi
ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai
keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar
pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak
Kebo Kanigara.
Widuri kemudian tidak menunggu terlalu
lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan
tugasnya sebaik-baiknya. Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya
Salaka diantara keributan para anggota laskar Banyubiru itu.
Widuri menemukan Arya Salaka di ujung
perkemahan itu. Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu
yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah
pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya.
Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun menoleh. Sambil tersenyum ia menyapa halus, “Siapakah yang kau cari Widuri?”
“Tidak ada,” jawab gadis itu
singkat. Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat ke atas
batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan,
supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya. Tetapi sebelum ia
mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata, “Sebentar lagi aku akan pergi ke bukit itu.”
“Ya,” jawab Widuri singkat.
“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab Widuri.
“Ya.”
“Banyubiru harus dapat memancarkan
kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di jantungnya, yang telah
hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali
sebesar-besarnya.”
“Ya.” Widuri mulai gelisah.
Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya.
Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka
itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.
Wajah Arya bertambah gembira. “Kau dengar itu…?”
“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.
“Marilah kita bersiap,” ajak
Arya. Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta
ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi
sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup
lembah-lembah, menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga
Raja yang marah menuntut balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan,
mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan,
Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil
menjinjing perisai yang belum diterapkan. Melihat pelengkapan itu, dada
Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan perisai.
Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak
larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa
diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Ia
sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua
bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat
persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi
berdebar-debar. Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga,
Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat
itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping
perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang
ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan
perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu. Pada saat yang
demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap
untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat
perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat
barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan
tajam. Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula.
Satu-satu ia memandang wajah yang riang
di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam
perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.
Mahesa Jenar kemudian keluar dari
kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka
tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian
tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung
pedang tipisnya.
Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun berkata, “Arya bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”
Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia
meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak
itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik. Senjata
yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya, namun senjata
itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan Banyubiru.
Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang
Widuri sendirian, Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis
berdiri. Perlahan-lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik, “Bagaimana? Sudahkah berceritera kepada Arya Salaka?”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab, “Belum.
Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya
boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.
“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis. “Di perjalanan kau masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?”
tanya Kebo Kanigara, meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin
mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya, “Apakah aku harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut ayahnya.
“Tidak mau,” jawab Widuri.
Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula. “Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.
“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri. “Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi.
Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun
demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu, katanya, “Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.”
Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap
untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari
ke kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana
latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai
peraknya. Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya
berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.
Ketika ia telah siap, segera iapun
meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya.
Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan
tombak Kyai Bancak di tangannya.
Di hadapan mereka, berbarislah dalam
kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta,
selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan
setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama
mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, “Perjalanan
kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa
bertempur, maka setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan
untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan
milik kalian yang paling berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan
meninggalkan barisan.”
Terdengarlah suara bergumam di dalam
barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan barisan. Dengan semangat
yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
“Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan, “Ternyata
kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur
ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan
kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
Kembali terdengar suara bergumam di dalam
barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa
Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan, “Tujuan kalian yang
terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas pemerintahan
Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir.
Tetapi bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya
pemerintahan Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya
tanpa bertempur, tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh
kalian, janganlah kalian mencari perkara.” Mahesa Jenar diam sejenak. Ia melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya. Kemudian ia menyambungnya, “Tetapi,
perhitungan kita adalah perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng
pertahanan orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian
siap?”
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh.
Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya
tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak. “Kami telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.”
Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak
sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang
mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam.
Terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Tanahmu
adalah tanah pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu
cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan Tuhanmu.
Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa
mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang
pula kata-kata Mahesa Jenar, “Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.” Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka, “Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak
mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu,
ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya,
iapun tahu apa yang harus dikerjakannya.
Maka Arya Salaka pun melangkah maju.
Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta
adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah
perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan
itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau
meninggalkannya.
———-oOo———-
III
Ketika Wanamerta telah berdiri di
sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah
kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda,
bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri
mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata
mereka, pakaian mereka.
Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat
tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk
kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga
penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya,
yang memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk
yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh
barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu
berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih
kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu,
ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan
Demak. Namun meskipun demikian, umbul-umbul ini pun memberinya kesan
yang menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya
panji-panji kebanggaan tanah perdikannya, Dirada Sakti. Apalagi ketika
matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak,
hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa ayahnya
dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi. Warna
Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk
menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan
Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar
Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh
orang-orang Pamingit.
Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik
nafas dalam-dalam. Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit.
Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan
sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang
memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam
tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari
kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah
segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti
berlaku. Kami adalah domba-domba yang menggantungkan nasib kami kepada
penggembalanya yang Maha Pengasih dan Pengampun.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu,
tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai
seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin
dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang
pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada
tindakannya.
Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih
lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi. Dan sesaat kemudian
menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit
harimau lapar.
Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti,
menyautlah suara sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh,
seirama dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu.
Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya
Salaka dan Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan
Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.
Ketika barisan itu sudah mulai
bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis, “Akan aku coba,
Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”
Rara Wilis mengangguk sambil tersenyum, jawabnya, “Kalau
kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula
mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang
akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta
berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang
telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka
kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan
kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari
pertumpahan yang urung nanti.”
Terasa sesuatu bergerak-gerak di
tenggorokannya. Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya.
Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan
tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya memandangnya
pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran dapat
dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih
rapat lagi. Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri,
katanya, “Inilah bandul kalungmu. Pasanglah.”
Widuri menerima pemberian itu. Ia
terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di
tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar
cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran
api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi
tajam.
“Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.
“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.
“Apakah namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?”
Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya. Katanya, “Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,” potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.”
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang
menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang
diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih
cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
“Kakang...” bisik Endang Widuri
setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali
ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat
untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”
Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?” ia bertanya.
“Cakra,” jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam Arya Salaka, “Lihat.”
Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya
Salaka yang mengaguminya. Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu
adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri akan
menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam pertempuran. Pada saat
ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan, rantai gadis
itu sama sekali tidak berbandul. Dengan rantai itu saja Bagolan sama
sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya
tersangkut senjata itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya, “Kakang, apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?”
Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya, “Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.”
“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.
Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat
matahari telah melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar.
Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia
akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat memperhitungkan, apakah
ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau
lebih.
Tetapi ia sudah punya rencana lengkap.
Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari
petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah
yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan.
Soalnya hanyalah soal waktu saja.
Ia harus membagi pasukannya dalam tiga
bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus
membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur
untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap
kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping itu,
sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang
bantuan dari Pamingit.
“Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.” Akhirnya terdengar Arya bergumam. “Hari
ini aku akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti
sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan
memasuki kota.”
Widuri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kalau demikian ia tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini
telah terpecah, maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang
sudah dipersiapkan itu.
“Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.
“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman
Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan
dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Sariti pun akan
memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin,” gumamnya.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari
ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar
memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia mengemukakan
persoalan demi persoalan.
Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata
sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya
Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain. Tetapi
kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari
Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri
tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap
kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian
merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di
dalam pertempuran ini. Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap
kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang telah lama
hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di dalam pasukannya
yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata
memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu.
Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada
pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan
berkata, “Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya
Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar.
Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya, “Lembu Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.” Lalu pamannya itu menjawab, “Baiklah ayah.” Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari? Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.
Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam
diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada
bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh
bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian
muncul kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.
Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa seperti membakar kulit.
Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah
yang sedang bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari
kata-katanya. Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah
yang tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu.
Ketika laskar itu akhirnya muncul dari
daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas
terbentang dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan
barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu
sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan
seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju
ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang
luas, yang di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan
pohon-pohon perdu yang berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit
kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung.
Ketika matahari telah mulai merendah,
barulah mereka sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah
persawahan. Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang
pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang
rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang
tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan
Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik, “Kau lihat debu itu, Widuri?”
Endang Widuri mengangguk. “Kuda,” desisnya.
“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.
Debu itu semakin lama menjadi semakin
tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang
ditelan cakrawala.
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu
ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah
seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat.
Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa
yang pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mempunyai tanggapan yang lain. Orang itu
bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.
“Jadi siapakah dia?” tanya Kebo Kanigara perlahan-lahan. “Tak ada lain, orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya. “Satu-satunya kemungkinan,” gumamnya.
“Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,” sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.
Mahesa Jenar pun kemudian berdiam diri.
Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda
yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana anak
muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia
akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar
ini menuju kedalam bahaya.
Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka
mengangkat tangan kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali
berturut-turut. Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan
isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang
kepadanya.
“Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata, “Siapkan
laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke
Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan
datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan
langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang
harus melakukan pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri
serta membuat pertahanan-pertahanan baru.”
Para pemimpin itupun telah tahu benar apa
yang harus dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan
seperti yang mereka dengar sebelumnya.
“Tetapi…” kemudian Arya Salaka meneruskan, “Kalian
jangan bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus
mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil.
Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.”
Para pemimpin itupun mengerutkan
keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka,
menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti
malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka
masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka
telah berada di garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah
menunggu sampai besok, sebab orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan
penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap. Tempat
itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan
menjadi ujung-ujung sayap.
Kelompok yang akan menjadi sayap kiri
telah memisahkan diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu
ikut serta Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan
Wirasaba. Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung
berada di tangan Arya Salaka.
Melihat keadaan itu, Endang Widuri
menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka belum memberikan
perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti
malampun belum.
Ketika sebagian dari laskar itu telah
beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda
yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin
mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa
Jenar.
Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara Wilis.
“Paman…” katanya setelah ia pun duduk, “Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya, “Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan
pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana
sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah
lenyap.
Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu
sama sekali bukan pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan
yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.
“Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab. “Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya, “Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan, “Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”
Arya Salaka mengangguk-angguk.
“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati.
Arya Salaka tidak menjawab, tetapi
tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit
pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat
ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan
hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya
mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih
dan Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari
orang-orang Gunung Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang
kehilangan anak dan menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara
Wilis, pasti akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan
yang mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu.
Persamaan kepentingan itu akan mereka
padukan sebaik-baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga
mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasradan Kyai
Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah menyusun kekuatan untuk merebut
Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan menuju ke Demak. Menurut
anggapan mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,
berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari Banyubiru
dan Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang kekuasaan tertinggi. Demak.
Meskipun di dalam dada mereka itu masih selalu terngiang
pertanyaan-pertanyaan, “Lalu siapakah orangnya yang akan memegang
kekuasaan tertinggi diantara golongan hitam itu? Pasingsingan? Sima
Rodra? Atau dari angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka Soka atau
yang lain lagi…?”
“Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.” Terdengar Arya kemudian berkata. “Mereka akan menggempur kita, apabila tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita melawan orang-orang Pamingit.”
Mahesa Jenar mengangguk.
Kembali Arya merenungkan kata-katanya
sendiri. Alangkah jelasnya persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah
melangkahkan kakinya karena itu ia pantang mundur.
“Akan aku bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga bagian laskarku,” katanya kemudian. “Aku
kira aku harus membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan
itu harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan datang
kemudian.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di dalam hatinya ia bangga atas keterampilan Arya Salaka.
Namun keterampilan itu adalah keterampilan pikiran anak muda yang masih
berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak
membantahnya. Ia mengharap, dalam ketenangan istirahatnya nanti Arya
akan menemukan sendiri pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan
mencoba menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan
persoalan-persoalan lain. Diantaranya orang berkuda yang terang orang
dari gerombolan hitam.
Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan dengan langkah gontai ke arah mereka.
Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar pada Rara Wilis.
“Dari mana kau Widuri?” tanya Rara Wilis.
“Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama dengan Paman Mantingan menangkap kelinci-kelinci liar,” jawabnya.
“Kau pergi ke sayap kiri?” potong Arya Salaka.
“Ya,” jawab Rara Wilis, “Mereka sedang merebus air.”
“Jangan mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi nasehat. “Di gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya yang mengancam keselamatanmu.”
Widuri tersenyum. “Bukankah aku sudah mempunyai cakra?”
“Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya, “Dengan demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”
“Jangan marah ayah,” jawab Widuri, “Aku hanya bergurau.”
“Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan. “Sekali-kali aku masih ingin menarik kupingmu.”
“Jangan ayah,” potong Widuri, “Bahkan
mungkin Kakang Arya menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku
mondar-mandir, sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”
“Apa…?” Arya tertarik pada keterangan itu.
“Cermin,” jawab Widuri.
“Cermin…?” Arya semakin
tertarik, juga Mahesa Jenar. Segera teringatlah ia pada saat Lembu Sora
mencegat laskar Demak yang membawa Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan
tanda-tanda dengan benda yang berkilat-kilat.
“Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan dari desa yang jauh itu,” jawab Widuri.
Mendengar keterangan Widuri itu Arya
mengangkat wajahnya, memandang jauh ke arah desa yang ditunjuk oleh
Endang Widuri. Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik perhatian.
Bahkan Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya
memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah di dalam
otaknya, pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana. Sehingga
seolah-olah pada setiap batang didalam desa itu, berdiri seorang laskar
Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan laskar Banyubiru itu dengan
senjata di tangan.
Arya Salaka pun kemudian berdiri.
Memanggil dua orang pembantunya, memberitahukan kepada kedua sayap
laskarnya. Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka
harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan, golongan hitam
akan mengail di air yang sedang keruh. Kedua orang itupun segera
menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun kedua orang itu masih belum
membawa perintah kepada sayap-sayap pasukan itu untuk bergerak.
Disamping kepada kedua orang itu, kepada Sendang Papat yang berada di
dalam pasukan induk itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk
memisahkan sebagian laskarnya yang harus tetap segera untuk menghadapi
lawan baru yang setiap saat dapat mengancamnya.
Tetapi keterangan yang diberikan kepada
sayap-sayap laskarnya, sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan
hitam akan mengail di air yang keruh. Kenapa ia mesti mengeruhkan
airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya. Apa yang dilakukan Arya
Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau pamannya tidak
melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang berlaku, maka iapun tidak
akan melakukan perjuangan dengan kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab
dari keributan yang bakal terjadi adalah terletak di pundak pamannya.
Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke
langit. Matahari telah semakin rendah, dan sebentar lagi akan hilang
dibalik bukit-bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan manyar
telah berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di atas
pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.
“Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,” kata Arya Salaka kemudian. “Sebentar lagi malam tiba.”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi mungkin besok pagi-pagi benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba tangannya membelai tombaknya seperti membelai
kepala adik kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut
pula orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah
diantara mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya Salaka menjadi
bersedih hati mengenang kemungkinan-kemungkinan itu. Tombaknya itu
mungkin besok akan menusuk jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan
bukankah Sawung Sariti tidak hanya kawan sepermainannya, tetapi justru
saudara sepupunya? Tetapi meskipun demikian pedang anak muda itu hampir
saja menembus dadanya.
Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang
membayang di wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang Arjuna yang
ragu-ragu pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang
dilakukan oleh Mahesa Jenar, sama sekali berbeda dengan apa yang
dilakukan Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk sementara membiarkan
saja Arya Salaka diganggu oleh kegelisahannya.
“Sampai malam nanti…” pikir Mahesa Jenar.
Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini
bukanlah pamannya itu sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan
ceritera Baratayuda itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah
berbahaya. Bahkan laskar hitam itu sama sekali tidak terikat pada suatu
tata kesopanan ataupun kepercayaan yang dapat mengendalikan kebiadaban
serta kekejaman mereka.
Ketika matahari kemudian terbenam, mereka
masing-masing mencari tempat mereka sendiri-sendiri untuk beristirahat.
Disana-sini bertebaran para petugas yang harus mengawasi keadaan,
dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya Salaka mengadakan
peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di sana-sini tampak
perapian menyala-nyala. Mereka kemudian seperti berpesta, ketika
serombongan orang-orang yang bertugas membawa kiriman makan datang ke
tempat itu.
Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan, “Bawalah
untuk besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang terakhir
kalinya. Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami beritahukan, apabila
pertempuran sudah mulai.”
Kemudian keadaan menjadi sepi kembali.
Masing-masing mencoba untuk mempergunakan waktu istirahat
sebaik-baiknya. Namun di dalam dada Arya bergolaklah persoalan-persoalan
yang rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai pada
waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk bergerak.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi
semakin cemas pula atas setiap keputusan yang diambil oleh Arya Salaka.
Karena itu ia sama sekali tidak berani meninggalkan anak itu. Meskipun
seolah-olah ia sama sekali tidak ikut campur pada setiap keputusan Arya
Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu ternyata sangat
berpengaruh.
“Paman...” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan, “Bagaimanakah kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap laskarku?”
Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada
suatu ketika ia akan menghadapi pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang
sangat sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia masih belum
melepaskan usahanya. Katanya, “Adakah kau sudah menganggap cukup waktu?”
Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya, “Kalau aku kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan kita ini Paman?”
Arya Salaka benar. Sedang orang-orang
Pamingit itu telah siap di hadapannya. Mungkin mereka akan membuka gelar
lebih dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi mereka tak akan
dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan kedua sayapnya
agak jauh.
Meskipun demikian orang-orang Pamingit
dapat memotong sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk
pasukan dengan gelar yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta atau
Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang akan memimpin laskar
Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu Sora sendiri, pasti tidak
akan mempergunakan gelar terakhir. Mereka pasti lebih senang memilih
gelar Cakra Byuha atau Dirada Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang
pernah mereka lakukan terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat
besar, Glatik Neba atau Samodra Rob.
Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak
dapat menutup kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau Arya kini
tertekad bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu, ia
akan digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang
merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya. Maka
kemungkinan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya, apabila ia akan
menghadap eyangnya, adalah sekarang. Dan ia harus kembali sebelum
tengah malam. Apabila keadaan tidak menguntungkan, sayap-sayapnya masih
akan dapat mencapai tempat yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul
Banyubiru dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud demikian?
Untuk menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata, “Siapakah
menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok?
Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?”
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada
Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin
pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora?
Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa
Jenar mengharap untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap
kakeknya. Karena itu ia mendesak, “Kalau eyangmu yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan membinasakan.”
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru
karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar
sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya,
bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu. Tetapi bagaimanakah
kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka pada
ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat
dengan Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan
mereka, mereka terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena
desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka
membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka mengetahui sebelumnya.
Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang bernama Srikandi-lah
yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga
Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus membunuhnya.
Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf atas
segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden
itu.
Tiba-tiba terdengar Arya berdesis, “Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar, “Aku sanggup melawannya.”
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur
tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya
yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi keadaan yang
sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-kanaknya, dimana ia sering
dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan
kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang
yang menawan.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan. “Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”
Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar, “Atau kau cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar perkataan itu, tanpa
disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya. Cepat Mahesa Jenar
berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya, “Arya, sebenarnya di
dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang dahsyat.
Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan
dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari
keluhuran budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib,
tidak saja eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka,
bagaimanakah dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu
sebelum api pertempuran ini berkobar?”
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi
ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena
itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk
sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa
alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah
berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang
akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu.
Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya, “Kalau
kau ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara
menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau orang-orang
Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil
memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman
Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara,
atau anak panah api.”
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.
“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “berkuda,
dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud
baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah
malam, kita harus sudah berada di tengah-tengah laskar ini.”
———-oOo———-
IV
Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri,
Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada
Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula. Kepada Rara
Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya
Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah
apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak. “Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,” katanya.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia, “Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”
“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.
“Aku punya alasan,” potong Arya, “Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.
Sendang Papat tidak bertanya lagi. Alasan
Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun
Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab, “Akan
aku siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan
menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau
berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk
memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab Arya, “Kami
akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka
tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan
sayap-sayap itu.”
Setelah memberikan beberapa pesan-pesan,
serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka
berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang pembawa obor
besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya
Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor.
Rombongan itu sangat menarik perhatian
laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan
dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para
pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan
demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak
akan berarti.
Demikianlah dalam waktu yang singkat,
rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka
berjalan dijalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah
yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang
dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa
yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat
cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.
Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan, “Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau kau berjalan beriring dengan
laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam
gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh
kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi
disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat
melawan lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus
peperangan. Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami,
sedang anak-anak mereka akan menangis karena lapar.”
Terasa sesuatu menggores di dalam dada
Arya. Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan
cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri
dan anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya, “Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta
kita kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang
tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah cinta
kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air
dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan
hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta kita adalah
cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita
gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan
lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak
ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang
kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan
antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta
kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan dengan
cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
“Tidak,” kata gurunya itu, “Kita
bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada
tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada
manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup
kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya
mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa
merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan
duniawi.”
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang
peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya
perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan
diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Demikianlah kalau
peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang
dapat menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus
dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur.
Karena itulah maka Arya sadar, bahwa
gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya,
nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya
pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
“Ada apa?” ia bertanya.
Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa
tampaklah beberapa orang berdiri. Kemudian terdengarlah salah seorang
dari mereka berteriak, “Berhentilah di situ.”
Arya kemudian mendorong kudanya,
mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi
kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan
menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
Demikian asyiknya Arya menganyam
angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang
menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh
orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan
diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi,
maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah
berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara
itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya
Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping
anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu.
Beberapa orang itu kemudian berdiri
mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak
mengepung rapat-rapat. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya
maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata, “Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?”
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, “Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak, “Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab Arya.
“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.
“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta,
“Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada
tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu
air di saat kau haus.”
Orang itu terkejut. Memang matanya agak
kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta.
Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan
tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik. Tiba-tiba terpekik dan
berlari memeluk kaki orang tua itu. “Bukankah Tuan… Kiai Wanamerta?”
“Akulah,” jawab Wanamerta.
“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira…” bentak pemimpin rombongan itu, “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira, “Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”
“Tidak!” bentak pemimpin itu. “Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban
kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan
ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit. “Akupun
kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku
agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi
Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”
Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata, “Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya. “Kau akan melawan pemimpinmu?”
Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa
bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena
itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian,
sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan
dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak
dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki
terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora
memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia
mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan
membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran
di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan
sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk.
Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang
buas sedang berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita
Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi. Disusul
kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat,
yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian
gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat
telah membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar
itu tak terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang
Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari
kemarahan orang-orang Banyubiru.
Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan
dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita itu sama sekali tidak
benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan
kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya
sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.
Di dalam gelap malam itu terasa betapa
sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah
olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda
benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar itu.
Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan pengawal itu, “Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”
Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat, “Aku Arya Salaka.”
“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.
Tiba-Tiba rontoklah hati orang Banyubiru
itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah
dianggap hilang. Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan
sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi
orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak
tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada
pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang
dapat dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap
kawan-kawannya.
Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera mendesak maju.
Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus, “Jadi kaulah orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”
“Kenapa mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya ia berkata, “Bersiaplah. Ada
pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku
bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal itu pun semakin maju.
Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat
pula dengan senjata terhunus. “Satu, dua tiga, empat, lima enam.” Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu. “Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak…” kata Arya Salaka tenang, “Jangan
mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami
hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu
kami akan kembali.”
“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.
Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab, “Jangan
membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri
Arya Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di
gardu pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di
bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping
gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan
laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” bertanya Arya. “Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu menggeleng. Perintahnya, “Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang
yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor itu
untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.
Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula, “Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia berkata, “Ah,
betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah
adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di
sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya berkata, “Suatu usaha
yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan
untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari
alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup
atau mati.”
Diam-diam Arya Salakapun menghitung
jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya
limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya
berjumlah enam orang itu.
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu membentak, “Aku
punya wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak,
matipun tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”
“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah. “Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu itu.”
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah
mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk.
Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar dari
pemimpinnya itu. Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang
dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata, “Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada
saat itu aku dan Sendang Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh
orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda.
Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda dengan tangannya.
Waktu orang-orang Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya
Salaka pun mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang
biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan biarlah
kepalamu saja yang dipecahkan.”
Arya Salaka sendiri geli mendengar
kata-kata itu, namun ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit
itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya
Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia melihat
tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar
tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.
“Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda
itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai
banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu penjagaan
kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat menyiapkan
laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang,
untuk melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi
tenang kembali. Dengan beraninya ia berteriak, “Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah
tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan
memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan
dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada
Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang
berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara laskarnya kembali.
Bukan main panasnya hati orang Pamingit
itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia
berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit
tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak putus asa,
dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu putaran, ia
menjadi tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa
itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan
yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya
dan kemudian mengaduh tanpa dapat melawan.
Ketika mereka sadar, segera merekapun
bergerak maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam
pada itu terdengar Arya berkata, “Tidakkah kau dapat mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa bencana bagimu?”
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya, “Biarlah
kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau
tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”
Arya Salaka tertawa. “Kau dengar?” katanya kepada para pengawal, “Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,” bantah pemimpin
pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan
lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai
kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi
ketika terdengar Arya berkata, “Tombak orang Banyubiru agaknya
memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit, namun
tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras, “Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Para pengawal itupun tertegun. Mereka
jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang
bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka
tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan
sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata, “Dengarlah
para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali
aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga seorang yang pernah kau dengar
namanya, yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang yang
pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang
Pamingit mencoba menangkap Bantaran.”
Pemimpin pengawal itu menggeliat. “Setan!”
Ia mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok
orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali
tak berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh
menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar
ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari pemimpinnya itu.
“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.
Mereka diam seperti patung. Ternyata di
dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah
mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan
yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah
yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan
mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap. Mereka
memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka
dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah
sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab
sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya, “Ki
Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah
sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya untuk melampaui gardu
penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”
Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia
menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia
tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus
jantungnya.
“Marilah…” kata Arya, “Berkuda bersama-sama dengan aku.”
Sungguh suatu pekerjaan yang tak
menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang
bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia
masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan
langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke
kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya
bersama-sama.
Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?”
bisik Arya kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi
kupingnya serasa tersentuh api. Meskipun demikian ia berkata, “Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.”
“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.
Ketika obor-obor mereka telah padam,
mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab
mereka sama sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah
yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat
mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang
Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan
berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat mengatasinya
tanpa banyak keributan.
“Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya, “Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta
berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun
kemudian dipanggilnya mendekat.
“Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta. “Setiap saat kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah api.”
Orang itupun segera menyediakan titikan,
emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka
dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
“Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.
“Baik Kiai,” jawab orang itu.
Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin
lama semakin dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah
sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan.
Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali rumah-rumah
di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah
mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka
yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.
Orang-orang Pamingit ternyata tidak
mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit
banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang mereka
terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian
mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka
terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya.
Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka
bekerja semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang
Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang
memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih
mengharap untuk dapat hidup dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian
hanyalah mereka-reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan
atasannya.
Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin
dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah.
Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu
penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya
tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya,
maka mereka pasti akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka
jiwanyapun terancam pula oleh ujung tombak Arya Salaka. Karena itu,demi
keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan, “Kita ambil jalan simpang.”
“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum gila,” bantah orang itu. “Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang itu.
“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,”He, kemana arah angin?”.
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah
pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya
meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik, ”terserah kepadamu.”
Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya, “Ke laut!”.
“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara”, jawab orang Pamingit itu.
“He!,” kembali orang di gardu berteriak, “Siapa kau?”
”Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu berteriak.
“Kenapa lewat jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.
“Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, “kenapa demikian banyak?,”
Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu, maka merekapun
menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang
berteriak, ”Bawa kambing kemari, kita panggang disini.”
“Baik,” jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau
penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa
halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,” bisik Arya, “Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya.
Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada
laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu.
———-oOo———-
V
Suara telapak kuda terdengar gemeretak
diatas tanah yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar
seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.
Tiba tiba ketika mereka masih asik
berangan angan tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu
pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga
orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.
“Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.
“Bahaya apa?,” desak Arya.
“Mereka bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,” potong Arya Salaka, “mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”
Orang Pamingit itu diam. Keringat
dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah tanda
bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba terasa tengkuknya meremang
seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak
Arya semakin lekat di lambungnya.
“Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang Pamingit?,” tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab: “Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”
“Bohong!,” bentak Arya, “kau pasti memberikan tanda-tanda rahasia kepada mereka.”
“Tidak, tidak,” orang itu benar
benar menggtigil. Ia masih senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya
bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya
kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya?.
“Bukan, bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian melampaui gardu kedua?”
Arya harus cepat mengambil keputusan.
Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah
mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia
mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya.
Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat
menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan
apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang
licik itu. Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing
hitam kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
“Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.
Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.
“Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.
“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima orang,” sambungnya, “Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.”
Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri
merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang
itu akan dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan, “Anak-anakku
akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan
juragan. Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu
Sora, meskipun itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”
Orang itu tidak sempat menyelesaikan
kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa
terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia
hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan
meninggalkan kepulan debu yang putih.
Untuk beberapa saat ia masih duduk di
tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba
lambungnya, dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas
dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk
ia berkata kepada diri sendiri, “Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku. Aneh.”
Suara derap kuda itupun menjadi semakin
lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri
perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-benar jatuh
terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat
terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya.
Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat
hidup pula.
“Tuhan Maha Pengasih,” desisnya.
Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak
pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri
sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin
mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di
desanya yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia sedang mengusap air matanya
yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk
pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah
beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
“Siapa kau?” bentak salah seorang.
“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja sekenanya, “Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu pula.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya, “Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula. “Aku ditipunya.”
“Bohong,” bentak orang itu. “Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya. Katanya, “Nah,
kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku
kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku
alami. Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang
itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian dengan
kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”
“Pengecut,” bentak salah seorang. “Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga. “Limabelas
orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa
jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”
“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.
“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah. “Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?”
“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.
“Omong kosong,” bentak Srengga. “Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu siapa yang berkuda tadi?”
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek, “Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau tetekan?”
“Lebih dari itu,” potong Srengga. “Mereka adalah Arya Salaka.”
“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu. “Kalau
benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk
menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau
sia-siakan?”
“Aku belum selesai,” sahut Srengga, “Yang lain adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup banyak?” sela seseorang.
“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan, “Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab Srengga. “Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang lalu.”
Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
“Nah…” Srengga meneruskan, “Hitunglah
berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian
hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar
dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat
membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat
memukul tanda bahaya.”
Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan, “Nah,
aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan
mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan
membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki
Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana
ada?”
Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,” jawab Srengga, “Karena
ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan
diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah. “Aku
akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu
itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan
dapat menikmatinya.”
Srengga tidak menunggu jawaban. Ia
langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia
teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke
alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan
mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti. Tanpa sadar, merayaplah
suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia
tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal
itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar
pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi
Arya Salaka dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang
sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula
tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru.
Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah.
Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka
telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi
orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor
laskarnya, telah bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang
teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar
kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda
kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka. Yang paling depan dari
mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah
melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia
belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara.
Namun karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya
Salaka tidak sempat memberikan tanda-tanda itu.
“Mustahil,” gumamnya.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi
gelisah. Meskipun Ki Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja,
namun di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di tangannya
tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir
mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang senjata masing-masing.
Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai
kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba
menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun
yang melontar ke udara.
Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka
beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota.
Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya
bermain pada masa kanak-kanaknya.
Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak
memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang
masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah
mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.
“Adakah laskar Arya Salaka telah datang…” bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam, “Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih, “Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”
Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan
berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain
sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu
terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan
dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang
Pamingit entah oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi
dengan anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk.
lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin menikmati kebesaran
alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha Penciptanya.
Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian
itu segala sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi
darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang
dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor tikus pun,
dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan
terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.
Di rumah sebelah, lelaki tua itu
mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh
kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. “Jangan menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya, “Mengungsi di rumah sebelah.”
Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan
ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah
anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi
mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar
berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih
menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju
ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di
alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan
adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya
sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.
Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar
Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan
laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat
segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah
berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda kentongan
yang mengumandang di garis perbatasan.
Ketika mereka mendengar derap kuda
mendekati, mereka pun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun
muncul pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap,
demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka.
Ketika ujung-ujung senjata mengarah
kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain
dalam rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak
kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai
suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa kekerasan.
Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun,
para penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara rombongan
itu. Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat
berhati-hati.
Salah seorang dari mereka kemudian
melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya.
Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam
cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai. Sedang
Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil
untuk datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu
duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera
dapat mengenal, bahwa anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya
Salaka.
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya, “Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang
itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah
dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawabnya, “Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”
Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali
lagi ia mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia
masih belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu
mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa
di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai seorang
yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora
beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang, “Jawab pertanyaanku. Siapakah kau?”
Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, “Arya Salaka.”
“He…?” Orang itu terkejut, “Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang
lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki
Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula. Sambil
mengangguk ia berkata, “Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh demikian cepatnya.” Tiba-tiba
ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora
kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora
atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah
sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula,
meskipun kewibawaan Arya mempengaruhinya. “Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”
Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap itu. Dengan tenang ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya, “Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”
Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, “Siapakah yang berbaris rapat di perbatasan?”
“Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.
“Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya Wulungan mendesak.
“Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab Arya.
“Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.
Arya memandang Wulungan dengan seksama.
Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya yang mendesak,
mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama. “Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati.”
“Janji yang terkutuk,” desis hatinya.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 20
No comments:
Write comments