“Tentu, tentu paman. Aku sangat berterima kasih. Semua ilmu dan pengetahuan akan sangat berarti bagiku?”
“Baiklah. Tetapi kini kau perlu
beristirahat. Nanti malam aku akan memberimu pengetahuan itu. Sekarang
kau dapat menemui orang-orang yang pernah kau kenal di sini di masa
kecilmu. Tetapi aku kira mereka tidak akan dapat mengenal kau lagi
setelah sekian tahun kau tidak menginjak halaman rumah ini.”
Demikianlah maka Mahisa Agni semalam
berada di rumah pamannya. Dengan bersungguh-sungguh ia mempelajari
dengan cepat, mengenai ramuan-ramuan obat-obatan, bisa dan penawarnya.
Meskipun ilmu itu lama sekali belum cukup tetapi Mahisa Agni akan dapat
memperkembangkan sendiri. Ia akan dapat menemukan banyak bahan-bahan di
Padang Karautan. Ular, binatang-binatang berbisa lainnya, lebah, dan
kadal hijau. Tetapi juga berjenis-jenis tumbuh-tumbuhan dan pepohonan,
bunga-bungaan dan buah-buahan.
Ketika kemudian fajar pecah di ujung
timur, maka barulah Empu Gandring selesai. Dengan wajah yang lelah,
orang tua itu berkata, “Apakah kau benar-benar akan pergi pagi ini?”
“Ya paman.”
“Semalam suntuk kau tidak beristirahat.”
“Perjalananku tidak terlampau berat. Aku dapat tidur di atas punggung kuda.”
Empu Gandring tersenyum. Tetapi tiba-tiba ia berdesis, “Mudah-mudahan aku masih sempat melihat kau datang kemari Agni.”
“ Tentu paman. Aku akan datang kemari secepatnya.”
“ Aku percaya. Tetapi mudah-mudahan kau masih dapat melihat aku berada di dalam rumah ini.”
“Kenapa?”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Aku tidak tahu Agni. Tetapi aku merasa bahwa sebaiknya aku
segera menurunkan ilmu yang ada padaku kepada orang lain sebelum
terlambat. Aku percaya kepadamu lebih dari orang-orang lain, bahkan
keluargaku sendiri.”
“Aku akan segera datang paman. Sebelum
terjadi sesuatu atas paman. Apabila bendungan itu sudah selesai, aku
akan tinggal di sini beberapa lama. Aku akan menerima segala petunjuk
dan ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu yang lain. Olah kajiwan dan segala
bentuk pengengahuan.”
Tetapi wajah pamannya itu masih saja
suram. Perlahan-lahan ia berdesah. Katanya, “Aku tidak tahu, kenapa aku
selalu diganggu oleh kegelisahan di saat-saat terakhir. Kedatanganmu
memberikan kebahagiaan yang luar biasa kepadaku Agni. Sepeninggalmu aku
akan menjadi gelisah lagi, meskipun sudah tidak seperti kemarin, sebelum
kau datang.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Terasa
sentuhan-sentuhan halus pada pusat jantungnya, ia tidak mengerti apa
yang sebenarnya terjadi dan apa yang sebenarnya dirasakan oleh pamannya.
Tetapi ia melihat, betapa orang tua itu dibayangi oleh kegelisahan yang
sangat.
“Agni.” terdengar suara orang tua itu
dengan nada yang dalam, “kalau kelak kau tidak dapat melihatku lagi,
maka usahakanlah untuk mengembangkan setitik ilmu yang aku berikan
kepadamu, sekedar sebagai bekal untuk memulainya. Selama ini aku akan
menyusun aksara-aksara di atas rontal, tentang ilmu pengobatan,
bisa-bisa dan sedikit uraian tentang ilmu kanuragan. Pada suatu saat
datanglah kau kepadaku Agni. Aku akan memberikannya kepadamu. Tetapi
seandainya kau sudah tidak menemui aku lagi, dan aku tidak dapat
menitipkan ilmu kanuragan itu langsung kepadamu, maka kau akan dapat
menemukan rontal itu.”
“Paman.” potong Mahisa Agni, “apakah yang
sebenarnya terjadi dengan paman? Apakah paman sedang menunggu lawan
yang menurut perhitungan paman, melampaui kemampuan paman untuk
melawannya? Apabila demikian paman, maka aku akan tinggal di sini. Aku
akan tinggal di sini Aku akan mencoba membantu paman, meskipun aku harus
minta diri kepada Ken Arok lebih dakulu.”
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba saja ia tersenyum. Katanya, “Ah, aku memang sedang
diburu-buru oleh mimpi yang menegangkan urat syarafku. Tidak Agni. Aku
tidak apa-apa. Aku tidak sedang menunggu seorang musuh pun, sebab aku
sampai saat ini tidak merasa punya persoalan apa pun, dengan siapa pun.”
“ Tetapi kenapa paman merasa gelisah?”
“ Itulah Agni.“ jawab pamannya, “baru
sesaat ini aku sadar. Inilah keringkikan jiwaku. Inilah kelemahanku.
Seharusnya aku tidak menjadi gelisah.“ Empu Gandring berhenti sesaat.
Lalu, “Sudahlah, kita tidak usah berbicara tentang diriku, kegelisahanku
dan kelemahan jiwaku. Aku akan mencoba untuk menyadari setiap keadaan
dengan akal. Tidak sekedar dengan perasaan saja. Meskipun demikian aku
akan tetap berpesan kepadamu Agni, seandainya kau belum datang, dan aku
sudah selesai dengan rontalku, maka rontal itu akan berada di atap rumah
ini, di bawah ijuk di sudut Barat bagian depan. Kau mengerti?”
Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar
pula karenanya. Meskipun demikian ia tidak mendesak pamannya, kenapa ia
menjadi gelisah sekali. Seolah-olah ia sedang berada di dalam bahaya
yang dahsyat. Tetapi pamannya itu tidak mengatakan apapun juga.
Seandainya, Padang Karautan tidak
mempunyai daya hisapan yang luar biasa atasnya, maka ia pasti akan
mengurungkan niatnya. Ia ingin berada bersama pamannya, untuk mengurangi
kegelisahan orang tua itu. Menurut pengertiaannya, Empu Gandring adalah
seorang yang hampir mumpuni. Seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Ia
dapat berdiri berjajar dengan Kebo Sindet, Empu Purwa, Empu Sada, Panji
Bojong Santi dan yang lain-lain. Tetapi kenapa orang tua itu tiba-tiba
telah dibayangi oleh kegelisahan yang sedemikian tajamnya?
Sekali lagi Mahisa Agni dicengkam oleh
kebimbangan. Tidak sekedar karena ia ingin menerima ilmu yang akan
diberikan oleh pamannya untuk melengkapi ilmunya, tetapi ia melihat
sesuatu yang tidak dimengertinya membayang di hati pamannya.
Namun Padang Karautan ternyata tidak
dapat dikesampingkannya. Ia merasa, bahwa ia harus segera berada di
antara orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel yang berada
di Padang Karautan. Ia merasa wajib untuk berada di tengah-tengah kerja
itu. Karena itu, alangkah berat hatinya, apabila ia harus menunda lagi
keberangkatannya.
“ Aku harus mengesampingban semua persoalan, untuk sementara.“ desisnya di dalam hati, “aku harus di tengah-tengah kerja itu.”
Dengan demikian maka betapa berat
hatinya, namun akhirnya Mahisa Agni pun harus minta diri kepada
pamannya. Dengan berat hati pula pamannya melepaskannya.
“Ingat Agni. Kalau kau mendapat
kesempatan, segeralah datang. Tetapi kalau tidak, maka ingat pulalah,
bahwa aku akan menyimpannya di atas atap, di bawah susunan ijuk. Di
sudut Barat bagian depan dari rumah ini.”
“Aku akan segera datang paman. Tentu.“
“Ya, ya. Mudah-mudahan kau segera datang.
Meskipun demikian aku akan berpesan kepada setiap orang di padepokanku
ini, bahwa kau akan mendapat keleluasaan untuk berbuat apa saja di rumah
ini.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Ia merasa dihadapkan pada suatu teka-teki yang tidak
dapat ditebakinya, sedang agaknya Empu Gandring sendiri masih belum
dapat mengetahui tebakan dari teka-tekinya itu.
Ketika kemudian matahari naik di atas
perbukitan, maka Mahisa Agni itu pun segera meninggalkan padepokan
pamannya. Meskipun hatinya masih selalu dibayangi oleh beribu
pertanyaan, namun ia tidak dapat berbuat lain dari pada pergi ke Padang
Karautan.
Empu Gandring masih berdiri di regol
halaman rumahnya ketika Mahisa Agni hilang di tikungan. Terasa dadanya
dipenuhi oleh pergolakan perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa
ia menjadi gelisah. la merasa bahwa ada kerjanya yang seolah-olah masih
belum selesai. Kerja yang besar, yang justru tidak dimengertinya
sendiri.
Tetapi ternyata kedatangan Mahisa Agni
telah memberikan ketenteraman yang besar kepadanya. Ia merasakan
seolah-olah ia telah mendapatkan saluran yang dipercaya.
“Aku harus segera mengerjakannya.“ desis Empu Gandring itu, “mudah-mudahan aku akan mendapat ketentraman hati.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Terasa perlahan-lahan hatinya yang bergolak itu dapat mengendap. Bahkan
kemudian ia bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa aku menjadi gelisah?
Inilah kelemahanku. Seharusnya aku selalu berpaling kepada Yang Maha
Agung. Dengan demikian aku akan mendapat kedamaian hati.”
Orang tua itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika sekali lagi ia memandangi
tikungan dikejauhan, maka yang dilihatnya hanyalah dinding batu yang
kehitam-hitaman.
Namun kehadiran Mahisa Agni ternyata
meninggalkan pengaruh yang cukup besar pada diri orang tua itu. Ia
merasa menemukan sebagian dari yang dicari-carinya di saat-saat
terakhir, meskipun perasaan itu kurang dikenalnya sendiri, tetapi
reacananya yang tiba-tiba saja tumbuh untuk menggoreskan aksara-aksara
di atas rontal dan kemudian menyimpannya untuk Mahisa Agni, benar-benar
telah membuatnya seolah-olah terlepas dari sebagian beban yang berat
yang selama ini ditanggungkannya.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan ia melangkah melintasi halaman rumahnya.
“ Aku harus mendapat penenangan.“
desisnya, “aku harus mencoba untuk melepaskan diri dari perasan ini.”
Terasa jantung Empu Gandring menjadi berdebar-debar. “Mudah-mudahan aku
dapat mengenal getaran yang bergolak di dalam hati. Aku yakin, bahwa
teka-teki ini pasti mengandung arti.”
Empu Gandring itu mengangguk-angguk
kecil. Langkahnya yang perlahan-lahan itu langsung membawanya ke sanggar
pribadinya. Ia ingin menyepi sejenak, mencoba melihat ke dalam diri.
“Kalau waktu itu akan segera datang, apa
boleh buat.“ gumamnya, “Manusia tidak akan mampu menghindar dari padanya
apabila Yang Maha Agung memang menghendakinya.”
Tetapi yang sebenarnya menggelisahkan
Empu Gandring bukanlah perasaan yang kadang-kadang tumbuh di dalam
hatinya tentang dirinya, tentang hari akhirnya. Tetapi ia harus mendapat
saluran yang dapat melanjutkan kerjanya selama ini. Bukan sekedar kerja
tanpa arah. Kerja yang sudah dilakukannya adalah kerja yang akan dapat
berkembang terus. Untuk itu diperlukan seseorang yang dipercaya. Yang
tidak akan terjerumus ke dalam kesesatan justru setelah memiliki bekal
ilmu yang sudah disusunnya.
“Aku percaya kepada Mahisa Agni.“ katanya
kepada diri sendiri, “seandainya perasaanku ini benar, bahwa saat itu
hampir datang, maka aku harus segera menyusun ilmu itu dan
menggoreskannya ke atas rontal. Mudah-mudahan pada saatnya Mahisa Agni
akan datang dan menemukan rontal itu. Mudah-mudahan pula ia tertarik
akan isinya dan dipelajarinya.”
Perlahan-lahan Empu Gandring itu menutup
pintu sanggarnya. Kemudian duduk tepekur, memusatkan segala macam rasa
dan nalarnya dalam usahanya mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Agung.
Orang tua itu ingin mendapatkan kebeningan pikiran untuk memulai dengan
kerjanya, menyusun aksara-aksara di atas rontal.
Sementara itu Mahisa Agni berpacu dengan
lajunya, langsung menuju ke Padang Karautan. Perjalanan itu kini sama
sekali tidak memberikan persoalan apapun kepadanya. Tidak ada apapun
yang terjadi, yang dapat mengganggunya.
Di Padang Karautan, kerja yang dilakukan
oleh orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel menjadi semakin
tipis. Bendungan itu telah hampir sampai pada penyelesaian terakhir,
sedang taman yang dipesan oleh Akuwu Tunggul Ametung pun kini telah
berbentuk Pepohonan yang hijau tumbuh dengan suburnya. Sedang sendang
buatan itu pun telah menampung air yang naik lewat susukan induk.
Meskipun masih belum selesai seluruhnya, tetapi taman itu sudah dapat
dilihat dan dinilai, bahwa kerja yang telah dilakukan adalah kerja yang
berat dan besar.
Mahisa Agni yang telah berada di
tengah-tengah kerja itu pun merasa menemukan dirinya kembali, setelah ia
terpisah untuk beberapa lama dari bendungan yang direncanakannya. Bahwa
ia harus mengalami masa yang pahit di dalam hidupnya, berada di dalam
lingkungan iblis di Kemundungan. Namun ternyata ia dapat memetik manfaat
dari keadaan itu. Justru di dalam maka yang paling pahit itu ia
mendapatkan tingkat yang lebih tinggi lagi dari ilmunya. Meskipun pada
saat itu ia terpaksa merendahkan diri, seolah-olah ia sudah kehilangan
segala macam gairah buat masa depannya, tetapi pada saatnya ia bangkit
dan menemukan kebebasannya.
Beberapa kali Mahisa Agni memang merasa
tersinggung oleh sikap Kebo Ijo, yang kadang-kadang benar-benar tidak
terkendali. Tetapi justru lambat laun ia menjadi kebal seperti juga Ken
Arok. Kata-kata Kebo Ijo, dan bahkan sikapnya, sama sekali tidak
dihiraukannya, meskipun kadang-kadang ia harus masih berdesis menahan
perasaannya.
Sedang Kuda Sempana pun lambat laun dapat
menemukan jalan untuk menempatkan dirinya kembali ke tengah-tengah
pergaulan atas tuntunan Ken Arok dan Mahisa Agni. Meskipun kadang-kadang
usaha itu terbentur pada sikap Kebo Ijo, tetapi dengan penuh minat, Ken
Arok dan Mahisa Agni berusaha menghindarkan segala macam
benturan-benturan yang dapat terjadi.
Demikianlah, maka pada saatnya, bendungan
dan taman itu pun telah siap. Dengan penuh haru, orang-orang Panawijen
dan para prajurit Tumapel yang sedang bertugas di padang itu menyaksikan
air yang naik kesusukan induk, menyusur di sepanjang saluran itu,
bercabang-cabang menyobek Padang Karautan dan merambat sampai ke
kotak-kotak sawah yang sudah mulai menghijau ditaburi bibit yang telah
tumbuh subur. Agak jauh di ujung susukan induk itu terdapat sebuah taman
yang indah. Pepohonan yang hijau subur, tumbuh-tumbuhan perdu dan bunga
yang sudah mulai berkembang dengan warna yang beraneka. Sebuah sendang
buatan dengan getek bambu yang terapung, bergerak-gerak di permukaan
air. Ditengah-tengahnya sebuah puntuk kecil bertengger di atas tebing
batu yang disusun dengan baiknya.
Kemudian sebuah parit yang melepaskan air
yang berlebihan, mengalir keluar dari taman itu, sekali lagi membelah
Padang Karautan mengaliri pategalan yang sudah menghijau pula. Disitulah
nanti akan dibangun padesan yang baru, apabila pohon-pohonan sudah
cukup besar. Pohon buah-buahan dan pohon-pohon pelindung yang
diperlukan, telah tumbuh pula dengan suburnya. Dikelilingi oleh
rumpun-rumpun bambu yang mulai berdaun.
Sebagian dari Padang Karautan itu kini
telah benar-benar berubah bentuknya. Satu lingkungan kehidupan yang
bakal hadir ditengah-tengah padang itu akan memberikan kemungkinan yang
besar dihari mendatang tidak saja bagi Padang Karautan, tetapi bagi
Tumapel dalam keseluruban.
Ternyata harapan yang tersimpan di dalam
setiap orang Panawijen kini terpenuhi. Mereka akan dapat meninggalkan
pedukuhan mereka yang telah menjadi semakin kering. Titik-titik air
hujan hanya akan dapat menolong sementara, dimusim basah. Apabila kelak
musim menjadi kering, Panawijen akan menjadi semakin kuning dan gersang.
Orang-orang Panawijen itu tidak akan dapat mengharap bantuan
terus-menerus dari orang lain. Sekalipun dari istana Turnapel. Mereka
tidak dapat hidup dengan menunggu uluran tangan belas kasihan, atau
bahkan lebih dari pada itu, uluran tangan dengan pamrih-pamrih tertentu
yang akan dapat menjerat kehidupan mereka sendiri di hari yang akan
datang. Karena itu, setiap kesempatan harus dipergunakan untuk menemukan
kemungkinan hidup di atas kekuatan dan nafas sendiri.
Karena itulah maka kini lahir kehidupan
yang hijau di tengah-tengah Padang Karautan. Orang-orang Panawijen tidak
pernah melupakan uluran tangan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi uluran
tangan itu telah dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang
tepat. Tidak sekedar untuk makan mereka sehari-hari, sedang untuk hari
esok menunggu lagi uluran tangan berikutnya. Tetapi selama itu, mereka
telah memanfaatkannya untuk membangun bendungan di Padang Karautan
bersama-sama dengan prajurit-prajurit Tumapel pula. Dan bendungan ini
telah siap. Dengan demikian maka pada saatnya orang-orang Panawijen itu
akan dapat menelan makan dan minum mereka dari hasil keringat sendiri.
Apabila tanaman itu menghijau, berbunga, kemudian berbuah, maka akan
segera datang musim menunai untuk yang pertama kalinya. Apabila
demikian, maka orang-orang Panawijen itu akan berdiri dengan dada
tengadah dan berkata, “Kami telah berhasil bernafas dengan dada kami
sendiri.”
Ki Buyut Panawijen yang tua itu tidak
dapat menahan keharuan yang melonjak di dalam dadanya. Setitik air mata
membasahi pipinya yang telah berkeriput karena umurnya. Namun meskipun
demikian ia masih sempat melihat, bendungan Karautan itu dapat mengaliri
sawah yang telah mereka buat, masih sempat melihat tanaman yang mulai
menghijau. Namun ia masih berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan ia
masih sempat pula melihat, orang-orang Panawijen memindahkan dirinya
dari daerah lama yang gersang itu ke daerah yang baru, yang hijau dan
subur.
“Kita harus merayakan kemenangan ini.“ desis Ki Buyut.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Baiklah Ki Buyut. Kita rayakan kemenangan ini. Kita sudah
menaklukkan tanah yang liar dan kemudian menjinakkannya.”
“Bagus.” teriak Kebo Ijo, “kita potong lembu dan kerbau yang sudah tidak kita pergunakan lagi.”
“Ah.“ terdengar Mahisa Agni berdesah.
Ketika ditatapnya mata Ken Arok, maka dilihatnya mata itu menyipit.
Perlahan-lahan Ken Arok berkata, “Jangan Kebo Ijo. Sejak semula kita
bekerja bersama-sama dengan mereka, meskipun mereka hanya binatang.
Tetapi apakah kita akan sampai hati berbuat demikian.”
“Itu adalah sifat kecengenganmu Ken Arok.
Buat apa lagi binatang-binatang itu bagi kita kini? Mereka hanya akan
menjadi beban peliharaan saja.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Apa kau sangka bahwa sawah itu akan dapat tumbuh tanamannya
tanpa digarap? Nah, tugas lembu dan kerbau-kerbau itu masih panjang.
Setiap musim mereka akan membantu orang-orang Panawijen mengerjakan
sawahnya.”
“Apakah lembu, kerbau, pedati-pedati dan semua peralatan ini akan kita serahkan kepada orang-orang Panawijen?”
“ Apakah harus kita bawa kembali ke Tumapel?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak segera menjawab. Yang menyahut kemudian adalah Mahisa Agni, “Kami
akan berterima kasih atas bantuan yang sudah dan yang masih akan kami
terima. Lebih-lebih lagi, apabila yang kami terima itu adalah keperluan
bagi kerja kami. Alat-alat untuk menggarap sawah dan membangun pedukuhan
kami. Kami akan jauh lebih berterima kasih dari pada bantuan yang kami
terima itu berupa kebutuhan sehari-hari saja. Kebutuhan yang akan habis
kami telan dan akan habis kami pakai betapa berlimpah-limpahnya. Tetapi
peralatan itu akan memberi kami nafas untuk bekerja seterusnya. Kami
akan terlepas dari ketergantungan yang akan mematikan nafsu kerja kami
dan anak cucu kami.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Itu adalah pikiran yang hidup dan wajar Agni. Karena itu, kita
akan bergembira karena kita telah menyelesaikan pekerjaan dasar kita.
Yang Maha Agung telah memperkenalkan kita melihat bendungan, susukan
induk, parit-parit, sawah, taman dan sebagainya itu selesai. Tetapi ini
bukan berarti bahwa kerja kita untuk selanjutnya selesai. Maka, marilah
kita bersyukur, tanpa melepaskan ingatan kita kepada masa mendatang.
Karena itu, biarlah binatang-binatang hidup untuk seterusnya. Kita dapat
merayakan kemenangan ini tanpa apapun. Sebab kegembiraan itu ada di
dalam dada kita. Kita nyatakan dengan bentuk-bentuk yang memungkinkan di
Padang Karautan ini.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Katanya,
“Ya, kita dapat merayakan dengan seribu macam bentuk untuk menyatakan
bahwa kerja yang besar ini sudah selesai. Diantaranya, kita akan dapat
tidur sepekan terus menerus. Bangun untuk makan, kemudian tidur lagi.
Begitu?”
Ken Arok, Mahisa Agni dan Ki Buyut
Panawijen menarik nafas. Tetapi mereka tidak menanggapinya. Namun dengan
tiba-tiba saja Ken Arok berkata, “Kita akan segera mendapat kesempatan
itu. Bersukaria, untuk menyambut kemenangan ini. Setelah taman itu
selesai, Akuwu akan hadir beserta permaisurinya. Taman itu akan
merupakan hadiah yang menyenangkan bagi Tuan Puteri Ken Dedes yang
berasal dari tengah-tengah padukuhan Panawijen. Itulah sebabnya maka
taman itu harus dibangun di dekat padukuhan yang dibangun oleh
orang-orang Panawijen. Kehadirannya pasti akan memberikan kegembiraan
bagi kita. Kita tidak perlu menyelenggarakannya sendiri. Kita ikut saja
di dalam kegembiraan itu.”
Kebo Ijo mendengar keterangan itu dengan
dahi yang berkerut merut. Kemudian ia berdesis perlahan, “Kapan Akuwu
akan datang ke Padang Karautan untuk menyerahkan tamannya kepada
perempuan Panawijen itu?”
Yang mendengar kata-kata Kebo Ijo itu
merasakan desir yang tajam di dalam dada mereka. Mahisa Angni, Ken Arok,
Ki Buyut Panawijen dan satu dua orang lagi. Sejenak mereka terdiam
sambil mengawasi anak muda itu dengan mata yang tidak berkedip.
Kebo Ijo merasa sorot beberapa pasang
mata yang menyentuh wajahnya. Sejenak ia merasa canggung, Namun kemudian
ia bertanya, “Kenapa kalian memandangi aku seperti baru pertama kali
melihat? Apakah yang aneh padaku?”
Tiba-tiba terdengar jawab Ken Arok pendek, “Mulutmu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. “Kenapa mulutku?“ tanpa sesadarnya tangannya meraba mulutnya.
“Mulutmu terlampau sulit untuk
dikendalikan.“ sahut Ken Arok, “Kenapa kau tidak dapat memilih kata-kata
yang lebih baik meskipun untuk menyatakan maksud yang sama?”
“O.“ Kebo Ijo justru tersenyum,
“kalimatkulah yang salah lagi. Baikiah, aku akan memperbaikinya.
Maksudku, aku ingin tahu, kapankah Akuwu Tunggul Ametung akan
menyerahkan hadiah buat Permaisurinya Ken Dedes.”
Ken Arok sama sekali sudah tidak bernafsu
lagi untuk menjawab. Meskipun demikian ia menggeram juga, “Pada saatnya
kau akan melihat dan mengetahuinya. Apabila kelak Tuanku Akuwu datang
bersama Tuan Puteri, bertanyalah hari dan pekan.”
Kebo Ijo mengerinyitkan alisnya, Namun ia
pun kemudian tertawa. Sambil melangkah pergi ia bergumam, “Kau marah
Ken Arok. Jangan lekas menjadi marah. Kau akan cepat menjadi tua. Lebih
baik kau tertawa.”
Ken Arok tidak menghiraukan lagi, sedang
orang-orang lainpun menjadi acuh tidak acuh pula kepada Kebo Ijo yang
kemudian hilang di dalam gubugnya.
Sepeninggal Kebo Ijo, barulah Ken Arok
berkata kepada Ki Buyut Panawijen, “Sebentar lagi Akuwu datang dengan
kebesaran seorang Akuwu, Ki Buyut. Tidak seperti kedatangannya di saat
lampau. Akuwu akan datang bersama Permasuri dan akan menghadiahkan taman
itu. Pada saat itulah kita numpang bergembira. Supaya persiapan tidak
mengecewakan, maka biarlah aku mengirimkan utusan menghadapi Akuwu untuk
menyampaikan maksud itu. Apabila Akuwu tidak berkeberatan, nah, kita
akan mendapatkan kesempatan tanpa bersusah payah membuat sendiri.
Sebelum Akuwu sendiri datang, pasti akan dikirim beperapa orang petugas,
Juru masak, juru taman dan orang-orang yang diperlukannya. Kita tinggal
menyebut saja jumlah orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit
Tumapel yang berada di Padang Karautan ini.”
Ki Buyut mengangguk-anggukan kepalanya. Gumamnya, “Berapa orang juru masak yang diperlukan untuk kepentingan itu.”
“Di Tumapel ada ratusan juru masak yang
dapat dikerahkan. Sedang di sinipun kita telah mempunyai juru masak yang
cukup, meskipun bukan juru masak yang baik. Meskipun mereka hanya
sekedar juru masak prajurit. Tetapi setidak-tidaknya mereka akan dapat
membantu menjerang air.”
Ki Buyut Panawijen mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa mendapat kehormatan, bahwa perhatian Akuwu Tunggul
Ametung terhadap Panawijen ternyata melampaui perhatiannya tcrhadap
pedukuhan-pedukuhan yang lain. Dan Ki Buyut pun menyadari, bahwa
hadirnya Ken Dedes di Istana Tumapel ternyata berpengaruh atas persoalan
itu, meskipun Ki Buyut yang sudah cukup tua itu juga menyadari, bahwa
keluarga Ken Dedes sendiri ternyata tidak sempat ikut merasa berbahagia.
Bahkan hilangnya Ken Dedes telah membuat ayalnya seolah-olah
menyisihkan diri dari pergaulan, dan hilang untuk selanjutnya tanpa
menyatakan diri lagi di dalam lingkungan padukuhan Panawijen.
Ternyata Ken Arok kemudian benar-benar
mengirimkan utusannya menghadap Akuwu Tunggul Ametung untuk menyatakan
maksudnya. Untuk ikut serta menikmati kegembiraan bersama-sama dengan
kehadiran Akuwu Tunggul Ametung di Padang Karautan.
“Beri mereka apa yang dibutuhkan.“
perintah Akuwu kepada scorang yang dipercaya untuk menyelenggarakan
perjamuan yang cukup baik di Padang Karautan selama kunjungannya bersama
Permaisurinya. Dan kepada utusan Ken Arok Akuwu berkata, “Aku akan
datang kepadang Karautan bersama Permaisuri dan beberapa orang prajurit
dan para pemimpin pemerintahan Tumapel sepekan sebelum purnama, dan akan
tinggal di Padang Karautan sampai sepekan setelah purnama.”
Berita itu diterima dengan senang hati
oleh seluruh penghuni Padang Karautan yang selama ini tidak pernah
melepaskan diri dari kerja. Kerja dan selalu dihadapkan kepada kerja.
Tetapi usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Kini bendungan itu
benar-benar telah terwujud, telah berhasil mengangkat air dan
menyalurkannya sampai kekotak-kotak sawah jauh ketengah padang. Beberapa
saluran di seberang memberi kemungkinan yang serupa meskipun agak lebih
kecil. Bahkan saluran yang melepaskan air dari sendang buatan itupun
dapat dimanfaatkan pula dengan baik.
Dengan demikian, maka setiap orang di
Padang Karautan itu pun menunggu sampai saat purnama semakin mendekat.
Hampir sedikit malam mereka memandangi bulan yang seolah-olah tumbuh
sedikit demi sedikit. Terlampau lamban. Apabila mendung menyaput langit,
dan mereka tidak dapat melihat bulan yang semakin berkembang disetiap
malam, terasa hari menjadi semakin panjang, Sudah terlampau lama mereka
menunggu, namun bulan masih belum separo bulatan.
Meskipun demikian, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel itu kini mendapat kesibukan baru. Bukan sekedar tidur, bangun dan makan. Mereka harus membuat pesanggrahan-pesanggrahan yang walaupun sederhana, tetapi cukup memenuhi kebutuhan bagi seorang Akuwu dan Permaisurinya, dekat di sebelah taman yang sudah menjadi semakin semarak karena bunga-bunga telah mulai berkembang. Bunga-bunga dengan beraneka bentuk dan warnanya. Bunga-bunga yang membuat taman itu semakin segar, yang seolah-olah dengan sadar menunggu kehadiran Permaisurinya yang segera akan datang. Dan kedatangan itu telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan. Namun betapapun juga, seluruh Padang Karautan telah menanti kehadirannya.
Meskipun demikian, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel itu kini mendapat kesibukan baru. Bukan sekedar tidur, bangun dan makan. Mereka harus membuat pesanggrahan-pesanggrahan yang walaupun sederhana, tetapi cukup memenuhi kebutuhan bagi seorang Akuwu dan Permaisurinya, dekat di sebelah taman yang sudah menjadi semakin semarak karena bunga-bunga telah mulai berkembang. Bunga-bunga dengan beraneka bentuk dan warnanya. Bunga-bunga yang membuat taman itu semakin segar, yang seolah-olah dengan sadar menunggu kehadiran Permaisurinya yang segera akan datang. Dan kedatangan itu telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan. Namun betapapun juga, seluruh Padang Karautan telah menanti kehadirannya.
Maka pada saatnya, sampailah suatu
ketika, Padang Karautan seolah-olah telah terbakar oleh kegembiraan yang
tiada taranya. Mereka tidak saja menyambut kedatangan Akuwu Tunggul
Ametung dengan penuh kemegahan bersama Permaisurinya, Ken Dedes, tetapi
mereka juga merayakan hari kemenangan. Mereka telah berhasil menaklukkan
Padang Karautan dengan segala macam keganasan dan keliarannya.
Membendung sungai dan menaikkan airnya, sehingga di jantung padang yang
luas itu, telah dibangunkan sebuah padukuhan baru yang segar. Pedukuhan
yang mempunyai kemungkinan yang sangat baik dihari-hari mendatang,
karena luas tanah disekitarnya yang masih memungkinkan padukuhan itu
berkembang.
Beberapa orang telah pergi ke Panawijen
untuk mencari janur yang cukup baik, yang masih belum terlampau tua.
Dengan pedati-pedati mereka msngangkut beberapa batang bambu utuh dengan
daun-daunnya untuk dipancangkan sebagai umbul-umbul di sekitar taman
dan pasanggrahan Sebaik-baik mungkin yang dapat mereka kerjakan.
Anyaman-anyaman janur dan bambu telah terpancang di dinding-dinding dan
di pagar-pagar batu.
Maka pada hari yang ditentukan Akuwu
Tunggul Ametung akan datang di Padang Karautan, setiap orang di
perkemahan itu mengenakan pakaian yang sebaik-baiknya yang mereka
miliki. Para prajurit mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Siap untuk
menyambut kedatangan Akuwu Tunggul Ametung.
Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni, Ken Arok
dan para pemimpin yang lain. Dengan wajah berseri-seri mereka siap
menunggu kehadiran Akuwu bersama rombongannya.
Namun di antara sekian banyaknya wajah
yang cerah, maka Kuda Sempana duduk termenung di dalam gubugnya.
Kehadiran Akuwu Tunggul Ametung bersama Ken Dedes di perkemahan itu,
menjadi suatu persoalan baru di dalam dadanya. Selama ini ia telah
berusaha untuk dapat hidup diantara orang-orang Panawijen, betapapun
sulitnya untuk melakukannya. Apalagi pada permulaannya. Tetapi lambat
laun ia berhasil menyesuaikan diri, ketika ia mendapat keyakinan bahwa
orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel itu benar-benar
tidak mendendamnya tanpa ampun. Orang-orang Panawijen dan
prajurit-prajurit Tumapel dapat menerima kehadirannya meskipun dengan
syarat. Dan ia berusaha sekuat-kuat hatinya untuk menerima syarat itu.
Ia telah melakukan sebaik-baiknya semua
nasehat Mahisa Agni dan nasehat Ken Arok. Setiap kali didengarnya pula
petunjuk-petunjuk dari Ki Buyut yang tua tentang hidup dihari kemudian.
Dan setiap kali dihindarinya Kebo Ijo yang terlampau ringan membuka
mulutnya tanpa terkendali, supaya tidak tumbuh hal-hal yang tidak
dikehendaki.
Namun kini tiba-tiba ia dihadapkan pada
suatu keadaan baru. Kehadiran Akuwu Tunggul Ametung sama sekali bukan
persoalan lagi baginya, karena ia pernah bertemu sebelum Akuwu kembali
ke Tumapel dari Padang Karautan ini. Tetapi bagaimana dengan Ken Dedes?
Ia pernah menerima penghinaan tiada taranya dari padanya. Meskipun nalar
Kuda Sempana dapat mengerti, bahwa penghinaan itu diberikan karena
sakit hati gadis itu yang tidak tertahankan lagi, tetapi bagaimanapun
juga luka itu masih terasa pedih di hatinya.
Sekali-sekali terdengar Kuda Sempana
berdesis. Di dalam dadanya terjadi pergolakan yang riuh. Apakah ia harus
melupakan saja penghinaan itu, ataukah ia akan berbuat sesuatu atau
menghindarkan diri saja dari setiap kemungkinan untuk bertemu dengan Ken
Dedes.
“Aku harus menyingkir, meskipun hanya
untuk sementara. Mereka berada di padang ini tidak terlampau lama. Hanya
sepekan sebelum dan sesudah purnama. Dalam sepuluhhari itu aku akan
tinggal saja di pedukuhan Panawijen lama. Aku dapat bersembunyi di sana
sampai saatnya Akuwu Tunggul Ametung kembali ke Tumapel. Mudah-mudahan
Ken Arok dan Mahisa Agni dapat mengerti dan aku diijinkannya pergi
sebelum mereka datang.”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pada hematnya hal itu adalah yang sebaik-baiknya. Sebab ia
sendiri masih belum dapat meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat
bertahan apabila ia mengalami hal-hal yang pahit lagi.
Kuda Sempana itu berpaling ketika ia
mendengar langkah mendekat kepintu gubugnya. Sejenak kemudian dilihatnya
seseorang berdiri di depan pintu itu, Kebo Ijo.
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Selama ini ia selalu menghindarkan diri. Sepatah-sepatah kata saja
apabila terpaksa ia harus berbicara, kemudian mencari alasan untuk
pergi. Tetapi kini ia berada di gubugnya, dan Kebo Ijo itu berhenti di
muka pintu.
“Aku harus segera bertemu dengan Ken Arok
dan Mahisa Agni.“ berkata Kuda Sempana di dalam hatinya, “supaya aku
segera dapat pergi sebelum Akuwu datang.”
Tetapi yang lebih dahulu berkata adalah Kebo Ijo, “He, kau tidak tampak bergembira seperti orang-orang lain, kenapa?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Dilihatnya sebuah senyum yang lucu menghias bibir Kebo Ijo.
“Marilah, keluarlah dari liangmu.
Orang-orang dungu itu sudah seluruhnya berada di ujung perkemahan ini.
Mereka akan menyambut Akuwu, dan kemudian mengiringkannya ke taman
buatan itu. Apakah kau tidak ikut serta?”
“ Ya.” jawab Kuda Sempana perlahan, “nanti sebentar aku akan pergi kesana pula.”
“Kenapa tidak sekarang.”
“Aku belum selesai berkemas.”
Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Kau masih
juga akan berhias, he, supaya Ken Dedes jatuh cinta kepadamu? Bukankah
kau mencintainya setengah mati?”
Pertanyaan itu serasa ujung pedang yang
mengorek luka yang lama yang meskipun tidak mungkin sembuh, tetapi sudah
ditahankannya terpendam. Dan seolah-olah kini luka itu terungkit
kembali. Meskipun demikian Kuda Sempana tidak segera menyahut. Dicobanya
untuk menguasai perasaannya. Sudah biasa ia mendengar
perkataan-perkataan yang menyakitkan hati, yang diucapkan oleh Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi tidak tentang persoalan ini. Namun
demikian ia masih dapat menahan dirinya.
Kuda Sempana masih duduk di tempatnya.
Sekali-sekali ia melihat Kebo Ijo yang berdiri di depan gubugnya dengan
sudut matanya. Tetapi sesaat kemudian kepalanya ditundukkannya lagi. Ia
mengharap agar Kebo Ijo itu segera pergi, supaya ia dapat segera pula
menemui Mahisa Agni dan Ken Arok untuk menyatakan maksudnya.
Tetapi Kebo Ijo itu masih berdiri saja
disitu. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Marilah Kuda Sempana, kita
pergi ke ujung perkemahan ini. Kita ikut menyambut kedatangan Akuwu
Tumapel, kemudian menjilat kakinya dan kaki Permaisurinya, supaya kita
segera mendapat kenaikan pangkat.”
Kuda Sempana berdesis. Tetapi ia belum menjawab.
“ Apa lagi yang kau tunggu? Kau sudah menjadi cukup tampan. Aku akan ikut berdoa supaya Ken Dedes jatuh cinta kepadamu.”
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk menahan gemeretak jantungnya yang serasa akan retak
dengan napas yang terengah-engah karena menahan diri ia berkata, “Kebo
Ijo, marilah kita bergurau. Tetapi jangan kau sebutkan persoalan itu.
Satu soal saja. Katakanlah apa saja yang ingin kau katakan. Aku sudah
mencoba untuk menempatkan diri di antara kalian, di antara orang-orang
yang seolah-olah tidak mau menerima aku lagi. Betapa sakit dan pahitnya,
aku telah mencoba untuk menahankannya. Tetapi aku minta janganlah
persoalan itu kau sebut, meskipun kau tidak bersungguh-sungguh.”
Kebo Ijo mengerinyitkan alisnya. Sejenak
ia berdiri diam sambil memandang Kuda Sempana dengan tajamya. Namun
sejenak kemudian terdengar suara tertawanya, “Oh, kau sakit hati Kuda
Sempana? Kau mencoba untuk menutup mulutku dengan sepenuh belas kasihan
kepadamu? Dengar, aku justru ingin menasehatimu. Kalau nanti Akuwu
berada di padang ini bersama Permaisurinya, kau harus berbuat sesuatu.
Berbuat jantan seperti laki-laki yang sebenarnya.”
Kuda Sempana masih tetap berdiam diri meskipun dadanya semakin bergelora.
“Kuda Sempana.“ berkata Kebo Ijo, “kalau
aku menjadi kau, maka apabila Akuwu dan Ken Dedes berada di padang ini,
aku tantang ia melakukan perang tanding. Tidak sebagai seorang Akuwu
dengan seorang Pelayan Dalam, sebab dengan demikian kau pasti akan
dianggap memberontak dan akan ditangkap oleh pengawal-pengawalnya,
tetapi sebagai laki-laki dengan laki-laki. Kau tantang ia melakukan
perang tanding untuk memperebutkan Ken Dedes. Nah, kalau kau berhasil
membunuhnya dan mengambil Ken Dedes sebagai isterimu, kau tidak saja
akan memiliki seorang isteri yang cantik, tetapi kau akan memiliki
seluruh Tumapel, sebab Tumapel dengan segala isinya, termasuk aku dan
kau, sudah diserahkan kepada Ken Dedes.”
Gelora di dada Kuda Sempana menjadi
semakin dahsyat memukul jantungnya. Darahnya serasa mengalir semekin
cepat dan ubun-ubunnya terasa menjadi panas. Sedang Kebo Ijo itu masih
berbicara terus, “Aku kira kau akan mendapat kesempatan itu, bertarung
dengan jantan. Taruhannya pun cukup bernilai untuk beradu maut. Seorang
permpuan cantik. Bukan hanya sekedar perempuan cantik, tetapi seorang
perempuan cantik yang memiliki kekuasaan atas tanah tumapel. Nah, apakah
kau tidak tertarik?”
Betapa darah Kuda Sempana terasa
mendidih, ia masih tetap sadar akan dirinya, sadar akan keadaan dan
kedudukannya. Karena itu, betapa dahsyat dadanya bergolak, ia masih
tetap duduk ditempatnya. Bahkan ia masih dapat menahan dirinya meskipun
dadanya akan meledak, dan menggeleng perlahan-lahan, “Tidak Kebo Ijo.
Aku tidak dapat melakukannya.”
Kebo Ijo mengerutkan dahinya. Lalu
desisnya, “Kau sudah berubah Kuda Sempana. Berubah sama sekali. Kau
pernah bersikap sebagai seorang jantan pada saat kau melarikan Ken
Dedes. Kemudian perang tanding yang tidak jujur. Akuwu mempergunakan
kakang Witantra untuk merebut Ken Dedes dari tanganmu. Memang kakang
Witantra terlampau tunduk di bawah kaki Akuwu Tunggul Ametung. Seperti
seekor kerbau yang telah dicocok hidung. Kemana kendali ditarik, kesana
ia melangkah.” Kebo Ijo berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Kuda Sempana
yang masih tunduk.
Namun dengan demikian, terasa sesuatu di
dada Kuda Sempana yang seolah-olah mendinginkan darahnya, Didalam
hatinya ia berkata, “Kebo Ijo benar-benar tidak dapat menjaga mulutnya.
Jangankan aku yang mempunyai kedudukan yang sangat sulit di sini, sedang
ia merasa dirinya orang kedua dalam lingkungannya, selagi terhadap
kakak seperguruannya saja, ia bersikap dan berkata demikian.” Kuda
Sempana menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan panas di
dadanya. Sekali lagi diperbandingkannya dirinya dengan Witantra dalam
penilaian Kebo Ijo yang gila itu.
“Bagaimana?” desis Kebo Ijo, “apakah kau berani melakukannya.”
Tiba-tiba Kuda Sempana itu menggeleng, “Tidak. Aku tidak berani melakukannya.”
“He?” mata Kebo Ijo menjadi terbelalak,
“apakah kau sudah menjadi banci, he? Kenapa kau tidak berani menantang
laki-laki justru kau juga seorang laki-laki jantan? Adalah kewajibanmu
untuk mencoba merebutnya. Kau lebih dahulu menyentuh gadis itu daripada
Akuwu Tunggul Ametung. Dan Akuwu tidak melakukan sendiri perang tanding
melawanmu. Nah, menurut penilaianku gadis itu masih hakmu.”
Sekali lagi Kebo Ijo terkejut ketika ia
melihat Kuda Sempana menggeleng dan berkata, “Tidak Kebo Ijo. Aku kini
sudah melupakan persoalan itu. Aku harap kau jangan mempersoalkannya
lagi supaya dadaku tidak menjadi bengkah karenanya.”
Yang terdengar adalah suara tertawa Kebo
Ijo sangat menyakitkan hati. Katanya, “Aku tahu Kuda Sempana. Kau sudah
diampuni oleh Akuwu. Kalau Kakang Witantra di hadapan Akuwu seperti
seekor kerbau yang bodoh, maka kau tidak akan lebih dari seekor kuda
tunggangan yang terlebih bodoh lagi. Tetapi mungkin juga karena kau
sudah menjadi seorang pengecut.”
Darah yang sudah mendingin itu tiba-tiba
mendidih kembali. Dengan tajamnya kini ditatapnya mata Kebo Ijo yang
masih saja berdiri di gubugnya.
Tetapi, Kebo Ijo seolah-olah tidak
melihat kemarahannya yang memancar pada sorot mata Kuda Sempana. Ia
masih saja tertawa sambil memandangi Kuda Sempana yang sedang berjuang
untuk menahan diri. Namun terasa betapa sakit di dadanya hampir tidak
tertahankan lagi.
Dan ternyata bahwa Kebo Ijo masih juga
membakar hati yang membara itu, katanya, “Apakah kau marah? Kau sama
sekali tidak akan dapat marah lagi. Kau benar-benar telah dijinakkan.
Mula-mula oleh Kebo Sindet, kemudian oleh Mahisa Agni dan Ken Arok.”
“Cukup.“ tiba-tiba suaru Kuda Sempana menggelegar. Dadanya sudah terlampau penuh sehingga tidak dapat lagi memuat hinaan itu.
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Sejenak
ia berdiri mematung. Namun sejenak kemudian ia tersenyum, “Kau masih
cukup garang Kuda Sempana. Tetapi apakah yang dapat kau lakukan.”
“Aku minta kau diam Kebo Ijo. Kau pergi
dari tempat ini atau aku yang pergi. Kalau kita masih berbicara lagi,
mungkin kita akan kehilangan kesempatan untuk menahan diri
masing-masing.”
“Uh, kesadaranmu tentang dirimu begitu
tinggi.” jawab Kebo Ijo, “Tetapi kau pun harus sadar, bahwa kau tidak
akan dapat berbuat apa-apa lagi di sini. Kau adalah seorang tawanan.
Karena itu jangan mencoba menyombongkan dirimu lagi. Semua perintah
harus kau jalankan. Perintah siapa saja. Apalagi perintahku, orang kedua
yang mendapat kepercayaan Akuwu Tunggul Ametung di sini.”
“Tidak.“ Kuda Sempana hampir berteriak, “aku sama sekali bukan seorang tawanan.”
“Lalu apa sangkamu?“ bertanya Kebo Ijo,
“apa kau sangka kau masih seorang perwira di sini, atau seorang tamu
atau apa? Tidak. Kau adalah seorang tawanan. Resmi atau tidak resmi. Kau
tidak dapat berbuat sekehendakmu. Seorang tawanan yang memberontak,
hukumannya kau pasti sudah tahu, karena kau pernah menjadi seorang
Pelayan Dalam, yang justru mendapat kepercayan dari Akuwu. Hukuman itu
adalah hukuman mati.”
Darah didada Kuda Sempana sudah mendidih.
Dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku bukan seorang tawanan. Aku
dapat membuktikannya tentang hal itu.”
“ Buktikanlah hahwa kau bukan seorang tawanan.”
Tiba-tiba Kuda Sempana yang sudah dibakar
oleh kemarahan itu meloacat meraih pedangnya yang tergantung di dinding
gubugnya. Sambil mengangkat pedangnya yang masih berada di sarungnya
itu ia berkata lantang, “Inilah buktinya bahwa aku bukan seorang
tawanan. Seorang tawanan tidak akan dibiarkan bersenjata. Tetapi aku
masih menggengam pedang. Pedangku sendiri.”
Dahi Kebo Ijo menjadi berkerut merut.
Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang kian menegang. Sedang wajah Kebo Ijo
pun menjadi tegang pula. Ternyata Kuda Sempana itu tidak seperti yang
diduganya. Disangkanya anak muda itu telah menjadi terlampau jinak dan
tidak berani berbuat apapun. Namun, ternyata kini Kuda Sempana telah
memegang pedangnya. Karena itu maka sejenak Kebo Ijo menjadi
berdebar-debar. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Ia merasa mendapat
kawan untuk bermain-main setelah sekian lama ia harus bekerja
menyelesaikan bendungan itu. Sehingga sejenak kemudian ia berkata, “Kuda
Sempana. Jangan berbuat bodoh. Kalau kau mempunyai sedikit pengertian
tentang susunan pimpinan prajurit Tumapel di Padang Karautan ini, kau
pasti akan minta maaf kepadaku. Karena aku berhak menentukan hukuman apa
saja selain Ken Arok kepada orang-orang yang bersalah. Termasuk kau.
Bahkan terhadap Mahisa Agni pun aku wenang untuk bertindak apabila ia
membuat kesalahan. Jangan kau sangka bahwa orang yang melindungimu itu
mempunyai kekuasaan tak terbatas di sini.”
“Tidak.“ jawab Kuda Sempana, “aku tidak
menggantungkan perlindungan kepada orang lain selain kepada diriku
sendiri. Selama aku masih memegang pedang, tidak ada hukuman yang dapat
diberikan kepadaku.” Namun tiba-tiba terbayang di wajah Kuda Sempana itu
berbagai macam hukuman yang dapat diterimanya. Ia adalah orang yang
sedang berusaha mendapat tempat di antara orang-orang sekelahiran dan di
antara para prajurit Tumapel. Lalu apakah kesan mereka apabila ia
berkelahi melawan Kebo Ijo, yang justru merupakan salah seorang pimpinan
di padang ini.
“Tetapi ia terlampau menghina.“ desisnya
di dalam hati. Namun sejenak kemudian terbayang segala macam kesalahan
yang pernah dilakukannya. Karena itu, maka sesaat kemudian tumbuhlah
benturan yang dahsyat di dalam dadanya.
“Kuda Sempana.“ terdengar suara Kebo Ijo
perlahan-lahan, “aku masih memberi kau kesempatan. Berlutut dan minta
maaf, atau aku akan menentukan jenis hukuman bagimu? Tetapi jangan takut
aku akan memanggil prajurit-prajurit untuk menangkapmu. Sebelum kau
mendapat hukumanmu, kau mendapat dua macam kesempatan. Minta maaf atau
bertempur. Aku juga membawa pedang seperti kau sedang menggengam pedang.
Tetapi kalau kau kalah, jangan mengharap belas kasian lagi.”
Dada Kuda Sempana berdebaran. Tetapi ia
tidak segera menyambut. Di dalam hatinya, perlahan-lahan terungkat
kembali sikap putus asanya dapat menyesuaikan dirinya dengan menekan
perasaannya kuat-kuat. Tetapi kini ia dihadapkan pada suatu keharusan
untuk berbuat sesuatu meskipun bertentangan dengan usahanya selama ini.
“Cepat.“ bentak Kebo Ijo, “pilihlah, minta ampun atau cabut pedangmu, dengan akibat kau dapat dihukum picis.”
Dada anak muda itu berdesir. Tetapi
tiba-tiba ia berkata, “Aku sudah seharusnya mati. Tetapi aku tidak akan
menyerahkan diriku untuk mendapat hukuman apapun. Aku memilih mencabut
pedangku. Aku akan berkelahi sampai mati sebab kalah atau menang, aku
pasti akan dihukum.”
Dahi Kebo Ijo berkerut. Tetapi
kemarahannya pun kini terungkat sepenuhnya. Dengan serta merta ia
mencabut pedangnya dan berteriak, “Ayo, keluarlah. Ternyata kau masih
mempunyai sisa-sisa kejantananmu di dalam keputus-asaan itu. Sejak kau
datang aku memang ingin membunuhmu. Sekarang ternyata aku mendapat
kesempatan karena kesalahanmu.”
Kemarahan Kuda Sempana telah sampai ke
puncaknya pula. Karena itu, ketika ia mendengar tantangan Kebo Ijo, maka
tidak diingatnya apapun lagi. Kesadarannya tentang dirinya lenyap
bersama lenyapnya setiap pertimbangan.
Dengan kaki gemetar Kuda Sempana
melangkah perlahan-lahan keluar dari gubugnya. Dengan perlahan-lahan
tangannya yang gemetar pula mencabut pedangnya. Pandangan matanya
menjadi semakin tajam dan giginya terdengar gemeretak. Ketika ia sudah
berdiri di luar gubugnya, ia menggeram, “Ayo Kebo Ijo. Aku sudah siap
untuk mati. Aku akan bersikap jantan untuk yang terakhir kalinya, supaya
aku mati dengan dada tengadah dan pedang digenggaman.”
“Persetan.” Kebo Ijo memotong, “sepantasnya kau dihukum picis. Kau adalah seorang tawanan yang memberontak.”
“Aku tidak pernah merasa diriku sebagai
seorang tawanan. Aku masih menggenggam pedang. Ayo, mulailah. Aku tahu,
bahwa aku pasti akan mati, menang atau kalah. Kalau aku kalah, maka
kaulah yang membunuhku. Tetapi kalau aku menang, maka aku pasti akan
dihukum mati. Tetapi seandainya aku dihukum mati setelah aku merobek
dadamu yang dipenuhi oleh kcsombongan tiada taranya itu, aku tidak akan
menyesal.”
Kebo Ijo sudah tidak dapat menahan
dirinya lagi. Tanpa menjawab lagi ia meloncat menyerang dengan
garangnya. Tetapi Kuda Sempana telah bersiap pula untuk menerima
serangan itu. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar, dan bahkan segera
ia membalas serangan Kebo Ijo dengan serangan pula.
Sejenak kemudian perkelaian itupun
menjadi semakin sengit. Mereka telah dibakar oleh kemarahan dan kejemuan
menghadapi persoalan mereka masing-masing. Kebo Ijo yang telah menjadi
jemu dengan segala macam kerja yang berat, jemu terhadap sikap
orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel yang dengan sepenuh
hati menyambut kedatangan Akuwu Tunggul Ametung yang menurut
penilaiannya terlampau berlebih-lebihan, dilandasi oleh sifat-sifatnya
yang dengki dan tinggi hati, telah terbetur dengan sikap putus asa Kuda
Sempana yang sebenarnya perlahan-lahan berangsur hilang. Tetapi
goncangan perasaannya kali ini telah meledakkan dadanya yang selama ini
diusahakannya untuk diendapkan.
Karena itulah, maka sejak pedang mereka
berbenturan untuk pertama kali, mereka masing-masing merasakan, betapa
kekuatan yang tersimpan, telah hampir seluruhnya tersalur lewat
senjata-senjata itu. Dan benturan yang pertama itupun ternyata telah
mengejutkan kedua belah pihak.
Kuda Sempana yang pernah bertempur
melawan Witantra, kakak seperguruan Kebo Ijo meskipun tidak dapat
memenangkannya, merasakan bahwa Kebo Ijo kini memiliki kemampuan yang
lebih besar dari kakaknya pada saat yang lampau itu. Tetapi Kuda Sempana
yang sekarang ini pun telah maju pula dibandingkan dengan masa itu.
Bersama Kebo Sindet ia telah menambah pengalaman mempergunakan senjata
meskipun dengan hati yang kosong. Namun pengalaman itu ternyata
berpengaruh pula atasnya. Naluri untuk mempertahankan hidupnya, telah
membuatnya justru menjadi semakin banyak memiliki ilmu meskipun bukan
bersumber dari perguruarn yang sama. Beberapa unsur yang diterimanya
dari Kebo Sindet telah membuatnya menjadi bertambah kasar, ganas dan
berbahaya.
Demikianlah maka keduanya bertempur
dengan sengitnya. Kebo Ijo, yang dialiri oleh ilmu dari seorang yang
cukup matang, namun dibumbui oleh sifat-sifat Kebo Ijo sendiri, membuat
ilmu itu menjadi sangat berbahaya. Cepat, penuh kepercayaan kepada diri
dan kadang-kadang tampak betapa kesombongannya memancar dari sikap dan
geraknya. Tetapi Kebo Ijo itu ternyata harus memperbaiki sikapnya. Kuda
Sempana bukan anak-anak yang dapat dipaksanya untuk berlutut. Apalagi
anak muda itu telah didorong oleh rasa putus asa. Menang atau kalah,
baginya tidak akan jauh berbeda. Karena itu maka tandangnyapun menjadi
terlampau garang. Segarang harimau yang kelaparan dan seekor buaya-buaya
kerdil dirawa-rawa Kemundungan. Bahkan semakin lama Kuda Sempana
menjadi semakin liar. Pengaruh Kebo Sindet semakin banyak tampak di
dalam tata geraknya yang semakin tidak terkendali.
Kebo Ijo kini dihadapkan pada suatu
kenyataan, bahwa tidak terlampau mudah untuk memaksa Kuda Sempana tunduk
di bawah kakinya. Bahkan semakin lama ia merasakan keringatnya semakin
banyak mengaliri tubuhnya.
“Anak setan.“ ia menggeram di dalam hati,
“ternyata ia mampu melakukan perlawanan meskipun dengan caranya
sendiri. Buas dan kasar.”
Kebo Ijo pun kemudian mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Kemarahannya sudah sampai ke puncak
ubun-ubun. Kuda Sempana yang tidak mempuryai wewenang apapun itu
ternyata masih berani melawannya.
“Kau benar-benar akan dihukum picis.“ tanpa sesadarnya Kebo Ijo menggeram.
“Aku tidak peduli.“ sahut Kuda Sempana
sambil menyerang dengan kasarnya. Bahkan sekali-sekali sering terdengar
ia menghentak dan berteriak.
Perkelahian itu berlangsung dengan
serunya. Seperti pertarungan dua ekor harimau yang paling garang di
hutan yang paling liar. Tidak ada lagi nilai-nilai yang mereka hormati.
Cara apapun dapat mereka lakukan untuk segera mengalahkan lawannya. Kebo
Ijo pun agaknya terpengaruh juga oleh lawannya. Meskipun pada dasarnya,
ilmu yang dimilikinya bukanlah ilmu yang kasar, namun sifat Kebo Ijo
sendiri, serta tata gerak lawannya, telah membuatnya kadang-kadang telah
menjadi kasar pula dan kadang-kadang menjadi licik.
Ternyata perkelahian itu merupakan perkelahian yang seimbang dalam bentuknya masing-masing. Desak mendesak, silih ungkih,
sehingga mereka telah melupakan apapun juga selain memenangkan
perkelahian itu. Mereka telah melupakan pula bahwa pada hari itu Akuwu
Tunggul Ametung akan hadir di Padang Karautan yang kini telah menjadi
hijau.
Sementara itu Ken Arok, Mahisa Agni, Ki
Buyut Panawijen dan hampir semua orang yang berada di Padang Karautan
telah bersiap-siap menyambut kedatangan Akuwu Tunggul Ametung. Mereka
duduk bertebaran di atas rerumputan yang sudah mulai hijau karena
titik-titik air hujan.
Hanya mereka yang bertugas sajalah yang
tidak berada di tempat itu. Para juru masak dan pekerja-pekerja yang
mempersiapkan pesanggrahan di samping taman buatan. Beberapa pengawal
yang bersiap dengan senjata masing-masing Selebihnya berkumpul menunggu
kehadiran Akuwu.
Ken Arok, Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen terkejut ketika seseorang dengan tergesa-gesa menghampirinya.
Sambil mengerutkan keningnya Ken Arok bertanya, “Kenapa kau tampak gelisah?”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian ia berkata perlahan-lahan, “Kuda Sempana dan Kebo Ijo sedang berkelahi.”
“He.” hampir bersamaan Ken Arok, Mahisa Agni dan Ki Buyut menyahut, “dimana?”
“Di gubug Kuda Sempana.”
“Kenapa mereka berkelahi?”
Orang itu menggelengkan kepalanya, “Aku
tidak tahu. Ketika aku mengambil air, aku melihat dari kejauhan. Mereka
berkelahi dengan pedang.”
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Mahisa Agni berkata, “Aku akan melihatnya.”
“Aku akan pergi juga.” sahut Ken Arok.
“Aku juga.” berkata Ki Buyut Panawijen.
“Jangan.” potong Mahisa Agni, “Ki Buyut
tetap berada di sini. Apabila Akuwu Tunggul Ametung tampak di kejauhan,
Ki Buyut kami harap memberitahukan kepada kami. Sementara kami
menyelesaikan persoalan Kuda Sempana dan Kebo Ijo.”
“Ya.“ Ken Arok menyambung. Kemudian
kepada orang yang memberitahukan kepadanya ia berkata, “Jangan kau
beritahukan kepada orang lain supaya tidak terjadi kegaduhan. Aku juga
tidak akan memberitahukan kepada siapa pun. Kami berdua sajalah yang
akan menyelesaikannya.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Dan
kepada Ki Buyut, Ken Arok pun berpesan, “Ki Buyut, tidak perlu ada orang
lain yang mengetahuinya. Kita tidak boleh merusak suasana menjelang
kedatangan Akuwu Tunggul Ametung.”
Ki Buyut diam sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk sambal menjawab, “Ya. Baiklah aku tinggal di sini.
Hati-hatilah dengan kedua anak-anak muda itu.”
Ken Arok dan Mahisa Agni pun segera pergi
ke tempat yang ditujukan oleh orang yang telah melihat Kuda Sempana dan
Kebo Ijo berkelahi. Untuk tidak memberikan kesan yang dapat menumbuhkan
pertanyaan-pertanyaan, maka Ken Arok dan Mahisa Agni berjalan lebih
dahulu. Baru kemudian orang yang memberitahukannya itu menyusul di
belakang. Meskipun demikian Ken Arok dan Mahisa Agni itu masih harus
menahan diri, dan berjalan perlahan-lahan supaya tidak menimbulkan kesan
apapun. Tetapi demikian mereka menyelinap diantara gubug-gubug di
perkemahan itu, maka segera mereka berjalan dengan tergesa-gesa supaya
mereka tidak terlambat.
Dalam pada itu, Kuda Sempana dan Kebo Ijo
masih berkelahi dengan sengitnya. Pedang Kebo Ijo menyambar-nyambar
seperti ujung kuku seekor burung garuda yang sedang marah. Tetapi Kuda
Sempana pun mampu pula berbuat demikian. Bahkan dengan kekasarannya,
senjatanya berputar dan melanda lawannya seperti angin ribut.
Ken Arok dan Mahisa Agni yang menjadi
semakin dekat, segera mendengar, sekali-sekali Kuda Sempana menghentak
sambil memekik. Mendengar suara itu, segera Mahisa Agni teringat kepada
Kebo Sindet, yang berkelahi dengan cara yang serupa. Berteriak-teriak,
bahkan memaki-maki.
“Pengaruh itu telah merasuk ke dalam dada
Kuda Sempana.“ berkata Mahisa Agni di dalam hati, “Empu Sada sudah
memiliki ciri-ciri yang cukup keras dan kasar. Kebo Sindet adalah
seorang yang paling buas dan bengis. Kini agaknya Kuda Sempana memiliki
kedua-duanya.
Kebo Ijo yang telah berjuang sekuat
tenaganya, ternyata masih belum mampu menguasai lawannya. Ia tak menduga
sama sekali bahwa Kuda Sempana pun telah berhasil meningkatkan ilmunya,
meskipun dengan unsur-unsur gerak yang agak liar. Sedang Kuda Sempana
sendiri sama sekali tidak menghiraukannya, apakah yang sudah dilakukan.
Ia merasa bahwa ia harus mati. Mati dalam perkelahian itu, atau mati di
tiang gantungan karena ia berani melawan salah seorang pimpinan prajurit
Tumapel di Padang Karautan. Tetapi seandainya ia mati, maka lebih baik
mati dengan pedang di tangan. Atau kalau ia harus mati di tiang
gantungan, atau hukuman picis sekalipun, ia harus membawa Kebo Ijo
serta, karena Kebo Ijolah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Namun tiba-tiba kedua orang yang sedang
bertempur itu terperanjat ketika mereka mendengar suara dekat di samping
mereka, “Berhenti, berhenti.”
Keduanya sempat berpaling sesaat. Mereka
melihat Ken Arok dan Mahisa Agni muncul dari balik gubug-gubug di
sekitar mereka. Namun Kebo Ijo yang sudah dibakar oleh kemarahannya
tiba-tiba menjawab lantang, “Jangan kau campuri urusanku.”
“Berhenti.“ terdengar suara Ken Arok semakin keras.
Tetapi Kebo Ijo sama sekali tidak
menghiraukannya. Kuda Sempana pun kemudian tidak melakukan perintah itu
pula. Bukan saja karena Kebo Ijo masih menyerangnya terus. Tetapi ia
merasa bahwa tidak ada gunanya ia berhenti. Ia harus membunuh atau
dibunuh. Kemudian apabila ia masih hidup, tiang gantungan sudah akan
dipersiapkan. Mungkin sebagai hidangan yang paling menyenangkan pada
saat Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Dedes nanti datang di Padang Karautan
ini. Karena itu, maka sudah bulatlah tekadnya. Perkelahian ini harus
menentukan. Mati dengan pedang di tangan, atau kemudian menjalani
hukuman, setelah membunuh Kebo Ijo yang telah membuat hatinya terluka
kembali dan bahkan menjadi putus asa.
Tetapi untuk membunuh Kebo Ijo, ternyata
bukan pekerjaan yang mudah dan bahkan yang mungkin dapat dilakukan oleh
Kuda Sempana. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian yang terjadi
itu benar telah memeras segenap tenaga dan kekuatan yang ada.
Ken Arok dan Mahisa Angi yang berdiri
tegak mematung didekat perkelahian yang terjadi itu, menjadi kian
berdebar-debar dan cemas, justru pada saat Akuwu Tunggul Ametung akan
mengunjungi Padang Karautan ini. Apakah Akuwu Tunggul Ametung akan
melihat perselisihan yang terjadi ini, atau Akuwu akan melihat salah
seorang daripadanya telah menjadi mayat? Apabila demikian maka peristiwa
ini pasti akan merusak segala macam kegembiraan yang sudah
ditunggu-tunggu oleh semua orang di Padang Karautan ini dan bahkan
kegembiraan para pengawal Akuwu termasuk Permasurinya. Akuwu pasti akan
selalu marah-marah dan berteriak-teriak membentak semua orang, dan
bahkan mungkin akan menjatuhkan hukuman-hukuman yang berat.
Dan semua tanggung jawab terletak di
pundaknya. Di pundak Ken Arok. Ia telah mendapat kekuasaan dari Akuwu
untuk memimpin prajurit-prajurit Tumapel yang ada di Padang Karautan ini
dan iapun mendapat kekuasaan untuk mengawasi tindakan seorang demi
seorang.
Selain Ken Arok, Mahisa Agni pun
mencemaskan perkembangan keadaan itu. Dialah yang membawa Kuda Sempana
masuk kedalam perkemahan ini, sehingga ia tidak akan dapat melepaskan
tanggung jawab atasnya, atas Kuda Sempana. Sehingga dalam persoalan ini
pun ia pasti dilibatkannya, apabila terjadi sesuatu yang tidak
dikehendaki atas salah seorang dari mereka berdua, yang sedang
mempertaruhkan nyawa masing-masing itu.
Sejenak Ken Arok dan Mahisa Agni tidak
dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menghentikan perkelahian
itu. Meskipun mereka berteriak-teriak untuk menghentikannya, namun
agaknya kedua orang itu sama sekali tidak akan menghiraukannya.
Dalam keccmasannya Mahisa Agni tiba-tiba berbisik, “Kita harus melerai mereka.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Ya, tetapi bagaimana caranya?”
“Kita masuk ke dalam lingkaran
perkelahian. Cobalah menahan Kebo Ijo, aku akan menahan Kuda Sempana.
Apabila perkelahian itu berhenti, barulah kita berbicara.”
Ken Arok tertegun sejenak. Namun kemudian
ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambii bergumam, “Marilah kita coba.
Aku akan menyerang Kebo Ijo untuk memancing perhatiannya, dan kau harus
menghentikan Kuda Sempana. Begitu?”
Mahisa Agni mengangguk. “Ya, cepatlah
kita lakukan sebelum perkelahian itu membawa akibat bagi salah seorang
dari mereka. Apalagi setiap saat kita akan mendengar berita, bahwa Akuwu
telah datang.”
“Marilah.” desis Ken Arok. Dipandanginya
arena perkelahian itu dengan tajamnya, kemudian hampir bersamaan mereka
melangkah mendekat. Namun sebelum mereka bertindak, sekali lagi Ken Arok
berteriak, “Hentikan perkelahian itu, sebelum kami berbuat sesuatu atas
kalian berdua.”
Ternyata suara itupun seolah-olah hilang
dihembus angin pagi. Baik Kuda Sempana maupun Kebo Ijo sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan mendengar Kebo Ijo menjawab, “Jangan campuri
urusan kami.”
Kini Ken Arok dan Mahisa Agni sudah
pasti, bahwa tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali melerai
perkelahian itu dengan tindakan, tidak sekedar dengan kata-kata.
Sejenak Mahisa Agni dan Ken Arok saling
memandang, kemudian hampir bersamaan keduanya mengangguk-anggukkan
kepala mereka sebagai suatu isyarat untuk segera bertindak. Maka sejenak
kemudian terdengar Ken Arok berkata, “Kalau kalian tidak mau berhenti,
maka kami terpaksa bertindak.”
Kebo Ijo tidak sempat menyahut. Sesaat
kemudian mereka yang sedang berkelahi itu melihat Ken Arok dan Mahisa
Agni maju bersama-sama.
Kuda Sempana tidak sempat berbuat apapun
juga. Ternyata ilmunya terpaut terlampau banyak, sehingga yang terjadi
kemudian sama sekali berada diluar kemampuannya untuk menghindari.
Sekejap saja pedang Kuda Sempana telah berpindah ketangan Mahisa Agni.
Kemudian terasa sebuah dorongan yang kuat sekali, sehingga Kuda Sempana
terlempar beberapa langkah surut, bahkan anak muda itu telah kehilangan
keseimbangan sehingga ia jatuh terbanting di tanah.
Dalam pada itu Ken Arok pun telah bertindak pula. Tangannya secepat tatit
memukul pergelangan Kebo Ijo yang sama sakali tidak menduganya,
sehingga terdengar ia memekik kecil dan pedangnya pun terlempar di tanah
beberapa langkah daripadanya.
“Anak setan.“ Kebo Ijo mengumpat keras, “kenapa kau mencampuri urusanku, he?”
Ken Arok berdiri tegak dengan wajah yang
gosong. Dipandanginya Kebo Ijo yang kesakitan memegangi pergelangan
tangan kirinya. Namun matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap.
Sedang sejenak kemudian ditatapnya Kuda Sempana yang segera melocat
bangkit dan berdiri tegak dengan garangnya. Tetapi keduanya sudah tidak
memegang senjata masing-masing.
“Kalian telah menjadi gila.“ terdengar
Ken Arok menggeram, “apakah dengan perbuatan kalian ini, kami, dan
orang-orang yang berada di Padang Karautan ini akan berbangga? Apakah
kalian menyangka bahwa dengan tindakan kalian ini, kalian akan digelari
pahlawan yang penuh kejantanan sedang mempertahankan kehormatan diri?”
Kebo Ijo yang sedang dibakar oleh
kemarahan itu menjawab lantang, “Coba katakan kepadaku Ken Arok, apakah
yang sebaiknya aku lakukan apabila aku sedang berhadapan dengan seorang
pemberontak? Apakah yang akan aku lakukan apabila seorang tawanan
seperti Kuda Sempana ini ingin mempergunakan kesempatan untuk melepaskan
dirinya? Apakah aku harus berpangku tangan, dan membiarkannya pergi
atau membiarkannya memenggal leherku sebagai orang kedua di Padang
Karautan ini?”
Kuda Sempana terkejut sekali mendengar
jawaban Kebo Ijo itu. la sama sekali tidak menyangka bahwa Kebo Ijo
begitu licik dan dengan tanpa malu-malu telah memutar balik kenyataan.
Dengan demikian maka Kuda Sempana dapat mengambil kesimpulan sekilas
tentang anak muda yang bernama Kebo Ijo itu. Kelicikannya ternyata jauh
melampaui apa yang diduganya. Ia banyak mendengar nasehat dan petunjuk
dari Ken Arok dan Mahisa Agni tentang Padang Karautan dan
orang-orangnya. Ia mendengar pula tentang Kebo Ijo yang tidak dapat
menahan mulutnya dan tanpa berperasaan sering menyakiti hati orang lain
dan bahkan dengan penuh kesombonga-kesombonga. Tetapi Kuda Sempana tidak
menyangka bahwa Kebo Ijo itu pun dengan sangat ringan, telah
mengucapkan sebuah fitnah terhadapnya. Seolah-olah sama sekali tidak
membebani perasaannya.
Ia melihat Ken Arok mengerutkan keningnya
dan sekilas berpaling kepada Mahisa Agni. Sebersit gugatan melonjak di
dalam hati Kuda Sempana. Seandainya Ken Arrok dan Mahisa Agni
mempercayainya, maka ia akan dihadapkan pada keadaan yang tangat tidak
menyenangkannya. Ia lebih baik mati di dalam perkelahian itu, atau
membunuh lawannya kemudian mati digantung, dari pada mati sebagai
seorang pengecut. Sebagai seorang tawanan yang sedang berusaha melarikan
diri.
Dalam keheningan yang sejenak itu
terdengar Kebo Ijo berkata seterusnya, “Kenapa kau diam saja Ken Arok?
Kenapa kau tidak segera mengambil sikap? Kalau kau tidak bisa,
katakanlah, apa yang harus aku lakukan.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin tegang.
Sebelum ia menjawab terdengar suara Kuda Sempana gemetar, “Aku tidak
menyangka bahwa kau begitu licik Kebo Ijo. Sudah aku katakan, aku sama
sekali bukan seorang tawanan. Dan aku sama sekali tidak akan
meninggalkan padang ini. Aku adalah anak Panawijen yang pada saat itu
telah dianggap hilang. Dan kini aku telah berusaha untuk kembali berada
di antara mereka, kawan bermain di masa kanak-kanak, meskipun aku harus
memulainya dengan penuh kcsulitan perasaan. Kenapa aku harus lari
meninggalkannya lagi tanpa alasan?”
“Huh.“ Kebo Ijo menarik bibirnya, “kau
sangka bahwa kami, terutama prajurit-prajurit Tumapel dapat menerima
kehadiranmu di sini sebagai seorang yang bebas? Tidak. Dalam tanggapan
kami, para prajurit Tumpel, kau adalah seorang dari anak buah Kebo
Sindet.“ Kemudian kepada Ken Arok Kebo Ijo berkata, “Ken Arok, kalau kau
tidak sanggup berbuat sesuatu, akulah yang akan menjatuhkan hukuman
atasnya. Sebagai seorang tawanan yang sedang dalam perkembangan untuk
mendapat pengampunan, tetapi mencoba malarikan diri dan melawan pimpinan
prajurit Tumapel di Padang Karautan, ia harus dihukum mati. Tetapi aku
bukan pengecut. Aku memberinya kesempatan untuk membela diri atas nama
seorang laki-laki. Aku beri kesempatan ia melawan aku seorang dengan
seorang.”
“Gila.“ tiba-tiba Ken Arok menggeram, “sebentar lagi Akuwu Tunggul Ametung dan Permaisurinya akan datang.”
“Hukuman mati itu akan menjadi suguhan
yang menyenangkan baginya dan bagi Ken Dedes. Aku kira Ken Dedes akan
berterima kasih kalau ia melihat aku dapat memenggal kepala orang yang
paling dibencinya.”
Terasa sebuah gejolak yang dahsyat
melanda dada Kuda Sempana. Yang dengan serta merta menyahut, “Aku
bersedia. Aku akan mempertanggung jawabkan semua perbuatanku. Aku tidak
akan ingkar, bahwa aku telah memulainya sejak aku ingin mengambil Ken
Dedes dengan kekerasan. Ayo, Kebo Ijo, cara apapun yang akan kau lakukan
untuk memaksaku berkelahi. Katakanlah semua kcsalahan yang telah aku
lakukan. Jangan kau sangka bahwa aku telah mengurungkan segala niatku.
Kalau aku tidak dihukum mati sekarang, oleh siapapun, sebab kau pasti
akan mati lebih dahulu, maka pada saatnya aku masih akan mengambil gadis
yang sekarang telah menjadi Permaisuri itu, apalagi setelah kau mulai
mengobarkan api yang telah padam di dalam dadaku.”
“Kuda Sempana.” Mahisa Agni memotong,
“jangan terseret oleh perasaanmu. Kau akan terjerumus lagi dalam duniamu
yang kelam itu. Atau kau benar-benar akan mati di Padang Karautan
justru setelah kau hampir berhasil menempatkan dirimu di antara mereka
yang berada dilingkunganmu sejak kanak-kanak.”
“Bukan aku yang memulainya Agni.”
“Karena itu kau harus bertahan dan berusaha menempatkan setiap persoalan sewajarnya.”
“Aku sudah didorong untuk keluar dari dunia baru yang aku inginkan.”
“Tidak.“ yang terdengar adalah suara Ken Arok, “kau akan mendapat kesempatan.”
“Persetan.“ Kebo Ijo berteriak, “aku
sudah menjatuhkan hukuman atasnya atas kesalahannya. Tetapi aku bukan
pengecut seperti sudah aku katakan. Dan aku tidak akan mencabut
keputusan itu meskipun ada setan iblis datang ke Padang Karautan ini.
Apalagi hanya seorang Akuwu.”
“Kebo Ijo.“ Ken Arok memotong, “kau benar-benar telah menjadi gila.”
“Terserah menurut penilaianmu. Tetapi aku berhak menjatuhkan hukuman itu karena perbuatannya.”
“Bohong.“ potong Kuda Sempana, “tetapi
aku tidak akan mencegah maksudmu. Bukankah kau hanya sekedar ingin
berkelahi, membunuh atau dibunuh? Kau tidak perlu mempergunakan
alasan-alasan yang kau reka-reka itu. Berkatalah berterus terang. Kau
ingin berkelahi dan menjerumuskan aku ke dalam hukuman mati. Cukup.
Marilah kita penuhi keinginanmu yang gila itu. Kau akan puas, meskipun
kau tidak akan dapat menikmati kepuasan itu.”
Kebo Ijo tidak dapat menahan hatinya.
Tiba-tiba, secepat kilat ia meloncat meraih pedangnya yang terletak
beberapa langkah dari padanya.
Tetapi Kebo Ijo itu sekali lagi
menyeringai menahan sakit. Meskipun tangannya telah menggenggam hulu
pedangnya, namun ternyata ia tidak mampu melampaui kecepatan gerak Ken
Arok. Tepat pada saat ia menggenggam hulu pedangnya, maka tangan itu
telah terinjak oleh kaki Ken Arok.
Serasa jantung Kebo Ijo berhenti
berdetak. Sambil menggeram ditatapnya mata Ken Arok. Sepasang mata Kebo
Ijo yang kini berjongkok itu seolah-olah memancarkan api yang sedang
membakar dadanya.
Tetapi Ken Arok pun menatap mata itu
tajam-tajam. Dan tatapan mata Ken Arok itu serasa ujung senjata yang
paling tajam yang langsung menusuk ke pusat jantungnya, sehingga sejenak
kemudian Kebo Ijo terpaksa melemparkan pandangan matanya ke samping.
Namun ia tidak ingin merasa dirinya kecil, sehingga tiba-tiba ditatapnya
wajah Kuda Sempana yang tegang sambil berteriak, “Aku sudah menjatuhkan
hukuman atasmu. Aku tidak akan mencabut lagi, apapun yang akan
terjadi.”
Ken Arok masih belum melepaskan tangan
Kebo Ijo. Dengan lantangnya ia berkata, “Tidak. Hukuman itu sama sekali
belum dapat dilihat dengan jelas.”
“Sudah aku katakan.“ teriak Kebo Ijo yang masih menyeringai menahan sakit pada pergelangen tangannya.
Perlahan-lahan Ken Arok mengangkat
kakinya. Demikian tangannya lepas maka dengan serta merta Kebo Ijo
berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan tangan kirinya ia menuding
wajah Ken Arok, “Kau tidak melihat apa yang telah terjadi, Aku
menyaksikannya sendiri dan aku telah menjatuhkan hukuman.”
“Wewenang di tanganmu akan dapat membakar
Padang Karautan ini Kebo Ijo. Apalagi kalau kau mempunyai kekuasaan
yang lebih besar lagi. Maka Tumapel akan menjadi reruntuhan dari
sisa-sisa api yang kau nyalakan.”
“Siapakah yang kau percayai, Ken Arok.
Aku atau Kuda Sempana. Aku adalah orang kedua di Padang Karautan. Dan
aku telah menjatuhkan hukuman berdasarkan wewenangku.”
“Aku berhak membatalkan setiap keputusan
yang diambil oleh bawahanku.“ Ken Arok pun menggeram pula. Kesabaran pun
hampir sampai kepuncaknya pula, “Kebo Ijo. Seandainya bukan kau yang
berkata kepadaku, bahwa Kuda Sempana akan lari, aku kira aku dapat
mempercayainya. Tetapi karena aku mendengarnya dari mulutmu, maka aku
terpaksa mempertimbangkannya lebih dahulu.”
Kebo Ijo berdiri dengan sorot mata yang
semakin menyala. Betapa kemarahan telah membakar dadanya, sehingga
terdengar giginya gemeretak. Tetapi justru karena itu, maka mulutnya
serasa menjadi terbungkam. Meskipun tampak bibirnya gemetar, tetapi
tidak sepatah katapun yang diucapkannya.
Sejenak mereka berdiri seperti sedang
kena pesona. Diam mematung. Sedang angin padang yang lembut berhembus
lambat mengusap kening mereka yang basah oleh keringat.
Ken Aroklah yang mula-mula memecah
kesepian, “Kebo Ijo, tinggalkanlah Kuda Sempana bersama aku dan Mahisa
Agni. Aku akan mengurus dan menyelesaikannya.”
“ Tidak. Aku tidak mau kau mendengar dari
Kuda Sempana sepihak. Aku harus ada di sini, mendengar ia berbohong dan
aku akan menjelaskan persoalan yang sebenarnya.”
Wajah Ken Arok yang tegang menjadi
semakin tegang. Dan terdengar jawabnya parau, “Aku sudah memperingatkan
kau sejak kau datang untuk pertama kalinya di Padang Karautan ini, Kebo
Ijo. Jagalah mulutmu, supaya orang lain dapat mempercayaimu. Sekarang
sudah terlambat. Dalam persoalan yang sesungguhnya, aku akan lebih
percaya kepada orang lain dari pada kepadamu. Nah, sekarang tinggalkan
tempat ini.”
“Tidak. Aku tetap di sini. Aku sudah mengucapkan keputusan dan aku tidak akan mencabutnya kembali.”
“Dengar Kebo Ijo. Aku adalah pimpinan
tertinggi. Aku berhak menjatuhkan keputusan yang nilainya lebih dari
keputusanmu. Keputusanku adalah, melihat keadaan sewajarnya dan
mempertimbangkan sebaik-baiknya untuk saat ini sebelum aku menjatuhkan
keputusan yang memastikan. Sekarang dengar perintahku. Tinggalkan tempat
ini. Taati perintah ini supaya kau tidak dianggap memberontak terhadap
kekuasaan di tanganku. Sebentar lagi Akuwu akan datang ke Padang
Karautan ini. Selama aku mengurus Kuda Sempana bersama Mahisa Agni, kau
harus berada bersama-sama dengan prajurit-prajurit Tumapel untuk
mempersiapkan penyambutan. Ingat, kau orang kedua dalam susunan pimpinan
di padang ini. Dan kau berhak memimpin penyambutan itu apabila aku
sedang berhalangan.”
Terasa dada Kebo Ijo bergelora. Tetapi
cara Ken Arok mengusirnya sedikit memberinya ketenangan. Dan didengarnya
Ken Arok berkata seterusnya, “Nah, lakukanlah. Tidak ada orang lain
yang berhak sclain kau kecuali aku sendiri. Pergilah, persiapkan para
prajurit. Aku kira kedatangan Akuwu sudah tidak akan terlampau lama
lagi. Saat ini Akuwu pasti berada di pinggir padang ini, dan bahkan
mungkin sudah mulai menyeberanginya.”
Wajah Kebo Ijo masih tegang. Tetapi
perintah itu tidak dapat dibantahnya. Betapa perasaannya melonjak-lonjak
tetapi ia masih sadar, bahwa ia tidak dapat membantah perintah Ken Arok
selain ia menyatakan jabatannya.
Karena itu maka ia berkata, “Seandainya
tidak ada Akuwu Tunggul Ametung yang akan datang, dan seandainya aku
tidak harus memimpin penyambutan itu, aku akan tetap di sini sampai anak
gila itu digantung sampai lehernya putus.”
Hampir saja Kuda Sempana menyahut. Tetapi
ia tertegun karena Mahisa Agni menggamitnya dan memberinya isyarat
dengan kedipan matanya supaya ia tidak berkata sepatah katapun.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.
Dalam sekali. Namun terasa bahwa dugaannya selama ini keliru. Ia tidak
melihat orang-orang yang dengan buas menangkapnya karena ia telah
melawan Kebo Ijo, bahkan sebaliknya, Ken Arok, pimpinan tertinggi di
Padang Karautan ini, tidak dapat mempercayai fitnah Kebo Ijo atasnya.
Sejenak kemudian, dengan langkah yang
penuh keseganan, Kebo Ijo meninggalkan tempat itu, setelah memungut
pedangnya. Sekali ia berpaling kepada Kuda Sempana dengan wajah mcmbara.
Dendam itu pasti akan berakar di hatinya. Dendam seorang Kebo Ijo yang
perangainya selalu meledak-ledak tanpa kendali.
Ken Arok, Mahisa dan Kuda Sempana sendiri
dapat melihat, betapa wajah itu menjadi kemerah-merah, seakan-akan
memancarkan api dari dalam dadanya. Dan wajah yang kemerah-merahan itu
membuat Kuda Sempana menjadi berdebar-debar. Sekilas dilihatnya
hari-hari mendatang yang akan menjadi kian sulit baginya setelah
perkelahian itu terjadi.
Sejenak kemudian, kctika Kebo Ijo telah
hilang dibalik gubug yang berjajar-jajar, terdengar Ken Arok bertanya,
“Kenapa kau berkelahi, Kuda Sempana?”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ia
merasa seolah-olah sedang diadili. Tetapi ia sama sekali tidak ingin
berbohong. Terserah kepada mereka yang akan menilainya. Dikatakannya
seluruhnya apa yang telah terjadi atasnya. Tidak ada yang dikurangi dan
tidak ada yang ditambahnya.
Ken Arok dan Mahisa Agni mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Tanpa disengaja, maka mereka pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka, seolah-olah mereka melihat peristiwa
itu sedang terjadi. Menilik tekanan kata-kata Kuda Sempana maka mereka
melihat suatu keyakinan bahwa yang dikatakannya itu benar.
Tetapi Ken Arok dan Mahisa Agni itu
kemudian mendengar Kuda Sempana berkata, “Ternyata aku sudah tidak dapat
lagi diterima di dalam pergaulan yang sewajarnya. Aku ternyata tidak
mampu lagi menyesuaikan diriku.“
“Tidak.“ dengan serta merta Mahisa Agni menyahut, “selama ini kau telah mendapat kemajuan yang banyak sekali.”
“Tetapi akhirnya aku telah melakukan
kesalahan. Betapa aku mencoba menghindarkan diri dari kemungkinan ini,
ternyata aku tidak mampu. Aku masih melibatkan diriku pada suatu
perbuatan yang pasti tidak kalian anggap benar.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya
melihat Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak, Kuda Sempana. Aku
dapat menerima keteranganmu. Aku mempercayaimu bahwa kau tidak dapat
berbuat lain kecuali membela dirimu. Kau dihadapkan pada suatu keadaan,
dimana kau tidak dapat memilih. Sehingga dengan demikian, maka kau tidak
dengan sengaja melakukan kesalahan ini.”
Kuda Sempana tidak menjawab.
Perlahan-lahan kepalanya ditundukkannya. Setelah sekian lama ia terpisah
dari pergaulan, dikungkung dalam dunia yang asing, di dalam sarang
seorang Kebo Sindet, maka ternyata ia telah beberapa kali membuat
kesalahan dalam menilai orang seorang. Kini ia melihat, bahwa sebenarnya
Ken Arok jauh berbeda dari Kebo Ijo. Demikian pula agaknya orang-orang
lain, mempunyai sifat dan wataknya sendiri.
Dalam pada itu Ken Arok berkata
selanjutnya, “Kuda Sempana. Sebelum terjadi sesuatu atasmu, bukankah aku
sudah memperingatkan kau tentang Kebo Ijo. Sehingga dengan demikian,
maka kau seharusnya dapat menilainya, bahwa sikapnya sama sekali bukan
sikap kami, baik orang-orang Panawijen maupun para prajurit Tumapel. Kau
dapat merasakannya, bagaimana sikap Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen,
bagaimana sikap prajurit-prajurit Tumapel yang lain selain Kebo Ijo.”
Kuda Sempana masih belum menjawab. Tetapi
terasa getaran di dadanya menjadi semakin cepat. Ia tidak mengerti
kenapa Mahisa Agni dan Ken Arok menaruh perhatian sedemikian besarnya
kepadanya sehingga di dalam persoalan inipun mereka mengambil
kesimpulan, bahwa Kebo Ijo lah yang bersalah, meskipun keterangannya dan
keterangan Kebo Ijo berbeda.
Tetapi Kuda Sempana tidak mendapat
kesempatan untuk berpikir terlampau lama karena sejenak kemudian Ken
Arok berkata, “Sudahlah. Jangan kau hiraukan apa yang telah terjadi,
meskipun kau harus berhati-hati untuk selanjutnya. Kau harus selalu
mencoba menghindari anak bengal itu, seperti yang dikatakan oleh kakak
seperguruannya sendiri. Sebentar lagi Akuwu Tunggul Ametung akan datang,
kita harus menyambutnya dengan baik.”
Terasa dentang di dada Kuda Sempana
menggoncangkan jantungnya. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Ia
ingin mengucapkannya, tetapi ia ragu-ragu.
“Lupakan semua persoalan yang telah
lampau.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “mungkin Kebo Ijo sengaja
mengungkit persoalan itu, tetapi jangan kau hiraukan. Semuanya sudah
berlalu. Bahkan kita berdua telah terjerumus ke dalam keadaan yang tidak
kita kehendaki tanpa dapat, menghindarkan diri.”
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam.
Ditenangkannya hatinya dan kemudian dicobanya untuk berkata, “Aku memang
sudah berusaha Agni. Tetapi peristiwa itu terlampau dalam membekas di
dalam hati. Mungkin aku dapat menekan perasaanku, karena pengalaman yang
selama ini telah menderaku tanpa ampun. Tetapi bagaimana dengan Ken
Dedes yang agaknya menyimpan dendam tiada taranya di dalam hatinya?
Mungkin ia menganggap semua kepahitan yang dialaminya justru disebabkan
karena kesalahanku.”
“Maksudmu Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung?“ bertanya Ken Arok.
“ O, ya. Maksudku Tuan Puteri Ken Dedes.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, “Tetapi semua itu seharusnya sudah dilupakan. Kita
tidak dapat berpegangan pada sebab dari peristiwa yang berkembang itu
terus menerus. Apabila demikian, ia justru akan berterima kasih
kepadamu, karena kau telah mendorongnya masuk ke dalam Istana Tumapel.”
“ Tetapi bukan itu maksudku. Aku tidak
sengaja berbuat demikian. Yang ada di dalam benakku waktu itu adalah
maksud yang tidak baik atasnya dan kemudian atas Mahisa Agni.”
“Semuanya aku harap sudah dilupakannya.“ desis Mahisa Agni.
“Mudah-mudahan.“ sahut Kuda Sempana,
“tetapi sebenarnya, sebelum aku bertemu dengan Kebo Ijo di sini, aku
ingin minta ijin kepada kalian berdua. Aku ingin menyingkir sehari dua
hari, selama Akuwu berada di Padang Karautan.”
“Akuwu berada di padang ini kira-kira sepuluh hari.”
“Ya. Dihari-hari itu aku ingin berada di
pedukuhan Panawijen lama. Aku ingin menghindarkan diri dari setiap
kemungkinan yang tidak dapat aku perhitungkan. Baik dari pihak
Permaisuri maupun dari pihakku sendiri.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kecemasan
itu memang beralasan. Seseorang yang pernah mengalami goncangan
perasaan seperti Kuda Sempana terhadap seorang gadis, kemudian disusul
dengan keadaan yang berkembang memburuk, maka kesan itu tidak akan dapat
dengan mudah dilupakan oleh kedua belah pihak. Tetapi sejenak ia
berdiam diri. Dicobanya untuk merenungkannya, apakah yang sebaiknya
dilakukan.
Dalam pada itu terdengar Mahisa Agni
bertanya, “Kuda Sempana, apakah kau masih meragukan dirimu sendiri?
Apabila demikian, maka kau masih belum ikhlas menerima keadaanmu kini.
Kalau kau dengan sepenuh hati melupakan apa yang pernah terjadi, dan apa
yang pernah menyentuh perasaan dan hatimu, maka aku kira tidak akan
timbul persoalan apapun lagi.”
“Aku sudah mencoba, Agni. Tetapi aku
adalah seorang yang lemah hati. Perasaanku mudah terombang ambing oleh
keadaan. Sedang di sini aku masih mungkin dilemparkan ke dalam suatu
keadaan diluar kekendakku. Yang lebih pahit lagi apabila aku dihadapkan
pada persoalan yang tidak memberi kesempatan aku memilih di antara
beberapa cara penyelesaian, seperti yang baru saja terjadi, sehingga aku
tidak akan dapat berbuat lain dari pada itu.”
Mahisa Agni pun sejenak terdiam. Iapun
dapat mengerti setelah ia dihadapkan pada suatu contoh yang baru saja
terjadi. Apabila hal itu terjadi setelah Akuwu Tunggul Ametung berada di
padang ini maka persoalannya pasti akan berkembang terus. Semua rencana
akan rusak dan bahkan mungkin ia akan terlibat dalam kemarahan, Akuwu
Tunggul Ametung tanpa sebab.
Sejenak mereka bertiga saling berdiam
diri, merenung keadaan yang sebaik-baiknya mereka pilih, supaya mereka
tidak terlibat ke dalam suatu keadaan yang lebih sulit.
Sebelum mereka menemukan suatu keputusan,
tiba-tiba seseorang datang kepada mereka dengan tergesa-gesa,
meloncat-loncat seperti sedang berjalan di atas bara.
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Dipandanginya sejenak wajah Mahisa Agni yang menegang. Mereka telah
menduga bahwa orang itu akan mengabarkan kepada mereka, bahwa Akuwu
Tunggul Ametung telah datang.
Sebelum orang itu berkata sesuatu. Ken Arok telah mendahuluinya, “Apakah Akuwu sudah datang?”
Tetapi orang itu menggelengkan kepalanya. “Belum.”
Ken Arok menarik nafas. Namun ia terpaksa bertanya dengan herannya, “Kenapa kau berlari-lari?”
“Empat orang prajurit yang mendahului perjalanan Akuwu lah yang sudah datang.”
“O“ sekali lagi Ken Arok mengerutkan keningnya, “baru perambas jalannya yang datang?”
“ Ya.”
“Baik. Aku segera datang. Bukankah Kebo Ijo ada di sana?”
“Ya. Sekarang keempat orang itu sedang diterimanya.”
“Baiklah. Kembalilah dan katakanlah, sebentar lagi aku datang.”
Orang itupun segera pergi meninggalkan
Ken Arok yang masih termangu-mangu. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku
harus menemui keempat prajurit itu. Lalu bagaimana dengan kau Kuda
Sempana?”
“Seperti yang sudah aku katakan. Kalau kalian mengijinkan, lebih baik aku menyingkir untuk beberapa hari.”
Tanpa sesadarnya Ken Arok berpaling memandangi wajah Mahisa Agni yang ragu-ragu pula.
“Bagaimanakah sebaiknya Agni?“ bertanya Ken Arok kemudian.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab.
Seperti Ken Arok, iapun menjadi ragu-ragu. Mereka berdua harus
mempertanggung jawabkan kehadiran Kuda Sempana di tempat itu. Dan Mahisa
Agni lah yang merasa telah membawanya.
Keduanya mengerti alasan Kuda Sempana
untuk meninggalkan Padang Karautan. Tetapi bagaimanakah jawab mereka,
apabila justru Akuwu bertanya tentang anak muda itu?
Dalam keragu-raguan itu Kuda Sempana berkata, “Apakah kalian mencemaskan aku, bahwa aku akan lari dari Panawijen.”
Pertanyaan itu telah mendebarkan dada
Mahisa Agni dan Ken Arok. Hampir berbareng mereka menjawab, “Tidak.“ Dan
Mahisa Agnipun melanjutkannya, “Aku sama sekali tidak dapat mengerti
seandainya ada pikiran untuk melarikan diri. Apakah yang akan
didapatkannya dipelarian itu. Kegelisahan, kecemasan, ketakutan dan
segala macam perasaan yang pahit. Itulah sebabnya aku yakin bahwa kau
tidak akan melarikan diri.”
“Lalu pikiran apakah yang memberatimu? Mungkin Akuwu atau Ken Dedes mencari aku untuk menghinakan aku.”
“Kemungkinan itupun terlampau kccil.”
“Tuan Puteri maksudmu?“ bertanya Ken Arok.
“O, ya. Maksudku Permaisuri.”
“ Tidak.” Ken Arokpun menggeleng, “aku
kira mereka tidak akan berbuat demikian. Apalagi setelah Mahisa Agni
berada lagi di antara kita.”
“Lalu apa?”
Mahisa Agni menarik nafas. Kemudian
katanya, “Kuda Sempana. Orang-orang yang kini masih tinggal di
Panawijen, menunggu kemungkinan untuk berpindah tempat bersama-sama,
masih belum tahu perkembangan yang terjadi atas dirimu. Jasmaniah
apalagi rokhaniah. Karena itu kedatanganmu akan membuat geseran-geseran
yang sebenarnya tidak kita kehendaki atas orang-orang itu.
Perempuan-perempuan, kanak-anak dan orang-orang tua.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Lalu
dihembuskannya nafas panjang-panjang. Perlahan-lahan ia menganggukkan
kepalanya sambil berdesah, “Kau benar Agni. Tetapi lalu apakah
sebaliknya yang aku lakukan? Apakah aku akan bersembunyi saja di
tengah-tengah Padang Karautan, di antara gerumbul-gerumbul perdu.”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya
“Tidak mungkin. Kalau seseorang dengan tidak sengaja menjumpai kau
berada di sana, maka angan-angannya segera akan terbang ke dalam suatu
keadaan yang dapat merugikan namamu yang selama ini sedang kau usahakan
menjadi bersih kembali.”
Sejenak Kuda Sempana terdiam. Pendapat
Mahisa Agni itu dapat dimengertinya. Bahkan mungkin seseorang akan
menyangkanya, scpeninggal Kebo Sindet, maka ia telah mewarisi
pekerjaannya meskipun tidak sedahsyat iblis dari Kemundungan itu.
Namun untuk tetap tinggal di perkemahan
ini, dan kemudian bertemu dengan Ken Dedes dan Akuwu Tungul Ametung,
hatinya masih terasa terlampau pedih.
Sementara itu Ken Arok telah menjadi
gelisah. Ia harus segera menemui empat orang prajurit yang mendalului
perjalanan Akuwu, karena orang-orang itu mungkin membawa pesan-pesan
yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahisa Agni
berkata kepada Ken Arok. “Aku kira kita tidak akan berkeberatan
seandainya Kuda Sempana pergi ke Panawijen. Kita akan mencari alasan
apapun seandainya akuwu bertanya tentang dirinya. Tetapi biarlah
seseorang mengawaninya.”
Ken Arok tidak segera menyawab.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni dan Kuda Sempana berganti-ganti. Namun
dalam pada itu terdengar Kuda Sempana menyahut, “Apakah kau cemaskan
bahwa aku benar-benar akan melarikan diri?”
Mahisa Agni menggeleng, “Sudah aku
katakan. Hanya orang yang gila yang akan melarikan diri dari keadaan
yang kau hayati sekarang. Aku mempunyai pikiran untuk menyuruh satu atau
dua orang mengawanimu, supaya kau tidak terasing di padukuan itu.
Supaya ada orang yang menjelaskan tentang keadaanmu sekarang.”
Kuda Sempana menundukkan kepalanya, “Maafkan aku. Kalau begitu aku akan sangat berterima kasih.”
“Hal itu memang lebih baik bagimu
daripada kau berkeliaran selama sepuluh hari di Padang Karautan tanpa
arah dan tujuan. Banyak sekali godaan yang akan berusaha menyeretmu ke
dalam keadaan yang tidak kau inginkan sendiri.”
“Aku mengerti.”
“Nah, bagaimana pertimbanganmu Ken Arok?”
“ Aku sependapat. Biarlah satu dua orang
mengawaninya. Tetapi siapakah orang yang akan mengawaninya? Setiap orang
berkeinginan untuk menyambut Akuwu Tunggul Ametung dan ingin ikut
bergembira bersamanya setelah mereka bekerja keras sekian lama.”
“Aku dapat menunjuk orangnya atas
persetujuan Ki Buyut Panawijen. Orang itu hanya mengantar Kuda Sempana.
Kemudian pada hari yang kedua atau ketiga, setelah Kuda Sempana
dimengerti keadaannnya oleh orang-orang Panawijen, maka pengantar itu
akan segera kembali kepadang ini, untuk bersama-sama bergembira. Ia
masih mcmpunyai waktu cukup untuk itu.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Terserahlah kepadamu Agni. Aku menyetujui semua yang kau
anggap baik. Sekarang aku minta diri untuk menemui empat orang prajurit
yang menjadi perambas jalan Akuwu Tunggul Ametung.”
Ken Arok pun segera meninggalkan Mahisa
Agni dan Kuda Sempana. Ia harus segera menemui keempat orang prajurit
itu. Mungkin ada sesuatu yang harus segera dikerjakan.
Sepeninggal Ken Arok, maka Kuda Sempana
pun segera mempersiapkan dirinya pula. Segera ia menerima pedangnya
kembali. Tetapi selama perjalanannya ke Panawijen, Mahisa Agni telah
menasehatkan untuk tidak mengenakan pedang di lambungnya. Sebaiknya
pedang itu digantungkannya saja pada kudanya, supaya tidak menimbulkan
kesan yang mengejutkan pada saat ia memasuki Panawijen. Pedang di
lambung akan segera dapat dilihat, sebagai suatu kesiagaan untuk
berkelahi. Tetapi pedang yang tergantung di kudanya, tidak segera akan
dilihat orang. Mungkin kesannya akan jauh berbeda. Kuda Sempana dengan
pedang di lambung dan Kuda Sempana yang tidak bersenjata, meskipun
senjata itu sebenarnya dapat dipergunakan apabila perlu.
Sementara Kuda Sempana mempersiapkan
dirinya, maka Mahisa Agni telah mendapatkan dua orang atas persetujuan
Ki Buyut Panawijen untuk menemani Kuda Sempana pergi.
Dengan demikian, kedatangan Kuda Sempana
kepadukuhan Panawijen tidak akan terlampau mengejutkan orang-orang yang
masih tinggal di sana.
“Hati-hatilah Kuda Sempana.” pesan Mahisa
Agni, “kau harus menuju ke arah yang berlawanan dari arah Akuwu Tunggul
Ametung yang akan segera datang. Perambas jalannya telah datang, dan
pasti sebentar lagi Akuwu akan menyusul.”
“Ya Agni. Aku akan pergi ke Barat,
kemudian berbelok menyusur sungai. Aku kira Akuwu tidak akan menempuh
jalan itu Aku kira Akuwu akan datang dari Timur.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemungkinan yang terbesar adalah demikian. Karena itu maka
jawabnya, “Baiklah. Tetapi kau harus selalu mencoba memandang
kekejauhan. Kau harus segera menghindar apabila kau kemudian ternyata
melihat iring-iringan apapun. Dari kejauhan kau pasti akan sukar
membedakan, apakah iring-iringan itu iring-iringan Akuwu Tunggul
Ametung.”
“Aku kira aku dapat membedakannya Agni.
Akuwu akan datang dengan kebesaran. Panji-panji, tunggul dan
rontek-rontek yang dibawanya pasti akan segera dapat aku kenal.”
“Mudah-mudahan upacara kebesaran itu dibawanya lengkap. Nah, sekarang mumpung masih sempat berangkatlah.”
Kuda Sempana dan dua orang yang
mengawaninya segera meloncat naik ke atas punggung kuda masing-masing.
Tetapi wajah Kuda Sempana segera menjadi tegang ketika tiba-tiba saja
Kebo Ijo telah muncul pula dari antara gubug-gubug di perkemahan itu.
“Kemana kau akan lari Kuda Sempana?
Agaknya kau telah bersepakat dengan Mahisa Agni, menghindarkan diri dari
hukumanku. Apakah orang semacam kau masih pantas diampuni?“ Kemudian
kepada Mahisa Agni ia berkata, “Akan kau sembunyikan dimana anak itu
Agni?”
Wajah Kuda Sempana menjadi tegang. Hampir
saja ia meloncat turun dari kudanya. Tetapi dengan herannya ia melihat
Mahisa Agni yang seolah-olah acuh tidak acuh saja atas kehadiran Kebo
Ijo itu. Bahkan ia berkata, “Hati-hatilah Kuda Sempana. Sampaikan
salamku kepada mereka.”
Sejenak Kuda Sempana tidak dapat berkata
sepatah katapun. Perhatiannya terbelah antara pesan Mahisa Agni dan
sikap Kebo Ijo. Karena itu, maka dipandanginya kedua orang itu
berganti-ganti.
“He, Mahisa Agni.“ terdengar Kebo Ijo
berteriak, “apakah kau tuli, he? Akan kau sembunyikan dimana anak itu?
Jangan ikut campur dalam persoalan ini. Meskipun kau yang membawanya
kemari, tetapi kau tidak akan aku ikut sertakan menanggung kesalahannya
apabila kau tidak campur tangan. Sekarang pergilah. Biarlah aku urus
sendiri anak yang sombong dan keras kepala ini. Ken Arok kini sedang
berbicara dengan prajurit-prajurit perambas jalan. Setelah aku
mendesaknya, ia akhirnya menyerahkan persoalan Kuda Sempana kepadaku
disaksikan oleh prajurit-prajurit perambas jalan. Mereka adalah
prajurit-prajurit Pengawal istana, bawahan kakang Witantra.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia sama sekali tidak berpaling. Bahkan katanya, “Kuda Sempana.
Mumpung masih sempat, pergilah. Ingat jangan kau turuti saja perasaanmu.
Kau harus berusaha mengendalikan dirimu. Sudah banyak kau korbankan
perasaanmu untuk menemukan dunia baru. Karena itu, maka jagalah dirimu.
Kau memang masih harus banyak berkorban perasaan. Tetapi kau akan
berkasil.”
“Agni.“ Kebo Ijo berteriak, “apakah kau memang telah bersepakat untuk menentang kekuasaan prajurit Tumapel di Padang Karautan.”
Mahisa Agni masih belum berpaling. Ketika
ia melihat Kuda Sempana menggeretakkan giginya, maka ia berkata, “Salah
satu dari ujianmu. Sekarang berangkatlah. Cepat. Jangan kau hiraukan
Kebo Ijo itu. Ia tidak akan dapat berlari secepat kudamu. Jangan
berkecil hati. Kau tidak lari dari padanya. Tetapi kau menghindarkan
dirimu dari kesulitan yang tidak perlu.”
Kuda Sempana ragu-ragu sejenak. Dan ia
masih mendengar Kebo Ijo berkata lantang, “Apa yang kau katakan itu
Agni? Ingat. Apabila Kuda Sempana lari dari Padang Karautan, maka kaulah
yang bertanggung jawab. Kaulah yang akan menerima hukuman yang
seharusnya dibebankan kepada Kuda Sempana.”
Betapapun Mahisa Agni mencoba menahan
dirinya, namun terasa dadanya berdesir pula. Meskipun demikian, ia masih
sempat berkata kepada Kuda Sempana, “Cepat. Kau telah mengenal aku.
Jangan kau cemaskan aku. Ken Arok telah membenarkan sikapku.”
“Tidak. Ken Arok telah menarik keputusannya.”
“Jangan hiraukan. Cepat pergi.”
“Jangan coba melarikan diri.“ teriak Kebo
Ijo. Ternyata Kebo Ijo tidak hanya sckedar berteriak-teriak. Ternyata
secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan meloncat maju kearah Kuda
Sempana. Tetapi tepat pada saatnya Mahisa Agni telah memukul perut kuda
itu sehingga kuda yang ditunggangi oleh Kuda Sempana itu meloncat dan
berlari.
“Setan.“ Kebo Ijo mengumpat. Ia masih
mencoba mengejar kuda yang berlari semakin kencang itu, tetapi justru
semakin lama menjadi semakin jauh.
Sementara itu Mahisa Agni memberi tanda
kepada dua orang yang akan mengawani Kuda Sempana ke Panawijen untuk
segera berangkat menyusulnya.
“Hati-hati.” pesan Mahisa Agni,
“hindarilah anak yang telah menjadi gila itu. Jangan hiraukan, tetapi
jangan sampai tersentuh tangannya anak itu luar biasa.”
Keduanya mengangguk. Mereka segera
menggerakkan kekang kudanya dan menyentuh dengan tangannya, sehingga
kuda-kuda itupun segera meloncat berlari. Tetapi mereka harus
berhati-hati. Mereka melingkar beberapa jauh, supaya Kebo Ijo tidak
dapat menahan mereka.
Terdengar Kebo Ijo mengumpat-umpat.
Ketika ternyata bahwa langkah kakinya tidak dapat menyusul derap
kaki-kaki kuda itu, maka iapun segera berhenti dengan nafas
terengah-engah. Bahkan kemudian diacung-acungkannya pedangnya. Tetapi
Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin jauh, disusul oleh kedua orang
yang akan mengawaninya ke Panawijen.
Sambil menggeretakkan giginya Kebo Ijo
berpaling. Darahnya serasa melonjak sampai kekepala ketika ia melihat
Mahisa Agni masih berdiri ditempatnya.
“Anak gila itulah yang telah menyebabkan
aku kehilangan Kuda Sempana.“ Kebo Ijo menggeram. Matanya menjadi merah
karena kemarahan dan kekecewaan yang bercampur baur. “Anak itulah yang
harus menerima akibatnya.”
Tiba-tiba otak Kebo Ijo menjadi gelap
pepat, disaput oleh kemarahan dan kekecewaan. Perlahan-lahan ia berjalan
kembali mendekati Mahisa Agni. Pedangnya masih berada di dalam
genggamannya setelah diacung-acungkan kepada Kuda Sempana.
Mahisa Agni melihat sikap Kebo Ijo itu
dengan hati yang berdebar-debar. Apakah ia harus kehilangan akal dan
melayani anak yang bengal itu. Namun tumbuh juga di dalam hatinya,
keinginan untuk sedikit memberi peringatan kepadanya. Supaya ia dapat
mencoba mengekang dirinya.
Tetapi Mahisa Agni ragu-ragu.
Bagaimanapun juga Kebo Ijo adalah seorang pimpinan prajurit Tumapel di
Padang Karautan. meskipun ia tidak tahu, kenapa anak itulah yang dikirim
oleh Akuwu untuk membantu Ken Arok. Kenapa tidak orang lain. Kehadiran
Kebo Ijo pasti hanya akan menambah beban saja bagi Ken Arok, meskipun
Kebo Ijo sebenarnya juga seorang pekerja yang rajin. Namun sikapnyalah
yang terlampau mengecewakan.
Kebo Ijo yang memegang pedang di
tangannya itu semakin lama menjadi semakin dekat. Debar jantung Mahisa
Agni pun semakin lama menjadi semakin cepat pula. Ia masih saja
dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah yang sebaik-baiknya dilakukan.
“Aku tidak dapat mengharapkan Ken Arok
saat ini.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “ia sedang menerima
keempat prajurit itu. Seandainya ia ada di sini, maka aku tidak akan
perlu berbuat apa-apa. Semuanya aku serahkan saja kepadanya. Tetapi
sekarang aku sendiri di sini.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Sedang Kebo Ijo itupun melangkah semakin lama menjadi semakin dekat,
dengan wajah yang tegang dan mata yang menyala.
Debar jantung Mahisa Agni terasa menjadi
semakin cepat bergetar. Setiap langkah Kebo Ijo terasa seperti tusukan
yang tajam menghujam ke dalam tubuhnya. Betapa keragu-raguan telah
mencangkam dadanya.
“Bagaimanapun juga, adalah lebih baik
dari pada Kebo Ijo harus berkelahi lagi melawan Kuda Sempana.” desis
Mahisa Agni di dalam hatinya. Ketika ia memandang kekejauhan dilihatnya
Kuda Sempana sudah hampir hilang di balik cakrawala. Yang tampak adalah
bintik-bintik yang kecil bergerak-gerak diantara semak-semak yang liar.
“Mahisa Agni.” sejenak kemudian terdengar
Kebo Ijo membentak, “apakah kau tidak tahu, bahwa aku adalah orang
kedua di Padang Karautan ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ditatapnya mata Kebo Ijo yang seolah-olah sedang membara.
“He, apakah kau tuli atau bisu?“ teriak Kebo Ijo.
“Jangan membentak-bentak seperti terhadap
anak kecil Kebo Ijo.“ sahut Mahisa Agni sareh, “marilah kita berbicara
sebagai orang-orang yang telah dewasa. Janganlah selalu memanjakan
perasaanmu yang meledak-ledak itu.”
“Tutup mulutmu. Aku mempunyai kekuasaan di sini.”
“Aku tahu, tetapi aku tahu juga batas-batas kekuasaanmu.”
“Apa? Kau sangka kekuasaanku terbatas.
Aku adalah prajurit Tumapel. Justru aku adalah salah seorang pimpinmu di
sini. Kalau Ken Arok tidak ada, maka akulah yang memutuskan semua
persoalan.”
“Tetapi sekarang Ken Arok ada. Karena itu, jangan memutuskan persoalan apapun. Serahkanlah kepada Ken Arok.”
“ Tidak. Akupun berwenang. Aku mempunyai
kekuasaan yang jauh lebih besar dari kau. Kau hanyalah seorang pedukuhan
Panawijen. Sedang aku adalah pinipinan prajurit.”
“Apakah bedanya? Seorang pedukuhan dan
seorang prajurit? Kita adalah orang-orang Tumapel. Kita adalah isi dari
tanah ini dalam sudut yang berbeda-beda. Tetapi kitalah, kita semualah
yang wajib memenuhi wadah ini. Salah satu ujudnya adalah bendungan itu.
Kita bersama-sama telah membangun sebuah bendungan yang akan memberi
manfaat kapada kita semuanya. Apalagi? Kenapa kau masih menyebut
perbedaan di antara kita.”
“Tutup mulutmu.“ Kebo Ijo membentak,
“sekali lagi kau harus mendengar, aku adalah seorang prajurit. Aku dapat
berbuat apa saja atasmu, atas orang-orang biasa seperti kau.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, “Apakah Ken Arok itu bukan seorang prajurit?”
Kebo Ijo terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa dengan Ken Arok?”
“Kebo Ijo.“ berkata Mahisa Agni yang
masih mencoba menahan dirinya, “seharusnya kau bcrcermin kepadanya. Ken
Arok adalah orang yang paling berkuasa di dalam kesatuan
prajurit-prajurit Tumapel yang berada di Padang Karautan ini. Tetapi
sikapnya jauh berbeda dengan sikapmu. Tetapi aku, aku yang sudah
mengenalmu cukup lama, dapat mengerti, bahwa demikianlah tabiat Kebo
ijo. Sejak kau belum menyebut dirimu seorang prajurit, kau adalah
seorang yang dikuasai oleh perasaanmu yang meledak-ledak itu. Tetapi
justru sekarang kau harus merubah sikapmu. Kau sudah semakin dewasa.
Hatimu seharusnya sudah menjadi semakin mengendap. Kau harus dapat
membedakan, mana yang baik untukmu sendiri dan mana yang buruk. Kau
harus dapat juga membedakan, mana yang baik untuk lingkunganmu sebagai
seorang prajurit dan mana yang tidak.”
“Persetan dengan sesorahmu.“ Kebo Ijo menggeram, “aku telah kehilangan Kuda Sempana. Aku barus mendapatkan gantinya.”
“Kenapa tidak kau kejar saja anak itu.”
“Kau yang gila.”
“Sudahlah. Jangan terlampau mendendam.
Lihat, bendungan itu telah selesai dibuat oleh orang-orang Panawijen dan
prajurit-prajurit Tumapel. Akuwu telah memberikan banyak sekali
bantuan, selain peralatan dan tenaga. Akuwu telah mengirimkan
bahan-bahan makanan, bukan saja untuk para prajurit tetapi juga untuk
orang-orang Panawijen. Kesan itu terlampau dalam menghunjam di dalam
hati kami. Kami berterima kasih sekali atas semua bantuan itu. Karena
itu. Kebo Ijo kau jangan membuat semuanya itu rusak. Kau jangan meruhah
kesan yang mendalam di dalan hati kami. Kau seorang akan dapat
merusakkan segala macam rasa terima kasih kami, atau setidak-tidaknya
mengurangi. Karena itu cobalah mengekang diri.”
“Cukup, cukup. Kau tidak berhak memberikan nasehat itu kepadaku.”
“Bukan aku sendiri yang berpendirian
demikian. Kakakmu, seorang prajurit yang bukan saja menjadi pimpinan di
Padang Karautan, bahkan seorang perwira pimpinan Pasukan Pengawal Istana
seisinya pun berpendirian demikian, supaya kau mencoba mengekang
dirimu.”
”Persetan dengan kakang Witantra. Persoalan ini adalah persoalanku dan Kuda Sempana.”
“Sekedar persoalan pribadi?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Tetapi nyala
matanya menjadi semakin berkobar, “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli.
Tetapi karena kau telah memungkinkan Kuda Sempana pergi, maka kaulah
yang akan menerima hukumanku.”
Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Ia masih belum tahu, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sebentar lagi Akuwu akan datang. Apakah yang akan dikatakan nanti
apabila ia mengetahui perselisihan ini.
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni melayangkan
pandangan matanya berkeliling. Ia tidak melihat seorangpun. Agaknya
setelah keempat prajurit yang mendahului Akuwu itu datang mereka telah
berkumpul di ujung perkemahan ini, untuk melihat Akuwu yang pasti segera
akan datang dengan kebesarannya.
“Jangan mencari jalan untuk lari.” bentak
Kebo Ijo, “nasibmu agaknya memang terlampau jelek. Kau terlepas dari
tangan Kebo Sindet, tetapi kau akan mati di tanganku. Tak akan ada lagi
orang yang akan menolongmu. Gurumu pun tidak.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Kini ia sendiri menghadapi keadaan yang sama sekali
tidak diduganya. Ia berada dalam keadaan tanpa pilihan.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih
mencoba. “Kebo Ijo. Cobalah, katakan kepadaku. Apakah sebabnya maka kau
dan Kuda Sempana bertengkar, bahkan kau telah menyebut-nyebut hukuman
mati? Hukuman mati hanya akan diberikan kepada mereka yang sudah
melakukan kesalahan yang luar biasa, dan tidak ada harapan lagi untuk
diperbaiki. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung sudah memaafkan Kuda Sempana.
Ki Buyut Panawijen yang seharusnya mendendamnya seperti aku sendiri
mendendam, sudah memaafkannya pula. Kenapa tiba-tiba saja kau yang tidak
terlibat di dalam persoalan-persoalan sebelumnya, menjatuhkan hukuman
mati atasnya? Ketika ia lari, maka akulah yang kau sebut-sebut harus
menerima hukuman itu. Aku lah yang kini akan kau bunuh. Cobalah
renungkan. Pantaskah aku mendapat hukuman mati, seandainya aku
menggantikan kedudukan Kuda Sempana? Apakah perbuatan Kuda Sempana sudah
benar-benar melampaui batas?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya.
Pertanyaan itu telah berhasil menyentuh hatinya. Dan bahkan ia bertanya
pula kepada diri sendiri di dalam dadanya, “Ya, apakah kesalahan Kuda
Sempana?”
Sejenak Kebo Ijo terdiam. Mereka terlibat
dalam persoalan itu, hanya karena Kebo Ijo tordorong mengatakan
persoalan-persoalan yang telah menyinggung perasaan Kuda Sempana.
Tetapi tiba-tiba Kebo Ijo menggeretakkan
giginya. Ia tidak ingin dipengaruhi pertanyaan itu. Ia sudah terlanjur
dibakar oleh nafsunya untuk berkelahi. Karena itu maka jawabnya, “Aku
tidak peduli. Aku sudah menjatuhkan keputusan.”
“Keputusan itu dapat dirubah. Lebih baik
kau sendirilah yang merubah, dari pada dirubah oleh orang lain. Oleh Ken
Arok misalnya.”
“Tidak. Aku akan melakukannya sebelum Ken
Arok datang. Ia sedang menemui prajurit-prajurit itu, sambil menunggu
kedatangan Akuwu.”
“Seandainya kau bunuh aku Kebo Ijo. Apakah yang akan kau katakan kepada Akuwu? Aku adalah kakak Permaisuri Akuwu itu.”
Sekali lagi Kebo Ijo mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Huh, apakah kau hanya berani
bernaung di bawah lindungan adikmu itu? Apakah kau bukan seorang
laki-laki yang berani bertindak atas namamu sendiri.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Kita berhadapan sebagai laki-laki.”
“O, akhirnya itulah maksudmu sebenarnya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “persoalannya akan berbeda
dari seseorang yang akan menjatuhkan hukuman atas suatu kesalahan. Kalau
kau akan menghukum seseorang, maka orang itu tidak akan dapat berbuat
jantan seperti yang kau maksud. Kalau kesalahan itu meyakinkan,
kejantanan seseorang adalah menerima hukuman itu dengan dada tengadah.”
“Persetan. Sudah aku katakan. Hukuman itu
memberi kesempatan kepada Kuda Sempana dan kemudian kepadamu untuk
melakukan perang tanding melawan aku. Mengerti.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia mengedarkan pandangan matanya. Di dalam hati ia
mengharap, mudah-mudahan ada seseorang yang melihat peristiwa itu,
kemudian melaporkannya kepada Ken Arok. Dengan demikian, maka Ken Arok
dapat mengambil tindakan atas Kebo Ijo, sehingga perkelahian yang
diinginkan itu tidak usah terjadi. Tetapi agaknya di sekitar tempat itu
sudah terlampau sepi.
“Kau masih akan lari?” bentak Kebo Ijo.
“Kalau maksudmu tidak kau urungkan, kau akan mendapat hukuman dari Akuwu.”
“Aku tidak peduli. Aku dapat mengarang sebuah ceritera tentang dirimu.”
“Ken Arok menjadi saksi, apakah yang sedang kau lakukan.”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Aku tidak peduli. Kita berkelahi secara jantan.”
“Kalau demikian kita perlu saksi.”
“Persetan. Kau mengulur waktu dengan licik supaya ada orang lain yang melihat, kemudian menyelamatkan kau.”
Tanpa disangka-sangka oleh Kebo Ijo,
Mahisa Agni itu mengangguk dan menjawab, “Ya. Kau benar. Aku berusaha
mengulur waktu, supaya ada orang yang melihat peristiwa ini,
melaporkannya kepada Ken Arok, dan memanggilmu.”
“Licik, kau pengecut. Aku tidak peduli.
Aku akan menghitung sampai tiga kali. Aku akan menyerangmu. Melawan atau
tidak melawan terserah kepadamu.”
“Kau berpedang. Aku tidak membawa senjata.”
“Aku tidak peduli. Carilah senjata ke gubug-gubug itu, Kau akan menemukan pedang.”
“Baik. Aku akan mencarinya.”
“Tidak. Tidak. Kau pasti akan lari, Tunggu disitu. Aku akan mengambil pedang itu untukmu.”
Kebo Ijo tidak menunggu jawaban Mahisa
Agni. Selangkah ia mendekati sebuah gubug tanpa melepaskan pandangan
matanya dari Mahisa Agni iang masih berdiri diam dalam kebimbangan.
Sebenarnya ia dapat lari saat itu. Tetapi ada sesuatu yang menahannya.
Betapapun juga, adalah tidak menyenangkan sekali untuk lari
terbirit-birit menghindarkan diri lari perkelahian, meskipun perkelahian
itu sama sekali tidak menyenangkannya.
Sejenak kemudian ia melihat Kebo Ijo
menyelinap ke dalam sebuah gubug. Kesempatan menjadi semakin banyak
baginya untuk lari. Tetapi kakinya seolah-olah menjadi berat, seberat
bandul timah. Agaknya kemudaannyalah yang telah menahannya.
Dengan demikian, maka ia masih tetap
berdiri ditempatnya dengan penuh kebimbangan ketika Kebo Ijo muncul dari
dalam sebuah gubug dengan meninting sebilah pedang. Tetapi pedang itu
adalah pedang yang terlampau jelek untuk bertempur melawan pedang Kebo
Ijo.
Dengan dada tengadah dilemparkannya
pedang itu ke hadapan Mahisa sambii berkata, “Aku akan mulai menghitung.
Dengarlah baik-baik. Aku akan menyerang apabila aku sampai pada
hitungan ketiga. Melawan atau tidak melawan.”
Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Kini kesempatan untuk menghindari perkelaian dengan Kebo
Ijo menjadi semakin sempit. Kebo Ijo hanya memberinya waktu tiga
hitungan lagi.
Terasa keringat dingin membasahi punggung
Mahisa Agni. Ia tahu bahwa tidak bijaksana apabila terjadi benturan
antara mereka yang dengan susah payah selama ini telah bekerja
bersama-sama demikian eratnya untuk membangun sebuah bendungan yang kini
telah jadi. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.
Sesaat kemudian Mahisa Agni telah mendengar Kebo Ijo itu berteriak “Satu ….”
Mahisa Agni sudah tidak mempunyai pilihan
lain daripada berbuat sesuatu, meskipun akibatnya akan tidak pernah
dilupakan oleh Kebo Ijo. Tetapi ia harus melupakan.
Namun sebelum Kebo Ijo menyebut bilangan
berikutnya, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dikejauhan. Orang-orang
Panawijen dan prajurit Tumapel telah memekikkan kata-kata sambutan atas
kedatangan Akuwu Tunggul Ametung. Agaknya mereka telah melihat
dikejauhan, tanda-tanda kebesaran Akuwu Tunggul Ametung yang sudah
menjadi kian mendekat.
“Dengar,” desis Mahisa Agni, “Akuwu telah datang. Kita tunda persoalan kita sampai lain kali.”
Wajah Kebo Ijo menyadi semakin tegang. Ia
belum melihat Mahisa Agni memungut pedang yang dilemparkannya. Namun
orang yang keras kepala itu menyahut, “Aku tidak dapat menunda lagi.
Cepat, ambil pedang itu. Kalau kau segera mati, maka aku masih akan
sempat melempar mayatmu ke sungai.”
Mahisa Agni kini telah benar-benar
menjadi gelisah Ia ingin melihat Akuwu itu mendekati perkemahan. Tetapi
agaknya Kebo Ijo telah benar-benar menjadi gila.
“Dua.” tiba-tiba Kebo Ijo berteriak.
bersamaan dengan itu, ia telah benar-benar bersiaga. Agaknya ia tidak
akan bermain-main lagi. Ia benar-benar akan melakukan apa yang
dikatakannya. Membunuh didalam kegilaannya itu.
Akhirnya Mahisa Agni tidak mempunyai pilihan lain. Justru tepat pada saat Akuwu datang.
“Aku harus mempercepat penyelesaiannya.”
katanya di dalam hati. “Mudah-mudahan tidak meninggalkan bekas apapun,
selain di hati Kebo Ijo.”
Mahisa Agni kemudian tidak mempunyai
pilihan lain dari pada menunggu serangan Kebo Ijo yang bakal datang.
Sesaat lagi, apabila ia telah menyebutkan bilangan yang ketiga.
Sekejap kemudian bibir Kebo Ijo mulai bergerak. Maka meluncurlah kata-katanya, mengucapkan bilangan yang ketiga.
Tepat pada saat itu pulalah Kebo Ijo
meloncat dengan garangnya seperti hunga api yang meloncat diantara awan
yang hitam. Tepat sekali. Hampir tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang. Pedangnya terjulur lurus kedepan mengarah langsung ke jantung
Mahisa Agni. Seandainya lawannya tidak segera menanggapi keadaan maka
ia pasti akan tersobek dadanya pada tusukan yang pertama.
Kebo Ijo yang sudah bermata gelap itu
tidak melihat Mahisa Agni memungut pedang yang dilemparkannya. Bahkan ia
tidak melihat anak muda itu sempat menghindarkan diri. Sehingga dengan
demikian, maka genggaman pedangnya menjadi semakin erat. Apabila ujung
pedang itu menghunjam ke dalam dada, di sela-sela tulang rusuk lawannya,
maka pedang itu harus langsung menghunjam ke arah jantung.
Tetapi yang terjadi benar-benar tidak
terduga, sehingga terasa darah Kebo Ijo seolah-olah membeku. Betapa
terkejut anak muda itu, ketika terasa pedangnya seolah-olah membentur
dinding baja. Tetapi sejenak kemudian, ia tidak dapat melihat dengan
jelas. Semuanya menjadi kabur. Yang tampak olehnya hanyalah bayangan
yang seakan-akan bergeser, kemudian menggeliat dan meluncur ke samping.
Sebuah sentuhan telah mengenai punggungnya. Sentuhan itu tidak terlampau
keras, namun sentuhan itu seolah-olah membuat tubuhnya menjadi tidak
berdaya sama sekali, sehingga hampir di luar sadarnya, ia terdorong
beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah.
Kebo Ijo masih berusaha cepat-cepat untuk
bangkit. Tetapi ketika kedua tangannya menahan tanah, maka seolah-olah
kedua tangannya itu sudah tidak bertenaga sama sekali, sehingga sekali
lagi ia jatuh terjerembab.
Kebo Ijo menggeram. Yang dapat dilakukan
adalah berguling perlahan-lahan. Ketika ia sudah menengadah, maka
pandangan matanya yang kabur, semakin lama menjadi semakin terang.
Yang pertama-tama dilihatnya berdiri
disampingnya adalah Mahisa Agni. Ditangannya tergenggam sebilah pedang.
Sama sekali bukan pedang yang telah dilemparkannya kepadanya, tetapi
padang itu adalah pedangnya.
Dengan gerak naluriah, Kebo Ijo berusaha
untuk bangkit sambil menggeretakkan giginya. Tetapi untuk kesekian
kalinya ia terjatuh dan terbaring lagi di atas tanah yang lembab.
“Jangan mencoba untuk bangkit.“ berkata
Mahisa Agni, “tidak akan ada gunanya. Sebaiknya kau berbaring saja di
situ. Akuwu pasti akan bersedia menengokmu.”
“Persetan.“ teriak Kebo Ijo.
“Jangan menyesal.“ sahut Mahisa Agni.
“Dengar, suara sorak yang serasa akan meruntuhkan langit itu adalah
pertanda bahwa Akuwu Tunggul Ametung sudah datang. Terserah kepadamu,
apakah kau akan menyambut atau kau ingin berbaring di situ saja sampai
Akuwu datang dan menanyakan kau. Apabila demikian, maka kau akan segera
mendapat pertolongan.”
“Tutup mulutmu. Tutup mulutmu. Kau curang. Apabila kau benar-benar jantan berikanlah pedangku.”
“He?“ Mahisa Agni menjadi heran, “aku bukan pelayanmu. Ambilah sendiri.”
“Persetan.“ Kebo Ijo mengumpat-umpat.
Tetapi ia masih belum dapat bangkit. Ia masih berbaring di atas tanah
sambil mengumpat tidak habis-habisnya. Segala macam usaha telah di
lakukannya, tetapi ia tidak dapat membebaskan diri dari keadaan karena
sentuhan tangan Mahisa Agni.
Mahisa Agni pun masih berdiri
ditempatnya. Sorak para prajurit dan orang-orang Tumapel menjadi semakin
riuh. Agaknya Akuwu dan rombongannya telah menjadi semakin dekat.
“Kebo ijo.” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah kau mendengar sorak yang ramai itu? Dan apakah kau tahu apakah artinya?”
“ Tutup mulutmu.“ Kebo Ijo membentak, “kalau kau jantan, berikan pedang itu,”
“Apakah kau memerlukannya?”
“Aku tetap pada pendirianku. Aku harus membunuhmu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Di
kejauhan sorak yang semakin keras selalu menyentuh telinganya. Sehingga
dengan demikian ia menjadi termangu-mangu. Namun ia masih ingin mencoba
untuk menjinakkan Kebo Ijo. Karena itu, maka selangkah ia maju.
Diserahkannya pedang Kebo Ijo kepadanya sambil berkata, “Ini pedangmu.”
Dengan serta merta Kebo Ijo ingin merebut
pedang itu dari tangan Mahisa Agni. Tetapi tangannya serasa tidak
mungkin digerakkannya lagi. Betapa ia berusaha, namun tangan itu hanya
terangkat perlahan-lahan sekali. Meskipun demikian Kebo Ijo itu masih
juga berusaha menerima pedangnya, Tetapi demikian tangannya menggenggam
pedang, maka tangan itupun terkulai dengan lemahnya. Pedang yang setiap
hari disandangnya, yang setiap kali ditimang-timangnya itu, kini
beratnya seratus kali lipat.
“Apakah kau akan mempergunakan pedangmu?“ bertanya Mahisa Agni.
“Pengecut yang licik. Kau tidak berkelahi
secara jantan. Kau membuat aku setengah lumpuh, karena kau takut
berhadapan sebagai laki-laki.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
menjadi semakin bingung. Ternyata Kebo Ijo itu sama sekali tidak menjadi
lunak, bahkan sebaliknya ia menjadi semakin liar.
“Apakah aku akan mempergunakan cara lain.“ desisnya di dalam hati, “agaknya Akuwu sudah menjadi semakin dekat.”
Tetapi Mahisa Agni tidak mempunyai cara
yang lebih baik. Menurut perhitungannya, orang-orang Panawijen dan para
prajurit itu baru melibat umbul-umbul dan tanda-tanda kebesarannya di
kejauhan. Jarak itu masih akan ditempuhnya dalam waktu yang cukup lama.
Apalagi kedatargan mereka bersama Ken Dedes, yang pasti naik sebuah
tandu yang dipikul oleh beberapa orang. Perjalanan yang demikian tentu
akan terlalu lambat.
Karena itu, maka menurut perhitungan
Mahisa Agni, ia masih mempunyai sedikit waktu untuk mempergunakan cara
lain dalam usahanya untuk menundukkan Kebo Ijo.
Ketika Kebo Ijo masih saja
mengumpat-umpatinya, maka Mahisa Agni itupun segera berjongkok
disampingnya. Dengan sebuah sentuhan tangan, Mahisa Agni telah
memberikan sedikit kemungkinan bagi Kebo Ijo untuk bergerak. Tetapi
Mahisa Agni berbuat lebih dari pada itu. Diurutnya punggung Kebo Ijo
beberapa kali. Maka sesaat kemudian maka Kebo Ijo itupun segera meloncat
dengan garangnya sambil memutar pedangnya.
“Kau benar-benar bodoh Agni.” Desisnya,
“aku tidak akan dapat berbuat lengah untuk kedua kalinya. Sekarang,
sampailah saatnya kau berkubur di Padang Karautan, di samping bendungan
yang kau impi-impikan itu. Tetapi kau untuk seterusnya tidak akan
melihat betapa airnya mengalir ke parit-parit dan tanah persawahan.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi dengan acuh tidak acuh ia memandang pedang yang dilemparkan Kebo Ijo kepadanya.
“Cepat ambil.“ teriak Kebo Ijo.
Mahisa Agni pun segera memungut pedang
itu. Tetapi Kebo Ijo menjadi terkejut, ketika ia melihat Mahisa Agni
justru mematahkan pedang itu menjadi beberapa potong. Ya, beberapa
potong hanya dengan tangannya.
“Gila.” ia menggeram. Namun ia sama
sekali tidak mau mempertimbangkan lagi perbuatannya. Justru dengan
demikian hatinya menjadi semakin terbakar. Dengan serta merta ia
meloncat menyerang Mahisa Agni dengan sepenuh tenaga.
Mahisa Agni memang mengharap Kebo Ijo
menjadi semakin marah dan menyerangnya. Semakin cepat semakin baik,
karena sorak-sorai di kejauhan itu pun semakin menggetarkan udara.
Kesempatan yang datang itu pun
dipergunakannya sebaik-baiknya. Kali ini ia tidak ingin melumpuhkan Kebo
Ijo. Tetapi ia sengaja mempergunakan cara yang lain, yang agak lebih
kasar.
Pada saat pedang Kebo Ijo meluncur
mengarah kejantungnya, maka Mahisa Agni pun dengan lincahnya menghindar.
Tetapi ia tidak hanya menghindar saja. Dengan kecepatan yang melampaui
kecepatan bergerak Kebo Ijo. Mahisa Agni pun menyerangnya pula dengan
tangannya. Sebuah pukulan yang keras meskipun hanya sebagian saja dari
tenaganya yang dipergunakan, telah mengenai pelipis Kebo Ijo sehingga ia
ter-huyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi Mahisa Agni yang
mempunyai kemampuan jauh di atas kemampuan Kebo Ijo itu tidak
membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat maju, dan sekali lagi Kebo Ijo
tidak sempat menghindarkan dirinya. Tinju Mahisa Agni telah menyentuh
keningnya yang berkeringat.
Pukulan itu telah mendorong Kebo Ijo
beberapa langkah. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan
keseimbangannya. Tetapi yang terjadi adalah di luar kemungkinan yang
dapat dilakukan. Tangan kiri Mahisa Agni ternyata telah mengenai
dagunya. Ketika kepalanya tertengadah, maka perutnya serasa akan
meledak. Sebuah tinju yang keras telah membuatnya hampir muntah.
Dalam keadaan yang demikian, ia masih
merasakan beberapa pukulan Mahisa Agni mengenai pundak, dada dan
lambungnya. Kemudian kaki Mahisa Agni telah melemparkannya dan
membantingnya jatuh terjerembab.
Betapa sakitnya seluruh tubuh Kebo Ijo
itu. Rasanya tulang-tulangnya menjadi remuk dan patah-patah. Hanya dalam
waktu yang terlampau singkat, ia sudah hampir kehilangan kemampuan
untuk berbuat sesuatu. Meskipun seperti pada saat ia dilumpuhkan,
sehingga sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, namun kali ini keadaan
itu disertai dengan perasaan sakit yang luar biasa.
Sejenak kemudian Kebo Ijo masih saja
berbaring di atas tanah. Sekali-sekali mulutnya menyeringai menahan
sakit yang serasa menyengat-nyengat seluruh kulitnya. Dibeberapa bagian
tubuhnya terdapat noda-noda merah kebiru-biruan. Dan di beberapa tempat
yang lain, kulitnya seperti terbakar.
Mahisa Agni melihat Kebo Ijo menjadi
kesakitan. Meskipun tidak ada luka-luka yang berbahaya, namun rasanya
Kebo Ijo sudah tidak akan dapat melawannya lagi.
Namun Mahisa Agni masih ingin membuat
Kebo Ijo jera sama sekali. Karena itu, maka Mahisa Agnipun segera
berdiri didekatnya sambil bertolak pinggang.
“Bangkitlah.” berkata Marisa Agni, “ambil pedangmu yang terlepas itu.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Tetapi matanya menyorotkan dendam yang menyala di dalam dadanya.
“Aku melihat kebencian di wajahmu. Marilah kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas.” desak Mahisa Agni.
Tetapi Kebo Ijo tidak segera menjawab.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya Mahisa
Agni, “bukankah kau yang ingin kita berkelahi. Kau memberi kesempatan
kepadaku, seperti yang kau sebutkan sendiri bahwa hukuman yang harus aku
jalani adalah berkelahi melawan kau. Sekarang, kenapa kau berhenti?”
Kebo Ijo masih diam membeku.
Sementara itu dikejauhan sorak sorak para prajurit Tumapel dan rakyat Panawijen menjadi semakin keras.
“Akuwu telah menjadi semakin dekat.
Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap berbaring di situ, atau kau
akan ikut serta menyambut kedatangannya.”
Mahisa Agni kemudian tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Menurut dugaannya, maka Akuwu pasti sudah menjadi
semakin dekat. Karena itu, maka segera ia melangkah dengan tergesa-gesa
meninggalkan Kebo Ijo yang masih berbaring. Ia mengharap bahwa Kebo Ijo
itu nanti akan bangkit dengan sendirinya, karena ia tidak menyentuh
bagian-bagian yang dapat menghentikan kerja beberapa jalur urat. Yang
terjadi hanyalah sekedar benturan lahiriah. Pukulan-pukulan yang tidak
dilambari oleh kekuatan lain dari pada kekuatan Mahisa Agni sehari-hari
meskipun dengan demikian Kebo Ijo telah menjadi merah biru.
Ternyata perhitungan Mahisa Agni itu
tidak meleset. Sesaat kemudian Kebo Ijo itu pun merangkak-rangkak sambal
menahan sakit. Baru kemudian ia berhasil berdiri sambil menekankan
tangannya pada kedua sisi lambungnya. Punggungnya serasa patah, dan
pelipisnya menjadi nyeri.
“Setan.“ ia mengumpat. Tetapi sejalan itu
tumbuhlah keheranannya atas kemampuan Mahisa Agni itu. Hampir tanpa
dapat membalas ia telah dihujani dengan pukulan yang bertubi-tubi. Gerak
Kebo Ijo seolah-olah tidak mencerminkan seorang yang telah berguru
bertahun-tahun lamanya. Ia harus menelan begitu saja setiap pukulan yang
datang seperti banjir, terus menerus, tanpa dapat dihindarinya.
“Dari mana anak setan itu mempelajari
ilmu yang gila itu.“ berkata Kebo Ijo di dalam hatinya, “terakhir aku
melihat dalam kemampuannya berkelahi, aku sama sekali tidak
mengaguminya. Aku tidak melihat perubahan-perubahan yang tampaknya dapat
berkembang. Tetapi tahu-tahu kini aku berhadapan dengan hantu yang
aneh.”
Kebo Ijo itu tersadar ketika ia mendengar
sorak yang bergemuruh semakin keras. Perlahan-lahan ia melangkah dengan
ragu-ragu. Dikibaskannya pakaiannya yang kotor dan tidak teratur.
Kemudian dicobanya untuk membenahinya.
“Setan itu telah mengotori pakaianku.“ desisnya, “tetapi aku tidak akan sempat berganti pakaian selengkapnya.”
Kebo Ijo itupun kemudian tertatih-tatih
pergi ke gubugnya. Diusapinya tubuhnya yang kotor dengan kainnya yang
kotor pula, kemudian dengan tergesa-gesa menggantinya dengan yang
bersih. Dengan tergesa-gesa pula ia berlari keluar. Ia ingin melihat
Akuwu itu datang, Tetapi sekali lagi ia mengumpat, “Pedangku
ketinggalan.”
Kini ia berlari-lari kecil mengambil
pedangnya. Kemudian langsung pergi ke ujung perkemahan itu tetapi ia
tidak segera mendekati Ken Arok yang kini telah dikawani pula pula oleh
Mahisa Agni selain Ki Buyut Panawijen dan keempat prajurit perambas
jalan.
Ternyata Akuwu masih belum sampai keujung
perkemahan itu meskipun tidak begitu jauh lagi. Umbul-umbul, rontek dan
tunggul-tunggul telah tampak semakin jelas. Di dalam padang yang
terbuka, maka iring-iringan itu tampak hampir selengkapnya. Sebuah tandu
yang diangkat oleh beberapa orang. Tandu yang ditumpangi oleh Ken
Dedes. Kemudian sepasukan pengawal yang dipimpin oleh Witantra sendiri.
Sepasukan prajurit dan beberapa macam perbekalan lainnya.
Ken Arok, Mahisa Agni dan Ki Buyut
Panawijen beserta keempat orang prajurit Tumapel itu pun telah bersiap
untuk menyongsongnya. Ken Arok sekali-sekali masih berpaling. Ia masih
mencari Kebo Ijo untuk bersama-sama menyongsong kedatangan Akuwu Tunggul
Ametung itu.
Ketika terlihat olehnya Kebo Ijo berdiri
termangu-mangu, maka dilambaikannya tangannya, memberi isyarat, agar
Kebo Ijo itu mendekat.
Dengan segan Kebo Ijo melangkah maju.
Meskipun Ken Arok telah mendengar apa yang telah terjadi dari Mahisa
Agni, tetapi ia sama sekali tidak bertanya apapun kepadanya. Ketika Kebo
Ijo telah berada di sampinginya sambil bersunguh-sunguh, terdengar Ken
Arok itu berkata, “kita menyongsongnya.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tetapi ia ikut
melangkah di antara beberapa orang yang berjalan langsung menyongsong
kedatangan Akuwu Tunggul Ametung.
Iring-iringan itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Akuwu benar-benar datang dengan segala kebesarannya
sebagai seorang Akuwu yang besar.
Sorak sorai yang gemuruh terdengar
menjadi semakin keras. Para prajurit Tumapel dan orang-orang Panawijen
pun kemudian maju menyongsong iring-iringan itu di belakang Ken Arok,
berdesak-desakkan. Ada di antara mereka yang hanya ingin sekedar melihat
Ken Dedes sekarang, setelah menjadi seorang Permaisuri. Tetapi ada pula
yang benar-benar melimpahkan perasaan terima kasihnya kepada Akuwu
Tunggul Ametung yang telah membantu orang-orang Panawijen menyelesaikan
bendungan yang akan dapat memberi harapan dimasa mendatang. Bahkan Akuwu
telah ikut menanganinya sendiri, pada saat bendungan itu dihantam oleh
banjir yang pertama.
Akuwu yang berkuda di depan tandu yang
dihiasi dengan berbagai macam perhiasan, merasa bangga pula atas
sambutan itu. Ia dapat menunjukkan kepada Permaisurinya, betapa
rakyatnya mencintainya dengan sepenuh hati.
Ken Arok, Mahisa Agni, Ki Buyut Panawijen
dan Kebo Ijo beserta keempat prajurit yang mendahului perjalanan Akuwu
itu kemudian berdiri berjajar. Mereka berdiri tegak seperti patung
ketika beberapa prajurit pengawal yang berada didepan Akuwu Tunggul
Ametung lewat di atas punggung kuda dengan membawa beberapa macam
tanda-tanda rontek, tunggul dan perisai kebesaran. Kemudian dibelakang
mereka beberapa langkah adalah Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Dan
dibelakang Akuwu itulah duduk Permaisurinya, Ken Dedes di dalam tandu
yang bertirai sehelai kain yang tipis.
Ken Arok dan kawan-kawannya segera
membungkukkan badannya ketika Akuwu sampai di depan mereka. Dengan
tangannya Akuwu memberi isyarat agar para prajurit yang berada di
depannya berhenti sejenak.
“Hamba menyampaikan selamat atas
kedatangan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.“ berkata Ken Arok kemudian
dengan hormatnya, “kami, para prajurit Tumapel di Padang Karautan dan
rakyat Panawijen telah siap menyambut kedatangan Tuanku. Kami akan
menerima segala titah tuanku bagi kami.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilayangkannya pandangan matanya beredar
di antara para prajurit Tumapel dan rakyat Panawijen yang kini justru
terdiam.
“Hendaknya kalian mendapat perlindungan
dari Yang Maha Agung.” berkata Akuwu itu kemudian kepada para prajurit
dan rakyat Panawijen, “dijauhkanlah kalian dari bencana dan bahaya.
Diberikannya kebijaksanaan dan kecakapan pada pimpinan kalian.
Selamatlah kalian menyambut kedatangan kami.”
Sorak yang membabana serasa akan membelah langit. Gemuruh seperti guruh yang bersabung di langit.
Akuwu Tunggul Ametung tersenyum melihat
sambutan itu. Kemudian kepada Ken Arok ia berkata, “Aku dan Permaisuriku
akan melihat bendungan itu. Kami akan lewat di sampingnya, kemudian
langsung pergi ke taman.”
“Semua persiapan telah selesai untuk
menyambut kedatangan Tuanku beserta Tuan Puteri. Semuanya telah
tersedia.“ sahut Ken Arok. Tetapi ia bertanya, “Namun apakah Tuanku akan
pergi ke bendungan langsung saat ini juga? Apakah Tuanku tidak pergi ke
pesanggrahan yang telah kami siapkan? baru nanti atau besok Tuanku
pergi ke bendungan itu.”
Akuwu Tunggul Ametung menggelengkan
kepalanya, katanya, “Permaisuriku ingin segera melihat bendungan itu.
Karena itu, kita sekarang akan lewat di dekat dibendungan. Hanya lewat,
lalu langsung menuju ke pesanggrahan di dekat taman yang telah kalian
siapkan.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Kebo Ijo ia berkata, “Kau akan menjadi penuntun jalan.
Pergilah di depan bersama para prajuit berkuda itu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengangguk dan menjawab, “Baik. Akan aku lakukan.”
Kebo Ijo pun segera berjalan mendahului,
dan langung berada di depan prajurit-prajurit berkuda. Sejenak kemudian
maka iring-iringan itu pun berjalan pula perlahan-lahan di belakang
derap kaki Kebo Ijo. Kebo Ijo yang berjalan di paling depan itu memang
mempunyai sikap seorang prajurit. Ia berjalan dengan tegapnya, meskipun
hatinya mengumpat-umpat. Kadang-kadang tanpa sesadarnya diamatinya ujung
celananya yang kotor. Didalam rati ia bergumam, “Untunglah aku sudah
berganti meskipun hanya kain panjangku. Kalau tidak, aku akan malu
sekali. Kali ini pun agaknya Ken Arok benar-benar ingin membuat aku
kehilangan akal. Hem, apakah punggungku masih juga kotor.”
Meskipun langkah Kebo Ijo cukup tegap,
namun ia sendiri selalu dibayang-bayangi oleh keragu-raguan. Seolah-olah
setiap mata memandang kepadanya. Kepada tubuhnya yang kotor dan
noda-noda kebiru-biruan di beberapa tempat. Sedang tulang-tulangnya
masih saja terasa nyeri-nyeri dan kepalanya masih agak pening.
“Mahisa Agni memang anak setan.”
geramnya. Tetapi ia harus berjalan terus. Di belakangnya beberapa ekor
kuda mengikutinya. Kemudian Akuwu Tunggul Ametung di atas punggung
kudanya didampingi oleh Ken Arok dan Mahisa Agni Dibelakang mereka
berjalan Ki Buyut Panawijen didepan tandu Permaisuri yang ditabiri oleh
tirai tipis. Baru di belakang tandu itulah para prajurit pengawal
berkuda berderap dengan gagahnya di bawah pimpinan langsung pemimpinnya,
Witantra yang berada diluar barisan.
Para prajurit Tumapel yang berada di
Padang Karautan dan rakyat Panawijen segera mengikuti iring-iringan itu
pula, sehingga iring-iringan itu menjadi semakin panjang. Seperti seekor
ular raksasa yang merayap perlahan-lahan di padang rumput yang luas.
Perlahan-lahan iring-iringan itu maju
mengikuti langkah kaki Kebo Ijo. Semakin lama menjadi semakin mendekati
bendungan yang telah mengangkat air ke dalam susukan induk. Gemericik
airnya telah mulai terdengar lamat-lamat, dan wajah air yang, tenang di
atas bendungan itupun telah tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya
matahari.
Kebo Ijo telah mengetahui, apakah yang
harus dilakukannya. Ia harus membawa iring-iringan itu sekedar lewat di
pinggir sungai, berputar lewat jalan yang telah dibuat di pinggir
susukan induk, pergi ke taman yang telah disiapkan pula untuk menerima
kedatangan Akuwu Tunggul Ametung.
Bendungan itu pun semakin lama menjadi
semakin dekat. Beberapa saat kemudian Kebo Ijo telah menginjakkan
kakinya di atas tanah berpasir. Ketika ia berpaling dilihatnya Akuwu
Tunggul Ametung memperlambat kudanya dan kemudian berjalan di samping
tandu Permaisurinya.
“Itulah bendungan itu.“ berkata Akuwu
Tunggul Ametung, “air telah naik dan masuk ke dalam susukan induk itu
mengalir membelah Padang Karautan dan pada ujungnya terdapat sebuah
sendang buatan di dalam sebuah taman.”
Kebo Ijopun kemudian berhenti pula.
Agaknya Permaisuri akan memerlukan melihat bendungan itu. Tetapi
meskipun tandu itu berhenti, namun tandu itu tidak diletakkan di tanah.
Ternyata Permaisuri tidak akan turun. Ia hanya akan melihat bendungan
itu sekilas.
Ken Arok, Mahisa Agni, Ki Buyut dan
prajurit-prajurit yang lainnya berhenti pula di dekat bendungan itu.
Perlahan-lahan tirai yang tipis itu tersingkap. Namun Ken Dedes tidak
menjengukkan kepalanya. Ia hanya memandangi bendungan itu dari dalam
tandu.
Seorang perempuan tua yang berada di
dalam tandu itu pula, memandangi bendungan itu seperti juga Ken Dedes.
Tanpa berkedip. Sebuah kebanggaan memercik di dalam dadanya. Namun
Permaisuri itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Ken Arok yang berada di sisi tandu itu
tidak dapat menangkap kesan Permaisuri itu sama sekali. Ia tidak dapat
melihat wajah Permaisuri itu dengan jelas, karena tirai yang tipis itu.
Tirai itu hanya tersingkap sedikit di samping yang mengarah kebendungan.
“Mudah-mudahan bendungan itu memberinya
kepuasan.“ desis Ken Arok di dalam hatinya, “apalagi taman itu. Selagi
masih gadis, Permaisuri itu adalah anak Panawijen, Sudah tentu ia tidak
dapat melepaskan diri dari tempat ia dilahirkan.”
Sejenak kemudian tirai itu tertutup
kembali, Akuwu yang berada di punggung kudanya di depan tandu itu
kemudian memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk meneruskan
perjalanan. Kebo Ijo pun menangkap isyarat itu pula. Dan mulailah
kakinya berderap di depan pasukan berkuda yang mendahului Akuwu, dengan
membawa beberapa jenis tanda kebesaran.
Kini Akuwu tidak lagi berada di depan
tandu Permaisurinya, tetapi ia berada beberapa langkah di sampingnya.
Terdengar Akuwu berbicara perlahan-lahan dengan Permaisurinya. Dalam
pembicaraan yang tidak jelas itu, Ken Arok dan Mahisa Agni baru mendapat
kesan, bahwa Permaisuri itu menjadi kagum dan bangga, bahwa akhirnya
bendungan itu dapat terwujud. Bendungan yang dapat memberikan tanah
garapan yang baru bagi orang-orang Panawijen.
Sementara itu iring-iringan itu menjalar
terus menyusur jalan di sepanjang susukan induk, Setiap kali Ken Dedes
menyingkapkan tirai yang tipis itu untuk melihat-lihat, dedaunan yang
mulai menghijau. Pepohonan yang sudah bertambah besar. Tanah persawahan
yang ditumbuhi oleh bibit-bibit yang sudah semakin berkembang. Hijau
dalam siraman sinar matahari. Pantulan titik-titik air yarg memeriyik di
susukan induk, membuat loncatan-loncatan bintik-bintik yang
berkeredipan menyambut kedatangan Permaisuri Tumapel.
Sekali-sekali Permaisuri itu berbicara
perlahan-lahan dengan emban tua yang berada di dalam tandu itu pula.
Namun hanya sepatah-sepatah, kemudian mereka terdiam lagi.
Kebo Ijo berjalan terus dengan tegapnya
di depan iring-iringan yang panjang itu. Para prajurit Tumapel dan
orang-orang Panawijen mengikuti pula di belakang mereka. Kini perhatian
mereka tertuju kepada Permaisuri yang masih berada di belakang tirai
itu. Mereka telah dirangsang oleh suatu keinginan untuk dapat melihat
wajahnya. Apalagi orang-orang Panawijen, yang melihat Ken Dedes di masa
kanak-anak, berlari-larian antara gadis-gadis desa sebayanya. Bermain
jirak dan dakon. Mencuci di bendungan yang kini telah pecah. Gadis itu
bermain nini lowok pula di malam-malam purnama. Melagukan tembang yang
riang.
Sampai pada suatu ketika gadis itu telah
ditimpa oleh malapetaka. Tetapi malapetaka itu ternyata telah
mengantarkannya masuk ke dalam istana Akuwu Tunggul Ametung, sehingga
kini ia kembali ke padukuhannya dalam kelengkapan dan kebesaran seorang
Permaisuri.
Tetapi Permaisuri itu masih berada di
dalam tirai yang tipis. Mereka hanya dapat melihat sebuah bayangan yang
bergerak-gerak di dalam tandu itu, tetapi mereka tidak dapat melihat
dengan jelas. Betapa wajah bunga di sebelah Timur Gunung Kawi itu akan
menjadi semakin cemerlang, dengan hiasan Mahkota seorang Permaisuri.
Perlahan iring-iringan itu maju terus
mendekati taman buatan yang telah dikerjakan oleh Ken Arok. Didalam
pesanggrahan di samping taman itu, beberapa orang telah sibuk sejak
malam tali. Apalagi juru masak. Mereka sibuk mempersiapkan hidangan
tidak saja bagi Akuwu Tunggul Ametung, tetapi juga bagi setiap prajurit
pengawalnya, dan bahkan bagi setiap orang yang berada di dalam
iring-iringan itu, sehingga hampir semua juru masak di Tumapel
dikerahkan, dan bahkan juru masak prajurit-prajurit Tumapel dan
orang-orang Pawijen yang telah berada di Padang Karautan. Sehingga
dengan demikiau, maka di belakang pesanggrahan itu, terdapat bangunan
yang cukup besar untuk menyediakan makanan di samping dapur khusus untuk
menyediakan makan bagi Akuwu dan Permaisurinya dengan juru-juru masak
yang terpilih.
Perjalanan itu sendiri, ternyata telah
memberikan kesan yang mendalam di hati Ken Dedes. Perasaan bangga dan
baru telah bergelut di dalam dadanya. Ia melihat kehijauan yang segar di
daerah baru ini, setelah pedukuharnya yang lama dibakar oleh kekeringan
yang parah.
Kebo Ijo akhirnya telah melangkah masuk
ke dalam pintu gerbang taman yang terbuka. Dua orang prajurit bersenjata
tombak berdiri sebelah menyebelah. Sejenak kemudian, maka ujung
iring-iringan itu pun telah memasuki taman itu pula, langsung menuju ke
pinggir sendang, yang sengaja dipersiapkan untuk menerima kedatangan
Akuwu dan Permaisuri. Karena itu, ketika mereka berhenti, tandu itupun
perlahan-lahan diletakkannya di atas tanah. Permaisuri Ken Dedes tidak
akan tetap berada didalamnya, tetapi kali ini ia akan turun, menyaksikan
taman yang dibuat untuknya.
Akuwu Tunggul Ametung pun telah turun
pula dari kudanya. Seorang prajurit menerima kuda itu dan menuntunnya
menjauh. Perlahan-lahan Akuwu melangkah mendekati tanda Permaisurinya
untuk menolongnya melangkah keluar.
Para pemimpin pengawal, Ken Arok, Mahisa
Agni, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang lain, berdiri tegak
berderet-deret di muka tandu Permaisuri itu untuk memberi hormat
kepadanya.
Perlahan-lahan tirai tandu itupun
tersingkap. Dan perlahan-lahan Pemaisuri itu beringsut menepi. Sejenak
kemudian dilayangkannya pandangan matanya atas mereka yang berdiri
berjajar menyambutnya.
Mata Permaisuri yang bcrkilat-kilat itu
seperti sinar permata yang paling kemilau menyambar setiap wajah. Ketika
sorot mata itu menyentuh wajah pemimpin prajurit Tumapel di Padang
Karautan yang telah menyelesaikan tugasnya, membuat taman itu untuknya,
maka serasa sebuah getaran melonjak di dalam dadanya. Ia melihat sesuatu
yang lain pada wajah itu. Tetapi ia tidak dapat segera mengetahui,
apakah yang di anggapnya berbeda dengan wajah-wajah yang lain. Namun
getar di dalam dadanya telah mengguncangkan seluruh urat darahnya.
Jantungnya tiba-tiba terasa berdebaran dan wajahnya menjadi panas.
Dengan sekuat tenaga Permaisuri itu mencoba menahan dirinya untuk tidak
menumbuhkan kesan apapun di wajahnya. Namun dengan demikian, Permaisuri
sudah memusatkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya untuk
melawan keadaan yang tiba-tiba saja dihadapinya.
( bersambung ke jilid 41)
No comments:
Write comments