Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia-pun sependapat dengan kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan oleh
Witantra dan Sumekar, bahwa Mahisa Agni-pun sedang terancam pula. Tanpa
Mahisa Agni, Anusapati sama sekali bukan lawan yang berarti bagi Sri
Rajasa.
Karena itu, maka mereka-pun menjadi
semakin gelisah. Kuda mereka dipacunya semakin cepat. Namun Witantra
kemudian berkata, “Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa malam ini.
Mereka baru akan mencapai Kediri lewat pagi hari.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ia-pun sadar, bahwa perjalanan ke Kediri bukan jarak yang pendek,
meskipun hampir setiap pekan ia hilir mudik berganti-ganti dengan
Witantra dan Kuda Sempana.
Oleh kesadaran itu, maka hati mereka-pun
menjadi agak tenteram. Mereka dapat mengikuti jejak kuda-kuda yang
mendahuluinya dengan agak tenang. Bahkan kemudian mereka-pun
beristirahat karena kuda-kuda mereka-pun agaknya menjadi lelah.
Mereka memasuki Kediri dihari berikutnya.
Tidak lagi berpacu secepat-cepatnya. Bahkan mereka berhasil menyelusur
jejak kuda-kuda yang mereka ikuti sampai masuk kedalam pintu gerbang
kota, justru karena mereka menunggu matahari mulai terbit. Derap kaki
kuda yang masih tampak jelas di atas tanah berembun menunjukkan kepada
mereka, kemana kuda-kuda itu pergi.
Witantra tidak memerlukan lagi kelanjutan
jejak itu. Kaki para pejalan dan pedati yang hilir mudik setelah
matahari semakin tinggi telah menghapus jejak kaki kuda itu. Tetapi
Witantra sudah mendapat kepastian, mereka berada di dalam kota Kediri.
Dengan demikian maka Witantra menganggap bahwa bahaya yang sebenarnya, ternyata berada di istana wakil Mahkota di Kediri.
“Apakah yang akan mereka lakukan?” bertanya Mahendra.
“Kita belum dapat menebak. Tetapi Mahisa
Agni harus segera mengetahuinya. Aku kira mereka tidak akan menyiapkan
waktu sehingga apabila malam tiba, Mahisa Agni harus siap menghadapi
segala kemungkinan.”
Demikianlah, mereka-pun segera pergi ke
istana Mahisa Agni dengan cara yang khusus, agar tidak menimbulkan
kecurigaan pada para pengawal istana itu.
Seperti biasanya mereka menitipkan
kuda-kuda mereka pada orang yang dapat mereka percaya. Kemudian mereka
pergi ke istana wakil Mahkota untuk mencari seorang juru taman yang
sebenarnya adalah Kuda Sempana.
“Kalian siapa?” bertanya para prajurit yang bertugas, diregol.
“Kami adalah saudara-saudaranya yang
datang dari desa, dari pedukuhan.” Witantra menjawab. Lalu, “bukankah
kami berdua pernah berkunjung juga kemari?”
Prajurit-prajurit itu ragu-ragu sejenak,
namun kemudian keduanya-pun dibiarkannya masuk menemui juru taman di
petamanan belakang.”
“Lebih baik masuk di malam hari,” desis Mahendra.
Witantra tidak menjawab, tetapi ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dimalam hari mereka memang tidak perlu
menjawab pertanyaan-pertanyaan para penjaga, karena mereka selalu
meloncati pagar batu yang tinggi.
Mahisa Agni yang kebetulan ada di pendapa
melihat kehadiran keduanya. Tetapi ia sama sekali tidak menegurnya,
bahkan acuh tak acuh. Namun sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun segera
pergi ke petamanan di kebun belakang untuk meneliti tanam-tanaman yang
dipesannya kepada juru tamannya. Karena Mahisa Agni adalah orang yang
senang sekali pada tanaman-tanaman, sehingga juru tamannya tidak pernah
sempat beringsut dari petamanan, kecuali jika ia mohon untuk
beristirahat dua tiga hari, kembali ke kampung halaman.
“O, kau mempunyai tamu?” bertanya Mahisa
Agni kepada juru tamannya yang sedang duduk-duduk di bawah sebatang
pohon kantil bersama Witantra dan Mahendra.
“Ya tuan. Keduanya adalah saudaraku.” jawab Kuda Sempana.
Beberapa orang pelayan yang melihat mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Mahisa Agni memang sering berada di petamanan itu.
Sejenak kemudian, sambil berdiri Mahisa Agni mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Agni
mendengarkan keterangan itu, serta beberapa pendapat Sumekar tentang
orang-orang yang dicurigainya itu.
“Aku sependapat Mahisa Agni, bahwa bahaya
itu dapat berada di istana Singasari, tetapi juga dapat disini. Semalam
suntuk aku sudah menempuh jarak yang jauh. Baru tengah hari aku
berhasil menemuimu. Tetapi aku kira, seandainya benar dugaan kami, maka
semuanya akan berlangsung di malam hari.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sudah minta Sumekar untuk selalu
dekat dengan Putera Mahkota dalam keadaan serupa ini. Untunglah bahwa
Adinda Putera Mahkota, Mahisa Wonga teleng sangat dekat dengan
kakandanya, dan sedikit banyak sudah mampu untuk membantunya jika
keadaan memaksa.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sejenak ia merenung. Maka katanya kemudian, “Aku dapat mengerti. Memang
bahaya itu dapat berada di sini, karena Sri Rajasa pasti yakin bahwa
akulah sumber dari kegagalannya. Jika orang itu harus membinasakan
Kesatria Putih, maka Kesatria Putih pasti tidak diikat oleh Sri Rajasa
di istana dengan segala macam alasan.”
“Tetapi apakah gunanya? Kenapa Kesatria Putih tidak dibiarkannya saja?”
“Mungkin Kesatria Putih menjumpai
orang-orang itu dan mengikutinya. Jika ia sampai ke istana ini, maka
usaha untuk membinasakan aku akan terganggu karena di sini ada kekuatan
lain yang dapat membantu aku.”
Mahendra mengangguk-angguk sambil
berdesis, “Mungkin kau benar. Jika demikian maka Sri Rajasa akan
bertindak selangkah demi selangkah. Kau dahulu, baru Putera Mahkota.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Katanya kemudian, “Jika demikian aku memerlukan kalian.
Aku tidak akan dapat mengatasi mereka seorang diri, karena Sri Rajasa
yang sudah menjajagi kemampuannya mempercayai orang itu untuk melakukan
tugasnya.”
Witantra dan Mahendra menjawab hampir
berbareng, “Aku akan bermalam disini. Tidak hanya satu malam tetapi
beberapa malam. Bukankah Kesatria Putih tidak dapat berbuat apa-apa
untuk beberapa saat? Pada saatnya aku akan pergi ke Singasari untuk
menghubungi Sumekar, apakah ikatan yang dikenakan kepada Putera Mahkota
masih ada atau sudah dihapuskan, sehingga Kesatria Putih dapat bertindak
kembali.”
“Terima kasih. Mudah-mudahan kita dapat
mengatasi setiap kesulitan. Dan mudah-mudahan Putera Mahkota juga tidak
terkena bencana apa-pun selama kita berkumpul di sini.”
“Aku percaya kepada Sumekar.”
Mahisa Agni-pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sejenak kemudian maka ditinggalkannya juru taman dengan
kedua tamunya itu duduk di bawah pohon kantil.
Sejenak Mahisa Agni berpaling. Sesuatu
bergejolak di dalam dadanya. Tiga diantara mereka berempat adalah
orang-orang yang pernah tersentuh hatinya oleh seorang gadis Panawijen
yang bernama Ken Dedes. Mahendra pernah melakukan perkelahian untuk
memperebutkan Ken Dedes melawan Mahisa Agni yang menyebut dirinya
Wiraprana. Kemudian Kuda Sempana bahkan menjadi hampir gila karenanya.
Dan Mahisa Agni sendiri yang menanam perasaannya dalam-dalam dilubuk
hatinya. Kini mereka yang gagal itu telah berbuat sejauh-jauh dapat
mereka lakukan untuk anak Ken Dedes itu. Untuk Anusapati.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia
harus menemui mereka sekali lagi untuk mengatur diri menghadapi setiap
kemungkinan. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai waktu menjelang
senja nanti.
Demikianlah Mahisa Agni masih sempat
merenungi keterangan yang didapatnya dari Witantra dan Mahendra. Namun
ia tidak menemukan kesimpulan lain bahwa bahaya memang sedang
mengancamnya. Ternyata Sri Rajasa sudah tidak mempunyai jalan lain untuk
mengatasi kesulitan, bahwa Mahisa Agni telah dengan hampir
berterus-terang menentukan rencana yang telah disusunnya.
Mahisa Asni menarik nafas dalam-dalam.
Kini di Singasari seakan-akan sedang dibakar oleh sebuah peperangan yang
aneh. Parang yang tidak diumumkan dan tidak dilihat oleh orang banyak.
Perang yang terjadi di antara dua istana tanpa menyeret
prajurit-prajurit dan bahkan para perwira dan panglimanya.
Namun perang yang demikian memerlukan
kecermatan perhitungan. Dan Mahisa Agni-pun kini telah bertekad untuk
melanjutkan perang yang demikian itu sampai ia berhasil memenangkannya.
Ia tidak bermaksud membunuh Sri Rajasa. Tujuannya semata-mata agar
Mahkota tidak jatuh ketangan keturunan Ken Umang. Jika ia berhasil, maka
perjuangan itu telah dimenangkannya. Tetapi ternyata bahwa Sri Rajasa
menjadi semakin lama semakin kasar. Dan sampailah kini usahanya untuk
melakukan tindakan kekerasan atasnya.
“Tetapi, semuanya baru sekedar dugaan,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “namun demikian aku harus berhati-hati.”
Menjelang malam Mahisa Agni sempat
menemui Witantra dan kedua orang kawannya yang lain. Mereka telah
menyusun rencana untuk menghadapi setiap kemungkinan jika benar-benar
ada bahaya yang memasuki istana ini.
“Aku akan mengawasi dinding-dinding di
belakang,” berkata Kuda Sempana, “karena hanya akulah yang dapat
melakukannya di luar kecurigaan para prajurit yang bertugas.”
“Ya, dan orang-orang itu-pun pasti tidak
akan memasuki halaman ini dari depan. Meskipun mereka mendapat tugas
dari Sri Rajasa, tetapi tugas yang mereka lakukan adalah tugas rahasia.
Tugas yang tidak diketahui oleh pimpinan pemerintahan Singasari yang
lain. Karena itu, mereka pasti akan memasuki halaman ini tidak melalui
pintu yang sewajarnya.”
“Witantra dan Mahendra akan berada di
dalam bilikku,” berkata Kuda Sampana, “jika mereka benar-benar datang,
aku akan memberikan isyarat.”
Witantra tersenyum. Katanya, “Ada juga
gunanya kau bekerja menjadi juru taman. Aku juga ingin menempatkan
diriku semakin dekat dengan istana ini, dan bahkan kelak istana
Singasari.”
Demikianlah, maka ketika malam datang,
Mahisa Agni sudah bersiaga di dalam biliknya. Ia sadar, bahwa yang
dihadapinya kini adalah orang-orang pilihan, yang telah dijajagi sendiri
langsung oleh Sri Rajasa.
Di kebun belakang Kuda Sempana masih
sibuk dengan beberapa macam tanaman. Ketika seorang prajurit lewat,
dilihatnya juru taman itu masih sibuk, maka ia-pun bertanya, “Apa yang
kau kerjakan disitu?”
Kuda Sempana mengangkat wajahnya. Kemudian jawabnya, “Aku harus menanam bibit baru ini.”
“Kenapa tidak besok?”
“O, bibit ini hanya dapat ditanam di
malam hari,” jawab Kuda Sempana, “jika ditanam di pagi apalagi siang
hari, bibit ini tidak akan tumbuh.”
Prajurit itu tidak menghiraukannya lagi. Ia-pun segera kembali ke gardunya.
Demikianlah malam semakin lama menjadi
semakin dalam. Karena di daerah Kediri pada umumnya jarang sekali
tenjadi keributan, maka para prajurit menganggapnya bahwa daerah ini
adalah daerah yang aman. Dengan demikian maka mereka-pun tidak terlalu
tegang menjalankan tugas mereka. Apalagi di halaman istana ini. Selama
mereka bertugas, tidak pernah terjadi sesuatu. Bukan saja sepekan ini,
tetapi setiap kali mereka mendapat giliran bertugas di istana ini, tidak
pernah terjadi apa-pun juga.
Malam hari-pun para prajurit sama sekali
tidak menjadi curiga. Mahisa Agni dengan sengaja ingin menyelesaikan
persoalannya sendiri tanpa menyeret prajurit Singasari dalam
pertempuran. Itulah sebabnya ia sama sekali tidak memberitahukan
kemungkinan yang dapat terjadi. Ia percaya kepada diri sendiri dan
kawan-kawannya yang kebetulan ada di dalam halaman istana itu pula.
Kuda Sempana yang berada di kebun
belakang ternyata tidak meninggalkan tempatnya. Ia bahkan mencari tempat
yang terlindung dan duduk di dalam kegelapan. Namun dari tempatnya ia
dapat mengawasi sebagian besar dari pagar batu di bagian belakang.
Menurut perhitungannya, jalan itulah yang akan dilalui oleh para
penjahat itu, karena bagian belakanglah yang agaknya paling sepi dari
penjagaan. Di sisi halaman, kemungkinan pengamatan masih cukup banyak
dari para peronda. Tetapi di bagian belakang, hampir tidak pernah
disentuhnya.
Sampai tengah malam Kuda Sempana tidak
melihat sesuatu. Karena itu, hampir saja ia menjadi jemu. Hampir saja ia
berdiri dan meninggalkan tempatnya.
“Mereka tidak datang malam ini,” ia
bergumam, “lebih baik tidur dibilik daripada dikeroyok nyamuk disini.”
Namun baru saja ia bergeser, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar
sesuatu yang meskipun sangat lembut, namun telah menumbuhkan kecurigaan
padanya.
“Mereka pasti sudah berada di luar dinding ini,” berkata Kuda Sempana kepada diri sendiri.
Karena itu, maka Kuda Sempana-pun segera
mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Jika mereka benar-benar datang, maka ia-pun harus segera memberikan
isyarat kepada Witantra dan Mahendra yang berada di dalam biliknya.
Sejenak Kuda Sempana masih harus menunggu untuk menyaksikan dirinya, bahwa yang datang itu adalah yang ditunggunya.
Sesaat kemudian, dada Kuda Sempana
menjadi berdebar-debar. Ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di atas
dinding batu yang tinggi. Dan ketajaman matanya segera mengetahui, bahwa
yang bergerak-gerak itu adalah sesosok tubuh manusia yang berbaring
menelungkup pada permukaan pagar batu.
“Tentu orang yang berpengalaman,” berkata Kuda Sempana.
Tetapi Kuda Sempana tidak segera beranjak
dari tempatnya. Ia masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh orang di
atas dinding batu itu.
Ternyata orang itu untuk beberapa lamanya
tidak bergerak sama sekali. Hanya orang yang memperhatikan dengan
saksama sajalah yang dapat melihat, bahwa di atas dinding batu itu ada
seseorang yang berbaring menelungkup, hampir serata dinding batu itu
sendiri.
“Orang itu tentu sedang mengamati
keadaan,” berkata Kuda Sempana pula di dalam hatinya. Namun ia-pun kini
sudah yakin bahwa orang itu adalah salah seorang dari yang dikatakan
oleh Witantra.
“Mereka benar-benar tidak membuang
waktu,” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya, “baru siang tadi ia
memasuki kota, dan malam ini mereka sudah bertindak.”
Karena itu, maka Kuda Sempana-pun segera
menarik seutas tali yang dihubungkannya dengan biliknya. Agar tidak
mengejutkan orang-orang lain yang tinggal di sekitar gubuknya, maka Kuda
Sempana mengikatkan tali itu pada daun pintu biliknya, sehingga suara
derit yang timbul adalah derit pintu itu, seperti derit yang sudah biasa
mereka dengar.
Witantra dan Mahendra-pun ternyata hampir
menjadi jemu menunggu. Namun mereka masih juga belum tertidur. Meskipun
Mahendra sudah berbaring di amben bambu satu-satunya milik Kuda Sempana
namun ia masih juga mendengar pintu berderit.
“Ha, isyarat itu,” desisnya.
Witantra-pun segera mendekati pintu dan
menarik tali itu pula, untuk memberikan isyarat kepada Kuda Sempana,
bahwa Witantra telah menerima pemberitahuan tentang kedatangan orang
itu.
Ketika tali yang digenggamnya bergerak,
Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Witantra pasti akan segera
datang, dan pasti dengan sangat berhati-hati.
“Mudah-mudahan tali ini benar-benar
digerakkan oleh Witantra,” berkata Kuda Sempana di dalam hati, “bukan
sekedar dilanggar kucing atau kaki tetangga yang kebetulan pergi
kepakiwan tanpa mengetahui bahwa ada tali yang terentang ini.”
Dalam pada itu, Witantra dan Mahendra-pun
segera mengemasi dirinya. Mereka tidak akan sekedar mengintip seorang
pencuri ayam di kebun belakang. Tetapi yang akan mereka intai malam itu
adalah orang-orang yang pernah dijajagi kemampuannya oleh Sri Rajasa
sendiri.
Karena itu, maka mereka-pun telah mengenakan pakaiannya sebaik-baiknya, dengan senjata dilambung dan kesiapan yang mantap.
Setelah menutup pintu biliknya kembali,
maka mereka berdua-pun segera merayap meninggalkan bilik itu, pergi ke
tempat yang sudah dijanjikan. Hati-hati sekali, karena mereka yakin,
bahwa Kuda Sempana sudah melihat orang yang mereka tunggu.
Tanpa menimbulkan suara, Witantra
berhasil mencapai Kuda Sempana. Dan mereka bertiga-pun kemudian
menyaksikan orang yang berbaring menelungkup itu mulai bergerak-gerak.
Kuda Sempana memperhatikan orang itu
semakin tajam. Kini orang itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya
yang masih ada di luar.
Sejenak kemudian orang itu sendiri telah
melayang turun. Tubuhnya seakan-akan terlalu ringan sehingga ketika
kakinya menyentuh tanah, sama sekali tidak menimbulkan suara apapun.
Hanya karena Kuda Sempana sempat melihat mereka dahulu sajalah, maka ia
dapat mengikuti gerak-geriknya.
Demikian orang itu berjejak di tanah,
ia-pun segera beringsut kedalam gelap yang pekat, dibawah bayangan
rimbunnya petamanan dan pohon-pohon perdu.
Namun sejenak kemudian, orang kedua-pun
telah meloncat masuk pula. Dengan sebuah isyarat desis yang lembut,
orang kedua itu-pun segera bersembunyi pula.
Demikianlah yang mereka lakukan
berturut-turut. Seperti yang dikatakan oleh Witantra semula, orang itu
sejumlah lima atau enam orang. Dan yang malam itu benar-benar memasuki
halaman adalah sejumlah lima orang.
Kuda Sempana, Witantra dan Mahendra sama
sekali tidak sempat berbicara agar suaranya tidak di dengar oleh salah
seorang dari mereka, karena Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana
menyadari bahwa mereka pasti orang-orang yang berilmu tinggi. Pasti juga
pendengaran dan pengamatannya tajam pula.
Karena itu ketiganya sama sekali tidak
berbicara apapun. Mereka hanya mengikuti saja dengan tatapan matanya
kemana ke lima orang itu pergi.
Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya melihat arah yang tepat yang dilalui oleh orang-orang itu.
Mereka langsung melintasi kebun belakang yang gelap menuju ke serambi
istana.
“Tentu ada yang memberikan beberapa
petunjuk tentang halaman istana ini,” baru kemudian Kuda Sempana berani
berdesis perlahan sekali.
Witantra menganggukkan kepalanya,
“Mungkin penasehat Sri Rajasa itu sendiri. Mereka tentu sudah mempunyai
gambaran yang lengkap dari istana ini. Juga tentang bilik-bilik di dalam
istana, dan dimana Mahisa Agni tidur.”
“Marilah kita ikuti,” desis Mahendra, “mereka sudah agak jauh.”
Ketiganya-pun kemudian merayap pula
mengikuti orang-orang yang mencurigakan itu. Dari jarak yang agak jauh,
mereki sempat menghitung, berapa orang jumlah mereka yang memasuki
istana itu.
“Lima orang,” desis Mahendra.
“Sst,” sahut Witantra, “mereka mempunyai ketajaman panca indera.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika kelima orang yang diikuti itu merayap maju, mereka bertiga-pun maju pula.
Ternyata bahwa kelima orang itu masih
harus berunding sejenak sebelum mereka mendekati serambi belakang.
Agaknya mereka sedang membagi pekerjaan. Diantara mereka harus ada yang
menunggu di luar istana, sedang yang lain akan memasukinya dan mencari
bilik Mahisa Agni.
“Ternyata Sri Rajasa benar-benar sudah mulai,” desis Mahendra yang agaknya paling banyak berbicara.
“Sst,” sekali lagi Witantra berdesis.
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi
rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera meloncat
menerkam orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Namun ia masih harus
menahan diri.
“Jadi kita harus berkelahi tanpa dilihat orang,” Mahendra bertanya.
“Sst,” Witantra harus berdesis pula, “kau terlalu banyak bicara. Tunggu sajalah.”
Mahendra terdiam. Kepalanya
terangguk-angguk meskipun ia masih bertanya, “Bagaimana dengan kedua
orang yang mengawasi diluar itu?”
Witantra mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Sejenak kemudian mereka melihat
orang-orang yang memasuki halaman istana itu telah melekat dinding
serambi. Dengan sangat hati-hati mereka memperhatikan keadaan di
sekelilingnya. Namun bagi mereka, halaman itu terlampau sepi. Tidak ada
prajurit yang kebetulan meronda di halaman belakang.
Dengan isyarat mereka-pun kemudian saling mendekat dan dengan penuh kewaspadaan mereka mulai berusaha membuka pintu.
Witantra dan kawan-kawannya menjadi
tegang. Tiga orang dari mereka sibuk dengan pintu serambi belakang,
sedang dua orang lainnya mengawasi keadaan disekitarnya.
Ternyata orang-orang itu adalah
orang-orang yang berpengalaman. Hampir tanpa menimbulkan suara, mereka
berhasil membuka pintu kayu serambi belakang.
“Mereka memutuskan tali-tali papan disebelah menyebelah pintu,” desis Mahendra pula.
Witantra tidak menyahut. Namun dengan tajamnya ia mengawasi, apa yang dilakukan oleh orang-orang itu.
Sejenak kemudian, maka pintu-pun sudah
terbuka. Ternyata ruangan di serambi itu hanya samar-samar saja
diterangi oleh lampu minyak yang seakan-akan hampir padam.
Dengan hati-hati tiga diantara kelima
orang itu memasuki ruangan itu. Langkah mereka benar-benar tidak
menimbulkan desir sama sekali, seakan-akan mereka tidak berpijak di atas
tanah.
Demikianlah keadaan menjadi hening
sejenak. Ketiga orang yang ada di dalam itu sedang mencari jalan untuk
menuju kebilik Mahisa Agni.
“Mereka menutup pintu itu kembali,” bisik
Mahendra. Witantra tidak menyahut. Ia-pun melihat pintu itu tertutup
kembali dan dua orang yang ada di luar berjongkok di belakang tanaman
perdu di sebelah menyebelah pintu itu.
“Apa yang kita lakukan?” bertanya Mahendra, “menyerbu masuk saja?”
“Tunggu,” desis Witantra, “Mahisa Agni akan memberikan Isyarat.”
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ia-pun yakin, bahwa Mahisa Agni yang sudah bersiaga itu pasti sudah
mengetahui kehadiran orang-orang itu. Namun demikian Mahendra masih juga
berbisik, “Mudah-mudahan Mahisa Agni tidak tertidur.”
“Sst,” Witantra berdesis pula.
Kuda Sempana lah yang sama sekali tidak
berbicara. Tetapi dengan tajamnya ia mengamati setiap gerak dari
orang-orang yang tidak mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui
maksudnya itu.
Untuk beberapa saat mereka tidak
mendengar apa-apa. Agaknya orang-orang yang mencari bilik Mahisa Agni
itu masih belum dapat menemukannya.
Tetapi orang yang sedang mengintai itu
terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah perlahan-lahan dari sudut
istana, seakan-akan tidak menghiraukan apa-pun juga. Sambil
menyilangkan tangannya di dada, ia berjalan dengan kepala tunduk.
“He, bukankah itu Mahisa Agni,” bisik Mahendra.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Mahisa Agni tidak berada di dalam istana itu.
“Apakah ia tidak tahu bahwa ada dua orang yang bersembunyi di balik batang perdu itu.”
Witantra tidak menyahut. Namun mereka
bertiga menahan nafas ketika mereka melihat Mahisa Agni berhenti
beberapa langkah di depan pintu.
Adalah mengejutkan sekali bahwa tiba-tiba
saja Mahisa Agni membungkukkan badannya sambil berkata, “Aku
persilahkan kalian masuk. Bukankah udara sangat dingin di luar?”
Witantra dan kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Sambil tersenyum Mahendra berbisik, “Gila, juga Mahisa Agni itu.”
Ternyata sapa Mahisa Agni itu telah
menghentakkan jantung kedua orang yang bersembunyi dibalik perdu itu.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa ada orang yang telah melihatnya.
Karena itu, maka untuk beberapa saat keduanya justru bagaikan membeku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Karena keduanya sama sekali tidak
menyahut, maka Mahisa Agni-pun mengulanginya, “Ki Sanak, marilah, jangan
duduk disitu. Apakah yang sedang kalian tunggu?”
Kedua orang yang bersembunyi itu-pun
segera menyadari keadaan mereka. Mereka harus mengawasi keadaan di luar
selama ketiga kawan-kawannya berada didalam. Hanya atas isyarat mereka
sajalah keduanya akan masuk.
Dengan demikian maka kedatangan orang
yang tidak mereka sangka-sangka telah melihat mereka berdua itu,
menimbulkan persoalan yang tiba-tiba. Karena itulah, mereka menjadi
kebingungan sejenak.
Namun adalah tugas mereka untuk
mengamankan keadaan ketiga kawannya yang ada di dalam. Siapa-pun orang
itu, namun orang itu tidak boleh mengetahui atau mencurigai bahwa telah
hadir orang-orang yang tidak dikenal di halaman istana itu.
Setelah merenungi Mahisa Agni sejenak, maka barulah salah seorang dari mereka bertanya, “Siapa kau?”
“Aku hamba istana ini. Siapakah yang kalian tunggu?” sahut Mahisa Agni yang kemudian bertanya kembali kepada, kedua orang itu.
“Tidak ada yang aku tunggu.”
“O,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya, “tetapi siapakah kalian berdua? Agaknya aku belum pernah
melihat meskipun aku sudah lama bekerja di istana ini.”
“Kami adalah prajurit peronda.”
“O,” Mahisa Agni mengangguk-angguk.
Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “tetapi kenapa berada disitu?
Biasanya para peronda berada digardunya. Karena istana ini selamanya
tidak pernah diganggu oleh kejahatan macam apapun, maka biasanya mereka
tetap berada digardunya. Kecuali jika ada isyarat dari para hamba yang
tinggal di bagian belakang halaman ini. Kentongan misalnya. Atau
teriakan yang mencurigakan.”
Keduanya terdiam sejenak. Namun kemudian
salah seorang menjawab, “Kami harus tetap berwaspada. Kami harus
berhati-hati setiap saat.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi aku belum pernah melihat kalian.”
“Baru saja aku ditugaskan di istana ini. Baru hari ini aku tiba dari Singasari.”
“Jadi kalian prajurit-prajurit Singasari?”
“Ya.”
“Tetapi pakaian kalian bukan pakaian
prajurit Singasari yang bertugas di Kediri. Aku mengenal pakaian mereka
dengan baik, karena aku setiap hari bergaul dengan mereka.”
Jawaban itu membuat keduanya menjadi
semakin bingung. Namun mereka tetap menyadari, bahwa mereka harus
bertindak jika orang itu membahayakan kawan-kawannya yang ada di dalam
istana. Karena itu, maka salah seorang dari keduanya berkata, “Marilah.
Aku tunjukkan kepadamu bahwa aku benar-benar seorang prajurit Singasari.
Marilah, kita masuk kedalam, supaya terang bagimu siapa sebenarnya kami
berdua.”
Mahisa Agni memandang keduanya berganti-ganti lalu, “Aku sudah mengenal dengan baik. Tidak di dalam, disini-pun aku melihat.”
“Didalam lebih jelas bagimu ciri-ciri keprajuritan.”
“Aku tidak berani. Tanpa ijin tuanku
Mahisa Agni, aku tidak berani masuk, karena istana ini adalah istana
wakil Mahkota di Kediri.”
“Aku yang membawamu masuk. Jika ada orang
yang marah kepadamu meskipun itu Mahisa Agni, akulah yang bertanggung
jawab. Bahkan aku ingin kau menunjukkan dimana tuanku Mahisa Agni itu
tidur.”
“Ah, aku tidak tahu dan aku tidak berani.”
“Jangan membantah. Cepat, masuk.”
Tetapi Mahisa Agni surut selangkah sambil berkata, “Aku tidak mau.”
“Cepat, sebelum aku bertindak.”
“Aku akan berteriak.”
“Jika kau berani berteriak, kau akan mati.”
“Kenapa? Aku tidak bersalah. Baiklah aku pergi saja jika kalian tidak senang melihat kehadiranku disini.”
“Tidak, tidak.”
Mahisa Agni masih melangkah beberapa
langkah surut, sementara itu Mahendra berkali-kali berdesis, “Mahisa
Agni memang gila. Ia mempunyai kebiasaan aneh. Ia sangat pandai
berpura-pura. Bukankah aku pernah ditipunya ketika ia mengaku bernama
Wiraprana. Kenangan itu pahit, tetapi menggelikan. Kadang-kadang aku
tertawa sendiri. Bahkan orang seganas Kebo Sindet-pun dapat ditipunya.”
“Sst,” desis Witantra.
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun terdiam.
Dalam pada itu, ketiga orang yang berada
di dalam istana Mahisa Agni, mendengar juga ribut-ribut di luar. Dengan
marahnya salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya sambil
bertanya, “He, kenapa ribut?”
“Orang itu.”
“Siapa?”
“Abdi istana ini. Ia melihat kami berdua. Aku Ingin membawanya masuk agar ia tidak mengganggu.”
“Bunuh sajalah. Cepat, agar tidak menimbulkan keributan lagi.”
“Jangan, jangan bunuh aku,” desis Mahisa Agni.
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka harus membunuh orang itu sebelum sempat berteriak.
Karena itu, maka salah seorang dari
mereka segera menerkam Mahisa Agni. Ia ingin mencekiknya sampai mati
tanpa mempergunakan senjata apa-pun juga.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah
mendengar dari Witantra bahwa Sri Rajasa sendiri telah memerlukan
melakukan penjajagan atas salah satu dari orang-orang itu, tidak dapat
menanggapi serangan itu dengan seenaknya. Karena itu, ketika tangan
orang-orang itu terjulur kelehernya, tiba-tiba saja Mahisa Agni mencoba
menangkapnya.
Ternyata tangkapan tangan Mahisa Agni
pada pergelangan tangan orang itu sangat mengejutkannya. Dengan serta
merta ia menghentakkan diri dan merenggut tangannya yang digenggam oleh
Mahisa Agni itu.
Sejenak Mahisa Agni mencoba menahan
tangan itu, namun sejenak kemudian tangan itu dilepaskannya. Ia tidak
ingin mematahkan tangan orang itu, karena ia masih harus memancing
ketiga orang yang sudah ada di dalam istana itu keluar. Namun dengan
demikian ia telah berhasil menjajagi kekuatan dan kemampuan orang itu,
meskipun ia sadar, bahwa orang itu sama sekali tidak bersikap menghadapi
kemungkinan seperti yang bakal terjadi.
Yang terjadi itu memang tidak terduga
sama sekali. Orang itu tidak menyangka bahwa yang menyebut dirinya abdi
dari istana wakil Mahkota di Kediri itu dapat berbuat secepat yang
dilakukannya itu, bahkan berhasil menangkap tangannya meskipun tangan
itu dapat direnggutnya.
Karena itu, maka orang yang tidak
berhasil mencekik leher Mahisa Agni itu segera menyadari, bahwa ia tidak
berhadapan dengan orang yang terlalu lemah, seperti juga Mahisa Agni
yang menduga, bahwa orang itu pasti bukan orang yang telah dijajagi
kemampuannya oleh Sri Rajasa.
“He, kenapa kau berbuat gila?” orang yang
menjengukkan kepalanya berdesis, “bunuh saja. Kenapa kau masih sempat
berbuat gila dalam keadaan seperti ini.”
Kawannya yang gagal mencekik Mahisa Agni
menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih yakin bahwa ia akan dapat
membunuh abdi istana itu. Beberapa langkah ia maju mendekati Mahisi
Agni, dan sejenak kemudian dengan tiba-tiba saja ia menyerang langsung
ke arah dada Mahisa Agni.
Sekali lagi Mahisa Agni menghindar. Kali
ini ia menangkap lengan orang itu dan memilinnya. Kemudian dengan
cepatnya Mahisa Agni menangkap pula kakinya dan mengangkat orang itu di
atas kepalanya. Hampir tidak masuk akal, bahwa Mahisa Agni telah
melemparkan orang itu kearah kawannya yang masih menjengukkan kepalanya.
Namun ternyata orang itu cukup cekatan,
sehingga sambil menggeliat ia dapat mengatur dirinya dan jatuh di atas
kedua kakinya tepat sejengkal di depan pintu.
Tetapi apa yang terjadi itu benar-benar
telah membangunkan orang-orang yang memasuki istana dari halaman
belakang itu. Kini mereka benar-benar menyadari dengan siapa ia
berhadapan. Karena itu, maka ketiga orang yang melihat Mahisa Agni
berdiri tegak di dalam kegelapan itu-pun segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Orang itu pasti bukan sekedar seorang abdi dari
istana ini.
Orang yang semula hanya menjengukkan
kepalanya saja itulah yang kemudian berdiri dihadapan Mahisa Agni sambil
menggeram, “Siapa sebenarnya kau he?”
“Aku abdi dari istana ini. Akulah yang
harus bertanya kepadamu, siapakah kau dan kawan-kawanmu itu. Dan kenapa
kau memasuki halaman istana di bagian belakang ini dimalam hari? Kau
pasti bukan salah seorang dari prajurit Singasari yang sedang bertugas
disini.”
“Persetan. Aku tidak peduli siapa kau dan aku-pun tidak akan menyebutkan siapa aku dan kepentinganku. Tetapi kau harus mati.”
“Tidak seorang-pun yang akan dengan suka
rela menyerahkan dirinya untuk mati. Aku juga. Karena itu, kalau kau
tidak mau mengurungkan niatmu, kita pasti akan berkelahi. Kau tentu tahu
akibatnya jika aku memberikan isyarat kepada para prajurit yang sedang
bertugas di regol depan.”
“Persetan,” orang itu tidak menyahut lagi. Dengan serta merta ia menarik pedangnya langsung menahas leher Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agni benar-benar sudah
bersiaga. Karena itu, maka dengan tangkasnya menghindarkan dirinya dari
sambaran pedang itu.
Sekali lagi lawannya terkejut. Gerakan
itu terlampau cepat. Namun ternyata bahwa ia sama sekali tidak berhasil
mengenai lawannya. Tetapi ia tidak membiarkan lawarnya itu lolos. Dengan
tangkasnya ia memburu dan sekali lagi mengayunkan pedangnya kearah
lambung. Namun, sekali lagi lawannya itu berhasil menghindar dan
meloncat beberapa langkah, sehingga serangan itu sama sekali tidak
mengenai sasarannya.
Orang itu menjadi gelisah. Jika ia tidak
berhasil dengan cepat membinasakan orang yang menyebut dirinya abdi
istana wakil Mahkota, dan orang itu sempat memberikan isyarat, maka
pekerjaannya akan bertambah sulit, meskipun mereka berlima tidak akan
gentar menghadapi sepuluh orang penjaga sekalipun. Tetapi jika di antara
yang sepuluh itu terdapat seorang Mahisa Agni, maka mereka harus
memperhitungkan keadaan itu sebaiknya.
Dengan demikian, maka yang harus
dikerjakannya adalah membunuh orang itu bagaimana-pun juga caranya. Maka
sejenak kemudian terdengar aba-abanya, “Kepung orang ini.”
Demikianlah maka ketiga orang itu-pun
segera berloncatan mengepung Mahisa Agni. Kini mereka bertiga telah
bersenjata telanjang dan siap menyergap orang yang menyebut dirinya abdi
istana wakil Mahkota itu.
Namun keributan itu agaknya telah
mengganggu orang yang ada didalam istana. Sejenak kemudian keduanya
telah berloncatan keluar. Salah seorang dari mereka berkata, “Apa yang
kalian kerjakan.”
“Membunuh orang ini,” sahut orang yang pertama-tama keluar.
“Siapakah orang itu.”
“Aku tidak tahu. Tetapi agaknya ia orang gila.”
“Biarkan kedua anak-anak itu membunuhnya. Cepat dan jangan ribut.”
“Mereka tidak akan berhasil. Aku-pun tidak.”
“He,” keduanya terkejut. “Apakah kau mengigau.”
“Orang ini seperti setan.”
“Kau gagal membunuhnya?”
“Ya.”
Tiba-tiba orang yang keluar paling akhir
itu menggeram. Dengan marahnya ia berkata, “Minggir. Aku ingin melihat,
siapakah orang itu sebenarnya.”
Beberapa langkah orang itu maju mendekati
Mahisa Agni. Diamat-amatinya Mahisa Agni dari ujung kaki sampai keujung
rambutnya. Dan sejenak kemudian terdengar suara tertawanya lirih,
“Tentu. Tentu tikus-tikus ini tidak akan dapat membunuhmu. Tenyata kami
bagimu adalah orang-orang yang paling bodoh yang pernah kau temui. Kami
mencarimu di dalam istanamu yang megah. Ternyata kau berada di luar.
Nah, bagiku adalah kebetulan sekali. Kita mendapat kesempatan untuk
mengenal satu sama lain.”
Mahisa Agni tidak menjawab, tetapi
diamatinya orang itu dengan tajamnya. Agaknya orang itu sudah mendapat
pesan tentang ciri-ciri orang yang bernama Mahisa Agni.
“Kenapa kau diam saja? Bukankah kau yang bernama Mahisa Agni?”
“Mahisa Agni,” ketiga orang yang telah mengepungnya itu terkejut. “Jadi orang ini Mahisa Agni?”
“Apakah ia tidak mengaku bahwa dirinyalah Mahisa Agni?”
“Ia menyebut dirinya abdi istana wakil Mahkota ini.”
“Nah, aku menjadi semakin yakin. Menurut
ceritera Sri Rajasa, orang yang bernama Kebo Sindet-pun pernah
ditipunya, dan kemudian dibunuhnya. Tetapi ia tidak dapat menipu aku dan
tidak dapat membunuh aku, karena aku bukan Kebo Sindet dan aku tidak
sedungu Kebo itu. Aku memiliki beberapa kelebihan dari padanya, sehingga
seandainya Kebo Sindet itu masih hidup, ia tidak akan dapat mengalahkan
aku pula.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, “Kenapa kau menyebut nama Sri Rajasa.”
“Jangan terkejut. Aku adalah utusannya. Aku datang kemari atas namanya untuk membunuhmu.”
“Kakang,” desis kawan orang itu.
“Aku tidak usah ragu-ragu mengatakannya,
karena sebentar lagi ia akan mati. Aku tidak gentar meskipun ia mampu
membinasakan Gubar Baleman.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Agaknya
orang inilah pemimpin kelompok orang-orang yang ingin membinasakannya
itu. Dan agaknya orang ini pulalah yang telah berkelahi melawan Sri
Rajasa untuk dijajagi kemampuannya.
“Aku harus berhati-hati,” desis Mahisa
Agni di dalam hatinya. Namun ia percaya bahwa di sekitarnya pasti telah
bersembunyi Witantra dan kawan-kawannya untuk membantunya jika ia harus
menghadapi beberapa orang lawan yang terlalu berat baginya.
“Jadi kau mendapat perintah Sri Rajasa untuk membunuhku?” bertanya Mahisa Agni.
“Ya.”
“Bohong. Sri Rajasa tidak akan
melakukannya. Aku adalah pembantunya yang paling dipercaya, dan itu
ternyata atas tugas yang diberikannya kepadaku sekarang ini. Aku adalah
wakil Mahkota di Kediri.”
“Tetapi kau adalah orang yang paling
malang di muka bumi. Ternyata bahwa orang yang memberikan kepercayaan
kepadamu itulah yang memerintahkan membunuhmu. Terimalah nasibmu dengan
tabah.”
“Tetapi kau tidak akan berhasil. Aku
memang Mahisa Agni. Tetapi akulah yang membunuh Gubar Baleman itu dengan
tanganku. Aku pulalah yang membunuh Kebo Sindet seperti ceritera Sri
Rajasa. Dan sekarang datang giliranmu.”
Orang itu tertawa.
Namun Mahisa Agni melanjutkan, “Kita akan berperang tanding. Siapakah yang ternyata lebih kuat di antara kita.”
“He, kau memang licik. Tidak, kita tidak
akan berperang tanding. Kami akan menyelesaikan kau secepat mungkin.
Kami berlima akan bersama-sama membunuhmu. Jangan mencoba menggugah
harga diriku. Aku memang bukan laki-laki jantan. Aku sekedar melakukan
pekerjaan ini meskipun dengan licik, agar aku mendapat upah yang banyak
sekali.”
“Apakah kau tidak menyadari bahwa ada prajurit yang bertugas di istana ini.”
“Satu orang di antara kami akan dapat
menahan mereka, sementara kami yang lain membunuhmu. Setelah itu, kami
akan bersama-sama membunuh semua orang di halaman istana ini. Kau
mengerti. Dan rahasia perintah Sri Rajasa tidak akan terdengar oleh
siapapun.”
Namun tiba-tiba jantung mereka terasa
seperti dihentikan ketika tiba-tiba mereka mendengar suara, “Aku
mendengarnya. Aku mendengar rahasia perintah Sri Rajasa. Akulah yang
akan mengumumkannya kepada setiap orang di Kediri dan Singasari.”
Pemimpin penjahat itu menggeram. Sejenak
kemudian dilihatnya seseorang berdiri sambil menggeliat. Orang itu
adalah Mahendra. Ia adalah orang yang paling gelisah dan tidak sabar.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdesis menjawab kata-kata pemimpin
perampok itu.
Sejenak perampok-perampok itu memandanginya. Kemudian salah seorang bertanya dengan nada yang berat, “Siapa kau?”
Mahendra yang sudah berdiri tegak itu
tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekati orang-orang
yang sedang kebingungan itu.
“Siapa kau? “ pemimpin garombolan penjahat itu bertanya lagi dengan suara bergetar.
Mahendra kini berdiri tegak beberapa
langkah dari mereka. Sejenak ia masih berdiam diri, namun kemudian ia
berkata, “Aku adalah pekatik dari istana ini. Aku sedang menyabit rumput
di halaman belakang ketika aku mendengar kalian masuk meloncati dinding
belakang sehingga aku dan kedua kawanku yang seorang juru taman dan
seorang lagi juru masak, mengikuti kalian sampai ketempat ini. Aku
melihat bagaimana kalian kebingungan. Tiga orang masuk dan yang dua
orang berada di luar, sehingga akhirnya yang dua orang terlihat oleh
abdi istana yang kau sangka tuanku Mahisa Agni.”
Pemimpin perampok itu termangu-mangu
sejenak. Namun ia-pun kemudian sadar, bahwa orang itu pasti bukan
seorang pekatik dan orang itu tentu kawan-kawan Mahisa Agni. Namun
menilik sikap dan kata-katanya, maka orang itu agaknya yakin akan
dirinya dan memiliki kemampuan yang setidak-tidaknya dapat membantu
kesulitan Mahisa Agni menghadapi mereka berlima.
Karena Mahendra sudah menyebut dua orang
kawannya yang lain, maka Witantra dan Kuda Sempana-pun tidak bersembunyi
lebih lama lagi. Hampir berbareng mereka-pun muncul sambil berkata,
“Baiklah. Kami tidak akan bersembunyi lagi.”
Terasa dada para perampok itu berdesir.
Ternyata kedatangan mereka telah diketahui lebih dahulu oleh Mahisa Agni
dan kawan-kawannya yang pasti dipercayanya untuk membantu menghadapi
mereka.
“Gila,” pemimpin perampok itu menggeram,
“siapakah yang sudah berkhianat? Sri Rajasa atau penasehatnya atau salah
seorang kepercayaan Sri Rajasa tanpa diketahuinya?”
“Tidak ada seorang-pun yang berkhianat,” sahut Mahisa Agni, “kebetulan saja kami mengetahui kedatanganmu.”
“Bohong,” pemimpin perampok itu memotong,
“jangan menunggu lebih lama lagi. Tentu di halaman ini telah
dipersiapkan prajurit segelar sepapan. Suruh mereka segera keluar. Kami
akan menghancurkan mereka dan membunuh mereka bersama kalian termasuk
Mahisa Agni.”
“Sayang,” jawab Mahisa Agni, “kami tidak
menyiapkan penyambutan serupa itu. Justru aku sudah mengatakan kepada
para prajurit, bahwa malam ini mereka tidak usah meronda. Istana ini
tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Tetapi sudah tentu bahwa kami
harus menyiapkan penyambutan bagi kalian yang apalagi salah seorang dari
kalian telah langsung melakukan penjajagan kemampuan melawan Sri Rajasa
sendiri.”
“Gila,” pemimpin perampok itu hampir berteriak, “siapa pengkhianat itu he? Katakan, katakan! Darimana kau ketahui semuanya itu?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tidak ada gunanya. Tetapi nasibmu tidak akan lebih baik dari
Kiai Kisi yang diumpankan langsung kepada Putera Mahkota, sehingga
Putera Mahkota sendirilah yang telah membunuhnya.”
“Persetan,” kemarahan yang memuncak telah
mendidihkan darah pemimpin perampok itu, “ternyata istana Singasari
telah dipenuhi oleh pengkhianat-pengkhianat. Dan sekarang kalian mencoba
menjebak aku dan kawan-kawanku.” ia berhenti sejenak. Lalu, “tetapi
kalian kali ini akan gagal. Meskipun Mahisa Agni memiliki kemampuan
setinggi langit, tetapi tidak semua kalian memiliki kemampuan seperti
Mahisa Agni. Karena itu, seorang demi seorang kalian akan mati, bahkan
seandainya kalian memanggil prajurit segelar sepapan.”
“Kami tidak akan memanggil seorang
prajurit pun. Kami akan bertempur langsung,” jawab Mahendra, “kami
berempat, dan kalian berlima. Setuju?”
Pemimpin perampok itu tidak menyahut.
Namun ketika ia menggeram seperti seekor harimau kelaparan
kawan-kawannya agaknya menerima suatu isyarat untuk segera mempersiapkan
dirinya.
Mahisa Agni dan ketiga kawannya-pun
kemudian menebar. Mereka segera mempersiapkan diri untuk melawan setiap
orang yang akan menyerang mereka. Keempatnya menyerahkan kepada
lawan-lawannya untuk memilih salah seorang dari mereka.
Melihat sikap keempat orang itu para
perampok itu-pun menjadi semakin berdebar-debar. Keempatnya seolah-olah
begitu yakin akan dirinya dan kemampuannya. Umur-umur mereka agaknya
sebaya kecuali Witantra yang tampak agak lebih tua dari yang lain-lain,
meskipun tidak begitu banyak.
Para perampok itu tidak dapat memilih
siapakah yang lebih kuat dan siapakah yang paling lemah. Namun menurut
perhitungan mereka, pasti Mahisa Agnilah yang paling kuat di antara
mereka, sehingga pemimpin perampok itu berkeputusan untuk melawan Mahisa
Agni. Karena itu maka katanya, “Pilihlah lawanmu sendiri. Aku akan
membuktikan, bagaimana mungkin orang yang bernama Mahisa Agni ini mampu
membunuh Kebo Sindet dan kemudian Senapati Agung dari Kediri. Dan
bagaimana mungkin ia dapat membuat Putera Mahkota menjadi seorang yang
dikagumi oleh seluruh rakyat Singasari dan menamakan dirinya Kesatria
Putih.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun
ia beringsut selangkah. Kini ia benar-benar telah mempersiapkan diri
untuk melawan orang yang pernah langsung mencoba kekuatannya dengan Sri
Rajasa itu. Karena menurut perhitungannya, orang itulah yang merasa
dirinya mempunyai kemampuan melampaui kawannya.
Mahendra, Kuda Sempana dan Witantra-pun
telah bersiap pula. Namun mereka masih tetap menunggu, siapakah yang
akan datang kepada mereka masing-masing sebagai lawannya. Menurut
jumlahnya, maka salah seorang dari mereka harus melawan dua orang
bersama-sama. Dan yang dua itu pastilah dua orang yang tidak ikut masuk
kedalam istana itu.
Untuk sesaat lamanya tidak seorang-pun
yang segera mulai. Baik para perampok mau-pun kawan-kawan Mahisa Agni
agaknya saling menunggu, siapakah yang harus dilawannya, selain Mahisa
Agni sendiri yang sudah pasti menemukan lawannya.
Ternyata Mahendra lah yang tidak sabar
menunggu. Karena itu ia-pun maju selangkah sambil berkata, “He, apakah
kita harus mengundi, siapakah yang akan bertemu sebagai lawan?”
“Persetan,” pemimpin perampok itu menggeram, “cepat, bunuh mereka.”
“O, jadi kalian tidak setuju? Baik. Aku
akan tetap berdiri disini sampai ada seseorang yang menyerangku,” sahut
Mahendra kemudian, “jika tidak, maka sampai besok pagi aku tidak akan
beranjak.”
“Bunuh anak itu lebih dahulu,” pemimpin perampok yang sudah siap melawan Mahisa Agni itu menggeram.
“Ah, jangan panggil aku anak. Aku sudah hampir mempunyai cucu,” berkata Mahendra.
Namun demikian mulutnya terkatup, maka
salah seorang perampok itu telah meloncat menyerangnya, sehingga
Mahendra harus meloncat menghindar. Serangan itu ternyata cukup
berbahaya baginya, karena lontaran kekuatan yang sepenuhnya itu
benar-benar ingin menghancurkannya.
Mahendra yang meloncat menghindar itu
ternyata menjadi berdebar-debar juga. Ternyata serangan itu datang
begitu cepat dan tiba-tiba. Dengan demikian Mahendra dapat menilai,
bahwa lawannya itu memang bukan orang kebanyakan.
Karena serangannya yang pertama gagal,
maka lawan Mahendra-pun segera memburunya dan mengulangi serangannya
beruntun. Ia benar-benar ingin segera membinasakannya, seperti yang
diperintahkan oleh pemimpinnya.
Tetapi, ternyata pekerjaan itu tidak
begitu mudah. Mahendra yang masih berloncatan menghindar itu, masih
mencoba untuk mengetahui lebih banyak tentang kemampuan lawannya,
sehingga apabila datang saatnya ia tidak akan terjebak karena
kesalahannya sendiri.
Dalam pada itu, ternyata pemimpin
perampok yang memasuki halaman istana wakil Mahkota di Kediri itu masih
belum mulai menyerang Mahisa Agni. Ia masih ingin mengetahui, apakah
kawannya mampu mengimbangi orang-orang yang telah mengganggu tugas
mereka itu.
Namun untuk beberapa lamanya, Mahendra
sengaja masih belum melakukan perlawanan sepenuhnya. Ia masih saja
berloncatan meskipun kadang-kadang ia menahan serangan lawannya pula
apabila ia sudah sangat terdesak.
Witantra dan Kuda Sempana-pun berdiri
termangu-mangu melihat Mahendra bertempur. Namun Witantra-pun kemudian
menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memiliki ketajaman
tanggapan tentang olah kanuragan, maka ia-pun segera mendapat kepastian,
bahwa keadaan Mahendra tidak akan begitu jelek melawan orang yang
menyerangnya.
Dan yang harus dilakukannya kemudian adalah menunggu, siapakah dari antara para penjahat itu yang akan menyerangnya.
Tetapi ternyata bahwa Kuda Sempanalah
yang mendapat serangan lebih dahulu. Seperti orang yang pertama maka
serangannya datang dengan cepat dan tiba-tiba. Tetapi juga seperti
Mahendra maka Kuda Sempana-pun mampu menghindari serangan-serangan yang
datang beruntun seperti banjir. Orang itu sudah mencoba memperbaiki
kesalahan kawannya yang tidak berhasil langsung mengalahkan Mahendra,
tetapi meskipun demikian, ia-pun tidak segera berhasil menjatuhkan Kuda
Sempana.
Yang kemudian masih berdiri bebas adalah
Witantra. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia harus berkelahi melawan dua orang
yang masih belum menemukan lawannya. Namun ia-pun sadar, bahwa yang dua
orang itu pasti orang-orang yang paling lemah dari kelompok penyerang
itu.
“Nah, kitalah yang belum mendapatkan
lawan,” berkata Witantra, “dengan demikian maka kita tidak akan dapat
memilih lagi. Kita harus berhadapan. Terserah kepada kalian, apakah
kalian akan bertempur bersama-sama atau seorang demi seorang.”
Kedua orang perampok yang masih belum
mendapat lawannya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar
pemimpinnya berkata, “Cepat, bunuh orang itu.”
Keduanya-pun segera berloncatan menyerang
Witantra langsung dengan senjata-senjata mereka yang sudah berada
ditangan. Tetapi Witantra-pun berhasil menghindar dan bahkan melayani
keduanya dengan tangkasnya.
Di halaman belakang istana wakil Mahkota
itu telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Namun dalam pada itu
sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni telah memberikan kesan, seakan-akan para
prajurit yang berjaga-jaga di istana itu tidak perlu lagi meronda
kehalaman belakang. Dengan tidak langsung Mahisa Agni mengatakan kepada
mereka, bahwa kadang-kadang hanya mengejutkannya saja, dan bahkan karena
badan Mahisa Agni yang agak kurang segar, maka biarlah mereka tidak
usah meronda kehalaman dalam dan belakang.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni dapat
menghadapi lawan-lawannya tanpa para prajurit. Menurut perhitungannya
para prajurit itu hanya akan membuatnya bingung dan bahkan mungkin akan
dapat menimbulkan korban. Selain korban yang mungkinjatuh, maka
persoalan itu akan menjadi berkepanjangan sampai ke setiap telinga
dengan tafsiran mereka masing-masing.
Mahisa Agni masih sempat menyaksikan
perkelahian itu. Ternyata bahwa para perampok itu benar-benar orang
pilihan. Karena itulah maka Mahisa Agni-pun harus berhati-hati, karena
pemimpinnya pastilah orang yang lebih baik dari mereka yang sudah
terlibat di dalam perkelahian itu, dan apalagi Sri Rajasa sendiri sudah
menjajaginya dan menganggapnya cukup mampu untuk melakukan tugas ini.
Ternyata orang itu-pun masih memerlukan
waktu sedikit untuk melihat anak buahnya yang bertempur. Sambil
mengerutkan keningnya ia mengangguk-angguk. Menurut pengamatannya,
orang-orangnya tidak mengecewakannya, meskipun ia tidak yakin bahwa
mereka akan segera menang.
“Aku harus bertindak cepat. Mahisa Agni
harus segera terbunuh, lalu yang lain-lain akan dengan mudah selesai,”
berkata orang itu di dalam hatinya.
Sejenak kemudian maka ia-pun melangkah
maju mendekati Mahisa Agni. Namun setelah keduanya berdiri berhadapan,
sepercik kesangsian membayang di wajah pemimpin perampok itu. Mata
Mahisa Agni yang seakan-akan menyala di dalam gelapnya malam itu
membuatnya sedikit berdebar-debar.
“Persetan,” ia menggeram. Dicobanya untuk
mengusir kesangsian dihatinya itu. Ia tidak pernah ragu-ragu menghadapi
siapa-pun juga, karena ia terlalu percaya kepada kemampuan diri
sendiri.
“Belum pernah aku gagal. Meskipun aku
mengakui bahwa ada juga orang yang melampaui kemampuanku. Tetapi
satu-satunya orang adalah Sri Rajasa.” katanya di dalam hati.
Karena itu, maka sejenak kemudian ia-pun
melangkah semakin mendekati Mahisa Agni sambil berkata. “Mahisa Agni.
Aku hanya sekedar menjalankan perintah. Kau sudah tidak akan dipakai
lagi oleh Sri Rajasa. Karena itu kau harus dibunuh. Setelah kau pasti
akan datang giliran Anusapati anak Tunggul Ametung itu.”
“Rencana yang bagus sekali. Jika aku dan Anusapati tidak ada, maka Singasari akan menjadi murni. Begitu?”
“Ya. Darah Tunggul Ametung akan lenyap sama sekali dari muka bumi, terutama dari kekuasaan Singasari.”
“Sayang sekali. Rencana itu tidak
terlampau mudah dilakukan. Baik aku sendiri maupun Anusapati yang
ternyata adalah Kesatria Putih, bukan orang-orang yang mudah menyerahkan
lehernya. Seperti seharusnya kodrat manusia, ia pasti akan
mempertahankan hidupnya sejauh dapat dilakukan.”
“Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya, karena disini akulah yang mendapat tugas untuk membunuhmu.”
“Sayang. Aku akan bertahan. Dan aku
memang ingin melihat Anusapati menjadi raja di Singasari. Yang penting
bagiku bukannya siapakah yang menjadi ayah raja Singasari itu. Tetapi ia
harus keturunan Ken Dedes. Itulah sebabnya aku berjuang dengan caraku
untuk mempertahankan Anusapati di atas kedudukannya sekarang, sebagai
Putera Mahkota. Jika Sri Rajasa ingin menurunkan raja di Singasari, dan
memadu Mahisa Wonga Teleng untuk menjadi Putera Mahkota, aku tidak akan
berkeberatan, dan Anusapati-pun pasti akan dengan sukarela minggir dari
kedudukannya. Tetapi sudah tentu, bukan Tohjaya, anak Ken Umang itu.”
“Persetan, itu adalah hak Sri Rajasa untuk menentukan, siapakah yang akan ditunjuk untuk menggantikannya.”
“Tidak. Sri Rajasa tidak berhak atas
tahta. Tetapi Ken Dedeslah yang mewarisi kekuasaan Tunggul Ametung
karena Tunggul Ametung telah melimpahkan kekuasaannya atas kehendaknya
sendiri kepada Ken Dedes, ketika Ken Dedes mula-mula memasuki istana dan
kehidupan Tunggul Ametung.”
“Bohong.”
“Jangan kau sangka aku tidak tahu apa
yang sudah terjadi. Karena kau atau aku yang akan mati, baiklah aku
berterus terang, bahwa aku sudah mengetahui bahwa Sri Rajasalah yang
membunuh Tunggul Ametung dan pamanku Empu Gandring. Barangkali kau belum
mendengarnya. Karena itu, ketahuilah, bahwa Sri Rajasa tidak berhak
memindahkan aliran keturunan Ken Dedes dan memberikannya kepada Ken
Umang, meskipun sebagian besar adalah karena jasa Ken Arok, bahwa
Singasari menjadi besar seperti sekarang.”
“Omong kosong,” geram pemimpin perampok itu, “aku tidak memerlukan ceritera mimpi itu. Sekarang aku akan membunuhmu.”
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ia mempersiapkan dirinya baik-baik untuk menghadapi lawanya itu.
“Bersiaplah untuk mati, atau kau ingin mati dengan tenang tanpa kelelahan?”
Mahisa Agni sudah segan untuk berbicara berkepanjangan. Karena itu ia tidak menjawab.
“Baik. Kau memang ingin mati setelah menitikkan keringat dan darah. Dan aku akan membantumu.”
Tiba-tiba saja orang itu telah menarik
sebuah pedang panjang. Oleh cahaya obor dikejauhan, mata pedang itu
tampak berkilat-kilat memantulkan sinarnya yang kemerah-merahan.
Mahisa Agni memandang pedang itu sejenak.
Ia tidak dapat melawan pedang itu tanpa senjata apapun, karena ia
menganggap bahwa lawannya adalah lawan yang cukup berat. Karena itu,
maka ia-pun segera mencabut belati panjangnya yang terselip dibawah kain
panjang. Sepasang pisau belati panjang di kedua tangannya.
Sejenak mereka masih berdiri berhadapan.
Namun sejenak kemudian pedang di tangan pemimpin perampok itu sudah
berputar. Dengan sigapnya ia mulai menyerang Mahisa Agni yang dengan
tangkas berhasil menghindarkan diri.
Ternyata dugaan Mahisa Agni tidak
meleset. Orang itu benar-benar mampu bergerak cepat dan kuat. Pedangnya
menyambar-nyambar seperti seekor burung sriti yang berterbangan di
udara.
Namun Mahisa Agni bukan sekedar seekor
capung yang tidak mampu menghindarkan diri dari ujung paruh burung sriti
yang menyambarnya. Tetapi Mahisa Agni-pun mampu bergerak secepat
lawannya, sehingga karena itu, maka serangan-serangan itu sama sekali
tidak berhasil menyentuh sasarannya.
Apalagi ketika Mahisa Agni-pun mulai
menyerang lawannya itu pula, maka barulah lawannya menyadari,
sebenarnyalah Mahisa Agni seorang yang disegani oleh Sri Rajasa.
Demikianlah maka perkelahian antara
Mahisa Agni dengan lawannya itu segera menjadi pertempuran yang sangat
sengit karena keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari
orang-orang kebanyakan.
Didalam perkelahian itu Mahisa Agni masih
juga sempat berkata di dalam hati, “Ada juga orang yang memiliki
kemampuan tinggi di antara mereka yang tersesat. Orang ini ternyata
adalah orang yang berbahaya sekali. Untunglah bahwa ia tidak memancing
Kesatria Putih dan membinasakan. Jika kebetulan ia bertemu sendiri
dengan Anusapati, maka Anusapati akan sulit sekali untuk mengatasinya
dalam keadaan yang sekarang. Masih untunglah bahwa orang itu telah
dikirimkan kepadanya oleh Sri Rajasa. Namun demikian Mahisa Agni
berterima kasih tidak terhingga di dalam hatinya kepada Sumekar.
Kehadiran Sumekar di istana Singasari ternyata mempunyai arti yang besar
sekali. Baik bagi Putera Mahkota maupun bagi Mahisa Agni sendiri,
karena tanpa Sumekar, maka Mahisa Agni dan kawan-kawannya itu tidak akan
dapat mempersiapkan diri menghadapi kelima orang itu.
“Tanpa orang lain aku tidak akan dapat
mengatasi kesulitan. Jika tidak ada persiapan yang baik menghadapi
mereka, dan ketiga orang yang memasuki istana itu berhasil menyergap aku
di dalam bilikku, maka aku kira aku benar-benar terbunuh,” berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun gambaran-gambaran itu ternyata
membuat Mahisa Agni menjadi semakin marah. Bayangan yang tampak di
rongga matanya, seakan-akan dirinya sendiri terkapar di dalam
pembaringannya sebelum sempat bangkit, membuatnya menjadi semakin marah.
“Sri Rajasa benar-benar ingin merenggut
nyawaku. Dan orang-orang ini pasti orang-orang yang tamak, yang
menyewakan diri mereka untuk membunuh sesama. Dan itu berarti kejahatan
yang tidak dapat diampuni.” Mahisa Agni berkata pula di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni-pun
telah mengambil sikap seperti orang itu pula. Membunuh atau dibunuh.
Mahisa Agni sama sekali tidak memerlukan orang itu hidup karena ia tidak
memerlukan keterangan apa-pun daripadanya. Ia sudah tahu pasti bahwa
orang itu harus membunuhnya atas perintah Sri Rajasa. Hanya itu.
Alasan-alasan yang lain tidak akan dapat dikoreknya dari orang itu,
tetapi harus dicarinya di istana Singasari.
Demikianlah perkelahian itu adalah
lambang dari perang yang sebenarnya memang sudah mulai. Perang tanpa
menyeret prajurit-prajurit Singasari. Karena baik Sri Rajasa mau-pun
Mahisa Agni menyadari, bahwa Singasari yang sudah mencapai kebesarannya
itu tidak boleh dikorbankan. Apa-pun yang akan terjadi atas mereka, dan
apa-pun yang akan mengakhiri perang di antara dua raksasa yang berdiri
dibalik takbir asap yang samar-samar.
Tidak seorang-pun di Singasari, selain
yang langsung berkepentingan, mengerti bahwa perang sudah dimulai. Jika
kedua raksasa itu bertemu satu dengan yang lain, maka keduanya masih
juga tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Keduanya masih dapat berkelakar
dan berbicara tentang perkembangan pemerintahan Singasari. Bahkan mereka
masih dapat dengan jujur membicarakan tugas-tugas yang harus mereka
lakukan masing-masing. Sri Rajasa sebagai Maharaja yang memerintah
seluruh Singasari, dan Mahisa Agni yang mendapat tugas untuk mewakili
Mahkota Singasari di daerah Kediri.
Tetapi dibalik sikap yang ramah, dibalik
pembicaraan-pembicaraan dan rencana-rencana mereka bagi Singasari,
tersembunyi pertentangan yang tidak terelakkan, yang akan menentukan
Mahkota Singasari dihari depan.
Dalam pada itu perkelahian yang terjadi
itu-pun menjadi semakin lama semakin dahsyat. Namun
dilingkaran-lingkaran perkelahian yang lain, Kuda Sempana segera dapat
mengatasi kemampuan lawannya, meskipun ia tidak akan dapat
menyelesaikannya dengan segera. Dan bahkan Kuda Sempana-pun tidak
bernafsu untuk dengan cepat memenangkan perkelahian itu, karena ia
mempunyai perhitungan tersendiri. Menurut pengamatannya, Mahisa Agni
berada dalam keadaan yang gawat. Lawannya bukan orang yang dapat
diabaikan, sehingga Mahisa Agni benar-benar harus bertempur. Supaya
Mahisa Agni mendapat kesempatan sebaik-baiknya menyelesaikan rencananya,
maka Kuda Sempana ingin menunggu apakah yang harus dilakukan atas
lawannya itu. Jika Mahisa Agni nanti berhasil menyelesaikan tugasnya,
apakah ia akan mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang yang
memasuki halaman istana itu, karena setiap kali di dalam melakukan
tugas-tugas Kesatria Putih, Mahisa Agni sering kali menegurnya, bahwa ia
terlampau cepat mengambil keputusan untuk membunuh lawannya.
Demikian juga agaknya Mahendra dan
Witantra. Keduanya-pun segera dapat merasa bahwa mereka dapat menentukan
akhir dari perkelahian itu menurut keinginan mereka, jika mereka tidak
berbuat kesalahan yang berpengaruh.
Witantra yang memiliki kemampuan yang
hampir sempurna, sempat menyaksikan perkelahian antara Mahisa Agni dan
lawannya. Dan ia-pun sempat menilai, apa yang sedang terjadi.
“Lawan Mahisa Agni memang lawan yang
berat,” berkata Witantra di dalam hati, “untunglah orang itu datang
kemari. Jika tidak, maka ia akan menjadi racun di dalam peradaban
manusia. Itulah agaknya di daerah sebelah Timur dan Utara, kadang-kadang
terjadi sesuatu yang menggemparkan, yang masih belum terjangkau oleh
tangan Kesatria Putih. Agaknya orang itulah pelakunya bersama
kawan-kawannya ini.”
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni yang
bertempur melawan pemimpin perampok itu segera mengenal, bahwa ilmu
orang itu adalah ilmu yang pada dasarnya sudah dikenal di istana
Singasari, sehingga dengan demikian ilmu itu didalam perkembangannya
pasti bersumber dari guru yang memiliki cabang ilmu yang sama. Dan arus
ilmu itu telah mengalir kedalam diri Tohjaya lewat gurunya, penasehat
Sri Rajasa. Dengan demikian Mahisa Agni-pun segera tahu pula, siapakah
yang membawa orang itu keistana beserta rencana-rencana dan pamrihnya
sama sekali. Dengan demikian Mahisa Agni-pun yakin, bahwa penasehat Sri
Rajasa itu ikut serta menentukan jalannya peperangan diam-diam antara
Sri Rajasa untuk kepentingan Tohjaya dan Mahisa Agni untuk kepentingan
Anusapati.
“Jadi guru Tohjaya itu tidak sekedar
menjemput dan membawanya masuk keistana atas perintah Sri Rajasa,”
berkata Mahisa Agni yang memang sudah mendengar dari Witantra yang
mendapat keterangan dari Sumekar bahwa telah datang orang asing di
istana dan bahkan mengadakan penjajagan ilmu dengan Sri Rajasa. “Agaknya
guru Tohjaya itulah yang mengusulkan orang ini untuk mengemban tugas
didalam peperangan yang diam-diam ini.”
Sambil bertempur Mahisa Agni sempat
membayangkan bagaimana keadaan yang bakal terjadi tanpa dirinya dan
orang-orang yang sekarang sedang membantunya. Yang dicemaskan oleh
Mahisa Agni adalah sikap yang kasar dari Sri Rajasa. Dalam keadaan
tertentu, Sri Rajasa kehilangan sifat-sifatnya sebagai seorang Maharaja.
Ia dapat bertindak kasar seperti ketika ia masih seorang yang
berkeliaran di padang Karautan. Ketika ia masih disebut Hantu Karautan.
“Apakah hal ini akan semakin
berlarut-larut atau akan dapat memberikan kesadaran baru bagi Sri
Rajasa?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun dalam pada itu,
Mahisa Agni justru menjadi semakin kehilangan kepercayaannya kepada Sri
Rajasa.
“Orang itu adalah orang besar,” berkata
Mahisa Agni didalam hati, “tetapi ia terperosok ke dalam suatu kubangan
yang dapat mencelakakannya. Ia kehilangan kebesarannya dan justru
berjuang untuk kepentingan yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan
usahanya mempersatukan Singasari.”
Mahisa Agni terkejut ketika senjata lawannya hampir saja menyentuh pelipisnya.
Kini Mahisa Agni mencoba memusatkan
perhatiannya kepada senjata lawannya yang bergerak semakin cepat. Namun
semakin lama semakin jelas, bahwa Mahisa Agni akan berhasil
menguasainya.
Meskipun demikian bila Mahisa Agni lengah
dan membuat sedikit kesalahan, mungkin keadaan akan menjadi jauh
berbeda. Karena itu, Mahisa Agni berusaha untuk tidak hanyut lagi dalam
arus angan-angannya.
“Orang ini terlalu berbahaya,” katanya di
dalam hati, “berbahaya bagiku dan berbahaya bagi rakyat Singasari. Ia
dapat memeras siapa-pun yang dikehendaki tanpa perlindungan, karena ia
sudah berhubungan dengan Sri Rajasa. Jika ia bebas sekarang, apalagi
memenangkan perkelahian ini, maka Sri Rajasa tidak akan dapat bertindak
apa-pun kepadanya, karena orang ini menggenggam rahasia terbesar dari
Sri Rajasa atas kematian seorang wakil Mahkota. Dengan demikian maka
orang ini akan dapat memeras Sri Rajasa sampai kering, sebelum Sri
Rajasa berhasil membunuhnya. Dan orang ini adalah orang yang licik,
sehingga ia akan dapat bersembunyi rapat sekali, sementara
orang-orangnya yang akan memainkan peranan yang akan membuat Sri Rajasa
kehilangan akal.
“Orang ini harus disingkirkan,” tiba-tiba
saja Mahisa Agni menggeram, “jika tidak, maka persoalannya pasti akan
berkepanjangan. Apalagi aku tidak memerlukan apa-pun daripadanya.
Keterangan yang dapat dikatakannya tidak akan berarti apa-apa bagiku.”
Ternyata Mahisa Agni benar-benar akan
melakukan keputusannya. Dengan demikian mata tandangnya menjadi semakin
mantap. Kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah, sedang
tangannya menyambar-nyambar seperti sayap burung garuda yang terbang
diudara.
Demikianlah pertempuran itu menjadi
semakin lama semakin sengit. Masing-masing tidak lagi mengekang dirinya.
Bahkan masing-masing telah melepaskan semua kemampuan yang dimilikinya.
Lawan Mahisa Agni itu terkejut mengalami
sikap yang tiba-tiba saja menjadi semakin garang. Tekanan Mahisa Agni
menjadi semakin tajam, sehingga pemimpin gerombolan perampok itu menjadi
cemas karenanya.
Tetapi ia tidak dapat mengharap bantuan
dari siapapun. Ketika sempat melihat perkelahian yang terjadi di
sekitarnya, ia mengumpat habis-habisan. Ternyata Witantra hampir tidak
berbuat apa-apa selain berputar-putar. Kedua orang lawannya sama sekali
tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun seakan-akan Witantra hanya sekedar
bermain-main saja.
“Setan alas,” pemimpinnya berteriak, “bunuh orang itu.”
Kedua orang yang berkelahi melawan
Witantra itu berusaha memusatkan segenap kemampuannya. Namun Witantra
masih saja bersikap acuh tidak acuh.
Pemimpinnya tidak lagi sempat
menghiraukannya. Mahisa Agni semakin lama semakin mendesaknya. Tidak ada
cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi serangan-serangan Mahisa
Agni yang semakin ganas.
Apalagi tiba-tiba saja Mahisa Agni itu
berkata, “Orang-orang ini harus dibinasakan, karena mereka telah
mengetahui rahasia yang paling besar bagi Singasari. Pertentangan di
lingkungan pemerintahan yang tidak boleh didengar dan apalagi dihayati
oleh orang lain. Karena itu, adalah nasibnya yang kurang baik, apabila
dengan demikian mereka harus bercanda dengan maut.”
Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar
telah menggetarkan dada mereka. Bahkan pemimpin perampok itu-pun menjadi
berdebar-debar. Namun demikian ia masih sempat berteriak, “Mahisa Agni,
sebutkan siapakah yang telah berkhianat? Siapakah yang telah menjebak
aku ke dalam sarang serigala lapar ini?”
Mahisa Agni mendesak lawannya sambil
menjawab, “Tidak ada yang berkhianat. Tetapi kejahatan memang harus
dimusnahkan. Jangan menyesal jika nasibmu sama seperti Kiai Kisi yang
dibinasakan langsung oleh Putera Mahkota, tidak dalam kerudung putih,
tetapi dalam bentuknya dibawah kerudung hitam.”
Kata-kata Mahisa Agni itu rasa-rasanya
telah membakar telinga lawannya. Namun kemampuannya ternyata terbatas,
sehingga betapa-pun juga ia berusaha, namun ia tidak mampu mengatasi
ilmu Mahisa Agni. Senapati Agung kerajaan Singasari, yang pernah
mengalahkan Senapati Agung pada masa Kediri.
Demikianlah, maka akhir dari perkelahian
itu menjadi semakin dekat. Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana hanya
menunggu saat yang sebaik-baiknya. Mereka menyesuaikan diri dengan
perkelahian yang berat sebelah, setelah lawan Mahisa Agni kehabisan
tenaga yang diperasnya untuk mempertahankan diri.
“Jika saat itu tiba,” berkata kawan-kawan Mahisa Agni didalam hatinya, “maka yang lain-pun akan terbunuh.”
Demikianlah, akhirnya Mahisa Agni
mendapatkan kesempatan itu. Dengan belati panjang di tangan kirinya ia
menangkis serangan lawannya yang menjadi terhuyung-huyung karena
keseimbangannya yang hampir hilang. Namun saat yang paling pahit dari
perjuangan untuk mendapat harta benda yang tertimbun di dalam istana
wakil Mahkota itu segera tiba. Sebelum ia sempat memperbaiki
keseimbangannya, maka pisau belati di tangan kanan Mahisa Agni telah
menghunjam di dadanya, langsung menyobek jantung.
Pemimpin perampok itu tidak sempat
menggeliat. Demikian ujung pisau Mahisa Agni ditarik dari dadanya, maka
ia-pun segera rebah menelungkup di tanah.
Dan sesaat kemudian, nasib yang sama
telah hinggap pula pada kawannya. Hampir bersamaan senjata kawan-kawan
Mahisa Agni telah menyambar lawan-lawannya yang seakan-akan tinggal
sekedar menunggu. Senjata Mahisa Agni yang menembus jantung itu bagaikan
perintah bagi kawan-kawannya untuk berbuat serupa. Sehingga hampir
bersamaan pula lawan-lawan Mahendra dan Kuda Sempana mengeluh pendek.
Kemudian disusul dengan dua orang yang sedang bertempur melawan
Witantra.
Mahisa Agni yang berdiri tegak di sebelah
mayat lawannya mengusap keringat di dahinya dengan lengannya. Ternyata
lawannya adalah lawan yang cukup berat baginya.
Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana-pun
kemudian mendekatinya. Mereka tidak menemukan lawan seberat pemimpin
perampok itu. Namun meskipun demikian, nafas mereka-pun menjadi
terengah-engah dan keringat mereka-pun mengalir juga di seluruh
tubuhnya.
“Bagaimana dengan mayat-mayat ini?” bertanya Witantra kepada Mahisa Agni.
“Kita harus menghilangkan jejaknya. Kita
harus menyimpan rahasia ini sebaik-baiknya, supaya tidak ada ccritera
yang bersimpang siur dari peristiwa ini.”
“Jadi, apakah kita akan mengubur mereka?”
“Ya, sebelum dketahui orang lain.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Jika demikian, kita akan membawanya ketempat yang tersembunyi.”
“Ya, sebelum ada orang yang melihat.
Untunglah bahwa para prajurit itu benar-benar tidak meronda. Aku sudah
mencegahnya sore tadi.”
Demikianlah maka mereka-pun segera
membawa mayat-mayat itu menyingkir. Di bawah rimbunnya perdu di sudut
kebun belakang, mereka telah menggali sebuah lubang yang besar dan
dalam. Bagi Witantra menggali lubang itu ternyata jauh lebih melelahkan
dari saat-saat ia harus berkelahi melawan dua orang lawannya.
Namun akhirnya mereka telah berhasil
membuat lubang yang cukup dalam, untuk mengubur mayat-mayat itu
sekaligus dan kemudian berusaha menghilangkan segala macam bekas
perkelahian.
“Sekarang kita tinggal membersihkan diri kita masing-masing,” berkata Mahendra, “lalu aku kembali tidur di gubug Kuda Sempana.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah setelah semuanya selesai,
maka mereka-pun segera kembali ke tempat masing-masing. Kuda Sempana
masih sempat menggulung tali isyarat yang direntangkannya di halaman
belakang.
Ketika tidak lama kemudian fajar
membayang di langit, mereka yang baru saja bertempur di halaman belakang
itu telah berbaring dipembaringan masing-masing. Namun bagaimana-pun
juga mereka berusaha, mereka sama sekali tidak dapat melepaskan ingatan
tentang usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Sri Rajasa itu.
Dalam pada itu, di Singasari, ternyata
Sri Rajasa-pun sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia-pun
memperhitungkan bahwa semuanya akan terjadi malam ini. Bahkan dengan
gelisahnya ia berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Sekali-sekali ia
duduk di tepi pembaringannya, namun kemudian berdiri dan berjalan
beberapa langkah.
Demikian juga agaknya penasehat Sri
Rajasa itu. Ia-pun menduga bahwa semuanya sudah terjadi. Bahkan sudah
terbayang di angan-angannya, besok pagi akan berpacu utusan dari Kediri
mengabarkan bahwa telah terjadi bencana di istana wakil Mahkota. Para
abdi di istana itu menemukan wakil Mahkota mati berlumuran darah, sedang
isi istana itu habis dibawa oleh sekelompok perampok.
Singasari pasti akan gempar. Senapati Agung yang telah mengalahkan Senapati dari Kediri, diketemukan mati di dalam biliknya.
“Betapa tinggi ilmu Mahisa Agni, ia tidak
akan dapat melawan lima orang sekaligus. Ia pasti akan binasa, karena
selisih kemampuannya dengan saudara tertua mereka itu tidak terpaut
banyak. Apalagi Sri Rajasa sendiri telah menjajagi kemampuannya dan
menganggapnya bahwa ia akan mampu melakukan tugasnya bersama dua orang
saudara seperguruannya,” berkata penasehat Sri Rajasa itu di dalam
hatinya.
Karena itu, semakin dekat dengan
datangnya pagi, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu. Ia mulai
membayangkan, seorang pelayan yang akan memasuki bilik Mahisa Agni
terkejut dan menjerit. Kemudian beberapa orang prajurit datang
berlari-larian. Tetapi yang mereka ketemukan hanyalah mayat Mahisa Agni
dan barang-barang yang ada di dalam istana itu hilang.
“Benar-benar suatu perampokan yang gila, yang baru terjadi untuk pertama kalinya di sepanjang sejarah,” desisnya.
Ketika kemudian matahari terbit,
Penasehat Sri Rajasa itu-pun segera menyiapkan diri untuk menghadap.
Rasa-rasanya ia tidak betah lagi menahan gejolak perasaannya. Ia ingin
mendapat penyaluran dan lawan berbicara mengenai peristiwa yang pasti
telah terjadi di Kediri.
Sumekar yang membersihkan halaman istana
diluar petamanan menjadi heran melihat Sri Rajasa itu pergi ke paseban
jauh lebih pagi dari kebiasaannya. Dan karena paseban masih sepi, maka
ia-pun langsung pergi ke bangsal Sri Rajasa.
Ternyata Sri Rajasa yang gelisah-pun
telah berada di serambi belakang bangsalnya. Seperti kebiasaannya, di
saat-saat senggang ia duduk di serambi belakang memandang tanaman yang
sedang berbunga. Sebuah longkangan dengan batang-batang perdu yang
hijau.
“O,” desis Sri Rajasa ketika ia melihat penasehatnya datang pagi-pagi.
“Ampun tuanku, hamba menghadap terlampau
pagi karena hamba tidak dapat menahan diri untuk membicarakan apakah
yang kira-kira terjadi semalam di Kediri,” berkata penasehat itu.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya.
Katanya, “Aku-pun menjadi gelisah. Tetapi perjalanan dari Kediri
memerlukan waktu. Jika pagi ini utusan itu berangkat, maka ia akan
datang malam nanti.”
Penasehatnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan waktu yang sehari itu pasti akan menyiksanya.
“Tetapi, aku kira mereka tidak akan mengecewakan,” desis Penasehat itu.
“Aku percaya akan kemampuannya. Meskipun
barangkali orang itu tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni,
tetapi berlima Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat banyak. Aku
menganggap bahwa kemampuan orang itu cukup tinggi.”
Penasehat Sri Rajasa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya kepada kata-kata itu, karena
Sri Rajasa sendiri sudah langsung menjajaginya.
Demikianlah sehari itu penasehat Sri
Rajasa menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia tidak sabar menunggu, bahwa akan
ada utuskan datang dari Kediri mengabarkan peristiwa yang sudah
terjadi.
Sumekar diam-diam memperhatikan Penasehat
Sri Rajasa yang gelisah itu. Karena Sri Rajasa hari itu tidak hadir
dipaseban, karena badannya yang kurang sehat, maka di siang hari sekali
lagi Penasehatnya datang menghadap di bangsalnya.
“Bukankah Anusapati tetap berada di istana?” bertanya Sri Rajasa.
“Ya tuan. Putera Mahkota tetap berada di istana. Ia mematuhi perintah yang tuanku berikan.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jika Anusapati meninggalkan istana, maka ada kemungkinan
sebagai Kesatria Putih ia mengikuti para perampok itu ke Kediri dan jika
kekuatannya bergabung dengan kekuatan Mahisa Agni, maka rencana itu
memang dapat gagal.
Demikianlah Penasehat Sri Rajasa yang
kemudian meninggalkan bangsal itu-pun pergi keregol depan. Dipandanginya
jalan yang membelah kota Singasari membujur kearah yang jauh sekali.
Tetapi ia masih belum melihat seseorang yang datang dari Kediri.
“Memang tidak mungkin. Nanti malam ia akan datang.”
Ketika ia berjalan memasuki halaman dalam
istana, Sumekar yang berjongkok di pinggir lorong di antara tetanaman
memberanikan diri bertanya, “Tuan, tampaknya tuan menjadi gelisah
sekali. Aku yang tidak mengetahui persoalan apa-pun menjadi ikut
gelisah. Apakah ada musuh yang mengancam Singasari.”
“Bodoh kau. Tidak ada satu negeri-pun
yang akan memusuhi Singasari. Sri Rajasa sudah berhasil menyatukan
bagian-bagian yang semula terpecah belah,” jawab Penasehat Sri Rajasa
itu.
Sumekar yang masih berjongkok
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia bertanya pula, “Jika demikian,
apakah tuan melihat sesuatu yang tidak wajar terjadi di istana ini, atau
barangkali keluarga tuan akan datang.”
Penasehat itu memandang Sumekar dengan tajamnya, lalu bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu?”
“Tuan nampaknya gelisah sekali. Tuan berjalan hilir mudik antara bangsal dan paseban serta regol depan istana.”
“O,” Penasehat Sri Rajasa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku sedang menunggu isteriku. Aku sudah
menyampaikannya kepada tuanku Sri Rajasa. Sedang isteriku itu agak
sakit-sakitan.”
“O,” Sumekar mengangguk-angguk, “kenapa tuan tidak memerintahkan beberapa orang menjemput dengan sebuah tandu.”
“Isteriku akan datang di atas tandu.”
“O,” Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Penasehat itu tidak menghiraukan Sumekar
lagi. Juru taman itu ditinggalkannya pada kerjanya di pinggir lorong di
dalam halaman istana. Namun pertanyaan-pertanyaan Sumekar itu memberikan
pertimbangan kepada Penasehat Sri Rajasa, bahwa kegelisahannya itu
dapat dibaca oleh orang lain.
Betapa lama mereka menunggu, namun
akhirnya malam datang juga menyelimuti Singasari. Lampu minyak mulai
menyala dan jalan-jalan menjadi sepi. Pintu-pintu telah tertutup rapat,
karena udara yang dingin bertiup bersama angin dari Selatan.
Kegelisahan di hati Penasehat Sri Rajasa
menjadi semakin memuncak. Demikian juga Sri Rajasa sendiri, sehingga
ketika Penasehatnya datang ke bangsalnya ia berkata, “Kau tetap disini.
Jika ada laporan yang datang, maka orang itu akan dibawa langsung
menghadap.”
“Hamba tuanku,” jawab Penasehat itu.
Namun meskipun mereka mencoba mengisi
waktu yang menegangkan itu dengan berbagai macam persoalan, mereka
ternyata menjadi tidak sabar menunggu.
“Malam menjadi semakin larut. Jika
pagi-pagi benar utusan itu berangkat dari Kediri, maka sekarang ia pasti
sudah datang, atau memasuki kota. Kita akan menunggu sejenak lagi.”
berkata Sri Rajasa.
Tetapi yang mereka tunggu tidak juga
segera datang. Betapa kegelisahan telah memuncak dihati keduanya, namun
tidak seorang-pun yang menghadap dan memberitahukan bahwa ada utusan
datang dari Kediri.
“Mungkin mereka belum mendapat kesempatan
malam kemarin tuanku,” berkata Penasehat Sri Rajasa, “jika demikian,
maka mereka baru dapat melakukannya malam ini. Karena itu, maka kita
masih harus bersabar sehari besok. Besok malam pasti akan datang berita
yang menggembirakan itu.”
Sri Rajasa hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Namun matanya tetap terpancang dikejauhan. Bahkan
sejenak kemudian ia berkata, “Tinggalkan aku sendiri.”
Penasehat Sri Rajasa itu membungkukkan
badannya dalam-dalam. Kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia
meninggalkan Sri Rajasa yang duduk dengan murung.
Namun dalam pada itu, bukan saja Sri
Rajasa dan Penasehatnya sajalah yang menjadi gelisah. Sumekar-pun
menjadi gelisah seperti juga Sri Rajasa.
Oleh kegelisahan yang memuncak, maka
Sumekar-pun tidak dapat duduk diam di dalam biliknya. Dengan hati-hati
ia-pun merayap keluar dan ditempat yang terlindung oleh bayangan
dedaunan ia melocati dinding keluar istana.
“Mungkin aku dapat menemui salah seorang dari mereka,” berkata Sumekar di dalam hatinya.
Meskipun Sumekar tidak pasti, tetapi ia
pergi juga ke tempat yang ditentukan untuk menemui salah seorang dari
kawan-kawan Mahisa Agni.
Sumekar menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahendra seorang diri menunggunya dengan gelisah pula.
“Hampir saja aku pergi,” berkata Mahendra.
“Apakah yang terjadi?”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam.
“Perang memang sudah mulai,” katanya. Lalu, “Ternyata bahwa Ken Arok itu
mulai dengan cara-cara Hantu di Padang Karautan.”
“Apa yang dilakukan?”
“Ia menjadi kasar.” Dan Mahendra-pun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
“Jadi benar dugaanku. Untunglah bahwa Mahisa Agni sempat menyelamatkan diri karena kalian ada di sana.”
“Kaulah yang paling berjasa. Tanpa keteranganmu, kami tidak cukup bersiaga.”
“Itu-pun suatu kebetulan.”
“Baiklah, katakanlah itu suatu kebetulan. Tetapi Mahisa Agni sangat berterima kasih kepadamu.”
Sumekar tersenyum. Ia-pun merasa
bersyukur, bahwa Mahisa Agni telah terlepas dari bahaya maut. Betapa
besar kemampuannya, namun menghadapi orang-orang yang mempunyai ilmu
yang cukup tinggi itu bersama-sama, Mahisa Agni pasti akan mengalami
kesulitan.
“Tetapi kemudian, Mahisa Agni sangat
mencemaskan nasib Putera Mahkota,” berkata Mahendra kemudian, “karena
itu aku membawa pesan dari kakang Mahisa Agni, kau harus mengawasinya
baik-baik. Meskipun kemampuan Putera Mahkota semakin meningkat di
saat-saat terakhir dan bahkan hampir menjadi matang pula, namun apabila
ia dihadapkan pada keadaan yang kasar, seperti yang dihadapi oleh kakang
Mahisa Agni, maka ia akan benar-benar mengalami kesulitan. Adalah sulit
sekali untuk memberikan bantuan kepadanya meskipun kami mengetahui
bahaya yang mengancamnya. Kau adalah satu-satunya orang yang ada di
dalam.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
“Bagaimana dengan tuanku Mahisa Wonga Teleng?”
“Kemampuannya meningkat juga.”
Mahendra merenung sejenak. Lalu, “Memang
sulit bagimu untuk mengikuti serta membinanya. Mungkin tanpa disadarinya
ia menyebut namamu. Dengan demikian semuanya akan menjadi rusak.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, “Memang semakin banyak orang yang mengetahui persoalannya akan
menjadi semakin gawat.”
“Tetapi kau dapat mendesak kepada Putera
Mahkota, agar usahanya menuntun adiknya agak dipercepat. Di dalam
keadaan yang paling sulit, ia akan dapat membantunya betapa-pun kecil
artinya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, hati-hatilah. Besok aku akan kembali ke Kediri.”
“Sampaikanlah kepada kakang Mahisa Agni.
Penasehat Sri Rajasa menjadi sangat gelisah. Mungkin ia menunggu berita
yang datang dari Kediri. Agaknya ia tidak sabar lagi menunggu berita
kematian Mahisa Agni.”
Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Itu adalah
suatu berita yang menyenangkan. Ia akan tetap gelisah sehingga pada
suatu batas tertentu ia akan mengambil sikap. Aku akan minta agar untuk
beberapa hari Mahisa Agni tidak menampakkan diri.”
Keduanya-pun kemudian berpisah. Sumekar
kembali masuk kehalaman istana dengan meloncati dinding. Dengan
hati-hati ia menuju ke biliknya dan duduk beberapa saat di depan pintu.
Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya
yang tegang. Terbayang peristiwa yang terjadi di Kediri. Untunglah bahwa
Mahisa Agni masih tetap mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung,
sehingga ia berhasil menyelamatkan diri.
Sumekar tetap duduk di tempatnya ketika
ia melihat dua orang prajurit peronda yang lewat. Ketika keduanya
melihat Sumekar duduk di depan pintu, salah seorang dari mereka
bertanya, “He, kenapa kau duduk disitu?”
“Aku tidak dapat tidur. Panasnya bukan main di dalam gubugku.”
Kedua prajurit itu tidak menyahut.
Ditinggalkannya Sumekar yang masih tetap duduk ditempatnya memandang
jauh menembus gelapnya malam.
Pada saat itu, ternyata Sri Rajasa sama
sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ternyata tidak ada seorang
utusan-pun yang datang dari Kediri, yang dengan nafas terengah-engah
melaporkan bahwa wakil Mahkota itu telah terbunuh di dalam suatu
perampokan yang paling besar yang pernah terjadi.
“Mungkin malam ini,” demikianlah setiap
kali Sri Rajasa menenterampan dirinya sendiri. Tetapi setiap kali timbul
pertanyaan, “Bagaimana jika gagal dan bahkan Mahisa Agni berhasil
menangkap mereka dan memaksa mereka berbicara?”
Kegelisahan yang sangat telah mencengkam
hati Sri Rajasa. Namun sambil menggeram ia berkata, “Tidak ada yang
dapat membuktikan bahwa aku pernah memerintahkannya. Aku dapat
menganggapnya sebagai suatu fitnah yang keji.” Meskipun demikian Sri
Rajasa masih tetap tidak dapat memejamkan matanya. Kegelisahan yang
sangat selalu mengganggunya.
Demikian jugalah Penasehat yang berjalan
hilir mudik didalam biliknya. Sama sekali tidak dapat dibayangkan apa
yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi seperti Sri Rajasa ia berkata
kepada diri sendiri, “Malam ini. Semuanya akan terjadi malam ini.”
Namun ketika hari berikutnya menjadi
semakin pudar, dan kegelisahan yang sangat telah mencekam hati Sri
Rajasa dan Penasehatnya, namun tidak ada juga seorang-pun yang datang
dari Kediri untuk melaporkan sesuatu yang telah terjadi.
“Gila,” Sri Rajasa bergumam kepada diri sendiri, “apakah mereka tidak berani melakukannya?”
Penasehatnya yang menghadap, sama sekali tidak dapat memberikan jawaban.
“Atau barangkali Mahisa Agni sempat memanggil pada prajurit dan menangkap mereka?”
“Jika demikian tuanku, agaknya pasti akan datang juga laporan tentang perampokan yang gagal itu,” berkata Penasehatnya.
Penasehatnya menundukkan kepalanya.
“Jika sekali ini gagal, aku harus
mempergunakan kekerasan. Aku akan menjatuhkan perintah menangkap Mahisa
Agni tanpa bersembunyi.”
“Jangan tuanku. Alasan apakah yang akan
tuanku pergunakan untuk melakukannya? Tuanku hanya diburu oleh perasaan,
tetapi tuanku harus tetap mempertahankan keseimbangan. Tuanku telah
memberikan petunjuk kepada hamba, bagaimana gagal mempergunakan Kiai
Kisi. Dan tuanku telah berusaha melakukannya dengan cara yang jauh lebih
halus. Jika sekarang tuanku berbuat sebaliknya, maka yang terjadi-pun
akan sebaliknya.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya. Aku tidak boleh
kehilangan akal. Aku harus menyusun rencana sebaik-baiknya.”
Sekilas terbayang hasil yang pernah
dicapai dengan permainannya yang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Jika ia kini berbuat kasar, maka seakan-akan sia-sialah apa yang pernah
dicapainya itu. Bahkan mungkin akan dapat timbul pertentangan di antara
para prajurit di Singasari, sehingga kebesaran Singasari yang sudah
dapat dicapainya selama ini akan menjadi pudar karenanya.
Meskipun demikian ia harus mencari jawab,
bagaimanakah jika Mahisa Agni dapat mengetahui apa yang sudah
dilakukannya. Bukan saja kini, tetapi dengan demikian Mahisa Agni pasti
menelusur masa lampaunya. Kematian pamannya, seorang Empu yang mumpuni,
Empu Gandring.
Demikianlah pada hari berikutnya dan hari
berikutnya tidak juga ada seorang-pun yang datang menghadap, sehingga
kegelisahan Sri Rajasa telah sampai ke puncaknya.
“Akulah yang akan memerintahkan seseorang pergi ke Kediri untuk melihat apa yang sudah terjadi disana,” berkata Sri Rajasa.
“Benar tuanku. Tetapi hamba mohon agar kepergiannya bukan merupakan seorang, utusan resmi tuanku,” berkata penasehatnya.
“Maksudmu?”
“Hamba akan mengirimkan seorang petugas sandi yang dapat hamba percaya untuk mengetahui keadaan sebenarnya.”
Sri Rajasa mengangguk-angguk. Jawabnya, “Lakukanlah.”
Penasehat itu mengerutkan keningnya. Ia
merasakan sesuatu yang aneh pada Sri Rajasa. Seakan-akan gairah
perjuangan yang selama ini menyala di dadanya menjadi semakin pudar.
Nafsu yang membakar hasratnya untuk menjadikan Singasari sebuah negara
yang besar, rasa-rasanya kini sedang mengalami masa surut yang dapat
membahayakan Sri Rajasa sendiri, sehubungan dengan keinginannya
mewariskan tahta kepada Tohjaya, bukan kepada Putera Mahkota.
Tetapi penasehat itu tidak bertanya lagi.
Ia masih harus mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah terjadi di
Kediri. Jika masih ada tanda-tanda yang dapat membangkitkan gairah
perjuangan Sri Rajasa, maka agaknya kesempatan masih belum lewat
seluruhnya.
Namun Penasehat Sri Rajasa itu masih
berusaha, agar Tohjaya tidak melihat kekecewaan yang hampir-hampir telah
mematahkan semua usaha ayahandanya. Penasehat Sri Rajasa itu masih
berusaha, agar bayangan-angan yang suram mulai menghantui ayahandanya,
tidak berpengaruh atas Tohjaya.
Tetapi dalam pada itu, Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa itu sendiri, seakan-akan selalu saja dibayangi oleh
masa lampaunya. Jalan yang dilalui sampai ke Singgasana sekarang ini
bukannya jalan yang bersih dan rata. Tetapi jalan yang berlumuran dengan
darah dan noda-noda kejahatan. Meskipun Singasari sekarang diakui
sebagai suatu hasil perjuangan yang gemilang, namun noda-noda darah itu
rasa-rasanya masih tetap melekat ditangan Sri Rajasa.
Dalam pada itu, Penasehat Sri Rajasa itu
benar-benar telah mengirimkan seorang kepercayaannya dalam tugas sandi.
Ia harus melihat apa yang terjadi di istana wakil Mahkota di Kediri.
Tetapi yang dilihat oleh petugas sandi
itu benar-benar mendebarkan jantung. Ia tetap melihat Mahisa Agni pada
tugasnya tanpa cidera seujung rambutpun. Ia sama sekali tidak mendengar
berita dari orang-orang yang dekat dengan keluarga istana atau-pun
tentang perampokan yang pernah terjadi. Sebagai seorang petugas sandi ia
mempunyai kemahiran mengorek keterangan dari orang-orang yang
dianggapnya berkepentingan. Namun para prajurit yang bertugas di istana
itu-pun tidak pernah mendengar bahwa pernah terjadi keributan di istana
itu.
“Aku harus dapat berhubungan dengan
pelayan-pelayan di istana ini. Bukan sekedar dengan para prajurit yang
setiap kali berganti tugas,” katanya.
Tetapi untuk menghubungi pada abdi di
istana itu memang agak sulit. Tidak banyak jalan yang dapat ditempuh.
Jarang sekali para abdi pergi keluar regol istana.
Setelah melakukan pengamatan beberapa
lamanya, petugas sandi itu melihat, bahwa seorang daripada para abdi itu
agaknya mempunyai keleluasan yang lebih besar dari abdi yang lain.
Setiap kali ia melihat abdi yang seorang itu di regol. Abdi itu pulalah
yang kadang-kadang menyongsong kedatangan Mahisa Agni apabila ia datang
dari istana Kediri yang sampai saat terakhir masih dipergunakan oleh
keluarga terdekat dari Maharaja Kediri yang terkalahkan.
“Orang itu agaknya mempunyai kedudukan yang agak baik di dalam istana itu,” berkata petugas itu di dalam hatinya.
Akhirnya petugas itu berhasil menemui
abdi yang dianggapnya mempunyai kedudukan baik itu. Ternyata orang itu
adalah juru taman, tetapi juga seorang pekatik dan juru pemelihara kuda
khususnya kuda kesayangan Mahisa Agni.
Dan orang itu adalah Kuda Sempana
meskipun ketika petugas sandi itu berhasil memperkenalkan dirinya. Kuda
Sempana menyebut dirinya bernama Ki Jalu.
“Apakah kau sudah lama mengabdikan diri kepada tuanku wakil Mahkota,” bertanya petugas sandi itu.
“Sudah. Aku berada di istana ini sejak
tuanku Mahisa Agni memasuki istana ini. Pamanku adalah abdi istana ini
sejak muda. Pamanku itulah yang membawa aku masuk ke istana itu.”
“Ki Sanak,” berkata petugas sandi itu, “apakah kau dapat menolong aku mengusahakan pekerjaan di istana itu?”
Kuda Sempana memandanginya dengan
saksama. Lalu, “Aku kira tidak ada yang menarik bekerja di istana itu.
Mahisa Agni adalah orang yang paling kikir dari setiap pemimpin yang
pernah aku jumpai.”
“Benar begitu?”
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya.
Namun sejak semula Kuda Sempana sudah menaruh curiga, bahwa orang itu
pasti mempunyai kepentingan yang khusus dengan abdi yang mungkin dapat
dikenalnya.
“Terlalu kikir. Kadang-kadang timbul suatu keinginan yang jahat dihati ini.”
“Kenapa?”
“Kadang-kadang aku ingin mencuri atau kalau aku memiliki kemampuan, ingin juga rasa-rasanya merampok isi istana ini.”
Petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah memang pernah terjadi perampokan.”
“Hanya orang gila yang membunuh diri yang
berani melakukannya. Setiap orang tahu, bahwa tuanku Mahisa Agni tidak
ada duanya di Kediri.”
“Bagaimana jika empat atau lima orang bersama-sama.”
“Bodoh sekali. Ada sepuluh orang prajurit
yang setiap malam berjaga-jaga di halaman ini. Jika dihitung dengan
semua laki-laki yang tinggal di bagian belakang, ada lebih dari
dua-puluh orang.”
“Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit biasa. Bagaimana jika yang datang itu lima orang pilihan seperti tuanku Wakil Mahkota.”
Kuda Sempana tertawa. Katanya, “Itu suatu
mimpi buruk. Sudahlah, jangan mencoba menjadi hamba di istana itu. Aku
yang sudah terlanjur bekerja pada Wakil Mahkota, rasa-rasanya ingin
mendapatkan pekerjaan lain yang lebih bebas.”
Petugas sandi itu mengerutkan keningnya.
Ia harus mendapat keterangan, apakah pernah terjadi sesuatu di istana
itu. Apakah orang-orang yang ditugaskan oleh Sri Rajasa untuk membunuh
Mahisa Agni sudah melakukan usahanya.
Tetapi ternyata menurut juru taman, di
istana ini tidak pernah terjadi sesuatu. Tidak pernah terjadi
perampokan, apalagi usaha pembunuhan. Jika hal itu terjadi, maka juru
taman ini pasti akan menceriterakan kepadanya.
“Jadi,” berkata petugas sandi itu, “tidak ada seorang perampok-pun yang pernah mencoba melakukan perampokan di istana ini?”
Kuda Sempana menggeleng. Tetapi kecurigaannya kepada orang ini-pun menjadi kian bertambah.
“Atau barangkali kau sedang tidak ada di istana?”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Aku tidak pernah pergi untuk waktu yang lama. Memang aku
kadang-kadang menengok keluargaku jauh dari kota. Tetapi tidak lebih
dari semalam, aku sudah kembali lagi.”
“Jika yang semalam itu.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Katanya, “Tentu ada juga orang lain yang mengatakannya. Mereka pasti
akan berceritera tentang perampokan itu. Tetapi aku tidak pernah
mendengarnya. Dan aku juga tidak pernah melihat perampok-perampok yang
tertawan atau terbunuh. Jika mereka tertangkap, mereka pasti ada
ditangan para prajurit, sedang jika mereka terbunuh, mereka pasti akan
dikuburkan.”
Petugas sandi itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata para perampok yang mendapat tugas untuk membunuh
Mahisa Agni itu tidak pernah melakukan tugasnya sebagaimana yang pernah
disanggupinya.
Tetapi petugas sandi itu tidak langsung
mempercayai keterangan Kuda Sempana. Ia masih mengharap keterangan dari
orang-orang lain, karena mungkin juru taman itu tidak mengetahui
persoalan itu atau mungkin ia sengaja menyembunyikannya.
Namun hampir setiap orang yang
dihubunginya, mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar tentang
sebuah perampokan yang terjadi di istana, sehingga akhirnya petugas itu
yakin bahwa memang perampok itu tidak pernah terjadi.
Dengan hati yang berdebar-debar petugas
itu-pun kembali ke Singasari. Jika penasehat Sri Rajasa itu tidak
mempercayainya, maka ia akan dapat dituduh melakukan tugasnya sebaiknya.
Namun menurut penilaiannya, sesuai dengan keterangan-angan yang
didengarnya, maka laporan yang dibawanya itu adalah suatu kebenaran.
Penasehat Sri Rajasa dapat mengirimkan petugas yang lain yang pasti akan
mendapat keterangan yang sama pula.
Sebenarnya, bahwa keterangan itu tidak
langsung dapat dipercaya. Meskipun penasehat Sri Rajasa itu tidak
mempersoalkannya, namun diam-diam ia mengirimkan orang lain untuk tidak
mempersoalkan tugas yang sama. Tetapi keterangan yang diterimanya tidak
berbeda. Di istana wakil Mahkota di Kediri, tidak pernah terjadi
sesuatu. Apalagi pembunuhan. Mahisa Agni masih tetap berada di istana
itu dan melakukan tugasnya seperti biasa.
“Gila,” Sri Rajasa menggeram, “apakah
sebenarnya yang mereka lakukan? Apakah keuntungan mereka dengan
melakukan penipuan serupa itu. Ia tidak akan dapat memeras aku dengan
rahasia yang didengarnya atas usaha pembunuhan terhadap Mahisa Agni.
Tidak akan ada seorang-pun yang mempercayainya dan ia akan segera aku
binasakan atas dukungan para panglima.”
“Tentu bukan itu maksudnya tuanku.”
“Jadi apa?”
“Itulah yang hamba tidak tahu.”
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu
sejenak. Namun tampak pada sorot matanya, bahwa seakan-akan ia telah
dicengkam oleh kelelahan yang amat sangat. Wajahnya seakan-akan sudah
tidak memancarkan kebesaran pribadinya sebagai seorang Maharaja yang
telah berhasil mempersatukan seluruh Singasari.
“Tuanku,” berkata Penasehat Sri Rajasa,
“perkenankanlah hamba pergi kepadepokan mereka. Perkenankanlah hamba
melihat, apakah mereka ada di sarangnya. Dengan demikian, tuanku akan
mendapat gambaran yang sebenarnya dari orang-orang itu.”
Sri Rajasa mengangguk-angguk kosong. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Pergilah.”
Dihari berikutnya Penasehat Sri Rajasa
itu-pun benar-benar pergi menyelusuri jejak para perampok yang mendapat
tugas untuk membinasakan Mahisa Agni.
Namun yang dijumpainya dipadepokan itu
benar-benar telah menggoncangkan perasaannya. Dari para murid yang masih
tinggal, penasehat Sri Rajasa itu mendengar, bahwa guru mereka bersama
saudara-saudara seperguruan mereka, telah pergi beberapa lama, dan
sampai sekarang masih belum kembali.
Ternyata kedatangannya adalah sia-sia. Ia
sama sekali tidak mendapat gambaran dari apa yang sudah terjadi. Ia
sama sekali tidak dapat menduga, kemanakah mereka pergi dari apakah yang
sudah terjadi atas mereka.
Karena itu, sambil menundukkan kepada
dalam-dalam, penasehat Sri Rajasa kembali ke Singasari dan menyampaikan
hasil perjalanannya.
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil menatap ke kejauhan ia berkata, “Mendung yang tebal sedang memayungi Singasari.”
“Tetapi matahari akan segera bersinar
kembali tuanku. Hamba akan tetap berusaha, apa-pun yang akan mungkin
terjadi atas hamba. Tetapi putera tuanku dan tuan puteri Ken Umang itu
memang sepantasnya menggantikan kedudukan tuanku.”
Sri Rajasa tidak menyahut. Tetapi ia masih tetap memandang ke kejauhan.
“Tuanku, bagaimanakah jika hamba mengatakan rahasia yang sebenarnya kepada tuanku Anusapati, agar ia menyadari dirinya sendiri?”
“Maksudmu?”
“Putera Mahkota itu harus menyadari,
bahwa sebenarnya ia tidak berhak menggantikan kedudukan tuanku menjadi
Maharaja di Singasari, karena tuanku Anusapati sama sekali bukan putera
tuanku.”
“Gila.” Sri Rajasa menggeram, “kau sudah
gila. Itu tidak akan bermanfaat. Ia akan bertanya siapakah ayahnya, dan
ia akan bertanya, siapakah yang membunuh ayahnya.”
“Tidak seorang-pun yang tahu, dan tidak
seorangpun, yang akan dapat memberitahukan kepadanya. Apalagi ayahnya
hanyalah seorang Akuwu Tumapel, sama sekali tidak berarti apa-apa
dibandingkan dengan Singasari sekarang.”
“Tetapi Tumapel adalah sumber kekuasaan
Singasari sekarang. Dan ia akan tetap merasa berhak atas tahta Tumapel
yang mendapatkan bentuknya yang sekarang.”
“Tuanku Anusapati tidak akan berani
berbuat demikian tuanku. Ia tidak melihat apa yang sudah terjadi.
Meskipun seandainya ibunda tuanku Anusapati berceritera tentang masa
lampau, namun ia dapat tidak akan terlalu banyak menyinggung tentang
Akuwu Tumapel.”
Tetapi Sri Rajasa menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kau melupakan seseorang yang mengetahui terlampau
banyak apa yang telah terjadi.”
Penasehatnya mengerutkan keningnya.
“Mahisa Agni. Ia memang sumber dari awan
gelap yang membayangi tahta Singasari sekarang, sehingga rasa-rasanya
aku telah duduk diatas bara yang menyala.”
Penasehat Sri Rajasa itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Mahisa Agni adalah seorang
manusia yang seakan-akan memiliki keajaiban. Sri Rajasa adalah seorang
yang ajaib, tetapi ia tidak mampu melenyapkan Mahisa Agni dengan
berbagai macam cara.
Bahkan orang-orang yang paling dipercaya
yang dikirim ke Kediri itu bagaikan telah hilang tanpa bekas. Tidak
seorang-pun di Kediri yang pernah menceriterakan tentang kehadiran
mereka, tetapi ternyata mereka telah hilang begitu saja.
“Sesuatu peristiwa yang hampir tidak
dapat aku mengerti,” berkata Sri Rajasa kemudian. “kemanakah sebenarnya
orang-orang itu pergi. Apakah mereka mengurungkan niatnya, atau mereka
telah disergap oleh petugas-tugas sandi Mahisa Agni sebelum mereka
sampai ke istana.”
“Dimana Mahisa Agni dapat mengetahuinya
tuanku. Hanya kita sajalah yang mengetahui bahwa orang-orang itu akan
membunuh Mahisa Agni di istananya dan merampoknya sekali.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
menarik nafas dalam-dalam. Bayangan-angan yang semakin suram tampak di
angan-angannya. Bahkan kadang-kadang ia merasa bahwa Dewa-dewa yang
selama ini melindunginya, sejak ia masih berkeliaran di Padang Karautan,
telah meninggalkannya sama sekali.
Setiap kali terbayang usahanya
menyeberangi sebuah sungai dengan daun tal karena petunjuk sebuah suara
dari langit. Terbayang kembali ceritera tentang kelelawar yang
seakan-akan keluar dari kepalanya di malam hari ketika ia menginginkan
buah jambu yang bergantungan di batangnya.
Banyak ceritera-ceritera ajaib tentang
dirinya yang sama sekali tidak diketahuinya sendiri bagaimana hal itu
dapat terjadi. Yang kemudian dianggapnya bahwa semua itu adalah tuntunan
dewa-dewa yang mengasihinya seperti yang dikatakan oleh Empu Purwa.
Pertama kali ia bersentuhan dan mengenal Yang Maha Agung adalah karena
ia bertemu dengan seorang pendeta dan muridnya yang bernama Mahisa Agni
itu.
Tiba-tiba saja Sri Rajasa menutup
wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya, seakan-akan cahaya yang
silau telah memancar dan menyorot wajahnya. Cahaya sebuah trisula kecil
yang dimiliki oleh Empu Purwa.
Semuanya seakan-akan telah terjadi sekali
lagi di dalam angan-angannya. Dan semuanya itu rasa-rasanya telah
membuatnya semakin berkecil hati.
“Memang Mahisa Agni bukan manusia kebanyakan.” tiba-tiba ia berdesis.
“Apakah maksud tuanku?”
Sri Rajasa mengangkat wajahnya.
“Tuanku tidak boleh berputus-asa.
Ingatlah, bahwa tuanku Tohjaya sudah mulai. Jika kerja ini terhenti di
tengah jalan, alangkah pedihnya hati putera tuanku itu. Ia pasti tidak
akan memiliki hari depan yang terang.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya.
Ternyata kata-kata penasehatnya itu dapat menyentuh hatinya. Meskipun ia
berputus asa dan kehilangan gairah perjuangannya, namun ia tidak dapat
membiarkan Tohjaya korban keputus-asaannya itu, sehingga apabila ia
masih tetap berbuat sesuatu, maka segalanya itu hanyalah untuk Tohjaya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni-pun
menyadari pula, bahwa banyak hal dapat terjadi. Bukan saja atas dirinya,
tetapi juga atas Putera Mahkota.
Itulah sebabnya hampir setiap saat ia memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan untuk keselamatan Anusapati.
Waktu masih tetap beredar terus. Demikian
juga Singasari yang tampak megah itu masih juga memerintah
daerah-daerah yang telah dipersatukan oleh Sri Rajasa menjadi suatu
daerah lingkup yang luas. Sedang Mahisa Agni masih juga tetap berada di
Kediri. Namun waktu yang berkisar terus itu-pun ternyata telah
melibatkan bumi seisinya. Yang tua menjadi semakin tua, dan yang telah
tidak dapat bertahan lagi, kemudian dipanggil kembali keasalnya.
Tidak seorang-pun lagi yang tahu,
kemanakah perginya orang-orang seperti Empu Purwa, Empu Sada, Panji
Bojong Santi dan yang lain lagi yang sebaya dengan mereka. Setiap orang
menganggap bahwa mereka telah menemukan jalannya kembali. Juga ibu
Mahisa Agni yang ada di istana Singasari, sebagai seorang emban, telah
berlalu diiringi oleh tangis Ken Dedes yang merasa menjadi momongannya
sampai saat terakhir. Namun yang sampai saat terakhir masih juga tidak
mengenal siapakah sebenarnya perempuan itu, dan apa hubungannya dengan
Mahisa Agni.
Tetapi ternyata bahwa beban itu tidak
dapat disimpannya sampai akhir hayatnya. Di saat maut menyentuhnya, ada
orang yang menjadi ajang untuk menumpahkan perasaannya yang selama ini
menjadi rahasia baginya.
“Tidak seorang-pun yang boleh mengetahuinya,” berkata emban tua itu. “Apalagi tuanku Permaisuri sendiri.”
Dan perempuan yang mendapat kepercayaan
itu adalah emban Anusapati, yang semula adalah perempuan yang dipasang
oleh Ken Umang justru untuk menyesatkan Putera Mahkota, namun yang
akhirnya justru mengenal dirinya sebagai manusia yang beradab dan tanpa
menghiraukan yang dapat terjadi telah benar-benar mengasuh Anusapati
sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian, maka hubungan ibu dan anak
telah mendekatkan hubungan kedua emban pemomong itu.
Dikala saat-saat terakhir sudah mulai
menyentuhnya, semua rahasia tentang dirinya dikatakannya kepada emban
itu, sekedar untuk mengosongkan dirinya, agar maut tidak dibebani oleh
rahasia yang belum terungkapkan.
Karena itulah maka emban itu tidak
menjadi heran, melihat Mahisa Agni, seorang Senapati Agung yang pernah
mengalami peperangan yang paling dahsyat menitikkan air matanya di
saat-saat terakhir dari hidup emban itu.
Demikianlah yang berlalu telah berlalu.
Dan emban itu-pun semakin lama menjadi semakin tua. Namun seperti emban
pemomong Ken Dedes yang kemudian menjadi permaisuri, rahasia itu tetap
merupakan rahasia baginya.
Namun setiap kali timbul pula pertanyaan
dihati emban Putera Mahkota yang menjadi semakin tua pula, apakah di
saat-saat akhir hayatnya ia juga akan tetap membawa rahasia itu?
“Ibunda tuanku Mahisa Agni yang menjadi
wakil Mahkota di Kediri itu tidak dapat menahan rahasia itu di dalam
dirinya sendiri pada saat-saat terakhir. Jika tiba saatnya, aku nanti
akan mengalaminya, apakah aku harus mencari tempat yang paling baik
untuk meninggalkan pesan itu, seperti juga ibunda tuanku Mahisa Agni
itu?” pertanyaan serupa itu selalu membayangi hati emban pemomong
Anusapati yang semakin hari menjadi semakin tua pula.
Dalam pada itu, untuk beberapa lamanya
istana Singasari seolah-olah menjadi tenang. Sri Rajasa yang selalu
kecewa itu seakan-akan telah kehilangan gairah perjuangannya untuk
menempatkan Tohjaya di atas tahta Singasari. Hanya karena dorongan
penasehatnya sajalah ia masih tetap memikirkan cara yang sebaik-baiknya
untuk melakukannya. Tetapi setiap kali, jalan yang disusunnya selalu
sampai pada kesulitan yang tidak teratasi. Apalagi semakin lama
kedudukan Anusapati rasa-rasanya semakin mapan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa
Tohjaya-pun tidak tinggal diam. Atas sepengetahuan ayahandanya, ia
mendekati para panglima prajurit Singasari dan segala kesatuan. Dengan
berbabagai cara, ia berusaha untuk dengan perlahan-lahan menguasainya
seorang demi seorang. Dengan berbagai macam pemberian dan janji yang
mengawang mengharap dukungan dari para Panglima apabila terjadi sesuatu
kelak.
“Kekuatan Singasari terletak di tangan kalian,” berkata Tohjaya setiap kali.
Bukan saja Tohjaya, tetapi juga Sri
Rajasa mengharap mereka pada suatu saat menentukan sikap apabila mereka
berdiri di persimpangan jalan.
“Apakah yang sebenarnya akan terjadi tuanku?” bertanya salah seorang Panglima.
“Tidak ada apa-apa,” sahut Sri Rajasa,
“Singasari akan tetap menjadi Singasari yang besar. Keturunan Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi harus tetap di atas tahta.”
Para Panglima itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi mereka masih belum tahu apakah sebenarnya yang telah
melibat Singasari sehingga Sri Rajasa tampaknya membayangkan kecemasan
menghadapi masa depannya.
Dalam pada itu, Anusapati mencoba untuk
menempatkan diri pada tempat yang sewajarnya. Kadang-kadang tanpa ijin
Ayahanda Sri Rajasa ia telah melakukan tindakan-akan yang memang
sewajarnya dilakukan oleh seorang Putera Mahkota.
Selain tugasnya di dalam pemerintahan,
maka di dalam lingkungan keluarganya-pun Anusapati nampaknya tidak
terlalu kecewa. Anaknya, seorang laki-laki semakin lama nampak menjadi
semakin besar. Wajahnya yang tampan serta badannya yang kokoh
membayangkan harapan dimasa mendatang baginya.
Emban pemomong Anusapati itulah yang
selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti merawat cucunya
sendiri. Hampir setiap saat anak itu tidak terpisah daripadanya, kecuali
apabila anak itu sedang tidur di dalam pelukan ibundanya.
Hampir sebaya dengan putera Anusapati
itu, putera Mahisa Wonga Teleng-pun tumbuh dengan suburnya pula.
Sehingga setiap kali kedua anak-anak yang segar itu menghadap
Permaisuri, maka keduanya adalah penawar duka dan keprihatinan yang
hampir dialami sepanjang umurnya. Kedua cucu laki-laki itu bagaikan
permainan yang tidak akan pernah menjemukannya.
Namun dalam pada itu, kecemasan Mahisa
Agni atas keselamatan Anusapati semakin lama justru menjadi semakin
dalam menghunjam dihatinya. Ada semacam firasat didalam dirinya, bahwa
usaha Tohjaya untuk menyingkirkan Anusapati pasti akan selalu
dilakukannya. Kapan dan bagaimana-pun cara yang akan ditempuhnya.
Karena itu, ketika kecemasannya memuncak,
maka diambilnya suatu kesempatan untuk menemui Putera Mahkota itu tanpa
diketahui oleh siapa-pun juga.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “kau
harus mengetahui bahwa bahaya yang ada disekelilingmu bukannya sekedar
bahaya yang mengancam kedudukanmu. Tetapi juga keselamatan jiwamu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang hampir tidak masuk akal, bahwa
kau-pun harus mempersiapkan diri menghadapi siapa-pun juga di dalam
istana ini. Bahkan ayahandamu Sri Rajasa.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Bagaimana mungkin hal itu terjadi paman?”
“Memang hampir tidak masuk akal. Tetapi
kau harus menyadari bahwa pengaruh Ken Umang sangat mencengkam hampir
segenap segi kehidupan Sri Rajasa,” jawab Mahisa Agni. Namun untuk
sesaat suaranya terputus. Hampir saja ia mengatakan bahwa sebenarnyalah
bahwa Anusapati bukan putera Sri Rajasa. Namun kata-kata yang
seakan-akan sudah berada ditenggorokannya itu ditelannya kembali.
“Sudah barang tentu bahwa kau tidak boleh
berprasangka terlalu buruk terhadap ayah sendiri, tetapi kau harus
bertolak dari sikap Ken Umang. Ialah yang sebenarnya sangat bernafsu
untuk menyingkirkan kau dan menempatkan Tohjaya pada tempatmu yang
sekarang. Masalah sama sekali bukan mempertahankan kedudukan, tetapi
bagiku, kau harus membela kehormatan ibumu sebagai seorang Permaisuri.
Kedudukan Putera Mahkota harus berada di tangan putera laki-laki seorang
Permaisuri. Bukan pada putera laki-laki yang lain. Dan kau adalah orang
yang paling berwenang untuk menjadi Putera Mahkota, juga atas
kehormatan ibundamu, Pemaisuri. Jika kau tersisih, maka alangkah malunya
ibundamu sebagai seorang Permaisuri.”
Anusapati mendengarkan keterangan Mahisa
Agni itu kata demi kata. Namun demikian ia tidak dapat mengerti, bahwa
begitu besar pengaruh Ken Umang, seorang isteri muda sehingga seorang
ayah akan sampai hati menyingkirkan, meskipun tidak dalam arti yang
sangat jauh, namun hal itu pasti akan menghancurkan hari depan anaknya
sendiri yang lahir dari isterinya yang lain.
Namun Anusapati menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian Anusapati tidak dapat
mengabaikan peringatan Mahisa Agni. Jika hal itu benar-benar terjadi,
maka ia pasti harus berbuat sesuatu. Sedang di dalam istana itu hanya
ada seorang saja yang dapat dipercaya untuk membantunya jika ia berada
dalam kesulitan. Mahisa Wonga Teleng, meskipun dengan kesungguhan hati
berlatih hampir siang dan malam, namun ia tidak dapat segera melonjak ke
tempat yang lebih tinggi dari yang dapat dicapainya setingkat demi
setingkat.
Tetapi menurut tanggapan Anusapati, tentu
ada tangan lain yang akan dipinjam seandainya ada niat yang buruk
terhadapnya dari siapa-pun juga. Mungkin dari Tohjaya sendiri atau
mungkin dari Ken Umang dengan atau tidak dengan ijin Ayahanda Sri
Rajasa.
“Tentu tidak akan ada tindakan yang dapat
langsung dikenakan atas diriku sebagai seorang Putera Mahkota,” berkata
Anusapati di dalam hatinya, “apalagi sebagai orang yang dikenal dengan
gelar Kesatria Putih. Meskipun kini Kesatria Putih sudah tidak begitu
banyak bertindak di daerah-daerah yang jauh dari istana, namun
orang-orang Singasari masih tetap menghargainya. Jika ada tindakan
terhadapku, pasti dengan cara-cara yang seperti pernah dilakukan.
Langsung ditujukan kepada Kesatria Putih seperti yang pernah terjadi
atas paman Kuda Sempana.”
Namun ternyata Mahisa Agni berpendapat
lain. Meskipun tidak secara langsung, namun ia berkata kepada Anusapati,
“Anusapati, tanpa mengurangi hormat dan bakti seorang anak kepada orang
tuanya, maka setiap orang berhak membela diri dan hidupnya.”
“Paman,” wajah Anusapati menjadi tegang.
“Aku berbicara dengan jujur Anusapati.
Aku sama sekali tidak bermaksud memisahkan kau dari ayahandamu, atau kau
dengan saudara-saudaramu. Tetapi aku hanya menuruti kata hati yang
barangkali dapat keliru, dan aku memang mengharap agar aku salah raba.”
Anusapati menjadi semakin tegang.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “aku
ingin memberikan suatu ceritera kepadamu. Ceritera tentang seorang yang
memiliki kelebihan dari orang lain. Bahkan hampir suatu keajaiban. Orang
yang memiliki ilmu tanpa berguru, dan bahkan ilmunya telah menyamai
orang yang paling mumpuni sekalipun. Orang itu ternyata adalah kekasih
dewa-dewa. Ada banyak ceritera tentang orang itu, namun ciri yang dapat
ditangkap oleh indera yang mendekati sempurna adalah pertanda di atas
ubun-ubunnya apabila orang itu sedang memusatkan kehendak dan
perasaannya untuk sesuatu sasaran. Apabila ia sedang marah, berpikir
tentang sesuatu hal dengan segenap perhatiannya, atau mengerahkan tenaga
jasmaniah sampai ke dasar kekuatannya. Dan segala macam pemusatan
pikiran dan kehendak di dalam segala macam bentuknya.”
Anusapati mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat, meskipun ia masih belum tahu kemanakah arah pembicaraan itu.
“Apakah ujud dari tanda itu paman?” Anusapati bertanya.
“Cahaya yang kemerah-merahan di atas ubun-ubun itu.”
“Cahaya kemerah-merahan. Maksud paman, ubun-ubunnya bercahaya?”
“Bukan Anusapati. Tetapi di atas
ubun-ubun itu seakan-akan ada lingkaran cahaya yang kemerah-merahan.
Tetapi cahaya itu tidak jelas dan tidak dapat disentuh dengan indera
biasa. Mata wadag kita tidak akan dapat melihatnya begitu saja tanpa
dilambari oleh ketajaman mata hati.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan tanda itu adalah tanda yang
diberikan oleh dewa yang melindungi orang itu. Dan tanda yang
kemerah-merahan itu adalah tanda dari kelebihan yang tidak dimiliki oleh
kebanyakan orang.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah orang yang demikian itu masih ada paman?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Tetapi dalam kesatuan kehendak dewa-dewa menurunkan kelebihan
lain pada orang lain, agar tidak ada kelebihan yang mutlak di dunia ini.
Atas kesatuan dari yang berujud dan yang tidak, satu itulah seakan-akan
telah diatur, bahwa yang satu selalu diimbangi oleh yang lain. Karena
itu, maka didunia ini-pun ada sebuah benda yang memiliki kelebihan dan
katakanlah keajaiban”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
“Benda itu berbentuk sebuah trisula. Tetapi terlalu kecil untuk dijadikan senjata wadag di dalam perkelahian.”
“Jadi?”
“Anusapati. Kelebihan yang satu dapat
diimbangi dan bahkan seakan-akan dapat dihapuskan dari kelebihan yang
lain. Trisula itu mempunyai cahaya yang dapat menyilaukan. Orang yang
menjadi kekasih-kekasih dewa-dewa dengan cahaya yang kemerahan di
ubun-ubun itu, tidak dapat menghindarkan diri dari silaunya trisula yang
juga diberikan oleh dewa-dewa. Dan imbangan yang demikian hendaknya
memang selalu ada di muka bumi.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mulai sadar, bahwa ceritera itu pasti ada hubungannya dengan dirinya sendiri.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian. “adalah berbahagia sekali bagi mereka yang mendapat
kepercayaan dari Yang Maha Agung.”
“Ya. Berbahagialah yang mendapat kepercayaan dari Yang Maha Agung dalam Ke-Esaan itu.”
“Tetapi itu menjadi suatu tanggung jawab yang maha berat pula, yang tidak dapat dipikul oleh setiap orang.”
“Ya paman,” gumam Anusapati seolah-olah kepada diri sendiri.
Mahisa Agni-pun menarik nafas
dalam-dalam. Dengan perlahan-lahan ia mencoba mempersiapkan hati
Anusapati untuk menerima kenyataan keadilan dari Yang Maha Agung.
Karena itu, maka katanya kemudian,
“Anusapati, di masa Singasari mengalami pergolakan yang dahsyat di
dalam, meskipun dari luar tidak nampak sama sekali, orang-orang yang
menjadi kekasih dewa-dewa itu masih berperan. Kau masih akan dapat
mengenal seseorang yang memiliki tanda ajaib di atas ubun-ubunnya, dan
kau masih juga dapat mengenal trisula kecil yang menyilaukan itu. Tetapi
selagi ia masih bernama manusia dengan segala macam sifat-sifatnya,
maka ia tidak akan dapat mengemban kepercyaan yang melimpah kepadanya
dengan sempurna. Ia masih dapat menyalahgunakan kelebihan yang ada
padanya itu. Dan ia masih dapat dipengaruhi oleh nafsu-nafsu manusia
yang lain.”
Anusapati masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar, ujung dari ceritera
pamannya itu. Tetapi Anusapati tidak berani memotong. Ia mendengarkan
dengan penuh minat dan dengan dada yang berdebaran, seperti ia harus
menunggu saat-saat yang menegangkan di saat-saat kelahiran anaknya.
Mahisa Agni memandang wajah Anusapati
yang menegang. Sejenak kemudian ia-pun berkata pula, “Anusapati, apakah
kau ingin mengetahui orang-orang itu?”
“Ya paman. Hampir aku tidak dapat menahan
hati untuk tidak bertanya. Tetapi aku berusaha menunggu agar aku tidak
bersikap keliru.”
(bersambung ke jilid 73).
No comments:
Write comments