KEN AROK itu pun kemudian mendengar Mahisa Agni menjawab, “Tidak cantrik. Aku sudah lama tinggal di dalam sanggar”.
“Oh, baiklah” sahut cantrik itu.
“Kini aku akan kembali ke serambi samping”.
“Marilah”.
Keduanya pun kemudian berjalan
meninggalkan sanggar itu beriringan setelah Mahisa Agni menutup pintu
rapat-rapat. Mahisa Agni berjalan di depan dan cantrik itu berjalan di
belakang. Dalam keremangan sinar pelita di kejauhan Ken Arok melihat
keduanya semakin lama semakin jauh dari padanya.
Tetapi, darah Ken Arok itupun kemudian
seakan-akan berhenti mengalir. Kali ini ia melihat sesosok bayangan yang
mengendap-endap di belakang Mahisa Agni dan cantrik yang mengikutinya.
Bayangan itu meloncat dari sisi sanggar ke tempat terlindung yang lain
di belakang cantrik yang berjalan di belakang Mahisa Agni. Sebelum Ken
Arok sempat berbuat sesuatu, ia melihat bayangan itu menyambar cantrik
yang berjalan di belakang Mahisa Agni tanpa menimbulkan suara apapun.
Ken Arok adalah seorang yang memiliki
tanggapan yang cepat menghadapi persoalan yang demikian. Ia adalah
seorang pelayan dalam istana Tumapel dan sebelum itu ia adalah seorang
hantu yang menakutkan. Karena itu segera ia tahu, bahwa sekejap lagi,
maka Mahisa Agni lah yang akan mendapat sergapan dari bayangan itu.
Karena itu dengan serta merta ia berteriak, “Agni. Awas di belakangmu. Aku kira ia bukan seorang cantrik”.
Dengan gerak naluriah, segera Mahisa Agni
yang mendengar teriakan Ken Arok meloncat ke samping. Dengan serta pula
tangannya menarik hulu pedangnya dan terjulur lurus, tepat ke arah
bayangan yang handak menerkamnya.
Dalam pada itu tubuh cantrik yang
berjalan di belakang Mahisa Agni telah terbaring di tanah. Terdengar ia
merintih, tetapi suara itu pun segera berhenti.
Dada Mahisa Agni yang memang telah di
liputi oleh kemarahan dan kegelisahan itu rasa-rasanya meledak melihat
kehadiran orang yang sama sekali tak dikehendakinya. Apalagi ketika ia
melihat cantrik yang sama sekali tidak tahu menahu tentang segala macam
persoalan itu terbaring diam di tanah. Meskipun Mahisa Agni masih
mendengar deru nafasnya, namun serangan yang licik itu telah membakar
segenap urat darahnya.
Dengan suara bergetar terdengar Mahisa Agni bertanya, “Siapakah kau?”
Orang-orang yang berdiri di hadapannya
itu tidak segera menjawab. Dalam keremangan tampaklah wajahnya membeku
seperti wajah sesosok mayat. Selangkah orang itu maju, dan selangkah
Mahisa Agni surut.
“Siapa kau?”
Orang itu masih juga berdiam diri. Wajahnya masih juga membeku mengerikan.
Ken Arok yang melihat kehadiran orang itu
tidak dapat tinggal diam. Namun, ketika ia akan melangkahkan kakinya
terdengar desis di belakangnya, “Kau akan kemana anak muda?”
Pertanyaan itu pun telah benar-benar
mengejutkan hati Ken Arok. Cepat ia meloncat dan memutar tubuhnya. Kini
ia berdiri berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekar meskipun tidak
cukup tinggi. Wajahnya yang kasar memancarkan sinar kebencian. Tetapi
orang itu tertawa. Katanya pula, ”jangan terkejut, apakah kau belum
pernah mengenal aku?”
Ken Arok tidak segera menjawab.
Dipandanginya wajah itu dengan tajamnya. Ternyata sinar mata Ken Arok
tidak dapat ditundukkan oleh orang itu, sehingga orang itu berhenti
tertawa. Terdengar suaranya parau, “He, anak muda. Sebut namamu”.
Ken Arok masih tetap tidak menyahut.
Kakinya yang merenggang seolah-olah dalam-dalam menghunjam kepusat bumi.
Tangannya tanpa sesadarnya telah berada dihulu pedangnya.
“Kau tidak mau menjawab“ bentak orang
yang berdiri di hadapan Ken Arok itu, ”Baik. Kalau kau tidak mau
menjawab, akulah yang akan menyebutkan namaku. Wong Sarimpat”.
“Hem“ Ken Arok menggeram. Segera ia
menyangka bahwa yang berdiri di hadapan Mahisa Agni adalah Kebo Sindet.
Karena itu maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kecemasan dan
kegelisahan yang dirasakannya sejak mereka berangkat dari padang
Karautan kini ternyata terjadi.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih saja berdiri di
tempatnya. Agaknya mereka masih menunggu.
“Mereka menunggu Empu Sada“ pikir Ken Arok. “Hem, apakah Mahisa Agni harus mengalami bencana itu.
Tiba-tiba Ken Arok terkejut ketika Wong Sarimpat sekali lagi membentaknya keras-keras, “Ayo, sebut namamu “.
Ken Arok yang berdiri seperti batu karang
itu masih berdiam diri. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika Wong
Sarimpat maju selangkah mendekatinya.
Tetapi langkah Wong Sarimpat tiba-tiba
terhenti ia mendengar seseorang menegurnya “Wong Sarimpat, tunggu.
Jangan hanya berani mengganggu anak-anak”.
Kini Wong Sarimpat lah yang memutar
tubuhnya menghadap suara itu. Dari dalam kegelapan ia melihat sesosok
tubuh berjalan dengan tenang mendekatinya. Empu Gandring.
“Hem, kau pande keris itu pula”. desis Wong Sarimpat.
“Ya”.
Tiba-tiba mereka mendengar Kebo Sindet
berkata, “Nah. Sekarang sudah lengkap. Kami sengaja menunggu Empu
Gandring, supaya kami tidak kau sangka hanya berani mengganggu
anak-anak”.
“Jadi bagaimana?“ sahut Empu Gandring.
Dilihatnya beberapa langkah dari padanya, Kebo Sindet berdiri berhadapan
dengan Mahisa Agni yang seolah-olah membeku dengan pedang terjulur.
Empu Gandring segera dapat menduga, apa yang kira-kira akan terjadi atas
kemanakannya. Sekali dipandanginya Pelayan dalam yang bernama Ken Arok
itu. Apakah berdua dengan Mahisa Agni mereka mampu setidak-tidaknya
menyelamatkan diri mereka?
Tetapi, ia tidak dapat berbuat lain dari
menghadapi kenyataan itu. Meskipun Empu Gandring tampaknya masih
tenang-tenang saja, namun gejolak di dalam dadanya terasa
menyentuh-nyentuh dinding jantungnya. Bahaya yang kini dihadapinya,
bukan sekedar bermain-main seperti pada saat ia menghadapi seorang Wong
Sarimpat dan seorang Empu Sada. Ia masih sempat mengganggu kedua orang
itu sebelum mereka harus bertempur.
Kini, yang dihadapi adalah dua orang
sekaligus. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, bahkan mungkin Empu Sada yang
segera akan menyusul.
“Empu Gandring“ terdengar suara Kebo
Sindet dalam nada yang datar, “aku sebenarnya tidak ingin mengganggumu.
Aku hanya akan mengambil Mahisa Agni. Kali ini, kau jangan menghalangi
aku lagi. Sebab, pasti tidak akan ada gunanya. Dengarlah, jangan
menjawab dahulu. Kalau kau melawan, dan kita berkelahi, maka sementara
kau melawan Wong Sarimpat, maka aku telah sempat membunuh anak muda dari
istana Tumapel itu. Kemudian membuat Mahisa Agni lumpuh. Sesudah itu
kami berdua, aku dan Wong Sarimpat akan membunuhmu bersama-sama. Nah
bagaimana pertimbanganmu Empu Gandring?”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia menjawab masih dalam ketenangan “Rencana itu
kedengarannya baik sekali. Beberapa hari kau perlukan waktu untuk
menyusun rencana itu? Aku kira kau telah mengaturnya jauh sebelum hari
ini. Sejak lumbung itu terbakar. Kemudian kau membuat orang-orang
Panawijen gelisah dan menjemput Mahisa Agni ke Padang Karautan. Akhirnya
rencana itu sampai pada puncaknya seperti yang kau katakan itu”.
“Tepat“ jawab Kebo Sindet singkat.
“Dan kau merasa bahwa kau mampu melakukannya?”
“Bagaimana penilaianmu Empu?”
Yang menyahut kemudian adalah Ken Arok.
Suaranya bergetar seperti guruh yang menggetarkan udara, “Hem. Ternyata
kalian berhasil menyelesaikan sebagian dari rencana itu, tetapi
bagaimana selanjutnya?”
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Terasa
di dadanya pengaruh suara Ken Arok yang agak aneh. Anak muda itu
ternyata memiliki beberapa kelainan dengan anak-anak muda sebayanya.
Dengan Mahisa Agni misalnya, atau Kuda-Sempana.
Tetapi sebelum Kebo Sindet menyahut,
terdengar suara tertawa Wong Sarimpat, “O, kau juga berani mengucapkan
kata-kata itu? Kau benar-benar anak yang luar biasa”.
Ken Arok tidak menyahut. Ditatapnya wajah Wong Sarimpat yang kasar dan liar itu.
Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet.
Suaranya bergulung-gulung seolah-olah melingkar-lingkar saja di dalam
perutnya, “Jangan mengungkiri kenyataan. Kalian akan mati hari ini. Kau
anak muda, kaupun akan mati pula apabila kau berpihak kepada Mahisa
Agni”.
Belum lagi mulut Kebo Sindet terkatup
rapat, orang itu menjadi terkejut. Ternyata Ken Arok tidak mau terlampau
banyak berbicara. Seperti tatit ia meloncat menyerang, bukan Wong
Sarimpat tetapi justru Kebo Sindet yang berdiri agak jauh dari padanya.
Dalam waktu yang pendek itu, Ken Arok
berusaha membuat pertimbangan. Baginya lebih baik melepaskan Wong
Sarimpat yang sudah berdiri berhadapan dengan Empu Gandring. Ia percaya
bahwa Empu Gandring akan mampu menyelesaikannya, setidaknya untuk
mengikat demit dari Kemundungan itu. Sedang di pihak lain Mahisa Agni
benar-benar berada dalam bahaya. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin
bahwa ia dapat bertahan melawan Kebo Sindet, namun ia mengharap bahwa
berdua dengan Mahisa Agni, ia dapat menggabungkan kekuatan.
Kebo Sindet sendiri terkejut bukan buatan
menerima serangan itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda
itu mampu membuat gerakan demikian cepatnya. Jauh lebih cepat dari apa
yang dapat di lakukan oleh Kuda-Sempana.
Tetapi, Kebo Sindet adalah setan tua yang
memiliki pengalaman sedalam lautan. Dengan cekatan pula ia meloncat
menghindari serangan Ken Arok. Bahkan dengan menjejakkan kakinya, ia
melingkar dan alangkah anehnya gerak Kebo Sindet itu. Sebelum Ken Arok
mampu berdiri tegak di atas tanah, maka serangan lawannya itu telah
melandanya seperti angin taufan.
Alangkah dahsyatnya serangan itu. Empu
Gandring masih sempat melihat apa yang terjadi. Seperti Kebo Sindet, ia
heran melihat kemampuan Ken Arok. Tetapi keheranan dan kekagumannya itu
dibarengi oleh perasaan cemas yang menghentak dadanya. Ia tahu akibat
dari perbuatan anak muda itu. Kebo Sindet pasti akan marah dan setan tua
yang berwajah beku itu akan segera memberikan serangan balasan. Tidak
tanggung-tanggung. Serangan itu pasti serangan mematikan.
Dan kini ia melihat Kebo Sindet
benar-benar berbuat demikian. Ia melihat tangan Kebo Sindet terayun
dengan kecepatan yang luar biasa. Sudah pasti di luar kemampuan Ken Arok
untuk menghindarinya. Orang tua itu hanya dapat menahan nafasnya. Jarak
antara keduanya tidak terlampau dekat, sedang di sampingnya berdiri
Wong Sarimpat yang pasti akan mampu menghalanginya apabila ia ingin
berbuat sesuatu.
Serasa dada Empu Gandring itulah yang
tersentuh tangan Kebo Sindet. Dengan wajah yang tegang ia melihat apa
yang akan terjadi atas anak muda dari istana Tumapel itu. Apa lagi
ketika ia mendengar ledakan tertawa Wong Sarimpat yang gila.
Tetapi, tiba-tiba suara tertawa Wong
Sarimpat terputus. Selangkah ia maju dengan mata yang menyala. Bahkan
tanpa sesadarnya Empu Gandring pun meloncat maju mendekati Ken Arok yang
terbanting di atas tanah kerena sentuhan tangan Kebo Sindet.
Kedua orang tua yang telah masak itu
hampir-hampir tidak percaya melihat apa yang terjadi. Bahkan Kebo Sindet
sendiri seolah-olah terpaku di tempatnya. Adalah tidak mungkin sama
sekali bahwa ia melihat anak muda yang bernama Ken Arok, yang terbanting
dengan kerasnya karena dorongan tangan Kebo Sindet yang sedang marah,
setelah terguling beberapa kali, segera berusaha bangun kembali.
Meskipun mula-mula Ken Arok kehilangan
keseimbangannya dan terhuyung-huyung hampir terjatuh lagi, tetapi
akhirnya ia mampu tegak berdiri dengan garangnya seperti batu karang di
tengah-tengah lautan. Dengan tangannya ia mengusap dadanya yang terasa
panas bukan buatan seperti terbakar karena sentuhan tangan Kebo Sindet
yang sedang marah. Namun, lambat laun ia berhasil menguasai rasa sakit
itu.
Ketika Ken Arok itu telah berhasil
berdiri tegak kembali, maka tanpa sesadarnya terdengar Kebo Sindet
berdesis, “Setan manakah yang manjing ke dalam tubuhmu itu anak muda.
Kau berhasil menyelamatkan dirimu meskipun aku dapat menyentuh tubuhmu.
Kalau kau tidak bernyawa rangkap, maka hal itu tidak akan mungkin
terjadi pada seorang manusia biasa. Bahkan Empu Gandring pun pasti tidak
akan mampu bertahan apabila tanganku berhasil mengenai dadanya.”
Ken Arok yang masih berdiri tegak itu
menggeram. Kini, kemarahannya pun memuncak sampai ke ubun-ubun. Tubuhnya
yang dibakar oleh kemarahan itu menggigil seperti orang kedinginan.
Perlahan-lahan mulutnya bergerak dan terdengarlah ia berkata. Mahisa
Agni yang seakan-akan membeku di tempatnya melihat peristiwa itu menjadi
terkejut. Yang didengarnya itu adalah suara yang pernah didengarnya di
Padang Karautan. Suara hantu yang menakutkan.
“Kebo Sindet,“ suara itu terdengar parau
dan dalam. Lontaran getarannya menghantam dada mereka yang mendengarnya,
“jangan menyombongkan diri dengan kekuatan aji-ajimu. Meskipun aku
tidak memiliki ilmu macam apapun, tetapi kejahatan yang kau lakukan
pasti akan mencelakakanmu. Kalau tidak saat ini, pasti akan datang suatu
ketika kau hancur menjadi debu”.
“Ancaman seseorang yang telah berputus
asa“ jawab Kebo Sindet dalam nada datar. Kata-kata ita seakan-akan
bergulung-gulung saja di dalam perutnya, “adalah hanya kebetulan saja
bahwa kau terlepas dari bahaya maut. Tetapi kalau aku mengulangnya
sekali lagi, maka kau tidak akan lagi dapat menyebut nama ayah bundamu.”
Ken Arok tidak menjawab. Dengan tangan gemetar dijulurkannya pedangnya sambil berkata, “Aku sudah siap”.
Agaknya kemarahan Kebo Sindet sudah tidak
tertahankan lagi. Hampir tak tertangkap oleh pandangan mata biasa ia
melenting, meloncat ke arah Ken Arok. Demikian cepatnya sehinga kali ini
pun Ken Arrok tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya mampu menggerakkan
ujung pedangnya mengarah kepada lawannya. Tetapi, sekali lagi gerakan
Kebo Sindet tak dapat diikutinya. Sekali lagi Kebo Sindet melenting, dan
kali ini Ken Arok benar-benar tidak mampu mengikuti kecepatan gerak
itu.
Empu Gandring berdesis perlahan. Terasa
bulu-bulunya meremang membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi atas
Ken Arok. Kini ia ingin mencoba mempengaruhi gerak Kebo Sindet, tetapi
dengan tiba-tiba Wong Sarimpat menghalangnya dengan sebuah sambaran kaki
pada lambung Empu Gandring. Terpaksa Empu Gandring menghindari serangan
itu, dan terpaksa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas Kebo Sindet. Yang
dilihatnya adalah sekali lagi Ken Arok terpelanting jatuh sesudah
pedangnya terloncat dari tangannya.
Mahisa Agni masih saja berdiri membeku.
Kesadarannya seolah-olah terhisap habis-habis oleh peristiwa itu. Ia
hanya mampu menggerakkan biji-biji matanya, mengikuti bayangan Ken Arok
terbanting jatuh.
Tetapi, sekali lagi mereka menjadi heran
dan kagum bercampur-baur. Mereka melihat Ken Arok itu berguling beberapa
kali. Lalu dengan tertatih-tatih ia berdiri di atas kedua lututnya.
Bahkan kemudian anak muda itu telah tegak kembali. Tegak seperti tonggak
baja yang kokoh kuat.
Orang-orang tua yang melihat peristiwa
itu hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya. Mereka melihat tata
gerak Ken Arok tidak terlampau jauh terpaut dari Mahisa Agni dan
anak-anak muda yang memiliki kelebihan yang lain. Tetapi bahwa Ken Arok
tidak lumat karena tangan Kebo Sindet adalah benar-benar di luar dugaan.
Kebo Sindet sendiri yang telah dua kali
mengenainya, sejenak terpaku seperti patung. Bahkan tanpa sesadarnya ia
berdesis, “Luar biasa. Anak itu benar-benar anak setan”.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak
gigi Ken Arok. Suaranya menjadi semakin parau dan dalam, sedang nyala
matanya menjadi semakin membara. Seperti mengambang di udara terdengar
suaranya, “Marilah Agni, marilah kita hadapi jahanam ini. Ternyata hidup
dan mati sama sekali tidak berada di dalam kekuasaan tangannya yang
telah bernoda itu”.
Mahisa Agni benar-benar seperti terbangun
dari mimpi. Dua kali ia melihat Ken Arok terpelanting. Dua kali ia
melihat anak itu bangkit. Dan ia sendiri belum berbuat apa-apa. Karena
itu, maka dengan dada yang bergelora ia menyahut, “Aku sudah siap Ken
Arok”. Kalau saja kulitnya tidak kebal oleh senjatanya.
Belum lagi Kebo Sindet sempat menyahut,
maka Ken Arok itu pun telah meloncat menyerang. Kini sikapnya menjadi
semakin garang. Ia sama sekali tidak memungut pedangnya yang terjatuh,
tetapi di tangannya tergenggam sebilah pisau belati yang kasar.
“Pisau itu“ desis Mahisa Agni di dalam hatinya yang berdesir “pisau itu adalah pisau hantu Karautan”.
Kebo Sindet yang memiliki berbagai macam
ilmu itu tidak lengah sama sekali dengan cekatan ia menghindarinya.
Namun kali ini serangan Ken Arok benar-benar seperti angin ribut.
Geraknya semakin lama menjadi semakin bertambah kasar. Meskipun Mahisa
Agni tidak lagi melihat gerakan yang mengerikan seperti ketika ia
berkelahi melawan anak itu di Padang Karautan, tetapi kini ia melihat
gerak-gerak yang serupa, bahkan bersumber pada gerakan-gerakan yang aneh
itu, namun dalam tingkatan yang lebih dahsyat.
Meskipun Kebo Sindet adalah seorang yang
telah menyimpan perbendaharaan pengalaman hampir tak terhitung
jumlahnya, teetapi ia terkejut melihat tandang lawannya. Ia tidak
melihat unsur-unsur yang tersusun rapi betapapun kasarnya, tetapi ia
merasakan bahaya yang mematuknya. Karena itu maka ia pun berkata di
dalam hatinya, “Anak ini benar anak setan atau jin tetekan. Bagaimana
mungkin ia bisa berkelahi dengan cara itu”.
Kini, Kebo Sindet tidak hanya merasakan
seorang anak muda yang sombong sedang membunuh dirinya. Tetapi ia kini
berasa berhadapan dengan anak iblis yang mengerikan. Karena itu, maka
orang tua itu segera melayaninya dengan penuh kemarahan.
Sejenak, Mahisa Agni melihat keduanya
yang sedang bertempur itu. Ia melihat Ken Arok tidak sebagai seorang
prajurit atau seorang pelayan-dalam yang berkelahi sebagai seorang
prajurit dengan pedangnya. Tetapi kini Mahisa Agni melihat hantu
Karautan hidup kembali, berkelahi dengan sebilah pisau di tangan.
Namun, Mahisa Agni tidak dapat berdiam
diri lebih lama lagi. Betapa kecil kemampuannya, ia merasa wajib untuk
ikut serta dalam pertempuran yang dahsyat itu. Karena itu, maka dengan
hati-hati ia mendekat, menjulurkan pedangnya, dan sejenak kemudian maka
pedang itu pun mulai bergetar. Dengan bekal ilmu yang dimilikinya dari
gurunya ia ikut bertempur, dipusatkannya segenap kemampuan lahir dan
batin, tersalur dalam jalur-jalur urat-nadinya, menggerakkan pedang di
dalam genggamannya. Meskipun Mahisa Agni adalah seorang anak kecil saja
dibandingkan dengan Kebo Sindet, namun terasa juga serangannya agak
mengganggu selagi setan tua dari Kemundungan itu berusaha membinasakan
hantu dari Padang Karautan.
Tetapi, setiap kali Kebo Sindet menjadi
kecewa. Selanjutnya ia belum berbasil mengenai lawannya tepat seperti
yang dikehendakinya. Bahkan tenaga lawannya yang semakin liar itu pun
serasa menjadi semakin bertambah.
“Kekuatan apakah yang telah menyelusup ke
dalam tubuh setan kecil ini“ Kebo Sindet mengumpat-umpat di dalam
hatinya. Sekali-kali ia berhasil menyentuh tubuh Ken Arok sehingga anak
itu terpental beberapa langkah, tetapi setiap kali anak muda itu
langsung meloncatinya kembali dengan ujung pisau di tangan kanannya dan
ujung kuku-kuku jari tangan kirinya.
Dengan demikian maka kemarahan Kebo
Sindet pun semakin menjadi-jadi. Sekali dua kali ia harus menghindari
pedang Mahisa Agni. Tetapi ia tidak menyerangnya. Betapa gelap hatinya
namun ia masih berusaha membiarkan saja anak muda itu. Sebab apabila ia
membalasnya dengan serangan-serangan ia takut apabila ia tidak berhasil
menguasai tenaganya, sehingga Mahisa Agni itu justru yang terbunuh.
Wong Sarimpat dan Empu Gandring untuk
beberapa saat masih berdiri keheranan. Bahkan, tanpa dikehendakinya Wong
Sarimpat berdesis, “Apakah yang telah menggerakkan anak itu sehingga ia
dapat berkelahi dengan cara itu?”
Empu Gandring tanpa sesadarnya menyahut,
“Alangkah keras dan kasar unsur-unsur yang dipergunakannya. Bahkan jauh
lebih kasar dari Empu Sada. Hampir sekasar kau dan kakakmu Kebo Sindet”.
“Tidak“ gumam Wong Sarimpat, “lihat,
betapa kasarnya. Tidak kalah kasar dari kakang Kebo Sindet. Tetapi yang
gila adalah simpanan tenaga dan kekuatan, sehingga ia mampu bertahan
terhadap sentuhan tangan kakang Kebo Sindet”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya dan Wong Sarimpat memandanginya dengan mata yang hampir tidak
berkedip. Mereka melihat betapa perkelahian antara Kebo Sindet melawan
Ken Arok dan Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Setelah mapan, maka
tandang Mahisa Agni pun menjadi bertambah lincah. Pedangnya
menyambar-nyambar dari berbagai arah, sehingga mau tidak mau Kebo Sindet
harus memperhitungkannya. Tetapi ia tidak dapat dengan garang menyerang
kembali anak muda itu. Kebo Sindet yang sedang berkelahi itu merasa
sangat sulit untuk mengukur tenaganya, sehingga Mahisa Agni tidak
terbunuh oleh sentuhan tangannya. Seandainya ia tidak sedang berkelahi
dengan iblis yang kasar itu, maka ia akan segera dapat menjajagi
kekuatan tubuh Mahisa Agni. Ia akan dapat mengendalikan tangannya,
menyentuh urat nadi kesadaran Mahisa Agni sehingga anak itu pingsan.
Tetapi tidak mati.
Tetapi kini ia berkelahi dengan anak muda
yang tidak dapat diduga kekuatannya. Meskipun ia hampir mempergunakan
segenap kekuatannya, namun anak muda yang bernama Ken Arok itu tidak
hancur lumat. Tulang-tulang iganya tidak menjadi rontok karenanya.
Bahkan setiap kali ia berhasil menghindarkan simpul-simpul sarafnya yang
berbahaya dari sentuhan tangan Kebo Sindet, sehingga setiap kali ia
terbanting jatuh, setiap kali ia dapat bangun kembali. Justru semakin
sering ia terpelanting, maka tubuhnya seakan-akan menjadi semakin liat,
dan semakin cepatlah ia bangkit kembali meloncat dengan garang dan liar,
menyerang membabi buta.
“Tidak” desis. Kebo Sindet di dalam
hatinya, “anak itu tidak membabi buta. Tetapi ilmu yang gila ini belum
pernah aku kenal. Belum pernah aku temui seorang sakti yang berkelahi
dengan cara ini.”
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu
bagi Kebo Sindet terasa benar-benar mengganggu usahanya membinasakan Ken
Arok. Karena itu maka tiba-tiba ia berteriak nyaring “Kuda-Sempana,
jangan bersembunyi saja. Ini, aku sudah berhasil memanggil orang yang
selama ini kau cari. Kau tidak usah menunggu gurumu. Selesaikan Mahisa
Agni ini lebih dahulu. Tetapi ingat, biarkan ia hidup. Ia akan mengalami
masa-masa yang tidak dikehendakinya”.
Panggilan itu benar menggetarkan dada
Empu Gandring, Mahisa Agni dan Ken Arok. Mereka merasa bahwa bahaya
semakin lama akan menjadi semakin besar. Menurut dugaan mereka, sebentar
lagi akan datang Empu Sada, guru Kuda-Sempana untuk membantu mereka
menangkap Mahisa Agni.
Belum lagi mereka sempat mempertimbangkan
sesuatu, maka dari dalam kegelapan meloncatlah sesosok tubuh yang telah
menggenggam pedang di tangan. Orang itu adalah Kuda Sempana. Sejenak ia
berdiri dengan penuh kebimbangan. Betapa dendam dan bencinya kepada
Mahisa Agni pada saat-saat yang lampau. Betapa ia ingin membunuh dan
mencincangnya. Tetapi tiba-tiba kini, setelah ia berhadapan di bawah
lindungan kedua iblis dari Kemundungan, nafsunya itu susut hampir kering
sama sekali.
Tetapi seperti apa yang selama ini
dilakukannya. Berbuat apa saja yang dikatakan oleh Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Demikian pula kali ini. Menurut Kebo Sindet ia harus bertempur
melawan Mahisa Agni. Karena itu, maka segera iapun mencoba membulatkan
hatinya. Bertempur tanpa sesuatu tujuan.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Kuda
Sempana menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat melupakan apa yang telah
dilakukan oleh anak muda itu, sehingga keadaan menjadi semakin lama
semakin jelek. Tidak saja baginya sendiri, tetapi juga bagi seluruh
Panawijen. Dan kini, Kuda Sempana itu datang lagi, membuat orang-orang
Panawijen ketakutan.
Karena itu, ketika kemudian Kuda Sempana
menyerangnya, maka dengan serta-merta ditinggalkannya Kebo Sindet yang
masih berkelahi dengan Ken Arok dalam nada yang semakin lama semakin
kasar dan liar. Keduanya adalah hantu-hantu yang mengerikan, dan
keduanya dapat berbuat di luar bemampuan orang-orang biasa.
Sejenak kemudian Mahisa Agni telah
terlibat dalam perkelahian dengan Kuda Sempana. Kuda Sempana yang semula
ragu-ragu, kini ia harus menghadapi serangan Mahisa Agni yang membadai.
Serangan-serangan yang dilambari oleh berbagai perasaan bercampur baur.
Kebencian kemarahan dan kegelisahan. Namun justru karena itu, maka
kejernihan hatinya menjadi agak terganggu. Tata geraknya menjadi
tergesa-gesa dan dalam beberapa kesempatan, ia membuat
kesalahan-kesalahan. Tetapi berhadapan dengan Kuda Sempana Mahisa Agni
masih mempunyai kesempatan. Betapa Kuda Sempana dapat menambah ilmunya
dengan ilmu yang diberikan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, namun
melawan Mahisa Agni ia masih harus berbuat terlampau banyak. Apalagi
pada saat-saat perkelahian itu dimulai. Kuda Sempana bertempur asal saja
ia tidak tertusuk oleh ujung pedang lawannya. Namun semakin lama
nafsunya perlahan-lahan tumbuh kembali. Bukan sekedar menyelamatkan
diri, tetapi dalam lingkaran perkelahian, maka hasratnya untuk
membinasakan lawannya terasa seperti api tertiup angin. Semakin lama
menjadi semakin menyala di dalam dadanya.
Peristiwa itu telah membuat Ken Arok
menjadi semakin marah. Setiap kali ia terlempar jatuh, setiap kali ia
merasa bahwa tenaga yang tersimpan di dalam tubuhnya mengalir
menyelusuri urat-urat nadinya. Semakin besar nyala kemarahannya, maka
tubuhnya terasa semakin ringan dan geraknya pun menjadi semakin cepat.
Tetapi yang dihadapinya adalah Kebo Sindet. Betapa besar kemampuan yang
tersimpan di dalam dirinya, namun Ken Arok bagi Kebo Sindet seolah-olah
tidak lebih dari sebutir kemiri dalam permainan jirak. Sekali terlempar
ke samping, sekali terdorong surut dan sekali terbanting jatuh.
Meskipun demikian Ken Arok masih juga
mampu bangkit berdiri, melenting dan meloncat menyerang dengan liarnya.
Kuku-kukunya mengembang seperti kuku seekor garuda yang buas, sedang
ditangan yang lain sebilah pisau seakan-akan melekat pada jari-jari
tangannya, sehingga pisau itu tidak dapat terpelanting lepas dari
genggamannya.
Apa yang dilakukan Ken Arok itu
benar-benar tidak dapat di mengerti nalar orang-orang tua yang
mengitarinya. Wong Sarimpat, Empu Gandring dan Kebo Sindet sendiri.
Bagaimana mungkin, Ken Arok itu mampu bertahan lama melawan Kebo Sindet.
Menilik tata gerak dan unsur-unsur yang
dipergunakan oleh Ken Arok, maka mereka merasakan, betapa sedikit
pengertian yang dimilikinya. Menurut perhitungan mereka, ilmu yang
dimiliki oleh Ken Arok dalam tata gerak dan tata berkelahi, tidak banyak
terpaut dari Mahisa Agni, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Tetapi
kekuatan tenaga, kecepatan bergerak dan ketahanan tubuhnya, benar-benar
mengagumkan. Dan orang-orang tua itu menganggap bahwa semuanya itu lama
sekali bukan dilambari oleh sesuatu ilmu apapun, tetapi apa yang
dimilikinya itu adalah pembawaan sejak ia dilahirkan.
Dalam keheranan dan kekagumannya, maka
Wong Sarimpat dan Empu Gandring masih saja berdiri tegak. Wong Sarimpat
tidak lagi menyerang Empu Gandring selagi Empu Gandring tidak berusaha
membantu Ken Arok atau Mahisa Agni.
Meskipun demikian, Empu Gandring masih
juga selalu di selubungi oleh perasaan cemas dan gelisah. Betapa
ketahanan tubuh Ken Arok itu, namun serangan Kebo Sindet yang datang
seperti badai, menghantam terus-menerus itu suatu ketika pasti akan
dapat melumpuhkan Ken Arok. Bahkan mungkin membunuhnya.
Orang tua itu masih saja melihat Ken Arok
terlempar, terbanting dan berguling-guling menghindari serangan
lawannya. Sekali ia melenting sambil menerkam lawannya, untuk kemudian
terlempar kembali beberapa langkah.
Sekali-kali terdengar ia mengeluh pendek, tetapi lambat laun suara itu terdengar seperti hantu yang sedang marah.
Tiba-tiba Empu Gandring menjadi tegang
ketika ia melihat sesuatu. Darahnya serasa berhenti mengalir. Selangkah
ia maju sambil menajamkan matanya. Bukan saja mata wadagnya, tetapi juga
mata batinnya. Terasa dadanya kemudian bergetar semakin cepat. Tanpa
sesadarnya ia berpaling memandangi wajah Wong Sarimpat. Dan wajah itu
pun menegang seperti seutas tali yang hampir putus karena tarikan kedua
ujungnya.
“He, tukang keris“ Wong Sarimpat itu hampir berteriak, “kau lihat itu?”
Empu Gandring tidak segera menyahut.
Ternyata Wong Sarimpat betapapun kasarnya, namun ia telah berhasil
melihat pula. Agaknya kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu
pun telah mampu menerima getaran yang aneh, yang memancar dari diri Ken
Arok.
“Ternyata anak itu benar-benar anak setan”.
“Kau melihatnya?” desis Empu Gandring.
“Ya. Itulah sebabnya maka tubuhnya kuat seperti seekor gajah kerdil”.
Empu Gandring terdiam. Tetapi debar di
dalam dadanya menjadi semakin lama semakin cepat. Dan apa yang
dilihatnya menjadi semakin jelas. Tidak sekedar dengan mata wadagnya.
Dengan jantung yang bergolak Empu
Gandring dan Wong Sarimpat melihat sebuah bayangan warna kemerah-merahan
yang seakan-akan memancar dari ubun-ubun Ken Arok. Tidak begitu jelas.
Tetapi keduanya yakin bahwa mereka telah melihatnya. Seperti yang pernah
dilihat oleh Empu Purwa di Padang Karautan.
Perlahan-lahan Empu Gandring berdesis, “Adalah manusia yang terpilihlah yang memiliki tanda-tanda demikian”.
“Anak iblis “geram Wong Sarimpat.
Empu Gandring tidak menjawab. Namun
timbullah sedikit harapan padanya, bahwa Ken Arok memiliki kelebihan
yang meyakinkan dari anak-anak muda sebayanya. Tanda itu telah
memberitahukan kepadanya, bahwa Ken Arok bukanlah anak-anak muda
kebanyakan saja meskipun tandangnya kasar sekasar Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat.
Wong Sarimpat pun melihat kelebihan itu,
meskipun Dengan mulut yang mengumpat-umpat. Ia tidak tahu pasti, apakah
yang telah menimbulkan bayangan kemerahan di atas ubun-ubun anak itu.
Tetapi, iapun pernah mendengar dongeng-dongeng tentang anak-anak
terpilih. Karena itu, maka ia menjadi sedemikian marahnya, bahwa anak
muda yang memiliki kelebihan itu memihak Mahisa Agni.
“He, pande keris“ teriaknya “apakah kau sangka warna itu akan dapat menyelamatkannya?”
“Aku tidak tahu“ sahut Empu Gandring, “warna itu adalah warna keberanian”.
“Setan, iblis“ lagi-lagi orang itu
mengumpat-umpat dengan mulutnya yang kotor, “ia akan mati terbunuh oleh
kakang Kebo Sindet, dan warna itu akan padam dari kepalanya”.
“Marilah kita lihat”.
“Tidak. Aku tidak hanya ingin sekedar melihat, tetapi aku ingin berkelahi seperti orang lain. Ayo, bersiaplah Empu tua”.
Belum lagi Empu Gandring menjawab, Wong
Sarimpat telah melompat menyerangnya sambil berteriak, “Aku akan segera
membunuhmu. Kemudian aku ingin turut membuktikan, apakah anak muda itu
benar-benar tak dapat dicincang kulit dagingnya”.
Tetapi Empu Gandring pun telah cukup
mempersiapkan diri. Karena itu, maka ia pun sempat menghindari serangan
Wong Sarimpat. Bahkan dengan cepatnya, tangannya menyambar tengkuk
lawannya.
“Kaupun anak setan“ teriak Wong Sarimpat
ketika terasa sebuah sambaran tangan Empu Gandring hampir menyentuh
tengkuknya, Orang itu terpaksa menghindar, sehingga hampir-hampir, ia
kehilangan keseimbangan. Tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya, sebab
ia melihat Empu Gandring tidak membiarkannya. Orang itu pun segera
bersiap untuk menghindari serangan-serangan berikutnya, yang datang
seperti banjir menghantam tebing.
“Kau pun menjadi gila dan liar“ teriak
Wong Sarimpat. Tetapi dirinya sendirilah yang menjadi semakin liar dan
buas. Tata geraknya segera menjadi kasar, sekasar kakaknya Kebo Sindet.
Namun Empu Gandring tidak menjadi bingung. Ia tahu, apa yang harus
dilakukan melawan orang-orang liar seperti Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat, sehingga betapa liarnya lawannya, namun Empu Gandring masih
juga tetap tenang. Sekali-kali ia sempat melihat perkembangan keadaan
Ken Arok dan Kebo Sindet yang bertempur semakin ribut.
Kebo Sindet sendiri, yang berkelahi
dengan Ken Arok tidak segera melihat warna kemerah-merahan di ubun-ubun
lawannya. Dengan penuh kemarahan Kebo Sindet berusaha melumatkan
lawannya dengan tangannya. Meskipun berkali-kali ia tidak berhasil
memecahkan dada anak muda itu, tetapi ia masih percaya bahwa Ken Arok
tak akan dapat dihancurkannya. Itulah sebabnya Kebo Sindet masih saja
berkelahi dengan tangannya. Ia tahu benar bahwa ilmu lawannya sama
sekali tidak berarti untuk melawannya. Namun ketahanan tubuh anak itu
benar-benar memusingkan kepalanya. Bahkan kadang-kadang timbul kecemasan
di dalam dirinya, apakah ilmunya telah lebur?”
Demikianlah, maka perkelahian itu menjadi
kian seru. Tandang Ken Arok benar-benar menjengkelkan sekali bagi Kebo
Sindet yang garang dan buas. Seakan-akan ia sedang berhadapan Dengan Aji
Candra Birawa. Ia pernah mendengar, bahwa seseorang mampu membangunkan
kekuatan yang tanpa batas. Kadang-kadang dapat berwujud seorang raksasa.
Kalau, raksasa itu terbunuh, maka mayatnya akan membelah, dan datanglah
kemudian dua orang raksasa. Demikianlah setiap kali dibinasakan, maka
kekuatan itu pun menjadi berlipat.
“Apakah anak ini memiliki aji ini?”
desisnya di dalam hati, “Setiap kali kekuatannya terhantam, maka
seakan-akan tubuhnya menjadi semakin kuat. Kalau ia terbanting jatuh,
maka segera ia bangkit dengan kesigapan yang berlipat.
“Tetapi anak setan ini harus mati“
geramnya sambil mempertajam serangan-serangannya, sehingga semakin lama
menjadi semakin dahsyat.
Namun akhirnya Kebo Sindet itu mampu
melihat bayangan kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok. Semula
orang itu menyangka, bahwa kemarahannya telah menumbuhkan
bayangan-bayangan yang tak dikenalnya. Tetapi ternyata warna merah itu
meloncat, melontar dan meluncur bersama-sama dengan kepala lawannya.
Warna itu memancar dari ubun-ubun kepala itu.
“Gila“ desisnya, “apakah anak ini anak pilihan?”
Kebo Sindet mengumpat-umpat di dalam
hatinya. Selama ini ia tidak pernah memikirkan persoalan serupa itu. Ia
tidak mengenal kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya dan
lingkungannya yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Tetapi ia
tidak mengenal suatu kekuasaan yang Agung meskipun pernah didengarnya.
Tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan warna itu. Menurut dongeng yang
pernah didengarnya, warna yang memancar dari ubun-ubun adalah pertanda
bahwa orang itu adalah orang pilihan. Orang piniji. Itulah sebabnya maka
ia memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh melampui manusia biasa.
Sejenak, perasaan Kebo Sindet dilanda
oleh kebimbangan. Namun kembali ia menguatkan hatinya. Dengan gigi
gemeretak ia menggeram di dalam dadanya “Betapapun juga, ia adalah
manusia. Berapa kuat ketahanan tubuhnya, tetapi kulit dagingnya pasti
akan dapat menjadi lumat”.
Dengan demikian, maka tandang Kebo Sindet
menjadi semakin buas dan liar. Demikian juga Ken Arok. Semakin garang
ia berkelahi, nyala di atas ubun-ubunnya seolah-olah menjadi semakin
terang.
Disisi lain, Kuda Sempana pun berkelahi
dengan nafsu yang semakin menyala. Kini ia tidak lagi sekedar digerakkan
oleh perintah Kebo Sindet, tetapi ia benar-benar berusaha membunuh
Mahisa Agni. Ia tidak lagi mengingat apakah dendamnya bertimbun setinggi
gunung, namun dalam perkelahian ini, ia ingin membunuh
secepat-cepatnya.
Tetapi Mahisa Agni pun berkelahi dengan
kemarahan yang meluap-luap. Ia ingin menghentikan petualangan anak muda
itu. Ia ingin Kuda Sempana tidak lagi dapat melakukan kejahatan. Baik
terhadap dirinya sendiri, terhadap Ken Dedes, terhadap, orang-orang
Panawijen maupun terhadap bendungan yang sedang dikerjakannya. Karena
itu, maka ia harus dapat melumpuhkan lawannya. Menangkap atau kalau
terpaksa anak muda itu terbunuh, adalah bukan semata-mata karena
kebencian dan dendam, tetapi ia didorong oleh suatu kuwajiban untuk
suatu kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sendiri.
Dorongan itulah yang telah memaksa Mahisa
Agni bertempur mati-matian. Apalagi kalau diingatnya, bahwa sebentar
lagi, tangan-tangan Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan
mencekiknya. Itulah sebabnya, ia merasa bahwa ia harus segera
menyelesaikan tugasnya sebelum Ken Arok tidak lagi berdaya melawan Kebo
Sindet.
Tetapi Kuda Sempana sekarang sudah lain
dengan Kuda Sempana yang selalu dikalahkannya. Kuda Sempana kini, adalah
Kuda Sempana yang menjadi bertambah kasar, liar tetapi bertambah kuat
dan cekatan. Kuda Sempana itu mampu meloncat secepat burung sikatan dan
menyambar segarang elang di udara. Merangsangnya seliar serigala dan
menerkam sebuas harimau lapar.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu pun
harus bertempur sekuat tenaganya, setinggi kemampuannya. Dikerahkannya
segenap ilmunya lahir dan batin untuk mengalahkan lawannya. Tetapi
pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah memijat wohing
ranti. Tetapi ia harus berjuang memeras segenap kemampuan yang ada
padanya. Namun sampai beberapa lama, ia sama sekali belum melihat
tanda-tanda bahwa usahanya itu akan segera berhasil. Bahkan setiap kali
ia harus meloncat menghindari ujung pedang Kuda Sempana yang
mematuk-matuk seperti seribu kepala ular yang menyerangnya bersama-sama
dari segala penjuru.
Tetapi, Kuda Sempana pun telah dibasahi
oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang kulitnya. Betapa ia
berusaha membinasakan lawannya, tetapi lawannya bukan dengan suka rela
menyerahkan kepalanya, pasrah pati-urip. Karena itu, maka pekerjaannya
adalah sesulit menangkap kijang di padang rumput dengan tangannya.
Tidak kalah ributnya adalah Wong
Sarimpat. Sekali-kali terdengar orang itu berteriak nyaring, sehingga
suaranya membentur dinding-dinding halaman, melingkar-lingkar memenuhi
padukuhan yang sepi. Namun sejenak kemudian Panawijen itu telah diterkam
oleh ketakutan yang amat sangat. Beberapa orang akhirnya mendengar
hiruk pikuk perkelahian dan teriakan-teriakan Wong Sarimpat yang liar
itu.
Mereka yang terbangun mula-mula menjadi
bingung. Mereka belum tahu, suara apakah yang memecah sepinya malam,
melingkar-lingkar di seluruh padepokannya.
Beberapa orang laki-laki tua keluar dari
rumah-rumah mereka, membawa golok dan parang pembelah kelapa dan kayu.
Mengendap-endap mereka pergi ke arah suara yang hiruk pikuk dan ribut di
padepokan Empu Purwa. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka
tubuh mereka menjadi gemetar. Dalam keremangan cahaya pelita di halaman
padepokan itu, mereka melihat lingkaran-lingkaran perkelahian.
Perkelahian yang belum pernah mereka lihat.
Sejenak, mereka terpaku di balik dinding
halaman. Sekali-kali mereka mengintip dari atas dinding sambil berdiri
di atas bongkahan batu padas. Namun kemudian mereka pun kembali
bersembunyi di balik dinding-dinding itu. Tak sepatah kata yang dapat
mereka ucapkan di antara mereka. Sekali-kali mereka saling berpandangan.
Namun kemudian mereka menggigil ketakutan.
Dada mereka serasa akan pecah ketika
tiba-tiba mereka mendengar teriakan Wong Sarimpat nyaring, “He yang
berdiri di balik dinding. Ayo, jangan bersembunyi. Kalau kalian cukup
jantan. Inilah Wong Sarimpat dari Kemundungan”.
Tetapi kata-kata itu terhenti ketika
serangan Empu Gandring hampir merobek mulutnya. Dengan lincahnya ia
meloncat mundur. Golok yang kini telah berada di tangannya berputar
seperti baling-baling. Tetapi setiap kali bunga api memercik tinggi
apabila golok itu membentur keris Empu Gandring. Keris yang tidak kalah
besarnya dari golok itu.
Ketika ketiga orang yang menjemput Mahisa
Agni sampai di tempat itu pula, maka mereka menjadi gemetar.
Teringatlah apa yang dirisaukan oleh orang tua yang ternyata adalah
paman Mahisa Agni dan pemimpin prajurit dari Tumapel. Kini mereka
menyadari kebenaran dari kecemasan orang-orang itu. Sehingga karena itu,
maka alangkah mereka menyesal. Apabila terjadi sesuatu atas Mahisa
Agni, maka mereka menjadi salah satu sebab dari bencana itu.
“Siapakah mereka?” bisik salah seorang dari ketiga orang itu.
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi
kembali mereka terkejut ketika Wong Sarimpat sempat menjawab sambil
bertiak “Kami adalah Wong Sarimpat, Kebo Sindet dan Kuda Sempana dari
Kemundungan”.
Ketiga orang itu terbungkam. Tetapi di
samping ketakutan dan kecemasannya, terbayanglah wajah ayah Kuda Sempana
yang seolah-olah telah mendorong mereka menjemput Mahisa Agni dan kini
tiba-tiba mereka mendengar bahwa di antara mereka terdapat Kuda Sempana.
Ketiga orang-orang tua yang menjemput
Mahisa Agni ke Padang Karautan itu merasakan sesuatu yang tidak pada
tempatnya dengan ayah Kuda Sempana. Apakah ayah Kuda Sempana itu telah
menjadi alat anaknya untuk menciderai Mahisa Agni?
Tiba-tiba salah seorang dari mereka
menggamit kawannya. Kawannya itupun mengangguk dan mereka bertiga pun
meninggalkan tempat itu.
Setelah cukup jauh dari padepokan Empu
Purwa, maka salah seorang dari mereka berkata, “Kita ke rumah ayah Kuda
Sempana. Ia harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini.”
“Marilah kakang“ jawab yang lain, tetapi
nada suaranya terasa diselubungi oleh kebimbangan, “tetapi apakah tidak
ada orang lain di rumah itu. Kawan-kawan orang yang datang dari
Kemundungan itu?”
Yang lain menjadi ragu-ragu pula,
katanya, “Ya, apakah di rumah itu tidak ada orang lain lagi yang akan
dapat memenggal leher kami”.
Sejenak mereka berdiam diri. Hanya
langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik di atas tanah
berbatu. Lamat-lamat mereka masih mendengar suara Wong Sarimpat
menjerit-jerit. Dan tiba-tiba Kuda Sempana yang menjadi semakin kasar
pun sekali-kali memekik tinggi pula.
Tetapi, orang-orang tua itupun kemudian
dijalari oleh perasaan yang aneh. Karena mereka merasa, bahwa mereka
telah turut serta menjerumuskan Mahisa Agni, maka mereka pun seakan-akan
mendapat suatu keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka yang selama ini
tidak pernah menggenggam senjata, kini parang pembelah kayu itu
merupakan senjata yang memberi mereka ketabahan. “Ayah Kuda Sempana
harus bertanggung jawab“ desis mereka di dalam hati.
Dengan hati-hati mereka berjalan
menyelusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke rumah Kuda Sempana. Karena
di dalam perkelahian itu hadir Kuda Sempana, maka mereka mengharap bahwa
ayahnya akan dapat mereka temui seorang diri.
Dari kejauhan mereka melibat pelita yang
menyala di dalam rumah Kuda Sempana. Beberapa berkas sinarnya melontar
menyelusup lubang-lubang dinding jatuh di halaman yang gelap gulita.
Rumah itu tidak terlampau besar, tetapi
juga tidak terlampau kecil. Pada saat Kuda Sempana masih seorang pelayan
dalam, maka rumah itupun tampak terpelihara baik. Tetapi kini,
semak-semak yang liar tumbuh di sekeliling halaman. Bahkan regol dan
pintunya kini sama sekali sudah hampir tidak terbentuk lagi.
“Mudah-mudahan orang itu ada di rumahnya“ gumam salah seorang.
“Aku kira ia ada di rumah“ sahut yang lain.
Perlahan-lahan, mereka mendekati pintu
rumah itu. Salah seorang dari mereka mencoba mengintip ke dalamnya lewat
lubang dinding yang menganga selebar hitam mata. Tetapi tak sesuatu
yang dilihatnya.
“Apakah kita ketuk pintunya?” bertanya salah seorang.
“Ketuklah pintu “sahut yang lain.
Salah seorang dari mereka pun segera mengetuk pintu. Sekali dua kali, tetapi tidak terdengar jawaban.
“Apakah orang itu sudah tidur?”
Yang lain tidak sabar lagi. Diketuknya semakin keras. Namun masih belum ada jawaban.
Akhirnya mereka tidak dapat menahan diri.
Sejenak mereka berbincang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk
memecah. pintu itu dengan paksa.
Meskipun dengan agak bersusah payah,
akhirnya ketiganya berhasil merusak pintu. Dengan hati-hati mereka masuk
ke dalamnya. Senjata-senjata mereka telah berada di dalam genggaman,
seperti seorang pahlawan yang sedang mencari lawannya yang bersembunyi.
Tetapi ternyata rumah itu telah menjadi kosong. Mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di dalamnya.
“Kosong“ desis salah seorang dari mereka.
“Mungkin bersembunyi“ sahut yang lain.
Dengan sangat hati-hati mereka bertiga mencari ayah Kuda Sempana. Beriringan kesegenap sudut. Namun meskipun pelita terpasang hampir di setiap ruang, mereka tidak menemukan seorang pun.
Dengan sangat hati-hati mereka bertiga mencari ayah Kuda Sempana. Beriringan kesegenap sudut. Namun meskipun pelita terpasang hampir di setiap ruang, mereka tidak menemukan seorang pun.
“Gila. Orang itu telah merasa dirinya bersalah. Karena itu maka ia melarikan dirinya”.
“Hem“ yang lain menggeram. Tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dilakukannya.
Meskipun demikian sekali lagi mereka
meneliti setiap sudut. Di bawah kolong-kolong amben, di belakang geledeg
dan di sisi-sisi paga. Tetapi mereka tetap tidak menemukan seseorang.
“Lalu“ desis salah seorang dari mereka, “apa yang akan kita kerjakan?”
Sejenak mereka bertiga terdiam. Sementara
itu angin malam berhembus masuk kedalam rumah itu lewat pintu yang
masih menganga. Di luar gelap yang pekat seakan-akan menyumbat setiap
lubang dinding rumah.
“Kita kembali“ tiba-tiba salah seorang berkata.
“Kembali kemana?” bertanya yang lain.
“Kembali ke tempat perkelahian tadi. Kuda
Sempana lah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini.
Karena kebodohan kita, maka kita telah menjadi alatnya. Maka kita pun
harus menebus kebodohan itu.
“Apa yang akan kita lakukan?”
“Membunuh Kuda Sempana”.
“He?” “seorang yang lain menjadi ngeri mendengar jawaban itu, seakan-akan mereka mampu membunuh Kuda Sempana.
“Ya. Kita membunuh Kuda Sempana bersama angger Mahisa Agni”.
“Anak itu bukan lawan kita”.
“Kita hanya membantu. Membantu angger
Mahisa Agni. Betapapun lemah tenaga kita, tetapi kita akan dapat
membantu mengurangi kesungguhan perhatian Kuda Sempana atas Mahisa
Agni”.
Tetapi bukan sekedar menarik perhatiannya, bahkan mungkin ujung pedangnya.
“Kalau ujung pedangnya menghunjam ke dada
kita itu adalah sekedar akibat dari kebodohan kita. Kenapa kita telah
memanggil angger Mahisa Agni kepedukuhan ini?”
Kedua kawannya yang lain menjadi tegang.
Namun kemudian mereka pun berkata, ”Mari. Kita kembali kepadepokan Empu
Purwa. Kita lihat, siapakah yang menang dalam perkelahian itu.”
“Kita tidak akan hanya sekedar melihat”.
“Baik. Kita ikut berkelahi”.
“Sampai akibat yang paling parah”.
“Sampai mati”.
Maka bulatlah tekad mereka untuk
bertempur membantu Mahisa Agni. Mereka merasa, bahwa mereka telah
menyeret Mahisa Agni kedalam bencana.
Dengan tergesa-gesa, mereka meninggalkan rumah Kuda Sempana. Dibiarkannya pintu rumah itu menganga. Dan dibiarkannya lampu-lampu rumah itu menyala sebesar-besarnya.
Dengan tergesa-gesa, mereka meninggalkan rumah Kuda Sempana. Dibiarkannya pintu rumah itu menganga. Dan dibiarkannya lampu-lampu rumah itu menyala sebesar-besarnya.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai
kembali di tempat perkelahian antara raksasa-raksasa itu terjadi.
Perlahan-lahan mereka mendekati dinding halaman Padepokan Empu Purwa.
Beberapa orang masih saja mengerumuni tempat itu dari jauh. Mereka tidak
berani mendekat, apalagi melihat. Tetapi mereka pun tidak mau
meninggalkannya, karena mereka ingin tahu, apakah yang akan terjadi.
Ketika mereka bertiga, mencongakkan
kepala-kepala mereka hampir saja mereka terpelanting jatuh ketika mereka
mendengar suara Wong Sarimpat, “Ayo, siapa yang akan membantu,
Kemarilah”.
Ketiganya menjadi seakan-akan membeku
pada dinding halaman. Kebulatan tekad mereka sama sekali tidak lagi
mereka ingat. Apalagi turut berkelahi di pihak Mahisa Agni, sedang
melihat kilatan senjata mereka yang sedang berkelahi itu pun mereka
seolah-olah telah menjadi mati kaku.
Meskipun demikian, mereka masih sempat
melihat perkelahian yang mengerikan itu. Mereka masih melihat betapa Ken
Arok berkelahi seperti orang kesurupan. Tanpa menghiraukan apapun anak
muda itu mengamuk sejadi-jadinya. Meloncat menerkam, memukul, menerjang
dan segala macam gerak yang memusingkan kepala. Kebo Sindet pun menjadi
pusing pula karenanya. Hampir-hampir ia kehilangan akal untuk
menjatuhkan lawannya yang gila dan liar. Lebih liar dan buas dari
dirinya sendiri.
“Anak setan ini benar-benar mengerikan“
desis Kebo Sindet di dalam hatinya. Meskipun demikian, ia sama sekali
belum mempergunakan senjatanya. Kini keinginannya bukan saja ingin
menghancurkan dan membunuh lawannya, namun timbul pula keinginannya
untuk melihat, sampai dimana kekuatan dan ketahanan tubuh anak muda yang
ubun-ubunnya bercahaya kemerah-merahan. Karena itu, betapapun juga,
Kebo Sindet masih saja melawannya dengan anggauta badannya. Sekali-kali
dihantamnya dada anak muda itu sehingga terpelanting beberapa langkah.
Baru saja anak muda itu melenting berdiri, maka kakinya telah mengenai
lambungnya, sehingga Ken Arok terangkat tinggi-tinggi, melayang di udara
untuk jatuh seperti sepotong tonggak yang basah. Tetapi sekali lagi ia
meloncat bangkit dengan pisaunya ditangan kanan dan kuku-kukunya yang
mengembang di tangan kiri.
“Gila. Benar-benar gila“ Kebo Sindet
menggeram. Ia adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang sudah
kenyang mencicipi segala macam bentuk kehidupan. Yang paling lunak
sampai yang paling kasar. Tetapi belum pernah dijumpainya sejenis
manusia seperti yang kini sedang dilawannya.
Orang yang kini berkelahi melawannya dan
bernama Ken Arok itu memiliki ketabahan tubuh yang luar biasa. Namun
justru karena itu, maka ia menjadi semakin tertarik kepada anak muda
itu. Semakin sulit ia menjatuhkan lawannya, semakin tajam keinginannya
untuk mengukur titik akhir dari ketahanan tubuh Ken Arok.
Tetapi, akhirnya Kebo Sindet menyadari,
bahwa kunci dari pertempuran itu ada padanya. Adiknya, Wong Sarimpat
yang bertempur melawan Empu Gandring. Rasa-rasanya tidak akan segera
dapat mengakhiri perkelahian. Bahkan menurut penilaian Kebo Sindet, maka
sampai seminggu pun adiknya tidak akan memenangkan pertempuran itu.
Menilik ketenangan dan keyakinan setiap geraknya, maka agaknya Empu
Gandring masih lebih banyak menyimpan tenaga daripada adiknya. Sehingga
apabila perkelahian itu dibiarkannya sampai sehari dua hari, maka
adiknya, Wong Sarimpatlah yang akan lebih dahulu susut tenaganya.
Sedang Kuda Sempana pasti tidak akan
dapat mengalahkan Mahisa Agni. Kebo Sindet masih sempat melihat
sekilas-sekilas perkelahian antara kedua anak muda itu. Dan Kebo Sindet
masih melihat beberapa kekurangan Kuda Sempana.
Dengan demikian, maka ia harus segera
mengakhiri perkelahian itu. Kalau ia berhasil melumpuhkan lawannya atau
membunuhnya sekali, maka ia akan segera dapat membantu kawan-kawannya
yang lain.
Tiba-tiba Kebo Sindet itu pun menggeram.
Ia kini tidak mau bermain-main lagi. Ia sudah cukup lama merasakan
keliatan tubuh lawannya. Dan kini ia benar-benar ingin menghancurkannya.
Tetapi tidak dengan senjata tajam. Ken Arok harus lumat dengan
tangannya.
Kebo Sindet itu pun segera memusatkan
segenap kekuatan lahir dan kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya.
Kekuatan yang bersumber pada kekuatan sesat. Meskipun dalam ungkapannya,
seakan-akan ia memiliki kelebihan dari orang-orang lain, tetapi
kelebihannya itu didapatkannya dari dunia yang hitam; yang bertentangan
dengan jalan yang seharusnya dilalui oleh manusia, titah Yang Maha
Agung.
Demikianlah maka Kebo Sindet telah
membangun kekuatannya. Kekuatan yang dinamainya sendiri Aji Bajang.
Kekuatan yang tidak kasat mata, tetapi mempunyai akibat yang mengerikan.
Ketika tiba-tiba tubuh Kebo Sindet itu
bergetar dan kedua tangannya mengembang, maka berdesirlah dada Empu
Gandring. Orang tua itu tahu betapa mengerikan akibat sentuhan kekuatan
raksasa yang tersimpan dalam Aji yang justru dinamainya Aji Bajang.
Hanya mereka yang menyimpan kekuatan-kekuatan yang seimbang sajalah yang
akan menyelamatkan diri dari pada kekuatan itu meskipun tidak akan
dapat terlepas dari luka-luka di dalam tubuhnya. Apabila seseorang yang
memiliki kekuatan seimbang dan sempat melawan Aji itu dengan kekuatan
yang sama, maka benturan yang terjadi itupun akan berakibat pula bagi
orang itu. Apalagi mereka yang tidak memiliki daya tahan yang cukup,
maka ia akan hancur lumat menjadi ndeg-pangamun-amun.
Karena itu, maka meskipun dirinya sendiri
sibuk melayani Wong Sarimpat yang melibatnya seperti angin pusaran,
namun sempat pula ia berteriak, “Angger Ken Arok. Hindarilah tangannya.
Orang itu siap melontarkan kekuatan terakhirnya”.
Ken Arok yang sedang waringuten itupun
mendengar teriakan itu. Terasa dadanya yang sedang bergelora itu pun
berdesir. Sejenak ia memandang lawannya yang bergetar seperti orang
kedinginan. Tangannya mengembang dan matanya menjadi merah menyala.
Sejenak Ken Arok yang liar itu tertegun
diam. Meskipun ia tidak tahu, kekuatan apa yang akan memancar dari
tangan Kebo Sindet, namun terasa pula olehnya bahwa kekuatan itu adalah
kekuatan yang akan dapat menentukan hidup matinya.
Tetapi, Ken Arok sama sekali tidak ingin
menghindarinya. Tekadnya telah bulat untuk melawan Kebo Sindet itu
sampai kekuatannya yang terakhir. Sebagai hantu yang pernah hidup di
Padang Karautan yang buas, maka Ken Arok telah menjadi seorang yang sama
sekali tidak mengenal takut. Hidupnya dimasa lampau yang penuh dengan
kekerasan, liar dan buas, kini seakan-akan telah muncul lagi ke atas
permukaan sikapnya. Namun demikian ada sesuatu yang lain tersimpan di
dalam hatinya. Yang justru dahulu belum pernah dikenalnya, meskipun
pernah dirasakannya. Ia pernah terlepas dari kepungan orang-orang yang
marah kepadaya, karena ia mencuri di Pamalantenan. Hanya dengan dua
helai daun tal ia berhasil menyeberangi sebuah sungai dan lari ke
Nagamasa.
Saat itu ia sama sekali tidak tahu,
kenapa ia dapat berbuat demikian. Dan ia sama sekali tidak tahu, suara
apakah yang didengarnya dan memberinya petunjuk itu.
Tetapi sekarang ia telah mengenalnya.
Dari Empu Purwa, guru Mahisa Agni, ia pernah mendapatkan setitik terang
yang kemudian menjadi semakin jelas baginya ketika ia bertemu dengan
seorang Brahmana yang bernama Lohgawe, yang membawanya ke Istana
Tumapel, dan menyerahkannya sebagai seorang abdi dari Akuwu Tunggul
Ametung.
Dengan demikian, maka ia sama sekali
tidak gentar melihat sikap Kebo Sindet. Ia sama sekali tidak gentar,
seandainya ia akan hancur lumat dan mati. Tak pernah ia berbuat seperti
saat ini. Pasrah kepada Kekuasaan Tertinggi. Pasrah, sama sekali pasrah.
Ken Arok merasa pernah dilepaskan dari maut justru sebelum ia
mengenal-Nya. Kalau kini ia harus hancur dan lumat menjadi debu, maka
apapun yang dilakukannya, justru lari sekalipun, maka ia pasti tidak
akan terhindar dari padanya.
Ken Arok sendiri tidak sadar, apa yang
kemudian dilakukannya. Tiba-tiba saja, tanpa dikehendakinya sendiri, ia
berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan pasrah diri sepasrah-pasrahnya,
ia memusatkan segenap daya rasa dan nalarnya. Tanpa sesadarnya pula ia
telah membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya dalam pemusatan
diri di luar kehendaknya. Itu adalah suatu bentuk pemusatan kekuatan
yang justru dilambari oleh kepercayaan yang bulat kepada Yang Maha
Agung, tanpa dimengertinya sendiri.
Justru Empu Gandring lah yang menjadi
sangat cemas melihat sikap Ken Arok yang sama sekali tidak berusaha
untuk menghindar. Bahkan, orang tua itu melihat Ken Arok dengan
tenangnya menanti serangan Kebo Sindet. Hilanglah kesan yang liar dan
buas dari wajah anak itu, justru pada saat ia menghadapi kekuatan
terakhir dari hantu Kemudungan. Wajah itu kini memancarkan keagungan dan
kesentausaan tiada taranya.
Wong Sarimpat yang melibat kakaknya telah
membangunkan kekuatan terakhir itu menjadi berdebar-debar pula. Apakah
anak muda serupa itu benar-benar anak pilihan yang tiada tara
bandingnya, sehingga seorang Kebo Sindet perlu mempergunakan Aji
Bajangnya? Wong Sarimpat masih melihat cahaya kemerah-merahan di atas
kepala Ken Arok, seolah-olah bahkan menjadi semakin terang.
Dalam pada itu, karena kedua-duanya ingin
melihat akibat dari benturan Aji Bajang, maka tanpa berjanji
perkelahian antara Empu Gandring dan Wong Sarimpat itu pun menjadi
semakin kendor, dan bahkan akhirnya berhenti sama sekali.
Hanya Kuda Sempana dan Mahisa Agnilah
yang kemudian masih saja bertempur dengan sengitnya desak-mendesak,
seperti sepasang Garuda yang berlaga di udara.
Pada saat yang demikian itulah, Kebo
Sindet meloncat, mirip dengan seekor burung Alap-alap yang menyambar
mangsanya di langit, menukik dan tangannya terayun deras sekali ke dada
lawannya yang kini masih saja berdiri mematung.
Empu Gandring dan Wong Sarimpat menahan
nafasnya. Sejenak kemudian mereka seakan-akan membeku melihat akibat
dari pukulan Aji Bajang. Ketika tangan Kebo Sindet menyentuh dada Ken
Arok, maka seakan-akan terjadilah sebuah benturan yang mengerikan. Kebo
Sindet, hantu Kemundungan yang mengerikan itu tergetar dan terpaksa
meloncat beberapa langkah surut untuk menyalurkan tekanan pada pangkal
tangannya.
Sedang dalam pada itu Ken Arok terlempar
beberapa langkah dan dengan kerasnya ia terbanting di atas tanah.
Bulat-bulat seperti sebuah batu yang besar. Sama sekali tidak terdengar
ia mengaduh atau berteriak kesakitan. Tak ada sama sekali terdengar ia
mengeluh atau mengumpat.
Empu Gandring yang melihat anak muda itu
terbanting jatuh tanpa sesadarnya, segera meloncat memburu. Dengan serta
merta ia berjongkok di sampingnya dan memegang tangannya.
Perlahan-lahan ia berdesis “Angger?”
Ken Arok tidak menjawab. Wajahnya pucat
pasi, seperti mayat. Tetapi Empu Gandring masih saja melihat warna yang
kemerah-merahan itu tidak padam. Karena itu, harapannya masih tebal di
dalam dadanya, bahwa anak itu masih mendapat perlindungan dari Yang Maha
Agung.
Sejenak kemudian Empu Gandring mendengar
Ken Arok menarik nafas perlahan-lahan. Sangat perlahan-lahan. Tetapi
sejalan dengan itu, harapan Empu Gandring pun menjadi semakin tebal.
Dicobanya menempelkan telinganya pada dada anak itu, dan ia masih
mendengar jantungnya berdetak.
“Ia masih hidup“ desis Empu Gandring.
Tetapi dengan demikian Empu Gandring
menjadi lengah. Ia masih akan mendengar dan sempat membela diri
seandainya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menyerangnya bersama-sama.
Tetapi tidak demikian yang terjadi. Empu Gandring hanya sejenak
mendengar keributan. Terlampau pendek. Dan ketika ia meloncat bangkit,
darahnya benar-benar serasa terhenti. Yang dilihatnya adalah Mahisa Agni
yang pingsan berada ditangan Kebo Sindet.
“Gila kau“ teriak Empu Gandring “lepaskan
anak itu. Marilah kita bertempur secara jantan, meskipun seandainya kau
berdua akan berkelahi berpasangan”.
Wajah Kebo Sindet sama sekali tidak
bergerak. Beku. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Wong
Sarimpat, “Apakah kau sedang mengigau Empu. Sekian lama kita berkelahi,
tetapi tak seorang pun yang dapat mengalahkan lawannya. Kini kau
menantang kami berdua melawanmu. Apakah kau benar-benar akan membunuh
dirimu”.
“Aku tidak peduli apa yang terjadi.
Tetapi lepaskan anak itu“ suara Empu Gandring terasa bergetar karena
kemarahannya. Senjatanya, sebilah keris raksasa tiba-tiba menjadi
bergetar pula.
Kebo Sindet yang berwajah beku seperti
mayat itu menjawab dengan suara yang bergulung-gulung di dalam perutnya,
“Empu Gandring, kami tidak mempunyai kepentingan dengan kau. Karena itu
pergilah. Jangan ganggu kami lagi”.
“Aku berkepentingan dengan anak itu. Ia
adalah ke manakanku. Kalau kau bergerak selangkah membawanya pergi, maka
aku tidak tahu, apakah aku akan berbuat curang pula seperti kalian”.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saling
berpandangan sejenak. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang dapat
dilakukan oleh Empu Gandring, meskipun dirinya sendiri menyebutnya
curang. Namun dengan demikian kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin
menyala di dalam dadanya. Sehingga karena itu maka katanya “Baik. Baik
Empu gila. Aku dan adikku akan bersama-sama membunuhmu. Tetapi jangan
kau sangka, bahwa aku akan melepaskan kemanakanmu ini“ Kebo Sindet diam
sejenak. Lalu katanya kepada Kuda Sempana, “Bawa anak ini dengan kudamu
mendahului kami ke Kemundungan. Aku akan segera menyusul. Pekerjaan kami
tidak lagi begitu berat. Membunuh Empu gila ini berdua”.
Kuda Sempana tidak menjawab sepatah kata pun. Di terimanya tubuh Mahisa Agni yang lepas dari tangan Kebo Sindet.
“Gila. Kau benar-benar setan alasan“
teriak Empu Gandring sambil selangkah maju. Tetapi Wong Sarimpat telah
berdiri dimukanya dengan golok ditangannya, “Jangan maju lagi Empu”.
“Persetan. Aku penggal lehermu”.
“Lakukanlah”.
Empu Gandring yang marah itu maju setapak
lagi. Seakan-akan ia sama sekali tidak menghiraukan Wong Sarimpat.
Dengan marahnya ia menggeram, “Aku tidak peduli, apakah aku berbuat
curang atau kejam atau liar. Tetapi jagalah, sentuhan seujung rambut
dari kerisku yang satu ini telah cukup mencabut nyawamu“. Dan ternyata
di tangan kiri orang tua itu telah tergenggam sebilah keris yang kecil.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tertegun
melihat keris itu. Keris itu agak lebih kecil dari keris biasa, tetapi
keris yang kecil itu seakan-akan memancarkan cahaya yang hijau suram.
Kedua hantu dari Kemendungan itu segera
tahu pula, bahwa pada keris yang kecil itu tersimpan semacam bisa yang
tajamnya melampaui bisa ular. Itulah sebabnya maka sejenak mereka
menjadi ragu-ragu.
“Aku tidak pernah bermimpi untuk
mempergunakan keris ini“ desis Empu Gandring “karena itu maka keris ini
tidak pernah terpisah dari padaku, supaya keris ini tidak jatuh ketangan
orang lain. Tetapi, mungkin aku sekarang benar-benar telah menjadi
gila. Aku terpaksa nganggar keris ini. Meskipun demikian aku masih cukup
sadar memberi kalian peringatan”.
Terdengar Kebo Sindet menggeram. Tetapi
wajah bekunya masih juga membeku. Namun terdengar ia menjawab “Jangan
menakut-nakuti kami seperti menakut-nakuti anak-anak dengan kelabang.
Betapa tajamnya racun kerismu itu Empu, namun keris itu tidak akan dapat
menyentuh tubuhku”.
“Jangan terlalu sombong“ sahut Empu
Gandring “kau sudah dapat menduga babwa keris ini mengandung bisa.
Memang, aku telah memberi bisa yang setajam-tajamnya pada keris ini,
sekedar sebagai suatu percobaan. Tetapi menghadapi setan-setan tidak
berjantung seperti kalian, maka aku terpaksa mempergunakannya. Semoga
aku tidak terkutuk karenanya”.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih
ragu-ragu sejenak. Tetapi, ketika mereka menyadari bahwa Kuda Sempana
belum beranjak dari tempatnya, maka Kebo Sindet itu pun membentak “Ayo,
lekas bawa anak itu pergi supaya bukan kau yang akan menjadi korban
pertama dari keris itu”.
Kuda Sempana terkejut. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemudian ia melangkah pergi.
“Berhenti“ teriak Empu Gandring.
“Jangan hiraukan“ sahut Kebo Sindet.
Dalam kebimbangan dan keragu-raguan, Kuda Sempana berjalan menuju ke tempat kudanya disembunyikan.
Dalam pada itu Empu Gandring sudah tidak
bersabar lagi. Cepat ia meloncat menyerang Kebo Sindet dengan sepasang
keris di kedua tangannya. Sebilah keris raksasa di tangan kanan, dan
sebilah keris yang berwarna hijau suram di tangan kirinya.
Tetapi lawannya adalah sepasang bantu
dari Kemundungan. Hantu yang telah kenyang menghisap darah dan keringat
sesama. Itulah sebabnya, maka serangannya yang pertama itu tidak
mengenai serangannya. Sedang kedua iblis itu pun segera berloncatan
memencar. Ketika kemudian perkelahian pula dengan sengitnya, di tangan
Kebo Sindet telah tergenggam sebilah golok.
Empu Gandring yang tua, yang dibakar oleh
kemarahan itu pun bertempur dengan sepenuh kemampuan dan ilmunya.
Sedang kedua lawannya yang berkelahi berpasangan itu pun terlampau
bernafsu pula untuk segera membunuh Empu Gandring.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun
menjadi semakin dahsyat. Tenaga mereka bagaikan angin taufan yang saling
berbenturan di atas lautan, sehingga kemudian timbullah gelombang yang
mengerikan, hantam-menghantam, hempas-menghempas tiada henti-hentinya.
Tetapi Empu Gandring bertempur seorang
diri. Lawannya, dua iblis dari Kemundungan itu berkelahi berpasangan.
Hanya karena senjatanya yang mengerikan itu sajalah maka Empu Gandring
masih tetap mampu bertahan. Betapa berani dan gilanya Wong Sarimpat dan
Kebo Sindet, namun mereka benar-benar tidak mau tersentuh oleh keris
Empu Gandring yang berwarna bijau suram itu. Itu pulalah sebabnya maka
Empu Gandring masih mampu bertahan melawan keduanya. Setiap kali
kerisnya itu menyambar seperti sikatan, sedang kerisnya yang lain
menebas seperti baling-baling.
Namun bagaimanapun juga, ternyata
kekuatan kedua orang lawannya, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang
bergabung itu, terlampau sukar ditandinginya. Setelah beberapa saat
mereka bertempur, maka terasa, bahwa akhirnya Empu Gandring itu pun
terdesak mundur. Dengan demikian maka ia tidak segera berhasil menahan
Kuda Sempana, bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiri pun, orang tua
itu harus bertempur mati-matian.
Dengan hati yang pedih, Empu Gandring
terpaksa membiarkan Kuda Sempana menghilang membawa Mahisa Agni yang
sedang pingsan. Sejenak kemudian ia mendengar kaki kuda berderap, dan
lenyap pulalah semua harapannya untuk menyelamatkan anak muda itu.
Tetapi dengan demikian, kemarahannya
menjadi semakin memuncak membakar ubun-ubunnya. Orang tua itu
seolah-olah tidak lagi menghiraukan keseimbangan perkelahian itu.
Seperti Orang yang kesurupan, Empu Gandring mengamuk sejadi-jadinya. Dan
justru karena itulah, maka kedua lawannya terpaksa mengerahkan
kemampuan mereka pula. Apalagi menghadapi keris yang satu yang berwarna
hijau suram itu.
Perkelahian itupun kemudian menjadi
semakin mengerikan. Orang-orang yang menyaksikannya dari kejauhan
menggigil ketakutan. Mereka melihat dedaunan berguguran di tanah dan
pepohonan menjadi tumbang, seperti padepokan itu sedang dilanda oleh
angin taufan yang maha dahsyat.
Tetapi mereka yang bertempur itu
tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat Ken Arok yang terbaring diam
itu mulai bergerak. Perlahan-lahan ia menggeliat, dan tiba-tiba saja ia
bangkit berdiri. Sekali lagi anak muda itu mengeliat. Seperti orang yang
baru terbangun dari tidurnya ia memandang berkeliling. Ketika tiba-tiba
dilihatnya Empu Gandring yang sedang bertempur melawan kedua bantu dari
Kemundungan itu, tampak wajahnya menjadi tegang.
Ken Arok yang bangkit dengan serta merta
itu benar-benar mengejutkan ketiga orang-orang tua yang sedang
berkelahi. Mereka menganggap bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat
terjadi. Anak muda itu baru saja terbanting jatuh dan pingsan. Bahkan
hampir mati. Nafasnya hanya terdengar lemah sekali, dan detak jantungnya
hampir berhenti. Tetapi tiba-tiba saja ia bangkit dan seperti bangun
saja dari tidur yang nikmat.
Apa yang terjadi atas diri Ken Arok itu,
benar-benar telah menggetarkan jantung Kebo Sindet. Dengan kekuatan yang
selama ini dibanggakan ia memukul dada Ken Arok tanpa perlawanan yang
berarti. Ia melihat anak itu terlempar dan terbanting jatuh. Tetapi
tiba-tiba anak itu bangun kembali hanya dalam waktu yang tidak terlalu
lama.
“Anak setan” Kebo Sindet mengumpat di dalam hatinya ”apakah dadanya berlapis baja?”.
Namun dengan dengan demikian orang yang
selama ini hidup di dalam dunia yang kelam, di dalam lingkungan yang
liar dan buas, sebuas rimba belantara, hampir setiap hari bermain-main
dengan maut, tetapi menghadapi Ken Arok terasa kengerian merayapi
hatinya. Bukan karena ia takut melawan Ken Arok, sebab meskipun anak itu
mempunyai daya tahan yang tiada taranya, tetapi ia pingsan juga karena
pukulan Aji Bajang.
Tetapi kini ia menghadapi dua orang yang
mempunyai kelebihanya masing-masing. Empu Gandring dengan kerisnya yang
berwarna hijau suram dan Ken Arok yang seakan-akan menyimpan tujuh nyawa
rangkap di dalam dirinya
Karena itu, maka Kebo Sindet mengambil
keputusan untuk melepaskan saja lawannya. Lebih baik ia pergi
meninggalkan setan-setan Panawijen itu. Lebih baik ia masih sempat
menikmati kemenangannya. Menyembunyikan Mahisa Agni untuk memeras Ken
Dedes dengan segala macam kelicikan.
“Tetapi setan-setan ini menjadi saksi
bahwa Empu Sada tidak ada di sini” katanya di dalam hati, “tetapi tidak
apa. Muridnya telah mereka lihat. Mudah-mudahan mereka berpendapat bahwa
kehadiranku ini adalah karena permintaan Empu Sada. Bukankah Empu
Gandring pernah juga bertemu dengan Empu Sada di Padang Karautan.
Akhirnya keputusan Kebo Sindet pun
menjadi bulat. Ia mengangap bahwa Kuda Sempana telah cukup jauh
mengambil jarak seandainya Empu Gandring akan mengejar mereka.
Tiba-tiba Kebo Sindet itu pun memberi
isyarat kepada adiknya. Dengan serta merta mereka berloncatan mundur,
meskipun mereka masih tetap berkelahi.
Empu Gandring yang melihat sikap itu
menjadi semakin marah. Alangkah licik lawannya. Mereka akan meninggalkan
gelanggang meskipun mereka telah berkelahi berpasangan.
Dan apa yang diduga itupun segera
terjadilah. Kedua orang itupun segera berloncatan meninggalkan halaman,
melangkahi dinding batu. Tetapi sudah tentu Empu Gandring tidak
membiarkannya. Segera ia mengejarnya. Namun kedua iblis dari Kemundungan
itu tidak banyak menemukan kesukaran. Sambil melawan mereka kemudian
sempat mencapai kuda-kuda mereka. Bergantian mereka meloncat ke atas
punggung-punggung kuda itu, dan sejenak kemudian terdengar derap kedua
kuda itu memecah sepi malam.
“Pengecut” Empu Gandring berteriak
mengatasi derap kaki-kaki kuda itu. Tetapi suara itu disahut oleh suara
tertawa Wong Sarimpat, berkepanjangan menyusur sepanjang jalan padukuhan
Panawijen.
Ken Arok melihat juga kelicikan itu.
Kemarahan yang memang sudah menyala di dalam dadanya serasa berkobar
semakin besar. Tanpa disadarinya, iapun segera meloncat ingin mengejar
mereka. Tetapi segera langkahnya terhenti. Dadanya serasa akan pecah,
dan tulang-tulang iganya seolah-olah sudah tidak terpaut lagi di
dadanya.
Baru kini terdengar ia mengaduh
perlahan-lahan sekali. Ditekankannya kedua telapak tangannya pada
dadanya. Perasaan sakit itu seakan-akan dengan tiba-tiba saja
menerkamnya. Perasaan itu serasa baru saja melanda dirinya.
Ken Arok berdiri dengan menahan sakitnya.
Ia tidak dapat berlari mengejar orang-orang yang melarikan Mahisa Agni.
Karena itu betapa ia menyesal.
Dadanya berdentang keras sekali ketika ia
melihat Empu Gandring dengan tergesa-gesa kembali. Tetapi ketika orang
tua itu melihatnya, maka iapun berhenti.
“Kenapa engkau Ngger?” bertanya Empu Gandring.
Nafas Ken Arok menjadi semakin deras mengalir. Terputus-putus ia menyahut, “dadaku Empu”.
Empu Gandring menjadi cemas melihat keadaan Ken Arok. Karena itu maka anak muda itu pun didekatinya “Bagaimana dengan dadamu?”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi
ketika disadarinya bahwa Empu Gandring agaknya bermaksud mengejar kedua
orang Kemundungan itu, maka jawabnya, “Tidak apa-apa Empu, hanya sedikit
terasa nyeri”.
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi bingung. Apakah ia akan meninggalkan Ken Arok yang
sedang terluka itu, ataukah ia harus membiarkan Mahisa Agni hilang
dibawa oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”.
Agaknya Ken Arok melihat kebimbangan di
hati orang tua itu, maka katanya, “Empu, tinggalkanlah aku disini.
Barangkali Empu Gandring dapat menyusul Kebo Sindet, setidak-tidaknya
Empu mengetahui kemana Mahisa Agni itu dibawa. Kalau benar ia dibawa ke
Kemundungan, maka besok Kemundungan akan aku kepung dengan prajurit
Tumapel segelar sepapan. Meskipun di dalam sarang mereka ada Kebo
Sindet, Wong Sarimpat dan Empu Sada sekalipun, namun prajurit-prajurit
Tumapel cukup banyak untuk merampok mereka, seperti orang-orang padesan
merampok macan.
Empu Gandring masih ragu-ragu sejenak.
Dan Ken Arok berkata pula, “Marilah Empu, aku ikut. Tetapi barangkali
aku tidak dapat berkuda terlampau cepat. Biarlah Empu pergi lebih
dahulu. Aku harap di sepanjang perjalanan sakitku sudah jauh berkurang,
sehingga apabila perlu aku masih dapat membantu Empu menghadapi
orang-orang itu.
“Jangan Ngger. Sembuhkan dahulu lukamu”.
“Jangan hiraukan aku Empu. Setan-setan itu akan menjadi semakin jauh”.
Empu Gandring termenung sejenak. Anak
muda yang bernama Ken Arok ini memang sangat mengherankan baginya. Anak
muda itu sama sekali tidak memuntahkan darah dari mulut dan hidungnya.
Justru karena itu, maka Empu Gandring merasa tidak berkeberatan untuk
meninggalkannya menyusul Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Tetapi, meskipun demikian, untuk sejenak
Empu Gandring berdiri termangu-mangu. Ditatapnya saja Ken Arok yang
masih menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya. Namun Ken Aroklah
yang mendesaknya, “Silahkan Empu, silahkan Empu mendahului. Aku akan
segera menyusul”.
Empu Gandring itu seperti tersedar dari
mimpinya. Maka jawabnya sambil meloncat mencari kudanya, “Baiklah Ngger.
Aku akan pergi dahulu. Tetapi kalau Angger masih merasa sakit,
sebaiknya Angger beristirahat”
Dengan tergesa-gesa Empu Gandring pergi
ke tempat kudanya ditambatkan. Sejenak ia masih harus membenahi pelana
kuda itu, dan sejenak kemudian terdengar kaki-kaki kuda itu berderap
meninggalkan halaman padepokan Empu Purwa.
“Mereka menuju ke arah ini” desis Empu Gandring yang dengan serta merta melecut kudanya yang terasa terlampau lambat berlari.
Ken Arok kini masih tegak seorang diri di
halaman padepokan Empu Purwa. Setelah keadaan menjadi agak reda, maka
barulah satu dua orang cantrik berani mendekatinya. Salah seorang dari
mereka bertanya “Apakah tuan terluka?”
“Ambilkan aku air “desis Ken Arok.
“Air apa?”
“Air. Air dingin”.
Cantrik itupun segera berlari-lari
mengambil sebuah gendi yang berisi air. Sementara itu Ken Arok minta
kepada seorang cantrik yang lain untuk menyiapkan kudanya.
“Inilah air itu tuan”.
Ken Arok menerima gendi itu. Ia tidak
tahu, apakah obat yang paling baik untuk menyembuhkan luka-lukanya.
Tetapi ia ingin minum, dan mudah-mudahan air yang dingin itu dapat
meringankan sakit dadanya itu.
Perlahan-lahan Ken Arok mengangkat gendi
itu. Perlahan-lahan sekali karena gerak tangannya ternyata menyebabkan
dadanya semakin sakit. Diangkatnya wajahnya, dan dengan hati-hati
dituangkannya air gendi itu ke dalam mulutnya.
“Hem,” desisnya, “alangkah segarnya”.
Tetapi, anak muda itu pun terkejut ketika
tiba-tiba rasa sakit di dadanya menjadi agak berkurang oleh segarnya
air yang diminumnya. Sekali lagi ia mengangkat gendi itu. Kini gerak
langannya telah tidak terasa terlampau sakit, dan diteguknya air itu
sehingga habis,
“Heh” ia menarik nafas dalam-dalam. Rasa
nyeri pada dada itu sudah sangat berkurang. Diberikannya kendi itu
kepada cantrik yang membawanya sambil bertanya “Air apakah ini?”.
“Air. Air dingin biasa tuan”.
“Alangkah segar air dari padepokan
Panawijen. Air itu ternyata telah mengurangi rasa sakit pada dadaku.
Terima kasih. Kini aku telah mampu berkuda menyusul Empu Gandring”.
“Kemanakah mereka itu tuan?”.
“Aku tidak tahu. Dan aku ingin mengetahuinya”.
Ken Arok itu pun kemudian perlahan-lahan berjalan ke arah kudanya.
“Dadaku sudah agak baik” katanya kepada
para cantrik yang mengerumuninya, “aku akan pergi menyusul Empu
Gandring. Terima kasih, agaknya air padepokan ini memang mengandung
obat. Aku hampir sembuh”.
Ken Arok itu pun kemudian menyentuh perut
kudanya. Perlahan-lahan kuda itu berjalan meninggalkan halaman
padepokan itu. Semakin lama semakin kencang. Ketika Ken Arok merasa
bahwa sakit dadanya tidak menjadi semakin parah karena darap kudanya,
maka kuda itu pun kemudian meluncur lebih cepat. Meskipun demikian
sekali-kali Ken Arok masih harus meraba dada itu dengan tangannya.
Kadang-kadang masih terasa nyeri-nyeri di dalamnya. Tetapi agaknya angin
malam yang sejuk telah banyak membantu meringankan rasa sakit itu.
Dalam keheningan malam terdengar hiruk
pikuk derap kaki-kaki kuda. Orang-orang yang membenamkan dirinya di
bawah selembar kain karena dingin dan ketakutan menjadi semakin
menggigil karenanya. Mereka mendengar derap kuda berturutan. Semula
mereka mendengar seekor kuda lari seperti di kejar hantu. Kuda itu
adalah kuda yang dilarikan oleh Kuda Sempana membawa Mahisa Agni.
Kemudian disusul oleh kuda-kuda Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Sejenak
kemudian sekali lagi mereka mendengar derap kaki kuda. Agaknya kuda itu
adalah kuda Empu Gandring. Dan kini lagi mereka bergetar karena suara
kaki-kaki kuda yang berlari kencang.
Sedang dalam pada itu, orang-orang
laki-laki yang mencoba melihat apa yang terjadi dan melihat perkelahian
di padepokan Empu Purwa dari kejauhan, satu demi satu keluar dari
persembunyian mereka. Dengan hati yang cemas mereka memperbincangkan apa
yang telah mereka lihat. Tetapi mereka tidak jelas atas apa yang
terjadi. Mereka tidak banyak mengerti, bagaimana akhir dari perkelahian
itu. Tetapi ketiga orang yang telah menjemput Mahisa Agni yang mengintip
lewat dinding batu halaman padepokan itu dapat mengatakan apa yang
dilihatnya. Meskipun mereka tidak tahu seluruhnya, tetapi mereka melihat
Mahisa Agni menjadi pingsan dan dibawa oleh Kuda Sempana. Setelah itu
maka yang terjadi adalah keributan yang tidak dimengertinya. Mereka tahu
bahwa Empu Gandring bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat,
tetapi yang mereka lihat seolah-olah hanyalah sebuah angin pusaran yang
dahsyat.
Malam yang dingin menjadi semakin dingin.
Di langit bintang-bintang bertaburan merata disegenap penjuru.
Sekali-sekali selembar awan putih yang lembut mengucap wajah langit yang
biru, membelai gemerlapnya bintang-bintang yang bergayutan.
Tetapi Kuda Sempana sama sekali, tidak
menghiraukannya. Seperti orang yang kehilangan akal ia berpacu ke
Kemundungan. Mahisa Agni yang pingsan masih juga tersangkut di punggung
kuda itu pula. Sejenak kemudian ia telah meninggalkan padukuhan
Panawijen. Namun, ia sama sekali tidak menyangka bahwa dari jurusan yang
berlawanan sedang berpacu pula seekor kuda menuju kepadukuban
Panawijen.
Demikianlah, di dalam malam yang semakin
jauh itu, berpacu beberapa ekor kuda saling berkejaran. Mereka sama
sekali tidak menghiraukan dinginnya angin malam. Betapa tubuh-tubuh
mereka basah oleh keringat dan embun.
Tetapi kuda yang datang dari arah yang
berlawanan itu pun berpacu pula seperti angin. Penunggangnya adalah
seorang tua yang menjinjing sebuah tongkat panjang. Orang itu adalah
Empu Sada. Setiap kali ia melecut kudanya, supaya berlari lebih cepat.
Orang itu seakan-akan takut kehilangan waktu walaupun hanya sekejap.
Karena itulah maka jarak antara Empu Sada
dan Kuda Sempana menjadi sangat cepat surut. Keduanya berpacu dalam
satu jalur jalan, namun pada arah yang berlawanan. Yang satu
meninggalkan Panawijen sedang yang lain menuju ke Panawijen.
Akhirnya, ketika jarak itu menjadi
semakin dekat, maka Empu Sada menengadahkan wajahnya. Lamat-lamat ia
mendengar derap kaki kuda dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin
dekat.
“Hem“ desis orang tua itu, “mudah-mudahan aku berjumpa dengan mereka”.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Dihirupnya udara malam sepuas-puasnya, seakan-akan untuk yang terakhir
kalinya. Diamatinya bintang-bintang dilangit satu demi satu. Tetapi
bintang-bintang itu terlampau banyak. Ribuan, jutaan dan bahkan tidak
terhitung.
Tiba-tiba dada Empu Sada berdesir. Ia
melihat bulan tua yang baru tumbuh mengambang di langit. Kemudian
dilihatnya pula sebuah lingkaran yang luas di sekitar bulan yang sudah
tua itu.
“Bulan berkalang“ desisnya pula, “agak
tidak lazim. Biasanya bulan purnama lah yang berkalang. Tetapi kini,
bulan yang sudah tipis, setipis alis perawan, berkalang pula”.
Tetapi Empu Sada tidak memperlambat
langkah kudanya. Bahkan berkali-kali ia melecut kuda itu. Dan kuda itu
menjadi semakin menggila. Ditembusnya keremangan malam dengan derapnya
yang hiruk-pikuk.
“Kuda itu semakin dekat. Tetapi tidak lebih dari seekor“ gumam Empu Sada kepada diri sendiri.
Tiba-tiba Empu Sada menarik tali kekang kudanya. Dan Kudanya pun mengurangi kecepatan lajunya.
“Lebih baik aku menunggu“ gumam Empu Sada itu pula.
Tetapi ternyata penunggang kuda yang
datang dari arah yang berlawanan itupun telah mendengar langkah kudanya.
Dengan hati yang berdebar-debar Kuda Sempana mencoba meyakinkan
pendengarannya. Dan kemudian ia pun pasti, bahwa derap kuda itu adalah
derap kuda dihadapannya, bukan kuda yang menyusul di belakang.
“Siapakah yang berkuda itu?” desisnya.
“Persetan” Kuda Sempana menggeretakan
giginya. Tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya,
“mungkin aku akan bertemu dengan seseorang yang ingin membunuh dirinya”.
Kuda Sempana sama sekali tidak
memperlambat langkah kaki kudanya. Bahkan dibiarkannya kudanya berlari
semakin kencang seakan-akan berpacu dengan angin malam yang silir. Namun
meskipun demikian, terasa debar jantungnya pun menjadi semakin cepat.
Tetapi, Kuda Sumpana itu pun kemudian
mengerinyitkan alisnya. Suara derap kuda yang didengarnya tiba-tiba
berhenti seperti ditelan hantu.
“Apakah telingaku sudah tidak beres lagi“
desis Kuda Sempana, “tetapi mungkin orang yang berkuda itu berhenti
setelah mendengar derap kudaku. Atau mungkin bersembunyi”.
Karena angan-angannya itu maka tiba-tiba
Kuda Sempana pun memperlambat kudanya. Ia harus berhati-hati, mungkin
seseorang yang bersembunyi sedang mengintainya, untuk dengan tiba-tiba
menerkam dari balik gerumbul di tepi jalan.
Dengan wajah yang tegang Kuda Sempana
mencoba melihat dalam malam yang semakin remang-remang. Bulan yang
tersembul di langit telah menolong Kuda Sempana untuk dapat melihat agak
lebih terang.
Tiba-tiba darah anak muda itu berdesir.
Kini ia melihat sebuah bayangan yang remang-remang berada di tengah
jalan. Orang berkuda.
“Itulah dia“ desis Kuda Sempana yang
darahnya serasa menjadi semakin cepat mengalir. Tanpa dikehendakinya
maka dengan gerak yang menyentak ia mempercepat lagi langkah kudanya,
dan pedangnya pun telah berada di dalam genggamannya. Dengan garangnya
ia mendekati bayangan yang berhenti tepat di tengah-tengah jalan yang
akan dilaluinya.
Sebelum Kuda Sempana melihat jelas
siapakah yang berada dipunggung kuda itu, maka dengan kerasnya ia
berteriak sekasar Wong Sarimpat, “He, siapakah yang berhenti di tengah
jalan. Minggir, supaya kepalamu tidak terinjak kaki-kaki kudaku”.
Dada Empu Sada bergetar mendengar suara
itu. Ia segera dapat mengenal siapakah yang berteriak menyapanya. Tetapi
ia terkejut mendengar nada suara anak muda yang pernah diasuh sebagai
murid yang sangat dimanjakannya. Alangkah kasarnya.
Kuda Sempana kini sudah menjadi semakin dekat, tetapi Empu Sada masih belum menjawab.
“Minggir“ Empu Sada mendengar Kuda Sempana ber teriak lagi, “cepat sebelum aku kehabisan kesabaran”.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya tenang, “Berhentilah Kuda Sempana”.
Kini Kuda Sempana lah yang terkejut bukan
buatan. Ia pun dapat mengenali suara itu. Suara gurunya. Karena itu,
maka dengan sekuat tenaganya ia menarik kekang kudanya sambil berdesis,
“Guru. Adakah itu Empu Sada”.
“Ya. Aku adalah gurumu, Kuda Sempana. Apakah kau masih mengenalku?”.
Kuda Kuda Sempana berhenti beberapa
langkah dari kuda gurunya. Dengan dada yang berdebar-debar Kuda Sempana
berkata terpatah-patah, “Guru. Jadi guru masih hidup?”
“Seperti kau lihat kini Kuda Sempana.
Yang duduk di atas punggung kuda ini sama sekali bukan sebuah kerangka
yang hidup. Tetapi aku adalah Empu Sada yang masih utuh. Yang terdiri
dari kulit daging seperti yang dapat kau lihat, seperti kau, seperti
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
Darah Kuda Sempana terasa berdeburan di
dalam jantungnya. Gurunya yang disangkanya sudah mati itu kini berada
beberapa langkah saja dihadapannya. Namun justru karena itu maka
seolah-olah membeku di atas punggung kudanya.
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar gurunya bertanya “Apakah yang kau bawa itu Kuda Sempana?”
Tiba-tiba terasa sepercik kebanggaan di
dalam hati anak muda itu, dengan dada tengadah ia menjawab, “Guru.
Setelah kita berusaha sekian lama dengan sia-sia, akhirnya maksud itu
tercapai juga. Ini adalah tubuh Mahisa Agni”.
“He?” sejenak kemudian Empu Sada itu pun
terbungkam. Ia melihat tubuh terkulai, tersangkut menelungkup di
punggung Kuda Sempana itu pula. Dengan terbata-bata ia kemudian
bertanya, “Apakah anak itu sudah mati?”.
“Belum guru. Ia baru pingsan. Paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat menghendaki ia tetap hidup”.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Serasa urat-uratnya yang menegang itu pun mengendor kembali. Ternyata ia
masih sempat bertemu dengan Mahisa Agni yang masih hidup.
“Jadi Mahisa Agni masih hidup?”.
“Ya guru”.
“Kenapa ia tidak dibunuh saja? Olehmu atau oleh kedua iblis dari Kemundungan itu?”
“Paman Kebo Sindet dan paman Wong
Sarimpat ingin melihat Mahisa Agni ketakutan. Mati terlampau cepat bagi
Mahisa Agni agaknya terlampau menyenangkan”.
“Apa yang akan mereka kerjakan?”
“Aku akan membuat perhitungan dengan anak ini.
“Apa yang akan kau lakukan?” Kau akan melakukan perang tanding di bawah saksi pamanmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?”
Kuda Sempana terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi gurunya mendesaknya “Begitu?”.
“Tidak guru“ sahut Kuda Sempana, “dalam keadaannya, aku akan dapat berbuat apa saja atasnya”.
“Dan kau akan melakukannya juga”.
Kuda Sempana merasakan pertanyaan gurunya
itu agak aneh. Ia tidak melihat kegembiraan pada sikap dan kata-kata
Empu Sada. Sejak lama mereka berusaha untuk dapat berbuat seperti ini,
menangkap Mahisa Agni untuk melepaskan dendam yang membara di hati.
Tetapi setelah ia berhasil menangkap anak muda itu, terasa
pertanyaan-pertanyaan gurunya agak sumbang.
“Bagaimana Kuda Sempana, kau akan
melakukan?”. Tiba-tiba Kuda Sempana menjadi demikian bingung. Karena itu
maka jawabnya “Aku tidak tahu, guru”.
“Kuda Sempana“ desis Empu Sada,
“sebaiknya kau menilai dirimu sendiri. Apakah kau dapat bersikap jantan
atau tidak. Kalau kau merasa dirimu laki-laki, jangan kau berbuat
seperti itu. Berbuatlah seperti seorang laki-laki”.
Kuda Sempana bertambah bingung mendengar
kata-kata gurunya. Ia tidak segera menangkap maksudnya. Bukankah gurunya
sendiri pernah berbuat hal-hal yang dapat disebut licik dan sama sekali
tidak jantan. Adalah tidak dapat dibanggakan kemenangan Empu Sada atas
Mahisa Agni seandainya pada saat itu Empu Gandring tidak hadir dan
seandainya saat itu Empu Sada berhasil menangkap atau membunuh anak muda
itu. Sekarang gurunya itu bertanya tentang kejantanan dan sikapnya
sebagai seorang laki-laki.
Karena Kuda Sempana tidak segera
menjawab, maka Empu Sada berkata selanjutnya, “Kuda Sempana, sebaiknya
kau hentikan perbuatanmu semacam itu. Seperti kau juga kini menyesal,
bahwa aku pernah berbuat gila-gilaan”.
Kuda Sempana tidak segera menjawab,
dadanya masih diliputi oleh perasaan yang bersimpang siur, bahkan tidak
di kenalnya sama sekali. Itulah sebabnya maka ia masih saja duduk
mematung.
Empu Sada seterusnya masih berkata pula,
“Kuda Sempana. Apakah kau mengalami berbagai macam peristiwa berurutan
itu hatimu masih jaga membeku sekeras batu?”.
Kuda Sempana masih juga membeku dan Empu
Sada masih melanjutkan, “Apakah yang telah kau mulai dalam perjalanan
hidupmu setelah kau terpisah daripadaku Kuda Sempana?. Di tanganku kau
telah aku jadikan seorang yang licik dan pendendam. Kemudian kau bergaul
dengan orang-orang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Apakah kira-kira yang
kemudian tergores pada dinding hatimu? Apakah kau kemudian menyadari
keadaanmu atau bahkan kau menjadi semakin buas dan garang?”.
Kuda Sempana menundukkan wajahnya. Tidak
disengajanya ia memandangi tubuh Mahisa Agni yang masih saja pingsan.
Beberapa hari yang lewat ia kehilangan segala macam pertimbangan dan
kehendak. Bahkan hatinya benar-benar serasa membeku. Bukan karena ia
ingin melakukan apa saja untuk melepaskan dendamnya, tetapi serasa ia
telah kehilangan arah dan pedoman hidupnya. Ia berbuat apa saja tanpa
dapat mempertimbangkan tujuan dan akibatnya. Ia berbuat seperti alat
yang digerakkan oleh tenaga orang lain. Sehingga akhirnya ia berbasil
berhadapan kembali dengan Mahisa Agni. Ketika ia berkelahi dengan Mahisa
Agni itulah, maka keinginannya untuk membunuh ternyata telah terungkat
kembali. Meskipun tidak sedahsyat semula.
“Kuda Sempana” panggil Empu Sada kemudian.
Kuda Sempana mengangkat wajahnya.
Dipadanginya mata gurunya yang tajam, seakan-akan langsung menembus
pusat jantungnya. Sehingga Kuda Sempana itu pun tiba-tiba menundukkan
kepalanya kembali.
“Berikanlah Mahisa Agni itu kepadaku”.
Kuda Sempana terkejut mendengar
permintaan gurunya itu. Wajahnya menjadi tegang dan jantungnya
berdebaran. Bukan saja karena ia sendiri ingin berbuat sesuatu atas
Mahisa Agni, tetapi Mahisa Agni itu kini seakan-akan bukan miliknya.
Mahisa Agni itu seakan-akan hanyalah barang titipan.
“Kuda Sempana, berikan Mahisa Agni itu kepadaku” ulang gurunya.
Dalam kesuraman sinar bulan yang tinggal
secabik itu Empu Sada melihat wajah Kuda Sempana memancarkan beribu
pertanyaan. Wajah yang menjadi kian tegang itu sekali-sekali terangkat
dan kemudian kembali menunduk.
“Apakah kau berkeberatan Kuda Sempana?” “bertanya gurunya.
“Guru“ sahut Kuda Sempana kemudian dengan penuh kebimbangan, “Aku membawa Mahisa Agni atas perintah paman Kebo Sindet”.
“Hem“ Empu Sada mengangguk-anggukkan
kepalanya, “karena perintah Kebo Sindet maka kau tidak akan
memberikannya kepada siapa pun juga, meskipun kepada gurumu? Adakah
lebih baik bagimu melakukan perintah Kebo Sindet atau memenuhi
permintaanku?”.
Sekali lagi Kuda Sempana terbungkam. Ia
tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan terasa jantungnya menjadi
semakin keras berdentang di dalam dadanya dan kepalanya menjadi pening.
“Kuda Sempana“ berkata Empu Sada
selanjutnya, “aku tidak akan memperhitungkan pendirianmu. Aku tetap pada
pendirianku bahwa aku harus mendapatkan Mahisa Agni itu. Kalau perlu
dengan segala macam cara”.
“Guru“ Kuda Sempana hampir menjerit
karena ke bingungan dan sesak yang menyumbat dadanya, “aku tidak tahu
apakah yang sebaiknya aku lakukan”.
“Apakah kau tidak dapat mendengar kata-kataku? Berikan Mahisa Agni kepadaku. Itulah yang harus kau lakukan”.
“Bagaimana kalau paman Kebo Sindet marah?”.
“Itu tanggung jawabku”.
“Untuk apakah sebenarnya guru memerlukan Mahisa Agni? Apakah guru ingin membunuhnya?”
“Kau tidak usah bertanya, untuk apakah
Mahis Agni itu bagiku. Tetapi aku tidak akan mempergunakannya untuk
memeras bakal permaisuri yang kau gilai itu. Kau tahu maksudku”.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Aku tidak tahu guru”.
“Kau pun telah masuk kedalam
perangkapnya. Kalau kau masih mau mendengarkan nasehatku, serahkan
Mahisa Agni kepadaku dan tinggalkan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat”.
Kuda Sempana terpaku di atas punggung
kudanya sejenak. Kata-kata gurunya itu amat asing bagi telinganya dan
bagi hatinya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dilakukan
kemudian.
“Bagaimana?“ bertanya Empu Sada, “aku
tahu, selama ini kau pasti mendapat banyak petunjuk dan ajaran-ajaran
dari kedua iblis itu, yang tanpa kau sadari telah ikut berpengaruh
membentuk dirimu. Tetapi itu bukan karena salahmu. Itu juga karena
salahku. Aku telah membuat kau tanah yang subur bagi ajaran-ajaran Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku sempat melepaskan diri. Aku harap
kau pun mau mendengar kata-kataku.
Kuda Sempana duduk membeku di tempatnya.
Serasa ia mendengar kata-kata gurunya itu di dalam mimpi yang
mengambang. Ia tidak segera menangkap maksud dan maknanya. Tetapi Empu
Sada menjelaskannya, “Maksudku Kuda Sempana. Hentikan segala kesesatan.
Jalan yang kau tempuh telah terlampau jauh. Sekarang kembalilah. Mari
kita mencari jalan bersama-sama. Jalan yang terang, yang tidak
digelimangi oleh segalamacam noda”.
Kuda Sempana merasakan sentuhan kata-kata
gurunya. Tetapi sentuhan itu agak terlampau lemah. Hatinya selama ini
telah menjadi semakin keras, sekeras batu selama ia berada di dalam
lingkungan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Namun Kuda Sempana itu menjawab, “Guru,
meskipun seandainya aku ingin kembali mencari jalan lain, aku kira tak
ada dunia yang sanggup menerima aku. Aku telah terdorong dalam duniaku
yang sekarang. Dan aku tidak akan dapat kembali”.
Empu Sada mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Kuda-Sempana, kau masih cukup muda. Umurmu, menurut tanggapan
lahirilah, masih lebih panjang dari umurku. Tetapi aku merasa, bahwa
aku dapat menemukan jalan itu. Kaupun pasti akan menemukannya. Tak ada
batas yang dapat menutup kemungkinan itu sampai saat terakhir dari
hidup. Selama kita masih sempat merasa diri kita bersalah dan dengan
ikhlas dan bersungguh-sungguh mengakui segala kesalahan untuk bertaubat,
maka jalan itu selalu terbuka bagi kita”.
Sekali lagi Kuda Sempana merasakan
sentuhan kata-kata itu. Secercah goresan yang tipis telah mewarnai
perasaannya. Sejenak anak muda itu termenung.
“Pikirkan Kuda Sempana, sementara itu
serahkan Mahisa Agni kepadaku. Aku akan menyelamatkannya. Tidak akan
membunuhnya seperti apa yang akan aku lakukan beberapa waktu yang
lampau. Ini adalah satu bentuk perbuatan yang bersumber pada
penyesalanku itu. Kalau kau sependapat dengan aku maka lakukanlah hal
yang serupa. Maka kau akan sampai ke jalan yang kau kehendaki, ke dunia
yang kau ragukan apakah masih akan menerima kau kembali”.
Kuda Sempana masih duduk membeku.
Wajahnya menjadi semakin lama semakin tegang, seperti pergolakan yang
terjadi di dalam dadanya, semakin lama semakin dahsyat.
“Kuda Sempana. Kau tidak usah menjadi
cemas, seandainya apa yang kau lakukan itu tidak dapat di mengerti oleh
orang lain. Bahkan seandainya orang lain tetap menganggapmu sebagai
seorang yang bersalah. Tetapi bukankah bentuk duniawi ini kadang-kadang
bertentangan dengan kepentingan hidup yang kekal kelak? Jangan hiraukan
sikap orang lain atas keputusanmu untuk meninggalkan duniamu yang
sekarang. Kau akan menemukan jalan menuju ke dalam ketenteraman dan
kedamaian yang abadi. Seandainya kau tetap dianggap bersalah dan
mendapat hukuman badani, tetapi berbahagialah kau dengan hukuman badani
itu. Jika kau hayati arti dari pengertian itu, maka kau akan menemukan
yang seharusnya kau cari. Yang kekal, bukan yang semu. Akupun sedang
mencari yang kekal itu sekarang”.
Dada Kuda Sempana serasa menjadi semakin
sesak, bahkan serasa akan meledak. Terdengar suara gurunya itu gemuruh
di dalam jantungnya. Tetapi bukan itu saja. Yang terdengar pula adalah
suara gemuruh derap kaki-kaki kuda semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata derap kaki kuda itu telah
membuatnya terlampau gugup. Sentuhan kata-kata Empu Sada yang sedikit
demi sedikit tergores dihatnya, tiba-tiba menjadi terpecah-belah,
bercerai-berai seperti asap di hembus angin.
Yang didengarnya kini hanyalah derap
kaki-kaki kuda. Kuda Sempana segera dapat menebak, bahwa deru kaki-kaki
kuda itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi Kuda Sempana tidak
dapat menduga, bagaimanakah akhir dari perkelahian antara kedua iblis
itu dengan kedua lawan-lawannya. Apakah Ken Arok benar-benar dapat
dibunuh oleh Kebo Sindet dan kemudian bersama-sama dengan Wong Sarimpat
membunuh Empu Gandring, atau kedua hantu itu sekedar menghindari
lawan-lawannya.
Empu Sada pun mendengar pula derap
kaki-kaki kuda itu. Di tengadahkannya wajahnya dan perlahan-lahan ia
berdesis “Aku kira yang aku dengar adalah derap dua ekor kuda”.
Tak ada yang menyahut. Kuda Sempana
terbungkam seperti membeku di tempatnya. Hanya desir angin malam yang
menyentuh dedaunan liar terdengar gemerisik, seperti suara orang yang
berbisik di telinga Empu Sada, “Ya, dua ekor kuda”.
“Kuda Sempana“ berkata Empu Sada kemudian, “apakah kau tahu, siapakah yang kira-kira akan datang?”
Seperti tidak sadar Kuda Sempana menyahut “Paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat guru”.
“Hem“ Empu Sada mengangguk-anggukan
kepalanya. Terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Apakah ia
akan mengulangi perkelahian yang pernah dilakukannya melawan kedua
orang itu? Kalau sekarang ia harus bertempur melawan keduanya, maka ia
yakin, bahwa ia akan mati terbunuh dengan sia-sia. Tetapi apakah ia akan
lari menghindar? Lalu apakah gunanya ia berpacu dengan tergesa-gesa
dari padepokannya sampai kedaerah Panawijen ini?.
“Kuda Sempana“ berkata orang tua itu tiba-tiba, “masih ada kesempatan. Berikan Mahisa Agni kepadaku”.
Sekali lagi terasa dada Kuda Sempana
menjadi pepat. Ia tidak dapat segera mengambil keputusan. Sedang Empu
Sada mendesaknya. “Cepat, sebelum mereka datang”.
“Aku takut guru“ tiba-tiba terdengar suara Kuda Sempana parau.
“Baiklah. Kau takut kepada kedua iblis
itu?” geram Empu Sada, “kalau demikian, akulah yang akan membunuhmu.
Bagiku kau memang sudah tidak ada gunanya lagi”.
“Guru “ suara Kuda Sempana tersekat di kerongkongan.
“Atau kau berikan Mahisa Agni”.
Kuda Sempana tiba-tiba menjadi gemetar.
Seperti seseorang yang sedang berdiri pada tanah yang rapuh di tepi
jurang. Sedikit saja ia bergerak, maka ia akan terperosok ke dalamnya.
Maju atau. mundur.
Tiba-tiba saja, tanpa diketahuinya
sendiri, Kuda Sempana mengharap kuda-kuda yang berderap itu datang
semakin cepat. Ia mengharap bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan
melindunginya.
“Ayo Kuda Sempana” suara Empu Sada
semakin tajam menusuk jantungnya, “cepat, serahkan Mahisa Agni atau kau
aku bunuh sekarang juga”.
Kini Kuda Sempana benar-benar menggigil
karena gelora di dalam dadanya yang menjadi semakin dahsyat. Apalagi,
ketika ia melihat gurunya mengangkat tongkatnya. Maka darahnya serasa
telah membeku.
“Kau benar-benar akan membunuh dirimu Kuda Sempana”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Meskipun
sekali dua kali tangannya menyentuh hulu pedangnya, tetapi ia tidak
dapat berbuat apapun menghadapi gurunya. Seandainya ia ingin melawan,
maka perlawannya itu akan tidak berguna sama sekali. Karena itu maka
anak muda yang telah kehilangan gairah menghadapi masa-masa depannya
itu, kini benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak merasa sesuatu
kepentingan apapun untuk mempertahankan dirinya. Apalagi terhadap
gurunya. Kalau gurunya menginginkan Mahisa Agni, biarlah ia dibunuhnya.
Itu lebih baik baginya dari pada ia akan mati dalam kengerian di tangan
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang pasti menjadi sangat marah.
Dengan demikian, maka Kuda Sempana itu
pun menjadi pasrah. Ia tidak ingin lagi berusaha sesuatu untuk
menyelamatkan dirinya. Dengan dada yang membeku mati ia menundukkan
kepalanya. Ia tidak akan mengelak meskipun ia melihat Empu Sada telah
mengangkat tongkatnya.
Derap kedua ekor kuda yang didengar oleh
Empu Sada pun menjadi semakin dekat. Ia sudah semakin terdesak waktu.
Hatinya yang bergelora telah mendorongnya maju beberapa, langkah. Ia
melihat Mahisa Agni yang pingsan, dan ia mengenangkan semua peristiwa
yang pernah dialaminya. Kini ia sadar sesadar-sadarnya menghadapi
keadaan, ia datang ke Panawijen untuk mengurangi kesalahannya dan
berusaha menyelamatkan Mahisa Agni karena itu siapa pun yang
menghalangnya harus disingkirkan.
Kini yang berada dihadapannya adalah Kuda
Sempana yang telah menundukkan kepalanya. Dengan mudah ia dapat
menyentuh kepala anak itu dengan tongkatnya, dan anak itu akan
terpelanting jatuh. Bahkan mati.
Namun tiba-tiba dadanya menjadi semakin
bergelora. Kuda Sempana itu adalah muridnya. Betapapun juga, maka ia
tidak segera dapat melupakan hubungan yang selama ini telah terjalin.
Dan tiba-tiba pula ia melihat anak muda yang pasrah itu dengan hati yang
jujur. Kesalahan ini tidak seluruhnya dapat ditumpahkan kepada Kuda
Sempana. Justru kesalahan terbesar adalah terletak pada dirinya sendiri.
Ia adalah orang yang harus bertanggung jawab, kenapa anak muda itu
menjadi liar dan buas. Ia adalah seorang yang patut menanggung segala
akibat dari kebinalan Kuda Sempana karena Kuda Sempana adalah muridnya.
Empu Sada yang sudah mendekati muridnya
itu pun menjadi tertegun. Iapun kemudian membeku seperti Kuda Sempana.
Tetapi kemudian hatinya pun menjadi bulat. Ia tidak akan meletakkan
tanggung jawab kepada Kuda Sempana, tetapi kepada diri sendiri. Dengan
tekad yang menyala didalam dadanya ia bergumam, “Aku akan hadapi kedua
iblis itu dengan mempertaruhkan nyawa”.
Kuda Sempana yang telah menundukkan
wajahnya dengan pasrah, mendengar gumam yang lirih itu , tiba-tiba dada
anak muda itupun terdesir pula. Ia tahu benar arti kata-kata gurunya,
sehingga tanpa dikehendakinya sendiri ia berkata, “Guru, mereka adalah
orang-orang yang sangat buas”.
Empu Sada mengerutkan keningnya.
Dipandanginya muridnya dengan pandangan yang suram. Ternyata betapapun
anak itu jauh tersesat, tetapi ia masih mampu membuat perbedaan antara
sifat-sifat seseorang. Dengan nada yang detar Empu Sada menjawab,
“Terima kasih akan peringatamu itu Kuda Sempana. Agaknya kau masih juga
menyayangkan nyawaku. Tetapi aku sudah bertekad untuk berbuat sesuatu.
Aku sudah bertekad untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Nah kemudian
terserah padamu. Kalau aku mati dalam perkelahi ini maka aku akan mati
dengan dada yang lapang, sebab aku mati selagi aku berusaha untuk
berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebab
menurut perhitunganku keselamatan Mahisa Agni bukanlah sekedar Mahisa
Agni seorang, tetapi di belakangnya adalah seluruh penghuni padukuhan
Panawijen yang mengalami kekeringan. Sedang apabila aku berhasil keluar
dari pertempuran ini dengan selamat, aku sudah memberitahukan kepadamu
bahwa aku memerlukan Mahisa Agni itu”.
Kepala Kuda Sempana terasa menjadi
semakin pepat. Semua yang akan terjadi sama sekali tidak dikehendakinya.
Ia tidak ingin gurunya, Empu Sada itu mati. Tetapi kalau ia hidup, maka
Mahisa Agni itu akan dimintanya. Justru untuk menyelamatkannya. Dalam
kepepatan itu terdengar Empu Sada berkata, “Menepilah Kuda Sempana.
Jadilah saksi perkelahian ini. Kalau aku mati, mungkin kau masih juga
bersedia untuk menguburkan mayatku”.
Kuda Sempan tidak menjawab kata-kata gurunya. Tetapi gelora di dalam dadanya menjadi kian gumuruh meledak-ledak.
“Menepilah” lagi terdengar suara Empu Sada, “itulah mereka sudah datang”.
Dengan dada yang hampir meledak Kuda
Sempana mendengar derap kuda semakin dekat. Seperti di dorong oleh
sebuah pengaruh yang tak dimengertinya ia menggerakkan kudanya menepi.
Ketika ia memalingkan kepalanya, maka dilihatnya dua ekor kuda berpacu
dalam kesuraman sinar bulan tua yang kekuning-kuningan. Segera Kuda
Sempana mengetahui kahwa keduanya itu adalah Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat.
Sekali lagi, terdorong oleh parasaan yang
tak dikenalnya anak muda itu berdesis “Guru, mereka adalah orang-orang
yang sangat buas”.
“Ya, aku sudah mengenal mereka dengan baik” jawab Empu Sada, “sekali lagi, terima kasih akan peringatanmu”.
“Sebaiknya guru meniggalkan mereka”.
Empu Sada menggeleng, “Aku akan
menyelamatkan Mahisa Agni. Aku akan berbuat apa saja untuk kepentingan
itu. Mungkin aku akan berbuat curang atau berbuat apa saja. Mungkin juga
aku akan menjadi sangat licik. Aku tidak peduli lagi akan harga diriku
Aku tidak peduli lagi, apakah yang akan dikatakan orang atas diriku.
Tetapi aku sudah mempertimbangkan masak-masak untuk menyelamatkan Mahisa
Agni, maka Empu Sada yang telah penuh dengan noda-noda di sepanjang
hidupnya ini sudah tidak berarti, tetapi Mahisa Agni adalah lambang dari
masa-masa mendatang, sedang aku adalah cermin dari kerapuhan di
masa-masa lalu.”
Kuda Sempana tidak lagi sempat berbuat
apapun juga untuk memperingatkan gurunya. Kedua kuda iblis dari
Kemundungan itupun, sudah menjadi semakin dekat.
Kuda Sempana melihat Empu Sada
mempersiapkan diri untuk menyongsong keduanya. Dan tiba-tiba orang tua
itu menggerakkan kendali kudanya maju beberapa langkah.
Yang terdengar adalah suara Wong Sarimpat
berteriak nyaring “He, bukankah kau Kuda Sempana, kenapa kau berhenti,
dan siapakah orang itu?”.
Tak ada jawaban. Dan yang terdengar
adalah suara Wong Sarimpat itu pula dengan nada yang aneh karena
terkejut, “Aku melihat tongkat panjang itu. Apakah kau Empu Sada?”
Kuda-kuda merekapun menjadi semakin
dekat. Tetapi Empu Sada tidak mau berteriak menjawab pertanyaan Wong
Sarimpat. Dibiarkannya mereka menjadi lebih dekat lagi.
“Setan tua itu agaknya masih hidup“
teriak Wong Sarimpat pula. Mereka sudah menjadi semakin dekat “tetapi
kali ini kau tidak akan lepas lagi dari tangan kami. He, Empu yang
malang. Ternyata betapa jauh kau bersembunyi, namun tiba-tiba kita telah
bertemu lagi”.
Keduanya kini sudah demikian dekatnya, dan sejenak kemudian kedua kuda itu pun berhenti.
Empu Sada melihat wajah kedua orang itu
di dalam kesamaran sinar bulan. Tanpa disengajanya ia menengadahkan
wajahnya, dan dilihatnya bulan itu masih saja berkalang. Bahkan semakin
jelas. dada orang tua itu pun tiba-tiba pula berdesir karenanya.
“Hem“ terdengar suara Kebo Sindet menggeram di dalam perutnya, “ternyata kau masih hidup Empu”.
“Ya, aku masih hidup“ sahut Empu Sada dengan nada yang datar. “Apakah kau heran?”
Wajah Kebo Sindet yang beku itu sama
sekali tidak berubah. Hanya matanya sajalah yang seolah-olah membara
memandangi Empu Sada yang duduk tenang di atas punggung kudanya.
“Tetapi apakah sekarang kau dengan sengaja menjumpai kami?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya, aku sengaja menjumpai kalian. Aku
mendengar cara kalian memancing Mahisa Agni. Dan aku agaknya dapat
memperhitungkan dengan tepat apa yang akan kalian lakukan atasnya”.
“Sekarang apa maksudmu?”.
“Aku minta Mahisa Agni. Sebenarnya aku
dapat merampasnya dari tangan Kuda Sempana. Tetapi aku masih ingin
berhadapan langsung dengan kalian, supaya aku mendapat kepuasan melihat
hasil usahaku itu”.
Terdengar Keho Sindet menggeram seperti
gunung yang akan meledak. Meskipun wajahnya yang beku tetap membeku,
tetapi nafsu untuk segera membunuh Empu Sada telah memancar dari kedua
biji matanya yang berwarna semakin merah membara.
Namun dalam pada itu terdengar Wong
Sarimpat tertawa menyakitkan hati. Dengan nada tinggi ia berkata, “O,
alangkah malang nasibmu Empu. Kau masih juga tidak menyadari keadaanmu.
Apakah kau akan sekali lagi berkelahi dengan curang? Meskipun demikian
kalau tidak ada setan yang menyembunyikan kau waktu itu, maka kau pasti
akan menjadi bangkai makanan anjing-anjing liar. Sekarang kau masih juga
akan mencobanya lagi. Apalagi kita berhadapan beradu dada. Maka umurmu
tidak akan lebih dari sepemakan sirih”.
Empu Sada mengangkat alisnya. Dengan tenang ia menjawab “Apa kita akan berhadapan beradu dada?”.
Wong Sarimpat terdiam sejenak. Tampaklah
wajahnya yang kasar menjadi berkerut-merut. Sejenak ditatapnya wajah
Kebo Sindet yang membeku, seolah-olah ia ingin bertanya, apakah yang
harus dilakukannya. Apakah ia akan melayani tantangan Empu Sada itu yang
maknanya diketahuinya dengan baik.
Namun terdengar Kebo Sindet menjawab
dengan kata-kata yang seolah-olah bergumul di dalam perutnya, “Apakah
artinya kau Empu. Apakah kau sangka bahwa kami menganggap kau cukup
bernilai untuk kami layani dengan menjunjung kehormatan kami, dengan
perang tanding misalnya? Selamanya kau pasti akan berbuat curang dan
licik. Kami sudah mengenal kau dengan baik. Pada saat yang lampau itu
dapat menjadi peringatan bagi kami, siapakah Empu Sada itu, dan
bagaimana kali caranya melayani lawannya, meskipun lawannya berbuat
sejujur-jujurnya. Pada perkelahian kita yang terakhir itu adalah
peringatan yang terakhir pula bagi kami, bahwa kami untuk seterusnya
tidak akan mempercayai kau lagi, apabila kau masih akan bertemu lagi
dengan kami, seperti saat ini”.
Empu Sada tersenyum mendengar kata-kata
Kebo Sindet. Jawabnya, “Kau dapat berkata demikian kepada orang lain
yang tidak melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Kau dapat membual dan
memutar balik keadaan terhadap orang lain. Tetapi jangan kepadaku. Dan
jangan kepada Kuda Sempana. Sebab kalian dan pasti mengerti bahwa kami,
aku dan Kuda Sempana, tahu benar apa yang telah terjadi. Sehingga
ceriteramu itu benar-benar seperti ceritera yang kau hisap dari ujung
kelingkingmu.
Sekali lagi terdengar Kebo Sindet
menggeram. Yang menyahut kemudian adalah Wong Sarimpat “Kakang, kenapa
kita membuang waktu untuk mendengarkan kata-katanya yang tidak berujung
pangkal itu? Seperti yang diigaukan oleh seseorang yang sedang sekarat.
Marilah kita selesaikan saja orang ini. Kita bunuh dan kita cincang
sampai lumat”.
Kebo Sindet tidak menjawab. Tetapi sikapnya yang kaku tegang menunjukkan, bahwa ia sependapat dengan pikiran adiknya itu.
Dalam pada itu, maka Empu Sada pun berkata, “Apakah sudah kalian pikirkan masak-masak keputusan kalian itu?”
Terdengar Wong Sarimpat tertawa
berkepanjangan. Katanya, “O, ternyata kau sudah mulai ketakutan. Agaknya
kau mengharap bahwa kau akan dapat mencoba mengungkat harga diri kami,
dan kemudian dengan licik akan kau manfaatkan. Sekarang Empu yang
malang, kau tidak akan dapat lepas lagi dari tangan kami. Nyawamu
benar-benar sudah berada di ujung ubun-ubun. Sebenarnya bagimu lebih
baik kau menyerah saja, dan kau akan mati dengan cepat tanpa merasakan
lelah lebih dahulu, dari pada kau harus bertempur mati-matian, namun
akibatnya tidak akan berbeda. Sebab kali ini kami sudah tidak akan …“
tiba-tiba kata-kata Wong Sarimpat itu terputus. Ternyata Empu Sada
melakukan apa yang dikatakannya. Untuk menyelamatkan Mahisa Agni, apapun
akan dikorbankannya. Nyawanya, kehormatannya dan apa saja. Kali ini
Empu Sada menyadari, betapa ia berlaku licik. Tetapi ia sudah tidak
mempertimbangkannya lagi. Dengan serta merta selagi Wong Sarimpat
tertawa berkepanjangan sambil berkata dengan sombongnya, tiba-tiba orang
tua itu melepaskan sebilah keris kecil, hampir sekecil kelingkingnya.
Demikian cepat dan tiba-tiba, serta dilambari tenaga Empu Sada yang
sedang diamuk oleh kebencian, dendam, kemarahan dan segala macam
perasaan, dan bahkan lebih dari pada itu adalah perasaan bersalah atas
tertangkapnya Mahisa Agni, maka tenaga lontarannya pun seakan-akan
menjadi berlipat ganda.
Kedua iblis dari Kemundungan itu terkejut
bukan kepalang. Sekali lagi mereka didahului oleh kelicikan Empu Sada.
Kebo Sindet yang berwajah beku itupun tampak menggerakkan dahinya sambil
berteriak, “Sarimpat, hindari senjata itu”.
Wong Sarimpat pun melihat sebilah keris
yang kecil itu meluncur ke arahnya. Tetapi demikian tiba-tiba. Hanya
karena kelincahan dan pengalaman yang tidak terhitung itulah, maka ia
dapat menghindarkan senjata itu menembus dada langsung menghunjam ke
jantungnya. Namun meskipun demikian, senjata itu masih juga mengenai
pangkal lengan kirinya.
Terdengar orang itu mengaduh pendek, namun kemudian terdengar ia mengumpat dengan kata-kata yang kotor.
Tetapi sekali lagi Wong Sarimpat harus
menutup mulutnya ketika dengan dahsyatnya Empu Sada menyerang tanpa
mengucapkan kata-kata apapun. Kali ini tongkat panjangnya menyambar
dengan cepatnya, seperti lidah api meloncat di udara.
Namun sekali lagi Empu Sada berbuat
curang. Ternyata ia lidak menyerang lawannya, tetapi ternyata tongkatnya
menyambar kaki kuda Kebo Sindet. Kuda itu terkejut bukan kepalang.
Terdengar ia meringkik tinggi, namun sejenak kemudian kuda itupun
robohlah ke tanah.
“Setan licik” teriak Wong Sarimpat sambil
meraba pangkal lengannya. Terasa cairan yang hangat meleleh dari
lukanya Kini ia melihat Kebo Sindet tidak berkuda lagi. Tetapi meskipun
demikian, ia merasa mendapat kesempatan untuk mencabut keris yang hampir
tenggelam sampai ke hulu itu dari pangkal lengannya.
Kebo Sindet yang terpaksa meloncat dari
kudanya menjadi marah bukan buatan. Sekilas ia melihat kudanya begetar,
namun sejenak kemudian didengarnya kuda itu meringkik-ringkik. Agaknya
kakinya terasa demikian sakitnya, sehingga kuda itu tidak lagi mampu
berdiri.
Sambil menggenggam goloknya erat-erat
Kebo Sindet itu menggeram, “Kau benar-benar setan yang licik. Pengecut
yang tidak punya malu. Apakah kau sangka caramu itu cukup bernilai untuk
mendapat pelayanan yang jujur. Sekarang aku pun akan berbuat apa saja
untuk membunuhmu”.
Kini Empu Sadalah yang tertawa. Sambil
memutar kudanya ia berkata, “Lakukan apa saja yang dapat kau lakukan,
aku pun akan berbuat serupa licik, pengecut, curang dan apa saja. Kita
adalah orang-orang dari daerah yang hitam. Dari daerah yang penuh dengan
noda. Dimana tidak ada lagi ukuran yang dapat memberi penilaian
terhadap apa yang kita lakukan. Tak ada lagi ikatan-ikatan dan
keharusan, apalagi tata kesopanan. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kita
adalah binatang-binatang liar yang buas yang hidup di tengah-tengah
rimba yang lebat. Jangan menyebut-nyebut lagi tentang kelicikan,
kecurangan, pengecut dan sebagainya. Itu adalah sandangan kita. Itu
adalah sikap dan sifat-sifat yang memang kita miliki sejak lama. Ayo,
sekarang, marilah kita berbuat apa saja”.
“Setan alas“ Kebo Sindet itu mengumpat “aku terima tantanganmu Empu. Kita akan berbuat apa saja”.
Empu Sada tidak menunggu Kebo Sindet itu
mengatupkan mulutnya. Kudanya segera meluncur seperti anak panah
menyerang iblis dari Kemundungan itu. Tetapi kali ini Kebo Sindet sudah
bersiap menerimanya. Goloknya yang besar segera berputar. Ia ingin
berbuat seperti Empu Sada, menjatuhkan kuda lawannya. Tetapi ternyata
tongkat Empu Sada lebih panjang dari goloknya, sehingga ia tidak sempat
maju lebih dekat lagi pada kuda lawannya itu. Bahkan ia melihat ujung
tongkat Empu Sada menyambar kepalanya, sehingga dengan demikian ia harus
menangkisnya.
Terjadilah benturan antara keduanya, dan
keduanya merasakan betapa kekuatan lawannya terpusat pada
Senjata-senjata itu, dilambari oleh kemarahan dan nafsu yang hampir tak
terkendali.
Sementara itu Wong Sarimpat sedang sibuk
berusaha menarik keris yang menghunjam dipangkal lengannya. Terdengar ia
berdesis di atas punggung kuda. Ketika ia melihat kakaknya bertempur
dengan gigihnya, maka ia merasa aman untuk melakukannya.
Sambil memejamkan matanya Wong Sarimpat
menjepit hulu keris yang hanya mencuat tidak lebih dari senyari itu,
dengan kedua ujung jarinya. Perlahan-lahan ditariknya keris itu sambil
berdesis menahan sakit. Namun kadang-kadang mulutnya masih juga sempat
mengumpat-umpat dengan kotornya.
“Iblis laknat” orang itu berteriak ketika
ia berhasil menarik keris itu dari pangkal lengannya. Tetapi sejenak
kemudian sekali lagi ia menyeringai kesakitan. Darah yang merah
kehitam-hitaman kemudian bergumpal-gumpal meleleh dari luka yang tidak
seberapa besar itu.
Wong Sarimpat itu mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar suara Empu Sada, “Kerisku mengandung warangan yang
tajam Sarimpat. Kau lihatlah darahmu dengan saksama”.
“Aku sudah mengira“ teriak Wong Sarimpat
sambil melihat Empu Sada itu bertempur terus melawan kakaknya. Tetapi
Empu Sada yang berada dipunggung kuda itu masih juga mempunyai
kesempatan lebih banyak. Kebo Sindet, seakan-akan hanya dapat menunggu
serangan-serangan yang datang menyambar-nyambar. Tetapi ia tidak banyak
mendapat kesempatan untuk menyerang lawannya, karena setiap kali kuda
Empu Sada itu menyambar, lalu dengan cepatnya berlari menjauh untuk
kemudian berputar dan sekali lagi menyambarnya dengan dahsyat seperti
badai.
“Tetapi warangan yang betapapun tajamnya tidak akan berarti apa-apa bagiku Empu“ teriak Wong Sarimpat itu pula.
Empu Sada yang mendengar teriakan itu
sempat berpaling. Dalam kesuraman cahaya bulan yang redup ia melihat
Wong Sarimpat mengambil sebilah pisau. Dengan pisau itu ia melukai
pangkal lengannya sendiri di sekitar lukanya karena keris Empu Sada;
sehingga dengan demikian darah yang merah segar menjadi semakin banyak
mengalir.
“Tak ada gunanya“ berkata Empu Sada, “sentuhan warangan itu dengan setetes darahmu telah cukup membuatmu, beku”.
Tetapi Empu Sada itu pun kemudian melihat
Wong Sarimpat menelan segumpal obat reramuan pencegah racun. Sambil
menelan orang itu masih juga mengambil raramuan yang lain untuk
diusapkan pada lukanya, sehingga luka itu terasa agak menjadi dingin.
“O, iblis itu benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan“ geram Empu Sada di dalam hatinya.
Dalam pada itu ia mendengar Wong Sarimpat
berteriak, “tak ada racun yang dapat membunuh Wong Sarimpat” katanya,
“aku sudah menemukan obat untuk mengobati segala macam warangan dan
racun karena gigitan ular sekalipun. Bahkan sengatan lebah biru dari
kaki gunung Semeru. Apalagi sejenis warangan mu yang tidak berarti
apa-apa itu bagiku”.
Empu Sada tidak menyahut. Ia memang
melihat lamat-lamat darah semakin banyak mengalir. Dengan demikian, maka
racun itu pun akan dapat dipunahkannya.
Tetapi meskipun demikian, ia telah
berhasil melukai Wong Sarimpat. Luka yang kemudian dibuat menjadi besar
oleh orang itu sendiri. Mengalirkan darah dari tubuhnya, berarti
mengurangi kekuatan tubuh itu dan daya tahannya.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat yang
merasa, bahwa racun Empu Sada sudah tidak berbahaya lagi bagi tubuhnya,
segera melumuri lukanya itu dengan semacam obat yang lain, obat yang
dapat menghentikan arus darahnya.
Kemudian terdengar Wong Sarimpat itu
tertawa. Digerakkannya kudanya beberapa langkah maju. Katanya di antara
suara tertawanya yang menyakitkan hati, “Sekarang aku sudah selesai
Empu. Aku akan berkelahi bersama kakang Kebo Sindet, dan kaupun akan
segera mati terbunuh. Begitu?”
Empu Sada sama sekali tidak menjawab
kata-kata Wong Sarimpat. Ia sedang berusaha untuk menekan Kebo Sindet
selagi ia masih mendapat kesempatan. Kudanya masih saja
menyambar-nyambar seperti burung elang di udara. Tetapi Kebo Sindet
bukanlah seekor anak ayam yang ketakutan melihat elang. Dengan garangnya
ia menyambut setiap serangan seperti seekor harimau yang kelaparan.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin dahsyat. Keduanya adalah orang-orang sakti yang sukar di
cari bandingnya. Adalah suatu keuntungan bagi Empu Sada, bahwa
kelincahan kudanya dapat membantunya mempersulit kedudukan lawannya.
Meskipun demikian Empu Sada masih juga belum mendapat kesempatan untuk
berbuat banyak.
Wong Sarimpat yang telah selesai
mengobati luka-lukanya itu tidak segera masuk kedalam perkelahian. Ia
melihat kakaknya masih akan dapat bertahan seorang diri. Dibiarkannya
tubuhnya menjadi lebih baik dan kuat setelah beberapa saat ia harus
berjuang untuk melawan racun.
Bahkan Wong Sarimpat itu kemudian
mendekati Kuda Sempana yang melihat perkelahian itu dengan mata tanpa
berkedip, tetapi dengan jantung yang berdegupan dengan gemuruh.
Anak muda itu terkejut ketika Wong Sarimpat menggamitnya “He KudaSempana. Kau lihat perkelahian itu?”
Kuda Sempana mengangguk.
“Katakan, siapakah yang bakal menang?”
Kuda Sempana terbungkam. Ia tidak dapat
menjawab pcrtanyaan itu. Ia mengharap gurunya tidak mati, tetapi ia
mengharap pula bahwa Kebo Sindet akan melindunginya dari keinginan
gurunya untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Meskipun ia tidak lagi dapat
mempertimbangkan, apa yang sebaiknya dilakukan atas Mahisa Agni, tetapi
kini yang dipikirkannya adalah, bahwa Mahisa Agni itu akan selalu
merupakan hantu baginya di masa-masa mendatang apabila ia masih akan
tetap hidup. Mahisa Agni akan selalu membayanginya dengan penuh dendam
dan kebencian. Karena itu, maka baginya kini, lebih baik apabila Mahisa
Agni itu lenyap saja sama sekali.
Karena Kuda Sempana tidak menjawab, maka
berkatalah Wong Sarimpat, “Mungkin kau tidak cukup mampu menilai
perkelahian itu Kuda Sempana. Baiklah aku beritahu bahwa keduanya dalam
keadaan seimbang. Kelebihan Empu Sada hanyalah terletak pada kudanya
itu. Meskipun demikian kudanya itu pun tidak akan banyak menolong, sebab
segala macam geraknya mau tidak mau harus diperhitungkan pula dengan
setiap kemungkinan yang dilakukan oleh kudanya, sebab kuda itu mempunyai
otaknya sendiri. Kalau kuda itu tidak mempunyai otak dan kemauan
sendiri, maka Empu Sada pasti akan segera memenangkan perkelahian itu.
Kuda-Sempana masih saja berdiam diri.
“Tetapi“ Wong Sarimpat meneruskan, “aku
akan segera terjun ke dalam arena. Nah, kau akan dapat mempertimbangkan,
apakah yang kira-kira akan terjadi. Mungkin kau tidak akan sampai hati
melihat gurumu mati terbunuh, bahkan untuk meyakinkannya, mungkin aku
akan mencincangnya”.
Kuda Sempana sama sekali tidak menjawab.
“Nah“ Wong Sarimpat berkata lebih lanjut,
“Apakah kau akan menyaksikannya, apakah kau akan pergi lebih dahulu
membawa Mahisa Agni itu ke Kemundungan? Atau kau akan mencoba berbuat
sesuatu?”.
Kuda Sempana seolah-olah telah benar-benar membeku di atas punggung kudanya. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab.
“Jangan takut kepada Mahisa Agni. Urat
nadinya terganggu karena sentuhan tangan kakang Kebo Sindet. Ia akan
menjadi sadar, apabila kakang Kebo Sindet menghendakinya”.
Kuda Sempana masih tetap mengatupkan mulutnya.
“Hem, kau menjadi bisu agaknya. Baiklah. Duduk sajalah di situ”.
Wong Sarimpat itu pun kemudian memutar
kudanya. Kini ia melihat perkelahian antara kakaknya melawan Empu Sada
telah bergeser beberapa langkah. Tetapi ia masih melihat bahwa keduanya
sama sekali belum banyak mendapat kemajuan. Meskipun demikian, agaknya
keadaan Empu Sada masih lebih baik dari kakaknya yang harus berloncatan
menghindari derap kuda Empu Sada dan tongkatnya yang terayun-ayun
mengerikan. Sedang Kebo Sindet itu sendiri hanya mendapat sedikit saja
kesempatan melakukan serangan-serangan atas lawannya,
“Pertempuran itu tidak adil“ desis Wong
Sarimpat, “aku harus membantunya”. Tetapi orang itu tidak pernah
mempertimbangkan, bahwa untuk melawan mereka berdua adalah perbuatan
yang tidak adil pula.
Demikianlah, maka Wong Sarimpat itu
perlahan-lahan mendekati arena perkelahian. Ia melihat sekali-sekali
kakaknya terpaksa meloncat jauh-jauh surut. Sekali-sekali bahkan ia
terdorong dengan kerasnya. Namun meskipun demikian, Kebo Sindet masih
juga tetap memberikan perlawanan yang sengit.
Wong Sarimpat itupun kemudian berhenti
beberapa langkah dari titik pertempuran. Diamatinya keadaan dengan
seksama, seperti seorang saksi yang sedang memperhatikan sebuah perang
tanding yang seru. Diperhatikannya cara Empu Sada menggerakkan kudanya
menyambar lawannya, dan diperhatikannya bagaimana ia menghindar apabila
Kebo Sindet membalas menyerangnya.
“Ternyata Empu tua itu ahli pula bermain-main dengan kuda, agak lebih baik dari Empu Gandring“ desisnya di dalam hati.
Beberapa langkah lagi ia maju. Hampir
pada garis serangan Empu Sada. Sambil menyeringai maka Wong Sarimpat
menggerakkan pedangnya berputaran.
Empu Sada melibat bagaimana Wong Sarimpat
ingin memotong garis serangannya. Karena itu, maka segera diputarnya
kudanya menghindar, dan ditempuhnya sebuah garis serangan yang lain.
“Huh“ Wong Sarimpat berdesis, “pengecut. Kau tidak berani menghadapi aku yang sama-sama berada di atas, punggung kuda”.
Tetapi Empu Sada tidak menjawab. Namun segera ia bersiap untuk menghadapi lawannya yang baru.
Ternyata Wong Sarimpat tidak melepaskan
waktu terbuang lebih banyak. Segera ia menggerakkan kendali kudanya dan
kuda itu pun meluncur dengan cepatnya menyerang Empu Sada. Agaknya kali
ini Wong Sarimpat telah memperhitungkan banyak kemungkinan. Ia telah
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan untuk bertempur di atas punggung
kudanya. Karena itu, maka kudanya kali ini diberinya berpelana.
Serangan Wong Sarimpat itu pun cukup
dahsyat. Meskipun pangkal lengan kirinya telah terluka, namun tenaga
tangan kanannya masih cukup menggetarkan tongkat lawannya.
Kini, Empu Sada harus menghadapi dua
orang lawan yang masing-masing memiliki kekuatan setingkat dengan
dirinya. Ia hanya sempat mengurangi kelincahan Wong Sarimpat dengan
melukai tangannya. Meskipun demikian, tetapi Wong Sarimpat masih tetap
garang dan buas.
Untuk menghadapi keduanya maka Empu Sada
harus benar-benar berkelahi dengan licik. Setiap kali ia melawan Wong
Sarimpat sambil berputaran menjauhi Kebo Sindet yang meloncat-loncat
mengejarnya. Tetapi ternyata tenaga kuda Empu Sada masih lebih cepat
dari tenaga wajar Kebo Sindet, sehingga dengan demikian, maka Kebo
Sindet tidak dapat mendekatinya. Setiap kali ia mendekat, maka Empu Sada
mendorong kudanya untuk berlari menjauh sambil menyerang Wong Sarimpat
atau menghindari serangannya.
“He, Empu Sada“ Kebo Sindet akhirnya
tidak dapat menahan kemarahannya, “kau benar-benar pengecut. Jauh lebih
pengecut lagi dari yang aku sangka. Kau sama sekali tidak berani
berhadapan langsung melawan aku. Kau selalu melarikan kudamu menjauh,
setiap kali menjauh”.
“Jangan berteriak-teriak Kebo Sindet“
jawab Empu Sada, “aku masih sibuk melayani adikmu yang tangannya hampir
menjadi patah ini”.
“Tutup mulutmu“ teriak Wong Sarimpat,
“aku masih mempunyai kemungkinan yang cukup untuk membelah dadamu yang
penuh dengan kesombongan, tetapi licik, curang, pengecut, penakut,
penipu ..”
Wong Sarimpat tidak sempat meneruskan
kata-kata umpatannya. Tiba-tiba saja tongkat Empu Sada mematuk hampir
tepat masuk kemulutnya. Dengan tergesa-gesa Wong Sarimpat membungkukkan
badannya dan dengan cekatan digerakkan goloknya menangkis serangan yang
datangnya dengan tiba-tiba itu. Hanya oleh keahliannya mengendalikan
kudanya, maka Wong Sarimpat dapat menghindari serangan Empu Sada
berikutnya. Serangan yang hampir membabi buta. Namun Empu Sada masih
memiliki kesadaran menghadapi kedua iblis yang mengerikan itu.
Demikianlah perkelahian itu menjadi
semakin lama semakin seru. Empu Sada dan Wong Sarimpat bertempur seperti
sepasang burung Rajawali yang sedang berebut sarang. Sedang Kebo Sindet
dengan dada yang bergelora hampir meledak tidak banyak mendapat
kesempatan untuk ikut serta dalam perkelahian berkuda itu. Hanya
kadang-kadang saja ia sempat meloncat pada garis perkelahian itu, dan
dengan goloknya yang dahsyat menyerang Empu Sada. Namun kuda Empu Sada
ternyata dengan lincahnya, selalu menghindarinya. Berlari dan membuat
sebuah putaran yang panjang.
“Empu Sada” Kebo Sindet menjadi semakin
marah, “Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan itu? Sebenarnya lebih
baik bagimu, bersembunyi saja di belakang pekiwan dari pada kau datang
kemari. Apakah sebenarnya maksudmu menjumpai aku he? Sekarang kau selalu
menghindari setiap benturan. Benturan kekuatan, ilmu atau tenaga dan
Senjata”.
Empu Sada yang menjadi semakin jauh dari
Kebo Sindet masih saja sibuk melayani serangan-serangan Wong Sarimpat.
Keduanya adalah orang-orang yang hampir mumpuni bermain-main di atas
punggung kuda. Sehingga dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi
semakin seru.
Meskipun demikian Empu Sada masih sempat
menjawab, “Kebo Sindet, jangan tergesa-gesa. Aku bunuh dahulu adikmu.
Kemudian kita akan berhadapan. Dan aku akan segera turun pula dari
kudaku”.
“Persetan” teriak Wong Sarimpat, “mulutmu
sama sekali tidak berarti lagi bagi kami. Mampuslah kau orang tua yang
tidak tahu diri”.
Kuda Sempana yang membeku di atas
punggung kudanya melihat perkelahian itu dengan hati yang bergolak
dengan dahsyatnya, seperti badai yang mengamuk di dalam dadanya. Gemuruh
seolah-olah akan merontokkan tulang-tulang iganya.
Gurunya adalah seorang yang di kenal dan
dikaguminya sejak lama. Tongkat panjangnya itu adalah ciri kebesaran dan
keperkasaannya. Kuda Sempana tidak pernah melihat gurunya mempergunakan
senjata lain daripada tongkat panjang itu. Tongkat panjang yang telah
berada bersama-sama dengan gurunya sejak ia bertemu untuk pertama
kalinya dengan orang itu. Senjata yang telah mengawaninya melawan seribu
macam senjata lawan-lawannya. Dan Kuda Sempana tetap menyangka bahwa
tongkat panjang pusaka gurunya itulah yang tetap bersamanya sampai saat
ini.
Sedang kedua hantu dari Kemundungan itu
adalah orang-orang yang tidak kalah dahsyatnya. Goloknya adalah golok
yang luar biasa pula. Kuda Sempana pernah menyaksikan Kebo Sindet
memukul sebatang besi gligen dengan goloknya itu. Dan besi itupun
terpatahkan, sedang golok itu sama sekali tidak menjadi cacat. Bahkan
semenirpun golok itu tidak gempil.
Kini Kuda Sempana melihat kedua macam senjata itu beradu dalam genggaman tangan-tangan yang mengerikan.
Kebo Sindet yang akhirnya kehilangan
kesabaran, tidak lagi ingin menunggu lebih lama. Tiba-tiba ia berteriak
nyaring sambil menggetarkan tubuhnya. Dipusatkannya segenap kekuatannya
yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Dengan kemarahan yang
meluap-luap maka disalurkannya kekuatannya yang bersumber pada kekuatan
sesat itu pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya. Dan dengan
penuh nafsu ia melenting seperti seekor bilalang raksasa, melampaui
kecepatan loncat seekor kuda menyerang Empu Sada dengan kekuatan Aji
Bajang.
Tetapi Empu Sada yang tua itu telah
melihatnya. Dengan demikian maka ia tidak membiarkan dirinya lumat. Maka
di benturnya Aji Bajang itu dengan kekuatan Ajinya, Kala Bama.
Kedua aji itu adalah kekuatan yang
dahsyat, sedahsyat guntur dan petir. Itulah maka sebabnya ketika Kuda
Sempana melihat keduanya bersiap dalam kekuatan tertingginya, maka
hatinya seakan-akan menjadi meledak pula karenanya. Hampir ia berteriak,
tetapi suaranya tidak terdengar oleh siapapun. Bahkan oleh dirinya
sendiri.
Sementara itu Wong Sarimpat pun
mengerutkan keningnya. Dibiarkannya kakaknya membenturkan Aji Bajang. Ia
yakin bahwa kekuatan Aji Bajang sedemikian dahsyatnya, sehingga hampir
tak dapat dibayangkau akibatnya. Meskipun Wong Sarimpat tahu pula bahwa
Empu Sada pun pasti memiliki simpanan kekuatan, namun setidak-tidaknya
Aji Bajang tidak akan dapat dikalahkan.
“Hanya setan dari Tumapel itu yang tidak
lumat karena Aji Bajang“ desis Wong Sarimpat, “tetapi apabila Aji Bajang
itu diulang, maka prajurit Tumapel yang sombong itu pasti akan menjadi
debu”.
Dalam pada itu, Kuda Sempana yang
benar-benar membeku itu melihat Kebo Sindet meloncat seperti petir
menyambar di langit. Namun dalam pada itu ia melihat Empu Sada seperti
sebuah gunung karang yang kokoh kuat, yang tak tergetarkan oleh petir
yang betapapun dahsyatnya.
Demikianlah maka Empu Sada segera
menyongsong Kebo Sindet. Kali ini dihempaskannya segenap kekuatannya
pada tongkat panjangnya. Apapun yang akan terjadi. Ia merasa pula bahwa
Kala Bama tidak akan berada di bawah kekuatan iblis dari Kemundungan
itu.
Sejenak kemudian terjadilah sebuah
benturan yang mengerikan. Demikian kerasnya, sehingga bunga api memercik
di udara, meloncat dari kedua senjata yang sedang beradu.
Sesaat mereka yang menyaksikan benturan
itu dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Seperti mereka pun ikut
pula dalam benturan yang dahsyat itu.
Akibat dari benturan itupun dahsyat pula.
Kebo Sindet terlempar beberapa langkah surut. Dengan kerasnya ia
terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling, kemudian dengan
terhuyung-huyung iblis itu mencoba tegak berdiri. Goloknya yang besar
masih berkilat-kilat di dalam genggamannya.
Sedang Empu Sadapun kemudian terpelanting
dari kudanya. Dengan kerasnya kuda itu meringkik. Terasa pula dorongan
kekuatan benturan itu, sehingga kuda itu tegak berdiri. Namun kuda itu
tidak berlari meninggalkan penunggangnya yang jatuh berguling-guling di
tanah.
Seperti Kebo Sindet, Empu Sada pun segera
mencoba berdiri. Ia masih menggenggam tongkatnya, tetapi ketika ia
tegak sambil mengamati tongkatnya itu, maka dadanya berdesir.
Ia berpaling ketika ia mendengar Wong
Sarimpat tertawa berkepanjangan sambil berteriak-teriak, “He, Empu.
Ternyata tongkatmu terpatahkan”.
Kuda Sempana terkejut mendengar teriakan
itu. Ketika ia memandangi gurunya yang berdiri dengan nafas
terengah-engah, maka dadanya berguncang dengan dahsyat. Iapun kini
melihat bahwa tongkat gurunya, yang selama ini selalu menemaninya,
melawan segala macam senjata yang ada di dunia ini tanpa dapat dilukai
apalagi patah, maka kini dalam benturan dengan golok Kebo Sindet,
tongkat itu patah menjadi dua hampir ditengah-tengah.
Apa yang dilihatnya itu benar telah
membuat Kuda Sempana hampir kehilangan kesadaran. Ia menjadi bingung dan
merasa seakan-akan berada dalam sebuah mimpi, yang dahsyat. Tetapi,
ketika ia melihat gurunya menimang tongkatnya yang patah itu, segera ia
tersadar, bahwa yang terjadi itu bukanlah sebuah mimpi.
Yang terdengar adalah suara tertawa Wong
Sarimpat di samping kata-katanya, “Hayo Empu yang sakti. Apakah sekarang
kau masih juga menyombongkan diri sambil menengadahkan dadamu untuk
melawan sepasang Garuda dari Kemundungan? Menyerahlah, supaya kau mati
dengan tenang”.
Terdengar Empu Sada menggeram. Tetapi
segera ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Sekali-sekali
diamat-amatinya tongkatnya yang patah itu. Tetapi ia tidak terkejut
seperti Kuda Sempana. Seharusnya ia telah melihat kemungkinan itu dapat
terjadi.
Tetapi Empu Sada tidak sempat merenung
terlampau lama. Tiba-tiba ia melihat kuda Wong Sarimpat datang
menyerangnya benar-benar seperti seekor Garuda menyambar anak kambing
yang kehilangan induknya. Tetapi Empu Sada bukan seekor anak kambing.
Betapapun juga ia masih mampu menghindari serangan itu. Dipungutnya
potongan tongkatnya yang lain, sehingga dengan demikian kini ia
bersenjata sepasang potongan tongkatnya.
Serangan Wong Sarimpat itu pun kemudian
datang bergelombang seperti ombak di lautan. Beruntun tak henti-hentinya
menghantam tebing, sehingga beberapa kali Empu Sada terdesak semakin
jauh.
Sekali lagi dada Empu Sada berdesir
ketika ia melibat Kebo Sindet dengan tiba-tiba meloncat ke atas punggung
kudanya. Ya, kuda yang telah terlepas dari tanganya karena benturan
kekuatan. Terdengarlah orang tua itu menggeram semakin keras.
Tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berteriak “Guru, pakailah kudaku.”
Empu Sada terkejut mendengar teriakan
itu. Kemudian disusul dengan teriakan Kebo Sindet, “Kuda Sempana. Apakah
kau sadari perbuatanmu itu?”.
Dengan tiba-tiba Empu Sada melihat Kuda Sempana telah berada di sampingnya. Sekali lagi ia berkata, “pakailah kudaku”.
Empu Sada menjadi ragu-ragu. Di atas
punggung kuda itu terdapat Mahisa Agni. Tetapi apakah ia dapat
melepaskan diri dari kedua iblis itu? Apakah dengan demikian ia tidak
mempercepat kematian Mahisa Agni?”.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar muridnya bertanya lirih “Guru, kenapa tongkat itu terpatahkan?”.
“Jangan heran Kuda Sempana. Tongkat ini
bukan tongkat ciri kebesaranku selama ini. Tongkat itu telah aku
serahkan kepada adikmu, Sumekar. Tongkat ini adalah tongkat rangkapan,
yang biasa kita pakai di padepokan.”
“Oh”, dada Kuda Sempana berdesir, “jadi …”.
“Ya. Aku tidak biasa mempergunakan
senjata jenis yang lain. Tetapi tongkat ini tidak sekuat tongkat ciri
kebesaran Empu Sada sendiri.”
Terasa jantung Kuda Sempana
menghentak-hentak di dalam dadanya. Betapapun ia menjadi sangat cemas
melihat gurunya kini hanya bersenjata tongkatnya yang telah patah
menjadi dua. Apalagi Empu Sada kini sudah tidak berada di punggung kuda,
sedang Kebo Sindet justru telah mendapatkan kudanya. Dengan demikian
maka Empu Sada harus berhadapan dengan dua orang lawan yang
masing-masing memiliki ilmu setingkat dengan dirinya dan mereka berada
di punggung kuda kedua-duanya.
Sementara itu Empu sada sendiri berada
dalam keragu-raguan. Ia mendengar tawaran muridnya untuk mempergunakan
kudanya. Tetapi ia tidak segera dapat menerimannya. Dengan demikian,
maka tindakan Kuda Sempana itu pasti akan menimbulkan kemarahan yang tak
terkendali pada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atasnya. Kalau Empu Sada
tidak berhasil mempertahankan dirinya, maka Kuda Sempana pun pasti akan
menjadi korban. Mungkin Empu Sada dapat mengambil cara yang lain tanpa
menghiraukan nasib orang lain. Mungkin ia dapat dengan serta merta
melarikan diri sambil membawa tubuh Mahisa Agni yang pingsan itu. Tetapi
dengan demikian ia pasti akan mengorbankan Kuda Sempana. Ia berhasil
menyelamatkan satu nyawa, tetapi ia akan mengorbankan nyawa seorang yang
lain. Meskipun ia dapat membedakan nilai kedua anak muda itu, tetapi ia
masih belum sampai hati berbuat demikian, betapapun ia menjadi benci
dan muak melihat muridnya itu. Namun pada saat-saat terakhir muridnya
masih juga merasa cemas aka keselamatannya. Dan agaknya sikap itulah
yang telah melunakkan hati Empu Sada atas Kuda Sempana.
Sejenak Empu Sada berada dalam
kebimbangan dan kegelisahan. Dalam pada itu ia mendengar Kebo Sindet
berteriak, “Kuda Sempana, apakah kau ingin mengalami nasib seperti bekas
gurumu itu nanti? Kalau kau mengurungkan niatmu memberikan kudamu
kepada setan tua itu, maka aku akan memaafkan kesalahanmu”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Tiba-tiba
iapun dilanda oleh kecemasan yang tajam. Terasa dadanya bergelora
semakin keras. Dipandanginya gurunya dan kedua hantu Kemundungan itu
berganti-ganti. Sementara bulan yang tua beredar dengan malasnya,
semakin tinggi menggapai puncak langit.
Tiba-tiba Kuda Sempana itu mendengar
gurunya berdesis, “Terima kasih Kuda Sempana. Pikirkanlah nasibmu
sendiri. Sokurlah kalau kau mampu melupakan dendammu kepada Mahisa Agni
dan mencoba menyelamatkannya”.
Yang di dengar adalah suara Wong
Sarimpat, sambil berkata “Apa yang akan kau lakukan Kuda Sempana? Apakah
kau akan mencoba lari? Kau harus menyadari bahwa hal itu akan tidak
berguna sama sekali bagimu. Salah seorang dari kami akan mengejarmu,
menangkap dan menyeret kau di belakang kaki-kaki kuda sampai kulitmu
terkelupas seperti pisang yang telanjang. Apakah kau pernah membayangkan
betapa pedihnya luka-luka itu apabila di sentuh oleh air asam atau air
jeruk dan garam?”.
Bulu-bulu Kuda Sempana meremang mendengar
ancaman itu. Baik Kuda Sempana maupun Empu Sada merasa bahwa hal yang
demikian itu sebenarnya dapat terjadi atas Kuda Sempana apabila ia
melanggar perintah kedua iblis itu. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
sebelumnya akan dapat berlaku apa saja atas seseorang yang
mengecewakannya. Tak ada lagi perasaan apapun pada kedua orang itu
menghadapi kekejaman yang bagaimanapun juga.
Dengan demikian, maka Empu Sada tidak
akan sampai hati membiarkan hal itu terjadi atas Kuda Sempana, betapapun
sifat dan watak anak muda itu.
Namun, Empu Sada itu pun kemudian menjadi
semakin bulat tekatnya menghadapi kedua iblis itu dengan tangannya.
Meskipun ia menyadari bahwa keduanya bukanlah anak-anak yang sedang
belajar bermain-main di atas punggung kuda dengan golok di tangan,
tetapi Empu Sada itu tidak mempunyai pilihan lain.
Sekali lagi ditimang-timangnya kedua
potongan senjatanya. Ternyata tongkatnya tidak dapat bertahan terhadap
golok Kebo Sindet. Meskipun tongkat itu bukan tongkat kebesaran
perguruannya, tetapi Senjata yang patah itu telah menyentuh perasaannya,
seperti ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit, maka bulan masih
juga berkalang.
(bersambung ke Jilid 27)
No comments:
Write comments