
“Darimana?“ bertanya penjaga yang baru.
“Aku bertugas di kamar bakal permaisuri.“ sahut prajurit yang kantuk itu.
“He?”
“Ya, hanya aku sajalah satu-satunya
prajurit yang bertugas di sana dari seluruh Tumapel. Menyenangkan
sekali. Makan minum dan apa saja yang kuminta. Tuan Puteri sendirilah
yang memberinya”
Prajurit-prajurit yang sedang bertugas
itu tertawa. Mereka tahu bahwa prajurit itu sedang lapar dan menunggu
seseorang yang diantarnya itu sampai tengah malam.
Ketika mereka telah sampai di luar regol,
maka segera prajurit itu berkata, “Kaki Makerti, tugasku sudah selesai.
Kaki telah keluar dari halaman istana. Karena itu terserahlah kepada
Kaki. Apakah kau akan bermalam di rumahku?”
“Terima kasih Ngger, terima kasih. Aku akan pergi ke tempat saudaraku.”
“Kaki mempunyai saudara di kota ini?”
“Ya, aku akan mencarinya. Rumahnya di dekat pasar.”
“Silahkan,“ berkata prajurit itu. Ia
sudah merasa sangat lelah dan kantuk. Karena itu maka segera
ditinggalkannya laki-laki tua itu seorang diri. Dengan langkah panjang
prajurit itu berjalan pulang. Untunglah bahwa rumahnya tidak terlampau
jauh dari istana. Tetapi ia harus bersedia jawaban kalau isterinya
bertanya kenapa ia pulang lambat.
Isterinya kadang-kadang menjadi cemburu, karena seorang kawannya yang dekat, baru-baru ini telah mengambil seorang isteri muda.
Sepeninggal prajurit itu, hati Empu Sada
menjadi semakin gelisah. Terbayang diangan-angannya, Mahisa Agni kini
sedang merangkak masuk ke dalam jebakan yang dipasang oleh Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat.
Sejenak Empu Sada masih saja berdiri
termangu-mangu. Ia sama sekali tidak dapat mencuci tangan terhadap apa
yang akan terjadi dengan Mahisa Agni.
Orang tua itu terkejut ketika tiba-tiba
seorang prajurit mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana Kaki, apakah
Kaki tidak tahu kemana akan pergi?”
“O,“ sahut Empu Sada terbata-bata,
“tidak, tidak Ngger. Aku sedang melamun. Alangkah senangnya hidup
kemenakanku itu. Aku ikut bergembira pula bersamanya.”
Prajurit itu terheran-heran. Kemudian iapun bertanya, “Siapakah kemanakanmu itu?”
Empu Sada memandangi prajurit itu dengan
saksama. Barulah ia menyadari, bahwa prajurit-prajurit itu bukanlah
prajurit-prajurit yang menerimanya siang kemarin. Tetapi meskipun
demikian, prajurit-prajurit yang bertugas mendahuluinya pasti telah
memberitahukan kepada mereka, tentang dirinya. Karena itu maka katanya,
“Apakah Angger tidak mendapat pemberitahuan bahwa aku baru saja
menghadap kemanakanku. Ken Dedes?”
“O.“ prajurit itu mengerutkan keningnya,
“Ya, ya. Jadi kaukah orang Yang bernama Makerti ? O, Ya, ya. Pradjurit
yang mengantarmu itu adalah prajurit yang telah dikatakan oleh pimpinan
yang bertugas sebelum kami. Lalu, bagaimana sekarang?”
“Aku akan pergi kerumah saudaraku di samping pasar.“ sahut Empu Sada.
“Apakah Kaki memerlukan pengantar?”
“Tidak, tidak Ngger. Terima kasih.”
Empu Sada itu pun segera melangkah pergi
meninggalkan regol istana itu. Tertatih-tatih ia berjalan menyusup
kedalam gelapnya malam. Sinar obor dari regol yang memancar
kemerah-merahan, akhirnya tidak lagi dapat mencapainya.
Angin malam tang silir berhembus
perlahan-lahan mengusap tubuh orang tua itu Meskipun embun
setitik-setitik turun dari langit, tetapi tubuh Empu Sada telah menjadi
basah karena keringatnya. Ketegangan perasaannya tidak lagi dapat
disembunyikannya.
“Kasihan,“ desisnya seorang diri. “Apakah
aku hanya akan berpangku tangan? Mudah-mudahan Empu Gandring dapat
menyelamatkannya. Tetapi apakah Empu Gandring mampu menghadapi kedua
iblis itu bersama-sama. Kalau Ken Arok, pemimpin pasukan yang berada di
Padang Karautan itu pergi pula bersama Mahisa Agni, maka aku mengharap
orang itu akan dapat membantunya bersama-sama Mahisa Agni sendiri.
Tetapi bagaimanakah dengan kekuatan Ken Arok itu?”
Hati Empu Sada pun menjadi semakin tidak
tenang. Ketika ia kemudian berpaling, dan regol istana itu sudah tidak
dilihatnya, maka langkahnyapun segera menjadi semakin cepat. Dengan
sigapnya ia melontarkan kakinya, meloncat-loncat seperti seekor kijang
di padang perburuan.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba
ia menjadi bernafsu untuk segera sampai ke rumahnya. Demikian kuat
desakan keinginannya, sehingga tanpa dikehendakinya sendiri, orang tua
itupun kemudian berlari semakin cepat menuju ke padepokannya.
Empu Sada tidak lagi menghiraukan, apakah
ada seseorang yang melihatnya berlari-lari. Bahkan kemudian
dikerahkannya segenap kemampuannya. Dan Empu Sada itu pun berlari
secepat tatit.
Ketika Empu Sada sampai kepadepokannya,
maka dengan serta-merta diketuknya pintu rumahnya sambil
memanggil-manggil nama muridnya. “Sumekar, Sumekar.”
Alangkah terkejutnya muridnya itu. Segera
ia bangkit dan berlari membukakan pintu. Ia menyangka bahwa gurunya
sedang dikejar oleh bahaya.
Ketika pintu telah terbuka, dan
dilihatnya Sumekar berdiri di mukanya, Empu Sada tertegun sejenak.
Ditatapnya wajah muridnya yang masih belum menyadari sepenuhnya apa yang
dilakukan. Sekali-sekali Sumekar masih menggosok-gosok matanya yang
merah.
“Tutuplah pintu.“ perintah Empu Sada kemudian ketika ia telah meloncat masuk.
Sumekar pun melakukan saja perintah itu.
Tetapi Sumekar itupun semakin terkejut ketika gurunya itu berkata,
“Sumekar, pergilah ke sumur. Adus kramas. Siapkan dirimu dalam kemampuan tertinggi.”
Sejenak Sumekar berdiri kaku. Dengan
sorot mata bertanya-tanya dipandanginya gurunya. Ia tidak segera
menangkap maksud kata-katanya itu.
Ketika Empu Sada melihat Sumekar masih saja berdiri termangu-mangu maka diulanginya perintahnya, “Sumekar, pergilah adus kramas. Bersihkan dirimu lahir dan batin. Cepatlah.”
Sumekar tidak membantah lagi. Segera ia
pergi ke perigi. Disiapkannya beberapa jambangan air dan diambilnya
seberkas merang. Sambil membakar merang itu, hatinya selalu
bertanya-tanya, “Apakah sebenarnya maksud guru. Hari masih malam. Kenapa
aku harus mandi?”
Tetapi Sumekar Yang patuh itu melakukan
perintah itu dengan baik. Dibersihkannya tubuhnya meskipun dingin malam
sampai menggigit tulang.
Ternyata gurunya pun mandi pula. Gurunya pun agaknya telah membersihkan dirinya seperti yang dilakukannya.
Ketika Sumekar telah selesai dan kembali
ia menghadap gurunya, maka berkatalah Empu Sada, “Sumekar. Kau sudah
cukup dewasa, umurmu, persiapan jiwamu dan ilmumu. Karena itu, Sumekar,
hari ini adalah hari yang kau nanti-nanti selama ini. Kau berada di
padepokanku meskipun bukan semata-mata untuk itu, tetapi ilmu tertinggi
pasti menjadi keinginan setiap murid.”
Tiba-tiba dada anak muda itu berdesir. Ia
tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia dihadapkan pada kesempatan
yang memang diharapkannya. Begitu tiba-tiba. Tetapi ia tidak sempat
bertanya. Gurunyalah yang kemudian berkata. “Masuklah ke dalam bilik
belakang, tempat kau berlatih. Jangan ganggu adik-adik seperguruanmu
yang sedang tidur. Biarlah mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan
dirimu.”
Sumekar hanya dapat mengikuti perintah
itu. Meskipun beberapa pertanyaan terselip di dalam hatinya, kenapa
peristiwa itu terjadi tanpa disangka-sangkanya lebih dahulu.
Tetapi Sumekar tidak sempat menanyakannya. Hatinya yang berdebar-debar menjadikannya semakin tegang.
Ketika Sumekar dan Empu Sada telah berada
di dalam bilik yang gelap di bagian belakang halaman rumahnya, maka
gurunya itupun segera menutup pintu. Sebab slarak kayu nangka telah mengancing pintu itu rapat-rapat.
“Sumekar.“ berkata gurunya. Meskipun
gelapnya bukan main, namun lambat laun, Sumekar dapat melihat bayangan
gurunya, “kau benar-benar telah cukup mempunyai bekal untuk menerima
ilmu tertinggi dari perguruanku. Bahkan kau telah memiliki beberapa
kelebihan dari kakak-kakak seperguruan mu. Ada beberapa unsur yang aku
berikan kepadamu, tetapi tidak aku berikan kepada kakak-kakakmu. Apalagi
ketika aku telah meyakini kesalahanku pada masa-masa yang lampau, dan
melihat bahwa kau memiliki beberapa kelebihan sifat dari kakak-kakak
sebelummu. Maka apa yang kau terima adalah melampaui dari apa yang telah
dimiliki oleh Cundaka, Kuda Sempana dan apalagi yang lain-lain.
Sehingga menurut perhitunganku, nanti apabila kau dapat memahami Aji
Kala Bama dengan baik, maka kau tidak akan lagi berada di bawah
kakak-kakak seperguruanmu. Bahkan seandainya kakak-kakak seperguruanmu,
mungkin Kuda Sempana, mempunyai beberapa kelebihan waktu daripadamu, dan
seandainya ia menerima beberapa petunjuk dan unsur-unsur gerak dari
orang lain, maka kau tidak perlu mencemaskan dirimu. Ketekunanmu selama
ini memang dapat dibanggakan. Apalagi kau selama ini tidak mempunyai
kesibukan lain daripada memperdalam ilmu di perguruanku ini. Berbeda
dengan Cundaka, pedagang keliling yang tamak dan Kuda Sempana Pelayan
Dalam yang gila itu.”
Sumekar tidak menjawab. Ia hanya
menundukkan kepalanya saja memandang jari-jari kakinya yang seolah-olah
dipulas oleh warna yang hitam.
“Sumekar.“ terdengar suara Empu Sada lunak.
“Ya guru.“ sahut muridnya.
“Apakah kau sudah siap.”
“Sudah guru. Aku telah menyiapkan diri menurut ke mampuan yang ada padaku.”
“Bagus. Kau cukup rendah hati dan tidak
sombong. Kelebihanmu dari kakak-kakakmu bukan saja pada ilmu dan un
sur-unsur gerak, tetapi juga pada sifat dan budimu. Aku tidak pernah
menyinggung masalah watak sebelumnya dengan kakak-kakak sebelummu.
Apabila mereka memenuhi syarat yang aku berikan, maka mereka dapat
segera menerima puncak ilmu itu. Tetapi ketahuilah, sebagai seorang
pedagang, meskipun aku memperdagangkan ilmu, maka milikku pasti harus
lebih baik dari milik orang lain. Ilmuku pun harus lebih baik dari ilmu
orang lain. Karena itu, maka tidak pernah aku mencoba memberikan
sebaik-baiknya kepada mereka. Aku memberi seperti orang berjual beli.
Sedikit mungkin untuk harga yang semahal mungkin. Aku tidak pernah
mempedulikan untuk apa saja ilmu itu kelak. Tetapi kini tidak, Sumekar.
Untuk pertama kalinya aku berpesan kepada seorang muridku, bahwa ilmu
hanya berguna bagi pengabdian. Ilmu yang dipergunakan untuk hal-hal yang
sebaliknya, pasti akan berarti bencana. Bencana bagi manusia dan
kemanusiaan.”
Sumekar menjadi semakin tumungkul.
Terasa kata-kata gurunya itu seolah-olah menyusup ke dalam jantungnya.
Dan tanpa dikehendakinya sendiri, maka kepalanya pun mengangguk-angguk
kecil.
“Nah, Sumekar.“ berkata gurunya, “kini
berdoalah di dalam hati. Mulailah dengan kesiapan tertinggi untuk
menerima Aji Kala Bama. Kau sendirilah yang sebenarnya harus menghisap
Aji itu sesuai dengan pemusatan nalar dan rasa. Aku hanya akan
menuntunmu.”
Sumekar membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berdesis, “Aku telah siap guru.”
Demikianlah maka keduanya kemudian
tenggelam dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin. Empu Sada
telah bertekad untuk menjadikan muridnya yang seorang ini sebagai
pewaris yang paling sempurna dari ilmunya. Penyesalan atas masa lampau
telah mendorongnya untuk berbuat sendiri yang seakan-akan ingin
dipergunakannya untuk mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Ia mengharap
bahwa muridnya yang seorang ini dapat menerapkan ilmunya untuk
kebajikan, seperti apa yang dilihatnya atas murid-murid Panji Bojong
Santi dan apalagi murid Empu Purwa. Meskipun seandainya muridnya tidak
akan dapat berbuat seperti mereka, namun setidak-tidaknya muridnya tidak
menyalah-gunakan ilmu yang dimilikinya dan betapa kecilnya akan dapat
menyerahkan ilmu itu untuk suatu pengabdian.
Malam berjalan terus bintang-bintang di
langit bergeser semakin jauh ke barat, seperti permata yang bertaburan
pada sebuah permadani yang berputar pada bola langit yang bulat. Angin
yang basah mengalir lembut mengisap dedaunan yang nyenyak tertidur
berselimutkan embun.
Akhirnya, langit yang kelam itu menjadi
semburat merah oleh warna fajar. Perlahan-lahan cahaya yang memancar
dari balik cakrawala merayap semakin tinggi. Dan berhamburanlah kokok
ayam jantan di antara kicau burung-burung liar di fajar pagi.
Kedua murid Empu Sada pun kemudian
terbangun dari tidurnya. Seperti biasa mereka segera melakukan pekerjaan
mereka. Menimba air bersama para pelayan. Membersihkan halaman dan isi
rumah. Semula mereka tidak memperhatikan bahwa mereka tidak segera
menjumpai Sumekar di dalam rumah itu. Tetapi lambat laun terasa sesuatu
yang kurang.
“Dimanakah Kakang Sumekar?“ desis yang seorang.
Kawannya menggelengkan kepalanya. “Aku belum melihatnya.“ jawabnya.
Ketika kemudian mereka bertanya kepada
para pelayan, maka tak seorang pun yang melihatnya. Tak seorang pun yang
mengerti kemana anak muda itu pergi.
Tetapi, kedua murid Empu Sada itu melihat
pintu bilik di halaman belakang tertutup rapat. Karena itu maka berkata
salah seorang dari mereka. “Mungkin kakang Sumekar ada di dalamnya.”
Tetapi keduanya tidak yakin akan hal itu.
Mereka sama sekali tidak mendengar langkah apapun di dalam bilik itu.
Bahkan bilik itu seolah-olah sedang tertidur nyenyak meskipun matahari
telah mulai melepaskan sinarnya yang kekuning-kuningan.
“Mungkin kakang Sumekar tidur di dalamnya“ berkata salah seorang dari mereka.
“Apakah guru juga pergi?”
Kawannya mengangkat bahu katanya. “Tak
seorang pun yang dapat mengatakan tentang guru. Apakah guru ada di rumah
ataukah sedang pergi.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka
meneruskan kerja mereka, membersihkan rumah dan halaman. Para pelayan
pun melakukan pekerjaan mereka seperti biasa. Tetapi kali ini Sumekar
tidak ada di antara mereka. Biasanya Sumekar lah yang memimpin mereka
dan memberi beberapa petunjuk tentang pekerjaan yang harus mereka
lakukan hari itu. Namun mereka tidak dapat berpangku tangan, membiarkan
padepokan itu terbengkalai karena Sumekar tidak mereka temui.
Kedua murid Empu Sada itu semakin siang
menjadi semakin gelisah. Kalau Sumekar tidur di dalam bilik itu, ia
pasti sudah terbangun. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak
berani mengetuk pintu yang masih saja tertutup itu.
Sehari itu padepokan Empu Sada yang sunyi
terasa menjadi semakin sunyi. Kedua muridnya dan para pelayan
hampir-hampir tidak berbicara satu sama lain. Mereka lebih banyak
merenung dan menebak di dalam hati. Tetapi pintu bilik di halaman
belakang itu masih juga tertutup, dan mereka masih juga belum menemukan
Sumekar, apalagi guru mereka, Empu Sada.
Baru ketika matahari lingsir ke Barat
menjelang senja, maka hati kedua murid Empu Sada itu menjadi
berdebar-debar. Mereka melihat pintu bilik itu bergerak-gerak. Sejenak
kemudian mereka mendengar pintu itu bergerit.
Kedua murid Empu Sada itu tidak tahu
kenapa mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tahu bahwa bilik
itu memang bilik yang khusus, tetapi kali ini mereka merasa hati
beberapa perbedaan dari hari-hari yang lampau. Mereka seakan-akan
melihat, bahwa di belakang pintu yang sedang bergerit itu tersembunyi
sebuah rahasia yang besar.
Ketika pintu itu terbuka dada kedua murid
itupun berdesir. Hampir tidak sabar mereka menunggu, siapakah yang
berada di dalam bilik itu.
Mereka menahan nafas ketika kemudian
mereka melihat guru mereka, Empu Sada melangkah keluar pintu dengan
wajah yang pucat. Tetapi ketika Empu Sada itu melihat kedua muridnya,
maka orang tua itu tersenyum. Perlahan-lahan ia berkata, “Kakakmu ada di
dalam bilik itu.”
Kedua muridnya termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud gurunya. Apakah mereka harus masuk ke dalam bilik itu?
Tetapi keduanya tidak berani bertanya. Mereka hanya memandang saja ketika gurunya berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumah.
“Apakah yang sudah terjadi?” bisik salah seorang dari mereka.
“Entahlah“ sahut yang lain.
“Marilah kita lihat.” ajak yang pertama.
Kawannya menjadi agak ragu-ragu. Tetapi kemudian mereka melangkah memasuki bilik yang khusus mereka pergunakan untuk berlatih.
Mereka tertegun ketika mereka melihat
Sumekar sedang mengemasi beberapa macam senjata. Beberapa macam benda
yang tidak mereka mengerti. Mereka melihat beberapa batang besi yang
melengkung dan beberapa senjata terpatah-patahkan. Di sudut ruangan
mereka melihat sebuah batu yang pecah berserakan.
“Apa Yang telah terjadi.“ tiba-tiba terloncat sebuah pertanyaan dari salah seorang dari mereka.
“Tidak apa-apa.“ jawab Sumekar tersenyum. Ketika ia tegak berdiri, maka kedua tangannya mengusap peluh yang membasahi wajahnya.
Tiba-tiba salah seorang murid Empu Sada
itu mengerutkan keningnja. Batu-batu Yang pecah berserakan,
senjata-senjata yang patah dan keringat Sumekar Yang seakan-akan
terperas dari dalam tubuhnya ternyata telah memberinya petunjuk. Dengan
suara gemetar ia berdesis, “Kala Bama.”
Sumekar berpaling kearah adik
seperguruannya itu. Tampaklah wajahnya berkerut. Tetapi kemudian ia
berdesis, “Ya. Tetapi jangan membual.”
“Tidak.“ jawabnya, “berbahagialah kakang Sumekar yang telah mendapat kesempatan memiliki Aji Kala Bama.”
“Pada saatnya kalian pun akan memilikinya pula.”
Kuda murid Empu Sada itu menggelengkan kepalanya. Dengan wajah Yang suram salah seorang berkata, “Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku tidak akan dapat menyediakan syarat yang diminta oleh guru untuk itu.”
Sumekar mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia tersenyum. “Tidak. Syarat itu tidak akan memberatimu lagi.”
Kedua murid Empu Sada Yang muda itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak tahu maksud kata-kata Sumekar.
“Marilah.“ berkata Sumekar, “bantulah aku membersihkan tempat ini.”
Kedua adik seperguruannya itu segera
membantu membersihkan tempat itu. Namun hampir-hampir tidak dapat mereka
mengerti, bahwa apa yang terjadi itu sama sekali tidak menimbulkan
suara sedikit pun. Demikian tajamnya pertanyaan itu membelit hatinya,
sehingga salah seorang dari mereka tanpa lesadarnya bertanya, “Kakang,
bagaimana mungkin hal ini terjadi tanpa suara?”
“Ah, tentu saja apa yang terjadi ini menimbulkan suara yang amat ribut.”
“Tetapi kami tidak mendengarnya.”
“Kau masih tidur.“ sahut Sumekar. “semuanya terjadi sebelum fajar. Sesudah itu aku pun menjadi pingsan hampir sehari penuh.”
Kembali kedua adik seperguruan Sumekar
itu saling berpandangan. “Pingsan hampir sepanjang hari.“ desis mereka
di dalam hati. Dengan demikian mereka dapat membayangkan betapa beratnya
saat-saat yang harus dilewati selama seseorang menerima puncak
tertinggi ilmu dari perguruan Empu Sada.
Sejenak kemudian Sumekar itu pun berkata,
“Belajarlah dengan tekun. Menerima ilmu tertinggi itu benar-benar
memerlukan kesiapan yang cukup. Lahir dan batin.”
Kedua adik-adik seperguruan Sumekar itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumekar berkata seterusnya,
“Perguruan Empu Sada kini telah berubah warnanya. Bukan perguruan yang
dahulu. Dari perguruan ini untuk seterusnya harus memancar kebajikan.
Ilmu yang kalian terima harus menjadi pelita bagi mereka yang kegelapan,
bukan sebaliknya. Dan pelita itu harus bersinar terang. Bukan pelita
yang ditutup di bawah belanga. Betapapun terangnya pelita itu, namun
sinarnya yang tertutup sama sekali tidak berarti. Tetapi pelita, itu
harus menyala, bersinar dan menerangi keadaan di sekitarnya.”
Kedua adik seperguruan Sumekar itu
ternganga-nganga mendengar keterangan kakaknya. Mereka belum pernah
mendengar hal-hal yang demikian sebelumnya. Mereka hanya sekedar
menerima petunjuk mengenai beberapa macam ilmu gerak menirukan dan
memahami. Kemudian setiap kali, pada saatnya, mereka harus menyerahkan
uang atau benda-benda berharga. Kalau tidak, maka mereka pun harus
berhenti. Tak ada lagi tambahan ilmu yang akan mereka terima. Itu saja.
Sementara itu Empu Sada telah berada di
dalam biliknya. Terasa betapa sepi dunianya. Namun setelah ia memberikan
ilmu tertinggi kepada muridnya, terasa bahwa dadanya menjadi agak
lapang. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia seakan-akan didorong dalam
suatu keharusan untuk dengan segera mewariskan ilmunya. Bahkan tidak
saja seperti yang pernah diberikannya kepada murid-muridnya yang lain,
maka Sumekar telah menerima lebih banyak dari mereka. Betapa lelahnya
lahir dan batin, maka anak muda itu jatuh pingsan hampir sehari penuh.
Kini dada Empu Sada menjadi lapang.
Lapang tetapi sepi, seperti sepinya Padang rumput Karautan Yang luas.
Orang tua itu berkali-kali menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
dikehendakinya, maka direbahkannya dirinya di pembaringannya. Ia pun
merasa lelah sekali, setelah dengan penuh kesungguhan diturunkannya ilmu
terakhirnya kepada Sumekar.
Tetapi dalam kesepian itu tumbuhlah
segenap kenangan masa lampaunya. Seorang demi seorang datang dan pergi
dari angan-angannya. Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika terbayang
kembali betapa ia dikecewakan oleh seorang gadis Yang bernama Jun
Rumanti.
“Aku menjadi kehilangan keseimbangan.“ desisnya, “dan lahirlah seorang Empu Sada yang telah mengotori jagad.”
Empu Sada menggigit bibirnya. Alangkah
cupet budinya. Perbuatannya benar-benar telah tersesat. “Kita
bersama-sama telah hancur,“ desahnya kemudian, “aku, Jun Rumanti dan
suaminya yang meninggal itu.”
“Tetapi.“ tiba-tiba Empu Sada bangkit,
“Jun Rumanti telah melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki
yang baik, yang telah berbuat kebajikan. Lalu apa yang dapat aku
lahirkan? Anak tidak, tingkah laku pun tidak. Apalagi pengalaman
terhadap manusia dan kemanusiaan.”
Empu Sada itu termenung sejenak. “Aku
baru mencoba,“ katanya di dalam hati, “mudah-mudahan Sumekar itu dapat
berbuat baik seperti Mahisa Agni.”
Angan-angan orang tua itu pun kini
seakan-akan terhisap di seputar Mahisa Agni. Kembali terbayang anak muda
itu merayap masuk kedalam perangkap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Anak itu anak Jun Rumanti.“ desisnya, “kalau aku tahu sebelumnya.”
“Tetapi mudah-mudahan aku belum
terlambat.“ tiba-tiba orang tua itupun meloncat dari pembaringannya,
“alangkah bodohnya aku. Kenapa aku berbaring saja di pembaringan, sedang
bahaya yang sebenarnya telah siap menerkam anak itu?”
Sejenak Empu Sada menjadi ragu-ragu, “Jangan-jangan kehadiranku akan disambut oleh para prajurit Tumapel di Padang Karautan.”
“Tidak, aku akan pergi ke Panawijen. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni.”
Empu Sada itu pun kemudian membulatkan
hatinya. Disadarinya bahwa sebenarnya kegelisahan telah mencengkamnya
sejak ia bermaksud menemui Ken Dedes di istana, apalagi setelah
diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anak Jun Rumanti.
Empu Sada itu pun kemudian membenahi
dirinya. Dihirupnya semangkuk air hangat yang disediakan untuknya dan
dimakannya beberapa suap nasi. Terasa betapa nikmatnya setelah ia
bekerja keras lebih dari sehari penuh. Dikenyamnya makanan itu dengan
sepenuh minat. “Alangkah enaknya makanan ini dan alangkah segarnya air
padepokanku.”
Sejenak kemudian Empu Sada meraih tongkat
panjangnya. Dibelainya tongkat itu seperti membelai kekasih.
Perlahan-lahan ia melangkah keluar biliknya.
“Aneh,“ desisnya, “berpuluh tahun aku tinggal di padepokan ini, tetapi seakan-akan aku menjadi orang asing di sini.”
Diamatinya setiap bagian rumahnya. Rumah
yang didiaminya sejak lama. Tetapi seakan-akan ia belum pernah
melihatnya. Ukiran pada pangkal tiang. tlundak dan ajuk-ajuk yang
disungging dengan warna-warna yang cerah. Lampu dinding dan lampu
gantung.
“O, rumah ini rumah yang cukup baik.“
pikirnya. Tiba-tiba Empu Sada ingat pada kekayaannya yang tersimpan di
bilik sebelah, di dalam lubang yang hanya diketahuinya sendiri. Peti
yang disandingnya sama sekali bukanlah kekayaan yang sebenarnya.
“Aku sudah tidak memerlukannya lagi.“
desisnya. ”Aku sudah tidak memerlukan kekayaan duniawi. Ternyata
benda-benda itu tidak dapat memberi aku apa-apa.”
Karena itu maka dipanggilnya Sumekar. Diajaknya anak muda itu berbicara seorang diri.
“Sumekar.“ berkata Empu Sada, “hari ini aku akan pergi.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya, “Kemana guru?”
“Ah, apakah kau pernah mengetahui kemana aku pergi?”
“Kadang-kadang guru.”
“Ya, kadang-kadang aku memberitahu
kepadamu kemana aku pergi, tetapi sebagian besar dari pengembaraanku,
tak seorang muridku pun yang mengetahuinya.”
Sumekar tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
“Sumekar.“ berkala gurunya kemudian,
“kau adalah penerus dari padepokan Empu Sada. Kalau aku lambat kembali,
atau bahkan tidak kembali sama sekali, maka kau lah yang wajib
meneruskan tata kehidupan di padepokan ini. Kau harus mangerti apa yang
sebaiknya dilakukan. Kau harus mulai mengenali musim untuk menanami
sawah. Kau harus mengenal mangsa dan wataknya. Bukan saja ilmu beladiri
dan olah kanuragan. Para pembantumu harus selalu bekerja dengan baik dan
rajin.”
Sumekar menjadi heran mendengar pesan gurunya. Tanpa disadarinya sekali lagi ia bertanya, “Kemanakah guru akan pergi?”
Empu Sada memandangi wajah anak muda itu.
Ia melihat sorot mata yang tulus. Tetapi ia tidak dapat
memberitahukannya. Karena itu maka jawabnya, “Aku akan pergi seperti aku
pergi di waktu-waktu yang lalu. Tetapi kali ini aku mempunyai
kepentingan yang lain. Aku tidak lagi ingin mendapatkan benda berharga.
Ternyata benda-benda berharga, kekayaan dan mas picis itu sama sekali
tidak memberi apa-apa kepadaku. Aku masih tetap seorang pengembara, yang
hampir setiap hari menanggung lapar dan haus diperjalanan. Aku masih
juga tetap seorang yang berpakaian kumal seperti ini. Aku tidak
mengenakan timang tretes berlian, tidak menyelipkan keris berwrangka
emas dan ditaburi oleh permata. Tidak memakai kampuh yang diwarnai
dengan gemerlapnya prada. Tidak. Sehingga karena itu maka apa yang aku
cari selama ini ternyata tidak berarti apa-apa bagiku.”
Sumekar menjadi semakin tunduk. Dirasakannya bahwa diantara kata-kata gurunya itu terselip suatu penjesalan yang tiada taranya.
“Sumekar.“ berkata gurunya lebih lanjut, “ternyata aku telah keliru mencari bekal dalam hidupku. Aku sangka emas picis raja brana
itu akan memberiku ketentraman dan kebahagiaan. Tetapi ternyata bukan.
Bukan itu Sumekar. Mungkin kekayaan akan dapat menjadi salah satu syarat
untuk menemukan ketentraman dan kebahagiaan, namun apa bila syarat itu
berubah menjadi tujuan, maka hidup kitapun akan jatuh kedalam
genggamannya. Maka akan celakalah kita karenanya. Aku adalah contoh yang
paling dekat Sumekar. Aku hidup dalam perbudakan yang aku jeratkan
sendiri keleherku. Aku menjadi liar dan buas untuk mendapatkan harta
kekayaan, sedang harta kekayaan itu sama sekali tidak berguna bagiku.“
Empu Sada berhenti sejenak. Ditatapnya
wajah muridnya yang tunduk. Sejenak kemudian Empu Sada itu meneruskan,
“Bukankah kau lihat Sumekar bahwa kekayaanku tidak memberi aku apa-apa.
Jasmaniah apa lagi rokhaniah. Nah, kenanglah apa yang terjadi atasku.
Mudah-mudahan akan dapat menjadi petunjuk bagi hidupmu kelak.”
Sekali lagi Empu Sada berhenti. Tatapan
matanya kini menjadi kian pudar. Lalu katanya, “Meskipun telah terlambat
Sumekar, aku kini ingin mendapat bekal yang lain. Aku sudah terlambat.
Aku sudah tua. Aku harus menemukan sesuatu yang berarti dalam hidupku
betapapun kecilnya. Ternyata kekayaan yang terbaik di dalam hidup ini
adalah hubungan yang erat antara kita dengan Yang Maha Agung. Hubungan
yang paling mesra indah ketentraman dan kebahagiaan sejati.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Kata-kata gurunya itu meresap langsung ke dalam kalbunya.
Sentuhan-sentuhan yang menggeser hatinya telah menumbuhkan pahatan yang
dalam. Yang tidak mudah terhapus oleh sentuhan-sentuhan yang lain.
“Karena itu Sumekar.“ berkata gurunya
lebih lanjut, “aku menganggap bahwa apa yang aku miliki selama ini sama
sekali tidak berarti lagi bagiku. Semuanya akan aku serahkan kepadamu.
Terserahlah, apa yang akan kau perbuat dengan semuanya itu. Mungkin kau
akan dapat membangun sesuatu yang berarti bagi padepokan ini, atau
mungkin kau merasa perlu untuk menolong orang-orang miskin di sekitar
kita, atau apapun yang kau anggap perlu. Apabila kau mengenal
pemiliknya, alangkah senang hatiku kalau kau sempat mengembalikan
kepadanya.”
Sumekar mengangkat wajahnya. Ia tidak
begitu mengerti maksud kata-kata gurunya itu, sehingga gurunya
menjelaskan, “Sumekar, semua kekayaan yang pernah aku dapatkan dengan
jalan apapun, kini aku serahkan saja kepadamu untuk keperluan yang kau
anggap penting sesuai dengan pendirianmu.”
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar. Ia
tahu benar, bahwa gurunya menyimpan kekayaan tiada taranya. Sekarang
kekayaan itu diserahkannya kepadanya, tetapi dengan pesan yang
mengikatnya. Tetapi pesan itu telah membesarkan hatinya. Karena itu maka
Sumekar itu berkata dengan tajimnya. “Terima kasih atas kepercayaan itu
guru. Mudah-mudahan aku akan dapat melakukan pesan yang guru berikan.
Mudah-mudahan akupun tidak akan jatuh ke dalam cengkeramannya.
Memperhambakan diri kepada harta benda itu.”
“Aku percaya kepadamu Sumekar, apalagi setelah kau melihat sendiri contoh yang paling baik yang dapat kau saksikan.”
Sumekar mengangguk dalam-dalam sambil
menjawab, “Mudah-mudahan guru. Mudah-mudahan yang Maha Agung selalu
memberi sinar terang di dalam hatiku.”
Empu Sada pun kemudian mengajak Sumekar
masuk ke dalam biliknya. Ditunjukkan segala rahasia yang selama ini
seakan-akan hanya diketahuinya sendiri. Ditunjukkannya celah dan
lubang-lubang tempat harta bendanya tersimpan.
Meskipun Sumekar telah menyangkanya,
tetapi ketika ia sempat melihat sendiri apa yang disimpan gurunya,
darahnya seakan-akan membeku karenanya.
Sesaat ia berdiri seperti patung. Sekali-sekali dipejamkannya matanya seakan-akan ia tidak yakin atas apa yang dilihatnya.
“Jangan heran.” berkata gurunya, “ini
adalah ujud dari bencana yang selama ini membelengguku. Kini aku menjadi
gembira dan berterima kasih kepada Yang Maha Agung yang telah
membebaskan aku dari padanya.”
Sumekar tidak menjawab. Matanya masih melekat pada benda-benda yang berkilauaan itu.
“Sisihkan milik Kuda Sempana. Aku masih
mengharap ia kembali kepadaku. Aku akan mencoba membebaskannya dari
belenggu yang dijeratkannya sendiri pula. Meskipun bentuknya agak
berbeda, tetapi kedua-duanya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Kuda
Sempana pun telah dicekik oleh nafsunya. Nafsu memiliki seorang gadis
cantik yang bernama Ken Dedes. Meskipun ujudnya tidak sama dengan
benda-benda yang telah menjeratkan, namun wataknya tidak jauh berbeda.
Kedua-duanya digerakkan oleh nafsu duniawi.”
Sumekar masih berdiam diri, tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Kuda Sempana kelak menyadari keadaannya, maka barang-barangnya itu akan dapat sedikit menghiburnya.”
Empu Sada berhenti sejenak, lalu katanya, “Apakah kau mengerti maksudku Sumekar.”
“Ya guru,“ jawab Sumekar, “aku mengerti.”
“Baik. Manfaatkan harta benda ini untuk
kepentingan sesama. Dengan demikian, aku akan dapat pergi dengan dada
yang lapang. Aku kini merasa bahwa tanganku telah lepas dari belenggu
yang selama ini menjeratku. Aku kini menjadi manusia yang bebas. Dalam
sisa-sisa umurku aku akan berusaha untuk menjadikan hidupku berarti,
berarti bagi sesama betapapun kecil arti itu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi tanpa sesadarnya ia bertanya, “Kemanakah guru akan pergi?”
“Pertanyaanmu telah kau ucapkan untuk
ketiga kalinya Sumekar. Maaf, aku tidak dapat menjawab, karena aku
sendiri belum menentukan sikap. Kemana dan untuk apa aku pergi.”
Sumekar menggigit bibirnya. Ia merasa
bahwa pertanyaanya itu agak mengganggu gurunya. Sebelumnya ia sama
sekali tidak bernafsu untuk mengetahui kemanakah gurunya akan pergi.
Sekali dua kali ia mengucapkan pertanyaan serupa itu. Tetapi pertanyaan
itu meluncur saja dari bibirnya tanpa suatu maksud. Pertanyaan itu
diucapkannya hanya sekedar untuk memperpantas sikap. Tetapi kini anak
muda itu benar-benar ingin tahu, kemanakah gurunya akan pergi. Namun
sayang, gurunya tidak memberitahukannya.
“Sumekar.“ berkata Empu Sada, “kau kini
menjadi wakilku. Wakil dalam segala persoalan. Kau jugalah yang harus
menuntun adik-adik seperguruanmu. Tetapi ingat, tuntunlah ia lahir dan
batinnya. Bahkan seandainya ada kakak-kakak sepergurumu yang
berkepentingan dengan padepokan ini, maka segala persoalannya harus kau
terima sebagai wakilku. Kalau aku lambat kembali atau tidak kembali sama
sekali, kembangkanlah nama padepokan ini sebaik-baiknya. Kau mengerti?”
Sumekar mengangguk, jawabnya, “Ya guru.”
“Terima kasih,“ sahut gurunya, “aku percaya kepadamu.”
“Tetapi,“ berkata Sumekar kemudian,
“apakah yang dapat aku lakukan terhadap kakak-kakak seperguruanku?
Mereka tahu siapa aku dan mereka merasa bahwa mereka lebih berhak untuk
berbuat seperti itu.”
“Tetapi aku pun berhak menentukan
siapakah yang aku percaya untuk mewakili aku.” sahut gurunya, “Sumekar,
meskipun kau masih muda, tetapi kau aku anggap mencukupi syarat untuk
berbuat demikian. Seandainya ada yang mencoba memaksakan kehendaknya,
maka kau pun dapat bertahan atas sikap itu, bahkan seandainya dengan
kekerasan sekalipun. Tak seorang pun yang dapat aku percaya menerima
harta benda sebanyak ini tetapi tidak untuk dirinya sendiri, selain
kau.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tugas
itu bukan tugas Yang ringan. Namun gurunya berkata selanjutnya,
“Baiklah. Kalau kau memerlukan bukti kepercayaanku. Tongkatku akan aku
tinggalkan untukmu, sebagai pertanda bahwa aku telah menyerahkan segala
sesuatunya kepadamu.”
Sekali lagi darah Sumekar terasa berhenti
mengalir. Agaknya gurunya benar-benar telah melepaskan padepokan ini.
Terasa oleh anak muda itu, seakan-akan pertemuannya dengan gurunya kali
ini adalah kali yang terakhir.
Ketika gurunya menyerahkan tongkatnya,
maka Sumekar menerimanya dengan tangan gemetar. Tetapi sentuhan
tangannya pada tongkat itu merasakan, bahwa tangan gurunya pun gemetar
pula.
Ternyata Empu Sada merasakan sebuah
goncangan pada perasaannya pada saat tongkat itu lepas dari tangannya.
Tongkat itu adalah ciri dirinya dan juga senjatanya. Seorang yang
bertongkat panjang adalah seorang yang bernama Empu Sada, seperti Panji
Bodjong Santi dengan kasa kulit harimaunya, seperti Empu Gandring
dengan keris raksasanya. Dan kini tongkat itu lepas dari tangannya.
Namun untuk suatu, kepentingan yang tidak kalah besarnya dari setiap
kepentingan yang akan dihadapinya.
“Guru.“ desis Sumekar setelah ia menerima
tongkat, “aku hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi
bagaimana dengan guru sendiri? Bukankah tongkat ini ciri kebesaran guru
dan merupakan senjata guru pula.”
Empu Sada tersenyum. Tetapi senyumnya membayang seperti bulan disaput awan. Suram.
“Aku tidak memerlukannya lagi Sumekar.
Aku tidak ingin lagi mempergunakan akan senjata untuk menimbun harta
benda yang tidak berarti apa-apa dalam hidupku. Aku tidak lagi ingin
memamerkan namaku yang kotor itu lewat tongkatku. Bahkan aku ingin kalau
aku dapat meninggalkankan bahkan melupakan masa-masa lampauku, apabila
mungkin.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. la
merasakan keanehan sikap gurunya. Sikap itu bukan sekedar sikap
penjesalan, tetapi sikap itu telah sangat merisaukannya.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah nafas Sumekar yang terengah-engah.
Di luar bilik Empu Sada terdengar kedua
murid Empu Sada yang lain terbatuk-batuk. Mereka sedang menyalakan
lampu-lampu di dalam rumah. Tetapi mereka tidak berani masuk kedalam
bilik gurunya, seperti setiap hari. Yang berani masuk kedalam bilik itu
hanya Sumekar selain gurunya sendiri. Hanya apabila perlu sekali seorang
dua orang berani dengan tergesa-gesa.
“Sumekar.“ berkata Empu Sada kemudian,
“ternyata hari telah terlampau gelap. Ambillah pelita dan terangilah
bilik ini. Untuk seterusnya bilik ini adalah bilikmu sambil menjaga
semua harta benda itu, sampai suatu ketika harta benda itu habis terbagi
dan jatuh ketangan yang benar memerlukannya.”
Kali ini Sumekar tidak dapat lagi menahan
pertanyaannya meskipun ia ragu-ragu mengucapkannya. “Guru, kenapa guru
merasa bahwa guru akan lambat kembali dan bahkan mungkin tidak kembali
sama sekali.”
Sekali lagi Empu Sada tersenyum. Senyum
yang suram. Katanya, “Aku tidak tahu. Jangan tanyakan itu lagi.
Sekarang, pasanglah pelita, dan seterusnya aku akan pergi meninggalkan
padepokan ini.”
“Guru.“ potong Sumekar.
“Jangan bertanya lagi. Lakukan perintahku. Ambillah pelita. Bilik ini telah terlampau gelap.”
Sumekar tidak berani bertanya lagi.
Betapa hatinya diliputi oleh seribu satu macam pertanyaan, namun ia
tidak berani mengucapkannya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan
keluar. Di luar bilik di ruang dalam telah terpasang lampu dinding.
Nyala apinya bergetar karena angin yang menyusup lubang-lubang dinding.
Sumekar pergi kebelakang untuk mengambil
pelita yang setiap hari dipasangnya di bilik Empu Sada. Ternyata pelita
itu telah menyala. Ketika ia mengambil pelita itu, terdengar adik
seperguruannya bertanya, “Kakang, apakah yang kau bicarakan dengan guru?
Apakah penting sekali?”
Sumekar menggeleng, “tidak. Tidak ada apa-apa.”
Tetapi wajah adik seperguruannya masih
saja dibayangi oleh keinginannya untuk mengetahui serba sedikit apakah
yang sedang mereka bicarakan.
“Aku merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,“ desah salah seorang adik seperguruannya itu.
“Tidak apa-apa.“ sahut Sumekar, “adalah
soal biasa saja yang dipesankan guru kepadaku. Rajin bekerja, tekun
berlatih dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.”
Kedua adik ieperguruannya itu mengerutkan
keningnya. Pesan itu tidak pernah didengarnya. Tetapi ketika mereka
akan bertanya lagi, Sumekar berkata, “Nanti sajalah kita berbicara. Guru
menunggu di dalam bilik yang terlampau gelap.”
“Pelita itu telah lama terpasang.“ sahut
salah seorang adik seperguruannya, “tetapi aku tidak berani membawanya
masuk ke dalam bilik guru.”
Sumekar tersenyum, meskipun senyumnya tidak terlampau.
Dengan pelita di tangan Sumekar berjalan
masuk kembali ke dalam rumah, kemudian ke dalam bilik gurunya. Tetapi
ketika ia sampai kedalam bilik itu, gurunya tidak dijumpainya di dalam.
Yang ada di dalam bilik itu hanyalah tongkatnya saja yang telah
diserahkannya kepadanya.
“Kemanakah Empu Sada.“ desis Sumekar didalam hatinya. Tetapi Sumekar tidak segera mencarinya.
Disangkanya gurunya sedang pergi keluar
sebentar. Tetapi ternyata gurunya tidak segera ditemuinya kembali ke
dalam biliknya. Sejenak ia menunggu, tetapi gurunya belum juga datang.
Betapa terkejut anak muda itu ketika
tiba-tiba ia mendengar kaki kuda berderap. Dengan sigapnya ia meloncat
langsung liwat pintu depan. Dan apa yang dilihatnya benar-benar telah
menghentikan arus darahnya. Ia melihat gurunya berpacu di atas kudanya.
“Guru.“ teriak Sumekar.
Gurunya berpaling. Ditariknya kekang
kudanya untuk memperlambat derap kakinya. Masih di atas punggung kuda
orang tua itu berkata, “Selamat tinggal Sumekar. Kaulah kini ketua
padepokan ini. Kerjakanlah pesanku selama aku pergi, atau bahkan apabila
aku tidak kembali lagi.”
“Guru.“ banyak yang akan diteriakkannya, tetapi yang terloncat dari mulutnya hanyalah satu kata.
Sumekar masih melihat gurunya tersenyum.
Namun sejenak kemudian kuda yang ditumpanginya meloncat keluar regol
halaman. Dan hilanglah gurunya dari pandangan matanya.
Sejenak Sumekar berdiri mematung.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Ia melihat gurunya pada
saat-saat terakhir seperti orang asing yang baru dikenalnya. Perubahan
sikap dan perbuatannya benar-benar telah membingungkannya. Hampir-hampir
ia tidak percaya, bahwa orang yang sedang melarikan kudanya itu adalah
Empu Sada yang sebelumnya pernah menuntunnya dalam ilmu tata beladiri.
Seandainya kemudian orang itu memberinya ilmu tertinggi, Kala Bama, maka
mungkin ia tidak lagi percaya bahwa orang itu adalah Empu Sada.
Tetapi Empu Sada itu telah pergi.
Apapun yang pernah dilakukan, namun orang
itu adalah gurunya. Telah bertahun-tahun ia berada di dalam padepokan
itu sebagai seorang murid. Bahkan seandainya Empu Sada itu tidak berubah
pada saat-saat terakhir, namun ia tidak dapat mengingkarinya bahwa ia
pernah berguru kepadanya. Dan ia tidak tahu, kenapa ia terdampar kedalam
perguruan itu meskipun ia tahu sebelumnya, bahwa hidup gurunya diliputi
oleh suatu rahasia yang kelam.
Sumekar itu tersadar ketika ia mendengar salah seorang adik seperguruannya bertanya, “Kakang, apakah guru pergi?”
Sumekar berpaling. Dilihatnya dua
anak-anak yang masih sangat muda. Ditariknya nafas panjang-panjang.
Jawabnya, “Ya. Guru telah pergi.”
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Pandangan mata mereka masih saja melekat pada regol halaman. Tetapi
mereka sudah tidak melihat sesuatu. Hanya pelita yang redup sajalah yang
masih tergantung dan bergoyang ditiup angin.
Malam menjadi semakin sepi. Yang terdengar adalah pertanyaan adik seperguruan Sumekar, “Kemanakah guru pergi?”
Sumekar menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
Ketika Sumekar berpaling memandang kedua
adik seperguruannya itu dilihatnya bahwa kedua wajah itu menjadi
keheran-heranan mendengar jawaban Sumekar, sehingga Sumekar merasa perlu
untuk menjelaskan, “Sebenarnyalah aku tidak tahu kemana guru pergi.
Bukankah aku baru saja mengambil pelita dari belakang? Ketika aku
kembali ke dalam bilik, ternyata guru telah tidak ada di dalam. Aku
sangka bahwa guru hanya keluar sebentar. Tetapi yang aku dengar adalah
derap seekor kuda.”
Kedua adik seperguruannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka masih juga diliputi oleh keheranan.
Bahkan Sumekar itu tanpa dikehendakinya
sendiri bergumam lirih, “Mungkin guru akan sangat lambat kembali atau
bahkan tidak sama sekali.”
“He,“ kedua adik seperguruannya itu terkerljut. “Apakah guru tidak akan kembali?”
Kini Sumekar lah yang terkejut. Sejenak
ia terdiam, namun kemudian terpatah-patah ia menjawab, “Maksudku, guru
belum pasti kapan akan kembali.”
“Dari mana kakang tahu?”
Sekali lagi Sumekar tergagap. Namun kemudian jawabnya, “Guru mengatakannya dari atas punggung kuda.”
Kedua adik seperguruannya itupun
mengangguk-anggukkan kepadanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya
aku mendengar lamat-lamat. Mungkin guru tidak kembali.”
Wajah kedua anak-anak muda itupun menjadi
suram, seperti Sumekar merekapun tahu bahwa gurunya adalah seorang yang
diliputi oleh seribu macam rahasia. Bahkan kedua anak-anak itu merasa
bahwa mereka tidak akan dapat sampai tangga tertinggi dari perguruan
Empu Sada karena syarat-syarat yang harus disediakan tidak akan pernah
mencukupi. Tetapi meskipun demikian kepergian gurunya itu mempengaruhi
perasaannya juga. Mereka pun merasakan kesedihan pada saat perpisahan
yang aneh.
Dalam pada itu, Empu Sada sendiri berpacu
di dalam gelap. Dilepaskan segelap himpitan perasaannya dengan berpacu
seperti dikejar hantu. Disentuhnya setiap kali perut kudanya yang
meloncat semakin lama semakin cepat.
Orang tua itu ingin segera menjauhi
padepokannya. Ia takut kalau padepokan yang telah didiaminya berpuluh
tahun itu akan menariknya kembali. Dengan sepenuh hati ia berusaha
memutuskan hubungan antara dirinya dengan padepokannya. Ia sendiri tidak
tahu, kenapa ia berusaha berbuat seperti itu.
Angin malam yang dingin terasa semakin
kencang mengusap tubuh Empu tua yang sedang melarikan kudanya itu.
Sekali-sekali terdengar orang tua itu berdesah.
Ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya
hanyalah sebuah dinding hitam kelam yang seakan-akan berlari secepat
lari kudanya, mengikutinya dibelakang. Tetapi disawah-sawah di sisi
jalan orang tua itu melihat berjuta-juta kunang-kunang yang
berkeredipan, seakan-akan bersaing dengan bintang yang bertaburan di
wajah langit yang biru pekat.
Empu Sada bahkan semakin mempercepat
kudanya. Kini Empu Sada mencoba melupakan padepokannya. Yang dihadapinya
adalah sebuah perjalanan ke Panawijen. Ia merasa langkah kaki kudanya
itu terlampau lambat.
“Mudah-mudahan aku tidak terlambat.“ katanya di dalam hati.
Ketika kudanya telah meninggalkan
lingkungan tanah persawahan padepokannya, maka Empu Sada berhasil
melepaskan kenangannya atas padepokannya itu.
Dicobanya untuk membayangkan apa yang
akan terjadi, dan apa saja yang dapat dikerjakan. Tetapi apabila ia
terlambat dan Mahisa Agni mengalami sesuatu, maka ia telah ikut serta
menjerumuskan anak Jun Rumanti itu ke dalam bencana.
Karena itu maka Empu Sada itu memacu
kudanya lebih cepat. Seakan-akan didengarnya kembali kedua orang
prajurit Tumapel yang bertugas di Padang Karautan itu berceritera
tentang beberapa lumbung yang terbakar di Panawijen. Peristiwa itu
seakan tergambar jelas di dalam angan-angannya. Semakin direnungkannya,
maka iapun menjadi semakin yakin bahwa itu hanyalah sekedar akal Kebo
Sindet untuk memancing Mahisa Agni.
Sebenarnyalah bahwa apa yang terjadi
adalah demikian. Sebelum kedua prajurit Tumapel kembali menghadap Akuwu
untuk memberikan beberapa laporan, maka datanglah dua orang tua kePadang
Karautan memberitahukan bahwa Panawijen tumbuh kebakaran.
Tetapi kebakaran itu bukanlah kebetulan
saja terjadi. Kebakaran yang terjadi dengan tiba-tiba itu ternyata telah
digarap oleh tangan yang licik.
Setelah melihat setiap kemungkinan, dan
setelah mengenal berapa persoalan lebih banyak lagi atas Mahisa Agni,
Panawidjen dan Kuda Sempana sendiri, maka Kebo Sintlet telah menemukan
sebuah cara untuk menjebak Mahisa Agni.
Demikian mahalnya Mahisa Agni bagi kedua
iblis itu, maka segala cara telah dilakukan untuk menjeratnya. Bagi
mereka, Mahisa Agni akan merupakan sebuah barang yang sangat berharga.
Ia adalah kakak seorang gadis yang sebentar lagi akan naik jenjang
perkawinan. Tidak dengan sembarang orang, tetapi dengan Akuwu Tumapel.
Bukankah Mahisa Agni akan dapat menjadi barang taruhan untuk mendapatkan
harta benda yang tidak ternilai banyaknya.
Pada saat kedua bersaudara itu menemukan
caranya, maka keduanya menjadi sangat bergembira, seakan-akan Mahisa
Agni telah berada ditangannya. Keduanya menganggap bahwa Mahisa Agni
mempunyai kedudukan yang penting pada saat-saat perkawinan, sebagai
kakak gadis bakal permaisuri itu. Meskipun Akuwu dapat mempergunakan
kekuasaanya untuk berbuat seperti yang dikehendaki, namun manurut
peristiwa yang pernah terjadi, Ken Dedes merasa sangat terikat kepada
kakaknya, sehingga apabila mungkin, maka segala usaha pasti akan
dilakukan untuk menyelamatkannya.
“Kalau usaha itu gagal,” berkata Wong
Sarimpat, “kita masih dapat memaksa Kuda Sempana untuk memberi seluruh
kekayaannya kepada kita.”
“Huh, apakah kekayaan kelinci itu cukup banyak.” sahut Kebo Sindet, “pekerjaan kita ini tidak boleh gagal.”
Dengan rencana itu, maka pergilah kedua
hantu dari Kemundungan itu ke Panawijen. Mereka telah membawa Kuda
Sampana serta. Dangan segala macam akal, mereka telah membujuk Kuda
Sempana untuk membatunya.
“Jangan kau bawa-bawa ayahku pula.” katanya.
Mendengar permintaan itu Wong Sarimpat
tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Katanya,
“Apakah salahnya seorang ayah membantu anaknya untuk mencapai
cita-citanya. Bukankah wanita sama nilainya dengan pusaka cita-cita.”
“Tetapi aku sudah cukup dewasa. Dan
bukankah paman berdua adalah dua orang yang tidak ada tandingnya. Karena
itu, jangan ayahku dibawa-bawa. Ia sudah cukup menderita melihat
tingkah lakuku selama ini.”
“He,” Kebo Sindet memandangi wajah Kuda
Sempana dengan tajamnya. Meskipun wajahnya yang mati itu tidak bergerak,
tetapi sorot matanya seakan-akan langsung menembus dada.
“Kuda Sempana.” Berkata Kebo Sindet
dengan nada yang berat, “memang aku bermaksud minta kepada ayahmu untuk
menolong kita. Tetapi percayalah bahwa ia tidak akan banyak tersangkut.
Ia hanya akan berbuat sedikit.”
“Apakah yang harus dilakukan?”
“Memberitahu Mahisa Agni, bahwa di Panawijen timbul kebakaran.”
“He.” Kuda Sempana terkejut, “apakah paman akan membakar Panawijen.”
“Ya.”
Terasa dada Kuda Sempana berdesir. Betapa
gelap hatinya, namun ia anak Panawijen sejak lahir. Panawijen Yang kini
telah menjadi kering itu akan dibakar. Alangkah mengerikan.
“Bagaimana pertimbanganmu?”
“Mengerikan.” desisnya.
Kembali terdengar Wong Sarimpat tertawa
terbahak-bahak. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Kau benar-benar
anak cengeng. Kau sudah basah di tengah-tengah banjir. Kau tidak akan
dapat kembali, sebab bagimu akibatnya tidak ada bedanya.”
“Tetapi tidak menyeret orang lain untuk hanyut bersamamu.” sahut Kuda Sempana.
Suara tertawa Wong Sarimpat menjadi semakin keras, begitu kerasnya sehingga dada Kuda Sempana serasa akan terpecahkan olehnya.
“Kuda Sempana.“ berkata Kebo Sindet.
Wajahnya yang membeku itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan nama
sekali, “sudah aku katakan, bahwa ayahmu hanya akan membantu,
memberitahukan kepada Mahisa Agni, bahwa di Panawijen telah terjadi
kebakaran.”
“Tidak ada gunanya.”
“Kenapa?”
“Mahisa Agni telah mengenal ayahku. Ia tidak akan percaya.”
Wong Sarimpat tiba-tiba mengerutkan
keningnya, sedang Kebo Sindetpun terdiam sejenak. Tetapi sesaat kemudian
ia berkata, “Bagus. Ada jalan lain yang lebih baik. Lebih baik bagi
kita dan lebih baik bagi ayah Kuda Sempana.”
“Apakah itu.“ bertanya adiknya.
“Ayah Kuda Sempana hanya mendorong seseorang atau dua orang untuk menyusul Mahisa Agni ke Padang Karautan.”
“Tak seorangpun yang berani.”
“Ayahmu harus memberi jaminan, bahwa
tidak akan ada gangguan apapun di Padang Karautan. Ayahmu harus memilih
orang-orang yang dapat dibujuknya. Dalam keadaan seperti sekarang, maka
setiap orang Panawijen pasti ingin menjadi pahlawan. Apalagi kalau
ayahmu dapat membujuk dan memberi mereka sekedar upah.”
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi
terasa dadanya menjadi pepat. Ia tidak mengerti, apakah sebenarnya yang
kini dikehendaki? Mahisa Agni atau apa? Ia sendiri tidak tahu apakah ia
akan tetap berada di dalam sarang dua serigala bersaudara itu.
Seperti seorang yang kehilangan akal Kuda
Sempana menundukkan kepalanya di atas punggung kudanya. Panawijen
semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika mereka memasuki daerah
persawahan maka terasa dada Kuda Sempana berdebar terlampau cepat.
Daun-daun yang kuning berguguran, tanah yang kering dan terpecah-pecah,
memberikan kesan yang mengerikan, seperti terpecahnya hati dan
perasaannya.
Sekarang ia datang untuk membuat bencana
baru. Dalam udara yang kering dan panas itu maka sepercik api akan dapat
menjadikan Panawijen itu karang abang.
“Apakah aku harus menyaksikan kampung
halamanku ini menjadi neraka?” Kuda Sempana itu menjadi semakin tidak
mengerti tentang dirinya sendiri. Sehingga akhirnya ia tidak mampu lagi
untuk berpikir. Ia berbuat tanpa dapat diyakininya sendiri, apakah yang
dilakukan itu berarti baginya.
Kuda Sempana itu terkejut ketika
tiba-tiba Kebo Sindet berkata, “Kita berhenti di sini. Kita sembunyikan
kuda-kuda kita. Kita akan masuk ke Panawijen tampa diketahui oleh siapa
pun. Kita akan menyalakan api. Beberapa buah lumbung dan rumah harus
terbakar.”
Kuda Sempana sudah mendengar sebelumnya,
bahwa mereka akan membakar Panawijen, tetapi ketika Kebo Sindet itu
mengatakannya sekali lagi, maka dadanya menjadi berdebar-debar.
“Apakah aku akan membiarkan kampung halamanku musnah dimakan api?” desisnya di dalam hati.
Tetapi ia menjadi termangu-mangu ketika
Kebo Sindet yang seakan-akan mengerti perasaannya berkata, “Jangan cemas
Kuda Sempana. Aku tidak akan membakar seluruh padukuhan Panawijen. Aku
hanya akan membakar beberapa buah lumbung dan rumah di sekitarnya.”
“Panawijen kini sedang menderita kekeringan. Kalau lumbung-lumbung terbakar, maka mereka pasti segera akan mati kelaparan.”
“Sudah aku katakan, tidak semua lumbung akan aku bakar.”
“Yang satu atau dua lumbung itu pengaruhnya akan besar sekali bagi Panawijen.”
“Jadikanlah mereka korban dari
cita-citamu. Jadikanlah mereka umpan kailmu. Kalau ikan yang akan kita
pancing itu ikan yang besar, maka umpannyapun harus cukup besar pula
yang akan aku jadikan umpan?”
Dada Kuda Sempana berdesir. Sendirian itu
merupakan ancaman baginya. Karena itu maka iapun berdiam diri. Betapa
hatinya menukik, tetapi ia berhadapan dengan Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Dua iblis kakak beradik yang benar-benar berhati iblis.
Dengan demikian maka Kuda Sempana tidak
dapat ber buat apa-apa lagi. Ia harus menurut saja ketika mereka menarik
kuda-kuda mereka ke dalam gerumbul yang telah kekuning-kuningan.
Kemudian sejenak mereka menunggu hari menjadi gelap.
Ketika lamat-lamat dikejauhan terdengar
bunyi burung kedasih, maka berkatalah Kebo Sindet, “Hari telah malam.
Marilah kita lakukan pekerjaan kita.”
Kuda Sempana tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Ia harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
perasaannya. Tetapi ia tidak dapat menolak.
Peristiwa demi peristiwa telah menghantam
perasaan Kuda Sempana yang semakin lama menjadi semakin kosong. Semakin
tidak dapat dimengertinya sendiri.
Malam itu Kuda Sempana menyaksikan api
yang melonjak kendara. Dengan hati yang pedih ia melihat orang-orang
Panawijen saling berlari dan berteriak-teriak ngeri. Namun orang-orang
itu kemudian menemukan keseimbangan. Mereka tidak lagi berlari-lari,
tetapi beberapa orang laki-laki yang tinggal di padukuhan karena
beberapa hal, yang pada umumnya adalah orang tua-tua telah berusaha
untuk memadamkan api itu. Mereka mencoba merobohkan rumah-rumah dan
pepohonan di sekitar api yang sedang menyala-nyala, sehingga mereka
dapat membatasi, supaya api itu tidak menjalar semakin luas.
Meskipun demikian, Panawijen telah
menjadi geger. Perempuan-perempuan yang berani membantu mencoba
memadamkan setidak-tidak membatasi supaya api tidak menjalar.
Dari kejauhan Kebo Sindet, Wong Sarimpat
dan Kuda Sempana menyaksikan hiruk pikuk itu dengan tanggapan mereka
sendiri-sendiri. Kebo Sindet melihat api itu dengan wajahnya yang
membeku, sedang Wong Sarimpat tampak tertawa-tawa kecil. Sekali-sekali
tangannya mengusap wajahnya yang gembung. Wajah yang basah dilapisi oleh
keringat. Disamping mereka, Kuda Sempana menyaksikan api itu dengan
hati yang tersayat-sayat.
“Nah, lihatlah.“ berkata Kebo Sindet,
“kampung halamanmu sama sekali tidak musnah. Bukankah hanya sebagian
kecil dari padukuhan itu yang terbakar. Lihatlah, mereka telah berhasil
menguasai api.”
Kuda Sempana tidak menjawab.
“Kita akan segera melakukan tugas berikutnya. Nah, Kuda Sempana, antarkan aku ke rumah ayahmu.”
“Apakah yang akan paman lakukan?”
“Antarkan aku ke rumah ayahmu.”
“Ayah pasti tidak ada di rumah. Ayah pasti sedang bergulat dengan api itu pula.”
“Tidak apa, kita tidak tergesa-gesa. Kita dapat menunggunya sampai nanti lingsir wengi atau bahkan sampai besok pagi sekalipun.”
Kuda Sempana tidak dapat menjawab lagi.
Maka mau tidak mau kedua iblis kakak beradik itu harus dibawanya pulang
ke rumah orang tuanya.
Betapa liciknya Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat membujuk ayah Kuda Sempana. Kebo Sindet yang berwajah beku itu
sekali-sekali dapat juga tersenyum sambil berkata, “Untuk kepentingan
anakmu Kaki.”
Kuda Sempana sama sekali tidak sempat
menolak. Ia diam saja seperti patung mendengarkan Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat berkata berkepanjangan. Hanya sekali-sekali ia terpaksa
mengiakan apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertanya kepadanya.
“Kaki.“ berkata Kebo Sindet, “anakmu memang menghendaki aku menangkap Mahisa Agni hidup-hidup.”
Orang tua itu memandangi anaknya dengan
sorot mata yang aneh. Tetapi Kebo Sindet segera berkata, “Tetapi
persoalannya tidak saja menyangkul anak Kaki. Ada banyak persoalan.
Kalau bapak bersedia membantu kami, maka nasib bapak tidak akan sejelek
sekarang ini. Kaki tidak akan dapat menggantungkan nasib Kaki kepada
Kuda Sempana yang kini sudah bukan seorang Pelayan Dalam yang terhormat
lagi. Apakah bapak pernah melihat emas sebesar ini?”
Mata ayah Kuda Sempana itupun terbelalak melihat sekeping emas murni. “Apakah itu benar-benar emas.“ ia bertanya.
“Bertanyalah kepada Kuda Sempana.”
Orang tua itu menelan ludahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Hatinya masih dipenuhi oleh keragu-raguan.
“Pekerjaan Kaki tidak berat. Carilah dua
atau tiga orang yang bersedia pergi ke Padang Karautan untuk
menyampaikan kabar ini kepada Mahisa Agni. Hanya itu.”
Ayah Kuda Sempana itu masih saja berdiam
diri. Tetapi sorot matanya tidak juga lepas dari sekeping emas murni
yang masih di tangan Kebo Sindet.
“Nah bagaimana?“ bertanya Kebo Sindet. Sekali lagi ayah Kuda Sempana itu menelan ludahnya.
“Kau akan menerima emas ini untuk
pekerjaan yang tidak berarti. Membujuk dua atau tiga orang untuk
memberitahukan kebakaran ini kepada Mahisa Agni.“
Ayah Kuda Sempana itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dipandanginya wajah
anaknya yang buram, dan kemudian kembali matanya tersangkut pada emas
yang bercahaya-cahaya itu.
“Tak seorang pun yang berani pergi ke Padang Karautan.“ gumam ayah Kuda Sempana itu seakan-akan kepada diri sendiri.
“Kau dapat memberi tahukan, bahwa
sekarang Padang Karautan telah tidak berbahaya lagi. Hantu Karautan
telah dibinasakan oleh Mahisa Agni.”
Ayah Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya lagi. Katanya, “Kalau ada yang berani menyeberangi padang ini,
maka hal itu pasti sudah dilakukan tanpa seorang pun yang membujuknya.
Tetapi mereka belum tahu, bahwa Padang Karautan kini sudah tidak
menakutkan lagi seperti pada masa-masa yang lampau. Kau dapat membujuk
mereka supaya mereka menjadi berani, itu saja. Atau kau sendiri yang
akan pergi?”
“Seandainya aku tidak bertemu dengan
hantu Padang Karautan, maka bagiku Mahisa Agni adalah seorang yang aku
takuti lebih dari hantu yang manapun juga. Perbuatan Kuda Sempana selama
ini telah cukup menjadi alasan baginya untuk membunuhku.”
Kuda Sempana mengangkat wajahnya, tetapi
kemudian wajah itu kembali menunduk. Dengan wajah yang suram anak muda
itu menarik nafas dalam-dalam.
“Terserahlah kepadamu Kaki.“ berkata Kebo Sindet, “emas ini sangat tergantung kepada perbuatanmu.”
Sekali lagi ayah Kuda Sempana itu menelan ludahnya.
“Pikirkanlah.“ gumam Wong Sarimpat pula.
Kuda Sempana tidak dapat berbuat apapun.
Ia tahu betapa kasarnya kedua kakak beradik itu. Kalau ia berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya, maka kedua orang itu dapat
berbuat sekehendaknya atas dirinya dan bahkan ayahnya itu pula.
“Pekerjaan itu bagiku bukanlah perkerjaan yang mudah.“ berkata ayah Kuda Sempana.
“Kaki hanya tinggal membujuk mereka untuk
tidak takut berjalan di Padang Karautan. Bukankah Mahisa Agni dapat
berbuat banyak untuk kepentingan kampung halamannya?”
“Tetapi Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat demikian, sebab bukankah tuan hendak menangkapnya bersama anakku ini.”
Sekali lagi Kuda Sempana mengangkat
wajahnya, tetapi yang menjawab adalah Kebo Sindet, “Benar, demikianlah.
Mudah-mudahan anakmu mendapat kepuasan karenanya. Dengan demikian maka
hidupnya tidak akan selalu diracuni oleh rasa dendam yang tidak dapat
dilepaskannya. Kalau Mahisa Agni itu sudah ada ditangannya, maka anak
pasti akan menemukan kembali keseimbangan jiwanya.”
Orang tua itu sekali lagi memandangi
wajah anaknya yang suram. Tetapi dalam kesuraman itu tidak tampak
olehnya nyala matanya yang memancarkan dendam di hatinya.
Kuda Sempana sendiri tiba-tiba menjadi
acuh tak acuh saja pada pembicaraan itu. Ia benar-benar telah kehilangan
pengertian tentang dirinya sendiri. Ia tidak tahu apakah ia masih juga
mendendamnya sampai sekarang.
Dalam pada itu, ayah Kuda Sempana
berpikir dengan tegangnya. Sekali-sekali matanya menjadi silau oleh
kilatan emas di tangan Kebo Sindet.
“Bagaimana?“ terdengar suara Kebo Sindet berat.
Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat ayah
Kuda Sempana perlahan-lahan mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Akan
aku coba. Sebenarnya setiap orang disini berkeinginan untuk
memberitahukannya kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi, tetapi
mereka masih saja dibayangi oleh ketakutan kecemasan tentang Padang
Karautan.”
“Kalau kau dapat meyakinkan tentang
Padang itu, maka segala maksud kita akan tercapai, dan kau akan memiliki
emas yang sekeping ini untuk menyelamatkan sisa-sisa hari tuamu dari
kemiskinan dan sengsara. Apakah kau juga mengharap bahwa kerja Mahisa
Agni membuat bendungan itu akan selesai? Omong kosong. Bendungan itu
tidak akan pernah selesai. Orang-orang Panawijen tidak boleh
menggantungkan harapannya pada bendungan itu. Sebab besok atau lusa
Mahisa Agni sudah berada di tanganku. Nah, dengan demikian kalian harus
pergi mengembara mencari tempat baru untuk hidup kalian orang
Panawijen.”
Ayah Kuda Sempana mengangguk-anggukan kepalanya.
“Lakukanlah.“ berkata Kebo Sindet kemudian, “Aku menunggu di sini.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian ia masih juga ragu-ragu. Tetapi ketika
terpandang olehnya kilatan warna kekuning-kuningan yang memancar dari
sekeping emas itu, ia berkata, “Baiklah, akan aku coba mencari dua tiga
orang yang paling berani.”
Ayah Kuda Sempana itupun akhirnya
meninggalkan mereka. Ditemuinya beberapa orang yang sedang bergerombol
membicarakan kebakaran yang baru saja terjadi.
“Sebaiknya Mahisa Agni diberi tahu.“ berkala salah seorang dari mereka.
“Ya, tetapi siapakah yang berani melakukannya?”
Mereka kemudian terdiam, beberapa laki-laki tua saling berpandangan.
“Hanya Mahisa Agni lah yang dapat memberi
kita cara supaya kita tidak mati kelaparan di sini. Beberapa lumbung
kita terbakar. Hampir sepertiga dari persediaan makan kita telah
musnah.”
Ayah Kuda Sempana mendengarkan dengan
penuh minat pembicaraan itu. Dengan dada yang berdebar-debar ia
menangkap perasaan hampir setiap orang Panawijen. Mereka berkeinginan
untuk memberitahukan kepada Mahisa Agni.
Ketika orang-orang itu kembali terdiam,
maka berkatalah ayah Kuda Sempana, “Tak ada orang lain yang dapat
menolong kita, selain Mahisa Agni.”
Beberapa orang berpaling kepadanya.
Tetapi ada juga di antara mereka yang membuang mukanya. Ayah Kuda
Sempana ternyata kurang disenangi di antara mereka karena sifat dan
kelakuan anaknya. Hampir setiap orang Panawijen menganggap, bahwa apa
yang terjadi itu adalah akibat dari pertentangan yang berlarut-larut
antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni karena nafsu Kuda Sempana yang tak
terkendalikan.
“Jalan satu-satunya adalah memberitahukan kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi.“ gumam ayah Kuda Sempana itu.
Tak seorang pun menanggapnya. Bahkan
hampir setiap orang mengumpat di dalam hati, “Kami semua tahu, tetapi
siapakah yang akan pergi ke Padang Karautan?”
Karena tak seorang pun yang menyahut,
maka ayah Kuda Sempana itu meneruskannya, “Kalau saja aku masih mendapat
kepercayaan, maka aku akan pergi ke Padang Karautan.”
Kini sekali lagi beberapa orang berpaling kepadanya. Ternyata kata-katanya yang terakhir telah menarik banyak perhatian.
“Tetapi sayang. Aku takut. Bukan karena
Padang Karautan, tetapi aku takut melihat wajah Mahisa Agni. Bahkan
mungkin aku akan dicekiknya.”
Diantara beberapa orang itu terdengar salah seorang bertanya, “Kenapa kau takut kepada Mahisa Agni?”
“Aku harus menyadari, betapa besar dosa anakku terhadapnya dan terhadap kampung halaman.”
“Mahisa Agni bukan pendendam. Kalau kau berani menyeberangi Padang Karautan pergilah kepadanya.”
“Padang Karautan sama sekali tidak
menakutkan bagiku. Hantu Karautan yang mengerikan itu telah dibinasakan
oleh Mahisa Agni. Tetapi yang mengerikan bagiku kini justru Mahisa Agni
itu sendiri.”
Mereka sejenak terdiam. Beberapa orang
ternyata mulai merenungkan kata-kata ayah Kuda Sempana itu. Bahkan salah
seorang daripada mereka bertanya, “Apakah benar Mahisa Agni telah
membinasakan hantu Padang Karautan?”
“Itu sudah lama terjadi. Sebelum Mahisa
Agni mulai membangun bendungan itu. Apakah kalian tidak mendengar
ceritera dari Patalan, Jinan atau Sinung Sari?”
Orang-orang yang mendengar jawaban itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi untuk sejenak mereka masih
saja berdiam diri. Namun demikian, timbullah beberapa masalah baru di
dalam kepala mereka, “Kalau benar kata orang itu, maka perjalanan ke
Padang Karautan tidak lagi berbahaya seperti waktu-waktu yang lalu.”
“Sayang.“ desis ayah Kuda Sempana itu perlahan-lahan.
“Kenapa.“ bertanya ialah seorang dari mereka.
“Sayang, Mahisa Agni mempunyai kesan yang tidak baik terhadapku.”
“Itu hanya perasaanmu saja. Mahisa Agni bukan seorang pendendam.”
“Tetapi kesalahan anakku sudah bertimbun setinggi gunung Semeru.”
Kembali mereka terdiam. Dan kembali
masalah itu bergolak di dalam dada mereka. Bahkan tiba-tiba salah
seorang dari mereka berkata, “Kalau ada seseorang yang mau menemani aku,
maka akupun bersedia pergi ke Padang Karautan.”
Dada ayah Kuda Sempana melonjak mendengar
kesanggupan itu. Serasa sekeping emas murni yang berkilat-kilat itu
telah berada di tangannya. Namun ia berusaha untuk menghapuskan setiap
kesan di wajahnya. Bahkan dengan nada yang parau ia berkata, “adalah
suatu jasa yang tiada taranya bagi kita di sini, apabila ada kesediaan
salah seorang dari kita untuk berangkat. Sayang, aku bukanlah orang yang
dapat melakukannya.”
Akhirnya ayah Kuda Sempana itu mendengar
seorang lagi berkata, “Marilah, kita pergi bersama-sama. Aku sudah
terlalu tua. Seandainya aku bertemu dengan bahaya di Padang Karautan,
dan darahku akan dihisapnya habis, maka aku pun tidak akan menjesal
lagi. Sisa umurku pun pasti sudah tidak akan banyak lagi.”
Dada ayah Kuda Sempana menjadi semakin
berdebar-debar. Kalau mereka benar-benar berangkat ke Padang Karautan,
dan Mahisa Agni berhasil diseretnya ke pedukuhan ini, maka emas yang
sekeping itu akan jatuh di tangannya. Emas itu akan dapat memberinya
kebahagiaan bagi sisa-sisa hidupnya. Ia akan pergi kedaerah yang jauh,
menjual emas itu dan menukarkannya dengan halaman, rumah dan sawah yang
sudah siap untuk digarap. Tidak lagi ia akan bekerja keras bersama anak
isterinya membuka tanah dan mempersiapkannya menjadi tanah persawahan.
Kegembiraan di hati orang tua itupun
akhirnya meluap membakar segenap perasaannya. Hampir-hampir ia tidak
dapat mengendalikan dirinya. Hanya dengan sekuat tenaganya ia mampu
menahan melontarnya kegembiraan yang berlebih-lebihan itu, ketika ia
mendengar keputusan dari keduanya, bahwa mereka benar-benar akan pergi
ke Padang Karautan.
“Kita pergi berkuda.“ berkata salah seorang dari ke dua laki-laki tua itu.
“Baiklah“ jawab yang lain, “kita akan segera sampai. Dan berkuda adalah jalan yang paling aman.”
“Kapan kita berangkat?”
“Besok pagi-pagi. Kita menempuh perjalanan di siang hari supaya kita tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.”
Beberapa orang lain yang mendengar
percakapan itu menangguk-anggukkan kepala mereka dengan lontaran ucapan
terima kasih. Kehadiran Mahisa Agni akan memberikan petunjuk yang akan
bermanfaat bagi mereka, untuk menghindarkan diri dari bahaya kelaparan.
Ketika matahari melemparkan sinarnya yang
pertama di pagi hari berikutnya, maka sebagian besar orang-orang
Panawijen berdiri berkerumun di ujung desa. Diantara mereka dua
laki-laki tua berdiri memegangi kendali kuda. Sekali-sekali
dilayangkannya pandangan mata mereka ke daun-daun yang kekuning-kuningan
serta ditebarkannya ke atas sawah dan pategalan yang kering kerontang.
Orang-orang Panawijen itu sedang melepas
dua orang yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling berani
diantara mereka. Dua laki-laki tua itu akan menghubungkan padukuhan
mereka dengan Padang Karautan karena beberapa buah lumbung mereka
terbakar. Kalau bendungan itu tidak segera dapat mengangkat air keatas
Padang Karautan, maka mereka akan terancam bahaya yang mengerikan.
Persediaan makanan mereka akan habis, dan bencana itu pun akan
menghentikan usaha pembangunan bendungan itu pula, karena orang-orang
yang sedang bekerja itu tidak akan lagi mendapat persediaan makanan.
Karena itu maka Mahisa Agni harus segera
tahu. Ia harus segera menentukan sikap, untuk mengatasi meskipun hanya
bersifat sementara.
Demikianlah maka orang-orang Panawijen
itu kemudian melihat kedua laki-laki tua itu naik ke atas punggung kuda.
Melambaikan tangan-tangan mereka dan kemudian melecut kuda-kuda mereka
meninggalkan Panawijen seperdi dua orang pahlawan yang berangkat kemedan
perang. Beberapa orang yang menyaksikan keberangkatan itu berdiri
tertegun. Terasa dada mereka bergetaran.
Ketika debunya yang putih mengepul di
belakang kaki-kaki kuda yang berlari meninggalkan kampung halaman
mereka, maka beberapa orang perempuan menekan dada mereka sambil
bergumam, “Mudah-mudahan mereka selamat sampai ke tujuan.”
Ayah Kuda Sempana berdiri juga di antara
orang-orang yang melepas kedua laki-laki tua itu. Wajahnya pun tampak
suram sesuram wajah-wajah orang Panawijen yang lain. Tetapi hatinya
tertawa cerah secerah matahari pagi yang bersinar di atas Padang dan
pegunungan. Didalam dadanya berkumandang gemerincing emas sekeping yang
kuning berkilat-kilat.
“Hem.“ katanya di dalam hati, “alangkah
mudah-mudahnya memiliki emas murni sebesar itu. Kalau aku tahu, maka aku
tidak akan menderita selama ini. Minum air yang harus diambilnya
langsung dari sungai sejauh itu dan makan terlampau terbatas karena
kecemasan bahwa suatu ketika akan kehabisan persediaan. Dengan emas itu,
maka Panawijen dan bendungan itu tidak akan berarti lagi bagiku.”
Ketika ayah Kuda Sempana itu mengangkat
wajahnya, maka kepulan debu yang putih itu pun sudah menjadi semakin
jauh. Beberapa orang telah melangkahkan kakinya meninggalkan ujung desa
kembali kerumah masing-masing. Namun di sepanjang jalan pulang, mereka
masih saja memperbincangkan kedua laki-laki tua yang sedang melakukan
perjalanan yang selama ini seakan-akan tabu mereka lakukan.
Sekali ayah Kuda Sempana itu menarik
nafas dalam-dalam. Dibiarkannya orang-orang lain meninggalkannya seorang
diri. Tetapi begitu orang yang terakhir hilang masuk ke mulut lorong,
maka ayah Kuda Sempana itupun segera meloncati parit yang kering dan
berjalan cepat lewat pematang-pematang yang pecah-pecah pulang ke
rumahnya.
Di rumahnya, Kebo Sindet, Wong Sarimpat
dan Kuda Sempana masih menunggunya. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat selalu
saja dibayangi oleh kegelisahan, ia tidak yakin bahwa usaha ayah Kuda
Sempana akan berhasil. Meskipun demikian harapan untuk itu masih ada
juga pada mereka. Sedang Kuda Sempana sendiri kini benar-benar menjadi
acuh tak acuh saja. Ia sendiri tidak tahu, apakah ia mengharapkan usaha
ayahnya berhasil atau tidak.
Karena itu ketika ayah Kuda Sempana itu
muncul dari balik pintu rumahnya, maka yang perpertama-tama bertanya
adalah Wong Sarimpat, “Bagaimana Kaki. Apakah usahamu berhasil?”
“Sebagian.“ jawab ayah Kuda Sempana, “kedua orang laki-laki tua itu telah berangkat.”
Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam.
Wajahnya yang beku itu tampak bergerak-gerak. Sebuah senyum yang
samar-samar telah menggerakkan bibirnya.
“Mudah-mudahan Mahisa Agni bersedia datang.“ desis Kebo Sindet.
“Menilik sifat-sifatnya dan kelakuannya
dimasa yang lampau ia pasti akan datang untuk melihat sendiri apa yang
telah terjadi di padepokan ini.“ sahut ayah Kuda Sempana.
“Mudah-mudahan ia tidak datang dengan sepasukan prajurit dari Tumapel yang kini berada di Padang Karautan.”
“Mudah-mudahan.”
Mereka pun kemudian terdiam sejenak,
tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
telah membayangkan, betapa Ken Dedes terpaksa melepaskan bermacam-macam
perhiasan dan benda-benda berharga untuk membebaskan kakaknya.
Sementara itu ia harus berusaha memberikan kesan bahwa usaha menculik
Mahisa Agni ini dilakukan oleh Empu Sada yang disangkanya telah mati.
Sementara itu kedua laki-laki tua dari
Panawijen telah menjadi semakin jauh dari pedukuhannya. Kini dihadapan
mereka terbentang sebuah Padang rumput yang luas yang seakan-akan tidak
bertepi. Cahaya matahari yang sudah semakin tinggi seakan-akan menyala
membakar Padang rumput yang kering itu.
“Alangkah panasnya.“ gumam salah seorang dari mereka.
Yang seorang untuk sejenak tidak
menjawab. Matanya seakan-akan menjadi silau menatap udara yang sedang
mendidih dibakar oleh terik matahari.
“Kita akan menjadi kering seperti rerumputan itu.“ berkata orang yang pertama.
“Menurut pendengaranku, sebaiknya kita
menyusul aliran sungai itu. Setiap saat kita tidak akan kehabisan air.
Setiap kali kita haus, kita akan dapat segera minum. Hanya menurut
pendengaranku di beberapa bagian tebing sungai ini menjadi sangat
curam.”
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi
tatapan matanya membayangkan betapa jantungnya menjadi berdebar-debar.
Matahari yang memanjat semakin tinggi seakan-akan langsung menghunjamkan
sinarnya kekepala mereka.
“Kita berkuda.“ desis kawannya yang
ternyata memiliki tekad lebih besar, “kita tidak akan sampai sehari
penuh berjemur di Padang Karautan.”
Kawannya mengangguk-anggukan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya. Kita berusaha supaya kita cepat sampai.”
“Marilah.”
Keduanya pun kemudian melanjutkan
perjalanan mereka menyusur sungi yang membelah Padang Karautan itu.
Meskipun mereka tidak berani berpacu terlampau cepat, tetapi perjalanan
itu jauh lebih cepat daripada mereka berjalan kaki. Kuda-kuda mereka
itupun agaknya dapat mengerti juga, bahwa penumpang-penumpang mereka
adalah orang-orang tua yang tidak begitu tangkas memegang kendali.
Sehingga langkah kaki-kaki Kuda itupun seolah-olah terayun seenaknya.
Ternyata mereka mendapat banyak
keuntungan dengan jalan yang mereka pilih. Ketika bumbung air mereka
tuntas, maka mereka dapat mengambilnya langsung ke dalam sungai,
sekaligus membiarkan kuda-kuda mereka yang kehausan minum pula.
Dengan bumbung yang penuh berisi air
itulah maka mereka meneruskan perjalanan mereka menuju ke tempat Mahisa
Agni membangun bendungan.
Meskipun di sepanjang jalan mereka selalu
dicemaskan oleh nama yang selama ini menakutkan mereka, ialah hantu
Karautan, namun akhirnya merekapun menjadi semakin lama semakin dekat
pula dengan lingkaran kerja Mahisa Agni dan orang-orang Panawijen yang
dibantu oleh sepasukan prajurit dari Tumapel.
Kedatangan kedua orang tua-tua itu telah
mengejutkan Mahisa Agni dan Ki buyut Panawijen. Dipersilahkannya kedua
orang itu duduk beristirahat, sementara Mahisa Agni mengakhiri kerja
hari itu karena matahari telah hampir lenyap ditelan cakrawala.
Mahisa Agni dan Ki Buyut tidak sempat
membersihkan dirinya lebih dahulu. Dengan hati berdebar-debar ditemuinya
ke dua orang tua-tua yang baru saja datang dari Panawijen. Kedatangan
mereka bagi Mahisa Agni dan Ki Buyut dan bahkan bagi seluruh orang-orang
Panawijen yang sedang bekerja di Padang Karautan, merupakan suatu hal
yang sangat menarik perhatian. Mereka tahu, bahwa apabila tidak terpaksa
sekali, maka tidak akan ada seorang pun yang berani melintasi Padang
yang menakutkan bagi mereka.
Kedua laki-laki tua itupun tidak
membiarkan Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen terlalu lama digelisahkan
oleh teka-teki tentang kedatangan mereka. Segera mereka menceriterakan
apa yang telah terjadi di padukuhan mereka. Mereka berbicara ganti
berganti dan saling tambah menambahi sehingga ceritera tentang kebakaran
di Panawijen itu menjadi sebuah ceritera yang menegangkan hati Mahisa
Agni dan Ki Buyut Panawijen.
Dengan dada yang berdebar-debar beberapa
orang lain mendengar juga ceritera tentang kebakaran itu. Sehingga
tiba-tiba salah seorang berkata, “Kita tidak lagi mempunyai persediaan
makan. Apakah kita masih juga mampu bekerja untuk membuat bendungan
ini?”
Suasana kemudian menjadi sepi. Pertanyaan
itu hinggap pula di setiap dada orang-orang Panawijen, bahkan juga
Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.
“Bagaimana mungkin kebakaran itu dapat terjadi?“ bertanya Mahisa Agni.
Kedua laki-laki itu menggelengkan kepala
mereka. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tak seorang pun yang tahu
sebabnya. Tetapi udara di Panawijen akhir-akhir ini terasa sangat
panas.”
“Apakah demikian panasnya sehingga memungkinkan lumbung-lumbung padi dan jagung itu terbakar dengan sendirinya?”
Sekali lagi kedua laki-laki tua itu
menggelengkan kepala mereka, “Kami tidak tahu. Tetapi menurut pengamatan
kami, tak ada seorang pun bahkan anak-anak yang bermain-main di dekat
lumbung-lumbung itu, apalagi bermain-main dengan api.”
Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen
menekurkan kepala mereka. Kini terbayang kembali kesulitan-kesulitan
yang bakal mereka alami. Mereka baru saja mendapatkan kejutan yang
mendorong orang-orang Panawijen bekerja lebih keras dengan kedatangan
Prajurit-prajurit dari Tumapel. Tetapi peristiwa ini pasti akan
memperlemah lagi usaha mereka menyelesaikan bendungan itu. Mungkin untuk
sementara Mahisa Agni dapat mencoba mengatasi dengan menanam apa saja
di sepanjang lereng-lereng sungai dan dataran-dataran serta
lembah-lembah yang basah. Tetapi tanah itu tidak seberapa luas.
Sedangkan seluruh mulut yang ada di Panawijen harus disuapinya.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu
dipecahkan oleh suara tertawa perlahan-lahan. Ketika mereka berpaling,
mereka melihat Ken Arok berdiri di belakang orang-orang Panawijen yang
mengerumuni kedua laki-laki tua itu. Ketika anak muda itu beradu pandang
dengan Mahisa Agni, maka katanya, “Jangan risau Agni. Besok aku akan
mengirim dua orang prajurit ke Tumapel. Aku akan memberikan laporan apa
yang telah kami kerjakan di sini. Dan aku akan dapat memberikan laporan
tentang Panawijen itu pula. Peristiwa itu sama sekali bukan peristiwa
yang penting. Bukankah aku pernah berkata, bahwa Tuanku Akuwu
menyanggupkan bantuan apa saja yang kau perlukan? Coba katakan,
berapakah jumlah lumbung yang terbakar itu? Sepuluh atau dua puluh
barak? Berapa pikul padi dan jagung yang telah terbakar?“ Ken Arok
berhenti sejenak. Dipandangnya setiap wajah yang tiba-tiba kembali
bersinar, “jangan kalian cemaskan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar
mendengar kata-kata Ken Arok itu. Sekali lagi kepalanya jatuh tepekur.
Kebaikan bati Tunggul Ametung yang melimpah-limpah itu telah
menggetarkan perasaannya. Sekilas dikenangnya puteri gurunya, Ken Dedes.
Namun Mahisa Agni itu pun kemudian menggigit bibirnya.
“Terima kasih.“ terdengar ia berdesis, “terima kasih atas hadiah yang tiada taranya itu.”
Masih terdengar suara tertawa perlahan
yang meluncur di antara bibir Ken Arok. Wajahnya Yang seolah-olah
bersinar seperti harapan di dalam hati.
Dengan penuh keyakinan ia berkata, “Agni,
Tumapel tidak akan kekurangan beras dan jagung. Bahkan seandainya
seluruh Panawijen itu terbakar sekalipun. Jangan risaukan kebakaran itu.
Kita selesaikan bendungan kita dan sesudah itu aku masih mempunyai satu
tugas lagi, barangkali kalian sudi membantu. Membuat sebuah taman yang
akan dihadiahkan oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya
kelak.”
“Tentu.“ sahut Mahisa Agni dengan serta
merta, “apalagi sekedar membangun sebuah taman. Apapun yang harus kami
lakukan, maka kami tidak akan dapat ingkar lagi.”
Wajah Ken Arok menjadi semakin cerah
karenanya. Wajah yang bagi Mahisa Agni memiliki beberapa perbedaan dari
wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat
mengatakan, apakah sebabnya maka ia melihat perbedaan itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Orang-orang Panawijen kini tidak lagi kehilangan harapan untuk
menjelesaikan bendungannya setelah mendengar janji Ken Arok. Tetapi
meskipun demikian kebakaran di Panawijen itu menimbulkan teka-teki pula
di dalam dada mereka.
Agaknya kebakaran itu bukan saja
menumbuhkan teka-teki di dalam dada Mahisa Agni. Ia merasa mempunyai
tanggungjawab untuk melihat, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Selanjutnya mencegah jangan sampai terulang kembali. Meskipun ia yakin
juga seperti Ken Arok, bahwa Akuwu Tunggul Ametung bersedia memberi
mereka beras dan jagung berapa saja yang mereka butuhkan, tetapi untuk
terlampau menggantungkan diri kepada bantuan itu bagi Mahisa Agni adalah
kurang bijaksana. Orang-orang Panawijen harus mecoba sejauh mungkin
mencukupi kebutuhan diri sendiri. Hanya apabila keadaan tidak
memungkinkan lagi, maka bantuan Akuwu Tunggul Ametung itu akan menjadi
sandaran terakhir bagi mereka.
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa
Agni berkata, “Ken Arok, terimakasih kami orang-orang Panawijen tiada
tara bandingnya atas segala bantuan yang telah kami terima. Namun jangan
berarti bahwa kami harus menyandarkan diri kami kepada bantuan-bantuan
itu saja. Biarlah kami mencoba mencapai kedewasaan kami. Karena itu, aku
ingin melihat apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Aku ingin
berusaha agar kebakaran semacam itu tidak terulang kembali.”
“Apakah hal itu perlu sekali kau lakukan Agni?“ bertanya Ken Arok.
“Perjalanan berkuda ke Panawijen tidak
terlampau jauh. Kalau besok pagi aku berangkat, maka pagi berikutnya aku
sudah berada di tempai ini kembali.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebagai
orang yang telah mengenal Padang Karautan melampaui siapa saja, Ken Arok
membenarkan perhitungan Mahisa Agni. Tetapi terasa sesuatu mengganggu
perasaannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Pekerjaan itu dapat
kau lakukan besok lusa, seminggu bahkan sebulan yang akan datang.
Sekarang tungguilah pekerjaan ini. Pekerjaan yang memberi harapan bukan
saja kepadamu sendiri.”
Mahisa Agni termenung sejenak. Tetapi
hatinya telah mendorongnya untuk berkata, “Sehari dua hari tidak akan
mengganggu Ken Arok. Aku ingin sekali melihat dan berbuat sesuatu untuk
mencegah kebakaran itu terulang. Bahkan mungkin aku dapat menemukan
tanda-tanda lain. Mungkin seseorang telah menjadi panas hati melihat
hasil kerja orang-orang Panawijen.”
Ken Arok tidak segera menyahut. Dicobanya
untuk mengerti perasaannya sendiri. Aneh. Ia tidak mengerti dengan
pasti bahaya yang dapat mengancam Mahisa Agni di perjalanan, tetapi
seakan-akan sesuatu bakal terjadi. Ia pernah melihat Kuda Sempana
berkelahi dengan Mahisa Agni di Padang ini. Ia tahu benar bahwa Kuda
Sempana mempunyai seorang guru yang sakti. Empu Sada. Tetapi ia tidak
tahu banyak tentang mereka itu.
Kesepian sekali lagi mencengkam suasana.
Ken Arok masih juga berdiri di tempatnya sambil mengerutkan keningnya,
sedang Mahisa Agni yang duduk di antara kerumunan orang-orang Panawijen
bersama dua laki-laki tua yang baru saja datang, menekurkan kepalanya,
seakan-akan terbayanglah di rongga matanya nyala api yang menggapai
langit menelan beberapa buah lumbung dan rumah-rumah di Panawijen.
Dalam kesenyapan itu hampir semua kepala
berpaling ketika mereka mendengar seseorang berkata perlahan-lahan,
“Agni. Aku sependapat dengan angger Ken Arok. Padang Karautan bukanlah
jalan yang lapang selapang Padang itu sendiri bagimu.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat pamannya Empu Gandring berdiri di luar lingkaran orang-orang
Panawijen seperti Ken Arok. Dan terbayang di wajah orang tua itu
kekhawatiran dan kecemasan. Berbeda dengan Ken Arok Empu Gandring
mempunai perhitungan-perhitungan yang lebih jelas tentang setiap
kemungkinan yang dapat terjadi atas kemanakannya itu.
“Kau seharusnya dapat menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang pernah kau alami Agni.“ berkata Empu Gandring
itu, “Karena itu, sabarkanlah dirimu. Tunggulah sampai beberapa saat.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi
dipandanginya dua laki-laki tua yang baru saja datang dari Panawijen
itu berganti-ganti.
Tiba-tiba salah seorang laki-laki itu
berkata, “Kami mengharap sekali kehadiran Mahisa Agni. Kami ingin
mendapatkan kepastian bahwa kami tidak akan mati kelaparan.”
“Aku memberikan jaminan itu.“ sahut Ken Arok.
“Tetapi orang-orang Panawijen belum mendengarnya.”
“Bukankah kau dapat mengatakan kepada mereka.”
Sejenak kedua laki-laki itu terdiam.
Namun salah seorang dari mereka berkata, “Entahlah, aku tidak tahu apa
sebabnya. Tetapi tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak berani kembali
berdua dengan kawanku ini, Apalagi setelah aku mendengar bahwa Padang
Karautan masih juga menyimpan banyak bahaya.”
Kini semua orang terdiam. Beberapa di
antara mereka saling berpandangan. Ada juga yang menjadi gelisah.
Rumah-rumah siapakah yang terbakar itu? Jangan-jangan rumah mereka telah
menjadi abu. Tetapi tak seorang pun yang bertanya, sebab seandainya
mereka mendapat kesempatan, maka mereka pun tidak akan berani melihat ke
Panawijen.
Dalam pada itu terdengar Ken Arok
bertanya, “Tetapi Kaki berdua telah berani menempuh perjalanan kemari.
Ternyata Kaki tidak juga mengalami sesuatu di perjalanan. Kenapa Kaki
berdua tidak berani kembali kepadukuhan Kaki?”
Kedua laki-laki itu menggelengkan
kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Aku tidak tahu sebabnya
Ngger. Aku juga tidak tahu apakah yang telah mendorong aku sehingga aku
berani menyeberangi Padang Karautan. Tetapi apabila kini ternyata Padang
itu berbahaya, sedangkan Mahisa Agni saja masih juga harus
berhati-hati, apalagi kami berdua.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jalan pikiran orang tua-tua itu dapat dimengertinya.
Yang menyahut kemudian adalah Empu
Gandring, “Kalian telah lanjut usia. Mungkin sebaya atau bahkan lebih
tua dari padaku. Karena itu maka justru kalian tidak akan terganggu di
sepanjang perjalanan. Tak ada seorang pun yang akan mengganggu
orang-orang tua. Aku pun berani menyeberangi Padang itu, sebab aku juga
sudah tua. Apakah kalian bersedia apabila kami bertiga pergi, melintasi
Padang Karautan?”
Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu
saling berpandangan sesaat. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab,
“Kalau kami berdua harus pulang ke Panawijen, maka kami mengharap bahwa
kami akan mendapat kawan yang sekiranya akan dapat melindungi kami.
Kalau kami pergi bersama orang-orang tua sebaya dengan kami, maka aku
rasa, kehadiran seorang kawan itu tidak akan banyak memberikan
ketenteraman di hati kami.”
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban
itu. Ken Arok pun dengan serta merta bergeser setapak. Diamatinya orang
tua yang bernama Empu Gandring dengan sudut matanya. Tetapi Empu
Gandring sendiri hanya tersenyum. Katanya, “setidak-tidaknya kita
mempunyai seorang lagi untuk kawan bercakap-cakap. Dengan demikian kita
akan dapat melupakan ketegangan di sepanjang perjalanan. Bukankah kita
akan berjalan siang hari?”
“Yang kami perlukan bukan seorang kawan
bercakap-cakap.“ sahut salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu,
“tetapi seseorang yang akan menyelamatkan kami dari setiap bencana yang
dapat menerkam kami di sepanjang perjalanan kami. Aku kira tak ada
duanya yang dapat aku sebut namanya selain Mahisa Agni. Mahisa Agni akan
dapat memberi perlindungan kepada kami di sepanjang perjalanan kami.
Sedang orang-orang Panawijen akan mendapatkan ketenangan mendengar janji
itu diucapkan oleh Mahisa Agni sendiri.”
Hampir bersamaan, Mahisa Agni, Ken Arok
dan Ki Buyut Panawijen berpaling memandangi wajah Empu Gandring. Tetapi
orang tua itu masih juga tersenyum.
“Hem.“ Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam, “orang-orang tua itu tidak tahu siapakah paman Empu
Gandring. Mereka menyangka bahwa Empu Gandring adalah seorang tua
seperti mereka itu sendiri.”
Tetapi permintaan orang-orang tua itu
benar-benar telah membuat kepala Mahisa Agni pening, la sendiri ingin
sekali melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Tetapi ia
menyadari juga, bahwa setiap kali ia akan dapat ditelan bahaya.
Meskipun demikian Mahisa Agni merasa,
bahwa ia berkepentingan sekali datang ke Panawijen. Bahaya itu adalah
baru suatu kemungkinan. Ia dapat pergi siang hari, berpacu di Padang
yang kering. “Apakah bahaya itu mengintai juga di siang hari? Betapapun
kuatnya keinginan seseorang untuk mencelakai aku, tetapi aku sangka
mereka tidak akan berjemur di terik panas seperti itu. Mereka pun pasti
menyangka bahwa aku selalu memilih waktu di malam hari, di udara yang
sejuk. Dan apakah aku sekarang ini sudah menjadi seorang pengecut?”
Perasaan itu selalu berdentangan di dalam
dada Mahisa Agni. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata, “Ki Buyut,
Paman Empu Gandring dan kau Ken Arok. Aku ternyata tidak dapat memilih
selain memenuhi permintaan kedua orang-orang tua ini. Meskipun demikian
aku harus berhati-hati. Aku akan pergi ke Panawijen di siang hari.”
Ketiga orang itu terdiam sejenak.
Tampaklah wajah-wajah itu menjadi tegang. Bahkan orang-orang Panawijen
yang berkerumun itu pun menjadi tegang pula.
“Apakah itu sudah menjadi keputusanmu Agni?“ bertanya Ken Arok.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya.”
“Keputusan yang tergesa-gesa.“ desis Empu Gandring.
Kedua orang laki-laki yang datang dari
Panawijen itu berpaling kepada Empu Gandring. Mereka menjadi tidak
senang mendengar kata-katanya yang seolah-olah selalu berusaha
merintangi kepergian Mahisa Agni ke Panawijen. Sehingga karena itu salah
seorang berkata, “Kenapa kau mencoba mencegah kepergiannya? Bahkan kau
sendiri akan mengantarkan kami?”
Mahisa Agni terperanjat mendengar
kata-kata itu. Hampir-hampir ia menyahut, tetapi ternyata Empu Gandring
mendahuluinya, “Maafkan aku ki sanak. Mungkin aku terlampau mencemaskan
nasib anak muda itu.”
“Ia telah dapat menilai dirinya sendiri.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, sahutnya, “Mungkin. Mungkin demikian. Tetapi ia masih
terlampau muda. Darahnya masih terlampau cepat mendidih.”
“Itulah anak-anak muda yang berani dan
bertanggungjawab. Memang kita orang-orang tua kadang-kadang tidak dapat
mengerti tentang anak-anak muda apalagi seperti Mahisa Agni. Itu adalah
karena kebodohan kita masing-masing.”
Empu Gandring tidak menjawab lagi. Ia tidak dapat berbincang dengan kedua laki-laki tua dari Panawijen itu.
Tetapi dengan demikian Mahisa Agni lah
yang menjadi gelisah. Pamannya adalah seorang yang sukar dicari duanya.
Orang tua itu telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan
orang-orang yang pilih tanding. Gurunya, Panji Bojong Santi, Empu Sada
dan lain-lainnya. Untunglah bahwa Empu Gandring memiliki kesabaran yang
cukup sehingga ia dapat dengan wajar menanggapi kata-kata kedua
laki-laki tua dari Panawijen yang tidak mengenalnya itu.
Yang kemudian terdengar adalah salah
seorang laki-laki tua itu berkata, “Angger Mahisa Agni. Aku harap kau
mendengarkan suara hati orang-orang Panawijen. Mereka cukup puas apabila
mereka melihat Angger datang ke Panawijen. Memberikan beberapa
keterangan dan memberikan ketenteraman kepada mereka. Apalagi janji yang
telah diucapkan oleh angger yang agaknya seorang pemimpin dari Tumapel.
Dengan demikian maka orang-orang Panawijen tidak selalu dikejar-kejar
oleh kegelisahan karena bayangan bahaya kelaparan yang akan menimpa
mereka.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Sejenak ditatapnya wajah pamannya yang suram. Tetapi laki-laki tua dari
Panawidjen itu berkata, “Jangan hiraukan orang-orang lain. Apalagi
mereka yang bukan orang Panawijen. Mereka tidak dapat merasakan betapa
kecemasan telah mencengkeram seluruh padukuhan. Tanah yang kering
kerontang, daun-daun yang menjadi kuning dan gugur di tanah. Kini
beberapa lumbung desa kami terbakar.”
Detak jantung Mahisa Agni serasa menjadi
berdentangan di dalam dadanya. Hampir-hampir ia berkata, “siapakah
laki-laki tua yang memang sebenarnya bukan orang Panawijen itu. Tetapi
ia adalah seorang yang dapat berbuat banyak di Padang Karautan ini.”
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terdengar ia berkata perlahan-lahan, “Sebenarnyalah demikian Agni.
Segala sesuatu tergantung kepadamu. Dihadapanmu terbentang banyak
pekerjaan dan kewajiban yang terlampau sulit.”
Dahi Mahisa Agni menjadi semakin berkerut
merut. Tetapi keinginannya untuk pergi ke Panawijen sangat mendesaknya.
Ia dapat membayangkan betapa orang-orang yang tinggal di Panawijen
menjadi terlampau gelisah dan cemas. Perempuan dan anak-anak pasti tidak
akan dapat tidur nyenyak karena hantu kelaparan yang selalu
menakut-nakuti mereka.
“Paman.“ berkata Mahisa Agni kemudian,
“aku terpaksa pergi ke Panawijen. Tetapi kali ini aku akan pergi di
siang hari. Mudah-mudahan aku terhindar dari segala macam bahaya.”
Tanpa mereka sengaja, maka Empu Gandring
dan Ken Arok saling berpandangan. Dan tanpa berjanji pula mereka
berdesis, “Kau jangan pergi seorang diri.”
Mahisa Agni memandangi wajah pamannya dan Ken Arok berganti-ganti, “Aku hanya akan pergi sehari saja.”
“Sehari atau seminggu bahaya itu bagimu sama saja Agni.“ berkata pamannya.
Mahisa Agni menyadari kata-kata pamannya
itu. Tetapi apakah ia harus mengecewakan orang-orang Panawijen yang
sedang dicengkam oleh ketakutan itu? Mahisa Agni tidak dapat melupakan,
bahwa kekeringan yang menimpa Panawijen itu adalah akibat dari sikap
gurunya yang sedang kehilangan ke seimbangan. Ia tidak dapat melemparkan
kesalahan itu ke pada orang lain berturutan, sehingga akhirnya
kesalahan itu akan dibebankan kepada Kuda Sempana. Tidak. Ia harus turut
bertanggung jawab atas akibat dari kekhilafan gurunya itu.
Apalagi ketika terpandang olehya wajah-wajah laki-laki tua yang datang dari Panawijen dengan sepenuh harapan.
Karena itu maka Mahisa Agni pun kemudian
berkata, “Paman, aku tidak dapat mengecewakan orang-orang Panawijen.
Bukan karena aku selalu dapat mengatasi setiap kesulitan dan memberi apa
saja yang mereka butuhkan tetapi mereka memerlukan kawan untuk ikut
serta merasakan kecemasan dan kegelisahan. Adalah hanya karena
pertolongan Yang Maha Agung lah kemudian apabila dapat kita temukan
jalan keluar dari kesulitan-kesulitan itu. Kali ini, dalam hal
kekurangan persediaan bahan makanan, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah
menjadi lantaran untuk meringankan beban kita.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan kemudian terloncat dari bibirnya, “Baiklah Agni. Kalau
kau tidak dapat lagi merubah keputusanmu.”
Sebelum Empu Gandring menyelesaikan
kalimatnya, salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu memotong,
“Keputusan itu adalah keputusan yang paling bijaksana.”
Empu Gandring sama sekali tidak
menanggapinya. Ia masih berkata kepada Mahisa Agni, “Berangkatlah besok
pagi. Aku pergi bersamamu.”
Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu
mengangkat wajahnya. Sambil memandangi Empu Gandring salah seorang dari
mereka bertanya, “Buat apa kau ikut dengan Mabisa Agni?”
Mahisa Agni tidak lagi dapat menahan
dirinya. Terasa sesuatu mendesak di dalam dadanya. Dan tanpa sesadarnya
ia membentak, “Kaki. Aku sudah memenuhi permintaanmu. Tetapi jangan
terlampau banyak mempersoalkan orang lain yang sama sekali tidak kau
ketahui keadaannya.”
Kedua laki-laki itu benar-benar terkejut
mendengar Mahisa Agni membentak, sehingga keduanya menjadi terbungkam.
Wajah merekapun menjadi pucat dan bibir mereka menjadi gemetar. Mereka
tidak tahu kenapa tiba-tiba Mahisa Agni menjadi marah kepada mereka.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia berkata, “Biarkan mereka menyatakan pikirannya Agni.”
Dada Mahisa Agni seakan-akan menjadi sesak. Perlahan-lahan ia berdesis, “Maafkan aku Kaki. Bukan maksudku menyakiti hatimu.”
Sejenak kemudian mereka terdampar ke
dalam suasana yang sepi. Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu masih
gemetar. Mereka benar-benar tidak menyadari apa yang sedang mereka
lakukan. Tanpa mereka kehendaki, mereka telah ikut serta menjerumuskan
Mahisa Agni ke dalam bahaya.
Yang mereka angan-angankan adalah, bahwa
apabila mereka berhasil membawa Mahisa Agni datang ke Panawdjen, maka
mereka akan menjadi pahlawan. Mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak
dapat dilakukan oleh orang lain. Mereka sama sekali tidak mengerti
keadaan Mahisa Agni sebenarnya, dan mereka tidak merasa, bahwa merekapun
ternyata telah terjebak dalam suatu akal yang licik dari Kebo Sindet
dan Wong Sarimpat.
Dalam pada itu terayata bukan saja Empu
Ganring yang menjadi cemas atas nasib Mahisa Agni. Ken Arokpun merasakan
sesuatu yang tidak dapat dimengertinya sendiri. Karena itu maka
kemudian ia berkata, “Mahisa Agni. Aku akan menyiapkan tujuh orang yang
terpilih, untuk mengawanimu pergi ke Panawijen.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia
tidak menyangka akan mendapat tawaran itu. Tetapi sayang, bahwa hati
kecilnya meronta. Ia sama sekali bukan seorang pemimpin, tetapi juga
bukan seorang penakut. Karena itu, maka pangawalan tujuh orang prajurit
akan membuatnya menjadi canggung. Karena itu maka jawabnya, “Terima
kasih Ken Arok. Terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi maaf aku tidak
dapat menerimanya. Pengawalan prajurit sama sekali bukanlah hakku, dan
sama sekali tidak sepantasnya terjadi. Aku hanya seorang anak padesan
yang tidak berarti.”
“Jangan terlampau merendahkan dirimu
Agni.” sahut Ken Arok, “aku sama sekali tidak memandang siapakah kau.
Tetapi aku merasakan suatu ketidak wajaran. Sedang kau sekarang sedang
dibebani oleh tugas yang cukup berat.”
Mahisa Agni menggeleng lemah, “Terima kasih Ken Arok. Tetapi maaf, aku kira aku tidak akan dapat menerimanya.”
“Apakah kau tersinggung karenanya?”
bertanya Ken Arok, “aku sama sekali tidak ingin menganggapmu seperti
kanak-anak yang masih selalu memerlukan dayang dan pengasuh. Tidak.
Tetapi Padang Karautan memang menyimpan seribu macam rahasia.”
“Rahasia itu sekarang telah berada di tanganmu.”
“Satu di antaranya.” jawab Ken Arok,
“tetapi aku pernah melihat tiga hantu Karautan berkumpul di sini,
kemudian hadir seorang sakti yang bernama Empu Sada. Setelah itu
ternyata di Padang ini telah singgah pula seorang yang barnama Empu
Gandring. Akhir-akhir ini di Padang ini pula berkeliaran penunggang kuda
tanpa pelana, hantu dari Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat. Sebelumnya di hutan menjelang Padang ini terdengar pula
seorang berkasa kulit harimau, guru kakang Witantra, Panji Bojong Santi.
Nah, Agni. Apakah tujuh orang prajurit itu masih kau anggap
berlebih-lebihan.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
Kata-kata yang diucapkan oleh Ken Arok itu sama sekali tak dapat
disangkalnya. Ia mengakui bahwa semuanya itu benar-benar membuat Padang
ini semakin banyak menyimpan rahasia. Tetapi bagaimanapun juga, Mahisa
Agni merasa canggung apabila ia harus mendapat pengawalan tujuh orang
prajurit Tumapel.
Karena itu dengan berat hati ia berkata,
“Terima kasih Ken Arok. Aku dapat menerima kemurahan Akuwu Tunggul
Ametung atas bendungan yang sedang kita bangun. Aku tidak akan menolak
seandainya nanti Akuwu Tunggul Ametung memberikan hadiah bahan makanan
kepada kami, orang-orang Panawijen yang kelaparan. Tetapi aku tidak
dapat menerima kebaikan hatimu, justru untukku sendiri. Aku tidak dapat
berjalan seperti seorang Senapati yang dikawal oleh
prajurit-prajuritnya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
Mahisa Agni bukanlah sanak dan bukan kadangnya. Tetapi ia merasa sesuatu
telah memaksanya untuk mencoba melindunginya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dua
laki-laki tua dari Panawijen itu duduk membeku. Nama-nama yang disebut
oleh Ken Arok sebagian besar belum pernah mereka dengar. Tetapi suasana
pembicaraan itu membayangkan kepada mereka bahwa di Padang Karautan itu
memang tersimpan berbagai macam persoalan.
Tetapi kedua laki-laki itu sama sekali
tidak dapat mengerti kenapa Mahisa Agni menolak ketujuh orang prajurit
yang diberikan oleh Ken Arok kepadanya. Bukankah dengan demikian
perjalanan mereka akan menjadi bertambah aman? Mereka sama sekali tidak
merasakan kejanggalan dan keseganan itu. Bahkan mereka sama sekali tidak
berpikir tentang keadaan diri sendiri dalam hubungannya dengan para
prajurit itu.
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok, “Agni, kalau demikian, maka aku akan ikut besertamu.”
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata
itu, sehingga duduknya berkisar setapak. Dengan serta merta ia menjawab,
“Ken Arok, jangan hiraukan aku. Lakukanlah kewajiban yang dibebankan
kepadamu oleh Akuwu Tunggul Ametung. Memimpin para prajurit dan Pelayan
Dalam istana untuk membantu membuat bendungan ini. Tetapi jangan
mempersulit dirimu dan menghiraukan hal-hal yang kecil yang bukan
kewajibanmu, tetapi justru dapat mendatangkan bencana bagimu.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya,
katanya, “Aku dapat bersikap sebagai seorang pemimpin dari para prajurit
ini, tetapi aku juga dapat bersikap sebagai Ken Arok pribadi, Ken Arok
yang untuk pertama kalinya bertemu dengan Mahisa Agni di Padang Karautan
ini. Karena itu, maka biarlah aku melepaskan pakaian kepemimpinanku
sejenak dan menyerahkan kepada orang lain. Aku, Ken Arok akan pergi
bersamamu menyeberangi Padang ini. Aku ingin mengenangkan kembali
segarnya udara terbuka, hijaunya daun-daun perdu dan panasnya terik
matahari. Jangan menolak Agni. Sebab menolak atau tidak, aku mempunyai
kebebasan untuk melakukannya. Pergi ke Panawijen atau tinggal di sini.”
Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Sama
sekali ia tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Karena itu maka
sekali lagi suasana menjadi sepi. Kadang-kadang terdengar beberapa orang
yang duduk di sekitar Mahisa Agni itu saling berbisik. Kadang-kadang
mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka, namun kadang-kadang
wajah-wajah itu menjadi sangat tegang.
Mahisa Agni sendiri sejenak tidak dapat
mengucapkan sepatah katapun. Ia tidak menyangka bahwa begitu besar
perhatian orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya. Terbersitlah rasa
terima kasih yang menyentuh hatinya, tetapi ia pun menjadi canggung pula
karenanya. Ia biasa hidup sebagai seorang anak padepokan yang
bertanggung jawab. Yang biasa meletakkan kewajiban pada usaha sendiri.
Tetapi kini ia harus menghadap suatu kenyataan yang lain meskipun
persoalannya dapat dimengertinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih
mencoba menjawab, “Ken Arok, aku sekali lagi mengucapkan terima kasih
kepadamu. Aku memang tidak akan dapat menolak apalagi melarang,
seandainya kau dengan kehendakmu sendiri ingin menjelajahi Padang
Karautan ini. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak justru
meninggalkan kewajiban yang dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung
kepadamu?”
“Itu adalah tanggung jawabku Agni.
Seandainya aku akan dianggap mengabaikan kewajibanku sekalipun, maka
akulah yang akan menerima akibatnya.”
Mahisa Agni tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Ia tabu benar, bahwa sama sekali bukan maksud Ken Arok untuk
memaksa kehendaknya atasnya, tetapi apa yang dilakukannya itu terdorong
oleh perasaan cemas dan gelisah.
Akhirnya Mahisa Agni berkata, “Baiklah.
Kalau kau ingin juga pergi menyeberangi Padang Karautan ini. Aku tahu
bahwa itu bukan semata-mata karena kau telah merindukan udara Padang
yang luas ini, bukan karena kau ingin mendengar angin yang gemerisik
membelai dedaunan yang mulai kering menguning. Tidak pula karena kau
ingin melihat angin pusaran yang menaburkan debu dan rerumputan kering.
Tetapi karena kau melihat sesuatu yang mencemaskan hatimu. Tentang aku.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya perlahan-lahan, “Terserah kepadamu Agni. Apakah yang akan kau
katakan tentang aku.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Angin senya bertiup semakin lama semakin kencang. Tiba-tiba mereka melihat kilat memancar.
Dada Mahisa Agni berdesir. Tanpa
disadarinya Ditatapnya langit di luar gubugnya. Tetapi langit itu tampak
bersih. Satu dua bintang telah mulai menampakkan dirinya, berkeredipan
seperti batu permata.
“Hem, apakah sudah akan sampai waktunya
musim basah tiba.“ pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya, “Bendungan
itu masih belum siap seluruhnya. Tetapi menilik mangsa, hujan baru akan
datang dua bulan lagi, dan banjir yang pertama menurut kebiasaan akan
datang kira-kira tiga bulan lagi.”
Mahisa Agni terkejut ketika pamannya
berkata, “Apakah kita sudah menjatuhkan putusan? Besok kau pergi bersama
aku dan angger Ken Arok?”
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab, “Demikianlah paman.”
“Baiklah.“ sahut pamannya, “sekarang aku akan beristirahat. Besok kita berangkat pagi-pagi.”
“Silahkan paman.” jawab Mahisa Agni.
“Aku juga akan mempersiapkan diri.“
berkata Ken Arok, “aku akan menyerahkan pimpinan kepada seseorang dan
memerintahkan dua orang untuk pergi ke Tumapel. Ke dua prajurit akan
melaporkan keadaan di Padang ini dan akan menyampaikan berita kebakaran
di Panawijen. Aku yakin kalau Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan
menyangupi memberi bantuan kepada orang-orang Panawijen.
Setidak-tidaknya bagi orang-orang Panawijen yang berada di Padang
Karautan ini, sehingga mereka tidak perlu mengurangi persediaan makan
dari lumbung-lumbung yang masih ada di Panawijen.”
“Terima kasih Ken Arok.“ desis Mahisa
Agni sambil menundukkan kepalanya. Getar dadanya serasa semakin cepat
mengalir. Bantuan-bantuan yang datang itu telah mengharukan perasaannya.
Akhirnya perasaan terima kasih yang tidak
terhingga dipanjatkannya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena
tangan-Nya lah maka semua itu dapat terjadi.
Sejenak kemudian Ken Arok telah
meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk tepekur. Beberapa orang
lainpun satu-satu beranjak pula dari tempat duduk mereka, kembali
kegubug-gubug masing-masing. Mereka menjadi gelisah setelah mereka
mendengar berita kebakaran di Panawijen. Tetapi mereka pun menjadi
gelisah pula mendengar pembicaraan orang-orang penting di sekitar
mereka. Mereka ingin Mahisa Agni melihat bekas-bekas kebakaran itu untuk
memastikan sebab-sebabnya, tetapi mereka juga mengharap di dalam
hatinya, agar Mahisa Agni tidak usah pergi ke Panawijen, sebab menurut
pendengaran mereka, Padang Karautan benar-benar merupakan Padang yang
dipenuhi oleh seribu macam rahasia.
Tetapi mereka tidak dapat mengatakan
kepada Mahisa Agni, kepada Ken Arok atau kepada paman Mahisa Agni.
Mereka juga tidak dapat mengatakan kepada kedua laki-laki tua yang baru
datang dari kampung halaman mereka, bahwa sebaiknya Mahisa Agni tidak
usah mereka ajak kembali ke Panawijen. Namun satu dua orang berpendapat
bahwa sebaiknya Mahisa Agni pergi saja ke Panawijen, supaya apabila ia
kembali ke Padang ini, ia dapat mengatakan apa yang telah terjadi.
Sehingga dengan demikian mereka tidak selalu dihantui oleh bayangan yang
mungkin sangat ber lebih-lebihan.
Ketika tempat itu menjadi semakin sepi,
maka Mahisa Agni terkejut mendengar suara Ki Buyut Panawijen dekat di
sampingnya, “Angger, aku juga ingin turut ke Panawijen.”
“Oh.” Mahisa Agni mengangkat wajahnya dan
dengan serta merta ia berkata, “Jangan Ki Buyut. Aku sudah meninggalkan
pekerjaan ini. Sebaiknya Ki Buyut lah yang kini menunggui mereka supaya
mereka tidak menjadi kehilangan gairah.”
“Tetapi aku juga ingin melihat apa yang terjadi itu ngger.”
“Lain kali Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut
tetap bersama mereka yang sedang bekerja. Aku, paman Empu Gandring dan
Ken Arok telah meninggalkan Padang ini. Para prajurit Tumapel itu pun
diserahkannya kepada orang lain. Karena itu sebaiknya Ki Buyut tetap
berada di sini.”
Ki Buyut Panawijen menatap wajah Mahisa
Agni dengan pancaran kekecewaan hatinya. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu. Dicobanya untuk mengerti kata-kata Mahisa Agni itu.
“Ki Buyut.” Mahisa Agni meneruskan,
“kerja yang besar ini tidak akan dapat kita tinggalkan bersama-sama. Aku
telah melihat sekali-sekali kilat memancar di langit. Sebentar lagi
kita akan sampai pada musim basah. Sebelum banjir yang pertama mengaliri
sungai ini, maka bendungan kita harus sudah meyakinkan, bahwa ia tidak
akan hanyut karenanya.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
“Karena itu.” Mahisa Agni meneruskan,
“kita harus bekerjya keras untuk menyelesaikannya. Untunglah bahwa kita
mendapat bantuan para prajurit dari Tumapel itu.”
Ki Buyut Panawijen masih
mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Baiklah
ngger. Biarlah aku tinggal di sini menunggui mereka yang sedang
bekerja.”
“Terima kasih Ki Buyut.” sahut Mahisa Agni, “mudah-mudahan semuanya dapat kita selesaikan bersama-sama.”
Ki Buyut kemudian meninggalkan Mahisa
Agni kembali kegubugnya. Udara masih juga terasa agak panas, meskipun
angin telah bertiup agak kencang. Gelap malam pun semakin lama menjadi
semakin pekat. Ketika Mahisa Agni menengadahkan wajahnya, dilihatnya
dari celah tutup keyong gubugnya, bintang-bintang sudah berpijaran di
langit yang biru hitam.
Kedua laki-laki tua yang datang dari
Panawijen masih berada di dalam gubug itu. Ketika suasana menjadi
semakin sepi, dan tidak ada orang lain di dalam gubugnya, maka salah
seorang daripadanya bertanya, “Agni, siapakah orang tua itu?”
“He.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “bukankah itu Ki Buyut. Apakah kalian telah melupakannya?”
“Bukan. Bukan Ki Buyut. Apakah aku sudah
gila sehingga aku tidak mengenalnya lagi.” sahut orang itu, “maksudku
orang tua yang selalu mencoba menghalangi kau pergi ke Panawijen.”
Dahi Mahisa Agni menjadi berkerut merut.
Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak akan
dapat mengatakan lain daripada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian
maka untuk selanjutnya kedua orang itu akan bersikap lebih hati-hati.
Namun hal itu pasti akan mengejutkan mereka. Tetapi menurut pendapat
Mahisa Agni demikianlah sebaiknya-baiknya.
Maka jawabnya, “Kaki, laki-laki tua itu
adalah salah seorang dari mereka yang disebut-sebut sebagai orang aneh
di Tumapel. Ia seorang pembuat keris. Kerisnya hampir tak ada duanya di
dunia ini. Tetapi membuat keris baginya tidak seperti pembuat-pembuat
keris yang lain. Belum pasti setahun sekali ia menghasilnya sebuah
keris. Bahkan mungkin dua tahun. Tetapi apabila sebuah keris
disiapkannya, maka keris itu pilih tanding.”
Kedua laki-laki itu memandangi wajah
Mahisa Agni dengan tegangnya. Tetapi mereka tidak segera tahu, siapakah
orang itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah
orang itu?”
“Orang itu telah pula disebut-sebut namanya oleh Ken Arok.”
“Ya, siapakah namanya?”
“Empu Gandring.”
“O.“ kedua orang itu terbungkam. Mereka
mendengar nama itu tadi disebut pula seorang anak muda pemimpin prajurit
dari Tumapel dalam deretan nama-nama yang asing bagi mereka, tetapi
kesan yang mereka tangkap adalah terlampau dahsyat. Justru karena itu
maka mereka tidak lagi mengucapkan sepatah katapun. Dada mereka
seakan-akan tersumbat oleh penyesalan.
Yang berbicara kemudian adalah Mahisa
Agni, katanya, “Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kita berangkat
pagi-pagi supaya kita sampai di Panawijen sebelum sore hari.”
“Begitu cepat?”
“Tidak terlampau cepat. Perjalanan yang sedang.”
Kedua orang itu tidak menjawab lagi.
Mahisa Agni telah menyediakan untuk mereka sehelai tikar pandan yang
dibentangkan di atas setumpuk rumput-rumput kering.
Malam pun kemudian menjadi semakin dalam.
Setapak demi setapak bintangi berkisar kebarat menuju kecakrawala.
Angin malam yang sejuk berhembus dari Selatan. Dan embun pun kemudian
setetes-setetes menitik dan hinggap di dedaunan yang menguning.
Ketika fajar menyingkap kehitaman langit
di ujung Timur, maka Mahisa Agni dan Kawan-kawannya pun telah bersiap.
Kedua laki-laki tua dari Panawijen, Empu Gandring dengan sebilah keris
raksasa di punggungnya, Ken Arok dengan pedang di lambung dan Mahisa
Agni sendiri. Seperti Ken Arok Mahisa Agnipun membawa pedang pula
tergantung pada ikat pinggang kulit yang lebar.
Terasa oleh orang-orang Panawijen dan
para prajurit Tumapel, bahwa orang-orang yang berangkat melintasi Padang
Karautan itu benar-benar telah bersiap untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Ketika langit menjadi semakin terang,
maka mereka pun segera berangkat, dilepas oleh Ki Buyut Panawijen dan
orang lain yang sebentar lagi akan mulai pula bekerja menyelesaikan
bendungan itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu pun
segera berpacu. Tetapi mereka tidak dapat berjalan seperti yang mereka
kehendaki, karena kedua laki-laki tua dari Panawijen itu tidak berani
menunggang kuda terlampau kencang. Karena itu maka perjalanan itu pun
merupakan perjalanan yang terlampau lambat bagi Mahisa Agni, Empu
Gandring, apalagi Ken Arok.
Meskipun demikian, namun mereka pun
menjadi semakin lama semakin mendekati pedukuhan Panawijen. Pedukuhan
yang semakin lama menjadi semakin kering. Namun dengan demikian, bagi
Mahisa Agni semakin lama semakin didekatinya bahaya yang bersembunyi di
dalam pedukuhan itu.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah
menunggunya dengan sepenuh harapan tentang berbagai keuntungan yang akan
mereka dapatkan dari pemerasan yang akan mereka lakukan.
Betapapun lambatnya perjalanan itu,
tetapi akhirnya Panawijen telah berada di hadapan hidung mereka, setelah
beberapa kali mereka berhenti melepaskan lelah dan haus, karena kedua
laki-laki tua dari Panawijen itu. Mereka tidak memiliki ketahanan
seperti Mahisa Agni, Empu Gandring yang meskipun sudah tua pula dan
apalagi Ken Arok, seorang yang paling mengenal Padang Karautan melampaui
yang lain-lain.
Sejenak kemudian mereka pun telah
memasuki padukuhan itu. Mereka berlima disambut dengan penuh gairah oleh
orang-orang Panawijen. Apalagi setelah mereka melihat Mahisa Agni, maka
mereka pun menjadi seakan-akan anak-anak yang sudah lama tidak melihat
ayahnya pergi merantau, dan kini ayah itu kembali pulang.
Belum lagi Mahisa Agni sempat
beristirahat, maka beberapa orang-orang telah menemuinya dan
masing-masing berceritera dalam nada yang berbeda-beda tentang kebakaran
yang terjadi dipadukuhan mereka. Tentang beberapa buah lumbung dan
rumah-rumah yang lain.
“Nanti aku akan melihat.” berkata Mahisa
Agni, “sekarang apakah kalian tidak ingin memberi kesempatan kami untuk
beristirahat sebentar.”
“Oh.“ orang-orang Panawijen itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian merekapun menjawab hampir bersamaan,
“Silahkan. Silahkan anakmas beristirahat di rumah Ki Buyut.”
“Terima kasih.” sahut Mahisa Agni, “aku akan beristirahat di padepokanku.”
Mahisa Agni pun kemudian pergi kepadepokannya, padepokan yang pernah didiaminya sejak kanak-kanak.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat menunggu dengan berdebar-debar di rumah Kuda Sempana. Ketika
ayah Kuda Sempana datang, maka dengan tergesa-gesa Wong Sarimpat
bertanya, “He, apakah kau melihat Mahisa Agni. Bukankah orang-orang
ribut menyambut kedatangannya. Anak-anak itu akan menjadi terlampau
congkak. Seakan-akan ia sudah menjadi seorang Akuwu di Panawijen.”
“Aku melihatnya.” sahut ayah Kuda Sempana, “anak muda itu datang berlima.”
“Berlima?” Wong Sarimpat mengerutkan alisnya, sedang wajah Kebo Sindet yang beku masih juga membeku, “siapa saja mereka?”
Ayah Kuda Sempana menggeleng, “Aku tidak tahu. Yang seorang sudah agak tua, membawa sebuah keris yang besar di punggungnya.”
“Empu Gandring.” gumam Wong Sarimpat.
“Yang seorang lagi agaknya prajurit atau Pelayan Dalam seperti Kuda Sempana dahulu. Wajahnya tampan dan bermata terang.”
“Siapakah anak itu Kuda Sempana?” bertanya Wong Sarimpat.
Kuda Sempana menggeleng. Jawabnya kosong, “Aku tidak tahu.”
“Kau pasti tahu.” sahut Wong Sarimpat, “kau pernah menjadi seorang prajurit atau seorang Pelayan Dalam.”
“Tetapi aku tidak melihat siapa orang itu.”
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Ya, kau memang tidak melihat tetapi seharusnya kau
dapat mengira-ngirakan siapakah orang itu.”
“Ada beratus-ratus Pelayan Dalam dan prajurit pengawal di dalam istana. Aku tidak dapat mengenal seluruhnya.”
“Tetapi siapakah yang berwajah tampan dan bermata terang.“ tiba-tiba Wong Sarimpat membentak.
“Jangan terlampau keras berteriak.” Kebo
Sindet memperingatkannya, “kita tidak berada di Kemundungan. Kita berada
di dalam sebuah pedukuhan. Di Kemundungan, suaramu yang keras dan serak
itu hanya akan didengar oleh dinding-dinding padas lereng bukit. Di
sini suaramu akan dapat membuat bayi-bayi menjadi pingsan.”
“Oh.“ Wong Sarimpat mengusap mulutnya
seakan-akan ia akan menghapus suaranya yang telah terlanjur terlontar.
Tetapi kembali ia bertanya merkipun agak perlahan-lahan, “Siapa?”
“Banyak di antara mereka yang tampan dan
bermata, terang.“ sahut Kuda Sempana seakan-akan acuh tak acuh,
“Witantra, Sura, Kukma, Mitra…”
“Cukup.“ sekali lagi Wong Sarimpat
berteriak dan sekali lagi Kebo Sindet memperingatkannya, “Wong Sarimpat.
Apakah kau tidak mempunyai otak?”
Wong Sarimpat terdiam. Tetapi mulutnya masih saja kumat-kamit, dan ia mengumpat tak habis-habisnya di dalam hati.
“Mungkin kau tidak mengenal anak itu Kuda Sempana.“ berkata Kebo Sindet dengan wajah yang beku, “tetapi siapakah yang dua lagi?”
Ayah Kuda Sempana menjawab, “Yang dua adalah laki-laki tua dari Panawijen yang menjemput mereka.”
Kebo Sindet mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kepada Wong Sarimpat ia berkata, “Kita sudah pasti. Siapa pun
prajurit muda itu, tetapi ia bukan orang-orang yang wajib kita
perhitungkan. Kau dapat menahan Empu Gandring, dan aku akan melarikan
Mahisa Agni.”
Wong Sarimpat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kemudian kau lebih baik meninggalkan Empu Gandring. Ia tidak akan dapat menyusulmu. Kudamu pasti lebih baik dari pada kudanya.”
Wong Sarimpat masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau anak muda yang seorang itu mampu
membuat perlawanan, maka sementara Kuda Sempana harus mengikat Mahisa
Agni dalam perkelahian. Hanya sebentar. Aku akan membunuh prajurit muda
yang tampan itu. Aku tidak tahu siapa ia, tetapi kalau ia mencoba
menghalang-halangi aku, maka terpaksa aku akan membunuhnya.”
“Baik.“ geram Wong Sarimpat, “aku akan membunuh Empu Gandring, tidak hanya sekedar menyingkirkannya dari Mahisa Agni.”
“Kau tidak perlu membual Wong Sarimpat.“
berkata Kebo Sindet. Kemudian kepada Kuda Sempana ia berkata, “Dan kau
Kuda Sempana, kau akan dapat melepaskan dendam hatimu. Sekendakmulah,
apa yang akan kau lakukan atas anak muda itu kelak di Kemundungan.
Sedang aku mempunyai kepentingan sendiri dengan Mahisa Agni itu. Tetapi
aku tidak akan mengecewakanmu.”
Sementara itu, setelah Mahisa Agni dan
kedua orang lainnya, Empu Gandring dan Ken Arok, beristirahat sejenak,
minum air legen yang manis langsung dari bumbung yang di turunkan dari
deresan pohon nyiur, dan sedikit makan beberapa jenis makanan, mereka
pun segera pergi ketempat ke bakaran.
Mereka melihat beberapa lumbung dan rumah
terbakar hampir musna. Abu yang lembut masih saja berhamburan disentuh
angin yang agak kencang. Di sana sini masih teronggok reruntuhan yang
tersisa.
Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok
melihat sisa-sisa kebakaran itu dengan saksama, sementara beberapa orang
mengerumuninya dari kejauhan.
Tiba-tiba Empu Gandring yang tua itu
mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa hal yang kurang wajar menurut
penilaiannya. Karena itu maka digamitnya Ken Arok dan di panggilnya
Mahisa Agni mendekat.
“Kau lihat onggokan abu di sini?“ bertanya Empu Gandring.
Kedua anak muda itu menggangguk.
“Dan kau lihat rumah sebelah yang belum terbakar habis?”
Sekali lagi keduanya mengangguk.
“Aku akan menyebutkan suatu kemungkinan,
tetapi aku tidak dapat memastikan kebenarannya. Kalau menurut dugaanku,
maka lumbung ini pasti lebih dahulu terbakar dari rumah itu. Bukankah di
sisi sebelah ini kebakaran agaknya lebih sempurna dari sisi yang lain.”
“Ya.“ sahut Mahisa Agni.
“Tetapi rumah itu terbakar disisi yang
berlawanan dari lumbung ini. Kalau rumah itu terbakar oleh api yang
menjalar dari lumbung ini, maka sebelah yang terdekat dengan lumbung
inilah yang akan terbakar lebih dahulu. Tetapi bukankah yang terjadi
sebaliknya? justru yang di sisi ini rumah itu masih tersisa meskipun
tinggal seonggok kayu.”
Kedua anak-anak muda itu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka segera dapat mengambil
kesimpulan, bahwa api yang membakar rumah itu bukanlah yang menjalar
dari lumbung ini. Kenyataan yang kecil itu telah cukup membuat mereka
bercuriga. Apakah mungkin karena panasnya udara timbul api dari dua
tempat yang berbeda? Yang hampir bersamaan telah membakar dua macam
bangunan itu?
Dalam pada itu terdengar Ken Arok berdesis, “Ada tangan yang menyalakannya.”
Empu Gandring mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedang mata Mahisa Agni kini menjadi menyala seperti api yang
membara. Terdengar giginya gemeretak. Dengan dada yang berdentangan ia
menggeram, “Aku sependapat. Ada orang yang mencoba mengacaukan kerja
kita.”
“Jangan kau tanggapi dengan hati yang
gelap Agni. Adalah sudah, menjadi kebiasaan, bahwa setiap kerja yang
baik dan bermanfaat, apalagi kerja yang besar, pasti akan ditemuinya
berbagai macam rintangan dan gangguan. Kini kau juga menjumpai rintangan
dan gangguan itu.”
“Jadi apakah kita akan membiarkan saja mereka itu paman?”
“Tentu tidak Agni. Tetapi hati kita harus
tetap jernih supaya kita tetap dapat melihat dengan terang. Kita harus
pasti siapakah yang kita hadapi.“ Empu Gandring berhenti sejenak.
Dipandanginya orang-orang yang berkerumun di kejauhan. Kemudian katanya,
“Kau jangan membuat orang-orang itu menjadi semakin bingung dan cemas.
Buatlah mereka tenang.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan isi dadanya yang sedang bergolak.
“Berilah mereka ketenangan, supaya mereka tidak akan menambah bebanmu yang telah menjadi semakin berat itu.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan iapun dapat mengerti ketika pamannya berkata, “Kau harus
berkata kepada mereka, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Kebakaran
ini adalah kebakaran yang wajar karena suatu kecelakaan saja. Dan kau
harus menyampaikan kepada mereka kesanggupan Angger Ken Arok. Adalah
lebih baik apabila angger Ken Arok menyampaikannya sendiri.”
Mahisa Agni pun kemudian memandangi
wajah-wajah yang memancarkan kecemasan dan ketidak tentuan. Namun kepala
anak muda itu masih saja mengangguk-angguk. “Baiklah“ gumamnya. Sambil
berpaling kepada Ken Arok, Mahisa Agni berkata, “Apakah kau tidak
berkeberatan?”
“Aku mendahului keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku yakin bahwa demikianlah yang akan terjadi?”
“Jadi bagaimana?”
“Baiklah.”
Ketiganya, bersama dua laki-laki yang
menjemput mereka ke Padang Karautan dan beberapa orang tua yang menunggu
mereka agak jauh di samping bekas-bekas kebakaran itu pun segera
menemui orang-orang Panawijen. Mahisa Agni mencoba untuk menenangkan
hati mereka dengan beberapa keterangan. Dan akhirnya dipersilahkannya
Ken Arok sendiri memberi penjelasan kepada orang-orang Panawijen itu.
Agaknya kesanggupan Ken Arok telah dapat
memberi mereka ketenteraman. Mereka tidak lagi digelisahkan oleh masa
depan yang mengerikan. Bahaya kelaparan yang selalu menghantui mereka
beberapa hari terakhir.
“Aku telah mengirimkan dua orang prajurit
ke Tumapel.“ berkata Ken Arok, “mudah-mudahan mereka segera datang.
Sebelum padi yang terakhir kalian masukkan kedalam lesung, maka pasti
telah datang padi dan jagung dari Tumapel. Kalian tidak akan dibiarkan
kelaparan sampai tanah yang kalian garap menghasilkan. Sampai bendungan
di Padang Karautan itu dapat mengangkat air, mengairi sawah-sawah kalian
yang pasti akan lebih subur dari sawah-sawah kalian di Panawijen ini.”
Alangkah lapang hati mereka. Meskipun
daun-daun di padukuhan mereka menjadi semakin kuning dan berguguran,
namun hati mereka menjadi tenteram.
Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni
sendiri. Hatinya selalu diganggu oleh kemarahan dan kegelisahan,
meskipun ia tidak tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saat itu
berada di pedukuhan itu pula.
Sebenarnya bukan seja Mahisa Agni Yang
menjadi gelisah. Tetapi juga Empu Gandring dan Ken Arok. Dugaan mereka
atas timbulnya kebakaran karena kesengajaan telah menumbuhkan berbagai
persoalan di dalam dada mereka. Itulah sebabnya, maka setelah mereka
kembali kepadepokan dan beristirahat di serambi samping, maka
senjata-senjata mereka tidak juga terpisah daripada tubuh mereka.
Empu Gandring yang melihat
kekuatan-kekuatan yang seimbang dengan dirinya yang menurut dugaannya
adalah Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat membiarkan kerisnya
melekat di punggung, meskipun ia sedang duduk menikmati beberapa macam
makanan padepokan Panawijen. Sedang Ken Arok meletakkan pedangnya di
pangkuannya. Mahisa Agni sendiripun tidak juga melepas pedangnya
tersangkut di lambungnya.
Beberapa orang cantrik yang masih tinggal
di padepokan itu sibuk menjediakan makan dan minuman mereka. Salah
seorang dari mereka bertanya kepada Mahisa Agni, “Apakah aku dapat
menyimpan senjata-senjata kalian?”
Mahisa Agni menggeleng, “Jangan.”
Cantrik itu terdiam, tetapi wajahnya
menjadi kecut. Terbayanglah suatu pertanyaan di dalam wajah itu, “Kenapa
senjata-senjata itu tidak juga ditempatkan.“ Namun cantrik itu tidak
mengucapkannya.
Sementara itu cahaya di langit pun
menjadi semakin lama semakin merah. Mega yang berarak-arak dan awan yang
seolah-olah tersangkut di langit memantulkan cahaya matahari yang
hampir tenggelam, dan memancarlah layung di langit. Warna yang tajam menusuk ke dalam serambi samping padepokan Panawijen.
Warna itu seolah-olah menambah
kegelisahan yang tersimpan di dalam dada Mahisa Agni, Empu Gandring dan
Ken Arok. Warna itu seperti tajamnya ujung senjata yang berputar di
langit, disoroti oleh cahaya senja.
Tiba-tiba Mahisa Agni berdiri dari tempatnya. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Aku akan ke sanggar sebentar paman.”
“Apa yang akan kau perbuat?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat sanggar guruku yang telah lama tidak dipergunakan.”
Empu Gandring merasa heran. Padepokan ini
adalah padepokan guru Mahisa Agni. Tetapi untuk melepas Mahisa Agni
pergi dari sisi sebelah Timur ke sisi sebelah Barat, terasa begitu
berat. Seakan-akan Empu Gandring sedang melepas seorang anak kecil
bermain-main ditepi sumur.
“Aku terlampau dibayangi oleh perasaanku
sendiri.“ berkata orang tua itu di dalam hatinya. Karena itu maka di
cobanya untuk mempergunakan pikiran jernihnya. Anak muda itu hanya akan
pergi ke sanggar. Tidak lebih dari tigapuluh langkah dari tempat itu.
“Pergilah.“ jawabnya kemudian, “tetapi hati-hatilah. Rumah ini sudah lama tidak kau kenal.”
“Baiklah paman.”
Mahisa Agnipun segera meninggalkan
pamannya. Pesan itu adalah pesan yang aneh baginya, tetapi ia merasa
bahwa pesan itu sudah wajar diucapkannya. Seakan-akan anak muda itu
sendiri merasa bahwa ia berada di suatu medan yang berbahaya.
Dengan pedang di lambung Mahisa Agni pun
segera pergi ke sanggar gurunya. Perlahan-lahan dibukanya pintu sanggar
itu. Terdengar suara berderit, dan seberkas sinar senja yang temaram
melontar masuk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Terasa udara agak panas mengalir dari dalam. Remang-remang dilihatnya
tiang-tiang kayu nangka yang kekuning-kuningan.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah naik
anak tangga dan memasuki sanggar. Ketika kakinya menyentuh lantai, debu
yang tipis menggelepar di bawah kakinya.
Mahisa Agni pun kemudian melangkah terus
masuk ke dalam sanggar. Ia tidak menutup pintunya, terlampau rapat
karena dengan demikian sanggar itu akan menjadi gelap sekali. Dengan
sisa-sisa sinar senja ia mencoba mengamati isi sanggar gurunya itu.
“Pusaka itu masih berada di sini.“ desisnya, “tak seorang pun yang tahu tempatnya selain aku.”
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni mencoba
membuka sepotong papan lantai dan meraba-raba kedalamnya. Ketika
tangannya menyentuh sebuah peti kecil, maka ia menarik nafas
dalam-dalam.
“Peti ini masih di sini.“ desisnya.
Mahisa Agni itu pun segera duduk
menghadap pintu sanggar yang masih sedikit menganga. Sambil melihat
keluar, kalau-kalau ada orang yang melihatnya, ia membuka peti kecil
itu. Hati-hati ia meraba ke dalamnya, dan kini tangannya menyentuh
sebuah benda yang dingin.
“Inilah pusaka itu.“ katanya di dalam hati.
Dengan dada yang berdebar-debar
diangkatnya benda kecil dari dalam peti itu. Mata Mahisa Agni menjadi
bersinar-sinar ketika ia melihat sebuah pusaka kecil berkilat-kilat di
tangannya. Trisula.
Seperti didorong oleh tenaga yang aneh,
cepat-cepat ia memasukkan trisulanya kembali. Segera menutup peti itu,
dan menempatkan kembali sepotong papan lantai itu pada tempatnya, dan
mengembalikan semuanya seperti sediakala. Tak ada bekas apapun yang
ditinggalkannya. Tak seorang pun tahu, bahwa ada sepotong kayu lantai
yang dapat diangkat, dan di dalamnya tersimpan pusaka itu.
Sejenak Mahisa Agni duduk tepekur. Di
luar senja menjadi semakin beringsut menjelang malam. Langit yang
kemerah-merahan menjadi semakin kelam. Dan sanggar itu pun manjadi
semakin gelap.
Empu Gandring dan Ken Arok masih duduk di
serambi samping. Mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kepala
mereka tampak tepekur. Ketika seseorang memasang sebuah lampu dinding
di samping mereka, mereka hanya menganggukkan kepala sambil bergumam,
“Terima kasih.“ Namun sesudah itu mereka terdiam kembali.
Yang kemudian bertanya adalah Ken Arok, “Paman, kenapa Mahisa Agni terlampau lama berada di dalam sanggar itu?”
Empu Gandring tidak segera menjawab.
Meskipun sebenarnya hatinya sendiri selalu diliputi oleh kegelisahan.
Dipandanginya warna-warna yang kelam di halaman. Tetapi agaknya tak
satupun yang dilihatnya.
Agaknya Ken Arok tidak dapat menahan
kegelisabannya, sehingga iapun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia
berdesis, “Aku ingin melihat kesanggar sebentar paman. Apakah Agni
sedang bersemadi?”
“Aku kira tidak Ngger. Tetapi baiklah kalau kau ingin melihatnya. Tetapi kau pun harus ber-hati-hati pula.”
“Baik paman.”
Ken Arok pun kemudian melangkah
meninggalkan serambi samping pergi ke sanggar di sisi yang lain dari
halaman rumah itu. Dengan hati-hati Ken Arok melihat setiap gerak dan
mendengarkan setiap bunyi di halaman. Di sana-sini beberapa orang
cantrik telah menyalakan pelita-pelita di sudut-sudut rumah.
Ken Arok berhenti beberapa langkah dari
sanggar. Ia tidak ingin mengganggu Mahisa Agni. Dari tempatnya berdiri,
Ken Arok melihat remang-remang pintu sanggar itu tidak tertutup rapat.
Tetapi malam pun menjadi semakin malam.
Dan Mahisa Agni masih juga belum keluar dari sanggar. Meskipun demikian
Ken Arok masih juga belum beranjak dari tempatnya.
Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia
melihat sesosok bayangan mendekati sanggar itu. Bayangan yang hanya
dilihatnya lamat-lamat itu berhenti sejenak di muka pintu. Tetapi
bayangan itu kemudian tidak segera-segera pergi.
“Siapakah ia?” desis Ken Arok di dalam hatinya, “Agaknya ia menunggu Mahisa Agni keluar.”
Tetapi Ken Arok tidak begitu
mencemaskannya. Agaknya bayangan itu tidak sengaja menyembunyikan diri.
Ia berdiri saja di samping pintu sanggar.
“Mungkin seorang cantrik.“ berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Sejenak kemudian ia melihat pintu sanggar
itu bergerak. Bayangan yang menunggu di samping pintu itu surut
selangkah. Sementara itu, mata Ken Arok yang tajam melihat Mahisa Agni
tersembul ke luar dari dalamnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu terloncat
kesamping anak tangga sanggarnya. Agaknya ia terkejut ketika ia melihat
seseorang menunggunya dimuka pintu sanggar. Tetapi orang yang
menunggunya itu pun terkejut pula, sehingga iapun terloncat mundur.
“Siapa?“ terdengar Mahisa Agni bertanya.
“Aku Agni.”
“O.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “kau membuat aku terkejut cantrik. Apa kerjamu di sini?”
“Aku ingin bertanya kepadamu Agni, apakah kau memerlukan lampu. Tetapi aku tidak berani mengganggumu, masuk ke dalam sanggar.”
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas
dalam-dalam, dan beberapa langkah daripadanya, di dalam kegelapan, Ken
Arok pun menarik nafas dalam-dalam pula. “Benar dugaanku.“ katanya di
dalam hati, “ia seorang cantrik.”
(Bersambung ke jilid 26)
No comments:
Write comments