TETAPI Jajar itu tidak langsung masuk ke dalam. Ia ingin berunding dengan anak-anak gila itu dahulu. Katanya, “Ayo,
siapa diantara kalian yang akan mewakili kawan-kawanmu untuk berbicara
dengan aku? Jangan terlampau banyak supaya aku tidak bingung. Dua orang
saja, tiga dengan adikku.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan
sejenak. Lalu tanpa berjanji mereka menunjuk dua orang yang seakan-akan
telah mereka jadikan pimpinan mereka.
“Mari, kita berbicara. Tetapi jika kalian membocorkan rahasia pembicaraan ini, maka terkutuklah kalian sampai keanak cucu.”
Kedua orang yang ditunjuk oleh kawan-kawannya itu tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak mempunyai anak cucu. Istripun aku tidak mempunyainya.”
“Kalian harus kawin. Sesudah ini, sesudah pekerjaan ini selesai.”
“Oh, apa yang akan kami pergunakan untuk kawin? Perempuan pasti menginginkan sesuatu. Rumah, pakaian, sawah dan tetek bengek.”
“Sesudah pekerjaan kalian selesai, maka kalian pasti akan memilikinya. Memiliki semua yang kalian perlukan itu.”
“Kalau aku mempunyai kekayaan, aku akan berjudi.” sela yang lain.
“Kenapa begitu?” bertanya Jajar itu.
“Hidup seperti yang dilakukan oleh
orang-orang itu, adalah kehidupan yang tidak jujur. Orang mengikat diri
dalam suatu ikatan yang tidak dikehendakinya sendiri.”
“He.“ Jajar itu mengerutkan keningnya.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Kenapa
kau juga tidak kawin saja? Nah, bukankah kau juga sependapat, bahwa
hidup yang demikian itu adalah kehidupan yang menjemukan? Seperti burung
yang memasukkan dirinya sendiri kedalam sangkar? Adalah bohong sama
sekali, bahwa seseorang dapat mendapatkan kesenangan, yang menurut orang
cengeng disebut kebahagiaan di dalam perkawinan.”
“Kau lucu.” desis Jajar itu.
“Tidak. Tidak lucu. Aku berkata
sebenarnya seperti apa yang sebenarnya tersimpan di dalam dada setiap
orang. Kau lihat ketidak jujuran itu? Aku mempunyai kawan yang kawin.
Katanya ia berbahagia. Tetapi apa yang dilakukan? Sambil
bersembunyi-sembunyi ia mencari perempuan lain. Sedang isterinya tidak
tahu sama sekali. Isterinya menganggap suaminya adalah orang yang paling
suci. Begitukah hidup yang baik, yang jujur? Sebaliknya, kawanku yang
lain. Suaminya merasa isterinya yang paling tercinta adalah seorang
perempuan yang bersih seputih kapas. Tetapi apa yang terjadi? Aku
sendiri pernah lima kali diterimanya di dalam rumahnya selagi suaminya
berada di sawah, menunggu air di malam hari. Bertanyalah kepada adikmu,
kepada orang yang lain. Nah bukankah mereka selalu diselimuti oleh
kebohongan dan ketidak jujuran? Katakan ada suami isteri yang bersih.
Tetapi apakah kau yakin, bahwa suami isteri itu tidak selalu menentang
perasaan sendiri?”
Jajar itu mengerutkan keningnya. Ia
memang tidak kawin, tetapi bukan karena alasan-alasan yang diucapkan
oleh anak itu. Ia tidak kawin karena merasa dirinya tidak mampu untuk
kawin. Bukan karena alasan-alasan lain. Bukan karena ia takut untuk
menghadapi kenyataan-kenyataan yang diucapkan oleh anak itu.
“Bagaimana?“ anak muda yang berambut kusut tanpa disisir itu mendesak, “kau sependapat?”
Jajar itu belum menjawab. Ia merasakan
ketidaksamaan dalam hal itu. Tetapi Jajar itu tidak dapat mengucapkan.
Jajar itu tidak dapat menjusun kalimat-kalimat yang baik untuk
mengatakan perasaannya. Ia tidak dapat mengerti apa yang disebut
kejujuran di dalam hal ini. Apakah seseorang yang tidak membiarkan
segala macam keinginan terpenuhi itu tidak jujur? Ia dapat mengerti
tentang laki-laki atau perempuan yang diam-diam telah meninggalkan
kebersihan perkawinannya. Tetapi ia tidak mengerti pendapat anak yang
liar itu bahwa suami isteri yang mengekang diri untuk mempertahankan
nilai-nilai perkawinannya yang putih itupun dianggapnya tidak jujur,
karena menentang perasaan sendiri.
Tetapi akhirnya Jajar itu hanya bergumam, “Kau hanya ingin membenarkan sikapmu.”
Anak itu tertawa pendek, “Kau salah. Aku ingin jujur terhadap diriku sendiri. Aku tidak mau membohongi diriku sendiri. Inilah aku.”
“Bagaimana kau?”
“Aku lakukan apa yang aku ingini. Aku
tidak mau terikat oleh apapun. Aku adalah manusia yang bebas. Manusia
yang tidak menjadi budak peradaban dan segala macam adat dan
peraturan-peraturan yang dibuat manusia sendiri untuk mengikat dirinya
sendiri dan mengajari membohongi diri.”
Jajar itu terdiam sejenak. Sekali lagi ia
mendapatkan kesulitan untuk mengatakan perasaannya. Tetapi perasaannya
sama sekali tidak sesuai dengan pikiran itu.
“Bagaimana?” anak itu masih tertawa. Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kau sependapat?”
Tetapi Jajar itu menjawab, “Aku tidak
tahu. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak hanya sekedar ingin
membenarkan sikapmu yang liar dan tidak terkendali? Kau hanya meminjam
istilah yang dapat menyelamatkan perasaanmu sendiri dari kejaran-kejaran
kegelisahanmu. Kau mencoba untuk menyembunyikan diri dari ketakutan dan
kecemasan tentang hari-harimu yang mendatang, karena kau sekarang hanya
sekedar dikuasai oleh nafsu yang tidak terkendali. Lalu kau menyebutnya
dengan kata-kata yang dapat memberimu ketentraman, yaitu kejujuran.
Begitu? Dengan demikian kau dapat membebaskan dirimu dari jalan dan
pandangan hidup yang berlaku. Dengan bangga kau berkata, “Aku jujur
terhadap diriku. Aku tidak mau membohongi diri sendiri. Aku ingin
berbuat seperti ini, memanjakan nafsu.“ begitu?”
Anak muda itu terperanjat mendengar
jawaban Jajar yang gemuk itu. Ia tidak menyangka bahwa Jajar yang tidak
juga kawin itu beranggapan demikian. Karena itu sejenak justru ia tidak
dapat mengucapkan sesuatu.
“He.“ Jajar itu menghela nafasnya, “kita
telah salah memilih bahan pembicaraan. Aku mempunyai keperluan yang
khusus. Tidak ingin berbicara tentang jalan hidup kita masing-masing.
Ayo kita berbicara.”
“Heh.“ anak muda itu agaknya masih belum puas, “kau
tidak senang melihat aku memilih jalan hidup seperti ini. Tetapi kau
ingin berbuat jauh lebih dahsyat dari apa yang kita lakukan.”
Jajar itu mengerutkan keningnya, tetapi lalu tersenyum. Akalnya ternyata masih dapat menguasai dirinya, “Kita
telah memilih jalan hidup kita masing-masing. Jalan yang berbeda tetapi
mempunyai beberapa persamaan. Aku menginginkan apa yang aku ingini, dan
kau memilih apa yang kau pilih. Tetapi keduanya tidak dibenarkan oleh
ukuran peradapan yang wajar.”
Wajah anak muda itu menegang, tetapi iapun kemudian tertawa pula, “Marilah, kita berbicara. Kita adalah orang-orang yang liar, tetapi jujur terhadap diri sendiri.”
Jajar itupun kemudian melangkah pergi
diikuti oleh adiknya dan kedua anak-anak muda yang akan mewakili
teman-temannya kesudut halaman itu. Tetapi meskipun demikian Jajar itu
masih sempat berpikir, “Seandainya semua orang berbuat demikian, jujur
sejujur-jujurnya terhadap perasaan sendiri tanpa mau mengikatkan diri
kepada ketetapan peradahan yang telah disetujui bersama, apakah yang
kira-kira akan terjadi? Tidak ada ikatan antara seseorang dan orang yang
lain. Tidak ada perkawinan, tida ada keluarga.” Tetapi Jajar itu
kemudian berdesis, “Persetan, aku harus mendapatkan perhiasan tiga
pengadeg. Aku harus menjadi kaya raya. Aku akan kawin dengan perempuan
yang paling cantik.“ Tiba-tiba ia mengerinyitkan keningnya, “Tetapi
bagaimana kalau perempuan yang paling cantik itu tidak jujur. Ia kawin
bukan karena ia mencintai aku, tetapi karena kekayaanku. Lalu seperti
yang dikatakan oleh anak ini, ia menerima orang lain di dalam rumahku.”
“Persetan. Persetan.” Jajar itu menggeretakkan giginya.
Akhirnya mereka berhenti di sudut halaman, ditempat yang terlindung oleh gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh disana-sini.
Dengan hati-hati Jajar itu menceriterakan apa yang ingin dilakukannya besok, sesuai dengan rencananya.
“Kalian jangan gagal.” desis Jajar yang gemuk itu. “Kalau kalian gagal, maka semua rencana akan gagal juga.”
“Percayalah. Terhadap seekor harimau loreng kami tidak takut. Apalagi Kuda Sempana berdua.”
“Tunggulah disekitar halaman rumahku.
Kalau mereka telah masuk, jangan tunggu lebih lama lagi. Pancinglah
mereka dengan segala macam persoalan. Kalau kalian kemudian berkelahi,
bunuh saja keduanya. Mayatnya harus disembunyikan, sampai pihak istana
selesai mengurus penyerahan tebusan itu, kita tidak mempunyai urusan
lagi.”
Kedua anak-anak muda dan adik Jajar yang
gemuk itu mencoba membayangkan apa yang harus mereka lakukan. Mereka
harus bersiaga tanpa diketahui oleh kedua orang yang dimaksud oleh Jajar
yang gemuk itu. Kemudian apa bila mereka telah berada di dalam rumah,
maka mereka harus menyergapnya. Mengepung rumah itu supaya mereka tidak
lolos, dan menyeret mereka ke dalam perkelahian.
“Apakah kalian telah mengerti apa yang akan kalian lakukan?“ Jajar itu bertanya.
Ketiganya mengangguk-anggukkan kepalanya. Adiknya menyahut, “Ya, kami sudah tahu. Dan kami akan melakukan sebaik-baiknya.”
“Hati-hati. Kuda Sempana adalah
seorang bekas Pelajan Dalam istana yang mendapat kepercayaannya.
Kemampuannya berkelahi tidak kalah dengan seorang prajurit, bahkan
seorang prajurit pilihan.”
Adik Jajar itu tertawa pendek, “Aku
sudah tahu, apa yang mampu dilakukan oleh seorang Pelajan Dalam. Aku
tahu pula kemampuan seorang prajurit pilihan sekalipun. Aku sendiri akan
dapat menyelesaikannya.”
“Tetapi kawannya itu.“ potong Jajar yang gemuk.
“Apakah kawan Kuda Sempana itu mempunyai nyawa rangkap tiga?“ sahut anak muda yang lain, “kita
kini telah berempat. Apalagi ditambah dengan beberapa kawan. Betapapun
dahsyat orang itu, tetapi ia tidak akan mampu melawan kami. Mungkin
seorang lawan seorangpun aku mampu membunuhnya. Tetapi supaya kita yakin
bahwa rencana ini tidak gagal, akan membawa kawan lima orang lagi,
sehingga kita berjumlah sembilan orang.”
“Sembilan orang.“ Jajar itu mengulangi, “Kuda
Sempana sendiri memerlukan dua orang untuk dapat membunuhnya segera,
dan kawannya itu akan dibunuh beramai-ramai oleh tujuh orang. Bukankah
begitu.”
“Berlebih-lebihan. Tetapi biarlah hatimu menjadi tenteram.“ potong adiknya, “Kau tahu apa yang dapat lakukan dan yang sering kami lakukan.”
“Ya aku tahu. Kalian terlampau sering berkelahi dan memang mampu untuk melakukannya.”
“Nah, apakah kalian masih mencemaskan nasib kami atau mencemaskan nasib Kuda Sempana dan kawannya?”
“Aku percaya. Sembilan orang. Kalau
kita gagal dengan sembilan orang, maka baiklah kita bersama-sama
membunuh diri. Kita akan menjadi sangat malu.“ berkata Jajar yang gemuk itu.
Ketiga anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang, dari mereka berkata, “Jadi kau yakin?”
“Aku yakin dihari pertama. Besok untuk membunuh Kuda Sempana dan kawannya. Tetapi bagaimana dihari kedua. Lusa?”
“Berapa orang kau butuhkan?”
“Aku belum tahu pasti, siapakah dan
berapakah jumlahnya, orang-orang yang harus datang untuk menyerahkan
tebusan itu. Tetapi besok aku akan minta kepada Permaisuri, bahwa Kuda
Sempana dan kawannya minta supaya mereka menyerahkan uang itu aku
sendiri dan hanya satu dua orang pengawal.”
“Apa Permaisuri dan Akuwu Tunggul Ametung akan menyetujuinya?“ bertanya adiknya.
“Aku akan berusaha. Aku dapat
mengatakan bahwa apabila tidak demikian maka Kuda Sempana dan kawannya
itu tidak bersedia membawa Mahisa Agni, karena mereka bercuriga bahwa
orang-orang Tumapel akan berbuat curang.”
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau memang pintar.“ salah seorang dari mereka bergumam, “Mudah-mudahan Permaisuri cukup bodoh untuk menyetujuinya.”
“Mahisa Agni baginya terlampau berharga.”
“Lalu berapa orang kau perlukan? Tiga, atau lima?”
“Hus.“ Jajar itu berdesis, “jangan
terlampau memandang ringan persoalan ini. Mungkin Permaisuri
menyediakan beberapa orang prajurit untuk mengawasi serah terima itu.”
“Ya, tetapi berapa orang yang kau perlukan? Itu saja. Aku tidak sempat memikirkan segala macam persoalannya.”
“Aku tinggal menyediakan. Sebut saja.
Kalau kau masih perlu mempertimbangkannya, pertimbangkan saja lebih
dahulu didalam kepalamu sebelum kau menyebut jumlahnya.”
“Setan alas.” geram Jajar itu, “kalian memang terlampau malas. Otak kalian akan menjadi tumpul, setumpul lutut kalian itu.”
“Aku tidak sempat.”
“Baiklah. Aku minta kalian datang bersama-sama kawan-kawan kalian sebanyak limabelas orang.”
“He, sebanyak itu? Apakah kita akan
berperang melawan Tumapel? Berapa orang prajurit yang akan ikut kau pada
saat penyerahan itu. Berapa? Ada sepuluh orang atau lebih? Kau menghina
kami. Kalau yang datang hanya lima orang, maka lima orang sudah cukup
untuk melawan mereka dan membinasakan. Seorang menurut katamu akan
menjadi Kuda Sempana didalam kegelapan, dan seorang lagi menjadi
kawannya. Sedang yang seorang menjadi bayangan Mahisa Agni. Tiga orang.
Begitu bukan maksudmu? Dengan demikian maka jumlah yang diperlukan
sebanyak-banyaknya adalah sepuluh orang dengan kau sendiri.”
“Kalian tidak usah ikut berpikir.
Otak kalian sudah terlanjur tumpul. Biarlah aku saja yang memikirkan.
Kau hanya tahu jumlah yang aku perlukan. Kau tidak akan tahu darimana
aku mendapatkan angka itu. Lima belas orang. Apakah kalian bersedia.”
“Setan alas, kaupun setan alas.“ geram salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Nah, bagaimana. Apakah diantara kalian tidak ada sejumlah itu?”
“Hem.” adik Jajar itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Ya, kami sanggupi. Jangankan limabelas seratuspun akan dapat terkumpul dalam malam ini sebelum matahari muncul.”
“Benar begitu?“ bertanya Jajar
itu ragu-ragu. Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Mereka
merasakan keragu-raguan Jajar yang gemuk itu, seolah-olah Jajar itu
kurang mempercayai mereka. Karena itu maka salah seorang dari mereka
berganti bertanya, “Kau tidak percaya? Apakah kau ingin membuktikan?”
“Bukan, bukan karena aku tidak
percaya. Tetapi baiklah. Aku kira kita tidak memerlukan orang begitu
banyak. Lima belas orang saja. Kalau kalian, kurang yakin, kalian dapat
menambah menurut pertimbangan kalian sendiri.”
“Kalau kau bertanya tentang
pertimbangan kami, maka lima orang sudah cukup untuk melawan lima belas
orang prajurit seperti yang kau katakan. Apakah kau tidak percaya?”
“Aku percaya. Tetapi aku memerlukan
keyakinan dan kepastian. Itulah sebabnya, maka lebih baik kita kelebihan
tenaga daripada kita mengalami kegagalan.”
“Lalu apa lagi yang harus kami kerjakan?”
“Tidak ada. Tetapi ingat. Sesudah itu aku akan meninggalkan Tumapel. Kalian sebaiknya ikut aku.”
“Buat apa?”
“Kalian menjadi pelindungku yang baik, dan kalian pun harus menghindari kejaran prajurit-prajurit Tumapel.”
“Mereka tidak mengenal kami. Hanya
kaulah yang pasti dikenal dan dicurigai, meskipun kau berpura-pura
berada dipihak mereka. Tetapi kami tidak. Kalau upah kami sudah kau
berikan, maka terserahlah kepadamu, kemana aku akan pergi. Aku tidak
memperdulikanmu lagi.”
“He? Kalian tidak takut kepada prajurit-prajurit Tumapel?”
“Hanya kaulah yang tahu, bahwa kami
yang menyerang mereka. Meskipun ada satu dua diantara para prajurit itu
yang masih hidup, tetapi mereka tidak mengenal kami. Kalau pihak istana
kemudian tahu, bahwa kami terlihat di dalamnya, maka sumbernya adalah
kau.”
“Setan alas.“ geram Jajar itu, “kalian
sudah mulai mengancam. Tetapi itu mustahil. Aku ingin, aku pun tidak
dicurigai. Aku ingin mendapat kesan bahwa akupun terbunuh diantara
prajurit-prajurit Tumapel yang mati. Dengan demikian tidak akan ada
orang yang mencari aku. Prajurit-prajurit Tumapel mudahkan mengira bahwa
sergapan itu dilakukan oleh oranganya Kuda Sempana.”
“Mudah-mudahan.“ desis adik Jajar yang gemuk itu.
“Nah, sekian saja untuk malam ini
Jangan lupa. Kepung rumahku. Kalian harus bersiaga disekitar rumahku
sejak matahari turun. Jangan menunggu malam. Banyak tempat untuk
bersembunyi. Halaman rumahku cukup rimbun.”
“Aku tahu.“ jawab salah seorang dari mereka, “halaman
rumahmu besar-besar seperti hutan alang-alang. Kau seorang juru taman
diistana, tetapi rumahmu sendiri tidak pernah mendapat perawatan.
Apalagi halaman dan petaman.”
Juru taman itu tersenyum. Katanya, “Sebentar
lagi aku akan meninggalkan rumah yang jelek itu. Sekarang aku akan
masuk kedalam rumah perjudian itu. Jangan lupa persetujuan yang telah
kita buat.”
“Kau akan ikut berjudi?“ bertanya adiknya.
“Ya.”
“Kau akan terlambat bangun besok pagi. Kau akan kehilangan kesempatan bertemu dengan Permaisuri.”
Jajar itu mengerutkan keningnya.
“Lakukanlah dahulu rencana besarmu ini. Jangan tenggelam dalam perjudian, sebelum kau berhasil.”
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kau
pintar juga. Baiklah aku pulang. Tetapi hati-hati, kalau kalian gagal,
kita bersama akan digantung dialun-alun Tumapel, menjadi tontonan
meskipun dihari pertama kalian berhasil membunuh Kuda Sempana dan
kawannya itu.”
“Jangan takut.”
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak dipandanginya ketiga anak muda itu berganti-ganti, seolah-olah
ingin melihat kekuatan yang tersimpan di dalam diri mereka.
Jajar itu terkejut ketika tiba-tiba saja salah seorang dari ketiga anak-anak muda itu bertanya, “Kau masih tetap ragu-ragu?”
“Tidak, tidak. Aku sudah tidak ragu-ragu lagi.”
“Apakah kau ingin membuktikan aku mencabut pohon semboja itu.”
“Tidak, tidak, aku sudah percaya.”
“Atau meloncati atap regol halaman ini?”
“Tidak, tidak. Aku sudah percaya.”
Anak-anak muda itu tertawa. “Baiklah.“ desis salah seorang dari mereka, “akupun percaya bahwa kau juga mampu melakukannya. Sekarang pulanglah, dan tidurlah dengan nyenyak.”
“Baiklah.“ Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu minta diri kepada anak-anak muda itu.
Diperjalanan pulang, Jajar itu
kadang-kadang tersenyum seorang diri. Terbayang kemenangannya yang akan
terjadi besok. Wajah yang beku sebeku mayat itu tidak akan dapat
mengganggunya lagi. Mata yang memancar seperti bara dalam kebekuan wajah
itu tidak akan membuatnya kehilangan akal lagi.
Ketika Jajar itu kemudian berbaring
dipemberingannya, maka senyum itu masih juga membayang diwajahnya.
Sejenak kemudian juru taman yang gemuk itu telah tertidur dibelai oleh
mimpi yang menyenangkan sekali.
Ketika matahari menjenguk dari balik
pebukitan diujung Timur, Jajar itu telah berjalan dengan tergesa-gesa
keistana. Jarak itu terasa terlampau jauh. Ia ingin segera bertemu
dengan Permaisuri dan menipunya. Membohonginya. Tetapi yang akan
dilakukan bukan sekedar menipu dan berbohong, tetapi sesudah menipu dan
bohong, yang akan dilakukan adalah pembunuhan. Pembunuhan yang keji
tanpa memikirkan akibat dan pertanggungan jawab atas perbuatannya itu.
Ketika ia melewati regol-regol halaman
istana, regol luar kemudian regol dalam dan regol petamanan, Jajar itu
sama sekali sudah tidak sempat berpaling kepada para penjaga. Ia
berjalan saja dengan tergesa-gesa seolah-olah regol itu segera akan
ditutup. Para penjaga yang melihatnya saling berpandangan sejenak. Lalu
mereka tersenyum. Para prajurit itu telah mendengar ceritera tentang
juru taman yang mereka sangka telah menjadi gila.
“Tetapi ia tidak berbahaya.” desis salah seorang prajurit.
“E, siapa bilang.” sahut yang lain, “hampir saja ia berkelahi dengan kedua kawannya yang lain.”
“Itulah, ia tidak berbahaya. Ia masih
sempat merasa takut melawan kedua kawannya, seperti kedua kawannya yang
ragu-ragu, sehingga perkelahian itu menjadi urung. Kalau Jajar itu
menjadi benar-benar gila dan berbahaya, maka ia tidak akan terlalu
banyak bicara. Mungkin kedua kawannya itu telah dikelewangnya.”
“Kasian.” desis yang lain, “tetapi apakah kegilaannya itu tidak membahayakan Permaisuri.”
“Tidak. Terhadap Permaisuri ia benar-benar takut. Sekali dua kali ia dipanggil. Ia menundukkan kepalanya hampir mencium tanah.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka memandangi Jajar yang berjalan tergesa gesa itu sampai hilang
dibalik dinding-dinding yang tinggi.
Jajar itu sendiri segera pergi kepetaman. Tetapi ia menjadi kecewa ketika ia belum melihat Permaisuri berada di petaman itu.
“Aku harus menunggu. O, hampir gila
aku dibuatnya. Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan sekali.
Menunggu dan menunggu itulah yang akan membuatku gila.”
Kali ini Jajar yang gemuk itu tidak mau
menunggu dibawah pohon sawo kecik. Ia merasa tersiksa duduk bersandar
pohon yang besar dan rindang itu. Ia ingin melewatkan waktunya dengan
kesibukan, agar ia tidak merasakan kejemuan yang mengoyak dadanya.
Jajar yang gemuk itu segera mengambil
alat-alatnya. Cangkul dan sebuah parang. Dengan nafas terengah-engah ia
mengaduk tanah untuk mencoba menyiangi tanaman. Tetapi karena hatinya
tidak berada dipekerjaannya, maka pekerjaannyapun tidak dapat
dilakukannya dengan baik.
Namun yang dilakukan itu telah mengherankan kedua kawannya yang datang kemudian. Sambil berbisik mereka berkata, “He, ia telah mau bekerja.”
Tetapi mereka menjadi terperanjat. “O,
pohon kembang gambir itu akan mati kalau ia berbuat demikian. Itu sama
sekali tidak menyiangi, tetapi menebas akar-akarnya sampai habis.” desis salah seorang dari mereka.
“Biar sajalah.” berkata yang lain.
Kedua Jajar yang lain itu kemudian sama
sekali tidak menghiraukannya lagi. Merekapun segera bekerja ditempat
yang lain. Disudut-sudut petamanan. Memotong daun-daun yang kuning, dan
mencabut rerumputan liar yang tumbuh disana sini, diantara tanaman
bunga-bungaan yang sedang semarak.
Tetapi ternyata bukan Jajar yang gemuk
itu saja yang gelisah. Ternyata Permaisuripun telah diganggu oleh
kegelisahannya. Ia ingin segera mendengar keterangan Jajar yang gemuk
itu, apakah Kebo Sindet bersedia membawa Mahisa Agni. Kalau Kebo Sindet
itu bersedia, maka berjalanlah rencana Akuwu Tunggul Ametung, meskipun
tidak jujur sepenuhnya. Tetapi terhadap orang-orang seperti itu, Akuwu
Tunggul Ametung memang perlu bertindak untuk mencegah perbuatan yang
serupa dimasa-masa mendatang. Tetapi apabila Kebo Sindet menolak, Akuwu
masih mempunyai waktu untuk menentukan sikapnya.
Karena kegelisahan itulah maka Ken
Dedespun hari ini telah mengejutkan para emban dan emban pemomongnya
yang setia. Meskipun hari masih terlampau pagi, tetapi Ken Dedes telah
bersiap turun ketaman untuk bertemu dengan Jajar yang gemuk itu.
Tetapi keheranan para emban tidak setajam
kedua kawan Jajar yang gemuk itu. Para emban tahu, bahwa Permaisuri
gedang dirisaukan oleh orang-orang yang telah mengambil Mahisa Agni dan
menyembunyikannya. Sedang para juru taman tidak mengerti apa yang
sebenarnya terjadi.
Keheranan mereka memuncak, ketika mereka
melihat Permaisuri turun ketaman jauh lebih cepat dari kebiasaannya.
Kedua Jajar itu tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Apalagi ketika Permaisuri langsung memanggil Jajar yang gemuk
yang dengan gelisahnya mengisi waktunya dengan segala macam pekerjaan
yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang membuat beberapa macam tanaman
menjadi layu.
Ketika Jajar yang gemuk itu menghadap
Permaisurii maka dadanya serasa akan bengkah. Berjijal-jijal persoalan
yang akan dikatakannya bersama-sama. Tetapi justru karena itu, maka
mulutnya masih saja terbungkam.
“Bagaimana juru taman?” bertanya Ken Dedes langsung pada persoalannya, “apakah kau sudah bertemu dengan Kebo Sindet dan mengatakan pesanku kemarin.”
Jajar itu membungkuk dalam-dalam, jawabnya gemetar, “Hamba Tuanku, hamba telah bertemu dan menyampaikan pesan Tuan Puteri kepadanya.”
“Apa katanya?” Ken Dedes hampir tidak sabar lagi menunggu Jajar itu membuka mulutnya.
“Tuanku.” Jajar itu mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah, “hamba telah menyampaikannya dan menyarankannya untuk dapat mengerti maksud Tuan Puteri.”
“Ya, lalu bagaimana jawabnya?”
“Tuan Puteri, ampun, ternyata Kebo
Sindet, kawan Kuda Sempana itu dapat mengerti. Ia dapat menerima pesan
itu dengan beberapa syarat pula.”
“Apakah syarat itu?”
“Tuanku. Ampunkan hamba. Sama sekali bukan maksud hamba untuk melakukannya, tetapi semata-mata atas pesan Kebo Sindet itu.”
“Ya, katakanlah. Katakanlah selengkapnya.”
Jajar yang gemuk itu menelan ludahnya.
Ditenangkannya dadanya yang bergelora. Supaya ia tidak salah lidah, maka
diaturnya kata demi kata sebaik-baiknya di dalam kepalanya.
“Katakanlah Jajar.” Permaisuri ternyata sudah tidak sabar lagi.
“Ampun Tuanku. Kebo Sindet itu
memberikan suatu syarat, seperti juga Tuanku memberikan suatu syarat.
Karena orang-orang Tumapel yang sudah dikenalnya adalah hamba, tetapi
ini sama sekali bukan maksud hamba sendiri Tuanku, maka Kebo Sindet itu
minta hambalah yang membawa uang tebusan itu. Selain itu Tuanku, Kebo
Sindet mengharap, agar tidak terlalu banyak pengawalan. Jika demikian
kepercayaan Kebo Sindet akan turun. Pengawalan prajurit atas
barang-barang itu jangan lebih dari tiga orang termasuk hamba sendiri.
Kemudian setelah itu, barulah kakanda Tuanku, Mahisa Agni akan
ditinggalkan ditempatnya.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Tuntutan
Kebo Sindet itu ternyata cukup berat. Ken Dedes telah mendengar bahwa
Kebo Sindet adalah orang pilih tanding. Orang yang memiliki banyak
kelebihan dari kebanyakan orang. Karena itu, hitungan yang dipesankan
adalah hitungan yang terlampau berbahaya. Dua orang prajurit.
Tetapi Ken Dedes tidak ingin membuat
sesuatu keputusan. Ia akan menyampaikannya saja kepada Akuwu Tunggul
Ametung. Biarlah Akuwu Tunggul Ametunglah yang mengambil keputusan.
Masih ada waktu sehari lagi besok.
Sejenak kemudian Permaisuri itu bertanya lagi, “Apakah Kebo Sindet sudah menentukan tempat penyerahan itu?”
Jajar yang gemuk itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Sudah
Tuanku. Kebo Sindet mohon penyerahan itu dilakukan diujung jalan raja
yang membelah kota ini, Tepat diperbatasan. Diluar gapura kota.”
Ken Dedes menarik nafas. Gapura itu
terletak menjorok agak ketengah-tengah bulak. Adalah sulit bagi Akuwu
Tunggul Ametung untuk menyiapkan pasukan yang tersembunyi. Meskipun
demikian, hal inipun akan diserahkannya kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Hal yang serupa itu, Akuwu pasti lebih memahaminya daripada dirinya.
Tetapi bahwa Kebo Sindet telah sedia
memenuhi syarat yang diberikan oleh Akuwu Tunggul Ametung, dengan
membawa Mahisa Agni sebagai syarat penyerahan itu, telah memberinya
sedikit ketenteraman. Kemungkinan untuk membebaskan kakaknya itu dari
tangan Kebo Sindet menjadi lebih besar. Karena itu, maka kini Permaisuri
menjadi demikian tergesa-tergesa untuk bertemu dengan Akuwu Tunggul
Ametung. Ia tidak ingin bercengkerama di taman. Karena itu, maka segera
ia berdiri dan berkata kepada emban-embannya, “Aku akan kembali keistana.”
Para emban dapat merasakan, betapa
kegelisahan yang sangat telah mencengkam dada Permaisuri itu. Ia
hampir-hampir tidak sempat lagi memikirkan dirinya sendiri. Apalagi
akhir-akhir ini.
Segenap perasaan dan pikirannya terikat kepada persoalan kakaknya Mahisa Agni.
Tetapi ketika Permaisuri itu baru saja melangkah, terdengar Jajar yang gemuk itu bertanya, “Bagaimana Tuanku, apakah Tuanku bersedia?”
Ken Dedes termenung sejenak. Ia tidak dapat memutuskan sendiri. Ia harus bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung lebih dahulu.
“Besok aku beri tahukan itu kepadamu Jajar.”
“Ampun Tuanku. Hamba mendapat pesan,
bahwa hari ini hamba harus mendapat keputusan. Kalau tidak, maka semua
pembicaraan akan dianggap batal.”
Kening Permaisuri itu tampak berkerut. Ia
tidak mau kehilangan kesempatan lagi. Karena itu maka jawabnya tanpa
memikirkan akibatnya, “Ya. Aku terima. Tetapi aku harus
menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Kalau ternyata ada
perubahan, maka aku akan memberitahukan kepadamu.”
“Tetapi hamba harus mendapat kepastian Tuanku.”
Sekali lagi Ken Dedes termangu-mangu Lalu katanya, “Ya, aku setujui.”
Jajar itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia menyembah, “Hamba Tuanku. Hamba tinggal menyampaikan semua pesan dan kesanggupan Tuanku kepada Kebo Sindet itu.”
“Ya, katakanlah. Besok permintaan itu akan dipenuhi.”
“Hamba Tuanku. Besok pada saat
matahari telah terbenam. Hendaklah Tuanku memerintahkan hamba untuk
pergi bersama dua orang prajurit, untuk menyampaikan tebusan itu diluar
gapura kota.”
“Ya.“ sahut Ken Dedes pendek.
Permaisuri itupun kemudian dengan
tergesa-gesa meninggalkan petamanan. Ia segera ingin menghadap Akuwu
Tunggul Ametung untuk menyampaikan hasil pembicaraan itu.
Tetapi alangkah kecewa hati Permaisuri
itu ketika ternyata Akuwu Tunggul Ametung baru berada dipaseban depan.
Dihadap oleh beberapa tetua pemerintahan dan pemimpin prajurit. Karena
itu maka Permaisuri itu masih harus menunggu sampai pembicaraan itu
selesai. Dan dengan demikian maka ia harus berada didalam biliknya dalam
kegelisahan yang sangat.
Sementara itu, Jajar gemuk yang masih
tinggal di taman, hampir-hampir tidak dapat menguasai dirinya.
Hampir-hampir ia benar-benar menjadi gila Ia merasa bahwa sampai saat
ini rencananya berjalan lancar. Permaisuri yang gelisah itu dengan mudah
dapat ditipunya. Kalau benar besok ia mendapat tugas untuk menyampaikan
tebusan itu bersama hanya dua orang prajurit, maka semuanya akan
berlangsung dengan mudahnya. Dua orang prajurit itu akan dibunuhnya
bersama adik dan kawan-kawannya. Mayatnya akan ditinggalkan saja di
gapura kota. Akuwu Tunggul Ametung pasti menyangka, bahwa Kebo Sindet
telah berkhianat. Tetapi Kebo Sindet sendiri malam nanti harus sudah
binasa bersama Kuda Sempana. Kebo Sindet harus sudah mati, sehingga
tidak akan dapat mengganggu penyerahan besok.
Jajar itu tersenyum-senyum sendiri. Kini
ia yakin bahwa ia akan berhasil. Berhasil mendapatkan tebusan tiga
pengadeg perhiasan seorang Permaisuri Akuwu yang kaya raya.
“Heh, nasibku akan segera berubah.” desisnya.
Ketika kemudian dua orang kawannya juru
taman lewat disampingnya, ia sama sekali tidak mau berpaling. Ia merasa
bahwa kedua orang itu sama sekali bukan sepadannya. Keduanya adalah
orang-orang yang bernasib jelek untuk sepanjang hidupnya.
“Aku akan memiliki tanah yang luas, rumah yang besar dan kekayaan yang melimpah-limpah.” ia masih berangan, “hanya
orang-orang yang bodoh yang bertahan pada nasibnya yang jelek. Hanya
penakut yang malas yang sama sekali tidak berani dan tidak mau berbuat
apa-apa, nasibnya akan selalu malang.”
Tiba-tiba, Jajar itu mengerutkan
keningnya. Teringat olehnya usahanya untuk menghindari pertemuan dengan
Kebo Sindet hari ini. Ia harus pulang sebelum waktunya. Kalau ia pulang
terlambat, Kebo Sindet pasti akan menunggunya, atau mengawasi pintu
regol dari kejauhan kemudian mengikutinya, dan mengejutkannya ditengah
jalan.
“Sekarang akulah yang harus menentukan tempat pertemuan.” katanya di dalam hati, “aku
harus pulang jauh sebelum waktunya. Aku akan menunggu kedua orang itu
di rumah. Kalau mereka menunggu aku agak jauh di luar regol halaman ini,
dan menjelang senja aku masih juga belum keluar, mereka pasti akan
mencariku di rumah.”
Jajar itu segera membasahi dirinya. Ia
tidak akan menunggu lebih lama lagi. Semakin cepat akan menjadi semakin
baik. Ia akan pulang, jauh sebelum waktunya, sebelum Kebo Sindet dan
Kuda Sempana menungguinya dari kejauhan.
Tetapi Jajar itu tidak merasa perlu minta
diri kepada kedua kawannya. Kini ia merasa bahwa kedua orang itu sudah
bukan kawannya lagi. Karena itu, ia sama sekali tidak merasa perlu untuk
berbicara dengan mereka.
Sejenak kemudian dengan tergesa-gesa
Jajar itu berjalan meninggalkan taman. Masih jauh dari waktu yang
seharusnya, Matahari baru sampai dipuncak langit. Dan panasnya serasa,
menghunjam diubun-ubun.
Tetapi Jajar itu sama sekali tak
menghiraukannya. Ia melangkah semakin cepat. Dilaluinya jalan-jalan yang
tidak pernah dilewatinya. Nyidat lewat halaman-halaman yang kosong,
disela-sela rumpun-rumpun bambu liar. Kemudian meloncati parit dan
pagar-pagar batu yang terlampau tinggi.
“Aku harus segera sampai ke rumah.” Geramnya, “sebelum
setan alasan itu menyusulku. Kalau mereka tidak tahu, bahwa aku sudah
pulang, maka mereka pasti menungguku sampai hari hampir gelap. Barulah
mereka akan mencariku ke rumah. Sementara itu anak-anak gila itu telah
bersiap menyergapnya dan menyeretnya ke lubang kubur.”
Jajar itu tertawa sendiri. Kakinya masih melangkah dengan cepatnya, melemparkan debu yang putih.
Ketika Jajar itu sampai kerumahnya, maka
ia mendapatkan kebanggaan baru kepada dirinya. Ia bangga bahwa
perhitungannya kali ini ternyata benar. Kebo Sindet masih belum sempat,
menungguinya dijalan-jalan atau dimana saja yang dihendakinya, karena
Kebo Sindet selalu menganggap bahwa Jajar itu pulang pada saat matahari
turun di Barat.
“Ia pasti akan datang ke rumah ini.” desis Jajar yang gemuk itu, “tetapi
nanti setelah matahari turun. Ia kini pasti menunggu aku lebih dahulu,
agak jauh di luar regol. Tetapi aku tidak akan muncul sampai matahari
terbenam. Nah, sekarang orang berwajah mayat itu baru ia tahu, bahwa ia
tidak dapat berbuat sekehendaknya atasku. Hari ini akulah yang
menentukan tempat pertemuan.”
Tetapi meskipun demikian Jajar itu masih
juga diganggu oleh kegelisahan. Kalau Kebo Sindet itu datang terlampau
cepat sebelum anak-anak gila itu ada disekitar rumah ini, maka
rencananya masih juga belum akan berjalan dengan baik.
“Kalau orang-orang itu datang terlampau cepat, aku berusa ha menahannya dengan segala macam cara.“ katanya didalam hati, “mungkin
aku dapat berpura-pura merebus air, atau baru mandi atau baru apa saja.
Tetapi mudah-mudahan mereka datang setelah senja.”
Bagi Jajar yang sedang menunggu senja
itu, terasa matahari berjalan terlampau malas. Waktu yang hanya setapak
demi setapak maju itu terasa jauh lebih lama dari hari-hari biasa.
“Oh.“ Jajar itu mengeluh, “aku hampir mati karena menunggu-nunggu dan menunggu. Kali ini matahari sengaja mempermainkan aku. Setan alas.”
Tetapi betapa terasa lambannya, namun
matahari semakin lama menjadi semakin rendah diujung Barat. Sinarnya
menjadi semakin redup dan memerah seperti darah. Saat-saat yang bagi
Jajar yang gemuk itu sangat mendebarkan. Sebentar lagi ia akan terlibat
dalam suatu tindakan yang berbahaya dan menentukan. Namun taruhannya
cukup besar. Nyawa atau tiga pengadeg perhiasan Permaisuri Akuwu
Tumapel.
“Seberapa kekuatan kedua orang itu.” desisnya, “aku
percaya kepada anak-anak muda itu. Berkelahi adalah pekerjaan mereka
sehari-hari. Mereka bukan sekedar orang-orang liar yang tidak berarti.
Tetapi mereka berguru pula untuk mempelajari ilmu berkelahi. Sembilan
orang akan hadir di sini nanti, untuk membunuh yang dua orang itu.
Meskipun keduanya bernyawa rangkap, tetapi keduanya tidak akan mampu
melepaskan dirinya. Dua orang dari anak-anak muda itu mampu memecah batu
dengan tangannya, sedang adikku mampu mematikan kesadaran seseorang
dengan ketukan-ketukan pada tubuhnya.” Namun bagaimanapun juga, dada Jajar itu menjadi semakin berdebar-debar.
Haripun semakin lama menjadi semakin suram, sejalan dengan dada Jajar yang gemuk itu, yang menjadi semakin berdentangan.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Kuda
Sempana masih berdiri saja seperti patung didalam bayangan dedaunan yang
rimbun agak jauh dari regol istana. Seperti dugaan Jajar yang gemuk,
maka Kebo Sindet selalu mengawasi regol itu. Setiap kali ia melihat
Jajar yang gemuk itu keluar dan memilih jalan, maka ia pun segera
mendahuluinya dan menemuinya ditempat-tempat yang mereka kehendaki.
Tetapi kali ini mereka telah terlampau lama menunggu, namun Jajar yang
gemuk itu belum juga keluar dari halaman istana.
“Waktunya untuk pulang telah lama lampau.“ desis Kebo Sindet.
Kuda Sempana tidak menjawab dan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya.
“Apakah ia dapat melepaskan diri dari pengawasanku?” Kebo Sindet meneruskan.
Tetapi Kuda Sempana masih tetap berdiam diri.
“Orang yang bodoh itu tidak akan
dapat lepas lagi dari tanganku.” geram Kebo Sindet, “mungkin ia akan
mengkhianati aku. Tetapi itu tidak akan dapat terjadi. Aku akan
mengejarnya sampai ke ujung bumi.“ Kebo Sindet berhenti sejenak lalu, “Kalau
ia telah menerima tebusan itu dan berusaha melarikannya, maka ia akan
mengalami nasib yang paling jelek dari mereka yang pernah menjadi
korbanku.”
Kuda Sempana masih tetap dalam kediamannya.
Kebo Sindetpun kemudian terdiam. Ia menyesal bahwa ia terlambat datang. Dan sekali lagi ia menggeram, “Jajar
itu pasti pulang jauh sebelum waktunya, supaya ia sendiri yang dapat
menentukan dimana kita akan bertemu. Baiklah kali ini aku mengalah. Aku
akan datang ke rumahnya, menanyakan keputusan terakhir. Besok adalah
hari yang terakhir menurut ketentuanku. Kalau besok persoalan ini masih
belum selesai, mungkin aku akan mengambil keputusan yang akan sangat
menyakitkan hati bagi Permaisuri yang kikir itu, atau bahkan
mengejutkannya dan menyesalinya.”
Kali ini Kuda Sempana berpaling. Ia tahu
benar, bahwa Kebo Sindet telah kehilangan sisa-sisa kesabarannya. Ia
memelihara Mahisa Agni dengan harapan yang seolah-olah tidak akan dapat
didapatkannya. Karena itu, ia akan merasa tidak berguna lagi untuk
membiarkan Mahisa Agni hidup lebih lama lagi.
Kuda Sempana sendiri tidak tahu,
bagaimanakah tanggapan perasaannya atas persoalan itu. Ia tidak tahu,
apakah ia bergembira apakah kecewa. Yang dapat dirasakannya adalah
jantungnya berdebar semakin cepat.
“Kalau kali ini gagal, maka aku akan berbuat langsung menurut caraku.” Kebo. Sindet masih menggeram. Tetapi wajahnya yang beku masih tetap beku seperti mayat.
“Apakah kau mengira bahwa Jajar itu masih berada di dalam taman?” bertanya Kebo Sindet kemudian.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. “Tidak.” jawabnya pendek.
“Ya, aku sependapat. Jajar itu pasti sudah pulang.” Kebo Sindet berdesis, “mari
kita lihat kerumahnya. Kalau malam ini ia tidak pulang, itu berarti ia
telah berkhianat. Ia telah menerima tebusan itu, tetapi tidak
diserahkannya kepadaku, dan berusaha menghindarkan dirinya.“ Kebo Sindet berhenti sejenak. Lalu katanya, “Seandainya
tidak, biarlah ia hari ini merasa menang karena aku mencarinya
dirumahnya. Biarlah ia merasa menang dengan kemenangannya. Kesenangannya
yang terakhir. Sebab umur Jajar itu pun tinggal sehari besok.
Diserahkan atau tidak diserahkan tebusan itu, Jajar itu besok akan mati.
Kalau ia menerima tebusan dan menyerahkannya kepadaku, ia akan mati
supaya. ia tidak terlampau banyak menuntut. Kalau ia gagal iapun akan
mati pula, karena ia telah menelan waktuku sepekan ini.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Jajar
itupun bernasib jelek. Berhasil atau tidak berhasil, ia akan dibunuh
oleh Kebo Sindet dengan alasan apapun. Tetapi hal itu sudah diduga pula
oleh Kuda Sempana. Setiap orang yang tidak berguna lagi bagi Kebo Sindet
setelah mereka mengadakan hubungan macam apapun, pasti akan dibunuhnya.
Ia menyadari bahwa kelak akan sampai juga saatnya, ia sendiri, Kuda
Sempana akan dibunuh juga oleh Kebo Sindet itu. Tetapi Kuda Sempana
sendiri sama sekali sudah tidak menghiraukannya. Hidup baginya
seolah-olah telah berhenti. Ia memang sudah mati dalam hidupnya.
Sekali lagi Kuda Sempana berpaling ketika ia mendengar Kebo Sindet berkata, “Marilah
kita pergi kerumah Jajar gila itu. Aku ingin melihat ia mengangkat
dadanya atas kemenangannya kali ini, supaya aku besok puas mencekiknya.”
Tetapi Kuda Sempana tidak menjawab. Ia berjalan saja di belakang Kebo Sindet yang melangkah pergi.
Jajar yang gemuk itu, yang menunggu Kebo
Sindet di rumahnya, masih juga selalu dicengkam oleh kegelisahan.
Sekali-sekali ia menjengukkan kepala keluar pintu. Sekali-sekali ia
berjalan hilir mudik di halamannya.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia
melihat disudut halaman rumah seberang, seorang anak muda duduk dibawah
pohon yang rindang. Anak muda itu adalah adiknya.
Jajar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya sinar-sinar merah
dilangit menjadi semakin redup. Bayangan pepohonan menjadi semakin
samar, karena sinar senja yang semakin suram.
“Anak-anak itu sudah ada disekitar halaman rumah ini.“ katanya di dalam hati. Jajar itu kemudian tersenyum sendiri. “Kasihan
Kuda Sempana dan orang yang berwajah mayat itu. Mudah-mudahan nyawanya
tidak menjadi hantu yang selalu menggangguku kelak.”
Jajar itu tertawa sendiri. Lambat, tetapi semakin lama menjadi semakin keras, sehingga suara ketawanya mengejutkannya sendiri.
Ketika Jajar itu sadar akan dirinya, maka
ketawanyapun segera berhenti. Ia masih harus menunggu Kebo Sindet dan
Kuda Sempana. Ia masih harus menyelesaikan pekerjaan yang besar ini.
Kalau ia berhasil malam ini dengan lancar, maka besokpun mudah-mudahan
akan lancar pula. Membinasakan prajurit-prajurit yang mengawalnya untuk
menyerahkan perhiasan sebagai tebusan Mahisa Agni.
“Terpaksa.” gumam Jajar itu, “aku
terpaksa mengorbankan beberapa orang. Malam ini Kebo Sindet dan Kuda
Sempana. Besok malam para prajurit Tumapel dan yang kemudian sekali
pastilah Mahesa Agni sendiri. Kalau Kebo Sindet tidak kembali pada
waktunya, maka orang-orang yang ditugaskannya menunggui Mahisa Agni
pasti akan membunuhnya seperti pesan Kebo Sindet. Atau orang-orang
itupun akan mengkhianatinya. Mereka akan berbuat sendiri, tanpa Kebo
Sindet menghubungi permaisuri untuk mendapatkan tebusan. Tetapi mereka
pasti akan menyesal, sebab begitu mereka dapat berhubungan dengan pihak
istana, begitu mereka akan dimakan oleh ujung senjata.”
Jajar itu kemudian segera masuk
kerumahnya. Tanpa sesadarnya terasa bulu-bulunya meremang. Pembunuhan
yang tidak tanggung-tanggung. Kadang-kadang terbersit juga dikepalanya
pertanyaan, “Apakah korban yang berjatuhan itu seimbang dengan barang-barang yang diingini.”
Jajar itu berdesah. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menggeretakkan giginya. “Persetan
korban korban yang berjatuhan itu. Bukan salahku. Aku hanya mengingini
barang-barang itu. Mereka hanyalah sekedar korban akibat keadaan yang
telah melibatkan mereka kedalam persoalan ini.”
Tetapi Jajar itupun tidak dapat duduk
dengan tenang menunggu tamu-tamunya. Ia selalu saja gelisah dan cemas.
Kadang-kadang ia mencemaskan dirinya sendiri, tetapi kemudian ia
mencemaskan kedua orang yang ditunggu-tungguinya. “Jangan-jangan mereka tidak mau datang kerumah ini.”
Jajar itu hampir terlonjak ketika ia
mendengar pintu rumahnya yang belum tertutup rapat diketuk orang. Dengan
tangkasnya ia meloncat kepintu dan ditariknya pintu leregannya
kuat-kuat sehingga daun pintunya hampir-hampir meloncat lepas dari
bingkainya.
“Setan alas.” Jajar itu mengumpat ketika yang dilihat berdiri dimuka pintu itu adalah adiknya, “kenapa kau.”
“Aku ingin memberitahukan bahwa kawan-kawan telah siap berada di sekitar halaman rumah ini.”
“Ya, ya aku sudah menyangka. Ketika kau duduk disekitar halaman depan.”
“ Aku menunggu mereka saat itu.”
“Jadi mereka baru saja datang.
“Ya baru saja.
“Gila.”
“Kenapa.”
“Kalian terlambat.”
“He.” adiknya terkejut, “aku disini sejak sore. Aku belum melihat seorangpun datang kerumah ini.”
“Memang, memang belum. Tetapi kalian
ternyata datang terlampau lambat. Seandainya mereka datang beberapa saat
yang lampau, maka semua rencana akan gagal.”
“Oh.“ adik Jajar yang gemuk itu menarik nafas, “seandainya.
Hanya seandainya. Kau terlampau gelisah dan kecemasan. Jangan takut,
kita akan menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik. Orang-orang itu
hanya orang-orang yang besar mulutnya saja.”
“Jangan kau anggap bahwa kau sekarang sedang bermain-main.”
“Baiklah. Aku akan menganggap bahwa aku tidak sedang bermain-main. Aku akan menunggu bersama kawanku.”
“Pergilah supaya kau tidak mengganggu.”
Adik Jajar yang gemuk itu segera meninggalkan pintu rumah kakaknya hilang di dalam kegelapan.
Jajar itu kini duduk lagi didalam
kegelisahannya. Semakin lama ia menjadi semakin ragu-ragu, apakah Kebo
Sindet dan Kuda Sempana akan benar-benar datang kerumah ini?
Tetapi ternyata Jajar itu tidak perlu
menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi ia meloncat kepintu ketika ia
mendengar suara ketukan pada pintunya yang masih sedikit terbuka. Sekali
lagi ia menarik pintu leregnya sehingga berderak-derak.
“Selamat malam Ki Sanak.“ terdengar suara berat dimuka pintu.
Suara itu membuat dada Jajar itu berdesir. Terasa pengaruh yang aneh menjalari urat darahnya.
“Apakah kau sudah tidur?“ suara itu terasa semakin memberat dipendengaran Jajar yang gemuk dan bermata sipit itu.
“Tidak, tidak. Eh, maksudku belum.“ Jajar itu tiba-tiba menjadi tergagap.
“Kalau belum kau pasti sudah kantuk sekali. Begitu?”
“Juga belum.“ perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya, “aku kira aku memang sedang menunggu kalian.”
“Terima kasih.“ sahut Kebo Sindet, “apakah aku datang terlampau lambat?”
“Ya, kau datang terlampau lambat.”
“Bukankah kemarin aku tidak menyebutkan waktu dan tempat. Aku akan menemui dimana saja dan kapan saja.”
Jajar itu tertegun sejenak. Tetapi kemudian ia tersenyum dan berkata, “Kau terpaksa datang kepadaku.”
“Ya, aku terpaksa datang kepadamu. Tetapi aku memang menghendaki demikian.”
“Bohong, kau memang tidak dapat berbuat sekehendakmu atasku. Kali ini akulah yang menentukan tempat dan waktu.”
Kebo Sindet yang berwajah beku itu sama sekali tidak menunjukkan sikap apapun. Tetapi ia menjawab, “Aku
ingin mendengar keputusan terakhir dari Permaisuri. Nah, katakanlah.
Kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Besok semuanya harus sudah
selesai. Aku tidak memerlukan tawar menawar lagi. Jawab yang harus aku
dengar adalah, Ya atau tidak.”
Jajar itu tidak segera menjawab. Dadanya
terasa berdebaran. Tetapi ketika diingatnya, bahwa disekeliling halaman
rumahnya telah dikerumuni oleh anak-anak muda kawan-kawan adiknya, maka
hatinya menjadi mekar. Bahkan ia kemudian mengangkat dadanya sambil
menengadahkan wajahnya.
Katanya, “Kebo Sindet. Apakah benar-benar kau tidak menginginkan tawar menawar lagi?”
“Tidak.” jawab Kebo Sindet pendek.
“Sama sekali?”
“Sama sekali.”
Jajar yang gemuk itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini sikapnya menjadi berubah. Ia mengharap bahwa anak-anak
muda itu telah berada dekat dengan rumahnya, untuk sebentar lagi berbuat
sesuatu memancing persoalan dengan Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Betapa
dada Jajar itu berdesir apabila dilihatnya wajah yang beku, tetapi
dengan sepasang mata yang membara, namun adiknya dan kawan-kawannya
telah memberinya harapan.
“Bagaimana Ki Sanak. Apakah yang dikatakan oleh Permaisuri itu?”
Jajar itu tersenyum. Jawabnya, “Bagaimana
aku harus mengatakannya? Kau hanya ingin mendengar jawaban, Ya atau
tidak. Padahal ia sama sekali tidak berkata demikian.”
Tetapi mau tidak mau dada Jajar itupun
menjadi berdebar-debar. Ia tidak melihat perubahan sikap dan wajah pada
kedua orang tamu-tamunya. Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Kedua wajah itu
seolah-seolah tehah mati membeku.
“Begitu?” terdengar suara Kebo Sindet datar.
“Ya.” jawaban itu meloncat begitu saja dari mulutnya.
Kebo Sindet sejenak berdiam diri. Jajar itu melihat ia memiringkan kepalanya. Dan wajah yang beku itu mengangguki.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu Jajar itu
meremang. Wajah yang beku itu masih membeku. Tetapi dari padanya
terpancar sesuatu yang mengerikan, sehingga tanpa sesadarnya Jajar itu
meraba kerisnya yang kecil yang disembunyikannya di bawah kain
panjangnya.
Dada Jajar itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Kebo Sindet berpaling kepada Kuda Sempana dan berkata, “Kuda
Sempana. Rupa-rupanya persoalan kita dengan juru taman ini sudah
selesai. Aku tidak perlu menunggu sampai besok untuk menentukan sikap.
Sejak saat ini aku dan Jajar yang gila ini sudah tidak mempunyai ikatan
apa-apa. Bukankah begitu?”
Jajar itu mencoba menenangkan hatinya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Bukan
maksudku. Kaulah yang tidak mau mendengar pesan Permaisuri itu
kepadaku. Kau hanya ingin mendengar jawab, Ya atau tidak. Padahal
Permaisuri tidak berkata demikian”
Tetapi Kebo Sindet menggelengkan kepalanya, “Bukan
itu. Aku dapat mengerti kalau kau memang berbuat dengan jujur. Bahwa
kau hanya dapat menyampaikan pesanku dan pesan Permaisuri yang kikir
itu. Tetapi bukan soal itu. Ada soal lain yang memaksa aku mengambil
keputusan, bahwa hubungan kita kita putuskan sampai disini saja. Kini
sudah tidak ada ikatan apapun lagi diantara kau dan aku.”
Jajar yang sedang berdebar-debar itu
dengan sekuat tenaganya mencoba menenangkan hatinya. Setiap kali
dibesarkannya hatinya dengan rencananya yang matang. Setiap kali ia
mencoba berkata di dalam hatinya, “Anak-anak itu telah siap untuk berbuat.”
Tetapi yang meloncat dari mulutnya adalah
suara tertawanya. Suara tertawa yang dipaksakannya. Diantara derai
suara tertawanya ia berkata tersendat-sendat. “Kebo Sindet. Bukan
aku yang mengundang kau kemari. Bukan aku yang minta kita saling
berhubungan dalam soal ini. Kaulah yang datang sendiri. Sekarang kau
ingin memutuskan hubungan ini, kenapa aku berkeberatan?”
“Sikapmu lain dengan sikapmu kemarin.”
“Itu adalah perkembangan persoalan
yang terjadi di dalam diriku. Aku yang sekarang telah maju satu hari
dari yang kemarin. Persoalan-persoalan di dalam dirikupun telah maju
pula satu hari. Yang satu hari inilah memang yang telah merubah segenap
sikap dan rencanaku.”
“Dan karena itulah maka kau mengundang kelinci-kelinci untuk membunuh dirinya.”
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan
hati Jajar yang gemuk itu. Terasa dentang jantungnya menjadi semakin
keras dan darahnya menjadi semakin deras mengalir. Wajahnya menjadi
merah seperti soga. Dengan gemetar ia bertanya, “Apa maksudmu?”
“Aku mendengar desah nafas yang
memburu disekitar rumah ini. Ayo, jangan berdiri dimuka pintu. Masuklah.
Mungkin kalian ingin berkenalan dengan Kebo Sindet.”
Dada Jajar itu menjadi semakin
berdebaran. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang ini mempunyai
pendengaran yang sedemikian tajamnya. Ia sendiri, yang mengerti bahwa
ada anak-anak muda disekitar rumahnya, sama sekali tidak mendengar suara
apapun. Tetapi Kebo Sindet telah mendengar bahwa ada beberapa orang
disekeliling rumahnya.
Dengan demikian Jajar yang gemuk itu
justru terdiam untuk sesaat. Ia menjadi seolah-seolah membeku
ditempatnya. Dentang jantungnya terasa akan memecahkan dadanya.
“Ayo Ki Sanak yang baik. Panggillah
orang-orang yang sedang mengintip diluar dinding. Barangkali semakin
dekat akan semakin baik bagi mereka. Mereka dapat melihat dengan jelas,
siapakah Kebo Sindet yang telah menyembunyikan Mahisa Agni. Apakah
mereka, yang sedang bersembunyi disekitar rumah ini prajurit-prajurit
Tumapel atau siapa saja bagiku tidak akan ada bedanya.”
Jajar yang gemuk itu masih mematung.
Bahkan matanya seolah-olah tidak berkedip. Dengan sekuat tenaganya ia
berjuang untuk menguasai perasaan sendiri.
Dalam pada itu yang terdengar adalah suara tertawa diluar pintu. Hanya perlahan-lahan saja, tetapi sangat menyakitkan hati.
Kebo Sindet dan Kuda Sempana serentak
berpaling. Suara tertawa itu benar-benar telah menyinggung perasaan
mereka. Apalagi Kebo Sindet yang berhati batu itu.
Lamat-lamat mereka melihat sebuah bayangan berdiri diluar pintu. Seorang anak muda yang bertolak pinggang.
“Inikah orang yang bernama Kebo Sindet dan Kuda Sempana.“ desisnya.
Mata Kebo Sindet yang tajam itu segera
melihat orang yang tertawa itu. Melihat segala lekuk didalam tubuhnya,
dan lebih dari itu ia dapat melihat bahwa anak muda itu adalah anak muda
yang kasar dan bengis.
“Siapa kau?“ bertanya Kebo Sindet dengan nada datar.
Anak muda, salah seorang dari
pemimpin-pemimpin anak-anak muda yang liar itu melangkah maju. Kini ia
berdiri tepat di muka pintu sehingga bentuk wajahnya menjadi semakin
jelas.
“Ternyata kalian bukan prajurit-prajurit Tumapel.” desis Kebo Sindet.
“Ya, kami memang bukan
prajurit-prajurit Tumapel. Kami adalah anak-anak muda yang mengagumi
nama Kebo Sindet. Kali ini kami ingin melihat orangnya dari dekat
bersama Kuda Sempana.”
“Marilah.“ jawab Kebo Sindet, “…… kalau kau ingin melihat Kebo Sindet dari dekat. Mendekatlah jangan takut. Aku tidak akan segera menggigit.”
Anak muda yang berdiri dimuka pintu itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian sekali lagi terdengar suara
tertawanya yang menyakitkan hati, “Aku kira kau memang tidak akan dapat menggigit. Aku kira gigimu tidak cukup tajam untuk membuat luka pada kulit kami.”
Kuda Sempana yang acuh tak acuh itu
tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Dipandanginya anak muda yang masih
berdiri dimuka pintu itu. Tersirat pada wajah itu sifat-sifatnya yang
kasar dan liar. Ketika kemudian ia memandang wajah Kebo Sindet, maka
Kuda Sempana itu mengerutkan keningnya. Ternyata wajah Kebo Sindet masih
juga membeku.
Tetapi kebekuan wajah Kebo Sindet itu
telah membuat hati Jajar yang gemuk menjadi semakin berdebar-debar.
Wajah itu benar-benar tidak melontarkan kesan apapun meskipun ia telah
melihat seseorang berdiri di muka pintu. Bahkan wajah itu seolah-olah
acuh tak acuh saja atas apa yang dihadapinya.
Ketika debar jantung Jajar itu menjadi
semakin keras, kegelisahan yang semakin memuncak justru karena kediaman
Kebo Sindet, maka untuk melepaskan diri dari ketegangan didalam dirinya
itu, maka Jajar yang gemuk itupun berteriak. “He, Kebo Sindet
nasibmu ternyata tidak sebaik yang kau sangka. Kau mengira bahwa kau
dapat berbuat sekehendak hatimu atasku? Kau salah. Aku ternyata
mempunyai rencana sendiri. Aku telah menentukan bahwa tebusan itu harus
jatuh ditanganku. Kalau kau menolakberbicara tentang hal itu selain
jawab, Ya atau tidak, maka kau pasti akan menyesal. Sebab aku telah
mengambil alih semua persoalan. Besok seseorang akan menamakan dirinya
Kebo Sindet dan menerima tebusan itu sepenuhnya. Seorang yang lain di
dalam gelap malam akan menjadi Mahisa Agni. Perjanjian dengan Permaisuri
telah siap. Tebusan itu diberikan dan Kebo Sindet akan membawa Mahisa
Agni untuk diserahkan. Tetapi orang-orang Tumapel itu tidak akan sempat
menyadari apa yang terjadi, sebab mereka akan binasa seperti kau berdua
malam ini. Kau dan Kuda Sempana terpaksa aku bunuh bersama-sama. Supaya
akulah kelak yang akan menerima tebusan itu.”
Tetapi dada Jajar itu menjadi semakin
tegang. Ia tidak melihat Kebo Sindet menjadi terkejut atau marah atau
apapun. Wajahnya masih saja sebeku wajah mayat. Tetapi matanya menjadi
seolah-olah berbahaya. Itulah satu-satunya perubahan yang menyatakan
perasaannya. Tetapi kesan yang didapatnya terlampau sulit.
Tanpa disangka-sangka, maka Kebo Sindet itupun berkata perlahan-lahan, “Tetapi
bagaimana dengan nasib Mahisa Agni sendiri? Ia akan binasa ditempat
persembunyiannya. Kalau aku tidak kembali pada saatnya, maka
orang-orangku akan membunuhnya.”
“Itu bukan urusanku?” teriak
Jajar itu untuk mengetahui detak jantungnya. Tetapi dengan pertanyaan
itu, maka Jajar yang gemuk itu melihat sesuatu yang membuatnya sedikit
berbesar hati. Masih dengan suara lantang ia meneruskan, “Nah, kau
mulai merasa takut. Kau akan menipu kami dengan licik. Tetapi Mahisa
Agni itu sama sekali tidak akan mempengaruhi keputusanku untuk
membunuhmu sebab sebenarnya kami tidak ada sangkut paut apa-apa dengan
anak itu. Matilah kalau Mahisa Agni akan mati.”
Mata Kebo Sindet yang menyala itu seolah-olah menjadi semakin membara. Tiba-tiba orang itu menggeram, “Ternyata kau lebih jahat dari setiap penjahat yang aku kenal.”
“Apakah kau sendiri tidak sedang merencanakan kejahatan?“ jawab Jajar yang gemuk itu.
“Ya, aku memang sedang merencanakan kejahatan. Tetapi tidak dengan licik dan pengecut.”
“Setiap rencana kejahatan adalah
licik dan pengecut. Sebab rencana itu pasti disembunyikan dan tidak
beradu dada, seperti kau menyembunyikan Mahisa Agni.”
Kebo Sindet terdiam. Ia masih belum
bergeser dari tempatnya. Tetapi matanya yang tajam melihat beberapa
bayangan bergerak didalam kegelapan.
“Aku kira aku sudah tidak dapat menghiadar lagi.“ desisnya.
Jajar itu tertawa. Hampir berbareng anak muda yang berdiri didepan pintu itupun tertawa pula. “Memang.“ desis anak muda itu, “kau sudah tidak akan dapat menghindar lagi.”
“Baik.” jawab Kebo Sindet. Wajahnya masih tetap dalam kebekuannya. Dan itu sangat menyakitkan hati, “aku akan melayani kalian. Berapa orang semuanya?”
Anak muda yang berdiri didekat pintu
mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Kebo Sindet kemudian melangkah
dengan tenangnya perlahan-lahan dengan acuh tak acuh kehalaman rumah itu
sambil berkata, “Disini kita akan bermain-main.”
Perbuatan Kebo Sindet itu ternyata telah
rnencengkam perasaan mereka. Jajar yang gemuk, anak-anak muda yang ganas
dan liar, seolah-olah mereka melihat seorang Senopati yang berwibawa
lewat dihadapan mereka. Karena itu maka sejenak mereka berdiri saja
mematung sambil memandangi langkah satu-satu Kebo Sindet, diikuti oleh
Kuda Sempana yang tidak kalah tenangnya. Anak muda itupun agaknya acuh
tak acuh saja, meskipun sekali-sekali ia berpaling dan mencoba melihat
berapa orang yang sudah menunggu mereka di halaman. Tetapi Kuda Sempana
tidak berhasil menghitungnya. Ia hanya dapat melihat bayangan-bayangan
hitam yang bergerak-gerak disisi pepohonan atau dibelakang
gerumbul-gerumbul liar yang bertebaran dihalaman yang gelap dan kotor
itu.
Baru ketika Kebo Sindet telah berada
ditengah-tengah halaman itu, Jajar yang gemuk dan anak-anak muda itu
menyadari keadaannya. Karena itu dengan serta merta mereka berloncatan
mengepungnya. Ketika satu dua orang sudah mulai bergerak, maka yang
lain-lainpun segera mengikutinya dengan tanpa mendapat perintah.
“Marilah anak-anak.“ terdengar nada suara Kebo Sindet yang berat, “aku
memang sudah menyangka, bahwa juru taman itu akan berkhianat. Nah,
sekarang kalian telah mengambil sikap. Bukan salahkulah apabila aku
memutuskan segenap hubungan yang telah kita buat, dan membatalkan semua
pembicaraan.”
Jajar yang gemuk itu masih dicengkam oleh perasaan aneh didalam dirinya. Tetapi ia memaksa mulutnya untuk menjawab, “Jangan banyak bicara. Bersedialah untuk mati. Kau sudah terlampau banyak membuat dosa.”
“Dan agaknya kau baru mulai, Jajar yang gemuk. Tetapi sayang bahwa permulaan ini akan merupakan akhir dari segala kebodohanmu.”
Jajar itu tidak segera menjawab. Tetapi adiknyalah yang menyahut, “O,
kau salah hitung Kebo Sindet yang perkasa. Mungkin kau menganggap kami
seperti anak-anak nakal yang tidak tahu betapa tajamnya taring harimau.
Tetapi kau salah. Satu-satu dari kami pasti akan dapat mematahkan
taring-taring harimau yang betapapun buasnya, apalagi mematahkan lehermu
dan leher Kuda Sempana itu.”
Kebo Sindet tidak menyahut. Dipandanginya
bayangan yang bergerak-gerak disekitarnya. Ia sempat menghitungnya,
meskipun tidak tepat benar. “Delapan sampai sepuluh orang.“ desisnya.
“Sembilan orang.“ salah seorang dari anak-anak muda itu berkata lantang, “apakah kau menggigil mendengar jumlah itu.”
Acuh tak acuh Kebo Sindet berkata, “Latihan yang menarik.”
Kemudian ia berpaling kepada Kuda Sempana. Dipandanginya anak muda yang
berdiri mematung itu, Kebo Sindet tidak ingin Kuda Sempana itu mendapat
cidera. Mungkin ia misih memerlukannya untuk beberapa lama. Karena itu
maka katanya, “Kuda Sempana, hati-hatilah. Marilah kita bermain bersama, berpasangan.”
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. Ia
sendiri tidak mempunyai nafsu apapun dalam menghadapi anak-anak liar
itu. Tetapi naluri untuk mempertahankan hidupnya masih mengalir di dalam
tubuhnya, sehingga karena itulah maka iapun segera menempatkan dirinya
dibelakang Kebo Sindet.
“Bagus.” desis Kebo Sindet, “cobalah
pertahankan dirimu. Aku yakin bahwa dengan ilmu yang kau miliki,
ditambah dengan beberapa unsur dari Kemundungan, kau akan mampu melayani
anak-anak yang bodoh itu.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tatapi ia
sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Ia ternyata masih memilik
keinginan untuk tetap hidup, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa
sebenarnya ia mempertahankan hidupnya.
Jajar yang gemuk, adiknya dan anak-anak
muda yang liar itu kini sudah mengepungnya rapat-rapat. Sembilan orang.
Salah seorang dari meraka berkata disela-sela nada suara tertawanya yang
menyakitkan hati, “He, apakah kau benar-benar akan melawan?
Sebaliknya kalian berdua menyerah saja. Kami akan berbaik hati, membunuh
kalian dengan cara yang kalian kehendaki, Tetapi apabila kalian melawan
maka kami akan dapat berbuat apa saja atas kalian.”
Kebo Sindet yang berwajah beku itu menjawab dengan suara yang seolah-olah bergulung di dalam perutnya, “Aku
pernah membunuh orang dengan cara yang menyenangkan sekali. Apakah
kalian ingin mencoba atasku? Aku adalah pembunuh yang telah
mempergunakan segala macam cara untuk membunuh korbanku. Aku kira aku
mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak daripada kalian. Nah,
barangkali kalian ingin mendapat satu dua contoh dari antara kalian.”
“Setan alas.“ Jajar yang gemuk itu mengeram, “sudah
tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Masih juga kau dapat menyombongkan
diri, Kebo Sindet. Apakah kau sedang mencoba mengatasi ketakutan yang
mencengkam dadamu dengah segala macam bualan yang tidak berarti itu.”
“Mungkin.“ suara Kebo Sindet menjadi semakin berat, “mungkin
kau benar. Tetapi cobalah bertanya kepada dirimu sendiri, apakah kau
tidak juga sedang mencoba mengatasi ketakutan dan keragu-raguanmu.”
“Tidak. Kami yakin, bahwa kau akan terbunuh malam ini.”
“Jangan tergesa-gesa.” salah seorang pemimpin anak-anak muda itu berkata, “Aku
senang sekali melihat orang yang bernama Kebo Sindet ini dilanda oleh
perasaan takut. Lihat, wajahnya yang sebeku mayat itu menjadi semakin
pucat.”
“Silahkan.“ jawaban Kebo Sindet itu benar-benar tidak terduga-duga, “silahkanlah
kalau itu dapat menyenangkan hati kalian. Kesenangan, yang terakhir
sebelum kalian mati bersama-sama. Tetapi cepat sedikit. Aku sudah tidak
sabar. Aku mempunyai banyak persoalan, tidak sekedar melayani kalian,
kelinci-kelinci yang bodoh. Aku akan melayani lawan-lawan yang jauh
lebih berharga. Mungkin Empu Sada, mungkin Empu Gandring atau Panji
Bojong Santi. Bukan kelinci-kelinci kecil seperti ini.”
“Nama-nama itupun tidak menggetarkan dadaku.“ jawab adik Jajar yang gemuk itu, “Tetapi baiklah, kita akan lebih cepat.“ Lalu, “Marilah kawan-kawan, kita bergembira malam ini.”
Kesembilan orang yang sudah bersiap untuk
melawan Kebo Sindet dan Kuda Sempana itu segera mendesak maju. Sejenak
kemudian mereka telah berdiri hanya beberapa langkah dari kedua orang
yang berdiri di tengah-tengah kepungan, Kebo Sindet dan Kuda Sempana.
Ketika Kebo Sindet sekali lagi mencoba
menandang berkeliling untuk mengetahui apakah masih ada orang lain yang
berdiri disisi pepohonan atau dibelakang gerumbul, terdengar salah
seorang dari anak-anak muda itu berdesis, “Kau sedang mencari jalan
untuk lari? Jangan mengharap keluar dari kepungan kami. Usaha kami untuk
membunuh seseorang tidak pernah gagal. Atau kau sedang mencoba menunggu
tetangga-tetangga untuk datang membantumu atau setidak-tidaknya untuk
mencegah perkelahian ini? Kaupun akan kecewa. Rumah-rumah itu bertebaran
agak jauh. Seandainya mereka mendengar suara kami, merekaputi tidak
akaa berani keluar dari rumahnya.”
Kebo Sindet tidak menjawab. Tetapi ia
mendapat keyakinan, bahwa memang hanya sembilan orang itu sajalah yang
berada dihalaman ini.
Tetapi ternyata sikap Kebo Sindet itu
menggelisahkan hati Jajar yang memang sedang gelisah dan tegang itu.
Sekilas diingatnya beberapa hari berturut-turut, beberapa orang selalu
sedang mengintainya. “Apakah mereka orang-orang Kebo Sindet?“ pertanyaaa itu selalu saja mengganggunya.
“Persetan akhirnya ia membulatkan hatinya, “orang ini harus dibunuh. Kalau ia membawa kawan-kawannya, maka biarlah kawan-kawannya itu terbunuh juga.”
Dengan demikian maka Jajar itu menjadi
semakin bernafsu. Ketika ia masih melihat adik dan kawan-kawannya
berdiri mengelilingi Kebo Sindet dan Kuda Sempana, maka katanya, “Apakah kita masih menunggu orang ini mati ketakutan?”
“Marilah.“ sahut yang lain
sambil melangkah maju. Kebo Sindetpun telah bersiaga sepenuhnya. Tetapi
sungguh-sungguh diluar dugaannya, bahwa serangan yang pertama meluncur
dari salah seorang anak-anak muda itu, adalah serangan tanpa senjata.
Sebuah serangan tangan yang cepat dan berat, seakan-akan sebuah ayunan
palu besi mengarah kepelipisnya.
Dengan cepat pula Kebo Sindet menghindar.
Selangkah ia mundur sambil merendahkan dirinya. Tetapi yang penting
baginya, ia menjadi semakin dekat dengan Kuda Sempana. Serangan yang
pertama itu justru memberinya peringatan, bahwa sebenarnya anak-anak
muda itu bukanlah anak-anak yang hanya sekedar senang membuat keributan.
Tetapi ternyata mereka benar-benar mempunyai bekal untuk berbuat
demikian.
Tetapi kesempatan untuk menilai serangan
yang pertama itu tidak terlampau banyak. Sesaat kemudian kesembilan
orang itu telah bergerak bersama-sama. Mereka hampir berbareng menyerang
Kebo Sindet dan Kuda Sempana dari segala arah. Beruntun seperti ombak
memukul pantai.
Serangan yang datang itu benar-benar
membuat Kebo Sindet terperanjat Ternyata anak-anak muda itu memiliki
suatu cara yang baik untuk berkelahi bersama-sama. Agaknya hal itu telah
sangat biasa mereka lakukannya. Berkelahi dalam kelompok-kelompok
serupa itu.
“Kuda Sempana, harus dapat mengatasi keadaan ini.“ berkata Kebo Sindet di dalam hatinya, karena itu maka ia berdesis Kuda Sempana, tarik senjatamu. “Jangan
hiraukan gerak- gerak tipuan mereka Biarkan saja mereka berlari-lari
melingkari kita. Hanya serangan-serangan yang langsung mengarah kepadamu
sajalah yang perlu kau layani.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi ia
tidak menjadi bingung melihat sikap anak-anak muda itu. Apalagi ketika
ia mendengar petunjuk Kebo Sindet, maka segera ia dapat membedakan, yang
manakah serangan-serangan yang sebenarnya diarahkan kepadanya, dan yang
manakah yang sekedar membuatnya bingung dan mengacaukan perhatiannya.
Tetapi seperti nasehat Kebo Sindet, maka ia merasa perlu untuk menarik
pedangnya, melawan serangan-serangan anak-anak muda yang liar dan kasar
itu. Namun pada diri Kuda Sempana sendiri telah tumbuh pula benih-benih
kekasaran itu, sehingga sejenak kemudian maka perkelahian itupun telah
menjadi semakin garang dan kasar.
Untuk sesaat Kebo Sindet masih melayani
lawan-lawannya dengan tangannya pula, seperti anak-anak itu. Ia masih
mencoba melihat kekuatan yang tersimpan pada lawan-lawannya, pada
anak-anak muda itu.
Tetapi ternyata serangan-serangan
anak-anak muda itu telah membuatnya semakin lama semakin marah. Matanya
yang terpancang di wajahnya yang membeku menjadi semakin membara.
Bayangan yang bergerak-gerak melingkar-lingkar disekitarnya telah
memancing nafsunya untuk melepaskan kemarahannya.
Sejenak kemudian perkelahian itupun telah
menjadi perkelahian yang seru. Ternyata masing-masing memiliki kekuatan
yang cukup. Anak-anak muda itu kemudian bergerak seperti bayangan,
melontarkan diri dalam suatu lingkaran yang kadang-kadang melebar,
tetapi kadang-kadang menjempit, seolah-olah hendak menghimpit kedua
orang yang berada ditengah-tengah lingkaran itu.
Namun yang berada di-tengah-tengah
lingkaran itu adalah Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Meskipun Kuda Sempana
tidak sedahsyat Kebo Sindet, tetapi dengan pedang ditangan ia mampu
melindungi, dirinya. Pedangnya segera bergetar dalam genggamannya.
Setiap kali menjulur dan mematuk dengan cepatnya kearah anak-anak muda
yang menyerangnya beruntun. Tetapi seperti pesan Kebo Sindet, maka
dibiarkannya saja pancingan-pancingan yang akan dapat membuatnya lelah
dan bingung. Ia tidak melawan serangan diluar jangkauan pedangnya. Ia
tidak meloncat memburu atau menyerang. Ia seakan-akan hanya bertahan
ditempatnya, seolah-olah kakinya yang sepasang itu menghunjam jauh ke
dalam tanah.
Didalam kelamnya malam yang semakin
dalam, maka perkelahian itupun menjadi semakin seru. Delapan anak-anak
muda yang berkelahi itu mampu berkelahi dalam suatu kerja sama jang
sangat rapi. Hanya Jajar yang gemuk itulah yang mempunyai cara
tersendiri, tetapi segera iapun berusaha menyesuikan dirinya dengan
kedelapan kawan-kawannya.
Halaman rumah Jajar yang kotor itu
semakin lama menjadi semakin-semakin ribut. Anak-anak muda itu masih
saja berkelahi sambil berputaran. Namun setelah beberapa lama
perkelahian itu berlangsung, maka anak-anak muda itu merasakan suatu
yang lain pada lawannya, dengan orang-orang yang pernah menjadi korban
mereka. Kali ini yang dilawannya, benar-benar mampu mempertahankan
dirinya, sehingga tidak semudah yang mereka sangka untuk membunuh Kebo
Sindet berdua dengan Kuda Sempana.
Bahkan setiap kali terasa, orang yang
berwajah beku itu memiliki kemampuan yang tidak dapat segera mereka
jajagi. Semakin lama mereka bertempur, maka anak-anak muda itu semakin
dicengkam oleh perasaan yang aneh atas lawannya. Semakin dahsyat mereka
melakukan serangan dan tekanan, maka mereka menjadi semakin jelas
melihat keperkasaan lawan.
Diantara anak-anak muda ada yang mampu
memecahkan batu dengan tangannya, ada yang mampu membuat lawannya lumpuh
oleh sentuhan-sentuhan pada bagian-bagian tubuh tertentu. Ada yang
jarinya melampaui ketajaman ujung pisau, dan mampu menghunjam didada
lawan sampai kepusat jantung. Tetapi melawan Kebo Sindet tangan mereka
seakan-akan tidak berarti. Ketika beberapa jari mereka mencoba menyentuh
tubuh Kebo Sindet, terasa seakan-akan mereka membentur segumpal baja
yang melampaui kerasnya batu karang. Apalagi apabila Kebo Sindet sengaja
menangkis serangan mereka, maka satu dua diantara mereka terdorong
beberapa langkah dari lingkaran yang mereka buat. Hanya karena
kelincahan dan ketangkasan mereka, maka mereka mampu untuk segera
memperbaiki kedudukan mereka.
Itulah sebabnya maka mereka kemudian
merasa, bahwa perkelaian itu tidak akan ada akhirnya. Mereka tidak
mendapat kesempatan apapun untuk menunjukkan kelebihan mereka. Apalagi
dengan tangan untuk melumpuhkan orang yang berwajah mayat itu.
Karena itu, maka tidak ada cara lain yang
lebih baik dari pada beramai-ramai mengacungkan ujung-ujung senjata ke
arah setan Kemundungan itu. Betapa tebal kulitnya, dengan ketajaman
senjata mereka yang dilambari dengan kekuatan yang melampaui kekuatan
manusia biasa, maka kulit itu pasti akan terluka.
Sejenak kemudian, maka bergemerlapanlah
ujung-ujung senjata anak-anak muda itu. Pada umumnya mereka menggenggam
sehelai pisau belati panjang. Hanya Jajar yang gemuk itu sajalah yang
kemudian menggenggam kerisnya yang kecil, tetapi keris yang
diandalkannya, sebagai sebilah keris yang mengandung kekuatan melampaui
segala macam senjata.
Melihat ujung-ujung senjata itu, Kebo
Sindet mengerutkan keningnya. Kulitnya memang tidak kebal dan tidak pula
tahan tajamnya pedang. Karena itu Kebo Sindetpun tidak ingin
mempersulit diri. Ia harus berusaha untuk menarik setiap perhatian dan
memperingan pekerjaan Kuda Sempana. Kalau anak-anak muda itu kemudian
memusatkan serangan-serangan mereka kepada Kuda Sempana, maka keadaan
Kuda Sempana itu akan menjadi sangat sulit.
Ternyata usaha Kebo Sindet itu berhasil.
Anak-anak muda itu memang memusatkan perhatian mereka kepada Kebo Sindet
yang mereka anggap terlampau berbahaya. Kalau Kebo Sindet itu sudah
berhasil mereka binasakan, maka Kuda Sempana tinggal akan menjadi
permainan yang mengasikkan seperti yang sering mereka lakukan atas
korban-korban mereka.
Tetapi kali ini mereka terbentur pada
lawan yang lain. Kebo Sindet bukan sejenis orang yang dengan mudah dapat
mereka jadikan permainan. Tidak mudah mereka takut-takuti atau mereka
kejutkan dengan berbagai macam gerakan dan serangan.
Apalagi ternyata Kebo Sindet tidak mau
mempersulit dirinya lebih lama lagi. Karena itu maka tangannya segera
menarik senjatanya, sebuah golok yang besar.
Selanjutnya, maka perkelahian menjadi
bertambah dahsyat dan mengerikan. Kini mereka tidak lagi membuat
pertimbangan lain diripada menghujamkan senjata masing-masing kepada
lawan.
Didalam gelapnya malam itu, beberapa
pucuk senjata berputaran melingkar-lingkar. Sekali-sekali terpercik
bunga api diudara. Benturan-benturan yang terjadi semakin lama menjadi
semakin sering. Namun kemudian bukan anak-anak muda itu lagi yang
membenturkan senjatanya, tetapi Kebo Sindetlah yang sengaja berbuat
demikian. Sekali-sekali tampak sebuah belati panjang terloncat dari
genggaman, jatuh beberapa langkah dari lingkaran perkelahian. Tetapi
ternyata anak-anak muda itupun cukup tangkas. Dengan segera mereka
melindungi kawan-kawan mereka yang kehilangan senjatanya, dan memberinya
kesempatan untuk memungut senjatanya kembali. Namun tangan mereka
semakin lama menjadi semakin nyeri, sehingga perlawanan merekapun
menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tangan-tangan yang nyeri itu
segera diimbangi dengan kecepatan mengatur serangan. Ujung-ujung pisau
susul menyusul menyamber lambung dan dada seperti sekumpulan lebah yang
berterbangan mengitari mangsanya. Setiap kali ujung-ujung senjata itu
siap untuk menyengatnya.
Ketika perkelahian itu kian bertambah
sengit, maka pada saat Ken Dedes sedang duduk menghadap Akuwu Tunggul
Ametung. Dengan wajah yang kuyu Ken Dedes mengatakan, bahwa menurut
Jajar yang gemuk. Kebo Sindet bersedia menerima tebusan itu diluar
gapura kota, dengan syarat Jajar itulah yang membawa tebusannya dengan
mengawal sebanyak-banyaknya dua orang.
“Betapa liciknya.“ geram Akuwu Tunggul Ametung. “Tak ada prajurit Tumapel saorangpun yang dapat menyamai Kebo Sindet. Itulah sebabnya ia membuat syarat itu.”
“Bagaimana kalau syarat itu tidak dipenuhi Tuanku.”
“Umpamanya, Jajar itu datang dengan sepasukan prajurit untuk merebut kakang Mahisa Agni.
“Berbahaya bagi Mahisa Agni, seperti
yang dikatakan Empu Gandring. Bukankah kau pernah juga mengatakan bahwa
sepasukan prajurit hanya mempercepat bencana bagi Mahisa Agni.“ Akuwu itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia mengeram, “salah seorang prajurit itu aku sendiri. Aku sendirilah yang akan menyerahkan tebusan kepada Kebo Sindet.”
Ken Dedes terperanjat mendengar keputusan
Akuwu Tunggul Ametung itu. Tugas itu adalah tugas yang sangat
berbahaya. Karena menurut pendengaran Ken Dedes, Kebo Sindet adalah
seorang yang memiliki beberapa kelebihan dari orang lain. Bukan saja
dalam olah kanuragan, tetapi ia adalah seorang yang buas dan liar.
Karena itu maka Permaisuri itu menyahut, “Jangan Tuanku. Tuanku jangan pergi sendiri. Bukankah hal itu akan sangat berbahaya bagi Tuanku.”
“Aku tahu Ken Dedes, tetapi tidak ada
jalan lain Aku tidak dapat menemukan cara lain dari pada aku sendiri
pergi menemui Kebo Sindet sebagai prajurit pengawal. Yang seorang dari
keduanya adalah Witantra. Jajar itupun tidak akan aku bawa pula,
meskipun aku akan membawa seorang yang dapat berperan sebagai Jajar yang
gemuk itu. Ardata, Senapati perang pasukan berkuda. Bukankah Ardata itu
gemuk seperti Jajar yang bodoh itu? Nah, dalam pakaian yang serupa
dimalam hari, orang lain tidak akan. segera mengenalnya. Aku dan kedua
Senapati itu sudah cukup untuk membuat perhitungan dengan Kebo Sindet
dan Kuda Sempana.”
“Tetapi Tuanku, bagaimanakah kalau mereka membawa kawan yang berjumlah cukup banyak.”
“Pasukan pengawalku harus siap
didalam regol supaya tidak dilihat oleh Kebo Sindet. Apabila Kebo Sidet
membawa kawan dalam jumlah yang banyak, kami akan memberikan tanda
kepada para pengawal.”
Ken Dedes tidak segera menjawab, tetapi
hatinya dilanda oleh kecemasan yang sangat. Ia merasa bersyukur, bahwa
perhatian Akuwu Tunggul Ametung kini demikian besarnya terhadap
keselamatan Mahisa. Agni. Tetapi dengan demikian Ken Dedes menjadi
cemas, bahwa akan terjadi bencana yang lebih dahsyat menimpa dirinya.
Kalau terjadi sesuatu atas Akuwu Tunggul Ametung, maka akan hilanglah
segala macam harapan bagi hari depannya. Ia tidak mempunyai lagi tempat
untuk bergantung. Sama sekali. Semuanya akan hilang, dan dirinya
sendiripun pasti akan banyut kedalam ketiadaan.
Sejenak mereka berdua duduk didalam
kediaman masing-masing. Akuwu Tunggul Ametung sekali-sekali mengusap
wajahnya yang basah oleh keringat, sedang Ken Dedes duduk saja
menundukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba dalam kediaman itu, Akuwu
Tunggul Ametung dikejutkan oleh langkah tergesa-gesa. Kemudian ia
mendengar seseorang berdiri dimuka pintu bilik dengan nafas
terengah-engah.
Akuwu itupun kemudian berdiri, berjalan kepintu dan menyapanya, tetapi ia masih belum melihat orangnya, “He, siapa dimuka pintu?”
“Hamba tuanku, hamba yang Tuanku perintahkan mengawasi Jajar yang gemuk itu.”
“Oh.“ namun terbersit kecemasan dihati Akuwu, “masuklah. Kenapa kau menghadap malam-malam begini?”
Prajurit yang berdiri diluar pintu itu merayap masuk, kemudian duduk sambil menekurkan kepalanya dalam-dalam.
“Ampun Tuanku, hamba terpaksa menghadap Tuanku malam ini.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih bertanya, “Aku masih mendengar nafas seseorang diluar. Siapa?”
“Oh, prajurit pengawal istana Tuanku, yang mengantarkan hamba menghadap Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah yang akan kau sampaikan?”
“Soal Jajar yang gemuk itu Tuanku.”
“Ya, kenapa.”
“Seperti yang pernah hamba sampaikan
kepada Tuanku, bahwa beberapa kali hamba berhasil mendengarkan
pembicaraan mereka dengan Kebo Sindet, meskipun aku menduga bahwa Kebo
Sindetpun mengetahui kehadiran hamba. Namun kadang-kadang orang itu
malahan dengan sengaja memperkeras suaranya. Sekali hamba pernah
terpaksa memukul kepala Jajar yang gemuk itu sebelum ia melihat,
siapakah hamba berdua. Tetapi yang terakhir hamba tidak berhasil
mendengarkan pembicaraan mereka Tuanku, meskipun hamba dapat melihat
mereka bertemu. Jajar yang gemuk itu dau Kebo Sindet. Sedangkan hari
ini, dari prajurit pengawal diregol halaman hamba mendengar bahwa Jajar
itu pulang terlampau pagi. Sehari-harian kami berdua mengawasi rumahnya
dari kejauhan. Ternyata kini terjadi sesuatu Tuanku.”
“Apakah yang terjadi?”
“Ternyata Jajar gemuk itu menjebak
Kebo Sindet didalam perangkapnya. Sejumlah orang-orang yang telah
dipersiapkan oleh Jajar yang gemuk itu berusaha untuk membunuh Kebo
Sindet.”
“He?” Akuwu Tunggul Ametung terperanjat. Sekilas wajahnya menjadi merah tegang. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa Jajar itu akan membunuhnya?”
“Hamba tidak tahu Tuanku.”
“Gila, ini adalah permainan yang gila.“ Akuwu itu menggeram, “Jajar itu ternyata juga gila.” Tiba-tiba Akuwu itu berteriak, “He. perjanjian apakah yang telah dibuat oleh Jajar dan Kebo Sindet itu.”
“Hamba kurang mengetahui Tuanku.”
“Jajar itu ternyata berkhianat.” geram Akuwu itu pula, dan sekali lagi berteriak sambil menghentakkan kakinya, “Aku
tahu. Aku tahu. Jajar itulah yang membuat ceritera tentang penyerahan
perhiasan besok. Tentang dua orang prajurit yang syaratkan untuk
mengawal. Tentang Jajar yang gemuk, itu yang harus membawa tebusan itu.
Nah, diluar regol itu telah menunggu orang-orang yang hari ini berusaha
membunuh Kebo Sindet.”
Akuwu itu berhenti sejenak, lalu, “Aku akan pergi sekarang. Semua harus dibinasakan Kebo Sindet dan Jajar yang gemuk itu.”
Dada Ken Dedes berguncang mendengar
kata-kata Akuwu itu. Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi,
alangkah menyedihkannya. Alangkah pahitnya. Sehingga tiba-tiba saja Ken
Dedes itu berlutut dibawah kaki Akuwu Tunggul Ametung sambil memegangi
kaki itu, “Ampun Tuanku. Jangan pergi. Jangan pergi. Biarlah apa
yang telah terjadi dengan kakang Mahisa Agni. Akuwu harus mencari jalan
lain untuk membebaskannya. Tetapi bukan Tuanku sendiri yang harus
pergi.”
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung itu justru
mematung. Ia merasakan sesuatu yang menggetarkan dadanya. Sikap Ken
Dedes yang mencemaskan nasibnya itu justru menambah tekadnya untuk
menolong Mahisa Agni. Untuk menyenangkan hati Ken Dedes dan
melepaskannya dari kesedihan yang melandanya setiap hari, sebelum
kakaknya itu dibebaskannya.
Maka sejenak kemudian ia berkata, “Ken
Dedes. Aku tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Seandainya Kebo
Sindet terbunuh didalam perkelahian itu, apakah untuk seterusnya kita
akan dapat menemukan kesempatan untuk membebaskan Mahisa Agni? Mungkin
Mahisa Agni dijaga oleh orang-orang Kebo Sindet dengan pesan-pesan
khusus, seandainya Kebo Sindet tidak kembali pada saat-saat yang
ditentukan. Tetapi seandainya Mahisa Agni disembunyikan ditempat yang
sukar diketahui oleh orang lain kecuali Kebo Sindet sendiri, meskipun
tanpa pengawasan, namun apabila Mahisa Agni tidak berhasil keluar dari
tempat itu, maka betapapun lambatnya, ia akan mati pula. Mungkin karena
kelaparan, haus dan mungkin karena sebab-sebab lain.”
“Lalu apakah yang akan tuanku lakukan?”
“Kalau mungkin menangkap Kebo Sindet
dan mendengar beberapa keterangan langsung dari padanya, tentang Mahisa
Agni sebelum orang itu dibinasakan. Sebab ia adalah orang yang sangat
berbahaya.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Akuwu Tunggul Ametung berkata, “Tetapi
seandainya. Kebo Sindet itu menang, maka malahan masih ada harapan
untuk dapat menyelamatkan Mahisa Agni. Kalau Kebo Sindet menganggap
bahwa Jajar itulah yang berkhianat kepadanya, maka ada kemungkinan Kebo
Sindet kelak mencari cara lain untuk memeras kita. Jika demikian, maka
selama itu Mahisa Agni pasti masih hidup. Tetapi akan berbeda sekali
akibatnya, apabila Kebo Sindet menganggap bahwa Jajar itu telah bekerja
bersama dengan kita untuk menjebaknya. Jika demikian, maka nasib Mahisa
Agni ada dalam bahaya.”
Dada Ken Dedes berdesir mendengar keterangan Akuwu Tunggul Ametung itu sehingga ia berdesah, “Mudah-mudahan kakang Mahisa Agni selamat.”
“Nah, aku sekarang akan mencari jalan untuk menyelamatkannya.”
“Apakah Tuanku akan pergi dengan pengawal?”
“Ya, kali ini aku tidak perlu
bersembunyi. Aku akan datang dengan sepasukan prajurit untuk mencegah
kemungkinan salah seorang dari orang-orang yang tamak itu melarikan
diri. Aku akan berusaha mendengar penjelasan Kebo Sindet sendiri, dimana
Mahisa Agni. Tetapi kalau aku terpaksa membinasakannya, maka aku
berharap bahwa Kuda Sempana akan tertangkap hidup-hidup.“ Lalu kepada prajurit yang melaporkannya Akuwu itu bertanya, “Bukankah Kuda Sempana ada bersamanya?”
“Hamba Tuanku.”
“Bagus. Pada dasarnya kedua pihak yang berkelahi itu harus binasa.“ Akuwu itu berhenti sebentar, lalu, “he,
siapkan prajurit-prajurit pengawal dan beberapa orang Pelayan Dalam
yang sedang bertugas. Siapkan orang-orang yang paling baik sebanyak lima
belas orang.”
“Hamba Tuanku, hamba akan menghubungi Senapati yang bertugas malam ini.”
“Baik, perintahku kepadanya, segera bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Kita akan pergi berperang.”
“Hanya lima belas orang Tuanku.”
“Ya.“ tetapi Akuwu itu tertegun, “berapa orang yang mendjebak Kebo Sindet.”
“Hamba kurang jelas, Tuanku. Tetapi disekitar sepuluh orang.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lima
belas orang telah cukup. Masih ditambah kau dan aku, dan seorang
kawanmu yang barangkali masih tinggal disekitar perkelahian itu?”
“Hamba Tuanku, kawan hamba itu
berusaha melihat apa yang telah terjadi, sedang hamba harus menyampaikan
peristiwa ini kepada Tuanku.”
“Kalau begitu Iima belas orang
terbaik telah cukup. Cepat, hubungi Senapati yang bertugas. Aku tidak
mempunyai waktu untuk memanggil Witantra dan Ardata. Aku cukup membawa
prajurit-prajurit pengawal dan Pelajan Dalam yang ada.”
“Hamba Tuanku.”
“Cepat. Aku akan segera berangkat sebelum terlambat.”
Prajurit itu kemudian surut sampai diluar
pintu sambil berjongkok. Tetapi ia hampir terlonjak ketika ia tiba-tiba
saja mendengar Akuwu itu membentak keras-keras, “Cepat, kenapa kau merayap seperti siput? Apakah kau tidak dapat berlari?”
Sambil menyembah prajurit itu menyahut, “Hamba Tuanku.”
Dengan ragu-ragu prajurit itupun segera
berdiri. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari meninggalkan
bilik itu untuk menemui Senapati yang sedang bertugas. Sedang prajurit
yang lain, yang mengantarnya menghadap Akuwu segera menyusulnya
dibelakangnya.
Akuwu Tunggul Ametungpun segera
mempersiapkan dirinya dengan pakaian keprajuritan. Sebuah pedang
dilambung kiri, dan dilambung kanan tergantung senjata pusakanya. Sebuah
penggada yang berwarna kuning berkilauan.
Ken Dedes kemudian melepas Akuwu Tunggul
Ametung dengan dada yang ber-debar-debar, Ia sendiri memimpin pasukan
yang kecil itu berpacu di atas punggung kuda yang tegar, berlari kencang
sekali seperti angin. Para prajurit yang bertugas diregol, yang belum
mendengar apa yang akan dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung terkejut
bukan buatan. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Tidak lebih dari sekejab, maka kuda-kuda itu telah lampau
sambil melontarkan kepulan debu yang putih.
Para pengawal regol itu saling bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi kemudian merekapun mendengar bisikan ketelmga mereka, “Akuwu akan langsung menangkap Kebo Sindet itu sendiri.”
Setiap prajurit yang mendengar berita itu
menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka telah pernah mendengar,
betapa Kebo Sindet merupakan hantu yang menakutkan disebelah Timur
Gunung Kawi.
Tetapi hampir setiap prajuritpun tahu,
bahwa Akuwu Tunggul Ametung bukanlah seorang anak-anak yang sedang
mencoba belajar naik kuda. Akuwu Tunggul Ametung adalah manusia yang
aneh pula, yang memiliki kelebihan dari manusia kebanyakan. Bahkan para
prajurit Tumapel percaya akan ceritera tentang Akuwunya, bahwa Akuwu
Tunggul Ametung adalah seorang yang memiliki kesaktian dari langit.
“Seandainya aku mendapat kesempatan, aku ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.“ desis salah seorang prajurit.
“Alangkah dahsyatnya.“ sahut yang lain, “kalau benar Akuwu Tunggul Ametung bertemu dan sempat bertempur melawan Kebo Sindet.”
“Pasti akan terjadi pertempuran seperti yang sering kami khayalkan dari ceritera Bharatayuda.“ berkata yang lain, “seperti perang Karna dan Arjuna.”
“Tidak. Tidak seperti kedua satria
itu. Kebo Sindet sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan Karna, dan
Akuwu Tunggul Ametung sama sekali bukan Arjuna, meskipun Permaisurinya
cantik seperti Sembadra.”
“Ya, memang bukan. Seperti Bima dan Duryudana.”
“Entahlah.“ berkata yang lain, “tetapi
perkelahian itu pasti akan sangat mengerikan. Apalagi apabila Akuwu
Tunggul Ametung telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang
aneh itu, penggada yang berwarna dan bercahaya kekuning-kuningan.”
“Seperti pertempuran antara guntur dan petir dilangit.”
Sementara itu Akuwu Tunggul Ametung
berpacu secepat-cepat kudanya dapat berlari. Ia masih belum menemukan
cara yang sebaik-baiknya untuk mengatasi keadaan yang bekembang tidak
sesuai dengan rencananya itu. Tetapi ada satu ketetapan dihatinya, kedua
pihak harus dibinasakan. Namun ia masih memerlukan petunjuk tentang
Mahisa Agni. Kalau ia berhasil membinasakan Kebo Sindet tetapi kemudian
tidak berhasil menemukan Mahisa Agni, maka kerjanya akan bernilai
setengah. Sebab dengan demikian, Ken Dedes pasti masih juga selalu
bersedih.
Prajurit-prajurit pengawalnya kali ini
adalah prajurit-prajurit pengawal istana dan lima orang Pelajan Dalam.
Mereka adalah orang-orang pilihan yang dapat dikumpulkan malam itu.
Mereka adalah orang-orang yang sedang bertugas mengawal istana. Dan
Akuwu Tunggul Ametung percaya kepada kekuatan dan kesetiaan mereka.
Karena itu maka Akuwu Tunggul Ametung dengan pasti melarikan kudanya
untuk menyelesaikan persoalannya.
“Aku harus segera mendapat penyelesaian.” desisnya di dalam hatinya, “supaya
aku tidak selalu disiksa oleh persoalan ini sehingga
persoalan-persoalan lain menjadi terdesak karenanya. Selama ini masih
belum selesai, maka mendung diistana masih belum dapat disingkirkan Ken
Dedes pasti masih selalu dibayangi oleh kemurungan tanpa dapat
diredakannya.”
Dengan demikian maka Akuwu itupun menjadi
semakin bernafsu. Kemarahan yang selama ini ditahan-tahannya, kini
seolah-seolah ingin diledakkannya. Ia harus membuat perhitungan
terakhir.
Derap kaki-kaki kudanya gemeretak diatas
tanah berbatu-batu. Beberapa orang prajurit pengawal rapat berpacu
dibelakangnya. Tetapi beberapa orang yang lain, tidak mampu mengikutinya
dalam jarak yang wajar, karena kuda-kudanya tidak setangkas kuda Akuwu
Tunggul Ametung yang dilarikan melampaui kecepatan yang seharusnya.
Namun jarak itu tidak mengganggu. Mereka masih tetap dalam kesatuan yang
utuh apabila mereka dengan tiba-tiba saja harus berhadapan dengan
lawannya.
Prajurit penunjuk jalan, yang mula-mula
melaporkan peristiwa yang terjadi kepada Akuwu Tunggul Ametung, dengan
susah payah berusaha untuk tetap berada didekat Akuwu, supaya setiap
saat ia dapat memberitahukan arah yang harus ditempuh, karena Akuwu
sendiri belum pernah melihat rumah juru taman yang telah berkhianat
kepada kedua belah pihak itu.
“Apakah rumah itu masih jauh?” geram Akuwu itu kemudian.
“Tidak Tuanku. Sudah tidak terlampau
jauh. Diujung jalan yang masuk kemulut perkampungan didepan itu kita
berbelok kekanan, kemudian masuk kedalam.”
“Apakah kita akan sampai?”
“Diujung perkampungan yang lain kita
berbelok lagi kekanan. Kita akan sampai disebuah halaman yang kosong,
kalau kita masuk lagi kedalam, maka kita akan sampai. Satu halaman
berselang dari jalan ditepi perkampungan itu.”
“Kenapa berputar-putar? Apakah tidak ada jalah yang melintas?”
“Tidak Tuanku. Jalan yang paling
pendek hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki lewat beberapa halaman
dan jalan yang terlampau sempit.”
Akuwu tidak menjawab, tetapi ia berusaha memacu kudanya semakin cepat.
Tetapi tiba-tiba Akuwu itu terperanjat.
Tidak begitu jauh dihadapannya, didalam perkampungan yang ditujunya, ia
melihat lidah api menjilat keudara. Baru saja. Seolah-olah sengaja
menyambut kedatangannya.
Bukan saja Akuwu Tunggul Ametung yang
terperanjat, tetapi prajurit yang menunjukkan jalan kepadanya dan para
pengawalnya. Hampir serempak mereka berdesis, “Api.”
“Ya, api.” Akuwu Tunggul Ametung hampir berteriak, “apakah artinya ini, he?”
Prajurit penunjuk jalan itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Hamba tidak mengerti Tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung menggeram. Ia
mencoba mencari hubungan antara api dan perkelahian yang telah terjadi.
Kebo Sindet harus melawan beberapa orang sekaligus. Apakah ia masih
sempat berpikir, membakar rumah Jajar yang gemuk itu?
Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak
bernafsu untuk memikirkan jawabannya. Ia ingin segera sampai, dan dengan
demikian ia akan mendapat jawaban itu dengan sendirinya. Karena itu
maka kudanya justru dipacunya lebih cepat lagi. Semakin lama semakin
cepat, sehingga kuda itu seolah-olah tidak lagi menjejak diatas tanah.
Demikian nafsunya untuk segera sampai
ketempat Jajar yang gemuk itu, sehingga Akuwu Tunggul Ametung tidak
menghiraukan apa-apa lagi. Ia tidak menghiraukan kemungkinan-kemungkinan
yang dapat terjadi disepanjang jalan. Sehingga kuda pengawal utamanya
terpaksa dengan susah pajah berpacu disampingnya. Ketika mereka hampir
memasuksi desa didepan mereka, maka kedua pengawal itu terpaksa sedikit
menahan laju kuda Akuwu Tunggul Ametung. Salah seorang dari mereka
berkata, “Ampun Tuanku. Biarlah hamba akan berada didepan sekali.”
Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Tetapi ia seolah-olah tidak menghiraukannya.
“Ampun Tuanku.” prajurit pengawalnya mengulangi, “hamba akan berada didepan Tuanku sebelum memasuki perkampungan itu.”
Tetapi Akuwu masih juga juga diam. Sedang mulut lorong yang masuk kedalam desa didepan mereka menjadi semakin dekat.
Kedua pengawal Akuwu itu menjadi cemas.
Yang kini mereka hadapi adalah orang-orang yang kuat namun licik. Baik
kawan-kawan Jajar yang gemuk yang berjumlah kira-kira sepuluh orang itu,
maupun Kebo Sindet dan Kudu Sempana. Karena itu, maka tanpa menunggu
jawaban Akuwu Tunggul Ametung, maka kedua pengawal utamanya itu berusaha
untuk mendahuluinya.
Akuwu Tunggul Ametung menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Kenapa kalian menjadi gila, he?”
“Hamba berdualah yang seharusnya berada didepan Tuanku dalam keadaan serupa ini.”
Akuwu Tunggul Ametung mengatupkan
bibirnya rapat-rapat. Tetapi cemudian disadari bahaya yang dapat
menerkamnya setiap saat dari orang-orang yang licik itu. Karena itu,
maka kemudian dibiarkannya kedua pengawal utamanya itu mendahuluinya,
untuk meyakinkan, bahwa jalan yang akan dilaluinya tidak dirintangi oleh
bahaya yang mengancam keselamatannya.
Tetapi mereka memang sedang menuju
ketempat yang berbahaya. Tempat yang tidak diketahui dengan pasti,
apakah yang akan dihadapinya nanti. Kebo Sindet dan Kuda Sempana, atau
Jajar yang gemuk itu dengan kawawan-kawawannya, atau bahkan mereka
bergabung untuk dapat melepaskan diri mereka dari prajurit-prajurit
Tumapel.
“Kalau demikian.” berkata Akuwu didalam hatinya, “aku
benar-benar harus berhati-hati. Kalau kedua iblis itu justru bersepakat
untuk menjebak prajurit-prajurit Tumapel, maka aku harus dapat
menyesuaikan diriku bersama pasukan kecil ini.”
Namun Akuwu Tunggul Ametung masih juga
tetap tatag. Karena ia benar-benar mempercayai kekuatan para
pengawalnya, dan terutama sekali ia percaya kepada senjatanya, kepada
penggadanya yang berwarna dan bercahaya kekuning-kuningan. Senjata yang
mempunyai kekuatan yang dapat diandalkannya. Kalau Akuwu itu mateg Aji
pamungkasnya untuk melambari ayunan gadanya, maka seakan-akan gunung
akan menjadi runtuh dan lautan akan menjadi kering, tersentuh oleh
pusakanya itu.
Akuwu menjadi semakin gelisah ketika ia
melihat lidah api menjadi semakin tinggi. Warna langit yang hitam,
tiba-tiba menjadi semburat merah. Namun kebakaran itu masih belum
terlampau besar. Masih ada kesempatan untuk melihat, apa yang sebenarnya
telah terjadi.
Kini yang berpacu paling depan adalah
kedua pengawal utama Tunggul Ametung berurutan. Kemudian barulah Akuwu
sendiri yang berpacu diatas punggung kudanya dengan wajah tegang.
Ternyata waktu yang mereka perlukan tidak
terlampau lama. Sejenak kemudian mereka telah berbelok memasuki lorong
yang akan melewati jalan kecil dimuka rumah Jajar yang gemuk itu.
“He.” bertanya. Akuwu itu kepada prajurit penunjuk jalan, “Dimana rumah itu.”
“Kita telah sampai, yang terbakar itulah.” jawab prajurit itu.
Dengan serta merta para prajurit itu
segera mengekang kuda-kuda mereka. Kini mereka berada tidak terlampau
jauh dari rumah yang memang sedang dimakan oleh api, meskipun belum lagi
separonya.
“Jadi rumahnya yang terbakar itu itu?“ bertanya Akuwu.
Penunjuk jalan itu menyahut, “Hamba Tuanku, itulah rumahnya.”
“Kita mendekat. Kita lihat, kenapa rumah itu terbakar.”
Mereka maju lagi perlahan-lahan Segera
mereka memasuki halaman rumah yang kotor itu. Tak seorangpun dari
tetangga tetangga yang berani keluar rumah dan menolong memadamkan api
yang merayap untuk menelan seluruh rumah dan isinya.
“Bukan main ganasnya setan dari Kemundungan itu.” desis Akuwu Tunggul Ametung, “tetapi dimana orang itu?”
Belum lagi seorangpun yang menjawab, maka
beberapa orang prajurit segera menyibak, memberi jalan kepada seorang
yang dengan berjalan kaki langsung menuju kearah Akuwu Tunggul Ametung.
Aku Tunggul Ametung memperhatikan orang
itu dengan saksama. Cahaya api yang menyala-nyala segera
memperkenalkannya, bahwa ia adalah prajuritnya yang seorang lagi, yang
bertugas mengawasi rumah Jajar yang gemuk itu.
“Kau?” desis Akuwu.
“Hamba Tuanku.”
“Apa yang kau lihat, dan apakah sebabnya maka timbul kebakaran?”
“Ampun Tuanku.” jawab prajurit itu, “hampir
hamba menjadi pingsan melihat kelakuan Kebo Sindet, setan dari
Kemundungan yang hamba kira adalah orang yang paling buas dipermukaan
bumi.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Sekali dipandanginya api yang menyala semakin besar. Bagian
depan rumah itu kini sudah lebih dari separo dimakan api. Api yang
menyala dari sudut itu merayap perlahan-lahan. Suaranya bergemeretak
seperti seribu gerobag lewat diatas tanah berbatu-batu.
“Apa yang kau lihat?“ bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
“Pembantaian yang tidak tanggung-tanggung.”
“Hem.“ Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam.
“Anak-anak muda yang mencoba menjebak Kebo Sindet ternyata telah menjadi korban yang mengerikan.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak melihat gesosok mayatpun dihalaman rumah itu.
“Tetapi dimanakah Kebo Sindet membunuh korbannya? Bukankah mereka bertempur dihalaman ini?”
“Hamba Tuanku.“ sahut prajurit itu, “tetapi
setelah mereka dibunuh dengan cara Kebo Sindet, mereka dilemparkan
kedalam rumah itu. Sebelum Kebo Sindet pergi, rumah itu dibakarnya.”
“Hem.” sekali lagi Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas, lalu katanya, “Bagaimana dengan Jajar yang gemuk itu?”
“Ia mengalami nasib paling jelek
diantara kawan-kawannya. Ia ditangkapnya yang terakhir kalinya. Diikat
dan dimasukkan kedalam rumah itu pula, tanpa dibunuhnya lebih dahulu.”
“He? Jadi Jajar itu masih hidup?”
“Hamba Tuanku. Tetapi didalam rumah itu.”
“Ambil dia.”
Prajurit itu tidak menjawab. Api kini berkobar semakin besar.
“Apakah Jajar itu kira-kira sudah terbakar didalam rumah itu?”
“Hamba tidak tahu Tuanku.”
“Ambil, ambil dia.” teriak Tunggul Ametung, “cari jalan dari sisi yang belum terbakar itu. Mungkin kau masih menemukannya diruangan yang belum dimakan api.”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya saja Akuwu Tunggul Ametung, seakan-akan ia tidak percaya kepada perintah itu.
“Ambil, cepat, ambil.” Akuwu itu
berteriak. Prajurit yang masih saja ragu-ragu itu tidak juga beranjak
dari tempatnya. Tetapi seorang prajurit yang lain, pengawal Akuwu
Tunggul Ametung dengan sigapnya meloncat dari kudanya dan berlari kearah
api yang sedang menyala.
“Ingat arah api.” teriak Akuwu itu pula.
Ternyata kemudian dua orang prajurit
termasuk prajurit yang ragu-ragu itu menyusulnya, melingkar dari sudut
yang masih belum terbakar. Dengan susah pajah mereka merobek dinding dan
dengan wajah yang merah oleh nyala api yang berkobar ketiganya mencoba
masuk kedalam rumah yang sudah hampir ditelan api itu.
Wajah Akuwu menjadi tegang. Ia melihat
seolah-olah ketiga prajuritnya itu masuk kedalam lautan api. Sehingga
kemudian ia berteriak penuh penyesalan. “Keluar, keluar. Tinggalkan rumah itu. Biarkan Jajar itu dimakan api. Cepat, keluar.”
Tetapi ketiga prajurit yang masuk kedalam
rumah yang telah terbakar itu tidak segera keluar. Sementara api
semakin lama menjadi semakin ganas. Lidah yang merah mencuat seolah-olah
hendak menyentuh langit. Kini sebagian besar rumah itu dibagian depan
sudah terbakar. Api sedang merambat kesudut tempat para prajurit
memasuki rumah itu.
“Keluar, cepat keluar.” teriak
Tunggul Ametung semakin keras. Tetapi ketiga prajurit itu masih juga
belum muncul. Akuwu itu semakin tegang seketika akhirnya sudut itupun
mulai dijilat oleh api. Sedikit demi sedikit, akhirnya rumah itu kini
seolah-olah menjadi seonggok bara yang menyala.
“Gila.” Akuwu itu menggeram, lalu, “Lihat dibagian lain.” ia berteriak keras sekali, “lihat dibagian belakang, apakah seluruh rumah ini sudah terbakar.”
Beberapa orang prajurit segera berlari
berpencaran. Mereka berlari kesisi rumah itu. Ternyata mereka melihat
bagian belakang rumah itu masih belum lenyap ditelan api. Dengan
demikian mereka masih mengharap bahwa kawannya akan dapat menyelamatkan
diri dari bagian itu.
Ternyata harapan itu terpenuhi. Mereka
melihat pintu belakang itu bergerak, kemudian pecah menjadi
kepingan-kepingan papan, kemudian mereka melihat sesosok tubuh muncul
dari dalam disusul oleh dua orang yang lain. Salah seorang dari padanya
ternyata mendukung seseorang yang agaknya sedang pingsan.
“He cepat.” teriak prajurit yang melihat mereka keluar.
Mereka berjalan tersuruk-suruk. Ternyata
mereka telah mengalami luka-luka bakar pada tubuh mereka. Meskipun luka
itu tidak terlampau parah, tetapi nafas mereka seolah-olah hampir putus
karena asap yang bergulung-gulung didalam rumah yang terbakar itu.
Beberapa orang prajurit segera mencoba
menolong mereka. Seorang yang lain mengambil orang pingsan itu dari
tangan pendukungnya yang sudah menjadi terlampau payah.
Orang yang pingsan itu adalah Jajar yang gemuk, yang telah mencoba menjebak Kebo Sindet.
“Air.” desis salah seorang
prajurit yang menjadi kehitam-hitaman. Bajunya tersobek oleh percikan
api. Bukan saja baju dan kainnya, tetapi juga kulitnya.
“Marilah kita menghadap Akuwu.” ajak salah seorang kawannya.
Prajurit-prajurit yang terluka oleh api
itu segera tertatih-tatih menghadap Akuwu Tunggul Ametung. Hanya karena
kekuatan yang memancar dari dalam diri mereka oleh kepatuhan maka mereka
dapat selamat dari api yang hampir menelan mereka hidup-hidup.
Seorang prajurit yang lain segera mencari
sumur. Dengan upih yang ada ia segera mengambil air, langsung
dilepasnya dari senggotnya, dan dibawa kepada ketiga prajurit yang
sedang kehausan.
“Hem.” Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam, “kalian memang luar biasa. Terima kasih.”
Prajurit-prajurit itu tidak segera
menjawab. Tetapi dengan tangan gemetar diraihnya upih yang berisi air.
Hampir tidak sabar mereka minum berganti-ganti dari upih itu. Perasaan
haus yang hampir tak tertahankan telah mencekam leher mereka.
Akuwu membiarkan prajurit-prajurit itu minum. Tetapi ia sempat memperingatkan, “Jangan kau turuti nafsumu untuk memuaskan haus. Kau dapat menjadi sakit karena terlampau banyak air yang kau telan.”
Prajurit-prajurit itu kini telah
mendapatkan kesadarahnya kembali sepenuhnya setelah mereka mendapat
tekanan perasaan yang sangat tajam ketika mereka berada ditengah-tengah
api. Untunglah bahwa mereka tidak kehilangan sama sekali pikiran mereka,
sehingga mereka masih sempat mencari jalan keluar. Dan bahkan masih
sempat mendukung, Jajar yang gemuk itu.
Tetapi ternyata keadaan Jajar yang gemuk
itu agak lebih parah. Seutas tali masih tergantung ditangannya.
Luka-luka ditubuhnya ternyata tidak saja luka bakar karena sentuhan api
yang memercik, tetapi tubuhnya juga tergores oleh senjata dan bahkan
karena pukulan-pukulan yang keras di wajahnya.
“Apakah Jajar itu tadi terikat tangannya?” bertanya Akuwu yang masih melihat ujung tali yang berjuntai ditangan Jajar yang pingsan itu.
Salah seorang prajurit yang masuk mengambilnya, menjawab dengan gemetar, “Hamba
tuanku. Hamba menemukannya diruang dalam, terikat pada sebuah tiang.
Hamba terpaksa memotong tali pengikatnya sehingga hamba memerlukan waktu
untuk itu.”
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mencemaskan nasib kalian. Tetapi adakah luka-luka kalian sangat parah?”
“Tidak tuanku.” sahut salah seorang dari mereka, “luka-luka
hamba bertiga tidak terlampau parah. Tetapi hamba telah diserang oleh
kebingungan dan hampir-hampir kehilangan akal. Tetapi sekarang hamba
telah dapat berpikir dengan wajar.”
“Bagus. Memang kadang-kadang dalam
keadaan yang paling sulit justru kita kehilangan akal untuk berusaha
melepaskan diri. Tetapi kalian masih dapat bertahan melawan kebingungan
dihati kalian. Itulah yang ternyata menyelamatkan kalian.”
“Hamba tuanku.” ketiga prajurit itu hampir berbareng menyahut.
“Lalu bagaimanakah dengan Jajar yang gemuk itu?”
bertanya Akuwu Tunggul Ametung sambil meloncat turun dari kudanya.
Selangkah ia maju mendekati Jajar yang pingsan yang kemudian dibaringkan
ditanah.
“Apakah luka-lukanya parah?”
“Hamba tuanku.“ jawab salah
seorang prajurit. Oleh cahaya api yang menyala semakin besar, tampak
jelas pada Jajar itu, warna-warna mereka yang menodai pakaiannya, Darah.
“Darah itu tidak menitik dari luka-luka bakarnya.” desis Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba Tuanku. Pada tubuhnya terdapat
goresan-goresan senjata tajam. Dan bahkan mungkin Jajar itu telah di
pukul pula dengan tangkai pedang di wajahnya.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia maju lagi mendekati Jajar yang
pingsan dan kemudian berdiri disampingnya. Para pengawalnyapun segera
turun pula dari kuda-kuda mereka dan berdiri melingkari Jajar yang
terbaring pingsan itu.
Akuwu Tunggul Ametung melihat luka-luka
di tubuh Jajar itu. Ia membungkukkan badannya sedikit dan meraba tubuh
yang terbujur diam itu.
“Ia masih hidup.” desisnya.
“Hamba Tuanku. Memang ia masih hidup.”
“Lalu dimanakah kawan-kawannya yang telah berkelahi melawan Kebo Sindet.” bertanya Akuwu itu.
Prajurit yang mengawasi perkelahian itu
dan yang kini tubuhnya telah diwarnai oleh asap yang kehitam-hitaman dan
luka-luka bakar menjawab, “Didalam Tuanku. Mereka ditimbun disamping Jajar yang terikat pada tiang ini.”
Akuwu mengatubkan giginya rapat-rapat. Ia
mendapat gambaran semakin jelas tentang Kebo Sindet. Bahwa
sebenarnyalah bahwa orang itu sama sekali tidak dapat dibedakan dengan
iblis yang sebuas-buasnya.
“Ternyata Kebo Sindet sama sekali
tidak mendapat kesulitan untuk menyelesaikan mereka dalam waktu yang
singkat. Aku menyesal bahwa aku datang terlambat. Aku ingin menghentikan
kebuasannya itu.”
“Hamba Tuanku. Ternyata
lawan-lawannya sama sekali tidak dapat berbuat banyak ketika orang itu
telah mencabut goloknya. Seperti menebasi ilalang, diselesaikannya
pertempuran itu. Aku kira Kebo Sindet sengaja tidak membunuh Jajar yang
gemuk ini. Aku kira ia sengaja membuat Jajar ini mati ketakutan,
kalaupun tidak ia akan menjadi abu.”
“Ya, Kebo Sindet membiarkan Jajar ini
merasakan panasnya api yang menjilatnya sedikit demi sedikit. Tetapi
ternyata Jajar ini tidak terlampau tabah, sehingga ia telah jatuh
pingsan sebelum tubuhnya dijilat api.”
“Itu lebih baik baginya Tuanku.”
“Ya. itu lebih baik.” Akuwu Tunggul Ametung mengulangi. Kini sekali lagi ia meraba tubuh Jajar itu. Lalu katanya, “Berilah ia minum. Semula aku berhasrat untuk membinasakannya pula. Tetapi melihat keadaannya aku tidak sampai hati.”
Prajurit-prajurit itu sejenak saling
berpandangan. Tetapi salah seorang dari mereka segera meneteskan
beberapa titik air kemulut Jajar itu.
Akuwu Tunggul Ametung masih berdiri
disampingnya dengan wajah yang tegang. Hatinya memang terlampau
meledak-ledak. Tetapi hati yang meledak-ledak itu mudah juga menjadi
cair. Ketika ia melihat wajah Jajar itu seputih mayat, tubuh yang
dilukisi oleh jalur-jalur luka senjata tajam dan luka-luka bakar, maka
ia menjadi iba.
Akuwu itu membungkuk sekali lagi ketika
ia melihat bibir Jajar itu bergerak. Kemudian ia melihat gerak lehernya.
Agaknya Jajar itu telah mampu menelan butiran-butira air yang membasahi
kerongkongannya.
Sejenak mereka yang mengelilingi Jajar
itu menjadi tegang. Mereka seolah-olah tidak lagi memperhatikan keadaan
di sekeliling mereka. Mereka seolah-olah sudah tidak lagi mendengar
derak rumah Jajar yang terbakar itu. Mereka tidak menghiraukan lagi
panas api yang menyentuh tubuh mereka. Dan mereka sama sekali tidak
memperdulikan tetangga-tetangga Jajar itu mengintip dari kejauhan dari
sela-sela dinding rumah mereka.
Ketika dada Jajar itu mulai bergerak, terdengar Aku wu Tunggul Ametung berdesis, “Ia masih hidup, ia mulai bergerak.”
“Hamba Tuanku.” sahut salah
seorang prajurit tanpa berpaling. Juru taman itu telah benar-benar
merampas segenap perhatian Akuwu Tunggul Ametung dan para prajuritnya.
“Berilah ia air beberapa tetes lagi.
Jangan terlampau banyak supaya apabila ia mendapat kesulitan untuk
menelannya justru tidak menjumbat pernafasan.”
“Hamba Tuanku. Kemudian seorang
prajurit telah meneteskan beberapa titik air kemulut Jajar yang gemuk
itu. Dan mereka melihat bibir itu bergerak-gerak dan kerongkongannya
telah mulai menelannya pula.”
“Ia akan segera sadar.“ gumam Akuwu Tunggul Ametung.
Dan ternyata Jajar itu sejenak kemudian
menggerakkan kepalanya. Kemudian nafasnya mulai terasa. semakin cepat
mengalir. Ketika seorang prajurit sekali lagi meneteskan air dimulutnya,
maka terdengar sebuah keluhan yang lambat sekali keluar dari mulut juru
taman itu.
“Nah.“ desis seorang prajurit yang berjongkok disamping Jajar itu, “ia telah sadar.”
“Ya.“ sahut yang lain.
Perlahan-lahan Jajar itu membuka matanya.
Perlahan-lahan pula dicobanya menggerakkan anggauta tubuhnya. Tetapi
sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang seolah-olah
mencengkam segenap bagian tubuhnya.
“Jangan bergerak.” berkata salah seorang prajurit.
Jajar itu tiba-tiba membelalakkan
matanya. Dengan nanar dipandanginya orang-orang yang berada
disekitarnya. Lalu, tiba-tiba Jajar itu mencoba untuk bangkit. Tetapi
tubuhnya masih terlampau lemah sehingga iapun terjatuh lagi, terbaring
diatas tanah.
“Jangan bergerak.” seorang
prajurit mencoba memperingatkan yang sekali lagi. Tetapi mereka yang
berada di seputar Jajar itu terkejut ketika tiba-tiba saja Jajar itu
berteriak, “Apa katamu? Apakah kau mengancam?”
Para prajurit itu saling berpandangan. Tetapi mereka kemudian menangkap isyarat Akuwu Tunggul Ametung yang berdesis, “Ia sedang mengigau. Tubuhnya terlampau panas.”
Dengan demikian maka para prajurit itupun
tidak berbuat apa-apa. Mereka juga tetap berdiam diri saja ketika
mereka melihat Jajar itu menggeliat. “He.” Katanya, “apakah kalian telah berhasil?, He, apakah kalian telah berhasil?”
Tak ada seorangpun yang menjawab.
Jajar itu mengerutkan keningnya. Ketika
sekali lagi ia membelalakkan matanya, maka para prajurit dan bahkan
Akuwu Tunggul Ametung menjadi berdebar-debar. Mereka melihat sesuatu
yang lain pada sorot mata Jajar yang gemuk itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara
tertawa Jajar yang masih saja terbaring itu. Tetapi suara itu terputus
oleh kata-katanya sendiri, “He, dimana Kebo Sindet? Apakah kau Kebo Sindet? Kau mengancamku?”
Tak seorangpun yang menjawab. Dan Jajar itu berkata pula, “Oh,
ternyata kau bukan Kebo Sindet. Kau adalah anak-anak muda yang telah
membantuku. Bagus. Kalian akan mendapat bagian kalian. Tetapi ingat,
besok kalian harus membawa kawan-kawan lebih banyak lagi. Akulah yang
akan membawa tebusan itu bersama dua orang prajurit. Kalian harus
membinasakan kedua prajurit itu dan melemparkannya keparit.“ Jajar itu berhenti sejenak, lalu meledaklah suara tertawanya, “Tiga
pengadeg perhiasan itu akan jatuh ketanganku. Oh, alangkah bodohnya
Kebo Sindet dan Permaisuri Ken Dedes itu. Alangkah bodohnya.“ suara tertawanya kini meninggi. “Bukankah Ken Dedes bersedia memberikan tebusan tiga pengadeg? Tidak hanya satu pengadeg seperti permintaan Kebo Sindet.“
suara tertawa Jajar yang gemuk itu semakin tajam membelah sepinya
malam, disela-sela derak rumahnya yang sedang terbakar. Tetapi Jajar itu
sudah kehilangan kesadarannya. Ia sudah tidak dapat menyadari lagi
bahwa rumahnya sudah hampir habis dimakan api. Ia sudah tidak
mempedulikan lagi ketika sisa-sisa bara rumah itu runtuh menimpa
mayat-mayat yang sudah terbakar pula di dalam rumah itu. Jajar itu sama
sekali sudah tidak dapat mencium bau wengur yang menusuk-nusuk hidung.
Akuwu Tunggul Ametung berdiri saja
seperti patung. Dadanya terasa menghentak-hentak mendengar igauan Jajar
yang gemuk itu. Perasaan iba dan kasiannya sedikit demi sedikit terhalau
dari hatinya yang meledak-ledak, seperti rumah Jajar itu yang sedikit
demi sedikit musna menjadi abu.
Apalagi ketika ia mendengar Jajar itu berkata terus didalam kegilaannya, “Ayo,
siapkan kawan-kawanmu. Aku akan menjadi kaya raya. Aku akan menjadi
seorang yang paling kaya di Kediri kecuali Tunggul Ametung dan Maha Raja
Kediri. Aku akan memiliki tanah seluas tanah Perdikan yang besar.
Kalian adalah pengawal-pengawalku yang setia dan baik. Kalian akan aku
pelihara seperti seekor anjing penjaga. Aku akan selalu menyediakan
tulang-tulang untuk kalian supaya kalian tidak menggigit aku sendiri.“
Jajar itu tertawa terus. Suaranya meninggi membelah sepinya malam.
Namun ternyata Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi muak. Tiba-tiba saja ia
membentak keras? sehingga para prajuritpun menjadi terkejut pula
karenanya, “Diam, diam juru taman yang gila. Ternyata kau adalah pengkhianat yang paling licik.”
Suara tertawa Jajar itu mereda. Ia
mencoba memandangi orang yang berdiri disampingnya. Namun tiba-tiba ia
mcncoba bangkit sambil berteriak, “He, kaukah Kebo Sindet itu?“ Tetapi sekali lagi Jajar itu jatuh terbaring ditanah.
Akuwu berdiri membeku ditempatnya, sedang
para prajuritpun menjadi terpukau oleh sikap Jajar yang gemuk itu.
Mereka melihat Jajar itu membelalakkan matanya. Menggeretakkan giginya
sambil menggeram. Tetapi sejenak kemudian ia tertawa, “Oh, aku kira kau adalah Kebo Sindet atau hantunya yang keluar lagi dari api neraka. Bukankah Kebo Sindet sudah dimusnakan?“
Jajar itu berhenti sejenak. Suara tertawanya berderai menyusup diantara
suara api yang hampir menelan seluruh rumah Jajar itu. Ledakan-dakan
bambu berletupan susul menyusul. Satu demi satu kayu-kayu atap rumah itu
runtuh menjadi abu, seperti Jajar itu yang runtuh terbanting dalam
kekecewaan dan penjesalan yang sangat. Kejutan dan ketakutan,
ancaman-ancaman dan kengerian yang sangat ternyata telah merampas
segenap kesadarannya.
Dalam kegilaannya Jajar itu kemudian berteriak, “Siapa kalian he, siapa kalian?”
Tak seorangpun yang menjawab.
Mata Jajar itu terbelalak. Tiba-tiba
tubuhnya yang lemah itu tersentak. Tanpa disangka-sangka oleh para
prajurit, Jajar yang gemuk itu tertatih-tatih berdiri. Dengan wajah yang
tegang dan kemerah-merahan bernoda hitam oleh luka-luka bakarnya, Jajar
itu memandangi Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian terdengar suaranya
parau, “Siapa kau he, siapa?”
Akuwu tidak menjawab.
“Apakah kau prajurit Tumapel?“ lalu Jajar itu tertawa, “Ha,
ternyata kau prajurit Tumapel. Kau pasti sudah membawa tebusan itu.
Mana, mana, berikan kepadaku. Syaratnya, akulah yang harus menyerahKan
tebusan itu kepada Kebo Sindet. Tetapi Kebo Sindet sudah mati. Kaupun
sebentar lagi akan mati.“ suara tertawa Jajar itu mengguruh bercampur baur dengan suara api, “kaupun akan mati.”
Jajar itu maju setapak, mendekati Akuwu Tunggul Ametung.
Akuwu Tunggul Ametung bukanlah seorang
penakut. Seandainya yang berdiri dihadapannya itu Kebo Sindet, maka
pasti akan segera timbul perkelahian yang dahsyat. Tetapi yang berdiri
tersuruk-suruk itu adalah seorang juru taman yang telah menjadi gila.
Karena itu, maka justru Akuwu Tunggul Ametung melangkah surut.
Para prajurit yang melihatnya seakan-akan
menjadi beku. Mereka tidak ubahnya patung-patug batu mati. Berbagai
perasaan bercampur aduk di dalam kepala mereka.
“Ha, apakah kau akan lari? Kau tidak akan dapat terlepas dari tanganku.“ kemudian Jajar yang gemuk itu berpaling kepada para prajurit yang tegak seperti tonggak.
“Ayo, cepatlah berbuat. Bunuh saja prajurit Tumapel. Ambillah perhiasan yang tiga pengadeg itu.”
Tetapi tidak seorangpun yang bergerak.
“Cepat. Cepat.“ teriak Jajar yang gemuk itu, “cepat sebelum orang ini lari.”
Jajar itu maju selangkah lagi, dan Akuwu
Tunggui Ametungpun mundur lagi selangkah. Akuwu itu menjadi bingung dan
jantungnya berdebaran. Belum pernah ia menghadapi orang gila seperti
itu. Kalau ia berbuat sesuatu, maka ia telah melakukan kesalahan.
Terhadap orang gila, maka tidak sewajarnya dilakukan kekerasan yang
dapat mengancam keselamatan orang itu. Apalagi Jajar itu berada dalam
keadaan yang sangat payah. Sebuah sentuhan yang perlahan-lahan akan
dapat membuatnya roboh dan membahayakan jiwanya. Tetapi untuk terus
menerus mundur menghindar adalah menjemukan sekali.
Namun ketika orang itu maju selangkah sambil terhujung-hujung, maka Akuwu terpaksa mundur lagi setapak.
“Berhenti disitu.” geram Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi dalam kegilaannya Jajar itu tertawa. “Kau
mengancam aku, he? Lihat, kau sudah terkepung. Jangan mencoba lari.
Kalau kau dengan suka rela menyerahkan tebusan yang tiga pengadeg itu,
maka semuanya akan segera selesai.”
Akuwu Tunggul Ametung menggeretakkan giginya.
“Ha, akan lari kemana kau, he?” lalu kepada para prajurit Tumapel Jajar itu berteriak mengulangi, “Ayo cepat, kenapa kalian masih diam saja, he? Apakah kalian telah mati.”
“Kau telah menjadi gila.” berkata salah seorang prajurit itu, “duduklah. Beristirahatlah.”
“Apa, kau bilang aku telah menjadi
gila? Oh, aku dengar suaramu. Aku tidak gila. Perhitunganku pasti
terjadi tepat seperti keinginanku. Lihat prajurit ini datang dengan
tebusannya. Ha, kau lihat? Ayo, bunuh saja seperti kalian membunuh Kebo
Sindet.”
Jajar itu masih saja berteriak-teriak
sehingga suaranya menjadi serak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir
lewat lubang hidung dan mulutnya. Sambil terbungkuk-bungkuk ia menekan
lambuhgnya. Namun ia masih berteriak-teriak, “Ayo, cepat. Cepat. Bunuh orang itu.”
Akuwu masih berdiri kebingungan. Namun
semakin lama perasaan ibanya telah merayapi jantungnya kembali disamping
perasaan muak dan jemu. Melihat Jajar yang gemuk itu, terbayang di
dalam angan-angan Akuwu Tunggul Ametung, betapa ia dilanda oleh
kekecewaan dan ketakutan pada saat kawan-kawannya satu demi satu
terbunuh oleh Kebo Sindet. Betapa ia dicekik oleh kengerian melihat api
membakar rumahnya sedang ia terikat didalamnya. Hentakan-hentakan
perasaan itu telah membuatnya gila. Tetapi itu adalah buah dari
tanamannya sendiri.
“Juru taman.” berkata salah seorang prajurit yang agaknya menjadi kasian pula melihat Jajar itu, “coba
kau perhatikan baik-baik siapakah yang berdiri dihadapanmu. Cobalah kau
melihat baik-baik apa yang ada disekitarmu. Cobalah kau menguasai
kesadaranmu dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi atasmu.”
Jajar itu sekali lagi membelalakkan matanya. Dan ia mendengar prajurit itu berkata, “Kau lihat aku? Kau lihat pakaianku?”
Jajar itu masih membelalakkan matanya.
“Pakaian ini pasti kau kenal. Kami adalah prajurit-prajurit Tumapel.“ prajurit itu berhenti sejenak, lalu, “Dan lihatlah, Apakah kau melihat api itu. Api?”
Tidak ada jawaban. Jajar yang gemuk itu
mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi pandangan matanya mengikuti
telunjuk prajurit itu mengarah kepada api yang berkobar menggapai
langit.
Nafas Jajar yang gemuk itu menjadi
semakin terengah-engah. Dengan wajah yang tegang ia memandang reruntuhan
rumahnya yang menyala.
“Api.“ perlahan-lahan ia bergumam.
“Cobalah mengingat-ingat. Dari manakah api itu datang?“ berkata prajurit yang lain.
Jajar yang gemuk itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya kesekelilingnya.
Namun masih belum terdapat kesan di wajah yang merah kehitam-hitaman
itu. Kini tampak semakin jelas, kulit wajah itu telah menjadi sangat
parah. Dibeberapa bagian kulit itu telah terkelupas, dan dibagian lain
menjadi hangus.
Setapak Jajar itu maju mendekati para
prajurit. Seperti seorang yang kehilangan ia mencari-cari pada
wajah-wajah prajurit itu. Tetapi ia tidak menemukan sesuatu. Karena itu
maka iapun maju lagi mendekati api yang telah menelan rumahnya.
“Api.“ sekali lagi ia berdesis.
“Ya api.“ sahut seorang prajurit, “kau masih dapat mengenal bahwa yang menyala itu api.”
Jajar itu tiba-tiba saja mengangguk-anggukkan kepalanya, “a, api. Api.”
“Nah, kau sudah hampir menemukan kesadaranmu kembali.”
Jajar itu kemudian berdiri mematung.
Dipandanginya api itu. Lama sekali ia berdiri tegak sambil memandangi
api yang sedang menari-nari. Lama sekali.
Akuwu Tunggul Ametung dan para prajurit
Tumapel, membiarkannya berbuat sekehendak hatinya. Mereka tidak sampai
hati berbuat sesuatu atasnya. Justru setelah ia menjadi gila. Nafsu
Akuwu untuk membinasakan telah menjadi pudar, seperti api yang membakar
rumah Jajar itu. Semakin lama menjadi semakin surut. Semakin surut.
Jajar yang gemuk itu masih memandangi api rumahnya. Api yang telah menyentuh tubuhnya pula.
Perlahan-lahan Jajar itu memalingkan
wajahnya. Dipandanginya semua yang ada di halaman. Pepohonan,
rumpun-rumpun bambu, pagar batu yang telah rusak, regol yang hampir
roboh dan beberapa macam benda yang lain. Perlahan-lahan sekali ia mulai
dapat mengenali benda-benda yang setiap hari dilihatnya itu. Karena itu
maka tiba-tiba ia berdesis, “Dimana kah aku sekarang?”
“Dihalaman rumahmu sendiri.“ jawab seorang prajurit.
“Dihalaman rumahku?“ Jajar itu
mengulangi, ketika sekali lagi ia memandangi regol dan pagar batu yang
telah bengkah-bengkah, maka iapun berdesis lagi, “Ya, aku berada di halaman rumahku. Tetapi api itu?”
“Ingat-ingatlah apa yang telah terjadi atasmu.”
Jajar itu terdiam. Di pandanginya api itu dengan tajamnya.
Tampaklah mulutnya yang telah terluka itu
bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun meloncat dari sela-sela
bibirnya yang telah menjadi merah kehitam-hitaman itu.
“Apakah kau sudah dapat menyadari keadaanmu?“ seseorang prajurit tiba-tiba.
Jajar yang gemuk itu terkejut, dan
ternyata kejutan itu telah merangsang ingatannya. Kini ia melihat apa
yang telah terjadi dihadapannya. Rumahnya telah menjadi abu.
“Oh.” terdengar sebuah keluhan, “rumahku. Jadi api itu telah membakar rumahku?”
Jajar yang gemuk itu menutup wajahnya
dengan ke dua telapak tangannya. Tetapi sentuhan itu telah mengejutkan
pula. Ia terdorong semakin dalam kedalam kesadarannya. Kini ia merasa
betapa wajahnya menjadi nyeri dan pedih. Tangannya, pundaknya, dadanya.
Dan tiba-tiba terasa seluruh tubuhnya menjadi nyeri dan pedih.
Perlahan-lahan ingatannya menjalar
kembali di dalam kepalanya Dicobanya untuk mengulangi semua peristiwa
yang baru saja terjadi di dalam batinnya. Dan semuanya menjadi jelas
baginya. Sejak ia menunggu Kebo Sindet dengan gelisahnya, kemudian
kedatangan adiknya. Baru kemudian Kebo Sindet dan Kuda Sempana datang.
Perkelahian yang memang sudah direncanakannya segera berkobar. Tetapi
nasibnya tidak seperti yang dikehendakinya sendiri. Yang terakhir ia
telah diseret oleh Kebo Sindet, dan diikat pada tiang rumahnya. Ia masih
melihat sekejap api yang menyala disudut rumahnya itu. Ia masih sempat
berteriak-teriak sekuat-kuat dapat dilakukannya. Tetapi tetangganya
tidak seorangpun yang berani keluar rumah. Sedang api semakin lama
menjadi semakin besar.
Kengerian yang sangat telah membuatnya pingsan.
Para prajurit Tumapel dan Akuwu Tunggul
Ametung melihat bahwa Jajar itu berangsur-angsur mendapatkan
kesadarannya kembali. Mereka membiarkan Jajar itu berdiri diam sambil
menjelajahi peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi di dalam
ingatannya.
Perlahan-lahan mereka melihat Jajar itu
memalingkan wajahnya, memandangi para prajurit yang kini berdiri
mematung. Jajar itu melihat berpasang-pasang mata memandangnya dengan
tajam. Perlahan-lahan ia dapat mengenali pakaian-pakaian yang dikenakan
oleh orang-orang itu. Ternyata mereka sama sekali bukan anak-anak muda
yang telah diajaknya mendjebak Kebo Sindet.
Sebuah ingatan yang ngeri telah menyengat
hati Jajar yang gemuk itu. Anak-anak muda kawan-kawan adiknya itu satu
demi satu mati terbunuh. Mereka telah menjadi umpan senjata Kebo Sindet
dalam keadaan yang mengerikan. Ternyata senjata Kebo Sindet sama sekali
tidak memilih tempat untuk hinggap.
“Anak itu telah mati dan dilemparkan ke dalam rumah itu pula bersama adikku.“ Jajar itu bergumam lambat sekali. “Kalau begitu …“ mata Jajar itu sekali lagi terbelalak, “Mereka adalah prajurit-prajurit Tumapel.”
Jajar itu kini berdiri tegak seperti
patung. Dipandanginya para prajurit Tumapel itu dengan wajah yang
tegang. Semakin lama semakin jelas baginya, bahwa yang dihadapannya itu
memang prajurit-prajurit. Tumapel.
Tubuh Jajar yang lemah itu menjadi
semakin gemetar. Perasaannya yang terpecah-pecah semakin lama menjadi
semakin mengendap, dan kesadarannyapun menjadi semakin wajar. Karena
itulah maka hatinya menjadi semakin ngeri menghadapi prajurit-prajurit
Tumapel dengan pedang di lambung.
Baru saja ia mengalami peristiwa yang
membuatnya hampir gila sebenarnya gila. Dan sekarang ia sudah harus
berhadapan dengan prajurit-prajurit Tumapel.
Tetapi tiba-tiba menjalarlah suatu pertanyaan dikepalanya. “Bukankah
aku sudah hampir mati di dalam rumah yang terbakar itu. Bukankah Kebo
Sindet telah mengikatkan dan mencoba membakar aku hidup-hidup. Tetapi
kenapa aku sekarang berada disini diantara para prajurit Tumapel.”
Pertanyaan itu telah menghentak-hentak dada juru taman itu, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi, “Tetapi bukankah aku sudah hangus dimakan api?”
Salah seorang prajurit itu menjawab, “Lihat ketiga prajurit ini. Mereka ikut terluka bakar karena berusaha menolongmu.”
“Oh.“ Jajar itu terhenyak kedalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Prajurit-prajurit itu telah menolongnya.
“Apakah mereka tidak tahu apa yang akan aku lakukan atas mereka yang akan mendapat tugas mengantarkan tebusan itu?“ Jajar itu bertanya di dalam hatinya, tetapi yang terucapkan adalah, “Terima kasih. Buat apa sebenarnya kalian melepaskan aku dari api itu?”
Para prajurit itu tidak menjawab. Tetapi
hampir serentak mereka berpaling memandang Akuwu Tunggul Ametung yang
berdiri disisi mereka.
Jajar yang gemuk itupun ikut pula
memandang kearah orang yang berdiri di ujung itu. Bayang-bayang para
prajurit yang berdiri berjajar, telah menghalangi pandangannya untuk
mengenal orang itu dengan baik. Apalagi keadaan tubuhnya yang lemah, dan
bahkan otaknya yang belum saras sama sekali, tidak segera
mernperkenalkannya kepada orang itu.
Tetapi kini ia menjadi semakin jelas.
Orang yang berdiri di ujung dari deretan para prajurit itu memakai
pakaian yang agak berbeda, meskipun juga pakaian keprajuritan.
Tiba-tiba Jajar itu berdesis lambat, “Siapakah orang itu?”
Seorang prajurit yang berdiri paling dekat dengan Jajar itu bertanya lirih, “Apakah kau belum mengenalnya?”
Jajar itu mencoba menajamkan
pandangannya. Lamat-lamat ia melihat wajah itu. Semakin lama semakin
jelas. Dan tiba-tiba saja ia meloncat maju sambil menyebut nama itu, “Tuanku, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Tetapi tubuh Jajar itu sudah terlampau
lemah. Ia sudah tidak cukup kuat untuk melangkah sampai kehadapan Akuwu
Tunggul Ametung untuk kemudian berjongkok menyembah. Ia sudah tidak
mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya, sehingga ketika kakinya
terayun selangkah, maka Jajar yang gemuk itupun terbanting jatuh di
tanah.
Beberapa orang prajurit serentak berusaha menahannya tetapi Jajar itu telah terjerembab jatuh.
Namun meskipun demikian masih terdengar ia berkata hampir merengek, “Ampun Tuanku. Ampunkan hamba.”
Tunggul Ametung memandanginya dengan dahi yang berkerut merut. Namun ia masih berdiri ditempatnya.
“Ampunkan hamba Tuanku.“ terdengar lagi suara Jajar itu mohon belas kasian. “Hamba telah berkhianat, Tuanku. Tetapi ternyata hamba telah menerima hukuman atas pengehianatan itu.”
Akuwu Tunggul Ametung berdesis lambat. “Apakah yang sebenarnya akan kau lakukan?”
“Menipu Kebo Sindet dan menjebaknya.
Kemudian menjebak para prajurit yang mengantar hamba besok menyerahkan
tebusan. Sebab sebenarnya Kebo Sindet sama sekali tidak setuju dengan
usul Tuanku Permaisuri untuk menerima tebusan dan membawa Mahisa Agni
bersamanya. Namun ketidak sediaannya itu telah menumbuhkan niat jahat
dikepala hamba.“ kata Jajar itu terputus-putus dikerongkongan.
Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak
terkejut mendengar keterangan Jajar itu. Ia sudah menduga, dan ternyata
dugaannya itu tepat.
“Kini.“ Jajar itu masih berkata diantara nafasnya yang semakin memburu, “apakah Tuanku akan menjatuhkan hukuman atasku, atas pengkhianatanku terhadap Tuanku dan Tuanku Permaisuri?”
Akuwu Tunggul Ametung tidak segera
menjawab. Ia melangkah maju mendekati Jajar yang masih terbaring di
tanah. Dengan susah pajah Jajar itu mencoba bangkit.
Dengan ditolong oleh beberapa orang prajurit akhirnya ia berhasil duduk di tanah bersandar kedua belah tangannya.
“Aku ingin mendengar beberapa keterangan tentang Kebo Sindet.“ berkata Akuwu Tunggul Ametung, “apa kah benar ia tidak bersedia membawa Mahisa Agni.”
“Hamba Tuanku.”
Terdengar Akuwu Tunggul Ametung itu menggeram, “Kau memang bodoh. Bodoh sekali. Kau tidak dapat menilai siapakah yang sedang kau hadapi.”
Jajar itu tidak menjawab.
“Apakah kau tidak dapat mempergunakan
otakmu, he Jajar yang bodoh. Bukankah dengan demikian Kebo Sindet akan
menjadi semakin buas. Tetapi adalah lebih baik bahwa ia masih hidup.
Sebab dengan demikian aku masih ada kesempatan berurusan dengan iblis
itu. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan keinginannya untuk mendapatkan
tebusan.“ Akuwu itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berteriak, “Kau,
kaulah yang gila. Kau telah merusak semua rencana untuk meyelamatkan
Mahisa Agni, dan sekaligus membinasakan iblis yang biadab itu.”
Jajar itu tidak segera menjawab. Tetapi
tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar. Nafasnya menjadi semakin
deras bekerjaran didadanya.
Tetapi suara Akuwu kemudian menurun, “Memang
sudah tidak ada gunanya aku membunuhmu. Ketika aku berangkat dari
istana aku memang ingin membunuhmu dan membunuh Kebo Sindet sama sekali
setelah aku mendapat keterangan Mahisa Agni. Tetapi ternyata soalnya
tidak terlampau sederhana begitu. Dan kini aku sama sekali menjadi muak
melihat tampangmu dan kegilaanmu. Biarlah para prajurit mengurusmu
menurut ketentuan yang berlaku atas penghianatanmu.”
“Ampun Tuanku, ampun.” Jajar itu hampir menangis.
Akuwu Tunggul Ametung sudah tidak
menjawabnya lagi. Ia kemudian berpaling dan melangkah meninggalkan
Jajar yang duduk lemah. Api yang menelan rumah Jajar itu sudah kian
mereda meskipun masih juga meronta-ronta ke udara.
Sejenak Akuwu Tunggul Ametung berdiri
tegak memandang api yang kemerah-merahan. Ia tidak segera dapat
memutuskan, apakah yang akan dilakukannya. Ia harus berpikir lagi dan
menyusun rencana dari permulaan sekali.
Jajar yang gemuk yang terduduk lemah
diatas tanah itu menjadi bingung dan cemas. Apakah yang akan dilakukan
atasnya oleh para prajurit atas pengehianatannya. Ketika ia berpaling
dilihatnya api yang sudah membuat rumahnya menjadi onggokan bara yang
merah.
Sebuah desir yang tajam menyengat jantung
Jajar itu. Sekali dipandanginya Akuwu yang berdiri tegak seperti
patung. Kemudian dilihatnya bayangan-bayangan yang merah kehitam-hitaman
dari para prajurit Tumapel yang berdiri disekitarnya, seperti bayangan
hantu yang telah siap untuk mencekiknya. Pedang-pedang mereka yang
tergantung di lambung serta sorot mata mereka yang tajam, membuat
jantung Jajar itu seperti meledak karenanya.
Dalam ketakutan dan kecemasan itu, maka
dibayangkannya apa yang sudah dan akan dapat terjadi atasnya. Meskipun
para prajurit Tumapel tidak akan berbuat sekejam Kebo Sindet, tetapi
pasti akan ada hukuman lain yang membuatnya menjadi terlampau kecut. Ia
pasti akan dilihat oleh orang-orang lain yang mengetahui persoalan itu.
Kalau ia dibawa oleh para prajurit itu disepanjang jalan kota, maka
orang-orang Tumapel akan keluar dari rumah mereka dan melihatnya seperti
melihat tontonan yang paling menarik. Mungkin mereka akan
berteriak-teriak mengejek dan anak-anak akan melemparinya dengan batu.
Apalagi kalau ia sempat bertemu dengan dua orang Jajar juru taman,
kawannya sepekerjaan.
Terasa wajah Jajar yang luka-luka itu
menjadi terlampau pedih oleh tetesan keringat dinginnya yang merentul
dari pelipisnya. Dalam kecemasan itu ia merasakan seluruh tubuhnya
terasa sakit dan nyeri. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari kulit
dagingnya. Tetapi yang paling sakit dari semuanya itu adalah
perasaannya.
Penyesalan yang menghentak-hentak kepalanya, ketakutan dan kebingungan yang selalu menghantuinya.
Ketika angin bertiup dari Utara, maka
lidah api yang menjulang tinggi itu bergetar. Bayang-bayang para
prajurit itu pun tampak bergerak-gerak.
Jajar yang sedang dalam ketakutan yang
sangat itu tiba-tiba terkejut. Ketika ia melihat bayang-bayang yang
panjang dan bergerak-gerak itu, maka kembali kegilaannya menyerang
otaknya. Terbayang didalam kegilaannya, hantu-hantu yang hitam tinggi
dan besar bergerak-gerak untuk menerkamnya.
Karena itu maka tiba-tiba Jajar yang
gemuk itu menjerit mengerikan. Tanpa disangka-sangka oleh para prajurit,
maka Jajar itu meronta. Dengan sisa-sisa tenaganya yang ada, maka ia
berusaha berdiri.
Sebelum para prajurit sempat berbuat
sesuatu, maka Jajar itupun telah berlari tersuruk-suruk kearah api yang
sedang berkobar menelan sisa-sisa rumahnya.
“He, kau akan lari kemana?” bertanya salah seorang prajurit.
“Hantu itu akan mencekik aku. Aku harus bersembunyi ke dalam rumahku.”
“Berhenti, berhenti.” teriak
prajurit yang lain. Tetapi Jajar yang itu berlari semakin kencang.
Seperti kerasukan, Jajar yang lemah itu tiba-tiba mendapatkan kekuatan
tiada taranya. Ia mampu berlari kencang sekali.
Serentak para prajurit yang tercengang
itu menyadari keadaan. Agaknya Jajar itu telah terserang oleh
kegilaannya lagi. Serentak pula mereka berlari mengejar Jajar yang gemuk
yang akan menjerumuskan dirinya masuk ke dalam api yang sedang
menjilat-jilat ke udara.
“Berhenti, berhenti.“ teriak prajurit yang lain.
“Rumah itu adalah rumahku.“ jawab Jajar yang gemuk itu dalam kegilaannya.
Seorang prajurit yang berlari dipaling depan menjadi semakin cemas. “Kau akan menjadi abu.” teriaknya.
“Jangan kejar aku.” Jajar itupun berteriak.
Akuwu yang berdiri tegak seperti patung,
menjadi semakin terpukau ditempatnya. Hal itu sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Jajar itu sebentar lagi akan menjerumuskan dirinya
ke dalam jilatan api yang merah.
Tetapi jarak antara Akuwu Tunggul Ametung
dan arah lari Jajar yang gemuk itupun agak jauh. Kalau Akuwu Tunggul
Ametung meloncat berlari mengejar Jajar itu, agaknya iapun akan
terlambat.
Sejenak Akuwu itu terpaku diam. Namun ia
mencari jalan yang paling cepat untuk menghentikan Jajar yang gila itu,
supaya ia tidak membakar dirinya sendiri hidup-hidup. Sedang waktu untuk
itu tinggal beberapa kejap saja.
( bersambung ke jilid 36)
No comments:
Write comments