KETIKA Jajar itu telah
menjadi semakin dekat dengan api, sedang para prajurit yang mengejarnya
masih juga belum dapat menangkapnya, maka Akuwu sudah tidak dapat
menunggu lebih lama lagi. Ketika terlihat olehnya sebatang bambu yang
tergolek di sampingnya, maka segera diambilnya. Dengan cepatnya bambu
itu dilontarkan ke arah Jajar yang sedang berlari kencang menuju ke
dalam api yang masih menyala-nyala.
Ternyata lemparan Akuwu Tunggul Ametung
tepat mengenai sasarannya. Bambu itu meluncur tepat dimuka kaki Jajar
yang gemuk, yang sudah dicengkam oleh kegilaannya.
Bambu itu begitu cepat dan tiba-tiba
sudah berada dimuka kakinya, sehingga Jajar itu tidak sempat untuk
menghindar. Dengan demikian maka kakinya terantuk bambu itu dengan
kerasnya.
Sejenak kemudian terdengar Jajar itu
memekik tinggi, dan tubuhnya yang lemah terbanting di atas tanah,
beberapa langkah saja dari lidah api yang memerah menari-nari dalam
belaian angin yang lembut.
Dengan tangkasnya para Prajurit Tumapel segera mengerumuninya dan mengangkatnya menjauhi api yang terasa sangat panas itu.
Terdengar Akuwu Tunggul Ametung berdesis.
Sebenarnya ia sudah tidak ingin mempedulikan apa yang terjadi atas
Jajar itu. Namun perasaannya telah memaksanya untuk melangkahkan kakinya
mendekatinya.
Perlahan-lahan Jajar yang gemuk itu
dibaringkan di atas tanah. Sedang para prajurit itu pun segera
berjongkok di sampingnya. Ketika Akuwu tiba pula di tempat itu, dan
berdiri diarah kepalanya, maka tiba-tiba seorang prajurit berdesis, “Ia
telah pergi Tuanku”.
“He” Akuwu itu terperanjat, “apa katamu?”
“Juru taman ini telah meninggal”.
“Mati?” hampir tidak percaya Akuwu atas telinganya.
“Hamba Tuanku. Suatu hentakan yang sangat mengejutkan telah menghentikan sama sekali detak jantungnya yang lemah”.
Wajah Akuwu tiba-tiba menegang. Sejenak
kemudian terdengar ia berdesis, “Bukan maksudku membunuhnya. Aku hanya
ingin mencegah supaya ia tidak meloncat ke dalam api, dan membakar
dirinya sendiri hidup-hidup”.
“Hamba Tuanku”.
“Tetapi orang itu mati”.
“Bukan karena sebab terakhir itu Tuanku. Memang tubuhnya telah terlampau lemah”.
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bergumam, “Aku kehilangan
kesempatan untuk menangkap Kebo Sindet. Kalau Kebo Sindet berusaha
menghubungi aku atau Ken Dedes lagi, maka kesempatan itu betapapun
kecilnya akan aku dapatkan. Tetapi bagaimana kalau Kebo Sindet menjadi
mata gelap dan langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni?”
Tidak seorang pun dari para prajurit yang
dapat menjawabnya. Mereka seolah-olah terbungkam. Hanya mata mereka
sajalah yang berkeredipan, memandangi mayat Jajar yang gemuk yang masih
terbujur di hadapan mereka.
Para prajurit itu terkejut ketika mereka
mendengar tiba-tiba saja Akuwu itu berkata lantang, “Bodoh. Juru taman
itu memang bodoh”. Lalu, “Kebo Sindet itu harus binasa supaya daerah
Tumapel menjadi aman”.
Dan sebelum para prajurit itu menyadari
keadaan mereka, Akuwu itu berkata, “Kita kembali ke istana. Kita siapkan
sepasukan prajurit pilihan. Kita akan mencari Kebo Sindet di
sarangnya”.
Beberapa orang prajurit saling
berpandangan. Namun salah seorang dari mereka masih sempat bertanya,
“Lalu bagaimana dengan mayat Jajar ini, Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung tertegun sejenak. Lalu katanya, “Bawalah. Uruslah dan besok kuburkanlah”.
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Mayat
Jajar yang gemuk itu segera diangkatnya dan kemudian diletakkannya di
atas punggung kudanya. Ketika para prajurit itu melihat Akuwu sudah
meloncat ke atas punggung kudanya, maka mereka pun menjadi
bergegas-gegas pula berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Tetapi ketika kuda-kuda itu sudah mulai bergerak, seorang prajurit berkata, “He, aku tidak mempunyai tunggangan”.
Prajurit itu adalah prajurit yang bertugas mengintai perkelahian antara Kebo Sindet dan anak-anak muda yang menjebaknya.
“Marilah, kita berdua” sahut salah seorang prajurit yang sudah berada di atas punggung kuda.
Prajurit itu pun segera meloncat pula.
Tubuhnya yang tersentuh api masih terasa pedih. Namun ia sudah tidak
sempat lagi mengeluh. Kuda yang dinaikinya itu pun segera berlari pula
di belakang kuda-kuda yang telah mendahuluinya.
Ternyata Akuwu yang sedang dibakar oleh
kekecewaan itu telah jauh mendahului mereka. Kedua pengawal utamanya
dengan susah payah mengejarnya dan berpacu dekat di belakangnya.
Ketika prajurit yang membawa mayat Jajar
yang gemuk itu berpaling, maka masih dilihatnya warna merah tersangkut
di ujung pepohonan. Tetapi api sudah menjadi semakin surut.
Sementara itu, dua orang lain sedang
berpacu pula keluar kota Tumapel. Setelah mereka mengambil kuda mereka
dari tempat persembunyiannya, maka segera mereka melarikannya sekencang
angin. Derap kakinya terdengar gemeretak memecah sepi malam. Semakin
lama semakin jauh, langsung menyusup ke dalam gelapnya malam menyusur
jalan persawahan.
Meskipun angin malam yang basah menyentuh
tubuh mereka, tetapi keringat mereka seolah-olah terperas dari seluruh
tubuh. Di lambung mereka tersangkut senjata-senjata mereka yang masih
basah oleh darah yang berwarna merah segar. Bukan saja senjata mereka,
tetapi juga pakaian mereka, dan bahkan tubuh mereka. Bukan darah yang
mengalir dari luka mereka sendiri, tetapi darah yang terpercik dari
lawan-lawan mereka yang sudah mereka binasakan.
Kedua orang itu adalah Kebo Sindet dan
Kuda Sempana. Hampir tanpa berpaling mereka berpacu meninggalkan kota
Tumapel, kembali ke sarang mereka ditengah-tengah rawa-rawa Kemundungan.
Wajah-wajah mereka masih membayangkan
ketegangan hati dan kejemuan yang hampir meledak. Sekali-sekali masih
terdengar Kebo Sindet menggeram. Namun Kuda Sempana mengatupkan mulutnya
rapat-rapat.
“Setan itu terlampau licik” terdengar kemudian suara Kebo Sindet memecah sepinya malam.
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
Dengan sudut matanya ia memandangi wajah Kebo Sindet. Tetapi wajah itu
hampir seperti yang setiap hari dilihatnya. Beku. Namun ketika kilat
meloncat di langit, Kuda Sempana melihat di dahinya masih membayang
beberapa goresan yang bagi Kebo Sindet telah cukup jelas membayangkan
hatinya yang bergolak dalam ketegangan.
Ternyata loncatan kilat itu telah
menjentuh hati Kebo Sindet yang keras, sekeras batu akik. Kilat itu
telah mengingatkannya kepada bendungan yang tengah diselesaikan oleh Ken
Arok, orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel. Kemudian
ingatannya segera hinggap kepada orang yang selama ini disimpannya,
Mahisa Agni.
“Nasibnya memang terlampau jelek” desis Kebo Sindet itu tiba-tiba.
Kini Kuda Sempana benar-benar berpaling
memandanginya. Ia masih menganggap Kebo Sindet itu berkata tentang Jajar
yang gemuk, yang telah diikatnya pada tiang rumahnya yang sedang
terbakar, tetapi ternyata Kebo Sindet meneruskan, “Aku hampir kehilangan
kesabaran. Aku kira aku sudah tidak perlu lagi memeliharanya terlampau
lama seperti memelihara seekor kucing yang tidak berarti apa-apa
bagiku”.
Baru Kuda Sempana tahu, bahwa yang dimaksud itu adalah Mahisa Agni. Tetapi Kuda Sempana masih tetap membisu.
Sesaat kemudian ia mendengar Kebo Sindet
itu berkata pula., “Apakah kau masih akan mencoba lagi Kuda Sempana,
setelah kita dihinakan sedemikian menyakitkan hati oleh seorang Jajar
yang paling sombong di seluruh dunia?” Kebo Sindet berhenti sejenak,
“Seorang yang merasa mampu melawan Kebo Sindet hanya bersama dengan
sembilan atau sepuluh orang saja. Sebenarnya hukuman Jajar itu masih
terlampau ringan. Aku seharusnya membuatnya menjadi tepung.
Mencincangnya dan membiarkan mayatnya di perapatan”.
Terasa bulu tengkuk Kuda Sempana
meremang. Anak muda itu tidak dapat mengerti, perasaan apa yang telah
tergores di dinding hatinya. Ia sama sekali bukan seorang yang cengeng.
Tetapi mendengar kata-kata Kebo Sindet itu terasa kengerian menyentuh
perasaannya.
“Bagaimana?” Kebu Sindet mendesak.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Ia
sudah tidak ingin lagi menyeret seseorang ke dalam bencana dengan
kesempatan-kesempatan yang dapat diberikannya untuk memeras Ken Dedes.
Jajar gemuk itu pun ternyata telah ditelan oleh pamrihnya yang
berlebih-lebihan seperti orang-orang yang lain. Bahkan Jajar ini telah
berbuat terlampau gila, melampaui semua orang yang telah pernah
dihubunginya.
“Apakah kau sudah kehabisan akal?” bertanya Kebo Sindet pula.
Dengan suara parau akhirnya Kuda Sempana menjawab, “Ya. Aku sudah tidak tahu lagi jalan yang dapat kita tempuh”.
Kebo Sindet menggeram, “Bagus. Kalau
demikian maka hanya ada satu cara. Langsung menemui Permaisuri itu, atau
membinasakan saja Mahisa Agni. Tidak ada gunanya lagi membiarkannya
hidup. Tetapi Permaisuri yang terlampau kikir itu harus dapat mengetahui
apa yang telah terjadi atas kakaknya. Biarlah ia tersiksa seperti
Mahisa Agni pula meskipun bukan tubuhnya”.
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Terasa sebuah desir yang tajam di dalam dadanya. Semakin cepat Kebo
Sindet menyelesaikan Mahisa Agni, maka ia pun akan semakin cepat tidak
diperlukannya lagi. Kuda Sempana sudah dapat membayangkan apa yang akan
terjadi atasnya apabila ia sudah tidak diperlukan lagi. Mungkin ia akan
di bunuh bersama-sama Mahisa Agni, atau mungkin dengan cara lain.
“Tetapi” Kuda Sempana masih mendengar
Kebo Sindet itu berkata, “hampir sudah tidak ada harapan lagi untuk
dapat menghubungi Permaisuri. Aku tidak mau terjebak untuk yang ke
sekian kalinya. Aku sudah terlampau bermurah hati untuk menunda kematian
Mahisa Agni” Kebo Sindet berhenti sejenak, lalu, “He, Kuda Sempana.
Bukankah kau telah banyak menyadap ilmu dari Kemundungan di samping ilmu
gurumu sendiri. Kau seharusnya telah menjadi lebih perkasa. Aku
mengharap kau akan mampu membunuh Mahisa Agni dalam suatu perkelahian
yang menentukan. Apalagi Mahisa Agni kini sudah menjadi semakin lemah.
Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk membalas sakit hatimu. Apakah
kau ingin berbuat demikian?”
Sekali lagi dada Kuda Sempana berdesir.
Kali ini menjadi semakin tajam. Ia tahu benar maksud Kebo Sindet dengan
kata-katanya itu. Ia akan menjadi tontonan yang sangat menarik bagi Kebo
Sindet itu. Ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni. Tetapi ia menyadari
apakah yang akan terjadi pada akhir dari perkelahian itu. Siapa pun
yang menang dan siapa pun yang kalah.
“Bagaimana?”
Kuda Sempana masih berdiam diri.
“Kau tidak perlu takut lagi kepada
kelinci cengeng itu. Ia akan segera dapat kau jatuhkan. Kemudian kau
dapat berbuat apa saja atasnya. Bukankah itu menyenangkan bagimu?”
Kuda Sempana masih belum menjawab. Namun
tiba-tiba ia menjadi semakin muak kepada orang yang berwajah beku
seperti mayat itu. Tetapi ia masih harus tetap menyadari, bahwa ia tidak
akan dapat berbuat apapun atas iblis yang mengerikan itu. Terbayang
diruang matanya apa yang baru saja terjadi atas Jajar yang gemuk itu.
Kuda Sempana rnenyangka bahwa Jajar itu kini telah menjadi abu, setelah
ia memekik-mekik dan berteriak-teriak ketakutan dan kepanasan.
Terasa bulu-bulu tengkuk Kuda Sempana
meremang. Jajar yang gemuk itu benar-benar bernasib malang. Ia telah
hancur karena pamrihnya yang berlebih-lebihan.
Sejenak keduanya saling berdiam diri.
Kini langkah kuda-kuda mereka menjadi semakin surut. Mereka telah berada
di luar kota Tumapel, di antara pategalan yang hijau kehitam-hitaman di
malam hari. Ketika tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana mengangkat
wajahnya menengadah ke langit, maka dilihatnya awan yang hitam melapisi
cahaya bintang yang bergayutan di udara.
Kuda Sempana itu berpaling ketika ia
mendengar Kebo Sindet berkata, “Kau harus melakukannya Kuda Sempana. Kau
harus melepaskan dendammu supaya tidak membara di dada dan membakar
jantungmu sendiri. Kau akan mendapatkan gairah hidupmu kembali apabila
kau telah berhasil melepaskan sakit hatimu. Selama ini aku melarangmu
untuk membunuhnya karena aku mengharap Mahisa Agni akan dapat
mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Tetapi ternyata Permaisuri
itu terlampau kikir, dan orang-orang yang telah menghubunginya adalah
orang-orang yang terlampau tamak. Karena itu apabila aku tidak merubah
pikiranku karena aku menemukan jalan yang baik dengan tiba-tiba, maka
kau harus melakukannya. Kita bawa Mahisa Agni itu ke Tumapel. Dan kau
dapat membunuhnya di tempat yang pasti akan diketemukan oleh
prajurit-prajurit Tumapel, sehingga dengan demikian berita kematiannya
akan menyiksa perasaan Permaisuri”.
Kuda Sempana masih membisu. Namun dadanya
menjadi semakin berdentangan dilanda oleh kebencian yang tiba-tiba saja
memuncak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
“Apakah kau sedang memikirkan cara yang
sebaik-baiknya untuk membunuhnya?” bertanya Kebo Sindet karena Kuda
Sempana masih saja berdiam diri, “pikirkanlah cara itu”.
Kuda Sempana tetap dalam kediamannya.
“Apakah kau takut?” bertanya Kebo Sindet kemudian, “Benar? Kau sedang ketakutan?”
Kuda Sempana tidak dapat terus menerus
berdiam diri. Karena itu maka ia menjawab, “Tidak. Aku tidak pernah
merasa takut kepada siapapun”.
Wajah Kebo Sindet yang beku masih tetap
membeku. Tetapi jawaban Kuda Sempana itu tidak menyenangkannya. Meskipun
demikian dibiarkannya saja Kuda Sempana melepaskan segala macam
perasaannya seandainya diingininya. Di dalam hati Kebo Sindet berkata,
“Kau memang sudah tidak berguna lagi bagiku. Memang sebaiknya kau
sajalah yang membunuh Mahisa Agni. Kemudian kau pun akan mati pula
seperti orang-orang lain yang sudah tidak dapat memberikan arti apa-apa
lagi bagiku”.
Kini mereka sekali lagi terbenam ke dalam
kediaman. Masing-masing sedang menjelajahi angan-angan sendiri. Kuda
Sempana yang sedang diganggu oleh perasaan muak dan benci itu hampir
tidak dapat berpikir lagi, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi Kebo
Sindet sedang memikirkan hal yang sangat baik baginya. Ia akan dapat
mengadu kedua anak muda itu seperti menyabung ayam. Keduanya pasti
menyimpan dendam yang membara di dalam dada masing-masing. Perkelahian
di antara keduanya pasti akan merupakan perkelahian yang sangat
menyenangkan.
“Sayang, Wong Sarimpat tidak dapat ikut
melihat tontonan yang sangat menarik ini” katanya di dalam hatinya,
“kalau ia masih sempat, maka ia akan menjadi sangat bersenang hati.
Mungkin ia akan melihat perkelahian ini dengan cambuk di tangan”. Kebo
Sindet berpaling ke arah Kuda Sempana. Dilihatnya wajah anak muda itu
pun seakan-akan telah membeku pula.
“Ia harus diajar untuk menyadari dirinya”
gumam Kebo Sindet di dalam hati pula lalu tiba-tiba, seolah-olah
terlonjak di dalam dadanya., “Aku pun harus menggenggam cambuk. Aku
harus melihat seolah-olah dua ekor cengkerik sedang beradu. Aku harus
menjaga keseimbangan mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi
sangat ramai”. Ia kini menemukan suatu permainan yang baginya akan
sangat menjenangkan, “Mereka tidak perlu segera mati. Mereka harus tetap
dipelihara. Mungkin aku dapat mempertontonkannya di rumah-rumah
perjudian”.
Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya,
meskipun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun.
Sekali-sekali ia masih berpaling memandangi wajah Kuda Sempana yang acuh
tidak acuh. Namun Kebo Sindet itu sudah tidak terlampau sering
berbicara lagi. Ia lebih senang berangan-angan tentang perkelahian
antara kedua anak muda yang akan dipakainya sebagai ayam sabungan.
Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung yang
berada di istananya duduk tepekur dihadap oleh Permaisurinya. Ken Dedes
yang telah mendengar tentang sikap Jajar yang licik itu menjadi kian
cemas. Ia cemas akan nasib Mahisa Agni. Mungkin dalam kekesalan dan
kemarahannya Kebo Sindet akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan
perasaan yang menyesak dadanya.
“Aku sudah berusaha” berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba Tuanku” sahut Ken Dedes perlahan
sekali. Namun sekali dadanya dirayapi oleh kekecewaan yang mendalam. Ia
menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung terlambat berbuat sesuatu
sehingga keadaan Mahisa Agni menjadi semakin sulit. Terbayang di dalam
angan-angannya penderitaan yang terjadi atas kakaknya itu. Bahkan kini
terbayang sesosok mayat yang terbujur di tengah-tengah hutan tanpa
seorang pun yang mengurusnya. Mayat itu semakin lama menjadi semakin
jelas. Mahisa Agni.
Tiba-tiba Ken Dedes itu menjadi terisak-isak.
Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin
pepat. Ia baru saja dibakar oleh kemarahan yang hampir menghanguskan
jantungnya. Kini ia melihat Ken Dedes itu menangis penuh penyesalan,
sehingga tanpa sesadarnya Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram, “Bukan
salahku Ken Dedes, Aku sudah berusaha dan aku sendiri telah
melakukannya. Tetapi keadaan memang tidak dapat teratasi. Kau jangan
menyalahkan aku atau menyesali kegagalan ini”.
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata
Akuwu Tunggul Ametung itu Sehingga justru tangisnya terputus.
Dipandanginya wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang dan berkeringat.
Akuwu itu masih dalam pakaian keprajuritan, dan bahkan senjata pusakanya
yang ngedab-edabi masih tergantung di lambungnya.
Tetapi Akuwu yang hatinya sedang gelap
itu berkata seterusnya, “Kalau Kebo Sindet kemudian berhasil melepaskan
dirinya, kalau aku terlambat datang ke rumah Jajar yang gemuk itu, sama
sekali bukan maksudku. Bahkan seandainya Kebo Sindet itu kemudian
menjadi gila dan membunuh Mahisa Agni itu pun bukan salahku”.
“Hamba Tuanku” tiba-tiba tanpa
dikehendakinya sendiri Ken Dedes memotong, “hamba tahu, bahwa Tuanku
memang tidak bersalah. Hamba sama sekali tidak menyesali Tuanku. Hamba
memang sedang menyesali keadaan yang pahit bagi hamba dan kakang Mahisa
Agni”.
“Tetapi kau menyesal bahwa semuanya itu
terjadi justru dihadapanku. Justru dengan sengaja kau tunjukkan
kepadaku, seolah-olah kau sedang mengalami bencana karena kesalahanku.
Mungkin kau menganggap bahwa aku tidak bersungguh-sungguh atau karena
aku tidak segera berbuat sesuatu”.
“Tidak Tuanku. Sama sekali tidak. Hamba
memang sedang menelan kepahitan yang tiada taranya, seperti apa yang
selalu terjadi pada diri hamba”.
“Kau mengutuki nasibmu sendiri. Kau anggap bahwa aku seolah-olah tidak pernah berusaha membuatmu bahagia?”
“Bukan maksud hamba. Sudah hamba katakan
bahwa tidak ada orang lain yang bersalah. Keadaan yang datang berurutan
telah menjadikan apa yang telah terjadi tanpa kesengajaan seorang pun”.
“Kau hanya mengatakannya, tetapi hatimu tidak menerimanya sebagai suatu keadaan yang harus kita lampaui bersama”.
“Aku telah menyerahkan diriku kepada
nasib Tuanku. Aku tahu bahwa tuanku telah berusaha sebagai seharusnya
dilakukan oleh manusia. Tetapi kekuasaan Yang Maha Agung lah yang
menentukan akhir dari setiap persoalan”.
“Bohong” bantah Akuwu Tunggul Ametung,
kau tidak ikhlas menerima peritiwa itu suatu keharusan. Kau tidak ikhlas
menerima putusan terakhir dari Yang Maha Agung. Ternyata kau menangis.
Ternyata kau menyesali keadaanmu. Kalau kau menerima persoalan ini
sebagai keharusan yang tidak dapat diingkari lagi, sebagaimana manusia
tidak dapat mengingkari keharusan yang datang dari Yang Maha Agung, maka
kau tidak akan menangis. Kau akan berkata dengan wajah tengadah,
demikianlah kehendak Yang Maha Agung”.
Mata Ken Dedes masih berkaca-kaca. Tetapi
ia sudah terisak lagi. Kini ia benar-benar menengadahkan wajahnya. Dan
dengan lantang ia berkata, “Tuanku, kita adalah manusia yang lemah.
Manusia yang jauh dari sifat-sifat sempurna. Hamba pun dapat mengatakan
seperti yang Tuanku katakan. Hamba pun dapat menyebut apa yang sebaiknya
hamba lakukan. Tetapi apakah hamba mampu? Apakah hamba sebagai manusia
yang lemah memiliki kekuatan untuk melakukannya?”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang
menjadi semakin tegang. Bahkan dari sepasang matanya seolah-olah
memancarkan pergolakan di dalam dadanya. Dan ia masih mendengar Ken
Dedes berkata seterusnya, “Tuanku. Bukan saja hamba yang bodoh ini yang
tidak mampu untuk melawan perasaan hamba sendiri dan menempatkannya ke
dalam keikhlasan sepenuhnya. Bukankah Akuwu sendiri juga telah dibakar
oleh kemarahan dan penyesalan, bahwa Tuanku tidak berhasil menangkap
Kebo Sindet”.
“Tetapi aku berdiri dalam persoalan yang
berbeda” nada suara Akuwu Tunggul Ametung meninggi, “aku sama sekali
tidak menyesali orang lain, tidak menyesali apapun. Aku hanya menyesal.
Hanya menyesal saja karena usahaku tidak berhasil. Usahaku sendiri,
kekuatanku sendiri. Tetapi sesudah itu aku pun tidak menganggap orang
lain bersalah”.
“Dan Tuanku dapat menumpahkan kepepatan
hati kepada hamba?” dengan beraninya Ken Dedes memotong kata-kata Akuwu
Tunggul Ametung, “Sebab Tuanku adalah seorang Akuwu. Seorang laki-laki
yang mempunyai cara sendiri untuk melepaskan penyesalan hati. Tetapi
hamba adalah seorang perempuan. Yang ada di dalam bilik ini selain hamba
adalah Tuanku, Akuwu Tumapel yang memegang segenap kekuasaan di
tangannya. Apakah hamba dapat melepaskan kekesalan dan penyesalan kepada
Akuwu dan membentak-bentak sekehendak hamba? Tidak. Hamba hanya dapat
menangis. Hamba hanya dapat melepaskan penyesalan itu dalam
butiran-butiran air mata. Kalau itu tidak menyenangkan hati Akuwu
Tunggul Ametung, sama sekali bukan maksud hamba minta maaf”. Ken Dedes
berhenti sejenak, tetapi wajahnya masih tetap tangadah dan bibirnya
menjadi gemetar. Dan kata-kata yang meluncur lewat bibirnya menjadi
gemetar pula, “Hamba minta maaf Tuanku. Tetapi dengan demikian hamba
tahu, bahwa Tuanku ternyata tidak menerima hamba seluruhnya dalam
keadaan hamba. Tuanku hanya ingin melihat hamba tertawa dan bergembira.
Tuanku hanya ingin melihat hamba dapat menyenangkan hati Akuwu. Tetapi
Tuanku tidak ingin melihat apabila hamba sedang dalam keadaan seperti
ini”. Ken Dedes berhenti sejenak. Dan kata-katanya menjadi semakin
bergelar, “Tetapi Tuanku, seharusnya hamba tidak perlu mengatakannya
atau lebih-lebih lagi mengajari Tuanku bahwa demikianlah hamba
seutuhnya. Di dalam diri hamba tersimpan suka dan duka. Tawa dan air
mata. Hamba tidak dapat menyembunyikannya sebelah dari padanya.
Sekali-sekali hamba tertawa, dan sekali-sekali hamba menangis, di dalam
pengaruh keadaan yang berbeda-beda”. Ken Dedes tidak dapat melanjutkan
kata-katanya. Tiba-tiba dadanya menjadi sesak dan napasnya seolah
tersumbat dikerongkongan. Sejenak ia diam membeku. Namun kemudian,
seperti sebuah bendungan yang pecah tertimpa banjir bandang, maka
meledaklah tangis Permaisuri itu. Tangis yang masih belum tuntas, tetapi
terpaksa ditahankannya. Yang kemudian tanpa dapat dikendalikan lagi
membanjir dengan derasnya.
Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri
mematung. Terasa dadanya akan pecah oleh perasaannya yang bergolak
dengan dahsyatnya. Tetapi ia sudah tidak kuasa lagi untuk berkata
sepatah katapun. Ia tidak dapat mengucapkan perasaannya yang bergelora.
Akuwu itu berdiri tegak seperti tiang-tiang yang mati.
Sejenak mereka terbenam dalam keadaan
masing-masing. Ken Dedes menangis sepuas-puasnya, dan Akuwu Tunggul
Ametung berdiri membeku. Hanya kadang-kadang saja Akuwu mencoba
melepaskan ketegangan yang menyesak di dadanya dengan berjalan hilir
mudik di dalam bilik itu. Namun sejenak kemudian ia telah berdiri lagi
ditempatnya.
Tetapi Akuwu tidak dapat membiarkan
dirinya ditelan oleh kegelisahan yang membuatnya pening. Ketika tangis
Ken Dedes sudah mereda, maka Akuwu itu tiba-tiba berkata, “Baiklah Ken
Dedes. Aku akan menyiapkan prajurit. Aku akan menangkap Kebo Sindet di
sarangnya. Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Aku
tidak dapat melihat kau menangis setiap saat. Kepalaku akan menjadi
pecah karenanya. Lebih baik aku turun ke medan perang dari pada aku
berada terus-menerus dalam keadaan ini”.
Ken Dedes terkejut mendengar kata-kata
itu. Ketika ia menengadahkan kepalanya ia melihat Akuwu itu melangkah
pergi. Namun ia masih mendengar Akuwu itu berkata, “Besok aku akan
membawa orang-orang terkuat. Tidak terlalu banyak, tidak lebih dari
sepuluh orang. Termasuk Witantra dan mungkin aku akan mengambil Ken Arok
dari Padang Karautan untuk pergi bersamaku ke Kemundungan”.
“Tuanku. Aku tidak bermaksud demikian”.
“Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya. Kau
tidak berkata apapun tentang sesuatu yang sebaiknya aku lakukan. Aku
harus memilih cara sendiri. Mungkin cara itu tidak seperti yang kau
ingini. Tetapi besok aku akan pergi. Cara ini adalah cara yang
sebaik-baiknya bagiku. Apakah aku akan berhasil atau tidak, itu bukan
soal lagi bagiku”.
“Tuanku” Tetapi Ken Dedes tidak sempat
mencegahnya. Akuwu Tunggul Ametung telah hilang dibalik pintu. Dengan
tergesa-gesa Akuwu itu memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil
orang-orang terpenting. Termasuk Senapati pengawal istana, Witantra.
“Sekarang semua harus menghadap” perintah Akuwu.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Hari
telah terlampau jauh malam. Namun prajurit itu terkejut ketika Akuwu
membentaknya, “Pergi, pergi. Cepat. Apakah yang kau tunggu lagi? Apakah
kau menunggu matahari terbit? Atau kau menunggu aku memenggal lehermu?”
“Ampun Tuanku“ sembah prajurit itu yang
kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi meninggalkan Tunggul Ametung
seorang diri dalam kekesalan yang hampir-hampir memecahkan dadanya.
Namun sebelum prajurit itu hilang, tiba-tiba Akuwu itu berteriak lagi,
“He, kemari kau”.
Prajurit itu menjadi cemas. Apakah Akuwu
sudah menjadi sedemikian marahnya, sehingga ia harus mengalami perlakuan
yang tidak diingininya?
Tetapi prajurit itu tertegun ketika ia
mendengar Akuwu Tunggul Ametung berteriak, “Cepat, panggil dahulu
Daksina. Ia harus datang kemari dengan Kakawin Bharatayuda”.
“Oh“ prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi justru ia tidak segera pergi.
Namun alangkah terkejutnya prajurit itu
ketika tiba-tiba saja sebuah mangkuk tanah telah menghantam lututnya.
Sekejap kemudian mangkuk itu pun terjatuh di lantai, pecah berserakan.
Prajurit itu hampir-hampir saja terjatuh.
Betapa sakit lututnya yang terkena mangkuk yang dilemparkan oleh Akuwu
Tunggul Ametung itu. Tetapi dengan sigapnya prajurit itu meloncat turun
ke halaman. Ia sadar, apabila ia terlambat lagi, mangkuk berikutnya akan
menyambar kepalanya.
Ketika ia telah turun ke halaman, baru
terasa bahwa lutut itu tidak mampu dipergunakan dengan wajar. Karena
itu, maka ia berlari-lari menyeret sebelah kakinya sambil mengumpat
tidak habis-habisnya di dalam hati.
Kejengkelan prajurit itu dibawanya sampai
kemuka pintu bilik Daksina. Diketuknya pintu itu sekuat tenaga sehingga
seisi bilik itu terkejut.
“Siapa?” terdengar suara Daksina.
“Cepat bangun pemalas. Akuwu memanggilmu. Bawalah Kakawin Baratayuda”.
“Hari sudah hampir pagi” jawab Daksina sambil menguap.
“Cepat. Aku lempar lututmu dengan mangkuk
kala-kala kau tidak segera berangkat. Akuwu menunggumu. Atau kau ingin
Akuwu datang kemari sambil membawa pedangnya untuk memenggal lebermu”.
“Apakah Akuwu sedang marah”.
“Mungkin. Tetapi cepat. Cepat” prajurit
yang marah itu berteriak. Tetapi ia mendengar Daksina tertawa di dalam
biliknya, “Baik, baik, “ katanya.
“Kau mentertawakan aku?” geram prajurit itu, “awas, aku pukul kepalamu sampai retak”.
“Lakukanlah” jawab Daksina, “tetapi dengan demikian aku tidak dapat menghadap Akuwu malam ini. Dan kaulah yang menyebabkan”.
“Oh anak gila. Ayo cepat keluar”.
Sejenak kemudian Daksina membuka pintu biliknya sambil menjinjing sebuah kitab rontal yang tebal dilapisi dengan sehelai kulit.
Sebelum prajurit itu berkata sepatah kata
pun, Daksina sudah berlari melintasi halaman menuju ke bilik Akuwu
Tunggul Ametung, “Untunglah kitab rontal ini aku simpan di rumahku”
berkata anak itu di dalam hatinya, “sehingga aku tidak perlu mencari di
bilik penyimpanan”.
Prajurit itu masih berdiri dengan mulut
ternganga. Ia terkejut ketika ia mendengar derak pintu itu ditutup dari
dalam. Namun segera ia meloncat dan menyeret sebelah kakinya ke
gardunya, “Aku harus menghubungi beberapa orang Senapati terpenting
malam ini juga”.
Beberapa orang perwira dan pemimpin
prajurit pilihan menjadi terkejut ketika rumah-rumah mereka diketuk oleh
beberapa orang prajurit. Sebagian dari mereka, masih belum tidur
kembali setelah mereka terbangun karena beberapa orang menjadi ribut
oleh api yang menyala dikejauhan, yang ternyata telah membakar rumah
Jajar yang gemuk. Tetapi para perwira dan pemimpin prajurit pilihan itu
menyangka, bahwa yang terjadi hanyalah sekedar kecelakaan. Mereka
menyangka bahwa seseorang kurang berhati-hati atas api pelita yang
mereka pasang, sehingga menyentuh dinding dan membakar rumah mereka.
Namun naluri mereka sebagai seorang
prajurit segera dapat menghubungkan kebakaran yang baru saja terjadi,
dengan ketukan yang tergesa-gesa di pintu-pintu mereka.
“Siapa diluar?” bertanya seorang perwira yang pintu rumahnya diketuk oleh seorang prajurit.
“Aku, prajurit yang mengemban perintah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung”.
Dada perwira itu menjadi berdebar-debar.
Yang pertama-tama dilakukan adalah menyisipkan kerisnya di lambung.
Perlahan-lahan ia berjalan ke luar biliknya dan berkata kepada
isterinya, “Tidak ada apa-apa tenanglah. Diluar ada dua orang peronda”.
Tetapi isteri perwira itu menjadi cemas, dan berbisik, “Hati-hatilah kakang”.
Perwira itu tersenyum. Namun tangannya telah mendorong hulu kerisnya ke dadanya.
Ketika dengan hati-hati ia membuka pintu,
maka ia melihat dua bayangan berdiri di pendapa rumahnya, dan dua orang
lagi di halaman.
“Aku Ki Lurah” prajurit yang berdiri di pendapa berdesis.
“Oh” perwira itu menarik nafas, “ada apa?”
“Ki Lurah dipanggil oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung”.
“Kapan?”
“Sekarang”.
“Sekarang?”
Prajurit itu mengangguk, sambil menjawab, “Ya”.
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Ia
kenal betul tabiat Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu maka ia tidak
membantah. Sambil mengerutkan dahinya ia menjawab, “Aku akan menghadap”.
“Baiklah. Aku mohon diri”.
Prajurit itu segera turun dari pendapa
diikuti oleh seorang peronda di rumah perwira itu. Kemudian bersama
seorang temannya yang berdiri di halaman segera minta diri kepada para
peronda untuk meneruskan perjalanan mereka. Di regol mereka mengambil
kuda-kuda mereka, dan sejenak kemudian terdengar gemeretak di sepanjang
jalan berbatu.
“Kenapa kakang harus menghadap di malam begini?”
Perwira itu menggeleng. Namun ia
menjawab, “Mungkin ada hubungannya dengan kebakaran itu. Tetapi
entahlah, demikianlah kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung. Ia berbuat apa
saja yang diingini pada suatu saat tanpa mempertimbangkan
masalah-masalah lain”.
Sebagai seorang isteri prajurit, maka
isteri perwira itu pun melepaskan suaminya dengan hati yang
berdebar-debar. Tetapi sedikit banyak ia pernah mendengar tabiat Akuwu
Tunggul Ametung itu. Memang kadang-kadang suaminya harus mengharap pada
saat-saat yang tidak wajar seperti saat ini. Tetapi pada saat fajar
menjingsing, suaminya itu sudah pulang tanpa mendapat perintah apapun.
Mungkin malam ini Akuwu tidak dapat tidur, sehingga ia memerlukan kawan
untuk berbicara.
Di rumah yang lain, rumah Witantra,
suasana yang demikian itu telah terjadi pula. Dengan hati yang
bertanya-tanya isteri Witantra melepaskan suaminya sampai di tangga
pendapa. Ia sadar, bahwa suaminya adalah Senapati pengawal yang paling
dipercaya. Setiap saat suaminya diperlukan.
Ketika Witantra telah hilang dibalik
regol rumahnya, di atas punggung kuda yang berlari kencang, maka
terdengar suara lembut di belakang isteri perwira itu, suara adik
perempuannya, “Sejak gadis padesan itu tinggal di istana, jarang-jarang
hal serupa ini terjadi. Tetapi kini tiba-tiba hal ini terulang seperti
pada saat-saat gadis desa yang cengeng itu belum tinggal di istana”.
“Ah” desah isteri Witantra, “kau terlampau lancang dengan kata-katamu Umang”.
Ken Umang tertawa. Tetapi ia tidak
menyahut. Dengan langkahnya yang cekatan ia berjalan meninggalkan kakak
perempuannya. Ketika ia hampir sampai di muka pintu, terdengar suara
tertawanya berkepanjangan.
“He, Ken Umang. Apakah kau sudah kepanjingan setan? suara tertawamu terlampau menakutkan”.
Ken Umang berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya kakaknya berdiri membeku di tempatnya.
“Apakah suaraku telah berobah?” bertanya Ken Umang itu masih diantara derai tertawanya.
Isteri Witantra tidak segera menjawab.
Dalam remang-reman cahaya pelita yang redup dikegelapan malam ia hanya
melihat sosok tubuh adiknya. Seorang gadis yang baru saja meningkat
dewasa. Seorang gadis yang bertubuh ramping, lincah dan cantik. Tetapi
dalam kegelapan malam yang tampak hanyalah sebuah bayangan hitam. Wajah
gadis itu pun seolah-olah menjadi hitam pekat. Hitam.
Terasa bulu-bulu tengkuk Nyai Witantra
meremang. Tetapi dipaksanya perasaannya untuk tunduk kepada nalarnya.
Gadis itu adalah adiknya.
Perlahan-lahan ia melangkah maju.
Dipaksanya dirinya untuk mendekat. Tetapi sebelum Nyai Witantra itu
dekat benar dengan adiknya, maka Ken Umang telah memutar tubuhnya dan
melangkah masuk ke dalam rumah. Ketika sinar pelita yang cukup terang
jatuh di wajah gadis itu, maka Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Wajah itu sama sekali tidak berubah.
Sementara itu di Istana Tumapel, Akuwu
Tunggul Ametung dengan gelisahnya menunggu para Senapati yang
dipanggilnya. Hampir-hampir ia tidak sabar menunggu mereka satu demi
satu berdatangan. Sedang di sudut bilik Daksina yang terkantuk-kantuk
sama sekali tidak diacuhkannya.
Ketika para perwira kemudian telah
lengkap terkumpul, maka Akuwu sama sekali tidak membawa mereka untuk
berbincang. Yang dilakukan hanyalah mengucapkan perintah, hanya beberapa
kata, “Besok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di
halaman ini. Lengkap dalam kesiagaan tempur. Kita akan pergi ke
Kemundungan untuk menangkap iblis yang bernama Kebo Sindet”.
Para perwira itu mengerutkan keningnya.
Sebagian besar dari mereka memang pernah mendengar nama Kebo Sindet,
bahkan sebagian lagi telah dapat mengetahui pula, sampai dimana
kesaktian orang yang buas itu.
Witantra yang duduk diantara para perwira
itu mengerutkan keningnya. Ia menyadari benar-benar siapakah yang
sedang mereka hadapi. Kebo Sindet adalah orang yang memiliki ilmu
setingkat dengan gurunya. Tetapi Kebo Sindet mempunyai sifat-sifat iblis
yang mengerikan.
Ketika para perwira tidak ada yang
mengucapkan sepatah katapun, maka Akuwu Tunggul Ametung bertanya
lantang, “Kenapa kalian diam saja dan menjadi pucat? Apakah kalian
takut, he?”
Para perwira itu menarik nafas
dalam-dalam. Pertanyaan itu terasa menggelitik hati. Seandainya bukan
Akuwu Tunggul Ametung yang rnengucapkannya, maka akan dapat menimbulkan
salah paham di antara mereka. Tetapi mereka telah mengenal betul tabiat
dan sifat-sifat dari Akuwu Tumapel, sehingga pertanyaan itu sama sekali
tidak mereka telan bulat-bulat.
“Kita bersama-sama akan berangkat besok. Kita tidak perlu membawa prajurit-prajurit. Tidak ada gunanya”.
Sekali lagi para perwira saling
berpandangan. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa dalam suatu tindakan
atas seseorang atau segerombolan Akuwu membawa begitu banyak perwira
tanpa prajurit dari tingkat yang lebih rendah.
“Kita berangkat dua belas orang” berkata Akuwu itu kemudian.
Para perwira masih belum menjawab. Dan
mereka mendengar Akuwu Tunggul Ametung meneruskan, “Hanya sebagian kecil
saja yang akan tinggal di istana untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.
Sisa dari dua belas orang itu”.
Para perwira itu masih terdiam. Dan Akuwu berkata pula, “Nah, apakah kalian telah mendengar?”
Hampir bersamaan para perwira itu menyahut, “Hamba Tuanku”.
“Bagus. Kalian tidak perlu takut. Kita
tidak berhadapan dengan sebuah gerombolan dengan ratusan anak buahnya.
Menurut pendengaranku, Kebo Sindet adalah seorang penjahat yang berbuat
seorang diri. Sebanyak-banyaknya dua atau tiga orang. Karena itu kita
tidak perlu membawa pasukan”.
Sejenak para perwira saling berpandangan.
Lalu salah seorang dari mereka, Witantra mencoba memberanikan diri
berkata, “Ampun Tuanku. Kita tidak tahu pasti, siapakah yang berada
disekeliling Kebo Sindet. Hamba pernah mengalami, dalam perjumpaan hamba
diperjalanan ke Panawijen pada saat hamba mengantarkan Tuan Puteri Ken
Dedes, dengan seorang yang bernama Empu Sada. Ternyata Empu Sada
mempunyai pengikut dalam jumlah yang cukup banyak.
Para perwira itu terkejut ketika
tiba-tiba saja Akuwu memotong kata-kata Witantra sambil berteriak, “He,
aku tidak berbicara tentang Empu Sada. Aku berbicara tentang Kebo
Sindet, kau dengar?”
Seandainya mereka belum tahu sifat dan
tabiat Akuwu Tunggul Ametung, maka mereka pasti akan terbungkam. Tetapi
Witantra yang sudah mengenal betul akan Akuwunya itu menjawab, “Ampun
Tuanku. Hamba hanya ingin memberikan perbandingan. Mungkin Kebo Sindet
juga mempunyai pengikut-pengikut yang tidak kita ketahui seperti Empu
Sada pada waktu itu”.
“Jadi kau takut, he?”
“Ampun Akuwu. Hamba tidak pernah berpikir
tentang hamba sendiri apabila hamba harus mengikuti Tuanku kemanapun.
Tetapi hamba berpikir tentang Tuanku. Keselamatan Tuanku”.
“Aku bukan pengecut cengeng Witantra. Kalau kalian tidak berani, biar aku berangkat sendiri”.
“Tidak Tuanku. Bukan maksud hamba
mengatakan bahwa Tuanku menjadi takut dan cemas. Tetapi justru Tuanku
memiliki keberanian yang tidak kami mengerti. Dengan demikian menurut
nalar kami, maka Tuanku agaknya terlampau berani. Kami hanya memikirkan
bahaya yang dapat mengancam Tuanku, meskipun Tuanku sendiri sama sekali
tidak takut menghadapi apapun”.
“Jadi menurut pertimbangan, aku harus mengerahkan seluruh pasukan Tumapel. Prajurit dari segala kesatuan”.
“Ampun Tuanku, bukan begitu. Tetapi hamba
ingin keselamatan Tuanku benar-benar terjamin. Hamba berbicara sebagai
Senapati pasukan pengawal Tuanku”.
“Setan kau Witantra. Kau memang seorang
pengecut. Bawalah besok pasukan sesukamu menurut pertimbanganmu. Tetapi
aku akan memilih duabelas orang diantara kalian. Yang lain harus tinggal
di istana. Tanggung jawab ada pada kalian. Kalian akan menunggu
perintah dari Permaisuriku. Mengerti?”
Hampir bersama para perwira itu mengangguk dan menjawab, “Hamba Tuanku”.
“Sekarang pergilah” berkata Akuwu Tunggul
Ametung. Lalu disebutkan dua belas nama diantara para perwira yang akan
dibawanya besok ke Kemundungan. Sedang yang lain harus tinggal di
Tumapel untuk mengawasi keadaan pemerintahan sehari-hari disamping para
pemimpin pemerintahan.
Tetapi sebelum para perwira itu beranjak
dari tempatnya, Akuwu itu berkata, “Kita akan singgah di Padang
Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo akan aku bawa pula”.
Para perwira itu mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak menjawab. Yang kemudian mereka dengar adalah Akuwu
itu berteriak, “Sekarang pergi. Pergi. Kalian boleh pergi”.
Dengan tergesa-gesa para perwira itu
pulang ke rumahnya masing-masing. Apalagi mereka yang harus mengikuti
perjalanan Akuwu Tunggul Ametung besok. Mereka harus segera berkemas dan
menyiapkan perlengkapan perang mereka. Sisa malam itu sama sekali sudah
tidak dapat mereka pergunakan lagi untuk melanjutkan mimpi mereka.
Isteri-isteri mereka pun ikut pula
menjadi sibuk. Mereka menyiapkan perlengkapan suaminya dan menyiapkan
makan pagi, Sebagian dari mereka menjadi berdebar-debar, karena
suami-suami mereka mengatakan, siapa yang akan dihadapinya sekarang.
Meskipun isteri-isteri prajurit itu telah
terbiasa ditinggal oleh suaminya untuk melakukan tugas yang berbahaya,
untuk pergi berperang, namun sebenarnya di hati mereka pun masih juga
selalu diliputi oleh kecemasan. Setiap suaminya mempersiapkan diri
mereka dengan alat-alat perangnya, pedang di lambung atau keris di
punggung, maka jantung mereka pun menjadi semakin cepat berdetak.
Meskipun mereka sadar bahwa suami-suami mereka adalah seorang prajurit,
tetapi sebenarnya mereka lebih senang apabila suami mereka tidak pergi
berperang. Mereka lebih senang apabila suami-suami mereka ada di antara
keluarganya. Menimang bayinya dan bermain-main dengan anak-anaknya yang
lebih besar.
Tetapi kali ini suami-suami mereka itu
harus pergi meninggalkan keluarga masing-masing. Mereka kali ini akan
menemui seorang yang namanya cukup mendebarkan jantung, Kebo Sindet.
Berbeda dengan para perwira itu, Witantra
tidak hanya sekedar mengurusi dirinya sendiri. Ia masih harus
menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Tidak terlampau banyak, hanya
sepuluh orang. Tetapi yang sepuluh orang itu adalah pengawal-pengawal
utama istana Tumapel. Pengawal-pengawal yang paling dipercaya oleh
Witantra untuk menjaga keselamatan Akuwu Tunggul Ametung, meskipun yang
sepuluh orang itu bagi Tunggul Ametung masih belum lebih berarti dari
senjatanya yang dahsyat itu. Tetapi Witantra telah berbuat sesuai dengan
tugasnya. Ia tidak mau lengah karena dorongan perasaan. Ia tidak tahu
benar, berapa jumlah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Kebo
Sindet, meskipun ia memang pernah mendengar bahwa semula Kebo Sindet
hanya bergerak berdua saja dengan adiknya Wong Sarimpat. Tetapi berita
terakhir yang sampai padanya adalah, Wong Sarimpat telah mati, dan kini
Kebo Sindet berkawan dengan Kuda Sempana.
Pada saat yang dikehendaki oleh Akuwu
Tunggul Ametung, maka para perwira sudah berkumpul di halaman istana.
Mereka telah siap dalam kesiagaan tertinggi. Senjata-senjata mereka
bergantungan di lambung, dan pusaka-pusaka sipat kandel mereka
masing-masing tidak pula ketinggalan. Di sudut halaman itu telah bersiap
pula sepuluh orang prajurit pilihan, pengawal istana. Mereka adalah
orang-orang yang paling setia akan tugasnya, yang tidak pernah menilai
hidup mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya
kepada tugasnya, sampai pengorbanan yang terakhir.
Di samping mereka, maka mereka akan
mendapat tambahan kawan lagi di Padang Karautan. Ken Arok dan Kebo Ijo.
Dengan demikian maka pasukan kecil itu merupakan sekelompok orang-orang
yang pilih tanding, sehingga Akuwu Tunggul Ametung yang melihat kesiapan
orang-orangnya berkata di dalam hati, “Jangankan seorang Kebo Sindet,
sepuluh Kebo Sindet akan disapu oleh pasukan kecilku ini”. Ketika
pasukan itu kemudian berangkat, Permaisuri Tumapel berdiri di atas
tangga paseban depan. Dipandanginya debu yang melontar dari belakang
kaki-kaki kuda yang berlari kencang, menyusup keluar regol dan hilang
dibalik dinding dalam istana.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia
pun sebenarnya menjadi berdebar-debar seperti setiap isteri prajurit
yang ikut di dalam rombongan kecil itu, Sebenarnya Ken Dades pun
dirayapi oleh kecemasan tentang keselamatan suaminya. Meskipun setiap
kali ia mencoba menghibur diri, bahwa kekuatan pasukan suaminya itu jauh
berlipat ganda dari kekuatan lawannya, namun ia tidak dapat
menyembunyikan kegelisahannya.
Tetapi selain kegelisahan yang bergetar
di dalam dadanya, Ken Dedes merasakan sesuatu yang aneh pula di dalam
hatinya. Ia tidak merasakan kesungguhan pada sikap Akuwu Tunggul
Ametung.
Apa yang dilakukan ini adalah semata-mata
didorong oleh kemarahannya. Bukan karena keinginannya yang tulus untuk
melepaskan Mahisa Agni.
Betapapun Ken Dedes mencoba menghilangkan perasaan itu, namun semakin lama justru semakin mencengkam hatinya.
Bahkan kekecewaannya terhadap Akuwu
Tunggul Ametung, serasa semakin lama semakin tebal membalut jantungnya.
Bagi ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang meledak-ledak.
Seorang yang memandang setiap persoalan dari seginya sendiri.
Bahkan akhirnya Ken Dedes sampai pada
kekecewaan dan keragu-raguan yang terbesar di dalam dunia perkawinannya.
Sebuah pertanyaan tumbuh dihatinya, “apakah yang sebenarnya telah
dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung pada saat aku belum menjadi
Permaisurinya? Apakah usahanya untuk membebaskan aku dari tangan Kuda
Sempana itu benar tumbuh karena penyesalan, atau karena nafsu dan pamrih
pribadinya, untuk merebut aku dari tangan Kuda Sempana itu?”
Ken Dedes terkejut dan seolah-olah
tersedar dari sebuah mimpi yang menggelisahkan ketika ia mendengar
seorang perwira yang berdiri di halaman, di bawah tangga, berkata,
“Ampun Tuan Puteri, apakah perintah Tuan Puteri atas kami yang mendapat
tugas menjaga istana dan kota Tumapel ini”.
“Oh,“ Ken Dedes menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya satu-satu perwira yang berdiri berjajar di
halaman, di samping beberapa orang-orang tua yang menjadi
pembantu-pembantu Akuwu di dalam pemerintahan.
Sesaat kemudian Ken Dedes berkata, “Lakukanlah pekerjaanmu sehari-hari. Tidak ada perintah khusus dari padaku saat ini”.
“Hamba Tuan Puteri”.
Ken Dedes itu pun kemudian melangkahkan
kakinya masuk ke dalam ruang dalam istana diiringi oleh para emban.
Namun kemudian ia langsung masuk ke dalam biliknya. Ketika ia melihat
emban pemomongnya ikut masuk pula ke dalam bilik itu, hampir-hampir ia
tidak kuasa lagi menahan air matanya. Tetapi ditabahkannya hatinya, dan
dibiarkannya emban pemomongnya itu melepas dan mengganti pakaiannya
dengan pakaian sehari-hari.
Emban tua itu dengan sepenuh hati telah
melayani Ken Dedes seperti ia melayaninya di masa kanak-kanaknya.
Ditolongnya Permaisuri itu membenahi pakaiannya dan mengenakan pakaian
sehari-harinya. Kemudian mengurai sanggulnya dan menyanggulnya kembali
seperti kebiasaannya menyanggul rambutnya tinggi-tinggi karena udara
yang sering terasa terlampau panas.
Emban itu telah terlampau biasa melayani
Ken Dedes, sebelum dan sesudah menjadi seorang Permaisuri. Emban itu
telah mengerti betul, apakah yang disukai dan apakah yang tidak. Karena
itu, maka hampir tidak pernah ia berbuat kesalahan.
Ken Dedes yang kali ini sedang mencoba
bertahan untuk tidak menangis itu masih saja berdiam diri. Dan ia
terkejut ketika emban tua itu bertanya dekat sekali di belakang
telinganya sambil menyanggul rambutnya, “Tuan Puteri. Apakah Tuanku
Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan?”
Ken Dedes berpaling. Ditatapnya wajah pemomongnya. Wajah yang telah dipenuhi kerut-merut umurnya itu tampak terlampau suram.
“Ya bibi” jawab Ken Dedes, “Tuanku Akuwu Tunggul Ametung pergi ke Kemundungan”.
“Apakah Tuanku Akuwu ingin merebut Mahisa Agni dengan kekerasan?”
Ken Dedes diam sejenak. Tenggorokannya
terasa menjadi semakin sesak. Jawabnya, “Yang penting bagi Tuanku Akuwu
adalah menyingkirkan Kebo Sindet, yang dianggapnya selalu membuat kisruh
di Tumapel”.
“Tetapi bukankah Akuwu juga berusaha membebaskan angger Mahisa Agni?”
“Aku tidak yakin, bahwa itu adalah
tujuannya bibi. Seandainya ia dapat membinasakan Kebo Sindet, meskipun
kakang Mahisa Agni tidak dapat dibebaskannya, ia telah menjadi puas.
Sebaliknya, seandainya ia mendapat kesempatan membebaskan kakang Mahisa
Agni, tetapi tidak berhasil melenyapkan Kebo Sindet, maka ia pasti masih
merasa gagal”.
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Begitukah Tuan Puteri?”
“Ya”
“Tetapi tanpa disangka-sangka oleh Ken
Dedes, emban itu berkata, “Tuan Puteri. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung
adalah seorang Akuwu. Ia memandang semua persoalan pasti dalam
sangkutannya dengan kedudukannya. Kali ini pun ia berusaha untuk
melakukan tugasnya sebagai seorang Akuwu dan sebagai seorang suami.
Tetapi ia adalah seorang Akuwu sebelum menjadi seorang suami. Tanggung
jawabnya cukup besar dan berat. karena itu Tuanku, hamba mengharap Tuan
Puteri dapat mengerti”.
Ken Dedes menatap mata emban tua itu
sejenak. Ia melihat mata itu basah. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata
pun lagi. Nalarnya dapat mengerti kata-kata emban tua itu, tetapi
perasaannya masih dicengkam oleh kekecewaan dan kecemasan.
Ketika Ken Dedes selesai berkemas, maka
emban tua itu pun segera mohon diri untuk pergi kebelakang sebentar.
Untuk melayani permaisuri apabila ia memerlukan sesuatu, beberapa orang
emban masih saja duduk dimuka bilik.
Tetapi, kemudian tidak seorang pun yang
megetahuinya, bahwa emban tua itu segera masuk ke dalam biliknya sendiri
dibelakang istana itu. Hampir ia tidak dapat menahan dirinya lagi.
Dijatuhkannya tubuhnya yang tua itu di atas amben pembaringannya. Dan
tangisnya sudah tidak dapa ditahannya. Ia tidak pernah akan dapat ingkar
dari perasaan sendiri, bahwa Mahisa Agni adalah satu-satu anak
laki-laki. Bahkan satu-satunya anak yang akan dapat menyambung
keturunannya. Apabila bencana menimpa anak itu, justru karena ia
dianggap saudara oleh Ken Dedes yang kini menjadi Permaisuri, alangkah
malang nasibnya.
Sementara itu, Akuwu Tunggul Ametung
berpacu dengan kencangnya ke Padang Karautan. Ia akan singgah di sana,
untuk membawa Ken Arok dan Kebo Ijo serta. Disana ia akan dapat melihat
pula apakah yang sudah dikerjakan oleh Ken Arok. Apakah taman yang
dipesankannya sudah dikerjakan dengan baik. Taman yang akan
dihadiahkannya kepada permaisurinya.
Jauh dari Padang Karautan, Kebo Sindet
dan Kuda Sempana telah sampai di pinggir rawa-rawa yang menyekat tempat
yang dipergunakannya untuk menyembunyikan Mahisa Agni dan dunia di
seputarnya. Sejenak mereka berhenti di tepi rawa-rawa itu. Kebo Sindet
dengan matanya yang tajam memandangi daerah di sekelilingnya. Tetapi
tidak ada sesuatu yang mencurigakannya. Ia sama sekali tidak melihat
perubahan-perubahan apapun dan tanda-tanda yang lain yang dapat
membahayakan dirinya. Karena itu, maka perlahan-lahan didorongnya
kudanya untuk turun ke dalam rawa-rawa.
Kebo Sindet mengenal betul daerah yang
dilewatinya itu. Kecuali jalan yang harus dilalui, ia mengenal pula
watak dan sifat-sifat dari rawa-rawa itu. Ia mengenal waktu-waktu yang
paling baik untuk menyeberang. Dan ia mengenal saat-saat dimana ia harus
menunggu apabila bahaya berada di perjalanan. Binatang-binatang air
yang berbisa adalah lawan-lawan yang paling sulit untuk dilayaninya.
Tetapi pengenalannya atas daerah itu benar-benar hampir sempurna.
Perlahan-lahan kudanya melangkah maju
diikuti oleh Kuda Sempana. Selangkah demi selangkah. Dan setiap langkah
mereka maju, maka setiap kali dada Kuda Sempana jadi semakin
berdebar-debar. Selama ini ia hampir acuh tak acuh saja atas semua
peristiwa iang terjadi atas dirinya dan atas Kebo Sindet. Tetapi kali
ini ia telah diganggu oleh kegelisahan yang semakin mencengkam. Ia tahu
benar bahwa beberapa saat lagi, ia akan dijadikan ayam aduan. Ia harus
berkelahi melawan Mahisa Agni. Mungkin sekali, mungkin dua kali bahkan
mungkin beberapa kali. Adalah lebih baik apabila ia harus berkelahi
sampai mati. Atau keduanya mati sama sekali. Tetapi tangkapannya atas
maksud Kebo Sindet cukup tajam. Ia akan sekedar dijadikan tontonan,
sebelum orang itu menjadi jemu dan membunuhnya. Mungkin sebulan, dua
bulan, bahkan mungkin tetaunan.
Berbagai perasaan telah bergelora di
dalam dada Kuda Sempana. Kadang-kadang ia mencoba untuk acuh tidak acuh
saja atas apa yang akan terjadi. Kadang-kadang ia menjadi muak dan
gelisah. Tetapi kadang-kadang ia masih menyangka bahwa Kebo Sindet belum
melepaskan keinginannya untuk mempergunakan Mahisa Agni memeras
permaisuri Tunggul Ametung. Kalau sekali-sekali ia harus berkelahi, maka
Kebo Sindet masih menginginkan Mahisa Agni itu hidup terus, betapapun
keadaannya.
Tiba-tiba Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya, “Iblis ini benar-benar buas dan licik”
Ketika mereka telah sampai di
tengah-tengah rawa-rawa itu, maka terdengar Kebo Sindet bergumam, “Kuda
Sempana. Sebentar lagi kita akan sampai. Kau harus mempersiapkan dirimu.
Aku Aku ingin memberi kau kesempatan sekali-sekali melepaskan sakit
hatimu. Tetapi aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain dari
Mahisa Agni itu. Apakah ia masih berguna bagiku atau tidak”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Dan Kebo Sindet berkata terus, “Aku mengharap kau mengerti maksudku”.
Kebo Sindet itu berpaling ketika ia mendengar Kuda Sempana berdesis, “Aku tidak mengerti”.
Wajah Kebo Sindet yang beku itu masih
saja membeku. Namun ia berkata, “Aku kira masih ada sisa-sisa kekuatan
di dalam diri Mahisa Agni. Kau akan dapat mempergunakannya untuk
berlatih sambil melepaskan sakit hatimu. Tetapi kau harus tahu, bahwa
sulit bagimu untuk mencari orang seperti anak itu. Karena itu, maka
biarlah untuk sementara ia hidup”.
“Maksudmu, kami, aku dan Mahisa Agni akan kau pergunakan sebagai tontonan. Sebagai ayam sabungan” tiba-tiba saja kejemuan yang tersimpan di dalam dada Kuda Sempana tidak dapat ditahannya lagi. Ia sama sekali tidak dapat berpikir apa saja yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet atasnya.
“Maksudmu, kami, aku dan Mahisa Agni akan kau pergunakan sebagai tontonan. Sebagai ayam sabungan” tiba-tiba saja kejemuan yang tersimpan di dalam dada Kuda Sempana tidak dapat ditahannya lagi. Ia sama sekali tidak dapat berpikir apa saja yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet atasnya.
Tetapi tanpa disangka-sangka, Kebo Sindet
itu menjawab sareh, “Jangan berprasangka. Aku ingin menjadikan kau
seperti Wong Sarimpat. Aku sudah tidak punya kawan lagi. Bukankah Mahisa
Agni yang sekarat itu dapat kau pergunakan”.
“Ia sudah tidak akan bermanfaat lagi
bagiku. Aku akan membunuhnya. Lalu kau akan membunuhku juga karena aku
pun sudah tidak bermanfaat lagi bagimu”.
“Kau salah” sahut Kebo Sindet, Selama itu
kuda-kuda mereka masih saja berjalan di dalam rawa-rawa itu., “Aku
tidak akan berbuat demikian. Kalau kau sekali-sekali berlatih dengan
Mahisa Agni, maka kau akan menjadi semakin maju. Mungkin aku terpaksa
menunggui latihan itu dengan cambuk di tangan, supaya salah seorang dari
kalian tidak terdorong untuk membunuh lawan. Mungkin beberapa
kawan-kawanku berjudi ingin melihat latihan itu. Atau mungkin beberapa
orang prajurit Tumapel yang harus aku tangkap supaya mereka melihat apa
yang terjadi atas Mahisa Agni, kemudian aku lepaskan lagi supaya ia
dapat melaporkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung, atau seribu macam
rencana yang menyenangkan lainnya. Itu tergantung sama sekali kepadaku.
Tidak kepadamu atau Mahisa Agni. Apakah kelak aku akan membunuhmu atau
memeliharamu seperti memelihara kudaku ini, itu pun tergantung sekali
kepadaku. Apakah kelak aku menjadi demikian percaya kepadamu dan
memberikan seluruh ilmuku itu pun tergantung kepadaku juga. Tetapi
mungkin juga justru Mahisa Agnilah yang akan menerima ilmuku dan kau
akan mengalami nasib yang paling jelek”.
“Aku sudah siap untuk melakukan apa saja”
geram Kuda Sempana. Dadanya sudah terlampau pepat. Dan lebih dari pada
itu sebenarnya ia telah terlempar ke dalam keputus-asaan yang parah. Ia
sudah tidak mempunyai harapan untuk lepas dari tangan Kebo Sindet dan
menghindari cara-cara yang akan dilakukan atasnya dan atas Mahisa Agni.
Dalam keputus-asaan itulah maka ia kehilangan segala nalarnya.
Tetapi Kebo Sindet masih tetap dalam
sikapnya. Ia duduk tenang di atas kudanya yang berjalan selangkah demi
selangkah maju. Di depan mereka seonggok tanah menjorok dari permukaan
rawa-rawa yang masih berkabut. Remang-remang diantara sulur-sulur yang
berjuntai dari pepohonan yang tumbuh di atas tanah berlumpur.
“Mungkin Mahisa Agni masih tidur” gumam Kebo Sindet. Tetapi Kuda Sempana sama sekali tidak menyahut.
Sejenak kemudian, mereka telah memanjat
pinggir rawa-rawa itu dan sesaat kemudian mereka telah berdiri di atas
tanah yang lembab basah, tetapi sudah tidak digenangi oleh air yang
keruh.
“Ayo, suruh Mahisa Agni menyediakan makan dan minum kita” berkata Kebo Sindet.
Kuda sempana tidak menjawab. Hal itu
telah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu pun kali ini dilakukannya
dengan hati yang kosong.
Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam
ketika ia melihat Kuda Sempana mendahuluinya. Tetapi ia pun kemudian
mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba ia menjadi cemas, apabila Kuda
Sempana tanpa setahunya telah membunuh Mahisa Agni, supaya mereka tidak
dapat diadu seperti ayam jantan atau seperti cengkerik yang ganas.
Tetapi Kuda Sempana tidak menjumpai
Mahisa Agni di dalam sarang mereka. Itu pun tidak mengherankannya,
karena mahisa Agni sedang berkeliaran di sektiar pulau di tengah-tengah
rawa-rawa itu. Mungkin untuk mencari kayu, mungkin untuk mengail.
Untuk memanggilnya, Kuda Sempana dapat
membunyikan tanda yang tergantung di mulut sarang mereka. Tetapi, kali
ini Kuda Sempana tidak berminat untuk memanggilnya. Tanpa diketahui
sebab-sebabnya, ia ingin mencari saja Mahisa Agni di sekitar sarang
mereka, namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Kebo Sindet
bertanya, “Kenapa tidak kau panggil saja anak setan itu dengan tanda”.
Kuda Sempana tidak segera dapat menjawab.
“Apakah kau akan mencarinya dan membunuhnya?”
“Tidak” jawab Kuda Sempana, “aku sama sekali tidak bernafsu untuk melakukannya”.
Kebo Sindet tidak menyahut, tetapi ia
melangkah perlahan-lahan ke muka sarangnya. Ia akan membunyikan tengara
sendiri untuk memanggil Mahisa Agni.
Kuda Sempana berdiri saja mengawasinya.
Tampaklah dahinya berkerut-merut, hal yang demikian itu hampir tidak
pernah dilakukannya. Biasanya ia berteriak saja menyuruhnya membunyikan
tanda itu. Tetapi kali ini, ia melakukannya sendiri.
Tetapi sebelum tengara itu berbunyi,
mereka berpaling bersama-sama. Mereka mendengar langkah berlari-lari
dari balik dedaunan perdu. Dan sejenak kemudian mereka melihat Mahisa
Agni muncul dengan nafas terengah-engah.
Kebo Sindet berdiri tegak sambil
memandangnya dengan tajam, perlahan-lahan Mahisa Agni kemudian berjalan
mendekatinya. Sekali-sekali ia berpaling kearah Kuda Sempana dengan
penuh kebimbangan.
Tetapi tiba-tiba tubuh anak muda itu
terlempar ketika kaki Kebo Sindet menyentuh pahanya. Mahisa Agni jatuh
berguling beberapa kali sambil menyeringai ia berkata, “Ampun tuan”.
“Setan” geram Kebo Sindet, “dari mana kau sepagi ini?”
“Aku sedang bersiap untuk mengail tuan”.
“Bohong, kau pasti masih tidur pemalas”.
“Tidak tuan. Aku sudah bangun sebelum fajar, aku sedang mengail”.
“Cepat, sediakan minum dan makan kami, jangan menunggu aku marah”.
“Ya tuan”.
Mahisa Agni pun segera berlari-lari
meninggalkan Kebo Sindet untuk menyiapkan makan dan minum mereka. Dengan
tergesa-gesa dipungutnya seonggok kayu dan dimasukkannya ke dalam mulut
perapian.
Sementara itu, Kebo Sindet masih berdiri
tegak di tempatnya. Ketika ia melihat Mahisa Agni, maka bergeloralah isi
dadanya. Ia menyadi sangat muak dan jemu. Hampir-hampir ia kehilangan
pertimbangan dan memukulnya sampai pingsan. Tetapi ketika dilihatnya
Kuda Sempana, maka teringatlah ia akan permainan yang dapat
diselenggarakannya, “Mudah-mudahan menyenangkan. Menilik keadaan Mahisa
Agni sekarang, maka ia tidak akan dapat mengalahkan Kuda Sempana dengan
segera dan sebaliknya, mereka akan dapat menjadi cengkerik aduan yang
baik. Alangkah senangnya apabila Permaisuri mengetahuinya, bahwa
kakaknya di sini tidak lebih dari pada seekor cengkerik yang tidak dapat
menghindarkan diri dari gelanggang pertarungan”.
Meskipun wajahnya sama sekali tidak
berkesan apapun, tetapi Kebo Sindet itu tertawa di dalam hatinya. Tanpa
dikehendakinya sendiri, dipandanginya Kuda Sempana dari ujung kaki
sampai keujung kepalanya, Seolah-olah ia sedang menilai, apakah keduanya
cukup seimbang.
Namun dengan liciknya ia berkata, “Kuda
Sempana. Jangan mencari kesempatan untuk membunuh Mahisa Agni. Dengan
demikian maka kita tidak dapat membalas sakit hati kita kepada
Permaisuri itu sebaik-baiknya. Kita harus menemukan cara untuk membuat
Permaisuri itu menyesal karena sikapnya dan kekikirannya. Ia harus
disiksa oleh penyesalan sepanjang umurnya”.
Kuda Sempana tidak menyahut. Bahkan
dilontarkan pandangan matanya jauh ke dalam semak-semak di pinggir
rawa-rawa. sorot matanya benar-benar telah mencerminkan keputusasaan dan
kegelapan hati. Hidup bagi Kuda Sempana kini telah tidak mempunyai arti
apapun lagi.
“Ingat-ingatlah Kuda Sempana” berkata
Kebo Sindet yang tidak mempedulikan sama sekali perasaan anak muda itu,
“jangan kau bunuh, bahkan jangan kau sakiti anak itu”.
Kuda Sempana masih saja berdiam diri, ia
masih belum beranjak dari tempatnya ketika Kebo Sindet kemudian
melangkahkan kakinya masuk ke dalam sarangnya yang lembab dan gelap.
Sesaat Kuda Sempana masih berdiri
mematung. Sekilas tersirat di kepalanya peristiwa-peristiwa yang telah
mendorongnya sampai ke tempat ini. Sepercik penyesalan menyentuh
hatinya, tetapi yang ada kemudian adalah kegelapan.
Seperti kehilangan kesadarannya Kuda
Sempana mengayunkan kakinya. Selangkah demi selangkah. Ia tidak tahu apa
yang akan dilakukannya. ketika seberkas sorot matahari menyentuh
wajahnya, maka ditengadahkannya kepalanya. Tetapi matahari itu
seolah-olah sudah tidak lagi berarti lagi baginya sama sekali, tidak
terasa gairah kehidupan yang terpancar lewat sinarnya yang putih.
Semuanya sudah tidak berarti lagi
baginya. Kenangan masa lampaunya, hidup kini, dan mungkin umurnya yang
masih akan dijalaninya, semuanya sudah tidak berarti. Bahkan penyesalan
pun sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Semuanya sudah
terlambat. Ia sudah berada dalam dunia yang asing.
Tiba-tiba, langkah Kuda Sempana itu
terhenti. Ia melihat Mahisa Agni duduk di muka perapian. Di atas
perapian itu terjerang sebuah belanga yang berisi air, dan sebuah lagi
untuk menanak nasi.
Kuda Sempana sendiri tidak tahu, kenapa
ia mendekatinya. Diperhatikannya Mahisa Agni itu dengan saksama.
Dipandanginya api yang seolah-olah sedang meronta-ronta menjilat
belanga-belanga yang terletak di atasnya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling.
Tetapi ia masih saja duduk di muka perapian. Bahkan kemudian
ditundukkannya kepalanya. Dipandanginya mulut perapiannya seperti baru
sekali ini dilihatnya.
“Mahisa Agni” tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berdesis perlahan sekali.
Mahisa Agni sekali lagi berpaling. Tetapi
ia tidak juga beranjak dari tempatnya. Namun ia merasakan suatu
keanehan pada nada suara Kuda Sempana. Suara itu sama sekali bukan
pancaran dari perasaan dendam dan kebencian. Bahkan pada sikapnya pun
Mahisa Agni tidak melihat lagi dendam yang membara di dalam dada Kuda
Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak meneruskan
kata-katanya. Wajahnya tampak menjadi muram, namun sekali lagi Mahisa
Agni menjadi heran. Kuda Sempana itu pergi meninggalkannya tanpa
mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Tetapi belum lagi Kuda Sempana itu
beranyak lima langkah dari tempatnya, ia pun tertegun. Ketika ia
berpaling, oleh suara gemersik disampingnya, ia melihat Kebo Sindet
telah berdiri tidak jauh dari padanya. Kuda Sempana kemudian menjadi
acuh tidak acuh saja. Ia melangkah terus meninggalkan tempat itu.
“Hem” terdengar suara Kebo Sindet, “aku sangka kau akan membunuhnya”.
“Sudah aku katakan, aku tidak bernafsu lagi” sahut Kuda Sempana.
“Bagaimana kalau aku tidak datang kemari?”
“Aku tidak tahu kalau paman ada di sini”.
Kebo Sindet tidak menjawab. Dibiarkannya
Kuda Sempana pergi menjauh. Baru ketika Kuda Sempana telah hilang
dibalik gerumbul Kebo Sindet itu berpaling kepada Mahisa Agni sambil
menggeram, “Mahisa Agni. Nasibmu adalah nasib yang paling jelek dari
setiap orang yang pernah aku temui. Adikmu ternyata terlampau kikir dan
Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang paling gila di Tumapel.
Sebenarnya aku tidak memerlukan kau lagi. Dan kau dapat menduga, apakah
yang akan aku lakukan atasmu. Tatapi sebelum kau aku cincang-cincang di
alun-alun Tumapel, maka kau akan menjadi permainan yang menyenangkan.
Bukankah kau masih berani berkelahi melawan Kuda Sempana? He?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Setiap kali kau harus berkelahi. Aku di
sini tidak akan menjadi kesepian lagi. Mungkin kalian berdua akan aku
bawa ke tempat-tempat perjudian. Kalian harus berkelahi.
Bersungguh-sungguh. aku tahu apakah kalian bersungguh-sungguh atau
tidak. Perkelahian yang demikian pasti akan menyenangkan orang-orang
yang melihatnya”.
Mahisa Agni masih menundukkan kepalanya.
Tetapi mengumpat di dalam hatinya. Kebenciannya kepada Kebo Sindet
menjadi semakin meluap sampai diujung rambutnya. Tetapi ia masih belum
berbuat sesuatu. Ia ingin tahu lebih banyak apa yang akan dilakukan oleh
Kebo Sindet. Namun sekali-sekali terpercik pula pertanyaan di dalam
hatinya, “Apakah aku sekarang telah mampu mengalahkannya,
setidak-tidaknya mengimbanginya?”
Tetapi Mahisa Agni masih menahan diri.
Kedua orang yang memberinya bekal olah kanuragan masih berpesan
kepadanya, “Agni, kalau kau mempunyai waktu, jangan tergesa-gesa. Kau
harus meyakinkan dirimu sendiri. Kecuali apabila kau telah disudutkan ke
dalam suatu keadaan, bahwa kau harus melakukan perlawanan untuk
keselamatanmu. Dan kadang-kadang Mahisa Agni hampir tidak bersabar lagi
menunggu Kebo Sindet memaksanya untuk membela dirinya. Apalagi kini ia
mendengar bahwa ia akan dijadikan semacam binatang aduan. Maka
kesempatan yang ditunggunya itu pasti akan menjadi lebih lama lagi.
“Tetapi aku dapat mempercepat” desis
Mahisa Agni di dalam hatinya, “Kalau aku tidak mau berkelahi melawan
Kuda Sempana, maka aku akan mendapatkan kesempatan itu. Melawan Kebo
Sindet sendiri”.
Tetapi Mahisa Agni masih juga menundukkan
kepalanya. Ia mendengar Kebo Sindet mendekatinya dan berdiri dekat
dibelakangnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Kalau kau mulai lagi Kebo
Sindet, mungkin aku akan kehilangan kesabaran untuk menunggu lebih lama
lagi. Langit menjadi semakin suram, dan mendung menjadi semakin tebal.
Aku harus segera berada di Padang Karautan”. Namun kemudian ia menggeram
di dalam hatinya pula, “Ayolah Kebo Sindet. Aku sudah jemu menunggu di
neraka ini”.
Tetapi Kebo Sindet tidak berbuat apa-apa.
Ia masih berdiri saja dibelakang Mahisa Agni. Baru sejenak kemudian ia
berkata, “Kau harus berusaha memperpanjang hidupmu. Kau harus bersedia
berkelahi. Kalau tidak, nasibmu benar-benar terlampau jelek. Tetapi
kalau kau berhasil menyenangkan aku dan orang-orang lain yang melihat
perkelahian itu, maka umurmu akan bertambah panjang”.
Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemuakan dan kemarahan semakin membara didadanya.
“Nah, bekerjalah baik-baik. Kau akan
mendapat kesempatan untuk melatih diri. Mengulang dan mempelajari
unsur-unsur gerak yang telah kau lupakan. Kau akan langsung berada di
bawah pengawasanku. Mungkin hari ini, atau besok atau kapan saja, aku
ingin melihat kau berkelahi sebelum aku dapat menentukan keseimbangan
diantara kalian”.
Hampir-hampir Mahisa Agni tidak dapat
mengendalikan diri. Tetapi dengan sekuat-kuat tenaganya ia memaksa
dirinya untuk duduk tepekur di muka perapian. Hanya kadang-kadang
tangannya saja yang bergerak mendorong kayu bakarnya lebih dalam
diperapian.
“Nah, bekerjalah” desis Kebo Sindet
kemudian, “tetapi jangan mencoba untuk membunuh diri. Sama sekali tidak
menyenangkan. Dalam waktu sehari rakyat Tumapel akan mendengar berita
itu dan pasti akan selalu memperkatakan kau. Seorang yang dahulu
disegani, kakak Permaisuri Ken Dedes, ternyata mati membunuh dirinya”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan kemarahan di dalam dadanya. Tetapi ia belum berbuat apa-apa.
“Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku
akan beristirahat. Ingat, kau pada saatnya akan mendapat kesempatan dan
kedudukan yang sama dengan Kuda Sempana”.
Kebo Sindet itu pun kemudian melangkah
pergi meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk di muka perapiannya.
Ketika Mahisa Agni itu mengangkat wajahnya maka Kebo Sindet telah hilang
dibalik pepohonan.
“Waktu itu tidak akan lama lagi”, desis Mahisa Agni perlahan-lahan. Ia masih berhasil menahan darahnya yang hampir mendidih.
Ketika air dan nasi yang dijerangnya
telah masak, maka Mahisa Agnip un segera menghidangkannya seperti biasa.
Ditaruhnya air panas itu ke dalam mangkuk dan nasinya pun telah
disediakannya di dalam ceting bambu. Ia mengharap, bahwa pada saat Kebo
Sindet makan ia mendapat kesempatan untuk menemui gurunya dan Empu Sada
yang saat itu berada tidak jauh dari tempat itu pula.
Seperti biasanya, Kebo Sindet dan Kuda
Sempana pun segera duduk di atas sebuah amben kayu yang kasar, menikmati
hidangan yang telah disediakan oleh Mahisa Agni. Nasi yang hangat
dengan ikan air yang telah dikeringkan dengan dibubuhi garam.
Ketika Kebo Sindet dan Kuda Sempana
sedang sibuk memilih dan menyisihkan duri ikan kering yang dimakannya,
maka dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyelinap ke dalam gerumbul di
belakang sarang iblis itu. Di tempat yang rimbun, ditemuinya gurunya dan
Empu Sada memang sedang menunggunya.
“Agaknya Kebo Sindet kali ini gagal lagi
guru” berkata Mahisa, “tetapi ia mempunyai suatu cara yang sangat
licik. Ia ingin menjadikan aku dan Kuda Sempana ayam sabungan”.
Kedua orang tua-tua itu mengerutkan
keningnya. Apalagi ketika Mahisa Agni menjelaskan apa yang telah
didengarnya dari Kebo Sindet.
“Iblis itu benar-benar tidak berperasaan”
desis Empu Purwa, “ia dapat berbuat apa saja di luar dugaan kita.
Karena itu Agni, kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya. Kau akan
berhadapan dengan iblis itu. Meskipun, mungkin ilmumu sudah tidak kalah
lagi dari ilmu Kebo Sindet menurut aliran masing-masing, tetapi dalam
keadaan yang gawat maka Kebo Sindet dapat berbuat apa saja. Ia dapat
herbuat hal-hal diluar dugaan. Mungkin kau akan terkejut dan kau akan
kehilangan waktu sekejap. Yang sekejap itu mungkin akan dapat
dipergunakan oleh iblis itu dengan buasnya. Apakah kau mengerti
maksudku?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepala, “Ya, aku tahu guru”.
“Nalar dan perasaanmu harus kau kuasai
sebaik-baiknya Agni” berkata Empu Sada, “kalau kau gagal hanya karena
kekasaran dan kebuasan lawanmu, maka kau akan mengecewakan kami. Karena
itu persiapkan dirimu. Bukan hanya kemampuan lahir, tetapi juga batinmu.
Kau harus berdiri di atas landasan yang sudah kau letakkan. Iblis itu
memang harus dilenyapkan karena pokalnya yang membahayakan sendi-sendi
peradaban. Sehingga apa pun yang akan dilakukan, yang barangkali sama
sekali tidak kau sangka-sangka sekalipun, jangan menggoyahkan nalar dan
perasaanmu. Kau tidak boleh kehilangan akal”.
“Ya Empu” sahut Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya.
“Tetapi, bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada tiba-tiba.
“Aku melihat beberapa keanehan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya atas anak muda itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar
Empu Sada berdesis, “Kasihan anak itu. Tidak semua kesalahan dapat
dibebankan kepadanya. Sebenarnya ia bukan seorang yang terlampau jahat.
Tetapi aku telah ikut mendorongnya ketempatnya yang sekarang. Agaknya
kini ia telah benar-benar kehilangan arah hidupnya. Ia merasa bahwa
hidupnya sama sekali sudah tidak mempunyai arti lagi”.
“Ya Empu” sahut Empu Purwa, “ia telah
didorong oleh keadaan, apalagi ternyata Kuda Sempana kemudian kehilangan
keseimbangan berpikir, sehingga ia telah kehilangan arah dan kehilangan
tempat berpijak”.
Empu Sada meng-angguk-anggukkan
kepalanya. Dan terdengar ia bergumam, “Akulah yang seharusnya meluruskan
jalannya pada waktu itu. Tetapi aku justru ikut menjerumuskannya”.
Orang tua itu berhenti sejenak. Wajahnya menjadi muram. Lalu sejenak
kemudian ia berkata, “Agni. Bagaimanakah kira-kira dengan Kuda Sempana
itu? Apakah ia masih mendendammu?”
“Aku tidak tahu Empu. Tetapi aku melihat keanehan itu”.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian, “Agni. Apakah kau dapat menunda perasaan muakmu terhadap Kebo
Sindet sehari dua hari? Meskipun kini kau telah siap menghadapinya,
tetapi aku masih ingin menganjurkan kau menundanya. Kalau kau sempat
melakukan keinginan Kebo Sindet, kau akan mengetatui perasaan Kuda
Sempana yang sesungguhnya. Apakah ia masih tetap mendendammu ataukah ia
telah benar-benar kehilangan nafsunya itu karena hidupnya sendiri yang
seolah-olah sudah tidak berarti apa-apa lagi. Kalau ia masih saja
mendendammu seperti dahulu Agni, aku serahkan ia kepadamu. Apa saja yang
akan kau lakukan. Tetapi kalau ia telah kehilangan nafsunya itu karena
alasan apapun, apakah kau mau memberinya sedikit saja peluang”.
Kening Mahisa Agni menjadi berkerut, “Maksud Empu?” bertanya Mahisa Agni itu.
Empu Sada menjadi ragu-ragu. Dipandangnya
Empu Purwa sejenak seolah-olah ingin mendapat pertimbangan dari
padanya, “Maksudku ngger, apabila Kuda Sempana itu sudah tidak lagi
mendendammu karena alasan apapun, mungkin bukan karena kesadaran tentang
kekeliruannya, sebab mungkin ia hanya sekedar didera oleh keputusasaan
dan tidak tahu arah hidupnya lagi, namun aku ingin minta maaf kepadamu
untuknya. Aku ingin mencoba memperbaiki tingkah lakunya sebagai tebusan
dari kesalahan-kesalahan yang aku buat selama ini”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Seperti Empu Sada maka sekilas ditatapnya wajah Empu Purwa untuk
mendapatkan pertimbangannya. Dan didengarnya gurunya berkata, “Itu
adalah wajar sekali Empu. Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya
untuk membalas dendam, maka Agni pun harus rnelenyapkan segala macam
permusuhan yang ada di antara mereka. Mahisa Agni memang seharusnya
berbuat sesuatu tanpa dilandaskan pada perasaan dendam dan kebencian.
Yang dilakukannya atas Kebo Sindet pun seharusnya tidak diberatkan
kepada dendam dan kebencian. Tetapi kecintaannya kepada kebebasan diri,
kepada adiknya Ken Dedes kepada orang-orang Panawijen di Padang
Karautan, kepada semua orang yang mungkin akan mengalami bencana karena
tingkah laku Kebo Sindet. Itulah yang harus menjadi landasan
perbuatannya. Sehingga aku kira Mahisa Agni tidak akan berkeberatan apa
pun untuk melepaskan sikap permusuhannya terhadap Kuda Sempana. Apalagi
Kuda Sempana, seandainya, ya hanya sekedar seandainya, Kebo Sindet dapat
merubah dirinya, tingkah laku dan angan-angannya, maka tidak ada
manfaatnya untuk membunuhnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam
mimpi saja”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia memandang wajah Mahisa Agni, ia melihat pengertian memancar
dari wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta Empu Sada berkata,
“Terima kasih. Agaknya Mahisa Agni pun berpendirian demikian pula.
Kemana air menitik, maka demikian pula agaknya sifat-sifat gurunya
melimpah kepadanya”.
“Ah” desah Empu Purwa, “kau memuji. Terima kasih”.
Empu Sada tersenyum. Lalu katanya, “Bagaimana Mahisa Agni?”
“Aku tidak berkeberatan, Empu. Aku memang
melihat sesuatu pada dirinya. Mungkin ia mendapatkan kesadarannya. Atau
mungkin seperti yang Empu katakan” jawab Mahisa Agni. Meskipun demikian
masih juga terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Adalah terlampau
sulit untuk melupakan begitu saja semua persoalan yang pernah timbul di
antara dirinya dengan Kuda Sempana. Adalah terlampau sulit untuk dengan
sebuah senyuman berkata, “Kau telah aku maafkan Kuda Sempana”.
Tetapi kedua orang tua-tua yang selama
ini telah menempanya berpendapat demikian. Mereka, apalagi Empu Sada,
telah dengan terang, minta maaf untuk bekas muridnya itu. Apakah dengan
demikian ia akan berkeras pada pendiriannya. Dan terngiang ditelinganya
kata-kata gurunya, “Kalau Kuda Sempana sudah kehilangan nafsunya untuk
membalas dendam maka Mahisa Agni pun harus melenyapkan segala macam
permusuhan yang ada diantara mereka”.
Mahisa Agni itu pun kemudian mencoba
untuk dapat melakukannya. Untuk dapat memaafkan Kuda Sempana. Ia merasa
bahwa seharusnya hal itu memang dilakukannya. Hanya kadang-kadang saja
perasaannya masih juga melonjak. Namun dengan penuh pengertian ia
berkata didalam hatinya, “Aku memang harus melupakan segala permusuhan
itu. Empu Sada telah banyak berjasa kepadaku di samping guru. Orang tua
itu telah dengan suka rela memberikan dasar-dasar dan kemudian dengan
berbagai pancarannya Aji yang selama ini menjadi puncak kekuatannya. Ia
telah bersedia pula bersama-sama gurunya mencari bentuk keserasian dari
kedua Aji yang ada pada orang tua-tua itu. Dan hasilnya adalah dahsyat
sekali”.
Mahisa Agni itu tersadar ketika ia
mendengar gurunya berkata, “Kembalilah kepada Kebo Sindet. Mungkin ia
telah selesai makan, kau harus berbuat seperti biasa. Dan kau harus
menunggu saat yang sebaik-baiknya. Ingat, kau harus mempersiapkan dirimu
lahir dan batin. Aku sudah tidak mencemaskan ilmumu lagi. Kau telah
menjadi seorang yang akan mampu menghadapinya. Ilmumu sudah cukup”.
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Tanpa
disengaja ia menengadahkan wajahnya menatap langit. Memang kadang-kadang
mendung telah mengalir semakin sering. Bahkan gerimis-gerimis kecil
kadang-kadang telah jatuh pula.
“Belum terlampau tergesa-gesa Agni”
berkata gurunya, “di Padang Karautan masih ada Ki Buyut Panawijen dan
masih ada pula Ken Arok dan pasukannya”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Agaknya gurunya mengerti apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya.
Dan ia mendengar gurunya itu berkata pula, “Kembalilah kepada Kebo Sindet dan Kuda Sempana”.
“Baik guru” jawab Mahisa Agni, yang kemudian minta diri kepada gurunya dan Empu Sada.
Keiika ia telah berada didekat sarang
iblis itu, ia mendengar namanya dipanggil. Dangan tergesa-gesa ia
berlari, masuk ke dalam, langsung mendapatkan Kebo Sindet dan Kuda
Sempana yang masih duduk menghadapi sisa-sisa makanannya.
“He, kemana kau tikus malas?” bentak Kebo Sindet.
“Aku sedang mengambil kail yang tadi pagi sudah aku siapkan dipinggir rawa-rawa”.
“Setan alas, kenapa kau tinggalkan kami yang sedang makan? Apakah tidak dapat kau ambil nanti sesudah kami selesai?”
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Bawalah sisa-sisa ini pergi. Ambilkan air. Cepat”.
Segera Mahisa Agni memutar tubuhnya.
Tetapi ketika ia baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendengar Kebo Sindet
berteriak, “Kenapa barang-barang ini tidak kau bawa sama sekali he? Kau
memang terlampau bodoh”.
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni mendekat.
Tetapi beberapa langkah dari amben tempat duduk Kebo Sindet, ia
tertegun. Kemudian terasa matanya menjadi panas Kebo Sindet telah
melemparkan sisa-sisa nasinya kewajah Mahia Agni.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Segera ia berjongkok untuk memunguti gumpalan-gumpalan nasi dan mangkuk
tanah yang pecah terbanting dilantai.
“Ambil. Ambil semua itu. Kau harus memakannya. Mengerti?”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Dicobanya untuk menenangkan gelora di dadanya. Hampir-hampir ia tidak
dapat menahan diri lagi untuk bersabar. Hampir saja ia meloncat menerkam
wajah Kebo Sindet yang beku seperti mayat. Tetapi ia masih selalu ingat
pesan gurunya. Ia harus mencari saat yang sebaik-baiknya. Apalagi kini
ia mendapat pesan baru dari Empu Sada, untuk meyakinkan, apakah Kuda
Sempana benar-benar sudah tidak mendendamnya.
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan
ruangan itu, membawa mangkuk-mangkuk tanah dan sisa-sisa makanan ke
belakang, namun ia masih harus segera kembali membawa air untuk Kebo
Sindet.
“Setan” geram Kebo Sindet, “kau memang
terlampau malas. Untuk mengambil air semangkuk kecil saja, kau
memerlukan waktu hampir seujung pagi” Hampir saja mangkuk itu melayang
ke wajah Mahisa Agni. Tetapi Kebo Sindet mengurungkan niatnya.
Ditatapnya wajah Mahisa Agni lama-lama. Kemudian pandangan matanya
berkisar kepada Kuda Sempana.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “Sekarang.
Aku ingin melihat kalian berkelahi sekarang. Nah Kuda Sempana. Aku minta
tolong kepadamu. Ajarilah anak ini supaya tidak terlampau malas. Cepat.
Kalian harus berkelahi. Aku akan melihat. Cepat”.
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
kata-kata itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Kuda Sempana.
Tampaklah wajah itu pun menegang, agaknya Kuda Sempana menjadi terkejut
juga mendengarnya. Justru karena itu maka untuk sejenak ia diam
mematung.
“Apakah kalian tidak mendengar”, sekali lagi Kebo Sindet berteriak, “Ayo, cepat ke halaman”.
Kebo Sindet lah yang segera meloncat
berdiri. Didorongnya Mahisa Agni sehingga anak muda itu hampir-hampir
saja jatuh terjerembab, kemudian Kebo Sindet itu berpaling kepada Kuda
Sempana, “Ayo mulailah. Memang kau dahulu dapat dikalahkan oleh Mahisa
Agni. Tetapi kau sudah mendapat beberapa tambahan Ilmu dari Kemundungan.
Seharusnya kau kini menjadi jauh lebih kuat dari Mahisa Agni. Tetapi
justru karena itu aku harus selalu mengawasi perkelahian itu, supaya kau
tidak terdorong untuk membunuhnya”.
Kuda Sempana menjadi berdebar-debar.
Tetapi kemudian tumbuhlah sikap acuh tidak acuhnya itu lagi. Dengan
kepala kosong ia berdiri dan melangkah mengikuti Kebo Sindet kehalaman.
“Kemari kalian berdua”, Kebo Sindet masih saja berteriak-teriak.
Keduanya segera mendekat. Tetapi ada
perbedaan perasaan yang berkecamuk di dalam dada keduanya. Kuda Sempana
hampir acuh tidak acuh saja atas apa yang akan terjadi. Kalau kemudian
ia bersiap untuk berkelahi, bukan lagi karena didorong oleh nafsunya
untuk berkelahi. Ia hanya sekedar melakukan perintah Kebo Sindet seperti
ia melakukan perintah-perintahnya yang lain dengan hati yang kosong.
Tanpa maksud, tanpa tujuan dan tanpa pertimbangan-pertimbangan lain.
Sedang di dalam dada Mahisa Agni bergolak suatu perasaan ingin tahu,
seperti juga Empu Sada ingin tahu, apakah Kuda Sempana masih memiliki
nafsu-nafsu dan dendamnya terhadap Mahisa Agni. Namun bahwa sekarang
juga ia harus berkelahi, itu telah mengejutkannya.
“Tidak ada bedanya”, berkata Mahisa Agni
di dalam hatinya, “sekarang atau nanti atau besuk. Semakin cepat semakin
baik. Aku segera mendapat keputusan. Dengan demikian aku akan segera
dapat menyelesaikan tugas ini. Menyingkirkan Kebo Sindet, sebelum aku
kembali ke Padang Karautan”.
Kini keduanya telah berdiri berhadapan.
Tetapi wajah-wajah mereka yang sama sekali tidak memancarkan gairah
untuk berkelahi, telah sangat mengecewakan Kebo Sindet. Sehingga
tiba-tiba ia berteriak pula, “Ayo, cepat. Bersiaplah untuk berkelahi.
Aku ingin melihat keseimbangan yang sebenarnya di antara kalian. Kalau
kalian tidak sungguh-sungguh berkelahi, maka aku akan memaksa kalian
dengan caraku”.
Tiba-tiba saja Kebo Sindet itu meloncat
meraih ranting sebesar ibu jari. Katanya kemudian, “Tubuh kalian akan
dibekasi oleh jalur-jalur dari cambukku ini. Aku akan dapat
memperlakukau kalian seperti seekor cengkerik, tetapi juga dapat
memperlakukan kalian seperti seekor lembu penarik pedati. Aku dapat
sekedar menggelitik kalian, tetapi aku juga dapat memukul kalian sampai
pingsan sekalipun. Nah, sekarang bersiaplah”.
Tidak ada pilihan lain bagi keduanya.
Mereka melihat Kebo Sindet mengacung-acungkan ranting di tangannya.
Sekali-sekali disentuhnya Mahisa Agni dan sekali-sekali Kuda Sempana.
Dengan tongkat kecil itu didorongnya kedua anak-anak muda itu maju
semakin dekat.
“Tetapi supaya perkelahian ini adil” berkata Kebo Sindet itu, “serahkanlah pedangmu”.
Kuda Sempana yang sudah menjadi semakin
acuh tidak acuh lagi kepada dirinya sendiri, dengan tanpa menjawab
sepatah kata pun menarik pedangnya dan diberikannya kepada Kebo Sindet.
“Bagus” berkata Kebo Sindet sambil menerima pedang itu, “sekarang bersiaplah untuk mulai”.
Kini kedua anak-anak muda itu telah
berdiri berhadapan. Tetapi keduanya sama sekali tidak memberi kepuasan
kepada Kebo Sindet. Wajah Kuda Sempana kosong dan beku, sedang wajah
Mahisa Agni diwarnai oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Jangan membuat aku kecewa. Kalian tahu, akibat dari kekecewaanku”.
Kedua anak muda itu tidak menjawab.
“Ayo cepat, mulailah”.
Ketika keduanya masih berdiri saja
mematung, maka Kebo Sindet hampir-hampir kehilangan kesabarannya.
Disetuhnya sekali lagi tubuh anak-anak muda itu dengan ranting
ditangannya, tetapi kali ini agak lebih keras sedikit.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
sedang berjuang untuk menahan perasaannya. Ia sedang berusaha keras
untuk tidak segera meloncat menyerang Kebo Sindet sendiri. Justru karena
itu maka tampaklah ia selalu dicengkam oleh kebimbangan. Namun dalam
tangkapan Kebo Sindet, Mahisa Agni kini benar-benar sudah kehilangan
keberarian untuk berbuat sesuatu.
“Ayo Agni. Aku menghendaki kau berkelahi,
jangan takut. Kau harus benar-benar berkelahi membela dirimu. Kalau kau
kalah, maka kau akan menyesal nanti, sebab tubuhmu akan menjadi merah
biru. Aku akan memukuli kau dengan ranting ini. Sebaliknya demikian juga
Kuda Sempana. Tegasnya, siapa yang kalah, akan mendapat hukumannya.
Cepat sebelum aku kehilangan kesabaran”.
Sentuhan-sentuhan tongkat Kebo Sindet
yang sebesar ibu jari itu, telah berhasil mendorong keduanya menjadi
semakin dekat. Jarak mereka tinggal beberapa langkah saja. Keduanya kini
benar-benar telah bersiap untuk memulai dengan sebuah permainan
gila-gilaan yang sangat memuakkan. Tetapi tidak seorang pun di antara
keduanya yang bernafsu untuk memulainya.
“He, apakah kalian telah bersama-sama menjadi banci he?” terdengar suara itu lagi.
Ketika keduanya masih saja berdiri di
tempatnya, Kebo Sindet menjadi semakin marah. Maka kini ia tidak hanya
sekedar menyentuh tubuh-tubuh yang berdiri kaku itu, tetapi kini ia
mengayunkan ranting itu, mendera punggung Mahisa Agni, “Ayo, kau harus
segera mulai”.
Terasa sengatan ranting kecil itu seperti
menyobek kulit. Tetapi Mahisa Agni yang sekarang, bukan Mahisa Agni
yang dahulu. Ketahanan tubuhnya telah berkembang melampaui kebanyakan
orang. Hanya sesaat kemudian ia sudah berhasil melenyapkan perasaan
pedih dan nyeri. Namun Mahisa Agni masih juga menyeringai sambil
meraba-raba punggungnya. Bahkan terdengar ia berdesis dan mengeluh
pendek.
“Ayo, cepat. Kalau kau tidak mau mulai,
maka aku akan mengulanginya semakin lama semakin keras. Mungkin kau akan
pingsan karenanya, atau bahkan kalau aku benar-benar kehilangan
kesabaranku, umurmu akan berakhir hari ini” teriak Kebo Sindet.
Mahisa Agni segera memperbaiki sikapnya.
Ia tidak ingin mendapat pukulan-pukulan lagi. Bukan karena ia tidak akan
dapat menahan sakit, tetapi ia takut kalau ia kehilangan kesabarannya
pula seperti Kebo Sindet.
Karena itu maka segera ia melangkah maju
semakin dekat dengan Kuda Sempana. Dengan demikian maka Kuda Sempana pun
telah bersiap pula menerima serangan Mahisa Agni.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Agni pun
telah meloncat menyerang Kuda Sempana. Tangannya terayun langsung
mengarah dada lawannya. Tetapi Kuda Sempana telah siap menunggunya.
Karena itu maka dengan gerakan yang sederhana ia berhasil menghindari
serangan itu.
“Oh, kau benar-benar sudah gila Mahisa
Agni” teriak Kebo Sindet. Ia menjadi marah melihat cara Mahisa Agni
menyerang. Seperti anak-anak yang berkelahi berebut makanan. Tanpa
perhitungan dan tanpa unsur-unsur gerak ilmunya yang terkenal.
“Ingat” berkata Kebo Sindet kemudian, “kalau kau tidak berkelahi bersungguh-sungguh, maka kau akan kecewa”.
Terdengar Mahisa Agni berdesis, ia
mengalami kesulitan dalam perkelahian ini. Ia harus berusaha untuk
membuat dirinya tidak lebih baik dari Kuda Sempana. Ketika ia mencoba
menyederhanakan geraknya, ternyata gerak itu terlampau sederhana
sehingga Kebo Sindet menjadi kecewa karenanya.
Namun dalam gerak selanjutnya, Mahisa
Agni lah yang menyesuaikan dirinya dengan Kuda Sempana. Meskipun Kuda
Sempana juga berkelahi tanpa nafsu, namun tata geraknya dapat menuntun
Mahisa Agni untuk menemukan tingkatan yang harus dilakukan.
“Oh, kalian memang sudah gila” Kebo
Sindet mengumpat-umpat. Tiba-tiba ia meloncat maju. Dengan cepatnya
ranting kecil ditangannya telah melecut punggung Mahisa Agni dan Kuda
Sempana sehingga keduanya mengeluh bersama-sama.
“Kalau kalian masih saja bermain-main, maka kalian akan menjadi korban kebodohan kalian.”
Tidak ada pilihan lain bagi Kuda Sempana
dari pada berkelahi terus. Meskipun hatinya kosong, namun ia kini
menjadi semakin cepat bergerak. Serangan-serangannya menjadi semakin
mantap dan mapan. Perlahan-lahan dalam ketiadaan tujuan, selain sekedar
meghindarkan diri dari lecutan tongkat Kebo Sindet. Kuda Sempana menjadi
semakin garang.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun
menjadi semakin cepat pula. Lambat laun, setelah Kuda Sempana dibasahi
oleh keringatnya, maka ia pun menjadi semakin bersungguh-sungguh. Namun
dalam pada itu, terasa oleh Mahisa Agni, bahwa sebenarnya Kuda Sempana
sama sekali tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu. Terasa oleh Mahisa
Agni, bahwa Kuda Sempana hanya sekedar terdorong oleh hasratnya untuk
menghindari pukulan Kebo Sindet.
Tersirat sepercik pertanyaan di dalam
dada Mahisa Agni tentang lawannya itu. Kenapa Kuda Sempana menjadi
seakan-akan telah melupakan dendamnya.
“Tentu pengaruh keadaannya sendiri yang
telah mengajarnya untuk mengerti” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya,
“tetapi seandainya ada penyesalan di dalam dadanya, namun penyesalan itu
datang terlampau lambat. Meskipun demikian, meskipun terlambat, tetapi
baik juga penyesalan itu mengekang segala kegilaannya. Gurunya yang
telah menyadari kesalahannya pula, mudah-mudahan akan dapat menuntunnya
ke jalan yang lebih baik”.
Mahisa Agni terkejut ketika sekali lagi
tongkat kecil Kebo Sindet hinggap di punggungnya. Sekali lagi ia
menyeringai dan berdesis. Ternyata angan-angannya telah mengekang
geraknya sehingga tampaklah bahwa ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh.
“Aku memperingatkan kau sekali lagi, Agni”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi
wajahnya kini tampak bersungguh-sungguh. Sekali-sekali ia menggeram,
kemudian melontar dengan cepatnya menyerang lawannya.
Kuda Sempana terkejut mendapat serangan
yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia
meloncat menjauh, namun kemudian dengan cepatnya pula, ia membalas
serangan itu dengan serangan kaki yang mengarah ke lambung Mahisa Agni.
Mahisa Agni sengaja tidak menghindarkan
dirinya. Ia ingin tahu, sampai dimana kekuatan serangan Kuda Sempana
kini setelah ia mendapat tuntunan ilmu Kemundungan yang kasar itu.
Ketika kaki Kuda Sempana mengenai lambung
Mahisa Agni yang seakan-akan tidak sempat menghindarkan dirinya, maka
terasa kaki itu bergetar. Kuda Sempana merasakan kakinya membentur suatu
kekuatan yang tidak terduga sebelumnya. Karena itu, maka ia terdorong
oleh kekuatan serangannya sendiri beberapa langkah surut.
Sedang Mahisa Agni, terlempar beberapa
langkah. Kemudian terbanting jatuh di tanah. Beberapa kali ia
berguling-guling, Ketika ia berusaha untuk meloncat bangun maka kakinya
pun terperosok ke dalam sebuah lubang kecil, sehingga sekali lagi ia
terjatuh di tanah. Dan sekali lagi ia tertatih-tatih untuk mencoba
bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya.
Namun waktu yang sesaat itu telah dapat
dipergunakannya untuk mengetahui kekuatan Kuda Sempana. Meskipun ia tahu
bahwa Kuda Sempana pun tidak mempergunakan seluruh kekuatannya. Tetapi
ia menjadi heran sendiri. Sebagian kecil dari daya tahannya ternyata
telah berhasil melemparkan Kuda Sempana beberapa langkah surut.
Untunglah bahwa ia tidak mempergunakan kekuatan yang lebih besar,
sehingga Kuda Sempana tidak mendapat cidera karenanya.
Tetapi dengan demikian ia harus memainkan
peranannya sebaik-baiknya. Kebo Sindet harus menyangka bahwa ia pun
mengalami kejutan yang telah membantingnya.
Kini keduanya berdiri dalam jarak yang
agak jauh. Tetapi menurut pengamatan Kebo Sindet. keduanya telah
terpengaruh oleh benturan itu. Apalagi Mahisa Agni. Menurut penglihatan
Kebo Sindet Mahisa Agni masih belum dapat mengimbangi kekuatan Kuda
Sempana meskipun selisih kekuatan itu tidak seberapa. Namun dengan
demikian justru menyenangkannya. Ia akan dapat membuat keduanya menjadi
seimbang dan untuk kali lain memaksa mereka berkelahi lebih baik.
Perkelahian yang disaksikannya kali ini
sama sekali tidak memuaskannya. Tetapi ia dapat mengerti. Mahisa Agni
yang selama ini jiwanya selalu diguncang oleh ketakutan dan kecemasan
pasti tidak segera dapat menemukan kekuatannya kembali. Terutama
kekuatan hati untuk melawan Kuda Sempana dengan sempurna. Karena itu,
maka ia mempunyai harapan yang baik dimasa yang akan datang.
Ketika Kebo Sindet masih melihat kedua
anak-anak muda itu berdiri dengan tegangnya, maka dengan serta-merta ia
melangkah maju dan memukul keduanya berganti-ganti dengan tongkatnya
sambil berteriak, “Nah, kali ini kalian sama sekali mengecewakan aku.
Kalian berkelahi seperti ayam-ayam cengeng Tetapi biarlah. Lain kali
kalian harus berkelahi lebih baik. Kalian harus bersungguh-sungguh
supaya yang menyaksikan perkelahian kalian menjadi puas”. Kebo Sindet
berhenti sejenak, dipandanginya wajah Mahisa Agni dan Kuda Sempana yang
sedang menyeringai kesakitan itu berganti-ganti. Tetapi sejenak
kemudian, ketika rasa sakit dipunggung mereka telah berkurang, wajah
Kuda Sempana menjadi acuh tidak acuh lagi, dan wajah Mahisa Agni
diselimuti oleh ketegangan dan ketakutan.
“Setan” desis Kebo Sindet, “kalian harus
bersungguh-sungguh”. Dan di dalam hatinya ia berkata, “Pada saatnya
mereka akan menjadi ayam aduan yang baik. Aku dapat membuat mereka
seimbang. Pertunjukan ini akan menjadi pertunjukan baru dilingkungan
orang-orang gila”. Dan Kebo Sindet yang berwajah mayat itu tertawa di
dalam hati.
“Sekarang kalian boleh pergi” berkata
Kebo Sindet itu bemudian., “Kalian harus tetap berada dalam kehidupan
kalian sehari-hari. Apakah kalian mengerti?”
Keduanya sama sekali tidak menjawab.
Mahisa Agni memandangi wajah Kebo Sindet sorot mata penuh kebimbangan.
Sedang Kuda Sempana masih saja bersikap acuh tidak acuh.
“Apa lagi yang kalian tunggu” teriak
Kebo Sindet, “ayo pergi sebelum aku berubah pendirian. Sebelum aku
menyuruhmu berkelahi untuk kedua kalinya hari ini”.
Kedua anak-anak muda itu masih tetap
membisu. Tetapi Mahisa Agni dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu
dan pergi ke belakang sarang iblis itu, sedang Kuda Sempana berjalan
perlahan-lahan masuk ke dalamnya. Di belakangnya Kebo Sindet berjalan
sambil mengawasi punggung anak muda itu yang berjalur-jalur merah biru
bekas pukulanya.
“Hem” Kebo Sindet bergumam, “aku terpaksa
memukulmu. Kau tidak memuaskan hatiku karena kau tidak mau
bersungguh-sungguh melawan Mahisa Agni. Aneh, kau yang selama ini
mendendamnya, ketika aku memberi kesempatan, kau sama sekali tidak
mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Berpaling
pun tidak. Ia berjalan saja dengan wajah tunduk, seolah-olah ingin
melihat setiap butir batu yang akan dilangkahinya.
“Lain kali kau harus berkelahi lebih
baik” Kebo Sindet menyambung., “Kau berada di atas Mahisa Agni di dalam
segala hal, kecekatan, kekuatan dan kemantapan. Hatimu harus lebih
besar dan lebih gairah daripada Mahisa Agni, lain kali ia harus kau
lumpuhkan sehingga kau menjadi puas. Tetapi jangan kau bunuh, supaya kau
mendapat kepuasan lagi di lain kali”.
Kuda Sempana tidak menjawab, ia duduk
saja di atas amben kayu tua yang kotor. Pandangan matanya yang kosong
menembus mulut sarang iblis itu, hinggap di daunan yang hijau di luar.
“Ini pedangmu” berkata Kebo Sindet sambil memberikan pedang Kuda Sempana.
Kuda Sempana menerima pedangnya dengan
sikap yang acuh tak acuh saja. Kini ia benar-benar telah terbenam dalam
keputus-asaan yang dalam. Hampir-hampir tidak mungkin lagi baginya untuk
bangkit dan melihat dirinya sendiri dan kediriannya. Ia merasa bahwa
kini adanya sama sekali sudah tidak dapat dihayati. Ia merasa ada dalam
ketiadaan.
“Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kau
harus mencoba sekali lagi. Tetapi kau jangan mengecewakan aku”, Kebo
Sindet berhenti sejenak, lalu, “Untuk seterusnya kau akan berlatih dan
berkelahi setiap waktu aku kehendaki. Kalian harus bersama-sama
meningkat, supaya setiap perkelahian yang terjadi akan menjadi lebih
sengit, lebih seru dan menarik”.
Kuda Sempana masih tetap berdiam. Sorot
matanya yang kosong masih saja hinggap di dedaunan di luar. Sinar
matahari yang putih satu-satu jatuh di atas tanah yang lembab.
Di belakang sarang itu Mahisa Agni duduk
terpekur. Sekali-sekali dirabanya punggung yang dijaluri oleh warna
hitam kemerah-merahan. Tetapi ia sudah tidak merasakan lagi,
kadang-kadang masih juga terasa tusukan pedih yang ringan.
“Bukan main” geramnya tetapi aku sudah
tahu, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya sendiri. Ia
kini seolah-olah telah menjadi orang baru. Orang, yang kosong tanpa
kehendak, tujuan dan cita-cita. Seperti anak-anak yang baru mengenal
dunia di sekitarnya sebagai benda-benda asing yang tidak dimengertinya.
Tetapi dengan demikian, maka Empu Sada akan dapat mengisinya dengan
kehidupan baru di dalam dirinya. Sebagai kelenting yang dipenuhi oleh
cairan yang kotor, kini agaknya telah tertumpah sama sekali. Keadaan
telah membuatnya demikian. Mudah-mudahan Empu Sada mampu mengisinya
dengan cairan yang baru, bening.
Mahisa Agni mengangguk-angguk seorang
diri. Namun tiba-tiba ia bangkit dan berguman ”Aku harus segera
mendapat kesempatan itu, menyingkirkan Kebo Sindet”.
Mahisa Agni kini berdiri tegak dengan
dada tengadah. Lenyaplah segala macam keragu-raguan dan kebimbangan yang
selama ini membayangi wajahnya dalam peranannya. Mahisa Agni sama
sekali sudah tidak mengesankan ketakutannya lagi. Tiba-tiba ia menjadi
garang. Tangannya yang selama ini terkulai dengan lemahnya, tiba-tiba
menjadi tegang. Jari-jarinya mengepal dan giginya gemeretak. Terdengar
ia berdesis, “Aku kira sudah tiba waktunya. Aku sudah memenuhi pesan
Empu Sada. Aku kini sudah yakin, bahwa Kuda Sempana sudah kehilangan
nafsunya untuk membalas dendam, bahkan seluruh gairah kehidupan telah
menjauh dari padanya. Mahisa Agni terdiam sejenak. Ditebarkannya
pandangan matanya disekitarnya. Tetapi ia tidak melihat seorang pun,
Kuda Sempana atau Kebo Sindet. Yang ada disampingnya adalah perapian,
periuk tanah dan beberapa macam alat-alat yang selama ini
dipergunakannya untuk memasak.
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam., “Aku sudah cukup lama berada di tempat ini Aku kira sudah
cukup bersabar. Bukan sekedar ingin segera membinasakan Kebo Sindet.
Tetapi yang lebih penting bagiku adalah keluar dari tempat ini dan pergi
ke Padang Karautan”.
Gelora di dada Mahisa Agni menjadi
semakin dahsyat. Darahnya serasa semakin cepat mengalir, tetapi ia tidak
dapat berbuat begitn saja tanpa setahu gurunya dan Empu Sada yang
selama ini ikut serta mengasuhnya. Karena itu, maka timbullah niatnya
untuk segera pergi menemui mereka.
“Mereka pasti masih berada di tempat itu”
katanya didalam hati, “kalau mereka sudah pergi ke luar daerah ini,
maka aku harus menunggu sampai besok. Pada saat menunggu itu perasaanku
akan tersiksa jauh lebih sakit dari pada tubuhku”.
Kini Mahisa Agni tidak perlu ragu-ragu
lagi. Biarlah Kebo Sindet dan Kuda Sempana mencarinya apabila mereka
memerlukan. Ia tidak perlu lagi bermain-main dan mengorbankan tubuh dan
perasaannya.
Maka dengan langkah yang tetap Mahisa
Agni pergi meninggalkan perapian itu untuk menemui gurunya dan Empu
Sada. Ia berhadap bahwa mereka masih belum meninggalkan tempat itu.
Mahisa Agni menarik nafas lega ketika ia
melihat kedua orang itu masih saja duduk di tempatnya, Mereka masih
belum berkisar sejengkal pun. Agaknya mereka sedang asyik bercakap-cakap
sehingga mereka menjadi betah duduk di tempat itu.
“He” sapa Empu Purwa, “begitu cepat kau kembali kemari Agni”.
“Punggungku sudah cukup dijalari oleh jalur-jalur merah biru ini guru” sahut mahisa Agni sambil menunjukkan punggungnya.
“Kenapa?”
“Aku harus berkelahi melawan Kuda
Sempana. Agaknya Kebo Sindet kurang puas melihat perkelahian kami
sehingga ia merasa perlu untuk memukuli kami berdua”.
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Empu Purwa berkata, “Kalian berdua dipukulnya?”
“Ya guru. Meskipun hanya dengan ranting basah sebesar ibu jari, tetapi yang mengayunkannya adalah Kebo Sindet”.
Empu Purwa mengerutkan keningnya.
Kemudian ia bertanya pula, “Apakah daya tahanmu tidak cukup mampu untuk
melawan rasa sakit itu?”
“Ya guru. Agaknya aku berhasil menguasai rasa sakitku”.
“Bagus. Tetapi ingat, bahwa pukulan itu
hanya dilepaskan dengan sebagian kecil saja dari kekuatannya. Meskipun
hanya dengan ranting kecil tetapi apabila dilepaskan dengan seluruh
kekuatannya, maka dalam keadaan yang wajar, seseorang akan rontok
iganya. Kau harus menyadari, bahwa kekuatan tenaga iblis itu memang luar
biasa”.
Mahisa Agni menganggukan kepalanya. Jawabnya “Ya guru. Aku akan mengingat-ingat”.
“Lalu bagaimana dengan Kuda Sempana?” bertanya Empu Sada kemudian.
“Aku melihat perubahan padanya” jawab Mahisa Agni, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya pada Kuda Sempana.
“Ia telah menjadi bayi kembali” guman
Empu Sada, “bayi dalam takaran nalar dan perasaan. Perhitungan dan
angan-angan. Tetapi apabila demikian, ia mempunyai harapan untuk menjadi
baik kembali, meskipun masih harus dilakukan pengawasan yang cukup”.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mungkin sekali Empu”.
“Apakah Kebo Sindet juga memukul Kuda Sempana seperti ia memukulmu?”
“Ya Empu”.
“Kalau begitu aku dapat meyakini pula
seperti kau, bahwa sebenarnya Kuda Sempana telah kehilangan dirinya.
Jantung dan hatinya seakan-akan telah tercuci bersih, sehingga
mudah-mudahan aku dapat mengisinya sebaik-baiknya”.
“Mudah-mudahan Empu” sahut Mahisa Agni.
Namun kemudian ia terdiam. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam. Ia
ingin segera mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia segan
untuk mengatakannya.
Agaknya Empu Purwa dan Empu Sada melihat
keinginan yang tersirat dari dalam dada anak muda itu. Keinginan untuk
melepaskan diri, keinginan untuk segera menyingkirkan orang yang bernama
Kebo Sindet itu supaya untuk seterusnya ia tidak akan dapat mengganggu
lagi.
“Mahisa Agni” berkata Empu Purwa,
“agaknya kau sudah tidak sabar lagi. Baiklah. Aku memperhitungkan, bahwa
kekuatanmu sudah cukup untuk menandingi Kebo Sindet. Bahkan kau
mempunyai beberapa kelebihan dengan kekuasan Aji Pamungkasmu. Tetapi kau
masih harus tetap berhati-hati. Kebo Sindet mempunyai pengalaman yang
jauh lebih banyak dari pada pengalamamnu sendiri”.
Tiba-tiba wajah Mahisa Agni menjadi
cerah, secerah matahari di langit. Ia akan segera dapat mengobati
kejemuannya. Namun ia masih bertanya, “Kapan aku boleh melakukan?”
“Terserah kepadamu Agni”.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Kalau saja ia mendapat kesempatan, maka ia sudah tidak ingin menundanya
lagi. Sekarang. Hari ini.
Terasa darah Mahisa Agni menjadi semakin
hangat. Waktu yang dipergunakan untuk menunggu kesempatan seperti ini
terasa sudah terlampau panjang baginya. Waktunya sudah banyak terbuang
di neraka yang menjemukan ini.
“Tidak” tiba-tiba Mahisa Agni itu
berdesis di dalam hatinya sendiri, “waktuku tidak terbuang. Aku di sini
mendapat ilmu yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya Aku sama sekali
tidak bermimpi bahwa guru bersama-sama dengan Empu Sada akan memberikan
ilmu mereka seluruhnya. Dan aku sekarang sudah mereka lepaskan untuk
berhadapan dengan Kebo Sindet itu sendiri”.
Ketika Mahisa Agni itu sedang
berangan-angan, terdengarlah gurunya berkata, “Bagaimana menurut
pertimbanganmu? Apakah kau akan segera melakukannya?”
“Ya guru, Segera. Sekarang juga”.
Empu Purwa dan Empu Sada tersenyum.
Terdengar gurunya berkata, “Kau terlampau tergesa-gesa. Justru karena
itu Agni, aku nasehatkan padamu, jangan kau lakukan hari ini”.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
tidak tahu maksud gurunya. Semula gurunya menyerahkan semuanya
kepadanya, kapan saja ia kehendaki. Tetapi tiba-tiba gurunya mencegahnya
untuk melakukannya sekarang.
“Kenapa tidak sekarang guru?” bertanya Mahisa Agni.
“Nafsunya untuk berkelahi terlampau besar
Agni. Dengan demikian maka nalarmu sudah tidak bening lagi. Yang ada di
dalam angan-anganmu sekarang adalah barkelahi untuk segera
memenangkannya dan membinasakan lawan. Nah, kalau demikian, maka apakah
bedanya kau dengan Kebo Sindet?”
Kening Mahisa Agni menjadi semakin berkerut-merut.
“Tundalah sampai hatimu bening. Tunggulah
sampai kau tidak lagi dibakar oleh nafsu. Mungkin nanti malam, mungkin
besok pagi setelah kau sempat menenangkan dan mengendapkan hatimu. Kalau
kau masih dikuasai oleh nafsumu yang melonjak-lonjak, maka kau akan
mudah tergelincir ke dalam arus kebencian, dedam dan kehilangan
kewaspadaan. Ingat, jangan dibakar oleh nafsu tanpa kendali dalam segala
persoalan”.
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini
kepalanya tertunduk rendah. Terasa sepercik penyesalan di dalam dadanya.
Ia menjadi malu sendiri, seolah-olah ia telah kehilangan pertimbangan
yang bening. Seperti anak-anak nakal ia menjadi gembira ketika ia
mendapat kesempatan untuk berkelahi.
“Apakah kau dapat mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk lemah, “Ya guru. Aku dapat mengerti”.
“Dengan beberapa kelebihan, kau jangan
mudah dihanyutkan oleh arus darah mudamu. Kau sudah harus menjadi cukup
dewasa, Jadikanlah hal ini peringatan untuk saat-saat mendatang”.
“Ya guru”.
“Bagus” berkata gurunya, “sekarang
pergilah kepada Kebo Sindet. Persiapkan dirimu. Kau akan mendapat
kesempatan itu. Tidak usah hari ini. Pada saatnya aku akan berada di
dekatmu untuk melihat apa yang dapat kau lakukan menghadapi iblis dari
Kemundungan itu. Kau sudah tidak perlu minta ijin lagi kepadaku,
lakukanlah apabila kau merasa bahwa kau telah siap. Tanpa perasaan
dendam dan kebencian yang meluap-luap. Lakukanlah seperti kau sedang
melakukan kuwajiban yang tidak dapat kau hindarkan. Dengan perasaan
wajib, bukan dengan perasaan dendam”.
“Ya guru” berkata Mahisa Agni dengan
nada yang dalam, “aku minta ijin kepada guru dan kepada Empu Sada.
Mudah-mudahan aku berhasil”.
“Berhasil menunaikan kuwajibanmu” sambung gurunya.
“Ya guru”.
“Nah, pergilah” berkata Empu Purwa, “aku
akan keluar dahulu dari sarang iblis ini. Aku memerlukan beberapa ekor
ikan basah. Aku belum makan”.
Empu Sada tersenyum. Tetapi ia berkata
kepada Mahisa Agni, “Jangan kau ikut sertakan Kuda Sempana. Kalau kau
mau memaafkannya, biarkanlah aku kelak yang mengurusnya”.
“Ya Empu”.
“Bukankah kau bersedia?”
“Ya, ya Empu. Aku sama sekali tidak berkeberatan, seperti Empu tidak berkeberatan memberikan ilmu yang dahsyat itu kepadaku”.
“Terima kasih Mahisa Agni. Nah, mudah-mudahan kau berhasil. Aku berdoa seperti gurumu berdoa”.
“Ya Empu”.
Dan gurunya pun kemudian berkata, “Tetapi
kau harus selalu ingat, bahwa akhir dari semua persoalan terletak
ditangan Nya. Ditangan Yang Maha Agung”.
“Ya guru”.
Ketika sepercik awan terbang di langit,
maka Mahisa Agni menengadahkan wajahnya Hatinya berdesir ketika
dikejauhan ia melihat segumpal awan yang kelabu berkisar perlahan-lahan
ke utara. Mendung di kejauhan itu berjalan lambat sekali.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni itu pun
segera minta diri kepada gurunya dan kepada Empu Sada. Ia kini menjadi
lebih tenang. Tidak lagi gelisah dan tergesa-gesa. Meskipun mendung di
langit selalu mengingatkannya kepada Padang Karautan, namun Mahisa Agni
berusaha untuk tidak hangus di bakar oleh nafsunya sendiri yang membara
di dalam dada, “Aku tidak boleh kehilangan akal. Meskipun ilmuku lebih
baik dari Kebo Sindet, tetapi kalau aku kehilangan akal, maka aku akan
diterkamnya dan diseretnya ke dalam rawa-rawa itu”.
Ketika Mahisa Agni sampai di sarang iblis
itu, ia masih belum melihat seorang pun. Agaknya Kebo Sindet dan Kuda
Sempana sedang beristirahat di dalamnya.
“Mungkin mereka sedang tidur” gumam
Mahisa Agni. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi. Ia langsung pergi ke
tempatnya, di samping perapian. Tiba-tiba saja timbullah laparnya.
Karena itu maka kemudian dibuatnya api. Ia kini menanak nasi untuk
dirinya sendiri karena sisa nasi Kebo Sindet telah dilemparkannya dan
ditumpahkannya.
“Nasi hangat dengan ikan kering”
desisnya. Namun tiba-tiba ia bergumam, “Hari ini mungkin adalah hari
terakhirku di sini”. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam
sekali.
Terasa hari itu panjang sekali bagi
Mahisa Agni. Namun dalam kesempatan itu dipenuhilah pesan gurunya.
Mempersiapkan dirinya baik-baik. Lahir dan batin. Karena itulah maka ia
tidak lagi menjadi gelisah, cemas dan berdebar-debar. Meskipun
kadang-kadang juga dadanya berdesir, tetapi bukan karena nafsunya untuk
segera membalas dendam.
Pada sisa-sisa hari yang terakhir itu,
Mahisa Agni masih juga melayani Kebo Sindet seperti biasa. Ia masih juga
menyediakan makan dan minum. Masih juga didorong dan dibanting.
Dimaki-maki dan bahkan disiram dengan air.
“Ternyata aku memang memerlukan persiapan
ini” desis Mahisa Agni di dalam hatinya yang sudah mengendap. Hari ini
dipergunakannya baik-baik untuk mengenal tabiat Kebo Sindet. Kebiasaan
serta sikapnya.
“Memang menarik sekali” katanya di dalam
hati, “meskipun sukar dimengerti, bahwa ada seseorang yang memiliki
sifat dan tabiat seperti itu. Aku hampir tidak dapat membayangkan,
dorongan apakah yang telah membuatnya lain dari watak dan tabiat
orang-orang biasa yang lain”.
Ketika malam datang, maka Mahisa Agni pun
menjadi semakin dalam mempersiapkan dirinya. Diheningkannya hatinya,
supaya ia tidak terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak
dikehendakinya dan apalagi tidak dikehendaki oleh gurunya. Namun dengan
demikian malam itu Mahisa Agni hamper tidak dapat memejamkan matanya
sama sekali. Dan malam itu pun terasa betapa panjangnya. Dadanya
berdesir apabila dilihatnya kilat memancar dilangit. Apalagi ketika ia
menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya langit yang gelap. Mendung.
Namun ketika fajar di timur memerahi
langit, terasa hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Kadang-kadang
timbul juga keragu-raguan di dalam hatinya, apakah kuwajibannya itu akan
dapat diselesaikannya dengan baik.
“Aku mohon kepada Yang Maha Agung, semoga
aku dituntun Nya. Semoga dibenarkan Nya, bahwa manusia semacam Kebo
Sindet memang harus disingkirkan”.
Ketika sinar matahari jatuh di atas wajah
rawa-rawa yang buram, Mahisa Agni sudah sampai pada kesiagaan
tertinggi. Ia tinggal menunggu kesempatan yang terbuka baginya untuk
berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, ia masih juga menyiapkan
makanan dan minuman bagi Kebo Sindet dan Kuda Sempana untuk pagi itu.
Tetapi benar-benar di luar dugaannya
ketika pagi itu ia mendengar Kebo Sindet berkata kepadanya, “Kemarilah
Agni. Marilah kita makan bersama-sama”.
Mahisa Agni justru terdiam beku di
tempatnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud hantu dari Kemundungan
itu, apalagi ketika ia melihat apa yang selama ini belum pernah
dilihatnya, wajah yang beku itu tiba-tiba tersenyum.
“Oh,” Mahisa Agni berdesah di dalam
hatinya, “mengerikan sekali. Seolah-olah aku melihat mayat yang sudah
membeku itu tersenyum kepadaku. Tanpa disadarinya, Mahisa Agni mengusap
matanya seakan-akan ia tidak yakin pada penglihatannya.
Karena Mahisa Agni tidak menjawab, maka
Kebo Sindet itu mengulanginya, “Kemarilah Mahisa Agni. Kau makan pula
bersama dengan kami. Jangan takut”.
Seperti kena pesona yang tidak dapat
dihindarinya Mahisa Agni melangkah maju. Sekilas dilihat wajah Kuda
Sempana yang acuh tidak acuh, bahkan seolah-olah tidak melihatnya
berdiri di situ.
“Duduklah” terdengar suara Kebo Sindet.
Mahisa Agni kemudian duduk bersama mereka di atas sebuah amben kayu tua.
“Marilah kita makan bersama-sama” ajak Kebo Sindet.
Mahisa Agni masih dicengkam oleh
kebimbangannya. Tetapi segera ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya
dikehendaki oleh Kebo Sindet ketika kemudian Kebo Sindet berkata,
“Makanlah. Kalian harus berada dalam keadaan yang baik dan seimbang.
Kuda Sempana dan Mahisa Agni akan merupakan dua kekuatan yang dahsyat.
Kalau kalian berhasil memberi aku kepuasan, maka aku tidak akan
berkeberatan apabila memberikan kesempatan kepada kalian untuk menjadi
kawan yang sebenarnya di dalam perjuanganku. Seperti adikku Wong
Sarimpat”.
Kuda Sempana masih bersikap acuh tidak
acuh saja. Kata-kata itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa atasnya.
Namun bagi Mahisa Agni kata-kata itu menimbulkan pertanyaan di dalam
hati., “Apakah sebenarnya yang sedang diperjuangkan oleh Kebo Sindet?”
Tetapi, akhirnya Mahisa Agni pun mengerti
pula arah pembicarakan itu, berkata Kebo Sindet itu, “Hidup adalah
perjuangan. Perjuangan yang tidak akan mengenal selesai selama kita
masih tetap menyadari hidup kita masing-masing. Itulah sebabnya aku
bekerja dan berjuang terus”.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata Kebo Sindet telah terjerumus ke dalam suatu sikap hidup yang
keliru. Perjuangan selamanya harus mengenal landasan dan arah, mengenal
titik tujuan. Kalau kita berjuang dengan sekuat tenaga, bekerja tidak
mengenal jemu dan lelah, tetapi tanpa tujuan dan arah, maka kita akan
tersesat ke dalam suatu lingkaran tanpa ujung dan pangkal. Bahkan
mungkin kita akan sampai pada suatu jalan hidup yang paling gelap.
Perjuangan yang tanpa dasar, arah dan tujuan ternyata telah menjeret
Kebo Sindet ke dalam tindakan-tindakan yang kasar, ganas dan kejam.
Sebab Kebo Sindet sendiri tidak tahu, apakah yang diperjuangkan dan
apakah dasar perjuangannya.
Tetapi Mahisa Agni tidak mendapat
kesempatan untuk memikirkannya. Begitu mereka mulai makan, maka
terdengar Kebo Sindet itu berkata, “Makanlah sebanyak-banyaknya. Kalian
berdua harus segera berlatih. Aku ingin melihat, apakah ada kemajuan
pada diri kalian musing-masing. Apalagi Mahisa Agni yang barangkali
sudah sempat membentuk dirinya lagi”.
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.
Namun kemudian timbul ingatan didalam hatinya, “Ini adalah kesempatan
yang baik. Aku harus dapat mempergunakan kesempatan ini. Jangan tertunda
lagi. Kalau aku berhasil membuatnya marah maka akan sampailah saatnya
aku berhadapan dengan Kebo Sindet sendiri”.
Dan tiba-tiba saja tumbuhlah seleranya
untuk makan sebanyak-banyaknya. Mungkin ia harus bertempur melawan Kebo
Sindet untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia masih harus berkelahi
sampai malam hari. Kalau kekuatannya berimbang, maka pasti diperlukan
waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
Mahisa Agni tahu benar, bahwa Kebo Sindet
adalah seorang yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Ketahanan
tubuh itulah yang harus diperhitungkannya pula. Kebo Sindet dapat
menahan sakit, menahan lapar dan lelah. Kalau ia tidak mau mati dalam
perkelahian itu, maka ia pun harus dapat mengimbanginya. Harus dapat
menahan sakit, lapar dan lelah, meskipun seandainya ia harus bertempur
sehari semalam, bahkan sepekan sekalipun.
Ternyata cara Mahisa Agni menyuap dirinya
sangat menarik perhatian Kebo Sindet. Sama sekali tidak berkesan di
dalam sikap itu, bahwa Mahisa Agni menjadi cemas dan gelisah. Sikap itu
adalah sikap yang selama ini tidak pernah dilihatnya pada anak muda itu.
Yang biasa dilihatnya adalah kegelisahan, kecemasan dan ketakutan
membayang di wajahnya. Tetapi kini anak itu makan dengan lahapnya tanpa
menghiraukan apa pun juga. Dan ini adalah kelalaian Mahisa Agni. Ia lupa
pada peranan yang masih dilakukannya.
Tetapi untunglah, bahwa kelalaian itu
terjadi disaat-saat terakhir dari permainannya, sehingga karena itu,
maka kelalaian ini tidak akan terlampau banyak mempengaruhinya, justru
ia sudah memutuskan untuk membuat perhitungan hari ini.
Ketika mereka sudah selesai makan, maka
Kebo Sindet itu berkata, “Nah, kalian harus beristirahat sebentar supaya
lambung kalian tidak sakit. Sebentar kemudian aku ingin melihat, apa
yang dapat kalian lakukan”.
Acuh tidak acuh Kuda Sempana berdiri dan
melangkah keluar. Di belakangnya berjalan Mahisa Agni dengan kepala
tunduk. Berbagai macam masalah bergolak di kepalanya. Kadang-kadang
terasa jantungnya berdebar-debar, tetapi kadang-kadang hatinya menjadi
tentram. Meskipun ilmunya sudah tidak kalah menurut penilaian gurunya
dari ilmu Kebo Sindet, masih cukup mcmpunyai perbawa. Umur dan
pengalamannya, serta bubungan mereka selama ini, ternyata berpengaruh
juga atas Mahisa Agni.
Kali ini Mahisa Agni sudah tidak ingat
lagi untuk membersihkan sisa-sisa makan mereka. Membawa mangkuk-mangkuk
kebelakang dan menyisihkan alat-alat makan mereka yang lain. Pikirannya
sama sekali sudah tidak pada permainan yang harus diperankan tetapi ia
sedang mereka-reka kemungkinan yang akan terjadi.
Sikap Mahisa Agni itu memang menumbuhkan
kecurigaan pada Kebo Sindet. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia
ingin melihat sikap-sikap Mahisa Agni selanjutnya.
Mahisa Agni kemudian melihat Kuda Sempana
berdiri saja memandang ke arah wajah rawa-rawa di kejauhan.
Kadang-kadang pandangan matanya dilontarkannya ke sudut yang lain dari
pulau iblis ini. Rerungkutan, pepohonan yang liar, gerumbul-gerumbul dan
rumput-rumput ilalang setinggi tubuhnya. Seakan-akan anak muda itu
ingin melihat, apakah yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan itu.
Ketika Mahisa Agni berpaling, dilihatnya
Kebo Sindet berdiri beberapa langkah di belakangnya. Matanya yang
seolah-olah mati di wajahnya yang beku, memandanginya dan Kuda Sempana
berganti-ganti. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan ia
berkata, “Beristirahatlah sejenak. Kali ini kalian tidak boleh
mengecewakan. Meskipun ilmu kalian sama sekali tidak sepadan dari yang
aku kehendaki, tetapi apabila kalian berkelahi dengan sungguh-sungguh,
aku sudah menjadi puas. Aku tidak akan menyakiti kalian, dan bahkan aku
berjanji untuk meningkatkan ilmu kalian bersama-sama, supaya setiap
perkelahian di antara kalian menjadi semakin seru. Kalian tidak perlu
takut menyakiti lawan. Aku sudah menyediakan berbagai macam obat untuk
menyembuhkannya, meskipun salah seorang dari kalian terpaksa muntah
darah. Apakah kalian mengerti?”
Mahisa Agni mengangguk kosong. Tetapi
Kuda Sempana sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan berpaling pun
tidak. Namun demikian Kebo Sindet pun membiarkannya saja.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam
diri. Kebo Sindet berjalan hilir mudik di halaman sarang hantu itu. Kuda
Sempana masih berdiri diam sambil memandangi hijaunya dedaunan. Tetapi
pandangan matanya sama sekali tidak memancarkan perasaan apapun. Kosong
seperti hatinya yang kosong.
Kediaman itu ternyata membuat Mahisa Agni
menjadi tegang. Seakan-akan ia telah dicengkam oleh waktu yang tidak
terbatas. Hampir-hampir ia tidak sabar lagi, dan langsung membuat
persoalan untuk memulai perlawanannya atas Kebo Sindet.
Tetapi sejenak kemudian ia mendengar Kebo
Sindet berkata, “Nah, aku kira kalian telah cukup lama beristirahat
setelah makan. Sekarang kalian harus mulai. Ingat, jangan mengecewakan
aku”. Lalu kepada Kuda Sempana ia berkata, “Berikan pedangmu”.
Sikap Kuda Sempana benar-benar
membayangkan kekosongan perasaannya. Dan ini agaknya telah menjemukan
Kebo Sindet, sehingga ketika ia menerima pedang dari anak muda itu, ia
membentak, “Jangan seperti orang pikun. Bangunlah dan berkelahilah”.
Kuda Sempana tidak menyahut. Tetapi ia
mengerutkan keningnya ketika ia melihat Kebo Sindet melepas ikat
pinggangnya yang dibuat dari sehelai kulit yang tebal, “Aku tidak
memerlukan ranting atau tongkat lagi” desisnya, lalu, “Ayo, segeralah
bersiap”.
Sekali lagi Kebo Sindet menjadi heran
melihat Mahisa Agni yang segera meloncat maju. Wajahnya sudah tidak
sesuram kemarin. Kini ia melihat kesegaran yang walaupun hanya tipis
menyaput wajah anak muda itu.
“Ternyata dendam yang tersimpan di dalam
dada Mahisa Agni masih jauh lebih panas dari dendam yang mengeram di
hati Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya. Tetapi itu
justru menggembirakannya, selama dendam masih ada di dalam diri kedua
anak-anak muda itu, maka mereka akan menjadi ayam aduan yang
menyenangkan.
“Cepat, bersiaplah” teriak Kebo Sindet.,
“Aku sudah tidak sabar lagi. Aku ingin melihat kesungguhan kalian.
Kalian tidak usah berpikir siapakah yang menang dan kalah. Kalian
berkelahi saja bersungguh-sungguh”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi ia
tahu benar bahwa ikat pinggang yang dibuat dari kulit itu setiap saat
dapat menyentuh tubuhnya. Sentuhan ikat pinggang itu pasti akan terasa
lebih sakit dari sepotong ranting kecil. Karena itu, maka ia tidak akan
dapat menghindar lagi, bahwa ia harus berkelahi melawan Mahisa Agni
bersungguh-sungguh. Kuda Sempana menganggap bahwa lecutan ikat pinggang
Kebo Sindet itu akan terasa jauh lebih sakit dari pukulan Mahisa Agni.
Sakit pada tubuhnya dan sakit di hatinya.
Karena itu maka Kuda Sempana pun segera
bersiap, wajahnya yang kosong masih saja tidak memancarkan perasaan
apapun. Meskipun demikian tampak dalam sikapnya, bahwa ia pun telah
bersiap untuk berkelahi bersungguh-sungguh, sekedar untuk menghindarkan
diri dari ikat pinggang Kebo Sindet.
Agaknya Mahisa Agni dapat mengerti
perasaan itu. Setelah ia melihat dan merasakan beberapa keanehan
sikapnya. Juga pada perkelahian yang kemarin mereka lakukan.
“Kasihan” desis Mahisa Agni di dalam
hatinya. Kini ia sama sekali sudah mencoba untuk melenyapkan segala
macam kebencian dan dendam yang masih tersisa dihatinya. Meskipun yang
mendorongnya terperosok masuk ke dalam sarang iblis ini adalah Kuda
Sempana, namun ternyata Kuda Sempana sendiri telah terseret pula ke
dalam keadaan yang menyiksanya. Keadaan yang seakan-akan telah menutup
hari-hari depannya yang sebenarnya masih panjang.
“Nah, kalian telah bersiap” terdengar
suara Kebo Sindet menggelegar, “ayo, segera mulai. Jangan menunggu aku
mencambuk kulit kalian”.
Selangkah Mahisa Agni maju, dan hampir
bersamaan pula Kuda Sempana pun melangkah pula. Mereka benar-benar tidak
ingin mendapat lecutan sebelum mereka berkelahi. Sebab mereka, terutama
Kuda Sempana, mengetahui benar, bahwa kali ini Kebo Sindet tidak
bermain-main seperti kemarin. Kalau ia menjadi kecewa, maka punggungnya
pasti akan terkelupas.
“Aku menghitung sampai hitungan kelima”
berkata Kebo Sindet yang hampir kehilangan kesabaran pula, “kalau sampai
hitungan kelima kalian belum mulai, maka jangan menyalahkan aku lagi
kalau aku memaksa kalian”.
Dada kedua anak-anak muda itu bergetar,
meskipun dalam nada yang berbeda. Kuda Sempana menjadi berdebar-debar
karena ancaman itu, sedang Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karena
kemungkinan-kemungkinan yang akan diambilnya untuk membuat Kebo Sindet
marah.
Baru sampai pada hitungan ketiga,
ternyata Mahisa Agni sudah mulai dengan serangannya. Serangan yang cepat
dan berbahaya. Tetapi Kuda Sempana yang sudah siap itu pun sama sekali
tidak terperanjat. Serangan itu dengan mudahnya dapat dihindarinya,
bahkan kini dengan sungguh-sungguh ia telah menyerang Mahisa Agni yang
masih belum berjejak kuat-kuat di atas tanah.
“Hem” Mahisa Agni berdesir di dalam hatinya, “agaknya Kuda Sempana tidak dapat berbuat lain”.
Tetapi Mahisa Agni masih ingin berbuat
sesuatu. Karena itu maka ia pun masih juga melayani serangan Kuda
Sempana itu. Ia masih saja melakukan permainannya. Ketika menghindari
serangan Kuda Sempana itu, agaknya dilakukannya dengan sangat
tergesa-gesa sehingga tubuhnya kurang mendapat keseimbangan. Karena itu,
maka tubuh itu pun kemudian berguling di atas tanah untuk kemudian
dengan tergesa-gesa meloncat bangkit. Namun Kuda Sempana yang
benar-benar telah berkelahi bersungguh-sungguh, tidak memberinya
kesempatan. Sebelum Mahisa Agni siap untuk menerima serangannya, Kuda
Sempana telah menerjangnya dengan kekuatan yang penuh.
“Lincah juga anak ini” berkata Mahisa
Agni di dalam hatinya. Ia memang melihat kemajuan pada Kuda Sempana.
Geraknya bertambah cepat, tetapi juga bertambah kasar.
Sekali lagi Mahisa Agni tidak sempat
menghindar dengan sempurna. Dan sekali lagi ia terdorong beberapa
langkah dan jatuh berguling di atas tanah. Namun agaknya ia tidak mau
mendapat serangan terus-menerus. Setelah berguling beberapa kali, maka
ia melontarkan diri agak jauh dari lawannya untuk mendapat kesempatan
mempersiapkan diri.
Ketika kemudian Kuda Sempana menyerangnya
lagi, maka Mahisa Agni itu sudah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Kini dapat menghindar dan bahkan ia pun menyerangnya pula dengan
kakinya. Serangan Mahisa Agni yang mendatar itu mengejutkan Kuda
Sempana, sehingga ia tidak sempat untuk menghindarinya. Yang dapat
dilakukannya adalah membentur serangan itu. Karena itu maka
dikerahkannya segenap kekuatannya untuk melawan serangan Mahisa Agni.
Tetapi tanpa dimengertinya sendiri, maka ia terdorong beberapa langkah
maju. Hampir-hampir ia jatuh terjerembab. Ternyata dengan tiba-tiba dan
tanpa diketahuinya, Mahisa Agni telah menarik serangannya, pada saat ia
membenturkan kekuatannya untuk melawan serangan itu. Pada saat yang
demikian itulah maka serangan Mahisa Agni datang pula menyambarnya. Ia
melihat Mahisa Agni itu menyeringai dengan wajah yang tegang.
Tak ada kesempatan bagi Kuda Sernpana.
Tetapi ia tidak membiarkan tengkuknya dihantam oleh sisi telapak tangan
Mahisa Agni, sehingga tengkuknya itu mungkin akan patah. Karena itu,
maka Kuda Sempana justru menyatuhkan dirinya, berguling sekali untuk
menterlentangkan diri. Pada saat itu ia melihat tubuh Mahisa Agni berada
di atasnya hampir menimpanya, dengan sekuat tenaganya, maka
diayunkannya kakinya menghatam dada Mahisa Agni.
Kuda Sempana sempat melihat Mahisa Agni
itu terlempar. Ia melihat anak muda itu sekali berputar di udara.
Sekejap kemudian ia mendengar tubuh itu terbanting jatuh.
Ketika Kuda Sempana meloncat berdiri ia mendengar suara Kebo Sindet hampir berteriak, “Bagus Kuda Sempana”.
Kuda Sempana kemudian melihat Mahisa Agni
meloncat pula bangkit. Ia melihat Mahisa Agni menjadi semakin tegang.
Sekali dilihatnya anak muda itu mengusap dadanya. Tetapi Kuda Sempana
bahkan Kebo Sindet sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa Mahisa Agni
tersenyum di dalam hati, “Hebat juga Kuda Sempana itu”.
Sementara itu Kuda Sempana telah meloncat
menyerangnya pula. Tata geraknya menjadi semakin cepat dan kasar.
Unsur-unsur gerak yang pernah dipelajarinya dari Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat agaknya berpengaruh pula kepadanya, namun dasar-dasar ilmu yang
diterimanya dari Empu Sada lah yang nampak lebih jelas di dalam setiap
geraknya.
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahisa Agni
untuk bermain-main lebih baik lagi dengan Kuda Sempana. Ia pun pernah
menerima ilmu dan pengetahuan dari Empu Sada. Ia mengenal unsur-unsur
gerak pokok dan bahkan seluruh ilmu yang ada pada Empu Sada seakan-akan
telah dikuasainya. Karena itu, maka meskipun tidak sebaik Empu Sada,
namun Mahisa Agni segera dapat mengenal dan memperhitungkan tata gerak
Kuda Sempana.
Maka ketika Kuda Sempana menyerangnya,
segera Mahisa Agni menghindar dengan lincahnya. Kini ia sepenuhnya
mempergunakan unsur gerak khusus yang diterima dari Empu Sada, sehingga
seakan-akan keduanya yang sedang bertempur itu adalah dua orang saudara
seperguruan.
Beberapa saat Kuda Sempana sama sekali
tidak memperhatikan bagaimana cara Mahisa Agni menghindar dan
menyerangnya. Hanya beberapa kali ia dikejutkan oleh tata gerak
lawannya, yang seakan-akan mampu memotong serangannya sebelum ia
melepaskannya. Bahkan dalam beberapa hal, serangan-serangannya selalu
didahului saja oleh Mahisa Agni dalam kemungkinan yang
diperhitungkannya.
Namun lambat laun, perasaannya tergerak
juga untuk lebih memperhatikan, bagaimana cara lawannya itu menahan dan
menghindari serangannya, bahkan bagaimanakah cara Mahisa Agni menyerang.
Ketika perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin seru, maka dada Kuda Sempana pun menjadi semakin
berdebar-debar. Meskipun lambat, namun ia menjadi semakin jelas ilmu
apakah yang dipergunakan oleh Mahisa Agni itu.
Semula ia menyangka, bahwa hanya
kebetulan saja Mahisa Agni mengenal unsur-unsur gerak yang khusus
dimiliki oleh perguruannya. Mungkin Mahisa Agni pernah melihat ia
mempergunakan, kemudian di waktu-waktu terluangnya di sarang hantu ini,
ia mencoba mempelajarinya bersama ilmunya sendiri. Dihubung-hubungkannya
dan diolahnya menurut kemampuannya. Tetapi lambat laun, dugaan itu pun
meragukannya. Ternyata Mahisa Agni dapat mempergunakan ilmu seperti
ilmunya, tidak hanya sekedar kebetulan. Hampir semua unsur gerak yang
dimengertinya sudah dikuasai pula oleh Mahisa Agni. Bahkan unsur-unsur
yang belum dipahaminya benar-benar, telah dapat dimiliki pula oleh
Mahisa Agni.
“Apakah aku sudah menjadi gila, sehingga
aku tidak dapat melihat perbedaan antara unsur-unsur gerak yang khusus
dari perguruanku dan tata gerak Mahisa Agni?” pertanyaan itu telah
membelit hatinya. Namun ia masih saja menyaksikan keanehan yang tidak
segera dapat dimengertinya.
“Apakah di dalam neraka ini ada hantu yang mengajarinya untuk menirukan tata gerak dari perguruan Empu Sada?”
Bagaimana pun juga namun pertanyaan itu
selalu membelit hatinya disetiap saat. Semakin lama mereka bertempur,
maka penglihatannya menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa Agni telah
mempergunakan di dalam tata geraknya, unsur-unsur gerak yang khusus dari
perguruannya.
Bahkan beberapa kali ia mencoba
mempergunakan ilmu yang paling tinggi yang dimilikinya, dan unsur gerak
yang paling sulit. Tetapi ternyata Mahisa Agni mampu menanggapinya,
bahkan membalas menyerangnya dengan unsur-unsur yang serupa.
“Agaknya aku telah benar-benar menjadi gila” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Kuda Sempana tidak
ingin bertanya sesuatu kepada Mahisa Agni. Akhirnya ia terlempar kembali
ke dalam keadaannya. Acuh tidak acuh. Bahkan ia berkata di dalam
hatinya., “Aku tidak peduli, ilmu apa saja yang akan dipakai oleh Mahisa
Agni. Tugasku saat ini hanya berkelahi sungguh-sungguh. Kalau aku sudah
berkelahi dengan sungguh-sungguh maka aku sudah memenuhi tugasku”.
Tanpa memperhatikan apa pun lagi Kuda
Sempana kemudian berkelahi semakin bersungguh-sungguh. Keringatnya
mengalir seperti diperas dari dalam tubuhnya. Sekali-sekali ia berhasil
melemparkan Mahisa Agni, dan disaat lain ialah yang terlempar jatuh
berguling-guling.
Kebo Sindet menyaksikan perkelahian itu
dengan sepenuh hati. Semula ia tertarik kepada kesungguhan kedua
anak-anak muda yang dijadikannya ayam aduan itu. Keduanya tampaknya
telah bertempur bersungguh-sungguh. Apalagi setelah punggung mereka
basah karena keringat dan kemudian menjadi kotor oleh tanah liat yang
kemerah-merahan. Tandang mereka menjadi semakin garang.
Namun lambat laun, Kebo Sindet yang
memiliki pengalaman dan pengetahuan ilmu tata berkelahi yang cukup masak
itu melihat kejanggalan di dalam perkelahian itu. Ia melihat sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi.
Seperti Kuda Sempana, ia pun semula tidak
memperhatikan unsur-unsur gerak yang mereka pakai di dalam perkelahian
itu. Namun kemudian tampaklah, meskipun perkelahian itu menjadi semakin
cepat dan sengit, tetapi perkelahian itu seolah-olah telah dipersiapkan
dan diatur lebih dahulu. Seolah-olah telah ditentukan pada saat tertentu
siapakah yang harus menyerang, dan siapakah yang menghindar. Dan
disaat-saat yang lain terjadi benturan-benturan yang tidak berbahaya,
disusul dengan gerakan-gerakan yang lebih condong pada pameran kecepatan
bergerak dari pada sebuah perkelahian.
“Aneh” berkata Kebo Sindet di dalam hatinya.
Tetapi mata hantu yang tajam itu segera
melilat, beberapa persamaan dari tata gerak keduanya. Ketika ia
memperhatikan lebih saksama lagi, maka terdengar ia mengumpat, “Setan
iblis. Permainan ini benar-benar gila”.
Namun demikian, Kebo Sindet itu telah
dicengkam oleh keheranan yang luar biasa. Seperti Kuda Sempana ia
bertanya di dalam hati, “Dari mana setan kecil ini sempat mempelajari
ilmu Empu Sada?”
Hampir tanpa berkedip Kebo Sindet itu
menyaksikan bagaimana Mahisa Agni melayani Kuda Sempana dengan ilmu yang
serupa, meskipun tampak bahwa pada keduanya mendapat pengaruh yang
berbeda, namun pada dasarnya, di antara keduanya hampir tidak terdapat
perbedaan-perbedaan.
Semakin lama maka Kebo Sindet itu menjadi
semakin tertarik pada keanehan itu. Bahkan semakin lama ia menjadi
semakin heran. Dengan demikian ia menjadi semakin tajam memperhatikan
setiap gerak dari kedua anak-anak muda itu.
“Tidak mungkin kalau Kuda Sempana memberi
kesempatan kepada Mahisa Agni selama ini untuk memperhatikan ilmunya”
katanya di dalam hati, “dan Mahisa Agni pun tidak akan sempat berbuat
demikian. Ia tidak akan dapat, meskipun hanya sekedar mengintip, pada
saat Kuda Sempana melatih diri. Sedang kesempatan melatih dirinya
sendiri itu pun hampir tidak pernah dilakukan oleh Kuda Sempana”.
Namun lambat laun Kebo Sindet yang
memiliki pengamatan yang tajam itu melihat, bahwa Mahisa Agni tidak
hanya sekedar dapat mempergunakan ilmu yang serupa dengan Kuda Sempana
dan dapat mengimbanginya pula, tetapi Kebo Sindet melihat bahwa Mahisa
Agni dapat melakukan lebih dari pada itu. Lambat laun Kebo Sindet
melihat, bahwa ternyata Mahisa Agni memiliki beberapa kelebihan dari
lawannya. Tetapi jarak antara keduanya tidak segera dapat diketahuinya.
Sementara itu perkelahian antara Kuda
Sempana dan Mahisa Agni menjadi semakin lama semakin seru. Kuda Sempana
akhirnya mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk mencoba
mengalahkan Mahisa Agni. Ia mengharap bahwa dengan demikian, ia tidak
akan mendapat perlakuan yang kasar dari Kebo Sindet. Bukankah dengan
demikian, ia boleh untuk seterusnya tidak perlu bekerja terlampau keras,
sedang Mahisa Agni masih harus selalu berusaha meningkatkan dirinya
agar kemampuan mereka berimbang? Kuda Sempana sama sekali tidak berpikir
lagi tentang hal-hal yang lain. Ia tidak peduli apapun yang nanti akan
diperbuat oleh Kebo Sindet. Tetapi ia ingin dalam waktu yang dekat, ia
mendapat kesempatan untuk tidak berbuat apa-apa. Itu saja. Tidak lebih
dari pada itu.
Tetapi Kuda Sempana menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat Kebo Sindet melangkah mendekati arena
perkelahian itu. Ditangannya masih digenggamnya ikat pinggang kulitnya.
Sekali-sekali dilihatnya Kuda Sempana dan sekali-sekali Mahisa Agni.
“Aku sudah berkelahi bersungguh-sungguh”
pikir Kuda Sempana. Namun pikiran itu telah membuatnya bertanya-tanya
pula, “Kenapa selama ini perkelahian itu seolah-olah tidak menggetarkan
dadanya?” Meskipun perkelahian itu terasa bersungguh-sungguh, tetapi
seakan-akan tubuh-tubuh mereka hampir tidak pernah tersentuh oleh
serangan-serangan lawan. Masing-masing selalu saja dapat menghindari
setiap serangan betapapun cepat dan garangnya.
“Kami telah dapat mengerti apa yang akan
dilakukan oleh masing-masing pihak” berkata Kuda Sempana di dalam
hatinya. Namun kemudian ia mengumpat, “Tetapi Kero Sindet pasti
menyangka kami tidak bersungguh-sungguh”.
Kebo Sindet kini telah berdiri semakin
dekat. Ia memperhatikan tata gerak keduanya dengan lebih saksama lagi.
Setiap loncatan, setiap pukulan dan setiap langkah mereka menghindari
serangan lawan.
Mahisa Agni pun kemudian menjadi
berdebar-debar pula. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet kini melihat ketidak
wajaran di dalam perkelahian itu. Meskipun Mahisa Agni masih tetap
melakukan permainannya, namun ia harus mempersiapkan dirinya lebih baik
lagi. Sebab setiap saat lawannya dapat berganti. Dan bahkan mungkin ia
harus melawan keduanya bersama-sama.
“Ah tidak. Kebo Sindet pasti akan
tersinggung karenanya” katanya di dalam hati. Namun ia tidak mengurangi
kewaspadaannya terhadap iblis dari Kemundungan itu.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Sindet semakin
lama semakin melihat kelebihan Mahisa Agni, betapapun anak muda itu
ingin menyembunyikan. Mungkin Kuda Sempana sendiri yang baru dicengkam
oleh ketegangan tidak segera dapat melihat kelebihan Mahisa Agni yang
semakin lama menjadi semakin nyata bagi Kebo Sindet.
“Aneh sekali” berkata Kebo Sindet di
dalam hatinya, “ternyata Mahisa Agni telah mendapat kemajuan yang baik
selama ia berada di tempat ini. Mungkin karena aku kurang
memperhatikannya sehingga ia mampu membuat ilmunya semakin masak dan
mapan. Tetapi yang tidak dapat aku mengerti, bagaimana ia dapat memiliki
unsur-unsur gerak yang khusus dari perguruan Kuda Sempana”.
Tetapi Kebo Sindet masih belum berbuat
sesuatu. Ia masih ingin meyakinkan dirinya, apakah yang dilihat itu
memang benar-benar demikian. Apakah memang Mahisa Agni bukan saja secara
kebetulan berbuat seperti itu.
“Ia memang banyak mempunyai kesempatan”
berkata Kebo Sindet pula di dalam hatinya, “selama ia berada di tempat
ini seorang diri, ia dapat berlatih terus menerus”.
Tiba-tiba dada Kebo Sindet itu menjadi
berdebar-debar. Ia mempunyai penggraita yang tajam atas persoalan yang
dihadapinya. Dan tiba-tiba hatinya berkata, “Aku agaknya selama ini
telah dikelabui oleh sikap Mahisa Agni. Aku menganggapnya semakin lama
ia menjadi semakin jinak. He, apakah tidak demikian yang sebenarnya?”
Akhirnya Kebo Sindet yakin, bahwa memang
telah terjadi sesuatu di luar kehendaknya, bahkan di luar dugaannya.
Menurut pengamatannya Mahisa Agni yang sedang berkelahi itu sama sekali
bukanlah Mahisa Agni dalam keadaannya sehari-hari. Yang selalu
menundukkan kepalnya dengan wajah yang cemas dan gelisah. Bukan Mahisa
Agni yang ketakutan dan gemetar apabila ia membentaknya.
“Setan” Kebo Sindet itu mengumpat,
“apakah maksudnya anak itu berani menunjukkan kelebihannya kepadaku?
Apakah ia merasa bahwa dengan demikian akan menguntungkannya? Apakah
hanya karena terdorong oleh perkelahian itu sehingga ia sudah tidak
dapat menyembunyikan diri lagi? Tetapi bagaimanapun juga keadaan itu
harus dihentikan, sebelum aku terlambat”.
(bersambung ke jilid 37)
No comments:
Write comments