KEBO SINDET tidak
telaten menghadapi lawannya yang tidak segera dapat ditundukkannya. Di
dalam hujan yang sangat lebat, orang itu menggeretakkan giginya.
Beberapa langkah ia meloncat surut, kemudian seperti sebatang tonggak ia
berdiri tegak, memusatkan segenap kekuatannya. Dibangkitkannya semua
kekuatan dan getaran yang ada di dalam dirinya, disalurkannya lewat urat
nadinya, dipusatkannya pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya.
Bukan sekedar kekuatan yang sudah mencapai puncaknya, tetapi segenap
kekuatan cadangan yang tersimpan rapat-rapat di dalam dirinya. Kali ini
Kebo Sindet bertekad untuk melepaskan aji pamungkasnya, aji yang dahsyat
sedahsyat petir di udara.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
melihat sikap lawannya. Tetapi ia tidak dapat sekedar melihat apa yang
akan dilakukan oleh Kebo Sindet. Yang akan terjadi itu pasti akan
langsung menyangkut dirinya. Apabila ia tidak segera berbuat sesuatu
untuk mengimbanginya, maka ia akan menjadi lumat sama sekali.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni pun
segera berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang. Meskipun
dengan hati yang berdebar-debar, maka segera dibangunkannya kekuatan
puncaknya dalam hubungan lahir dan batinnya. Dijulurkannya tangan
kirinya lurus ke depan, dan di silangkannya pedangnya di muka dadanya.
Tangan anak muda itu tampak bergetar. Aji
Gundala Sasra yang mendapat penyempurnaan dengan unsur-unsur kekuatan
dan gerak yang serasi dari inti kedahsyatan Aji Kala Bama yang luluh,
seolah-olah mengalir pada telapak tangannya.
Mahisa Agni belum pernah membuat
pertandingan-pertandingan dari kekuatannya dengan kekuatan-kekuatan lain
dalam benturan langsung. Namun ia dapat menduga, bahwa kekuatan yang
ada di dalam dirinya, setidak-tidaknya akan mampu mengimbangi kekuatan
lawannya.
Sejenak kedua orang itu seolah-olah
membeku. Namun sejenak kemudian berbareng dengan meledaknya guntur di
langit, terdengar Kebo Sindet berteriak nyaring. Goloknya terangkat
tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan loncatannya, goloknya terayun deras
sekali menghantam lawannya yang sudah siap menunggunya.
Di Padang Karautan, yang terdengar adalah
suara Akuwu Tunggul Ametung berteriak keras sekali, sekeras ledakan
petir yang bersabung, “Ken Arok, cepat meloncat ketepi.”
Tetapi Ken Arok sudah tidak mendapat
kesempatan lagi. Tanah di bawah kakinya seakan-akan surut dengan
cepatnya, sedangkan air naik secepat itu pula.
Dada anak muda itu menjadi
berdebar-debar. Dikerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Kekuatan yang telah ada di dalam tubuhnya tanpa diketahuinya sendiri.
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung menjadi
bingung. Kebo Ijo dan prajurit-prajurit yang lain seakan-akan telah
kehilangan akal mereka. Bahkan mereka telah menjadi berputus asa. Ken
Arok tidak akan dapat tertolong lagi. Ki Buyut Panawijen menjadi pucat
seperti mayat, sedang orang-orang Panawijen benar-benar telah kehilangan
nalar dan harapan.
Akuwu Tunggul Ametung pun masih berdiri
membeku. Ia adalah orang yang hampir-hampir tidak pernah berpikir,
apalagi menanggapi persoalan yang tiba-tiba. Tetapi, kali ini Akuwu
Tunggul Ametung sama lekali tidak berputus asa dan tidak membiarkan Ken
Arok hanyut tanpa berbuat sesuatu.
Meskipun demikian, meskipun ia sedang
dirisaukan oleh persoalan yang sedang dihadapinya, namun sesaat
jantungnya bergetar. Ia melihat sesuatu yang aneh baginya. Ternyata daya
tangkap dan tanggapan Akuwu Tunggul Ametung atas persoalan-persoalan
yang bukan sekedar masalah lahiriah, jauh lebih baik dari orang-orang
yang ada di sekitarnya, bahkan tidak jauh berbeda dari Empu Purwa, Empu
Gandring dan beberapa orang lain. Lamat-lamat di dalam hujan yang sangat
lebat ia melihat warna yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok
yang sedang mengerahkan segenap kekuatan yang seakan-akan telah tersedia
di dalam dirinya, untuk bertahan supaya ia tidak hanyut.
Bahwa ia masih tetap dapat berdiri,
adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin dan tidak masuk akal. Tetapi
adalah suatu kenyataan bahwa Ken Arok masih dapat bertahan, berdiri
tegak menahan arus air yang luar biasa dan sudah hampir mencapai
setinggi dada. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk meloncat karena
justru tanah di bawah kakinya menjadi surut hanyut di dalam arusnya
banjir yang mendapat saluran untuk mengalir. Kalau ia berusaha untuk
meloncat juga, maka ia akan terperosok semakin dalam dan segera akan
tenggelam.
Akuwu Tunggul Ametung yang sesaat dipukau
oleh tanggapan mata hatinya itu, segera menyadari keadaan. Tiba-tiba
sekali lagi ia berteriak. Sekali lagi orang-orang Panawijen dan para
prajurit Tumapel dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak masuk diakal
mereka. Akuwu itu tiba-tiba melenting seperti bilalang. Sekali sambar
tangannya telah menggenggam ujung sebatang bambu yang tertumpuk di
pinggir bendungan. Kemudian sekali lagi ia melenting sambil menjinjing
bambu itu. Terdengarlah kemudian suaranya mengguntur, “Tangkaplah
pangkalnya. Peganglah erat-erat. Aku akan menarikmu.”
Orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel hampir tidak dapat mengerti apa yang telah terjadi. Adalah di
luar nalar mereka bahwa seseorang mampu melakuannya, menjinjing sebatang
bambu utuh yang panjang sambil meloncat sedemikian jauhnya, kemudian
mengulurkan bambu itu dari pinggir susukan induk kepada Ken Arok yang
sedang berjuang menguasai diri, melawan air yang kini telah mencapai
setinggi dadanya.
Sejenak Ken Arok terpukau melihat gerak
Akuwu Tunggul Ametung. Demikian ia mengaguminya, sehingga ia hampir lupa
kepada dirinya sendiri. Tetapi segera ia sadar setelah pangkal sebatang
bambu yang dijulurkan Akuwu Tunggul Ametung itu hampir menyentuh
hidungnya.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah
berbuat tepat pada waktu. Apabila ia terlambat sekejap, maka keadaannya
akan menjadi lain, karena sekejap kemudian tanah di bawah kaki Ken Arok
itu seolah-olah telah hanyut diseret oleh banjir bandang. Apabila Ken
Arok ikut serta terseret oleh arus itu maka usahanya untuk melepaskan
diri akan menjadi semakin sulit dan usaha untuk menolongnya pun menjadi
semakin sulit pula.
Tetapi pada saatnya tangan Ken Arok
menyambar pangkal bambu yang dijulurkan kepadanya meskipun sesaat ia
masih dirayapi oleh keragu-raguan, bahwa justru Akuwu Tunggul Ametung
lah yang akan ikut terseret bersamanya.
Tetapi sekali lagi orang-orang Panawijen
dan para prajurit itu berdiri dengan mulut ternganga, meskipun air hujan
masuk ke dalamnya. Dada mereka terasa berhenti berdetak ketika mereka
melihat bagaimana Ken Arok berusaha menahan diri berpegangan pada
pangkal bambu yang ujungnya dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Dua kekuatan di pangkal dan di ujung itu
hampir tidak dapat dinilai oleh orang-orang yang berdiri memaku di
sekitarnya. Bahkan orang-orang yang berada di seberang pun terpukau sama
sekali melihat apa yang terjadi, meskipun hanya samar-samar karena
hujan yang terlampau deras.
Perlahan-lahan Akuwu menarik bambu itu.
Dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Bambu, Ken Arok dan
banjir adalah lawan yang cukup berat baginya. Tetapi ternyata Akuwu
adalah seorang yang memiliki tenaga yang luar biasa.
Orang-orang yang terpesona melihat hal
itu terjadi, justru berdiri saja mematung, tanpa dapat berbuat sesuatu.
Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, apalagi berlari dan
ikut serta menahan bambu yang sedang mengangkat tubuh Ken Arok dari
dalam arus air.
Sedang Ken Arok sendiri, berpegang pada
pangkal bambu itu. Terasa seolah-olah air menghisapnya dan menariknya ke
dalam lingkaran maut. Tetapi ia bertahan terus. Bertahan dengan
kekuatan yang jauh melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan.
Betapa lambatnya, namun Ken Arok terseret
semakin menepi. Agaknya dua kekuatan di ujung dan pangkal sebatang
bambu itu akan dapat menyelamatkannya. Meskipun kadang-kadang segumpal
air menghantam wajahnya, namun sekejap kemudian Ken Arok berhasil
mengangkatnya ke atas permukaan air.
Mereka yang menyaksikan, Ken Arok
tertarik sedikit demi sedikit menepi itu, menahan nafas mereka.
Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang dan darah mereka serasa
berhenti mengalir.
Seperti Kuda Sempana yang saat itu
menahan nafasnya pula, jantungnya pun seakan-akan berhenti berdetak. Ia
tahu benar, bahwa kedua orang yang mempersiapkan kekuatan pamungkas
mereka. Loncatan Kebo Sindet yang hampir-hampir tidak dapat diikuti oleh
mata itu, adalah permulaan dari benturan yang sekejap lagi pasti akan
terjadi.
Dada Kuda Sempana lah yang akan meledak,
sesaat kemudian ketika ia melihat golok Kebo Sindet terayun deras sekali
seperti petir yang menyambar dari langit disertai suaranya yang
melengking semakin tinggi.
Tetapi Mahisa Agni telah bersiap
sepenuhnya untuk menerima serangan itu. Ia kali ini sengaja tidak ingin
menghindar. Ia ingin mengalami benturan itu, supaya perkelahian itu
segera sampai pada akhirnya.
“Disini kita akan mendapat kepastian.” gumannya di dalam hati.
Sesaat kemudian anak muda itu
menggeretakkan giginya, Di sentakkannya kakinya menyongsong serangan
Kebo Sindet itu. Dengan pedangnya Mahisa Agni dengan sengaja
membenturkan kekuatannya melawan kekuatan aji lawannya.
Benturan yang terjadi adalah benturan
yang dahsyat sekali. Sepercik bunga api meloncat ke udara, meskipun
hujan yang lebat sekali masih tercurah dari langit. Seolah-olah sepasang
petir sedang bersabung di udara. Bersabung dengan penuh dendam dan
benci.
Akibat dari benturan itu pun dahsyat
sekali. Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Terasa kekuatan
benturan itu telah menyalar di tubuh mereka, seakan-akan menghentak
jantung di dalam dada masing-masing, sehingga sekejap kemudian mata
mereka menjadi berkunang-kunang. Kebo Sindet merasakan sesuatu yang
menyesak pernafasannya, sehingga ia menjadi tersengal-sengal. Namun ia
masih cukup menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia masih mampu
untuk berusaha jatuh di atas kedua kakinya. Sedang Mahisa Agni masih
juga menyadari keadaannya sepenuhnya. Meskipun dadanya terasa sesak,
tetapi akibat benturan-benturan itu masih tidak separah Kebo Sindet.
Agaknya ilmunya yang luluh dengan kekuatan Aji Empu Sada, telah berhasil
mengatasi kekuatan lawannya, meskipun perbedaan itu masih belum
terlampau banyak. Ternyata dalam kekurangannya, Kebo Sindet masih
memiliki kelebihan pengalaman yang cukup untuk mempertahankan dirinya.
Tetapi sekali lagi Mahisa Agni dihadapkan
kepada lawan yang lain. Ketika ia berusaha berdiri tegak di atas kedua
kakinya, maka tiba-tiba keseimbangannya terganggu oleh tanah yang licin.
Dalam keadaan yang sulit itu, akhirnya Mahisa Agni tidak berhasil
mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian ia
terpelanting jatuh.
Kebo Sindet yang terluka di dadanya, yang
berhasil tegak pada kedua kakinya, meskipun agak tertatih-tatih,
melihat Mahisa Agni terpelanting jatuh. Baginya itu adalah suatu
kesempatan.
Tetapi pada saat yang demikian barulah ia
menyadari, bahwa golok di tangannya yang langsung berbenturan dengan
pedang Mahisa Agni telah terpelanting jatuh. Terasa kemudian bahwa
tangannya menjadi pedih.
Kebo Sindet itu mengumpat dengan
kata-kata yang paling kotor. Ia sadar, bahwa kekuatan Mahisa Agni
ternyata telah melampaui kekuatannya. Namun ia menjadi berpengharapan
ketika ia melihat bahwa Mahisa Agni pun telah tidak bersenjata lagi.
Meskipun pangkal pedangnya tidak terlepas dari tangannya, betapapun
dahsyatnya benturan yang terjadi, tetapi pedang itulah yang ternyata
kurang baik bagi benturan kekuatan yang dahsyat. Ternyata pedang itu
terputus hampir di pangkalnya.
Dan kini Kebo Sindet melihat Mahisa Agni
terpelanting jatuh tergelincir karena tanah yang licin. Pada saat Mahisa
Agni masih belum menemukan kesempatan untuk bangun, maka ia harus
mempergunakan setiap kemungkinan. Ia harus cepat menyerang dan
membinasakan lawannya.
Kebo Sindet mencoba mengumpulkan
kekuatannya yang terakhir. Terdengar ia menggeram keras. Luka di dalam
dadanya tidak dihiraukannya. Sekali lagi ia mateg aji pamungkasnya.
Seperti seekor harimau lapar Kobo Sindet meloncat menerkam Mahisa Agni yang masih belum sempat bangkit.
Tetapi Mahisa Agni memang tidak segera
bangkit. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet pasti akan mempergunakan
kesempatan itu. Kesempatan pada saat ia kehilangan keseimbangan. Karena
itu maka ia masih saja berbaring di tempatnya. Justru sambil berbaring
dipusatkannya segala kekuatan dan getaran di dalam dirinya. Kekuatan
lahir dan batin.
Mahisa Agni hanya sempat menggeser diri
dalam sikap yang dikehendaki. Ia menempatkan dirinya membujur bertentang
arah terkaman Kebo Sindet. Dilepaskannya sama sekali hulu pedang yang
patah. Ia tidak dapat mempergunakannya lagi. Lawannya pun tidak
mempergunakan senjata, selain kekuatan aji tertingginya.
Mahisa Agni yang telah mendalami dan
mengenali watak kekuatannya sendiri, kali ini tidak menjalurkannya dan
memusatkannya di tangannya, tetapi kekuatannya disalurkannya pada kedua
kakinya. Dengan berdebar-debar ia menunggu terkaman iblis dari
Kemundungan itu.
Kebo Sindet dengan sepenuh tenaganya,
menjulurkan tangannya. Ia telah siap mencekik leher Mahisa Agni,
menindihnya dan membuatnya tidak bernafas. Meskipun kekuatannya tidak
sebesar kekuatan Mahisa Agni, tetapi perbedaan itu tidak terlampau
besar, sehingga apabila tangannya telah menerkam leher lawannya, ia
yakin, pada saat sentuhan itu terjadi, Mahisa Agni pasti sudah
kehilangan sebagian besar dari kekuatannya. Leher lawannya tidak akan
sekuat tangannya untuk menolak kekuatan aji pamungkasnya.
Tetapi Kebo Sindet lupa bahwa Mahisa Agni
pun memperhitungkan waktu sekejap demi sekejap. Anak muda itupun
menyadari, bahwa apabila ia menyia-nyiakan waktu yang sekejap, maka
akibatnya akan tidak diduga-duganya.
Itulah sebabnya, ia telah siap menyambut
Kebo Sindet yang seakan-akan melayang menerkamnya sambil berteriak
nyaring. Matanya yang membara menjadi semakin liar, dan wajahnya yang
beku itu memancarkan nafsu iblisnya.
Tetapi Mahisa Agni telah siap
menyambutnya. Pada saat yang telah diperhitungkan Mahisa Agni menekuk
lututnya, dan menyambut terkaman Kebo Sindet itu dengan kekuatan
puncaknya, dengan ajinya yang telah disempurnakan.
Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang
dahsyat. Benturan antara dua kekuatan yang pilih tanding. Dua kekuatan
raksasa yang dilontarkan dengan nafas kebencian, dendam dan nafsu yang
meluap-luap.
Sekali lagi keduanya harus mengalami
akibat yang dahsyat pada tubuh masing-masing. Ternyata Mahisa Agni yang
membentur serangan Kebo Sindet itu dengan kakinya, terdorong beberapa
langkah, meluncur di atas tanah yang licin menuju ke bibir rawa-rawa.
Dengan sekuat tenaga anak muda itu mencoba menahan dirinya dengan
mencengkamkan jari-jari tangannya pada tanah berlumpur. Meskipun tidak
terlampau banyak, namun usaha itu telah menahannya Mahisa Agni berhenti
beberapa langkah yang pendek saja dari bibir rawa-rawa. Bahkan kepalanya
telah terperosok kedalam gemburnya lumpur rawa-rawa yang berwarna
gelap. Tetapi Mahisa Agni tidak terjerumus masuk dalamnya. Sedang
sendi-sendi tulang kakinya terasa berpatahan. Perasaan sakit yang luar
biasa telah menyalari seluruh tubuhnya. Namun Mahisa masih tetap sadar,
apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia masih sempat melihat akibat
dari peristiwa itu dan peristiwa-peristiwa berikutnya.
Mahisa Agni masih mendengar Kebo Sindet
berteriak mengerikan. Benturan itu agaknya telah membuat lukanya semakin
parah. Tetapi lebih dari pada itu, dorongan kaki Mahisa Agni telah
melemparkan Kebo Sindet yang seakan-akan sedang terbang di atasnya.
Tubuh iblis itu melambung tinggi dan melayang ke arah yang sama sekali
tidak dikehendaki oleh Kebo Sindet. Dalam usahanya terakhir Kebo Sindet
menggeliat di udara, namun ia tidak berhasil menghentikan lontaran
kekuatan Mahisa Agni, sehingga tubuhnya melayang langsung kedalam air
yang keruh berlumpur. Sejenak kemudian tubuh itu pun terbanting jatuh ke
dalam rawa-rawa.
Suara teriakan Kebo Sindet masih
terdengar sesaat. Mahisa Agni sejenak melupakan segala macam penderitaan
tubuhnya. Ia berusaha untuk bangkit, dan melihat apa yang telah
terjadi.
Sebuah desir yang tajam menggores
jantungnya. Ia melihat Kebo Sindet menggelepar di dalam air. Dan ia
melihat Kebo Sindet masih berusaha untuk mencoba menyelamatkan dirinya.
Kebo Sindet itu telah mengenal betul watak dan tabiat rawa-rawa itu,
sehingga ketika tubuhnya telah berada di dalam air, justru ia
menghentikan segala macam gerak yang sama sekali tidak berarti, yang
akan mendorongnya semakin cepat terbenam ke dalam lumpur.
Mahisa Agni kini sudah berdiri pada
lututnya. Tubuhnya terasa lemah sekali, seakan-akan semua
tulang-tulangnya dilolosi. Karena itu maka ia tidak berusaha untuk
berdiri tegak di atas kedua kakinya, Ia tidak mau jatuh tergelincir
karena tanah yang licin, apalagi tergelincir masuk rawa-rawa menyusul
Kebo Sindet.
Dengan demikian maka dengan nafas
terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai menahan sakit, ia melihat
Kebo Sindet berada di dalam air.
“Setan iblis.” Kebo Sindet mengumpat di
dalam air. Namun ia masih berdiri diam. Dengan mata yang menyalakan
dendam tiada taranya dipandanginya Mahisa Agni.
Tetapi sejenak kemudian ia sadar akan dirinya. Ia harus segera keluar dari rawa-rawa itu.
Dicobanya untuk menggerakkan kakinya
sedikit, bergeser ke tepi. Tetapi ternyata tanah berlumpur di bawah
kakinya terlampau gembur, sahingga sedikit demi sedikit, Kebo Sindet itu
seolah-olah dihisap kedalam bumi.
Sejenak terbersit kecemasan membayang di
wajah yang beku itu. Bayangan yang hampir sepanjang hidupnya tidak
pernah mewarnai wajahnya. Namun kini tampaklah, betapa Kebo Sindet telah
dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Setiap kali ia bergerak,
betapapun kecilnya, maka kakinya menjadi semakin dalam terperosok ke
dalam lumpur di dasar rawa-rawa itu.
Meskipun demikian Kebo Sindet masih
berusaha untuk melangkah ketepi. Perlahan-lahan ia beringsut. Namun
perlahan-lahan ia terbenam semakin dalam.
“Gila, kau gila Mahisa Agni.” teriaknya.
Kecemasan semakin mencengkam jantungnya, “kalau aku berhasil ke luar
dari rawa-rawa ini, maka aku cincang kau habis-habisan.”
Mahisa Agni masih terdiam ditempatnya. Ia masih berdiri pada lututnya. Namun kengerian membayang di hatinya.
Ia tahu benar, apakah yang tersimpan di
dalam air yang keruh itu. Ia dapat membayangkan apakah yang akan terjadi
atas Kebo Sindet itu apabila ia tidak segera dapat keluar dari dalam
air berlumpur itu.
Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu-ragu.
Dan sekali lagi ia mendengar suara Kebo Sindet, “He Mahisa Agni. Kalau
aku nanti keluar dari rawa-rawa ini, kaulah yang akan aku lemparkan
masuk. Kaulah yang akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil di sini.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Sekali-sekali
perasaan sakit seolah-olah menyengat di seluruh tubuhnya. Namun ia
yakin bahwa Kebo Sindet pun terluka setidak-tidaknya separah dirinya
sendiri. Tetapi karena keadaannya, maka seolah-olah luka itu tidak
terasa, Kebo Sindet sedang dicemaskan oleh rawa-rawa yang kini
seakan-akan sudah membelenggunya.
Tetapi iblis itu tidak berputus asa. Ia
masih juga berusaha. Setiap kali ia menggerakkan tubuhnya, maka mulutnya
pasti mengumpat tidak habis-habisnya. Wajahnya kini sama sekali tidak
lagi membeku seperti wajah mayat. Namun jelas ketegangan dan kecemasan
yang mengerikan, membayang di wajah itu.
Ketika kakinya terperosok semakin dalam,
Kebo Sindet itu mengumpat-umpat semakin keras. Tetapi ia masih belum
menyerah. Ia masih berusaha terus. Perlahan-lahan sekali. Tetapi
ternyata kaki-kakinya semakin dalam terhisap masuk ke dalam tanah
berlumpur di dasar rawa-rawa.
Kesabaran Kebo Sindet pun semakin lama
menjadi semakin mencair. Usaha untuk melepaskan diri semakin lama
menjadi semakin kabur, sehingga iblis itu memaki-maki semakin keras dan
kotor.
Mahisa Agni yang berdiri pada lututnya
melihat, betapa wajah Kebo Sindet yang sehari-hari dilihatnya selalu
membeku itu menjadi tegang. Kemudian diulas oleh kecemasan hatinya dan
akhirnya wajah itu seolah-olah telah membayangkan keputus asaan.
Betapa dendam membara di dalam dada
Mahisa Agni, ketika dilihatnya akhir yang mengerikan dari hidup Kebo
Sindet itu terasa sentuhan halus menyinggung hatinya. Ia memang ingin
membinasakan iblis dari Kemundungan itu, tetapi tidak dengan cara itu.
Tidak dengan cara yang demikian mengerikan.
Tiba-tiba Mahisa Agni pun melupakan
betapa tubuhnya menjadi hampir lumpuh. Perlahan-lahan dan hati-hati ia
bangkit. Setapak-setapak ia melangkahkan kakinya meninggalkan pinggiran
rawa-rawa itu. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo
Sindet berteriak, “He, jangan lari pengecut. Sebentar lagi aku akan
keluar dari air ini. Tubuhku terasa bertambah segar. Dan kau akan
mengalami kematian yang paling mengerikan.”
Mahisa Agni melihat wajah Kebo Sindet
semakin menjadi tegang dan berputus-asa. Namun wajah itu masih juga
memancarkan dendam dan kebencian tiada taranya.
Tiba-tiba dada Mahisa Agni berdesir tajam
Ia melihat sesuatu dikejauhan bergerak-gerak di permukaan air. Satu,
dua disusul oleh yang lain semakin lama semakin banyak.
Buaya-buaya kerdil.
Wajah Mahisa Agni tiba-tiba menjadi
pucat. Buaya-buaya itu pasti telah mencium bau darah yang meleleh dari
tubuh Mahisa Agni. Dan buaya-buaya itu sebentar lagi pasti akan menyeret
tubuh Kebo Sindet semakin ketengah dan mengoyak-ngoyaknya.
Mahisa Agni menjadi ngeri sekali
membayangkan apa yang akan terjadi Karena itu maka tiba-tiba ia
melangkah semakin cepat, secepat dapat dilakukan. Sejenak ia
mencari-cari ditempat ia berkelahi melawan Kebo Sindet sebelum Kebo
Sindet terlempar ke dalam air. Ia sama sekali tidak memperdulikan Kebo
Sindet berteriak-teriak memanggilnya dan memaki-makinya, “Pengecut
licik. Jangan lari. Tunggu, sebentar lagi aku akan mengoyak tubuhmu dan
melemparkannya kemulut-mulut buaya kerdil.”
Dan buaya-buaya kerdil itu benar-benar telah mendekat.
Mahisa Agni yang menjadi semakin
berdebar-debar karenanya, dengan serta-merta berteriak, “Buaya-buaya itu
telah datang. Cepat, kalau kau dapat melakukannya, naiklah.”
Kebo Sindet mengerutkan keningnya.
Sesuatu hal yang jarang sekali dilakukannya. Wajahnya kini seakan-akan
telah mencair, telah tidak membeku lagi. Ketika ia berpaling, dikejauhan
dilihatnya permukaan air yang bergerak-gerak.
Dada iblis dari Kemundungan itu berdesir
tajam. Kini ia berhadapan dengan kenyataan, bahwa buaya-buaya kerdil itu
segera akan menyerangnja, tubuhnyalah yang sebentar lagi akan
dikoyak-koyakkannya. Sama sekali bukan Mahisa Agni.
Jantung Kebo Sindet serasa
melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak mau menerima
kenyataan itu. Ia ingin mengikat Mahisa Agni dan menggantungkannya dekat
di permukaan air. Ia ingin melihat buaya-buaya kerdil itu
melonjak-lonjak meraih tubuh yang tergantung itu, sehingga pada suatu
saat tubuh itu terkoyak oleh gigi-gigi buaya kerdil yang tajam. Tetapi
buaya-buaya itu kini berenang perlahan-lahan ke arahnya, dan ia tidak
dapat berbuat apa-apa.
“Setan, iblis.” ia mengumpat-umpat,
“Mahisa Agni, seharusnya kau lah yang berada di sini. Ayo, kemarilah.
Kau harus menggantikan tempat ini. Kaulah yang akan menjadi makanan
buaya kerdil itu. Cepat, datang kemari supaya aku mengampunkan
kesalahanmu.”
Mahisa Agni berdiri tegak ditempatnya. Ia
melihat buaya-buaya kerdil itu menjadi semakin dekat. Debar di dalam
dadanya pun menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa.
“Kau kemari, he anak setan.” teriak Kebo
Sindet, “kau kemari. Aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Kau akan
kuampuni.” Kebo Sindet itu berhenti sejenak, “tetapi kalau tidak, maka
kau akan aku cincang sebelum kau mati. Aku dapat membunuhmu dengan
segala macam cara yang aku kehendaki.”
Mahisa Agni kini melihat Kebo Sindet itu
kehilangan ketenangannya, Ia berusaha untuk meloncat, tetapi kakinya
seolah-olah telah digenggam erat-erat oleh lumpur di dasar rawa itu.
Meskipun demikian Kebo Sindet masih
berusaha. Ia mencoba untuk tidak menginjakkan kakinya lagi. Ia berusaha
untuk berenang. Berenang ketepi. Namun kakinya telah benar-benar
terbenam semakin dalam. Sedang buaya-buaya itu menjadi semakin dekat.
Bukan saja Kebo Sindet yang menjadi
cemas, tetapi Mahisa Agni pun menjadi semakin cemas juga. Tanpa
disengajanya anak muda itu berpaling kepada Kuda Sempana. Ternyata wajah
Kuda Sempana pun menjadi kian pucat. Ia tidak menghiraukan lagi
titik-titik air hujan yang menyiram wajah itu.
Tiba-tiba Mahisa Agni melihat sesuatu
tergolek di tanah. Golok Kebo Sindet. Golok yang terlepas dari tangan
iblis itu pada saat benturan kekuatan diantara mereka terjadi.
Dengan serta merta, seolah-olah di luar
sadarnya Mahisa Agni melangkah mendekati. Diambilnya golok itu, dan
sejenak ia berdiri dalam kebimbingan. Namun kemudian ia memutar tubuhnya
menghadap kepada Kebo Sindet yang kini sudah kehilangan ketenangannya
menggelepar di dalam air yang seakan-akan semakin menghisapnya. Dengan
lantang Mahisa Agni itu berkata, “Kebo Sindet, ini senjatamu. Mungkin
kau memerlukannya untuk melawan binatang-binatang air yang buas itu.”
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban Kebo
Sindet. Beberapa langkah ia maju. Kemudian dilontarkannya hulu golok itu
kearah Kebo Sindet yang sedang dilanda oleh gejolak perasaan yang
dahsyat. Ia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi atasnya,
sehingga kenyataan itu terasa terlampau pahit untuk diterimanya.
Mahisa Agni masih berdiri dengan dada
yang berdebar-debar. Tetapi menyimpan dendam di dalam hatinya, tetapi ia
tidak dapat melihat kenyataan itu terjadi atas Kebo Sindet. Kenyataan
yang bertentangan keinginan iblis itu sendiri.
Kebo Sindet ternyata cukup cekatan untuk
menerima goloknya. Tepat pada saat itu, buaya-buaya kerdil itu telah
menjadi semakin dekat. Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir ketika
ia melihat seekor yang berada di paling depan mengangakan mulutnya yang
lebar dengan gerigi yang tajam berderet panjang.
Mahisa Agni masih sempat melihat Kebo
Sindet mengayunkan goloknya dan buaya yang terdepan itu melengking
tinggi. Tubuhnya menggeliat dan darah memancar kemerah-merahan. Buaya
yang malang itu pun kemudian terbenam di dalam air.
Tetapi buaya-buaya itu tidak hanya seekor. Dibelakangnya segera menyusul seekor, seekor dan seekor lagi. Berturut-turut.
Mahisa Agni tidak ingin melihat apa yang
terjadi seterusnya. Segera ia memalingkan wajahnya. Tetapi ia
terperanjat ketika ia melihat Kuda Sempana berlari-lari menggenggam
pangkal pedangnya yang sudah terputus.
“Apa yang akan dilakukannya?” desis Mahisa Agni di dalam hatinya.
Sesaat kemudian Mahisa Agni baru
mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Kuda Sempana itu ternyata telah
memotong dua tiga helai sulur beringin. Seperti pada saat ia pergi
kebatang itu, maka ia pun kemudian berlari-lari pula kembali.
Mahisa Agni tahu maksud Kuda Sempana.
Secercah kebanggan membersit di hatinya. Ternyata di dalam diri Kuda
Sempana itu masih tersisa rasa kemanusiaannya.
“Marilah, kita usahakan agar orang itu dapat terlepas dari mulut buaya-buaya kerdil itu.” katanya dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan demikian kedua anak-anak
muda itu dapat melupakan apa yang telah terjadi atas diri mereka. Mereka
ternyata bersungguh-sungguh ingin melepaskan Kebo Sindet dari mulut
binatang-binatang air yang rakus itu. Biarlah ia mati, tetapi dengan
cara yang lebih baik.
Maka dengan tergesa-gesa Kuda Sempana dan
Mahisa Agni telah menyambung sulur-sulur itu, dan kemudian terdengar
suara Mahisa Agni mengatasi desir air hujan yang masih saja turun, “Kebo
Sindet, tangkaplah ujung sulur itu. Kami akan berusaha menarikmu
keluar.”
Perlahan-lahan dengan hati-hati sekali
keduanya mendekati bibir rawa-rawa. Kemudian dilontarkannya ujung sulur
itu kepada Kebo Sindet yang sedang berjuang melawan binatang-binatang
air yang buas itu. Dengan serta-merta maka tangan kiri Kebo Sindet
menyambar ujung sulur yang dilontarkan kepadanya. Namun ia masih juga
berteriak, “Mahisa Agni. Kau terlampau sombong. Tetapi kau akan menyesal
apabila aku telah keluar dari lumpur ini.”
Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali
tidak memperdulikannya. Buaya-buaya semakin banyak berkerumun di sekitar
Kebo Sindet. Namun sebagian dari buaya-buaya itu tiba-tiba melengking
dan tenggelam ke dalam air. Sambil menarik Kebo Sindet, Mahisa Agni
masih juga sempat merasa heran. Dalam keadaan serupa itu Kebo Sindet
masih mampu bertahan terhadap sekian banyak buaya-buaya kerdil meskipun
ia mempergunakan goloknya. Tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau
lama. Ia harus segera menarik orang itu keluar air.
Perlahan-lahan Kebo Sindet merasa dirinya
terangkat menepi. Semakin lama semakin menepi. Tetapi buaya-buaya
kerdil itu mengejarnya terus sehingga ia masih juga harus berjuang
dengan goloknya melawan buaya-buaya yang menyergapnya.
Kebo Sindet menggeliat ketika tubuhnya
kemudian terangkat ke atas tanah berlumpur. Ia masih melihat beberapa
ekor buaya mengejarnya naik ke darat. Sambil berpegangan pada sulur
beringin yang ditarik oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana dengan tangan
kirinya ia masih harus mengayun-ayunkan goloknya dengan tangan kanannya,
menebas mulut-mulut buaya yang menganga. Dan ia masih juga sempat
melihat beberapa ekor buaya yang mengejarnya itu melengking, kemudian
menggelepar mati. Berturut-turut, tidak hanya satu dua. Tetapi hampir
semua buaya yang mengejarnya ke darat, tidak pernah dapat menyentuhnya.
Tetapi ketika Kebo Sindet itu telah
berada di atas permukaan air, barulah dapat dilihat oleh Kuda Sempana
dan Mahisa Agni, bahwa sebagian tubuhnya telah terkoyak oleh mulut-mulut
buaya kerdil itu. Luka-luka di tubuhnya menjadi arang kranjang dan
darah meleleh hampir dari seluruh wajah kulitnya.
Sejenak kemudian Kebo Sindet telah berada beberapa langkah dari rawa-rawa itu. Buaya-buaya kerdil telah tidak mengejarnya lagi.
Tiba-tiba saja orang itu melepaskan
pegangannya. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Dipandanginya Mahisa
Agni dan Kuda Sempana dengan mata yang paling liar dan dengan wajah
yang merah membara, semerah darah yang meleleh dari luka-luka di seluruh
tubuhnya.
Tiba-tiba Kebo Sindet itu tertawa.
Mengerikan sekali, seperti suara hantu dari dalam kubur yang mendapat
mayat baru bagi santapannya. Disela-sela suara tertawanya ia berkata,
“Nah. Mahisa Agni yang sombong. Kini kau akan sampai pada suatu batas
kematian dengan cara yang paling mengerikan yang pernah terjadi atas
diri seseorang. Jangan menyesal. Kau tidak akan dapat melawan aku. Aku
kini bersenjata, dan kau sama sekali tidak.”
Terasa dada kedua anak-anak muda itu
berdesir. Mereka tidak menyangka bahwa Kebo Sindet masih mampu berdiri
tegak dengan garangnya.
Suara tertawa Kebo Sindet masih
menggetarkan udara. Semakin lama semakin keras, semakin keras. Akhirnya
suara tertawa yang mengerikan itu sampai kepuncaknya. Terdengar suara
itu meninggi. Tetapi Mahisa Agni dan Kuda Sempana terkejut, ketika
tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Mereka melihat Kebo Sindet
terhuyung-huyung dan sesaat lagi mereka melihat orang itu berteriak.
Matanya yang liar menjadi semakin liar. Namun tiba-tiba orang itu jatuh
di atas lututnya. Dengan susah payah ia bertahan, namun tampak pada
wajahnya bahwa Kebo Sindet sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
Meskipun demikian ia masih juga berteriak, “Mahisa Agni, berlututlah.
Berlututlah sebelum kau mati. Kau juga Kuda Sempana. Kau ternyata telah
berkhianat. Kau pun akan mengalami nasib serupa dengan Mahisa Agni. Kau
…”
Kebo Sindet tidak dapat menyelesaikan
kalimatnya, Dadanya telah digoncangkan oleh perasaan sakit yang tidak
tertahankan. Ia menahan dirinya sambil bertelekan pada goloknya. Tetapi
tiba-tiba ditengadahkannya dadanya. Dan seolah-olah mendapat kekuatannya
kembali ia mengangkat goloknya dan menunjuk Mahisa Agni dengan ujung
golok itu. “Kemari. Kemari.” ia berteriak, “aku bunuh kalian, Aku
bunuh…” suaranya terputus. Sejenak Kebo Sindet menengadahkan wajahnya,
seolah-olah ingin melihat apakah mendung masih tebal tergantung di
langit. Namun sejenak kemudian perlahan-perlahan tubuh itu seakan-akan
bergoyang. Dan sejenak berikutnya Kebo Sindet itu roboh di atas tanah
berlumpur yang basah.
Hujan masih jatuh dari Iangit. Meskipun
sudah tidak terlampau lebat. Seleret cahaya dari Utara memancar
berkeredipan diantara titik-titik air hujan yang menjadi semakin mereda.
Sesilir angin bertiup dari Selatan, menggerakkan ujung dedaunan yang
sedang mengangguk-angguk ditimpa oleh titik-titik hujan satu-satu.
Langit semakin lama menjadi semakin cerah, dan hujan pun menjadi semakin
tipis.
Perlahan-lahan Mahisa Agni dan Kuda
Sempana melangkah mendekati tubuh Kebo Sindet yang diam membeku.
Goloknya masih erat di dalam genggamannya. Tetapi ternyata orang itu
sudah tidak bernafas lagi.
“Kebo Sindet telah mati.” desih Mahisa Agni.
“Ya.” sahut Kuda Sempana pendek.
Mereka kemudian menyentuh tubuh yang
membeku itu. Menelentangkannya dan dengan wajah tegang memandangi wajah
yang hampir tidak pernah bergetar oleh tanggapan yang bagaimanapun juga.
Kali ini wajah itu pun membeku pula. Bahkan masih tampak betapa
ketegangan mencengkam jantungnya. Tetapi dari sepasang matanya sama
sekali sudah tidak memancar apa pun lagi. Sorot yang menyala di mata itu
telah pudar, bahkan telah padam sama sekali.
Sejenak Mahisa Agni dan Kuda Sempana
masih berdiri di sisi mayat itu. Perlahan-lahan tubuh Mahisa Agni kini
mulai merasa, betapa nyeri dan pedih menyengat segenap bagian tubuhnya.
Tulang-tulangnya serasa berpatahan dan kulitnya menjadi lenyu, akibat
perkelahiannya melawan Kebo Sindet agaknya memang terlampau payah bagi
dirinya. Luka-lukanya kini terasa betapa sakit dan pedih.
Ketika tanpa disengajanya ia berpaling,
maka dadanya berdesir. Dilihatnya bangkai buaya-buaya kerdil berserakan
di pinggir rawa-rawa itu.
“Aneh.” Mahisa Agni berdesis, “Apakah
Kebo Sindet dalam keadaannya itu mampu membunuh sekian banyak binatang
air yang cukup lincah menghadapinya itu?” Tetapi Mahisa Agni melihat
kenyataan itu. Bangkai-bangkai binatang air itu berserakan di pinggir
rawa-rawa.
Bahkan Mahisa Agni masih melihat
permukaan air di pinggiran rawa-rawa itu bergolak seakan-akan mendidih.
Ternyata buaya-buaya kerdil itu sedang berebut bangkai kawan-kawan
mereka sendiri. Bau darah telah membuat mereka menjadi semakin buas dan
garang.
Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang
menjadi heran melihat sekian banyak bangkai berceceran. Bangkai
buaya-buaya yang mencoba mengejar Kebo Sindet yang tertarik ketepian.
Perlahan-lahan terdengar Mahisa Agni
berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet benar-benar seorang yang luar biasa.
Dalam keadaannya ia masih mampu melakukan perlawanan yang luar biasa
atas buaya-buaya yang buas itu.”
Kuda Sempana mengangguk perlahan-lahan.
Ia tidak dapat membayangkan kekuatan apakah yang dapat membuatnya begitu
tangkas dan garang. Bahkan Mahisa Agni berkata di dalam hatinya,
“Seandainya aku yang mengalami nasib itu, apakah aku dapat berbuat
seperti itu?”
Dengan wajah yang disaput oleh keheranan
mereka kedua anak-anak muda itu sejenak berdiri saja membeku berdiri
saja membeku di samping mayat Kebo Sindet. Sejenak mereka merenung apa
yang baru saja terjadi atas diri mereka.
Terasa bulu-bulu diseluruh tubuh Mahisa
Agni meremang. Bagaimanakah kiranya seandainya ia harus mengulangi
peristiwa yang baru saja terjadi?
“Mengerikan sekali.” tiba-tiba Mahisa Agni itu berdesis.
Kuda Sempana berpaling mendengar desis itu. Bahkan ia bertanya, “Apakah yang mengerikan?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Buaya-buaya itu.”
Kuda Sempana percaya saja akan jawaban
Mahisa Agni. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergolak di dalam
dada anak muda yang masih tampak lemah dan pucat itu.
“Bagaimanakah dengan mayat itu?” terdengar Mahisa Agni kemudian bertanya.
“Terserahlah kepadamu.” jawab Kuda Sempana.
“Marilah kita jauhkan dari rawa-rawa ini,
supaya buaya-buaya kerdil itu tidak mencium bau darahnya dan nanti
malam menyeretnya ke dalam sarang mereka.”
Kuda Sempana ragu-ragu sejenak. Kemudian terdengar ia bertanya, “apakah kau tidak ingin beristirahat dahulu?”
Mahisa Agni menarik nafas sekali lagi.
Perlahan-lahan ia menggeleng, “Biarlah aku menitikkan keringat sampai
tuntas. Nanti aku akan beristirahat dengan tenang.”
“Baiklah.” jawab Kuda Sempana.
Tetapi ketika keduanya mulai berlutut
disamping mayat Kebo Sindet untuk mengakatnya, mereka terkejut oleh
desir dedaunan di dalam gerumbul tidak jauh dari mereka. Mereka melihat
daun-daun yang bergerak. Tetapi mereka menyadari, bahwa bukan angin dan
bukan titik-titik air hujan yang telah mengguncangnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berdiri. Di
sebelahnya Kuda Sempana pun telah berdiri tegak sambil menengadahkan
dadanya. la mendengar gemerisik pula dan melihat dedaunan yang bergoyang
di gerumbul dihadapan mereka.
Mahisa Agni yang masih lemah itu mencoba
menenangkan pernafasannya. Dicobanya untuk mengusai segenap sisa-sisa
kekuatan yang ada padanya, supaya apabila diperlukan, ia masih juga
mampu mengadakan perlawanan untuk membela dirinya.
Daun yang bergoyang-goyang itu semakin
keras berguncang. Namun sejenak kemudian Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Dilihatnya dari dalam gerumbul itu seseorang merangkak
keluar. Dan ternyata orang itu adalah orang yang telah dikenal dengan
sebaik-baiknya. Empu Purwa.
“Guru.” dengan serta merta Mahisa Agni berdesis.
Empu Purwa itu kemudian menggeliat sambil
bertelekan lambung, desahnya, “penat sekali aku bersembunyi di dalam
gerumbul itu. Hampir aku tidak tahan. Air hujan yang melimpah dari
langit membuat aku hampir-hampir tidak dapat bernafas. Apalagi setelah
aku melihat beberapa buah gerumbul yang lain telah tersapu rata oleh
perkelahian yang baru saja terjadi.” orang tua itu berhenti sejenak,
lalu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan kau
Agni?”
Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam pula. Kemudian jawabnya, “Aku selamat guru. Dan inilah Kebo Sindet.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selangkah ia maju mendekat sambil bergumam, “Bersyukurlah
kepada Yang Maha Agung. Aku melihat seluruhnya. Sejak kau mulai sampai
kau berhasil melemparkan Kebo Sindet ke dalam rawa-rawa.”
Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru.”
“Semula aku menjadi cemas melihat
keadaanmu. Kau terlampau bernafsu, sehingga kau kurang cermat
mempersiapkan dirimu di dalam perlawananmu atas Kebo Sindet itu.
Hampir-hampir kau menjadi korban ketergesa-gesaanmu itu.” Empu Purwa
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekali lagi kau harus mengucap sukur.
Kau mendapatkan pertolongan dalam keadaan yang sulit itu. Ternyata
Angger Kuda Sempana telah menolongmu.”
“Ya guru.” jawab Mahisa Agni perlahan-lahan.
“Kau harus berterima kasih kepadanya.”
“Ya guru. Aku berterima kasih kepada Kuda Sempana.”
“Akulah yang harus berterima kasih kepada
Mahisa Agni. Ia telah membebaskan aku dari kemungkinan yang paling
pahit dari akhir hidupku. Dibunuh oleh Kebo Sindet dengan caranya.” Kuda
Sempana mengerutkan keningnya. Kemudian katanya semakin lambat, “Kini
terserah kepada Mahisa Agni. Tetapi aku mengharap, bahwa seandainya ia
ingin juga membunuh aku, mudah-mudahan ia mempergunakan cara yang lebih
baik dari cara yang akan dipilih oleh Kebo Sindet.”
“Ah.” Empu Purwa berdesah, “apakah Mahisa Agni juga akan membunuhmu?”
“Seandainya demikian, itu pun wajar sekali.” sahut Kuda Sempana.
Empu Purwa mengerutkan keningnya.
Didampinginya Mahisa Agni yang berdiri tegak ditempatnya, meskipun
tubuhnya masih tampak lemah, Namun orang tua itu telah mendapat
keyakinan, menilik sikap dan wajah muridnya, bahwa Mahisa Agni sudah
pasti tidak akan melakukannya. Meskipun demikian Empu Purwa itu bertanya
kepada muridnya, “Apakah kau akan berbuat demikian?”
Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya,
“Tidak guru. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya
sekarang. Kebo Sindet sudah niati. Mudah-mudahan kejahatannya mati pula
bersamanya.”
Dada Kuda Sempana berdesir. Ia tahu benar
maksud kata-kata Mahisa Agni tentang Kebo Sindet. Ia tahu benar, bahwa
Mahisa Agni mengharap, agar ia masih belum dicengkam dalam pengaruh
orang yang telah mengurungnya beberapa lama itu. Karena itu maka
katanya, “Aku mengharap seperti harapanmu itu pula Agni. Mudah-mudahan
kejahatan Kebo Sindet mati bersama matinya. Aku mengharap bahwa selama
aku di sini, kejahatan dan wataknya itu tidak terlampau banyak
mempengaruhi otakku. Aku sendiri bukanlah orang baik-baik, tetapi
mudah-mudahan kejahatan yang ada di dalam diriku tidak bertambah-tambah
karenanya.”
Empu Purwa menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Ada dua kemungkinan Ngger. Kau memang dapat menjadi semakin
tersesat seperti Kebo Sindet, seandainya kau menemukan kepuasan di
sarang ini, atau kau merasa mendapat daerah pelarian yang dapat
melupakan segala bentuk kekecewaanmu. Tetapi aku kira kau tidak
menemukannya di dalam dunia Kebo Sindet. Kau agaknya bertambah kecewa
dan kehilangan gairah untuk menentukan hari depanmu. Bahkan mungkin kau
telah sampai pada suatu garis perbatasan dari daerah keputus asan.
Setapak kau maju lagi maka hidupmu tidak terasa kau miliki lagi.”
“Bukan setapak lagi Kiai.” sahut Kuda
Sempana, ”aku telah sampai ke daerah itu. Aku sudah menjadi putus asa
dan kehilangan hidupku sendiri. Aku sama sekali menjadi acuh tidak acuh
tentang diriku, tentang keadaan di sekitarku dan tentang apa saja.
Karena itu aku pun tidak akan mengacuhkan lagi sendainya Mahisa Agni
akan membunuh ku.”
Empu Purwa tersenyum. Katanya,
“Pengakuanmu itu mempunyai arti penting di dalam langkah-langkahmu
kemudian. Pengakuanmu telah membawa kau selangkah surut dari daerah yang
tidak kau kenal itu. Dari sikap acuh tidak acuh tentang hari depanmu
sendiri. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dirimu kembali.”
Kuda Sempana menundukkan kepalanya.
Sekilas terbang di dalam angan-angannya masa-masa yang telah pernah
dilampauinya. Sebersit penyesalan melonjak di dalam dadanya. Tetapi
segera ia sadar, bahwa ia telah berdiri di atas keadaannya kini. Dan
kata-kata Empu Purwa itu agaknya dapat menyentuh hatinya. Menemukan
dirinya kembali dalam keseimbangan yang wajar.
Hujan yang tercurah dari langit telah
berangsur teduh. Titik-titik kecil yang masih berjatuhan satu-satu
melontarkan kilatan sinar yang memancar dari langit.
Sejenak mereka yang berdiri di atas tanah
berlumpur itu saling berdiam diri. Empu Purwa merenungi mayat Kebo
Sindet dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Namun sejenak kemudian ia berkata, “Memang seharusnya ia mati. Tidak ada usaha yang dapat nyelamatkannya.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu
katanya, “Aku sudah berusaha guru. Seandainya ia harus mati, biarlah ia
mati dengan cara yang lebih baik.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku melihat bahwa kalian telah berusaha. Aku
melihat, betapa Angger Kuda Sempana berlari-lari memotong sulur-sulur
batang beringin. Tetapi kalian tidak berhasil. Golok yang kau lemparkan
itu pun hanya dapat menyelamatkannya dari beberapa ekor buaya yang
kelaparan. Sedang jumlah buaya di dalam rawa-rawa itu cukup banyak,
apalagi di sekitar tempat ini.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya mayat Kebo Sindet yang arang kranjang.
“Tetapi orang itu terlampau dahsyat.” desisnya, “dalam keadaannya, ia masih mampu membunuh sekian banyak buaya-buaya kerdil.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berpaling kearah bangkai buaya yang berserakan di
pinggir rawa-rawa, bahkan dilayangkannya pandangan matanya beredar di
wajah air yang keruh itu.
“Aku tidak dapat membayangkan, apakah
yang terjadi seandainya akulah yang terperosok masuk ke dalamnya.” gumam
Mahisa Agni seolah-olah kepada diri sendiri.
Empu Purwa tersenyum. Tetapi ia tidak
menyahut. Namun tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil berkata, “Marilah
kita lihat. Hati-hati, jangan sampai tergelincir.”
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia menjadi
heran. Mengapa gurunya mempunyai perhatian yang demikian besar terhadap
buaya-buaya kerdil yang telah menjadi bangkai itu. Namun sejenak
kemudian dilangkahkannya kakinya, mengikuti langkah gurunya. Dan
dibelakang mereka Kuda Sempana berjalan pula mengikuti mereka.
Ketika mereka telah sampai diantara
mayat-mayat buaya-buaya kerdil itu, mereka pun segera berhenti. Seleret
dipandanginya warna air yang masih memerah. Mereka masih melihat sesuatu
yang bergerak-gerak di antara warna air yang merah itu. Buaya-buaya
kerdil.
Namun sekali lagi terdengar Mahisa Agni
berdesis, “Bukan main. Kebo Sindet berhasil membunuh sekian banyak
buaya-buaya ini dalam keadaannya. Sebelah tangannya berpegangan pada
sulur kayu yang kami tarik. Sambil berbaring ia harus melawan
buaya-buaya ini.”
Gurunya tidak menyahut. Tetapi
dipandanginya saja bangkai-bangkai buaya itu, sehingga Mahisa Agni dan
Kuda Sempana pun kemudian ikut pula memandangi bangkai-bangkai itu
seperti sedang menghitungnya.
Di antara buaya-buaya itu terdapat
luka-luka yang panjang. Ternyata ayunan golok Kebo Sindet benar-benar
dahsyat dan mengerikan. Sekali ayun, buaya yang disentuhnya tidak akan
dapat hidup lagi.
Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia
melihat pada beberapa ekor diantara mereka tidak ditemukan bekas
sobekan golok pada tubuh bangkai itu. Bahkan buaya-buaya itu hampir
tidak terluka sama sekali.
Hal itu agaknya telah sangat menarik
perhatian Mahisa Agni sehingga selangkah ia maju. Diamatinya beberapa
ekor bangkai buaya di antara mereka. Yang ada pada bangkai-bangkai itu
hanyalah luka yang tidak terlampau besar. Pada umumnya sebuah lubang
dikepalanya.
Bukan saja Mahisa Agni yang sangat
tertarik atas luka yang aneh itu, tetapi Kuda Sempana pun agaknya
menaruh perhatiannya pula. Seperti Mahisa Agni, maka ia pun
mengamat-amati luka yang baginya agak terlampau aneh.
“Apakah Kebo Sindet telah melubangi
kepala buaya-buaya kerdil ini dengan tusukan goloknya?” pertanyaan itu
membersit di dalam hati Mahisa Agni dan Kuda Sempana.
Tetapi sebagai seeorang yang mengenal
bermacam-macam jenis senjata, mereka menjadi ragu-ragu. Luka-luka
tusukan golok itu tidak akan meninggalkan bekas yang demikian.
“Kau heran melihat lubang-lubang itu?” bertanya Empu Purwa sambil tersenyum.
Mahisa Agni mengangguk kecil. Jawabnya,
“Ya guru. Luka-luka ini tidak dapat kami mengerti. Senjata Kebo Sindet
adalah sebuah golok. Dan golok tidak akan dapat menimbulkan luka-luka
yang demikian.”
Empu Purwa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Jangan kau hiraukan luka-luka itu. Buang
sajalah bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa. Lalu kalian masih
mempunyai pekerjaan lagi, menguburkan mayat Kebo Sindet. Sesudah itu,
sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Kalian masih mempunyai hari
depan yang cukup panjang untuk mulai dengan kehidupan yang baru.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi agaknya ia masih belum puas sebelum dapat menemukan
sebab dari luka yang berbentuk lubang itu. Maka katanya, “Baiklah guru.
Bangkai ini akan aku buang ke dalam rawa-rawa Tetapi lubang-lubang ini
selalu menimbulkan pertanyaan bagiku. Apakah yang sudah dilakukan oleh
Kebo Sindet sehingga ia berhasil melakukan keanehan ini. Dalam
keadaannya yang parah dengan sebelah tangan yang menggengam golok dan
yang lain berpegangan pada sulur itu, namun ia masih mampu membunuh
sekian banyak buaya-buaya kerdil ini dengan luka-luka yang terlampau
aneh bagi kami.”
Sekali lagi Empu Purwa tersenyum.
Katanya, “Apakah kau ingin tahu benar, apakah sebabnya maka luka-luka
itu berbentuk lubang? Dan apakah sebabnya Kebo Sindet berhasil membunuh
sekian banyak buaya kerdil ini?”
Hampir bersamaan Mahisa Agni dan Kuda Sempana menganggukkan kepalanya, “Ya Kiai.”
Empu Purwa mengangguk-angguk perlahan.
Kemudian diedarkannya pandangan matanya, mencari sesuatu di atas
tanah-tanah berlumpur itu. Tiba-tiba orang tua itu membungkukkan
badannya memungut sebutir batu kecil sebesar telur merpati.
“Lihatlah.” katanya sambil melepaskan batu itu jatuh di atas tanah yang gembur, “lihatlah bekasnya. Sebuah lubang.”
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir.
Mereka melihat sebuah lubang pada tanah yang gembur, mirip seperti
lubang-lubang yang ada di kepala beberapa ekor buaya-buaya kerdil itu.
“Tetapi.” tiba-tiba Mahisa Agni berdesis, “bagaimana mungkin Kebo Sindet mampu melakukannya.”
Empu Purwa mengerutkan keningnya. Tetapi
ia kemudian melangkahkan kakinya sambil berkata, “Sudahlah, jangan
hiraukan. Kalian masih mempunyai banyak pekerjaan.”
Mahisa Agni dan Kuda Sempana menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak mereka memandangi bangkai-bangkai yang
berserakan itu. Namun kemudian mereka menyadari, bahwa pekerdiaan mereka
memang masih banyak. Melemparkan bangkai-bangkai itu ke dalam rawa-rawa
dan kemudian menguburkan Kebo Sindet.
Tetapi ketika mereka akan segera mulai,
terdengar Empu Purwa berkata, “Sebaiknya kalian menunggu tanah menjadi
agak kering, supaya tidak terlampau licin. Kalau kau tergelincir maka
kau lah yang akan masuk ke dalam rawa-rawa itu. Terutama Mahisa Agni,
beristirahatlah dahulu. Mungkin kau masih mempunyai sisa makanan.”
Mahisa Agni mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya guru. Aku memang merasa terlampau letih.”
“Itu adalah wajar sekali.” jawab gurunya sambil berjalan meninggalkan tempat itu.
Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian
melangkah pula dengan hati-hati meninggalkan tempat itu untuk sejenak
beristirahat. Tubuh Mahisa Agni masih terasa lemah sekali.
Tulang-tulangnya masih terasa nyeri dan otot-ototnya pun masih terlampau
tegang.
Namun dalam pada itu, ia mendapat
kesempatan untuk memikirkan lubang-lubang di kepala buaya-buaya kerdil
itu. Sehingga akhirnya ia berdesis, “Ternyata guru pun sudah berusaha,
membantu melepaskan Kebo Sindet dari mulut-mulut buaya itu.”
“He.” Kuda Sempana bertanya.
“Gurulah yang melakukannya.” jawab Mahisa
Agni, “dilemparinya buaya-buaya itu dengan batu dari tempat
persembunyiannya, supaya tubuh Kebo Sindet tidak diseret masuk ke dalam
rawa-rawa itu.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya,
Tetapi kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. “Itu adalah mungkin
sekali. Ternyata Empu Purwa telah berbuat banyak.” Kuda Sempana berhenti
sejenak, lalu, “Kini aku tahu, apakah kira-kira yang terjadi di sini.
Agaknya selama ini kau tetap berada di dalam asuhan gurumu, yang dahulu
aku sangka tidak lebih dari seorang tua yang tidak banyak berarti di
Panawijen. Kau mendapat kesempatan itu, sehingga kau mampu mengalahkan
Kebo Sindet.”
Tetapi Kuda Sempana dan bahkan Mahisa
Agni terperanjat ketika mereka mendengar jawaban dari belakang mereka,
“Bukan saja aku yang telah berbuat banyak, Kuda Sempana. Tetapi apakah
kau sudah mengenal orang ini?”
Dengan serta merta keduanya berpaling.
Mereka terperanjat, terlebih-lebih lagi adalah Kuda Sempana ketika
dilihatnya seseorang berdiri di samping Empu Purwa itu sambil tersenyum
kepadanya.
Sejenak Kuda Sempana seakan-akan membeku
di tempatnya. Sama sekali tidak diduganya, bahwa ia akan dapat bertemu
di tempat itu. Peristiwa yang tiba-tiba itu ternyata telah membuat
goncangan di dalam dadanya.
Orang itu masih berdiri di samping Empu
Purwa sambil tersenyum. Ditatapnya saja wajah Kuda Sempana yang menjadi
pucat, namun kemudian menjadi kemerah-merahan penuh kebimbangan dan
kecemasan. Wajah orang itu dikenalnya dengan baik, tetapi ciri
kekhususannya tidak dilihatnya waktu itu.
“Apakah kau ragu-ragu Kuda Sempana?”
bertanya orang itu, “Mungkin kau merasa aneh bahwa aku tidak membawa
tongkat panjangku, tetapi kini aku membawa pedang.”
Dada Kuda Sempana tergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Tongkat itu telah aku serahkan kepada
muridku yang aku anggap paling jauh dari padaku saat itu. Muridku yang
sama sekali tidak menarik perhatianku karena sifat-sifatnya yang tidak
sejalan dengan perguruanku. Tetapi ternyata murid itu adalah murid yang
paling dekat dengan jalan yang benar. Jalan yang kita jauhi bersama-sama
sehingga tampak oleh kita anak itu adalah anak yang paling bengal
diantara kita.”
Kuda Sempana masih berdiri kaku ditempatnya. Tetapi debar di dadanya menjadi semakin bergelora.
“Tetapi kau tidak usah ragu-ragu Kuda Sempana, bahwa aku adalah gurumu.”
Terasa sesuatu mendesak di dalam hatinya.
Sekian lama ia terlempar ke dalam neraka yang paling pedih. Sekian lama
ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas
kehendaknya sendiri. Dan ia menekan perasaan itu dalam-dalam dilubuk
hati. Kini tiba-tiba ia bertemu dengan gurunya. Gurunya yang dahulu
selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya, meskipun ia harus
memberikan imbalan kepadanya. Gurunya yang telah pernah disangkanya
mati, setelah beberapa kali bertemu dengan Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Pertemuan-pertemuannya dengan gurunya, selama ia berada di
bawah pengaruh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, telah membuatnya
kehilangan jalur-jalur ikatan batin.
Tiba-tiba kini orang itu berdiri dihadannya.
Kuda Sempana akhirnya tidak dapat lagi
menahan gelora hatinya yang sudah sekian lama membeku, Tiba-tiba ia
meloncat dan berlutut di depan Empu Sada. Banyak sekali yang akan
ditumpahkannya untuk mengurangi kepepatan hati. Banyak sekali yang akan
dikatakannya untuk melapangkan perasaannya. Tetapi kerongkongannya
serasa tersumbat, sehingga sama sekali tidak sepatah kata pun yang
diucapkannya.
“Aku tahu sebagian besar dari perasaanmu,
karena aku melihat sikapmu pada saat-saat terakhir. Kau agaknya telah
menyesali semuanya yang terjadi atasmu. Bukan sekedar kesulitan
jasmaniah yang kau alami tetapi kau menyesali pula sebab-sebab dari
peristiwa yang telah menyeretmu di tempat ini.”
Empu Sada berhenti sejenak, lalu, “dan
penyesalanmu itu adalah jalan yang sudah terbuka bagimu untuk menemukan
kembali hari depan yang wajar. Kalau kau menyesali semua perbuatanmu
dengan jujur, maka dalam umurmu yang masih muda itu, kau pasti masih
akan menemukan kesempatan.”
Kuda Sempana tidak dapat berkata apa pun
selain menundukkan kepalanya. Kini penyesalan yang tajam telah memuncak
di dalam hatinya. Tetapi semuanya telah terjadi. Noda yang hitam telah
melekat pada perjalanan hidupnya.
Tetapi ia mendengar gurunya berkata, “Hari depanmu masih panjang.”
Kuda Sempana masih juga berdiam diri. Ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menundukkan kepala.
Terasa tangan gurunya meraba pundaknya
dan menarik berdiri. Seperti anak-anak yang sedang berlati berjalan, ia
dibimbing oleh gurunya dan dibawanya duduk bersama-sama di samping
sebongkah batu besar. Empu Purwa dan Mahisa Agni pun ikut pula bersama
mereka, duduk di atas batu-batu kecil yang basah. Tetapi tubuh dan
pakaian mereka pun ternyata masih basah kuyup oleh hujan. Bahkan warna
darah masih melekat pada pakaian Mahisa Agni.
Ketika gurunya melihat setitik-titik
darah masih meleleh dari luka-luka anak muda itu, maka segera
diberikannya obat yang untuk sementra dapat memempatkan darah, sehingga
luka-luka itu menjadi tertutup karenanya.
Sambil berbicara tentang Kuda Sempana dan
hari-hari yang akan datang, maka mereka pun beristirahat sebelum mereka
mengerjakan pekerjaan yang telah menunggu mereka. Melemparkannya
bangkai-bangkai buaya ke dalam rawa-rawa dan menguburkan Kebo Sindet.
Pada saat itu. Ken Arok pun duduk dengan
lemahnya di atas sebuah brunjung bambu yang masih belum dilemparkan ke
dalam sungai. Disamping-sampingnya duduk Akuwu Tunggul Ametung, Ki Buyut
Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain. Mereka melihat, betapa Ken
Arok menahankan lelah dan kecemasan. Nafasnya menjadi terengah-engah
dan tubuhnya terasa gemetar.
Tetapi bibirnya membayangkan sebuah senyum kelegaan.
“Mudah-mudahan bendungan itu selamat.” desisnya.
Akuwu Tunggul Ametung pun ternyata sedang
kelelahan pula setelah dengan sekuat tenaganya, ia menarik Ken Arok
dari dalam air yang melandanya.
“Aku kira bendungan itu akan selamat.” berkata Akuwu itu pula.
Ken Arok tidak menyahut. Ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel masih berdiri memagari ujung bendungan.
Tetapi bahwa hujan telah menjadi reda
adalah suatu harapan bagi orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel bahwa bendungan mereka akan terselamatkan.
“Air tidak naik lagi.” desis seseorang.
“Ya.” sahut yang lain, “sebagian telah berhasil meluncur lewat susukan induk.”
“Tetapi taman itu tergenang air sama sekali. Mungkin sebagian menjadi rusak karenanya.”
Beberapa orang yang mendengarnya tanpa
mereka sengaja segera berpaling kearah taman yang sedang disiapka oleh
Ken Arok agak jauh ketengah Padang Karautan. Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu selain sebuah kelompok yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan.
Seperti bayangan sebuah puntuk kecil menjorok ditengah-tengah padang
yang luas.
Tetapi mereka telah membayangkan, bahwa
taman itu telah digenangi air yang meluap dari sendang buatan karena air
susukan induk yang menampung banjir. Dan mereka membayangkan, bahwa
sebagian dari pepohonan yang baru tumbuh dan berkembang akan menjadi
berserakan.
Tetapi seperti perintah Akuwu Tunggul
Ametung sendiri bendungan itu jauh lebih penting dari taman yang sedang
disiapkan itu. Apabila bendungan itu gagal, maka taman itu pun tidak
akan dapat diselesaikan, karena tidak ada air yang akan menggenangi
sendang buatan. Dan tanahnya pun akan menjadi kering.
Orang-orang Panawijen yang berdiri di
ujung bendungan itu pun masih juga berdiri rapat. Di antara mereka
terdapat para prajurit Tumapel yang dengan tegang melihat, apakah air
masih akan naik terus dan menghanyutkan bendungan.
Mereka kemudian menguak ketika mereka
melihat Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan beberapa orang yang lain
berjalan ketepi sungai di ujung bendungan itu. Meskipun mereka masih
kelelahan, tetapi mereka ingin juga melihat apakah yang kini terjadi
dengan bendungan mereka.
Air yang keruh masih juga
bergulung-gulung? seolah-olah menggoncang bendungan itu perlahan-lahan.
Tetapi kini sebagian dari arus banjir itu telah meluap dan tumpah
tertampung pada susukan induk yang mengalir membelah Padang Karautan.
Mulut susukan induk itu ternyata semakin lama menjadi semakin besar
disobek oleh arus air yang tidak tertahankan. Namun dengan demikian
bahaya bagi bendungan itu pun menjadi berkurang.
Tetapi di sana-sini tampak tebing susukan
itu menjadi longsor. Susukan itu memang belum siap benar menerima arus
air, apalagi arus banjir. Namun terlebih penting lagi bagi mereka,
adalah menjelamatkan bendungan itu.
Akuwu Tunggul Ametung dan Ken Arok
menjadi berdebar-debar memandang air yang keruh kehitam-hitaman itu
bergulung-gulung di depan bendungan. Mereka masih membayangkan bahwa
bencana masih bisa terjadi.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang berbisik, “Air telah turun.”
Kawannya yang berdiri di sampingnya
mencoba melihat permukaan air yang keruh itu. Dan tiba-tiba ia berdesis
pula, “Ya, air telah turun.”
Desis itu kemudian menjalar dari mulut ke
mulut. Mereka memang melihat bendungan itu seolah-olah naik semakin
tinggi. Jarak permukaan air dan bendungan itu menjadi semakin lebar.
“Air telah turun.” desis itu terdengar terus.
“Ya, air telah turun.”
Sejenak kemudian hampir setiap mulut
mengatakan tentang air yang telah mulai turun, meskipun belum selebar
tapak tangan. Tetapi hal itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi
orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemungkinan bahwa
bendungan itu akan hanyut menjadi semakin kecil, meskipun mereka harus
memeras tenaga pada saat banjir yang pertama itu.
Hampir setiap orang menarik nafas
dalam-dalam pada saat yang bersamaan. Mereka menyaksikan air semakin
lama memang semakin surut. Sedang langit pun menjadi semakin cerah.
Agaknya di ujung sungai itu pun hujan sudah teduh.
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung dan Ken
Arok berdiri saja mematung, seolah-olah mereka ingin meyakinkan apakah
benar-benar air sudah mulai turun.
Ternyata mereka pun kemudian melihat,
seolah-olah bendungan itu bergerak naik menyembul dari permukaan air.
Akuwu Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang yang
berada disekitarnya pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
terdengar Ken Arok berdesis perlahan, “Air memang sudah turun.”
“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung,
“kalian berhasil menyelamatkannya. Tetapi ingat, ini baru banjir yang
pertama dalam musim hujan ini. Pada saat-saat mendatang akan datang
banjir yang kedua dan berikutnya.”
“Kami akan bekerdja sekuat tenaga kami, Tuanku, semoga banjir yang kemudian tidak pula menghancurkan bendungan ini.”
“Kalian telah berhasil menyelamatkannya
kini. Kalian dapat melihat bagian-bagian yang masih harus kalian
sempunakan. Jangan kalian lepaskan tali-tali pengikat brunjung-brunjung
dengan patok-patok di tepian. Ternyata tali-tali dan tambang-tambang itu
telah membantu menyelamatkan berdungan ini, sampai pada saatnya kalian
yakin, bahwa bendungan kalian telah sempurna.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Hamba, Tuanku. Tali-tali itu justru akan hamba tambah lagi.
Tetapi hamba akan dapat membuat parit-parit pembantu, untuk membuang air
yang berlebihan apabila banjir datang. Hamba dapat memotong saluran
induk itu dan mengorbankan beberapa bagian dari tanah persawahan untuk
membuat parit-parit yang dapat mengurangi tekanan banjir. Parit-parit
yang dangkal yang hanya berguna apabila air naik terlampau tinggi.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pikiran itu adalah pikiran yang sangat
baik, yang segera dapat dipergunakan untuk melawan banjir yang pasti
akan datang susul menyusul selama musim basah ini. Meskipun menurut
peritungan pranata mangsa, hujan yang paling lebat masih akan turun satu
atau dua bulan lagi.”
Tetapi tiba-tiba Akuwu itu pun
memalingkan wajahnya, memandang kejauhan agak ketengah Padang Karautan.
Dilihatnya segerumbul tanaman yang hijau Perlahan-lahan ia berdesis,
“Apakah yang kira-kira terjadi atas taman itu setelah banjir.”
“Mungkin sebagian akan menjadi rusak, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Lalu bergumam, “Pekerjaanmu berikutnya adalah memperbaiki petamanan itu.
Ken Arok megerutkan keningnya.
Dipandanginya segerumbul tanaman yang hijau kehitam-hitaman dikejauhan.
Taman itu tampak menjadi semakin segar. Tetapi Ken Arok menyadari, bahwa
ada bagian-bagian yang pasti harus diperbaikinya. Meskipun demikian,
bahwa bendungan itu terselamatkan, adalah suatu hal yang sangat
menggembirakannya. Tanpa disadari ia merasa bertanggung jawab terhadap
Mahisa Agni tentang keselamatan bendungan itu. Seolah-olah Mahisa Agni
telah memberikan beban itu diatas pundaknya, tanpa dapat diserahkannya
kepada orang lain. Dan baginya terasa, tanggung jawab atas bendungan itu
justru lebih dari tanggung jawabnya membuat taman yang justru
dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi setelah Akuwu Tunggul
Ametung sendiri bersikap demikian pula. Keselamatan bendungan itulah
yang tebih penting dari segalanya.
Ternyata air semakin lama semakin susut
meskipun perlahan-lahan sekali. Tetapi dengan demikian bahaya bagi
bendungan itu pun susut pula meskipun juga perlahan-lahan sekali.
Ketika orang-orang yang berada di ujung
bendungan itu yakin bahwa bencana yang lebih besar sudah tidak akan
menimpa lagi untuk saat itu, maka ketegangan di dalam dada mereka pun
perlahan-lahan menjadi semakin kendor. Beberapa orang telah bergerak
dari tempatnya, mundur beberapa langkah.
Sedang Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok,
Ki Buyut Panawijen, Kebo Ijo dan beberapa orang lain segera meninggalkan
tempat itu, duduk di atas batu-batu sambil melepaskan ketegangangan
yang selama ini mencengkam hati mereka. Witantra yang duduk di belakang
Akuwu Tunggul Ametung, masih saja merenungi orang-orang yang berdiri di
pinggir sungai yang banjir itu.
Namun tiba-tiba Ken Arok bergumam,
“Sebelum air surut, orang-orang yang berada di seberang tidak dapat
pulang keperkemahan malam ini.”
Akuwu pun berpaling kearah mereka. Mereka
pun masih juga berdiri di ujung bendungan di seberang. Tetapi agaknya
ketegangan di dalam hati mereka pun telah menjadi reda.
“Bagaimana mereka makan hari ini?” bertanya Akuwu.
Ken Arok mengerutkan keningnya, “Hamba belum tahu, Tuanku.”
“Mereka harus berpuasa sehari ini. Nanti
apabila air semakin surut, mereka akan dapat meniti bendungan
menyeberang kemari bersama-sama.”
“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.
“Mereka pun harus beristirahat untuk melepaskan ketegangan dan kelelahan.”
“Hamba, Tuanku.”
“Tetapi besok mereka harus bekerja lebih berat. Banjir pasti akan datang susul menyusul.”
“Hamba, Tuanku.”
“Tetapi … “ tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan kau sendiri?”
Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia masih belum tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu.
“Maksudku.” Akuwu meneruskan, “apakah kau sempat meninggalkan bendungan ini dalam keadaan demikian?”
Terasa dada Ken Arok berdesir. Kini ia
tahu benar maksud itu. Ternyata Akuwu masih juga bermaksud membawanya
mencari Mahisa Agni. “Tetapi bagaimana dengan bendungan ini?” pertanyaan
itu selalu mengganggunya. Justru pada saat udara selalu mendung dan
hujan dapat turun setiap saat.
“Aku tahu keberatanmu.” desis Akuwu itu kemudian, “justru akulah yang memberimu pekerjaan di Padang Karautan ini.”
Ken Arok masih belum dapat menjawab.
“Biarlah soal ini kita tunda sampai
besok. Aku sudah kehilangan gairah hari ini. Aku terlalu lelah setelah
berusaha mengambilmu dari dalam air itu.”
Ken Arok mengangguk dalam-dalam sambil
berkata, “Hamba, Tuanku. Sebaiknya, Tuanku beristirahat di perkemahan,
Besok hamba tinggal menerima perintah, Tuanku.”
Tunggul Ametung mengerutkan dahinya.
Kemudian katanya, “Kau harus membuat pertimbang. Aku tidak dapat
memaksamu, kau menghadapi pekerjaan yang cukup berat pula disini.”
“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok.
“Sekarang aku akan kembali ke gubug itu.”
berkata Akuwu itu kemudian. Ternyata orang yang dalam hidup sehari-hari
hanya menuruti kehendak sendiri saja itu dapat juga membuat
pertimbangan yang menyangkut kepentingan orang lain. Katanya, “Jangan
lupa kepada orang-orang di seberang. Mereka pasti merasa lelah dan lapar
seperti kalian. Usahakan, secepatnya mereka dapat dihubungi, maka
mereka harus mendapat makan mereka.”
“Hamba, Tuanku.” sahut Ken Arok sambil membungkukkan badannya.
Akuwu itu pun segera berdiri dan
meniggalkan tempat itu, kembali ke gubug yang disediakan untuknya. Ia
memang merasa terlampau letih setelah bermain-main dengan sebatang bambu
untuk menggait Ken Arok dari dalam air. Tetapi Ken Arok pun tidak kalah
lelahnya. Ia sudah mengarahkan segenap kekuatannya untuk bertahan diri
dari dorongan arus air yang meluap-luap.
Ketika Akuwu Tunggul Ametung telah
menjadi semakin jauh bersama pengawal-pengawalnya, maka terdengar Kebo
Ijo tertawa. Katanya, “Huh, apa saja yang dikatakan oleh Akuwu Tunggul
Ametung itu?”
“Kenapa?”
“Seperti seorang yang sedang mimpi.
Apakah ia tidak melihat kesibukanmu disini? Ia masih juga dapat bertanya
kepadamu untuk mencari anak yang hilang itu.”
“Ah.”
Orang itu memang terlampau aneh dan
terlampau memikirkan diri sendiri. Dihadapannya kakang Witantra tidak
lebih dari seekor kerbau penarik pedati. Diam sambil menundukkan kepala.
Kemudian ngangguk dalam-dalam sambil berkata, “Segala titah, Tuanku
hamba junjung di atas kepala. Dan kau pun rupanya akan dijangkiti
penjakit itu pula.”
“Jangan berkata begitu Kebo Ijo.” desis
Ken Arok, “Witantra adalah pimpinan pengawalnya. Apakah yang harus
dilakukannya? Ia sudah berbuat sebaik-baiknya melakukan tugas dan
tanggung jawabnya.”
Kebo Ijo tersenyum. Tetapi senyumnya
mengandung arti yang terasa sangat menyakitkan hati. Bahkan tanpa
segan-segan dihadapan orang-orang Panawijen ia menggeliat sambil
berdesis, “Hem, memang sebaiknya berbuat demikian. Kau dan kakang
Witantra akan segera naik pangkat.”
Ken Arok mencoba untuk menahan diri.
Ketika ia berpaling dan memendangi wajah Ki Buyut Panawijen, tampak
orang tua itu terheran-heran. Ia tidak mendengar seluruhnja kata-kata
Kebo Ijo, tetapi ia melihat sikap Kebo Ijo yang aneh.
Tetapi Ki Buyut Panawijen itu tidak
bertanya apapun. Bahkan kemudian ia pun pergi meninggalkan kedua
prajurit Tumapel yang mendapat tugas untuk memimpin pembuatan bendungan
itu.
“Hati-hatilah berbicara.” berkata Ken Arok Kemudian.
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil melangkah pergi.
“Anak itu memang terlampau menuruti
perasaannya saja.” gumam Ken Arok, “Keduanya, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul
Ametung mempunyai beberapa persamaan. Meledak-ledak dan bahkan
kadang-kadang tidak terkendali. Tetapi Akuwu adalah orang yang luar
biasa. Otaknya terlampau tajam meskipun hanya kadang-kadang saja
digunakan. Kekuatannya pun luar biasa. Ia mempunyai banyak kelebihan
dari orang-orang kebanyakan.”
Dipandanginya langkah Kebo Ijo yang
gontai. Anak muda itu pun sebenarnya kelelahan pula. Mungkin juga
kejemuan telah melanda jantungnya. Telah cukup lama ia berada di Padang
Karautan. Berbeda dengan Ken Arok sendiri, yang tidak meninggalkan apa
pun di Tumapel, maka Kebo Ijo meninggalkan keluarganya. Isterinya
mungkin selalu merasa kesepian seperti Kebo Ijo itu pula.
Tetapi Ken Arok sejenak kemudian sudah
berusaha untuk melupakannya. Ia sudah mengenal betul tabiat anak muda
itu, meskipun ia tidak menyukainya. Kadang-kadang perbuatan Kebo Ijo itu
dapat berbahaya bagi dirinya sendiri.
Pada saat guru Kebo Ijo itu berada di
padang ini, maka kelakuan Kebo Ijo tanapak agak lebih baik. Tetapi
kemudian pada suatu saat ketika Kebo Ijo itu sudah ditinggalkan lagi
oleh gurunya kembali ke Tumapel, maka sifat-sifatnya tumbuh kembali
betapapun ia mencoba mengekangnya. Kehadiran kakak seperguruannya kurang
dapat mempengaruhinya, apalagi setelah ia merasa dirinya cukup dewasa
dan sudah berkeluarga pula. Meskipun dihadapan kakak seperguruannya, ia
mencoba berbuat sebaik-baiknya.
“Anak itu tidak juga menjadi jera.”
gumamnya kemudian, “tetapi justru kata-katanya yang lebih berbahaya dari
perbuatannya. Dihadapanku ia berkata seperti itu, mungkin dihadapan
orang lain, bahkan mungkin dihadapan anak buahnya, ia pun berkata
demikian pula. Mungkin kata-katanya terdorong lebih jauh lagi, dan
bahkan mungkin akan sampai pada kata-kata yang tidak sepantasnya
diucapkan oleh seorang prajurit.”
Tetapi Ken Arok tidak dapat berbuat
apa-apa. Kakak seperguruan Kebo Ijo ada dipadang ini pula. Biarlah
saudara seperguruannya itulah yang memberinya petunjuk-petunjuk
seperlunya supaya tidak terjadi salah paham.
Ketika Ken Arok kemudian memandangi
orang-orang yang berdiri di ujung bendungan itu, dilihatnya beberapa
orang telah bercakap-cakap dengan asyiknya. Mereka telah terlepas dari
ketegangan yang mencengkam dada mereka. Sebagian lagi telah duduk
melepaskan lelah dan bahkan ada yang sudah pergi meninggalkan tebing.
Ternyata bahwa air sungai telah
benar-benar menjadi surut. Tetapi Ken Arok itu pun kemudian justru pergi
ke pinggir sungai itu kembali. Diamatinya bendungan yang saat itu telah
berhasil mereka selamatkan. Dicobanya untuk mencari kemungkinan yang
lebih baik disaat-saat banjir datang dikemudian hari.
“Disini harus dibuat parit-parit
pertolongan untuk membuang air yang terlampau tinggi.” desisnya di dalam
hati. Terbayang di kepalanya, susukan yang dangkal, yang menampung air
yang meluap apabila banjir mencapai keadaan yang membahayakan.
Namun sejenak kemudian Ken Arok pun
teringat kepada orang-orang yang berada di seberang. Mereka masih
berdiri berderet di pinggir sungai. Beberapa orang tampak melambaikan
tangan mereka untuk memberikan isyarat. Mereka ingin tahu apakah yang
harus mereka kerjakan.
Beberapa orang justru mengganggu mereka
dengan berbagai tingkah laku. Tetapi mereka itu pun segera menyadari
bahwa apabila banjir tidak segera susut cukup banyak, mereka akan
terpaksa berada di seberang sampai besok. Bahkan apabila hujan turun
lagi di ujung sungai, dan banjir menjadi bertambah pula, mereka terpaksa
menunggu lagi sampai hari berikutnya, sampai bendungan itu dapat
dilewatinya.
“Mereka harus mendapat makan.” gumam Ken Arok.
Seorang prajurit yang mendengar menyahut, “Ya, seperti kita di sini, mereka pun pasti juga lapar.”
Ken Arok berpaling. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum, “Apakah kau juga lapar?”
Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi kau tidak usah cemas. Juru adang,
sudah melakukan tugasnya dengan baik. Kau akan segera mendapat
rangsummu. Tetapi bagaimana dengan mereka?”
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi kemerah-merahan.
Karena prajurit itu masih diam, maka Ken Arok meneruskan, “Aku kira nasi telah masak. Kalian akan segera dapat makan.”
Wajah prajurit itu menjadi semakin merah.
Tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok
berkata, “Bendungan itu sudah tidak membahayakan lagi. Apabila kita
berhati-hati, kita akan dapat menitinya.” Dan sebelum prajurit itu
menjawab, Ken Arok sudah melangkah meninggalkannya.
Ternyata Ken Arok itu pergi ke ujung
bendungan. Ditatapnya bendungan itu dengan saksama, seakan-akan ingin
mengukur kekuatannya, apakah bendungan itu tidak berbahaya apabila ia
pergi ke seberang meniti di atasnya.
“He, Ken Arok.” terdengar seseorang
memanggilnya. Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya Kebo Ijo berdiri di
antara beberapa orang prajurit. “Kemana kau?” ia bertanya.
“Aku akan pergi ke seberang.” jawab Ken Arok pendek.
Kebo Ijo rnengerutkan keningnya. Katanya, “Kau selalu berbuat nekad. Lihat, air masih terlampau besar.”
“Aku akan meniti di atas bendungan.”
“Terlampau berbahaya. Sedikit gocangan telah cukup melemparkan kau ke dalam air yang seolah-olah sedang bergumul itu.”
“Aku harus berhati-hati supaya aku tidak tergelincir.”
“Apakah ada sesuatu yang penting sekali harus kau kerjakan di seberang.”
“Orang-orang di seberang itu cukup
gelisah. Aku harus datang untuk menenteramkannya dan memberitahukan apa
yang harus mereka kerjakan.”
Kebo Ijo mengangkat pundaknya. Ia tidak menyahut lagi, tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia agak mencemaskannya.
“Ada juga perasaan cemas di dalam dadanya
buat orang lain.” Ken Arok bergumam di dalam hatinya. Sedang kakinya
telah mulai menyentuh ujung bendungan.
Perlahan-lahan dan dengan sangat
hati-hati ia mulai meniti bendungan itu. Beberapa orang segera datang
berkerumun di ujung jembatan. Ada di antara mereka yang mencoba
mencegahnya. Tetapi Ken Arok berjalan terus. Ia cukup mengerti kekuatan
bendungannya dan kekuatan air yang sudah mulai surut itu, sehingga
menurut perhitungannya, maka bendungan itu sama sekali sudah tidak
berbahaya. Hanya apabila ia tidak hati-hati ia akan dapat tergelincir
masuk ke dalam air yang bergulung-gulung dengan warnanya yang keruh.
Ternyata perhitungan Ken Arok itu benar.
Sampai ke ujung yang lain di seberang, Ken Arok tidak mengalami
peristiwa apapun. Ia selamat menginjakkan kakinya ke seberang.
Kedatangannya segera dikerumuni oleh prajurit-prajuritnya.
Prajurit-prajurit yang cemas dan tidak mengerti apa yang sebaiknya
mereka lakukan, selain menunggu. Menunggu untuk waktu yang tidak mereka
ketahui.
“Akulah yang membawa kalian ke seberang ini, karena itu, maka aku datang menjemput kalian.”
“Apakah kami harus menyeberang?” bertanya seseorang.
“Meniti di atas bendungan itu.” jawab Ken
Arok, “tetapi tidak bersama-sama, karena bendungan itu masih belum kuat
benar. Satu demi satu atau dua. Tetapi jangan lebih dari lima orang
sekaligus.”
Prajurit-prajurit itu saling
berpandangan. Ada yang tampak ragu-ragu, tetapi ada yang segera
menjawab, “Baiklah. Satu-satu berurutan dengan jarak yang agak panjang,
sehingga tidak terlampau banyak yang berada sekaligus di atas bendungan
itu. Bukankah begitu?”
“Ya.” sahut Ken Arok pendek.
“Baiklah.” sahut prajurit yang lain, yang
bertubuh gemuk, “supaya kita tidak terlampau lama kedinginan di sini.
Di sana kita dapat segera berganti pakaian. Kemudian duduk menghangatkan
diri dimuka perapian.”
“Maksudmu, di muka perapian tempat menanak nasi?” potong kawannya.
“Ah.” desah Ken Arok, “dimana-mana aku bertemu dengan orang yang kelaparan.”
Prajurit yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah ada orang lain selain aku yang kelaparan?”
“Hus.” desis Ken Arok, “sekarang
bersiaplah. Siapakah yang akan pergi dahulu? Jangan berebut. Aku akan
menyeberang paling akhir, setelah kalian selesai.”
Beberapa orang prajurit saling
berpandangan. Namun kemudian mereka pun segera pergi satu demi satu ke
ujung bendungan itu. Seorang yang sudah menyentuh bendungan itu dengan
kakinya menjadi ragu-ragu. Air yang bergejolak di depan bendungan itu
membuatnya agak pening.
“Aku menjadi singunen.” Katanya.
“Jangan kau tatap air yang bergerak itu. Kau akan merasa seakan-akan terhisap olehnya, dan kau akan terjun ke dalamnya.”
“Marilah, siapa yang akan berjalan di depan.” berkata prajurit itu sambil melangkah surut.
Tetapi orang lain pun menjadi ragu-ragu pula. Sehingga akhirnya Ken Arok bertanya, “Tidak ada yang berani berjalan dahulu?”
Seorang prajurit yang berewok melangkah maju. Katanya, “Biarlah aku berjalan dahulu.”
“Kau tidak singunen.” bertanya kawannya.
“Tidak. Rumahku pinggir Bengawan. Aku sudah biasa melihat air banjir.”
“Pergilah.” berkata Ken Arok.
Prajurit itu pun segera berjalan
perlahan-lahan meniti bendungan yang sudah menjadi semakin banyak
tersembul di permukaan air. Perlahan-lahan sekali dan sangat
berhati-hati. Seorang yang lain segera menyusulnya beberapa langkah di
belakangnya. Setelah mereka agak ketengah maka seorang yang lain mulai
menginjak bendungan itu pula. Berturut-turut seperti pesan Ken Arok.
Sehingga dalam saat yang bersamaan, di atas bendungan itu tidak berdiri
lebih dari lima orang.
Karena kawan-kawannya yang lain kemudian
berani meniti bendungan itu, maka prajurit-prajurit yang semula
ragu-ragu pun akhirnya berani juga melakukannya, meskipun sama sekali
tidak berani berpaling dan memandang air yang seolah-olah akan
menelannya. Apalagi apabila mereka melihat putaran air di muka susukan
induk, seolah-olah mereka akan ikut serta terhisap dan hanyut ke
dalamnya.
Orang-orang yang berada di seberang,
kemudian berkumpul kembali menyaksikan kawan-kawannya yang berjalan
beriringan menyeberang di atas bendungan. Betapapun juga, mereka menjadi
tegang pula karenanya.
Ternyata prajurit-prajurit yang meniti
jembatan itu memerlukan waktu yang agak panjang. Ketika warna-warna
suram telah mulai mengambang di atas Padang Karautan, mereka mencoba
mempercepat langkah mereka, meskipun mereka tidak boleh lengah. Mereka
masih harus tetap berhati-hati supaya tidak tergelincir masuk. Namun
mereka berusaha sebelum gelap, mereka harus sudah selesai. Apabila malam
yang gelap sudah menyelubungi padang, maka meniti bendungan itu akan
menjadi terlampau sulit dan berbahaya. Tetapi untuk menunggu sampai esok
bagi para prajurit itu pasti akan terlampau lama, sebab hampir
sehari-harian mereka belum makan. Apalagi pakaian mereka telah basah
kuyup oleh hujan yang seperti dicurahkan dari langit.
Seperti air yang bergumul di depan
bendungan itu, maka prajurit yang ada di seberang itu pun semakin lama
menjadi semakin susut pula. Akhirnya tinggal beberapa orang saja bersama
dengan Ken Arok. Sedang langit sudah menjadi semakin merah
kehitam-hitaman.
“Cepat.” desis seorang prajurit yang
bertubuh kecil berkumis tipis, “kita harus selesai sebelum gelap, supaya
kita tidak terjerumus masuk ke dalam air.”
“Jangan terlalu tergesa-gesa.” berkata Ken Arok, “hati-hati jangan sampai tergelincir.”
Dan prajurit-prajurit itu memang tidak dapat terlalu tergesa-gesa dan harus selalu berhati-hati.
Tetapi akhirnya prajurit yang terakhir
telah menyentuhkan kakinya di atas bendungan. Namun pada saat itu hari
telah mulai menjadi gelap, sehingga dengan ragu-ragu prajurit itu
melangkahkan kakinya, Sekali-sekali ia berhenti menarik nafas
dalam-dalam. Sedang suara air yang sedang banjir masih saja bergemuruh
mengganggu telinganya. Lamat-lamat dalam keremangan ujung malam dapat
dilihatnya air bergulung-gulung di depan bendungan yang sedang
dititinya.
“Jangan tergesa-gesa.” berkata Ken Arok
yang berjalan di belakang prajurit yang terakhir itu. ”Lebih baik
perlahan-lahan dan hati-hati daripada tergesa-gesa tetapi masuk ke dalam
air itu.”
“Ya.” jawab prajurit itu.
Selangkah-selangkah mereka maju. Beberapa
orang di seberang ternyata dapat mengerti kesulitan para prajurit yang
sedang menyeberang itu. Ternyata beberapa orang dari mereka segera
menyediakan obor-obor untuk membantu menerangi bendungan. Tetapi
obor-obor itu kadang malah membuat para prajurit yang menyeberang
menjadi silau.
Namun akhirnya semuanya dapat sampai ke
seberang dengan selamat. Ken Arok lah yang terakhir menginjakkan kakinya
di pinggir seberang sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika dilihatnya
prajurit yang gemuk masih berdiri di dekat bendungan itu sambil
berceritera kepada kawannya, maka berkatalah Ken Arok, “Apakah kau sudah
memanasi dirimu di perapian sambil makan? Aku kira kau terlampau lapar
dan aku kira nasi sudah masak.”
Prajurit yang gemuk itu tertawa.
Jawabnya, “Aku masih belum lapar. Sudah terbiasa bagiku, dua hari dua
malam tidak makan dan tidak minum.”
“Itukah sebabnya kau menjadi gemuk?” bertanya kawannya yang berdiri di sampingnya.
Sekali lagi prajurit itu tertawa lepas,
sehingga beberapa orang berpaling kepadanya sehingga tiba-tiba
ditutupnya mulutnya dengan tangannya.
“Ah, aku akan pergi.” desisnya kemudian.
“Kemana?” bertanya kawannya.
“Keperapian. Mungkin aku masih dapat mengeringkan pakaianku dan mendapat rangsum hangat.”
Prajurit yang gemuk itu tidak menunggu
kawannya menjawab. Segera ia melangkah pergi. Sekali ia berpaling sambil
tertawa. Cahaya obor yang kemerah-merahan membuat bayangan yang lucu
pada wajahnya yang gemuk.
Tetapi bukan saja prajurit yang gemuk itu
yang pergi kedapur. Prajurit-prajurit yang lain pun segera menyusul.
Ada di antara mereka yang memerlukan berganti pakaian lebih dahulu,
tetapi ada juga yang langsung dengan pakaian basah, menerima rangsum
hangat sambil duduk-duduk di muka perapian. Ternyata mereka benar-benar
telah lapar sehingga mereka makan tanpa banyak berbicara.
Ken Arok berdiri tegak beberapa langkah
dari mereka. Meskipun ia sendiri belum makan, tetapi ia senang melihat
prajurit-prajuritnya makan dengan lahapnya. Satu-dua di antara mereka
masih sempat berkelakar, meskipun sambil menyuapi mulut-mulut mereka
dengan suapan-suapan yang besar.
Ken Arok berpaling ketika terasa
pundaknya ditepuk seseorang. Ternyata Kebo Ijo telah berdiri di
belakangnya. Sambil tersenyum anak muda itu berkata, “Tuanku Akuwu
Tunggul Ametung, yang kalis dari segala bahaya, yang bidjaksana dan yang
dilindungi oleh Bintang Cakra telah memanggilmu.”
“Ah.” Ken Arok berdesah.
“Aku berkata sesungguhnya, bahwa kau
harus menghadapnya sekarang juga. Bahkan sebenarnya sejak tadi kau
dicarinya, tetapi ternyata kau masih berada di seberang.”
“Aku percaya bahwa Akuwu memanggilku. Tetapi sebutan yang kau ucapkan adalah sebutan bagi Maharaja Kediri.”
Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Akuwu itu merasa dirinya lebih besar dari Maharaja Kediri.”
“Kaulah yang beranggapan begitu.”
“Huh.” Katanya, “ia merasa bukan manusia
biasa lagi. Ia merasa dirinya jauh lebih berharga dari pada kita. Dan
Kakang Witantra membiarkan dirinya direndahkan. Agaknya kau pun akan
berlutut sambil mencium kakinya pula.”
Ken Arok rnengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Adi Kebo Ijo, jangan berkata begitu. Aku tahu bahwa Akuwu
memang kadang-kadang berbuat sekehendak sendiri. Tetapi itu tidak
berarti bahwa ia sudah lupa diri. Itu adalah tabiatnya, seperti kau
sering berkata menurut seleramu sendiri.”
“Tetapi ia benar-benar seperti Maharaja yang paling perkasa. Suatu ketika aku cekik ia sampai mati.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tampaklah
perubahan pada wajahnya. Namun sejenak justru ia berdiam diri. Ia tidak
segera menanggapi kata-kata Kebo Ijo itu, karena ia sama sekali tidak
senang mendengarnya.
Ken Arok menggigit bibirnya ketika ia
mendengar justru Kebo Ijo tertawa terbahak-bahak. Orang-orang yang
berdiri dikejauhan, yang mendengar suara tertawanya, serentak berpaling
kearahnya. Ada diantara mereka yang ikut tertawa meskipun tidak
mengetahui persoalannya, hanya karena melihat cara tertawa Kebo Ijo yang
menggelikan. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh sambil menyuapi
mulutnya dengan nasi hangat.
“Kebo Ijo.” berkata Ken Arok kemudian,
“aku sudah mencoba memperingatkanmu. Jangan terdorong mengucapkan
kata-kata yang begitu tajam.”
“Kau cemas bahwa aku akan melakukannya?
Jangan takut kehilangan tempat untuk menghambakan diri Ken Arok. Aku
tidak akan benar-benar melakukannya.” sahut Kebo Ijo.
“Aku tahu bahwa kau tidak akan
melakukannya. Tetapi kelakar yang demikian agak berlebih-lebihan.
Sebaiknya kau mengucapkan kata-kata yang lain, yang tidak langsung
menusuk perasaan. Mungkin aku dapat mengerti caramu bergurau. Tetapi
mungkin orang lain tidak, atau justru meskipun orang lain tahu benar,
bahwa kau hanya bergurau, namun mereka yang tidak senang denganmu akan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya.”
“Apakah kepentingan orang lain dengan
aku? Apakah yang diinginkannya dariku? Kedudukanku yang tidak pernah
naik pangkat ini, justru karena aku tidak dapat menjilat kaki Akuwu itu,
atau apa?”
“Kau benar-benar tidak mampu
mengendalikan lidahmu. Coba katakan berapa tahun kau mengabdikan diri
menjadi seorang prajurit di Tumapel. Coba sebutkan di antara
orang-orangmu, apakah tidak ada yang sudah lebih dari dua kali lipat
waktu pengabdiannya kepada Akuwu Tunggul Ametung dan masih saja berada
di tingkat di bawahmu.”
“Tetapi mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas untuk disebut namanya.”
“Sedang kau.” Ken Arok memotong, “adalah orang yang berilmu tinggi dan tidak ada duanya.”
Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menegang. Tetapi
hanya sesaat, kemudian terdengar sekali lagi suara tertawanya lepas
mengumandang di Padang Karautan yang sudah mulai gelap.
“Ah, sudahlah.” berkata Ken Arok, “tetapi
ingat-ingatlah pesanku supaya kau tidak terjerumus dalam kesulitan.
Jangan kau lepaskan saja kata-katamu tanpa pertimbangan dan
pengendalian.”
“Baiklah.” sahut Kebo Ijo, “akan aku pergunakan mulutku untuk memujinya supaya aku segera diangkat menjadi senapati agung.”
Ken Arok tidak menjawab lagi. Tetapi ia
benar-benar tidak senang mendengar kelakar yang berlebih-lebihan justru
tentang Akuwu Tunggul Ametung.
Meskipun ia masih mendengar suara tertawa
Kebo Ijo namun Ken Arok itu melangkah pergi meninggalkannya. Akuwu
Tunggul Ametung yang memanggilnya, mungkin sudah terlalu lama
menunggunya. Karena itu maka langkahnya pun menjadi tergesa-gesa, tidak
saja supaya ia segera sampai ke gubug yang dipergunakan oleh Akuwu
Tunggul Ametung untuk beristirahat, tetapi juga supaya ia segera
menjauhi Kebo Ijo.
“Anak itu harus mendapat peringatan.”
desis Ken Arok, “tetapi karena kakak seperguruannya ada di sini, biarlah
aku katakan saja kepadanya tentang adiknya itu.”
Langkah Ken Arok itu pun segera terhenti.
Dilihatnya gubug itu sepi. Namun perlahan-lahan supaya tidak
mengejutkan, ia berjalan mendekati pintu.
Ia terhenti ketika ia melihat Witantra keluar dari dalam gubug itu. Perlahan-lahan Witantra berkata, “Akuwu sedang tidur.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan kah Akuwu Tunggul Ametung memanggil aku.”
“Ya. Sejak sore ia mencarimu.”
“Kebo Ijo baru saja menjampaikan pesan itu ke padaku.”
“Ya.”
“Dan sekarang Akuwu sedang tidur?”
“Ya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Kadang-kadang memang terbersit kejengkelan di dalam hatinya.
Tergesa-gesa ia datang memenuhi panggilannya, tetapi yang memanggilnya
itu ternyata sedang tidur.
Tetapi justru dengan demikian ia teringat
kepada Kebo Ijo. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya
selagi ia bertemu dengan Witantra. Maka sejenak kemudian ia berkata,
“Aku ingin berbicara dengan kau Witantra.”
Witantra mengerinyitkan alisnya. “Tentang?”
“Tentang adikmu Kebo Ijo.”
Kini Witantra lah yang menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu benar tabiat dan kebiasaan Kebo Ijo. Katanya
kemudian, “Apakah anak itu mengganggu pekerjaanmu disini? Aku sebenarnya
juga kurang sependapat, bahwa Kebo Ijo lah yang dikirim oleh Akuwu
untuk membantu pekerjaanmu.”
“Tidak.” Ken Arok menggeleng, “Kebo Ijo
sama sekali tidak mengganggu. Ia termasuk pekerja yang baik, meskipun
mula-mula agak canggung. Tetapi pada saat-saat terakhir ia merupakan
tenaga yang ikut menentukan.”
“Lalu?”
“Kita duduk di sini Witantra.”
Witantra mengangguk. Keduanya segera duduk di atas rerumputan dimuka gubug itu.
“Adikmu memang senang berkelakar dan bergurau.” berkata Ken Arok.
“Ya.” Witantra mengangguk, lalu diteruskannya, “bukankah kau merasa terganggu oleh kelakarnya yang berlebih-lebihan?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Agaknya
kakak seperguruan Kebo Ijo itu pun telah menyadari sifat-sifatnya, yang
kadang-kadang terlampau berlebih-lebihan, bahwa sering sudah melampaui
batas. Hal yang demikian seharusnya tidak boleh berkepanjangan.
Sejenak kemudian maka ia pun menjawab,
“Sebenarnya aku sendiri tidak merasa terlampau terganggu. Tetapi aku
mencemaskannya, bahwa kadang-kadang kelakarnya dapat membahayakannya.”
Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah yang dikatakannya?”
“Tentang Akuwu Tunggul Ametung.” jawab Ken Arok, “kadang-kadang terloncat ucapan-ucapannya yang mendebarkan hati.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “mungkin sekali, Anak itu benar-benar anak yang bengal. Apakah
yang dikatakannya tentang Akuwu?”
“Mungkin pernah mendengar apa yang dikatakannya tentang kita?”
“Dalam hubungan dengan Akuwu?”
“Ya.”
“Ya. Aku memang sering mendengar. Anak itu menganggap kita terlampau merendahkan diri dihadapan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Begitulah. Lalu bagaimana sikapnya sendiri?”
“Seperti seekor tikus dihadapan seekor
kucing. Tetapi anak itu memang harus mendapat peringatan. Apakah yang
dikatakan kepadamu?”
“Itu tidak terlampau berbahaya baginya,
Witantra. Tetapi yang lebih menyinggung perasaan orang-orang yang dekat
dengan Akuwu adalah sebutan-sebutannya yang mengandung hinaan atas Akuwu
Tunggul Ametung. Bahkan.” Ken Arok diam sejenak. Diedarkannya pandangan
matanya berkeliling, seolah-olah takut didengar orang lain. Lalu, “Kebo
Ijo pernah berkata kepadaku, meskipun aku tahu bahwa ia hanya bergurau,
katanya, “Aku akan mencekiknja sampai mati.”
“Ah.” Witantra berdesah, “begitukah?”
“Ya. Aku cemas apabila seseorang pernah mendengar ia berkata begitu pula.”
“Hem.” Witantra menarik nafas
dalam-dalam, “sebenarnyalah demikian Ken Arok. Aku pernah mendapat
laporan dari seorang prajurit pengawal. Ia mendengar Kebo Ijo memaki
Akuwu meskipun sambil tertawa. Sebagai seorang prajurit pengawal, ia
lapor kepadaku tentang seorang prajurit yang lain yang bersikap
demikian.”
“Apakah yang sudah kau lakukan?”
“Aku panggil anak itu. Aku memarahinya
hampir separo malam. Tampaknya ia menjadi jera. Tetapi kini penyakit itu
agaknya telah kambuh kembali.”
“Nah, terserahlah kepadamu Witantra, untuk kepentingan adikmu itu sendiri.”
“Terima kasih. Aku akan memperhatikannya.”
“Baiklah. Sekarang, sebelum Akuwu bangun,
aku akan beristirahat sejenak. Aku akan berganti pakaian, makan dan
duduk-duduk bersama prajurit-prajurit yang sedang beristirahat itu.”
Witantra rnengerutkan keningnya. Lalu ia
berkata, “Aku ikut bersamamu. Aku ingin melihat-lihat keadaan mereka
disini sebelum besok aku pergi mengawal Akuwu ke Kemundungan.”
Keduanya pun kemudian berdiri. Witantra
melambaikan tangannya, memanggil seorang prajurit yang dibawanya dari
Tumapel, prajurit pengawal, “Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan pergi
sebentar. Laporkan kepada perwira yang sedang bertugas.”
Prajurit itu menganggukkan kepalanya,
sedang tangan kirinya menggenggam hulu pedangnya yang masih berada di
dalam sarungnya. “Baik.” Jawabnya, “akan aku lakukan.”
Witantra pun kemudian melangkah
bersama-sama dengan Ken Arok, sementara itu, prajurit pengawal itu
melaporkannya kepada perwira pengawal bawahan Witantra, yang segera
mengambil alih tugasnya, berjaga-jaga di depan gubug Akuwu Tunggul
Ametung yang sedang tidur itu.
Beberapa langkah kemudian, maka kedua
orang itu terhenti ketika mereka melihat Kebo Ijo mendatanginya. Sambil
tertawa ia bertanya kepada Ken Arok, “Kenapa kau tidak menghadap Akuwu?”
“Akuwu sedang tidur.” jawab Ken Arok.
“He.” Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “tetapi ia memanggilmu menurut Kakang Witantra.”
“Ya.” sahut Witantra, “tetapi pada saat
Ken Arok datang, Akuwu sudah tertidur. Mungkin ia terlampau lelah
setelah bekerja keras hari ini.”
Wajah Kebo Ijo menjadi berkerut-merut. Tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya.
“Kenapa kau tertawa?” bertanya Witantra.
“Tidak apa-apa.” Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa.”
Sejenak Ken Arok dan Witantra saling
berpandangan. Namun kemudian mereka meneruskan langkah mereka tanpa
menghiraukan anak yang masih saja tertawa-tawa itu. Tetapi ternyata Kebo
Ijo tidak membiarkannya pergi. Ia pun kemudian mengikutnya di belakang.
Sejenak kemudian ia bertanya, “Kakang, apakah Akuwu akan membicarakan
tentang keberangkatannya besok bersama Ken Arok?”
“Aku tidak tahu.” sahut kakanya.
“Tetapi bukankah itu yang dimaksud oleh Akuwu Tunggul Ametung? Membawa sepasukkan prajurit untuk membebaskan Mahisa Agni?”
“Ya.”
“Apakah Ken Arok besok harus ikut serta?”
“Aku tidak tahu.”
“Hem.” Kebo Ijo menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih saja berjalan mengikuti Ken Arok dan Witantra,
“Aku kira begitulah. Dan seandainya benar, maka Akuwu benar-benar
berbuat aneh.”
“Kenapa?” bertanya Witantra dengan serta merta.
“Bendungan ini seharusnya jauh lebih
penting dari pada seorang Mahisa Agni. Apakah perlunya Akuwu bersusah
payah berusaha membebaskannya?”
Langkah Witantra tertegun mendengar
kata-kata Kebo Ijo. Ken Arok pun kemudian terhenti juga. Bahkan keduanya
kemudian berpaling memandangi Kebo Ijo yang kemudian berdiri tegak di
belakang mereka.
“Kebo Ijo.” berkata Witantra kemudian,
“kita adalah prajurit. Kita sebaiknya mentabukan perintah yang
dijatuhkan atas kita. Memang mungkin perintah itu tidak tepat. Apabila
demikian kita dapat memberikan pertimbangan seperlunya. Nah, adalah
wajar sekali apabila besok, seandainya Akuwu masih ingin membawa Ken
Arok, kita dapat mengajukan keberatan-keberatan itu.”
Kebo Ijo tidak segera menyahut.
Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia berkata,
“Apakah sebenarnya pentingnya Mahisa Agni bagi Akuwu.”
“Ia kakak Tuan Puteri Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi Mahisa Agni sendiri adalah
seorang anak padesan. Kalau ia hilang di dalam sarang iblis Kemundungan
itu, adalah nasibnya yang terlampau jelek. Buat apa benarnya Akuwu
memaksa diri untuk mencarinya dengan sepasukan prajurit? Bagiku, hal itu
tidak akan banyak memberikan arti bagi Tumapel. Pantaslah kiranya,
apabila yang hilang itu seorang putera Raja, setidak-tidaknya putera
Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Bukan hanya sekedar anak padesan. Apabila
Tuan Puteri Ken Dedes merajuk, biarlah Akuwu mengancamnya untuk
mengembalikan saja kepadepokannya.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Sebaiknya kau tidak usah ikut memperbincangkannya. Itu adalah
persoalan Akuwu Tunggul Ametung.”
Kebo Ijo justru tertawa pendek, “Aku kasihan melihat Akuwu begitu bersusah payah untuk seorang pidak pedarakan.”
“Kau. Keliru Kebo Ijo.” Ken Aroklah yang
kemudian menyahut, “kau membedakan antara seorang anak pidak pedarakan
dengan seorang pangeran atau putera Akuwu di dalam persoalan ini.”
“Sudah tentu. Nilai dari mereka jauh berbeda.”
“Tidak Kebo Ijo. Baik ia seorang
pangeran, bahkan seorang pangeran dari seorang Maharaja sekalipun dan
seorang yang paling rendah dan paling hina, berhak mendapat
perlindungan.”
“O, tentu. Sudah tentu. Tetapi harus
disesuaikan dengan kedudukannya. Kalau yang hilang seorang pangeran,
pantaslah Akuwu sendiri yang pergi mencarinya. Tetapi kalau hanya
seorang Mahisa Agni?”
“Mahisa Agni kini adalah seorang kakak dari Permaisuri Akuwu sendiri.”
Kebo Ijo tertawa. Katanya, “Kau terbalik
mengucapkannya Ken Arok. Seharusnya kau berkata, “Permaisuri Akuwu
Tunggul Ametung hanyalah adik Mahisa Agni. Anak dari pedukuhan
Panawijen.”
“Kau telah menarik garis perbedaan
terlampau tajam antara seorang yang lahir di dalam lingkungan yang baik
dan orang-orang yang lahir dalam keadaan yang buruk.”
“Tentu. Aku sendiri harus menghargai keturunanku.”
“Kau sudah gila Kebo Ijo.” desis Witantra, “diamlah supaya aku tidak memaksamu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak ingin diam, ia masih ingin berbicara Namun Witantralah yang
berbicara pula, “Pergilah beristirahat. Tetapi sebelumnya, dengarlah
dahulu sebagai bekalmu berangan-angan sebelum tidur. Tak ada perbedaan
apa-apa antara yang kebetulan lahir sebagai seorang yang sangat miskin.
Mereka berhak mendapat perlindungan yang sama, Mahisa Agni yang kini
berada dalam bahaya yang mengerikan harus mendapat pertolongan.”
Sekali lagi Kebo Ijo tertawa. Tetapi ia
tidak mendapat kesempatan berbicara karena Ken Arok berkata, “Kebo Ijo.
Nilai seseorang tidak saja tergantung kepada darah keturunan. Tetapi
tergantung pula atas perbuatannya sendiri. Atas apa yang dikerjakannya.”
Ken Arok berhenti sejenak, lalu, “Aku adalah seorang yang paling hina
ketika dilahirkan. Tetapi penilaian orang terhadap diriku kini telah
menjadi jauh berbeda. Apakah kau pernah membayangkannya, bahwa aku
seolah-olah terbuang di masa-masa itu. Disaat aku baru dilahirkan?”
Kebo Ijo tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Ken Arok yang tegang.
“Tetapi sekarang aku mendapat kesempatan ini.” Ken Arok meneruskannya.
Kini Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata ia masih mempunyai kesadaran untuk tidak membuat keributan.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Itu
memang bukan persoalanku. Tetapi bagiku Mahisa Agni sama sekali tidak
cukup bernilai untuk memaksa Akuwu meninggalkan istana. Lebih baik
baginya untuk berburu kijang di hutan-hutan.”
“Pergilah Kebo Ijo.” potong Witantra, “beristirahatlah, tetapi jangan tidur dulu. Aku perlu menemuimu.”
Kebo Ijo menjadi heran, sehingga terloncat pertanyaannya, ”Kenapa nanti? Bukankah kita sudah bertemu.”
Adik seperguruan Witantra itu memang
menjengkelkan sekali, sehingga Witantra menyahut agak keras, ”Aku perlu
berbicara dengan kau seorang diri. Aku nanti ingin memberimu peringatan
supaya kau tidak malu dilihat orang. Kau telah membuat banyak sekali
kesalahan. Mengerti?”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Diangkatnya pundaknya sambil berdesis, “Baiklah kakang. Sebaiknya aku
makan dahulu sebanyaknya sebelum aku menghadap kakang nanti.”
“Lebih baik begitu. Makanlah, supaya
mulutmu berhenti berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak
bermanfaat dan kadang-kadang dapat berbahaya bagimu.” sahut Witantra.
Kebo Ijo menganggukakan kepalanya.
Berlahan-lahan ia melangkah pergi meninggalkan Ken Arok dan Witantra
yang mengawasinya. “Anak itu benar-benar bengal. Umurnya sudah cukup
dewasa, dan ia sudah berkeluarga pula. Tetapi sifatnya itu masih
kadang-kadang membuat aku pusing dan bahkan guru sendiri. Ia dapat
menjadi seorang yang baik dihadapan guru. Tetapi kemudian penyakitnya
itu datang lagi mengganggunya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata bahwa kakak seperguruannya ini pun telah dibuatnya pening.
Apalagi orang lain. Tetapi bahwa kata-katanya terlampau sering melukai
hati orang lain dan kadang-kadang tanpa terkendali itulah yang harus
mendapat perhatian. Saudara-saudara seperguruannya dan kawan-kawannya
yang dekat, yang telah mengerti akan tabiatnya, tidak akan
menjerumuskannya ke dalam kesulitan, bahwa akan berusaha melindunginya,
meskipun kemudian memberikan peringatan yang keras kepadanya. Tetapi
orang-orang lain akan berbuat sesuai dengan kepentingan mereka
masing-masing. Bahkan mungkin akan menjerumuskannya ke dalam kesulitan.
Ken Arok tersedar ketika Witantra
kemudian berkata, “Biarlah anak itu makan. Nanti aku akan memberinya
peringatan. Mungkin aku perlu menakutinya dengan berbagai macam cara,
atau mengancamnya.”
“Mudah-mudahan kau berhasil.” desis Ken
Arok. Keduanya pun kemudian melanjutkan langkah mereka pergi ketempat
para prajurit sedang beristirahat dan makan. Ken Arok pun kemudian ikut
pula makan bersama mereka. Tetapi Witantra agaknya sudah makan lebih
dahulu di gubugnya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka
Ken Arok dan Witantra pun kembali ke gubug Akuwu Tunggul Ametung. Begitu
mereka mendekat, maka terdengar suara Akuwu yang ternyata sedang
terbangun, “He, apakah Ken Arok sudah datang?”
“Hamba, Tuanku.” sahut pengawal, ”itulah Ken Arok sudah datang.”
“Suruh ia masuk.”
“Hamba, Tuanku.”
Tetapi ketika pengawal itu hampir saja
mengucapkan kata-kata untuk memberi tahukan panggilan itu kepada Ken
Arok terdengar Ken Arok berdesis perlahan-lahan, “Aku sudah
mendengarnya.”
Pengawal itu mengerinyitkan alisnya, Tetapi ia pun kemudian tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ken Arok bersama Witantra kemudian
melangkah masuk ke dalam gubug yang rendah itu. Kemudian mereka duduk di
atas tikar yang dibentangkan di atas batang-batang rumput yang sudah
kering.
“Kau baru datang?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
“Tidak, Tuanku.” jawab Ken Arok, “hamba telah menghadap sejak lama.”
“Bohong. Aku berteriak-teriak memanggilmu. Yang selalu menyahut hanyalah para pengawal. Bahkan Witantra pun pergi pula.”
“Hamba berdua hanya sekedar berjalan-jalan di luar, Tuanku.” berkata Witantra.
“Tetapi kalian tidak mendengar panggilanku.”
“Mungkin hamba berdua berjalan-jalan agak terlampau jauh. Agaknya kami lupa untuk mengingat-ingat waktu dan jarak, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku ingin berbicara dengan kalian.”
Witantra dan Ken Arok hampir bersamaan menjawab, “Hamba, Tuanku.”
Akuwu yang masih berada di pembaringannya
itu menguap. Diusapnya matanya dengan jari-jarinya. Kemudian katanya,
“Besok pagi aku akan meneruskan perjalananku. Aku harus menemukan Mahisa
Agni supaya hidupku menjadi tenteram.”
Terbersit desis di dalam dada Ken Arok,
“Hem, ada juga kebenarannya apabila seseorang mengatakan bahwa Akuwu
Tunggul Ametung hanya memikirkan dirinya sendiri, meskipun tidak
sepenuhnya. Tetapi pada saat-saat tertentu maka dirinya sendirilah yang
menjadi pusat segala persoalan.” Tetapi tiba-tiba dikenangnya pada saat
ia hampir hanyut didorong oleh arus banjir yang meluap kesusukan induk.
“Hem Akuwu memang orang yang aneh. Apakah hatinya terlampau
meledak-ledak sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak mampu
menguasainya? Ada beberapa persamaan sifat diantara Akuwu Tunggul
Ametung ini dengan Kebo Ijo.”
“He.” Akuwu itu membentak, “kenapa kalian diam saja.”
Ken Arok dan Witantra terperanjat juga. Dan bersama-sama pula mereka menjawab, “Hamba, Tuanku.”
“Aku ingin mendapat kepastian apakah aku besok akan berangkat bersamamu Ken Arok?”
“Hamba menunggu perintah, Tuanku.” jawab Ken Arok, “tetapi apabila diperkenankan hamba ingin mengajukan pertimbangan untuk itu.”
“Apa pertimbanganmu.”
“Langit sudah menjadi semakin tebal
dilapisi oleh air, Tuanku. Hujan pasti akan semakin turun, sedang
bendungan itu masih belum siap sama sekali, meskipun sebagian terbesar
telah selesai dan bahkan telah dapat diselamatkan dari banjir yang
pertama. Tetapi hamba masih selalu dicemaskannya. Apabila datang banjir
yang lebih besar lagi, maka bendungan itu akan mengkhawatirkan.”
“Apakah kau sudah membuat parit-parit
untuk menyalurkan air seperti yang kau rencanakan. Apabila air terlampau
tinggi-tinggi maka air akan mengalir lewat parit-pari yang dangkal itu
sehingga mengurangi tekanan yang mendorong bendungan itu.”
“Belum Tuhanku.”
“He, kenapa belum? Apakah kau menunggu bendunganmu pecah.”
“Baru hari ini kami merencanakannya. Seandainya rencana itu dikerjakan, maka baru besoklah hamba mulai.”
“Oh kalian bekerja seperti siput. Kenapa tidak kau mulai malam ini?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi diberanikannya juga menjawab, “Orang-orang Panawijen dan para
prajurit Tumapel telah terlampau letih, Tuanku.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jadi bagaimana dengan kau? Apakah kau tidak jadi pergi besok?”
“Seandainya hamba diperkenankan, hamba
ingin menyelesaikan bendungan ini saja. Bukan karena hamba tidak sanggup
untuk melakukan perintah, Tuanku, tetapi hamba hanya sekedar memberikan
pertimbangan.”
“Apakah kau takut bertemu dengan Kebo Sindet?”
Dada Ken Arok tersirap mendengar
pertanyaan itu. Seandainya yang bertanya bukan Akuwu Tunggul Ametung,
maka orang itu akan ditantangnya berlomba untuk menangkap Kebo Sindet,
meskipun Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet bukanlah seorang yang dapat
dianggapnya seperti orang-orang kebanyakan. Bahkan pada saat Mahisa Agni
hilang, Ken Arok tahu pasti, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya,
meskipun pada saat itu ia tidak terbunuh oleh iblis-iblis dan
Kemundungan kakak beradik. Tetapi tanpa diketahuinya sendiri, ia kini
merasa bahwa ia akan mampu menghadapinya, menghadapi Kebo Sindet seorang
lawan seorang.
Tetapi kepada Akuwu Tunggul Ametung,
sambil menahan hati, Ken Arok menjawab, “Ampun, Tuanku. Seandainya,
Tuanku memerintahkan hamba untuk pergi mencari Mahisa Agni, maka hamba
pasti akan berangkat. Untuk memenuhi perintah, maka seorang prajurit
tidak boleh mengenal takut, meskipun seandainya ada juga perasaan itu di
dalam dadanya. Karena itu, maka hamba akan melakukan segala perintah,
Tuanku, apa pun yang akan terjadi atas diri hamba. Hamba sama sekali
tidak memikirkan diri hamba sendiri, melainkan harapan yang telah
dipupuk, selapis demi selapis di dalam dada orang-orang Panawijen,
seperti selapis demi selapis brunjung yang disusun untuk membentuk
bendungan itu, jangan sampai hanyut bersama banjir. Tetapi apabila
Tuanku menghendaki lain, maka hamba pasti akan menjalankannya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Aku
percaya bahwa kau tidak akan mengenal takut. Tetapi pendapatmu benar
juga. Bendungan ini memang memerlukan perhatian.” Akuwu itu berhenti
sebentar, lalu, “Sebenarnya tanpa kau pun pasukanku telah cukup kuat.
Seandainya Kebo Sindet mempunyai beberapa orang pengikut di dalam
sarangnya, Witantra dan para pengawal pasti akan mampu berhadapan dengan
orang-orang itu, sedang Kebo Sindet sendiri harus berhahapan dengan
aku. Dengan Akuwu Tumapel.”
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir.
Tetapi yang ada di dalam hatinya adalah kesan yang lain. Ternyata Akuwu
dapat mengerti juga keterangannya, dan bahkan membenarkannya.
“Ken Arok.” berkata Akuwu, “besok pada
saat matahari terbit, aku akan meninggalkan bendungan ini. Aku serahkan
semuanya di sini kepadamu. Bendungan ini dan taman yang mengalami
kerusakan-kerusakan kecil itu. Pada saatnya, taman itu harus siap. Aku
ingin menghadiahkannya kepada isteriku. Aku mengharap bahwa aku akan
dapat menghadiahkannya sekaligus, taman itu dan kakaknya yang hampir
membuatnya gila.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi wajah Witantra, maka Witantra itu pun mengangguk kecil.
“Lakukanlah pekerjaanmu sebaik-baikanya
Ken Arok. Sekarang pergilah, aku akan segera tidur, supaya besok aku
akan dapat bangun pada waktunya.” Akuwu diam sejenak, kemudian kepada
Witantra ia berkata, “Kau pun harus menyiapkan pasukan kecilmu itu
Witantra. Supaya besok pada saat matahari terbit, kita akan dapat
berangkat segera.”
“Hamba, Tuanku. Segala titah, Tuanku akan hamba lakukan sebaik-baiknya.”
“Sekarang kalian boleh pergi.”
Ken Arok dan Witantra membungkukkan kepalanya bersama-sama sambil berkata hampir beriamaan pula, “Hamba, Tuanku.”
Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan
gubug Akuwu Tunggul Ametung. Witantra sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya berkata-kata, “Akuwu kadang-kadang sempat juga berpikir dan
mempertimbangkan, mana yang baik dilakukannya.”
Ken Arok mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia tersenyum, “Ya. Akuwu kadang-kadang memang aneh.”
“Hem.” Witantra menarik nafas dalam-dalam, ”Akuwu yang memang aneh atau karena kita telah kejangkitan penjakit Kebo Ijo itu.”
Ken Arok kini tidak hanya sekedar
tersenyum, tetapi ia tertawa. Dan Witantra pun tertawa pula. Katanya
kemudian, “Sudahlah. Sudah terlampau malam untuk berjalan-jalan. Sedang
besok kita akan melakukan tugas kisa masing-masing Aku masih harus
menemui Kebo Ijo malam ini, dan memberinya peringatan-peringatan. Aku
akan memberinya banyak pesan agar ia tidak terjerumus ke dalam kesulitan
karena kata-katanya dan mungkin sikapnya yang berlebih-lebihan.”
“Ya, sebaiknya kau memberinya pesan. Aku
kadang-kadang mendapatkan kesulitan, karena Kebo Ijo benar-benar sukar
dikendalikan. Pada saat ia datang ketempat ini, aku sudah harus
melajaninya bemain-main. Untunglah pada saat itu gurumu datang tepat
pada waktunya.”
“Aku mendengar pula. Kebo Ijo sendiri berkata kepadaku, meskipun tidak lengkap.”
“Aku kadang-kadang menjadi segan untuk
menegurnya terus menerus seperti kanak-kanak. Aku segan juga kepadamu
dan kepada gurumu. Aku takut menyinggung persaanmu dan perguruanmu.”
Witantra tertawa. Katanya, “Kau terlampau
berterus-terang. Aku senang mendengarnya. Demikian seharusnya supaya
kita tidak menyimpan terlampau banyak persoalan. Tentang Kebo Ijo, aku
titipkan kepadamu. Aku yakin kau dapat mengatasinya. Aku akan berpesan
pula kepadanya, bahwa kau akan menjadi penggantiku dan pengganti guru
disini. Kebo Ijo tidak boleh menjadi bersakit hati oleh teguranmu. Kalau
perlu kau dapat berbuat lebih banyak atas namaku.”
“Terima kasih atas kepercayaan itu.
Tetapi aku kira, ia akan menjadi baik kalau kau menganyamnya, sehingga
aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi.”
“Mudah-mudahan.” desis Witantra,
“sekarang aku akan menyiapkan para pengawal, supaya Akuwu besok pagi
tidak berteriak-teriak apabila aku terlambat sedikit.”
Keduanya pun kemudian segera berpisah.
Witantra pergi menemui para pengawal yang dibawanya dari Tumapel. Besok
mereka harus bersiap tepat pada saatnya. Kemudian di dalam gubugnya
Witantra menunggu kedatangan Kebo Ijo untuk menemuinya. Sementara itu
Ken Arok masih juga berjalan-jalan mengelilingi gubug-gubug yang sudah
menjadi semakin lama semakin sepi.
Malam menjadi semakin lama semakin dalam.
Dikejauhan terdengar bilalang berderik-derik bersahut-sahutan di atas
rerumputan yang masih basah. Angin yang dingin bertiup perlahan-lahan.
Ketika Ken Arok menengadahkan wajahnya
kelangit, hatinya menjadi berdebar-debar. Ternyata mendung di langit
masih juga mengalir berurutan meskipun tidak terlampau tebal, seperti
noda-noda raksasa yang bergeser dipermukaan wajah malam yang gelap.
Meskipun demikian satu-satu bintang tampak berkeredipan disudut-sudut
langit yang tidak disaput oleh awan yang kelabu.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam
menghirup udara yang sejuk. Dipandanginya Padang Karautan yang
seakan-akan tidak bertepi, menjorok ke dalam kelam yang pekat.
Tiba-tiba Ken Arok tertegun sejenak.
Ternyata langkahnya telah membawanya terlampau jauh. Dihadapannya, di
dalam kesamaran malam, dilihatnya petamanan yang sedang di bangunnya.
“Hem, kakiku telah membawa aku kemari.”
Tetapi Ken Arok tidak segera kembali.
Dilanjutkannya langkahnya. Dilihatnya petamanannya yang mengalami
beberapa kerusakan. Tanah yang longsor di pinggir susukan induk,
beberapa macam tanaman telah terendam air, dan pagar batu yang miring
karena tanah yang bergeser akibat dorongan air yang keras.
“Taman ini perlu diperbaiki.” desisnya.
Tetapi Ken Arok memusatkan segenap
perbatiannya pada waktu yang dekat kepada bendungannya. Mungkin besok
atau lusa banjir akan datang lagi.
Sejenak Ken Arok duduk di atas pagar batu
merenungi malam yang gelap dan dingin. Sekilas-sekilas terbang kembali
di dalam ingatannya, masa-masa lampaunya di Padang Karautan ini, selagi
ia masih hidup sebagai hantu yang menakutkan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
“Nasibmu memang terlampau baik Ken Arok.” suara itu terngiang ditelinganya. Suara Bango Samparan.
“Persetan.” Ken Arok menggeram, “Aku sama
sekali tidak mau diganggunya lagi. Bukan karena aku tidak mengenal
terima kasih. Aku akan bersedia memberinya bantuan untuk hidupnya
sehari-hari. Tetapi caranya berpikir akan dapat menyesatkan aku lagi.
Aku sudah mencoba untuk hidup seperti manusia biasa. Bukan seperti hantu
di padang ini, yang hanya berlindung dari terik matahari di dalam
semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu dan berlindung di bawah hujan
dipereng-pereng kali.”
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia mencoba mengusir pikiran yang mengganggunya itu.
“Aku tidak akan mau diganggunya lagi
dengan pikiran-pikiran yang gila itu.” desis Ken Arok kemudian sambil
berdiri, “aku harus bekerdja keras untuk menyelesaikan bendungan dan
taman ini.”
Perlahan-lahan Ken Arok kemudian
melangkahkan kakinya lagi, meninggalkan petamanan itu, kembali ke
gubugnya. Malam telah menjadi semakin larut, dan bintang-bintang telah
jauh berkisar dari tempatnya. Tetapi Ken Arok masih berjalan seenaknya.
Lelah tubuhnya justru terasa berkurang oleh segarnya angin malam. Tetapi
lambat laun matanya menjadi terlampau berat, dan mulutnya pun mulai
menguap.
“Aku harus beristirahat. Besok aku akan mulai dengan kerja yang lebih keras.”
Ken Arok itu pun kemudian mempercepat langkahnya, seolah-olah ia takut bahwa ia akan kehabisan sisa-sisa malam.
Ketika ia sampai diperkemahan, ternyata
seluruh isi perkemahan itu tertidur nyenyak. Tidak ada seorang pun lagi
yang masih bangun. Penjaga yang bertugas malam itu ditemui oleh Ken Arok
tidur bersandar seonggok batu sambil menggenggam tombak pendek. Sedang
kawannya tidak jauh dari padanya, tidur mendekur di tanah yang basah.
“Hem.” Ken Arok berdesah, “mereka
terlampau lelah.” Karenanya maka Ken Arok tidak sampai hati untuk
membangunkannya. Tetapi dengan demikian Ken Arok sendiri tidak segera
pergi ke gubugnya untuk tidur. Sepi malam telah mencengkamnya untuk
tetap bangun betapa matanya terasa terlampau berat. Dan bahkan akhirnya
ia memutuskan untuk tidur saja di luar, di atas berunjung-brunjung bambu
di dekat para penjaga yang sedang tidur itu.
Ken Arok tidak tahu, betapa lama ia
tertidur. Tetapi tiba-tiba ia terbangun. Layap-layap ia mendengar
sesuatu dikejauhan dibawa silirnya angin malam menyentuh lubang
telinganya.
Ternyata telinga Ken Arok adalah telinga
yang terlampau tajam. Yang seolah-olah dirangkapi oleh ilmu Sapta
Pangrungu. Yang mempunyai ketajaman mendengar tujuh kali lipat dari
telinga biasa. Namun agaknya malam yang terlampau sepi telah membantunya
pula untuk dapat mendengar suara yang paling halus sekalipun.
Dan yang didengarnya kini adalah telapak kaki-kaki kuda meskipun masih terlampau jauh.
Ken Arok menggosok-gosok matanya dengan
tangannya. Sekali lagi ia mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Dan
perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku mendengar derap kaki-kaki kuda yang
masih jauh sekali.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam Malam
sudah hampir sampai pada akhirnya. Sebentar lagi langit di ujung Timur
akan dibayangi oleh warna-warna merah. Dan disaat yang demikian, ia
mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati perkemahannya.
Perlahan-lahan Ken Arok bangkit dan turun
dari atas berunjung-berunjung bambu. Suara derap kaki-kaki kuda itu
menjadi semakin jelas mendekati perkemahan itu. Tetapi tidak terlampau
banyak. Dua atau tiga.
“Siapakah mereka itu?” desisnya.
Penjaga yang tidur bersandar batu itu
masih juga tidur. Yang tidur mendengkur di tanah kini justru melingkar
menyembunyikan tangannya yang kedinginan.
“Biar sajalah.” desis Ken Arok, “Pada saatnya mereka akan terbangun.”
Ken Arok itu pun kemudian melangkah
perlahan-lahan menyongsong arah derap kaki-kaki kuda itu. Ia belum tahu,
apakah yang datang itu akan berbahaya bagi perkemahannya atau tidak.
Namun kemudian dadanya terasa berdesir ketika ia melihat ternyata Akuwu
Tunggul Ametung pun telah berdiri tegak seperti sebatang tonggak baja di
muka gubugnya, dan di belakangnya Witantra berdiri dengan pedang di
lambung.
Tetapi Akuwu itu pun menjadi terkejut
pula ketika ia mendengar desir langkah di belakangnya. Ketika ia
berpaling ternyata Ken Arok telah berada beberapa langkah di
belakangnya.
“Apakah yang kau dengar?” bertanya Akuwu.
“Derap kaki-kaki kuda.” sahut Ken Arok.
“Hem.” Akuwu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “telingamu cukup baik. Tidak ada orang lain yang mendengar
derap kaki-kaki kuda itu selain kau.”
“Bukankah, Tuanku mendengar juga?” bertanya Ken Arok.
“Ya.” sahut Akuwu.
Ketiganya kemudian terdiam. Mereka mencoba memperhatikan derap yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Beberapa ekor kuda menurut tangkapan telingamu?” bertanya Akuwu kepada Ken Arok.
“Dua.”
“Kau?” Akuwu itu berpaling kepada Witantra.
“Dua.”
“Aku menduga bahwa ada dua ekor kuda yang datang.”
Ken Arok dan Witantra saling berpandangan sejenak. Ternyata perhitungan mereka sama seperti hitungan Akuwu Tunggul Ametung.
Derap kaki-kaki kuda di Padang Karautan
yang sepi itu semakin lama menjadi semakin jelas. Angin padang yang
basah seolah-olah telah mengantarkan berita kedatangan
penunggang-penunggang kuda itu jauh mendahului kuda-kuda itu sendiri.
“Apakah ada utusan dari istana?” desis Ken Arok.
“He.” Akuwu mengerutkan keningnya, “bukankah kau masih prajurit Tumapel?”
Ken Arok menjadi heran, sehingga karena itu ia tidak segera menjawab.
“Seorang prajurit Tumapel tidak akan bertanya demikian.”
Ken Arok menjadi semakin tidak mengerti.
“Arah itukah arah Tumapel?” bertanya
Akuwu. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari
kekeliruannya, dan barulah ia tahu maksud pertanyaan Akuwu Tunggul
Ametung itu.
“Arah itu sama sekali bukan arah ke Tumapel.”
“Hamba, Tuanku. Hamba keliru. Hambat ternyata telah berkata tanpa memikirkannya lebih dahulu.”
Akuwu tidak menyahut. Perhatiannya kini tertumpah kepada dua ekor kuda itu, yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Aku mengharap Kebo Sindet yang datang kepadaku tanpa aku cari.” desis Akuwu Tunggul Ametung.
“Mudah-mudahan.” hampir bersamaan Ken Arok dan Witantra menyahut.
Tiba-tiba Akuwu itu berpaling, lalu
bertanya, “Kenapa mudah-mudahan? Apakah kau hanya sekedar ingin melihat
aku berkelahi seperti melihat ayam sabungan?”
Witantra dan Ken Arok mengerutkan
keningnya. Tetapi mereka sudah tahu benar tabiat Akuwu itu. Meskipun ia
sendiri yang mengucapkannya, tetapi apabila orang lain mengatakannya
pula, ia menjadi tidak bersenang hati.
Karena itu maka Witantra segera menyahut,
“Bukan begitu, Tuanku, maksud hamba, bukankah dengan demikian
pekerjaan, Tuanku akan lekas selesai. Tuanku dapat menangkap Kebo Sindet
dan memaksanya berkata dimana disembunyikannya Mahisa Agni.”
“Bagaimanakah kalau aku yang ditangkapnya atau dibunuhnya?”
“Apakah hamba berdua dan semua prajurit yang ada di padang ini akan tetap berdiam diri?”
“Tidak. Tidak.” tiba-tiba Akuwu itu
berteriak, “kau sangka aku tidak mampu melawannya sendiri? Kau sangka
bahwa orang-orang macam kalian ini dapat menyelamatkan aku? Aku sendiri
mampu berbuat apa saja.”
Witantra menundukkan kepalanya. Bukan karena ngeri, tetapi ia menyembunyikan bibirnya yang tersenyum. Katanya, “Hamba, Tuanku.”
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menggeram, “Kalian tidak usah membangunkan mereka yang sedang tidur.”
“Hamba, Tuanku.”
“Aku akan melihat, siapakah yang datang itu.”
“Kemana, Tuanku akan pergi?”
Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa ia melangkah menyongsong ke arah derap kaki-kaki
kuda yang menjadi semakin dekat.
“Tuanku.” Witantra mamanggil.
Tetapi Akuwu tidak menghiraukannya. Ia berjalan saja menerobos gelap malam tanpa berpaling sama sekali.
Witantra tidak dapat membiarkannya pergi
tanpa seorang pengawalpun. Dan ia tidak mendapat kesempatan untuk
memanggil orang lain, sehingga karena itu, maka ia pun melangkah pula
mengikuti sambil berkata, “Tuanku sebaiknya tidak usah menyongsongnya.
Ia akan datang kemari dan Tuanku akan melihat siapakah orang itu.”
Tetapi Akuwu seolah-olah sama sekali
tidak mendengar. Ia melangkah terus, diikuti oleh Witantra yang membawa
pedang di lambungnya.
Namun hati Witantra itu menjadi agak
tenteram ketika dilihatnya, dibawah kain panjang Akuwu Tunggul Ametung
yang diselimutkan di badannya, tergantung sebuah penggada yang berwarna
kekuning-kuningan, yang seolah-olah bercahaya di dalam gelapnya malam.
“Akuwu telah membawa pusakanya. Ia akan
menjadi seorang yang luar biasa dengan senjata itu di tangannya.” desis
Witantra di dalam hatinya.
Ternyata Ken Arok pun kemudian tidak
dapat membiarkan kedua orang itu pergi menyongsong derap kaki-kaki kuda
itu. Karena itu, maka ia pun segera menyusul di belakangnya.
Berloncat-loncatan sehingga akhirnya ia telah berjalan di samping
Witantra.
Dengan dada tengadah Akuwu melangkah
terus. Semakin lama bahkan semakin cepat. Seakan-akan ia menjadi tidak
sabar lagi menunggu kuda-kuda itu mendekatinya.
Derap kuda itu pun semakin lama menjadi
semakin jelas. Dua ekor kuda. Suaranya menggeletar menggetarkan udara
padang yang sepi. Hanyut bersama silirnya angin yang basah.
Akuwu Tunggul Ametung itu akhirnya
berhenti. Ia berdiri tegak bertolak pinggang. Ia kini sudah mendapat
keyakinan arah derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu ia tidak perlu maju
lagi. Sebentar lagi kuda-kuda itu akan lewat tepat di mukanya. Dan
seandainya yang menunggang kuda itu Kebo Sindet, maka ia harus
menghentikannya dan menangkapnya.
“Aku tidak boleh mempergunakan pusaka
ini.” desisnya. Witantra yang tidak begitu jelas mendengar desis itu
melangkah maju dan bertanya, “Apakah yang Tuanku katakan?” Akuwu
berpaling. Jawabnya, “Aku tidak berbicara kepadamu?”
“Apakah Tuanku maksudkan, Tuanku berbicara berbicara dengan Ken Arok.”
“Juga tidak. Aku berbicara kepada diriku
sendiri. Aku tidak boleh mempergunakan senjataku, supaya Kebo Sindet
tidak menjadi hancur sewalang-walang.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia berpaling kepada Ken Arok maka Ken Arok pun sedang mengerutkan
keningnya. Tetapi mereka percaya sepenuhnya akan kata-kata Akuwu itu.
Memang pusaka Akuwu itu benar-benar luar biasa. Sentuhan pada sesuatu,
akibatnya sangat dahsyat. Hancur berkeping-keping.
“Aku harus menangkapnya utuh.” berkata Akuwu itu.
Sekali lagi Ken Arok rnengerutkan keningnya dan Witantra menggigit bibirnya.
“Ya.” berkata Witantra di dalam hati,
“Akuwu tidak dapat menangkapnya separo atau sepertiga, apabila ia masih
ingin mendengar pengakuan Kebo Sindet.”
Kini kuda itu sudah menjadi semakin
dekat. Mata mereka yang tajam segera melihat bayangan yang samar-samar
bergerak di Padang Karautan itu. Semakin lama semakin dekat. Bayangan
itu langsung menuju kearah mereka.
Tetapi beberapa langkah agak jauh, kedua
ekor kuda itu berhenti. Seperti Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok dan
Witantra yang ragu-ragu, penunggang-penunggang kuda itu pun ragu-ragu
pula. Keduanya masih berada di atas punggung kuda masing-masing.
Akuwu Tunnggul Ametung tidak sabar lagi untuk menunggu. Tiba-tiba ia berteriak, “He, siapa di atas punggung kuda itu?”
Tidak segera terdengar jawaban.
“Turun.” teriak Akuwu, “turun dan datang kemari. Sebutkan siapakah kau berdua.”
Kedua bayangan di atas punggung kuda itu
masih belum menyahut. Sejenak keduanya saling berpandangan. Namun
kemudian mereka pun meloncat turun.
Akuwu Tunggul Ametung dan kedua orang
pengiringnya mengerutkan keningnya. Pada saat keduanya turun, maka
tampaklah di lambung mereka sarung pedang yang mencuat ke samping.
“Mereka bersenjata pedang.” desis mereka di dalam hati.
Tetapi ternyata kedua orang itu masih saja berdiri di samping kuda masing-masing.
Akuwu Tunggul Ametung tidak sabar lagi
menunggu lebih lama. Karena itu maka segera ia melangkah mendekati. Ia
sama sekali tidak menghiraukannya ketika Witantra berdesis, “Tuanku.
Tunggu.”
Akuwu berjalan terus mendekati kedua
orang itu. Witantra dan Kren Aroklah yang kemudian meloncat
disampingnya, dikiri dan dikanan tanpa berjanji.
“Siapa kau?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
Terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah hamba beradapan dengan, Tuanku Akuwu?”
“Ya.” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “akulah, Akuwu Tunggul Ametung.”
“Oh.” desis salah seorang dari kedua orang itu.
Kemudian dengan langkah yang pendek,
salah seorang dari mereka menyongsong Akuwu Tunggul Ametung itu. Dengan
hormatnya ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
Dada Akuwu menjadi berdebar-debar. Kini
jarak mereka menjadi lebih pendek. Dan Akuwu telah melihat bentuk orang
yang sedang mengangguk kepadanya itu.
“He, siapa kau?”
“Hamba, Mahisa Agni.”
“He.” Akuwu terperanjat meskipun bentuk
Mahisa Agni itu sudah membuat Akuwu berdebar. Juga Witantra dan Ken Arok
tidak kalah terkejut pula. Bahkan terasa dada mereka berdesir dan
kemudian berdebar-debar.
Sejenak mereka diam mematung. Tetapi
sejenak kemudian Akuwu Tunggul Ametung meloncat maju. Dicengkamnya
pundak Mahisa Agni dan di guncang-guncangkannya. Katanya, “He, kau masih
hidup?”
“Seperti yang, Tuanku lihat.”
“Dan kau masih dapat melepaskan dirimu dari tangan Kebo Sindet yang gila itu?”
“Hamba, Tuanku.”
“Siapa yang menolongmu he?” bertanya Akuwu itu tiba.
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak.
Gurunya berpesan kepadanya supaya ia tidak menyebut-nyebut namanya.
Gurunya tidak ingin menimbulkan kenangan lagi bagi puterinya, apalagi
dalam keadaan yang paling sulit dimasa-masa mendatang.
“Siapa he, siapa Setan, gendruwo atau dewa-dewa dari langit?”
“Tuanku.” berkata Mahisa Agni kemudian, “yang menolong hamba adalah guru Kuda Sempana. Empu Sada.”
“He?” sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Juga Witantra dan Ken Arok terperanjat pula.
“Jadi orang itu telah benar-benar menyesali perbuatannya?” bertanya Akuwu.
“Hamba, Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “He, kenapa kau tidak menunggu aku?
Kenapa kau lari lebih dahulu dari tangan Kebo Sindet sebelum aku datang
he?”
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan
itu. Sejenak ia diam mematung, dan bahkan dipandanginya Witantra dan
Ken Arok berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan dari
pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung itu. Tetapi Witantra dan Ken Arok itu
pun tidak dapat berbuat apa-apa selain saling berpandangan pula.
“Kenapa?” kembali terdengar suara Akuwu Tunggul Ametung.
Mahisa Agni masih berdiri mematung. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab.
“Kenapa kau tidak menunggu aku membebaskanmu? Kenapa Empu Sada he?”
Mahisa Agni menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia masih saja berdiri mematung.
“Kau tidak memberi kesempatan kepadaku.”
berkata Akuwu itu kemudian, “Bukan kau, tetapi Empu Sada itu tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk menunjuklan bahwa aku pun mampu
melakukannya. Tidak perlu orang lain. Ken Dedes harus yakin, bahwa aku
dapat berbuat seperti yang diingininya, membebaskan Mahisa Agni dan
memhunuh Kebo Sindet. Tetapi kesempatan itu kini sudah tertutup.”
Mahisa Agni masih berdiri saja sambil
berdiam diri. Ia masih ragu-ragu, bagaimana ia harus menanggapi pikiran
Akuwu Tunggul Ametung yang aneh itu.
“He, kenapa? Kenapa kau diam saja?” Akuwu
itu kemudian berteriak, “apakah Empu Sada menganggap aku sama sekali
tidak berdaya untuk bertindak atas Kebo Sindet itu? Itu suatu penghinaan
bagi Akuwu Tunggul Ametung?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Samar-samar ia kini dapat menangkap perasaan Akuwu yang kecewa, karena
seolah-olah ia tidak mampu melepaskannya. Akuwu ingin menunjukkan kepada
Ken Dedes bahwa ialah yang berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tengan
Kebo Sindet.
Tetapi yang kemudian menggetarkan dada
Mahisa Agni bukanlah sikap Akuwu Tunggul Ametung itu sendiri. Namun
dengan demikian ternyata kepadanya, bahwa selama ini Ken Dedes selalu
berusaha agar Akuwu membebaskannya dari tangan iblis dari Kemundungan
itu.
Dan sebelum Akuwu itu berteriak lagi,
Maiisa Agni mencoba untuk menjawab, “Ampun, Tuanku. Sebenarnyalah bahwa,
Tuanku mempunyai kemampuan lebih dari Empu Sada. Tetapi adalah suatu
kebetulan saja bahwa Empu Sada bertemu dengan Kebo Sindet, berkelahi dan
Kebo Sindet terbunuh. Kebetulan yang datang tepat pada waktunya, sebab
pada saat itu Kebo Sindet telah siap untuk membunuh hamba dengan
caranya, karena usahanya untuk mempergunakan hamba sebagai alat pemeras
dirasanya telah gagal.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Lalu terdengar suaranya menggeram, “Bagaimanakah cara yang
akan ditempuh oleh Kebo Sindet itu untuk membunuhmu? Gantung atau
pancung atau apa?”
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Kemudian
jawabnya, “Kebo Sindet belum sempat melakukannya. Tetapi yang telah
diucapkan, cara itu adalah cara yang paling mengerikan. Hamba akan
diikat di atas rawa-rawa yang menyimpan banyak sekali buaya-buaya
kerdil. Kebo Sindet ingin melihat buaya-buaya itu menggapai-gapai hamba,
sehingga pada saatnya, salah seekor dari padanya sempat merobek tubuh
hamba dan menyeret ke dalam rawa-rawa.”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung tiba-tiba
menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, “Kejam sekali. Kejam sekali.
Apakah kira-kira hal itu akan dilakukannya benar-benar?”
“Hamba, Tuanku. Demikianlah tabiat Keto Sindet itu.”
“Setan. Seharusnya akulah yang
membunuhnya. Akulah yang harus menghentikan segala kejahatannya yang
mengerikan itu.” Akuwu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri.
Tiba-tiba teringat pula olehnya cara yang dipilih oleh Kebo Sindet untuk
membunuh Jajar yang gemuk yang telah mencoba berkhianat kepadanya.
Hidup-hidup di masukkan ke dalam api yang menelan rumahnya sendiri.
Oleh kenangan itu, maka wajah Akuwu itu
menjadi semakin tegang. Dengan tajamnya dipandanginya seseorang yang
berdiri disamping kudanya, yang datang bersama-sama dengan Mahisa Agni.
Dan tiba-tiba pula Akuwu itu berteriak, “He bukankah kau Kuda Sempana?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar suara
Akuwu dalam nada yang tinggi itu. Apalagi Kuda Sempana yang telah
merasa banyak sekali menyimpan kesalahan, sehingga sejenak ia tidak
dapat mengucapkan kata-kata.
Witantra dan Ken Arok pun menjadi tegang
pula. Mereka tahu benar, peranan apakah yang selama ini telah dilakukan
oleh Kuda Sempana sehingga keadaan Mahisa Agni, Ken Dedes, dan bahkan
seluruh Panawijen menjadi sedemikian buruknya.
“Jawab pertanyaanku.” Akuwu mulai berteriak lagi, “bukankah kau bernama Kuda Sempana?”
Terasa darah Kuda Sempana menjadi semakin cepat mengalir sehingga dadanya menjadi berdentangan.
“He, apa jawabmu?”
(bersambung ke jilid 39)
No comments:
Write comments