Tiba-tiba timbullah sesuatu yang aneh di
dalam dada Empu Sada itu. Sekali disambarnya Prajurit-prajurit itu
dengan sudut matanya. Sekilas menggelegak di dalam dadanya, “Hem.
Kelinci-kelinci ini dapat aku bungkam dalam sekejap.”
Empu Sada terkejut sendiri menyadari
angan-angannya itu. Namun angan-angannya itu masih juga menjalar terus.
“Kalau prajurit ini sudah binasa, aku akan masuk ke halaman dalam. Aku
kira tidak akan begitu sulit mencari tempat Ken Dedes tanpa diketahui
oleh banyak orang.”
Orang tua itu tiba-tiba menengadahkan
wajahnya ke langit. Matahari telah rendah di ujung Barat. “Kalau malam
segera tiba.” desisnya di dalam hati. “Apakah kepentinganku atas Mahisa
Agni itu. Kalau aku dapat mengambil Ken Dedes, maka Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat pasti akan mengumpat setinggi langit. Mahisa Agni tidak akan
bermanfaat baginya. Sedang kini tak seorang pun yang tahu, siapakah yang
telah masuk ke dalam istana. Tak seorang pun tahu bahwa Empu Sada lah
yang telah mengambil gadis itu. O, aku akan dapat menyebarkan
desas-desus untuk melawan akal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Aku harus
berusaha melemparkan kesalahan tentang hilangnya Ken Dedes kepada kedua
setan itu sebagai pembalasan dendam.”
Kembali Empu Sada terhenyak oleh
angan-angannya. Kembali ia menjadi sadar akan kehadirannya. Tetapi jalan
hidup yang ditempuhnya selama ini tiba-tiba telah mengamuk kembali di
dalam dadanya. Maka terjadilah kini benturan yang dahsyat di dalam dada
orang tua itu. Baru sesaat ia menemukan jalan yang terang.
Apa yang dialaminya pada saat-saat
terakhir telah mendorongnya ke dalam suatu kesadaran. Namun ketika ia
dihadapkan kembali pada kesempatan-kesempatan seperti ini, maka kembali
kebimbangan menggelegak di dadanya.
Kebimbangan yang bersilang-melintang. Ia
bimbang apakah nama yang dipergunakannya akan dapat membawanya kepada
Ken Dedes? Tetapi ia pun dicengkam oleh sebuah kebimbangan yang lain.
Apakah kesempatan ini akan dilewatkannya? Sudah berpuluh tahun ia
menempuh cara hidup yang dipilihnya. Dengan cara apapun ia pernah
berusaha untuk mengambil Ken Dedes dan mempergunakannya untuk
mendapatkan sesuatu yang cukup bernilai. Meskipun kini Kuda Sempana
tidak ada lagi padanya, namun Ken Dedes akan dapat dijadikannya barang
tanggungan yang baik, jauh lebih baik dari Mahisa Agni.
Tetapi, tiba-tiba terbayang di dalam
angan-angannya itu seorang anak muda yang bernama Sumekar. Anak muda
yang memandanginya dengan sorot mata yang jujur dan jernih. Yang
seolah-olah tidak tahu bahwa tangan gurunya telah dilumuri oleh
noda-noda yang kotor, meskipun sebenarnya dimengertinya juga. Empu Sada
itu menarik nafas dalam-dalam. Benturan-benturan yang semakin dahsyat
kini terjadi di dalam dirinya.
Dalam pada itu, prajurit yang membawanya
masuk ke dalam halaman dalam, telah mencoba menghubungi pelayan dalam
untuk menyampaikan maksudnya. Lewat seorang emban maka permintaan
prajurit itu pun telah disampaikannya kepada Ken Dedes.
“Seseorang ingin menemui aku?” bertanya Ken Dedes kepada emban itu.
“Ya Tuan Puteri, seseorang dari Panawijen.”
“Siapa dia?”
“Seorang prajurit yang telah menerimanya, Tuan Puteri.”
“Dimana prajurit itu sekarang?”
“Di serambi belakang.”
“Aku ingin mendengar langsung dari padanya.” berkata gadis itu.
“Baik Tuan Puteri.”
Emban itu pun meninggalkan Ken Dedes yang
kemudian pergi keruang belakang untuk menemui prajurit itu. Ia ingin
mendengar langsung, siapakah yang ingin menemuinya.
Dengan kepala tunduk prajurit itu berkata, “Tuan Puteri, seseorang ingin menghadap Tuan Puteri.”
“Dimana ia sekarang?”
“Hamba menjuruhnya menunggu di regol dalam.”
“Siapakah namanya?”
“Makerti, Tuanku.”
“He,” Ken Dedes mengerutkan keningnya.
Nama Makerti belum pernah dikenalnya. Karena itu ia berkata. “Apakah kau
tidak salah? Berapa kira-kira usia orang itu?”
“Orang itu sudah tua, Tuanku. Namun Kaki
Makerti pesan kepada hamba untuk mengatakan bahwa Kaki Makerti adalah
paman Tuan Puteri. Orang tua itu datang dari Padukuhan Ngarang, dan ia
adalah adik dari ibu Tuanku.”
“He,” Ken Dedes menjadi semakin bingung.
Dicobanya untuk mengingat-ingat. Tetapi ia sama sekali tidak pernah
mendengar padukuhan yang bernama Ngarang. Dan ia tidak pernah pula
mendengar bahwa ia mempunyai seorang paman yang bernama Makerti. Karena
itu sejenak Ken Dedes berdiam diri. Dalam kerut-kerut di keningnya
tampak betapa ia sedang mencoba mengingat kembali masa kanak-kanaknya di
Padukuhan Panawijen.
“Apakah aku sudah menjadi seorang
pelupa.” pikirnya, “kalau aku menerimanya, maka aku meragukan maksud
kedatangannya. Tetapi kalau aku menolaknya dan orang itu benar-benar
pamanku, apakah aku tidak menyakiti hatinya? Orang itu akan menganggap,
bahwa setelah aku berada di istana, maka aku tidak mau lagi mengenal
keluargaku. Apalagi keluarga dari ibuku.
Dengan demikian, maka Ken Dedes itu
menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu, sehingga tidaklah mudah baginya
untuk menentukan keputusan. Maka sejenak mereka menjadi saling berdiam
diri. Prajurit itu masih saja menundukkan wajahnya, sedang Ken Dedes
masih juga ragu-ragu.
Untuk mencoba menumbuhkan kembali
ingatannya maka Ken Dedes itu pun bertanya, “Apakah orang itu mengatakan
bahwa namanya Makerti?”
“Hamba tuan Puteri.”
“Apakah kau dapat menggambarkan bagaimana kira-kira bentuk orang itu?”
Prajurit itu menggeser dirinya
secengkang. Sejenak ia mencoba membayangkan kembali orang yang sedang
menunggunya. Namun kemudian ia menjawab, “Tak ada yang aneh pada orang
tua itu Tuan Puteri. Tak ada tanda-tanda yang khusus. Seperti kebanyakan
orang-orang tua maka ia menjadi agak bongkok. Kepalanya menunduk agak
terlampau jauh. Dan ia berjalan tersuruk-suruk dengan sebuah tongkat
kecil yang agaknya ditemukannya saja di jalan. Suaranya bernada rendah,
namun kadang-kadang melengking tinggi.”
“Oh.” Ken Dedes justru menjadi bertambah
bingung. Tetapi ia tidak mau mengambil sikap terlampau tergesa-gesa.
Gadis itu selalu mengingat bahwa ia sendiri berasal dari sebuah
padepokan jauh dari kota Tumapel. Bahwa ia sendiri hanyalah seorang
gadis padesan. Adalah wajar kalau suatu ketika seseorang yang berasal
dari padesan mencarinya dan memerlukan sebuah kesempatan untuk
menemuinya.
Meskipun demikian, pengalamannya yang
pahit selama ini telah memberinya beberapa petunjuk, bahwa dirinya
selalu dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang kadang-kadang tidak
menyenangkan baginya. Selalu dikenangnya bagaimana Kuda Sempana
mengejarnya tanpa mengenal jemu. Bahkan ternyata guru Kuda Sempana yang
bernama Empu Sada telah turut campur pula dengan mencegatnya di jalan
pada saat ia akan mengunjungi Panawijen.
Semuanya itu telah membuat Ken Dedes
menjadi semakin hati-hati. Sekilas terlintas pula di hatinya untuk
memohon pertimbangan kepada Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin akan lebih
baik baginya. Apabila ternyata terjadi sesuatu, maka akan mudahlah
baginya untuk segera mendapatkan perlindungan. Tetapi Ken Dedes
mengurungkan niatnya. ia tidak ingin mengganggu Akuwu hanya dalam
soal-soal yang kecil itu. Bahkan seandainya orang itu bermaksud kurang
baik sekalipun, apakah yang akan dapat dilakukannya? Di halaman
berkeliaran beberapa orang prajurit dan Pelayan-dalam dalam sikap ke
prajuritan pula. Ia akan dapat memerintahkan prajurit itu menunggunya
selama ia menerima orang itu.
Ken Dedes itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada dasarnya ia memang ingin bertemu
dengan orang yang menyebut dirinya Makerti dan mengaku sebagai pamannya.
Namun ketika ia melihat emban pemomongnya yang mengikutinya dari
Panawijen lewat maka dipanggilnyalah orang tua itu.
Pemomongnya itu pun segera mendekatinya.
Orang tua itu kini telah menyesuaikan dirinya dengan cara hidup di dalam
istana. Sambil duduk bersimpuh ia berkata, “Hamba Tuan Puteri.”
“Bibi.” berkata Ken Dedes kemudian,
“seseorang telah membingungkan aku. Karena bibi adalah pemomongku sejak
kanak-kanak, maka aku kira bibi akan dapat memberi aku beberapa
petunjuk.”
Pemomong Ken Dedes itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Seorang tua menyebut dirinya bernama
Makerti dan mengaku pamanku ingin datang menghadap. Orang itu mengatakan
bahwa dirinya adalah adik ibuku. Bibi, apakah selama ini bibi pernah
mengenalnya?”
Perempuan tua itu pun mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya, maka dipandanginya wajah prajurit yang masih saja menunduk.
“Ya, prajurit itulah yang menyampaikan permintaannya.” berkata Ken Dedes.
Pemomong Ken Dedes itu pun
menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun iapun menjadi ragu-ragu pula.
Jawabnya, “Tuan Puteri. Seingat hamba, maka Tuan Puteri tidak pernah
mempunyai seorang paman adik ibu Tuan Puteri. Hamba belum pernah
mendengar nama Makerti dan selama hamba berada di dekat Tuan Puteri,
maka tak seorang pun yang pernah datang ke Padepokan Panawijen dengan
nama itu.”
Ken Dedes menjadi semakin bimbang
mendengar keterangan itu. Ia percaya benar kepada pemomongnya, bahwa
perempuan itu tahu jauh lebih banyak tentang dirinya daripada dirinya
sendiri.
“Seandainya demikian.” berkata perempuan
itu pula, “maka setidak-tidaknya Ayahanda Empu Purwa pasti pernah
menyebut-nyebutnya atau suatu ketika hamba pernah melibat seorang tamu
dari keluarga Ibu Tuan Puteri itu.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada prajurit yang duduk tepekur di hadapannya ia berkata, “Apakah
keperluan orang itu menghadap aku?”
“Tuan Puteri.” sahut prajurit itu,
“menurut keterangannya, ia mendapat pesan dari Kakanda Tuan Puteri
Mahisa Agni. Pesan itu ingin disampaikannya sendiri kepada Tuan Puteri
apabila Tuan Puteri berkenan menerimanya.”
“Dari kakang Mahisa Agni?” Ken Dedes mengulanginya. Tampaklah sesuatu kesan yang aneh tersirat di wajahnya.
“Apalagi Angger Mahisa Agni.” desis pemomong Ken Dedes itu.
“Orang tua yang bernama Makerti itu
datang ke Panawijen untuk mencari kemanakannya yang ternyata adalah Tuan
Puteri Ken Dedes. Tetapi yang ada hanyalah Kakanda Tuan Puteri. Dari
Kakanda Tuan Puteri itulah Kaki Makerti mendapat petunjuk bahwa Tuan
Puteri berada di istana. Bahkan orang itu, yang barangkali terlampau
ingin bertemu dengan kemanakannya, membawa pesan dari Kakanda Tuan
Puteri itu pula.”
Kembali perempuan tua itu termenung.
Namun tiba-tiba ia berkata, “Tuan Puteri, baiklah hamba lihat dahulu,
apakah hamba sudah pernah mengenalnya.”
Ken Dedes dengan serta merta
menjetujuinya. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik,
baik bibi. Pendapat bibi adalah pendapat yang baik sekali.”
“Hamba Tuan Puteri. Hamba kira bahwa
hamba telah mengenal semua orang Panawijen atau orang-orang yang sering
berhubungan dengan Ayahanda Tuan Puteri.”
Kepada prajurit itu Ken Dedes kemudian
bertanya, “Menurut katamu orang itu datang dari suatu pedukuban untuk
mencariku ke Panawijen, dan bertemu dengan kakang Mahisa Agni. Apakah ia
bertemu dengan kakang Mahisa Agni di Panawijen ataukah di tempat ia
membuat bendungan?”
Prajurit itu termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Orang tua itu sama sekali tidak menyebutnya Tuan Puteri.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya
Kecurigaannya tiba-tiba menjadi semakin tebal. Sepengetahuannya Mahisa
Agni kini sedang berada di Padang Karautan. Bahkan Akuwu Tunggul Ametung
baru saja mengirim sepasukan prajurit dengan berbagai macam perbekalan
untuk membantu membuat bendungan itu. Maka kepada pemomongnya Ken Dedes
berkata, “Nah, pergilah bibi. Lihatlah orang yang menyebut dirinya
bernama Makerti dan datang dari Padukuhan Ngarang itu.”
Tiba-tiba wajah pemomongnya itu menjadi
tegang. Kerut merut di dahinya menjadi semakin jelas. Tanpa sesadarnya
ia mengulang kata-kata Ken Dedes, “Orang itu datang dari desa Ngarang?”
“Ya.” sahut Ken Dedes, “Kenapa?”
Dada emban tua itu terasa berdesir. Dengan ragu-ragu ia berpaling kepada prajurit yang masih saja duduk tepekur di sampingnya.
“Bertanyalah kepada prajurit itu.” berkata Ken Dedes.
“Benarkah laki-laki tua itu datang dari desa Ngarang?”
“Ya, bibi. Orang itu datang dari Ngarang menurut katanya sendiri.”
Emban tua itu mengangguk-angguk. Tetapi
tampaklah sesuatu tersirat pada sorot matanya sehingga Ken Dedes
bertanya, “Kenapa bibi? Apakah kau pernah mendengar nama padukuhan
Ngarang?”
“Hamba Tuan Puteri. Hamba memang pernah mendengar nama itu.”
“Dan kau pernah mendengar pula bahwa pamanku tinggal di padukuban itu?”
Emban tua itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak tuanku.”
Ken Dedes menjadi ragu-ragu pula melihat
wajah pemomongnya yang menjadi tegang itu. Namun lebih baik baginya
apabila emban itu segera pergi keluar dan melihat siapakah laki-laki
yang menyebut dirinya bernama Makerti.
Sejenak kemudian emban itu pun minta
diri, diantar oleh prajurit yang membawa pesan dari Makerti itu. Namun
di sepanjang langkahnya perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu, kini
dibebani oleh sebuah pertanyaan yang telah membuatnya menjadi
berdebar-debar. Kenapa orang tua itu menyebut pedukuhan Ngarang? Kenapa
tidak dari pedukuhan yang lain? Apakah benar orang itu paman gadis
momongannya?
Dalam pada itu, di sisi regol dalam, di
muka gardu penjaga, Empu Sada duduk dengan gelisah. Pergolakan yang
terjadi di dalam dadanya terasa semakin lama menjadi semakin riuh.
Sekali-sekali ditatapnya gardu peronda itu. Dilihatnya dua di antara
ketiga prajurit itu duduk terkantuk-kantuk. Sedang yang seorang lagi
berjalan hilir mudik memandi tombaknya. Setiap kali mereka bergantian,
duduk dan berjalan hilir mudik.
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak
akan banyak berarti bagi Empu Sada. Dengan lemparan batu, ia mampu
membunuhnya satu demi satu tanpa membuat suara apapun.
Tiba-tiba dada orang tua itu berdesir
ketika Dilihatnya prajurit yang membawanya, berjalan di antara
tanaman-tanaman di halaman bersama seorang perempuan tua.
“Hem.” desis Empu Sada di hatinya,
“apalagi kerja perempuan tua itu. Apakah perempuan tua itu emban
terdekat dari Ken Dedes yang harus membawa aku menghadap. Dengan
sentuhan jari saja, maka perempuan itu akan menjadi kejang. Kalau saja
aku ingin melarikan Ken Dedes maka tiba-tiba aku mendapat kesempatan.”
Sekali Empu Sada menengadahkan wajahnya.
Warna-warna merah telah membayang di langit sebelah Barat. Warna-warna
yang telah mendorong hati Empu Sada mendekati kegelapan seperti senja
yang menghadap malam.
“Dalam malam yang gelap, maka aku, pasti
bahwa aku akan dapat melarikan gadis itu. Kalau terjadi demikian, kalau
Ken Dedes hilang dari istana ini, apakah artinya Mahisa Agni bagi Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat? Siapakah yang harus memenuhi pemerasan yang
akan dilakukan?” Empu Sada itu tersenyum di dalam hati. Namun terasa
kembali dadanya berguncang. Kembali terjadi berbagai benturan yang
dahsyat di dalam dadanya.
“Tidak.” katanya di dalam hati, “aku sudah pasrah.”
Dan perempuan tua yang datang bersama
prajurit itu pun sudah menjadi semakin dekat. Ketika mereka kemudian
berhenti beberapa langkah dari Empu Sada maka prajurit itu pun berkata,
“Inilah bibi. Inilah Kaki Makerti.”
Pemomong Ken Dedes itu pun mengerutkan
keningnya. Dicoba untuk mengamat-amati laki-laki tua itu dengan seksama.
Namun kemudian kepala perempuan tua itu pun menggeleng. Terdengar ia
bergumam, “Aku belum pernah mengenalnya.”
Empu Sada yang masih duduk itu pun menengadahkan wajahnya. Seperti perempuan itu, maka Empu Sada pun tidak pula mengenalnya.
“Apakah Kaki yang bernama Makerti?” bertanya emban tua itu.
“Ya, akulah.” sahut Empu Sada.
“Apakah Kaki paman dari Tuan Puteri Ken Dedes?”
Kembali dada Empu Sada dilanda oleh kebimbangan. Namun ia menjawab, “Ya, ya, akulah.”
Pemomong Ken Dedes itu pun terdiam
sejenak. Kembali ia mencoba mengamati wajah itu. Tetapi ia sama sekali
belum mengenalnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun di dalam
dada masing-masing bergeletar berbagai macam persoalan. Apalagi di dalam
dada Empu Sada. Tetapi orang tua itu mencoba dengan sekuat-kuat
tenaganya untuk tetap tenang.
Sejenak kemudian terdengarlah emban tua,
pemomong Ken Dedes itu berkata, “Kaki Makerti, apakah Kaki sering
mengunjungi kemanakan Kaki yang bernama Ken Dedes itu dahulu?”
“O tentu, tentu.” jawab Empu Sada dengan
serta merta, “Ken Dedes adalah seorang kemanakan yang manis. Ia tahu
benar akan dirinya. Setiap kali aku datang, maka segera ia menyambutku
dengan girang. Dengan suara tertawanya yang renyah. Tertawa
kekanak-kanakan. Tetapi kini ia sudah berada di istana. Aku tidak tahu,
apakah ia masih dapat mengenalku dan masih juga menyambut kedatanganku
seperti dahulu di Panawijen, seperti masa kanak-kanaknya.”
Perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun bertanya pula, “Apakah Kaki
juga mengenal Mahisa Agni?”
“Oh tentu. Aku mengenal anak itu seperti
aku mengenal Ken Dedes. Meskipun Mahisa Agni bukan kakak sendiri, tetapi
keduanya hampir-hampir seperti saudara kandung yang sangat rukun.”
Kembali perempuan tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kecurigaan di dalam hatinya pun
bertambah-tambah pula. Kalau laki-laki itu sering datang ke Panawijen,
maka sudah pasti, sekali dua kali ia pernah melihatnya.
“Kaki.” bertanya emban itu pula, “apakah kata Kakanda Tuan Puteri tentang adiknya ketika Kaki pergi ke Panawijen?”
Empu Sada menyambar wajah emban itu sesaat, tetapi segera ia menunjukkan wajahnya, wajah yang telah dipulasnya menjadi bentuknya yang sekarang. Tetapi ia sadar bahwa ia sedang mendapat pertanyaan-pertanyaan untuk meyakinkan bahwa Makerti adalah benar-benar paman Ken Dedes.
Empu Sada menyambar wajah emban itu sesaat, tetapi segera ia menunjukkan wajahnya, wajah yang telah dipulasnya menjadi bentuknya yang sekarang. Tetapi ia sadar bahwa ia sedang mendapat pertanyaan-pertanyaan untuk meyakinkan bahwa Makerti adalah benar-benar paman Ken Dedes.
“Orang tua ini pastilah emban yang
dipercaya oleh Ken Dedes.” desis orang tua itu di dalam hatinya. Dalam
pada itu ia menjawab dengan hati-hati, “Tidak banyak yang dikatakan oleh
Mahisa Agni. Ia hanya mengatakan bahwa Ken Dedes kini berada di Istana
Tumapel, bahkan menurut pendengarannya gadis itu akan menjadi seorang
permaisuri. Namun Mahisa Agni itu pun mempunyai beberapa pesan yang
harus aku sampaikan kepada adiknya, Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Dimanakah Kaki bertemu dengan Mahisa Agni?”
Mendengar pertanyaan itu Empu Sada mengerutkan keningnya. “Dimana?” orang tua itu mengulanginya di dalam hati.
“Dimana?” emban tua itu mendesak.
“Di Panawijen.” sahut Empu Sada. Namun terasa bahwa kata-katanya itu diucapkannya dalam kebimbangan.
Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika kembali ia melihat emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian Empu Sada pun menyadari, bahwa emban tua itu menjadi semakin curiga kepadanya. Dalam keadaan yang menegangkan itu, kembali dada Empu Sada diamuk oleh berbagai perasaan yang saling berbenturan.
Empu Sada menjadi berdebar-debar ketika kembali ia melihat emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian Empu Sada pun menyadari, bahwa emban tua itu menjadi semakin curiga kepadanya. Dalam keadaan yang menegangkan itu, kembali dada Empu Sada diamuk oleh berbagai perasaan yang saling berbenturan.
Ingin ia segera meloncat dan memberikan
beberapa sentuhan kepada emban tua itu sehingga ia menjadi pingsan.
Kemudian dengan beberapa gerakan ia akan mampu melumpuhkan
Prajurit-prajurit yang menontonnya seperti sedang menonton pertunjukan
yang mengasikkan. Apalagi ketika kemudian senja menjadi semakin lama
semakin suram. Warna-warna merah di langit menjadi semakin pudar.
Seleret warna senja masih tergantung di sisi-sisi mega putih yang
mengalir dibawa angin.
“Kaki.” berkata emban itu kemudian, “apakah Kaki datang langsung dari Panawijen kemari?”
Empu Sada menjadi hampir kehilangan kesabarannya. Pertanyaan emban itu terlampau banyak baginya. Kalau pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu tidak ada habis-habisnya, maka sudah pasti bahwa suatu ketika ia akan tidak lagi dapat menjawab. Namun kali ini Empu Sada masih juga menyabarkan hatinya, “Ya. Aku datang dari Panawijen. Aku harus segera menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesan itu langsung kepadanya.”
“Kaki.” berkata emban itu kemudian, “apakah Kaki datang langsung dari Panawijen kemari?”
Empu Sada menjadi hampir kehilangan kesabarannya. Pertanyaan emban itu terlampau banyak baginya. Kalau pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu tidak ada habis-habisnya, maka sudah pasti bahwa suatu ketika ia akan tidak lagi dapat menjawab. Namun kali ini Empu Sada masih juga menyabarkan hatinya, “Ya. Aku datang dari Panawijen. Aku harus segera menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesan itu langsung kepadanya.”
“Jangan tergesa-gesa Kaki.” berkata emban tua itu, “aku masih ingin bertanya, apakah angger Mahisa Agni berada di Panawijen.”
Kembali dada Empu Sada berdesir.
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkannya. Dan tiba-tiba pula ia sadar,
bahwa Mahisa Agni kini sedang membuat bendungan di padang Karautan.
Wajah Empu Sada itu pun tiba-tiba menjadi tegang. Tiba-tiba pula ia
merasa, bahwa kecurigaan emban itu pasti akan menundukkannya ke dalam
keadaan yang tidak menguntungkan.
Dalam kebimbangan itu, maka Empu Sada pun
kemudian mengambil suatu sikap. Katanya di dalam hati. “Kalau aku gagal
menghadap Ken Dedes dalam suatu keinginan yang baik, dan apabila
kemudian keadaanku sendiri terancam karenanya, maka adalah lebih baik
bagiku untuk pasrah diri. Aku sudah kehilangan segala macam keinginanku.
Mungkin dosaku telah terlampau banyak, sehingga keinginanku yang
terakhir, yang berkehendak baik pun sudah tidak dapat terjadi.”
“Bagaimana Kaki?” desak emban tua itu.
Tetapi, kini Empu Sada justru telah
menjadi tegang. Ia tidak lagi memandangi sisa-sisa senja yang tersangkut
di ujung pepohonan. Meskipun demikian ia masih mencoba menjawab, “Ya.
Aku bertemu Mahisa Agni di Panawijen. Tetapi tidak lama, sebab anak muda
itu harus segera kembali ke Padang Karautan. Menurut katanya, ia sedang
membuat bendungan.”
Emban tua itu mengerutkan keningnya.
Jawaban itu memang masuk diakalnya. Mungkin Mahisa Agni sedang pulang
sejenak untuk sesuatu keperluan. Tetapi meskipun demikian, jawaban itu
sama sekali belum meyakinkannya. Sehingga kembali ia bertanya, “Kaki.
Aku dengar Kaki berasal dari padukuhan Ngarang. Apakah benar demikian?”
Empu Sada kini benar-benar menjadi jemu
mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain.
Ia harus menjawab satu demi satu. Namun apabila jawabnya kemudian tidak
lagi dapat sesuai dengan keadaan yang sewajarnja, maka perempuan tua
itu pasti akan mencurigainya. Mungkin ia akan berteriak kepada para
prajurit untuk menangkapnya. Tetapi Empu Sada telah pasrah.
“Kaki.” desak perempuan tua itu, “benarkah Kaki berasal dari Ngarang?”
Empu Sada menganggukkan kepalanya, Jawabnya, “Ya, aku berasal dari Ngarang.”
“Apakah kau tahu benar tentang pedukuhan itu? Dan apakah kau memang berasal dari Ngarang sejak kecil?”
“Ya.” jawab Empu Sada. Tetapi kali ini ia
tidak begitu cemas. Memang ia dahulu berasal dari Ngarang. Meskipun
desa itu sudah lama sekali ditinggalkannya, tetapi ia pasti masih dapat
menjawab satu dua pertanyaan tentang padesan itu meskipun ia sudah
benar-benar menjadi jemu.
“Kaki Makerti.” berkata perempuan tua
itu, “kalau Kaki benar berasal dari Ngarang, maka sudah tentu Kaki
mengenal beberapa orang yang berasal dari desa itu pula.”
“Tentu.” sahut Empu Sada.
“Nah, aku ingin bertanya tentang keluargaku yang sudah lama sekali meninggalkan desa itu.”
“Siapakah orang itu?”
“Namanya Pramuntaka.”
Mendengar nama itu wajah Empu Sada
tiba-tiba menjadi tegang. Terasa darahnya seakan-akan berhenti mengalir.
Sejenak ia terbungkam dengan dada bergelora.
Ketika ia menengadahkan wajahnya
ditatapnya wajah perempuan tua itu. Wajah yang tidak dikenalnya. Tetapi
bibir perempuan tua itu telah menyebut nama yang seperti Gunung Kawi
yang runtuh menimpa dadanya.
Perempuan tua dan para prajurit itu sama
sekali tidak melihat warna merah yang menyala di wajah Empu Sada, karena
senja sudah menjadi semakin suram. Namun perempuan tua itu melihat
bahwa Empu Sada tiba-tiba menjadi gelisah dan tidak segera dapat
menjawab pertanyaannya. Karena itu maka kecurigaannya pun menjadi
semakin tebal, sehingga menurut pendapatnya, tak ada gunanya lagi ia
menanyakan berbagai macam soal. Orang itu pasti bukan paman Ken Dedes,
dan pasti bukan orang Ngarang.
Sejenak terlintas di hati pemomong Ken
Dedes itu tentang berbagai macam bahaya yang pernah mengitari
momongannya. Karena itu, maka kecurigaannya pun menjadi semakin kuat.
Laki-laki tua itu mungkin salah seorang dari mereka yang ingin berbuat
jahat kepada momongannya. Dengan demikian maka menjadi kewajibannya
untuk, menolak maksud orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap
momongannya. Bahkan adalah menjadi kewajibannya pula untuk
menyampaikannya kepada orang yang berkewajiban untuk menelitinya lebih
jauh.
“Kaki Makerti,” berkata emban itu,
“tunggulah disini. Semuanya akan aku sampaikan kepada Tuan Puteri. Aku
tidak tahu apakah kau akan diijinkan menghadap atau tidak.”
Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Ia
masih dicengkam oleh gelora yang dahsyat di dadanya. Nama yang disebut
oleh perempuan itu benar telah membuatnya menjadi sangat gelisah. Tetapi
agaknya perempuan tua itu tidak lagi menunggu jawabannya. Agaknya emban
itu ingin segera menyampaikan persoalan itu kepada momongannya dan
kemudian kepada pemimpin Pelayan-dalam untuk berbuat sesuatu bersama
para prajurit pengawal istana.
Namun ketika emban itu melangkah pergi, dengan terbata-bata Empu Sada memanggilnya. “Tunggu. Tunggu.”
Emban tua itu berhenti. Sambil memutar
dirinya ia bertanya, “Apalagi Kaki? Bukankah aku harus menyampaikan
permohonanmu kepada Tuan Puteri.”
“Tunggu.” minta Empu Sada yang tiba-tiba berdiri perlahan-lahan.
Beberapa orang prajurit yang melihatnya
berdiri menjadi semakin tertarik pada laki-laki tua itu. Dengan penuh
perhatian mereka menyaksikan pembicaraan kedua orang-orang tua itu
dengan saksama.
“Apalagi Kaki?” bertanya emban itu pula.
“Aku ingin tahu, kenapa kau bertanya tentang Pramuntaka.”
Emban tua itu mengerutkan keningnya.
Terasa pertanyaan yang menyebut dirinya Makerti itu menarik hatinya.
Maka Jawabnya, “Tidak apa-apa Kaki. Karena kau menyebut dirimu berasal
dari padukuhan Ngarang, sedang aku mengenal seseorang dari padukuhan itu
pula dan bernama Pramuntaka. Maka aku bertanya kepadamu, apakah kau
sudah mengenalnya.”
“Tidak. Pasti bukan hanya sekedar ingin tahu, apakah aku pernah mengenal orang yang bernama Pramuntaka itu.”
Sekarang emban tua itulah yang terkejut.
Kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti itu terdengar aneh
ditelinganya. Karena itu ia berkata, “Kenapa kau Kaki? Kenapa kau heran
atas pertanyaanku dan bahkan kau tidak percaya bahwa aku hanya sekedar
bertanya tentang Pramuntaka itu. Aku pernah mengenalnya, dan aku ingin
tahu, kalau kau benar-benar orang Ngarang sejak kecil, kau pasti
mengenalnya pula.”
“Siapakah sebenarnya kau Nini?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pertanyaan itu semakin mengejutkan bagi
emban tua itu. Namun ia menjawab, “Aku adalah emban kinasih, pemomong
Ken Dedes sejak kanak-kanak. Itulah maka aku tahu, semua orang Panawijen
dan semua orang yang pernah berhubungan dengan momonganku itu.”
Dada Empu Sada menjadi semakin
berdebar-debar. Ketika ia berkisar setapak, ia melihat prajurit yang
duduk di dalam gardu kini telah berdiri.
Empu Sada sama sekali tidak menjadi kecut
melihat prajurit-prajurit yang hanya berjumlah empat orang itu. Kalau
ia mau, maka ia tidak memerlukan waktu banyak. Tetapi yang dicemaskan
Empu Sada adalah dirinya sendiri. Dengan sepenuh kesadaran ia berusaha
untuk dapat mengekang perasaannya supaya ia tidak meloncat dan menyentuh
para prajurit di tempat-tempat yang berbahaya, sehingga keempat
prajurit itu menjadi tidak berdaya.
“Aku sudah bertekad untuk pasrah diri.”
katanya di dalam hati. Namun setiap kali kakinya menjadi gemetar,
seolah-olah sepasang kakinya itu amat sulit dikendalikannya sendiri.
Kini ia mendengar bahwa perempuan tua itu
adalah pemomong Ken Dedes sejak kecil. Ia mendengar bahwa emban tua itu
bukanlah emban istana, tetapi adalah emban yang dibawa oleh Ken Dedes
dari Panawijen. Dengan demikian maka Empu Sada sudah dapat membayangkan,
bahwa emban itu tidak percaya sama sekali kepada semua ceriteranya.
Emban itu pasti tahu, bahwa Ken Dedes tidak mempunyai seorang paman
bernama Makerti dan datang dari padukuhan Ngarang. Tetapi yang lebih
membingungkannya, bahkan menjadikannya sangat berdebar-debar adalah
pertanyaan emban tua itu. Kenapa emban tua itu bertanya tentang
Pramuntaka?
Dalam pada itu terdengar emban Ken Dedes
berkata, “Kaki. tunggulah di sini. Tinggallah bersama para prajurit ini,
Aku akan menghadap Tuan Puteri untuk menyampaikan pesanmu. Namun aku
akan dapat memberitahukan kepada Tuan Puteri, bahwa aku belum pernah
melihatmu.”
Para prajurit yang mendengar kata-kata
emban tua itu tiba-tiba menyadari keadaan. Seolah-olah mereka mendapat
perintah untuk menahan orang tua itu di dalam gardunya.
“Apakah maksud Nini sebenarnya?” bertanya
Empu Sada dengan cemas. Sekali lagi ia tidak mencemaskan
Prajurit-prajurit itu, tetapi ia cemas pada dirinya sendiri. Kalau ia
menjadi kehilangan keseimbangan, maka ia pasti akan lari dan
meninggalkan keempat prajurit itu dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Tidak apa-apa.” jawab emban tua pengasuh
Ken Dedes, “mungkin Tuan Puteri mempunyai pertimbangan lain. Mungkin
Tuan Puteri perlu minta pertimbangan dari pemimpin Pelayan-dalam yang
sedang bertugas hari ini atau bahkan mohon pertimbangan kepada Akuwu
Tunggul Ametung.”
Kaki Empu Sada menjadi semakin gemetar ketika ia melihat berapa prajurit itu mendekatinya.
“Tunggu Nini.” minta Empu Sada, “ada
suatu.., ada sesuatu yang ingin aku jelaskan supaya Nini melihat
persoalan yang sebenarnya.”
“Apakah masih ada yang belum jelas?”
“Masih Nini.”
“Apakah itu?”
“Pramuntaka. Nama itu.”
“Apakah kau kenal nama itu?”
“Ya Nini, aku mengenal nama itu dengan baik.”
Pemomong Ken Dedes itu tertegun sejenak.
Diamatinya laki-laki tua itu dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Namun
malam menjadi semakin suram sehingga bayangan laki-laki tua itu pun
menjadi semakin kabur.
“Sudahlah Kaki.” berkata salah seorang
prajurit yang telah berdiri di sampingnya, “duduklah di gardu bersama
kami. Kaki dapat beristirahat sesuka hati. Kaki dapat berbaring untuk
melepaskan lelatu, sambil menunggu Tuan Puteri berkenan menerima Kaki.”
“Ya, ya tuan.” sahut Empu Sada, “tetapi
aku ingin memberi penjelasan dahulu kepada Nini emban. Sebenarnyalah aku
mengenal orang yang ditanyakannya.”
Kemudian kepada pemomong Ken Dedes ia berkata, “Nini, apakah benar Nini mengenal orang yang bernama Pramuntaka?”
“Tentu Kaki.” sahut emban itu, “aku bertanya kepadamu justru aku mengenalnya dengan baik.”
“Aku mengenal orang itu jauh lebih baik dari siapa pun juga.” sahut Empu Sada.
Jawaban itu ternyata sangat menarik
perhatian pemomong Ken Dedes. Dengan nada yang tajam ia bertanya,
“Tidak. Tak ada orang yang mengenal orang itu lebih baik dari aku. Aku
mengenalnya sejak ia muda sampai akhirnya ia meninggal dalam keadaan
yang kurang wajar.”
Emban itu terkejut ketika ia melibat Empu Sada menggeleng.
“Tidak.” berkata laki-laki tua itu, namun
tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi kenapa Nini merasa sebagai orang yang
paling mengenalnya?”
“Kenapa kau tanyakan hal itu? Aku
bertanya, sebutkan orang itu, ciri-cirinya dan apa pun yang kau ketahui.
Kalau kau dapat mengatakannya, barulah aku percaya bahwa kau berasal
dari Ngarang. Sehingga kau akan mendapat pelayanan yang lain di sini
nanti.”
Keringat yang dingin mengalir hampir di
seluruh tubuh Empu Seda. Perlahan-lahan ia berkata, “Pramuntaka bertubuh
tinggi. Berambut panjang ikal. Mempunyai beberapa cacat senjata di
tubuhnya. Bermata hitam tetapi pudar. Berwajah jelek dan dibayangi oleh
warna yang pucat.”
“Sebagian benar.” sahut perempuan tua
itu, “tetapi Pramuntaka tidak bermata pudar, wajahnya tidak dibayangi
oleh warna yang pucat. Mata itu benar hitam mengkilat, ditandai oleh
sorot kejantanan yang penuh cita-cita. Wajahnya keras namun tidak
kasar.”
“Tidak. Itu terlalu berlebih-lebihan.
Pramuntaka adalah seorang yang tidak berarti. Tidak berarti bagi dirinya
sendiri dan tidak berarti bagi dunia. Matinya pun tidak menimbulkan
sesal bagi siapa pun. Tak seorang pun mencari kuburnya untuk menaburkan
bunga di atasnya. Tak seorang pun yang pernah menyebut namanya kemudian.
Bagiku Pramuntaka adalah seorang yang tidak berarti apa-apa. Kematian
adalah jalan yang sebaik-baiknya baginya.”
“Bohong.” tiba-tiba emban itu membantah lantang. Sikapnya pun tiba-tiba menjadi lain dari sikapnya semula.
Empu Sada terkejut melihat sikap emban
tua itu. Bahkan kemudian ia terdiam sejenak. Dalam keremangan malam
tampaklah wajah perempuan tua itu menjadi tegang.
Di sana-sini beberapa orang juru
petamanan telah memasang pelita-pelita minyak. Sinarnya manggapai-gapai
disentuh angin yang lembut.
Para prajurit yang melihat pembicaraan
kedua orang tua itu menjadi bingung. Mereka kini tidak sedang
membicarakan kemungkinan untuk menghadap Ken Dedes, tetapi justru mereka
berbicara tentang seseorang yang kali ini tidak ada hubungannya dengan
permohonan orang, yang menyebut dirinya Makerti itu. Meskipun demikian
para prajurit itu menjadi semakin curiga. Mereka melihat orang tua yang
menamakan dirinya Makerti itu seperti seorang yang tiba-tiba diselubungi
oleh sebuah kabut rahasia.
Dalam pada itu terdengar perempuan tua itu berkata, “Kalau begitu, kau tidak mengenal Pramuntaka dengan baik.”
“Nini.” sahut Empu Sada, “aku bahkan
menjadi heran. Kenapa Nini menganggap Pramuntaka sebagai seorang yang
baik, yang sorot matanya ditandai oleh kejantanan yang penuh dengan
cita-cita, wajahnya keras namun tidak kasar. Semuanya itu tidak benar
Nini. Mungkin Nini mengenal orang itu dengan baik, tetapi aku adalah
orang yang tinggal sepedukuhan dengan orang yang menyebut dirinya
Pramuntaka. Bukan hanya sepedukuhan, tetapi aku tinggal serumah dengan
orang yang saat itu masih seorang anak muda yang cengeng.”
“Bohong, bohong” sahut emban tua itu,
“mungkin kau waktu itu masih juga seorang anak muda. Dan kau tidak dapat
berbuat seperti apa yang dilakukannya sehingga kau menjadi iri hati
kepadanya.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Betapa ia menjadi heran melihat sikap emban tua itu. Apakah hubungannya
dengan orang yang disebutnya bernama Pramuntaka itu?
“Nah,” berkata emban tua itu, “kalau
demikian, maka kau bukan seorang yang pantas untuk mendapat pelayanan
yang baik. Sifat irimu sejak muda masih saja kau simpan sampai rambutmu
hampir menjadi seputih kapas.”
“Nini,” potong Empu Sada, “tunggulah.
Apakah kalau aku ikut juga memuji anak muda, pada saat itu, yang bernama
Pramuntaka itu aku dapat menghadap Tuan Puteri Ken Dedes?”
Emban itu terkejut mendengar pertanyaan
itu. Sejenak ia terbungkam. Tetapi kemudian ia menyahut “Kaki, dengan
menyebut namanya, Pramuntaka, aku hanya ingin membuktikan, apakah kau
benar orang dari padukuhan Ngarang.”
“Aku sudah menjawab Nini.” jawab Empu
Sada, “Aku mengenalnya dengan baik. Aku telah menyebut ciri-cirinya dan
Nini pun sependapat. Yang kita tak sependapat adalah sifat-sifat orang
itu. Itu adalah sangat bersifat pribadi. Tetapi bahwa Nini menganggap
Pramuntaka seorang yang amat baik itu telah sangat menarik perhatianku.”
“Aku tahu benar sifat-sifatnya itu.”
“Nini, mungkin Nini tidak tahu, bagaimana
ia mati. Dalam keputus-asaan ia telah membunuh dirinya. Ia lari dari
padukuhannya karena ia kehilangan seorang gadis pada waktu itu. Ia tidak
berani merebut gadis itu dengan tajam pedangnya. Tetapi ia lebih baik
lari dan menghabiskan sisa hidupnya dalam dunia yang gelap. Akhirnya ia
mati dalam keputus asaan.”
“Cukup.” emban itu tiba-tiba memotong. Tetapi kemudian ia terbungkam. Terasa sesuatu menyesakkan nafasnya.
Para prajurit yang melihat mereka berdua
menjadi semakin heran. Mereka tidak tahu ujung dan pangkal pembicaraan
itu. Yang mereka ketahui adalah bahwa emban tua itu tidak membenarkan
orang yang menyebut dirinya Makerti itu menghadap langsung bersamanya.
Karena itu maka seorang diantara mereka pun segera menghampiri Empu Sada
sambil berkata, “Sudahlah Kaki, duduklah di dalam gardu. Ada beberapa
kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya kau tidak dapat meyakinkan emban
itu, bahwa kau benar-benar paman Tuan Puteri. Meskipun demikian tidak
mustahil bahwa, baik Tuan Puteri maupun Tuanku Akuwu Tunggul Ametung
ingin membuktikan melihat wajahmu yang berkerut-merut itu.”
Dada Empu Sada menjadi berdebar-debar
karenanya. Kini ia menghadapi sebuah teka-teki yang tidak
disangka-sangka. Pramuntaka adalah nama yang baginya telah mati. Dan
kini perempuan tua itu tiba-tiba mengungkat-ungkatnya kembali.
Namun tiba-tiba darahnya serasa berhenti mengalir ketika perempuan tua itu kemudian berkata Perlahan-lahan, “Kaki, ikutlah aku.”
Para prajurit yang mendengar kata-kata
itu pun menjadi heran. Baru saja mereka melihat kedua orang tua itu
berbantah. Tetapi tiba-tiba emban pemomong Ken Dedes itu ingin
membawanya.
Namun kemudian para prajurit itu
mendengar emban tua itu berkata, “Aku ingin mendapat jawaban-jawaban
yang lebih jelas. Aku tidak ingin persoalan ini membingungkan kalian
para prajurit. Aku akan membawanya ke sudut bilik itu. Kalau aku tetap
tidak yakin bahwa ia paman momonganku, maka aku akan memanggil salah
seorang dari kalian, dan kalian pasti akan mendengarnya.”
Para prajurit itu tidak dapat berbuat
lain daripada mengiakannya. Namun di dalam dada mereka tersimpan
berbagai pertanyaan yang bersimpang siur.
Ketika emban tua itu kemudian melangkah
pergi, maka orang tua itu mengikutinya di belakang. Mereka sejenak
saling berdiam diri, namun di dalam hati mereka menggelora berbagai
macam perasaan yang berbenturan. Mereka menjadi heran melihat sikap
masing-masing. Mereka tidak dapat segera mengerti kenapa mereka
masing-masing mempunyai anggapan yang harus mereka pertahankan tentang
orang yang bernama Pramuntaka itu.
Akhirnya mereka pun berhenti di sudut
bilik ujung istana. Jarak itu memang tidak terlampau jauh dari para
penjaga di sisi regol halaman dalam itu.
Para prajurit di sisi regol itu menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berpandangan. Salah seorang
dari mereka itu pun berguman, “Aneh-aneh saja orang-orang tua itu. Apa
saja yang mereka percakapan di ujung istana itu? Kalau saja mereka
anak-anak remaja maka aku akan menjadi iri.”
Kawan-kawannya tertawa. Namun salah
seorang lagi berkata, “Tetapi mungkin sebentar lagi kau harus
mempergunakan tombakmu untuk menakut-nakuti laki-laki tua itu supaya
tidak berlari. Agaknya mereka sedang berselisih pendapat tentang
seseorang yang bernama Pramuntaka.”
“Itulah anehnya orang-orang yang sudah
hampir pikun.” sahut yang lain. “Mula-mula emban tua itu hanya ingin
tahu, apakah laki-laki itu benar-benar berasal dari tempat yang
disebutkannya. Tetapi Akhirnya perdebatan itu bergeser kepada soal yang
lain. Soal orang itu sendiri.”
Keempat prajurit itu tersenyum. Yang
seorang, yang membawa Empu Sada masuk ke halaman dalam itu Akhirnya
berkata, “Ah, aku terlampau lama berada disini. Sebenarnya aku ingin
segera kembali ke tempatku.”
“Kembalilah, apa lagi yang akan kau tunggu disini,”
Orang itu menjadi ragu-ragu, tetapi
kemudian ia menggeleng. “Tidak. Aku belum akan kembali sekarang. Aku
ingin melihat akhir dari perdebatan orang tua itu.”
Ketiga kawannya tertawa kecil. Kemudian
mereka bersama-sama duduk di depan gardu, kecuali yang seorang, dengan
tombak di tangannya, berdiri saja di sisi regol halaman dalam itu.
Di sudut istana Empu Sada berdiri
berhadapan dengan emban tua yang telah menumbuhkan teka-teki baginya,
seperti juga dirinya ternyata telah membingungkan perempuan tua itu.
Di antara desau angin yang bertiup
semakin kencang terdengar emban tua itu berkata perlahan-lahan sambil
mencoba menguasai perasaannya sejauh mungkin. “Kaki” katanya, “sekarang,
cobalah sebutkan hubunganmu dengan Pramuntaka? Kenapa kau dapat
mengatakan bahwa Pramuntaka telah lari dan menghabiskan hidupnya dalam
keputus-asaan sebelum ia meninggal? Kenapa kau katakan bahwa ia tidak
berani merebut gadisnya dengan tajam pedangnya?”
“Demikianlah yang terjadi Nini. Bagaimana
aku akan mengatakan kepadamu apabila aku melihat sendiri bahwa
demikianlah yang telah terjadi.”
“Apakah kau tahu, siapakah gadis yang diperebutkan itu?”
“Aku tahu Nini. Tentu aku tahu.”
“Coba sebutkanlah.”
Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti
itu terdiam. Dipandanginya wajah perempuan tua itu dengan saksama.
Teka-teki yang mencengkam hatinya menjadi semakin rumit. Apapula gunanya
ia ingin mendengar nama gadis itu?
“Nah, Kaki Makerti cobalah, sebutkanlah nama gadis itu.”
“Nini. Kenapa kita terlampau dalam masuk
ke dalam persoalan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kepentinganku kini?”
“Tentu tidak Kaki. Aku ingin tahu benar, apakah kau berasal dari desa Ngarang.”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Orang itu pasti tidak hanya sekedar ingin tahu, apakah ia benar-benar
berasal dari desa Ngarang.
“Bagaimana Kaki Makerti, apakah kau
pernah mendengar namanya? Kalau kau benar-benar tahu tentang Pramuntaka,
maka kau pasti akan dapat menyebutkan nama gadis itu.”
Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan
kesabarannya lagi. Iapun ingin segera tahu, apakah hubungan perempuan
itu dengan Pramuntaka. Karena itu maka katanya, “Baiklah Nini, kalau kau
berkeras ingin tahu siapakah aku dan hubungan apakah yang pernah ada
antara aku dan Pramuntaka. Kalau ceriteraku ini akan memberimu kepuasan,
maka aku hanya ingin kau membawa aku menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
Aku membawa pesan yang teramat penting bagi Tuan Puteri dari kakaknya
yang bernama Mahisa Agni yang kini telah kembali ke Padang Karautan
itu.”
“Ya sebutkanlah. Kalau kau dapat
meyakinkan aku, bahwa kau benar-benar berasal dari Pedukuhan Ngarang,
maka akulah yang akan membawamu menghadap Tuan Puteri.”
“Nini emban.” berkata Empu Sada, “menurut pendapatku, Pramuntaka tetap seorang pengecut.”
“Jangan kau sebut lagi.” potong emban tua, “katakan saja apa yang kau ketahui tentang dirinya.”
“Maaf.” sahut Empu Sada, “menurut
pengetahuanku, Pramuntaka telah melarikan dirinya dari seorang gadis
yang dicintainya. Ketika ia ingin beristerikan gadis itu, maka ia telah
pergi mengembara untuk mendapatkan bekal di hari-hari yang akan
ditempuhnya bersama gadis yang dicintainya itu. Tetapi ternyata gadis
itu tidak setia. Ketika Pramuntaka kembali, gadis itu telah kawin dan
mempunyai seorang anak laki-laki. Semula, laki-laki yang bernama
Pramuntaka itu telah menentukan sikapnya. Cintanya akan dibelanya dengan
nyawanya. Tetapi ia ingat anak kecil di dalam dukungan perempuan yang
dicintainya itu, yang sudah bukan lagi seorang gadis yang menunggunya.
Karena itu, maka kecengengannya telah membawanya pergi meninggalkan
semua harapan yang telah disusunnya sepanjang perantauannya.”
“Cukup,” potong emban tua itu. Namun kini
suaranya terdengar bergetar. Terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya.
Patah-patah ia bertanya, “Aku ingin mendengar, apakah kau tahu gadis
itu?”
“Kenapa kau Nini?” bertanya Empu Sada.
“Sebutkanlah namanya.” sahut emban tua
itu, “kalau kau benar-benar mengetahuinya. Kalau ceriteramu itu bukan
sekedar ceritera yang kau dengar di sepanjang jalan atau ceritera lama
yang berloncatan dari mulut ke mulut.”
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat
perubahan pada sikap dan kata-kata perempuan itu maka kini dadanya
sendiri pun berguncang seperti ujung pepohonan yang ditiup angin malam
yang menjadi semakin kencang.
Justru mereka kini untuk sejenak saling
berdiam diri. Empu Sada tidak segera menjawab pertanyaan emban tua itu.
Perlahan-lahan ia berusaha menenangkan hatinya yang menjadi tegang.
“Aneh perempuan ini.” katanya di dalam
hati, “pembicaraan ini telah terlampau jauh menyimpang dari maksud
kedatanganku. Namun sikap perempuan yang aneh ini agaknya sangat
menarik.”
“Bagaimana Kaki?” terdengar suara perempuan itu semakin serak, “Apakah kau juga dapat menyebut nama gadis yang kau katakan itu?”
“Sudahlah Nini.” sahut Empu Sada,
“seandainya aku hanya mendengar dari ceritera yang berloncatan dari
mulut ke mulut, seandainya ini aku dengar di sepanjang jalan, maka
apakah Nini dapat membedakannya dengan apabila ceritera ini benar-benar
aku lihat dengan mata kepala sendiri, hanya dengan sekedar menyebut nama
gadis itu?”
“Tentu.” berkata perempuan tua itu, “kau mengatakan bahwa kau adalah orang yang paling tahu tentang dia. Tentang Pramuntaka.”
“Baiklah Nini,” Empu Sada benar-benar
tidak mempunyai pilihan lain. “Sebenarnya aku tidak lagi ingin menyebut
nama-nama mereka baik Pramuntaka maupun gadis itu. Mereka telah mati dan
tidak lagi mempunyai sangkut paut apapun dengan aku dan kau.”
“Sebutkan, sebutkan kalau kau tahu,” potong perempuan itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan ia berkata, “Menurut
pendengaranku Nini, gadis yang telah menghalau Pramuntaka dari dunia
harapannya adalah seorang gadis yang bernama Jun Rumanti.”
“Cukup, cukup,” tiba-tiba perempuan tua
itu memotong kata-kata orang yang menyebut dirinya Makerti, sehingga
laki-laki tua itu terkejut karenanya.
Kini ia berdiri tegak seperti patung
ketika ia melihat perempuan tua itu menundukkan kepalanya. Sekali-sekali
diusapnya matanya dengan ujung kembennya. Tetapi perempuan tua itu
tidak menangis. Ketika ia mengangkat wajahnya tampaklah wajah itu
menjadi terlampau suram. Cahaya pelita yang kemerah-merahan di kejauhan
tidak banyak menerangi wajah yang sudah berkerut-merut itu.
“Kau benar-benar mengetahuinya, bahwa Pramuntaka telah pernah mengenal seorang gadis yang bernama Jun Rumanti?”
Terasa sesuatu berdesakan di dalam dada
Empu Sada. Meskipun perempuan tua itu tidak menangis, tetapi ia melibat
sesuatu yang melengking dari dalam hatinya. Umur Empu Sada yang lanjut
itu ternyata telah mempertajam perasaannya pula, sehingga tiba-tiba ia
mempunyai suatu tanggapan yang lain atas emban tua itu.
“Ya Nini.” sahut Empu Sada dalam nada
yang dalam, “agaknya nama itu lelah mengejutkanmu. Apakah kau mengenal
nama itu pula, Jun Rumanti?”
Perempuan tua itu menggeleng, “Tidak Kaki. Aku tidak mengenal nama Rumanti.”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Kini
bukan saja ia merasakan jerit yang melonjak dari dalam hati perempuan
tua itu, tetapi seakan-akan ia kini dapat mendengarnya. Perlahan-lahan
ia bertanya, “Kalau kau tidak mengenal nama Rumanti itu Nini, kenapa kau
berkeras hati supaya aku menyebutkannya?”
Perempuan tua itu terdiam. Ia tidak tahu
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga dengan demikian,
maka Empu Sada menjadi semakin merasakan hubungan yang lebih rapat
antara perempuan tua itu dengan gadis yang dahulu bernama Jun Rumanti.
Tanpa disengajanya maka tiba-tiba Empu
Sada itu berkata, “Nini, kalau gadis itu masih ada, maka ia kini pasti
sudah tua pula. Mungkin gadis itu sudah setua Nini.”
Perempuan tua itu terkejut bukan buatan,
sehingga ia terhenyak dan bergeser setapak surut. Ditatapnya wajah orang
yang menyebut dirinya Makerti itu sejenak, namun sejenak kemudian ia
berkata, “Mungkin, mungkin Kaki.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari mulutnya kembali terlontar kata-kata, “Tetapi nama itu telah
lenyap sejak puluhan tahun yang lampau. Sesaat sejak Pramuntaka hilang
dari Ngarang. maka Jun Rumanti itu pun hilang pula.”
Kembali perempuan tua itu menundukkan
wajahnya. Terasa nafasnya menjadi sesak. Betapapun ia bertahan, namun
Akhirnya setitik air meleleh di pipinya yang sudah menjadi
berkerut-merut oleh garis-garis umurnya.
Sejenak mereka saling membisu. Namun di
dalam dada Empu Sada terjadi suatu pergolakan yang gemuruh. Ia melibat
perempuan tua itu menjadi semakin sedih. Dan tiba-tiba ia berkata,
“Nini, apakah kau saudara perempuan Jun Rumanti?”
Perempuan itu menggeleng.
“Apakah kau sahabatnya?”
Perempuan itu menggeleng lagi.
“Tetapi ceritera itu telah menggali
kepedihan di hatimu. Sudah aku katakan, sebaiknya kita tidak usah
membicarakan orang-orang lain di luar kepentingan kita sekarang. Namun
kau selalu mendesaknya. Agaknya kau ingin mengenang sesuatu lewat
ceritera itu. ceritera kanak-kanak yang telah terlampau lambat untuk
kita dengarkan. Tetapi Nini, aku menjadi bercuriga melihat sikapmu. Nah,
sebutkanlah, siapakah kau sebenarnya?”
Perempuan itu kembali terperanjat
mendengar pertanyaan Empu Sada. Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia
menggeleng, “Aku adalah emban Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Tetapi kenapa kau berkeras hati
memaksaku berceritera tentang pengecut itu. Tentang Pramuntaka yang lari
dalam keputus asaan dan tentang gadis yang telah menghianatinya.”
“Tidak. Gadis itu tidak menghianatinya.
Ia terdorong oleh suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi.
Pramuntaka telah meninggalkannya tanpa kabar berita untuk waktu yang
tidak menentu.”
Sekali lagi Empu Sada terkejut mendengar
jawaban perempuan tua itu. Bahkan sejenak ia tidak mengucapkan
kata-kata. Namun kini ia hampir-hampir dapat menebak siapakah perempuan
itu. Justru dengan demikian maka hatinya sendiri menjadi bingung. Terasa
darahnya seolah-olah hampir berhenti mengalir. Wajahnya terasa menjadi
panas, namun keringat dinginnya seakan-akan diperas apuh dari dalam
tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar emban tua itu
berkata, “Kaki Makerti. Kalau kau benar-benar orang yang paling dekat
dengan Pramuntaka, maka kau seharusnya mengetahui, bahwa gadis itu sama
sekali tidak ingin menghianatinya. Kau harus tahu, dan Pramuntaka pun
harus tahu pula seandainya ia masih hidup. Bagi seorang laki-laki, maka
waktu tidak begitu banyak berpengaruh pada dirinya. Tetapi bagi seorang
gadis keadaannya jauh berbeda Kaki. Kaki Makerti, apakah Kaki mempunyai
anak seorang gadis?”
Empu Sada yang menyebut dirinya Makerti itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Perlahan-lahan ia menggeleng lemah. “Tidak Nini.”
“Oh, kalau kau punyai gadis itu Kaki.”
desak perempuan tua itu, “maka kau akan merasakan, betapa seorang gadis
tidak dapat membiarkan waktu lewat tanpa menggoreskan luka di dadanya
semakin banyak hari-hari yang dilewatinya untuk menunggu, maka
kegelisahan di hatinya menjadi semakin menyala.”
“Ya, ya aku tahu Nini.” potong Empu Sada,
“tetapi tidak demikian dengan gadis yang bernama Rumanti itu. Mereka
sebelumnya telah berjanji, dan Rumanti tahu, bahwa Pramuntaka sedang
pergi merantau untuk mempersiapkan hari-hari yang bakal mereka jelang.
Tetapi ketika Pramuntaka kembali, maka gadis itu telah membawa seorang
anak laki-laki di dalam dukungannya.”
“Cukup. Cukup.” tetapi suara perempuan itu seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
“Kalau kau keluarga dari perempuan itu
Nini, maka dengarlah keluhan hati Pramuntaka yang meratapi kegagalannya.
Laki-laki cengeng itu menganggap bahwa hidupnya sudah tidak akan
berarti lagi.”
“Tetapi perempuan itu pun telah menyiksa dirinya sendiri Kaki. Ia menyesal karena iapun Akhirnya kehilangan segala-galanya.”
“Bohong.” sahut Empu Sada, “itu hanya
sebuah dongeng ngayawara. Ternyata kaulah yang hanya mendengar dongeng
di sepanjang jalan tentang Pramuntaka dan Jun Rumanti itu. Ternyata
kaulah yang hanya mendengar ceritera itu berdesah dari mulut ke mulut.
Kau tidak melihat dari dekat, dan kau tidak turut serta merasakan betapa
kepahitan dari peristiwa itu membekas sampai akhir hayatnya.”
“Kau yang bohong.” bantah perempuan itu.
Namun kini mulai terdengar isak tangisnya, “perempuan itu pun telah
menerima hukumannya.”
“Kembali kau mengarang ceritera itu. Mungkin kau kenal keduanya, tetapi kau tidak mengenal perasaan mereka.”
“Tentu, tentu Kaki Makerti, aku tentu
mengenal perasaan mereka seperti aku mengenal perasaan sendiri. Aku
mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang yang pernah
mengenalnya.”
“Nini emban.” tiba-tiba suara Empu Sada menjadi datar dan berat.
Serasa sesuatu menyumbat kerongkongannya.
Namun laki-laki itu memaksa mengucapkan kata-kata, “Nini, kenapa kau
mengenal perasaan gadis itu melampaui setiap orang? Nah, katakan
kepadaku Nini, apakah kau yang bernama Jun Rumanti?”
Emban tua itu terkejut mendengar
pertanyaan itu. Sekali lagi ia bergeser setapak menjauhi laki-laki yang
berdiri di hadapannya. Dengan tajamnya ia memandangi wajah laki-laki tua
itu, namun kemudian wajahnya tertunduk. Dengan ujung kembennya ia
menyeka matanya. Dan tiba-tiba mata itu kini menjadi kering. Ketika
perempuan itu mengangkat kepalanya, maka ia berkata, “Tak ada gunanya
air mata buatku. Buat orang tua-tua.” kemudian dengan tegas ia berkata,
“Ya, aku lah Jun Rumanti itu.”
Jawaban itu telah diduga oleh Empu Sada
yang menyebut dirinya Makerti. Namun meskipun demikian terasa juga
dadanya berdesir, dan karenanya maka sejenak ia pun terdiam.
“Kaki Makerti, kini kau telah berhadapan
dengan perempuan itu. Jun Rumanti. Nah, bertanyalah kepadanya, kenapa ia
tidak setia menunggu Pramuntaka yang pergi tanpa sebuah pertanggungan
jawab pun menghadapi gadis dan waktu.”
Empu Sada tidak segera menjawab. Namun setelah ia mencoba menenangkan dirinya ia berkata, “Maaf aku Nini.”
“Apa yang harus dimaafkan? Aku tidak
menyesali kata-katamu. Mungkin kau hanya mendengarnya dari Pramuntaka.
Itu adalah haknya untuk menyatakan perasaannya. Dan ketahuilah Kaki,
bahwa anak Jun Rumanti itu kini telah menjadi seorang anak laki-laki
yang cukup memberinya kebanggaan.”
“Dimana ayahnya sekarang?”
“Huh, apakah kau berpura-pura.”
“Aku belum mengenalnya.”
“Ayahnya telah mati seperti Pramuntaka pun telah mati. Laki-laki itu lari tanpa meninggalkan pesan apapun.”
“Pendengaranku tentang laki-laki suamimu itu ternyata benar.”
“He, kau telah mengetahuinya pula?”
bertanya emban tua itu, yang ternyata bernama Jun Rumanti di masa
gadisnya, “kenapa kau mempunyai perhatian yang sedemikian besar atas Jun
Rumanti itu dan suaminya pula?”
“Tidak apa-apa. Aku mengetahuinya seperti aku mengetahui banyak tentang Pramuntaka.”
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.
“Dimana anakmu sekarang Nini?” bertanya Empu Sada.
“Anakku telah kau kenal. Kau telah mengakui menjadi paman Ken Dedes dan membawa pesan dari laki-laki itu.”
“He? Kau maksud bahwa anakmu bernama
Mahisa Agni?” wajah Empu Sada tiba-tiba menjadi semakin tegang sehingga
jalur-jalur nadinya seakan-akan ingin mencuat keluar dari wajah kulitnya
yang berwarna tembaga.
Emban tua itu pun terkejut mendengar
pertanyaan Empu Sada dalam nada yang tinggi. Kini emban itulah yang
melihat Empu Sada tiba-tiba menjadi sangat gelisah. Sekali lagi ia
menegaskan. “Nini, apakah anak muda yang bernama Mahisa Agni itu
anakmu?”
Emban tua yang bernama Jun Rumanti di
masa gadisnya itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya, Kaki.
Mahisa Agni itu adalah anakku.”
“Oh.” tiba-tiba Empu Sada itu menundukkan
wajahnya. Terasa dadanya seakan-akan terhimpit batu yang terlontar dari
lereng Gunung Kawi.
Dalam pada itu, emban tua itu pun
tertegun. Ia belum pernah mengatakan kepada siapapun, bahwa Mahisa Agni
itu adalah anaknya. Namun tiba-tiba, kepada orang yang baru saja
dikenalnya itu ia berterus terang, bahwa Mahisa Agni adalah anaknya.
Tetapi tanggapan laki-laki tua itu pun
sangat menarik perhatiannya. Didengarnya orang yang menyebut dirinya
Makerti itu berdesah beberapa kali.
“Kenapa Kaki.” bertanya emban tua itu, “kenapa kalau Mahisa Agni itu anakku?”
“Tidak apa-apa Rumanti.”
“Jangan panggil aku dengan nama itu. Panggil aku kini sebagai seorang emban Tuan Puteri Ken Dedes.”
“Ya Nini emban.”
“Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni?”
“Aku tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni itu adalah anakmu.”
“Tak seorang pun tahu, bahwa Mahisa Agni
itu anakku. Mungkin pamannya, Empu Gandring telah mendengar dari Agni,
bahwa aku disini. Tetapi orang lain tidak. Ken Dedes, momonganku itu pun
tidak tahu, bahwa kakak angkatnya, Mahisa Agni adalah anakku, anak
pemomongnya.”
“Itukah akibat dari penyesalanmu atas peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupmu itu!”
“Ya, salah satu bentuk daripadanya.”
“Kau membuang dirimu?
“Ya.”
“Tetapi apakah Mahisa Agni tahu bahwa kau adalah ibunya?”
“Ya.”
Sekali lagi terdengar Empu Sada berdesah.
Bahkan beberapa kali tangannya mengusap peluhnya yang menitik dari
dahinya. Dalam kesuraman cahaya pelita di kejauhan, maka wajah yang
tegang itu tampaknya menjadi bertambah tegang.
“Aku tidak menyangka.” desis Empu Sada.
“Sekarang kau tahu, dan apakah yang akan
kau lakukan atas anak itu? Anak itu adalah anakku. Anak Jun Rumanti yang
telah melukai, bahkan menurut katamu mengkhianati orang yang bernama
Pramuntaka itu, yang mungkin adalah sahabatmu atau saudaramu atau apa
saja. Ternyata kau benar-benar mengetahui keadaannya hampir sempurna.”
Ternyata Empu Sada menjadi semakin
gelisah mendengar kata-kata Jun Rumanti, emban pemomong Ken Dedes itu,
sehingga ia tidak lagi berhasil menyembunyikan perasaannya. Kata-kata
emban tua yang tidak disadari oleh perempuan itu sendiri seakan-akan
telah menunjuk wajahnya, bahwa ia pernah berbuat sesuatu atas Mahisa
Agni, bahkan pernah berusaha untuk membunuhnya.
Empu Sada itu memalingkan wajahnya ketika
emban itu berkata, “Bagaimana Kaki. Apakah sekarang yang akan kau
katakan? Apakah kau benar-benar mendapat pesan dari Mahisa Agni untuk
kemanakanmu Ken Dedes?”
“Maafkan Rumanti, aku tidak tahu bahwa Mahisa Agni adalah anakmu.”
“Jangan panggil aku dengan nama itu.
Rumanti telah tidak ada lagi. Yang ada adalah emban tua pemomong Tuan
Puteri Ken Dedes ini.” emban itu berhenti sejenak. Kemudian
dilanjutkannya. “Tetapi kenapa dengan Mahisa Agni setelah kau tahu bahwa
Mahisa Agni adalah anakku.”
Gelora di dalam dada Empu Sada menjadi
semakin gemuruh. Terbayang di dalam angan-angannya, betapa ia
mengejar-ngejar anak itu bersama muridnya Kuda Sempana.
Namun tiba-tiba Empu Sada itu bergumam,
“Tetapi Nini, kali ini maksud kedatanganku adalah baik. Aku justru ingin
menyelamatkan anak muda itu.”
“Kaki Makerti.” potong emban tua itu, “kenapa kali ini? Apakah di kali lain kau mempunyai maksud yang lain pula?”
Empu tua yang menyebut dirinya Makerti
itu kini benar-benar tidak lagi dapat menahan arus perasaannya yang
seakan-akan ingin memecahkan dadanya. Tiba-tiba ia tertunduk lemah
sambil berdesis, “Aku tidak tahu Nini. Aku tidak tahu kalau anak muda
itu anakmu?”
“Kenapa kalau anakku? Kau tidak mempunyai
sangkut paut dengan aku. Kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan Mahisa
Agni. Tetapi apakah yang pernah kau lakukan terhadap anak itu?”
Empu Sada terdiam sejenak. Sekali ia memandang halaman yang luas itu. Satu dua berkeredipan lampu-lampu minyak yang melemparkan sorotnya bertebaran. Tetapi sorot lampu itu tidak mampu menerangi wajah Empu tua yang sedang gelap.
Empu Sada terdiam sejenak. Sekali ia memandang halaman yang luas itu. Satu dua berkeredipan lampu-lampu minyak yang melemparkan sorotnya bertebaran. Tetapi sorot lampu itu tidak mampu menerangi wajah Empu tua yang sedang gelap.
Ketika dikejauhan terdengar bunyi
kentongan dara muluk, maka hati orang tua itu pun seakan-akan meledak
karenanya. Perlahan-lahan ia berdesah seperti kepada diri sendiri. “Anak
itu anak baik. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi.” Empu
Sada berhenti sejenak. Kini ia memandangi wajah emban tua itu dengan
saksama. Tampaklah bibir laki-laki tua itu bergerak-gerak. Namun baru
kemudian ia berhasil mengucapkan kata-kata, “Maafkan aku Rumanti. Bukan
maksudku menyakiti hatimu. Aku tidak tahu apakah yang sedang aku hadapi
dan aku tidak menyadari apa yang aku lakukan. Rumanti. Kalau kau masih
juga dapat mempercayai kata-kataku, akulah laki-laki pengecut itu.
Akulah orang yang bernama Pramuntaka dan aku adalah orang yang tidak
tahu diri.”
Alangkah mengejutkan pengakuan itu,
sehingga sejenak emban tua itu terpaku diam. Namun gemuruh di dalam
dadanya bergelora melampaui gelora kawah gunung berapi. Sorot matanya
menghunjam seolah-olah hendak menembus jantung orang yang menyebut
dirinya Makerti. Tetapi sejenak mulutnya bagaikan terkunci.
Empu Sada kini menundukkan wajahnya. Pengakuan itu meluncur bagaikan lepasnya seekor burung yang selama ini disimpannya rapat-rapat di dalam sangkar. Tak seorang pun yang dapat mengetahuinya seperti tak seorang pun yang mengenal perempuan itu bernama Jun Rumanti.
Empu Sada kini menundukkan wajahnya. Pengakuan itu meluncur bagaikan lepasnya seekor burung yang selama ini disimpannya rapat-rapat di dalam sangkar. Tak seorang pun yang dapat mengetahuinya seperti tak seorang pun yang mengenal perempuan itu bernama Jun Rumanti.
“Tetapi.” terdengar kemudian suara perempuan tua itu tersendat-sendat, “tetapi bukankah Pramuntaka itu telah mati?”
“Ya. Kau benar. Pramuntaka memang telah
mati, seperti Jun Rumanti yang demikian saja hilang dari lingkungannya.
Pramuntaka telah mati. Yang ada kemudian adalah orang lain. Orang yang
hidupnya tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang bernama Pramuntaka
itu. Hidup Pramuntaka telah diakhiri. Dan lahirlah orang baru, Empu
Sada.”
“He?” emban tua itu hampir-hampir
berteriak mendengar pengakuan laki-laki itu lebih lanjut. “Kaukah orang
yang bernama Empu Sada itu pula?”
Kini Empu Sada sendiri terkejut bukan
buatan. Pengakuan itu meluncur tanpa disadarinya. Ternyata ia telah
terdorong menyebut dirinya Empu Sada. Karena itu maka jantung laki-laki
itu berdegup semakin keras. Dengan nanar dipandanginya perempuan tua
yang tiba-tiba menjadi sangat tegang. Tetapi ucapan itu sudah terlanjur
meloncat dari bibirnya.
Perempuan tua, emban pemomong Ken Dedes
itu berdiri seperti sebuah patung. Tetapi patung itu telah membuat Empu
Sada gemetar. Lebih baik baginya berhadapan dengan seorang yang bernama
Kebo Sindet atau Wong Sarimpat, atau Panji Bojong Santi bahkan Empu
Purwa sekalipun, daripada perempuan tua itu. Perempuan yang pernah
bernama Jun Rumanti.
Dada Empu Sada terasa menjadi retak
ketika ia mendengar perempuan tua itu berdesis penuh tekanan “Jadi
kaukah laki-laki itu. Kaukah laki-laki yang bernama Pramuntaka, yang
pernah kehilangan perhitungan tentang gadis dalam hubungannya dengan
waktu, dan kaukah pula yang kini bernama Empu Sada, yang pernah berusaha
membinasakan anakku Mahisa Agni dan hampir-hampir pula mencelakakan
momonganku, Ken Dedes.”
Tubuh Empu Sada menjadi semakin gemetar.
Sejenak timbullah hasratnya untuk lari. Ia harus meninggalkan halaman
itu sebelum para prajurit itu mengenalnya, bahwa ialah orang yang
bernama Empu Sada. Ia harus meloncat pagar dan lenyap di balik dinding
halaman. Tetapi tiba-tiba hatinya serasa lumpuh. Perempuan tua itu
adalah Jun Rumanti. Dalam usianya yang telah lanjut itu, tanpa
disadarinya telah terungkat kembali kenangan masa-masa lampaunya.
Masa-masa puluhan tahun yang lampau.
Empu Sada, seorang laki-laki yang mampu
menghadapi setiap bahaya yang mengancam dirinya, bahkan telah berhasil
melepaskan diri dari tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
itu, kini berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam dihadapan
seorang emban tua. Betapa kekuatan tangannya serta aji yang tersimpan di
dalam dirinya, namun Empu Sada tidak akan mampu melawan perasaannya.
Terdengar di dalam dadanya suatu keluhan. “Kembali aku menjadi seorang
laki-laki cengeng.”
Empu Sada itu menjadi semakin
berdebar-debar ketika kemudian perempuan yang berdiri di depannya itu
berkata seperti air yang membanjir. “O, jadi kaukah yang bernama Empu
Sada itu. Kini aku tahu. Kau ingin melepaskan sakit hatimu atas anak dan
momonganku. Oh alangkah cupet budimu. Aku sangka kau dahulu dengan
jujur berkata, “Kembalilah kepada suamimu dan kepada anakmu. Mereka
lebih memerlukan kau dari pada aku.”Tetapi ternyata kau menyimpan dendam
di dalam hatimu. Apakah artinya kematian Pramuntaka dan lahirnya
seorang yang bernama Empu Sada? Apakah arti kata-katamu bahwa tak ada
hubungan antara orang yang bernama Pramuntaka dan Empu Sada itu?
Ternyata kau adalah pembohong yang paling besar yang pernah aku temui.
Empu Sada adalah nama yang kau pergunakan untuk menyembunyikan dirimu.
Dengan demikian kau akan menjadi lebih mudah untuk berbuat sesuatu.
Melepaskan dendammu yang puluhan tahun mengeram di dalam dadamu. Kini
kau memakai nama lain pula. Makerti, supaya kau dapat melepaskan
sebagian dari dendammu.”
Empu Sada menekan dadanya dengan telapak
tangannya. Ditahankannya perasaannya sekuat tenaganya. Dibiarkannya
perempuan tua itu berkata sepuas-puasnya. Baru ketika emban itu berhenti
Empu Sada berkata, “Rumanti, ternyata kau salah sangka.”
“Apa yang salah?” bantah emban tua itu,
“bukankah yang terjadi memang demikian? Untunglah bahwa kau belum dibawa
langsung menghadap Tuan Puteri. Apabila demikian, maka istana ini akan
mendapat bencana. Memang adalah suatu kemungkinan bahwa seisi istana ini
tidak akan mampu menangkapmu, apabila Tuanku Tunggul Ametung sendiri
terlambat mendengar. Adalah tidak terlampau sukar bagimu untuk menembus
penjagaan para prajurit yang terkantuk-kantuk itu.”
“Rumanti.” sahut Empu Sada dengan nada
yang datar. Ditahankannya hatinya. Dengan sareh ia berkata, “Aku dapat
mengerti perasaanmu itu. Tetapi ketahuilah bahwa sama sekali tidak tahu
bahwa kau berada di sini. Bahwa Mahisa Agni adalah anakmu dan Tuan
Puteri adalah momonganmu.”
“Apakah aku harus mempercayainya? Kau
yang bernama Pramuntaka dan kemudian menyebut dirimu Empu Sada, apakah
mungkin bahwa kau tidak mengerti bahwa akulah Jun Rumanti yang
beranakkan Mahisa Agni? Pramuntaka, ternyata bencana yang mengancam
anakku itu tidak sekedar datang dari Kuda Sempana yang aku dengar adalah
murid Empu Sada, tetapi justru datang darimu sendiri.”
Empu Sada masih mencoba menahan diri
sekuat-kuatnya. Dengan dada yang bergetar ia mencoba mendengarkan luapan
perasaan perempuan tua itu. Ia sendiri berusaha untuk tidak terseret ke
dalam arus perasaan seperti emban pemomong Ken Dedes itu.
Ketika perempuan yang dahulu bernama Jun Rumanti itu berhenti sesaat, maka berkatalah Empu Sada. “Rumanti.”
“Jangan sebut nama itu.” potong perempuan tua itu.
“Baiklah.” Empu Sada mencoba memperbaiki
kata-katanya, “Nini, betapa jahatnya Empu Sada, namun kali ini aku masih
ingin mendapat kepercayaanmu. Mungkin kalau aku berusaha Nini,
barangkali aku memang akan dapat menemukanmu dan mengetahui bahwa Mahisa
Agni itu adalah anakmu.”
“Bohong. Aku adalah seorang perempuan
yang tidak mempunyai kecakapan apapun. Aku bukan seorang yang sakti yang
memiliki aji di dalam diriku. Aku bukan seorang perantau yang
mengembara dari satu tempat ke lain tempat. Namun aku berhasil menemukan
anakku sepeninggal suamiku.”
“Sebenarnyalah demikian Nini.” sahut Empu
Sada, “sekali lagi aku katakan, bahwa aku memang tidak berusaha
demikian. Aku tidak mencari seorang gadis yang bernama Jun Rumanti. Aku
tidak mencari suaminya atau anaknya. Tidak. Justru aku selalu mencoba
menjauhinya seperti aku mencoba menjauhi semua kenang-kenangan yang
pernah terjadi. Itulah bedanya. Kau mencari dan aku justru menghindari.”
Emban itu terdiam sejenak. Kesabaran Empu
Sada ternyata mempengaruhi tanggapannya atas peristiwa yang sedang
dihadapnya, la kemudian dapat mengerti keterangan Empu Sada itu, bahwa
Empu Sada yang dahulu bernama Pramuntaka, tidak mengetahui siapakah
Mahisa Agni.
Keduanja sejenak terdiam. Masing-masing
mencoba mencernakan, apakah yang sedang mereka hadapi. Sedang angin
malam berdesau semakin kencang. Dan nyala-nyala pelita meronta-ronta
karena sentuhan angin itu.
Emban tua itu menundukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menangis. Sedang Empu Sada berdiri tegak seperti tonggak
mati. Keduanya masih belum mengucapkan kata-kata. Tetapi dada mereka
masih saja bergelora. Di kejauhan para prajurit sudah mulai dihinggapi
oleh kecurigaan. Apakah laki-laki tua itu masih juga memaksakan
keinginannya untuk menghadap Ken Dedes? Pembicaraan mereka telah
berlangsung terlampau lama. Tetapi agaknya mereka masih belum menemukan
kesepakatan.
“Apakah laki-laki tua itu gila?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari mereka berdesis.
Kawannya yang lain menggeliat sambil
menguap, “Persetan. Kalau perempuan tua itu memanggil, barulah aku akan
datang. Huh. Masih berapa lama lagi kita mendapat ganti. Aku sudah mulai
lapar.”
Prajurit yang telah membawa Empu Sada
masuk menyahut. “Ternyata aku Akhirnya tidak dapat menunggu lagi. Kalau
mereka masih juga bertengkar terlampau lama, maka aku harus kembali ke
tempatku.”
“Tunggulah sebentar. Kau yang membawanya kemari. Mungkin kau harus membawanya keluar pula sebentar lagi.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, “Baiklah. Aku lebih senang duduk di sini daripada datang
giliranku untuk berdiri hilir mudik di samping regol.”
Kawannya yang bertugas di regol mendengar
pula percakapan mereka. Sekilas ia memandangi prajurit yang sebenarnya
harus bertugas di regol luar. Tetapi kemudian ia tidak menghiraukannya
lagi.
Sementara itu, Empu Sada masih juga berdiam diri. Ditatapnya wajah perempuan tua yang berdiri dihadapan sambil menunduk.
“Nini.” berkata Empu Sada kemudian, “apakah kau telah benar-benar kehilangan segenap kepercayaanmu kepadaku.”
“Bagaimana mungkin aku dapat mempercayaimu Empu.”
Empu Sada menarik nafas dalam. Tetapi
harapannya kini telah tumbuh kembali. Perempuan tua itu kini telah tidak
terlampau keras lagi.
“Nini.” berkata Empu Sada lebih lanjut, “aku ingin menghadap Tuan Puteri.”
Emban itu mengangkat wajahnya. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, “Kau hampir-hampir mencelakakannya.
Kini apakah kau masih juga berhasrat untuk menculiknya?”
“Ada sebuah ceritera yang panjang Nini.”
berkata Empu Sada, “tetapi akhir daripada ceritera itu telah menuntun
aku kemari dengan maksud yang baik. Mungkin aku seorang yang
sejahat-jahatnya, sehingga aku tidak akan mendapat jalan kembali tanpa
menjadi putus asa lebih dahulu. Aku kini mengalami keputus asaan itu.
Itulah sebabnya aku datang kemari. Aku ingin mematikan Empu Sada itu
pula seperti aku ingin mematikan Pramuntaka dahulu. Aku ingin hidup
dalam bentuk yang lain lagi. Keadaan telah membenturkan kesadaranku,
bahwa jalan yang selama ini aku tempuh bukanlah jalan yang
sebaik-baiknya.”
“Apa lagi yang telah terjadi pada dirimu.
Ternyata hidupmu dipenuhi oleh keputus asaan. Seperti orang yang
berjalan di dalam kegelapan, kau meraba-raba tanpa tujuan. Kalau
ternyata jalan itu salah, dan kau telah terperosok dalam keputus-asaan,
maka kau mencoba mencari jalan yang lain. Tetapi kau tidak mempunyai
suatu garis lurus yang harus kau perjuangkan.”
“Kau benar Nini. Kau benar. Aku hidup
seperti kapuk yang diterbangkan angin. Kemana angin bertiup, ke arah
itulah aku terbang. Namun kini, meskipun mungkin aku akan hanyut lagi
tanpa aku ketahui, tetapi aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Tuan
Puteri. Dan tentu saja kepadamu, setelah aku tahu bahwa Mahisa Agni
adalah anakmu.”
Emban pemomong Ken Dedes itu kini
mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah orang yang menyebut dirinya
Makerti itu. Wajah itu sama sekali tidak dapat dikenalnya sebagai wajah
seorang yang pernah bernama Pramuntaka. Puluhan tahun yang lampau. sejak
Mahisa Agni masih di dalam dukungan ia bertemu untuk yang terakhir
kalinya. Karena itu, maka wajah laki-laki tua itu telah berubah sama
sekali. Pengalaman yang pahit, yang pedih dan segala macam pengalaman
yang lain telah mencetak muka laki-laki itu menjadi wajah Empu Sada yang
hidup di dalam dunia yang asing.
Tetapi wajah perempuan itu pun telah
berubah pula. Tak ada lagi sisa-sisa kecantikan wajah seorang gadis yang
bernama Jun Rumanti. Tak ada lagi senyum yang cerah dan suara tawa yang
renyah. Namun sorot mata itu masih setajam sorot mata Jun Rumanti.
“Kaki Makerti.” berkata emban itu, “apakah sebenarnya yang akan kau sampaikan kepada Tuan Puteri?.”
Empu Sada ragu-ragu sejenak. Tetapi ia
harus mengatakan setidak-tidaknya sebagian dari seluruh keterangannya.
Apabila tidak demikian, maka ia pasti tidak akan mendapat kepercayaan
dari perempuan tua itu. Apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni
adalah anaknya.
“Rumanti.” desis Empu Sada.
“Sekali lagi, jangan sebut nama itu.” potong perempuan itu.
“O, maafkan aku Nini.” Empu Sada menelan
ludahnya, lalu ia meneruskan, “ada yang akan aku sampaikan kepada Tuan
Puteri justru dalam hubungannya dengan anakmu itu.”
“Ya katakanlah.”
“Anakmu kini berada dalam bahaya Nini.”
“Sudah lama ia berada dalam bahaya, sejak
ia mengurungkan niat Kuda Sempana, muridmu, untuk mengambil Ken Dedes
menjadi isteri dengan caranya yang kasar.”
“Ya, ya. Kau benar. Tetapi kini bahaya itu menjadi semakin besar.”
“Kaukah yang mengatakan itu? Kau salah seorang yang membahayakan baginya.”
“Sudah aku katakan. Aku kembali terbentur
pada suatu keadaan yang memaksaku menjadi sekali lagi berputus-asa.
Bukan karena sisa-sisa kebaikan hatiku sehingga aku menyadari kejahatan
serta kekeliruanku di masa-masa yang lampau, tetapi aku kini sedang
berputus asa. Empu Sada bukan seorang yang pantas mendapat tempat dimana
pun. Ia adalah seorang yang tidak akan berguna bagi siapa pun, seperti
Pramuntaka tidak akan berguna bagi siapa pun juga. Tetapi Nini, kali
ini, aku mengharap kau mendengarkan kata-kataku, selagi aku tidak tahu
apa yang sebaiknya aku kerjakan. Aku sendiri tidak yakin, apakah sikap
ini akan berlaku seterusnya. Aku ragu-ragu terhadap diriku sendiri. Dan
orang seperti aku, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada dirinya
sendiri, adalah orang yang paling tidak berguna.”
Emban tua itu mengernyitkan alisnya.
Terasa kejujuran memancar dari setiap kata Empu Sada. Apalagi ketika
Empu Sada itu berkata, “Nini, berilah aku kesempatan. Selain tentang
Mahisa Agni, aku ingin mohon maaf kepada Tuan Puteri atas segala
kelakuanku di masa-masa yang lewat. Aku tidak tahu, apakah aku tidak
akan kambuh kembali. Tetapi sekarang, percayalah, bahwa hatiku sedang
gelap, sehingga tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri dalam
keputus asaan. Nini jangan menunggu aku menjadi gila. Ketika aku masuk
ke dalam halaman ini, memang terbersit kehendak yang gila itu. Kenapa
tidak saja lebih baik bagiku mengambil Ken Dedes untuk kepentingan yang
bermacam-macam. Untunglah, bahwa aku sedang berada dalam ketakutan. Aku
tidak berani menghadapi lawan-lawanku yang kini mengelilingi aku. Empu
Purwa, ayah gadis itu, Empu Gandring yang selalu berada di dekat Mahisa
Agni, Panji Bojong Santi yang pernah mengurungkan niatku menculik Tuan
Puteri di jalan ke Panawijen dan yang paling gila adalah Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat. Keduanya itulah yang paling berbahaya bagiku dan bagi
Mahisa Agni. Muridku, Kuda Sempana kini ada pada mereka. Adalah suatu
bahaya yang tak terkirakan, bahwa kedua setan itu ingin menangkap Mahisa
Agni tidak untuk Kuda Sempana, tetapi justru untuk memeras Tuan Puteri
Ken Dedes dan Tuanku Tunggul Ametung.”
Dada perempuan tua itu berguncang
mendengar kata-kata Empu Sada. Tiba-tiba tumbuhlah kepercayaan di dalam
hatinya, bahwa Empu Sada benar-benar sedang dalam keputus asaan. Namun
sejalan dengan itu, maka hatinya pun kini dicengkam oleh kecemasan
tentang anaknya. Karena itu, maka emban itu pun menjadi gelisah. Sejenak
ia berdiam diri dalam ke bimbangan.
Tetapi perempuan tua itu terhenyak ketika
ia mendengar seorang prajurit menegurnya, prajurit yang membawa Empu
Sada masuk ke halaman dalam, “Kaki, bagaimana dengan Kau? Apakah kau
masih juga betah berdiri di situ sampai pagi untuk memaksa menghadap
Tuan Puteri Ken Dedes.”
Empu Sada tidak menjawab. Ditatapnya saja
wajah perempuan tua dihadapannya, seolah-olah minta kepadanya untuk
menjawab pertanyaan prajurit itu.
“Aku harus kembali ke tempatku bertugas.”
berkata prajurit itu lebih lanjut, “aku sudah mencoba menolongmu Kaki.
Tetapi keputusan terakhir memang tidak terletak di tanganku.”
Empu Sada masih berdiam diri.
Karena Empu Sada tidak segera menjawab, maka kembali prajurit itu berkata, “Bagaimana Kaki?”
Dalam kebimbangan kemudian Empu Sada
menjawab, “Bukan aku yang menentukan tuan, tetapi emban pemomong Ken
Dedes itu. Tergantung kepadanya, apakah aku diperbolehkan menghadap atau
tidak.”
Prajurit itu berpaling, memandangi wajah emban tua yang kini menjadi tegang penuh kebimbangan,
Sejenak mereka saling berdiam diri. Empu Sada menunggu dengan hati yang berdebar-debar, sedang prajurit itu menjadi heran. Ia melihat beberapa perubahan sikap pada laki-laki tua yang kini agaknya menjadi bertambah sigap.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Empu Sada menunggu dengan hati yang berdebar-debar, sedang prajurit itu menjadi heran. Ia melihat beberapa perubahan sikap pada laki-laki tua yang kini agaknya menjadi bertambah sigap.
Di dalam pada itu emban tua itu masih
juga dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi ia dapat mengerti keterangan
Empu Sada. Ia dapat mempercayainya, bahwa kali ini ia bermaksud baik.
Kalau ia bermaksud jahat, maka ia tidak perlu berbantah lagi. Mungkin
dengan sebuah sentuhan ia sudah menjadi pingsan. Prajurit-prajurit yang
berjumlah empat orang yang sama sekali tidak bersiaga itu akan dapat
diselesaikan dalam waktu yang singkat. Dan adalah tidak mustahil, bahwa
ia akan berhasil mengambil puteri itu tanpa dapat ditangkap oleh para
penjaga. Hanya kalau Akuwu Tunggul Ametung mengetahuinya, maka pusakanya
akan mungkin dapat melawan orang tua itu.
Dalam kebimbangan perempuan tua itu
mendengar prajurit itu bertanya kembali, “Bagaimana Nyai. Apakah orang
tua itu diperkenankan menghadap, ataukah ia harus keluar?”
Perempuan tua itu menggigit bibirnya.
Tampaklah kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam. Diawasinya Empu
Sada dan prajurit itu berganti-ganti.
Akhirnya terdengar ia bersuara lirih,
“Biarlah ngger, laki-laki tua ini menghadap Tuan Puteri. Kalau nanti
ternyata Tuan puteri tidak berkenan, maka biarlah ia keluar halaman.”
“Tetapi ia tidak boleh berkeliaran
sendiri di halaman ini Nyai.” sahut prajurit itu, “kalau Tuan Puteri
tidak berkenan maka aku harus mengantarkannya keluar.”
“Baiklah kalau demikian, marilah ikut aku. Kau dapat menunggu di luar sampai laki-laki ini meninggalkan istana.”
“Sampai kapan aku harus menunggunya?”
“Tidak akan sampai besok.”
“Ah.” prajurit itu mengeluh, tetapi
kemudian ia berkata, “apakah aku akan dibiarkan lapar? Sore tadi aku
belum makan Nyai. Seharusnya sebentar lagi aku akan diganti oleh
prajurit yang bertugas semalam suntuk nanti. Aku akan segera kembali
pulang dan makan.”
“Jangan takut.” sahut perempuan tua itu, “kau dapat pergi ke dapur. Kau akan dapat memecahkan perutmu nanti, Ngger.”
Prajurit itu tersenyum. “Baiklah kalau demikian.”
“Ikutlah kami.” kata perempuan itu, dan kepada Empu Sada ia berkata, “Marilah kita mencoba menghadap Tuan Puteri.”
“Aku percaya kepadamu Nini, untuk kepentingan anakmu pula.”
“Sst.”
“O.” laki-laki yang menyebut dirinya Makerti itu pun terdiam.
Mereka kini berjalan sepanjang dinding
istana lewat halaman belakang. Dari tangga mereka memasuki serambi
belakang untuk menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang hampir tidak sabar
lagi menanti pemomongnya.
Ketika didengarnya suara pemomongnya itu
di luar pintu biliknya, maka dengan tergesa-gesa ia keluar. Ia ingin
segera mendengar tentang laki-laki yang menyebut dirinya pamannya dan
bernama Makerti.
“Tuan Puteri.” berkata pemomongnya ketika
Ken Dedes sudah berada di luar pintu biliknya, “seorang laki-laki tua
kini menunggu Tuan Puteri di ruang belakang.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah benar, bahwa ia adalah pamanku Bibi?”
“Silahkanlah puteri. Tuan Puteri akan dapat bertanya kepadanya sendiri.”
Tetapi Ken Dedes menangkap keragu-raguan
di dalam kata-kata perempuan tua itu sehingga kemudian sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah kau sudah pernah
mengenalnya?”
Emban pemomong Ken Dedes itu menjadi
semakin bimbang. Ia tidak segera tahu, bagaimana ia harus menjawab.
Karena itu maka sejenak emban tua itu berdiri saja mematung.
“Bagaimana bibi?” desak Ken Dedes.
“Tuan Puteri.” jawab emban itu kemudian,
“hamba tidak dapat mengatakannya apakah hamba pernah mengenalnya atau
belum dalam hubungannya dengan pengakuan laki-laki tua itu. Tetapi dalam
persoalan yang lain, hamba memang pernah mengenalnya sebagai orang dari
padukuhan Ngarang.”
“Dalam hubungannya dengan aku?”
“Hamba tidak tahu Tuan Puteri, tetapi sebaiknya Tuan Puteri menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.”
“Apakah orang itu tidak berbahaya?”
“Di tangga belakang ada seorang prajurit yang menunggunya Tuan Puteri, di samping Pelayan Dalam yang sedang bertugas.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih saja ragu-ragu untuk berbuat.
“Bagaimana nasehatmu bibi?”
“Menurut pendapat hamba Tuan Puteri, Tuan Puteri dapat menemuinya dan bertanya langsung kepadanya.”
“Baiklah. Aku percaya kepadamu.”
Ken Dedes itu pun segera melangkah ke
ruang belakang diiringi oleh pemomongnya. Meskipun demikian sebenarnya
di dalam dada keduanya, masih menyala keragu-raguan. Tetapi emban tua
itu bergumam di dalam hatinya. “Aku mengharap bahwa laki-laki itu masih
mempunyai sisa-sisa harga diri dan perasaan.”
Ketika Ken Dedes memasuki ruangan
belakang, dilihatnya seorang laki-laki duduk bersila sambil tumungkul.
Kekhidmatannya ternyata telah mengurangi perasaan bimbang di hati Ken
Dedes.
Ken Dedes itu pun kemudian duduk di atas
sebuah batu hitam yang dialasi oleh selapis kulit kayu yang dihias
dengan ukir-ukiran benang berwarna emas. Ditatapnya laki-laki tua yang
masih saja duduk tepekur seakan-akan tidak berani bergerak meskipun
hanya ujung jari kakinya.
Ken Dedes itu pun tidak segera bertanya
sesuatu kepada laki-laki yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu.
Dicoba untuk mengingat-ingat apakah ia pernah mengenal seorang laki-laki
seperti yang kini duduk di hadapannya. Tetapi betapa gadis itu
berusaha, namun ia tidak berhasil menemukan ingatan tentang seorang
laki-laki tua yang bernama Makerti.
Sekilas Ken Dedes memandangi pemomongnya
yang duduk dekat di sampingnya. Bagaimanapun juga, ternyata perempuan
itu masih juga menyimpan keragu-raguan di dalam hatinya, apalagi setelah
diketahuinya, bahwa sebenarnya laki-laki tua itulah yang bernama Empu
Sada. Karena itu, maka pemomong Ken Dedes itu duduk dekat di sisi kaki
Ken Dedes, bahkan seolah-olah bersandar kepada gadis itu.
“Kiai.” sapa Ken Dedes kemudian
Perlahan-lahan, “maafkan aku Kiai, bahwa aku merasa belum mengenalmu.
Baik namamu dan bahkan wajahmu. Adalah suatu kemungkinan bahwa aku telah
lupa kepada seseorang yang pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi cobalah
kau menjelaskan, bagaimanakah hubunganmu dahulu, aku pasti akan menjadi
ingat kembali kepadamu.”
Tetapi Empu Sada tidak segera dapat menjawab. Bahkan kepalanya yang tunduk itu seakan-akan menjadi semakin tunduk.
“Kiai.” berkata Ken Dedes pula, “mungkin
Kiai dapat berceritera tentang keluargaku, tentang ibuku semasa hidupnya
dan tentang ayahku. Mungkin Kiai dapat berceritera tentang diriku di
masa kanak-kanakku. Dengan demikian aku akan dapat mengingatnya kembali
atau setidak-tidaknya dapat meyakinkan diriku bahwa kau adalah pamanku.”
Empu Sada masih belum menjawab. Kepalanya
masih menunduk dalam-dalam. Namun laki-laki tua itu menggigit bibirnya
sendiri kuat-kuat. Ketika ia telah berhadapan dengan gadis itu,
tiba-tiba terkenanglah kembali apa yang pernah dilakukannya. Ia pernah
berusaha merebut gadis itu untuk muridnya Kuda Sempana. Apakah dengan
demikian tidak akan berarti merenggut gadis itu dari dunianya yang
sekarang dan melemparkannya ke dalam satu dunia yang gelap? Memang ia
tidak mempunyai anak seorang gadis. Ia tidak dapat membayangkan betapa
perasaan seorang gadis tentang dirinya, tentang dunia di sekitarnya dan
tentang masa depannya. Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ken Dedes,
alangkah pedih hatinya. Seandainya, Ya, seandainya saat itu Panji Bojong
Santi tidak menghalanginya, maka apakah jadinya gadis yang kini duduk
dihadapannya itu? wajah yang cerah sumringah itu pasti akan menjadi
suram dan muram. Kuda Sempana pasti akan membawanya hidup dalam suatu
dunia yang gelap yang tersembunyi.
“O.” laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Ternyata Yang Maha Agung masih melindunginya.”
Ken Dedes yang masih saja melihat orang
tua itu terdiam, hatinya menjadi berdebar-debar. Kenapa ia tidak
menjawab sepatah katapun? Kembali Ken Dedes berpaling kepada emban
pemomong. Tetapi emban itu pun menundukkan kepalanya pula.
Ken Dedes itu kemudian justru menjadi
gelisah. Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Kiai, bukankah Kiai telah
datang untuk bertemu dengan aku? Bukankah Kiai yang bernama Makerti dan
mengaku sebagai pamanku?”
Ken Dedes itu pun kemudian melihat
laki-laki tua itu bergerak. Setapak ia bergeser, namun justru ia
bergeser mundur. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya.
“Ampun Tuan Puteri.” desisnya perlahan. Tetapi kembali ia terdiam. Kembali kepalanya menunduk.
Tetapi dalam sekejap itu, Ken Dedes telah
melihat wajahnya. Wajah itu benar-benar telah mengejutkannya. Ken Dedes
melihat mata orang tua itu menjadi terlampau suram dan bahkan menjadi
basah.
“Katakanlah Kiai.” minta Ken Dedes, seperti seorang gadis kepada kakeknya yang tua.
“Ampun Tuan Puteri.” berkata orang tua itu tersendat-sendat, seakan-akan lehernja tersumbat oleh kata-katanya.
“Ya katakanlah.”
Ketika orang tua itu kembali mengangkat wajahnya, kini Ken Dedes benar-benar melihat setitik air menetes dari matanya.
“Kenapa kau Kiai?” bertanya Ken Dedes.
Emban tua yang mendengar pertanyaan itu pun mengangkat wajahnya pula, dan Dilihatnya pula titik air di mata laki-laki itu.
“Ampun Tuanku.” berkata Empu Sada
patah-patah, “hamba telah berani membohongi Tuan Puteri. Tetapi
percayalah Tuan Puteri, bahwa maksud hamba adalah baik.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menangkap maksud orang tua itu.
“Hamba belum pernah melihat tuanku
sejelas saat ini. Hamba belum pernah melihat betapa cerah wajah Tuan
Puteri. Hamba belum pernah mengetahui betapa bersih hati Tuan Puteri.
Selama ini mata hambalah yang telah dibutakan oleh kegelapan hati.”
“Kiai.” potong Ken Dedes dengan heran, “aku tidak mengerti apakah sebenarnya yang kau maksudkan.”
“O.” Empu Sada menelan ludahnya, “Tuan
Puteri adalah sesoca Tumapel yang tidak ada duanya. Alangkah bahagianya
Empu Purwa mempunyai seorang Puteri seperti tuanku. O, sungguh gila Kuda
Sempana yang berkeinginan memperisteri Tuan Puteri. Sepantasnyalah
bahwa Kuda Sempana menjadi alas kaki tuanku.”
Ken Dedes menjadi semakin bingung. Ia
tidak tahu ujung pangkal kata-kata laki-laki tua yang mengaku pamannya
dan bernama Makerti itu.
Apalagi ketika laki-laki itu berkata
seterusnya dengan nafas yang terengah-engah, “Tetapi Tuanku, adalah
hamba yang paling bersalah, sehingga Kuda Sempana itu menjadi semakin
gila. Namun syukurlah bahwa Tuan Puteri masih selalu mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung.”
Sejenak Ken Dedes terpukau oleh keadaan
yang tidak dimengertinya. Dipandanginya laki-laki tua itu dengan penuh
pertanyaan pada sinar matanya yang bening.
Dalam pada itu Empu Sada masih berkata
terus, “Seandainya hamba tidak terseret dalam kegilaan yang serupa, maka
Kuda Sempana pasti dapat hamba kendalikan. Sekarang semuanya telah
hancur. Hidupku dan masa depan Kuda Sempana itu sendiri. Tetapi adalah
wajar dan setimpal dengan kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan.”
Ken Dedes masih diam mematung. Sedang
emban pemomongnya pun seakan-akan terbungkam pula. Tetapi emban tua itu
dapat merasakan betapa hati orang yang mengaku bernama Makerti itu
terpecah belah.
Empu Sada adalah seorang yang hidup dalam
arusnya angin ribut, sehingga karena itu, maka hatinya seakan-akan
telah menjadi sekeras baja dan perasaannya pun telah menjadi tumpul.
Namun tiba-tiba seperti cahaya matahari di pagi hari, wajah Ken Dedes
yang cerah telah menerangi segenap relung hati orang tua itu. Relung
hati yang karena keadaan telah sedikit terbuka, dan kini cerahnya sinar
matahari itu langsung mencairkan kepekatan yang kelam yang selama ini
mewarnainya.
Sesaat Ken Dedes masih diam
termangu-mangu. Namun ketika kembali ia melihat laki-laki tua itu
menundukkan kepalanya, maka berkatalah gadis itu, “Kiai, aku tidak
mengerti apa yang kau katakan. Aku tidak mengerti apa yang ingin kau
nyatakan kepadaku. Tetapi bahwa kau telah menyebut nama Kuda Sempana
benar-benar telah mengejutkan hatiku. Nama itu bagiku adalah nama yang
dapat mendirikan segenap bulu romaku. Karena itu, katakanlah maksud
kedatanganmu sendiri.”
Empu Sada masih menundukkan kepalanya. Ia
menjadi ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata. Tetapi kembali Ken Dedes
mendesaknya, “Katakanlah keperluanmu Kiai. Atau cobalah meyakinkan aku,
bahwa kau adalah pamanku.”
“Ampun Tuan Puteri.” desis Empu Sada
kemudian. Tetapi kini kepalanya menjadi semakin menunduk, “ampunkanlah
hamba. Bahwa sebenarnya hamba memang bukan paman Tuan Puteri.”
Dada Ken Dedes berdesir mendengar
pengakuan itu. Sejenak ia berpaling kepada pemomongnya. Tetapi
pemomongnya itu tidak sedang memandanginya. Bahkan pemomongnya itu
dengan tajamnya sedang memandang kepada laki-laki tua yang masih saja
menundukkan kepalanya.
“Jadi, siapakah kau sebenarnya?” bertanya
Ken Dedes, “dan apakah hubunganmu dengan Kuda Sempana? Kau telah
menyebut namanya, bahkan menghubung-hubungkannya dengan dirimu sendiri.”
Empu Sada itu memperbaiki letak duduknya.
Dengan susah payah ia kini berhasil mengatur perasaannya yang tiba-tiba
saja telah menjadi cair setelah bertahun-tahun membeku. Sekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Perlahan-lahan ia berkata, “Tuan
Puteri yang baik. Mungkin pengakuan hamba akan mengejutkan Tuan Puteri.
Tetapi perkenankanlah hamba lebih dahulu berjanji, bahwa sebenarnyalah
maksud kedatangan hamba kali ini adalah terdorong oleh penyesalan dan
ketakutan yang selama ini telah mengejar-ngejar hamba. Hamba tidak dapat
ingkar lagi. Hamba tidak dapat melarikan diri, karena ketakutan itu
tumbuh di dalam hati hamba. Hamba tidak dapat bersembunyi kemanapun,
selain pasrah diri dihadapan Tuan Puteri. Hamba akan bersedia menerima
apa saja hukuman yang akan Tuanku jatuhkan. Tetapi sebelumnya hamba
ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin berguna bagi Tuan Puteri dan
Kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni.”
Wajah Ken Dedes tampak berkerut.
Diawasinya laki-laki tua itu dengan sorot mata yang menjadi tegang.
Dengan ragu-ragu Ken Dedes itu bertanya, “Jadi, apabila kau sebenarnya
bukan pamanku apakah kau juga tidak bernama Makerti dan tidak datang
dari pedukuhan yang kau sebut Ngarang? Apabila demikian, siapakah kau
sebenarnya, dan apakah yang kau ceriterakan semuanya itu akan berarti
bagiku?”
“Tuan Puteri. Demikianlah hamba. Hamba
memang tidak bernama Makerti. Tetapi hamba benar-benar berasal dari
Pedukuhan Ngarang. Namun beberapa puluh tahun yang lampau hamba telah
meninggalkan pedukuhan itu, merantau dari satu tempat ke lain tempat,
sehingga Akhirnya hamba menetap tidak terlampau jauh diluar kota
Tumapel.”
Wajah Ken Dedes menjadi semakin tegang.
Kini ia segera ingin tahu, siapakah sebenarnya laki-laki tua itu. Maka
katanya, “Kiai, aku tidak mengerti apakah gunanya kau berbohong. Aku
tidak mengerti maksud kedatanganmu yang sebenarnya. Tetapi sebutkan
dahulu, siapakah kau.”
“Percayalah Tuan Puteri, bahwa hamba tidak akan membuat bencana lagi. Hamba telah menyesali perbuatan hamba.”
“Ya siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Kuda Sempana?”
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dibulatkannya tekadnya.
Apa saja yang akan terjadi tidak akan diingkarinya. Maka katanya sambil
menahan nafas. “Tuanku, janganlah tuanku terkejut. Hamba akan berkata
dengan jujur, siapakah hamba ini sebenarnya. Tuanku. Hamba bersedia
seandainya Tuan Puteri ingin membelah dadaku.”
“Ya, Ya, tetapi siapa kau Kiai?”
“Tuan Puteri, yang sudi menyebut nama hamba, hamba inilah yang dikenal bernama Empu Sada.”
Seperti tersengat seribu lebah, Ken Dedes
terkejut bukan buatan. Wajahnya yang cerah tiba-tiba menjadi seputih
kapas. Darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Sesaat ia terpaku di
tempatnya namun tiba-tiba ia terloncat berdiri. Hampir saja ia berteriak
memanggil prajurit atau Pelayan dalam atau si apapun untuk mengurangi
ketakutannya. Tetapi emban pemomongnya tiba-tiba memeluk kakinya sambil
berkata lirih.
“Tenanglah Tuan Puteri, tenanglah.
Laki-laki yang bernama Empu Sada itu kini bukan lagi seperti seekor
serigala yang lapar. Tetapi ia tidak lebih dari seekor kucing yang telah
dijinakkan.”
Meskipun Ken Dedes tidak berteriak karena
emban pemomongnya itu, namun debar di jantungnya masih belum berkurang.
Wajahnya masih putih dan tegang, sedang nafasnya menjadi
terengah-engah. Dipandanginya Empu Sada dengan sorot mata ketakutan dan
kecemasan. Ken Dedes itu pernah mendengar, bahwa orang yang mencegatnya
di hutan dalam perjalanannya ke Panawijen adalah Kuda Sempana bersama
gurunya yang bernama Empu Sada. Dan orang yang selama ini menghantuinya
itu tiba-tiba duduk dihadapannya.
Tetapi Empu Sada tidak bergerak.
Kepalanya masih tumungkul hampir menyentuh lantai. Kedua tangannya rapat
berpegangan satu dengan yang lain. Namun meskipun demikian, debar di
dadanya pun menjadi kian cepat. Iapun menjadi cemas apabila gadis itu
tidak segera dapat menguasai dirinya, maka akibatnya akan menjadi sangat
sulit baginya. Namun ia sudah pasrah diri. Dan akibat yang bagaimanapun
juga telah bulat untuk diterimanya.
Ken Dedes yang melihat laki-laki tua itu
masih juga tepekur, serta kata-kata pemomongnya yang lembut dan sareh,
telah membuatnya menjadi agak tenang. Meskipun demikian ia masih
dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tentang laki-laki tua yang
duduk dihadapannya itu.
Empu Sada kemudian dapat merasakan, bahwa
hati Ken Dedes menjadi bertambah tenang. Agaknya kata-kata pemomongnya
telah dapat meredakan luapan ketakutan yang menerkam dirinya. Karena itu
untuk meyakinkan maka orang tua itu berkata sareh, “Tuan Puteri.
Benarlah kata emban pemomong tuanku. Hamba kini bukan lagi serigala
kelaparan di hutan-hutan rimba, tetapi hamba kini tidak lebih dari
seekor kucing yang telah dijinakkan. Hamba tinggal menerima apa saja
yang sepantasnya dipikulkan atas pundak hamba, sebab hamba telah banyak
sekali berbuat kesalahan di hadapan Tuan Puteri dan Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung. Bahkan menurut penilaian hamba kini, hamba telah banyak sekali
berbuat dosa dihadapan Yang Maha Agung. Itulah sebabnya hamba kini
menghadap Tuan Puteri.”
“Tetapi.” sahut Ken Dedes terbata-bata,
“kalau kau bermaksud baik, kenapa kau menipu aku, emban pemomongku dan
para prajurit penjaga dengan memakai nama lain dan mengaku pamanku?”
“Itupun salah satu bentuk pengakuan atas
segala kesalahan hamba Tuan Puteri. Hamba menjadi ketakutan menyebut
nama hamba sendiri. Bayangan dosa dan noda itu selalu melekat pada nama
Empu Sada, sehingga hamba merasa bahwa Empu Sada tidak sepantasnya
diperkenankan menghadap Tuan Puteri. Karena itulah maka hamba mencari
akal, bagaimana hamba dapat berhadapan dengan Tuan Puteri untuk
menyampaikan sebuah ceritera yang menarik bagi Tuan Puteri, demi
keselamatan Kakanda Tuan Puteri sendiri, Mahisa Agni.”
Wajah Ken Dedes yang seputih kapas itu kini telah menjadi agak kemerah-merahan. Meskipun demikian tubuhnya masih terasa gemetar.
“Duduklah Tuan Puteri.” pemomongnya mempersilahkan.
Perlahan-lahan Ken Dedes kembali
meletakkan tubuhnya di atas batu hitam yang beralaskan klikaning kayu
yang dihiasi dengan benang-benang yang berwarna keemasan. Namun untuk
sesaat gadis itu masih saja berdiam diri. Debar jantungnya masih terasa
terlampau cepat, sedang kedua belah tangan dan kakinya masih saja
gemetar. Tetapi perasaannya kini telah mulai dapat dikuasainya. Apalagi
ketika ia masih melihat Empu Sada itu duduk tepekur diam hampir tidak
bergerak sama sekali.
“Tuan Puteri.” berkata Empu Sada
kemudian, “kedatangan hamba menghadap tuanku dengan segala macam akal,
adalah karena hamba ingin dapat langsung menyampaikan permohonan maaf ke
hadapan tuanku serta ingin menyampaikan sebuah kisah yang barangkali
tidak menarik, tetapi barangkali akan dapat memberikan jalan bagi Mahisa
Agni melawan keadaan yang kurang menguntungkannja.”
Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya
untuk merasakan tanggapan Ken Dedes akan kata-katanya itu. Dan
didengarnya Ken Dedes bertanya, “Apakah yang terjadi dengan kakang
Mahisa Agni? Bukankah ia selama ini berada di Padang Karautan untuk
menyelesaikan bendungannya?”
“Hamba Tuan Puteri.” sahut Empu Sada, “justru Mahisa Agni berada di Padang itulah maka bahaya selalu mengitarinya”
“Empu Sada,” berkata Ken Dedes yang sudah
menjadi semakin tenang, “sepengetahuanku, bahaya yang paling dahsyat
yang selama ini mengejarnya adalah bahaya yang ditimbulkan oleh
ketamakan Kuda Sempana dan gurunya yang bernama Empu Sada. Apabila kau
sekarang benar-benar sudah menghentikan usahamu untuk mencelakakannya,
maka aku sangka Kakang Mahisa Agni akan dapat menjaga dirinya sendiri
terhadap Kuda Sempana meskipun seandainya Kuda Sempana berbuat curang.”
“Tidak Tuan Puteri.” jawab Empu Sada,
“karena itulah maka hamba dengan segala akal yang licik berusaha menemui
Tuan Puteri. Bahaya yang sekarang mengancam Mahisa Agni bukan saja
datang dari Kuda Sempana. Bahkan Kuda Sempana pun pada saatnya pasti
akan mengalami bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari Mahisa Agni
sendiri.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya, katanya, “Aku tidak mengerti Empu Sada.”
“Tuan Puteri,” berkata Empu Sada,
“perkenankanlah hamba berceritera tentang diri hamba dan tentang diri
Kakanda tuanku Mahisa Agni.”
“Katakanlah Empu.” sahut Ken Dedes.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Sesaat ditengadahkannya wajahnya, namun kembali wajah itu menunduk.
Digesernya dirinya senyari maju, dan sejenak kemudian mulailah ia
berceritera tentang dirinya. Empu Sada yang telah benar-benar merasa
bersalah itu berceritera dengan sejujur-jujurnya, apa yang pernah
dilakukan atas Mahisa Agni. Usahanya menemui Kebo Sindet dan Wong
Sarimpat, dan diceriterakannya pula saat ia hampir mati terbunuh oleh
kedua iblis yang mengerikan itu.
Ken Dedes mendengarkan ceritera Empu Sada
itu dengan dada yang berdebar-debar. Hatinya semakin lama menjadi
semakin cemas, sedang wajahnya menjadi semakin tegang. Perlahan-lahan ia
dapat merasakan bahaya yang sedang mengancam Mahisa Agni. Bahaya yang
justru ditimbulkan oleh orang yang kini dengan menyesal
menceriterakannya kepadanya.
Akhirnya Empu Sada itu berkata, “Tuan
Puteri, hamba dapat membayangkan, bahwa di Padang Karautan kini
merayap-rayap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mengintai Kakanda Tuan
Puteri, Angger Mahisa Agni yang setiap saat siap untuk meloncat dan
menerkamnya.”
Wajah Ken Dedes yang sudah mulai memerah
itu kini lelah menjadi pucat kembali. Terasa debar dadanya menjadi
semakin deras, dan kecemasan yang sangat telah menghinggapinya.
Bahkan bukan saja Ken Dedes. Emban
pemomongnya yang semasa mudanya bernama Jun Rumanti itu pun menjadi
cemas. Terlalu cemas. Mahisa Agni adalah satu-satunya anaknya.
“Kenapa semuanya itu kau lakukan Empu?” bertanya Ken Dedes tanpa sesadarnya.
“Hamba sedang dilibat oleh kekelaman hati Tuan Puteri.”
“Kalau kau tidak mengalami kegagalan dan
bahkan hampir mati pula karenanya, maka aku kira kau tidak akan berbuat
seperti sekarang.” berkata Ken Dedes dengan penuh penyesalan.
“Hamba Tuan Puteri. Sebenarnyalah
demikian. Karena itu, maka kedatangan hamba kemari bukan karena
sisa-sisa kebersihan hati hamba yang mekar di dalam dada hamba, tetapi
hamba datang kemari karena hamba telah ditelan oleh ketakutan dan
keputus-asaan. Hamba tidak tahu lagi apa yang akan hamba lakukan, sedang
hamba tidak dapat menyembunyikan diri kemana pun. Ketakutan, kecemasan
dan keputus asaan itu selalu memeluk hati hamba. Maka dalam keadaan yang
demikian itulah hamba datang menghadap.”
Ketegangan hati Ken Dedes pun menjadi
semakin meningkat. Ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukannya.
Namun tiba-tiba ia mengangkat dagunya. Sejenak ia merenung, namun
tiba-tiba Wajahnya menjadi agak cerah. Perlahan-lahan ia berkata tidak
kepada Empu Sada tetapi kepada pemomongnya, “Bibi, bukankah beberapa
hari yang lalu Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengirim sepasukan
prajurit ke Padang Karautan untuk membantu Kakang Mahisa Agni?”
Emban itu pun menengadahkan wajahnya yang
mulai dijalari oleh aliran darahnya kembali. Dengan serta-merta ia
menjawab, “Ya, Ya Tuan Puteri. Pasukan itu telah berangkat minggu yang
lalu. Pasukan itu kini pasti sudah berada di Padang Karautan dan telah
sempat membantu pekerjaan Angger Mahisa Agni.”
Empu Sada yang mendengar pembicaraan itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berani memotong untuk bertanya.
Yang berbicara kemudian adalah Ken Dedes,
“Bukankah dengan demikian, maka bahaya yang mengancam kakang Mahisa
Agni dapat dikurangi?”
“Hamba Tuan Puteri, mudah-mudahan
demikianlah hendaknya. Namun bagaimanapun juga, adanya Prajurit-prajurit
itu di sekitar angger Mahisa Agni, pasti berpengaruh juga pada dirinya.
Empu Sada tidak segera mengerti
pembicaraan itu. Karena itu ketika keduanya berhenti sejenak, maka
diberanikannya dirinya bertanya, “Jadi, apakah maksud Tuan Puteri
mengatakan bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengetahui bahaya
yang mengancam kakanda Tuan Putri itu.”
“Bahaya itu sudah diketahuinya sejak
lama.” sahut Ken Dedes, “sejak Kakanda Mahisa Agni bertemu dengan Akuwu
Tunggul Ametung yang saat itu berada di Panawijen.” Ken Dedes berhenti
sejenak. Tanpa disengaja ia telah mengungkat kembali peristiwa pahit
yang pernah dialaminya. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berhasil
menguasai dirinya kembali dan berkata, “Bahwa bahaya itu menjadi semakin
besar, ternyata pula setelah kau mencegatku di hutan pada saat aku
pergi ke Panawijen bersama kakang Witantra. Tetapi, bahwa kemudian
bahaya itu menjadi semakin besar dan besar. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung
masih belum mengetahuinya. Terlibatnya dua orang kakak beradik yang
bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas permintaanmu itu pun masih
belum diketahui pula. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa dari Tumapel
telah dikirim sepasukan prajurit di bawah pimpinan seorang Pelayan Dalam
yang masih muda, bernama Ken Arok. Seorang Pelayan Dalam yang meskipun
masa jabatan belum terlalu lama, tetapi ia adalah seorang anak muda yang
menurut pendengaranku, mumpuni dalam olah krida.”
Empu Sada itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa disadarinya mulutnya berdesir, “Syukurlah kalau
demikian. Mudah-mudahan segalanya menjadi baik. Semoga Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi,
kedua setan itu terlampau licik. Ia akan dapat menemukan akal untuk
memisahkan Angger Mahisa Agni dari lingkungannya. Tetapi mudah-mudahan
kali ini tidak. Karena itu adalah sebaiknya bahwa Angger Mahisa Agni
segera diberi tahu akan bahaya yang mengancamnya.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sependapat dengan Empu Sada, bahwa Mahisa Agni harus segera
mengetahui bahaya yang mengintainya itu.
“Tetapi aku harus menyampaikannya kepada
Akuwu Empu. Akuwu akan mengutus seseorang untuk menyampaikannya kepada
Kakang Mahisa Agni.”
“Semakin cepat semakin baik Tuanku.”
“Tuan Puteri.” tiba-tiba emban
pemomongnya itu memotong, “hamba dengar bahwa hari ini ada seseorang
yang datang dari padang Karautan. Mungkin orang itu membawa laporan
kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tentang keadaan prajurit Tumapel
yang berada di sana. Mungkin orang itu dapat mengatakan apa yang telah
terjadi di padang itu, dan orang itu pun akan dapat menerima pesan
apabila ia segera akan kembali.”
“Seseorang datang dari Padang Karautan?”
bertanya Ken Dedes dengan bati yang berdebar-debar karena berbagai macam
tanggapan akan kedatangan orang itu.
Ternyata bukan saja Ken Dedes yang
menjadi berdebar-debar mendengar berita tentang kedatangan seseorang
dari padang Karautan, namun Empu Sada pun menjadi cemas pula.
“Apakah yang dikatakan oleh prajurit itu.” bertanya Ken Dedes kepada pemomongnya.
“Belum aku ketahui Tuan Puteri.” sahut
pemomongnya “prajurit itu sedang berusaha untuk menghadap Akuwu sore
ini. Mungkin prajurit itu sudah menyampaikan laporannya kepada Tuanku
Tunggul Ametung.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dadanya masih saja berdebar-debar. Meskipun demikian ia mencoba
untuk menghibur dirinya sendiri. Katanya di dalam hati, “Kalau terjadi
sesuatu Akuwu pasti sudah memberitahuku.”
Namun agaknya Empu Sada masih ingin
bertanya, katanya, “Apakah prajurit itu dapat ditemui dan bertanya
kepadanya tentang Padang Karautan setelah ia menghadap Akuwu dan
menyampaikan laporannya.”
Emban itu berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Mungkin juga dapat bertanya kepadanya setelah ia menghadap Akuwu.”
“Apakah mungkin kau dapat memanggilnya Nini?”
“Aku tidak tahu siapakah yang datang.”
“Para prajurit yang bertugas barangkali dapat mengatakan, siapakah yang baru saja menghadap Akuwu.”
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin juga aku dapat mencobanya.”
Tetapi tiba-tiba dipandanginya Empu Sada
itu dengan hati yang ragu. Apakah ia akan meninggalkan momongannya
berdua dengan Empu Sada yang selama ini telah menghantui gadis itu?
Apakah ia dapat mempercayai orang tua itu sepenuhnya? Emban itu menjadi
bimbang. Karena itu ia tidak segera bangkit dari tempatnya.
Emban tua itu masih juga termanggu-mangu
ketika Empu Sada memandanginya dengan gelisah dan cemas. Bayangannya
tentang Padang Karautan terlampau suram bagi Mahisa Agni. Apakah
seseorang yang datang dari Padang Karautan itu tidak menyampaikan
laporan tentang sesuatu bahaya yang telah menimpa anak muda itu? Apakah
seseorang itu tidak melaporkan bahwa Mahisa Agni telah hilang dari
lingkungan mereka?
Tetapi Empu Sada tidak mengucapkannya. Ia
takut kalau Ken Dedes menjadi semakin cemas pula. Karena itu, maka Empu
Sada itu pun bahkan terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak ketiga orang itu saling berdiam
diri. Ken Dedes pun masih juga dibayangi oleh kecemasan tentang
kakaknya, Mahisa Agni. Sedang emban pemomong Ken Dedes itu, yang
sebenarnya adalah ibu Mahisa Agni kemudian tidak pula kalah cemasnya. Di
dalam hatinya pun merayap pula gambaran-gambaran yang mengerikan yang
dapat menimpa anaknya. Karena itu, maka ia pun sebenarnya ingin segera
mendengar, ceritera apakah yang telah dibawa oleh seseorang itu dari
padang rumput Karautan yang garang.
Tetapi emban tua itu tidak dapat
meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Empu Sada telah meninggalkan bekas
yang hitam di sepanjang langkahnya. Karena itu, maka apa yang
dilakukannya masih juga menimbulkan keragu-raguan di dalam hati.
Karena emban tua itu tidak segera
beranjak dari tempatnya, maka Empu Sada pun kemudian mengangkat
wajahnya. Ia ingin bertanya, kenapa emban itu tidak segera mencari
prajurit yang datang dari Padang Karautan untuk segera mendapat jawaban
atas teka-teki yang berkecamuk di dalam hati mereka. Tetapi ketika Empu
Sada melihat sorot mata emban itu, kembali ia menundukkan kepalanya
sambil berdesah di dalam hati, “Hem, agaknya Rumanti belum dapat
melepaskan momongannya sendiri bersama aku. Tetapi itu bukan salahnya.
Itu adalah salahku.”
Kesepian itu akhirnya telah menyesakkan
dada Empu Sada yang gelisah, sehingga duduknya pun menjadi gelisah pula.
Tetapi ia tidak berani berkata sepatah kata pun, apalagi mendesak
supaya emban itu segera memanggil prajurit yang datang dari Karautan.
Dengan demikian kecurigaannya dapat menjadi semakin bertambah,
seakan-akan ia memaksanya untuk meninggalkan Ken Dedes seorang diri.
Tetapi agaknya yang bertanya kemudian adalah Ken Dedes, katanya, “Bagaimana bibi?”
Emban itu menjadi agak kebingungan. Ia tidak dapat pergi, tetapi bagaimana ia akan mengatakannya?
Namun tiba-tiba ia mendapat akal. Mungkin ia tidak perlu pergi mencarinya sendiri atau bertanya-tanya ke halaman. Bukankah di belakang, di tangga serambi ada seorang prajurit dan para Pelayan dalam yang bertugas? Karena itu, maka katanya, “Tuan Puteri. Biarlah hamba memanggil seorang prajurit di serambi belakang. Ia akan dapat lebih cepat menemukan kawannya yang datang dari padang Karautan.”
Namun tiba-tiba ia mendapat akal. Mungkin ia tidak perlu pergi mencarinya sendiri atau bertanya-tanya ke halaman. Bukankah di belakang, di tangga serambi ada seorang prajurit dan para Pelayan dalam yang bertugas? Karena itu, maka katanya, “Tuan Puteri. Biarlah hamba memanggil seorang prajurit di serambi belakang. Ia akan dapat lebih cepat menemukan kawannya yang datang dari padang Karautan.”
“Panggillah,” sahut Ken Dedes tanpa mengerti maksud embannya.
Namun ketika emban itu sempat memandang
wajah Empu Sada, maka Dilihatnya orang tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya seakan-akan ia memuji ketrampilan emban pemomong Ken Dedes
itu.
Sejenak kemudian emban itu berdiri dan
melangkah ke pintu, tetapi tidak sampai di luar pintu. Dari celah-celah
daun pintu yang dibukanya sedikit terdengar suaranya memanggil seorang
prajurit yang sedang bertugas.
Akhirnya ketika prajurit itu telah
menghadap, maka berkatalah emban itu, “Silahkanlah Tuan Puteri, mungkin
prajurit ini dapat menemukannya lebih cepat.”
Prajurit itu menjadi berdebar-debar.
Apakah yang harus dicarinya? Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika
ia mendengar Ken Dedes kemudian menjelaskan maksudnya.
“Hamba Tuan Puteri.” sahut prajurit itu
kemudian, “memang siang tadi hamba melihat tidak hanya seorang, tetapi
dua orang yang datang dari Padang Karautan. Mungkin mereka telah
menghadap Akuwu Tunggul Ametung.”
“Kalau mereka telah menyampaikan laporannya, panggillah mereka kemari.” perintah Ken Dedes kepadanya.
Prajurit itu terdiam sejenak. Ia tidak
mengerti, kenapa Ken Dedes ingin segera mendengar secara langsung
laporan Prajurit-prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan
siang tadi. Adalah tidak lajim bahwa seseorang selain Akuwu Tunggul
Ametung memanggil seorang prajurit untuk mendengarkan laporannya secara
langsung. Apabila seseorang tersangkut dalam satu persoalan, maka
biasanya Akuwu Tunggul Ametung sendirilah yang akan memanggilnya dan
mempersoalkan dengan orang yang berkepentingan itu. Tetapi kali ini yang
memberinya perintah adalah bakal Permaisuri Tunggul Ametung itu
sendiri, yang selama ini belum pernah ada. Karena itu maka prajurit itu
sejenak menjadi ragu-ragu.
Ken Dedes melihat keragu-raguan prajurit
itu. Maka katanya kemudian, “Sudah tentu apabila laporan itu bukan
laporan rahasia yang hanya boleh didengar oleh Akuwu. Meskipun demikian,
aku akan dapat bertanya kepadanya tentang keadaan padang itu, tentang
Kakakku Mahisa Agni dan tentang bendungan yang baru dibuatnya.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian kepala itu membungkuk dalam-dalam. Terdengar ia
berkata, “Hamba Tuan Puteri. Biarlah hamba cari prajurit yang baru saja
datang dari padang Karautan itu.”
“Carilah. Hal-hal yang penting. Akuwu
sendiri pasti akan memberitahukan kepadaku. Aku tidak memerlukan hal-hal
yang penting itu. Aku hanya ingin mendengar kabar tentang bendungan dan
Kakakku Mahisa Agni.”
Prajurit itu pun segera mohon diri,
beringsut mundur, dan kemudian meninggalkan ruangan itu untuk mencari ke
dua kawannya yang siang tadi baru saja datang dari padang Karautan.
“Orang-orang itu pasti pulang ke rumah masing-masing.” katanya di dalam hati, “kesempatan untuk menengok keluarga.”
Tetapi, prajurit itu tidak segera keluar
halaman. Ditanyakannya kepada Pelayan Dalam di tangga halaman depan,
apakah ada prajurit dari padang Karautan yang sedang menghadap langsung
Akuwu Tunggul Ametung.
“Siang tadi.” sahut Pelayan Dalam itu, “menghadap bersama pemimpin Pengawal Istana kakang Witantra.”
“O,” prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “mereka pasti sudah pulang. Mungkin sudah tidur mendengkur di
sisi anak-anaknya.”
Pelayan dalam itu tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Prajurit itu pun kemudian pergi ke regol
tempat ia bertugas. Kepada kawan-kawannya dijelaskannya apa yang harus
di lakukan. Sejenak kemudian maka berderaplah kaki-kaki kudanya menyusur
jalan kota.
Akhirnya kedua prajurit itu benar-benar diketemukannya di rumah masing-masing. Alangkah terkejutnya kedua prajurit itu ketika datang seorang kawannya ke rumah. Mereka menyangka bahwa ada sesuatu yang penting. Tetapi, mereka memberengut ketika mereka mendengar keperluan prajurit itu.
Akhirnya kedua prajurit itu benar-benar diketemukannya di rumah masing-masing. Alangkah terkejutnya kedua prajurit itu ketika datang seorang kawannya ke rumah. Mereka menyangka bahwa ada sesuatu yang penting. Tetapi, mereka memberengut ketika mereka mendengar keperluan prajurit itu.
“Apakah Tuan Puteri belum mendengar laporanku lewat Tuanku Akuwu?”
“Belum,” sahut kawannya itu.
Ketika mereka menemui prajurit yang
seorang lagi yang baru saja datang dari Padang Karautan, maka katanya
“bukankah ini telah malam. Apakah tidak dapat ditunda sampai besok?”
“Tuan Puteri ingin segera mendengar laporanmu.”
“Kami sudah melaporkannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tetapi belum kepada Tuan Puteri.”
“Ah,” prajurit itu berdesah. Tetapi iapun membenahi pakaiannya.
Kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa pergi ke Istana untuk menghadap Ken Dedes.
“Kenapa tidak siang tadi?” prajurit yang seorang masih saja menggerutu.
“Aku melihat kalian datang, tetapi aku tidak melihat kalian pergi bersama Ki Witantra. Apakah kalian lewat regol yang lain?”
“Ketika aku datang Ki Witantra ternyata
sudah berada di Istana. Aku keluar lewat regol yang itu-itu juga, tetapi
agaknya kau baru mengambil rangsum, atau baru memakannya di belakang
gardu.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pun kemudian terdiam. Hanya derap kuda mereka sajalah
yang terdengar memecah sepi malam, menghantam dinding-dinding halaman di
sisi-sisi jalan. Angin malam yang dingin mengalir mengusap tubuh-tubuh
mereka yang lembab oleh keringat dan embun.
Kedua prajurit itu pun kemudian dihadapkan kepada Ken Dedes yang hampir tidak sabar menunggunya.
Empu Sada yang sudah mulai terkantuk-kantuk pun menjadi terbangun kembali.
“Kemarilah,” berkata Ken Dedes mempersilahkan kedua prajurit itu.
Kedua prajurit itu pun beringsut maju. Mereka menjadi agak canggung. Mereka belum pernah menghadap gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.
Kedua prajurit itu pun beringsut maju. Mereka menjadi agak canggung. Mereka belum pernah menghadap gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah kalian baru datang dari padang Karautan?” bertanya Ken Dedes.
“Hamba Tuan Puteri,” jawab salah seorang dari mereka dengan suara parau, karena mereka masih juga dihinggapi oleh rasa kantuk.
“Apakah ada sesuatu yang penting terjadi di Padang Karautan sehingga kau berdua harus melaporkannya kepada Akuwu?”
“O, tidak Tuan Puteri.” sahut salah
seorang prajurit itu, “tidak ada yang penting. Hamba hanya menyampaikan
laporan bahwa prajurit-prajurit Tumapel telah sampai dengan selamat dan
telah mulai bekerja dengan baik membantu orang-orang Panawijen membuat
bendungan.”
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Bersyukurlah ia di dalam hati bahwa tidak ada sesuatu yang penting terjadi.
“Bagaimana dengan bendungan itu dan kakang Mahisa Agni?”
“Kakanda Tuan Puteri, Mahisa Agni kini
baru pergi ke Panawijen tuanku. Ada sedikit bencana yang menimpa
padukuhan itu. Tetapi sama sekali tidak berarti dan tidak mengganggu
pekerjaan yang besar itu.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar
berita tentang Panawijen. Karena itu maka dengan serta merta ia
bertanya, “Bencana apa lagi yang telah menimpa pedukuhan itu? Pedukuhan
itu telah menjadi kering, dan sekarang apa yang telah terjadi?”
“Tetapi bencana itu tidak mencemaskan Tuan Puteri. Bahkan bencana yang kecil itu dapat saja dilupakan.”
“Ya, tetapi apa yang terjadi.”
“Justru karena Panawijen telah menjadi
kering, maka udara di padukuhan itu pun menjadi sangat panasnya,
sehingga karena itu maka di padukuhan itu telah terjadi kebakaran kecil.
Beberapa buah lumbung dan rumah terbakar habis. Tetapi karena beberapa
orang tua masih tinggal di pedukuhan itu, dan perempuan, maka dengan
pasir dan sisa-sisa pohon pisang yang masih ada maka api dapat dibatasi.
Ternyata mereka berhasil memisahkan api yang berkobar itu dengan daerah
di sekitarnya, sehingga api tidak menjalar lebih besar lagi.”
“O, kasihan Panawijen.”
“Tetapi Tuan Puteri tidak usah cemas.
Hamba telah menyampaikan semuanya itu kepada Tuanku Akuwu Tunggul
Ametung atas perintah pimpinan yang ditugaskan di padang Karautan, Ken
Arok.”
“Bagaimanakah tanggapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung?”
“Tuanku Akuwu hanya tertawa saja
mendengar laporan hamba. Tetapi Akhirnya Tuanku Akuwu memerintahkan
kepada kakang Witantra untuk menyampaikan perintah kepada yang
berkepentingan, menyediakan padi dan jagung untuk membantu orang-orang
Panawijen yang telah kehilangan sebagian dari bahan makanan mereka.
Sedang sawah-sawah mereka sendiri dalam keadaan kering dan tidak mungkin
menghasilkan di musim kering seperti ini.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Beruntunglah
Panawijen mempunyai seorang Akuwu yang baik.”
Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Tetapi
Ken Dedes sudah tidak lagi dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan.
Bencana itu memang bukan bencana yang besar yang dapat
menggelisahkannya. Mungkin karena persoalan yang kecil itulah maka Akuwu
tidak segera memanggilnya dan memberitahukan kepadanya tentang apa yang
telah terjadi di Panawijen, bahkan mungkin lusa Akuwu Tunggul Ametung
baru akan memberitahukannya.
Tetapi tanggapan Empu Sada agak berbeda
dengan tanggapan Ken Dedes. Sesaat dipandangnya wajah emban tua yang
duduk di sisi Ken Dedes itu. Tetapi agaknya emban tua itu pun merasa
bahwa tidak terjadi sesuatu di padang Karautan. Emban tua itu beberapa
kali mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa suatu kesan yang mendebarkan
hatinya.
Namun Empu Sada masih menahan diri untuk
tidak berkata sesuatu. Ia masih menunggu, barangkali prajurit itu masih
ingin menyampaikan beberapa persoalan kepada Ken Dedes. Tetapi prajurit
itu masih juga terdiam. Ken Dedes dan pemomongnya pun masih juga belum
berkata sesuatu.
Ruangan itu masih juga diliputi oleh
kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desah angin yang menyentuh dedaunan
di petamanan di luar ruangan itu. Para prajurit yang sedang bertugas
duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk senjata mereka.
Prajurit yang duduk di tangga di belakang
ruangan belakang itu pun sudah mengantuk pula. Seharusnya ia sudah
selesai dengan tugasnya dan pulang ke rumah, minum air hangat dan makan
sekenyang-kenyangnya. Tetapi ia masih saja duduk di tangga istana
bersama beberapa Pelayan Dalam di ujung tangga yang lain.
“Perutku lapar.” gumamnya seorang diri. Tiba-tiba di kejauhan dilihatnya cahaya yang melontar dari celah-celah pintu.
“Di sana itu masih ada orang. Mungkin
seorang Pelayan yang dapat pergi ke dapur sejenak mengambil rangsum
tambahan buatku.” Tetapi prajurit itu tidak berani meninggalkan
tempatnya, “Emban tadi mengatakan, bahwa aku akan dapat pergi ke dapur.
Tetapi bagaimana dengan laki-laki tua itu?” Akhirnya kembali prajurit
itu duduk mengantuk sambil menahan lapar yang mengganggu perutnya.
Di dalam ruangan yang sepi itu Empu Sada
menjadi gelisah. Keterangan prajurit yang baru saja datang dari padang
Karautan itu baginya membawa kesan yang lain. Bukan sekedar beberapa
buah lumbung yang terbakar. Bukan sekedar beberapa orang Panawijen telah
kehilangan tempat tinggalnya. Tetapi jauh lebih mendebarkan dari pada
itu.
Isi lumbung yang terbakar, rumah-rumah
yang hangus menjadi abu, akan segera dapat diganti. Lumbung-lumbung akan
segera dapat dibangun kembali, bahkan Akuwu Tunggul Ametung telah
memerintahkan untuk mengirimkan jagung dan padi ke Panawijen. Tetapi
yang mencemaskannya adalah, kenapa hal itu terjadi? Apakah benar, hanya
sekedar karena udara yang panas maka lumbung-lumbung itu terbakar?
Tetapi seandainya seseorang telah membakarnya, apakah mereka hanya
sekedar ingin melihat orang-orang Panawijen kelaparan, ataukah ada
tujuan lain?
Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan
pertanyaannya lagi. Dengan hati-hati ia berkata, “Angger,
Prajurit-prajurit yang baru datang dari Padang Karautan, apakah
kebakaran yang timbul di Panawijen itu disebabkan oleh udara yang panas,
atau karena seseorang kurang berhati-hati sehingga menimbulkan bencana
itu, atau oleh sebab yang lain lagi?”
Kedua prajurit itu mengangkat wajahnya,
kemudian mereka berpaling kepada laki-laki tua itu. Sejenak mereka
menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terdengar Ken Dedes berkata, “Jawablah
pertanyaan itu.”
“Hamba Tuanku.” sahut salah seorang dari
mereka, “tetapi hamba tidak tahu pasti apa yang telah menyebabkannya.
Dua orang tua yang tinggal di Padukuhan Panawijen telah datang ke Padang
Karautan dan memberitahukannya kepada Kakanda Tuan Puteri, yang segera
ingin melihatnya sendiri ke Panawijen.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia sudah menyangka bahwa Mahisa Agni pasti akan datang sendiri ke
Panawijen untuk menyaksikan bencana itu betapa kecilnya. Karena itu ia
sama sekali tidak terkejut mendengar keterangan prajurit itu.
Berbeda dengan Ken Dedes, Empu Sada merasa sesuatu berdesir di dadanya meskipun tidak segera tampak pada wajahnya.
Tetapi laki-laki tua itu kemudian bertanya pula, “Dengan siapakah Angger Mahisa Agni pergi ke Panawijen?”
“Dengan pamannya” sahut prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Yang dimaksud pamannya pastilah Empu Gandring.
“Hanya berdua?”
“Tidak.” sahut prajurit itu, “meskipun
Adi Mahisa Agni ingin pergi seorang diri, tetapi pamannya
menasehatkannya untuk membawa beberapa orang kawan.”
“Ya, siapakah Kawan-kawannya itu?”
“Ken Arok sendiri.”
Empu Sada mengerutkan keningnya. Meskipun
tidak segera terucapkan, tetapi di dalam kepalanya berkecamuk berbagai
macam persoalan. Ia menjadi curiga, bahwa di padukuhan Panawijen telah
timbul kebakaran betapapun kecilnya.
Kemudian dua orang laki-laki tua yang
tinggal di Panawijen datang ke Padang Karautan untuk memberitahukan
kebakaran itu kepada Mahisa Agni.
Bahwa ada dua orang laki-laki tua berani melintasi padang Karautan itu telah menarik perhatiannya pula.
Tiba-tiba Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan. Katanya di dalam hati, “Ini pasti pokal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk memikat Mahisa Agni datang ke Panawijen. Mudah-mudahan Empu Gandring cukup waspada. Tetapi agaknya Empu Gandring belum mengenalnya. Kelicikan dan kecurangan bukan soal bagi mereka berdua.”
Tiba-tiba Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan. Katanya di dalam hati, “Ini pasti pokal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk memikat Mahisa Agni datang ke Panawijen. Mudah-mudahan Empu Gandring cukup waspada. Tetapi agaknya Empu Gandring belum mengenalnya. Kelicikan dan kecurangan bukan soal bagi mereka berdua.”
Empu Sada itu pun menjadi gelisah. Tetapi kegelisahannya itu masih saja dicoba untuk disembunyikan.
“Angger,” berkata Empu Sada kemudian kepada kedua prajurit itu, “kapankah Angger ke Padang Karautan.”
“Lusa aku akan kembali. Aku masih semalam lagi berada di Tumapel.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata, “Tuan Puteri, apakah masih ada
yang ingin tuanku ketahui?”
“Aku kira untuk sementara tidak Kiai.”
“Apakah tuanku ingin berpesan kepada mereka.”
Ken Dedes terdiam sejenak. Kepada emban pemomongnya ia bertanya, “Apakah yang penting aku pesankan kepada mereka bibi?”
Emban tua itu mengangkat kepalanya.
Ditatapnya kedua prajurit itu sejenak. Kemudian kepada Ken Dedes ia
berkata, “Tuanku, tak ada yang lebih penting tuanku pesankan, daripada
mengharap agar Angger Mahisa Agni menjadi lebih berhati-hati. Bahaya
akan dapat selalu menerkamnya setiap saat. Beritahukan kepada kedua
prajurit itu, bahwa mereka harus berhati-hati pula.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Kau dengar kata-kata bibi emban itu? Mungkin dapat kau
beritahukan kepada Kakang Mahisa Agni bahwa ia harus berhati-hati
terhadap dua orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukankah
begitu Kiai?”
“Ya, ya tuanku.” sahut Empu Sada.
Tiba-tiba Prajurit-prajurit itu
mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya, aku
pernah mendengar nama itu. Menurut ceritera yang pernah aku dengar, di
Padang Karautan sekarang berkeliaran kedua orang bersaudara itu. Yang
pernah bertemu dengan Adi Mahisa Agni dan pamannya adalah salah seorang
dari mereka yang bernama Wong Sarimpat.”
“He,” Empu Sada terkejut mendengar keterangan itu, “jadi Wong Sarimpat lelah mencoba menjumpai Angger Mahisa Agni.”
Kedua prajurit itu terkejut mendengar
pertanyaan Empu Sada. Tetapi sejenak kemudian mereka menjawab, “Ya. Aku
tidak tahu kebenaran dari ceritera itu. Mahisa Agni sendiri tidak pernah
mengatakannya.”
“Kalau demikian, dari siapa mereka mendengar ceritera itu?”
“Ki Buyut Panawijen.”
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kalau demikian maka hanya Ki Buyut lah yang diberi tahu bahwa bahaya
itu pernah ditemui oleh Mahisa Agni. Untunglah bahwa pamannya Empu
Gandring ada bersamanya. Tetapi agaknya Ki Buyut telah mengatakannya
pula kepada orang lain, sehingga akhirnya ceritera itu pun tersebar
diantara orang-orang Panawijen dan para prajurit dari Tumapel.
Dada Empu Sada berguncang ketika prajurit
itu berkata seterusnya, “Tetapi Wong Sarimpat bukanlah bahaya yang
sebenarnya bagi adi Mahisa Agni. Sumber dari bahaya yang selalu
membayangi anak muda itu adalah Kuda Sempana dan gurunya.”
Perlahan-lahan Empu Sada melepaskan
tarikan nafas yang tiba-tiba terasa seolah-olah berhenti. Tetapi ia
tidak berkata sepatah katapun.
Kesunyian sekali lagi menghinggapi
ruangan itu. Malam yang bertambah malam pun terasa semakin sepi
Dikejauhan terdengar bunyi kentongan dalam nada dara muluk. Hampir
tengah malam.
Sejenak kemudian terdengar Ken Dedes
berkata, “Aku kira keperluanku dengan kalian telah selesai. Kalian dapat
kembali ke rumah kalian. Besok kalau kalian akan kembali ke Padang
Karautan aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi.”
“Hamba tuan puteri.” sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Sesaat kemudian maka keduanya telah mohon
diri dan meninggalkan ruangan itu. Prajurit yang menjemputnya masih
saja duduk mengantuk di tangga belakang. Ketika ia melihat kedua
prajurit itu pergi, maka ia pun mengumpat di dalam hatinya.
Empu Sada yang masih duduk di dalam
ruangan belakang bersama dengan Ken Dedes dan emban tua itu pun menjadi
semakin tidak tenteram. Setiap orang menganggap bahwa Kuda Sempana dan
dirinya adalah sumber bencana bagi Mahisa Agni. Dan ia pun tidak akan
dapat mengingkari. Dengan demikian, apabila Mahisa Agni kali ini
benar-benar masuk ke dalam jebakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka
dirinyalah yang harus bertanggung jawab.
Karena itu, karena ketegangan yang
mencengkam jantungnya Empu Sada tidak lagi dapat duduk lebih lama.
Sejenak kemudian maka ia pun mohon diri pula untuk meninggalkan ruangan
itu.
“Tuanku.” berkata Empu Sada, “sebenarnya
hamba ingin menyampaikan pesan ini juga kepada Tuanku Tunggul Ametung.
Tetapi hamba tidak berani. Hamba merasa diri hamba yang kotor. Karena
itu tuanku, hamba mengharap bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan
dapat mendengarnya dari Tuan Puteri. Mungkin Tuanku Tunggul Ametung akan
mempunyai suatu sikap yang dapat menyelamatkan Angger Mahisa Agni, atau
bahkan menangkap kedua setan dari Kemundungan itu. Kalau ada orang lain
yang mau mencoba menangkapnya, maka hamba menyediakan diri hamba untuk
ikut serta. Mungkin Panji Bojong Santi dengan sepasukan prajurit, atau
mungkin orang lain menurut pertimbangan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya,
Jawabnya, “Baik Empu, aku akan menyampaikannya kepada Tuanku Akuwu
Tunggul Ametung. Apabila kedua orang itu telah tertangkap, maka akan
tenteramlah hatiku.”
“Demikianlah Tuanku. Dan kini
perkenankanlah hamba mohon diri. Setiap kali hamba bersedia untuk
memenuhi panggilan Tuanku. Bukan saja untuk suatu pekerjaan yang berat,
bahkan untuk digantung pun hamba akan datang.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya, namun
kemudian ia berkata. “Baiklah Empu. Aku akan memberitahukan kepadamu
apabila ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui.”
Empu Sada itu pun kemudian meninggalkan
ruangan itu pula diantar oleh emban pemomong Ken Dedes. Di luar pintu
bilik emban itu terkejut melihat seorang prajurit hampir tertidur pada
kedua tangannya yang memeluk lututnya.
Ketika prajurit itu mendengar langkah
keluar, ia pun terkejut pula dan segera memperbaiki letak duduknya.
Tetapi segera ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya emban tua
itu bersama laki-laki yang telah dibawanya masuk.
“Hem.” desis prajurit itu, “kapan aku harus pergi ke dapur.”
“O.” emban tua itu tersenyum, “aku lupa
membawamu ke dapur. Pembicaraan kami terlampau asyik, sehingga aku tidak
ingat lagi bahwa kau ada disini.”
“Terlalu.”
“Apakah sekarang kau masih lapar?”
“Tidak, aku sudah tidak lapar lagi. Aku telah makan kenyang-kenyang di sini.”
“Makan apa?”
“Angin.” sahut prajurit itu sambil bersungut.
“O.” emban itu tertawa, “marilah, aku ambilkan rangsum tambahan buatmu.”
“Tidak, aku sudah tidak lapar.”
“Jangan mutung.”
“Tidak.” kemudian katanya kepada laki-laki tua yang menyebut dirinya Makerti, “marilah Kaki, apakah kau sudah cukup?”
“Sudah ngger.”
“Marilah aku antar kau keluar halaman istana ini.”
“Tetapi apakah angger tidak makan dahulu?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak dijamu makan meskipun aku bertamu hampir separuh malam.”
“Separuh malam lebih.” prajurit itu membetulkan.
“O, ya, separuh malam lebih.”
(bersambung ke Jilid 25)
No comments:
Write comments