“Aku akan bertempur sampai aku tidak
mampu lagi menggerakkan tubuhku.” katanya di dalam hati, “aku akan
mempertaruhkan nyawaku untuk menenteramkan perasaanku. Kematian yang
demikian adalah kematian yang paling menyenangkan”.
Dan tiba-tiba Empu Sada itu berkata, “Minggirlah Kuda Sempana. Jangan pikirkan aku lagi.”
“Tetapi Empu sekarang tidak bersenjata lagi. Bagaimana Empu akan melawan ke duanya?”
Dengan wajah yang tegang Empu Sada
memandangi ke dua potongan tongkatnya sambil berdesis, “Aku mengharap
bahwa aku dapat mempergunakannya.”
Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga
oleh siapa pun, baik oleh Kuda Sempana maupun oleh Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat maka, Empu Sada dengan serta merta melemparkan sepotong dari
potongan tongkatnya itu. Demikian keras dan tiba-tiba sehingga, Wong
Sarimpat tidak sempat untuk berbuat sesuatu. Ia melihat tongkat itu
meluncur ke arah pahanya. Demikian cepatnya. Betapapun ia cakap
mengendalikan kudanya, tetapi kali ini ia tidak sempat apa-apa. Ia hanya
mampu menghindarkan pahanya dari sambaran potongan tongkat Empu Sada.
Namun kedudukannya kurang
menguntungkannya. Tongkat itu menyambar dari sisi sebelah kiri. Meskipun
tangan kirinya tidak kalah cepatnya menggerakkan goloknya dari tangan
kanan, tetapi goloknya saat itu berada di tangan kanannya sehingga, Wong
Sarimpat itu tidak pula sempat menangkis dengan mempergunakan goloknya.
Sehingga, yang terjadi sangat mengejutkannya. Terdengar kuda Wong
Sarimpat itu memekik tinggi kemudian, jatuh terbanting di tanah. Di
lambung kuda itu menancap potongan tongkat Empu Sada menembus tubuhnya.
Wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah
mayat itu tampak berkerut melihat kejadian itu. Sejenak ia terpukau di
tempatnya dengan desah nafas yang memburu semakin cepat. Terdengar ia
menggeram dalam nada yang berat.
Sementara itu, Wong Sarimpat telah
meloncat turun sambil mengumpat keras-keras,, “he setan tua yang licik.
Kenapa kau berusaha membunuh hanya seekor binatang. Kenapa kau tidak
membidik kepalaku atau tengkukku?”
“Tak akan ada gunanya” sahut Empu Sada,,
“kau pasti mampu menghindarinya. Tetapi kuda itu tidak. Dan ternyata kau
kini sudah tidak berkuda lagi. Dengan demikian maka pekerjaanku akan
menjadi semakin ringan. Kini aku tinggal berusaha untuk membunuh kudaku
yang di curi oleh Kebo Sindet itu, supaya kita dapat berhadapan dengan
kaki kita masing-masing berjejak di atas tanah”.
“Persetan dengan seseorahmu. Ayo kita selesaikan persoalan ini”.
“Jangan hanya banyak bicara” potong Empu Sada,, “aku sudah siap menunggu kalian”.
Wong Sarimpat yang di landa oleh arus
kemarahan itu pun maju setapak demi setapak mendekati Empu Sada.
Terdengar ia berkata,, “Kuda Sempana. Pergilah, supaya aku dapat dengan
leluasa membunuh Empu tua yang tak tahu diri ini”.
Kuda Sempana tidak menyahut. Sekali ia berpaling ke pada Empu Sada yang berdesis,, “menepilah”.
Tetapi Kuda Sempana masih tetap di tempatnya.
“Empu Sada” berkata Wong Sarimpat,,
“selagi tongkatmu masih utuh, kau tidak mampu melawan kami berdua. Kini
tongkatmu itu tinggal sepotong. Apakah kau masih akan mencoba melawan?
Apalagi salah seorang dari kami berada dipunggung kuda. Nah, umurmu akan
menjadi semakin singkat. Dan kau akan mati dengan cara yang barangkali
belum pernah kau bayangkan”.
Ancaman Wong Sarimpat itu ternyata
memberi kesadaran kepada Empu Sada bahwa, senjatanya memang tidak akan
banyak berarti lagi untuk melawan sepasang golok yang berada di tangan
sepasang hantu dari Kemundungan itu. Tetapi apakah yang akan
dilakukannya? Ia tidak akan dapat mengambil potongan senjatanya yang
lain, sebab potongan itu terletak terlampau jauh dari padanya.
Sementara itu ia melihat kuda Kebo Sindet
pun telah bergerak pula. Bahkan orang itu telah mempersiapkan diri
untuk menyambarnya dengan kuda itu. Sambil mengayun-ayunkan goloknya
Empu Sada melihat Kebo Sindet telah siap menyerangnya.
Dalam waktu yang singkat itu Empu Sada
mencoba berpikir untuk mendapatkan cara yang sebaik-baiknya melawan ke
dua orang yang liar itu. Tongkatnya yang tinggal sepotong itu tidak akan
dapat membantunya. Tetapi apa yang dapat dilakukannya?
Dalam ketegangan itu, maka suasana di
cengkam oleh kesenyapan yang mengerikan. Tak seorang pun yang telah
mulai dengan sergapan dan serangan, seakan-akan mereka menunggu
perkembangan keadaan. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi semakin keras
sekeras batu karang. Sedang senjata-senjata mereka menjadi semakin erat
di dalam genggaman.
Ketegangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh
derap kuda Kebo Sindet yang meluncur seperti badai menyambar Empu Sada.
Golok Kebo Sindet terayun dengan cepatnya mengarah kepada lawannya.
Namun Empu Sada pun telah bersiap pula
menerima serangan itu. Dengan lincahnya ia meloncat kesamping
menghindari sambaran golok Kebo Sindet, namun kemudian, ia melenting
menyerang dengan potongan tongkatnya.
Tetapi potongan tongkat itu ternyata
terlampau pendek. Meskipun tangannya sudah terjulur lurus, tetapi ujung
tongkatnya yang sepotong itu masih belum mcnyentuh tubuh lawannya sama
sekali meskipun, Kebo Sindet sama sekali tidak berusaha untuk
menangkisnya. Dengan menggeser tubuhnya sedikit saja, maka iblis itu
telah dapat membebaskan dirinya dari lawannya.
Terdengar Empu Sada berdesis. Senjata
yang selama ini dipergunakan adalah sebuah tongkat yang panjang.
Sebenarnya, ia telah meletakkan senjatanya itu. Ia tidak ingin lagi
melibatkan diri dengan persoalan yang harus diselesaikan dengan senjata.
Tetapi persoalan Mahisa Agni, anak Jun Rumanti itu, telah memaksanya
untuk mengangkat sebatang tongkat lagi. Tetapi tongkat itu tidak dapat
membantu sepenuhnya seperti tongkat pusakanya, ciri kebesarannya.
Sementara, Kebo Sindet memutar kudanya,
Wong Sarimpat telah melompat pula sambil memutar goloknya menyerang Empu
Sada dengan garangnya.
Sekali lagi Empu Sada harus menghindari
serangan itu, tetapi ia tidak sekedar mau menjadi sasaran yang meloncat
kian kemari seperti sedang menari di atas bara. Dengan dahsyatnya ia pun
segera menyerang. Tongkatnya yang sepotong itu mematuk dengan
lincahnya. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa, bahwa tongkatnya
ternyata terlampau pendek.
“Hem” ia berdesah di dalam hati.
Meskipun demikian, Empu Sada adalah
seorang tua yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang banyak sekali.
Karena itu meskipun, setiap kali ia dikecewakan oleh tongkatnya yang
pendek, namun ia masih mampu juga bertahan untuk beberapa saat.
Tetapi, sejenak kemudian segera terasa,
bahwa melawan kedua hantu dari Kemundungan itu adalah pekerjaan yang
berat sekali baginya. Dan disadarinya bahwa ia tidak akan mampu
melakukannya. Apalagi keadaan kedua orang itu jauh lebih baik dari
padanya. Yang seorang dari mereka berada di punggung kudu yang dapat
menyambarnya seperti seekor Garuda, dan keduanya masih menggenggam
senjata masing-masing. Sedang Empu Sada harus melawan mereka berdua
seorang diri dengan senjata yang telah patah pula.
Dalam keadaan yang semakin sulit,
tiba-tiba Empu Sada itu meloncat ke arah Kuda Sempana. Dengan serta
merta ditariknya pedang anak muda itu tanpa minta ijin dahulu kepadanya.
Alangkah lerkejut anak muda itu. Tetapi semuanya itu terjadi dalam
waktu yang sangat singkat, dan Kuda Sempana hanya dapat melihat
pedangnya itu sudah berada di tangan Empu Sada.
Kini Empu Sada mempergunakan senjata
rangkap pada kedua belah tangannya. Tangannya yang kiri menggenggam
pedang Kuda Sempana, dan tangannya yang kanan memegang potongan
tongkatnya. Ia masih belum yakin benar terhadap kekuatan pedang Kuda
Sempana. Apakah pedang itu mampu mengalami benturan-benturan dengan
golok kedua orang Kemundungan yang besar dan tebal, apalagi terbuat dari
baja pilihan. Ia masih lebih percaya kepada tongkatnya yang patah.
Tongkat itu kini menjadi pendek. Karena itu, maka kemungkinan patah pun
menjadi semakin kecil.
Dengan sepasang senjata itu lah Empu Sada
melawan ke dua kakak beradik itu. Betapa Empu tua itu masih dapat
meloncat-loncat dengan lincahnya. Menyambar-nyambar dengan penuh nafsu
yang menyala di dalam dadanya, sehingga seolah-olah tenaganya menjadi
bertambah-tambah.
Wong Sarimpat yang kemudian melihat Empu
Sada itu bersenjata pada kedua tangannya, mengumpat tak habis-habisnya.
Bahkan ia berteriak kepada Kuda Sempana, “He, anak yang tidak tahu diri
kenapa pedangmu kau biarkan di ambil oleh setan tua itu? Sekarang,
mumpung belum terlanjur, pergilah. Pergi jauh-jauh atau kembali ke
Kemundungan lebih dahulu”.
Kuda Sempana mendengar teriakan itu.
Tetapi ia masih belum beranjak dari tempatnya. Sementara itu pertempuran
masih berlangsung terus.
“Cepat pergi” bentak Wong Sarimpat, “atau kau ingin aku bunuh pula”.
Kuda Sempana tidak menjawab, tetapi ia masih belum bergerak.
Kuda Sempana itu berpaling ketika Kebo
Sindet tiba-tiba telah berada di sampingnya, dan membiarkan adiknya
bertempur seorang diri melayani Empu Sada. Dengan nada yang datar ia
berkata, “Kuda Sempana. Sebaiknya kau mendahului kami pergi Kemundungan.
Letakkanlah Mahisa Agni itu di pembaringan, supaya ia tidak terlanjur
mati. Aku memerlukannya hidup-hidup, seperti kau juga. Bukankah kau
ingin melihat anak muda itu mengalami seperti yang pernah kau alami.
Sakit hati yang tidak tersembuhkan”.
Kuda Sempana merasakan suatu perbawa yang
tak dapat di atasinya. Ketika ia perpaling dan menatap wajah Kebo
Sindet, tampaklah sepasang mata iblis itu seolah-olah menyala. Karena
itu maka cepat-cepat Kuda Sempana menundukan kepalanya.
“Aku tidak menyalahkanmu” berkata Kebo
Sindet yang suaranya seolah-olah bergulung-gulung saja didalam perutnya,
“memang di luar kemampuanmu untuk mempertahankan pedangmu itu. Tetapi
sebelum keadaan berkembang semakin jelek, dan Wong Sarimpat itu menjadi
semakin marah, nah pergilah. Pergilah lebih dahulu ke Kemundungan. Aku
merasa bahwa kau tidak akan sampai hati melihat gurumu terbunuh dengan
cara yang diinginkan oleh Wong Sarimpat. Tetapi aku tidak dapat mencegah
adikku itu mendapatkan permainan yang menyenangkan, apalagi mencegah
keinginanku sendiri. Supaya kau tidak pingsan, maka pergilah. Kecuali
kalau kau menang ingin menyaksikan, bagaimana tubuh gurumu akan menjadi
makanan burung gagak dan anjing-anjing liar”.
Terasa dada Kuda Sempana menjadi semakin
pepat. Namun ia masih saja tidak bergerak. Kata-kata Kebo Sindet yang
diucapkannya perlahan-lahan itu justru terasa betapa mengerikannya.
Tanpa dikehendakinya, maka Kuda Sempana itu memandangi gurunya yang
sedang berkelahi melawan Wong Sarimpat. Meskipun kemampuannya sama
sekali masih kurang cukup untuk menilai perkelahian itu, tetapi ia dapat
merasakan bahwa gurunya mempunyai beberapa kelebihan dari Wong
Sarimpat. Senjata gurunya di kedua belah tangannya tampak
menyambar-nyambar mengerikan di antara ayunan golok Wong Sarimpat.
Tetapi Empu Sada sendiri dapat pula melihat bahwa Wong Sarimpat tidak
berada dalam puncak kekuatannya. Dan Empu Sada dapat melihat, bahwa hal
itu adalah akibat luka di pangkal lengannya. Luka itu agaknya selalu
mengganggunya. Hanya karena ketahanan tubuh Wong Sarimpat yang luar
biasa, maka luka itu tidak banyak mempengaruhinya.
Kebo Sindet pun melihat pula hal itu.
Tetapi ia sama sekali tidak mencemaskannya. Ia memang melihat kelemahan
adiknya, dan apabila hal itu dibiarkannya, maka Wong Sarimpat akan lebih
dahulu kehabisan tenaga. Tetapi waktu itu pasti cukup lama. Mungkin
sehari, mungkin dua hari. Dan Kebo Sindet yakin, bahwa sebentar lagi
apabila ia telah kembali ke arena, maka waktu yang diperlukan akan surut
berlipat-lipat. Empu Sada itu pasti akan segera dapat mereka
selesaikan.
Tetapi Kebo Sindet itu ingin supaya Kuda
Sempana menjauhkan dirinya. Kebo Sindet menjadi cemas apabila tiba-tiba
saja Empu Sada mendorong Kuda Sempana dari kudanya, dan kemudian
berusaha melarikan kuda beserta Mahisa Agni. Ia hanya akan dapat
menyusul Empu Sada itu seorang diri karena Wong Sarimpat sudah tidak
berkuda lagi. Apabila mereka harus berkuda berdua, maka pasti akan
memperlambat. Sebab kuda yang di pakai oleh Kuda Sempana agaknya lebih
baik dari kuda Empu Sada yang dipakainya. Dan ia pun kemudian harus
bertempur seorang diri pula di sepanjang pengejarannya. Dengan demikian,
maka Kebo Sindet tidak yakin sampai berapa lama ia mampu mengalahkan
Empu Sada. Bahkan mungkin sampai ke Tumapel, mereka masih juga harus
bertempur di sepanjang jalan.
Karena itu maka sekali lagi ia berkata, “Kuda Sempana. Menyingkirlah selagi kau masih mempunyai kesempatan”.
Pengaruh kata-kata Kebo Sindet, serta
sorot matanya yang seakan-akan langsung menembus kejantungnya itu tidak
dapat di hindari oleh Kuda Sempana, sehingga seperti terdorong oleh
suatu tenaga yang tidak dimengertinya, tiba-tiba ia menggerakkan kendali
kudanya. Perlahan-lahan kuda itu berjalan dan kemudian memutar.
“Bagus” desis Kebo Sindet, “dahululah. Jangan terlampau cepat supaya kami segera dapat menyusulmu”.
Kepala Kuda Sempana yang kosong telah
membawanya bcrjalan perlahan-lahan menjauhi arena. Sekali-sekali ia
berpaling, dan kini dilihatnya Kebo Sindet telah pula menyerang Empu
Sada.
Untuk menahan senjata-senjata lawannya,
maka kedua senjata Empu Sada itu berputar seperti baling-baling,
sehingga putarannya menjadi sebuah perisai yang tak akan dapat di tembus
oleh ujung jarum sekalipun.
Tetapi Kuda Sempana itu tertegun sejenak.
Bahkan terdengar mulutnya menggeram. Meskipun demikian ia tidak memutar
kudanya kembali ke arena perkelahian itu.
Dengan dada yang berguncang-guncang ia
melihat sekali gurunya terpelanting ketika ia menahan sergapan tiba-tiba
Kebo Sindet di atas kuda. Tetapi Empu Sada itu masih cukup lincah.
Ketika Wong Sarimpat berusaha menerkamnya, maka orang tua itu sudah
bangun dan sekali lagi diputarnya kedua senjatanya untuk melindungi
dirinya.
Meskipun demikian, segera terasa bahwa
perlawanannya itu akan tidak banyak berarti bagi kedua iblis itu.
Sebentar lagi maka ia pasti akan kehabisan tenaga, dan kedua golok
lawannya itu akan mencincang tubuhnya.
“Hem” Empu Sada menggeram, “kalau yang
membawa Mahisa Agni itu bukan Kuda Sempana, setidak-tidaknya aku
mendapat kesempatan untuk mendapat kawan mati dan bahkan melarikan
kudanya bersama Mahisa Agni. Mungkin aku akan berhasil memancing salah
seorang dari keduanya untuk mengejarku di atas kudanya”.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Yang duduk di atas punggung kuda itu adalah Kuda Sempana, seorang dari muridnya.
Perkelahian di arena menjadi semakin
sengit. Namun menjadi semakin jelas pulalah bahwa Empu Sada menjadi
semakin terdesak. Hanya karena tekadnya yang bulat serta hampir-hampir
di dasari oleh keputusasaan, muka justru tenaganya menjadi kian dahsyat.
Tetapi Kuda Sempuna yang semakin jauh dari perkelahian itu masih juga
sempat melihat bahwa gurunya berkali-kali terdorong surut, bahkan
terbanting jatuh. Untuk melawan kedua lawannya itu Empu Sada benar-benar
telah memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmunya. Jatuh bangun ia
berjuang. Terbersit tekad di dalam dadanya, “Aku akan membawa salah
seorang dari mereka untuk menemaniku meninggalkan dunia yang fana ini”.
Kuda Sempana akhirnya tidak sampai hati
lagi melihat gurunya berjuang mati-matian dalam kesulitan. Ia tidak
sampai hati melihat gurunya terbanting kemudian melenting berdiri untuk
segera terdorong pula surut kebelakang. Sejenak kemudian Empu Sada itu
harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak dari kedua lawannya yang
menyerangnya dari jurusan yang berbeda.
Dengan hati yang pedih, lebih pedih dari
segala macam penderitaan yang dialaminya selama ini, Kuda Sempana segera
memukul perut kudanya dengan tumitnya. Kuda itu terkejut dan segera
meloncat seperti gila. Menembus keremangan malam yang di tandai oleh
sesisir bulan yang sedang berkalang. Kuda Sempana sendiri bagaikan orang
gila melecut-lecut kuda itu sekuat-kuat tenaganya. Ia ingin segera
menjauhi tempat jahanam itu. Ia ingin melupakan apa yang baru saja
dilihatnya. Dan ia sama sekali ingin melenyapkan gambaran-gambaran apa
yang akan terjadi atas gurunya. Karena itulah maka ia berpacu
sekuat-kuat kaki kudanya. Hampir-hampir ia tidak memperhatikan lagi
Mahisa Agni yang tersangkut di punggung kuda itu pula.
Demikianlah, Kuda Sempana berusaha
melarikan diri dari kenangan dan angan-angannya masa-masa lampau dan
masa-masa yang akan datang. Dengan demikian ia pun seakan-akan melupakan
dirinya sendiri masa kini. Ia tidak tahu kemana kudanya akan pergi.
Tetapi kuda itu adalah kuda yang dibawanya dari Kemundungan, sehingga
kuda itu berlari menurut jalan yang dikenalnya. Kemundungan.
Sedang di belakang Kuda Sempana itu
gurunya bertempur antara hidup dan mati. Disadarinya bahwa nyawanya
sebentar lagi akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi ia tidak akan
menyerahkan nyawanya seperti seekor lembu di pembantaian.
Namun tiba-tiba perkelahian yang semakin
seru dan semakin berat sebelah itu terganggu. Telinga-telinga mereka
yang tajam itu mendengar suara derap seekor kuda di kejauhan. Semakin
lama semakin dekat.
Kebo Sindet yang berada di punggung kuda
menengadahkan wajahnya. Perlahan-perlahan ia berdesis seperti kepada
diri sendiri, “apakah yang datang itu pande keris dari Lulumbang?”
Wong Sarimpat pun mengumpat di dalam
hatinya. Ia pun menyangka bahwa yang datang itu pasti Empu Gandring.
Karena itu, maka dengan penuh nafsu ia berteriak, “mari kita selesaikan
tikus tua ini kakang. Sebentar lagi kita bantai orang yang datang untuk
membunuh diri itu”.
Kebo Sindet memandangi Empu Sada yang
sedang berusaha mengelakkan serangan Wong Sarimpat. Dengan suara berat
dan datar ia menjawab, “Huh. Satu lagi datang seorang yang ingin
membunuh Empu Sada itu pula. Wong Sarimpat. Nanti kalau orang itu
datang, biarlah kita bersama-sama menguliti Empu yang malang ini.
Bukankah orang itu Empu Gandring? Ia pasti menyangka bahwa Empu Sadalah
yang menjadi biang keladi dari peristiwa ini. Nah, kira-kira orang tua
itu akan berbuat apa?”
Empu Sada tidak menghiraukan apa yang
mereka percakapkan. Tetapi ia menyerang lawannya sejadi-jadinya, semakin
lama semakin dahsyat, seperti angin pusaran di musim kesanga.
Wong Sarimpat yang lebih banyak menjadi
sasaran serangan Empu Sada itu mengumpat di dalam hati. Tetapi, ia ti
dak begitu yakin akan kata-kata kakaknya. Karena itu, maka baginya,
lebih baik membunuh orang tua ini lebih dahulu dan kemudian membunuh
Empu Gandring bersama-sama pula daripada berteka-teki tentang apa yang
akan dilakukan oleh Empu Gandring. Dengan demikian, maka tandangnya pun
menjadi semakin buas. Ia ingin segera membinasakan Empu Sada itu
secepatnya.
Tetapi, Empu yang tua itu ternyata
membuat perhitungan sendiri. Mungkin Empu Gandring, paman Mahisa Agni
itu mendendamnya dan menyangkanya bahwa ia lah biang keladi dari
penculikan kemenakannya itu. Tetapi yang datang itu benar Empu Gandring
dan melihat perkelahian itu, maka ia pasti akan memihak Empu Gandring
pasti akan memihaknya. Sebab ia adalah pihak yang lemah. Apabila Empu
Gandring itu berhasil keluar dari perkelahian itu bersamanya,
mengalahkan kedua iblis dari Kemundungan dan seandainya, Empu Gandring
masih tetap dalam pendiriannya menyangka dirinya dengan tuduhan itu,
maka lawannya adalah pihak yang lemah. Bukan kedua orang iblis itu lagi.
Dengan demikian Empu Sada bertekad untuk
bertempur terus. Meskipun Empu Sada itu menjadi semakin terdesak, tetapi
ia mempunyai harapan untuk bertahan sampai kuda itu menjadi semakin
dekat. Segala cara ditempuhnya untuk menyelamatkan dirinya.
Meloncat-loncat, berlari-lari, melingkar-lingkar pada gerumbul-gerumbul
liar. Ia tidak peduli lagi apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Ia
akan mempergunakan segala cara.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
mengumpat-umpat di dalam hati. Bahkan Wong Sarimpat berteriak, “He Empu
Sada apakah kau sudah kehilangan sama sekali harga dirimu. Bagaimana
mungkin seorang Empu yang sakti bertempur dengan cara itu”.
Empu Sada tidak menyahut. Ia bertempur semakin liar. Sama sekali tak diperhatikannya lagi tata kesopanan di dalam perkelahian.
Sementara itu derap kuda dikejauhan pun
menjadi semakin dekat. Harapan Empu Sada pun menjadi semakin berkembang.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin keras
mengumpat-umpat.
Akhirnya mereka, yang sedang bertempur itu melihat seekor kuda berpacu seperti angin mendekati titik perkelahian itu.
Dalam pada itu, terdengar Kebo Sindet
berkata, “Empu Sada, kalau Empu Gandring itu menjadi semakin dekat maka
nyawamu pun akan menjadi semakin pendek”.
Empu Sada masih tetap tidak menjawab. Tetapi senjatanya bergerak semakin mantap.
Kini kuda yang datang itu telah menjadi
semakin dekat, dan sesaat kemudian kuda itu berhenti. Benarlah dugaan
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bahwa penunggangnya adalah Empu Gandring.
Demikian kuda itu berhenti terdengar Wong Sarimpat berteriak, “Empu Gandring ini kah orangnya yang kau cari?”
Empu Sada segera meloncat jauh kesamping
untuk melepaskan diri dari perkelahian. Dengan sebuah senyuman ia
menyambut kedatangan Empu Gandring, katanya, “Selamat malam Empu, telah
cukup lama kami menunggu kedatanganmu”.
Empu Gandring yang duduk di atas punggung
kudanya termenung sejenak melihat apa yang sedang terjadi. Ia tidak
dapat segera mengerti, mengapa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertempur
melawan Empu Sada. Yang terdengar kemudian adalah suara Kebo Sindet
kepada Empu Gandring, “Kau telah menemukan orangnya, sumber bencana yang
menimpa Mahisa Agni”.
Tetapi Empu Gandring tidak segera memberi
tanggapan. Ia masih saja duduk membeku di atas punggung kudanya.
Sementara itu Wong Sarimpat berteriak, “Mengapa kau masih saja seperti
patung?”
Kebo Sindetlah yang menyahut, “Apakah kau memerlukan penjelasan, Empu Gandring?”
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Ia ingin menghadapi persoalan itu dengan tenang, supaya ia tidak
terperosok dalam suatu sikap yang salah.
Kebo Sindet terdengar berkata lagi, “Empu
Gandring apakah kau masih sangsi bahwa kemanakanmu telah dilarikan oleh
murid Empu Sada. Kau melihat sendiri bahwa Mahisa Agni berada di
punggung kuda yang dipergunakan oleh Kuda Sempana. Memang akulah yang
telah berbuat langsung, tetapi aku hanyalah sekedar alat. Aku tidak tahu
maksud Empu Sada yang sebenarnya, dengan menculik Mahisa Agni. Baru
kemudian aku tahu setelah aku menyerahkannya kepadanya. Ternyata, dendam
murid Empu Sada telah begitu tajam meracuni hatinya, sehingga kedua
guru dan murid ini begitu sampai hati untuk berbuat di luar
perikemanusiaan atas Mahisa Agni. Sehingga, kami berdua berusaha
mencegah. Kemudian yang terjadi adalah seperti yang kau lihat ini. Kami
berdua terpaksa bertempur melawan Empu Sada. Nah Empu Gandring sekarang
terserah padamu apa yang akan kau lakukan. Kau akan dapat bersama-sama
kami membunuh Empu Sada ini, kemudian bersama-sama kami pula mengejar
Kuda Sempana. Sebab selama kami bertempur Kuda Sempana telah sempat
melarikan Mahisa Agni”.
Empu Gandring masih tetap mematung.
dilayangkannya pandangan matanya mengedari arena perkelahian itu.
Dilihatnya Empu Sada berdiri tegak disisi sebuah parit yang kering.
Ketika pandangan mata mereka beradu maka berkatalah Empu Sada, “Empu
Gandring, kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Tetapi apakah kau dapat mempercayainya”.
Empu Gandring masih tetap tidak menjawab.
Dan Empu Sada pun berkata lebih lanjut, “Empu Gandring, aku menyesal
bahwa aku tidak mendengarkan nasihatmu dahulu, seperti Bojong Santi
pernah menasehati aku juga kalau aku berhubungan dengan kedua iblis dari
Kemundungan itu maka aku pasti akan ditelannya. Ternyata nasihatmu itu
benar-benar terjadi, aku kini telah kehilangan semuanya. Muridku pun
telah dirampasnya pula, sedang muridku yang lain telah dibunuhnya. Empu
Gandring, kini Mahisa Agni itu pun telah diambilnya untuk kepentingan
yang kotor. Mereka ingin mempergunakan Mahisa Agni untuk melakukan
pemerasan. Adalah Kuda Sempana yang memberitahukan kepada mereka, kedua
iblis dari Kemundungan itu, bahwa bakal permaisuri Tunggul Ametung
sangat mengasihi kakaknya, Mahisa Agni”.
“Bohong” potong Kebo Sindet, “jangan mempercayainya”.
“Empu Gandring” berkata Empu Sada pula,
“kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan kau
telah mendengar penjelasanku pula. Kemudian ter serah kepadamu manakah
yang menurut pertimbanganmu dapat kau percaya”.
“Hebat” teriak Wong Sarimpat,
“pembelaanmu hebat sekali Empu. Tetapi sayang bahwa hanya anak-anak
kecil sajalah yang mempercayainya. Tetapi sudah tentu bukan Empu
Gandring dan kami berdua yang sudah kenyang makan garam”.
Empu Sada sama sekali tidak menanggapi
teriakan Wong Sarimpat. Ia tidak ingin terlampau banyak berbicara.
Tetapi ia yakin bahwa Empu Gandring dapat melihat keadaan dengan wajar,
sebab orang itu dahulu pernah mengatakan kepadanya sedikit tentang Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Karena itu maka Empu Sada membiarkan saja Wong
Sarimpat berteriak-teriak terus, “Empu Gandring apa lagi yang kita
tunggu? Marilah kita selesaikan saja gurunya, kemudian marilah kita
susul muridnya kepadepokan Empu Sada. Mahisa Agni itu pasti dibawanya
kesana untuk diperlakukannya dengan biadab” Wong Sarimpat berhenti
sejenak. Tetapi karena Empu Gandring masih belum menjawab, maka ia
berkata selanjutnya, “atau kau ingin mendahului kami menyelamatkan
kemenakanmu itu. Sementara kami menyelesaikan orang ini? Nanti sesudah
pekerjaan ini selesai, maka kami pun akan menyusulmu ke Padepokan Empu
Sada itu”.
Ketika Wong Sarimpat terdiam, maka
kesenyapan segera menerkam suasana. Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Empu
Sada menjadi tegang menunggu sikap Empu Gandring. Keputusan orang itu
akan menentukan keadaan. Apabila Empu Gandring berpihak kepada Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat, bersama-sama membinasakan Empu Sada, maka
kemudian ia pun pasti akan binasa pula ditangan kedua iblis itu. Tetapi
kalau ia berpihak kepada Empu Sada, maka keadaannya akan berbeda.
Tetnyata perhitungan Empu Gandring tidak
jauh berbeda dengan perhitungan Empu Sada. Kalau ia berpihak kepada Empu
Sada, maka seandainya ia masih menjumpai persoalan dengan orang itu,
maka kedudukan mereka pasti akan seimbang. Bahkan mungkin tiga hari,
seminggu dan bahkan setahun, mereka tidak akan dapat menentukan siapakah
yang akan menang dan akan kalah. Mungkin Empu Gandring mempunyai
beberapa kelebihan dari Empu Sada, tetapi dalam perkelahian terbuka,
maka kelebihan yang hanya selapis itu tidak akan banyak berpengaruh.
Apalagi melihat cara Empu Sada berkelahi saat ini. Meloncat-loncat,
berlari-lari bersembunyi dan melingkari pepohonan yang daun-daunnya
menjadi berguguran. Karena itu maka Empu Gandring membulatkan tekadnya.
Ia memilih berpihak kepada Empu Sada. Pengenalannya kepada mereka, yang
sedang berkelahi itu telah mendorongnya untuk mengambil keputusan itu.
Dalam ketegangan itu Empu Gandring
menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Keris raksasanya ternyata
masih saja berada di dalam genggamannya. Sejenak ia mengawasi ketiga
orang yang tegang mematung.
Akhirnya terdengarlah suaranya membelah
kesenyapan, “Empu Sada, aku berpihak kepadamu. Meskipun setelah
pertempuran ini selesai, entah sehari, atau seminggu, aku masih harus
berurusan dengan kau”.
“Baik Empu” sahut Empu Sada, “aku terima syaratmu. Ternyata kau cukup bijaksana menentukan pilihan”.
“Persetan kalian” tiba-tiba Kebo Sindet
berteriak nyaring. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, kudanya meluncur
dengan cepatnya menyerang Empu Gandring. Untunglah bahwa selama ini
Empu Gandring tidak meninggalkan kewaspadaan, sehingga ketika golok
iblis itu mematuknya, maka Empu Gandring pun segera menangkisnya dengan
keris raksasanya.
“Hem” Empu Gandring menggeram, “kau segera mulai Kebo Sindet. Baiklah, aku memang ingin segera menyelesaikan persoalan ini”.
Kebo Sindet tidak mcnjawab. Kudanya segera berputar untuk melakukan serangan sekali lagi.
Demikianlah maka Kebo Sindet dan Empu
Gandring itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing
adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Empu Gandring tidak
setangkas Kebo Sindet bermain-main dengan kuda, tetapi ketangkasannya
menggerakkan senjata dapat mengimbangi kekurangannya, sehingga
perkelahian itu pun menjadi seimbang.
Keduanya sambar menyambar dengan
dahsyatnya. Senjata-senjata mereka terayun-ayun dan berputaran.
Seolah-olah di langit telah berterbangan seribu macam senjata dari kedua
jenis senjata itu. Keris-keris raksasa dan golok-golok yang
berkilat-kilat.
Empu Sada masih saja berdiri di sisi
sebuah parit yang kering. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia mempunyai harapan lagi untuk
mempertahankan hidupnya dan menolong Mahisa Agni. Dengan penuh minat
diperhatikannya perkelahian yang dahsyat antara Empu Gandring dan Kebo
Sindet yang masing-masing berada di punggung kuda. Seperti sedang
melihat sepasang burung garuda yang bertempur di udara.
Di tempat lain, Wong Sarimpat pun
memandang perkelahian itu dengan penuh gairah. Tanpa disadarinya
sekali-sekali tangannya menyentuh-nyentuh luka di pangkal lengannya.
Meskipun luka itu sudah tidak berdarah lagi, tetapi masih juga terasa,
bahwa luka itu agak mengganggunya. Namun agaknya Wong Sarimpat tidak
mempunyai kesempatan untuk memperhatikan luka itu. Ketika ia berpaling
dilihatnya Empu Sada berjalan perlahan-lahan ke arahnya sambil berkata,
“Wong Sarimpat, kini keadaan menjadi berubah. Nah, sekarang kau tidak
perlu mengumpat-umpat lagi. Aku tidak akan berlari-lari, meloncat-loncat
dan bersembunyi seperti seekor kera kepanasan”.
“Persetan” sahut Wong Sarimpat, “kau telah berhasil menipu pande keris itu”.
“He” Empu Sada mengerutkan keningnya,
“apakah aku menipunya? Ah, jangan begitu Wong Sarimpat. Kau tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi. Dan kau masih juga berkata aku
menipunya”.
Wong Sarimpat menggeram. Digerakkannya
goloknya dan ia pun maju selangkah demi selangkah menyongsong Empu Sada
yang mendekatinya.
Keadaan menjadi semakin tegang, sejalan
dengan langkah-langkah mereka, Empu Sada dan Wong Sarimpat, yang
jaraknya menjadi semakin dekat. Kini senjata-senjata mereka telah siap
untuk dipergunakan. Sebuah golok besar di tangan Wong Sarimpat dan Empu
Sada masih tetap menggenggam potongan tongkatnya di tangan kanan dan
pedang Kuda Sempana di tangan kirinya.
Ketika jarak mereka sudah tidak lebih
dari ampat langkah lagi, tanpa berjanji, serentak mereka pun berlari.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan,
tetapi lewat sorot mata mereka melontarlah segala macam kebencian,
dendam, marah bercampur-baur.
Tetapi waktu itu tidak terlampau lama.
Sesaat kemudian dengan sebuah teriakan yang nyaring Wong Sarimpat
meloncat menyerang. Seperti petir menyambar di langit, goloknya
menyambar lawannya. Tetapi Empu Sada telah siap menanti saat yang
demikian. Itulah sebabnya maka ia sama sekali tidak terkejut. Segera ia
menyesuaikan dirinya, sehingga dengan kecepatan yang sama Empu Sada
membebaskan dirinya dari serangan itu. Tetapi sekejap kemudian, Empu
Sada lah yang berganti menyerang. Kedua senjatanya berderak
susul-menyusul, demikian cepatnya bagaikan berpuluh-puluh ujung scnjata
yang ditaburkan bersama-sama.
Mengalami serangan itu, sekali lagi Wong
Sarimpat berteriak nyaring. Ia terpaksa meloncat surut beberapa langkah.
Tetapi sesaat kemudian mereka telah terlibat kembali dalam pertarungan
yang sengit. Pertarungan dari dua orang yang menyimpan dendam sedalam
lautan di dalam dada masing-masing. Dengan demikian maka pertarungan itu
menjadi pertarungan yang sangat dahsyat. Masing-masing sama sekali
sudah kehilangan pengendalian diri. Yang ada di dalam hati mereka
tinggallah nafsu untuk membunuh lawannya, dengan jalan dan cara apa pun
juga. Sehingga perkelahian itu segera menjadi keras dan kasar, seperti
perkelahian dua ekor harimau yang paling buas di dalam rimba yang sama
sekali tidak pernah bersentuhan dengan peradaban.
Di sisi yang lain dua ekor kuda masih
saling menyambar. Dengan gelora di dalam dada yang tidak kalah serunya,
Empu Gandring dan Kebo Sindet pun bertempur mati-matian. Senjata-senjata
mereka yang terayun-ayun di udara serta benturan-benturan yang terjadi
tak ubahnya seperti lidah api yang berlaga di langit. Percikan bunga api
yang terjadi dalam setiap benturan senjata, seperti bunga-bunga yang
membara yang ditaburkan dari langit.
Sementara itu bulan yang sepotong masih
bergayutan di langit. Sinarnya yang kckuning-kuningan menjadi semakin
kabur, di saput oleh warna kemerah-merahan yang memancar dari timur.
Angin yang silir berhembus lembut, menyentuh dedaunan yang telah menjadi
kekuning-kuningan. Gemerisik suaranya seolah-olah membawa kabar bahwa
sebentar lagi fajar akan segera datang.
Ketika warna merah di punggung bukit di
ujung timur menjadi semakin nyata, maka satu-satu bintang pun mencari
tempat persembunyiannya, supaya wajahnya yang cantik tidak menjadi
terbakar oleh terik matahari yang ganas.
Ternyata mereka yang sedang bertempur pun
masih juga mempunyai kesempatan menyadari bahwa fajar hampir
menyingsing. Tetapi justru karena itu, maka mereka menjadi gelisah.
Apabila hari menjadi pagi, maka ada kemungkinan, seseorang melihat
perkelahian ditengah-tengah padang yang kering itu. Apabila demikian,
maka keadaan akan menjadi berbahaya. Terutama bagi Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Apalagi, apabila anak muda yang aneh, yang berpakaian prajurit
Tumapel itu datang pula ke arena ini.
Karena itu, maka baik Kebo Sindet maupun
Wong Sarimpat, kemudian bertempur semakin bernafsu. Mereka ingin segera
menyelesaikan perkelahian itu. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat
serupa. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu seolah-olah
hampir tidak ada perubahan apapun. Perkelahian itu masih tetap seimbang
dan dalam keadaan yang sama seperti perkelahian itu baru di mulai.
Sekali-kali terbersit ingatan di kepala Kebo Sindet untuk menghindar saja dari arena, tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan adiknya bertempur sendiri. Karena itu maka tak habis-habisnya ia mengumpati Empu Sada yang licik, yang ternyata telah menyerang kuda-kuda mereka sehingga kini Wong Sarimpat terpaksa bertempur di atas tanah.
Sekali-kali terbersit ingatan di kepala Kebo Sindet untuk menghindar saja dari arena, tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan adiknya bertempur sendiri. Karena itu maka tak habis-habisnya ia mengumpati Empu Sada yang licik, yang ternyata telah menyerang kuda-kuda mereka sehingga kini Wong Sarimpat terpaksa bertempur di atas tanah.
Seandainya Kebo Sindet berusaha membawa
Wong Sarimpat bersamanya di atas satu punggung kuda, maka kesempatan itu
sangat berbahaya bagi adiknya. Pada saat adiknya meloncat, maka Empu
Gandring dan Empu Sada dapat menyerang bersama, sehingga sangat sulitlah
untuk menghindarkan diri.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain
daripada berkelahi terus. Bahkan Kebo Sindet itu menjadi semakin garang
dan semakin bernafsu, seperti Wong Sarimpat. Bahkan Wong Sarimpat itu
telah hampir sampai kepuncak kemarahannya. Ia menjadi semakin muak
melihat sikap Empu Sada yang di dalam pandangan matanya menjadi semakin
liar. Namun sebaliknya Empu Sada pun menjadi semakin mendendam Wong
Sarimpat yang di dalam pandangan matanya menjadi semakin buas.
Sebenarnyalah, bahwa kedua orang itu
telah sama-sama kehilangan nilai-nilai tata kesopanan dalam pertarungan
tanding. Mereka berbuat apa saja. Bahkan Wong Sarimpat yang sedang mata
gelap telah berusaha menaburkan segenggarn pasir ke dalam mata Empu
Sada. Untunglah Empu Sada dapat menghindar dengan cepat, dengan meloncat
jauh-jauh ke belakang. Namun Empu Sada pun telah memukul pula dengan
tongkatnya seonggok batu karang yang diarahkan kepada lawannya. Tetapi
Wong Sarimpat pun dengan lincah dapat pula menghindari. Meskipun karena
itu, maka ia mengumpat-umpat dengan bahasa yang paling kotor yang pernah
dikenalnya.
Akhirnya Wong Sarimpat itu tidak dapat
bersabar lagi. Ia merasa wajib untuk segera memusnakan lawannya. Kalau
ia tidak dapat membinasakannya dengan wajar, maka ia harus mempergunakan
tenaga simpanannya. Aji kebanggannya seperti yang dimiliki oleh
kakaknya, aji Bajang.
Dan Wong Sarimpat merasa, bahwa kini
saatnya telah tiba baginya untuk mempergunakan aji itu. Meskipun ia
tahu, bahwa Empu Sada pun memiliki pula kekuatan yang akan dapat
mengimbangi aji Bajangnya, namun dengan demikian, maka persoalannya akan
lebih cepat selesai. Yang hancur akan lebih cepat hancur dan yang
menang akan lebih cepat melihat kemenangannya. Namun Wong Sarimpat itu
pun mengerti juga, bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Hancur bersama-sama atau aji-aji itu tidak berguna sama sekali. Apabila
demikian, maka perkelahian itu akan berlangsung terus.
Mungkin sehari lagi, seminggu atau apabila salah seorang telah menjadi kelaparan.
Tetapi Wong Sarimpat tidak mau dirisaukan
oleh seribu satu macam pertimbangan. Ia ingin mempergunakan Aji
Bajangnya saat ini. Habis perkara.
Dengan demikian maka Wong Sarimpat itu
segera mengambil jarak dari lawannya. Disilangkannya goloknya di muka
dadanya. Dipusatkannya segenap kekuatan dan dihimpunnya menjadi kekuatan
yang dahsyat. Kekuatan lahir dan batin yang didapatnya dengan segala
macam jalan. Jalan yang hitam. Yang ditemuinya di bawah kelamnya
pohon-pohon tua yang rimbun, di balik batu-batu yang besar dan di dalam
gelapnya goa-goa yang lembab.
Empu Sada pun segera melihat apa yang
sedang dihadapinya. Karena itu ia tidak boleh bermain-main lagi
menghadapi sikap lawannya. Ia pun harus berbuat serupa pula.
Menggerakkan segenap daya dan kekuatan yang ada padanya, memusatkannya
dan kemudian menyalurkannya dalam wujud dan sifatnya yang dahsyat.
Demikianlah kini kedua-duanya telah
berhadapan dalam puncak kemampuan. Wong Sarimpat telah siap melontarkan
Aji Bajang lewat goloknya yang besar dan Empu Sada pun telah memusatkan
Aji Kala Bama pada tangan kananya yang telah siap mengayunkan potongan
tongkatnya. Kali ini ia mengharap bahwa tongkatnya yang telah patah dan
menjadi pendek itu tidak akan terpatahkan lagi.
Waktu yang mereka perlukan ternyata tidak
terlampau banyak. Segera mereka pun telah berada dalam puncak kesiagaan
dalam ilmu tertinggi. Sekejap kemudian terdengar dua buah teriakan
nyaring yang hampir berbareng meluncur dari mulut Wong Sarimpat dan Empu
Sada. Dan keduanya pun segera berloncatan seperti tatit yang meloncat
dan kemudian bersabung di langit.
Benturan yang terjadi benar-benar sebuah
benturan yang dahsyat. Benturan antara Aji Bajang dan Kala Bama untuk
yang kedua kalinya di malam itu, sesudah Empu Sada membentur Aji yang
sama yang dilontarkan oleh Kebo Sindet.
Kali ini pun akibatnya tidak pula kalah
dahsyatnya. Bahkan Kebo Sindet dan Empu Gandring yang sedang bertempur
itu pun tertegun sejenak. Kuda-kuda mereka pun berhenti berlari-lari dan
seolah-olah mereka pun ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi sesudah
benturan itu.
Ternyata Wong Sarimpat dan Empu Sada
bersama-sama terdorong beberapa langkah surut. Mereka seakan-akan
terlempar dan melambung di udara untuk sejenak kemudian terbanting jatuh
di tanah. Namun demikian tubuh-tubuh mereka menyentuh tanah, maka
mereka pun segera melenting bangkit berdiri, dan bersikap kembali
menghadapi setiap kemungkinan.
Meskipun demikian terasa sesuatu pada
tubuh mereka. Terasa tangan-tangan mereka menjadi nyeri karena tekanan
senjata-senjata mereka pada saat benturan terjadi. Hanya tangan-tangan
yang di lambari oleh kekuatan yang sedahsyat kekuatan yang berbenturan
itu lah, yang masih akan mampu bertahan menggenggem senjata
masing-masing. Apabila tangan-tangan itu adalah tangan-tangan wajar,
maka jari-jarinya pasti akan patah berserakan di tanah, dan
tulang-tulang lengannya akan hancur berkeping-keping. Tetapi
tangan-tangan itu ternyata masih utuh meskipun terasa juga, genggamannya
menjadi mengendor.
Empu Sada yang mempergunakan hanya
sepotong tongkat, merasakan, bahwa tekanan ditangannya agak terlampau
keras, meskipun senjatanya tidak terpatahkan lagi. Sedang Wong Sarimpat
pun merasakan sesuatu yang tidak wajar pada pangkal lengannya yang
terluka. Agaknya dalam benturan yang terjadi, oleh desakan kekuatan yang
menghentak, maka luka itu mulai mengalirkan darah lagi.
“Setan alas” bentak Wong Sarimpat, “tangan ini agaknya akan mengganggu”.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat meraba
bumbung kecil di dalam kantong ikat pinggangnya yang dibuatnya dari
kulit. Ia masih mempunyai beberapa butir reramuan obat di sana. Tetapi
Empu Sada yang melihatnya, tidak ingin memberinya kesempatan sama
sekali. Orang itu telah benar-benar menjadi mata gelap, dendam, benci,
muak dan segala macam perasaan, telah mendorongnya untuk berbuat dengan
nafsu yang meluap-luap. Dengan cepat sekali lagi ia mempersiapkan Aji
Kala Bama. Ia harus cepat menyerang sebelum Wong Sarimpat sempat menahan
arus darah yang meleleh dari luka di pangkal lengannya itu.
Wong Sarimpat yang melihat sikap itu
mengumpat keras-keras. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ia terlambat
menyambut. kekuatan itu, maka ia pun akan menjadi lumat. Karena itu maka
niatnya untuk mengambil obat diurungkannya. Segera ia pun bersiap
menyambut serangan yang bakal datang. Dan serangan itu kini dilakukan
oleh Empu Sada. Bukan oleh dirinya.
Sekali lagi mereka berteriak nyaring.
Sekali lagi mereka berloncatan sambil mengayunkan senjata-senjata
mereka. Dan sekali lagi benturan yang sedahsyat semula itu terjadi.
Namun ternyata akibatnya lebih dahsyat
dari pada benturan tang pertama. Dalam benturan ini, ternyata
tangan-tangan mereka sudah tidak kuasa lagi mempertahankan
senjata-senjata mereka tetap di tangan. Terasa betapa perasaan pedih dan
nyeri menyengat tangan-tangan mereka, dan senjata-senjata mereka yang
berbenturan itu pun meloncatlah bersama-sama dari tangan-tangan mereka.
Meskipun segera mereka bangkit kembali setelah terbanting jatuh, dan
kemudian berdiri berhadapan lagi, tetapi mereka ternyata sudah tidak
bersenjata sama sekali.
Empu Sada pun baru menyadari, bahwa
Pedang di tangan kirinya agaknya telah terlepas pula dari tangannya,
pada saat-saat ia terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Dengan
demikian maka kini mereka berhadap-hadapan tanpa sehelai senjata pun.
Yang ada pada mereka hanyalah anggauta badan mereka, tangan, kaki dan
tubuh yang terdiri dari kulit, daging dan tulang belulang itu.
Tetapi ternyata bahwa nafsu kedua-duanya
benar-benar tidak lagi dapat terkendali. Mereka benar-benar sudah tidak
dapat berpikir lagi, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Yang ada di
dalam kepala mereka adalah nafsu untuk membunuh. Membunuh. Tidak ada
yang lain.
Karena itu, maka seperti berjanji mereka
pun segera mempersiapkan diri untuk melontarkan kembali kekuatan ilmu
mereka yang tertinggi.
Empu Gandring dan Kebo Sindet, betapa
kemarahan dan kebencian mereka pun membakar dada, namun mereka masih
sempat menyaksikan perkelahian dua orang yang seakan-akan telah
kehilangan diri pribadi. Seakan-akan mereka telah kepanjingan iblis yang
sedang berlaga di dalam tubuh-tubuh mereka.
Karena itu ketika Kebo Sindet melihat
Wong Sarimpat dan Empu Sada mempersiapkan kekuatan ilmu tertinggi
mereka, maka hatinya pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia berteriak,
“Wong Sarimpat, hati-hati dengan luka ditanganmu. Lebih baik kau
memungut senjatamu”.
Tetapi Wong Sarimpat tidak sempat berbuat
sesuatu. Bahkan kata-kata kakaknya itu seakan-akan tidak didengarnya.
Orang itu sudah tidak lagi sempat berpikir tentang luka-lukanya yang
akan dapat menjadi berbahaya baginya. Sebenarnya dalam keadaannya Wong
Sarimpat lebih baik berusaha membenturkan senjatanya daripada tubuhnya.
Lebih baik pula baginya, bertempur tanpa benturan-benturan meskipun
setiap ayunan dilambari oleh Aji Pamungkas masing-masing.
Kebo Sindet tidak dapat berbuat apa-apa
lagi ketika ia melibat kedua orang yang seolah-olah telah menjadi gila
itu siap untuk saling menerkam. Ketika ia menggerakkan kudanya, maka
Empu Gandring pun telah bergerak pula. Dengan demikian maka Kebo Sindet
dapat menyadari keadaannya, bahwa Empu Gandring tidak akan dapat
ditinggalkannya, walaupun hanya sejenak.
Maka yang dapat dilakukan hanyalah
melihat apa yang bakal terjadi dengan hati yang berdebar-debar. Dua ekor
binatang buas yang kelaparan sedang berlaga memperebutkan sepotong
tulang. Tak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya, selain maut
telah merenggut jiwa mereka atau salah satu dari padanya.
Sejenak kemudian Empu Gandring dan Kebo
Sindet menahan nafasnya. Seolah-olah mereka sendiri terseret pula di
dalam loncatan yang garang dan kemudian ikut pula dalam benturan yang
segera terjadi.
Tetapi Wong Sarimpat ternyata bukan
seorang yang benar telah menjadi gila. Ia menyadari keadaannya. Keadaan
luka di pangkal lengannya. Karena itu, maka saat mereka telah saling
meloncat dan mengayunkan tangan-tangan mereka, maka Empu Sada melihat,
bahwa tangan Wong Sarimpat itu sengaja tidak membentur tangannya, tetapi
langsung mengarah ke dadanya.
Empu Sada tergagap sesaat menghadapi
keadaan itu. Tetapi keadaan sudah berada di puncak yang paling gawat.
Empu Sada sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Ia tidak mau hanya
sekedar membentur tangan Wong Sarimpat yang mengarah kedadanya, sebab
dengan demikian maka geraknya akan tidak seimbang. Ia berada pada
keadaan sekedar bertahan karena perimbangan gerak yang menguntungkan
Wong Sarimpat. Karena itu, maka Empu Sada yang sedang menjadi kalap itu
pun tidak mau terlampau banyak berpikir dan menimbang, la tidak lagi
memperhitungkan tangan dan gerak Wong Sarimpat. Letak tangan Wong
Sarimpat yang mengarah ke dadanya itu memberinya kesempatan yang serupa.
Dada Wong Sarimpat pun tidak terlindung karenanya. Karena itu, maka
Empu Sada itu pun memusatkan perhatiannya ke arah dada lawannya. Tak ada
lagi yang nampak di matanya selain dada Wong Sarimpat. Dada yang selama
ini dimuati oleh segala macam nafsu dan kehendak yang hitam lekam,
sifat dan watak yang kotor dan liar.
Benturan yang terjadi kemudian adalah
benturan yang mengerikan. Terdengar mereka berdua berteriak nyaring
hampir bersamaan untuk mentuntaskan segenap kekuatan yang tersimpan di
dalam puncak ilmu masing-masing. Tetapi sejenak kemudian di susul pula
oleh dua buah teriakan yang mengerikan ketika tangan-tangan itu telah
menghantam dada lawan masing-masing.
Empu Gandring dan Kebo Sindet yang
melihat benturan itu menahan nafas niasing-masing. Benturan itu
benar-benara sebuah benturan yang paling gila yang pernah mereka lihat.
Masing-masing sengaja menghindari sentuhan tangan, tetapi masing-masing
langsung mengarah dan menghantam dada.
Kedua orang itu terlempar jauh-jauh ke belakang. Terdengar tubuh-tubuh mereka terbanting jatuh di tanah seperti seonggok pasir.
Demikian keduanya jatuh di tanah, maka
keduanya pun sama sekali sudah tidak bergerak-gerak lagi. Yang terdengar
adalah sebuah teriakan yang mengerikan meloncat dari sela-sela bibir
Wong Sarimpat, umpatan-umpatan yang paling kotor yang pernah di dengar
oleh telinga.
“Wong Sarimpat” Kebo Sindet mcncoba memanggilnya.
Tetapi Wong Sarimpat sudah tidak menjawab
lagi. Dan teriak-teriakannya pun telah terdiam pula. Yang terdengar
kemudian adalah sebuah keluhan yang tertahan-tahan. Perlahan-lahan
sekali.
“Empu Gandring” berkata Kebo Sindet, “apakah kau dapat membiarkan aku melihat adikku sejenak?”.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia bukan orang yang berhati batu. Ketika ia melihat keadaan itu,
maka ia tidak dapat berkeras hati menolak permintaannya. Maka jawabnya,
“Aku tidak berkeberatan Sindet. Aku pun ingin melihat Empu Sada itu”.
Kebo Sindet menjadi ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya Empu Gandring scolah-olah ingin meyakinkan jawaban orang
itu sehingga Empu Gandring mengulangi, “Lihatlah adikmu, aku akan
melihat apa yang terjadi dengan Empu Sada itu”.
“Baiklah. Kesempatan bagimu untuk
membunuhnya dengan mudah supaya ia tidak mengganggumu lagi. Kemudian kau
dapat mengejar muridnya ke Padepokannya. Apakah kau belum pernah
melihat Padepokan Empu Sada?”
Empu Gandring tidak menjawab. Tak
terlintas di dalam kepalanya untuk berbuat selicik itu. Empu Sada yang
sudah berbaring diam tidak berdaya sama sekali itu pasti tidak akan
dapat melawan seandainya ia membunuhnya. Apalagi dengan kerisnya itu,
bahkan dengan memijat hidungnya saja, maka lama-lama orang itu akan
terputus nafasnya.
Tetapi perbuatan itu adalah perbuatan
yang tercela. Apa lagi bagi seorang Empu seperti Empu Gandring. Karena
itu betapapun besarnya kebencian, kemarahan dan beribu macam tuntutan di
dalam hati, namun tidak sepantasnya ia berbuat demikian.
Kebo Sindet itu pun kemudian
perlahan-lahan mendekati adiknya. Dengan wajah yang tegang ia meloncat
turun dari kudanya. Tampaklah pada wajah yang beku itu beberapa kerut
merut melintang di dahinya. Dan terdengarlah ia menggeram
perlahan-lahan.
Ketika ia bcrjongkok maka dilihatnya
jelas, bahwa dari luka di pangkal lengan Wong Sarimpat itu, darahnya
seakan-akan terperas habis. Darah yang merah segar.
“Terlambat” desis Kebo Sindet. Tak ada
gunanya lagi ia mencoba menaburkan obat pada luka itu uutuk menahan arus
darah yang mengalir. Sebab nafas Wong Sarimpat hampir-hampir sudah
tidak mengalir sama sekali. Ketika Kebo Sindet meletakkan kupingnya di
dada adiknya, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi Kebo Sindet itu tiba-tiba
menggeram. Sekali loncat ia telah berdiri. Digenggamnya goloknya
erat-erat sambil berkata, “Empu Gandring. Apakah Empu Sada itu masih
hidup?”
Empu Gandring yang sedang berjongkok itu
pun berdiri pula. Ia harus berhati-hati melihat sikap Kebo Sindet yang
seolah-olah menjadi gila.
“Bagaimana he?” desak Kebo Sindet.
“Orang ini masih hidup” sahut Empu Gandring.
“Empu Gandring, marilah kita lupakan
persoalan kita. Tetapi kalau kau tidak mau membunuh setan tua itu,
biarlah aku yang melakukannya. Adikku Wong Sarimpat sudah tidak dapat
lagi diharapkan hidup. Nafasnya telah hampir putus dan darahnya sudah
terlampau banyak yang memancar dari lukanya. Apalagi dadanya telah
mengalami luka yang cukup parah pula.
“Apa yang akan kau lakukan terhadap orang ini?” bertanya Empu Gandring.
“Orang itu akan aku bawa ke Padepokanku”.
“Untuk apa?”
“Itu adalah urusanku Empu”.
Empu Gandring terdiam sejenak.
Dipandanginya wajah Kebo Sindet yang berdiri beberapa langkah agak jauh
dari padanya. Tetapi ia tidak melihat wajah itu dengan jelas. Yang
tampak dalam kesamaran sinar bulan sepotong hanyalah sikapnya yang
mengerikan.
Tiba-tiba Empu Gandring itu berkata
perlahan-lahan, “Tidak Kebo Sindet. Orang ini adalah tawananku. Aku yang
akan mengurus dan menyelesaikannya”.
“Siapa bilang” teriak Kebo Sindet
tiba-tiba, “ia pingsan karena tangan adikku. Adikkulah yang berhak
atasnya. Karena adikku akan mati, maka akulah yang berhak berbuat apa
saja atas setan tua itu untuk membalas sakit hatiku karena ia telah
membunuh adikku.
“Tunggulah sampai ia sembuh kembali.
Kelak kau akan dapat menemuinya dan membuat perhitungan apabila orang
ini akan dapat hidup karena luka-luka yang pernah dideritanya kini.
“Aku tidak sabar menunggu waktu itu. Dan
apakah kau kehilangan sesuatu apabila ia aku bawa pergi? Kau akan
menjadi puas pula. Kau tidak akan terpecik dosanya, tetapi kau pun akan
menemukan mayatnya kelak”.
Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Terbayang di dalam rongga matanya perbuatan Kebo Sindet yang sangat mengerikan.
“Jangan keras kepala Empu” bentak Kebo Sindet, “apakah permusuhan kita akan kita teruskan”.
“Kebo Sindet” berkata Empu Gandring, “aku
membenci Empu Sada sampai ke ujung ubun-ubunku, karena orang ini adalah
orang yang mencelakai kemenakanku. Orang ini terlampau memanjakan
muridnya, sehingga apa saja yang dikehendaki oleh Kuda Sempana itu
dilakukannya. Sampai berbuat nista sekalipun, menghubungi orang-orang
seperti kau dan adikmu.
“Kau salah sangka. Ia sama sekali bukan
karena memanjakan muridnya, tetapi karena Kuda Sempana itu menjanjikan
upah yang besar kepadanya, dan kepada kami berdua”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya,
tetapi kemudian menjawab, “Apalagi demikian, Ia agaknya telah berusaha
pula menjual kemanakanku. Karena itu aku mendendamnya”.
“Nah, apalagi yang kau sayangkan pada tubuh dan nyawa yang hampir terloncat dari ubun-ubun itu?”
“Tetapi bukan seperti itu caraku untuk
membalas. Aku ingin merawatnya, dan kemudian membuat perhitungan di
hari-hari mendatang dengan orang ini”.
“Aku pun akan berbuat demikian”.
“Aku sangsi, bukan begitu kebiasaan dan
sifatmu. Apalagi melihat pancaran dendam pada sikapmu kali ini. Kau
mungkin akan mencoba membuatnya sadar dan sekedar memperingan
luka-lukanya. Tetapi kemudian kau akan membunuhnya dengan cara yang kau
senangi. Atau kau pergunakan untuk kepentingan-kepentingan lain, karena
muridnya telah melarikan Mahisa Agni. Tetapi yang paling mungkin kau
lakukan, kau akan membunuhnya dengan perlahan-lahan.
Terdengar Kebo Sindet menggeram, seperti
laku seekor serigala melihat bangkai. Namun Empu Gandring pun telah siap
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kerisnya masih saja
berada di dalam genggamannya, dan setiap saat siap dipergunakannya.
Tetapi ternyata Kebo Sindet tidak segera
menyerangnya. Orang itu masih saja berdiri disamping tubuh adiknya yang
diam tidak bergerak. Bahkan nafasnya pun semakin lama menjadi semakin
tidak teratur.
Sekali lagi Kebo Sindet berpaling
memandangi tubuh adiknya yang terbujur membeku di tanah. Tiba-tiba ia
berteriak, “Empu Gandring. Lihat. Adikku kini telah mati. Apakah kau
tidak juga memberikan Empu Sada itu”.
Empu Gandring tidak segera menjawab. Ia
mencoba memandangi tubuh Wong Sarimpat. Tetapi dari tempatnya berdiri,
ia sama sekali tidak dapat melihat apakah Wong Sarimpat itu telah mati
atau belum.
Namun sebenarnya Wong Sarimpat telah
melepaskan nafasnya yang terakhir. Darah yang terlampau banyak mengalir
dari lukanya, serta bekas tangan Empu Sada yang melepaskan aji Kala Bama
telah merusakkan dadanya pula, sehingga karena kehabisan darah, maka
daya tahan iblis dari Kemundungan itu menjadi jauh susut. Akhirnya ia
tidak dapat mempertahankan hidupnya lagi. Matilah ia di samping kaki
kakaknya yang berdiri tegak bagaikan patung. Namun dada orang itu
bergelora sedahsyat lautan yang sedang dilanda taufan.
“Bagaimana Empu?” desak Kebo Sindet.
Alangkah marahnya Kebo Sindet ketika ia
melihat Empu Gandring menggeleng sambil berkata, “Jangan Sindet. Akulah
yang akan mengurus orang ini. Sembuh atau tidak sembuh”.
“Setan alas” teriak .Kebo Sindet, “aku
telah kehilangan adikku yang selama ini telah hidup bersamaku
bertahun-tahun. Kematiannya pasti aku bela dengan mengorbankan nyawa
pula. Kalau kau tidak mau menyerahkan Empu Sada, maka kaulah yang harus
aku bunuh untuk mengawani adikku dalam perjalanannya kealam langgeng.
Kaulah yang harus menanggung segala dosa dan kesalahan yang pernah
diperbuat oleh adikku, karena kau akan menjadi budaknya di sepanjang
perjalanannya itu”.
“He?” Empu Gandring mengerutkan keningnya, “jadi kau dapat juga mengucapkan kata-kata dosa dan kesalahan?”
“Persetan” Kebo Sindet menjadi semakin
marah, “setidak-tidaknya Empu, marilah kita mati bersama-sama, seperti
Wong Sarimpat sampyuh mati bersama lawannya”.
“Kalau memang itu yang kau kehendaki Kebo
Sindet, aku tidak akan selak. Adalah menjadi kewajibanku untuk
menanggulangi setiap tantangan serupa itu”.
Kebo Sindet terdiam sejenak. Tetapi ia
masih saja menggeram mengerikan. Bahkan kemudian terdengar giginya
gemeretak seperti orang kedinginan terendam di dalam air. Tampaklah
sikapnya menjadi semakin buas dan liar.
Tetapi Empu Gandring pun telah bersiap
sepenuhnya. Setiap saat iblis itu menerkamnya, maka ia pun akan melawan
dengan segenap kemampuan, bahkan seandainya Kebo Sindet itu sekaligus
melepaskan aji Bajangnya. Namun sudah tentu kalau Empu Gandring tidak
ingin melakukan benturan yang bodoh seperti yang terjadi atas Empu Sada
dan Wong Sarimpat, yang kepalanya sedang terbakar oleh nafsu yang
menyala-nyala, sehingga mereka telah melupakan segala perhitungan yang
mungkin dapat mereka lakukan.
Beberapa saat Empu Gandring menunggu,
tetapi Kebo Sindet masih berdiri saja disamping mayat adiknya.
Sebenarnya orang itu pun sedang dilanda oleh keragu-raguan. Ia mencoba
memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi ia tidak
melihat manfaat apa pun apabila ia harus berkelahi melawan Empu
Gandring. Hasil setinggi-tinginya yang dapat dicapainya adalah mati
sampyuh seperti adiknya itu. Dan ia masih belum ingin mati. Ia masih
ingin berbuat sesuatu atas Mahisa Agni yang sedang dilarikan oleh Kuda
Sempana.
Apalagi kemudian Kebo Sindet itu
lamat-lamat mendengar derap kuda dikejauhan. Tanpa dikehendakinya
diangkatnya wajahnya memandang langit, seolah-olah derap kaki-kaki kuda
itu menyelusuri warna-warna merah yang telah memancar di langit.
“Anak setan itu datang lagi” gumamnya.
Empu Gandring pun mendengar derap kaki-kaki kuda itu. Dan ia pun menyangka bahwa yang datang itu pasti Ken Arok.
“Empu Gandring” berkata Kebo Sindet
kemudian, “kalau kau mendengar juga derap kaki-kaki kuda itu, maka anak
iblis itulah yang pasti akan datang. Sayang, aku tidak punya waktu untuk
menyambutnya. Tetapi meskipun demikian, sampaikan kepadanya, bahwa aku
kagum melihat ketahanan tubuhnya yang luar biasa. Kalau anak itu akan
tetap hidup, maka ia benar-benar akan menjadi hantu yang menakutkan bagi
seluruh Tumapel. Tidak saja Tumapel, tetapi seluruh Kerajaan Kediri
akan mengaguminya”.
Empu Gandring tidak menyahut. Ia pun
sebenarnya menjadi sangat kagum melihat ketahanan tubuh Ken Arok, yang
tanpa kekuatan ilmu apa pun mampu menyelamatkan diri dari sentuhan aji
Bajang.
“Sekarang aku pergi Empu” berkata Kebo
Sindet, “tidak ada gunanya aku melayanimu kali ini. Besok pada saatnya
aku akan menjumpaimu atau Empu Sada itu, untuk membuat perhitungan dan
menuntut hutangmu yang kali ini belum kau lunasi”.
Empu Gandring masih juga berdiam diri.
Namun dibiarkannya ketika Kebo Sindet itu mengangkat mayat adiknya dan
menyangkutkannya di punggung kuda. Kuda itu adalah kuda milik Empu Sada.
“Selamat tinggal Empu” desis Kebo Sindet
sambil meloncat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian kuda itu pun
meloncat meninggalkan Empu Gandring yang masih berdiri tegak seperti
patung.
Sejenak Empu Gandring dilanda oleh
keragu-raguan. Apakah ia akan mengejar Kebo Sindet, atau ia mempunyai
kepentingm dengan Empu Sada. Empu Gandring itu tidak tahu benar, kemana
sebenarnya Mahisa Agni dibawa. Tetapi menilik bahwa yang membawa itu
adalah Kuda Sempana, murid Empu Sada, maka ia akan dapat menanyakannya
kepada orang yang sedang pingsan itu.
Karena itu maka niatnya untuk mengejar
Kebo Sindet diurungkannya. Empu Gandring mengharap bahwa ia akan
mendapat banyak keterangan dari Empu Sada tentang Mahisa Agni.
Maka Empu Gandring itu pun kembali
berlutut di samping Empu Sada. Dicobanya untuk mengendorkan segenap urat
nadinya. Menggerakkan tangannya, dan memijit-mijit dadanya
perlahan-lahan. Karena Empu Gandring tahu, bahwa dada itu sebenarnya
telah terluka di dalam.
Tetapi agaknya luka Empu Sada benar-benar
parah. Meskipun denyut nadinya serta detak jantungnya masih terasa,
tetapi tubuhnya tampak terlampau lemah, dan matanya yang terpejam sama
sekali tidak bergetar.
“Mudah-mudahan aku berhasil” desis Empu Gandring, “aku harus mendapat keterangan tentang Mahisa Agni”.
Kemudian oleh Empu Gandring diambilnya
sebulir obat reramuan dedaunan yang akan dapat memberikan kesegaran
kepada orang yang sedang mengalami luka di dalam semacam Empu Sada.
Tetapi karena keadaan Empu Sada maka Empu Gandring agak menjadi bingung,
bagaimana memasukkan obat itu supaya dapat di telan oleh Empu Sada.
“Tak ada jalan lain” desisnya, lalu
dimasukkan saja obat itu ke dalam mulut Empu Sada, dengan harapan bahwa
obat itu akan huncur dan meskipun sedikit-sedikit dan sangat
perlahan-lahan, maka larutan obat itu akan tertelan juga.
Ternyata usaha itu berhasil betapapun lambannya. Sementara itu suara derap kuda dikejauhan menjadi semakin dekat.
Ketika kuda itu berhenti tepat di
belakang Empu Gandring, maka Empu Sada telah mulai bergerak-gerak.
Sehingga Empu Gandring itu pun kemudian meletakkannya di tanah, dan
perlahan-lahan ia berdiri.
“Siapa Empu?” bertanya orang berkuda yang tidak lain adalah Ken Arok, sambil meloncat turun.
“Empu Sada”.
“Empu Sada?” Ken Arok menjadi agak
terkejut. Orang itu sama sekali tidak tampak di Panawijen. Yang
dilihatnya hanyalah dua orang yang buas dan liar, yang disebut bernama
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sambil menunjuk kepada bekas-bekas
pertempuran Empu Gandring berkata, “disini baru saja terjadi sebuah
permainan yang membingungkan”.
“Kenapa Empu?”
“Wong Sarimpat telah terbunuh”.
“Empu berhasil membunuhnya?”
Empu Gandring menggelengkan kepalanya, “Tidak, bukan aku”.
“Siapa yang telah melakukannya?”
”Orang ini” sahut Empu Gandring sambil menunjuk ke arah Empu Sada.
“Empu Sada itu? Bagaimana hal itu dapat terjadi Empu?”
“Itulah yang membingungkan. Ketika aku
sampai di sini, Empu Sada sedang bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat berdua. Aku pun kemudian memihak kepada Empu Sada untuk
kemudian memperkecil dan mempersempit persoalan. Ternyata Empu Sada dan
Wong Sarimpat telah berbenturan”.
“Dimana Wong Sarimpat dan Kebo Sindet sekarang?”
“Mayat Wong Sarimpat telah dibawa oleh kakaknya, sedang Mahisa Agni dibawa oleh Kuda Sempana”.
“Hem” Ken Arok menggeram, “kemana kira-kira Kuda Sempana melarikan diri?”
“Mungkin aku dapat bertanya kepadanya”.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekati Empu Sada yang ternyata telah mulai bergerak-gerak pula.
“Apakah Empu memberinya obat?”
“Ya”.
“Biarlah ia mati pula seperti Wong Sarimpat”.
“Aku memerlukan keterangannya Ngger.
Keterangan tentang Mahisa Agni. Mungkin ia akan bersedia memberitahukan
kepadaku dalam keadaannya itu. Kalau tak ada harapan lagi baginya, maka
aku rasa ia akan melapangkan dadanya, tanpa menyimpan rahasia lagi pada
saat-saat menjelang kematiannya”.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kerut merut diwajahnya menyatakan kebenciannya kepada orang yang sedang terbaring diam itu.
Empu Gandring pun kemudian mendekati Empu
Sada itu dan berjongkok lagi disampingnya. Dilihatnya Empu Sada itu
membukakan matanya dan berdesis, “Siapakah kau?”
“Aku Empu Gandring”.
“Hem” desah orang itu, “ada kesegaran
merayapi urat-urat darahku. Apakah kau memberi aku semacam obat yang
dapat memberi aku kesegaran?”
“Ya”.
“Terima kasih”.
“Empu” berkata Empu Gandring kemudian, “aku ingin keteranganmu tentang Mahisa Agni. Dimanakah ia dilarikan oleh muridmu?”
“Oh” Empu Sada memejamkan matanya.
Dikumpulkannya segenap ingatan yang ada padanya. Persoalan-persoalan
yang sedang dihadapi pada saat-saat terakhir.
“Aku juga memerlukan anak itu” desisnya.
“Empu” berkata Empu Gandring, “kau
sekarang berada dalam keadaan parah. Jangan mencoba mempertahankan anak
muda itu. Apakah kau masih juga bernafsu untuk membunuhnya atau untuk
keperluan apapun yang dapat memberi kepuasan kepada muridmu yang gila
itu?”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok
berkata, “Hidup matimu berada ditangan Empu Gandring, Empu”.
Empu Sada yang lemah itu mencoba
memandang wajah orang yang berkata kepadanya tentang hidup matinya.
Tatapan matanya masih agak kabur dan cahaya yang kemerah-merahan masih
belum mampu untuk memecahkan kesuraman pagi.
“Siapakah kau?” bertanya Empu Sada dengan suara lirih.
Yang menjawab adalah Empu Gandring, “seorang Pelayan Dalam dari Istana Tumapel. Namanya Ken Arok”.
“Oh” Empu Sada mencoba menggeliat, tetapi
badannya masih terlampau lemah, “Angger Ken Arok. Bukankah kau kawan
sepekerjaan dengan Kuda Sempana sewaktu muridku itu masih berada di
Istana Tumapel?”
“Ya” sahut Ken Arok singkat.
“Kenapa pula kau disini Agger? Apakah kau mendapat tugas untuk mencari Kuda Sempana?”
“Ya” sahut Ken Arok sekenanya.
“Sayang” desah Empu Sada, “aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi terhadap anak itu”.
Empu Gandring mengerutkan keuingnya.
Tetapi orang itu tidak segera dapat mengambil kesimpulan dari kata-kata
Empu Sada, sehingga ia bertanya, “Apa maksudmu Empu. Apakah karena
keadaanmu yang parah itu ataukah karena hal-hal yang lain maka kau tidak
lagi mampu berbuat apa-apa lagi atas muridmu?”
Empu Sada tidak segera menjawab.
Dicobanya untuk mengatur jalan pernafasannya, supaya luka di dalamnya
tidak terasa sedemikian sakitnya.
Empu Gandring yang menyadari keadaan Empu
Sada tidak mendesaknya. Ia tahu betul, bahwa penderitaan Empu Sada
benar-benar parah. Tetapi, agaknya Ken Arok tidak begitu sabar
menunggunya, sehingga ia mendesaknya, “Empu Sada. Kau jangan mengingkari
tanggung jawab atas muridmu. Sekarang dimana Mahisa Agni itu
dilarikan?”
Sekali lagi Empu Sada mencoba menggeliat.
Tetapi sekali lagi ia menyeringai menahan sakit didadanya. Meskipun
demikian ia berusaha menjawab, “Aku juga akan berusaha mendapatkan
Mahisa Agni apabila aku berhasil memenangkan perjuangan ini. Perjuangan
melawan luka di dalam diriku”.
“Jangan berkeras hati Empu” sahut Ken
Arok. Namun sebelum Ken Arok melanjutkan kata-katanya, maka terasa Empu
Gandring menggamitnya, sehingga karena itu maka Ken Arok pun terdiam.
“Empu Sada” berkata Empu Gandring dengan
nada seorang yang telah dibekali oleh berbagai macam pengalaman yang
mengendap, “apakah kau masih juga memerlukan Mahisa Agni?”
Empu Sada mencoba menganggukkan kepalanya
perlahan-lahan, “Ya” desisnya, “aku tidak dapat membiarkannya berada di
tangan orang lain”.
“Empu Sada” bertanya Empu Gandring
kemudian, “apakah kau berselisih pendapat dengan Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat tentang tawananmu itu?”
“Ya” sahut Empu Sada perlahan-lahan.
“Dan karena itu kau bertempur melawan mereka?”
“Ya”.
“Sekarang Empu, bagaimanakah pendapatmu kalau aku juga memerlukan Mahisa Agni. Bukankah kau tahu bahwa ia adalah kemanakanku”.
“Ya, aku tahu Empu. Dan aku pun ingin pula berusaha mendapatkan kembali Mahisa Agni itu dari tangan Kebo Sindet”.
“Ah” Empu Gandring menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali, “kau masih terlalu bernafsu. Keadaanmu tidak
akan memungkinkan lagi untuk berbuat sesuatu”.
“Tetapi Mahisa Agni itu harus di rebut dari tangan Kebo Sindet”.
“Empu” berkata Empu Gandring, “bukankah
yang membawa Mahisa Agni itu Kuda Sempana? Kenapa kau harus bersusah
payah merebutnya dari tangan Kebo Sindet?”
“Aku tidak lagi dapat menguasai muridku. Mahisa Agni itu dilarikan oleh Kuda Sempana untuk kepentingan Kebo Sindet”.
Ken Arok menjadi tidak bersabar lagi
mendengar jawaban Empu Sada. Tetapi ia tidak berani mendahului Empu
Gandring yang tampaknya masih cukup sabar. Katanya, “Jangan begitu Empu.
Aku tahu bahwa Kuda Sempana adalah muridmu. Aku tahu bahwa kau dan Kuda
Sempana telah berusaha mati-matian untuk menangkap Mahisa Agni. Bahkan
kemudian kalian telah minta bantuan kepada Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Bukan itu saja, ceritera tentang usahamu untuk menculik adik
Mahisa Agni itu pun telah pernah aku dengar. Beruntunglah bahwa pada
saat itu Panji Bojong Santi melihat apa yang sedang terjadi”.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Kenangan itu ternyata menusuk jantungnya jauh lebih parah dari pada
sakit di dadanya. Ternyata bahwa jalan kembali yang akan dicarinya itu
tidak selicin yang disangkanya. Teringatlah ia akan kata-kata Kuda
Sempana, bahwa dunia yang jernih telah tertutup baginya. Dan kini,
terasa, betapa jauh jalan yang harus ditempuhnya untuk dapat kembali ke
dalam dunia yang bersih itu.
Karena Empu Sada tidak segera menjawab,
maka Empu Gandring berkata pula dengan tembung orang tua, “Empu, dalam
keadaan seperti ini seharusnya Empu tidak lagi menambah beban yang akan
dapat membuat jalanmu semakin gelap”.
Alangkah pedihnya kata-kata itu. Justru pada saat ia mencari jalan yang terang.
Sesaat kemudian maka dengan mengumpulkan
segenap kekuatan dan keteguhan hatinya Empu Sada berkata, “Empu
Gandring. Aku sependapat dengan kau, bahwa dalam keadaan ini seharusnya
aku tidak perlu menambah jalanku menjadi semakin gelap. Justru karena
itulah maka keadaanku menjadi demikian jeleknya. Bukan salahmu kalau kau
tidak dapat mempercayai lagi kata-kataku. Dan bukan salahmu pula bahwa
kau tetap berpendapat, bahwa Kuda Sempana adalah muridku yang selama ini
aku manjakan. Tetapi persoalan yang sebenarnya mungkin tidak akan kau
mengerti”.
Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya
sekali lagi menggerakkan bagian-bagian dari tubuhnya. Meskipun betapa
rasa sakit menyengat-nyengat dadanya, namun ia telah berhasil menggeliat
sedikit. Tetapi sejenak kemudian terdengar orang tua itu mengeluh
pendek.
“Jangan bergerak terlampau banyak” cegah
Empu Gandring. Bagaimanapun juga ia seakan-akan dapat merasakan, betapa
sakitnya penderitaan Empu Sada saat itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya untuk meraba sorot mata Empu Gandring. Perasaan apakah yang
kira-kira terpancar dari padanya. Tetapi Empu Sada tidak segera dapat
mengetahuinya.
Namun sementara itu cahaya
kemerah-merahan di langit menjadi semakin lama semakin terang. Ujung
Gunung Kawi tampak seperti segumpal bara raksasa yang menyala memanasi
langit. Semakin lama cahaya kemerah-merahan itu menjadi semburat kuning.
Semakin terang, semakin terang. Dan matahari pun kemudian mulai
menampakkan dirinya dibalik dedaunan di arah Timur.
“Lukamu parah Empu.” berkata Empu
Gandring, “tetapi maaf. Aku memerlukan Mahisa Agni. Aku terpaksa
bertanya kepadamu. Karena itu, supaya aku tidak mengganggumu, katakan ke
mana Kuda Sempana itu pergi?”
“Sudah aku katakan Empu” jawab Empu Sada,
“aku tidak lagi dapat menguasai muridku. Dan aku mengerti bahwa kau
tidak akan mudah mempercayai kata-kataku. Apalagi kalau aku katakan,
bahwa aku pun sedang berusaha untuk membebaskan Mahisa Agni dari tangan
Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda Sempana bukan karena aku masih di
bakar nafsu untuk menguasai anak muda itu dengan maksud yang jahat”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling dilihatnya wajah Ken Arok berkerut-merut. Tetapi
sebelum Ken Arok mengucapkan sesuatu, Empu Gandring telah mendahuluinya,
“Hem. Kau agaknya ingin mempersulit dirimu sendiri. Aku dapat
menolongmu, menyerahkan kau kepada seseorang di jalan yang akan aku
lalui, supaya kau dirawatnya. Dan aku untuk seterusuya tidak akan
mengganggumu apabila kau segera mengatakan di mana Mahisa Agni. Bukankah
kau akan segera bebas dari pertanyaan-pertanyaanku yang barangkali sama
sekali tidak menyenangkanmu ini?”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Ia
sadar, bahwa amat sulitlah baginya untuk menjelaskan keadaan yang
sebenarnya. Keadaan telah menjadi kalut, dan banyak hal terjadi
bersimpang-siur.
Dengan demikian maka pedih luka di dada
Empu Sada itu rasa-rasanya menjadi bertambah pedih. Ternyata ia telah
kehilangan jalan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun
sekali lagi disadarinya, bahwa bukan salah Empu Gandring apabila orang
itu sudah tidak lagi sanggup mempercayainya.
Perkelahian yang terjadi antara dirinya
melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu bagi Empu Gandring tidak lebih
dari perkelahian para perampok yang berselisih dalam pembagian hasil
rampokannya.
Karena Empu Sada tidak segera menjawab,
maka Empu Gandring pun kemudian mendesaknya, “Bagaimana Empu? Aku ingin
semuanya cepat selesai. Kalau mungkin segalanya dapat selesai dengan
baik. Membatasi sekecil-kecilnya segala macam luapan dendam dan
kebencian. Kalau kau bersedia menolongku Empu, maka untuk seterusnya
kita tidak akan mengalami kesulitan, sebab kita tidak menaburkan
benih-benih dendam yang dapat tumbuh dan berbuah kelak dengan lebatnya.
Setiap persoalan yang sekecil-kecilnya akan dapat menjadi pupuk yang
baik bagi pertumbuhan dan perkembangan dendam itu. Bagi kita Empu, bagi
orang tua-tua, seandainya hati kita akan hangus sekalipun di bakar oleh
dendam dan kebencian, maka akibatnya tidak akan terlampau lama, sebab
umur-umur kita pun tidak akan terlampau lama pula. Tetapi apabila
anak-anak kita, murid-murid kita telah di bakar pula oleh dendam dan
kebencian, maka akibatnya akan sangat panjang dan jauh.
Ketika Empu Gandring berhenti sejenak,
maka terdengar Empu Sada menarik nafas. Dalam sekali, seakan-akan akan
dilepaskannya segala macam perasaan yang menyumbat dadanya. Tetapi ia
tidak mengucapkan kata-kata.
“Bagaimana Empu? Apakah Empu bersedia menolong aku?” desis Empu Gandring.
Empu Sada telah hampir menjadi putus asa
karenanya. Meskipun demikian dicobanya untuk menjawab sejujurnya, “Empu
Gandring. Aku tidak dapat berkata lain, bahwa sepengetahuanku, Mahisa
Agni itu pasti di bawa ke Kemundungan oleh Kuda Sempana”.
“Oh” Empu Gandring menyeka peluh yang
membasahi keningnya. Ketika ia melihat Ken Arok bergeser maju, maka anak
muda yang hampir kehilangan kesabaran itu digamitnya., “Tunggulah
Ngger” berkata Empu Gandring.
Empu Sada kini sekali lagi mencoba
memandangi wajah Ken Arok. Wajah seorang anak muda yang tampan dan
berwibawa. Seorang anak muda yang memancarkau keteguhan dan kemampuan
yang melampaui anak-anak sebayanya.
Empu Gandring kemudian bergeser maju sambil berkata, “Empu kenapa kau masih saja berusaha mengingkari muridmu?”
“Empu Gandring” akhimya Empu Sada
berkata dengan nada yang dalam dan mata yang suram, “maafkan aku Empu.
Aku tidak tahu, apa lagi yang harus aku katakan. Itulah yang aku
ketahui. Kalau kau sayang akan kemenakanmu, kau sebaiknya segera
menyusulnya ke Kemendungan. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa aku
sadar. Kau tidak akan mudah mempercayai aku”.
“Empu Sada” berkata Empu Gandring,
“sebenarnya tanpa kau beritahu pun aku akan dapat mencarinya, meski pun
aku memerlukan waktu lebih panjang. Tetapi dengan demikian aku berangkat
dengan kemarahan di dalam dadaku. Kalau aku bertemu dengan muridmu,
maka kemarahan itu akan seperti minyak yang tersentuh api. Mungkin aku
akan kehilangan pengamalan diri dan mungkin aku akan berbuat sesuatu
yang tidak kau inginkan atas muridmu itu Tetapi kalau aku berangkat
dengan hati sejuk, maka akibatnya pun pasti akan berbeda”.
Hati Empu Sada serasa di sentuh dengan
tajam sembilu. Sekali lagi ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi orang tua itu hampir-hampir menjadi berputus asa. Ia tidak
melihat kemungkinan lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari Empu
Gandring.
Dan Empu Gandring itu berkata pula,
“Pertimbangkan Empu, supaya aku tetap dalam kesadaran, bahwa tidak
sehurusnya aku menanam benih dendam di hati orang lain. Tetapi kau pun
harus membantuku”.
“Oh” Empu Sada mengeluh, “hukuman ini
terlampau berat bagiku. Barangkali lebih haik apabila aku mati karena
dadaku hancur oleh tangan Wong Sarimpat”.
“Tidak Empu, sebenarnya kau dapat
menghindari hukuman ini. Kau dapat melepaskan dirimu dari perasaan
bersalah yang selalu mengejarmu. Tetapi agaknya kau tidak bersedia.
Agaknya kau akan membawa rahasia itu sampai saat terakhir. Namun rahasia
itu akan menyumbat jalanmu Empu. Dan kau akan menderita disaat-saat
terakhir. Bukan saja penderitaan badaniah tetapi juga rohaniah.
“Hem” Empu Sada berdesah, “semoga Yang
Maha Agung melihat isi dadaku. Di saat-saat aku mencoba mengurangi beban
perasaanku, maka aku dihadapkan pada keadaan seperti ini. Tetapi Empu
Gandring, aku sudah rela. Aku sudah ikhlas, apa saja yang akan terjadi
atas diriku. Aku ikhlas menerima segala hinaan, ketidakpercayaan dan
kecurigaan ini. Aku telah pasrah diri dalam segala keadaan kepada Sumber
hidupku. Perasaan adalah kelengkapan dari sentuhan lahiriah. Kalau aku
kini mengalami penderitaan badani dan siksaan parasaan, maka itu pun aku
ikhlaskan pula. Karena aku percaya, bahwa ada yang melihat keadaanku
dan hakekat dari pendirianku, batinku. Dan inilah yang tidak kau ketahui
dan kau lihat Empu Gandring. Sebab tangkapan pandanganmu sangat
terbatas pada tangkapan pandangan lahir semata-mata”.
Empu Gandring terdiam sejenak. Ia adalah
seorang yang telah menelan pengalaman tiada taranya di sepanjang
perjalanan hidupnya. Tetapi ia masih mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar kata-kata Empu Sada itu. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Empu
Sada, yang selama hidupnya berada dalam kesesatan itu mampu menyimpan
pendirian yang demikian dan bahwa pendirian itu demikian teguhnya
terpancang dihatinya.
Empu Gandring bukanlah seorang yang hanya
melihat dengan mata kepalanya saja. Empu Gandring adalah seorang yang
selalu menjajagi setiap persoalan sampai sedalam-dalamnya ia mampu
menyelaminya. Namun, kali ini Empu Sada berkata kepadanya, bahwa
tangkapan pandangan matanya hanya terbatas pada tangkapan pandangan
lahir semata-mata.
Itulah sebabnya maka Empu Gandring
mencoba sekali lagi melihat apa yang telah terjadi. Namun ia tidak
menemukan sesuatu yang baru pada dirinya maupun pada peristiwa yang
dihadapinya. Persoalan itu adalah persoalan yang tampak jelas. Persoalan
yang kasat mata dari setiap bagiannya.
Maka untuk sejenak mereka seakan-akan
terbungkam. Empu Gandring masih berjongkok di samping Empu Sada sambil
mencoba merenungkan kata-kata orang yang sedang terluka itu. Bahkan Ken
Arok yang masih muda itu pun termenung pula.
Tetapi Empu Gandring masih saja diliputi
oleh keragu-raguan. Ia melihat suatu pertentangan yang sulit untuk
dimengerti. Menurut penglihatan dan perhitungannya, maka Empu Sada telah
dengan sengaja menyembunyikan Mahisa Agni. Dengan sengaja menyuruh Kuda
Sempana melarikan Mahisa Agni. Tetapi menilik sikap, pembicaraan dan
ketenangan Empu Sada, bahkan sikap pasrahnya, maka seakan-akan ia harus
mempercayai setiap ucapan orang tua itu.
Demikianlah maka ketiga orang itu hanyut dalam arus angan-angan masing-masing.
Sementara itu cahaya matahari telah jatuh
ke atas tubuh-tubuh mereka, ke atas pategalan yang kering dan ke atas
daun-daun liar yang kekuning-kuningan. Lamat-lamat terdengar
burung-burung liar mengeluh karena sarang-sarang mereka pun serasa
menjadi gersang. Daun-daun yang melindunginya, satu-satu berguguran di
tanah karena sentuhan angin yang betapa lembutnya.
Tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh
suara Empu Sada yang menghentak, “He, Empu Gandring, apakah Mahisa Agni
itu benar kemanakanmu?”
Empu Gandring memandangi wajah Empu Sada dengan curiga, “Apakah kau tidak percaya?”
“Bukan Empu. Bukan maksudku untuk tidak
percaya. Tetapi justru karena aku ingin mendapat kepercayaanmu. Aku
ingin kata-kataku yang telah aku ucapkan itu dapat kau mengerti dan kau
percaya, supaya kau tidak terlambat mendapatkan Mahisa Agni. Kalau aku
nanti mampu berdiri dan berjalan, aku pun segera akan menyusulnya,
sampai ke ujung dunia sekalipun”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya. Namun keragu-raguannya masih mencengkam dadanya.
“Aku tahu, bahwa kau masih tetap
ragu-ragu Empu” berkata Empu Sada, “dan aku pun tahu, hanya orang-orang
yang belum mengenal masa lampau Empu Sada sajalah yang segera dapat
menpercayai kata-kataku. Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa
kadang-kadang yang terjadi bukanlah sekedar yang tampak. Ada sesuatu
yang terjadi di dalam hatiku, sehingga aku telah berbuat sesuatu yang
tidak dimengerti oleh orang lain seperti orang lain itu tidak mengerti
dan tidak melihat apa yang telah terjadi di dalam hatiku itu. Sebab yang
terjadi itu tidak dapat sekedar di lihat dengan mala wadag”.
Empu Gandring tidak menyahut, dan
dibiarkan Empu Sada berkata lebih lanjut, “Empu Gandring. Kalau Mahisa
Agni itu kemanakanmu, apakah kau mengenal seorang perempuan yang bernama
Jun Rumanti?”
Dada Empu Gandring berdesir mendengar pertanyaan itu. Namun bahkan sejenak ia terdiam membeku.
Pertanyaan Empu Sada itu sama sekali
tidak diduga-duganya dan yang semakin mengherankannya, darimana Empu
Sada pernah mendengar nama Jun Rumanti?
Karena Empu Gandring tidak segera menjawab, maka Empu Sada bertanya pula, “Bagaimana Empu. Apakah kau mengenalnya?”
Perlahan-lahan penuh kebimbangan Empu
Gandring menganggukkan kepalanya. Dengan nada datar ia menjawab, “Ya
Empu, aku mengenalnya”.
“Jawabmu hambar Empu. Aku ingin mengetahui sebenarnya, apakah kau mengenal nama itu?”
Debar di dada Empu Gandring terasa
semakin cepat. Tetapi ia pun kemudian ingin mengetahui, apakah maksud
Empu Sada dengan menyebut nama itu. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah
aku menjawab dengan mantap Empu. Jun Rumanti adalah adikku. Ibu Mahisa
Agni. Kau puas? Tetapi sekarang akulah yang bertanya, darimana kau
mengenal nama itu dan dari mana kau mendengarnya Apapula maksudmu dengan
menyebut nama itu?”
“Nama itu mempunyai suatu kesan
tersendiri di dalam hatiku Empu. Aku mengenal Jun Rumanti dahulu sebagai
seorang gadis. Tetapi aku tidak pernah mendengar dari padanya, sadar
atau tidak sadar bahwa ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang
bernama Empu Gandring dari Lulumbang”.
“Kapan kau mengenal Jun Rumanti?” bertanya Empu Gandring.
“Sebelum ia kawin dan mempunyai seorang anak yang ternyata bernama Mahisa Agni”.
Empu Gandring mengerutkan keningnya.
Lamat-lamat ia teringat ceritera tentang Jun Rumanti pada masa gadisnya.
Meskipun anak itu sendiri tidak pernah berkata kepadanya atau
mengadukan kesulitan-kesulitannya kepadanya bahkan sepeninggal suaminya,
gadis itu seakan-akan telah menghilang, namun kisah tentang gadis itu
memang pernah didengarnya dari orang lain.
Tetapi itu telah terjadi puluhan tahun
yang lampau, pada saat Mahisa Agni belum lahir sedekat-dekatnya pada
saat Mahisa Agni hilang dibawa oleh ayahnya. Dan di antara kisah itu
sama sekali tidak pernah dijumpainya nama Empu Sada.
Namun keduanya memang belum pernah saling
mengenal pada saat itu, baik orangnya maupun namanya. Seperti Empu
Sada, maka Empu Gandring pun pada saat mudanya masih belum mempergunakan
nama itu.
“Empu Gandring” berkata Empu Sada, “kalau
Jun Rumanti itu dahulu pernah menyebut namamu, maka keadaan Mahisa
Agni, setidak-tidaknya hubungan diantara kita tidak akan menjadi sejelek
ini.
“Apakah huhunganmu dengan Jun Rumanti, Empu?”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah pada masa gadisnya, kau mempergunakan nama lain Empu?”
Empu Gandring menggeleng, “Ya Empu. Namaku pada waktu itu adalah Basu Nala”.
“Oh, jadi kaukah itu?, “ Empu Sada terperanjat.
“Apakah kau pernah mengenal nama itu?”
“Baru namanya. Tetapi aku belum mengenal
orang yang bernama Nala, seperti kau pasti juga belum pernah mengenal
seorang anak muda yang saat itu bernama Pranuntaka”.
Wajah Empu Gandring tiba-tiba menjadi berkerut-merut. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah hubunganmu dengan anak itu?”
“Hubungan itu terlampau erat Empu. Bahkan
tak dapat dipisahkan. Pranuntaka itu adalah Empu Sada, seperti Basu
Nala itu kemudian bernama Empu Gandring”.
“Jadi, kaukah anak muda yang saat itu
pergi merantau dan ketika ia kembali ditemuinya Jun Rumanti telah
bersuami dan beranak seorang laki-laki. Dan kau mempergunakan nama itu?”
“Ya”.
“Lalu laki-laki itu pergi pula membawa luka dihatinya?”
“Ya”.
“Oh, jadi saat itu Pranuntaka pergi
meninggalkan Jun Rumanti dengan dendam yang mengeram di dadanya?
Sehingga dendam ini kemudian melimpah kepada anak laki-lakinya yang
bernama Mahisa Agni?”
“Kau salah Empu. Seperti Jun Rumanti,
mula-mula salah pula menyangka aku berbuat demikian. Justru setelah aku
tahu bahwa Mahisa Agni itu adalah anak Jun Rumanti, seakan-akan aku
menemukan sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Selain itu, pengalamanku
dalam hubungan dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah memberi pula
aku kesadaran, bahwa aku akhirnya harus melepaskan diri dari kesesatan
ini. Meskipun semula aku hanya ingin mencuci tangan, supaya aku tidak
tersangkut dalam kejahatan hilangnya Mahisa Agni”.
Empu Gandring memandangi Empu Sada yang
terbaring itu dengan wajah yang tegang. Ketika ia berpaling, maka dengan
sungguh-sungguh Ken Arok pun sedang mendengarkan ceritera Empu Sada
itu. Meskipun anak muda itu tidak mengenal ujung pangkal dari ceritera
itu, namun dengan demikian maka ceritera itu telah sangat menarik
baginya. Ceritera tentang Mahisa Agni dan peristiwa-peristiwa yang
mendahuluinya.
Dengan singkat Empu Sada mencoba
menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya di Kemundungan.
Tentang meninggalnya seorang muridnya dan tentang dirinya sendiri yang
hampir mati pula. Kemudian usahanya memasuki Istana dan bertemu dengan
seorang perempuan yang bernama Jun Rumanti.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa dalam nada dan tekanan kata-katanya, bahwa Empu Sada
itu berkata dengan jujur, sehingga tak ada alasan baginya untuk tidak
mempercayainya. Sedang Ken Arok lagi sibuk membayangkan, perempuan yang
manakah di dalam Istana Ken Dedes yang kira-kira bernama Jun Rumanti
itu? Tetapi Ken Arok itu tidak berhasil menemukannya. Empu Sada sama
sekali tidak menyebut-nyebut bahwa perempuan itu adalah emban kinasih
dari puteri bakal permaisuri. Tetapi hal itu kemudian sama sekali tidak
dianggap penting oleh Ken Arok.
Sekali lagi mereka dicengkam oleh
angan-angan masing-masing yang membubung tinggi ke udara. Ken Arok yang
muda itu tunduk termenung seperti orang yang sedang memperhatikan
sesuatu di atas tanah di bawah kakinya, sedang Empu Gandring kini duduk
di tanah sambil memandangi tempat dikejauhan. Sementara itu Empu Sada
yang berbaring diam mengerutkan keningnya beberapa kali.
Tiba-tiba hampir bersamaan Empu Gandring
dan Empu Sada itu tertawa pendek sehingga Ken Arok terperanjat
karenanya., “Apakah yang mereka tertawakan?”
“Empu Gandring” Empu Sada itu berdesis,
“aneh sekali. Kenapa kau menyebut namamu masa kanak-kanak dengan Basu
Nala?, “Apakah itu memang namamu?”
“Ya, Jum Rumanti mengenal namaku Basu Nala”.
“Aku mengenal nama itu Empu. Basu Nala. Tetapi aneh. Aku sangka Basu Nala bukanlah anak yang bernama Wijang?”
Empu Gandring pun tertawa
perlahan-lahan., “Hem” ia menarik nafas dalam-dalam, “masa kanak-kanak
yang aneh. Wijang adalah nama yang diberikan kepadaku di tempat
pengengeran, karena sejak anak-anak aku tidak tinggal bersama
keluargaku, yang kemudian aku diambilnya menjadi murid. Tetapi bagaimana
bisa aku mengenal kau yang di masa itu mempergunakan nama lain pula
Empu. Bukankah kau menyebut namamu Talam?”
“Itu adalah namaku sebenarnya. Tetapi
terhadap seorang gadis aku ingin namaku agak menjadi baik. Karena itulah
aku memperkenalkan diriku kepada Jun Rumanti dengan nama Pranuntaka
dari Ngarang”.
Keduanya mengangguk-angguk perlahan.
Hubungan keduanya adalah hubungan yang aneh. Mereka mengenal yang satu
atas yang lain dalam keadaan yang agak kalut. Ternyata hubungan yang
demikian itu kini menumbuhkan suatu kenangan yang aneh. Mereka mengenal
yang satu dengan yang lain dengan nama-nama mereka masing-masing. Dan
mereka pernah mendengar nama-nama yang lain pula, tetapi mereka merasa
belum pernah mengenal orangnya, pada saat mereka meningkat dewasa.
“Kalau aku tahu bahwa Jun Rumanti itu
adik seorang yang bernama Wijang, maka aku akan segera tahu, bahwa kau
adalah paman Mahisa Agni, Empu”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku sangka bahwa Empu Sada itu hanya
sekedar gelar yaag dipergunakan oleh seorang yang bernama Talam.
Ternyata Empu Sada itu adalah Pranuntaka pula”.
“Akhirnya kita bertemu dalam keadaan ini
Empu. Pertemuan yang lebih baik dari pertemuan kita di Padang Karautan
dahulu. Sekarang kita menjadi lebih banyak mengetahui tentang diri kita
masing-masing. Mungkin kau menganggap bahwa aku memang tidak jujur sejak
aku meningkat dewasa. Ternyata aku telah mencoba menaikkan nilai harga
diriku dengan menipu adikmu, membuat sebuah nama yang aku anggap lebih
baik dari namaku yang sebenarnya. Seandainya kau tinggal bersama adikmu,
atau kita bertemu pada suatu kesempatan di tempat adikmu, maka aku
pasti akan menjadi sangat malu. Tetapi itu adalah ceritera yang kini
tinggal kenangan yang menyenangkan.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Sekarang aku tahu, kenapa Pranuntaka
itu kemudian dikabarkan mati. Pranuntaka, nama yang khusus dibuat untuk
Jun Rumanti, sehingga ketika Jun Rumanti itu lepas dari tangannya, maka
nama Pranuntaka itu pun sudah tidak berarti lagi. Tetapi, kepahitan
yang dialami tidak dapat mati berkubur bersama-sama dengan nama
Pranuntaka itu. Kepahitan itu tetap bersarang di dalam dada anak muda
yang bernama Talam, dan kemudian bergelar sebagai seorang Empu. Empu
Sada. Dan aku pun kini dapat mengerti pula, kenapa Empu Sada
kadang-kadang berkelakuan aneh, sehingga berkali-kali aku harus mencoba
mencegahnya. Ternyata Empu Sada itu pun tidak mampu melepaskan dirinya
dari seorang anak muda yang bernama Talam dan khusus melahirkan sebuah
nama Pranuntaka untuk seorang gadis”.
Empu Sada mencoba mengangguk, “Kau benar
Empu. Dan akhirnya adalah yang kau lihat sekarang. Tetapi aku rela
mengalaminya, karena aku sedang dalam perjalanan kembali setelah aku
berpuluh-puluh tahun berada di jalan yang sesat”.
Empu Gandring memandangi wajah Empu Sada
yang parah itu dengan mata yang suram. Kini tumbuhlah kepercayaannya
kepada orang yang terluka di dalam dadanya itu. Sebenarnya anak-anak
yang bernama Talam itu bukanlah seorang anak yang terlampau nakal. Baru
kini Empu Gandring dapat meraba-raba, apakah yang menyebabkan Talam itu
kemudian menjadi seorang Empu Sada.
“Nah Empu Gandring” desis Empu Sada, “aku
sudah mencoba mengatakan semuanya. Bagaimanakah tanggapanmu sekarang?
Apakah kau masih tetap berpendapat bahwa aku sengaja menyembunyikan
Mahisa Agni untuk muridku itu?”
Perlahan-lahan Empu Gandring
menggelengkan kepalanya. Perlahan pula ia berkata, “Tidak Empu. Aku kini
percaya kepadamu. Aku percaya bahwa kau sedang berada di jalan kembali
dari jalan yang sesat yang selama ini kau tempuh”.
“Kalau begitu kau pun percaya bahwa
Mabisa Agni dibawa oleh Kuda-Sempana ke Kemundungan. Kebo Sindet itu pun
pasti pergi ke Kemundungan pula”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku percaya bahwa mereka pergi ke Kemundungan.
Untuk membebaskan Mahisa Agni, maka aku harus pergi ketempat itu pula”.
“Aku kira memang tidak ada jalan lain
Empu. Tetapi apabila aku dapat sembuh dari luka-luka di dalam ini, aku
pun ingin pergi ke Kemundungan. Aku ingin melepaskan Mahisa Agni dengan
tanganku”.
“Aku takut, dengan demikian kita akan
terlambat.” sahut Empu Gandring, “sebaiknya kau menyembuhkan
luka-lukamu. Aku akan pergi mendahului. Kalau kau sempat, maka susulah
aku”.
Empu Sada tidak segera menjawab. Sesaat
dicobanya untuk merasakan nyeri di dalam dadanya. Memang dalam kedaan
demikian tidak mungkin baginya untuk pergi ke Kemundungan menyusul Kebo
Sindet dan Kuda Sempana.
Ken Arok yang selama mendengar pcrcakapan
kedua orang itu menjadi bingung dan kalut oleh nama-nama yang telah
mereka sebutkan, kini menyadari pula, bahwa bahaya telah meraba-raba
diri Mahisa Agni. Kini orang yang mengancam keselamatan anak muda itu
adalah orang yang jauh lebih liar dari Empu Sada. Apalagi orang itu baru
saja kehilangan adiknya, maka banyak hal yang dapat terjadi atas Mahisa
Agni. Kebo Sindet akan dapat melepaskan kemarahannya kepada anak muda
itu. Sedang Kebo Sindel adalah seorang yang berhati batu, berjantung
kayu. Ia dapat mencekik orang sampai mati dengan tangan kirinya, sedang
tangan kanannya menggenggam makanan yang disuapkannya ke dalam mulutnya.
“Empu” berkata Ken Arok itu kemudian, “aku rasa Mahisa Agni memang segera memerlukan pertolongan”.
“Ya, aku akan segera mencarinya” sahut Empu Gandring.
“Apakah aku dapat turut serta Empu?”
“Jangan ngger. Kau harus kembali ke
Padang Karautan. Kau harus menggantikan kedudukan Mahisa Agni
menyelesaikan bendungan itu. Bukankah Angger menerima tugas itu pula
dari Tumapel? Dan bukankah angger masih harus membuat sebuah taman
apabila air telah naik? Taman yang akan dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul
Ametung kepada Permaisurinya Ken Dedes?”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tugas itu memang harus dilakukan. Tetapi ini tidak dapat melepaskan
hasratnya untuk melihat bagaimanakah nasib Mahisa Agni seterusnya.
Karena itu maka katanya, “Empu, aku hanya akan sekedar mengetahui
keadaan Mahisa Agni. Selanjutnya aku akan kembali ke Padang Karautan,
meneruskan pekerjaan pembuatan bendungan itu”.
“Marilah kita membagi tugas Ngger.
Semuanya penting bagi Angger. Tetapi Mahisa Agni itu dapat Angger
serahkan saja kepadaku. Aku akan pergi ke Kemundungan. Akan aku minta
Mahisa Agni dengan segala cara”.
Ken Arok tidak segera menjawab. Timbulah
pertentangan di dalam dirinya. Keduanya dapat dianggapnya penting.
Mencari Mahisa Agni atau kembali ke Bendungan Karautan. Apakah Empu
Gandring seorang diri akan dapat menyelesaikan pekerjaannya merebut
Mahisa Agni? Ken Arok tahu, bahwa Kebo Sindet dan Empu Gandring adalah
dua kekuatan yang seimbang. Kalau Empu Gandring memiliki beberapa
kelebihan, maka kekasaran Kebo Sindet akan segera dapat mengimbanginya.
Mungkin Empu Gandring akan dapat mempergunakan pusakanya yang
jarang-jarang ditarik dari wrangkanya, yang telah dipergunakan untuk
melawan kedua iblis dari Kemundungan itu sekaligus. Tetapi keris itu
baru akan bermanfaat apabila dapat terjadi sentuhan dengan tubuh Kebo
Sindet.
Tetapi apabila ia memaksa untuk ikut
serta dengan Empu Gandring karena ia memperhitungkan pula kekuatan Kuda
Sempana, maka bagaimanakah dengan Bendungan itu? Mungkin prajurit yang
telah diserahinya untuk memimpin pekerjaan itu akan dapat melakukan
tugasnya dengan baik, tetapi untuk keseluruhan tanggung jawab, beserta
penyelesaian taman seperti yang dikehendaki Akuwu Tunggul Ametung,
adalah terletak ditangannya.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar Empu
Gandring berkata, “Sudahlah Ngger, Sebaiknya Angger kembali ke
Karautan. Pekerjaan itu sudah hampir sampai pada puncaknya”.
Sebentar lagi air akan segera naik, dan
taman itu harus segera disiapkan pula. Kalau aku segera berhasil
menemukan Mahisa Agni, maka aku akan segera membawanya kembali ke Padang
Karautan.
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih dalam keragu-raguan, tetapi ia tidak membantah.
“Tetapi, sebelum itu Ngger” berkata Empu
Gandring, “barangkali kau bersedia menolong sahabatku ini. Sahabat yang
pernah dipisahkan oleh cara hidup yang berbeda. Tetapi agaknya
persahabatan kami di masa kanak-kanak telah mempertautkan kami kembali
dalam satu pengertian dan kembali memberikan kepercayaan”.
“Oh” Ken Arok pun kemudian berpaling.
Dilihatnya wajah yang pucat sayu dari seorang tua yang terbaring diam
menatap langit yang menjadi semakin cerah.
“Apakah yang harus aku lakukan?” bertanya Ken Arok.
“Empu Sada” berkata Empu Gandring,
“apakah yang harus kami lakukan apabila kami menolongmu? Bukankah kau
masih juga ingin sembuh dari luka-lukamu dan mencari Kebo Sindet?
Bukankah kau masih belum ingin mengakhiri hidupmu?”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, “Itu adalah keinginanku Empu. Keinginan manusia. Tetapi
keputusan tcrakhir tidak berada di tangan manusia”.
“Ya, ya” Empu Gandring pun
mengangguk-angguk pula, “kau benar Empu. Tetapi usaha apakah yang harus
kami jalankan sebagai ungkapan dari kesungguhan permohonan kami,
manusia, kepada Yang Maha Pencipta?”
Empu Sada tersenyum, jawabnya, “Empu,
kalau Angger Ken Arok berkesempatan, apakah aku sebaiknya dibawa saja
kembali ke Padepokanku?”
“Apakah ada seseorang yang dapat merawatmu Empu?”
“Di Padepokan itu masih ada beberapa
orang muridku. Salah seorang daripadanya cukup dapat aku percaya. Bahkan
sebenarnya, aku telah meletakkan segala macam persoalan padepokanku
kepadanya. Juga ciri kebesaran Empu Sada yang selama ini tidak pernah
terpisah dari padanya”.
“Tongkat panjangmu?”
“Ya. Sebenarnya, karena penyesalan atas
kelakuanku setelah aku mengetahui, betapa sesatnya jalanku, maka aku
bertekad untuk meletakkan senjata itu selamanya. Tetapi aku diragukan
oleh keadaan yang berbahaya bagi Mahisa Agni, sehingga aku terpaksa
mengangkat senjata itu lagi. Tetapi bukan senjataku yang selama itu
tidak pernah terpisah daripadaku. Aku juga membawa sebatang tongkat
panjang, tetapi tongkat itu terpatahkan”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kesungguhan dari kata-kata Empu Sada telah mempertebal
kepercayaannya, sehingga tanpa ragu-ragu lagi ia akan dapat pergi
mencari Mahisa Agni dan merebutnya dari tangan Kebo Sindet.
Maka Empu Gandring pun segera membulatkan
rencananya, Ken Arok akan dimintanya untuk mengantarkan Empu Sada,
seterusnya anak muda itu akan kembali ke Padang Karautan, meneruskan
pekerjaan Mahisa Agni yang masih belum selesai. Ia sendiri akan segera
pergi ke Kemundungan menyusul Kebo Sindet untuk merebut Mahisa Agni.
Ternyata Ken Arok sama sekali tidak
berkebaratan untuk mengantarkan Empu Sada yang terluka itu ke
Padepokannya. Tetapi sebenarnya ia masih tetap pada keinginannya untuk
turut mencari Mahisa Agni. Namun karena Empu Gandring tetap juga
berkeberatan karena beberapa pertimbangan, terutama Bendungan Padang
Karautan, maka Ken Arok tidak dapat memaksanya.
“Kita berpisah di sini Ngger” berkata
Empu Gandring, “sudah tentu apabila aku memerlukan, maka aku akan minta
bantuan Angger. Namun sementara ini, marilah kita membagi tugas”.
“Baiklah Empu. Meskipun, sebenarnya aku
ingin pergi bersama Empu, tetapi biarlah aku mengantarkan Empu Sada ke
Padepokannya, dan kembali ke Padang Karautan. Sementara aku menunggu
Empu di sana, apabila Empu memerlukan, maka aku akan dapat membawa
prajurit Tumapel untuk keperluan itu. Mungkin tempat Kebo Sindet perlu
dihancurkan, atau dikepung supaya ia tidak dapat melarikan dirinya oleh
sepasukan prajurit pilihan”.
“Ya, ya Ngger. Terima kasih. Aku akan selalu ingat kepada Angger Ken Arok apabila keadaan memaksa”.
“Baiklah Empu”.
Maka, mereka pun kemudian berpisah. Ken
Arok mengantar Empu Sada yang luka ke Padepokkannya, sedang Empu
Gandring pergi ke Kemundungan. Dari Empu Sada, Empu Gandring mendapat
beberapa petunjuk tentang keadaan di sekitar sarang iblis itu.
“Kau harus berhati-hati sekali Empu”
berkata Empu Sada, “supaya kau tidak dicabik-cabik oleh anjing-anjing
liar yang berkeliaran di sekitar Kemundungan. Apalagi di malam hari”.
“Ya Empu, aku akan berhati-hati” jawab
Empu Gandring, “usahakan agar lukamu segera sembuh. Kalau kau ingin
pergi juga ke Kemundungan, maka mudah-mudahan kita akan dapat bertemu”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya,
sebenarnya ia ingin merebut Mahisa Agni dengan tangannya, sebagai suatu
tebusan atas dosanya, menjerumuskan anak itu ke dalam bencana.
Tetapi, ia tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa keadaanya tidak memungkinkan. Ia tidak dapat memaksa
diri dan berpacu ke Kemundungan. Seandainya, ia akan sampai ke sana
pula, maka itu hanya berarti, membunuh dirinya sendiri. Karena itu, maka
Empu Sada terpaksa mengendapkan keinginannya untuk sesaat., “Kalau
luka-luka di dada ini dapat sembuh, maka aku masih akan berusaha”
desisnya di dalam hati, “kecuali kalau Empu Gandring telah mendahului
aku”.
Empu Sada itu pun kemudian, diangkut ke
atas punggung kuda oleh Ken Arok, dan kemudian anak muda itu pun naik
pula di atas satu kuda sambil menjaga agar Empu Sada tidak terjatuh.
Sedang dalam pada itu, Empu Gandring telah berpacu menuju ke
Kemundungan.
Sementara itu, Kuda Sempana sedang
berpacu pula dengan hati yang hampa. Ia menurut saja kemana kudanya
berlari. Tak ada niatnya sama sekali untuk menentukan arah
perjalanannya. Karena kudanya lari kea rah Kemundungan, maka Kuda
Sempana yang membawa Mahisa Agni yang sedang pingsan itu pun ke
Kemundungan pula. Tetapi Kuda Sempana sendiri sama sekali tidak tahu dan
tidak berusaha untuk mengetahui, apakah yang seterusnya akan terjadi
atas anak muda yang dibawanya itu dan atas dirinya sendiri.
Agak jauh di belakang Kuda sempana, Kebo
Sindet pun berpacu seperti dikejar hantu. Orang itu adalah penunggang
Kuda yang baik, sedang kuda yang dipergunakan adalah kuda yang cukup
baik pula, meskipun bukan kudanya sendiri. Maka jarak antara Kebo Sindet
dan Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin dekat.
Apalagi kemudian Kuda Sempana tidak
berhasrat menguasai kudanya. Ketika kudanya berlari semakin lamban, maka
ia pun tidak berusaha melecutnya supaya langkahnya menjadi semakin
cepat dan panjang. Dibiarkanya saja kuda itu berlari sekehendak sendiri.
Semakin lama semakin lambat.
Itulah sebabnya, maka jarak antara Kuda
Sempana dan Kebo Sindet pun menjadi semakin dekat. Sehingga ketika
matahari menjadi semakin tinggi memanjat langit, maka dada Kuda Sempana
pun berdesir karenanya. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki-kaki kuda
agak jauh di belakangnya. Ketika ia berpaling, maka ia belum melihat
sesuatu. Apalagi kemudian jalan yang ditempuhnya mulai mendaki
bukit-bukit gundul. Jalan yang berliku dan melingkari batu-batu besar
yang menjorok. Namun langkah kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas
didengarnya.
“Siapakah yang menyusul aku?” desisnya.
Tetapi hatinya yang kosong tidak juga mendorongnya untuk mempercepat
lari kudanya. Meskipun dadanya kemudian menjadi berdebar-debar juga,
tetapi ia masih saja tetap dalam sikap dan keadaannya.
Bahkan akhirnya ia bergumam, “Siapa pun
yang menyusul aku tidak akan ada bedanya. Biarpun ia guru, Empu Sada,
biarpun ia Kebo Sindet atau siapa saja. Justru karena itulah maka Kuda
Sempana sama sekali tidak berhasrat untuk menghindarinya. Ia telah
kehilangan segala macam usaha untuk kepentingan apapun juga.
Ketika suara kuda itu menjadi semakin
dekat, maka tanpa sesadarnya ia berpaling. Hatinya sama sekali tidak
tergerak oleh penglihatannya, bahwa yang datang itu adalah Kebo Sindet.
Hatinya seolah-olah telah terlanjur membeku. Beku seperti wajah Kebo
Sindet yang menyusulnya.
Sejenak kemudian Kebo Sindet itu pun
telah berada di sampingnya. Katanya bergumam, “Kuda Sempana, lihat,
inilah pamanmu Wong Sarimpat”.
Ketika Kuda Sempana berpaling dan melihat
tubuh Wong Sarimpat tersangkut di punggung kuda seperti tubuh Mahisa
Agni, maka barulah ia terperanjat.
Kebo Sindet melihat wajah Kuda Sempana
yang menjadi tegang. Dipandanginya tubuh Wong Sarimpat yang sudah
membeku dingin di punggung kuda bersama dengan Kebo Sindet.
“Ia sudah mati” desis Kebo Sindet.
“Kenapa?” bertanya Kuda-Sempana.
“Wong Sarimpat mati terbunuh dalam
perkelahian melawan Empu Sada. Sedang aku harus melayani Empu Gandring
yang datang menyusul itu. Aku tidak tahu, apakah ada setan atau hantu
atau iblis yang manjing di dalam diri Empu Sada, sehingga ia berhasil
membunuh Wong Sarimpat.
Kuda Sempana merasa sesuatu melonjak di
dalam hatinya. Gurunya ternyata berhasil membunuh Wong Sarimpat. Tetapi
bagaimanakah nasib gurunya itu kemudian?
“Tetapi” Kebo Sindet meneruskan, “aku
kira Empu Sada pun akan mati pula. Ketika aku meninggalkannya, nafasnya
telah tersangkut di kerongkongannya.
Dada Kuda Sempana berdesir mendengar
kata-kata Kebo Sindet itu. Bagaimanapun juga maka berita tentang gurunya
telah membuatnya semakin kehilangan arah hidupnya. Kini, bagi Kuda
Sempana seolah-olah tidak ada lagi hari depan yang dapat ditunggunyu. Ia
seakan-akan tidak boleh lagi ikut serta mengharap bahwa besok, lusa dan
seterusnya, matahari yang cerah selalu akan terbit di ujung Timur.
Matahari yang terbit, fajar yang cerah penuh dengan harapan dihari-hari
yang bakal datang, sama sekali bukan miliknya. Itu adalah milik mereka
yang hidup dalam ketenteraman dan kedamaian hati. Tetapi, hidupnya, hari
depannya, dan jalan yang akan dilaluinya, adalah gelap dan kelam.
Kuda Sempana itu terperanjat ketika ia
mendengar Kebo Sindet berkata, “Bagimu Kuda Sempana, kematian kedua
orang itu mempunyai nilai yang berbeda, bahkan berlawanan. Empu Sada,
bekas gurumu itu mati selagi ia berusaha mengkhianati usahanya sendiri,
mengkhianati keinginan muridnya sendiri. Sedang pamanmu Wong Sarimpat
gugur dalam menyelesaikan usaha yang sudah dirintisnya. Memenuhi
keinginanmu, meskipun kau bukan muridnya. Tetapi ia telah menyerahkan
seluruh hidupnya untukmu. Untuk mendapatkan Mahisa Agni seperti yang kau
kehendaki. Kini Mahisa Agni telah berada ditanganmu. Kau akan dapat
berbuat apa saja atasnya. Tetapi sayang, Wong Sarimpat tidak dapat
menyaksikan kau mengikat Mahisa Agni itu pada sebatang pohon. Melecutnya
dan menyentuh badannya dengan obor yang menyala. Membakar wajahnya dan
kemudian menguliti tubuhnya”.
Terasa seluruh tubuh Kuda Sempana
meremang mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Kebo Sindet itu.
Ia sama sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran iblis dari Kemundungan
itu. Penilaiannya atas gurunya dan Wong Sarimpat baginya terasa
terlampau dibuat-buat, meskipun ia tidak tahu apakah yang sebenarnya
telah terjadi antara gurunya dan Kebo Sindet. Ia banya mendengar satu
dua kalimat yang kurang dapat dimengertinya. Namun ia tidak sependapat
dengan kata-kata Kebo Sindet itu.
Meskipun demikian, Kuda Scmpana itu tidak
menjawab apalagi membantah. Dibiarkannya Kebo Sindet mengumpat-umpati
Empu Sada sesuka hatinya.
Tetapi kalau gurunya itu benar-benar mati sampyuh dengan Wong Sarimpat, maka luka dihatinya akan bertambah parah.
Sejenak mereka kemudian saling berdiam
diri. Mereka memanjat bukit-bukit gundul, berkelok-kelok menurut jalan
yang berliku-liku mendaki.
Namun, tiba-tiba Kebo Sindet itu tertegun sambil memanggil Kuda Sempana, “He, berhenti dahulu”.
Kuda Sempana pun berhenti pula. Ketika ia
melihat wajah Kebo Sindet yang beku seperti wajah mayat, Kuda Sempana
mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu.
“Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet, “kita tidak kembali ke Kemundungan”.
Dengan serta-merta Kuda Sempana bertanya, “Kemana kita akan pergi?”
“Kita harus bersembunyi untuk sementara”
jawab Kebo Sindet, “Empu Gandring dan prajurit-prajurit Tumapel pasti
akan mencari kita. Kalau gurumu sempat memberitahukan arah kita sebelum
ia mati, atau seandainya gurumu telah mati sekalipun, maka menurut
hematku, Empu Gandring dan prajurit gila dari Tumapel itu pasti akan
datang ke Kemundungan untuk mencari Mahisa Agni. Aku sudah mengatakan
bahwa Mahisa Agni itu kau bawa ke Padepokan Empu Sada. Tetapi aku tidak
tahu, apakah Empu Gandring dapat mempercayainya. Seandainya ia peryaya,
maka setelah Padepokan itu didatanginya, dan tidak ditemuinya Mahisa
Agni di sana ia pasti akan datang juga ke Kemundungan”.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi hatinya yang beku hampir tidak mengacuhkannya sama
sekali, apakah Empu Gandring akan mengejarnya bersama Ken Arok, dan
bahkan akan mengeroyoknya bersama seluruh prajurit Tumapel sekalipun.
“Bukankah sebaiknya kita menghindari
untuk sementara?” bertanya Kebo Sindet, “itu bukan berarti kita takut
menghadapi lawan, tetapi kita harus dapat mempertimbangkan kekuatan
kita”.
Kuda Sempana mengangguk kosong, jawabnya, “ya paman”.
“Bagus” sahut Kebo Sindet, “kita beralih
arah. Kita tidak pergi ke Kemundungan. Kita mencari tempat untuk
mengubur pamanmu Wong Sarimpat, untuk seterusnya bersembunyi sementara.
Aku tidak akan mencemaskan rumah dan simpananku di Kemundungan. Meskipun
seluruh prajurit Tumapel dikerahkan, aku pasti, bahwa mereka tidak akan
dapat menemukan harta simpananku. Begitu?”
“Baik paman” jawab Kuda Sempana begitu saja meloncat dari bibirnya.
“Nah, marilah kita berbelok. Kita
tinggalkan jalan sempit ini. Kita melintas lewat padang rumput yang
sempit turun di tebing sebelah dan kemudian menyeberangi hutan sempit di
kaki bukit.
Kuda Sempana telah benar-benar menjadi
seperti seonggok benda mati. Ketika Kebo Sindet berbelok arah, maka Kuda
Sempana itu pun mengikut saja dibelakangnya tanpa menyadari tujuannya.
Anak muda itu pun sama sekali tidak ingin untuk mengetahui lebih banyak
lagi, kemana mereka akan pergi.
Demikianlah maka kedua orang itu pun
menempuh lintasan padang rumput di lereng bukit gundul untuk kemudian
menuruni tebing dengan sangat hati-hat. Sejenak kemudian mereka melihat
sebujur hutan yang hijau berada dihadapan mereka. Seperti raksasa hijau
yang sedang berbaring tidur dengan nyenyaknya meskipun sinar matahari
yang cerah telah melimpah ke atas tubuhnya.
“Hutan itu tidak begitu lebat dan tidak
terlampau tebal” desis Kebo Sindet, “tetapi cukup untuk menghilangkan
jejak. Mungkin Empu Gandring seorang ahli mengikuti jejak-jejak kaki
kuda. Dengan memasuki hutan itu, maka jejak kita akan hilang. Sebab
hutan itu adalah hutan yang lembab dan berawa-rawa disana-sini.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan saja
kepalanya dengan hati yang kosong, Ia sama sekali tidak berkepentingan
apa pun dengan hutan yang lebat dan berawa-rawa. Tetapi ia tidak
menjawab.
Kebo Sindet pun kemudian mempercepat
cepat kudanya dan Kuda Sempana tanpa sesadarnya mengikutinya beberapa
langkah di belakangnya masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat dan
hilang ditelan dedaunan yang hijau.
Matahari di langit mengapung semakin lama
semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memercik ke atas dedaunan,
rerumputan dan puncak-puncak bukit. Semakin lama semakin panas. Dan
ujung-ujung daun alang-alang pun kemudian menunduk lesu karena terik
yang hampir tak tertahankan.
Dalam pada itu seekor kuda berlari dengan
kencangnya menuju ke bukit gundul. Kemudian mendaki lewat jalan
berliku-liku melingkari batu-batu besar yang menjorok. Sinar matahari
yang membakar kulitnya sama sekali tidak dirasakannya. Meskipun kulitnya
yang basah oleh keringat dan kotor karena debu menjadi semerah tembaga.
Tetapi kudanya berpacu terus.
Sekali-sekali orang tua yang berada di
atas punggung kuda itu mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. Dan
sekali-sekali dibetulkannya letak kerisnya yang besar yang tersangkut di
punggungnya. Hulunya yang berukir dan berselut. perak mencuat di atas
pundaknya. Sedang dilambungnya tergantung sebuah keris yang lebih kecil
dari keris yang biasa. Tetapi kasiat keris itulah yang luar biasa.
Dengan dada yang berdebaran orang itu,
Empu Gandring, memacu kudanya sejadi-jadinnya. Ia ingin segera sampai ke
Kemundungan, menyusul kemenakannya yang dilarikan oleh Kuda Sempana.
Dengan harap-harap cemas ia melihat telapak-telapak kaki kuda yang masih
baru di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dan hatinya melonjak ketika ia
melihat bahwa tidak hanya ada seekor kuda yang baru saja melintasi
jalan itu. Tetapi dua.
“Aku kira benar juga kata Empu Sada. Kuda Sempana pergi juga ke Kemundungan” berkata orang tua itu di dalam hatinya.
Dengan demikian maka Empu Gandring itu
pun menjadi semakin bernafsu. Dipacunya kudanya semakin cepat. Tetapi ia
tidak dapat terlampau cepat, sebab ia harus memperhatikan juga
telapak-telapak kaki kuda yang diikutiya.
Tetapi, tiba-tiba Empu Gandring itu
menarik kekang kudanya, sehingga kudanya menjadi terkejut. Sambil
meringkik kuda Empu Gandring itu berhenti. Namun demikian tiba-tiba,
sehingga kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya.
Dengan lembut Empu Gandring menepuk tengkuk kudanya. Dan sejenak kemudian maka kuda itu pun telah menjadi tenang kembali.
“Telapak kaki-kaki kuda ini berbelok” gumam Empu Gandring kepada diri sendiri.
Tiba-tiba pula orang tua itu menjadi
bimbang. Kemana ia harus mengikuti jejak orang-orang yang dicarinya?
Apakah ia harus menyelusur jejak yang berbelok itu, atau kah harus
langsung pergi ke Kemundungan?
Sejenak Empu Gandring berhenti sambil
merenung. Dadanya diamuk oleh keragu-raguan. Namun untuk sesaat ia tidak
berhasil mengambil keputusan.
“Aku kira mereka melalui jalan lain”
desis Empu Gandring, “Kebo Sindet pasti mengenal daerah ini
sebaik-baiknya. Mungkin ia sengaja memancing aku kejurusan yang salah.
Sementara itu ia lewat jalan lain kembali ke Kemundungan. Adalah
mustahil kalau orang selicik Kebo Sindet sengaja membuat bekas telapak
kaki sejelas itu.
Meskipun demikian, Empu Gandring tidak
tergesa-gesa mengambil sikap. Dipertimbangkannya segala kemungkinan dan
diperhitungkannya segala macam cara.
“Baiklah aku coba mengikuti jejak ini”
katanya kemudian di dalam hati, “kalau benar dugaanku, maka aku akan
sampai juga ke Kemundungan meskipun aku harus sangat berhati-hati, sebab
setiap kemungkinan dapat terjadi di sepanjang jalan. Mungkin Kebo
Sindet sudah menyediakan tempat untuk menjebakku.
Empu Gandring itu pun kemudian
menggerakkan kekang kudanya, mengikuti jejak-jejak kaki kuda Kebo Sindet
dan Kuda Sempana. Semakin lama derap kaki kudanya semakin cepat karena
bekas-bekas kaki kuda yang diikutinya tampak dengan jelas di atas padang
rumput yang sempit.
Tetapi jalan yang ditempuhnya menjadi
semakin sukar. Kuda Empu Gandring itu pun barus menuruni tebing.
Telapak-telapak kaki kuda yang diikutinya menjadi semakin sukar untuk
dikenal karena batu-batu padas di lereng-lereng bukit gundul. Namun tiap
kali Empu Gandring dapat menemukan kelanjutan dari bekas kaki-kaki kuda
itu, sehingga akhirnya Empu Gandring pun sampai pada lereng yang
menghadap pada pinggiran hutan yang hijau rimbun.
Dada Empu Gandring menjadi berdebar-debar
melihat hutan itu. Hutan akan menjadi tempat yang paling baik untuk
menjebaknya. Dari balik-balik pohon, dari dalam gerumbul-gerumbul yang
rimbun, maka Kebo Sindet akan dapat menyerangnya dengan licik.
“Tetapi apakah aku akan berhenti disini?” desis Empu Gandring di dalam hatinya, “Tidak. Aku harus mendapatkan kemanakanku itu”.
Dengan demikian maka kuda Empu Gandring
itu pun berjalan terus. Tetapi ketika kuda itu sudah sampai pada mulut
hutan, maka Empu Gandring pun memperlambat langkahnya. Dengan hati-hati
dimasukinya hutan yang tidak terlampau lebat, tetapi cukup rimbun.
Beberapa saat Empu Gandring masih dapat
melihat bekas-bekas telapak kaki kuda yang diikutnya. Sempalan-sempalan
ranting dan dedaunan yang terinjak-injak. Bahkan seolah-olah bekas-bekas
kaki kuda itu menjadi semakin jelas.
“Hem” Empu Gandring menarik nafas dalam,
“aku melihat bekas kaki ini menjadi semakin jelas. Apakah Kebo Sindet
dengan sengaja memancing aku?”
Dalam keragu-raguan itu Empu Gandring
menjadi semakin hati-hati. Didengarnya setiap gemersik daun-daun kering
yang jatuh tersentuh angin. Dilihatnya setiap gerak ranting-ranting dan
ujung pepohonan. Semua yang tertangkap oleh inderanya, selalu mendapat
perhatiannya. Sebab dalam hutan yang demikian itu, bahaya akan dapat
berada di setiap punggung dedaunan dan di setiap sisi pepohonan.
Tetapi, Empu Gandring adalah seorang tua
yang telah cukup menyimpan perbendaharaan pengalaman. Ia seolah-olah
dapat berbicara dengan firasat di dalam dirinya. Dan kali ini ia tidak
menangkap tanda-tanda bahwa ia sedang diintai oleh lawannya itu.
Meskipun demikian, Empu Gandring tidak
juga dapat melepaskan kewaspadaannya. Ia menyadari siapakah yang menjadi
lawannya kini. Iblis Kemundungan itu akan dapat berbuat apa saja tanpa,
menilai harga diri dan kejantanan.
Tetapi Empu Gandring itu tiba-tiba
menarik kekang kudanya. Hatinya menjadi berdebar-debar dan wajahnya
menjadi tegang. Dilihatnya dihadapannya tanah menjadi gembur lembab dan
bahkan dis ana-sini mulai tergenang air.
“O, jadi hutan ini berada di daerah
rawa-rawa” desisnya. Dan kini ia mulai membuat perhitungan yang lain,
kenapa Kebo Sindet menempuh jalan ini , “Ternyata Kebo Sindet berusaha
menghilangkan jejaknya di daerah rawa-rawa ini”.
Empu Gandring pun kemudian berhenti. Telapak-telapak kaki kuda yang diikutinya memang sengaja masuk ke daerah rawa-rawa.
Empu Gandring itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, “Adalah sangat sulit untuk mengikuti jejak di daerah gempur
dan berair ini. Setan itu benar-benar licik”.
Sesaat Empu Gandring duduk mematung di
atas punggung kudanya. Ia melihat telapak kaki kuda memasuki daerah yang
berair. Tetapi apakah ia akan dapat menyelusur dan menemukan dimana
telapak kaki itu keluar dari air? Apakah ia harus mengitari seluruh
hutan dan rawa-rawa ini. Apakah ia harus mengelilingi setiap pinggiran
air yang sekian luasnya? Empu Gandring menyadari bahwa rawa-rawa ini
bukan saja terdiri dari apa yang dilihatnya itu. Tetapi rawa-rawa ini
akan melebar dan sangat luas menjorok masuk ke daerah hutan ini. Adalah
sangat berbahaya baginya untuk memasukinya. Ia tidak tahu, daerah
manakah yang dapat diinjak oleh kaki-kaki kudanya. Kalau kudanya
terperosok pada bagianbagian yang sangat gembur, maka kuda dan
penunggangnya pasti akan terbenam ke dalam lumpur. Adalah sangat sukar
untuk mencoba berenang pada air yang berlumpur seperti rawa-rawa yang
terbentang dihadapannya, yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan air dan
sulur-sulur yang tergantung pada pepohonan.
Empu Gandring menarik nafas. Sekali lagi
dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Air yang coklat berlumpur,
sinar matahari yang seberkas-seberkas jatuh ke permukaan air. Pepohonan
dan cabang-cabangnya yang rapuh berkait dengan sulur-sulur yang
bergayutan dengan tumbuh-tumbuhan berduri.
“Kebo Sindet mengenal daerah ini seperti
ia mengenal rumah sendiri” desis Empu Gandring kepada diri sendiri,
“tetapi aku menjadi orang asing di sini, “.
Untuk sesaat Empu Gandring masih saja
duduk mematung di atas punggung kudanya. Kini dadanya benar-benar
dilanda oleh kebimbangan dan nafsunya untuk mengejar kemenakannya
bersama-sama. Begitu dahsyat gelora itu mengamuk di dadanya, sehingga
kepala Empu Gandring itu pun kemudian, menjadi pening.
“Hem, apakah yang sebaiknya aku lakukan?
Tidak mungkin aku akan berjalan terus. Aku akan dapat mati tanpa arti di
dalam rawa-rawa itu. Tetapi aku harus menemukan Mahisa Agni hidup atau
mati.” Namun Empu Gandring masih belum menemukan jalan manakah yang akan
ditempuhnya.
Angin yang silir bertiup di sela-sela
pepohonan menggerakkan daun dan ranting. Bayangan sinar matahari
seolah-olah melonjak-lonjak di dalam air yang keruh. Lamat-lamat
dikejahan terdengar burung-burung liar berkicau bersahut-sahutan. Namun
udara di hutan itu masih juga terasa betapa lembabnya.
“Aku harus sampai ke Kemundungan” Empu
Gandring itu tiba-tiba menggeram, “Kebo Sindet pasti hanya sekedar
mengelabuhi aku. Ia pasti mengambil jalan lain, tetapi akhirnya ia akan
sampai pula ketempat persembunyiannya di Kemundungan”.
Dengan serta-merta Empu Gandring itu pun
segera menggerakkan kendali kudanya, dan kudanya pun segera berputar
pula. Sesaat kemudian, maka kuda itu pun segera meloncat berlari. Kali
ini meluncur keluar dari hutan berawa-rawa itu menuju ke Kemundungan.
Empu Gandring merasa bahwa ia telah
kehilangan waktu sesaat dengan memasuki hutan itu, sehingga dengan
demikian maka ia harus berpacu untuk mengurangi keterlambatannya. Ia
sedapat mungkin harus sampai ke Kemundungan sebelum Mabisa Agni mendapat
perlakuan yang tidak wajar.
Dengan demikian maka Empu Gandring
berusaha untuk secepat-cepatnya mencapai sarang iblis yang liar dan buas
itu. Dipercepatnya lari kudanya. Namun terasa langkah kuda itu
seakan-akan menjadi terlampau lamban.
Setiap kali Empu Gandring harus menyentuh
perut kuda itu dengan tumitnya atau menggelitik tengkuknya dengan
pangkal kendali. Dan setiap kali kuda itu pun meloncat semakin cepat.
Namun masih juga terasa, alangkah lambatnya.
Sejenak kemudian Empu Gandring telah
lepas dari daerah hutan yang tidak begitu lebat. Didakinya lereng bukit
gundul lewat jalan yang tadi ditempuhnya dalam arah yang berlawanan.
Padang rumput yang tidak terlampau luas itu pun telah dilintasinya. Dan
kini Empu Gandring telah menemukan kembali jalan yang wajar menuju ke
Kemundungan.
Kudanya pun kemudian dipacunya semakin
cepat. Seakan-akan ia sedang berlomba dengan matahari yang bergerak ke
Barat. Tetapi matahari itu agaknya berjalan terlampau cepat, sehingga
sejenak kemudian bayangan Empu Gandring telah menjadi kian panjang
karena matahari telah menjadi semakin condong ke Barat. Dengan demikian,
maka perjalanan Empu Gandring yang juga menuju kearah Barat itu pun
menjadi silau. Tetapi Empu Gandring masih berpacu terus.
Akhirnya bukit gundul itu pun
dilampauinya. Ketika ia menuruni lereng di sisi Barat, maka segera Empu
Gandring dapat melihat, dimanakah rumah Kebo Sindet itu.
Kini Empu Gandring mulai memperlambat
langkah kudanya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Di dalam hatinya ia
mengharap, mudah-mudahan ia masih dapat menemukan kemanakannya dalam
keadaan hidup.
Tetapi semakin dekat, Empu Gandring itu
pun menjadi semakin curiga. Rumah Kebo Sindet di lereng bukit kecil itu
tampaknya masih terlampau sepi. Pintu lorongnya masih tertutup, dan
masih belum dilihatnya ada tanda-tanda seseorang berada di dalamnya.
“Apakah orang itu masih belum datang?” desis Empu Gandring.
Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia
pun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan ketika kudanya mulai
menginjakkan kakinya di dalam lingkungan rumah itu, maka Empu Gandring
menarik kekangnya, dan kuda itu pun berhenti.
Sejenak Empu Gandring berdiam diri
seolah-olah membeku di atas punggung kudanya. Dipandanginya gubug Kebo
Sindet itu dengan tajamnya. Gubug bambu beratap ilalang, berpintu lereg
tidak cukup rapat.
Empu Gandring menarik nafas dalam. Di
dalam hatinya ia bertanya, “Apakah sebenarnya hidup bagi Kebo Sindet?
Dengan susah payah ia mengumpulkan harta benda. Bahkan dengan segala
macam cara. Tetapi apakah arti harta benda itu baginya? Orang itu tidak
beranak tidak beristeri. Tidak juga mempergunakannya sendiri. Ia hidup
di dalam gubug yang hampir roboh, tidak di dalam sebuah istana yang
mewah. Tidak dilingkungi oleh kepuasan lahiriah. Agaknya ia makan pun
tidak teratur pula. Apa saja yang ada pada hari itu. Lalu apakah gunanya
harta benda yang didapatkannya?”
Empu Gandring tidak dapat menemukan
jawabnya. Ia menganggap Kebo Sindet sebagai seorang yang aneh. Seorang
yang tidak wajar seperti kebanyakan orang.
Empu Gandring pernah merasakan dan
mengalami berprihatin. Menjauhkan diri dari kepuasan badani. Tetapi ia
sama sekali tidak selalu di kejar-kejar oleh nafsu untuk mengumpulkan
harta benda sebanyak-banyaknya, bahkan dengan segala macam cara seperti
Kebo Sindet. Membunuh, merampok, memeras dan sebagainya. Kadang-kadang
untuk kepentingan itu, nyawanya dipertaruhkan. Tetapi kalau harta benda
itu sudah dimilikinya, maka orang itu sama sekali tidak dapat
menikmatinya.
“Aku kadang-kadang masih juga ingin makan
enak dan tidur nyenyak di tempat yang nyaman” desis Empu Gandring, “dan
kadang-kadang aku masih juga menyisihkan milikku sedikit-sedikit untuk
kepentingan anak cucu kelak, seperti orang-orang sewajarnya. Tetapi Kebo
Sindet ini terlampau aneh bagiku. Untuk apakah harta benda yang
dikumpulkannya selama ini bersama-sama dengan adiknya?”
Tetapi Empu Gandring tidak mau dirisaukan
oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Kini yang penting baginya adalah
mencari Mahisa Agni. Dihadapannya itu adalah rumah Kebo Sindet. Karena
itu ia harus mulai berbuat sesuatu.
Empu Gandring itu pun kemudian meloncat
turun dari kudanya. Perlahan-lahan dan hati-hati ia melangkah maju.
Kemudian kudanya itu pun ditambatkannya pada sebatang pohon. Dan ia pun
melangkah lagi semakin dekat dengan gubug Kebo Sindet.
Meskipun Empu Gandring itu sudah menjadi
semakin dekat namun ia masih belum melihat atau mendengar sesuatu. Rumah
itu terlalu sunyi.
Empu Gandring itu pun kemudian sudah
berdiri di muka pintu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu itu. Tetapi
suara ketukannya hilang saja ditelan sunyi.
Akhirnya Empu Gandring tidak bersabar
lagi. Dicobanya untuk mendorong pintu lereg itu. Ia terkejut ketika
dengan mudahnya pintu pun terbuka.
Kini Empu Gandring dapat melihat isi
gubug kecil itu. Hampir tak ada sesuatu apa pun di dalamnya. Hanya
sebuah amben terbujur membeku. Di sana-sini berceceran alat-alat untuk
menggarap tanah. Cangkul, parang dan sebatang srumbat kelapa dari kayu.
“Kosong” desis Empu Gandring, Ketika
dilihatnya benda-benda itu maka ia pun berguman , “Hem, agaknya orang
ini bekerja juga bercocok tanam”.
Dengan hati-hati Empu Gandring itu
melangkah masuk. Rumah itu benar-benar kosong. Tak ada bekas yang baru
di dalam rumah itu, sehingga menurut dugaan Empu Gandring, belum ada
seorang pun yang baru saja memasukinya.
“Mereka belum datang” desisnya.
Empu Gandring itu pun kemudian terhenyak
di atas amben bambu di dalam rumah itu. Suaranya berderit seperti sebuah
keluhan yang paling pahit.
“Aku harus menunggu sampai mereka
datang.” desisnya, “aku akan memintanya dengan baik. Kalau tidak,
terpaksa aku mempergunakan kekerasan”.
Tetapi Empu Gandring kemudian, tidak merasa tenteram berada di dalam gubug itu. Ia pun segera berdiri dan melangkah keluar.
“Kalau Kebo Sindet melihat kudaku, mungkin ia tidak akan memasuki rumahnya ini” katanya di dalam hati.
Maka Empu Gandring itu pun menutup pintu
rumah Kebo Sindet kembali seperti semula. Dibawanya kudanya ke belakang
semak-semak yang agak rimbun. Dari tempat itu pula ia menunggu sambil
mengawasi kalau-kalau Kebo Sindet bersama Kuda Sempana akan datang.
Tetapi Kebo Sindet ternyata tidak akan
datang ke Kemundungan Kebo Sindet telah memperhitungkan bahwa Empu
Gandring pasti akan menyusulnya. Mungkin dengan prajurit Tumapel yang
aneh, yang kepalanya seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan.
Seorang anak muda yang mampu bertahan tidak luluh oleh kekuatan
tertinggmya, Aji Bajang.
Dengan susah payah, Kebo Sindet ternyata
berhasil melintasi hutan dan rawa-rawa yang cukup berbahaya. Tanahnya
gembur dan berlumpur. Tetapi iblis itu mengenal daerah itu dengan baik.
sehingga ia dapat memilih jalan yang paling baik untuk melintasi daerah
itu.
Di seberang rawa-rawa maka hutan menjadi
semakin rindang. Hampir tidak ada pohon-pohon yang cukup besar dan
lebat. Tetapi banyak sekali gerurnbul-gerumbul perdu yang rimbun dan
liar berduri.
“Kita sudah hampir sampai” desis Kebo Sindet.
Kuda Ssmpana tidak menyahut. Sekali ia
berpaling, tetapi kemudian dipandanginya jalan di depan matanya. Yang
tampak hanyalah hijaunya dedaunan dan percikan sinar matahari
seberkas-berkas jatuh di atas tanah yang lembab.
“Tak banyak orang yang dapat mencapai
tempat ini. Tempat ini dikelilingi oleh rawa-rawa. Seseorang yang tidak
mengenal tempat ini baik-baik akan dengan mudah terperosok masuk ke
dalam tanah berlumpur. Kalau demikian maka nasibnya akan sangat malang.
Sebab ia pasti tidak akan dapat melepaskan dirinya. Hanya hantu dan
tetekan sajalah yang dapat mencapai tempat ini selain Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat.
Kuda Sempana masih berdiam diri.
“Inilah tempat tinggal Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat yang sebenarnya. Itulah sebabnya maka aku sama sekali
tidak berkeberatan bahwa rumahku di Kemundungan akan dibongkar oleh
seluruh prajurit Tumapel. Sebab mereka pasti hanya akan menemukan
benda-benda yang sebenarnya kurang berharga bagiku. Di dalam goa
dibelakang gubugku itu tidak akan banyak dijumpai barang-barang yang
penting. Dan kini Kuda Sempana, kau telah berada di dalam daerah Kebo
Sindet yang selama ini tidak pernah didatangi orang lain”.
Kuda Sempana masih tetap membungkam.
Dengan hati yang kosong ia mengikuti saja Kebo Sindet yang
menyusup-nyusup disela-sela pepohonan. Disana-sini masih juga tergenang
air. Tetapi daerah rawa-rawa yang sebenarnya telah lampau.
“Di ujung yang lain dari hutan ini pun
terdiri dari tanah yang gembur dan berawa-rawa” berkata Kebo Sindet itu
pula. Dan Kuda Sempana pun menganggukkan kepalanya tanpa menyadari arti
kata-kata Kebo Sindet.
Ketika Kuda Sernpana tidak juga menjawab,
maka Kebo Sindet itu berkata, “Kuda Sempana. Aku telah mengatakan
kepadamu keadaan daerah ini. Daerah ini dikelilingi oleh
genangan-genangan air berlumpur. Kadang-kadang di tempat-tempat tertentu
air itu cukup dalam. Setinggi tubuhmu, bahkan ada yang lebih dalam
lagi. Orang-orang yang kurang mengenal daerah ini tidak akan dapat
membedakannya. Karena itu Kuda Sempana tanpa aku kau jangan mencoba
pergi terlampau jauh. Jangan mencoba menjajagi rawa-rawa ini. Itu akan
sangat berbahaya bagimu. Kau akan tetap tinggal di sini kecuali aku
menghendaki kau meninggalkan tempat ini”.
Baru saat itulah Kuda Sempana menyadari
keadaannya. Ternyata ia telah terperosok ke dalam daerah yang tak
dikenalnya. Bukan itu saja, tetapi ia telah berada di suatu tempat yang
tidak dapat ditinggalkannya. Ini berarti bahwa ia pun telah berada di
dalam kekuasaan Kebo Sindet.
“Kau mengerti maksudku?” bertanya Kebo Sindet.
Kini Kuda Sempana mengangguk. Tetapi
keadaan itu pun tidak banyak berpengaruh atas perasaannya. Dimana saja
ia berada dan dalam keadaan apapun, baginya tidak banyak mempunyai
perbedaan arti. Hidup yang sebenarnya bagi Kuda Sempana seakan-akan
telah berhenti. Dan kini hidup baginya hanya sekedar dijalani tanpa
arah, tanpa tujuan dan tanpa cita-cita.
“Bagus” gumam Kebo Sindet kemudian, “kau adalah seorang anak muda yang patuh”.
Kata-kata itu pun terdengar janggal ditelinga Kuda Sempana. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab.
Demikianlah mereka berjalan terus di atas
punggung-punggung kuda masing-masing. Kuda Sempana kini telah berubah
pula menjadi seorang yang acuh tak acuh atas kedaan sekelilingnya.
Wajahnya tiba-tiba saja menjadi mirip dengan wajah Kebo Sindet. Beku dan
mati, meskipun sebab-sebabnya agak berbeda. Wajah Kebo Sindet membeku
tetapi penuh dibakar oleh. nafsu, sedang wajah Kuda Sempana membeku
mati. Gersang.
“Kita mencari tempat yang baik untuk
mengubur Wong Sarimpat” berkata Kebo Sindet itu kemudian, “sebentar lagi
kita akan sampai ke sebuah Goa. Disitulah aku akan memelihara Mahisa
Agni untuk suatu kepentingan. Ia harus diobati dan disembuhkan dari
luka-luka yang mungkin diderita. Anak muda itu tidak boleh terlampau
lama dalam keadaannya, supaya bagian-bagian tubuhnya tidak ada yang
terlanjur menjadi rusak.
Kuda Sempana hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Meskipun demikian diamat-amatinya juga tubuh Mahisa Agni
yang lemah tergantung di kudanya. Ia mendendam kepada anak muda itu
sejak Mahisa Agni menghalangi keinginannya membawa Ken Dedes ke Tumapel
di pinggir kali di bawah Bendungan. Beberapa kali ia berkelahi melawan
anak muda itu. Beberapa kali ia ingin melumpuhkan, bahkan
membinasakannya. Sehingga gurunya telah terseret pula ke dalam arus
dendamnya yang tiada terkendali. Namun akibatnya ternyata sama sekali
tidak disangkanya. Dua kali gurunya mengalami bencana, bahkan hampir
membunuhnya. Mungkin kali ini gurunya telah benar-benar meninggal akibat
benturan dan sampyuh melawan Wong Sarimpat. Seandainya demikian, maka
apa yang terjadi benar-benar diluar kehendaknya.
KudaSempana itu berpaling ketika Kebo
Sindet berkata pula, “Lihat Kuda Sempana. Dihadapan kita ada sebatang
pohon Randu Alas yang besar. Disampingnya ada sebatang pohon Jati yang
sebaya umurnya dengan pohon Randu Alas itu. Umur pohon-pohon itu telah
berbilang ratusan tahun. Diantara kedua batang pohon itu kau akan
rnenjumpai sebuah Goa di bawah bukit-bukit batu karang yang kecil.
Disitulah kita akan bersembunyi untuk sementara. Dibawah pohon Randu
Alas akan kita kuburkan Wong Sarimpat”.
Tanpa sesadarnya Kuda Sempana melihat
kearah pohon-pohon yang ditunjuk oleh Kebo Sindet. Tiba-tiba saja
tubuhnya meremang. Sejak semula ia sama sekali tidak memperhatikan apa
pun yang ada di sekitarnya. Juga kedua batang pohon raksasa itu.
Dan kini tiba-tiba saja ia melihat kedua
batang pohon itu. Tinggi menjulang, se-akan-akan menggapai langit yang
telah jadi kemerah-merahan. Mencuat di antara pepohonan yang tidak
begitu rapat, dikitari oleh gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Kuda Sempana sendiri menjadi heran.
Kenapa ia tidak melihat kedua batang pohon itu sejak semula? Bukankah
kedua batang pohon itu tampak seperti dua orang raksasa di antara
pepohonan yang lain?
Tetapi sejenak kemudian Kuda Sempana pun
telah menjadi acuh tak acuh pula. Juga kedua pohon raksasa itu tidak
akan berarti apa-apa baginya. Goa yang berada di bawah gumuk karang itu
pun tidak berarti pula baginya. Ia sudah kehilangan arti hidupnya, dan
hilanglah semuanya baginya.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai
di bawah kedua batang pohon yang berjarak beberapa puluh langkah itu.
Diantara kedua batang pohon itu terdapat sebuah gumuk batu karang. Dan
di bawah gumuk itu terdapat sebuah Goa.
“Inilah rumah kita untuk sementara” desis
Kebo Sindet sambil meloncat dari kudanya., “Ikatkan kudamu dan
angkatlah Mahisa Agni. Tidurkanlah ia di dalam Goa itu”.
Seperti orang bermimpi Kuda Sempana pun
turun dari kudanya. Diangkatnya tubuh Mahisa Agni seperti yang dikatakan
oleh Kebo Sindet dan dibawanya tubuh itu kemulut Goa. Tetapi ketika ia
melihat ke dalam Goa yang gelap itu, ia menjadi ragu-ragu sejenak.
“Masuklah” berkata Kebo Sindet, “tak ada binatang buas di dalamnya”.
Kuda Sempana pun kemudian melangkah
masuk. Dalam keremangan cahaya yang masuk dari mulut Goa Kuda Sempana
melihat sebuah amben kayu yang cukup besar, Di amben itu lah kemudian
Mahisa Agni dibaringkannya.
Sejenak kemudian Kebo Sindet pun masuk
pula kedalam Goa itu. Dirabanya tubuh Mahisa Agni. Diurutnya dibeberapa
bagian dari lehernya.
“Ambillah air” berkata Kebo Sindet kepada
Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana tidak segera beranjak dari tempatnya.
Ia tidak tahu kemana ia harus mengambil air.
“Ambillah air” Kebo Sindet mengulangi.
“Kemana aku harus mengambil air?” bertanya Kuda Sempana kemudian.
“Oh” desah Kebo Sindet, “di dalam daerah yang penuh dengan rawa-rawa ini kau bertanya kemana kau harus mengambil air?”
“Apakah aku harus mengambil air berlumpur itu?”
“Bertahun-tahun aku selalu minum air berlumpur itu. Tetapi aku tidak menjadi sakit-sakitan”.
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya lagi “dengan apa aku membawa air itu kemari?”
Mata Kebo Sindet itu pun kemudian beredar
di sekeliling ruangan itu. Kemudian katanya sambil menunjuk ke arah
sudut ruangan itu, “Ambillah mangkuk tanah itu. Pakailah untuk mengambil
air, dan cepat”.
Kuda Sempanaun segera pergi ke sudut
ruangan itu mengambil mangkuk tanah yang kotor. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Kotor bagi Kebo Sindet agaknya tidak menjadi soal lagi.
Kemudian, Kuda Sempana pun pergi keluar
Goa, berjalan di sela-sela gerumbul-gerumbul liar mengambil air dari
rawa-rawa. Air yang berwarna coklat keputih-putihan.
Sementara itu Kebo Sindet masih memijat-mijat Mahisa Agni. Sekali-kali dilehernya dan sekali-kali di bagian punggungnya.
“Anak ini terlampau lama pingsan”
desisnya, “mudah-mudahan aku masih dapat membangunkannya. Kalau ia mati,
maka aku pun kehilangan pula. Aku telah kehilangan adikku, dan aku akan
kehilangan kemungkinan untuk mendapatkan harta dari calon permaisuri
Tunggul Ametung itu”.
Sementara itu Kuda Sempana pun datang
sambil menjinjing mangkuk tanah yang berisi air. Tetapi air itu
terlampau kotor. Namun demikian Kebo Sindet sama sekali tidak
menghiraukannya. Dimasukannya sebutir reramuan obat-obatan dan
dihancurkannya di dalam air itu, perlahan-lahan air itu dimasukkan ke
dalam mulut Mahisa Agni. Sedikit demi sedikit.
Sejenak mereka menunggu. Meskipun tak
sepatah kata pun yang mereka ucapkan, namun tampaklah wajah-wajah yang
beku itu menegang. Mereka menunggu, apakah Mahisa Agni masih dapat sadar
kembali seperti semula, meskipun detak jantungnya masih juga dapat
mereka dengar apabila mereka menempelkan telinga mereka di dada anak
itu.
Tetapi sesaat kemudian, Kuda Sempana itu
pun mulai dihinggapi lagi oleh perasaan acuh tak acuhnya. Bahkan ia
bertanya di dalam hati, “Buat apakah sebenarnya aku ikut serta menjadi
cemas atas nasib Mahisa Agni. Hidup atau mati sama sekali tidak ada
bedanya bagiku. Kalau ia mati, biarlah ia mati. Sudah lama aku
menghendakinya supaya ia mati. Tetapi kalau ia dapat hidup lagi, aku pun
tidak akan berkeberatan. Mudah-mudahan aku masih mempunyai gairah untuk
membalas sakit hatiku. Tetapi apakah .sebenarnya kepentingan Kebo
Sindet bersusah payah mengobatinya. Biar sajalah ia mati, dan kemudian
dikuburkan bersama Wong Sarimpat. Tetapi pertanyaan itu disimpannya saja
di dalam hatinya.
(bersambung ke Jilid 28)
No comments:
Write comments