SELANGKAH Kuda Sempana maju dengan kaki gemetar. Kemudian terdengar suaranya parau, “Hamba Tuanku, Hamba adalah Kuda Sempana.”
“O.” Akuwu menggeretakkan giginya, “kau
telah ikut dalam pengkhianatan itu. Kau telah menjadikan semuanya rusak
sama sekali. Dan sekarang kau masih berani menampakkan dirimu setelah
kau lari dari istana tanpa menjalani hukuman yang aku jatuhkan kepadamu
atas permintaan Permaisuriku.”
Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab.
Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun kemudian dentang jantungnya
menjadi reda setelah ia menemukan ketenangan di dalam dirinya. Ia telah
pasrah kepada nasib yang akan membawanya. Hidup yang sesungguhnya bagi
Kuda Sempana telah terhenti sejak ia berada di dalam tangan Kebo Sindet.
Karena itu, maka apapun yang akan terjadi atasnya kini sudah tidak lagi
menggetarkan jantungnya. Apalagi ia tahu pasti, bahwa Akuwu Tunggul
Ametung dihadapan prajurit-prajuritnya, sama sekali bukan Kebo Sindet.
Seandainya Akuwu Tunggul Ametung
memutuskan untuk menghukumnya sampai mati, maka cara yang dipakainya
pasti cara yang wajar, yang biasa dilakukan, apabila terpaksa seseorang
dihukum mati karena kesalahan-kesalahannya yang tidak mungkin diampuni
lagi. Seandainya ia termasuk orang-orang yang demikian, maka bagi Kuda
Sempana sama sekali sudah tidak menggetarkan jantungnya.
Karena Kuda Sempana sama sekali tidak
menyahut, dan bahkan hanya menundukkan kepalanya saja, maka Akuwu itu
berkata pula, “He, Kuda Sempana. Apakah kau tidak punya otak yang dapat
mencegahmu untuk datang menemuiku seperti ini, karena hal itu akan dapat
membawamu ketiang gantungan?”
Kuda Sempana masih belum menjawab.
“Apakah kau sekarang menjadi bisu, he,
setelah kau menjadi pengikut Kebo Sindet? Bukankah kau ikut serta
mencoba memeras Ken Dedes dengan mempergunakan Jajar yang gemuk itu, dan
bahkan kau ikut berkelahi dan membunuh beberapa orang yang dipergunakan
oleh Jajar yang gemuk itu untuk menjebak Kebo Sindet?”
Kuda Sempana semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akuwu ternyata tahu semua yang telah dilakukan.
“Dan kau ikut pula mengikat Jajar yang gemuk itu di rumahnya yang sedang terbakar?”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani
mengangkat wajahnya. Ditatapnya saja rerumputan yang basah oleh
sisa-sisa air hujan yang seperti dicurahkan dari langit.
“Nah, sekarang kau datang menyerahkan
dirimu. Hukuman lipat sepuluh dari yang seharusnya. Kau harus menanggung
segala macam kesalahan yang dilakukan oleh Kebo Sindet pula.” Akuwu itu
berhenti sejenak, “sayang bahwa hukuman gantung hanya dapat dilakukan
satu kali atas seseorang. Aku sebenarnya ingin menggantungmu sepuluh
kali di alun-alun, dan seandainya aku dapat menangkap Kebo Sindet maka
ia harus digantung sepuluh tahun. Tetapi sayang sekali bahwa kau hanya
dapat melakukan hukuman itu satu kali, lalu mati.”
Betapapun juga dada Kuda Sempana terasa
tersentuh oleh kata-kata Akuwu. Meskipun kedengarannya aneh, namun
ternyata Akuwu mencoba untuk mencurahkan segala macam perasaannya.
Kemarahan, kejengkelan, kekecewaan dan segala macam perasaan.
“He, apa katamu Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak menyahut. Mulutnya
serasa terbungkam dan ia memang sama sekali kehilangan nafsu untuk
menjawab, apalagi membela diri, untuk mendapat pengampunan. Terasa
menyesak di dadanya, pengakuan atas segala macam kesalahan yang telah
dilakukannya, sejak ia masih menjadi seorang Pelayan Dalam, sejak Ken
Dedes masih seorang gadis desa. Sekilas terbayang kembali usahanya yang
pertama kali untuk memaksa Ken Dedes mengikutinya ke Tumapel, melakukan
cara yang memang dapat ditempuh. Kawin lari sampai mereka mempunyai
anak, dan orang tua gadis itu terpaksa mengakunya sebagai seorang
menantu. Tetapi ternyata Ken Dedes tidak mau dan bahkan Mahisa Agni
berhasil pula menggagalkannya, untuk melarikan saja gadis itu. Cara yang
dapat ditempuhnya pula untuk mendapatkan Ken Dedes. Tetapi semuanya itu
telah gagal. Sehingga ia terpaksa mengelabui Akuwu Tunggul Ametung dan
rasanya ia telah berhasil mengambil Ken Dedes dari Panawijen. Tetapi
sekali lagi ia gagal dan bahkan ia harus menjalani hukuman yang paling
hina.
Akhirnya ia menjadi semakin jauh
tersesat. Semakin jauh. Tanpa disadarinya ia telah terdampar di
Kemundungan, di sarang iblis yang paling mengerikan. Kakak beradik Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat.
Kuda Sempana menggigit bibirnya. Adalah
wajar sekali bahwa sekarang Akuwu Tunggul Ametung menghadapkannya pada
hukuman yang paling berat yang dapat diberikan kepadanya.
Tetapi dalam pada itu, dalam kediamannya,
ia mendengar suara Mahisa Agni, “Ampun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.
Hamba ingin memohon, agar Tuanku sudi mempertimbangkannya Kuda Sempana
telah melakukan banyak sekali kesalahan, bahkan sudah mendekati
bentuk-bentuk kejahatan. Tetapi ia sudah menjalani hukumannya, jauh
lebih berat dari hukuman yang dapat Tuanku berikan. Hukuman yang lebih
berat dari hukuman mati.”
“He, kau sudah gila pula Mahisa Agni.”
potong Akuwu Tunggul Ametung, “kaulah yang seharusnya minta kepadaku
hukuman yang paling berat atasnya. Atas namamu sendiri dan atas nama
adikmu, Ken Dedes. Sekarang, agaknya kau ingin minta kepadaku untuk
memperingan hukuman atas Kuda Sempana. Benar begitu?”
“Hamba Tuanku. Sebenarnya hamba memang telah melihat, betapa ia menjalani hukumannya di Kemundungan.”
“Kau sudah benar-benar gila agaknya.
Bukankah di Kemundungan Kuda Sempana telah menjadi salah seorang
pengikut Kebo Sindet yang paling setia?”
“Ampun Tuanku, Itulah yang akan hamba
katakan. Di Kemundungan Kuda Sempana telah menjalani hukuman mati
meskipun ia masih hidup. Ia telah melepaskan diri dari kepentingan
kemanusiaannya. Tidak atas kehendak sendiri, dengan ikhlas melepaskan
kepentingan-kepentingan diri dan kehendak diri sendiri, tetapi ia telah
dipaksa oleh keadaan di sekitarnya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya Katanya, “Apakah kau sedang mengigau?”
“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah demikian.”
“Coba katakan, apakah yang sudah terjadi
atasnya di Kemundungan. Apakah Kuda Sempana tidak menjadi kepala dari
pengikut-pengikut Kebo Sindet.”
“Kebo Sindet adalah seorang yang melakukan segala macam kejahatannya seorang diri sepeninggal adiknya Wong Sarimpat.”
“Kemudian kedudukan Wong Sarimpat telah diganti oleh Kuda Sempana.”
“Tidak Tuanku. Kuda Sempana tidak lebih
baik kedudukannya dari kuda tunggangan Kebo Sindet yang sekarang hamba
pakai. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Hidupnya memang telah
terhenti perlahan-lahan sehingga sampai suatu saat, ia menjadi beku
seperti segumpal batu yang mati, yang dapat diperlakukan apa saja.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Tampaklah keragu-raguan memancar di wajahnya. Sekali
dipandanginya wajah Kuda Sempana tajam-tajam, lalu pandangan matanya
berpindah ke wajah Mahisa Agni. Bahkan kemudian dipalingkannya mukanya
kepada Witantra dan Ken Arok seakan-akan minta pertimbangan dari
padanya. Tetapi Witantra dan Ken Arok tidak menunjukkan kesan apapun di
wajahnya, selain keragu-raguan pula.
Tetapi yang berkata demikian adalah
Mahisa Agni. Orang yang seharusnya paling mendendam kepada Kuda Sempana,
sehingga mau tidak mau Akuwu harus mempertimbangkannya.
“Agni.” berkata Akuwu, “apakah sikapmu
itu dipengaruhi oleh jasa yang telah diberikan kepadamu dari Empu Sada
yang kebetulan adalah guru Kuda Sempana?”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Kemudian
jawabnya, “Sebagian memang benar Tuanku. Empu Sada telah menolong hamba
melepaskan diri dari tangan iblis Kemundungan itu. Empu Sada pun minta
pula kepada hamba, menyampaikan permohonan maafnya untuk muridnya yang
sesat. Tetapi pengalaman Kuda Sempana telah mengajar kepadanya, bahwa
apa yang telah dilakukannya itu ternyata suatu kesalahan yang sangat
besar. Mudah-mudahan ia telah benar-benar menjadi seorang yang baik,
yang menyesali semua perbuatannya lahir dan batin dan tidak akan
mengulanginya lagi.”
Sorot mata Akuwu Tunggul Ametung
tiba-tiba menyambar wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Selangkah ia maju
sambil berkata keras-keras. “Kenapa bukan Empu Sada itu sendiri yang
menghadap aku dan mohon maaf untuknya sendiri dan untuk muridnya he?
Kenapa permohonan ampun atas kesalahan yang sedemikian besarnya, yang
telah menggoncangkan Tumapel, yang telah menelan beberapa korban jiwa
dan membuat Permaisuriku selalu dihantui oleh kecemasan, hanya
dipesankan kepadamu?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
pertanyaan itu. Sesaat ia tidak dapat menjawab. Ketika dipandanginya
Kuda Sempana dengan sudut matanya, maka dilihatnya anak muda itu semakin
menunduk.
“He, kenapa? Bukankah itu telah merendahkan Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dicobanya untuk mcnjawab, “Ampun Tuanku. Empu Sadapun telah
merasa babwa seharusnya ia sendiri menghadap Tuanku untuk mohon ampun
atas segala kesalahannya dan kesalahan muridnya. Tetapi Empu Sada merasa
ketakutan untuk melakukannya. Ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
berani berhadapan dengan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung justru setelah ia
berhasil menolong hamba dan melepaskan muridnya dari tangan Kebo Sindet.
Bukan saja karena ia silau memandang kebesaran Akuwu Tunggul Ametung
tetapi ia telah memutuskan untuk tidak lagi berada di lingkungan
kehidupan yang wajar. Ia telah membuang dirinya, menyepi, menjauhkan
diri dari segala masalah duniawi. Justru setelah ia merasa bahwa ia
telah berbuat terlampau banyak kesalahan.”
Akuwu terdiam sejenak mendengar
keterangan Mahisa Agni itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Alasan itu baik
juga dikemukakan. Mudah-mudahan aku dapat mempercayainya meskipun
hampir tidak masuk akal. Kalau benar Empu Sada berbuat demikian, bukan
sekedar ceritera yang dengan tergesa-gesa disusun oleh Mahisa Agni, maka
Empu Sada adalah seorang yang terlampau bodoh.” Akuwu berhenti sejenak,
lalu kepada Kuda Sempana ia bertanya, “He, Kuda Sempana, apakah
keuntungan yang didapat oleh gurumu dengan menjauhi pergaulan hidup yang
wajar? Kalau benar ia merasa telah terlalu banyak membuat kesalahan,
kenapa ia kemudian menjauhkan dirinya? Apakah dengan demikian ia merasa,
bahwa kesalahan-kesalahannya itu akan terhapus dengan sendirinya tanpa
berbuat sesuatu bagi sesama yang telah dinodai oleh
kesalahan-kesalahannya? He, Kuda Sempana. Seorang yang mengasingkan diri
itu tidak lebih dari seorang yang hilang, lalu tanpa mempunyai arti
lagi selain dikenang. Padahal kenangan yang ditinggalkannya adalah
kenangan yang hitam, selain sepercik jasanya telah melepaskan Mahisa
Agni.”
Sekali lagi Akuwu berhenti, lalu, “bagiku
Kuda Sempana, Empu Sada adalah orang yang menyimpan ilmu di dalam
dirinya. Ia dapat berbuat banyak dengan ilmunya untuk kepentingan
kemanusiaan. Itu aku memberinya lebih banyak arti dari pada menyingkir.
Coba apakah yang dapat diberikan sebagai penebus segala macam
kesalahannya apabila ia terpisah dari pergaulan? Menyepi, bertapa dan
kemudian duduk tepekur mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung? Tetapi
bagiku, bakti kepada Yang Maha Agung dengan mewujudkannya dalam tingkah
laku, perbuatan dan pikiran yang bermanfaat bagi pergaulan, adalah lebih
tinggi nilainya dari pada yang dilakukannya sekarang. Baik bagi manusia
dan sudah tentu bagi Yang Maha Agung. Apalagi kalau ia berhasil
mendorong orang lain mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Agung. Dan itu
hanya dapat dilakukan apabila ia berada diantara orang-orang yang akan
didorongnya itu. Barulah Empu Sada dapat dikatakan menyesali
kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya.”
Kuda Sempana sama sekali tidak berani
mengangkat wajahnya. Bahkan Mahisa Agnipun kemudian menunduk pula.
Wisaitra dan Ken Arok tanpa disadarinya sendiri mengangguk-angguk kecil.
Mereka tidak pernah mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata sedemikian
ber-sungguh-sungguh seperti saat itu.
Sejenak Padang Karautan itu menjadi
terlampau sepi. Yang masih terdengar adalah derik suara bilalang dan
cengkerik. Namun tanpa mereka sadari, ternyata cahaya di Timur menjadi
semakin terang. Orang-orang yang berdiri di padang itupun menjadi
semakin jelas tampak garis-garis wajahnya.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Kini ia melihat betapa Kuda Sempana dan Mahisa Agni menjadi
kurus dan cekung. Wajah-wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang berat
selama mereka berada di tangan iblis Kemundungan. Sama sekali tidak
nampak kegarangan dan kebuasan di wajah Kuda Sempana. Bahkan wajah itu
seolah-olah menjadi beku dan dingin. Tidak ada lagi pancaran yang
menyorotkan gairah hidup dari dalam dirinya. Sepi dan beku.
Melihat keaadaan itu, maka kemarahan
Akuwu Tunggul Ametung menjadi mereda. Ia mempercayai keterangan Mahisa
Agni tentang Kuda Sempana. Keadaannya di dalam sarang iblis Kemundungan
itu tidak jauh berbeda, bahkan tidak lebih baik dari kuda tunggangan
Kebo Sindet.
Dengan demikian, maka nafsunya untuk
menjatuhkan hukuman kepada Kuda Sempana itupun lambat laun seakan-akan
dihanyutkan oleh silirnya angin pagi. Semakin terang, maka semakin jelas
nampak oleh kedua anak-anak muda itu telah mengalami suatu masa yang
terlampau berat bagi mereka. Pakaiannya yang kusut kumal, basah oleh air
hujan, dan wajah-wajah mereka yang suram.
Akuwu Tunggul Ametung menarik napas.
Kemudian ia berkata, “Aku akan mempertimbangkan serupa keterangan Mahisa
Agni. Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasan atasmu Kuda Sempana.”
Terasa seolah-olah setetes embun menitik
pada hati Kuda Sempana yang gersang. Perlahan-lahan ia membungkuk sambil
berkata, “Hamba hanya dapat mcngucapkan beribu terima kasih Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Dipandanginya kemudian wajah Witantra dan Ken Arok
berganti-ganti. Katanya, “Witantra, apakah kau sependapat, bahwa untuk
sementara Kuda Sempana kita beri kesempatan untuk tetap hidup?”
Witantra mengangguk. Jawabnya, “Hamba Tuanku.”
Kemudian kepada Ken Arok ia bertanya, “Apa katamu Ken Arok?”
“Hambapun sependapat Tuanku.”
“Baik. Aku serahkan orang ini kepadamu,
meskipun aku belum mengembalikan ia pada kedudukannya semula. Seandainya
ia dapat diterima kembali untuk menjadi seorang Pelayan Dalam di
istana, maka ia harus mulai lagi dari tingkat yang paling bawah. Orang
ini akan berada di dalam lingkunganmu.”
Ken Arok mengerutkan dahinya. Tetapi ia
tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, “Hamba Tuanku. Hamba akan
mencoba berbuat sebaik-baiknya.”
“Nah, terserahlah kepadamu. Bawalah orang
ini. Aku tidak akan membawanya ke Tumapel.” Akuwu itu berhenti sejenak,
lalu, “Hanya Mahisa Agnilah yang ikut aku keistana.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir.
Diberanikannya dirinya berkata, “Ampun Tuanku. Hamba ingin melihat
bendungan yang sudah lama sekali hamba tinggalkan. Hamba belum tahu
apakah bendungan itu sudah jadi atau belum. Seandainya masih ada yang
harus dikerjakan maka biarlah hamba tinggal di padang ini untuk ikut
serta mengerjakannya.”
Akuwu tidak segera menjawab. Tetapi
tampak wajahnya nenjadi tegang. Dipandanginya wajah Mahisa Agni
tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian ia berkata, “Kenapa kau tidak mau
ikut? Adikmu hampir mati menunggu kau datang kepadanya. Sekarang kau
menolak untuk ikut pergi ke Tumapel.”
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.
Ternyata Ken Dedes benar-benar menjadi prihatin karena kehilangan orang
yang dianggapnya sebagai kakaknya. Perasaan prihatin seorang adik.
Mahisa Agni menarik napas dalam-dalam.
Namun kemudian dadanya telah digetarkan oleh ingatannya tentang
bendungan Karautan. Ia menyangka bahwa bendungan itu masih belum selesai
sama sekali. Ternyata Ken Arok sampai saat ini masih berada di padang
itu.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka terdengar suara Akuwu, “Bagaimana pertimbanganmu?”
Mahisa Agni masih belum dapat segera
menjawab. Di pandanginya Witantra yang berdiri dekat di samping Akuwu
Tunggul Ametung. Dan Witantra itu sendiri berkata di dalam hatinya,
“Kenapa Akuwu tidak membawanya ke perkemahan lebih dahulu, kemudian
berbicara dengan baik sambil duduk di antara orang-orang Panawijen yang
pasti akan bergembira menerima kedatangannya?” Tetapi Witantra tidak
mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan Akuwu yang sering
meledak-ledak itu.
Tetapi ternyata Ken Arok lah yang
mendapat jalan untuk mengatakan. Agaknya Ken Arok pun berpikir seperti
itu pula. Maka katanya, “Ampun Tuanku. Sebentar lagi hamba harus sudah
mulai dengan pekerjaan hamba bersama dengan orang-orang Panawijen dan
para prajurit, karena matahari akan segera naik. Perkenankanlah hamba
untuk kembali kepada kawan-kawan itu.” Ken Arok berhenti sejenak.
Kemudian, “Dan apakah tidak sebaiknya Mahisa Agni Tuanku perkenankan
hari ini melihat bendungannya yang sudah hampir siap, supaya ia dapat
menikmatinya pula, untuk sekedar melupakan keprihatinan yang dialaminya?
Apabila kemudian Mahisa Agni harus ikut ke Tumapel, terserahlah kepada
Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung menengadahkan
wajahnya. Langit sudah menjadi cerah oleh sinar pagi yang memancari
wajah Padang Karautan yang seolah-olah luas tidak bertepi.
Perlahan-lahan Akuwu itu
mengangguk-anggukkan kepalanya Katanya, “Marilah kita kembali. Aku tidak
dapat berbicara sambil berdiri saja di sini. Aku harus berbicara dengan
Mahisa Agni dalam keadaan yang lebih baik, tidak di sini sambil
mematung.”
Witantra menggigit bibirnya. Hampir saja
ia tertawa. Bukankah Akuwu sendiri yang berbuat demikian sehingga ia
harus berbicara sambil berdiri tegak seperti patung?
Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian
berjalan kembali ke gubugnya, Terlampau tergesa-gesa seperti sedang
ditunggu oleh suatu keadaan yang terlampau penting untuk segera
ditanggapi.
Ternyata orang-orang Panawijen dan para
prajurit di perkemahan mereka telah bangun dan telah mulai mempersiapkan
diri. Mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa Akuwu Tunggul Ametung,
Witantra dan Ken Arok pergi menyongsong dua orang berkuda yang ternyata
adalah Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Para pengawal Akuwu memang menjadi
gelisah ketika dilihatnya, Akuwu tidak ada ditempatnya. Tetapi karena
Witantra juga tidak ada, maka mereka menyangka, bahwa Akuwu sedang
berjalan-jalan melihat-lihat diantar oleh Witantra. Tetapi bahwa mereka
tidak melihat Akuwu pergi, telah membuat mereka menjadi berdebar-debar.
Tetapi di sudut lain orang bertanya-tanya tentang Ken Arok. Kemanakah orang itu pergi?
Beberapa orang menaruh perhatian, tetapi
yang lain seolah-olah acuh tidak acuh saja. Adalah kebiasaan Ken Arok
untuk pergi kemana saja tanpa diketahui oleh orang lain, sehingga
kadang-kadang memang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Tetapi ia
akan segera kembali dan melakukan pekerjaannya, memimpin pembuatan
bendungan yang masih belum siap itu.
Tetapi ternyata kali ini, bukan saja Ken Arok yang tidak ada di tempatnya, juga Akuwu Tunggul Ametung dan Witantra.
“Ah, mereka pergi berjalan-jalan. Mungkin
mereka pergi ke taman yang sebagian telah dirusakkan oleh banjir itu.”
berkata Kebo Ijo di dalam hatinya, kemudian, “persetan dengan ketiga
orang itu. Seandainya mereka matipun aku tidak akan kehilangan apa-apa.”
Kebo Ijo seolah-olah sama sekali tidak
berkepentingan sama sekali atas kepergian ketiga orang yang tanpa
diketahui oleh seorang pun itu. Namun, kemudian ia datang kepada para
prajurit pengawal dan hertanya, “Kemana Akuwu Tunggul Ametung?”
“Kami tidak tahu.” sahut salah seorang prajurit.
“Apakah tidak ada seorang pun yang bertugas berjaga-jaga di muka gubugnya?”
“Ada.”
“Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang
tahu kemana ia pergi. Lalu apakah kerja para pengawal? Seandainya aku
tidak bertugas di bendungan ini, dan seandainya aku mendapat tugas untuk
mengawalnya, maka aku pasti tahu kemana ia pergi.”
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi
seorang perwira datang kepada Kebo Ijo dan berkata, “Aku sudah
mengusutnya. Kenapa tidak seorang pun yang melihat Akuwu pergi.”
“Lalu?”
“Aku akan bertanggung jawab kepada Ki Witantra yang agaknya pergi bersama Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi kenapa para penjaga tidak melihat mereka keluar dari gubug masing-masing?”
“Para prajurit agaknya merasa terlampau
letih. Mereka tidak tertahankan lagi dan jatuh tertidur di tempatnya,
seperti seseorang yang kena sirep.”
“Dan kau juga tertidur?”
“Ya, aku juga tertidur. Dan kau pun tidur juga.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak menyahut lagi. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya
meninggalkan gubug Akuwu yang kosong, namun yang kini justru ditunggui
oleh dua orang penjaga.
Ketika dilayangkannya pandangan matanya
jauh ke Padang Karautan maka yang dilihatnya adalah gerumbul-gerumbul
perdu yang berserakan disana-sini. Gerumbul yang kadang-kadang rimbun
meskipun daunnya masih belum terlampau segar, tetapi kadang-kadang ada
yang kering kerontang, seperti baru saja habis terbakar.
Tiba-tiba Kebo Ijo itu mengerutkan
keningnya. Ia melihat beberapa orang berjalan kaki sambil menuntun kuda.
Dua ekor kuda di antara lima orang yang berjalan kaki.
“Siapakah mereka itu?” desisnya di dalam hati.
Sejenak Kebo Ijo berdiri termangu-mangu.
Kemudian dilambaikannya tangannya memanggil seseorang yang berdiri tidak
jauh dari padanya. Katanya, “He, panggil Ki Buyut kemari.”
Orang itu segera menyampaikannya kepada Ki Buyut Panawijen yang kemudian dengan tergesa-gesa datang kepadanya.
“Siapakah mereka Ki Buyut?” bertanya Kebo Ijo.
“Ah, mataku sudah tidak cukup jelas untuk melihat sedemikian jauh. Barangkali angger segera dapat mengenal mereka.”
“Yang berjalan paling depan, pasti Akuwu
Tunggul Ametung, yang lain meskipun tidak bcgitu jelas tetapi pasti
Kakang Witantra dan Ken Arok. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah
kedua orang lain yang menuntun kuda itu?”
Ki Buyut yang tua itu mencoba mengerutkan
keningnya dan mempertajam pandangan matanya. Tetapi meskipun hari telah
menjadi terang, namun ia tidak segera dapat melihat orang-orang yang
masih seperti bintik-bintik yang merayap semakin dekat di antara
gerumbul-gerumbul yang tumbuh bertebaran di sana-sini.
Namun semakin lama bintik-bintik itu
menjadi semakin besar. Semakin lama menjadi semakin jelas. Dan Kebo Ijo
menjadi semakin yakin bahwa yang berdiri dipaling depan adalah Akuwu
Tunggul Ametung. Ia tidak dapat dikelabui lagi oleh langkahnya yang
seakan-akan selalu, gelisah. Yang lain benar-benar Witantra dan Ken
Arok, yang dicari oleh sementara orang diperkemahan itu. Dan yang dua
kemudian?
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar.
Semakin lama wajah-wajah mereka pun menjadi semakin jelas Demikian pula
kedua orang yang sedang menuntun kuda itu pun menjadi semakin jelas
pula.
“Kuda Sempana.” desisnya.
“Siapa?” bertanya Ki Buyut dengan serta merta.
“Kuda Sempana.” jawab Kebo Ijo.
“Kuda Sempana?” Ki Buyut mengulangi, “apakah Akuwu Tunggul Ametung sudah berhasil menangkapnya?”
“Entahlah.” sahut Kebo Ijo.
“Lalu siapakah yang seorang lagi?”
Dada Kebo Ijo menjadi semakin berdebar-debar. Semakin jelas olehnya bahwa yang seorang itu adalah Mahisa Agni. Ya, Mahisa Agni.
Begitu keras debar jantung di dalam
dadanya, sehingga tangannya pun kemudian menjadi gemetar. Hampir tidak
dapat dipercayainya, bahwa yang datang itu adalah Kuda Sempana dan
Mahisa Agni.
“Siapakah yang seorang itu ngger?” bertanya Ki Buyut itu pula.
Perlahan-lahan, dalam dada yang berat Kebo Ijo menjawab, “Mahisa Agni, Ki Buyut.”
“He.” Ki Buyut Panawijen hampir terlonjak
mendengar jawaban itu, sehingga sejenak ia diam dalam kebingungan dan
kebimbangan. Namun semakin jelas pula baginya, bahwa orang-orang yang
datang itu memang seperti orang-orang yang disebut-sebut oleh Kebo Ijo.
“Jadi benar yang satu lagi itu Angger Mahisa Agni?” desis Ki Buyut Panawijen dengan suara yang gemetar pula.
Kebo Ijo tidak segera menyahut.
Dipandanginya orang-orang yang sedang berjalan mendekat itu dengan
saksama. Tidak salah lagi, mereka adalah Akuwu Tunggul Ametung,
Witantra, Ken Arok, Kuda Sempana dan yang seorang itu adalah Mahisa
Agni.
Wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Dan terdengarlah orang itu bardesis, “Anak itu masih tetap hidup.”
Ki Buyat barpaling kepadanya. Wajahnya
diwarnai oleh perasaan yang aneh. Kedatangan Mahisa Agni yang tidak
disangka-sangkanya itu telah menggoncangkan dadanya. Tetapi ia tidak
mengerti, kenapa wajah Kebo Ijo tiba-tiba menjadi tegang. Maka dengan
serta merta Ki Buyut itu bertanya, “Aku tidak mengerti ngger, bukankah
kita memang mengharap angger Mahisa Agni tetap hidup?”
“Oh.” Kebo Ijo tergagap, “Ya, ya. Kita
memang mengharap ia tetap hidup tetap sehat dan tetap seorang yang
sombong dan berkepala besar.”
“Aku tidak mengerti ngger.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tatapan matanya
masih melekat kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Dan ia
mendengar Ki Buyut berkata, “Aku mengharap sekali anak itu pulang. Aku
takut kehilangan untuk kedua kalinya. Anakku telah mati terbunuh.
Dibunuh oleh Kuda Sempana. Kemudian aku menganggap angger Mahisa Agni
sebagai anakku sendiri. Kalau terjadi sesuatu, maka aku akan ke hilangan
dia. Aku akan kehilangan untuk yang kedua kalinya.”
“ Ya, ya. Ki Buyut ternyata tidak
kehilangan dia. Bahkan anak itu datang sambil membawa Kuda Sempana.
Mungkin ia berhasil melepaskan diri dari tangan Kebo sindet sambil
menangkap Kuda Sempana sekaligus.”
Ki Buyut merasakan nada kata-kata Kebo
Ijo bukan seperti yang diharapkannya Tetapi ia kemudian tidak menyahut
lagi. Kini ia memandangi orang-orang yang datang yang semakin lama
menjadi semakin dekat, semakin dekat.
Ki Buyut ternyata tidak dapat menahan
kegembiraan hatinya karena kehadiran Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak
menghiraukan lagi kehadiran Kuda Sempana, yang telah membunuh anaknya.
Tetapi kegembiraan hatinya yang meluap itu telah merampas segenap
perhatiannya, sehingga tiba-tiba ia meloncat berlari-larian menyongsong
Mahisa Agni.
Kedatangan Mahisa Agni ternyata telah
menggemparkan perkemahan itu. Sejenak kemudian setiap mulut telah
menyebut namanya. Dengan serta merta orang-orang Panawijen segera
berlari-larian menyongsongnya, menyusul Ki Buyut yarg sudah medahului
mereka.
Akuwu Tunggul Ametung yang berjalan di
depan sekali mengerutkan keningnya melihat orang berlari-lari
menyongsongnya. Tetapi segera disadarinya, bahwa bukan dirinyalah yang
telah menarik perhatian segenap perghuni perkemahan, terutama
orang-orang Panawijen, tetapi Mahisa Agni. Karena itu maka Akuwu itu pun
kemudian menjadi acuh tidak acuh. Bahkan perlahan-lahan ia bergumam,
“Anak setan itu telah berhasil menolong dirinya sendiri tanpa
pertolonganku. Persetan dengan orang-orang Panawijen yang menjadi gila
karena kehadirannya. Aku tidak peduli lagi.”
Akuwu yang bersungut-sungut itu berjalan
semakin cepat. Witantra dan Ken Arok terloncat-loncat di belakangnya.
Sedang beberapa langkah lagi berjalan Mahisa Agni dan Kuda Sempana.
Tetapi langkah mereka segera terhenti karena Ki Buyut tiba-tiba saja
telah mendekap Mahisa Agni yang menjadi sedemikian kurus di dalam
pandangan mata orang tua itu.
“Ternyata kau selamat ngger.” berkata orang tua itu terputus-putus.
Terasa tenggorokan Mahisa Agni pun
menjadi kering. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya Ki Buyut. Aku selamat
atas perlindungan Yang Maha Agung.”
“Syukurlah. Aku selalu berdoa untukmu ngger. Orang-orang Panawijen pun berdoa pula untukmu.”
“Terima kasih Ki Buyut.” Tetapi Mahisa
Agni tidak dapat berbicara lebih banyak. Kerongkongannya serasa
tersumbat dan dadanya serasa menjadi sesak. Apalagi ketika sejenak
kemudian ia sudah dikerumuni oleh orang-orang Panawijen yang
memandanginya dengan sorot mata yang berapi-api.
Lamat-lamat Mahisa Agni mendengar suara
bergeramang diantara mereka, “Mahisa Agni telah kembali, Mahisa Agni
telah kembali.” lalu disusul oleh yang lain, “Ia berhasil lolos dari
tangan Kebo Sindet.” tetapi yang lain berkata, “ia menjadi terlampau
kurus dan hitam. Wajahnya kering dibakar oleh terik matahari dan
punggungnya seolah-olah menjadi matang dipanggang api.”
“He.” yang lain hampir berteriak, “lihat,
luka di tubuhnya. Jalur-jalur senjata telah merobek kulitnya. Belum
terlampau kering. Darah masih tampak pada pakaiannya yang kotor dan
kumal, meskipun sudah kering.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Mereka melihat jalur luka di beberapa tempat pada tubuh Mahisa
Agni. Luka yang masih baru meskipun sudah tidak mengalirkan darah lagi.
Tetapi belum ada seorang pun yang
bertanya tentang luka itu. Hampir setiap mulut mengucapkan selamat atas
kedatangannya, dan beberapa orang lagi sudah mulai bertanya-tanya
bagaimana ia dapat melepaskan diri dari tangan Kebo Sindet.
“Apakah semalam Akuwu Tunggul Ametung membebaskanmu, Agni?” bertanya salah seorang dari orang-orang Panawijen.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ketika
ia mengangkat wajahnya dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin
jauh diikuti oleh Witantra. Tetapi ia melihat Ken Arok berdiri
termangu-mangu agak jauh dari padanya. Dan sejenak kemudian setelah
berpaling beberapa kali, Ken Arok itu melangkah kembali kepada Mahisa
Agni.
Beberapa orang menyibak ketika Ken Arok
melangkah mendekati Mahisa Agni. Meskipun mereka telah berjumpa
sebelumnya tetapi Ken Arok belum sempat mengucapkan selamat kepadanya.
Karena itu maka berkata Ken Arok setelah ia berdiri di muka Mahisa Agni,
“Aku mengucapkan selamat Agni.”
Ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam. Ia
tahu benar bahwa Ken Arok telah mencoba berusaha untuk
menyelamatkannya. Ken Arok telah mencegahnya, pada saat ia terpancing
pergi ke Panawijen dan kemudian bersedia memberikan beberapa orang
prajurit pilihan untuk mengawaninya. Tetapi ia menolak, dan dengan
demikian Ken Arok sendirilah yang pergi menemaninya bersama Empu
Gandring.
Karena itu tanpa sesadarnya Mahisa Agni berdesis, “Terima kasih Ken Arok.”
Ken Arek mengerutkan keningnya. Katanya sambil tersenyum, “Kenapa kau berterima kasih kepadaku?”
Mahisa Agnipun tersenyum pula. “Kau telah
berusaha sebaik-baiknya. Sebelum aku ditangkap oleh kakak beradik iblis
Kemundungan itu kau sudah memperingatkan aku. Tetapi aku tidak
mendengarkan nasehatmu. Agaknya masih lebih menyenangkan apabila aku
ditangkap oleh hantu Padang Karautan ini dari pada iblis dari
Kemundungan.”
Ken Arok tertawa pendek, sambil menyahut, “Hantu Karautan adalah hantu yang paling baik hati.”
Mahisa Agni pun tertawa pula. Sedang
orang-orang yang mengerumuni mereka sama sekali tidak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Mereka dahulu memang pernah mendengar nama
Hantu Karautan, tetapi mereka belum pernah melihatnya. Bahkan
akhir-akhir ini hantu itu sudah tidak pernah terdengar lagi. Hanya
beberapa anak-anak muda pernah dibingungkan oleh orang-orang yang
menyebut dirinya hantu Karautan, tetapi ternyata mereka adalah
orang-orang yang sudah mereka kenal, menyamar diri dan berbuat
aneh-aneh.
Tetapi alis Ken Arok terangkat sedikit
ketika tanpa disengaja ia memandangi wajah Kuda Sempana yang pucat.
Bahkan kemudian ia berkata kepadanya, “Selamat datang Kuda Sempana.”
Kuda Sempana tergagap mendengar sapa yang
tidak disangka-sangkanya itu. Justru dengan demikian ia terdiam
sejenak. Dipandanginya wajah Ken Arok yang seolah-olah memancarkan
perasaan yang aneh terhadapnya. Apalagi ketika disadarinya bahwa semua
mata kemudian berpindah kepadanya. Memandanginya dengan penuh pertanyaan
di dalam setiap hati.
Terasa keringat dingin mengalir di
segenap tubuh Kuda Sempana itu. Ia melihat dendam yang menyala di dalam
setiap dada, Orang-orang Panawijen itu seolah-olah telah berubah menjadi
orang-orang yang liar dan siap untuk menerkamnya dan menyobek tubuhnya
menjadi sewalang-walang.
Tubuh Kuda Sempana terasa menjadi
gemetar. Ia lebih senang dihukum gantung sekalipun di alun-alun Tumapel
dari pada jatuh ketangan orang-orang yang kehilangan akal ini.
Tiba-tiba terdengar suaranya parau bergetar, “Jangan, jangan.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu. Ken Arok pun terkejut pula dan orang-orang Panawijen juga menjadi heran.
“Kenapa kau Kuda Sempana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
Tetapi di dalam kepalanya masih terbayang orang-orang Panawijen itu
beramai-ramai mengerumuninya, masing-masing dengan senjata ditangan.
Membelah dadanya dan kemudian mencincangnya. Ia berusaha lari dari Kebo
Sindet untuk menghindarkan diri dari kekejamannya. Tetapi ternyata kini
ia berada di antara serigala-srigala liar yang kelaparan.
Ketika Kuda Sempana sekali lagi mencoba
menandangi wajah-wajah orang Panawijen, tampak olehnya berpuluh-puluh
pasang mata memancarkan dendam kepadanya. Berpuluh-puluh mata
seolah-olah menyala dan akan membakarnya.
“Jangan, jangan.” sekali lagi ia berdesis.
“Kenapa kau Kuda Sempana?” sekali lagi
Mahisa Agni bertanya. Dan orang-orang Panawijen yang mendengarnya
menjadi saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, apa yang dikatakan
oleh Kuda Sempana itu.
“Oh.” desis Kuda Sempana di dalam
hatinya, “mereka sudah mulai. Mereka sudah saling mengangguk dan memberi
tanda untuk mulai mencincangku.”
Kuda Sempana menjadi semakin ngeri.
Kenapa ia tidak mati saja dibunuh Mahisa Agni, dan kenapa ia begitu
bodoh untuk ikut serta dengan Mahisa Agni pergi ke sarang serigala yang
sedang gila ini.
Kuda Sempana menjadi semakin ketakutan. Dilihatnya mata yang terpaku kepadanya itu. Sepasang-pasang, seolah-olah sudah menyala.
Tiba-tiba Kuda Sempana itu melangkah
surut dengan tubuh gemetar. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka ia
meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan penuh ketakutan,
disentakkannya kendali kudanya sehingga kuda itu melonjak dan berlari
kencang-kencang.
Sekejab Mahisa Agni terpaku. Tetapi
kemudian melonjaklah di dalam hatinya pertanyaan, “Apakah ia menjadi
terganggu otaknya melihat bayangan kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk
itu pada wajah orang-orang Panawijen?”
Namun Mahisa Agni sejenak kemudian
menyadari keadaan itu. Iapun segera meloncat di atas punggung kuda yang
diambilnya dari Kemundungan. Kuda Kebo Sindet. Dan di pacunya pula kuda
itu menyusul Kuda Sempana.
Ternyata bahwa kuda Kebo Sindet itu
adalah kuda yang baik sekali, sehingga Mahisa Agni kemudian berharap,
bahwa ia akan dapat segera menyusul Kuda Sempana yang berpacu seperti
orang gila.
“Kuda Sempana, kenapa kau?” Mabisa Agni mencoba memanggilnya. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak berpaling.
“Berhentilah.”
Kuda Sempana masih tetap berpacu terus.
“Kenapakah anak itu.” desis Mahisa Agni
di dalam hatinya, ia pasti telah dibayangi oleh dosa-dosa yang
dibawanya. Mudah-mudahan ia tidak menjadi gila.
Mahisa Agni pun kemudian mempercepat
derap kaki kudanya. Ia harus segera dapat menyusulnya. Dalam keadaan
yang demikian Kuda Sempana akan dapat menjadi orang yang sangat
berbahaya.
Dikejauhan orang-orang Panawijen melihat
dua ekor kuda itu berpacu semakin lama semakin jauh dan samar. Tetapi
ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mendekati Kuda Sempana dan berpacu
di sampingnya. Namun Mabisa Agni itu terkejut bukan buatan ketika
tiba-tiba Kuda Sempana menarik pedang yang tergantung di lambungnya.
Sejenak Mahisa Agni seolah-olah membeku
di punggung kudanya yang masih berlari di samping kuda Kuda Sempana.
Sorot matanya memancarkan keheranan dan keragu-raguan melihat sikap anak
muda itu. Namun sejenak kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya
dan berkata, “Kau kehilangan keseimbangan berpikir Kuda Sempana.”
“Persetan.” sahut Kuda Sempana sambil
menggertakkan giginya, “Kau membawa ke tengah-tengah orang-orang gila
itu untuk menjadikan aku pertunjukan yang menyenangkan sekali buat
mereka. Kau bawa aku kepada mereka, supaya mereka mendapat kesempatan
untuk melepaskan dendam akan mencincang tubuhku sampai lumat.”
“Kau salah paham.”
“Omong kosong. Aku melihat wajah-wajah
yang bengis memancarkan dendam sedalam lautan. Mereka beramai-ramai
ingin merobek-robek tubuhku melampaui buaya-buaya kerdil di
Kemundungan.”
“Mereka sama sekali bukan orang-orang yang sebuas itu.”
“Aku melibat sorot mata mereka. Aku mendengar mereka berbisik-bisik untuk mencincangku.”
“Bagaimana kau dapat mendengar? Kau berdiri agak jauh dari mereka.”
“Ya, tetapi aku mendengarnya. Mereka mengira aku tawananmu dan sengaja kau bawa dan kau serahkan kepada mereka.”
“Tidak. Seandainya demikian aku tidak akan memberi kesempatan kau membawa pedangmu.”
“Itu hanya sebuah pcrmainan yang licik.
Kalau aku tahu demikian, maka aku biarkan kau mati dicincang oleh Kebo
Sindet. Aku tidak akan memberikan pedangku kepadamu saat itu.”
“Kau salah mengerti Kuda Sempana. Aku akan menjadi jaminan bahwa kau tidak akan diperlakukan demikian.”
“Aku tidak mau. Kembalilah kepada mereka.
Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku akan menentukan nasibku sebagai
seorang laki-laki. Aku tidak perlu perlindunganmu. Aku tidak perlu
jaminan orang lain untuk keselamalan diriku. Aku sudah cukup kuat untuk
membuat cetitera tentang hidupku sendiri.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia berpaling, maka orang-orang Panawijen sudah tidak tampak lagi.
Seolah-olah telah bersembunyi dibalik garis batas antara langit dan
bumi. Gerumbul-gerumbul liar telah menebari pandangannya pula.
“Hem.” Mahisa Agni berkata di dalam hati,
“aku dapat berbuat sesuatu sekarang setelah orang-orang Panawijen itu
tidak melihatnya, supaya tidak menumbuhkan kesan yang kurang baik kepada
mereka.”
Kedua kuda itu masih saja berpacu,
semakin lama semakin jauh. Di tangan kanan Kuda Sempana tergenggam
pedangnya erat-erat, seolah-olah ia sedang menyongsong lawan yang datang
dari arah yang berlawanan.
“Kuda Sempana.” terdengar suara Mahisa
Agni, “cobalah kau berpikir agak tenang. Kau telah dihantui oleh
kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tetapi aku bukan orang yang tidak melihat
kenyataan tentang dirimu. Pengalamanmu telah mengajarkan kepadamu,
bahwa kau tidak boleh hanyut dalam arus perasaanmu. Kau harus mencoba
berpikir. Keseimbangan antara nalar dan perasaan akan membuatmu menjadi
tenang dan tidak terseret oleh arus yang membawamu ke sarang hantu
semacam iblis Kemundungan itu.”
“Kau sendiri terperosok masuk ke dalamnya. Belajarlah pada pengalamanmu sendiri.”
“Ada perbedaan antara aku dan kau Kuda
Sempana. Aku tidak ingin masuk ke dalamnya, karena aku mempunyai sikap
yang berlawanan dengan mereka. Tetapi pada saat itu kau mempunyai
beberapa persamaan kepentingan meskipun akhirnya kau hampir-hampir
ditelannya. Bahkan gurumu pula.”
Kuda Sempana terdiam sejenak. Tetapi
bayangan yang menghantuinya selalu mengikutinya kemana ia pergi.
Wajah-wajah orang-orang Panawijen, sorot mata mereka, dan dosa yang
tersimpan di dalam dirinya. Karena itu maka hatinya justru menjadi
bertambah ngeri, sehingga dengan kasarnya ia berkata, “Sekarang apa
maumu Agni. Aku tidak mau kembali kepada orang-orang Panawijen yang
menjadi liar seliar serigala kelaparan.”
“Percayalah kepadaku, Kuda Sempana. Aku
akan mencoba berbuat sebaik-baiknya Aku bukan tidak mengenal terima
kasih. Kepadamu dan kepada gurumu.”
“Bisa saja kau berkata Agni. Aku tidak dapat melihat hatimu.”
“Kau terlalu berprasangka karena
wajah-wajah orang Panawijen itu kau anggap sebagai cermin yang dapat
menunjukkan segala dosa-dosamu masa lalu. Tetapi mereka bukan pendendam.
Mereka akan memaafkannya apabila kau telah benar-benar menyesalinya.”
“Omong kosong. Aku tidak akan datang kepada mereka. Aku akan menghadap Akuwu Tumapel, supaya aku digantung saja di alun-alun.”
“Akuwu Tumapel berada di perkemahan itu pula.”
Kuda Sempana terdiam pula sejenak.
Kudanya masih berpacu semakin jauh, dan Mahisa Agni masih berada di
sampingnya pula. Ia terkejut ketika Kuda Sempana kemudian membentaknya,
“Pergi kau. Kembalilah kepada orang-orang Panawijen yang mengelu-elukan
kau. Jangan ikuti aku.”
“Aku akan membawamu kembali kepada mereka, Kuda Sempana.”
“Tidak.”
“Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi
atasmu apabila kau pergi sekarang. Mungkin kau dapat menjadi seorang
pertapa yang mencoba membersihkan diri dari noda-noda yang melekat di
tubuhmu. Tetapi kalau sesuatu sebab telah mendorongmu sekali lagi
berbuat kesalahan, maka kau akan tersesat semakin jauh dan jauh. Kau
tidak akan menemukan lagi, jalan untuk kembali. Karena itu, dengarlah
kata-kataku. Orang-orang Panawijen tidak akan berbuat apa-apa.”
“Tidak.”
“Jangan terlampau berkeras hati.”
“Cukup. Pergi kau. Jangan mencoba
menghalangi aku. Aku akan mencari jalanku sendiri. Aku tidak mau
dihinakan dan dibunuh seperti orang merampok macan.”
“Bukankah kau membawa pedang? Seandainya
demikian, kau akan dapat melawan mereka. Tetapi percayalah bahwa hal itu
tidak akan terjadi.”
“Tidak.”
Mahisa Agni mengerutkan dahinya. Ia
menjadi bingung bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya untuk membawa Kuda
Sempana itu kembali kepada orang-orang Panawijen atas kehendaknya pula,
bukan karena dipaksa dengan kekerasan. Tetapi agaknya Kuda Sempana
sudah tidak dapat berpikir lagi. Bayangan-bayangan yang mengerikan telah
mengganggunya dan menakut-nakutinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak
berputus asa. Sekali lagi masih mencoba, “Kuda Sempana. Jangan
dipengaruhi oleh rasa bersalah terlampau dalam. Marilah, aku akan
menjadi jaminan.”
“Tidak. Tidak, kau dengar.” tiba-tiba
Kuda Sempana berteriak. Pandangan matanya menjadi terlampau tajam.
Dengan suara parau ia berkata lantang, “Kembalilah kau Agni Aku tidak
memerlukanmu lagi. Aku tidak memerlukan orang-orang Panawijen itu pula.
Aku tahu, kau memancing aku supaya aku berada di antara mereka. Kemudian
aku akan menjadi tontonan yang paling mengerikan. Atau bahkan mungkin
kau dan orang-orang Panawijen memerlukan tumbal untuk membuat bendungan
itu dan menguburku hidup-hidup? Tidak. Aku tidak sebodoh itu.”
“Kau terlampau curiga.”
“Tidak. Pergi kau.”
“Aku tidak akan pergi Kuda Sempana. Aku
akan mengikutimu seterusnya apabila kau tidak mau kembali kepada
orang-orang Panawijen. Bukankah kau anak Panawijen, dilahirkan di
Panawijen dan dibesarkan di Panawijen pula?”
“Persetan. Aku tidak peduli. Pergi kau. Kalau tidak, maka aku akan memaksamu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya Dengan sudut matanya ia mamandang ujung pedang Kuda Sempana yang sudah mulai bergetar.
“Pergi sebelum aku kehilangan kesabaran.”
teriak Kuda Sempana semakin keras. Suaranya seolah-olah menggeletar
memenuhi padang rumput Karautan yang luas itu.
“Tidak.” tiba-tiba suara Mahisa Agnipun meninggi.
“Setan kau Agni. Sejak semula aku memang
ingin membunuhmu. Kalau kau tidak pergi juga maka kau akan terbunuh di
sini. Mayatmu akan mengering dibakar oleh matahari, atau akan hancur
dicincang oleh anjing-anjing liar yang berkeliaran di padang ini di
malam hari.”
“Tidak. Aku tidak akan kembali tanpa membawamu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram.
Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya, sehingga kuda itu berhenti.
“Kesempatan terakhir bagimu, Agni.” geram Kuda Sempana, “kalau tidak,
aku penggal lehermu. Begitu tidak akan ada bedanya lagi. Aku hanya dapat
dihukum mati satu kali meskipun aku membunuhmu pula di sini.”
Mahisa Agnipun kemudian berhenti pula.
Dipandanginya mata Kuda Sempana yang menjadi liar, “Mudah-mudahan ia
tidak berubah ingatan.” gumamnya di dalam hatinya Sementara itu ia masih
mendengar Kuda Sempana berkata, “Setiap orang agaknya menunggu
kedatanganmu dengan penuh pengharapan. Akuwu sendiri sudah bersedia
mencarimu dan mencoba membebaskanmu. Tetapi ternyata kau justru mati
disini karena tanganku.”
Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin
lama semakin tegang. Kecemasan yang sangat telah mendebarkan jantungnya.
Agaknya Kuda Sempana benar-benar tidak dapat lagi berpikir dengan
bening.
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “apakah kau akan membunuh aku?”
“Ya.”
“Apakah kau sudah berpikir dengan baik, dan telah bulat di hatimu untuk melakukannya?”
“Ya. Kau terlalu memuakkan bagiku Meskipun begitu kau masih mendapat kesempatan terakhir. Pergilah.”
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih duduk diam di atas punggung kudanya yang diam pula.
“Pergi. Pergi, pergi sejauh-jauhnya dari
padaku. Cepat.” Kuda Sempana berteriak-teriak sekeras-kerasnya. Suaranya
bergetar kesegenap ujung padang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak
bergerak.
“Setan. Kau benar-benar mau mati.” Kuda Sempana menggeram. Matanya yang liar menjadi semakin liar.
“Jangan. Jangan Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni yang mencoba mencegahnya.
Tetapi Kuda Sempana sudah tidak
mendengarnya. Tiba-tiba disentakkannya kudanya dan meloncat berlari.
Sedang Kuda Sempana telah siap pula dengan pedangnya, menyerang Mahisa
Agni yang masih duduk termangu-mangu.
Sementara itu diperkemahan orang-orang
Panawijen menjadi bingung. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja
Kuda Sempana melarikan dirinya dan kemudian dikejar oleh Mahisa Agni.
Mereka melihat bahwa Mahisa Agni semakin lama berhasil mendekati Kuda
Sempana. Tetapi kedua ekor kuda yang semakin lama semakin kecil itu
kemudian hilang ditelan cakrawala dan gerumbul-gerumbul kecil yang
bertebaran disana-sini. Dan ternyata hal itu telah menumbuhkan
kegelisahan pula. Bukan saja di antara orang-orang Panawijen, tetapi
juga para prajurit Tumapel.
Ken Arok yang masih berdiri termangu-mangu di samping Ki Buyut Panawijen berpaling ketika terasa pundaknya disentuh orang.
“Bagaimana dengan kedua orang yang memamerkan kecakapannya naik kuda itu.” suara itu adalah suara Kebo Ijo.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Aku tidak tahu, apakah yang terpancang
di dalam otak mereka. Mereka datang bersama-sama. Memamerkan diri, dan
kemudian berlari-larian pergi lagi.” berkata Kebo Ijo pula.
“Ah.” Ken Arok berdesah dan Ki Buyut Panawijen mengerutkan keningnya yang sudah dikerutkan oleh garis-garis ketuaannya.
“Apakah kau dapat mengerti maksud mereka itu datang?” bertanya Kebo Ijo pula.
“Ada yang tidak wajar telah tcrjadi Kebo
Ijo.” jawab Ken Arok kemudian. “aku tidak tahu, kenapa hal itu terjadi.
Tetapi tanggapanku agak lain. Mereka sama sekali tidak bermaksud
demikian. Mereka sendiri sama sekali tidak pernah merencanakan apa yang
telah terjadi itu.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia tersenyum. Senyum yang penuh prasangka. Sejenak ia tidak
berkata apapun selain mengangguk-angguk. Ditatapnya padang yang luas itu
seakan-akan ingin menembus batas langit dan melihat apa yang dilakukan
Mahisa Agni dan Kuda Sempana.
“Hem.” tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, “permainan apakah yang sedang mereka perankan?”
Ken Arok tidak menyahut. Tetapi ia berkata, “Aku menjadi cemas. Mungkin aku dapat menyusulnya apabila perlu.”
“He,” Kebo Ijo terperanjat, “apakah kau benar-benar bermaksud demikian.”
“Apabila mereka tidak segera kembali.”
“Tidak ada gunanya. Kau tidak tahu kemana
mereka pergi. Setelah mereka tidak tampak lagi, maka kita di sini
mengerti, apakah mereka berbelok kekanan atau ke kiri atau terus ataupun
lagi.”
“Aku mcngenal padang rumput Karautan
seperti aku mengenal rumahku sendiri.” jawab Ken Arok, “aku mengenal
setiap sudutnya. Dan aku tahu caranya bagaimana menyusul Mahisa Agni dan
Kuda Sempana meskipun aku tidak melihat arah mereka. Bukankah kuda-kuda
mereka meninggalkan jejak? Aku pernah menjadi seorang pencari jejak.
Meskipun seandainya sekarang turun hujan, aku akan dapat mengikuti
jejaknya sampai keujung langit sekalipun.”
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, aku percaya. Aku percaya kalau kau dapat mengikuti jejaknya. Tetapi
dibalik sebuah gerumbul yang lebat kau akan diterkamnya.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Siapa?”
“Menurut penilaianku.” berkata Kebo ijo
kemudian, “ternyata Mahisa Agni dan Kuda Sempana sama sekali belum
terlepas dari tangan Kebo Sindet. Mereka datang kemari justru membawa
tugas untuk memancingmu. Kau atau Akuwu. Dengan permainannya itu, maka
mereka akan disusul. Nah, pada saatnya Kebo Sindet menerkammu dari balik
gerumbul-gerumbul liar dan menjadikan kau alat untuk memeras seperti
Mahisa Agni.”
Ken Arok terdiam sejenak. Tetapi kemudian
berkata, “Tidak masuk akal. Buat apa Kebo Sindet menangkap aku? Kau
barangkali atau Ki Buyut Panawijen? Jalan pikiranmu dipengaruhi oleh
sikapmu yang aneh. Kau memandang setiap orang, setiap kejadian dan
setiap persoalan dari segi yang paling buruk.”
Kebo Ijo menegangkan wajahnya. Tetapi kemudian ia tersenyum pula, “Aku senang mendengar penilaianmu atasku.”
“Coba katakan, siapakah manusia yang baik
didunia ini? Mahisa Agni, Akuwu Tunggul Ametung, kakak seperguruanmu
sendiri Witantra dan barangkali juga Mahendra. Semua jelek di dalam
pandanganmu.”
Kini Kebo Ijo itu justru tertawa.
Katanya, “Aku hanya memperingatkan kau supaya kau berhati-hati. Kebo
Sindet adalah orang yang paling berbahaya.”
“Seandainya benar dugaanmu, bahwa Mahisa
Agni telah dijadikan alat oleh Kebo Sindet bersama-sama dengan Kuda
Sempana untuk memancing aku sekalipun, aku bersedia menghadapinya. Aku
sama sekali tidak gentar seandainya aku bertemu dengan Kebo Sindet
dimanapun.”
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. “Kau jangan terlampau sombong. Kau harus mampu membuat perhitungan atas kekuatan seseorang.”
“Itu soal lain. Tetapi aku berani berhadapan. Apakah kemudian aku akan mati dicincangnya, aku sama sekali tidak peduli.”
Suara tertawa Kebo ijo terhenti. Ia
melihat wajah Ken Arok menjadi tegang. Agaknya orang itu berkata
bersungguh-sungguh, sehingga Kebo Ijo pun tidak menyahut lagi.
“Meskipun demikian.” berkata Ken Arok
kemudian, “aku tidak akan pergi menyusulnya sekarang. Aku akan menunggu.
Apabila ia terlampau lama, barulah akan pergi. Sekarang kita akan
melanjutkan kerja kita. Agaknya kita sudah sedikit terlambat.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak menyahut. Ia ikut saja diantara orang Panawijen dan para
prajurit yang segera kembali ke perkemahan dan bersiap-siap untuk pergi
ke bendungan melanjutkan kerja mereka.
Ki Buyut yang kecemasan pun pergi pula
kebendungan meskipun setiap kali diangkatnya wajahnya, dilemparkannya ke
tengah-tengah padang untuk mencoba melihat seandainya Mahisa Agni
kembali ketengah-tengah mereka lagi.
Tetapi sampai matahari merayap semakin
tinggi, mereka masih belum melihatnya. Bahkan kehadiran Mahisa Agni itu
pun agaknya seperti sebuah mimpi saja. Datang lalu lenyap, meskipun
kesannya masih tinggal di dalam angan-angan.
Ken Arok pun ternyata tidak bekerja
dengan tenang. Ia memang merasa heran menanggapi peristivva itu. Mahisa
Agni datang membawa Kuda Sempana. Lalu mereka berkejar-kejaran pergi.
“Kuda Sempana juga membawa pedang.” desisnya di dalam hati, “aku sama sekali tidak mengerti.”
Sedang Akuwu yang telah mendapat laporan
tentang hal itu tidak pula kalah herannya. Sambil berjalan mondar mandir
di dalam gubugnya yang rendah ia bergumam, “Anak itu sudah menjadi
gila. Keduanya. Kuda Sempana dan Mahisa Agni.” Namun sejenak kemudian
Akuwu itu berkata hampir berteriak, “Apabila sebentar lagi mereka tidak
datang, siapkan pasukanmu Witantra. Aku akan menyusulnya. Aku menjadi
curiga dan tidak menemukan jawabnya. Aku harus mengejar mereka, mencari
kemanapun mereka pergi.”
Sementara itu di Padang Karautan Kuda
Sempana menyerang Mahisa Agni sejadi-jadinya, tanpa terkendali sama
sekali. Pedangnya menyambar-nyambar seperti loncatan kilat di langit.
Kudanya pun ternyata kuda yang baik. Seperti garuda di angkasa yang
setiap kali menukik. menyambar dengan dahsyatnya. Berputar-putar
kemudian sekali lagi menyambar tidak henti-hentinya. Mata Kuda Sempana
yang kemerah-merahan menjadi kian liar, seperti mata hantu yang kehausan
melihat darah yang merah dan segar memancar dari luka.
Mahisa Agni menjadi semakin cemas melihat
Kuda Sempana yang kehilangan akal. Agaknya ia benar-benar terganggu
karena cermin yang membayangkan betapa besar kesalahan yang pernah
diperbuatnya atas tanah kelahirannya, Panawijen. Sehingga karena itu
maka ia telah kehilangan kesempatan untuk berpikir. Wajah-wajah orang
Panawijen yang memancarkan harapan dan kegembiraan karena kehadiran
Mahisa Agni, dalam tangkapan mata Kuda Sempana, seolah-olah wajah-wajah
yang penuh membayangkan dendam dan kebencian kepadanya. Sehingga dengan
demikian, Kuda Sempana telah memilih jalan untuk membunuh diri dari pada
jatuh ketangan orang-orang Panawijen yang menurut anggapannya akan
memperlakukannya dengan kejam.
Beberapa lama ia berada di tangan Kebo
Sindet yang selalu memilih cara yang paling mengerikan untuk membunuh
korbannya, sehingga hal itu berpengaruh terlampau dalam di dalam
benaknya. Ketika ia berhadapan dengan orang-orang Panawijen, maka
gambaran-gambaran itu muncul kembali, seolah-olah membayang disetiap
wajah. Kebuasan dan kekejaman Kebo Sindet seakan-akan membayang
satu-satu pada orang-orang Panawijen yang sedang menyambut kedatangan
Mahisa Agni itu. Dan Kuda Sempana menjadi terlampau ngeri.
Kini ia bertempur mati-matian tanpa
mengendalikan dirinya lagi. Ia memang ingin lepas dari tangan
orang-orang Panawijen atau mati dengan menggenggam senjata di tangan.
Karena itulah maka ia tidak mau surut.
Dengan berteriak-teriak nyaring Kuda
Sempana mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ilmu yang
diterimanya gurunya, Empu Sada, dipengaruhi oleh kekasaran dan kebuasan
Kebo Sindet, menjadi ilmu yang tampaknya mengerikan sekali.
Sekali-sekali tampak kegarangan Empu Sada yang meskipun kadang-kadang
licik, namun kemudian dicerminkannya keliaran Kebo Sindet yang sama
sekali tidak memperhatikan kesopanan di dalam tata perkelahian.
Tetapi Mahisa Agni kini bukan Mahisa Agni
yang dahulu pernah juga berkelahi melawan Kuda Sempana. Mahisa Agni
kini telah menjadi jauh lebih masak lahir dan batin. Ilmunya telah
benar-benar mengendap meskipun ia masih memerlukan banyak pengalaman.
Tempaan batin selama ia berada di sarang Kebo Sindetpun telah membuatnya
bertambah dewasa dalam menghadapi setiap persoalan. Ternyata Mahisa
Agni tidak menjadi seorang anak muda yang kehilangan kediriannya seperti
yang dikehendaki oleh Kebo Sindet, meskipun pada saat-saat itu Mahisa
Agni menunjukkan tanda-tanda yang demikian. Tetapi ternyata Mahisa Agni
bahkan menjadi seorang yang matang lahir dan batinnya.
Itulah sebabnya maka dalam menghadapi
Kuda Sempana itu pun ia sama sekali tidak terlampau tergesa-gesa. Dengan
penuh pertimbangan ia melayaninya. Kadang-kadang kudanya pun
didorongnya untuk berlari surut, kemudian berputar mengimbangi
putaran-putaran kuda Kuda Sempana. Apabila dengan garangnya Kuda Sempana
menyerangnya, maka Mahisa Agni pun dengan sigapnya mengelak.
Tetapi sedemikian jauh, Mahisa Agni masih
berbuat dalam landasan kesadarannya sepenuhnya. Ia tahu bahwa ia sedang
berhadapan dengan seseorang yang kehilangan akal dan bahkan sedang
terganggu jiwanya. Karena itu, maka ia harus berbuat bijaksana.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni sama sekali tidak melakukan perlawanan dengan bersungguh-sungguh.
Tetapi ternyata Kuda Sempana yang sedang
berhati gelap itu merasa semakin lama semakin gelap. Sikap Mahisa Agni
ditanggapinya dari sudut yang gelap pula. Sehingga ketika Mahisa Agni
masih juga belum melawannya berkelahi ia berteriak, “Agni, apakah yang
kau tunggu. Jangan terlampau menghina. Ayo, cabut pedangmu dan kita
bertempur secara jantan. Aku atau kau yang akan mati terkapar di Padang
Karautan ini.”
“Apakah itu perlu sekali kita lakukan Kuda Sempana.” bertanya Mahisa Agni.
“Kau jangan mencoba melemahkan tekadku.
Aku benar-benar berusaba membunuhmu, atau kau yang membunuhku. Kita
sudah mulai, dan hanya mautlah yang dapat menghentikannya.”
“Kau terlampau perasa. Sebaiknya kau mencoba berpikir.”
“Tidak ada kesempatan lagi. Sebelum aku
menemukan keputusan aku sudah diikat di pinggir bendungan. Mungkin aku
akan mengalami hukum picis. Dirobek-robek tubuhku perlahan-lahan.”
“Kau terlampau berprasangka.”
“Kau memancingku. Ayo, kita bertempur.”
Tandang Kuda Sempana ternyata semakin
lama menjadi semakin liar. Ia sama sekali tidak mau mempergunakan
otaknya. Bahkan didalam perkelahian itupun Kuda Sempana sama sekali
sudah tidak mempertimbangkan lagi cara-cara yang dipergunakan.
Unsur-unsur geraknya sama sekali tidak dipikirkannya.
Sebenarnyalah bahwa ia telah berputus
asa. Ia memang merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni.
Tetapi ia tidak mau menyerah dan dibawa kembali kepada orang-orang
Panawijen yang disangkanya akan melepaskan dendam dan kebencian mereka.
Mahisa Agni pun semakin cemas melihat
sikap Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi semakin cemas melihat sikap
Kuda Sempana itu. Wajahnya menjadi tegang, dan kadang-kadang terbersit
didalam hatinya untuk membawa Kuda Sempana dengan kekerasan. Tetapi
apabila demikian, maka Kuda Sempana akan merasa semakin ngeri. Dalam
keadaan demikian, ia dapat berbuat di luar dugaan. Setiap kemungkinan
akan dipergunakannya untuk mencoba membunuh diri, menghindarkan diri
dari kemungkinan mati dengan mati dengan cara yang paling tidak
disenanginya.
Sementara itu matahari sudah menjadi
semakin tinggi. Sedang sama sekali belum ada tanda-tanda bahwa Kuda
Sempana akan dapat mengerti. Semakin banyak keringat membasahi tubuhnya,
maka agaknya ia pun menjadi semakin liar dan buas.
“Aku tidak akan dapat terus-menerus
meladeni orang yang terganggu jiwanya ini.” berkata Mahisa Agni di dalam
hatinya, “aku harus menemukan suatu cara untuk menjinakkannya. Tetapi
apabila tidak mungkin, apaboleh buat. Kuda Sempana akan menjadi sangat
berbahaya di dalam kegilaannya.”
Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian
tidak saja hanya lelalu menghindari serangan Kuda Sempana, tetapi iapun
kemudian mulai mengganggu lawannya pula. Sekali-sekali ia menangkis dan
menyerangnya meskipun tidak menentukan akhir dari perkelahian itu.
Mahisa Agni memang ingin membuat Kuda Sempana semakin bernafsu dan
kemudian akan menjadi kelelahan.
“Mudah-mudahan ia kemudian dapat mempergunakan otaknya.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Demikianlah maka Kuda Sempana bertempur
semakin sengit. Dikerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Keringatnya yang mengalir semakin deras, seakan-akan terperas dari
tubuhnya.
Tetapi senjatanya sama sekali tidak mampu
menyentuh Mahisa Agni. Apa lagi melukainya. Karena itu maka hatinya
menjadi semakin bingung dan pepat. Bayangan-bayangan yang mengerikan
semakin lama semakin mencengkamnya dalam ketakutan.
“Ayo Agni. Kenapa kau ragu-ragu. Aku laki-laki juga seperti kau. Kalau aku tidak mampu membunuhmu, bunuhlah aku.”
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab.
Sekali-sekali disentuhnya tubuh Kuda Sempana. Kadang-kadang agak keras
sehingga Kuda Sempana merasakan akibat dari sentuhan-sentuhan itu.
Sakit. Dan perasaan sakit itu semakin banyak menyengat tubuhnya. Hampir
disegala tempat.
Namun dengan demikian Kuda Sempana
menjadi semakin bernafsu. Betapapun juga, ia tidak mau menyerah. Ia
harus berkelahi sampai selesai. Dibunuh atau membunuh.
Karena itu, maka setelah ia tidak
berhasil melawan Mahisa Agni dengan kewajaran ilmunya, maka dalam
kegelapan hati, dikerahkannya segenap kemampuan lahir dan batinnya.
Dibangunkannya ilmunya yang paling tinggi dalam tatarannya. Aji
pamungkasnya. Disalurkannya segenap getaran di dalam dirinya, semua
cadangan kekuatannya yang tersimpan di dalam tubuhnya ke dalam tangannya
yang menggenggam pedang.
Dada Mahisa Agni berdesir melihat sikap
itu. Ia kenal, bahwa dengan demikian Kuda Sempana sudah sampai kepada
puncak ilmunya. Sehingga dengan serta merta Mahisa Agni berteriak,
“Jangan Kuda Sempana, jangan.”
Tetapi hati yang gelap itu menjadi
semakin gelap. Meskipun Kuda Sempana mendengarnya, tetapi ia sama sekali
tidak menghiraukannya. Sehingga akhirnya ia telah sampai pada puncak
kekuatannya.
Sejenak Mahisa Agni menjadi
termangu-mangu. Bagaimana ia harus melawannya? la tahu, betapa kekuatan
aji itu. Tetapi kesempurnaan di dalam pengucapannya, mereka berada dalam
tingkatan yang jauh berbeda. Mahisa Agni telah mencapai tingkat sejajar
dengan Empu Sada sendiri, meskipun masih diperlukan pengetrapan yang
lebih mantap. Tetapi ia telah mampu melawan kekuatan aji yang dilepaskan
oleh Kebo Sindet, meskipun senjatanyalah yang pada saat itu tidak
berhasil bertahan karena benturan dua kekuatan yang luar biasa
dahsyatnya, meskipun pedangnya waktu itu tidak kalah kuatnya dengan
pedang yang dipergunakan oleh Kuda Sempana kini, yang diambilnya dari
kumpulan senjata yang berpuluh-puluh jumlahnya di dalam sarang Kebo
Sindet.
“Kekuatan kami saat itu hampir
berimbang.” desis nya, “sehingga aku dan Kebo Sindet masing-masing tidak
mengalami bencana di dalam diri masing-masing yang dapat menentukan
hidup mati kami. Tetapi sekarang apakah Kuda Sempana tidak akan
terganggu oleh benturan itu?”
Dalam keragu-raguan Mahisa Agni melihat
Kuda Sempana telah mempersiapkan dirinya. Kini ia telah mulai meluncur
di atas punggung kudanya, menyerangnya berlambaran aji tertingginya.
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar Tiba-tiba ditariknya kendali kudanya. Dilarikannya
kudanya menghindari serangan Kuda Sempana.
“He, jangan lari pengecut.” tariak Kuda
Sempana. Tetapi Mahisa Agni tidak mempedulikannya. Dipacunya kudanya
semikin cepat, sementara Kuda Sempana mengejarnya dengan penuh nafsu.
Ternyata Mahisa Agni tidak berlari jauh. Ia hanya memutar kemudian melingkar-lingkar.
“Agni, marilah kita bertempur secara jantan. Tanggon sebagai laki-laki. Jangan berlari-larian.” teriak Kuda Sempana sambil mengacungkan pedangnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia masih terus melarikan kudanya berputar-putar.
“He, apakah kau sudah gila?” teriak Kuda Sempana pula.
Mahisa Agni tersenyum di dalam hati.
Memang orang yang terganggu jiwanya dapat saja menyebut orang lain
seolah-olah menjadi gila. Tetapi orang itu tidak sempat menilik ke dalam
dirinya sendiri.
“Berhenti. Berhenti.”
Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Bahkan
kadang-kadang diperlambatnya kudanya, namun kemudian dipercepatnya. Ia
menyadari bahwa kuda yang dipergunakan agak lebih baik dari Kuda
Sempana.
Sikap Mahisa Agni ternyata membuat Kuda
Sempana menjadi semakin gila. Hatinya yang pepat menjadi semakin pepat.
Ia benar-benar sudah tidak dapat membedakan mana yang baik dilakukan dan
mana yang tidak. Sedemikian hatinya disaput oleh kekelaman, sehingga
tidak dilihatnya lagi cara yang dapat dipergunakan ya untuk menyerang
Mahisa Agni, selain satu-satunya yang dapat dilakukannya. Melontarkan
pedang kearahnya.
Dan ternyata Kuda Sempana yang sedang
kegelapan itu mempergunakan cara itu. Dengan penuh kemarahan, dengan
kekuatan aji pemungkasnya, maka dilontarkannya pedangnya kearah Mahisa
Agni yang masih berputar-putar di sekitarnya. Ternyata lontaran pedang
yang dilambari oleh kekuatan yang dahsyat itu, benar-benar mengagumkan.
Seperti tatit yang meloncat di langit, pedangnya meluncur dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, mengarah langsung ke leher Mahisa Agni.
Mahisa Agni terkejut melihat lontaran
itu. Kekuatan aji Kuda Sempana didorong oleh kecepatan berlari kudanya,
ternyata telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa.
Dan kekuatan yang luar biasa itu telah diungkapkan oleh lontaran pedangnya mengarah Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni kini telah memiliki
ilmu yang cukup untuk menanggapi keadaan itu. Dengan kecepatan yang luar
biasa pula, Mahisa Agni membungkukkan badannya melekat pada punggung
kudanya, sehingga tepat pada saatnya, pedang Kuda Sempana terbang di
atasnya. Kalau ia terlambat sekejap saja, maka ujung pedang itu pasti
sudah melobangi tubuhnya.
Kuda Sempana memandangi senjatanya yang
berlari di atas tubuh Mahisa Agni itu dengan dada yang berdebar-debar.
Apalagi ketika ia melihat bahwa ia sama sekali tidak berhasil melukai
Mahisa Agni, apalagi menjatuhkannya, agaknya anak muda itu tidak selalu
mengejarnya meskipun seandainya tidak mematikannya. Tetapi ternyata
bahwa pedangnya sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Kuda Sempana menggeretakkan giginya
ketika ia melihat Mahisa Agni kemudian tegak kembali di atas punggung
kudanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian terdengar
suara Mahisa Agni, “Kuda Sempana. Kau benar telah menjadi mata gelap.
Apakah kau sadari apa yang telah kau lakukan?”
“Aku sadar sepenuhnya.” jawab Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau pedang itu mengenai sasarannya dan aku jatuh terkapar, mati di Padang Karautan ini?”
“Sudah menjadi keputusanku. Kau atau aku.”
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni, “aku
sudah bersusah payah berusaha membebaskan diri dari tangan Kebo Sindet
karena aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat bendungan di
Padang Karautan itu dapat mengangkat air ke sawah-sawah. Aku masih ingin
melihat hamparan tanah persawahan yang hijau di atas padang yang selama
ini kering kerontang, untuk menggantikan padukuhan Panawijen yang
menjadi kuning kemerah-merahan seperti habis terhakar.”
“Aku tidak peduli.”
“Mungkin kau tidak akan mempedulikan
keinginan-inginanku itu. Tetapi kau sebagai anak Panawijen, yang
dilahirkan dan dibesarkan di tanah itu, apakah kau tidak mempunyai
keinginan serupa dengan aku.”
“Aku sudah terasing dari tanah ini. Aku
sudah terasing dari orang-orang Panawijen. Wajah-wajah mereka
menunjukkan kebencian dan kemarahan. Bahkan dendam. Buat apa aku kembali
kepada mereka dengan keinginan-inginan yang cengeng seperti keinginanmu
itu? Aku tidak mau. Aku bukan anak-anak lagi yang masih selalu
merindukan perlindungan biyung.”
“Bukan itu soalnya Kuda Sempana. Soalnya
karena kau sudah merasa berbuat salah. Jangan kau hantui hatimu sendiri
dengan kesalahan-kesalahan itu. Kalau kau pada suatu saat tidak berani
mengakhiri keadaan ini, maka kau akan terdorong semakin lama semakin
jauh. Tetapi kalau kau berani memutuskan, bahwa sekarang adalah saatnya
untuk kembali dan menyesali semua kesalahan itu, maka untuk seterusnya
kau akan terlepas dari padanya.”
“Jangan membujuk aku.”
“Tidak. Aku tidak sedang membujukmu. Aku
tahu, kaupun tidak sadang merajuk seperti anak-anak yang kecewa. Tetapi
kau sedang ketakutan. Takut melihat bayanganmu sendiri. Bayangan yang
penuh dengan noda.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
kesalahanmu kini adalah, bahwa kau memandang setiap orang dengan sudut
pandangan yang buram. Kau anggap bahwa setiap orang selalu menyimpan
dendam di dalam hatinya.”
“Cukup. Kau jangan membual Agni. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu dengan muslihat itu.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi dengar,
Kuda Sempana. Seandainya orang-orang Panawijen itu menyimpan dendam di
dalam hati, maka akulah yang paling mendendammu. Aku mengalami bencana
yang jauh lebih dahsyat dari yang mereka alami. Aku menghayati betapa
pahitnya hidup di tangan orang-orang gila seperti Kebo Sindet dengan
segala macam rencananya.”
“Karena itulah maka kau mendendamku
sampai ke ujung ubun-ubun. Karena itulah maka kau selalu mengejarku
sampai saat ini untuk menjerumuskan aku ke dalam bencana yang paling
dahsyat. Kau ingin melihat aku dicincang oleh orang-orang Panawijen atau
dihukum picis diterik matahari padang yang kering, atau dikubur
hidup-hidup untuk dijadikan tumbal bendungan yang masih belum siap itu.”
“Itulah yang aku maksud Kuda Sempana. Kau
memandang semua orang dari segi itu. Dari segi yang gelap. Tetapi kau
melupakan sifat-sifat orang-orang Panawijen. Kau memang terlalu lama
terpisah daripada mereka. Tetapi percayalah, mereka bukan mendendam dan
bukan orang-orang buas yang senang melihat darah. Apalagi melihat
kekejaman yang melampaui batas. Bahkan seandainya hukum picis itu
benar-benar ada, maka seandainya orang-orang Panawijen berkesempatan
untuk menyaksikan, mereka pasti akan pingsan bersama-sama.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Tetapi tidak demikian dengan
prajurit-prajurit Tumapel. Sudah lama mereka bekerja di Padang Karautan.
Sudah lama mereka tidak melihat darah. Dan mereka akan mendapat umpan,
Aku.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Begitukah sifat prajurit-prajurit Tumapel menurut tangkapanmu?”
Kuda Sempana tidak segera menyahut.
Tetapi ditatapnya mata Mahisa Agni dengan tajamnya. Sekilas merambat di
hatinya, setitik air yang bening. Tetapi sejenak kemudian ia berteriak
pula, “Omong kosong. Lihat, betapa dari sepasang matamu memancar dendam
dan kebencian tiada taranya. Ayo, bersiaplah. Kita lanjutkan perkelahian
ini sampai salah seorang dari kita mati. Kalau kau masih tetap
memaksaku kembali kepada serigala-srigala kelaparan itu, maka ayolah.
Kau atau aku.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Wajah Kuda Sempana menjadi semakin liar. Maskipun kini
ia sudah tidak bersenjata, tetapi agaknya ia benar-benar ingin bertempur
sampai mati.
Sejenak Mahisa Agni duduk dalam
kebimbangan. Ditatapnya saja mata Kuda Sempana yang liar itu. Namun
ketika Kuda Sempana telah bersap untuk menyerangnya, maka Mahisa Agni
itupun segera mempersiapkan dirinya pula.
Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pikiran yang dianggapnya baik untuk menundukkan Kuda Sempana.
Sementara itu Kuda Sempana telah mulai
pula dengan serangannya. Meskipun tanpa senjata, tetapi Mahisa Agni
terpaksa menghindarinya. Ia masih berusaha untuk tidak membuat
benturan-benturan dengan Kuda Sempana supaya tidak terjadi sesuatu pada
tubuhnya. Namun Kuda Sempana sama sekali sudah tidak dapat
memperhitungkan lagi.
Mahisa Agni yang sedang memikirkan suatu
cara untuk menguasai lawannya itu hanyalah selalu mencoba menghindar.
Berputar-putar dan melingkar-lingkar saja. Didalam kepalanya bergolaklah
suatu pikiran yang meskipun tidak dikehendaki tetapi agaknya dapat
menolong keadaan. Kuda Sempana ternyata menjadi kehilangan pertimbangan
karna didorong oleh rasa takut dan cemas akan nasibnya. Bukan karena ia
takut mati, tetapi ia tidak mau diperlakukan dengan cara yang
mengerikan. Sebab menurut gambaran-gambaran di dalam otaknya,
orang-orang Panawijen akan melepaskan dendam yang tersimpan di dalam
hati mereka dengan cara yang hampir setiap saat ditemuinya di dalam
sarang Kebo Sindet.
“Aku harus membuat imbangan.” desis
Mahisa Agni di dalam hatinya, “aku harus sedikit menyombongkan diri.
Biarlah untuk saat-saat seperti ini.”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar Kuda Sempana membentak-bentak, “Ayo Mahisa Agni. Tunjukkanlah
kejantananmu. Jangan hanya selalu menghindar saja. Dimanakah
keberanianmu yang kau banggakan selama ini?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali
ia harus menghindar dan berputar, sementara Kuda Sempana sedang
memperbaiki keadaannya, karena kudanya terdorong beberapa langkah.
“Kuda Sempana.” berkata Mabisa Agni kemudian, “Apakah kau sudah benar-benar siap untuk bertempur melawan aku?”
Kuda Sempana terkejut mendengar
pertanyaan itu, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “Apakah kau
sudah menjadi buta, atau kehilangan dasar pengamatan? Kau lihat, aku
sudah siap untuk berbuat apapun.”
Tiba-tiba Mahisa Agni tertawa, Kuda
Sempana sekali lagi terperanjat mendengar suara tertawa itu. Meskipun
perlahan-lahan, tetapi sangat menyakitkan hati. Hampir sepanjang
perkenalannya dengan Mahisa Agni, ia belum pernah mendengar dan melihat
Mahisa Agni tertawa seperti itu.
“Jangan bergurau Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni kemudian, “bersiaplah. Aku akan segera mulai.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram, “Aku sudah siap. Siap untuk membunuh atau dihunuh.”
“Apakah kau benar-benar ingin melawan aku?”
“Persetan. Cepat, mulailah.”
“Kuda Sempana. Aku benar-benar akan mulai
apabila kau benar-benar telah siap pula. Beradalah dalam kemungkinan
yang setinggi-tingginya. Kau segera akan melawan Mahisa Agni.”
Wajah Kuda Sempana menjadi semakin marah.
“Kau terlalu sombong, pembual. Ayo berbuatlah sesuatu. Jangan hanya
berbicara tanpa ujung dan pangkal. Kalau kau ingin mempergunakan
pedangmu, pergunakanlah.”
Telinga Kuda Sempana menjadi semakin
sakit ketika ia mendengar sekali lagi Mahisa Agni tertawa. Lebih
menyakitkan hati, “Kuda Sempana. Jangan terlampau bernafsu. Sebaiknya
kau melihat dirimu lebih dahulu. Siapkah yang kau hadapi sekarang.”
Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Dan ia
mendengar Mahisa Agni berkata, “Apabila kau menganggap bahwa
orang-orang Panawijen ingin melepaskan dendamnya dengan perbuatan yang
aneh-aneh, maka tanpa orang lain, tanpa bantuan orang-orang Panawijen
dan prajurit-prajurit Tumapel, aku pun dapat berbuat demikian atasmu.
Ingat, aku telah berhasil membunuh Kebo Sindet meskipun tidak langsung.
Aku telah dapat menempatkan diriku di tempat yang sejajar dengan Kebo
Sindet. Aku berterima kasih bahwa kau telah memberikan pedang itu. Namun
saat itu Kebo Sindet pun bersenjata pula. Nah, apa katamu tentang
diriku. Apakah kau masih menantang Mahisa Agni untuk berkelahi?”
Terasa dada Kuda Sempana seolah-olah
menjadi retak karenanya. Sebuah himpitan perasaan telah melanda
jantungnya. Kata-kata itu benar-benar suatu penghinaan baginya. Sehingga
dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak peduli, apakah kau telah
dapat menempatkan dirimu sejajar dengan Kebo Sindet atau tidak, tetapi
ternyata bahwa kau tidak berani bertempur melawan aku sekarang.”
Dan suara tertawa Mahisa Agni yang
menyakitkan hati itu terdengar lagi, “Memang ada perasaan segan padaku
untuk berkelahi melawan kau, Kuda Sempana Aku pasti hanya akan merasa
seperti anak-anak yang sedang sekedar bermain-main. Permainan yang
menjemukan.”
“Cukup.” teriak Kuda Sempana, “kau sudah
cukup banyak menghina aku Agni. Sekarang ayo kita mulai. Cepat. Kalau
tidak, melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu.”
“Tunggu.” berkata Mahisa Agni, “kalau kau
mampu lakukanlah. Tetapi ingat, bahwa aku telah berhasil mengalahkan
Kebo Sindet. Aku tidak akan berkeberatan kalau kau selalu mendesakku.
Aku akan segera berbuat sesuatu. Tetapi kau pun harus ingat, bahwa aku
bukan Kebo Sindet. Aku adalah seorang anak Panawijen.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Dan
Mahisa Agni berkata seterusnya, “Aku adalah anak Panawijen yang paling
dahsyat mengalami akibat dari perbuatanmu. Nah, kau akan dapat
membayangkan, apakah yang kira-kira dapat aku lakukan atasmu. Aku pernah
berada bersamamu di dalam sarang iblis itu, sehingga aku dapat mengerti
berbagai macam cara yang dipergunakan oleh Kebo Sindet. Bukankah itu
yang kau cemaskan, apabila kau berada di tengah-tengah orang-orang
Panawijen?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
Kepalanya menjadi semakin tegang, dan otot-otot di keningnya bermunculan
seolah-olah akan meledak.
“Atau…” berkata Mahisa Agni, “aku dapat
membuatmu tidak berdaya, tetapi tidak membunuhmu. Aku dapat membawamu
kepada orang-orang Panawijen yang kau sangka akan membunuhmu dengan cara
yang kau takuti itu.”
Dada Kuda Sempana berdentangan semakin
keras mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ketakutan, kecemasan dan
kemarahan bercampur baur di dalam dirinya. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan kenyataan yang diakuinya di dalam hatinya, bahwa
sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni akan mampu berbuat demikian apabila
dikehendaki.
Karena itu maka perasaan ngeri yang sangat telah merambati jantungnya.
Namun Kuda Sempana ternyata menjadi
semakin berputus asa. Ia tidak dapat membuat pertimbangan-angan lagi.
Kini ia benar-benar ingin membunuh dirinya. Berkelahi dan mati. Tetapi
kematian itu akan lebih baik daripada mati ditangan orang-orang
Panawijen.
Sebelum Mahisa Agni sempat berbicara
lagi, maka Kuda Sempana sudah menyerangnya pula. Semakin lama semakin
dahsyat. Dan sekali lagi Mahisa Agni harus melayaninya, seperti melayani
adik tersayang yang sedang bermain kejar-kejaran.
“Apakah kau tidak mengerti maksudku Kuda Sempana?” bertanya Mahisa Agni.
Kuda Sempana tidak menjawab. Ia menyerang semakin garang, sehingga Mahisa Agnipun menjadi semakin sibuk menghindarinya.
Tetapi akhirnya Mahisa Agni sampai pada
puncak permainannya. Ia ingin segera menghentikan polah Kuda Sempana.
Dengan demikian maka Mahisa Agni kemudian tidak membiarkan dirinya terus
menerus menghindar dan menjauh. Pada saatnya, maka Mahisa Agnipun
segera mengambil peranan.
Ketika Kuda Sempana dengan garangnya
menyerang Mahisa Agni seperti seekor elang menyambar mangsanya, maka
dengan gerak yang tidak kalah cepatnya Mahisa Agni menghindar. Tetapi
yang sama sekali tidak terduga-duga oleh Kuda Sempana, tiba-tiba saja
Mahisa Agni itu menyerangnya. Serangan itu dengan tiba-tiba dan
terlampau cepat bagi Kuda Sempana, sehingga ia tidak mampu untuk
menghindarkan diri. Bahkan ia sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk menangkis. Yang terasa olehnya kemudian adalah sentuan ibu jari
tangan Mahisa Agni di punggungnya. Dua kali. Di sebelah menyebelah
tulang punggungnya.
Meskipun sentuhan itu tidak terlampau
keras, tetapi terasa sekujur tubuh Kuda Sempana menggigil. Sejenak
disadarinya, bahwa sentuhan-sentuhan itu tepat mengenai bintik-bintik
syarafnya. Dua dari padanya telah tersentuh oleh tangan Mahisa Agni
sehingga tidak bekerja sewajarnya. Terasa kemudian kepala Kuda Sempana
menjadi pening, dan seolah-olah ia kehilangan syaraf keseimbangannya.
Terasa Padang Karautan itu berputar, semakin lama semakin cepat. Bahkan
kemudian kudanya dan dirinya sendiri ikut pula berputar. Dengan gerak
naluriah, maka ia menarik kekang kudanya dengan sisa-sisa tenaganya yang
masih ada sehingga kudanya berhenti. Tetapi putaran yang semakin cepat
itu masih terasa membelit dirinya, sehingga Kuda Sempana harus
memejamkan matanya. Meskipun demikian, ia masih merasakan seakan-akan
tubuhnya telah hanyut dalam suatu arus pusaran dari air yarg terhisap ke
dalam bumi dengan derasnya.
Sejenak Kuda Sempana masih dapat
bertahan. Tetapi sejenak kemudian ia telah benar-benar kehilangan
keseimbangan, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi miring. Ia tidak dapat
lagi tetap duduk di atas punggung kudanya, karena ia sudah tidak dapat
menguasai keseimbangan dirinya lagi.
Kuda Sempana masih tetap sadar ketika ia
terdorong ke samping dan jatuh dari atas punggung kuda itu. Tetapi ia
merasa pula bahwa seseorang telah menahannya dan kemudian menariknya.
Sesaat Kuda Sempana membuka matanya. Dalam putaran yang semakin cepat ia
melihat Mahisa Agni meletakkannya berbaring di atas rerumputan yang
kekuning-kuningan meskipun tanah di bawahnya telah menjadi basah.
“Lepaskan, lepaskan.” ia berteriak.
Dengan marahnya Kuda Sempana berusaha untuk bangkit. Tetapi sekali lagi
ia terjatuh karena tanah tempatnya berpijak seolah-olah berputar semakin
cepat.
“Jangan mencoba bangun Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni.
“Persetan. Ayo, bunuhlah aku.”
“Dengan pedang?”
“Terserah kepadamu.”
“Tidak. Aku tidak akan memembunuhmu. Akan
aku biarkan saja kau di sini. Bila terik matahari membara di langit,
kau akan kepanasan, tetapi bila hujan yang lebat turun, kau akan
kedinginan. Itu akan terjadi terus-menerus sebelum anjing-anjing liar
menemukanmu di sini. Aku tidak tahu, manakah yang lebih buas,
anjing-anjing liar itu atau buaya-buaya kerdil di rawa-rawa
Kemundungan.”
“Setan.” Kuda Sempana mengumpat, “ayo, bunuh aku.”
“Ya, aku memang sedang membunuhmu. Tetapi tidak dengan ujung pedang. Aku mempunyai caraku sendiri.”
“Pengecut, pengkhianat. Ternyata kau lebih jahat dari Kebo Sindet.”
“Mungkin. Mungkin aku lebih jahat dari Kebo Sindet. Tetapi aku kira orang-orang Panawijen itu tidak akan berbuat begitu atasmu.”
Terdengar Kuda Sempana menggeram. Tetapi
ia tidak dapat membuka matanya. Ia masih merasa dirinya berputar. Sambil
meng-umpat-umpat ia memegang kedua belah keningnya dengan telapak
tangannya. Tetapi ia tidak dapat menolong dirinya. Syaraf
keseimbangannya ternyata sedang terganggu.
Tiba-tiba Kuda Sempana merasa sentuhan
pada punggungnya. Ia merasakan urutan yang menyelusur sisi tulang
belakangnya. Kemudian sebuah tekanan yang keras sehingga terasa
punggungnya menjadi sakit sekali.
“Patahkan. Patahkan punggungku.” ia berteriak, “berbuatlah sekehendak hatimu. Tetapi bunuhlah aku secepatnya.”
Tidak terdengar jawaban. Tetapi terasa
sesuatu merayapi kepalanya. Kemudian perlahan-lahan terasa kepalanya
tidak berputar lagi, sehingga sedikit demi sedikit ia membuka matanya.
“Duduklah.” terdengar suara Mabisa Agni, “buka matamu. Kau sudah baik.”
Kuda Sempana membuka matanya
perlahan-lahan. Dilihatnya Mahisa Agni berdiri di sampingnya. Meskipun
kepalanya masih terlampau pening, tetapi Padang Karautan itu sudah tidak
berputaran lagi.
Sesaat Kuda Sempana membeku, duduk di
atas rerumputan. Digelengkannya kepalanya dan dipijitnya keningnya.
Perasaan pening itu masih mengganggu. Tetapi perlahan-lahan menjadi
semakin berkurang. Ketika ia kemudian berpaling di lihatnya Mahisa Agni
telah duduk di sampingnya.
Tiba-tiba isi dadanya meluap kembali.
Dengan serta-merta ia meloncat berdiri Meskipun kepalanya masih terasa
pening namun ia berkata, “Kenapa tidak kau bunuh saja aku Agni, Sekarang
aku sudah mampu lagi berkelahi melawanmu. Ayo, atau kau lah yang akan
aku bunuh.”
Mahisa Agni masih tetap duduk di
tempatnya. Dipandanginya Kuda Sempana dengan tenangnya. Kemudian
terdengar ia berkata perlahan-lahan, “duduklah Kuda Sempana.”
“Tidak. Aku akan bertempur sampai mati.”
“Jangan terlampau keras kepala. Kau sebenarnya sudah menyadari keadaanmu. Tetapi kau mencoba untuk bertahan pada pendirianmu.”
Kuda Sempana tidak segera menyahut.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni tajam-tajam. Hatinya berdesir ketika ia
mendengar Mahisa Agni berkata, “Lihat Kuda Sempana, itu pedangmu yang
kau lemparkan kepadaku. Ambillah, mungkin kau masih memerlukannya.”
Kuda Sempana masih berdiri di tempatnya. Perasaan aneh telah menjalari dadanya, sehingga sejenak ia terpaku diam.
“Ambillah, dan duduklah. Aku ingin berbicara. Dengan mulut, tidak dengan pedang.”
Kuda Sempana sama sekali tidak bergerak. Tidak beranjak dan tidak menyahut.
“Kau masih belum mempercayainya. Jangan
kau takut-takuti hatimu dengan soal-soal yang kau buat-buat di dalam
kepalamu sendiri. Kau buat bayangan-bayangan yang menakutkan dan
kemudian kau sendiri menjadi ketakutan karenanya. Kau reka-reka di dalam
angan-anganmu sesuatu yang mengerikan. Tetapi kemudian kau percayai
angan-angan itu seolah-olah benar-benar akan terjadi.”
Kuda Sempana masih mematung.
“Ambillah pedangmu. Cepat.” Kuda Sempana masih belum bergerak.
“Kenapa kau masih diam? Apakah kepalamu masih pening atau bahkan seakan-akan masih berputaran.”
Tanpa sesadarnya Kuda Sempana menggeleng.
“Nah, kalau begitu, ambil pedangmu.” Kuda
Sempana tidak menyadari, pengaruh apakah yang telah menggerakkannya
melangkah ke arah pedangnya yang terletak di tanah. Ia berpaling dengan
penuh keragu-raguan, kemudian membungkuk memungut pedangnya itu. Dengan
ragu-ragu disarungkannya pedangnya pada wrangkanya.
Mahisa Agni yang masih duduk di tempatnya
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata atas kehendaknya sendiri Kuda
Sempana telah menyarungkan pedangnya. Dengan demikian ia berharap bahwa
ia untuk selanjutnya akan dapat berbicara dengan baik-baik. Tetapi untuk
sesaat Mahisa Agni masih berdiam diri ditempatnya. Dipandanginya saja
Kuda Sempana yang kemudian melangkah perlahan-lahan ke arahnya.
“Duduklah.” berkata Mabisa Agni kemudian.
“Tidak.” jawab Kuda Sempana. Tetapi suaranya telah menjadi lemah, “aku masih ingin bertempur.”
“Duduklah.” ulang Mahisa Agni. Ternyata
kata-katanya itu mengandung perbawa yang kuat, yang tidak terlawan oleh
Kuda Sempana dalam keadaannya itu. Karena itu, maka seolah-olah tanpa
dikehendakinya sendiri, ia pun perlahan-lahan meletakkan dirinya, duduk
beberapa langkah dari Mahisa Agni.
“Kuda Sempana.” berkata Mahisa Agni,
“maaf, bahwa aku telah membuatmu kehilangan keseimbangan. Bukan maksudku
untuk menyakitimu, tetapi aku hanya ingin berbuat demikian sebagai
pengantar pembicaraan. Kau tidak dapat mendengarkan kata-kataku tanpa
sedikit tekanan. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan mengganggumu
untuk seterusnya.”
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba kepalanya menunduk.
“Kau terlampau jauh berprasangka atas
orang-orang Panawijen. Aku tahu, bahwa kau ternyata telah dikejar-kejar
oleh perasaan bersalah. Tetapi dengarlah aku, bahwa orang-orang
Panawijen tidak akan berbuat apa-apa atasmu. Aku akan menjelaskan kepada
mereka, bahwa kau telah menyesali segala kesalahan itu. Bahwa keadaanmu
telah membuat kau terbangun dari mimpi yang buruk itu.”
“Kau menjebakku.” sahut Kuda Sempana meskipun sudah tidak terlampau garang.
“Buat apa aku menjebakmu? Kalau aku mau,
aku dapat berbuat apa saja atasmu. Karena itu aku terpaksa membuatmu
kehilangan keseimbangan. Maksudku, supaya kau sadari, bahwa aku dapat
berbuat seperti yang kau angan-angankan itu tanpa membujukmu, kemudian
menangkapmu beramai-ramai. Aku sendiri mampu melakukannya. Melumpuhkan
kau, mengikatmu dibelakang kudaku dan menyeretmu kepada orang-orang
Panawijen itu untuk bersama-sama mencincang mu. Tetapi aku tidak
melakukannya. Masihkah kau menganggap bahwa aku sedang membujukmu?
Masihkah kau menganggap bahwa karena aku tidak mampu menangkapmu
sendiri, lalu aku menjebakmu di antara orang-orang Panawijen dan
prajurit-prajurit Tumapel?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
Perlahan-lahan pikirannya mulai bekerja kembali, meskipun harus dituntun
setapak demi setapak oleh Mahisa Agni. Tetapi sejenak kemudian
tumbuhlah pengakuan di dalam diri Kuda Sempana bahwa Mahisa Agni itu
berkata sebenarnya. Ia dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Tetapi
ia tidak berbuat demikian.
Dalam kediamannya ia mendengar suara
Mahisa Agni, “Marilah. Berdirilah. Kita kembali kepada orang-orang
Panawijen yang pasti sedang dihadapkan pada suatu teka-teki tentang diri
kita.”
Sekali lagi Kuda Sempana didorong oleh
suatu kekuatan yang tidak dimengertinya, membawanya berdiri dan
melangkah kearah kudanya yang sedang asyik makan rumput. Dan sejenak
kemudian keduanya telah berada di punggung kuda masing-masing, yang
berlari kembali ke perkemahan orang-orang Panawijen dan
prajurit-prajurit Tumapel.
YANG BERGUGURAN.
Betapa beratnya, namun Kuda Sempana
akhirnya dapat diterima juga oleh orang-orang Panawijen dan
Prajurit-prajurit Tumapel atas tanggung jawab Mahisa Agni. Meskipun
dengan membentak-bentak dan berteriak namun Akuwu Tunggul Ametung pun
memaafkannya pula. Tetapi untuk sementara Kuda Sempana diserahkan kepada
Ken Arok dan Mahisa Agni, supaya diawasinya. Dan untuk sementara Kuda
Sempana harus tetap berada di Padang Karautan bersama-sama dengan Ken
Arok dan orang-orang Panawijen.
“Kau tidak dapat berada kembali dilingkungan istana.” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
Kuda Sempana menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia menyahut, “Hamba berterima
kasih sekali bahwa Tuanku tidak menggantung hamba di alun-alun.
Dimanapun hamba akan diletakkan hamba tidak akan berkeberatan.”
Kuda Sempana yang sudah agak lama tidak
bergaul dengan Akuwu terkejut ketika tiba-tiba Akuwu berteriak, “Apa
hakmu untuk berkeberatan, he?”
Kuda Sempana menjadi gelisah. Tetapi
dicobanya untuk mengingat-ingat sifat-sifat Akuwu Tunggul Ametung, pada
saat ia masih berada di istana.
“Kau tidak punya hak sama sekali untuk berkata begitu. Kau memang harus menjalani setiap perintahku.”
“Hamba Tuanku.” jawab Kuda Sempana.
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil meraba-raba dagunya. Kemudian
kepada Mahisa Agni ia berkata, “Bagaimana dengan kau?”
“Hamba tinggal di padang ini Tuanku.” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kau harus pergi ke istana.
Terserah kepadamu. Sehari atau dua hari, supaya adikmu percaya, bahwa
kau masih hidup. Supaya ia menjadi agak tenteram dan tidak selalu
dicengkam oleh kegelisahan dan kebingungan. Kegelisahannya adalah
kegelisahanku. Dan kegelisahanku adalah kegelisahan seluruh Tumapel.”
Mahisa Agni termenung sejenak. Ia dapat
mengerti, betapa Ken Dedes selalu gelisah memikirkannya. Ia adalah
satu-satunya orang yang masih dianggap keluarganya. Tetapi bagaimanakah
dengan dirinya sendiri?
“Bagaimana?” desak Akuwu Tunggul Ametung, “aku memerlukanmu. Untuk kepentingan adikmu.”
Akhirnya Mahisa Agni tidak dapat menolak
lagi. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, “Hamba
akan menurut segala perintah Tuanku. Hamba akan ikut serta ke istana
untuk sehari atau dua hari. Selebihnya hamba akan tinggal di dekat
bendungan ini, bendungan yang masih harus diselesaikan ini.”
“Untuk selanjutnya terserah kepadamu.
Besok kita berangkat. Kembali ke Tumapel. Kuda Sempana tinggal di sini.
Untuk sementara aku serahkan kepada Ken Arok selama Mahisa Agni berada
di Tumapel. Untuk seterusnya orang itu menjadi tanggung jawab kalian
berdua. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya hampir bersamaan menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Baik.” berkata Akuwu itu selanjutnya,
“tetapi taman itu harus segera siap pula. Setelah Mahisa Agni berada
kembali di sini, maka kau mendapat kesempatan lebih banyak Ken Arok.
Kecuali perhitunganmu terhadap banjir yang setiap saat dapat melanda
bendungan itu, maka taman itu pun harus mendapat perhatian pula Di sini
sekarang ada Ken Arok, Mahisa Agni dan Kebo Ijo.”
Sekali lagi hampir bersamaan Ken Arok dan Mahisa Agni menjawab, “Hamba Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya Kebo Ijo duduk di sudut
ruangan itu pula. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Karena itu
Akuwu tidak melihat, bahwa anak bengal itu sedang menahan senyumnya
kuat-kuat. Baginya semua itu terasa terlampau menggelikan.
Sesaat kemudian kepada Witantra, Akuwu
berkata, “Besok, pada pagi-pagi hari kita berangkat kembali ke Tumapel.
Siapkan orang-orangmu.”
Kini Witantra lah yang menjawab sambil mengangguk, “Hamba Tuanku.”
Pembicaraan itu pun segera berakhir.
Masing-masing pergi kepada kewajibannya. Tetapi ternyata matahari telah
menjadi terlampau rendah dan sesaat kemudian hilang di balik garis batas
di ujung Barat. Ketika Mahisa Agni mengangkat wajahnya, dilihatnya awan
yang kelabu mengambang di langit perlahan-lahan hanyut oleh arus angin
padang yang basah.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan lebat.” desisnya.
Selangkah-selangkah ia berjalan menuju ke
bendungan. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah
beristirahat. Untuk sementara mereka tidak lagi bekerja siang dan malam
sejak bendungan itu dilanda banjir. Mereka seolah-olah memerlukan waktu
beristirahat sehari dua hari setelah memeras seluruh tenaga dan
ketegangan perasaan yang memuncak. Tetapi di siang hari, mereka bekerja
dengan sepenuh tenaga pula, sehingga bendungan itu sudah memiliki alat
pengaman yang lebih banyak, setelah banjir yang pertama memberi mereka
petunjuk-petunjuk letak kelemahannya.
Ketika Mahisa Agni berada di ujung
bendungan, terasa hatinya berdesir. Bendungan yang dahulu hanya ada di
dalam angan-angannya, yang pada saat ia meninggalkan tempat itu masih
belum berbentuk, kini benar-benar telah ada. Bendungan itu benar-benar
telah berwujud. Bahkan bendungan itu telah lulus pada ujiannya yang
pertama.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Meskipun senja menjadi
semakin samar, namun ia masih dapat melihat jalur-jalur yang menggores
Padang Karautan itu. Susukan induk yang menjelujur ketengah-tengah
padang dan akan menumpahkan airnya di sendang buatan, di dalam taman
yang dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian parit-parit yang
menyelusur seperti akar pepohonan di dalam tanah. Kotak-kotak sawah
dengan pematang-pematangnya.
Semuanya itu telah membuat dada Mahisa Agni seolah-olah mengembang.
Karena itu maka sejenak ia berdiri
mematung. Dipandanginya alam yang terbentang di hadapannya. Alam yang
luas, yang baru mulai dijamah oleh tangan manusia.
“Mudah-mudahan kami berhasil.” desis Mahisa Agni, “mudah-mudahan apa yang kami lakukan ini dibenarkan oleh Yang Maha Agung.”
Ketika kemudian angin yang lembut
mengusap keningnya, maka Mahisa Agni pun mengusap wajahnya. Terasa udara
yang dingin menyusup sampai ke pembuluh darahnya.
Di dalam dadanya berdesir suatu kebanggan
dan harapan yang tidak terkira, karena bendungan yang kini tinggal
mengetrapkan penyelesaian yang terakhir dan merampungkan jalur-jalur
pengaman apabila banjir datang terlalu deras. Impian yang dahulu
tersimpan di dalam hatinya itu kini telah hampir berwujud. Sekian lama
ia berada di dalam kungkungan iblis Kemundungan, tetapi sekian lama
pekerjaan ini berjalan terus.
Tepat pada saatnya ia berhasil melepaskan diri, bendungan ini telah sampai pada penyelesaian terakhir.
Apalagi apabila di ujung susukan induk
ini kelak akan dibangun sebuah taman. Maka daerah ini, yang dahulu
merupakan jantung Padang Karautan yang jarang diambah oleh manusia,
kelak pasti akan menjadi suatu padepokan yang subur dan semakin-lama
akan menjadi semakin ramai.
Betapa angan-angan yang dipenuhi oleh harapan itu mencengkam dada Mahisa Agni, sehingga untuk sejenak ia merenung ditempatnya.
Baru ketika terasa gerimis kecil
menyentuh tubuhnya Mahisa Agni menyadari dirinya. Ditengadahkan wajahnya
dan dilihatnya langit yang hitam.
“Hujan.” desisnya, “Mudah-mudahan banjir tidak datang terlampau keras.”
Mahisa Agni masih mendengar deru air yang
masih agak deras mengalir di sungai yang telah dibatasi oleh bendungan
itu. Tetapi dalam kegelapan malam Mahisa Agni tidak dapat melihat,
betapa keruh dan betapa banyak sesungguhnya air yang tertahan di atas
bendungan itu.
Karena gerimis menjadi semakin deras,
maka Mahisa Agnipun segera meninggalkan bendungan itu kembali ke dalam
gubugnya. Perlahan-lahan ia bergumam di dalam dirinya, “Besok aku harus
ikut bersama Akuwu ke Tumapel. Mudah-mudahan tidak terlampau lama berada
disana. Aku ingin menunggui bagaimana bendungan ini terselesaikan.”
Begitu asyik Mahisa Agni bergelut dengan
angan-angannya, sehingga ia tidak melihat seseorang berdiri di ujung
perkemahan. Mahisa Agni berjalan bebera langkah dimuka orang itu, tetapi
Mahisa Agni yang berjalan sambil menunduk itu tidak melihatnya.
Baru ketika orang itu terbatuk kecil,
langkah Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya, dan dilihatnya
seseorang berdiri acuh tidak acuh.
“Kau Kebo Ijo.” sapa Mahisa Agni.
Kebo Ijo berpaling. Desisnya, “Darimana kau Mahisa Agni?”
“Aku melihat bendungan itu Kebo Ijo.
Ternyata aku menjadi sangat berterima kasih, bahwa selama aku tidak ada
di sini, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel telah
menyelesaikannya.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Dan
sesaat kemudian Mahisa Agni menjadi terkejut karena Kebo Ijo tiba-tiba
saja tertawa. Katanya, “Kenapa kau berterima kasih kepada kami semua
yang selama ini bekerja tidak mengenal lelah, siang dan malam, apalagi
ketika banjir yang pertama itu melanda bendungan yang belum siap benar
itu. Akuwu sendiri telah banyak sekali berbuat untuk mcnyelamatkannya,
bahkan menyelamatkan Ken Arok sendiri.”
“Justru karena itulah aku sangat berterima kasih.” jawab Mahisa Agni.
Suara tertawa Kebo Ijo mengeras. Katanya, “Aneh sekali. Apakah hakmu untuk menyatakan terima kasih kepada kami.”
Mahisa Agni terdiam. Sepasang matanya
memancarkan berbagai pertanyaan yang bergolak di dalam dadanya. Ia sama
sekali tidak mengerti arah pembicaraan Kebo Ijo. Namun sejenak kemudian
ia mendengar Kebo Ijo itu berkata lebih lanjut, “Mahisa Agni, kau yang
sama sekali tidak ikut berbuat apapun atas bendungan itu, jangan
terlampau ikut berbangga karenanya. Apalagi kau merasa bahwa seakan-akan
kaulah yang berhak untuk disebut sebagai pahlawan. Kau mungkin merasa
bahwa bendungan itu bendunganmu, sehingga kau merasa wajib dan berhak
berterima kasih kepada kami.” Kebo Ijo itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi ketahuilah, bahwa bendungan itu bukan bendunganmu. Bendungan itu
adalah milik kami yang telah bekerja mati-matian. Sekarang kau datang
ke dalam lingkungan kami. Akulah yang lebih berhak mengucapkan terima
kasih kepadamu, seandainya kau mau membantu meskipun sekedar melemparkan
sebongkah batu disaat terakhir. Itupun barangkai tidak dapat kau
lakukan. Bukankah kau besok harus pergi ke Tumapel bersama Akuwu untuk
menengok adikmu yang terlampau manja itu? Nah, tinggallah di Tumapel
sepekan atau sebulan. Datanglah kemari apabila bendungan itu telah
selesai. Tetapi ingat, jangan mengucapkan terima kasih kepadaku. Setelah
kau tidak mempunyai sangkut paut dengan bendungan ini.”
Terasa dada Mahisa Agni berdesir.
Wajahnya sekilas dijalari oleh warna merah. Tanpa sesadarnya
dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Sepi. Tak ada seorangpun
yang tampak. Tetapi Mahisa Agni tidak tahu, apakah orang-orang yang
berada di dalam gubug itu sudah tidur atau masih bangun dan mendengar
percakapan itu.
“Nah.” berkata Kebo Ijo, “sekarang
tidurlah. Jangan kau hiraukan lagi bendungan itu. Ia telah tumbuh tanpa
kau. Dan ia akan siap pula tanpa bantuanmu.”
Terasa goresan di dada Mahisa Agni
menjadi semakin dalam. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam
hatinya, “Apakah demikian anggapan setiap orang yang berada di
perkemahan ini? Apakah mereka menganggap bahwa aku sama sekali tidak
berarti lagi bagi mereka, karena aku tidak ikut serta berbuat banyak?
Apakah demikian pula anggapan orang-orang Panawijen?”
Setitik keringat dingin mengembun di
kening Mahisa Agni. Namun ia masih saja berdiam diri dalam kenangan
seribu macam pertanyaan.
Kebo Ijo melihat kebimbangan di dalam
sikap Mahisa Agni. Agaknya kata-katanya berhasil menusuk langsung
kedalam hati anak muda itu. Maka timbullah kegembiraan di hati Kebo Ijo
yang aneh itu. Ia memang bertabiat demikian. Dan tabiatnya itulah yang
telah mendorongnya kedalam perbuatan-perbuatan yang berbahaya bagi
dirinya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka
berkata Kebo Ijo itu, “Apa lagi yang kau tunggu Agni. Pergilah tidur.
Kau dapat menganyam angan-angan, bahwa kau besok akan bertemu dengan
adikmu yang kini telah menjadi seorang permaisuri. Kau akan ikut
merasakan kamukten yang didapatkannya. Nah, nikmatilah. Tetapi jangan
menyinggung tentang bendungan ini.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Terasa pergolakan di dalam dadanya menjadi semakin keras.
“Tetapi sambutan orang-orang Panawijen
itu begitu baik kepadaku. Bahkan prajurit-prajurit Tumapel pun bersikap
baik.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
“Jangan bersedih.” berkata Kebo Ijo
seterusnya, “kau memang lebih baik berada di Tumapel. Nunut kamukten
yang didapatkan oleh adikmu dengan modal parasnya yang cantik.”
“Cukup.” tiba-tiba Mahisa Agni memotong,
“kau boleh menghina aku dengan cara apapun, tetapi jangan menghina orang
lain yang kau sangkut pautkan dengan aku. Sikapmu itu sejak dahulu
memuakkan sekali bagiku. Mungkin kau benar, bahwa aku memang tidak dapat
ikut berbangga dengan bendungan itu. Tetapi seandainya aku berbangga di
dalam hati, itu adalah hakku, karena aku ikut serta meletakkan dasar
bagi terbangunnya bendungan ini. Akulah yang memilih tempat, membuat
rencananya dan memulainya Tetapi aku tidak akan memperhitungkannya
seperti seseorang yang meminjamkan jasanya kepada orang lain. Dihargai
atau tidak dihargai, diakui atau tidak diakui itu sama sekali bukan
urusanku dan bukan tujuanku. Siapapun yang membangun bendungan ini, aku
tidak peduli. Tetapi aku merasa bersenang hati bahwa orang-orang
Panawijen akan mendapat tempat dan ruangan baru untuk hidup. Tetapi yang
sangat memuakkan adalah caramu menghina aku dan keluargaku. Kau
sebut-sebut nama Ken Dedes dengan cara yang sangat menyakitkan hati.”
Dada Mahisa Agni berguncang ketika justru
ia mendengar Kebo Ijo tertawa, “Apakah kau menjadi sakit hati
karenanya? Aku mengatakan yang sebenarnya. Sama sekali bukan ceritera
yang aku hisap dari ujung ibu jari kakiku. Bukankah Akuwu mengambil Ken
Dedes dari Kuda Sempana dan Sempana mengambilnya karena ia cantik?”
Terasa dada Mahisa Agni bergetar, Tetapi
justru dengan demikian ia menyadari keadannya sepenuhnya. Karena itu
maka iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah hendak mengendapkan
segala macam perasaan yang membakar dadanya. Kini ia sadar
sesadar-sadarnya bahwa Kebo Ijo sengaja membuatnya marah. Ia tidak tahu,
apakah maksud anak muda itu. Tetapi bukanlah sebaiknya untuk
melayaninya. Seandainya demikian, maka pasti akan timbul keributan,
justru pada saat Akuwu Tunggul Ametung ada diperkemahan itu, dan justru
setelah ia datang, sehingga kesan tentang dirinya pasti akan menjadi
kurang baik. Pasti ada orang yang menganggap bahwa setelah diperkemahan
itu ada Mahisa Agni, maka timbullah suatu bentrokan diantara mereka.
Karena itu, maka Mahisa Agni itupun berusaha untuk menahan hatinya
kuat-kuat. Dianggapnya ia tidak mendengar apapun. Dianggapnya suara Kebo
Ijo itu seperti bunyi desir angin di dedaunan.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni tidak
mau mendengarkannya lagi. Ia ingin meninggalkannya dan pergi ke gubug
yang disediakan untuknya bersama beberapa orang lain. Tetapi ketika baru
saja kakinya melangkah ia mendengar Kebo Ijo itu tertawa lagi, “He,
kemana? Tidur? Baiklah. Tetapi sekali lagi, jangan mimpi tentang gelar
pahlawan karena kau berhasil membuat bendungan. Lebih baik kau bermimpi
tentang adikmu yang berhasil menjerat hati Akuwu karena kecantikannya.”
Kebo Ijo berhenti sejenak, “He, adikmu memang cantik. Itulah sebabnya
kakang Mahendra pernah menjadi gila dan berkelahi dengan kau di luar
padukuhanmu karena kau mengaku bakal suami gadis itu.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan
hati. Seandainya Mahisa Agni masih belum mendapatkan kemantapan tentang
dirinya dan berhasil mengalahkan Kebo Sindet, maka Kebo Ijo pasti sudah
diterkamnya. Tetapi kini sikapnya menjadi lain. Ia tidak menyerangnya.
Ditahankannya kemarahan di dalam hatinya. Namun terdengar giginya
bergemeretak.
Tetapi tiba-tiba mereka berdua, Mahisa
Agni dan Kebo Ijo terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar dari balik
perkemahan seseorang berkata, “Kau sudah menjadi gila Kebo Ijo.”
Ketika mereka berpaling, mereka melihat
Witantra berdiri di sudut sebuah gubug yang pendek, “Apakah kau sadari
apa yang kau katakan. Aku mendengar sebagian besar dari kata-katamu. Aku
sengaja membiarkannya karena aku ingin tahu, bagaimanakah sikapmu
sebenarnya. Dan kini aku melihatnya.” Witantra berhenti sejenak, lalu,
“sebagai seorang pengawal bahkan yang diserahi tanggung jawab atas
keselamatan, tubuh dan namanya, aku menganggap bahwa kau sudah
sepantasnya mendapat hukuman. Kau telah menghina Tuan Putri Ken Dedes.”
Kebo Ijo sejenak menjadi pucat. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Aku hanya bergurau kakang.”
“Tidak, kau tidak sedang bergurau. Aku
dapat membedakan nada yang sama sekali bukan bergurau.” Witantra
memotong, “tetapi sebagai seorang tua aku akan berbuat lain. Aku masih
melihat kemungkinan yang baik dihari depanmu yang panjang. Karena itu,
aku minta, supaya kau cabut kata-katamu supaya kesalahanmu dimaafkan.
Dan kau harus minta maaf pula kepada Mahisa Agni. Lakukanlah.”
Sepercik warna merah membayang di wajah
Kebo Ijo. Ia tidak menyangka bahwa ada orang lain yang mendengar
kata-katanya, apalagi kakak seperguruannya yang gubugnya jauh berada di
ujung lain.
Karena itu untuk sejenak ia berdiri saja
mematung. Agaknya kakaknya itu mendengar seluruh pembicaraannya. Dan
kakaknya tidak percaya bahwa ia hanya sekedar bergurau saja. Namun yang
tidak disangka-sangka oleh Kebo Ijo, adalah bahwa kakaknya itu
menyuruhnya untuk mencabut kata-katanya dan minta kepada Mahisa Agni.
Karena Kebo Ijo masih berdiam diri, maka Witantra itu berkata pula, “Lakukanlah Kebo Ijo, Hukuman itu terlampau ringan buatmu.”
Tetapi Kebo Ijo tidak segera berbuat sesuatu. Wajahnya yang pucat, kemudian kemerah-merahan, kini menjadi tegang.
“Apakah kau tidak bersedia?” Tidak ada jawaban.
Namun sekali lagi mereka terkejut ketika
mereka mendengar seseorang berkata, “Kebo Ijo, sebaiknya kau tinggalkan
kebiasaanmu yang buruk itu.”
Serentak mereka berpaling, dan segera mereka melihat siapakah yang berbicara itu. Ken Arok.
“Sudah beberapa kali aku nasehatkan, jangan membuat soal-soal yang tidak perlu.”
Wayah Kebo Ijo menjadi semakin tegang.
Dan ia mendengar Witantra berkata semakin keras pula, “Lakukanlah. Kau
harus mencabut kata-katamu dihadapanku, pimpinan pengawal Akuwu Tunggul
Ametung dan kini ada dua saksi. Kemudian kau harus minta maaf kepada
Mahisa Agni.”
Kebo Ijo kini berdiri gemetar. Ia tidak
membayangkan bahwa hal serupa itu akan mungkin dilakukannya. Sejenak ia
dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi menilik sorot mata kakak
scperguruannya, ia tidak dapat bermain-main lagi. Kakaknya itu agaknya
benar-benar marah kepadanya. Apalagi kini telah hadir pula Ken Arok,
yang ternyata mendengar pula pembicaraannya.
“Lakukanlah Kebo Ijo.” terdengar suara
Ken Arok, “bukan suatu penghinaan bagimu. Tetapi dengan demikian kau
akan selalu teringat, bahwa sikapmu yang demikian itu sama sekali tidak
menguntungkan bagimu dan bagi siapapun juga. Kaupun harus ingat,
bagaimana kau untuk pertama kali berada ditempat ini. Belum sehari kau
sudah menumbuhkan persoalan. Sekarang, kedatangan Mahisa Agni kau
songsong dengan sikapmu yang aneh itu.”
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin tegang. Setitik keringat dingin merentul di dahinya.
“Lakukanlah.” berkata Witantra. Ia nampak bersungguh-sungguh.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah
suara Mahisa Agni, “Kebo Ijo. Kalau kakakmu menghendaki kata-katamu itu
dicabut, cabutlah. Tetapi bahwa kau harus minta maaf kepadaku hal itu
tidak perlu kau ucapkan dengan kata-kata, tetapi asal pengakuan bersalah
itu telah tumbuh di dalam hatimu, sebenarnya telah cukup bagiku.”
Kebo Ijo berpaling sejenak. Dipandanginya
wajah Mahisa Agni. Sekilas tampak perubahan pada wajah itu, tetapi
Mahisa Agni sama sekali tidak tahu, apakah yang bergolak di dalam dada
Kebo Ijo, sehingga terungkap pada perubahan wajah itu. Namun sejenak
kemudian Kebo Ijo itu menundukkan wajahnya.
Witantra dan Ken Arok merasakan sentuhan
yang lembut di dalam hati mereka. Pernyataan Mahisa Agni itu benar-benar
telah menumbuhkan perasaan hormat di dalam diri mereka. Sehingga dengan
demikian, maka sejenak mereka terdiam.
Padang Karautan itu pun kemudian menjadi
sunyi. Suara bilalang terdengar bersahut-sahutan dikejauhan.
Sekali-sekali terasa angin yang lembut mengusap wajah-wajah mereka yang
tegang.
Sejenak kemudian terdengar suara
Witantra, “Kebo Ijo, kau benar-benar harus menyadari keadaan dirimu.
Memang sulit untuk mencari kesempatan seperti yang diberikan oleh Mahisa
Agni kepadamu. Tetapi kau harus benar-benar mengakui di dalam hatiniu,
bahwa kau telah berbuat salah. Sekarang katakanlah, bahwa kau telah
mencabut ucapanmu tentang Tuan Puteri. Dan katakanlah di dalam hatimu
seperti yang dimaksudkan oleh Mahisa Agni, bahwa kau menyesali
perbuatanmu.”
Kebo Ijo mengangkat wajahnya.
Dipandanginya kakak seperguruannya, Ken Arok dan Mahisa Agni
berganti-ganti. Tetapi ia sadar, bahwa kakaknya memang sedang
bersungguh-sungguh Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang harus
dilakukan, kecuali memenuhi perintah kakaknya itu.
“Katakanlah Kebo Ijo.” teriak Witantra.
Kebo Ijo menelan ludahnya, lalu katanya,
“Aku cabut kata-kataku tentang Tuanku Permaisuri itu kakang. Aku memang
tidak bersungguh-sungguh bermaksud demikian.”
“Bersungguh-sungguh atau tidak, tetapi
sudah berapa puluh kali aku memperingatkan, jagalah mulutmu. Mulutmu
akan dapat menjerumuskan kau ke dalam suatu keadaan yang paling parah.
Mulutmu dan sikapmu. Aku menyayangkannya, bukan saja karena kau adik
seperguruanku, tetapi lebih dari pada itu adalah hari depanmu sendiri.”
Kebo Ijo mengangguk, “Ya kakang.”
“Untunglah Mahisa Agni bersikap terlampau
baik-baik. Kalau tidak, maka kau harus berlutut dihadapannya dan minta
maaf kepadanya. Karena sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni berhak untuk
merasa ikut serta membangun bendungan itu, meskipun selama ini ia tidak
dapat ikut melakukannya.”
“Bukan sekedar ikut serta membangun.”
potong Ken Arok, “tetapi sebenarnya bahwa Mahisa Agni lah yang membuat
bendungan itu. Tanpa Mahisa Agni, tidak ada seorang pun yang
mengangan-angankan bahwa di tengah-tengah Padang Karautan dapat dibangun
sabuah bendungan yang akan merubah sekaligus wajah dari padang ini.
Kini sudah terbayang sebuah pedukuhan, meskipun masih samar-samar karena
pepohonan yang ditanam masih terlampau muda. Tetapi pedukuhan itu sudah
dapat kita gambarkan. Pedukuhan yang dikelilingi oleh sawah dan ladang.
Pategalan dan kebun-kebun yang subur. Kemudian sebuah petamanan yang
terbesar di Tumapel. Semua itu adalah karena Mahisa Agni bertekad untuk
menemukan ruang hidup yang baru bagi orang-orang Panawijen.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat sepenuhnya dengan kata-kata Ken Arok itu.
Sedang Kebo Ijo sama sekali tidak
menyahut. la masih menundukkan kepalanya. Hanya kadang-kadang ia mencoba
memandang Mahisa Agni dengan sudut matanya. Tetapi sesaat kemudian
matanya telah hinggap kembali pada rerumputan yang basah di bawah
kakinya.
Kebo Ijo itu berpaling kearah kakaknya
ketika ia mendengar kakaknya berkata, “Pergilah ke tempatmu. Tidurlah.
Untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Besok aku dan Mahisa Agni harus
mengikuti Akuwu kembali keistana. Sepeninggalku kau jangan membuat
persoatan yang dapat mempersulit kedudukanmu sendiri.”
Kebo Ijo tidak menyahut, Tetapi iapun tidak segera beranjak dari tempatnya.
Tetapi Witantra tidak mempedulikannya
lagi. Bahkan ia sendirilah yang kemudian melangkah pergi sambil berkata,
“Akupun akan tidur, supaya besok aku tidak terlambat bangun.”
Witantra dan Ken Arok pun segera pergi
pula meninggalkan Kebo Ijo yang masih berdiri tegak di tempatnya. Mahisa
Agni yang ingin beristirahat itu pun segera melangkahkan kakinya pula.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Kebo Ijo berjalan
kearahnya. Tetapi agaknya Kebo Ijo itu tidak ingin berjalan bersamanya.
Ketika melampauinya, maka terdengar ia berdesis, “Kau menjadi besar
kepala mendengar pujian-pujian itu bukan, Agni. Dan kau merasa dirimu
pahlawan dari keluhuran budi dengan sikapmu yang berpura-pura, agar aku
tidak usah minta maaf kepadamu. Suatu ketika kau pasti akan menyesal
karenanya.”
Tetapi Mahisa Agni tidak sempat untuk
menjawab. Kebo Ijo ternyata melangkah terus dengan tergesa-gesa dan
hilang di balik dinding-dinding gubug yang bertebaran.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata bahwa dugaannya tentang anak itu keliru. Ketika Witantra
menasehatinya, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya. Tetapi
ternyata bukan karena pengertiannya atau penyesalannya atas
kesalahannya, Ia berbuat demikian semata-mata sekedar menyenangkan hati
kakak seperguruanya itu. Namun agaknya justru tumbuh dendam di dalam
dadanya.
“Hem.” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian hal itu tidak dihiraukannya lagi tentang
dirinya sendiri. Tetapi ia justru mencemaskan hubungan Kebo Ijo dengan
Kuda Sempana, Kuda Sempana yang baru melangkah setapak demi setapak
meninggalkan dunianya yang kelam, apabila ia terbentur kepada sikap Kebo
Ijo yang gila-gilaan itu, maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak
diharapkan dapat terjadi. Kuda Sempana akan menjadi liar lagi dan
terjerumus semakin dalam kedunia yang gelap pekat.
“Aku harus memberitahukannya kepada Ken
Arok besok sebelum aku pergi, supaya persoalan ini mendapat
perhatiannya.” gumam Mahisa Agni itu kepada diri sendiri.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun
telah berbaring di dalam gubugnya. Beberapa orang yang telah berada di
dalamnya, telah tidur dengan nyenyaknya. Mereka ternyata masih merasa
terlampau lelah sejak mereka berkelahi dengan banjir yang melanda
bendungan mereka. Sedang bahaya serupa masih akan datang setiap saat
apabila hujan turun di ujung sungai.
Di hari berikutnya, Akuwu Tunggul Ametung
benar-benar meninggalkan Padang Karautan bersama pengawal-pengawalnya
dan Mahisa Agni. Sebelum mereka berangkat, Mahisa Agni memerlukan
menyampaikan pesannya tentang Kuda Sempana dan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi karena sikap Kebo Ijo.
Ketika serombongan kuda yang membawa
Akuwu Tunggul Ametung dan pengiringnya sudah berderap menjauh, maka Kebo
Ijo yang berdiri disamping Ken Arok pada saat mereka melepas rombongan
itu pergi, segera saja berbisik, “Hem, aku berbangga melihat rombongan
itu.”
Ken Arok berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa?”
“Bukankah mereka bermaksud menangkap Kebo Sindet?” dests Kebo Ijo.
“Kebo Sindet seorang diri telah berhasil
menggegerkan seluruh Tumapel. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung memerlukan
pergi sendiri untuk menangkapnya.”
Ken Arok tidak menyahut. Ketika ia
melayangkan pandangan matanya ia masih melihat kuda-kuda itu yang
semakin jauh. Seperti noda-noda yang kehitam-hitaman bergerak-gerak di
bawah langit yang biru, di atas hamparan padang rumput yang luas.
Tetapi Ken Arok itu berpaling ketika
mendengar Kebo Ijo tertawa pendek, “Akuwu adalah seorang yang luar
biasa. Tetapi untuk menangkap seorang Kebo Sindet, ia terpaksa membawa
sepasukan kecil prajurit-prajurit pilihan. Bahkan kau pun akan dibawanya
pula.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Akuwu masih belum yakin bahwa Kebo Sindet hanya seorang diri
saja. Mungkin ia mempunyai beberapa orang kawan di dalam sarangnya.
Itulah sebabnya Akuwu membawa beberapa orang prajurit bersamanya.”
Kebo Ijo tertawa pula. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin. Mungkin pula
demikian. Tetapi itu pun menggelikan. Apakah yang dapat dilakukan oleh
prajurit-prajurit sandinya? Apakah mereka tidak menyelidiki lebih
dahulu, apakah dan siapakah yang akan mereka hadapi?”
“Tentu sudah dilakukan.” jawab Ken Arok, “tetapi agaknya Akuwu kali ini ter-gesa-gesa.”
“Karena desakan isterinya yang cantik
itu.” gumam Kebo Ijo, “Ternyata gadis Panawijen itu benar-benar
membahayakan Akuwu sendiri. Ia tidak tahu bahaya yang dapat mengancam
Akuwu. Ia hanya menuruti suara perasaannya saja, agar Mahisa Agni segera
dilepaskan. Tetapi ia tidak mempertimbangkan segi-segi yang lain.
Sedang Akuwu pun telah benar-benar jatuh di bawah telapak kaki perempuan
itu. He, apakah kau pernah mendengar dongeng bahwa Akuwu telah
memasrahkan seluruh Tumapel kepada Ken Dedes sesaat sebelum mereka
kawin. Maksudku, pada saat Akuwu membujuk perempuan itu untuk menjadi
permaisurinya.”
“Ah, ceritera itu tidak penting bagiku.
Keduanya sama saja. Warisannya akan jatuh ketangan putera atau puteri
mereka bersama-sama. Bukankah sama saja? Apakah keturunannya itu akan
menerima dari ayah atau ibunya?”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun tertawa. Dipandanginya bintik-bintik yang semakin lama
menjadi semakin kecil ditengah-tengah padang yang luas Itu. Sejenak
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiba-tiba ia berdesis diantara suara tertawanya, “He, apakah yang sedang kau renungkan?”
Ken Arok berpaling. Jawabnya, “Tidak ada. Aku tidak sedang merenungkan apa-apa.”
“Bohong.” Pandangan matanya tampak
mengambang terlampau jauh. “Apakah kau sedang berpikir tentang hak atas
Tumapel yang kini telah berada ditangan Ken Dedes dengan suka rela atas
kehendak Akuwu Tunggul Ametung?”
“Buat apa aku memikirkannya? Sudah aku katakan bahwa hal itu tidak berpengaruh apapun.”
Kebo Ijo tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. “Apakah kau sedang mengigau?”
“Tidak. Aku bertanya kepadamu, apakah kau sudah pernah melihat Ken Dedes.”
“Tentu sudah.”
“Dari dekat dan untuk waktu yang lama?
Bukankah kau berada dalam kesatuan yang lain dari Pengawal Istana? Hem,
aku agaknya mendapat kesempatan menyaksikannya lebih dekat, Gadis itu
memang cantik. Sayang, aku sudah beristeri Kalau belum … “ Kebo Ijo
berhenti sejenak. Dipalingkannya wajahnya. Ketika tidak ada orang yang
berdiri terlampau dekat dibelakangnya ia berbisik, “Kalau belum, aku
akan membunuh Tunggul Ametung. Aku kawini Permaisuri itu. Aku akan
mendapat seorang isteri yang sangat cantik dan sekaligus akan mendapat
keturunan yang akan memiliki Tumapel.”
“Tutup mulutmu.” tiba-tiba Ken Arok
membentak. Wajahnya menjadi semburat merah. Katanya kemudian, “Mulutmu
memang terlampau jelek Kebo Ijo. Ingat, bahwa aku dapat berbuat banyak
karena aku mendengar kata-katamu itu. Aku dapat melaporkannya kepada
Witantra pimpinan pengawal. Apabila perlu, maka persoalan ini dapat
sampai kepada Akuwu sendiri, dan kau tahu apakah hukumannya? Kau dapat
dihukum mati karenanya.”
Kebo Ijo tiba-tiba tersentak. Dahinya
menjadi berkerut-merut. Lalu katanya, “Ah. Jangan begitu. Kau sangka aku
berkata bersungguh-sungguh.”
“Aku tahu bahwa kau sekedar bergurau.
Tetapi kau harus selalu ingat pesan kakak seperguruanmu. Jagalah
mulutmu, supaya kau tidak digantung tanpa sebab.”
“Dan bukankah hal itu sama sekali tidak terjadi? Akuwu Tunggul Ametung tidak mati terbunuh dan aku tidak mengawini isterinya?”
“Tetapi bagaimana kalau orang menuduhmu,
bahwa kau sedang merencanakannya. Dan kau dihukum karena merencanakan
pembunuhan atas Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, dengan tujuan merebut
kekuasaan yang ada ditangannya dengan kekerasan.”
“Omong kosong. Hanya orang gila yang akan menuduh aku berbuat demikian.”
“Bukan orang gila. Kaulah yang gila.
Untunglah bahwa hanya aku yang mendengar sendau guraumu yang gila ini.
Kalau ada orang lain maka kemungkinannya akan dapat berbeda. Untuk
seterusnya kau harus selalu ingat kepada pesan-pesan Witantra. Mulutmu
akan dapat menyeretmu dalam kesulitan.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Matanya
kini menatap bintik-bintik yang telah mulai hilang dikejauhan, dibayangi
oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh bertebaran di Padang Karautan
itu.
“Ingat Kebo Ijo.” desis Ken Arok, “bukan
orang gila yang menuduhmu, bahwa suatu ketika kau akan melakukannya.
Tetapi orang-orang yang justru mempunyai otak yang baik, yang mencari
kesempatan dan ingin menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Tidak semua
orang baik kepadamu atau kepadaku atau kepada siapapun. Di Padang
Karautan ini hampir setiap orang mengenal tabiatmu. Mulutmu terlampau
besar dan kau mempunyai sifat yang meledak-ledak, bahkan kadang-kadang
tidak terkendali. Kau ingat apa yang kau katakan kepada Mahisa Agni
semalam. Mahisa Agni, betapapun juga adalah ipar tuanku Akuwu Tunggul
Ametung. Ingat hal itu.”
Kebo Ijo masih terbungkam. Namun wajahnya
kini menjadi tegang. Beberapa orang yang berdiri agak jauh dari mereka,
melihat wajah-wajah yang tegang itu. Tetapi mereka tidak mendengar apa
yang sedang mereka percakapkan.
Sejenak Ken Arok pun berdiam diri pula.
la benar-benar menyesali sikap Kebo Ijo itu, meskipun Ken Arok sendiri
meragukan penyesalan di dalam hati Kebo Ijo. Mungkin Kebo Ijo kini
sedang mengumpatinya di dalam hatinya. Tetapi adalah kewajibannya untuk
memberikan peringatan-peringatan kepadanya. Bahkan Ken Arok itu berkata
di dalam hatinya, “Kalau perlu aku dapat berbuat lebih keras, justru
untuk kebaikan Kebo Ijo sendiri.”
Ken Arok pun kini dapat menyadari,
mengapa Mahisa Agni memerlukan berpesan kepadanya, supaya ia mengawasi
lebih banyak hubungan antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana. Mereka
bersama-sama berada di Padang Karautan dalam satu perkemahan. Mereka
pasti akan sering bertermu dan bahkan berbicara. Hal-hal yang tidak
dikehendaki akan dapat timbul. Sifat Kebo Ijo yang meledak-ledak dan
Kuda Sempana yang sedang diguncang oleh keadaan, akan mudah sekali
berbenturan.
Sesaat kemudian tiba-tiba Ken Arok itu
berkata, “Marilah. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan. Bendungan itu
belum selesai benar. Kita masih harus mengerjakan penyelesaiannya.”
“Kenapa bukan Mahisa Agni yang menyelesaikan?” sahut Kebo Ijo acuh tidak acuh.
“Kau sudah mulai lagi?” desis Ken Arok.
“Oh.” tiba-tiba sja Kebo Ijo itu tertawa. “Baiklah, marilah kita bekerja.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Terlampau sulit untuk menguasai sifat Kebo Ijo. Tetapi ia bertekad untuk
sedikit demi sedikit merubah sifat itu. Ken Arok merasa sayang, bahwa
hari depan Kebo Ijo akan terganggu oleh sifatnya sendiri yang kurang
terkendali.
Ken Arok dan Kebo Ijo itu pun segera
pergi kepekerjaan mereka, setelah mereka tidak dapat lagi melihat
rombongan Akuwu Tunggul Ametung. Bersama-sama dengan orang-orang
Panawijen dan para prajurit Tumapel, mereka pergi ke tempat pekerjaan
masing-masing. Ada yang pergi ke bendungan, kesusukan induk, parit-parit
dan taman serta sendang buatan. Beberapa orang yang lain menggali
parit-parit pengaman di sekitar bendungan, untuk mengurangi tekanan air
apabila diperlukan.
Ken Arok sendiri selalu mondar-mandir
dari satu tempat ketempat yang lain. Ia berusaha untuk melihat semua
segi yang sedang dikerjakan supaya tidak terjadi kesalahan, sehingga
pekerjaan itu akan terpaksa diulangi. Dengan demikian mereka akan
kehilangan waktu dan tenaga.
Sedang Kebo Ijo pun selalu berbuat
serupa. Seperti Ken Arok ia berpindah dari satu sudut kesudut yang lain.
Sebenarnya ia cukup cakap melakukan pekerjaannya. Ia mengerti apa yang
seharusnya dilakukan. Tetapi yang sulit baginya, adalah mengendalikan
diri, menahan mulutnya dan sifat-sifatnya yang sombong. Sehingga
tanggapan orang-orang Panawijen dan para prajurit kepadanya jauh berbeda
dengan tanggapan mereka terhadap Ken Arok.
Ki Buyut Panawijen kadang-kadang
bertanya-tanya pula di dalam hatinya, apakah yang dikehendaki oleh Kebo
Ijo itu sebenarnya? Tetapi orang tua itu mencoba untuk mengambil
kesimpulan, bahwa sebenarnya Kebo Ijo hanya didorong oleh sifat-sifatnya
yang kurang menyenangkan.
Kuda Sempana yang ditinggalkan di Padang
Karautan itu, masih belum dapat segera menyesuaikan dirinya. Setiap ia
melihat dua tiga orang berkumpul dan bercakap-cakap, ia selalu merasa
bahwa orang itu sedang mempercakapkannya. Karena itu, maka setiap kali
ia merasa cemas dan kadang-kadang menjadi bingung, meskipun setiap kali
Ken Arok mencoba meletakkannya kedalam keadaan yang sewajarnya.
Setiap kali Ken Arok melihat Kuda Sempana
duduk menyendiri. Bahkan kadang-kadang ia membenamkan diri di dalam
gubugnya Sekali-sekali ia mencoba juga bcrkumpul dengan orang-orang
Panawijen atau dengan prajurit-prajurit Tumapel atas anjuran Ken Arok,
tetapi setiap kali ia merasa terasing.
Oleh Ken Arok Kuda Sempana dibawa pula
kebendungan untuk ikut serta bekcrja bersama-sama. Tetapi ia selalu diam
dan seolah-olah merasa kesepian di dalam hiruk-pikuk yang ribut itu.
Semakin riuh orang-orang bekerja di sekitarnya, maka ia pun merasa
semakin sepi dan sendiri.
“Saharusnya kau mencoba menyesuaikan
dirimu.” berkata Ken Arok, “kau tidak perlu menyimpan prasangka apapun.
Aku dan Ki Buyut sudah memberi penjelasan tentang dirimu, dan agaknya
orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel dapat menerima kau
kembali di antara mereka.”
Kuda Sempana selalu tidak menjawab.
Tetapi wajahnya yang ngelangut, seakan-akan masih memancarkan
keputus-asaannya menghadapi hari depan yang baik.
“Lambat laun.” berkata Ken Arok didalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak terbentur sikap Kebo Ijo.”
Dan ternyata sampai dihari-hari
berikutnya, Kebo Ijo masih bersikap acuh tak acuh saja terhadap Kuda
Sempana. Sikap itu adalah sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Sebab
setiap perhatian yang diberikan oleh Kebo Ijo terhadap sesuatu, sudah
pasti anak muda itu akan melihat pertama-tama dari segi yang kurang
baik. Setelah ia terbentur pada beberapa kenyataan, barulah ia dapat
berpikir.
Di hari-hari berikutnya orang-orang
Panawijen dan para prajurit Tumapel telah tenggelam kembali kedalam
kerja yang sibuk. Mereka telah cukup beristirahat dan mereka telah mulai
lagi dengan kerja mereka siang dan malam, meskipun tidak semalam penuh.
Sebab pekerjaan merekapun kini berangsur berkurang. Bendungan mereka
telah mendekati penyelesaian terakhir, sehingga para prajurit sebagian
terbesar telah ditarik untuk dipekerjakan disendang buatan dan susukan
induk. Beruntunglah mereka, bahwa hujan yang terlampau lebat tidak
datang lagi dengan membawa banjir. Kadang-kadang air memang naik, tetapi
tidak memhahayakan.
Beberapa hari telah lampau. Tetapi Mahisa
Agni masih belum kembali ke Padang Karautan. Namun Ken Arok sama sekali
tidak terlampau mengharapkannya. Ia dapat mengerti, betapa kerinduan
mencengkam hati Ken Dedes atasnya. Satu-satunya keluarga yang masih
dapat diharapkannya. Yang selama ini telah disangkanya hilang, ternyata
datang kembali.
Namun, meskipun Ken Dedes menyambut
kehadiran Mahisa Agni dengan tetesan air mata, tetapi tanpa
diketahuinya, seorang emban tua menangis hampir pingsan di dalam
biliknya karena kegembiraan yang tidak tertahankan. Emban tua yang
hampir dicekik oleh keputus-asaan itu, telah menemukan satu-satunya
anaknya kembali. Mahisa Agni ternyata masih hidup, dan kini dapat
ditemuinya, meskipun ia harus menyembunyikan scmua persoalan. Tetapi itu
tidak penting baginya. Yang diharapkannya siang dan malam, yang selalu
diucapkannya di dalam doanya kepada Yang Maha Agung, kini telah
mengembalikan Mahisa Agni itu kembali dengan selamat.
Kegembiraan yang meluap itulah yang telah
menahan Mahisa Agni untuk beberapa hari. Kegembiraan Permaisuri
ternyata melimpah kepada Akuwu Tunggul Ametung pula. Ia telah melupakan
kejengkelan hatinya, bahwa bukan dirinyalah yang berhasil menolong
Mahisa Agni. Tetapi ia bergembira ketika dilihatnya wajah Permasurinya
telah menjadi cerah. Secerah matahari di langit.
Dengan demikian, terasalah kini, betapa
ia dapat hidup dengan senang, dan merasa dirinya dalam hubungan yang
wajar dengan Permaisurinya.
Tetapi Mahisa Agni pada saatnya harus
minta diri kepada Ken Dedes, kepada emban tua pemomong Ken Dedes dan
kepada Akuwu Tunggul Ametung. Ia ingin segera kembali ke Padang
Karautan, setelah beberapa hari menikmati tata kehidupan yang belum
pernah dialami. Hidup di dalam istana dalam limpahan kesenangan yang
belum pernah diimpikan. Tetapi bendungan di Padang Karautan ternyata
memberinya kebahagiaan tersendiri.
Bahkan Mahisa Agni merasa lebih terikat
kepada bendungan itu dari pada istana Tumapel yang ditaburi oleh
berbagai macam kemewahan. Meskipun di Padang Karautan ia tidur di dalam
gubug yang sempit, di atas setumpuk rumput-rumput kering dan beralaskan
tikar yang kasar, serta dikerumuni oleh semut dan nyamuk, namun Padang
Karautan adalah dunia yang paling menyenangkan baginya, diantara
kesibukan kerja dan menghijaunya tanaman yang sedang bersemi.
Meskipun Ken Dedes, emban tua pemomong
Ken Dedes dan Akuwu Tunggul Ametung mencoba menahannya, namun Mahisa
Agni harus segera kembali. Ia tidak betah tinggal di dalam kemewahan
selagi orang-orang Panwijen dan prajurit-prajurit Tumapel bekerja keras
memeras keringat mereka.
Demikianlah, Mahisa Agni itu pun akhirnya
meninggalkan istana Tumapel. Tetapi kepergiannya kali ini tidak
terlampau banyak menumbuhkan kecemasan dan kebingungan. Mahisa Agni
pergi dengan tujuan tertentu dan untuk suatu tugas tertentu pula.
Tetapi Mahisa Agni ternyata tidak
langsung pergi ke Padang Karautan. Mumpung ia berada dalam perjalanan.
Diperlukannya singgah kerumah pamannya Empu Gandring.
Mahisa Agni mencoba untuk mengejutkan
pamannya. Ia tidak masuk lewat pintu depan, tetapi ia menyusup ke regol
belakang, sehingga beberapa orang cantrik yang melihatnya menjadi
terheran-heran.
“Siapakah kau?” bertanya seorang cantrik.
“Aku ingin menghadap Empu Gandring.” jawab Mahisa Agni.
“Apa keperluanmu?”
“Aku ingin memesan sebilah keris yang paling berharga dan paling bertuah dari antara segala macam keris.”
“Ah.” cantrik itu mengerutkan keningnya, “apakah kau berkata bersungguh-sungguh?”
“Tentu. Katakanlah kepada Empu Gandring, bahwa aku tamu dari Kemundungan.”
Cantrik itu masih saja ragu-ragu.
“Cepatlah. Aku segera ingin bertemu dengan Empu Gandring.”
“Tetapi kenapa kau masuk lewat jalan yang tidak seharusnya kau lalui? Seharusnya kau masuk lewat pintu depan.”
“Oh.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya,
“aku tidak mengerti. Tetapi itu tidak penting. Yang tenting bagiku
adalah, segera bertemu dengan Empu Gandring. Aku segera ingin
memesannya.”
Cantrik itu masih ragu-ragu. Dan Mahisa
Agnipun menjadi semakin mendesaknya, “Cepat. Sampaikanlah kepada Empu
Gandring. Empu sudah mengerti siapakah tamunya yang datang dari
Kemundungan.”
Cantrik itu meng-angguk-anggukkan
kepalanya. Dalam kebimbangan ia melangkah menuju keserambi belakang
untuk mencari Empu Gandring.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia
mendengar suara dari batik regol halaman, justru diluar, “Aku memang
sudah tahu benar, siapakah tamuku dari Kemundungan.”
Ternyata bukan Mahisa Agni lah yang
mengejutkan pamannya, tetapi justru ia sendirilah yang terkejut Ketika
ia berpaling ternyata dilihatnya pamannya berdiri diregol halaman
memandanginya dengan tajamnya.
“Paman.” desis Mahisa Agni.
Pamannya tersenyum, katanya, “Aku berbangga bahwa aku mendapat tamu dari Kemundungan.”
Sejenak Mahisa Agni tertegun ditempatnya.
Namun sejenak kemudian segera ia melangkah dan berlutut di depan
pamannya. Tetapi Empu Gandring segera memegang lengannya dan menariknya
berdiri. Katanya, “Marilah kita masuk Agni.”
Dibimbingnya Mahisa Agni masuk keruang dalam. Kemudian mereka duduk diatas tikar pandan yang putih.
“Aku tidak terkejut melihat kedatanganmu
Agni. Agaknya kau terlampau berangan-angan akan mengejutkan aku,
sehingga kau tidak melihat aku berdiri di ujung halaman. Aku melihat kau
menyusup jalan sempit ini dan menuju ke regol belakang. Aku tahu, bahwa
kau ingin mengejutkan aku.”
“Ya paman.” sahut Mahisa Agni sambil tersenyum.
“Aku memang sudah pasti bahwa kau akan terlepas dari tangan Kebo Sindet, Agni.”
“Dari siapakah paman tahu?”
“Apakah gurumu tidak pernah berkata bahwa
aku menyusulmu ke Kemundungan dan bertemu dengan gurumu yang menunggui
rawa-rawa yang berisi segala macam binatang air itu?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Gurunya memang pernah menyinggung-nyinggungnya.
“Apakah gurumu sendiri yang menangani Kebo Sindet itu?” bertanya Empu Gandring.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi bukankah Empu Gandring itu adalah pamannya?
Maka akhirnya diceriterakannya apa saja
yang pernah terjadi atasnya dan apa saja yang pernah dilakukannya.
Gurunya dan Empu Sada bersama-sama telah mempergunakan dirinya untuk
melawan Kebo Sindet dan mengalahkannya. Sehingga Kebo Sindet itu pun
akhirnya terbunuh.
“Hem.” Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian menarik nafas dalam-dalam, “ternyata kau memiliki
kemampuan yang luar biasa Agni. Aku menjadi iri hati terhadap kedua
orang itu. Kenapa aku tidak menitipkan beberapa macam ilmu yang tidak
berarti kepadamu juga?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi dengan demikian hatinya menjadi berdebar-debar.
“Apakah kau tergesa-gesa melakukan perjalanan pula Agni, atau kau mempunyai kesempatan untuk tinggal disini beberapa hari?”
“Aku harus segera sampai ke Padang Karautan, paman. Aku telah merindukan kerja itu.”
“Aku mengharap kau tinggal disini sepekan saja. Mungkin aku masih belum dapat melepaskan rinduku. Begitu?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi
keningnya menjadi berkerut-merut. Ia ingin memenuhi permintaan pamannya
yang pada saat-saat ia berada dalam keadaan yang sulit, telah berusaha
pula untuk melindunginya, meskipun ternyata betapa tinggi ilmunya, namun
ilmu itupun terbatas pula, Kemampuan manusia tidak akan dapat mencapai
suatu tingkatan dimana ia tidak dapat dibatasi lagi, sehingga pamannya
itupun ternyata tidak berhasil menyelamatkannya. Seperti Kebo Sindetpun
akhirnya terkalahkan oleh orang yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya.
Tetapi iapun ingin segera berada di
Padang Karautan pula. Diantara orang-orang Panawijen yang bekerja keras
bersama-sama prajurit-prajurit Tumapel. Namun disamping itu, ia masih
mempunyai tanggungan Kuda Sempana. Mudah-mudahan Kuda Sempana tidak
menjadi liar dan pergi meninggalkan Padang Karautan itu. Yang
dicemaskannya pula adalah Kebo Ijo. Apalagi hubungan yang mungkin sangat
buruk antara Kebo Ijo dan Kuda Sempana.
Dalam keragu-raguan itu terdengar suara pamannya, “Apa kah kau masih ingin menunggui bendunganmu?”
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Ya paman. Aku ingin melihat bendungan itu diselesaikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu betapa keinginan itu pasti memenuhi dada Mahisa Agni.
Sekian lama ia terpisah dari pekerjaan itu. Dan kini ia tinggal melihat
pekerjaan itu yang sudah hampir selesai.
“Ya, aku mengerti Agni.” desis pamannya,
“kau pasti ingin berada di sana. Baiklah. Aku tidak akan menahanmu.
Tetapi tersimpan di dalam diriku, keinginan untuk menyerahkan beberapa
segi dari ilmuku kepadamu. Namun aku tidak tahu, apakah hal ini mungkin
aku lakukan.”
“Kenapa paman?” bertanya Mahisa Agni,
“aku akan sangat berterima kasih. Dengan demikian aku akan dapat
melengkapi ilmu yang ada padaku.”
Tiba-tiba mata Empu Gandring menjadi suram. Katanya, “Ah, ilmumu sudah cukup baik Agni.”
“Tetapi aku akan dapat mengambil manfaat dari ilmu yang akan paman berikan.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, apabila aku masih dapat melihat kau datang
kemari Agni. Apabila kau kelak berkesampatan, aku akan memberikan itu
kepadamu.”
“Tentu paman. Aku akan memerlukan datang kemari.”
Tiba-tiba Empu Gandring menggeleng.
“Mungkin kau akan datang lagi kemari, tetapi getaran di dalam dadaku,
seakan-akan menolak kemungkinan, bahwa kau akan dapat menerima ilmuku.”
“Kenapa paman?”
(bersambung ke jilid 40)
No comments:
Write comments