Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. “Panasnya bukan main,” gumamnya.
Tetapi tak ada jalan lain yang sedekat
itu dapat dilaluinya. Mungkin Empu Gandring dapat memilih lewat
tepi-tepi hutan. Tetapi jarak yang ditempuhnya hampir berlipat dua.
Perjalanan ini merupakan perjalanan yang
melelahkan. Haus dan terik matahari sangat mengganggu. Beberapa kali
Empu Gandring terpaksa beristirahat karena kudanya yang kehausan.
Untunglah bahwa kadang-kadang ditemuinya pohon-pohon perdu meskipun
tidak terlampau rimbun. Tetapi bayang-bayangnya yang pendek dapat untuk
sesaat melindungi Empu Gandring dan kudanya dari sengatan panas sinar
matahari.
Baru setelah matahari condong rendah di
barat, perjalanan Empu Gandring dapat mencapai sungai yang menjelujur di
Padang Karautan itu. Sungai yang pada perpanjangannya dibuat bendungan
oleh orang-orang Panawijen.
Dengan demikian maka perjalanan Empu
Gandring seterusnya adalah menyelusur di sepanjang pinggir sungai itu.
Dengan demikian maka ia lebih banyak mendapat perlindungan dari
pepohonan yang agak rimbun, yang tumbuh di sepanjang tepian sungai.
Matahari yang menyala di langit, semakin
lama menjadi semakin rendah di ujung barat. Sinarnya yang semakin pudar
menjadi berwarna kemerah-merahan.
“Hem,” Empu Gundring menarik nafas
dalam-dalam, “perjalanan yang cukup berkesan. Sebuah cerita yang menarik
bagi Angger Ken Arok.”
Sementara itu, senja menjadi semakin
kelam. Perlahan-lahan Padang Karautan pun diselimuti oleh warna yang
gelap. Tetapi, perjalanan Empu Gandring ternyata telah hampir sampai
pada tujuannya.
Ternyata, ketika seluruh padang itu telah
ditelan oleh kegelapan, di kejauhan Empu Gandring melihat perapian yang
memancar lemah. Meskipun masih agak jauh, tetapi Empu Gandring sudah
dapat memastikan, bahwa di situlah letak kemah-kemah orang-orang
Panawijen dan para prajurit Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok yang
aneh.
Tanpa sesadarnya, Empu Gandring
mempercepat lari kudanya. Ia ingin segera sampai di perkemahan itu dan
ingin segera bertemu dengan Ken Arok.
Sisa yang tidak begitu panjang itu
ditempuhnya dalam waktu yang pendek. Ketika kudanya mendekati perkemahan
itu, maka dilihatnya dua orang mendatanginya.
“Siapa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ternyata orang-orang di perkemahan ini menjadi semakin berhati-hati,” berkata Empu Gandring di dalam hatinya.
“Siapa?” pertanyaan itu diulangi.
“Aku,” sahut Empu Gandring.
“Aku siapa?”
“Aku Empu Gandring,” sahut Empu Gandring.
Sejenak dua orang itu diam mematung. Kemudian mereka saling berpandangan dan seorang dari mereka berdesis, “Empu Gandring.”
“Ya, aku Empu Gandring,” sahut Empu Gandring.
“Bukankah tuan paman Mahisa Agni yang pergi bersamanya ke Panawijen?”
“Ya,” jawab Empu Gandring,
”O,” orang itu terdiam sejenak sedangkan
kawannya yang seorang lagi berkata, “Kami telah menunggu tuan. Marilah,
silakan datang ke gubug Ki Buyut yang menunggu kedatangan tuan dengan
berdebar-debar. Bahkan hampir tidak bersabar lagi.”
“Baiklah,” jawab Empu Gandring sambil
melompat turun dari kudanya. Bersama dengan kedua orang itu ia berjalan
ke gubug-gubug yang berdiri berderet-deret di antara timbunan
barang-barang yang akan diletakkan menjadi bagian dari bendungan yang
masih belum jadi itu.
“Ki Buyut ada di dalam gubugnya,” desis salah seorang dari kedua orang itu.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baiklah,” jawabnya. “Aku akan menemuinya. Tetapi apakah
Angger Ken Arok telah kembali kemari pula?”
“Ya, ia sudah kembali,” jawabnya. “Bukankah yang tuan maksud Ken Arok pemimpin para prajurit dari Tumapel?”
“Ya.”
“Mungkin ia berada bersama Ki Buyut pula. Kalau tidak, maka biarlah aku memberitahukan kepadanya, bahwa tuan telah datang.”
“Baiklah,” jawab Empu Gandring.
Maka kemudian ditambatkannya kudanya pada
sebuah patok. Per-lahan-lahan ia mendekati gubug Ki Buyut Panawijen.
Kemudian diketoknya salah sebuah dari tiang-tiangnya yang rendah.
Ki Buyut yang duduk beristirahat di dalam
gubugnya mengangkat kepalanya. Diamatinya bayangan di luar gubugnya, di
dalam keremangan sinar pelita.
“Siapa?!” bertanya Ki Buyut.
“Aku Ki Buyut, Empu Gandring.”
“O, marilah Empu,” Ki Buyut tergopoh-gopoh berdiri dan menyambut Empu Gandring di luar gubugnya, “marilah, silakanlah.”
Empu Gandring pun kemudian masuk ke dalam
gubug itu dan duduk di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas
setumpuk rumput kering.
“Ah,” Ki Buyut itu berdesah, “kami hampir
tidak sabar lagi menunggu kedatangan Empu. Bagaimanakah dengan
perjalanan Empu ke Kemundungan? Kenapa Empu datang seorang diri tanpa
Angger Mahisa Agni? Apakah terjadi sesuatu dengan anak muda itu?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Buyut telah mendahuluinya pula, “Bukankah
Empu pergi menyusul kemanakan Empu itu? Sedangkan Angger Ken Arok pergi
mengantarkan Empu Sada? Kini Angger Ken Arok telah berada di sini.
Banyak yang diberitahukannya kepada kami tentang Empu dan tentang Angger
Mahisa Agni.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan didengarnya Ki Buyut masih juga berkata terus, “Kami
mengharap bahwa Empu akan berhasil membawa kembali Angger Mahisa Agni.
Tetapi kini aku lihat Empu datang seorang diri. Apakah Angger Mahisa
Agni masih menunggu di luar?”
Tetapi Empu Gundring tidak mendapat
kesempatan untuk menjawab. Buyut Panawijen yang tua itu ternyata telah
dicekam oleh kegelisahan dan kecemasan yang amat sangat sehingga tanpa
sesadarnya telah mempergunakan segala kesempatan untuk berbicara
sendiri.
Namun akhirnya Ki Buyut itu berhenti juga
bertanya ketika ia melihat Ken Arok dengan tergesa-gesa memasuki ruang
itu pula. Sebelum ia duduk, maka ia telah bertanya, “Bagaimana dengan
usaha Empu untuk menebaskan Mahisa Agni?”
“Duduklah Ngger,” Empu Gandring
mempersilakannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam maka Ken Arok itu pun
kemudian duduk di sampingnya. Dipandanginya wajah Empu Gandring yang
tenang, namun mengandung seribu macam teka-teki yang tidak segera dapat
ditebaknya.
“Apakah usaha Empu berhasil?” bertanya Ken Arok itu kemudian.
Kali ini Empu Gandringlah yang menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Sebagian Ngger. Sebagian berhasil tetapi
hasil selengkapnya masih belum dapat kita pastikan.”
Ken Arok mengerutkan keningnya sedangkan Ki Buyut Panawijen memandangi wajah Empu Gandring dengan gelisahnya.
“Aku tidak meneruskan usaha itu dengan tenagaku sendiri,” berkata Empu Gandring seterusnya.
“Jadi?” bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menggeser duduknya
sejengkal. Kemudian diangkatnya wajahnya memandangi pelita yang
tersangkut pada tiang bambu gubug itu. Perlahan-lahan ia mulai
mengisahkan perjalanannya, sejak ia berpisah dengan Ken Arok, mengikuti
jejak Kebo Sindet, hingga ia memerlukan singgah ke Kemundungan. Akhirnya
diceriterakannya bahwa ia mempercayakan usaha melepaskan Mahisa Agni
kepada orang lain, orang yang mempunyai kewajiban pula seperti dirinya
sendiri.
“Oh,” Ken Arok mengangguk-anggukkan
kepalanya sedangkan Ki Buyut Panawijen diam terpekur. Di luar gubug itu
beberapa orang telah berkerumun untuk mendengarkan keterangan itu pula.
Beberapa orang saling berbisik sedangkan yang lain menjadi sedih. Mereka
menyesalkan betapa Mahisa Agni itu mengalami berbagai macam kejadian
yang pahit. Sedangkan tenaganya sebenarnya sangat diperlukan saat ini
oleh orang-orang Panawijen yang sedang membangun bendungan itu.
Untunglah bahwa di antara mereka telah hadir seorang yang bernama Ken
Arok, menggantikan kedudukan Mahisa Agni yang dapat selalu membakar niat
orang-orang Panawijen untuk menyelesaikan bendungannya.
Sesaat kemudian cerita tentang Mahisa
Agni itu telah menjalar ke seluruh sudut perkemahan itu. Setiap orang
kemudian mendengarnya. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel.
Beberapa orang menjadi terharu dan iba sedangkan beberapa orang lain
menyimpan dendam di dalam hatinya. “Terlalu. Kuda Sempana ternyata telah
memperalat ayahnya yang tua untuk mencelakai Mahisa Agni. Dosa anak itu
ternyata memercik kepada ayahnya pula, yang seharusnya berusaha
mencegahnya.”
Tetapi semuanya sudah telanjur. Semuanya sudah terjadi sehingga mereka hanya dapat berdesah di antara mereka sendiri.
Di dalam gubug Ki Buyut, Ken Arok
menekurkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut-merut. Wajah anak muda
itu benar-benar menjadi tegang.
Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya sambil menggeram, “Aku akan mengambil pasukan ke Tumapel. Prajurit segelar sepapan.
Aku kepung daerah berawa-rawa itu. Mustahil kalau kita tidak akan dapat
menyeberang. Aku mengenal beberapa macam rawa-rawa. Mungkin aku akan
dapat mengenal tempat-tempat yang gembur berlumpur dan tempat-tempat
yang keras. Hampir sepanjang umurku aku hidup di daerah-daerah yang
tidak keruan. Hutan, Padang Karautan ini, dan rawa-rawa.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Sareh ia berkata, “Terima kasih Ngger. Tetapi sebaiknya maksud itu
jangan tergesa-gesa dilakukan. Biarlah usaha membebaskan Mahisa Agni
dengan cara yang lain itu dilakukan. Tidak dengan kekerasan, justru
untuk menjaga keselamatan Mahisa Agni itu sendiri. Sebab kini Mahisa
Agni telah telanjur dikuasai oleh Kebo Sindet. Aku sependapat dengan
cara ini Ngger.”
Kening Ken Arok menjadi semakin berkerut.
Tetapi kemudian ia menggigit bibirnya sambil kemudian bergumam, “Apa
boleh buat apabila Empu tidak sependapat.”
“Aku berterima kasih kepadamu Ngger,”
sahut Empu Gandring, “tetapi biarlah cara itu dicobanya dahulu. Apabila
tidak berhasil, maka kita akan mencari jalan lain.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Baiklah Empu. Tetapi setiap saat apabila Empu memerlukan aku,
aku akan selalu menyediakan diri. Akuwu Tumapel pasti tidak akan
berkeberatan aku membawa sepasukan prajurit dan pelayan-pelayan dalam
untuk membebaskannya apabila diperlukan. Sebab Mahisa Agni adalah kakak
terkasih dari bakal permaisuri.”
Empu Gandring mengangguk pula, “Terima
kasih,” ulangnya. “Aku akan selalu menghubungi Angger dalam setiap
keperluan. Terutama tentang Mahisa Agni.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnya ia sama sekali tidak bersabar menunggu cara yang dianggapnya
terlampau lamban itu. Tetapi Empu Gandring adalah orang yang lebih
berhak menentukan apa yang sebaiknya dilakukan atas Mahisa Agni itu.
Sejenak kemudian mereka yang berada di
ruang itu saling berdiam diri. Mereka membiarkan angan-angan
masing-masing menelusuri sepinya.
Ketika di kejauhan terdengar gonggong anjing liar yang lamat-lamat, maka kulit Empu Gandring serasa berkuit.
Anjing-anjing itu sedang bertengkar berebut tubuh Mahisa Agni yang
telah dilemparkan oleh Kebo Sindet kepada gerombolan anjing-anjing itu.
“Mudah-mudahan tidak terjadi,” desis Empu Gandring. ”Kebo Sindet masih memerlukannya.”
Kesepian itu pun kemudian dipecahkan oleh
suara Ken Arok. “Empu, aku masih belum mengirimkan laporan yang lengkap
tentang hilangnya Mahisa Agni ke Tumapel. Aku takut apabila berita itu
dapat mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes dan dapat berakibat mengganggu
persiapan-persiapan perkawinannya dengan Akuwu Tunggul Ametung. Aku
mengharap bahwa Mahisa Agni segera dapat dibebaskan. Tetapi apabila
ternyata keadaan menjadi demikian, maka sebaiknya aku mengirimkan orang
untuk menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, supaya aku
tidak dipersalahkannya karena aku seakan-akan mengabaikan persoalan
keselamatannya. Sebab Mahisa Agni itu pasti akan segera dipanggil pula
menghadap sebelum semua persiapan perkawinan yang akan segera
diselenggarakan itu selesai.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sesaat ia tidak menjawab. Ia menjadi cemas apabila dalam
pembicaraan selanjutnya Ken Arok dan Akuwu Tunggul Ametung sependapat
untuk mengepung Kebo Sindet dengan sepasukan prajurit, karena mereka
tergesa-gesa untuk segera menemukan Mahisa Agni untuk kepentingan
persiapan perkawinan itu. Tetapi dengan demikian, maka justru Mahisa
Agni berada dalam bahaya.
“Apakah Empu sependapat?” bertanya Ken Arok.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak ia masih ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Buyut Panawijen yang
suram. Tetapi ia tidak menemukan apa pun pada wajah itu.
“Angger Ken Arok,” berkata Empu Gandring
kemudian perlahan-lahan, “mungkin kau tidak akan dapat berbuat lain
daripada itu. Bagaimanapun juga maka peristiwa ini seluruhnya pasti akan
didengar oleh kalangan istana, juga oleh Tuan Puteri Ken Dedes. Tetapi
meskipun demikian, aku masih tetap mengharap, bahwa baik Angger sendiri
maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tidak melakukan tindakan yang
tergesa-gesa, yang akan dapat membahayakan Mahisa Agni sendiri.”
Ken Arok mengangguk kecil sambil
menggigit bibirnya. Anak muda itu dapat mengerti kenapa Empu Gandring
berpendirian demikian menurut nalarnya, tetapi rasa-rasanya cara itu
terlampau lambat baginya sehingga perasaannya berpendapat lain. Namun
kali ini Ken Arok dapat menguasai perasaannya dengan nalarnya.
“Baiklah Empu,” jawabnya, “aku akan
memberi penjelasan kepada orang yang akan pergi ke Tumapel, bahwa
tindakan yang demikian akan sangat berbahaya. Aku akan mengharap bahwa
segala tindakan harus dipertimbangkan bersama Empu Gandring, paman
Mahisa Agni. Bukankah begitu?”
Empu Gandring tidak segera menyahut. Ia
menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus menunggu persoalan ini sampai selesai
di Padang Karautan ini? Lalu bagaimana dengan padepokannya sendiri,
Lulumbang? Berapa lama ia harus menunggu? Berbeda halnya apabila ia
sendiri yang berusaha membebaskan Mahisa Agni. Maka ia akan disibukkan
oleh usahanya itu. Tetapi usaha itu sudah dilakukan oleh orang lain. Ia
tidak akan dapat duduk saja bertopang dagu sambil menunggu tanpa bekerja
apa pun di Padang Karautan. Seandainya ia turut membantu membuat
bendungan, maka tenaganya akan tidak seimbang dibandingkan dengan
kerjanya sendiri yang memang telah menunggu. Tenaganya seorang itu tidak
akan banyak berpengaruh bagi bendungan ini. Apalagi setelah Ken Arok
dan prajurit-prajurit Tumapel berada di Padang Karautan ini pula.
Karena itu maka yang paling baik baginya
adalah menunggu persoalan itu di padepokannya sendiri sambil melakukan
pekerjaannya sehari-hari. Membuat keris.
“Angger Ken Arok,” jawab Empu Gandring
itu kemudian, “baiklah aku selalu ikut serta dalam penyelesaian ini,
karena itu adalah kewajibanku. Tetapi aku sudah mempercayakannya kepada
seseorang sehingga kerjaku seolah-olah hanya tinggal menunggu hasil dari
usaha itu. Untuk itu aku akan menunggu di padepokanku sendiri, di
Lulumbang, sementara itu aku dapat bekerja seperti biasa sehari-hari.
Untuk itu aku minta tolong kepadamu Ngger, apabila ada perkembangan
baru, sukalah Angger menyuruh seorang dua orang ke Lulumbang. Aku akan
berbuat sesuai dengan kemampuanku.”
Ken Arok mengerutkan keningnya sedangkan
Ki Buyut Panawijen dengan serta merta bertanya, “Apakah Empu akan
meninggalkan kami di sini?”
“Aku harus melihat padepokan yang sudah agak lama aku tinggalkan Ki Buyut.”
“Lalu, bagaimakah dengan kami seandainya ada bahaya yang mendatangi.”
“Ah,” Empu Gandring tersenyum, “bukankah
Ki Buyut berada di tengah-tengah sepasukan prajurit yang tangguh.
Jangankan prajurit yang sekian banyaknya, sedangkan Angger Ken Arok
sendiri akan dapat berbuat banyak melindungi Ki Buyut dan orang-orang
Panawijen.”
“Oh,” Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya sedangkan Ken Arok berdesah sambil bergumam, “Hem, Empu terlalu memuji.”
“Tidak, tidak Ngger. Aku tidak memuji.
Tetapi Angger supaya menyadari bahwa Angger mempunyai ciri-ciri yang
aneh. Aku tidak dapat mengatakan apa aneh itu. Namun Angger mempunyai
kelebihan dari orang-orang lain.”
“Ah,” sekali lagi Ken Arok berdesah,
“apakah yang aneh padaku? Aku sama sekali tidak berdaya menghadapi iblis
dari Kemundungan itu.”
“Tetapi akan datang saatnya Angger dapat mengalahkan Kebo Sindet.”
“Bagaimana mungkin hal itu terjadi Empu. Aku tidak pernah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu tata beladiri.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Itulah salah satu keanehan Angger. Tanpa
mempelajari dengan sungguh-sungguh, Angger telah mampu bertahan tanpa
cedera yang berarti atas aji yang nggegirisi yang dilepaskan oleh iblis dari Kemundungan itu atas Angger.”
“Dadaku serasa remuk Empu.”
“Tetapi Angger tidak apa-apa sampai sekarang.”
“Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung,” sahut Ken Arok.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi keajaiban yang ada dalam diri Ken Arok masih tetap
merupakan teka-teki bagi Empu Gandring.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Terasa angin padang menyentuh tubuh-tubuh mereka. Silir, namun semakin lama semakin dingin meresap ke dalam kulit daging.
Gubug-gubug kini telah menjadi semakin
sepi. Beberapa orang telah jatuh tertidur karena kelelahan sedangkan
beberapa orang lagi sedang bercakap-cakat tentang Mahisa Agni yang belum
berhasil dibebaskan dari tangan Kebo Sindet. Di luar gubug Ki Buyut
Panawijen pun telah menjadi sepi pula.
Orang-orang yang semula berkerumun
mendengarkan cerita Empu Gandring telah pergi meninggalkan gubug itu
kembali ke tempat masing-masing.
Sejenak kemudian Ken Arok berdiri sambil
berkata, “Aku akan memanggil dua orang prajurit yang besok harus
menghadap Akuwu ke Tumapel. Mungkin Empu dapat memberi mereka itu pesan
langsung. Mungkin ada hal-hal yang perlu Empu beritahukan supaya
semuanya dapat berjalan dengan baik, tanpa membahayakan Mahisa Agni dan
tidak terlampau mengejutkan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung dan Tuan Puteri
Ken Dedes.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baiklah Ngger.”
Ken Arok pun kemudian pergi meninggalkan
Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen untuk memanggil dua orang prajurit
yang akan diperintahkannya ke Tumapel.
Sejenak kemudian Ken Arok telah datang kembali bersama prajurit yang dimaksudkannya.
“Dengarlah baik-baik,” desis Ken Arok,
“supaya kau tidak membuat kesalahan. Dengan demikian kau akan langsung
mendengar dari Empu Gandring dan dari aku sendiri. Bukan hanya sekadar
desas-desus yang sudah bertambah atau berkurang dari peristiwa yang
sebenarnya terjadi.”
Dan kedua prajurit itu kemudian
mendengarkan penjelasan Empu Gandring dengan ceritanya. Beberapa kali
Ken Arok memberinya pesan tentang cerita itu. Dan Empu Gandring pun
mengatakan semuanya yang diketahuinya. Dikatakannya pula beberapa hal
tentang Empu Sada. Bahwa orang itu sama sekali tidak bertanggung jawab
lagi tentang hilangnya Mahisa Agni.
“Tetapi hati-hatilah,” pesan Ken Arok, “jangan mengejutkan Tuan Puteri Ken Dedes.”
Kedua prajurit Tumapel itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mendengarkan keterangan Empu
Gandring dengan saksama, dan mereka mendengarkan pesan Ken Arok
baik-baik supaya mereka nanti tidak salah menyampaikan keterangan
tentang Mahisa Agni dan pesan-pesan yang harus dilakukannya.
“Jangan lupa sampaikan kepada Tuanku
Akuwu Tunggul Ametung bahwa segala usaha untuk menghindari peristiwa itu
sudah dilakukan, bahkan paman Mahisa Agni, Empu Gandring, sendiri telah
ikut serta mencoba melepaskan Mahisa Agni. Tetapi kami tidak berhasil.
Meskipun demikian, sampai saat ini usaha untuk melepaskan Mahisa Agni
masih dilakukan,” pesan Ken Arok seterusnya kepada kedua prajurit itu.
“Sampaikan pula bahwa usaha dengan kekerasan untuk sementara sebaiknya
tidak dilakukan mengingat keselamatan Mahisa Agni sendiri. Sedangkan
kerja di Padang Karautan sama sekali tidak terganggu karenanya. Kami di
sini berusaha untuk segera menyelesaikannya beserta taman yang
dikehendaki oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung yang akan dihadiahkan
kepada Tuan Puteri Ken Dedes nanti.”
Sekali lagi kedua prajurit itu mengangguk-angguk.
“Kau mengerti?” bertanya Ken Arok kemudian.
“Ya,” jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
“Baiklah,” berkata Ken Arok selanjutnya,
”besok pagi-pagi kalian berangkat. Usahakan supaya kau dapat menghadapi
secepatnya dan segera kembali.”
“Baik,” sahut keduanya.
“Sekarang kalian boleh pergi tidur, supaya kalian besok tidak terlampau malas berangkat.”
Kedua prajurit itu pun segera
meninggalkan ruangan itu. Kemudian Ken Arok dan Empu Gandring pun pergi
pula ke tempat masing-masing untuk beristirahat.
Di dalam gubugnya, Empu Gandring masih
juga selalu dikejar-kejar oleh kecemasan dan keragu-raguan tentang
kepastian nasib Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka dengan
gelisahnya, ia duduk di atas sehelai tikar pandan yang kumal.
Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir. Sejenak kemudian
kembali ia duduk. Ketika seseorang datang kepadanya dan meletakkan
sebungkus makanan dan minuman hangat, maka Empu Gandring tidak segera
beranjak dari tempatnya.
“Letakkanlah di situ,” katanya.
“Baik Empu,” jawab orang itu, yang kemudian segera pergi meninggalkannya.
Tetapi ketika dilihatnya uap air yang
panas itu mengepul, timbul pulalah selera Empu Gandring untuk
meminumnya. Apalagi ketika kemudian terasa bahwa perutnya pun mulai
disentuh oleh rasa lapar.
Namun akhirnya Empu Gandring itu hanya
dapat menyerahkan segala persoalan kepada Yang Maha Agung. Disertai doa
dan puji semoga kemenakannya itu dilepaskan dari segala macam bencana.
Ketika kemudian fajar pecah di Timur,
maka langit di atas Padang Karautan seolah-olah jadi membara. Warna
merah yang tersirat dari cakrawala memancar menyelubungi seluruh padang
yang luas, semakin lama menjadi semakin cerah.
Dalam kesibukan persiapan untuk melakukan
kerja menyelesaikan bendungan, orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel melihat dua ekor kuda dan kedua penunggangnya berlari
meninggalkan perkemahan itu. Debu yang tipis dan kerikil-kerikil yang
lembut berloncatan dari kaki-kuda-kuda itu.
Ken Arok, Ki Buyut Panawijen, dan Empu
Gandring berdiri tegak seperti patung memandangi kedua ekor kuda yang
semakin lama menjadi semakin kecil menuju ke ujung padang.
“Mudah-mudahan tidak mengejutkan Tuan Puteri,” gumam Ken Arok.
“Mudah-mudahan,” sahut Ki Buyut
Panawijen, “gadis itu sangat mengasihi kakaknya, seperti juga
sebaliknya.” Orang tua itu berhenti sesaat. Tiba-tiba ia berdesah,
“Kalau anakku masih ada.”
Ken Arok yang mendengar desah itu menarik
nafas dalam. Ia tahu benar apa yang telah terjadi dengan putera Ki
Buyut Panawijen itu. Sekilas ia berpaling memandangi wajah Ki Buyut yang
tua, yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut garis-garis umur. Tapi Ken
Arok tidak berkata sepatah kata pun.
Empu Gandring hanya berdiam diri, ia pun pernah mendengar jua apa yang telah terjadi atas anak laki-laki Ki Buyut Panawijen.
“Tetapi beruntunglah bahwa Ken Dedes
kemudian terlepas dari Kuda Sempana, bahkan kepahitan yang dialami itu
dapat menjadi pupuk bagi kesuburan jalan hidupnya. Apabila tidak
demikian, maka ia tidak akan sampai ke Istana Tumapel. Aku pun menjadi
ikut berbahagia dengan kebahagiaan gadis itu. Aku juga pasti tidak akan
rela melihat apabila gadis itu benar-benar menjadi isteri pelarian dari
Kuda Sempana,” Ki Buyut melanjutkan desahnya dalam nada yang dalam.
Ken Arok dan Empu Gandring masih saja
berdiam diri. Terasa seolah-olah pedih hati orang tua itu terungkat
kembali dengan tiba-tiba. Apalagi bila kemudian Mahisa Agni tidak dapat
diselamatkan maka ia pun akan merasa kehilangan, sebab bagi Ki Buyut
Panawijen, Mahisa Agni seakan-akan telah menjadi ganti anaknya yang
hilang.
Dan dengan tiba-tiba saja ia bertanya, “Empu, apakah Empu yakin bahwa Mahisa Agni akan selamat?”
Empu Gandring menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dipaksakannya mulutnya menjawab, “Aku yakin Ki Buyut.”
Ki Buyut itu pun kini terdiam pula. Ia
masih memandang kuda yang kini menjadi semakin kecil. Sekecil sebuah
noktah di wajah langit yang luas.
Untuk sesaat, kini ketiganya saling
berdiam diri. Di belakang mereka orang-orang Panawijen dan para prajurit
Tumapel telah menjadi sibuk dengan segala macam persiapan. Alat-alat
dan keperluan-keperluan yang akan dikerjakan hari ini telah mereka
kumpulkan dan mereka bawa beramai-ramai ke tepi sungai di mana bendungan
itu dibuat.
Bintik-bintik di cakrawala yang menjadi
semakin kecil itu pun kemudian hilang bersama dengan pancaran sinar
matahari yang pertama, menyiram wajah Padang Karautan yang
kekuning-kuningan. Warna fajar pun kemudian menjadi semakin terdesak
oleh cerahnya sinar matahari. Kuning keputih-putihan.
Ketika wajah Ki Buyut yang berkeriput itu
merasa tersentuh oleh hangatnya matahari pagi, maka orang tua itu pun
menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkan wajahnya dan dilihatnya
orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel telah sibuk
mempersiapkan diri untuk mulai bekerja.
“Kita hampir mulai,” gumam Ki Buyut itu kemudian.
Ken Arok pun kemudian berpaling. Terdengar ia berdesis, “Mereka sudah siap Ki Buyut.”
“Marilah, aku akan minum wedang jaheku dahulu,” sahut Ki Buyut. Kepada Empu Gandring Ki Buyut itu mempersilahkan, “Marilah Empu. Minumlah dahulu.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya pelahan. Namun kemudian ia berkata, “Ki Buyut, terima kasih.
Tetapi hari ini aku terpaksa mohon diri.”
Ki Buyut terkejut dan bahkan Ken Arok pun terkejut pula. “Begitu tergesa-gesa,” hampir bersamaan mereka berdua bertanya.
“Ya. Aku kira lebih baik bagiku. Aku akan
segera tenggelam dalam kerja yang sudah lama aku tinggalkan. Aku sudah
terlampau rindu kepada padepokanku.”
Ki Buyut dan Ken Arok saling berpandangan
sejenak. Kemudian berkatalah Ki Buyut Panawijen, “Apakah Empu tidak
ingin melihat air sungai itu naik ke parit-parit yang sudah disiapkan
menerima limpahannya itu?”
“Memang, melihat air itu turun ke
parit-parit untuk pertama kalinya adalah suatu kebanggaan yang
mengharukan. Tetapi aku terlampau rindu kepada kampung halaman. Biarlah
aku akan kemari lagi beberapa minggu yang akan datang. Mudah-mudahan aku
dapat turut melihat bendungan itu mengangkat air.”
“Kami di sini menunggu Empu,” berkata Ken
Arok, “kami merasa Empu ikut serta menyiapkan bendungan ini. Sejak
Mahisa Agni sedang mencari tempat ini, bukankah Empu telah membantunya
seperti yang sering disebut-sebut Mahisa Agni.”
“Ah. Adalah kebetulan bahwa Agni itu
kemenakanku. Tetapi baiklah, aku akan mencoba melihat air dari sungai
itu melimpah ke parit-parit untuk yang pertama kalinya.”
“Kemudian Empu akan melihat aku membangun
sebuah taman yang indah sekali,” berkata Ken Arok, “indah sekali
menurut keinginan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku tidak tahu,
apakah selera keindahanku akan serupa dengan keinginan Akuwu.”
“Ya, ya. Aku akan melihat taman itu kelak. Mudah-mudahan aku berkesempatan.”
“Tentu. Empu tentu berkesempatan.”
“Begitulah yang aku inginkan. Tetapi kadang-kadang yang terjadi bukanlah keinginan kita masing-masing.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arti kata-kata itu. Tetapi ia tidak mengerti kenapa Empu Gandring mengucapkannya.
“Empu,” berkata Ken Arok kemudian, “taman
itu tidak akan terlalu lama siap. Lihat, di ujung dari parit induk ini,
yang kelak akan terletak di luar daerah persawahan yang akan dibuat
oleh orang-orang Panawijen, telah aku gali sebuah sendang
buatan. Beberapa macam pepohonan telah aku tanam sejak kini, meskipun
setiap sore masih harus disiram dan masih harus dilindungi dari terik
matahari sampai air ini mengalir ke sana. Di sekitar sendang
itulah nanti akan dibuat sebuah taman dengan kebun bunga yang indah.
Beberapa jenis pohon pelindung telah pula aku tanam sejak sekarang.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku ingin sekali melihat taman itu kelak.”
“Empu Gandring harus melihatnya dan memujinya. Biar orang lain, Tuanku Akuwu sendiri nanti mencelanya.”
Empu Gandring tersenyum. “Akuwu akan
memuji bukan sekadar untuk menyenangkan hati Angger. Tetapi aku yakin
sejak sekarang, bahwa taman itu akan menjadi taman yang paling indah di
seluruh Tumapel dan bahkan seluruh Kediri. Sebab taman itu dipersiapkan
pada tanah yang masih kosong, yang dapat dibuat benar-benar menurut
rencana.”
“Tetapi rencananyalah yang jelek Empu.”
Empu Gandring, Ki Buyut Panawijen, dan bahkan Ken Arok sendiri tertawa.
“Empu,” berkata Ken Arok tiba-tiba, “aku
telah mendengar bahwa Empu adalah seorang pembuat keris yang jarang ada
duanya. Mungkin suatu ketika aku akan datang kepada Empu, untuk
mendapatkan sebuah kenang-kenangan. Seperti Empu lihat, sampai kini aku
belum mempunyai sebuah keris yang belum berarti bagiku. Apalagi sebuah
keris yang disebut pusaka. Karena itu, pada suatu saat aku mengharap,
bahwa Empu akan memberi aku sipat kandel. ”
“Ah,” Empu Gandring berdesah. “Aku tidak lebih dari seorang pande
besi biasa Ngger. Tetapi aku mengharap Angger datang ke padepokanku.
Lulumbang. Mungkin aku dapat membuat sesuatu untuk Angger. Tetapi sama
sekali bukan sebuah pusaka. Apabila Angger menghendaki sekadar pisau
untuk menebas alang-alang, nah, aku akan bersedia.”
“Empu terlampau merendahkan diri.”
“Tidak Ngger. Supaya Angger tidak kecewa kelak.”
Ken Arok tersenyum. Katanya, “Baiklah.
Suatu ketika aku pasti datang ke Lulumbang. Tetapi sebaiknya Empulah
yang datang lebih dahulu kemari, melihat taman yang akan aku
persembahkan kepada Tuanku Tunggul Ametung yang akan dijadikannya hadiah
untuk permaisurinya tercinta. Tuanku Putri Ken Dedes.”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk lemah ia memandangi padang yang luas itu. Jauh
di atas pandangan matanya ia melihat langit seolah-olah bertemu dengan
padang rumput yang kering itu. Terpercik di dadanya serasa ia tidak akan
dapat melihat padang itu lagi kelak.
Empu Gandring terkejut ketika ia kemudian
mendengar Ken Arok berkata kepadanya, “Kalau Empu tidak lagi dapat kami
tahan, baiklah aku mengucapkan selamat jalan. Tetapi sebaiknya Empu
menyiapkan dahulu bekal di perjalanan. Barangkali Ki Buyut dapat
membantunya. Sekarang, maaf Empu, aku harus mulai bekerja bersama para
prajurit Tumapel yang sudah memencar diri.”
“O, silakan, silakan Ngger. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi di kesempatan lain.”
“Kami di sini selalu menunggu kedatangan Empu. Kalau Empu tidak juga datang, maka aku akan datang ke Lulumbang.”
Empu Gandring tersenyum, “Aku pun selalu
menunggu kedatanganmu Ngger. Dan aku juga selalu menunggu setiap berita
tentang Mahisa Agni.”
“Baik Empu. Aku akan selalu mengirimkan
orangku ke Lulumbang apabila terjadi perkembangan keadaan. Nah,
sekarang, maaf, aku harus mulai.”
“Silakan Ngger,” sahut Empu Gandring.
Ken Arok itu pun kemudian meninggalkan
Empu Gandring dan Ki Buyut Panawijen. Sejenak ia mengawasi para prajurit
Tumapel yang berpencaran. Sebagian dari mereka telah membawa pedati ke
ujung induk susukan, untuk menyiapkan sebuah sendang
buatan. Sebagian lagi menaikkan batu-batu bersama orang-orang Panawijen
yang berani melintasinya karena cerita tentang hantu Karautan yang
menakutkan. Tetapi kini, di sisi padang ini, berkeliaran orang-orang
Panawijen, prajurit-prajurit, dan pelayan dalam dari Tumapel yang sedang
sibuk bekerja menyelesaikan bendungan dan sebuah taman buatan.
Tetapi sebentar kemudian Ken Arok itu pun
berjalan cepat-cepat ke bendungan yang sudah mulai dikerjakan. Ternyata
ia tahu benar maksud Mahisa Agni. Seolah-olah Ken Arok itu turut serta
merencanakan pembuatannya, sehingga meskipun Mahisa Agni tidak ada,
namun pembuatan bendungan itu sama sekali tidak terganggu dan berjalan
seperti yang dikehendakinya.
Dalam pada itu, Ki Buyut masih belum
meninggalkan Empu Gandring yang segera akan meninggalkan Padang
Karautan. Dipersilakannya Empu Gandring untuk menyiapkan beberapa macam
bekal makanan dan bumbung-bumbung air.
“Aku akan menyusur sungai ini Ki Buyut, sehingga aku tidak perlu membawa terlampau banyak persedian air.”
“O,” Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika matahari merambat semakin tinggi,
maka Empu Gandring pun telah siap di atas punggung kudanya. Sekali lagi
ia minta diri kepada Ki Buyut Panawijen yang menungguinya. “Salamku buat
orang-orang Panawijen dan para prajurit,” katanya.
“Terima kasih dan selamat jalan Empu,” desis Ki Bu yut Panawijen.
“Terima kasih,” jawab Empu Gandring, “semoga kita masing-masing mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”
Sesaat kemudian maka kuda Empu Gandring
pun mulai bergerak. Ditinggalkannya perkemahan yang sedang sibuk dengan
kerja. Beberapa pasang mata masih sempat melihat kuda itu menaburkan
debu yang tipis. Semakin lama semakin jauh.
Sekali-sekali Empu Gandring pun berpaling
pula. Dilihatnya betapa kerja yang dimulai oleh Mahisa Agni itu menjadi
semakin sibuk. Orang-orang Panawijen dan para prajurit berpencaran
dalam kerja masing-masing. Bendungan, parit-parit, dan sebuah taman
seperti yang dihendaki oleh Tuanku Tunggul Ametung, agak jauh ke tengah
padang.
“Beberapa tahun lagi maka daerah ini akan
menjadi sebuah padukuhan yang ramai. Panawijen sendiri akan segera
dilupakan orang. Mereka akan meninggalkan padesan yang semakin
lama menjadi kering, sedangkan daerah di sepanjang sungai ini adalah
daerah yang masih sedang berkembang,” gumam Empu Gandring kepada diri
sendiri. Terbayang di matanya, induk susukan yang membelah daerah
persawahan yang subur. Kemudian sebuah pategalan dan yang kelak akan
menjadi padesan. Di sebelah padukuhan itu dibangun sebuah taman yang
indah. Bukan saja untuk kepentingan padukuhan atau padepokan yang akan
lahir nanti, tetapi taman itu adalah Taman Akuwu Tumapel. Bukankah
dengan demikian jalan antara Karautan dan Tumapel akan menjadi ramai
pula? Jalan yang menghubungkan istana dan sebuah kenangan tentang tempat
asal Ken Dedes, meskipun bukan yang sebenarnya, karena tempat yang
sebenarnya sudah menjadi kering.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi apakah orang yang telah
meletakkan hasrat yang pertama kali membuat bendungan di Padang Karautan
itu kelak akan dapat melihatnya pula?”
Sebuah desir yang lembut telah menggores
jantung Empu Gandring. Namun kemudian, sekali lagi ia mencoba menguasai
perasaannya. “Semuanya berada di tangan Yang Maha Agung. Apalagi nasib
Mahisa Agni sedangkan nasibku sendiri pun tidak aku ketahui. Apakah aku
masih juga diberi kesempatan untuk bertemu dengan kemenakanku itu atau
tidak, aku tidak tahu.”
Ketika Empu Gandring sekali lagi
berpaling, maka perkemahan di tepi sungai itu seolah-olah telah menjadi
bintik-bintik yang sangat kecil. Ia sudah tidak lagi dapat melihat
orang-orang yang sedang berpencaran bekerja di bawah sinar matahari yang
sudah mulai menggatalkan kulit.
“Mudah-mudahan semuanya terjadi seperti yang dikehendaki,” desisnya, ”semoga Yang Maha Agung memperkenankan.”
Sekali Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian disentuhnya perut kudanya dengan sebuah ranting
kecil yang dipakainya sebagai cemeti.
Kuda itu pun kemudian berlari semakin kencang membelah Padang Karautan yang sepi.
Sementara itu matahari pun merayap
perlahan-lahan menyusuri jalannya di langit. Semakin lama semakin
tinggi. Ketika dicapainya puncak ketinggian, maka ditempuhnya jalannya
di belahan langit di sebelah barat. Semakin lama semakin rendah.
Selembar-selembar awan hanyut di permukaan wajah yang biru. Dan burung-burung berkeliaran menyambar makanannya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang
berpacu memasuki jalan kota di Tumapel. Derap kakinya menghentak-hentak
di atas tanah berbatu-batu. Segumpal-segumpal debu yang putih melontar
di udara.
Dua orang penunggang kuda yang tubuhnya
basah oleh keringat telah memasuki gerbang kota. Keduanya adalah
prajurit yang mendapat perintah dari Ken Arok, menyampaikan laporan
kepada Akuwu Tunggul Ametung.
Di regol pertama Istana Tumapel,
keduanya berhenti. Para penjaga yang melihat kedua prajurit yang
tubuhnya menjadi kelabu karena debu yang melekat, tersenyum sambil
bertanya. “He, apakah kau baru saja berguling-guling di atas pasir?”
“Uh,” sahut salah seorang dari mereka, “panasnya bukan main. He, apakah masih ada sisa makanan di sini?”
Prajurit-prajurit yang berada di regol itu tertawa. “Apakah kau tidak membawa bekal apa pun dari Panawijen.”
“Aku tidak datang dari Panawijen, aku datang dari Padang Karautan.”
“Ya, begitulah maksudku.”
“Yang ada di padang itu hanyalah rumput-rumput kering dan batu-batu padas bergumpal-gumpal.”
“Bohong,” sahut salah seorang prajurit
yang bertugas di regol halaman luar, “kau sangka aku tidak tahu, berapa
pedati penuh dengan beras dan jagung yang kalian bawa ke padang itu?”
“Tetapi aku tidak sempat membawa barang segumpal pun. Sekarang beri aku makan.”
Para penjaga regol itu tertawa. Dibawanya kedua kawannya ke gardu mereka.
“Aku masih mempunyai sebungkus meniran jagung.”
“Jadilah. Sementara itu sampaikan lewat
pelayan dalam yang bertugas, bahwa kami berdua ingin menghadap Akuwu
Tunggul Ametung. Kami membawa pesan dari Ken Arok yang memimpin kami di
Padang Karautan.”
“Telanlah makanan itu dahulu. Kalau tiba-tiba Akuwu memanggilmu saat ini juga, kau tidak akan menghadap sambil mengunyah meniran jagung.”
“Akuwu tidak akan menerima aku segera. Aku masih akan sempat mandi dahulu.”
“Pantas.”
“Apa yang pantas?”
“Kalau kau memang bermaksud mandi dahulu, seharusnya kau mandi sebelum makan.”
“Sama saja. Mandi lalu makan atau makan lalu mandi.”
Para prajurit itu pun tertawa. Mereka
membiarkan kedua kawannya makan sekenyang-kenyangnya. Sementara itu
salah seorang dari mereka pergi ke halaman dalam. Menyampaikan
permohonan kedua prajurit itu untuk menghadap lewat mereka yang bertugas
di dalam.
Ternyata dugaan kedua prajurit yang
datang dari Padang Karautan itu meleset. Ternyata, begitu Akuwu
mendengar permohonan itu, segera berkata, “Bawa mereka kemari.”
Prajurit yang sedang makan itu pun menjadi tergesa-gesa. Ketika mereka menelan gumpalan meniran jagung yang terakhir, maka mereka memerlukan hampir sekendi air untuk mendorong gumpalan itu masuk ke dalam perut mereka.
Dengan tergesa-gesa mereka menyeka badan
mereka yang kotor, membenahi pakaian mereka, dan dengan tergesa-gesa
pula mereka berjalan masuk lewat pintu regol halaman dalam.
“Akuwu hampir tidak sabar menunggu kalian,” berkata prajurit yang berada di regol halaman dalam.
“Aku baru makan,” sahut kedua prajurit itu sambil berjalan cepat.
Sejenak kemudian kedua prajurit itu telah duduk tumungkul
di hadapan Akuwu Tunggul Ametung di ruang belakang. Sekali-sekali
mereka menekan perut mereka yang terasa sakit di arah lambung karena
mereka baru saja makan kenyang-kenyang.
“Apakah kalian membawa pesan dari Ken Arok,” bertanya Akuwu Tunggul Ametung.
“Hamba tuanku,” sahut kedua prajurit itu.
“Tentang bendungan dan taman?”
“Hamba tuanku, tetapi juga tentang yang lain.”
“Yang lain itulah yang pasti akan menarik
perhatian. Tentang bendungan dan taman, bukankah kau akan berkata bahwa
keduanya telah dikerjakan dengan lancar?”
“Hamba tuanku.”
“Nah, kalau begitu, tentang yang lain itulah yang aku ingin mendengar. Coba katakan, tentang apa? Kekurangan makan? Penyakit?”
“Tidak tuanku.”
“Kalau begitu tentang apa?”
“Tentang Kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Mahisa Agni?”
“Ya.”
“Kenapa Mahisa Agni? Apakah Ken Dedes perlu mendengarnya juga?”
“Hamba tuanku. Tetapi hamba tidak tahu, apakah Tuan Puteri Ken Dedes dapat langsung mendengarnya dari mulutku.”
Tunggul Ametung mengerutkan alisnya.
Terasa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Dan tiba-tiba ia teringat
kepada permintaan Ken Dedes beberapa saat yang lalu. Gadis itu
mengatakan bahwa kakaknya sedang terancam oleh kedua orang yang
mengerikan, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Gadis itu pernah berkata
kepadanya dan minta perlindungan bagi kakaknya dari kedua iblis dari
Kemundungan itu.
Dengan demikian maka Akuwu Tunggul
Ametung itu menjadi berdebar-debar. Wajahnya yang keras tampak menjadi
tegang. Sedangkan kedua prajurit yang menghadapnya, duduk tumungkul dalam-dalam.
Tetapi kedua prajurit itu terkejut dan
hampir saja mereka terlonjak ketika tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung
membentaknya, “Kenapa kalian diam saja he? Soal yang lain itu soal apa?”
“Oh,” sahut salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Ampun tuanku. Maksud hamba, apakah hamba harus menyampaikan sekarang, atau hamba masih harus menunggu Tuan Puteri Ken Dedes.”
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir. Lalu katanya, “Katakan. Katakan sekarang.”
Sejenak kedua prajurit itu saling
berpandangan. Namun sekali lagi mereka terkejut ketika Akuwu itu
berteriak, “Sekarang. Kau dengar.”
“Ya, ya tuanku,” berkata prajurit itu.
Meskipun ia sudah biasa melihat sikap Tunggul Ametung, namun terasa
tangannya masih juga gemetar, “hamba mendapat pesan dari Kakang Ken Arok
untuk hamba persembahkan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, berita
tentang kakanda Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Sudah kau katakan. Sudah kau katakan,” potong Tunggul Ametung, “tentang Mahisa Agni. Kenapa Mahisa Agni itu?”
Prajurit itu menggigit bibirnya. Namun
kawannya cepat-cepat menyambung, “Hamba tuanku. Sebenarnyalah memang
soal Kakanda Tuan Puteri yang sedang berada dalam bahaya.”
“Aku sudah mengerti. Kalau tidak demikian kalian tidak akan datang kemari. Tetapi bahaya itu bahaya apa?”
“Tuanku,” sahut prajurit yang seorang,
“Telah lama kakanda Tuan Puteri Ken Dedes dibayangi oleh dua orang yang
berbahaya baginya, yang selama ini berusaha untuk menangkap Mahisa
Agni.”
“Maksudmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Ternyata Akuwu Tunggul Ametung telah mendengar nama itu.
“Benar?”
“Hamba tuanku,” hampir bersamaan kedua prajurit itu menyahut, “Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.”
“Dan kini Mahisa Agni berhasil ditangkapnya?”
“Hamba tuanku.”
“Setan alas,” Akuwu Tunggul
Ametung itu mengumpat keras-keras sambil meloncat berdiri. Tangannya
mengepal dan giginya gemeretak. Sambil mengayun-ayunkan tangannya dekat
sekali di atas kepala kedua prajurit yang tunduk itu Akuwu Tunggul
Ametung berteriak, “Bukankah di Padang Karautan ada sepasukan prajurit
Tumapel di bawah pimpinan Ken Arok? Prajurit macam kalian ini? Lalu
apakah gunanya kalian berada di padang itu, he? Apakah kalian tidur saja
atau kalian berlari ketakutan hanya karena mendengar nama Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat? O, alangkah malunya aku mempunyai prajurit seperti
kalian. Kalian yang hanya dapat makan dan tidur, tetapi tidak berani
menengadahkan dada di hadapan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Kedua prajurit itu tidak segera menjawab.
Mereka telah mengerti benar-benar sifat Akuwunya. Apabila mereka berani
memotong kata-kata itu, maka kepala mereka pasti akan disentuh oleh
tinju yang sedang terayun-ayun. Karena itu maka mereka membiarkan saja
Akuwu Tunggul Ametung itu berbicara terus.
Akhirnya Akuwu Tunggul Ametung itu terdiam juga.
“Ampun tuanku,” berkata seorang dari
kedua prajurit itu setelah Akuwu Tunggul Ametung terdiam diri, “yang
terjadi itu benar-benar di luar kemungkinan pertolongan kami.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. “Kenapa?” desisnya.
“Kebo Sindet berhasil menangkap Mahisa Agni tidak di Padang Karautan, tetapi di Padepokan Panawijen.”
“Apakah Mahisa Agni berada di Padepokan Panawijen?”
“Hamba tuanku,” jawab prajurit itu.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Maka prajurit itu pun kemudian
menyampaikan pesan Ken Arok dan Empu Gandring kepada Akuwu Tunggul
Ametung. Dengan hati-hati dikatakannya peristiwa itu berurutan seperti
yang mereka dengar. Dikatakannya pula bahwa Wong Sarimpat kini telah
terbunuh, dalam perkelahian melawan Empu Sada, guru Kuda Sempana yang
ingin juga membebaskan Mahisa Agni.
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini telah duduk kembali. Dengan
wajah yang tegang ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi atas
Mahisa Agni.
“Ah,” desahnya, “anak itu kurang
hati-hati. Kenapa ia tidak membawa beberapa orang prajurit bersamanya
ketika ia pergi ke Panawijen?”
Sekali lagi Akuwu berdiri dengan
gelisahnya. Sambil berpaut tangan di punggungnya, ia berjalan hilir
mudik di dalam ruangan itu. Kepalanya ditundukkannya, seolah-olah sedang
memandangi ujung-ujung kakinya berganti-ganti.
Tiba-tiba Akuwu itu berhenti, berputar
menghadap ke arah kedua prajurit itu. “Sst,” desisnya, “jangan terlampau
keras. Nanti Ken Dedes mendengarnya. Ia tidak boleh menjadi gelisah
karenanya. Aku sendirilah yang akan menyampaikan berita ini kepadanya
dengan hati-hati, supaya ia tidak menjadi bingung dan cemas. Rencana
yang sudah aku susun selama ini tidak boleh terganggu karenanya.”
Kedua prajurit itu tersenyum di dalam
hati. Bukankah Akuwu Tunggul Ametung sendiri yang berteriak-teriak
demikian kerasnya? Tetapi kedua prajurit itu menjawab hampir bersamaan,
“Hamba tuanku.”
“Bagus. Para tetua Tumapel sudah sibuk
menentukan hari perkawinanku dengan gadis itu. Hilangnya Mahisa Agni
jangan menjadi sebab tertundanya perkawinan itu.”
Akuwu itu terdiam sejenak. Alisnya menjadi berkerut-merut. Dan tiba-tiba ia berteriak, “He, aku akan menyiapkan pasukan segelar sepapan. Mahisa Agni harus diketemukan segera. Witantra sendiri harus memimpin pasukan itu.”
Kedua prajurit itu sama sekali tidak terkejut. Mereka sudah menyangka bahwa Akuwu akan mengambil sikap itu dengan serta-merta.
Dan kedua prajurit itu mendengar Akuwu
melanjutkan, “Ah, tidak, tidak perlu segelar sepapan. Bukankah yang
dihadapi hanyalah seorang Kebo Sindet. Sebenarnya prajurit-prajurit yang
ada di Padang Karautan saja telah cukup untuk menangkapnya. Apalagi di
sana ada pula Empu Gandring.”
Kedua prajurit itu tidak segera menjawab. Mareka masih menundukkan kepala mereka.
“He, kenapa kalian diam saja? Bagaimana pendapatmu?”
“Ampun tuanku,” sahut salah seorang dari mereka.
“Sebenarnya kami di Padang Karautan pun
akan mampu menangkapnya bersama kakang Ken Arok dan Empu Gandring
apabila persembunyiannya telah kami ketemukan.”
“Jadi persembunyian itu belum kalian
temukan? Jadi bagaimana katamu tadi? Bukankah kau berkata bahwa
persembunyian Kebo Sindet itu telah diketahui, diputari sebuah rawa-rawa
yang berlumpur?”
“Hamba tuanku. Maksud hamba, bahwa sebenarnya tuanku tidak perlu menyiapkan sepasukan yang lain.”
“Tetapi bagaimana yang terjadi. Apakah
kalian berbuat sesuatu atas Mahisa Agni? Kalau kalian dapat mengatasi
persoalan itu sendiri, kalian tidak akan berlari-lari datang kemari
melaporkan hal itu kepadaku. Kalian pasti akan bertindak dahulu, baru
setelah semuanya selesai, kalian mempertanggungjawabkannya kepadaku.
Tetapi sekarang kalian berlari kepadaku mengadukan persoalan itu. Nah,
apa katamu?”
“Ampun tuanku,” jawab salah seorang
prajurit itu, “hamba telah menyampaikan pesan dari kakang Ken Arok dan
Empu Gandring, bahwa saat ini kekerasan tidak akan menguntungkan bagi
Mahisa Agni itu sendiri.”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ya.
Aku mendengar. Tetapi apakah Mahisa Agni itu akan dibiarkan saja dalam
keadaannya. Sedangkan orang yang akan berusaha membebaskannya itu akan
dapat melakukan pekerjaannya berapa bulan, berapa tahun lagi? Itu akan
terlampau lama. Sebentar lagi aku akan melangsungkan upacara kenegaraan.
Apabila saat itu Mahisa Agni masih belum diketemukan, maka aku menjadi
cemas, bahwa Ken Dedes akan terganggu perasaan dan kegembiraannya.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun salah seorang dari mereka mencoba berkata, “Tetapi
tuanku, apabila terjadi sesuatu yang lebih dahsyat pada Mabisa Agni itu,
maka Tuan Puteri akan menjadi lebih berduka.”
“Ya, ya. Kau benar.” Akuwu Tunggul
Ametung itu berhenti sejenak. Ia kini berdiri di muka kedua prajurit
yang duduk menunduk dalam-dalam, “peristiwa ini adalah peristiwa yang
pahit bagiku. Tetapi upacara kenegaraan dari perkawinan Akuwu Tumapel
tidak boleh tertunda. Sebagian dari persiapan telah dilakukan dan para
tetua Tumapel pun telah menentukan waktunya.”
Kedua prajurit itu tidak menyahut.
“Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya Akuwu itu tiba-tiba.
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak mengerti bagaimana mereka menjawab pertanyaan itu.
Mereka mengangguk-anggukkan kepalanya
ketika mereka mendengar Akuwu itu berkata, “Ya, ya. Tidak seharusnya aku
bertanya mengenai hal-hal yang sulit kepada kalian. Nah, sekarang
kalian boleh beristirahat. Laporan kalian telah aku terima dan pesan
Empu Gandring dan Ken Arok dapat aku mengerti. Aku tidak akan segera
mempergunakan kekerasan. Tetapi aku perintahkan kepada Ken Arok untuk
berusaha menurut jalan yang sebaik-baiknya, agar Mahisa Agni dapat
segera diselamatkan. Dan, sesuai dengan perintahku yang dahulu, taman
yang sedang kalian kerjakan itu pun harus segera selesai pula.”
“Hamba tuanku,” sembah kedua orang
prajurit itu, “taman itu telah kami kerjakan. Beberapa jenis
pohon-pohonan yang akan menjadi pelindung telah tumbuh subur.”
“Bagus. Bagus. Aku percaya kepada kalian
dan Ken Arok. Sekarang pergilah. Sore ini aku harus bertemu dengan Ken
Dedes. Ia tidak boleh terkejut. Aku akan mencoba mengatakan kepadanya.”
“Hamba tuanku, berkata salah seorang prajurit itu, “perkenankanlah hamba mohon diri.”
“Pergilah. Kau harus segera kembali ke
Padang Karautan. Kau tidak perlu menghadap aku lagi kecuali apabila aku
memanggil kalian.”
“Hamba tuanku.”
“Kebutuhan kalian tidak pernah dilupakan. Kalau kalian memerlukan orang-orang baru, maka segera aku akan mengirimkan.”
“Kakang Ken Arok tidak berpesan demikian tuanku.”
“Baik. Pergilah. Taman itu tidak boleh terlambat.”
Kedua prajurit itu pun kemudian meninggalkan istana. Di halaman luar mereka mengambil kuda-kuda mereka.
“Terima kasih atas makanan yang kalian berikan,” berkata prajurit itu kepada penjaga.
“Kau tidak mandi dahulu?” bertanya salah seorang prajurit yang berjaga-jaga di regol itu.
“Buat apa aku mandi sekarang. Aku sudah menghadap Akuwu meskipun tubuhku seperti gadung yang dilumuri abu.”
“Lalu sekarang kau mau apa?”
“Kembali,” sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
“Kembali ke Padang Karautan?”
“Oh, aku masih belum gila,” sahut salah
seorang prajurit itu, ”kembali pulang. Menemui anak isteri. Mandi, makan
yang baik tidak tergesa-gesa dengan lauk yang lezat. Minum wedang jae, lalu tidur nyenyak. Besuk aku baru kempali ke padang yang kering dan panas itu.”
Sesaat kemudian prajurit-prajurit itu pun meninggalkan regol
istana, menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumah masing-masing.
Mereka mempergunakan malam untuk berkumpul di antara keluarga mereka
yang selama ini mereka tinggalkan, berjemur di siang hari, dan berembun
di malam hari di Padang Karautan.
Di istana, Akuwu Tunggul Ametung berjalan
hilir-mudik dengan gelisahnya di biliknya. Hilangnya Mahisa Agni akan
dapat mengganggu rencana perkawinan yang telah dipersiapkan oleh
orang-orang tua Istana Tumapel.
Sebenarnya, apabila Akuwu menghendaki,
maka perubahan itu tidak akan dapat dihalangi oleh siapa pun. Namun
Akuwu sendiri sama sekali tidak ingin perkawinannya tertunda. Karena
itu, maka ia harus mencari akal, supaya semua rencananya dapat
berlangsung.
Tanpa sesadarnya maka Akuwu Tunggul
Ametung itu telah mengumpat di dalam hatinya. Mengumpati Kuda Sempana,
Kebo Sindet, Wong Sarimpat, dan orang-orang yang telah mereka peralat
untuk memancing Mahisa Agni.
“Tetapi ternyata Mahisa Agni itu
terlampau bodoh,” desisnya, “ia mau saja dituntun seperti seekor kerbau
yang telah dicocok hidungnya, masuk ke dalam perangkap. O, alangkah
bodohnya.” Dan tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung itu mengepalkan tangannya
dan ditinjunya telapak tangan kirinya sendiri kuat-kuat. “Bodoh,
bodoh,” desisnya pula, “bukan saja Mahisa Agni, tetapi Ken Arok juga
bodoh. Dan Empu Gandring itu juga bodoh. Mereka bertiga bersama-sama
masuk ke dalam perangkap yang telah dipasang oleh Kebo Sindet. Hanya
orang-orang sebodoh Mahisa Agni, Empu Gandring, dan Ken Arok sajalah
yang dapat dipancing seperti itu.”
Nafas Akuwu Tunggul Ametung itu menjadi semakin cepat mengalir.
“Persetan. Persetan,” dan Akuwu Tunggul
Ametung itu mencoba merebahkan dirinya di atas pembaringannya. Tetapi
sejenak kemudian ia sudah berdiri lagi dan berjalan mondar-mandir.
Tiba-tiba ia tidak tahan lagi. Terdengar
suaranya menggelegar memanggil pelayan yang sedang berjaga-jaga di bawah
tangga serambi istana. “He, siapa yang berada di situ?”
Berhari-jari pelayan itu naik dan duduk di depan pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi pelayan itu terkejut ketika ia mendengar Akuwu itu berteriak lagi, “He, apakah pelayan-pelayan itu sudah tuli?”
Tanpa sesadarnya, maka dengan serta-merta pelayan itu menyahut cukup keras. “Hamba tuanku. Hamba telah menghadap.”
Maka Akuwu Tunggul Ametunglah yang terkejut. Tidak disangka-sangkanya bahwa di belakang pintu itu sudah duduk seorang pelayan yang menjawab panggilannya dengan keras pula.
Maka Akuwu Tunggul Ametunglah yang terkejut. Tidak disangka-sangkanya bahwa di belakang pintu itu sudah duduk seorang pelayan yang menjawab panggilannya dengan keras pula.
“Apa,” teriak Akuwu itu tiba-tiba, “kau berani membentak aku?”
“Ampun, ampun tuanku,” pelayan itu
tergagap. “Hamba tidak sengaja. Hamba terkejut dan karena itu maka suara
hamba menjadi agak terlampau keras.”
“Masuklah,” suara Akuwu Tunggul Ametung pun menjadi rendah dan lambat.
Pelahan-lahan pelayan itu mendorong pintu bilik Akuwu Tunggul Ametung, kemudian duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya.
“Katakanlah kepada emban pemomong Ken Dedes, aku ingin bertemu.”
Pelayan itu menyembah, katanya, “Hamba tuanku. Apakah Tuan Puteri Ken Dedes harus menghadap?”
Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak.
“Tidak,” katanya sambil menggelengkan kepalanya, “aku akan datang kepadanya sebentar lagi.”
“Hamba tuanku,” sembah pelayan itu, yang
kemudian meninggalkan ruangan itu untuk menyampaikan pesan Akuwu Tunggul
Ametung kepada Ken Dedes.
Ketika pelita dan lampu-lampu di dalam
Istana Tumapel sudah mulai dinyalakan, serta para pelayan sudah selesai
membenahi bilik-bilik dan ruangan-ruangan di dalam istana itu, maka
Akuwu Tunggul Ametung berjalan menyusur ruang dalam pergi ke bilik Ken
Dedes. Dengan hati yang gelisah Akuwu melangkah setapak demi setapak.
Direka-rekanya kalimat-kalimat yang akan disampaikannya kepada Ken
Dedes supaya berita tentang hilangnya Mahisa Agni bagi Ken Dedes tidak
mengejutkan dan seakan-akan hanya merupakan sesuatu peristiwa kecil
saja.
Debar di dada Akuwu Tunggul Ametung
menjadi semakin cepat ketika ia melihat Ken Dedes telah menunggunya di
ruang tengah di depan biliknya.
Dengan hormatnya gadis itu duduk bersimpuh di atas sehelai tikar pandan yang dianyam berbunga-bunga. Di belakangnya duduk emban tua pemomong-nya yang setia, yang hampir tidak pernah terpisah dari padanya.
“Silakan tuanku,” Ken Dedes mempersilakan
Akuwu yang masih saja berdiri. Debar jantungnya hampir-hampir tidak
dapat disembunyikannya lagi.
Namun dicobanya untuk tetap tenang.
Pelahan-lahan diletakkannya tubuhnya di atas sebuah tempat duduk rendah
persegi empat yang terbuat dari kayu berukir. Namun sejenak Akuwu itu
sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Mulutnya serasa menjadi berat,
dan darahnya menjadi seolah-olah semakin cepat mengalir.
Ken Dedes dan emban tua pemomong-nya
merasa aneh melihat sikap Akuwu Tunggul Ametung itu. Sikap yang tidak
biasa dalam hidupnya sehari-hari. Namun justru karena itu Ken Dedes
menjadi segan dan takut untuk bertanya lebih dahulu.
Baru sejenak kemudian, setelah jantung
Akuwu Tunggul Ametung menjadi agak tenang, ia berkata, “Ken Dedes,
kedatanganku ini sama sekali tidak membawa suatu persoalan yang penting.
Aku masih belum mengambil keputusan-keputusan baru.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak
segera tahu arah pembicaraan Akuwu Tunggul Ametung yang tidak tentu
ujung dan pangkalnya itu.
Karena itu, maka untuk sejenak Ken Dedes
masih saja berdiam diri sambil menunggu Akuwu Tunggul Ametung
menjelaskan maksudnya. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian
berdiam diri sambil duduk tepekur. Ia sedang mencari kata-kata yang
sebaik-baiknya untuk memberitahukan kepada Ken Dedes tentang kakaknya
yang hilang.
Dengan demikian maka ruangan itu menjadi
sepi. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar seolah-olah saling
bersahutan. Betapa debar jantung Ken Dedes menjadi semakin cepat,
tetapi ia tidak berani bertanya sesuatu kepada Akuwu, yang agaknya
sedang disaput oleh kekalutan pikiran.
Baru sejenak kemudian Akuwu itu berkata,
“Ken Dedes. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa persiapan
hari perkawinan itu berjalan dengan lancar.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi terasa bahwa bukan itu yang ingin dikatakan oleh Akuwu Tunggul
Ametung. Meskipun demikian ia menjawab, “Hamba tuanku.”
“Apakah kau bergembira karenanya?”
“Hamba tuanku. Tentu hamba bergembira karenanya.”
“Aku sudah menyangka,” gumam Akuwu seolah-olah kepada diri sendiri.
Tetapi Akuwu itu sekali lagi terdiam.
Dengan kaku ia duduk menundukkan kepalanya. Ia masih belum juga
menemukan kata-kata yang dianggapnya baik untuk memberitahukan kepada
Ken Dedes tentang Mahisa Agni.
Dalam pada itu, Ken Dedes pun menjadi semakin tegang. Terasa sesuatu yang baginya pasti cukup penting.
“Ken Dedes,” tiba-tiba Akuwu Tunggul
Ametung berdesis, “hari perkawinan itu sudah ditentukan oleh tetua
Tumapel. Kira-kira setengah bulan lagi akan dilakukan upacara
kenegaraan. Aku sama sekali tidak ingin saat-saat yang kita
tunggu-tunggu itu terganggu oleh apa pun juga. Bukankah begitu? Kau akan
segera menjadi seorang permaisuri, bukan sekadar calon permaisuri.
Kedudukanmu di dalam istana ini menjadi jelas. Tidak seperti sekarang.
Kau masih seorang bakal permaisuri yang tidak mempunyai kekuasaan
sepenuhnya. Para emban dan pelayan masih saja menganggapmu orang asing di sini.”
Ken Dedes mengangguk hormat sambil
menjawab, “Hamba tuanku. Hamba akan berterima kasih sekali atas
perhatian tuanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa para emban dan pelayan bersikap sangat baik kepadaku.”
“Ya…, ya,” Akuwu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku memang mengharap demikian,
tetapi kau akan menjadi lebih mantap berada di istana ini sebagai
seorang permaisuri. Seorang yang berhak sepenuhnya atas Istana Tumapel.
Dan tak seorang pun yang akan berani membantah perintahmu. Sebab
kekuasaanmu tidak ada bedanya dengan kekuasaanku sendiri di dalam istana
ini. Apakah kau dapat mengerti Ken Dedes?”
Ken Dedes menjadi heran mendengar
pertanyaan itu. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan perasaannya. Ia
menjadi semakin yakin bahwa ada sesuatu yang masih belum diucapkan oleh
Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk
mendesaknya.
Akuwu Tunggul Ametung itu berkata pula
dengan nada yang datar, “Karena itu, semuanya harus berlangsung tepat
pada waktunya. Apa pun yang terjadi.” Tiba-tiba suaranya meninggi,
“Bukankah begitu Ken Dedes?”
Ken Dedes yang menjadi semakin gelisah menyahut, “Hamba tuanku. Hamba menjunjung segala titah tuanku.”
Akuwu Tunggul Ametung
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus, bagus Ken Dedes. Tetapi …,”
kata-kata Akuwu Tunggul Ametung terputus.
Namun dengan demikian Ken Dedes
benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Betapa ia dicekam oleh
keseganan dan ketakutan, namun terdorong juga pertanyaan dari mulutnya,
“Tuanku, apakah sebenarnya yang ingin tuanku katakan?”
“Hem,” Akuwu Tunggul Ametung menarik
nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan hilir-mudik di
ruangan itu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Ken Dedes dan
sekali-sekali wajah embanpemomong -nya. Mula-mula ia ingin menyuruh emban
itu pergi, tetapi niat itu diurungkannya. Mungkin Ken Dedes
memerlukannya untuk menghiburnya apabila ia menjadi terkejut karenanya.
Namun dalam pada itu, terasa dada Akuwu
Tunggul Ametung sendiri menjadi pepat. Ia ingin segera mengatakannya
kepada Ken Dedes, tetapi ia tidak segera menemukan cara yang baik.
Tetapi dalam pada itu, Ken Dedes telah mendesaknya lagi, “Tuanku, apakah tuanku akan mengatakan sesuatu?”
“Ya, ya,” jawab Tunggul Ametung, “ada yang akan aku katakan kepadamu.”
“Hamba telah bersedia menerima titah tuanku.”
“Baik, baik,” jawab Tunggul Ametung.
Tetapi Tunggul Ametung tidak segera
mengatakan sesuatu. Tunggul Ametung masih saja berjalan mondar-mandir
sambil mempermainkan jari-jari tangannya.
Demikianlah maka ruangan itu menjadi sepi
tegang. Wajah-wajah mereka yang berada dalam ruangan itu menjadi tegang
pula. Bahkan dada Akuwu Tunggul Ametung serasa hampir meledak.
Kini, Ken Dedes menjadi yakin bahwa ada
sesuatu yang penting baginya. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak segera
mengatakannya, maka dicobanya untuk menyelusur setiap persoalan yang ada
padanya. Persoalan-persoalan tentang dirinya, tentang hubungannya
dengan Akuwu Tunggul Ametung, dan tentang setiap orang yang ada di
sekitarnya. Bahkan Ken Dedes itu menyangka, bahwa ada orang-orang yang
tidak menyukai kehadirannya di dalam istana ini. Mungkin para emban
dan mungkin para pelayan. Sekilas teringatlah ia kepada seorang dukun
tua, Nyai Puroni. Apakah ada hubungannya dengan orang itu?
Namun tiba-tiba, seperti petir yang
meledak di atas kepalanya, ia mendengar suara Akuwu yang sendat, namun
seakan-akan begitu saja meloncat dari mulutnya. “Ken Dedes, soal itu
adalah soal Mahisa Agni.”
Justru sejenak Ken Dedes terbungkam.
Segera ia menghubungkan persoalan Mahisa Agni itu dengan kecemasan dan
ketakutan yang selama ini membayanginya. Padang Karautan yang ganas dan
orang-orang yang selalu mengancamnya.
Namun bukan saja Ken Dedes yang menjadi cemas dan gemetar. Tetapi emban tua pemomong
Ken Dedes itu pun menjadi gemetar pula. Terasa dadanya bergolak dan
seluruh tubuhnya menjadi dingin. Hampir saja terloncat dari mulutnya,
pertanyaan tentang keadaan anak muda itu selanjutnya. Untunglah bahwa ia
masih mampu menguasai dirinya, sehingga betapapun juga ia masih tetap
berdiam diri.
Kesenyapan sekali lagi mencekam ruangan itu. Akuwu Tunggul Ametung kini duduk mematung sedangkan Ken Dedes dan emban pemomong-nya dengan gelisah dan cemas, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Akuwu itu lebih lanjut.
“Ken Dedes,” suara Akuwu itu kemudian
memecah sepi meskipun belum dapat disusunnya dengan baik, “tetapi jangan
menjadi cemas dan takut. Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang
tangguh tanggon, sehingga ia pasti akan mampu menolong dirinya
sendiri. Apalagi apabila ada orang lain yang membantunya, maka ia pasti
akan segera melepaskan diri.”
Meskipun Akuwu Tunggul Ametung belum
mengatakannya, namun segera Ken Dedes dapat menangkap maksudnya. Karena
itu maka dengan gemetar Ken Dedes berkata, “Tuanku, apakah maksud
tuanku, bahwa kakang Mahisa Agni telah jatuh ke tangan orang-orang yang
selama ini memusuhinya?”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemudian ia menganggukkan
kepalanya sambil bergumam, “Benar, Ken Dedes.”
“O,” sekali lagi Ken Dedes terbungkam.
Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba saja terasa setitik air mengambang di matanya.
“Jadi,” katanya, “sekarang kakang Mahisa Agni tidak berada di antara orang-orang Panawijen?”
Akuwu Tunggul Ametung menganggukkan
kepalanya pula. Jawabnya, “Ken Dedes. Ternyata orang-orang yang ingin
mencelakainya mempunyai seribu macam cara. Tetapi jangan takut, di
Padang Karautan terdapat sepasukan prajurit Tumapel. Empu Gandring,
paman kakakmu itu, ada di sana pula. Sebentar lagi mereka pasti akan
berhasil melepaskan Mahisa Agni dari tangan para penjahat itu.”
“Tetapi ternyata para prajurit dan Empu Gandring tidak dapat melindunginya.”
“Jangan takut. Empu Sada, Empu Purwa,
Panji Bojong Santi akan membantu melepaskannya. Aku akan minta kepada
Witantra untuk menghubungi gurunya itu,” berkata Akuwu tanpa
dipertimbangkannya dalam-dalam. “Seandainya mereka tidak berhasil, maka
aku sendiri akan mencarinya Tetapi …”
“Tetapi,” Ken Dedes mengulangi.
“Ken Dedes,” berkata Akuwu Tunggul
Ametung, “hilangnya Mahisa Agni jangan menjadi sebab terganggunya
upacara yang telah ditentukan oleh para tertua Tumapel.”
Dengan serta-merta Ken Dedes mengangkat
wajahnya. Tetapi wajah itu segera tunduk kembali. Namun betapa perasaan
kecewa menyala di dadanya. Dalam kekalutan perasaan itu ia masih juga
mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata tentang diri sendiri. Tentang
kepentingannya sendiri. Apakah ia akan dapat berbuat seperti itu. Duduk
bersanding dalam upacara kebesaran, dihadap oleh para tetua, para
pemimpin pemerintahan, para senopati, dan kemudian dielu-elukan oleh
rakyat Tumapel, sedangkan saat itu nyawa kakaknya terancam? Meskipun
Mahisa Agni bukan kakaknya sendiri, tetapi keadaannya sama sekali tidak
berbeda. Apalagi telah beberapa kali Mahisa Agni langsung
menyelamatkannya dari bencana yang pada saat-saat itu selalu
membayanginya. Bukankah bahaya yang selalu mengikuti kemana Mahisa Agni
pergi sekarang ini adalah akibat dari keadaan pada waktu itu? Akibat
dari nafsu yang gila dari Kuda Sempana?
Terasa betapa dadanya menjadi pepat.
Kekecewaan, kecemasan, dan ketakutan bergulat di dalam dadanya. Ketika
ia mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya memandangi Akuwu Tunggul
Ametung, maka dilihatnya Akuwu itu kini telah berdiri di muka pintu,
memandangi titik-titik di kejauhan. Seolah-olah belum pernah dilihatnya
ukiran pada tiang-tiang istana dan dinding-dinding sentong-sentong-nya. Dalam sorot lampu yang kemerah-merahan, wajah Akuwu yang tegang itu tampak membeku seperti sebuah patung tembaga.
Dan, Ken Dedes pun telah dapat
menyelesaikan sendiri kalimat Akuwu Tunggul Ametung yang terputus,
“Tetapi, hal itu akan aku lakukan setelah upacara kebesaran.”
Tetapi waktu itu masih cukup lama. Hampir sebulan.
Apakah dalam waktu yang selama itu, tidak terjadi kemungkinan- kemungkinan yang berbahaya bagi Mahisa Agni?
Dalam kekalutan perasaan, Ken Dedes
mendengar Akuwu Tunggul Ametung berkata, “Ken Dedes. Sebenarnya aku
dapat mengerahkan segenap pasukanku untuk mencari Mahisa Agni. Tetapi
Empu Gandring berpendapat lain. Hal itu akan dapat membahayakan nasib
Mahisa Agni sendiri.”
Tunggul Ametung berhenti sejenak. Kini ia
berputar dan berjalan mendekati Ken Dedes, “Ken Dedes. Kau tahu apakah
maksud Kebo Sindet mengambil Mahisa Agni? Orang itu sama sekali tidak
mempunyai persoalan dengan kakakmu. Ia mengambil Mahisa Agni untuk
memerasmu. Kebo Sindet pasti akan menukarkan Mahisa Agni dengan harta
benda yang akan disebutkannya kelak. Karena itu jangan takut bahwa
Mahisa Agni akan terbunuh. Ia pasti akan tetap hidup. Kebo Sindet pasti
sedang sibuk mencari jalan untuk dapat menghubungimu. Mungkin ia akan
mempergunakan Kuda Sempana atau orang Kemundungan yang lain.”
Ken Dedes tidak menjawab. Terasa
titik-titik air di matanya menjadi semakin deras. Betapa ia mencoba
menahannya, namun terasa beberapa tetes jatuh di tangannya yang gemetar.
“Kau dapat mengulur waktu. Kalau
permintaannya tidak terlampau gila, maka kita akan segera dapat memenuhi
tanpa banyak persoalan. Tetapi kalau perlu, pasukanku siap untuk
berbuat.”
Terasa dada Ken Dedes menjadi semakin
tergetar. Ia dapat mengerti dengan sebaik-baiknya maksud Akuwu Tunggul
Ametung, meskipun cara mengatakannya tidak berurutan dan kurang teratur
karena jantung Akuwu Tunggul Ametung sendiri berdentangan tidak
henti-hentinya.
Ken Dedes tahu benar, bahwa ia harus
mengulur waktu supaya Mahisa Agni selamat sampai upacara perkawinannya
selesai. Sesudah itu barulah dipikirkan, cara untuk membebaskannya.
Tetapi Akuwu Tunggul Ametung tidak memikirkannya, bagaimanakah akibatnya
apabila Kebo Sindet berbuat sesuatu sebelum waktu itu tiba. Kebo Sindet
tidak mau menunggu sampai hari perkawinan itu selesai. Bahkan
seandainya Kebo Sindet dapat dipaksanya untuk membiarkan persoalan itu
sampai sesudah upacara perkawinannya, maka apakah ia dapat duduk
bersanding sebagai seorang mempelai yang paling terhormat di seluruh
Tumapel, sedangkan kakaknya, Mahisa Agni, berada di ujung maut?”
Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah desah nafas Ken Dedes yang semakin cepat. Ketika ia berpaling, dilihatnya emban pemomong-nya duduk seperti sebuah patung yang beku. Tetapi yang kemudian dengan tergesa-gesa menyeka matanya yang basah.
“Emban itu menangis juga,” desis
Ken Dedes di dalam hatinya, “ia pun pasti merasa iba. Ia mengenal
Mahisa Agni sejak kanak-kanak. Karena itu, maka ia pun pasti merasa
kehilangan.”
Namun Ken Dedes tidak berani terlampau banyak berbuat. Akuwu Tunggul Ametung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di Tumapel.
Meskipun demikian, diberanikan dirinya
untuk sekadar bertanya, “Tuanku. Bagaimanakah seandainya terjadi sesuatu
atas kakang Mahisa Agni sebelum perkawinan dan upacara kenegaraan itu
berlangsung?”
“Tidak. Tidak akan terjadi,” sahut Tunggul Ametung.
“Tetapi apakah aku akan menjadi seorang mempelai tanpa seorang anggota keluargaku yang masih tersisa menunggui aku?”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia menggeleng, “Itu tidak penting Ken Dedes.
Kau akan menjadi seorang permaisuri. Tak ada persoalan yang dapat
mengganggu-gugat kedudukanmu. Aku memegang seluruh kekuasaan di
Tumapel.”
“Hamba tuanku, namun perasaan hamba selalu terganggu, sehingga hamba tidak merasa tenteram.”
“Lupakan semuanya. Hari-harimu sendiri lebih penting dari segalanya.”
Dada Ken Dedes berdesir. Sekali lagi Akuwu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa mengingat keadaan orang lain.
“Tuanku,” Ken Dedes kini mencoba untuk
mencari jalan lain untuk menyelamatkan Mahisa Agni, ”tak ada orang lain
tempat hamba mengadu kecuali kepada tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Kepada
tuanku pula hamba mohon perlindungan atas kakakku itu, seperti yang
pernah hamba katakan sebelumnya. Karena itu tuanku, apakah tuanku tidak
dapat mengusahakan agar kakang Mahisa Agni dapat terlepas dari tangan
orang-orang yang memusuhinya itu sebelum hari perkawinan itu tiba?”
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Aku pasti akan berusaha. Tetapi aku tidak tahu
apakah usahaku itu berhasil. Aku telah memerintahkan kepada para
prajurit di Padang Karautan, supaya mereka berusaha secepatanya
membebaskan Mahisa Agni. Tetapi Empu Gandring menolak kekerasan.” Lalu
nada suara Akuwu itu merendah, “Dan aku belum menemukan cara lain yang
sebaik-baiknya.”
“Bagaimanakah kalau kakang Mahisa Agni itu tidak dapat dibebaskan, tuanku?”
“Ken Dedes, aku sudah mengatakan,”
berkata Akuwu kemudian, “pikirkan dirimu lebih dahulu. Perkawinan di
antara kita adalah persoalan seluruh tanah Tumapel. Kau harus dapat
menilai persoalan ini menurut pertimbangan yang wajar. Sedangkan Mahisa
Agni bukanlah persoalan Tumapel. Karena itu, maka persoalan yang besar
tidak akan dapat diganggu oleh persoalan-persoalan yang kecil, yang
tidak mempengaruhi keadaan Tumapel keseluruhan.”
Betapa kecewa Ken Dedes mendengar jawaban
itu. Tanpa sesadarnya maka air matanya menjadi semakin deras mengalir.
Ia tidak dapat mengesampingkan begitu saja satu-satunya sisa
keluarganya, Mahisa Agni. Betapa kebahagiaan dan keluhuran yang akan
diterima karena perkawinan itu, namun Mahisa Agni adalah seorang yang
cukup penting di dalam hidupnya.
Dalam pada itu, Akuwu yang gelisah
menjadi semakin gelisah. Ia memang sudah menyangka bahwa Ken Dedes akan
bersedih karenanya. Tetapi baginya, tidaklah sewajarnya bahwa upacara
kenegaraan itu akan terganggu karena hilangnya Mahisa Agni. Karena itu,
ketika ia melihat Ken Dedes menangis, maka ia berkata pula, “Ken Dedes,
aku minta kau mengerti. Aku tidak memperkecil arti Mahisa Agni bagi
hidupmu, tetapi kau pun harus tidak memperkecil arti upacara kenegaraan
yang telah menjadi keputusan Akuwu Tunggul Ametung atas nasihat dan
saran para tetua di Tumapel.”
Kini, harapan Ken Dedes menjadi kian
tipis. Akuwu Tunggul Ametung tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada
Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Agni itu tidak segera diketemukan,
bahkan apabila bencana yang sebenarnya menimpanya, maka tak ada harapan
bagi Ken Dedes untuk menunda hari perkawinan yang sudah ditentukan itu.
Namun ia tidak berani untuk bertanya dan menyatakan pendapatnya
terlampau banyak. Ia tahu benar bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah
seorang yang memegang segenap kekuasaan di Tumapel. Apabila Akuwu itu
merasa dirinya terganggu, maka ia pasti akan mempergunakan kekuasaan
untuk memaksanya. Itulah sebabnya maka Ken Dedes merasa bahwa tak ada
gunanya untuk merengek-rengek lebih lanjut. Sehingga dengan demikian
maka gadis itupun kini duduk temungkul dalam-dalam. Dicobanya untuk menahan air matanya sekuat-kuat tenaganya.
“Bagaimana Ken Dedes?” bertanya Akuwu Tunggul Ametung. “Apakah kau dapat mengerti?”
Tak ada jawaban lain yang dapat diucapkan kecuali, “Hamba tuanku, hamba mengerti.”
Mendengar jawaban Ken Dedes itu, Akuwu
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia menyadari
bahwa Ken Dedes tidak berkata dengan segenap hatinya, tetapi ia
mengharap bahwa lambat-laun gadis akan dapat mengerti sepenuhnya. Karena
itu maka Akuwu Tunggul Ametung itu pun menganggap bahwa tidak ada
gunanya lagi untuk berbicara lebih lama. Ia akan memberi kesempatan
kepada Ken Dedes untuk mempertimbangkannya sendiri dan mengerti
maksudnya.
Maka sejenak kemudian Akuwu itu pun
berkata “Ken Dedes, timbangkanlah baik-baik. Tetapi jangan kau sangka
bahwa aku hanya akan berdiam diri selama ini. Seandainya ada jalan
bagiku untuk membebaskannya dalam waktu yang pendek, itu akan aku
lakukan. Namun apabila aku gagal, maka kau sudah dapat mengatur
perasaanmu dan tidak terlampau banyak terpengaruh olehnya.”
Sekali lagi Ken Dedes menyembah sambil menjawab, “Hamba tuanku.”
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah, aku akan kembali ke bilikku. Pikirkanlah
baik-baik. Jangan terlampau terbenam di dalam perasaan.”
“Hamba tuanku.”
Kemudian kepada emban tua yang duduk di belakang Ken Dedes, Akuwu Tunggul Ametung berkata, “Emban,
kau sudah cukup mampu untuk mengendapkan perasaanmu. Meskipun kau
agaknya bersedih juga atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi aku harap kau
dapat menenangkan hati momongan-mu.”
Emban tua itu menyembah sambil membungkuk dalam-dalam.
“Hamba tuanku. Akan hamba lakukan titah tuanku.”
“Baiklah,” gumam Akuwu Tunggul Ametung
meskipun ia tidak yakin bahwa hal itu akan terjadi sebaik-baiknya,
“beristirahatlah. Aku akan kembali ke bilikku. Kau akan menghadapi
saat-saat yang berat sebelum menghadapi perkawinan. Tiga orang dukun
pengantin akan merawatmu menjelang perkawinanmu.”
Tak ada lain yang diucapkan oleh Ken Dedes, katanya, “Hamba tuanku. Hamba selalu menjunjung titah tuanku.”
Sejenak kemudian maka Akuwu Tunggul
Ametung meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling, namun kemudian ia
pun hilang di balik pintu.
Begitu Akuwu Tunggul Ametung tidak tampak
lagi di mata Ken Dedes, maka tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya, dan
dengan serta-merta dipeluknya emban tua pemomong-nya. Betapapun ia mencoba menahan diri, tetapi air matanya tercurah tanpa dapat dibendungnya. Dibenamkannya kepalanya di dalam emban
tua itu, seperti pada masa kanak-kanaknya. Terdengar di sela-sela
isaknya ia berkata, “Bibi, bagaimanakah dengan kakang Mahisa Agni?”
Kini, emban tualah yang harus
berjuang melawan perasaannya sendiri. Betapa dadanya seperti terbelah
oleh kecemasan dan kegelisahan atas hilangnya Mahisa Agni, tetapi ia
harus tabah dan mampu menahan dirinya. Ia harus menghibur momongan-nya
supaya gadis itu tidak menjadi semakin dalam tenggelam dalam duka. Sudah
tentu emban tua itu tidak dapat berkata kepada Ken Dedes,
bahwa ia sendiri sedang bersusah hati, sebab Mahisa Agni adalah anaknya.
Satu-satunya anaknya.
emban itu menggeleng lemah.
Sekuat tenaga ia berjuang untuk tidak hanyut dalam arus perasaannya.
Meskipun demikian setetes-setetes air matanya jatuh membasahi rambut Ken
Dedes yang hitam lebat. Namun emban tua itu berusaha untuk
berkata, “Sudahlah nini. Jangan terlampau bersedih. Aku tahu, bahwa kau
merasa kehilangan. Angger Mahisa Agni adalah tidak ubahnya seperti kakak
kandungmu sendiri, pengganti orang tuamu. Tetapi dengan demikian kau
akan kehilangan gairah menyambut hari-harimu yang cerah.”
“Apakah artinya kebahagiaan yang semu ini bibi,” jawab Ken Dedes tiba-tiba.
emban tua itu mengerutkan
keningnya. Pelahan-lahan ia berkata, “Tidak nini. Kebahagiaan yang sudah
berada di ambang pintu adalah suatu kenyataan. Bukan sekadar semu.
Apabila kau dapat menghayatinya, maka kau akan merasakannya sebagai
suatu kurnia tiada taranya. Kau harus lebih banyak mempergunakan
pertimbangan nalar daripada tekanan perasaan.”
“Bibi, apakah aku dapat berbuat demikian?
Berpikir tentang diriku sendiri, sedangkan kakang Mahisa Agni yang
selama ini selalu melindungi aku berada dalam bahaya?”
emban tua itu mengerutkan keningnya. Kata-kata Ken Dedes itu langsung menyentuh perasaan sendiri. Mahisa Agni berada di dalam bahaya.
Namun dari sela-sela bibir yang tipis,
terdengar kata-katanya bergetar, “Nini, serahkanlah semuanya kepada Yang
Maha Agung. DaripadaNya dunia ini terbentang. Maka kepadaNya pula kita
menyerahkan nasib. Kita hanya dapat berusaha, tetapi yang terakhir
adalah kehendakNyalah yang terjadi.”
Kata-kata emban tua itu menjadi
semakin lirih. Sebenarnyalah kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada
diri sendiri daripada kepada orang lain.
Tetapi Ken Dedes mendengar pula kata-kata
itu. Ternyata kata-kata itu dapat memberinya sekadar ketenteraman.
Sedikit demi sedikit tangisnya mereda.
“Marilah nini,” berkata emban tua itu, “masuklah ke dalam bilikmu. Mungkin seorang emban atau pelayan atau juru panebah
akan lewat di ruangan ini. Mereka akan melihat kau menangis dan mereka
akan bertanya-tanya di dalam hati, apakah kiranya yang telah terjadi.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berdiri. Dibimbing oleh emban pemomong -nya, Ken Dedes melangkah masuk ke dalam biliknya, langsung merebahkan diri di pembaringannya.
Sejenak emban tua pemomong
-nya duduk di samping pembaringannya sambil mengucapkan kata-kata yang
dapat membesarkan hati momongan-nya. Ketika hati gadis itu sudah menjadi
agak lilih, maka ditinggalkannya Ken Dedes seorang diri. Dengan tergesa-gesa emban itu pergi ke biliknya sendiri. Ternyata ia tidak dapat lebih lama menahan desakan kepahitan yang tersimpan di dalam dadanya.
Ketika emban tua itu memasuki
biliknya sendiri, maka masih dicobanya untuk bertahan. Untuk tidak
tenggelam dalam genangan duka. Tetapi ia tidak berhasil. Dadanya yang
selama ini selalu mencoba bertahan atas segala macam keadaan, maka kini
seolah-olah meledak dengan dahsyatnya.
Emban tua itupun menelungkup di pembaringannya. Air matanya lepas seperti bendungan pecah.
“Anakku,” desisnya.
Emban tua ini menangisi
satu-satunya anaknya. Anak yang hilang pada masa kecilnya dibawa oleh
ayahnya tanpa setahunya. Dengan segala macam cara ia berhasil menemukan
anak itu kembali. Tetapi ia tidak dapat menyatakan dirinya sebagai
seorang ibu. Meskipun demikian ia berhasil menunggui anaknya setiap
hari. Betapa ia berbangga hati ketika ia melihat anaknya tumbuh subur
seperti sebatang pohon beringin di tengah-tengah Padukuhan Panawijen.
Ternyata anaknya, seperti juga gurunya, mampu memberi pangayoman kepada orang-orang di sekelilingnya, kepada Padukuhan Panawijen.
Tetapi anak itu kini hilang lagi. Hilang
dalam kabut yang kelam. Tak seorang pun yang mengetahui, apakah yang
berada di balik kabut hitam itu, seolah-olah kabut itu sendiri merupakan
rahasia yang penuh menyimpan bahaya.
Dengan sekuat tenaga ia bertahan di
hadapan Ken Dedes, bahkan ia dapat menghibur hati gadis yang duka itu.
Tetapi ia tidak mampu menghibur dirinya sendiri. Ia dapat menerima
segala pengaduan gadis itu, sehingga hati Ken Dedes menjadi agak lapang.
Dan emban tua itu dapat memberinya ketenteraman.
Tetapi emban tua itu tidak
mempunyai tempat untuk menumpahkan himpitan perasaan. Ia tidak mempunyai
kawan untuk membagi duka. Tak seorang pun yang dapat diajaknya
berbicara tentang anaknya yang hilang. Tentang anaknya yang ditangkap
oleh seorang yang mengerikan, iblis dari Kemundungan.
Dengan demikian ia harus menelan kepahitan itu seorang diri. Menanggungnya sendiri dan menahankannya seorang diri pula.
Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar suara cengkerik
berderik-derik di antara gemersik daun-daun kering yang terbang oleh
sentuhan angin malam yang basah. Dingin malam merayap menembus
dinding-dinding kayu Istana Tumapel, menyentuh kulit.
Tetapi emban tua itu tidak juga
dapat memejamkan matanya yang masih saja dibasahi air mata. Bahkan masih
juga terdengar isak-tangisnya tertahan-tahan.
Tetapi ternyata bukan emban tua
itu saja yang malam itu tidak dapat tidur. Ken Dedes malam itu sama
sekali juga tidak dapat tidur. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung pun selalu
dibayangi oleh kegelisahan. Meskipun Ken Dedes tidak menyangkal tentang
saat-saat perkawinan yang sudah ditentukan, tetapi agaknya bukan karena
ia menerima hal itu dengan ikhlas. Agaknya Ken Dedes hanya menuruti
kemauannya karena takut. Meskipun demikian, Akuwu tetap pada
keinginannya. Upacara itu tidak dapat tertunda. Mungkin Ken Dedes akan
bersedih untuk beberapa lama. Tetapi apabila kelak Mahisa Agni telah
dapat dibebaskan, maka kesedhihan itu pun akan berangsur hilang.
“Tetapi bagaimana kalau Mahisa Agni itu
terbunuh?” tiba-tiba tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, “apakah ia
tidak akan menyesal sepanjang hidupnya?”
Akuwu menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya.
“Tetapi aku tidak sempat memikirnya sekarang,” desisnya, “semua orang sudah sibuk dengan persiapan hari perkawinan itu.”
Akhirnya Akuwu mencoba menenangkan
dirinya sendiri. Betapa ia kesal atas peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya tidak bersangkut-paut langsung dengan kepentingannya, tetapi
akan dapat mengganggunya.
“Soal itu adalah soal kecil bagi seorang
Akuwu Tumapel,” gumamnya, “kalau aku harus mengurusi rakyatku seorang
demi seorang maka aku akan mati kelelahan dan kebingungan. Mahisa Agni
memang harus mendapat perlindungan. Tetapi jangan memecahkan otakku.”
Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi Mahisa Agni mempunyai kekhususan. Ia langsung berhubungan dengan bakal permaisuriku.”
Akuwu Tunggul Ametung terhenyak di
pembaringannya. Ia sekali lagi mencoba berbaring dan memejamkan matanya.
Tetapi ia tidak segera dapat tertidur.
Di Lulumbang, Empu Gandring pun tidak
juga dapat tidur Meskipun ia sudah berada di tengah-tengah keluarganya,
namun ia masih belum dapat melupakan kemenakannya. Empu Gandring sendiri
mempunyai beberapa ikatan yang tidak dapat selalu ditinggalkannya. Ia
harus mengerjakan pekerjaan sebagai seorang empu keris. Ia harus
mengurusi padepokannya dan beberapa orang cantriknya. Karena itu maka ia
tidak dapat meninggalkan padepokannya terlampau lama. Namun untuk
melupakan Mahisa Agni, agaknya terlampau sulit baginya. Karena itulah
maka ia selalu saja merasa gelisah. Setiap ia berbaring dan memejamkan
matanya, maka wajah kemenakannya itu justru terbayang terlampau jelas.
Wajah yang pucat-pasi. Wajah yang diam dan beku.
“Kasihan,” desisnya, “mudah-mudahan usaha
untuk membebaskannya itu berhasil. Ia pasti akan lebih daripada aku
sendiri. Menurut keterangannya, maka rawa-rawa itu sudah dikenalnya
dengan baik.”
Ternyata Mahisa Agni malam itu telah menimbulkan kegelisahan di mana-mana. Ken Dedes, emban tua pemomong
-nya, Akuwu Tunggul Ametung, Empu Gandring, dan Ken Arok yang berdiri
tegang di Padang Karautan. Sambil menatap bintang yang bergayutan di
langit, ia menghirup udara malam yang dingin. Tetapi ia tidak ingin
segera masuk ke dalam kemahnya. Terasa udara di dalam gubugnya terlampau
panas. Seperti hatinya yang terbakar oleh kekecewaan. Kenapa ia tidak
mampu berbuat apa-apa dengan pasukannya itu untuk melindungi Mahisa
Agni? Ia menyesal bahwa ketika Mahisa Agni pergi ke Panawijen, ia tidak
berkeras untuk membawa beberapa orang prajurit bersamanya. Tetapi semua
itu sudah telanjur. Semua sudah terjadi.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Udara
malam yang dingin menyentuh seluruh isi dadanya yang gelisah. Sedangkan
di hadapannya terbentang kewajiban yang tidak dapat diabaikan.
Bendungan yang ditinggalkan oleh Mahisa Agni, susukan induk,
parit-parit, sawah, dan pategalan yang baru mulai ditanami dengan
pohon-pohon pelindung dan pohon buah-buahan, kemudian yang tidak kalah
pentingnya bagi Ken Arok sendiri adalah taman yang pada saatnya harus
dipersembahkan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Taman yang kelak akan
dihadiahkan kepada permaisurinya, Ken Dedes.
“Hari perkawinan itu menjadi semakin
dekat,” desis Ken Arok. “Sebelum enam bulan dari hari perkawinan itu,
taman itu harus sudah siap. Harus sudah berwujud.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Ia akan
banyak kehilangan waktu apabila ia tenggelam dalam persoalan Mahisa Agni
saja. Karena itu maka kedua-duanya harus mendapat perhatiannya.
“Aku harus bekerja siang dan malam. Kalau
tidak, maka semuanya tidak akan selesai dalam waktu enam bulan lagi.
Tapi apakah orang-orang Panawijen mampu bekerja secara demikian? Aku
yakin bahwa prajurit Tumapel akan dapat melakukannya. Sebaiknya aku
minta beberapa orang baru dengan perbekalan dan peralatan baru.
Mudah-mudahan enam bulan lagi pohon-pohon yang sudah mulai tumbuh itu
sudah menjadi cukup rimbun, pategalan sudah mulai tampak hijau, dan
tanah-tanah yang akan disiapkan menjadi tanah persawahan sudah dapat
mulai digenangi air.”
Ken Arok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berdesis, “Orang-orang baru itu akan dapat melakukannya
di dalam hari bergiliran. Dengan demikian waktu yang singkat ini
seolah-olah akan menjadi berlipat.”
Terasa dada Ken Arok menjadi agak lapang
dengan keputusannya itu. Ia mengharap tidak mengecewakan Akuwu Tunggul
Ametung. Ia tidak ingin mengundur waktu yang sudah ditetapkan. Enam
bulan sesudah hari perkawinan, Akuwu akan membawa permaisurinya ke taman
yang sedang dibuatnya itu.
“Mudah-mudahan daerah ini telah menjadi daerah yang hijau,” desisnya kemudian.
Tetapi angan-angan Ken Arok itu tiba-tiba
menjadi terganggu. Ia melihat bayangan tiga sosok tubuh mendekatinya.
Ia segera mengenal, bahwa dua orang di antara mereka pasti para pengawal
yang bertugas berjaga-jaga malam ini. Tetapi siapakah yang seorang?
Ken Arok masih berdiri di tempatnya, di sisi gubugnya. Dibiarkannya orang-orang itu menjadi semakin dekat.
Ketika jarak mereka menjadi semakin pendek, maka bertanyalah Ken Arok itu, “Siapa?”
“Kami para peronda,” sahut salah seorang dari mereka.
“Ya, aku mengenal kau berdua, tetapi yang seorang?”
“Seorang tamu.”
“Tamu? Siapakah yang dicarinya? Aku?”
“Ya.”
Ken Arok menjadi berdebar-debar sejenak.
Tetapi kemudian ia terperanjat ketika ia mendengar orang itu berkata,
“Aku Ken Arok. Apakah kau sudah lupa kepadaku. Kepada ayahmu?”
Terasa darah Ken Arok menjadi semakin
cepat mengalir. Ia mengenal suara itu. Suara yang telah lama tidak
didengarnya, namun yang kini tiba-tiba telah menyentuh telinganya.
Tanpa sesadarnya ia berdesis, “Ayah, Bango Samparan.”
Orang itu tertawa, “Ha, kau masih mengenal aku dengan baik. Ya, aku ayahmu, Bango Samparan.”
Wajah Ken Arok tiba-tiba menjadi tegang.
Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa ia akan bertemu dengan ayah
angkatnya di saat-saat seperti ini. Namun lebih daripada itu, ada
perasaan ganjil yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebenarnya lebih
baik baginya apabila ia tidak pernah lagi bertemu dengan orang itu,
dengan Bango Samparan. Tetapi orang itu telah berdiri di hadapannya, dan
ia tidak lagi dapat menolak.
“Aku senang sekali dapat menemuimu di sini, Ken Arok,” berkata Bango Samparan.
“Ya ayah,” begitu saja meluncur jawaban dari mulut Ken Arok.
Kini ketiga orang itu telah berdiri benar-benar di hadapannya. Ia melihat kedua peronda dan Bango Samparan berhenti sejenak. Namun kemudian ayah angkatnya itu melangkah maju, mendekap pundaknya, dan berkata, “Kau gagah benar anakku. Aku tidak menyangka bahwa kau akan menjadi seorang pelayan dalam yang baik. Bahkan seorang prajurit yang mumpuni.”
Kini ketiga orang itu telah berdiri benar-benar di hadapannya. Ia melihat kedua peronda dan Bango Samparan berhenti sejenak. Namun kemudian ayah angkatnya itu melangkah maju, mendekap pundaknya, dan berkata, “Kau gagah benar anakku. Aku tidak menyangka bahwa kau akan menjadi seorang pelayan dalam yang baik. Bahkan seorang prajurit yang mumpuni.”
“Terima kasih ayah,” sahut Ken Arok,
“Lama sekali aku mencari. Hampir seluruh
negeri aku jelajahi. Tetapi aku baru menemukan di sini, setelah namamu
dikenal oleh hampir setiap orang. Sebelum ini, Ken Arok, aku sudah
menyangka bahwa kau tinggal di Padang Karautan ini pula. Tetapi tidak
sebagai seorang prajurit? Benarkah begitu? Apakah benar bahwa yang
ditakuti . . . .”
“Ayah,” potong Ken Arok tiba-tiba,
“marilah, aku persilakan ayah masuk ke dalam gubugku.” Kemudian kepada
kedua peronda yang mengantar Bango Samparan itu, Ken Arok berkata,
“Tinggalkanlah tamuku di sini.”
Kedua peronda itu pun kemudian pergi meninggalkan Bango Samparan yang segera dibawa masuk ke dalam gubug Ken Arok.
Mereka duduk di atas tikar pandan kasar yang dibentangkan di atas setumpuk rumput-rumput kering.
“Aku gembira sekali dapat menemukan kau kembali, Ken Arok.”
“Ya ayah,” jawab Kon Arok, ”aku juga gembira bertemu ayah kembali.”
Terdengar Bango Samparan tertawa.
Suaranya menggelegar di kesunyian padang, sehingga beberapa orang yang
sedang tertidur di gubug-gubug sebelah terbangun karenanya.
“Eh, apakah dugaanku benar, bahwa kau yang pernah menghantui Padang Karautan ini dahulu?”
“Ah,” desah Ken Arok, “mungkin ayah
salah. Tetapi seandainya benar, karena aku pernah juga berada di sini,
sebaiknya semuanya itu sudah harus dilupakan.”
Sekali lagi Bango Samparan tertawa
sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Beberapa kali ia menyeka air
matanya yang meleleh di pipinya yang gembung.
“Kenapa Ken Arok?” ia bertanya, “Kenapa hal itu harus dilupakan.”
“Sebuah kenangan yang menyakitkan hati,” jawab Ken Arok.
“Tidak. Kau tidak boleh melupakan
semuanya. Kau harus tetap mengingat dan mengenang semua yang pernah kau
alami. Dengan demikian kau akan mendapat kebanggaan diri. Ken Arok, anak
Gajah Para dan Ken Endog, yang dipelihara oleh seorang pencuri yang
bernama Lembong, yang kemudian menjadi anak angkat dari seorang penjudi
besar bernama Bango Samparan.”
“Sudah ayah, sudah,” potong Ken Arok.
“He, jangan memotong kata-kataku. Aku
sedang membangkitkan kenanganmu atas dirimu supaya kau tahu apa yang
harus kau lakukan. Nah, dengarlah anak Pangkur, bahwa kau ternyata
memiliki nasib yang baik sekali. Seorang anak yang lahir di padesan yang
kecil, kini menjadi seorang pelayan dalam yang dekat dengan seorang
Akuwu.”
“Ya, ya ayah. Aku berterima kasih kepada Yang Maha Agung, bahwa aku mendapat nasib yang baik.”
“Apakah kau puas dengan keadaanmu sekarang?”
“Tentu ayah. Aku puas sekali dengan
keadaanku sekarang. Seperti ayah katakan bahwa aku adalah seorang anak
yang terbuang di masa kecilku. Aku tidak pernah mengetahui siapakah
ayahku, karena ayah meninggal di masa aku belum dilahirkan.”
“Belum cukup. Harus kau lanjutkan, yang
ketika masih bayi dibuang di kuburan. Ditemukan oleh seorang pencuri
ulung yang bernama Lembong. Dipelihara, tetapi kemudian menghancurkan
hidup mereka karena kau menghilangkan beberapa ekor lembu milik Buyut
ing Lebak. Lembong suami-isteri harus mengganti. Karena kekayaannya
tidak cukup, maka mereka berdua harus melunasinya dengan menggadaikan
diri mereka.”
“Ayah benar. Ayah pernah menceriterakan
semua itu kepadaku. Aku memang anak yang ditemukan di pekuburan. Dan aku
telah berbuat hal-hal yang kurang baik di masa-masa lalu. Tetapi apakah
maksud ayah mengatakan hal itu?”
Bango Samparan itu tertawa lagi. Suaranya
benar-benar membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak.
Bahkan satu-dua orang keluar dari gubugnya dan memerlukan melihat,
siapakah yang sedang tertawa di gubug Ken Arok.
“Siapakah tamu itu,” bertanya salah seorang dari mereka.
Yang lain menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
Mereka pun kemudian pergi sambil
menggerutu. Mereka ingin tidur untuk beristirahat, sebab besok mereka
harus turun lagi ke bendungan atau ke sendang buatan agak jauh ke tengah
Padang Karautan.
“Ken Arok,” berkata Bango Samparan
kemudian, “sudah aku katakan bahwa aku sedang membangkitkan kenanganmu
atas masa-masa lampaumu.”
“Ya ayah, tetapi sesudah aku mengenang kembali semuanya itu, lalu apa yang akan terjadi?”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku hanya ingin ikut mengenyam kepuasanmu
Ken Arok. Sebagai orang tua yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk
kemajuanmu, aku hanya dapat berdoa supaya segala cita-citamu dapat kau
capai.”
“Terima kasih ayah,” sahut Ken Arok.
Namun anak muda itu dapat merasakan, bahwa masih ada sesuatu yang
tersembunyi. Karena itu, maka hatinya menjadi kian berdebar-debar.
Sebenarnya ia tidak senang mendengarkan
ayah angkatnya itu berceritera tentang masa lampaunya. Masa-masa yang
pahit dan menyakitkan hati. Dunianya yang pada saat itu hitam kelam,
sama sekali tidak ada secerceh sinar pun yang dapat menerangi jalannya.
Ia mendengar kalimat-kalimat yang aneh, yang menyentuh hatinya seperti
embun di malam yang panas, adalah dari mulut guru Mahisa Agni. Kemudian
pertemuannya dengan seorang Brahmana telah membawanya ke jalan yang
terang, yang sekarang ini sedang dilaluinya. Tiba-tiba ayahnya, ayah
yang memeliharanya di dunia yang kelam itu, kini datang lagi kepadanya.
Tiba-tiba Ken Arok melihat Bango Samparan
menggeser duduknya setapak maju. Terdengar orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian patah-patah ia berkata, “Eh, Arok. Setelah kau
menjadi orang yang terhormat sekarang ini, apakah kau sudah benar-benar
menjadi puas.”
“Tentu ayah. Sudah aku katakan.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ken Arok. Aku kira tidak ada seorang pun
di dunia yang nasibnya sebaik nasib yang kau bawa itu. Kau ingat pada
saat aku menemukanmu?”
Ken Arok menganggukkan kepalanya. “Ya,”
jawabnya singkat. Bagaimanapun ia tidak senang mendengar kata-kata ayah
angkatnya itu, tetapi ia tidak dapat mencegahnya.
“Pada waktu itu,” Bango Samparan
meneruskan, “aku sedang prihatin. Harta-bendaku habis ditelan oleh
permainan judi, sehingga aku lari dari Karuman karena aku tidak dapat
membayar kekalahanku. Pada waktu itu aku hampir-hampir membunuh diriku
dalam persembunyianku di Rabut Jalu. Ketika aku menemukanmu pada saat
itu Arok, tiba-tiba timbul kembali gairahku untuk menebus kekalahanku.
Ternyata, dengan membawamu kembali ke medan perjudian, aku mendapatkan
kembali semua kekalahanku. Kau ingat.”
Ken Arok mengangguk, tetapi wajahnya menjadi semakin buram.
“Kemudian keadaanmu sendiri. Setelah kau
meninggalkan ibu angkatmu, Genuk Buntu, maka kau hilang dari keluargaku.
Jangan kau sangka bahwa aku tidak mencarimu Arok. Sebab aku masih
memerlukanmu.”
“Hanya supaya ayah selalu menang berjudi.”
Bango Samparan tertawa. “Sebagian, tetapi
ibu angkatmu sangat merindukanmu. Mungkin kau tidak dapat hidup
bersama-sama dengan anak-anak isteriku yang muda itu. Tetapi apabila kau
sekali menjenguk ibu angkatmu, ia pasti akan bergembira sekali.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bukan
karena ia tidak mengenal terima kasih, tetapi ia tahu benar sifat-sifat
ayah angkatnya. Kini ia berada di jalan yang terang. Yang tidak
dibayangi oleh perasaan cemas, gelisah, dan perasaan bersalah.
Kalau ia tidak ingin bertemu lagi dengan ayah angkatnya, karena ia tidak mau lagi dipengaruhi oleh keadaannya.
“Aku masih belum dapat mempercayai keteguhan hatiku sendiri,” desis Ken Arok di dalam hatinya.
“Ken Arok,” berkata Bango Samparan itu kemudian, “apakah kau benar-benar sudah melupakan ibu angkatmu?”
“Tidak ayah,” sahut Ken Arok, “aku tidak pernah melupakannya.”
“Kenapa kau tidak pernah mengunjunginya?”
“Aku belum sempat ayah.”
Bango Samparan tertawa. Katanya, “Apakah
kau terlampau sibuk sehingga kau tidak dapat menyisihkan waktu seminggu
atau dua minggu saja?”
“Bendungan ini tidak dapat aku tinggalkan.”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Sebelum ini kau juga tidak pernah ke
rumah. Apalagi setelah kau menjadi seorang pemimpin pelayan-dalam Istana
Tumapel, yang kali ini dipercaya untuk memimpin sepasukan prajurit,
bukan saja pelayan-dalam dan prajurit-prajurit pengawal istana.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Seharusnya ibumu melihat kau dalam
keadaanmu sekarang. Gagah dan tampan. Sepantasnya kau bukan anak
angkatku, tetapi kau lebih pantas menjadi anak kandungku. Keperkasaanmu,
ketampananmu lebih mirip aku daripada orang tuamu sendiri.”
Ken Arok masih berdiam diri.
“Arok,” berkata Bango Samparan seterusnya, “apakah kau dapat mengunjungi aku beberapa hari saja?”
“Lain kali ayah,” akhirnya Ken Arok menjawab. Bango Samparan mengerutkan alisnya. “Keadaanku sudah terlampau parah.”
“Kenapa?”
“Seperti pada saat aku menemukan kau.
Nah, apabila kau berada bersamaku ke medan perjudian, maka aku mengharap
kekalahanku itu akan dapat aku ambil kembali.”
“Ah,” desah Ken Arok, “ayah terlampau
mempercayai keajaiban. Pada waktu itu aku kira hanya suatu kebetulan
saja, bahwa ayah memenangkan kembali kekalahan itu. Sama sekali bukan
karena ayah pergi bersamaku.”
“Tidak Arok, tidak. Kaulah yang telah
menyebabkan aku memenangkan perjudian itu. Aku yakin. Seolah-olah aku
mendengar suara dari tempat yang tidak aku mengerti, yang mengatakan
bahwa kau memang mempunyai nasib yang baik.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab, “Seandainya demikian, maka aku pun tidak akan pergi.”
Bango Samparan membelalakkan matanya.
“Kenapa? O, Ngger. Aku sudah menempuh jalan yang sulit untuk
menemukanmu. Sekarang apakah tanggapanmu itu cukup sepadan?”
“Maaf ayah,” sahut Ken Arok, “aku sama
sekali tidak mengabaikan kedatangan ayah. Tetapi aku tidak dapat
memenuhi permintaan itu, apabila ayah hanya membutuhkan aku sekadar
untuk memenangkan perjudian.”
“O, itulah kenyataan yang aku hadapi
sekarang. Ken Arok, memang jauh berbeda kasih seorang ayah dan ibu
kepada anaknya dibandingkan dengan keadaan sebaliknya. Seorang ayah dan
ibu kadang-kadang mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk
kepentingan anaknya. Tetapi anak kadang-kadang acuh tak acuh saja kepada
orangtuanya.”
Ken Arok mengerutkan dahinya. Sejenak ia
berdiam diri sambil merenungi wajah ayahnya. Bango Samparan kini sudah
tidak tertawa dan tidak tersenyum lagi.
“Ayah,” berkata Ken Arok, “ayah jangan
salah mengerti. Aku memang tidak dapat memenuhi permintaan ayah. Kalau
aku pergi juga dan justru karena kehadiranku itu ayah dapat memenangkan
perjudian, maka akulah yang berdosa. Aku telah mendorong ayah semakin
dalam masuk ke arena perjudian. Ayah menjadi semakin lekat dengan
kesenangan ayah yang tercela itu.”
“O, Ngger, Ngger,” potong Bango Samparan,
“kau dapat berkata demikian setelah kau mengenakan pakaian seorang
pelayan dalam. Apakah yang dahulu pernah kau lakukan? Judi, merampas,
merampok, memerkosa, dan segala macam kejahatan yang lain.”
“Ya ayah,” sahut Ken Arok. Terasa dadanya
bergolak, namun ia masih cukup menguasai dirinya sendiri, “aku memang
pernah melakukannya. Namun pada suatu saat aku sampai pada suatu batas
di mana aku menyesali semuanya itu. Aku menyesal dan bertobat. Itulah
yang terjadi ayah. Sehingga dengan demikian aku berusaha untuk tidak
lagi terjerumus ke dalamnya.”
“Hem,” Bango Samparan berdesah sambil menghela nafas dalam sekali, “jadi kau benar-benar tidak mau menolongku.”
“Bukan maksudku ayah,” sahut Ken Arok,
“aku selalu bersedia menolong ayah dalam batas kemampuan. Baiklah aku
akan berusaha menolong ayah sesuai dengan kekuatanku untuk meringankan
beban hidup ayah sehari-hari, ayah dan adik-adik di Karuman. Tetapi
tidak untuk berjudi. Tak ada judi yang dapat membahagiakan hidup
seseorang. Seandainya seseorang memenangkan perjudian, maka yang
didapatnya itu adalah perasan milik orang lain. Yang didapatnya itu
adalah karena kerugian orang lain. Meskipun yang terjadi itu seolah-olah
atas persetujuan bersama, tetapi tak seorang pun yang ikhlas atas
setiap kekalahan. Ketidakikhlasan akan ikut serta pada setiap kemenangan
yang didapat di medan perjudian. Nah, milik yang didapat dengan cara
demikian, tanpa keikhlasan, tidak akan membahagiakan hidup kita.”
Wajah Bango Samparan menjadi semakin
berkerut-merut. Dengan tajamnya dipandanginya wajah anak angkatnya itu.
Namun betapa ia menahan rasa kecewa yang berkecamuk di dadanya.
Untuk sesaat, penjudi dari Karuman itu berdiam diri.
Tetapi bibirnya berkumat-kamit tidak
henti-hentinya. Seolah-olah ada yang masih tersimpan di dalam mulut itu,
tetapi tidak dapat dikatakannya.
Ken Arok pun kini duduk sambil merenungi
kegelapan di luar gubuknya. Sejenak kenangannya berlarilarian di masa
lampaunya, di masa kecilnya yang pahit. Hidup di dalam lingkungan
kejahatan. Pencuri dan perampas. Ayah angkatnya yang lain, Lembong,
adalah seorang pencuri. Bahkan ia kadang-kadang harus ikut serta dengan
ayah angkatnya itu. Kemudian, lepas dari seorang pencuri, ia jatuh ke
tangan Bango Samparan, seorang penjudi dan seorang perampok pula.
Kemudian dijelajahinya hidup dalam kegelapan. Ditelusurinya Padang
Karautan, setelah ia tidak dapat menyembunyikan diri lagi di padesan,
karena hampir setiap orang mencarinya. Mencarinya sebagai seorang
penjahat yang harus ditangkap dan bahkan dibunuh. Ternyata kejahatan
yang dilakukan telah melampaui kejahatan kedua ayah angkatnya, bahkan
digabung sama sekali. Pencuri Lembong dan penjudi Bango Samparan.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Untunglah, aku bertemu dengan orang-orang yang berhasil menarik aku
keluar dari dunia yang hitam pekat itu.”
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar ayah angkatnya bergumam lirih, “Aku tidak mengerti.”
Ken Arok berpaling, “Apa yang tidak ayah mengerti?”
“Kau.”
“Kenapa aku?”
“Kau benar-benar melupakan aku dan ibumu. Apalagi adik-adikmu.”
“Sudah aku katakan ayah, aku akan memberi ayah bantuan sesuai dengan kekuatanku.”
“Huh, apa yang dapat kau berikan? Kau
tidak lebih dari seorang pelayan dalam. Kedudukanmu masih belum cukup
tinggi. Seorang perwira rendahan. Coba apa yang akan kau berikan
kepadaku. Uang setiap selapan? Atau mungkin akan membeli sawah untuk
aku? Atau apa?” Bango Samparan berhenti sejenak, “tidak ada gunanya.
Berapa banyak kau akan memberikan uang kepadaku, apabila kau tidak ikut
serta ke perjudian, maka uang itu akan habis tidak sampai satu malam.
Sawah? Aku tidak biasa bekerja di sawah. Yang selalu kulakukan adalah
duduk di medan judi. Atau, kalau aku sudah kehabisan akal, aku akan
dapat merampas milik orang lain. Merampok di jalan-jalan sunyi atau di
rumah-rumah orang kaya, seperti yang pernah kau lakukan.”
Ken Arok sekali lagi menggigit bibirnya sampai pedih. Tetapi tidak sepedih hatinya.
“Ayah,” berkata Ken Arok, “kalau ayah mau
mendengar kata-kataku, semuanya jangan ayah lakukan. Ayah akan
berhadapan dengan prajurit Tumapel. Sedangkan aku adalah satu di antara
mereka. Seandainya tidak demikian, seandainya tidak berhadapan dengan
prajurit Tumapel sekalipun, maka hidup ayah akan menjadi semakin kisruh.
Ayah tidak akan dapat lagi merasakan kehidupan keluarga.”
“Kalau kau salah seorang dari prajurit Tumapel, kau mau apa?” desis Bango Samparan, “apakah kau akan menangkap aku?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya. “Tidak ayah. Tetapi ayah menempatkan aku pada keadaan yang sulit.”
“Huh,” sahut Bango Samparan, “kau hanya
memikirkan dirimu sendiri. Kau tidak memikirkan aku dan keluargaku.
Adik-adikmu dan ibu angkatmu yang telah memeliharamu pada saat kau
hampir mati kelaparan.”
“Apakah dengan demikian ayah juga tidak
hanya memikirkan diri ayah sendiri. Coba, seperti ceritera ayah sendiri,
seandainya ayah tidak seolah-olah mendengar suara dari langit bahwa
seorang anak yang hampir mati kelaparan yang ayah temui itu akan dapat
memberikan nasib yang baik bagi ayah, apakah kira-kira ayah akan mau
memeliharanya? Sedangkan ayah sendiri pada waktu itu hampir membunuh
diri karena kekalahan ayah yang tidak tertanggungkan. Dan sekarang,
bukankah ayah juga hanya memikirkan diri ayah sendiri tanpa
memperhitungkan bagaimanakah aku, dan sedang dalam kewajiban apakah aku
sekarang? Ayah hanya ingin, supaya aku datang ke Karuman, menunggui ayah
berjudi seperti pada saat aku masih terlampau muda untuk mengerti
tentang diri sendiri, pada saat aku masih kanak-kanak? Sedangkan aku
sekarang adalah seorang pelayan-dalam Istana Tumapel. Coba ayah
bayangkan, apakah aku akan dapat duduk diam di belakang ayah yang lagi
berjudi? Padahal di lambungku tersangkut pedang seorang pelayan-dalam.”
Bango Samparan mengerutkan dahinya.
Sekali lagi ia terdiam meskipun bibirnya selalu bergerak-gerak. Ia tidak
dapat mengatasi kata-kata anak angkatnya itu. Karena itu maka
harapannya untuk membawa Ken Arok ke arena perjudian menjadi semakin
kabur. Ternyata Ken Arok telah benar-benar meninggalkan cara hidupnya
yang lama.
Tiba-tiba Bango Samparan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian pelahan-lahan, “Jadi
aku sudah tidak akan dapat mengharapkan kau lagi, Ken Arok?”
“Untuk kepentingan yang ayah maksudku, sayang ayah, aku kira ayah memang sudah tidak dapat mengharapkan aku lagi.”
“Kalau begitu, baiklah Ken Arok. Aku akan mencari jalan untuk melepaskan diri dari kesulitanku kali ini.”
“Apakah yang akan ayah lakukan?”
“Entahlah?”
“Melakukan kejahatan?”
“Tidak. Bukankah kau tidak sependapat?”
“Lalu apa?”
“Mungkin aku akan pergi ke Rabut Jalu.”
“Untuk apa? Apakah ayah akan bertapa lagi di sana?”
“Aku sudah tidak mempunyai harapan.
Dahulu aku bertapa di Rabut Jalu, bahkan hampir aku membunuh diri dengan
caraku. Tetapi waktu itu aku menemukan seorang anak yang bernama Ken
Arok. Sekarang aku tidak akan dapat menemukannya lagi.”
“Lalu, untuk apa ayah pergi ke Rabut Jalu?”
“Aku akan melakukan yang dahulu tidak
sempat aku lakukan. Lebih baik aku mati daripada melihat keluargaku yang
akan mati kelaparan.”
Dada Ken Arok berdesir mendengar
kata-kata ayah angkatnya itu. Sejenak ia berdiam diri memandangi wajah
Bango Samparan yang menjadi buram. Namun dalam pada itu, Ken Arok masih
sempat menangkap kesan-kesan tentang wajah itu. Kasar dan bahkan keras.
Sehingga timbul kebimbangan di dalam hati. “Apakah orang sekasar dan
sekeras itu benar-benar akan membunuh diri?”
Ken Arok menggeleng. “Tidak,” dijawabnya
pertanyaan itu sendiri di dalam hatinya, “ia tidak bersungguh-sungguh.
Ia hanya ingin menekankan kehendaknya. Aku kira dahulu pun ia tidak akan
membunuh dirinya di Rabut Jalu. Mungkin ia hanya menjadi bingung dan
bertapa di tempat itu.”
Sejenak mereka saling berdiam diri. Wajah
Bango Samparan yang keras dan kasar itu tampak sedih. Mulutnya masih
saja berkumat-kamit, tetapi tidak sepatah kata pun yang terloncat dari
mulutnya itu.
Baru sejenak kemudian ia berkata,
“Baiklah Ken Arok. Pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir. Mungkin
besok atau lusa kau akan mendengar kabar bahwa seorang laki-laki yang
bernama Bango Samparan telah membunuh dirinya karena anaknya yang
dikasihinya sama sekali tidak mau lagi memperhatikannya. Anak itu
bernama Ken Arok.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba menenangkan hatinya. Namun demikian kata-katanya meloncat juga
dari mulutnya, “Ayah, apakah ayah ingin mencoba memaksa aku dengan cara
itu? Seandainya ayah ingin membunuh diri, apakah itu juga bukan salah
satu bentuk dari suatu sikap mementingkan diri sendiri. Ayah tidak mau
memperhatikan keluarga ayah. Dan ini berlangsung sejak dahulu, sejak aku
berada di rumah ayah. Sekarang ayah akan membunuh diri. Itu pun suatu
cara ayah menghindari tanggung jawab ayah terhadap keluarga. Kemudian
sesudah itu, ayah jangan mengharapkan orang percaya bahwa ayah mati
karena aku tidak memperhatikannya lagi. Setiap orang, apalagi orang
Karuman dan sekitarnya, pernah mendengar nama Bango Samparan, seorang
penjudi. Apa kata orang apabila mereka menemukan mayat ayah di pinggir
jurang di Rabut Jalu?”
“Cukup, cukup,” potong Bango Samparan.
Wajahnya menjadi merah membara. Ia benar-benar menjadi marah.
Hampir-hampir ia meloncat dan menampar wajah Ken Arok. Tetapi ia sempat
mengurungkan niatnya. Ken Arok sekarang bukan kanak-kanak lagi. Ia
adalah seorang prajurit. Dengan demikian maka Bango Samparan itu hanya
dapat menggeretakkan giginya sambil menggigil seperti orang kedinginan.
“Maaf ayah,” berkata Ken Arok, “aku tidak
bermaksud untuk membuat ayah marah. Aku ingin memberikan beberapa
pendapat tentang diri ayah. Jangan marah ayah. Hanya seorang anak yang
mengerti tentang dirinya, mau mengatakan hal itu kepada ayahnya yang
dikasihinya supaya ayahnya tidak telanjur tersesat semakin jauh.
Alangkah sakitnya melihat cacat sendiri. Tetapi dengan demikian ayah
akan mendapat kesempatan untuk mengobatinya.”
Terdengar Bango Samparan mengatupkan
giginya. Namun tiba-tiba wajah yang merah padam itu mengangguk-angguk.
Dengan tangan menekan dadanya ia berkata, “Ya, aku harus sabar
menghadapi kau Ken Arok, sejak kecil. Sejak kau masih kurus kering, kau
memang anak yang keras kepala. Berani dan kadang-kadang menyakitkan
hati. Sekarang sifat-sifat itu masih tampak ada padamu meskipun kau
sudah dewasa dan bahkan sudah menjadi seorang pelayan dalam.”
”Maaf ayah,” sahut Ken Arok, “seandainya
demikian, maka itulah yang namanya pembawaan. Pembawaan yang ada padaku
sejak aku lahir. Mungkin aku selalu menyakitkan hati ayah sejak aku
berada di rumah ayah.”
“Ya, kau memang berbuat demikian.” tiba-tiba Bango Samparan itu tersenyum, “tetapi nasibmu memang baik Ken Arok.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Ia justru
merasa aneh melihat Bango Samparan itu tiba-tiba saja tersenyum. Namun
ia tidak ingin terlampau lekas berprasangka.
“Ken Arok,” berkata Bango Samparan itu kemudian, “apa yang akan kau berikan sebagai bantuanmu atas keluargaku?”
“Menurut kekuatanku ayah. Aku masih belum dapat mengatakan sekarang. Kita akan melihat kemungkinan lebih dahulu.”
“Kau akan memberi aku setiap sepekan, sepuluh hari, atau selapan kali.”
“Ah,” Ken Arok berdesah, “itu kurang
bermanfaat bagi ayah. Sebaiknya ayah mendapatkan sebidang tanah. Ayah
harus mulai dengan kerja. Bukan sekadar berjudi dan berkeliaran.”
Sekali lagi warna merah membersit di
wajah Bango Samparan. Tetapi wajah itu segera dibayangi oleh sebuah
senyum. “Ken Arok. Aku tidak biasa mengerjakan sawah. Bagaimana hal itu
mungkin aku lakukan.”
“Ayah harus mencoba.”
“Terlambat. Aku menjadi semakin tua.”
“Buat apa ayah melahirkan anak-anak ayah
itu, para Panji. Bukankah putera-putera ayah itu kini sudah cukup besar.
Sudah sebesar aku ini pula. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal,
dan Panji Kenengkung. Apakah mereka tidak dapat membantu ayah bekerja di
sawah?”
“Mereka tidak dapat aku harapkan Ken Arok.”
“Kenapa?”
“Mereka menjadi binal. Sama sekali tidak
terkendali. Mereka adalah anak-anak yang sama sekali tidak sopan, tidak
tahu terima kasih, tidak aturan dan tidak bertanggung jawab.”
“Siapakah yang bersalah?”
“He?”
”Siapakah yang bersalah sehingga anak-anak itu menjadi binal?”
“Hem,” Bango Samparan menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia benar-benar mengekang dirinya. Dan bahkan sekali
lagi ia tersenyum dan berkata, “Akulah yang bersalah, Ken Arok. Tetapi
mereka tidak bercermin kepadamu. Kepada kakaknya yang bernasib
cemerlang. Bango Samparan itu berhenti sejenak lalu tiba-tiba, ”Eh, Ken
Arok. Apakah kau benar-benar sudah puas dengan keadaanmu sekarang.
Seorang pelayan dalam saja?”
Ken Arok menjadi berdebar-debar mendengar
pertanyaan itu. Terasa sesuatu tersembunyi di balik pertanyaan yang
aneh itu. Sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk mengatur hatinya, supaya
ia tidak terkejut apabila ayah angkatnya mengatakan maksud sebenarnya.
Bango Samparan pun berdiam diri sejenak.
Ia menunggu jawaban anaknya. Tetapi jawaban itu tidak segera
didengarnya, sehingga ia merasa perlu untuk mengulangnya, “Ken Arok,
bagaimana? Apakah kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang?”
Ken Arok menarik nafas panjang. Diaturnya
perasaannya, dan pelahan-lahan ia menjawab, “Sudah aku katakan ayah.
Aku sudah puas dengan kedudukanku sekarang. Aku merasa telah berhasil
keluar dari lumpur yang pekat. Apalagi yang akan aku inginkan?”
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Nasibmu memang terlampau baik.”
“Ya, aku bernasib baik. Dan karena itu aku wajib berterima kasih kepada Yang Maha Agung.”
“Tetapi kau kekasih Yang Maha Agung, anakku.”
“Seperti juga setiap manusia adalah kekasih Yang Maha Agung.”
“Tidak. Kau salah Ken Arok. Ada manusia
yang dibenci oleh Yang Maha Agung. Ternyata ada orang yang bernasib
terlampau buruk. Bahkan ada orang yang sama sekali tidak
dihiraukan-Nya.”
“Ayah keliru. Tak ada orang yang dibenci
oleh Yang Maha Agung. Yang Maha Agung mempunyai sifat kasih tiada
terbatas. Seperti jarak ujung barat dari ujung timur yang tidak terukur
jauhnya, demikian kasih Yang Maha Agung itu terhadap manusia, titahnya
yang paling mulia.”
Bango Samparan tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya semakin lama semakin keras, sehingga tubuhnya terguncang-guncang karenanya.
“Kau dapat berkata demikian setelah kau
menikmati lezatnya makanan di Istana Tumapel. Setelah kau mengenakan
pakaian pelayan dalam yang kau bangga-banggakan itu. Ken Arok, coba
kenanglah, apakah pada saat-saat kau berkeliaran di arena perjudian, di
jalan-jalan sepi di mana kau mencegat orang-orang yang lewat, bahkan
gadis-gadis yang kau perkosa, dan apakah pada saat kau tinggal di Padang
Karautan ini sebagai hantu yang menakutkan, kau dapat berkata seperti
itu? Kau dapat berkata bahwa nasib setiap manusia itu baik karena sifat
Yang Maha Agung itu Maha Pengasih?”
“Ya ayah.”
“Bohong. Aku tidak pernah mendengar kau mengucapkan sepatah kata pun tentang kasih Yang Maha Agung kepadamu.”
“Memang aku tidak pernah mengucapkannya
karena kebodohanku. Karena kepicikan pengetahuanku. Tetapi itu bukan
berarti bahwa Yang Maga Agung tidak menaruh kasih kepadaku. Bahkan
melimpah-limpah. Adalah salah manusia sendiri apabila ia menolak kasih
Yang Maha Agung. Menjauhkan diri dari padanya dan hidup dalam kegelapan
tanpa mengenal terima kasih.”
Suara tertawa Bango Samparan menjadi
semakin keras, sehingga Ken Arok perlu memperingatkan, “Ayah, suara
tertawa ayah akan dapat mengganggu orang-orang yang sedang tidur.”
“Eh,” Bango Samparan berusaha menahan
suara tertawanya, “kau aneh anakku. Tetapi agaknya kau telah melupakan
keadaanmu sendiri. Bagaimana mungkin kau dapat berkata, bahwa pada saat
itu kasih Yang Maha Agung melimpah-limpah kepadamu? Sedangkan hidupmu
sendiri tidak lebih baik dari binatang buruan yang bersembunyi di dalam
semak-semak di Padang Karautan ini?”
“Ayah,” Ken Arok bergeser setapak untuk
menyembunyikan kegelisahannya, “justru pada saat aku hidup sebagai
binatang buruan itulah aku melihat kasih yang berlimpah-limpah. Bukankah
ayah sendiri berkata bahwa nasibku teramat baik. Bukankah ayah
mengatakan bahwa karena ayah membawa aku berjudi, maka nasibku yang baik
itu telah melimpah kepada ayah? Itu adalah nasib yang baik. Dan itu
adalah kasih Yang Maha Agung. Tetapi akulah yang terlampau bodoh.
Sehingga aku tidak mengetahuinya dan tidak berterima kasih kepada-Nya.
Kemudian, bukankah kasih itu nampak pula semakin jelas padaku di
akhir-akhir pengembaraanku. Yang Maha Agung telah membuka mata hatiku
dengan lantaran beberapa orang yang mengenalnya lebih baik dari padaku.
Nah, apakah aku tidak harus mengucapkan terima kasih?”
“Hem,” Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, “kau benar anakku. Kau memang kekasih Yang Maha Agung.”
“Seperti juga ayah, orang lain, dan semua orang di muka bumi.”
Wajah Bango Samparan berkerut-merut. Tetapi ia tidak segera menyahut meskipun mulutnya berkumat-kamit.
“Karena itu kita wajib berterima kasih.”
“Tetapi,” Bango Samparan berhenti sejenak, “bagaimana dengan orang-orang yang miskin, bahkan yang hampir mati kelaparan?”
“Itukah ukuran ayah tentang kasih?” Ken
Arok menyahut sambil mengerutkan keningnya yang telah menjadi basah oleh
keringat, “Kalau ukuran ayah tentang kasih adalah keadaan lahiriah,
maka aku dapat mengerti jalan pikiran ayah, kenapa ayah menganggap bahwa
nasib manusia itu ditentukan menurut kesukaan Yang Maha Agung seperti
kesukaan kita. Apabila kita tidak senang terhadap seseorang maka kita
akan mengasingkannya.”
Bango Samparan memandangi anak angkatnya. Wajahnya menjadi semakin tidak mengerti.
“Ukuran kasih adalah ketenteraman rohaniah, ayah. Rasa damai dan dekat dengan Yang Maha Agung itu.”
“O, aku tidak mengerti Ken Arok. Tetapi
baiklah aku tidak membantah. Mudah-mudahan lain kali aku dapat mengerti
maksudmu.” Bango Samparan berhenti lagi untuk sesaat, ”Tetapi bagaimana
dengan penyataanku? Apabila kau merasa dekat dengan Yang Maha Agung
dalam kasihnya, eh, kenapa kau tidak memohon untuk mendapat kurnia lebih
banyak lagi?”
Wajah Ken Arok menegang. Kini ia merasa
bahwa ayahnya hampir sampai pada maksud yang sebenarnya di samping
keinginannya untuk mendapat kemenangan di medan perjudian dengan
mengajaknya ikut berjudi.
Sejenak Bango Samparan pun terdiam.
Ketika ia melihat wajah Ken Arok yang menjadi kemerah-merahan seperti
tembaga karena sinar lampu minyak serta ketegangan, maka Bango Samparan
mencoba untuk menjadi lebih berhati-hati.
“Ken Arok,” berkata Bango Samparan itu
pula, ”dahulu, sebelum kau menjadi seorang yang baik dalam penilaian
orang-orang di sekitarmu seperti sekarang ini, kau telah mendapat nasib
yang baik. Apalagi sekarang, setelah kau mengenal Yang Maha Agung lebih
baik, dan kau menjadi lebih tekun berbakti kepadaNya. Nah, apakah kasih
itu tidak akan menjadi berlipat ganda.”
“Kasih itu tidak terbatas ayah.”
“Bagus,” berkata Bango Samparan, “kalau begitu kau akan dapat mohon lebih banyak lagi.”
“Itu adalah pertanda bahwa kita tidak berterima kasih atas apa yang sudah kita miliki.”
“O, tidak Ken Arok, tidak. Setiap manusia
ingin mencapai segala macam kebutuhannya sampai ke puncak. Kalau ia
memerlukan pangkat, maka ia ingin mencapai pangkat yang
setinggi-tingginya. Kalau ia ingin kaya, ia pasti ingin menjadi kaya
sekaya-kayanya. Nah, apakah kau termasuk perkecualian.”
“Mungkin ayah.”
Bango Samparan menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Tidak Ken Arok. Cita-cita seorang tidak boleh berhenti.
Cita-cita ia harus meluncur jauh di depan kita, supaya kita tidak
berhenti. Berhenti berusaha dan berhenti berjuang. Tanpa cita-cita
gairah hidup kita pun akan lenyap, dan kita akan menjadi beku.”
“Tetapi cita-cita harus seimbang dengan
kenyataan ayah. Apabila cita-cita itu tidak seimbang dengan kenyataan
diri, maka seseorang akan mudah tergelincir. Mungkin menjadi patah,
tetapi mungkin juga akan melakukan hal-hal yang tidak baik.”
“O, ternyata kau bukan seorang yang berhati baja.”
“Apakah maksud ayah?”
“Hatimu miyur. Kau sekadar mendapat makan
dan pangkat yang kecil, kau sudah mandeg. Berhenti di jalan. Sedangkan
orang lain akan terus berlari meninggalkan kau jauh di belakang. Padahal
belum pasti bahwa nasibmu kalah baik dengan nasib orang lain.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ia
kini mengerti kehendak ayahnya. Ayahnya menghendaki sesuatu yang
terlampau berlebih-lebihan dari padanya. Dan ia tidak lagi terkejut
ketika Bango Samparan berkata, “Ken Arok. Kalau kau mendapat pangkat
yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pangkatmu sekarang, kau akan menjadi
kaya. Kau akan dapat membantu aku sepekan sekali. Dan aku tidak akan
mati kelaparan sekeluarga.”
“Dan hampir sepekan sekali ayah tetap bisa berada di medan judi.”
Bango Samparan mengernyitkan alisnya.
Kemudian ia tersenyum, “Begitulah kira-kira. Tetapi kalau kau masih saja
seperti sekarang, maka bantuan yang dapat kau berikan akan menjadi
seperti sebutir garam yang kau tebarkan di lautan. Tetapi kalau kau
menjadi seorang yang berpangkat tinggi, Ken Arok, kau akan menjadi kaya,
dan kau tidak perlu lagi menghitung-hitung berapa uang yang kau berikan
kepadaku. Dan aku tidak akan lagi mengejarmu untuk membawa kau turut ke
arena perjudian lagi.”
Nafas Ken Arok tiba-tiba menjadi sesak,
dan wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Meskipun ia sudah
mengira bahwa akhirnya akan sampai pula pada persoalan itu, namun
hatinya masih juga merasa sakit. Ayah angkatnya benar-benar tidak dapat
mengerti keadaan dan perasaan orang lain. Ia hanya berpikir tentang
kesenangannya saja.
“Tambahan lagi anakku. Apabila kau
menjadi seorang pemimpin, maka aku pun akan menjadi seorang yang
terhormat pula. Kehormatan sangat penting artinya di dalam perjudian.
Seandainya aku sedikit-sedikit mengelabui lawanku dengan akal, maka ia
tidak akan menjadi lekas marah. Seandainya aku kalah dan masih belum
dapat membayar kekalahanku itu, maka tak seorang pun yang berani
memaksaku seperti dahulu dan baru-baru ini, sehingga aku harus
bersembunyi di Rabut Jalu.”
Dada Ken Arok menjadi semakin bergolak, sehingga mulutnya bahkan serasa terbungkam.
“Anakku,” berkata Bango Samparan itu.
Nada suaranya merendah dibuat-buat. “Tak ada orang lain tempat aku
menumpangkan nasib selain kepadamu. Sejak aku menemukan kau Arok, aku
sudah yakin, bahwa hanya kaulah yang akan dapat menjunjung martabatku.
Aku tidak sekadar menjadi penjudi kecil yang kadang-kadang diusir dari
arena karena aku tidak banyak mempunyai modal. Nah, dengan demikian, aku
tidak akan memaksamu lagi untuk mengikuti aku ke perjudian. Apakah kau
dapat mengerti? Aku tidak akan mengganggu pekerjaan yang semakin banyak.
Apakah kau mengerti?”
Ken Arok menggigit bibirnya, “Aku mengerti ayah,” sahutnya sambil menahan hati.
“Bagus, bagus, kau memang anak laki-laki yang luar biasa. Kekasih Yang Maha Agung. Nah, apakah yang akan kau lakukan?”
“Yang akan aku lakukan adalah mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini.”
“He,” Bango Samparan terlonjak. Wajahnya menegang dan mulutnya ternganga. Kemudian terbata-bata ia berkata, “Apa katamu he?”
“Aku tak akan sampai hati mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini seandainya ayah dapat mengerti keadaanku.”
“O, itukah balasanmu Ken Arok? He? Itukah?”
“Maaf ayah. Bukan maksudku. Tetapi aku harap ayah mengerti keadaanku.”
Bango Samparan termenung sejenak.
Dipandanginya lampu minyak yang bergerak-gerak ditiup angin yang
menyusup lewat dinding yang tidak rapat.
“Ken Arok. Aku mimpikan kau yang bernasib
terlampau baik itu menjadi seorang pemimpin seluruh prajurit Tumapel.
Eh, tidak bahkan menjadi seorang akuwu. Tidak, tidak. Tetapi kau menjadi
seorang raja di Kediri.”
Dada Ken Arok berdesir tajam mendengar
kata-kata ayah angkatnya itu. Dipandanginya wajah Bango Samparan
seolah-olah baru saja dilihatnya hari ini, sehingga Bango Samparan itu
terpaksa menundukkan kepalanya menghindari tatapan mata Ken Arok yang
seolah-olah menyala. Dengan nada yang berat Ken Arok berkata, “Ayah, aku
akan benar-benar mempersilakan ayah meninggalkan tempat ini kalau ayah
masih saja membuat hatiku kisruh.”
“Tidak anakku. Aku jangan kau usir malam
ini. Meskipun hantu Padang Karautan sekarang telah menjadi jinak, tetapi
aku tidak mau mati kedinginan.”
Terdengar Ken Arok menggeram. Tetapi ayah angkatnya berkata meneruskan, “Maksudku baik Ken Arok.”
“Tidak. Ayah benar seorang yang hanya
mengerti tentang kepentingan diri sendiri. Ayah seorang yang terlampau
mementingkan diri ayah sendiri.”
“O, kau salah tangkap Ken Arok. Aku juga berpikir tentang kau, tentang nasibmu yang baik itu.”
“Dalam hubungan kepentingan ayah.”
“Hem,” Bango Samparan menarik nafas
dalam-dalam, “mimpiku tidak pernah salah. Dahulu aku juga serasa
bermimpi, o, tidak, bahkan seolah-olah aku mendengar suara dari langit
tentang seorang anak yang hampir mati kelaparan. Dan aku benar-benar
menemukan kau yang ketakutan karena dihantui oleh perbuatan-perbuatanmu
sendiri, tetapi setelah itu kau juga tidak berhenti merampok, memerkosa,
dan bahkan membunuh,” Bango Samparan mengangkat tangannya ketika Ken
Arok akan memotong kata-katanya, “jangan, jangan kau potong kata-kataku,
aku belum selesai.” Bango Samparan menelan ludahnya, lalu melanjutkan,
“Sekarang aku bermimpi kau menjadi seorang maharaja. Eh, siapa tahu,
bahwa hal itu akan terjadi. Kalau kau berhasil memanjat dari jabatanmu
sekarang menjadi akuwu, misalnya, kemudian kau akan mendapat kesempatan
yang lebih baik.”
“O,” Ken Arok tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.
“Cukup ayah, cukup. Aku tidak mau mendengar lagi. Itu adalah impian yang
gila.”
“Ah, jangan terlampau memandang hari
depan terlampau suram. Siapa tahu. Ya, siapa tahu. Siapa tahu kalau anak
yang hampir mati kelaparan itu sekarang memimpin sepasukan prajurit.
Siapakah yang menyangka bahwa hantu Karautan yang dikejar-kejar orang
dan akan dibunuh oleh siapa pun juga, termasuk prajurit-prajurit
Tumapel, kini justru memimpin prajurit-prajurit itu sendiri.”
“Cukup, cukup,” Ken Arok hampir
berteriak. Tanpa diketahuinya maka bulu-bulu di seluruh tubuhnya terasa
meremang. Dengan lantang ia berkata, “Lupakan mimpi yang gila itu. Aku
bukan termasuk orang yang tidak mengenal terima kasih. Aku tidak akan
ikut serta bermimpi seperti ayah. Sekarang silakan ayah meninggalkan
tempat ini.”
“Ken Arok.”
“Aku tidak mau lagi mendengar mimpi yang gila yang tidak masuk akal. Apakah ayah sengaja membuat aku gila pula?”
“O, kau salah terima anakku. Kau salah terima. Aku hanya ingin mengatakan….”
“Cukup, cukup,” kini Ken Arok benar-benar
berteriak. Beberapa orang yang sedang tidur terbangun karenanya. Bahkan
ada di antara mereka yang tanpa sengaja bangun dan memandangi
pedang-pedang mereka yang tersangkut di dinding, di atas pembaringannya.
Tetapi sejenak kemudian suasana malam menjadi sunyi kembali. Tidak terdengar lagi suara Ken Arok membentak-bentak.
Bango Samparan terkejut juga mendengar
Ken Arok itu berteriak, memotong kata-katanya. Agaknya kali ini anaknya
tidak sedang bermain-main. Ken Arok telah benar-benar menjadi marah.
Karena itu maka Bango Samparan pun terdiam.
Dengan jantung yang berdegup keras, Ken
Arok berjalan mondar-mandir di dalam gubugnya yang sempit. Sekali-sekali
ia berhenti. Mulutnya terkatup rapat-rapat, tetapi matanya seolah-olah
menyala.
Sejenak mereka saling berdiam diri dalam
ketegangan perasaan masing-masing. Tetapi Bango Samparan benar-benar
tidak berani lagi berbicara berkepanjangan. Kepalanya tertunduk dan
bahkan tangannya menjadi gemetar. Namun ia masih belum beranjak dari
tempatnya.
Ketika di kejauhan terdengar anjing-anjing liar menyalak, maka Ken Arok berdesis, “Tinggalkan aku sendiri.”
“Ken Arok.”
“Aku persilakan ayah meninggalkan tempat ini.”
“O, malam terlampau gelap di Padang Karautan.”
“Ayah datang kemari tanpa mengenal takut. Seharusnya ayah juga tidak takut meninggalkan tempat ini.”
“Tetapi ketika aku datang, hari belum terlampau malam.”
“Tak ada bedanya bagi Padang Karautan.”
“Ada anakku. Anjing-anjing itu? Apakah
kau ingin dagingku hacur disayat-sayat anjing liar itu? Jangan Ken Arok.
Aku minta maaf kepadamu kalau aku membuatmu marah. Tetapi aku jangan
kau usir dari tempat ini malam ini. Besok pagi buta aku akan pergi.”
“Tetapi aku tidak tahan mendengar ayah
berbicara tanpa ujung pangkal. Membuat aku gila karena mimpi yang gila
itu. Dan anjing itu berada di tempat yang jauh, di seberang sungai.
Mereka tidak akan datang kemari.”
“Tidak, aku tidak akan berbicara lagi tentang mimpi itu. Tentang akuwu dan tentang maharaja di Kediri.”
Ken Arok terdiam sejenak. Ketika
dilihatnya wajah Bango Samparan yang ketakutan, maka timbullah ibanya.
Meskipun hatinya masih juga belum lilih benar, tetapi ia berkata, “Kalau
ayah berjanji tidak akan menyebut-nyebut mimpi itu, aku akan membiarkan
ayah bermalam di sini.”
(Bersambung ke Jilid 30)
No comments:
Write comments