Mulut mereka terbungkam ketika mereka
melihat Tohjaya terdorong oleh ujung tongkat lawannya. Tetapi ternyata
bahwa ia benar-benar memiliki ketangkasan berkuda. Meskipun ia sudah
menjadi miring, namun ia berhasil memperbaiki, kemudian Tohjaya-pun
telah tegak kembali di atas punggung kuda.
Sri Rajasa terkejut juga melihat
kedudukan Tohjaya yang goyah itu, sehingga ia bergeser setapak. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, ketika puteranya terkasih itu
ternyata berhasil memperbaiki keseimbangannya.
Namun demikian, pada benturan yang
pertama Sri Rajasa melihat, bahwa agaknya Kesatria Putih memang memiliki
kemampuan yang lebih besar dari Tohjaya.
“Mudah-mudahan Tohjaya mampu bertahan,
sehingga ia mendapat kesempatan untuk bertanding pada jarak yang
pendek.” Sri Rajasa berharap, bahwa kepandaian Tohjaya mengendalikan
kudanya akan berpengaruh didalam pertandingan itu.
Ketika kedua orang yang berada diarena
itu harus mengulangi benturan dengan ancang-ancang itu, Sri Rajasa telah
menahan nafasnya. Demikian juga para penonton disekeliling arena. Tidak
seorang-pun yang bergerak dan tidak seorang-pun yang mengucapkan
sepatah kata. Semuanya seakan-akan membeku karenanya.
Yang terdengar hanyalah derap kaki-kaki kuda, diikuti oleh tatapan mata yang tegang.
Sejenak kemudian, sekali lagi setiap orang harus menahan nafasnya ketika benturan kedua itu terjadi.
Sri Rajasa hampir meloncat berdiri.
Untunglah ia sadar, bahwa ia adalah seorang Maharaja yang besar. Karena
itu maka ia tetap saja duduk ditempatnya.
Ternyata benturan yang kedua
menguntungkan Tohjaya ketika Kesatria Putih agak terlambat mengangkat
tongkatnya. Sentuhan tongkat Tohjaya telah menggerakkan ujung tongkat
Kesatria Putih sehingga sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun
dalam pada itu, Tohjaya dengan cepat berhasil menggerakkan ujung
tongkatnya sehingga menyentuh pundak Kesatria Putih.
Kesatria Putih mencoba untuk menghindar.
Tetapi geraknya sangat terbatas, karena kudanya berlari terus. Meskipun
ia berusaha memutar tubuhnya, namun ujung tongkat Tohjaya masih
mengenainya sehingga hampir saja Kesatria Putih terlempar dari kudanya.
Tetapi seperti Tohjaya, Kesatria Putih masih berhasil mempertahankan
dirinya. Kakinya masih berpegangan dengan kuat, sedang sebelah tangannya
memeluk kudanya sementara tangannya yang lain memegangi, tongkatnya
erat-erat.
Untunglah bahwa kudanya adalah kuda yang
baik, sehingga meskipun kendalinya lepas sama sekali, tetapi kuda putih
itu tidak melonjak dan melemparkan penunggangnya yang sedang dalam
kesulitan.
Tohjaya melihat kedudukan Kesatria Putih
yang lemah itu. Karena itu, setelah kedua benturan itu tidak berhasil
menjatuhkan salah seorang daripada mereka yang bertanding, mereka akan
meneruskan pertandingan pada jarak pendek tanpa ancang-ancang.
Dalam pada itu Tohjaya ingin
mempergunakan kesempatan selagi Kesatria Putih masih berusaha
memperbaiki keseimbangannya. Dengan serta-merta ia menarik kendali
kudanya berputar. Dengan tergesa-gesa Tohjaya memacu kudanya kembali
mengejar kuda Kesatria Putih. Namun sementara itu, Kesatria Putih sudah
sempat duduk kembali di atas punggung kudanya. Ia sudah berhasil
menguasai keadaan sepenuhnya. Karena itu ketika ia sadar bahwa Tohjaya
menyerangnya, maka ia-pun segera memutar kudanya menghadap lawannya.
Sejenak kemudian keduanya-pun telah
terlihat dalam pertandingan yang seru. Masing-masing menggerakkan
tongkatnya dengan cepatnya. Sekali-sekali terdengar kedua tongkat
panjang itu berbenturan. Namun kemudian tongkat-tongkat itu terayun
mengenai tubuh-tubuh mereka berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang tongkat
itu berhasil mendorong lawannya. Tetapi keduanya adalah orang-orang
yang trampil dan seakan-akan mumpuni mempergunakan senjata panjang dan
naik di atas punggung kuda.
Mereka yang berada diatas panggung
kehormatan-pun menjadi tegang. Sri Rajasa hampir tidak berkedip
menyaksikan pergulatan yang sengit itu. Mahisa Agni bagaikan patung
batu. Bahkan seakan-akan bernafas-pun tidak.
Apalagi Ken Umang yang menyaksikan
putranya bertempur dengan orang yang penuh rahasia, yang oleh rakyat
Singasari dianggap sebagai seorang Pahlawan.
Demikianlah perkelahian itu menjadi
semakin dahsyat. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah menjadi
bersungguh-sungguh. Hanya karena ujung tongkat-tongkat itu dilapisi
dengan sabut, serta daya tahan tubuh-tubuh itu sangat kuat, maka mereka
berdua masih tetap berada dipunggung kuda.
Anak-anak muda Singasari menyaksikan
pertandingan itu dengan dada yang berdebaran. Kini mereka merasa, betapa
kecilnya diri mereka sendiri dibandingkan dengan kedua kesatria yang
tengah beradu ketrampilan di tengah-tengah arena.
Tetapi lambat laun, ternyata bahwa
Kesatria Putih memiliki ketahanan tubuh dan kelebihan setingkat di dalam
olah ketrampilan. Bahkan semakin lama, mereka yang memiliki ilmu yang
cukup dapat melihat, bahwa sebenarnyalah Kesatria Putih berusaha untuk
mengekang diri. Mereka yang berilmu matang, seperti para Panglima dan
para Senapati pilihan, Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri merasa bahwa
Kesatria Putih berusaha menghormati Tohjaya sebaik-baiknya, sehingga
meskipun Tohjaya akan kalah juga, namun ia kalah dengan hormat, setelah
berjuang habis-habisan serta melayani lawannya hampir seimbang.
Kekalahan itu seakan-akan hanyalah sekedar kekalahan kecil atau justru
karena Tohjaya sudah lelah, karena ia sudah dua kali bertanding melawan
orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.
Dengan demikian Sri Rajasa menjadi
semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat
menghentikan pertandingan. Ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas
Kesatria Putih, karena ia adalah seorang pahlawan.
“Kesatria Putih akan memenangkan
pertandingan ini,” ia berdesah, “jika demikian, maka ia harus
dilenyapkan, agar di Singasari hanya ada seorang pahlawan saja,
Tohjaya.”
Tanpa sesadarnya Sri Rajasa berpaling kepada Mahisa Agni sambil berkata di dalam hati, “Ia harus menyelesaikannya nanti”
Dalam pada itu Mahisa Agni sendiri duduk
dengan tegangnya menyaksikan pertandingan itu. Karena itu ia sama sekali
tidak menyadari bahwa Sri Rajasa sedang memandanginya dan bahkan
berkata di dalam hatinya, bahwa Mahisa Agni akan mendapat tugas yang
sangat berat. Membinasakan Kesatria Putih tanpa diketahui oleh orang
lain, agar tidak menimbulkan kesan, bahwa Singasari telah berkhianat
terhadap kesatria yang selama ini telah mengabdi kepada rakyat tanpa
pamrih.
Demikianlah pertandingan di arena itu berlangsung terus.
Tetapi agaknya Tohjaya sudah menjadi
semakin letih. Serangan-serangannya sama sekali sudah tidak mapan lagi.
Bahkan sekali dua kali apabila Kesatria Putih berhasil menghindar, maka
ayunan tongkatnya hampir-hampir saja menyeretnya jatuh dari atas
punggung kuda.
Dalam pada itu Kesatria Putih nampaknya
masih segar, sesegar ketika ia datang. Dengan sentuhan kecil, Tohjaya
pasti sudah akan terlempar dari kudanya. Namun ternyata Kesatria Putih
tidak melakukannya. Seperti pada saat Tohjaya bertanding melawan anak
muda yang terakhir. Kesatria Putih banyak memberi kesempatan kepada
lawannya untuk bertahan duduk di atas punggung kudanya.
Demikianlah sebenarnya tampak oleh mereka
yang berdiri di sekitar arena, apalagi bagi yang duduk di atas panggung
kehormatan, bahwa Tohjaya sudah kehilangan kemampuan karena kelelahan
meskipun ia masih tetap duduk di atas punggung kuda. Ternyata bahwa
Kesatria Putih tidak berhasrat sama sekali menjatuhkannya dari atas
punggung kuda itu. Bagi orang-orang yang berada di panggung kehormatan,
tampak jelas, bagaimana Kesatria Putih masih berpura-pura menyerang
Tohjaya. Namun serangan-serangan itu sama sekali bukan serangan
sebenarnya yang dapat menjatuhkannya.
Sri Rajasa tidak mengerti, apa sebabnya
Kesatria Putih berbuat demikian. Tohjaya-pun tidak mengerti, kenapa
Kesatria Putih itu tidak menyentuh saja tubuhnya, dan ia akan segera
terpelanting jatuh.
Adalah di luar dugaan, ketika Kesatria
Putih itu kemudian mendekati Senapati yang menjadi saksi utama di dalam
pertandingan itu sambil berkata. “Apakah ketentuan dari pertandingan
ini, jika tidak seorang-pun terjatuh dari kudanya, dapat dianggap bahwa
pertandingan ini berakhir tanpa ada yang menang dan kalah?”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia
sama sekali tidak membuat ketentuan itu. Pertandingan akan berlangsung
terus, sehingga salah seorang dapat dikalahkan. Bahkan meskipun tidak
dengan sengaja, ada juga salah seorang peserta yang jatuh dan pingsan.
“Bagaimana?” Kesatria Putih mendesak.
Sebelum ia menjawab, Tohjayalah yang
menyahut, “Aku tahu, kau memenangkan pertandingan ini. Kenapa kau tidak
mau mendorong aku jatuh?”
“Tidak. Kau, eh, maksud hamba, tuanku
adalah seorang yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Tuanku bukan
seorang yang dengan mudah dapat dikalahkan. Dan hamba kira, hamba tidak
akan dapat menjatuhkan tuanku, meskipun tampaknya tuanku sudah lelah.
Hamba-pun sadar, bahwa hal ini juga disebabkan bahwa tuanku sudah
bertempur dua kali berturut-turut.”
“Jangan mengigau, ayo, selesaikan
tugasmu, kau akan dielu-elukan oleh rakyat Singasari sebagai pahlawan
terbesar melampaui kebesaranku.”
Kesatria Putih tidak menyahut. Namun
tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya memandang Sri Rajasa yang kemudian
berdiri di panggung kehormatan, “Tohjaya. Kau harus mengakui kelebihan
Kesatria Putih kali ini, meskipun kau dapat bertahan sampai saat
terakhir. Kau sudah bertempur dua kali melawan orang-orang terkuat di
Singasari. Namun itu bukan alasan yang dapat kau pergunakan untuk
membela diri. Sudahlah, turunlah dari kudamu sebagai pertanda kemenangan
lawanmu.”
Tohjaya memandang Sri Rajasa dengan
tegangnya. Tetapi ia-pun kemudian turun dari kudanya di depan panggung
kehormatan. Dengan tergesa-gesa ia-pun naik ke atas panggung itu, lalu
bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil berkata, “Ampun ayahanda, hamba
tidak dapat mempertahankan kebesaran nama ayahanda diarena ini karena
kehadiran Kesatria Putih.”
“Kau sudah berbuat sebaiknya. Marilah
sekarang kita menuntut janji Kesatria Putih. Jika ia memenangkan
pertandingan ini, ia akan membuka kerudung putihnya dihadapan kita di
sini, sehingga rakyat Singasari akan mengenalnya, siapakah sebenarnya
pahlawan yang besar ini, yang selama ini sudah menyelamatkan puluhan,
bahkan ratusan rakyat yang mengalami bencana.”
Tohjaya mengangkat wajahnya. Kini ia
memandang Kesatria Putih yang masih duduk di atas punggung kudanya
dengan tongkat panjang di tangan kanannya.
“Kesatria Putih,” panggil Sri Rajasa, “kemarilah.”
Kesatria Putih tampak ragu-ragu sejenak.
“Buat apa kakanda memanggil setan itu,”
desis Ken Umang, “biarlah ia segera pergi. Ia sudah melepaskan harapan
Tohjaya untuk menjadi anak muda terkuat di seluruh negeri.”
Ketika Sri Rajasa berpaling, dilihatnya
wajah Ken Umang yang merah padam. Setitik air matanya mengambang di
sudut matanya yang basah itu.
“Aku memerlukannya. Aku ingin tahu,
apakah Kesatria Putih memenuhi ketentuan yang ada di dalam pertandingan
ini. Jika tidak, ia sudah menipu kita semua, dan hukumannya adalah
hukuman pancung di sini juga.”
Ken Umang tidak menjawab lagi. Kini
dilihatnya Kesatria Putih yang masih duduk di atas punggung kudanya
perlahan-lahan mendekati panggung kehormatan.
“Mendekatlah,” berkata Sri Rajasa, “aku ingin melihat, apakah kau masih berhak ikut di dalam pertandingan ini.”
Kesatria Putih itu menjadi termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya Sri Rajasa yang berdiri di atas panggung
kehormatan. Kemudian Senapati yang menjadi saksi utama dari pertandingan
terbuka itu, serta beberapa orang Senapati dan prajurit yang berada di
sekitar arena.
“Mendekatlah.” panggil Sri Rajasa sekali lagi, “bukalah kerudung wajahmu seperti yang kau janjikan.”
Ken Umang yang kehilangan harapan atas
puteranya untuk mendapat gelar pahlawan terbesar itu mulai terisak.
Dengan tangannya ia mengusap air mata yang jatuh satu-satu
dipangkuannya. Air mata yang mencerminkan betapa tamaknya hati perempuan
itu.
Sedang di sebelah lain, mata Ken
Dedes-pun berlinang-linang pula. Ia mulai membayangkan wajah Anusapati
yang seakan-akan semakin lama semakin tersisih. Di dalam kesempatan
serupa ini, Anusapati sama sekali tidak terucapkan. Hampir saja Tohjaya
berhasil merebut hati rakjat Singasari. Jika Tohjaya memenangkan
pertandingan terakhir, maka sempurnalah permainan Sri Rajasa.
Lamat-lamat terbayang kembali bagaimana
Tunggul Ametung tersingkir dari kedudukannya. Bagaimana-pun juga
akhirnya Ken Dedes-pun mengerti, bahwa sebenarnya Ken Arok saat itu
telah berhasil melakukan peranannya dengan baik sekali.
Hanya karena hatinya yang disaput oleh
gejolak naluri seorang perempuan, serta kemudian diikuti oleh kenyataan
bahwa Ken Arok berhasil memerintah Singasari lebih baik dari Tunggul
Ametung, Ken Dedes tidak pernah mempersoalkan kematian Tunggul Ametung.
Tetapi kini, dengan cara yang selembut itu pula Sri Rajasa berusaha
menyingkirkan keturunan Tunggul Ametung, meskipun anak itu sendiri sama
sekali tidak mengetahuinya.
Seperti Ken Umang, Ken Dedes-pun mengusap
air matanya. Tetapi seakan-akan cahaya yang terpantul dari
butiran-butiran air mata dari kedua isteri Sri Rajasa itu berwarna lain.
Demikianlah kuda Kesatria Putih kini
sudah berdiri di depan panggung kehormatan. Perlahan-lahan Kesatria
Putih itu-pun meloncat turun dari kudanya. Katanya kemudian, “Ampun
tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Apakah tuanku benar-benar
berkeinginan melihat wajah hamba yang jelek ini.”
“Aku tidak peduli. Namun aku ingin mengetahui, apakah kau masih pantas untuk ikut bermain-main bersama anak-anak di arena ini.”
Kesatria Putih membungkukkan badanya
dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera membuka kerudung putihnya.
Perlahan-lahan ia mendekati tangga panggung kehormatan itu. Dan tanpa
diduga-duga oleh siapa-pun ia mulai naik setapak demi setapak.
Langkahnya ternyata telah mempesona
setiap orang. Mereka bagaikan membeku melihat Kesatria Putih naik ke
atas panggung. Bahkan Sri Rajasa-pun bagaikan kehilangan nalar sejenak,
melihat Kesatria Putih itu semakin lama semakin mendekat.
Yang mendebarkan jantung setiap orang
adalah, tiba-tiba saja Kesatria Putih itu-pun berlutut. Tidak dihadapan
Sri Rajasa tetapi yang mula-mula adalah dihadapan Permaisuri.
Semua orang terkejut karenanya. Ken
Dedes-pun terkejut bukan kepalang, sehingga ia hanya diam mematung,
tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Baru setelah berlutut dihadapan
Permaisuri, Kesatria Putih bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil
berkata, “Perkenankanlah hamba membuka kerudung putih hamba betapa-pun
jeleknya wajah ini.”
“Berdirilah,” berkata Sri Rajasa yang
serasa masih terpesona oleh peristiwa-peristiwa yang tidak mereka
perhitungkan sebelumnya, “dan bukalah kerudung putihmu menghadap rakyat
Singasari yang akan menilai, siapakah Kesatria Putih sebenarnya, dan
apakah ia masih dapat disebut kanak-anak.”
Kesatria Putih termangu-mangu sejenak.
Namun seperti perintah Sri Rajasa, maka Kesatria Putih itu-pun kemudian
berdiri. Sekali ia berpaling memandang Tohjaya dan Ken Umang, barulah
kemudian tangannya bergerak menggapai kerudung putihnya.
Darah Tohjaya serasa berhenti mengalir. Ia menjadi sangat tegang menunggu. Demikian juga rakyat Singasari.
Nafas mereka tertahan-tahan. Mereka tidak sabar lagi menunggu, siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu.
Tiba-tiba hati mereka terjerat oleh
kata-kata Kesatria Putih yang lantang, “Rakyat Singasari. Inilah
kenyataanku, Kesatria Putih yang selama ini menumbuhkan teka-teki bagi
kalian.”
Bersamaan dengan terkatubnya bibir
Kesatria Putih itu, maka direnggutnya tirai yang selama ini menutup
wajahnya. Tirai putih yang membuatnya disebut Kesatria Putih selain
kudanya yang putih pula.
Ketika tirai di wajah itu terbuka, setiap
dada telah dihentakkan oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga sama
sekali. Demikian wajah itu terbuka, setiap mulut telah menyebut namanya
dengan wajah tegang penuh keheranan dan bahkan pertanyaan yang
ragu-ragu, “Anusapati Putera Mahkota.”
Mereka menjadi yakin ketika Kesatria
Putih yang sudah tidak berkerudung lagi itu berkata, “Akulah Anusapati,
Putera Mahkota Kerajaan Singasari yang besar, Putera Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi yang lahir dari ibunda Permaisuri Ken Dedes.”
Arena itu menjadi gegap gempita. Lebih
dahsyat dari ledakan seribu guntur bersama-sama. Langit rasa-rasanya
akan runtuh dan demikian pula hati Tohjaya dan Ken Umang. Seperti
belanga yang terbanting dibatu pualam, maka hati mereka-pun pecah
berkeping-keping.
Dalam pada itu Sri Rajasa berdiri dengan
wajah yang merah padam. Sejenak dipandanginya Anusapati, namun kemudian
dipandanginya wajah Mahisa Agni tenang. Tetapi wajah yang tenang itu
bagaikan air pusaran yang dahsyat yang menghisapnya ke dalam kehancuran
yang mutlak.
Mahisa Agni sendiri masih tetap berada di
tempatnya. Ia sama sekali tidak berbuat sesuatu. Dibiarkannya semuanya
terjadi menurut perkembangan yang wajar dari peristiwa yang sudah
diperhitungkannya masak-masak. Sri Rajasa pasti tidak akan berani
berbuat apa-pun juga dihadapan rakyat Singasari yang selama ini
menganggap Kesatria Putih sebagai pelindung mereka. Apalagi kini mereka
mengetahui, bahwa Kesatria Putih itu tidak lain adalah Putera Mahkota.
Putera Mahkota yang selama ini mereka anggap sebagai seorang laki-laki
yang hanya mampu menunggui isterinya, tanpa menghiraukan keadaan
pemerintah sama sekali, tanpa berbuat apa-pun juga untuk kesejahteraan
rakyatnya. Ternyata bahwa dugaan itu keliru. Yang mereka anggap sebagai
pahlawan selama ini ternyata adalah orang yang tepat, orang yang dapat
mereka pergunakan sebagai tempat berpegangan yang kokoh di masa
mendatang.
Rakyat Singasari sama sekali tidak
menghiraukan, perasaan apakah yang sedang bergejolak di dalam hati Sri
Rajasa. Bahkan sebagian dari mereka menganggap, bahwa Sri Rajasa-pun
akan menjadi gembira sekali menghadapi kenyataan itu.
Namun dalam pada itu Sri Rajasa terpaksa
mengakui di dalam hati, bahwa kini ia menghadapi permainan Mahisa Agni
yang ternyata berhasil mengatasi permainannya. Ketika ia berhasil
menyingkirkan Tunggui Ametung, Mahisa Agni hanyalah seorang anak muda
Panawijen yang sedang sibuk membuat bendungan, ia sama sekali tidak
berbuat sesuatu, selain justru membantunya, mengalahkan Witantra ketika
ia berusaha membersihkan nama Kebo Ijo yang telah dibunuhnya pula.
Tetapi kini, ia menghadapi permainan
Mahisa Agni. Dan Sri Rajasa-pun sadar, bahwa Anusapati adalah kemenakan
Mahisa Agni. Meskipun kecurigaan itu timbul sejak lama, dan
menyingkirkan Mahisa Agni ke Kediri, namun ternyata bahwa Mahisa Agni
masih sempat membentuk Anusapati menjadi seorang anak muda yang pilih
tanding, yang melampaui kemampuan Tohjaya.
Meskipun demikian, Sri Rajasa bukannya
seorang yang terlampau bodoh. Ia adalah seorang pemikir yang masak. Yang
mampu menyingkirkan Tunggul Ametung dan sekaligus memperisteri Ken
Dedes, kemudian menggunakan gejolak perasaan orang-orang Kediri sendiri
untuk menjatuhkan Maharaja Kediri yang termashur.
Karena itu, setelah ia berhasil menguasai
gejolak perasaannya, maka tiba-tiba Sri Rajasa itu-pun melangkah maju
mendekati Anusapati. Sambil menepuk bahunya ia berkata kepada rakyat
Kediri. “Rakyatku yang baik. Sekarang kalian sudah melihat kenyataan
ini. Yang kalian elu-elukan sebagai pahlawan dan kalian sebut Kesatria
Putih itu adalah seorang yang memang seharusnya menjadi seorang
pahlawan. Ia adalah Putera Mahkota. Itulah sebabnya aku ikut berbangga,
bahwa pilihanku tidak salah. Anak sulungku, yang selama ini aku bentuk
untuk menjadi seorang pahlawan di masa datang, telah menunjukkan
kemampuannya. Selama ini aku simpan ia di dalam istana dalam penempaan
yang tidak mengenal jemu bersama Tohjaya. Dan harapanku atas keduanya
ternyata tidak sia-sia. Tohjaya telah mencoba berbuat sejauh dapat
dilakukan, sedang Anusapati telah menunjukkan baktinya pula kepada
rakyat Singasari dengan caranya, karena ia tidak mau menyanjung diri.
Dan adalah wajar sekali bila Tohjaya tidak dapat mengalahkan Kesatria
Putih, karena ternyata bahwa Kesatria Putih bukan saja saudara tuanya,
tetapi juga saudara tua seperguruan. Kini terimalah kedua Puteraku di
tengah-tengah kalian.”
Rakyat Singasari itu menyambut kata-kata Sri Rajasa dengan tepuk tangan dan sorak mawurahan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Ternyata Sri Rajasa masih mempunyai cara untuk meneruskan permainan.
Tetapi bagaimana-pun juga, Mahisa Agni sudah memiliki separo kemenangan.
Sedang separo lagi masih diperebutkan. Jika Mahisa Agni mendapat
sebagian yang separo, maka bagiannya sudah lebih banyak dari yang akan
didapat oleh Sri Rajasa.
Tetapi Mahisa Agni-pun mempertimbangkan
semuanya dengan saksama. Kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang di
dalam istana. Tetapi kesempatan untuk merebut hati rakyat dihadapan
rakyat itu adalah kesempatan yang hampir mustahil didapatkannya jika
bukan karena tingkah Tohjaya sendiri.
Dalam pada itu, kedua isteri Sri Rajasa
ternyata tengah menekuni perasaan masing-masing yang bergejolak di dalam
dada. Ternyata mereka telah menjumpai persoalan yang sama sekali tidak
diduga-duga. Begitu besar hati Ken Dedes menyaksikan putranya yang tanpa
disangkanya, bahkan mimpi-pun tidak, tiba-tiba saja menjadi seorang
pahlawan yang paling besar di kalangan anak-anak muda Singasari sesuai
dengan kedudukannya sebagai Putera Mahkota. Sebagai seorang yang
berpikir cerah, Ken Dedes-pun segera dapat menyelusuri, apakah yang
sebenarnya telah terjadi dibalik dinding istana yang tinggi itu. Tentu
Mahisa Agni memegang peranan yang penting didalam permainan ini. Tanpa
Mahisa Agni, Anusapati hanyalah sekedar abu di dalam kobaran api
ketamakan istana Singasari.
Tanpa disadarinya, maka air mata
Permaisuri itu mengalir dengan derasnya. Setiap kali tangannya mengusap
maka air itu telah tumbuh pula dipelupuk.
Ken Umang-pun telah menangis pula. Betapa
ia mencoba bertahan menghadapi kenyataan. Betapa ia mencoba menghibur
diri dengan keterangan Sri Rajasa. Namun ternyata bahwa dendam telah
menyala tanpa terkendali di dalam hati. Kekalahan Tohjaya dari
Anusapati, dan kenyataan bahwa pahlawan besar yang selama ini
dielu-elukan rakyat Singasari melampaui puteranya, dan yang mereka sebut
Kesatria Putih itu adalah Anusapati.
“Kenapa ia tidak dibunuh saja,” geram Ken
Umang di dalam hatinya, sedang Tohjaya berkata di dalam hati pula,
“Pantas Mahisa Agni dan Anusapati begitu mudahnya menyingkirkan Kesatria
Putih seperti yang dikatakan ayahanda itu.”
Tetapi sekarang tidak mudah bagi
siapa-pun juga untuk menyingkirkan Kesatria Putih yang ternyata adalah
Anusapati. Tentu Anusapati kini merupakan pahlawan besar pula bagi
rakyat Singasari, yang dengan demikian tidak akan dapat dengan begitu
saja disingkirkan dari hati rakyat itu.
Ternyata bahwa latihan dan pertandingan
terbuka yang diminta oleh Tohjaya itu telah menimbulkan kecut di hati
Sri Rajasa dan Ken Umang beserta puteranya terkasih, yang diharapkan
akan dapat menjadi anak muda yang paling perkasa di seluruh Singasari.
Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan, bahwa
Anusapati adalah anak muda yang lebih besar dari padanya.
Dengan demikian, bukan saja Anusapati
yang harus menengadahkan dadanya, bahwa ia bukan seorang anak muda yang
dungu seperti yang diduga oleh para prajurit dan Senapati, juga oleh
Tohjaya dan gurunya, namun setiap orang-pun akan menilai Mahisa Agni,
orang terdekat disisi Anusapati. Tidak seorang-pun yang tidak
menyorotkan pandangan matanya atas ilmu Anusapati pada kemampuan Mahisa
Agni.
“Aku-pun tidak dapat menyembunyikan diri lagi,” berkata Mahisa Agni, “kini kita bermain dengan pintu terbuka.”
Anusapati yang dengan patuh menjalankan
semua petunjuk Mahisa Agni ternyata mendapat cara untuk tampil langsung
didepan mata rakyat Singasari.
Setelah pertandingan itu dinyatakan
selesai dan rakyat Singasari yang ada di sekitar arena pergi
meninggalkan alun-alun, maka yang mereka percakapkan tidak ada lain
kecuali Putera Mahkota.
“Ternyata aku telah sesat,” berkata salah
seorang dari mereka. “selama ini aku menganggap bahwa Putera Mahkota
itu adalah seorang laki-laki yang tidak mampu menunjukkan kejantanan
diri. Berbeda dengan adindanya Tohjaya, yang dengan penuh tanggung jawab
telah berusaha menyelamatkan rakyatnya dari kesusahan. Tetapi ternyata
bahwa bukan demikian yang sebenarnya. Tuanku Putera Mahkota-pun adalah
seorang pahlawan yang besar.”
“Ia tidak mendapat kesempatan itu,” seseorang berbisik.
“Kenapa?”
Seorang yang berjanggut putih berkata
diantara kedua telapak tangannya, “Apakah kau lupa, bahwa tuanku
Permaisuri melahirkan puteranda Anusapati hanya enam bulan setelah
perkawinannya dengan Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi?”
“Ah, jangan menyinggung itu lagi. Mungkin
itu memang suatu dosa, bahwa tuanku Permaisuri mengandung sebelum
perkawinannya. Tetapi Ken Arok tidak ingkar.”
“Bodoh sekali. Putera yang dikandung itu bukan hadir dari dosa. Ia ada didalam kandungan dari suaminya yang dahulu.”
“O, ya. Ia adalah putera Tunggul Ametung.”
“Sst.”
Kawannya terdiam. Namun mereka sadar,
bahwa bukan hanya mereka sajalah yang mengerti bahwa Anusapati lahir
terlampau cepat, setelah perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok, sehingga
sebenarnya hampir setiap orang tua-tua di Singasari mengerti, bahwa
Anusapati adalah Putera Tunggul Ametung.
Demikian pula akhirnya para Senapati
mengambil kesimpulan yang sama. Tetapi susunan keprajuritan yang lahir
setelah Sri Rajasa memegang pemerintahan, mencerminkan kesetiaan mereka
kepada Sri Rajasa. Terlebih-lebih adalah Senapati-Senapati muda yang
diangkat di saat-saat Sri Rajasa sudah berkuasa.
Namun Mahisa Agni sudah memperhitungkannya juga.
Dalam pada itu, Sri Rajasa yang kemudian
duduk termangu-mangu menerima keluh kesah puteranya yang lahir dari Ken
Umang. Bukan saja Tohjaya, tetapi Ken Umang sendiri menangis berkata.
“Memalukan sekali tuanku, Tohjaya sudah turun ke arena dan dikalahkan
oleh anak sakit-sakitan itu.”
“Jangan berkata begitu, ia adalah Putera Mahkota.”
“Tetapi ia tidak berhak menghancurkan nama Tohjaya dihadapan rakyat Singasari.”
“Tidak seorang-pun yang tahu bahwa akan terjadi demikian.”
“Tentu pokal Mahisa Agni. Kenapa tuanku masih juga mempergunakan orang yang jelas tidak setia kepada tuanku?”
“Tidak mudah untuk menuduh demikian,
Mahisa Agni lah yang datang bersama aku ke Kediri dan menundukkan Gubar
Baleman. Tidak ada seorang-pun yang dapat melakukan hal itu.”
“Tentu tuanku sendiri dapat melakukannya.”
“Aku tidak yakin, setelah aku memeras
tenaga melawan Maharaja dari Kediri itu.” sahut Sri Rajasa, “apalagi
jika tanpa Mahisa Agni saat itu, kedua kekuatan itu pasti akan
bergabung. Dan aku tidak akan pernah kembali ke Singasari. Tidak ada
kekuatan yang dapat melawan Gubar Baleman dan Maharaja Kediri
bersama-sama.”
Ken Umang tidak menyahut lagi. Ia memang
tidak dapat ingkar, tanpa Mahisa Agni, Singasari tidak akan dapat
sebesar saat ini. Bahkan mungkin Kediri akan mampu mematahkannya sebelum
tumbuh dan berkembang. Namun kini ternyata Mahisa Agni menjadi
penghalang baginya, bagi puteranya Tohjaya, karena Mahisa Agni adalah
paman Anusapati.
“Jangan kau risaukan,” berkata Sri
Rajasa, “aku mempunyai seribu jalan. Tetapi aku tidak dapat berbuat
kasar. Aku harus berhati-hati. Sekarang aku tahu, bahwa pasti Anusapati
sendirilah yang telah berhasil membunuh Kiai Kisi ketika ia pergi
menumpas penjahat itu. Dan aku-pun harus memperhitungkannya sebagai
orang berkerudung hitam yang berkeliaran di istana ini. Jika demikian,
maka aku harus menjadi semakin berhati-hati permainan Mahisa Agni cukup
matang.”
Ken Umang dan Tohjaya tidak menyahut.
Mereka harus mengerti, bahwa tidak menguntungkan apabila mereka berbuat
dengan tergesa-gesa. Ternyata orang Panawijen itu bukannya seorang yang
tidak mampu menanggap permainan Sri Rajasa.
“Mahisa Agni sudah dapat membaca
rencanaku,” berkata Sri Rajasa didalam hatinya. Dan Sri Rajasa-pun
agaknya sudah menduga bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi atas Tunggul Ametung.
“Tidak mustahil ia akan mengambil sikap
yang menentukan.” katanya didalam hati. Tetapi Sri Rajasa tidak pernah
menyatakan kecemasannya kepada, Ken Umang, mau-pun kapada Tohjaya.
Dalam pada itu, Permaisuri sedang
menangisi kenyataan yang tidak terduga-duga. Dihadap oleh
putera-puteranya. ia mengucapkan syukur kepada Yang Tunggal, bahwa
ternyata Anusapati bukan seekor domba yang lemah di padang rumput yang
penuh dengan serigala.
“Dimana kau mendapat kemungkinan untuk mengalahkan Tohjaya?” bertanya ibunya.
Anusapati tidak menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya saja di samping isteri dan anaknya yang mulai nakal.
“Aku benar-benar iri hati kanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng, “kanda tentu tidak berkeberatan mengajari aku.”
Anusapati tersenyum. Jawabnya, “Tentu. Tetapi kau akan banyak kehilangan waktu.”
“Kenapa? Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
“Baiklah, pada saatnya, kau dapat saja belajar ilmu tata bela diri. Mungkin bersama dengan anak-anak kita.”
Mahisa Wonga Teleng tertawa. Anak-anak mereka memang telah tumbuh semakin besar. Mereka adalah laki-laki yang kuat dan nakal.
“Tetapi dengan demikian kau harus berhati-hati Anusapati,” berkata ibunya.
“Kenapa ibu?”
Ken Dedes tidak segera menyahut.
Dipandanginya wajah Anusapati sejenak. Masih tampak kegembiraan disorot
matanya meskipun mata itu basah. Namun lambat laun, mata itu menjadi
suram. Terbayang dimata Ken Dedes itu, kenyataan tentang Anusapati.
Wajah puteranya itu mirip benar dengan wajah Tunggul Ametung, Akuwu
Tumapel yang telah disingkirkan oleh Ken Arok.
Sebagai seorang ibu, maka Ken Dedes
justru mulai dirayapi oleh kecemasan tentang puteranya itu. Ia sadar,
bahwa Ken Arok tidak bersikap jujur. Gelar Putera Mahkota diberikan
kepada Anusapati bukan karena hatinya berkata demikian. Tetapi sekedar
untuk mengelabui kata hatinya yang sebenarnya. Beberapa orang tua-tua di
Tumapel mengetahui, bahwa sumber kekuasaan atas Tumapel ada di tangan
Tunggul Ametung yang melimpah kepada Ken Dedes, sehingga kekuasaan itu
sudah sewajarnya diwarisi oleh Anusapati. Tetapi tentu Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa itu tidak ikhlas membiarkan Anusapati kelak
benar-benar bertahta di Singasari.
Betapa perasaan itu menghentak-hentak di
dadanya, sehingga pada suatu saat, ia tidak dapat bertahan lagi.
Dipanggilnya Anusapati menghadap seorang diri, dan terloncat dibibirnya
pesan, “kau memang harus berhati-hati Anusapati.”
Anusapati yang memang sudah menyimpan
berbagai pertanyaan didalam hati, seolah-olah mendapat jalan untuk
bertanya kepada ibunya. “Kenapa ibu setiap kali berpesan kepada hamba
untuk berhati-hati. Dan kenapa hamba merasa bahwa memang hamba selalu
dibayangi oleh pengawasan yang tidak sewajarnya di dalam istana ini?”
Ken Dedes yang dadanya sudah dipenuhi
oleh berbagai macam perasaan itu hampir saja menuangkan segala sesuatu
kepada Anusapati. Namun tiba-tiba ia merasa sesuatu telah menahannya.
Karena itu yang terlontar dari bibirnya
hanyalah sebagian saja, “Kau mempunyai ibu tiri Anusapati. Dan ibu
tirimu juga mempunyai seorang anak laki-laki, hampir sebaya dengan kau.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Tetapi ibu, apakah hamba harus mencurigai saudaraku
sendiri meskipun bukan lahir dari ibu yang sama?”
Pertanyaan itu menyentuh hati Ken Dedes.
Maka sejenak ia merenung. Ada sesuatu yang memberati hatinya untuk
berkata berterus terang. Apalagi setelah ia tahu bahwa anaknya bukan
seorang laki-laki dungu yang hanya dapat mengeluh dan meratap. Kini
baginya Anusapati adalah seorang laki-laki, seorang jantan sepenuhnya,
sehingga ia-pun pasti akan dapat mengambil sikap jika hatinya
tersinggung.
Karena itu, Ken Dedes hanyalah dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun desakan perasaan di dada Anusapati
lah yang kemudian mendorongnya bertanya, “Bunda, hamba tidak mengerti,
apakah hanya sekedar perasaan hamba, bahwa sebenarnyalah ayahanda tidak
bersikap adil terhadap hamba dan Adinda Tohjaya. Sejak hamba kanak-anak,
hamba merasakan perbedaan sikap itu. Di dalam banyak hal Ayahanda Sri
Rajasa tidak membantu hamba. Juga di dalam olah kanuragan. Hamba
seakan-akan selalu tersisih. Hanya Adinda Tohjaya lah yang mendapat
kesempatan sebaik-baiknya. Baginya, sebelum hamba muncul sebagai
Kesatria Putih di arena, hamba adalah seorang yang tidak berharga.
Dengan demikian hamba harus menempuh jalan lain untuk dapat
mengimbanginya.”
“Jalan apakah yang sudah kau tempuh Anusapati?”
“Untunglah ada Pamanda Mahisa Agni.
Pamanda Mahisa Agni lah yang telah membentuk hamba menjadi seorang yang
mampu mengimbangi Tohjaya tanpa diketahui olehnya dan oleh Ayahanda Sri
Rajasa. Jika hamba tidak mendapat kesempatan atas permainan Pamanda
Mahisa Agni, sebagai Kesatria Putih yang sudah dikenal Rakyat Singasari,
mungkin hamba akan mengalami akibat lain, jika diketahui bahwa hamba
mempunyai ilmu yang cukup.”
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tanpa disadarinya air matanya mengalir semakin deras. Terbayang
keadaan Anusapati yang seakan-akan selalu terdorong menjauh dari setiap
kesempatan.
Tetapi Ken Dedes tidak dapat
mengatakannya. Ken Dedes tidak dapat mengemukakan perasaan yang
sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.
“Ibu,” bertanya Anusapati lebih lanjut,
“kenapa Ayahanda Sri Rajasa bersikap demikian? Apakah sesuatu yang
membuatnya membenci hamba?”
“Tidak Anusapati, tidak. Itu hanya
sekedar perasaanmu saja. Sikap ayahandamu kepadamu tidak ubahnya dengan
sikap Sri Rajasa kepada putera-puteranya yang lain. Aku juga pernah
mendengar Tohjaya mengeluh kepada ibunya, menanyakan sikap Ayahanda Sri
Rajasa. Kenapa ia selalu tersisih dan dengan tergesa-gesa menyerahkan
gelar Putera Mahkota kepadamu, seakan-akan Ayahanda Sri Rajasa cemas,
bahwa Tohjaya ingin merebutnya.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Jika
benar demikian, maka adalah bayangan yang tumbuh dari mimpi buruk
sajalah yang menyebabkannya merasa tersisih.
Tetapi Anusapati yang sudah dewasa itu
menangkap sesuatu yang tersirat di wajah dan titik air mata ibunya.
Meskipun ibunya mencoba menyembunyikan perasaannya, namun Anusapati
berhasil menangkapnya, dan merasa bahwa apa yang dikatakan oleh ibunya
itu bukannya yang sebenarnya dirasakannya.
Namun Anusapati tidak mendesaknya. Ia
sadar, dengan demikian ia akan membuat ibunya menjadi semakin sakit
hati. Karena itu untuk sementara Anusapati terpaksa menyimpannya didalam
hati.
Tetapi demikian ia mundur dari hadapan ibunya, maka dicarinya pamannya yang masih berada di istana Singasari.
Ia kini tidak perlu mencari kesempatan
tersembunyi. Setiap orang di dalam istana itu tanpa mendapat penjelasan
dari siapapun, mulai meraba-raba, bahwa kemampuan Anusapati pasti
diturunkan oleh Mahisa Agni, karena mereka tahu. bahwa latihan-latihan
yang dilakukan bersama Tohjaya hampir tidak berarti sama sekali.
Terlebih-lebih adalah Tohjaya sendiri dan gurunya, yang tidak
segan-segan berbicara tentang kemungkinan itu dengan siapa-pun juga.
“Curang,” katanya, “Kakanda Anusapati
merahasiakan kemampuannya selama ini. Tentu maksudnya tidak baik. Hanya
orang-orang yang licik sajalah yang merahasiakan ilmunya. Tentu untuk
tujuan-tujuan yang kurang baik.”
Tetapi hampir setiap orang berkata,
“Ternyata bahwa Anusapati mampu mendapatkan ilmu dengan caranya sendiri
dan mengamalkannya sebagai Kesatria Putih.”
Meskipun demikian, beberapa orang perwira
yang mempunyai kepentingan tersendiri berkata di antara mereka, “Licik.
Tuanku Tohjaya harus berhati-hati menghadapinya.”
Dan untuk sikap itu para perwira itu-pun mendapat janji yang baik dihari mendatang.
“Ayahanda ada di pihakku,” berkata
Tohjaya. Tetapi semuanya itu disadari oleh Mahisa Agni. Ia sudah membuka
daun pintu yang selama ini ditutupnya, dan semua orang sudah melihat
apa yang terdapat di dalamnya. Ternyata bahwa rakyat Singasari menerima
kehadiran Anusapati yang tiba-tiba itu.
“Kau harus meneruskan amalmu sebagai Kesatria Putih,” berkata Mahisa Agni ketika Anusapati menghadapnya.
“Ya paman. Aku akan melakukannya. Tetapi
di samping tugas itu, aku harus memperhatikan sikap Tohjaya. Aku yakin
bahwa ada suatu yang tidak wajar pada ayahanda. Aku sudah mencoba
bertanya kepada ibunda Permaisuri. Tetapi setiap kali ibunda Ken Dedes
hanya menangis. Dan aku-pun yakin, ada sesuatu yang disembunyikan.
Agaknya ibunda berusaha melindungi pula sikap ayahanda.”
“Jangan salah mengerti Anusapati,”
berkata Mahisa Agni, “bukan maksud ibundamu melindungi sikap yang tidak
wajar dari ayahandamu Sri Rajasa. Tetapi sebagai seorang ibu ia harus
bijaksana. Ibundamu memang tidak boleh membakar perasaanmu. Dan kau-pun
harus menyadari, jangan memaksa ibumu mengatakan sesuatu, agar hatinya
tidak semakin sakit.”
Anusapati menundukkan kepalanya. Namun
perlahan-lahan ia berkata, “Kenapa Ibunda Permaisuri masih harus
menyimpan perasaannya itu. Hampir setiap orang didalam istana ini
mengetahui, bahwa sikap ayahanda tidak adil, bukan saja terhadap
putera-puteranya, tetapi juga terhadap ibunda berdua, Ayahanda Sri
Rajasa lebih mementingkan ibunda Ken Umang. Mungkin ibunda Ken Umang
adalah seseorang yang lebih terbuka dari ibunda Ken Dedes yang lebih
dalam menyimpan perasaannya.”
“Sudahlah Anusapati,” potong Mahisa Agni,
“tidak baik bagimu untuk selalu menyesali diri. Kau sudah mendapat
kesempatan. Pergunakan sebaik-baiknya. Bentuklah hari depanmu sendiri
tanpa menggantungkannya kepada orang lain, meskipun kepada Ayahanda Sri
Rajasa sendiri.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah paman.”
Demikianlah maka Anusapati-pun mulai
keluar lagi dari istana di malam hari dengan kuda putihnya. Tetapi ia
masih merasa perlu menyembunyikan wajahnya meskipun kadang-kadang
dibukanya. Tetapi rakyat yang jauh dari kota, meskipun mereka sudah
mendengar pula bahwa Kesatria Putih itu adalah Putera Mahkota, namun
mereka masih sering menjumpai Kesatria Putih lengkap dalam pakaiannya
yang semula. Kuda Putih dan kerudung putih.
Demikianlah bagi rakyat Kesatria Putih
masih tetap merupakan teka-teki. Ia berada di segala tempat dan di
segala waktu. Seolah-olah Kesatria Putih dapat mengelilingi seluruh
Singasari dalam waktu sekejap.
Namun dalam pakaian Kesatria Putih,
Anusapati dapat keluar masuk pintu gerbang istana dengan leluasa. Kini
tidak seorang-pun yang berani menegurnya. Bahkan setiap Kesatria Putih
lewat pintu gerbang istana, maka hati para prajurit menjadi tenang,
karena para penjahat pasti akan menjauh dan Singasari menjadi makin
tenteram.
Dalam pada itu kebesaran nama Kesatria
Putih semakin hari menjadi semakin menambat hati rakyat Singasari.
Hampir tidak masuk akal, bahwa Anusapati dalam waktu hampir berbareng
telah menangani dan menghancurkan dua kelompok penjahat di tempat yang
berbeda-beda.
Tetapi tidak seorang-pun yang
memperhatikan, bekas tangan Kesatria Putih. Hanya Mahisa Agni lah yang
dengan teliti mengikutinya. Di dalam hati ia masih menyebut perbedaan
akibat dari tindakan Kesatria Putih.
“Dibagian Utara kota Singasari. Kesatria
Putih jarang sekali membinasakan lawannya, tetapi dibagian Barat, hampir
setiap penjahat tidak lolos dari ujung pedangnya.”
Dengan demikian, Mahisa Agni merasa perlu
untuk menertibkan tindakan Kesatria Putih sebelum orang lain
mencurigainya juga, karena sebenarnya bukan saja Anusapati, tetapi ia
masih juga dibantu oleh orang-orang yang sebelumnya telah mengenakan
pakaian Kesatria Putih diatas kudanya yang putih.
“Untunglah, bahwa Anusapati sudah pantas
dilepaskan dalam bentuk Kesatria Putih,” berkata Mahisa Agni di dalam
hatinya pula, “meskipun Anusapati masih belum menyamai Witantra. Kuda
Sempana dan Mahendra, tetapi dengan bekal yang ada, ia cukup mampu
menghadapi kejahatan di daerah padesan.”
Sejalan dengan memanjatnya nama Kesatria
Putih yang dikenal sebagai Putera Mahkota, maka hati Sri Rajasa-pun
menjadi semakin kecut. Kadang-kadang ia menjadi hampir berputus asa. Ia
mengakui, betapa cerahnya hati Mahisa Agni melawan permainannya.
“Aku lengah menghadapinya karena ia
berada jauh dari istana. Ternyata di tempat yang jauh itu, ia masih
mampu melakukan permainan yang matang,” katanya setiap kali kepada diri
sendiri.
Apalagi semakin lama nama Tohjaya semakin
tidak pernah diucapkan lagi oleh rakyat Singasari di luar istana,
karena Tohjaya hampir tidak pernah mendapat kesempatan apapun. Setelah
mereka mengetahui bahwa Kesatria Putih itu adalah Anusapati, maka mereka
mulai ragu-ragu mempergunakan prajurit-prajurit sebagai umpan yang akan
dipergunakan untuk memanjatkan nama Tohjaya.
Meskipun demikian, beberapa orang perwira
di puncak pimpinan prajurit Singasari, masih berhasil dikuasainya
dengan berbagai macam janji dan kesempatan.
Namun bagi Sri Rajasa, semuanya itu tidak akan banyak memberi harapan.
Bahkan di saat-saat ia duduk sendiri di
belakang bangsalnya, jika matahari sudah tenggelam, kadang-kadang Sri
Rajasa tidak dapat menghindarkan diri dari kenangan masa lampaunya.
Bahkan kadang-kadang kenangan itu bagaikan hantu yang merayap
mengintainya dan menerkamnya setiap saat.
“Apakah dewa-dewa sudah mulai melepaskan aku sendiri?” katanya kepada diri sendiri.
Sekilas terkenang kata-kata Empu Purwa di Padang Karautan, “Kembalilah kepada Yang Maha Agung.”
Dan Ken Arok yang saat itu menghantui Padang Karautan bertanya kepada diri sendiri, “Siapakah Yang Maha Agung itu?”
Terkenanglah olehnya bagaimana ia
dikejar-kejar oleh orang-orang padesan di daerah Kemundungan. Karena
kebingungan ia segera memanjat pohon tal. Tetapi orang-orang itu
berusaha menebang pohon tal tempat ia memanjat. Di saat yang gawat
itulah ia mendengar suara di angkasa, “Ambil daun tal, pakailah sebagai
sayapmu kiri dan kanan.”
Dan Ken Arok selamatlah menyeberangi sungai dengan sayap daun tal.
“Itu adalah suara Yang Maha Agung,” desisnya.
Saat itu, ia ternyata dekat sekali dengan
Yang Maha Agung. Beberapa kali ia menjumpai keajaiban yang tidak
dimengertinya sendiri, sehingga sampai saat ini ia masih bertanya, “Ilmu
apakah yang sebenarnya aku miliki sekarang, sehingga aku dapat
mengalahkan Maharaja di Kediri?”
“Tetapi apakah kini Yang Maha Agung itu masih dekat dengan aku?” pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Bahkan kadang-kadang di dalam kegelapan.
Sri Rajasa melihat bayangan seseorang yang duduk bersimpuh sambil
memegang dadanya yang terluka. Namun kadang-kadang bayangan itu
mengangkat tangannya yang menuding wajahnya, “Kau membunuh aku Ken
Arok.”
“Tidak, tidak,” Ken Arok yang bergelar
Sri Rajasa itu berdesis sambil menutup wajahnya. Bayangan itu adalah
bayangan Empu Gandring yang telah dibunuhnya dengan keris yang dibuat
oleh Empu Gandring itu sendiri.
Ketika bayangan itu lenyap, hadirlah
bayangan yang lain, seorang anak muda yang berwajah riang. Tetapi wajah
itu rasa-rasanya bagaikan menyala, “Kau memperdaya aku Ken Arok. Aku
tidak pernah bersalah. Aku tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
Dan ketika bayangan yang kemudian hadir, hatinya menjadi semakin kecut.
Dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung datang sambil menggeram, “Akan datang
saatnya aku menuntut balas Ken Arok.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi semakin kecut. Bayangan Tunggul Ametung itu semakin lama menjadi semakin jelas.
Bukan, bukan wajah Tunggul Ametung,
tetapi wajah itu adalah wajah Anusapati. Wajah Kesatria Putih yang lahir
dari Ken Dedes oleh tetesan darah Akuwu yang telah dibunuhnya itu.
Terasa kengerian yang sangat mencekam
hati Sri Rajasa. Wajah demi wajah dari orang yang telah dibunuhnya silih
berganti membayanginya, bercampur baur dengan wajah Anusapati, bahkan
kemudian wajah Mahisa Agni.
“Mahisa Agni,” tiba-tiba Sri Rajasa menggeram.
Bagi Sri Rajasa ternyata Mahisa Agni lah
kini orang yang paling berbahaya. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati sama
sekali tidak berarti baginya.
Tetapi Sri Rajasa untuk sementara tidak
akan dapat berbuat banyak terhadap Mahisa Agni, meskipun Sri Rajasa
yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan berhenti sampai sekian. Kemenangan
yang pernah dicapainya akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak
lagi.
Bagi Mahisa Agni perjuangan itu pasti
dianggapnya sebagai kewajiban. Ia telah kehilangan pamannya, Empu
Gandring, suami Ken Dedes, dan bahkan terjerumus kedalam perang tanding
melawan Witantra untuk menetapkan kekalahan Kebo Ijo.
“Mahisa Agni pasti sudah menemukan kebenaran dari segala peristiwa yang terjadi,” berkata Sri Rajasa kepada diri sendiri.
Dan tiba-tiba saja Sri Rajasa-pun teringat pula kepada Witantra dan saudara seperguruannya, Mahendra.
Ingatan yang tumbuh dihati Sri Rajasa itu
membuatnya semakin gelisah. Terapi ia sudah melangkah. Tingkat demi
tingkat dari suatu perjuangan yang berat sudah dilaluinya. Yang. kini ia
sudah sampai pada titik perjuangan yang terakhir, mewariskan kekuasaan
yang dibangunnya selama ini kepada keturunannya, bukan keturunannya
Tunggul Ametung. Meskipun ada juga putra-putranya yang lahir dari Ken
Dedes, tapi Sri Rajasa menganggapnya bahwa Ken Dedes pernah melahirkan
anak Tunggul Ametung. Tapi kegagalannya menampilkan Tohjaya menjadi
pahlawan terbesar di antara putra-putranya membuatnya kehilangan arah.
Semua rencananya pecah bersama dengan kekalahan Tohjaya di arena melawan
Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati.
“Aku harus mulai dari permulaan lagi,”
berkata Sri Rajasa di dalam hatinya. Tapi ia belum tahu apa yang
sebaiknya dilakukan. Namun yang terlintas didalam angan-angannya, Mahisa
Agni harus segera kembali ke Kediri sehingga kesempatannya bertemu dan
berbincang dengan Anusapati menjadi sangat terbatas.
Demikianlah maka di hari berikutnya jatuhlah perintah bahwa Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana Singasari.
Mahisa Agni-pun sebenarnya telah menduga
bahwa ia harus segera meninggalkan Singasari untuk dijauhkan dari putra
Mahkota. Tetapi jalan sudah terbuka meskipun justru bahaya menjadi
semakin besar bagi Anusapati. Namun bertindak sesuatu atas Anusapati
yang dikenal oleh rakyat Singasari sebagai kesatria Putih memerlukan
pertanggungan yang besar.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak boleh
lengah sebelum ia berangkat meninggalkan istana ia banyak sekali
memberikan pesan kepada Anusapati.
Tetapi satu hal yang tidak dikatakannya, bahwa Anusapati sebenarnya bukan putera Sri Rajasa.
“Paman,” Anusapati mendesak, “apakah
sebabnya, aku harus menempuh jalan yang aneh untuk mendapatkan tempat di
hati rakyat Singasari. Dan kenapa aku rasa-rasanya menjadi semakin jauh
dari Ayahanda Sri Rajasa?”
“Tidak ada persoalan apa-pun yang dapat
menjadi alasan itu Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “jika sekarang kau
menghadapi kenyataan itu, barangkali, karena ibumu seorang yang lebih
banyak menyimpan perasaan. Seorang yang tidak ingin melontarkan diri
keatas awang-awang, melampaui dan bahkan jika perlu beralaskan orang
lain. Tetapi sifat-sifat Ken Umang memang tidak terpuji. Itulah agaknya
yang menyebabkan ada perbedaan antara kau dan Tohjaya dihadapan Sri
Rajasa. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan langgeng. Akhirnya
akan tampak dan terbukti, mana yang baik dan mana yang tidak.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
“Jalanmu sudah terbuka. Teruskan amalmu
sebagai Kesatria Putih. Kau harus lebih banyak keluar dari istana.
Jangan sampai terjadi, Kesatria Putih melakukan tindakan di suatu tempat
tetapi kau berada di dalam istana. Jika demikian pasti akan menimbulkan
pertanyaan. Satu kali dua kali mungkin tidak akan diketahui, tetapi
perasaan Sri Rajasa yang tajam, dan usaha Tohjaya untuk mencari
kelemahanmu, akan memaksa mereka mencari setiap kesalahan yang mungkin
terjadi.”
Anusapati menganggukkan kepalanya.
“Pada suatu saat Anusapati, untuk tidak
menimbulkan kesalahan, sebaiknya kau sendirilah yang akan menjadi
Kesatria Putih. Kau seorang diri tanpa orang lain. Meskipun kegiatan
Kesatria Putih akan berkurang, tetapi lubang-lubang yang dapat membuat
kau terperosok kedalamnya menjadi semakin kecil.”
“Ya, paman.”
“Sementara itu, untuk keselamatanmu,
setiap kali salah seorang dari orang-orang tua itu akan mengawasimu dari
kejauhan seperti yang juga sering terjadi. Menghadapi kejahatan yang
besar dan dilakukan oleh penjahat-penjahat yang kuat, kau tidak boleh
berjuang seorang diri. Satu atau dua orang akan membantumu. Tetapi hanya
seorang sajalah yang boleh berperan sebagai Kesatria Putih.”
“Tetapi bagaimana aku dapat berhubungan dengan mereka paman.”
“Merekalah yang akan menghubungi kau setiap kali. Sumekar dapat menjadi penghubung yang baik pula.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, jagalah dirimu baik-baik. Tetapi
jangan sekedar tenggelam dalam tugas Kesatria Putih. Kau harus
menyempurnakan ilmumu sebaik-baiknya. Jika pada suatu saat kau menjumpai
bahaya dari mana-pun datangnya, kau benar-benar sudah menjadi sempurna
dan mampu mempertahankan dirimu. Orang-orang seperti Kiai Kisi masih
akan berkeliaran mencarimu. Suatu saat akan datang orang yang jauh lebih
dari kiai Kisi, karena ternyata Sri Rajasa kini pasti sudah
memperhitungkan, bahwa kau sendirilah yang telah membunuh Kiai Kisi
itu.”
Demikianlah, maka pesan Mahisa Agni itu
selalu diingat oleh Anusapati. Ia harus berhati-hati. Baik di dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari, mau-pun apabila ia pergi ke luar istana
sebagai Kesatria Putih. Namun seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni,
Anusapati masih selalu memerlukan waktu untuk menyempurnakan ilmunya.
Setiap hari ia singgah di tempat yang terasing untuk mematangkan ilmu
yang sudah dimilikinya.
Namun ternyata ada beban baru yang harus dilakukannya. Mahisa Wonga Teleng berkeras untuk mempelajari ilmu daripadanya.
“Aku jauh ketinggalan dari
saudara-saudaraku,” berkata Mahisa Wonga Teleng. “Tentu ada kesengajaan
Ayahanda Sri Rajasa untuk membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang
lahir dari ibunda Ken Umang.”
“Tidak Mahisa Wonga Teleng,” jawab
Anusapati, “tidak ada perbedaan apa-apa. Itu hanyalah perasaan kita.”
Anusapati mencoba menirukan Mahisa Agni setiap kali ia mengeluh. Dan
kini ia mencoba menenteramkan hati adiknya itu.
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun Anusapati sendiri melihat kenyataan itu. Adalah
tidak mustahil, terdorong oleh sikap Tohjaya maka adik-adiknya yang
lahir dari Ken Umang telah membenci Mahisa Wonga Teleng karena ia adalah
adik Anusapati.
“Kakanda Tohjaya juga mengajari
adik-adiknya yang lahir dari ibunda Ken Umang. Apa salahnya aku minta
Kakanda Anusapati melatih aku?”
“Baiklah.” berkata Anusapati, “kita mencari tempat yang baik. Di pagi-pagi benar kita mulai berlatih sampai matahari terbit.”
“Waktunya hanya pendek sekali.” sahut Mahisa Wonga Teleng, “bagaimana kalau sampai matahari sepenggalah?”
Anusapati tersenyum. Katanya, “Bukankah kau sudah mempunyai seorang guru yang mengajarimu bersama-sama dengan adinda yang lain.”
“Tetapi tidak lagi bagiku setelah aku
kawin. Seperti juga Kakanda Anusapati tidak mendapat kesempatan berguru
lagi. Untunglah ada Pamanda Mahisa Agni. Jika aku tahu sebelumnya, aku
pasti ikut berlatih pada paman Mahisa Agni. Akulah yang barangkali
bernasib jelek. Aku tidak mendapat perhatian dari Pamanda Mahisa Agni,
dan tidak terhitung oleh Ramanda Sri Rajasa.”
“Jangan begitu. Tidak ada perbedaan. Baik pada paman Mahisa Agni, mau-pun pada Ayahanda Sri Rajasa.”
“Entahlah,” sahut Mahisa Wonga Teleng,
“tetapi sekarang aku minta kepada Kakanda Anusapati, ajari aku meskipun
terlambat. Aku menjadi semakin tua, dan anakku menjadi semakin besar.”
Anusapati tidak dapat menolak permintaan
adiknya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Wonga Teleng belum menjadi tua. Ia
masih sangat muda. Meskipun anaknya bertambah besar, tetapi saat
perkawinannyalah yang terlampau maju. Anusapati tidak mengerti, kenapa
Ayahanda Sri Rajasa berlaku demikian. Apakah tujuannya, karena ternyata
sikap Ayahanda Sri Rajasa-pun jauh lebih baik pada Mahisa Wonga Teleng
daripada kepada, dirinya sendiri.
Tidak seperti pada saat Anusapati
mempelajari olah kanuragan dari pamannya, Mahisa Wonga Teleng tidak
perlu bersembunyi-sembunyi. Ternyata ia berani menghadapi tantangan di
sekitarnya. Dan ternyata tidak ada seorang-pun yang berani
merintanginya, apalagi gurunya adalah Kesatria Putih.
Namun dalam pada itu, sebenarnya Tohjaya
sama sekali masih belum mengakui kemenangan Anusapati daripadanya.
Memang Anusapati dapat mengalahkannya dalam permainan sodoran di arena.
Tetapi itu tidak berarti bahwa Anusapati dapat mengalahkannya apabila
benar-benar mereka harus berperang tanding.
Tetapi Tohjaya tidak berani mencobanya.
Ia masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan yang sebenarnya
dimiliki oleh Anusapati.
“Tuanku,” guru Tohjaya yang siang dan
malam memikirkan cara untuk melenyapkan Kesatria Putih, sejak ia masih
belum mengenakan bentuknya itu, berkata kepada muridnya, “adalah suatu
keharusan untuk melenyapkan Kesatria Putih. Aku rasa kita tidak akan
dapat bertindak atasnya. Jika kita memberikan beban ini kepada salah
seorang di antara kita, atau setidak-tidaknya orang yang ada
dilingkungan kita, jika orang itu tidak berhasil, maka akan sangat
berbahaya akibatnya bagi kita. Untunglah bahwa sampai saat ini, usaha
kita belum dapat diketahuinya dengan pasti.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi gurunya menjadi ragu-ragu sendiri. Terbayang di dalam
angan-angannya, seseorang berkerudung hitam telah memancingnya dan
melibatnya dalam perkalahian. Ketika ia merasa, bahwa ia akan berhasil
membunuh orang itu, rahasia yang disimpannya terlanjur dikatakannya.
“Apakah orang itu juga Anusapati?”
katanya didalam hati, “Jika orang itu Putera Mahkota, kenapa ia masih
tetap berdiam diri sampai sekarang?”
Hal itu ternyata sangat membingungkan
sekali. Menurut pengamatannya, bentuk tubuhnya dan sikap terjangnya,
orang itu bukan Putera Mahkota. Tetapi siapa?
Orang itu sama sekali tidak menduga,
bahwa di halaman istana itu ada seorang juru taman yang memiliki
kemampuan seperti Kesatria Putih dan seperti orang-orang berkerudung
yang pernah dikenal di istana Singasari.
“Jadi bagaimana maksudmu?” bertanya Tohjaya kemudian.
“Kita minta pertolongan seseorang di luar lingkungan kita.”
Tohjaya mengerutkan keningnya, namun
kemudian ia berkata lemah, “Kau pernah gagal. Kiai Kisi tidak dapat
berbuat apa-apa. Bukankah kau pernah mengatakannya meskipun kau tidak
mengajak aku berbicara ketika kau merencanakan? Dan bukankah ayah pernah
marah kepadamu?”
“Tetapi keadaannya sekarang berbeda. Kita
tidak membenturkan orang itu langsung kepada Putera Mahkota, tetapi
kepada Kesatria Putih.”
“Apa bedanya? Setiap orang tahu bahwa Kesatria Putih adalah Kakanda Anusapati.”
“Tuanku,” berkata Penasehat Sri Rajasa
itu, “hamba mempunyai seorang sahabat. Seorang sakti yang bertapa di
lereng Gunung Semeru.”
“Jangan mengigau. Kita tidak tahu
kekuatan yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Kakanda Anusapati.”
potong Tohjaya, “sedangkan jika pertapa itu orang yang putih, ia pasti
tidak akan bersedia memenuhi keinginan itu.”
“Orang itu adalah kakak seperguruan Kiai Kisi.”
“Tidak ada gunanya. Ilmunya tidak akan jauh lebih tinggi dari Kiai Kisi.”
“Tentu dengan cara yang khusus. Ia mempunyai beberapa orang murid.”
“Kesatria Putih dijebak, kemudian dikerubut bersama-sama?”
“Ya.”
“Kakanda Anusapati bukan seorang yang bodoh. Ia pasti mempunyai perhitungan tersendiri.”
“Biarlah mereka menjadikan dirinya penjahat kecil yang mengotori daerah Singasari. Kesatria Putih pasti akan datang mencarinya.”
“Seperti beberapa orang prajurit itu? Mereka dimusnakan oleh Kesatria Putih.”
“Cecurut-cecurut yang tidak berarti itu.
Kita telah salah hitung. Tetapi kali ini hamba akan berhati-hati.
Jebakan ini harus mengena. Kalau tidak, kita memang akan menjumpai
kesulitan. Tetapi betapa-pun kuatnya Kesatria Putih, tetapi seorang diri
ia tidak akan dapat mengalahkan orang itu beserta beberapa orang
muridnya. Apalagi dendam yang ada di dalam dirinya kita hembus semakin
besar.”
Tohjaya merenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepada ayahanda. Aku tidak dapat mengambil kesimpulan.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak yakin kalau ayahanda memperkenankan.”
“Mungkin ayahanda tidak menghendaki kematian Kesatria Putih. Meskipun ayah hendak menyingkirkannya, tetapi bukan membunuhnya.”
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia masih belum mengatakan, bahwa Anusapati bukan
saudara Tohjaya. Sama sekali bukan, karena mereka tidak seayah dan tidak
seibu.”
Sejenak keduanya saling berdiam diri.
Sebenarnya bagi Tohjaya, Anusapati memang lebih baik disingkirkan sama
sekali, bukan saja dari kedudukannya sebagai Putera Mahkota, tetapi
untuk seterusnya, sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya lagi
kapan-pun juga.
“Tetapi aku kira ayahanda bersikap lain,”
berkata Tohjaya didalam hatinya, “apalagi setelah ayahanda tahu, bahwa
Kesatria Putih adalah Kakanda Anusapati. Bagaimana-pun juga kematian
kakanda Kesatria Putih akan sangat berpengaruh pada pemerintahan
Singasari kelak. Ayahanda pasti akan terpaksa ikut berduka karena ibunda
Permaisuri berduka, meskipun seandainya kematian Kesatria Putih itu
dikehendaki oleh ayahanda. Setelah itu maka untuk mengangkat seorang
Putera Mahkota pasti akan menimbulkan persoalan tersendiri pula. Aku
yakin bahwa ayahanda akan memilih aku. Tetapi adalah sulit sekali untuk
menembus ketentuan yang berlaku, bahwa Putera Mahkota adalah putera
seorang Permaisuri.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam.
“Kematian itu dapat ditempuh,” berkata
Tohjaya pula di dalam hatinya, “ayahanda adalah seorang Maharaja yang
berkuasa. Kata-katanya adalah ketentuan yang tidak dapat dibantah
mengatasi segala ketentuan yang sudah ada. Selagi ayahanda masih ada,
tidak akan ada seorang-pun yang berani menentang keputusannya.”
Namun segera terlintas dikepalanya, wajah
seorang Senapati Singasari yang tidak ada duanya, yang bersama-sama Sri
Rajasa telah mengalahkan Kediri. Mahisa Agni.
“Orang itulah yang seharusnya disingkirkan,” geram Tohjaya tiba-tiba.
“Siapa tuanku? “ gurunya itu bertanya.
“O,” Tohjaya baru sadar, bahwa ia sedang dihanyutkan oleh angan-angannya.
“Siapakah yang seharusnya disingkirkan tuanku?”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Semua rencana rusak oleh Pamanda Mahisa Agni.”
“Ya tuanku. Ternyata Mahisa Agni adalah
seorang yang bukan saja memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni, tetapi ia
memiliki kemampuan berpikir yang tidak terduga-duga. Anak padesan itu
hampir berhasil merusakkan seluruh rencana tuanku Sri Rajasa. Karena
itu, kita harus bersikap lebih keras lagi. Ayahanda tuan memilih jalan
yang paling lembut untuk mencapai maksudnya. Namun ternyata Mahisa Agni
adalah seorang yang sangat licik.”
“Kau nasehatkan kepada ayahanda. Jika
mungkin mengambil jalan kekerasan meskipun ayahanda pernah tidak
menyetujuinya. Tetapi saat itu, jalan masih terbuka dan ayahanda masih
belum mengetahui betapa licik lawannya.”
“Hamba akan mencoba. Tetapi sebelum ayahanda memutuskan, kita memang tidak akan dapat berbuat apa-apa,” berkata gurunya.
“Aku menunggu, meskipun aku hampir tidak sabar.”
Demikianlah guru Tohjaya yang juga
menjadi penasehat Sri Rajasa itu mencoba untuk mendorong Sri Rajasa
mempergunakan kekerasan di dalam usahanya menyingkirkan Kesatria Putih.
“Kau memang bodoh sekali,” berkata Sri Rajasa, “apakah kau masih belum jera atas kegagalanmu itu?”
“Tetapi kali ini jalan kita lebih lapang
tuanku. Kesatria Putih adalah musuh setiap penjahat. Jika terjadi
sesuatu atas Kesatria Putih, maka tidak seorang-pun yang dapat dituntut.
Berbeda dengan Putera Mahkota di dalam sebuah pasukan. Hamba memang
terlampau tergesa-gesa waktu itu.”
“Bagaimana dengan Tohjaya?”
“Tuanku Tohjaya hampir tidak sabar menunggu.”
“Apakah kau mengatakan kepadanya, siapakah Anusapati sebenarnya dan hubungan antara kedua anak-anak itu.”
“Tidak tuanku.”
“Kau tidak berdusta?”
“Tidak tuanku.”
Sri Rajasa justru terdiam. Tiba-tiba saja ia merenung. “Bagaimanakah pendapat tuanku?” bertanya penasehatnya.
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Tetapi
yang terlintas di angan-angannya justru persoalan yang sama sekali
menyimpang dari pertanyaan penasehatnya.
Tohjaya sampai hati menjatuhkan pilihan,
menyingkirkan Anusapati. Bukan karena Sri Rajasa terlampau sayang kepada
Anusapati tetapi ia sedang merenungi watak puteranya. Apalagi karena
Tohjaya tidak tahu, hubungan yang sebenarnya antara ia dan Anusapati
itu.
“Seharusnya ia menganggap Anusapati
sebagai kakaknya. Dan ia sampai hati untuk melenyapkan kakaknya itu,”
berkata Sri Rajasa di dalam hatinya. Sekilas terbayang segala macam
tingkah lakunya semasa ia masih muda. Petualangan, kejahatan, bahkan
pembunuhan dan perkosaan telah dilakukannya. Apakah sifat dan watak itu
menurun kepada puteranya? Ditambah dengan sifat-sifat Ken Umang yang
tamak dan sombong.”
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu
memejamkan matanya. Dan bayangan-bayangan itu justru menjadi semakin
jelas. Terlintas dalam angan-angannya itu, bagaimana ia menemukan Ken
Umang di hutan perburuan. Bagaimana gadis itu menjeratnya dengan
menyerahkan dirinya sendiri.
Gabungan dari sifat-sifat yang hitam itu kini tampak pada puteranya.
“Apakah anak-anakku yang lain juga
bersifat seperti itu?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi suatu
kenyataan bahwa Mahisa Wonga Teleng, memiliki sifat-sifat yang lain dari
Tohjaya, justru karena ia lahir dari ibu yang lain.
“Apakah sifat itu menurun ataukah justru
karena tuntunan yang diterimanya dari ibunyalah yang salah?” bertanya
Ken Arok kepada dirinya sendiri pula.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu telah
membuat Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi termangu-mangu.
Kesadaran tentang tingkah lakunya di masa mudanya, membuat ia kini
bersedih atas kelakuan puteranya.
Namun tiba-tiba terbayang dendam yang
membara di wajah Anusapati. Seakan-akan wajah itu memancarkan sorot mata
Tunggal Ametung. Karena itu maka sambil menggeretakkan giginya Sri
Rajasa menggeram di dalam dadanya, “Ia harus dibunuh.”
Saat-saat yang demikian menegangkan,
membuat Sri Rajasa bagaikan kehilangan akal. Rasa-rasanya ia berada di
dalam suatu keadaan sesaat sebelum ia menghunjamkan kerisnya di dada
Empu Gandring dan juga di dada Akuwu Tunggul Ametung. Ragu-ragu, bimbang
dan segala macam perasaan bercampur-baur.
“Semuanya sudah terlanjur. Aku sudah
mengorbankan, beberapa nyawa dan orang-orang yang terlalu baik kepadaku.
Sekarang korban yang jatuh itu tidak boleh sia-sia, keturunan Ken Arok
yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi lah yang harus berkuasa
di Singasari,” katanya kepada diri sendiri.
Penasehatnya masih duduk sambil
menundukkan kepalanya dihadapannya ia menunggu dengan sabar, keputusan
yang akan diambil oleh Ssi Rajasa tentang Anusapati.
Namun tiba-tiba saja Sri Rajasa itu
berkata, “kita selesaikan dahulu Mahisa Agni. Itu adalah sumber
kegagalan-kegagalanku menghadapi Anusapati. Setelah Mahisa Agni lenyap,
kita akan dapat berbuat apa saja.”
Penasehat menjadi tegang sejenak. Ia tidak menduga bahwa Mahisa Agni yang menjadi pusat perhatian Sri Rajasa.
“Kematian Mahisa Agni tidak akan banyak
menimbulkan persoalan padaku. Aku tidak akan dibingungkan tentang
jabatan Putera Mahkota untuk sementara, sebelum aku menemukan jalan. Dan
kesalahan atas kematian Mahisa Agni dapat aku bebankan kepada
orang-orang Kediri. Ternyata mereka telah membunuh wakil Mahkota di
Kediri.”
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas
dalam-dalam, “Soalnya, apakah orang yang kau katakan mempunyai kemampuan
untuk melakukannya? Aku kira Mahisa Agni tidak akan menduga bahwa hal
serupa itu dapat terjadi atasnya. Orang-orang itu harus memasuki
istananya tanpa diketahui oleh para penjaga. Mereka harus menyerang
Mahisa Agni dengan serta merta. Jangan hanya satu dua orang. Ambillah
tiga atau empat orang yang setingkat. Aku dapat memberikan apa saja yang
diminta. Hanya dengan demikian Mahisa Agni akan dapat terbunuh.”
“Hamba tidak dapat mengatakannya tuanku. Apakah orang itu mampu mengalahkan Mahisa Agni.”
“Jangan sendiri.”
“Hamba juga belum tahu. apakah ada kawan-kawannya atau saudara-saudara seperguruannya yang dapat melakukannya.”
“Cobalah, hubungi orang itu. Tetapi hati-hati supaya kau tidak terjerumus ke tiang gantungan karena kesalahanmu.”
Terasa sesuatu bergetar di dada penasehat itu. Namun ia berkata, “Hamba tuanku. Hamba akan sangat berhati-hati.”
“Jika kau temukan tiga atau empat orang,
bawalah mereka kemari. Mereka harus menunjukkan kemampuan mereka. Aku
akan menjajagi ilmu mereka langsung.”
“Maksud tuanku.”
“Aku akan mencoba melawan mereka seorang
demi seorang. Baru aku dapat menentukan apakah mereka mampu melakukan
tugas itu atau tidak, karena Mahisa Agni adalah seorang yang pilih
tanding, hampir tidak ada duanya didunia ini.”
“Hamba tuanku. Hamba mengerti.”
“Nah, lakukanlah. Setelah itu baru aku
akan menentukan sikap terhadap Anusapati. Kematian Anusapati pasti akan
mempengaruhi perasaan Permaisuri dan pengaruhnya yang lain akan terasa
sekali pada pemerintahan yang sedang berjalan di Singasari. Tetapi tidak
demikian dengan Mahisa Agni. Meskipun ia akan diserahkan kembali kepada
asalnya dengan upacara kebesaran salah seorang pemimpin tertinggi di
Singasari, namun persoalannya akan segera selesai dan orang-orang
Singasari dan Kediri akan segera melupakannya.”
“Baiklah tuanku. Hamba mengerti tugas yang harus hamba lakukan.”
“Kerjakan baik-baik. Jangan kau katakan lebih dahulu kepada Tohjaya. Aku sendirilah yang akan mengatakan kepadanya.”
“Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba mengerti,” penasehat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, lakukanlah baik-baik. Jika kau
sudah menemukan, bawalah mereka kemari. Didalam saat yang tepat, mereka
akan pergi ke Kediri, sementara Anusapati harus diusahakan tetap berada
di istana saat itu. Jika tidak, dan kebetulan sekali ia berada di
Kediri, maka gabungan kekuatan keduanya benar-benar mencemaskan meskipun
harus melawan tiga atau empat orang sekaligus.”
“Hamba tuanku. Hamba mohon waktu sepekan. Hamba akan segera memberikan laporan tentang orang yang hamba katakan.”
“Aku menunggu waktu yang kau katakan.
Segala sesuatu harus kau bicarakah dahulu dengan aku. Kau mengerti?
Jangan membuat rencana sendiri yang justru akan dapat menggagalkan semua
rencana yang sudah tersusun.”
“Hamba tuanku.” penasehat itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka ia-pun mohon diri.
Bukan saja dari hadapan Sri Rajasa, tetapi ia mohon kesempatan sepekan
untuk melakukan tugas itu, sehingga dalam waktu itu ia tidak akan berada
di istana.
Demikianlah dengan gelisah Sri Rajasa
menunggu kesempatan itu. Penasehat itu masih mohon diri pula, ketika ia
siap meninggalkan istana dengan kudanya yang tegar.
Ketika kuda itu berlari keluar dari regol istana, sepasang mata mengikutinya dengan tajamnya. Mata seorang juru taman.
Sumekar menjadi curiga melihat kepergian
orang itu. Menilik bekal yang dibawanya, yang tersangkut dipunggung
kudanya pula, ia tidak hanya sekedar pergi keluar istana untuk beberapa
saat. Tetapi ia pasti meninggalkan istana untuk beberapa hari.
“Kemana orang itu?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi tidak ada orang yang dapat menjadi tempat ia bertanya.
Namun karena ia mengetahui apa yang
pernah dilakukan oleh orang itu atas Putera Mahkota, maka ia tidak dapat
melepaskan perhatiannya kepada kepergiannya itu. Mungkin ia sedang
merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Putera Mahkota pula.
Karena itu, mau tidak mau, Sumekar harus menghubungi Anusapati dan memberi tahukan kepergian penasehat Sri Rajasa itu.
“Tuanku harus berhati-hati. Selama tuanku
menjalankan tugas tuanku sebagai Kesatria Putih. Mungkin pada suatu
saat orang itu sengaja menjebak tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Teringat pula olehnya bagaimana ia telah dijebak oleh seorang yang
menyebut dirinya bernama Kiai Kisi, sehingga kemungkinan yang serupa
memang akan dapat terjadi. Teringat pula olehnya, sekelompok prajurit
yang menyamar menjadi perampok untuk menjebak Kesatria Putih. Tetapi
mereka dapat dihancurkan dan bahkan pedang-pedangnya telah dilemparkan
ke depan regol istana.
Dengan demikian Anusapati semakin
menyadari, bahwa bahaya menjadi semakin besar mengancamnya dari segala
arah. Baik sebagai Putera Mahkota, apalagi sebagai Kesatria yang
berkeliaran di segala tempat dan di segala waktu.
“Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman Sumekar?”
“Tuanku harus menyampaikan hal ini kepada orang-orang lain yang menyatakan dirinya dalam pakaian Kesatria Putih itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mereka memang harus lebih berhati-hati.”
“Bukan sekedar berhati-hati tuanku.
Mereka harus memperhitungkan segala kemungkinan. Jika salah seorang
Kesatria Putih itu dapat dijebak oleh sekelompok orang-orang itu, dan
Kesatria Putih itu ternyata bukan tuanku, maka persoalannya akan
menggemparkan seluruh Singasari. Nama tuanku akan terguncang pula
karenanya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Aku mengerti paman. Aku akan menghubungi mereka. Biasanya
salah seorang dari mereka menunggu aku dibatas kota. Tentu saja tidak
sebagai Kesatria Putih.”
“Sebaiknya tuanku cepat menyampaikan kabar ini sebelum terlambat.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menyadari kesulitan yang dapat timbul apabila sekelompok orang yang
berilmu tinggi sengaja menjebak salah seorang dari Kesatria Putih itu.
Demikianlah, di malam harinya,
Anusapati-pun seperti biasanya keluar dari regol istana dalam pakaian
Kesatria Putih. Para prajurit yang sedang bertugas menganggukkan
kepalanya dengan hormatnya. Mereka sadar betapa beratnya tugas yang
telah dibebankan dipundaknya sendiri oleh Putera Mahkota itu. Tugas yang
dilakukan seorang diri sebagai Kesatria Putih itu ternyata melampaui
kemampuan sepasukan prajurit pilihan.
Namun malam itu Anusapati telah membawa
pesan yang mendebarkan bagi Kesatria Putih yang lain. Orang yang malam
itu menghubungi Anusapati di batas kota adalah Witantra sendiri.
“Paman, menurut paman Sumekar, kemungkinan yang buruk itu dapat terjadi.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Memang tuanku. Jika terjadi demikian, maka semuanya akan rusak.”
“Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman?”
“Aku akan menarik mereka malam ini.”
“Tetapi di manakah mereka itu?”
“Hanya seorang yang berpakaian Kesatria Putih malam ini. Kuda Sempana. Aku tahu kemana ia pergi.”
“Jadi maksud paman, Kesatria Putih harus menghentikan kegiatannya untuk sementara?”
“Sampai aku menghubungi tuanku lewat Sumekar.”
Anusapati mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu kainnya, “Jadi bagaimana aku malam ini?”
“Marilah tuanku pergi bersama aku.
Sebaiknya tuanku melepaskan pakaian Kesatria Putih itu supaya jika
bertamu dengan Kuda Sempana dalam pakaian Kesatria Putih, tidak akan ada
dua Kesatria Putih dalam waktu bersamaan, jika kebetulan ada seseorang
yang melihatnya, maka akibatnya dapat mengganggu pula.
“Tetapi bagaimana dengan kudaku?” bertanya Anusapati, “kuda putih adalah salah satu ciri Kesatria Putih.”
“Banyak kuda putih di Singasari. Tetapi
asal tuanku tidak mempergunakan pakaian dan kerudung putih, maka orang
tidak segera mengambil kesimpulan, bahwa yang lewat adalah Kesatria
Putih.”
Anusapati ragu-ragu sejenak. Tetapi
ia-pun segera melepaskan tirai putih yang tersangkut dilehernya. Bahkan
kemudian ia melepas kain pancingnya dan dikerudungkannya dipunggungnya,
agar orang tidak mudah mengenalnya sebagai Putera Mahkota.
“Tuanku seperti seekor burung yang besar sekali di atas seekor kuda,” berkata Witantra.
Anusapati tersenyum. Tetapi katanya,
“Kita menempuh jalan paling aman, kita menghindari seseorang sejauh
mungkin agar tidak timbul pertanyaan tentang kuda putih ini.”
“Yang penting tuanku, asal tidak ada dua
orang Kesatria Putih bersama-sama. Yang berbahaya adalah saat kita
bertemu dengan Kuda Sempana. Dan kita akan berusaha menemuinya tanpa
dilihat oleh orang lain, meskipun tuanku tidak dalam pakaian Kesatria
Putih. Sampai saat ini Kesatria Putih masih dianggap sebagai seseorang
yang ajaib. Yang ada disembarang tempat dan waktu meskipun sudah
mengalami pengekangan yang agak jauh.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menyadari bahwa pamannya sudah berusaha mengatur serapi mungkin agar
tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengurangi nilai
dari perbuatan Kesatria Putih.
Demikianlah maka Witantra telah membawa
Anusapati berpacu di dalam kegelapan. Untunglah bahwa keduanya telah
terbiasa berkuda di dalam gelap menyusuri jalan-jalan di daerah yang
paling sulit sekalipun. Malam itu mereka harus menemukan Kuda Sempana
dan menariknya sebelum ia bertemu dengan jebakan yang belum dimengerti.
Untunglah bahwa di setiap malam mereka
yang menamakan diri Kesatria Putih itu selalu saling berbicara tentang
daerah yang akan mereka datangi, sehingga dalam keadaan yang gawat,
mereka akan segera dapat dihubungi. Demikianlah, menjelang tengah malam
mereka telah sampai ditempat yang disebutkan oleh Kuda Sempana. Sesuai
dengan ciri-ciri yang diberikannya, maka Witantra-pun berhasil mengikuti
jejak perjalanan Kesatria Putih sehingga pada suatu tempat, mereka
menemukan Kesatria Putih yang sedang menunggu di bawah sebatang pohon
cangkring.
“He, ternyata tuanku Putera Mahkota,” berkata Kuda Sempana.
“Ya, aku dibawa oleh paman Witantra kemari.”
“Apakah ada sesuatu yang penting tuanku?
Bukankah malam ini hamba diperbolehkan bergerak setelah tengah malam,
karena di separuh malam pertama, tuanku sendiri akan mengelilingi kota
Singasari.”
“Ya. Tetapi ada sesuatu yang penting aku
sampaikan,” sahut Anusapati, “sehingga paman Witantra memandang perlu
untuk membawa aku kemari.”
“Apakah yang penting itu tuanku? Apakah
ada kejahatan dilewat tengah malam yang akan tuanku tangani sendiri,
sehingga hamba harus membatalkan tugas hamba malam ini.”
“Tidak, tetapi ada sesuatu yang berbahaya bagi kita,” jawab Anusapati.
Kuda Sempana menganggukan kepalanya.
Tetapi ia tidak bertanya lagi, dan Anusapati lah yang kemudian
berceritera tentang Penasehat Sri Rajasa dan kemungkinan-kemungkinan
yang bakal terjadi.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti bahwa dengan demikian tugas Kesatria Putih ada
dalam bahaya. Seperti yang dikatakan oleh Anusapati, apabila seseorang
atau segerombolan orang berhasil menangkap Kesatria Putih, dan Kesatria
Putih itu bukan Putera Mahkota, maka nama Putera Mahkota memang dapat
terancam. Tohjaya akan memanfaatkan hal itu untuk kepentingannya.
Karena itu, maka Kuda Sempana-pun
sependapat, bahwa untuk sementara semua rencana akan dibatalkan sehingga
mendapatkan suatu penyelesaian yang dapat dipertanggung jawabkan.
“Tetapi kita tidak boleh berhenti,”
berkata Witantra, “Kesatria Putih masih harus tetap berjuang melawan
kejahatan sebelum kejahatan itu berakhir.”
“Hampir tidak mungkin,” sahut Kuda
Sempana, “umur kejahatan sama dengan umur manusia, karena pada dasarnya
manusia dikuasai oleh sifat-sifat yang jahat. Hanya mereka yang berhasil
menguasai diri sendiri dan berjuang merebut dirinya dari tangan setan
sajalah yang mampu menghindari kejahatan.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Jika demikian kita masih akan berbuat banyak sekali. Dengan
pakian Kesatria kita langsung menghadapi kejahatan di medan. Tetapi
lewat cara lain kita harus berusaha membawa setiap orang berusaha
merebut dirinya sendiri dari kekuasaan setan itu. Jika kita berhasil,
maka tugas kita di medan akan jauh berkurang.”
Kuda Sempana mengangguk-angguk. Lalu ia-pun bertanya, “Jadi apa yang akan kita lakukan?”
Kita akan berhubungan dengan Mahisa Agni.
Tetapi aku kira kita akan menentukan, bahwa biarlah Putera Mahkota
sajalah yang berpakaian Kesatria Putih. Kita akan selalu membayangi.
Jika Putera Mahkota masuk kedalam suatu jebakan, kita akan membantunya.
Bukan sebagai Kesatria Putih.”
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Malam ini semua rencana kita batalkan,”
berkata Witantra, “Siapa tahu, bahwa guru Tohjaya itu sudah mulai
bergerak dengan kekuatan yang besar.”
Demikianlah maka malam itu. Kuda Sempana
membatalkan niatnya untuk membelah daerah itu yang didengarnya sedang
diambah oleh kejahatan. Untunglah bahwa malam itu tidak terjadi apa-pun
sehingga seandainya Kuda Sempana tetap berada di daerah itu-pun tidak
akan dijumpainya seseorang.
Malam itu sebelum Anusapati masuk kembali
ke regol istana, dikenakannya kembali ciri pakaian Kesatria Putih,
supaya kehadirannya tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.
Dalam pada itu, guru Tohjaya sudah
menempuh jarak yang jauh untuk menemui orang yang dikatakannya. Ia
memutuskan untuk menemui kakak seperguruannya yang tertua. Juga segaris
perguruan dengan Kiai Kisi.
Kedatangannya telah menimbulkan berbagai
pertanyaan di dalam sebuah padepokan yang terpencil. Padepokan yang
dihiasi dengan berbagai macam kemuraman karena mereka yang tinggal
dipadepokan itu bukanlah sekelompok orang-orang yang berhati putih.
“Kau masih ingat kepadaku?” berkata saudara tua seperguruan itu. “Sudah lama sekali kau tidak datang ke padepokan ini.”
“Aku tidak pernah melupakan kau kakang.
Kesempatankulah yang masih belum ada. Tetapi sekarang aku memerlukan
datang menemui kakang.”
“Tentu ada suatu kepentingan yang
mendesak. Aku sudah mendengar kematian Kiai Kisi yang malang itu.
Kedatanganmu tentu ada hubungan kelanjutan dari kematiannya.”
“Sebenarnya aku tidak akan segera mengatakannya, tetapi kakang sudah menebak tepat sehingga aku tidak akan ingkar.”
Kakak seperguruan yang tertua dari guru
Tohjaya itu tertawa, katanya, “Aku tidak memaksa kau mengatakannya jika
kau berkeberatan.”
“Bukan begitu. Maksudku, setelah aku berada disini sehari dua hari, barulah aku akan menyampaikannya.”
“Buat apa aku harus menebak-nebak selama
sehari dua hari. Meskipun kau akan tinggal disini beberapa hari, tetapi
masalahnya sudah aku ketahui.”
Guru Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira kau tidak lagi memerlukan aku
setelah kau menjadi orang istana. Menjadi penasehat Hantu Karautan dan
menjadi guru dari anaknya yang lahir dari Ken Umang itu.”
“Tidak kakang. Aku tidak lupa kepada siapapun.”
“Dalam kesulitan kau ingat kepada kami.
Dan justru karena itu Kiai Kisi sudah menjadi korban perhitunganmu yang
tidak cermat. Apakah kau sudah tahu siapakah yang telah membunuh Kiai
Kisi itu?”
“Ya kakang. Aku sudah mengetahuinya kini, meskipun tidak dapat aku buktikan.”
“Hanya dugaan?”
“Dugaan yang didasarkan atas perhitungan.”
“Siapa yang telah membunuhnya?”
“Putera Mahkota sendiri.”
“Anusapati?” kakak seperguruannya terkejut.
“Apakah kakang belum mendengar hasil permainan sodoran di alun-alun Singasari?”
“Singasari sangat jauh dari tempat ini.
Tetapi aku sudah mendengarnya, bahwa orang yang menyebut dirinya
Kesatria Putih ternyata adalah Putera Mahkota.”
“Nah, ternyata Kiai Kisi tidak berhasil membunuh Putera Mahkota saat itu. Justru ia sendiri telah terbunuh.”
“Kiai Kisi memang belum cukup masak untuk menghadapi lawan yang kuat. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?”
“Tentu tidak mungkin. Aku orang istana.”
“Kau juga takut?”
“Tentu tidak kakang. Aku merasa bahwa aku
tidak lebih jelek dari Kiai Kisi. Tentu aku dapat membinasakan Kesatria
Putih. Tetapi sudah aku katakan, jika ada yang berhasil mengetahui
persoalannya akan menjadi sangat buruk, karena aku adalah guru tuanku
Tohjaya dan kadang-kadang juga diajaknya berbicara tentang keprajuritan
di samping para Panglima.”
Kakak seperguruannya itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jadi kau bermaksud agar
aku membunuh Kesatria Putih, begitu?”
Kakak seperguruannya mengerutkan keningnya ketika guru Tohjaya itu menggeleng, “Bukan Kesatria Putih.”
“He. Bukan Kesatria Putih? Jadi siapa?”
“Orang yang sebenarnya berdiri sebagai lawan Sri Rajasa.”
“Siapa?”
“Mahisa Agni yang justru menjadi wakil
Mahkota di Kediri, mengawasi pemerintahan yang diserahkan kepada
keluarga dan keturunan Maharaja di Kediri itu sendiri.”
“Mahisa Agni,” kakak seperguruannya itu menganggukkan kepalanya, “dari perguruan manakah orang itu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi orang menyebutnya berasal dari Panawijen.”
Kakak seperguruannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku pernah mendengar perguruan di padepokan
Panawijen bertahun-tahun yang lalu. Tetapi aku tidak peduli, ia berhenti
sejenak. Lalu, “Apa yang harus kita kerjakan?”
“Membunuhnya.”
“Dimanakah ia tinggal?”
“Di Kediri. Kakang harus pergi ke Kediri. Kakang harus memasuki istananya dan membunuhnya di dalam istana itu.”
“Aku belum mengenal orangnya. Apakah aku harus pergi sendiri?”
“Tidak kakang. Menurut Sri Rajasa, kakang harus pergi bersama tiga atau empat orang yang akan didadar oleh Sri Rajasa sendiri.”
“He, jadi Sri Rajasa tidak percaya akan kemampuanku.”
“Bukan tidak percaya. Tetapi Sri Rajasa
ingin berhati-hati menghadapi persoalan ini. Sudah beberapa kali
rencananya gagal, sehingga karena itu, ia tidak mau gagal untuk kesekian
kalinya.”
“Jadi maksudmu, kami harus menghadap ke istana dan berkelahi dengan Sri Rajasa?”
“Bukan begitu. Sri Rajasa hanya ingin
mengetahui, betapa kekuatanmu bersama tiga atau empat orang yang lain
agar Sri Rajasa mempunyai kepastian, rencananya kali ini tidak gagal.”
“Terserah saja. Aku tidak berkeberatan. Tetapi apa yang akan aku terima setelah aku berhasil membunuhnya?”
Penasehat Sri Rajasa itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau dapat berbicara sendiri dengan Sri Rajasa.”
Kakak seperguruannya itu mengerutkan
keningnya. Ia pernah mendengar kemenangan Sri Rajasa atas Kediri. Dan ia
juga mendengar seorang Senapatinya yang berhasil membunuh Senapati
tertinggi dari Kediri yang hampir tidak terkalahkan. Orang itu agaknya
yang bernama Mahisa Agni.
Ketika ia bertanya kepada guru Tohjaya, maka orang itu-pun mengiakannya.
“Memang tugas yang berat. Aku memang
memerlukan kawan. Tetapi Sri Rajasa tidak usah kuwatir. Betapa tinggi
kemampuannya, selagi kakinya masih berjejak di atas tanah, aku akan
dapat membinasakannya meskipun tidak sendiri.” ia berhenti sejenak, lalu
sekali lagi, “Apa yang akan aku terima dari Sri Rajasa?”
“Kelak kau akan mendengarnya sendiri.”
Kakak seperguruan penasehat Sri Rajasa
itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, “Baiklah. Aku percaya kepadamu meskipun sebenarnya
aku tidak percaya kepada Sri Rajasa.”
“Kenapa kau tidak percaya kepada Sri Rajasa?”
“Aku bukan seorang yang bersih. Aku
adalah seorang yang licik dan barangkali pengecut. Karena itu aku
mangerti. Sri Rajasa sudah sampai hati berusaha membinasakan seorang
Senapatinya yang telah berjasa besar kepadanya. Bahkan juga Putera
Mahkota. Apakah masih ada orang yang dapat percaya kepadanya? Jika orang
yang bernama Mahisa Agni itu dibunuhnya, apakah hal yang serupa tidak
dapat terjadi atasku, atasmu dan siapapun? Karena itu, aku harus
berhati-hati. Kau juga harus berhati-hati.”
Penasehat Sri Rajasa itu
mengangguk-anggukkan. Katanya, “Kau benar. Tetapi sampai saat ini aku
masih dipercayanya meskipun kadang-kadang dibentak-bentaknya.”
“Baiklah. Aku akan menghadap ke istana. Berhadapan dengan orang selicik dan sejahat Sri Rajasa, aku-pun harus hati-hati.”
“Apakah Sri Rajasa termasuk seorang yang jahat?”
“Tentu. Tetapi ia mempunyai kelebihan
dari aku. Ia berhasil membuat Singasari besar. Itu adalah jasa yang
telah diberikan kepada tanah ini dan tidak akan dilupakan orang. Tetapi
aku tidak berbuat apa-apa. Meskipun demikian, dihadapan kebenaran Sri
Rajasa adalah orang yang pernah ingkar daripadanya.”
Penasehat Sri Rajasa itu menganggukakan
kepalanya. Katanya, “Baiklah kakang datang ke istana. Terserah, apa yang
akan kakang bicarakan.”
“Aku akan membawa dua orang saudara
seperguruan kita yang tersisa dan dua orang muridku tertua dan yang
sudah memiliki kemampuan penuh.”
Penasehat itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Terserahlah. Tetapi Mahisa Agni pernah membinasakan
Senapati tertinggi dari Kediri.”
Demikianlah, maka pada hari yang
ditetapkan setelah beberapa lama penasehat Sri Rajasa tinggal
dipadepokan saudara seperguruannya itu, mereka berangkat ke istana
Singasari. Untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka saudara tua
panasehat Sri Rajasa itu mengenakan pakaian yang pantas bagi seorang
tamu istana, sedang yang lain, untuk menghindarkan kecurigaan akan
ditempatkan di luar istana, pada seorang kepercayaan penasehat Sri
Rajasa itu.
Ternyata kehadiran tamu yang tidak
dikenal bersama penasehat Sri Rajasa itu telah menarik perhatian Sumekar
yang mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh penasehat itu atas
Putera Mahkota. Karena itu, maka kehadiran orang yang tidak dikenal
bersamanya, telah menumbuhkan kecurigaannya.
“Menilik bentuk wajahnya dan sorot yang
tersirat dari tatapan matanya, ia bukan orang yang baik,” berkata
Sumekar di dalam hatinya.
Karena itulah, maka timbullah niatnya
untuk selalu mengawasinya. Mungkin ada sesuatu yang pantas dilakukan
untuk keselamatan Putera Mahkota. Karena bagaimana-pun juga, seolah-olah
Sumekar merasa dirinya telah terlibat didalam pertentangan tertutup
antara Putera Mahkota dan Tohjaya.
Sumekar tidak dapat mengetahui, apa yang
telah dibicarakan antara tamu yang aneh itu dengan Sri Rajasa. Tetapi ia
tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui lebih dekat atas
tamu itu.
Ketika istana Singasari kemudian disaput
oleh gelapnya malam, maka Sumekar segera mengenakan pakaian hitamnya dan
dengan hati-hati mendekati bangsal Sri Rajasa. Mungkin ia dapat melihat
sesuatu yang dijadikannya bahan pertimbangan.
Dengan hati-hati pula ia memanjat
sebatang pohon sawo sehingga ia dapat langsung melihat longkangan di
belakang bangsal itu. Longkangan yang tertutup.
Namun dada Sumekar menjadi
berdebar-debar. Ia melihat Sri Rajasa, penasehatnya dan tamunya berada
dilongkangan itu, bahkan seakan-akan mereka akan bertempur.
“Apakah yang akan mereka lakukan?” bertanya Sumekar di dalam hati.
Dari kejauhan ia melihat, Sri Rajasa telah bersiap berhadapan dengan tamunya.
“Apakah mataku tidak beres lagi malam ini,” Sumekar menggosok-gosok matanya.
Namun ia benar-benar melihat sejenak
kemudian keduanya terlibat dalam suatu perkelahian. Semakin lama semakin
seru disaksikan oleh penasehat Sri Rajasa yang juga menjadi guru
Tohjaya, Sumekar menahan nafasnya. Meskipun ia berada agak jauh, tetapi
ia mampu juga menilai keduanya.
“Sri Rajasa memang orang yang pilih
tanding,” berkata Sumekar di dalam hatinya, meskipun ia tidak dapat
mengatakan cara yang telah dipergunakan oleh Maharaja Si ngasari itu.
Tandangnya kasar dan keras, namun kemampuannya benar-benar tidak ada
duanya.
Lawannya adalah seorang yang bertempur
dengan kasar dan keras pula. Tetapi lambat laun tampak, bahwa Sri Rajasa
memiliki kelebihan yang tidak teratasi oleh lawannya.
Meskipun demikian, menurut penilaian
Sumekar, orang yang berkelahi melawan Sri Rajasa itu-pun adalah seorang
yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi.
“Apakah akan terjadi sesuatu dengan
Putera Mahkota?” pertanyaan itulah yang pertama-tama membelit dada
Sumekar, sehingga ia mulai menilai kemampuan orang itu dengan kemampuan
yang dimiliki oleh Anusapati.
“Tuanku Putera Mahkota masih terlalu muda
menghadapinya apabila dipaksakan suatu tindakan kekerasan berhadapan
oleh orang itu,” katanya di dalam hali.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu-pun
berakhir. Meskipun Sri Rajasa belum mengalahkan lawannya dengan mutlak,
tetapi pastilah demikian jika mereka berkelahi terus.
Sumekar tidak tahu apa yang mereka
bicarakan kemudian. Yang terlintas dikepalanya adalah cara-cara yang
akan dipergunakan oleh Sri Rajasa untuk menjebak Kesatria Putih seperti
yang pernah dilakukan oleh Kiai Kisi terhadap Putera Mahkota.
Karena itu, maka ia-pun segera menyingkir
dan mencoba mencari Putera Mahkota. Tetapi malam itu Sumekar tidak
sempat menemukannya dan sudah tentu ia tidak akan dapat pergi ke bangsal
Anusapati yang selalu mendapat pengawasan oleh para prajurit.
Meskipun prajurit yang bertugas di
sekitar rumah Putera Mahkota adalah prajurit-prajurit yang baik terhadap
Putera Mahkota, namun kehadirannya pasti akan menjadi buah bibir yang
akan sampai ke telinga mereka yang tidak menyukainya.
Dalam pada itu, setelah Sri Rajasa
selesai dengan perkelahiannya melawan kakak seperguruan penasehatnya
itu, ia-pun kemudian berkata, “Kau cukup baik untuk melawan Mahisa Agni
meskipun kalau kau bertempur sendiri, kau pasti akan dikalahkannya.”
“Apakah Mahisa Agni memiliki kemampuan setingkat dengan tuanku?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi demikianlah
kira-kira. Karena itu kau harus menyiapkan dirimu baik-baik. Jangan
hanya berdua meskipun kawanmu setingkat dengan kemampuanmu.”
“Kami akan datang berlima,” jawab orang itu.
“Siapakah mereka?”
“Hamba sendiri dan dua orang saudara
seperguruan hamba yang memiliki kemampuan tidak terpaut banyak dari
hamba. Kemudian dua orang murid hamba yang tertua, yang memiliki
kemampuan sepenuhnya dari ilmu hamba, meskipun masih belum masak benar.
Tetapi keduanya sudah dapat dilepaskan berbuat sendiri di dalam
saat-saat tertentu.”
“Baiklah. Hati-hatilah. Kau harus
memasuki istana itu tanpa diketahui orang. Kau langsung masuk kedalam
dan mencari biliknya. Jangan memberi kesempatan kepadanya untuk melawan
meskipun kalian berlima. Meskipun barangkali Mahisa Agni tidak dapat
mengimbangi kekuatan kalian berlima bersama-sama, tetapi ia mempunyai
kemampuan memperhitungkan keadaan hampir sempurna. Dan itu sangat
berbahaya, ia tidak saja berkelahi dengan tenaganya, tetapi terutama
dengan otaknya.
“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya
sebaik-baiknya. Tetapi tuanku tidak usah cemas. Mahisa Agni pasti akan
binasa. Ia tidak akan mengira bahwa hamba akan memasuki istananya.”
“Jaga, agar para petugas yang menjaga
istana itu tidak melihat kalian. Mereka pasti akan sangat berbahaya
apabila mereka sempat membunyikan tanda bahaya. Bersama-sama dengan
Mahisa Agni, mereka tidak akan dapat kalian kalahkan, karena para
prajurit pengawal itu berjumlah cukup banyak.”
“Hamba tuanku. Hamba akan berhati-hati.
Dan hamba akan menjaga diri hamba sebaik-baiknya karena hamba masih
ingin menikmati hadiah yang akan hamba terima dari tuanku.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aku akan memberi hadiah sebanyak-banyaknya jika kau berhasil.”
“Jika hamba berhasil, apakah yang akan hamba terima tuanku.”
“Aku akan memberikan beberapa potong emas kepadamu.”
“Apakah hamba dapat menerima hadiah itu
lebih dahulu? Hamba berniat untuk tidak kembali lagi ke istana ini
setelah hamba menyelesaikan tugas hamba untuk menghindarkan kecurigaan
orang. Hamba akan terus kembali kepadepokan hamba.”
Kerut merut yang dalam membayang di wajah
Sri Rajasa. Namun kakak seperguruan penasehatnya itu segera menyambung,
“Ampun tuanku, bukan maksud hamba, bahwa hamba akan mendahului titah
tuanku. Tetapi hamba hanya sekedar ingin menjauhkan diri dari kecurigaan
orang sepeninggal Mahisa Agni itu.”
Wajah Sri Rajasa perlahan-lahan menjadi
tegang. Penasehatnya melihat perubahan itu sehingga dadanya menjadi
berdebar-debar. Ternyata hal itu tidak berkenan dihati Sri Rajasa.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia menengahi, “Tuanku. Sebenarnya
tuanku tidak usah memberikan hadiah apa-pun juga kepada kakak
seperguruanku. Jika tuanku berkenan dihati, biarlah ia mencari hadiahnya
sendiri di istana Kediri itu. Berapa banyak yang dapat dibawa oleh lima
orang itu, disana disediakan barang-barang perak dan emas.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya sejenak.
Ia tahu, bahwa di istana wakil Mahkota itu memang terdapat beberapa
potong perhiasan dari emas yang melekat ditiang pusat ruangan tengah.
Sebuah tongkat kerajaan yang tergantung didinding dan berkepala emas
pula. Sebuah patung kecil diatas bancik kayu yang tinggi terbuat dari
tembaga berlapis emas.
Sejenak Sri Rajasa termenung. Namun
kemudian ia berkata, “Baiklah. Kau dapat mengambil semua perhiasan emas
dan perak di dalam istana itu sebagai hadiahmu, kacuali tongkat kerajaan
peninggalan Ratu Angabaya dari jaman kerajaan Kediri, dan sebuah patung
yang berlapis emas, di atas bancik di bangsal dalam apabila belum
dipindahkan oleh Mahisa Agni dan para pembantu rumah tangga di istana
itu. Tetapi kau akan mengenal patung itu dengan segera, dan kau tidak
boleh mambawanya.”
Kakak seperguruan Penasehat Sri Rajasa
itu termenung sejenak. Ia tidak dapat membayangkan, apakah barang-barang
yang ada itu memadai. Namun adik seperguruannya berkata, “Aku yakin,
bahwa kalian merasa hadiah itu cukup banyak. Dan pembunuhan itu sendiri
tidak akan terlalu lama dipersoalkan, karena masalahnya adalah masalah
parampokan biasa. Perampok yang paling gila yang pernah ada sepanjang
umur Kerajaan Kediri dan Singasari. Hal itu akan merupakan tantangan
bagi Kesatria Putih. Kau mengerti kakang?”
Kakak seperguruan penasehat Sri Rajasa
itu menganggukkan kepalanya. Namun ia masih ragu-ragu. Apa saja yang
dapat dibawanya dari istana yang kini dihuni oleh Mahisa Agni, anak
Panawijen itu. Apakah jika ada benda-benda itu masih ada ditempatnya.
Selagi ia ragu-ragu itu, penasehat Sri
Rajasa berkata, “Kakang, sebagian barang-barang dari istana Kediri telah
dipindahkan ke istana wakil Mahkota itu. Tetapi ingat, jangan kau bawa
serta tongkat kerajaan serta patung emas itu, seperti yang dipesankan
oleh Sri Rajasa, peninggalan dari Ratu Angabaya dari jaman kerajaan
Kediri itu.”
Akhirnya kakak seperguruannya
menganggukkan. Tetapi ia masih berkata, “Hamba terima perjanjian ini
untuk sementara. Tetapi jika yang ada hanya barang-barang perak
semata-mata, maka hamba akan mohon kebijaksanaan tuanku Sri Rajasa.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Jangan takut. Aku bukan seorang yang sangat kikir.
Semuanya yang aku janjikan akan aku penuhi jika kau sudah berhasil.”
“Baiklah tuanku. Hamba mohon diri. Hamba akan menyiapkan segala sesuatu yang perlu bagi hamba itu.”
“Kapan kau berangkat?”
“Besok pagi tuanku. Besok hamba akan berkumpul dengan kawan-kawan hamba, dan hamba akan segera pergi ke Kediri.”
Demikianlah, di pagi-pagi benar Sumekar
sudah berada di halaman bangsal Putera Mahkota. Ketika seorang prajurit
bertanya kepadanya maka jawabnya, “Aku harus memindah kembang kantil
bajang di halaman ini. Untuk itu hanya dapat aku lakukan sebelum
matahari terbit. Jika matahari sudah terbit, maka pohon kantil bajang
yang sulit dicari ini akan mati.”
“Apakah Putera Mahkota sudah memerintahkan.”
“Kemarin Putera Mahkota sudah menyebut-nyebutnya. Tetapi aku sebenarnya ingin ketegasan. Apakah Putera Mahkota sudah bangun.”
“Sst, jangan berteriak-teriak,” potong prajurit itu, “kau berbicara terlalu keras.”
Namun usaha Sumekar memanggil Anusapati
dengan caranya itu berhasil. Ternyata Putera Mahkota sudah duduk di
serambi ketika Sumekar masuk ke halaman bangsalnya. Karena itu, maka
ia-pun segera turun kehalaman sambil bertanya, “Ada apa juru taman?”
“Ha,” bisik prajurit yang bertugas, “kau sudah membangunkannya.”
“Memang itulah yang kuharapkan.”
“He, ada apa juru taman,” Anusapati mengulanginya.
“Ampun tuanku, hamba ingin bertanya tentang kantil bajang ini.”
“Bagaimana dengan kantil bajang itu.”
“Apakah yang tuanku perintahkan kemarin, harus kami lalakukan sekarang, mumpung matahari belum terbit.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi
ia sadar, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Karena itu, maka
ia-pun segera mendekat lagi sambil berkata, “Marilah kita lihat.”
Prajurit yang merasa tidak berkepentingan
dengan pemindahan batang kantil bajang itu-pun tidak mengikutinya lagi.
Ketika juru taman dan Putera Mahkota itu kemudian berjongkok di sebelah
sebatang kantil bajang, maka prajurit itu-pun justru menjauh.
Dalam kesempatan itu, Sumekar-pun segera
menceriterakan apa yang dilihatnya, bahwa Sri Rajasa semalam telah
mencoba kemampuan seseorang di belakang bangsal.
Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya,
“Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Ayahanda Sri Rajasa.
Apakah orang itu calon hamba istana yang akan menjadi pengawal Adinda
Tohjaya atau petugas yang lain?”
“Hamba tidak tahu tuanku. Tetapi
bagaimana-pun juga, tuanku wajib berhati-hati. Bukan maksud hamba
berprasangka terhadap ayahanda tuanku. Tetapi penasehat ayahanda tuanku
dan guru tuanku Tohjaya itu mempunyai banyak akal. Mungkin ia
menghadapkan seorang hamba yang dapat menjadi pelindung atau guru atau
apa-pun bagi tuanku Tohjaya, tetapi di samping itu ia dapat berbahaya
bagi tuanku diluar pengetahuan Ayahanda Sri Rajasa atau …. “ Sumekar
tidak meneruskan kata-katanya.
“Atau?” desak Anusapati.
“Atau setahu ayahanda.”
“Maksudmu?”
“Tidak apa-apa tuanku, tatapi ayahanda
hanya sekedar mengangkat tuanku Tohjaya yang telah tuanku kalahkan di
arena. Hanya itu. Tetapi yang hanya sekedar usaha menebus kekalahan itu
dapat disalah gunakan oleh orang lain.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jika orang itu berada di istana ini, tuanku harus berhati-hati terhadapnya.”
“Terima kasih paman Sumekar. Aku akan memperhatikan.”
“Hamba mohon diri tuanku. Biarlah kantil bajang itu ditempatnya.”
Sumekar-pun kemudian meninggalkan Putera
Mahkota Prajurit yang mengamatinya dari jauh itu-pun bertanya,
“Bagaimana dengan pohon kantil bajang itu?”
“Tidak jadi. Putera Mahkota masih ragu-ragu. Biarlah pohon kantil itu disana.”
Prajurit itu tidak menghiraukan lagi.
Dibiarkannya Sumekar meninggalkan bangsal Putera Mahkota, langsung
menuju ke taman meskipun hari masih pagi. Tetapi langit sudah mulai
cerah dan bayangan sinar matahari mulai membayang di langit.
Sumekar terkejut ketika ia melihat
halaman depan. Ia melihat orang yang semalam berkelahi dengan Sri Rajasa
itu meninggalkan istana, diantar oleh penasehat Sri Rajasa sampai ke
regol.
Sumekar memperhatikan orang itu sampai
hilang dibalik dinding. Namun ia tidak dapat mendapat penjelasan lebih
banyak lagi. Ketika Penasehat Sri Rajasa kembali masuk istana, Sumekar
berjalan menyilangnya sambil menjinjing lodong bambu berisi air.
Dihadapan penasehat Sri Rajasa Sumekar
membungkuk hormat. Namun tiba-tiba saja lodongnya terlepas dari
tangannya, sehingga isinya tumpah dan terpercik kepakaian penasehat itu.
“O, ampun tuan,” berkata Sumekar, “aku tidak sengaja.”
Sorot mata penasehat itu menjadi merah. Katanya, “Untung bukan tamuku yang kau kotori dengan air itu.”
“Aku tidak sengaja. Apalagi mengotori.”
“Sekali lagi kau lakukan, aku putuskan lehermu.”
“Ampun tuan. Aku tidak tahu bahwa tuan
akan lewat atau aku sangka bukan tuanlah yang sedang lewat sepagi ini,
sehingga aku terkejut dan tergopoh-gopoh memberikan hormat, sehingga
lodong bambuku terlepas.”
“Pergi. Jangan ganggu lagi.”
Sumekar-pun kemudian memungut lodong
bambunya. Namun ia masih juga mencoba bertanya, “Ampun tuan, siapakah
tamu tuan sepagi ini.”
“Apa pedulimu he?” tiba-tiba matanya menjadi tajam menembus dada Sumekar.
“Tidak apa-apa tuan,” jawab Sumekar
dengan serta merta sambil berjongkok, “aku hanya kagum melihat wajahnya
yang keras dan berwibawa. Apakah tamu itu masih keluarga tuanku Sri
Rajasa atau keluarga tuanku puteri Ken Umang?”
“Bukan keluarga Sri Rajasa dan bukan pula keluarga tuan Puteri Ken Umang, orang itu adalah saudaraku,” jawab penasehat itu.
“O, maksud tuan, kakak atau adik tuan?”
“Kakakku.”
“Pantas sekali. Memang tuan mirip sekali
dengan tamu yang baru saja pulang. Tetapi kenapa pagi-pagi benar tamu
itu sudah meninggalkan istana? Sejak kapan ia berada di sini?”
“Hanya satu malam.”
“O, kenapa hanya satu malam? Bukankah disini ia berada di rumah saudara mudanya sendiri?”
“Ada keperluan yang mendesak.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak dapat bertanya lebih lanjut. Penasehat Sri Rajasa itu
segera meninggalkannya sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah.
Sumekar-pun kemudian meninggalkan tempat itu. Ia mencoba untuk mencari
alasan, kenapa orang itu datang, menjajagi kemampuannya melawan Sri
Rajasa, kemudian pergi dengan tergesa-gesa.
“Tentu untuk membinasakan Kesatria Putih.” kesimpulan itulah yang untuk sementara dapat diambilnya.
Ketika matahari naik, Sumekar berusaha
untuk menjumpai Putera Mahkota lagi. Sambil membawa beberapa bibit pohon
bunga ia datang kehalaman bangsal Putera Mahkota di istana. Sejenak ia
berjongkok disudut sambil menanam pohon-pohon bunga itu. Tetapi ia tidak
melihat Putera Mahkota didalam bangsalnya. Yang dilihatnya hanyalah
isteri Putera Mahkota beserta puteranya.
Namun sejenak kemudian Sumekar justru melihat Anusapati baru datang memasuki halaman bangsalnya.
“O,” berkata Anusapati, “kau sudah ada disitu?”
“Inilah batang-batang pohon bunga yang tuanku pesan dari hamba.”
“Terima kasih,” Anusapati-pun segera mendekatinya. Namun yang mereka bicarakan kemudian bukanlah tentang pohon-pohon bunga itu.
“Orang yang hamba katakan kemarin telah
meninggalkan istana tuanku. Agaknya ia akan melakukan tugasnya di luar
istana, menghadapi tuanku selaku Kesatria Putih.”
“Tentu tidak paman,” jawab Anusapati,
“baru saja aku dipanggil menghadap oleh ayahanda. Untuk beberapa hari
aku diperlukannya setiap saat, sehingga aku tidak dibenarkannya keluar.
Ada persoalan yang penting yang harus ditangani setiap saat dalam
kedudukanku sebagai Putera Mahkota, justru karena ada tamu yang baru
saja menghadap.”
Sumekar mengerutkan keningnya. Sri Rajasa
menyebut tamu itu langsung kepada Anusapati. Apakah Sri Rajasa juga
mencurigai tamunya, bahwa ia akan mengancam Putera Mahkota?
“Barangkali ayahanda juga mencemaskan nasib tuanku.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin. Mungkin juga
ayahanda mencurigainya bahwa orang itu akan mencelakai Kesatria Putih,
sehingga ayahanda menahan aku agar aku tidak keluar dari istana.” Putera
Mahkota berhenti sejenak. Lalu, “tetapi apakah orang itu mampu
menandingi paman Witantra, Mahendra atau paman Kuda Sempana?”
“Kita dihadapkan pada suatu teka-teki
tuanku. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi. Sebaiknya
tuanku memang tetap tinggal di istana.”
“Tetapi bagaimana dengan paman-yang lain.”
“Apakah mereka tetap menjalankan tugas Kesatria Putih.”
“Tidak. Untuk beberapa hari. Tetapi
mereka tetap menunggu hubungan. Jika aku tidak dapat keluar, paman aku
harap pergi menemui salah seorang dari mereka.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari Anusapati ia mendapat petunjuk dimana mereka dapat menjumpai salah
seorang dari ketiganya.
“Baiklah tuanku. Hamba akan mencoba menghubungi salah seorang yang kebetulan sedang bertugas menunggu tuanku.”
“Hati-hatilah. Kita memang dihadapkan
pada teka-teki yang membingungkan. Kita hanya dapat menduga-duga. Tetapi
kita akan berusaha memecahkan teka-teki ini bersama paman-paman yang
berada di luar istana dan tentu saja paman Mahisa Agni di Kediri.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba ia berkata, “Tuanku, setelah tuanku tidak lagi
menyembunyikan kenyataan pada diri tuanku, maka yang mendapat sorotan
para pemimpin Singasari tentu bukan saja tuanku. Orang yang tidak senang
melihat kemenangan tuanku atas tuanku Tohjaya di dalam arena permainan
sodoran itu, akan membuat penilaian yang cermat. Permainan sodoran itu
sendiri barangkali tidak begitu berarti, baik bagi tuanku mau-pun bagi
tuanku Tohjaya. Tetapi akibat daripadanyalah yang seakan-akan
menentukan. Ternyata bahwa tuanku Putera Mahkota bukan orang yang lemah,
yang selalu berada di bangsalnya menunggui isterinya. Dan itulah yang
tidak menyenangkan bagi lawan-lawan tuanku.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Hampir
saja ia bertanya pendapat Sumekar tentang Ayahanda Sri Rajasa. Namun
pertanyaan yang sudah ada ditenggorokannya itu ditelannya kembali.
Rasa-rasanya tidak pantas baginya untuk mencurigai ayah sendiri meskipun
demikianlah yang sebenarnya bergejolak didalam nuraninya.
“Tuanku,” berkata Sumekar kemudian, “aku
yakin bahwa pamanda tuanku, Mahisa Agni, pasti sudah memperhitungkan
pula, bahwa yang seakan-akan berada diujung runcingnya duri itu bukannya
tuanku saja, tetapi juga pamanda tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Ya. Adinda Tohjaya dan gurunya pasti meyakini bahwa aku
mendapatkan ilmuku dari Pamanda Mahisa Agni.”
“Nah, karena itu, maka yang harus selalu
berhati-hati saat-saat terakhir adalah tuanku dan pamanda tuanku itu.
Meskipun aku yakin bahwa pamanda tuanku selalu berhati-hati, tetapi
pamanda tuanku tidak mengetahui apa yang telah terjadi di istana ini.
Karena itu, tuanku Putera Mahkota, hamba harus memberitahukan, bahwa
arah pembalasan dendam selain pada tuanku juga ditujukan pada Pamanda
Mahisa Agni.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Putera Mahkota,
“katakan kepada siapa-pun yang datang, bahwa pamanda harus meningkatkan
kesiagaannya. Aku tidak dapat pergi untuk beberapa hari. Tetapi mungkin
juga Tohjaya ingin tahu, jika terjadi keributan dan perampokan sementara
aku berada di istana, apakah ada seorang Kesatria Putih yang lain yang
bertindak.”
“Hamba akan membicarakan semuanya tuanku, sehingga pamanda tuanku Mahisa Agni akan mendapat gambaran yang jelas.”
Demikianlah ketika hari telah berlalu,
dan malam turun perlahan-lahan, Sumekar sudah siap pergi keluar istana
dengan diam-diam. Kali ini ia tidak keluar lewat regol sambil
berlenggang menikmati waktu istirahatnya, tetapi ia meloncat lewat
dinding yang dibayangi oleh kegelapan supaya tidak menumbuhkan
bermacam-macam pertanyaan pada para penjaga jika ia kembali nanti jauh
malam.
Seperti yang ditunjukkan oleh Anusapati,
maka Sumekar-pun segera menuju kepingir kota. Seperti yang sudah
diduganya, bahwa seseorang telah menunggu. Bahkan kali itu bukan hanya
seorang, tetapi dua orang.
“Kalian berdua?” bertanya Sumekar kepada keduanya.
“Ya,” yang menjawab Witantra, “Mahendra
ingin ikut saja malam ini. Kami mencemaskan nasib Putera Mahkota jika
benar-benar ada sebuah jebakan, sehingga kami pergi berdua untuk
membayanginya jika ia benar-benar akan pergi malam ini.”
“Tidak, barangkali sudah dikatakan, bahwa Putera Mahkota mempertimbangkan suatu teka-teki.”
“Yang dikatakannya tentang guru Tohjaya.”
“Ia datang membawa seorang tamu. Dan tamu itulah yang membuat teka-teki ini menjadi semakin kalut.”
“Mahisa Agni sudah sependapat, bahwa Anusapati dapat terus menjalankan tugasnya dibawah perlindungan kami.”
“Aku sependapat,” berkata Sumekar, “tetapi soalnya sekarang telah berkembang.”
Witantra dan Mahendra mengerutkan keningnya.
Dalam pada itu Sumekar-pun segera
menceriterakan apa yang diketahuinya di istana. Bahkan, ia berpendapat
bahwa Sri Rajasa agaknya telah memutuskan untuk menyingkirkan Anusapati.
Tetapi dugaan ini sama sekali tidak dikatakannya kepada Anusapati
sendiri.
“Kau bijaksana,” berkata Witantra, “jika
Anusapati mengerti bahwa ayahanda sendiri berusaha untuk menyingkirkan
dalam arti yang sebenarnya, ia akan kehilangan pegangan.”
“Dan sekarang, Putera Mahkota menunggu,
apakah yang harus dilakukan dalam perkembangan keadaan terakhir. Putera
Mahkota justru tidak diperkenankan keluar istana untuk sementara.”
Witantra adalah seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup di sepanjang hidupnya yang penuh dengan persoalan.
Baik yang menyangkut dirinya sendiri, maupun persoalan di luar dirinya.
Karena itu, maka setelah merenung sejenak, ia berkata, “Kita memang
harus berhati-hati. Kau harus mengawasi Putera Mahkota. Mungkin jebakan
itu justru berada di istana. Sedang kami akan pergi ke Kediri. Kami
harus bertemu dengan Mahisa Agni secepatnya. Kita akan menempuh
perjalanan disepanjang malam, agar kita dapat mencapai Kediri pada
waktunya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Bahaya itu mungkin berada di istana Singasari, tetapi juga
mungkin di istana wakil Mahkota di Kediri.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sebelum ia menjawab, maka ketiganya mengangkat wajahnya hampir
bersamaan. Ternyata Mereka telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor
kuda yang berlari laju dijalan yang melaju meninggalkan kota.
Karena itu, maka mereka bertiga-pun
segera menyelinap bersama kuda-kuda mereka masuk kedalam semak-semak.
Dengan hati yang berdebar-debar mereka menunggu, siapakah yang berpacu
dimalam hari.
Sejenak kemudian mereka melihat beberapa orang berkuda dengan cepatnya lewat dijalan yang menjelujur meninggalkan kota itu.
Namun demikian mereka kuda-kuda itu lewat, Sumekar berdesis, “Apakah aku tidak salah lihat?”
Witantra dan Mahendra hampir berbareng bertanya, “Siapa?”
“Orang yang aku katakan itu,” jawab
Sumekar, “orang yang berada di istana bersama penasehat Sri Rajasa dan
yang bahkan telah mencoba kemampuannya dengan Sri Rajasa sendiri?”
“Apakah kau tidak keliru?”
“Aku memang agak ragu-ragu. Selain malam
yang gelap, kuda itu berjalan cepat. Namun rasa-rasanya orang itulah
yang aku lihat itu.”
Witantra mengerutkan keningnya, sejenak
ia merenung, lalu katanya, “Baiklah aku mencoba mengikutinya kemana
mereka pergi, meskipun hanya sekedar arahnya. Kami akan langsung pergi
ke Kediri untuk menyampaikan semua persoalan kepada Mahisa Agni.”
“Baiklah. Meskipun hubungan kami agak
jauh, tetapi aku berharap bahwa kami akan mendapat kabar dari kalian dua
tiga hari mendatang.”
“Ya, kami akan kembali memberikan
keputusan-keputusan yang akan kami ambil bersama Mahisa Agni.
Hati-hatilah di istana Singasari, kau berdua dengan Anusapati kami harap
dapat menjaga diri kalian sebaik-baiknya.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kami minta diri sebelum mereka menjadi terlalu jauh.”
“Silahkanlah,” jawab Sumekar.
Witantra dan Mahendra-pun kemudian
menggerakkan kekang kudanya. Sejenak kemudian kuda itu-pun telah berpacu
pula menyusul beberapa ekor kuda yang telah mendahuluinya.
Demikianlah maka kuda-kuda itu-pun segera
berderap diatas jalan berbatu-batu. Witantra dan Mahendra tidak berani
mengikuti mereka terlalu dekat. Dengan demikian orang-orang berkuda itu
akan dapat mencurigai mereka. Karena itu, keduanya mengikuti dari jarak
yang agak jauh. Jika mereka menjadi ragu-ragu dikelokan jalan, maka
mereka-pun segera membuat api dengan dimik-dimik belerang untuk
mengetahui jejak kuda-kuda yang mendahuluinya itu.
Namun semakin lama kecurigaan dihati
Witantra menjadi semakin tajam. Ternyata kuda-kuda itu berpacu kearah
kota Kediri. Karena itu, maka Witantra dan Mahendra-pun berpacu semakin
cepat. Jarak ke Kediri masih sangat jauh. Tetapi arah yang ditempuh
telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kuda yang mereka ikuti itu
benar-benar menuju ke Kediri, “Apa yang akan mereka lakukan?” bertanya
Mahendra.
Witantra mengerutkan keningnya. Meskipun
ia tidak tahu pasti namun seperti suatu firasat yang tiba-tiba saja
melonjak dikepalanya adalah, “Selain Anusapati, maka Mahisa Agnilah
orang yang harus dilenyapkan dari Singasari.”
Ketika ia mengatakannya kepada Mahendra, maka Mahendra-pun menyahut, “Sumekar juga mengatakannya. Bukankah begitu?”
(bersambung ke jilid 72).
No comments:
Write comments