KEBO SINDET itu
menggeram di dalam hatinya. Ia menyesal bahwa Mahisa Agni kurang
mendapat pengawasannya. Ia terlalu berbangga dan menganggap bahwa ia
sudah dapat mematahkan kebesaran hati Mahisa Agni. Kebo Sindet selama
ini melihat Mahisa Agni tidak lebih dari seekor tikus clurut yang tidak
berarti sama sekali.
Tetapi ternyata apa yang dilihatnya itu
telah mengejutkannya. Seperti orang yang bermimpi, kini ia terbangun.
Dihadapinya sebuah kenyataan yang tidak disangka-sangkanya. Mahisa Agni
selama ini ternyata sempat melatih dirinya dan membuatnya menjadi
semakin tangguh dan tangkas. Yang lebih menggoncangkan hatinya adalah
pengenalan Mahisa Agni atas ilmu Empu Sada.
Sementara itu Mahisa Agni masih saja
berkelahi. Ia masih berusaha untuk membuat keseimbangan di antara
mereka. Namun setiap kali Kebo Sindet yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan jauh lebih tinggi dari Kuda Sempana, segera dapat mengenal,
bahwa Mahisa Agni tidak berkelahi dengan sewajarnya.
Sesaat terbersit suatu pikiran yang mendebarkan jantungnya. Empu Sada pasti belum mati.
“Apakah setan itu berhasil masuk ke dalam
daerah ini tanpa setahuku dan berusaha membalas dendam lewat anak yang
bernama Mahisa Agni ini?”
Jantung Kebo Sindet menjadi semakin berdebaran. Dugaan itu semakin lama menjadi semakin kuat.
“Tetapi, tidak seorang pun dapat memasuki
daerah ini tanpa aku sendiri” ia mencoba untuk menenangkan hatinya,
tetapi hatinya berkata pula, “Apakah mungkin ia selalu mengintip aku
apabila aku lewat daerah rawa-rawa ini dan kemudian mencari jejakku
untuk mencoba menyeberang?”
Kebo Sindet yang berwajah beku itu
tiba-tiba menggelengkan kepalanya “Mustahil. Tikus tua itu pasti akan
menjadi santapan buaya-buaya kerdil itu atau ular air hijau yang sangat
berbisa. Ia tidak banyak mengenal tabiat rawa-rawa yang ganas ini. Atau
mungkin ia sudah terbenam di dalam Lumpur”.
Namun, bagaimanapun juga, tata gerak
Mahisa Agni yang sengaja ditunjukkannya kepada Kuda Sempana dan Kebo
Sindet itu telah mendebarkan dadanya.
“Aku harus segera mendapat kejelasan” Kebo Sindet itu bergumam di dalam hatinya.”Segera”.
Kebo Sindet melangkah semakin dekat lagi. Wajahnya yang beku itu tiba-tiba menegang.
Mahisa Agni yang melihat Kebo Sindet
berdiri hanya beberapa langkah dari arena dengan wajah yang tegang,
segera merasa, bahwa saatnya segera akan datang. Ia harus segera
mempersiapkan dirinya tidak sekedar bermain-main dengan Kuda Sempana.
Tidak sekedar berpura-pura terlempar surut dan berpura-pura terbanting
di atas tanah. Ia harus benar-benar menghapi Kebo Sindet dengan seluruh
ilmu yang dimilikinya. Mungkin ia akan benar-benar terlempar beberapa
langkah dan benar-benar terbanting di atas tanah dengan
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menjadi lebih parah.
Karena itu, maka perhatian Mahisa Agni
kemudian sebagian terbesar ditunjukannya kepada Kebo Sindet. Meskipun ia
masih tetap berkelahi melawan Kuda Sempana, namun kewaspadaannya
terhadap Kebo Sindet ternyata cukup tinggi. Mahisa Agni memperhitungkan,
bahwa Kebo Sindet dapat berbuat apa saja yang tidak diduga-duganya
sebelumnya. Orang semacam Kebo Sindet sama sekali tidak memperhatikan
lagi tata kesopanan dalam berbagai macam hal. Juga dalam perkelahian
semacam itu. Ia menganggap cara apapun dapat dipergunakan dan dibenarkan
untuk mencapai tujuannya.
Dengan demikian maka Mahisa Agni selalu
berusaha untuk tidak berada dalam keadaan yang berbabaya baginya apabila
setiap saat Kebo Sindet berbuat sesuatu. Kini Mahisa Agni telah yakin,
bahwa Kebo Sindet telah dapat mengenal ilmunya dan menganggap bahwa ilmu
itu berbahaya bagi dirinya.
Kebo Sindet yang berdiri hanya beberapa
langkah dari arena itu pun menjadi semakin tegang, seperti juga Kuda
Sempana menjadi semakin berdebar-debar. Semakin lama ia tidak semakin
menguasai lawannya, tetapi ternyata lawannya menjadi semakin lincah dan
tangguh. Bahkan Kuda Sempana kadang-kadang menjadi bingung dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun demikian, serangan-serangan
Mahisa Agni tampaknya selalu tidak berbahaya baginya.
Mahisa Agni masih saja berusaha untuk
melayani Kuda Sempana. Setiap kali ia bergeser menjauhi Kebo Sindet. Dan
setiap kali pula Kebo Sindet yang memegang ikat pinggang kulit itu
selalu berkisar mendekatinya.
“Ikat pinggang itu berbahaya” desis
Mahisa Agni di dalam hatinya “Kemarin Kebo Sindet melecutku dengan ikat
pinggang itu, tetapi hanya dengan sebagian kecil saja dari tenaganya.
Tetapi sekarang pasti akan lain. Mungkin sekaligus ia ingin mematahkan
tulang belakangku dengan ikat pinggang itu”.
Namun dalam pada itu, karena perhatiannya
sebagian besar tertuju kepada Kebo Sindet, permainan dalam
perkelahiannya melawan Kuda Sempana menjadi kurang baik. Kadang-kadang
ia berbuat sesuatu yang sangat membingungkan lawannya. Bahkan
kadang-kadang Kuda Sempana hanya berdiri saja keheranan melihat serangan
Mahisa Agni yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Tetapi ternyata
ketika serangan yang tak terelakkan itu menyentuh tubuhnya, maka ia sama
sekali tidak mengalami cidera apapun. Bahkan seakan-akan Mahisa Agni
sama sekali sudah kehabisan tenaga untuk dapat menyakitinya.
Hal-hal yang serupa itulah yang kemudian
membuat kemarahan Kebo Sindet semakin membakar jantungnya. Sedangkan
Kuda Sempana sendiri tidak tahu bagaimana ia harus menanggapinya. Ia
berkelahi saja dengan bersungguh-sungguh. Itu sudah dilakukannya.
Tetapi Kuda Sempana itu terkejut ketika
ia mendengar Kebo Sindet berteriak nyaring, “Cukup. Cukup Mahisa Agni.
Permainanmu memang baik sekali. Kau tidak dapat dikalahkan oleh Kuda
Sempana. Apalagi seorang Kuda Sempana, lima Kuda Sempana pun tidak akan
dapat mengalahkan kau”.
Dengan serta merta maka perkelahian
antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni itu pun terhenti. Kuda Sempana
meloncat beberapa langkah surut. Wajahnya memancarkan beribu macam
pertanyaan yang mengguncang-guncang hati “Apakah maksud Kebo Sindet
sebenarnya? Apakah aku dianggapnya kurang bersungguh-sungguh atau
dianggapnya aku sudah tidak berguna lagi sehingga lima Kuda Sempana
tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni?”
Dalam kegelisahan itu Kuda Sempana
memandangi wajah Mahisa Agni yang menegang. Dilihatnya anak muda itu
berdiri kaku di tempatnya.
Tetapi, dalam pada itu dada Mahisa Agni
pun menjadi berdebar-debar pula. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya
kini telah sampai saatnya aku berbuat sesuatu”.
Mahisa Agni itu megerutkan keningnya
ketika ia melihat Kebo Sindet melangkah maju sambil berkata, “Kau
benar-benar dahsyat Agni. Kau adalah orang yang paling licik di seluruh
dunia. Jauh lebih licik dari Jajar gemuk yang aku panggang di dalam api
di rumahnya sendiri”.
Dada Mahisa Agni berdesir. Ia tidak tahu,
siapakah yang dimaksud dengan Jajar yang gemuk Tetapi bahwa orang itu
telah dipanggang di dalam api di rumahnya sendiri, benar-benar telah
membuatnya semakin berdebar-debar.
“Kau mungkin belum pernah mendengar apa
yang telah terjadi itu” berkata Keto Sindet “tetapi baiklah, aku akan
mengatakannya. Jajar itu telah mencoba berbohong kepadaku. Ketika ia
menyanggupkan diri mencari tebusan untuk membebaskanmu dari Ken Dedes,
ia telah berusaha membunuhku dengan lima belas kawan-kawannya atau
bahkan lebih. Tetapi akhir dari pada hidupnya adalah mati ditelan api.
Menyenangkan sekali. Aku ikat ia pada tiang rumahnya yang terbakar
perlahan-lahan”. Dan tiba-tiba saja Kebo Sindet yang wajahnya selama ini
membeku seperti wajah mayat itu terangkat perlahan-lahan. Kemudian
meledaklah suara tertawa yang mengerikan. Suara tertawa yang belum
pernah didengarnya. Bergetar mengumandang di seluruh daerah hutan
berrawa-rawa ini. Seolah-olah suara tertawa itu telah mengguncangkan
ranting-ranting pepohonan dan menggugurkan dedaunan. Burung-burung
berterbangan menjauh, dan wajah air yang buram di sekitar neraka itupun
seolah-olah telah bergolak.
“Bukan main” desis Mahisa Agni di dalam
hatinya. Ia seolah-olah mendengar suara hantu yang paling gila dari
liang kuburnya. Tetapi kemudian berubah menjadi seribu guruh yang
meledak bersama-sama di langit yang mendung. “Setan ini benar-benar
menakjubkan”.
Suara tertawa Kebo Sindet itu pun semakin
lama menjadi semakin mereda. Perlahan-lahan suara itu hilang
seakan-akan menyusup ke dalam tanah yang lembab, mengendap untuk setiap
saat mengguncangkan daerah itu kembali.
Ketika suara tertawa itu mereda, maka
terdengar Kebo Sindet itu berkata dengan suaranya yang parau, “Mahisa
Agni. Aku ingin melihat apa yang terjadi itu terulang di sini. Meskipun
aku tidak akan membakar sebuah rumah, tetapi rerumputan dan dedaunan
yang kering akan cukup panas untuk mematangkan dagingmu”.
Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya. Ia kini telah yakin, bahwa saat-saat yang ditunggunya telah tiba.
“Sayang Agni, bahwa nasibmu memang
terlampau jelek. Sebenarnya aku memang sudah tidak memerlukan kau lagi.
Aku memang ingin membunuhmu dan membuang mayatmu ke dalam rawa-rawa.
Buaya-buaya kerdil itu akan sangat berterima kasih kepadaku. Tetapi
kemudian timbullah belas kasianku. Kau masih tetap aku hidupi. Kau dan
Kuda Sempana akan dapat menjadi hiburan yang baik di dalam duniaku yang
sepi ini. Tetapi kau sudah membuat kesalahan. Caramu berkelahi melawan
Kuda Sempana telah menumbuhkan keinginanku untuk membunuhmu. Bahkan aku
ingin berbuat sesuatu yang paling menyenangkan bagiku dengan akhir
hidupmu itu”.
Dada Mahisa Agni manjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi sesuatu yang menyentuh dadanya adalah pengakuan
Kebo Sindet, bahwa dunianya terlampau sepi. Kesepian itulah agaknya yang
telah mendorongnya menjadi semakin tersesat.
“Bersiaplah Mahisa Agni? Apakah kau ingin melawan?” Mahisa Agni masih berdiam diri.
“Kau mengecewakan aku. Kau tidak bersedia
menemani aku dengan cara yang telah aku pilih. Bahkan kau mencoba
menyombongkan dirimu, membuat Kuda Sempana bingung karena unsur-unsur
gerak yang serupa. He, darimana kau pelajari ilmu yang mirip dengan ilmu
Kuda Sempana itu? Apakah kau sendiri yang menciptakannya?”
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Apakah ada setan belang yang datang dan mengajarimu he?”
Tidak terdengar jawaban.
“Baiklah, ternyata kau telah memaksa aku
untuk berbuat sesuatu. Kau tidak sekedar menemani aku dalam duniaku yang
sepi ini dengan permainan-permainan yang mengasyikkan bersama Kuda
Sempana. Tetapi ternyata aku sendiri harus ikut bermain-main”. Kebo
Sindet itu berhenti sebentar, lalu “Ayo, apakah kau akan melawan atau
menyerah saja supaya aku menaruh sedikit belas kasihan pada saat-saat
terakhirmu? Tetapi apabila kau memang terlampau sombong, dan merasa
bahwa ilmumu itu mampu mengimbangi ilmu Kebo Sindet, marilah, kita
lihat, apakah yang akan terjadi atasmu”.
Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab.
“Apakah kau sudah menjadi bisu he?” Kebo
Sindet itu kemulian berpaling kearah Kuda Sempana, “Kuda Sempana, kau
akan kehilangan kawan. Tetapi jangan takut. Ternyata pikiran untuk
membuat permainan adu orang itu sangat menarik. Tetapi kali ini aku
terpaksa melenyapkan kawan bermainmu. Namun aku akan segera mencarikan
gantinya”.
Jantung Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Semakin lama Kebo Sindet pasti akan menjadi semakin
buas. Dalam dunianya yang asing, ia kehilangan segala macam bentuk,
sifat dan watak kemanusiaannya. Sifat-sifat yang aneh dan tidak wajar
akan menguasainya, sehingga dengan demikian ia akan menjadi semakin
berbahaya. Kesenangannya menimbun harta benda tanpa mengetahui
penggunaannya, kesenangannya pada perbuatan yang keras dan kejam dan
hal-hal yang serupa, menjadikannya benar-benar iblis yang berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera
membulatkan tekadnya untuk memulai dengan perjuangannya melepaskan diri
dari bayangan iblis Kemundungan itu dan sekaligus melenyapkannya. Bukan
sekedar melenyapkan Kebo Sindet karena dendam yang membara di dalam
dadanya, namun yang terpenting baginya, lenyapnya Kebo Sindet akan
mengurangi kekisruhan yang terjadi di tanah Tumapel.
Dengan demikian maka debar di dada Mahisa
Agni semakin lama menjadi semakin reda. Sejenak kemudian ia sudah
menemukan ketenangannya kembali. Meskipun demikian, maka serasa tanah
tempatnya berpijak menjadi terlampau panas. Pancaran mata Kebo Sindet
masih juga mempengaruhinya. Mata yang menyala di dalam lingkungan wajah
yang sebeku mayat.
Karena Mahisa Agni masih tetap berdiam
diri, terdengar Kebo Sindet berkata pula “He Mahisa Agni. Katakan
pilihanmu. Apakah kau akan menyerah atau melawan”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak akan dapat terus-menerus berdiam diri. Ia harus menjawab. Karena
itu maka terdengar suaranya dalam “Aku sudah siap Kebo Sindet. Selama
ini aku menunggu bahwa saat serupa ini akan datang”.
Wajah yang beku itu kini menjadi semakin
tegang. Namun sejenak kemudian kembali meledak suara tertawanya yang
mengerikan itu. Suara itu berkumandang di seluruh hutan, menghalau
binatang-binatang yang sedang asyik makan dedaunan. Harimau-harimau yang
sedang tidur nyenyak, serentak terbangun dan mengaum bersahut-sahutan.
Burung-burung berterbangan menghindari getaran udara yang seakan-akan
menghimpit dada.
Mahisa Agni pun merasakan, betapa dahsyat
lontaran suara tertawa itu. Bukan saja pengaruh kedahsyatan tenaga yang
telah menggetarkan hutan dan rawa-rawa itu, tetapi juga pengaruh
perbawanya yang besar telah menggetarkan hati Mahisa Agni.
“Aku harus menyadari keadaan” berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya “aku tidak boleh terpengaruh oleh
perasaanku. Aku bukan budak dan bukan reh-rehan Kebo Sindet. Aku berada dalam tataran yang sama. Karena itu maka aku pun harus dapat berbuat serupa itu pula”.
Tetapi Mahisa Agni tidak ingin memamerkan
kemampuannya melontarkan tenaganya lewat getaran-getaran suara. Suara
apapun. Mungkin suara tertawa, suara teriakan atau bentakan-bentakan
yang keras dan menggoncangkan dada.
Ketika suara itu mereda, maka Mahisa Agni
sempat memandangi Kuda Sempana. Wajah yang menjadi pucat pasi. Tubuhnya
gemetar seperti kedinginan. Lututnya beradu dan giginya menjadi
gemeretak tanpa disadarinya sendiri.
“Alangkah dahsyat pengaruh suara tertawa
itu” berkata Mahisa Agni pula di dalam hatinya. Namun ia tidak sempat
berangan-angan lagi ketika ia mendengar Kebo Sindet itu berkata “Apakah
kau masih dapat menyombongkan dirimu dihadapanku Agni? Kasihan, nasibmu
memang terlampau jelek. Kau akan mati dalam keadaan yang paling
menyenangkan buatku”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah Kebo Sindet dengan tajamnya.
Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab,
maka Kebo Sindet itu berkata pula, “Ada dua kemungkinan yang paling
menarik. Memanggang kau hidup-hidup di atas api sampai dagingmu matang,
atau mengikat kau dengan seutas tambang dan menggantungkannya di atas
rawa-rawa itu, sementara kulitmu harus dilukai supaya menitikkan darah.
Maka pasti akan terjadi peristiwa yang paling menarik yang pernah aku
lihat selama aku tinggal di daerah rawa-rawa ini. Di bawah tempat kau
bergantung, akan penuh dengan segala macam binatang air yang buas itu.
Tetapi yang paling menarik, bagaimana buaya-buaya kerdil melonjak-lonjak
menggapai tubuhmu yang terkatung-katung diatasnya. Sampai pada suatu
saat salah seekor dari padanya akan berhasil merobek tubuhmu dan
menyeretmu kedasar rawa-rawa yang keruh itu”.
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri,
Tetapi terasa juga hatinya bergetar mendengar ancaman itu. Seandainya
ya, seandainya hal itu terjadi, maka apakah yang akan di perbuatnya?
Berteriak-teriak memaki atau menangis melolong-lolong minta belas
kasihan, atau diam sambil mengatupkan mulut rapat-rapat dan
menggeretakkan gigi menahan sakit dan ngeri?
“Orang ini benar-benar buas” gumam
Mahisa Agni di dalam hatinya. Namun dengan demikian maka hasratnya.
untuk melenyapkan Kebo Sindet itu menjadi semakin besar pula.
“Sekarang bersiaplah. Apakah kau
benar-benar menguasai ilmu Empu Sada seperti orangnya sendiri? He,
apakah kau juga memiliki tongkat panjang seperti milik Empu Sada dan
senjata semacam yang disebut rangkapannya?”
Mahisa Agni tetap membisu.
“Setan kecil” Kebo Sindet hampir berteriak “bersiaplah. Sudah sampai saatnya kau mati dalam keadaan yang paling menyedihkan”.
Mahisa Agni sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Tetapi kini ia berkisar selangkah mempersiapkan dirinya.
Dilihatnya Kebo Sindet telah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan.
Mahisa Agni akhirnya menjadi muak
mendengar suara Kebo Sindet itu, sehingga tanpa sesadarnya ia menjawab
“Berbuatlah menurut kehendakmu. Akupun akan berbuat sesuai dengan
kehendakku sendiri”.
“O, kau benar-benar telah menjadi gila.
Mungkin pengalamanmu di sini telah benar-benar membuatmu kehilangan
keseimbangan. Tetapi meskipun demikian kau harus tahu, bahwa menyerah
akan menjadi jauh lebih baik dari pada mencoba mengadakan perlawanan
yang pasti juga tidak akan berarti apa-apa kecuali menambah kemarahanku
saja”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Dalam
saat-saat terakhir itu ia mencoba mengingat segala pesan gurunya. Ia
tidak boleh tenggelam dan kehilangan akal menghadapi segala macam sikap
Kebo Sindet. Kekasaran dan kebuasannya harus dihadapinya dengan tenang.
Caranya memperkecil hati lawan dan melemahkan daya perlawanannya.
Kebo Sindetlah yang kemudian
bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia melihat sikap Mahisa Agni, yang
agaknya cukup yakin akan dirinya. Tenang dan mantap. Wajah anak muda itu
kini sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan seperti
yang dilihatnya setiap hari. Dengan demikian maka Kebo Sindet kini
yakin, bukan Mahisa Agni lah yang menjadi kehilangan kepribadiannya,
tetapi ia sendirilah yang telah terkecoh oleh anak itu.
Terdengar Kebo Sindet menggeram. Katanya
berdesis “Kau memang bodoh Agni. Atau kau memang mencoba membunuh diri?
Tetapi cara membunuh diri yang kau pilih adalah cara yang salah”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Kini ia
berdiri tegak menghadap kearah Kebo Sindet dengan kaki merenggang. Ia
melihat ditangan Kebo Sindet itu tergenggam sehelai ikat pinggang kulit
yang tebal. Sebuah senjata yang cukup baik bagi lawannya. Sedang
dipinggangnya tergantung sebuah golok yang besar.
“Senjata-senjata itu harus mendapat perhatian” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Mahisa Agni itu merendah ketika ia
melihat Kebo Sindet berjalan mendekatinya. Tubuhnya kemudian
dimiringkannya. Satu kakinya ditariknya setapak kebelakang.
“He, kau sudah siap untuk berkelahi?” berkata Kebo Sindet yang menjadi semakin dekat, “kau memang gila”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi mestinya berdesir ketika ia melihat Kebo Sindet memutar ikat pinggang kulitnya.
“Bagus” berkata iblis dari Kemundungan
itu “kita akan segera mulai. Sebutlah nama ibu, bapa dan gurumu. Atau
setan, iblis dan tetekan, yang barangkali selama ini telah memberimu
ilmu yang ajaib” Kebo Sindet itu berhenti sebentar, lalu “Tetapi
sebelum mati, katakanlah, siapakah yang telah mengajari kau memahami
ilmu Empu Sada?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
sudah siap untuk meloncat menyerang, atau melawan serangan lawannya.
Sementara itu ikat pinggang Kebo Sindet masih saja berputar di atas
kepalanya. Semakin lama semakin cepat, melampaui kecepatan
baling-baling.
“Kau tidak mau menyebut sebuah nama?” Mahisa Agni masih tetap membisu.
“Oh, kau benar-benar anak setan” geram
Kebo Sindet. Matanya menjadi semakin membara diwajahnya yang beku.
Selangkah ia maju dan kini putaran ikat pinggangnya menjadi condong.
Mahisa Agni berkisar setapak.
Sekali lagi dadanya berdesir, ketika
tiba-tiba saja ia melihat Kebo Sindet meloncat sambil berteriak nyaring.
Suaranya bergema di seluruh hutan dan mengguncangkan pepohonan. Iblis
dari Kemundungan itu sudah mulai.
Meskipun Mahisa Agni telah bersiap untuk
menghadapi setiap kemungkinan, namun serangan itu hampir-hampir saja
telah mematahkan tulang lehernya ketika ikat pinggang kulit itu
berdesing beberapa nyari saja dari kepalanya.
“Bukan main” dengan serta merta Mahisa
Agni bergumam di dalam hatinya. Kini ia benar-benar harus berhati-hati.
Ia tidak hanya sekedar bermain-main dengan Kuda Sempana. Tetapi ia
sedang berkelahi dengan Kebo Sindet. Seorang yang mengerikan, yang
memiliki ilmu dan pengalaman terlampau banyak.
Sejak ilmunya meningkat dalam asuhan
gurunya sendiri dan Empu Sada, Mahisa Agni sama sekali belum pernah
mempergunakan dalam sebuah perkelahian yang sungguh-sungguh, selain
latihan-latihan saja bersama kedua orang tua itu. Dan kini, yang pertama
dihadapinya adalah seorang iblis yang bernama Kebo Sindet. Iblis yang
ditakuti oleh hampir setiap orang yang pernah mendengar namanya.
Kebo Sindet yang melihat bahwa Mahisa
Agni berhasil menghindari serangannya itu tidak segera menyerangnya
pula. Tetapi justru ia surut selangkah. Terdengar suaranya parau, “Kau
telah benar-benar membuat aku heran. Ayo, katakan, siapa yang datang
ketempat ini dan memberi kau ilmu demit itu?”
Mahisa Agni tidak menyahut. Debar dadanya
kini telah mereda. Tetapi matanya tidak berkisar dari tangan Kebo
Sindet yang menggenggam ikat pinggangnya itu.
“Kau tidak mau menyebutkan?”
Mahisa Agni tidak menyebutkan. Tetapi
dadanya tergetar karena tiba-tiba ia mendengar suara menggelegar
dilangit. Guruh. Sekilas ia menenangadahkan wajahnya. Dilihatnya awan
yang hitam mengalir dengan cepatnya ke Barat.
“Hem” katanya di dalam hati “mendung itu terlampau tebal. Kalau hujan turun di lereng gunung, maka kali-kali akan banjir. Bagaimana kira-kira dengan Bendungan Karautan sekarang?”
Tiba-tiba saja keinginannya untuk segera
melihat bendungan itu telah melonjak di dalam hatinya. Sentuhan perasaan
itu di dadanya telah membuatnya semakin bernafsu untuk segera keluar
dari sarang hantu ini. Ia ingin segera melihat bendungan di Padang
Karautan dan segera ingin bertemu dengan orang-orang lain. Sekilas
terbayang wajah pamannya, Empu Gandring yang mencoba melindunginya.
Tetapi karena yang dihadapinya waktu itu sepasang iblis dari
Kemundungan, maka adalah diluar kemampuannya untuk menyelamatkannya.
“Alangkah senangnya kalau paman Empu
Gandring ada disini pula” katanya di dalam hati. Ia memang pernah
mendengar ceritera gurunya tentang pamannya yang tidak dapat langsung
menemuinya karena permintaan gurunya itu.
Meskipun angan-angan Mahisa Agni itu
menjelajahi masa-masa lampaunya dan masa-masa yang akan dihadapinya,
tetapi ia sama sekali tidak lengah. Segera ia melihat tangan Kebo Sindet
yang memutar ikat pinggangnya itu bergerak. Secepat itu pula ia melihat
Kebo Sindet meloncat menyerangnya pula. Kini serangan iblis itu
mendatar rendah mengarah ke dada Mahisa Agni.
Dengan sigapnya pula Mahisa Agni
mengelakkan dirinya. Selangkah ia meloncat surut. Ia ingin membalas
serangan itu dengan serangan pula. Tetapi ternyata gerak Kebo Sindet
cukup cepat untuk menyusulnya dengan sebuah serangan pula.
Adalah suatu keuntungan bagi Mahisa Agni,
bahwa sampai saat itu Kebo Sindet belum menjajagi ketinggian ilmu
Mahisa Agni, sehingga Kebo Sindet masih menganggap bahwa Mahisa Agni
tidak lebih dari seorang anak muda yang sombong, yang terlalu merasa
dirinya cukup mampu untuk melawannya. Dengan demikian maka Kebo Sindet
masih belum sampai pada puncak ilmunya. Kecepatan dan kekuatannya masih
belum dikerahkannya seluruhnya.
Karena itu, maka sekali lagi Mahisa Agni
yang tidak menyangka, bahwa serangan Kebo Sindet akan datang beruntun,
yang telah dikejutkan oleh gerak yang tidak diduga-duganya, masih sempat
mengelakkan dirinya, dengan sebuah loncatan yang panjang. Namun dengan
demikian ia sadar sepenuhnya, bahwa ia berhadapan dengan Kebo Sindet,
seorang iblis yang memiliki pengalaman yang cakup banyak dan
beraneka-macam.
Tetapi bahwa sekali lagi Mahisa Agni
dapat melepaskan diri dari serangannya, telah benar-benar mengejutkan
Kebo Sindet. Sejenak ia berdiri saja dengan sorot mata bertanya-tanya.
Diawasinya Mahisa Agni yang kini telah berhasil berdiri tegak di atas
tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh kuat. Matanya kini memancarkan
sinar yang membara, seperti hatinya yang telah membara pula.
“Anak setan” terdengar Kebo Sindet memggeram, “dari mana kau memiliki ilmu yang memungkinkan kau lolos dari seranganku?”
Mahisa Agni tidak menjawab.
“Katakan. Katakanlah supaya kesalahanmu
berkurang di mataku. Supaya aku dapat membuat parhitungan dengan orang
itu, karena ialah sumber dari segala pengkhianatanmu ini”.
Mulut Mahisa Agni masih terkatub rapat-rapat. Yang terdengar justru gemeretak giginya beradu.
“Baik. Baiklah kalau kau ingin tetap membisu. Kalau aku cincang tubuhmu, maka orang itu pasti akan datang juga”.
Wajah kebo Sindet yang beku itu menjadi
semakin menegang. Matanya menjadi merah seperti api. Tangannya yang
menggenggam ikat pinggang kulit itu menjadi gemetar.
Selangkah ia maju. Kebuasan yang mengerikan kini membayang semakin nyata di wajahnya.
Ketika guruh meledak di langit, Kebo
Sindet itu meloncat secepat kilat menyerang Mahisa Agni dengan ayunan
ikat pinggangnya. Suara yang berdesing telah menyambar telinga Mahisa
Agni. Namun ia masih sempat menghindarkan kepalanya dari sentuhan ikat
pinggang kulit itu. Ia kini sadar sepenuhnya, bahwa Kebo Sindet sudah
sampai kepuncak kemarahannya. Ia harus menjadi semakin berhati-hati.
Meskipun gurunya menganggap bahwa ilmunya sudah cukup baik untuk melawan
ilmu Kebo Sindet, namun pengalaman dan kelicikan akal Kebo Sindet
agaknya akan ikut serta menentukan akhir dari perkelahian itu.
Karena Mahisa Agni berhasil menghindari
serangannya pula, maka Kebo Sindet menjadi benar-benar terbakar hatinya.
Ia semakin mendapat gambaran tentang kemampuan lawannya yang selama ini
dianggapnya sudah lumpuh sama sekali. Ternyata ia masih berhasil
menghindari serangannya beberapa kali.
Dengan demikian, maka Kebo Sindet
berpendapat, bahwa Mahisa Agni telah benar-benar menemukan suatu
kekuatan yang dapat dibanggakannya, sehingga ia telah berani langsung
melawannya.
Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet
berusaha memperbaiki keadaannya. Ia tidak lagi menganggap bahwa Mahisa
Agni hanya sekedar menyombongkan dirinya karena ia tidak mampu
memperhitungkan kekuatan Kebo Sindet yang sebenarnya. Tetapi ternyata
bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang cukup, bahkan di luar
dugaannya.
Tetapi Mahisa Agni pun telah
memperhitungkan segala kemungkinan sehingga ia pun segera menyesuaikan
dirinya. Ketika ia melihat mata Kebo Sindet seakan-akan telah menyala,
maka sampailah Mahisa Agni pada kesimpulan, bahwa perkelahian itu akan
segera sampai pada puncaknya.
Demikianlah sebenarnya yang terjadi.
Ketika Kebo Sindet dengan darah yang mendidih berusaha segera
melumpuhkan lawannya, maka Mahisa Agni pun segera menuangkan segala
ilmunya untuk melawan.
Dengan demikian maka perkelahian itupun
segera meningkat menjadi semakin seru. Kebo Sindet dengan garangnya
menyambar-nyambar seperti seekor burung alap-alap. Cepat dan mendebarkan
jantung. Namun Mahisa Agni pun mampu melawannya dengan kecepatan yang
seimbang. Tubuhnya seakan-akan menjadi seringan kapas, namun tenaganya
menjadi sekuat banteng ketaton.
Tetapi ternyata ikat pinggang kulit di
tangan Kebo Sindet itu benar-benar telah mengganggu keseimbangan. Mahisa
Agni tidak dapat membiarkan dirinya disentuh oleh ikat pinggang kulit
itu. Setiap sentuhan pasti akan dapat mengelupaskan kulitnya. Karena
itu, maka setiap kali Mahisa Agni masih harus selalu meloncat
menghindari lecutan ikat pinggang kulit itu, yang ternyata semakin lama
menjadi semakin cepat berputar. Bahkan kemudian Mahisa Agni seakan-akan
melihat gumpalan asap yang kemerah-merahan berusaha melibat dirinya. Ia
sadar sepenuhnya, bahwa gumpalan yang tampaknya seperti asap itu adalah
ayunan ikat pinggang Kebo Sindet. Kalau asap itu berhasil melibatnya,
maka ia pasti tidak akan dapat keluar lagi.
Dengan demikian, betapapun Mahisa Agni mampu bergerak secepat tatit
yang meloncat dilangit, namun ia tidak akan dapat menembus gumpalan
asap itu. Sehingga mustahil baginya untuk dapat menyentuh tubuh Kebo
Sindet yang seakan-akan dilindungi oleh gumpalan asap itu.
Terdengar Mahisa Agni kemudian
menggeretakkan giginya. Betapapun ia mencoba memutar otaknya, namun ia
melihat kesulitan yang tak tertembus olehnya. Seandainya kemampuan
mereka berimbang, namun Kebo Sindet menggenggam senjata di tangannya,
maka keseimbangan itupun pasti akan terganggu.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak boleh
kehilangan akal. Yang dapat dilakukan sementara adalah menghindari
sentuhan ikat pinggang kulit itu. Tetapi ikat pinggang kulit itu
seolah-olah mempunyai beberapa pasang mata, sehingga kemanapun ia
menghindar, maka ikat pinggang itu selalu menyambarnya, mematuk dan
berusaha melibatnya.
Mahisa Agni kemudian berdesah di dalam
hatinya. Ternyata ia benar-benar mendapat kesulitan. Sudah tentu tidak
akan menyenangkan baginya, apabila ia hanya mendapat kesempatan untuk
menghindar dan berloncatan mundur.
Dengan segenap kemampuan yang ada
padanya, telah dicobanya untuk menembus putaran ikat pinggang kulit itu.
Namun Mahisa Agni tidak segera berhasil, karena yang dilawannya itu
adalah seorang yang luar biasa pula, yang mempunyai banyak kelebihan
dari orang kebanyakan.
Tetapi Kebo Sindet sendiri menjadi sangat
heran menyaksikan Mahisa Agni kini. Anak muda itu ternyata benar-benar
mempunyai bekal yang cukup untuk melawannya. Adalah tidak masuk akal,
bahwa Mahisa Agni masih saja dapat menghindarkan dirinya, meskipun ia
telah berusaha sejauh-jauhnya melihat anak muda itu dengan putaran ikat
pinggang kulitnya. Meskipun Mahisa Agni agaknya mengalami kesulitan,
namun ia masih saja mampu melepaskan dirinya. Bahkan kadang-kadang masih
juga berusaha menyerang menemhus perisai yang dibuatnya.
“Setan kecil ini benar-benar
mengherankan” desis Kebo Sindet di dalam hatinya. Namun dengan demikian
kemarahannya menjadi kian memuncak pula.
“Aku harus dapat membunuhnya. Membunuh dengan cara yang paling gila” katanya di dalam hati pula.
Maka semakin lama tandang Kebo Sindet pun
menjadi semakin garang. Ikat pinggangnya berputar semakin cepat. Dengan
penuh nafsu Kebo Sindet memutar senjatanya dan menyerang lawannya
seperti angin prahara. Sedang Mahisa Agni, masih belum menemukan
kesempatan yang baik untuk membalas menyerangnya. Dengan segala macam
cara, Mahisa Agni mencoba mencari titik-titik kelemahan lawannya. Namun
ia tidak segera menemukannya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mencoba
menyerang dari segala macam arah. Beberapa kali ia berloncatan memutari
lawannya. Namun Kebo Sindet bukan anak-anak yang mudah dibingungkannya.
Kebo Sindet adalah seorang yang tanggon, yang menyimpan pengalaman tiada
taranya di dalam dirinya.
Bahkan serangan Kebo Sindet semakin lama
menjadi semakin dahsyat pula. Gumpalan putaran senjatanya selalu
mengejarnya kemanapun ia pergi. Sehingga berkali-kali Mahisa Agni harus
meloncat surut.
Ketika Mahisa Agni kemudian menyadari
dirinya, tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Ternyata perkelahian itu
telah berkisar beberapa langkah dari titik arena semula. Ketajaman
tanggapan Mahisa Agni mengatakan kepadanya, bahwa memang Kebo Sindet
dengan sengaja menggeser arena perkelahian itu ke arah yang dikehendaki.
Kebo Sindet telah mencoba mendesak Mahisa Agni mendekati daerah
rawa-rawa.
“Iblis ini benar-benar licik” geram
Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia kemudian menyadari keadaannya. Kebo
Sindet pasti akan mendesaknya masuk ke dalam rawa-rawa, dan akan
melakukan apa yang dikatakannya. Setidaknya ia akan melihat, tubuhnya
terpelanting masuk ke dalam rawa-rawa yang coklat berlumpur itu, yang
kemudian pasti akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil dan
binatang-binatang air lainnya.
Mahisa Agni itu pun menggeram.
Dihentakkannya segenap kekuatan dan kemampuannyaa untuk mencoba menembus
senjata lawannya. Namun ternyata ia masih belum mendapat kesempatan.
“Aku tidak boleh menjadi korban
karenanya” Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, “aku harus dapat
menembus senjatanya yang gila itu”.
Mahisa Agni kemudian benar-benar tidak
membiarkan dirinya didesak terus masuk ke dalam rawa-rawa. Ketika ia
merasa, bahwa kakinya telah menginjak tanah yang basah, maka ia berkata
pula di dalam hati, “Aku tidak akan berbuat licik. Aku kira adalah
wajar, bahwa akupun harus bersenjata”.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera melihat
kesempatan untuk mendapatkan senjata. Perlahan-lahan ia berloncatan ke
arah sebatang beringin yang rimbun. Ia ingin mendapat sehelai sulur
untuk melawan senjata Kebo Sindet itu. Atau sepotong dahan, atau apapun.
Tetapi yang ada di sekitarnya hanyalah pohon-pohon perdu yang tidak
akan berarti.
Agaknya Kebo Sindet mengerti juga maksud
Mahisa Agni. Itulah sebabnya dengan senjata yang ada padanya, serta
kemampuan yang luar biasa, ia mendesak Mahisa Agni terus, dan
mencegahnya mendekat batang beringin yang dapat memberinya kemungkinan
untuk mempergunakan sulur-salurnya sebagai senjata.
“Demit yang licik” Mahisa Agni mengumpat
di dalam hatinya. Apalagi ketika terasa, bahwa tanah-tanah yang
diinjaknya telah mulai gembur.
Adalah nyata sekali dalam pertempuran
itu, meskipun Mahisa Agni memiliki ilmu dan kekuatan yang tidak kalah
dari Kebo Sindet, namun pengalaman setan Kemundungan itu jauh lebih
banyak dari Mahisa Agni sendiri. Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet masih
mempunyai kesempatan untuk mendesak lawannya, dan meskipun tidak
langsung dapat menguasainya dan lambat namun hampir dapat dipastikan ia
akan menyelesaikan perkelahian itu sesuai dengan kehendaknya.
Bahkan sejenak kemudian terdengar
suaranya mengguntur, “Nah, Agni. Berpalinglah. Beberapa langkah di
belakangmu adalah rawa-rawa yang didiami oleh buaya-buaya kerdil itu.
Sebentar lagi tubuhmu pasti akan menjadi santapan yang segar. Terimalah
nasibmu yang malang karena kesombonganmu”.
Mahisa Agni menggeretakkan giginya.
Tetapi pohon beringin itu masih cukup jauh. Apalagi agaknya Kebo Sindet
mendorongnya ke arah yang lain, kearah semakin jauh.
Dengan segala kemampuan Mahisa Agni telah
mencoba melawan. Tetapi senjata lawannya benar-benar telah merubah
keseimbangan. Meskipun Kebo Sindet tidak berhasil menguasainya langsung,
tetapi ia seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Bahkan
kini ia telah didesak hampir sampai ke bibir rawa-rawa yang gembur
berlumpur, yang akan dapat menelannya hidup-hidup.
Dengan sekuat tenaga Mahisa Agni mencoba
mempertahankan dirinya supaya tidak terdesak semakin dekat ke tepi
rawa-rawa. Namun libatan ayunan ikat pinggang Kebo Sindet benar-benar
telah mendesaknya. Berkali-kali Mahisa Agni mencoba untuk menghindar ke
samping dan mencari kesempatan untuk meloncat ke arah yang lain, supaya
ia tidak terjerumus ke dalam rawa-rawa, tetapi Kebo Sindet pun berusaha
mati-matian, agar lawannya tidak berkesempatan lolos.
Ternyata bahwa senjata Kebo Sindet itu
benar-benar bermanfaat pada saat-saat yang demikian. Pada saat mereka
berada pada puncak ilmu masing-masing, dimana mereka seakan-akan berada
pada titik keseimbangan, maka setitik debu yang paling kecilpun akan
dapat merubah keseimbangan itu.
Tetapi Mahisa Agni harus menghadapi
kenyataan itu. Karena itu ia bertahan untuk tidak berkisar semakin dekat
lagi ke arah rawa-rawa. Ia harus mengerahkan setiap kemungkinan yang
dimilikinya untuk melawan. Meskipun demikian, maka terasa ikat pinggang
kulit Kebo Sindet itu mulai menyentuhnya.
Mahisa Agni menyeringai menahan pedih
yang menyengat kulitnya ketika ujung ikat pinggang lawannya menyinggung
pundaknya. Tepat seperti dugaannya, ujung ikat pinggang itu benar-benar
dapat mengelupas kulitnya, sehingga terasa bahwa darahnya mulai
mengalir.
”Ha” berteriak Kebo Sindet, “darahmu
mulai menetes dari lukamu. Setitik darah telah cukup untuk memanggil
buaya-buaya kerdil itu. Pekerjaanku sekarang tinggal mendorongmu masuk
ke dalam rawa itu dan menyaksikan tubuhmu disobek-sobek oleh buaya-buaya
kerdil yang rakus”.
Mahisa Agni menggeram. Tetapi adalah
sebuah kenyataan pula bahwa pundaknya telah terluka dan darah memang
telah meleleh dari luka itu, meskipun luka itu tidak terlampau dalam.
Meskipun demikian, keadaan itu telah
membuat Mahisa Agni disentuh oleh perasaan cemas. Bukan karena ia takut
mengalami akibat yang paling pahit. Mati. Namun yang paling
menggelisahkan adalah, bahwa dengan demikian Kebo Sindet masih akan
mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendak hatinya.
Sekilas terbayang wajah kedua orang yang
selama ini mengasuhnya. Empu Purwa dan Empu Sada. Keduanya pasti akan
dapat membinasakan iblis dari Kemundungan ini. Tetapi bahwa ia gagal,
maka kedua orang tua itu pasti akan kecewa. Kecewa sekali.
Dan kini ia masih harus bekerja terlampau keras. Ia tidak boleh berputus asa.
Dada Mahisa Agni berdesir ketika tanpa
disengajanya pada saat ia meloncat menghindari cambuk ikat pinggang Kebo
Sindet, terasa kakinya menyentuh batu. Batu. ya, satu-satunya yang
didapatkannya di daerah itu adalah batu.
Tanpa membuang waktu lagi, Mahisa Agni
segera memungut batu itu. Tidak hanya satu, tetapi ia mendapatkan dua
buah batu sebesar telur.
“Apa boleh buat” desis Mahisa Agni di
dalam hatinya, “tidak seorang pun dapat menuduhku curang. Sebab lawanku
pun bersenjata pula”.
Kebo Sindet yang melihat Mahisa Agni
memungut batu, segera menyadari bahwa Mahisa Agni akan mempergunakannya
senjata. Karena itu, maka dengan kecepatannya yang luar biasa ia
menyerangnya. Ia mencoba memotong kesempatan Mahisa Agni mengambil kedua
butir batu itu.
Serangan itu benar-benar mengejutkan
Mahisa Agni. Selagi tangannya hampir menyentuh batu yang sebutir lagi,
setelah yang sebutir digenggamnya, ikat pinggang Kebo Sindet terayun
dengan derasnya seolah-olah tatit yang meloncat di langit.
Kesempatan untuk meloncat menghindari
serangan itu terlampau sempit, ia dapat dengan serta-merta menghindar,
tetapi ia harus melepaskan batu yang sebutir itu.
Dalam kesempatan yang terlampau pendek,
Mahisa Agni harus msngambil keputusan. Dan keputusan yang diambilnya
adalah, “Mendapatkan batu itu”.
Tetapi dengan demikian maka kesempatannya
untuk menghindari semakin sempit. Karena itu maka sekali lagi ujung
ikat pinggang Kebo Sindet itu menyentuh tubuhnya, kali ini di
punggungnya.
Sekali lagi Mahisa Agni menyeringai.
Dijatuhkannya tubuhnya, kemudian dengan sekuat tenaganya ia melontarkan
diri berguling menjauhi lawannya. Namun dengan demikian Mahisa Agni
kurang dapat memperhitungkan arah, sehingga justru ia menjadi semakin
dekat ke tepi rawa-rawa.
Kebo Sindet tidak memberinya kesempatan.
Ia memburu terus dengan ayunan ikat pinggang kulitnya. Ia menggeretakkan
giginya ketika ia melihat Mahisa Agni sempat meloncat berdiri. Tetapi,
tanah yang diinjaknya terlampau licin, sehingga Mahisa Agni tergelincir
dan jatuh berlutut.
“Sekarang, datanglah saat yang paling
mengerikan itu” teriak Kebo Sindet “setapak lagi aku mendorongmu, kau
akan terjerumus ke dalam tanah yang gembur. Kau tidak akan dapat keluar
lagi sampai datang saatnya buaya-buaya itu menjamahmu dengan
gigi-giginya”.
Tetapi Mahisa Agni benar-benar tidak
berputus asa. Ia belum mengalami perkelahian yang sebenarnya. Ia masih
belum marasa bertempur beradu ilmu yang. Sebaik-baiknya dengan iblis
dari Kemundungan itu. Karena itu, ia tidak mau ditelan oleh lumpur rawa
itu.
Ketika Kebo Sindet meloncat maju, maka
sambil berlutut ia mengadakan perlawanan dalam usahanya terakhir. Ia
harus mendapat kesempatan meloncat menghindari arah yang mendebarkan
jantung.
Mahisa Agni memang tidak berusaha untuk
segera berdiri. Ia kini mengerahkan segenap tenaganya dalam
perlawanannya. Ia harus dapat melakukannya dalam keadaanya itu.
Berlutut. Kalau ia mencoba berdiri, maka ia akan kehilangan waktu
sekejap. Dan yang sekejap itu pasti sudah dapat dipergunakan oleh Kebo
Sindet sebaik-baiknya, untuk melemparkannya ke dalam rawa-rawa.
Ketika Kebo Sindet meloncat maju, maka dibidikkannya sebutir batunya ke arah iblis itu.
Tetapi apa yang dilakukan oleh Mahisa
Agni itu ternyata sangat tergesa-gesa. Sebab Kebo Sindet yang
mengetahui, apa yang sedang diperbuat oleh Mahisa Agni itu segera
berusaha membuat tekanan-tekanan yang semakin ketat.
Namun kali ini Mahisa Agni sempat
melepaskan batunya meskipun hanya dengan sebagian kecil dari
kemampuannya karena ia tidak sempat menunggu lebih lama lagi.
Meskipun demikian batu yang mengarah ke
pelipis Kebo Sindet itu telah menghentikan gerakan iblis dari Kemudungan
itu. Sambil menggeram Kebo Sindet memukul batu itu dengan senjatanya,
dengan ikat pinggang kulitnya, sehingga batu itu terpelanting jauh-jauh
ke dalam rawa-rawa tanpa menyentuh sehelai bulunya pun.
Tetapi memang itulah yang diharapkan oleh
Mahisa Agni. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa batu itu tidak akan
menyentuh lawannya. Tetapi dengan demikian Mahisa Agnilah yang kini
mendapat waktu meskipun hanya sekejap. Maka yang sekejap itu
dipergunakan baik-baik.
Ketika Kebo Sindet sudah siap untuk
menyerang lawannya lagi, maka kini ia telah melihat Mahisa Agni berdiri
tegak di atas sepasang kakinya dengan kokohnya, seolah-olah kakinya itu
berakar masuk ke dalam bumi. Wajahnya yang menyala menjadi semakin
tegang. Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan yang tiada taranya.
Kebo Sindet tertegun melihat sikap itu.
Selama ini hanya melihat Mahisa Agni yang ketakutan seperti seekor tikus
yang melihat kucing. Tetapi kini ia melihat Mahisa Agni benar-benar
seperti banteng ketaton. Tabah tangguh menghadapi setiap bahaya yang
mengancamnya.
Tetapi Kebo Sindet juga bukan anak-anak
yang hanya pandai berteriak-teriak. Ia adalah iblis yang paling
mengerikan diseluruh tanah Tumapel. Karena itu, maka betapapun Mahisa
Agni telah membuatnya keheranan, namun ia sudah bertekad untuk
membunuhnya, melemparkannya ke dalam rawa-rawa untuk menjadi santapan
buaya-buaya kerdil yang sangat rakus. Apalagi dari tubuh Mahisa Agni
telah menetes darah.
Perlahan-lahan Kebo Sindet itu melangkah
maju semakin dekat. Ikat pinggangnya masih berputar menamengi dirinya.
Ia tahu benar bahwa Mahisa Agni pasti akan membidiknya dan melemparnya
dengan batu yang digenggamnya. Tetapi Kebo Sindet pun yakin, bahwa ia
pasti akan berhasil memukul batu itu seperti batu yang pertama.
Meskipun Kebo Sindet melangkah maju,
tetapi kini Mahisa Agni tidak melangkah surut. Ia berdiri tegak
ditempatnya. Dibiarkannya Kebo Sindet menjadi semakin dekat.
Ketika Kebo Sindet itu sudah berdiri
beberapa langkah saja dihadapannya, maka ia mulai mengangkat tangannya.
Perlahan-lahan. Kini dikerahkannya, segenap kemampuan dan kekuatan yang
ada padanya. Kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir baginya
untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan berikutnya, karena iapun sadar,
bahwa Kebo Sindet pasti akan dapat menangkis serangannya dengan batu
itu. Kalau kali ini ia gagal, maka ia akan benar-benar didorong masuk ke
dalam sarang buaya kerdil itu.
Melihat sikap Mahisa Agni, maka Kebo
Sindet menghentikan langkahnya. Iapun kini bersiap untuk menangkis
serangan Mahisa Agni. Diputarnya ikat pinggangnya semakin cepat sehingga
tidak ada lubang seujung jarum pun yang akan dapat disusupi apalagi
oleh batu Mahisa Agni yang sebesar telur itu.
Tetapi Mahisa Agni tidak terpengaruh
karenanya. Sesaat kemudian ia membidik kening lawannya. Perlaban-lahan
kaki kirinya bergerak maju. Dan bersamaan itu, maka batu yang ada di
tangannya itu pun meluncur dengan kecepatan yang hampir tidak dapat
diikuti dengan mata.
Bagaimanapun juga, maka terasa desir di
dada Kebo Sindet. Sebelum ia menyentuh batu itu dengan ikat pinggangnya,
ia ternyata dikejutkan oleh lontaran yang dilambari dengan kekuatan
yang dahsyat, yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Kebo Sindet.
Itulah sebabnya maka Kebo Sindet tidak
dapat sekedar menangkisnya. Iapun harus mengerahkan segenap tenaganya
dan memusatkan segenap kemampuannya untuk dapat memukul batu yang
meluncur seperti tatit itu.
Tetapi Kebo Sindet yang menyimpan
pengalaman yang terlampau banyak di dalam dirinya itu, segera mengerti
apa yang harus dilakukannya. Ia tidak akan dapat melawan batu itu dengan
putaran ikat pinggangnya karena kesempatannya untuk mengerahkan
tenaganya tidak cukup banyak. Tetapi, ia tidak kehilangan cara untuk
menghindarinya. Dengan lincahnya ia meloncat setapak ke samping.
Diusahakannya memukul batu itu sekedar untuk membelokkan arahnya, supaya
tidak menyentuh tubuhnya.
Meskipun dengan dada yang berdebar-debar,
tetapi ternyata usaha Kebo Sindet itu berhasil. Ia berhasil memukul
batu yang menyambarnya itu sambil menghindar setapak ke samping.
Meskipun sedikit namun batu itu memang berbelok arah dan sama sekali
tidak menyentuhnya.
Namun dengan demikian, karena Kebo Sindet
itu tidak mendapat waktu untuk mengerahkan segenap kemampuannya maka
terasa tangannya bergetar. Cambuk kulitnya itu hampir-hampir lepas dari
tangannya. Namun, meskipun ia berhasil menahan pangkal ikat pinggangnya,
tetapi ujung ikat pinggangnya itu rantas karena sentuhan batu Mahisa
Agni yang dilemparkan dengan sekuat tenaganya.
Mengalami peristiwa itu, Kebo Sindet
menggeram keras-keras. Kemarahannya seakan-akan meluap lewat
ubun-ubunnya. Dengan cepatnya ia berusaha memperbaiki keadaannya dan
melemparkan ikat pinggangnya yang sudah rantas itu ke tanah. Sekejap
kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai golok yang besar. Golok
yang hampir tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
Mahisa Agni memang sudah memperhitungkan
apa yang terjadi itu. la memang tidak akan berhasil menjatuhkan lawannya
hanya dengan dua butir batu, seperti yang kemudian ternyata terjadi.
Kebo Sindet sama sekali tidak terluka. Bahkan kini ia telah mengganti
senjata daruratnya dengan goloknya yang besar. Golok yang baru saja
kering dari darah korban-korbannya, kawan-kawan juru taman yang bodoh
yang mencoba menjebaknya.
Tetapi ketika ia menyadari kedudukannya
dan kedudukan lawannya, maka Kebo Sindet itu menggeram. Kemarahannya
sudah tidak dapat ditampungnya lagi di dalam hatinya, sehingga sejenak
kemudian terdengar ia berteriak nyaring untuk mengurangi kepepatan
dadanya, “Kau licik setan kecil. Kau licik seperti demit”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
telah berhasil mempergunakan kesempatannya yang terakhir untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan berikutnya yang masih harus
diperjuangkan.
Pada saat-saat Kebo Sindet sibuk
menghindarkan diri dari sambaran batu Mahisa Agni, pada saat tangannya
digetarkan oleh benturan dua kekuatan yang dahsyat, pada saat ia
dikejutkan oleh ujung ikat pinggang yang rantas, pada saat itulah Mahisa
Agni mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Saat yang hanya sekejap
itu dipergunakannya untuk melenting, menjauhi Kebo. Sindet dan kemudian
menempatkan dirinya pada arah yang berlawanan dengan arah rawa-rawa yang
gembur berlumpur.
Kalau semula ia telah berdiri beberapa
langkah saja dari bibir rawa-rawa itu, bahkan kakinya telah menginjak
bagian-bagian yang mulai gembur dan lembab basah, maka kini ia telah
agak jauh dari padanya. Lebih dari pada itu, ia berdiri berseberangan
dengan tanah lumpur yang dapat menyeretnya kemulut-mulut buaya-buaya
kerdil.
“Kau licik” ia masih mendengar Kebo
Sindet berteriak-teriak, “kau licik melampaui Jajar yang gila itu.
Karena itu pun maka kematianmu harus lebih pedih lagi dari Jajar itu”.
Mahisa Agni sama sekali tidak menyahut.
Tetapi kesempatan yang lebih baik yang telah terbuka baginya, membuat
ketenangannya menjadi semakin mantap.
Namun dengan demikian, Mahisa Agni sempat
menyadari kesalahannya. Seperti pesan gurunya, bahwa ia tidak boleh
tergesa-gesa dan memperhitungkan setiap kemungkinan masak-masak dalam
menghadapi iblis dari Kemundungan ini. Ini ternyata ia tidak
melakukannya dengan baik. Nafsunya yang tidak tertahankan lagi, telah
membuatnya tergesa-gesa dan kurang berhati-hati. Kini ia kalah selapis
dari lawannya, justru karena lawannya bersenjata.
“Aku kurang memperhitungkan keadaan itu”
desisnya di dalam hati, “aku tidak menyiapkan diri dengan baik.
Sekarang, akibatnya dari kelengahan itu terasa sekali.
Tanpa disengajanya Mahisa Agni meraba
pundaknya yang terluka. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka
tangannya itu seakan-akan sedang membara. Merah.
Dada anak muda itu berdesir. Ternyata
darah yang merah, yang mewarnai tangannya itu membuatnya semakin menyala
dibakar oleh gairah perjuangannya. “Aku harus melepaskan diri dari
tangan iblis ini” Mahisa Agni menggeram di dalam hatinya “Lebih
daripada itu aku harus melenyapkannya untuk kepentingan bebrayan pada
umumnya di Tumapel”.
Tiba-tiba Mahisa Agni itupun menggeram.
Ditatapnya Kebo Sindet seutuhnya tanpa berkedip. Dari ubun-ubun sampai
keujung kakinya. Tubuhnya yang kekar, wajahnya yang beku, matanya yang
menyala dan sepasang tangannya yang kokoh kuat, seperti tangan orang
hutan, apalagi tangan itu kini menggenggam golok, senjata yang selama
ini telah dipergunakannya untuk mengisap darah beratus-ratus orang.
Tetapi orang ini harus dibinasakannya. Tidak ada pilihan la in. Tidak ada cara lain daripada itu.
Tetapi, Mahisa Agni masih tetap dalam
kesadarannya. Ia tidak dapat menuruti hawa nafsunya dan berbuat tanpa
perhitungan. Sekali matanya membentur kilatan pantulan sinar dari batang
golok Kebo Sindet yang masih kemerah-merahan.
“Mahisa Agni” terdengar Kebo Sindet itu
menggeram “apapun yang kau lakukan, tetapi kau pasti akan menjadi
santapan buaya-buaya kerdil itu. Tempat ini dikelilingi oleh rawa-rawa
disegala arah. Arah manapun yang kau pilih, maka kau akan terperosok
masuk ke dalamnya. Arah yang sekarang ini pun akan mengantarkanmu ke
dalam mulut buaya itu. Cepat atau lambat. Apalagi aku tidak
mempergunakan ikat pinggang kulit itu lagi. Tetapi aku mempergunakan
senjataku yang sebenarnya. Nah, bersiaplah untuk mati dengan cara yang
paling tidak menyenangkan”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi
mulutnya sajalah yang gemeretak. Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh
Kebo Sindet itu benar. Kemanapun ia pergi, ia akan mengarah ke bibir
rawa-rawa. Tetapi arahnya kali ini adalah panjang, sebelum ia sampai
kepada tanah gembur. Ia akan dapat mempergunakan setiap kesempatan yang
terbuka untuk mendapatkan senjata. Sulur-sulur kaju atau cabang-cabang
pepohonan. Kalau perlu batu-batuan atau gumpalan-gumpalan padas. Baginya
memang tidak ada pilihan lain lagi daripada mempergunakan senjata apa
saja yang diketemukan. Dan kedua orang-orang tua yang mengasuhnya di
saat-saat terakhir telah menunjukkannya pula kepadanya, bagaimana ia
harus mempergunakan segala macam benda untuk senjata.
Mahisa Agni kemudian melihat Kebo Sindet
itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Golok ditangannya telah
digerak-gerakannya mendatar.
Mau tidak mau dada Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar pula. Yang ditangan Kebo Sindet kali ini bukan sekedar
ikat pinggang kulit. Tetapi sebatang golok baja yang besar dan tajam.
Meskipun seandainya tajam golok itu tidak menyamai pisau dapur
sekalipun, bahkan punggungnya sama sekali, namun yang ajunan tangan Kebo
Sindet akan cukup kuat untuk mematahkan seluruh tulang-tulang iganya
sekaligus.
Kini, ujung golok itu telah diangkat
setinggi dada Mahisa Agni. Golok yang terjulur itu semakin lama menjadi
semakin dekat kepadanya.
Tanpa disengajanya Mahisa Agni menebarkan
pandangan matanya di sekitarnya, mumpung Kebo Sindet masih belum dekat
benar. Kalau-kalau ia menemukan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk
melawan golok iblis dari Kemundungan itu.
Mahisa Agni menghentakkan giginya, ketika
ia mendengar suara Kebo Sindet “Kau tidak akan menemukan sesuatu, Agni.
Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menemukan Senjata”.
Memang di sekitar Mahisa Agni berdiri,
tidak ada sesuatu yang mungkin akan dapat dipergunakan untuk senjata.
Tetapi ia tidak akan terpancang di tempat itu. Ia akan berkisar ke
tempat yang memungkinkannya. Mahisa Agni sadar, bahwa Kebo Sindet pasti
akan berusaha untuk menguasainya dan mendorong seorang yang dikehendaki.
Tetapi arena kini menjadi lebih lapang bagi Mahisa Agni. Kesempatan
untuk bergeser dan berkisar semakin luas.
“Tetapi apakah aku hanya akan sekedar berkisar dan bergeser saja tanpa berlawanan yang berarti?” desisnya di dalam hati.
Sementara itu Kebo Sindet sudah menjadi
semakin dekat. Matanya yang merah menyala seperti soga, menyorotkan
kemarahan yang tidak terkira. Sejenak iblis dari Kemundungan itu
berhenti, namun matanya memandang Mahisa Agni dengan tanpa berkedip.
Mahisa Agni sadar, bahwa segera ia akan
dilibat oleh serangan-serangan senjata yang mengerikan di tangan iblis
yang mengerikan pula.
Perhitungan Mahisa Agni itu ternyata
benar-benar terjadi. Sesaat kemudian dengan teriakan yang memekakkan
telinga, Kebo Sindet meloncat menyerang Mahisa Agni. Pedangnya terjulur
lurus, namun kemudian bergerak mendatar.
Serangan itu benar-benar telah
mendebarkan jantung. Kebo Sindet ternyata telah benar-benar sampai ke
puncak usahanya untuk mengalahkan dan melumpuhkan lawannya, sebelum
diseretnya dan dilemparkannya ke mulut binatang-binatang air yang buas.
Dengan sepenuh tenaga pula Mahisa Agni
berusaha menghindarkan dirinya. Ia tidak boleh lengah, sehingga ujung
senjata itu melukai kulitnya seperti ikat pinggang kulit itu. Kalau kali
ini golok itu menyentuhnya, maka bukan sekedar kulitnya yang
terkelupas, tetapi dagingnya pun akan robek pula karenanya. Bahkan
mungkin urat atau otot bebayunya akan terputus.
Saat-saat selanjutnya adalah saat yang
menegangkan. Kebo Sindet yang marah itu menyambar-nyambar seperti seekor
alap-alap dengan kukunya yang dahsyat, melibat dari segenap arah.
Sedang Mahisa Agni hanya dapat berusaha menghindar dan menghindar terus.
Ia masih belum metnpunyai kesempatan untuk menyerang lawannya karena
keseimbangan diantara mereka masih terganggu oleh golok Kebo Sindet.
Setiap kali Mahisa Agni bergeser menjauhi
rawa-rawa itu supaya Kebo Sindet pada suatu saat tidak menemukan
kesempatan seperti yang pernah terjadi, mendesaknya ketepi. Seandainya
demikian yang dikehendakinya, mendesaknya ketepi yang lain, maka pasti
masih akan diperlukan waktu yang panjang, sehingga kesempatan-kesempatan
yang tidak terduga mungkin akan datang.
Namun semakin dahsyat serangan-serangan
yang datang dari Kebo Sindet, maka kemungkinan Mahisa Agni untuk
mendapat senjata menjadi semakin tipis. Ia semakin terdesak ke dalam
keadaan yang sulit.
Tetapi Mahisa Agni cukup lincah
mempergunakan loncatan-loncatan panjang untuk mengatur jarak yang
dikehendakinya dari lawannya, supaya ia tidak ditelan oleh putaran golok
Kebo Sindet. Dan cara Mahisa Agni itu ternyata menjengkelkan sekali
bagi Kebo Sindet, sehingga ia berteriak, “Kenapa kau tidak lari saja
menjauh? Pengecut, ternyata kau tidak sedang berkelahi. Kau hanya
sekedar berlari-larian dan berloncat-loncatanan. Apakah aku harus
melayanimu? Sebaiknya kau lari saja. Tetapi ingat, kemanapun kau lari,
kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini sehingga akan datang juga
saatnya kau terikat dan terlempar ke mulut binatang-binatang air itu”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi
sebenarnya bahwa lari itu pun telah masuk di dalam angan-angannya. Ia
memang akan berlari menjauh pada suatu saat apabila diperlukan. Bukan
karena takut untuk melakukan perlawanan sampai tarikan nafasnya yang
terakhir, bukan pula karena sifat pengecut telah tumbuh di dalam
hatinya, tetapi lari akan bermanfaat baginya untuk mendapatkan
kesempatan, melakukan perlawanan yang lebih baik. Mahisa Agni memang
ingin berlari ke arah sebatang pohon beringin, untuk mengambil beberapa
helai sulur yang akan dapat membantunya melawan Kebo Sindet yang
seolah-olah telah menjadi gila itu.
Bahkan angan-angan itu menjadi semakin
nyata ketika ia menjadi semakin terdesak., “Aku tidak dapat berkelahi
dengan cara ini” katanya di dalam hati “Ternyata aku sekarang memang
tidak sedang bertempur, tetapi aku sekedar bermain-main dengan nyawaku”.
Mahisa Agni itu pun kemudian membulatkan niatnya. Apapun yang akan dikatakan oleh Kebo Sindet tentang dirinya.
Maka ketika kesempatan itu terbuka,
ketika Mahisa Agni herhasil meloncat beberapa langkah menjauh,
dipergunakannya kesempatan itu. Dengan serta merta ia berlari
meninggalkan Kebo Sindet.
Kebo Sindet justru terkejut melihat
lawannya tiba-tiba berlari seperti dikejar hantu, menilik sikap dan
perlawanan yang diberikan selama ini, maka Mahisa Agni agaknya akan
melawan sampai akhir hayatnya. Tetapi tiba-tiba saja anak itu berlari
sipat kuping.
Tetapi ketika ia melihat arah lari Mahisa
Agni, segera Kebo Sindet menyadari, bahwa Mabisa Agni tidak akan
meniggalkannya. Ia kini dapat menangkap maksud anak muda itu.
Mendapatkan sulur-sulur beringin untuk melawannya.
Karena itu maka Kebo Sindet itupun segera
meloncat mengejarnya. Ia tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya
untuk menemukan keseimbangan di dalam perkelahian itu.
Agak jauh dari arena perkelahian itu,
Kuda Sempana berdiri dengan mulut ternganga. Seperti bermimpi ia
menyaksikan apa yang telah terjadi. Pada saat permulaan dari perkelahian
antara Mahisa Agni dan Kebo Sindet, Kuda Sempana hampir-hampir tidak
percaya akan penglihatannya sendiri. Betapa mungkin ia melihat, Mahisa
Agni itu berkelahi melawan Kebo Sindet. Lebih-lebih lagi Kebo Sindet itu
memegang senjata ditangannya, sedang Mahisa Agni sama sekali tidak.
Semula Kuda Sempana mencoba menganggap
bahwa hal itu terjadi secara kebetulan. Tetapi kebetulan tidak akan
terjadi terus menerus, seperti apa yang disaksikannya kemudian.
Belum beberapa lama ia sendiri berkelahi
melawan Mahisa Agni. Ia merasa, bahwa kekuatan Mahisa Agni tidak
telampau banyak terpaut daripadanya. Bahkan kadang-kadang ia berhasil
melemparkan dan bahkan mendorong anak muda itu sehingga jatuh di tanah.
Tetapi kini ia melihat Mahisa Agni itu bertempur dengan Kebo Sindet yang
seolah-olah dalam keadaan berimbang.
“Apakah Kebo Sindet itu sebenarnya memang
tidak terlampau jauh daripada Mahisa Agni dan dari padaku sendiri?”
pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
Tetapi ketika ia melihat perkelahian
Mahisa Agni dan Kebo Sindet itu selanjutnya, maka katanya di dalam hati
“Aku sudah hampir gila, aku sudah tidak dapat mengenal lagi tingkat ilmu
seseorang”.
Kuda Sempana itu kemudian melihat
pertempuran menjadi semakin seru. Hatinya menjadi ikut berdebar-debar
tanpa setahunya sendiri pada saat ia melihat Mahisa Agni terdorong
hampir terperosok ke dalam rawa-rawa. Sebab Kuda Sempana tahu isi dari
pada rawa-rawa itu. Namun menjadi berlega hati pula, pada saat ia
melihat Mahisa Agni berhasil melepaskan dirinya dari kemungkinan yang
mengerikan itu.
Sejenak Kuda Sempana kehilangan tanggapan
atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Sejak lama ia menyimpan
dendam kepada Mahisa Agni. Sejak ia menyadari bahwa Mahisa Agnilah
penghalang utama dari setiap usahanya untuk mendapatkan Ken Dedes.
Karena itu pulalah ia terdorong semakin jauh ke dalam kegelapan dan
bahkan akhirnya ia terjerumus ke dalam sarang iblis ini setelah ia
kehilangan hampir segalanya, bahkan dirinya sendiri. Tetapi selain
dendamnya yang seakan-akan telah berakar di dalam dadanya, ia melihat
pula, bahwa ia hampir tidak dapat memperhitungkan apa yang kira-kira
terjadi dengan dirinya, apabila ia tetap berada disarang iblis ini. Ia
hampir-hampir tidak dapat lagi mengenal pribadinya. Bahkan ia menjadi
acuh tak acuh terhadap semua peristiwa dan persoalan, meskipun itu akan
menyangkut dirinya sendiri.
Tetapi, ketika ia melihat Mahisa Agni
bangkit untuk melawan Kebo Sindet, timbullah berbagai macam pikiran di
dalam dirinya. Mahisa Agni yang disangkanya sudah kehilangan semua
watak-wataknya, ternyata pada suatu saat telah menentukan sikap. Bahkan
tidak masuk akal bahwa Mahisa Agni itu ternyata mampu melawan Kebo
Sindet dalam perkelahian seorang lawan seorang.
Terasa sebuah getaran yang tajam melanda
jantungnya, sehingga darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Dalam
waktu yang hanya sesaat itu, bergolaklah semua isi dadanya. Tumbuhlah
suatu sikap yang selama ini tidak pernah dikenalnya lagi. Harga diri.
“Kenapa aku selama ini membiarkan diriku
menjadi alat mati dari Kebo Sindet? Kenapa aku tidak pernah membuat
suatu sikap seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni?”
Tetapi sekali lagi dadanya dilanda oleh suatu pertanyaan “Kenapa Mahisa Agni kini mampu melakukan perlawanan itu?”
Teringat pula olehnya, bahwa Mahisa Agni
dapat melakukan hampir semua unsur gerak yang khusus dari perguruannya.
Bahkan lebih baik dari pada dirinya sendiri.
“Hem”, desahnya “apakah ada setan iblis
yang datang dan memberinya petunjuk mengenai ilmu itu? Tidak ada orang
kedua yang mampu berbuat serupa itu kecuali guru. Murid-muridnya pasti
tidak akan dapat berbuat demikian, menuangkan ilmu sampai tingkat itu
meskipun pada dasarnya Mahisa Agni sendiri telah memiliki ilmu yang
cukup”.
Pertanyaan itu ternyata telah membuat Kuda Sempana bingung. Seolah-olah telah terjadi suatu keajaiban atas diri Mahisa Agni itu.
Namun kemudian ia harus menahan nafasnya
ketika ia memperhatikan perkelahian antara Mahisa Agni dan Kebo Sindet.
Kini ia melihat Mahisa Agni itu berlari kencang-kencang meninggalkan
lawannya.
Tanpa sesadarnya Kuda Sempana itu menjadi
berdebar debar, “Kenapa tiba-tiba saja Mahisa Agni itu lari?” Dan ia
menjadi semakin berdebar-debar pula ketika ia melihat Kebo Sindet segera
mengejarnya dengan golok terhunus.
Adalah diluar kesadarannya, dan bahkan
kemudian menimbulkan keheranan pada dirinya sendiri, apabila tiba-tiba
saja Kuda Sempana itu berpihak kepada Mahisa Agni. Di dalam hatinya ia
mengharap bahwa Mahisa Agni akan dapat menyelamatkan dirinya. Melepaskan
diri dari iblis Kemundungan yang ganas ini.
“Tetapi daerah ini dikelilingi oleh
rawa-rawa berlumpur. Apabila Mahisa Agni kehilangan pertimbangan dan
mencoba lari masuk ke dalam rawa, maka sudah dapat dipastikan, bahwa ia
akan menjadi makanan yang sedap bagi binatang-binatang air itu.
Kuda Sempana menahan nafasnya ketika ia
melihat Kebo Sindet itu berteriak sambil mengacu-acukan senjatanya, “He,
kau tidak akan dapat lepas lagi tikus yang sombong”.
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak
menyahut, dan sama sekali tidak berpaling. Ia mencoba mempercepat
langkah untuk segera sampai pada sebatang pohon beringin yang tumbuh
subur dengan ratusan sulur-sulur yang menjutai sampai ketanah.
Kuda Sempana yang sedang berdebar-debar
itu, tanpa disengaja pula telah melangkah maju. Bahkan kemudian ia
berjalan semakin cepat ke arah kedua orang yang sedang berkejaran. Namun
baru beberapa langkah, ia tertegun. Kini ia menyadari apa yang sedang
dilakukan oleh Mahisa Agni. Sama sekali bukan sedang melarikan diri.
Ketika Mahisa Agni itu sampai dibawah
pohon beringin segera ia meloncat meraih sehelai sulur yang berjuntai
dari sebatang dahan yang cukup tinggi. Ternyata Mahisa Agni tidak segera
mematahkan sulur itu dengan kekuatannya yang luar biasa yang tersimpan
di dalam dirinya, karena Kebo Sindet berada tidak terlampau jauh dari
padanya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan dan sebelum siap benar,
pedang lawan akan menyentuh tubuhnya.
Itulah sebabnya maka ketika tangannya
telah menangkap sulur beringin itu, ia justru meloncat naik semakin
tinggi. Seperti seekor tupai Mahisa Agni memanjat keatas dan hinggap
pada sebatang dahan yang tinggi. Dari tempatnya ia dapat melihat Kebo
Sindet yang berdiri dibawahnya dengan golok terhunus. Kebo Sindet yang
berdiri termangu-mangu itu tidak segera mengejarnya dengan memanjat
pohon itu pula, karena beberapa keragu-raguan yang mengganggu kepalanya.
“Apakah yang akan dilakukan oleh anak
setan itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam dadanya, ketika
ternyata Mahisa Agni tidak segera mengambil sehelai sulur untuk senjata.
Tetapi segera Kebo Sindet tahu maksud
Mahisa Agni itu. Karena itu maka iapun mengumpat, “Iblis kecil, bagai
manapun kau mencoba memilih, tetapi kau tidak akan mendapat senjata yang
baik untuk melawan golokku”.
Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak
mempedulikannya. Ketika didapatnya sehelai sulur yang sesuai dengan
kehendaknya maka segera sulur itu dipatahkannya. Dipotongnya sulur itu
sepanjang yang dikehendakinya. Ternyata ia tidak hanya memegang sehelai
sulur ditangan kanannya, tetapi ditangan kirinya, Mahisa Agni memegang
sepotong dahan kayu untuk merangkapi senjatanya.
“He, cepat turun kau anak setan. Kau sangka aku tidak dapat mengejarmu dan membunuhmu diatas dahan-dahan itu?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia
benar-benar meloncat ke dahan yang lebih rendah lagi. Ia harus membuat
perhitungan sebaik-baiknya sehingga ia tidak terjun keujung golok Kebo
Sindet.
Karena itulah maka tanpa disangka-sangka,
justru Mahisa Agni itu meloncat ke tanah, di balik pohon tempat Kebo
Sindet berdiri. Ia harus memperhitungkan waktu yang hanya sekejap
sekalipun, karena lawannya adalah Kebo Sindet.
Kebo Sindet menggeram. Ketika ia melihat
Mahisa Agni terjun, segera ia mengejarnya dengan pedang terhunus. Ia
harus mempergunakan kesempatan itu sebelum Mahisa Agni tegak benar di
atas kedua kakinya. Seperti Mahisa Agni Kebo Sindet pun memperhitungkan
waktu yang hanya sekejap sekalipun.
Namun, dengan sulur yang panjangnya
hampir dua depa, Mahisa Agni segera melindungi dirinya yang belum
berdiri tegak. Kini Mahisa Agnilah yang memutar sulur itu di sekeliling
tubuhnya seperti baling-baling.
“Setan kecil yang licik” sekali lagi Kebo Sindet menggeram.
Sulur itu lebih panjang dari goloknya, sehingga dalam keadaan itu, ia tidak segera dapat mendekat.
Dengan marahnya, Kebo Sindet pun kemudian
menggerakkan goloknya. Ia yakin bahwa ia akan mampu memotong sulur
Mahisa Agni dengan goloknya sehingga senjata lawannya itu akan menjadi
semakin pendek.
Tetapi Mahisa Agni telah terlatih
mempergunakan segala macam senjata yang diketemukannya. Itulah sebabnya,
maka segera ia merubah gerak senjatanya. Kini tidak berputar, tetapi
melenting dan kemudian sendal pancing.
Sekali lagi Kebo Sindet mengumpat di
dalam hatinya. Sekali lagi ia harus melihat, bahwa Mahisa Agni bukan
sekedar seorang anak muda yang sombong dan telah kehilangan pengamatan
diri. Kini semakin nyata baginya, bahwa Mahisa Agni benar-benar memiliki
kemampuan untuk melawannya.
Sejenak kemudian, di bawah pohon beringin
tua yang rimbun itu telah berlangsung perkelahian yang semakin dahsyat.
Dengan sepasang senjatanya Mahisa Agni kini mampu memberikan perlawanan
yang lebih berarti. Sulur beringinnya berputar, melecut dan mamatuk
dari segenap arah. Sedang sepotong kayu di tangan kirinya memberikan
tekanan-tekanan yang membuat Kebo Sindet menitikkan keringat di segenap
wajah kulitnya.
“Oh, anak setan ini benar-benar mampu
melakukan perlawanan itu”. Kebo Sindet berdesis di dalam hatinya,
“tetapi siapakah yang telah menuntunnya itu?”
Sejenak kemudian, Kebo Sindet pun harus
bekerja mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Setiap saat ia tidak
dapat lengah. Tubuhnya seakan-akan kini diputari oleh ujung sulur Mahisa
Agni, seperti ribuan lebah yang siap untuk menyengatnya dari segenap
arah.
Tetapi Kebo Sindet bukan anak kemarin
sore yang masih belum hilang pupuk diubun-ubunnya. Kebo Sindet adalah
seorang iblis yang dipenuhi oleh pengalaman. Itulah sebabnya maka
sejenak kemudian ia telah berhasil menyesuaikan dirinya menghadapi
sepasang senjata Mahisa Agni itu. Ia yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan
berani berbenturan senjata. Dengan demikian senjata anak muda itu pasti
akan terpotong. Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet kemudian menjadi lebih
garang. Serangannya kini tidak ditekankan pada tusukan-tusukan yang
mengarah kebagian-bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi Kebo Sindet
mengayun-ayunkan senjatanya mendatar, miring dan bahkan tegak keatas.
Di bawah pohon beringin itu kini
benar-benar telah ditegangkan oleh perkelahian yang paling dahsyat yang
pernah dilihat oleh Kuda Sempana yang berdiri membeku. Meskipun
pengalamannya pun cukup banyak, dan meskipun telah seribu kali
disaksikannya perkelahian-perkelahian yang paling seru, tetapi kali ini
ia benar-benar terpukau seolah-olah mati kehilangan kesadaran diri.
Apalagi yang sedang berkelahi itu adalah Mahisa Agni. Mahisa Agni yang
sehari-hari dilihatnya seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan
unsur gerak satupun lagi dengan sempurna.
Tetapi, dada Kuda Sempana itu kemudian
terguncang ketika ia melihat perkelahian itu. Meskipun ia tidak dapat
mengukur dengan pengetahuannya, namun ia merasakan sebuah keseimbangan
di dalam perkelahian itu. Tetapi ternyata pengalaman Kebo Sindet masih
lebih baik dari Mahisa Agni, apalagi senjata Kebo Sindet pun lebih baik
pula. Karena itu, maka ketika Mahisa Agni terlambat menarik senjatanya,
sebuah ajunan golok yang mendatar, telah berhasil menyentuh senjatanya
itu, sehingga Mahisa Agni terpaksa melontar beberapa langkah surut
ketika ia menyadari bahwa sulurnya telah terpotong hampir separo.
Kebo Sindet yang melihat pula bahwa
senjata Mahisa Agni telah terpotong dan anak muda itu meloncat surut,
sengaja tidak segera mengejarnya. Dibiarkannya Mahisa Agni itu kemudian
berdiri termangu-mangu sambil sekali-sekali memandangi ujung sulurnya
yang telah terpotong itu.
“Jangan kau sesali anak manis” terdengar
suara Kebo Sindet seakan-akan melingkar-lingkar di dalam perutnya,
“senjatamu telah terpotong. Tetapi lihatlah, bahwa pada pohon beringin
itu masih bergantungan beratus-ratus macam senjata seperti senjatamu
itu. Apakah kau akan mengambilnya pula? Meloncat dan hinggap pada dahan
yang tinggi untuk mendapat kesempatan memilih sepotong sulur yang paling
setua menurut seleramu?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak.
“Cepat sedikit” berkata Kebo Sindet kemudian “ambillah sulur-sulur yang lain”.
Mahisa Agni masih berdiam diri. Ia tidak
akan berbuat begitu bodoh untuk menarik sebuah sulur yang lain. Dengan
demikian maka berarti ia telah menyerahkan dirinya untuk dibantai oleh
lawannya. Karena itu ia masih tetap tegak di tempatnya. Ia masih cukup
kuat untuk melindungi dirinya dengan sulur yang tinggal sepotong itu dan
sepotong lagi dahan kayu ditangan kirinya.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya Kebo Sindet “aku beri kau waktu untuk memilih sulur-sulur itu”.
Mahisa Agni yang seakan-akan membeku itu masih membeku.
“Bagus, kalau kau tidak bersedia untuk mengambil senjata yang baru, maka bersedialah untuk mati”.
Mahisa Agni mundur selangkah ketika ia
melihat Kebo Sindet mendekatinya dengan golok terjulur lurus kedadanya.
Ia harus menjadi semakin berhati-hati. Selanjutnya kini hanya lebih
panjang sedikit saja dari senjata lawannya. Sedang sudah pasti bahwa ia
tidak akan membenturkan senjatanya itu langsung dengan senjata Kebo
Sindet. Dengan demikian ia akan berarti memotong senjatanya lebih pendek
lagi.
Sejenak kemudian Kebo Sindet itu telah
meloncat menyerbu. Kini ia menjadi kian garang. Mahisa Agni sudah tidak
dapat menyerangnya dari jarak yang jauh lebih panjang dari goloknya. Ia
kini dapat berdiri lebih dekat, dan bahkan ujung goloknya yang
berputaran itu kadang-kadang hampir menyentuh kulit Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni itu pun telah bekerja
mati-matian. Dengan sepasang senjatanya ia mencoba melawan sekuat-kuat
tenaganya. Sehingga dengan demikian perkelahian itu kian menjadi sengit.
Keduanya berloncatan, berputaran dan saling mendesak.
Dengan segenap kemampuan yang ada, Mahisa
Agni telah mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi pengalamannya
yang lebih sempit dari lawannya sering membuatnya terdesak beberapa
langkah. Ternyata perkelahian yang sebenarnya mempunyai watak yang
berbeda dengan latihan-latihan yang sering dilakukannya dengan gurunya
dan Empu Sada. Meskipun kadang-kadang Mahisa Agni harus bertempur
melawan kedua orang tua-tua itu, namun keduanya bukanlah lawan yang
benar-benar ingin membinasakannya.
Tetapi apa yang dilakukan oleh Kebo
Sindet itu jauh berbeda dari pada kedua orang-orang tua itu. Kebo Sindet
ternyata benar-benar seperti apa yang dikatakan gurunya. Kasar dan
bahkan hampir dapat dikatakan buas.
Itulah sebabnya maka kadang-kadang Mahisa
Agni mengalami kesulitan. Kadang-kadang ia benar-benar harus meloncat
jauh-jauh untuk mempersiapkan diri dalam perlawanannya yang berikutnya.
Golok Kebo Sindet ternyata terlampau
mengerikan. Ayunan yang keras membuat udara berdesing, seakan-akan suara
kidung yang melagukan iringan tarian maut. Sedang senjata Mahisa Agni
hanyalah sepotong sulur dan sepotong kayu yang terlampau lunak
dibandingkan dengan golok baja yang berkilat-kilat itu.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin
terdesak. Betapa ia bergerak dengan lincah dan tangkas, tetapi senjata
Kebo Sindet selalu mengejarnya, tanpa dapat melawan dengan benturan.
Yang dapat dilakukan hanyalah menghindar dan menyerang dengan tiba-tiba.
Tetapi apabila Kebo Sindet kemudian menangkis dengan goloknya, Mahisa
Agni harus dengan tergesa-gesa menarik serangannya.
Keringat Mahisa Agni benar-benar telah
hampir terperas tuntas. Tubuhnya menjadi basah dan mengkilat. Debu yang
kotor, lumpur yang kehitam-hitaman dan kotoran-kotoran yang lain telah
melekat pada tubuhnya yang basah itu.
Perlahan-lahan Kebo Sindet berusaha
mendesak Mabisa Agni sekali lagi kearah yang dikehendakinya. Apabila
sekali-sekali Mahisa Agni berusaha mengambil arah yang lain, maka Kebo
Sindet segera berusaha untuk menahannya dan menguasainya pada arah yang
diinginkannya.
“Iblis yang licik” Mahisa Agni mengumpat
di dalam hatinya. Tetapi mulutnya tetap terkatup rapat. Tidak sepatah
katapun yang diucapkannya. Namun terdengar giginya bergemeretak.
Kuda Sempana menyaksikan perkelahian itu
dengan nafas yang tertahan-tahan. Kadang-kadang ia menjadi cemas melihat
Mahisa Agni yang selalu terdesak. Tetapi kadang-kadang ia berkata
kepada dirinya sendiri, “Aku tidak berkepentingan dengan keduanya.
Apabila salah seorang dari mereka mati, aku tidak akan kehilangan.
Bahkan aku seharusnya menjadi bersenang hati karenanya. Baik Mahisa
Agni, maupun Kebo Sindet. Keduanya adalah orang-orang yang memuakkan.
Mahisa Agni adalah orang yang paling gila, yang telah menjerumuskan aku
ke dalam neraka ini. Sedang Kebo Sindet adalah orang yang paling buas
yang pernah aku temui dimuka bumi ini”.
Kuda Sempana itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi matanya terbelalak ketika ia melihat sebuah goresan
di pundak kiri Mahisa Agni. “Kebo Sindet telah melukainya lagi”
desisnya.
Dan sejenak kemudian ia melihat Mahisa
Agni menjadi semakin terdesak. Kini sulurnya yang pendek itu sekali lagi
terpotong semakin pendek. Hampir tidak berarti lagi dalam perlawanannya
atas golok Kebo Sindet yang besar itu. Dengan demikian maka potongan
kayunya lah yang kini berpindah ketangan kanannya, dan sulur yang
tinggal sepotong pendek itu masih tetap digenggamnya di tangan kiri.
Sekali lagi Kebo Sindet menghentikan
serangannya. Sambil mengacung-acungkan goloknya ia berkata lantang, “Ha,
lihat Mahisa Agni. Senjatamu menjadi semakin pendek. Sebentar lagi kau
akan kehilangan alat untuk mempertahankan dirimu. Kalau senjatamu itu
menjadi semakin pendek lagi, maka kemudian tanganmulah yang akan menjadi
semakin pendek pula. Sekarang sudah tidak ada jalan kembali buatmu. Aku
sama sekali tidak akan mempertimbangkan memberi ampun kepadamu. Yang
dapat aku lakukan hanyalah memperingan penderitaan sebelum matimu. Hanya
itu. Coba katakanlah bahwa kau menyerah. Kau akan mengurangi
penderitaanmu sendiri pada saat-saat terakhir”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram.
“Ayo, berlutut dan katakanlah bahwa kau menyerah”. Mahisa Agni masih mematung.
“Bagus. Jadi kau benar-benar keras
kepala. Bukan hanya kau yang akan menderita disaat-saat matimu, tetapi
Ken Dedes pun akan menderita dan tersiksa pula. Ia harus tahu apa yang
terjadi atasmu di sini”.
Dada Mabisa Agni berdesir. Ternyata
kata-kata itu telah menggoreskan kecemasan di dinding hatinya. Apabila
benar demikian, maka alangkah tersiksanya adiknya itu.
“Nah, apa katamu?”
Tetapi tidak ada sepercik ingatan pun di
kepala Mahisa Agni, bahwa ia akan menyerahkan dirinya untuk dijadikan
umpan buaya-buaya kerdil di dalam rawa-rawa itu. Karena itu maka ia
masih tetap berdiri tegak ditempatnya dengan sepasarg senjata
ditangannya. Sepotong kayu dan sepotong sulur yang telah menjadi
terlampau pendek. Sedang dibeberapa tempat darahnya masih juga menitik
perlahan-lahan. Namun oleh keringatnya, tampaklah warna merah di pundak
dan punggungnya seakan-akan meleleh dari luka yang dalam.
“Kau sudah meneteskan darah”. berkata
Kebo Sindet, “semakin banyak kau bergerak, maka darah itu akan menjadi
semakin banyak mengalir. Meskipun aku tidak berhasil menusuk dadamu
dengan golokku ini, kau pasti akan mati kehabisan darah”.
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia
tahu, bahwa lukanya tidak terlampau parah. Luka itu hanya sekedar pada
kulitnya yang terkelupas oleh sabetan ikat pinggang kulit dan sebuah
goresan yang tidak dalam. Tetapi ia harus memperhitungkannya pula, bahwa
lambat laun, luka-luka itu akan benar-benar berpengaruh.
“Bagaimana?” Kebo Sindet bertanya dengan penuh penghinaan “apakah kau tidak bertekuk lutut saja sambil menyembah aku?”
Tak ada jawaban.
“Baik. Baik. Aku akan segera mulai. Kesempatan ini sudah kau lewatkan”.
Setapak Kebo Sindet itu maju. Goloknya
terayun-ayun di sisi tubuhnya, namun kemudian golok itu terjulur
kedepan, “Sebutlah nama gurumu. Kau akan mati hari ini”.
Belum lagi mulut Kebo Sindet itu
terkatub, ia menjadi sangat terkejut. Tanpa diduga-duganya Mahisa Agni
yang menjadi semakin muak itu, meloncat dengan kecepatan yang tidak
terkirakan, menyerangnya dengan potongan kayunya.
Kebo Sindet yang tidak menyangkanya,
sekejap menjadi agak bingung. Namun gerak naluriahnya, telah
mendorongnya untuk meloncat menghindar. Mahisa Agni yang dibakar oleh
kemarahannya itu segera memburunya, menyerangnya seperti badai. Potongan
kayunya terayun deras sekali kearah kepala lawannya.
Tetapi kini Kebo Sindet tidak ingin
meloncat menghindar lagi. Ketika ia sudah agak mapan, maka segera ia
berusaha untuk menangkis serangan itu dengan goloknya. Ia mengharap
dapat mematahkan potongan kayu Mahisa Agni itu.
Namun agaknya Mahisa Agni telah
memperhitungkannya. Segera ia menarik serangannya, dan tanpa diduga-duga
pula tangan kirinya menyambar lengan Kebo Sindet dengan ujung sulurnya.
Terasa oleh Kebo Sindet, senjata lawannya itu mematuknya, dan sebuah
goresan merah menyilang pada lengannya.
“Anak setan” Kebo Sindet itu mengumpat
keras-keras. Ternyata bahwa ujung sulur Mahisa Agni mampu juga melukai
kulitnya meskipun hampir tidak banyak berarti. Tetapi darah Kebo Sindet
pun telah meleleh dari lukanya itu pula.
Titik darah itu bagaikan minyak yang
menyiram api kemarahan iblis yang ganas itu. Terdengar ia berteriak
tinggi. Sebuah serangan yang paling kasar segera dilakukannya sambil
memutar goloknya seperti baling-baling. Namun Mahisa Agni pun telah
sampai pada puncak kemarahannya. Ia hampir tidak tahan lagi. Ia menjadi
muak dan jemu. Tetapi ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya begitu
saja. Kebo Sindet pun menjadi jemu pula pada permainan itu sehingga
dengan dada yang bergelora ia ingin segera menyelesaikannya.
Ketika perkelaian meningkat semakin seru,
maka tampaklah bahwa kedudukan Mahisa Agni menjadi semakin sulit.
Senjatanya hampir-hampir tidak berarti lagi. Ia tidak mau langsung
membenturkan senjatanya itu melawan golok lawannya. Dengan demikian maka
senjatanya akan menjadi semakin pendek lagi. Tetapi betapa ia
menggenggarn senjata, namun apabila tidak dapat dipergunakannya, maka
senjata itupun sama sekali tidak berarti lagi baginya.
Mahisa Agni itupun kemudian tidak dapat
berbuat lain. Desakan lawannya menjadi semakin ketat, sehingga mau tidak
mau ia harus sekali-sekali menangkis golok Kebo Sindet. Beberapa kali
ia berhasil memukul senjata lawannya itu pada sisinya, namun Kebo Sindet
selalu berusaha untuk membentur pada tajam goloknya.
Maka ketika pada suatu saat serangan Kebo
Sindet yang tanpa disangka-sangkanya melayang kearahnya, dan kesempatan
lain tidak ada lagi baginya, maka dengan terpaksa sekali Mahisa Agni
menangkis serangan itu dengan potongan kayunya sambil bergeser setapak
kesamping. Akibat dari benturan itu ternyata mengejutkannya pula.
Benturan dari kekuatan yang dahsyat akibatnya potongan kayunyalah yang
benar-benar terpotong hampir pada pangkalnya. Hanya beberapa nyari saja
dari gemgaman tangannya.
Dada Mahisa Agni berdesir melihat
senjatanya terpotong sehingga tinggal tidak lebih dari secengkak. Sedang
lawannya telah menjadi semakin buas. Sejenak Mahisa Agni
termangu-mangu. Dilihatnya kini Kebo Sindet berdiri tegak sambil
memandangi potongan kayunya yang menjadi terlampau pendek.
Selagi Mahisa Agni masih berdesis menahan
nyeri tangannya, terdengar Kebo Sindet itu tiba-tiba tertawa
menyeramkan. Suara mengguntur menghantam gerumbul-gerumbul perdu
disekitar nya. Seakan-akan sudah mendapatkan suatu keyakinan bahwa
sebentar lagi lawannya pasti akan dapat dimusnakan.
Disela-sela suara tertawanya iblis itu
berkata, “Ayo, carilah kayu, batu dan apa saja sebanyak-banyaknya. Kau
harus tahu, bahwa yang berdiri dihadapanmu sekarang adalah Kebo Sindet”.
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia
harus menjadi semakin waspada. Tidak ada waktu sekejappun untuk lengah,
sebab dengan demikian, umurnya akan menjadi semakin pendek.
Bukan kematiannya yang sebenarnya
dicemaskannya. Tetapi bahwa ia tidak berhasil dalam usahanya
membinasakan iblis itulah yang mengecewakannya dan mengecewakan kedua
orang-orang tua yang selama ini mengasuhnya, membibingnya, dan
meletakkan harapan mereka kepadanya.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeram.
Betapapun juga ia harus melawan dan membinasakan iblis itu. Tetapi iblis
itu berpendirian demikian pula, lawannya itu harus ditangkapnya dan
diumpankannya kepada buaya-buaya kerdil selagi ia masih dapat merasakan
kengerian yang paling dahsyat.
Sejenak kedua orang itu masih berdiri
ditempat masing-masing. Kebo Sindet masih belum beranjak dari tempatnya.
Suara tertawanya masih menggema diseputar daerah yang lembab itu.
Sekali lagi terdengar ia berkata diantaranya tertawanya “Adalah
menyenangkan sekali melihat wajahmu kini Mahisa Agni. Aku memang tidak
akan segera mendorongmu ke dalam rawa-rawa itu. Aku senang sekali
melihat kau dicengkam oleh ketakutan, kegelisahan, dendam yang tersimpan
di dalam hati, kemarahan dan segala macam perasaan yang harus kau telan
kembali. Perasaan yang demikian memang sangat menyakitkan hati. Nah,
kini nikmatilah siksaan perasaanmu itu sebelum kau merasakan siksaan
yang paling ngeri bagi tubuhmu”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram dan menggeretakkan giginya.
Sementara itu Kuda Sempana pun masih juga
berdiri sebagai patung. Ia melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa
Agni. Senjata anak muda itu sudah tidak berarti lagi baginya.
“Sebentar lagi anak itu akan terlempar ke
dalam rawa-rawa” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya “dan
terbalaslah sebagian dari dendamku? Ia telah menghinakan aku selama ini,
sehingga aku terpaksa menempuh jalan yang menyesatkan aku ke daerah
ini”.
Tetapi Kuda Sempana tidak berhasil
mengelabuhi perasaan sendiri. Betapa ia mencoba membangkitkan perasaan
dendamnya yang telah tertimbun oleh berbagai macam peristiwa dan
persoalan, namun sebenarnya ia menjadi cemas melihat kenyataan itu. Ia
tidak dapat ingkar, bahwa pada saat-saat terakhir ia merasa, bahwa
nasibnya pun kelak tidak akan lebih baik dari nasib Mahisa Agni itu.
Seandainya Mahisa Agni hari ini terbunuh, maka pada saat berikutnya ia
akan menjadi bulan-bulanan yang akan menampung segala macam sifat dan
tabiat Kebo Sindet. Kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam sifat
dan watak iblisnya.
Kuda Sempana masih berdiri tegak seperti
patung. Namun di dalam dirinya terjadi pergolakan yang dahsyat
menanggapi keadaan. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa sebenarnya ia
ingin agar Mahisa Agni memenangkan perkelahian itu.
“Tetapi akibatnya akan sama saja baginya.
Kalau Agni menang maka akupun akan dibunuhnya pula” Kuda Sempana masih
mencoba memenangkan hatinya yang sebenarnya telah dicemaskan dan
digelisahkan oleh keadaan Mahisa Agni yang semakin terdesak, “biar
sajalah Mahisa Agni itu terbunuh dengan cara apapun”.
Namun kemudian jauh di dasar hatinya
terdengar suara “Sebenarnya lebih baik Kebo Sindet sajalah yang mati
dalam perkelahian itu Mahisa Agni pasti akan jauh lebih baik dari iblis
itu. Dalam perkelahian yang dipaksakan oleh Kebo Sindet itupun Mahisa
Agni sama sekali tidak bernafsu untuk mencelakaiku”. Lalu ia menggeram
di dalam hatinya “Tetapi apakah yang dapat aku lakukan? Aku sama sekali
pasti tidak akan berarti apa-apa apabila aku ikut dalam perkelahian itu.
Sebuah sentuhan tangan atau kaki Kebo Sindet pasti telah dapat
membunuhku kalau dikehendakinya”.
Kuda Sempana itu kemudian berdiri saja
termangu-mangu. Ia masih mendengar suara tertawa Kebo Sindet. Tetapi
suara itu semakin lama menjadi semakin menurun.
Kalau suara tertawa itu berhenti, maka
akan sampailah saatnya Mahisa Agni terdorong ke dalam mulut buaya-buaya
kerdil yang rakus itu.
Tiba-tiba Kuda Sempana menjadi ngeri.
Terbayang di rongga matanya Mahisa Agni menggelepar dimulut buaya-buaya
itu, namun anak muda itu pasti tidak akan dapat melepaskan diri dari
gigi-gigi yang mengerikan.
Tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana
memutar tubuhnya. Lebih baik untuk tidak melihat akhir dari perkelahian
itu daripada ia menyiksa perasaan sendiri. Perasaan yang selama ini
seolah-olah telah mati dan membeku.
Tetapi tiba-tiba mata Kuda Sempana itu
terbelalak. Pada sebuah batu ia melihat pedangnya tersandar. Pedang yang
tadi diminta oleh Kebo Sindet pada saat ia dipaksa berkelahi melawan
Mahisa Agni. Ternyata pedang itu diletakkan disana.
Dada anak muda itu menjadi
berdebar-debar. Pedang itu telah benar-benar menarik perhatiannya.
Sesuatu tiba-tiba tumbuh di dalam dadanya.
Tiba-tiba ia berpaling. Suara tertawa
Kebo Sindet sudah hampir hilang.”Aku harus berbuat sesuatu” barkata
Kuda Sempana itu di dalam dirinya, “Cepat sebelum aku terlambat”.
Kuda Sempana itupun segera berlari ke
arah pedangnya yang bersandar pada sebongkah batu. Ia sudah tidak
mempedulikan lagi apa yang akan terjadi atas dirinya. Apakah yang
dilakukannya itu akan menguntungkannya atau justru sebaliknya.
Ketika tangannya kemudian meraih pedang
itu, maka ia sudah tidak mendengar lagi mara tertawa Kebo Sindet. Dengan
dada yang berdebaran ia berpaling, memandangi mereka yang sedang
berhadapan, siap untuk membuat perhitungan terakhir.
Pada saat itu Mahisa Agni berada di dalam
puncak ketegangannya. Ia kini telah hampir sampai pada keadaan seperti
sebelum ia melepaskan diri untuk berlari kepohon beringin itu. Kini ia
telah terdesak lagi ketepi rawa-rawa berlumpur. Sedang ditangan Kebo
Sindet kini tergenggam goloknya, bukan sekedar sebuah ikat pinggang
kulit.
Mahisa Agni pun menyadari keadaan yang
dihadapinya. Kebo Sindet agaknya telah jemu pula pada perkelahian itu,
sehingga saat-saat berikutnya adalah saat-saat yang menentukan. Kini
Mahisa Agni melihat Kebo Sindet itu telah bersiap pula. Wajahnya menjadi
semakin buas dan tatapan matanya yang merah menjadi semakin liar. Wajah
itu telah benar-benar berubah menjadi wajah iblis yang paling
mengerikan.
Tetapi Mahisa Agni sudah bertekad untuk
tidak berputus asa betapapun keadaannya. Ia harus berjuang dengan
kemampuan yang setinggi-tingginya.
“Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan yang bagaimanapun juga”.
Mahisa Agni itu kemudian menggeram ketika
ia melihat Kebo Sindet maju setapak demi setapak. Dengan sorot mata
penuh kebencian, iblis dari Kemundungan itu mendekati lawannya. Goloknya
bergetar seperti getar di dadanya.
“Kau tidak akan dapat mengelabui aku lagi
setan kecil” terdengar suara Kebo Sindet seakan-akan bergulung di dalam
perutnya, “kau tidak akan dapat lari lagi dari tanganku meskipun aku
tahu bahwa kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Tetapi kau telah
benar-benar menjemukan sehingga kau harus segera mendapat hukumanmu.
Disini kau tidak akan mendapat kesempatan untuk mencari senjata apapun
juga. Batu pun tidak”.
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ia
masih tetap berdiri tegak dengan kaki merenggang. Ketika Kebo Sindet
menjadi semakin dekat, maka Mahisa Agni itu pun merendahkan badannya
siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Apakah kau anggap bahwa sepotong kayu dan sulur ditanganmu itu masih berguna ?” terdengar suara Kebo Sindet penuh hinaan.
Tetapi Mahisa Agni tetap membisu. Hanya matanya sajalah yang menyalakan kemarahan yang membara didadanya.
Pada saat-saat yang demikian itulah
terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga sebelumnya. Mereka berdua yang
sedang berhadap-hadapan dalam puncak ketegangan itu mendengar langkah
seseorang berlari-lari. Betapa mereka terikat dalam saat-saat yang
paling berbahaya, namun mereka berpaling juga tanpa meninggalkan
kewaspadaan. Yang mereka lihat benar-benar telah mendebarkan jantung
mereka. Kuda Sempana lah yang berlari-lari mendekati arena perkelahian
itu dengan pedang ditangan. Dan tanpa mereka duga-duga pula, bahkan sama
sekali di luar nalar mereka, apalagi Kebo Sindet, apabila Kuda-Sempana
itu tiba-tiba saja telah melontarkan pedangnya sambil berkata,
“Perkelahian ini sama sekali tidak adil. Nah, Agni, pergunakan pedangku
supaya aku dapat melihat pertempuran antara dua orang laki-laki jantan”.
Sejenak mereka berdua menjadi
termangu-mangu. Kebo Sindet dan Mahisa Agni terpaku di tempatnya seperti
patung yang beku. Hanya mata mereka sajalah yang sejenak hingap pada
waljah Kuda Sempana dan sejenak kemudian ke pada pedang yang meluncur ke
arena.
Namun sesaat berikutnya keduanya segera
menyadari keadaan. Kebo Sindet segera sadar, bahkan Kuda Sempana telah
berkhianat kepadanya. Pada saat yang pendek itu, Kebo Sindet telah
dilanda oleh kekecewaan yang tiada taranya. Ia tidak berhasil mengawasi
Mahisa Agni sehingga tiba-tiba ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ilmu
anak itu telah mengimbanginya. Kini Kuda Sempana yang disangkanya
menyimpan dendam tiada taranya atas Mahisa Agni itu ternyata justru
berkhianat kepadanya. Dugaannya sampai saat terakhir bahwa Kuda Sempana
masih berusaha untuk membunuh Mahisa Agni dengan tangannya ternyata jauh
dari kebenaran yang dihadapinya kini.
Tetapi keduanya kini dihadapkan pada
kenyataan itu. Dan keduanya harus segera memberikan tanggapan yang
sewajarnya. Sudah pasti bahwa Kebo Sindet akan berusaha untuk mencegah
Mahisa Agni mendapatkan pedang itu, dan sebaliknya Mihisa Agni harus
segera menemukan cara untuk menguasainya supaya ia tidak menjadi semakin
sulit apabila Kebo Sindet mempergunakan senjata rangkap.
Arah pedang Kula Sempana memang menuju
kepada Mahisa Agni. Tetapi dalam saat yang pendek Kebo Sindet telah
menemukan sikap, ia harus segera meloncat menyerang supaya Mahisa Agni
tidak sempat menerima pedang itu.
Namun Mahisa Agni pun telah mememukan
sikap pula untuk menguasai pedang itu. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet
pasti akan berusaha menghalang-halanginya.
Sejenak kemudian terdengar teriakan
nyaring dari mulut iblis Kemundungan itu, dibarengi dengan sebuah
serangan yang dahyat. Goloknya terjulur terus ke depan langsung menikam
dada Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni telah bersiap pula.
Ditangannya masih tergenggam sepotong sulur. Karena itu, maka segera
kedua seajatanya yang sudah tidak berarti itu dilemparkannya dengan
sekuat tenaganya menyongsong serangan Kebo Sindet. Sepotong mengarah ke
dahinya dan sepotong lagi mengarah kedadanya. Untuk memberi tekanan pada
serangannya itu Mahisa Agni berteriak pula, “Nah, Kebo Sindet, sepotong
sulurku ini harus dapat menghunjam ke dalam matamu dan sepotong kayu
ini akan melubangi dadamu”.
Lemparan Mahisa Agni itu benar-benar
telah mengejutkan Kebo Sindet. Pada saat ia sedang dibakar oleh nafsunya
untuk menyerang, untuk mencegah Mahisa Agni dapat menguasai pedang yang
dilemparkan oleh Kuda Sempana, ternyata Mahisa Agni telah menyerangnya
pula dengan caranya sendiri.
Dengan demikian maka sejenak Kebo Sindet
menjadi gugup. Lemparan Mahisa Agni terlampau keras, cepat dan kuat.
Karena itu maka Kebo Sindet harus melawannya dengan segenap kemampuannya
pula. Apabila sepotong sulur itu menyentuh matanya, maka sulur itu
pasti benar-benar akan menghunjam sampai kepusat kepalanya. Sedang
potongan kaju yang dilemparkan ke dadanya, akan dapat meretakkan segenap
tulang-tulang iganya.
Tak ada jalan lain bagi Kebo Sindet, dari
pada menangkis atau menghindari kedua serangan itu. Tetapi ia tidak
mempunyai waktu yang cukup. Karena itu, maka keduanya dilakukan
bersama-sama. Dengan pedangnya ia menukul sepotong sulur yang mengarah
kedahinya, dan dengan sebuah geseran kecil ia menghindari serangan ke
arah dadanya. Ia harus menghemat waktu sebaik-baiknya, supaya ia tidak
gagal mencegah usaha Mahisa Agni untuk mendapatkan senjata yang
diberikan oleh Kuda Sempana yang mengkhianatinya.
Tetapi perhitungan Mahisa Agni pun
ternyata telah matang. Meskipun waktu yang diperlukan oleh Kebo Sindet
hanya sekejap, namun tanpa diduga-duga oleh Kebo Sindet, Mahisa Agni
mampu meloncat secepat tatit.
Pada saat Mahisa Agni melontarkan
dirinya, pedang itu telah jatuh di tanah beberapa langkah dari padanya.
Dipergunakannya waktu sebaik-baiknya seperti yang dilakukan oleh Kebo
Sindet. Ternyata Mahisa Agni mendapat beberapa keuntungan. Keadaannya
lebih baik dari pada lawannya. Pedang itu jatuh lebih dekat kepadanya
dari pada Kebo Sindet, dan ia berhasil pula memperlambat usaha lawannya
untuk mencegahnya.
Tetapi perbedaan waktu itu tidak lebih
dari kejapan mata. Begitu tangan Mahisa Agni menyambar tangkai pedang
itu, maka golok Kebo Sindet telah berdesing menyambarnya.
Waktu yang dapat dipergunakan oleh Mahisa
Agni terlampau pendek untuk dapat menangkis serangan itu dengan baik.
Namun kini tangannya telah menggenggam pedang. Karena itu seakan-akan
digerakkan oleh nalurinya, maka tangannya segera terangkat dan menangkis
serangan itu dengan pedang yang baru saja dipungutnya.
Terjadilah benturan yang dahsyat. Dua
kekuatan telah beradu. Namun agaknya Kebo Sindet lebih banyak mendapat
kesempatan untuk mengerahkan tenaga dan kemampuannya, sehingga di dalam
benturan itu, terasa tangan Mahisa Agni menjadi terlampau pedih. Hampir
saja pedang yang baru dipungutnya itu terlepas dari tangannya. Namun.
dengan susah payah ia berhasil mempertahankannya. Meskipun demikian,
maka Mahisa Agni merasakannya, bahwa ia tidak akan mampu untuk melawan
benturan sekali lagi apabila Kebo Sindet segera menyerangnya.
Karena itu, maka Mahisa Agni segera melontarkan dirinya sejauh-jauhnya dari lawannya.
Meskipun Mahisa Agni sadar, bahwa Kebo
Sindet tidak akan memberinya kesempatan, tetapi seandainya ia berada di
dalam lontaran loncatannya, ia telah berhasil memperbaiki genggaman
pedangnya.
Ternyata perhitungan Mahisa Agni itu
benar. Begitu ia menjejakkan kakinya di tanah, maka Kebo Sindet telah
mematuk dengan ujung goloknya. Namun Mahisa Agni telah bersedia untuk
menghadapinya, meskipun ia masih harus meloncat pula menghindari. Dan
loncatannya kali ini menjadi semakin panjang, semakin jauh dari
lawannya. Bahkan tidak hanya dengan satu loncatan, tetapi dua, tiga
loncatan.
“Licik” teriak Kebo Sindet sambil mengejarnya.
Namun pada saatnya Mahisa Agni telah menemukan keseimbangan yang mantap untuk melakukan perlawanan.
Sejenak ia mendapat kesempatan untuk
menilai diri. Kini ia berdiri tegak dengan pedang ditangan. Ia tidak
lagi harus berlari-lari untuk mencari senjata yang mungkin dapat
dipergunakan. Namun ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan
dan menjawab pertanyaan yang tumbuh di dalam hatinya, kenapa tiba-tiba
saja Kuda Sempana telah berusaha membantunya. Hanya seleret ia sempat
mengingat, bahwa sikap Kuda Sempana memang telah berubah.
Saat-saat seterusnya Mahisa Agni sudah
tenggelam lagi di dalam perlawanannya atas Kebo Sindet yang menyerangnya
seperti banjir menghantam tebing.
Namun kini Mahisa Agni merasa telah
mendapat kesempatan untuk benar-benar melakukan perlawanan. Ia akan
mendapat kesempatan untuk benar-benar berkelahi melawan Kebo Sindet. Ia
tidak hanya sekedar harus menghindar dan berlari-larian.
“Saat ini akbirnya datang juga” katanya
di dalam hati, “sekarang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menutupi
segala kemungkinan yang akan menjadi kenyataan, di dalam segala keadaan.
Seandainya aku kalah, maka aku memang masih belum mampu menyusul
kemampuan Kebo Sindet. Akibat dari kekalahan itu adalah kegagalan
mutlak. Kekalahan itu adalah benar-benar kekalahan, yang tidak dapat
dicari-cari sebabnya lagi”.
Tetapi apabila benar-benar ia telah
memiliki ilmu yang cukup seimbang dengan Kebo Sindet, maka kesempatan
itu telah datang. Dan Mahisa Agni benar-benar akan menilai dirinya
sendiri.
Dalam perkelahian yang semakin sengit
itulah kemudian Mahisa Agni menyadari keadaan dirinya. Pada saat-saat
yang merampas segenap perhatiannya untuk mendapatkan pedang Kuda
Sempana, serta dalam usahanya untuk memperbaiki keadaannya, sehingga ia
terpaksa berloncat-loncatan, ia sama sekali tidak dapat lagi
mempertimbangkan kemana ia harus memilih arah. Kini, ketika perkelahian
menjadi semakin sengit, baru terasa olehnya, bahwa kakinya telah
berjejak diatas tanah yang sudah mulai gembur. Ia telah berada beberapa
langkah saja dari bibir rawa-rawa.
Namun demikian, hati Mahisa Agni kini menjadi semakin tatag. Di tangannya kini tergenggam sehelai pedang yang akan dapat melawan golok Kebo Sindet yang garang itu.
Yang terjadi kemudian adalah perkelahian
yang sebenarnya merupakan perkelahian yang dahsyat. Dengan pedang di
tangan Mahisa Agni mencoba menunjukkan kemampuan yang dimilikinya.
Kemampuan yang tumurun dari gurunya dan dari Empu Sada, guru Kuda
Sempana yang berusaha untuk sedikit mengurangi kesalahan yang pernah
dibuatnya. Lebih dari pada itu, Kebo Sindet telah menanamkan sakit hati
yang tiada taranya di dalam hatinya, sehingga Empu Sada itu pun kemudian
sampai pula pada kesimpulan, bahwa seharusnyalah memang orang-orang
semacam Kebo Sindet itu dimusnahkan.
Ternyata dengan pedang di tangan Mahisa
Agni tidak mengecewakan. Tandangnya semakin mantap dan kuat. Meskipun
darahnya masih juga menitik dari luka-luka ditubuhnya, namun justru
telah membuatnya seperti banteng yang terluka.
Kebo Sindet pun menjadi semakin waringuten. Tata geraknya menjadi semakin liar dan buas. Matanya menyala seperti api dalam ketegangan wajahnya yang kasar dan ganas.
Golok Kebo Sindet menyambar-nyambar
seperti burung alap-alap di udara. Cepat dan garang. Dan kemudian
mematuk seperti seribu ular bandotan dari segala arah.
Tetapi pedang Mahisa Agni telah mampu
menamengi dirinya. Tidak seujung jarum pun dapat ditembus oleh serangan
lawan. Ilmu pedang yang diterimanya dari gurunya dan dari Empu Sada,
telah benar-benar menempatkannya pada keadaan yang lebih baik. Pedang
yang diterimanya dari Kuda Sempana itu terayun-ayun seperti lesus yang
melibat lawannya dalam pusaran yang membingungkan.
Sekali-kali terdengar Kebo Sindet
mengumpat keras-keras. Ia berhadapan dengan seorang anak muda yang
benar-benar tangguh. Ilmu yang dipergunakan oleh Mahisa Agni ternyata
sebagian dapat dikenal oleh lawannya. Ilmu dalam tingkat tertinggi dari
perguruan Mahisa Agni itu sendiri. Bahkan kadang-kadang Kebo Sindet
telah dibingungkan oleh tata gerak yang aneh, yang mencerminkan
perpaduan dari kedua cabang perguruan itu.
“Gila” teriaknya, “kedua setan itu
bergabung dalam dirimu”. Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi, ia kagum
juga atas pengamatan lawannya yang dapat menebaknya dengan tepat apa
yang telah terjadi atas dirinya.
“He, Mahisa Agni” teriak Kebo Sindet pula “apakah kedua setan tua itu pernah menemuimu?”
Mahisa Agni sama sekali tidak berhasrat untuk menjawab. Ia justru memperketat serangannya. Pedangnya menyambar-nyambar seperti tatit diudara.
“Setan kecil” Kebo Sindet mengumpat pula. Kemarahannya yang meluap-luap telah membuatnya semakin buas.
Perkelahian itu ternyata merupakan
perkelahian yang terlampau dahsyat. Perkelahian yang sama sekali tidak
dapat dimengerti oleh Kuda Sempana. Meskipun Kuda Sempana sendiri telah
mendapat lambaran yang cukup, tetapi ketika ia dihadapkan pada puncak
ilmu itu, ia hanya dapat berdiri saja memandanginya dengan mata yang
hampir tidak berkedip. Ia hampir-hampir tidak dapat mengenal sama
sekali, apakah yang sedang disaksikannya itu. Gerak yang terlampau
cepat, keras dan kadang-kadang membingungkan. Putaran-putaran senjata
dan benturan-benturan yang terjadi membuatnya menjadi pening.
Hatinya berdesir tajam apabila ia
mendengar dentang kedua senjata itu beradu. Benturan antara golok Kebo
Sindet dan pedang di tangan Mahisa Agni kadang-kadang telah melemparkan
bunga-bunga api yang memercik diudara. Benturan antara dua kekuatan
raksasa yang sedang diamuk oleh kemarahan di dalam hati masing-masing.
Tetapi perkelahian itu tidak bergeser
dari tanah yang lembab, bahkan telah menjadi agak gembur itu. Hanya
beberapa langkah saja mereka akan terdorong ke dalam air yang keruh,
yang di dalamnya bersarang berbagai macam binatang-binatang air yang
buas dan rakus.
Ternyata Kebo Sindet masih tetap berusaha
untuk menekan Mahisa Agni, dan mendorongnya ke dalam rawa-rawa itu.
Tetapi kini usahanya tidak lagi dapat dilakukannya dengan mudah seperti
pada saat Mahisa Agni belum bersenjata. Kini ternyata kekuatan mereka
banar-benar menjadi seimbang.
Bukan Mahisa Agni lah yang selalu dapat
didesak oleh lawannya tetapi mereka seakan-akan mendapat kesempatan yang
sama untuk mendorong lawannya. Kadang-kadang Mahisa Agni berada dalam
keadaan yang sulit dan berdiri pada arah rawa-rawa itu. Seakan-akan Kebo
Sindet tinggal mendesaknya beberapa langkah, kemudian mendorongnya
masuk ke dalam air yang keruh itu. Tetapi tiba kesempatan itupun
bergeser. Mahisa Agni berhasil menekan lawannya sehingga Kebo Sindet
terpaksa mengumpat keras-keras.
Kedua orang yang sedang bertempur itu
adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar dari
orang-orang kebanyakan. Tenaga mereka dalam cak-cakan ilmu yang
hampir sempurna, benar-benar merupakan kekuatan-kekuatan yang dahsyat.
Dan kedua kekuatan yang dahsyat itu kini sedang beradu dengan dahsyatnya
pula.
Ketika matahari menjadi semakin jauh
melampaui puncak langit, maka keringat mereka yang sedang berkelahi itu
seakan-akan telah terperas sehingga tuntas. Tubuh-tubuh mereka yang
basah dan kotor menjadi mengkilap seperti tembaga.
Namun kini tubuh-tubuh mereka telah mulai
diwarnai oleh warna darah masing-masing. Sekali-kali mereka tidak
berhasil menangkis dan menghindari serangan lawan yang membadai,
sehingga ujung-ujung senjata itu telah berhasil menyentuh kulit mereka.
Mereka menggeram dan kadang-kadang berdesis pendek, apabila terasa kulit
mereka tergores oleh tajamnya senjata.
Tetapi kedahsyatan mereka tidak menjadi
cair. Mereka masih tetap dalam tingkat yang hampir sempurna. Meskipun
tata gerak mereka mempunyai watak yang berbeda. Mahisa Agni yang sudah
dapat pesan dari kedua orang-orang tua yang menuntunnya, tidak dapat
dikejutkan oleh tata gerak lawannya yang kasar dan buas, yang
kadang-kadang hampir tidak terduga-duga.
Demikianlah, maka perkelahian itu menjadi
semakin dahsyat, Kuda Sempana sudah tidak mampu lagi menilai apakah
yang sebenarnya terjadi atas kedua orang yang sedang bertempur itu,
sehingga ia masih saja berdiri mematung dengan dada yang berdebaran.
Namun sebenarnyalah bahwa ia telah melibatkan diri dalam perkelahian itu
pada saat ia melontarkan pedangnya, sehingga meskipun ia masih tetap
berdiri di tempatnya, tetapi sebenarnya ia memang telah berpihak.
Dengan demikian maka dengan harap-harap
cemas ia menyaksikan pertempuran itu. Ia ingin melihat Mahisa Agni
memenangkan perkelahian itu. Kalau Mahisa Agni kemudian ternyata dapat
dikalahkan, maka nasibnya pun akan tergantung di ujung jari Kebo Sindet
pula. Disadarinya bahwa yang akan terjadi atasnya adalah suatu peristiwa
yang pasti belum pernah dilihatnya.
Dada Mahisa Agni itu berdesir ketika
langit yang cerah menjadi semakin lama semakm suram. Awan yang hitam
mengalir dari ujung langit. menebar semakin luas. Sekali-kali dikejauhan
terdengar guruh meledak dan tatit menyambar-nyambar.
Sejenak ingatan Mahisa Agni lari ke
Padang Karautan. Namun sejenak kemudian ia berhasil mengekang dirinya.
Katanya di dalam hati “Biarlah apa yang terjadi di Padang Karautan.
Mudah-mudahan Ken Arok dapat mengatasinya. Yang penting bagiku sekarang
adalah keluar dari neraka iblis ini”.
Dengan demikian maka Mahisa Agni segera
menemukan kemantapannya kembali, ia ternyata telah berhasil
menyingkirkan segala persoalan yang lain, kecuali melenyapkan iblis dari
Kemundungan ini.
Ketika mereka berdua tenggelam semakin
dalam di arena pertempuran itu, maka para prajurit Tumapel di Padang
Karautan dan orang-orang Panawijen sedang di cemaskan oleh mendung yang
semakin menebal di arah ujung sungai. Ken Arok yang memimpin pembuatan
bendungan itu menjadi berdebar-debar. Seandainya pada saat itu banjir
datang, apakah bendungannya sudah dapat menahannya?
Kesibukan Ken Arok sejak semalam menjadi
kian meningkat. Sejak kehadiran Akuwu Tunggul Ametung yang sedang
berusaha untuk mencari Mahisa Agni.
Hari ini seharusnya mereka akan berangkat
ke Kemundungan. Tetapi awan yang hitam di langit telah meragukan Ken
Arok. Apabila banjir datang, dan ia tidak ada di padang ini menunggui
bendungan yang sudah hampir siap itu, maka hatinya pasti tidak akan
dapat menjadi tenang.
“Tuanku” berkata Ken Arok, “apakah perjalanan ini dapat ditunda?”
“Taruhannya adalah nyawa Mahisa Agni”
sahut Akuwu Tunggul Ametung. “Sehari akan sangat berarti bagi Kebo
Sindet. Keterlambatan yang sehari itu akan dapat membuat kita menyesal”.
Ken Arok menjadi ragu-ragu. Kedua-duanya
teramat penting baginya. Ia berminat sekali untuk berusaha melepaskan
Mahisa Agni. Ia melihat bagaimana Mahisa Agni itu hilang, sehingga ia
akan mendapat kepuasan apabila ia dapat turut menemukannya. Tetapi
bendungan ini terasa memberatinya untuk meninggalkan Padang Karautan.
Seolah-olah ia mendapat kepercayaan sepenuhnya justru dari Mahisa Agni,
untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulainya. Seandainya langit
masih selalu bersih, ia akan dengan tenang ikut di dalam rombongan Akuwu
Tunggul Ametung. mencari Mahisa Agni, langsung di sarang iblis dari
Kemundungan itu.
Dalam keragu-raguan itu terdengar Ken
Arok berdesis, “Tetapi bendungan ini? Seandainya hamba tidak dicemaskan
oleh banjir, maka hamba sama sekali tidak berkeberatan untuk
meninggalkannya”.
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keberatan Ken Arok
untuk meninggalkan bendungan itu. Karena itu maka katanya, “Nanti, aku
akan mengambil keputusan setelah senja. Aku menunda perjalananku sampai
sore. Apabila memungkinkan kau dapat ikut. Kalau tidak. aku akan pergi
dengan pasukan kecil ini. Aku merasa cukup kuat. Meskipun seandainya
Kebo Sindet mempunyai pasukan segelar sepapan”.
Sambil menunggu sampai senja, Akuwu
berkesempatan untuk melihat petamanan yang telah disiapkan oleh Ken
Arok. Sehingga Akuwu sendiri kemudian menjadi ragu-ragu. Apakah
kehadirannya di Padang Karautan itu karena ia memerlukan sekali membawa
Ken Arok serta, ataukah sekedar ingin melihat sendiri, apakah yang
sebenarnya telah dilakukan oleh prajurit-prajuritnya di padang yang luas
itu.
Ternyata Akuwu Tunggul Ametung mengagumi
apa yang telah dilihatnya. Parit-parit yang panjang menjelujur membelah
tanah yang kering, kemudian berleret-leret seolah-olah jari-jari yang
berpuluh-puluh jumlahnya menyengkam Padang Karautan dikedua belah sisi
sungai. Sedang agak jauh di tengah-tengah, di ujung parit induk, telah
menjadi hijau dan segar oleh tanaman-tanaman yang merupakan bagian dari
taman yang dikehendakinya. Sebuah telaga buatan yang cukup luas untuk
menampung air, yang kemudian disalurkan lewat parit-parit untuk
melepaskan sisa-sisa air kembali ke dalam sungai agak jauh di bawah.
“Sebuah perencanaan yang luar biasa”
desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya, “gabungan pengetahuan
antara Mahisa Agni dibidang pertanian dan kecerdasan serta keprigelan Ken Arok dibidang pelaksanaannya. Ternyata anak itu mempunyai selera yang matang pula dalam pembuatan taman yang indah ini.
Akuwu Tunggul Ametung terkejut ketika ia
mendengar guntur yang meledak di langit seolah-olah terlampau dekat
diatas kepalanya. Seleret sinar tatit menyala menyilaukan matanya.
Ketika ia menengadahkan wajahnya ke
langit dilihatnya awan menjadi semakin gelap, dan lebih gelap lagi
diarah ujung sungai yang membelah Padang Karautan itu.
“Hujan itu telah jatuh di sana” desisnya.
Bersama beberapa orang pengawalnya, Akuwu kemudian berjalan kembali ke
perkemahan. Ketika ia sampai, maka dilihatnya perkemahan itu terlampau
sepi.
“Kemana orang-orang itu?” ia bertanya kepada seorang yang dijumpainya.
Orang itu adalah orang Panawijen yang
mendapat tugas untuk menunggu perkemahan mereka dan menyiapkan rangsum
bagi orang-orang Panawijen.
Sambil berlutut dan menundukkan kepalanya
dalam-dalam ia menjawab, “Ampun tuanku. Orang-orang Panawijen dan para
prajurit Tumapel sedang pergi ke bendungan”.
“Seluruhnya?” bertanya Akuwu pula
“biasanya ada beberapa orang yang tinggal dan beristirahat untuk
melakukan pekerjaan di malam hari”.
“Mereka semuanya telah dipanggil pergi ke bendungan itu”.
“Kenapa?”
“Air mulai naik Tuanku. Agaknya hujan di ujung sungai akan menyebabkan banjir”.
Dada Akuwu Tunggul Ametung itu berdesir.
Ia tidak tahu benar kekuatan bendungan yang telah ada itu. Tetapi banjir
memang sesuatu yang mendebarkan dalam pekerjaan serupa itu. Bukan saja
bendungan dan tanah persawahan yang telah dipersiapkan, dan bahkan
sebagian telah mulai dikerjakan sambil menunggu air naik, tetapi apabila
bendungan itu gagal oleh banjir, maka pertamanan yang sudah mulai
tampak asri itupun akan gagal pula.
Karena itu, maka hati Akuwu Tunggul
Ametung pun dirayapi pula oleh kecemasan, sehingga dengan serta-merta ia
berkata kepada Witantra, “Kita pergi ke bendungan”.
“Marilah Tuanku” jawab Witantra yang selalu siap disamping Akuwu.
Dengan tergesa-gesa Akuwu Tunggul Ametung
dan pengawalnya pun segera pergi ke bendungan untuk melihat apa yang
sedang terjadi. Dari jauh telah tampak orang-orang yang berkerumun di
pinggir sungai. Berjajar-jajar dan bersiap. Agaknya perhatian mereka
benar-benar tercurah kepada bendungan mereka yang belum siap benar
menghadapi banjir yang pertama.
Di ujung bendungan itu berdiri Ken Arok,
Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang-orang tua. Tampaklah
membayang di wajah-wajah mereka, kecemasan hati. Air sungai itu semakin
lama menjadi semakin keruh.
“Hujan menjadi semakin lebat diujung sungai” terdengar Ken Arok bergumam.
Ki Buyut Panawijen menganggukkan kepalanya. Desisnya “Mudah-mudahan banjir tidak menjadi semakin besar”.
“Tetapi kita harus bersiap. Kita harus dapat mengatasi banjir yang betapapun besarnya”.
Kebo Ijo yang tegang, tiba-tiba tertawa
pendek. Katanya “Apakah yang dapat kita lakukan sekarang, justru air
sudah mulai naik dan deras?”
“Apapun,” desis Ken Arok “kita akan kehilangan segala-galanya. Tanah persawahan dan parit-parit itu akan muspra.
Atau kita harus mulai lagi dari permulaan sekali membangun bendungan
yang besar ini? Belum lagi kita perhitungkan petamanan yang sudah mulai
tampak hijau, justru Akuwu Tunggul Ametung sedang berada di Padang
Karautan ini”.
Kebo Ijo itu tersenyum hambar. Katanya
perlahan hampir berbisik, “Akuwu Tunggul Ametung adalah suatu gambaran
dari orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Perhatiannya sama
sekali tidak tertuju kepada bendungan ini, tetapi yang mendapat
perhatiannya paling besar adalah petamanan yang dikehendakinya”.
“Ah jangan begitu adi Kebo Ijo. Kalau
Akuwu tidak menaruh perhatian atas bendungan ini, maka ia tidak akan
mengirimkan aku dan kau kemari bersama pasukan kita masing-masing”.
“Apa kau sangka itu bukan sekedar kepentingan diri? Ia ingin mendapat pujian dari isterinya yang datang dari Panawijan”.
“Ssst” desis Ken Arok, “jangan terlampau keras”.
Kebo Ijo berpaling memandangi wajah Ki
Buyut Panawijen. Tetapi, perhatian Ki Buyut seluruhnya tertumpah ke pada
bendungan dan air yang semakin keruh.
“Sekarang,” Kebo Ijo meneruskan, “ia
datang untuk membawa kita mencari Kebo Sindet. Untuk melepaskan Mahisa
Agni. Kau tahu apakah hubungan Mahisa Agni dengan Akuwu? Apakah itu
bukan sekedar kepentingan sendiri”.
“Ah, kau terlampau berprasangka”.
Kebo Ijo tidak menjawab. Tetapi ia
mengangkat wajahnya. Dengan pandangan matanya ia menunjuk kepada
rombongan Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi semakin dekat, “Akuwu
datang kemari”.
“Ya” sahut Ken Arok.
“Kau harus memberi keputusan, apakah kau akan bersedia untuk pergi”.
“Akuwu adalah seorang prajurit. Aku hanya
dapat memberi pertimbangan kepada perintah yang aku terima. Tetapi
keputusannya ada pada Akuwu. Terserahlah, apakah aku akan
diperintahkannya ikut serta, atau aku diperkenankan tinggal”.
“Kalau kau boleh memilih?”
“Aku akan tinggal di sini sampai aku melihat nasib bendungan ini”.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak berkata sepatahpun karena Akuwu sudah menjadi semakin
dekat, dan bahkan langsung pergi ke ujung bendungan.
Wajahnya tampak berkerut-merut. Air yang keruh itu ternyata benar-benar telah menarik perhatiannya.
“Ia tidak akan berbuat apa-apa” desis Kebo Ijo, “mungkin ia akan berteriak-teriak. Lalu pergi membawa kau ke Kemundungan”.
Ken Arok tidak menyahut. Ia membungkukkan kepalanya sambil berkata “Tuanku, air menjadi semakin besar”.
“Dan kalian berkumpul saja di sini tanpa berbuat sesuatu?” Ken Arok mengerutkan dahinya. Apakah yang dapat dilakukannya?
“Selagi kalian masih sempat. Ayo,
sebagian pergi keseberangan meniti di atas bendungan ini. Hati-hati.
Bawalah patok-patok bambu dan tali ijuk”.
Beberapa orang yang mendengar perintah
Akuwu itu sejenak menjadi bingung. Mereka tidak segera mengerti
maksudnya, sehingga ia masih saja berdiri termangu-mangu.
Tetapi Ken Arok segera tanggap akan
maksud itu. Ia sendiri memang sudah sudah memikirkannya sebelumnya,
sehingga ia telah menyediakan tali-tali dan beberapa buah patok. Karena
itu perintah Akuwu itu telah mendorongnya untuk segera melakukannya.
Ken Arok itu segera berteriak kepada
orang-orangnya, “He, sebagian dari kalian pergi ke seberangan membawa
beberapa buah patok dan tali-tali ijuk. Mari, bersama aku, meniti di
atas bendungan ini selagi air belum menjadi semakin besar”.
Beberapa orang masih berdiri kebingungan ketika Ken Arok mengulangi “Ayo cepat, jangan berdiri termangu-mangu”.
Meskipun para prajurit itu sebagian masih
belum mengerti maksud itu, namun mereka segera berlari-lari mengambil
beberapa buah patok bambu dan tali-tali ijuk.
“Bawa saja seluruhnya” berkata Akuwu
Tunggul Ametung, “semua patok yang ada. Disini masih tersedia banyak
bambu sehingga kami yang di sini akan dapat membuatnya”.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata
Akuwu itu benar-benar mampu berpikir cepat, meskipun kadang-kadang orang
itu sama sekali segan untuk berpikir. Biasanya Akuwu berbuat apa saja
yang teringat olehnya. Namun dalam hal yang penting serupa ini, agaknya
ia telah mempergunakan kecerdasan dan kecepatannya berpikir.
Karena maka Ken Arok itupun mengulangi,
“Ya, bawalah semua patok yang ada. Bawa beberapa macam alat-alat,
kelewang, cangkul, dan yang lain-lain”.
Beberapa orang prajurit segera
melakukannya dengan cepat, sedang Ken Arok sendiri akan ikut serta
menyeberang sungai yang sedang banjir itu.
“Hamba akan ke seberang Tuanku, biarlah di sini adi Kebo Ijo memimpin para prajurit yang tersisa dan orang-orang Panawijen”.
“Pergilah” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “cepat, sebelum bendungan itu dadal”.
Daia Ken Arok berdesir. Air ternyata
menjadi semakin tinggi. Terlampau cepat menurut perhitungannya. Sehingga
dengan demikian Ken Arok tidak sempat untuk berbicara lagi, untuk
memberi terlampau banyak pesan kepada Kebo Ijo. Ia mengharap bahwa Kebo
Ijo akan mengerti dengan sendirinya, apakah yang harus dilakukannya.
Ken Arok diikuti oleh beberapa orang
prajurit segera menyeberang meniti bendungan. Air sudah menjadi tinggi,
hampir meluap di atas bendungan itu.
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar.
Tetapi ia tetap menyadari apa yang harus dilakukannya. Meskipun air
sungai itu menjadi semakin keruh dan bergulung-gulung dengan derasnya,
namun Ken Arok masih sempat juga berhenti di atas bendungan itu. Kepada
beberapa orang prajurit ia berteriak, “ikatkan tali-tali itu pada
brunjung-brunjung yang ringkih. Yang lain cepat meloncat ke tepi.
Tancapkan patok-patok itu kuat-kuat”.
Kini para prajurit itu mengerti apa yang
harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian dari mereka yang membawa
patok-patok bambu segera berlari ketepi seberang dan dengan cepat
menancapkan patok-patok bambu. Mereka yang tidak sempat membawa
alat-alat yang cukup, segera mencari batu-batu besar untuk alat pemukul,
sedang yang lain mempergunakan ganden-ganden kayu yang memang telah
mereka siapkan sebelumnya.
Langitnya yang mendung menjadi semakin
mendung. Titik-titik air telah berjatuhan satu-satu. Semakin lama
semakin sering, seperti hati Ken Arok yang semakin berdebar-debar.
Ketika ia memandangi orang-orang yang
masih berada di seberang, ia melihat kesibukan yang sama. Bukan saja
Kebo Ijo yang berlari-lari kian kemari, tetapi ternyata Akuwu Tunggul
Ametung sendiri ikut serta dalam kerja yang ribut itu. Beberapa orang
dengan tergesa-gesa membuat patok-patok bambu, sedang yang lain turun ke
bendungan, dan seperti yang dilakukan oleh Ken Arok, mereka mengikat
brunjung-brunjung yang ringkih dengan tali-tali ijuk yang kuat, kemudian menambatkannya pada patok-patok di tebing.
Pekerjaan itu adalah pekerjaan-pekerjaan
yang sangat darurat. Tetapi mereka bertekad untuk menyelamatkan
bendungan itu dari banjir yang pertama.
Hujan pun semakin lama menjadi semakin
deras, tetapi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sama
sekali tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang telah
langsung turun ke bendungan, untuk menanam patok-patok bambu dan
mengikat patok-patok itu pada patok-patok yang berada ditebing.
Setiap hati menjadi berdebar-debar ketika
mereka melihat air menjadi semakin tinggi. Bahkan kemudian sedikit demi
sedikit telah mencapai puncak bendungan yang belum siap benar. Apabila
air itu kemudian melampauinya, maka bahaya bagi bendungan itu menjadi
semakin besar. Sedikit demi sedikit, air itu akan mendorong bendungan
yang masih belum mantap benar. Bahkan orang-orang yang berdiri di sisi
sungai itu seolah-olah melihat bendungan itu bergoyang.
“Tambatkan semua tali yang ada” teriak Ken Arok.
Suaranya telah menggerakkan setiap orang
untuk melakukan pekerjaan apa saja. Patok-patok bambu, tali ijuk dan
tali-tali tambang yang lain telah terikat pada brunjung-brunjung yang
tampak ringkih. Beberapa orang mencoba mengikat
brunjung-brunjung itu dengan brunjung-brunjung yang lain yang lebih kuat
kedudukannya. Mereka harus mencegah supaya tidak ada satu brunjung pun
yang terlempar oleh air yang membanjir itu. Sebab dengan demikian, maka
satu-satu demi satu brunjung-brunjung yang lainpun akan terlempar pula.
Air yang meluap akan menjadi semakin banyak. Dan apabila demikian, besok
sebelum fajar, mereka akan menemukan bendungan itu menjadi
brunjung-brunjung yang berserakan.
Dengan demikian, maka kesibukan di
bendungan itu pun menjadi semakin meningkat, seperti ketegangan di dalam
setiap dada orang-orang yang menyaksikan, air menjadi semakin tinggi
merayap mencapai puncak bendungan. Sedang hujan pun semakin lama menjadi
semakin deras seperti ditumpahkan dari langit. Angin yang kencang
bertiup dari Selatan menggoyangkan dedaunan dan pepohonan yang sedang
menghijau di taman yang belum siap benar itu.
Ken Arok dengan dahi yang berkerut-merut
berdiri tegak di ujung bendungan. Dadanya berdebaran seperti hendak
meledak. Ditatapnya air yang bergulung-gulung semakin keruh dan semakin
tinggi itu.
“Air ini harus mendapat saluran” desisnya, “kalau tidak maka bendungan ini tidak akan kuat menahannya”.
Tetapi Ken Arok masih belum menemukan cara untuk menyalurkan air yang semakin menanjak.
Sekali lagi orang-orang Panawijen itu
seakan-akan melihat bendungan itu berguncang. Namun dada mereka
berguncang lebih dahsyat lagi. Apalagi dada Ken Arok.
Para prajurit dan orang-orang Panawijen
kini sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Setiap tali yang ada telah
terikat pada patok-patok bambu di pinggir bendungan. Segala usaha telah
dilakukan, dan segala cara telah ditempuh. Kini, di dalam hujan yang
lebat itu mereka hanya tinggal menunggu, apakah yang akan terjadi atas
bendungan yang sudah sekian lama mereka kerjakan. Menelan banyak sekali
tenaga dan beaya yang telah diberikan oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Agaknya hujan yang lebat itu turun diseluruh permukaan bumi. Ternyata di Kemundungan pun hujan menjadi kian lebat. Tatit dan guruh meledak bersahut-sahutan di langit, seakan-akan sedang bersabung.
Sedang di pinggir rawa-rawa yang gembur,
Mahisa Agni dan Kebo Sindet masih juga menyabung nyawa. Semakin lama
semakin seru. Hujan dan petir sama sekali sudah tidak mereka hiraukan
lagi. Apalagi mereka yang sedang bertempur sedangkan Kuda Sempana pun
berdiri saja tanpa beranjak dari tempatnya, meskipun hujan seakan-akan
tertumpah dari langit. Tetapi ia hanya dapat menyaksikan saja
perkelahian itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia sudah tidak dapat
berusaha apapun lagi setelah melemparkan pedangnya kepada Mahisa Agni.
Namun pedang itu ternyata sangat bermanfaat baginya. Sehingga dengan
pedang itu Mahisa Agni mampu membuat keseimbangan di dalam perang
tanding yang sedang berlangsung dengan sengitnya dibawah hujan yang
sangat lebat, sehingga titik air hujan yang terlampau padat itu,
seolah-olah merupakan pedut yang gelap.
Tetapi hujan itu sama sekali tidak
terpengaruh atas kedahsyatan perkelahian itu. Setiap kali Kuda Sempana
menahan nafasnya apabila seleret warna merah tergores pada kulit salah
seorang dari mereka yang sedang bertempur itu. Namun air hujan segera
menghapusnya. Meskipun demikian, darah masih juga mewarnai tetesan air
yang mengusap tubuh mereka menjadi kemerah-merahan.
Namun betapapun lebatnya hujan, itu tidak
mampu memadamkan api yang berkobar di dalam dada masing-masing. Bahkan
air hujan itu serasa minyak yang disiramkan ke dalam api yang sedang
menyala-nyala.
Tetapi, oleh air hujan yang melimpah ruah
dari langit, tanah di tepi rawa-rawa yang lembab menjadi semakin basah,
sehingga dengan demikian menjadi bertambah licin. Setiap kali kedua
orang yang sedang berkelahi itu harus mempertahankan keseimbangan mereka
apabila mereka hampir-hampir tergelincir. Setiap kali mereka harus
membagi perhatian mereka. Selain pedang lawan, maka tanah yang basah itu
telah menjadi lawan yang ikut menentukan.
Meskipun ke dua belah pihak mengalami,
tetapi agaknya tanah yang licin telah agak terbiasa bagi Kebo Sindet.
Berbeda dengan Mahisa Agni, maka tanah yang licin menjadi lawan yang
harus mendapat perhatian. Sehingga dengan demikian, maka ternyata Mahisa
Agni harus bekerja lebih keras dari lawannya.
Setiap kali Mahisa Agni harus berusaha
untuk mendapat kan tempat berpinjak yang mapan supaya ia tidak
tergelincir jatuh. Namun usaha itupun telah memerlukan sebagian dari
perhatiannya yang seharusnya ditumpahkannya seluruhnya kepada
perlawanannya atas Kebo Sindet, sehingga dengan demikian maka
kadang-kadang Mahisa Agni terdesak dalam kesulitan. Bahkan ujung golok
lawannya menjadi semakin sering berhasil menyentuh kulitnya, meskipun
hanya seujung jarum. Tetapi yang seujung jarum itu telah menitikkan
setitik darah.
Di Pandang Karautan orang-orang Panawijen
dan prajurit-prajurit Tumapel menjadi semakin tegang. Air benar-benar
hampir melonjak melampaui bendungan. Ken Arok yang berdiri tegak seperti
patung, selalu berkata di dalam hatinya, bahkan kemudian berguman “Air
harus mendapat saluran yang mapan, supaya tidak menecah bendungan itu
atau melemparkan brunjung-brunjung itu satu demi satu.
“Tetapi bagaimana?”
Ken Arok semakin lama menjadi semakin
tegang. Tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Terdengar di antara derak
hujan ia berteriak, “Aku akan pergi ke seberang”.
“Air sudah mulai naik” teriak seorang prajurit.
“Sebelum air meluap”.
“Jangan, pekerjaan itu terlampau berbahaya”.
Tetapi Ken Arok tidak mendengarkannya,
diikatkannya kain panjangnya, dan dengan hentakan yang kuat itu meloncat
ke atas bendungan yang basah.
“Ken Arok” teriak prajurit yang lain yang
kemudian disusul oleh teriakan kawannya. Tetapi Ken Arok berlari terus
meniti jembatan.
Orang-orang yang berdiri di seberangpun
menjadi tegang. Merekapun berteriak-teriak pula “Ken Arok. Jangan”. Dan
suara Tunggul Amecng melengking “He, apakah kau gila?”
Tetapi ken Arok tidak kembali. Bahkan ia berteriak sambil berlari “Air harus segera mendapat saluran”.
Orang yang menyaksikan Ken Arok meloncat
dari brunjung ke brunjung yang sedang dilanda banjir itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi betapa mereka mencoba memperingatkan, namun Ken
Arok berlari terus.
Tunggul Ametung berdiri terpaku di
tempatnya sambil menahan nafasnya, sedang Kebo Ijo seakan-akan membeku
dengan mulut ternganga dan mata yang tidak berkedip meskipun air hujan
meleleh di seluruh wajahnya.
Ken Arok sendiri sama sekali sudah tidak
sempat memikirkan keselamatannya. Meskipun demikian hatinya berdesir
ketika terasa oleh kakinya, segumpal air yang meloncati bendungan. Bukan
dirinya sendiri yang dicemaskannya, tetapi bendungan yang sedang
diinjaknya. Maka sekali lagi ia berteriak sebelum mencapai tepi yang
lain, “Air harus mendapat saluran”.
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Ia langsung dapat menangkap maksud Ken Arok. Memang air harus
mendapat saluran. Meskipun demikian ia masih belum beranjak dari
tempatnya, dipukau oleh ketegangan hatinya melihat Ken Arok sedang
meniti bendungan yang kadang-kadang seolah-olah tampak berguncang itu.
Namun akhirnya Ken Arok sampai juga ke
tepi seberang dengan selamat. Bendungan itu masih berada ditempatnya,
dan air tidak segera meluap menyeret Ken Arok dalam ulekan yang mematikan.
“Tuanku” nafas Ken Arok memburu di lubang
hidungnya, “air harus mendapat saluran yang cukup. Parit pembuangan air
itu terlampau kecil, sehingga tidak dapat menampung arus air yang
semakin deras mengalir”.
Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak,
lalu katanya, “Ya, kita harus berusaha mendapatkan saluran yang dapat
melepaskan air cukup banyak”.
“Bagaimana kalau . . . : suara Ken Arok tertahan.
“Parit induk maksudmu?”
“Hamba Tuanku”.
“Ya, parit induk itu harus dibedah. Kita
harus menggali tanah dimulut parit induk itu supaya air dapat naik
kedalamnya. Dengan demikian bahaya atas bendungan itu akan jauh
berkurang”.
“Tetapi, tetapi…”
“Kenapa tetapi?”
“Saluran parit induk itu belum siap benar
Tuanku. Apalagi untuk menerima banjir. Di ujung parit induk itu
terdapat petamanan yang juga masih belum siap juga. Kalau sendang buatan
itu meluap maka sebagian dari petamanan itu akan rusak”.
“Bukankah ada saluran yang dapat melepaskan air dari belumbang itu”.
“Semuanya masih belum siap benar. Tebingnya masih mudah sekali runtuh”
“Aku tidak peduli. Taman itu tidak sepenting bendungan ini. Ayo, kerjakan apa yang ingin kau kerjakan”.
Hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Dan
ia mendengar Akuwu itu berteriak “Kenapa kau berdiri saja seperti
patung. Cepat, lakukanlah yang baik menurut pertimbanganmu. Apakah kau
menunggu bendungan itu pecah?”
“Hamba Tuanku” jawab Ken Arok. Tanpa
dikehendakinya ia berpaling kepada Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo itu segera
melemparkan pandangan matanya ke samping. Meskipun demikian seakan-akan
ia mendengar Ken Arok berkata “Akuwu Tunggul Ametung bukan seorang yang
terlampau mementingkan diri sendiri”.
Sejenak kemudian maka mereka pun segera
berlari-larian kemulut saluran induk yang memang belum digali. Menurut
perhitungan Ken Arok, tebing aluran itu harus siap dahulu, dan sendang
buatan di ujung saluran induk itu pun harus sudah siap pula untuk
menerima air sebelum limpahannya disalurkan kembali kesungai dibagian
bawah. Tetapi keadaan telah memaksanya menggali mulut saluran induk itu
untuk menyelamatkan bendungannya.
Beberapa orang segera bekerja tanpa
mengenal lelah. Di bawah hujan yang lebat, mereka menggali untuk
menyalurkan air kesusukan induk.
Akuwu sendiri ikut serta menunggui
orang-orang yang sedang bekerja itu. Kepada beberapa orang yang berdiri
kebingungan, Akuwu berkata, “He, kenapa kau hanya nonton saja. Cepat,
berbuatlah sesuatu”.
Seperti tersadar dari mimpi merekapun
segera berbuat apa saja untuk membedah sebuah saluran air yang dapat
mengurangi bahaya atas bendungan yang sedang dilanda banjir.
“Dari sebelah ini” teriak Ken Arok
“jangan dari mulutnya supaya kalian tidak terganggu oleh air yang segera
melimpah ke parit ini. Apabila sudah cukup, larilah ujungnya kita
pecahkan”.
Semua tenaga telah dicurahkan. Tidak ada seorang pun yang tidak melakukan kerja.
Di seberang yang lain, orang-orang yang
melihat apa yang dilakukan oleh Ken Arok, segera berbuat serupa. Tetapi
parit-parit di seberang tidak sebesar parit induk itu. Meskipun
demikian, sedikit banyak akan dapat membantu mengurangi dorongan air
atas bendungan itu.
Tetapi, betapapun mereka memeras tenaga
mereka, namun kerja itu terasa terlampau lamban. Sepercik-percik air
sudah mulai melampaui puncak bendungan. Sebentar lagi air pasti akan
melimpah-limpah dan bahayapun akan menjadi semakin besar.
Pada saat yang bersamaan, Mahisa Agni
sedang berjuang sekuat-kuat tenaganya, setinggi-tinggi ilmunya untuk
melawan Kebo Sindet. Tanah yang menjadi semakin licin telah membuatnya
sedikit terganggu. Untunglah, bahwa Kuda Sempana telah memberikan pedang
kepadanya. Seandainya tidak, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong
lagi, dan tubuhnya akan hancur di mulut buaya-buaya kerdil yang buas dan
rakus.
Tetapi, kini ia menghadapi lawan yang baru, yang seakan-akan membantu Kebo Sindet dalam perkelahian itu. Tanah yang licin.
Sedang Kuda Sempana masih tegak di
tempatnya. Hanya kadang-kadang saja ia menahan nafasnya, tetapi kemudian
dilepaskan tarikan nafasnya yang panjang. Kini ia tidak dapat
berpura-pura lagi. Ia menjadi cemas apabila keadaan Mahisa Agni dalam
bahaya. Tetapi kecemasan itupun beralasan berdasarkan apa yang telah
dilakukan.
Bagi Kuda Sempana pertempuran itu hampir
tidak dapat dimengertinya. Meskipun demikian ia dapat melihat bahwa kaki
Mahisa Agni kadang-kadang terganggu oleh tanah yang semakin licin oleh
hujan yang tercurah dari langit. Tetapi Kuda Sempana tidak dapat berbuat
apa-apa.
Namun Mahisa Agni sendiri telah memeras
segenap kemampuannya. Ia masih cukup kuat bertahan dari desakan Kebo
Sindet meskipun ujung golok lawannya itu kadang-kadang menyentuh
kulitnya. Tetapi pedangnya sendiri pun mampu juga melukai kulit
lawannya. Membuat goresan-goresan yang menitikkan darah. Sehingga tubuh
mereka yang berkelahi, yang basah oleh air hujan dan keringat, menjadi
semakin diwarnai oleh darah mereka sendiri.
Di Padang Karautan, orang-orang Panawijen
dan para prajurit Tumapel pun telah bekerja memeras tenaga mereka.
Dengan tergesa-gesa mereka menggali mulut susukan induk untuk membantu
mengurangi tekanan air yang semakin tinggi. Parit yang telah
dipersiapkan untuk kepentingan itu ternyata terlampau kecil, sehingga
tidak dapat diharapkan lagi.
Semakin lama galian(?) orang-orang
Panawijen dan para prajurit itu menjadi semakin dalam dan lebar. Setapak
demi setapak parit itu merayap kepinggir sungai.
“Hati-hati,” teriak Ken Arok “air itu
akan memecah tanah yang semakin tipis. Jangan sampai ada di antara
kalian yang diseret oleh luapan yang pertama”.
Suara itu segera disahut oleh beberapa
orarg yang meneriakkan peringatan serupa. Beberapa orang yang bekerja di
ujung susukan itu menyadari, bahwa apabila mereka lengah, mereka akan
diseret oleh luapan air yang pertama kali akan melimpah ke parit induk
itu.
“Beri saja jalan secukupnya” Akuwu
Tunggul Ametunglah yang kemudian berteriak, “kemudian air itu akan
membuat jalannya sendiri menurut kekuatannya”.
“Ya, kita hanya cukup membuka jalan sedikit saja” ulang Kebo Ijo.
Ken Arok sendiri kemudian berlari
kebagian paling ujung dari susukan induk itu. Setelah tanah yang mereka
gali cukup dalam dan lebar, maka segera ia teriak “Pergi. Kalian harus
menyingkir. Aku akan memecahkan mulut susukan ini”.
Orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel itu segera menepi, Yang tinggal adalah Ken Arok sendiri dengan
sebuah cangkul di tangan.
“Hati-hati” teriak Akuwu Tunggul Ametung.
Sesaat Ken Arok memandangi air yang
bergulung-gulung semakin tinggi. Digenggamnya cangkulnya erat-erat
seperti saat-saat ia menggenggam pedang. Kini ia tidak sedang bertempur
melawan lawannya, tetapi ia sedang berjuang melawan air.
Meskipun demikian anak muda itu telah
mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya. Terasa bahwa saat-saat
yang demikian itu sama sekali tidak ubahnya seperti pada saat-saat ia
bertempur. Akibat dari usahanya itu akan besar sekali artinya, tidak
saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh orang-orang Panawijen
yang meletakkan harapannya pada bendungan itu, dan selebihnya bagi
orang-orang padukuhan disekitarnya yang akan dilimpahi juga oleh hasil
kerja ini, bahkan bagi seluruh Tumapel akan terpercik juga hasilnya.
Itulah sebabnya dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk
menyelamatkan bendungan ini.
Semakin tipis tanah yang tersisa di mulut
susukan itu, orang-orang Panawijen, para prajurit, Kebo Ijo dan Akuwu
Tunggul Ametung menjadi kian berdebar-debar. Sebuah sobekan yang kecil
telah cukup untuk memberi kesempatan kepada air yang meluap itu melimpah
dengan derasnya dan seterusnya pasti akan membuat jalannya sendiri,
merobek mulut susukan itu menjadi semakin lebar.
Saat yang demikian itulah yang menegangkan setiap wajah yang sedang berdiri disekitar susukan induk itu.
Ken Arok dengan sepenuh perhatian,
sedikit demi sedikit mulai menyentuh bibir susukan itu. Dan pada ajunan
yang kemudian, sepercik air telah mengalir masuk. Seterusnya, sebuah
arus yang dahsyat meloncat pada bibir susukan yang sobek oleh ayunan
cangkul Ken Arok, terasa kaki Ken Arok bergetar sesaat oleh desakan air
yang memukul seperti ayunan pukulan seseorang yang paling sakti. Namun
Ken Arok adalah seseorang yang menyimpan kekuatan yang tidak
tersangka-sangka di dalam tubuhnya. Sejenak ia bertahan, supaya tidak
hanyut oleh desakan arus air yang menghantamnya, semakin lama semakin
tinggi.
“Cepat, cepat” Akuwu berteriak.
Tetapi Ken Arok tidak segera dapat
meloncat. Ia harus mempertahankan dirinya, sebelum ia berkesempatan
mengumpulkan tenaganya untuk mendorongnya dengan suatu loncatan.
Pada saat yang demikian Ken Arok harus
berbuat sejauh dapat dilakukan. Pemusatan kekuatan, pemusatan segenap
getar di dalam dirinya untuk melawan maut yang telah menyentuhnya,
sedang orang-orang yang menyaksikannya sama sekali tidak dapat berbuat
sesuatu.
Pada saat yang demikian, Kuda Sempana pun
hanya berdiri saja dengan tegangnya tanpa dapat berbuat sesuatu.
Ternyata Kebo Sindet memanfaatkan tanah yang licin itu dengan liciknya.
Karena kakinya telah terbiasa, maka pengaruh tanah yang licin itu tidak
terlampau banyak baginya, sehingga dalam perkelahian berikutnya,
dipergunakannya cara yang paling licik. Ia berloncat-loncatan dan
berputar-putar dengan gerak yang panjang. Dengan demikian ia mergharap
bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat mengimbanginya. Ternyata usaha itu
agaknya memberikan harapan baru baginya.
Sekali-kali Mahisa Agni terpaksa bertahan
untuk tidak tergelincir jatuh. Dan dalam saat-saat yang demikian itulah
maka serangan Kebo Sindet datang menghantamnya seperti banjir yang
dengan dahsyatnya menghantam bendungan.
Namun dalam saat-saat yang demikian,
Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha lain kecuali menangkis serangan
lawannya. Ia harus mempergunakan segenap kekuatannya dan dipusatkannya
pada ujung tangannya yang menggenggam pedang.
Meskipun demikian, namun gerak Mahisa
Agni menjadi sennkin terbatas. Untunglah bahwa Mahisa Agni tidak
kehilangan akal, sehingga ia mampu mengatasi setiap usaha dan cara
lawannya untuk membinasakannya. Sehingga betapa Kebo Sindet mencari akal
namun ia tidak dapat segera melakukan maksudnya, mendorong Mahisa Agni
jatuh ke dalam mulut binatang-binatang air.
Betapa perkelahian itu menjadi semakin
seru. Kebo Sindet yang menggeram, menerkam dengan ujung goloknya seperti
harimau lapar, barus menghadapi lawannya yang tangguh seperti banteng
ketaton.
(bersambung ke jilid 38)
No comments:
Write comments