“O,” Anusapati mengerutkan keningnya.
“Tidak ada seorang-pun yang mengetahui
darimana Sri Rajasa menemukan kelebihan yang bersumber dari kekuasaan
Yang Maha Agung itu. Namun dapat dipercaya bahwa ia menerima suatu
anugerah yang jarang diterima oleh orang lain sejak kanak-anaknya.
Karena itulah maka Ken Arok memiliki kemampuan melampaui kemampuan
manusia biasa tanpa berguru kepada siapa-pun juga, karena kemampuan itu
langsung berasal dari sumbernya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa
ayahandamu adalah manusia biasa. Manusia dengan segala macam nafsu
kemanusiaannya. Yang dapat kau lihat dengan jelas, bagaimana ia jatuh
dibawah pengaruh Ken Umang, karena Ken Umang adalah seorang perempuan
yang cantik menurut ukuran manusia. Dan ayahandamu Sri Rajasa tidak
mampu memisahkan kelebihannya sebagai manusia biasa dan kehadirannya
dengan sifat-sifat manusiawi yang wajar.”
Anusapati menjadi tegang sejenak.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah menjadi
seorang ayah, sehingga kau harus juga berpikir dewasa. Karena itu, kau
harus menanggapi setiap persoalan dengan dewasa pula.”
Anusapati menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Berbanggalah bahwa kau adalah seorang putera dari Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa.”
Anusapati menganggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah yang harus berbangga paman. Aku atau Adinda Tohjaya?”
“Kau dan adindamu Tohjaya. Juga Mahisa
Wonga Teleng dan adik-adikmu yang lain yang lahir dari ibunda Ken Dedes
dan yang lahir dari ibunda Ken Umang.”
“Ya paman. Kami memang harus berbangga.
Tetapi apakah arti dari kebanggaan kami bahwa kami hidup dalam keadaan
yang tidak sejalan. Aku sendiri selalu berada di dalam keadaan yang
pahit dan hampir setiap tarikan nafas, aku harus berhati-hati, waspada
dan menjaga diri karena setiap tarikan nafas, aku selalu dibayangi oleh
bahaya seperti yang paman katakan.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Itu adalah segi-segi kehidupan yang penuh dengan
rahasia, yang hampir tidak dapat dimengerti oleh seseorang. Tetapi
bukankah kau sampai saat ini berhasil menghadapinya dengan tabah.”
Anusapati mengangguk. Namun katanya
kemudian, “Tetapi aku hampir tidak dapat mempercayainya bahwa aku akan
dapat bertahan terus dalam keadaan seperti ini. Seperti pesan paman, aku
bukan sekedar mempertahankan kedudukan. Tetapi juga nama ibunda
Permaisuri. Tetapi aku tidak yakin bahwa aku akan mampu melakukannya.
Aku berada di istana Singasari, sedang istana ini bagaikan perapian yang
setiap saat dapat membakar aku. Aku tidak mengerti paman. Hampir-hampir
aku tidak percaya bahwa aku adalah putera Ayahanda Sri Rajasa seperti
Adinda Tohjaya.”
“Anusapati,” desis Mahisa Agni.
“Tetapi tidak seorang-pun yang dapat
mendengar pertanyaan yang selalu bergejolak di dalam hati ini. Semakin
aku mendalami kehidupan ini dalam segala segi dan bentuknya, semakin aku
menjadi ragu-ragu.”
“Jangan berpikir demikian Anusapati.”
“Pamanda Mahisa Agni,” berkata Anusapati
kemudian, “jika aku tidak takut menyinggung perasaan Ibunda Permaisuri,
aku ingin bertanya, apatah ada sesuatu yang mendahului peristiwa
kelahiranku sehingga Ayahanda Sri Rajasa menganggap aku sebagai seorang
asing saja disini, bahkan kadang-kadang tampak sekali sikapnya yang
memusuhi aku.”
“Jangan Anusapati. Jangan kau tanyakan
hal itu kepada Ibunda Permaisuri. Hal itu tentu akan menyinggung
perasaannya, seolah-olah kau tidak percaya kepada ibunda bahwa ibunda
telah tersentuh oleh persoalan yang membuat ayahandamu bersikap lain
kepadamu.”
Anusapati menundukkan kepalanya. Tetapi
sebenarnyalah bahwa hatinya sedang diusik oleh pertanyaan tentang masa
kelahirannya atau bahkan sebelumnya. Sebagai seorang yang telah dewasa
sepenuhnya. Anusapati mengetahui, bahwa hubungan seorang suami dengan
isterinya dipengaruhi oleh banyak sekali persoalan-persoalan yang
kadang-kadang di luar sadar, tumbuh semakin mekar. Demikian juga agaknya
persoalan dirinya sendiri yang telah membuat jurang yang semakin dalam
di dalam hubungan ayah dan ibunya.
Namun Anusapati-pun mengerti, pertanyaan
itu pasti akan sangat menyinggung perasaan ibunya, sebagai seorang
Permaisuri dan sebagai seorang isteri.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni,
“persoalan yang kau hadapi harus kau tumpukan kepada dirimu sendiri. Kau
harus bertahan. Kau harus tetap pada kedudukanmu. Jika sesuatu keadaan
masih juga ingin memaksamu, maka kau wajib membela diri. Disini ada
seorang pengalaman yang dapat membantumu.”
“Paman Sumekar?”
“Ya. Orang dari Batil itu akan merupakan
seorang pembantu yang baik. Ia akan selalu mendampingi kau dalam segala
keadaan. Ketahuilah, bahwa kematangan ilmunya dapat kau yakini meskipun
ia masih belum berhasil menyamai kakak seperguruannya Kuda Sempana.
Namun di dalam saat-saat yang gawat, ia akan dapat berbuat banyak
untukmu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Juru taman itu adalah orang yang sangat baik baginya.
“Namun demikian Anusapati,” berkata
Mahisa Agni, “jika pada suatu saat semuanya tidak dapat kau atasi dengan
kemampuanmu, maka kau mempunyai sarana yang barangkali dapat
melindungimu.”
Anusapati mengerutkan keningnya.
“Bukankah aku sudah berbicara tentang
sebuah Trisula yang sampai saat ini turun temurun dari tangan ke tangan.
Dari seorang guru kepada muridnya yang paling dipercaya?”
“Maksud paman?”
“Anusapati. Aku adalah murid satu-satunya
dari guruku. Dan guruku adalah kakekmu, ayah dari ibunda Permaisuri.
Kau tahu, bahwa ibundamu adalah adik angkatku?”
“Ya paman.”
“Ia sudah seperti adikku sendiri karena
selain anak angkat aku juga sebagai murid satu-satunya. Itulah sebabnya
aku menerima warisan yang turun temurun itu.”
“Trisula yang paman katakan?”
“Ya. Aku sudah menerima sesuatu yang
tidak dapat dilakukan oleh kemampuan manusia. Tidak ada Empu yang
bagaimana-pun saktinya dapat membuat senjata serupa itu. Empu Gandring
yang terbunuh, pamanku itu-pun tidak akan dapat membuatnya.”
“Karena trisula itu berasal bukan dari kemampuan manusia wantah,” desis Anusapati.
“Ya. Dan trisula itu ada padaku sekarang.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan
ia masih mendengar pamannya berkata, “Ada dua keajaiban di padepokan
Panawijen saat itu.”
“Dua keajaiban?”
“Ya. Selain kelebihan pandangan Empu
Purwa, kakekmu, di Panawijen ada dua keajaiban yang tidak terdapat di
manapun. Yang pertama, saat itu, adalah seorang gadis yang cantik yang
memiliki cahaya yang aneh dari dalam dirinya. Cahaya yang memberikan
pertanda bahwa gadis itu adalah gadis yang lain dari gadis-gadis
sebayanya.”
“Maksud paman memiliki cahaya kemerah-merahan seperti yang pamanda katakan? Seperti yang terdapat pada Ayahanda Sri Rajasa?”
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.
Katanya, “Tidak Anusapati. Cahaya ini agak berlainan. Cahaya ini adalah
cahaya yang bening yang memancar dari tubuh gadis itu. Bahkan
kadang-kadang oleh mata hati yang waspada, cahaya itu tampak bagaikan
api yang menyala.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Dan yang kedua adalah trisula yang sekarang ada padaku.”
“Tetapi siapakah gadis itu paman?”
“Gadis itu sekarang sudah mempunyai cucu. Ia adalah ibundamu, Ken Dedes.”
Terasa tengkuk Anusapati meremang.
“Di sinilah pertanda itu seakan-akan
bertemu. Pertanda yang ada di atas ubun-ubun Sri Rajasa, dan pertanda
yang aneh pada ibundamu. Namun yang aku dengar, seorang perempuan yang
memiliki tanda-tanda ajaib semacam itu adalah perempuan yang akan
menurunkan raja-raja besar dikemudian hari.”
“O,” Anusapati semakin terikat kepada ceritera pamannya.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “keturunan dari perempuan itu adalah kau. Kau adalah anak
laki-lakinya yang tertua. Sedang Tohjaya tidak dilahirkan oleh seorang
perempuan yang memiliki ciri-ciri keajaiban seperti ibumu. Karena itu,
apabila Singasari ingin meneruskan ikatan persatuan diseluruh tanah ini,
keturunan Ken Dedes lah yang harus memegang pemerintahan.”
Anusapati tidak menyahut.
“Itulah sebabnya aku ingin kau bertahan.
Bukan karena nafsu kekuasaan yang menyala di dalam hatimu, tetapi justru
untuk kepentingan Singasari ini.”
Anusapati masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat membayangkan maksud pamannya yang sebenarnya. Dan
ia-pun sadar, apa yang sebaiknya dilakukan.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya
berdiam diri. Meskipun nampak keragu-raguan di wajah Anusapati, namun ia
mempercayai ceritera pamannya. Ia ragu-ragu bahwa apakah ia mampu
melakukan tanggung jawab yang akan dibebankan di pundaknya.
“Yang ada adalah pertanda itu lebih
dahulu. Barulah tanggung jawab itu ada padaku,” berkata Anusapati kepada
diri sendiri, “ibundalah yang akan menurunkan raja-raja yang akan
memerintah dinegeri ini. Bukan akulah yang tampil untuk mengangkat
ibunda Permaisuri sebagai seorang perempuan yang akan menurunkan
raja-raja di tanah ini.”
Namun demikian Anusapati sadar, bahwa
segalanya tidak akan berlangsung dengan sendirinya. Meskipun pertanda
itu memancar seterang matahari, namun tanpa usaha apa-pun juga, semua
itu tidak akan berlaku.
“Dan aku adalah seorang yang dibebani tanggung jawab bahwa pertanda itu akan berlaku,” berkata Anusapati pula di dalam hatinya.
Mahisa Agni yang duduk sambil menundukkan
kepalanya itu tiba-tiba mengangguk-angguk. Apa-pun yang terjadi, maka
tidak akan ada jalan lain baginya untuk menyerahkan keselamatan
Anusapati terutama pada diri sendiri.
Karena itu, meskipun ia dicengkam oleh
keragu-raguan maka akhirnya ia-pun berkata kepada Anusapati, “Anusapati.
Aku akan menyerahkan trisula itu kepadamu. Kau adalah satu-satunya
muridku. Dan aku percaya kepadamu, bahwa kau mengerti arti dari
penyerahan ini, kau harus melanjutkan pengabdian perguruan yang temurun
kepadaku dari Empu Purwa itu. Pengabdian bagi sesama manusia. Kau harus
mencoba berbuat sejauh-jauh dapat kau lakukan untuk menyerahkan
pengabdianmu tanpa pamrih. Tentu saja tidak ada pengabdian yang mutlak.
Tetapi keseimbangan antara pamrih dan pengabdian itu jangan sampai berat
sebelah. Kau harus mampu menimbang baik dan buruk berlandaskan pada
kehadiran diri dengan kepercayaan sepenuhnya kepada Penciptanya.”
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.
Dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah arti dari penyerahan itu
sebenarnya paman. Paman sudah mengatakan, bahwa trisula itu merupakan
ujung keseimbangan yang lain dari kelebihan Ayahanda Sri Rajasa.
Ayahanda Sri Rajasa yang tidak terkalahkan itu akan menjadi silau
memandang trisula itu. Dan apakah artinya, jika trisula itu akan jatuh
ketanganku?”
Pertanyaan itu tidak terduga-duga
sebelumnya. Namun sangat wajar diucapkan oleh Anusapati yang mempunyai
perasaan cukup peka. Ia sadar, bahwa dengan demikian, ia telah
dihadapkan sebagai ujung keseimbangan antara cahaya yang kemerah-merahan
di ubun-ubun ken Arok itu dengan cahaya trisula yang menyilaukannya.
Sejenak Mahisa Agni memandang wajah
Anusapati yang suram. Kemudian dengan sangat hati-hati ia berkata,
“Anusapati. Memang banyak arti dapat diambil dari keadaan itu. Namun
sama sekali tidak mustahil bahwa apa yang terjadi itu-pun sekedar arus
yang memang sudah dipersiapkan oleh keharusan yang akan berlaku. Aku
tidak tahu apa yang .akan terjadi Anusapati. Tetapi gejala-gejala yang
tampak adalah kemungkinan dari tanda-tanda yang diberikan kepada seorang
gadis yang bernama Ken Dedes. Pertanda bahwa ia akan menurunkan seorang
Maharaja yang paling besar dalam sejarah negeri ini semakin lama
menjadi semakin kabur. Aku juga tidak tahu, apakah pertanda yang pernah
ada itu kini telah pudar pula, dan tidak berlaku abadi. Namun pertanda
kembar yang ada di Padepokan Panawijen yang satu lagi adalah trisula
ini. Apakah kedua Pertanda keajaiban kembar itu harus berkumpul agar
yang akan terjadi itu terjadi.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, “Paman Mahisa Agni. Apakah aku akan sanggup
menerimanya justru aku adalah putera Sri Rajasa? Jika aku orang lain
sama sekali, maka persoalannya-pun akan berbeda. Jika aku putera ibunda
Ken Dedes yang memiliki tanda keagungan itu dan sekaligus memiliki
sebuah trisula yang memiliki ujung keseimbangan bagi cahaya yang
kemerah-merahan di atas ubun-ubun Ken Arok, tetapi aku bukan putera Ken
Arok yang bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabumi itu, maka tidak akan ada
persoalan bagiku. Aku tahu pasti, apa yang harus aku kerjakan, jika Sri
Rajasa itu berusaha memotong keharusan yang berlaku sesuai dengan
pertanda yang ada pada ibunda. Aku tahu pasti, bahwa aku harus
melenyapkan orang itu, meskipun jika dengan demikian akan lenyap pula
ujung-ujung keseimbangan yang lain itu. Tetapi keturunan Ken Dedes yang
lain akan bangkit dan berlakulah yang seharusnya berlaku. Ken Dedes
menurunkan seorang Maharaja yang besar. Tetapi yang ada sekarang adalah,
Ken Dedes itu adalah Permaisuri Sri Rajasa, sedang aku adalah putera
yang lahir dari perkawinan itu, yang seharusnya padaku ada kesempatan
rangkap untuk kedudukan yang tidak ada bandingnya itu. Tetapi kini
aku-pun sadar, bahwa putera ibunda Ken Dedes bukan hanya Anusapati
pula.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Sekilas terbayang wajah Tunggul Ametung. Ayah Anusapati yang sebenarnya.
Tetapi jika ia mengatakannya, maka mungkin anak muda itu akan mengalami
kejutan yang luar biasa, sehingga menimbulkan goncangan-angan yang
dapat mengganggu keseimbangannya.
Karena untuk beberapa lamanya Mahisa Agni
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia
tidak lagi berbicara dengan anak-anak, tetapi dengan seorang yang telah
dewasa sepenuhnya, dan yang menghadapi hidupnya dengan sikap dewasa
pula.
Namun dengan demikian terbersit pikiran
pada Mahisa Agni, justru karena ia menganggap Anusapati sudah dewasa.
“Apakah aku dapat mengatakan yang sebenarnya? Jika untuk seterusnya ada
sesuatu yang masih harus disembunyikan, maka apakah hal itu tidak justru
merupakan bayangan hitam yang selalu menghantuinya?”
Tetapi setelah mempertimbangkan untung ruginya, maka Mahisa Agni mengambil kesimpulan, bahwa ia masih akan tetap berdiam diri.
“Mungkin pada suatu saat aku harus
mengatakannya,” katanya didalam hati, “tetapi aku masih belum sanggup
untuk melakukannya sekarang.”
Dengan demikian, maka Mahisa Agni-pun
berkata kepada Anusapati, “Anusapati. Sebaiknya kau tidak berpikir
terlampau jauh. Jika kau memiliki trisula sebagai ujung keseimbangan
dari kelebihan kodrati yang ada pada ayahandamu, itu bukan berarti bahwa
keduanya harus saling berbenturan. Jika keseimbangan yang sudah ada ini
tidak terguncang, maka tidak diperlukan keseimbangan lain yang akan
berakibat sebaliknya dari keseimbangan yang ada sekarang; Satu hal yang
harus kau ingat, bahwa sebagai pemegang ujung keseimbangan, yang lain
kau tidak boleh mulai lebih dahulu menggoncang keseimbangan yang sudah
ada. Kau tahu maksudku? Hanya dalam keadaan yang memang memaksa saja kau
boleh berusaha mempergunakan benda itu. Hanya dalam keadaan yang
memaksa.”
Anusapati masih menundukkan kepalanya
sambil merenung. Bahkan ia berkata, “Aku mengerti paman. Menurut
perhitungan paman akan sampai saatnya bahwa Ayahanda Sri Rajasa
benar-benar kehilangan kendali. Karena itu, pada suatu saat dapat
terjadi ayahanda akan melakukan kekerasan untuk memaksakan keinginannya
menyingkirkan aku dan menempatkan Tohjaya di atas kedudukanku.”
Mahisa Agni ragu-ragu sebentar. Tetapi ia tidak dapat ingkar, sehingga karena itu ia menganggukkan kepalanya.
“Paman,” berkata Anusapati kemudian,
“kenapa paman tidak berkata kepadaku, bahwa apa-pun yang terjadi atasku
aku harus tunduk kepada ayahanda? Kenapa paman tidak mengajari aku
sekali ini untuk pasrah? Paman, manakah yang lebih baik. Aku pergi dari
kedudukanku sekarang atau aku harus berani melawan orang tua? Apakah
kira-kira ibunda Ken Dedes akan memilih, agar aku bertahan sebagai
Putera Mahkota untuk kebesaran nama ibunda Permaisuri atau aku harus
tunduk dan tidak melawan ayahanda sendiri? Bukankah paman dan ibunda dan
orang-orang tua mengajarkan agar aku takut dan bakti kepada orang tua.
Dan apakah arti dari perlawanan dan memantapkan keseimbangan yang
goyah?”
Pertanyaan yang mengalir beruntun itu
benar-benar telah membuat Mahisa Agni menjadi bingung. Sehingga kembali
ia tersudut pada suatu hasrat untuk mengatakan keadaannya yang
sebenarnya.
Namun sekali lagi berusaha
mengurungkannya. Bahkan kemudian katanya, “Anusapati. Memang sulit untuk
mengatakannya. Tetapi baiklah. Simpan sajalah trisula itu. Jika kau
merasa perlu mempergunakan, pergunakanlah. Jika tidak, maka aku pesan
kepadamu, jangan sampai trisula itu jatuh ketangan orang lain.”
“Tetapi pesan itu sangat membingungkan
aku paman,” bertanya Anusapati, “aku masih memerlukan bantuan paman
untuk mendapatkan ketegasan. Dengan secara kasar dapat aku tanyakan
kepada paman, mana yang sebaiknya aku lakukan, jika pada suatu saat
benar-benar Ayahanda Sri Rajasa mengusir aku? Apakah aku akan bertahan
dengan kekerasan, atau aku harus menunjukkan baktiku kepada Ayahanda Sri
Rajasa? Bahkan lebih jauh lagi aku menangkap arti, bagaimanakah jika
ayahanda ingin membunuh aku? Jika ayahanda tidak mempergunakan tangan
sendiri, maka aku akan dapat membela diri dan membunuh orang yang
diperintahkan oleh ayahanda itu, misalnya Kiai Kisi atau orang-orang
lain nanti. Tetapi jika pada suatu saat, ayahanda sendiri datang
kepadaku, dan minta hidup matiku, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”
“Anusapati, aku telah menyerahkan trisula itu kepadamu. Aku kira kau tahu artinya.”
“Jadi, menurut paman aku harus berani melawan orang tua dan bahkan membunuhnya?”
“Aku tidak mengatakan begitu Anusapati.
Yang aku persoalkan adalah Anusapati dengan Sri Rajasa. Bukan anak
terhadap orang tuanya.”
“Paman membuat aku bertambah bingung. Apakah bedanya Anusapati dengan Sri Rajasa dan seorang anak dengan ayahnya?”
“Seorang ayah tidak akan berbuat demikian terhadap anaknya.”
“Maksud paman Sri Rajasa bukan ayahku?”
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba itu. Namun ia masih menjawab, “Anusapati.
Memang mungkin ada hubungan jasmaniah antara seorang anak dengan
ayahandanya. Memang mungkin seseorang lahir karena adanya orang lain
yang menitikkan keturunannya. Tetapi anak dan ayah bukan sekedar tetesan
darah yang mengalir dari seseorang keorang lain. Itu adalah sekedar
lahir karena nafsu semata-mata. bukan karena kasih yang pasti akan
temurun.”
“O, aku menjadi pening paman. Aku tahu
kelahiranku bukan karena kasih antara Ayahanda Sri Rajasa dan ibunda
Permaisuri seperti tercermin sekarang ini. Ayahanda lebih banyak berada
di sisi ibunda Ken Umang. Mungkin ibunda waktu itu masih muda.”
Dada Mahisa Agni menjadi semakin
berdebar-debar. Hampir ia kehilangan jalan untuk menghindari pengakuan
bahwa memang Anusapati bukan putera Sri Rajasa. Tetapi untuk sementara,
biarlah Anusapati menganggap hal itulah yang terjadi. Bagaimana-pun juga
hal itu masih merupakan pengendalian sikap dari Anusapati, sehingga
keseganan dan baktinya kepada orang tuanya masih mempengaruhi nuraninya.
Jika Anusapati terlepas sama sekali dari
pengaruh itu dan ia mengerti dengan pasti bahwa Sri Rajasa bukan
ayahandanya, maka ia akan dapat bersikap lain. Ia akan dapat berbuat
jauh lebih kasar dari apa yang akan dilakukannya.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “yang terjadi biarlah terjadi. Tetapi yang akan datang adalah
hari-hari yang penuh dengan harapan bagi anak-anak muda seperti kau.
Bukalah hatimu untuk menerima pusaka peninggalan kakekmu itu. Namun
seperti pesan yang aku terima, pusaka itu bukan senjata. Jangan
dipergunakan apabila tidak terpaksa sekali.”
“Baiklah paman,” berkata Anusapati, “aku
akan mencoba menerima pusaka itu dan aku akan mencoba mengetrapkan semua
pesan paman, sekaligus aku ingin mencoba menjadi seorang anak yang
baik.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menaruh harapan, bahwa Anusapati tidak akan menyalah artikan pesan-pesannya itu.
Demikianlah maka pusaka kecil itu
kemudian berada di tangan Anusapati. Seperti pada saat Mahisa Agni
menerimanya, maka terasa sesuatu telah membebani perasaannya. Namun
lambat laun perasaan itu menjadi pudar, dan hampir tidak ada persoalan
lagi yang bergejolak didalam hatinya.
“Pusaka itu dapat dianggap tidak ada padaku,” berkata Anusapati, “aku hanya sekedar menyimpannya.”
Namun kadang-kadang timbul juga perasaan
yang lain, “dengan pusaka itu aku dapat mengimbangi kelebihan Ayahanda
Sri Rajasa. Kenapa paman Mahisa Agni menyerahkan pusaka itu padaku dalam
keadaan seperti ini? Apakah ini suatu pertanda bahwa aku
diperintahkannya untuk membunuh-ayahanda?”
Tetapi setiap kali Anusapati
berkesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, maka pesan Mahisa Agni sama
sekali-tidak sejalan dengan dugaannya itu. Bahkan lambat laun terasa
betapa lunaknya sikap Mahisa Agni terhadap Ayahanda Sri Rajasa itu.
“Memang kadang-kadang Mahisa Agni masih
selalu diganggu oleh pusaka itu. Kadang-kadang timbul juga penyesalan
dihatinya. Apakah pusaka itu tidak berarti suatu dorongan pada Anusapati
untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diharapkannya. Mahisa Agni
memberikan pusaka itu semata-mata agar Anusapati dapat melindungi
dirinya. Bukan untuk menghancurkan.”
Meskipiun Anusapati tidak menampakkan
perubahan pada sikapnya sehari-hari, namun sebenarnya ia masih juga
selalu dibebani oleh perasaannya yang gelisah.
Bahkan pada suatu saat, Anusapati tidak
lagi dapat menahan diri. Ia tidak akan mendapat penyelesaian jika ia
masih harus selalu bertanya-tanya pada diri sendiri.
Karena itu, maka betapa-pun beratnya, ia telah memaksa dirinya menghadap ibunda permaisuri yang tampaknya menjadi semakin tua.
“Kenapa wajahmu tampak begitu suram Anusapati?” bertanya Ken Dedes.
Anusapati menundukkan kepalanya.
Sekali-sekali ia mencoba memandang ibunya, ia tidak pernah melihat
cahaya yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak melihat
nyala pada tubuh ibunya, sebagai pertanda bahwa Ken Dedes akan
menurunkan Maharaja yang akan berkuasa ditanah ini.
Melihat kerut merut di kening ibunya,
Anusapati menjadi ragu-ragu. Ia tidak sampai hati menambah kerut-merut
itu, karena pertanyaan-pertanyaannya. Karena itu, maka untuk beberapa
lamanya ia hanya berdiam diri saja.
Ternyata bahwa ibunya, Ken Dedes, adalah
seorang ibu yang memiliki ketajaman pandangan atas puteranya. Meskipun
Anusapati tidak mengatakan apa-pun juga, namun ibunyalah yang bertanya,
“Anusapati, apakah kau masih juga selalu dibelit oleh kegelisahan
tentang dirimu sendiri?”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
“Aku melihat pada sorot matamu yang buram.”
Akhirnya Anusapati menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Memang kadang-kadang hati ini menjadi kalut ibunda.
Hamba tidak tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi atas diri hamba
ini.”
“Kau masih dipengaruhi oleh perasaan
anak-anak. Kau bukan anak-anak lagi Anusapati. Kau sudah menjadi seorang
ayah. Anakmu sudah menjadi semakin besar, dan karena itu. Kau-pun harus
semakin masak menghadapi kenyataan ini.”
“Hamba berusaha ibu. Tetapi hamba adalah
seorang manusia yang lemah, yang tidak memiliki kelebihan apa-pun dari
manusia yang lain kecuali sedikit olah kanuragan. Itulah agaknya hamba
kadang-kadang selalu diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan tentang diri
hamba sendiri dan tentang Adinda Tohjaya. Bahkan kemudian tentang diri
ibunda Permaisuri dengan ibunda Ken Umang.”
“Ah,” Ken Dedes berdesis, “itu adalah
perasaan yang harus kau sisihkan. Aku juga mendengar bahwa Tohjaya
mengeluh, bahwa kaulah yang mendapat perhatian terlampau besar dari
ayahandamu Sri Rajasa. Kenapa bukan Tohjaya.”
Anusapati menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Ia pernah mendengar jawaban ibunya serupa itu pula dahulu
ketika ia masih belum dewasa sepenuhnya. Dan kini ia sudah bukan anak
muda lagi yang tentu dapat menimbang lebih cermat jawaban ibunya.
Meskipun Anusapati tahu, bahwa jawaban
ibunya itu sekedar untuk menenteramkan hatinya, namun Anusapati tidak
membantah. Bahkan ia-pun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.
Namun ia terkejut ketika ia mendengar
ibunya terisak. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya ibunda
Permaisuri itu mengusap matanya yang basah.
“Maaf ibu,” berkata Anusapati dengan suara bergetar, “bukan maksud hamba membuat ibu bersedih.”
“Tidak Anusapati. Kau tidak bersalah. Dan
aku-pun tidak menjadi bersedih karenanya. Memang kadang-kadang sebuah
kenangan masa lampau membuat hati ini sedikit bergetar. Tetapi aku akan
segera dapat melupakan.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
Meskipun demikian air mata yg membasahi
pelupuk Ken Dedes itu menumbuhkan persoalan pula di dalam hatinya,
seperti yang memang telah membelit hatinya. Apakah, yang pernah terjadi
atas ibunya menjelang kehadirannya di muka bumi ini? Apakah ada
persoalan yang sampai saat ini masih menjadi rahasia baginya?
Tetapi untuk tidak menambah beban
perasaan ibunya Anusapati tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ketika air
mata ibunya telah kering, ia mohon diri meninggalkan bangsal Permaisuri
itu.
“Anusapati,” berkata ibundanya, “bawalah anakmu sering kemari. Biarlah ia bermain dengan paman-pamannya disini.”
“Hamba ibunda. Biarlah anak itu sering menghadap ibunda kemari.”
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun
matanya yang kemudian menjadi basah lagi telah memaksa Anusapati
bergegas-gegas meninggalkannya agar tidak tumbuh berbagai persoalan yang
lain.
Sepeninggal Anusapati, Ken Dedes masuk
kedalam biliknya. Sambil menelungkup dipembaringan, Permaisuri itu
menangis. Kini ia merasa sendiri didalam biliknya itu. Emban tua yang
mengawaninya dari Panawijen telah tidak ada lagi. Sri Rajasa hampir
tidak pernah lagi menjenguknya sehingga istana Singasari yang megah itu
kini menjadi sangat sepi baginya.
Hidup Permaisuri itu kini semata-mata
diperuntukkan bagi putera-puteranya. Ken Dedes sudah tidak pernah
memikirkan dirinya sendiri. Yang menjadi persoalan baginya adalah
keturunannya. Terutama Anusapati.
“Apakah Anusapati benar-benar akan dapat
menggantikan kedudukan Sri Rajasa?” masalah itulah yang setiap kait
menggetarkan hatinya.
Namun agaknya Sri Rajasa tidak
bersungguh-sungguh dengan kehormatan yang diberikan kepada Anusapati
untuk menduduki jabatannya yang sekarang. Ternyata setiap kali kedudukan
itu telah diguncang-guncang. Meskipun kadang-kadang Anusapati sendiri
berusaha menutupi apa yang pernah terjadi atasnya, namun Ken Dedes dapat
juga mendengar, bahwa Anusapati telah terancam, bukan saja
kedudukannya, tetapi juga jiwanya.
Sekilas terbayang ayah Anusapati yang
sudah terbunuh. Yang akhirnya diketahuinya, bahwa Ken Arok yang sekarang
bergelar Sri Rajasa itulah yang telah membunuhnya, karena kadang-kadang
diluar sadarnya, kata-kata Ken Arok sendiri memberikan kesan yang
demikian.
“Aku telah kena kutuk dari Yang Maha
Agung,” berkata Ken Dedes kemudian. Ia merasa bersalah, bahwa sejak
Akuwu Tunggul Ametung masih hidup, betapa-pun ia menyembunyikan di dalam
hatinya, tetapi ia sendiri mengetahuinya, bahwa ia sudah tertarik pada
seorang anak muda yang bernama Ken Arok, yang telah berhasil membuat
sebuah telaga buatan di Padang Karautan. Telaga yang sekarang hampir
tidak pernah dilihatnya lagi.
Dan kutuk itu agaknya telah membuatnya berprihatin sampai hari tuanya. Bahkan anak-anaknya.
Tiba-tiba terbersit sesuatu di dalam hatinya, “Apakah pada suatu saat aku tidak akan mengatakannya kepada Anusapati?”
Tiba-tiba Ken Dedes menggelengkan
kepalanya. “Itu tidak baik. Anak itu akan mengalami kejutan perasaan.
Dan anak itu akan kehilangan kepercayaan kepada siapa-pun juga.”
Namun setiap kali Ken Dedes tidak dapat
menghalau kenyataan yang berlaku, bahwa Ken Arok yang kemudian bergelar
Sri Rajasa itu sama sekali tidak menghiraukan lagi kepada Anusapati.
Bahkan dengan segala daya upaya berusaha untuk menyingkirkannya. Tetapi
tidak semata-mata agar namanya tetap terpelihara sebagai seorang raja
yang adil dan bijaksana.
“Dahulu ia berhasil menyingkirkan Akuwu
Tunggul Ametung, menjerumuskan Kebo Ijo dan bahkan sudah pasti, membunuh
Empu Gandring pula,” berkata Ken Dedes didalam hatinya, “tentu pada
suatu saat ia akan dapat menyingkirkan Anusapati dengan cara itu pula.”
Ken Dedes hampir menjerit untuk
melepaskan himpitan perasaannya ketika ia sampai di simpang jalan.
Seakan-akan ia harus memilih salah satu dari jalan yang bercabang itu.
Yang satu adalah anaknya, Anusapati, sedang yang lain adalah suaminya,
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, Maharaja yang
berkuasa di Singasari.
Tetapi pilihan itu adalah pilihan yang
paling rumit di dalam hidupnya, justru setelah Ken Dedes menemukan
nilai-nilai dari hubungan yang dalam antara dirinya dengan keduanya. Dan
karena itulah maka Ken Dedes tidak akan dapat segera menemukan pilihan
yang sebaik-baiknya.
Dan untuk beberapa lama Anusapati-pun
masih berhasil menahan perasaannya. Betapa berat himpitan yang
seakan-akan menekan isi dadanya, namun sekali-sekali dapat juga
dilepaskannya dalam pakaian putihnya diatas kuda putih. Kadang-kadang ia
berpacu ditengah malam menembus gelap menyusur dari desa yang satu
kedesa yang lain, dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. Bukan
saja untuk menemukan kejahatan yang harus dibasminya, namun
kadang-kadang ia ingin mendapatkan tempat yang paling mapan untuk mesu
diri dan mematangkan ilmunya. Kadang-kadang ia dikawani oleh Witantra,
Kuda Sempana atau Mahendra. Tetapi kadang-kadang Mahisa Agni sendirilah
yang pergi bersamanya. Diam-diam ia keluar dari istananya di Kediri pada
hari-hari tertentu dan berusaha menjumpai Anusapati. Mahisa Agni dapat
saja berpesan kepada hambanya, bahwa dihari berikutnya ia akan samadi di
sanggarnya. Tidak boleh seorang-pun yang mengganggunya sebelum ia
keluar atas kehendaknya sendiri, sedang di luar istana Witantra atau
Mahendra telah menyediakan seekor kuda baginya.
Namun hal itu semakin lama semakin jarang
dilakukannya. Kejahatan-pun semakin lama menjadi semakin menurun,
sehingga akhirnya Singasari benar-benar menjadi sesuatu negeri yang aman
dan tenteram. Semuanya berkembang seperti yang diharapkan. Pertanian
yang semakin luas, perguruan dalam olah kejiwan dan kanuragan. Bidang
kerpajuritan yang semakin sempurna dan pemerintahan yang berjalan
lancar.
Meskipun demikian, di dalam kedamaian
itulah, bahaya justru semakin mengancam Anusapati. Tohjaya yang mewarisi
cara-cara ayahandanya, berusaha mempengaruhi setiap Panglima pasukan
yang ada. Dengan segala cara yang semakin lama menjadi semakin kencang.
“Tuanku tidak akan dapat menunggu lebih
lama lagi,” berkata penasehat Sri Rajasa kepada Tohjaya, “semakin lama
pengaruh tuanku Anusapati rasanya menjadi semakin kuat sehingga pengaruh
itu harus segera dihentikan.”
“Ya,” Tohjaya mengangguk-anggukkan
kepalanya, “tetapi ayahanda tidak dapat secepat rencana kita. Bagiku
tidak ada keberatannya, jika tiba-tiba saja Kakanda Anusapati dibunuh.
Apakah salahnya? Agaknya ayahanda, masih sayang juga kepadanya. Meskipun
seakan-akan ayahanda tidak berkeberatan pula untuk menyingkirkannya,
namun jika hal itu benar-benar akan kita lakukan, ada-ada saja keberatan
ayahanda.”
“Tetapi ternyata bukan karena ayahanda
masih sayang kepada tuanku Putera Mahkota, tetapi ayahanda belum melihat
kesempatan yang sebaik-baiknya. Rakyat Singasari ternyata menganggap
bahwa Anusapati adalah seorang kesatria yang paling berjasa bagi
mereka.”
“Omong kosong. Jika ia sudah mati, tidak
akan ada lagi yang mengharap perlindungannya. Mereka pasti akan
mengharap perlindungan kita yang masih hidup.”
“Tetapi, jika cara yang kita tempuh
terlampau kasar, sehingga diketahui oleh rakyat Singasari, maka kita
akan mengalami kesulitan. Itulah yang menjadi perhitungan terutama bagi
Ayahanda Sri Rajasa.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebenarnya ia tidak sabar menunggu dan menunggu. Jika akhirnya
gagal, maka kekecewaan yang mencengkam hatinya pasti akan berlipat
ganda.
Dalam pada itu, Anusapati sendiri telah
menenggelamkan waktunya untuk menempa diri. Setiap saat yang terluang
dipergunakannya untuk mematangkan ilmunya. Kadang-kadang dibawanya
adiknya Mahisa Wonga Teleng. Dan kadang-kadang mereka-pun pergi dengan
anak-anak mereka, yang semakin lama tumbuh menjadi semakin besar. Mereka
tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampaknya memiliki kelebihan dari
anak-anak kebanyakan.
Bagaimana-pun juga, darah Ken Dedes, yang
memiliki tanda-tanda keajaiban sebagai seorang perempuan yang akan
menurunkan raja-raja besar, nampak pada kedua anak laki-laki itu.
Demikianlah kehidupan keluarga Sri
Rajasa, meskipun di saat-saat tertentu tampak utuh, namun sebenarnya
sama sekali tidak lagi bertaut yang satu dengan yang lain. Didalam
kebesaran Singasari yang tampak bulat itu, terdapat sebuah rongga yang
semakin lama menjadi semakin besar. Sehingga pada suatu saat akan
memecahkan kulitnya.
Dalam pada itu, Sumekar yang sudah
terlanjur terlibat didalam persoalan itu, terlebih-lebih lagi tidak
pernah dapat melepaskan diri lagi. Semakin lama ia-pun sebenarnya
menjadi semakin cemas. Seakan-akan ia melihat lingkaran yang semakin
lama menjadi semakin sempit, sehingga pada suatu saat, lingkaran itu
akan membelit di leher Putera Mahkota itu.
Dan Sumekar-pun tidak pula tinggal diam. Setiap kali ia selalu memperingatkan kepada Putera Mahkota agar ia berhati-hati.
Namun akhirnya, Sumekar semakin terpukau
lagi oleh persoalan itu ketika tanpa disengaja, dimalam hari ia melihat
sebuah bayangan hitam yang bergerak-gerak di dekat bangsal Putera
Mahkota, justru selagi Putera Mahkota keluar dari istana di atas kuda
putihnya.
“Licik,” desis Sumekar, “mereka akan
mulai dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu menahu. Bukankah
isteri tuanku Anusapati dan puteranya itu tidak dapat dilibatkan dalam
persoalan ini?”
Karena itu, maka Sumekar-pun dengan
diam-diam pula telah mencoba membayangi orang yang mencurigakan itu.
Namun ia berusaha untuk menghilangkan kemungkinan dirinya dapat dikenal.
Karena itu maka ia-pun telah mengenakan pakaian dan kerudung hitam
seperti yang pernah dipakainya.
Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk
membayangi orang itu. Ia sudah kehilangan jejak disaat pertama kali ia
mencoba mengikutinya. Karena selagi ia mengenakan pakaian hitamnya, dan
kembali kebangsal itu, bayangan yang dicarinya sudah lenyap seakan-akan
begitu saja menguap seperti asap.
Namun Sumekar tidak segera berputus asa.
Bahkan hampir setiap malam ia mengawasi rumah itu, terutama jika Putera
Mahkota tidak ada di rumah.
“Aku harus meyakinkan penglihatanku lebih
dahulu sebelum aku mengatakannya kepada tuanku Putera Mahkota,” berkata
Sumekar didalam hatinya.
Akhirnya usahanya itu-pun berhasil.
Ketika Putera Mahkota sedang tidak ada di rumah, maka Sumekar yang
mengawasi bangsal itu dari kejauhan melihat sebuah bayangan yang
mendekati bangsal itu dengan hati-hati.
“Apakah yang akan dilakukannya?” pertanyaan itulah yang mencengkamnya.
Dengan hati-hati sekali Sumekar mencoba
mendekat. Namun ia tidak berani terlalu dekat dengan bayangan itu.
Sumekar masih belum mengetahui kemampuan dan ketajaman indera orang itu.
Sehingga karena itulah maka Sumekar hanya dapat mengawasinya dari
kejauhan.
Sumekar menjadi terpukau ketika ia melihat orang itu mendekati lampu minyak yang tergantung di serambi belakang.
Setelah orang itu menunggu sejenak, dan
menganggap bahwa tidak ada orang yang melihatnya, maka orang itu-pun
segera menghampiri lampu itu dengan membakar sesuatu.
Sejenak Sumekar dicengkam oleh ketegangan. Apalagi ketika sejenak kemudian ia mencium bau yang sangat wangi menusuk hidungnya.
“Tentu bau yang ditaburkan oleh benda yang baru saja dibakar itu,” berkata Sumekar kepada diri sendiri.
Ternyata benda yang sudah terbakar
itu-pun kemudian dibawa melingkari bangsal dan diletakkannya disudut
sebelah kanan, tepat pada bilik isteri Putera Mahkota.
“Apakah maksudnya?” Sumekar bertanya-tanya didalam hati.
Tetapi ia masih belum berbuat sesuatu. Dibiarkannya orang yang membakar benda itu pergi meninggalkan bangsal.
Untuk beberapa saat lamanya, Sumekar
masih bersembunyi sambil mengawasi benda yang sudah menjadi abu. Namun
baunya masih tetap menusuk hidung untuk waktu yang agak lama.
“Apakah ada akibat yang dapat timbul dari bau yang tajam ini?” bertanya Sumekar kepada diri sendiri.
Namun ia tidak beranjak dari tempatnya.
Ia justru ingin mengetahui perubahan yang dapat terjadi atas dirinya
sendiri meskipun dengan sadar ia selalu mengikuti segenap perasaan yang
tumbuh pada dirinya.
Tetapi ternyata Sumekar tidak merasakan
akibat apapun, selain kepalanya menjadi agak pening justru karena bau
wangi yang sangat tajam. Selebihnya ia tetap sadar, dan dapat mengikuti
setiap perkembangan persoalan yang dihadapinya.
“Besok pagi aku harus mengetahui, mungkin ada sesuatu yang terjadi di dalam bangsal itu,” berkata Sumekar di dalam hatinya.
Dihari berikutnya, maka Sumekar-pun
menghadap kepada Putera Mahkota. Dengan tidak langsung ia memancing
ceritera tentang bangsalnya semalam ketika Putera Mahkota sedang tidak
ada.
“Paman,” berkata Putera Mahkota kemudian, “ada sesuatu yang aneh diluar nalar.”
“Apa tuanku?” bertanya Sumekar.
“Sudah beberapa kali jika aku pergi
keluar, bangsal itu dipenuhi oleh bau wangi yang menusuk hidung sehingga
isteriku menjadi pening dan hampir muntah-muntah karenanya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia-pun mencoba bertanya, “Apakah ada akibat lain yang terjadi tuanku?”
Anusapati menggeleng. Jawabnya, “Tidak
paman. Tetapi akibat yang tidak langsung, isteriku menjadi takut.
Semakin lama semakin takut. Bahkan bau yang harum sekali itu
kadang-kadang disertai bunyi-bunyi yang aneh di atas atap, di dinding
atau bahkan kadang-kadang di bawah pembaringan.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini ia mengerti, bahwa maksud orang itu semata-mata mencoba
mempengaruhi jiwa isteri Anusapati agar ia menjadi ketakutan. Dengan
demikian maka Anusapati tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk
pergi di atas kuda putihnya.
“Para penjaga di bangsal itu harus
diperingatkan, agar mereka lebih cermat sedikit. Selama ini mereka hanya
duduk saja di gardu di depan bangsal, karena menurut mereka Singasari
adalah negeri yang aman dan damai. Apalagi di dalam halaman istana.”
Ketika pada suatu saat, Sumekar mendapat
kesempatan berbicara dengan seorang prajurit yang pernah bertugas di
bangsal Putera Mahkota, ia berhasil memancing kata-katanya, “Bulu-bulu
kudukku meremang jika aku mencium bau itu.”
“Macam kau,” gerutu Sumekar didalam hati,
“jika kau mau berdiri dan mengelilingi bangsal itu, kau akan tahu
apakah yang telah menimbulkan bau semacam itu.”
Tetapi Sumekar tidak dapat mengatakannya.
Ia hanya mendengarkan saja. Bahkan sekali-sekali ia mengerutkan
lehernya dan berkata, “Menakutkan sekali. Tetapi apakah bau itu bukan
sekedar bau bunga arum dalu.”
“Huh, mentang-mentang kau menjadi juru
taman. Yang kau kenal hanyalah bau bunga saja. Meskipun aku seorang
prajurit, tetapi aku mengenal bau bunga arum dalu.” jawab prajurit itu.
“Jadi bukan bau bunga arum dalu?”
“Bukan.”
“Kantil barangkali? Bunga kantil baunya tajam sekali.”
“Tetapi tidak setajam bunga arum dalu,”
jawab prajurit itu, lalu “Bodoh kau. Pokoknya sama sekali bukan bau
bunga. Bau itu belum pernah aku kenal sebelumnya.”
“Darimanakah sumber bau itu?”
“O, aku ingin memukul kepalamu barang dua kali. Jika aku tahu, aku tidak akan ribut begini.”
“Maksudku, apakah para prajurit yang saat itu meronda telah mencoba mencari?”
Prajurit itu mengerutkan keningnya.
Katanya dengan jujur, “Belum. Kami belum pernah berusaha mencari. Tetapi
jika tiba-tiba saja kami berhadapan dengan bentuk yang lain dari bentuk
manusia wajar ini, apakah kira-kira aku tidak akan pingsan?”
“Bukankah kalian prajurit? Prajurit tidak mengenal takut.”
“Omong kosong,” sahut prajurit itu,
“barangkali prajurit tidak mengenal takut di medan perang. Tetapi
terhadap hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, kadang-kadang
bulu-kudukku meremang juga.”
“Jika kau bertugas, aku akan datang kegardu. Aku ingin ikut melihat apakah yang menimbulkan bau itu.”
“Kau memang sombong. Barangkali kau mati beku kalau barangkali kau hanya ingin ikut makan rangsum?”
Sumekar tersenyum. Jawabnya, “Rangsum
malam bagi para prajurit selalu dihitung sesuai dengan jumlah orangnya.
Bagaimana mungkin aku akan mendapat bagian?”
“Tentu kau akan pergi ke dapur dan makan pula di sana.”
Sumekar hanya tertawa saja. Tetapi
kemudian ia berkata, “Aku ingin ikut berjaga-jaga. Setidak-tidaknya aku
ingin ikut tidur di gardu itu.”
Dalam pada itu, untuk beberapa saat
lamanya, Anusapati tidak keluar dari bangsalnya di malam hari. Tetapi
selama Anusapati ada di dalam bangsal itu, maka tidak pernah timbul
sesuatu yang mencurigakan. Tidak juga tercium bau wangi yang membuat
kepala menjadi pening.
“Tuanku,” berkata Sumekar pada suatu saat, “apakah tuanku masih tidak dapat meninggalkan tuan puteri?”
Anusapati termangu-mangu sejenak.
“Maksudku, biarlah terjadi seperti pada
saat tuanku pergi. Bila bau wangi itu timbul, hambalah yang akan
menuntun para prajurit untuk berusaha mencari sumbernya. Karena menurut
dugaan hamba, sumber bau itu akan dapat diketemukan.”
“Kau yakin paman?”
“Sekedar suatu usaha tuanku.”
“Tetapi bau itu menimbulkan ketegangan dan ketakutan pada isteri dan anakku.”
“Tuanku harus meyakinkan mereka, bahwa para prajurit akan menjaga mereka sebaik-baiknya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jika tuanku bertemu dengan pamanda
tuanku Mahisa Agni atau salah seorang dari mereka, harus tuanku
mengatakan apa yang sudah terjadi di bangsal tuanku dan bahwa hamba
sedang berusaha untuk menemukan sesuatu disini.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
Demikianlah, pada suatu malam Anusapati
meninggalkan bangsalnya di atas kuda putihnya. Sementara itu ia sudah
berpesan, perlindungan dari para prajurit yang bertugas di depan
bangsal.
Seperti yang dikatakannya, maka pada
malam itu, Sumekar pergi ke gardu penjagaan. Prajurit yang pernah
dijumpainya itulah yang malam itu sedang bertugas kembali seperti yang
dikatakannya.
“He, juru taman. Kau benar-benar datang?”
Sumekar tertawa. Jawabnya, “Aku sudah berjanji. Dan aku tidak pernah ingkar janji.”
“Kau memang sombong,” berkata prajurit
itu, lalu diceriterakannya kepada kawan-kawannya bahwa Sumekar ingin
mengajak para prajurit mencari sumber bau itu.”
“Uh,” desis salah seorang prajurit,
“macam kau ini memang macamnya seorang yang sombong. Apa yang dapat kau
lakukan jika kau menemukannya?”
Sumekar tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa.
Tetapi setidak-tidaknya kita dapat menduga, apakah yang menimbulkan bau
yang sangat sedap. Aku pernah mendengar ceritera, bahwa ada sebangsa
burung malam yang bulu-bulunya berbau sedap sekali. Atau sebangsa kucing
yang matanya bercahaya. Jika kita berhasil menangkapnya, maka kita akan
dapat menjualnya dengan harga lima kali lipat harga kuda yang paling
baik sekalipun.”
“Omong kosong,” sahut prajurit yang lain, “ceritera itu adalah ceritera bagi anak-anak menjelang tidur.”
“Siapa tahu,” sahut Sumekar, “aku akan
ikut bersama satu dua orang dari antara para prajurit ini. Jika aku
mendapatkannya, aku hanya minta seekor dari lima ekor kuda itu.”
Prajurit yang ada digardu itu tertawa serentak. Salah seorang berkata, “Kau memang seorang pemimpin yang baik.”
Ternyata kehadiran Sumekar telah
menimbulkan kelakar dan gurau yang tidak berkeputusan. Dengan sengaja
Sumekar membuat mereka terpukau oleh berbagai macam persoalan. Namun
selagi mereka tertawa-tawa tiba-tiba salah seorang dari mereka
mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau sudah mulai mencium bau itu.”
Yang lain-pun serentak terdiam. Dengan
saksama mereka memperhatikan suasana. Dan tiba-tiba saja malam terasa
menjadi sangat sepi.
“Ya. Aku sudah mencium bau itu,” desis yang lain.
Yang lain-pun menjadi tegang. Dan hampir bersamaan beberapa orang berkata, “Ya. Aku sudah mencium bau ini pula.”
Tetapi tiba-tiba wajah Sumekar menjadi
cerah. Seperti kanak-anak yang mendapat permainan yang mengasikkan ia
tertawa sambil berkata, “Aku akan menangkap burung itu.”
“Gila kau.” Bentak seorang prajurit, “jangan main-main. Kau akan dicekiknya.”
“Kenapa?”
“Apakah burung dan sebangsa kucing dapat
mengerti, kapan Putera Mahkota tidak ada di rumahnya? Bau semacam ini
hanya kita dapati selagi Putera Mahkota sedang pergi di malam hari.”
“Mungkin. Mungkin saja secara kebetulan.”
“O, kau benar-benar akan dicekik hantu.”
“Nah, siapakah yang mau pergi bersamaku
mencari burung atau kucing itu. Jika kelak mendapatkannya, aku tidak
akan minta lebih dari seekor kuda yang tegar.”
“Gila, kau memang sudah gila.”
“Tidak, aku tidak gila. Aku percaya
kepada ceritera itu. Dan aku akan membuktikannya, bahwa aku akan dapat
menangkap burung atau kucing itu.”
“Kalau kau mau mendengarkah nasehat kami, tinggallah digardu ini bersama kami.”
Tetapi Sumekar menggeleng. Katanya, “Aku akan mencarinya. Dengan atau tidak dengan kalian.”
Para prajurit itu saling berpandangan
sejenak. Namun mereka melihat Sumekar benar-benar turun dari gardu dan
bersikap untuk pergi.
“Apakah kau benar-benar gila?”
“Mungkin. Siapakah di antara kalian yang gila seperti aku ikutlah aku.”
Tidak seorang-pun dari para prajurit itu yang menjawab.
Namun ketika Sumekar melangkah dua tiga
langkah, pemimpin peronda itu memanggilnya, “He, juru taman. Tunggu. Aku
akan pergi bersamamu. Mungkin kau memang pantas dicurigai. Mungkin kau
tidak hanya akan mencari sebangsa burung atau kucing.”
Sumekar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah kita pergi bersama-sama.”
Pemimpin peronda itu-pun kemudian menunjuk seorang prajurit yang lain untuk mengawaninya.
Meskipun agak takut-takut juga, namun prajurit itu-pun terpaksa berangkat pula bersama dengan pemimpinnya dan Sumekar.
Demikianlah mereka meninggalkan gardu
peronda dengan hati yang berdebar-debar. Pemimpin peronda itu telah
memerintahkan dua orang dari mereka untuk berdiri di muka gardu dengan
senjata telanjang. Sedang yang lain harus siap menghadapi setiap
kemungkinan.
Namun demikian ada juga yang bergumam di antara mereka, “Apakah kami harus berperang melawan hantu?”
Dalam pada itu, Sumekar yang sudah pernah
melihat, apa yang sabenarnya terjadi, mengangkat wajahnya sambil
berkata, “Aku mencoba menemukan sumber dari bau ini.”
“Kau memang gila?”
“Aku dapat menemukan bau bunga soka di
antara sepuluh macam bau bunga yang lain. Dan sekarang aku-pun akan
dapat menemukan sumber bau ini. Jika ia seekor burung, maka kita harus
mencari sebuah anak panah dengan busurnya. Tetapi anak panah yang
ujungnya tumpul agar burung itu tidak terbunuh. Tetapi jika kita
menemukan sebangsa kucing, kita harus mengejarnya bersama-sama.”
“Persetan. Apakah kau sudah mengigau he? Apakah kau sudah kepanjingan demit yang berbau wangi ini?”
Sumekar tersenyum. Jawabnya, “Aku masih sadar. Dan aku masih tetap mengharapkan kuda yang tegar.”
“He, kemana kau akan pergi?” bertanya pemimpin peronda itu ketika Sumekar pergi ke bagian belakang bangsal Putera Mahkota.
“Aku mencium bau dari tempat itu. Di belakang bangsal.”
“Gila. Kau benar-benar sudah gila.”
Sumekar tidak menyahut. Tetapi ia berjalan terus.
“Cukup,” perintah pemimpin peronda itu, “kita kembali ke gardu. Aku tidak mau mengikuti seorang yang gila dan kesurupan demit.”
“Beberapa langkah lagi. Bau ini sudah menjadi semakin tajam. Aku yakin akan menemukan sumber bau ini.”
“Cukup.”
“Beberapa langkah lagi, kita sampai kebelakang bangsal ini tanpa menemukan sesuatu, kita akan kembali ke gardu.”
“Kita kembali sekarang. Jangan-angan kami akan kepanjingan pula seperti kau.”
“Aku berani bertaruh.” jawab Sumekar,
“jika aku tidak menemukan sumber bau ini, entah burung, entah kucing,
entah sebangsa bunga yang mekar di malam hari, atau apapun, aku akan
membayar seekor kuda yang tegar buat kalian.”
“Gila, darimana kau akan mendapat kuda itu?”
Sumekar mengerutkan keningnya. Dari mana
ia akan mendapat seekor kuda. Namun ia menjawab juga, “Jika aku kalah
aku akan berusaha. Aku sudah menabung sejak aku bekerja di istana ini.”
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak.
Namun salah seorang daripadanya berkata, “Orang ini memang sedang
mengigau. Marilah kita tinggal saja disini.”
“Sst,” desis Sumekar, “kita memang sudah dekat. Aku mohon kita maju sedikit lagi. Akulah yang akan berdiri dipaling depan.”
“Sumekar bau ini ada di depan kita.
Tetapi aku tidak yakin bahwa yang kita hadapi sekarang ini sebangsa
binatang, karena sumber bau ini tidak bergerak.”
“Aku justru jadi ngeri,” desis prajurit itu, “marilah kita kembali.”
“Jangan,” berkata Sumekar, “aku yakin. Beberapa langkah lagi.”
Akhirnya pemimpin prajurit itu berkata. “Baiklah. Kita maju beberapa langkah lagi.”
Sumekarlah yang kemudian berdiri di
paling depan. Dari jarak beberapa langkah ia sebenarnya sudah melihat
seonggok kecil abu yang melontarkan bau yang sangat harum seperti yang
pernah dilihatnya. Karena itu, maka ia-pun dapat langsung menuju
ketempat itu, meskipun ia harus berpura-pura mengangkat wajahnya dan
menggerak-gerakkan hidungnya, seolah-olah sedang mencari arah dari
sumber bau itu.
“Disini,” tiba-tiba Sumekar berhenti.
“Kenapa disini?” bertanya kedua prajurit itu hampir bersamaan. Sedang bau yang menusuk hidung itu membuat mereka menjadi pening.
Sumekar berhenti sejenak. Diangkatnya
wajahnya sambil menghirup udara sedalam-dalamnya. Perlahan-lahan ia
mengarahkan hidungnya pada sumber bau itu yang sebenarnya.
“Ini, ini,” tiba-tiba Sumekar berdesis.
“Apa?” kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
“Kemarilah. Inilah sumber bau itu.”
“Apakah itu?”
“Kemarilah.”
Dengan ragu-ragu kedua orang prajurit itu mendekat.
“Inilah sumber bau itu. Ternyata bukan burung, bukan kucing atau sejenis binatang lain. Inilah sumber itu.”
Kedua prajurit itu memandang seonggok abu
yang berada di bawah bebatur bangsal itu. Hanya samar-samar saja cahaya
lampu minyak yang kemerah-merahan.
“Jika kalian tidak percaya, cobalah mencium bau abu itu,” berkata Sumekar.
Pemimpin prajurit itu-pun mendekati. Dengan ragu-ragu ia membungkukkan badannya.
“Ya,” katanya menyentak, “kau benar juru taman. Di sinilah sumber bau itu. Tetapi kenapa seonggok abu?”
Sumekar menggelengkan kepalanya.
Prajurit yang lain-pun kemudian mendekat
pula. Dengan saksama diperhatikannya abu yang kehitam-hitaman itu. Namun
baunya benar-benar membuat mereka menjadi pening.
Sumekar tidak memberikan tanggapan apapun. Dibiarkannya kedua prajurit itu mencoba mencari, apakah yang sedang mereka hadapi.
Dengan seksama keduanya memeriksa keadaan
di sekitarnya. Beberapa langkah daripadanya mereka menemukan sebuah
galah yang ujungnya juga terbakar sedikit. Galah itulah yang
dipergunakan untuk menjepit benda yang telah dibakar dan menimbulkan bau
yang sangat wangi itu.
“Sebangsa getah,” berkata pemimpin prajurit itu.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ada sebangsa demit yang membakar
getah atau apa-pun ditempat itu?” bertanya Sumekar, “atau bulu burung
atau kulit sebangsa kucing itu?”
“Bukan, tentu sebangsa getah yang mudah
terbakar. Baunya ini memang dapat membuat kepala pening. Apalagi ketika
getah ini baru saja terbakar,” jawab pemimpin prajurit itu.
“Jadi kenapa ada getah terbakar disitu?”
bertanya Sumekar, “aku sudah tertipu karenanya. Aku kira bau ini berasal
dari seekor binatang yang mahal sekali harganya.”
“Macam kau. Mungkin kau tertipu oleh bau
ini. Tetapi bagi kami penemuan ini cukup penting. Tentu ada orang orang
yang membakarnya disini. Tentu tidak dengan begitu saja terbakar dan
berada di tempat ini.”
Sumekar mengangguk-angguk. Tetapi ia
tersenyum didalam hati. Ia sudah berhasil menunjukkan kepada para
prajurit itu, bahwa yang mereka hadapi sama sekali bukannya hantu-hantu
yang mengerikan. Tetapi adalah suatu usaha pengkhianatan terhadap Putera
Mahkota dari siapa-pun datangnya.
“Carilah sehelai daun,” berkata pemimpin peronda itu kepada Sumekar.
“Untuk apa?”
“Aku akan mengambil dan membawa abu itu.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dicarinya sehelai daun yang cukup lebar untuk membawa abu yang
berbau sangat wangi itu.
Kedatangan mereka di gardu peronda
disambut dengan gurau yang meriah. Salah seorang prajurit berkata, “Nah,
bukankah juru taman itu menemukannya dan besok akan menukarkannya
dengan sepuluh ekor kuda yang paling tegar?”
Tetapi prajurit-prajurit yang bergurau itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat wajah pemimpin yang bersungguh-sungguh.
“Kami memang menemukannya,” berkata pemimpin itu.
Para prajurit yang berada di gardu itu
terkejut. Hampir berbareng mereka bergeser mendekat. Dan mata mereka-pun
segera melihat pada tangan pemimpin mereka yang memegang sesuatu.
“Inilah,” berkata pemimpin kelompok peronda itu, “ciumlah.”
Beberapa prajurit yang berdiri dihadapannya mendekatkan hidungnya. Salah seorang berdesis, “Ya. Memang inilah sumber bau itu.”
“Ini tinggal abunya,” berkata pemimpin peronda itu.
“Abu?”
“Ya. Tentu seseorang sengaja membakarnya
untuk menimbulkan bau yang menusuk hidung ini. Aku kira benda yang
dibakar ini sebangsa getah tumbuh-tumbuhan.”
“Getah?”
“Ya. Sama sekali bukan binatang. Bukan sebangsa burung apalagi kucing.”
“Tetapi ada sebangsa burung atau kucing yang mempunyai bau sangat wangi,” sela Sumekar.
“Tetapi tentu bukan ini.”
Beberapa orang prajurit mengerumui benda
yang kehitaman itu sambil mengerutkan keningnya. Mereka sepakat bahwa
sesuatu telah dibakar. Asapnya telah menyebarkan bau wangi sampai jarak
cukup jauh.
“Kita sekarang yakin, memang bukan
hantu.” pemimpin peronda itu berkata selanjutnya, “ternyata selama ini
kita telah dihantui oleh perasaan sendiri. Kekerdilan dan lebih dari
itu, kita adalah pengecut.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepala. Mereka merasa malu juga bahwa yang selama ini telah membuat
mereka ketakutan, ternyata hanyalah seonggok kecil abu yang menyebarkan
bau wangi.
“Kita akan melaporkan penemuan ini,”
berkata pemimpin peronda itu, “untuk seterusnya kita akan mencoba
mengetahui, siapakah yang telah membakar getah ini.”
Sumekar mengerutkan keningnya melihat
prajurit-prajurit mengangguk-angguk. Ia mengharap ada satu dua orang
yang berpendirian lain. Yang menganggap bahwa lebih baik mengintip orang
yang membakar getah itu daripada langsung melaporkannya.
Tetapi ternyata tidak ada yang berpendirian demikian.
Karena itu maka Sumekar-pun bertanya,
“Apakah para prajurit tidak dapat menangkap orang yang dengan bau getah
itu, sadar atau tidak sadar, sudah menyebarkan perasaan takut dikalangan
prajurit?”
“Tentu dengan sadar,” jawab pemimpin
peronda itu, “tetapi kau jangan menyombongkan diri justru karena kau
tidak menjadi ketakutan. Itu bukan karena kau pemberani, tetapi secara
kebetulan kau menganggap bahwa bau itu berasal dari seekor binatang.”
Sumekar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Kami tentu akan berusaha menangkapnya,”
berkata prajurit itu, “karena perbuatan ini telah menimbulkan persoalan
bagi kami meskipun maksud orang itu hanya sekedar bergurau.”
“Apakah kalian akan menangkap malam ini?”
“Bodoh kau. Siapakah yang akan kita tangkap?”
“O.”
“Kita harus menyelediki dahulu, siapakah yang telah melakukannya.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Lalu ia bertanya, “Siapakah yang akan diselidiki?”
“Ah, kau memang bodoh. Kembali saja
kebilikmu. Besok pagi kau harus menyiangi taman itu. Kamilah yang
bertugas untuk mencari siapakah yang telah membakar getah itu di sana.”
“Orang itu tentu tidak akan kembali,” berkata Sumekar.
“Jika ia tahu bahwa kami menyelidikinya.”
pemimpin peronda itu berhenti sejenak, lalu “Juru taman. Kau adalah
satu-satunya orang yang mengetahui bahwa kami sedang berusaha menangkap
orang yang membakar getah itu. Jika ia tidak datang lagi besok atau
lusa, maka pasti kaulah yang sudah berkhianat.”
“He, kenapa aku?”
“Tidak ada orang lain yang mengetahuinya selain kau.”
“Tentu ada.”
“Siapa?”
“Orang yang akan menerima laporan kalian.”
“Gila. Mereka adalah atasan kami.”
“Siapa tahu, bahwa ada diantara mereka
yang berkhianat. Maksudku, pelayannya atau embannya atau siapa-pun yang
berhasil mendengar pembicaraan kalian. Kecuali jika kalian tidak
mengatakan kepada siapa-pun juga, sebelum kalian berusaha
menyelidikinya.”
Pemimpin peronda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kau mampu juga berpikir. Barangkali secara
kebetulan pula kau mengatakannya seperti ketika kau menyebut bahwa bau
ini berasal dari seekor binatang.”
Sumekar tidak menyahut.
“Baiklah. Datanglah besok kemari. Kau
harus ada digardu ini. Jika kami gagal, kaulah yang berkhianat. Tidak
ada orang lain yang mengetahui.”
“Bagaimana jika orang itu sendiri melihat kalian datang menyelidiki tempat itu?”
“Memang mungkin. Tetapi kaulah taruhan kami yang pertama.”
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia tidak berkeberatan. Ia benar-benar akan datang besok malam. Dan
untuk itu ia akan minta kepada Putera Mahkota, agar besok malam
meninggalkannya pula.
Demikianlah atas usaha Sumekar, para
prajurit telah meyakini bahwa bau yang tajam itu sama sekali bukan
berasal dari sebangsa hantu dan atas hal tersebut, para prajurit sengaja
tidak melaporkannya lebih dahulu. Baik kepada atasannya mau-pun kepada
Putera Mahkota. Mereka ingin meyakinkan laporan mereka dengan bukti yang
lebih jelas apabila mereka berhasil menangkap orang yang telah membakar
sebangsa getah dan menyebarkan bau yang harum itu.
Namun tidak setahu para Prajurit itu,
Sumekar telah menceriterakan apa yang mereka temukan. Karena itu ia
memohon kepada Putera Mahkota agar meninggalkan bangsal itu pula untuk
kepentingan penyeledikan.
“Apakah kau berkeberatan jika aku sendiri yang menangkapnya?” bertanya Anusapati.
“Tuanku, hamba berharap bahwa para
prajuritlah yang akan menangkapnya dan kemudian melaporkan semuanya
kepada atasan mereka. Jika tuanku sendiri yang menangkapnya, maka dapat
terjadi bahwa yang terjadi itu dianggap sebagai sesuatu salah paham
saja. Dan bahkan seandainya hal itu tidak dihiraukan oleh ayahanda
tuanku, tidak ada seorang-pun yang ikut merasa heran, bahwa hal itu
tidak mendapat perhatian dengan tanggapan mereka masing-masing. Tetapi
jika yang menangkap orang itu para prajurit, maka akan ada saluran yang
membawa orang itu sampai kepemimpin pemerintahan. Seluruh saluran itu
akan menunggu dan mengharap, hasil pemeriksaan atas orang itu. Selain
dari pada itu, maka pertanggungan jawab atas kejadian itu harus
diberikan juga kepada para prajurit yang menangkapnya, meskipun
seandainya ada perlindungan kepada orang yang melakukan itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia dapat mengerti rencana Sumekar. Persoalan itu akan menjadi persoalan
yang meluas sehingga tidak akan dengan mudah dapat ditiadakan atau
dibekukan.
Demikianlah maka rencana yang telah
disusun dengan para prajurit itu akan dapat dijalankan, meskipun
Anusapati mengalami sedikit kesulitan ketika ia akan meninggalkan
istana. Ternyata bahwa isterinya benar-benar menjadi ketakutan dan minta
agar Anusapati malam itu tidak pergi meninggalkannya.
“Sayang sekali adinda, bahwa tugas ini
tidak dapat aku tunda lagi. Aku akan pergi malam ini saja. Besok aku
akan tinggal di bangsal ini.”
“Hamba takut kakanda. Semalam hamba
hampir menjadi pingsan oleh bau yang sangat wangi. Tetapi bau itu datang
dan pergi begitu saja. Tentu bukan bau bunga atau wangi-wangian yang
datang dari taman.”
“Mungkin semacam bunga sedap malam. Baunya juga menusuk sekali.”
“Bukan kakanda. Hamba mengenal bau bunga apa-pun juga.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, “Baiklah, aku akan berpesan kepada para prajurit
agar menjaga bangsal ini baik-baik. Bukankah sampai saat ini bau itu
sama sekali tidak mengganggu selain menimbulkan perasaan pening?”
Isteri Anusapati itu menganggukkan kepalanya.
“Nah, tinggal sajalah di dalam bangsal.
Tunggui dan jaga anak kita baik-baik. Ia sudah mulai nakal dan
kadang-kadang berkeliaran sendiri. Ia sudah mulai bekelahi dan
melempar-lempar batu.”
Isterinya menganggukkan kepalanya. Anak
laki-lakinya memang nakal. Apalagi kini ia sudah tumbuh semakin besar
dan kuat. Kadang-kadang ibunya tidak lagi dapat menguasainya. Bahkan
embannya tidak berhasil mengejarnya jika ia berlari-larian di halaman.
Untunglah para prajurit yang bertugas di depan bangsal itu sangat senang
kepada anak laki-laki yang nakal ini. Merekalah kadang-kadang yang
membawanya bermain, jika kebetulan sedang beristirahat.
Karena Anusapati tidak lagi dapat
dicegah, maka dengan hati yang berat, dilepaskannya juga ia pergi di
atas kuda putihnya. Anak laki-lakinya masih sempat melihat kepergiannya
sambil melambaikan tangannya.
“Aku minta kuda putih,” katanya kepada ibunya.
“Ya. Kelak kau akan mendapatkan seekor kuda putih.”
“Sekarang.”
“Kenapa sekarang? Kau masih terlampau kecil.”
“Aku sudah besar. Aku sudah dapat memanjat pohon sawo itu sampai ke atas atap.”
“He, kau memanjat sampai ke atas atap?” ibunya terkejut.
Anaknya menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
Dengan tergesa-gesa embannya menyela,
“Ampun tuan Puteri, hamba tidak sempat mencegahnya. Karena itu hamba
minta tolong kepada prajurit yang bertugas di regol untuk mengambilnya.”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Kau tidak boleh memanjat. Besok kalau sudah sebesar ayahanda
kau boleh memanjat sampai ke atas atap, dan kau akan mendapatkan kuda
putih pula seperti ayahanda.”
Putera yang nakal itu tidak menjawab, tetapi tampaknya ia sedang berpikir.
“Marilah, masuklah,” ajak ibunya ketika Anusapati sudah tidak tampak lagi.
Sejenak anak laki-laki itu berdiri saja
mematung, namun ketika ibundanya menarik tangannya, ia-pun kemudian
berjalan diiringi oleh embannya.
“Bawalah ke pembaringan,” berkata ibundanya kepada emban pengasuhnya.
“Hamba tuan puteri.”
Putera Anusapati yang bernama Ranggawuni
itu-pun kemudian dibawa oleh pengasuhnya ke pembaringannya. Tetapi anak
yang nakal itu-pun tidak juga segera memejamkan matanya. Ada saja yang
ditanyakannya kepada embannya. Tentang ibunya dan tentang istana ini
seluruhnya.
“Tidurlah tuan,” embannya mencoba menidurkannya.
Tetapi anak itu masih saja tidak memejamkan matanya.
“Hamba mempunyai sebuah dongeng tuan,” berkata embannya.
“Apa?”
“Tentang burung kepodang yang setiap hari bersiul di pelepah pisang.”
“Kenapa?”
“Dan tentang kancil yang cerdik.”
Emban itu-pun kemudian berceritera tentang binatang-binatang yang cerdik dan lucu, sehingga Ranggawuni itu-pun jatuh tertidur.
Namun agaknya embannya yang menjadi kantuk pula telah tertidur pula diatas sehelai tikar disisi pembaringan Ranggawuni.
Ketika ibu Ranggawuni menengoknya, maka
ia-pun tersenyum. Dibiarkannya saja embannya itu tertidur pula. Di malam
hari Ranggawuni memang sering mencarinya. Kadang-kadang ia memerlukan
minum atau apapun.
Namun ketika malam menjadi sepi, isteri
Anusapati itu menjadi semakin berdebar-debar. Seperti malam kemarin,
rumah itu dipenuhi oleh bau wangi yang menusuk hidung. Dan bau wangi itu
agaknya bukan bau wangi sewajarnya.
“Mudah-mudahan malam ini bau wangi itu tidak mengganggu lagi.”
Namun tiba-tiba terasa tengkuknya
meremang. Karena itu, maka ia-pun tidak segera pergi ke biliknya, tetapi
ia menyusul Ranggawuni dan berbaring di sebelahnya.
Dan sejenak kemudian yang dicemaskan
itu-pun terjadilah. Perlahan-lahan bau wangi itu mulai mengambar di
dalam bangsal itu. Semakin lama menjadi semakin tajam menusuk hidung.
Tanpa sesadarnya, tubuh isteri Anusapati itu menjadi gemetar. Bau semakin lama menjadi semakin menyolok hidung.
“Kakanda Anusapati tidak dapat dicegah,”
desisnya, “mudah-mudahan tidak lebih dari bau ini saja. Jika terjadi
sesuatu, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa”
Namun tiba-tiba teringatlah kata-kata Anusapati, “Prajurit-prajurit yang meronda di gardu depan akan menjaga bangsal ini.”
“Mudah-mudahan prajurit-prajurit itu tidak tertidur,” berkata isteri Anusapati itu di dalam hatinya.
Karena itu, dicobanya untuk tetap
bersikap tenang. Namun tanpa disadarinya, maka dipeluknya puteranya yang
mulai tumbuh dan menjadi anak laki-laki yang nakal itu.
Dalam pada itu, para prajurit yang
bertugas diregol depan-pun telah mulai menjalankan tugasnya. Sumekar
yang sejak malam turun berada di gardu depan, telah ditahan oleh para
prajurit.
“Kau tidak boleh pergi,” berkata pemimpin peronda.
“Kau sangka aku yang membakar getah itu.”
“Tidak. Tetapi jika kau berkhianat, kau akan kami gantung.”
“Uh, apakah kau berhak menggantung seseorang?”
“Kenapa tidak?”
Sumekar tidak menjawab. Tetapi ia-pun
kemudian duduk saja di gardu bersama beberapa orang prajurit yang lain,
sedang pemimpin peronda itu bersama dua orang yang lain telah
mengendap-endap di bawah rimbunnya dedaunan untuk melihat apakah yang
akan terjadi.
Di saat itulah para prajurit yang sedang
mengintai itu menjadi berdebar-debar. Dilihatnya seseorang yang
berkerudung hitam membawa sebatang galah yang panjang. Ujung galah
itu-pun kemudian dibakarnya pada nyala lampu minyak di serambi belakang.
Sejenak kemudian bau wangi itu-pun mulai tersebar. Perlahan-lahan, semakin lama semakin tajam menusuk hidung.
Pemimpin peronda tu menggamit kedua
kawannya. Mereka-pun kemudian bersiap untuk menyergapnya. Orang itu
harus ditangkap, dan dipaksa untuk mengatakan, apakah maksudnya
menimbulkan bau yang wangi itu.
Perlahan-lahan prajurit-prajurit itu
merangkak maju. Semakin lama semakin dekat. Mereka-pun kemudian menunggu
orang berkerudung hitam itu berjongkok dan meletakkan abu getahnya
dibawah bebatur.
Pada saat itulah pemimpin peronda itu
memberi isyarat. Dengan serta-merta ketiga prajurit itu meloncat
menerkam orang yang sedang berjongkok itu.
Namun ternyata bahwa orang itu-pun lincah
bukan buatan. Ternyata mereka sama sekali tidak berhasil menyentuhnya,
karena orang itu-pun segera melenting.
Tetapi para prajurit itu tidak melepaskannya. Mereka-pun segera mengepung orang itu.
“Menyerahlah,” desis pemimpin peronda itu.
“Persetan,” terdengar suara parau.
“Apakah maksudmu dengan permainanmu yang memuakkan itu.”
Orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk menembus kepungan itu.
Dengan demikian maka segera terjadi
perkelahian di antara mereka. Semakin lama semakin sengit. Ternyata
orang yang berkerudung hitam itu memiliki ilmu yang jauh melampaui
lawan-lawannya, sehingga karena itu, maka ketiga prajurit itu sama
sekali tidak berhasil menguasainya.
“Panggil kawan-kawan kita, berilah isyarat,” perintah pemimpin peronda itu.
Sejenak kemudian terdengar salah seorang
dari para prajurit itu bersiul. Suaranya nyaring membelah sepinya malam,
sehingga terdengar dari gardu peronda di depan bangsal.
“He, kau dengar isyarat itu?”
“Ya. Tentu sesuatu telah terjadi.”
“Cepat, kita pergi kesana.”
Para prajurit yang ada didalam bangsal
itu-pun segera berlari-lari kecuali dua orang harus mengawasi bangsal
itu dari depan. Tidak seorang-pun lagi yang menghiraukan Sumekar,
sehingga Sumekar dapat pergi menurut keinginannya sendiri. Tetapi ia-pun
harus menyesuaikan dirinya, agar ia tidak diketahui oleh para prajurit
itu bahwa ia mempunyai kelebihan, dari mereka.
Ketika para prajurit itu sampai di
belakang bangsal mereka masih melihat kawan-kawannya berkelahi melawan
seseorang yang berkerudung hitam. Namun ketika mereka sampai ke arena,
dua orang dari kawannya itu telah terlempar jatuh.
Tetapi agaknya orang berkerudung hitam
itu tidak ingin bertempur terus. Demikian para prajurit yang lain terjun
ke gelanggang, ia-pun segera meloncat dan berlari meninggalkan mereka.
Beberapa orang prajurit masih mencoba
memburunya. Tetapi mereka sama sekali tidak berhasil, karena bayangan
itu seakan-akan begitu saja lenyap dari pandangan mata mereka.
Pemimpin peronda itu-pun segera menolong
kedua orang kawannya yang pingsan. Keduanya-pun segera di gotong ke
gardu dan pada bibirnya dititikkan air yang dingin.
“Dadanya telah dihantam dengan tumit oleh bayangan hitam itu,” berkata pemimpin peronda itu kepada kawan-kawannya.
“Yang seorang?”
“Sebuah pukulan tepat mengenai
tengkuknya. Aku-pun agaknya hampir juga dijatuhkannya, bahkan mungkin
dibunuhnya. Untunglah kalian segera datang.”
Para prajurit itu masih berdebar-debar. Orang itu memiliki kemampuan yang tidak terkirakan.
“Apakah orang itu pula yang dahulu pernah memasuki halaman istana ini?” bertanya seseorang.
“Aku tidak tahu,” jawab pemimpin peronda itu.
Sejenak kemudian maka kedua kawan-kawan
mereka yang pingsan itu-pun mulai bergerak-gerak. Mereka merintih oleh
rasa sakit yang hampir tidak tertahankan. Apalagi prajurit yang dadanya
telah terkena tumit orang berkerudung hitam itu. Setitik darah telah
melekat dibibirnya.
“Dadanya terluka,” berkata pemimpin peronda itu, “ia harus segera mendapat pengobatan.”
“Ya, kita akan menghubungi dukun yang baik bagi para prajurit, agar orang ini cepat tertolong.”
“Cepat,” berkata pemimpin peronda itu, “aku akan pergi kegardu induk untuk melaporkan peristiwa ini.”
“Baiklah. Aku akan memanggil dukun itu.”
Pemimpin peronda itu-pun berdiri pula
bersama prajurit yang akan memanggil dukun itu. Namun merasa ada sesuatu
yang kurang. Diamatinya keadaan disekelilingnya. Lalu tiba-tiba ia
berkata, “Dimana juru taman itu?”
“He,” prajurit-prajurit yang lain mulai sadar, bahwa juru taman itu tidak ada di antara mereka.
“Siapa yang melihatnya terakhir.”
“Ketika kami mendengar isyarat dari
kalian yang berkelahi melawan orang berkerudung itu, ia masih ada
digardu ini. Tetapi kami telah melupakannya karena kami tergesa-gesa
pergi membantu kalian yang sedang berkelahi itu.”
“Bukankah ada yang tinggal disini?”
“Ya,” jawab prajurit yang tinggal,
“tetapi kami telah lupa pula mengurusnya. Ia menggigil ketakutan. Dan
aku tidak tahu lagi kemana larinya.”
“Cari. Mungkin ia mati membeku.” perintah
pemimpin peronda itu, tetapi “kecuali yang akan memanggil dukun.
Pergilah. Orang itu segera memerlukan pertolongan.”
Ketika seorang prajurit pergi memanggil dukun, maka prajurit yang lain-pun menyebar untuk mencari Sumekar.
Tiba-tiba saja seorang prajurit melonjak
karena terkejut ketika ia hampir saja menginjak seseorang yang melingkar
dibawah segerumbul pohon bunga.
“He, juru taman. Kenapa kau disitu?”
Sumekar mengangkat wajahnya yang pucat. Sambil tergagap ia berkata, “Apakah sudah tidak ada perang lagi?”
“Gila kau. Tidak ada perang. Kami sedang
berusaha menangkap orang yang membakar getah itu. Marilah, kembali
kegardu. Ternyata kau penakut yang paling licik.”
Sumekar tidak menjawab ketika tangannya
dibimbing oleh prajurit itu. Sambil tertawa prajurit itu mengatakan di
mana ia menemukan Sumekar.
“Aku sangka kau seorang pemberani ketika
kau mengajak kami mencari sumber bau itu. Ternyata ketika kau sudah
mengetahuinya, justru kau menjadi ketakutan setengah mati.”
“Tetapi, tetapi apakah yang telah terjadi?”
“Tidak apa-apa.”
Sumekar menjadi ketakutan ketika ia
melihat dua orang yang terbaring digardu. Sambil menunjuk keduanya ia
bertanya, “Kena apakah mereka?”
“Tidak apa-apa. Duduklah. Minumlah. Mereka agak sakit. Tetapi tidak apa-apa.”
Sumekar-pun duduk diantara para prajurit. Meskipun ia masih menggigil namun ia meneguk beberapa teguk air.
Baru setelah Sumekar agak tenang,
pemimpin prajurit itu meninggalkannya untuk memberikan laporan kegardu
induk, bahwa mereka telah menemukan suatu persoalan yang menarik.
Dalam pada itu Sumekar masih duduk
membeku di sudut gardu. Namun demikian, sebenarnyalah ia sempat
memperhatikan perkelahian yang tidak begitu lama terjadi itu. Dan dalam
waktu yang sempit itu ia dapat mengenal, dari tata geraknya yang tidak
sempat disembunyikan, karena serangan prajurit itu begitu tiba-tiba.
“Guru tuanku Tohjaya,” desis Sumekar di dalam hatinya.
Sementara itu, di dalam bangsal, isteri
Anusapati menjadi sangat cemas. Tetapi ia sadar, bahwa agaknya para
prajurit sudah bertindak.
“Tetapi apakah yang dapat dilakukan oleh
para prajurit terhadap sesuatu yang halus?” bertanya isteri Anusapati
itu kepada diri sendiri.
Tetapi ternyata bahwa sejenak kemudian ia
mendengar seakan-akan orang-orang yang sedang berkelahi. Kemudian
beberapa orang lagi berlari-lari dari gardu di depan melingkar menuju ke
belakang.
“Mudah-mudahan para prajurit itu dapat mengatasi persoalannya,” berkata isteri Anusapati itu.
Debar jantungnya menjadi mereka juga
ketika suara-suara hiruk pikuk itu-pun mereda. Ia masih mendengar
prajurit-prajurit itu berbicara dan berjalan hilir mudik.
“Agaknya para prajurit dapat mengusirnya,” berkata isteri Anusapati itu pula didalam hatinya.
Demikianlah maka dipeluknya puteranya semakin erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi.
Sejenak kemudian gardu induk di halaman
istana Singasari itu-pun menjadi gempar. Seorang perwira yang sudah
ubanan memilin kumisnya sambil berkata, “Ada juga demit yang mau
mengganggu halaman istana ini?”
“Kami tidak berhasil menangkapnya.”
“Berapa orang yang kau lihat?”
“Satu orang berkerudung hitam.”
“Satu orang, dan kalian tidak dapat menangkapnya?”
“Ia lari kedalam gelap, dan seakan-akan ia dapat menghilang begitu saja.”
“Apakah kau percaya kepada hantu itu?”
“Tidak. Ketika kami berkelahi, aku
berhasil menyentuhnya. Ia sama sekali bukan hantu. Tetapi kemampuannya
jauh melampaui prajurit kebanyakan.”
“Gila. Kalian memang gila. Kenapa kalian tidak dapat menangkap hanya satu orang?”
Pemimpin peronda itu tidak menjawab.
Tetapi perwira itu tidak bertanya lagi. Terkenang olehnya peristiwa yang
serupa beberapa waktu yang lalu. Orang berkerudung hitam. Dan tidak
seorang-pun yang dapat menangkapnya. Tetapi ketika kemudian ada kesatria
Putih, mereka menyangka bahwa orang berkerudung hitam itu adalah
Kesatria Putih juga yang sedang berbuat sesuatu untuk tujuan tertentu.
“Tetapi tentu tidak. Tentu bukan Kesatria
Putih. Sejak pertama kali orang-orang berkerudung hitam itu mempunyai
ciri-ciri berbeda,” berkata perwira itu, namun kemudian, “tetapi
ceritera tentang Kiai Kisi yang kemudian dapat diketahui, bahwa yang
berkerudung hitam adalah Putera Makota.”
Perwira itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia menjadi pening memikirkan persoalan-persoalan itu. Namun
kesimpulannya adalah, “Tidak hanya ada seorang berkerudung hitam di
istana ini. Apalagi ketika Putera Mahkota tidak ada di istana.”
Kemudian bersama beberapa orang prajurit
perwira yang sudah ubanan itu-pun segera pergi ke bangsal Putera
Mahkota. Sejenak ia mengamati gardu peronda. Kemudian dilihatnya dua
orang prajurit yang terbujur.
“Kenapa?”
“Terluka,” jawab pemimpin peronda.
“Kau diamkan saja?”
“Kami sudah memanggil seorang dukun bagi para prajurit.”
“Bawa kegardu induk. Disana suasananya jauh lebih baik dari tempat ini.”
Demikianlah kedua orang yang terluka
itu-pun segera dibawa kegardu induk. Gardu induk memang lebih luas dan
terang daripada gardu di muka bangsal Putera Mahkota itu.
Sejenak kemudian perwira itu-pun telah mengelilingi bangsal itu. Dilihatnya bekas abu getah yang berbau harum itu.
“Jadi kalian berhasil melihat orang itu datang dan membakar getah ini.”
“Ya.” jawab pemimpin peronda.
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Laporan itu akan menjadi bahan pembicaraan dengan para
perwira dan sudah tentu dicari sebab dan tujuannya.
“Jika bau ini sekedar untuk menakut-nakuti, apakah keuntungan yang diperolehnya?” bertanya perwira itu kepada diri sendiri.
Tetapi perwira itu tidak dapat ingkar,
bahwa sebenarnya ia-pun telah mengetahui persaingan antara Anusapati dan
Tohjaya yang semakin lama agaknya menjadi semakin tajam. Meskipun
nampaknya Anusapati lebih banyak diam, tetapi ternyata bahwa ia telah
berhasil membentengi diri dengan kemampuan yang luar biasa dan kesetiaan
rakyat Singasari kepadanya, justru karena ia adalah Kesatria Putih.
Meskipun demikian perwira yang sudah
berambut rangkap itu tidak mengambil sikap sendiri. Sebagai seorang
prajurit, maka ia-pun akan membawa persoalan itu kepada atasannya.
Kepada para perwira yang lebih tinggi, dan karena persoalannya
menyangkut ketenteraman hidup keluarga Putera Mahkota, maka persoalannya
pasti akan dibicarakan oleh para Panglima Pasukan Pengawal dan Panglima
Pelayan Dalam.
Setelah barang-barang yang dapat
dijadikan bukti atas peristiwa itu dikumpulkan, maka perwira itu-pun
kemudian meninggalkan bangsal itu dengan pesan, “Hati-hatilah. Mungkin
ada persoalan-persoalan baru yang menyusul. Jika kalian tidak mampu
mengatasi persoalan berikutnya itu sendiri, berilah tanda.”
“Baiklah. Kami akan selalu bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi.”
Tetapi salah seorang prajurit yang berdiri di belakang gardu berdesis, “bersiap untuk membunyikan tanda.”
“Sst,” desis kawannya.
“Kawan kita sudah berkurang dua orang.
Apa yang dapat kita lakukan? Sedang menghadapi satu orang saja, kita
semuanya tidak dapat berbuat banyak. Bagaimana jika orang itu nanti
kembali bersama dua atau tiga orang kawannya?”
“Ternyata kau pengecut seperti juru taman itu.”
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi ia mendengar perwira itu bertanya, “Siapa yang ada digardu itu?”
Pemimpin peronda itu berpaling. Dilihatnya seseorang duduk meringkuk disudut gardu.
“O, seorang juru taman,” jawab pemimpin
prajurit peronda itu. “Kenapa ia ada di sini. Didalam gardu peronda
hanya boleh ada prajurit-prajurit dari pasukan Pengawal yang sedang
bertugas. Bukankah kalian mengetahui?”
“Ia baru saja ada di dalam gardu ketika kami ketemukan ia hampir mati ketakutan.”
“Kenapa?”
“Karena orang berkerudung hitam itu.”
“Apakah ia juga melihat?”
“Tidak. Ia hanya mendengar kami bertempur.”
“Sebelum itu.”
“Ia sekedar bercakap-cakap dengan para peronda yang sedang beristirahat digardu.”
Perwira yang berambut ubanan itu
memandang Sumekar dengan tatapan mata yang tajam. Lalu katanya, “Apakah
bukan orang itu yang membakar getah.”
“O, tidak. Ia berada digardu ketika aku menemukan orang berkerudung hitam itu.”
“Atau ia sengaja memancing perhatian karena orang berkerudung itu adalah kawannya?”
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya.
Dan perwira itu berkata selanjutnya, “Ia
sengaja membawa kalian berbicara, berkelakar dan barangkali dengan
cara-cara yang lain agar kedatangan kawannya itu tidak kalian ketahui.
Sehingga dengan demikian ia akan dapat berbuat leluasa.”
Tiba-tiba saja beberapa orang prajurit
telah mengerumuni mulut gardu itu, sehingga juru taman yang ada
didalamnya menjadi semakin berkeriput.
Hampir saja beberapa orang prajurit
mengikuti jalan pikiran itu. Namun tiba-tiba pemimpin peronda itu
berkata, “Tidak. Bukan orang ini, jika ada yang berusaha berbuat
demikian. Justru orang inilah yang tanpa disengaja telah memberikan
jalan kepada kami, sehingga kami sempat mengetahui bahwa sebenarnya bau
yang telah beberapa kali tercium ini adalah bau semacam getah yang
terbakar.”
“He? “ perwira itu menjadi heran, “bagaimana mungkin hal itu terjadi?”
Pemimpin peronda itu memandang Sumekar
yang ketakutan. Kemudian katanya, “Ia adalah seorang yang merasa dirinya
mengerti tentang berbagai macam bunga dan baunya. Juga tentang
binatang.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemimpin prajurit peronda itu-pun
kemudian menceriterakan serba sedikit tentang Sumekar, dan tentang
taruhan seekor kuda yang tegar. Tetapi yang mereka jumpai bukan sebangsa
burung dan bukan sebangsa kucing, tetapi getah yang terbakar itulah.
Perwira itu kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Maaf, bahwa aku telah membuatmu ketakutan.
Bukan maksudku. Aku wajib mencurigai setiap orang dalam keadaan serupa
ini. Sekarang pergilah. Tidak boleh ada orang lain di dalam gardu
peronda selain prajurit-prajurit dari pasukan Pengawal. Untunglah bahwa
tidak timbul salah paham karena kebetulan kau dapat menunjukkan
kebodohanmu. Jika tidak, maka kau dapat menjadi korban.”
“Tetapi, tetapi … “ Sumekar tergagap.
“Tetapi kenapa?” bertanya perwira itu.
Sumekar tidak segera menjawab, sehingga pemimpin peronda itulah yang berkata, “Kau takut kembali ke gubugmu?”
Sumekar mengangguk.
“Kau benar-benar pengecut yang dungu,” berkata pemimpin peronda itu, lalu katanya kepada seorang prajurit. “antarkan orang ini.”
Prajurit itu menganggukkan kepalanya.
Tetapi terbayang juga keragu-raguan dimatanya, sehingga pemimpinnya
berkata pula, “Bawalah, seorang kawan.”
Prajurit itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah bahwa ia ingin mendapat seorang kawan. Bagaimana-pun juga
ada sesuatu yang masih menggetarkan hatinya. Jika ia bertemu dengan
orang berkerudung hitam itu, ada juga seorang saksi yang akan dapat
melihat dan membantunya meskipun dengan seorang kawannya mereka tidak
akan dapat berbuat banyak. Namun pasti masih ada kesempatan untuk
memberikan isyarat.
Di dalam perjalanan mengantarkan Sumekar,
salah seorang prajurit itu berdesis, “Apakah orang berkerudung itu
bukan Putera Mahkota sendiri?”
“Kenapa Putera Mahkota sendiri?” bertanya kawannya.
“Bukan maksudku berniat jelek. Tetapi
seandainya ada persoalan di antara keluarga mereka dan mungkin dengan
sengaja Putera Mahkota membuat isterinya tidak tenang dan tidak kerasan
di istana ini.”
“Hus,” desis yang seorang, “aku tahu
betul bahwa keduanya sangat mengasihi yang satu dengan yang lain
meskipun seakan-akan mereka baru saling mengenal setelah mereka duduk
bersama di hari perkawinan itu. Ternyata bahwa orang tua mereka yang
berusaha menjodohkan putera dan puterinya tidak salah pilih.” ia
berhenti sejenak, lalu “karena itu menurut penilaianku, tentu bukan
Putera Mahkota.”
“Tetapi siapa tahu keadaan isi hati
Putera Mahkota jawab yang lain, mungkin di dalam petualangannya sebagai
Kesatria Putih ia menjumpai seorang gadis lain yang cantik dan mempunyai
gairah yang lebih panas.”
“Ah,” yang lain berdesah, “meskipun hal
itu berlaku pula bagi Sri Rajasa, tetapi agaknya lain bagi Putera
Mahkota. Ternyata bahwa pengenalanmu atas Putera Mahkota terlampau
sempit.”
Kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Sementara Sumekar menyambung, “Yang aku ketahui keduanya
mempunyai kesukaan pada jenis bunga yang sama.”
“Apa?”
“Soka ungu.”
“O, itu sudah pertanda bahwa cinta mereka akan abadi.”
“Bagaimana kau tahu.”
“Bunga soka yang ungu memang mempunyai
pengaruh yang sangat baik bagi sepasang suami iseteri. Dan apalagi
keduanya sama-sama menyukainya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan. Lalu,
“Selain itu juga sebatang kantil yang kerdil, yang tidak dapat tumbuh
terlalu tinggi meskipun bunganya lebat sekali. Akulah yang dahulu
mendapatkan benihnya justru dari padepokan jauh dari istana. Aku
membawanya masuk ke dalam istana ini dan akulah yang menanamnya
dipetamanan. Ternyata aku berhasil menyenangkan hati Putera Mahkota, dan
….”
Sebelum Sumekar melanjutkan, salah
seorang prajurit telah memotongnya, “Kaulah yang membuat Putera Mahkota
dan isterinya menyukainya, dan kau pulalah yang telah memperkembangkan
bunga kerdil itu, dan kau pulalah yang ini dan itu, dan kau dan kau … “
Suaranya menjadi serak parau, lalu “macam kau. Kami sedang
mempercakapkan Putera Mahkota dan isterinya, bukan berbicara tentang
kau. Kenapa kau berceritera tentang dirimu sendiri jauh lebih banyak
dari tentang Putera Mahkota itu sendiri.”
“O, begitulah?”
“He,” sahut prajurit yang lain, “kau masih bertanya?”
Sumekar hanya tersenyum saja. Tetapi ditundukkannya kepalanya.
Sejenak kemudian langkah mereka-pun
berhenti. Agaknya mereka sudah sampai pada deretan rumah-rumah kecil
bagi para hamba istana Singasari.
“Terima kasih,” berkata Sumekar, “aku mengucap diperbanyak terima kasih.”
“Kau tinggal masuk dan berguling-guling
di pembaringan. Kami masih harus kembali kegardu dan bertugas sampai
pagi dan siang hari besok sebelum pengganti kami datang. Mudah-mudahan
kau nanti malam diterkam oleh orang berkerudung itu.”
“Ah tentu tidak. Kenapa aku?”
“Kaulah yang menyebabkan para prajurit menemukannya.”
“Tidak, tidak.”
Kedua prajurit itu tersenyum.
Ditinggalkannya Sumekar yang dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya
dan menutup pintunya rapat-rapat.
Namun ketika langkah kedua prajurit itu
menjauh Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia duduk di
pembaringannya sambil berdesah. Agaknya Anusapati hampir terdesak oleh
Tohjaya untuk tidak dapat ingkar lagi dari perselisihan yang terbuka.
“Mahisa Agni-pun sudah menyadarinya,”
berkata Sumekar di dalam hati. “Tetapi bahwa orang itu telah mengganggu
isteri dan putera Anusapati itu sama sekali kurang dapat dimengerti. Dan
itu adalah tindakan yang sangat licik.”
Sekali lagi Sumekar menarik nafas
dalam-dalam. Memang ia tidak dapat berpendapat lain, bahwa guru Tohjaya
itu adalah orang yang licik sekali. Kegagalannya membunuh Mahisa Agni
tanpa diketahui sebab-sebabnya itu telah membuatnya semakin bingung.
Sampai saat ini guru Tohjaya itu tidak tahu, kenapa Mahisa Agni masih
hidup dan kenapa saudara-saudara seperguruannya yang diandalkan itu
tidak berbuat sesuatu atau akibat-akibat lain yang telah timbul.
Sehingga baik bagi guru Tohjaya maupun
bagi Sri Rajasa, akhir dari ceritera orang-orang yang mereka perintahkan
untuk membunuh Mahisa Agni itu masih merupakan teka-teki yang belum
terjawab, karena mereka tidak dapat bertanya kepada siapa-pun apa yang
sebenarnya telah terjadi di istana wakil Mahkota di Kediri.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kini
satu peristiwa telah terjadi lagi. Tentu bukan peristiwa yang berdiri
sendiri. Hal ini pasti hanya merupakan suatu rangkaian dari rencana yang
lebih besar dan panjang.
Ternyata peristiwa malam itu telah
menggemparkan isi istana Singasari. Laporan berjalan bersimpang siur
menuju ke saluran masing-masing. Namun pada hari itu juga hampir semua
Senapati dan Panglima sudah mendengar, apa yang telah terjadi di bangsal
Putera Mahkota.
Anusapati sendiri tidak dapat menentukan
apakah yang sebenarnya sedang berlangsung di bangsalnya karena ia malam
itu sedang tidak berada di istana.
“Tetapi hal ini telah menjadi pembicaraan
para Senapati Tuanku,” berkata Sumekar ketika ia sempat menemui
Anusapati disudut halaman bangsalnya.
“Ya. Tetapi sampai dimana akibat dari laporan-laporan mereka itulah yang masih harus ditunggu.”
“Namun yang penting adalah persoalan ini
menjadi persoalan yang terbuka. Hampir semua orang mendengar
peristiwanya, sehingga mereka-pun akan menunggu hasil penyelidikan para
prajurit.”
“Jawabnya akan sangat mudah,” berkata
Putera Mahkota, “seperti yang sudah. Para prajurit dari pasukan pengawal
belum menemukan jejaknya. Apakah orang-orang di istana, bahwa para
prajurit dan Senapati pernah mempersoalkan, kenapa orang berkerudung
hitam yang pernah langsung berhadapan dengan Sri Rajasa sendiri, dan
orang berkerudung yang lain-lain? Semuanya itu berlaku dengan
diam-diam.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia menjawab, “Tetapi yang penting bagi tuanku, rakyat mengetahui
bahwa tuanku sedang mengalami gangguan. Bukan saja secara pribadi tetapi
juga keluarga tuanku.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Apabila pada suatu saat dapat
diketemukan, maka kebencian orang terhadap mereka yang berusaha
mengganggu tuanku akan memuncak dan mematangkan sikap yang dapat tuanku
ambil terhadap mereka itu.”
Sekali lagi Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar paman. Tetapi kapan aku dapat mengambil sikap itu?”
Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tuanku masih harus menunggu isyarat dari Pamanda Mahisa Agni.
Tetapi sebaiknya tuanku segera mempersiapkan suatu sikap terakhir yang
dapat tuanku ambil segera. Kegagalan orang-orang yang tidak menyukai
tuanku tentu tidak hanya akan terhenti pada membakar semacam getah untuk
menakut-nakuti tuan puteri dan putera tuanku itu.”
Putera Mahkota mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi wajahnya justru menjadi semakin murung. Apakah pada
suatu saat ia akan benar-benar dihadapkan pada Ayahanda Sri Rajasa?
Apakah pantas bahwa seorang anak harus bermusuhan dengan ayah sendiri?
Anusapati masih dapat mengerti, jika ia
harus bertengkar dan bahkan sampai pada puncak perselisihan dengan
adiknya Tohjaya, karena tidak seibu. Dan seandainya setiap orang menilai
bahwa perselisihan itu timbul karena Singgasana Singasari, itu-pun
masih cukup berharga, karena ia sudah diangkat menjadi Putera Mahkota,
sehingga setiap perselisihan ia berada pada keadaan mempertahankan diri.
Tetapi alangkah tidak pantasnya apabila
ia pada suatu saat harus membela diri sekali-pun atas ayahnya sendiri.
Tidak banyak orang yang dapat mengerti persoalan yang sebenarnya. Tidak
banyak orang yang akan mengatakan bahwa Sri Rajasa telah berpihak kepada
Tohjaya di dalam perselisihan antara putera-puteranya. Sebagian rakyat
Singasari pasti akan menuduhnya berusaha mempercepat penyerahan Mahkota
kepadanya atas keinginannya. Dan itu sangat tidak pantas.
Meskipun demikian, apakah ia tidak berhak
membela dirinya sendiri meskipun terhadap ayahandanya? Dan apakah
benar-benar akan terjadi, bahwa ayahandanya akan tenggelam dalam
perselisihan ini dan langsung berpihak kepada Tohjaya?
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Seperti yang dikatakan oleh Sumekar, ia harus mematangkan sikap. Apa
yang harus dilakukannya, jika keadaan memang memaksa.
Sekilas terbayang wajah ibunya yang
selalu muram. Kecantikan ibunya tinggal merupakan bayangan yang kabur di
wajahnya yang terlampau cepat menjadi tua. Sedang ibunya yang lain, Ken
Umang masih tetap tampak muda dan segar, meskipun puteranya, Tohjaya
telah menjadi dewasa pula.
Semakin tua ibunda permaisuri, semakin
besar dorongan ibunda Ken Umang atas Ayahanda Sri Rajasa untuk
menyingkirkan aku dan menempatkan Tohjaya pada kedudukan ini.
Namun tiba-tiba saja Anusapati menggeram.
“Hanya keturunan Ken Dedes sajalah yang dapat menduduki Singasari.
Apa-pun yang harus aku lakukan untuk mempertahankannya.”
Dalam pada itu, sekali lagi guru Tohjaya
itu mengumpat-umpat. Ia gagal lagi untuk membuat suatu kesan tersendiri
pada keluarga Anusapati dengan menakut-nakutinya.
“Prajurit-prajurit itu bodoh sekali.
Kenapa mereka ribut dengan bau wangi itu juga, sehingga usahaku untuk
menakut-nakuti isteri Anusapati itu gagal? Jika ada bau wangi lagi di
sekitar bangsal itu, tidak akan ada lagi orang yang berpikir tentang
hantu. Semua orang sekarang tahu, bahwa usaha itu adalah usaha
seseorang,” guru Tohjaya itu mengumpat-umpat tidak ada habis-habisnya.
“Setiap orang kini mempersoalkannya,”
katanya kepada diri sendiri, “untunglah bahwa aku sempat melarikan diri
malam itu. Jika tidak, maka aku akan menyeret diriku sendiri ke tiang
gantungan tanpa perlindungan. Sri Rajasa tidak akan mengaku dan
memberikan ampunan untuk membersihkan namanya sendiri.”
Dan kegagalan ini agaknya membuat
penasehat Sri Rajasa itu benar-benar kebingungan. Apalagi yang dapat
dilakukan untuk mengecilkan Anusapati dari segala segi. Ia berharap
bahwa dengan demikian isteri Anusapati akan menuntut suaminya untuk
tetap tinggal di rumah seperti anggapan rakyat Singasari dahulu
terhadapnya, sebelum ia menemukan jalan lain yang lebih baik.
Namun akhirnya Tohjaya berkata kepada
gurunya, “Guru, tidak ada jalan yang lebih baik daripada membunuh
Kakanda Anusapati itu sendiri.”
Gurunya mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang mudah tuanku. Seperti tuanku
ketahui, ternyata tuanku Putera Mahkota memiliki kemampuan yang tiada
taranya.”
“Guru harus dapat membujuk ayahanda. Kakanda Anusapati tidak akan tersingkir dari kedudukannya selain mati.”
“Kita sudah menjebaknya dengan
bermacam-macam cara. Tetapi usaha itu selalu gagal. Ia adalah Putera
Mahkota yang berhak mendapatkan pengawalan setiap saat ia kehendaki.
Selebihnya ia sendiri mampu mengimbangi kekuatan seseorang yang paling
kuat sekalipun di Singasari, selain Sri Rajasa sendiri dan Mahisa Agni.”
“Aku belum meyakini,” berkata Tohjaya, “namanya terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada kekuatan sebesar itu padanya.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi mungkin kita lebih baik
berhati-hati. Karena itu alangkah baiknya jika ayahanda sendiri
melakukannya dengan cara dan alasan apa-pun juga.”
Penasehat Sri Rajasa itu menelan ludahnya. Wajahnya menjadi tegang dan untuk sejenak ia tidak berkata sepatah katapun.
Tohjaya-pun mengerti betapa beratnya
seorang yang harus memusuhi anaknya sendiri, apalagi membunuhnya. Tetapi
ayahnya memang harus memilih. Anusapati atau Tohjaya. Jika ayahnya
memang ingin menyingkirkan Anusapati dan memberi kesempatan kepada
Tohjaya, maka jalan satu-satunya adalah membunuh Anusapati.
“Baiklah tuanku,” berkata gurunya, “hamba
akan mencoba membujuk Ayahanda Sri Rajasa jika memang tidak ada jalan
lain. Tetapi setiap kali kita masih harus memperhitungkan peranan Mahisa
Agni. Jika terjadi perselisihan terbuka antara Ayahanda Sri Rajasa
dengan Mahisa Agni yang kini berada di Kediri, maka kemungkinan yang
luas dapat terjadi. Mahisa Agni bukan tidak mempunyai pengikut. Apalagi
jika ia berusaha menyusun kekuatan, maka itu akan sangat membahayakan
Singasari sendiri.”
“Terserah kepada kebijaksanaanmu,”
berkata Tohjaya, “kau harus memperhitungkan segala kemungkinan dari
segala segi. Tetapi tujuan terakhir adalah membinasakan Kakanda
Anusapati. Akan lebih baik lagi jika paman Mahisa Agni-pun telah
terbunuh pula.”
“Ya, ya. Tetapi kita harus sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang berat sekali.”
Namun ternyata bahwa penasehat Sri Rajasa
itu menyampaikannya pula kepada Sri Rajasa meskipun tidak langsung.
Dengan hati-hati dan penuh dengan perumpamaan dan sindiran. Apalagi
penasehat Sri Rajasa itu sudah mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah
bahwa Anusapati bukan putera Sri Rajasa.
“Apakah Tohjaya mengetahuinya?” bertanya Sri Rajasa.
“Aku kira belum tuanku.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Ia
pernah merasa prihatin karena sikap Tohjaya itu. Tanpa mengetahui bahwa
Anusapati itu bukan saudaranya, ia sampai hati mengajukan tuntutan
sejauh itu seperti yang pernah didengarnya, meskipun samar-samar. Dan
kini sekali lagi ia disentuh oleh perasaan itu.
“Apakah jika sampai saatnya, Tohjaya yang
sampai hati melepaskan kakaknya itu akan sampai hati pula melepaskan
ayahnya?” pertanyaan itu timbul juga di hati Sri Rajasa.
Tetapi Sri Rajasa sudah menuntun anak
laki-lakinya itu sampai ke tengah sungai yang banjir. Bagaimana-pun juga
ia sudah menjadi basah. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali
melanjutkan perjalanan sampai ke seberang. Dan di dalam hati Sri Rajasa
itu-pun berkata, “Baiklah. Anusapati memang harus mati.”
Demikianlah meskipun belum terucapkan,
janji itu sudah terpateri di dalam hati Ken Arok yang bergelar Sri
Rajasa. Ia mulai menginjakkan kakinya di istana Tumapel dengan, mencuci
tangannya dengan darah. Kini ia akan melangsungkannya dengan tetesan
darah pula.
Memang bagi Ken Arok tugas yang paling
akhir harus dilakukan di dalam kedudukannya, adalah berusaha
menyingkirkan semua bekas-bekas kekuasaan Tunggul Ametung. Anusapati
apabila sempat duduk di atas tahta, akan berarti kembalinya kekuasaan
Tunggul Ametung itu. Dan habislah darah keturunan Sri Rajasa yang hanya
berkuasa satu keturunan saja. Dirinya sendiri.
Kadang-kadang terbersit pula suatu
pertanyaan, kenapa ia tidak berusaha untuk mengangkat keturunannya yang
lahir dari Ken Dedes, karena mau tidak mau ia harus mengakui, kekuasaan
yang ada padanya, bersumber kepada kekuasaan yang diwarisi oleh Ken
Dedes dari Tunggul Ametung, yang sadar atau tidak sadar, telah
menyerahkan semua yang ada padanya, kepada permaisurinya itu.
“Jika aku mengangkat Mahisa Wonga Teleng,
maka keadaannya akan berbeda. Mungkin Anusapati tidak akan banyak
menentang keputusan itu, karena ia amat cinta kepada ibunya. Apalagi
jika berterus terang kepadanya, bahwa ia adalah keturunan Tunggul
Ametung,” berkata Ken Arok di dalam hati, “kenapa aku tergesa-gesa
mengangkatnya menjadi Putera Mahkota sekedar untuk mendapat kesempatan
memanjakan Tohjaya dan ibunya?”
Tetapi Ken Arok-pun tidak dapat ingkar,
bahwa maksudnya bukan saja sekedar menyenangkan hati Ken Dedes karena ia
lebih banyak berhubungan dengan Ken Umang, tetapi juga karena waktu itu
masih ada kekuatan yang tidak dapat melupakan kekuasaan Tunggul
Ametung. Pengangkatan Anusapati membuat mereka diam dan tidak berbuat
banyak, sehingga akhirnya kedudukan Sri Rajasa menjadi kuat. Namun dalam
pada itu di luar perhitungannya, Anusapati telah berhasil mengangkat
namanya sendiri atas dukungan Mahisa Agni, sehingga bagi rakyat
Singasari Kesatria Putih adalah lambang perlindungan mereka.
“Tetapi Kesatria Putih tidak berhasil
melindungi bangsalnya sendiri,” tiba-tiba saja pada suatu saat Ken Arok
justru memanggil Anusapati dan menuduhkannya berbuat lengah, sehingga
menimbulkan sedikit gangguan keamanan di halaman istana.
“Kau terlalu banyak meninggalkan keluarga
dan bangsalmu di malam hari sehingga menjadi sasaran gangguan orang
jahat. Akibatnya seluruh istana mengalami kejutan.”
“Hamba akan menegur para prajurit yang
bertugas waktu itu ayahanda,” berkata Anusapati, “mereka seharusnya
tidak membiarkan hal itu terjadi.”
“Apakah yang dapat dilakukan oleh Kesatria Putih di rumahnya sendiri?”
Pertanyaan ini sangat mengherankan bagi
Anusapati. Ia tidak menyangka bahwa ayahandanya dapat melemparkan
kesalahan itu kepadanya.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “kau
harus ikut bertanggung jawab atas keamanan istana ini. Kau jangan
sekedar mendapat pujian saja dengan usahamu itu, dengan nama yang besar,
Kesatria Putih, tetapi justru karena itu kau sudah melepaskan tanggung
jawabmu sendiri di dalam istana ini.”
Benar-benar suatu keadaan yang tidak diduganya.
“Sejak sekarang, kau tidak boleh lagi
memberikan peluang kepada siapa-pun untuk mengguncangkan keamanan
istana. Aku tidak menghalangi usahamu untuk memupuk nama baikmu, tetapi
kau tidak boleh melupakan tanggung jawabmu sebagai seorang Putera
Mahkota.”
Anusapati benar-benar tidak tahu, apakah
tugas itu tugas seorang Putera Mahkota. Seharusnya ayahandanya marah dan
meletakkan tanggung jawab kepada Senapati yang bertugas waktu itu.
Bukan kepadanya.
Tetapi Anusapati tidak menghiraukannya
lagi. Ia justru sudah menemukan dirinya sendiri, sehingga tiba-tiba saja
ia merasa bahwa ia harus tetap berdiri pada garis perjuangannya.
Tetapi ketika ia keluar dari bangsal, ia
masih harus menelan kata-kata Tohjaya yang seolah-olah memang sengaja
menunggunya, “Kakanda Anusapati, siapakah sebenarnya orang yang membuat
seisi istana ini merasa terhina?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku?”
“Orang itu hadir setiap saat Kakanda Anusapati sedang pergi.”
“Aku tidak tahu. Aku akan bertanya kepada para penjaga.”
Tetapi Tohjaya tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kakanda masih saja suka bermain-main dengan kerudung hitam.”
“He,” Anusapati terkejut.
“Bukankah kadang-kadang kakanda
mengenakan kerudung putih tetapi kadang-kadang mengenakan kerudung
hitam? Apakah kakanda sebenarnya sudah jemu terhadap isteri dan anak
kakanda yang mungil itu?”
“Adinda Tohjaya. Kenapa kau berpikir
sampai kesitu? Aku sama sekali bukan pengecut seperti yang kau
bayangkan. Jika aku akan mengusir mereka, aku tidak perlu menakut-nakuti
seperti permainan anak-anak cengeng. Apakah pada saat aku harus datang
kepadamu dan membawa orang yang kau cari itu?”
Wajah Tohjaya menjadi merah. Apalagi
gurunya yang ada didekatnya pula. Meskipun Anusapati hanya berkata asal
saja melepaskan kejengkelannya, namun tumbuh pertanyaan di hati mereka,
apakah sebenarnya Anusapati sudah mengetahui siapakah yang melakukannya?
Anusapati tidak menunggu Tohjaya menjawab lagi. Dengan tanpa berpaling ditinggalkannya adiknya berdiri termangu-mangu.
Namun pertemuan yang sepintas itu telah
membuat jarak antara kedua kakak beradik itu menjadi semakin jauh.
Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa adiknya sama sekali tidak lagi
dapat mendekatkan diri kepadanya, bahkan tampaknya semakin lama menjadi
semakin jauh.
“Suasana di istana ini bagaikan gunung
Kelut yang dengan perlahan-lahan menjadi semakin panas. Pada saatnya
pasti akan terdengar ledakan yang dahsyat, yang akan mengguncangkan
sendiri kehidupan di seluruh Singasari,” berkata Anusapati di dalam
hatinya.
Dan Anusapati-pun tidak dapat tinggal
diam menunggu apa yang akan terjadi. Ia harus siap menyongsong keadaan
jika benar-benar istana Singasari akan meledak.
“Aku harus menghubungi paman Mahisa
Agni,” berkata Anusapati kepada Sumekar, “semuanya sekarang rasa-rasanya
menjadi lain. Aku tidak mengerti, kenapa ayahanda semakin menjauhi aku,
dan Adinda Tohjaya tampaknya semakin membenciku. Aku sudah berusaha
sejauh mungkin tidak menimbulkan persoalan apa-pun dengan Adinda
Tohjaya. Tetapi ada saja persoalan-persoalan yang dipakainya sebagai
alasan.”
“Tuanku memang harus berhati-hati,”
berkata Sumekar. “baiklah hamba akan menghubungi orang-orang yang akan
dapat menyampaikannya kepada pamanda tuanku di Kediri. Mungkin Witantra,
mungkin kakang Kuda Sempana.”
“Terima kasih paman. Baik dalam hubungan sehari-hari, maupun firasat di dalam hati, rasa-rasanya sesuatu akan segera terjadi.”
Sumekar tidak menyahut. Tetapi ia-pun
sependapat. Namun yang lebih memberati perasaan Anusapati adalah justru
keadaan diri sendiri. Bahkan ledakan itu seakan-akan akan terlontar dari
dirinya.
Dan sikap Sri Rajasa di hari-hari
berikutnya memang tidak menyenangkan sama sekali. Bahkan hampir tidak
masuk akal, bahwa pada suatu saat Anusapati dipanggil oleh Sri Rajasa,
bukan pada saatnya ia harus menghadap. Adalah di luar nalarnya, bahwa ia
sebagai Putera Mahkota telah dimarahi oleh Ayahanda Sri Rajasa
dihadapan beberapa orang Panglima, hanya karena ia dianggap menghina
Tohjaya.
“Kau harus menjadi contoh yang
sebaik-baiknya bagi rakyat Singasari,” berkata Sri Rajasa, “jika kau
masih bersikap cengeng, kau akan mengalami perlakuan yang cengeng pula.”
Anusapati hanya dapat menundukkan
kepalanya. Ia mengharap Sri Rajasa mengambil suatu sikap atas peristiwa
yang pernah terjadi di bangsalnya, namun yang dihadapinya justru adalah
persoalan lain, persoalan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan persoalan itu.
“Jika kau masih menganggap Tohjaya
sebagai sainganmu,” berkata Sri Rajasa pula, “hanya karena ia berbeda
ibu, maka kau adalah orang yang berpikiran sangat sempit. Kau jangan
menganggap dirimu mempunyai kelebihan daripadanya. Hanya karena kau
lahir lebih dahulu sajalah maka kau diangkat menjadi Putera Mahkota.
Tetapi itu bukan hak mutlak bagimu. Jika aku menganggap kau tidak mampu
menunaikan tugas itu, apalagi kelak menjadi Maharaja Singasari, aku
dapat mengambil keputusan lain.”
Rasa-rasanya Anusapati hampir tidak tahan
lagi duduk bersimpuh dihadapan ayahanda dan para Panglima. Ingin
agaknya ia meloncat berlari kembali ke bangsalnya. Tetapi ia masih tetap
sadar, bahwa ia sedang menghadap Ayahanda Sri Rajasa.
“Nah, kembalilah ke rumahmu. Renungkan kata-kataku. Ternyata kau sangat mengecewakan aku.”
Serasa dada Anusapati akan pecah. Namun
ia masih tetap berhasil menguasai dirinya dan meninggalkan bangsal itu.
Tetapi tanpa disadarinya terasa matanya menjadi basah.
Dengan langkah yang berat ia berjalan di
lorong-lorong di halaman istana Singasari. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam memandang batu-batu kerikil dibawah kakinya. Dan kaki itu
seakan-akan bergerak sendiri di luar kemauannya.
Anusapati berhenti termangu-mangu ketika
ia sadar, bahwa ia berada didepan bangsal Permaisuri. Dengan hati yang
berdebar-debar ia melangkah naik. Ibunda Permaisuri sudah lama tidak
lagi nampak pada paseban agung. Agaknya ia justru telah mengasingkan
dirinya sendiri.
Ketika Ken Dedes melihat kehadiran
anaknya, hatinya menjadi berdebar-debar. Dilihatnya wajah Anusapati yang
pucat dan dadanya yang bergetar.
“Kemarilah anakku,” suara Ken Dedes parau.
Memang rasa-rasanya ada getaran yang telah lebih dahulu menyentuh dinding jantung ibunda Ken Dedes.
Dengan wajah yang tunduk Anusapati duduk dihadapan ibunya.
“Kau datang dengan wajah yang terlampau muram Anusapati?” bertanya ibunya.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Kebimbangan yang dalam telah membayangi perasaannya.
“Apakah ada sesuatu yang merisaukan hatimu?”
Anusapati menjadi semakin tunduk. Dan tiba-tiba seperti kanak-anak Anusapati menitikkan air matanya.
“He, Anusapati,” berkata ibunya, “kau
adalah seorang laki-laki. Kau adalah seorang Kesatria, dan apalagi kau
telah dinamai Kesatria Putih. Kenapa kau menitikkan air mata seperti
seorang perempuan? Jangan anakku. Jangan menjadi cengeng. Kau adalah
seorang laki-laki jantan yang mengagumkan.”
Kata-kata ibunya itu telah menyentuh hati
Anusapati. Dengan tergesa-gesa ia mengusap air mata yang membasahi
pelupuknya dan menahan gejolak perasaan di dalam dadanya.
“Anusapati,” suara ibunya menjadi serak,
“kenapa kau tidak lagi dapat menahan perasaanmu. Aku sudah terlampau
sering melihat wajahmu yang muram. Tetapi kali ini kau telah menitikkan
air mata. Tentu ada sesuatu yang telah menyayat hatimu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kau datang untuk mengatakan kepadaku, bahwa hatimu telah tersentuh oleh sikap atau kata-kata seseorang?”
Perlahan-lahan Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Ayahandamu Sri Rajasa?”
Sekali lagi Anusapati mengangguk.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan Ken Dedes bergeser mendekati puteranya. Diusapnya kepala
Putera Mahkota itu sambil berkata, “Anusapati. Kau harus tetap sadar,
bahwa kau adalah seorang laki-laki. Seorang Kesatria. Apa-pun yang
terjadi atasmu, sentuhan lahiriah atau sentuhan batiniah harus kau
tanggapi dengan sikap kesatria. Kau tidak boleh lekas tersinggung
karenanya. Kau harus memandang jauh ke depan, tetapi juga ke belakang.
Kau harus mencoba mencari pada dirimu sendiri, apakah kau memang
bersalah.”
“Ibunda,” berkata Anusapati, “hamba
selalu mencoba mencari, apakah hamba bersalah. Setiap, kali Ayahanda Sri
Rajasa marah kepada hamba, hamba selalu mencoba mencari kesalahan hamba
seperti yang dituduhkan Ayahanda Sri Rajasa kepada hamba. Dan
persoalannya selalu serupa, yaitu bahwa Adinda Tohjaya telah mengadu
kepada ayahanda.” Anusapati berhenti sejenak. Terasa tenggorokannya
menjadi panas. Tetapi ia mencoba bertahan sebagai seorang laki-laki
seperti yang dikatakan oleh ibunya.
“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian,
“hamba sekarang sudah bukan kanak-anak lagi. Tetapi persoalan itu masih
saja berulang. Ayahanda telah marah kepada hamba dihadapan beberapa
orang pemimpin tertinggi di Singasari, dan menuduh hamba bahkan diancam
oleh ayahanda, bahwa kedudukan hamba itu akan dapat diambilnya. Apabila
ayahanda menghendaki, maka ayahanda dapat menunjuk Adinda Tohjaya untuk
menggantikan hamba.”
“Tidak. Tidak mungkin.” ibunya menyahut
dengan serta merta. Namun kemudian suaranya menurun, “Tidak Anusapati.
Seharusnya ayahandamu tidak mengatakan demikian.”
“Kenapa tidak ibunda. Ayahanda adalah
seorang Maharaja yang paling berkuasa di daerah Singasari. Ayahanda
telah berhasil menjadikan Singasari ini suatu negara yang besar.
Ayahanda mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kenapa ayahanda tidak
dapat berbuat demikian?”
“Kau adalah putera tertua yang lahir dari
Permaisuri. Kaulah paling berhak atas tahta Singasari. Bukan orang
lain. Bahkan seandainya kau tidak dapat melakukan tugasmu karena suatu
sebab yang sah, maka adindamu Mahisa Wonga Teleng lah yang berhak
menggantikan kedudukanmu. Bukan Tohjaya.”
Anusapati menundukkan kepalanya semakin
dalam, lalu katanya, “Ibunda. Ayahanda lebih berkuasa dari
ketetapan-ketetapan yang berlaku. Ayahanda dapat membuat
ketetapan-ketetapan baru. Janganlah atas tahta Singasari. Bahkan tahta
Kediri-pun telah diputusnya sama sekali dan direnggutnya dari hak yang
sewajarnya. Apakah arti hak atas tahta Singasari itu bagiku, ibunda?”
Ken Dedes tidak segera menjawab. Ia
mengerti kata-kata anaknya, bahwa Sri Rajasa dapat saja memindahkan hak
kepada siapa-pun yang dikehendakinya, karena kekuasaannya.
Namun demikian ia berkata, “Jangan risau
anakku. Aku adalah Permaisuri di Singasari. Aku tidak pernah
mempersoalkan hak atas diriku sendiri. Aku tidak pernah mempersoalkan
hadirnya seorang perempuan lain di dalam istana ini. Tetapi aku akan
mempersoalkan hakmu, hak atas tahta di Singasari, sebagai kelanjutan hak
tahta Tumapel.”
“Apa hubungannya dengan hak atas tahta
Tumapel ibunda. Tumapel adalah suatu daerah Akuwu yang kecil, yang
kemudian menurut sejarahnya, oleh ayahanda telah dijadikan suatu negara
Singasari yang sekarang. Apakah artinya Tumapel itu bagi Ayahanda Sri
Rajasa?”
Ken Dedes terdiam sejenak. Terasa sesuatu
menghentak-hentak didadanya. Sekilas terkenang olehnya kekuasaan Akuwu
Tunggul Ametung yang kecil yang berada di bawah kekuasaan Kediri. Yang
kemudian oleh Sri Rajasa berhasil dikembangkan, dan berhasil mengikat
Kediri dalam suatu daerah kekuasaan yang disebutnya Singasari.
“Tetapi aku tidak dapat mengatakan, apa yang telah terjadi sebenarnya,” berkata Ken Dedes di dalam hatinya.
Namun serasa hatinya tergores duri ketika
ia mendengar Anusapati bertanya, “Ibunda, apakah sebenarnya latar
belakang dari tindakan-akan ayahanda yang hamba rasa kurang adil, karena
selama ini hamba tidak pernah menemukan kesalahan pada diri hamba,
sehingga kadang-kadang terpikir oleh hamba, bahwa sebenarnya kesalahan
yang dituduhkannya itu adalah kesalahan yang sekedar dicari-cari.”
“Anusapati,” potong Ken Dedes, “jangan
berpikir begitu. Jangan menyiksa diri dengan dugaan-dugaan dan
khayalan-khayalan yang menakutkan itu.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Apakah ibu masih menganggap aku berkhayal?”
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan
itu, sehingga karena itu maka sejenak ia menjadi bingung dan tidak
mengerti bagaimana harus menjawab.
Anusapati memandang wajah ibunya yang
tiba-tiba menjadi pucat. Karena itu, maka Ia-pun segera menundukkan
kepalanya, menghindari tatapan mata ibunya yang suram.
(bersambung ke jilid 74).
No comments:
Write comments