DAN debar jantung Ken
Arok itu pun semakin lama menjadi semakin keras, sekali-kali ia
berpaling, memandangi wajah-wajah yang terheran-heran pula. Wajah-wajah
Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi wajah-wajah itu tidak setegang
wajahnya. Dan wajah-wajah itu tidak diembuni oleh keringat yang dingin.
Ketika prajurit yang memanggil mereka itu
masuk kedalam pesanggrahan untuk memberitahukan kehadiran mereka, maka
terdengar Witantra berbisik, “Kalau benar kata prajurit itu, maka pasti
terjadi sesuatu yang kurang wajar”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Sebenarnya memang telah terjadi sesuatu menurut
pengamatanku. Tetapi aku tidak tahu, sebab apakah sebenarnya”.
“Apakah yang sudah terjadi itu?” suara
Ken Arok gemetar. Untunglah bahwa Mahisa Agni dan Witantra sendiri
berada di dalam kegelisahan, sehingga mereka tidak terlampau
memperhatikan keadaan Ken Arok itu “Bukankah pada saat-saat mereka
makan bersama di halaman, Permaisuri dan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung
tampak bergembira?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bahkan semalam pun Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan”.
Sekali lagi Mahisa Agni
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Yang terjadi memang
aneh. Tiba-tiba saja Permaisuri menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia
merasa kekesepian pada saat Akuwu pergi berburu. Lebih dari pada itu
Permaisuri merasa diganggu oleh perasaan takut”. Mahisa Agni berhenti
sejenak, lalu, “Aku memang mengatakan dan menyebut Hantu Karautan pada
saat kita berkelakar. Mungkin Ken Arok mendengarnya pula. Setelah itu
pun tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja, pagi tadi
Permaisuri menjadi terlampau gelisah dan ketakutan”.
Dada Ken Arok menjadi semakin
berdebar-debar mendengar keterangan itu. Tetapi ia mencoba untuk
menentramkan hatinya sendiri, menunggu penjelasan dari Akuwu Tunggul
Ametung.
Dan sejenak kemudian Akuwu itu pun keluar
dari biliknya, untuk menemui ketiga orang yang dipanggilnya itu di
serambi. Tampaklah wajahnya yang muram dan gelisah. Langkahnya lelah dan
ragu.
“Duduklah” desisnya ketika ia melihat ketiga orang itu masih saja berdiri menunggunya.
Ketiganya pun kemudian duduk bersila di lantai, sedang Akuwu duduk di atas sepotong tonggak kayu.
“Aku sudah memutuskan” Akuwu itu teryata berkata terlampau langsung pada persoalannya, “sore ini kita kembali ke Tumapel”.
Sejenak mereka bertiga saling
berpandangan. Namun Witantralah yang pertama-tama bertanya, “Ampun
Tuanku, kenapa Tuanku terlampau tergesa-gesa pergi? Menurut pendengaran
hamba Tuanku akan berada di sini untuk beberapa hari lagi. Tetapi
tiba-tiba Tuanku akan kembali ke istana”.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak segera menjawab. Tampaklah kebimbangan membayang di
wajahnya yang keras.
Karena itu, maka mereka pun sejenak
menjadi terdiam. Mereka menunggu saja, apakah yang akan dikatakan oleh
Akuwu Tunggul Ametung.
Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja Akuwu itu berkata, “Sediakan segala persiapan. Aku akan segera berangkat”.
Sekali lagi mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya.
“Cepat,” tiba-tiba Akuwu itu membentak.
Meskipun sudah menjadi kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung, namun
orang-orang itu masih juga terkejut dan kadang-kadang heran.
“Tuanku,” Mahisa Agni lah yang kemudian
bertanya, “Kenapa Tuanku Akuwu menjadi tergesa-gesa? Apakah hal ini
karena permintaan Tuan Puteri yang selalu diganggu oleh perasaan cemas
itu?”
Akuwu tidak segera menjawab.
Dipandanginya saja wajah Mahisa Agni. Namun kemudian terdengar suaranya
datar, “Ya. Permaisuriku menjadi ketakutan dan gelisah. Aku tidak tahu,
apakah sebabnya. Tetapi ia minta kita segera kembali ke Tumapel”.
“Tuanku” kemudian terdengar suara Ken
Arok bergetar, “Ampun Tuanku, bahwa hamba berani bertanya tentang diri
hamba dihadapan Tuanku. Apakah sebenarnya ada kesalahan hamba atau
sambutan hamba yang tidak berkenan di hati Tuanku atau di hati Tuan
Puteri Ken Dedes?”
Dahi Akuwu Tunggul Ametung menjadi
berkerut-merut. Sesaat dipandanginya Ken Arok dengan penuh keheranan.
Namun kemudian terdengar ia tertawa hambar, “O, perasaanmu mudah sekali
tersinggung Ken Arok. Tetapi aku kira bukan soal itu. Kau sudah cukup
berusaha. Aku tidak kecewa karena sambutanmu. Tidak pula karena
sebab-sebab lain. Tetapi Permaisuriku lah yang menjadi gelisah dan
ketakutan. Mungkin benar ia sedang dibayangi oleh Hantu Karautan di
dalam angan-angannya”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi istilah Hantu Karautan yang dipergunakan oleh Akuwu itulah yang
kemudian menyentuh hatinya. Adalah kebenaran yang tidak dapat
diingkarinya sampai kapan pun, bahwa Hantu Karautan yang sebenarnya
adalah dirinya sendiri pada waktu itu. Mungkin Akuwu sama sekali tidak
memikirkan, siapa dan apakah sebenarnya Hantu Karautan itu. Tetapi bagi
Ken Arok, nama itu benar-benar berpengaruh pada perasaannya.
“Nah, sekarang apa pun sebabnya, sediakan semua perlengkapan” berkata Akuwu itu kemudian.
“Hamba Tuanku” jawab Witantra “hamba minta diri untuk menyelenggarakannya”.
Akuwu mengangguk. Dan sebelum Witantra melangkah meninggalkan serambi, Akuwu Tunggul Ametung telah berjalan ke biliknya.
Ketiga orang yang masih berada di serambi
itu saling berpandangan. Witantra kemudian mengangkat bahunya sambil
berdesah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia melangkah pergi
meninggalkan serambi. Tetapi ternyata Ken Arok pun segera pergi pula
menyusulnya meninggalkan Mahisa Agni seorang diri.
Mahisa Agni yang masih berada di serambi
pesanggrahan itu duduk dengan dada yang berdebar-debar. Terngiang
kembali pertanyaan Ken Arok kepada Akuwu Tunggul Ametung, “Apakah
sambutannya di taman ini kurang memuaskan sehingga Akuwu dan Permaisuri
tergesa-gesa kembali ke Tumapel”. Pertanyaan itu memang wajar sekali
disampaikan oleh seseorang yang merasa bertanggung jawab di sini.
Tetapi pertanyaan lain yang bergetar di
dalam dada Mahisa Agni adalah, “Apa sajakah yang telah diceritakan oleh
Ken Arok kepada Ken Dedes semalam”.
“Mungkin secara berkelekar Ken Arok telah
banyak sekali berceritera tentang hantu Karautan, sehingga Permaisuri
kemudian tidak dapat tidur semalam suntuk, dan terganggu perasaannya”
berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun, kesimpulan itu pun sirna sekali
tidak memberinya kepuasan. Ia masih menyimpan berbagai macam pertanyaan
di dalam dirinya. Tetapi ia tidak tahu kepada siapa ia harus
menanyakannya. Satu-satunya orang yang dapat menjawab adalah Ken Dedes
sendiri. Tetapi agaknya Ken Dedes tidak mau berterus-terang kepadanya.
“Mudah-mudahan ia dapat mengatakan alasan itu kepada Akuwu sendiri” gumam Mahisa Agni perlahan-lahan.
Sementara itu, dengan tergesa-gesa
Witantra menyiapkan orang-orangnya, mengatur semua perbekalan dan
peralatan. Hanya orang-orang yang penting serta alat-alat yang tidak
dapat ditinggalkan sajalah yang harus di bawa. Yang lain dapat
ditinggalkan di pesanggrahan ini, sampai besok atau lasa. Beberapa orang
ditugaskannya untuk mengurusi barang-barang yang ditinggalkannya itu.
“Aku tidak mengerti, apakah yang
mendorong Permaisuri untuk mengambil keputusan itu” desis Witantra
ketika ia melihat Ken Arok berdiri kebingungan.
“Ya” sahut Ken Arok, “Aku menjadi cemas. Mungkin sambutan serta pelayananku di sini yang dirasakannya sangat menjemukan”.
“Sudah di bantah oleh Akuwu. Pasti ada sebab lain yang tidak dapat dikatakannya”.
Terasa sebuah desir yang tajam tergores
di dinding jantung Ken Arok. Tetapi ia tidak berani untuk menduga-duga
terlampau jauh, apakah sebabnya maka Permaisuri mengambil keputusan
untuk segera meninggalkan Padang Karautan.
Akhirnya, dengan tergesa-gesa, persiapan
keberangkatan Akuwu Tunggul Ametung beserta Permaisuri itu pun telah
selesai. Setiap orang menyimpan berbagai pertanyaan di dalam diri
masing-masing. Setiap wajah telah di saput oleh keragu-raguan,
kebingungan dan bahkan kecemasan. Beberapa orang prajurit menganggap
bahwa sikap itu adalah suatu firasat yang kurang baik, sehingga seorang
prajurit yang masih muda berbisik kepada kawannya, “Aku mempunyai
dugaan, bahwa akan terjadi sesuatu. Mungkin di perjalanan, mungkin
setelah kita sampai di Tumapel”.
Tetapi kawannya menyahut acuh tak acuh, “Mungkin nanti, mungkin besok, tetapi mungkin juga setahun atau dua tahun lagi”.
Orang yang pertama mengerutkan keningnya.
Namun ia masih juga mencoba membela pendiriannya, “Uh, kau memang tidak
mempunyai perasaan. Kau tidak dapat menangkap getaran yang paling halus
di dalam dada ini. Getaran dari alam yang besar, yang menyentuh tali
perasaan kita yang paling halus, dan yang paling sesuai dengan warna
getaran itu. Kalau kita mampu melihat dengan mata hati kita, atau
mendengarnya dengan telinga budi kita, kita akan tahu, apakah sebenarnya
yang kita tangkap dengan tali perasaan yang paling halus yang sesuai
dengan warna getaran itu. Kalau kita mampu mempelajarinya, maka kita
akan dapat mengurai dan menilainya, bahkan kita akan dapat melihat dalam
isyarat yang lebih jelas, apakah sebenarnya yang sedang kita hadapi
itu”.
Tetapi tiba-tiba kawannya memotong, “He, dari siapa kau mendengarnya?”
Orang yang pertama terkejut mendengar pertanyaan itu. Jawabnya dengan serta-merta, “Dari kakek”.
“Dan kau telah mencoba untuk menghayati
pemusatan indera dalam keheningan budi untuk mencoba menangkap warna
getaran seperti yang kau katakan?”
Prajurit muda itu menggeleng, “Belum”.
“Dan kau pernah mengurai isyarat-isyarat
yang terpancar dari padanya, menurut irama alam yang besar dan alam
kedirianmu dalam satu kebulatan?”
Prajurit itu sekali lagi menggeleng.
“Macammu,” desis kawannya sambil tertawa, “kau mengatakan sesuatu yang tidak kau mengerti”.
Dengan pandangan kagum prajurit muda itu
bertanya, “Aku memang belum mengalaminya, tetapi apakah kau sudah
pernah? Bagaimanakah akibat dari tangkapan isyarat yang demikian dari
alam besar atas alam kedirianmu?”
Kawannya itupun menggeleng sambil tersenyum, “Aku juga tidak tahu. Aku juga baru mendengarnya dari kakek seperti kau”.
“Setan” prajurit muda itu berdesis, tetapi keduanya kemudian tertawa.
“Kita tidak usah bersusah payah
meraba-raba soal yang tidak dapat kita ketahui. Kita sekarang bersiap
untuk mengantar Akuwu dan Permaisuri itu kembali ke Tumapel”.
“Tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan pada diri kita” jawab prajurit muda itu.
“Pertanyaan itu kita simpan saja di dalam
dada ini. Jangan mencoba mencari jawabnya. Kita tidak akan dapat
menemukannya sampai kau ubanan apabila kau tidak mengikuti perkembangan
keadaan selanjutnya”.
Prajurit-prajurit itu terdiam ketika
mereka melibat Kebo Ijo berjalan dengan tergesa-gesa menemui Witantra.
Dengan nafas terengah-engah ia bertanya, “Apakah sebenarnya sebab dari
kepergian Permaisuri yang begini tergesa-gesa kakang?”
Witantra menggeleng, “Aku tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Akuwu juga tidak tahu dengan tepat”.
Wajah Kebo Ijo tampak menjadi tegang. Di
dalam dirinya melonjak kesan yang kurang menyenangkan. Seperti Ken Arok
ia merasakan seolah-olah pelayanan mereka yang bertugas di Padang
Karautan kurang menyenangkan Permaisuri.
Tanpa di sengaja Kebo Ijo berpaling
memandang wajah Ken Arok. Ia ingin mendapat kesan dari padanya tentang
kepergian Akuwu yang tergesa-gesa. Tetapi Ken Arok sama sekali tidak
memandanginya, bahkan seolah sama sekali tidak mengacuhkannya.
Namun sebenarnya di dalam dada Ken Arok
itu bergejolak berbagai macam dugaan atas sikap Kebo Ijo itu.
Seolah-olah Kebo Ijo itu datang kepada Witantra untuk memberi tahukan,
bahwa Ken Arok lah yang menyebabkan Permaisuri itu dengan tergesa-gesa
kembali. Terngiang ditelinganya kata-kata Kebo Ijo yang menyakitkan
hatinya, sehingga ia telah lupa diri dan menampar mulutnya. Dan kini
dengan sudut matanya Ken Arok melihat Kebo Ijo itu memandanginya tajam
tanpa berkedip.
Tetapi Witantra tidak menghiraukan semua
itu. Ia sedang sibuk mengatur persiapan untuk mengawal Akuwu dan
Permaisuri kembali ke Tumapel. Beberapa orang hilir mudik menemuinya.
Bertanya tentang kelengkapan yang harus di bawa dan memberikan laporan
tentang persiapan-persiapan yang telah mereka lakukan.
“Semua sudah siap”, seorang perwira bawahan Witantra melaporkannya.
“Baik”, sahut Witantra, “siapkan pasukan di muka gerbang taman ini. Aku akan menghadap Akuwu dan melaporkan segala persiapan”.
Perwira itu pun segera pergi untuk
mempersiapkan pasukan pengawal. Orang-orang yang akan memanggul tandu
dan prajurit-prajurit pengiring. Sementara itu Witantra pun pergi
menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
Berita keberangkatan Akuwu yang tiba-tiba
itu telah menggoncangkan Padang Karautan. Orang-orang Panawijen dan
para prajurit Tumapel yang bertugas di Padang Karautan,
berbondong-bondong pergi ke taman untuk melihat sendiri, apakah benar
Akuwu Tunggul Ametung akan kembali ke Tumapel jauh lebih cepat dari
waktu yang telah ditetapkannya. Yang lebih tidak dapat mereka mengerti
kenapa justru Akuwu memilih waktu yang sudah jauh melampaui tengah hari
ini untuk berangkat.
Tetapi ternyata berita tentang
keberangkatan Akuwu itu bukan sekedar sebuah sendau gurau. Mereka
melihat pasukan pengawal telah siap di muka gerbang taman. Mereka
melihat tandu pun telah tersedia. Sedang beberapa orang telah siap pula
di samping kuda masing-masing. Merekalah yang nanti akan merambas jalan
yang akan dilalui oleh iring-iringan itu.
Dalam pada itu Witantra telah menghadap
Akuwu Tunggul Ametung di pesanggrahan. Ternyata Akuwu dan Permaisuri pun
telah siap pula untuk berangkat.
“Ampun Tuanku”, berkata Witantra ketika ia sudah berdiri di muka pintu bilik, “semua persiapan sudah selesai”.
“Baik” sahut Akuwu, “kita akan segera
berangkat”. Kemudian kepada Permaisurinya ia berkata, “Semua persiapan
sudah siap. Kita dapat berangkat sekarang. Bukankah begitu?”
“Hamba Tuanku” jawab Permaisuri Ken
Dedes. Namun ketika ternyata semua persiapan benar-benar telah
dilakukan, dan saat yang dikehendakinya itu telah sampai, kembali ke
Tumapel, maka perasaannya tiba-tiba saja menjadi bimbang. Terasa sesuatu
bergetar di dalam dadanya, seolah-olah taman di Padang Karautan ini
tersimpan sesuatu yang berharga baginya. Tetapi betapa hatinya menjadi
sangat berat untuk meninggalkannya. Tetapi Ken Dedes tidak berani
memikirkannya, apakah sebenarnya yang membebani keberangkatan yang
dikehendakinya itu sendiri.
“Semuanya telah tersedia” berkata Akuwu itu kemudian.
“O” Ken Dedes tergagap, “Hamba Tuanku.
Hamba pun telah siap pula”. Namun perasaan yang seolah-olah menahannya
untuk tidak beranjak dari tempatnya menjadi semakin berat. Dan
Permaisuri itu menjadi semakin takut melihat kenyataan itu di dalam
dirinya. Ketika terpandang olehnya Mahisa Agni, maka ia mencoba
menyangkutkan perasaannya itu kepadanya. Katanya di dalam hati, “Kakang
Mahisa Agni agaknya telah membuat aku ragu-ragu. Aku tidak sampai bati
untuk meninggalkannya di taman ini. Tetapi aku tidak akan dapat
membawanya. Ia harus tetap berada di sini, di antara orang-orang
Panawijen yang sedang mempersiapkan tempat baru bagi lingkungannya”.
Tetapi Ken Dedes sendiri tidak yakin, bahwa sebenarnya Mahisa Agnilah
yang telah memberati perasaannya.
Bahkan betapa ia berusaha menindasnya, namun merentul pula penyesalan di dalam hatinya, bahwa ia telah tergesa-gesa mengajak Akuwu Tunggul Ametung itu kembali ke Tumapel.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba hatinya
tersentak. Kesadarannya tiba-tiba melonjak di dalam dirinya, bahwa ia
adalah seorang Permaisuri. Bahwa ia adalah seorang isteri. Suaminya yang
berdiri dihadapannya, Akuwu Tunggul Ametung, adalah seorang suami yang
baik, yang mencoba memenuhi keinginannya, meskipun barangkali tidak
seperti yang diinginkannya sendiri.
Karena itu, maka Ken Dades itu pun
mengatupkan giginya rapat-rapat. Dideranya perasaannya sendiri, untuk
selalu sadar akan kedudukannya. Sebagai seorang isteri yang baik dan
sebagai seorang Permaisuri. Sehingga dengan demikian, maka terdengar ia
berkata dalam nada yang berat “Marilah Tuanku, kita berangkat. Semakin
cepat aku meninggalkan tempat ini, menjadi semakin baik”. Kemudian
kepada Mahisa Agni ia berkata, “Sudahlah kakang. Aku akan kembali ke
Tumapel. Aku telah mengambil keputusan untuk memohon kepada Tuanku Akuwu
Tunggul Ametung untuk mempercepat keberangkatan ini demi ketenteraman
hatiku”.
“Ya Tuan Puteri” sahut Mahisa Agni, “semoga semuannya segera menjadi baik”.
“Mudah-mudahan” berkata Ken Dedes, “sekali-sekali kakang harus berkunjung kepadaku. Ke Istana Tumapel”.
Kata-kata itu, terdengar aneh di telinga Mahisa Agni. Namun ia menjawab, “Tentu. Tentu”.
Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang
merasa aneh atas kata-kata Ken Dedes, tetapi juga Akuwu Tunggul Ametung
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berprasangka apa pun selain
anggapannya bahwa Permaisuri benar-benar sedang terganggu ketenangan
jiwanya. Karena itu maka Akuwu itu sama sekali tidak berkata sesuatu.
Dibiarkannya saja Permaisurinya melepaskan perasaannya itu kepada Mahisa
Agni.
Dan sejenak kemudian Ken Dedes itu berkata kepada Akuwu, “Ampun Tuanku. Hamba telah siap. Marilah kita segera berangkat”.
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, “Baiklah. Kita akan berangkat sekarang”. Lalu katanya kepada
Witantra, “Persiapkan semuanya. Kita akan berangkat”.
“Hamba Tuanku. Semuanya telah tersedia”.
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dibimbingnya isterinya berjalan keluar dari dalam pesanggrahan.
Di belakang berjalan dengan kepala tunduk emban tua pemomongnya. Dan di
belakang emban tua itu berjalan Mahisa Agni dan Witantra. Mereka sama
sekali tidak berbicara apapun. Angan-Angan mereka sedang di penuhi oleh
berbagai macam pertanyaan yang tidak terjawab.
Beberapa orang prajurit kemudian
mengangkat barang-barang dan beberapa ikat pakaian Permaisuri dan Akuwu
Tunggul Ametung. Barang-barang itu harus di bawa bersama mereka, di
dalam sebuah pedati tersendiri.
Ketika Permaisuri sudah hampir
menginjakkan kakinya pada pintu gerbang taman itu, hatinya menjadi
berdebar-debar. Sebentar lagi ia akan meninggalkan padang ini.
Meninggalkan taman yang segar, meninggalkan sendang dengan
rakit-rakitnya. Semuanya itu akan sangat berkesan di hatinya. Kesan yang
tidak akan mudah dihapuskannya. Bahkan kesan yang telah membuatnya
kadang-kadang menjadi seakan-akan kehilangan akal. Dan semuanya itu akan
segera ditinggalkannya.
Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam.
Apalagi ketika ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel yang berada di Padang Karautan, telah berkumpul berdesak-desakan
di luar gerbang, maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Penyesalannya atas keputusannya yang tergesa-gesa itu pun menjadi
semakin dalam tergores di dinding hatinya. Tetapi ia tidak akan dapat
mencabut kata-katanya. Ia tidak akan dapat menelannya kembali. Ia
sendirilah yang telah memohon kepada Akuwu untuk meninggalkan Padang
Karautan, meskipun hari telah melampaui setengahnya.
Tiba-tiba langkah Akuwu dan Permaisuri
itu tertegun. Betapa terkejut hati mereka, terlebih-lebih adalah Ken
Dedes. Begitu mereka sampai di regol taman, maka tiba-tiba saja
seseorang yang agaknya berdiri melekat pada dinding regol taman itu,
telah meloncat ke tengah pintu gerbang dan langsung berlutut di hadapan
mereka. Dan orang itu adalah Ken Arok.
“Ampun Tuanku” desisnya hampir-hampir
tidak dapat di dengar, “hamba tidak dapat mengerti kenapa Tuanku berdua
menjadi terlampau tergesa-gesa meninggalkan taman ini. Hamba tidak
mengerti apakah sebenarnya yang telah memaksa Tuanku berdua untuk
mengambil keputusan itu, karena Tuanku berdua sama sekali tidak
mengatakan alasan itu kepada hamba. Karena itu Tuanku, maka hamba telah
mencoba mencari jawab dari pertanyaan itu pada diri hamba sendiri”. Ken
Arok berhenti sejenak, nafasnya menjadi terengah-engah. Tetapi ia masih
tetap berlutut di hadapan Akuwu dan Permaisuri sambil menundukkan
kepalanya. Ken Arok sama sekali tidak berani menengadahkan wajahnya,
memandang sepasang mata Permaisuri Ken Dedes, yang betapa redupnya,
namun masih tetap memercikkan sinar yang dapat merontokkan jantungnya.
Dalam pada itu, terasa dada Permaisuri
itu berguncang. Ia tidak dapat meraba apakah yang telah diketemukan oleh
Ken Arok itu di dalam dirinya, di dalam hatinya sendiri. Tetapi saat
itu, Ken Dedes merasa dirinya seperti berdiri di atas bara api yang
sedang menyala, memanasi dirinya, dan bahkan hampir tidak tertahankan.
Keringatnya mengalir seperti di peras dari dalam tubuhnya.
Kakinya menjadi gemetar ketika ia
mendengar Ken Arok itu meneruskan kata-katanya, “Tuanku. Hamba adalah
orang yang bertanggung jawab di Padang Karautan ini. Hamba adalah orang
yang menerima perintah Tuanku untuk menyelenggarakan apapun di padang
ini, untuk menyambut kehadiran Tuanku. Kini hamba melihat kekecewaan di
hati Tuanku, terutama Tuan Puteri. Hamba merasa bahwa bamba tidak mampu
melakukan pekerjaan hamba, membuat Tuanku berdua tidak berkenan dihati
selama Tuanku berada di Padang Karautan ini. Apapun yang telah membuat
Tuanku ingin segera meninggalkan taman ini, namun itu berarti bahwa
hamba tidak mampu melakukan tugas hamba sebaik-baiknya”.
Sajenak Akuwu berdiri mematung di
tempatnya. Ia sudah pernah menjawab pernyataan perasaan Ken Arok itu.
Tetapi agaknya Ken Arok masih belum puas. Agaknya Ken Arok masih mencoba
untuk menanyakannya langsung kepada Permaisurinya.
Perasaan Akuwu yang meledak-ledak itu pun
tiba-tiba meledak pula. Tanpa disangka-sangka Akuwu Tunggul Ametung
tertawa sambil menepuk bahu Ken Arok, “Ken Arok. Kau perasa seperti
seorang perempuan. Aku sudah menjawab, bahwa hal ini sama sekali bukan
salahmu. Tidak ada hubungan apapun dengan kau. Betapa baiknya kau
menyelenggarakan penerimaan atas kami di sini, tetapi itu pasti tidak
akan dapat mencegah perasaan Permaisuriku untuk segera kembali ke
Tumapel. Nah, sudahlah. Jangan merengek seperti anak cengeng. Kau adalah
pemimpin prajurit Tumapel di Padang Karautan. Tengadahkan kepalamu.
Ucapkanlah selamat jalan kepada kami”.
“Ampun Tuanku” sahut Ken Arok, “hamba akan berbuat demikian apabila Tuanku berangkat kepeperangan. Tetapi kali ini tidak”.
Suara tertawa Akuwu menjadi semakin
keras. Menggelegar. Semakin keras dan semakin keras. Suara itu kemudian
seolah-olah berubah menjadi suara guntur yang meledak-ledak di langit.
Dan suara itu serasa meruntuhkan tulang-tulang iga Ken Arok. Bukan saja
tulang iganya tetapi juga seluruh isi dada.
“O “ Ken Arok berdesah. Sama sekali
tidak. Suara tertawa itu sudah terlampau sering didengarnya. Tetapi
agaknya perasaannya sendirilah yang menangkap suara itu pada sentuhan
yang tepat, sehingga suara itu terdengar seribu kali lebih keras dari
suara yang sebenarnya.
Ken Arok mencoba untuk mempergunakan
kesadarannya sepenuhnya, supaya ia dapat menilai keadaan dengan
sewajarnya. Ia mencoba untuk mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa
Akuwu berbuat demikian seperti yang biasa dilakukannya. Sama sekali
tidak mentertawakannya karena ia telah menyembunyikan perasaannya yang
sebenarnya terhadap Permaisuri itu.
Ternyata bukan saja Ken Arok yang menjadi
gelisah oleh suara tertawa itu. Keringat Permaisuri Ken Dedes pun
menjadi semakin deras mengalir. Suara tertawa Akuwu Tunggul Ametung
serasa menusuk-nusuk jantungnya. Seolah-olah Akuwu itu sedang melepaskan
sakit hatinya, karena melihat noda-noda hitam di dalam hati
Permaisurinya. Karena Akuwu melihat bintik-bintik yang mengotori
kesetiaan Ken Dedes sebagai seorang isteri.
Tetapi hati mereka agak tenang ketika
mereka mendengar Akuwu berkata, “Sudahlah. Jangan risaukan kepergian
kami. Kami mempercepat kepulangan kami karena sebab-sebab yang wajar.
Sebab-sebab yang terdapat di dalam diri kami. Kami kali ini masih belum
dapat menyesuaikan diri kami dengan suasana padang yang sepi ngelangut.
Apalagi di bumbui oleh ceritera-ceritera tentang hantu Karautan. Mungkin
Mahisa Agni terlampau sering mengganggu adiknya dengan
ceritera-ceritera itu”. Akuwu berhenti sebentar, lalu, “Tetapi kau pun
jangan merajuk dan cengeng Agni. Jangan menyesali dirimu sendiri. Jangan
merasa dirimu terlampau bersalah, lalu kau mencoba untuk membunuh
dirimu di bendungan”. Sekali lagi suara tertawa Akuwu meledak. Sejenak
kemudian suara itu mereda. Katanya agak bersungguh-sungguh, “Nah,
selamat tinggal”.
Ken Arok masih berjongkok di hadapan
Akuwu dan Permaisurinya. Ia tidak pernah di ganggu oleh kegelisahan
seperti saat ini. Ia tidak pernah di cengkam oleh perasaan ngeri seperti
kali ini. Pada saat-saat ia berada di padang ini, ia selalu menghadapi
beribu macam persoalan yang mengerikan. Tetapi tidak separti kali ini.
Ia telah di siksa oleh perasaan bersalah, karena percikan perasaannya
atas Permaisuri Akuwunya, Permaisuri seseorang yang telah mengangkatnya
dari dunianya yang hitam. Tetapi ia tidak dapat melepaskan pengakuan dan
kemudian merunduk sambil memohon maaf. Tidak, ia tidak dapat
melakukannya, sehingga dengan demikian perasaan bersalah itu akan tetap
menyiksanya.
Kebo Ijo yang berdiri tidak terlampau
jauh dari tempat itu mengerutkan keningnya itu hampir bertemu. Di dalam
hatinya ia mengumpat tidak habis-habisnya. Seperti Akuwu ia menganggap
bahwa Ken Arok ternyata adalah seorang yang terlampau cengeng.
“Huh”, desisnya di dalam dadanya, “kenapa
anak itu tiba-tiba berubah menjadi anak cengeng dan perajuk. Sungguh
memalukan. Sikap itu sama sekali bukan sikap seorang prajurit”.
Kebo Ijo menarik nafas ketika ia melihat Ken Arok kemudian berdiri, melangkah surut, kemudian membungkuk dalam-dalam.
“Nah”, berkata Akuwu, “tinggallah kalian
di sini. Aku akan segera berangkat. Perjalanan ini merupakan perjalanan
yang menyenangkan. Malam nanti bulan masih cukup terang”.
Ken Arok sama sekali tidak berani
mengangkat wajahnya. Kepalanya yang tertunduk itu bergerak. Sahutnya
“Hamba Tuanku. Kami dan semua orang di sini mengucapkan selamat jalan
kepada Tuanku berdua”.
Akuwu mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian di bimbingnya Ken Dedes ke tandu yang tersedia. Ketika
tersentuh tangan Permaisuri itu, Akuwu mengerutkan keningnya. Tangan itu
terlampau dingin, bahkan terasa agak basah oleh keringat, dan gemetar.
Sejenak Akuwu memandangi Permaisurinya yang menjadi semakin pucat.
Tetapi Akuwu sama sekaii tidak berprasangka. Sekali ia mencoba mencari
sebabnya pada perasaan takut yang berlebih-lebihan dari Permaisurinya
itu kepada Hantu Karautan atau sebangsanya, dan dirasanya dapat
menganggunya langsung mengorek ulu hati.
“Marilah” berkata Akuwu itu, “Sebentar lagi kita akan meninggalkan padang itu”.
Permaisuri ingin menjawab, tetapi
mulutnya serasa terbungkam. Perlahan-lahan ia melangkah di bimbing oleh
suaminya dan diikuti oleh pemomongnya yang menjadi gelisah dan cemas.
Sejenak kemudian, ketika Ken Dedes dan
pemomongnya telah berada di dalam tandu, dan dijunjung oleh beberapa
orang, maka Akuwu pun naik ke atas punggung kudanya pula.
“Baik-baiklah kalian di sini “ pesan
Akuwu, “Kami akan berangkat”. Hampir bersamaan Ken Arok dan Mahisa Agni
menjawab, “Hamba Tuanku”.
“Peliharalah taman itu baik-baik. Jangan
hanya pada saat-saat yang khusus. Jangan hanya pandai membuat, tetapi
kalian harus pandai memelihara dan mengembangkan. Pada suatu saat kami
akan datang lagi. Kami mengharap bahwa taman ini akan menjadi lebih
indah”.
Ken Arok mengangguk dalam-dalam, “Hamba Tuanku. Hamba akan melakukannya”.
“Bagus” berkata Akuwu, kemudian “Sekarang, kami akan berangkat”.
Kepada Witantra ia berkata, “Marilah kita berangkat”.
Witantra mengangguk dalam-dalam “Hamba Tuanku, semuanya sudah siap”.
Witantra pun kemudian memberikan isyarat
kepada ujung barisan untuk segera bergerak. Dan sekejap kemudian
selangkah demi selangkah iring-iringan itu mulai maju.
Mahisa Agni masih berdiri di samping tandu Ken Dedes. Perlahan-lahan ia mengikuti langkah pada iringan itu.
“Kau harus selalu datang kepadaku kakang”
sekali lagi mendengar permintaan itu. Dan sekali lagi keheranan telah
menyentuh hatinya. Namun ia menjawab, “Ya, tentu Tuan Puteri. Tentu”.
“Terima kasih kakang” suara Permaisuri
itu terlampau dalam. Dan tiba-tiba tanpa disangka-sangka oleh Mahisa
Agni Ken Dedes bertanya lirih sakali sehingga tidak ada seorang lain pun
yang mendengar kecuali emban pemomongnya, dan bahkan orang-orang yang
menjunjung tandunya pun tidak memperhatikannya, “Kakang, apakah
prajurit-prajurit itu masih diperlukan di Padang Karautan itu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia
tidak mengerti arah pertanyaan Ken Dedes itu. Bahkan tanpa disengajanya
Mahisa Agni berpaling ke arah Akuwu Tunggul Ametung yang berkuda agak di
belakang tandu Ken Dedes. Dan di belakang Akuwu adalah Witantra.
“Hamba tidak tahu maksud Permaisuri”
jawab Mahisa Agni kemudian, “semuanya itu tergantung kepada Akuwu.
Barangkali Tuan Puteri dapat bertanya kepada Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung”.
“O, tidak. Tidak” cepat-cepat Ken Dedes menyahut “bukan maksudku. Bukan maksudku untuk bertanya demikian”.
“Dan aku pun tidak akan menanyakannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Lupakan saja pertanyaan itu kakang”.
Mahisa Agni menjadi semakin tidak
mengerti. Tetapi ia tidak mendesak lagi. Ia tidak ingin menambah
Permaisuri itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka sejenak
kemudian justru Mahisa Agni itu berkata, “Nah, selamat jalan Tuan
Puteri. Aku akan tinggal di sini bersama-sama orang-orang Panawijen”.
“Selamat tinggal kakang” desis Ken Dedes. Suaranya menjadi serak, dan seolah-olah tersangkut di kerongkongan.
“Selamat jalan bibi” berkata Mahisa Agni pula kepada pemomong Ken Dedes.
Mata emban itu menjadi berkilat-kilat
oleh titik air yang mengambang. Tetapi ia tersenyum penuh kebanggaan. Ia
telah melihat Mahisa Agni berada di dalam lingkungannya. Lingkungan
sejak kanak-kanak.
“Selamat tinggal ngger” jawab emban itu “berhati-hatilah dan baik-baik membawa dirimu”.
“Terima kasih bibi” jawab Mahisa Agni sambil membungkukkan kepalanya.
Mahisa Agni itu pun kemudian menghentikan
langkahnya. Ketika Akuwu lewat di depannya ia mengangguk dalam-dalam
sambil berkata, “Selamat jalan Tuanku”.
Akuwu tertawa. Jawabnya, “Terima kasih. Mudah-Mudahan Hantu Karautan itu tidak mengikuti Ken Dedes sampai ke Tumapel”.
Mahisa Agni pun mencoba untuk tersenyum,
meskipun senyumnya terlampau hambar. Juga kepada Witantra ia mencoba
tersenyum dan berkata, “Selamat jalan Witantra. Pada saatnya aku pasti
akan pergi ke Tumapel. Sekali-kali aku ingin juga melihat tempat-tempat
ramai. Tidak selalu di lingkungi oleh bunyi cengkerik dan bilalang di
padang yang sepi ini”.
Witantra tertawa kecil jawabnya lambat
hampir berbisik, “Kau dapat pergi ke Tumapel setiap pekan. Setiap saat
yang kau kehendaki kau dapat meloncat di atas punggung kuda dan berpacu
sebentar. Kau dapat bermalam semalam atau dua malam sekehendak hatimu.
Tetapi aku tidak”.
“Kenapa kau tidak?”
“Aku terikat oleh kewajibanku di istana. Aku adalah seorang hamba yang tidak dapat berbuat sekehendak hatiku sendiri”.
“Ah” desah Mahisa Agni “aku pun harus menyesuaikan diriku dengan tempat perhambaanku. Tanah, sungai, hujan dan musim”.
Keduanya tertawa. Tetapi keduanya tidak
berbicara lagi. Mahisa Agni pun segera melangkah mundur, keluar dari
iringan yang berjalan semakin cepat. Witantra kemudian berpaling,
mencari Ken Arok dan Kebo Ijo. Ternyata Ken Arok masih berdiri di sisi
regol, sedang Kebo Ijo tegak tidak jauh dari padanya.
Pempimpin pasukan pengawal itu
melambaikan tangannya sambil tersenyum kepada keduanya. Dengan kaku Ken
Arok mencoba membalas lambaian tangan itu dan hati yang kosong ia
mencoba tersenyum pula. Sedang Kebo Ijo mengangkat tangannya
tinggi-tinggi, bahkan kedua tangannya.
Iring-Iringan itu pun semakin lama
menjadi semakin cepat berjalan. Tirai tandu Permaisuri sudah ditutupnya.
Tetapi ternyata Ken Dedes itu masih melihat dari celah-celah tiriannya
yang tipis, seakan-akan mencari sesuatu di dalam kerumunan para prajurit
Tumapel yang masih harus tinggal di Padang Karautan.
Namun iring-iringan itu berjalan terus.
Semakin lama semakin jauh masuk ke dalam padang, meninggalkan taman dan
pesanggrahan yang sengaja di buat untuk Permaisuri Ken Dedes.
Semakin jauh iring-iringan itu berjalan,
terasa hati Ken Arok menjadi semakin kosong. Serasa sesuatu telah hilang
dari padanya hanyut di dalam arus pasukan itu telah membawa sesuatu,
miliknya yang paling berharga.
Tiba-tiba Ken Arok mengatupkan giginya
rapat-rapat. Terbayang kembali diwajahnya, pada saat Akuwu itu membawa
sepasukan prajurit ke Panawijen. Dengan paksa Akuwu telah mengambil Ken
Dedes itu dari lingkungannya, meskipun atas permintaan Kuda Sempana yang
dengan licik telah berhasil menghasut Akuwu.
Sesuatu berdesir di dalam dada anak muda
itu. Iring-iringan yang menjadi semakin jauh itu seolah-olah merupakan
peristiwa ulangan dari saat-saat Ken Dedes hilang dari padepokannya.
Pada saat Akuwu membawanya.
Tetapi kepala Ken Arok itu pun kemudian
tertunduk dalam-dalam. Seolah-olah ia dihadapkan sebuah cermin di muka
hidungnya. Ia sendiri ada di dalam pasukan itu, pada saat Akuwu
mengambil Ken Dedes dari orang tuanya. Bahkan pada saat itu Witantra lah
yang dengan berani dan penuh tanggung jawab telah menentang perintah
Akuwu, meskipun hal itu dapat berakibat naik ke tiang gantungan di
alun-alun. Namun Witantra telah menolak.
“Memalukan sekali” tiba-tiba Ken Arok itu
menggeram di dalam dirinya. Penyesalan yang dalam telah melanda jantung
dan hatinya. Penyesalan atas tingkah lakunya saat itu. Penyesalan atas
tindakan Akuwu yang tergesa-gesa.
“O, alangkah bodohnya Akuwu itu” Ken Arok
mengumpat di dalam hatinya, “sebenarnya bukan sepantasnya kini ia
memperisterinya. Ia telah mencuri gadis itu dari orang tuanya, apapun
alasannya”. Tetapi suara itu mengumandang terus di luar kehendaknya,
“Dan aku ikut serta bersamanya waktu itu”.
“Tetapi aku sekedar seorang hamba” ia mencoba membantahnya sendiri didalam hati pula.
Ketika Ken Arok mengangkat wajahnya,
dilihatnya debu yang tipis mengepul dikejauhan. Iring-iringan itu sudah
menjadi kian jauh sehingga Ken Arok sudah tidak dapat melihat lagi
seorang demi seorang. Apalagi beberapa jenis gerumbul-gerumbul kecil
yang liar menghalangi pandangan matanya yang mengabur.
“He, kenapa kau berdiri di situ saja?” terdengar suara di belakangnya.
Ken Atok berpaling. Dilihatnya Kebo Ijo berdiri di belakangnya dengan wajah yang keheran-heranan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Ketika dilihatnya Mahisa Agni mendekatinya pula maka ia bergumam, “Aku
tidak tahu, kesalahan apakah yang telah kami perbuat di sini”.
“Jangan hiraukan lagi” sahut Kebo Ijo “sejak kecil Ken Dedes memang gadis cengeng dan perajuk”.
“Kebo Ijo” Ken Arok membentaknya.
Hampir-hampir saja ia menampar mulut anak itu sekali lagi, “Kau jangan
mengigau. Setiap saat kau dapat mengalami bencana karena mulutmu. Seribu
kali aku mencoba menasehatimu”. Kemudian kepada Mahisa Agni Ken Arok
berkata, “Maaf Agni. Aku minta maaf untuk Kebo Ijo”.
Dan tiba-tiba saja Kebo Ijo memotong, “Kenapa kau minta maaf kepadanya?”
“Hem” Ken Arok menggeram, “Kau memang
orang gila. Kau tidak dapat lagi mempergunakan otakmu untuk berpikir.
Bukankah Tuanku Permaisuri itu adik Mahisa Agni”.
“O” Kebo Ijo mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi pandangan matanya serta tarikan bibirnya benar-benar
telah menyakitkan hati, “keluhuran yang didapatkan oleh Tuanku
Permaisuri terpercik juga kepadamu Mahisa Agni”.
Tetapi Kebo Ijo menjadi kecewa. Mahisa
Agni ternyata tidak menjadi marah karenanya. Bahkan dilihatnya anak muda
itu tersenyum sambil bergumam, “Aku memang harus berterima kasih.
Tetapi bukankah sudah sewajarnya bahwa aku seorang saudara tua dari
seorang Permaisuri mendapat kehormatan yang cukup? Apakah kau menjadi
iri hati?”
“Persetan” geram Kebo Ijo.
“Itu adalah keuntungan yang tidak aku
sangka-sangka bahwa aku akan menjadi kakak seorang Permaisuri yang
ikhlas atau tidak ikhlas, harus kau sembah”. Kebo Ijo yang sudah
menggerakkan bibirnya ingin memotong kata-kata itu, telah didahului oleh
Mahisa Agni pula, “Nanti dulu, aku belum selesai. Kau akan mengumpat
bukan? Nah, kenapa kau tidak pernah berkata berterus terang kepada Akuwu
Tunggul Ametung, bahwa kau segan menyembah Tuan Puteri Ken Dedes,
karena Ken Dedes sekedar gadis padesan? Kau pasti akan mendengar jawab
Akuwu, Ken Dedes cukup mempunyai kesempatan. Ia adalah adik seorang
Mahisa Agni”.
“Gila. Gila” teriak Kebo Ijo, “kau sudah
menjadi gila karena percikan kehormatan yang tidak berarti itu”. Kebo
Ijo tidak menunggu Mahisa Agni menjawab. Sambil mengumpat-umpat ia pergi
dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahisa Agni yang tidak dapat menahan
lagi tertawanya.
Betapa hati Ken Arok sedang pepat oleh
persoalan yang menyesak dadanya, namun ia masih juga sempat tersenyum
sambil berkata, “Demikianlah sebaiknya bersikap terhadap Kebo Ijo.
Beberapa kali aku marah kepadanya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat
merubah sikapnya. Tetapi dengan caramu, mungkin ia akan menjadi jera”.
“Aku pun telah dipusingkan oleh tabiatnya yang meledak-ledak itu. Mudah-Mudahan ia tidak mendapat bencana karena mulutnya”.
“Mudah-mudahan” desis Ken Arok sambil memandangi punggung Kebo Ijo yang semakin jauh.
“Sekarang, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Agni.
Ken Arok mengerutkan keningnya.
Dipandanginya dikejauhan debu yang semakin tipis dan hampir tidak dapat
dilihatnya lagi. Iringannya pun telah hilang di balik semak-semak yang
bertebaran di sana-sini. Terasa hatinya yang penuh dengan
perasaan-perasaan aneh, menjadi semakin terasa.
Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Mahisa Agni. Kita akan membongkar pesanggrahan itu”.
Mahisa Agni terperanjat. Dengan penuh
keheranan ia bertanya, “Kenapa begitu tergesa-gesa? Pesanggrahan itu,
meskipun darurat, adalah lebih baik dari gubug-gubug kita di dekat
bendungan. Apakah tidak sebaiknya, sebagian dari kita, kita tempatkan di
pesanggrahan ini. Kalau kau tidak berkeberatan Ken Arok, menjelang
pemindahan orang-orang Panawijen dari padukuhannya yang kering itu,
biarlah pesanggrahan darurat itu kita pergunakan”.
Terasa sesuatu berdesir di dada Ken Arok.
Pesanggrahan itu selalu memperingatkannya kepada Permaisuri Ken Dedes.
Kepada kesempatan yang pertama-tama didapatnya, berbicara dengan
Permaisuri itu tidak sebagai seorang hamba. Tetapi pembicaraan malam itu
adalah pembicaraan yang sangat menyenangkan. Pembicaraan yang bebas dan
terbuka. Kadang-kadang hatinya menggelepar oleh suara tertawa
Permaisuri yang lembut dan dadanya serasa tergetar melihat senyumnya
yang cerah.
“Tetapi apakah sikapku waktu itulah yang
telah menyakitkan hatinya” berkata Ken Arok kepada diri sendiri,
berulang-ulang kali, “Kalau demikian, ia benar-benar seorang yang sadar
dalam penguasaan diri. Meskipun ia tidak senang melihat sikap dan
tingkah lakuku, tetapi ia masih saja tersenyun dan tertawa. Masih saja
bertanya-tanya tentang berbagai macam persoalan, dan masih saja
membiarkan aku duduk dihadapannya”.
“Bagaimana Ken Arok” pertanyaan itu telah mengejutkannya.
“Oh” Ken Arok tergagap sejenak. Lalu,
“Baiklah kalau demikian. Aku mengharap orang-orang Panawijen dapat
menempatinya untuk sementara. Tetapi, aku harus mempersiapkan
pesanggrahan yang lebih baik. Bukan sekedar pesanggrahan darurat seperti
itu”.
“Tentu. Dan kami akan membantu sejauh-jauh dapat kami lakukan seperti kalian telah membantu kami menyiapkan bendungan itu”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Baiklah. Baiklah. Saat itu akan segera datang”.
Mahisa Agni heran mendengar jawaban itu.
Dipandanginya wajah Ken Arok yang tegang. Dan sejenak kemudian ia
bertanya, “Apakah yang akan segera datang?”
Ken Arok terkejut mendengar pertanyaan itu. Tergagap ia menjawab, “O, tidak. Tidak ada apa-apa”.
Jawaban itu justru membuat Mahisa Agni
menjadi semakin bingung. Tetapi ia tidak ingin bertanya lagi.
Disimpannya saja pertanyaan-pertanyaan itu di dalam dadanya. Bahkan
timbullah keheranannya atas dirinya sendiri. Katanya di dalam hati,
“Apakah aku pun sudah dihinggapi oleh kebingungan tanpa sebab. Semua
membuat hariku berdebar-debar. Aku sama sekali tidak mengerti, kenapa
aku tidak segera dapat menangkap maksud orang lain akhir-akhir ini. Aku
banyak tidak dapat mengerti apa yang dikatakan oleh Ken Dedes. Dan
ternyata aku juga banyak menjadi tidak mengerti, apa yang dikatakan oleh
Ken Arok”. Mahisa Agni berdesah, lalu ia berkata pula di dalam
hatinya, “Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila karenanya”.
Mahisa Agni kemudian tidak bertanya lagi.
Tetapi kini ia mengajak Ken Arok kembali ke pesanggraban itu. Katanya,
“Marilah kita kembali ke pesanggrahan”.
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku akan kembali ke gubugku di dekat bendungan itu”.
“Kenapa kau tidak mempergunakan pesanggrahan yang lebih baik itu saja?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Namun
demikian ia menjawab, “Aku lebih senang berada di antara kalian. Biarlah
pesanggrahan itu ditunggui olah beberapa orang prajurit yang harus
membersihkan dan menjaga segala macam isinya”.
Ken Arok menarik nafas. Ia dihadapkan
lagi pada persoalan yang tidak dimengertinya. Tetapi ia tidak mau
mempersulit dirinya sendiri. Karena itu, maka jawabnya, “Baiklah. Kalau
begitu aku pun akan pergi ke perkemahan itu pula”.
Ken Arok mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian mereka berdua melangkahkan kaki mereka, melintasi Padang
Karautan menuju ke gubug masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah
menyusuri tanggul susukan induk, yang mengalirkan air yang bersih
bening.
Di sepanjang langkah mereka, mereka
berdua hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka saling berdiam
diri dengan angan-angan masing-masing. Ken Arok berjalan sambil
menundukkan kepalanya yang dipenuhi oleh angan-angan yang melambung,
namun setap saat ia pun terbanting di atas kenyataan yang dihadapinya
kini. Ia tidak lebih dari seorang hamba. Tidak lebih.
Sementara itu, perjalanan Akuwu menjadi
kian jauh ke tengah Padang Karautan. Matahari semakin lama menjadi
semakin rendah di arah Barat. Sinarnya menjadi kekuning-kuningan
memencar di atas padang yang luas.
Akuwu yang berkuda di sisi tandu
Permaisurinya, kadang-kadang mencoba menembus tirai tipis yang mentabiri
ruangan di dalam tandu itu, untuk mencoba melihat wajah isterinya.
Tetapi yang tampak olehnya hanyalah bayangan hitam yang bergerak-gerak
di dalam tandu, seirama dengan langkah para pengangkatnya.
Karena itulah maka Akuwu Tunggul Ametung tidak melihat, betapa wajah Permaisurinya menjadi suram.
Ternyata Permaisuri itu sedang menyesali
ketergesa-gesaannya, Penyesalan itu setiap kali selalu melonjak di dalam
dadanya. meskipun setiap kali ia selalu berusaha menekannya. Ketika
pesanggrahan dan taman di tengah-tengah padang itu sudah tidak dapat
dilihatnya lagi, Permaisuri itu menekankan telapak tangannya di dadanya.
Ia merasa seakan-akan sesuatu telah tertinggal di padang yang luas itu.
Dan yang tertinggal itu, agaknya terlampau berharga baginya.
Tiba-tiba saja Permaisuri itu berdesah.
Ketika ia memandang keluar, dilihatnya bayangan suaminya berkuda di
sisinya. Dan tiba-tiba saja pertanyaan seperti yang ditanyakan kepada
Mahisa Agni telah mengganggunya pula. Apakah gunanya pasukan Tumapel itu
di Padang Karautan? Bukankah pekerjaan mereka di sana sudah selesai?
Bendungan sudah siap, air sudah siap, air sudah naik tidak saja
kesusukan induk, tetapi sudah naik keparit-parit dan sawah-sawah. Sedang
taman yang dijanjikan oleh Akuwu Tunggul Ametung itu pun telah siap
pula. Sehingga bukankah dengan demikian para prajurit di Padang Karautan
itu sudah tidak berguna lagi?
Pertanyaan itu ternyata telah memepatkan
dadanya. Betapapun ia berusaha, namun serasa dadanya selalu di
desak-desak oleh pertanyaan-pertanyaan itu, sehingga terasa akan retak.
Akhirnya Ken Dedes tidak dapat menahan diri lagi. Hampir-hampir di luar sadarnya, tangannya bergerak membuka tirai tandunya.
Akuwu melihat tirai yang tipis itu
terbuka. Segera ia mendekatinya sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu
yang perlu kau katakan Ken Dedes?”
Sejenak Ken Dedes menjadi ragu-ragu.
Tetapi di dalam hatinya ia berkata, “Bukankah aku hanya sekedar bertanya
tentang prajurit di Padang Karautan?”
Ken Dedes terkejut ketika Akuwu sudah berada dekat di sampingnya sambil mendesaknya, “Apakah kau akan mengatakan sesuatu?”
“Hamba Tuanku”, jawab Permaisurinya terbata-bata “Tetapi, ampun Tuanku, hamba akan sekedar bertanya saja”.
“Katakanlah”.
“Apakah tugas para prajurit di Padang Karautan itu sudah selesai Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Sejenak kemudian dijawabnya, “Ya, aku kira pekerjaan mereka
telah selesai hampir seluruhnya”.
“Lalu apa pulakah yang masih mengikat mereka untuk tetap berada di sana?”
Pertanyaan itu menimbulkan keheranan di
hati Akuwu. Tetapi ia rnenjawab “Memang mereka sudah tidak mempunyai
pekerjaan yang khusus. Tetapi mereka masih harus menunggui taman itu,
dan apabila memungkinkan, mereka akan membuat sebuah pesanggrahan. Bukan
sekedar pesangrahan darurat”.
Permaisuri Ken Dedes mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keinginannya untuk mengutarakan perasaannya semakin
mendesaknya, sehingga seolah-olah ia tidak lagi mampu untuk menahannya.
Meskipun dengan penuh keragu-raguan, Ken Dedes itu berkata “Tuanku,
pesanggrahan bukanlah sesuatu yang penting sekali, sehingga seandainya
pesanggrahan itu tidak dapat diwujudkan, bukankah itu sama sekali tidak
mengganggu”.
Akuwu menjadi semakin heran mendengar
kata-kata Permaisurinya. Tetapi ia masih menyimpan keheranan itu di
dalam dadanya. Bahkan ia menjawab, “Ya, memang pesanggrahan bukanlah
sesuatu yang harus segera disiapkan seperti bendungan itu misalnya”.
“Nah, kalau demikian, apakah gunanya para prajurit itu tetap berada di Padang Karautan?”
Akuwu mengerutkan dahinya. Dipandanginya
wajah Permaisurinya dengan seksama. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang
dapat membuatnya mengambil kesimpulan. Ia hanya melihat wajah itu redup
dan pucat.
“Ken Dedes”, jawab Akuwu kemudian,
“prajurit-prajurit itu memang sudah tidak mempunyai tugas-tugas pokoknya
di Padang Karautan. Tetapi mereka menghadapi tugas-tugas yang lain,
yang meskipun tidak sepenting tugas yang pertama. Seperti sudah aku
katakan, mereka dapat membangun pesanggrahan, kalau itu belum mungkin,
mereka harus membersihkan dan mengembangkan taman yang sudah siap itu,
supaya menjadi lebih baik, dan lebih-lebih lagi, musim hujan yang sudah
mulai ini, segera akan menjadi semakin basah. Pada saatnya banjir pasti
akan datang lagi. Dalam keadaan darurat itu, mungkin masih diperlukan
tenaga para prajurit”.
“O”, desah Ken Dedes,
“kepentingan-kepentingan yang masih mengambang di dalam angan-angan.
Seandainya demikian, bukan kah pekerjaan itu dapat diserahkan kepada
orang-orang Panawijen? Para prajurit Tumapel telah membantu mereka
membuat bendungan. Tidak saja dengan tenaga tetapi juga dengan segala
macam keperluan dan peralatan. Pedati, bajak dan penarik-penariknya.
Berpasang-pasang lembu dan kerbau. Nah, apakah kini mereka keberatan,
seandainya mereka kita serahi untuk mengurus taman itu dan memelihara
bendungan mereka sendiri”.
Akuwu menjadi pening mendengar
pertanyaan-pertanyaan Permaisurinya. Tetapi Akuwu sama sekali tidak
berprasangka apa pun. Ia menganggap bahwa Permaisurinya masih agak
terganggu oleh kecemasan dan ketakutan. Dugaan itu semakin jelas ketika
Permaisuri itu kemudian berkata “Tuanku, prajurit-prajurit Tumapel
adalah lambang kebesaran dan kekuatan Tuanku. Apabila mereka terlampau
lama berada di Padang Karautan tanpa tugas tertentu, mereka akan dapat
dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang lain yang dapat mempengaruhi
sikapnya sebagai seorang prajurit. Lebih-lebih lagi Tuanku, seandainya
terjadi sesuatu, maka Tumapel tidak dapat berbuat dengan kekuatan
sepenuhnya, karena sebagian dari prajurit-prajuritnya berada di Padang
Karautan tanpa arti. Mereka seolah-olah orang-orang buangan yang tidak
dikehendaki berada di pusat pemerintahan”.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Hampir
saja ia berteriak memaki. Tetapi karena yang dihadapinya adalah
Permaisurinya yang sedang kebingungan, maka ditahankannya hatinya untuk
tidak meledak-ledak tanpa kendali.
Bahkan di dalam hati Akuwu itu tumbuhlah
perasaan belas kasihan yang dalam terhadap Permaisurinya yang menurut
dugaannya telah dihinggapi oleh suatu penyakit yang aneh. Kadang-kadang
timbul pertanyaan di dalam dirinya “Apakah benar Hantu Karautan telah
menganggunya?”
“Ken Dedes” berkata Akuwu itu kemudian
dengan nada merendah. Jarang sekali terdengar Akuwu berkata sesareh itu,
“Kau jangan berpikir terlampau jauh. Tidak ada bahaya apa pun yang
mengancam Tumapel sekarang ini. Hubungan kita dengan daerah-daerah di
sekitar Tumapel terlampau baik. Hubungan dengan Kediri pun sama sekali
tidak terganggu. Kenapa kau mencemaskan bahwa suatu ketika akan ada
bencana yang mengancam? Tidak Ken Dedes, kau benar-benar sedang
dibayangi oleh perasaan takut dan crmas yang berlebih-lebihan. Kau harus
mencoba meyakinkan dirimu, bahwa sebenarnya kini tidak ada apa-apa yang
perlu kau cemaskan”.
“Ampun Tuanku” sahut Ken Dedes “Tuanku
terlampau percaya kepada penglihatan Tuanku. Tetapi bahaya itu
tersembunyi di mana-mana. Itulah sebabnya Tuanku tidak boleh kehilangan
kewaspadaan”.
“Ya, ya Ken Dedes, aku mengerti. Aku akan memperkuat pertahanan wilayah Tumapel”.
“Bukan itu Tuanku. Permohonan hamba, asal
prajurit-prajurit yang berada di Padang Karautan itu di tarik
seluruhnya, maka perasaan hamba akan sudah menjadi tenteram”.
Sekali lagi Akuwu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak direnunginya sinar matahari yang seolah-olah
memantul di wajah padang yang luas. Perlahan-lahan diangguk-anggukkannya
kepalanya sambil berkata lirih, “Baiklah Ken Dedes. Aku akan segera
menarik semua prajurit dari Padang Karautan. Aku mengharap itu tidak
membuat Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen, apalagi orang-orang
Panawijen yang belum sempat memindahkan dirinya ke padukuhannya yang
baru, menjadi kecewa. Memang seharusnya mereka belajar mengurus diri
mereka seadiri. Dan aku percaya kepada Mahisa Agni, bahwa ia akan dapat
mengatasi segala kesulitan”.
Oleh jawaban Akuwu itu, terasa sepercik
kegembiraan melonjak di hati Ken Dedes. Seolah-olah ia akan menemukan
kembali sesuatu yang hilang tertinggal di Padang Karautan. Sehingga
tanpa sesadarnya ia berkata “Terima kasih Tuanku. Hamba mengucapkan
terima kasih”.
Akuwu tidak menyahut. Keheranan di dalam
dadanya semakin bertambah-tambah. Ia melihat perubahan yang tersaput di
wajah Permaisurinya. Namun yang terlintas di dalam hatinya adalah,
“Kasihan. Begitu dalam ia di cengkam oleh ketakutan dan kecemasan,
sehingga ia tidak percaya lagi kepada kekuatan yang ada di Tumapel untuk
melindunginya. Mudah-mudahan penyakit itu dapat segera sembuh apabila
keinginan-keinginannya dapat terpenuhi untuk menenteramkan hatinya”.
Dengan demikian maka Akuwu benar-benar
akan melaksanakan permintaan Permaisurinya itu. Apabila mereka nanti
sampai di istana, maka Akuwu akan segera memerintahkan beberapa orang
untuk menyampaikan pesan itu. Menarik semua prajurit yang ada di Padang
Karautan. Yang dipikirkan oleh Akuwu itu adalah cara yang sebaik-baiknya
sehingga tidak menimbulkan kesan yang kurang baik pada orang-orang
Panawijen.
Demikianlah maka perjalanan itu sama
sekali tidak menimbulkan kesan apa pun. Baik pada Akuwu Tunggul Ametung,
maupun kepada Permaisurinya. Mereka lebih banyak diam, terbenam di
dalam angan-angan masing-masing. Ketika mereka bermalam di perjalanan,
Akuwu telah membetengi tandu Permaisurinya dengan prajurit-prajurit yang
berjajar rapat supaya Ken Dedes tidak ketakutan. Namun bagaimanapun
juga, Ken Dedes yang berbaring di sisi tandunya bersama pemomongnya
masih juga nampak gelisah dan cemas.
Sebenarnyalah bahwa tidak ada kekuatan
yang betapapun besarnya untuk dapat melepaskannya dari kecemasan, kerena
kecemasan dan kegelisahan itu melonjak dari dalam dirinya sendiri.
Dan ternyatlah kemudian, ketika mereka
sudah sampai di Tumapel, maka Akuwu segera merencanakan untuk memanggil
prajurit-prajuritnya yang berada di Padang Karautan. Namun ia menjadi
semakin bingung ketika ternyata pendirian Permaisurinya selalu
berubah-ubah. Pada suatu ketika, Ken Dedes seolah-olah memaksa Akuwu
untuk segera memanggil pasukan itu, namun di saat yang lain, dengan
penuh ketakutan Ken Dedes berkata “Jangan Tuanku. Jangan Tuanku
memanggil prajurit-prajurit itu. Kasihan kakang Mahisa Agni dan
orang-orang Panawijen. Apabila terjadi bencana, apalagi banjir, tidak
ada pasukan yang akan menolong mereka”.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam, “Aku
tidak mengerti, bagaimanakah sebenarnya yang kau kehendaki. Aku dapat
saja melakukannya. Menarik pasukan itu, atau membiarkannya di Padang
Karautan”.
“Langit sudah terlampau sering dibayangi
oleh awan yang kelabu dan hujan sudah terlampau sering turun. Semakin
lama kita semakin dalam masuk kedalam musim basah”.
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah Ken Dedes. Pasukan itu akan aku biarkan saja di Padang Karautan”.
“Terima kasih Tuanku. Ternyata Tuanku masih tetap memikirkan nasib orang-orang Panawijen”.
“Aku tidak pernah melupakannya”. Akuwu
ita berhenti sejenak, “Nah, sekarang beristirahatlah. Banyak-banyaklah
beristirahat. Jangan memikirkan apa pun juga”.
Permaisuri mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia pergi ke biliknya. Namun setiap kali ia
selalu menelungkupkan dirinya di atas pembaringannya. Bahkan
kadang-kadang terdengar ia berdesah berkepanjangan.
“Tuanku membuat seluruh isi istana menjadi bingung” emban pemomongnya setiap kali mencoba menghiburnya.
“Sebaiknya Tuanku melepaskan segala
masalah. Tuanku harus menenangkan diri. Tuanku adalah bulan di malam
hari bagi istana ini, seperti Tuanku Tunggul Ametung adalah matahari di
waktu siang. Kalau matahari dan bulan menjadi suram, maka hari yang
cerah dan malam purnama pun akan menjadi suram pula”.
Ken Dedes selalu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Permaisuri itu selalu dapat mengerti. Ia menyadari kebenaran
kata-kata embannya dan betapa ia sedang dicengkam oleh iblis yang paling
jahat untuk menjerumuskan kedalam api neraka. Namun kadang-kadang
hatinya yang lemah kehilangan pegangan. Dalam keadaan yang demikian
itulah ia merengek-rengek kepada Akuwu untuk segera memanggil pasukan
Tumapel yang berada di Padang Karautan.
Namun ternyata Akuwu Tunggul Ametung
telah membuat perhitungannya sendiri. Ia menganggap bahwa isterinya
benar-benar sedang kebingungan. Akuwu menganggap, bahwa sebenarnya
Permaisurinya sedang di cengkam oleh ketakutan. Maka diminta atau tidak
diminta, ia harus menarik pasukannya. Menurut pendapat Akuwu, dalam
saat-saat tertentu Ken Dedes telah di desak oleh rasa belas kasihannya
kepada kakaknya dan kepada orang-orang Panawijen, sehingga ia minta
supaya penarikan itu diurungkan. Tetapi sebenarnya, keinginannya yang di
warnai oleh ketakutan, kecemasan dan kegelisahannya adalah memanggil
semua kekuatan untuk dipusatkan dipusat pemerintahan sampai ia menjadi
tenang kembali. Bahkan Akuwu merencanakan untuk mengumpulkan sebagian
pasukannya di alun-alun dan membawa Ken Dedes melihat-lihat pasukan itu.
Dengan demikian ia mempunyai kepercayaan kepada kekuatan yang ada di
Tumapel. Mudah-mudahan ia menjadi tenang dan lambat laun dapat
disembuhkan dari kegelisahannya. Akuwu berharap di dalam batinya.
Tetapi yang masih tetap gelap bagi Akuwu,
kenapa tiba-tiba saja Ken Dedes, justru pada saat ia berada di Padang
Karautan yang sepi dihinggapi oleh perasaan takut yang berlebih-lebihan
itu? Apakah di dalam kesepian, ia membayangkan sepasukan prajurit dari
negeri yang tidak dikenal datang melanda Tanah Tumapel? Dan apakah ini
merupakan suatu firasat?
“Ken Dedes bukan orang kebanyakan” desis
Akuwu di dalam hatinya, “Aku pernah melihat tubuhnya seakan-akan
menyala, seakan-akan memancar seperti matahari Apakah ketakutan yang
melanda hatinya itu benar-benar suatu peringatan bagiku dan bagi
Tumapel?”
Ternyata Akuwu tidak dapat menahan
perasaan itu di dalam hatinya. Kepada tetua Tanah Tumapel yang
dipercayanya ia minta pertimbangan, apakah firasat itu perlu mendapat
perhatiannya.
“Sebaiknya Tuanku menjaga diri” berkata
tetua Tanah Tumapel, “Tidak ada jeleknya Tuanku berhati-hati. Dan tidak
ada salahnya apabila pasukan itu ditarik dari Padang Karautan. Bukankah
menurut Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, di Padang Karautan itu telah ada
angger Mahisa Agni, Kakanda Tuanku Permaisuri yang sangat berpengaruh
atas orang-orang Panawijen?”
Dan Akuwu Tunggul Ametung mendengarkan
nasehat itu. Kini ia berkeputusan untuk menarik semua pasukan dari
Padang Karautan untuk ditempatkan di pusat pemerintahan, termasuk para
pemimpinnya. Dan di dalamnya, di dalam pasukan itu, terdapat pula
seorang pemimpin yang bernama Ken Arok.
Meskipun demikian, Akuwu Tunggul Ametung
tidak berbuat tergesa-gesa. Kali ini ia benar-benar mencoba menguasai
dirinya dari perasaannya yang biasanya meledak-ledak. Dengan hati-hati
ia memberikan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh orang-orang
Panawijen, bahwa seharusnyalah pasukan Tumapel itu ditarik dari Padang
Karautan.
Karena Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen
adalah orang-orang yang dianggap paling berpengaruh atas orang-orang
Panawijen, muka mereka berdua itulah yang lebih dahulu harus menerima
secara wajar, bahwa pada saatnya, prajurit-prajurit Tumapel memang harus
di panggil kembali ke pusat pemerintahan.
Itulah sebabnya maka utusan Akuwu Tunggul Ametung telah menemui mereka dan Ken Arok di Padang Karautan.
“Tuanku Tunggul Ametung tidak bermaksud
melepaskan sama sekali perlindungannya atas kalian di Panawijen dan di
Padang Karautan” berkata utusan itu, “tetapi adalah sewajarnya bahwa
kalian telah mampu untuk mengurus diri sendiri. Kalian telah mampu
menyelesaikan pekerjaan kalian yang paling berat. Maka seterusnya,
kalian pasti tidak akan menjumpai kesulitan-kesulitan lagi”.
Perintah itu pertama-tama memang terasa
agak aneh pada Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen, karena terlampau
tiba-tiba. Tetapi lambat laun mereka merasakan, bahwa memang sebaiknya
prajurit-prajurit itu ditarik dari Padang Karautan. Dengan hadirnya para
prajurit itu, agaknya akan membuat orang-orang Panawijen banyak
tergantung kepada bantuan orang lain. Tetapi apabila semua persoalan
telah berada di tangan sendiri, maka mereka akan menemukan kepercayaan
kepada diri sendiri, seperti pada saat mereka mulai dengan pekerjaan
besar mereka. Kehadiran para prajurit itu sedikit banyak telah
mempengaruhi orang-orang Panawijen itu. Tetapi tidak terlampau parah.
Sehingga apabila pada saatnya para prajurit itu meninggalkan mereka,
mereka tidak akan kehilangan pegangan.
“Tidak ada persoalan apa pun yang memaksa
Akuwu untuk memanggil prajurit-prajuritnya, selain keharusan yang
sewajarnya. Akuwu mengirimkan mereka kemari untuk membantu kalian
menyelesaikan bendungan dan sekaligus untuk membuat taman itu. Kini
semuanya sudah selesai. Karena itulah, maka Akuwu akan dapat
mempergunakan para prajurit itu untuk kepentingan Tumapel yang lain”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya. Kami dapat mengerti. Memang berat untuk
melepaskan kawan yang telah banyak berjasa di dalam pekerjaan besar yang
telah kami selesaikan. Bahkan kami merasa sedikit cemas, bahwa kami
akan kehilangan sebagian dari kemampuan kami di Padang Karautan. Namun
kami dapat mengerti, bahwa akhirnya saat itu akan datang”.
Utusan Akuwu menganggukkan kepalanya. Ia
merasakan jawaban Mahisa Agni benar-benar dilandasi oleh pengertian yang
mantap, bukan sekedar keharusan yang dipaksakan tanpa dapat membantah
lagi.
Yang sama sekali belum meayatakan
pendapatnya adalah Ken Arok sendiri. Ketika utusan Tumapel dan mereka
yang duduk bersamanya berpaling ke arahnya, maka mereka terkejut atas
kesan yang mereka tangkap dari wajah pemimpin prajurit yang masih muda
itu.
Betapa wajah Ken Arok menjadi tegang dan kemerah-merahan. Keringat dingin mengembun di kening dan dahinya.
Kesan yang pertama-tama menyentuh
perasaan mereka yang melihat adalah, bahwa Ken Arok yang telah sekian
lama berada di Padang Karautan bersama-sama dengan orang-orang
Panawijen, merasa terkejut dan berkeberatan, apabila tiba-tiba saja ia
harus kembali ke Tumapel. Agaknya Padang Karautan dengan bendungan dan
tamannya telah memikat hatinya.
Dengan demikian, maka tidak seorang pun
juga yang dapat meraba perasaan Ken Arok yang sebenarnya. Tidak seorang
pun juga yang melihat, betapa prajurit muda itu terkejut mendengar
perintah Akuwu yang memang terasa agak tiba-tiba. Untuk sejenak Ken Arok
tidak dapat mengerti perasaan yang bergolak di dalam dadanya sendiri
Sekilas sepercik kegembiraan, bahwa ia akan berada kembali di pusat
pemerintahan, di kota yang ramai dan dekat dengan orang-orang terkemuka.
Tetapi lebih dari pada itu, ia merasakan selalu dekat dengan istana
Akuwu Tunggul Ametung.
Namun kegembiraan itu tiba-tiba lenyap
seperti awan yang disapu angin. Bahkan ia menjadi cemas dan ragu-ragu,
apakah sebenarnya maksud Akuwu memanggilnya bersama seluruh pasukannya.
“Apakah Akuwu benar-benar marah kepadaku
karena pelayananku yang tidak menyenangkan hatinya dan hati Permaisuri?”
Namun kemudian dibantahnya sendiri, “Kalau demikian, Akuwu pasti hanya
akan memanggil aku sendiri. Tidak bersama seluruh pasukan”.
Ken Arok itu terperanjat ketika ia mendengar utusan Akuwu itu bertanya, “Bagaimana pendapatmu Ken Arok?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian terputus-putus ia menjawab, “Itu adalah perintah Akuwu Tunggul
Ametung. Aku tidak berhak untuk membuat penilaian. Aku hanya dapat
melakukannya”.
Utusan itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Benar. Kau benar. Tetapi itu bukan berarti bahwa
kau tidak dapat membuat penilaian. Kau wajib membuat
pertimbangan-pertimbangan, meskipun seandainya peitimbangan-peitimbangan
itu tidak didengar oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi lebih dari pada
itu, kau sebagai pribadi yang bersikap, tentu dapat membuat penilaian
menurut nalar dan perasaanmu”.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas.
Tetapi akhirnya ia berkata, “Bagiku, hal ini adalah wajar sekali. Tugas
prajurit Tumapel di sini memang sudah selesai. Kami memang merencanakan
untuk membuat pesanggrahan yang agak lebih baik. Tetapi itu bukan
pekerjaaan yang harus diselesaikan segera. Pertimbangan ini sama sekali
lepas dari persoalan pribadi. Pribadi setiap prajurit dan pribadiku
sebagai seorang Ken Arok. Karena itu, maka kami akan segera melaksanakan
perintah itu. Menurut penjelasanmu, memang tidak ada persoalan yang
tidak wajar. Agaknya Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen pun telah
menerima persoalan ini dengan wajar pula”.
Utusan Akuwu Tunggul Ametung itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu
Ken Arok, kapan kau akan melaksanakan. Akuwu tidak menentukan waktu,
tetapi Akuwu berpesan, secepat dapat kau lakukan. Lakukanlah”.
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi kepalanya
mengangguk-angguk lemah. Terasa di dadanya suatu pergolakan yang sulit
untuk dimengertinya sendiri. Perintah itu telah menumbuhkan pertentangan
yang dahsyat di dalam dirinya.
Sebagai seorang laki-laki muda, Ken Arok
merasa mendapat kesempatan untuk segera kembali ke pusat pemerintahan,
berada di sekitar istana di setiap saat ia menghendaki. Ia akan mendapat
kesempatan untuk setidak-tidaknya memandang senyum Permaisuri yang
lembut lunak, menggetarkan jantungnya. Bahkan kemungkinan untuk
berbicara tentang apa saja, akan dapat ditemukannya di Tumapel.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu berdesah.
Kesadarannya telah mendesak perasaan itu dan mencoba mengusiraya. Bahkan
dengan sepenuh hati Ken Arok berkata di dalam dadanya, “Apakah aku pun
telah diselusupi hantu Karautan, sehingga pikiran-pikiran jahat ini
tumbuh di dalam diriku ini. Apakah dunia yang hitam itu harus aku masuki
kembali setelah aku dilepaskan dari dalamnya, justru oleh Akuwu Tunggul
Ametung?”
Ken Arok terperanjat ketika ia mendengar
utusan Akuwu itu berkata, “Ken Arok. Aku harus mendahului kembali ke
Tumapel. Aku harus menyampaikan laporan kepada Tuanku Akuwu, bahwa aku
telah berhasil menemui dan berbicara dengan Mahisa Agni, Ki Buyut
Panawijen dan kau. Mahisa Agni dan Ki Buyut adalah wakil dari
orang-orang Panawijen, dan kau adalah pemimpin prajurit Tumapel di
sini”.
Hampir bersamaan ketiganya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu Ki Buyut mencoba
menahannya untuk tinggal semalam di Padang Karautan, tetapi utusan itu
menjawab, “Terima kasih. Aku harus segera kembali”.
Sepeninggal utusan itu, maka baik Ken
Arok, maupun Mahisa Agni segera mempersiapkan dirinya. Mahisa Agni dan
Ki Buyut segera memanggil beberapa orang tetua dari orang-orang
Panawijen, memberitahukan keputusan Akuwu untuk menarik
prajurit-prajurit Tumapel dari Padang Karautan, karena tugas mereka
dirasa sudah cukup. Karena itu maka mereka harus bersiap-siap menghadapi
masa-masa yang aksn dipenuhi oleh kerja dan tanggung jawab sendiri.
Justru menjelang pemindahan penduduk Panawijen yang masih tinggal di
padesan mereka yang kering.
“Itu tidak perlu tergesa-gesa Ki Buyut”
berkata Mahisa Agai, “Kita mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan
sebaik-baiknya. Di dalam musim basah, Panawijen lama masih dapat
dipergunakan. Sawah dan pategalan masih mungkin ditanami meskipun tidak
akan memuaskan. Tetapi semusim ini, kita masih dapat menempatinya.
Pohon-Pohon tampak menjadi agak kehijauan dan palawija akan berbuah
meskipun tidak begitu lebat. Sementara itu, padukuhan kami yang baru
menjadi semakin subur dan hijau rimbun”.
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, “Benar ngger. Tetapi bagi keluarga yang sudah terlampau lama
terpisah, hal itu akan tetap merupakan masalah. Seorang suami yang
selama ini berada di padang ini, pasti merindukan suatu waktu yang dekat
untuk segera dapat hidup di antara keluarganya, di antara anak dan
isterinya. Karena itu ngger, persoalannya tidak tergantung sama sekali
pada kemungkinan pelaksanaan saja, tetapi juga oleh persoalan-persoalan
yang lain”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Hal-hal serupa itu masih belum terpikirkan olehnya. Namun ia dapat
mengerti sepenuhnya, bahwa pemindahan itu tidak boleh tertunda-tunda
lagi.
Sementara itu, Ken Arok telah
diombang-ambingkan oleh perasaan sendiri. Sesaat ia seakan-akan ingin
berangkat sekarang juga, ia dapat memanggil para pemimpin pasukan,
bersiap dan segera berangkat, karena mereka tidak perlu membawa apapun
kembali ke Tumapel. Semua sisa peralatan akan ditinggalkannya di Padang
Karautan, untuk memberi bekal orang-orang Panawijen hidup di daerahnya
yang baru. Tetapi tiba-tiba ia terhenyak di pembaringannya. Sambil
menggeretakan giginya ia berkata, “Aku tidak boleh menjadi gila. Aku
harus tetap menyadari keadaanku, diriku dan sejarah hidupku. Kalau tetap
aku terlepas dari kesadaran itu, maka aku benar-benar akan terjerumus
ke dalam neraka yang paling parah”.
Dan apabila kesadaran itu datang, maka
Ken Arok mencoba untuk menahan dirinya. Ia tidak perlu tergesa-gesa
berangkat meninggalkan Padang Karautan.
“Aku harus berbicara dengan para
prajurit. Mereka harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak
tergesa-gesa seperti pesan Akuwu itu sendiri”. Namun tiba-tiba teringat
olehnya pesan utusan Akuwu, “Secepat dapat kau lakukan, lakukanlah”.
“Sekarang pun aku dapat melakukannya” ia berdesis.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar gubugnya. Ketika
dilihatnya seorang prajurit, maka dipanggilnya prajurit itu dan
diperintahkannya memanggil Kebo Ijo.
“Aku harus berbicara dengan Kebo Ijo, “katanya kepada diri sendiri.
Dan sejenak kemudian Kebo Ijo itu telah
ada di dalam gubug itu pula. Perlahan-lahan dan hati-hati Ken Arok
memberitahukan, bahwa utusan Akuwu yang datang itu ternyata membawa
perintah, agar para prajurit ditarik dari padang ini.
Ken Arok terkejut ketika tiba-tiba saja
Kebo Ijo melonjak kegirangan. Katanya, “Perintah yang bijaksana. Ayo,
kita berangkat sekarang. Setiap orang sudah jemu tinggal di padang yang
sepi sesepi hati seorang duda kembang. Ayo, kita berangkat sekarang
juga”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Kenapa sekarang? Kita tidak perlu tergesa-gesa. Dan bukankah kita
harus mempersiapkan diri lebih dahulu?”
“Kita bukan gadis-gadis yang dibebani oleh wedak dan botekan.
Kita adalah prajurit-prajurit. Dalam waktu sekejap kita dapat
mempersiapkan diri kita dan segera berangkat. He, Ken Arok, kau tidak
tahu betapa kerinduanku kepada keluargaku hampir tak tertahankan. Kau
tidak dapat membayangkannya, karena kau belum mengalami, betapa dada ini
diamuk oleh perasaan rindu. Nah, keluarkan perintah itu, sekarang kita
akan berangkat”.
Dada Ken Arok menjadi herdebar-debar.
Meskipun ia belum mengalami betapa dada ini diamuk oleh kerinduan kepada
anak isteri dan keluarga, namun Ken Arok dapat mengerti, bahwa perasaan
yang demikian cukup tajam mencengkam jantung. Karena itu, maka sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Ken Arok berkata “Aku tahu, perasaan
yang terkandung di dalam hatimu dan hati hampir setiap prajurit yang
berada di Padang Karautan ini”.
“Tidak setiap prajurit. Di antara mereka
ada yang telah pernah mendapat kesempatan pulang dan berlibur untuk
beberapa hari, dan bahkan ada di antara mereka yang datang kemudian”.
“Apakah kau datang sejak permulaan?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun ia
masih menjawab “Aku memang tidak datang sejak permulaan. Tetapi aku
sudah terlampau lama di sini. Nah, apakah kau akan mengatakan bahwa kau
telah berada di sini lebih lama lagi? Aku percaya, karena kau memang
penghuni padang ini sejak bayimu”.
Sepercik warna merah membayang di wajah
Ken Arok. Hampir-hampir ia di bakar lagi oleh perasaannya mendengar
kata-kata Kebo Ijo itu. Namun ketika tidak dilihatnya pada wajah Kebo
Ijo itu perasaan apapun selain keinginan untuk segera pulang kembali ke
rumah keluarganya, maka Ken Arok segera mencoba meredakan perasaannya.
“Hem” katanya di dalam hati “Aku tidak tahu, apakah ia sekedar bergurau, apakah ia sedang menyindir aku”.
“Bagaimana Ken Arok?” bertanya Kebo Ijo itu pula.
Ken Arok menarik nafas. Katanya “Jangan
sekarang. Kita akan menumbuhkan kesan yang kurang baik, seolah-olah kita
sudah tidak betah tinggal di padang ini, bahkan seolah-olah kita sudah
tidak dapat tinggal meskipun hanya semalam saja lagi. Mereka akan
menyangka, kita telah jemu berada di antara mereka. Akuwu dan Permaisuri
yang dengan tergesa-gesa meninggalkan padang ini telah menumbuhkan
berbagai pertanyaan di hati mereka. Apalagi kita kemudian dengan
tergesa-gesa pula meninggalkan padang ini”.
“Persetan dengan mereka. Mereka harus
mengucapkan tidak hanya seribu terima kasih, tetapi selaksa, sejuta dan
bahkan sebanyak jumlah bintang di langit. Kalau dengan kemurahan Akuwu
ini mereka masih juga kurang, biarlah meraka mengeringkan lautan dan
meruntuhkan gunung-gunung. Kita tidak akan perduli lagi”.
“Jangan begitu Kebo Ijo. Kita sudah
terlanjur berbuat baik. Kesan yang terakhir kita tinggalkan pun seharus
nya adalah kesan yang baik pula. Kita jangan menyapu kesan yang selama
ini kita tumbuhkan di hati mereka, dengan peristiwa yang sama sekali
tidak berarti. Kita akan kehilangan panas setahun, di sapu oleh basahnya
hujan hanya sehari”.
Kebo Ijo menarik keningnya. Ditatapnya
mata Ken Arok tajam-tajam. Namun kemudian ia memalingkan wajahnya,
memandangi padang yang terbentang seolah-olah tidak bertepi. Tetapi
kini, wajah padang yang luas itu telah jauh berubah, setidak-tidaknya di
sekitar bendungan yang telah di bangun oleh orang Pananwijen dan para
prajurit Tumapel itu.
“Jadi kapan kita akan berangkat?” bertanya Kebo Ijo kemudian.
“Kita melihat perkembangan keadaan”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan tidak disangka-sangka ia berkata, “Baiklah Ken Atok. Kita adalah
prajurit. Sudah jamaknya, bahwa seorang prajurit berada di luar
lingkungan keluarganya untuk waktu yang tidak tertentu. Baiklah. Aku
akan menunggu sampai waktu yang kau tentukan. Mungkin aku masih sempat
melihat padma di kolam itu berkembang”.
“He” Ken Arok bertanya sambil mengerutkan dahinya, “Kapan bunga itu berkembang?”
“Satu atau dua pekan lagi”.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia
mengangguk-angguk kecil. Dan Kebo Ijo pun tidak menunggu Ken Arok itu
menjawab. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya dan berlalu meninggalkan
Ken Arok sendiri.
Sepeninggal Kebo Ijo, Ken Arok menjadi
gelisah. Ia sendiri telah dibingungkan oleh perasaan yang tidak menentu
di dalam dirinya. Dan tiba-tiba saja Ken Arok itu melonjak sambil
berdesis, “Tidak. Tidak ada gunanya menunggu bunga itu kembang.
Terlampau lama. Apakah aku masih harus berada di Padang Karautan yang
sepi ini selama dua pekan lagi? Tidak. Aku sudah cukup tersiksa selama
ini tinggal di daerah yang sepi, sesepi goa hantu. Aku harus segera
berangkat. Segera”.
Namun dengan lemahnya Ken Arok itu
terduduk kembali di atas setumpuk rerumputan kering. Desahnya, “O,
betapa gilanya aku ini. Aku menahan Kebo Ijo supaya kami tidak
tergesa-gesa meninggalkan padang ini, agar tidak menumbuhkan kesan yang
tidak baik. Kenapa aku sendiri kemudian seakan-akan hampir tidak dapat
menunda lagi untuk tinggal di padang ini semalam atau dua malam lagi?
Kenapa aku kini merasa tersiksa tinggal di padang yang sudah menjadi
kian ramai dan hijau, ditumbuhi oleh tanaman-tanaman yang segar di
antara gubug-gubug yang berpenghuni, dan bahkan sebuah taman dan
pesanggrahan? O, aku memang sudah gila. Dahulu aku tinggal di padang ini
benar-benar seperti hantu padang yang liar. Sendiri di siang dan di
malam hari. Jauh dari pergaulan manusia, dan mirip seekor serigala yang
terasing dari kawan-kawannya”.
Tanpa sesadarnya Ken Arok menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya, seolah-olah menghindarkan diri
dari sebuah penglihatan yang mengerikan. Tetapi, meskipun matanya
tertutup oleh jari-jari tangannya, namun sebenarnyalah bahwa ia tidak
melihat dengan mata wadagnya. Yang dilihatnya adalah peristiwa yang
telah terjadi. Dan yang melihat adalah mata hatinya. Karena itu, betapa
rapatnya matanya dipejamkan, dan betapa rapat telapak tangannya menutup
wajahnya, tetapi ia tidak dapat menghindar dari penglihatannya, bahwa
semua itu memang pernah terjadi.
“Tak ada cara untuk menghindari”
desisnya “Aku harus menerima kenyataan itu. Dan kenyataan itu telah
menyiksaku kini, justru karena kegilaanku yang baru”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kini
ditatapnya langit yang kebiru-biruan. Sekali-kali tampak olehnya mega
yang kelabu bergerak perlahan-lahan seperti sebuah rakit yang malas di
wajah danau yang bening.
“Aku tidak boleh hanyut oleh perasaanku
dan terombang-ambing tak terkendali. Aku harus tetap menyadari
keadaanku, sejarah hidupku dan kenistaanku” gumamnya perlahan-lahan.
Namun, betapapun juga terasa sesuatu
tersumbat di pusat dadanya. Dan yang tersumbat itu seolah-olah selalu
mencari saluran untuk meledak.
Perlahan-lahan Ken Arok melangkahkan
kakinya. Ditinggalkannya gubugnya menyusur sela-sela gubug-gubug yang
lain yang dihuni oleh para prajurit Tumapel. Dilihatnya beberapa orang
sedang berbaring-baring dan yang lain bergurau di antara mereka.
“Keadaan ini memang kurang menyenangkan”,
berkata Ken Arok di dalam hatinya, “Dalam keadaan demikian, para
prajurit akan dapat kehilangan sebagian dari gairah kerjanya. Mereka
dapat menjadi malas dan perasaan mereka dapat merayap tidak menentu”.
Pemimpin prajutit Tumapel itu mengerutkan
keningnya. Namun seiyenak kemudian ia menggeram, “Memang aku harus
selekasnya membawa mereka kembali ke Tumapel. Pesanggrahan yang akan
kami buat itu memang tidak harus secepatnya selesai, dan bahannya pun
masih belum lengkap pula. Mamang tidak ada gunanya untuk lebih lama
tinggal di Padang Karautan ini, tetapi lalu, “Meskipun demikian aku
tidak boleh tergesa-gesa. Dan nasehatku kepada Kebo Ijo seharusnya aku
dengarkan sendiri, karena nasehat itu sebagian terbesar memang untuk
diriku sendiri”.
Tetapi ternya berita keberangkatan
prajurit Tumapel itu segera menjalar ke segenap gubug-gubug di
perkemahan itu. Bukan saja karena Kebo Ijo telah mengatakannya kepada
setiap orang yang dijumpainya, tetapi Mahisa Agni pun telah memberi
tahukannya kepada para tetua dari orang-orang Panawijen. Namun ternyata
bahwa hal itu dapat mereka terima sebagai kewajaran. Orang-Orang
Panawijen sama sekali tidak tersinggung karenanya. Mereka masih tetap
menyimpan perasaan terima kasih di dalam hati masing-masing. Bantuan
para prajurit itu memang tidak sedikit. Tenaga, peralatan, perlengkapan
dan bahkan persediaan bahan makan. Apalagi mereka mendengar, bahkan
kerbau dan lembunya pun akan ditinggalnya di Padang Karautan.
“Kami sudah mempunyai bekal yarg jauh
daripada cukup untuk berdiri lagi” berkata Ki Buyut Panawijen
“Ternyata bahwa kekayaan kita sekarang justru melampaui saat-saat kita
masih berada di Padukuhan Panawijen lama”.
“Ya” salah seorang tertua menganggukkan
kepalanya selanjutnya “Bagaimanakah kita harus mengembangkannya.
Alat-Alat yang baik itu jangan membuat kita menjadi malas”.
“Tentu, tentu kita tidak boleh menjadi
malas dan menyerahkan semua kerja kepada alat dan perlengkapan kita”
sahut ki Buyut “Dan sejak lahir kita adalah pekerja-pekerja yang harus
bekerja keras”.
Demikianlah, maka akhirnya sampailah pada
saatnya, prajurit-prajurit Tumapel itu siap untuk berangkat,
meninggalkan Padang Karautan yang selama ini telah digarapnya.
Dibuatkannya bendungan, dialirinya tanahnya yang kering dan kemudian
ditanaminya, sehingga wajahnya yang kekuning-kuningan kini telah menjadi
hijau segar.
Terbersit perasaan haru di dalam dada
tetap prajurit. Betapapun juga Kebo Ijo yang meledak-ledak itu,
merasakan sentuhan-sentuhan perasaan yang lembut, melihat lambaian
daun-daun padi yang hijau segar, saluran-saluran dan parit yang
mengalirkan air yang bening. Sekali-kali diperhatikannya juga pepohonan
yang sudah mulai merimbun dan cikal-cikal kelapa yang semakin tinggi.
“Selamat tinggal, Padang Karautan, “desisnya.
Ken Arok mendengar desis itu, dan
berpaling kepadanya. Sambil tersenyum ia berkata “Memang tanah ini
memberikan kenangan tersendiri, bukankah begitu Kebo Ijo”.
“Ya, begitulah” jawab Kebo ijo, “kalau aku tidak beranak isteri, aku tidak akan meninggalkan padang ini”.
Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen pun
tersenyum pula. Dalam saat perpisahan serupa ini, maka segala macam
kesan yang buram seolah-olah telah terhapus dari hati mereka. Baik
Mahisa Agni, Ken Arok maupun Kebo Ijo, tidak mengesankan segala bentuk
perselisihan yang pernah terjadi.
“Kau dapat tinggal di sini Kebo Ijo” berkata Mahisa Agni kemudian, “justru bersama anak isterimu”.
“Uh” sahut Kebo Ijo, “daerah sesepi ini
memang menyenangkan. Tetapi tidak untuk menetap. Pada saat-saat kita
ingin beristirahat dan melupakan segala macam kesibukan kita
sehari-hari, kita dapat menikmati kesepian ini”.
“Tetapi kami harus menetap di sini”
sahut Ki Buyut Panawijen “tempat yang sepi ini memberikan gairah dan
kerja kepada kami. Terlampau sibuk, sehingga kami tidak akan mengenali
kesepian itu lagi”.
Kebo Ijo tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Ya, ya. Begitulah bagi kalian” tiba-tiba suara tertawanya menurun, dan
akhirnya seakan-akan bersungguh-sungguh ia bertata “Padang ini memang
menyimpan banyak sekali rahasia”.
Dada Ken Arok berdesir mendengar
kata-kata itu. Namun cepat sekali ia berhasil menguasainya. Katanya
“Tetapi rahasia itu sekarang telah terbuka. Tanah ini bukan lagi mati.
Tetapi di atas padang ini telah tumbuh kehidupan yang subur”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya
“Ya. Rahasia itu telah di buka” lalu suaranya agak mengeras, “tetapi
baru sebagian kecil”.
“Kau akan datang untuk lain kali” sahut Mahisa Agni, “dan kau akan membuka rahasia yang lebih besar lagi”.
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Namun
kemudian ia tertegun ketika ia mendengar suara Kebo Ijo datar dan
dalam, “Aku memang ingin. Tetapi rasa-rasanya aku benar-benar harus
mengucapkan selamat berpisah. Aku tidak tahu, apakah aku akan dapat
melihat padang ini, walaupun sekali lagi saja”.
Mahisa Agni mengerutkan dahinya, namun
kemudian ia tersenyum. Ditatapnya wajah Kebo Ijo yang sedang menatap
padang rumput yang terbentang luas dihadapannya itu. Katanya “Tak ada
yang akan menghalang-halangimu Kebo Ijo. Dan aku harap bahwa
perkembangan pedukuhan kami tidak akan segera meliputi seluruh Padang
Karautan, sehingga kau masih akan sempat melihat padang ini”.
Tatapan mata Kebo Ijo masih beredar
mengintari padang dan kemudian saluran induk yang membelah padang itu.
Sawah yang hijau dan pepohonan yang merimbun. Tiba-Tiba ia tersenyum dan
berkata, “Ya, dan juga mengharap bahwa sepanjang umurku, belum seluruh
Padang Karautan akan kau jadikan pedukuhan, Agni. Sehingga apabila aku
masih berkesempatan, aku masih dapat melihat padang yang kuning kering
di sekitar sawahmu yang hijau subur”.
“Tentu. Seandainya perkembangkan
pedukuhan kami menjadi terlampau pesat karena kemudian berduyun-duyun
pendatang baru turut meramaikan padang ini, maka aku pasti akan memagari
setidak-tidaknya sepuluh langkah bujur dan lintang, supaya kau masih
tetap menemukan padang rumput Karautan”.
“Uh, hanya sebesar kandang kuda?”
Mahisa Agni tertawa. Kebo Ijo dan Ken Arok pun tertawa pula.
“Ada-ada saja kau Ngger “ guman Ki Buyut sambil tersenyum.
Matahari sementara itu merayap semakin
tinggi di kaki langit. Ternyata seluruh prajurit Tumapel telah bersiap
untuk berangkat meninggalkan Padang Karautan. Mereka berbaris
seolah-olah hendak pergi berperang. Beberapa orang berada di atas
punggung kuda, dan beberapa orang berdiri di sekitar beberapa pedati
yang di pakai untuk mengangkut beberapa macam barang-barang yang harus
di bawa kembali ke Tumapel. Pakaian para prajurit, beberapa perlengkapan
senjata dan perlengkapan-perlengkapan mereka yang lain. Sedangkan
peralatan dan perlengkapan mereka untuk mengerjakan tanah, pedati-pedati
dan bajak-bajak serta kerbau dan sapi penariknya, mereka tinggalkan di
padang ini, dan mereka serahkan kepada orang-orang Panawijen.
Maka mumpung matahari belum mulai tinggi,
setelah minta diri kepada Ki Buyut Panawijen, Mahisa Agni dan
orang-orang Panawijen, berangkatlah Ken Arok, Kebo Ijo beserta
rombongannya meninggalkan Padang Karautan.
Terasa juga di dada mereka, sesuatu
membebani perasaan. Tetapi semakin jauh mereka dari rimbunnya dedaunan
dan hijaunya persawahan di sekitar bendungan itu, maka hati mereka pun
menjadi semakin ringan. Meskipun mereka memerlukan lewat di sebelah
taman yang mereka buat, namun taman itu tidak menumbuhkan perasaan haru
seperti padukuhan Panawijen yang baru mulai berkembang itu.
Setelah mereka terlepas sama sekali dari
daerah yang selama.ini mereka bangun kerja yang keras, maka perjalanan
mereka pun menjadi semakin lama semakin cepat. Beberapa orang berkuda
mendapat tugas untuk mendahului perjalanan dan menyampaikan kepada Akuwu
Tunggul Ametung, bahwa prajurit-prajurit Tumapel yang berada di Padang
Karautan telah berada di perjalanan, memenuhi perintah Akuwu Tunggul
Ametung, kembali ke pusat pemerintahan setelah manunaikan kerja mereka
yang besar, yang tidak kurang arti serta nilainya dari pada bertempur di
medan peperangan.
Sebuah bendungan yang besar telah
dibangun, sebuah petamanan yang paling besar dan paling indah di seluruh
Tumapel, di tengah-tengah padang yang semula padang rumput yang buas
dan liar. Namun kini padang itu justru merupakan daerah yang masih
menyimpan terlampau banyak kemungkinan untuk menjadikan pedukuhan baru
itu berkembang sejauh-jauhnya.
Prajurit-prajurit Tumapel itu setelah
lepas dari Padang Karautan yang panas seperti membakar punggung,
ternyata telah hampir melupakan perasaan yang membebani hati mereka,
tentang pedukuhan baru serta taman yang hijau di tengah-tengah padang
yang kering kekuning-kuningan. Kini perasaan mereka telah dicengkam oleh
waktu mendatang yang singkat. Mereka mungkin perlu bermalam semalam di
perjalanan apabila mereka memerlukan beristirahat setelah mereka di
panggang di bawah teriknya matahari di Padang Karautan. Tetapi apabila
mereka menghendaki, maka mereka dapat meneruskan perjalanan. Meskipun
jauh malam, namun mereka akan dapat langsung mencapai Tumapel.
Ternyata prajurit-prajurit yang sebagian
terbesar telah dibakar oleh kerinduan mereka terhadap keluarga yang
mereka tinggalkan, memilih berjalan terus. Sesuai dengan keadaan mereka,
sebagai seorang prajurit, maka betapapun lelahnya, namun mereka masih
juga mampu berjalan dengan dada tengadah, merambat perlahan-lahan
mendekati pusat tanah Tumapel.
Beberapa orang prajurit yang keadaannya
kurang menguntungkan, dan benar-benar telah kelelahan, diam-diam
membiarkan dirinya tertinggal oleh kawan-kawan sekelompoknya, tetapi
diam-diam pula mereka meloncat masuk ke dalam pedati-pedati.
“He, kenapa kau naik?” bertanya sais pedati itu.
“Sss, kakiku hampir patah”.
“Lalu bagaimanakah kira-kira kalau
tiba-tiba saja kita bertemu dengan musuh di saat-saat seperti ini?
Apakah kau tidak juga dapat bangkit?”
“Dalam keadaan serupa ini, musuh akan lenyap dengan sebuah hembusan dari mulutku”.
“Kau mengigau”.
“Karena aku yakin bahwa tidak akan ada sebutir musuh pun yang mendekat”.
“Perampok-perampok dan penyamun yang kadang-kadang dapat memhentak dirinya menjadi sebuah gerombolan yang besar”.
“Mereka tidak akan membunuh diri,
menyamun, dan merampok sepasukan prajurit yang lengkap dengan
senjatanya. Hanya perampok dan penyamun yang gila sajalah, atau yang
sudah berputus asa, yang akan melakukannya”.
“Baik. Baik. Tidur sajalah. Tidur sajalah prajurit malas” desis sais itu dengan jengkelnya.
Dan prajurit itu pun benar-benar mencoba
untuk berbaring. Tetapi seorang kawannya yang berada di dalam pedati itu
juga, menarik kakinya dan memaksanya untuk duduk sambil memeluk
lututnya, karena ternyata pedati itu akhirnya menjadi penuh. Kecuali isi
pedati itu sendiri, juga ada beberapa orang lain yang naik ke atasnya.
Para prajurit itu memasuki kota Tumapel
ketika kota itu telah menjadi lelap. Regol-regol halaman telah tertutup
dan gardu-gardu perondapun telah sunyi. Meskipun demikian satu dua orang
peronda yang duduk terkantuk-kantuk telah melihat mereka dengan hati
berdebar-debar.
“Prajurit-prajurit yang berada di Padang Karautan telah datang” desis mereka satu sama lain.
“Ya, di malam larut. Seperti hantu memasuki daerah maut”.
“Hus. Jagalah mulutmu. Justru prajurit-prajurit itu akan menambah kota ini menjadi ramai”.
“Jumlah mereka tidak seberapa. Pengaruhnya pun tidak seberapa pula”.
Yang lain mengangguk-angguk. Lebih baik
untuk menyelimuti dirinya dengan ujung kain panjang daripada berbantah
tetang prajurit-prajurit itu. Sekali ia menguap, kemudian tubuhnya
tersandar dinding sambil mendengkur.
“Persetan”, geram kawannya “baru saja mulutnya terkatub, ia sudah tertidur”.
Pasukan yang dibawa oleh Ken Arok
memasuki kota di jauh malam itu langsung pergi ke alun-alun Tumapel.
Pagi-pagi merekA mengharap, Akuwu akan menerima mereka, kemudian mereka
akan mendapat kesempatan untuk beristirahat satu dua hari di rumah
masing-masing.
Dengan demikian, maka malam itu, para
prajurit Tumapel yang kelelahan telah terserak-serak di alun-alun
Tumapel. Mereka yang terlampau sulit lagi untuk bertahan, segera
membaringkan diri dan tidur mendengkur. Dimana saja ia meletakkan
dirinya.
Ketika matahari muncul dari balik
cakrawala, maka Tumapel seolah-olah terbangun pula dari sebuah mimpi.
Orang-orang yang kebetulan lewat di samping alun-alun itu terkejut.
Mereka tidak tahu kapan prajurit-prajurit itu datang. Tiba-tiba saja
mereka telah berserakan di alun-alun, dalam pakaian yang kotor dan
keringat yang masih tampak membekas di dahi mereka, dilekati oleh debu
yang keputih-putihan.
Akuwu Tunggul Ametung, sambil
mengangguk-angguk mendengar laporan bahwa prajurit-prajurit Tumapel yang
ditempatkan di Padang Karautan kini telah berada di alun-alun.
“Gila”, geram Akuwu, “Agaknya semalam
mereka berjalan terus. Biar sajalah mereka menunggu. Aku belum siap
untuk menerima mereka di pagi-pagi begini”.
Prajurit yang menyampaikan laporan
kedatangan kawan-kawannya dari Padang Karautan itu mengerutkan
keningnya. Namun ia tidak berani membantah atau bahkan bertanya pun ia
tidak sanggup.
“Cepat”, teriak Akuwu “katakan kepada mereka. Tunggu sampai aku siap. Tunggu sampai matahari naik ke puncak beringin”.
“Ah”, tanpa disadarinya prajurit itu berdesah.
“Apa? Kenapa kau berdesah he?”
Prajurit itu tergagap.
Ketika tiba-tiba saja Akuwu Tunggul
Ametung meraih tangannya dan mengguncangnya, maka tanpa sesadarnya
terloncat pula dari mulutnya, “Ampu Tuanku. Para prajurit itu ingin
segera dapat beristirahat dan pulang ke rumah masing-masing. Mereka
telah terlampau rindu kepada keluarga mereka”.
“Persetan, salah siapa apabila mereka
harus menunggu terlampau lama di alun-alun itu he? Salah siapa? Aku
tidak memerintahkan mereka untuk datang terlampau pagi. Aku masih ingin
tidur dan aku ternyata tidak akan menemui mereka setelah matahari naik
setinggi pohon beringin. Aku akan menerima mereka senja nanti apabila
matahari telah hampir tenggelam. Katakan kepada mereka. Mereka harus
menunggu aku. Yang tidak sabar lagi, suruh mereka pergi. Tetapi mereka
tidak boleh kembali lagi”.
Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Tetapi mulutnya mengucapkah pertanyaan pula, “Bagaimana mereka makan Tuanku”.
“Itu bukan urusanku. Aku tidak pernah menanyakan kepada mereka, bagaimana mereka makan di Padang Karautan”.
“Tetapi ….” prajurit itu masih ingin
bertanya.. Namun tiba-tiba mulutnya terbungkam. Akuwu mendorongnya
sehingga hampir saja ia jatuh terlentang. Dan didengarnya Akuwu
membentak keras-keras, “Tutup mulutmu. Kalau sekali lagi kau mengucapkan
sepatah kata saja, aku tampar pipimu sampai gigimu rontok”.
Prajurit itu menjadi gemetar dan duduk sambil menundukkan kepalanya.
“Cepat, cepat pergi,” teriak Akuwu.
Tetapi ketika prajurit itu beringsut dari
tempatnya, tiba-tiba ia tertegun. Ia melihat seseorang berlari-lari
memasuki ruangan itu tanpa memohon ijin lebih dahulu. Begitu langsung
meloncati tlundak pintu ruangan dan menghadap Akuwu Tunggul
Ametung. Di belakangnya tertatih-tatih seorang emban tua mengikutinya.
Orang itu adalah Permaisuri Ken Dedes.
Dan tanpa disangka-sangka, dengan wajah
yang cerah, Permaisuri itu berkata “Tuanku, para prajurit di Padang
Karautan itu kini telah tiba. Mereka menunggu Tuanku menerimanya”.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Desahnya, ya. Aku sudah mendengar dari prajurit ini. Dari mana kau tahu?”
“Seseorang melaporkan kepadaku pula, bahwa ia telah melihat prajurit-prajurit itu datang dan kini berada di alun-alun”.
“Biar sajalah,” jawab Akuwu.
“Mereka menunggu Tuanku. Semalaman mereka
berjalan terus. Mereka mengharap segera dapat bertemu dengan keluarga
mereka”. Ken Dedes berhenti sebentar lalu sambil melangkah mendekat ia
berkata lirih, “Silahkan Tuanku segera membersihkan diri. Para pelayan
telah mempersiapkan air hangat dan bahkan kali ini dengan klika kayu cendana. Silahkan Tuanku. Hamba telah siap untuk ikut bersama tuanku menerima para prajurit itu”.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya prajurit yang masih duduk dihadapannya sambil menekurkan kepalanya.
Untuk sejenak Akuwu tidak dapat menjawab
permintaan Ken Dedes itu. Baru saja ia membentak prajurit yang kini
masih duduk di hadapannya, tetapi kemudian ia mendapat permintaan yang
serupa. Namun kali ini dari Permaisurinya.
“Tuanku” berkata Ken Dedes kemudian,
“marilah Tuanku. Apakah yang Tuanku tunggu? Apakah Tuanku belum menerima
laporan bahwa kini mereka sedang menunggu kehadiran Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam perlahan-lahan ia berdesah, “Prajurit itulah yang melaporkan
kedatangan mereka. Dan prajurit itu pun berkata bahwa mereka kini
sedang menunggu aku. Mereka ingin segera pergi ke rumah masing-masing”.
“Tepat Tuanku. Seperti apa yang hamba dengar. Nah, kalau begitu silahkan Tuanku membersihkan diri. Hamba sudah siap”.
Sekali lagi Akuwu menarik nafas. Ketika
ia memandangi wajah prajurit yang duduk di depannya, yang tanpa
disadarinya sedang memandang wajah Akuwu pula, maka tiba-tiba Akuwu
membentak, “He, apa katamu?”
Prajurit itu tergagap, “Hamba, hamba tidak berkata apa-apa Tuanku”.
“Kau tertawa he?”
“Juga tidak Tuanku. Hamba tidak tertawa, Tersenyum pun tidak”.
Akuwu memandang wajah prajurit itu dengan
tajamnya. Dan prajurit itupun segera menunduk dalam-dalam. Tetapi
sebenarnyalah bahwa ia tertawa di dalam hati. Akuwu yang memerintahkan
kepadanya, untuk memberitahukan, bahwa prajurit-prajurit di alun-alun
itu akan diterima sesudah senja, kini agaknya terpaksa merubah
pendiriannya karena permintaan Permaisurinya.
Melihat sikap Akuwu terhadap prajurit
itu, Ken Dedes menjadi heran. Ia sudah terlampau biasa melihat Akuwu
membentak-bentak. Tetapi, sikapnya kali ini menumbuhkan kegelian di
dalam hatinya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Kenapa dengan prajurit
itu Tuanku?”
Akuwu menggeleng. Jawabnya, “Tidak apa-apa”.
“Kenapa ia tertawa atau tersenyum?”
“He? Apakah ia tertawa atau tersenyum?”
“Tidak. Tetapi kenapa Tuanku bertanya demikian?”
Sekali lagi Akuwu menggeleng. Katanya “Tidak. Tidak apa-apa”. Lalu kepada prajurit itu ia berteriak, “Pergi, pergi. Cepat”.
Prajurit itu membungkuk dalam-dalam.
Kemudian beringsut ke pintu perlahan-lahan. Sebenarnya ia masih ingin
mendengar keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Apakah ia akan menerima
sekarang sesuai dengan permohonan Permaisurinya, atau tetap pada
pendiriannya. Menerima prajurit-prajurit itu setelah senja.
Tetapi yang didengarnya adalah bentakan Akuwu itu lagi, “Cepat. Pergi”.
Prajurit itu terpaksa dengan tergesa-gesa
keluar dari dalam bilik itu. Tetapi ia tidak langsung pergi ke
alun-alun. Sejenak ia duduk agak jauh di sudut halaman. Mungkin ia
mendapat kesan, apakah Akuwu akan segera pergi atau tidak.
Tetapi ia sama sekali tidak melihat
apapun yang dapat memberinya jawaban, apakah Akuwu akan segera pergi
atau tidak. Yang dilihatnya hanyalah beberapa orang pelayan lewat sambil
membawa beberapa macam peralatan mandi Akuwu Tunggul Ametung.
“Hem” desah prajurit itu, “aku tidak berani bertanya lagi”.
Perlahan-lahan prajurit itu berdiri dan
berjalan dengan malasnya. Langkahnya tertegun ketika seseorang
menyapanya, “He, apa yang kau cari di sini?”
Ketika prajurit itu berpaling, dilihatnya seorang juru taman yang muncul dari balik regol sambil membawa sapu lidi.
“Sawo kecik,” sahut prajurit itu.
“He?” juru taman itu menjadi heran, “bukankah ini bukan musimnya?”
“O” tanpa sesadarnya prajurit itu
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya batang sawo kecik itu sedang
berbunga. Maka gumamnya, “Aku mencari bunga sawo kecik”.
Juru taman itu menjadi semakin heran.
Tetapi ia tidak bertanya iagi. Dibiarkannya prajurit itu berjalan
tertatih-tatih menyeret kakinya dengan segan, “Apakah jawabku kalau Kan
Arok bertanya, kapan Akuwu akan menerimanya?”
Namun kemudian jawabnya sendiri, “Aku
dapat menjawab apa saja. Tetapi sebaiknya aku katakan, bahwa Akuwu hanya
mengiakan saja tanpa memberikan batas waktu”.
Tetapi prajurit itu masih tetap
ragu-ragu. Sekali lagi ia berhenti. Mungkin ia dapat melihat sesuatu di
istana, sehingga ia mampu menjawab pertanyaan Ken Arok.
“Aku akan menunggu sejenak. Mungkin aku mendapat jawabnya. Mungkin dari seorang emban. Mungkin dari seorang pelayan yang lain”.
Prajurit itu tiba-tiba melangkah kembali. Dimasukinya sebuah ruangan di belakang istana. Dapur.
“Apa yang kau cari pagi-pagi begini?”, bertanya seorang juru masak kawan prajurit itu.
“Tidak apa-apa. Aku sedang menunggu kabar, apakah Akuwu akan pergi ke alun-alun pagi ini atau tidak”.
“Duduklah. Kalau kau mau, kau dapat makan meniran itu”.
Prajurit itu tidak meniyawab. Tetapi
tangannya segera meraih sebungkus meniran dan menyuapkannya di mulutnya.
Satu, dua, dan ternyata ia menghabiskan lima bungkus.
Namun dalam pada itu, meskipun setiap
orang yaag lewat di depan pintu dapur ditanyanya, namun tidak seorang
pun yang tahu, apakah Akuwu akan pergi ke alun-alun pagi itu.
“Persetan”, geramnya, “aku akan pergi kepada Ken Arok. Aku akan berterus terang, bahwa aku tidak tahu”.
Tanpa minta diri kepada kawannya yang sedang sibuk, prajurit itu melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, pergi ke alun-alun.
Tetapi alangkah terkejutnya prajurit itu.
Ketika ia sampai di luar regol halaman istana, ia melihat bahwa
ternyata Akuwu dan Permaisuri beserta beberapa pengawalnya sudah berdiri
di depan barisan prajurit Tumapel yang baru saja datang dari Padang
Karautan.
Sejenak prajurit itu terpaku ditempatnya.
Ia masih melihat Ken Arok sibuk mengatur prajurit-prajuritnya. Apakah
kedatangan Akuwu Tunggul Ametung tidak terduga-duga olehnya. Tiba-tiba
sekali. Dan agaknya telah mengejutkan Ken Arok dan seluruh pasukannya.
Akhirnya prajurit itu tidak menampakkan
dirinya. Ia berlindung di balik pintu regol dan mencoba mengintip apa
yang terjadi di alun-alun itu dari kejauhan.
“He” bentak prajurit yang bertugas di
regol “apa yang kau lakukan? Apakah kau sedang bermain
sembunyi-sembunyian bersama anakmu”.
“Hus” prajurit itu berdesis, “jangan ribut. Aku sedang mengintip”.
“Mengintip siapa?”
“Permaisuri, eh, yang aku maksud Akuwu
Tunggul Ametung. Apakah ia menerima prajurit-prajurit yang datang dari
Padang Karautan itu dengan wajar”.
“Kenapa harus bersembunyi?”
“Tidak apa-apa. Itu urusanku. Kalau kau mau melihat dari depan regol sambil bertugas lakukanlah”.
Prajurit itu tidak menyahut. Tetapi ia melangkah dan dan berdiri di sisi regol sambil memandi tombaknya. Namun ia sempat juga ikut menyaksikan upacara penerimaan kembali para prajurit yang datang dari Padang Karautan.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok terkejut
sekali ketika tiba-tiba dari regol depan halaman istana, Akuwu Tunggul
Ametung dan Permaisuri beserta pengawalnya, langsung menghampiri
prajurit-prajuritnya yang sama sekali masih belum siap. Ken Arok masih
menunggu seorang prajurit yang menghadap Akuwu dan menunggu keterangan
dari padanya, apakah Akuwu segera dapat menerima mereka. Namun sebelum
prajurit itu datang kembali kepadanya, dan memberitahukan keputusan
Akuwu Tunggul Ametung, ternyata Akuwulah yang lebih dahulu datang,
apalagi bersama permaisurinya.
Dengan demikian, maka dengan tergesa-gesa
ia menyiapkan orangnya dalam barisan yang agak kurang teratur. Tetapi
agaknya Akuwu sama sekali tidak mempedulikannya. Meskipun biasanya Akuwu
selalu membentak-bentak apabila ia melihat sesuatu yang tidak berkenan
di hatinya. Tetapi agaknya kali ini Akuwu sama sekali tidak
memperhatikannya. Dari tengah-tengah tangga regol yang agak tinggi,
dengan singkat Akuwu berbicara kepada mereka. Ucapan terima kasih yang
berlebih-lebihan, dan seterusnya mereka diperkenankan beristirahat.
“Terlampau singkat” desis Ken Arok di dalam hatinya, “apakah kedatangan kami mengecewakannya”.
Tetapi menilik wajahnya yang jernih, maka
Akuwu tidak kecewa melihat kehadiran kami yang tiba-tiba ini. Apalagi
Permaisuri. Ya, apalagi Permaisuri.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Apakah
hal ini lazim terjadi bahwa Permaisuri berdiri di depan barisan yang
baru saja datang dari menunaikan tugas di daerah terpencil ini, seperti
sepasukan prajurit yang baru saja datang dari medan perang?
“Tetapi setiap orang yang memegang
kekuasaan dapat membuat ketetapan sendiri, yang kemudian akan menjadi
kebiasaan sampai orang yang berkuasa berikutnya membuat perubahan”
berkata Ken Arok di dalam hatinya, “Dan sekarang, Akuwu Tunggul Ametung
membiasakan diri untuk membawa Permaisurinya dalam segala persoalan dan
masalah”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Akuwu
yang sudah selesai dengan kata-kata penyambutannya itu masih berdiri di
atas tangga regol di depan pasukannya. Ia masih memandangi hampir
setiap orang di dalam barisan itu. Kemudian ia berkata kepada Ken Dedes,
“Upacara sudah selesai”.
Ken Dedes mengangguk. Tetapi agaknya ia
segan uatuk segera meninggalkan barisan itu. Permaisuri itu masih saja
berdiri sambil mengedarkan pandangaanya hilir mudik atas
prajurit-prajurit yang berdiri tegang di hadapannya, dalam lima jalur.
Namun, setiap kali pandangan mata
Permaisuri itu menyentuh pimpinan pasukan yang sedang berbaris itu,
terasa sesuatu berdesir tajam. Di depan pasukan yang diam tegang itu,
berdiri pemimpinnya Ken Arok, dan dibelakang Ken Arok berdiri Kebo Ijo
yang bersungut-sungut.
Apabila Ken Arok merasa upacara
penerimaan itu terlampau singkat, maka Kebo Ijo dan para prajurit yang
lain merasa alangkah tersiksanya berdiri tegak di alun-alun dalam panas
matahari meskipun masih pagi. Jauh di pinggir alun-alun beberapa orang
yang kebetulan lewat, berhenti menonton seperti menonton pertunjukan
terbuka. Apalagi setelah kata-kata Akuwa selesai, mereka masih juga
harus berdiri membeku.
“Kenapa Akuwu dan Permaisuri itu tidak juga beranjak pergi?” berkata para prajurit itu di dalam hatinya.
“Upacara sudah selesai” bisik Akuwu sekali lagi kepada Permaisurinya.
“Oh” sahut Ken Dedes, “hanya itu? Tuanku tidak mengucapkan terima kasih atas segala jasa-jasa para prajurit itu?”
“Bukankah aku sudah mengatakannya?”
“O” Ken Dedes berdesah, “tetapi bukankah
Tuanku dapat mengucapkan terima kasih atas nama hamba karena mereka
telah ikut serta membuat bendungan”.
“Sudah aku katakan, apakah kau tidak mendengar?”
“O, tetapi apakah Tuanku Akuwu sudah mengucapkan terima kasih pula, atas Taman yang indah dan menyenangkan itu?”
“Sudah. Di manakah kau selama ini?
Meskipun kau berada sampingku, tetapi agaknya kau sedang berangan-angan
tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehadiran
prajurit-prajurit ini. Bukankah kau yang minta kepadaku, agar mereka
ditarik kembali dari padang”.
“O, ya, ya. Agaknya hamba kurang
mendengarnya. Maaf Tuanku. Hamba memang sedang merenung tentang
bendungan itu sendiri. Mudah-mudahan orang Panawijen dapat memeliharanya
sebaik-baiknya”.
“Kita bicarakan di istana. Tetapi kini upacara ini sudah selesai”.
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Akuwu
memandanginya dengan heran. Meskipun demikian Akuwu Tunggul Ametung itu
tidak segera mendesak Permaisurinya lagi. Bahkan ia membiarkanaya saja
berdiri termangu-mangu.
Sejenak keadaan menjadi hening. Akuwu
berdiri kaku di samping Permaisurinya yang termangu-mangu. Di belakang
mereka para pengawal tegak seperti tonggak. Namun dari wajah mereka
memancar keheranan hati. Beberapa dari mereka saling berpandangan.
Tetapi tidak sepatah katapun yang terucapkan.
Sedang para prajurit yang berdiri di
alun-alun di bawah tangga regol istana itu pun menjadi semakin heran
pula. Mereka benar-benar merasa tersiksa dengan upacara yang aneh.
Sementara itu matahari merayap semakin
tinggi di kaki langit. Panasnya pun mulai terasa menyentuh kulit.
Beberapa orang prajurit yang telah menahan kerinduan mereka terhadap
sanak keluarga, menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Tiba-tiba Ken Dedes tersadar dari keadaan
itu. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. Bukan karena terpanggang
oleh panas matahari pagi, tetapi oleh hatinya sendiri yang membara
karena perasaannya yang aneh.
Dengan serta-merta ia berpaling dan
berkata kepada Akuwu, “Tuanku, apalagi yang Tuanku tunggu, apabila
upacara ini sudah selesai”.
Akuwu Tunggul Ametung terkejut mendengar pertanyaan itu. Sambil mengerutkan keningnya ia menjawab, “Aku menunggu kau Ken Dedes”.
“Kenapa menunggu hamba, kenapa?”
Akuwu menjadi semakin bingung. Katanya
“Aku sudah memberitahukan kepadamu sejak tadi, bahwa upacara sudah
selesai. Tetapi kau masih saja berdiri mematung, seolah-olah kau belum
pernah menyaksikan pasukan yang berbaris dalam keadaan serupa itu.
Mungkin pakaiannya yang kumal dan kotor itulah yang membuatmu heran.
Atau barangkali karena mereka baru saja datang dari Padang Karautan,
setelah mereka membantu Mahisa Agni membuat bendungan”.
“Mungkin demikian Tuanku, Hamba terlampau
mengagumi prajurit yang dengan senang hati membantu menyelesaikan
bendungan di Karautan”.
“Baiklah. Marilah kita kembali ke istana. Prajurit-prajurit itu pun segera ingin beristirahat”.
Ken Dedes tidak menjawab lagi. Dengan
tergesa-gesa ia memutar tubuhnya dan melangkah menaiki jenjang tangga
regol halaman depan istana. Satu demi satu, namun tampaknya terlampau
tergesa-gesa.
Tingkah laku Permaisuri memang banyak
menumbuhkan pertanyaan di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung sejak mereka
berada di Padang Karautan beberapa saat yang lampau. Namun setiap kali
Akuwu selalu menganggapnya, bahwa Permaisurinya telah dilanda oleh
perasaan takut yang sangat, tetapi perasaan itu selalu ditahankan di
dalam hati. Agaknya Permaisurinya tidak mau mengatakan kepadanya, dan
mencoba mengatasinya sendiri. Akibatnya adalah sikap yang aneh-aneh dan
kadang-kadang tidak dimengertinya. Baru pada saat-saat terakhir semuanya
itu tidak tertahankan lagi. Dan baru di saat-saat terakhir
Permaisurinya mengatakan hal itu kepadanya.
“Mudah-mudahan penyakit itu segera sembuh” berkata Akuwu itu di dalam hatinya.
Ternyata bahwa akhir-akhir ini sikap
Permaisuri itu pun sudah berangsur baik. Kesan-kesan yang mencemaskan
sudah tidak begitu tampak lagi. Hanya kadang-kadang saja kesan di
wajahnya memancarkan teka-teki yang terlampau sulit untuk ditebak.
Sepeninggal Akuwu dan Permaisurinya, maka
segera Ken Arok membubarkan pasukan sesuai dengan ijin Akuwu, bahwa
mereka diperkenankan beristirahat di rumah masing-masing selama sepekan.
Setelah itu, mereka harus melakukan tugas mereka lagi sebagai seorang
prajurit dengan kewajiban-kewajiban yang lain.
Dengan tergesa-gesa para prajurit itu
meninggalkan alun-alun menuju ke rumah masing-masing. Dengan wajah yang
cerah mereka melintasi jalan-jalan kota dengan langkah-langkah panjang.
Bahkan orang-orang yang telah mengenal mereka, tidak sempat menyapanya.
Hanya kadang-kadang saja mereka menganggukkan kepala mereka atau
melambaikan tangan mereka, apabila mereka berpapasan dengan kawan-kawan
terdekat.
Maka setelah satu-satu mereka
meninggalkan alun-alun, akhirnya tinggallah pedati-pedati dan saisnya
sajalah yang masih ada. Mereka harus menyimpan pedati-pedati yang telah
kosong itu beserta penarik-penariknya di tempat yang telah ditentukan,
sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing pula.
Namun di antara mereka dengan
tergesa-gesa pulang ke rumah, ke keluarganya, menemui anak isteri, atau
orang tua masing-masing, maka seseorang berjalan dengan langkah yang be
rat sambil menundukkan kepala menyusuri jalan-jalan kota seakan-akan
tanpa tujuan. Dengan hati yang kosong ia memandangi batu di bawah
telapak kakinya, seakan-akan sedang dihitungnya. Sekali-kali ia
berhenti. Dipandanginya orang-orang yang bersimpang-siur. Kadang-kadang
mereka telah mengenalnya dan berbicara satu sama lain.
“Itulah pemimpin prajurit Tumapel yang selama ini bertugas di Padang Karautan”. berkata salah seorang dari mereka.
Kawannya berpaling. Ketika terpandang
wajah Ken Arok yang suram ia menjawab “Ya, itulah Ken Arok. Tanpa orang
itu taman yang dikabarkan sebagai taman yang paling indah itu tidak
akan terwujud”.
“Orang yang baik” berkata yang lain
“para prajurit menghargainya. Ia mempunyai sifat-sifat seorang pemimpin,
tetapi tidak menyombongkan kepemimpinannya”.
“Tetapi, akan kemanakah ia?”
“Para prajurit diperkenankan pulang ke rumah masing-masing”.
“Dimanakah rumah pemimpin pasukan itu?”
Orang-orang itu saling berpandangan.
Beberapa diantara mereka menggeleng, “Aku tidak tahu dimana rumahnya.
Selama ini ia tinggal di antara prajurit-prajurit yang menang tidak
mempunyai rumah di kota ini”.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok memang tidak
mempunyai sebuah rumah di kota Tumapel. Tidak ada tempat kebanggan yang
dapat menariknya untuk tergesa-gesa seperti prajurit-prajurit yang
lain. Tidak ada keluarga, sanak kadang atau siapa pun yang menunggunya
dengan penuh kerinduan. Tidak seorang pun yang akan menantikannya di
regol halaman, bahkan dimanapun.
Itulah yang kini membuat hati pemimpin
muda itu menjadi risau. Prajurit-prajuritnya dan bahkan Kebo Ijo,
mempunyai tempat yang dapat memberinya rangsang antuk tergesa-gesa
kembali. Tetapi ia tidak. Ia selama berada di Tumapel, tinggal di dalam
barak. Barak bagi para prajurit dan pelayan dalam yang tidak mempunyai
tempat tinggal sendiri di dalam kota.
“Menjemukan,” desis Ken Arok di dalam
hati “di Padang Karautan aku tinggal di dalam gubug yang jelek bersama
prajurit-prajurit. Di Tumapel aku harus masuk lagi ke dalam gubug yang
besar bersama-sama prajurit-prajurit pula”.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Sedang kakinya masih juga menapak lambat di atas jalan batu di
tengah-tengah kota Tumapel. Tanpa dikehendakinya sendiri ia menuju ke
barak tempat tinggalnya selama ini.
“Kenapa aku tidak mempunyai keluarga yang
mengharap pulang segera?” sekali lagi ia berdesah di dalam hatinya. Dan
tiba-tiba saja sebuah mimpi telah menyamhar jantungnya. Terbesitlah
angan-angan yang ngelangut, “Alangkah senangnya kalau seseorang menunggu
aku di tangga pendapa. Melambaikan tangannya, kemudian berlari-lari
menyongsongku. Dan orang itu adalah Ken Dedes, ah tidak, orang itu mirip
dengan Ken Dedes”.
Tiba-Tiba Ken Arok menggeretakkan
giginya, “Gila. Aku sudah dijalari lagi oleh kegilaan ini. Ken Dedes
adalah seorang Permaisuri. Kalau ia berdiri di atas tangga, maka ia
berdiri di tangga ragol istana beserta Tuanku Tunggul Ametung, seperti
yang baru saja terjadi”. Namun terbersit sanggahan dari dasar hatinya,
“Bukan Ken Dedes. Seseorang yang mirip dengan Ken Dedes”.
“Hem” sekali lagi ia berdesah.
Ken Arok itu terkejut ketika ia mendengar
suara tertawa lirih di sampingnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
beberapa orang gadis berdiri di pinggir jalan sambil menjijing
kelenting. Agaknya gadis-gadis itu sedang pergi ke pancuran untuk mandi
dan mengambil air.
Salah seorang dari mereka berdesis, “Itulah Ken Arok”.
“Mau kau apakan dia?” bertanya kawannya.
Gadis-Gadis itu tertawa. Dan suara tertawa itulah yang telah didengar oleh Ken Arok.
Dan ketika mereka melihat Ken Arok
berpaling kepada mereka, maka wajah gadis-gadis itu pun menjadi
kemerah-merahan. Mereka segera memalingkan wajah-wajah mereka dan dengan
berdesak-desakan mereka berlari-larian kecil turun ke tebing yang
rendah di pinggir jalan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
belum pernah bergaul dengan gadis-gadis terlampau dekat. Satu dua memang
ia mengenal, tetapi tidak lebih dan sebuah perkenalan yang biasa,
seperti juga ia mengenal kawan-kawannya laki-laki, sebagaimana ia
mengenal prajurit-prajurit dalam lingkungannya.
Karena itu, maka hatinya menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat beberapa orang gadis memperhatikannya
di pinggir jalan. Kemudian berlari-lari menuruni tebing. Sesaat
terpercik keinginannya untuk menjengukkan kepalanya dari sisi jalan,
melihat kemana gadis-gadis itu berlari. Tetapi niat itu pun
diurungkannya.
“Tidak baik”, desisnya dalam hati.
Karena itu Ken Arok justru mempercepat
langkahnya. Terasa setitik keringat menitik di pundaknya. Dan ketika ia
menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah menjadi semakin
tinggi.
Tiba-tiba, langkah Ken Arek itu tertegun ketika ia sampai di sebuah simpang tiga. Dari kejauhan dilihatnya sebatang pohon preh yang besar. Daunnya yang lebat menghijau berkilat-kilat disentuh oleh sinar matahari.
Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu. Ia tahu benar, bahwa pohon preh
itu tumbuh di sebuah padepokan. Padepokan seorang yang baik hati.
Terlampau baik buatnya. Lohgawe. Pendeta itulah yang sebenarnya telah
langsung memungutnya dari Padang Karautan dan menyerahkannya kepada
Akuwu Tunggul Ametung.
Maka tiba-tiba saja, seolah-olah di luar
sadarnya, ia membelok melangkah lewat jalan yang lebih sempit menuju ke
padepokan itu. Padepokan yang sudah agak lama tidak dikunjungi sejak ia
pergi ke Padang Karautan.
Dengan agak ragu-ragu Ken Arok memasuki
regol padepokan yang kecil itu. Dihadapannya terbentang sebuah petamanan
yang tidak terlampau luas, tetapi sejuk dan tenteram. Di belakang
sebuah sendang yang kecil, berair bening, tumbuh sebatang pohon preh yang tinggi rimbun.
Perlahan-lahan ia melangkah melintasi
halaman yang di tumbuhi pohon bunga-bunga. Ketika dilihatnya seorang
cantrik menghampirinya, ia berhenti sambil menganggukkan kepalanya.
“Lama sekali kau tidak tampak Ken Arok” berkata cantrik sambil tersenyum pula.
Jawabnya, “Ya. Baru hari ini aku kembali”.
“O, kau langsung menuju kemari”.
“Masuklah”.
Ken Arok mengangguk. Dilanjutkannya
langkahnya. Tetapi ia tidak naik ke tangga pendapa. Seperti
kebiasaannya, ia pergi lewat regol samping, dan masuk melalui pintu
butulan, langsung ke serambi belakang. Di sanalah biasanya ia di terima
oleh Lohgawe.
Ketika ia masuk pintu butulan seorang cantrik mempersilahkannya dan berkata, “Baiklah, aku sampaikan kedatanganmu. Duduklah”.
Dengan ragu-ragu Ken Arok masuk ke
serambi belakang dan langsung duduk di atas sehelai tikar pandan yang
putih. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Masih seperti
ketika ia terakhir datang ke rumah itu. Tidak banyak perubahan yang
terjadi.
Kea Arok berpaling ketika ia mendengar
langkah yang lembut di belakangnya. Dan ketika ia berpaling dilihatnya
seorang yang telah berusia lanjut, berpakaian serba putih, dan bahkan
janggutnya pun telah putih, melangkah mendekatinya. Sebuah senyum yang
damai menghias bibirnya, sedang pandangan matanya jatuh ke wajah Ken
Arok seperti pancaran air yang sejuk mengusap jantungnya yang gersang.
Ken Arok membungkuk dalam-dalam. Terdengar suaranya tertahan “Sujudku di bawah kaki Tuan”.
“Ah” Pendeta tua itu menjawab “Kau
menjadi semakin gagah. Kau menurut pendengaranku adalah seorang prajurit
yang baik. Selama di Padang Karautan kau telah membuktikan, bahwa kau
adalah seorang yang yang telah berhasil menguasai dirimu. Bukankah kau
selamat selama ini”.
“Demikian Tuan. Aku selalu dalam lindungan Yang Maha Agung”.
“Mengucaplah syukur kepada-Nya. Kau akan selalu mendapat perlindungan-Nya”.
“Ya tuan. Mudah-mudahan demikianlah untuk seterusnya”.
“Kalau kau selalu menyandarkan dirimu kepada-Nya, maka kau akan selalu mendapat perlindungan-Nya”.
Ken Arok mengangguk dalam-dalam. Wajah orang tua itu ternyata telah memercikkan ketenangan didalam jiwanya.
“Apakah kau baru saja datang dari Padang
Karautan? Menilik keadaanmu, bekalmu dan keringatmu, kau baru saja
menempuh sebuah perjalanan”.
“Ya tuan. Aku memang baru saja pulang dari Padang Karautan”.
“Kau langsung pergi ke padepokan ini?”
“Ya tuan”.
Lohgawe menganggukkan kepalanya. Ia
melihat sesuatu tersembunyi di balik mata Ken Arok yang redup. Karena
itu maka sengaja ia bertanya, “Kenapa kau langsung pergi kemari? Apakah
kau datang seorang diri?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tidak Tuan. Aku datang dengan seluruh pasukan yang ada di Padang Karautan”.
“Dimanakah kawan-kawanmu sekarang?”
“Mereka menyimpan kerinduan di dalam hati. Karena itu maka dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah masing-masing”.
“Dan kau?”
Ken Arok menundukkan wajahnya.
Perlahan-lahan ia bergumam “Tidak ada seorang pun yang mengharap
kedatanganku tuan. Karena itu aku mencari ketenteraman hati kemari. Ke
padepokan ini”.
Lohgawe tersenyum. Ia melihat hati Ken
Arok yang di bakar oleh kesepian. Tetapi ia tidak dapat membiarkannya.
Menurut penilaian orang tua itu, sudah waktunya bagi Ken Arok untuk
mencari jalan pelepasan dari kesepian itu.
Dan persoalan yang demikian adalah
persoalan yeng wajar sekali. Meskipun demikian orang tua itu masih ingin
menjajagi hati anak muda yang duduk dihadapanya, “Kenapa kau merasa
dirimu terasing? Nah, anak muda kalau demikian, apakah kau tidak
berpikir bahwa suatu ketika kau akan membuat keadaan ini berubah
sehingga kau tidak dibakar oleh kesepian serupa itu? Kau harus membuat
hidupmu menjadi segar seperti Padang Karautan yang menurut pendengaranku
kini telah dialiri oleh arus sungai yang diangkat ke parit-parit.
Bahkan sebuah taman yang paling indah di Tumapel. Kau mampu membuat
padang yang kering itu menjadi subur dan segar. Nah, lakukanlah buat
dirimu sendiri”.
Lohgawe menjadi heran ketika melihat
wajah Ken Arok menjadi semakin muram. Ia tidak melihat anak itu
tersenyum atau menanggapnya dengan tawa yang riang.
“Hem” orang tua itu berdesah, “apakah aku menyinggung perasaanmu?”
“O” Ken Arok terkejut mendengar pertanyaan itu, “tidak tuan. Tidak. Sama sekali tidak”.
“Lalu apakah katamu tentang hal itu? Aku
sudah tarlanjur mengatakannya. Tetapi kalau tidak berkenan di hatimu,
baiklah kita berbicara tentang hal yang lain saja”.
“Tidak tuan. Sungguh tidak. Aku berterima
kasih atas nasehat itu, dan aku memang sedang berpikir untuk hal itu
pula. Namun aku merasa bahwa diriku terlampau tidak berharga. Padang
Karautan masih mungkin memberikan sesuatu kepada mereka yang
menggarapnya. Tetapi kegersangan hidupku sama sekali tidak akan dapat
diairi dengan cara apa pun. Aku adalah orang yang paling jahat, yang
paling tidak berharga. Apalagi menilik sejarah hidupku di masa-masa
lampau”.
“E, kenapa bicaramu sampai kesana?”
bertanya orang tua itu, “Tidak Ngger. Kau adalah seorang pemimpin yang
baik. Seorang anak muda yang wajar. Kalau kau berbicara tentang cacat
Ngger, maka semua orang pasti mempunyai cacatnya masing-masing. Tetapi
yang penting, bagaimanakah ia sekarang. Apakah ia masih hidup di dalam
dunianya itu, atau ia telah melepaskannya dengan penuh penyesalan dan
bertaubat karenanya? Itulah yang penting”.
Ken Arok menundukkan kepalanya. Dan ia
mendengar orang tua itu berkata, “Nah, tegakkan kepalamu. Pandanglah
dunia di sekitarmu dengan senyum yang segar. Pada suatu saat kau akan
menemukan jalan dan mulai dengan suatu kehidupan baru. Kau harus sampai
ke sana. Kapan dan dengan cara apa pun”.
Ken Arok menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Ya. Aku memang harus sampai ke sana”.
“Kau tidak akan dapat hidup sendiri
selamanya. Suatu ketika kau harus mempunyai lingkungan yang kecil yang
disebut keluarga, yang terdiri dari isteri dan kemudian anak-anak. Kalau
kau suatu ketika pulang dari tugasmu seperti saat ini, kau akan
melangkah seperti kawan-kawanmu. Tergesa-gesa untuk melepaskan
kerinduanmu kepada keluargamu itu”.
Ken Arok masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa desir-desir yang lembut menyentuh hatinya. Apa yang
didengarnya itu adalah benar semata-mata. Hidupnya akan menjadi segar.
Tidak segersang saat ini. Dengan cara hidupnya yang sekarang, apakah
yang diharapkannya buat masa datang, apabila kulitnya telah mulai
berkeriput, dan dahinya sudah berkerut-merut. Seperti matahari yang
sudah menginjak senja, maka yang bakal datang adalah kegelapan yang
pekat.
Tiba-Tiba terlintas seleret di dalam
angan-angannya, seorang perempuan yang memancarkan cahaya dari dalam
dirinya. Bukan sekedar keajaiban, namun perempuan itu adalah perempuan
yang secantik-cantiknya yang pernah dilihatnya.
“Alangkah bahagianya seorang suami yang
memiliki isteri yang demikian” katanya di dalam hati. Namun tiba-tiba
wajahnya menjadi tegang dan giginya terkatub rapat-rapat. Di dalam hati
ia mengumpati dirinya sendiri tidak habis-habisnya.
Lohgawe melihat sesuatu yang tidak wajar
pada anak muda itu. Sebagai seorang tua yang cukup memiliki pengetahuan
tentang berbagai segi kehidupan, maka dengan tanpa ragu-ragu ia berkata,
“Kau sedang memikirkan kata-kataku Ngger. Bagus. Aku mengharap, semoga
kau segera menemukan sesuatu di dalam hidupmu”.
Kali ini Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Ditenangkannya hatinya, dan dicobanya untuk mengendalikan
perasaannya yang melonjak-lonjak.
Dengan hati-hati ia berkata, “Aku memang
memikirkan kata-kata Tuan. Aku tidak melihat jalan lain yang harus aku
lewati, selain jalan itu”. Ken Arok berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
tuan, bukan hanya aku sendirilah yang mengalami masa-masa sesepi ini.
Seorang prajurit, bahkan mungkin ada yang lain, tetapi satu yang aku
ketahui itu, benar-benar telah dihanguskan oleh kesepian yang
membakarnya”.
“Uh, kenapa ia menunggu sampai keadaannya menjadi parah?”
“Terlebih-lebih ia seorang prajurit biasa. Ia merasa bahwa dirinya lebih tidak berharga dari pada aku”.
“Apa katamu tentang perasaan itu?”
Ken Arek menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab, “Salah tuan. Ia seharusnya tidak dikuasai oleh perasaan itu”.
“Tepat. Jawaban itu berguna pula bagimu
sendiri”. Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia mencoba menghapus
segala macam kesan di dalam dirinya dan pada wajahnya. Katanya kemudian,
“Prajurit itu terlebih-lebih parah lagi dari padaku. Bahkan ia datang
padaku untuk menceriterakan keadaannya”.
Lohgawe mengangguk-angguk.
“Sebenarnya aku tidak tahu, bagaimana aku
harus memberi nasehat kepadanya. Keluhan yang disampaikannya kepadaku
adalah senafas dengan keluhanku sendiri. Tetapi karena aku pemimpinnya,
maka aku tidak dapat ingkar. Aku harus berusaha menenteramkan hatinya”.
“Dan jawabanmu kepadanya adalah jawaban yang tepat untukmu sendiri, “Lohgawe memotong.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya “Ya Tuan,
meskipun ada beberapa perbedaan”.
“Apakah perbedaan itu?”
Ken Arok terdiam sejenak, tiba-tiba
dadanya dilanda oleh kegelisahan yang luar biasa. Namun dipaksakannya
juga untuk menjawab “Prajurit itu sedang digelisahkan oleh seseorang”.
Lohgawe yang tua itu tersenyum.
Melihat senyum orang tua itu terasa dada
Ken Arok berdesir. Seolah-olah Lohgawe melihat seluruh isi hatinya tanpa
dapat dikelabuinya lagi. Meskipun demikian Ken Arok masih mencoba
menyatakan perasaannya dengan caranya. Katanya “Dan perasaan yang
demikian belum pernah menyentuhnya sepanjang umurnya”.
Lohgawe mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Memang sekali dalam perjalanan hidup, kita akan bersinggungan dengan
perasaan semacam itu. Itu bukan suatu keganjilan. Yang demikian adalah
wajar. Wajar sekali”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka untuk sejenak pula ia terdiam.
Sementara itu seorang cantrik telah
menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sambil
tersenyum Lohgawe berkata, “Ken Arok, kalau kau telah berkeluarga, maka
kau akan mendapat pelayanan yang jauh lebih baik dari keadaanmu kini.
Marilah, apa yang ada, mungkin kau haus juga meskipun masih pagi”.
Ken Arok mencoba tersenyum, meskipun
senyumnya terlampau hambar. Namun sebenarnyalah bahwa ia merasa haus dan
lapar. Karena itu, maka tanpa diulang lagi, segera Ken Arok menyambar
mangkuknya dan kemudian beberapa potong makanan. Ia tidak perlu
segan-segan lagi di rumah orang tua itu, karena ia telah terlampau
biasa.
Sementara itu, ia mendengar Pendeta tua itu berkata, “Prajurit yang kau katakan itu Ngger, lalu kemanakah ia pulang pagi ini?”
Ken Arok masih dicengkam oleh
keragu-raguan. Namun kemudian ia menjawab, “Ke barak tuan. Barak para
prajurit yang tidak mempunyai rumah dan keluarga di kota ini”.
Ken Arok berhenti sejenak lalu tanpa
sesadarnya ia berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak
mempunyai rumah dan keluarga. Mungkin mereka mempunyai rumah dan
keluarga di tempat lain. Di padukuhan-padukuhan yang agak jauh di daerah
Tumapel. Mereka pun besok pasti akan mempergunakan waktu istirahat
mereka untuk kembali ke rumah masing-masing. Tetapi aku tidak tuan. Baik
di Tumapel maupun dimana pun juga, aku memang tidak mempunyai apapun
juga”.
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tatapan matanya yang lembut membuat hati Ken Arok merasa
tenteram. Berkata pendeta tua itu “Maksudku prajurit yang kau katakan
itu Ngger”.
“O” Ken Arok tergagap. Baru kemudian ia menjawab, “Ke barak tuan”.
Lohgawe masih mengangguk-angguk. Katanya pula, “Apakah persoalan prajurit itu sehingga ia terlebih parah lagi dari padamu?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Hatinya
masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Bahkan kadang-kadang ia
berusaha mengatupkan bibirnya rapat-rapat, untuk mendapat kekuatan, agar
ia terlepas dari keragu-raguannya. Namun kadang-kadang ia mengumpati
dirinya sendiri dalam hatinya.
Pendeta tua yang duduk di depannya
memandanginya dengan sorot mata yang lembut lunak, namun serasa langsung
menembus ke pusat jantung. Seolah-olah terhadapnya tidak ada yang dapat
disembunyikannya di dalam dadanya. Mata itu terlampau berpengaruh.
Meskipun demikian, Ken Arok masih juga
mencobanya. Katanya, “Tuan, prajurit itu merasa bahwa hatinya telah
terjerat oleh seorang perempuan”.
Pendeta tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Itu pun wajar Ken Arok. Katakan saja kepadanya, bahwa itu wajar sekali”.
“Ya tuan. Hal itu memang wajar. Tetapi yang ditanyakan kepadaku adalah, apakah sudah sepantasnya ia melakukannya?”
Pendeta itu mengerutkan keningnya
“Kenapa tidak?” Ken Arok terdiam sejenak. Ditariknya nafas dalam-dalam.
Kemudian terdengar suaranya parau , “Tuan, apakah aku boleh bertanya?
Ada pertanyaan prajurit itu yang aku tidak dapat mengerti”.
“Tentu, bukankah sejak tadi kita sudah bertanya jawab”.
“O”, Ken Arok menjadi sangat gelisah.
Tetapi dipaksakannya dirinya bertanya dengan kata-kata yang lembut dan
datar, “Tuan, apakah benar ada seseorang yang dapat memancarkan cahaya
dari dalam dirinya”.
Lohgawe mengerutkan keningnya yang telah
dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya. Dipandanginya Ken Arok dengan
sorot mata yang bertanya-tanya. Dan sejenak kemudian terdengar ia
menjawab, “Apakah kau pernah melihatnya?”
“Tidak tuan. Tidak. Maksudku, bukan aku
yang melihat. Pertanyaannya inilah yang membingungkan aku. Prajurit itu
bertanya, apakah penglihatannya itu benar”.
“Siapakah perempuan itu Ken Arok?”
pertanyaan itu terdengar sebagai guruh yang menggelegar di langit.
Tetapi Kan Arok masih tetap mencoba bersembunyi, “Aku tidak tahu tuan”.
Lohgawe mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya lirih, “Berbahagialah prajurit itu. Maksudmu bahwa perempuan
itulah yang telah menarik perhatian prajurit yang kau katakan. Dan
apakah mereka akan segera kawin?”
“Tetapi apakah makna dari cahaya yang seolah-olah memancar dalam diri seseorang?”
Lohgawe menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia duduk tepekur. Kini orang tua itu pun menjadi ragu-ragu.
“Aku harus menjawab pertanyaan itu tuan”.
“Ken Arok”, berkata pendeta tua itu,
“kalau benar ada orang yang dapat memancarkan cahaya, maka itu adalah
pertanda suatu kurnia dari Yang Maha Agung, bahwa di dalam dirinya
tersimpan kemungkinan yang sangat baik di masa mendatang. Tidak pasti
selalu dirinya sendiri, tetapi mungkin anak keturunannya”.
Dada Ken Arok yang berdebar-debar menjadi
semakin berdebar-debar. Dan ia mendengar orang tua itu berkata
seterusnya, “Tetapi belum pasti di dalam seabad akan lahir seseorang
yang memiliki kurnia sebesar itu, di dalam dirinya, karena sampai
beberapa abad kemudian orang yang demikian akan tetap disebut-sebut
namanya dan nama keturunannya”.
Ken Arok duduk sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Terasa sebuah pergolakan yang dahsyat sedang
mengamuk di dalam dadanya. Karena itu, maka ia menjadi terlampau gelisah
dan berdebar-debar. Dengan sekuat teaaga ia menahan gelora di dalam
hatinya itu. Ia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menumbuhkan kesan
yang lain di wajahnya.
“Nah Ken Arok”, berkata Lohgawe kemudian,
“katakan kepada prajurit itu. Ia tidak perlu gelisah. Keadaannya sama
sekali tidak parah dan tidak mencemaskan. Bahkan ia harus mengucap
syukur dan berdoa semoga semuanya dapat berlangsung dengan baik”.
Tetapi, tiba-tiba Ken Arok memotong. Namun suaranya terputus.
Lohgawe memandanginya dengan seksama. Ia
melihat bintik-bintik keringat di kening Ken Arok. Ia melihat wajah itu
kadang-kadang menjadi pucat, namun kadang-kadang menjadi merah tegang.
Serta sikap anak muda itu pun menumbuhkan berbagai macam pertanyaan di
dalam dirinya.
“Apakah masih ada yang kurang anak muda?” bertanya Pendeta tua itu.
“Tidak, tidak tuan”, Ken Arok berkenti
sejenak. Keringat dingin di punggungnya serasa semakin deras mengalir,
“Keadaannya memang terlampau parah tuan. Justru apabila ia tahu, bahwa
perempuan yang demikian adalah perempuan yang menyimpan kurnia di dalam
dirinya”.
“Kenapa?” Lohgawe menjadi heran.
“Tuan, ternyata bahwa perempuan yang dikatakan itu telah bersuami”.
“Oh” Lohgawe mengerutkan dahinya yang sudah berkerut-merut, “jadi perempuan yang dimaksud sudah bersuami?”
“Demikianlah tuan”.
Lohgawe menarik nafas dalam-dalam.
Katanya perlahan-lahan, “Bagaimana mungkin prajurit itu masih juga
mencoba memikirkannya? Ken Arok, kalau demikian, seharusnya kau tidak
usah bertanya kepadaku. Kau sendiri harus sudah dapat menjawab. Biarlah
perempuan itu hidup berbahagia dengan suaminya. Katakanlah kepada
prajurit itu, bahwa seharusnya ia minggir dari persoalannya. Benar
katamu, bahwa keadaannya ternyata terlampau parah. Bukan saja karena ia
menjadi semakin kesepian dan cemas tentang hari depanaya, namun bahwa
dalam keadaan demikian, ia masih juga mempersoalkannya dan apalagi
bertanya kepada orang lain. Itu adalah suatu kesalahan yang besar”.
Sebuah desir yang tajam tergores di dada
Ken Arok. Terasa luka oleh goresan itu menjadi terlampau pedih, serasa
jantungnya seperti tertusuk sembilu.
Sejenak ia terdiam sambil menundukkan
kepalanya. Ia berusaha untuk menyembunyikan segala macam kesan yang
tergurat di wajahnya. Di punggungnya terasa keringat dinginnya
seakan-akan menjalar perlahan-lahan.
Jawaban pendeta tua itu bagaikan ombak
yang dahsyat melanda dinding jantungnya. Berdeburan bagaikan hendak
merontokkan seluruh isi dadanya.
Namun dengan demikian, goncangan di dalam
dadanya itu telah membuatnya bingung dan tidak mengerti apa yang
sebaiknya dikatakan. Bahkan secara naluriah ia ingin bertahan atas jalan
yang dianggapnya akan membawanya ke dalarn satu kehidupan yang lebih
baik. Dalam keadaan yang demikian itu, maka meledaklah seluruh perasaan
yang pernah membayanginya. Yang paling tersembunyi dan bahkan yang
paling dibencinya sendiri.
Dengan nada gemetar ia meneruskan
kata-katanya seperti bendungan yang pecah, “Tuan. Bukan sekedar itu
saja. Prajurit itu telah bertekad menempuh segala nacam cara untuk
mendapatkan perempuan yang diidamkannya itu. Dengan segala macam cara.
Ia sudah tidak dapat mundur lagi setapak pun. Sebab kalau ia gagal maka
ia akan dapat menjadi gila atau membunuh dirinya sendiri”.
Wajah Lohgawe yang sejuk itu tampak
menegang. Tetapi hanya sekejap. Kemudian kelembutan sorot matanya telah
memancar kembali diwajahnya yang damai. Katanya perlahan-lahan, “Memang
kadang-kadang di dalam hati kita dapat saja tumbuh berbagai macam
perasaan, keinginan, nafsu dan sebagainya. Dalam kegelapan hati, kita
tidak dapat memilih, mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi pada
dasarnya keduanya memang ada di dalam diri kita. Keduanya saling
mendesak dan saling berebut kemenangan. Yang baik berusaha untuk membawa
kita kepada perbuatan baik, yang buruk ingin menjerumuskan kita ke
dalam perbuatan yang paling jahat. Tetapi, sebagai manusia yang
berpribadi, yang berakal budi, kita bukan budak dari keduanya. Kita
wenang memilih. Apakah kita memilih yang baik, atau kita ingin yang
buruk”. Pendeta tua itu berhenti sejenak. Dipandanginya Ken Arok yang
duduk tepekur. Lalu sejenak kemudian dilanjutkannya “Anak muda. Memang
terlampau sulit untuk menjatuhkan pilihan. Di dalam hidup kita, kita
selalu dikuasai oleh keinginan-keinginan badaniah dan rokhaniah. Kita
terbelenggu di dalam dunia wadag bersama dunia halus kita. Sedang wadag
kitalah yang langsung dirangsang oleh segala macam kenikmatan lahiriah.
Inilah yang kadang-kadang membuat kita lupa diri, bahwa wadag kita
adalah alat bagi kehidupan manusia yang sama sekali tidak kekal. Kita
kadang-kadang lebih mementingkan yang hanya sementara ini dari pada
milik kita yang paling berharga, yaitu kita sendiri. Aku, kau dan setiap
diri. Juga diri prajurit itu sendiri. Diri di dalam nilai hakekat hidup
ini. Itulah yang akan mengalami hidup yeng kekal. Dan itulah sebenarnya
kedirian kita. Itulah yang datang dari Yang Maha Agung dan akan kembali
kepadaNya dengan warna yang dipulaskan kepada dirinya sendiri selama ia
hidup di dalam wadagnya. Warna itulah yang harus kita pilih, supaya
kita dapat kembali kepadaNya kelak”.
Dada Ken Arok menjadi semakin bergoncang.
Tetapi ia masih tetap bertahan untuk menemukan alasan-alasan supaya
niat yang telah tergurat di dalam dadanya mendapat jalan yang dapat
dibenarkan. Tetapi ia tidak segera dapat menemukannya. Yang
didapatkannya justru kegelapan yang semakin pepat, sehinga ia berkata,
“Tuan. Apakah penilaian yang demikian itu dapat dicapai oleh setiap
orang? Mungkin tuan dapat menghayatinya, karena tuan adalah seorang
pendeta yang menyerahkan segala hidup wadag dan halusnya, untuk masa
abadi kelak. Tuan tidak terlampau banyak terlibat dalam
sentuhan-sentuhan kebutuhan wadag di dunia ini, sehingga tuan dapat
menentukan keseimbangan yang mantap sesuai dengan cara hidup tuan.
Tetapi kami, termasuk prajurit itu, adalah seseorang yang hampir setiap
saat selalu tergantung pada wadagnya. Di peperangan, di dalam kerja yang
keras dan setiap langkah kakinya dan ayunan tangannya, adalah wadagnya.
Sehingga dengan demikian tuntutan wadagnya itu pun harus mendapat
perhatiannya terlampau banyak melebihi yang lain-lain, karena hidup
baginya sebagian besar adalah persoalan wadag itu”.
“Pikirnya yang demikian adalah ujung dari
jalan simpang yang menuju ke jurang kehancuran kekal” sahut Lohgawe,
“mungkin kau benar, bahwa hidupku dan hidup prajurit itu berbeda. Aku
selalu bergaul dengan masalah-masalah rokhaniah, sedang prajurit itu
hampir seluruh hidupnya merupakan masalah badan wadagnya. Tetapi hakekat
aku dan prajurit itu adalah sama. Jasmaniah dan rokkaniah. Keduanya
harus tetap seimbang. Pemanjaan yang tidak kekal tidak boleh
mengorbankan yang kekal. Kalau seorang pekerja keras memang harus makan
lebih banyak dari aku misalnya. Tetapi bukan berarti bahwa apapun boleh
dimakannya, yang mungkin justru akan membuat dirinya sendiri terugikan”.
Kata-kata itu memang berhasil menyentuh
perasaan Ken Arok. Sejenak ia terdiam. Namun sifatnya yang keras dan
ingin mempertahankan pendiriannya masih saja terungkat. Semakin dalam ia
merasakan kebenaran kata-kata Lohgawe, di dalam kegelapan nalar seperti
itu, maka semakin bernafsu ia meraba-raba di dalam kegelapannya,
mencari alasan-alasan yang dapat ditemukanya. Namun yang didapatnya
adalah luapan perasaan yang tidak terkendali. Sehingga ia berkata dalam
nada yang berat, “Tuan. Prajurit itu bertanya kepadaku, bagaimanakah
sebaiknya yang dilakukannya. Bahkan ia bertanya, bagaimanakah seandainya
isteri itu sudah menjanda”.
(bersambung ke jilid 43)
No comments:
Write comments