“Kuda Sempana” Kebo Sindet itu tiba-tiba memanggilnya,, “lihat dadanya mulai bergerak”.
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
“Kau lihat dada itu?” bertanya Kebo
Sindet pula,, “aku mengharap bahwa bagian-bagian badannya masih cukup
baik. Untunglah bahwa daya tahan tubuhnya benar-benar luar biasa.
Orang-orang lain pasti sudah mengalami banyak kerusakan apabila
mengalami keadaan seperti Mahisa Agni. Ia terlalu lama berada dalam
keadaan tidak menyadari dirinya meskipun jantungnya tetap berdetak.
Meskipun demikian, akibat dari keadaan ini akan ditanggung oleh Mahisa
Agni untuk waktu yang cukup lama. Kau harus telaten memeliharanya sampai
ia sembuh benar. Setiap kali aku pergi, kau harus merawatnya. Jangan
kau bunuh dia tanpa ijinku lebih dahulu, supaya kau tidak aku bunuh
pula”.
Dada Kuda Sempana berdesir, tetapi ia tidak menjawab.
“Kalau ia sudah sembuh benar-benar, nah,
kau dapat berbuat sekehendakmu atasnya. Anak itu akan aku ikat pada
pohon Randu Alas itu. Lalu kau boleh berbuat sesuka hatimu atasnya,
untuk membalas sakit hatimu. Tetapi anak ini harus sembuh lebih dahulu”.
Sekali lagi Kuda Sempana mengangguk.
Tetapi hatinya masih saja selalu bertanya-tanya. “Buat apa sebenarnya
Kebo Sindet bersusah payah mengobatinya. Mungkin untuk melakukan
pemerasan atau apapun. Tetapi perbuatan itu benar-benar tidak pantas
dilakukan. Disembuhkannya Mahisa Agni dari sakit dan penderitaan
badaniah untuk kemudian mengalami penderitaan badaniah yang lain. Bahkan
mungkin penderitaan batin untuk sepanjang umurnya”.
Sementara itu wajah Kebo Sindet pun
menjadi semakin kendor ketika ia melihat tubuh Mahisa Agni mulai dialiri
oleh udara yang hangat. Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat anak muda
itu menggerakkan kepalanya. Perlahan-lahan sekali. Namun itu adalah
pertanda yang menyenangkan bagi Kebo Sindet, pertanda bahwa Mahisa Agni
masih dapat dibangunkannya kembali.
“Lihat Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet,
“anak ini akan segera menyadari keadaannya. Tetapi ia akan menjadi
sangat lemah. Ia akan memerlukan waktu dua atau tiga minggu untuk
memulihkan kembali tenaganya”.
Kini Kuda Sempana pun memperhatikan
keadaan Mahisa Agni itu. Ia melihat anak muda itu mulai menggerakkan
tubuhnya. Tangannya dan kakinya.
“Bagus” Kebo Sindet berkata lantang, “aku berhasil”.
Kemudian dilumurkannya air sisa dari
larutan obat yang diminumkannya kepada Mahisa Agni itu pada
bagian-bagian kaki dan tangannya, sehingga terasa tubuh itu menjadi
semakin hangat.
Sementara itu, di Kemundungan, Empu
Gandring menunggu kedatangan Kebo Sindet di belakang gerumbul yang agak
rimbun. Dari tempatnya itu, ia akan dapat melihat apabila seseorang
memasuki lingkungan rumah Kebo Sindet itu. Tetapi sudah begitu lama ia
menunggu, namun yang ditunggunya masih juga belum tampak datang.
“Gila benar Kebo Sindet” desahnya, “aku akan menunggu sampai malam. Sampai tengah malam”.
Dan Empu Gandring kemudian duduk
bersandar sebatang pohon. Dengan gelisah diikutinya matahari yang
merayap dengan lambannya menuju ke Barat, ke balik punggung gunung.
Namun sampai matahari kemudian terbenam, Kebo Sindet dan Kuda Sempana
tidak juga kunjung datang.
“Baiklah” desahnya, “aku akan menunggu di sini sampai kau datang”.
Tetapi yang ditunggunya tidak juga
kunjung datang, sehingga begitu lelahnya maka Empu Gandring itu pun
ingin untuk tidur sejenak sambil memanjat pohon. “Tak seorang pun yang
akan melihat aku di sini. Mudah-mudahan kudaku pun cukup terlindung
juga”.
Kemudian, pada sebuah dahan yang kuat, maka Empu Gandring itu pun menyandarkan diri untuk sejenak beristirahat.
Ketika Empu Gandring itu tersadar, maka
disekitarnya adalah gelap gulita. Hanya di langit dapat dilihatnya
bintang gemintang berhamburan.
“Hem” orang tua itu menghela nafas. Ia
masih mendengar dengus nafas kudanya. Tetapi ketika ia memandangi gubug
Kebo Sindet maka gubug itu masih juga sepi dan gelap.
Tetapi apa yang dilihatnya itu belum
memberinya keyakinan. Perlahan-lahan ia turun, dan dengan hati-hati
didekatinya gubug itu. Namun gubug itu masih juga kosong.
“Apakah ia tidak kembali kerumahnya?.”
desisnya. Orang tua itu pun menjadi semakin gelisah. Kalau Mahisa Agni
tidak dibawanya kemari, maka sangatlah sulit baginya untuk menemukannya
dalam keadaan hidup.
“Apakah Kebo Sindet bersembunyi di
belakang rawa-rawa itu?” katanya di dalam hati. Tetapi jawaban atas
pertanyaan itu adalah kegelisahan yang menjadi semakin memuncak.
Tetapi Empu Gandring masih menyabarkan
dirinya. Betapa ia menjadi gelisah dan cemas, namun orang tua itu tidak
segera mau meninggalkan gubug itu. Dengan kesal ia kembali ketempatnya
bersembunyi, memanjat sebatang pohon dan mencoba untuk menenangkan
hatinya, beristirahat mengurangi lelahnya.
Tetapi hampir setiap saat Empu Gandring
menyadari keadaannya. Didengarnya di Pedukuhan kecil yang bernama
Kemundungan ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya. Didengarnya
ratapan burung hantu dikejauhan, seperti keluh kesah seorang yang
kehilangan anaknya. Didengarnya anjing-anjing liar berteriak mengerikan,
sahut menyahut di atas bukit gundul. Dan didengarnya pula kokok ayam
untuk yang kedua kalinya.
Empu Gandring tidak lagi dapat tidur sekejap pun. Bahkan ia menjadi ngeri mendengar salak anjing-anjing liar sahut-menyahut.
“Ternyata bukit gundul itu menyimpan
bahaya yang sempurna” desisnya ”iblis dari Kemundungan dan anjing-anjing
liar itu. Keduanya sama-sama berbahaya bagiku”.
Tetapi meskipun kemudian ayam berkokok
untuk ketiga kalinya, dan bayangan merah telah memancar di ujung Timur,
namun Empu Gandring masih tetap menunggu, kalau-kalau tiba-tiba Kebo
Sindet dan Kuda Sempana muncul dari dalam gelap membawa Mahisa Agni.
“Aku menyesal telah melepaskannya” gumam
Empu Gandring seorang diri. Kenapa aku tidak menahannya? Ternyata Kuda
Sempana telah mengelabui perhitunganku. Aku sangka Kuda Sempana berbuat
untuk gurunya.
Ketika Kemudian matahari menjenguk dari balik-balik dedaunan di ujung Timur, maka Empu Gandring menjadi tidak bersabar lagi.
“Aku tidak dapat tinggal di sini menunggu Kebo Sindet yang tidak kunjung datang” katanya, “aku harus mencarinya”.
Empu Gandring itu pun kemudian meloncat
turun. Dibenahinya pakaiannya dan dihampirinya kudanya. Desisnya, “Kita
akan berjalan lagi. Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan berhenti.
Mudah-mudahan kita tidak sama-sama menjadi lelah. Bukankah kau telah
makan sekenyang-kenyangmu?”
Kudanya seakan-akan dapat memahami
kata-kata Empu Gandring. Tetapi kuda itu tidak dapat bertanya, “Apakah
kau sudah makan pula Empu?”
Untunglah, bahwa Empu Gandring telah
membiasakan dirinya untuk tidak menyentuh makanan sampai beberapa hari,
sehingga karena kebiasaan itu, ia menjadi sangat tahan untuk menahan
lapar dan dahaga.
Ketika terpandang oleh Empu Gandring
tidak jauh dari tempat itu pedukuhan kecil yang hijau, yang bernama
Kemundungan, maka timbullah keinginannya untuk memasukinya. Mungkin di
sana ia akan mendapat keterangan tentang Kebo Sindet atau Kuda Sempana.
Mungkin orang-orang itu melihat atau pernah mendengar dimana Kebo Sindet
sering bersembunyi apabila ia tidak kembali ke gubugnya, atau
barangkali Kebo Sindet mempunyai rumah yang lain selain rumahnya itu.
Dengan demikian maka Empu Gandring itu
pun segera meloncat ke punggung kudanya dan kudanya itu pun kemudian
berlari ke Kemundungan. Tetapi kuda itu tidak berlari terlampau kencang.
Empu Gandring tidak ingin membuat orang-orang Kemundungan menjadi
terkejut karenanya.
Ketika Empu Gandring memasuki pedukuhan
itu, maka segera ia mengetahui bahwa padukuhan itu adalah pedukuhan yang
sangat miskin. Tanahnya yang subur tidak cukup luas untuk dapat memberi
mereka makan secukupnya. Meskipun ada juga daerah-daerah yang dapat
ditanami pada musim hujan, tetapi hasilnya tidak cukup memuaskan.
Pedukuhan itu hampir-hampir dikitari oleh bukit-bukit gundul yang
tandus.
“Aneh” gumam Empu Gandring, “ada juga
orang yang kerasan tinggal di daerah seperti ini. Kalau mereka mau
pindah ke daerah Lulumbang, maka di sana akan dapat digarap tanah
persawahan yang cukup baik dibandingkan dengan tanah yang cengkar ini.
Kenapa mereka tidak berusaha seperti orang-orang Panawijen, membuat
bendungan atau apapun yang dapat mengairi tanah di sekitar padukuhan
ini, atau pindah berpencaran mencari tempat-tempat baru yang lebih
baik?”
Pertanyaan itu telah menyertainya
memasuki padesan itu semakin dalam. Dilewatinya lorong-lorong sempit di
antara rumah-rumah kecil dari bambu beratap ilalang. Halaman-halaman
berpagar batu yang dilekatkan dengan tanah yang agak liat.
Sekali-kali Empu Gandring melihat seorang
dua orang menjengukkan kepalanya lewat pintu-pintu yang sudah terbuka,
tetapi kepala-kepala itu pun segera lenyap kembali di balik dinding.
“Aku harus menemukan rumah tetua padesan
ini” desis Empu Gandring seorang diri, “mungkin seorang buyut, atau
mungkin seorang yang sekedar dianggap tertua di padukuhan ini”.
Tetapi Empu Gandring tidak menemukan seorang pun yang dapat ditanyainya.
Namun akhirnya orang itu menemukan sebuah
rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di sekitarnya. Agak lebih
besar dan halamannya agak lebih luas. Pada dinding halaman depan
didapatinya sebuah regol yang sangat sederhana, bahkan telah agak
condong terdesak oleh umur.
“Aku harus mendapatkan seseorang yang dapat aku ajak berbicara. Mungkin di dalam rumah ini”.
Empu Gandring itu pun kemudian turun dari
kudanya dan dituntunnya kudanya memasuki halaman rumah itu. Dengan
hati-hati diamatinya segenap bagiannya. Sudut-sudut halaman dan setiap
pepohonan. Ternyata di halaman itu pun tumbuh berbagai macam
tumbuh-tumbuhan liar yang tidak terpelihara.
“Apakah aku salah masuk?” katanya di dalam hati, “tetapi rumah ini adalah rumah yang terbaik yang terdapat di padesan ini”.
Kemudian Empu Gandring itu pun
menambatkan kudanya. Mengingsar sedikit keris di punggungnya, dan
kemudian perlahan-lahan berjalan ke arah pintu yang hanya terbuka
sedikit.
Sampai di muka pintu, Empu Gandring itu
menjadi ragu-ragu . Tetapi ia tidak mempunyai cara lain untuk mengetahui
serba sedikit tentang padukuhan itu, bahkan apabila mungkin mengenai
Kebo Sindet dan kebiasaan-kebiasaannya.
Maka Empu Gandring itu pun kemudian melangkah semakin dekat, dan dengan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu.
Sekali dua kali, tak ada jawaban dari
dalam. Tetapi ketika Empu Gandring mengetuk semakin keras, maka
terdengar suara orang membentak dari dalam, “He, siapa itu?”
Empu Gandring terkejut mendengar jawaban
yang sama sekali tidak disangkanya. Dari lontaran suaranya maka Empu
Gandring sudah menduga bahwa orang itu sama sekali bukan orang yang
ramah.
“Siapa he?” terdengar teriakan itu lagi.
“Aku” sahut Empu Gandring.
“Aku siapa he, apakah kau tidak mempunyai nama?” Empu Gandring menarik nafas. Orang apakah yang sedang dihadapinya kini?
“Aku, Empu Gandring” terpaksa ia menjawab.
“Empu Gandring” suara itu mengulangi, “aku belum pernah mengenal namamu. Apakah kau bukan orang Kemundungan?”
“Bukan. Aku bukan orang Kemundungan”.
“Persetan dengan kau. Agaknya kau belum mengenal daerah ini”.
Empu Gandring tidak menjawab lagi. Tetapi kata-kata terakhir orang di dalam rumah itu menarik perhatiannya.
Sesaat kemudian ia melihat seorang yang
bertubuh tinggi kekar muncul dari dalam rumah itu. Wajahnya yang keras
dan pandangan matanya yang penuh mengandung kecurigaan, sama sekali
tidak menyenangkan Tetapi Empu Gandring tidak mau berprasangka, meskipun
ia tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dengan tajamnya orang itu memandangi Empu
Gandring dari ujung jari kakinya sampai keujung rambutnya yang telah
menjadi dua warna. Seolah-olah orang itu keheranan, bahwa dihadapannya
berdiri seorang tua yang bernama Empu Gandring.
“Kaukah yang menyebut dirimu Empu Gandring?”
“Ya, Ngger” jawab Empu Gandring.
“Umurku hampir setua umurmu. Kau panggil aku dengan panggilan itu?”
“Eh, Benarkah? Maaf” sahut Empu Gandring,
“kalau begitu kau benar-benar awet muda. Aku sangka umurmu sebaya
dengan umur anakku wuragil”.
“Persetan. Aku tidak peduli. Tetapi apa
maumu datang kemari. Apa lagi kau berani memasuki daerah Kemundungan
dengan membawa senjata, seolah-olah kau laki-laki sendiri di muka bumi
ini”.
“O, maafkan aku adi” berkata Empu
Gandring, “tetapi sebenarnya senjataku sama sekali tidak berarti. Aku
membawanya sebagai kawan dalam perjalanan apabila aku melewati hutan
ilalang, supaya aku mempunyai alat untuk menebasnya”.
Sejenak orang itu berdiam diri. Tetapi
matanya tidak berkedip memandang hulu keris Empu Gandring yang mencuat
dari balik punggungnya. Namun orang itu kemudian berkata, “Aku tidak
peduli pada macam senjatamu, tetapi kedatanganmu kedaerah ini dengan
senjata itu akan membahayakan nyawamu”.
“Kenapa?” bertanya Empu Gandring.
“Buang saja senjatamu itu ke dalam jurang
di pinggiran desa ini. Kemudian pergilah meninggalkan Kemundungan.
Jangan kembali lagi, supaya kau tidak diterkam anjing hutan”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Bukankah senjata ini betapapun jeleknya,
akan berguna bagi keselamatanku apabila aku bertemu dengan anjing
hutan?”
“Tak ada gunanya. Anjing itu tidak hanya satu. Tidak hanya sepuluh. Bahkan tidak hanya lima belas”.
“Apalagi kalau aku tidak bersenjata” potong Empu Gandring.
“Persetan” teriak orang itu, “tetapi buang senjatamu”.
“Anjing-anjing hutan tidak akan dapat membedakan, apakah seseorang bersenjata atau tidak”.
“Bodoh kau” orang itu semakin berteriak.
Ternyata teriakkannya telah didengar oleh beberapa orang tetangganya,
yang kemudian menjenguk dari pintu rumahnya atau bahkan keluar halaman
melihat apa yang terjadi, “Bahaya yang dapat menerkam nyawamu bukan saja
anjing-anjing hutan itu”.
Dahi Empu Gandring itu pun berkerut.
Tetapi ia mencoba menghilangkan setiap kesan yang dapat ditangkapnya
dari mulut orang itu di wajahnya. Bahkan ia bertanya, “Bukan saja dari
anjing hutan itu? Lalu dari siapa lagi”.
“Persetan. Dari setan belang atau dari hantu tetekan. Tetapi bahaya itu akan menerkammu dari segenap arah”.
“Tetapi aku selamat sampai ke tempat ini”.
“O, alangkah bodohnya kau. Alangkah
bodohnya kau” orang itu pun berteriak keras-keras, tetapi tiba-tiba
suaranya menurun perlahan, tetapi masih juga tajam, “Kau bodoh. Adalah
kebetulan bahwa kau selamat sampai padesan ini, meskipun kau bersenjata.
Tetapi senjatamu itu justru berbahaya bagimu. Kau dengar”.
“Ya, ya aku dengar” sahut Empu Gandring.
Tiba-tiba kesannya terhadap orang itu pun berubah. Orang itu memang
seorang yang kasar dan sama sekali tidak ramah. Tetapi maksudnya
memberitahukan kepadanya adanya bahaya yang mengancamnya itu benar-benar
di luar dugaanya. Ternyata orang itu adalah orang yang baik. Tetapi
maksud yang baik itu diungkapkannya dengan caranya yang kasar dan tidak
menyenangkan.
“Kalau kau tidak bersenjata” berkata
orang itu, “mungkin kau akan keluar dengan selamat dari daerah ini.
Tetapi kalau masih juga kau bawa kerismu yang besar dan yang kecil itu.
maka bangkaimu tidak akan dapat diketemukan kembali. Bangkaimu akan
dicincangnya sampai lumat untuk memberi makan anjing-anjing hutan supaya
mereka tidak mengganggu ternak padesan ini yang tidak seberapa
jumlahnya”. Namun dengan demikian Kemendungan menjadi semakin menarik
bagi Empu Gandring.
Empu Gandring masih juga berdiam diri,
tegak di tempatnya. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebabnya orang itu berkeras
mengusirnya dan bahkan menyuruhnya membuang senjatanya. Orang itu sama
sekali tidak ingin merampas apalagi memiliki senjata itu. Tidak pula
karena ia ingin mencelakainya. Tetapi bahkan sebaliknya. Orang yang
kasar itu ingin menyelamatkannya.
“He” bentak orang itu, “kenapa kau berdiri saja seperti patung. Apakah kau menunggu nyawamu dicabut dari tubuhmu?”
“Tidak Ki Sanak” sahut Empu Gandring,
“aku dapat mengerti maksudmu. Karena itu aku mengucapkan terima kasih.
Tetapi adi tidak usah mencemaskan nasibku. Aku akan mencoba untuk
menyelamatkan diriku sendiri”.
“O, kau benar-benar orang gila. Aku bisa memaksamu. Mengambil senjatamu dan membuangnya jauh-jauh”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Memang di sepanjang hidupnya ia sering menjumpai orang-orang yang
demikian. Orang yang bermaksud baik, tetapi caranya benar-benar tidak
dapat dimengerti. Seperti kanak-kanak yang tidak ingin melihat adiknya
terperosok ke dalam kubangan. Untuk mencegahnya, kadang-kadang adiknya
itu pun dipukulinya. Meskipun maksudnya baik, tetapi adik itu menangis
sejadi-jadinya.
“Apakah kau tuli” teriak orang kasar itu.
“Baiklah Ki Sanak. Aku akan menurut
seperti yang kau nasehatkan itu. Tetapi apakah adi dapat memberitahukan
kepadaku, apakah sebabnya maka aku harus berbuat demikian”.
“Tutup mulutmu” bentak orang itu, “jangan terlampau banyak bicara. Kau hanya dapat melakukannya”.
“Bukankah lebih baik bagiku apabila aku
melakukan sesuatu dengan pengertian yang baik. Bukan sekedar
melakukannya tanpa mengetahui maksudnya”.
Ternyata orang yang bertubuh kekar itu
tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan serta-merta ia
meloncat dan langsung menampar wajah Empu Gandring.
Empu Gandring adalah orang yang hampir
mumpuni akan ilmu kanuragan. Ia melihat gerak orang itu. Ia mengerti apa
yang akan dilakukan. Tetapi Empu Gandring itu tidak beranjak dari
tempatnya. Dibiarkannya tangan orang itu mengenai wajahnya yang sudah
mulai berkerut-merut dilukisi oleh garis-garis umur.
Ketika tangan orang itu hampir menyentuh
wajahnya, barulah Empu Gandring menggerakkan kepalanya, searah dengan
gerak tangan orang itu. Meskipun tangan orang itu merasa mengenai wajah
Empu Gandring, tetapi Empu Gandring hampir-hampir tidak merasakan
sentuhan itu, seperti yang sudah di perhitungkannya. Namun Empu Gandring
itu pun melangkah surut sambil berdesak pendek. “Jangan adi”.
“Kau tidak mau mendengar kata-kataku” teriak orang kasar itu, “aku harus memaksamu. Kalau perlu, akulah yang akan membunuhmu”.
Empu Gandring tahu benar, bahwa orang itu
hanya menakut-nakutinya. Tetapi ia memerlukan keterangan tentang Kebo
Sindet segera. Karena itu, maka ia harus segera pula mendapat kesempatan
bertanya. Maka orang tua itu tidak banyak lagi mempunyai waktu untuk
melayaninya. Ia harus langsung mendapat jalan untuk mendapatkan beberapa
keterangan tentang iblis Kemundungan. Maka katanya, “Adi. Sekali lagi
aku mengucapkan terima kasih. Aku tahu bahwa kau ingin menyelamatkan aku
dari tangan orang yang barangkali ditakuti di daerah ini, bukankah
begitu?”
Orang itu telah mengangkat tangannya
kembali, tetapi Empu Gandring mencegahnya, “Jangan Ki Sanak. Pertanyaan
ini adalah pertanyaan yang terakhir”.
“Itu bukan urusanmu. Pergi atau kau mati
di Kemundungan. Kau telah memasuki daerah ini dengan membawa senjata.
Hanya akulah yang boleh bersenjata di daerah ini meskipun bukan atas
kehendakku sendiri. Aku harus membunuh setiap orang asing yang aku
curigai, apalagi yang membawa senjata. Tetapi lebih baik bagimu untuk
segera pergi dan jangan mencoba kembali. Jangan bertanya lagi. Kalau kau
bertanya lagi, aku akan memukul mulutmu sampai hancur”.
“Baik” berkata Empu Gandring, “Aku tidak
akan bertanya, tetapi aku akan menebak. Tunggu, jangan terlampau lekas
marah. Bukankah menebak berbeda dengan bertanya? Nah, bukankah kau harus
berbuat demikian itu karena di sebelah padesan ini, di lereng bukit
gundul tinggal orang-orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Wajah orang itu tiba-tiba menegang. Sejenak ia berdiri diam tanpa mengucapkan jawaban.
“Kebo Sindet dan Wong Sarimpat ingin
merahasiakan dirinya sejauh-jauh mungkin. Kau, yang agaknya orang
terkuat di Kemundungan, harus membantunya. Kalau tidak maka kau sendiri
akan mengalami bencana. Bukankah begitu? Aku tidak bertanya, aku hanya
menebak”.
Orang itu masih diam mematung. Dipandanginya wajah Empu Gandring dengan tanpa berkedip.
“Tetapi kau orang baik. Sebenarnya kau
tidak ingin berbuat demikian. Karena itu kau berusaha mengusir aku.
Bukankah kau seharusnya membunuh aku?”
Terdengar gigi orang itu gemeretak.
Dengan suara parau ia berkata, “Mulutmu memang lancang sekali. Kau
mengetahui rahasia yang tersimpan di Kemundungan. Sebenarnya aku sayang
akan nyawamu orang tua. Tetapi karena kau menebak tepat, maka kau
benar-benar akan aku bunuh”.
“Sebaiknya kau tidak melakukannya.
Apabila Kebo Sindet marah karenanya, maka biarlah ia marah kepadaku”
sahut Empu Gandring, “ketahuilah, bahwa aku datang kemari sengaja untuk
mencari Kebo Sindet itu. Tetapi semalam suntuk aku menunggu rumahnya,
orang itu tidak datang. Dengan demikian maka aku akan mencoba mencari
keterangan tentang orang itu di padesan ini”.
Sejenak orang itu seakan-akan membeku.
Kata-kata Empu Gandring itu benar-benar telah menggoncangkan dadanya.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bagi orang-orang Kemundungan merupakan
hantu yang tidak dapat disentuh meskipun hanya dengan kata-kata.
Tiba-tiba seseorang datang untuk mencarinya. Dalam kebingungan orang itu
bertanya di dalam hatinya, “Apakah orang ini kawan Kebo Sindet? Kalau
demikian, alangkah mengerikan. Aku telah menampar wajahnya.
Mudah-mudahan orang ini belum mengenal siapa Kebo Sindet itu’.
Karena orang itu tidak segera menjawab,
maka Empu Gandring pun berkata pula, “Bagaimana adi, apakah kau dapat
memberi aku beberapa keterangan mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Orang itu tidak segera Menjawab. Sekali
lagi ia memandangi Empu Gandring dari ujung kakinya sampai keujung
rambutnya yang sudah mulai keputih-putihan.
“Apakah pertanyaanku aneh?” Berkata Empu Gandring pula.
Orang itu menelan ludahnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau? Apakah kau sudah mengenalnya atau belum?”
“Aku sudah mengenal Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Aku sudah bertemu dengan orang-orang itu. Tetapi ketika aku
menungguinya di rumahnya, mereka tidak kunjung datang. Yang tidak aku
ketahui adalah, apakah mereka mempunyai sarang yang lain selain gubugnya
di bukit gundul itu, atau tempat-tempat persembunyian yang lain?
Setidak-tidaknya aku ingin mengerti, kemana saja orang-orang itu sering
pergi dan apa saja yang dilakukannya setiap hari”.
Orang yang bertubuh kekar itu masih juga
dicengkam oleh keragu-raguanan. Tetapi ia tidak mau menunjukkan
kelemahannya itu. Bahkan kemudian ia masih membentak, meskipun terasa
nada kebimbangannya, “Apakah perlumu mencarinya? Apakah kau ingin mati?
Kalau kau sudah mengenalnya, maka mustahil kau mencari sampai ke
rumahnya. Kau pasti akan lari menjauhi dan bahkan bersembunyi sepanjang
umurmu”.
Empu Gandring dapat mengerti pertanyaan
itu. Bagi orang-orang Kemundungan, maka Kebo Sindet adalah hantu yang
paling menakutkan. Orang-orang di padesan ini pasti tidak akan berani
melanggar pantangan yang diberikan oleh iblis itu. Tetapi ia
memerlukannya, memerlukan keterangan itu.
“Ki Sanak” berkata Empu Gandring, “apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Kebo Sindet?”
“Jangan menggigau” orang itu masih membentak, “pergi dari sini, atau aku akan membunuhmu?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Terasa sulitnya untuk mendapatkan sedikit saja keterangan tentang orang
itu. Apakah orang itu akan dipaksanya untuk berbicara? Tetapi bagaimana
kalau ia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat?
Kini Empu Gandring pun menjadi ragu-ragu
pula. Ia pasti akan mampu menankap orang itu, memilin tangannya dan
memaksanya berbicara, tetapi apakah ia akan sampai hati berbuat
demikian. Mungkin orang itu akan berbicara pula, tetapi orang itu untuk
seterusnya pasti akan selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Mungkin ia akan kehilangan keseimbangan karena ketakutannya, sehingga
orang itu akan berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Membunuh diri
atau lari bersembunyi dan tidak berani muncul kembali diantara manusia.
Tiba-tiba Empu Gandring itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah menemukan cara itu. Meskipun
mungkin agak tidak disenanginya sendiri. Orang tua itu bukan seorang
yang biasa menyombongkan dirinya, menunjukkan kelebihannya kepada orang
lain. Tetapi cara ini, menyombongkan dirinya, masih lebih baik dari
memaksa dan menyakiti orang itu untuk berbicara.
Karena itulah maka tiba-tiba pula Empu
Gandring itu berdiri bertolak pinggang. Katanya lantang, “He, ki Sanak.
Aku sudah bersabar bertanya kepadamu tentang Kebo Sindet. Tetapi kau
sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan kau selalu mengancam dan
menakut-nakuti aku. Aku bukan anak kecil lagi. Rambutku telah berubah
menjadi dua warna. Wajahku pun telah mulai berkerut-merut. Karena itu,
aku sudah tidak akan mengenal takut lagi. Umurku sudah sampai pada
lingsir sore. Sebentar lagi, ibarat matahari, pasti akan terbenam.
Karena itu, jangan memaksa lagi aku pergi. Jangan menakut-nakuti aku
lagi. Aku tidak takut meskipun Kebo Sindet itu sendiri yang datang
kemari sekarang ini. Nah, sekarang kau mau apa?”
Wajah orang itu pun segera berubah.
Selangkah ia mundur. Tanpa dikehendakinya sendiri wajahnya pun kemudian
beredar ke halaman rumah-rumah di sekitarnya. Sekilas ia melihat
beberapa orang tetangganya menyaksikan keributan itu. Beberapa orang
laki-laki kurus dengan pakaian yang kumal berdiri dengan gemetar, sedang
beberapa anak muda yang berwajah pucat menyaksikannya dengan
berdebar-debar. Orang yang bertubuh kekar itu adalah orang yang ditakuti
di padepokan itu. Orang itu seakan-akan menjadi wakil dari Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat untuk melakukan semacam pungutan dan sebagainya.
Meskipun orang itulah yang pertama-tama menentang sikap Kebo Sindet, dan
bahkan hanya orang itulah yang berani melawannya, tetapi ia tidak
berdaya menghadapi iblis yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Bahkan dengan licik maka Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memaksanya
untuk melakukan pekerjaan untuk mereka, pekerjaan yang justru
bertentangan dengan keinginannya sendiri. Tetapi selagi ia masih ingin
hidup, maka ia tidak akan dapat ingkar. Ia harus melakukan pemerasan dan
pemaksaan terhadap kawan-kawan sedesanya. Namun dalam saat-saat yang
memungkinkan ia masih juga merasa bahwa lingkungannya itu harus mendapat
perlindungan. Tetapi apa yang dilakukannya sama sekali tidak berarti.
Sehingga untuk seterusnya orang itu harus melakukan pekerjaan yang
bertentangan dengan suara batinya. Tetapi hatinya itu tidak cukup kuat
untuk mempertahankan suaranya, sehingga ia masih mementingkan hidupnya
daripada membela pendiriannya.
Menghadapi Empu Gandring orang itu
menjadi ragu-ragu. Ia ingin mengusir orang yang bernama Empu Gandring
untuk menghindarkan diri dari pertengkaran atau perkelahian. Sebab
adalah menjadi kuwajibannya untuk membunuh orang-orang yang pantas
dicurigai. Kalau ia tidak berbasil, maka nasib orang itu pun tidak akan
menjadi lebih baik. Setiap kali ada orang yang berkeras kepala, dan ia
menjumpai kesulitan untuk mengusirnya maka orang itu pasti akan mati
dengan cara yang menyedihkan. Sebab setiap kali Kebo Sindet atau Wong
Sarimpat pasti akan bertindak sendiri atas orang itu.
Beberapa puluh kali ia menyaksikan
bagaimana Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya melakukan hal
serupa itu. Bahkan orang yang tersesat, masuk ke padesan ini untuk
bertanya, akhirnya orang itu tidak lagi dapat keluar dari desa ini.
Hanya orang-orang yang bernasib baik, yang kebetulan segera menjadi
takut kepada orang Kemundungan yang kekar itu dan lari tanpa dilihat
oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat lah yang masih dapat meninggalkan
padesan ini dengan tubuhnya.
Tetapi kini orang Kemundungan yang kekar
itu tidak berhasil menakut-nakuti Empu Gandring. Bahkan orang tua itu
kini berdiri bertolak pinggang dan menantangnya.
Orang yang bertubuh kekar itu tiba-tiba
menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, dengan siapa ia
berhadapan. Setelah beberapa lama ia berbicara serta melihat sikap dan
mendengar kata-kata Empu Gandring, maka orang Kemundungan dapat menduga,
bahwa orang ini bukan orang kebanyakan.
“Bagaimana Ki Sanak?” tiba-tiba Empu
Gandring bertanya, “Apakah kau bersedia memberi aku beberapa penjelasan
mengenai Kebo Sindet?”
Orang yang bertubuh kekar itu menjadi
semakin ragu-ragu. Sekali lagi ia memandangi orang-orang di
sekelilingnya. Tetapi ia masih tetap diam.
Empu Gandring melihat sikap orang itu.
Sikap yang bagi Empu Gandring cukup memberi petunjuk, bahwa orang itu
akan dapat memberikan beberapa isyarat kepada kawan-kawannya.
“Hem” Empu Gandring bergumam, “apa yang akan kau lakukan?”
Orang itu tidak menjawab, tetapi ia mundur selangkah.
“Ki Sanak.” berkata Empu Gandring
kemudian, “aku dapat mengerti hampir sebagian besar dari apa yang sering
terjadi disini“ sejenak Empu Gandring berhenti. Ditatapnya wajah orang
yang bertubuh kekar itu. Pengalaman yang mengendap di dalam dada Empu
Gandring ternyata mampu menangkap apa yang sebenarnya sedang dihadapi.
Katanya seterusnya, “Bukankah kau akan memberikan isyarat bahwa ada
seseorang yang tak dapat kau kuasai? Adi, ternyata kau tidak dapat
bersikap dalam pendirianmu sendiri. Kau masih terombang-ambing di dalam
arus angin pusaran. Kau harus tunduk kemana angin bertiup, supaya kau
tidak roboh karenanya. Tetapi bahwa kau telah berusaha untuk berbuat
baik itu pantas sekali dihargai. Tetapi belum lagi sesilir bawang kau
sudah berpikir untuk memberikan tanda atau isyarat kepada Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat. Kau tahu akibat dari isyaratmu atas orang yang kau
anggap tidak dapat kau kuasai itu. Tetapi hal itu kau lakukan juga
karena kau takut dirimu sendiri akan mendapat akibat yang tidak
menyenangkan”.
Orang yang bertubuh kekar itu masih
berdiri di tempatnya. Kini wajahnya menjadi semakin tegang. Hatinya
menjadi semakin bimbang dan bahkan menjadi bingung.
“Tetapi kalau kau berkeras untuk
melakukannya, memberi isyarat itu, maka aku tidak akan berkeberatan.
Semalam suntuk aku menunggunya, tetapi ia tidak kunjung datang. Kalau
mendengar isyaratmu ia akan datang kemari, maka aku akan sangat
berterima-kasih kepadamu.
Hati orang itu menjadi semakin
berdebar-debar. Agaknya orang tua ini memang orang tua yang mempunyai
beberapa kelebihan. Tetapi meskipun demikian orang itu tidak segera
berbuat sesuatu. Dipandanginya saja Empu Gandring itu dengan berbagai
perasaan yang aneh di dalam dirinya.
“Kenapa kau masih saja berdiam diri? Ayo,
berikan isyarat itu. Mungkin seseorang akan memanggilnya atau dengan
tanda lain, kentongan misalnya”.
Orang itu menjadi semakin bingung. Belum
pernah ia berhadapan dengan seorang yang dengan beraninya menghadapi
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Hanya orang-orang yang belum mengenalnya
sajajalah yang berani mencoba melawannya, justru karena orang-orang itu
tidak tahu, siapakah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi orang ini
sudah mengenalnya, bahkan menunggunya semalam suntuk.
“Ayo, apalagi yang kau tunggu?”
Tiba-tiba orang itu menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak. Aku tidak akan memberikan isyarat apapun”.
“Kenapa?”
“Kau mempunyai kesan yang lain bagiku.
Ternyata kau sama sekali tidak takut terhadap Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Mungkin kau adalah seorang yang pilih tanding seperti Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi mungkin kau juga belum mengetahui
sepenuhnya tentang orang itu”.
“Aku sudah mengenalnya dengan baik. Aku sudah bertempur melawannya dan ia melarikan diri”.
Meskipun orang itu sudah menduga bahwa
Empu Gandring termasuk seorang yang pilih tanding, tetapi ketika ia
mendengar bahwa Kebo Sindet melarikan dirinya, maka dadanya berdesir.
“Apakah kau tidak percaya?”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi apabila
benar demikian, maka orang ini adalah orang yang aneh. Ia telah menampar
wajah orang itu tanpa berbuat sesuatu. Kenapa ia bersikap demikian?
Apabila hal itu terjadi atas Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka
akibatnya sudah dapat dibayangkan. Alangkah malangnya nasib orang yang
demikian.
Tetapi meskipun demikian kecemasannya
masih juga mencengkam hatinya. Apakah orang ini sengaja membiarkannya
dahulu sebelum ia berbuat sesuatu. Memberinya waktu untuk merasakan
betapa sakitnya perasaan takut yang menusuk-nusuk jantung?
Orang itu terkejut ketika Empu Gandring
membentaknya, “He, kenapa kau diam saja? Ayo, berbuatlah sesuatu.
Memberi isyarat kepada Kebo Sindet, memanggilnya atau kalau kau merasa
dirimu sanggup, lawanlah aku. Bukankah menjadi kewajibanmu untuk berbuat
demikian?” Tetapi karena bukan kebiasaan Empu Gandring menakut-nakuti
orang, maka kata-katanya pun berloncatan seolah-olah tidak tersusun
dengan baik. Namun justru karena itu, kesan yang timbul di dalam hati
orang itu menjadi semakin mencemaskannya.
Sekali lagi orang itu menggeleng, jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan memberinya isyarat apapun”.
“Oh, jadi kau sendiri akan melawan aku berkelahi?”
“Juga tidak” orang itu menggeleng lagi.
“Lalu apa yang akan kau lakukan? Bukankah
kau sudah mulai menampar mukaku. Dan bukankah kau sudah mengancam aku
supaya aku tidak bertanya-tanya lagi?”
Dada orang itu berdesir. Ternyata orang tua itu mulai mengungkit-ungkit kelancangannya.
“Aku tidak akan berbuat sesuatu” berkata orang itu.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam
mendengar jawabannya. Maka katanya, “Baiklah, kalau kau tidak ingin
berbuat sesuatu, maka aku pun tidak akan berbuat sesuatu pula atasmu.
Tetapi aku minta kau mengatakan kepadaku, apakah Kebo Sindet mempunyai
tempat yang lain selain gubugnya itu?”
Orang itu pun terdiam. Sekali lagi ia
memandangi berkeliling. Dilihatnya laki-laki kurus, anak-anak muda yang
pucat, perempuan-perempuan dikejauhan, masih memandanginya dengan penuh
pertanyaan.
“Hem” Empu Gandring bergumam, “aku tahu,
kau takut kepada Kebo Sindet, tetapi apakah kau tidak takut kepadaku?
Kalau aku mau, aku pun dapat berbuat seperti Kebo Sindet. Menangkapi kau
dan orang-orang Kemundungan, membunuh dengan cara yang sering dilakukan
oleh Kebo Sindet. Bukankah Kebo Sindet sering membunuh korbannya dengan
perlahan-lahan. Mengikatnya di sarang semut atau memanggangnya di atas
api yang tidak cukup panas untuk mematikannya atau merebus dalam air
hangat-hangat? Nah, manakah yang kau kehendaki?”
Bulu-bulu orang itu meremang. Tiba-tiba
ia telah kehilangan kegarangannya. Belum lagi ia mencoba melawan, tetapi
ia sudah terpengaruh oleh kata-kata Empu Gandring. Meskipun demikian,
orang itu masih tetap ragu-ragu. Apakah benar Empu Gandring mampu
berbuat seperti Kobo Sindet? Antara percaya dan tidak, maka orang itu
berdiri kebingungan.
Empu Gandring dapat melihat keragu-raguan
itu. Karena itu maka ia harus menguasainya. Menghilangkan keragu-raguan
itu tanpa menyakitinya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu
melangkah mundur sambil berkata, “He orang Kemundungan. Aku ingin kau
berkata tentang Kebo Sindet. Aku tahu kau takut kepadanya, tetapi aku
pun mampu berbuat seperti orang itu. Terserah kepadamu, siapakah yang
akan kau takuti kemudian. Tetapi aku peringatkan, apabila kau telah
melihat apa yang aku lakukan, dan kau tidak juga mau berkata tentang
Kebo Sindet, maka kau akan mengalami nasib yang menyedihkan.
Suara Empu Gandring itu menderu di
telinga orang yang bertubuh kekar itu seperti suara guntur yang meledak
di langit. Mengejutkan, menakutkan dan mencemaskan. Tetapi sebelum ia
sempat berbuat sesuatu, ia melibat Empu Gandring meloncat seperti
bilalang. Tanpa mereka lihat dengan mata, keris Empu Gandring yang besar
itu pun telah berada di dalam genggamannya.
“Ayo, katakan” katanya, “apa yang dapat
dilakukan oleh Kebo Sindet? Membelah batu itu, merobohkan pohon nyiur
dengan goloknya atau apa?”
Orang Kemundungan itu justru terbungkam.
Tetapi tiba-tiba biji matanya serasa meloncat dari pelupuknya ketika ia
melihat keris Empu Gandring berputar seperti baling-baling, sehingga
Empu Gandring sendiri seakan-akan hilang ditelan oleh pusaran kerisnya.
Belum lagi debar jantungnya mereda, maka orang itu sekali lagi
dikejutkan oleh suara berderak. Tiba-tiba ia melihat tiga batang pohon
tal roboh bersamaan, disusul oleh sebatang pohon siwalan yang sedang
berbuah lebat.
Kini orang itu seakan-akan membeku
karenanya. Bukan saja orang itu, tetapi orang-orang lain yang melihat
pun menjadi ngeri. Mereka pernah melihat Kebo Sindet membuat
pengeram-eram. Dan mereka pun menjadi ngeri. Tetapi kali ini mereka pun
dicengkam oleh perasaan yang serupa.
Sejenak kemudian orang Kemundungan yang
bertubuh tinggi kekar itu melihat Empu Gandring telah berdiri
dihadapannya. Kerisnya sudah tidak berada di dalam genggamannya lagi.
Yang dilihatnya adalah tangkai keris itu mencuat di belakang pundaknya.
“Apalagi yang dapat dilakukan oleh Kebo Sindet?” bertanya Empu Gandring.
Dengan gemetar orang itu menjawab, “Tuan,
aku mohon maaf atas kelancanganku tuan. Barangkali tuan sangat marah
kepadaku karenanya”.
“Ya, aku sangat marah” sahut Empu
Gandring, tetapi nada suaranya tidak meyakinkan, “aku ingin membunuhmu,
mencincangmu atau menghukum picis karena kau sudah menampar mukaku”.
“Ampun tuan. Bunuhlah aku, tetapi jangan dengan cara itu”.
“Sekehendakkulah. Tetapi kalau kau ingin
bebas dari penderitaan, maka katakan saja kepadaku, di mana Kebo Sindet
sering berada selain di dalam rumahnya itu?”
“Tak ada gunanya tuan. Kalau tuan tidak
membunuh aku, maka orang itulah yang akan membunuh aku. Bahkan mungkin
dengan cara yang lebih mengerikan. Karena itu, tolonglah tuan, bunuhlah
aku dengan cara yang agak baik, supaya aku tidak mengalami penderitaan”.
Empu Ganring terkejut mendengar
permintaan orang itu. Orang itu merasa bahwa dirinya pasti akan mati.
Kalau tidak dibunuh oleh Empu Gandring maka Kebo Sindet lah yang akan
membunuhnya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu telah benar-benar
menjadi putus asa. Kehadirannya di Padukuhan Kemundungan ternyata telah
membawa bencana bagi orang itu. Orang yang sebenarnya baik hati, tetapi
karena tekanan keadaan, akhirnya menjadi seorang yang kasar dan tampak
bengis.
Tetapi Empu Gandring tidak ingin
membiarkannya ditelan keputusasaan, sehingga timbulah keinginannya untuk
menolong orang itu, mclepaskannya dari ketakutan.
Empu Gandring itu pun kemudian bertanya,
“Ki Sanak, kenapa kau merasa bahwa kau harus mati? Kenapa kau tidak
berbuat sesuatu supaya kau dapat terlepas karenanya?”
“Tak ada gunanya. Kalau aku berbicara
tentang Kebo Sindet maka aku pasti akan dibunuhnya. Kalau aku tidak mau
berbicara maka tuan akan membunuh aku. Bukankah sudah jelas? Aku tidak
dapat melawan tuan seperti aku tidak akan mampu melawan Kebo Sindet.
Apakah yang dapat aku lakukan?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam,
katanya, “Nah, kalau demikian, kalau kau sudah pasti bahwa kau akan
mati, kenapa kau masih juga takut kepada Kebo Sindet? Dan bukankah Kebo
Sindet sekarang tidak ada di rumah ini sehingga ia tidak akan tahu apa
yang kau lakukan?”
“Kebo Sindet tahu segala-galanya. Seperti
hantu ia tiba-tiba saja muncul di segala tempat bersama adiknya Wong
Sarimpat, atau salah seorang dari mereka”.
“Omong kosong. Mereka adalah orang-orang biasa, Wong Sarimpat ternyata dapat mati terbunuh seperti kebanyakan orang”.
“He” wajah orang itu menegang, “Wong Sarimpat terbunuh?”
“Ya” sahut Empu Gandring, “kami berkelahi
berpasangan. Aku berada sepihak dengan Empu Sada melawan kedua iblis.
Ternyata Wong Sarimpat terbunuh oleh lawannya dan Kebo Sindet
menghindari perkelahian”.
Orang yang bertubuh kekar itu terdiam
sejenak. Tetapi matanya memancarkan keragu-raguan. Sehingga, Empu
Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Wong Sarimpat benar-benar telah
terbunuh. Ia sudah mati. Aku melihat sendiri mayatnya yang membeku
akibat sentuhan Aji Kala Bama”.
Orang yang bertubuh kekar itu masih saja
berdiri mematung. Dan Empu Gandring berkata terus, “Dengan demikian,
maka kekuasaannya di padukuhan ini pun pasti akan goyah”.
“Tetapi” tiba-tiba orang itu berkata, “Kebo Sindet itu pun mampu melakukannya seorang diri. Membunuh aku dengan caranya”.
“Kau sudah merasa bahwa kau pasti akan
mati. Apa lagi yang kau takuti. Nah, sekarang sebaiknya kau katakan
kepadaku apa yang kau ketahui tentang Kebo Sindet itu”.
Sekali lagi orang itu terbungkam.
Dan Empu Gandring berkata seterusnya,
“Berkatalah tentang iblis itu. Bukankah kau lebih senang mati oleh
tanganku dari pada oleh iblis itu? Kalau kau harus mati juga, maka kau
sudah berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi orang lain dan bagi banyak
orang”.
Orang itu masih tetap berdiam diri.
“Apalagi Kebo Sindet tidak berada di
tempat ini. Ia tidak akan tahu apa yang kau katakan kepadaku. Atau,
dapatkah kau memilih? Mati atau pergi bersamaku ke tempat lain . Apakah
yang sebenarnya mengikatmu di Kemundungan?”
Orang itu menggeleng lemah, “Tak ada tempat untuk bersembunyi di kolong langit ini”.
“Bodoh. Itu terlampau berlebih-lebihan,
menganggap Kebo Sindet seakan-akan seorang yang mampu berbuat apa saja,
mengetahui apa saja. Tidak. Ia seorang biasa yang mengenal takut dan
cemas. Ternyata ia bersembunyi. Nah, apa katamu?”
Orang yang bertubuh kekar itu memandang
Empu Gandring dengan tajamnya. Tetapi kata-kata Empu Gandring yang
terakhir itu telah menyentuh hatinya. Memang, selama ini ia takut bukan
buatan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga seolah-olah kedua
orang itu bukan manusia biasa lagi. Tetapi menurut orang yang berdiri
dihadapannya, dan bernama Empu Gandring itu, ternyata Wong Sarimpat
dapat juga terbunuh dan Kebo Sindet mengenal juga takut dan cemas.
“Bagaimana?” bertanya Empu Gandring, “aku
ingin mendengar serba sedikit tentang Kebo Sindet. Sesudah itu, kalau
kau takut tinggal di sini, pergilah ke Lulumbang, pedukuhan tempat
tinggalku. Kau dapat hidup di sana sebagai seorang petani yang wajar.
Kau akan dapat menjadi seorang yang baik, yang berbuat tanpa
bertentangan dengan panggilan hatimu. Menakut-nakuti orang, bahkan
menyakiti”.
Tiba-tiba orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Apakah mungkin begitu tuan?”
“Kenapa tidak?”
“Alangkah menyenangkan apabila itu bukan sekedar impian saja”.
“Kenapa impian?”
“Tuan akan segera membunuh aku setelah aku berkata apa yang aku ketahui tentang Kebo Sindet”.
“Itu bukan kebiasaanku Ki Sanak” sahut Empu Gandring.
Sekali lagi orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hidup sebagai seorang petani yang wajar
adalah hidup yang diimpikannya selama ini. Tetapi ia merasa bahwa hidup
yang demikian itu tidak akan pernah dihayatinya selama Kebo Sindet masih
hidup di Kemundungan. Sebab ia terpaksa melakukan hal-hal di luar
kemauannya sendiri.
“Apakah kau bersedia?” bertanya Empu Gandring.
Agaknya orang itu masih ragu-ragu. Tetapi
akhirnya ia mengangguk, “Marilah, masuklah ke rumah. Barangkali aku
dapat memenuhi keinginan tuan meskipun hanya beberapa hal yang mungkin
tak berarti bagi tuan”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya ia berhasil memaksa orang itu untuk berbicara dengan caranya.
Meskipun nada suara orang itu masih dipenuhi oleh kebimbangan, namun
dengan beberapa penjelasan nanti ia akan dapat meyakinkan, bahwa Kebo
Sindet kini tidak akan muncul segera di padukuhan ini.
Empu Gandring pun kemudian mengikuti
orang itu masuk ke dalam rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah di
sekitarnya, meskipun rumah itu sendiri adalah rumah gubug yang terlampau
sederhana.
Mereka pun kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan yang diayam kasar, yang terbentang di atas sebuah bale-bale bambu.
Sejenak Empu Gandring memperhatikan isi
rumah itu. Tidak jauh berbeda dengan gubug Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Rumah ini hampir tidak berisi perabot lain yang lajim di dalam
rumah tangga yang wajar. Tetapi Empu Gandring menyadari, bahwa keadaan
yang sulitlah yang menyebabkan orang-orang di padukuhan ini tidak sempat
mengisi rumahnya dengan beberapa macam alat rumah tangga yang
diperlukan.
Di dalam rumah itu Empu Gandring melihat
beberapa alat-alat pertanian yang sudah usang tersangkut di dinding.
Agaknya mereka pun tidak sempat membuat atau. membeli alat-alat semacam
itu.
“Inilah seluruh milikku” desah orang bertubuh kekar itu.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Orang itu menarik nafas. Jawabnya, “Namaku Tambi”.
“Tambi” Empu Gandring mengulangi,
“Ya. Aku hidup sendiri di rumah ini.
Isteri dan seorang anakku mati Ketakutan. Mereka tidak tahan hidup
seperti yang dialaminya. Beberapa tahun mereka bertahan. Tetapi akhirnya
perempuan itu tidak kuat lagi. Anaknya masih kecil itu pun mati pula
beberapa bulan kemudian”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Alangkah pahit hidup orang yang bernama Tambi ini. Namun kenapa ia masih
saja bertahan tinggal di padukuhan ini?
Tetapi Empu Gandring tidak segera
bertanya. Dibiarkannya saja Tambi itu berbicara terus, “Tuan” berkata
orang itu, “aku sendiri selama ini harus melakukan pekerjaan yang tidak
aku ingini. Setiap kali aku harus bertengkar dengan diri sendiri. Dan
setiap kali aku terdorong dalam suatu tindakan yang sama sekali tidak
menyenangkan bagiku dan bagi keluargaku semasa isteriku masih hidup.
Hal-hal yang demikian itulah yang mempercepat kematian isteriku”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar Tambi itu berkata,
“Ketahuilah tuan, bahwa isteriku masih mempunyai hubungan keluarga
dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
“Apakah isterimu itu masih bersaudara dengan keduanya?”
“Isteriku adalah saudara sepupunya. Dan
kedua saudara sepupu yang menurut aliran darah lebih muda itu, telah
membuatnya terlampau susah”.
“Apakah isterimu tidak pernah mencoba menasehatinya?” bertanya Empu Gandring.
“Tak ada orang yang berani menasehatinya”
jawab orang itu, yang tiba saja menjadi gelisah. Dipandanginya
sekeliling ruangan itu dan dicobanya untuk mendengarkan setiap desir di
sekitarnya.
“Kebo Sindet tidak akan segera datang kemari” berkata Empu Gandring, “apalagi kalau diketahuinya aku berada di sini”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kegelisahannya masih terbayang di wajah serta sikapnya.
“Aku sekarang sudah tidak beranak dan beristeri. Seharusnya aku sudah tidak takut lagi”.
“Memang kau tidak perlu takut, apalagi
kalau kau sudah bersedia untuk mati. Tetapi kau harus berusaha untuk
tidak perlu mengalaminya segera. Bermohonlah kepada Yang Maha Agung.
Namun kau pun harus berbuat. Kau dapat meninggalkan padukuhan ini”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, aku hanya ingin tahu, di mana Kebo Sindet itu bersembunyi?”
“Tak seorang pun tahu pasti” jawab Tambi.
Mendengar jawaban itu Empu Gandring
menjadi kecewa. Hanya itulah yang diharapkannya. Tetapi ia merasakan
kejujuran jawaban orang yang bernama Tambi itu.
“Tetapi” berkata Tambi kemudian. “Ia
masih saja dikuasai oleh kebimbangan, “ia sering pergi ke seberang hutan
yang berrawa-rawa itu”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Katanya, “Yang kau maksud hutan di sebelah bukit gundul itu?”
Tambi mengangguk, “Ya. Hutan itu tumbuh
di tanah yang berawa-rawa. Tanah yang sulit sekali untuk dilalui.
Orang-orang Kemundungan pun tidak berani menyeberangi rawa-rawa itu,
selain Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
“Apakah ada jalan lain kecuali daerah yang berlumpur itu?”
Tambi menggeleng, “Tidak ada. Tempat itu dikelilingi oleh rawa-rawa dari mana pun kita mendatanginya”.
“Hem” Empu Gandring menggeram, “setan itu benar-benar licin”.
“Selebihnya aku tidak tahu apa-apa, kecuali pada masa kecilnya”.
“Kau mengenalnya sejak kanak-kanak?”
“Anak itu anak Kemundungan sejak lahir”
jawab Tambi, “seperti aku dan isteriku juga anak Kemundungan sejak
lahir. Tetapi kedua anak itu lama sekali meninggalkan kampung halaman.
Ketika mereka kembali, mereka telah menjadi iblis.” Kata-kata itu
seakan-akan terloncat tanpa disadari. Namun sesudah itu, wajah Tambi
menjadi pucat. Sekali lagi ditebarkannya pandangan matanya berkeliling,
seolah-olah Kebo Sindet bersembunyi diantara dinding-dinding bambu yang
berlubang-lubang.
Empu Gandring melihat kegelisahan yang
masih saja mencengkam perasaan Tambi. Orang yang kekar itu masih saja
merasa dirinya selalu dibayangi oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat,
sehingga ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari ketakutan dan
kecemasan.
Sehingga Empu Gandring terpaksa
memperingatkan lagi, “Ki Sanak, jangan takut. Percayalah bahwa Kebo
Sindet saat ini tidak berada di Kemundungan. Kalau ia berada di sini,
maka aku kira aku tidak akan kemari, bertanya kepadamu tentang setan
alasan itu”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Seharusnya aku sudah tidak boleh takut lagi. Hidupku
seolah-olah sudah tidak berarti sepeninggal isteri dan satu-satunya
anakku. Tetapi kadang-kadang aku masih merasa ngeri untuk mengalami
dengan cara yang tidak wajar. Aku tidak akan ingkar seandainya aku akan
dipenggal leherku atau ditusuk langsung kepusat jantung. Tetapi aku
merasa takut apabila aku melihat cara-cara yang sering dipergunakan oleh
kedua kakak beradik itu”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Teringatlah ia bahwa kemenakannya, Mahisa Agni kini berada ditangan
iblis itu. Tetapi menurut ceritera Empu Sada maka ada kemungkinan bahwa
Mahisa Agni tidak akan dibunuh segera oleh Kebo Sindet karena nafsu
orang itu untuk mendapatkan tebusan dari Ken Dedes, bakal permaisuri
Tunggul Ametung yang sangat mencintai kakaknya itu.
“Mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan” desis Empu Gandring di dalam hatinya.
Sementara itu Tambi masih berbicara
selanjutnya, “Apalagi Kebo Sindet kini telah kehilangan adiknya, maka ia
pasti akan menjadi lebih gila lagi”.
“Tetapi jangan takut. Ia tidak ada disini”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian ”Mungkin tuan benar. Orang itu tidak berada disini”.
“Percayalah. Karena itu katakan apa yang ingin kau katakan kepadaku tentang Kebo Sindet”.
“Tetapi barangkali tidak akan dapat
memberi tuan petunjuk seperti yang tuan harapkan” jawab Tambi, “Yang aku
ketahui justru keadaan Kebo Sindet pada masa kanak-kanaknya. Ia adalah
seorang anak laki-laki dari keluarga yang sangat miskin di padukuan ini.
Apalagi sejak kelahiran adiknya Wong Sarimpat, maka keadaan keluarganya
menjadi semakin sulit”.
“Daerah ini daerah yang tandus” sela Empu Ganding.
“Sejak aku kanak-kanak” sahut orang itu.
“Kenapa orang-orang di sini kerasan
tinggal di padukuhan yang tandus ini? Kenapa mereka tidak mencari tempat
tinggal yang lebih baik?”
“Tanah ini adalah tanah peninggalan nenek-moyang. Di sini kami dilahirkan. Dan di sini pula kami ingin dikuburkan”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Telah sering benar ia mendengar pernyataan yang demikian.
Betapa sulitnya penghidupan, namun tanah pusaka nenek-moyang merupakan
tanah yang tidak boleh ditinggalkan. Hidup mati tanah itu adalah tanah
yang harus diwarisi, dipelihara dan didiaminya sepanjang umurnya.
“Demikian juga pendirian keluarga Kebo
Sindet itu. Betapa kesulitan mencekik leher mereka, namun mereka tetap
bertahan hidup di daerah terpencil dan tandus ini.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan Tambi berbicara terus, “Apalagi pada saat itu ada seorang
yang paling ditakuti di daerah ini. Seorang yang menghisap keringat
kami sampai darah kami pun dihisapnya. Keluargaku dan keluarga Kebo
Sindet harus bekerja, dari matahari terbit sampai matahari terbenam,
namun sebagian dari hasil kerja kami telah masuk ke dalam lumbung orang
yang kami takuti itu. Kami, termasuk Kebo Sindet dan Wong Sarimpat,
hampir-hampir tidak lagi dapat bertahan. Sehari kami sempat makan satu
kali, tetapi di hari berikutnya kami tidak dapat mengenyam apa pun di
mulut kami. Sehingga akhirnya orang tua Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
tidak lagi dapat menahan diri. Seorang demi seorang mereka meninggalkan
kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Yang mula-mula meninggal adalah
ayahnya yang kurus kering dan sakit-sakitan. Kemudian menyusul ibunya.
Sehingga dengan demikian kedua anak itu menjadi yatim piatu.
Satu-satunya keluarga yang berkewajiban memeliharanya adalah orang tua
isteriku. Namun karena keadaannya sendiri yang pahit, maka kedua anak
itu pun dipeliharanya sesuai dengan kemampuannya”.
“Namun pada suatu hari kedua anak yang
menjadi besar, meskipun kurus kering dan pucat itu, menghilang. Tak
seorang pun yang tahu kemana mereka pergi. Keluarga isteriku berusaha
mencarinya juga. Mereka mencemaskannya, seandainya kedua anak-anak itu
diterkam oleh anjing-anjing liar di atas bukit gundul. Tetapi anak-anak
itu tak dapat diketemukan”.
“Tetapi akhirnya kedua anak itu pun
dilupakan. Bertahun-tahun kemudian tidak seorang pun lagi yang pernah
menyebut namanya. Keluarga isteriku pun sudah tidak ingat lagi kepada
mereka itu”.
“Namun adalah mengejutkan sekali, ketika
kemudian padukuhan ini didatangi oleh dua orang anak-anak muda yang
gagah perkasa. Dengan dua ekor kuda mereka memecahkan ketenangan
pedukuhan ini. Akhirnya diketahuilah bahwa kedua anak-anak muda yang
perkasa itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
“Mula-mula kedatangannya memberikan
harapan kepada kami. Yang mula-mula dikatakannya, bahkan dijanjikannya,
adalah menyingkirkan keluarga yang telah menghisap darah kami sampai
kering. Semula kami ragu-ragu. Orang itu adalah orang yang pilih
tanding. Sekian lama ia seakan-akan berkuasa di padukuhan ini tanpa
dapat dikalahkan. Apakah kedua anak-anak muda itu mampu melakukannya?”
“Namun yang dilakukannya telah
menggemparkan pedukuhan ini. Seorang dari mereka, yang pada saat itu
dilakukan oleh Wong Sarimpat, dengan mudahnya dapat mengalahkan orang
yang selama ini berkuasa”. Tambi berhenti sejenak untuk menelan
ludahnya.
Empu Gandring mendengarkan ceritera itu
dengan penuh minat. Mungkin ceritera Tambi itu dapat dipercayanya.
Meskipun ceritera itu sama sekali tidak bersangkut-paut dengan
pertanyaannya, tentang persembunyian Kebo Sindet, namun ceritera itu
dapat memberikan gambaran tentang latar belakang dari kelakuan iblis
yang aneh itu.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Empu Gandring berkata, “Apakah Wong Sarimpat berkelahi seorang diri
tanpa bantuan kakaknya ketika ia melawan orang yang sedang berkuasa
itu?”
“Ya” sabut Tambi, “Wong Sarimpat yang
sedang tumbuh itu dengan mudah dapat mengalahkan orang yang sedang
berkuasa itu, yang semakin lama telah menjadi semakin tua. Bahkan
beberapa orang pengikut dan pengawalnya pun dapat dikalahkannya”.
“Apakah yang kau lakukan waktu itu, Ki Sanak?”
“Aku tidak berani berbuat apa-apa. Aku
melihat kekuasaan itu sejak aku masih kanak-kanak. Aku tidak pernah
meninggalkan padukuhan ini”.
Empu Gandring mengangguk-angguk lagi. Keningnya tampak berkerut-merut.
“Pada saat-saat yang demikian itu,
tumbuhlah harapan di hati kami, bahwa kami tidak akan mengalami
pemerasan lagi. Kami tidak akan menjadi budak-budak yang tidak dapat
berbuat apa-apa, sebab nyawa kami terancam. Di sini sama sekali tidak
ada perlindungan atas jiwa kami. Kekuasaan orang itu benar-benar
mutlak”.
“Bagaimana dengan kekuasaan Tumapel dan Kediri?”
“Tak seorang pun yang sempat berpikir,
bahwa kami dapat memohon perlindungan. Seperti akhir-akhir ini kami pun
tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan? Tumapel apalagi Kediri
terlampau jauh. Bukan saja jaraknya, tetapi juga jauh dari hati kami.
Seolah-olah kami belum pernah mendengar nama-nama itu”.
Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi” Tambi meneruskan, “ketika kami
melihat apa yang dilakukan oleh Wong Sarimpat pada saat ia mengakhiri
perkelahian, segera timbul kebimbangan di hati kami”.
“Kami menjadi sangat ngeri melihat Wong
Sarimpat melepaskan dendamnya kepada orang yang sedang berkuasa di
padukuhan ini pada saat itu. Apa yang dilakukannya sama sekali tidak
terbayang di dalam hati kami. Mungkin Wong Sarimpat merasa bahwa
hidupnya benar-benar telah tersia-sia karena perbuatan orang itu.
Mungkin dendam yang tak terbilang telah membakar jantungnya pada saat
itu, karena kematian kedua orang tuanya. Tetapi apa pun yang
menyebabkannya, namun keadaan telah membentuknya menjadi seorang yang
paling buas yang pernah aku lihat”.
Tambi berhenti sejenak. Kemudian sekali
lagi ia memandangi ruangan itu berkeliling. Akhirnya matanya berhenti
menatap pintu rumah yang masih terbuka.
“Sebaiknya aku menutup pintu itu”.
“Tidak perlu” jawab Empu Gandring, “biarlah Kebo Sindet melihat aku disini apabila ia lewat di jalan di muka rumah ini”.
Tambi terdiam sejenak. Tetapi masih juga
terbayang kegelisahan dan kecemasan diwajahnya. Perlahan-lahan ia
bergumam, “Ya, aku sudah tidak takut lagi, memang seharusnya aku sudah
tidak takut. Tetapi kematian-kematian yang pernah aku saksikan adalah
mengerikan sekali. Atau barangkali tuan ingin membunuh aku saja?”
“Jangan berputus asa dan membunuh diri bagaimana pun caranya” sahut Empu Gandring, “teruskan saja ceriteramu”.
Sekali lagi Tambi menelan ludahnya, seolah-olah kerongkongannya tersumbat, “Baiklah” desisnya, “apa yang aku katakan tadi?”
“Wong Sarimpat membunuh orang yang kalian anggap paling berkuasa di sini”.
“Ya. Orang itu pun terbunuhlah. Tetapi
harapan kami untuk mendapat kebebasan ternyata sama sekali keliru.
Setelah orang itu mati, meskipun Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu
mengatakan bahwa kita sudah sampai pada hari-hari yang kita
tunggu-tunggu, pembebasan, namun apa yang kita alami hampir tidak ada
bedanya sama sekali. Pemerasan dan perkosaan atas kebebasan hidup kami
sebagai manusia, Dan kami masih tetap mengalami hidup kami yang lama.
Bekerja dan bekerja. Sedang basil kerja kami harus kami serahkan kepada
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Namun karena mereka hanya berdua, dan
mereka tidak memiliki lumbung yang besar, maka untuk hal ini, kami
mendapat keringanan. Kami hanya menyerahkan hasil tanaman kami menurut
kebutuhan dan permintaan mereka. Sehingga dengan demikian, kami mendapat
makanan kami agak lebih banyak dari masa-masa lampau”.
“Kalau demikian apa yang menyulitkan kalian?”
“Tetapi apa yang kami miliki di sini
tidak lebih dari sisa-sisa makanan kami yang kami hasilkan dari tanah
yang tandus itu. Tidak ada lain. Kami tidak akan dapat menukarkan milik
kami dengan benda-benda apapun. Bahkan dengan alat-alat yang kami
perlukan untuk bercocok tanam. Setiap barang yang disenangi oleh kedua
orang itu harus kami serahkan”.
“Juga alat-alat bercocok tanam?”
“Ya, mereka senang menyimpan alat-alat bercocok tanam yang baik”.
“Aneh. Untuk apakah barang-barang itu?”
“Tak seorang pun yang tahu. Bahkan
kadang-kadang kami terpaksa mengumpulkan hasil tanah kami, untuk kami
tukar dengan barang-barang yang dikehendaki oleh kedua orang-orang itu”.
“Kemanakah kalian menukarkan barang-barang itu?”
“Kebo Sindet membawa beberapa orang
kemari untuk menukar barang-barang itu. Kadang-kadang hasil tanah kami
itu benar-benar dibawa oleh mereka yang menukarnya, tetapi kadang-kadang
orang-orang itu tidak dapat keluar dari padukuhan ini setelah mereka
menyerahkan barang-barang yang seharusnya kami tukar dengan hasil tanah
kami”.
“Perampokan” geram Empu Gandring.
“Ya, lebih dari pada itu. Apalagi apabila mereka mencoba mempertahankan diri mereka”.
Empu Gandring sudah dapat menangkap
kata-kata yang tidak lengkap itu. Tambi pasti akan berkata, bahwa mereka
yang berani mempertahankan diri, maka nasib mereka akan menjadi lebih
jelek. Seperti yang sudah dikatakan, maka Kebo Sindet akan melakukan
pembunuhan dengan caranya.
Sejenak kini mereka berdiam diri. Angin
yang silir berhembus lewat pintu yang masih terbuka. Diluar, Tambi masih
melihat beberapa orang tetangganya di halaman di seberang halaman
rumahnya berdiri berlindung di balik pepohonan. Adalah menjadi kebiasaan
mereka untuk melihat orang-orang yang datang ke rumah Tambi. Dan sudah
menjadi kebiasaan mereka pula, apabila Tambi tidak dapat
menyelesaikannya sendiri, Tambi pasti memberi mereka isyarat untuk
membunyikan kentongan memanggil salah seorang atau bahkan keduanya iblis
Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi kali ini
Tambi masih belum memberikan isyarat apa-apa, meskipun tampaknya Tambi
sendiri tidak berbuat apa-apa. Dan bahkan orang yang belum mereka kenal
dan membawa keris dipunggungnya itu dibawanya masuk kerumahnya.
“Tuan” berkata Tambi ilu lebih lanjut,
“tak seorang pun di antara kami yang berani menentang perbuatan itu. Aku
adalah satu-satunya orang yang mencoba melawannya dengan caraku.
Meskipun aku tidak dapat melawan dalam olah kanuragan. Tetapi akibatnya
jelek sekali bagiku. Meskipun keduanya tidak membunuhku dengan caranya
karena aku suami saudara sepupunya, tetapi tidak banyak bedanya dengan
itu. Mereka telah membunuh isteriku dan anakku perlahan-lahan, meskipun
barangkali tidak mereka sadari seperti apabila mereka membunuh
korbannya. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa isteriku meninggal justru
karena aku mendapat jabatan dari kedua orang itu. Jabatanku cukup
mengerikan. Seperti yang tuan lihat sekarang. Dan jabatan ini agaknya
telah menyiksaku scpanjang umurku”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau benar adi. Keadaan telah
membuat mereka menjadi buas. Dendam yang membara di dada mereka, hidup
mereka yang pahit di masa kanak-kanak, ketidak-adilan yang mencekiknya
dalam kepailitan itu, telah menjadikan mereka orang yang tidak lagi
mengenal kasih sesama. Mereka telah kehilangan segala kepercayaan mereka
terhadap orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggap dunia ini seperti
sebuah hutan rimba. Siapa yang kuat ialah yang berkuasa. Mereka tidak
mengenal adab lagi yang mengikat manusia dalam bentuk kemanusiaannya.
Tetapi mereka lebih percaya kepada pedangnya daripada kepada manusia
sesamanya. Mereka lebih mendambakan diri pada benda-benda dan harta
daripada kepada Sumber Hidupnya”.
“Ya tuan. Itu adalah gambaran yang tepat mengenai Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
“Itu adalah suatu bentuk yang menyedihkan
dari ledakan perasaan yang merasa tertekan. Tetapi bentuk itu adalah
bentuk yang tidak diharapkan. Seorang yang tidak mau mendapat perlakuan
yang tidak adil, yang telah berusaha untuk melenyapkan perlakuan itu
atas dirinya sendiri, tetapi setelah ia berhasil melenyapkan kekuasaan
yang memperlakukannya tidak adil itu dengan kekuatan, maka ia sendiri
terjerumus dalam kekuasaan yang serupa. Kekuasaan yang didasari oleh
kekuatan, bukan oleh hasrat hidup bersama dalam adab kemanusiaan. Dan
kekuasaan yang dilandaskan pada kekuatan itu akan berlangsung terus”
Empu Gandring berhenti sejenak untuk menyeka peluhnya yang mengalir
dikeningnya. Dan sesaat kemudian ia berkata lagi, “tetapi aku juga
mengenal bentuk lain dari pada itu. Bentuk yang manis, yang serasi
dengan pancaran sumbernya. Menentang ketidak-adilan justru untuk
menegakkan keadilan. Bukan untuk merubah kekuatan yang menentukan
kekuasaan. Bentuk itu adalah bentuk yang paling indah, meskipun
seolah-olah hanya dapat terjadi di dalam mimpi. Namun adalah menjadi
kewajiban kita bersama untuk berusaha menemukan bentuk yang paling indah
itu. Ketidak-adilan, dan segala macam bentuk nafsu duniawi akan dapat
ditumbangkan oleh kekuatan yang tidak ada batasnya. Cinta kasih. Cinta
kasih diantara sesama yang dilahirkan di atas bumi ini dari sumber yang
sama. Cinta kasih yang akan dapat melahirkan segala macam pengertian dan
pengekangan diri dalam satu lingkaran hidup yang tenteram damai. Bukan
karena dirinya merasa terikat oleh ancaman yang merampas kebebasan
hidupnya, tetapi bersama-sama dengan tulus dan ikhlas mengekang diri
sendiri dalam lingkaran yang dibuat bersama-sama”.
Tambi mengerutkan keningnya. Seleret ia
dapat mengenali maksud Empu Gandring, tetapi sebagian daripadanya hanya
dapat dimengertinya samar-samar.
“O” Empu Gandring berdesah, seolah-olah
ia baru saja terbangun dari mimpinya “maafkan aku Ki Sanak. Barangkali
aku terlampau banyak berbicara. Barangkali bicaraku tidak kau harapkan.
Tetapi agaknya aku lebih banyak berbicara kepadaku sendiri. Karena aku
pun melihat betapa banyak kekurangan di dalam diri. Aku dapat berkata
tentang cinta kasih yang melampaui segala kekuatan dan kekuasaan. Tetapi
aku masih mendukung senjata dipunggungku. Mudah-mudahan senjata tidak
salah arah. Mudah-mudahan aku selalu dapat melihat apakah yang
sebenarnya sedang aku hadapi. Lebih daripada itu, mudah-mudahan aku
segera dapat menanggalkan senjata ini dari tubuhku”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat merasakan sentuhan yang tajam pada dinding hatinya. Dan tiba-tiba
ia merasakan sesuatu bergerak di dalam hatinya itu. Dan dengan tiba-tiba
pula ia berkata, “Tuan, aku sekarang tidak takut lagi. Aku tidak akan
lari dari pedukuhan ini. Aku akan tetap tinggal di sini”.
Empu Gandring memandangi orang itu dengan tajamnya Perlahan-lahan ia berdesis, “Kenapa?”
“Adalah menggelikan sekali bahwa selama
ini aku selalu dikejar oleh ketakutan. Tuan, aku seolah-olah telah
menemukan keberanian yang aku inginkan. Aku tidak takut lagi tuan”.
Empu Gandring tidak segera menyahut.
Dipandanginya wajah orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat perubahan
yang membayang diwajahnya. Tambi itu tiba-tiba telah menjadi seorang
yang seolah-olah lain dari pada orang yang tadi ditemuinya di halaman.
Wajah itu tidak lagi membayangkan kebengisan dan kekerasan. Kini wajah
itu menjadi terang.
“Adalah aneh bahwa tuan telah membuka
perasaanku. Aku tidak tahu, apakah tuan berbuat dengan sengaja atau
tidak. Tetapi ternyata aku menemukan sesuatu setelah aku bertemu dan
berbicara dengan tuan“ berkata Tambi itu kemudian.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Tak ada yang dapat aku lakukan bagimu Ki Sanak,
apalagi membuka perasaanmu. Hanya pancaran kasih dari Yang Maha Agung
sajalah yang dapat memberimu ketenteraman. Agaknya kau telah mendapatkan
kurnia yaug tiada taranya. Bukan kekuatan jasmaniah sehingga kau mampu
mengalahkan Kebo Sindet, tetapi justru kekuatan rohaniah. Meskipun
jasmaniah kau tidak akan mampu berbuat apa pun melawan orang itu, tetapi
ternyata kau telah memiliki kekuatan itu. Kau sudah tidak takut lagi
melawannya dengan caramu. Itu adalah kelebihanmu Ki Sanak, kelebibanmu
dari padaku. Aku masih belum menemukan kurnia serupa itu. Aku masih
harus mencoba menghadapi Kebo Sindet dengan Senjata”.
Tambi tertawa. Namun tiba-tiba suara
tertawanya itu terputus, sehingga Empu Gandring terkejut karenanya.
Apalagi ketika ia melibat kening Tambi itu berkerut-merut.
“Kenapa Ki Sanak?”
“Aneh. Aku merasakan keanehan di dalam
diriku” gumam Tambi itu seolah-olah pada diri sendiri, “aku tidak pernah
tertawa selama ini. Sejak aku lepas dari dukungan ibuku, aku hampir
tidak pernah merasakan kesegaran yang tidak dapat membuat aku tertawa.
Di padesan ini, hanyalah anak-anak yang masih menyusu ibunya sajalah
yang dapat tertawa bila ibunya menciumnya, atau tertawa manis selagi ia
bermimpi. Tetapi sejak kami turun dari selendang ibu, kami sudah harus
bekerja membantu orang tua. Di sawah, di kebun, di rumah dan dimana-mana
saja. Itu terjadi sejak aku masih kecil. Sejak Kebo Sindet masih kecil.
Dan itu masih berlangsung sampai kini”.
“Sekarang apa yang terasa olehmu Ki Sanak?”
“Semua itu tak ubahnya dari pada sebuah mimpi. Pada saatnya aku akan bangun dari mimpi yang mengerikan ini”.
“Dan kau akan mengalami hidup yang
sebenarnya. Bukan suatu mimpi yang mengerikan lagi. Justru kau akan
mendapat kemenangan dari perjuanganmu yang terjadi di dalam mimpi itu”.
Tambi menarik nafas dalam-dalam.
Gumamnya, “Bukankah ini hanya suatu pemupus? Bukankah dengan demikian
aku hanya ingin menenteramkan hatiku sendiri?”
Empu Gandring menggeleng, “Pemupus adalah
salah satu bentuk dari pada keputus-asaan. Tak ada jalan lain yang
dapat ditempuh, selain apa yang telah terjadi. Tetapi kau tidak berada
dalam keadaan yang demikian. Kau masih mempunyai banyak kesempatan. Kau
masih dapat lari meninggalkan pedukuhan ini. Misalnya pergi bersamaku ke
padukuhanku. Kau akan dapat hidup di sana dengan tenteram. Aku kira
Kebo Sindet tidak akan mencarimu ke padukuhanku, sebab aku pun sedang
mencarinya. Apakah begitu? Kau pergi ke Lulumbang?”
Tambi menggelengkan kepalanya, “Terima
kasih Ki Sanak. Tetapi aku tidak akan pergi. Kalau aku pergi, maka
orang-orang lain akan menjadi sasaran pertanyaan dan kemarahan Kebo
Sindet. Orang-orang lain yang tidak bersalah akan mengalami nasib yang
lebih jelek lagi. Karena itu biarlah aku tinggal di sini. Aku akan
menghadapi segala tanggung jawab. Apa pun yang terjadi atas diriku, maka
aku tidak akan ingkar, sebab aku sudah tidak takut lagi. Aku ingin
segera bangun dari tidur dan mimpi yang mengerikan ini. Apa yang akan
terjadi segeralah terjadi”.
Dada Empu Gandring berdesir mendengar
jawaban itu. Tiba-tiba ia merasa bahwa kedatangannya benar-benar telah
menyebabkan Tambi tersudut dalam keadaannya. Apalagi setelah ia
menemukan suatu keyakinan di dalam dirinya, bahwa ia tidak akan lari.
Karena itu tanpa disadarinya maka Empu Gandring berkata, “Ki Sanak,
apakah kedatanganku telah menyebabkan kau mendapat kesulitan?”
“O, tidak tuan, tidak. Kalau aku ingin
melepaskan diri, maka aku akan dapat berbuat sesuatu. Aku akan dapat
memberi isyarat kepada Kebo Sindet. Ia akan datang kemari dan tanggung
jawab persoalan tuan sudah tidak ada lagi padaku”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kau tidak berbuat demikian kali ini?”
“Tuan adalah seorang yang memiliki
kelainan dari orang-orang yang pernah datang kemari. Orang-orang yang
datang terdahulu tidak ada yang dapat memberikan sesuatu kepadaku selain
kemarahan dan kehilangan akal”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kerut-merut di keningnya menjadi semakin dalam. Orang
tua itu ternyata sedang mencoba mencari jalan yang baik baginya dan baik
bagi orang-orang Kemundungan, supaya mereka tidak menjadi sasaran
kemarahan Kebo Sindet.
“Adi,” berkata Empu Gandring kemudian, “apakah kau tidak bersalah apabila kau tidak memberikan tanda kepada Kebo Sindet?”
“Mungkin demikian tuan. Mungkin ada satu
dua orang yang tidak senang kepadaku akan mengadukan hal itu. Bahwa aku
telah berbicara dengan orang yang tak dikenal, dan bahwa aku tidak
memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet”.
“Nah, kalau demikian” berkata Empu
Gandring, “bukankah kau mau menolong aku, sedang kau sendiri akan
terlepas dari tuduhan semacam itu? Ki Sanak, aku minta, berikan isyarat
itu”.
Tambi mengerutkan keningnya, jawabnya, “Apakah aku harus mencelakakan tuan?”
“Bukan salahmu, akulah yang mencari Kebo Sindet.” jawab Empu Gandring.
Tambi terdiam sejenak. Tetapi diwajahnya
membayang kebimbangan yang mencengkam hatinya. Bagi Tambi, kehadiran
Kebo Sindet akan berarti maut yang mengerikan bagi orang yang tidak
dikenal.
Tetapi ketika disadari bahwa yang ada
dihadapannya itu adalah seorang yang justru mencari Kebo Sindet, maka
kesannya menjadi berbeda. Mungkin akibat yang akan terjadi kali ini
berbeda. Namun kebiasaan yang berulang-kali dilihatnya sama sekali tidak
dapat dilupakannya. Ada juga satu-dua orang yang berani melawan seperti
Empu Gandring ini. Tetapi akibatnya justru lebih mengerikan lagi.
Kebiasaan itu telah terjadi sepanjang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
kembali ke pedukuhan ini. Karena itu keragu-raguarnya atas kemampuan
Empu Gandring masih belum lenyap dari kepalanya, meskipun ia telah
dikagumkan oleh keccpatan gerak, ketangkasan dan kekuatan Empu Gandring
yang sengaja diperlihatkan.
Melihat keragu-raguan itu, maka Empu
Gandring berkata, “Jangan ragu-ragu. Mungkin kau masih membandingkan
kemungkinan yang ada padaku dan Kebo Sindet. Biarlah aku yang akan
mempertanggung-jawabkan sendiri apa yang akan terjadi dengan diriku.
Tetapi perlu kau percayai bahwa aku telah pernah berkelahi melawannya,
sehingga aku dapat menilai diriku sendiri”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya cara itu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baik
baginya. Apalagi seandainya benar-benar Empu Gandring dapat mengalahkan
Kebo Sindet. Tetapi setidak-tidaknya ia akan terlepas dari segala macam
prasangka, meskipun ia kini sudah tidak takut lagi menghadapi apapun.
Sebab ia merasa berdiri pada landasan yang harus diyakininya. Bahkan
untuk seterusnya ia tidak akan lagi melakukan perbuatan terkutuk atas
orang-orang yang datang ke pedukuhan ini, apalagi orang-orang yang
tersesat dan mencari jalan. Meskipun ia menyadari akibat dari
tindakannya itu, namun ia telah menyimpan keberanian di dalam dirinya.
Kalau kali ini ia masih juga akan
memberikan isyarat kepada Kebo Sindet, itu adalah karena permintaan
orang yang tidak dikenal di pedukuhannya itu sendiri. Justru orang itu
mencari orang yang bernama Kebo Sindet.
“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya Empu Gandring.
Tambi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Bukankah tuan yakin bahwa kedatangan Kebo Sindet tidak akan mencelakakan tuan?”
“Aku mengharap demikian. Tetapi aku tidak
tahu, apa yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung atas diriku. Namun aku
berdoa semoga sifat-sifat yang ada pada Kebo Sindet itu segera lenyap
dari antara kita manusia. Mungkin kita terpaksa melenyapkan orangnya itu
pula. Tetapi bukan maksudnya. Dalam bentuknya yang tajam, aku mengharap
bahwa sifat-sifat semacam itu akan dapat dilenyapkan tanpa menyentuh
kulit wadagnya. Tetapi itu hanya dapat terjadi di dalam mimpi atau
karena suatu keajaiban karena pengaruh kekuatan di luar kekuatan
manusia, meskipun kadang-kadang manusia pulalah yang menjadi alatnya”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
makin mengenal watak dan sifat tamunya itu. Meskipun apa yang
didengarnya itu belum pernah menyentuh telinganya sebelumnya, namun
hatinya seolah-olah menjadi terbuka menghadapi masa depannya dan menilai
masa-masa lampaunya.
“Nah, apakah kau bersedia memberikan isyarat itu?” bertanya Empu Gandring kemudian.
Tambi masih mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Baiklah tuan, aku akan memberikan isyarat. Tetapi hal itu justru karena
aku percaya kepada tuan, bahwa tuan tidak akan mengalami perlakuan yang
tidak aku kehendaki. Aku sudah jemu melihat semua peristiwa-peristiwa
dimasa-masa lampau. Aku sudah jemu melihat Kemundungan ini menjadi tidak
ubahnya hutan yang liar. Kekuasaan di sini sama sekali tidak tumbuh
karena keinginan bersama atas dasar kepercayaan dan kesatuan hasrat
dalam hidup bersama untuk saling menghormati dan mengekang diri dengan
tulus seperti kata tuan, tetapi kekuasaan di sini sama artinya dengan
kekuatan”.
“Mudah-mudahan demikianlah hendaknya” sahut Empu Gandring.
“Baiklah tuan. Adalah menjadi kebiasaan
orang-orang di padukuhan ini untuk menunggu aku memberikan isyarat
kepada mereka. Kemudian salah seorang dari mereka akan segera pergi ke
sudut desa, naik ke atas menara bambu yang kita buat sengaja untuk
menggantungkan kentongan”.
“Lakukanlah Ki Sanak. Kalau kau berhasil mengundang Kebo Sindet aku akan berterima kasih kepadamu”.
Tambi itu pun kemudian berdiri. Beberapa
langkah ia maju ke depan pintu. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya
berkeliling. Kehalaman-halaman di sekitar halaman rumahnya. Dilihatnya
beberapa orang berdiri termangu-mangu.
“Mereka lebih senang menunggu apa yang
akan terjadi dari pada pergi ke ladang” gumam Tambi di dalam hatinya,
bahkan orang yang sudah berada di ladang pun tergesa-gesa pulang untuk
melihat peristiwa-peristiwa yang mengerikan.
Sejenak orang-orang itu berdiri
termangu-mangu. Mereka melihat perbedaan dari kejadian-kejadian yang
pernah mereka saksikan. Mereka tidak melihat Tambi berkelahi dengan
orang itu. Mereka hanya melihat orang yang tidak mereka kenal itu
bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat mereka bayangkan,
menggerakkan kerisnya, dan tiba-tiba pohon-pohon Tal dan Siwalan itu pun
roboh hampir bersamaan.
“Kakang Tambi tidak berdaya
menghadapinya” bisik di antara mereka. Dan kini mereka melihat Tambi itu
berdiri di muka pintu rumahnya. Biasanya Tambi tidak menunggu terlampau
lama, apabila ia merasa bahwa lawannya tidak dapat dikalahkan, segera
ia memberikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong Sarimpat
atau malahan kedua-duanya akan datang bersama-sama. Tetapi kali ini
Tambi masih berdiam diri.
Namun akhirnya orang-orang itu melihat
Tambi menggerakkan tangannya. Gerak yang sudah mereka kenal betul
artinya. Membunyikan isyarat untuk memanggil Kebo Sindet atau Wong
Sarimpat.
Seperti berebutan beberapa orang meloncat
berlari-larian ke menara bambu di sudut desa. Mereka menjadi seperti
kanak-kanak yang sedang berlomba. Kebiasaan itu lambat laun telah
menumbuhkan kesenangan tersendiri. Siapakah yang paling dahulu mencapai
menara dan membunyikan tanda untuk memanggil Kebo Sindet merasa
mendapatkan kepuasan. Seolah-olah ia telah memberikan jasa yang berharga
bagi padukuhannya, meskipun kemudian apabila mereka melihat mayat yang
terkapar di jalan pedukuhan mereka, mereka masih juga merasa ngeri.
Mereka akan mengeluh berkepanjangan apabila mereka kemudian harus
menggali lubang, mengusung mayat itu dan kemudian menguburkannya.
Dengan demikian maka hidup mereka selalu
diliputi oleh suasana yang selalu bertentangan. Mereka tidak dapat hidup
dalam keserasian sikap dan perasaan. Bahkan di dalam setiap dada
orang-orang Kemundungan itu pun telah tumbuh berbagai pertentangan yang
menjadikan hidup mereka seakan-akan tidak berarti dan tanpa tujuan.
Demikianlah maka sejenak kemudian
terdengar suara kentongan bergema di padukuhan kecil itu. Suaranya
seakan-akan beruntun melontar kembali setelah membentur dinding-dinding
bukit gundul. Susul-menyusul seperti seperti suara yang
memanggil-manggil dari dunia yang lain.
Tambi sudah terlalu biasa mendengar suara
kentongan itu. Bahkan apabila ia berada dalam kesulitan, maka suara itu
dapat memberinya ketenteraman. Sebab sejenak kemudian pasti akan datang
Kebo Sindet atau Wong Sarimpat atau kedua-duanya yang akan
melepaskannya dari kesulitan itu. Namun kemudian ia terpaksa menyaksikan
peristiwa yang mengerikan. Setiap kali, demikianlah yang terjadi. Dan
setiap kali hatinya menjadi sakit setelah ia bersenang hati karena ia
sendiri dapat dibebaskan dari kesulitannya. Pertentangan-pertentangan
yang terjadi di dalam diri Tambi dan orang-orang Kemundungan itu telah
berlangsung bertahun-tahun. Setiap kali mereka merasakan pertentangan
itu di dalam diri mereka. Namun lambat-laun perasaan itu seolah-olah
menjadi semakin kebal. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu perasaan itu
masih juga tumbuh di dalam hati mereka. Korban-korban yang malang, yang
sama sekali tidak bersalah dan tidak menyadari kesalahannya, masih juga
menumbuhkan iba di hati mereka yang sudah mengeras.
Kali ini orang-orang Kemundungan tidak
dapat menilai, apakah orang yang bersenjata keris raksasa dipunggungnya
itu pantas dikasihani atau tidak. Mereka tidak tahu, apakah sudah
sepantasnya orang yang tak dikenal itu akan dihadapkan kepada Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Sebab meskipun mereka menjadi kagum dan
hampir-hampir tidak mengerti akan apa yang dilihatnya, namun seolah-olah
telah hampir menjadi suatu kepastian, bahwa kehadiran Kebo Sindet
berarti bencana bagi orang yang tidak dikenal yang masuk ke dalam
padesan ini.
Sejenak halaman rumah Tambi itu menjadi
sepi tegang. Setiap orang berdiri kaku di tempatnya, seperti
batang-batang pepohonan yang beku di halaman di sekitarnya. Mereka
menunggu apakah yang akan terjadi kemudian. Apakah yang akan dilakukan
oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas orang tua yang kini duduk di
dalam rumah Tambi itu. Mereka merasa ada kelainan dari
peristiwa-peristiwa yang parnah terjadi.
Tambi pun kini menjadi berdebar-debar.
Suara kentongan itu telah menjadikannya muak. Ia yang telah biasa
mendengar suara itu, dan bahkan suara itu dapat memberinya ketenteraman
dalam setiap kesulitan, namun kali ini ia menjadi sedemikian benci
mendengar suara itu. Suara itu di telinganya kini bagaikan suara iblis
yang berteriak-teriak dari lubang kubur.
Tetapi ketika suara itu kemudian
berhenti, hati Tambi pun menjadi semakin berdebar-debar. Biasanya,
sesaat kemudian mereka pasti akan mendengar langkah kuda berderap di
atas tanah berbatu-batu. Dan sesaat berikutnya mereka segera akan
melihat pertunjukan maut.
Kesepian masih mencengkam halaman rumah
Tambi dan halaman-halaman di sekitarnya. Beberapa orang laki-laki kurus
berdiri tegak tanpa bergerak. Sedang anak-anak muda yang pucat
bergerombol di bawah batang-batang pisang. Perempuan-perempuan biasanya
hanya mengintip saja dari sela-sela pintu rumahnya yang tidak terkatub
rapat sambil memeluk bayi-bayinya yang menangis ketakutan.
Sejenak mereka diam menunggu. Empu
Gandring pun duduk dengan hati berdebar-debar pula. Bukan karena cemas,
bahwa Kebo Sindet akan datang, tetapi justru karena teka-teki di dalam
hatinya, apakah Kebo Sindet akan datang atau tidak.
Ketegangan di halaman di sekitar rumah
Tambi itu menjadi semakin memuncak. Mereka benar-benar merasakan
perbedaan keadaan. Sudah beberapa lama bunyi kentongan menggetarkan
lereng bukit gundul, namun mereka sama sekali belum mendengar kuda
berderap. Mereka belum melihat Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang
sambil berteriak-teriak. Mereka belum melihat sesuatu.
Tambi pun berdebar-debar pula. Kebo
Sindet ternyata tidak segera datang. Dan teringatlah ia kepada kata-kata
Empu Gandring, bahwa Kebo Sindet sedang menyembunyikan diri.
Sebenarnya Tambi sudah sejak beberapa
saat menemukan kepercayaan pada orang tua itu. Kini ia semakin yakin,
bahwa semua kata-katanya bukan sekedar sesuatu sikap untuk membanggakan
diri. Ternyata Kebo Sindet tidak segera datang. Sudah pasti bahwa Kebo
Sindet tidak berani berhadapan dengan orang yang bernama Empu Gandring
itu.
Meskipun demikian Tambi tidak segera
berbuat sesuatu. Ditunggunya saja keadaan berkembang menurut keadaannya.
Beberapa lama ia berdiri di muka pintu rumahnya memandangi
tetangga-tetangganya yang tidak pula kalah tegangnya. Bahkan seakan
mereka telah menggantungkan mata mereka di pagar-pagar batu yang rendah
di sekeliling halaman masing-masing untuk melihat, apakah segera datang
seekor kuda berderap di jalan berbatu-batu itu.
Namun ternyata Kebo Sindet tidak segera datang.
Orang-orang di padukuhan Kemundungan itu
mulai gelisah. Hal yang serupa jarang-jarang terjadi. Hampir dapat
dipastikan bahwa setiap kentungan itu berbunyi, Kebo Sindet atau Wong
Sarimpat segera akan muncul.
Tetapi sekali hal yang demikian memang
pernah terjadi. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sedang tidak ada di
gubuknya. Ketika kedua orang itu tidak segera datang, maka terdorong
oleh rasa takut kepada mereka, maka Tambi mengambil kebijaksanaan lain.
Sambil berteriak-teriak ia memanggil setiap laki-laki dan anak-anak
muda. Mereka harus membantu Tambi menyelesaikan tugasnya. Panggilan itu
menjalar dari setiap mulut kemulut yang lain. Sejenak kemudian hampir
setiap laki-laki dan anak-anak muda sudah berkumpul. Bahkan anak-anak
tanggung pun berdatangan pula. Mereka lebih takut kepada Kebo Sindet
dari pada orang yang tidak mereka kenal, yang tidak segera dapat
dikalahkan oleh Tambi. Pada saat itu, orang yang sedang berkelahi
melawan Tambi menjadi cemas nielihat sekian laki-laki dan anak-anak
muda, sehingga orang itu segera melarikan dirinya, sebelum ia melawan
orang-orang Kemundungan itu.
Kini terjadi hal yang serupa. Kentongan
itu sudah lama berbunyi. Tetapi Kebo Sindet masih juga belum datang.
Dengan demikian maka laki-laki yang berada di sekitar halaman rumah
Tambi itu berpikir, apakah Tambi akan mengambil kebijaksanaan yang
serupa. Memanggil mereka, dan mengeroyok beramai-ramai.
Tetapi ternyata Tambi tidak berbuat
demikian. Kali ini ia tidak berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.
Tidak pula memanggil orang-orang yang berdiri di halaman di sekitar
halaman rumahnya. Tetapi dengan kepala tunduk Tambi melangkah masuk ke
rumahnya kembali dan kemudian duduk dihadapan Empu Gandring sambil
berdesis, “Tuan agaknya iblis itu tidak berani datang. Mungkin ia sudah
menduga bahwa tuan akan kemari”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi menurut pendapatnya, tempat Kebo Sindet itu
bersembunyi agaknya terlampau jauh, sehingga suara kentongan itu tidak
dapat didengarnya. Karena itu maka ia bertanya, “Ki Sanak, apakah suara
kentongan itu dapat melampaui bukit gundul, menembus hutan dan mencapai
rawa-rawa di mana Kebo Sindet itu bersembunyi, apabila ia benar ia
berada di sana?”
Tambi mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tuan benar. Kalau tuan memang sudah mencari di gubuknya dan tuan tidak
menemuinya setelah tuan mengejarnya, maka satu-satunya kemungkinan
baginya adalah bersembunyi di tengah rawa-rawa itu”.
“Jadi tak ada gunanya aku menunggunya di sini”.
“Kalau ia sudah berada di gubugnya, maka ia akan segera datang kemari, apabila ia mendengar isyarat itu, tuan”.
“Kalau ia tahu bahwa aku lah yang di sini, mungkin ia tidak akan datang meskipun ia mendengar isyarat itu pula”.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia melihat wajah Empu Gandring menjadi kecewa.
“Maaf tuan” berkata Tambi kemudian, “aku tidak dapat membantu tuan lebih dari pada itu”.
“Oh” sahut Empu Gandring dengan
serta-merta, “kau tidak mengecewakan aku. Kau sudah berbuat apa saja
yang dapat kau lakukan. Tetapi aku kecewa karena Kebo Sindet tidak
datang ke padukuhan ini seperti biasa”.
Tambi tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Persoalanku dengan Kebo Sindet adalah persoalan yang tidak dapat dibiarkan. Aku harus menemukan penyelesaian”.
Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi apa boleh buat,” gumam Empu
Gandring seakan-akan kepada diri sendiri, “aku harus menemukannya,
meskipun aku harus menyeberangi rawa-rawa itu”.
“Tuan” tiba-tiba Tambi memotong, “kalau
tuan mau mendengarkan permintaanku, jangan tuan mencoba menyeberangi
rawa-rawa itu. Tak seorang pun yang akan pernah berhasil”.
“Kalau Kebo Sindet dapat melakukannya, kenapa aku tidak?”
“Orang itu sudah mengenal betul jalan
yang harus dilaluinya. Mungkin ia mengenal pohon-pohon yang dapat
dijadikannya sebagai ancar-ancar”.
“Bagaimanakah ia untuk pertama kalinya dapat sampai tempat itu?” bertanya Empu Gandring.
Tambi menggelengkan kepalanya, jawabnya,
“Mungkin seseorang telah menunjukkannya, tetapi mungkin hanya karena
kebetulan saja, atau barangkali sengaja ia menjajagi rawa-rawa itu
setiap hari dengan telaten untuk menemukan jalan memasuki hutan itu”.
“Aku akan menempuh cara yang terakhir.
Aku akan menjajagi dengan hati-hati, sehingga aku menemukan jalan yang
dapat langsung sampai ke tengah hutan itu”.
“Tuan akan memerlukan waktu yang lama.
Tetapi kalau nasib tuan tidak begitu baik, maka tuan akan terperosok ke
dalam lumpur. Jika demikian maka kemungkinan untuk menarik diri dari
dalamnya adalah sulit sekali”.
“Terima kasih Ki Sanak, tetapi yang
menjadi taruhan adalah sebuah nyawa. Kemanakanku telah dibawa oleh Kebo
Sindet. Aku harus membebaskannya”.
“Tetapi bagaimana dengan nyawa tuan sendiri”.
“Aku sudah tua. Nyawaku sudah tidak
begitu berharga dibanding dengan nyawa kemanakanku yang memiliki hari
depan yang masih panjang”.
“Tetapi kalau tuan gagal menyeberangi rawa-rawa itu, maka tidak hanya satu nyawa, tetapi kedua-duanya tidak dapat diselamatkan”.
Empu Gandring terdiam sejenak.
Kerut-merut dikeningnya menjadi kian dalam. Sesaat kemudian ia bergumam,
“Aku tidak boleh menyerah. Aku harus menemukannya. Aku mengharap bahwa
aku akan dapat membebaskannya”.
Tambi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
orang tua itu sudah membulatkan tekadnya, sehingga tidak akan dapat
dihalanginya lagi. Meskipun demikian, sekali lagi ia berkata, “Tuan,
pertimbangkanlah baik-baik. Apakah tuan tidak dapat mencari jalan lain?”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak dapat melihat jalan lain. Mungkin aku dapat menunggu Kebo
Sindet keluar dari persembunyiannya, tetapi waktu itu akan terlampau
panjang. Sadangkan dalam waktu yang panjang itu, segala kemungkinan
dapat terjadi atas kemanakanku”.
“Jadi tuan akan mencoba menyeberangi rawa-rawa berlumpur itu?”
“Ya”.
Sekali lagi Tambi menarik nafas dalam-dalam, “Tuan akan mendapatkan kesulitan”.
“Tak ada pilihan lain” Empu Gandring
bergumam sambil bergeser. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, “Sudahlah Ki
Sanak. Aku akan pergi. Doakan saja, semoga aku dapat menyelesaikan
pekerjaanku dengan baik”.
Tambi tidak dapat berbuat lain dari pada
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun wajahnya membayangkan
kecemasan, namun ia berkata, “Mudah-mudahan tuan selamat”.
Empu Gandring tersenyum, “Aku menyerahkan
segalanya kepada Yang Maha Agung. Aku hanya sekedar berusaha.
Mudah-mudahan usahaku dibenarkan-Nya”.
“Ya, mudah-mudahan. Tuan berada dipihak yang benar”.
Sekali lagi Empu Gandring tersenyum, “Baiklah kau di padesan ini. Mudah-mudahan kau selamat”.
“Mudah-mudahan tuan. Tetapi aku tidak akan menggigil lagi meskipun aku akan mengalami nasib yang bagaimanapun juga”.
“Apa yang akan kau lakukan”.
“Tentu tidak berarti. Dan barangkali sebelum ada yang dapat aku lakukan, aku sudah dikejar maut”.
Empu Gandring tertawa perlahan-lahan,
“Jalan kita serupa. Aku pun demikian. Mungkin belum ada yang dapat aku
lakukan, dan aku sudah mati ditelan oleh lumpur itu. Tetapi aku tidak
akan mundur. Aku akan terus berusaha”.
Tambi mengerutkan keningnya. Tetapi
sebelum ia menjawab Empu Gandring telah melangkah keluar rumah itu
sambil berkata, “Kita melakukan pekerjaan kita masing-masing. Kita
berada dalam keadaan yang serupa. Kita saling berdoa, semoga pekerjaan
kita masing mendapat perlindungan-Nya. Nah, selamat tinggal”.
“Terima kasih tuan” gumam Tambi perlahan-lahan.
“Kenapa terima kasih? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu”.
“Karena kehadiran tuan aku menemukan ketenteraman”.
“Ah” Empu Gandring berdesah. Kini ia
telah melangkahi tlundak pintu. Ketika kakinya melangkah turun dari
tangga rumah itu, maka dilihatnya berpasang-pasang mata mengawasinya
dengan sorot mata yang aneh. Sejenak Empu Gandring tertegun. Tetapi
sebelum ia bertanya Tambi telah memberinya keterangan, “Tuan, mereka
heran melihat tuan. Tuan datang ke pedukuhan ini dengan tiba-tiba. Tuan
telah mempertunjukkan suatu keajaiban. Beberapa batang Tal dan Siwalanku
telah tuan tumbangkan hanya dengan sabetan keris. Sekarang tuan pergi
meninggalkan padukuhan ini tanpa berbuat sesuatu setelah Kebo Sindet
tidak hadir meskipun kami telah memberikan isyarat kepadanya. Hal ini
adalah suatu yang jarang-jarang sekali terjadi d isini. Karena itu
mereka menjadi heran. Dan mungkin mereka menunggu apakah yang akan tuan
lakukan. Mungkin mereka menyangka bahwa tuan akan membunuh aku, atau aku
akan memanggil mereka untuk beramai-ramai mengeroyok tuan”.
Empu Gandring tersenyum. Katanya, “Aku
minta diri. Katakanlah kepada mereka pula. Aku minta pamit. Kedatanganku
kemari benar-benar untuk mencari Kebo Sindet, tanpa maksud yang lain”.
Tambi mengangguk, “Baik tuan”.
Sesaat kemudian mereka melihat Empu
Gandring itu berjalan menuju ke kudanya yang diikatnya di halaman.
Perlahan-lahan orang tua itu meloncat naik. “Selamat tinggal” katanya.
Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kuda yang ditumpangi oleh orang tua
berkeris dipunggungnya itu segera bergerak melangkah meninggalkan
halaman rumah Tambi. Sesekali Empu Gandring menoleh. Ia masih melibat
Tambi berdiri di halaman rumahnya. Sesudah itu, maka kuda itu pun segera
berlari. Semakin lama semakin kencang meninggalkan Padukuhan
Kemundungan.
Sepeninggal Empu Gandring, orang-orang
Kemundungan segera pergi menemui Tambi dengan tergesa-gesa. Berbagai hal
mereka tanyakan kepada orang yang bertubuh kekar itu. Namun mereka
menjadi heran mendengar jawaban Tambi. Bahkan keterangan Tambi pun
terdengar sangat aneh di telinga mereka. Seolah-olah Tambi bukanlah
Tambi yang mereka kenal sehari-hari. Apakah yang telah mendorong Tambi
untuk berbuat demikian, seolah-olah ia sama sekali tidak takut lagi
kepada Kebo Sindet.
Sementara itu Empu Gandring berpacu
meninggalkan padukuhan kecil yang tandus itu. Ia menjadi agak kecewa
karena dari pedukuhan itu, ia sama sekali tidak mendapat suatu
penjelasan apa pun jang dapat memperingan pekerjaannya. Ia hanja sekedar
mendengar beberapa ceritera lama tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Namun dengan ceritera itu, Empu Gandring dapat meraba-raba, kenapa Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat selama ini berbuat aneh. Menimbun kekayaan,
harta benda dan permata, tanpa menikmatinja sama sekali. Masa-masa
lampau mereka telah menjadikan mereka ketakutan untuk mengalaminya
seperti yang pernah terjadi itu. Mereka tidak ingin lagi kelaparan,
kekurangan makan dan tidak memiliki selembar pakaianpun. Itulah sebabnya
maka mereka menimbun sebanyak-banyaknya. Pengaruh yang masih mengendap
di sudut relung hatinya, dimasa kanak-kanaknya telah membuat mereka
orang yang aneh.
Kedua orang kakak beradik itu melihat
dunia ini dengan hati mereka yang gelap, seolah-olah dunia ini penuh
dengan tindak kejahatan, kekejaman dan penghisapan dari seorang kepada
yang lain, dari yang kuat atas yang lemah. Supaya mereka pada suatu
ketika tidak akan kehabisan persediaan untuk hidupnya dihari mendatang,
apalagi apabila datang orang baru yang melampaui kekuatan mereka berdua,
maka mereka telah mernpunyai simpanan yang mereka sembunyikan
baik-baik. Dengan demikian, mereka telah terjerumus dalam cara hidup
yang aneh. Siang malam berusaha untuk menambah timbunan harta benda
tanpa pernah merasakannya. Makan dan pakaian mereka hanya sekedar untuk
mencukupi kebutuhan dalam tataran yang paling rendah, seperti kebanyak
orang-orang Kemundungan yang lain. Kesempatan-kesempatan untuk merasakan
kenikmatan hidup, terlampau jarang dihayatinya.
Kedua kakak beradik yang seakan-akan
hidup di dunia yang asing itu sama sekali tidak dapat melihat, apa yang
sebenarnya gumelar di atas bumi ini. Lingkungan mereka adalah lingkungan
yang memaksa mereka untuk menjadi seorang yang berhati hitam.
“Kasihan” tiba-tiba Empu Gandring itu
berdesis sambil memacu kudanya, “orang-orang demikianlah, orang yang
sebenarnya harus dikasihani. Nasibnya terlampau jelek, sehingga
hampir-hampir tidak ada kesempatan untuk bangkit kembali. Nasib Wong
Sarimpat ternyata lebih malang lagi. Ia sudah tidak mendapat kesempatan
untuk berbuat apa-apa lagi. Ia mati dalam keadaan yang kelam.
Tetapi Empu Gandring itu pun segera
menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Aku pun kini membawa senjata
ini untuk mencari Kebo Sindet. Apakah senjata ini akan dapat menjadi
alat untuk menolongnya, mengambilnya dari dunianya yang sekarang, atau
justru akan mendorongnya lebih dalam? Tetapi aku tidak dapat membiarkan
Mahisa Agni. Aku harus melepaskannya. Kalau hal ini akan berakibat buruk
bagi Kebo Sindet, maka hal itu sama sekali bukan tujuanku”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya, dan
menahan kendali kudanya sedikit ketika kuda itu mulai mendaki bukit
gundul. Kemudian dengan menebarkan debu yang keputih-putihan kuda itu
berderap di atas padas dan tanah yang kering. Sebentar kemudian kuda itu
telah menuruni tebing yang curam. Empu Gandring terpaksa menahan kuda
itu supaya berjalan perlahan-lahan dan hati-hati.
Setelah bukit gundul itu dilalui, maka segera Empu Gandring menuju ke hutan yang berawa-rawa.
Hati orang tua itu mulai berdebar-debar
ketika dari kejauhan dilihatnya hutan yang tidak begitu lebat. Dari
sela-sela rimbunnya dedaunan, sinar matahari yang telah menjadi panas,
seolah-olah bermain-main di atas air yang keruh berlumpur. Angin yang
silir menggerakkan dedaunan dan bayang-bayang di wajah air.
Ketika kudanya telah sampai di bibir
rawa-rawa itu, maka Empu Gandring segera menahan kendali, sehingga kuda
itu pun berhenti sebelum kaki belakangnya menginjak air.
Tetapi injakan kaki depan kuda itu telah
mengejutkan Empu Gandring, karena tiba-tiba kuda itu meringkik dan
dengan sekuat tenaga ditariknya kedua belah kakinya. Tetapi dengan
demikian, maka tenaga kuda itu telah mendorong kaki belakangnya untuk
menginjak air itu pula.
Empu Gandring segera menyadari
keadaannya. Sebelum kuda itu melonjak-lonjak dan justru menjadi semakin
ketengah, segera ia meloncar turun di atas tanah yang tidak tergenang
lumpur. Kemudian diteriak-teriaknya kudanya menepi.
Lambat laun, kuda itu pun berhasil
melepaskan kakinya dari dalam lumpur. Terdengar kuda itu meringkik
sekali lagi sambil mengibas-ibaskan ekornya.
“Hem” Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam, “inilah isi dari rawa-rawa ini. Tanah berlumpur yang
gembur. Tetapi pasti ada bagian-bagian yang keras, yang dapat dilalui
oleh kuda. Sebab terbukti bahwa Kebo Sindet dapat menyeberangi rawa-rawa
ini pula”.
Empu Gandring masih ingat betul,
dimanakah kuda Kebo Sindet yang diikutinya masuk ke dalam air. Tetapi
setelah itu, ia tidak tahu, arah yang diambil oleh buruannya. Ia akan
dapat mengikuti jejak itu masuk ke dalam rawa-rawa. Namun setelah itu,
apakah ia tidak akan tersesat, terjerumus ke dalam lumpur, bahkan lumpur
yang cukup dalam?
Empu Gandring kini berdiri
termangu-mangu. Diingatnya pesan Tambi, orang yang rumahnya tidak
terlalu jauh dari rawa-rawa itu. Bahwa rawa-rawa itu sangat berbahaya
baginya.
“Tetapi aku harus menolong Mahisa Agni.” desisnya.
Sejenak Empu Gandring tidak berbuat sesuatu. Ia masih memegang kendali kudanya.
“Aku akan menjajagi rawa-rawa itu dengan kaki” gumamnya kemudian.
Diikatkannya kudanya itu pada sebatang
pohon. Diikatkannya kain panjangnya di lambungnya. Dengan hati-hati
kemudian ia pergi ke tepi rawa itu, tempat bekas-bekas kaki kuda Kebo
Sindet lenyap ditelan air.
“Di sini kuda itu masuk” desisnya kepada diri sendiri, “pasti bagian ini cukup keras”.
Dengan hati-hati Empu Gandring itu
menginjakkan kakinya ke dalam air yang coklat berlumpur. Ternyata
dugaannya benar. Ia mendapat tempat berpijak yang cukup keras. Setapak
lagi ia maju setelah kakinya meraba-raba. Setapak demi setapak ia maju.
Tetapi pekerjaan itu memakan waktu yang sangat lama. Namun Empu Gandring
sama sekali tidak berputus asa. Ketika tiba-tiba kakinya tidak
menemukan tanah yang keras di depannya, maka beberapa langkah ia surut
sambil mencari bagian2 lain yang dapat diinjaknya.
“Ini adalah jalan satu-satunya” gumamnya.
Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika ia
melihat sesuatu yang bergerak di dalam air. Semakin lama semakin dekat,
seolah-olah sengaja menyerangnya.
Empu Gandring berdiri diam dengan hati
yang berdebar. Namun segera ia melihat, bahwa yang meluncur di dalam air
yang keruh itu adalah seekor ular air hitam. Sejenis ular yang
mempunyai bisa yang tajam.
“Hem” Empu Gandring berdesah, “ternyata rawa ini menyimpan seribu macam bahaya”.
Tetapi ternyata ular itu tidak langsung
menyerangnya. Beberapa langkah dari Empu Gandring ular itu mengambil
arah yang lain. Meskipun demikian Empu Gandring masih belum bargerak. Ia
menyadari, babwa gerak yang paling kecil sekalipun akan dapat menarik
perhatian ular itu. Namun demikian tangannya telah siap untuk menarik
kerisnya apabila perlu.
Dipandanginya ular yang meluncur tidak
jauh disampingnya itu dengan tanpa berkedip. Setiap saat ular itu dapat
berhenti, berpaling dan meluncur mematuknya. Di tanah yang kering dan
keras ia tidak perlu mencemaskan serangan seekor ular apabila ular itu
dilihatnya. Empu Gandring termasuk salah seorang yang gemar bermain-main
dengan bisa, sesuai dengan pekerjaannya, membuat keris. Tetapi di dalam
air berlumpur, maka ia harus membuat perhitungan lain. Mungkin
selangkah ia bergeser, maka kakinya akan terhisap masuk ke dalam lumpur.
Karena itu, lebih baik ia berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun dari
pada harus melakukan perlawanan atas ular itu dengan
kemungkinan-kemungkinan yang tidak menyenangkannya.
Ular itu pun meluncur semakin lama
semakin jauh. Namun ular itu telah menimbulkan kesan yang mendebarkan
jantung Empu Gandring. Ternyata ular air hitam itu cukup besar untuk
menelan seekor kelinci.
Sejenak Empu Gandring diam
termangu-mangu. Ditatapnya rawa-rawa yang terbentang dihadapannya. Rawa
itu masih cukup luas. Sedang airnya sama sekali tidak rata. Sebagian
terlampau dangkal sehingga beberapa cengkang tanah kadang-kadang
menonjol ke atas permukaan air. Namun di bagian yang lain ternyata
terlampau dalam.
Tetapi Empu Gandring masih belum berputus
asa. Ia masih mencoba melangkah maju, meraba-raba dengan kakinya.
Beberapa kali ia terpaksa melangkah surut dan mencari tanah yang cukup
keras. Kadang-kadang tanah itu mengeras seperti padas, tetapi licinnya
bukan main. Namun selangkah lagi yang diinjaknya adalah lumpur yang
sangat gembur.
Ketika Empu Gandring berpaling ke tanah
yang tidak digenangi air maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
jarak yang dicapainya sama sekali belum seberapa dibandingkan dengan
waktu yang dipergunakannya Ia masih melihat jelas kudanya makan
rerumputan yang hijau. Bahkan ia masih melihat batang-batang perdu yang
rendah diantara kaki-kaki kudanya itu.
“Aku akan memerlukan waktu berapa hari untuk menemukan jalan ke seberang” gumamnya, “tetapi apa boleh buat”.
Beberapa kali Empu Gandring mencoba
berpegangan pada sulur-sulur tumbuh-tumbuhan air yang tampaknya menjadi
semakin garang. Tetapi ia tidak dapat meloncat dari akar-akar sebatang
pohon ke batang yang lain. Bahkan ia juga tidak menemukan kemungkinan
untuk meloncat dari dahan pohon ke dahan berikutnya, karena jarak yang
sama sekali tidak rata.
Ketika Empu Gandring menengadahkan wajahnya, sekali lagi ia berdesah. Matahari sudah menjadi semakin condong.
“Sebentar lagi hari akan menjadi gelap Dan aku masih belum berajak dari tempat ini”.
Ketika angin berdesir perlahan-lahan
menyentuh dedaunan, maka Empu Gandring bersandar sebatang pohon, dan
berdiri pada akar-akarnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya
ia mengambil keputusan, bahwa ia harus menunda usahanya itu sampai
besok. Sebelum gelap ia harus sudah berada di luar rawa itu, supaya ia
tidak kehilangan jalan. Di dalam gelap maka bahaya akan menjadi lebih
besar. Ular-ular air dan binatang-binatang berbisa lainnya. Desir
ular-ular yang cukup besar akan dapat didengarnya, tetapi ular-ular yang
kecil sama sekali tidak dapat diketahuinya. Sedang bisa ular-ular kecil
itu pun cukup tajam untuk membenamkannya ke dalam rawa-rawa dan tidak
akan bangkit kembali. Meskipun Empu Gandring membawa juga beberapa macam
reramuan untuk menawarkan bisa, tetapi obat itu tidak terlampau banyak,
sedang agaknya ular dirawa-rawa ini merupakan penghuni utamanya.
Lewat tanah-tanah yang telah diingatnya,
Empu Gandring berjalan kembali menepi. Ia dapat berjalan lebih cepat
dari pada ketika ia sedang mencari jalan itu. Meskipun demikian,
kadang-kadang ia masih juga merasa kakinya menyentuh lumpur-lumpur yang
lunak di sebelah batu-batu padas yang diinjaknya.
Sebelum gelap Empu Gandring sudah berada
di pinggir rawa itu. Ia sama sekali tidak merasa lapar. Tetapi lehernya
rerasa kering. Sedang air yang dihadapinya adalah air berlumpur.
“Apakah aku harus minum air itu?”
pikirnya. Tetapi Empu Gandring masih mencoba menahan haus. Kalau
terpaksa, ia harus minum air itu juga.
Untuk menghindarkan diri dari serangan
binatang-binatang yang tidak dikenalnya, maka ketika hari menjadi gelap
Empu Gandring memanjat sebatang pohon di tempat yang agak lapang. Di
sekitarnya tidak tumbuh pohon yang rimbun dan lebat. Sedang kudanya
diikatnya di bawah pohon itu.
Empu Gandring adalah seorang yang telah
membiasakan diri hidup dalam keadaan yang sulit. Orang tua itu pun
mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Ia mampu berkelahi tidak saja
sehari semalam terus menerus tanpa berhenti, tetapi tiga hari ia akan
dapat melakukannya.
Namun kini terasa tubuhnya menjadi letih.
Hatinya juga letih. Usahanya untuk menemukan jalan menyeberangi
rawa-rawa itu telah menegangkan segala urat syarafnya.
Dengan demikian maka Empu Gandring itu
benar-benar ingin beristirahat untuk menyegarkan tubuhnya kembali. Besok
ia masih harus bekerja keras. Meraba-raba jalan untuk menyeberangi
rawa-rawa itu. Namun kadang tumbuh juga berbagai macam kecemasan di
dalam hatinya. Ternyata di dalam air itu banyak terdapat ular-ular air
hitam, dan mungkin binatang-binatang air yang lain yang belum
dikenalnya. Kadal air yang berwarna abu-abu kehitam-hitaman pun
mempunyai bisa setajam ular bandotan.
Tetapi yang lebih berbahaya lagi, apabila
Kebo Sindet sengaja menemuinya di dalam rawa-rawa itu. Orang itu telah
memiliki kemenangan pertama dari padanya. Ia jauh lebih mengenal watak
dan sifat dari rawa-rawa berlumpur ini.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “Tetapi aku tidak akan mundur”.
Dengan demikian maka hatinya menjadi
semakin bulat. Dan kini ia ingin benar-benar melepaskan segala macam
ketegangan. Perlahan-lahan ia berdesah, “Biarlah aku pikirkan besok.
Sekarang aku akan beristirahat, badan dan pikiran”.
Sekali lagi Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian diselimutkannya kain panjangnya pada hampir
seluruh tubuhnya. Ternyata di atas dahan itu pun banyak sekali terdapat
nyamuk.
Sejenak Empu Gandring itu dapat
benar-benar beristirahat. Matanya terpejam dan nafasnya berjalan dengan
teratur. Meskipun orang tua tidak tertidur nyenyak, karena sebagian dari
indranya masih mampu menangkap getaran-getaran yang terjadi di luar
dirinya meskipun hanya lamat-lamat, namun istirahat yang demikian telah
memberinya kesegaran baru.
Tetapi kesempatan itu ternyata tidak terlampau lama. Empu Gandring membuka matanya ketika ia mendengar kudanya menjadi gelisah.
Sejenak Empu Gandring masih berdiam diri.
Bahkan seakan-akan ia tidak banyak menaruh perhatian. Ia menyangka
bahwa kudanya pun telah diganggu oleh semacam nyamuk-nyamuk yang cukup
banyak dan besar di bawah pohon itu.
Namun ternyata kuda itu tidak saja
berjalan melingkari pohon itu. Kemudian di garuk-garukkan kakinya dan
sejenak kemudian bahkan kuda itu meringkik perlahan.
Kini Empu Gandring tidak lagi dapat
membiarkan kudanya menjadi gelisah. Sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup maka segera ia tahu, bahwa kudanya telah mencium
bau atau mendengar suara di sekellingnya.
“Aku menjadi iri pada kuda itu” berkata
Empu Gandring di dalam batinnya, “beberapa tahun aku melatih diri,
tetapi aku tidak akan mempunyai ketajaman firasat seperti seekor kuda.
Mungkin seekor kuda mempunyai daya tangkap atas getaran-getaran yang
tidak dapat dilakukan oleh manusia. Ternyata sampai sekarang aku belum
mendengar, melihat apalagi mencium bau sesuatu yang dapat membuat aku
menjadi gelisah seperti kuda itu”.
Meskipun demikian, meskipun tampaknya
Empu Gandring masih belum beranjak dari tempatnya, bahkan masih belum
mengangkat kepalanya yang diletakkannya di atas sebatang dahan yang
menyalang dahan tempatnya duduk, namun ia telah bersiaga sepenuhnya.
Apabila ada bahaya yang mendatang setiap saat, maka Empu Gandring telah
siap untuk menghadapinya.
Tetapi Empu Gandring masih belum
mendengar maupun melihat sesuatu yang mencurigakannya, selain kudanya
yang gelisah. Dedaunan di sekitarnya seolah-olah tidur dengan
nyenyaknya. Tak ada yang kelihatan bergerak atau terdengar gemerisik di
antara mereka.
Meskipun demikian Empu Gandring sudah
tidak lagi dapat beristirahat dengan tenang. Kudanya yang gelisah itu
membuatnya gelisah pula. Yang pertama-tama mengganggu perasaannya adalah
Kebo Sindet. “Mungkin orang itu akan berusaha untuk mengintai aku dan
kemudian dengan diam menyerang” katanya di dalam hati, “tetapi
mudah-mudahan aku cukup sadar”.
Empu Gandring kemudian tidak lagi berusaha untuk tidur. Bahkan dipasangnya segenap daya tangkapnya setajam-tajamnya.
Lambat laun, maka orang tua itu berhasil
mendengar sesuatu di antara dedaunan beberapa langkah dari pohon tempat
ia memanjat. Suara gemersik dedaunan, tetapi bukan karena angin malam.
“Apakah ada binatang buas di dalam
rimbunnya dedaunan itu” pikirnya, “apabila demikian, maka binatang itu
pasti sedang mengintai kudaku. Tetapi kalau yang berada di dalam
gerumbul itu Kebo Sindet, maka pasti akulah yang diintainya”.
Sejenak Empu Gandring masih tetap
ditempatnya. Ia ingin mengetahui, siapakah yang berada di dalam gerumbul
itu. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa yang berada di dalam
gerumbul itu pasti bukan seekor binatang buas. Apabila yang
bergerak-gerak itu binatang buas yang mengintai kudanya, maka binatang
itu pasti sudah merayap mendekati, karena kudanya tidak juga pergi
meninggalkan tempatnya karena terikat. Tetapi yang bergerak-gerak itu
masih saja berada di tempatnya, bahkan kadang-kadang Empu Gandring
seakan-akan kehilangan pengamatannya, karena dedaunan itu tiba-tiba sama
sekali menjadi diam.
“Baiklah,” berkata Empu Gandring di dalam
hatinya, “kita saling menunggu. Manakah yang lebih sabar berada di
tempatnya. Aku atau orang bersembunyi itu”.
Meskipun demikian Empu Gandring telah
membetulkan letak kerisnya, dan mengikatkan kain panjangnya di
lambungnya. Disingsatkannya ikat pinggangnya dan rambutnya pula.
Orang tua itu kini duduk di atas sebatang
dahan. Setiap saat ia dapat turun meluncur pada batang pohon, atau
apabila perlu meloncat langsung turun di tanah.
Tetapi ia masih belum melihat sesuatu.
Namun kudanya semakin gelisah dan bahkan terdengar kuda itu beberapa
kali meringkik. Tiba-tiba kuda itu melonjak, berdiri pada kaki belakang
dan berputar putar sehingga tali pengikatnya menjadi semakin pendek.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Ternyata orang yang berada di dalam gerumbul itu sudah mulai. Kudanya
menjadi ketakutan dan berusaha untuk melarikan diri. Karena itu, maka
Empu Gandring tidak akan dapat tetap berada di atas dahan pohon itu
saja. Ia harus segera menghadapi keadaan itu. Tetapi seandainya yang
datang itu Kebo Sindet, maka ia akan berterima kasih atas kedatangannya,
sehingga ia tidak lagi perlu bersusah payah mencarinya. Tetapi
bagaimanakah kalau Mahisa Agni masih ditinggalkannya di seberang
rawa-rawa itu?”
Meskipun Empu Gandring tidak dapat
meyakinkan dirinya, bahwa ia akan dapat mengalahkan Kebo Sindet, tetapi
ia harus berusaha berbuat demikian untuk kepentingan kemenakannya itu.
Kalau akhirnya tidak seperti yang diharapkannya, maka itu adalah akibat
yang dapat saja terjadi. Namun ia percaya kepada Yang Maha Agung, bahwa
akhirnya yang benar juga yang akan dilindunginya.
Ketika kudanya melonjak sekali lagi, maka
Empu Gandring pun segera meloncat turun. Dengan penuh kesiagaan ia
berjalan mendekati kudanya. Ditangkapnya kendali kuda itu, dan
dibelainya lehernya untuk menenangkannya sambil bergumam perlahan,
“Tenanglah. Tak ada bahaya yang berarti bagimu. Orang yang bersembunyi
di dalam gerumbul itu pun tidak akan berbuat jahat kepadamu”.
Kuda itu pun menjadi tenang. Namun Empu
Gandring masih tetap dalam kesiagaan sepenuhnya meskipun tampaknya ia
acuh tak acuh saja kepada orang yang bersembunyi di dalam gerumbul itu.
Tetapi Empu Gandring pun kemudian
berpaling ketika ia mendengar suara dari dalam gerumbul itu, “Benar
Empu, Aku memang tidak akan berbuat jahat”.
“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam, “kenapa kau bersembunyi? Marilah kita berbicara”.
“Maaf Empu, aku tidak bermaksud
bersembunyi. Aku hanya ingin supaya aku tidak mengejutkan Empu dan kuda
itu. Tetapi ternyata kudamu mempunyai indera yang luar biasa tajamnya,
sehingga ia menjadi gelisah”.
“Ah” Empu Gandring berdesah, “apakah kau ingin mengatakan bahwa ketajaman inderaku kalah dengan seekor kuda?”
“Eh” sahut suara itu, “jangan terlampau
dalam menangkap kata-kataku. Aku sesungguhnya bermaksud baik. Tetapi aku
memang tidak ingin mengganggumu. Bukankah kau ingin beristirahat?”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tidak peduli apakah orang yang berada di dalam kegelapan
gerumbul itu melihat anggukan kepalanya atau tidak. Tetapi Empu Gandring
menjadi heran ketika ternyata suara itu sama sekali bukan suara Kebo
Sindet.
“Apakah ada orang lain yang akan turut
campur dalam persoalan ini? Mungkin Empu Sada? Tetapi suara itu pun
bukan suara Empu Sada.” Katanya di dalam hati.
Tetapi bagi Empu Gandring lebih baik
untuk langsung bertemu dengan orang yang bersembunyi itu dari pada ia
masih harus berteka-teki. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebaiknya
Ki Sanak tidak bersembunyi saja disitu. Kemarilah, kita berbicara dengan
baik apabila maksudmu benar-benar baik”.
“Baiklah Empu” sahut suara itu, “aku akan
datang. Sebenarnya aku pun akan mendekat, tetapi kudamu terlampau peka
terhadap suara yang bagaimanapun lirihnya”.
“Kudaku sudah tenang Ki Sanak, kemarilah”.
Meskipun percakapan itu terdengar
terlampau ramah, namun Empu Gandring tidak dapat melepaskan
kewaspadaannya. Bahkan kerisnya telah mapan di punggungnya.
Sejenak kemudian ia melihat gerumbul itu
bergerak-gerak. Ternyata orang yang ditunggunya tidak bersembunyi di
dalam gerumbul, tetapi hanya berlindung di belakang. Karena itu maka
suara desir dedaunan yang ditimbulkannya terlampau lemah.
“Maafkan aku Empu, apabila aku mengganggumu”.
Empu Gandring tidak segera menjawab.
Dicoba mengamati orang yang baru muncul dari balik gerumbul itu. Di
dalam gelap malam ia tidak segera dapat melibat dengan jelas, siapa yang
berdiri dihadapannya. Tetapi sudah jelas bahwa orang itu bukan Kebo
Sindet dan juga bukan Empu Sada.
Setapak demi setapak orang itu melangkah
maju. Namun langkah yang setapak-setapak itu memberitahukan kepada Empu
Gandring bahwa orang yang dihadapinya ini adalah seorang yang tidak
kalah berbahaya dari Kebo Sindet. Tetapi orang itu berkata bahwa ia
tidak akan berbuat jahat. Meskipun demikian, karena Empu Gandring tidak
segera dapat mengenalnya, maka ia masih belum dapat mempercayainya.
“Kemarilah Ki Sanak” berkata Empu Gandring kemudian.
Orang itu melangkah semakin dekat. Dan Empu Gandring melihat orang itu berjalan semakin lambat.
“Kemarilah” panggil Empu Gandring.
“Terima kasih Empu” sahut orang itu, “mudah-mudahan aku tidak mengejutkanmu”.
“Tidak, aku tidak terkejut karena
kedatanganmu. Ternyata kau mempunyai cara yang baik sekali untuk
mendekati pohon ini tanpa membangunkan aku. Tetapi aku terkejut karena
kudaku yang menjadi gelisah. Nah, bukankah kudaku yang tidak pernah
berlatih mempergunakan daya tangkap indera yang bagaimanapun juga itu
mampu berbuat melebihi aku”.
“Ah” desah orang itu, “aku memang pernah
mendengar ceritera, bahwa Empu Gandring senang berkelakar. Aku gembira
dapat bertemu Empu lagi kali ini. Kesempatan yang lampau terlalu sedikit
untuk mendengar kelakarmu yang segar.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Orang itu mengenalnya dengan baik. Bahkan orang itu berkata bahwa ia
pernah bertemu dengan dirinya. “Hem,” Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam, “aku sudah pikun, dan malam terlampau gelap. Tetapi
bagaimana ia dapat mengenal aku?” katanya di dalam hati.
Dan kini Empu Gandring melihat orang itu
berhenti beberapa langkah dari padanya. Samar-samar Empu Gandring dapat
melihat garis-garis bentuknya sebagai sebuah bayangan yang hitam. Tetapi
wajah orang itu masih belum dilihatnya.
Akhirnya Empu Gandring terpaksa bertanya, “Siapakah kau Ki Sanak? Dan apakah maksudmu mendekati aku?”
Terdengar orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Menilik suaranya maka orang itu pun setidak-tidaknya sudah
setua Empu Gandring sendiri. Perlahan-lahan orang itu berkata dalam nada
yang datar, “Empu, aku ingin mencoba mencegahmu menyeberangi rawa-rawa
ini”.
“He,” dada Empu Gandring berdesir, “kenapa Ki Sanak? Apakah dengan demikian aku telah mengganggumu”.
“O tidak, tidak Empu. Kau sama sekali tidak mengganggu aku. Maaf, bahwa akulah yang sebenarnya mengganggumu”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya
mendengar jawaban yang ramah sopan itu. Tetapi meskipun demikian ia
masih tetap dalam kewaspadaannya.
“Kalau demikian kenapa Ki Sanak berkeberatan apabila aku menyebrangi rawa-rawa ini?”
“Aku bermaksud baik Empu. Rawa-rawa ini
adalah rawa yang sangat jahat. Banyak sekali tersimpan bahaya di
dalamnya. Mungkin Empu akan bertemu dengan ular air hitam, mungkin
buaya-buaya kerdil yang sangat buas, yang hidup di dalam air pula.
“Ya, ya. Aku mengenal jenis-jenis binatang berbisa itu”.
“Tetapi Empu tidak menyangka bahwa binatang semacam itu banyak sekali terdapat di dalam rawa-rawa itu”.
“Aku sudah melihat. Aku sudah bertemu dengan sejenis ular air hitam sebesar lenganku”.
“Nah, itu adalah suatu contoh saja.
Tetapi justru yang kecillah yang lebih berbahaya, sebab Empu akan dapat
melihat kedatangan binatang-binatang yang cukup besar, tetapi yang
kecil-kecil kadang-kadang dapat lepas dari perhatian”.
“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi rawa-rawa
ini tidak mustahil untuk diseberangi. Ternyata Kebo Sindet dapat
menyeberangi rawa-rawa ini. Coba bayangkan. Kebo Sindet yang berada di
atas punggung kuda membawa serta pula di atas punggung kuda itu seorang
lagi yang sedang pingsan. Berapakah kira-kira berat beban yang menekan
pada ujung telapak kaki kuda itu di atas tanah di bawah air rawa-rawa
ini? Ternyata beban seberat itu dapat juga lewat. Apalagi aku seorang
diri, berdiri di atas telapak kakiku”.
“Empu, Kebo Sindet telah mengenal
rawa-rawa ini sebaik ia mengenal dirinya sendiri. Ia tahu benar manakah
tanah padas yang dapat diinjak, dan manakah tanah berlumpur yang harus
dijauhinya. Tetapi Empu sama sekali belum mengenal rawa-rawa ini”.
“Tetapi Ki Sanak, ular, buaya-buaya
kerdil dan kadal-kadal berbisa sama sekali tidak dapat membedakan,
apakah yang lewat itu orang yang sudah mengenal tempat ini baik-baik
atau bukan”.
Terdengar orang itu tertawa. Jawabnya,
“Empu benar. Ular-ular air dan kadal-kadal yang buas itu tidak akan
dapat mengenal apakah orang yang lewat itu sahabatnya atau bukan, tetapi
Kebo Sindet lah yang telah mengenal dengan baik tiap bunyi dan gerak
dari binatang-binatang berbisa itu. Bahkan orang-orang yang telah biasa
dengan binatang-binatang semacam itu dapat membedakan lewat
penciumannya. Kebo Sindet mengenal pula riak air rawa-rawa ini. Apakah
didekatnya ada ular air atau kadal air yang sedang meluncur. Dengan
demikian ia dapat menyiapkan dirinya. Cara yang paling baik adalah
berdiam diri tanpa bergerak, untuk tidak menarik perhatian
binatang-binatang itu”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, jawabnya, “Aku juga biasa bermain-main dengan
binatang-binatang berbisa Ki Sanak. Mungkin aku akan dapat menyesuaikan
diriku dengan kebiasaan binatang di dalam rawa-rawa ini”.
“O” orang itu terdiam sejenak, kemudian
katanya, “ya, aku lupa bahwa aku berhadapan dengan seorang Empu keris
yang kenamaan. Seorang yang pasti jauh lebih mengenal watak dari
binatang-binatang berbisa daripada aku. Namun meskipun demikian, aku
tetap berpendapat bahwa sebaiknya Empu mengurungkan niat untuk
menyeberangi rawa-rawa ini”.
Empu Gandring tidak segera menjawab.
Dicobanya untuk menatap wajah orang yang berdiri beberapa langkah dari
padanya. Ia sama sekali tidak melihat sikap yang mencurigakan pada orang
itu. Dan kata-katanya pun cukup sopan dan ramah. Bahkan terasa hasrat
yang sebenarnya tersirat pada kata-katanya, seperti yang pernah
didengarnya dari Tambi.
Sejenak Empu Gandring mempertimbangkan
nasehat itu. Tetapi sejenak kemudian perasaannya telah hinggap kembali
kepada hasratnya untuk menolong Mahisa Agni. Ia tidak dapat berbuat lain
dari menyeberangi rawa-rawa itu.
Karena itu, maka kemudian Empu Gandring
itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak, aku tidak mempunyai cara lain dari
menyeberangi rawa-rawa ini. Aku harus mendatangi tempat persembunyian
Kebo Sindet untuk mengambil kemanakanku itu”.
“Empu, katakan bahwa Empu dapat melawan
segala macam binatang berbisa karena Empu mempunyai obat penawarnya.
Tetapi berapa lama Empu memerlukan waktu untuk mencari jalan di dasar
rawa-rawa itu?”
“Mungkin sehari, mungkin sebulan dan mungkin setahun. Tetapi aku bertekad untuk melakukannya”.
“Empu, aku tahu apakah yang telah
mendorong Empu untuk membulatkan tekad menyeberangi rawa-rawa ini.
Tetapi sebaiknya niat itu Empu urungkan saja. Kalau Empu percaya
kepadaku, serahkanlah Mahisa Agni, bukankah kemanakan Empu itu bernama
Mahisa Agni, itu kepadaku. Aku kira cara yang tidak terlampau mengejut
akan lebih baik bagi kemanakan Empu itu, supaya Kebo Sindet tidak
menjadi mata gelap dan mencelakainya. Kita mempunyai kepentingan yang
sama atas anak muda itu”.
Empu Gandring terdiam sejenak. Ia mecoba
mengamati bayangan yang berdiri di dalam gelapnya malam beberapa langkah
dari padanya. Tetapi orang yang berdiri dalam kegelapan itu sama sekali
tidak menumbuhkan kecurigaannya.
“Ki Sanak,” berkata Empu Gandring kemudian, “siapakah sebenarnya Ki Sanak itu?”
“Kau memang senang bergurau Empu”.
Sekali lagi Empu Gandring terdiam.
Dicobanya mengingat orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang itu
sebenarnya tidak terlampau banyak. Tetapi suara ini nadanya terlampau
dalam.
Empu Gandring perlahan-lahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia perlahan-lahan berhasil mengingat
gaya bicara yang demikian. Tetapi nada suaranya sudah agak jauh berubah
dari nada yang pernah dikenalnya. Meskipun demikian maka Empu Gandring
tidak melihat orang lain yang lebih dekat dari dugaannya itu. Apalagi
orang itu pulalah yang memang mempunyai kemungkinan paling besar untuk
berbuat demikian. Meskipun demikian untuk meyakinkan dugaannya Empu
Gandring bertanya, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak menolong aku. Aku
memang sudah pikun. Apalagi pada saat-saat hatiku gelap seperti saat
ini. Aku hampir tidak berhasil mengingat apapun lagi kecuali
berangan-angan tentang rawa itu”.
“Hem” orang yang berada di dalam
kegelapan itu berdesah, “apakah Empu benar-benar tidak dapat mengenal
aku? Mungkin suaraku agak berubah karena keadaanku akhir-akhir ini. Aku
hampir-hampir tidak pernah lagi berada di dalam lingkungan hidup sesama.
Aku memang ingin mengasingkan diriku di tempat yang sepi. Mendekatkan
diri kepada Yang Maha Agung. Tetapi ternyata bahwa aku memang belum
diperkenankan untuk tinggal berdiam diri menghadapi keadaan lahir yang
penuh dengan noda-noda yang hitam. Kalau sekali-kali aku melihat keadaan
Mahisa Agni, maka suatu kali aku melihat hal-hal yang tidak wajar yang
dapat membahayakan jiwanya. Itulah sebabnya aku terpaksa wudar dari
pengasinganku untuk membayanginya. Tetapi ternyata aku tidak mampu
mencegah semuanya yang telah terjadi. Bahkan aku sama sekali tidak
berbuat sesuatu. Ternyata Empu Gandring lebih cepat berbuat dari padaku.
Namun Empu Gandring pun telah gagal untuk mencegah Kebo Sindet
membawanya. Tetapi, itu bukan salah Empu. Empu telah berbuat apa saja
yang dapat Empu lakukan karena Mahisa Agni adalah kemanakan Empu. Namun
ternyata Mahisa Agni sampai kini masih belum dapat diketemukan”.
Empu Gandring memandang bayangan itu
semakin tajam. Ia semakin dapat mengenal gaya bicara orang itu. Bahkan
beberapa kali ia menangkap kepastian, siapakah yang sedang berbicara
itu.
Tetapi Empu Gandring itu masih bertanya,
“Ki Sanak. Aku tidak bergurau. Aku tidak segera dapat mengenal Ki Sanak.
Aku hanya dapat menduga-duga. Mungkin Ki Sanak sengaja merubah suara Ki
Sanak dalam nada yang berbeda. Sedang bentuk wajah Ki Sanak di dalam
kegelapan tidak dapat aku lihat dengan jelas. Apakah aku dapat melangkah
mendekat?”
“Empu” jawab orang itu, “sebenarnya aku
sudah memutuskan untuk mengasingkan diri. Aku lebih baik tidak lagi
berhubungan dengan siapa pun kecuali Mahisa Agni dalam hubungannya untuk
melepaskan dari tangan Kebo Sindet”.
“Tetapi sikap Ki Sanak semakin meyakinkan aku, dengan siapa aku berhadapan”.
“Aku sudah menyangka bahwa Empu dapat
mengenal aku. Tetapi baiklah kita untuk seterusnya tidak usah bertemu
lagi. Sebaiknya Empu kembali ke Lulumbang. Mungkin Empu dapat singgah
sebentar di Karautan, untuk memberitahukan bahwa seseorang sedang
berusaha melepaskan Mahisa Agni apabila berhasil”.
“Tetapi aku harus mendapat suatu
keyakinan bahwa orang yang mengatakan dirinya bersedia melepaskan Mahisa
Agni, setidak-tidaknya berusaha melepaskannya adalah seorang yang dapat
aku percaya”.
“Bukankah Empu telah mengetahui, siapakah yang menyatakan dirinya akan berusaha melepaskannya?”
Empu Gandring mengangguk anggukkan kepalanya. “Kenapa kau begitu jauh mengasingkan dirimu?” tiba tiba Empu Gandring bertanya.
“Tak ada lagi gairah hidupku kini, selain
melepaskan Mahisa Agni itu. Sesudah itu, sesudah aku berhasil
melepaskannya, maka aku tidak akan dapat ditemui lagi oleh siapapun”.
“Apakah semula kau ingin mcnyembunyikan dirimu dalam pertemuan ini?”
“Sebenarnya, tetapi aku tidak akan dapat memberi Empu kepercayaan, apabila Empu tidak mengenal aku”.
Empu Gandring mengangguk-angguk pula.
Perlahan-lahan ia ia menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya,
“Bagaimana Ki Sanak akan dapat menyeberangi rawa-rawa ini?”
“Aku seorang perantau Empu. Hidupku,
apalagi akhir akhirnya ini sebagian besar adalah di dalam perjalanan.
Aku menjajagi rawa-rawa ini bukan hanya karena Mahisa Agni. Tetapi
sebelumnya aku pernah melihat Kebo Sindet menyeberangi rawa-rawa ini
sambil membawa barang yang berhasil dirampasnya. Aku tidak hanya
melihatnya satu dua kali. Tetapi beberapa kali bersama Wong Sarimpat.
Maka pada suatu kali tumbuhlah keinginanku untuk mengikutinya. Tentu
saja dengan sangat hati-hati. Akhirnya aku menemukan jalan juga untuk
sampai ke seberang rawa-rawa”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Tiba
tiba ia berkata, “Apakah kita tidak dapat bersama sama pergi keseberang
rawa-rawa itu dan mengambil Mahisa Agni dengan kekerasan?”
“Mungkin kita berdua akan dapat
mengalahkan Kebo Sindet” jawab orang itu, “tetapi hal itu akan sangat
berbahaya bagi Mahisa Agni. Kebo Sindet akan dapat mempergunakan Mahisa
Agni sebagai alat untuk menyelamatkan diri atau bahkan membunuh anak
muda itu sama sekali”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Jadi bagaimanakah sebaiknya?”
Sejenak orang yang berdiri di dalam
kegelapan itu tidak menjawab, sehingga mereka dicengkam oleh kediaman.
Masing-masing mengikuti arus pikiran sendiri.
Angin malam yang basah bertiup
perlahan-lahan menggerakkan dedaunan yang hijau. Batang-batang pohon
bergerak seperti hantu-hantu yang sedang menari-nari dengan malasnya.
Sekali-sekali kuda Empu Gandring menggaruk-garukkan kakinya yang digigit
oleh nyamuk-nyamuk yang besar.
Di langit bintang bergayutan seperti
ditaburkan di wajah yang biru pekat. Dari sela-sela dedaunan yang jarang
bintang-bintang itu mengintip air rawa-rawa yang pekat berlumpur.
Ketika dikejauhan terdengar suara anjing
liar menggonggong maka bertanyalah Empu Gandring mengulang, “Jadi
bagaimanakah sebaiknya?”
“Sebaiknya Empu pulang ke Lulumbang.
Akulah yang akan mengusahakan agar Mahisa Agni dapat lepas dari tangan
Kebo Sindet dengan bahaya yang sekecil-kecilnya bagi anak muda itu
sendiri”.
“Aku akan tinggal di sini bersamamu”.
Orang itu tertawa perlahan-lahan.
Jawabnya, “Jangan Empu. Semakin banyak orang disini, Kebo Sindet akan
semakin cepat mengetahui bahwa ia sedang diintai. Karena itu
percayakanlah Mahisa Agni itu kepadaku”.
Empu Gandring termenung sejenak. Ia
percaya kepada orang itu. Tetapi apakah ia mampu berbuat demikian?
Dirinya sendiri sedang mencobanya pula, tetapi belum berhasil. Dan
bagaimanakah dengan orang itu?
Tetapi selayaknyalah ia mempercayainya. Kesungguhan dan ketekunannya pasti akan dapat dipertaruhkan.
“Apakah Empu percaya kepadaku?”
Empu Gandring mengangguk, “Ya. Aku percaya”.
“Kalau begitu Empu dapat segera meninggalkan tempat ini”.
Sekali lagi Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekarang, malam ini juga?”
Orang itu tertawa. Jawabnya, “Terserah kepadamu Empu. Sekarang atau nanti atau besok sesudah matahari terbit”.
Empu Gandring pun tertawa pula. Meskipun
hatinya masih dipenuhi oleh kecemasan tentang nasib kemenakannya, namun
kesanggupan orang itu telah memberinya sedikit ketenteraman.
Karena itu maka Empu Gandring itu pun
kemudian berkata, “Baiklah. Besok aku akan pergi meninggalkan tempat
yang penuh dengan nyamuk-nyamuk yang buas ini”.
“ Aku percaya ke padamu. Aku akan kembali
ke Lulumbang dan aku akan singgah ke Padang Karautan. Memberitahukan
kepada orang-orang Panawijen dan para Prajurit Tumapel yang ikut serta
dalam pembuatan bendungan itu, supaya mereka menunggu Mahisa Agni dengan
sabar. Begitu?”
“Ya Empu.” sahut orang itu perlahan-lahan
dalam nada yang dalam, “seterusnya aku mengucapkan terima kasih ke
padamu atas kepercayaan itu. Hati-hatilah. Disini bukan saja
nyamuk-nyamuk dan Kebo Sindet yang cukup buas, tetapi juga anjing-anjing
liar di malam hari cukup berbahaya bagi kudamu”.
“Terima kasih atas peringatanmu. Mudah-mudahan anjing-anjing itu tidak datang kemari kali ini”.
“Nah Empu” berkata orang itu kemudian,
“aku sudah cukup lama bercakap-cakap dengan Empu. Baiklah sekarang aku
pergi. Aku masih mempunyai beberapa kepentingan”.
“Malam begini?” bertanya Empu Gandring.
“Ya. Tetapi kepentingan yang sebenarnya tidak penting”.
“Baiklah. Aku akan selalu berdoa
mudah-mudahan kau berhasil melepaskan anak itu. Sampaikan pesanku
kepadanya, apabila ia sempat, supaya segera pergi ke Lulumbang. Sebelum
aku melihatnya, maka aku masih akan selalu diganggu oleh kegelisahan.
Mudah-mudahan usaha itu segera berhasil”.
“Mudah-mudahan.” desis orang itu, yang kemudian disambungnya, “Selamat malam Empu. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi”.
“Ah, jangan begitu. Tak akan ada pengasingan diri yang mutlak”.
“Ah, kenapa tidak ada?”
“Itu menyalahi kuwajiban kita diantara sesama. Kebajikan hanya ada di antara sesama”.
“Kau benar Empu. tetapi dosa pun akan
mudah tumbuh di dalam lingkungan sesama. Betapa sudah besar dosaku.
Apakah aku masih harus menambah lagi?”
“Kesadaran dan pengendalian diri akan mengekang segala perbuatan”.
“Aku kira aku sudah cukup lama hidup di
dalam lingkungan sesama. Aku ingin menemukan kejernihan hati. Aku ingin
melihat diri betapa dosaku telah bertimbun”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia mempunyai pendirian yang agak berbeda, tetapi ia tidak membantah lagi.
“Sampaikan salamku kepada siapa saja yang
pernah mengedal aku Empu. Aku minta maaf atas segala kesalahan dan
kekeliruan yang pernah aku lakukan atas mereka.
“Baiklah” jawab Empu Gandring, “tetapi percayalah, bahwa tidak akan ada pengasingan yang mutlak”.
Orang itu tertawa. Kemudian
perlahan-lahan ia melangkah surut. Ketika orang itu berbalik dan
melangkah beberapa langkah menjauh, maka orang itu seakan-akan hilang
ditelan gelapnya malam.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia masih saja berdiri memandangi arah orang itu menghilang.
“Hem, begitu besar tekadnya. Tetapi
pengasingan diri bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Namun aku tidak
tahu apa yang akan aku lakukan apabila aku mengalaminya?” desisnya
lambat.
Empu Gandring itu tersadar ketika ia
mendengar kudanya meringkik kecil. Perlahan-lahan dibelainya suri kuda
itu sambil berbisik, “Besok kita pulang. Aku percaya bahwa Mahisa Agni
akan mendapat pertolongan. Sudah terlampau lama aku meninggalkan
Lulumbang, Perjalanan ini menjadi pengalaman yang menarik bagiku.”
Meskipun kuda Empu Gandring tidak dapat menjawab. tetapi tatapan matanya seakan-akan dapat mengerti kata-kata orang tua itu.
“Kita masih mempunyai waktu sedikit”
berkata Empa Gandring seterusnya, “kita menunggu fajar, supaya kita
dapat melihat jalan yang kita lalui dengan baik”.
Sejenak kemudian, setelah Empu Gandring
mengendorkan kembali tali kudanya yang melingkar-lingkar pada pohon
tambatannya, maka ia pun memanjat pohon itu lagi. Ia masih akan
mempergunakan waktu yang tersisa sebelum fajar untuk beristirahat. Namun
kini ia tidak lagi dapat melupakan persoalannya. Kadang-kadang hatinya
masih disentuh olah keragu-raguan. Apakah Mahisa Agni akan berhasil
dibebaskan?
“Tetapi aku percaya kepadanya” desisnya untuk mencoba menemtramkan hatinya.
Namun sampai cahaya fajar yang
kemarah-merahan membayang di Timur, Empu Gandring tidak lagi dapat
mcmejamkan matanya sama sekali. Tetapi dengan demikian terasa tubuhnya
telah menjadi agak segar, meskipun lehernya juga kering.
Ketika kemudian langit menjadi semakin
terang, Empu Gandring telah siap di punggung kudanya. Sejenak kemudian
kuda itu pun meluncur meninggalkan hutan yang tidak terlampau lebat itu,
namun digenangi oleh rawa berlumpur yang penuh dengan bermacam binatang
air. Dilaluinya padang rumput yang tidak terlampau luas dan didakinya
beberapa puncak-puncak kecil dari bukit-bukit gundul yang berpadas-padas
dilumuri oleh lumpur pula. Tetapi Empu Gandring tidak menuju ke
Kemundungan. Kudanya segera menempuh jalan kembali ke Padang Karautan.
Berbagai macam pikiran berkecamuk di
kepala orang tua itu. Ia masih belum dapat melepaskan keragu-raguannya
sama sekali. Tetapi ia selalu berdoa, semoga usaha yang dilakukan untuk
melepaskan Mahisa Agni segera berhasil.
Perjalanan yang ditempuh oleh Empu
Gandring ternyata tidak mengalami kesulitan. Sekali-sekali ia berhenti
untuk mencari air. Bukan saja untuk minum kudanya, tatapi untuk minumnya
sendiri pula. Kemudian sesudah itu, ia langsung menuju ke Padang
Karautan. Kudanya berlari tidak terlampau cepat, tetapi juga tidak
terlampau lamban. Dilaluinya jalan berbatu-batu, padang-padang perdu dan
kemudian dimasukinya Padang Karautan yang kering. Sinar matahari yang
terlampau tinggi terasa menyengat kulit. Debu yang beterbangan
dilemparkan oleh kaki-kaki kuda hinggap pada tubuh yang basah oleh
keringat.
(bersambung ke jilid 29)
No comments:
Write comments