
Tetapi, Jinan dan Sinung Sari tidak lagi
dapat berdiam diri, sambil menggigil ketakutan Patalan telah lebih
dahulu mengambil pedangnya. Karena itu maka Jinan berkata kepada
seseorang yang berjongkok pula di sampingnya,, “Mari, usahakan Patalan
menjadi sadar. Aku pun akan mengambil pedangku.”
Kini, seseorang yang sudah agak tua
memangku kepala Patalan. Setetes-setetes dititikannya air ke mulut anak
itu. Ketika kemudian Jinan dan Sinung Sari telah berdiri di sampingnya
dengan pedang di lambung masing-masing, maka obor-obor itu menjadi sudah
sangat dekat.
Tiba-tiba mereka melihat Patalan itu
bergerak-gerak. Dengan serta-merta beberapa orang segera berjongkok di
sampingnya. Dan mereka pun kemudian mendengar Patalan berdesis
perlahan-lahan ketika dilihatnya Jinan dan Sinung Sari,, “Hantu Karautan
yang datang itu adalah Hantu Karautan.”
Suara itu menggelegar bagai guntur yang meledak disetiap telinga. Hantu Karautan.
Segera, ketakutan mencengkam hati
orang-orang Panawijen itu. Hantu adalah sebutan yang paling mengerikan
bagi mereka. Kalau yang datang itu segerombolan perampok atau Kuda
Sempana, maka mereka masih akan dapat menghindar. Melarikan diri atau
menangis minta ampun. Tetapi yang disebut Patalan adalah Hantu Karautan.
Hantu yang bengis dan mengerikan.
Tak seorang pun yang masih mampu
mengucapkan pertanyaan-pertanyaan. Ki Buyut Panawijen terdiam membeku.
Apakah ia akan dapat melawan hantu meskipun seandainya anak-anak
Panawijen itu bersama-sama mengangkat senjata.
Dalam pada itu kembali terdengar suara
Patalan. Kali ini agak lebih keras,, “Sinung Sari dan Jinan. Apakah kau
masih ingat Hantu Karautan itu?”
Sinung Sari dan Jinan mengerutkan keningnya.
“Bukankah kita telah pernah bertemu dengan tiga orang hantu di padang ini?”
Tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan menganggukkan kepalanya.
“Aku akan bangun” desah Patalan.
Perlahan-lahan, ditolong oleh Sinung Sari dan Jinan, Patalan itu bangkit dan duduk bertelekan tangannya, “Apakah aku pingsan?”
“Ya kau pingsan” sahut Sinung Sari.
“Lihat obor-obor itu sudah terlampau dekat”.
“Ya, siapakah mereka?” bertanya Jinan tidak sabar.
“Sudah aku katakan, Hantu Karautan.”
Tetapi orang-orang yang mendengar
kata-kata Patalan dan melihat wajahnya menjadi bingung. Wajah itu
meskipun pucat tetapi sama sekali tidak menunjukkan kesan-kesan yang
mengerikan.
“Hantu yang mana? Katakan cepat” desak Sinung Sari.
“Hantu berkuda.”
Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin bingung.
“Hantu berkuda?” beberapa orang mengulangi di dalam hatinya yang kecut.
“Ada dua hantu berkuda” sahut Jinan.
“Yang datang adalah hantu yang
sebenarnya. Hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni, hantu yang
mengalahkan segala hantu di padang ini”.
Sinung Sari berpikir sejenak. Jinan pun
Tiba-tiba bangkit berdiri “Sinung Sari,” katanya,, “hantu berkuda yang
tampan itu. Bukankah begitu maksudmu Patalan?”
“Ya.”
“Tetapi kenapa kau berlari terbirit-birit ketakutan?”
“Aku disuruh oleh Mahisa Agni untuk mengabarkan, bahwa hantu itulah yang datang. Bukan orang lain”.
“Gila” Tiba-tiba Sinung Sari pun tegak
pula. Hampir bersamaan maka Sinung Sari dan Jinan berkata, “Aku akan
pergi menyongsong hantu itu”.
“Sinung Sari, Jinan” panggil Ki Buyut.
Tetapi Sinung Sari dan Jinan telah
berlari masuk ke dalam gelap malam menyongsong obor-obor yang kini sudah
menjadi semakin dekat.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam
dada orang-orang Panawijen. Kenapa tiba-tiba Sinung Sari dan Jinan
berlari menyongsong Hantu Karautan itu? Apakah tiba-tiba saja mereka
sadar bahwa mereka harus membela Mahisa Agni dari bencana.
Tetapi tak seorang pun yang sempat
menemukan jawabnya. Patalan yang lemah itu pun kini telah berdiri pula.
Di pandanginya nyala obor-obor itu, dan remang-remang mereka telah
melihat serombongan bayangan berjalan perlahan-lahan mendekati
perkemahan itu.
“Patalan” desis Ki Buyut, “kau lihat bayangan-bayangan itu?”
“Ya Ki Buyut”.
“Aku menjadi ngeri. Bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu?”
Patalan tiba-tiba tersenyum, dan Ki Buyut
pun menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang
dihadapi. Ketika sekali lagi ia mengamati bayangan-bayangan itu,
dilihatnya bayangan-bayangan yang besar berjalan tersuruk-suruk diantara
mereka.
Tetapi tiba-tiba telinga Ki Buyut
menangkap sesuatu. Bunyi yang selama ini seolah-olah bunyi gemerisik
kaki-kaki hantu yang mengerikan. Tetapi ia kenal benar bunyi yang kini
dapat didengarkannya dengan lebih seksama.
“Pedati” desisnya , “bukankah bunyi-bunyi itu berasal dari roda pedati?”
“Ya” sahut Patalan.
“Apakah hubungan antara hantu dan Pedati?”
Sekali lagi Patalan tersenyum, “Lihat Ki Buyut. Yang berkuda di depan itulah Hantu Karautan”.
Ki Buyut tidak dapat mengerti. Tetapi
obor-obor itu kini sudah menjadi terlampau dekat. Dengan hati yang
bimbang dan penuh kecemasan Ki Buyut Panawijen beserta orang-orang
Panawijen yang gemetar melihat sebuah iring-iringan yang besar mendekati
perkemahan mereka. Bukan saja beberapa orang berkuda tetapi
pedati-pedati dan beberapa pasang lembu dan kuda.
Dalam kebimbangan dan kebingungan itu
terdengar suara Mahisa Agni, “Ki Buyut. Ternyata semua dugaan kita
keliru. Bukankah Patalan telah mengatakannya?”
“Patalan pingsan” terdengar suara Sinung Sari menyahut.
Mahisa Agni tertegun. Dipalingkannya wajahnya ke arah Sinung Sari dan Jinan yang menjemputnya , “Kenapa anak itu pingsan?”
Patalan mendengar pembicaraan itu. Sambil
tertawa kecil ia menyahut , “Aku berlari terlampau cepat. Nafasku
terputus, dan aku pingsan sabelum aku sempat mengatakannya”.
“Oh” Mahisa Agni pun tertawa pula.
Kini iring-iringan itu telah berhenti.
Mahisa Agni dan pamannya bersama Sinung Sari dan Jinan berjalan
mendahului menemui Ki Buyut Paaawijen yang berdiri seperti sebatang
tonggak. Dengan wajah yang tidak menentu orang tua itu memandangi Mahisa
Agni dan iring-iringan itu berganti-ganti.
Perkemahan itu kini ditelan oleh suasana
yang aneh. Ki Buyut Panawijen, anak-anak muda dan orang-orang Panawijen
yang melihat iring-iringan itu serasa berada di dalam mimpi.
Pedati-pedati dan berpasang-pasang, lembu, kerbau dan kuda.
“Apakah artinya ini Agni?” bertanya Ki Buyut dengan nada yang datar.
“Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “bukankah
aku pernah mengatakan bahwa Akuwu di Tumapel pernah menjanjikan bantuan
kepada kita. Pedati dan alat-alat lain. Bahkan lembu, kerbau dan kuda?”
Ki Buyut Panawijen yang tua itu menarik
nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Seakan-akan baru saja ia
terlempar ke dalam sebuah mimpi yang dahsyat. Sekali ia mengamati
iring-iringan itu di bawah cahaya obor yang tidak begitu terang.
Lamat-lamat dilihatnya pedati yang ditarik oleh kerbau dan lembu
berberat-berat, dan beberapa puluh orang prajurit.
“Benar-benar seperti ceritera tentang barang-barang tiban dari langit.” gumamnya.
“Inilah orangnya yang mendapat tugas
untuk membawa semuanya itu kemari Ki Buyut. Namanya Ken Arok. Seorang
Pelayan Dalam Istana Tumapel. Ken Arok mengenal Padang Karautan ini
seperti kita mengenal segenap sudut pedukuhan Panawijen. Itulah sebabnya
ia tidak asing lagi berada di tengah-tengah padang ini kembali”.
Ki Buyut menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sedang K«n Arok tersenyum sambil berdesah, “Ah, ada-ada saja kau Agni”.
“Selamat datang Ngger.” Ki Bayut menyapanya.
“Selamat Ki Buyut. Kami barangkali telah
mengejutkan Ki Buyut dan orang-orang Panawijen yang sedang
beristirahat. Sebenarnya kami ingin berhenti dan meneruskan perjalanan
besok siang supaya tidak menimbulkan kecemasan. Tetapi kami ingin segera
sampai. Karena itu, kami telah menyalakan obor-obor supaya tidak
mencurigakan. Tegapi agaknya obor-obor kamilah yang malahan menimbulkan
kekhawatiran kalian”.
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, “Banyak kejadian yang telah membuat kami terlampau berkecil hati”.
“Ya, kami telah mendengarnya sebagian. Mungkin Kuda Sempana dan gurunya. Mungkin pula Hantu Karautan”.
“Itulah. Dan Patalan yang disuruh Mahisa
Agni memberitahukan bahwa yang datang adalah anak-mas, ternyata
mengganggu kami pula, meskipun ia baru saja sadar dari pingsannya”.
“Apakah yang dikatakan?” bertanya Mahisa Agni.
“Katanya yang datang itu adalah Hantu Karautan”.
Mahisa Agni tersenyum. Ken Arok pun tersenyum pula, katanya, “Ternyata yang datang adalah aku sebagai utusan Akuwu Tumapel”.
“Itulah. Ingin aku mencabut beberapa helai rambut Patalan karena kenakalannya. Hampir-hampir kami semua di sini mati ketakutan”.
Kini Ken Arok tertawa. Dan yang menyahut adalah Mahisa Agni, “Patalan berkata sebenarnya Ki Buyut”.
Wajah Ki Buyut menjadi berkerut-kerut, sedang Ken Arok sekali lagi berdesah, “Ah, kau ini Agni”.
“Aku menjadi bingung” gumam Ki Buyut.
“Salah Mahisa Agni, Ki Buyut” sahut Ken Arok, “mungkin ia ingin orang lain menjadi ketakutan seperti dirinya sendiri”.
Mahisa Agni tertawa, dan Ki Buyut pun
tertawa pula. Kepada Empu Gandring Ki Buyut kemudian bertanya,
“Bagaimana Empu? Anak-anak muda sering mengganggu yang tua-tua”.
Empu Gandring pun tersenyum pula,
katanya, “Kalau aku tahu, maka lebih baik aku tidur saja di dalam
gubugku. Dinginnya bukan main di tengah padang”.
Yang mendengarnya tertawa bersahutan.
Bahkan orang-orang Panawijen yang masih pucat dan belum lagi dapat
menghilangkan getar di jantung mereka pun sempat tersenyum.
“Nah Agni” berkata Ki Buyut kemudian,
“jelaskan apa yang terjadi kepada orang-orang Panawijen, supaya mereka
tidak selalu bertanya-tanya di dalam hati”.
“Baiklah Ki Buyut” sahut Mahisa Agni yang
kemudian melangkah maju mendekati orang-orang Panawijen yang berkumpul
di sisi perkemahan itu.
Dengan singkat Mahisa Agni memberitahukan
kepada mereka, bahwa yang datang itu adalah sumbangsih Akuwu Tunggul
Ametung, berupa pedati, kerbau, lembu, kuda dan alat-alat yang lain yang
akan memperingan pekerjaan mereka, membuat bendungan dan parit-parit.
“Ternyata Akuwu Tunggul Ametung dapat
mengerti betapa pentingnya bendungan itu bagi kita di sini. Betapa
bendungan itu tidak saja akan sangat berarti bagi kita, tetapi juga bagi
anak cucu kita. Lebih dari pada itu bendungan yang kecil ini akan
merupakan setitik air yang ikut serta membantu kesejahteraan Tumapel
seluruhnya”.
Orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Alangkah janggalnya” Mahisa Agni
meneruskan, “apabila Akuwu Tunggul Ametung dapat mengerti betapa
pentingnya bendungan ini, meskipun tanpa bendungan ini pun kebesarannya
tidak akan terganggu. Sedang kita di sini, yang langsung berkepentingan,
seakan-akan acuh tak acuh saja terhadapnya. Bahkan ada beberapa orang
yang benar-benar telah menjadi jemu. Ternyata utusan Akuwu Tunggul
Ametung datang tepat pada waktunya. Pada waktu orang-orang Panawijen
hampir kehabisan gairah untuk melanjutkan kerja. Pada waktu orang-orang
Panawijen telah mulai berputus-asa, bahkan ada yang sudah benar-benar
kehilangan nafsu dan jemu berjemur di terik matahari di padang ini,
sehingga telah membenahi pakaian dan alat-alatnya untuk besok pagi
pulang kembali ke Panawijen yang sudah mulai dibakar oleh kekeringan”.
Kembali Mahisa Agni berhenti sejenak.
Beberapa orang menundukkan kepalanya. Mereka benar-benar menyadari
betapa lemah hati mereka. Betapa mereka sama sekali tidak belah
menghadapi prihatin meskipun untuk suatu cita-cita yang tinggi.
Apalagi bagi mereka yang benar-benar
telah membenahi pakaian dan alat-alat mereka. Terasa, hati mereka
bergejolak oleh perasan malu dan sesal.
Dalam pada itu Mahisa Agni kemudian
berkata seterusnya , “Sekarang, marilah kita lihat, apakah yang dibawa
oleh Ken Arok sebagai utusan Akuwu Tunggul Ametung” Kemudian Mahisa
Agni, itu pun berpaling kepada Ken Arok sambil berkata, “Ken Arok,
apakah kau tidak berkeberatan apabila orang-orang Panawijen saat ini
juga melihat-lihat apa saja yang kau bawa supaya hati mereka menjadi
pulih kembali seperti saat mereka berangkat memasuki padang ini, bahkan
menjadi lebih besar lagi, sehingga gairah kerja mereka menjadi
berlipat-lipat”.
“Silahkan” sahut Ken Arok, “barang-barang
ini memang dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada kalian. Kepada
orang-orang Panawijen”.
“Terima kasih” berkata Mahisa Agni pula.
Kepada orang-orang Panawijen ia berkata, “Nah, sekarang kalian mendapat
kesempatan melihat apa saja yang berada dalam iring-iringan itu, supaya
kalian menjadi mantap. Menurut Ken Arok, utusan Akuwu Tunggul Ametung,
semua itu akan dihadiahkan kepadamu sekalian. Bukankah begitu Ken Arok?”
“Ya” Ken Arok menganggukkan kepalanya.
“Termasuk para prajurit” menyela Empu Gandring sambil tersenyum.
Ken Arok pun tersenyum pula, jawabnya, “Termasuk para prajurit. Tetapi mereka hanya sekedar dipinjamkan”.
Ki Buyut Panawijen pun tersenyum pula.
Ketika Mahisa Agni kemudian memberi kesempatan kepada orang-orang
Panawijen untuk melihat-lihat pedati-pedati itu, maka Ki Buyutlah yang
pertama-tama maju mendekat “Ah, apa sajakah kiranya isi iring-iringan
itu?” gumamnya.
“Silahkan. Silahkanlah menyaksikan” jawab Arok.
Di belakang Ki Buyut, kemudian
seakan-akan berebutan, orang Panawijen berjajar-jajar bahkan
berdesak-desakan melihat-lihat isi pedati yang dibawa oleh Ken Arok.
Beberapa orang prajurit yang berdiri disekeliling pedati-pedati itu pun
terpaksa menyingkir memberi kesempatan kepada orang Panawijen untuk
menyaksikan.
Dengan api-api obor mereka melihat-lihat
pedati-pedati yang ditarik oleh pasangan-pasangan kerbau dan lembu yang
besar-besar. Melihat lembu dan kerbau itu pun mereka telah menjadi
kagum. Apalagi ketika mereka melihat itu pedati-pedati itu. Cangkul,
kapak, waluku, garu dan sagala macam alat-alat diperlukan.
Tetapi ternyata bukan itu saja, ketika
mereka melihat pedati-pedati dibagian belakang, maka mereka melihat,
pedati-pedati itu penuh bersisi bahan makan.
Mahisa Agni sendiri merasakan sesuatu
yang berdesir di dalam dadanya, melihat betapa Akuwu Tunggul Ametung
telah mengirimkan alat dan bahan makan itu untuk orang-orang Panawijen.
Ken Arok yang berdiri di sampingnya
agaknya melihat hati anak muda itu yang bergetar lewat perubahan
wajahnya. Maka katanya, “Kau tidak usah heran, mengapa Akuwu Tunggul
Ametung menyertakan bahan-bahan makanan itu pula. Akuwu Tunggul Ametung
memerintahkan agar para prajurit membantu menyelesaikan bendunganmu.
Bukankah mereka itu memerlukan makan? Nah, Akuwu tidak ingin mengurangi
persediaan makan orang-orang Panawijen yang sudah pasti terlampau
tipis. Karena itu, maka kami harus membawa bahan makanan itu untuk para
prajurit dan untuk orang-orang Panawijen pula. Apabila ternyata kelak
masih kurang, kami akan mengambilnya ke Tumapel”.
“Terima kasih” suara Mahisa Agni menjadi datar dan bernada rendah.
Namun tiba-tiba merayaplah suatu perasaan
yang asing di dalam dirinya. Ketika ia melihat pedati, alat-alat yang
lengkap dan bahan-bahan makanan, maka seakan-akan ia merasa, bahwa
semuanya itu merupakan sebuah tebusan dari luka dihatinya. Seakan-akan
ia telah melepaskan sesuatu yang tertambat dihatinya untuk mendapatkan
barang-barang itu. Untuk mendapat bantuan dari Akuwu Tunggul Ametung.
“Apakah aku telah menjual hatiku? Apakah
aku telah menukarkan perasaan seorang laki-laki dengan semuanya ini?”
desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Di lawannya perasaannya itu sekuat-kuat tenaganya.
“Tidak” ia menggeram di dalam hatinya,
“Akuwu tidak tahu perasaanku itu. Akuwu tidak pernah merasa membeli Ken
Dedes dari padaku, atau menukarnya setelah ia merenggut gadis itu dari
tambatannya di hatiku. Tidak. Tak seorang pun tahu, Ken Dedes juga tidak
tahu. Akuwu memberikan bantuannya karena ia menyadari betapa pentingnya
bendungan ini bagi kami. Kalau ada dorongan yang lain, tidak akan
melampaui dorongan yang diberikan oleh Ken Dedes untuk membantu
orang-orang sepedukuhannya. Tidak lebih dari itu”.
Mahisa Agni itu terkejut ketika ia
mendengar Ki Buyut Panawijen bergumam, “Bukan main. Apakah semuanya ini
akan dihadiahkan kepada kami?”
Mahisa Agni menjadi tergagap. Tetapi Ken
Arok telah menyahut, “Ya, Ki Buyut. Semuanya ini telah diserahkan kepada
orang-orang Panawijen. Akuwu Tunggul Ametung akan bergembira apabila
bendungan itu kelak akan terwujud. Padang Karautan yang kering ini akan
menjadi hijau segar dialiri oleh air yang naik dari bendungan itu.
Bahkan Akuwu telah memerintahkan kepada kami, apabila pekerjaan ini
kelak selesai, maka kami masih mendapat tugas lain”.
“Apa?” bertanya Mahisa Agni dengan serta merta.
“Kami harus membangun taman yang
seindah-indahnya di sekitar pedukuhan yang baru nanti. Taman yang akan
dihadiahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepada Permaisurinya yang cantik
seperti Ratih, Ken Dedes”.
“Hem” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam “Sebuah taman” desisnya.
Sejenak Mahisa Agni terdiam. Betapa
perasaan yang asing kembali merayapi dinding-dinding hatinya. Sukarlah
bagi Mahisa Agni untuk menyebut, perasaan apa yang sebenarnya kini
tersimpan di dadanya itu. Namun anak muda itu bergumam di dalam hatinya,
“Mudah-mudahan Ken Dedes menemukan kebahagiaan. Agaknya Akuwu Tunggul
Ametung benar-benar mencintainya. Gadis itu tak akan dapat menikmati
kesegaran hidup seperti kini apabila ia tidak menjadi seorang
permaisuri. Hanya seorang Akuwu dan seorang rajalah yang mampu
menghadiahkan sebuah taman kepada isterinya. Taman yang dibangun oleh
para prajurit”.
Dalam pada itu orang-orang Panawijen tak
habis-habisnya mengagumi iring-iringan yang datang membawa
perlengkapan, peralatan dan makan bagi mereka. Salah seorang bergumam,
“Hem, alangkah murah hati Akuwu Tunggul Ametung”.
Seorang tua yang lain menyahut, “Hanya
seorang yang berhati emaslah yang dapat berbuat seperti itu. Jarak
Panawijen Tumapel adalah jarak yang cukup jauh. Jarang sekali Akuwu
Tunggul Ametung atau Akuwu-Akuwu sebelumnya datang ke pedukuhan kami.
Tetapi Akuwu Tunggul Ametung dapat merasakan kesulitan kami, sehingga
Akuwu itu pun telah mengirimkan berbagai macam barang dan makanan kepada
kami”.
“Belum lama Akuwu datang ke Panawijen” sahut yang lain.
“Ya, belum lama” sela yang lain lagi.
“Ya, ketika Akuwu datang bersama Kuda Sempana”.
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu
sejenak saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang berani menyahut
dan meneruskannya. Tak seorang pun yang kemudian berkata bahwa Akuwu
itu datang ke Panawijen bersama Kuda Sempana untuk mengambil Ken Dedes.
Untuk merampas gadis itu dan melarikannya.
Tetapi bagaimana pun juga terselip
pertanyaan di dalam hati orang-orang Panawijen itu, “alangkah jauh
bedanya. Kedatangan Akuwu yang pertama ke Panawijen bersama para
prajurit justru telah melukai hati orang-orang Panawijen. Tetapi kini
Akuwu telah mengirimkan bantuan yang tiada taranya bagi orang-orang
Panawijen.
Tak Seorang pun yang mengucapkan
pertanyaan itu lewat bibirnya Bahkan hampir setiap orang telah berusaha
menindas ingatannya tentang perbuatan Akuwu saat melindungi Kuda Sempana
merampas Ken Dedes. Mereka tidak ingin memercikkan noda pada
iring-iringan yang kini menggembirakan perasaan mereka itu. Mereka ingin
tetap mengatakan, bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang
berhati emas. Seorang yang luhur budi dan pengasih, tanpa setitik
kesalahan pun pada dirinya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih dengan
seutuh-utuhnya. Mereka akan melupakan, bahwa mereka pernah
mengumpat-umpati Akuwu Tunggul Ametung itu dengan mulutnya.
“Mahisa Agni sendiri pun menerimanya
dengan senang hati. Mahisa Agni yang kehilangan adiknya itu pun telah
melupakan segala-galanya. Apalagi kami” desis mereka di dalam hati.
Tetapi mereka tidak melihat hati Mahisa
Agni. Hati yang bergejolak dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Agni mampu
mempergunakan akalnya untuk menindas perasaannya.
“Aku tidak boleh melihat persoalan ini
berdasarkan kepentingan diri sendiri” berkata Mahisa Agni itu di dalam
hatinya, “aku harus melihat kepentingan yang jauh lebih besar.
Bendungan, yang akan memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Panawijen. Bukan sekedar memuaskan hati dan perasaanku saja”.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun
kemudian dapat menerima keadaan itu dengan hati yang lapang. Bahkan
kemudian anak muda itu pun menjadi gembira. Kini harapannya yang
hampir-hampir lenyap bersama kejemuan yang melanda perkemahannya, akan
dapat disegarkannya kembali.
Ternyata, harapan Mahisa Agni itu pun
terjadi. Ketika matahari dipagi yang cerah memancar di atas punggung
bukit tampaklah betapa segarnya wajah perkemahan orang-orang Panawijen
itu. Meskipun hari itu mereka tidak bekerja, karena mereka masih sibuk
menyambut para prajurit Tumapel dan mengatur segala macam peralatan dan
lainnya, namun telah terbayang di wajah Mahisa Agni, apa yang besok akan
dapat mereka kerjakan.
Hari itu perkemahan orang-orang Panawijen
itu disibukkan dengan mengatur tempat penyimpanan bahan-bahan makanan,
alat-alat dan membagi gubug-gubug bagi mereka dan para prajurit dari
Tumapel. Mereka mencoba saling mengenal dan bercakap-cakap tentang
banyak hal. Tetapi pembicaraan mereka pada umumnya tidak berkisar dari
bendungan, Padang Karautan yang keras, terik matahari disiang hari dan
dingin malam yang menggigit tulang.
Tetapi para prajurit itu memiliki tubuh
yang terlatih dan banyak mengalami persoalan-persoalan yang keras dan
berat. Itulah sebabnya maka tanggapan mereka terhadap terik matahari,
dan dingin malam agak berbeda dengan orang-orang Panawijen.
Hal itu ternyata pada hari-hari
berikutnya. Ketika orang-orang Panawijen telah mulai kembali dengan
kerja mereka, dengan gairah dan nafsu yang kembali menyala di dalam dada
mereka, maka segera mereka melihat, bagaimana para prajurit Tumapel itu
bekerja. Para prajurit itu seakan-akan tidak mengenal lelah dan tidak
mengenal gangguan-gangguan pada tubuhnya. Meskipun matahari menyala di
langit, meskipun keringat telah membasahi segenap wajah kulit mereka,
tetapi mereka masih juga tidak susut tenaganya. Bahkan masih juga ada di
antara mereka yang mengangkat batu dan brunjung bambu sambil
berdendang. Di kelompok lain, mereka masih saja bergurau sesamanya.
“Mereka baru sehari bekerja” gumam salah
seorang dari orang-orang Panawijen, “entahlah apabila mereka telah
bekerja dua tiga hari di bawah panas terik ini”.
Tetapi di hari-hari berikutnya, kerja
para prajurit itu lama sekali tidak berubah. Mereka bekerja dengan wajah
yang cerah. Mereka mengangkat brunjung, memecah batu, mengemudikan
cikar-cikar dan gerobag-gerobag dengan senyum dan tawa. Mereka
mengayunkan cangkul sambil berdendang dan bergurau. Sehingga dengan
demikian, kegembiraan kerja mereka itu telah memancari pula orang-orang
Panawijen yang selama ini telah menjadi lesu.
Wajah-wajah orang-orang Panawijen yang
bekerja membuat bendungan itu kini telah berubah sama sekali. Tidak ada
kerut-merut, tidak ada kejemuan dan keragu-raguan. Semua bekerja dengan
gairah dan gembira.
Mahisa Agni pun menjadi gembira pula.
Bahkan ia adalah orang yang paling gembira melihat kerja itu.
Kadang-kadang anak muda itu bahkan berdiri saja di atas sebuah batu
besar mengamati orang-orang yang sedang sibuk dan tekun bekerja itu.
Dilihatnya brunjung-brunjung turun ke sungai satu demi satu dikedua
sisinya. Dilihatnya pedati hilir mudik mengangkut batu-batu dan tanah.
Dilihatnya sebelah lain, orang yang sedang membajak melunakkan tanah
untuk membuat susukan yang akan membelah Padang Karautan, dan
parit-parit. Dilihatnya pula orang-orang Panawijen dan para prajurit
sedang mengayunkan cangkul-cangkul mereka untuk menaikkan tanah dari
susukan yang sedang mereka buat. Semua berlangsung dengan cepat dan
menggembirakan.
Secengkang demi secengkang maka bendungan
itu pun naik. Air di dalam sungai itu pun naik pula. Lebih cepat dari
dugaan Mahisa Agni karena para prajurit yang ikut membantunya.
Dengan bangga Mahisa Agni bergumam di
dalam hatinya, “Alangkah menyenangkan. Harapan bagi masa datang kini
menjadi semakin terang. Ternyata para prajurit itu tidak hanya pandai
mengayunkan pedangnya, tetapi mereka pandai pula mengayunkan cangkul dan
kapak. Bahkan mengemudikan gerobak dan cikar. Memegang tangkai waluku
dan garu”.
Alangkah besar rasa terima kasihnya
kepada Akuwu Tunggul Ametung kali ini tanpa mengingat kepedihan hatinya
sendiri. Tetapi lebih dari itu, Mahisa Agni pun memanjatkan ucapan
terima kasihnya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tuntunannya maka
semua ini dapat terjadi.
“Lima kali lebih cepat dari
perhitunganku” desis Mahisa Agni “Ternyata alat-alat itu sangat membantu
dan mempercepat penyelesaian kerja ini. Tenaga berpasang-pasang lembu
dan kerbau itu jauh lebih besar dari tenaga separo dari orang-orang
Panawijen seluruhnya”.
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi
bangga dan gembira melibat kerja itu, tetapi Ki Buyut Panawijen pun
tidak kalah pula menyimpan harapan yang melimpah-limpah di dalam
dadanya. Sebagai seorang yang hampir selama hidupnya berada
ditengah-tengah rakyat Panawijen, maka padukuhan yang baru itu nanti
pasti akan tetap mengikat orang-orang Panawijen dalam satu lingkungan.
Mereka tidak akan bercerai-berai dan berpisah-pisah.
Sedang Empu Gandring menjadi gembira
melihat kemanakannya berbesar hati. Orang tua itu melihat kebanggaan
Mahisa Agni sebagai suatu kebanggaan dihatinya pula.
Dalam pada itu, bukan saja di Padang
Karautan terjadi kesibukan yang luar biasa, tetapi di dalam istana pun
terjadi kesibukan yang luar biasa pula. Para hamba istana sibuk
membersihkan segala sudut halaman. Para juru sungging sibuk
memperbaharui sungging pada setiap ukiran yang melekat pada tiang-tiang
dan dinding-dinding istana.
Orang-orang tua di dalam istana Tumapel
telah menasehatkan kepada Akuwu Tunggul Ametung untuk segera meresmikan
perkawinannya dengan gadis Panawijen apabila memang telah
dikehendakinya. Karena itu, maka segala persiapan pun telah dilakukan.
Meskipun demikian Akuwu Tunggul Ametung
tidak melupakan janjinya kepada Mahisa Agni. Karena itu, maka ia telah
mengirim sepasukan prajurit dan pelayan dalam untuk membantu Mahisa Agni
membuat bendungan.
“Bendungan itu harus selesai tecepatnya.
Secepat orang-orang di istana ini membersihkan dan memperbaharui segala
bagian. Kemudian taman yang harus dibangun itu pun harus selesai pula.
Taman yang akan aku hadiahkan kepada permaisuriku. Taman yang akan
menjadi tempat beristirahat, apabila kami pergi berburu. Akan aku
tinggalkan Ken Dedes di taman itu, di tempat yang pasti akan
menyenangkan hatinya, sebab Ken Dedes akan dikelilingi oleh orang-orang
yang telah dikenalnya dengan, baik sejak kanak-anaknya” pesan Tunggul
Ametung kepada Ken Arok yang diserahi pimpinan ketika pasukannya itu
berangkat.
Sementara itu, di Kemundungan terjadi
pula kesibukan. Kuda Sempana telah bertekad untuk menempa dirinya.
Perlahan-lahan ia tertarik pula akan ilmu yang kasar dan keras dari
kedua orang liar kakak beradik. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Meskipun
kesempatan untuk berlatih itu tidak terlalu banyak, karena kedua orang
itu hampir bergantian selalu pergi meninggalkan rumahnya, namun Kuda
Sempana mendapatkan beberapa kemajuan pula. Kuda Sempana kemudian tidak
lagi mempertimbangkan apa saja yang akan dilakukan oleh Wong Sarimpat
dan Kebo Sindet atasnya dan atas Mahisa Agni. Namun kini ia berpikir,
selagi ia mendapat kesempatan, biarlah ia memanfaatkan kesempatan itu.
Baginya kini tidak ada pilihan lain daripada meneguk setiap ilmu yang
mungkin disadapnya.
Tetapi sejalan dengan usahanya untuk
mempertinggi ilmunya tanpa mengingat sumber ilmu itu, Kuda Sempana
sebenarnya perlahan-lahan telah kehilangan segala gairahnya menghadapi
masa depannya. Kegagalan yang bertubi-tubi datang melandanya, telah
membuat hatinya menjadi beku. Ia kini seakan-akan telah kehilangan
segala macam cita-cita dan tujuan. Ia berlatih asal saja ia mampu
menambah ilmunya. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan, kelak
dengan ilmunya yang bercampur baur itu. Namun dengan demikian, karena ia
telah kehilangan segala macam cita-cita hari depannya, maka ia sama
sekali tidak berusaha untuk mencari keserasian gerak dari macam-macam
ilmu yang dimilikinya. Ia tidak berusaha mengendapkan ilmu-ilmu itu
untuk menemukan sari-patinya. Ia menerima menelan dan kemudian
memuntahkannya kembali seperti apa yang ditelannya. Kasar dan keras,
namun kadang-kadang muncul juga unsure-unsur gerak yang dipelajarinya
dari Empu Sada, justru yang lebih lama terendam di dalam dirinya.
Tetapi Kuda Sempana sendiri tidak
menyadari, bahwa sebenarnya apa yang diterimanya dari Kebo Sindet dan
Wong Sarimpat, tidak banyak berpengaruh atas tingkat ilmunya. Yang
didapatnya hanyalah sekedar macam-macam ilmu gerak yang tidak lebih baik
dari yang pernah dimilikinya. Meskipun demikian, maka Kuda Sempana kini
memiliki jenis-jenis unsur gerak yang lebih banyak dari yang
dimilikinya semula.
Meskipun Kuda Sempana sudah beberapa
waktu berada di Kemundungan, namun ia tidak tahu pasti, apakah yang akan
dilakukan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Setiap kali salah seorang
dari mereka pergi meninggalkan rumah mereka. Apabila orang yang pergi
itu kembali, maka yang di dengarnya hanyalah Kebo Sindet atau Wong
Sarimpat mengumpat-umpat.
Namun Kuda Sempana itu pun merasakan,
bahwa sampai saat ini kedua orang itu masih belum mempercayainya. Betapa
Kuda Sempana tidak mempedulikan keadaan, tetapi sikap dan perkataan
kedua orang itu dapat dirasakannya. Keduanya tidak pernah pergi
bersama-sama. Salah seorang dari mereka terasa selalu mengawasinya
kemana ia pergi.
Hanya kadang-kadang Kebo Sindet
mengajaknya berbicara mengenai Mahisa Agni. Bahkan kini Kebo Sindet lah
yang hampir tidak bersabar lagi untuk menangkap buruannya itu.
Kadang-kadang Kuda Sempana pun menjadi
heran, apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat itu hanya mengharap
beberapa keping emas saja dari padanya, bahkan dengan segala miliknya,
pendok emas, timang emas tretes berlian, maka apakah yang dilakukan oleh
kedua orang itu cukup memadai.
Bahkan Kuda Sempana sendiri kini menjadi
cemas, apakah barang-barang miliknya yang dititipkannya pada gurunya itu
masih juga utuh dapat diambilnya kelak? Apabila terlalu lama ia tidak
kembali sedang gurunya telah tidak ada lagi, maka barang-barang itu pun
pasti akan jatuh ketangan orang-orang lain yang berada di padepokan
gurunya.
Tetapi Kuda Sempana kini telah menjadi
malas untuk memikirkan semuanya itu dengan sungguh-sungguh. Ia jalani
apa yang dilakukannya hari ini tanpa berpikir tentang besok.
“Mungkin besok aku sudah mati dipancung
oleh kedua orang ini,” kadang-kadang pikiran itu membersit di
kepalanya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kedua orang itu sangat
berbaik hati kepadanya, seperti kepada murid terkasih.
“Mungkin aku akan menjadi gila” desisnya
di dalam hati, “Keadaan ini benar-benar telah mengguncang-guncang
keseimbangan perasaan dan pikiranku”.
Tetapi kesadaran tentang goncangan
perasaan dan pikirannya itulah sebenarnya yang telah menahannya untuk
tidak menjadi gila sebenarnya gila.
Dan kini hari-harinya diisinya dengan
menirukan, mempelajari dan mencobakan unsur-unsur gerak yang kasar dan
keras. Kadang-kadang kini telah terlontar pula dari mulutnya sebuah
teriakan yang keras untuk memberikan tekanan pada unsur geraknya. Tidak
hanya keras, namun kadang-kadang berisi umpatan yang kotor dan
memuakkan.
Tetapi, Kuda Sempana sendiri tidak tahu
apa yang dikerjakan, ia sama sekali tidak berpikir tentang itu. Ia
berbuat seperti yang harus diperbuatnya.
Kosong. Kuda Sempana kini telah menjadi kosong.
Ketika suatu ketika Kebo Sindet
membawanya berbincang tentang Mahisa Agni, maka jawabnya sama sekali
tidak lagi membayangkan segala macam dendam dan kebencian yang selama
ini terpendam.
“Kuda Sempana” berkata Kebo Sindet,
“Meskipun aku banyak menemui kesulitan, tetapi aku yakin bahwa dalam
saat yang pendek aku harus dapat membawa Mahisa Agni ke Kemundungan dan
menyerahkannya kepadamu”.
Dengan kepala yang hampa Kuda Sempana mengangguk, “Ya paman.”
“Bukankah kau masih menghendaki?” bertanya Kebo Sindet.
“Ya paman.”
“Apakah kau sudah memaafkannya?”
Kuda Sempana terdiam. Ditatapnya wajah
Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat. Namun Tiba-tiba mulutnya
berkata, “Tidak paman, aku sama sekali tidak memaafkannya”.
“Bagus,” berkata Kebo Sindet, “apakah kau sekarang sudah siap?”
Kuda Sempana menjadi heran, “Apakah yang barus aku lakukan paman?”
“Kita bersama-sama mengambil Mahisa Agni.
Aku tidak bersabar lagi. Kita bertiga pasti akan mampu melawan Mahisa
Agni, Empu Gandring dan orang-orang Panawijen yang pengecut itu. Aku
akan mengikat Empu Gandring dalam suatu perkelahian, Wong Sarimpat akan
melumpuhkan Mahisa Agni sementara kau menghalau orang-orang Panawijen.
Setelah itu, maka semuanya akan segera dapat diselesaikan. Empu Gandring
tidak akan mampu melawan aku dan Wong Sarimpat sekaligus apabila kita
masing-masing sudah saling menyiapkan diri.”
Tetapi tanggapan Kuda Sempana kini sudah
tidak segairah pada saat ia pertama-tama datang ke Kemundungan. Meskipun
demikian ia menjawab, “Baik paman.”
“Kita menunggu Wong Sarimpat. Sementara itu kita akan menyiapkan diri kita masing-masing”.
Tetapi ketika pada sore harinya Wong
Sarimpat datang, maka persoalannya kembali menjadi panjang. Kebo Sindet
mengumpat tidak habis-habisnya.
“Kau lihat sendiri, Wong Sarimpat ?”
“Ya kakang”.
“Sepasukan prajurit dari Tumapel”.
“Gila. Benar-benar gila. Apakah kerja prajurit-prajurit itu?”
“Aku tidak tahu kakang. Tetapi mereka
pasti akan lama tinggal di Padang Karautan menilik bekal yang mereka
bawa. Lebih dari duapuluh pedati yang ditarik kerbau dan lembu mereka
bawa serta”.
Tiba-tiba tampak sebuah kerut di dahi
Kebo Sindet yang beku itu. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian kembali
wajah itu tidak menunjukkan kesan apapun.
Namun orang itu menjadi heran pula ketika
dilihatnya wajah Kuda Sempana tidak menunjukkan kesan sama sekali. Anak
muda yang selama ini menahan dendam di dalam dadanya, tiba-tiba dendam
itu seakan-akan telah menguap seperti asap.
Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat
tidak bertanya apapun kepadanya, bahkan mereka seakan-akan tidak
melihat, perubahan itu. Namun Wong Sarimpat yang hampir setiap hari
melihat kebekuan wajah kakaknya berkata di dalam hatinya, “Apakah Kuda
Sempana itu kini telah kejangkitan sikap seperti kakang Kebo Sindet?
Ataukah anak muda itu memang berusaha untuk berlaku demikian karena ia
merasa menjadi murid kakang Kebo Sindet? Alangkah bodohnya. Umurnya
tidak akan lagi lebih panjang dari umur jagung. Begitu Mahisa Agni
tertangkap, maka ia pun akan menjadi orang tangkapan. Mungkin ia akan
digantung di alun-alun Tumapel setinggi pohon beringin”.
Dalam pada itu terdengar Kebo Sindet
bertanya, “Apakah kau sangka bahwa sepasukan prajurit itu hanya sekedar
lewat di Padang Karautan atau mereka datang ke perkemahan orang-orang
Panawijen itu?”
Wong Sarimpat mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Mereka datang ke perkemahan orang-orang Panawijen”.
“Tetapi ada beberapa kemungkinan yang
dapat terjadi. Mereka datang untuk menyerahkan bantuan berupa
bahan-bahan, tetapi sesudah itu mereka kembali ke Tumapel, atau mereka
akan ikut serta dalam kerja membuat bendungan itu”.
“Mereka datang ke perkemahan itu”.
“Gila kau Wong Sarimpat. Kau tidak pernah
menyelesaikan kerja dengan baik. Tinggallah kau di rumah bersama Kuda
Sempana. Aku sendiri akan melihat dan membuat perhitungan-perhitungan
baru” kemudian kepada KudaSempana, “Kau pernah berkata bahwa kau sendiri
berasal dari Panawijen juga. Bukan begitu?”
Wajah Kuda Sempana yang beku seperti wajah Kebo Sindet itu mengangguk, “Ya”.
“Dimana orang tuamu tinggal?”
Kali ini Kuda Sempana menjadi ragu-ragu. Apakah kepentingan orang itu bertanya tentang orang tuanya?
“He, bagaimana?”
Kuda Sempana tidak segera menjawab.
“Kau agaknya menjadi ragu-ragu. Aku berbuat semata-mata untuk kepentinganmu”.
Meskipun dada anak muda itu diamuk oleh
kebimbangan, namun ia menjawab juga, “Ya. Orang tuaku tinggal di
Panawijen. Tetapi mereka sudah tua”.
“Itu tidak penting. Mungkin mereka akan berguna bagimu dan dapat membantu anaknya melepaskan sakit hatinya”.
“Apa yang dapat mereka lakukan?”
“Serahkan kepadaku”.
“Paman” berkata Kuda Sempana dengan nada
yang rendah, “jangan paman menyeretnya ke dalam kesulitan. Biarlah aku
sendiri yang bertanggung jawab atas segala macam persoalan. Sebaiknya
paman melepaskannya dan membiarkannya menghabiskan sisa-sisa hidupnya
dengan tenteram”.
“Jangan bodoh dan jangan menjadi cengeng.
Aku tidak akan berbuat segila yang kau sangka. Aku hanya akan berbuat
untuk kepentinganmu”.
Kuda Sempana tidak menjawab. Tetapi kini
ia bukan saja menjadi ragu-ragu. Kecemasan yang dalam telah menggores
dinding jantungnya. Namun ia tidak mengucapkannya.
Malam itu juga Kebo Sindet pergi
meninggalkan Kemundungan. Dengan berbagai macam persoalan di dalam
dadanya, ia ingin menyaksikan sendiri, apakah benar para prajurit
Tumapel itu untuk sementara menetap di Padang Karautan?. Sementara itu
Wong Sarimpat tinggal di rumah bersama Kuda Sempana yang diamuk oleh
berbagai perasaan. Ia kini justru berpikir tentang orang tuanya. Apakah
kira-kira yang akan dilakukan oleh Kebo Sindet dengan kedua orang tuanya
itu?
Tetapi, ketika hatinya menjadi semakin
pepat, Kuda Sempana itu berdesah, “Persetan. Aku tidak peduli apa yang
akan terjadi dengan siapa pun juga. Bahkan apa yang akan terjadi dengan
diriku sendiri”.
Dan kembali anak muda itu berusaha
melupakan segala-galanya. Ia mencoba untuk tidak berpikir dan merasakan
sesuatu. Ia tinggal menjalani apa yang terjadi hari ini. Besok biarlah
dipikirkannya besok. Sedang apa yang pernah terjadi kemarin,
diusahakannya untuk melupakan sama sekali.
Hidupnya kemudian menjadi
sepotong-sepotong. Seolah-olah tak ada hubungan lagi antara apa yang
pernah terjadi, apa yang sedang berlaku dan apa yang akan datang
kemudian.
Ketika malam menjadi gelap, maka Kebo
Sindet berpacu dengan kudanya mendaki tebing bukit gundul. Suara
berderak memecah sepi malam menyelusur dan memantul kembali meneriakkan
gema yang melingkar-lingkar karena dinding-dinding batu pegunungan
gundul itu. Dengan gigi yang terkatub rapat orang itu menggenggam
kendali kudanya. Di kepalanya bergelut berbagai rnacam persoalan.
Sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis, “Gila orang-orang Tumapel itu.
Kalau benar mereka berada di perkemahan, maka aku pasti akan menemui
kesulitan. Aku harus segera dapat mengambil Mahisa Agni sebelum adiknya
tenggelam dalam kehidupan yang bahagia di dalam istana. Dengan demikian,
maka adalah suatu kemungkinan bahwa Ken Dedes itu akan melupakan
kakaknya dan tidak lagi mempedulikannya. Tetapi kini, hubungan mereka
masih terlampau erat. Menurut ceritera Kuda Sempana, maka Ken Dedes
sangat mencintai kakaknya sehingga apapun telah dilakukannya untuk
menjemput Mahisa Agni menghadap Akuwu Tunggul Ametung”.
Kebo Sindet itu menggeretakkan giginya
Kudanya segera dipacunya semakin cepat. Ia ingin segera melihat, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di Padang Karautan.
Sementara itu otaknya masih juga berputar
terus. Perlahan-lahan ia bergumam kepada diri sendiri, “Hem. Mungkin
orang tua Kuda Sempana akan dapat membantuku apabila apa yang dikatakan
oleh Wong Sarimpat itu benar telah terjadi, Orang yang sudah tua itu
pasti tidak berada di Padang Karautan. Mereka pasti tinggal di rumah
mereka”.
Dan suara derap kaki kuda itu pun semakin
keras memecah sepi malam. Gemeretak beradu dengan batu-batu padas
memencar di sekitar bukit gundul yang kini telah mulai dituruninya.
Jauh dari Padang Karautan, di luar kota
Tumapel, seorang tua dengan tongkat yang panjang berjalan
tersuruk-suruk. Selangkah demi selangkah ia maju. Namun begitu sering ia
harus berhenti untuk mengatur pernafasannya. Berkali-kali ia bersandar
pada pohon-pohon di pinggir jalan untuk menenangkan detak jantungnya
yang seakan-akan tidak teratur lagi.
Sekali ia menarik nafas dalam.
“Beberapa langkah lagi” desisnya, “mudah-mudahan aku dapat mencapai padepokan itu”.
Kembali orang tua itu berjalan
tertatih-tatih. Tangan kanannya bertelekan pada tongkat pangjangnya,
sedang tangan kirinya seakan-akan menahan punggungnya supaya tidak
terlepas.
“Gila orang-orang liar itu” gumamnya,
“benar juga kata Empu Gandring dan Panji kurus itu, bahwa sukarlah untuk
mendekati Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku dahulu mampu
memperalatnya. Namun kini agaknya kepala Kebo Sindet menjadi semakin
tajam. Berbeda dengan adiknya yang dungu itu”.
Ketika angin malam berhembus mengusap
tengkuknya, maka orang tua itu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya
bintang-bintang berhamburan di dataran langit yang biru pekat.
Melihat kebesaran alam yang terentang
itu, orang tua itu menarik alisnya. Seakan-akan baru kali ini dilihatnya
bintang gemintang yang berkeredipan di angkasa. Masing-masing dengan
bentuk dan susunannya sendiri. Masing-masing beredar menurut irama yang
berbeda. Tetapi penuh dengan keserasian.
Tiba-tiba orang tua itu seakan-akan
melihat sebuah dunia yang asing. Dunia yang selama ini tdiak pernah
dilihatnya. Benda-benda yang gemerlapan berpijar dalam warna yang
cemerlang.
Perlahan-lahan orang tua itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Punggungnya masih terasa sakit. Meskipun
luka-lukanya telah hampir sembuh, namun tenaga masih belum pulih sama
sekali. Ternyata luka-luka kulit dan luka-luka di bagian dalamnya cukup
berat. Meikipun luka-luka pada kulitnya telah tidak lagi mengganggunya.
“Aku memerlukan waktu” desahnya,
“mudah-mudahan aku segera sembuh. Kalau aku dapat mencapai pedepokanku
itu masih seperti keadaannya semula, maka aku akan dapat mengobati
luka-luka di bagian dalam tubuhku dengan baik. Tidak akan terhitung
minggu, aku pasti akan mendapat kekuatanku kembali. Empu Sada tetap
memiliki namanya yang lama” Orang itu, Empu Sada, telah hampir sampai ke
padepokannya kembali, setelah ia bersembunyi berjalan berhari-hari
dengan susah payah. Setelah ia berhasil menyelamatkan dirinya dari
tangan kakak beradik Kebo Sindet dan Wong Sarimpat maka kini di dalam
hatinya pun menyala dendam kepada kedua orang itu. Apalagi ketika ia
telah kehilangan muridnya yang dibangga-banggakan. Keduanya hilang.
Keduanyalah yang selama ini paling banyak memberinya berbagai rnacam
barang dan perhiasan. Saudagar keliling yang menamakan dirinya Bahu
Reksa Kali Elo, dan seorang hamba istana yang dekat dengan Akuwu Tunggul
Ametung, Kuda Sempana.
Empu Sada saat itu tidak memikirkan dari
mana orang yang menyebut dirinya Bahu Rekso Kali Elo itu mendapat
barang-barangnya. Tetapi ternyata orang itu mampu memberinya kesenangan,
sehingga kepada orang itu berdua dengan Kuda Sempana, maka ilmunya
paling banyak diberikan.
Tetapi kini Empu Sada menjadi kecewa.
Kecewa akan cara yang ditempuhnya. Ternyata dengan demikian, ia tidak
mendapatkan apapun juga. Barang-barang dan perhiasan-perhiasan yang
bertumpuk-tumpuk itu sama sekali tidak dapat membantunya menghadapi
orang-orang seliar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
“Hanya kemampuan berkelahilah yang dapat
membantu aku berurusan dengan kedua orang-orang liar itu” gurnamnya,
“tetapi aku kini telah terlambat. Aku tidak akan sempat membentuk
beberapa orang yang cukup kuat untuk menghadapi mereka berdua, meskipun
sepuluh atau dua puluh orang sekaligus”.
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya
untuk mengusir kekecewaannya. Tetapi setiap kali kekecewaannya itu
kembali merayapi hatinya.
“Hem” gumamnya, “seandainya aku mempunyai
seorang murid seperti Mahisa Agni, Witantra dan saudara-saudara
seperguruan murid Panji yang kurus itu. Aku akan mampu menempa mereka
berempat dan menyiapkan mereka untuk berhadapan dengan salah seorang
dari orang-orang liar itu”.
Tetapi kemudian ia berdesah, “Terlambat. Terlambat”.
Empu Sada itu pun terdiam. Sunyi malam
telah menyebabkan hatinya menjadi semakin pahit. Sekali lagi ia menatap
bintang di langit. Dan Tiba-tiba ia tersadar, betapa besar alam yang
terbentang dihadapannya. Betapa besarnya. Lebih dari pada itu, alangkah
Maha Besar Pencipta Nya.
Sejalan dengan kesadarannya tentang
kebesaran alam yang selama ini sama sekali tidak pernah dihiraukannya,
maka terasa pula betapa kecil dirinya. Ya, betapa kecil dan lemahnya.
Dikenangnya apa yang baru dialaminya. Bukit gundul, padang alang-alang,
sebuah sendang yang luas. Alangkah sakitnya terbanting ke dalam jurang
di tebing gunung gundul yang kecil dibandingkan dengan Gunung Kawi.
Apalagi dibandingkan dengan Gunung Semeru. Dan alangkah sempitnya
sendang itu dibandingkan dengan Samodra. Samodra Kidul yang luas.
Lebih-lebih lagi betapa perbandingan itu diterapkannya dengan dirinya.
“Apakah arti nama Empu Sada berhadapan dengan alam ini?” Tiba-tiba terbersit pertanyaan di dalam batinya.
Perasaan orang itu menjadi semakin dalam
terbenam dalam kekecewaan dan penyesalan. Ternyata hidupnya yang sudah
sekian lama itu, sama sekali tidak berarti apapun bagi hari tuanya. Tak
ada yang dapat ditinggalkannya apabila ia kelak meninggalkan dunia ini.
Tak ada yang dapat dibanggakannya. Perguruannya, muridnya dan bahkan
dirinya sendiri. Tak ada yang dapat dibanggakannya, yang jasmaniah, apa
lagi yang rokhaniah. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa perguruan Empu
Sada telah melahirkan anak-anak muda yang perkasa, yang pilih tanding, mumpuni saliring ilmu Jaya kawijayan guna kasantikan.
Tidak. Tidak ada. Apalagi anak-anak muda yang berbudi, yang memancarkan
cinta kasih sesama. Yang selalu siap mengulurkan tangan menolong setiap
kelemahan di dalam kebenaran. Tidak ada. Yang ada adalah dendam dan
permusuhan. Dendam Kuda Sempana yang meluap-luap yang selama ini
dibenarkannya. Dendam yang kemudian tertanam di dalam hatinya sendiri
kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Dendam yang akan menyala tanpa
dapat dipadamkan.
Empu Sada menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia ingin melupakan segala kepahitan itu. Ia ingin segera sampai di
padepokannya. Kemudian beristirahat dan mengambil reramuan obat-obatnya
untuk menyembuhkan luka-luka di bagian dalam tubuhnya.
Tetapi setiap kali kekecewaan dan penyesalan itu muncul di permukaan wajah hatinya.
“Hem” orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Dan ia semakin terdorong dalam perasaan yang pahit. Orang
tua itu merasa bahwa hidup yang pernah dijalaninya sama sekali tidak
berarti apa-apa bagi dunia ini. Adanya seperti tidak ada, bagi
kebajikan, dan apabila ia kelak mati, maka tidak ada jejak yang pernah
ditinggalkan di kulit bumi ini. Selain noda-noda yang hitam.
Perlahan-lahan namun akhirnya Empu Sada
itu pun menjadi semakin dekat dengan pedukuhannya. Ia ingin sampai di
padepokan itu sebelum fajar.
Ketika ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya, inaka orang tua itu telah melangkahkan kakinya masuk
ke halaman padepokannya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar.
Seakan-akan ia merupakan orang asing di halaman rumahnya sendiri. Telah
sering benar ia melakukan perjalanan dan pengembaraan. Telah sering
benar ia meninggalkan padepokan itu sampai berhari-hari bahkan
berbulan-bulan. Tetapi ia selalu pulang dengan dada tengadah. Dengan
kebanggaan di dalam hatinya, bahwa isi rumah itu akan bertambah. Emas
berkeping-keping di dalam gledegnya akan bertambah banyak. Simpanannya
harta benda akan menjadi semakin penuh. Apabila ia membuka peti kayu
cendana di sisi pembaringannya, maka gemerlap intan, berlian, mirah dan
jamrut menjadi kian cemerlang.
Tetapi kali ini ia membawa kesuraman di
hatinya. Bukan karena tubuhnya terluka. Adalah menjadi kebiasaan pula
baginya, pulang dengan luka di luar dan dalam tubuhnya itu. Tetapi
lukanya kali ini terlampau parah. Jauh lebih parah dari luka pada tubuh
di bagian luar maupun di bagian dalam. Kali ini luka yang dibawanya
adalah luka di hatinya.
Setiap kali orang tua itu menarik nafas
terlampau dalam Setiap kali terasa dadanya berdesir. Kadang-kadang ia
merasa bahwa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tetapi ia tidak tahu,
apakah yang sedang mengejarnya itu.
Akhirnya Empu Sada sampai pula di muka
rumah yang berada di tengah-tengah halaman yang cukup luas. Rumah itu
tidak terlampau besar. Tidak terlampau baik, dan bahkan rumah itu adalah
rumah yang sederhana. Tak banyak orang yang tahu, siapakah yang tinggal
di dalam rumah itu. Tetapi bagi mereka yang mengetahuinya, maka rumah
itu merupakan rumah yang angker. Bahkan menyeramkan. Rumah yang
halamannya terlampau rimbun. Rumah yang pintu-pintunya jarang-jarang
terbuka. Hampir tak pernah tampak seorang dua orang berada di
halamannya. Apalagi suara anak-anak yang tertawa dan berteriak-teriak
dalam sebuah permainan yang gembira. Rumah itu seakan-akan diliputi oleh
sebuah rahasia yang gelap. Tetapi di dalam rumah itu tertimbun
berkeping-keping emas. Bergumpal-gumpal intan dan berlian. Bahkan
berbagai macam barang-barang berharga lainnya.
Tetapi ketika tangan Empu Sada telah
terayun untuk mengetuk pintunya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah tidak ada
bahaya yang sedang menunggunya di dalam rumah itu? Mungkin orang-orang
Witantra bahkan mungkin Panji Bojong Santi sendiri, atau mungkin pula
Wong Sarimpat, atau Kebo Sindet atau bahkan kedua-duanya, atau Empu
Gandring atau Empu Purwa?
Sekali lagi Empu Sada menarik nafas
dalam-dalam. Alangkah gelisah perjalanan hidupnya. Meskipun umurnya
telah hampir sampai dua pertiga abad, tetapi ia masih belum juga
menemukan sesuatu. Bahkan ia sama sekali terjauh dari ketenteraman dan
kedamaian hati. Alangkah banyak lawan-lawannya. Orang yang paling jahat
seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sampai orang yang cukup mengendap
seperti Empu Purwa. Dan ini adalah buah yang harus dipetiknya dari benih
yang pernah ditaburkannya.
Karena itu, maka Empu Sada mengurungkan
niatnya. Perlahan ia berjalan bertelekan tongkatnya menyusur sisi
rumahnya dengan hati-hati. Ia ingin melihat ke belakang dimana beberapa
orang-orangnya berada. Ia harus bertemu dengan salah seorang dari mereka
untuk mendapat keyakinan bahwa ia dapat memasuki rumahnya dengan aman.
Di sebuah bilik yang sempit Empu Sada
masih melihat sebuah pelita yang menyala. Dengan hati-hati maka
didekatinya bilik itu. Ketajaman telinganya mendengar bahwa di dalam
bilik itu seseorang sedang tidur nyenyak.
Empu Sada tahu benar, bahwa bilik itu
adalah bilik salah seorang pelayannya. Dengan hati yang berdebar-debar
perlahan-lahan diketuknya dinding bilik itu, tepat pada arah kepala
pelayan itu tidur.
Dengan gugup pelayan itu bangun. Ia
mendengar seseorang berada di luar biliknya. Karena itu maka
perlahan-lahan ia bertanya, “Siapa?”
“Aku, Empu Sada”.
“Oh, apakah Empu yang berada di luar itu?” terdengar pelayan itu bertanya lebih keras.
Sesaat keadaan menjadi sunyi. Empu Sada
yang sedang dibakar oleh keragu-raguan dan prasangka tidak segera
menjawab. Tetapi ketika ia mendengar suara itu kembali bertanya Empu
Sada “Empu, adakah Empu yang datang itu?” Maka ia menjadi yakin bahwa
suara itu benar-benar suara pelayannya.
Perlahan-lahan Empu Sada pun kemudian menjawab, “Ya. Aku Empu Sada”.
Kini Empu Sada mendengar orang itu bangun
dengan tergesa-gesa. Bahkan kemudian kakinya telah menendang sebuah
mangkuk tanah, dan hampir-hampir pula tangannya menyentuh pelita di
tiang.
Dengan tergopoh-gopoh pula orang itu membuka pintu sambil bertanya, “Empu, kenapa Empu datang lewat pintu belakang?”
Empu Sada tidak segera menjawab. Kembali ia menjadi curiga.
“Siapakah yang berada di dalam?” bertanya Empu itu.
Pelayannya itu pun menggeleng, “Tidak ada
Empu, kecuali seorang juru panebah yang menunggui ruang dalam, sambil
mengharap-harap Empu segera datang kembali”.
“Hanya satu orang?”
Pelayan itu pun menjadi bingung. Tetapi kemudian ia menjawab, “TidakEmpu. Ada dua orang yang berada di ruang dalam”.
“Nah. Kenapa kau berkata hanya seorang?”
“Aku lupa Kiai”.
“Siapakah yang seorang itu? Bojong Santi, Empu Gandring atau siapa?”
Pelayannya semakin heran. Ia belum mengenal nama-nama itu sama sekali.
“Siapa? Siapakah yang kau sembunyikan di rumah itu untuk menanti aku? Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Pelayan itu menjadi semakin bingung.
Nama-nama yang disebut oleh Empu Sada benar-benar membingungkan. Pelayan
itu telah mengenal beberapa orang murid-murid Empu Sada yang terdekat.
Tetapi nama-nama itu tidak pernah disebutnya.
“Siapa?” bentak Empu Sada.
“Sumekar. Murid Empu yang Empu tugaskan untuk menjaga rumah ini”.
“Oh” Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Terasa perasaan aneh berdesir di dadanya. Ternyata anak yang berada di
dalam rumah itu adalah Sumekar.
“Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?” bertanya Empu Sada.
“Aku terlupa Kyai” jawab pelayan itu.
Empu Sada menjadi malu sendiri.
Seandainya pelayannya itu berani menatap wajah orang tua itu di dalam
terang, maka akan tampaklah bahwa muka yang telah mulai berkerut-merut
oleh garis-garis umur itu menjadi kemerah-merahan.
“Alangkah cemasnya hati ini” desis Empu
Sada itu di dalam hatinya “Betapa gelisah dan goyahnya hidupku. Sama
sekali tidak ada ketenteraman dan kedamaian”.
Tiba-tiba Empu Sada tersentak ketika ia
mendengar gerit perlahan-lahan di sampingnya. Dengan tanpa
dikehendakinya sendiri, tiba-tiba orang tua itu telah bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Tetapi kembali dadanya berdesir ketika ia melihat
se orang anak muda yang keluar dari pintu rumah itu. Sumekar.
“Oh” sekali lagi Empu Sada menarik nafas dalam-dalam, “Kau Sumekar”.
“Ya Empu. Aku mendengar suara Empu bercakap-cakap. Mula-mula aku sangka orang lain. Empu Sada biasanya tidak melalui pintu ini”.
“Ya, ya” sahut Empu Sada tergagap.
“Marilah Empu. Silahkanlah”.
“Kau sendiri?” bertanya Empu Sada.
“Ya” sahut Sumekar.
Empu Sada pun kemudian dengan hati-hati
memasuki rumahnya, rumah yang telah berpuluh tahun ditempatinya. Tetapi
kini rasa-rasanya ia sedang memasuki sebuah goa rahasia yang penuh
dengan bahaya yang sedang menantinya.
Tetapi akhirnya Empu Sada mengenali
tempat itu kembali. Perlahan-lahan kekhawatirannya pun menjadi surut. Ia
mengenal setiap pintu, tiang dan bahkan setiap jelujur kayu yang ada di
dalam ruangan itu. Lampu minyak yang menggapai-ngapai di tlundak
yang melekat pada saka guru. Sebuah amben yang besar di sebuah sisi,
dan disekat oleh sebuah dinding, adalah bilik yang khusus dibuat
untuknya, untuk menyimpan sebagian dari kekayaannya.
“Tak seorang pun masuk ke dalam bilik itu?”
“Tidak Empu” sahut Sumekar.
“Kau?”
“Ya. Kadang-kadang untuk membawa para pelayan membersihkannya”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Dimana orang-orang lain?”
“Di luar Empu, Dua orang selalu tidur di atas gedogan kuda”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejak ia belum berangkat bersama Kuda Sempana dua orang muridnya yang
masih belum terlalu baik selalu tidur di atas kandang kuda.
Belum lagi Empu Sada sempat beristirahat, terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Terontong-terontong terbayang pada lubang-lubang dinding cahaya fajar yang menjadi semakin terang.
Empu Sada menggeliat sambil menyeringai. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit.
“Siapakah yang datang ke rumah ini sepeninggalku untuk mencari aku?”
Sumekar mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menjawab, “ Tidak ada Empu”.
“Tidak ada?” jawaban itu tidak meyakinkannya.
“Tidak Empu”.
“Prajurit-prajurit Tumapel?”
Sumekar menggeleng, “Tidak Empu”.
“Orang-orang yang liar seliar orang-orang hutan?”
Kembali Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia menjawab, “Tidak Empu”.
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi ia
tidak yakin akan kebenaran kata-kata Sumekar. Mungkin Sumekar tidak ada
di rumah waktu itu atau mungkin anak itu sudah tidak ingat lagi. Tetapi
apabila yang datang Witantra dengan pasukannya, maka mustahil bahwa
Sumekar tidak tahu atau melupakannya.
“Jadi tidak ada seorang pun yang datang?”
“Maksudku, tidak ada yang datang untuk
suatu keperluan yang khusus Empu. Mungkin ada juga satu dua orang yang
bertanya tentang Empu, tetapi mereka agaknya tidak mempunyai persoalan
yang penting”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba alisnya berkerut, “Coba katakan, apakah kau masih
ingat yang satu dua orang itu?”
“Aku tidak memperhatikannya Empu, sebab mereka agaknya juga tidak menganggap penting”.
“Ya, mungkin. Tetapi siapa saja seingatmu?”
Sumekar mengingat-ingat sejenak. Kemudian katanya, “Yang aku ingat Empu. Saduki pernah datang kemari”.
“Persetan dengan orang itu. Apa keperluannya?”
“Isterinya ngidam Empu. Isterinya itu ingin sekali makan jeruk yang sedang berbuah di halaman depan”.
“Cukup, cukup tentang orang gila itu” Sumekar terdiam.
“Ya lain”.
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Ada juga
satu dua orang yang menanyakan gurunya saat itu. Tetapi mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang sering datang untuk mengadakan jual
beli dan tukar menukar barang-barang. Tetapi Tiba-tiba Sumekar itu
ingat, bahwa pernah datang seseorang yang belum pernah dilihatnya.
Tetapi agaknya orang itu pun tidak mempunyai keperluan yang penting.
Mungkin orang itu sahabat Empu Sada atau mungkin salah seorang
keluarganya. Meskipun demikian Sumekar itu pun berkata, “Empu, ada aku
ingat seseorang yang belum pernah aku kenal. Kecuali para pedagang yang
ingin berjual beli dan tukar menukar seperti yang sering terjadi, maka
pernah datang seorang yang usianya sebaya dengan Empu”.
Empu Sada mengerutkan keningnya, “Siapa?”
“Tetapi orang itu tidak mempunyai apapun.
Ia hanya sekedar ingin berkunjung kepada Empu Sada. Mungkin ia sahabat
Empu yang sudah agak lama tidak bertemu”.
“Ya siapa?”
“Orang itu tidak menyebut namanya”.
“Kau katakanlah ciri-cirinya”.
“Orang itu agak tinggi. Kurus”.
“Ada berpuluh-puluh orang yang tinggi kurus di dunia ini”.
Sumekar mengerutkan keningnya. Tetapi
Tiba-tiba ia berkata, “Orang itu membawa sebuah kasa yang dibuatnya dari
kulit harimau. Kasa itu telah menarik perhatianku saat itu”.
“He” Empu Sada itu terkejut bukan buatan.
Sehingga dengan serta-merta ia tegak berdiri seperti sebuah tonggak
yang kokoh “Orang itu membawa kasa dari kulit harimau?”
Sumekar pun terkejut bukan main. Bukan karena kasa yang dibuat dari kulit harimau itu, tetapi justru karena sikap gurunya.
“Ya” sahutnya terbata-bata.
“Alangkah bodohnya kau. Jauh lebih bodoh
dari orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu. Orang yang
membawa kasa dari kulit harimau itu bernama Panji Bojong Santi”.
“Oh” Sumekar meng-angguk-angguk, “Aku
belum tahu Empu. Empu belum pernah memberi tahukan kepadaku. Aku
menyesal bahwa aku tidak mempersilahkannya untuk menunggu Empu atau
menanyakan dimanakah rumahnya, sehingga aku akan dapat memberitahukan
bahwa Empu telah kembali”.
“Gila, gila kau” Empu Sada itu hampir
berteriak, “jangan kau suruh ia masuk rumah ini, apalagi menunggu aku
pulang. Kini ia tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah berada di
padepokannya kembali. Kau dengar?”
Sumekar menjadi bertambah bingung. Ia
tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi kata-kata gurunya. Bahkan
sedemikian bingungnya sehingga tanpa disadari ia berkata, “Orang itu
baik guru. Ramah dan menyenangkan”.
“Oh, Sumekar, Sumekar” Tiba-tiba Empu
Sada menekan dadanya yang masih terasa sakit, “alangkah bodohnya kau
Panji Bojong Santi bagiku jauh lebih berbahaya dari sepasukan prajurit
Tumapel meskipun dari kesatuan pengawal Akuwu yang dipimpin oleh
Witantra itu sekalipun. Ternyata orang itu benar licin seperti iblis.
Yang mencari aku kemari bukan sepasukan prajurit, tetapi seorang Panji
Bojong Santi”.
Kini Sumekar benar-benar terbungkam. Ia
tahu kemungkinan-kemungkinan yang demikian, bahwa suatu ketika gurunya
akan dicari oleh sepasukan prajurit karena berbagai macam persoalan.
Mungkin soal barang-barang yang diambilnya dari orang lain, meskipun
tidak dengan tangannya sendiri. Mungkin soal-soal lain yang serupa
dengan kejahatan. Meskipun salah seorang murid Empu Sada itu adalah
seorang Pelayan Dalam Akuwu Tunggul Ametung yang dekat, Kuda Sempana.
Namun agaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada muridnya yang seorang
itu.
Empu Sada itu pun kemudian terduduk di amben bambu. Terasa dadanya menjadi bertambah pedih.
“Oh” desahnya, “untunglah orang itu
tidak kembali. Ingat, tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah
berada di padepokannya. Aku harus menyembuhkan segenap luka-lukaku.
Sesudah itu, ayo siapakah yang akan datang menemui aku. Panji Bojong
Santi, Empu Gandring, Empu Purwa, Kebo Sindet atau Wong Sarimpat?”
Empu Sada terdiam. Tetapi kata-katanya
itu telah mendebarkan jantungnya. Bahkan ia berdesah di dalam hati,
“Alangkah banyak musuh yang harus aku hadapi”.
Sebenarnya Empu Sada tidak sedang dilanda
oleh kecemasan dan ketakutan. Sebagai seorang yang telah memilih jalan
hidupnya di dalam lingkungan para sakti, maka apa yang dihadapinya itu
sama sekali tidak mengejutkannya, apalagi menakutkannya. Nama-nama yang
pernah disebutnya tidak akan mampu membuatnya berkecil hati. Apabila ia
harus menghadapi bahaya yang betapapun besarnya, maka yang dilakukannya
adalah mencari jalan untuk melawan bahaya itu.
Tetapi kali ini ada perasaan yang asing
di dalam dirinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dikenalnya.
Meskipun ia sama sekali tidak merasa takut, namun perasaan asing itulah
yang kini mendorongnya pada suatu keadaan yang asing pula baginya.
Tiba-tiba Empu Sada itu tanpa
dikehendakinya mencoba menilai dirinya. Ia melihat orang lain seperti
Bojong Santi, Empu Purwa, Empu Gandring dan beberapa orang lain. Kenapa
mereka dapat bidup tenteram dan damai? Seakan-akan mereka tidak diamuk
oleh kegelisahan dunia. Meskipun sekali-sekali mereka harus juga
berkelahi, tetapi mereka merasa berdiri di atas landasan yang mantap.
Mereka berkelahi dan menghadapi lawan-lawannya dengan terbuka untuk kepentingan yang terbuka pula.
Tanpa sesadarnya orang tua itu berdiri
dan melangkah ke dalam biliknya. Dilihatnya sebuah peti terletak di
sudut ruang itu diikat dengan kuatnya Tetapi sebenarnya tidak di dalam
peti itulah kekayaan Empu Sada yang sebenarnya. Ia menyimpan peti-peti
di tempat yang dirahasiakannya. Satu di antara peti-peti itu dibuatnya
dari kayu cendana. Peti yang tidak pernah terpisah dari samping
pembaringannya. Telapi peti itu berada di dalam dinding yang sebenarnya
berlapis. Sedang di dalam peti yang terikat itu disimpannya beberapa
macam benda yang kurang berharga dari benda-benda yang telah
disembunyikannya.
Melihat benda itu terasa dada Empu Sada
berdesir. Ia tahu benar bahwa di belakang peti yang terikat itu, di
belakang dinding yang berlapis itu, ia mempunyai kekayaan yang luar
biasa banyaknya. Tetapi apakah artinya kekayaan itu baginya?
Empu Sada terhenyak dalam suatu keadaan
yang membingungkannya. Ternyata kekayaan yang tidak terhitung itu tidak
dapat memberinya kedamaian. Kekayaan yang diterimanya dengan menjual
ilmunya dengan harga yang cukup mahal, tanpa menghiraukan akibat
daripadanya. Tanpa mengingat, apakah yang akan dilakukan oleh
murid-muridnya itu kelak.
Perlahan-lahan Empu Sada duduk di amben
pembaringannya. Kini dadanya benar bergolak. Apakah sebenarnya arti
kekayaan itu baginya? Kekayaan itu tidak memberinya kenikmatan
jasmaniah. Rumahnya bukan rumah yang seindah istana. Ia tidak membiarkan
dirinya makan dan minum sepuas-puas hatinya. Ia tidak berbuat sesuatu
dengan kekayaannya itu.
Belum pernah ia mempunyai seperti kini.
Ia heran sendiri, buat apa sebenarnya ia menyimpan kekayaan itu? Buat
apa? Dibiarkannya dirinya terlunta-lunta. Makan hanya sekedar untuk
memelihara tubuhnya. Pakaian hanya sekedar selembar kain.
Kekayaan yang dikumpulkannya bahkan
kadang-kadang dengan bertaruh nyawa itu sama sekali tidak berarti
baginya, tidak memberinya kenikmatan jasmaniah.
Apalagi nilai rokhaniah. Nilai-nilai
pengabdian dan kebaktian. Pengabdian kepada sesama dan kepada
kemanusiaan, serta kebaktian yang bulat kepada Maha Pencipta Nya. Tidak.
Sama sekali tidak, bahkan nilai-nilai itu telah seringkali
dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan duniawi yang tidak bermanfaat
justru bagi keduniawiannya, apalagi kerokhaniaannya.
Empu Sada masih melihat lewat lubang
pintunya yang masih terbuka. Sumekar duduk termenung di luar biliknya.
Seorang pelayannya yang terbangun itu pun duduk pula sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak mengetahui
sesuatu. Apalagi pelayan itu, Sumekar pun menjadi bingung melihat sikap
gurunya.
Namun Sumekar itu dapat merasakan bahwa
terjadi segala macam luka yang pernah dialaminya. Dengan demikian pasti
gurunya mendapat kesulitan yang lain. Kesulitan yang tidak dapat
dimengertinya.
Sejenak kemudian mereka telah mendengar
suara ayam yang turun dari kandang-kandang mereka. Mereka mendengar
suara sapu di halaman. Lamat-lamat kicau burung telah menyegarkan pagi
yang terang dan jernih. Tetapi tidak demikian dengan hati Empu Sada.
Pelayannya yang berada di dalam rumah itu
pun segera ke luar. Namun sekali lagi ia mendapat pesan bahwa orang
lain tidak boleh mendengar bahwa Empu Sada telah kembali.
Ketika pelayan itu telah pergi, maka
dipanggilnya Sumekar masuk ke dalam biliknya. Dengan cemas Sumekar
melihat keadaan gurunya yang tampaknya terlampau lesu “Apakah luka dalam
yang diderita oleh guru terlampau berat?” Tetapi Sumekar tidak berani
bertanya.
“Kau simpan obat-obat itu?” bertanya gurunya.
“Ya guru”.
“Baik. Bawa obat-obat itu kemari”.
“Ya guru” sahut Sumekar sambil meninggalkan gurunya berbaring di amben bambu.
Sejenak kemudian Sumekar telah kembali sambil membawa semangkuk obat yang sudah dicairkannya dengan air dingin.
“Berikanlah” minta Empu Sada sambil bangkit duduk. Dengan sekali teguk maka obat itu pun telah dihabiskannya.
“Mudah-mudahan aku akan segera sembuh.” gumamnya.
“Mudah-mudahan Empu” sahut muridnya itu.
Empu Sada itu pun kemudian
ditinggalkannya sendiri. Orang tua itu kemudian kembali berbaring. Tanpa
dikehendakinya, maka berdatanganlah semua kenangan masa lampaunya yang
suram.
Sekali-sekali terdengar Empu Sada itu
berdesah. Kini bukan saja bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit,
tetapi lebih-lebih lagi adalah batinya. Masa lampaunya bukanlah masa
yang menyenangkan untuk dikenang.
Tiba-tiba terdengar orang tua itu memanggil muridnya perlahan-lahan, “Sumekar, Sumekar”.
Sumekar yang sedang membantu membersihkan
ruangan dalam itu tergopoh-gopoh melangkah masuk ke dalam bilik
gurunya. Dilihatnya gurunya menjadi semakin lesu, “Ya guru.” jawabnya
dengan gelisah.
“Kemarilah. Mendekatlah” berkata orang tua itu.
Sumekar itu pun segera mendekatinya. Dan duduk bersimpuh di samping pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “obatmu benar-benar baik. Terasa sakitku menjadi jauh berkurang”.
“Ya Empu. Obat itu adalah obat yang guru buat sendiri beberapa bulan yang lalu”.
“Ya, ya. Tetapi kau telah membuat takaran yang tepat”.
“Ya guru”.
Empu Sada berhenti sejenak. Dipandanginya
wajah muridnya yang satu ini. Murid ini baginya tidak begitu menarik
hati disaat-saat yang lampau, ketika masih ada muridnya yang paling
dimanjakannya. Bukan karena sifat dan kemampuannya, tetapi justru karena
mereka itu mampu memberi banyak imbalan kepada Empu Sada. Anak ini
tidak seperti mereka itu. Tidak seperti Kuda Sempana dan pedagang
keliling yang bernama Cundaka. Bahkan masih ada beberapa orang muridnya
yang lain yang lebih menarik dari anak ini. Tetapi murid-muridnya itu
kini tidak ada di rumah ini. Mereka berada di tempat yang terpencar
tanpa dapat diawasinya dengan baik, apakah yang telah mereka lakukan.
Tetapi anak ini, anak yang bernama Sumekar ini selalu berada di
padepokannya. Tak banyak yang dilakukan selain dengan tekun berlatih.
Tetapi Sumekar tidak banyak dapat memberinya imbalan. Meskipun ia anak
seorang petani yang kaya, tetapi ternyata tidak dapat menyamai Kuda
Sempana, seorang Pelayan dalam yang waktu itu dekat dengan Akuwu Tunggul
Ametung dan pedagang keliling yang kaya raya yang seakan-akan
barang-barangnya tidak pernah kering. Dan Empu Sada tidak pernah
bertanya dari mana orang yang menyebut dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu
mendapatkan barang-barang berharga.
Karena itu, maka Sumekar tidak banyak
mendapat kesempatan dari gurunya. Bahkan setiap kali ia ditinggalkannya
di padepokan untuk menunggui rumah dan halaman. Kalau ada sesuatu yang
tidak berkenan di hati Empu Sada pada saat ia kembali, maka Sumekarlah
tempat yang pertama-tama untuk menumpahkan segala kemarahannya. Tetapi
kali ini Empu Sada berbuat lain. Meskipun terasa sesuatu yang kurang
pada tempatnya, namun gurunya itu tidak memaki-makinya dan mengumpannya.
Bahkan kini gurunya itu agaknya berkenan di hati oleh obatnya yang
kebetulan dianggap tepat takarannya.
Tetapi Sumekar hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat bertanya, apakah sebabnya maka perubahan itu terjadi.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri.
Nafas Empu Sada terdengar satu-satu meluncur dari lubang hidungnya.
Terengah-engah seperti orang sedang kelelahan.
Sumekar menjadi cemas mendengar tarikan
nafas gurunya itu. Apalagi ketika kemudian ia menengadahkan wajahnya,
dilihatnya gurunya terlampau pucat. Tetapi Sumekar masih juga belum
berani bertanya sesuatu. Ia menunggu sampai gurunya sendiri
mengatakannya kepadanya.
Barulah sejenak kemudian Empu Sada itu berkata, “Sumekar. Apakah kau selalu tekun berlatih sepeninggalku?”
“Ya guru” sahut Sumekar, “aku telah mencobanya”.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Di
dalam batinya ia berkata, “Sayang, aku tidak terlalu banyak memberikan
bahan-bahan kepadamu. Tetapi yang terloncat dari bibirnya adalah,
“Sukurlah. Mudah-mudahan kau cepat dapat mengikuti kakak-kakak
seperguruanmu”.
“Mudah-mudahan guru” sahut Sumekar.
Namun dalam pada itu Sumekar melihat
sesuatu di wajah gurunya. Kebimbangan atau kecemasan. Tetapi ia masih
juga belum berani bertanya.
“Sumekar” berkata gurunya, “berlatihlah sebaik-baiknya. Aku sudah cukup tua”.
Sumekar terperanjat mendengar kata-kata gurunya itu.
“Orang setua aku ini” berkata gurunya
seterusnya, “pasti hanya tinggal menunggu saat dipanggil kembali oleh
pemilikNya. Aku telah mendapat kesempatan hidup di dunia ini untuk waktu
yang cukup lama”.
“Guru” Tiba-tiba terloncat dari bibir Sumekar, namun kemudian ia pun terdiam.
Empu Sada tersenyum. Baru kali ini ia
melihat, bahwa Sumekar memiliki kesetiaan yang terlalu baik bagi seorang
murid. Murid menurut caranya “Mungkin ia cemas karena ia belum mendapat
ilmu yang cukup” berkata Empu Sada di dalam hatinya, “bukan karena aku
adalah gurunya. Kalau ia tidak memerlukan aku lagi, maka apapun yang
akan terjadi atas diriku, ia tidak akan memperdulikannya”.
Tetapi mata anak muda itu bagi Empu Sada tampak terlampau jujur.
Tiba-tiba Empu Sada itu tidak dapat
menahan hatinya lagi untuk menceriterakan apa yang pernah dialaminya di
perjalanan. Ia tidak mempunyai seorang sahabat yang dipercayanya. Karena
itu, untuk mengurangi himpitan tekanan perasaan, maka diceriterakannya
apa yang telah terjadi itu kepada muridnya. Muridnya yang selama ini
tidak banyak mendapat perhatiannya.
“Anak ini adalah anak yang paling jujur yang pernah aku temui di dalam perguruanku” desisnya di dalam hati.
Namun justru karena itu ia menjadi
terasing. Seorang yang jujur seakan merupakan duri bagi lingkungan yang
sama sekali tidak menghargai lagi kejujuran.
Sumekar mendengarkan kata demi kata yang
meluncur dari raut gurunya. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya.
Kadang-kadang hatinya berdesir tajam, namun kadang-kadang menyala
seperti bara.
“Akhirnya aku terluka” terdengar mara
Empu Sada lemah, “beruntunglah bahwa aku sempat menyembunyikan diriku di
dalam air. Kalau tidak maka hari ini aku tidak akan bertemu dengan kau
lagi Sumekar”.
Terdergar gigi anak muda itu gemeretak.
Ingin ia meloncat dan berlari menemui orang-orang yang telah melukai
gurunya untuk membuat perhitungan. Tetapi Tiba-tiba ia hanya menghela
nafasnya dalam-dalam, “Gurunya dan dua orang kakak seperguruannya tidak
mampu melawan kedua orang yang diceritera kan oleh gurunya itu. Apalagi
dirinya sendiri. Tetapi meskipun demikian terasa bahwa ia tidak mau
menerima kekalahan itu tanpa pembalasan. Karena itu maka ia berkata di
dalam hatinya, “Suatu ketika aku akan dapat menebus kekalahan ini”.
Tetapi Sumekar itu terperanjat ketika ia
mendengar gurunya berkata, seolah-olah melihat perasaan yang bergolak di
dalam dadanya, “Sumekar, jangan kau membayangkan, bahwa suatu ketika
kau akan dapat menebus kekalahan ini. Kedua orang itu benar-benar orang
yang luar biasa. Serahkanlah orang-orang itu kepada keadilan Yang Maha
Agung”.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun ragu-ragu ia mencoba menjawab, “Tetapi apakah sifat-sifat yang
bertentangan dengan adab dan kemanusiaan itu akan kita biarkan saja
Empu?”
Empu Sada lah yang kini terperanjat.
Jawaban Sumekar tanpa dikehendaki telah menusuk jantungnya pula. Bukan
saja Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang telah berbuat bertentangan
dengan adab dan kemanusiaan. Ia sendiri, Empu Sada pun pernah
melakukannya.
Sejenak Empu Sada itu pun terdiam. Terasa bagian dalam dadanya menjadi semakin sakit. Tetapi terlebih sakit lagi adalah hatinya.
Kembali mereka terlempar dalam kediaman.
Ruangan yang tidak terlampau besar itu menyadi sunyi. Di luar terdengar
gerit timba seperti menggores jantung.
Matahari pun menjadi semakin tinggi pula.
Dari celah-celah dinding meloncatlah bayangan-bayangan yang bulat
seolah-olah berpijar pada sisi yang lain. Bergetar oleh bayangan
dedaunan yang hitam, yang bergerak-gerak karena angin pagi yang silir,
menumbuhkan suara gemerisik. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung
liar berkicau saling sambut-menyahut dengan riangnya.
Tetapi hati Empu Sada kian bertambah sakit.
“Sumekar” berkata orang tua itu kemudian,
“setiap penyimpangan dari kehendak Yang Maha Agung, pada saatnya pasti
akan mendapat hukuman sewajarnya”. Empu Sada berhenti sejenak. Kemudian
diteruskannya, “tetapi pasti akan dipergunakan tangan yang sesuai untuk
kepentingan itu. Tanganmu terlampau kecil untuk melakukannya, Sumekar”.
Sumekar hanya dapat menundukkan wajahnya.
Ia merasa betapa kecil arti dirinya dibandingkan dengan kedua orang
yang dikatakan oleh gurunya itu. Tetapi satu hal yang tidak dapat
dimengertinya. Kenapa gurunya harus berhubungan dengan kedua orang itu?
Semula Empu Sada ingin merahasiakan
persoalan yang sebenarnya dihadapi. Tetapi pandangan mata Sumekar yang
terlampau jujur itu terasa menghunjam ke pusat jantungnya.
Akhirnya Empu Sada tidak dapat bertahan
lagi. Perlahan-lahan dipanggilnya Sumekar semakin dekat. Katanya,
“Sumekar. Mungkin kau dapat pula mengerti, bahwa sebenarnya aku pun
bukanlah orang yang bersih. Aku pun termasuk orang yang sering
memperkosa peradaban dan kemanusiaan. Tetapi aku belum terjerumus
terlalu jauh seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Mungkin kau selalu
bertanya-tanya di dalam hatimu, kenapa aku pergi mencari kedua orang
itu. Itu pun didorong pula oleh kekuasaan nafsu yang telah mencengkam
dadaku. Aku terlampau menuruti kehendak Kuda Sempana, meskipun aku
mempunyai pamrih juga dari padanya. Kini kau lihat, justru tangan kedua
orang liar itulah yang dipergunakan untuk menghukumku. Hukuman badaniah
yang aku alami sekarang tidakkah separah penyesalan dan kekecewaan
hatiku. Cidera badaniah telah terlampau sering aku alami, tetapi luka
yang separah ini pada hatiku, belum pernah aku rasakan”. Empu Sada itu
terdiam sejenak. Kemudian diceriterakannya pula hubungan antara Kuda
Sempana dan Mahisa Agni. Hubungan antara Kuda Sempana dan Ken Dedes.
Sumekar menganggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi persoalan itu. Memang
pernah didengarnya persoalan yang terjadi antara kakak seperguruannya
yang menjadi Pelayan dalam itu. Memang ia pernah mendengar
pertentangan-pertentangan yang timbul kemudian sehingga kakak
seperguruannya itu harus menyingkir. Tetapi ia tidak tahu, bahwa
persoalan itu telah terdorong semakin jauh. Kini kakak seperguruannya
itu ternyata tertangkap oleh orang-orang yang dikatakan gurunya orang
liar itu. Bahkan kakak seperguruannya yang seorang lagi terbunuh.
Pada satu segi Sumekar menjadi marah di
dalam hati. Bahkan tumbuh pula dendam di dadanya. Namun peda segi yang
lain ia merasa seakan apa yang terjadi itu adalah wajar. Bahkan
seharusnya.
Sekali lagi Sumekar itu terperanjat
ketika ia mendengar gurunya Tiba-tiba bertanya, “Sumekar, kenapa kau
dahulu berguru kepadaku? Ternyata kau terperosok ke dalam lingkungan
yang bertentangan dengan sifat-sifatmu sendiri. Dan kau selama ini
mencoba menyesuaikan dirimu. Aku kini merasa, bahwa kau telah memilih
jalan yang salah”.
Sumekar seakan-akan terbungkam karenanya.
Pertanyaan itu menjadi semakin keras berdentang di dalam telinganya
sendiri “Ya, mengapa aku dahulu berguru disini?” Mengapa aku terlempar
dalam lingkungan yang suram tanpa berusaha untuk menghindar meskipun
sebagian telah aku ketahuinya”.
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan
Sumekar itu merasa bahwa ia telah pernah menerima berbagai ilmu dari
gurunya itu. Karena itu, maka ia tidak akan dapat lagi meloncat surut,
kemasa yang lampau.
Sedang gurunya itu berkata, “Tetapi
Sumekar, ada baiknya kau melihat segenap persoalan dan akhir dari
peristiwa ini. Kau akan mendapatkan sebuah cermin yang baik untuk
melihat, betapa kekuasaan yang Maha Agung telah menggerakkan
alat-alatNya untuk menyelesaikan rencananya. Kau lihat bagaimana aku
sekarang terluka parah dan bahkan hampir mati terbunuh. Murid-muridku
kini tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Malahan Cundaka itu telah
terbunuh pula sedang Kuda Sempana tidak sempat aku selamatkan”. Empu
Sada berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Karena itu Sumekar,
sebelum kau terlanjur terperosok dalam dunia yang gelap, kau dapat
mengungkat kembali sifat-sifatmu yang sebenarnya. Ilmuku sebenarnya
bukan sejenis ilmu yang kasar seperti ilmu yang di miliki oleb Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi meskipun demikian, ilmu hanya sekedar
kelengkapan hidup kita. Meskipun ilmu itu ilmu yang sekasar apapun,
lebih kasar dari ilmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi ilmu itu
tidak dapat berbuat sendiri. Tergantung terlampau jauh kepada
pemiliknya. Orang yang memiliki sifat ilmu itu. Seperti sebilah pisau di
tangan anak-anak. Pisau itu akan dapat bermanfaat baginya dan orang
lain, untuk mengupas makanan dan buah-buahan. Tetapi pisau itu juga akan
dapat mendatangkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Bagaimanapun
bentuk daripada pisau itu”.
Kepala Sumekar menjadi semakin tunduk.
Selama ini gurunya tidak pernah memberinya petunjuk tentang jalan hidup
yang harus dipilihnya. Selama ini gurunya hanya memberinya
petunjuk-petunjuk bagaimana ia harus melakukan berbagai macam
unsure-unsur gerak. Dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit
sekalipun. Gurunya selama ini hanya membentak-bentaknya apabila ia gagal
melakukan sebuah latihan. Dan gurunya itu pula selalu
membentak-bentaknya apabila ia terlambat sehari dua hari tidak
menyerahkan imbalan setiap selapan kepadanya. Tetapi kini gurunya
bersikap lain. Gurunya itu mengatakan persoalan yang lain dari
memperbodohkannya. Gurunya berkata tentang hidup dan kehidupan.
Tiba-tiba gurunya itu berkata, “Aku sudah cukup tua Sumekar”.
Sumekar mengangkat wajahnya. Ditatapnya kedua mata gurunya yang suram.
Tetapi gurunya tidak pernah berbuat
demikian sebelumnya. Gurunya bukan hanya sekali ini terluka. Bahkan jauh
lebih parah. Namun gurunya itu tidak pernah menjadi lesu dan kehilangan
gairahnya seperti sekarang.
“Sumekar” berkata gurunya, “kau harus tekun berlatih”.
Sumekar tidak tahu apa yang bergolak di dalam dada gurunya, tetapi ia menjawab, “Ya guru”.
“Lupakanlah kakak seperguruanmu, Cundaka
dan Kuda Sempana. Lupakanlah apa yang pernah mereka lakukan. Meskipun
aku mengetahuinya, bagaimana Cundaka itu mendapatkan berbagai macam
barang-barang berharga, tetapi aku selalu berpura-pura tidak tahu. Aku
selalu mengatakan, bahwa ia adalah seorang pedagang keliling yang kaya
raya. Bukan sekedar seorang penggalas. Tetapi orang itu kini telah
mati”.
Empu Sada berhenti sejenak. Yang terdengar adalah desah nafasnya yang semakin cepat, tetapi terpatah-patah.
“Guru” bertanya Sumekar kemudian, “apakah aku dapat meramu macam obat-obatan yang lain supaya guru tidak menjadi sesak nafas?”
“Tidak. Tidak perlu Sumekar. Aku sudah sehat”.
“Tetapi nafas Empu seolah-olah tidak berjalan dengan wajar”.
“Pendengaranmu cukup baik Sumekar. Tetapi
tidak apa-apa. Tidak berbahaya bagiku”. Empu Sada berhenti sejenak,
“tetapi aku memang sudah tua. Tak ada lagi yang dapat aku kerjakan.
Hidupku yang tidak berarti apa-apa ini sudah tidak berguna lagi”.
Tetapi ia harus berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Meskipun demikian keadaan gurunya itu cukup menggelisahkannya.
Hari itu Sumekar bekerja dengan penuh
kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia menengok gurunya yang
berbaring diam. Namun setiap kali ia masih melihat gurunya itu tidur.
“Mudah-mudahan guru menjadi bertambah baik dengan istirahatnya”.
Di sore hari Sumekar melihat gurunya itu
berjalan tertatih-tatih keluar biliknya. Dengan serta-merta Sumekar
mendatanginya untuk menolongnya berjalan. Tetapi Empu Sada berkata, “Aku
masih cukup kuat Sumekar”.
Sumekar tertegun di tempatnya, namun kemudian ia bertanya, “Apakah Empu akan berjalan-jalan kehalaman?”
Empu Sada menggeleng. Jawabnya, “Tidak
Sumekar. Aku ingin pergi ke bilik belakang. Aku ingin melibat kau
berlatih. Dimanakah kedua anak-anak adik seperguruanmu?”
“Di luar Empu. Mereka pun sedang berlatih bersama”.
“Mereka pun harus dipesan, bahwa tak seorang pun boleh tahu bahwa Empu Sada telah kembali”.
“Ya Empu. Seluruh isi padepokan ini telah mendapat pesan itu”.
Tetapi Empu Sada itu pun kemudian berkata, “Tetapi sebenarnya itu tidak perlu Sumekar”.
Sumekar menjadi heran dan gurunya berkata
terus, “Biar sajalah orang-orang yang ingin datang untuk membalas
dendam itu kemari. Aku telah pasrah diri sebagai tebusan atas segala
kesalahanku”.
“Guru, apakah sebenarnya yang Empu kehendaki”.
Empu Sada menggeleng “Tidak apa-apa” katanya, “mari, aku ingin melihat kau berlatih. Ilmumu harus meningkat sebelum aku mati”.
“Jangan Empu” sahut Sumekar terbata-bata.
Empu Sada tersenyum “Apakah bukan sudah
seharusnya bahwa suatu ketika seseorang akan mati? Ingat Sumekar. Betapa
tinggi ilmu seseorang. Meskipun orang itu memiliki aji yang maha
dahsyat. Dapat melebur gunung dan dapat mengeringkan lautan dengan
puntiran langannya, tetapi ia tidak akan dapat hidup sepanjang jaman.
Suatu saat ia akan dihadapkan pada suatu keadaan dimana ilmunya tidak
akan mampu melawan maut. Ada seribu jalan menuju ke kerajaan maut. Dan
setiap orang pasti akan pergi ke sana”.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
Kembali ia melihat sorot yang memancarkan keputusasaan dari sepasang
mata gurunya. Tetapi ia tidak dapat berkata sesuatu.
“Ayolah. Berjalanlah dahulu”.
Keduanya pun kemudian pergi ke bilik
belakang. Ke bilik tempat murid-murid Empu Sada berlatih. Dilihatnya
kedua muridnya yang muda pun, sedang berlatih di bilik itu.
Ketika mereka melihat gurunya datang,
maka dengan serta-merta mereka menghentikan latihan mereka. Dengan
hormatnya mereka membungkukkan kepala mereka.
“Bagus” desis Empu Sada sambil berjalan
tertatih-tatih bersandarkan tongkat panjangnya “Berlatihlah dengan baik,
selagi masih ada kesempatan, dan selagi aku masih dapat memberimu
petunjuk”.
Kedua murid yang masih sangat muda itu
pun saling berpandangan dan sekali-sekali mereka memandang wajah
Sumekar. Tetapi mereka tidak berani bertanya.
“Sekarang beristiratlah. Tunggullah di luar. Aku ingin memberi latihan yang khusus kepada kakakmu”.
Sekali lagi mereka berdua menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun meninggalkan bilik itu.
Yang kemudian melatih dirinya adalah
Sumekar. Meskipun Empu Sada tidak mampu untuk memberinya petunjuk dengan
gerak, tetapi dengan kata-kata dituntunnya muridnya yang seorang ini
dengan baik. Diberinya berbagai macam unsur gerak yang belum pernah
diterimanya. Bahkan kemudian gurunya itu berkata, “Sumekar. Ternyata
persiapanmu telah cukup untuk mulai dengan ilmu yang terakhir dari
perguruan kita. Ilmu yang dapat aku berikan sebelum aku mati”.
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar.
Berbagai perasaan bercampur baur di dalam dadanya. Di satu pihak ia
merasa bangga dan bergembira bahwa gurunya telah menganggap cukup
baginya untuk menerima ilmu yang tertinggi dari perguruan Empu Sada.
Tetapi dilain pihak ia merasa sangat cemas, bahwa gurunya seakan-akan
telah kehilangan usaha untuk memperpanjang hidupnya. Sehari ini gurunya
sama sekali tidak lagi mau berobat, selain pada saat ia datang.
“Sumekar” berkata Empu Sada, “besok kita
sudah akan dapat mulai dengan dasar-dasar permulaan dari ilmu itu. Ilmu
yang telah dimiliki oleh kedua muridku yang hilang. Cundaka dan Kuda
Sempana. Karena itu, Sumekar, maka cobalah persiapkan dirimu. Aku
mengharap bahwa aku masih akan dapat bertahan sampai kau mengenal
dasar-dasar yang paling sedikit dapat memberimu jalan untuk menerima
ilmu itu”.
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Empu. Tetapi bagaimana dengan keadaan Empu sendiri?”
“Jangan berpikir tentang aku. Aku sudah cukup mengerti bagaimana aku mengatur diriku sendiri”.
Sumekar terdiam. Bukan semestinya ia
memberi gurunya petunjuk. Tetapi gurunya kali ini tidak berpikir
sewajarnya. Agaknya gurunya sedang terganggu oleh sesuatu persoalan yang
telah menggelapkan hatinya.
Ketika kemudian malam yang gelap turun
kembali menyelimuti padepokan yang sepi dan menyimpan berbagai macam
rahasia itu, Empu Sada kembali masuk ke dalam biliknya. Kembali ia
berbaring sambil menghitung dosa yang pernah dibuatnya. Nafasnya yang
tersendat-sendat terdengar seperti saling memburu.
Sumekar tidak sampai hati meninggalkan
gurunya seorang diri dalam keadaan itu. Meskipun tidak dikehendaki oleh
gurunya, namun Sumekar itu pun duduk di atas sehelai tikar disamping
pembaringan gurunya.
“Sumekar” berkata gurunya, “beristirahatlah”.
“Nanti Empu, aku belum merasa mengantuk”.
“Apakah kau sudah menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan semuanya telah selesai pula dengan pekerjaan masing-masing”.
“Sudah Empu”.
“Bagaimana dengan burung perkututku?”
Sumekar menarik nafas. Empu Sada masih
juga ingin kepada burung perkututnya. Burung yang sebenarnya tidak
terlampau baik “Burung itu baik-baik saja Empu”.
Empu Sada terdiam sejenak. Tetapi nafasnya masih belum teratur.
“Empu” Sumekar masih mencoba memberanikan dirinya, “apakah Empu tidak ingin berobat lagi”.
“Tidak Sumekar” jawab gurunya, “sudah
cukup. Aku sudah sehat kembali. Aku masih akan cukup kuat bertahan
sampai kau menyelesaikan latihanmu dan menerima ilmu yang terakhir itu”.
Sumekar hanya dapat menundukkan
kepalanya. Dan ia mendengar gurunya berkata lagi, “Kalau kau sudah
menerima ilmu itu Sumekar, tugasku telah selesai. Dadaku akan menjadi
lapang. Dan apapun yang terjadi atas diriku, sama sekali bukan soal lagi
bagiku”.
Sumekar masih menundukkan kepalanya. Tetapi Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan saudara seperguruanku Empu”.
“Aku belum tahu benar sifat-sifat mereka.
Aku tidak berani memberikan ilmu yang aku anggap paling baik dari
perguruan ini tanpa mempertimbangkan siapakah yang akan menerimanya. Aku
sudah mengalami masa-masa dimana aku kehilangan pertimbangan itu”.
“Dan bagaimanakah dengan kakang Kuda Sempana?”
Tiba-tiba pula pertanyaan itu meluncur dari mulut Sumekar, “apakah guru tidak akan berusaha melepaskannya kelak?”
Empu Sada tersenyum. Ia tahu, bahwa sadar
atau tidak sadar muridnya ingin memberinya nafsu untuk hidup dan
berbuat. Karena itu maka katanya, “Aku sudah memberinya bekal yang cukup
Sumekar”.
“Tetapi ia berada di tangan orang yang jauh melampaui kemampuannya untuk mencoba melepaskan diri tanpa pertolongan”.
“Mudah-mudahan ia tidak mengalami
bencana. Agaknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan mempergunakannya
untuk menangkap Mahisa Agni. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan
oleh kedua orang itu atas Kuda Sempana. Tetapi Kuda Sempana itu tidak
akan dibunuhnya”.
“Bagaimana kalau kemudian kakang Kuda
Sempana itu diperalat oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dengan
demikian maka mereka akan meninggalkan kesan bahwa Empu pasti turut
serta dalam perbuatan itu, karena ada murid Empu bersama mereka. Apalagi
Empu lah yang sejak pertama-tama mempunyai persoalan dengan Mahisa
Agni?”
Empu Sada terdiam. Matanya masih menatap langit-langit rumahnya.
Terdengar kemudian ia berdesah, “Aku
justru tidak lagi berpikir tentang Kuda Sempana. Aku kini menyadari
bahwa nafsunya terlampau dimanjakannya. Ia telah terseret oleh suatu
keinginan yang tiada dapat dikendalikan lagi. Tetapi …, “, Empu Sada
itu terhenti sejenak. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
kemudian orang tua itu terbatuk-batuk kecil.
Sumekar memandangnya dengan cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Sejenak kemudian Empu Sada berkata
kembali, “Tetapi aku justru merasa kasihan kepada Mahisa Agni. Anak itu
adalah anak yang baik. Sampai sekarang ia masih selalu mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung. Tetapi bagaimanakah kalau suatu
ketika orang-orang liar itu berusaha untuk menangkapnya? Apakah ia akan
berhasil melepaskan diri? Mahisa Agni akan dapat menjadi alat untuk
memeras Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung”.
“Hem” orang tua itu berdesah. Namun
Tiba-tiba ia berkata, “Perbuatan itu harus dicegah. Ia akan dapat
memperalat namaku dan menjerumuskan aku ke dalam keadaan yang lebih
buruk lagi. Perbuatan itu memang harus dicegah”. Tiba-tiba Empu Sada
itu berkata lantang, “Sumekar, beri aku obat itu. cepat.”
Sumekar terkejut mendengar perintah
gurunya. Sejenak justru ia terpaku di tempatnya. Perintah yang tiba-tiba
itu tidak segera dapat disadari artinya. Tetapi kembali Sumekar
terkejut ketika gurunya membentaknya, “Sumekar, kenapa kau duduk saja
seperti patung. Apakah kau tidak melihat bahwa aku sedang sakit karena
terluka di bagian dalam tubuhku. Apakah kau tidak mendengar bahwa
nafasku hampir patah di kerongkongan. Ayo, lekas, ambilkan obat itu.
Bukankah aku sudah mengajarimu sedikit tentang obat-obatan”.
Sumekar itu pun kemudian terloncat dari
duduknya. Ia menjadi gembira karena gurunya ingin berobat. Tetapi ia
menjadi bingung, Tiba-tiba saja sifat Empu Sada kambuh kembali.
Membentak-bentaknya.
Sejenak kemudian Sumekar itu telah
kembali membawa semangkuk obat yang telah dicairkannya dengan air.
Dengan serta-merta maka obat itu pun diminum habis oleh Empu Sada.
“Hem” Empu Sada itu menarik nafas
dalam-dalam, “sekarang tinggalkan aku sendiri Sumekar. Aku ingin
beristirahat. Cobalah, persiapkan dirimu, supaya aku dapat dengan baik
memberimu petunjuk kepadamu untuk memasuki masa terakhir dari perguruan
ini”.
“Tetapi bukankah guru akan segera sembuh?” bertanya Sumekar dengan dada berdebar-debar.
Empu Sada tersenyum. Katanya, “Hidup dan
mati sama sekali tidak terletak di tanganku sendiri Sumekar. Kalau aku
dapat menentukan hidup matiku sendiri, maka alangkah kuasanya aku atas
diriku. Tetapi tidaklah demikian halnya. Namun adalah kewajiban manusia
untuk berusaha”.
Sumekar terdiam. Tetapi dadanya sesak
oleh kebimbangan dan kebingungan. Gurunya yang tiba-tiba menjadi keras
itu pun kini agaknya telah luluh pula kembali. Sifat yang berubah-ubah
itu telah membuatnya canggung untuk berbuat sesuatu.
“Sumekar,” berkata Empu Sada, “tinggalkan aku sendiri. Aku ingin beristirahat. Mudahkan aku menjadi segera baik kembali”.
Sumekar membungkukkan badannya. Kemudian ditinggal kannya gurunya termenung seorang diri.
Ternyata sejak itu Empu Sada benar-benar
berusaha untuk menyembuhkan sakitnya. Ternyata ia menemukan kesadaran
betapa pentingnya ia berusaha untuk tetap hidup, meskipun ia tahu benar,
bahwa hasil usahanya itu sama sekali tidak tergantung kepadanya. Namun
adalah menjadi kewajibannya untuk berusaha.
Di tengah malam itu sekali lagi Empu Sada
mengobati dirinya. Sehingga dengan demikian di pagi harinya, terasa
tubuhnya menjadi kian segar. Ia tidak menolak lagi ketika Sumekar
mempersilahkannya makan.
Seperti yang dikatakannya, maka sejak
hari itu Empu Sada mulai dengan beberapa petunjuk-petunjuk dasar bagi
Sumekar untuk mempersiapkan dirinya menerima ilmu tertinggi dari
perguruan Empu Sada. Tetapi sejak itu pula Empu Sada tidak saja
memberikan petunjuk-petunjuk mengenai ilmu itu, tetapi juga
petunjuk-petunjuk apa yang seharusnya dilakukan oleh muridnya itu
Diberitahukannya kepada Sumekar segala macam pengalaman yang pernah
terjadi atas dirinya. Pengalaman yang dipenuhi oleh noda-noda yang
hitam.
“Sumekar,” berkata Empu Sada suatu
ketika, “pelajarilah olehmu. Kau telah mendengar jalan hidupku, dan aku
pun pernah memberitahukan kepadamu, apa yang aku lihat pada Panji Bojong
Santi, pada Empu Gandring dan pada Empu Purwa. Aku pernah pula
menceriterakan kehidupan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Jadilah
pertimbangan untuk menentukan jalan hidupmu. Meskipun kau seorang murid
dari seorang guru yang cacat namanya, namun apabila kau mampu membawa
dirimu, maka namamu justru akan mengangkat dan memperbaiki nama
perguruanmu”.
Sumekar hanya menundukkan kepalanya. Tetapi ia berjanji di dalam hati untuk berbuat seperti yang dinasehatkan oleh gurunya.
“Kini Sumekar,” berkata gurunya, “tekuni
persiapan yang telah aku berikan. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku
yang terakhir. Aku harus mencoba melepaskan Mahisa Agni dari tangan Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat. Mudah-mudahan aku belum terlambat. Tetapi
sampai kini aku masih belum menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk
melakukannya”.
Sumekar memandangi wajah gurunya.
Tampaklah kerut-merut di dahinya. Kerut-merut ketuaan dan kerut-merut
kegelisahan. Tetapi Sumekar tidak dapat mengerti kenapa gurunya masih
belum dapat menemukan cara untuk mencoba menyelamatkan Mahisa Agni.
“Guru,” Sumekar itu pun kemudian mencoba
bertanya, “apakah sulitnya bagi guru untuk menyelamatkan Mahisa Agni.
Apakah guru tidak tahu dimanakah Mahisa Agni sekarang berada?”
“Aku tahu tempat di mana ia sekarang
berada Sumekar. Tetapi aku tidak dapat menemuinya dan memberitahukan
kepadanya bahwa ia sedang diintai bahaya. Orang seperti aku ini Sumekar,
terlampau sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari siapapun. Kalau aku
mencoba menemui Mahisa Agni, maka aku pasti akan terlibat dalam
perkelahian dengan pamannya yang selalu membayanginya. Apapun yang aku
katakan, mereka pasti tidak akan dapat mempercayainya. Mereka pasti
menyangka, bahwa aku akan menipu mereka”.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan
gurunya berkata, “Ini pun akan dapat menjadi cermin bagimu. Sekali
seseorang kehilangan kepercayaan, maka akan sulitlah baginya untuk
mendapatkannya kembali”.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya,
ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Dan gurunya itu pun berkata
seterusnya, “Betapa baiknya hasrat yang terkandung di dalam hati, ini
tetapi orang melihat Empu Sada dengan penuh kecurigaan”.
Empu Sada itu pun terdiam sejenak.
Sehingga mereka untuk sesaat saling berdiam diri. Namun tiba-tiba
Sumekar itu pun berkata, “Apakah Empu ingin aku pergi menemuinya dan
memberitahukannya apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Kembali dahi orang tua itu pun
berkerut-merut. Tampaklah ia berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia
menjawab, “Sumekar, aku ingin kau mewarisi ilmu perguruan ini. Kalau kau
mengalami sesuatu di perjalanan, maka aku pasti akan menyesal. Karena
itu kau harus tinggal di sini sampai kau memahami ilmu terakhir itu”.
Sumekar yang duduk tepekur itu menggigit
bibirnya. Ia tenang mendengar gurunya menyayangkannya dan benar-benar
ingin membentuknya menjadi seorang yang baik. Tetapi apabila mungkin ia
ingin membantu gurunya mengatasi kesulitannya.
Maka katanya kemudian, “Empu, apabila ada
yang dapat aku kerjakan, maka inginlah aku berbuat sesuatu. Adapun
mengenai ilmu itu, akan aku terima dengan segala kesenangan sesudah aku
dapat melakukan sesuatu untuk memperingan beban Empu soal ini. Apabila
terjadi sesuatu dalam kewajiban itu, aku tidak akan menyesal. Aku
menggagapnya sebagai suatu akibat dari tugas yang harus aku lakukan”.
“Kau tidak akan menyesal, Sumekar,” jawab
gurunya, “tetapi akulah yang menyesal. Karena itu, tinggallah di sini
Tekunilah dasar-dasar ilmu tertinggi itu dengan baik. Awasilah
adik-adikmu, supaya mereka tidak terdorong dalam tabiat seperti
kakak-kakakmu dahulu. Aku telah membuat kesalahan itu. Sekarang aku akan
berusaha mengurangi kesalahan itu sebagai suatu pertanda, bahwa aku
berusaha dengan sekuat-kuat tenagaku untuk menebusnya”.
“Apakah yang akan guru lakukan?”
Empu Sada termenung sejenak. Ia mencoba
meyakinkan bahwa rencananya akan bermanfaat. Maka katanya kemudian, “Aku
tidak berani menemui Mahisa Agni sekarang, Sumekar. Tetapi aku
mempunyai jalan lain. Aku ingin menghadap Ken Dedes. Orang-orang di
istana belum terlampau banyak mengenal Empu Sada. Aku akan merubah
sedikit kebiasaanku berpakaian dan meninggalkan tongkat ini. Aku akan
menyebut diriku sebagai orang Panawijen yang ingin menghadap Ken Dedes
untuk memberitahukan sesuatu dari kakaknya Mahisa Agni”.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia bertanya dengan cemas, “Bagaimanakah kalau Empu bertemu dengan
pengawal istana, apalagi Witantra itu sendiri?”
Empu Sada menarik nafas. Katanya, “Aku
hanya mengharap supaya mereka tidak segera mengenal aku. Aku akan
memberikan kesan yang lain dari keadaanku semula. Aku dapat menjadi
seorang yang timpang atau bongkok atau cacat-cacat yang lain. Aku dapat
memakai pakaian sebagaimana orang-orang padesan memakainya. Sedikit
menghitamkan alis dan rambut di pelipis”.
Sumekar masih mengangguk-anggukkan
kepalanya meskipun ia tidak yakin bahwa usaha gurunya itu akan berhasil.
Tetapi ia tidak berani menyatakan keragu-raguannya itu. Seharusnya ia
percaya kepada gurunya.
Ternyata Empu Sada benar-benar ingin
melakukan rencananya. Ia ingin menghadap Ken Dedes, menyatakan
penyesalan yang sedalam-dalamnya apabila ia benar-benar dapat bertemu.
Kemudian memberitahukan bahaya yang mengancam Mahisa Agni, supaya Ken
Dedes mengirim utusan untuk memberitahukannya. Akan dikatakan pula
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, pemerasan dan sebagainya
yang akan banyak merepotkan. Bahkan mungkin banyak diperlukan harta dan
benda untuk menebus Mahisa Agni itu. Sudah tentu apabila hilangnya
Mahisa Agni itu menyangkut namanya, Ken Dedes sudah dapat mengetahuinya
bahwa hal itu tidak benar. Semuanya itu pasti akan didengar pula oleh
Akuwu Tunggul Ametung. Mudah-mudahan Ken Dedes dapat menjadi lantaran
baginya untuk mohon ampun pula kepada Akuwu. Apalagi kalau Akuwu
berkenan mengirimkan beberapa orang yang terpercaya untuk menangkap Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat.
Beberapa hari kemudian, setelah Empu Sada
itu benar-benar sembuh, maka dilakukanlah rencana itu. Dicobanya untuk
membuat perubahan sebaik-baiknya pada dirinya. Pada pakaiannya, pada
solah tingkahnya dan menghitamkan alis, kumis dan janggutnya yang tidak
terlampau lebat, yang selama ini tidak dapat dipeliharanya, serta rambut
di pelipisnya.
“Sumekar,” berkata orang tua itu, “apakah kau melihat perbedaan padaku?”
Mau tidak mau Sumekar terpaksa tersenyum.
Gurunya memang pandai merubah diri, menyamar sebagai seorang cantrik
tua dari padepokan Panawijen.
“Kalau aku tidak tahu bahwa yang berdiri di hadapanku ini adalah Empu, maka aku tidak akan dapat mengenal”.
Empu Sada pun tersenyum pula. Katanya,
“Aku tak akan melakukannya hal serupa ini di saat-saat yang lampau.
Tetapi aku telah melepaskan cara hidup yang lama itu. Aku ingin menempuh
hidup yang lain. Ini adalah permulaan dari hidup yang baru itu. Kalau
aku berhasil, maka Empu Sada seterusnya tidak harus selalu bersembunyi
dan mengurung diri dalam kecemasan dan ketakutan”.
Demikianlah hari itu juga Empu Sada
meninggalkan padepokannya di pagi-pagi buta supaya tidak seorang pun
yang melihatnya. Tertatih-tatih ia berjalan menuju ke kota untuk mencoba
menghadap Tuan Puteri Ken Dedes yang sebentar lagi akan diangkat
menjadi permaisuri Tumapel.
Ketika kemudian matahari terbit,
timbullah kecemasan di hati orang tua itu. Apakah benar-benar
orang-orang lain tidak dapat mengenalnya sebagai Empu Sada. Kalau ia
sudah berhasil menghadap Ken Dedes apalagi Akuwu Tunggul Ametung, dan
mendengar kata-kata pengampunannya, maka ia tidak akan cemas lagi. Ia
akan dapat menengadahkan dadanya sambil berkata, “Ini adalah Empu Sada.
Tetapi bukan Empu Sada yang dahulu”. Tetapi apabila Akuwu Tunggul
Ametung tetap menganggapnya bersalah, dan ingin juga menghukumnya, maka
ia sudah akan pasrah diri, sebagai tebusan atas segala kesalahan yang
telah dilakukan. Namun dengan demikian maka Akuwu pasti akan dapat
menilai, apa yang terjadi apabila Mahisa Agni benar-benar akan hilang
dari Padang Karautan “Aku akan dapat berbuat sesuatu apabila suatu
ketika Kebo Sindet atau Wong Sarimpat datang sambil berkata bahwa mereka
pasti berhasil membebaskan Mahisa Agni dari tangan Empu Sada dengan
imbalan yang cukup banyak. Bahwa mereka telah mengetahui di mana Empu
Sada bersembunyi”.
Dengan hati yang berdebar-debar Empu Sada
itu berjalan selangkah demi selangkah maju mendekati Istana Tumapel. Ia
harus datang sebagai seorang cantrik yang tua untuk menemui Ken Dedes
membawa pesan dari Mahisa Agni.
Di sepanjang jalan Empu Sada selalu
mencoba melihat perhatian orang lain kepadanya. Sekali-sekali
disilangnya orang yang sebenarnya telah dikenalnya. Tetapi ternyata
orang itu tidak menegurnya. Dengan demikian maka Empu Sada merasa, bahwa
samarannya agaknya dapat berhasil.
Tetapi kesulitan yang lain, yang harus
diatasinya nanti adalah pertanyaan-pertanyaan para penjaga. Mungkin ia
harus menjawab beberapa pertanyaan yang menyangkut gadis bakal
permaisuri itu.
Empu Sada menarik nafas. Ia masih berjalan tersuruk-suruk di tepi jalan yang berpohon-pohon rindang.
“Kalau aku telah berhasil bertemu dengan
Ken Dedes, maka aku tidak perlu lagi menyembunyikan diri. Aku harus
segera mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan bahwa aku pernah
mencegatnya di hutan. Pernah berusaha untuk menangkap dan bahkan
membunuh Mahisa Agni. Pernah berbuat hal-hal lain yang terkutuk.
Kemudian aku akan mohon supaya puteri sudi menyampaikannya kepada Akuwu
Tunggul Ametung permohonan maaf yang sejauh-jauhnya. Kalau Akuwu
memaafkan, maka aku akan kembali ke padepokan dengan hati yang tenteram.
Kalau tidak, maka aku pun akan melakukan semua hukuman dengan ikhlas.
Adalah lebih baik mati di tiang gantungan dari pada mati di tangan Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat”. Empu Sada itu bergumam di dalam hatinya.
Tetapi ia heran sendiri, kenapa ia kini merasa bahwa mati di tiang
gantungan itu memberinya ketenteraman. Kenapa ia tidak memilih mati
dengan pedang di tangan. Mati tembus oleh ujung senjata dalam
perkelahian.
Empu Sada menggelengkan kepalanya. Ia
sendiri menjadi bingung. Namun lamat-lamat terdengar suara dari sudut
hatinya yang paling dalam “Harga diri dan kejantanan yang mapan, tidak
pada tempatnya, sama sekali tidak berarti bagi hidupmu yang abadi.
Keberanian dan ketabahan menghadapi maut di jalan yang salah, sama
sekali tidak membuka jalan yang menuju ke sisi Yang Maha Agung. Karena
itu, maka hidup yang abadi itu bernilai berlipat tanpa batas dibanding
dengan hidupku kini. Dan kini aku tidak mau menambah noda bagi hidup
yang abadi itu”.
Dengan demikian maka Empu Sada berjalan
dengan langkah yang ringan meskipun disamarnya. Ternyata orang tua itu
pandai membawa dirinya. Tak seorang pun yang berjumpa di jalan menyangka
bahwa orang yang ditemuinya itu adalah seorang yang bernama Empu Sada.
Akhirnya Empu Sada itu pun sampai ke
Alun-alun Tumapel. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Dilihatnya di regol
istana beberapa orang prajurit sedang berjaga-jaga. Di sisi lain, di
bagian dalam halaman tampaklah pelayan-dalam mondar-mandir dalam
kewajibannya masing-masing. Namun pelayan dalam ini pun ternyata
mempunyai kemampuan seperti para prajurit itu pula.
Tetapi, Empu Sada tidak akan memilih
jalan depan. Ia harus masuk lewat regol belakang. Namun dalam pada itu
ia selalu berharap agar wajahnya tidak dikenal sebelum ia bertemu dengan
Ken Dedes. Adalah lebih baik baginya apabila ia dapat menghadap Akuwu
Tunggul Ametung sama sekali.
Ketika Empu Sada sampai di muka regol
belakang, kembali ia menjadi ragu-ragu. Tertegun-tegun ia berjalan, dan
bahkan sesekali timbullah keinginannya untuk membatalkan niatnya. Kalau
salah seorang prajurit yang sedang berjaga-jaga itu mengenalinya, maka
ia pasti akan mendapat tuduhan yang sangat memberatkannya. Ia pasti akan
dituduh menculik Ken Dedes dengan samarannya. Apakah ia akan dapat
berdiam diri apabila para prajurit itu beramai-ramai mengeroyoknya?
Bahkan kemudian akan hadir Witantra dan saudara-saudara seperguruannya?
Tetapi kadang-kadang niatnya menjadi
bulat. Kalau aku harus ditangkap, biarlah aku ditangkap. Apapun yang
akan dituduhkannya kepadaku, aku tidak akan berkepentingan lagi. Yang
penting bagiku adalah menyampaikan pemberitahuan, bahwa rencana Kebo
Sindet dan Wong Sarimpat terlampau berbahaya bagi Mahisa Agni. Serta
kemungkinan-kemungkinan pemerasan dan hal-hal yang serupa itu.
Dalam keragu-raguan itu Empu Sada
terkejut, ketika ia mendengar salah seorang prajurit memangilnya. Ketika
ia berpaling dilihatnya prajurit itu melambaikan tangannya kepadanya.
“He, apa kerjamu disitu?, “ bertanya prajurit itu.
Empu Sada sadar, bahwa justru karena ia
tertegun-tegun, maka kehadirannya telah menimbulkan kecurigaan pada
prajurit-prajurit itu. Kini kembali ia diamuk oleh keragu-raguan.
Sehingga untuk sejenak Empu Sada masih saja berdiri di tempatnya.
“Kemari,” panggil prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia sudah tidak akan dapat menghindari lagi. Dengan demikian, maka
kini kembali ia membulatkan hatinya, bahwa ia harus pasrah diri. Namun
kadang-kadang terbersit pula di dalam batinnya penyesalan, bahwa ia
tidak saja menyelesaikan sama sekali ajaran-ajaran yang dapat
diberikannya kepada Sumekar.
“Kalau otak anak itu cukup baik,” katanya
di dalam hati, “ia sudah cukup menguasai dasar-dasar unsur gerak dari
ilmu yang terakhir itu. Dengan melihat dan merasakan ilmu itu serta
menghubungkannya dengan apa yang pernah dilihat, maka dengan tekun ia
pasti akan sampai dengan sendirinya, meskipun mungkin ia akan mengalami
kejutan yang dahsyat, namun tidak akan berbahaya bagi jiwanya”.
“He, kemari kaki “ terdengar kembali seorang prajurit memanggilnya.
Empu Sada itu pun kemudian melangkah
maju. Tetapi ternyata kadang-kadang masih juga tumbuh desir di
jantungnya apabila ia melihat ujung tombak. Ia tahu benar, bahwa ujung
tombak di tangan para prajurit itu sama sekali tidak akan dapat
menahannya apabila ia akan berbuat sesuatu.
Tertatih-tatih Empu Sada itu mendekati
para prajurit pengawal istana. Setiap langkah kakinya terasa seolah-olah
sebuah dentangan di dalam dadanya.
Tetapi agaknya para prajurit itu
menganggapnya sebagai seorang tua yang sedang kebingungan saja. Salah
seorang prajurit itu bertanya acuh tak acuh, “He, Kaki, kenapa kau
tertegun-tegun disini? Apakah ada yang kau cari?”
“Ya tuan,” sahut Empu Sada dengan suara bergetar dalam nada yang tinggi, “aku memang sedang mencari”.
“Apakah yang kau cari? Barangkali aku dapat menolongmu menunjukkannya?”
“Terima kasih tuan, “ Empu Sada itu membongkok sampai hampir menyentuh lututnya, “terima kasih”.
“Apakah yang kau cari?
“Aku sedang mencari Istana Akuwu Tumapel tuan”.
“He,” prajurit itu terperanjat, “kau sedang mencari Istana Tumapel”.
“Ya tuan”.
Jawaban orang tua itu agaknya telah
menarik perhatian para prajurit yang lain. Beberapa orang yang semula
sama sekali tidak tertarik kepada orang itu pun kemudian datang
mengerumuninya.
“Apakah yang akan kau cari di dalam Istana Tumapel?”
“Tetapi apakah tuan dapat menunjukkan Istana Tumapel itu?”
“Tentu, tentu, “ sahut seorang diantara para prajurit itu.
“Terima kasih tuan, terima kasih. Apakah aku sudah dekat dengan istana yang kucari”.
“Inilah istana itu” sahut yang lain sambil menunjuk ke arah Istana Tunggul Ametung.
“Aku sudah menduga, “ sahut Empu Sada,
“rumah ini adalah rumah yang paling besar dan paling baik yang aku
jumpai di kota ini. Menurut pesan yang aku terima, rumah itu mempunyai
alun-alun, dan pasti dijaga oleh prajurit bersenjata di setiap regolnya.
Dan ternyata dugaanku-dugaanku itu benar”.
“Ya,” sahut prajurit yang lain pula, “dugaanmu benar. Lalu apakah yang ingin kau cari di dalam istana ini”.
“Tuan, aku akan mencari Nini Ken Dedes”.
“He,” salah seorang prajurit menyahut, “kau mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Oh. Tuan Puteri? Ya maksudku Tuan Puteri Ken Dedes. Bukankah gadis itu datang dari Panawijen?”
“Ya. Kau benar Kaki. Tuan Puteri datang dari Panawijen. Tetapi apakah keperluanmu mencari Tuan Puteri Ken Dedes?”
“Aku datang dari Panawijen tuan. Aku mendapat pesan dari anak-mas Mahisa Agni untuk menemui Tuan Puteri Ken Dedes”.
“Oh, Mahisa Agni. Anak muda kakak Tuan Puteri itu?”
“Ya. Tuan benar”.
“Apakah pesannya.?
“Aku harus menyampaikannya sendiri tuan”.
Beberapa orang prajurit itu saling
berpandangan. Kemudian seorang dari padanya, yang agaknya pemimpinnya
bertanya, “Apakah pesan itu terlampau penting?”
Empu Sada harus memperhitungkan keadaan
dengan baik. Pertanyaan itu harus dijawabnya dengan tepat. Ia tahu
benar, bahwa para prajurit itu akan dapat menyuruhnya menunggu saja di
luar, sedang pesan itu akan disampaikan oleh prajurit itu sendiri.
Karena itu, maka Empu Sada itu pun kemudian berusaha untuk menghindarkan
kemungkinan itu.
Jawabnya, “Oh, tidak. Tidak tuan. Pesan itu sama sekali tidak penting”.
Para prajurit itu menarik nafas. Sejenak
mereka saling berpandangan. Baru kemudian salah seorang dari mereka
berkata, “Kaki, jarak Panawijen Tumapel adalah jarak yang tidak
terlampau dekat. Kalau pesan itu tidak terlampau penting kenapa kaki
harus berjalan menempuh jarak itu? Dan kenapa orang setua Kaki ini yang
harus datang kemari, bukan seorang anak muda yang gagah di atas punggung
kuda?”
Orang, tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan hati-hati ia menjawab, “Tuan, setiap orang muda di
Panawijen harus bekerja keras membuat bendungan. Itulah sebabnya maka
tak ada seorang anak muda yang dapat datang kemari”.
“Ah,” sahut prajurit yang lain, “aneh
Kaki. Ada berapa orang anak-anak muda di Panawijen? Bukankah dengan
berkurang seorang dari mereka tidak akan mengganggu pekerjaan itu?”
“Tuan benar. Tetapi maaf tuan, aku
berkata sebenarnya, tak ada seorang pun anak-anak muda yang berani
seorang diri menempuh jarak Panawijen Tumapel. Apalagi sejak beberapa
kali Mahisa Agni bertemu dengan bahaya diperjalanan, bahkan Ken Dedes
yang dikawal kuat pun hampir-hampir mengalami bencana”.
Prajurit-prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian salah seorang dari mereka
bertanya, “Tetapi kenapa justru kau berani melakukannya Kaki?”
“Ada beberapa macam pertimbangan tuan,”
salut Empu Sada, “aku sudah tua. Aku rasa tak seorang pun yang
memerlukan aku lagi. Jangankan orang-orang yang sakti, sedang oleh
anak-anak pun aku dapat didorongnya jatuh. Itulah sebabnya maka
perjalananku pun ternyata tak diganggu orang”.
“Tetapi kau tahan berjalan sejauh itu?”
“Aku menempuh perjalanan ini selama dua hari dua malam tuan”.
“He, dua hari dua malam? Apakah kau merangkak seperti siput?”
“Ya tuan. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat”.
“Dan setelah kau berjalan dua hari dua malam, kau hanya sekedar membawa pesan yang tidak penting?”
“Ya tuan. Pesan itu tidak penting, tetapi aku ingin menyampaikannya sendiri”.
Tiba-tiba seorang prajurit mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju dan berkata, “Apakah pesan itu?”
Empu Sada tertegun sejenak. Ia melihat
sorot mata yang aneh pada prajurit itu. Tetapi tidak mencemaskannya
Prajurit itu agaknya merasa heran bahwa pesan yang tidak penting itu
harus dibawanya merangkak seperti siput selama dua hari dua malam.
Meskipun demikian Empu Sada harus lebih
berhati-hati. Setiap kecurigaan akan dapat menyulitkannya. Ketika
prajurit itu melangkah selangkah maju lagi, maka Empu Sada pun segera
mundur sambil membungkuk-bungkuk, “Tuan” katanya terbata-bata, pesan itu
memang tidak penting tuan”.
Prajurit itu pun memandanginya semakin
tajam, “Kalau tidak penting, kenapa kau harus berjalan sejauh itu. Coba
katakan bagaimana bunyi pesan itu. Kami adalah para pengawal yang harus
menjaga ketenteraman istana”.
“Tetapi, tetapi Mahisa Agni mengharap aku dapat menyampaikannya sendiri”.
“Tetapi kami harus tahu, apakah pesan itu”.
Empu Sada pun kemudian merunduk-runduk sambil berkata, “Baik, baik tuan”.
“Nah, katakanlah”.
“Baik, baik tuan”.
“Ya, katakanlah. Aku perlu mendengar pesan itu, bukan ingin mendengar kesediaanmu mengatakan. Tetapi katakanlah”.
“Tuan,” berkata Empu Sada, “Mahisa Agni
pesan kepadaku supaya aku berkata kepadanya, kepada Tuan Puteri bahwa ia
harus berusaha menyesuaikan dirinya di sini. Ia tidak dapat
bermanja-manja seperti di padepokan dahulu”. Empu Sada berhenti sejenak.
Diamatinya wajah prajurit itu untuk menangkap kesan yang tersirat
daripadanya.
Hati orang tua itu menjadi lapang ketika tiba-tiba ia melihat prajurit itu tertawa.
“Hem,” berkata prajurit itu sambil
memilin kumisnya, “pesan itu sama sekali bukan sebuah rahasia. Kenapa
kau agaknya mempersulit untuk mengatakannya”.
“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak
mempersulit. Tetapi aku ingin memenuhi permintaan Mahisa Agni,
menyampaikan pesan itu langsung kepada Ken Dedes”.
“Tuan Puteri maksudmu?”
“Oh, ya, ya. Tuan Puteri Ken Dedes”.
“Pesan itu terlampau sederhana.
Keperluanmu bertemu dengan Tuan Puteri sama sekali tidak seimbang dengan
tata-cara yang harus dilakukan. Kaki, biarlah kami saja yang
menyampaikan pesan itu”.
“Oh, jangan tuan. Jangan. Mahisa Agni pesan ke padaku supaya aku menyampaikannya langsung”.
“Tidak setiap orang dapat menghadap Tuan Puteri, dan tidak setiap keperluan harus dilayani”.
“Tetapi, tetapi bukankah pesan itu datang dari keluarganya yang harus didengarnya”.
“Itulah sebabnya, kami akan menyampaikan
pesan itu tanpa ditambah dan dikurangi. Meskipun pesan itu datang dari
keluarganya, namun tak setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam istana
seperti masuk ke dalam warung saja”.
“Oh,” Empu Sada itu pun kemudian
merengek-rengek, “Tuan, kasihanilah aku orang tua ini tuan. Aku sudah
berjalan sedemikian jauhnya untuk menghadap nini Ken Dedes, eh, Tuan
Puteri Ken Dedes untuk menyampaikan pesan itu”.
“Pesan itu pasti akan sampai, Kaki, “ sahut prajurit yang lain.
“Tetapi, tetapi di samping itu masih ada pesan yang lain”.
“He,” prajurit itu terkejut, “jadi masih ada yang kau rahasiakan”.
“Ya tuan”.
“Oh,” prajurit itu menjadi heran, kenapa
orang itu dengan mudahnya menjawab bahwa masih ada sesuatu yang
dirahasiakan? Namun dengan demikian kesan yang didapat para prajurit itu
adalah, “Orang tua ini adalah orang tua yang bodoh dan jujur”.
“Katakanlah rahasia itu”.
“Tetapi apakah dengan demikian aku akan dapat menghadap?”
“Tergantung kepada pertimbangan tentang rahasia itu”.
“Tetapi Mahisa Agni pesan tuan, supaya rahasia ini tidak dikatakan kepada siapapun”.
“Kalau begitu, kau tidak dapat masuk ke dalam istana”.
“Oh, jadi bagaimana?”
“Rahasia itu harus kau sebut, kaki”.
Para prajurit melihat orang tua yang
berjalan tersuruk-suruk itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu para
prajurit itu pun menjadi semakin ingin mengetahui, rahasia apakah yang
telah dibawanya.
“Kalau kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan dapat masuk”.
“Baik, baik tuan. Aku akan mengatakan rahasia itu tetapi dengan janji”.
“Janji apa Kaki?”
“Tuan tidak boleh mengatakannya kepada orang lain”.
Tiba-tiba beberapa di antara para
prajurit itu tidak dapat menahan tertawanya. Meskipun demikian mereka
berusaha untuk menyembunyikan wajah-wajah mereka di belakang punggung
kawan-kawannya.
“Ayo katakan,” berkata salah seorang dari pada mereka.
“Tetapi rahasia ini sebenarnya sangat
memalukan Aku mendapat pesan dari Mahisa Agni supaya disampaikan kepada
adiknya. Bahwa kini Mahisa Agni sudah tidak lagi mempunyai rangkapan
kain panjang. Itulah tuan”.
Meledaklah suara tertawa di regol itu
Para prajurit itu pun tidak lagi dapat menahan diri. Bagaimana pun juga
mereka mencobanya, tetapi suara tertawa mereka telah menarik perhatian
orang-orang yang kebetulan lewat dimuka regol “Alangkah bodohnya orang
tua ini” pikir mereka, “ dan alangkah kasihannya Mahisa Agni”.
Tetapi mereka sama sekali tidak tahu,
bahwa Empu Sada pun tertawa pula di dalam hati. Ia telah berhasil
memainkan peranannya hampir sempurna. Meskipun demikian para prajurit
itu masih belum menjawab dengan pasti permintaannya untuk menghadap Ken
Dedes.
Para prajurit itu masih saja tertawa,
sedang Empu Sada masih juga berdiri termangu-mangu. Orang tua itu
berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan perasaan sendiri. Betapa ia
tertawa di dalam hati, melampaui gelak para prajurit itu, namun wajahnya
masih juga tampak alangkah bodohnya.
“O Kaki, “ berkata salah seorang dari para prajurit itu, “apakah Mahisa Agni sangat memerlukan sepotong kain panjang?”
Empu Sada mengangguk, “Ya tuan. Selembar yang dipakainya kini telah nrantang”.
“Kalau kau katakan sejak tadi kaki, kau
tidak perlu terlampau bernafsu untuk menghadap Tuan Puteri. Aku
mempunyai kain panjang rangkap di rumah. Kau boleh membawanya selembar
buat Mahisa Agni dan selembar buat kau sendiri”.
“Terima kasih tuan, terima kasih, “ sahut Empu Sada.
“Nah, kalau demikian tunggulah sampai waktuku berjaga di sini habis. Kau turut aku ke rumah, dan kau akan mendapatkannya”.
“Tetapi bagaimana dengan Tuan Puteri?”
“Pesanmu akan disampaikan. Dan kau akan mendapat kain panjang dariku. Bukankah keperluanmu sudah selesai?”
“Tetapi, tetapi aku harus menghadap tuan
Tuan Puteri tidak hanya akan memberi selembar kain buat Agni dan
selembar buat aku. Mungkin ada pesan pula dari Tuan Puteri yang harus
aku sampaikan kepada kakaknya, atau barangkali selembar timang alau ikat
kepala”.
Kembali para prajurit itu tertawa. Mereka
melihat orang tua itu dengan sorot mata yang lucu. Tetapi mereka
mendapat kesan yang hampir pasti, “Orang tua itu adalah orang tua yang
bodoh tetapi jujur”.
Meskipun demikian, para prajurit itu tahu
benar akan kewajibannya. Karena itu, maka mereka tidak akan dengan
mudah membiarkan orang-orang di luar istana memasuki halaman. Juga
orang tua ini. Meskipun mereka sebenarnya telah tidak mempunyai
kecurigaan apapun lagi, namun mereka tidak segera dapat memberinya ijin
untuk dengan demikian saja menghadap Tuan Puteri Ken Dedes.
“Bagaimana tuan?,” desak orang tua itu, “Apakah aku diijinkan masuk?”
“Apakah kau mengenal jalan yang menuju ketempat Tuan Puteri itu”.
Empu Sada mengerutkan keningnya, jawabnya sambil menggeleng, “Tidak Tuan”.
“Nah, kau memang tidak akan dapat
memasuki halaman ini seorang diri. Tak seorang pun diijinkan. Seorang
prajurit akan mengantarmu sampai ke regol halaman dalam. Kau harus
menunggu di sana. Prajurit itulah yang akan menyampaikannya kepada emban
terdekat, bahwa seseorang ingin menghadap. Kalau Tuan Puteri ragu-ragu,
maka Tuan Puteri pasti akan memintamu menunggu sampai seseorang sempat
menyampaikannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi untuk menyampaikan
permintaan itu, kau masih harus menunggu. Mungkin sehari, mungkin besok
kau baru mendapat jawaban”.
“O,” keluh Empu Sada, “dahulu aku tidak pernah mendapat kesukaran untuk bertemu dengan anak itu di Panawijen”.
“Hus” potong seorang prajurit. Tetapi mau
tidak mau prajurit itu pun harus tertawa, “keadaannya dahulu dan
keadaannya tentu jauh berbeda”.
“Jadi bagaimanakah tuan?”
“Masuklah bersama salah seorang dari
kami. Tunggulah di luar regol dalam. Kalau Tuan Puteri mendengar bahwa
seseorang dari Panawijen akan menemuinya, maka aku kira kau tidak akan
menunggu sampai malam”.
“Terima kasih tuan. Terima kasih. Aku
akan menunggu meskipun sehari penuh. Di dalam kasa ini aku masih
menyimpan sisa bekal yang aku bawa dari rumah”.
“Sudah dua hari dua malam?”
“Nasi jagung tuan. Sepekan masih juga baik”.
“Nah, ikutilah kawanku ini,” berkata pemimpin penjaga itu sambil menunjuk salah seorang bawahannya.
Empu Sada menganggukkan kepalanya.
Kemudian ia melangkah mengikuti prajurit yang membawanya masuk Tetapi
kemudian ia tertegun ketika pemimpin prajurit itu masih bertanya
kepadanya, “Siapa namamu?”
Empu Sada berpaling. Tetapi ia sama
sekali tidak menjadi bingung menerima pertanyaan itu. Dari rumah ia
telah bersedia, apabila seseorang menanyakan namanya, “Makerti, “ jawab
Empu Sada, “namaku Makerti”.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi
ragu-ragu. Ia dapat menipu para penjaga itu. Ia dapat menyebut nama apa
saja, bahkan seribu nama sekalipun tidak akan mencurigakan. Namun ia
menyangka bahwa dengan demikian, ia akan segera dihadapkan langsung
kepada Tuan Puteri Ken Dedes. Ternyata yang terjadi tidak demikian.
Seorang prajurit akan menghadap dan mengatakan keperluannya. Apabila
prajurit itu menyebut namanya, dan Ken Dedes tidak pernah mengenal nama
Makerti, maka apakah kira-kira yang akan terjadi?
Empu Sada menjadi bimbang. Tempi ia tidak
sempat berpikir terlampau lama. Pemimpin prajurit itu telah berkata
kepadanya, “Baiklah kaki Makerli. Pergilah mudah-mudahan kau tidak perlu
terlampau lama menunggu”.
Empu Sada menganggukkan kepalanya
dalam-dalam, kemudian kembali ia berjalan mengikuti prajurit yang
membawanya ke regol dalam. Tetapi kembali ia dirisaukan oleh nama itu.
Makerti. Nama itu memang telah disiapkannya. Ia menganggap bahwa nama
tidak akan banyak berpengaruh atas rencana itu. Namun sekarang baru ia
menyadari, bahwa justru karena namanya itu akan dapat timbul kecurigaan
yang membahayakannya. Kenapa ia tidak berusaha untuk mencari sebuah nama
yang memang pernah dimiliki oleh orang Panawijen?
Angan-angan Empu Sada itu patah ketika
mereka segera sampai ke regol halaman dalam. Prajurit itu terhenti
sejenak dan kemudian berkata, “He, kaki Makerti, tunggulah disini. Aku
akan mencoba menghadap. Apabila maksudmu diterima, maka kau pun akan aku
bawa menghadap pula”.
“Jadi bagaimana tuan. Apakah aku harus menunggu?”
“Ya. Kau memang harus menunggu di sini”.
“Bagaimana kalau aku masuk bersama tuan. Kalau aku tidak diijinkan menghadap, maka aku akan pergi bersama tuan pula”.
“Ah, jangan. Demikianlah seharusnya. Kau harus berada di sini”.
“Aku takut tuan. Aku takut di sini seorang diri”.
“Kau tidak seorang diri, “ sahut prajurit
itu, “lihat, di sisi regol dalam itu adalah sebuah gardu. Apakah kau
tidak melihat dua orang yang berada di dalamnya?”
“Oh,” Empu Sada menjengukkan kepalanya.
Dilihatnya dua orang dukuk di dalam sebuah gardu pendek. Tetapi di sisi
mereka itu tersandar dua batang tombak.
“Masih ada satu lagi. Lihat yang mondar-mandir itu”.
“Oh,” Empu Sada kini benar-benar menyadari bahwa penjagaan istana bukan sekedar sebuah upacara saja.
“Apakah bilik Tuan Puteri itu masih jauh?”
“Tidak. Itulah. Kau nanti akan naik
tangga itu. Dan kau akan sampai ke serambi di belakang ruang dalam.
Kalau Tuan Puteri dapat menerimamu, maka kau akan diterima di ruang itu.
Sedang bilik Tuan Puteri adalah di dalam istana. Sentong Tengen”.
Empu Sada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika ia memandang berkeliling, maka yang dilihatnya adalah sebuah
taman yang manis. Tetapi di sekitar tempat itu ia tidak lagi melihat
gardu-gardu penjagaan yang lain.
“Nah, tinggalah di sini” berkata prajurit
itu, “aku akan masuk. Aku akan menyampaikan permintaanmu lewat Pelayan
Dalam yang bertugas di sana. Dan aku akan menyampaikan pesan itu nanti
kepadamu, apakah Kaki akan diterima atau Kaki harus menunggu saat yang
lain”.
“Oh,” Empu Sada mengeluh. Ternyata tidak semudah yang disangkanya.
“Kenapa kaki?,” bertanya prajurit itu.
“Alangkah sulitnya. Tuan, tolong,
katakanlah kepada gadis itu, bahwa yang ingin menghadap adalah pamannya.
Makerti. Aku adalah adik ibunya yang sudah lama meninggal. Mungkin anak
itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kalau tuan menyebutnya bahwa aku berasal
dari Ngarang maka ia akan mengenal aku”.
“Jadi Kaki tidak berasal dari Panawijen?”
“Ya, ya. Aku datang dari Panawijen.
Tetapi aku temui Panawijen sudah lain dari dahulu. Aku hanya bertemu
dengan Mahisa Agni. Mudah-mudahan Nini, eh. Tuan Puteri menerima aku”.
Prajurit itu memandanginya dengan ragu.
Tetapi kemudian ia tersenyum. Katanya, “Baiklah Kaki. Tunggulah di sini.
Aku akan menyampaikannya lewat seorang Pelayan dalam atau seorang
emban. Tunggulah, jangan takut, di gardu itu ada orang. Dan orang-orang
itu tidak akan menakut-nakutimu”.
“Siapakah orang itu?” Tiba-tiba salah seorang prajurit di dalam gardu itu bertanya.
“Bertanyalah sendiri kepadanya” jawab prajurit itu, “nah mendekatlah. Mungkin kau dapat menunggu di sana pula”.
“Baik, baik tuan”.
Empu Sada itu pun kemudian melangkah
tertatih-tatih mendekati gardu dan duduk di depannya. Sementara itu
prajurit yang membawanya lelah berjalan meninggalkannya, untuk
menyampaikan pesan dan permintaan orang tua itu.
Sementara itu, Empu Sada masih saja
diliputi oleh kecemasan. Disaat-saat terakhir ia mencoba membuat
pesannya menjadi kabur dan membingungkan. Mudah-mudahan Ken Dedes tidak
dapat lagi menelusurnya dan menjadi ingin tahu, siapakah yang datang
kepadanya.
“Tetapi bagaimanakah kalau gadis itu dengan tenang dapat menilai keterangannya?”
Kembali Empu Sada menjadi ragu-ragu.
Tetapi dalam pada itu tanpa disadarinya ditelusurinya halaman itu
baik-baik. Dilihatnya beberapa orang hilir mudik. Ia tahu benar, bahwa
di antara mereka adalah Pelayan dalam seperti Kuda Sempana dahulu.
Tetapi sementara itu Empu Sada harus menjawab pertanyaan dari prajurit-prajurit yang berada di dalam gardu itu.
Akhirnya prajurit-prajurit itu pun
berhenti bertanya dan berkata, “Nah, beristirahatlah kaki. Mungkin kau
harus menunggu agak lama di situ”.
“Terima kasih tuan,” jawab Empu Sada.
Namun sementara itu kembali angan-angan
Empu Sada beredar diseputar keadaannya. Kecemasannya semakin lama
semakin mengganggunya, sehingga tiba-tiba tanpa dikehendakinya ia mulai
menilai dirinya kembali.
“Aku bermaksud baik,” katanya di dalam
hati, “tetapi kalau aku dianggap ingin berbuat jahat, maka apakah aku
harus berdiam diri?”
“Hem,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“biarlah. Kalau seharusnya aku ditangkap, biarlah aku ditangkap. Kalau
seharusnya aku digantung di alun-alun, biarlah aku digantung”.
“Tetapi,” kembali terdengar sebuah
pertanyaan, “dengan demikian, maka aku tidak akan sempat mengatakan
keadaan yang sedang dihadapi oleh Mahisa Agni. Semua kata-kataku pasti
tidak akan dipercaya”.
Dengan demikian, maka dada Empu Sada itu pun segera. diamuk oleh kebimbangan, kebingungan dan kecemasan.
Tetapi sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang luas di dalam dunianya yang penuh dengan pergulatan,
maka tanpa dikehendakinya sendiri, Empu Sada mencoba menilai dirinya,
apakah ia akan mampu meloncati dinding halaman yang tinggi itu?
( bersambung ke jilid 24 )
No comments:
Write comments