SEPERCIK keringat dingin menetes di
kening Jajar yang gemuk itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
Per¬maisuri akan menjadi tenang menghadapi keadaan itu. Namun dengan
demikian justru Jajar itulah yang menjadi gelisah. Lidahnya seolah-olah
kehilangan kekuatan untuk mengatakan sesuatu.
“Sekarang pergilah. Katakan kepada para
prajurit itu, bahwa mereka pun aku perkenankan meninggalkan halaman ini.
Ternyata kau tidak berbahaya bagiku.”
“Oh.” Jajar itu mengerutkan keningnya. Matanya yang sipit menjadi semakin sipit.
“Tetapi, tetapi, bagaimana dengan perhiasan itu Tuanku?”
“Tunggulah, aku sedang berpikir untuk itu.”
“Bagaimana kalau hari ini Kakanda Tuanku itu mengalami bencana.”
“Tidak. Itu tidak akan terjadi. Sekian
lama mereka menunggu untuk mendapat tebusan. Maka mereka pasti akan
menunggu sehari-dua hari lagi.”
“Tetapi.”
“Pergilah.”
“Tuanku.”
“Pergilah.”
Jajar itu tidak dapat menjawab lagi.
Harapannya untuk mendapatkan perhiasan hari itu juga telah gagal. Tetapi
ia tidak berputus asa. Ia memastikan bahwa Permaisuri akan memberikah
perhiasan itu kepadanya. Soalnya hanyalah waktu. Sekarang, besok atau
mungkin dua tiga hari lagi. Tetapi barang-barang itu pasti akan menjadi
miliknya.
Dengan gemetar Jajar itu membungkukkan badannya sambil berkata, “Ampun Tuanku. Perkenankanlah hamba meninggalkan tempat ini.”
Ken Dedes mengangguk. Dipandanginya Jajar
itu ber¬ingsut mundur. Kemudian berjalan sambil berjongkok beberapa
langkah. Baru-baru kemudian tertatih-tatih ia berjalan ke sudut halaman
menemui para prajurit dan kawan-kawannya, untuk menyampaikan perintah
Permaisuri, bahwa mereka diperkenankan meninggalkan taman itu.
Tetapi ternyata sebelum mereka beranjak
dari tempatnya, mereka melihat Permaisuri itu berdiri dan berjalan
meninggalkan taman itu pula. Ternyata Permaisuri sudah tidak mempunyai
minat lagi untuk bermain-main di taman itu. Hatinya kini sedang
dicengkam oleh kecemasan dan kebingungan. Ia percaya bahwa memang
dituntut tebusan untuk Mahisa Agni, tetapi ia tidak pernah mendapat
jaminan yang meyakinkan tentang keselamatan kakaknya itu.
Karena itu setiap kali ia mendengar
tentang Mahisa Agni, maka seakan-akan luka di dalam dadanya menjadi
semakin parah. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi ia tidak dapat.
Seandainya ia dapat memutuskan sendiri, maka apapun akan di serahkannya
untuk membebaskannya. Apalagi hanya tiga pengadeg perhiasan.
Permaisuri itu kini sama sekali sudah
tidak ada minat lagi untuk bermain-main di taman. Dengan tergesa-gesa ia
berjalan diiringi oleh emban-embannya dan emban pemomongnya.
“Bibi.” berkata Ken Dedes, “aku menjadi pening. Aku ingin beristirahat.”
“Silahkanlah Tuanku.“ sahut emban yang
tua itu, “Tuanku memang harus beristirahat. Sebaiknya Tuanku tidak
terlampau dicengkam oleh kegelisahan memikirkan Angger Mahisa Agni.
Sebaiknya Tuanku menganggap persoalan itu sebagai persoalan yang biasa.
Persoalan yang meskipun harus diselesaikan, tetapi tidak membuat Tuanku
sendiri menjadi bersedih.”
“Tidak dapat bibi. Aku tidak dapat acuh tak acuh saja atas persoalan Kakang Mahisa Agni.”
Emban yang tua itu tidak menyahut. Hampir
terloncat-loncat ia berjalan di belakang Ken Dedes yang dengan
tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Beberapa emban pengiringnya
tinggal di depan pintu, sedang pemomong Ken Dedes mengikutinya masuk ke
dalam.
“Persoalan Kakanda Tuan Putri itu benar-benar menggelisahkan.” bisik seorang emban kepada kawannya.
“Sudah tentu.“ sahut yang lain, “Mahisa Agni adalah satu-satunya keluarga yang masih ada.”
“Tetapi tebusan itu memang tidak masuk diakal kita.” berkata yang lain.
“Jangan kau sebut-sebut.“ berkata seorang
yang lebih tua, “lebih baik kita diam supaya tidak mempersulit perasaan
Tuan Puteri itu sendiri.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, dan merekapun terdiam karenanya.
Di dalam biliknya, wajah Ken Dedes
menjadi semakin muram. Persoalan itu ternyata berkepanjangan,
seolah-olah tidak akan berujung. Persoalan yang selalu membayanginya
sejak lama, sejak perkawinan agung belum dilakukan.
“Tuanku.” berkata emban tua pemomong Ken Dedes.
“Tuanku terlampau memikirkan Kakanda Tuan
Puteri, Angger Mahisa Agni. Bukan maksudku untuk melupakannya, tetapi
persoalan ini jangan menjadi beban yang memberati perasaan Tuanku,
sehingga seolah-olah hidup Tuan Puteri selalu dibayangi oleh kemuraman
dan kesedihan. Ingatlah Tuanku, bahwa Tuanku adalah seorang Permaisuri.
Seandainya wajah Tuan Puteri itu selalu muram, maka seluruh istana ini
akan menjadi muram. Karena itu, usahakanlah untuk mengurangi tekanan
perasaan yang tumbuh karena Angger Mahisa Agni. Seorang isteri adalah
sumber cahaya dari keluarga. Kalau sumber itu suram, maka cahayanya pun
akan suram. Dan wajah-wajah yang lain pun akan menjadi suram pula.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya lirih, “Aku menyadari bibi, tetapi bagaimana aku dapat
melakukanya? Apalagi setelah Jajar itu mengatakan, bahwa ia telah
ditemui oleh Kuda Sempana dan menyampaikan permintaan itu.”
“Apakah Tuan Puteri percaya kepadanya?” bertanya emban tua itu.
“Tentu tidak sepenuhnya bibi. Aku tidak percaya kepada Jajar itu sepenuhnya, dan aku tidak pula percaya kepada Kuda Sempana.”
“Lalu apakah yang menarik perhatian Tuanku atas Jajar itu?”
“Jajar itu hanya sekedar merupakan
sentuhan-sentuhan yang akan dapat dipakai untuk mempersoalkannya lebih
lanjut. Itu lebih baik bagiku daripada tidak ada hubungan sama sekali
dengan orang yang telah menyembunyikan Kakang Mahisa Agni.”
Emban tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia sependapat dengan pikiran Ken Dedes itu. Ia
memang menganggap lebih baik hubungan dengan Jajar itu dan seterusnya
dengan Kuda Sempana dipelihara, meskipun hal-hal yang lain masih harus
dibicarakan.
“Bagaimana pendapatmu bibi?” bertanya Ken Dedes kemudian.
Emban itu ragu-ragu sejenak. Tetapi
kemudian ia berkata, “Adalah jalan yang paling baik yang harus Tuanku
tempuh adalah menyampaikan persoalan ini kepada Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah suami Tuanku, dan Tuanku
Tunggul Ametung adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi di Tumapel.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Ya, bibi. Memang tidak ada jalan lain. Aku harus
menyampaikan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi sebenarnya aku
meragukannya. Apakah Tuanku Akuwu akan menaruh minat atas persoalan ini.
Sudah sekian lama aku menunggu, sejak hari perkawinan kami. Tetapi
Akuwu seolah-olah telah melupakannya. Setiap kali ia mendengar persolan
itu, Tuanku Akuwu seolah selalu menghindarkan dirinya.”
“Tetapi persoalan ini harus mendapat
penjelasan Tuanku. Meskipun kita tidak dapat mempercayai Jajar itu dan
apalagi Kuda Sempana, tetapi harus ditemukan cara yang
sebaik-sebaiknyanya untuk melepaskan Angger Mahisa Agni.”
“Aku menyadari bibi. Dan aku akan mencoba sekali lagi menyampaikannya kepada Akuwu.”
“Silahkan Tuanku. Sebaiknyalah demikian. Jangan menuggu terlampau lama.”
Sekali lagi Ken Dedes mengangguk-anggukkan kapalanya. Wajahnya yang suram masih saja suram.
“Malam nanti aku akan menghadap Tuanku
Akuwu Tunggul Ametung untuk menyampaikan persoalan ini. Mudah-mudahan
Tuanku Akuwu menemukan jalan yang sebaik-baiknya.”
Demikianlah ketika matahari telah
terbenam, dan lampu-lampu di dalam istana Tumapel telah dinyalakan, maka
Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung sedang duduk sambil
menekurkan kepalanya dalam-dalam. Di sisinya Akuwu Tunggul Ametung
berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya.
Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Masing-masing sedang hanyut ke dalam dunia angan-angannya sendiri.
Diluar angin yang sejuk berhembus
perlahan, menggerakkan dedaunan dan ranting-ranting yang kecil. Suara
cengkerik di rerumputan berderik-derik menggelitik hati, seperti sedang
sesambat karena ditinggalkan kekasih.
“Ken Dedes.“ terdengar kemudian suara Akuwu Tunggul Ametung berat, “kau terlampau terpengaruh oleh keadaan Mahisa Agni.”
Ken Dedes mengangguk lemah, “Hamba Tuanku.”
“Apakah kau tidak dapat melupakannya?”
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga wajahnya yang basah itu terangkat, “Apakah maksud Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau adalah seorang Permaisuri. Bukan
hanya aku dan orang-orang seisi istana saja yang selalu memperhatikanmu.
Tetapi setiap orang di Tumapel ini setiap saat selalu menilaimu. Mereka
mengharap kau bergembira, berwajah cerah dan jernih. Demikianlah
hendaknya gambaran dari keadaan Tumapel. Tetapi agaknya kau tidak
berbuat demikian. Akhir-akhir ini wajahmu selalu muram dan sedih.”
“Ampun Tuanku. Hamba sudah berusaha untuk
berbuat demikian justru karena hamba menyadari kedudukan hamba. Tetapi
setiap kali hamba tidak mampu bertahan diri terhadap arus perasaan hamba
yang melanda dinding jantung.”
“Kau terlampau perasa Ken Dedes. Cobalah kau berjuang untuk mengatasi perasaanmu itu.”
“Hamba akan mencoba, Tuanku.”
“Baiklah. Cobalah sehari dua hari. Kau
harus menjadi seorang yang riang dan mempunyai gairah yang segar
memandang Tumapel dan segenap isinya.”
“Hamba akan mencoba, Tuanku.”
“Nah, apabila demikian, sekarang
beristirahatlah. Mungkin kau menjadi terlampau lelah. Bukan oleh kerja
jasmaniah, tetapi karena usahamu melawan perasaanmu sendiri.”
Sekali lagi Ken Dedes terkejut mendengar
kata-kata itu. Sekali lagi ia mengangkat wajahnya dan bertanya, “Tetapi
bagaimanakah tentang Mahisa kakang Agni?”
“He.“ kini Akuwu Tunggul Ametunglah yang
terperanjat, “bagaimana kau ini Ken Dedes. Baru saja kau mengatakan
kepadaku, bahwa kau akan berusaha, sekarang kau sudah menanyakan lagi
tentang Mahisa Agni.”
“Ampun Tuanku. Hamba akan berusaha untuk
menyembunyikan kepedihan hati hamba. Hamba akan berusaha untuk
menunjukkan gairah hidup hamba sebagai seorang Permaisuri, meskipun
seorang Permaisuri itu juga seorang manusia biasa. Apalagi hamba Tuanku.
Tetapi di samping itu, hamba ingin Tuanku berbuat sesuatu untuk
menemukan Kakang Mahisa Agni.”
“Ah.“ Akuwu Tunggul Ametung berdesah,
“kau selalu kembali kepada masalah itu. Ken Dedes, aku ingin kau
memberikan sumbangan kepadaku. Sebagai seorang Permaisuri terhadap
seorang Akuwu. Aku ingin mendapat dorongan darimu, agar aku menjadi
semakin tekun dan bersungguh-sungguh memikirkan Tumapel. Memikirkan
kemajuan dan kesempurnaannya. Bagaimana aku harus membuat istana ini
lebih indah, dan megah. Bagaimana aku menjadi semakin disegani dan
ditakuti oleh rakyatku. Bagaimana aku dapat menentukan kehendakku tanpa
seorang pun yang berani menyanggah.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sepercik kekecewaan telah mewarnai hatinya. Semakin lama semakin jelas.
“Itukah yang dianggapnya kemajuan dan
kesempurnaan?. Istana yang indah dan megah, disegani dan ditakuti,
kehendak yang tidak terbantah.“ berkata Ken Dedes di dalam hatinya,
“sama sekali berbeda dengan angan-anganku. Tetapi yang penting sekarang,
bagaimana Akuwu berbuat sesuatu untuk Kakang Makisa Agni.”
Dan Ken Dedes mendengar Akuwu itu berkata
terus, “Ken Dedes. Sudah tentu aku tidak dapat berbuat sesuatu yang
hanya berkisar kepada kepentingan diri sendiri. Sebab aku adalah seorang
Akuwu.”
Kerut merut di wajah Ken Dedes menjadi
semakin dalam. Kemudian katanya, “Ampun Tuanku. Hamba akan selalu ikut
serta memikirkan keadaan Tumapel. Hamba ingin Tumapel menjadi daerah
yang paling baik di segenap sudut Kerajaan Kediri. Hamba merasa bangga
atas keputusan Tuanku untuk membuka tanah di Padang Karautan. Seperti
yang Tuanku katakan, bahwa hal itu Tuanku lakukan bukan sekedar
menyenangkan hati hamba setelah hamba kehilangan segala-galanya, kecuali
Kakang Mahisa Agni saat itu. Bukan sekedar karena hamba ingin Panawijen
hidup kembali meskipun dalam ujudnya yang lain. Tetapi Tuanku berkata,
bahwa kemakmuran di daerah-daerah kecil akan berpengaruh kepada hidup
keseluruhan Tumapel. Bila Padang Karautan menjadi hijau dan subur, maka
Tumapel pun akan diperciki oleh kesuburan itu. Demikian pula di
daerah-daerah lain di wilayah Tumapel kelak. Dan hamba akan senang
sekali ikut memikirkannya. Bukan sekedar istana ini seisinya. Bukan
sekedar keinginan diri untuk ditaati setiap kata-katanya tanpa
pertimbangan. Bukankah dengan demikian itu juga sekedar berkisar kepada
kepentingan diri.”
”Ken Dedes.“ potong Akuwu Tunggul
Ametung, sehingga Ken Dedes menjadi terkejut karenanya. Tetapi Akuwu
Tunggul Ametung itu kemudian menarik-nafas dalam-dalam. Ditahankannya
perasaannya yang meledak-ledak sebagai kebiasaan hidupnya sehari-hari.
Tetapi, kepada Ken Dedes ia selalu menjaga dirinya. Selalu diingatnya,
bahwa ia pernah melihat seberkas sinar yang tak dikenalnya memancar dari
tubuh Permaisuri itu.
Sejenak kemudian mereka terhempas dalam
kediaman. Masing-masing mencoba untuk menahan diri. Betapapun gejolak
jantung mereka, namun mereka ingin bersikap tenang. Mereka berusaha
untuk menyaring setiap kata yang melontar lewat sela-sela bibir mereka.
Terdengar desah yang panjang meluncur
dari dada Akuwu Tunggul Ametung. Perlahan-perlahan ia berkata, “Kau
salah mengerti Ken Dedes. Kau belum dapat mengikuti caraku memerintah
Tumapel. Tetapi itu adalah wajar sekali, sebab kau belum cukup lama ikut
serta mendengar dan mengerti tentang pemerintahan. Mudah-mudahan pada
saatnya kau akan sependapat dengan aku.”
Ken Dedes kini menjadi semakin tuduk.
Setetes air menitik dari matanya, “Hamba Tuanku. Mudah-mudahan hamba
akan segera dapat mengerti.”
“Kalau kau tidak selalu dicengkam oleh
kecemasan dan kegelisahan, maka kau akan segera dapat mengikuti segala
persoalan Temapel seperti seharusnya seorang Permaisuri. Kau wenang
untuk ikut serta dalam pembicaraan-pembicaraan khusus. Karena itu, Ken
Dedes. Lupakan saja Mahisa Agni.”
Kini Ken Dedes benar-benar terperanjat.
Tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri. Namun ketika terpandang olehnya
Akuwu Tunggul Ametung, maka perlahan-lahan dijatuhkannya dirinya di atas
tempat duduknya.
“Ampun Tuanku.” desisnya. Namun kata-katanya terputus. Terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya.
“Bukankah hal itu lebih baik bagimu Ken Dedes.”
Dengan sekuat tenaga Ken Dedes mencoba
menahan perasaannya. Tersendat-sendat ia berkata, “Bagaimana mungkin
Tuanku sakarang berkata demikian.”
“Ken Dedes. Marilah kita memandang ke
depan. Kita tidak terpukau oleh masa lampau sehingga kita kehilangan
arah. Kita hanya merenung dan bersedih tanpa berbuat sesuatu.”
“Hamba Tuanku. Hamba sependapat. Tetapi apakah dengan melupakannya kita telah berbuat sesuatu?”
Kening Akuwu Tunggul Ametung menjadi
berkerut merut. Hampir-hampir ia kehilangan kesabaran dan berteriak
seperti kebiasaannya. Tetapi selalu ia ingat, ada kelebihan Ken Dedes
dari orang-orang lain. Cahaya itu. Ya cahaya yang memancar dari tubuhnya
yang pernah dilihat oleh Akuwu, selalu mempengaruhinya.
“Ken Dedes.“ berkata Akuwu itu kemudian,
“maksudku, kita berbuat sesuatu untuk kepentingan yang lebih besar. Kita
tidak boleh terpukau oleh masa lalu, sehingga kerja yang lain
terbengkalai. Apakah manfaatnya aku mencari Mahisa Agni dengan berbagai
macam cara, tetapi bendungan yang dibuat oleh orang-orang Panawijen itu
tidak selesai? Apakah manfaatnya kau memberikan perhiasan seperti yang
kau katakan itu, tetapi kita kehabisan beaya untuk meneruskan bendungan
itu? Ken Dedes, apabila kelak bendungan itu berhasil, maka orang-orang
Panawijen akan sangat berterima kasih. Mereka akan memuji kemurahan hati
kita atas bantuan yang telah kita berikan. Mereka akan hidup dalam
kesejahteraan, dan mereka akan selalu mengenang segala macam jasa yang
telah kita berikan. Dan mereka pun akan segera melupakan Mahisa Agni.”
“Kakang Mahisa Agni lah yang telah mulai dengan pekerjaan besar itu.“ tiba-tiba Ken Dedes menyahut.
“Aku tahu. Tetapi apakah artinya Mahisa Agni itu kemudian? Ia tidak berada lagi dipekerjaannya.”
“Itu sama sekali bukan karena kehendaknya sendiri.”
“Apapun alasannya. Tetapi ia tidak dapat
meneruskan pekerjaan itu. Akulah yang menyelesaikannya. Akulah yang
memberi semua kebutuhan dalam pekerjaan itu. Alat dan perbekalan.”
Terasa sebuah desir yang tajam mematuk
jantung Ken Dedes. Sejenak ia terdiam dan sepercik lagi kekecewaan
mewarnai hatinya. Namun ia masih berusaha sekuat-kuat tenaga untuk
menahan diri. Untuk selalu dapat mengendalikan perasaan dan nalarnya.
Jika ia menjadi kehilangan akal, maka maksudnya untuk minta pertolongan
Akuwu pun akan tertutup sama sekali.
“Ampun Tuanku.“ berkata Ken Dedes
kemudian. Suaranya menjadi rendah dan bergetar, “hamba akan mencoba
mengerti semua keinginan Tuanku. Tetapi hamba mengharap bahwa Tuanku pun
akan dapat mengerti keadaan hamba. Hamba sama sekali tidak dapat
menyanggah kebenaran kata-kata Tuanku. Tetapi hamba ingin menyatakan
kelemahan diri dan perasaan hamba. Betapa hamba ingin mengabdikan diri
kepada keinginan dan cita-cita Tuanku, tentang masa depan Tumapel,
tetapi hamba tidak akan dapat melepaskan diri dari kedirian. Mungkin
keduanya dapat berjalan seiring. Hamba sebagai seorang Permaisuri dan
hamba sebagai Ken Dedes yang lemah. Seorang yang hidupnya selalu
diguncang oleh angin yang kasar.”
Akuwu Tunggul Ametung merasakan sebuah
sentuhan yang halus di dalam dadanya. Permaisuri itu. adalah seorang
manusia biasa. Seorang yang memiliki sifat-sifat kemanusiaannya. Dan
tiba-tiba saja dikenangkannya masa lampau Ken Dedes yang sangat pahit.
Apa yang terjadi atasnya, dan bagaimana ia dapat sampai diistana ini.
Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba ia terhenyak keatas tempat
duduknya, sebuah batu hitam yang dilambari oleh sebuah permadani yang
tebal. Perlahan-lahan terdengar ia berkata seperti sedang mengeluh,
“Memang kita adalah orang-orang yang telah diamuk oleh nafsu memikirkan
diri sendiri.”
Ken Dedes mengangkat wajahnya. Dilihatnya
wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tegang. Tetapi ia tidak segera berkata
sesuatu. Ia mengharap bahwa hati Akuwu itu akan mencair dari dalam.
“Tetapi permintaan itu tidak mungkin dipenuhi Ken Dedes.“ berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba memang sudah menyangka demikian
Tuanku.” sahut Ken Dedes, “hamba pun tidak ingin memenuhi seluruhnya.
Tetapi hamba ingin usaha yang nyata untuk melepaskannya.”
“Apakah kau percaya kepada Jajar itu?“ bertanya Ken Arok.
“Tidak Tuanku, hamba tidak mempercayainya.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Ia heran mendengar jawaban Ken Dedes. Karena itu ia bertanya,
“Ken Dedes, kalau kau tidak percaya kepada Jajar itu, kenapa kau ingin
berhubungan dengan dia dan bahkan kau sudah membicarakan soal tebusan
meskipun kau masih ingin menawarnya?”
“Tuanku.“ jawab Ken Dedes, “Jajar itu
akan dapat kita jadikan jembatan penghubung, antara kita dan orang-orang
yang membawa Kakang Mahisa Agni. Maksud hamba apabila kita dapat
memelihara hubungan itu, apapun yang akan Tuanku lakukan, hamba akan
berterima kasih sekali. Apalagi kelak apabila Kakang Mahisa Agni
benar-benar telah dapat dibebaskan.”
“Apakah yang harus aku lakukan?
Memberikan tebusan kepada Jajar itu?“ bertanya Tunggul Ametung, “apakah
kau percaya bahwa setelah menerima tebusan itu Mahisa Agni akan
benar-benar dibebaskan?”
“Hamba memang tidak percaya Tuanku.
Mungkin orang-orang yang membawa Mahisa Agni itu yang ingkar, tetapi
juga mungkin Jajar yang gemuk itulah yang ingkar.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Aku akan
menangkap Jajar itu. Aku harus tahu dimana orang-orang yang mengambil
Mahisa Agni. Dengan demikian maka aku akan segera dapat menangkap
mereka.”
“Tuanku.“ Ken Dedes memotong dengan serta
merta, “bukankah Tuanku pernah mengatakan pula, seperti apa yang
dipesankan oleh Empu Gandring dahulu, bahwa kekerasan akan berbahaya
bagi Kakang Mahisa Agni?”
“Jadi apa? Apa yang harus aku lakukan?“
hampir-hampir Akuwu Tunggul Ametung berteriak. Namun tiba-tiba nadanya
menurun, “Ken Dedes, aku menjadi bingung. Kau tidak percaya kepada Jajar
itu, dan kau tidak ingin aku mempergunakan kekerasan? Lalu apakah yang
barus aku lakukan?”
“Tuanku, itulah yang aku ingin mendapatkan dari Tuanku. Apakah yang akan Tuanku lakukan. Selain yang Tuanku katakan, kekerasan.”
“Jadi aku harus menyerahkan tebusan
kepada Jajar itu dengan tanpa jaminan. Tebusan itu dapat hilang seperti
garam yang kita lemparkan kedalam laut.”
“Tuanku, hamba sama sekali tidak mengerti
manakah yang sebaiknya Tuanku lakukan. Tetapi bukankah Tuanku dapat
mengajukan syarat kepada Jajar itu untuk disampaikan kepada Kuda
Sempana. Seandainya Tuanku memberikan tebusan, maka tebusan itu cukup
mendapat jaminan, sehingga tidak seperti garam yang terbenam kedalam
laut.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Tampaklah betapa jantungnya menjadi tegang oleh persoalan
itu. Hampir-hampir saja ia membanting kakinya sambil berteriak. Tetapi
pengaruh Ken Dedes atasnya terasa terlampau mencengkam.
Tetapi untuk memenuhi tuntutan yang gila
itupun sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya. Harga dirinya
sebagai Akuwu benar-benar tersinggung karenanya dan kecuali itu, maka
tebusan itu bagi Akuwu Tunggul Ametung adalah kehilangan yang sia-sia.
Menurut pertimbangannya, maka hilangnya Mahisa Agni tidak akan banyak
berpengaruh bagi Tumapel. Disaat-saat ini pengaruh itu memang masih
terasa pada Ken Dedes, yang langsung tidak langsung mempengaruhi juga
kepada dirinya sendiri dan pemerintahannya. Namun lambat laun Ken
Dedespun pasti akan melupakannya.
Karena itu maka dengan nada yang dalam ia
berkata, “Ken Dedes. Persoalan kita dengan Mahisa Agni sebenarnya telah
selesai. Ternyata kita melakukan segala-galanya tanpa Mahisa Agni, dan
semuanya berjalan dengan baik. Perkawinan kita dapat juga berlangsung.
Bendungan itu pun akan segera siap pula. Semuanya dapat dilakukan tanpa
Mahisa Agni. Sebaiknya kau pun menyadari. Jangan terlampau
menggantungkan dirimu kepadanya. Jangan terlampau terpengaruh olehnya.
Kau harus yakin, bahwa kau akan dapat melupakannya. Bahwa Tumapel akan
menjadi besar tanpa anak itu, dan bahwa bendungan itu pun akan dapat
mengalirkan air nja untuk tanah-tanah persawahan tanpa kehadirannya.
Nah, apa lagi yang kau inginkan daripadanya Ken Dedes. Bukankah Mahisa
Agni itu menurut pengakuanmu juga bukan kakak kandungmu sendiri?”
Dada Ken Dedes seolah-olah ingin meledak
karenanya. Tetapi dengan sekuat tenaga yang ada padanya, ditabahkannya
hatinya. Ia tidak boleh menyerah dan berputus asa. Jika demikian, maka
semuanya benar-benar akan gagal. Tetapi ia harus tetap berusaha.
“Tuanku.” berkata Ken Dedes dengan
gemetar, “sudah hamba katakan keadaan dan kelemahan hamba. Sudah hamba
katakan diri hamba yang tidak dapat ingkar dari kedirian. Hamba adalah
seorang yang lemah dan ringkih. Lahir dan batin. Sebenarnyalah Tuanku,
bahwa hamba tidak akan dapat melupakannya. Bukan sekedar karena Kakang
Mahisa Agni itu telah dipersaudarakan dengan hamba sejak kanak-kanak,
sudah seperti kakak kandung sendiri, tetapi hamba tidak dapat melupakan
semua kebaikannya. Hamba tidak akan dapat melupakan semua
pengorbanannya. Hamba sampaikan perasaan hamba ini kepada Tuanku, Bukan
saja sebagai seorang Akuwu yang berkewajiban melindungi rakyatnya,
tetapi juga sebagai seorang suami. Kepada siapa hamba harus mengadu,
jika tidak kepada Tuanku, Akuwu Tumapel. Kepada siapa hamba harus
membagi duka, jika tidak kepada suami hamba.”
“Oh.” terdengar Akuwu Tunggul Ametung
berdesah, “Kau membuat aku pening. Kau tidak memberikan apa-apa kepadaku
sebagai seorang Permaisuri kepadaku, kepada Tumapel. Tetapi kau malahan
membuat aku hampir gila.”
Sekali lagi sepercik kekecewaan
menghunjam langsung kepusat jantung Ken Dedes. Tetapi ia tidak ingin
surut. Ia harus mendapat kesempatan sekali ini, meskipun kadang-kadang
sehelai-sehelai perasaan putus asa telah menyaput hatinya.
Bagi Ken Dedes, usaha membebaskan Mahisa
Agni sama sekali tidak akan mengganggu rencana pekerjaan Akuwu yang
lain. Ia akan dapat menyisihkan sedikit waktunya untuk berbuat. Ken
Dedes tahu benar, bahwa sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung masih mempunyai
banyak kesempatan. Menurut penilikan Ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung
tidak mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Ia tidak terikat pada suatu
rencana yang matang. Tetapi ia berbuat sesuai dengan keinginannya
sesaat-sesaat, kapan ia ingat dan kapan saja ia mau. Itulah sebabnya
maka ia menjadi terlampau sibuk untuk sesaat, sedang disaat-saat yang
lain waktunya hanya dipergunakannya untuk berburu tanpa berbuat sesuatu,
tidur sepanjang hari dan kadang-kadang marah-marah karena hal-hal yang
kecil kepada hamba-hambanya. Sekali-sekali ia sibuk dengan berbagai
macam rontal. Diperintahkannya hambanya, juru kidung membaca untuknya.
Dibawanya beberapa orang tua-tua untuk memperbincangkan isi kidung atau
kakawin. Semuanya terjadi seperti yang diingininya. Tidak ada
waktu-waktu yang direncanakannya untuk berbagai macam kepentingan itu.
Meskipun ia sedang menyiapkan pertemuan bagi para pembantunya, tetapi
tiba-tiba ia ingin mendengarkan ceritera yang disenanginya, maka
dipanggilnya juru kidungnya. Dan dihabiskannya waktunya untuk
mendengarkan ceritera-ceritera itu. Ketika orang-orang yang dipanggilnya
hadir, maka ia tidak membicarakan sesuatu masalah apapun kecuali
dibawanya orang-orang itu untuk membicarakan ceritera yang baru
didengarnya.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia
sadar bahwa kehadirannya di istana itu memang belum menumbuhkan suasana
yang baru. Tetapi ia sudah mempunyai beberapa rencana untuk itu. Ia
ingin membuat Akuwu Tunggul Ametung berbeda dengan Akuwu itu sebelumnya.
Namun setelah perkawinannya, justru Akuwu seolah-olah kehilangan
segenap waktunya. Ia tenggelam dalam suasana perkawinannya untuk
beberapa saat. Meskipun kini perlahan-lahan Akuwu telah kembali kedalam
lingkungan pemerintahan, tetapi ia akan kembali seperti saat-saat yang
pernah dijalaninya. Menurut kehendaknya yang meledak-ledak.
“Namun agaknya persoalan Kakang Mahisa Agni tidak menarik perhatiannya.“ pikir Ken Dedes.
Tetapi ia masih berusaha, katanya, “Ampun Tuanku. Sekali ini hamba mohon dengan sangat, agar Tuanku sudi mendengarkannya.”
“Aku akan menjadi gila.”
“Seandainya Tuanku tidak mempunyai waktu,
perkenankan hamba menyelesaikannya sendiri. Tetapi hamba ingin Tuanku
memberikan keleluasaan kepada hamba untuk memilih jalan yang dapat hamba
tempuh.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Hamba belum tahu Tuanku. Mungkin atas
izin Tuanku hamba akan mempergunakan beberapa kekuatan prajurit, namun
mungkin hamba terpaksa mempergunakan tebusan. Karena itu, seandainya
Tuanku tidak berkeberatan, biarlah hamba menyelesaikan persoalan ini.”
“Oh, tidak. Tidak.“ potong Akuwu Tunggul
Ametung, “kau tidak boleh berbuat sendiri. Apalagi memboroskan kekayaan
istana Tumapel. Kau tahu Ken Dedes, aku sedang berpikir bagaimana aku
dapat menjadikan istana ini menjadi istana yang terbaik dan termegah di
seluruh Kediri. Aku ingin kau memiliki sejumlah perhiasan yang paling
berharga dari Permaisuri-permaisuri Akuwu di seluruh Kediri. Bahkan di
dalam persidangan Agung nanti, apabila kau mendapat kesempatan untuk
pergi bersamaku, bersama-sama dengan Permaisuri dari daerah-daerah lain
diwilayah Kediri, kau akan menjadi seorang Permaisuri yang paling
cantik. Kau akan menjadi Permaisuri yang memiliki segala macam perhiasan
melampaui yang lain, bahkan harus melampaui Permaisuri Maharaja
Kediri.”
Tetapi perlahan-lahan Ken Dedes menggelengkan kepalanya, “Itu sama sekali tidak perlu bagi hamba Tuanku.”
“Oh, alangkah bodohnya kau. Aku ingin kau menjadi Permaisuri tercantik. Aku ingin kau menjadi Permaisuri yang paling kajen keringan.”
“Tetapi itu sama sekali bukan untuk
hamba. Tetapi itu semata-mata hanya sekedar untuk kebanggaan Tuanku.
Untuk kepentingan Tuanku sendiri.”
“Ken Dedes.”
“Apabila Tuanku berpikir untuk
kepentingan hamba, maka biarlah hamba menentukan semuanya itu sendiri
meskipun menurut pertimbangan-pertimbangan Tuanku.”
“Tidak. Tidak. Kau tidak dapat berbuat menurut kehendakmu. Aku adalah Akuwu Tumapel. Bukan kau.”
Terasa dada Ken Dedes menjadi bergelora.
Tiba-tiba tumbuhlah keberanian di dalam dirinya untuk memaksakan
kehendaknya. Desakan yang ada di dalam dirinya sudah tidak tertahankan
lagi. Karena itu maka katanya, “Benar Tuanku. Tuanku adalah Akuwu
Tumapel. Tetapi ingatkah Tuanku, bahwa Tuanku pernah berkata kepada
hamba, bahwa Tuanku telah menyerahkan apa saja yang Tuanku miliki kepada
hamba? Bukankah itu berarti bahwa hambalah yang kini mempunyai
kekuasaan atas segala-galanya, bahkan atas Tuanku Akuwu Tunggul Ametung
sendiri. Tuanku telah berkata, apapun yang ada di dalam istana, bahkan
seluruh milik dan kekuasaan Tuanku telah Tuanku berikan kepada hamba.
Tidak hanya satu kali, tetapi berulang kali Tuanku katakan. Sejak aku
pertama-tama masuk ke dalam istana ini. Kemudian, beberapa saat
menjelang perkawinan, dan pada saat-saat perkawinan itu hampir
berlangsung, ketika hamba mohon penundaan karena tiadanya Kakang Mahisa
Agni. Nah, apakah Tuanku akan ingkar?”
Wajah Tunggul Amctung tiba-tiba menjadi
merah, semerah soga. Terhentak ia berdiri. Tubuhnya menjadi gemetar dan
wajahnya menegang. Sesaat justru ia terbungkam. Tetapi terasa darahnya
seolah-olah mendidih di dalam dirinya. Apalagi ketika dilihatnya Ken
Dedes tidak lagi menundukkan kepalanya, bahwa wajah Permaisuri itu kini
terangkat seolah-olah menantangnya.
Tetapi justru karena itu maka sejenak
Akuwu itu terdiam. Ia berdiri saja membeku dalam ketegangan. Tubuhnya
bergetar oleh getaran jantung yang berdentangan di dalam dadanya.
Dalam keadaannya itu Akuwu Tunggul
Ametung telah kehilangan pengendalian diri. Siapa pun yang berada
didekatnya, ia tidak dapat mempertimbangkannya lagi. Kemarahannya
benar-benar telah memuncak sampai di kepalanya.
Namun baru sejenak kemudian ia mampu
berkata dengan suara yang terputus-putus, “Kau, kau berani berkata
begitu kepadaku he anak Panawijen. Aku adalah Akuwu Tung¬gul Ametung.
Aku telah mengambil kau dari lembah kepapaan masuk ke dalam istana ini.
Sekarang kau, minta suatu yang tidak akan mungkin dapat kau miliki.
Kekuasaan atas Tumapel.” Akuwu Tunggul Ametung terhenti sesaat justru
karena kalimat-kalimat yang berdesakan ingin melontar keluar dalam waktu
yang bersamaan. Namun saat itu ternyata telah dipergunakan oleh Ken
Dedes yang justru menjadi semakin berani. “Tuanku. Hamba tidak pernah
minta apa pun dari Tuanku sebelum ini. Sebelum hamba membicarakan
masalah Kakang Mahisa Agni. Tetapi Tuanku sendirilah yang memberikannya
kepada hamba. Meskipun demikian hamba tidak akan pernah mempergunakan
segala macam wewenang karena akibat pelimpahan kekuasaan atas Tumapel
itu dari Tuanku, seandainya Tuanku sudi mendengarkan permohonan hamba
yang barangkali tidak akan berarti apa-apa bagi Tuanku dan sama sekali
tidak akan mengganggu waktu dan terlampau banyak mempergunakan pikiran.
Tetapi Tuanku sama sekali tidak berminat membicarakan Kakang Mahisa
Agni. Seandainya, Kakang Mahisa Agni dibunuh sekalipun oleh Kuda Sempana
maka hamba tidak akan menyesal, apabila Tuanku telah berusaha meskipun
tidak berhasil. Tetapi Tuanku sama sekali tidak menaruh minat apapun
atas satu-satunya keluarga hamba, satu-satunya orang yang mengerti
tentang diri hamba.”
“Omong kosong.” bentak Akuwu Tunggul
Ametung, “aku telah mencoba untuk menjadi orang yang paling dekat
padamu. Untuk mengerti keadaanmu dan untuk menjadi pegangan hidupmu.
Tetapi agaknya kau telah menyia-nyiakannya.”
“Hamba akan berterima kasih seandainya
Tuanku mencoba, hanya mencoba untuk mengerti keadaan hamba. Tetapi
Tuanku tidak berbuat demikian, sehingga hamba terpaksa menyebut-nyebut
pelimpahan kekuasaan yang pernah Tuanku ucapkan.”
“Tidak. Tidak. Kau memang anak yang tidak tahu budi. Kau memang anak yang terlampau tamak, he, perempuan Panawijen.”
“Cukup.” tiba-tiba suara Ken Dedes
melengking tinggi mengatasi suara Akuwu Tunggul Ametung. Sehingga
Tung¬gul Ametung itupun terkejut. Tetapi bukan saja Akuwu Tunggul
Ametung yang terkejut, namun Ken Dedes sendiri pun terkejut karenanya.
Sejenak keduanya terbungkam. Namun
sejenak kemudian Ken Dedes menundukkan kepalanya. Betapa ia mencoba
bertahan, namun titik-titik air matanya berjatuhan satu-satu di atas
pangkuannya.
Namun titik air mata itu sama sekali
tidak dapat mendinginkan jantungnya yang serasa membara. Betapa sakit
hatinya mendengar kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu. Betapa pedihnya
luka yang hampir sembuh itu kini terkorek kembali.
Di antara isak tangisnya, terdengar Ken
Dedes berkata, “Ya Tuanku. Tuanku benar. Hamba memang hanya sekedar
seorang perempuan yang papa. Hamba memang berasal dari sebuah padepokan
kecil di Panawijen. Tetapi apakah atas kehendak hamba maka hamba masuk
kc dalam istana ini? Sebagai manusia hamba mempunyai perasaan dan nalar.
Seandainya hamba dapat menyaput perasaan hamba dengan gemerlapnya
kckayaan istana ini, seandainya luka dihati hamba dapat disembuhkan
dengan emas, intan berlian yang tidak hanya tiga pengadeg .
Seandainya, ya seandainya semua itu dapat mengobati hati hamba, maka
hamba benar-benar seorang yang tidak tahu diri, orang yang tamak dan
kerdil. Tetapi Tuanku, ketahuilah, bahwa semuanya itu tidak berarti
apa-apa bagi luka dihati hamba. Tidak akan dapat menawarkan duka yang
menghentak-hentak di dalam dada hamba. Yang dapat menjinakkan perasaan
hamba saat itu satunya adalah kebaikan hati Tuanku. Tuanku aku anggap
sebagai satu-satunya orang yang mengerti akan keadaan hamba, meskipun
Tuanku pula yang telah melindungi Kuda Sempana mengambil hamba dari
naungan orang tua hamba, sehingga orang tua hamba yang tinggal
satu-satunya itu telah membuang diri dengan meninggalkan akibat yang
parah bagi Panawijen. Ternyata orang tua hamba telah kehilangan
keseimbangan berpikir karena hamba hilang dari padanya. Tetapi kini,
ternyata hamba melihat Tuanku sebenarnya. Hamba melihat bahwa Tuanku
tidak lebih dari manusia biasa.“ Ken Dedes berhenti sejenak untuk
menelan ludahnya yang serasa menyumbat kerongkongan. Ketika ia
mengangkat wajahnya, dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku.
Namun ketegangan di wajahnya masih membayangkan hatinya yang panas.
Tetapi Ken Dedes sudah tidak menghiraukannya lagi. Bahkan ia berkata
terus meskipun ia kemudian menundukkan kepalanya pula, “Ternyata Tuanku
adalah manusia biasa yang hanya dikuasai oleh pamrih. Hamba kini menduga
bahwa bukan karena sesal, maka Tuanku melepaskan hamba dari tangan Kuda
Sempana.”
“Ken Dedes.“ Akuwu Tunggul Ametung
memotong, tetapi Ken Dedes berkata terus dengan nada tinggi. “Tunggu
Tuanku. Hamba belum selesai. Hamba hanya ingin mengatakan bahwa Tuanku
adalah seorang manusia yang hanya melihat kepentingan diri. Tuanku hanya
mengerti tentang keinginan Tuanku sendiri. Tuanku melepaskan hamba dari
Kuda Sempana, Tuanku berjanji untuk melimpahkan segalanya kepada hamba,
Tuanku memberikan bantuan kepada Kakang Mahisa Agni di Padang Karautan
dan yang lain-lain ternyata hanya terdorong oleh nafsu Tuanku sendiri,
supaya Tuanku dapat berbuat sekehendak hati Tuanku atas hamba.”
“Bohong, bohong.“ Akuwu Tunggul Ametung
berteriak. Hampir-hampir ia lupa diri dan meloncat menampar pipi Ken
Dedes yang putih dan basah oleh air mata.
Tetapi untunglah bahwa ia masih mampu
menahan dirinya meskipun dadanya serasa hampir meledak. Dengan
lantangnya ia berkata dalam nada yang tinggi hampir melengking. “Oh, Ken
Dedes. Kau anggap Mahisa Agni itu manusia yang paling utama di dunia
ini sehingga kau bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kau anggap
bahwa persoalannya adalah persoalan yang maha penting, melampaui
persoalanmu sendiri sehingga hampir-hampir kau korbankan dirimu sendiri
untuknya? Ken Dedes, apakah engkau tidak menyadari bahwa kini kau
berhadapan dengan Akuwu Tunggul Ametung yang berkuasa tanpa batas di
Tumapel atas nama Maharaja Kediri.”
“Hamba mengerti Tuanku.“ jawab Ken Dedes.
Meskipun matanya telah menjadi basah oleh air mata, tetapi kini ia
menengadahkan wajahnya, “Tetapi yang penting bagi hamba, bukanlah
terlepasnya Kakang Mahisa Agni.“ Suara Ken Dedes menjadi bergetar karena
hentakan jantungnya di dalam dada, “Sudah hamba katakan, bahwa
seandainya Kakang Mahisa Agni terbunuh sekalipun hamba tidak akan
menyesal apabila Tuanku telah berusaha berbuat sesuatu.”
“Oh begitu.” potong Tunggul Ametung,
“Baik. Baik. Besok aku kerahkan seluruh pasukan Tumapel untuk mencari
Kebo Sindet. Aku tidak akan gagal. Aku tidak perlu lagi mempersoalkan
seperti berulang kali kau katakan, bahwa cara itu akan berbahaya bagi
keselamatan Mahisa Agni.”
“Itu lebih baik dari pada Tuanku tidak
berbuat apapun.“ Ken Dedes menyahut, “tetapi apa yang Tuanku lakukan itu
sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Tuanku hanya melepaskan kemarahan
dan luapan-luapan kejemuan saja.“ Ken Dedes berhenti sejenak.
Keringatnya telah memenuhi punggungnya sehingga kembannya menjadi kuyup
seperti kainnya menjadi kuyup oleh air mata. “Yang penting bagi hamba
Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, yang kini telah hamba ketahui adalah,
bahwa Tuanku sama sekali tidak mencoba mengerti perasaan hamba. Tuanku
tidak memperhatikan kepahitan perasaan hamba selama ini. Baik Tuanku
sebagai Akuwu Tumapel, maupun sebagai Tuanku Tunggul Ametung, suami
hamba.”
Darah Akuwu Tunggul Ametung serasa
benar-benar telah mendidih. Tidak pernah ia berhadapan dengan seseorang
yang berani menentang matanya apabila ia sedang marah, apalagi menjawab
kata-katanya sepatah dengan sepatah.
Tetapi anak Panawijen yang telah
dipungutnya dari kepapaan itu berani berbuat demikian terhadapnya. Ia
berani menentang matanya dan berani membantah kata-katanya sepatah
dengan sepatah.
Betapa luapan kemarahannya tidak
tertahankan lagi. Matanya telah menjadi merah, dan giginya menjadi
gemeretak. Tangannya bergetar seakan-akan istana ini akan
diruntuhkannya. Dan yang berada di hadapannya itu tidak lebih dari
perempuan Panawijen. Perempuan padesan.
Tiba-tiba saja Akuwu Tunggul Ametung
kehilangan segala macam pertimbangannya. Ia tidak lagi dapat mengekang
diri. Ia tidak lagi melibat bahwa yang duduk dihadapannya itu hanyalah
sekedar seorang perempuan, namun perempuan itu adalah Permaisurinya
sendiri.
Dalam kegelapan hati, maka Akuwu itu
melangkah maju. Tangannya sudah bergetar. Hampir saja ia berteriak dan
menunjuk hidung Ken Dedes, dan mengucapkan umpatan yang paling
menyakitkan hati.
Tetapi langkah itu tiba-tiba terhenti.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sejenak ia berdiri
mematung, namun kemudian Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa itu
melangkah surut. Tubuhnya kian bergetar dan keringat dinginnya semakin
banyak mengalir dipunggungnya.
Ken Dedes yang duduk dengan gemetar,
karena kemarahan dan kekecewam yang membara didadanya, tiba-tiba menjadi
heran. Ia sudah pasrah atas apa saja yang akan dilakukan Akuwu itu
atasnya, bahkan dibunuh sekalipun, la tidak akan menghindar. Ia hanya
ingin Akuwu Tunggul Ametung mendengar perasaan yang selama ini menyesak
di dadanya. Dan itu sudah ditumpahkannya. Ia sudah cukup puas, meskipun
akibatnya akan sangat berbahaya baginya.
Ia sudah meredupkan matanya ketika Akuwu
Tunggul Ametung melangkah maju, meskipun dadanya tetap tengadah. Ia
tidak perlu melihat tangan Akuwu yang mungkin akan mencengkam lehernya.
Tetapi tiba-tiba langkah Akuwu itu
tertegun. Bahkan kemudian ia melihat Akuwu Tunggul Ametung itu melangkah
surut. Setapak demi setapak. Wajahnya yang membara segera berubah
menjadi pucat sepucat mayat meskipun masih dalam ketegangan. Matanya
yang membelalak seolah-olah akan meloncat dari pelupuknya.
Dengan gemetar Akuwu itu memalingkan
wajahnya. Tangannya seolah-olah ingin menolakkan sesuatu yang meloncat
dari wajah Ken Dedes yang keheranan.
“Tidak. Tidak.“ teriak Akuwu itu.
Ken Dedes menjadi semakin heran. Akuwu itu melangkah semakin jauh dari padanya.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Ken Dedes yang keheranan itu kemudian
menjadi cemas. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi ia melihat
Akuwu itu seakan-akan berada di dalam ketakutan yang amat sangat. Akuwu
Tunggul Ametung yang perkasa. Yang tidak pernah gentar melihat lawan
yang betapapun kuatnya. Bahkan seorang yang telah mampu membunuh seekor
gajah yang sedang mengamuk hanya seorang diri.
Betapa kemarahan dan kekecewaan membakar
dada Ken Dedes, namun ia menjadi sangat cemas melihat keadaan Akuwu
Tunggul Ametung. Apabila terjadi sesuatu atasnya, maka ialah yang akan
bertanggung jawab. Di dalam ruangan itu hanyalah ada mereka berdua saja.
Sedangkan para emban dan pelayan, pasti ada yang mendengar pertengkaran
mereka. Tetapi lebih daripada itu, bagaimanapun juga Akuwu Tunggul
Ametung itu adalah suaminya.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia berdiri. Selangkah ia maju sambil berdesis, “Tuanku. Tuanku. Kenapakah Tuanku?”
Akuwu Tunggul Ametung itu justru menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya menjadi gemetar dan
keringat dinginnya menjadi semakin banyak mengalir.
“Tuanku.” terdengar suara Ken Dedes lirih.
“Tidak. Tidak Ken Dedes, aku tidak akan berluat apa-apa atasmu.”
“Ya, Tuanku.“ sahut Ken Dedes, “hamba
tahu. Tuanku tidak akan berbuat apa-apa atas hamba. Tetapi kenapa Tuanku
menjadi seolah-olah ketakutan.”
“Hentikan Ken Dedes. Hentikan.”
Ken Dedes menjadi semakin heran. Kini ia
berdiri di belakang Akuwu Tunggul Ametung yang masih saja menutupi
wajahnya yang pucat dengan kedua tangannya.
“Ampun Tuanku. Apakah yang sudah hamba
perbuat? Hamba tidak berbuat apa-apa seperti Tuanku juga tidak akan
berbuat apa-apa atas hamba.”
“Oh.“ Akuwu Tunggul Ametung mencoba
menenangkan hatinya yang seolah-olah dicengkam oleh kecemasan yang
sangat. “Aku melihatnya lagi. Aku melihatnya lagi. Lebih dahsyat dari
yang pernah aku lihat. Terasa betapa panasnya. Kepalaku hampir terbakar
olehnya.”
“Apakah yang Tuanku lihat?“ bertanya Ken Dedes yang menjadi semakin heran pula.
Akuwu Tunggul Ametung menarik napas
dalam-dalam. Ditengadahkannya wajahnya. Tetapi ia masih belum berani
berpaling, “Panas sekali. Panas sekali.”
“Apakah yang panas Tuanku.”
“Wajahku.”
“Oh.“ Ken Dedes berkata lembut, “mungkin
Tuanku menjadi sangat marah. Tuanku telah dibakar oleh perasaan sendiri.
Seperti kebanyakan orang yang sedang diamuk oleh kemarahan, seperti
hamba pula, maka wajah ini akan menjadi panas.”
Akuwu Tunggul Ametung tidak segera
menyahut. Tetapi jawaban Ken Dedes itu mengherankannya pula. Dengan
demikian ia mendapatkan kesimpulan, bahwa Ken Dedes sama sekali tidak
sengaja berbuat sesuatu.
“Lalu bagaimanakah hal itu dapat terjadi?“ pikirnya.
Perlahan-lahan Akuwu Tunggul Ametung
berpaling. Ia melihat Ken Dedes berdiri tegak dibelakangnya. Ken Dedes
seperti yang selalu dilihatnya. Seperti yang pernah dilihatnya di
Panawijen, seperti yang sehari-hari dilihatnya di istana. Seperti yang
baru saja dibentak-bentaknya. Tetapi yang tiba-tiba saja Permaisuri itu
seolah-olah menjadi orang yang lain, yang menakjubkan menurut
penglihatannya. Anak Panawijen, puteri seorang pendeta itu seolah-olah
berubah menjadi gumpalan cahaya yang menyilaukannya. Bahkan terasa
betapa panasnya. Akuwu Tunggul Ametung pernah melihat dari tubuh Ken
Dedes itu memancar cahaya yang silau. Tetapi sesaat tadi ia melihat
bukan saja sekedar cahaya yang silau, yang memancar dari bagian-bagian
tubuhnya. Kali ini ia melihat Ken Dedes itu dalam keseluruhannya telah
memancarkan cahaya yang menyilaukan, bahkan terasa panas di wajahnya.
Akuwu Tunggul Ametung kini berdiri
termangu-mangu. Ken Dedes yang kini adalah Ken Dedes Permaisurinya. Yang
memandangnya dengan penuh keheranan namun juga kecemasan.
“Apakah yang telah terjadi Tuanku?“ bertanya Ken Dedes pula.
Akuwu Tunggul Ametung
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mengambil kesimpulan bahwa Ken Dedes
sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengan dirinya. Karena
itu maka Akuwu itupun menjawab, ”Tidak apa-apa. Aku hampir-hampir lupa
diri dan berbuat di luar kesadaran. Maafkan aku.”
“Tuanku tidak bersalah. Tuanku adalah seorang yang paling berkuasa di Tumapel. Tuanku dapat berbuat apa saja sekehendak Tuanku.”
Akuwu itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari penglihatannya. Ia sadar bahwa Ken Dedes memang bukan
sekedar seorang anak yang dipungutnya dari kepapaan. Seorang anak
padepokan yang kecil.
Akuwu itu pernah mendengar dari seseorang
tua bahwa orang yang bercahaya dari dalam dirinya, adalah seorang yang
linuwih. Seorang yang dari dalam dirinya seolah-olah memancar api yang
paling panas dan menyorotkan sinar yang paling terang, ia adalah seorang
pilihan yang kelak akan menurunkan orang-orang besar.
“Apakah Ken Dedes juga akan dapat
menurunkan orang besar?“ berkata Akuwu itu di dalam hatinya, “lebih
besar dari aku? Bahkan sebesar Raja Kediri?”
Dada Tunggul Ametung menjadi berdebar-debar.
Jika demikian, maka Ken Dedes harus
merasa dirinya berbahagia di istana ini. Ia harus menjadi seorang
Permaisuri yang dapat memberi keturunan kepadaku. Anakku akan mewarisi
anugerah yang mengalir di tubuh Ken Dedes.
Karena itu maka tiba-tiba Tunggul Ametung
itu berkata, “Ken Dedes. Baiklah. Baiklah aku akan berusaha untuk
melepaskan Mahisa Agni.”
Ken Dedes terkejut mendengar keputusan
Akuwu Tunggul Ametung yang tiba-tiba itu. Sejenak ia berdiri saja
terpaku di tempatnya. Karena jantungnya yang berdebar-debar terlampau
cepat, maka Permaisuri itu seolah-olah menjadi beku di tempatnya.
“Ken Dedes.“ berkata Akuwu itu, “kau
dengar? Aku akan berusaha melepaskan Mahisa Agni. Tetapi aku harus
berhati-hati supaya usaha itu tidak gagal karena keingkaran. Baik Kebo
Sindet yang mengambil Mahisa Agni, maupun Jajar yang gemuk itu.”
Ken Dedes tidak segera menyahut. Ia melangkah surut dan perlahan-lahan duduk ditempatnya kembali.
Terasa sesuatu kini bergetar di dalam
dadanya. Ia merasa gembira atas keputusan itu, tetapi ia tidak dapat
menyingkirkan perasaan kecewa yang telah mencengkam jantungnya.
Keputusan Akuwu tiba-tiba saja berubah
itu menumbuhkan berbagai persoalan di dalam diri Ken Dedes. Apalagi ia
menyaksikan sikap Akuwu yang tidak wajar, seolah-olah orang yang perkasa
itu menjadi ketakutan.
“Apakah yang membuatnya ketakutan?“
pertanyaan itu selalu timbul saja di dalam dirinya, “agaknya
ketakutannyalah yang telah memaksanya untuk merubah keputusan. Bukan
karena kesadaran di dalam dirinya bahwa seharusnya ia mengerti tentang
perasaanku, perasaan seorang isteri.”
Terasa perasaan kecewa masih saja selalu
mengganggu Permaisuri itu. Meskipun ia tidak tahu, apakah yang
menyebabkan Akuwu menjadi seolah-olah ketakutan, tetapi dengan demikian
maka Ken Dedes masih saja menganggap bahwa Akuwu itu berbuat demikian
karena kepentingan diri semata-mata. Untuk menghindarkan dirinya dari
ketakutan yang agaknya sangat mengganggunya.
Tetapi seharusnya ia tidak menolak
kesempatan itu. Apa pun yang menyebabkannya, namun setiap kesempatan
untuk melepaskan Mahisa Agni harus diterimanya sebaik-baiknya.
Ken Dedes itu kemudian mendengar Akuwu
Tunggul Ametung berkata, “Bagaimana Ken Dedes. Apakah kau mendengar
bahwa aku akan berusaha melepaskan Mahisa Agni?”
Ken. Dedas menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Hamba Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu.”
“Tetapi aku tidak akan berbuat
tergesa-gesa. Aku akan melihat setiap kemungkinan. Aku harus yakin bahwa
aku tidak berada di jalan yang salah.”
“Hamba Tuanku. Hamba kira Tuanku tidak akan kekurangan cara untuk berusaha membebaskan Kakang Mahisa Agni.”
“Ya, ya. Aku akan berusaha.”
“Terima kasih Tuanku, hamba mengharap
bahwa usaha itu akan segera berhasil. Agaknya orang-orang yang mengambil
Kakang Mahisa Agni itu sudah tidak dapat bersabar lagi menunggu.”
“Ya ya. Aku akan berbuat
secepat-cepatnya.“ berkata Akuwu itu kemudian, “Nah, sekarang pergilah
tidur. Beristirahatlah supaya hatimu menjadi tenang. Kau adalah seorang
Permaisuri. Kau adalah bulan di langit yang gelap, bagi Tumapel. Kalau
kau menjadi suram, maka Tumapel menjadi suram. Kalau kau menjadi cerah,
maka Tumapel akan menjadi cerah.”
“Kalau Tuanku telah melenyapkan awan yang menyaput bulan, maka bulan akan menjadi selalu cerah.”
“Ah.“ Akuwu Tunggul Ametung berdesah. “Baiklah, baiklah.”
Sejenak kemudian maka Permaisuri itupun
segera kembali ke biliknya. Di luar biliknya, duduk emban tua
pemomongnya. Ketika emban itu melihat Ken Dedes mendatanginya, maka
dengan tergesa-gesa diusapnya air yang mengambang di matanya.
“Kenapa kau bibi?” bertanya Ken Dedes, “apakah kau menangis?”
“Tidak Tuan Puteri. Hamba tidak menangis.”
“Tetapi pipimu basah bibi.”
Emban tua itu menggeleng, “Tidak Tuan Puteri. Hamba hanya terlampau mengantuk. Hamba tidak tahu, apakah sebabnya.”
“Kau mengelak bibi. Apakah kau mendengar
pertengkaranku dengan Tuanku Akuwu, dan kau menangis karenanya? Lalu kau
mendahului aku kemari?”
Emban tua itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Ken Dedespun kemudian tidak bertanya
lagi. Ia langsung masuk ke dalam biliknya dan emban itupun mengikutinya
di belakangnya. Kemudian dibantunya Permaisuri itu melepaskan pakaiannya
untuk berganti dengan pakaian tidurnya.
“Akuwu telah menyatakan kesediaannya,
bibi.” berkata Ken Dedes itu kemudian, “tetapi aku belum tahu, apa yang
akan dikerjakannya?”
Emban itu tidak menyahut. Tetapi ia tidak berani mengangkat wajahnya.
“Mudah-mudahan Akuwu berhasil.” desis Ken Dedes kemudian.
Tetapi emban tua itu tidak pula menjawab. Ketika Ken Dedes berpaling ke arahnya dilihatnya setitik air jatuh di lantai.
“Kau menangis lagi bibi?” Ken Dedes menjadi heran.
Emban tua itu tidak dapat ingkar lagi. Titik-titik air telah merayap dipipinya yang sudah berkerut-merut.
“Kenapa kau menangis?”
“Hamba terharu mendengar keputusan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, Tuan Puteri.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bagi Ken Dedes, emban itu adalah seorang yang bergaul dengan Mahisa
Agni sejak anak muda itu masih kanak-kanak. Karena itu maka pasti telah
tumbuh ikatan batin pula di antara keduanya. Di antara Mahisa Agni dan
emban tua itu. Karena itu dibiarkannya saja emban itu menitikkan air
matanya, sambil membenahi pakaian yang baru dilepasnya.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka
emban itu pun meninggalkan bilik Ken Dedes. Permaisuri itu berbaring
diatas pembaringannya. Tetapi matanya seakan-akan tidak mau terpejam.
Angan-angannya masih saja berkeliaran kemana-mana, Mahisa Agni, Padang
Karautan, Akuwu Tunggul Ametung dan orang-orang yang telah
menyembunyikan Mahisa Agni.
Namun karena letihnya, maka semakin lama
maka mata yang bulat itu pun menjadi semakin redup. Bayangan cahaya
pelita di dinding ruangan itupun tampaknya menjadi semakin kabur.
Akhirnya Ken Dedes itupun tertidur.
Dihari berikutnya Ken Dedes menunggu saja
dengan cemas, apakah yang sudah dilakukan oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Ia tidak berani bertanya lagi, seolah-olah ia tidak percaya akan
kesanggupan Akuwu. Tetapi Akuwu tidak menyebut-nyebutnya lagi. Akuwu
tidak mengatakan kepadanya, usaha apakah yang sudah dilakukan. Meskipun
demikian Ken Dedes masih mengharap bahwa Akuwu telah berbuat dengan
diam-diam.
Dihari itu Ken Dedes hampir tidak keluar
dari biliknya. Ia duduk saja dengan hati yang berdebar-debar. Emban
pemomongnya mengawaninya dengan telaten, meskipun sebenarnya hatinya
sendiri dicengkam oleh kecemasan yang dahsyat. Namun, apabila ia selalu
berada di samping Ken Dedes, maka ia mengharap bahwa ia akan ikut serta
mendengar perkembangan selanjutnya.
Tetapi hari itu Akuwu Tunggul Ametung sama sekali tidak mengatakan apapun tentang usahanya melepaskan Mahisa Agni.
Meskipun demikian Ken Dedes masih tetap
berharap, kalau tidak hari ini, besok atau lusa Akuwu pasti akan berbuat
sesuatu. Mungkin Akuwu merasa tidak perlu lagi minta
pertimbangan-pertimbangan dari padanya. Mungkin Akuwu akan
mengejutkannya, dengan membawa kepadanya Mahisa Agni yang sudah
terbebaskan.
“Tetapi mungkin. . .” Ken Dedes tidak
berani, mendengar suara hatinya sendiri. Dicobanya untuk mengusir
kecemasan yang menyesak di dalam dirinya. Tetapi ia tidak pernah
berhasil.
“Ada juga baiknya aku tidak tercengkam
oleh kegelisahan ini.” katanya di dalam hati, “dengan kegelisahan,
kecemasan dan prasangka-prasangka, Kakang Mahisa Agni tidak akan dapat
tertolong.”
Tetapi sampai saat matahari lingsir
ke Barat dan kemudian bertengger di atas punggung bukit, Akuwu Tunggul
Ametung tidak mengatakan apapun. Dan Ken Dedes masih harus bersabar
menunggu sampai besok.
Di pertamanan Jajar gemuk yang telah
berhasil menghubungi Permaisuri itu pun menunggu dengan gelisahnya.
Ternyata Ken Dedes sama sekali tidak turun ke taman. Bahkan embannya pun
sama sekali tidak ada yang diutusnya untuk menyampaikan pesan apapun
kepadanya.
“Eh.” desis Jajar yang gemuk itu, “kenapa Permaisuri tidak memanggil aku atau mengirimkan pesannya kepadaku.”
Ketika kawan-kawannya telah siap pergi
meninggalkan taman, ia masih saja duduk di bawah pohon sawo kecik sambil
menahan kegelisahannya. Ia sama sekali tidak ingin meninggalkan taman
itu sebelum dapat bertemu dengan Ken Dedes, ia sudah ditelan oleh
mimpinya, perhiasan yang tidak ternilai harganya.
“He.” sapa temannya yang kemarin akan berkelahi dengan Jajar yang gemuk itu, “apakah kau tidak pulang?”
Jajar yang gemuk itu menggeleng. “Tidak.”
dan diluar sadarnya, terdorong oleh kesombongannya ia berkata, “Aku
menunggu Permaisuri.”
“Untuk apa?”
“Aku mempunyai janji dengan Permaisuri. Setidak-tidaknya Permaisuri akan mengirimkan pesannya lewat embannya.”
“He.” kedua kawannya saling berpandangan, “apakah Permaisuri berjanji akan turun ketaman menemuimu.”
“Ya.”
“Hari ini?”
“Ya.”
Sekali lagi kedua Jajar itu saling
berpandangan. Salah seorang dari mereka berkata, “Bukan saatnya lagi
Permaisuri turun ketaman. Lihat, matahari hampir terbenam.”
Jajar yang gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja duduk bersandar pohon sawo kecik di taman istana Tumapel.
Kedua kawannya segera meninggalkannya. Di
regol mereka saling berbisik, “O. Jajar itu benar-benar telah gila.
Agaknya, kesempatan yang diberikan oleh Permaisuri kemarin telah
membuatnya semakin gila. Ia menunggu Permaisuri atau utusannya untuk
menyampaikan pesan kepadanya.”
Tiba-tiba keduanya tertawa hampir
meledak. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Jajar yang duduk
bersandar pohon sawo itu memandangnya dengan tajam. Bahkan kemudian
mengacungkan tinjunya kepada kedua kawannya.
Tetapi kedua kawannya masih saja tertawa. Perlahan-lahan mereka meninggalkan taman itu, dan hari pun menjadi semakin suram.
Jajar yang menunggu itu pun menjadi
terlampau kecewa. Ia masih juga mengharap seseorang muncul diregol
pertamanan dan menyampaikan pesan kepadanya. Tetapi sampai hari menjadi
gelap, tidak seorangpun yang datang.
“Gila.“ desisnya. Ia kehilangan harapan bahwa hari itu Permaisuri akan datang kepadanya membawa tiga pengadeg perhiasan.
“Setidak-tidaknya dua pengadeg .“ desisnya.
Jajar itu menggeliat. Lalu berdiri
bertolak pinggang. “Apakah aku membuat harga tebusan terlampau mahal
sehingga Permaisuri itu lebih senang mengorbankan kakaknya?“ Jajar itu
menyesal karenanya. Desisnya, “Kalau aku berjumpa dengan Permaisuri aku
akan menurunkan tawaranku.”
Akhirnya Jajar itupun meninggalkan taman
itu dengan hati kecewa. Bahkan ia bersungut-sungut perlahan, “Bukan
salahku kalau Mahisa Agni besok dipenggal kepalanya atau digantung
dialun-alun. Bukan salahku. Aku sudah memberikan jasa-jasa baikku untuk
kepentingan kemanusiaan, melepaskan Mahisa Agni dari tangan setan-setan
itu.”
Ketika Jajar itu keluar dari istana, hari
sudah mulai gelap. Diregol-regol ia melibat beberapa orang prajurit
memandanginya dengan heran. Bahkan ialah seorang dari padanya bertanya,
“He, juru taman, kenapa kau baru pulang?”
Juru taman yang sedang kecewa itu
menjawab acuh tak acuh, “Aku tertidur.“ Dan Jajar itu sama sekali tidak
memperhatikannya lagi ketika para prajurit itu tertawa.
Kekecewaannya telah mendorongnya untuk
berjalan tergesa-gesa. Tetapi di sebuah tikungan ia terhenti.
Hampir-hampir ia melonjak karena terperanjat . Tanpa diduga-duga,
dihadapannya, di dalam keremangan malam ia melihat bayangan yang
bergerak-gerak. Semakin lama semakin dekat. Tidak hanya sesosok
bayangan, tetapi dua. Dan keduanya itu berjalan mendekatinya.
Jajar itu masih berdiri tegak di
tempatnya. Ia menunggu dua sosok bayangan itu menjadi semakin dekat.
Meskipun ia belum tahu siapakah keduanya, tetapi Jajar gemuk itu segera
mempersiapkan dirinya, seandainya dua orang itu bermaksud jahat
kepadanya.
“Apakah keduanya adalah kawan-kawanku
yang iri hati?“ Jajar itu berdesis di dalam hatinya. “Atau bahkan sama
sekali tidak berkepentingan dengan aku. Keduanya hanya orang-orang lewat
saja seperti aku?”
Tetapi Jajar itu melihat keduanya di
tengah-tengah jalan, seakan-akan sengaja mencegatnya di tempat itu, di
tikungan yang gelap itu.
Darahnya serasa berhenti ketika ia mendengar salah seorang dari kedua bayangan itu menyapanya, “Selamat malam Ki Sanak.”
Terasa bulu-bulu Jajar yang gemuk itu
serentak berdiri. Sapa itu benar-benar telah membuat dadanya bergetar.
Ia segera menyadari, bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah Kuda
Sempana dan kawannya yang wajahnya seperti wajah mayat yang beku.
Jajar itu tidak segera menjawab.
Dicobanya mengamati keduanya dengan saksama. Dan semakin lama ia semakin
jelas, bahwa sebenarnyalah yang berbicara kepadanya itu adalah kawan
Kuda Sempana yang berwajah beku sebeku mayat.
“Apakah kau baru pulang?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya.” sahut Jajar itu.
“Aku menunggumu terlampau lama disini.” berkata Kebo Sindet kemudian. “Bukankah tidak biasa kau pulang sampai malam begini?”
“Ya.“ sahut Jajar itu.
“Kenapa kau pulang terlampau malam?“ bertanya Kebo Sindet pula.
“Aku menunggu Permaisuri. Tetapi
Permaisuri hari ini tidak pergi ketaman. Aku ingin mendengar penjelasan
tentang permintaanmu itu.”
Kebo Sindet mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku menunggu kau disini untuk kepentingan
itu juga. Seandainya kau sudah mendapat kabar apalagi mendapatkan
barangnya, aku akan menjadi senang sekali. Tetapi bagaimana ?”
“Sudah aku katakan. Aku belum dapat bertemu dengan Permaisuri hari ini.”
Kebo Sindet tidak segera menyahut. Namun
kebekuan wajahnya membuat Jajar itu menjadi berdebar-debar. “Apakah aku
berhadapan dengan hantu?“ desisnya di dalam hati.
“Baiklah.“ berkata Kebo Sindet, “kau masih mempunyai waktu empat hari lagi.”
“Tetapi bagaimana apabila dalam empat hari ini Permaisuri tidak pergi ketaman?”
Jajar itu menjadi heran ketika ia melibat
Kebo Sin¬dent itu menengadahkan wajahnya. Sejenak. Dan sejenak kemudian
orang itu menjawab pertanyaan Jajar yang gemuk itu. Tetapi sekali lagi
Jajar itu menjadi heran. Jarak mereka tidak begitu jauh, hanya beberapa
langkah saja, tetapi Kebo Sindet berkata terlampau keras. “Waktumu
tinggal empat hari lagi Ki Sanak. Apa bila empat hari ini kau tidak
berhasil, maka perjanjian kita batal.”
Jajar yang keheranan itu bertanya, “Apakah akibat dari pembatalan perjanjian ini?”
“Tidak ada akibat apa-apa. Kita
masing-masing dapat berbuat sekehendak kita sendiri. Kita tidak terikat
lagi oleh perjanjian apapun.”
“Dan kau dapat menghubungi orang lain lagi untuk keperluan ini?”
“Tentu. Aku dapat menghubungi orang lain yang akan lebih dapat aku harapkan dari padamu.”
“Aku minta waktu.”
“Waktumu masih empat hari. Kau harus
berkata Per¬maisuri, bahwa nasib Mahisa Agni tergantung pada
kesediaannya. Tidak ada pembicaraan lain. Kau mengerti?”
“Sejak kemarin aku sudah mengerti. Tetapi
kau pun harus mengerti bahwa tidak setiap hari Permaisuri pergi ke
taman, dan persoalan yang dihadapinya bukan hanya persoalan Mahisa Agni
saja. Apa lagi Akuwu Tunggul Ametung.”
“Aku tidak ingin mendengar alasan apapun.
Aku memberi waktu lima hari. Sehari sudah lampau, maka yang tinggal
adalah empat hari lagi.”
“Cobalah mengerti.”
“Aku tidak ingin tawar menawar mengenai
waktu. Kalau barang-barang yang aku kehendaki sudah ada di tanganku,
maka kita dapat mengadakan tawar menawar, berapa banyak aku dapat
memberimu selain yang kau dapatkan dari usahamu sendiri.”
“Kau mementingkan dirimu sendiri.” bantah
Jajar itu, “aku sudah berusaha dan akan terus berusaha. Tetapi
seandainya aku mundur sehari dua hari bagaimana?”
“Tidak. Tidak ada waktu lagi.”
Jajar itu terdiam sejenak. Pikirannya
saat itu hanya dicengkam oleh kegelisahan, apabila dalam empat hari ini
Permaisuri tidak hadir ditaman, sehingga ia tidak sempat memikirkan
persoalan-persoalan yang lain.
“Sudahlah. Pulanglah meskipun tidak ada
seorang pun yang menunggu di rumah. Mungkin kau akan segera tidur, atau
kau masih mempunyai acara-acara lain, berkeliaran di sepanjang
jalan-jalan gelap dan pergi mengunjungi rumah-rumah perjudian.”
“Aku tidak pernah berjudi.”
“Jangan membohongi aku, pergilah.”
Jajar itu tidak sempat menjawab. Kebo
Sindet dan Kuda Sempana yang seolah-olah seperti orang bisu itupun
kemudian meninggalkannya dan hilang di dalam kegelapan.
“Setan alas.” Jajar yang gemuk itu
mengumpat sendiri. Perlahan-lahan ia mengayunkan kakinya meneruskan
langkahnya. Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia mendengar gemerisik
dedaunan di pinggir jalan.
Jajar yang gemuk itu mencoba untuk
melihat kearah suara itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Malam menjadi
semakin gelap dan suara gemerisik itu berasal dari dalam bayangan
gerumbul-gerumbul yang pekat hitam.
Tetapi Jajar itu mendengar desir dipinggir jalan itu semakin lama semakin jauh.
“Ada yang mengintip pembicaraanku.“ desisnya.
Dada Jajar itu menjadi berdebar-debar. Berbagai dugaan membayang di kepalanya.
“Siapakah yang mencoba untuk mengintip
itu?“ ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah kawan-kawanku yang iri
hati itu? Juru taman yang bodoh dan sombong? Atau prajurit-prajurit
yang melihat Permaisuri berbicara dengan aku mengikutiku dan ingin
mendengar persoalanku dengan Permaisuri? Atau mungkin kawan-kawan Kuda
Sempana yang mengawasinya? Seandainya aku berusaha untuk menangkapnya,
maka ia memerlukan kawan untuk membantunya. Hem, mungkin Kuda Sempana
mengetahui dan merasa, bahwa ia berdua bersama kawannya yang wajahnya
sebeku mayat itu tidak sanggup melawan aku seorang.”
Jajar yang gemuk itu masih berdiri tegak
ditempatnya. Ia yakin bahwa suara gemerisik itu adalah suara langkah
orang yang tersuruk-suruk pergi menjauh.
Tiba-tiba pertanyaan di dalam dirinya
berkisar kepada sikap kawan Kuda Sempana yang wajahnya dapat menegakkan
bulu-bulunya. Orang itu menengadahkan wajahnya dan memiringkan kepalanya
seolah-olah mencoba menangkap sesuatu dengan pendengarannya. Kalau
demikian apakah orang itu mendengar juga suara desir dipinggir jalan
itu? Lalu apakah sebabnya maka suaranya menjadi kian mengeras dan
seolah-olah dengan sengaja diperdengarkan kepada orang-orang yang sedang
mengintainya?
Jajar yang gemuk itu mengerutkan
keningnya. “Ah.” sekali lagi ia berdesah, “kalau begitu maka orang-orang
ini adalah kawan-kawan Kuda Sempana. Mereka ingin memancing ke keruhan,
kemudian bersama-sama mengeroyok aku.”
Jajar yang gemuk itu mengangkat dadanya.
“Hem.“ ia menarik nafas dalam-dalam, “agaknya Kuda Sempana dan kawannya
itu mampu menilai, siapakah aku. Mereka terpaksa memanggil
kawan-kawannya untuk menghadapi aku seorang diri.”
Jajar itu kemudian mengayunkan kakinya, melangkah perlahan-perlahan pulang kerumahnya.
Tetapi sekali lagi ia tertegun, sehingga
langkahnya terhenti. Bukan karena ia mendengar langkah orang lain, bukan
karena ia melihat sesosok bayangan, tetapi ia tersentak oleh pikirannya
sendiri. “Kalau orang-orang itu kawan-kawan Kuda Sempana yang sengaja
memancing kekeruhan, lalu apa pamrihnya? Aku belum berhasil membawa
apapun dari istana.”
Wajah Jajar itu menjadi tegang. Tiba-tiba
ia sampai pada suatu kesimpulan yang mendirikan bulu romanya. “O,
mereka sedang menunggu aku. Kalau aku membawa perhiasan itu, maka mereka
akan beramai-ramai menangkapku dan membunuhku. Mungkin aku akan
dibantainya seperti membantai sapi di pembantaian.”
Terasa tubuh Jajar itu menjadi gemetar.
Dan tanpa sesadarnya ia berpaling, seolah-olah ada orang yang sedang
mengikutinya. Meskipun kemudian ia tidak melihat seorangpun, namun
hatinya masih juga berdebar-debar.
“Setan alas.” ia mengumpat. Dan sejenak kemudian maka ia pun segera berjalan cepat-cepat pulang kerumahnya.
Dihari berikutnya, pagi-pagi benar Jajar
itu telah berada di taman. Jauh sebelum waktunya, sehingga para prajurit
yang sedang bertugas menjadi heran. Apalagi kedua kawan-kawannya, juru
taman yang hampir-hampir saja berkelahi dengan Jajar yang gemuk itu.
Ketika mereka datang, mereka melihat juru taman itu telah duduk
bersandar pohon sawo kecik.
“He.” bisik salah seorang dari padanya, “orang yang gemuk itu benar-benar telah menjadi gila. Agaknya ia sudah, jemu hidup.”
“Aku tidak tahu, bagaimana jalan pikiran orang gila itu. Mungkin ia pernah bertemu Permaisuri sebelum berada di istana ini.”
“Nasibnya akan jauh lebih jelek dari Kuda Sempana yang pernah menjadi gila karena Permaisuri itu pula.”
Keduanya berusaha untuk menahan tertawa
mereka, supaya tidak menyinggung perasaan kawannya yang dianggapnya
sedang gila itu. Tetapi mereka tidak mangerti, apakah yang menyebabkan
Jajar itu menjadi gila.
Tanpa menyapa, maka kedua kawannya itu
langsung melakukan pekerjaan mereka. Dibiarkannya Jajar yang gemuk itu
duduk saja bersandar pohon sawo kecik.
Ternyata yang bergolak di kepala Jajar
itu kini menjadi semakin kisruh. Ia tidak saja digelisahkan oleh sikap
Permaisuri yang agaknya acuh tidak acuh, tetapi juga oleh suara
gemerisik di tikungan ketika ia bertemu dengan Kuda Sempana dan Keho
Sindet.
Ketika matahari memanjat langit semakin
tinggi, Jajar itu menjadi semakin gelisah. Ia tidak melibat seorang pun
turun dari serambi belakang istana dan berjalan ke taman. Meskipun ia
hampir mati karena debar jantungnya, namun Permaisuri tidak juga kunjung
datang.
Sementara itu, Permaisuri pun menjadi
gelisah pula di biliknya. Akuwu Tunggul Ametung masih belum mengatakan
apa yang dilakukannya. Dengan demikian maka kekecewaan dihatinya semakin
menjadi tebal pula. Akuwu Tunggul Ametung ternyata hanyalah seorang
yang berbuat sesuka hatinya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Persoalan-persoalan yang tidak langsung menyangkut kepentingannya, tidak
akan banyak mendapat perhatian. Seandainya Mahisa Agni itu bukan kakak
angkatnya, maka perhatiannya pasti akan hilang sama sekali terhadap
persoalan yang demikian. Sehingga seandainya kini Akuwu Tunggul Ametung
berbuat sesuatu, itupun sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri,
supaya ia tidak selalu terganggu oleh kemuraman Permaisurinya.
Tetapi Ken Dedes masih mencoba
menyabarkan dirinya. Ia masih belum akan bertanya kepada Akuwu Tunggul
Ametung, apa yang sudah dilakukannya. Meskipun hatinya selalu dicengkam
oleh kegelisahan, namun ia masih bertahan dan mencoba untuk tidak
berwajah muram.
Matahari yang semakin tinggi akhirnya
ngglewang disebelah Barat. Sinarnya menjadi kemerah-merahan dan akhirnya
pudar sama sekali dibalik Gunung.
Jajar gemuk yang menunggu Permaisuri di
taman benar-benar menjadi bingung. Ia tidak dapat lagi duduk dengan
tenang. Sekali-sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir. Setiap kali
dijenguknya di regol pertamanan apabila ia mendengar langkah seseorang.
Tetapi yang lewat adalah Pelayan Dalam yang bersenjata, atau prajurit
Pengawal Istana.
“Setan alas.“ Jajar itu mengumpat, “mereka selalu mengganggu saja.”
Tetapi yang ditunggunya, Permaisuri atau utusannya, tidak juga kunjung datang.
“Apakah Permaisuri benar-benar merelakan
kakaknya itu?” berkata Jajar itu di dalam hatinya, “mungkin tawaranku
benar-benar terlalu tinggi, sehingga tidak ada seorang pun yang nilainya
sama seperti tuntutanku. O, kalau aku sempat betemu, maka tuntutan itu
akan aku turunkan. Dua pengadeg sudah cukup. Atau kalau masih terasa terlampau tinggi, satu setengah pengadeg saja. Ah, barangkali cukup sepengadeg ditambah dengan beberapa potong perhiasan. Bahkan apabila perlu, sepengadeg saja sudah cukup. Aku tidak akan menyerahkannya kepada Kebo Sindet. Aku harus menemukan jalan untuk menghindar dari padanya.”
Tiba-tiba Jajar yang gemuk itu
mengerutkan keningnya. Terbayang olehnya beberapa orang yang selalu
mengendap-endap di sekitar Kuda Sempana dan kawannya yang menunggunya di
tikungan gelap.
“Mungkin hari ini mereka telah menunggu
aku lagi.” Desisnya, “aku harus mencari jalan lain. Meskipun aku belum
membawa perhiasan-perhiasan itu, tetapi aku harus menghindari mereka.”
Jajar itu pun menjadi kehilangan
harapannya, bahwa hari itu ia akan dapat bertemu dengan Permaisuri,
ketika gelap malam telah turun menyelimuti istana Tumapel.
Dengan wajah yang suram, Jajar itu
kemudian berjalan tertatih-tatih keluar taman. Langkahnya menjadi
terlampau berat dan lambat. Ia masih berharap bertemu dengan Permaisuri
di serambi belakang istana atau barangkali satu dua embannya diutus
untuk menunggu dan memanggilnya. Karena itu maka Jajar yang gemuk itu
berjalan sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.
Setidak-tidaknya ia bertemu dengan seorang emban yang dapat menjawab
pertanyaannya. Tetapi ia tidak bertemu dengan seorang emban yang dapat
menjawab pertanyaannya. Tetapi ia tidak bertemu seorangpun dari
emban-emban itu. Yang dijumpainya adalah para peronda yang berdiri
diregol belakang dan dilihatnya prajurit-prajurit yang duduk digardu
sambil terkantuk-kantuk.
“Oh.” Jajar itu berdesah. Tetapi ia harus
menerima kenyataan itu. Permaisuri tidak datang ke taman dan tidak
mengirimkan utusan apapun.
Seperti kemarin Jajar yang gemuk itu
berjalan cepat-cepat meninggalkan istana. Tetapi hari ini ia tidak ingin
lewat jalan yang ditempuhnya kemarin. Ia akan mengambil jalan lain
supaya ia tidak diganggu lagi oleh kawan Kuda Sempana yang berwajah
mengerikan itu.
Dengan tergesa-gesa ia meloncat-loncat di
jalan kecil, menyusur diantara rumah-rumah yang berhalaman luas dan
berdinding cukup tinggi. Diregol-regol halaman ia melihat lampu-lampu
minjak tergantung, melontarkan nyalanya yang kemerah-merahan. Apabila
angin yang silir bertiup lembut, maka nyala lampu itupun berguncang
perlahan-lahan pula.
“Setan alas.” Jajar itu mengumpat-umpat di sepanjang jalan, “Setan alas.”
Ketika ia muncul dari jalan sempit di
sela-sela halaman-halaman yang luas itu, maka sampailah ia di tempat
terbuka. Ia harus melintasi sebuah parit dan kemudian ia akan sampai
pada jalan kecil yang menyilang. Sekali lagi ia berbelok, maka sampailah
ia di rumahnya.
“Setan itu tidak akan mengganggu aku lagi
hari ini.” tetapi Jajar itu mengumpat, “kalau aku pulang juga, maka
mereka pasti akan mencari aku dirumah.”
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Dirabanya sakunya. Ia masih mempunyai beberapa keping uang.
“Aku akan singgah di tempat perjudian
saja. Kalah atau menang, aku akan dapat melupakan kegelisahan ini.
Persetan Kuda Sempana dan kawannya itu.”
Sejenak Jajar yang gemuk itu
termangu-mangu. Tetapi hatinya kemudian menjadi tetap. Ia tidak akan
pulang, supaya ia dapat melupakan kegelisahan dan kekecewaannya.
Tetapi alangkah terperanjatnya Jajar yang
gemuk itu. Ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia mendengar
seseorang menyapanya, “He, akan kemana kau Ki Sanak. Apakah kau tidak
akan pulang. Bukankah arah kerumahmu, bukan arah yang kau ambil itu?”
Sambil terlonjak Jajar itu memutar
tubuhnya. Tiba-tiba saja ia telah berdiri berhadapan dengan Kuda Sempana
dan kawannya. Meskipun keduanya masih berada di dalam bayang-bayang
yang lebih gelap, namun Jajar itu segera mengenalinya, bahwa kedua orang
itu adalah Kuda Sempana dan kawannya.
“Bagaimanakah kabarnya?” bertanya kawan Kuda Sempana.
Jajar itu menggeretakkan giginya, “Belum. Aku belum menerima apapun.”
Kebo Sindet mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju mendekati Jajar itu, “Benar begitu?”
Jajar itu mengerutkan keningnya. Tetapi
ia masih menahan diri, katanya, “Apakah kau beranggapan lain? Aku hampir
gila menunggu Permaisuri di taman itu. Tetapi ia tidak kunjung datang.
Embannya pun tidak juga datang menemui aku di taman.”
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Ia
maju lagi selangkah mendekati Jajar yang gemuk itu. Dengan tajamnya
diamatinya wajah Jajar yang gemuk itu.
Jajar itu melihat mata Kebo Sindet pada
wajahnya yang beku. Tiba-tiba kengerian yang sangat telah mencengkam
dadanya, seakan-akan ia berdiri berhadapan dengan hantu yang paling
menakutkan.
Tetapi sekali lagi Jajar yang gemuk itu
menjadi heran ketika Kebo Sindet mengangkat wajahnya, memiringkan
sedikit kepalanya seolah-olah ia sedang mendengarkan sesuatu. Dan sekali
lagi Jajar itu menjadi semakin bingung ketika tiba-tiba saja suara Kebo
Sindet menjadi semakin keras dalam nada yang semakin tinggi, “Ki Sanak.
Kali ini aku percaya bahwa kau memang belum bertemu dengan Permaisuri.
Waktumu tinggal tiga hari. Kalau dalam tiga hari ini kau tidak berhasil,
maka perjanjian kita batal. Kau tahu?”
Tanpa sesadarnya Jajar itu menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku tahu.”
“Baik, sekarang pergilah kemana kau suka.
Aku kira kau tidak akan pulang, tetapi kau akan mencari tempat untuk
melepaskan kejemuanmu. Berjudi barangkali?”
“Aku tidak pernah berjudi.”
“Jangan bohong.“ sahut Kebo Sindet,
“bagiku sama saja. Apakah kau sering berjudi atau tidak. Tidak ada
bedanya untuk mendapatkan tebusan itu.”
Jajar itu tidak menjawab.
“Pergilah.“ desis Kebo Sindet, “waktumu sudah berkurang satu hari lagi.”
Jajar itu tidak sempat menjawab. Ia
berdiri saja seperti patung ketika ia melihat Kebo Sindet itu melangkah
meninggalkannya. Kuda Sempana yang benar-benar seperti orang bisu
berjalan saja di belakangnya.
Ketika mereka sudah tidak tampak lagi,
maka Jajar itu segera menyadari dari dirinya dan keadaannya. Sekali ia
mengumpat sambil memilin kumisnya, “Setan alas.” Namun kengerian
dihatinya tidak juga dapat diusirnya.
“Aku sudah mengambil jalan lain, tetapi
setan itu dapat menjumpaiku di sini.“ desis Jajar yang gemuk itu,
“ternyata ia tidak menunggu di jalan yang akan aku lalui. Tetapi agaknya
ia menunggu di depan regol istana. Setan itu pasti mengikuti aku dan
menghentikanku di sini, di tempat sepi.“ Jajar yang gemuk itu
menggeretakkan giginya, “Besok aku akan mengambil jalan yang lain untuk
keluar dari istana. Bukan regol depan, tetapi regol butulan.”
Sambil menggeram Jajar itu melangkahkan
kakinya. Tetapi sekali lagi ia tertegun. Seperti kemarin ia mendengar
desir daun-daun kering.
“He.“ Jajar itu hampir kehilangan
keseimbangan karena berbagai perasaan yang menyesakkan dadanya, “siapa
kau? Kenapa kau selalu mengintip aku. Ayo keluarlah dari
persembunyianmu, cepat atau aku harus memaksamu keluar?”
Tidak ada jawaban.
“Ajo keluar.” Jajar itu berteriak, tetapi tidak juga ada jawaban.
Jajar yang sedang diamuk oleh perasaan
sendiri itu tiba-tiba kehilangan pengamatan diri. Dengan serta merta ia
meloncat maju ke arah suara gemerisik di tepi jalan sempit di belakang
rimbunnya dedaunan.
Tetapi langkahnya terhenti. Terasa
sesuatu menghantam keningnya. Terlampau keras, sehingga matanya menjadi
berkunang- kunang. Sejenak ia kehilangan keseimbangan dan telempar jatuh
di tanah.
Kepala Jajar yang gemuk itu menjadi
pening. Ter¬tatih-tatih ia mencoba untuk berdiri. Meskipun dengan susah
payah, akhirnya ia berhasil tegak diatas kedua kakinya. Namun sementara
itu ia telah mendengar langkah berlari menjauh. Tidak hanya seorang,
tetapi dua orang.
“Oh.” nafas Jajar itu menjadi
terengah-engah. Dengan nanar dipandanginya keadaan sekelilingnya yang
gelap. Tetapi ia tidak melihat seorang pun. Ia kini tidak lagi mendengar
suara apapun kecuali suara cengkerik yang berderik-derik
bersahut-sahutan.
“Oh, setan alas.” Desisnya, “siapa yang
berani bermain-main dengan aku? Sayang, aku didahuluinya. Kalau tidak,
kepalanya pasti aku pilin sehingga patah.”
Tetapi orang yang memukulnya telah lari menghilang di kejauhan.
Hati Jajar itu menjadi kian kisruh.
Otaknya menjadi kabur. Ia sama sekali tidak tahu soal apakah sebenarnya
yang sedang dihadapinya. Kuda Sempana dan kawannya yang mengerikan,
kemudian orang-orang yang mengintainya dan telah memukul keningnya.
“Oh, oh, aku hampir gila karenanya.“
Jajar itu mengumpat tidak habis-habisnya. Ia mengumpati Permaisuri Ken
Dedes pula karena sikapnya yang menurut penilaian Jajar yang gemuk itu,
acuh tidak acuh saja.
“Pasti emban tua itulah yang
menghasutnya. Emban tua itu takut kehilangan perhatian seandainya Mahisa
Agni dilepaskan. Ia ingin Mahisa Agni itu tidak usah dibebaskan. Dengan
demikian maka satu-satunya orang yang terdekat pada Ken Dedes selain
Akuwu adalah emban tua itu sendiri. Ia merasa sebagai pengganti ibu bapa
dan keluarga Permaisuri itu karena tidak ada orang lain.”
Jajar itu pun kemudian pergi meninggalkan
tempat itu sambil tidak henti-hentinya mengumpat. Ia melangkah asal
saja melangkah. Tiba-tiba ia tersentak oleh angan-angannya sendiri, “Oh,
kenapa aku tidak berbuat sesuatu? Aku harus menemui adikku dan
kawan-kawannya. Hem. alangkah bodohnya aku. Aku harus berbuat sesuatu.
Harus. Kuda Sempana dan kawannya itu harus tahu, siapakah aku ini.
Adikku akan membantuku menyelesaikan masalahnya. Aku akan menerima semua
perhiasan itu sendiri.” Tiba-tiba Jajar yang gemuk itu tersenyum.
Langkahnya menjadi semakin mantap. Ia mengharap dapat bertemu dengan
adiknya di tempat perjudian.
Sementara itu Ken Dedes, Permaisuri
Tunggul Ametung tidak dapat lagi menahan dirinya. Didera oleh
kegelisahannya maka diberanikan dirinya untuk bertanya kepada Akuwu
Tunggul Ametung, apakah yang sudah dilakukannya untuk membebaskan Mahisa
Agni.
“Aku tidak berbuat dengan tergesa-gesa Ken Dedes. Aku harus berhati-hati. Ternyata yang kita hadapi adalah Kebo Sindet. Seorang yang tidak saja mempunyai banyak kelebihan dari orang lain, tetapi ia adalah setan yang tidak dapat di sanak.“ berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Aku tidak berbuat dengan tergesa-gesa Ken Dedes. Aku harus berhati-hati. Ternyata yang kita hadapi adalah Kebo Sindet. Seorang yang tidak saja mempunyai banyak kelebihan dari orang lain, tetapi ia adalah setan yang tidak dapat di sanak.“ berkata Akuwu Tunggul Ametung.
“Ampun Tuanku. Tetapi apakah Akuwu telah berbuat sesuatu?”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Ia merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Katanya, “Kau
tidak mempercayai aku Ken Dedes.”
“Bukan maksud hamba tidak mempercayai
Tuanku. Tetapi hamba yang siang dan malam digelisahkan saja oleh
persoalan itu, ingin mendengar apakah yang kira-kira akan dapat terjadi
dengan Kakang Mahisa Agni.”
Hampir, saja Akuwu Tunggul Ametung
mengumpat. Mahisa Agni bagi Ken Dedes agaknya lebih penting dari
segala-galanya, lebih penting dari dirinya, Akuwu Tumapel. Tetapi Akuwu
itu tidak dapat melepaskan perasaannya begitu saja. Ia tidak dapat
melupakan bahwa Ken Dedes adalah seseorang yang kinacek. Seseorang yang memiliki, kelebihan yang aneh dari orang lain.
“Ken Dedes.“ berkata Akuwu Tunggul
Ametung itu kemudian, “aku telah berbuat banyak untuk kepentingan Mahisa
Agni. Aku dapat mengambil beberapa kesimpulan. Sebenarnya aku sengaja
tidak akan memberitahukannya kepadamu, sebelum aku mendapat keputusan
yang terakhir, apa yang akan aku lakukan.”
“Ampun Tuanku. Hamba tidak dapat menahan diri terlampau lama di dalam kegelisahan dan kecemasan.”
Wajah Akuwu Tunggul Ametung menjadi tegang. “Baik, baik. Aku akan mengatakannya.”
Ken Dedes mengerutkan wajahnya. Ia tahu
benar, nada suara Akuwu Tunggul Ametung adalah nada yang tidak
menyenangkan. Tetapi ia tidak mempedulikannya.
“Ken Dedes.“ berkata Akuwu Tunggul
Ametung. “Kita ternyata berhadapan dengan hantu yang dahsyat. Besok kau
harus berusaha memanggil Jajar yang gemuk itu. Lima hari yang dikatakan
oleh Jajar itu benar-benar saat yang di kehendaki oleh Kebo Sindet.
Batas waktu yang diberikan oleh iblis dari Kemundungan itu. Kalau hari
itu kita belum mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk memecahkannya,
mungkin Kebo Sindet akan mengambil cara lain. Cara yang tidak kita
ketahui.”
“Apakah yang harus hamba katakan kepada Jajar itu Tuanku?”
“Katakan kepadanya, bahwa di hari yang
kelima sejak perjanjian yang dibuatnya, yang sekarang telah berkurang
dengan dua hari, permintaannya agar dipenuhinya.”
Ken Dedes terperanyat mendengar
kesanggupan itu. Tanpa sesadarnya, dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah Tuanku akan memenuhi permintaannya, menyerahkan tiga pengadeg perhiasan?”
“Jangan bodoh.” suara Akuwu mengeras,
tetapi sejenak kemudian disambungnya dengan nada yang datar, “aku
mengharap bahwa aku tidak akan tertipu.”
“Ken Dedes, kau harus berkata kepada
Jajar itu, bahwa di hari yang ditentukan itu, Mahisa Agni harus dibawa
oleh Kebo Sindet. Itu adalah syarat penyerahan. Kalau tidak maka
semuanya tidak akan dapat terjadi. Kita hanya akan menjadi
bulan-bulanan. Setiap kali ia menuntut sesuatu, dan setiap kali Mahisa
Agni itu tidak akan juga diserahkannya.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi kemudian ia menjadi heran, ”Jadi apakah maksud Tuanku? Setelah
Kakang Mahisa Agni diserahkan, maka Tuanku akan memenuhi permintaannya?”
Ken Dedes melihat wajah Akuwu Tunggul
Ametung menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba ia berkata hampir
ber¬teriak, “Aku adalah Akuwu Tumapel. Aku memegang kekuasaan tertinggi
untuk menegakkan ketenteraman hidup rakyatku. Ya, Ken Dedes. Aku akan
menyerahkan permintaan Kebo Sindet setelah Mahisa Agni itu diserahkan.”
Ken Dedes menjadi bingung mendengar
kata-kata Akuwu yang saling bertentangan itu. Tetapi Akuwu kemudian
memberikan penjelasan, “Tetapi setelah penyerahan itu selesai, setelah
kita tidak mempunyai hutang lagi kepada Kebo Sindet maka aku akan
menangkapnya. Aku akan membunuhnya.”
Wajah Ken Dedes menjadi berkerut-merut
Apakah dengan demikian Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat dengan jujur
dalam tukar menukar ini? Tetapi sejenak kemudian Ken Dedes telah dapat
menyadarinya, bahwa yang dihadapi oleh Akuwu kini adalah Kebo Sindet.
Bukan orang yang dapat diajak untuk berbicara dengan baik. Bukan orang
yang masih mempunyai meskipun hanya sepercik kesadaran diri hidup dalam
peradaban manusia.
“Ken Dedes.” berkata Akuwu Tunggul
Ametung, “kau harus dapat menyimpan rahasia ini. Kalau rahasia ini kau
bocorkan, maka taruhannya adalah kakakmu, Mahisa Agni.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia ber desis, “Hamba Tuanku.”
“Pada hari yang ditentukan, Witantra akan
menyiapkan sepasukan kecil prajurit untuk mengurung iblis itu supaya
tidak dapat lepas. Aku tidak memerlukan terlampau banyak-orang, supaya
Kebo Sindet tidak mengetahuinya. Aku sendirilah yang akan menghadapi
iblis itu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menandinginya. Mungkin
orang-orang seperti Empu Gandring, atau Panji Bojong Santi, guru
Witantra. Tetapi aku tidak perlu minta tolong kepada mereka itu. Aku
sendiri yang akan mengakhiri perbuatan-perbuatannya yang gila itu.”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Ken Dedes. Tiba-tiba ia merasa matanya menjadi panas.
Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman.
Dada Ken Dedes yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Ia
merasakan kesungguhan kata-kata Akuwu Tunggul Ametung itu. Kali ini
agaknya Akuwu Tunggul Ametung akan benar-benar bertindak.
“Nah.” sejenak kemudian terdengar, Akuwu
itu berkata, “kau harus membantu aku. Kau panggil Jajar itu, dan kau
beritahukan apa yang harus dilakukan. Tetapi awas, jangan sampai rencana
ini didengar oleh siapa pun. Emban yang selalu berada di dekatmu pun
tidak boleh mendengarnya.”
Ken Dedes kemudian membungkukkan
kepalanya dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia menjawab, “Hamba
Tuanku. Hamba akan melakukan segala titah. Hamba akan mencoba untuk
berbuat sebaik-baiknya sebagai pernyataan terima kasih hamba yang tiada
taranya. Tetapi. …” suara Ken Dedes terputus ditengah.
“Tetapi.” Akuwu mengulangi.
“Tetapi, apakah tidak ada orang lain yang
dapat Tuanku perintahkan untuk menangkap Kebo Sindet?” suara Ken Dedes
menjadi semakin perlahan-lahan, “Kenapa mesti Tuanku sendiri.”
“Tidak. Tidak ada orang lain. Tetapi kenapa jika aku sendiri yang melakukannya?”
“Hamba menjadi cemas Tuanku, seperti kecemasan yang selama ini pernah hamba alami.”
“Oh.” tiba-tiba terasa sesuatu yang sejuk
menyentuh dada Akuwu Tunggul Ametung yang sedang tegang itu. Karena itu
maka darahnya pun terasa berangsur menjadi dingin. Ternyata Ken Dedes
mencemaskannya pula. Maka jawabnya, “Jangan cemas. Aku akan mengatasi
keadaan.”
“Tetapi Tuanku, Kebo Sindet adalah orang yang licik seperti pernah Tuanku katakan.”
“Jangan takut.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya. Kini ia
telah di kejar pula oleh kecemasan yang lain. Ia tidak dapat melepaskan
diri dari keadaannya. Ia adalah seorang isteri. Betapapun juga, apabila
Akuwu Tunggul. Ametung benar-benar berhasrat menangani sendiri
penangkapan Kebo Sindet, maka kepergiannya itu akan terasa juga berat
dihatinya.
Permaisuri itu kini berdiri di sudut yang
sulit. Kalau ia membiarkan kakaknya Mahisa Agni, maka ia akan selalu
dikejar oleh perasaan bersalah. Mahisa Agni, selain satu-satunya
keluarganya yang masih ada, meskipun bukan kakak kandungnya, juga
seseorang yang telah melepaskannya dari bencana. Tidak hanya satu kali,
tetapi beberapa kali. Tetapi apakah ia akan dapat melepaskan suaminya
pergi dengan tanpa mencemaskannya, karena ia tahu siapakah yang akan
dihadapinya? Apakah ia harus memilih salah satu dari keduanya? Biar
sajalah Mahisa Agni hilang dan tidak perlu diketemukan tetapi Akuwu
tidak pergi menghadapi Kebo Sindet, atau biar saja apa yang akan terjadi
dengan Akuwu Tunggul, Ametung, asalkan Mahisa Agni dapat dibebaskan?
Tetapi kemungkinan yang lain dapat saja
terjadi. Yang paling pahit baginya adalah apabila Akuwu Tunggul Ame¬tung
gagal, bahkan ia sendiri terpaksa mengalami bencana sedang Mahisa Agni
tidak dapat dilepaskan.
“Tidak.” Permaisuri itu mencoba
menenteramkan dirinya sendiri, “Akuwu akan berhasil membebaskan Kakang
Mahisa Agni dan sekaligus berhasil menangkap Kebo Sindet.”
Ken Dedes itu terkejut ketika ia
mendengar suara Aku¬wu Tunggul Ametung perlahan-lahan, “Sudahlah Ken
Dedes. Jangan kau risaukan persoalan ini. Aku sudah mendapat gambaran
menurut perhitunganku, bahwa aku akan berhasil. Aku akan membawa
beberapa orang prajurit pengawal pilihan. Dan aku mempunyai keyakinan,
bahwa betapa saktinya Kebo Sindet, ia tidak akan dapat melawan pusakaku.
Ia akan hancur menjadi debu apabila ia mencoba melawan.”
Ken Dedes masih belum menjawab.
“Sekarang tenteramkan hatimu. Aku
mengharap akan berhasil. Marilah kita berdoa supaya usaha ini mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung.”
Perlahan-lahan Ken Dedes menganggukkan
kepalanya. Kini ia tidak dapat menahan titik air matanya Dengan
tersendat-sendat ia menjawab, “Hamba Tuanku.”
“Tidurlah.” desis Akuwu itu kemudian. “Lupakan semuanya, supaya kau dapat tidur nycnyak.”
“Hamba akan mencoba Tuanku.”
“Jangan lupa. Besok kau panggil Jajar
itu. Katakan, bahwa permintaan Kebo Sindet akan dipenuhi dibatas
terakhir. Tetapi Mahisa Agni harus dibawanya serta sebagai syarat
penyerahan. Aku mengharap Kebo Sindet tidak akan berkeberatan karena ia
memerlukan perhiasan itu.” suara Akuwu tiba-tiba merendah, “kalau cara
ini gagal karena Kebo Sindet tidak bersedia, maka aku akan mengambil
cara terkkhir. Menangkap Kebo Sindet itu lebih dahulu, baru mencari
Mahisa Agni.”
Ken Dedes menundukkan kepalanya
dalam-dalam, sambil berkata, “Hamba akan membenarkan setiap cara yang
akan Tuanku tempuh. Sebab hamba sendiri tidak tahu apakah yang sebaiknya
dilakukan. Tetapi hamba telah mengucapkan beribu terima kasih, karena
Tuanku bersungguh-sungguh ingin membebaskan satu-satunya sisa keluarga
hamba.”
“Sekarang tidurlah.” berkata Akuwu itu kemudian.
“Hamba Tuanku.”
Ken Dedes pun kemudian kembali ke
biliknya. Seperti kata Akuwu Tunggul Ametung ia harus merahasiakan cara
yang akan diambil olehnya. Dan ia akan mematuhinya.
Ken Dedes terkejut ketika seakan-akan
tiba-tiba saja ia melihat bayangan matahari jatuh di atas atap biliknya.
Ternyata semalam suntuk ia tidak memejamkan matanya. Kegelisahan,
kecemasan dan harapan bercampur baur di dalam dirinya.
Tetapi ingatan Ken Dedes segera berkisar
kepada Jajar yang gemuk. Juru taman yang telah menyampaikan pesan Kebo
Sindet kepadanya tentang Mahisa Agni.
Hari ini ia harus menyampaikan pesan
Akuwu Tunggul Ametung kepada Jajar itu. Tetapi ia harus berhati-hati
supaya ia tidak terdorong mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak
boleh diucapkannya. Karena itu, maka meskipun mata hari belum meloncati
dedaunan yang rendah di ujung halaman istana, namun Ken Dedes telah
bersiap turun kehalaman dan kemudian masuk kedalam taman.
Beberapa emban menjadi heran melihat
kelakuannya. Pagi-pagi benar Permaisuri itu telah turun ke taman.
Biasanya Ken Dedes tidak tergesa-gesa. Apabila matahari telah tinggi,
barulah ia pergi.
Dalam pada itu, kedua juru taman, kawan
Jajar yang gemuk di petamanan pun menjadi semakin heran. Pagi itu
kawannya yang gemuk itu pun sudah berada di taman, ketika mereka datang.
Duduk bersandar pohon sawo kecik. Ia sama sekali tidak menghiraukan
kedua kawan-kawannya itu. Hanya seleret ia memandanginya sambil
berpikir, “Apakah orang-orang ini yang kemarin memukul aku?“ Tetapi ia
tidak berkata apapun.
Tiba-tiba Jajar yang duduk
terkantuk-kantuk itu terkejut ketika ia melihat seorang emban masuk ke
dalam taman. Emban itu berhenti sejenak, berpaling dan menganggukkan
kepalanya.
“He.“ tiba-tiba Jajar itu berteriak tanpa sesadarnya, “siapa yang datang?”
Emban itu meletakkan telunjuknya dimuka mulutnya.
“Siapa he?“ Jajar itu semakin keras berteriak.
Emban itu menjadi jengkel. Perlahan-lahan ia berdesis, “Akuwu. Tuanku Akuwu.”
Jajar yang gemuk itu tidak mendengar
dengan jelas, tetapi ia melihat gerak mulut emban itu. Dan ia menangkap
maksudnya. Yang datang adalah Akuwu Tunggul Ametung.
Karena itu maka tiba-tiba dadanya terasa
seperti dihentakkan oleh kecemasan. Kalau Akuwu mendengar ia
berteriak-teriak kepada embannya, maka setidak-tidaknya kepalanya akan
menjadi pening.
“Aku harus bersembunyi.” katanya di dalam
hati. Ia tahu benar tabiat Akuwu Tunggul Ametung. Kalau Akuwu itu
marah, maka apapun yang ada, pasti akan menerima akibat kemarahannya.
Tetapi kalau Akuwu itu tidak segera menemukannya, maka sebentar nanti ia
sudah melupakannya.
Jajar yang gemuk itu segera berlari
terbirit-birit. Hampir terjerembab ia menyusup regol butulan dan
bersembunyi di belakang dinding, seperti seekor kera yang ketakutan.
Kedua kawannya menjadi heran melihat
sikapnya. Mereka menjadi semakin tidak mengerti apakah yang sebenarnya
terjadi atas kawannya itu. Tetapi kesimpulan yang paling mudah mereka
ambil adalah, Jajar yang gemuk itu sudah menjadi gila.
Sejenak kemudian, maka dua orang emban
yang lain memasuki petamanan istana. Disusul oleh seorang emban tua dan
Permaisuri Ken Dedes.
Ken Dedes yang segera ingin membicarakan
masalah Mahisa Agni dengan Jajar yang gemuk itu berusaha menahan
hatinya. la tidak mau tergesa-gesa, supaya Jajar yang gemuk itu tidak
sengaja memperlambat pembicaraan. Bahkan yang pertama-tama dilakukan
adalah melihat ikan emas yang berenang di kolam yang tidak terlampau
luas.
Seperti biasa para emban mclayaninya dan
berusaha bergembira bersama Permaisuri. Tetapi setiap kali, tampaklah
betapa hati Permaisuri itu dibayangi oleh kegelisahannya.
Akhirnya Ken Dedes tidak ingin
menunda-nundanya lagi. Kepada seorang embannya ia berkata, “He, dimana
juru taman yang gemuk itu?”
“Ampun Tuan Puteri. Tadi hamba melihat
Jajar yang gemuk itu berada di dalam taman ini. Tetapi, agaknya ia
sedang menyembunyikan dirinya di balik regol butulan.“ Emban itu menjadi
heran kenapa Permaisuri mencari juru taman yang gemuk itu.
“Kenapa ia bersembunyi?”
“Mungkin karena Tuanku datang ketaman.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Panggillah kemari. Aku ingin berbicara.”
“Hamba Tuanku.”
Emban itu pun segera pergi mencari Jajar
yang gemuk. Emban itu adalah emban yang pertama-tama masuk kedalam
taman. Ialah yang melihat kemana Jajar yang gemuk itu lari
terbirit-birit.
Tertawanya hampir tidak tertahankan lagi ketika ia melihat Jajar yang gemuk itu duduk mendekap lututnya.
“He kenapa kau?” bentak emban itu begitu ia menjengukkan kepalanya di regol butulan.
Jajar yang gemuk itu ternyata terkejut
bukan kepalang, sehingga terlonjak beberapa cengkang. Tetapi ketika
dilihatnya seorang emban saja yang berdiri diregol butulan, ia mengumpat
lantang, “Gila kau. Apakah kau mau aku pilin lehermu.”
Emban itu tertawa. Jawabnya, “Apakah kau akan mencobanya?”
“Pergi. Jangan ganggu aku.”
Emban itu masih tertawa. “Ah, kenapa kau menjadi ketakutan? Aku menjunjung perintah Tuanku Akuwu. Kau dipanggil menghadap.”
“He aku? Kenapa?”
Emban itu menggeleng, “Aku tidak tahu. Mungkin Akuwu mendengar kau membentak-bentak ketika aku datang. Mungkin persoalan lain.”
Tiba-tiba tubuh Jajar itu gemetar. Ia
tidak sempat berpikir lagi, bahwa seandainya Akuwu yang datang ke taman,
meskipun biasanya diantar oleh beberapa emban dan Permaisuri, tetapi
Akuwu pasti memerintahkan seorang prajurit atau seorang Pelayan Dalam
untuk memanggil seseorang. Bukan seorang emban.
“Cepat, sebelum Akuwu mencarimu kemari.” berkata emban itu.
“Tetapi, tetapi,“ Jajar itu tergagap.
“Cepat.“ dan emban itu tidak menunggunya.
Segera ia pergi meninggalkan Jajar yang ketakutan. Tetapi Jajar itu
tidak dapat ingkar. Apabila Akuwu memanggilnya, meskipun itu tidak
biasa, bahwa seorang Akuwu memanggil seorang Jajar langsung, maka ia
harus menghadap.
Tubuh Jajar itu menjadi semakin gemetar
ketika ia sudah berdiri. Langkahnya menjadi sangat berat, dan nafasnya
seakan-akan terputus di kerongkongan. Tetapi ia harus melangkah terus.
Betapapun hatinya menjadi berdebar-debar.
“Oh, kepalaku pasti akan dipukulnya. Atau
aku harus berbuat hal-hal yang aneh-aneh. Itu tidak akan berarti
apa-apa bagiku, tetapi bagaimana dengan perjanjian yang telah aku buat
dengan kawan Kuda Sempana yang berwajah mayat itu. Dan bagaimana dengan
rencanaku dengan adikku yang semalam sudah aku mulai.”
Jajar itu berhenti sejenak di sisi regol
butulan. Tetapi ia harus melangkah terus. Begitu ia sampai diregol, maka
segera ia berlutut dan berjalan maju sambil berjongkok.
Tetapi tiba-tiba mulutnya berdesis. Ia
tidak melihat Akuwu Tunggul Ametung. Yang dilihatnya hanyalah Permaisuri
yang duduk di atas sebuah batu hitam dikelilingi oleh beberapa orang
emban. Sedang emban yang memanggilnya sedang bersimpuh menghadap
Permaisuri sambil menunjuk kapada Jajar yang gemuk itu.
“Oh apakah Permaisuri yang memanggilku?”
nafasnya kini menjadi semakin sesak, “Gila emban itu. Ia membuat aku
hampir pingsan. Ternyata Permaisuri yang memanggil aku menghadap.”
Jajar itu menarik nafas dalam-dalam.
Sekali, dua kali, tiga kali dan beberapa kali. Ditenangkannya hatinya.
Tetapi karena yang dihadapinya kini bukan Akuwu Tunggul Ametung, maka
justru dadanya menjadi semakin berdebar-debar.
Jajar itu telah melupakan kelakar emban
yang hampir menghentikan detak jantungnya. Tetapi kini ia dicengkam oleh
harapan yang membubung sampai keawang-awang. Permaisuri itu pasti sudah
membawa tiga pangadeg perhiasan. Tanpa sesadarnya Jajar itu
tersenyum sendiri. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling mencari
kedua kawannya. Ia harus menyatakan kemenangannya kepada mereka, bahwa
benar-benar Permaisuri memanggilnya. Tetapi ia tidak menemukannya.
Perlahan-lahan Jajar itu seakan-akan
merayap mendekati Ken Dades Kemudian ditundukkannya kepalanya
dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Tuanku. Hamba telah menghadap.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia harus berhati-hati. Ia harus mengatakan apa yang dapat dikatakan dan
menyimpan yang lain supaya ia tidak melepaskan kesalahan yang akibatnya
akan dapat membahayakan Mahisa Agni.
“Jajar.” berkata Permaisuri itu, “aku akan berkata langsung pada persoalannya.”
Jajar itu menundukkan wajahnya memandangi
butiran-butiran batu kerikil dikakinya. Begitu besar harapan mencengkam
dadanya, maka batu-batu kerikil itu seolah-olah telah berubah menjadi
butiran-butiran emas murni, intan dan berlian. “Aku akan
mendapatkannya.” katanya di dalam hatinya.
Perlahan-lahan ia mendengar Permaisuri itu pun berkata. Sepatah demi sepatah. Terang dan las-lasan.
Tetapi, arah dari kata-kata Permaisuri
itu ternyata tidak seperti yang dikehendakinya. Permaisuri itu tidak
segera menyerahkan seperti perhiasan dari tiga pengadeg .
Tetapi Permaisuri itu justru mengajukan beberapa syarat penyerahan.
Mahisa Agni harus dibawa serta pada batas waktu yang di tentukan.
“O.“ keringat dingin mengalir membasahi
punggung Jajar yang gemuk itu. Setelah ia terbang dengan angan-angannya
sampai ke ujung langit, tiba-tiba ia jatuh terbanting ke dalam dasar
jurang yang paling dalam.
“Apakah kau mendengar juru taman?”
Jajar itu terbungkam. Dadanya menjadi sesak, dan untuk sejenak ia tidak dapat menjawab pertanyaan Permaisuri itu.
“Bagaimana juru taman?“ ulang Permaisuri, “apakah kau mendengar dan mengerti?”
Dengan suara yang tergetar Jajar itu
berkata, “Ampun Tuan Puteri. Hamba mendengarnya. Tetapi kawan Kuda
Sempana itu tidak akan bersedia melakukannya.”
“Kau harus mencoba mengatakannya. Akuwu
Tunggul Ametung tidak ingin menyerahkan barang-barang itu tanpa
kehadiran kakang Miliisa Agni supaya kami tidak diingkarinya.”
“Tetapi orang itu tidak akan mau
diingkari pula Tuanku, seperti yang pernah dikatakannya. Apabila Mahisa
Agni dibawa serta, maka itu berarti membunuh diri bagi kawan Kuda
Sempana, sebab tidak ada lagi yang akan menghalangi seandainya orang itu
akan ditangkap setelah menyerahkan Mahisa Agni.”
Dada Ken Dedes berdesir. Kenapa Jajar yang gemuk ini dapat menebak perhitungan Akuwu Tunggul Ametung?
Tetapi Ken Dedes tidak dapat berbuat
lain. Ia pun tidak ingin menjadi sumber pemerasan yang akan dapat di
lakukan oleh Kebo Sindet terus menerus, apabila Mahisa Agni belum
dilepaskan. Karena itu maka katanya, “Terserahlah kepadanya. Tebusan itu
terlampau mahal. Karena itu, jaminannya harus cukup kuat, dan tidak ada
kemungkinan untuk ingkar.”
Jajar itu mengerutkan keningnya. Sejenak
nalarnya menjadi pepat dan harapannya menjadi pecah berserakan. Kalau ia
tidak berhasil membawa perhiasan itu, Kebo Sindet akan mengambil jalan
lain yang tidak diketahuinya.
“Nah, lakukanlah perintah Akuwu Tunggul Ametung Jajar.”
“Sulit Tuanku. Ampun, tetapi hamba kira, hal itu tidak akan dapat terjadi.”
“Bukan kau yang harus menjawab. Tetapi Kebo Sindet, Kawan Kuda Sempana itu.”
Jajar itu terbungkam. Tetapi ia memutar
otaknya. Namun kini tidak ada jalan lain kecuali menjunjung titah itu.
“Apapun yang akan aku lakukan.“ katanya di dalam hati.
Tiba-tiba terbersit ingatan dikepala
Jajar yang gemuk itu, adiknya yang dijumpainya diperjudian dengan
beberapa orang kawan-kawannya, orang-orang yang liar dan hampir tidak
terkendali. Orang yang hidupnya tanpa arah dan tujuan.
Sejenak Jajar itu berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi tegang, dan dadanya terasa menjadi bergetar.
“Apapun yang akan aku lakukan, tetapi aku memerlukan anak-anak gila itu.“ katanya di dalam hatinya.
“Juru taman.“ terdengar suara Ken Dedes,
“lakukanlah. Besok kau harus menyampaikan hasil pembicaraarimu kepadaku.
Mungkin aku turun ke taman, tetapi mungkin kau akan kau panggil ke
istana.”
Jajar itu mengangguk dalam-dalam, “Hamba Tuanku. Hamba hanya dapat menjunjung titah Tuanku.”
“Baiklah, sekarang pergilah kepekerjaanmu.”
Sekali lagi Jajar itu membungkuk
dalam-dalam, kemudian mundur dari hadapan Permaisuri itu. Tetapi itu ia
sama sekali tidak melakukan pekerjaannya. Ia kembali ketempatnya
bersembunyi. Dibalik dinding di sisi regol butulan.
Sambil menggeretakkan giginya,
dibantingnya dirinya di atas tanah berdebu. Perlahan-lahan Jajar itu
menggeram, “Setan alas. Bukan salahku kalau Mahisa Agni itu mampus
dipenggal lehernya. Atau digantung di alun-alun Tumapel oleh iblis
berwajah mayat itu.”
Wajah Jajar itu menjadi kian menegang. Ia mencoba mencari jalan penjelesaian yang menguntungkannya.
Dicobanya menghubungkan persoalan itu dengan adik dan kawan-kawannya. Mungkin dapat ditemukan pemecahan yang baik buatnya.
Tiba-tiba Jajar itu tersenyum. Ia menemukan suatu cara yang baginya sangat menyenangkan.
“Baik. Aku akan mempergunakan anak-anak
itu.“ katanya di dalam hati, “Besok aku akan menghadap Permaisuri.
Kenapa aku tidak dapat mengatasi persoalan ini? Oh, ternyata bahwa aku
masih mampu mempergunakan otakku yang cemerlang. Aku akan mengatakan
kepada Permaisuri, bahwa Kuda Sempana dan kawannya menyetujui permintaan
Permaisuri itu. Tetapi sebelum hari itu sampai, maka Kuda Sempana dan
kawannya harus dimusnahkan. Salah seorang dari anak-anak gila itu akan
menjadi kawan Kuda Sempana untuk menerima perhiasan itu. Tak perlu ada
Mahisa Agni. Tidak perlu takut bahwa pembawa perhiasan itu akan mengenal
orang yang sebenarnya sama sekali bukan Kuda Sempana dan kawannya.
Sebab begitu orang yang bertugas membawa perhiasan itu, datang
mudah-mudahan aku sendiri yang akan diperintahkannya, atau satu dua
orang prajurit, katakanlah lima sampai sepuluh, mereka pasti akan segera
disergap oleh anak-anak liar yang kerjanya memang hanya berkelahi itu.
Nah selesailah persoalannya. Kami kemudian harus lari. Lari dan
bersembunyi untuk beberapa lama bersama anak-anak itu. Aku yakin bahwa
adikku mampu mengumpulkan kawan-kawannya lebih dari lima belas orang
dihari terkkhir itu, sedang dihari sebelumnya aku memerlukan tidak lebih
dari sepuluh orang untuk menyingkirkan Kuda Sempana dan kawannya itu.”
Jajar yang gemuk itu tersenyum kini.
Wajahnya tidak lagi tegang dan dadanya tidak lagi berdebaran.
Perlahan-lahan ia berdiri, dan ia berjalan mondar-mandir sambil memilin
kumisnya.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika
teringat olehnya, bahwa selama ini ternyata ada orang-orang yang tak
dikenal selalu mengintipnya. Satu atau dua orang menurut perhitungannya.
“Siapakah mereka?” Jajar itu berdesis.
“Tetapi mereka pun akan dimusnahkan juga
oleh anak-anak gila itu.” dijawabnya sendiri pertanyaannya, “mereka
tidak akan berarti apa-apa. Mungkin mereka kawan-kawan Kuda Sempana yang
bertugas, mengamati keadaan.”
Jajar yang gemuk itu kini tersenyum lagi.
Orang-orang itu sama sekali tidak diperhitungkannya. Yang akan
dihadapinya hanyalah dihari pertama Kuda Sempana dan kawannya yang
berwajah mayat, kemudian dihari berikutnya, prajurit-prajurit Tumapel
yang bertugas mengawal tebusan itu.
“Tetapi bagaimanakah kalau Akuwu sendiri yang mengantarkan perhiasan itu?”
“Ah tidak mungkin. Bodoh sekali kalau Akuwu Tunggul Ametung sampai merendahkan dirinya membawa tebusan itu.”
Sekali lagi Jajar itu tersenyum.
Tersenyum, dan hampir setiap saat ia tersenyum karena kemenangan yang
bakal didapatnya. Kemenangan atas Kuda Sempana serta kawannya, dan
kemenangan atas Akuwu Tunggul Ametung dan Permaisurinya.
“Aku akan menjadi kaya raya. Anak-anak gila itu akan menjadi pelindungku yang setia asal aku selalu memberi makan yang cukup.”
Demikianlah kerja Jajar gemuk itu
sehari-harian ia sama sekali tidak peduli apakah Permaisuri masih berada
di taman atau sudah kembali ke istana. Ia sama sekali tidak menyentuh
tanaman yang harus disiangi atau disiram. Tetapi kedua kawannya yang
telah menganggapnya benar-benar gila itu sama sekali tidak menegurnya.
Apalagi ketika mereka melihat Jajar yang gemuk itu tersenyum-senyum
sendiri.
Ketika matahari sudah menjadi semakin
rendah di barat, maka tidak seperti biasanya, kali ini Jajar itu
tergesa-gesa pulang. Ia tidak menunggu sampai gelap dan tidak lagi
berjalan sambil mengumpat-umpat. Jajar yang gemuk itu melangkah ke luar
regol sambil tertawa kepada para penjaga.
“He, kenapa kau tertawa?” bertanya seorang penjaga.
Jajar itu sama sekali tidak menjawab.
Bukan sepantasnya prajurit rendahan menegurnya. Seorang yang kaya raya,
yang memiliki kekayaan yang tiada taranya. Tiga padukuhan lengkap dengan
segala isi dan sawah ladangnya. Segala macam iwen dan Raja kaya. Perhiasan emas intan dan karang kitri.
Tetapi prajurit itu tidak tahu apa yang
bersarang di kepala Jajar yang gemuk itu. Karena itu, maka prajurit itu
pun menjadi heran. Ketika dua orang juru taman lain lewat pula di regol
itu maka ia bertanya, “He, kenapa kawanmu juru taman yang gemuk itu.”
“Aku tidak tahu. Mungkin ia menjadi gila.” jawab mereka hampir berbareng.
Prajurit itu tersenyum. Ia sependapat
dengan kedua juru taman itu, bahwa Jajar yang gemuk, yang selalu
tertawa-tawa saja hari ini, tetapi yang kemarin terlampau gelisah dan
cemas itu, agaknya telah menjadi gila.
Tetapi, Jajar yang gemuk itu sama sekali tidak mempedulikan apa saja kata orang tentang dirinya. Ia sebentar lagi akan menjadi seorang yang kaya raya.
Tetapi, Jajar yang gemuk itu sama sekali tidak mempedulikan apa saja kata orang tentang dirinya. Ia sebentar lagi akan menjadi seorang yang kaya raya.
“Aku harus bertemu dengan Kuda Sempana
dan kawannya hari ini.” katanya di dalam hati, “mungkin pertemuan yang
terakhir kalinya. Aku harus menentukan tempat untuk bertemu besok.
Tetapi iblis itu tidak akan tahu, bahwa besok adalah harinya yang
terkkhir. Besok mereka akan dikirim ke neraka oleh adikku dan
kawan-kawannya.”
Jajar itu masih saja tersenyum. Otaknya
yang dibanggakannya, ternyata sudah tidak mampu bekerja dengan baik. Ia
tidak mau membayangkan apa kira-kira yang akan terjadi di hari batas
yang telah ditentukan.
“Biarlah aku pikirkan besok. Tetapi pada
dasarnya, seorang dari kawan-kawan adikku akan memegang peranan sebagai
kawan Kuda Sempana. Yang lain bersembunyi. Kalau tebusan itu datang,
maka segera harus disergap.”
“Heh.” Jajar itu menarik-nafas dalam-dalam. Sama sekali tidak dihiraukannya kakinya yang lecet tersandung batu.
Jajar itu tidak merasa pula ketika kakinya menyentuh duri kemarung.
“Dimana hari ini kawan Kuda Sempana itu
akan menemui aku?” desisnya. Sekali-sekali Jajar itu berpaling. Tetapi
ia tidak melihat Kuda Sempana dan kawannya.
“Apakah aku pulang terlampau siang,
sehingga keduanya tidak berani menampakkan dirinya?” gumamnya, “tetapi
aku harus bertemu hari ini. Tidak ada kesempatan lagi. Besok adalah hari
keempat. Kedua setan itu harus lenyap. Lusa hari yang terakhir, hari
yang dijanjikan oleh Permaisuri. Hari yang menentukan perubahan hidupku.
Dan aku akan segera menjadi kaya raya.”
Ketika Jajar itu sekali lagi berpaling,
tampaklah keningnya menjadi berkerut-merut. Ia melihat dua orang
berjalan searah dengan langkahnya. Lambat-lambat, seolah-olah membuat
jarak yang tetap dari padanya.
Jajar itu menjadi curiga. “Siapakah
mereka? Apakah mereka sekedar orang yang lewat saja di jalanan ini,
ataukah mereka orang-orang yang sengaja mengikuti aku?”
Hati Jajar yang gelisah itu menjadi
semakin gelisah. “Aku harus berhenti. Siapa pun orang itu harus aku
hadapi. Lebih baik sekarang dan berhadapan daripada aku diintainya dan
tiba-tiba saja disergapnya.”
Jajar itu berhenti. Ia melangkah menepi
dan bersendar pada sebatang kayu. Tetapi tiba-tiba ia melihat dari arah
lain, seorang laki-laki berjalan berlawanan arah dengan kedua orang yang
disangka mengikutinya. Kecurigaannya kian bertambah. “Huh, ternyata
mereka telah mencegat aku dari arah yang berlawanan pula selain kedua
orang yang telah mengikuti aku.”
Jajar itu tiba-tiba meraba lambungnya.
Ketika tanganya menyentuh hulu kerisnya yang kecil, maka ia pun menarik
nafas dalam-dalam.
“Mereka akan mengantarkan nyawa mereka, siapa pun mereka itu. Tetapi mereka pasti bukan Kuda Sempana dan kawannya itu.”
Semakin lama kudua orang yang datang dari
arah belakang, dan seorang dari arah lain itu menjadi semakin dekat.
Tetapi Jajar itu kemudian mengerutkan keningnya. Ternyata kedua orang
itu telah mengenalnya. Keduanya adalah prajurit-prajurit Tumapel. Karena
itu maka ia mengumpat perlahan, “Setan alas. Agaknya prajurit-prajurit
Tumapel yang berkeliaran di sini. Tetapi mereka sama sekali tidak
mengenakan pakaian keprajuritannya?” Jajar itu kemudian berpaling ke
arah yang lain, seorang yang berjala perlahan-lahan kearahnya, “Tetapi
orang itu, aku belum mengenalnya.”
Ketika kedua prajurit itu menjadi semakin
dekat, maka Jajar itu maju selangkah. Tetapi wajahnya sudah tidak lagi
setegang sebelumnya. Apalagi ketika ia melihat prajurit itu tertawa
sambil menyapanya, “He, apakah kau menunggu Kami?”
“Kalian mengejutkan aku. Aku sangka kalian orang-orang asing yang mengikuti aku?”
“He.” kedua prajurit itu terkejut, “kenapa kau merasa dirimu diikuti oleh orang asing, Apakah kau mempunyai persoalan.”
“Oh.” Jajar itu tergagap, “Tidak. Tidak apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau terlampau bercuriga?”
Jajar itu tidak menjawab. Ketika orang
yang berjalan kearah yang berlawanan itu lewat dihadapannya, maka sambil
berbisik ia bertanya kepada kedua prajurit itu, “Kau kenal orang itu.”
Kedua prajurit itu berpaling, mengawasi
orang yang baru saja lewat itu pada punggungnya. Hampir bersamaan mereka
menggelengkan kepala mereka, “Tidak. Aku belum kenal.”
“Kenapa ia berusaha menjumpai aku disini?”
“Siapa?”
“Orang itu. Mungkin ia akan berbuat sesuatu seandainya kalian tidak di sini.”
“Ah.” salah seorang dari kedua prajurit
itu berdesah, “kau terlampau berprasangka. Kenapa kau tampaknya begitu
gelisah dan gugup. Bukankah yang kau lewati ini jalan umum? Setiap orang
dapat saja melewati jalan ini seperti kau dan aku. Kenapa kau menjadi
bingung dan curiga. Lihat, itu seorang lagi lewat. O, ia tidak berjalan
ke arah ini, ia berbelok ke kanan masuk ke dalam padesan. Dan lihat di
belakang kita masih ada orang lewat meskipun tidak menuju kemari pula.
Kenapa kau mencemaskannya?”
Jajar gemuk itu menarik nafas
dalam-dalam. “Ya, ya. Mereka hanya orang-orang lewat.“ Jajar itu
berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “Tetapi kenapa kau tidak mengenakan
pakaian keprajuritan? Kain bang, setagen hijau dan ikat
pinggang kulit berwarna kuning, tidak menyandang pedang atau tombak,
meskipun celana yang kau pakai itu celana keprajuritanmu?”
Kedua prajurit itu saling berpandangan
sejenak. Lalu keduanya bersama-sama tertawa pendek. Salah seorang dari
mereka menjawab sambil mengamat-amati pakaiannya sendiri. “Kau terlampau
banyak memperhatikan orang lain. Baiklah aku menjawab pertanyaanmu.
Sekarang kami, aku dan kawanku ini sedang tidak bertugas. Kami mendapat
izin beristirahat seminggu di rumah. Itulah sebabnya kami diperkenakan
memakai pakaian kami sendiri, bukan pakaian keprajuritan.”
Jajar itu mengerutkan keningnya. Sekali
lagi ia mengamat-amati pakaian kedua prajurit itu. Dan Jajar itu pun
bertanya pula, “Tetapi celanamu adalah celana keprajuritan.”
Suara tertawa kedua prajurit itu kian
mengeras. Bahkan salah seorang dari mereka tidak dapat lagi menahan air
matanya yang membasahi pelupuknya. “Kau lucu sekali.” katanya. “Baiklah,
pertanyaan itu pun akan aku jawab Aku tidak malu seandainya kau tahu
keadaan kami sebenarnya. Aku tidak mempunyai celana yang lain yang
pantas. Itulah sebabnya aku mempergunakan celana ini untuk
berjalan-jalan.”
“Kenapa kalian berdua? Apakah kalian
berdua tidak memiliki celana berbareng seperti berjanji? Aku adalah
seorang Jajar. Seorang abdi yang paling rendah. Juga dibandingkan dengan
kalian prajurit yang paling kecil, seharusnya aku masih lebih kecil
lagi. Tetapi aku mempunyai celana selain celana peparing dari istana.”
“Oh.” prajurit yang lain
menganguk-angguk, “kau benar. Tetapi kau harus tahu sebabnya. Kau tidak
mempunyai anak dan isteri. Tetapi kami? Anakku lima dan anak kawanku ini
tiga. Tetapi kenapa kau terlampau meributkan pakaian kami?”
“Tidak apa-apa.” Jajar itu menggeleng.
Tetapi tiba-tiba tatapan matanya tersangkut kepada seseorang di
kejauhan. Dan tiba-tiba pula ia berdesis, “Siapa itu?”
“He.” kedua prajurit itu terkejut, “siapa saja apa pedulimu. Kenapa kau tampak bingung dan gelisah?”
“Tidak apa-apa.”
“Dan kau akan tetap berdiri saja di situ? Apakah kau tidak akan pulang.”
“Aku memang akan pulang.”
“Marilah kita berjalan bersama-sama.” ajak prajurit itu.
“Pergilah dahulu. Aku berjalan kemudian.”
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
Tetapi mereka pun kemudian minta diri untuk berjalan mendahului.
Meskipun demikian ketika mereka berpaling, Jajar itu masih bertanya,
“Kenapa kalian berpaling?”
Kedua prajurit itu tidak menjawab. Yang
terdengar hanyalah suara tertawa mereka melambung dibawa angin. Namun
terdengar Jajar yang gemuk itu mengumpat, “Setan alas. Apa kerja
prajurit-prajurit itu berkeliaran di sini? Bukankah rumahnya di ujung
lain dari kota ini?”
Tetapi kedua prajurit itu tidak mendengar. Keduanya berjalan terus meskipun sekali-sekali mereka masih juga berpaling.
Ketika kedua prajurit itu telah menjadi
kian jauh, Jajar itupun meneruskan langkahnya. Tetapi setiap kali ia
melihat seseorang lewat di jalan itu pula, hatinya menjadi
berdebar-debar. Setiap kali ia selalu menengok ke belakang, seolah-olah
takut diikuti oleh seseorang yang akan berbuat jahat kepadanya.
Kegelisahan Jajar itu menjadi semakin
tajam, seperti matahari yang semakin menurun. Cahayanya yang
kemerah-merahan memancar menyebar dilangit yang jernih.
Tiba-tiba Jajar yang gemuk itu bergumam,
“Aku harus bertemu dengan kawan Kuda Sempana itu hari ini. Tetapi kenapa
ia tidak menjumpai aku seperti biasanya?”
Dan Jajar yang kemarin mengumpat-umpat
karena Kebo Sindet menemuinya di perjalanan itu, kini justru mengharap
dapat bertemu dimanapun.
Tetapi hampir ia meloncat ketika
tiba-tiba saja ia mendengar seseorang menyapanya, dekat sekali di
sampingnya ketika ia memasuki padesan. “O, kau terlampau siang pulang
hari ini Ki Sanak.”
Darahnya tersirap ketika ia melihat dua
orang duduk di atas batu tepat di tikungan. Ia tidak segera dapat
mengenal wajah keduanya, karena keduanya memakai tudung kepala, yang
dibuat dari anyaman daun kelapa, hampir menutup seluruh wajahnya. Tudung
kepala yang sering dipergunakan diwaktu hujan meskipun dalam ukuran
yang kecil. Tetapi suara yang mempunyai ciri tersendiri itulah yang
langsung memperkenalkannya kepada keduanya.
“Kaukah itu?“ Jajar itu hampir berteriak.
“Kenapa kau berteriak?“ bertanya Kebo Sindet.
“Kalian mengejutkan aku.”
Kebo Sindet dan Kuda Sempana segera
berdiri. Dengan wajahnya yang beku Kebo Sindet memandangi Jajar yang
gemuk itu, seolah-olah baru kali ini dilihatnya. Dan Jajar itu menjadi
kian gelisah sehingga terloncat pertanyaannya. “Kenapa kau heran melihat
aku?”
Kebo Sindet itu menggeleng, “Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi kau tampaknya terlalu gugup dan gelisah.”
“Siapa yang bilang?”
“Baiklah. Kau tidak gugup dan gelisah. Tetapi bagaimana kabarnya Permaisuri itu?”
Jajar itu menarik nafas dalam-dalam.
Diedarkannya pandangan matanya seolah-olah mencari seseorang Tetapi ia
tidak melihat orang lain. Meskipun demikian dicobanya untuk menembus
rimbunnya dedaunan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitarnya. Tetapi ia
tidak melihat seseorang.
“Katakan.“ desak Kebo Sindet. “Aku hampir
ke hilangan kesabaran. Kau sudah kehilangan tiga hari dengan hari ini.
Waktumu tinggal besok dan lusa.”
Jajar itu tidak segera menjawab. Ia masih
mencoba mencari-cari dengan penuh kecurigaan, kalau-kalau ada orang
lain yang mendengarnya.
“Katakan.” sekali lagi Kebo Sindet mendesak, “jangan takut didengar orang lain. Bukankah ini bukan rahasia lagi?”
“Tetapi.” Jajar itu menjawab
terbata-bata, “ kita berbicara di jalan yang mungkin dilewati
orang-orang lain yang sama sekali tidak berkepentingan.”
“Aku tidak mencemaskannya.” sahut Kebo
Sindet, “siapa pun yang mendengar dan mengetahui pembicaraan ini, aku
tidak berkeberatan.”
Jajar itu mengerutkan keningnya. Baginya
kata-kata Keko Sindet itu terdengar sangat aneh. Seharusnya ia
merahasiakan dirinya dan setiap pembicaraan. Semakin banyak orang yang
mengenalnya, maka bahaya baginya menjadi semakin besar.
Agaknya Kebo Sindet dapat meraba perasaan
Jajar yang gemuk itu, maka katanya, “Jangan cemas. Mahisa Agni masih
berada di tanganku. Sesuatu yang terjadi atasku, maka nasib Mahisa Agni
akan menjadi terlampau buruk. Aku berjanji dengan kau sampai lusa.
Apabila di pagi harinya aku tidak kembali, maka orang-orangku akan
segera berbuat sesuatu atas Mahisa Agni.”
Dada Jajar itu berdesir. Tetapi tiba-tiba
ia menggeram meskipun hanya di dalam hati, “Aku tidak peduli. Besok
Kebo Sindet harus sudah binasa. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi
atas Mahisa Agni. Biar saja ia dibunuh, ia bukan sanak, bukan kadangku.”
“Kenapa kau diam seperti sudah menjadi pikun. Apakah kau tidak bertemu lagi dengan Permaisuri?” bertanya Kibo Sindet.
“Hari ini aku telah bertemu.” berkata
Jajar yang gemuk itu sambil memandang berkeliling. Ia masih saja
bercuriga. Di jalan ini ia bertemu dengan dua orang prajurit. Dengan
orang-orang asing yang belum dikenal dan orang-orang yang seakan-akan
hilir mudik mengawasinya.
“Ternyata kau penakut.” Kebo Sindet
hampir membentak, “benar jalan ini adalah jalan umum. Setiap orarig
dapat saja lewat dijalan ini. Bagimu sebenarnya lebih baik. Tidak akan
ada orang yang mencurigaimu karena kau bertemu dengan seseorang dan
berbicara denganmu dijalan yang ramai ini. Ayo, katakanlah.”
Jajar itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian dengaa hati-hati dikatakannya apa yang dikehendaki oleh
Permai¬suri. Dibatas waktu yang diberikan, Permaisuri akan mengi rim
orang untuk menyerahkan perhiasan itu, tetapi dengan syarat, Mahisa Agni
harus dibawa serta.
Jajar itu menjadi ngeri, dan seluruh
bulunya tegak berdiri ketika ia melihat sorot mata Kebo Sindet. Meskipun
wajahnya masih saja membeku, tetapi mata itu seolah-olah menjadi merah
membara.
“Begitukah kehendak Permaisuri.”
Tanpa sesadarnya Jajar itu mengangguk dan berdesir, “Ya.”
“Dan kau tidak menjelaskan bahwa aku tidak akan bersedia menerima syarat itu?”
“Sudah aku katakan.”
“Kenapa syarat itu masih juga diajukan kepadaku?” mata Kebo Sindet menjadi semakin menyala, “Aku tidak mau masuk ke dalam wuwu.
Aku bukan seorang anak yang dungu. Kau tahu, bahwa dengan demikian kau
pun tidak akan mendapatkan apa-apa. Mungkin kau akan ikut serta
ditangkap bersama aku setelah Mahisa Agni itu lepas bersama tebusan yang
akan dirampasnya kembali. Tumapel mempunyai prajurit yang tidak
terhitung jumlahnya. Apakah kita akan dapat melawan.”
“Sudah aku katakan kepada Permaisuri.”
“Tetapi ia tidak mau mendengarkan begitu?
Baiklah. Kalau demikian persoalan kita sudah selesai. Kau tidak akan
mendapat kesempatan lagi.”
“Tunggu.” Jajar itu benar berteriak.
“Apa lagi.”
“Sebenarnya aku sudah membuat
perhitungan, bahwa kau pasti akan menolak. Tetapi aku tidak dapat
membantah perintah Permaisuri. Apa yang aku lakukan hanyalah sekedar
sebuah permainan.”
Kebo Sindet tidak segera menjawab.
Matanya yang terpancang diwajahnya yang beku memandangi Jajar itu
seakan-akan ingin melihat sampai kepusat jantungnya.
“Apa maksudmu?” desis Kebo Sindet itu kemudian.
Keringat dingin telah membasahi segenap
tubuh Jajar yang gemuk itu. Tetapi otaknya mencoba bekerja sekuat-kuat
kemampuannya. Sejenak kemudian ia berkata, “Bukankah waktu yang kau
berikan masih dua hari.”
“Tetapi hanya akan membuang waktu saja bagiku.”
Jajar itu menggeleng. “Tidak.” Jantungnya dicengkam oleh kecemasan. Jika demikian rencananya akan bubrah. Akan pecah berserakan seperti harapannya untuk mendapatkan perhiasan yang akan bernilai seluas tanah perdikan yang besar.
“Sudah aku katakan, bahwa aku hanya
sekedar menyenangkan bati Permaisuri itu.“ berkata Jajar itu, “tetapi
dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk berbicara lebih
hanyak. Besok aku akan menyampaikan keterangan seperti yang kau katakan,
bahwa kau akan menolak. Besok sore aku memerlukan kau. Aku yakin bahwa
tidak akan ada pilihan lain dari Permaisuri itu kecuali memenuhi
tuntutanmu.”
“Kau terlampau berbelit-belit.”
“Aku memerlukan sikap yang berbelit-belit
untuk memaksa Permaisuri mempercayaiku. Kalau aku menolak untuk
menyampaikan syarat ini kepadamu, maka aku akan kehilangan kesempatan,
sebab aku menolak perintah Tuanku Permaisuri. Nah, besok kita akan
bertemu. Aku tidak mau berteka-teki dan selalu gelisah. Katakan, dimana
kau akan menemui aku besok. Waktu kita tinggal sedikit. Kau selama ini
hanya menurut kemauanmu saja. Sebaiknya kita berbicara dengan pasti.”
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Tetapi
sorot matanya masih belum pudar. Sejenak dipandanginya Kuda Sempana
yang berdiri membeku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan
seolah-olah ia menjadi acuh tidak acuh saja menanggapi pembicaraan itu.
“Bagaimana?” Jajar itulah yang kini
mendesak, “dimana besok kita dapat bertemu? Katakan dengan pasti, supaya
aku membuat perhitungan yang pasti pula. Waktuku tinggal dua hari.
Kalau aku masih harus banyak berteka-teki, maka aku tidak segera dapat
memusatkan perhitunganku atas tawaran-tawaran Permaisuri.”
Tiba-tiba Jajar itu mendengar Kebo Sindet
menggeram, “Jangan memaksa. Aku akan menjumpaimu dimana saja aku
inginkan. Jangan pula membuat tawaran-tawaran yang tidak masuk akal. Kau
masih mendapat kesempatan. Tetapi ingat, kalau dua hari ini telah lewat
dan kau masih belum mendapatkan tebusan itu, tidak ada ikatan apa-apa
lagi di antara kita.”
“Baik. Aku akan mencoba, dalam dua hari
ini. Tetapi katakan dimana aku besok bisa bertemu, berbicara agak
panjang tanpa kecurigaan terhadap keadaan di sekitar kita.”
“Apakah yang harus dibicarakan?”
“Apa yang akan disampaikan Permaisuri besok kepadaku.”
“Permaisuri tinggal mengatakan ya atau tidak.”
“Lalu, apakah utusannya lusa harus
membawa tebusan itu berkeliling kota dan menunggu kau menjumpai mereka
itu di tempat yang kau sukai?“
Kebo Sindet terdiam sejenak. Lalu
katanya, “Baik, aku akan menentukan tempat itu. Tetapi tidak sekarang.
Aku tidak perlu cemas, sebab Mahisa Agni masih di tanganku.”
“Nah, kita bicara besok. Tetapi di mana?
Kenapa kau cemaskan tempat yang akan kau tentukan itu, sedang kau tidak
mencemaskan tempat yang akan kau pakai untuk menerima tebusan lusa?”
Sekali lagi Kebo Sindet terdiam sejenak. Dipandanginya Jajar yang gemuk itu seakan-akan ingin melihat sampai kepusat dadanya.
“Aku akan temui kau besok.”
“Mudah-mudahan aku dapat menekan Permaisuri, sehingga tebusan itu akan dapat kau bawa besok.”
“Hem.” Kebo Sindet menggeram, “apa ada kemungkinan demikian?”
“Tentu. Permaisuri berhati lemah. Agaknya
Akuwu sudah tidak berkeberatan. Soalnya, bagaimana Permaisuri yakin
bahwa kakaknya selamat. Kalau ini kau jamin kelak, maka aku kira tidak
akan ada kesukaran lagi.”
Kebo Sindet tidak menjawab.
“Bagaimana?“ bertanya Jajar yang gemuk.
“Pergilah. Besok aku temui kau sesuka hatiku. Jangan mengatur aku. Aku dapat berbuat apa saja yang aku sukai.”
“Tetapi kau memerlukan tebusan itu bukan?”
Kebo Sindet terdiam.
“Mudah-mudahan aku besok telah membawanya. Aku harus memaksa dan menakut-nakuti Permaisuri.”
“Mudah-mudahan. Tetapi kau tidak perlu tahu, dimana aku akan menjumpaimu.”
“Hem.” Jajar itulah yang menggeram.
“Terserah kepadamu. Aku sudah mencoba. Tetapi aku harap kau benar-benar
dapat menjumpai aku.”
“Pasti.”
“Baiklah.” Jajar itupun segera pergi
meninggalkan Kebo Sindet dan Kuda Sempana. Sejenak kemudian kedua orang
itupun pergi pula, tetapi kearah yang berlawanan.
Di sepanjang langkahnya Jajar itu
menggerutu tidak habis-habisnya, bahkan mengumpat-umpat. Seakan-akan
Kebo Sindet itu telah mengetahui rencananya untuk membinasakannya besok,
sehingga orang itu tidak mau mengatakan dengan pasti, di mana besok
mereka dapat bertemu.
“Bagaimana aku akan menyiapkan orang-orangku.” gumam Jajar itu, “Setan alas. Orang itu benar-benar seperti setan.”
Tetapi sekali lagi Jajar yang gemuk itu
hampir terlonjak. Tiba-tiba saja ia bertemu ditikungan, kedua prajurit
yang telah dijumpainya tadi.
“Kau terkejut?” bertanya salah seorang prajurit itu.
Jajar itu mengerutkan keningnya, “Gila. Apa kerja mu di sini.”
“Bukankah kau sudah bertanya? Aku sedang
beristirahat dan menikmati masa istirahat kami. Jelas. Kami
berjalan-jalan saja kemana kami suka.”
Tetapi kecurigaan Jajar itu kian bertambah. Dengan gemetar ia berkata, “Kau sengaja mengintip aku bukan?”
“He.” prajurit-prajurit itu terkejut,
“kau terlampau bercuriga. Kenapa aku harus mengintip kau. Tanpa
mengintip aku melihat kau dari kejauhan, dari sudut desa itu. Bukankah
kau berbicara dengan dua orang yang memakai tudung kepala dari daun
kelapa. Akulah yang seharusnya mencurigaimu. Kau berbicara dengan
orang-orang aneh. Bukankah tudung kepala macam itu biasa dipakai dihari
hujan? Kedua orang itu memakainya dihari yang cerah. Tidak pula sedang
panas terik, karena matahari hampir tenggelam. Apakah kedua kawanmu itu
tidak sengaja menyembunyikan wajah-wajah mereka.”
“Gila kau. Kenapa kau berpikir sampai sedemikian jauh?” Jajar itu menjadi cemas.
“Karena itu, jangan terlampau mencurigai
orang. Seandainya kau sedang berbicara tentang judi sekalipun aku tidak
akan mempedulikan.”
“Baik. Baik.” Jajar itu menjawab dengan
serta merta, “aku memang sedang berbicara tentang judi. Orang itu adalah
seorang dukun yang sakti, yang dapat memberi petunjuk-petunjuk tentang
cara-cara untuk memenangkan perjudian.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang bergumam, “Dan kau percaya?”
“Aku percaya.“ sahut Jajar itu.
Kedua prajurit itu hampir bersamaan
tertawa. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian mereka
melihat wajah Jajar yang berkerut-merut.
“Kenapa kalian tertawa?” bertanya Jajar itu.
”Tidak apa-apa.”
“Apakah kalian tidak percaya bahwa dalam
pemusatan pikiran seseorang akan dapat mengenal petunjuk atau
getaran-getaran yang dapat memberinya tanggapan atas sesuatu yang bakal
terjadi meskipun samar-samar,” desak Jajar itu.
“He.” salah seorang prajurit itu menyahut
dengan serta-merta, “Kau agaknya telah menjadi seorang yang mendalami
masalah-masalah getaran alam semesta dalam tanggapan alam yang kecil?
Seperti Sena melihat Dewa Ruci di dalam ceritera pewayangan yang dapat
menimbulkan tanggapan timbal balik? Diri dalam kediriannya dan diri di
dalam rangkuman alam semesta. Dewa Ruci yang hadir karena kehadiran Sena
setelah berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan, dan
kemudian Sena itu hadir di dalam diri Dewa Ruci dalam pencahariannya.
Dan apa yang diketemukan? Keserasian tanggapan yang utuh. Begitu?”
prajurit itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Aku pernah juga mendengar
ceritera itu.” dan tiba-tiba prajurit itu berdesis, “Aku tidak menolak
seseorang mempunyai kemampuan yang melebihi manusia yang lain. Itu
adalah pertanda kebesaran Yang Maha Agung. Tetapi aku kira kelebihan
kurnia Yang Maha Agung itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang
lebih besar bagi kemanusiaan. Bukan untuk menolongmu berjudi.”
“Jadi kau tidak percaya?” Jajar itu menegangkan lehernya.
”Aku percaya kepada kemampuan yang demikian.”
“Kenapa kau tertawa?”
Kedua prajurit itu justru tertawa
semakin, keras. Salah seorang dari mereka berkata, “Pergilah ketempat
perjudian itu. Kau nanti lupa kepada petunjuk-petunjuk yang telah kau
dapatkan dari padanya. Kalau kau menang, pergunakanlah kemenanganmu
untuk kebaikan.”
“Persetan.“ desis Jajar yang gemuk.
Tetapi tiba-tiba ia berdesis, “Kenapa kalian mengawasi aku. Kalian
mencurigai aku dan tidak percaya bahwa kedua orarg itu tidak mempunyai
kepentingan apa-apa dengan aku selain petunjuk-petunjuknya.”
“Siapa yang bilang? Kau jangan mengigau Jajar. Pergilah kalau kau mau pergi.”
Jajar itu menggeretakkan giginya. Ia
sendiri tidak tahu, kenapa ia menjadi semakin bercuriga kepada kedua
prajurit itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu maka
dengan wajah yang tegang, ia melangkah pergi. Ketika ia berpaling, ia
mengumpat sejadi-jadinya di dalam hatinya karena salah seorang dari
kedua prajurit itu bertanya, “Kenapa kau berpaling?”
“Setan alas.“ desisnya. Dan ia masih mendengar kedua prajurit itu tertawa.
“Tidak ada waktu untuk meributkan orang
gila itu.” Jajar itu bergumam kepada diri sendiri. Langkahnya menjadi
semakin cepat. Meskipun sekali-sekali ia masih juga berpaling. Ia
mengumpat sekali lagi ketika dilihatnya bayangan kedua prajurit itu
menjadi semakin jauh, dan suasana disekitarnyapun menjadi semakin suram.
Ketika ia menengadahkan wajahnya kelangit, dilihatnya bayangan merah
yang redup masih menyangkut dipinggiran mega putih yang berarak.
“Aku harus menemui anak-anak liar itu.”
Jajar itu berkata kepada diri sendiri, “Tetapi di mana besok aku menemui
kawan Kuda Sempana, dan di mana anak-anak itu harus menyiapkan
dirinya?”
Jajar itu mencoba mengusir
kejengkelannya. Ia ingin memusatkan pikirannya kepada persoalan yang
akan dihadapinya besok. “Sayang.” ia bergumam, “aku tidak tahu apa yang
akan terjadi, sehingga aku tidak segera menemukan cara yang
sebaik-baiknya untuk melenyapkan Kuda Sempana dan kawannya itu.”
Sekali-sekali Jajar itu
menghentak-hentakkan kakinya. la ingin mengusir semua gangguan di dalam
kepalanya. Ia ingin segera menemukan cara yang baik untuk membunuh Kebo
Sindet.
“Persetan.” tiba-tiba ia menggeram, “aku
besok harus menemui Permaisuri. Mengatakan bahwa Kuda Sempana dan
kawannya bersedia menerima tawarannya. Tatapi besok aku harus dapat
membunuh orang-orang yang tamak itu. Tetapi di mana ?”
“Hem.” sekali lagi ia menggeram.
Tanpa sesadarnya langkahnya menjadi
semakin cepat. Matahari telah lenyap dibalik bukit. Di kejauhan Jajar
itu melihat cahaya pelita dari balik dinding rumah. Sinarnya satu-satu
berloncatan lewat lubang-lubang pintu yang belum tertutup rapat.
Tiba-tiba Jajar itu tertegun. Ia berhenti
di tengah jalan. Wajahnya menegang dan matanya yang sipit itu menjadi
semakin sipit. “Aku harus menemukan cara.” desisnya. Setelah mengerutkan
keningnya, maka diayunkannya lagi kakinya. Wajahnya kemudian menjadi
terang. Katanya kepada diri sendiri, “Aku besok akan menghadap
Permaisuri. Sesudah itu aku akan pulang, jauh sebelum waktunya. Aku kira
Kuda Sempana dan kawannya itu tidak akan dapat menjumpai aku di jalan.
Mereka tidak akan mengira bahwa aku akan pulang terlampau siang. Aku
kemudian harus menyiapkan anak-anak itu di sekitar rumahku. Kuda Sempana
dan kawannya yang berwajah mayat itu pasti akan mencariku di rumah.”
Jajar itu tersenyum sendiri. Langkahnya
kini menjadi semakin ringan. Ketika ia memasuki sebuah lorong sempit,
diantara halaman-halaman yang rimbun, langkahnya menjadi semakin cepat.
Ia ingin segera sampai ketempat perjudian.
Bukan saja ia ingin segera ikut bermain
dadu, tetapi ia ingin segera tertemu dengan adiknya dan kawannya,
anak-anak muda yang liar dan buas. Yang tidak mempunyai tujuan hidup
sama sekali. Hidup bagi mereka adalah apa yang mereka lajukan dan apa
yang ingin mereka lakukan. Tanpa pertimbangan peradaban dan
ikatan-ikatan pergaulan yang berlaku.
Jajar yang gemuk itu tersenyum sendiri.
Seakan-akan ia telah menemukan apa yang dicarinya. Pemecahan yang paling
baik, paling menguntungkan dan hasil yang sebanyaknya. Perhiasan tiga pengadeg .
“Hem.“ Jajar itu menarik nafas. Serasa
semua angan-angan itu telah terjadi. Seakan-akan ia telah menjadi
seorang yang kaya raya, meskipun hidup di tempat yang terpencil. Se¬raya
kaki-kakinya menjadi berat, dan langkahnya telah membuat bekas-bekas
yang dalam di atas tanah yang dilewatinya.
“O, aku akan memiliki kekayaan yang
seluas tanah perdikan yang paling kaya, meskipun aku harus pergi dari
Tumapel.” Jajar itu tersenyum.
Ia menjadi kecewa ketika ia telah sampai
di depan sebuah halaman yang luas, agak jauh di dalam padesan yang sepi.
Regolnya yang besar selalu tertutup rapat. Jajar itu terpaksa
menghentikan angan-angannya yang terbang tinggi sampai kesela-sela
bintang yang berhamburan dilangit. Ia telah sampai ditempat yang
ditujunya. Tempat perjudian.
Perlahan-lahan didorongnya pintu regol
yang besar itu. Ketika pintu itu terbuka sedikit, dilihatnya beberapa
anak-anak muda berdiri di sekitar regol itu.
“Siapa?” salah seorang dari mereka menyapa.
Jajar itu tidak menjawab. Tetapi ia langsung melangkah masuk.
“O, kau.” desis salah seorang dari mereka.
Jajar itu masih belum menjawab. Seperti
seorang Senapati perang ia melangkah di antara prajurit-prajuritnya.
Sambil memandang kekiri dan kekanan ia mengangguk-angguk kecil.
Baru sejenak kemudian ia berdesis, “Apakah kawan-kawanmu sudah lengkap?”
Salah seorang dari anak-anak muda itu yang ternyata adalah adiknya menjawab, “Apakah kau memerlukan kami sekarang?”
“Tidak, tidak sekarang.” jawab Jajar itu. Tetapi lalu, “Apakah di dalam sudah banyak orang.”
“Kau akan ikut berjudi?” bertanya adiknya.
“Sedikit, aku akan menghilangkan pening dikepala.”
“Sudah banyak orang. Tetapi tidak ada yang pantas untuk disebut. Mereka penjudi-penjudi kecil yang tidak berarti.”
Jajar itu mengerutkan kcningnya. la
sebenarnya juga termasuk penjudi-penjudi kecil yang tidak begitu
berarti. Tetapi ia berkata didalam hatinya, “Sebentar lagi aku akan
menjadi seorang yang besar dan terhormat disini. Aku akan membawa uang
sekampil besar. Kalau kalah, sama sekali kalah, kalau menang aku akan
menjadi semakin kaya. Tetapi seandainya aku kalah, uang sekampil itu pun
tidak akan berarti apa-apa bagiku.”
(bersambung ke jilid 35)
No comments:
Write comments