SEMENTARA itu, Ken Arok
yang melihat tirai tandu itu tersingkap, kemudian melihat wajah
permaisuri itu menjenguk keluar, terasa seakan-akan hatinya terbanting
di atas sebuah batu pualam. Hancur berserakan. Ia pernah melihat Ken
Dedes sebelumnya. Tetapi ia tidak pernah melihatnya dalam pakaian
kebesarannya. Kini, ia melihat seolah-olah bintang timur sedang terbit
di hadapan wajahnya.
Hati prajurit muda itu seakan-akan
menjadi bengap. Betapa dahsyat darahnya bergelora, serasa tubuhnya
seperti dipanggang di atas bara. Sehingga dengan segenap kemampuan yang
ada padanya, Ken Arok pun berjuang untuk tidak menumbuhkan kesan apapun
pada dirinya. Kesadarannya masih cukup kuat untuk menilai diri dan
menilai keadaan.
Namun dengan demikian, pemusatan
perhatian, getaran-getaran di dalam dirinya dan segenap akal budinya,
telah menumbuhkan gelora yang dahsyat di dalam dirinya, melampaui
saat-saat ia harus berkelahi dengan orang yang paling sakti sekalipun,
seperti juga Ken Dedes yang menahan diri sekuat-kuatnya untuk melepaskan
semua kesan dari wajahnya. Bahkan tiba-tiba saja terbayang di wajah
prajurit muda itu, sebuah kenangan yang telah lama diendapkannya di
dalam hati permaisuri itu. Ia seolah-olah melihat wajah prajurit muda
itu dalam sebuah pusaran atas kenangan masa lampaunya, Wiraprana.
Ken Dedes pernah pula melihat Ken Arok
sekali dua kali di istana. Tetapi ia tidak sempat memperhatikannya,
karena kedudukannya yang sama sekali kurang penting. Tetapi kini ia
berdiri sebagai pemimpin dari semua tugas-tugas prajurit di padang
Karautan. Dan kini ia melihat wajah itu dalam bayang-bayang kenangan
yang ingin dilupakannya.
Ken Dedes tidak tahu, bayang-bayang
apakah yang kini seolah-olah hinggap di wajah Ken Arok dari kenangan
masa lampaunya itu. Tetapi ia merasakan getaran itu.
Namun lebih daripada itu. Dalam saat-saat
yang demikian, tanpa disangka-sangkanya, seolah-olah ia melihat cahaya
yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok. Sekejap. Kemudian
hilang. Tetapi yang sekejap itu telah menghunjam langsung ke pusat
jantungnya. Belum pernah ia melihat dan mendapat kesan tentang seseorang
seperti yang kini dialaminya. Ia tidak melihat sinar serupa itu dahulu
di atas ubun-ubun Wiraprana. Tidak pula pada Mahisa Agni dan tidak pula
pada Akuwu Tunggul Ametung, apalagi orang-orang yang lain. Tetapi ketika
sekali lagi dicobanya untuk melihat warna itu, maka yang dilihatnya
hanyalah bayangan sinar matahari yang jatuh di atas kepala prajurit itu.
Dalam pada itu, Ken Arok pun berdiri
dengan tegangnya. Ia tidak dapat mengerti apakah yang bergetar di dalam
dada permaisuri itu. Namun terasa tiba-tiba tubuhnya menjadi bergetar.
Ia melihat sesuatu yang dirasanya ajaib. Sebuah sinar yang silau
memancar dari tubuh permaisuri itu. Sekejap. Hanya sekejap.
Ken Arok memejamkan matanya.
Digeleng-gelengkannya kepalanya. Ia merasa seakan-akan sedang bermimpi
melihat seorang bidadari yang turun dari langit dalam pakaiannya yang
bercahaya seperti matahari.
Tetapi ketika Ken Arok membuka matanya,
maka sinar itu pun telah lenyap. Yang dilihatnya adalah Permaisuri Ken
Dedes duduk di atas tandu dengan termangu-mangu.
Ken Dedes itu tersadar ketika ia merasa
tangan akuwu menggamitnya sambil berbisik, “Marilah. Bukankah kauingin
melihat taman ini. Taman ini adalah taman yang sengaja aku buat untukmu.
Taman yang akan dapat menjadi tempat untuk melepaskan segala kelelahan
lahir dan batin.
Tergagap permaisuri menjawab, “Hamba Tuanku. Alangkah indahnya taman ini.”
“Marilah. Turunlah.”
Dengan dibantu oleh Akuwu Tunggul
Ametung, Ken Dedes turun melangkahi tepi tandunya. Sekali lagi ia
memandangi para prajurit dan pemimpin rakyat Panawijen yang berdiri di
hadapannya, dan sekali lagi sorot matanya membentur pandangan mata Ken
Arok.
Ken Arok segera menundukkan kepalanya. Ia
sama sekali tidak berani lagi menatap wajah permaisuri yang cemerlang
itu. Yang kemudian dipakukannya di luar sadarnya adalah memandangi tubuh
Ken Dedes itu tanpa memandang sorot matanya. Namun dengan demikian, Ken
Arok melihat keindahan yang hampir sempurna pada tubuh itu. Pundaknya,
pinggangnya, kemudian ujung-ujung jari kakinya, yang pada saat itu
bergerak-gerak turun dari tangga tandu dalam bimbingan Akuwu Tunggul
Ametung.
Namun yang terbayang di dalam kepala Ken
Arok justru kilauan cahaya yang dilihatnya memancar dari tubuh
permaisuri itu. Sekilas, tetapi menumbuhkan kesan yang dalam tergores di
dinding hatinya. Kelainan yang demikian pasti mengandung arti, apapun
artinya. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah kira-kira arti dari
kelainan sifat Permaisuri Tumapel itu.
Permaisuri yang telah turun dari tandunya
itu pun kemudian berjalan dengan langkah-langkah kecil dibimbing oleh
Akuwu Tunggul Ametung, di depan para pemimpin prajurit Tumapel dan
orang-orang Panawijen di padang Karautan yang berjajar di hadapannya.
Satu-satu mereka menganggukkan kepala mereka dan permaisuri itu pun
mengangguk pula. Hampir semuanya telah dikenalnya. Baik para prajurit
maupun orang-orang Panawijen. Sehingga dengan demikian permaisuri itu
sama sekali tidak merasa asing.
Di belakang permaisuri itu berjalan
seorang emban tua pemomongnya yang dibawanya pula dari Panawijen. Tidak
seorang pun yang tahu apakah yang sedang bergetar di dalam dada
perempuan tua itu. Betapa ia bertahan, supaya air mata keharuannya tidak
menitik dari pelupuknya. Bahkan tampak emban tua itu tersenyum. Namun
Mahisa Agni melihat, bahwa mata perempuan tua itu menjadi basah.
Ketika permaisuri itu sampai di depan Ken
Arok, maka ia melihat anak muda itu menganggukkan kepalanya, dan
permaisuri itu pun mengangguk pula. Tetapi baik Ken Arok maupun
permaisuri itu sama sekali tidak berani saling memandang wajah
masing-masing. Bahkan terasa seolah-olah kaki permaisuri itu menjadi
berat. Cahaya yang kemerah-merahan yang pernah dilihatnya, benar-benar
telah mencengkam perasaannya, sehingga mau tidak mau, prajurit muda itu
telah mendapat perhatiannya jauh melampaui prajurit-prajurit dan
orang-orang lain.
Meskipun demikian, meskipun jantungnya
serasa bergetar semakin cepat, namun permaisuri itu masih sempat
mengatur diri. Ketika ia sampai di depan Ki Buyut Panawijen, maka ia pun
mengangguk lebih dalam lagi.
Ki Buyut memandanginya dengan perasaan
yang aneh. Bahkan di dalam hatinya pun tumbuh suatu kenangan yang pedih.
Anaknya telah terbunuh, justru karena anaknya dan gadis yang sekarang
berdiri di hadapannya ini saling mencintai. Tetapi ternyata nasib
anaknya tidak begitu baik, sehingga anak itu mati terbunuh sebagai
akibat nafsu orang lain yang tidak terkendali. Nafsu manusia yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri, sehingga sampai hati untuk
mengorbankan manusia lainnya.
Dan hal itu telah terjadi. Anaknya mati
terbunuh karena nafsu orang lain. Anaknya dianggapnya menjadi penghalang
nafsunya itu. Dan anaknya menjadi korban.
Ki Buyut itu terperanjat ketika ia
mendengar permaisuri yang kini sedang dalam kebesarannya itu berdesis di
depannya, “Baktiku untukmu, Ki Buyut.”
Ki Buyut Panawijen tergagap karenanya.
itu tidak mungkin. Ialah yang harus berkata demikian kepada Tuan Putri
Ken Dedes yang kini berjalan dibimbing oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Sehingga karena hal yang tak diduganya itu ia menjadi bingung sejenak.
Dan tiba-tiba saja ia berjongkok sambil membungkukkan kepalanya
dalam-dalam. Katanya, “Hambalah yang harus menyatakan, Tuan Putri. Bakti
hamba untuk Tuan Putri.”
Ternyata Ken Dedes pun terkejut melihat
sikap itu. Sejenak ia berdiri mematung. Bahkan tanpa sesadarnya ia
berpaling kepada Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi heran pula. Heran
kenapa permaisurinya menghormati Buyut tua itu melampaui kebiasaan
seorang permaisuri. Namun Akuwu itu pun segera menyadari bahwa
permaisurinya berasal dari Panawijen. Permaisurinya di masa
kanak-kanaknya pasti telah mengenal buyut tua itu. Sehingga karena itu,
maka Akuwu itu pun tersenyum sambil menepuk bahu Ki Buyut Panawijen
sambil berkata, “Berdirilah. Permaisuriku tidak dapat melepaskan diri
dari kenangan masa lampaunya. Ia adalah anak Panawijen, dan kau adalah
Buyut Panawijen.”
Terbata-bata Ki Buyut menjawab, “Hamba, Tuanku.”
“Berdirilah. Hanya kepada Maharaja Kediri kau berlutut sambil mencium tanah.
“Hamba, Tuanku.”
Dan perlahan-lahan Ki Buyut Panawijen itu
pun berdiri. Namun kepalanya masih saja menunduk. Dalam sekali. Bukan
saja karena ia terlampau hormat kepada Akuwu Tunggul Ametung dan
permaisurinya, tetapi orang tua itu menyembunyikan kenangan yang
membayang di wajahnya. Kenangan atas masa lampaunya yang pahit dan masa
depannya yang terpatahkan. Tidak ada seorang pun lagi yang akan
menyambung hidupnya. Satunya anaknya telah mati terbunuh dalam
kemelutnya nafsu yang saling berbenturan.
Dalam kenangannya itu tiba-tiba terlintas
di dalam hatinya, kata-kata Mahisa Agni yang lamat-lamat masih
diingatnya, yang diucapkan dahulu pada saat Wiraprana terbunuh oleh Kuda
Sempana, “Di mana manusia mengorbankan manusia yang lain untuk
kepentingannya. Untuk memenuhi nafsunya. Termasuk Mahendra, Kuda Sempana
dan mungkin pula aku dan Ken Arok. Kita semua telah hanyut dalam arus
kebiadaban di antara peradaban manusia.”
“Hem, Ki Buyut itu berdesah di dalam hati.
Namun Ki Buyut menyimpan kenangan itu di
dalam hatinya. Sama sekali ia tidak berani mengungkapkannya, dalam
kata-kata maupun sikap. Ia sadar, bahwa hal itu akan dapat merusak
suasana.
Dalam sikapnya yang tunduk, Ki Buyut
masih melihat kaki permaisuri belum beranjak dari tempatnya. Sehingga
karena itu, maka kegelisahan orang tua itu pun menjadi kian mencengkam.
Namun sejenak kemudian ia melihat kaki
itu bergerak. Langkah-langkah yang kecil membawa Ken Dedes maju lewat di
hadapan orang-orang lain yang berdiri berjajar di samping Ki Buyut.
Tetapi ternyata bahwa di dalam hati
permaisuri itu pun kini telah dibebani oleh kenangan yang semakin berat
pula. Hanya dengan susah payah ia dapat menyembunyikan kesan dari
wajahnya, sehingga Akuwu Tunggul Ametung tidak melihat bahwa di dalam
dada permaisuri telah bergetar kenangan masa lampaunya yang pedih.
Meskipun demikian, terasa, wajah Ken Dedes menjadi panas. Bahkan tanpa
sesadarnya, sekali lagi ia berpaling. Seperti terpukau oleh pesona yang
tidak dapat dimengerti sebabnya dipandanginya sekali lagi dalam sekilas
wajah Ken Arok. Wajah yang memberinya kenangan yang aneh atas putra Ki
Buyut Panawijen, Wiraprana. Tetapi sekejap kemudian Ken Dedes itu telah
meneruskan langkahnya, akhirnya ia sampai pada orang yang paling ujung.
Setelah permaisuri menerima penghormatan
dari orang yang berdiri di paling ujung, maka dibimbing oleh Akuwu
Tunggul Ametung, Ken Dedes meneruskan langkahnya melihat-lihat taman
yang telah dibuat untuknya. Dipandanginya wajah air yang bening,
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang cemerlang. Pohon-pohon
perdu dan bunga yang sudah mulai mekar. Burung liar satu-satu bertengger
dahan dan melagukan kidung puji-pujian, menyongsong hari yang cerah.
Para pemimpin prajurit Tumapel yang
datang bersama akuwu maupun yang telah berada di padang Karautan,
bersama para pemimpin rakyat Panawijen pun kemudian mengikutinya.
Mengikuti langkah-langkah kecil menyusuri jalan-jalan sempit di dalam
taman itu. Jalan-jalan yang telah disusun melintasi kebun-kebun bunga
dan menyusup di bawah batang-batang pohon yang rimbun.
Ternyata kesejukan taman dan kesegaran
angin yang bertiup menyusuri dedaunan yang hijau, telah berhasil
menyejukkan hati permaisuri itu pula. Kicau burung yang riang,
membuatnya sedikit terlena dari kenangannya yang menekan. Perlahan-lahan
tumbuhlah kegembiraan di hati permaisuri itu.
Ketika dilihatnya beberapa rakit bambu
yang terapung-apung di pinggir sendang maka dengan serta-merta ia
berkata, “Tuanku. Apakah hamba diperkenankan naik ke atas rakit itu?”
“Oh, tentu,” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “marilah kita naik ke atas rakit itu dan berputar-putar di atas air sendang.”
Dengan wajah yang riang permaisuri Ken
Dedes menuruni jalan sempit menuju ke pinggir sendang. Kemudian dengan
langkah-langkah kecil yang cepat ia pergi ke sebuah rakit yang tertambat
pada sebatang tonggak bambu.
“Rakit inilah yang terbesar,” serunya.
“Apakah kau tidak takut apabila rakit yang kecil akan tenggelam?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
“Tidak, Tuanku. Hamba tidak takut. Hamba
dapat berenang, karena pada masa kanak-kanak hamba, hamba sering
ber-main-main di bendungan.”
“Oh, apakah kau akan mencoba berenang di sendang ini?”
Wajah permaisuri itu menjadi kemerah-merahan. Jawabnya, “Sudah tentu tidak sekarang Tuanku.”
Akuwu pun tertawa. Kemudian ia berpaling
kepada para prajurit yang mengikutinya. Ia ingin bertanya, siapakah yang
harus mendayung rakit itu. Tetapi ia tidak segera melihat Ken Arok di
antara mereka.
“He!” Akuwu itu pun kemudian memanggil Kebo Ijo, “Siapakah yang akan menjalankan rakit ini?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya, “Ampun Tuanku. Kami menyediakan rakit untuk menikmati silirnya
angin di atas sendang buatan itu. Menurut hemat kami, maka yang akan
naik di atasnyalah yang akan mendayung rakit itu menurut kesenangan
sendiri. Tetapi apabila Tuanku menghendaki orang lain, maka akan segera
kami panggil beberapa orang prajurit yang akan mendayung rakit itu untuk
Tuanku bersama Tuan Permaisuri.”
Akuwu Tunggul Ametung terdiam sejenak. Ia
menjadi agak ragu-ragu. Apakah ia sendiri akan mendayung rakit kecil
itu, ataukah ia memerlukan orang lain. Memang benar kata Kebo Ijo, bahwa
dengan mendayung sendiri, maka ia dan permaisurinya menjadi lebih
bergembira lagi.
Namun sebelum ia sempat memutuskan
tiba-tiba ia mendengar permaisurinya berkata kepada Mahisa Agni yang
berdiri beberapa langkah darinya, “Marilah Kakang Mahisa Agni. Kaulah
yang mendayung rakitku bersama Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Mahisa Agni tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Apabila Tuanku Akuwu menghendakinya.”
Akuwu pun kemudian tersenyum pula, “Marilah. Aku akan mendayung pula bersamamu.”
“Hamba akan membawa Bibi serta,” minta Ken Dedes.
“Bawalah,” sahut Akuwu acuh tidak acuh. Namun kakinya telah melangkah ke tonggak tambatan rakit itu, untuk melepasnya.
“Naiklah,” katanya kepada Ken Dedes.,
Permaisuri dan pemomongnya segera
berjalan mendekati tepi sendang. Mahisa Agni pun kemudian menarik rakit
itu dan melekatkannya pada tebingnya. Kemudian ditolongnya permaisuri
dan emban tua pemomongnya naik ke atasnya.
Terdengar Ken Dedes menjerit kecil ketika
rakit itu bergoyang. Tetapi suaranya kemudian terpotong oleh suara
tertawa Akuwu Tunggul Ametung. Katanya, “Bukankah kau pandai berenang?
Jangan takut. Seandainya rakit itu terbalik bukankah kau akan dapat
berenang ke tepi?”
“Ah,” desah Ken Dedes. Tetapi ia tidak
menyahut. Perlahan-lahan ia duduk di atas rakit bersama emban
pemomongnya. Namun sekali lagi ia memekik kecil ketika tiba-tiba saja
Akuwu Tunggul Ametung meloncat ke dalamnya dan mengguncang rakit itu
lebih keras lagi.
Sekali lagi Akuwu tertawa. Katanya kemudian, “Naiklah Agni.”
Kepada orang-orang lain ia berseru, “Ayo,
siapa yang ingin ikut bersama aku, naiklah ke dalam rakit-rakit itu dan
berdayung di tengah sendang. Kita nanti akan berpacu, siapakah yang
paling cepat. Setiap rakit akan didayung oleh dua orang.”
Seperti anak-anak para prajurit dan
orang-orang Panawijen menghambur berebut dahulu naik ke atas rakit-rakit
yang masih ada. Tetapi rakit itu tidak menampung mereka semua. Hanya
beberapa orang sajalah yang mendapat kesempatan untuk bersama-sama Akuwu
Tunggul Ametung berdayung di sendang buatan itu.
Perlahan-lahan rakit-rakit itu pun
kemudian bergeser ke tengah. Semakin lama semakin ke tengah. Ternyata
rakit-rakit bambu itu telah memberi kegembiraan kepada permaisuri dan
bahkan Akuwu Tunggul Ametung sendiri.
Namun dalam pada itu tanpa diduga-duga Akuwu bertanya kepada Mahisa Agni, “Di mana Ken Arok?”
Pertanyaan itu telah membuat dada Ken
Dedes berdesir, tanpa diketahui sebab-sebabnya. Namun ia mendengar
Mahisa Agni menjawab, “Ampun, Tuanku. Ken Arok sedang pergi ke dapur. Ia
harus melihat semua persiapan penyambutan supaya tidak mengecewakan.”
Akuwu Tunggul Ametung pun mengerutkan
keningnya. Sejenak tangannya yang sedang mendayung rakitnya terhenti.
Dipandanginya Mahisa Agni tajam-tajam. Namun sejenak kemudian ia
tertawa. Katanya, “Kalian berusaha berbuat sebaik-baiknya untuk
menyambut kedatangan kami. Tetapi bukankah ada orang lain yang
bertanggung jawab agar semuanya dapat berjalan dengan baik? Bukankah
bukan Ken Arok sendiri yang harus menanganinya?”
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Tidak
sepantasnya ia berbicara tentang persoalan itu dengan Akuwu Tunggul
Ametung yang justru saat ini sedang disambutnya. Bukan sepantasnya untuk
berbicara dengan seorang tamu tentang hidangan yang akan
dihidangkannya. Namun demikian ia harus menjawabnya.
“Tuanku. Adalah kebiasaan Ken Arok untuk melihat sendiri pekerjaan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.”
“Tetapi kali ini ia sebaiknya bergembira bersama kita .Biarlah ia melupakan sedikit pekerjaan yang setiap hari dihadapinya.”
“Nanti ia akan menyusul, Tuanku.”
Akuwu tidak bertanya lebih lanjut.
Dikayuhnya kini rakitnya semakin ke tengah. Kemudian melingkar
mendahului rakit-rakit yang lain. Semakin lama semakin cepat.
Ternyata bahwa rakit-rakit yang lain pun
menjadi semakin cepat pula. Mereka berusaha untuk menyusul rakit Akuwu
Tunggul Ametung. Berkejar-kejaran di antara gejolak air di dalam sendang
buatan yang tidak terlampau luas. Meskipun demikian sendang itu telah
mampu memberikan sepercik kesenangan kepada Permaisuri Ken Dedes.
Sementara itu, di pinggir sendang, di
sisi sebuah batu yang besar, Ken Arok duduk termenung. Dipandanginya
rakit-rakit yang berkeliaran silang menyilang. Dipandanginya orang-orang
yang sedang bergembira sambil bermandikan sinar matahari yang belum
terlampau panas. Sedang di pinggir sendang itu pun masih berkumpul para
prajurit dan orang-orang Panawijen yang belum sempat naik ke atas rakit.
Mereka hanya dapat melihat saja rakit-rakit itu hilir mudik. Namun
meskipun demikian mereka telah ikut bergembira pula bersama mereka.
Sekali-sekali Ken Arok menggelengkan
kepalanya. Ia tidak yakin, apakah sebenarnya yang tiba-tiba
menggelisahkannya sehingga ia tidak berminat untuk berada di
tengah-tengah mereka yang sedang bergembira itu.
Tetapi apabila pandangan matanya
sekali-kali menyentuh sebuah rakit di kejauhan yang ditumpangi oleh
Akuwu Tunggul Ametung, Mahisa Agni, Ken Dedes dan pemomongnya, hatinya
terasa berdesir. Rakit itu telah mempengaruhi perasaannya, meskipun
kadang-kadang ia berusaha untuk mengingkarinya. Kadang-kadang ia mencoba
untuk melepaskan diri dari sentuhan perasaannya pada saat ia melihat
seolah-olah permaisuri itu memancarkan cahaya yang silau, meskipun hanya
sekejap.
Tiba-tiba Ken Arok itu terkejut ketika ia
mendengar desir di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki Buyut
Panawijen datang mendekatinya. Meskipun Ki Buyut itu tersenyum, tetapi
tampaklah sesuatu yang dalam membekas di hatinya.
“Kenapa kau duduk saja di situ, Ngger?” bertanya orang tua itu.
Ken Arok pun mencoba tersenyum pula. Jawabnya, “Aku senang melihat rakit-rakit yang hilir mudik di sendang itu, Ki Buyut.”
“Kenapa Angger tidak turut bersampan?”
“Oh,” Ken Arok menarik napas, “aku
mempunyai banyak tugas di sini, Ki Buyut. Aku harus mengawasi semua
persiapan supaya tidak mengecewakan. Karena itu aku tidak dapat ikut
berakit di sendang itu.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia berkata, “Bukankah Angger dapat menyerahkannya kepada beberapa
orang pembantu? Angger di sini adalah pemimpin prajurit Tumapel,
sehingga sepantasnya bahwa Angger selalu mengawani Akuwu Tunggul Ametung
dan permaisurinya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak Ki Buyut. itu tidak perlu. Kebo Ijo
telah melakukannya atas namaku bersama Mahisa Agni.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebagai seorang yang lanjut usianya, ia dapat menangkap sesuatu pada
nada kata-kata Ken Arok. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang
tersirat di dalam hati anak muda itu.
Di sendang buatan itu, rakit-rakit masih
saja bergerak hilir mudik. Beberapa rakit telah menepi, dan orang-orang
baru segera berloncatan naik ke atasnya. Tetapi rakit yang ditumpangi
oleh Akuwu dan permaisurinya masih saja berada di tengah-tengah sendang.
Ken Arok dan Ki Buyut Panawijen masih
saja saling berdiam diri. Beberapa orang yang berjalan di belakang
mereka, sama sekali tidak menghiraukan kedua orang yang duduk sambil
memandang ke kejauhan itu.
Tiba-tiba saja Ken Arok bertanya, “Kenapa Ki Buyut juga tidak ikut bersama mereka?”
Ki Buyut berpaling. Di bibirnya tersirat
sebuah senyum. Tetapi terasa senyum itu terlampau hambar, “Aku sudah
terlalu tua Ngger. Lebih baik aku melihat saja mereka yang sedang
bergembira. Dengan demikian aku sudah ikut bergembira pula karenanya.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia berkata, “Apakah orang tua harus menyisihkan diri dari
kegembiraan yang langsung serupa itu?”
“Oh, tidak. Tidak sekali-kali demikian,
Ngger,” Ki Buyut berhenti sejenak. Ia masih akan berbicara, tetapi
tiba-tiba diurungkannya. Bahkan sambil mengangguk-angguk kecil ia
menarik nafas dalam-dalam.
Ken Arok tidak juga segera bertanya. Kini
ia memandangi rakit-rakit yang masih saja bergerak-gerak di atas
permukaan air yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang
semakin lama menjadi semakin panas. Ia melihat Ken Dedes kini menutupi
kepalanya dengan sehelai selendang yang tipis. Tetapi agaknya Akuwu
Tunggul Ametung sama sekali tidak menghiraukan panas matahari yang mulai
terasa menusuk kulit.
Ken Arok berpaling ketika tiba-tiba saja
ia mendengar Ki Buyut berdesah. Ketika terpandang olehnya mata orang tua
itu, tampaklah betapa mata itu menjadi sayu.
Tetapi Ken Arok tidak bertanya sesuatu.
Dilemparkannya kembali tatapan matanya ke tengah-tengah sendang yang
sedang disibukkan oleh rakit-rakit yang simpang siur.
Namun sekali lagi Ken Arok berpaling
ketika ia mendengar Ki Buyut bergumam, “Aku sudah tidak dapat
menyaksikan lagi anakku bergembira seperti mereka.”
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ia tahu
benar, betapa hati orang tua itu tersayat, ketika ia melihat anaknya
terbujur di halaman rumah Ken Dedes beberapa waktu lampau. Anak orang
tua itu mati terbunuh oleh Kuda Sempana. Bahkan langsung atau tidak
langsung, ia ikut terlibat pula di dalam pembunuhan itu, seperti juga
Akuwu Tunggul Ametung sendiri terlibat, meskipun Akuwu telah berusaha
membersihkan dirinya sendiri.
Tetapi apapun yang kemudian terjadi
dengan Ken Dedes, namun bagi Ki Buyut yang tua itu, akibatnya tidak
terlampau banyak berbeda. Anaknya telah tidak ada lagi.
Agaknya Ken Dedes yang menjadi gembira di
dalam rakitnya telah mengungkit kenangan orang tua itu kembali kepada
masa-masa lampaunya. Bahkan di dalam hati Ki Buyut Panawijen berdesah,
“Seandainya, ya, seandainya Wirapranalah yang berada di dalam sampan Ken
Dedes itu sekarang.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat lamat-lamat di kejauhan, Mahisa Agni mendayung rakitnya
bersama-sama dengan Akuwu Tunggul Ametung.
“Keadaan memang dapat berkembang di luar
dugaan kita. Sekarang Akuwu mendayung bersama-sama dengan Angger Mahisa
Agni,” berkata orang tua itu di dalam hatinya, “Dan Angger Mahisa Agni
pun telah memaafkan Angger Kuda Sempana, seperti, aku pun telah perbuat
demikian.”
Sekali lagi Ki Buyut berdesah. Bahkan
kemudian perlahan-lahan ia berdiri sambil bergumam, “Ah, aku akan pergi
ke pinggir sendang itu, Ngger. Mungkin aku akan sempat naik ke atas
rakit pula seperti orang-orang lain itu nanti.”
Ken Arok pun berdiri pula sambil menjawab, “Silakan, Ki Buyut. Sebaiknya Ki Buyut mencoba bergembira.”
“Ya. Memang tidak ada gunanya untuk
selalu tenggelam dalam kenangan yang pahit. Aku akan mencoba menghadapi
hari depanku yang kosong dengan dada tengadah. Tidak ada yang dapat
menghapus peristiwa yang telah terjadi. Yang terjadi itu terjadilah.”
“Ya, ya Ki Buyut. Yang sudah terjadi, terjadilah. Tetapi bagaimana yang akan datang bertolak dari kini.”
Tiba-tiba Ki Buyut tersenyum, meskipun
senyumnya adalah senyum yang kosong, seperti masa depannya yang kosong
karena tidak seorang pun yang akan dapat menyambung namanya.
“Tetapi aku tidak dapat berhenti sampai
di sini karena aku menjadi berputus asa,” katanya di dalam hati, “justru
aku harus menyerahkan masa depan kepada angkatan yang bakal datang. Aku
sendiri memang sudah kehilangan sambungan, tetapi angkatan yang bakal
datang tidak akan terputus sampai di sini.”
Ki Buyut itu pun kemudian melangkahkan
kakinya perlahan-lahan meninggalkan Ken Arok seorang diri, menuju kepada
orang-orang yang sedang berkerumun di pinggir sendang. Ia akan mencoba
untuk bergembira bersama mereka. Dengan sadar, Ki Buyut merasakan,
betapa hidupnya akan menjadi hambar apabila ia selalu saja dibayangi
oleh kenangan yang hitam itu. Kepahitan dan kepedihan.
Ken Arok yang masih berdiri di tempatnya,
menjadi termangu-mangu. Kini matanya mengikuti rakit yang ditumpangi
oleh Akuwu Tunggul Ametung. Ia melihat sekali-kali Ken Dedes mengibaskan
kainnya agaknya telah menjadi basah karena air yang memercik. Namun
permaisuri itu masih tampak bergembira.
Dada Ken Arok itu berdesir ketika
tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Agni melambaikan tangan kepadanya.
Tanpa sesadarnya Ken Arok pun mengangkat tangannya pula.
“Mereka melihat aku di sini,” desisnya di dalam hati. Dengan demikian maka mau tidak mau, setiap kali Ken
Arok harus menjawab lambaian tangan
Mahisa Agni, bahkan kemudian Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia tidak
melihat permaisuri melambaikan tangan kepadanya. Bahkan agaknya
permaisuri itu kurang memperhatikannya.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam, “aku sudah sering melihatnya. Tetapi kenapa sekarang aku
melihatnya lain dari yang pernah aku lihat. Aku belum pernah melihat
seseorang bercahaya seperti permaisuri meskipun hanya sekejap.”
Sedang permaisuri sendiri yang sedang
bergembira itu agaknya telah melupakannya. Permaisuri itu telah
tenggelam dalam suasana yang jarang sekali ditemuinya. Karena itu, maka
lambat laun kenangannya tentang cahaya yang kemerah-merahan di atas
kepala Ken Arok itu pun menjadi pudar pula.
Tetapi mereka, Akuwu Tunggul Ametung,
permaisurinya, orang-orang Panawijen serta para prajurit Tumapel, tidak
dapat seharian berada di tengah-tengah sendang itu. Pada saatnya mereka
harus menepi dan naik ke pinggir sendang.
Demikianlah Akuwu dan permaisuri diikuti
oleh para pengiringnya, para prajurit dan orang-orang Tumapel pada hari
itu telah melihat sebagian terbesar dari taman yang dibuat untuk
permaisuri akuwu itu. Tetapi masih ada beberapa bagian yang tidak sempat
dilihat hari itu, karena permaisuri telah menjadi terlampau lelah.
Dengan demikian maka para tamu dan pengiringnya segera dipersilakan
untuk memasuki pesanggrahan dan beristirahat di sana, sedang para
prajurit Tumapel di padang Karautan bersama dengan rakyat Panawijen
menikmati istirahat mereka di bawah pepohonan yang rimbun. Namun
ternyata bahwa mulut mereka tidak sedang beristirahat. Satu-satu
hidangan mengalir seperti aliran susukan induk yang membelah padang
Karautan itu. Tidak henti-hentinya. Tetapi meskipun demikian, jamuan
yang mengalir terus-menerus itu tidak membuat mereka menjadi jemu.
Mereka menerima dengan senang hati, dan menyuapkannya ke dalam mulut
mereka, meskipun ada juga di antara mereka yang mengantuk di dalam
silirnya angin di bawah bayang-bayang pepohonan yang rimbun.
Ketika matahari kemudian melampaui ujung
langit dan menukik di ujung barat, maka prajurit Tumapel dan orang-orang
Panawijen pun kembali ke gubuk-gubuk mereka. Hari itu benar-benar
berkesan, tidak saja di hati mereka, tetapi juga di perut-perut mereka
yang menjadi terlampau penuh oleh makanan yang berlimpah-limpah.
Tetapi kegembiraan yang demikian itu
tidak hanya terhenti pada hari itu. Besok mereka masih bisa mengharap
makan dan minum serta bergembira tanpa memikirkan kerja yang selama ini
telah membebani mereka siang dan malam.
Pada hari berikutnya, Ken Arok mencoba
untuk menekan perasaannya dalam-dalam. Ia harus melupakan cahaya yang
pernah dilihatnya memencar dari tubuh permaisuri. Ia harus mencoba
bersikap seperti seorang prajurit biasa sebagaimana seharusnya. Betapa
sulitnya, namun akhirnya ia berhasil. Tidak ada kesan apapun pada wajah
dan sikapnya. Ia melayani Akuwu Tunggul Ametung dan permaisuri
sebaik-baiknya. Sehingga baik Akuwu Tunggul Ametung, Mahisa Agni maupun
permaisuri sendiri, tidak tahu, bahwa di dalam dada Ken Arok selalu
berkumandang sebuah pertanyaan tentang diri permaisuri itu, tentang
sekilas cahaya yang silau yang seolah-olah memancar dari tubuhnya.
Pada hari yang kelima, maka kegembiraan
di taman itu seolah-olah mencapai puncaknya. Pada saat bulan bulat
mengambang di langit. Taman yang dibuat untuk permaisuri itu seakan-akan
telah diselimuti oleh sinar bulan yang merah kekuning-kuningan.
Pepohonan yang hijau seakan-akan dilapisi oleh warna yang cemerlang.
Sedang pepohonan menjadi berwarna cerah.
Wajah sendang buatan itu pun menjadi
berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan yang terang. Bayangan langit
yang biru dan bintang-bintang yang berkedipan, mewarnai air sendang yang
bergetar ditiup angin malam yang lembut. Perlahan-lahan bulan yang
bulat melambung di langit yang bersih. Semakin lama semakin tinggi. Dan
kegembiraan di taman itu pun menjadi semakin dalam. Permaisuri
berjalan-jalan berkeliling sendang dibimbing oleh Akuwu Tunggul Ametung,
bersama Mahisa Agni, emban tua pemomongnya, Witantra dan beberapa orang
pengawal, Ken Arok dan Kebo Ijo. Dinikmatinya malam purnama ini
sedalam-dalamnya. Kesempatan seindah ini tidak akan segera terulang
kembali. Apabila mereka telah kembali ke Istana Tumapel, maka mereka
akan segera disibukkan oleh masalah-masalah pemerintahan dan
masalah-masalah lain yang kadang-kadang tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk beristirahat.
Kini, di sekeliling sendang, di bawah
sinarnya bulan yang cerah, mereka sama sekali tidak terlibat oleh
persoalan apapun kecuali persoalan mereka sendiri.
Angin yang silir mengusap wajah-wajah
yang kemerah-merahan oleh sinar bulan, menyiram kesejukan yang segar.
Dedaunan berdesir perlahan seakan-akan membisikkan kidung yang merdu.
Namun betapa sejuknya angin, betapa
cerahnya bulan, akhirnya permaisuri pun menjadi lelah berjalan-jalan.
Karena itu maka dengan kecewa ia berkata kepada Akuwu, “Ampun Tuanku.
Hamba telah menjadi terlampau penat. Meskipun hamba sebenarnya masih
ingin berjalan-jalan, tetapi kaki hamba telah ingin beristirahat.”
“Oh, tentu,” sahut akuwu, “beristirahatlah. Marilah kita beristirahat. Aku pun telah menjadi letih juga.”
Mereka pun segera pergi ke pesanggrahan
untuk beristirahat. Tetapi mereka tidak segera masuk ke dalam bilik
masing-masing. Mereka masih duduk-duduk di serambi, melihat-lihat cahaya
bulan yang hinggap di dedaunan.
Tiba-tiba dalam pada itu, Akuwu telah
dirangsang oleh kebiasaannya, pada saat-saat bulan sedang bulat di
langit. Berburu. Tiba-tiba saja ia ingin berkuda, berderap di
tengah-tengah hutan sambil membawa busur dan anak panah.
“Hem,” akuwu menarik nafas dalam-dalam, “aneh sekali.”
Permaisurinya menjadi heran. Dengan serta-merta ia berkata, “Apakah yang aneh, Tuanku?”
“Tiba-tiba saja aku ingin berburu.
Alangkah senangnya,di bawah sinar bulan, berlari-larian di tengah-tengah
hutan, memburu binatang dengan busur di tangan.”
“Oh,” Ken Dedes tidak menyahut.
“Tetapi kali ini aku tidak akan pergi.
Aku akan berada di taman ini, menikmati cerahnya bulan sampai besok
fajar terbit di timur.”
“Apakah Tuanku tidak akan pergi tidur?”
“Malam ini tidak Ken Dedes. Aku akan berada di luar sampai aku melihat matahari mulai memanjat langit besok.”
Permaisurinya tersenyum, katanya, “Apakah Tuanku tidak akan tidur semalam suntuk?”
“Tentu. Aku tidak akan tidur semalam suntuk.”
“Hamba tidak akan tahan, Tuanku.”
“Kau dapat pergi beristirahat. Aku akan tetap berada di sini bersama Witantra, Mahisa Agni dan Ken Arok.”
“Apakah mereka harus tidak tidur semalam suntuk pula?”
“Tentu. Mereka tidak akan mengantuk.
Mereka sudah terlampau biasa untuk bangun semalam suntuk apabila mereka
sedang bertugas. Bahkan mereka akan mampu semalam suntuk berkelahi tanpa
beristirahat sama sekali. Nah, kalau kau terlampau letih, tidurlah.”
Sejenak kemudian permaisuri itu pun minta
diri, masuk ke dalam biliknya. Sedang Akuwu Tunggul Ametung dan
beberapa orang lain masih tetap berada di luar. Namun dengan demikian,
keinginan Akuwu Tunggul Ametung untuk pergi berburu menjadi semakin
besar. Biasanya ia tidak pernah mengekang diri menunda keinginan yang
demikian. Tetapi kali ini ia berjuang sekuat-kuatnya, supaya
permaisurinya tidak menjadi kecewa. Tetapi di dalam hati ia berkata,
“Besok malam aku akan minta izin Ken Dedes untuk meninggalkannya. Aku
ingin berburu meskipun hanya sekali. Di taman ini Ken Dedes terlindungi
dari bahaya apapun. Di sini ada sepasukan prajurit yang dapat
menjaganya. Di sini ada Mahisa Agni, dan di sini ada Ken Arok. Hanya
Witantra dan beberapa orang saja yang akan aku bawa besok untuk
berburu.”
Di malam berikutnya, akuwu benar-benar
mempersiapkan dirinya untuk pergi berburu. Ken Dedes pun sama sekali
tidak berkeberatan. Adalah sudah menjadi kebiasaan dan kesenangan akuwu,
setiap kali pergi berburu binatang di hutan-hutan. Sehingga malam itu
pun permaisuri melepaskannya dengan senang hati. Ia masih akan menikmati
kesegaran beberapa malam lagi di taman yang menyenangkan itu, sebelum
akuwu dan para pengiringnya kembali ke Tumapel. Sebelum kesempatan yang
akan datang kelak. Kesempatan itu pasti tidak akan segera datang. Musim
basah akan menjadi semakin basah. Sebentar lagi hujan akan menjadi
semakin sering turun. Bahkan setiap hari.
Malam itu bulan agak lambat terbit dari
malam kemarin. Tetapi cahayanya masih tetap merah kekuning-kuningan,
mewarnai ujung dedaunan. Sendang buatan itu masih tetap cerah seperti
kemarin. Dan angin yang silir masih juga tetap bertiup.
Akuwu Tunggul Ametung meninggalkan
pesanggrahan itu di atas punggung kuda beserta beberapa orang perwira
dan prajurit yang dipimpin langsung oleh Witantra sendiri.
“Aku akan membawa seekor rusa,” berkata
Akuwu kepada permaisuri ketika ia akan berangkat, “nanti kita panggang
bersama-sama. Kita mengadakan hidangan yang menyenangkan, seperti
apabila kita makan di perburuan.”
Ken Dedes tersenyum sambil mengangguk hormat, “Terima kasih, Tuanku. Hamba akan menunggu kedatangan Tuanku.”
“Kau dapat pergi beristirahat atau tidur. Mungkin besok pagi-pagi aku baru kembali.
“Hamba, Tuanku,” sahut Ken Dedes,
Dan akuwu pun kemudian pergi memacu
kudanya, berderap di atas padang Karautan yang luas, menuju ke
hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sebelah timur padang Karautan.
Di punggungnya tersangkut sebuah busur yang besar, dan di pinggang
kudanya tergantung sebuah endong arak panah. Sedangkan dilambung akuwu itu sendiri tergantung senjata pusakanya.
Sepeninggal akuwu, Ken Dedes duduk-duduk
bersama pemomongnya dan Mahisa Agni. Namun duduk berbicara saja sama
sekali kurang menarik, sehingga permaisuri itu pun kemudian ingin
berjalan-jalan di bawah sinar bulan yang cerah.
Mahisa Agni sama sekali tidak
berkeberatan untuk membawanya berjalan-jalan melihat-lihat taman itu
tanpa jemu-jemunya. Menyusuri lorong-lorong sempit di antara pepohonan
dan bunga-bungaan yang sedang berkembang. Bunga arum dalu yang semerbak
di waktu malam, bunga-bunga perdu yang ngrempoyok, kemerah-merahan disinari oleh cahaya bulan.
Langkah permaisuri itu tiba-tiba tertegun
ketika ia melihat seseorang berdiri di dalam kegelapan. Tetapi ia
menarik nafas dalam-dalam ketika orang itu menganggukkan kepalanya
dalam-dalam. Kemudian terdengar orang berkata, “Ampun, Tuanku. Hamba
ingin bertemu dengan Kakang Mahisa Agni.”
“Oh. Inilah,” jawab permaisuri sambil berpaling kepada Mahisa Agni.
Selangkah Mahisa Agni maju. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Ada sesuatu yang penting untukku?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Tetapi
ia menjawab, “Tidak terlampau penting Kakang. Tetapi orang-orang yang
mengantarkan Kuda Sempana dari Panawijen telah datang.”
Namun yang menyahut lebih dahulu ternyata permaisuri
“Siapa? Kuda Sempana?”
Orang itu menjadi termangu-mangu. Agaknya
ia telah terlanjur menyebut nama itu. Sudah tentu ia tidak akan dapat
menelannya kembali.
Dalam keragu-raguan itu terdengar Mahisa Agni berkata, “Ya. Kuda Sempana. Aku singkirkan anak itu ke Panawijen lama.”
Terdengar permaisuri berdesah. Timbullah
kengerian di dalam hatinya. Selama ini ia sudah melupakan nama itu,
apalagi sejak Mahisa Agni kembali dari sarang iblis Kemundungan. Namun
tiba-tiba kini ia mendengarnya lagi.
“Tetapi jangan cemas,” berkata Mahisa Agni kemudian, “ia sudah aku singkirkan.”
Lalu kepada orang itu Mahisa Agni bertanya, “Apa yang dikatakannya?”
“Orang-orang itu ingin bertemu langsung dengan kau,” jawabnya.
“Baiklah. Nanti aku akan menemui mereka, setelah aku selesai mengantarkan Ken Dedes, eh, maksudku Tuan Putri Ken Dedes.”
Orang itu mengangguk hormat. Tetapi
sebelum ia beranjak Ken Dedes berkata, “Temuilah sekarang, Kakang.
Mungkin ada soal yang penting yang akan disampaikannya.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya: Katanya, “Aku rasa tidak ada soal yang penting.”
Namun kemudian ia bergumam, “Tetapi kenapa mereka baru sekarang kembali? Sudah lebih dari sepekan mereka berada di Panawijen.”
“Karena itu temuilah. Aku sudah cukup lelah hari ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi
tiba-tiba ia berkata kepada orang itu, “Temuilah Ken Arok. Katakan
bahwa aku memerlukannya. Ajaklah ia kemari.”
Tetapi sebelum orang itu pergi, dengan serta-merta Ken Dedes menyabut, “Buat apa kau panggil orang itu?”
“Ia dapat mengantar Tuan Putri malam ini.”
“Tidak. Aku tidak memerlukannya.”
“Ken Arok adalah tuan rumah di sini,” lalu kepada orang itu ia berkata pula, “Pergilah! Ken Arok kami tunggu di sini.”
Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Ada
sesuatu yang mengurungkan niatnya untuk mencegah orang itu memanggil
Ken Arok. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa sikap yang demikian akan
menimbulkan kecurigaan. Bukankah Ken Arok itu adalah tuan rumah di taman
ini? Namun ada sesuatu pula yang mendebarkannya. Ia tidak tahu, betapa
perasaannya menjadi gelisah dengan tiba-tiba. Sekilas terbayanglah
cahaya yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun orang itu.
“Aku belum mengenal tabiatnya,” katanya
di dalam hati, sehingga karena itu maka katanya kepada Mahisa Agni, “Aku
sudah lelah. Aku akan kembali ke pesanggrahan.”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Sejenak
ia tidak menjawab. Ia sudah terlanjur minta Ken Arok datang untuk
mengawani permaisuri itu berjalan-jalan di seputar taman. Ken Arok
adalah orang yang paling tahu tentang taman ini, karena ialah yang
merencanakan dan membuatnya.
Karena itu maka katanya, “Aku sudah
memanggil Ken Arok. Ia akan dapat menunjukkan kepadamu, eh, maksudku
kepada Tuan Putri, segala sudut-sudut yang paling tersembunyi
sekalipun.”
Ken Dedes menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia berterus terang, “Aku belum mengenalnya dengan baik.”
“Oh,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lambat sekali ia bergumam, “Tetapi aku percaya kepadanya.
Meskipun demikian aku dapat mengerti keberatan Tuan Putri.”
“Karena itu, marilah kita kembali saja ke
pesanggrahan. Aku masih akan berada di sini beberapa hari lagi,
sehingga aku masih sempat untuk melihat seluruhnya yang ada di dalam
taman ini.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Baiklah. Meskipun demikian kita
sebaiknya menunggu Ken Arok. Kemudian bersama-sama ke pesanggrahan,
supaya ia tidak mencari-cari kita di sini.”
Ken Dedes berpikir sejenak. Namun ia
memang tidak mempunyai alasan lagi untuk menolaknya supaya tidak justru
menumbuhkan kecurigaan pada Mahisa Agni. Karena itu maka jawabnya,
“Baiklah. Kita menunggu sebentar di sini.”
Dengan demikian maka sejenak mereka
menunggu kedatangan Ken Arok sambil berjalan mondar-mandir.
Sekali-sekali tangan Ken Dedes menyentuh dedaunan dan bunga-bunga yang
sedang mekar. Namun sebenarnyalah bahwa hatinya sedang diganggu oleh
kegelisahan yang kurang dimengertinya. Sekali-sekali terdengar ia
berdesah perlahan. Perlahan sekali, sehingga tidak seorang pun yang
mendengarnya,
Sedang Mahisa Agni berdiri saja mematung.
Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh. Menebus kesuraman malam.
Menyentuh warna-warna yang merah kekuning-kuningan di wajah dedaunan.
Sejenak kemudian mereka mendengar langkah
mendekat. Dari balik bayangan yang kelam, Ken Arok datang di antara
oleh orang yang memanggilnya
Ketika dilihatnya permaisuri berdiri memandanginya, maka segera ia mengangguk hormat. Katanya, “Apakah memanggil hamba?”
Pertanyaan itu telah membingungkan
permaisuri. Kegelisahan di dadanya tiba-tiba melonjak, sehingga sejenak
ia tidak dapat menjawab. Bahkan Mahisa Agnilah yang mendahuluinya,
“Akulah yang meminta kau datang atas nama Tuan Putri. Aku akan menemui
orang-orang yang baru saja datang dari Panawijen, sedang semula aku
mengharap kau mengawani permaisuri berjalan-jalan. Tetapi agaknya
permaisuri telah cukup lelah dan akan kembali ke pesanggrahan. Meskipun
demikian, kau sebaliknya ikut bersama kami ke pesanggrahan pula.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak mengerti perasaan apakah yang sebenarnya bergulat di dalam
dadanya. Apakah ia bergembira, atau justru menjadi terlampau gelisah.
Karena itu maka ia pun tidak segera menyabut. Dicobanya mengatur
perasaannya yang terguncang itu.
Baru sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah Agni, aku akan menjunjung setiap titah.”
“Marilah,” desis permaisuri kemudian, “aku sudah terlampau lelah berdiri di sini.”
“Marilah,” sahut Mahisa Agni, yang
kemudian berkata kepada orang yang memanggil Ken Arok, “Pergilah dahulu.
Sebentar lagi aku akan datang.”
Orang itu pun kemudian pergi meninggalkan
Mahisa Agni, dan Mahisa Agni bersama permaisuri, Ken Arok dan emban tua
pemomong Ken Dedes itu pun segera pula pergi ke pesanggrahan.
“Kau akan dapat banyak bercerita tentang
taman ini kepada Tuan Putri, Ken Arok,” berkata Mahisa Agni sambil
melangkahkan kakinya perlahan-lahan di belakang Ken Dedes, “Kau adalah
orang yang paling mengenal taman ini. Sejak taman ini masih berupa
padang yang kering, kemudian kau memasang patok-patok bambu dan menimbun
batu-batu, sehingga kini kita melihat sebuah taman yang aku kira paling
indah di seluruh Tumapel. Kau mempunyai sebuah cerita yang panjang
tentang itu.”
“Ah,” Ken Arok berdesah. Namun dengan
demikian Mahisa Agni telah memecahkan kebekuan yang mencengkam mereka.
Dalam kegelisahannya, baik permaisuri maupun Ken Arok tidak tahu, apakah
yang akan mereka lakukan dan apakah yang akan mereka percakapkan.
“Mungkin banyak hal-hal yang aneh yang
kau temui selama kau mengerjakan taman ini Ken Arok,” berkata Mahisa
Agni lebih lanjut, “aku tidak sempat menyaksikannya terlampau banyak,
karena hampir selama itu aku disimpan oleh Kebo Sindet.”
“Tidak ada yang menarik untuk
diceritakan,” jawab Ken Arok, “kami di sini hanya bekerja dan bekerja.
Tidak ada yang luar biasa. Pekerjaan berjalan lancar tanpa gangguan.
Begitulah.”
“Cerita itu terlampau singkat,” potong Mahisa Agni, “ceritakan bagaimana kau diganggu oleh hantu Karautan yang mengerikan itu.”
“Ah,” sekali lagi Ken Arok berdesah, meskipun ia tersenyurn.
Tetapi tiba-tiba tanpa disangka-sangka Ken Dedes bertanya, “Apakah hantu Karautan itu masih ada?”
“Tentu,” jawab Mahisa Agni.
“Apakah kamu pernah bertemu pada saat-saat terakhir?”
Mahisa Agni tidak menjawab Tetapi tiba-tiba saja ia tertawa sehingga Ken Dedes menjadi heran dan bertanya lagi, “He, kenapa kau tertawa Kakang? Apakah hantu Karautan itu sebenarnya masih ada sekarang atau barangkali ada lebih dari satu?”
Mahisa Agni tidak menjawab Tetapi tiba-tiba saja ia tertawa sehingga Ken Dedes menjadi heran dan bertanya lagi, “He, kenapa kau tertawa Kakang? Apakah hantu Karautan itu sebenarnya masih ada sekarang atau barangkali ada lebih dari satu?”
“Bertanyalah kepada Ken Arok,” sahut Mahisa Agni.
Ken Dedes tidak segera bertanya. Sejenak
ditatapnya wajah Ken Arok. Hanya sejenak, dan sejenak kemudian
dilemparkannya pandangan matanya jauh ke dalam siraman cahaya bulan.
Namun terdengar ia bergumam, “Cerita tentang hantu Karautan membuat aku
gelisah.”
Mahisa Agni masih tertawa perlahan-lahan,
sedang Ken Arok hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun demikian,
seandainya permaisuri itu benar-benar bertanya kepadanya, ia pasti akan
menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab.
Namun sejenak kemudian Mahisa Agni
berkata, “Jangan gelisah Tuan Putri. Di sini ada pasukan segelar
sepapan. Betapapun dahsyatnya hantu Karautan, ia tidak akan dapat menang
melawan Ken Arok.”
“Ceritamu tidak berujung dan tidak
berpangkal Agni,” potong Ken Arok. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata,
“Ampun Tuanku. Tidak ada yang harus Tuanku cemaskan. Cerita tentang
hantu Karautan ternyata tidak benar seperti yang mungkin pernah Tuanku
dengar. Selama aku berada di padang Karautan, aku tidak pernah
melihatnya. Bahkan aku lebih ngeri bertemu dengan Kebo Sindet daripada
hantu Karautan itu.”
Hampir-hampir Mahisa Agni tidak dapat
menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah ia dapat menyembunyikan
kegeliannya. Hampir saja ia menyabut, bahwa sudah tentu hantu itu tidak
akan pernah menjumpai Ken Arok. Tetapi maksudnya itu diurungkan. Kalau
ia salah ucap, maka Ken Dedes dapat benar- benar menjadi gelisah dan
bahkan menjadi takut.
Ken Dedes menjadi heran melihat sikap
Mahisa Agni. Ia tahu bahwa Mahisa Agni tidak bersungguh-sungguh. Tetapi
bagaimanapun juga ingatannya tentang hantu itu membuatnya berdebar
debar. Lamat-lamat diingatnya cerita Mahisa Agni tentang hantu Karautan
itu dahulu. Cerita yang membuatnya tidak dapat tidur nyenyak. Dan kini
ia berada di tengah-tengah padang Karautan. Bagaimana kalau tiba-tiba
hantu itu muncul di tengah-tengah taman ini?
Tetapi Ken Dedes menyembunyikan
kecemasannya. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya sendiri, “Di sini
ada sepasukan prajurit yang dapat melindungi aku. Di sini ada Kakang
Mahisa Agni, ada Ken Arok dan ada Kebo Ijo, di samping prajurit-prajurit
yang lain.”
Langkah-langkah mereka itu pun segera
terhenti ketika mereka telah sampai di pesanggrahan. Mahisa Agni pun
segera minta diri untuk menemui orang-orang yang baru saja kembali dari
Panawijen, sedang Ken Arok dimintanya untuk menemani permaisuri meskipun
di muka pintu pesanggrahan masih ada beberapa orang penjaga.
“Sebenarnya aku lebih senang sendiri,”
desis permaisuri yang masih duduk di beranda pesanggrahannya itu di
dalam hati. Tetapi apabila dikenangnya hantu Karautan maka gumamnya di
dalam hati pula, “Untunglah ada Ken Arok di sini.”
Sebenarnyalah bahwa kehadiran Ken Arok
membuat hatinya menjadi tenteram. Permaisuri tidak menyadari, apakah
yang membuatnya tidak cemas lagi terhadap hantu Karautan itu, meskipun
ia diganggu oleh kegelisahannya yang lain. Ken Arok itu masih juga
menggelisahkannya. Bukan saja cahaya kemerah-merahan yang pernah
dilihatnya, tetapi tatapan matanya yang tajam penuh tanggung jawab.
Sikapnya yang mantap dan memancarkan kepercayaan atas diri sendiri,
tetapi sama sekali tidak berlebih-lebihan.
Dan kegelisahan itu telah membuat
permaisuri itu terdiam untuk sesaat, dipandanginya saja Ken Arok yang
duduk di lantai sambil menundukkan kepalanya.
Untuk mengurangi kegelisahan yang
menyekat dadanya, Ken Dedes yang duduk di tempat yang telah disediakan
di pesanggrahan itu, sepotong pokok kayu, mencoba berbicara dengan
pemomongnya. Katanya, “Udara terlampau dingin di sini, Bibi.”
Pemomongnya mengangkat wajahnya sambil menjawab pendek, “Hamba, Tuanku.”
“Angin terlampau kencang bertiup.”
“Hamba, Tuanku.”
Mereka pun kemudian terdiam kembali.
Terasa dada permaisuri menjadi semakin sesak. Namun tiba-tiba saja ia
teringat kata-kata Mahisa Agni yang dapat membuka percakapan untuk
mengurangi ketegangan suasana yang beku itu. Maka sejenak kemudian
permaisuri itu pun bertanya kepada Ken Arok, “Ken Arok, apakah benar kau
mengetahui tentang hantu Karautan?”
Pertanyaan yang dicemaskan itu ternyata
benar-benar didengarnya, sehingga dada Ken Arok menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya, namun wajah itu pun segera
tertunduk kembali. Jawabnya, “Ampun Tuanku. Hamba tidak mengerti apakah
sebenarnya hantu Karautan itu. Memang hamba pernah mendengarnya. Tetapi
pendengaran hamba tidak akan lebih banyak dari Mahisa Agni.”
“Tetapi selama ini kau berada di padang Karautan. Apakah kau pernah mendengar atau melihat sendiri?”
Ken Arok menggeleng lemah, “Tidak, Tuanku. Hamba belum pernah melihat ujudnya dan belum pernah mendengar suaranya.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Supaya mereka tidak lagi terbenam dalam kediaman, sedangkan permaisuri
masih belum ingin masuk ke dalam biliknya karena angan-angannya tentang
hantu Karautan, maka ia bertanya pula, “Tetapi kau belum bercerita
tentang taman ini Ken Arok. Bukankah kaulah orang yang paling tahu
tentang isi taman ini, bahkan kau jugalah yang paling tahu terjadinya
sejak tanah ini masih berupa padang rumput yang kering.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ragu-ragu ia menjawab, “Hamba, Tuanku. Memang hambalah yang
mendapat perintah untuk membuat taman ini untuk Tuanku.”
“Nah, supaya aku tidak segera mengantuk, ceritakanlah tentang taman ini dan sudah tentu tentang bendungan itu. Apakah kau mau?”
Ken Arok mengingsar duduknya. Ragu-ragu ia bertanya, “Apakah yang harus hamba ceritakan, Tuanku?”
“Terserah kepadamu. Mungkin tentang para
prajurit yang sedang bekerja. Mungkin tentang perbekalan atau mungkin
tentang banjir yang pernah melanda bendungan itu.”
Ken Arok menjadi bingung. Tetapi ia
mengharap bahwa Tuan Putri itu tidak segera beranjak pergi. Ia mengharap
bahwa ia mendapat kesempatan untuk berbicara lebih panjang lagi. Dan
Ken Arok sendiri tidak tahu apakah yang telah mendorongnya berbuat
demikian.
Karena itu, maka ia pun berusaha untuk
menemukan bahan yang baik yang akan dapat diceritakan kepada permaisuri.
Tentang taman ini atau tentang bendungan.
Tiba-tiba Ken Arok teringat kepada
persoalan lain yang barangkali tidak kalah menariknya. Dan tiba-tiba
saja ia berkata, “Tuanku. Tentang taman dan bendungan itu, tidak banyak
.yang menarik perhatian. Mungkin dapat hamba ceritakan, bagaimana
orang-orang Panawijen dan prajurit Tumapel berjuang setiap hari untuk
mewujudkannya. Tetapi yang terjadi adalah terlampau wajar. Bekerja
sedikit demi sedikit,menggali, menimbun brunjung-brunjung dan akhirnya
jadilah bendungan itu setelah kami memeras keringat. Demikian pula taman
ini. Tidak banyak yang menarik perhatian. Kami beri patok bambu untuk
membatasi daerah yang akan kami jadikan taman. Kemudian kami pagari dan
kami tanami pepohonan. Akhirnya sekarang dapat Tuanku lihat, sebuah
taman seperti ini.”
Ken Arok berhenti sejenak. Dicobanya
untuk melihat kesan di wajah permaisuri. Tetapi dalam keremangan malam
terang bulan, kesan di wajah itu tidak terlampau jelas dilihatnya.
Kemudian sesaat kemudian ia berkata pula, “Tetapi Tuanku, barangkali
Tuanku ingin mendengar cerita, bagaimana Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
berhasil memancing Mahisa Agni, sehingga meskipun ia berada di sisi
pamannya, Empu Gandring, namun Kebo Sindet berhasil membawanya.”
“Ah,” Ken Dedes berdesah, “terlampau
mengerikan. Tetapi baiklah. Ceritakanlah. Meskipun demikian jangan
membuat aku bertambah ketakutan. Malam ini Tuanku Akuwu tidak ada di
pesanggrahan. Kalau aku menjadi ketakutan, maka aku tidak akan berani
masuk ke dalam bilikku.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam,
“Baiklah. Hamba akan memilih bagian-bagian yang tidak menegangkan. Atau
barangkali hamba akan menghubungkannya dengan saat-saat Mahisa Agni akan
kembali ke padang ini.”
“Ceritakanlah supaya aku tidak segera menjadi kantuk.”
“Hamba akan mencoba, Tuan Putri.”
Ken Arok kemudian berkisar setapak sambil
mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu pun segera tertunduk kembali,
“Tetapi cerita ini cukup panjang, Tuanku.”
“Ceritakanlah. Aku akan menghentikannya apabila aku sudah lelah mendengarnya.”
“Hamba Tuanku,” sahut Ken Arok. Sekali
lagi ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu mulailah ia bercerita. Cerita
tentang Mahisa Agni, pada saat ia ditangkap oleh Kebo Sindet di
Panawijen.
Ternyata Ken Arok adalah seorang yang
pandai menyusun cerita. Mula-mula ia merasa canggung juga, tetapi
semakin lama ceritanya menjadi semakin menarik. Bahkan sekali-kali Tuan
Putri Ken Dedes memutusnya dan bertanya sesuatu, sehingga cerita Ken
Arok rasa-rasanya menjadi semakin hidup.
Cerita itu agaknya begitu menarik bagi
permaisuri. Setiap kali permaisuri menanyakan tentang beberapa hal dan
bahkan akhirnya mereka terbenam dalam pembicaraan yang lancar, meskipun
Ken Arok masih tetap pada sikapnya. Duduk di lantai dengan kepala
tunduk. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat wajahnya sambil tertawa.
Tetapi apabila disadarinya tertunduk dalam-dalam.
Namun ternyata sikap itu sangat menarik
bagi permaisuri. Anak muda itu terlampau sopan. Seperti Wiraprana yang
setiap kali menundukkan kepala apabila ia berbicara dengan orang-orang
yang pantas dihormatinya. ,
Sementara itu, bulan merambat semakin
tinggi di langit. Melambung di wajah langit yang biru bersih. Angin
malam yang silir mengalir lembut, menghanyutkan sejumput mega putih yang
terapung di muka wajah bulan.
Sementara itu Mahisa Agni dengan
tergesa-gesa menemui dua orang yang baru saja datang mengawani Kuda
Sempana. Ia terperanjat ketika Kebo Ijo telah mendahuluinya. Sambil
membentak-bentak Kebo Ijo bertanya, “Jadi anak itu kini berada di
Panawijen he?”
Kedua orang itu menjadi ragu-ragu.
Sebelum mereka menjawab, maka Mahisa Agni telah mendahuluinya, “Ya, Kuda
Sempana berada di Panawijen. Tetapi sudah tentu kedua orang itu tidak
tahu, apakah Kuda Sempana kini masih berada di sana.”
Kebo Ijo menggeretakkan giginya. Dengan
sorot mata yang tajam dipandanginya wajah Mahisa Agni. Sejenak kemudian
ia berdesis, “Jadi benar-benar kau berusaha untuk memberi kesempatan
setan itu melarikan dirinya?”
“Itu urusanku. Aku dapat memperlakukannya
sekehendak hatiku Akulah yang membawanya kemari, dan akulah yang
diserahi tanggung jawab atasnya oleh Akuwu Tunggul Ametung.”
“Bohong! Kau tidak mempunyai kekuasaan
apa-apa di sini. Kau hanya pernah mendapat kepercayaan dari orang-orang
Panawijen. Tetapi karena kau tidak mampu melakukan pekerjaanmu sebagai
orang yang mendapat kepercayaan, bahkan kemudian kau bersembunyi di
dalam sarang iblis itu, maka kepercayaan itu sekarang telah lebur.”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
kata-kata itu, justru di hadapan orang lain. Tetapi ia masih berusaha
menahan dirinya. Dengan sareh ia berkata, “Kau pun tidak mempunyai wewenang apa-apa atasnya.”
“Aku orang kedua di padang ini. Seribu kali sudah aku katakan. Seandainya kau mempunyai telinga, dengarkanlah!”
“Selama ada orang yang pertama, maka
keputusan tertinggi ada padanya. Di sini yang memegang kekuasaan
tertinggi adalah Ken Arok. Sudah sepuluh ribu kali aku katakan, dan aku
harap kau menyadarinya.”
“Persetan dengan Ken Arok! Tetapi atas kau dan orang-orang Panawijen yang lain, aku mempunyai jauh lebih banyak kekuasaan.”
“Mungkin. Mungkin atas orang-orang
Panawijen yang lain. Tetapi tidak atasku. Kau tidak dapat melampaui aku
dalam segala hal. Aku bersedia untuk berkelahi. Tetapi kalau kau
menyebut kedudukanmu, maka aku adalah kakak laki-laki permaisuri
Tumapel, Tuan Putri Ken Dedes. Kau dengar?”
Wajah Kebo Ijo seolah-olah menyala
mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Urat-uratnya seperti akan meledak
karena ketegangan yang memuncak. Namun ia masih tetap berdiri kaku di
tempatnya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa
sebenarnya Mahisa Agni melampauinya dalam segala hal. Ia tidak akan
mampu berkelahi melawannya, bersenjata atau tidak. Bahkan seandainya
mereka harus membenturkan kekuatan pamungkas mereka. Dan sebenarnya
pulalah bahwa Mahisa Agni adalah keluarga terdekat dari Permaisuri
Tumapel.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak
giginya. Namun tidak sepatah kata pun terloncat dari bibirnya. Bahkan
kemudian dengan serta-merta ia melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu tanpa berpaling lagi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Setelah Kebo Ijo itu hilang di dalam keremangan malam, Mahisa Agni
bergumam, “Hem, anak itu sama sekali tidak dapat merukah sikapnya.”
Orang-orang yang baru saja datang dari
Panawijen itu pun berdiri saja termangu-mangu. Mereka tidak tahu, apa
yang sebaiknya mereka lakukan. Sejak mereka berangkat mengantarkan Kuda
Sempana, mereka sudah melihat suasana yang sama sekali tidak
menyenangkan itu. Agaknya Kebo Ijo benar-benar mendendam kepada Kuda
Sempana. Bahkan hampir setiap orang didendamnya.
“Kenapa kau baru kembali?” bertanya Mahisa Agni tiba-tiba, sehingga kedua orang yang masih memandang kegelapan itu terkejut.
“Apakah ada sesuatu yang kurang lancar?” bertanya Mahisa Agni pula.
Salah seorang dari mereka
mengangguk-anggukkan kepalanya,katanya, “Aku sudah cemas, bahwa aku
tidak akan dapat ikut menikmati kegembiraan di padang Karautan.”
“Kenapa?” bertanya Ken Arok pula.
“Kedatangan Kuda Sempana telah menggemparkan padukuhan yang sepi itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku memang sudah menyangka. Untunglah bahwa kalian datang bersamanya.”
“Ya, untunglah. Semua orang hampir tidak dapat mengekang dirinya. Laki-laki tua, perempuan dan bahkan anak-anak tanggung.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Seperti orang kerasukan setan. Mereka
membawa senjata apa saja. Kami telah mereka kepung rapat-rapat sambil
berteriak-teriak mengerikan. Benar-benar seperti beribu-ribu demit
merasuki setiap orang di Panawijen saat itu. Mereka merasa bahwa semua
bencana di padukuhan kita bersumber dari Kuda Sempana.”
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas. Dan sekali lagi ia bergumam, “Untunglah ada kalian.”
“Kami pun hampir-hampir hanyut pula dalam arus kemarahan itu,” tiba-tiba yang lain menyahut.
“Kau marah kepada siapa?”
“Kuda Sempana.”
“He?” Mahisa Agni terperanjat.
“Tetapi kami segera menyadari tugas
kami,” yang lain segera menyahut, “kami segera menyadari, bahwa justru
tugas kami meredakan kemarahan itu.”
“Oh,” wajah Mahisa Agni menjadi berkerut
merut, “apabila orang-orang itu tidak dapat dikendalikan, apakah
kira-kira yang akan terjadi. Aku kira orang-orang Panawijen yang masih
tinggal itu, laki-laki tua, perempuan dan anak-anak akan tersapu oleh
pedang Kuda Sempana. Apalagi apabila Kuda Sempana telah menjadi gila
pula.”
Mahisa Agni menjadi termangu-mangu ketika
ia melihat kedua orang itu hampir bersamaan menggelengkan kepala
mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Tidak. Untunglah bahwa Kuda
Sempana tidak kerasukan seperti orang-orang Panawijen. Sebenarnya aku
pun telah menjadi cemas dan berdebar-debar. Apabila keadaan tidak
teratasi, maka aku pun pasti akan terlibat. Dan aku menyadari, dengan
siapa kami berhadapan.”
“Bagaimana sikap Kuda Sempana?”
“Kuda Sempana sama sekali tidak berbuat
sesuatu. Ia duduk diam di atas punggung kudanya sambil menundukkan
kepalanya. Bahkan ketika suasana yang panas itu hampir meledak, Kuda
Sempana berkata kepada mereka, bahwa apapun yang akan dilakukan atasnya,
ia akan bersedia menjalaninya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah kepada dirinya
sendiri, “Untunglah. Agaknya Kuda Sempana telah benar-benar menyesali
segala dosa-dosanya.”
“Ya.”
“Dan bagaimana dengan orang-orang Panawijen itu?”
“Kami berdua mencoba meredakannya. Dengan susah payah, namun akhirnya kami berhasil.”
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih,” desisnya, “Apabila
terjadi sesuatu, akulah yang bertanggung jawab. Aku telah membuat
kesalahan, karena aku salah menilai keadaan. Hampir-hampir saja aku
merusak sisa-sisa sendi kehidupan di atas padukuhan yang kering itu.
Apakah yang akan terjadi apabila timbul bentrokan di antara mereka.
Meskipun Kuda Sempana hanya seorang diri, namun ia akan dapat
membinasakan semua orang yang tersisa di Panawijen. Tidak ada kesempatan
untuk menahannya. Meskipun seandainya Kuda Sempana dapat dibinasakan
karena terlampau banyak lawannya, namun korban yang telah jatuh pasti
akan membuat orang-orang Panawijen di sini dan Ki Buyut Panawijen
mendapat kejutan yang dahsyat melampaui pada saat anaknya sendiri
terbunuh.”
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka melihat penyesalan yang dalam menghunjam di dalam dada
Mahisa Agni. Ia merasa, bahwa kali ini telah melepaskan seekor serigala
lapar di dalam kandang domba-domba yang terlampau lemah. Untunglah,
untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu.
Yang dapat dilakukan Mahisa Agni hanyalah
mengucap syukur kepada Yang Maha Agung di dalam hatinya, karena
Panawijen telah terhindar dari bencana yang tidak terkirakan dahsyatnya.
Bahkan bukan mustahil bahwa bencana itu
akan langsung menimpanya pula. Akuwu pasti akan sangat marah kepadanya,
apalagi apabila Kebo Ijo ikut serta berbicara tentang Kuda Sempana.
“Hem,” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekarang beristirahatlah. Bukankah
semuanya telah lampau tanpa terjadi sesuatu?”
“Ya. Semuanya telah lampau. Untunglah bahwa hari-hari yang penuh dengan kesenangan di padang ini belum lampau.”
“Mudah-mudahan sepeninggalmu, tidak terjadi sesuatu pula di Panawijen.”
“Aku kira tidak.”
“Baiklah. Sekarang pergilah ke dapur. Kau
dapat makan sesuka hatimu. Makanan yang seharusnya kau makan enam hari
berturut-turut dapat kau tuntut sekaligus sekarang.”
“Dan aku akan mati karena nafasku tersekat.”
Mahisa Agni tersenyum dan kedua orang
yang baru datang itu pun tertawa. Berkata salah seorang dari mereka,
“Aku benar-benar lapar. Aku akan mencari makan sekarang. Dengan
berbicara saja aku akan bertambah lapar.”
“Pergilah,” sahut Mahisa Agni.
Kedua orang itu pun segera pergi ke
dapur, sedang Mahisa Agni perlahan-lahan melangkah kembali ke
pesanggrahan. Namun di setiap langkahnya, seakan-akan membayang bencana
yang betapa dahsyatnya seandainya terjadi.
“Sepeninggal Akuwu, aku harus segera
menjemput Kuda Sempana. Semakin cepat anak itu kembali ke padang ini,
maka kemungkinan terjadi sesuatu di Panawijen pun akan menjadi semakin
kecil pula.”
Mahisa Agni pun kemudian mempercepat
langkahnya ketika disadarinya bahwa malam telah menjadi semakin jauh.
Bulan telah memanjat kaki langit semakin tinggi.
“Ken Arok telah terlampau lama menunggu.
Ia pasti akan merasa tersiksa untuk duduk diam mengawani Permaisuri di
pesanggrahan. Atau apabila Ken Arok tidak tahan lagi, dan pergi
meninggalkannya, maka Ken Dedes pasti tidak akan tenang,” Mahisa Agni
menyesal bahwa ia telah menyebut-nyebut hantu Karautan. Ia telah menduga
bahwa Ken Dedes akan menjadi gelisah mendengar nama itu.
Ketika Mahisa Agni menjadi semakin dekat
dengan pesanggrahan akuwu, ia masih melihat Ken Arok duduk sambil
menundukkan kepalanya, sehingga Mahisa Agni itu pun menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam, “Agaknya Ken Arok masih di sana.”
Karena kehadiran Mahisa Agni, maka Ken
Arok yang tengah bercerita dengan asyiknya itu berkata, “Ampun Tuan
Putri. Mahisa Agni telah datang. Perkenankan hamba kembali ke tempat
hamba. Sebentar lagi hamba akan pergi ke perkemahan untuk beristirahat.”
“Apakah kau tidur di perkemahan?” bertanya permaisuri.
“Hamba, Tuan Putri?”
“Kenapa tidak di sini?”
“Hamba harus berada di perkemahan,
Tuanku. Sebab yang bertugas di sini malam ini adalah Kebo Ijo. Kami
bergantian di setiap malam.”
“Tetapi kenapa kau malam ini berada di sini?”
“Setiap sore hamba di sini. Apabila malam
menjadi semakin malam, maka apabila hamba tidak bertugas, hamba kembali
ke perkemahan hamba. Apalagi di sini tidak ada tempat untuk hamba.”
Permaisuri mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya wajah Mahisa Agni yang telah duduk di samping
Ken Arok. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi ceritamu belum selesai Ken
Arok.”
“Ah,” desah Ken Arok, “biarlah Mahisa
Agni meneruskannya. Ia lebih tahu daripada hamba yang telah terjadi
dengan dirinya pada saat-saat ia kembali ke padang Karautan ini.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kau sedang bercerita tentang aku.”
“Ya.”
Mahisa Agni tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia bertanya, apakah Ken Arok
tidak sedang bercerita tentang hantu Karautan. Tetapi maksudnya itu pun
segera diurungkannya
“Baiklah,” berkata permaisuri kemudian, “Kakang Mahisa Agni telah berada di sini. Aku sudah tidak takut lagi.”
“Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri.”
Ken Arok itu pun segera meninggalkan
pesanggrahan setelah ia minta diri pula kepada Mahisa Agni dan emban tua
pemomong Ken Dedes. Perlahan-lahan ia melangkah menjauh. Semakin lama
semakin jauh. Cahaya pelita yang tergantung dinding pesanggrahan darurat
yang menimpa punggung Ken Arok, semakin lama menjadi semakin kabur,
sehingga akhirnya Ken Arok itu hilang di dalam keremangan malam, di
bawah bayangan rimbunnya pepohonan. Meskipun cahaya bulan yang terang,
menembus kekelaman malam,tetapi Ken Arok itu pun kemudian tidak tampak
lagi dari pesanggrahan.
Namun sebenarnya langkah Ken Arok itu
terhenti. Sekali ia berpaling. Dari sela-sela pohon bunga-bungaan ia
masih melihat permaisuri duduk di tempatnya, dihadap oleh Mahisa Agni
dan pemomongnya. Sinar lampu ternyata cukup terang mewarnai wajahnya
yang cemerlang.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba ia melangkah beberapa tapak kembali. Dengan nafas
tertahan-tahan ia berdiri di balik gerumbul bunga. Ditatapnya wajah
permaisuri yang tengadah.
Tanpa disengaja Ken Arok mengangkat
wajahnya memandang bulan yang cerah, seakan-akan ingin memperbandingkan
wajah bulan dengan wajah putri Tumapel yang berasal dari Panawijen itu.
“Hem,” perlahan-lahan Ken Arok berdesah.
Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Aku sudah
menjadi gila. Aku sudah menjadi gila. Oh, alangkah nistanya perasaan
ini. Betapapun cantiknya, tetapi ia adalah junjunganku. Ia adalah
permaisuri dari Akuwuku. Akuwu Tumapel.”
Dihentakkannya kakinya ke tanah, kemudian
dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali
masih terdengar ia menggeram mengumpati dirinya sendiri.
Semakin lama langkah Ken Arok menjadi
semakin cepat, seakan-akan ia takut dikejar oleh hantu Karautan. Namun
ketika ia sampai di ujung taman, maka langkahnya itu pun diperlambatnya.
Sekali ia berpaling. Dan dilihatnya adalah kesuraman malam. Daun-daun
yang bergerak-gerak ditiup angin dan kembang yang mengangguk-anggukkan
mahkota bunganya, seperti memberinya isyarat, bahwa ia sudah aman.
“Hem,” Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Kini kakinya melangkah satu-satu. Ia tidak mau meninggalkan
kesan yang aneh pada para penjaga di regol halaman. Terutama kepada
Kebo Ijo yang berada di gardu darurat. Kebo Ijolah yang malam itu
mendapat giliran mengawasi pesanggrahan, meskipun akuwu sendiri sedang
pergi berburu. Tetapi di pesanggrahan itu ada permaisuri Ken Dedes.
Ketika Ken Arok melewati regol taman itu,
maka tidak seorang pun yang menaruh banyak perhatian atas sikapnya. Ia
berjalan dengan langkah yang wajar. Bahkan ketika para penjaga
mengangguk kepadanya, ia tersenyum sambil berkata, “Hati-hatilah.”
Para penjaga itu tidak menjawab.
Kata-kata itu adalah kata-kata yang sudah terlalu sering mereka dengar
dari mulut Ken Arok, sehingga karena itu maka Ken Arok pun tidak
memerlukan jawaban mereka.
Namun Ken Arok itu masih juga memerlukan
singgah di gardu peronda yang diterangi oleh nyala lampu yang
remang-remang kemerah-merahan. Dilihatnya beberapa orang yang sedang
beristirahat berbaring berjajar di atas sehelai tikar pandan. Di sudut
ruangan itu Kebo Ijo duduk terkantuk-kantuk. Namun mulutnya ternyata
masih juga bergerak-gerak mengunyah jenang alot.
“Aku akan kembali ke gubukku,” berkata Ken Arok perlahan-lahan.
Kebo Ijo menganggukkan kepalanya acuh tak
acuh. Dengan suara yang tertahan di mulutnya ia berkata sambil
mengunyah, “Pergilah. Tetapi di mana setan itu sekarang?”
“Siapa?”
“Agni.”
“Oh,” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Telan sajalah makananmu itu. Jangan mencari siapa pun.”
Kebo Ijo justru mengangkat wajahnya.
Tetapi Ken Arok telah melangkah pergi meninggalkan gardu itu. Sehingga
ia tidak mendengar lagi Kebo Ijo mengumpat, “Kau pun anak setan. Hampir
setengah malam kau tunggui saja permaisuri yang ditinggal oleh suaminya.
Huh!”
Beberapa orang yang masih belum tertidur
mengerutkan keningnya. Tetapi mereka akhirnya terbiasa mendengar umpatan
dari mulut Kebo Ijo. Kecuali itu, mereka pun sama sekali tidak berani
menegurnya, karena sifat Kebo Ijo yang garang. Namun sebenarnya Kebo Ijo
kurang mendapat tempat di hati para prajurit Tumapel sendiri karena
sifat dan sikapnya.
Ken Arok yang berjalan meninggalkan taman
itu membelah keremangan malam menyusuri susukan induk. Sekali-kali
dilihatnya air melonjak seperti hendak memberinya salam. Namun setiap
kali disadarinya, bahwa beberapa ekor ikan sedang berkejar-kejaran di
terangnya bulan yang masih bulat
Sekali-kali Ken Arok menarik nafas
panjang. Dicobanya untuk mengusir perasaannya yang dianggapnya sesat.
Namun setiap kali membayang di matanya wajah permaisuri Ken Dedes.
Apabila bayangan wajah itu menjadi semakin jelas maka Ken Arok itu
mencoba menggeretakkan giginya, mengusir bayangan itu.
Tetapi ia tidak selalu berhasil. Dan
bahkan akhirnya ia terlena ke dalam angan-angan yang membubung tinggi ke
langit yang kelam. Di pembaringannya pun bayangan itu selalu saja
menyaput hatinya, dan selalu saja membuatnya hampir tidak kuasa
mengatasinya. Namun untunglah, bahwa keteguhan hatinya masih selalu
memperingatkannya, bahwa Ken Dedes adalah Permaisuri Tumapel.
“Aku pernah melihatnya. Tetapi baru kali
ini aku benar-benar menyadari betapa cantiknya permaisuri itu,”
desisnya. Namun sejenak kemudian terdengar gemeretak giginya, “Persetan!
Persetan!”
Tiba-tiba saja Ken Arok itu terperanjat.
Dengan sigapnya ia meloncat berdiri. Tetapi segera ia menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat seorang prajurit berdiri di depan gubuknya
sambil bertanya, “Apakah memang pintu itu tidak ditutup? Udara
terlampau dingin. Aku kira kau sudah tertidur.”
“Oh,” Ken Arok perlahan-lahan melangkah ke pintu, “aku memang belum menutupnya. Terima kasih.”
Prajurit itu pun pergi. Tangan Ken Arok dengan lesu menarik daun pintu lerengnya dan mengatupkannya, supaya di dalam ruangannya tidak terlampau dingin.
“Aku lupa menutup pintu,” desisnya, “otakku telah diganggu oleh iblis yang paling jahat.”
Dalam kegelisahan itu Ken Arok mencoba
untuk mencari ketenangan dengan berbagai macam masalah. Dicobanya untuk
mengingat kembali saat banjir pertama yang melanda bendungannya.
”Mungkin hujan akan segera turun setiap
hari. Mungkin banjir akan datang pula dalam waktu yang singkat. Aku
harus bersiap-siap mengatasinya. Kalau banjir itu memecahkan bendungan,
maka susukan induk tidak akan dapat mengalir lagi untuk mengairi sendang
di dalam taman itu. Apabila sendang itu kering, maka nilai taman itu
akan jauh berkurang di mata Permaisuri Ken Dedes. Hem, aku harus membuat
taman itu bahkan lebih indah dari yang sudah dilihatnya.”
Tiba-tiba angan-angan itu terhenti.
Perlahan-lahan terdengar Ken Arok menggeram, “Oh, tidak. Tidak.
Maksudku, apabila bendungan itu pecah, dan susukan induk tidak mengalir,
maka parit-parit akan menjadi kering, dan sawah-sawah itu tidak akan
dapat diairi untuk waktu yang lama.”
Dan Ken Arok itu mencoba untuk tetap berpikiran sehat. Ia tidak mau hanyut dalam arus perasaannya yang gila itu.
Dalam pergumulan itu, lambat laun Ken
Arok terseret ke dalam rata kantuknya. Tanpa disadarinya ia pun
tertidur. Di dalam tidurnya itulah ia bermimpi, duduk di atas punggung
seekor gajah. Tetapi ia tidak berwujud sebagai dirinya kini. Ia merasa
dirinya dalam pakaian yang cemerlang dalam bentuk sebagai penguasa alam.
Dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung di atas seekor kuda, tetapi terlampau
kecil. Kecil sekali.
Ken Arok tergagap bangun ketika sepercik
sinar matahari jatuh di atas keningnya. Perlahan-lahan ia bangkit, lalu
menggeliat. Mimpinya ternyata masih sangat membekas di dinding hatinya.
Bahkan semuanya itu serasa benar-benar telah terjadi.
“Sekedar mimpi,” gumamnya.
Ken Arok pun segera bangkit dan melangkah
keluar. Ternyata matahari telah naik di atas cakrawala. Belum pernah ia
terlambat bangun sampai sesiang itu.
Beberapa orang yang melihatnya tersenyum. Salah seorang prajurit berkata kepadanya, “Alangkah nyenyaknya tidur semalam.”
Ken Arok pun tersenyum. Tetapi ia tidak
menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke sungai, ke bawah bendungannya
untuk membersihkan dirinya.
Anak muda itu ternyata tidak menyadari
dirinya, kenapa ia merasa seolah-olah dikejar-kejar oleh waktu. Tidak
seorang pun yang mengharuskannya untuk segera bersiap. Namun hal itu
telah dilakukannya. Seolah-olah adalah menjadi kewajiban utamanya hari
itu untuk segera bersiap dan menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
“Akuwu sedang berburu,” suara itu
didengarnya di dalam dadanya,” tetapi permaisuri ada di pesanggrahan.
Apabila Akuwu belum datang, adalah menjadi kewajibanku untuk menghadap
permaisuri.”
Karena itulah maka Ken Arok merasa
dirinya terlampau lambat melakukan sesuatu. Bahkan tiba-tiba saja ia
telah menjadi gugup. Air kendi di bancik di dalam gubuknya telah
disentuhnya sehingga jatuh dan pecah. Airnya memercik dan membasahi kain
panjangnya, sehingga ia mengumpat-umpat, “Huh! baru saja aku bertukar
pakaian.”
Tetapi Ken Arok tidak sempat berganti
pakaian. Dipakainya saja pakaiannya yang basah itu. Dengan langkah
panjang ia keluar dari gubuknya dan berjalan menyusur susukan induk
untuk pergi ke taman.
“Kau belum makan pagi,” sapa seseorang, “juru masak itu menanyakan kau.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Aku akan makan di pesanggrahan.”
“Oh, agaknya makanan di sana lebih enak dari makanan di barak-barak kita.”
Tanpa sesadarnya Ken Arok menjawab, “Mungkin.”
Tetapi kemudian segera disusulinya, “Tidak. Maksudku, aku harus segera berada di sana.”
Orang yang menyapa itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja Ken Arok
yang berjalan tergesa-gesa menuju ke pesanggrahan.
Orang itu berpaing ketika seseorang
menggamitnya. Ternyata Ki Buyut Panawijenlah yang berdiri di
belakangnya. Katanya, “Agaknya Angger Ken Arok terlampau tergesa-gesa.”
Orang itu mengangguk, “Ya, sikapnya agak lain. Mungkin ada sesuatu yang penting yang harus segera diselesaikan di pesanggrahan.”
Ki Buyut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Kemudian ia pun kembali ke gubuknya tanpa prasangka apapun.
Di pesanggrahan permaisuri ternyata
bangun terlampau pagi. Ketika Mahisa Agni yang tidur di belakang
pesanggrahan itu mengunjunginya, permaisuri telah duduk di serambi depan
bersama emban tua pemomongnya.
“Apakah ia belum datang?” bertanya Mahisa Agni setelah ia duduk di dekatnya.
“Belum,” sahut permaisuri, “apakah ia bertugas hari ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jawab
permaisuri itu agak aneh terdengar di telinganya Tetapi ia tidak
terlampau memperhatikannya. Bahkan ia berkata, “Sebentar lagi pasti akan
datang.”
“Apakah menjadi kebiasaannya datang pada saat-saat begini?” bertanya permaisuri itu.
Sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran.
Kali ini ia terpaksa bertanya kembali, “Aku tidak mengerti Tuan Putri.
Seharusnya Tuan Putrilah yang dapat mengatakan, apakah menjadi
kebiasaannya datang pada saat begini?”
“Oh, tentu bukan aku. Aku tidak tahu,
apakah yang dilakukannya setiap hari. Aku tidak tahu apa saja yang
dikerjakannya. Setiap hari ia tidak pernah mengatakan kepadaku, bahwa ia
datang pada saat-saat tertentu selama aku berada di pesanggrahan ini.”
Mahisa Agni menjadi semakin bingung.
Sehingga ia harus menjelaskan, “Mungkin tidak, selama di pesanggrahan
ini. Tetapi bukankah kebiasaan itu dilakukannya juga di istana? Memang
ada beberapa perbedaan. Mungkin jarak dan keadaan. Tetapi bukankah Tuan
Putri dapat mengira-ngira saat-saat Tuanku pulang dari berburu?”
“Oh,” tiba-tiba Ken Dedes terperanjat.
Sepercik warna merah menjalar di pipinya yang putih. Namun sejenak
kemudian ia menjadi pucat. Keringat dingin mengalir di keningnya.
Mahisa Agni pun terperanjat pula melihat
keadaan permaisuri itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dibiarkannya
permaisuri mengatasi keadaannya. Namun Mahisa Agni masih juga belum
mengerti apakah sebenarnya yang dikatakan oleh Ken Dedes itu.
Sejenak kemudian sambil tergagap Ken
Dedes berkata terputus-putus, “Memang, memang aku dapat mengatakannya,
tetapi tentu tidak sekarang. Baru sekali ini Akuwu pergi berburu dari
pesanggrahan ini. Dan, aku sebenarnya tidak senang Tuanku Akuwu
meninggalkan aku sendiri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
tidak menyangka bahwa pertanyaannya yang sederhana itu membuat
permaisuri seolah-olah menjadi bingung. Bukankah pertanyaannya mula-mula
adalah pertanyaan yang terlampau wajar, ‘Apakah ia belum datang’. Hanya
itu. Mungkin ia salah mempergunakan satu dua sebutan, karena bukan
kebiasaannya. Mungkin ia harus bertanya, ‘Apakah Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung telah datang’.
Tetapi apabila kesalahan-kesalahan kecil
itu membuat Ken Dedes menjadi gugup, maka Mahisa Agni harus menjadi
lebih berhati-hati lagi. Ia harus lebih cermat memilih kata-kata,
meskipun hal itu pasti tidak akan terlalu menyenangkannya. Tetapi apa
boleh buat. Adalah sudah menjadi tata kesopanan istana, bahwa
sebutan-sebutan itu tidak dapat ditinggalkan.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak
dapat melihat apa yang sebenarnya bergetar di dalam hati Ken Dedes.
Mahisa Agni tidak dapat melihati betapa Ken Dedes dengan sekuat
tenaganya sedang menahan gelora perasaannya, sehingga tubuhnya menjadi
basah oleh keringat dinginnya.
Pertanyaan Mahisa Agni semula ternyata
telah menyesatkannya. Pada saat ia duduk di serambi dan pada saat
angan-angannya sedang dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan tentang
seseorang, maka ia mendengar Mahisa Agni bertanya.
Ken Dedes menyangka, bahwa yang
ditanyakan oleh Mahisa Agni itu adalah orang yang sedang membayangi
perasaannya saat itu. Ken Arok. Sehingga jawabnya pun telah tersesat
pula. Tetapi ternyata bahwa yang ditanyakan Mahisa Agni adalah Akuwu
Tunggul Ametung.
Meskipun tidak seorang pun yang tahu isi
yang tersimpan di dalam dada, namun Ken Dedes merasa seolah-olah Mahisa
Agni telah melontarkannya ke dalam suatu keadaan yang sangat
menyulitkannya. Dadanya terasa menjadi berdebar-debar, dan darahnya
seolah-olah menjadi semakin cepat mengalir.
Bahkan seolah-olah Mahisa Agni telah menaruh pengilon
di hadapan wajahnya, yang membayangkan betapa hatinya telah terpengaruh
sekali oleh seorang pemimpin prajurit muda bernama Ken Arok, yang
setiap kali selalu mengingatkannya kepada Wiraprana.
Dengan demikian, maka sejenak mereka
menjadi saling berdiam diri. Namun dada permaisuri itu terasa bergejolak
seperti gejolak air yang sedang banjir.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni itu
terkejut ketika ia mendengar Ken Dedes itu mengeluh. Perlahan-lahan ia
berdiri sambil berkata kepada pemomongnya, “Bibi, kenapa tiba-tiba aku
merasa pening sekali?”
“Oh,” pemomongnya pun menjadi terkejut, “kenapa Tuan Putri?”
Permaisuri itu menggelengkan kepalanya sambil berpegangan dinding, “Kepalaku pening sekali, Bibi.”
Mahisa Agni dan emban tua itu pun segera
berdiri. Pemomongnya segera menolongnya sambil bergumam, “Tuan Putri
semalam kurang sekali tidur. Mungkin hal itu sangat berpengaruh terhadap
kesehatan Tuan Putri. Sedang pagi ini Tuan Putri pun terlampau cepat
bangun dan mandi.”
“Semalam aku memang tidak dapat tidur sama sekali,” sahut permaisuri itu sambil memijat keningnya.
“Kenapa Tuanku tidak dapat tidur?” bertanya Mahisa Agni.
Pertanyaan itu pun telah menggetarkan
dada Ken Dedes. Seolah-olah Mahisa Agni telah menyalahkannya, bahwa
semalam ia telah dicengkam oleh sebuah angan-angan yang sesat pula.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia menjawab, “Aku tidak berbuat
apa-apa. Aku tidak berpikir atau berangan-angan tentang apapun yang
dapat membuat aku bimbang atas keadaanku sekarang. Aku adalah seorang
permaisuri. Aku adalah istri orang yang tertinggi di Tumapel ini. Tidak
ada orang yang lebih berkuasa dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Ken Dedes berhenti sejenak, lalu, “Maksudku, tidak ada seorang suami yang lebih baik dari suamiku.”
Mahisa Agni dan emban pemomong Ken Dedes
itu pun menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak mengerti ujung dan
pangkal dari kata-kata permaisuri yang seolah-olah sedang membela diri
itu. Apalagi ketika permaisuri itu meneruskan, “Kakang Mahisa Agni.
Tinggallah kau di sini. Aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari
ini kecuali Tuanku Akuwu apabila ia datang. Selain Akuwu dan Bibi, maka
hanya Kakang Mahisa Agnilah yang boleh tinggal di pesanggrahan ini. Aku
tidak mau bertemu lagi dengan siapa pun. Aku tidak mau. Nanti apabila
Akuwu kembali dari berburu, aku akan memohon kepadanya, untuk segera
kembali ke istana. Ternyata padang Karautan benar-benar dikuasai oleh
hantu yang mengerikan. Hantu-hantu dan iblis yang menyesatkan.”
“Oh,” pemomongnya menjadi sangat cemas
melihat sikap itu, “Tuan Putri. Jangan cemas tentang apapun juga. Di
sini ada Mahisa Agni, eh, maksudku Angger Mahisa Agni. Di seputar
pesanggrahan ini telah bersiaga prajurit pengawal yang Tuanku Akuwu bawa
dari Tumapel, sedang di sini telah ada pula sepasukan prajurit lagi di
bawah pimpinan Angger Ken Arok.”
“Cukup! Cukup!” tiba-tiba Ken Dedes berteriak, “Jangan sebut lagi! Jangan sebut lagi!”
Emban tua itu bertambah bingung, dan
Mahisa Agni pun berdiri saja dengan mulut ternganga. Namun sejenak
kemudian Mahisa Agni berkata, “Beristirahatlah Tuan Putri. Tuan Putri
terganggu karena kelelahan. Apabila Tuan Putri nanti dapat tidur, maka
semuanya akan menjadi baik.”
Terdengar Ken Dedes berdesah.
Perlahan-lahan ia mendapatkan kesadarannya kembali. Namun kegelisahan di
dadanya masih juga mencekamnya. Kini ia merasa, seolah-olah dirinya
telah jatuh ke dalam terkaman tangan iblis yang paling jahat di padang
Karautan ini.
Perlahan-lahan emban pemomongnya
membimbingnya masuk ke dalam biliknya. Ketika permaisuri itu sampai di
muka pintu sekali lagi ia berpaling dan berkata kepada Mahisa Agni,
“Kakang. Kau jangan pergi. Tinggallah di sini, dan jangan kau izinkan
seorang pun datang ke pesanggrahan ini. Aku hanya akan menunggu Tuanku
Akuwu Tunggul Ametung. Aku hanya menunggunya. Tuanku adalah suami yang
baik. Terlampau baik.”
Suara permaisuri itu merendah. Lalu
lamat-lamat terdengar ia bergumam, “Tetapi Akuwu selalu meninggalkan aku
sendirian. Bahkan di padang yang penuh berkeliaran hantu dan iblis
ini.”
Mahisa Agni menjadi semakin cemas.
Tiba-tiba sebuah penyesalan telah melanda hatinya. Ia menyangka, bahwa
senda guraunya tentang hantu Karautan kemarin benar-benar telah membekas
terlampau dalam di hati permaisuri itu, sehingga terlampau
mengganggunya. Semalam permaisuri itu ternyata tidak tidur sekejap pun,
dan pagi ini ia benar-benar dihantui oleh bayangan-bayangan yang
menakutkan.
“Tuan Putri,” terdengar suara Mahisa Agni
berat, “sebaiknya Tuan Putri jangan cemas. Beristirahatlah. Aku akan
tetap berada di sini sampai Tuanku Akuwu Tunggul Ametung datang. Tidak
ada seorang pun yang akan mengganggumu, apalagi hantu Karautan itu,
selama Mahisa Agni masih dapat bernafas.”
Ken Dedes tidak menyahut. Tetapi
tampaklah wajahnya yang pucat melontarkan berbagai macam pertanyaan
kepadanya. Namun sesaat kemudian permaisuri itu melangkahkan kakinya
masuk ke dalam biliknya.
Mahisa Agni mengantarkannya sampai ke
muka pintu. Dilihatnya emban tua pemomong Ken Dedes membimbingnya dan
meletakkannya di atas pembaringannya.
“Beristirahatlah, Tuan Putri.”
Ken Dedes tidak menyahut. Tetapi seperti
tanpa disadarinya ia kemudian merebahkan dirinya, berbaring sambil
menatap atap. Dilihatnya jalur-jalur tulang-tulang atap pesanggrahan
darurat yang terbuat dari bambu itu.
Baru sejenak kemudian ia bergumam, “Kau
jangan pergi Kakang. Jagalah agar tidak seorang pun yang memasuki
pesanggrahan ini, meskipun ia pemimpin prajurit Tumapel di padang
Karautan ini.”
Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud
itu. Tetapi ia menjawab, “Baiklah Tuan Putri. Aku ingin berada di
serambi saja supaya aku dapat melihat keadaan dengan seksama.”
“Pergilah, tetapi jangan tinggalkan pesanggrahan ini.”
“Baik,” sahut Mahisa Agni, yang sejenak
kemudian telah melangkah meninggalkan pintu bilik itu pergi ke serambi
depan. Namun dalam pada itu ia tidak habis-habisnya berpikir, apakah
yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes?
“Mudah-mudahan ia hanya diganggu oleh
kelelahan. Kalau ia sudah beristirahat secukupnya, maka ia akan sembuh
dari keadaannya yang mencengkam itu.”
Sementara itu di dalam biliknya, ternyata
Ken Dedes selalu masih saja gelisah. Setiap kali emban pemomongnya
mencoba menenteramkan hatinya. Tetapi karena emban itu tidak tahu pasti
apakah sebab dari kegelisahan itu, maka ia pun tidak segera dapat
membuat momongannya menjadi tenang.
“Akuwu Tunggul Ametung hanya selalu memikirkan diri sendiri saja, Bibi,” desah permaisuri itu tiba-tiba.
Pemomongnya terperanjat mendengarnya. Apalagi nada suara Ken Dedes yang penuh penyesalan.
“Aku datang ke taman ini bersamanya untuk
menikmati kesenangan di dalam istirahat kami. Tetapi Akuwu Tunggul
Ametung pergi berburu dan meninggalkan aku dalam kesepian.”
Pemomongnya menjadi semakin heran. Ketika
akuwu berangkat kemarin, Ken Dedes melepaskannya dengan senang hati,
seperti yang selalu terjadi sebelumnya. Ken Dedes tahu betul bahwa Akuwu
Tunggul Ametung selalu pergi berburu pada saat-saat yang
dikehendakinya. Kadang-kadang dengan tiba-tiba saja ia ingin berangkat.
Bahkan kadang-kadang sampai dua tiga hari. Pada waktu-waktu itu
permaisuri Ken Dedes tidak pernah berdesah, apalagi mengeluh seperti
saat ini.
“Mungkin justru karena saat ini mereka
tidak berada di istana,” pikir emban tua itu, “tetapi, kenapa baru
sekarang Ken Dedes merasakan kesepian itu?”
Seperti Mahisa Agni, maka emban itu pun
kemudian mencoba menghubungkannya dengan cerita tentang bantu Karautan,
sehingga karena itu ia mencoba menghibur momongannya, “Tuanku, jangan
dihiraukan lagi tentang cerita hantu Karautan. Hantu itu tidak akan
dapat berbuat banyak. Seperti yang dikatakan oleh Angger Mahisa Agni.
Selama ia masih ada di sini, maka tidak akan ada seorang pun dan bahkan
hantu Karautan yang akan mengganggu. Apalagi di sini ada banyak prajurit
pilihan. Maka aku kira Tuanku dapat beristirahat dengan aman.”
Emban itu heran ketika ia mendengar
permaisuri itu berdesis, “Tidak bibi. Aku tidak digelisahkan oleh hantu
Karautan. Tetapi aku merasa terlampau sepi sendiri di padang Karautan
yang luas ini. Akuwu selamanya hanya memikirkan kesenangan sendiri,
tanpa menghiraukan aku lagi.”
“Jangan berkata begitu, Tuan Putri.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan Akuwu pergi berburu? Dan bukankah
selama ini Tuan Putri tidak pernah mempersoalkannya?”
“Itulah sebabnya, Bibi. Sekian lama aku
mencoba mengendapkannya di dalam dada Tetapi saat ini, saat kita
semuanya berada di padang Karautan, Akuwu sampai hati pula meninggalkan
aku sendiri.”
“Ah,” emban tua itu berdesah, “itu adalah
kebiasaannya. Aku yakin bahwa Akuwu sama sekali tidak bermaksud
mengabaikan Tuan Putri. Apalagi pada saat Akuwu minta diri, Tuan Putri
sama sekali tidak menunjukkan keberatan apapun juga, sehingga Akuwu
tidak membuat terlampau banyak pertimbangan-pertimbangan.”
“Aku tidak dapat mencegahnya, Bibi. Seharusnya Akuwu dapat menangkap perasaanku.”
“Jangan merajuk Tuan Putri. Lebih baik
Tuan Putri berkata berterus terang. Mungkin Akuwu akan menjadi kecewa
dan bahkan marah. Mungkin pula Akuwu sama sekali tidak mau mengindahkan
pendapat Tuan Putri, tetapi sesuatu hal yang pasti, bahwa Akuwu dengan
demikian mengerti, bahwa Tuan Putri tidak senang atas sikap itu. Apabila
kelak Tuanku Akuwu sempat membuat penimbangan, maka hal itu pasti akan
dipertimbangkan. Apabila terjadi pula sesuatu, maka Tuan Putri telah
menentukan sikap sebelumnya, sehingga Tuan Putri tidak akan dapat
dipersalahkan. Tetapi apabila Tuan Putri tidak mengatakan yang
sebenarnya tersirat di dalam hati, maka Tuanku Akuwu tidak akan tahu.
apakah yang sebenarnya Tuan Putri kehendaki. Mungkin Tuanku Akuwu akan
mencoba meraba-raba, tetapi kesimpulan yang didapatnya mungkin keliru,
bahkan mungkin terbalik dengan kehendak Tuan Putri.”
Emban Tuan itu berhenti sejenak.
Dicobanya untuk melihat kesan dari kata-katanya. Sejenak kemudian ia
melanjutkannya, “Tuan Putri. Mungkin Akuwu berhasrat berbuat
sebaik-baiknya seperti yang Tuan Putri kehendaki. Tetapi karena Tuanku
Akuwu tidak tahu apakah yang sebenarnya Tuan Putri kehendaki, maka apa
yang dikerjakan itu, justru bertentangan dengan kehendak Tuan Putri.
Apakah Tuan Putri mengerti maksud hamba? Dan apakah Tuan Putri yakin,
bahwa Tuaku Akuwu pasti akan menolak seandainya Tuan Putri berkata
seperti hati nurani Tuan Putri yang sebenarnya, seperti pada saat Tuanku
minta diri untuk berburu kemarin?”
Permaisuri Tumapel itu tidak segera menyahut. Ia memang dapat mengerti maksud emban pemomongnya itu.
Namun perasaannya merasakan sesuatu yang
lain dari saat-saat yang lampau. Permaisuri itu sendiri tidak menyadari,
kenapa kini ia merasa terlalu sepi dalam kesendiriannya. Perasaan itu
sama sekali tidak pernah dihayatinya sebelumnya.
“Mungkin karena aku tidak berada di
istana,” Ken Dedes pun mencoba untuk mencari alasan bagi perasaannya
yang asing itu. Meskipun di pesanggrahan itu ada juga beberapa pelayan
di samping emban pemomongnya, tetapi tidak seperti di istana. Di sana
berkeliaran terlampau banyak emban dayang-dayang dan pelayan-pelayan.
Tetapi di pesanggrahan ini jumlahnya terlampau terbatas.
Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk menahan perasaannya yang gelisah. Namun setiap kali,
dadanya terasa sesak. Bayangan-bayangan yang asing hilir mudik
berkeliaran di dalam angan-angannya. Kadang-kadang masa-masa lampaunya
membayang terlampau jelas, seperti baru kemarin saja terjadi. Pada saat
Kuda Sempana di bawah perlindungan Akuwu Tunggul Ametung mengambilnya
dari padepokannya di Panawijen. Pada saat itu Wiraprana terkapar di
halaman, terbunuh oleh Kuda Sempana. Tetapi saat itu ia sama sekali
tidak menaruh perhatian kepada seorang anak muda yang ikut serta di
dalam rombongan penculik itu yang bernama Ken Arok. Dan tiba-tiba saja
kini Ken Arok muncul di hadapannya dengan membawa terlampau banyak
masalah di dalam dirinya.
Tiba-tiba permaisuri itu menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya. Tanpa di-sangka-sangka Ken Dedes itu
menangis. Perlahan-lahan sekali, namun isaknya terlampau jelas tampak di
dadanya.
“Tuan Putri?” emban pemomongnya itu pun menjadi gelisah.
“Apakah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung belum datang, Bibi?” bertanya Ken Dedes.
“Belum Tuan Putri. Mungkin sebentar lagi
Tuanku datang dengan membawa kijang. Bukankah Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung berjanji untuk membawa kijang kemari?”
“Ya, Bibi. Tuanku akan membawa kijang
buruan,” Ken Dedes berhenti sejenak, lalu, “Memang Akuwu selalu berusaha
untuk menyenangkan hatiku.”
“Ya, Tuan Putri. Sebenarnyalah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang suami yang baik.”
Ken Dedes tidak segera menyahut.
Diusapnya air yang membasahi pipinya. Kemudian katanya, “Tetapi apakah
kau yakin bahwa Akuwu benar-benar rnencintaiku, Bibi?”
“Ah,” emban itu berdesah, “Tuanku.
Bukankah begitu besar cinta Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, sehingga
Tuanku berjanji untuk menyerahkan Tumapel dengan seisinya Kepada Tuan
Putri?”
“Kau percaya bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan?”
“Aku percaya Tuan Putri.”
“Tetapi Tuanku Akuwu Tunggul Ametung belum pernah melaksanakan.”
“Apakah akan banyak gunanya Tuan Putri?”
bertanya emban tua itu. Lalu dilanjutkannya, “Seandainya Tuan Putri
nanti berputra, bukankah putra itulah yang akan menerima kekuasaan
kelak, apakah melimpah dari Tuanku Akuwu atau pun dari Tuan Putri.”
Ken Dedes berdiam sejenak. Ia pun pernah
mendengar keterangan semacam itu dan ia dapat mengerti pula. Tetapi kini
terasa bahwa bagaimanapun juga, ia harus menerima hak yang telah
dilimpahkannya itu secara resmi. Bukan sekedar saling mengerti seperti
saat ini.
“Oh,” Ken Dedes berdesah. Dan terdengar
di dalam hatinya ia berkata, “Aku agaknya telah diganggu oleh hantu
Karautan. Iblis ini mencoba mengganggu perasaan dan hatiku.”
Emban pemomongnya benar-benar menjadi
gelisah dan cemas. Tetapi ia tidak berani terlampau banyak berbuat,
supaya ia tidak membuat permaisuri itu menjadi semakin bingung.
“Aku akan tidur sejenak, Bibi,” tiba-tiba
permaisuri itu berkata, “Bangunkanlah kalau suamiku pulang dengan
membawa seekor kijang buruan.”
“Hamba, Tuanku,” sahut emban itu. Hatinya menjadi agak tenang ketika dilihatnya permaisuri itu berusaha untuk tidur.
“Tetapi jangan kau tinggalkan aku, Bibi.”
“Tidak, Tuan Putri. Aku tidak akan pergi. Aku akan menunggui Tuan Putri sampai Tuanku Akuwu Tunggul Ametung datang.”
“Ya. Dan begitu Tuanku Akuwu datang, aku akan memohon untuk segera kembali ke Tumapel.”
“Kenapa terlampau tergesa-gesa? Tuanku masih perlu beristirahat di sini.”
“Waktu istirahat terasa terlampau lama. Besok Akuwu akan pergi lagi meninggalkan aku sendiri.”
“Tuanku dapat mengatakannya, bahwa Tuanku tidak ingin ditinggalkan sendiri.”
Permaisuri itu tidak menyahut. Tetapi
dipejamkan matanya. Ia mencoba untuk dapat tidur. Ternyata bahwa semalam
suntuk ia tidak tidur sekejap pun, sehingga tubuhnya terasa panas dan
kepalanya memang agak pening.
Dengan perlahan-lahan emban pemomongnya
yang setia memijit-mijit ujung kakinya, betisnya dan lututnya. Seperti
yang selalu dilakukannya sejak Ken Dedes itu masih terlampau muda. Masih
kanak-kanak. Kalau anak itu tidak segera dapat tidur karena kelelahan
setelah sehari penuh bermain kejar-kejaran dengan kawan-kawannya, maka
pemomong yang tua itu memijit-mijit ujung kakinya, betisnya dan lututnya
sambil berdendang. Tetapi kini suaranya sudah terlampau parau, sehingga
ia tidak mau lagi berlagu.
Namun, oleh silirnya angin pagi yang
sejuk, maka perlahan-lahan Ken Dedes itu pun terlena dalam buaian kantuk
dan lelah. Meskipun matahari masih belum sepenggalah, namun permaisuri
itu telah jatuh tertidur.
Emban pemomongnya menarik nafas
dalam-dalam. Direnunginya wajah momongannya, seolah-olah ingin melihat
apakah sebenarnya yang sedang berkecamuk di dalam angan-angannya.
Tetapi emban tua itu sama sekali tidak
dapat menangkap perasaan apapun dari momongannya. Bahkan kadang-kadang
terlintas di dalam kepalanya, apakah memang benar hantu Karautan sedang
mengganggu permaisuri itu.
“Ah tidak,” katanya di dalam hati, “itu tidak mungkin terjadi.”
Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah membuatnya cemas dan bingung.
“Mungkin permaisuri memang merasa
kesepian. Perasaan yang demikian sebelumnya hanya ditahankannya di dalam
hatinya, sehingga suatu ketika perasaan itu meledak tanpa dikendalikan
lagi”
Namun bahwa permaisuri kini dapat tidur,
hati emban tua itu menjadi sedikit tenang. Mudah-mudahan setelah ia
bangun nanti, semuanya akan menjadi baik.
Maka emban itu pun dengan setianya duduk
di samping pembaringan permaisuri Ken Dedes. Bahkan seperti sedang
menunggui bayi, maka setiap kali emban tua itu mengenyahkan lalat dan
bahkan nyamuk yang hinggap di tubuhnya.
Sementara itu Ken Arok telah sampai ke
taman itu pula. Langkahnya yang tergesa-gesa telah membuatnya berpeluh
di kening dan punggungnya.
Namun ketika ia telah melangkah masuk ke
dalam regol taman, melampaui para penjaga, hatinya menjadi ragu-ragu.
Apakah perlunya ia dengan tergesa-gesa menghadap permaisuri Ken Dedes
selagi Akuwu Tunggul Ametung sendiri tidak ada?
“Aku dapat pura-pura bertanya, apakah
Tuanku Akuwu telah datang,” katanya di dalam hati, namun kemudian
dibantahnya sendiri, “Lalu apakah gunanya? Apakah gunanya aku memakai
seribu satu macam alasan sekedar untuk masuk ke dalam pesanggrahan itu?”
Ken Arok tiba-tiba menjadi bingung, ia
tidak mengerti apakah sebenarnya yang diinginkannya. Apakah ia ingin
menghadap Akuwu Tunggul Ametung? Ia tahu pasti kalau Akuwu tidak ada di
pesanggrahan. Seandainya ia ragu-ragu, ia dapat bertanya setiap orang di
taman itu, atau langsung kepada Kebo Ijo. Ia tidak perlu menghadap
permaisuri untuk sekedar bertanya tentang Akuwu Tunggul Ametung.
“Aku tidak memerlukan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung,” tiba-tiba Ken Arok menggeram, “aku ingin menghadap Permaisuri.”
Namun timbul pula pertanyaan di dalam
hatinya, “Apakah gunanya aku menghadap? Tidak banyak hubungan tugasku
dengan Permaisuri. Dan bahkan tidak ada gunanya aku menghadap.”
Dalam kebimbangan itu Ken Arok berdiri
tegak di bawah sebatang pohon kantil yang sudah menjadi sebatang pohon
yang cukup besar. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya.
Diamatinya bunga-bunga yang sedang mekar, dan kupu-kupu yang
beterbangan. Namun dengan demikian maka hatinya kian menjadi gelisah.
Hampir terlonjak ketika ia mendengar sebuah suara dari balik segerumbul perdu, “Apa kerjamu di situ, Ken Arok?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Apakah sebabnya maka ia tidak dapat mendengar langkah orang itu yang
tidak lain adalah Kebo Ijo, sehingga tiba-tiba saja ia menjadi sangat
terkejut mendengar suaranya? Telinga Ken Arok adalah telinga yang sangat
tajam. Namun angan-angannya kini agaknya sedang terganggu, sehingga
pendengarannya tidak dapat bekerja sewajarnya.
“Apakah aku telah mengejutkan kau?” bertanya Kebo Ijo sambil tertawa.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia
benar-benar merasa terganggu atas kehadiran Kebo Ijo. Ia sedang berusaha
menemukan alasan yang sebaik-baiknya untuk pergi ke pesanggrahan.
Tetapi tiba-tiba kini Kebo Ijo itu datang.
“Kau menjadi terlampau rajin kini, Ken
Arok,” Kebo Ijo berkata sambil tertawa, “bukankah baru lewat tengah hari
kau akan menggantikan tugasku?”
“Ya,” jawab Ken Arok, “tetapi bukankah setiap saat aku selalu berada di taman ini?”
“Kalau begitu, pembagian tugas di antara
kita tidak ada gunanya. Aku akan menjadi lebih senang kalau kau saja
yang terus menerus mengawasi keamanan taman ini selama Tuanku Akuwu, eh
maksudku selama Permaisuri berada di sini.”
Sepercik warna merah melonjak di wajah
Ken Arok. Pertanyaan Kebo Ijo itu ternyata telah membuat hatinya
berdesir dan jantungnya menjadi berdebar-debar semakin cepat.
Apalagi ketika kemudian Kebo Ijo itu tertawa. Kini ia telah berdiri hanya beberapa langkah saja di muka Ken Arok.
“Kau tampak aneh Ken Arok,” berkata Kebo
Ijo itu, “gelisah dan bingung. Sikapmu pun aneh pula. Kau berdiri di
sini sambil mengawasi keadaan di sekelilingmu seperti laku seorang
pencuri.”
Kebo Ijo berhenti sejenak,tetapi suara
tertawanya masih terdengar, “He, Ken Arok. Apakah benar-benar kau akan
mencuri? Mencuri Ken Dedes barangkali?”
Pertanyaan itu terasa langsung menusuk
jantung Ken Arok, sehingga terasa darahnya berhenti mengalir. Kebo Ijo
itu seolah-olah telah menunjuk noda yang melekat di dalam dinding
hatinya. Karena itu maka terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Terlampau cepat, dan tanpa diduga-duga tiba-tiba Ken Arok itu meloncat
maju. Hampir tanpa disadarinya, tangannya terayun deras sekali memukul
mulut Kebo Ijo yang masih tertawa.
Perbuatan itu benar-benar tidak disangka
oleh Kebo Ijo. Ia sama sekali tidak mengira bahwa senda-guraunya kali
ini telah membuat Ken Arok demikian marahnya, sehingga tangannya telah
memukul mulutnya, dan ia terdorong beberapa langkah surut.
Kini Kebo Ijo itu berdiri dengan
tegangnya. Matanya menyala seperti bara, dan mulutnya melelehkan darah
merah yang segar menetes satu-satu di atas tanah yang lembab. Ketika
tangannya mengusapinya, maka seleret warna merah telah membakar hati
anak muda itu. Sejenak Kebo Ijo berdiri dengan tegangnya. Namun
tiba-tiba tangannya telah menggenggam pedangnya sambil menggeram, “Ken
Arok, aku tahu bahwa kau adalah seorang perkasa, tetapi aku bukan seekor
tikus yang mau dihina seperti ini.”
Ken Arok berdiri tegak dengan tangan
gemetar. Dipandangnya mata Kebo Ijo yang membara itu. Kemudian ujung
pedangnya yang berkilat-kilat diperciki oleh sinar matahari pagi.
Dan Ken Arok masih mendengar Kebo Ijo
berkata, “Nah, Ken Arok. Aku akan bersedia mati sebagaimana seorang
prajurit mati. Ayo bunuhlah aku. Aku kini sudah menggenggam pedang di
tangan.”
Jantung Ken Arok menjadi semakin
berdentingan di dalam dadanya. Namun tiba-tiba disadarinya, apa yang
baru saja dilakukannya. Sekian lama ia bergaul dengan Kebo Ijo. Sekian
lama ia sanggup menahan dirinya setiap kali Kebo membuat atau
berolok-olok. Tetapi kini tiba-tiba ia kehilangan pengamatan diri dan
bahkan seakan-akan telah kehilangan pegangan, justru pada saat Akuwu
Tunggul Ametung dan permaisurinya bertamasya di taman ini. Taman yang
dibangun dengan susah payah, dengan memeras tenaga dan biaya.
Selangkah Ken Arok mundur ketika Kebo Ijo
mendekatinya dengan pedang terhunus. Ujung pedang itu kini telah
bergetar, dan Kebo Ijo telah siap untuk menyerangnya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok parau, “Kebo Ijo. Maafkan aku.”
Suara itu berdentang dahsyat sekali di
telinga Kebo Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya Ken
Arok akan dengan dada terbuka minta maaf kepadanya. Hal ini sama sekali
tidak masuk di akalnya. Ia menyangka bahwa Ken Arok akan meloncat,
menerkamnya meremas wajahnya dan kemudian mencekiknya sampai mati. Dan
ia sudah bersedia menghayatinya untuk mempertahankan namanya sebagai
seorang prajurit. Sudah selayaknya seorang prajurit mati, namun dengan
pedang di tangan.
Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian. Bahkan Ken Arok itu telah minta maaf kepadanya.
“Sarungkan pedangmu Kebo Ijo,” desis Ken Arok kemudian, “tidak baik apabila seseorang melihat pertengkaran ini.”
Sekali lagi dada Kebo Ijo berdesir.
Tetapi penghinaan itu masih membekas di hatinya, sehingga ia menjawab,
“Apakah kau takut menghadapi aku dengan pedang di tangan, dan kau ingin
bertempur tanpa senjata?”
“Tidak, Kebo Ijo. Aku minta maaf, bahwa
aku telah terdorong berbuat terlampau kasar. Seharusnya aku tetap
menyadari, bahwa kau memang tidak dapat mengendalikan mulutmu. Sudah
seribu kali aku berkata tentang hal itu, bahkan kakak seperguruanmu pun
telah mengatakannya pula. Namun seribu kali kau masih juga melakukannya,
sehingga pada suatu saat aku telah kehilangan kesempatan untuk menahan
diri. Mungkin aku terlampau lelah, mungkin pula aku sedang diganggu oleh
berbagai masalah pribadi, atau apapun. Namun baiklah kita saling
mencoba mengekang diri. Aku dan kau, supaya hal-hal serupa ini tidak
terulang lagi.”
Dada Kebo Ijo masih bergetar terlampau
cepat. Tetapi sikap Ken Arok itu telah membuatnya luluh pula. Pada saat
Akuwu Tunggul Ametung datang ke padang ini, maka tubuhnya seolah-olah
telah diremukkan oleh Mahisa Agni, dan kini hampir saja Ken Arok pun
berbuat demikian.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Sepercik pengakuan melonjak di dalam dadanya, bahwa sebenarnyalah
kata-katanya sering menusuk perasaan orang lain.
“Sarungkan pedangmu Kebo Ijo, mumpung belum ada orang yang melihatnya.”
Seperti dicengkam oleh kekuatan yang
tidak dapat dihindarinya tangan Kebo Ijo itu pun bergerak menyarungkan
pedangnya. Namun matanya masih saja diwarnai oleh berbagai macam
perasaan yang bergolak di dalam dadanya.
“Hapuslah darah di mulutmu.”
Kebo Ijo menggeram. Tetapi dihapuskannya darah di mulutnya dengan ujung kainnya yang kemudian menjadi bernoda merah.
“Sekali lagi aku minta maaf kepadamu,” desis Ken Arok, “mudah-mudahan hal yang serupa ini tidak akan pernah terjadi lagi.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Namun sekali-sekali dirabanya mulutnya yang justru baru mulai terasa sakit.
Sejenak kemudian, maka mereka berdiri
saja, mematung di tempatnya sambil berdiam diri. Masing-masing telah
dihanyutkan oleh pikiran sendiri. Hanya kadang-kadang saja masih
terdengar Kebo Ijo menggeram dan Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba saja dalam kediaman itu mereka
telah dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda, semakin lama menjadi
semakin dekat. Cepat sekali seperti pada saat banjir melanda bendungan.
Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka suara derap kuda itu telah
menjadi terlampau dekat.
“Akuwu,” desis Ken Arok.
“Ya, Akuwu.”
Tanpa berjanji maka keduanya segera
berjalan tergesa-gesa ke regol teman untuk menyambut kedatangan Akuwu
Tunggul Ametung dari berburu.
Ternyata keduanya masih sempat sampai ke
regol, ketika tepat Akuwu Tunggul Ametung meluncur di atas kudanya masuk
ke dalam taman. Ketika dilihatnya Ken Arok, Kebo Ijo dan beberapa orang
prajurit menyambutnya, maka Akuwu Tunggul Ametung itu segera mengekang
kudanya, sehingga kuda itu meringkik dan tegak dengan kedua kaki
belakangnya.
Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu Tunggul Ametung.
“Lihat, aku mendapat seekor rusa muda,” katanya lantang, “dan lihat pula, aku telah berhasil membunuh seekor harimau loreng.”
Semua mata tertuju ke arah jari-jari
akuwu yang menunjuk seekor rusa dan harimau loreng dan yang sudah mati
diikat di punggung seekor kuda.
“Aku membunuhnya dengan panah.”
“Bukan main,” hampir setiap bibir bergumam mengagumi ketangkasan berburu Akuwu Tunggul Ametung.
“Ken Arok,” berkata Akuwu itu dengan
wajah yang cerah, “buatlah api. Aku akan membuat rusa panggang untuk
santapan pagi bersama permaisuriku.”
“Hamba, Tuanku,” sahut Ken Arok sambil membungkukkan kepalanya.
“Cepat! Aku akan menemui Ken Dedes lebih dahulu.”
Akuwu itu tidak menunggu jawaban lagi.
Kudanya segera berderap diikuti oleh para pengawalnya masuk ke dalam
taman menuju ke pesanggrahan.
Ken Arok pun kemudian dengan tergesa-gesa
pergi ke dapur. Ia harus menyiapkan api, seperti perapian di dalam masa
perburuan. Akuwu akan memanggang rusa buruannya seperti di dalam
perburuan pula.
Dengan cekatan beberapa orang segera
menyediakan kayu untuk membuat perapian di muka dapur. Beberapa orang
lain menyediakan rempah-rempah dan yang lain menyiapkan tempat untuk
akuwu, permaisuri dan beberapa orang lain.
Ken Arok sendiri ikut sibuk di dalam
persiapan itu. Namun tanpa dimengertinya sendiri, sepercik kekecewaan
menyentuh hatinya. Kenapa akuwu terlampau cepat datang sebelum ia sempat
pergi ke pesanggrahan? Ken Arok menyesal, bahwa ia telah diganggu oleh
keragu-raguan, dan bahkan bertengkar dengan Kebo Ijo, sehingga ia belum
sempat menghadap permaisuri sebelum Akuwu Tunggul Ametung datang. Tanpa
disadarinya, maka ia ingin berbicara tentang berbagai persoalan yang
tidak berarti dengan permaisuri seperti tadi malam. Betapa cerah
wajahnya. Senyumnya langsung menyentuh perasaannya. Suara tertawanya
yang ringan dan suaranya yang lunak.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun segera ia menyadari keadaannya
ketika seseorang berkata kepadanya, “Apakah api akan kita nyalakan
sekarang? Apakah kita harus menunggu kehadiran Akuwu Tunggul Ametung?”
“Oh,” Ken Arok tergagap, “aku tidak tahu.
Maksudku, apakah sebaiknya aku bertanya saja kepada Akuwu. Kapan Tuanku
Akuwu akan melakukannya.”
“Silakanlah.”
Ken Arok segera melangkahkan kakinya.
Namun kemudian langkahnya tertegun. Tiba-tiba saja ia dikuasai oleh
suatu perasaan yang aneh. Ia merasa segera untuk bertemu dengan akuwu
pagi itu. Karena itu maka segera dipanggilnya Kebo Ijo. Katanya,
“Menghadaplah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bertanyalah kepadanya,
‘Apakah api akan dinyalakan sekarang atau kami di sini harus menunggu
Tuanku’.”
“Kau tidak menemuinya sendiri?” bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok menggelengkan kepalanya.
“Aku menyiapkan segala sesuatu di sini. Pergilah.”
Dengan langkah yang dibebani oleh keseganan pula Kebo Ijo pergi menemui Akuwu Tunggul Ametung di pesanggrahan.
Sementara itu Akuwu telah meloncat turun
dari kudanya di halaman pesanggrahan. Mahisa Agni telah berdiri
menyambutnya. Namun Akuwu Tunggul Ametung tidak melihat permaisurinya di
muka pintu menyongsongnya.
Sebelum Mahisa Agni mempersilakannya, Akuwu telah berteriak, “He, di mana Ken Dedes?”
“Tuan Putri sedang tidur. Tuanku.”
“He,” Akuwu mengerutkan keningnya, “matahari sudah demikian tinggi, Ken Dedes masih tidur?”
“Bukan masih tidur Tuanku, tetapi justru baru saja Tuan Putri dapat tidur.”
“Kenapa?”
“Semalam suntuk Tuan Putri tidak dapat tidur.”
“Ya, kenapa?”
“Hamba tidak tahu, Tuanku. Mungkin Tuan
Putri terlampau terikat oleh percikkan sinar bulan di atas dedaunan di
taman, atau barangkali Tuan Putri menunggu Tuanku datang dari
perburuan.”
“Ah. Tidak mungkin. Permaisuriku tidak pernah menghiraukan kapan aku datang, setiap kali aku pergi berburu.”
“Mungkin begitu, apabila Tuan putri berada di istana. Tetapi agaknya lain di pesanggrahan yang sepi ini.”
Akuwu tidak segera menyahut. Ditatapnya
saja wajah Mahisa Agni. Namun tiba-tiba Akuwu itu berdesah, “Mungkin,
mungkin. Aku akan menemuinya sekarang. Ia akan bergembira melihat rusa
muda itu. Kita akan makan pagi dengan cara yang menyenangkan.”
Akuwu itu pun kemudian melangkah masuk
perlahan-lahan. Ia tidak ingin mengejutkan Ken Dedes yang sedang tidur.
Perlahan-lahan pula ia membuka pintu bilik.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam ketika
dilihatnya permaisurinya masih tidur ditunggui oleh embannya yang setia.
Dengan hati-hati ia melangkah masuk dan sambil berbisik ia bertanya,
“Apakah semalam ia tidak tidur?”
“Ampun Tuanku. Tuan Putri semalam hampir tidak dapat tidur sekejap pun.”
Akuwu mengangguk-angguk. Sambil
berjingkat ia melangkah mendekati permaisuri. Namun ketika tangannya
menyentuh tubuh yang terbaring itu, Akuwu mengerutkan keningnya.
Desisnya, “Tubuhnya agak panas. Agaknya kesehatannya memang terganggu.
Mungkin karena semalam ia tidak tidur.”
“Hamba, Tuanku,” sahut emban itu perlahan-lahan.
Namun pembicaraan itu ternyata telah
membangunkan permaisuri Ken Dedes. Perlahan-lahan ia membuka matanya.
Yang mula-mula dilihatnya adalah wajah Akuwu Tunggul Ametung tersenyum
di sisi pembaringannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes meloncat,
berlutut di hadapan Akuwu Tunggul Ametung sambil berpegangan kedua
kakinya dengan kedua tangannya, “Ampun Tuanku. Kenapa Tuanku pergi
terlampau lama? Hamba tidak mau Tuanku pergi meninggalkan hamba lagi.
Hamba takut, Tuanku.”
Tunggul Ametung terkejut bukan kepalang.
Ia tidak menyangka bahwa Ken Dedes akan berbuat demikian. Bahkan Mahisa
Agni, emban pemomongnya, Witantra dan beberapa orang pengawal yang
berdiri di luar pintu pun terkejut pula mendengar suara dari dalam bilik
itu.
“Ken Dedes,” berkata Akuwu kenapa kau
sebenarnya? Apakah yang kau takutkan? Kau dikitari oleh pengawal yang
kuat. Kakakmu Mahisa Agni ada di sini pula. Apa yang kau takutkan?”
“Hamba, Tuanku. Tetapi iblis Karautan
yang langsung menyusup di dalam hati, tidak seorang pun yang mampu
menabannya selain Tuanku sendiri.”
Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku di
tempatnya. Kata-kata permaisurinya itu terdengar aneh di telinganya.
Seolah-olah Ken Dedes diganggu oleh iblis yang tidak dapat dilawan oleh
siapa pun. Bahkan oleh seluruh pasukan pengawal Akuwu di padang
Karautan.
Berbagai pertanyaan tumbuh di dalam hati
Akuwu Tunggul Ametung itu. Apakah benar bahwa istrinya telah diganggu
olah iblis yang tidak kasatmata dan langsung menyusup ke dalam hati?
Dalam pada itu ia mendengar Ken Dedes
berkata seterusnya, “Tuanku, apabila berkenan di hati Tuanku, baiklah
kita kembali saja ke Tumapel segera, sebelum iblis itu lebih dalam lagi
mencekam seluruh hati dan perasaan hamba.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Kemudian diraihnya tangan permaisuri itu dan ditariknya untuk
berdiri, “Berdirilah Ken Dedes. Sekarang aku sudah ada di sini. Jangan
takut terhadap siapa pun dan terhadap apapun. Aku akan melindungimu dari
segala gangguan.”
“Tetapi sebaiknya kita kembali Tuanku. Kita kembali ke Tumapel segera.”
Akuwu menjadi cemas melihat Ken Dedes
yang seperti kehilangan akal itu. Ketika ia berpaling dilihatnya emban
tua yang duduk dengan cemasnya, Mahisa Agni yang tegang dan di muka
pintu Witantra memandangi dengan sorot mata yang aneh.
Tiba-tiba akuwu itu berkata lantang, “He, apakah perapian itu sudah siap?”
Witantra terkejut mendengar pertanyaan
yang tidak disangka-sangkanya. Namun sebelum ia menjawab, maka Kebo Ijo
yang datang ke pesanggrahan itu untuk bertanya tentang perapian itu
berbisik kepada Witantra, “Kakang, apakah perapian itu harus kami
siapkan dahulu, ataukah kami harus menunggu Akuwu?”
Sebelum Witantra menjawab pertanyaan itu
pula, ternyata Akuwu yang mendengar pertanyaan itu berteriak, “Siapakah
yang bertanya itu? Bodoh sekali. Aku sudah berkata, siapkan perapian.
Sekarang kau masih bertanya lagi. He, siapa orang itu?”
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar.
Bahkan tiba-tiba ia mengumpat di dalam hati, mengumpati Ken Arok.
Seandainya Ken Arok sendiri yang datang untuk bertanya, maka ialah yang
akan dibentak oleh Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah kau bisu he?” teriak Akuwu pula.
“Ampun Tuanku,” sahut Witantra, “yang bertanya adalah Adik hamba Kebo Ijo.”
“Aku tidak bertanya kepadamu,” Akuwu berteriak semakin keras, “Aku bertanya kepada orang yang dungu itu.”
Witantra berpaling kepada Kebo Ijo. Katanya, “Kemarilah, jawablah pertanyaan Tuanku.”
Kebo Ijo maju selangkah di muka pintu.
Kepala menunduk dalam-dalam. Desisnya, “Hamba, Tuanku. Hamba Kebo Ijo
yang disuruh oleh Ken Arok untuk menyampaikan pertanyaan di hadapan
Tuanku. Apakah perapian itu harus disiapkan lebih dahulu atau menunggu
apabila Tuanku telah berada di sana.”
“Bodoh! Bodoh sekali!” Akuwu berteriak dengan nada yang tinggi, “Kau masih bertanya lagi, he?”
Kebo Ijo menjadi bingung. Bagaimana
seharusnya ia berkata tentang persoalan itu. Dicobanya untuk mencuri
pandang, kalau-kalau kakak seperguruannya dapat menolongnya. Tetapi
wajah Witantra sama sekait tidak berkesan apapun. Ternyata kakak
seperguruannya itu sudah terlampau biasa menghadapi sikap akuwu yang
demikian itu, sehingga sama sekali tidak menumbuhkan kesan apapun
kepadanya, sehingga sama sekali tidak menumbuhkan kesan apapun
kepadanya, meskipun kadang-kadang terasa jantungnya berdesir pula.
Karena Kebo Ijo masih saja berdiri
membeku, maka akuwu itu pun membentak pula, “He, kenapa kau masih saja
berdiri di situ? Apakah kau menunggu aku pecah kepalamu, he? Ayo pergi,
cepat nyalakan api perapian itu. Kalau aku sampai di sana, dan api belum
menyala, maka kaulah yang akan aku panggang di atasnya.”
Kebo Ijo membungkuk dalam-dalam. Kemudian katanya terbata-bata, “Ampun Tuanku. Perkenankanlah hamba pergi.”
“Cepat! Katakan kepada Ken Arok. Aku akan segera datang.”
“Hamba, Tuanku.”
Kebo Ijo itu pun kemudian mundur beberapa
langkah. Ketika ia sudah berada di sisi pintu, tiba-tiba ia berpaling
kepada kakak seperguruannya sambil mencibirkan bibirnya.
“Hus,” dengan serta-merta Witantra
membentaknya. Di tempat itu berdiri beberapa orang prajurit yang lain,
yang melihat tingkah lakunya. Kebo Ijo telah menyatakan sikap tidak
senang terhadap perlakuan akuwu atasnya di hadapan beberapa orang lain.
Hal itu pasti tidak menguntungkannya. Untunglah beberapa orang di
antaranya tidak memperhatikan sikap itu, dan beberapa orang yang lain
menanggapinya dengan wajar, sehingga beberapa orang justru menahan
senyumnya.
“Kenapa kau, he Witantra?” tiba-tiba
Witantra terkejut mendengar pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung. Sejenak ia
menjadi bingung untuk menjawab. Namun kemudian katanya, “Ampun Tuanku.
Kebo Ijo terlampau tergesa-gesa sehingga ia melanggar beberapa orang
prajurit yang lain.”
Akuwu tidak menjawab. Tetapi kini ia
berpaling kepada permaisurinya yang masih berlutut. Sekali lagi ia
menarik tangan permaisuri itu sambil berkata, “Berdirilah. Kita akan
pergi ke halaman. Kita akan makan pagi seperti aku makan di medan
perburuan. Bukankah aku kemarin sudah berjanji untuk membawa seekor rusa
muda? Aku mengharap bahwa Ken Arok telah siap menunggu kedatangan
kami.”
Sejenak akuwu menjadi ragu-ragu. Apakah
permaisurinya masih mempunyai nafsu untuk makan bersamanya dengan cara
itu. Tetapi ternyata permaisuri itu pun perlahan-lahan berdiri. Bahkan
perlahan-lahan pula ia bertanya, “Apakah kita akan pergi ke perapian
Tuanku?”
“Ya.”
“Perapian yang disebut oleh Kebo Ijo itu?”
“Ya.”
Sejenak permaisuri itu terdiam. Terasa
sesuatu bergetar di dalam hatinya. Tanpa diketahuinya sendiri, tiba-tiba
saja tumbuhlah keinginannya untuk pergi ke perapian itu. Meskipun
sebenarnya ia sama sekali tidak bernafsu lagi untuk makan dengan cara
apapun, juga dengan cara Akuwu Tunggul Ametung itu, namun ia
berkeinginan untuk pergi ke perapian.
Tatapi Akuwu Tunggul Ametung tidak
mengerti apa saja yang tergores di dinding hati permaisurinya. Ia
menjadi bersenang hati ketika permaisuri itu mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah Tuanku. Hamba akan pergi ke perapian itu untuk makan bersama
seperti yang Tuanku kehendaki.”
“Bagus, bagus. Marilah,” kemudian kepada
Witantra dan Mahisa Agni Akuwu berkata, “Marilah, kita pergi ke sana.
Kita makan beramai-ramai.”
Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian
membimbing permaisurinya keluar dari bilik itu, berjalan diiringi oleh
Mahisa Agni, Witantra dan para pengawalnya beserta emban tua pemomong
Ken Dedes.
Beberapa puluh langkah sebelum mereka,
Kebo Ijo berjalan dengan tergesa-gesa ke halaman dapur pesanggrahan itu.
Ketika tampak olehnya Ken Arok berdiri bertolak pinggang, maka segera
ia mengumpat-umpat.
“Kenapa kau, he?” bertanya Ken Arok.
“Setan kau. Karena aku yang menghadap Akuwu Tunggul Ametung maka akulah yang dibentak-bentak seperti membentak kerbau saja.”
“Kenapa?”
“Justru karena pertanyaanmu itu.”
“Jadi bagaimana maksud Akuwu Tunggul Ametung?”
“Kita dianggapnya terlampau bodoh. Nanti sebentar lagi Akuwu akan datang.”
“He, lalu bagaimana dengan kayu-kayu bakar ini?”
“Nyalakan. Sebelum Akuwu datang kayu ini harus sudah menyala supaya kita tidak diumpatinya.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah Akuwu akan datang seorang diri saja?”
“He,” mata Kebo Ijo tiba-tiba menjadi
aneh. Hampir saja ia mengucapkan kata-kata yang dapat membuat Ken Arok
mengulangi pukulannya. Untunglah, pengalaman itu membuat Kebo Ijo agak
berhati-hati. Meskipun demikian ia berkata. juga, “Tentu tidak. Tetapi
siapakah yang sebenarnya kau harapkan hadir di sini? Akuwu atau siapa
saja?”
Betapapun juga pertanyaan itu telah
membuat wajah Ken Arok menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia pun kini
berusaha mengekang dirinya untuk tidak mengulangi perbuatannya, memukul
mulut Kebo Ijo. Namun dengan tergesa-gesa ia menjawab, “Maksudku, siapa
saja yang akan datang bersama pengawal sebanyak itu, maka apakah artinya
seekor rusa?”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Dengan beberapa orang saja. Sudah tentu Mahisa Agni, Kakang
Witantra dan emban tua itu. Seandainya ada orang-orang lain, maka
biarlah orang-orang lain itu nanti menonton saja di luar lingkaran.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia terkejut ketika Kebo Ijo itu mendesaknya, “Cepat! Suruh nyalakan api.
Kalau Akuwu datang sebelum api menyala, akulah yang akan dicekiknya.”
“Oh,” Ken Arok mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dipanggilnya beberapa orang untuk menyalakan api
sekaligus di beberapa tempat dengan jerami dan ranting-ranting yang
kering.
Sesaat kemudian maka api pun segera
menyala. Asapnya membumbung tinggi ke langit. Putih kehitam-hitaman
karena kayu-kayu bakarnya masih belum menjadi bara.
“Nyalakan lebih besar lagi!” Kebo Ijo
berteriak kepada orang-orang yang sedang menyalakan api itu, “Cepat,
sebelum Akuwu datang!”
Maka segera dihembus-hembusnya perapian
itu oleh beberapa orang yang sedang berjongkok di sekitar onggokkan
kayu-kayu yang sudah mulai menyala itu. Dan api pun semakin lama menjadi
semakin besar. Asap yang kehitam-hitaman pun berangsur susut. Sejenak
kemudian lidah apilah yang melonjak-lonjak di atas perapian itu.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata Akuwu masih belum datang. Katanya di dalam hati, “Permaisuri
itu pasti baru meloncat-loncat seperti anak katak dibimbing induknya.”
Sejenak kemudian barulah akuwu,
permaisuri dan para pengikutnya datang. Beberapa orang segera
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukannya, membersihkan rusa hasil
buruan akuwu dan mempersiapkan rempah-rempahnya.
Orang-orang memutari perapian itu sesaat
kemudian tenggelam dalam kegembiraan. Permaisuri pun agaknya dapat
melupakan kecemasan dan kegelisahannya. Bahkan orang-orang itu sejenak
kemudian seolah-olah telah berubah menjadi anak-anak kembali.
Berteriak-teriak kegirangan, bersenda-gurau, berolok-olok dengan sesuka
hatinya. Akuwu pun seakan-akan menjadi orang lain dari Akuwu Tunggul
Ametung sehari-hari. Namun bagi mereka yang sering ikut serta berburu
bersama Akuwu, maka cara yang demikian itu sudah terlampau sering mereka
lihat. Tetapi bahwa kali ini mereka bergembira bersama akuwu dan
permaisuri adalah suatu hal yang baru.
Di dalam lingkaran itu, Ken Dedes
seakan-akan telah sembuh dari kegelisahan yang selama ini melanda
jantungnya. Bahkan ia pun hanyut juga di dalam kegembiraan itu bersama
Akuwu Tunggul Ametung, Mahisa Agni, Witantra, Kebo Ijo dan di antara
mereka adalah Ken Arok.
Makan dengan cara yang khusus itu
berlangsung sampai melewati tengah hari. Mereka seolah-olah tidak
puas-puasnya menikmati hidangan yang sederhana, kadang-kadang bahkan
terlampau asing bagi makanan permaisuri itu sehari-hari. Tetapi justru
dalam keadaan itu, makanan yang demikian terasa betapa nikmatnya.
Tetapi bagaimanapun juga, sampai pula
makan bersama itu pada akhirnya. Akuwu dan permaisuri dengan beberapa
pengiringnya kembali ke pesanggrahan, untuk beristirahat. Dan pada
saat-saat yang demikian itulah tumbuh kembali kesan-kesan yang
mengerikan di dalam dada permaisuri itu. Bahkan kini ditambah lagi
saat-saat yang menyenangkan di seputar perapian itu.
Karena itu maka ketika Akuwu sedang duduk
terkantuk-kantuk di dalam biliknya, setelah mengganti pakaiannya, maka
tanpa disangka-sangkanya permaisurinya telah mengejutkannya dengan
permintaannya itu.
“Tuanku,” berkata permaisuri, “apakah tidak sebaiknya kita kembali ke Tumapel segera?”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka ia pun terlempar
kembali ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya, yang
membingungkannya.
“Aku tidak mengerti Ken Dedes, kenapa kau
begitu tergesa-gesa?” gumam akuwu itu seolah-olah kepada diri sendiri,
“Aku merasa tenang di sini. Aku dapat melupakan semua persoalan untuk
sementara. Aku mengharap bahwa kau juga berbuat demikian. Tetapi agaknya
sesuatu telah mengganggumu. Mungkin kau terlampau berkhayal tentang
hantu Karautan, atau mungkin suasana di taman ini selalu mengingatkan
kau kepada kampung halaman yang kini mengalami masa kering dan paceklik
yang tidak dapat ditolong lagi. Tetapi seharusnya kau pun bangga, bahwa
orang-orang dari padukuhanmu bukanlah orang-orang yang mudah berputus
asa dan kehilangan akal. Mereka tidak segera menyerah kepada nasibnya.
Tetapi mereka berbuat sesuatu. Membangun bendungan itu. Meskipun
orang-orang Panawijen tidak menolak bantuanku, namun pada dasarnya
mereka mempercayakan dan bertitik tolak pada kepercayaan mereka atas
diri sendiri. Kau harus bangga Ken Dedes. Juga kehadiranmu di sini
seharusnya merupakan saat-saat yang menyenangkan. Kau melihat hasil
kerja orang-orang Panawijen, kau melihat ketenangan alami di dalam taman
di tengah-tengah padang ini setiap senja. Kau melihat matahari meloncat
dari balik cakrawala untuk kemudian kembali menyusup ke bawah
cakrawala.”
“Tidak, tidak Tuanku,” potong Ken Dedes,
“hamba mengerti semuanya itu. Tetapi hamba kehilangan gairah yang hidup
selama ini. Hamba telah terlihat dalam suatu ketakutan. Mungkin Tuanku
besar, bahwa hamba terlampau berkhayal tentang hantu Karautan.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan dapat mengatasi lagi
perasaan permaisurinya. Kalau yang dicemaskan oleh permaisurinya itu
sepasukan musuh yang kuat, atau segerombolan perampok yang mengerikan,
maka ia akan dapat memasang sepasukan segelar sepapan untuk memberinya
ketenangan. Tetapi kali ini, Ken Dedes takut melawan perasaan di dalam
dada sendiri, meskipun perasaan itu masih belum terlampau jelas bagi
Akuwu Tunggul Ametung.
“Ken Dedes,” berkata Akuwu itu kemudian,
“seharusnya kita masih mempunyai waktu tiga atau empat hari lagi. Tetapi
apabila kau memang menghendaki, apa boleh buat. Kapan saja kau
inginkan, kita akan segera kembali ke Tumapel.”
“Oh,” seleret kegembiraan yang cerah
membayang di wajah Ken Dedes, “Terima kasih Tuanku, Hamba memang yakin
bahwa Tuanku akan mengabulkan permohonan hamba.”
“Ya,” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “kapan kau ingin kembali ke Tumapel? Hari ini?”
Pertanyaan itu telah membuat hati Ken
Dedes berdesir. Ya, kapankah sebaiknya?. Bahkan tiba-tiba saja bergetar
perasaan aneh di dalam dirinya. Apakah sebenarnya aku ingin kembali ke
Tumapel?
Ken Dedes itu telah dilanda oleh
kebimbangan tentang keinginan diri sendiri. Ia tidak tahu, apakah
sebenarnya ia ingin meninggalkan padang Karautan atau
keinginan-keinginan yang lain.
Ken Dedes tidak segera dapat menjawab.
Dan karena Ken Dedes tidak segera dapat menjawab, maka Akuwu Tunggul
Ametung berkata selanjutnya, “Kalau kau bermaksud kembali sekarang ke
Tumapel, Ken Dedes, maka aku segera akan memerintahkan segala
persiapan.”
Ken Dedes masih berdiam diri. Bahkan kini
kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ada sesuatu yang menahannya untuk
menganggukkan kepala itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari, betapa kejamnya
keadaan yang kini mencengkamnya. Tanpa disadarinya, ia telah terperosok
ke dalam suatu kungkungan perasaan yang bertentangan sama sekali dengan
keyakinannya tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Dengan susah
payah ia mencoba mengatasi keadaan itu dengan nalarnya. Ia harus
melepaskan diri dari kungkungan yang menjeratnya, meskipun ia merasa
betapa angan-angan itu memberikannya khayalan tentang suatu dunia yang
cemerlang. Bukan kecemerlangan lahiriah seperti yang dimilikinya kini.
Bukan emas, intan, permata dan sesotya, tetapi ia menghasilkan suatu kecemerlangan yang lain di dalam sukmanya. Khayalan tentang dirinya sebagai seorang gadis.
“Oh,” Ken Dedes mengeluh di dalam hati,
“masa kegadisanku telah lama lalu. Tanpa aku kehendaki sendiri, masa itu
telah hilang direnggut oleh keadaan yang tidak aku kehendaki. Dan kini
aku kembali masuk ke dalam suatu lingkaran yang membuat aku hampir
menjadi kehilangan akal.”
Akuwu Tunggul Ametung masih saja menunggu
jawabnya. Karena ia masih belum menjawab maka Akuwu itu bertanya pula,
“Jangan ragu-ragu Ken Dedes. Aku berkata sebenarnya. Aku sama sekali
tidak keberatan apabila memang itu kaukehendaki. Bukan sekedar kata lelamisan untuk menunjukkan betapa aku bermurah hati kepadamu. Tidak Ken Dedes. Aku memang ingin, kau tidak selalu dibayangi ketakutan.”
“Oh,” hati Ken Dedes benar-benar
tersentuh oleh kata-kata akuwu. Betapa Akuwu Tunggul Ametung yang
kadang-kadang kasar dan meledak-ledak itu benar-benar berusaha untuk
menenteramkannya. Sepercik pengakuan telah mengembang di dalam hatinya,
akuwu benar-benar mencintaiku. Tetapi dengan demikian, perasaan bersalah
telah tumbuh pula di dalam hatinya. Meskipun baru di dalam angan-angan,
tetapi iblis telah mulai menusuknya dengan ujung-ujung duri yang
beracun.
Tiba-tiba Ken Dedes itu berlutut di kaki
Akuwu Tunggul Ametung sambil menangis terisak-isak. Katanya di sela-sela
tangisnya, “Tuanku, Tuanku, bawalah hamba kembali ke Tumapel segera.
Segera Tuanku, supaya hamba segera dapat membebaskan diri dari
tangan-tangan iblis padang Karautan.”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun diganggu pula oleh pertanyaan yang menghentak-hentak
di dalam dadanya. Benarkah ada iblis di padang ini yang dapat
mengganggu perasaan seseorang? Tetapi kemudian dijawabnya sendiri,
“Tidak. Ken Dedes pasti hanya dibayangi oleh ketakutannya sendiri.
Mungkin ia mendengar cerita tentang hantu Karautan yang mengerikan itu,
sehingga bayangan-bayangan yang menakutkan selalu menghantuinya.”
Namun demikian Akuwu itu menjawab,
“Baiklah Ken Dedes. Kita akan segera kembali ke Tumapel. Hari ini kita
akan berangkat. Aku akan segera memerintahkan Witantra untuk
bersiap-siap.”
“Terima kasih, Tuanku.”
Akuwu pun kemudian melangkah keluar
biliknya Ketika dilihatnya seorang pengawal berdiri di tangga maka
prajurit segera dipanggilnya.
“Ampun, Tuanku,” sembah prajurit itu
setelah berdiri di depan Akuwu Tunggul Ametung, dan didengarnya
perintah, “Panggil Witantra, Mahisa Agni dan Ken Arok.”
“Oh,” tiba-tiba Ken Dedes memotong dari dalam biliknya, “kenapa Tuanku memanggilnya”
Akuwu Tunggul Ametung terkejut. Sambil menjengukkan kepalanya di pintu bilik ia bertanya, “Siapakah yang kaumaksud?”
“Oh,” Ken Dedes tergagap. Ternyata ia
sudah terlanjur mengucapkan kata-kata itu sehingga menimbulkan
pertanyaan dalam diri akuwu. Tetapi bagaimanakah seharusnya ia
mengatakannya?
Dengan demikian Ken Dedes menjadi
kebingungan. Ia berdiri saja mematung sambil memandangi Akuwu Tunggul
Ametung yang berdiri di luar pintu biliknya.
“Siapakah yang kau maksud?” bertanya Akuwu sekali lagi.
“Ampun Tuanku,” jawab Ken Dedes, “hamba telah salah dengar.”
“Apakah yang kau dengar?”
Ken Dedes menjadi semakin bingung. Dicobanya untuk menemukan jawab dari pertanyaan akuwu itu.
“Tuanku,” Ken Dedes bergumam perlahan-lahan, “apakah Tuanku memanggil Kakang Witantra?”
“Ya.”
“Untuk pergi berburu bersama Tuanku lagi?”
“Oh, tentu tidak Ken Dedes,” sahut Akuwu.
Namun dengan demikian Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin cemas.
Agaknya Ken Dedes sudah benar-benar dibayangi oleh perasaan takut yang
hampir tidak tertahankan selama ia pergi berburu.
“Tak ada seorang pun yang dapat
mengurangi perasaan takut itu, meskipun Mahisa Agni agaknya selalu
menungguinya di luar biliknya,” katanya di dalam hati. Namun yang
diucapkan oleh mulutnya adalah, “Bukankah kita akan kembali ke Tumapel?
Biarlah Witantra menyiapkan segala sesuatunya. Kita akan berangkat sore
ini meskipun kita harus bermalam di jalan.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya. Ia tidak
menyahut lagi. Kini ia berusaha sejauh kemampuannya untuk tidak
diombang-ambingkan oleh perasaannya yang gelisah.
Akuwu yang masih berdiri di luar biliknya
berkata kepada prajurit yang juga masih berdiri tegak seperti patung
sambil menundukkan kepalanya, “He, cepat! Kenapa kau masih berdiri saja
di situ?”
“Ampun Tuanku, eh, maksud hamba, hamba Tuanku. Akan hamba lakukan perintah Tuanku.”
Orang itu pun kemudian dengan
tergesa-gesa meninggalkan Akuwu Tunggul Ametung untuk memanggil
Witantra, Mahisa Agni dan Ken Arok.
Sejenak kemudian ketiganya telah berada
di serambi pesanggrahan. Mereka tidak segera mengerti kenapa tiba-tiba
saja Akuwu telah memanggil mereka. Tetapi prajurit yang memanggilnya,
yang mendengar serba sedikit kata-kata Akuwu kepada permaisurinya itu
berkata kepada mereka bertiga, “Mungkin Tuanku Akuwu akan segera kembali
ke Tumapel.”
“He?” hampir bersamaan mereka bertanya, “Kembali ke Tumapel?”
“Aku tidak tahu jelas,” jawab prajurit itu, “aku seolah-olah mendengar, bahwa sore ini Akuwu akan kembali.”
“Ah,” yang paling gelisah di antara
mereka adalah Ken Arok. Berbagai perasaan tiba-tiba saja telah
mengguncangkan dadanya. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, “Apakah
sikapku telah membuat Akuwu marah? Atau permaisuri melihat gelagat yang
tidak menyenangkannya? Oh, adakah seseorang yang dapat melihat perasaan
yang tersimpan di dalam dada ini?”
Betapa kegelisahan, kecemasan dan
penyesalan telah bergolak di dalam dada anak muda itu. Ia menyesali
dirinya sendiri. Seolah-olah ia sama sekali tidak mengenal terima kasih
“Aku telah diangkat dari lumpur yang
paling hina. Aku telah dibebaskannya dari cengkeraman padang yang ganas
ini, dan menempatkan di tempat yang terlampau baik buatku seperti
sekarang ini. Tetapi aku masih saja berangan-angan tantang soal-soal
yang tidak akan mungkin terjadi, yang justru telah mengkhianati
perkembangan pribadiku sendiri. Oh, seandainya ada seseorang yang tahu
tentang diriku, dan kini tentang perasaan yang tersimpan di dalam
dadaku. Oh, bagaimanakah kira-kira tanggapan Sang Brahmana Lohgawe, yang
telah mengantar aku kehadapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bagaimana
tanggapan Mahisa Agni, Witantra dan terutama Kebo Ijo. Dan bagaimanakah
tanggapan setiap orang tentang diriku yang sama sekali tidak mengenal
terima kasih ini.”
Tiba-tiba keringat dingin telah membasahi
seluruh tubuh anak muda itu. Seandainya benar akuwu akan kembali ke
Tumapel dengan tiba-tiba ini, maka sebagian pasti disebabkan oleh
kesalahannya. Meskipun seandainya tidak seorang pun yang tahu tentang
perasaannya, namun agaknya sikapnya telah tidak menyenangkan permaisuri
Ken Dedes. Mungkin malam itu aku terlampau menjemukan. Terlampau sombong
atau bahkan aku telah berbuat tidak sopan dan membayangkan perasaan
khianatku ini.
(bersambung ke Jilid 42 )
No comments:
Write comments