Toh jaya masih saja tersenyum. Ia-pun kemudian bertanya, “Di mana kerbau itu sekarang?”
“Di sebelah pasar. Semua orang berlari-larian. Beberapa buah tiang telah diseruduknya sehingga roboh.”
“ Aku ingin melihat kerbau yang mengamuk itu.”
Orang-orang itu menjadi heran. Tetapi
mereka tidak dapat mencegah. Dengan tenangnya Tohjaya berjalan ke tempat
yang menjadi sangat sepi. Tetapi beberapa orang yang menjadi cemas,
mencoba mengikutinya dari kejauhan. Mereka angin melihat apa yang akan
terjadi.
Namun terasa dada setiap orang yang
menyaksikannya berdesir ketika mereka melihat seekor kerbau yang
berlari-larian dijalan raya. Tanpa menghiraukan apa-pun juga,
ditanduknya pagar-pagar batu di pinggir jalan, tiang-tiang gubug
pelindung orang-orang yang berjualan di dalam pasar, sehingga beberapa
di antaranya menjadi roboh karenanya. Kemudian kerbau itu seolah-olah
berloncatan kian kemari dengan garangnya.
Tetapi Tohjaya justru tersenyum
karenanya. Perlahan-lahan Ia melangkah semakin maju, sehingga beberapa
orang terpekik, “Tuanku. Kerbau itu berlari ke arah tuanku.”
Tohjaya tidak beranjak dari tempatnya.
Dilihatnya kerbau yang menjadi gila itu telah melihatnya dan dengan
garangnya berlari menyerang.
“Berikan tombak itu,” berkata Tohjaya kepada seorang pengiringnya.
Justru pengiringnya itulah yang menjadi
cemas melihat kerbau yang gila itu. Dengan ragu-ragu diberikannya tombak
itu kepada Tohjaya sambil berdesis, “Hati-hatilah tuanku. Apakah hamba
perlu menjaga keseimbangan perlawanan tuanku atas kerbau yang gila itu.”
“Bodoh kau. Kau sangka aku anak-anak yang takut melihat kerbau terlepas dari ikatannya.”
Pengiringnya itu terdiam. Betapapun juga,
ia tidak berani mengganggu Tohjaya yang kemudian siap dengan tombaknya
menyambut kadatangan kerbau yang menyerangnya.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa
berikutnya, telah menahan nafas. Kerbau itu benar-benar telah menyerang
Tohjaya. Dengan kepala menunduk, dan dengan tanduk yang tajam runcing,
kerbau itu menyeruduk dengan derasnya.
Tohjaya masih tetap berdiri di tempatnya. Namun kini tombaknya-pun telah merunduk pula.
Ketika kerbau itu seakan-akan telah
menyeruduknya dengan tanduknya yang tajam, beberapa orang telah memekik
tertahan. Namun mereka-pun segera sadar, bahwa ternyata Tohjaya telah
bergeser selangkah ke samping, sehingga ia sama sekali tidak tersentuh
oleh tanduk kerbau itu.
Pada saat kerbau itu meluncur
dihadapannya, maka tombaknya telah menghunjam ke dalam tubuh kerbau yang
gila itu. Tetapi demikian lajunya derap lari kerbau itu, dan demikian
kuat tangan Tohjaya, maka tangkai tombak itulah, yang telah patah di
tengah.
“Bukan main,” setiap mulut-pun kemudian berdesis.
Apalagi ternyata Tohjaya tidak menunggu
lagi. Ia-pun segera meloncat mengejar kerbau yang terdorong beberapa
langkah sebelum berhasil menghentikan larinya, karena serangannya tidak
mengenai sasarannya.
Tetapi begitu kerbau itu berhenti,
Tohjaya telah mengayunkan tangannya dengan dilambari oleh kekuatan aji
pamungkasnya. Demikian dahsyatnya, sehingga hantaman tangannya itu telah
menggemparkan orang-orang yang menyaksikannya.
Mereka melihat kerbau itu terloncat
sekali. Kemudian menggeliat sambil mendengus keras sekali. Sejenak
orang-orang itu melihat kerbau itu-pun roboh di tanah.
Beberapa saat kerbau itu masih
bergerak-gerak. Tetapi sejenak kemudian kerbau itu-pun mati. Mati karena
ujung tombak yang menghunjam di lambungnya disusul dengan hentakan
tangan yang dahsyat di tengkuknya, sehingga tulang lehernya telah patah.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu
telah dicengkam oleh pesona yang menggetarkan hati mereka. Baru ketika
mereka seakan-akan terbangun dari mimpi, terdengar sorak yang
menggemuruh.
Orang-orang yang bersembunyi ketakutan,
terkejut mendengar sorak yang seakan-akan meruntuhkan langit.
Perlahan-lahan mereka beringsut.
Karena suara sorak itu masih
berkepanjangan, maka mereka-pun memberanikan diri merayap keluar. Dengan
dada yang berdebar-debar mereka-pun mendekat. Dan akhirnya, mereka
melihat dengan dada yang berdegup semakin cepat, bangkai seekor kerbau
vang berlumuran darah. Di sampingnya putera Sri Rajasa dari isteri
mudanya Ken Umang berdiri sambil tersenyum menyambut sorak yang gegap
gempita itu.
“Seorang putera yang perkasa,” desis
seseorang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kekaguman yang tiada
taranya telah menyentuh hatinya.
“Tidak ada duanya di Singasari,” desis yang lain.
Seorang yang berambut putih
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata trenyuh, “Sungguh-sungguh
bagaikan dewa yang turun ke bumi, melindungi hambanya yang sedang
dikejar oleh ketakutan. Tidak ada orang yang menyamai Tuanku Tohjaya di
seluruh Singasari.”
“Alangkah dahsyatnya,” gumam yang lain.
Sejenak ia merenung. Lalu katanya,” Apakah tuanku Putera Mahkota mampu
juga berbuat demikian?”
Beberapa orang saling berpandangan. Namun
salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil bergumam,
“Tentu tidak. Putera Mahkota tidak dapat berbuat demikian.”
“Ya, tentu tidak,” gumam yang lain sambil menundukkan kepalanya. Sepercik kekecewaan membayang di wajahnya.
“ Padahal, Putera Mahkota lah yang kelak akan menjadi Raja Singasari. Kita memerlukan perlindungannya.”
“Tetapi meskipun Putera Mahkota, tuanku
Anusapati yang menjadi Raja di Singasari, tentu tuanku Tohjaya akan
menjadi seorang Senapati. Seorang prajurit yang tidak saja akan
melindungi rakyat Singasari, tetapi juga kedudukan Putera Mahkota.
Kedudukan kakandanya.”
Tiba-tiba tanpa sesadarnya seseorang
berdesis, “Alangkah baiknya kalau seorang yang perkasa sajalah yang
menjadi seorang Raja seperti Sri Rajasa sendiri. Bukankah Sri Rajasa
seorang yang Maha perkasa? Kalau yang kemudian menggantikannya seorang
yang lemah, maka kedudukan Singasari pasti akan goyah. Meskipun Adinda
Sri Baginda adalah seorang sakti seperti tuanku Tohjaya, tetapi tentu
akibatnya akan lain sekali, kalau Sri Baginda sendirilah yang memiliki
keunggulan kemampuan dan pilih tanding seperti tuanku Sri Rajasa.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seakan-akan mereka telah mengambil suatu keputusan, bahwa
Tohjaya pasti akan lebih baik dari Anusapati. Bahkan seorang yang kurus
berkata kepada kawan yang berdiri di sampingnya, “Sayang sekali bahwa
Putera Mahkota segera terikat perkawinan, sehingga sebagian besar
waktunya telah diserahkan bagi keluarganya. Seorang putera laki-laki
telah membuatnya semakin jauh dari kewajibannya.”
“Ya sayang sekali. Tuanku Putera Mahkota
masih terlalu muda ketika ia telah terjerat oleh hangatnya pinjung
isterinya yang juga masih terlalu muda.”
“Kasian Ibunda Permaisuri. Dua puteranya kawin terlampau muda.”
Orang-orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan penuh kekaguman mereka kini memandang Tohjaya yang
sambil tersenyum meninggalkan bangkai kerbau yang masih tergolek
ditengah jalan.
“Buanglah bangkai kerbau itu,” katanya
kepada orang-orang yang kemudian mengerumuninya, “buang saja, atau
kuburkan biar tidak menimbulkan gangguan apa-pun juga.”
Sepeninggal Tohjaya, maka orang-orang
yang mengerumuni bangkai kerbau itu mulai sadar, bahwa mereka harus
menyeret bangkai itu jauh-jauh dan menggali lubang yang dalam.
Keluhan orang-orang itulah yang kemudian
terdengar oleh Sumekar. Penilaian orang terhadap Tohjaya dan Anusapati
yang membuat hatinya berdebar-debar.
“Kecemasan yang mencengkam hati tuanku
Anusapati memang beralasan,” katanya di dalam hati, “apakah dalam
keadaan ini kakang Mahisa Agni masih juga membiarkannya dalam
kebingungan.”
Dan ternyata kemudian Tohjaya tidak hanya
melakukannya hal serupa itu sekali dua kali. Didalam setiap kesempatan
ia pasti tampil sebagai seorang pahlawan.
Apabila Anusapati sekali dua kali masih
harus mengikuti pendadaran sebagai seorang prajurit, yang dengan berat
hati dilakukannya dalam batas kemampuan seorang prajurit, maka Tohjaya
sudah berani memimpin pasukan-pasukan kecil untuk melakukan penumpasan
gerombolan-gerombolan yang melakukan kejahatan, sehingga dengan demikian
semakin lama Tohjaya menjadi semakin semarak dihati rakyat Singasari.
Hal inilah yang membuat Anusapati semakin
bersedih. Sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan diri dan berbuat
di luar garis yang selama ini ditempuhnya.
Tetapi untunglah bahwa ia masih tetap bertahan dengan sekuat tenaganya agar semua rencananya itu tidak rusak karenanya.
Tetapi dalam suatu kesempatan ketika
Mahisa Agni berkunjung ke Singasari, hal itulah yang pertama-tama
dikemukakannya kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni dapat mengerti kesulitan yang
dialami oleh Anusapati. Dan ia-pun memang menganggap bahwa Anusapati
sudah berada pada puncak kesulitannya.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “aku tidak akan mengekang kau lagi agar kau tetap menjadi
seorang putera Raja yang bodoh dan malas. Pada saatnya kau harus tampil
sebagai seorang Putera Mahkota yang sebenarnya. Tetapi tidak mudah untuk
merebut kekaguman rakyat Singasari atas Tohjaya. Karena itu, kau harus
membuat rencana sebaik-baiknya.”
“Apakah aku masih harus menunggu lagi paman?”
“Tidak. Kau tidak boleh menunggu lagi.
Tetapi kau-pun tidak boleh berbuat tergesa-gesa, Pamanmu Sumekar sudah
aku beri pesan apa yang harus dilakukannya. Tetapi kau tidak dapat
melakukannya sendiri. Kau memerlukan bantuan beberapa orang yang tidak
akan menimbulkan kecurigaan.”
“Aku menurut segala petunjuk paman.”
“Aku sudah berbicara dengan pamanmu
Witantra dan Sumekar,” berkata Mahisa Agni kemudian, “semuanya sudah
beres. Pada suatu saat kau akan merebut kebesaran nama Tohjaya itu
sekaligus.”
Meskipun Anusapati tidak mengerti cara
yang mana yang harus dilakukannya, tetapi ia percaya, bahwa pamannya
berkata sebenarnya, dan apa yang dikatakan oleh pamannya itu akan
menguntungkannya.
Demikianlah Anusapati menunggu dengan cemas. Apa yang sudah terjadi dan apa yang sudah dilakukan oleh Sumekar mau-pun Witantra.
Dalam pada itu, selagi Anusapati menunggu
dengan hati yang gelisah, pecahlah berita diseluruh Singasari, bahwa
telah muncul seorang kesatria diatas kuda putih. Kesatria yang diliputi
oleh rahasia yang kabur.
Dari hari ke hari, ceritera tentang
kesatria berkuda putih itu menjadi semakin berkembang. Kesatria yang
baik hati dan selalu menolong sesama. Hampir setiap kejahatan yang
terjadi, telah ditumpasnya habis-habisan.
Dengan demikian maka kekaguman rakyat
Singasari segera terpecah. Sebagian mengagumi kebesaran Tohjaya sebagai
seorang putera Sri Rajasa, meskipun bukan putera Mahkota, sedang yang
lain mulai membicarakan kesatria berkuda putih itu.
Tetapi tidak seorang-pun yang mengetahui,
siapakah sebenarnya kesatria berkuda putih itu, karena wajahnya selalu
dibayangi oleh kain yang berwarna putih pula, seperti juntai yang
terselip diikat pinggangnya.
“Siapakah setan yang telah mengganggu itu,” bentak Tohjaya pada suatu saat kepada pembantu-pembantunya.
“Tidak seorang-pun yang mengetahui
tuanku. Tetapi hampir semua yang tuanku lakukan, dilakukanya pula. Ia
telah pernah membunuh seekor kerbau yang mengamuk seperti yang dahulu
pernah tuanku lakukan. Ia pernah menangkap lima orang perampok sekaligus
dan mengikat mereka di batang-batang pohon sepanjang jalan, sampai para
prajurit datang menangkap mereka. Dan masih banyak lagi yang
dilakukannya, seolah-olah dengan sengaja menyaingi perbuatan-perbuatan
tuanku yang selama ini membuat rakyat Singasari kagum.”
“Aku ingin bertemu dengan orang berkuda
putih itu. Apakah ia berniat baik atau jelek. Kalau ia berniat jelek,
maka aku tidak akan segan-segan menyingkirkannya.”
Tidak seorang-pun yang dapat memberikan
penjelasan tentang kesatria berkuda putih dan bertutup wajah putih. Ia
hanya datang di saat-saat yang diperlukan, kemudian menghilang lagi
tanpa meninggalkan bekas.
Tohjaya yang perlahan-lahan berhasil
mengambil hati Rakyat Singasari semakin jarang dipercakapkan orang. Kini
perhatian mereka bergeser pada kesatria berkerudung putih dan berkuda
putih itu.
Namun dengan demikian sifat-sifat Tohjaya
yang sebenarnya telah muncul kembali. Sifatnya yang ramah tamah
dibuat-buat, semakin lama menjadi semakin kabur. Bahkan kadang-kadang ia
sudah mulai membentak-bentak tanpa sebab, dan berbuat kasar kepada
orang-orang yang selama ini mengaguminya.
“Usahakan untuk menangkap orang berkuda
putih itu,” berkata Tohjaya, “orang itu pasti dengan sengaja mengganggu
kepesatan kemajuan yang aku capai selama ini.”
Dan akhirnya, kesatria berkuda putih itu
didengar pula oleh Sri Rajasa. Laporan tentang kesatria berkuda putih
itu membuatnya sangat marah. Perlahan-lahan ia berhasil mengetrapkan
rencananya tanpa menimbulkan kecurigaan. Tetapi ternyata kini ada
seseorang, sengaja atau tidak sengaja, telah menghambat rencananya itu.
Karena itu, seperti Tohjaya ia-pun memerintahkan untuk mencari dan
menangkap orang berkerudung putih dan berkuda putih itu.
Tetapi usaha itu selalu sia-sia. Mereka
hampir tidak pernah menemukan jejak orang berkuda putih itu. Hampir
tidak masuk di akal mereka, bahwa seseorang mampu bergerak demikian
cepatnya. Datang dan segera pergi menghilang seperti asap ditiup angin.
“Gila,” Tohjaya membentak-bentak, “prajurit di seluruh Singasari tidak dapat menangkap hanya seorang berkuda putih?”
“Ampun tuanku. Bukannya kami tidak dapat menangkap, tetapi kami masih belum dapat menemukannya.”
“Cari orang itu sampai dapat.”
Dalam pada itu, Anusapati masih tetap
dicengkam oleh kegelisahan. Selagi ia memerlukan pemecahan masalah yang
membuatnya selama ini selalu risau, terbetik berita yang seakan-akan
tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaannya. Ia sama sekali
tidak berkepentingan dengan kesatria berkuda putih itu. Dan kesatria
berkuda putih itu sama sekali tidak akan dapat memberikan jalan
kepadanya, untuk merebut kekaguman hati rakyat Singasari terhadap
Tohjaya.
“Paman,” berkata Anusapati pada suatu saat, “apakah keuntunganku dengan timbulnya ceritera tentang kesatria berkuda putih itu?”
“Ampun tuanku. Ternyata kesatria berkuda
putih itu secara tidak langsung memang menguntungkan tuanku. Perhatian
rakyat Singasari untuk sementara tidak tertuju kepada tuanku Tohjaya
saja, tetapi kini seakan-akan telah terbagi. Bahkan tuanku Tohjaya
seakan-akan tidak mendapat kesempatan seluas sebelumnya untuk berbuat
sesuatu di Singasari. Rakyat Singasari mula-mula mempercakapkan kesatria
berkerudung putih itu.” jawab Sumekar.
“Tetapi itu bukan jawaban sebenarnya dari
persoalanku,” berkata Anusapati, “mungkin kekaguman rakyat Singasari
bergeser, atau setidak-tidaknya terbagi. Tetapi mereka masih tetap
menganggap aku sebagai seorang Putera Mahkota yang bodoh dan malas.”
“Bersabarlah tuanku. Pada suatu saat akan
datang kesempatan itu. Anggaplah bahwa kehadiran kesatria berkuda putih
itu sebagai langkah pertama untuk suatu rencana yang sangat besar.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Paman, apakah kesatria berkuda putih itu paman Sumekar?”
Sumekar menggelengkan kepalanya,
jawabnya, “Aku selalu berada di taman istana Singasari tuanku. Bagaimana
aku dapat berbuat serupa itu.”
“Apakah paman tidak tahu siapakah orang itu?
“Aku masih belum tahu tuanku. Mungkin
pamanda tuanku Mahisa Agni telah mulai dengan langkah-langkah tandingan
dari langkah-langkah yang telah dibuat oleh Sri Rajasa untuk menempatkan
tuanku Tohjaya pada tempat yang lebih tinggi, dari yang seharusnya.”
“Maksud paman, Adinda Tohjaya akan mendesak kedudukanku.”
Sumekar tidak menyahut. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah mengiakan pertanyaan Anusapati itu.
Dan karena Sumekar tidak menyahut, maka
Anusapati bertanya selanjutnya, “Aku-pun mempunyai firasat demikian.
Apakah paman Sumekar juga? Maksudku, paman sendiri?”
Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab. Namun Sumekar menyahut, “Kita masih harus melihat perkembangan keadaan, tuanku.”
“Apakah keadaan yang kita hayati sekarang masih belum meyakinkan?”
Sumekar tidak dapat menjawab lagi. Karena itu, ia-pun terdiam sejenak.
Demikianlah maka keduanya saling berdiam
diri untuk beberapa lamanya. Terbayang di rongga mata masing-masing,
seorang kesatria naik seekor kuda putih menjelajahi tanah Singasari.
Tetapi memang tidak seorang-pun yang mengetahui, siapakah kesatria berkuda putih itu.
Namun ternyata bahwa hampir setiap lidah
telah menyebutnya. Rakyat Singasari menamakannya Kesatria Putih.
Kesatria yang banyak menolong rakyat Singasari dari bermacam-macam
kesulitan. Bahkan kemudian nama Tohjaya seakan-akan telah terdesak oleh
kebesaran nama Kesatria Putih, karena Tohjaya hanya bertindak di sekitar
istana dan di dalam pusat pemerintahan, sedang Kesatria Putih
seakan-akan berada di seluruh Singasari.
Ternyata bahwa Tohjaya menaruh curiga
juga kepada Mahisa Agni. Terbukti ia telah mengirimkan dua orang petugas
sandi khusus untuk menyelediki apakah Mahisa Agni tidak meninggalkan
istananya di Kediri.
Ternyata bahwa kedua petugas sandi itu
menemukan Mahisa Agni tetap ditempatnya, sehingga mereka mengambil
kesimpulan bahwa Kesatria Putih itu pasti bukan Mahisa Agni.
“Gila,” Tohjaya mengumpat-umpat. Bahkan
Sri Rajasa yang telah menyusun rencananya dengan cermat menjadi cemas
juga. Kesatria Putih benar-benar telah mengganggu usahanya,
membangkitkan kepercayaan rakyat Singasari kepada Tohjaya.
“Kita harus segera menangkapnya dengan
diam-diam,” berkata Sri Rajasa. “Jika kita dengan terang-terangan
menangkapnya, maka keadaan akan berbalik. Rakyat akan marah kepada para
prajurit, karena mereka menganggap Kesatria Putih itu kini sebagai
pengejawantahan para dewa.”
Tidak ada yang dapat menyangkal. Tohjaya
tidak. Penasehatnya-pun tidak. Kesatria Putih itu benar-benar merupakan
seorang yang telah banyak memberikan perlindungan kepada Rakyat
Singasari dimana-mana.
“Kita harus memancingnya,” berkata Sri Rajasa.
“Bagaimana kita dapat melakukannya?”
“Kita membuat sekelompok prajurit pilihan
yang dapat kita percaya untuk melakukan kejahatan. Maka Kesatria Putih
pasti akan mencoba menghancurkan perangkap yang telah kita pasang
untuknya.”
Demikianlah rencana itu telah
dijalankankan. Dengan mengupah beberapa orang prajurit pilihan, Tohjaya
dengan mempergunakan tangan penasehat Sri Rajasa berhasil menyusun
sekelompok penjahat untuk memancing Kesatria Putih.
Dan usaha itu tampaknya memang berhasil.
Setiap kali mereka melakukan kejahatan yang benar-benar mereka jalankan,
bukan sekedar suatu pancingan, karena para prajurit itu benar-beaar
mengambil keuntungan dari tindakan mereka, merampas barang-barang dan
harta benda, maka bayangan Kesatria Putih selalu tampak, meskipun masih
belum bertindak.
“Ternyata orang itu sangat berhati-hati,”
berkata pemimpin kelompok itu. “Tetapi kita berbuat terus. Kita adalah
perampok-perampok yang dilindungi oleh istana. Kita mendapat dua
keuntungan sekaligus. Kita mendapat upah, dan yang akan dilipat gandakan
apabila kita dapat membunuh Kesatria Putih, dan kita mendapat harta
rampasan yang banyak sekali.”
Kawan-kawannya-pun tertawa berkepanjangan. Tugas itu adalah tugas yang menyenangkan meskipun berat.
Demikianlah, ketika saatnya telah tiba,
barulah orang yang mereka tunggu-tunggu itu benar-benar telah berdiri
dihadapan mereka. Kesatria Putih.
“Siapa kau ?” bertanya pemimpin kelompok perampok yang mendapat perlindungan dari istana itu.
“Akulah yang disebut orang Kesatria Putih.”
“Apa maksudmu menghentikan kami ?”
“Kau pasti sudah mendengar tentang
Kesatria Putih yang tidak senang mendengar kejahatan terjadi di
Singasari. Apalagi kejahatan yang dilakukan oleh para prajuritnya
sendiri.”
Jawaban Kesatria Putih itu benar-benar
telah menggemparkan dada para prajurit yang berkedok perampok itu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Lalu pemimpinnya Serianya, “Siapakah
yang kau maksudkan ?”
“Kalian ?”
“Darimana kau mendapatkan dasar tuduhan itu.”
“Aku mengenal tandang para prajurit. Aku
mengenal perbedaan tingkah laku perampok dan prajurit. Meskipun kalian
benar-benar telah merampok dan justru melampaui kekejaman para perampok
yang sebenarnya, tetapi aku mengenal sikap kalian. Kalian adalah
prajurit Singasari.”
“Persetan.” teriak pemimpinnya. Lalu,
“kami memang menjebakmu. Dan sekarang kau akan mati di ujung senjata
kami. Kami akan mendapat upah ganda dan keuntungan yang tiada taranya.
Kami adalah perampok-perampok yang mendapat perlindungan. Kau boleh tahu
hal itu sebelum kau mati.”
“Kalian akan salah hitung. Apakah benar kalian dapat membunuh aku?”
Para prajurit itu menjadi tegang sejenak. Tetapi mereka telah mendapat perintah untuk membunuh Kesatria Putih itu.
Para prajurit itu-pun kemudian
mempersiapkan diri mereka. Mereka sadar, bahwa lawannya tentu bukan
orang kebanyakan. Meskipun hanya seorang, tetapi tentu beralasan, kenapa
Kesatria Putih berani menampakkan diri setelah ia mengerti bahwa yang
dihadapinya adalah sekelompok prajurit.
Tetapi para prajurit itu-pun kemudian
yakin, betapa kuat dan tangkasnya Kesatria Putih, tetapi seorang diri
menghadapi sekelompok prajurit adalah pekerjaan yang sangat berat,
sehingga meskipun Kesatria Putih berilmu sempurna, namun adalah mustahil
untuk dapat mengalahkan mereka.
“Nah bersiaplah untuk mati,” terdengar
suara Kesatria putih. Suaranya yang seakan bergulung-gulung di dalam
perutnya itu memancarkan pengaruh yang disaput oleh rahasia. Tanpa
disadari maka tengkuk para prajurit itu-pun meremang.
Tetapi pemimpin prajurit yang benar-benar
telah menjadi perampok itu-pun kemudian menggeram, “Jangan banyak
tingkah. Meskipun ilmumu menyentuh langit, tetapi jika kau tidak
bernyawa rangkap, kau akan mati di tangan kami. Kami tidak akan ingkar,
bahwa kami adalah prajurit-prajurit pilihan pengawal istana.”
“Aku sudah tahu. Kalian adalah
prajurit-prajurit pilihan dari pasukan Pengawal Istana. Ayo, bersiaplah.
Jika kalian tidak memanfaatkan kesempatan kalian untuk merampok, aku
tidak akan sampai hati bertindak sungguh-sungguh terhadap kalian. Tetapi
kalian ternyata benar-benar telah merampok penduduk Singasari sendiri,
maka aku akan membunuh kalian seperti aku membunuh perampok-perampok
yang sebenarnya.”
“Persetan,” pemimnin prajurit itu menggeram. Dan sejenak kemudian terdengarlah aba-abanya untuk menyerang Kesatria Putih.
Demikianlah mereka terlibat dalam suatu
perkelahian yang sengit. Kesatria Putih bertempur di atas kudanya.
Seperti burung garuda, maka kudanya menyambar-nyambar kian kemari,
sedang senjata Kesatria Putih bagaikan kuku seekor burung raksasa yang
bernafaskan maut.
Para prajurit itu benar-benar telah
terperanjat melihat tandangnya. Kudanya-pun seakan-akan mengerti, bahwa
ia sedang mendukung Kesatria Putih yang bertempur melawan beberapa orang
sekaligus.
Tetapi, kali ini lawan Kesatria Putih
adalah prajurit-prajurit Singasari dari pasukan Pengawal Istana yang
terpilih. Yang dengan sengaja dipergunakan untuk menjebak Kesatria
Putih, sehingga karena itu, kali ini Kesatria Putih benar-benar terlibat
dalam pertempuran yang sangat berat.
Namun demikian, lawan-lawannya menjadi
bingung justru karena kuda Kesatria Putih yang berlari
melingkar-lingkar. Setiap kali kuda itu berderap menyambar lawannya,
maka salah seorang dari para prajurit itu mengaduh dan jatuh terbaring
di tanah, sehingga jumlah mereka-pun menjadi semakin lama semakin kecil.
“Gila,” teriak pemimpin prajurit itu, “dari mana ia mendapat ilmu iblis itu.”
Kesatria Putih sama sekali tidak
menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang. Tidak ada seorang-pun yang
kemudian dapat lolos dari senjatanya. Para prajurit yang telah
menjadikan diri mereka benar-benar sekelompok perampok yang garang itu,
seorang demi seorang telah mati di ujung senjata Kesatria Putih itu.
Yang terakhir memberikan perlawanan
adalah pemimpin prajurit Singasari itu. Dengan sekuat tenaganya ia
mencoba menyelamatkan dirinya. Bahkan pemimpin prajurit itu sudah
berusaha untuk melarikan dirinya. Tetapi usahanya ternyata sia-sia.
Senjata Kesatria Putih justru telah menembus punggungnya.
Dengan keluh tertahan, pemimpin prajurit itu-pun kemudian jatuh di tanah. Sejenak ia masih menggeliat menahan sakit.
Dalam pada itu, Kesatria Putih itu-pun
meloncat turun dari kudanya. Didekatinya pemimpin prajurit yang telah
terbunuh itu. Perlahan-lahan Kesatria Putih mengangkat kepala prajurit
itu sambil berkata, “Sebenarnya aku tidak sampai hati membunuhmu. Tetapi
kau telah berbuat terlampau kasar terhadap rakyat Singasari. Bukan
sekedar memancing kedatanganku, tetapi kau benar-benar telah merampok
mereka habis-habisan.”
Pemimpin prajurit yang sudah berada di ambang maut itu menggertakkan giginya.
“Kau adalah prajurit tua yang seharusnya
sebentar lagi harus beristirahat karena ketuaanmu. Kau seharusnya
menikmati masa-masa tuamu dengan tenang. Tetapi tugas yang gila itu
telah membuatmu gila pula.”
“Persetan.”
“Jangan mengumpat. Tetapi maafkan aku,
bahwa aku telah membunuhmu. Sebenarnya kau adalah seorang prajurit yang
baik. Bukankah kau menjadi prajurit sejak jaman pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung?”
“He, dari mana kau tahu?”
Tiba-tiba Kesatria Putih itu
perlahan-lahan meraba kerudung putihnya. Ketika kerudung itu tersingkap,
maka meskipun malam disaput oleh gegelapan, namun prajurit itu masih
sempat memandang wajah Kesatria Putih yang sebenarnya.
Tetapi agaknya perajurit yang berada
dipintu maut itu masih ragu-ragu sehingga akhirnya Kesatria Putih
berkata, “Aku akan menyalakan api.”
Maka Kesatrian Putih-pun segera mengambil
sepasang batu. Ketika kedua batu itu beradu, memerciklah api yang
menyalakan sejumput gelugut aren. Kemudian dengan sebutir belirang,
menyalalah api yang berwarna biru membakar sisa-sisa gelugut aren yang
telah ditaburi dengan belerang itu.
Berbareng dengan bau belirang yang
menyentak hidung, prajurit yang hampir meninggal itu memekik dengan sisa
suaranya yang parau, “Kau, kau?” Tetapi suaranya terputus
dikerongkongan. Karena lukanya yang parah, maka prajurit itu-pun menarik
nafasnya yang terakhir.
Dengan demikian, tidak seorang-pun yang
dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang yang berkeliling Singasari
diatas kuda putihnya serta berkerudung putih, sehingga orang menyebutnya
Kesatria Putih.
Ternyata Kesatria Putih tidak
meninggalkan mayat-mayat para prajurit itu begitu saja. Dikumpulkannya
mayat-mayat itu, kemudian dikumpulkannya pula senjata mereka. Ternyata
senjata mereka adalah pedang perajurit pengawal.
Istana Singasari-pun menjadi gempar
karenanya, ketika kuda putih itu berlari cepat sekali melintas didepan
regol samping. Seikat pedang telah dilemparkan oleh penunggangnya.
Pedang prajurit pengawal.
Namun, meskipun hanya sepintas, para
pengawal yang kemudian berlari-larian keluar dari gerbang segera dapat
mengenalnya, bahwa orang berkuda itulah yang disebut orang Kesatria
Putih.
“Tetapi apa maksudnya dengan pedang-pedang ini?” bertanya seorang prajurit pengawal.
“Bukankah pedang ini pedang prajurit
pengawal?” Para pengawal itu berpandangan sejenak. Tentu ada sesuatu
yang tidak wajar telah terjadi.
“Apakah Kesatria Putih itu juga memusuhi prajurit pengawal?”
“Kita laporkan kepada Senapati yang bertugas malam ini.”
Demikianlah laporan tentang pedang
itu-pun segera memanjat sampai ke telinga Panglima dan Sri Rajasa
sendiri. Tetapi bersamaan dengan itu, tersiarlah berita, bahwa
sekelompok perampok telah dibunuh oleh Kesatria Putih. Tetapi senjata
mereka telah hilang lenyap. Yang ada hanyalah selembar kain putih
sebagai ciri orang berkuda itu apabila ia melakukan tindak kekerasan
terhadap para penjahat.
Suatu pukulan yang dahsyat terasa
seolah-olah menghancurkan jantung Sri Rajasa, Tohjaya dan penasehatnya.
Tidak seorang-pun yang dapat mencegah menjalarnya berita, bahwa tentu
perampok-perampok itulah yang memiliki senjata yang telah dilemparkan
oleh Kesatria Putih di muka regol samping istana. Apalagi ketika para
prajurit itu menyadari, beberapa kawan mereka telah hilang.
“Marilah kita lihat,” berkata seorang Senapati, “apakah benar yang terbunuh itu prajurit-prajurit pengawal.”
Sri Rajasa tidak dapat mencegahnya.
Tetapi ia memerintahkan Tohjaya untuk pergi bersama Senapati itu diikuti
oleh penasehat Sri Rajasa.
“Jika masih ada yang mungkin berbicara diantara mereka, maka kalian harus membungkamnya,” geram Sri Rajasa.
Baik penasehat Sri Rajasa, mau-pun
Tohjaya tahu benar akan tugas itu, sehingga sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya mereka berkata, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya ayahanda.”
Demikianlah Sri Rajasa sendiri, Panglima
pasukan pengawal dan beberapa Senapati telah melepas beberapa orang
prajurit yang ingin membuktikan apakah benar mayat-mayat itu adalah
mayat-mayat kawan mereka.
Meskipun ketika mereka sampai di tempat
peristiwa itu, mayat para perampok itu sudah dikuburkan, namun Senapati
itu memerintahkan untuk membongkar salah satu dari mereka.
Dan ternyata bahwa orang itu segera dapat
mereka kenal. Orang yang terbunuh dan dikubur sebagai perampok-perampok
itu tanpa upacara apa-pun juga, adalah prajurit Pengawal. Tidak
seorang-pun yang bakal menyiapkan pembakaran mayat-mayat itu. Tidak
seorang-pun yang mengacuhkannya dan tidak seorang-pun yang menyebut nama
mereka. Mereka mati dengan hina dan dibuang tanpa arti.
“Mereka mencemarkan nama prajurit Singasari,” berkata Senapati itu.
“Ya,” geram Tohjaya, “ada berapa orang semuanya yang terbunuh?”
Dari orang-orang yang menguburkan
perampok-perampok itu Tohjaya mendapat keterangan, bahwa jumlahnya
sesuai dengan jumlah prajurit yang telah mendapat tugas rahasia dari
Ayahanda Sri Rajasa, sehingga dengan demikian Tohjaya menarik kesimpulan
bahwa prajurit-prajurit itu telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian maka Tohjaya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun demikian keheranan yang dahsyat
telah mengguncang dadanya. Ternyata Kesatria Putih dapat mengalahkan
sekelompok prajurit pengawal pilihan itu, dan membinasakan mereka.
“Apakah benar Kesatria Putih itu hanya
seorang diri?” pertanyaan itu telah menyentuh hati Tohjaya, dan bahkan
kemudian juga Sri Rajasa.
Tetapi untuk sementara mereka dapat
menarik nafas lega, karena rahasia mereka telah ikut terkubur bersama
terkuburnya para prajurit yang benar-benar menjadi perampok itu.
Namun demikian mereka masih juga selalu
bertanya-tanya, “Apakah Kesatria Putih mengetahui permainan Sri Rajasa,
dan karena itu ia telah dengan sengaja melemparkan pedang, pedang
prajurit itu ke depan regol samping istana.
Ternyata yang tertarik dengan peristiwa
itu bukan saja para prajurit. Tetapi juga Anusapati dan Sumekar.
Peristiwa terbunuhnya beberapa orang perajurit yang telah menjadi
perampok itu benar-benar telah menggemparkan seisi istana. Bahkan
menjalar sampai keluar dinding. Bagaimana juga hal itu dicoba
dirahasiakan, namun akhirnya tersebar juga.
“Yang terjadi di Singasari benar-benar
telah membingungkan aku,” berkata Anusapati kepada Sumekar, “aku tidak
tahu, bagaimana aku harus menanggapi masalah ini.”
Sumekar-pun menjadi bingung. Ia tidak
mempunyai cara yang dapat diberikan kepada Anusapati, meskipun ia
akhirnya yakin, bahwa sebenarnyalah Mahisa Agni telah mulai dengan
permainannya untuk mengimbangi permainan Sri Rajasa. Seolah-olah di
Singasari telah berdiri dua orang raksasa dengan kepentingannya mereka
masing-masing, dan sedang melakukan permainan mereka untuk
mempertahankan kepentingan mereka tersebut.
Tetapi disaat-saat keadaan yang semakin
memuncak itu, Sumekar menganggap perlu untuk bertemu dengan Mahisa Agni,
karena ia merasa sebagai seorang yang harus mengawasi keadaan Anusapati
sehari-hari.
Karena itu, maka ia-pun segera mencari kesempatan untuk dapat berkunjung kepada Mahisa Agni di Kediri.
Namun dalam pada itu Sumekar yang juga
memiliki kemampuan berpikir itu-pun dapat pula membayangkan, bahwa pasti
ada kecurigaan juga terhadap Mahisa Agni di dalam kemelutnya keadaan
yang semakin gawat. Memang rakyat Singasari tidak banyak melihat
pergulatan dua kekuatan dipuncak pemerintahan itu. Tetapi sebenarnyalah
bahwa telah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Sehingga karena itu,
ia-pun harus mempunyai cara yang khusus untuk dapat bertemu dengan
Mahisa Agni di Kediri, agar apabila ada pengawasan dari petugas sandi
yang dikirim oleh Tohjaya dan Sri Rajasa, ia dapat lepas dari
jaring-jaring itu.
Kepergian Sumekar itu telah di desak pula
oleh tugas terakhir yang tidak disangka-sangka bagi Putera Mahkota.
Ketika suasana Singasari semakin diliputi oleh Kekaguman terhadap
Kesatria berkuda putih itu, maka Anusapati lelah dipanggil oleh Ayahanda
Sri Rajasa untuk menghadap.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “apakah kau tidak mendengar ceritera tentang orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih?”
“Ampun ayahanda. Hamba memang ada mendengar berita itu.” jawab Anusapati.
“Dan kau selama ini hanya diam saja?”
Pertanyaan itu ternyata telah membingungkan Anusapati.
“Kau terlalu asyik menunggui isteri dan
anakmu. Kau sama sekali tidak berbuat apa-apa bagi Singasari, padahal
kau adalah Putera Mahkota, yang aku harapkan kelak untuk memimpin
pemerintahan.”
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Ia
memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi hal itu justru karena ia tidak
berani melanggar segala macam titah dan perintah Ayahanda Sri Rajasa.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “sebagai
seorang Putera Mahkota kau harus pandai menilai keadaan. Juga tentang
Kesatria Putih itu.”
“Ampun ayahanda, sebenarnyalah hamba
mengikuti berita tentang Kesatria Putih itu dengan ragu-ragu. Hamba
tidak berani mengambil suatu sikap atau kesimpulan apapun, karena hamba
tidak berani melanggar titah ayahanda.”
“Itu adalah kesalahanmu yang terbesar.
Kau adalah Putera Mahkota. Kau harus dapat mengambil sikap menanggapi
suatu masalah. Kalau kau selalu menunggu, maka kau akan ketinggalan. Apa
yang pernah kau perbuat selama ini bagi Singasari. Sebelum Kesatria
Putih muncul, agaknya Tohjaya lebih cekatan dari padamu, ia sudah
berbuat sesuatu bagi Singasari. Namun akhirnya terganggu karena
munculnya Kesatria Putih. Tetapi apakah yang pernah kau lakukan selama
ini?”
Anusapati tidak menjawab. Sambil
menundukkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri, “Memang tidak
pernah. Aku tidak pernah berbuat sesuatu.”
Namun demikian di luar sadarnya Anusapati
telah menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa selama ini ia harus bersikap
pura-pura. Kalau ia tidak bersikap pura-pura, maka ia tidak akan mungkin
dianggap sebagai seseorang yang tidak pernah berbuat sesuatu.
“Aku akan berbuat sesuatu,” berkata
Anusapati, namun, “tetapi bagaimana dengan paman Mahisa Agni? Jika
seseorang melihat kemampuanku yang sebenarnya, maka ia pasti akan
bertanya, dari mana aku menerima tuntunan untuk mencapai tingkat itu.
Maka mau tidak mau aku harus menyebut nama paman Mahisa Agni.”
Selagi Anusapati merenungi dirinya
sendiri, ia terperanjat kerena Sri Rajasa bertanya pula kepadanya,
“Apakah yang kau renungi Anusapati ?”
“Ampun ayahanda. Hamba merenungi diri
hamba sendiri. Sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa, karena
hamba tidak berani melanggar titah ayananda. Bahwa hamba harus selalu
berada di istana apabila setiap saat ayahanda memanggil hamba.”
“Kau menangkap dan mengartikan semua
perintahku seperti kanak-anak atau seperti seseorang yang telah sama
sekali pikun. Semua perintah dan tugas harus kau lakukan dengan baik,
tetapi hidup, bukan perintah dan tugas yang mati.”
“Ampun ayahanda. Hamba akan mencoba menjalankan titah sejauh dapat hamba lakukan. Hamba akan mencoba untuk berbuat sesuatu.”
“Terlambat,” desis Sri Rajasa.
Meskipun suara Sri Rajasa itu hampir
tidak didengarnya, namun kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan
Anusapati, sehingga tanpa sesadarnya ia telah mengangkat wajahnya.
Tetapi wajah itu-pun segera tertunduk kembali.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa,
“betapa-pun kecilnya, Tohjaya pernah berbuat dan merebut hati rakyat.
Sakarang, rakyat Singasari seakan-akan telah tertiup oleh nama Kesatria
Putih yang muncul di segala tempat. Bahkan hampir mustahil terjadi,
bahwa hari ini Kesatria Putih berada di ujung Selatan kota, tetapi
sehari kemudian ia sudah berada jauh dipadesan di sebelah utara untuk
menumpas sekelompok perampok. Bahkan pernah terjadi beberapa orang
prajurit Singasari yang telah mencemarkan nama baik kelompoknya justru
pasukan pengawal.”
Anusapati menjadi semakin tunduk.
“Karena itu Anusapati,” berkata Sri
Rajasa kemudian, “berbuatlah sekarang untuk merintis jalan bagimu.
Kesempatan bagimu yang sudah lewat itu, harus kau buka kembali. Kalau
kau berhasil, maka kau akan mendapat tempat dihati rakyat Singasari.
Tetapi kalau kau gagal, maka kau akan tetap dalam keadaanmu sekarang.
Seorang laki-laki cengeng yang hanya dapat menunggui isteri di dalam
biliknya.”
Dada Anusapati serasa akan pecah
mendengar kata-kata Sri Rajasa itu. Hampir saja ia menjelaskan keadaan
dirinya sendiri yang sebenarnya karena perasaannya yang pedih. Tetapi
untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk menundukkan kepalanya
terus.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “apakah kau bersedia membuka kesempatan baru bagimu sendiri ?”
“Ampun ayahanda. Jika ada jalan itu, hamba akan mencobanya.” jawab Anusapati.
“Sekarang hampir tidak ada seorang-pun
yang dapat menunjukkan jasanya kepada rakyat kecil di Singasari selain
Kesatria Putih. Meskipun apa yang dikerjakan oleh Kesatria Putih itu
menguntungkan bagi rakyat, tetapi sebenarnya tidak bagi kita. Bagi
kelangsungan hidup kita di singgasana. Kau mengerti?”
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.
“Sekarang setiap orang lebih senang
mengucapkan nama Kesatria Putih dari menyebut namamu, nama Tohjaya dan
nama Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Kau mengerti ?”
“Hamba mengerti ayahanda,” jawab Anusapati. Tetapi suaranya menjadi gemetar.
“Nah, jika kau mengerti, carilah kesempatan baru itu. Apakah kau juga mengerti ?”
Keringat dingin telah mengalir diseluruh
tubuh Anusapati. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa kesimpulan itulah
yang telah ditarik oleh Ayahanda Sri Rajasa. Sehingga karena itu maka
untuk sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “apakah kau mengerti?”
“Hamba ayahanda,” suara Anusapati gemetar.
“Bagus. Kau mendapat tugas untuk
menyingkirkan Kesatria Putih itu. Bukankah kau Putera Mahkota? Tentu kau
tidak rela apabila sepeninggalku kelak, orang lebih senang mematuhi
pimpinan Kesatria Putih daripadamu. Dan baru setelah Kesatria Putih itu
lenyap, kau mendapat kesempatan baru untuk berbuat jasa bagi Rakyat
Singasari. Dan rakyat Singasari akan selalu menyebut namamu sebagai
Putera Mahkota, yang kelak akan menggantikan kedudukanku, Maharaja di
Singasari.”
Tiba-tiba saja dada Anusapati menjadi
berdentangan. Ia tahu arti perintah itu dengan pasti. Dan itu berarti
bahwa ia harus mencari Kesatria Putih.
“Anusapati,” berkata Sri Rajasa, “tentu
kau tidak akan dapat berbuat dengan terbuka. Kesatria Putih sangat
disenangi oleh rakyat Singasari, sehingga kau harus berbuat dengan
sangat hati-hati dan tersembunyi. Kematian Kesatria Putih harus diliputi
oleh rahasia, sehingga rakyat tidak mendendammu dan mendendam
kerajaan.”
Anusapati tidak segera menjawab. Tetapi getar didadanya serasa menjadi semakin dahsyat.
“Nah, terserah kepadamu. Apakah kau
memilih keadaan seperti sekarang ini, atau kau sanggup membuka
kesempatan baru,” berkata Sri Rajasa, “tetapi perintahku tetap.
Singkirkan Kesatria Putih. Kalau kau sanggup, kau akan membuka jalan
bagimu, kalau tidak, kau tetap seorang laki-laki cengeng.”
“Ampun ayahanda,” berkata Anusapati kemudian, “bagaimana-pun juga hamba akan mencobanya.”
“Aku tahu bahwa tugas ini bukan tugas
yang ringan. Tetapi kau dapat memilih beberapa orang untuk membantumu.
Misalnya pamanmu Mahisa Agni. Satu atau dua orang panglima yang kau
pilih. Kau dapat memanggil mereka menghadap aku, dan aku akan memberikan
perintah rahasia kepada mereka.”
“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya.
Jika hamba diperkenankan mencari kawan didalam hal ini, hamba akan
memilih paman Mahisa Agni.”
“Baiklah. Biarlah pamanmu Mahisa Agni aku panggil.”
“Hamba tuanku.”
“Dan kaulah yang harus pergi ke Kediri untuk memanggilnya.”
Anusapati mengangkat wajahnya, tetapi wajah itu-pun segera tertunduk.
“Bawa beberapa orang pengawal bersamamu.”
“Hamba ayahanda. Hamba akan pergi ke Kediri memenuhi perintah ayahanda.”
Demikianlah, maka kesempatan itu
dipergunakan sebaiknya oleh Anusapati. Dengan tidak diketahui oleh
siapa-pun juga, maka Sumekar telah diberitahukan semuanya itu. Dan
Sumekar-pun harus mencari kesempatan untuk pergi ke Kediri di saat-saat
Anusapati pergi juga ke Kediri.
“Tetapi jagalah, agar para pengawalku
tidak mengetahui bahwa paman ada juga di Kediri saat aku tiba di sana.
Kau harus mendahului aku dan mengatakan hal ini kepada paman Mahisa
Agni. Paman Mahisa Agni pasti akan dapat mengaturnya.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba akan mendahului tuanku.”
Demikianlah maka Sumekar-pun segera
mencari kesempatan untuk mendapatkan waktu beristirahat untuk beberapa
hari dengan alasan yang dibuat-buatnya seperti yang pernah dilakukan.
Sumekar minta diri untuk menengok kampung halaman dan keluarganya yang
sudah lama tidak dilihatnya.
Ternyata bahwa Sumekar berhasil mendapat
kesempatan itu. Dengan demikian maka ia-pun segera pergi ke Kediri.
Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan kecurigaan siapa-pun juga,
Sumekar berhasil dilihat oleh Mahisa Agni duduk di pinggir jalan raya di
Kediri, hanya beberapa langkah dari regol istananya.
“Hem,” desis Mahisa Agni, “orang itu pasti mempunyai kepentingan.”
Adalah, tanpa diduga-duga sama sekali,
bahwa tiba-tiba saja kuda Mahisa Agni melonjak dan tidak dapat
dikuasainya. Dengan liarnya kuda itu berputar-putar sambil
melonjak-lonjak. Untunglah bahwa dengan tangkasnya Mahisa Agni berhasil
meloncat dan terhindar dari malapetaka. Dan ternyata ia meloncat
selangkah di dekat Sumekar.
Sumekar yang duduk di pinggir jalan
dengan tergesa-gesa meloncat berdiri. Kemudian dengan kaki gemetar ia
melekat dinding batu di depan istana Mahisa Agni.
Beberapa orang pengiring Mahisa Agni-pun
segera berusaha menangkap kendali kuda yang tiba-tiba menjadi liar.
Sementara itu Mahisa Agni sempat berbisik, “Masuklah nanti tengah malam
meloncati dinding belakang. Aku sedang dalam pengawasan.”
Mahisa Agni tidak sempat mengatakan
keterangan tentang dirinya lebih panjang lagi. Ketika beberapa orang
pengiring mengerumuninya, ia tertawa sambil menepuk pundak Sumekar yang
menggigil ketakutan, “Kau tidak apa-apa ?”
“O, tidak tuan, tidak. Hamba tidak
apa-apa.” Sementara itu para pengiring Mahisa Agni telah berhasil
menangkap kendali kuda Mahisa Agni dan menenangkannya.
“Bawa kuda itu kekandangnya,” berkata Mahisa Agni, “ada sesuatu yang kurang berkenan dihatinya.”
Para pengiring Mahisa Agni itu-pun segera
menuntun kuda itu masuk halaman dan langsung dibawa kekandang,
sementara Mahisa Agni berjalan memasuki halaman istananya. Dengan
demikian maka para pengiringnya-pun tidak lagi naik ke atas punggung
kuda masing-masing, tetapi mereka-pun menuntun kuda mereka memasuki
regol.
Di malam hari, ketika bintang gubug
penceng tepat berada di tengah, sesosok tubuh dengan hati-hati telah
meloncati dinding bagian belakang halaman istana Mahisa Agni.
Perlahan-lahan ia berlindung dibagian yang dibayangi oleh tetanaman
perdu.
Sejenak Sumekar menunggu ketika kemudian
sesosok tubuh yang lain-pun telah menyelinap di dalam bayangan tumbuhan
mendekati tempat Sumekar berlindung.
“Kakang Agni,” panggil Sumekar berbisik.
Mahisa Agni yang sedang menjemput Sumekar
itu berhenti sejenak. Meskipun ia belum melihat orangnya, tetapi ia
sudah mendengar desah nafasnya, sehingga sejenak kemudian ia-pun segera
dapat menemukannya.
“Marilah, masuklah ke ruang dalam.”
Sumekar tidak menyahut. Ia hanya mengikuti saja Mahisa Agni yang berjalan mengendap-endap di istananya sendiri.
“Aku merasa bahwa Sri Rajasa sedang mengawasi tingkah lakuku,” berkata Mahisa Agni.
“Darimana kau tahu?” bertanya Sumekar.
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Baru
setelah mereka berada didalam ia menjelaskan, “Firasatku mengatakan
demikian. Apalagi ketika aku melihat dua orang prajurit dari pasukan
pengawal berada di Kediri. Tentu bukan hanya mereka berdua. Pasti ada
prajurit sandi pula yang selalu berkeliaran disini.”
“Kenapa Sri Rajasa mengawasi kakang Mahisa Agni?”
“Aku kira tentang orang yang disebut
Kesatria Putih, Sri Rajasa agaknya curiga juga, apakah orang yang
menyebut dirinya Kesatria putih itu bukan aku.”
“Apakah Sri Rajasa menebak tepat?”
“Tentu tidak. Aku tidak akan mendapat
kesempatan keluar dari istana terlalu sering. Bagaimana-pun justru aku
berusaha, tetapi jika demikian pada suatu saat pasti akan diketahuinya
pula.”
“Jadi siapakah Kesatria Pulih itu?”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Akulah yang mengendalikannya, meskipun bukan aku sendiri.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Aku sudah yakinkan sebelumnya. Permainan kalian sudah mulai.
Sri Rajasa dengan permainannya dan kau dengan permainanmu. Agaknya usaha
Sri Rajasa untuk menyemarakkan nama Tohjaya dapat kau potong dengan
Kesatria Putihmu.”
Mahisa Agni masih tersenyum. Jawabnya, “Ya, demikianlah yang aku kehendaki.”
“Tetapi kau tidak mengetahui akibat selanjutnya. Ternyata permainan Sri Rajasa menjadi semakin keras?”
“Maksudmu?”
“Aku menduga bahwa prajurit-prajurit
pengawal yang baru-baru ini dimusnahkan oleh Kesatria Putih adalah
prajurit-prajurit yang sengaja dipasang oleh Sri Rajasa.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk.
“Ternyata setelah prajurit-prajurit itu hancur, keluarlah perintahnya yang tidak terduga-duga.”
“Apakah perintahnya dan kepada siapa?”
“Anusapati,” jawab Sumekar. Lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan oleh Anusapati atas Kesatria Putih itu.
“Jadi Anusapati mendapat perintah untuk membinasakan Kesatria Putih?”
“Ya, dan ia boleh memilih diantara para Panglima dan Senapati untuk membantunya. Dan orang itu adalah kakang Mahisa Agni.”
“Ah,” Mahisa Agni berdesah.
Kemudian dikatakannya pula oleh Sumekar,
bahwa Anusapati akan segera datang ke Kediri secara resmi memanggilnya
menghadap Sri Rajasa, untuk menerima perintah rahasia itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan
kepalanya. Setelah merenung sejenak, maka katanya kemudian, “Baiklah.
Biarlah Anusapati bertemu sendiri dengan Kesatria Putih itu.”
“Apakah ia ada disini?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Ia ada disini. Apakah kau akan menemuinya?”
Sumekar termangu-mangu sejenak.
“Sore tadi aku memanggil mereka masuk.”
“Mereka?”
“Ya mereka.”
Sumekar menjadi semakin termangu-mangu.
Apalagi ketika kemudian dari balik pintu keluarlah tiga orang dalam
pakaian kesatria yang disebut Kesatria Putih lengkap dengan kerudung
putihnya.
Ketiga orang itu berjalan hampir
berbareng mendekatinya. Sumekar sama sekali tidak dapat mengenal mereka
seorang demi seorang. Yang dapat dibedakan hanya perbedaan tinggi dari
ketiganya yang tidak begitu menyolok. Yang seorang lebih tinggi dari
yang lain, tetapi agak lebih kurus. Salah seorang dari ketiga bertubuh
sedang dan segar berdiri di paling tengah.
“Apakah kau dapat mengenal mereka?” bertanya Mahisa Agni.
Sumekar menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, “Tentu tidak. Tetapi sekarang aku tahu, inilah agaknya rahasia
Kesatria Putih yang seakan-akan naik kuda semberani yang dapat terbang
dari ujung ke ujung Singasari yang lain. Sehari ia berada di Utara,
sehari kemudian sudah diujung Selatan. Ternyata Kesatria Putih itu tidak
hanya seorang. Sungguh, permainan yang mengasyikkan.”
Mahisa Agni tersenyum.
“Kau akan segera mengenalnya,” berkata
Mahisa Agni, “merekalah yang telah merampas kesempatan Tohjaya untuk
mendapat dukungan lebih besar lagi karena permainan yang baik dari Sri
Rajasa. Setiap kali mereka memancing kerusuhan-kerusuhan, dan Tohjaya
lah yang berhasil menyelesaikan. Tetapi sejak munculnya Kesatria Putih,
maka kesempatan itu hampir tidak ada lagi. Semua orang kini
mempercakapkan Kesatria Putih.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan memperkenalkan diri,” berkata Mahisa Agni kepada ketiga Kesatria Putih itu.
Hampir berbareng ketiga melepaskan
kerudungnya. Dan Sumekar yang melihat mereka seorang demi seorang
menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesah, “Yang
seorang memang sudah aku duga. Tetapi yang dua sama sekali tidak.”
Yang seorang dari mereka adalah Witantra.
Sambil tersenyum ia berkata, “Aku telah ikut di dalam permainan yang
menyenangkan ini.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini ia tahu pula, bahwa bekas tangan Kesatria Putih memang agak
berbeda-beda. Kadang-kadang Kesatria Putih tidak membunuh korbannya.
Tetapi kadang-kadang ditumpasnya habis-habisan.
Dan kini ia dapat menduga, siapa yang
telah melakukannya. Bagaimana-pun juga sisa-sisa sifat yang pernah
dimiliki oleh Kesatria Putih yang seorang masih juga membekas. Meskipun
kini ia sama sekali sudah berubah, namun dalam saat-saat yang genting,
tanpa disadarinya masih juga muncul kekerasan dan bahkan kekasarannya.
Ia adalah kakak seperguruan Sumekar sendiri. Kuda Sempana.
Tetapi yang seorang dari ketiganya, Sumekar masih harus mengingat-ingat.
“Adi seperguruanku,” berkata Witantra, “namanya Mahendra.”
“O,” Sumekar mengangguk-angguk.
“Nah,” berkata Mahisa Agni, “jika ada
kesempatan, kau dan aku dapat ikut bermain juga. Tetapi kesempatan itu
terlampau sulit kita dapatkan.”
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi masih ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Meskipun pertanyaan
itu belum terucapkan, namun Mahisa Agni yang seolah-olah telah mengerti
apa yang tersimpan didalam hatinya berkata, “Mereka bertiga adalah
orang-orang yang tidak terikat pada waktu dan keadaan. Mereka hidup
dipadepokan terpencil, dan waktu bagi mereka tergantung kepada mereka
sendiri. Sedang Mahendra pernah menjadi seorang pedagang yang berhasil.
Agaknya ia tidak perlu lagi menambah timbunan kekayaannya. Kini ia
memilih bermain-main dengan jiwanya, karena panggilan yang dalam dari
dasar hati. Selain diwaktu mudanya, Mahendra memang seorang petualang,
di dalam tugasnya sebagai seorang saudagar keliling, ia masih juga
bertualang menghadapi penyamun-penyamun dan perampok-perampok. Adalah
tepat sekali apabila ia mengenakan kerudung putih dan bertempur melawan
setiap kejahatan.”
“Ah,” desis Mahendra. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan selain sebuah senyum dibibirnya.
Mahisa Agni-pun tiba-tiba menarik nafas
dalam-dalam. Terkilas didalam angan-angannya, peristiwa yang pernah
melihat mereka berempat. Witantra, Mahendra, Kuda Sempana dan Mahisa
Agni sendiri. Mereka pernah bertempur yang satu dengan yang lain, bahkan
sampai pada kebulatan tekad untuk saling membunuh. Namun kini keadaan
telah mempertemukan mereka di dalam suatu usaha yang dapat mereka
pertemukan. Menyelamatkan Anusapati, anak Ken Dedes.
“Tak dapat dipungkiri. Tentu masih ada
bekas-bekas sentuhan dihati mereka. Baik Kuda Sempana mau-pun Mahendra
pernah mengharap dapat memperisteri seorang gadis dari padepokan
Panawijen yang bernama Ken Dedes,” berkata Mahisa Agni di dalam hati.
Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan melonjak dihatinya pula, “Dan
bagaimana dengan aku sendiri.”
Mahisa Agni terperanjat ketika Sumekar
kemudian bertanya, “Siapakah diantara Kesatria Putih bertiga ini yang
paling akhir membunuh beberapa orang prajurit dan melemparkan senjata
mereka dipintu gerbang.”
Ketiganya tidak menjawab, ketiga
tersenyum. Tetapi karena Witantra dan Mahendra berpaling kepada Kuda
Sempana, maka tahulah Sumekar, bahwa Kesatria Putih itu adalah Kuda
Sempana. Itulah sebabnya ia mengenal bahwa orang-orang yang dihadapinya
itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari, karena ia pernah
menjadi Pelayan Dalam, di dalam istana Tumapel. Sehingga ia memerlukan
melemparkan pedang para prajurit itu di muka regol.
“Tetapi kalian akan segera menghadapi lawan yang tidak akan dengan mudah kalian kalahkan,” berkata Sumekar kemudian.
“Siapa?” bertanya Witantra.
“Telah turun perintah Sri Rajasa, bahwa Putera Mahkota lah yang akan menangkap Kesatria Putih itu.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya
mendengar keterangan Sumekar itu. Dengan memperhatikan ketika orang yang
berpakaian sebagai Kesatria Putih itu, Mahisa Agni ingin mengetahui,
bagaimanakah tanggapan mereka atas berita itu.
Mahisa Agni melihat wajah-wajah itu
menengang. Tetapi justru karena itu ia berkata, “Selain Putera Mahkota
masih ada lagi orang yang harus kalian perhitungkan.”
“Siapa?” bertanya Kuda Sempana.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “bertanyalah kepada adi Sumekar.”
Ketiga orang yang berpakaian Kesatria
Putih itu serentak berpaling kepada Sumekar. Dan sebelum mereka bertanya
Sumekar telah menjelaskan, “Ia adalah yang atas nama Sri Rajasa
mengawasi pemerintahan di Kediri.”
“Mahisa Agni,” desis Witantra.
Sumekar mengangguk.
Sejenak mereka termenung. Namun hampir berbareng mereka tertawa.
“Mereka tentu akan berhasil menangkap
Kesatria Putih itu,” berkata Mahendra, “soalnya tinggal menunggu waktu
yang paling baik. Dan siapakah diantara kita bertiga yang akan mewakili
menjadi tawanan di istana Kediri.”
“Bukan menangkap,” sahut Sumekar, “tetapi membinasakan mereka.”
Mahisa Agni-pun tertawa pula. Katanya,
“Jika kalian bertiga tidak lagi muncul, maka Kesatria Putih itu akan
lenyap dengan sendirinya. Aku dan Putera Mahkota akan menyampaikan
laporan kepada istana, bahwa kami telah berhasil membinasakan mereka,
eh, maksudku Kesatria Putih itu.”
Ketiganya mengangguk-angguk. Dan Kuda
Sempana bertanya, “Apakah tidak ada pertanda yang harus diserahkan
sebagai bukti kematian Kesatria Putih.”
“Tidak ada. Kematian Kesatria Putih
jangan diketahui oleh rakyat yang semakin lama semakin menaruh perhatian
kepadanya. Bukti yang diharapkan oleh Sri Rajasa adalah, Kesatria Putih
itu tidak akan muncul kembali.” jawab Sumekar, tetapi ia segera
menyambung, “namun demikian, semuanya akan menjadi lebih jelas apabila
Putera Mahkota telah datang.”
“Apakah Putera Mahkota akan datang?”
“Ya. Putera Mahkota akan memanggil kakang
Mahisa Agni dengan resmi untuk menghadap Sri Rajasa. Ia akan menerima
perintah tentang Kesatria Putih itu.”
“Baiklah. Besok malam kita akan segera menemuinya di sini.”
“Aku akan menunggu kalian.”
“Dan bukankah malam ini kita tidak mampunyai persoalan lain?”
Mahisa Agni menggeleng. Mahendra-pun
segera berkata, “Aku akan segera minta diri. Aku mendengar sekelompok
padagang akan menyeberangi hutan di sebelah kota ini, besok dini hari.
Mudah-mudahan tidak ada penyamun yang mengganggunya. Aku hanya akan
melihat saja, dan apabila perlu baru berbuat sesuatu, karena agaknya
para pedagang itu sendiri sudah merasa dirinya kuat.”
“Tetapi ingat, besok malam kalian ada disini pula. Mungkin Anusapati akan sagera datang.”
“Baik. Dan bagaimana dengan kakang Witantra?”
“Aku juga akan minta diri.”
“Baiklah. Hubungilah Kuda Sempana apabila
perlu,” berkata Mahisa Agni kemudian, lalu katanya kepada Sumekar, “ia
juga menjadi juru taman di istana ini.”
“O,” Sumekar tersenyum.
“Kalau ada yang pernah mangenalnya ketika
ia tinggal di istana Tumapel, maka mereka sekarang pasti tidak akan
dapat mengingatnya lagi.”
Sumekar masih mengangguk sambil tersenyum.
Demikianlah Witantra dan Mahendra
meninggalkan istana Mahisa Agni, sedang Kuda Sempana dengan diam-diam
pergi ke rumahnya yang terletak di halaman itu pula.
“Tidurlah dirumahku. Tidak akan banyak mendapat perhatian apabila kau tidak berbuat sesuatu yang aneh.”
“Terima kasih kakang.”
“Kami-pun minta diri,” berkata Kuda Sempana, “besok kita akan bertemu lagi. Biarlah Sumekar berada dipondokku.”
Demikianlah Kuda Sempana membawa Sumekar
ke pondoknya. Dari Kuda Sempana, Sumekar banyak mendengar tentang
Kesatria Putih. Ada kalanya Kesatria Putih tidak bekerja sendiri. Tetapi
berdua, meskipun yang seorang tidak dengan berterus terang. Dalam
menghadapi lawan yang kuat, dua atau bahkan tiga orang itu telah bekerja
bersama. Tetapi pasti hanya ada satu Kasatria Putih di satu tempat dan
diwaktu yang sama.”
Ternyata setelah terpaut sehari, barulah
Putera Mahkota itu benar-benar telah datang ke Kediri dengan resmi
sehingga rakyat Kediri telah menyambutnya. Beberapa orang Senapati
terpilih telah mengiringinya. Kehadiran Anusapati benar-benar telah
mendapat sambutan yang baik, justru karena Mahisa Agni bersikap baik
terhadap mereka.
Mahisa Agni-pun telah mangadakan sambutan
yang resmi pula. Namun dalam pada itu, di pondok Kuda Sempana telah
menunggu Witantra, Mahendra dan Sumekar. Mereka harus mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan Anusapati.
Sementara itu Mahendra sempat menceriterakan saat-saat ia mengikuti para pedagang yang menyeberangi hutan di sebelah kota.
“Ternyata perjalanan itu telah tercium
oleh segerombol perampok. Meskipun iring-iringan pedagang itu
menyeberang tepat dini hari, namun penyamun itu telah menunggunya.
Agaknya mereka benar-benar telah mamperhitungkan kekuatan mereka.
Witantra, Kuda Sempana dan Sumekar
mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-angguk. Mahendra yang juga
sering mengenakan pakaian Kesatria Putih itu lebih senang menolong para
pedagang, karena ia sendiri pernah menjadi seorang pedagang. Seperti
Kuda Sempana ia tidak tanggung-tanggung menghancurkan setiap penjahat.
Namun kadang-kadang masih juga ada seorang dua orang yang tersisa.
Tetapi lain dengan Kuda Sempana. Ia menyapu setiap gerombolan sejauh
mungkin dapat dilakukannya.
“Apakah mereka bertempur?” bertanya Sumekar kemudian.
“Ya. Para penyamun itu menjebak para
pedagang dengan sebuah kepungan yang rapat sekali. Tetapi ternyata bahwa
para pedagang itu-pun memiliki kemampuan perlawanan yang tinggi,
sehingga tidak mudah bagi para penyamun untuk menundukkannya.
“Tetapi para pedagang itu kalah,” sahut
Witantra, “dan ceritera itu disambung dengan kehadiran Kesatria Putih
untuk menolong mereka dan menghancurkan para penjahat itu.”
Mahendra tertawa. Katanya, “Tidak. Aku
tidak menunggu para pedagang itu kalah, karena penyamun itu benar-benar
kuat. Aku datang selagi para pedagang itu masih bertahan sekuat-kuat
tenaga mereka. Dengan demikian, maka pakerjaanku tidak begitu berat
karena aku dibantu oleh para pedagang itu sendiri. Namun demikian,
berita yang tersiar, Kasatria Putih seorang diri telah berhasil
membinasakan segerombolan penyamun yang maha kuat.”
Mereka yang mendengarkan ceritera itu
tertawa. Bahkan Sumekar-pun berkata, “Seandainya aku mendapat
kesempatan, aku ingin juga sekali-sekali menjadi orang yang paling
terkenal di seluruh Singasari sekarang, tetapi juga orang yang selalu
diliputi oleh rahasia yang tidak terungkapkan.”
Witantra tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin selama kau berada
disini, kau akan mendapat kesempatan.”
“Berapa hari kau berada di sini?” bertanya Kuda Sempana.
“Aku harus segera kembali, sebelum Putera Mahkota kembali ke istana.”
“Kau tidak akan mendapat kesempatan.
Biasanya sampai dua tiga pekan setelah Kesatria Putih bertindak, tidak
ada seorang penjahat-pun yang berani berbuat sesuatu.”
“Sayang,” desis Sumekar, “agaknya permainan itu mengasyikkan sekali.”
“Mudah-mudahan Putera Mahkota tidak segera kembali,” berkata Mahendra.
“Tetapi akulah yang harus segera kembali, karena aku hanya mendapat waktu tujuh hari.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan Sumekar-pun menyambung, “Mudah-mudahan lain kali aku akan
mendapatkan kesempatan itu.”
“Tetapi bukankah kita akan segera ditangkap oleh Putera Mahkota dan Mahisa Agni.”
Hampir serentak meledaklah suara tertawa
mereka, sehingga Kuda Sempana meletakkan jarinya di muka bibirnya sambil
berdesis, “Sst, tetangga-tetanggaku, para abdi istana ini akan menjadi
heran dan curiga mendengar kalian adalah saudara-saudaraku yang datang
dari desa. Tetapi kalau kalian tertawa terbahak-bahak, mereka akan
mencurigainya. Orang-orang yang datang dari desa tidak pernah tertawa
terlampau keras.”
“Bohong,” sahut Mahendra, “aku benar-benar datang dari desa, tetapi mungkin akulah yang paling keras tertawa.”
Kawan-kawannya-pun kemudian menutup mulut mereka, karena tertawa mereka hampir meledak kembali.
Dalam pada itu, Mahisa Agni telah
mengatur suatu acara khusus untuk mempertemukan Kesatria Putih dengan
Anusapati tanpa diketahui oleh para pengiringnya. Di dalam ruangan
tersendiri, dan tanpa menimbulkan kecurigaan, Anusapati sempat menjadi
terheran-heran ketika ia dihadapkan kepada tiga orang Kesatria Putih.
“Aku hampir tidak percaya kepada penglihatanku,” ia berdesis.
“Hamba-pun semula tidak mempercayainya,” bisik Sumekar yang duduk disampingnya.
“Siapakah mereka?”
“Hamba tidak boleh menjelaskan tuanku. Biarlah kakang Mahisa Agni menyebut mereka seorang demi seorang.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Aku akan memperkenalkan mereka.”
Anusapati memandang mereka dengan terheran-heran ketika ketiganya membuka kerudung masing-masing.
“Nah,” berkata Mahisa Agni, “kau sudah berhadapan dengan Kesatria Putih. Apakah kau akan menangkap mereka?”
Anusapati masih merenungi ketiga orang
itu. Witantra lah yang kemudian berkata sambil membungkukkan kepalanya,
“Hamba menunggu perintah tuanku. Apakah tuanku akan menangkap hamba,
atau tuanku akan mengijinkan hamba meneruskan permainan ini.”
Anusapati menjadi termangu-mangu. Ia tahu
benar bahwa Witantra berdiri dipihaknya di dalam perbandingan kekuatan
yang ada, yang berujung pada dirinya sendiri dan adiknya Tohjaya.
“Apakah sebenarnya maksud paman dengan permainan ini?” bertanya Anusapati.
“Merebut perhatian rakyat Singasari dari
Tohjaya. Permainan mereka-pun sudah dimulai. Dan kita-pun harus
mengimbanginya jika kita tidak ingin tertinggal.”
“Tetapi apakah keuntunganku dengan permainan paman ini.”
“Setidak-tidaknya, rakyat Singasari tidak
lagi selalu mengelukan Tohjaya sebagai seorang yang paling mereka sukai
di lseluruh Singasari.”
“Kemudian?”
“Kita akan melihat perkembangan seterusnya.”
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak dipandanginya ketiga orang yang disebut Kesatria Putih itu
dengan saksama, kemudian ia berpaling dan memandang Mahisa Agni yang
sedang merenunginya pula.
“Anusapati,” berkata Mahisa Agni
kemudian, “memang kau tidak akan mendapat keuntungan langsung dari
hadirnya Kesatria Putih ini di bumi Singasari, tetapi pada suatu saat
kau akan merasakan manfaatnya.”
“Tetapi paman Mahisa Agni, apakah yang
harus aku lakukan dengan perintah Ayahanda Sri Rajasa untuk
menyingkirkan Kesatria Putih? Bahkan bersama paman Mahisa Agni?”
“Kita harus menyanggupinya. Tetapi tentu saja kita tidak dapat memberikan batas waktu.”
“Namun ternyata bahwa Kesatria Putih masih saja berkeliaran.”
“Kita tentu dapat mengemukakan alasan, bahwa kita belum dapat menjumpainya. Kesatria Putih selalu menghindari kita berdua.”
“Mungkin ayahanda dapat mempercayainya
sebulan dua bulan. Tetapi pada suatu saat ayahanda akan menjadi curiga
juga terhadap kita.”
“Dalam pada itu kita akan mencari jalan.
Kalau perlu, kegiatan Kesatria Putih kita hentikan. Bukankah dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa kita sudah berhasil
menyingkirkannya?” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “tetapi kita-pun
harus bersiap menghadapi permainan Tohjaya berikutnya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah Anusapati,” berkala Mahisa Agni kemudian, “kau tidak usah menjadi gelisah oleh perintah Sri Rajasa itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kapalanya.
Selama ini pamannya banyak memberikan tuntunan dan jalan keluar dari
hampir setiap kesulitan. Karena itu, maka kali ini-pun ia percaya bahwa
pamannya akan dapat memberikan jalan kepadanya, keluar dari kesulitannya
kali ini.”
Demikianlah maka pada saatnya, setelah
Sumekar mendahului, Anusapati-pun kembali pula ke Singasari bersama
Mahisa Agni, yang kemudian menerima perintah langsung dari Sri Rajasa
untuk menyingkirkan Kesatria Putih bersama Anusapati.
“Aku percaya kepadamu,” berkata Sri
Rajasa, “bahwa kau akan dapat melakukannya untuk kepentingan Putera
Mahkota, yang seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk dikenal oleh
rakyat Singasari.”
“Hamba tuanku,” jawab Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya, “hamba akan mencobanya.”
“Kau harus berhasil. Jika tidak, maka
nasib Anusapati kelak tidak akan dapat kita bayangkan. Ia tidak lebih
dari seorang Kesatria yang selalu dibayangi oleh Kesatria lain yang
tidak dikenal. Dan tidak mustahil, bahwa setelah mendapatkan perhatian
sedemikian besarnya dari rakyat Singasari, Kesatria Putih akan berani
melakukan perbuatan yang dapat menghanyutkan Anusapati dari tahtanya.”
Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “Mungkin hal itu tidak akan dapat
dilakukannya selagi aku masih ada. Tetapi pada suatu saat, aku akan
kembali kepada Yang Maha Agung. Nah, sesudah datang saat itu, aku tidak
akan dapat berbuat apa-apa lagi atas Anusapati dan melindunginya dari
setiap bahaya yang mengancamnya.”
“Baiklah tuanku,” berkata Mahisa Agni,
“hamba mengerti, betapa pentingnya tugas ini, tetapi juga betapa
sulitnya. Hamba harus melakukannya tanpa setahu rakyat Singasari, karena
bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang pahlawan.”
“Ya.”
“Mudah-mudahan hamba dapat melakukannya bersama tuanku Putera Mahkota.”
Demikianlah Mahisa Agni dan Anusapati
mempersiapkan diri untuk melakukan tugas itu. Namun Mahisa Agni telah
memohon kepada Sri Rajasa, agar ia diperkenankan melakukan tugas itu
berdua saja dengan Anusapati, tanpa pengiring dan pasukan pengawal sama
sekali.
“Kenapa? “ bertanya Sri Rajasa.
“Sepasukan prajurit, batapa-pun kecilnya
akan mudah sekali diketahui oleh Kesatria Putih, sehingga mereka akan
selalu menghindar.”
“Kenapa mereka? Apakah Kesatria Putih itu lebih dari seorang?”
“Maksud hamba, ia akan selalu menghindar.”
“Bagaimana kalau kau mempergunakan cara yang justru akan mamancing Kesatria Putih itu.”
“Maksud tuanku, hamba menyamar sebagai segerombolan perampok?”
“Ya.”
“Kesatria Putih akan segera mengenal dan dapat membedakan karena hamba tentu tidak akan benar-benar melakukan perampokan itu.”
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, “terserah kepadamu. Yang penting, Kesatria Putih itu dapat
kita singkirkan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat melakukan kegiatannya
lagi.”
Demikianlah, maka Mahisa Agni dan
Anusapati mulai dengan tugasnya yang baru. Mahisa Agni tidak segera
kembali ke Kediri, karena ia harus mengawani Anusapati mencari Kesatria
Putih.
Tidak seorang-pun yang mengetahui tugas
itu. Ken Dedes tidak, isteri Anusapati-pun tidak. Usaha manyingkirkan
Kesatria Putih tidak boleh diketahui oleh siapa-pun juga. Jika berita
itu sampai menyusup ketelinga rakyat Singasari, maka pasti akan
menimbulkan persoalan di antara mereka, karena Kesatria Putih bagi
mereka, justru seorang pahlawan.
Setelah mencium anaknya yang tumbuh
semakin besar dan mohon diri kepada ibunya, maka Anusapati pergi
meninggalkan istana diiringi oleh Mahisa Agni.
Kepergian Anusapati diiringi dengan
berbagai macam pertanyaan dihati seisi istana. Yang mereka ketahui
adalah, bahwa Anusapati sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang
Putara Mahkota.
“Sebuah tugas rahasia,” berkata salah seorang Senapati.
“Ya,” sahut yang lain.
Tetapi ada sesuatu yang menggetarkan
jantungnya. Kenapa tugas itu sama sekali tidak diketahui oleh para
pemimpin prajurit sekalipun.
Sepeninggal Anusapati, maka mulailah
Tohjaya mengharap mendapat kesempatan lagi untuk melakukan tindakan-akan
yang dapat mengangkat namanya, ia berharap bahwa Mahisa Agni akan
berhasil menyingkirkan Kesatria Putih, karena dari Anusapati sendiri
tidak dapat diharapkan apa-pun juga.
“Tanpa paman Mahisa Agni, Kakanda
Anusapati tidak akan dapat kembali. Hanya namanya sajalah yang akan
tetap dikenang oleh rakyat Siugasari, bahwa pernah tersebut seorang
Putera Mahkota yang belum sempat menduduki tahta, telah mati terbunuh
oleh Kesatria Putih,” berkata Tohjaya di dalam hatinya.
Namun bagi Anusapati sendiri, ternyata
kesempatan itu adalah kesempatan yang tidak diduga-duganya. Kepergiannya
bersama Mahisa Agni telah memberikan kesempatan kepadanya untuk
menyempurnakan ilmunya. Di sepanjang perjalanannya yang tanpa tujuan,
Anusapati telah membentuk dirinya menjadi seorang yang menguasai ilmunya
dengan matang.
Ternyata bahwa bukan saja Mahisa Agni,
tetapi di dalam kesempatan itu, Witantra dan Kuda Sempana sempat
memberikan ilmu perbandingan kepada Anusapati. Dengan bekal yang ada
padanya. Anusapati mampu menerima ilmu dari kedua orang itu, sebagai
bahan untuk menyempurnakan ilmunya sendiri. Seperti Mahisa Agni maka
Anusapati-pun mencoba meluluhkan ilmu yang dipelajarinya itu menjadi
suatu bentuk yang benar-benar mendebarkan jantung. Darah Tunggul Ametung
dan Empu Purwa yang bergabung didalam dirinya, membuatnya menjadi
seorang anak muda yang perkasa, yang mantap menguasai ilmu yang tidak
terkirakan dahsyatnya.
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Kuda
Sempana yang selalu menungguinya, apabila Anusapati berlatih, menjadi
berdebar-debar. Bahkan akhirnya mereka percaya, bahwa ilmu yang dimiliki
oleh Anusapati itu adalah ilmu yang tidak ada duanya. Dengan bekal itu,
seandainya ia di desak oleh suatu keharusan, maka ia pasti akan dapat
mengimbangi kemampuan Sri Rajasa yang memiliki ilmu tanpa dipelajarinya
dari perguruan mana-pun juga.
Sementara Anusapati menempa dirinya, maka
Sumekar selalu berdebar-debar menungguinya. Apa saja yang telah
dilakukan oleh Anusapati di dalam perjalanannya. Namun Sumekar telah
membayangkan pula, bahwa Anusapati pasti akan mempergunakan kesempatan
itu untuk menyempurnakan diri.
“Mudah-mudahan Putera Mahkota berhasil membuat dirinya menjadi laki-laki terbaik di Singasari,” desisnya.
Dalam pada itu, maka Sumekar berusaha
memenuhi pesan Anusapati dan Mahisa Agni sebaik-baiknya, sementara
Putera Mahkota tidak ada, Sumekar harus menjaga isterinya dan Ibunda
Permaisuri sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka atas permintaan Mahisa
Agni, ketiga orang yang sering melakukan petualangan sebagai Kesatria
Putih, untuk beberapa saat lamanya telah menghentikan kegiatannya.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat
nama Kesatria Putih tidak lagi disebut-sebut dalam suatu tindakan baru.
Orang-orang Singasari justru mulai bertanya-tanya, dalam beberapa saat
terakhir Kesatria Putih tidak lagi pernah muncul. Disaat-saat yang
lampau, meskipun tidak sedang melakukan tugasnya, menghancurkan perampok
dan penjahat. Kesatria Putih sering menampakkan dirinya kepada para
peronda. Melambaikan tangannya dan bahkan kadang-kadang berbicara
sepatah kata.
“Sudah agak lama kita tidak mendengar
sasuatu tentang Kesatria Putih,” desis seseorang, “apakah hilangnya
Kesatria Putih itu pertanda bahwa Singasari akan diguncang oleh
kejahatan dan kekacauan?”
“Ah tentu tidak. Seandainya Kesatria
Putih sudah jemu melakukan tugas-tugas kemanusiaannya, maka kita akan
tetap mendapat perlindungan dari Sri Rajasa. Bukankah sebenarnya
Kesatria Putih itu hanya membantu tugas para prajurit Singasari.”
“Tetapi pernah terjadi. Kesatria Putih menghancurkan sekelompok prajurit Singasari.”
“Bukan prajurit Singasari. Meskipun mereka prajurit, tetapi Kesatria Putih menghancurkan mereka sebagai segerombolan perampok.”
“Itulah yang mencemaskan. Ternyata ada juga prajurit yang kehilangan keseimbangannya dan melakukan perbuatan terkutuk itu.”
Namun bagaimana-pun juga, rakyat
Singasari merasa seakan-akan kehilangan apabila benar-benar Kesatria
Putih tidak akan muncul lagi di atas bumi Singasari.
Hilangnya Kesatria Putih untuk beberapa
saat itu ternyata didengar pula oleh Sri Rajasa dan Tohjaya. Meskipun
mereka belum yakin, kalau Mahisa Agni dan Anusapati berhasil, namun
kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Tohjaya. Meskipun tidak segarang
Kesatria Putih, maka Tohjaya-pun nulai melakukan tindak kepahlawanan
bersama Penasehat Sri Rajasa, yang tidak lain adalah guru Tohjaya
sendiri.
Tidak segan-segan Tohjaya mengumpankan
beberapa orang prajurit untuk berperan sebagai perampok-perampok yang
bengis. Kemudian Tohjaya dan pengiringnya hadir mengusir mereka ketika
mereka sedang melakukan kejahatan.
“Untunglah,” berkata salah seorang rakyat
Singasari, “selagi Kesatria Putih menghilang beberapa lama, tuanku
Tohjaya telah mengambil alih tugasnya yang mulia itu.”
“Apakah Kesatria Putih itu justru Tuanku Tohjaya?”
Rakyat Singasari memang mulai
menghubung-hubungkan kepahlawanan Tohjaya dengan Kesatria Putih. Tetapi
mereka-pun bertanya di dalam hati, “Jika demikian, apakah gunanya
Tohjaya menutup wajahnya dengan selembar kain putih dan disebut sebagai
Kasatria Putih.”
Tidak seorang-pun yang dapat menjawab. Namun mereka condong kepada suatu pendirian, bahwa Kesatria Putih memang bukan Tohjaya.
Namun demikian, yang kemudian tersebar
adalah pertanyaan tentang Putera Mahkota. Rakyat Singasari menganggap
bahwa Putera Mahkota kurang gairah di dalam ikut serta membina
pemerintahan di Singasari. Anusapati ternyata tidak selincah Tohjaya
yang meskipun bukan seorang Putera Mahkota, tetapi ia telah melakukan
tindakan-akan yang nyata bagi rakyat Singasari.
Dalam pada itu, setelah melakukan
tugasnya beberapa lama, maka Anusapati dan Mahisa Agni menghadap kembali
kehadapan Sri Rajasa untuk menyampaikan hasil tugas mereka.
“Kami tidak berhasil mengusirnya,”
berkata Mahisa Agni, “Kesatria Putih terlampau sulit untuk diketemukan.
Namun dengan usaha ini, ternyata Kesatria Putih sudah menghilang.
Mungkin ia mendengar bahwa hamba dan tuanku Putera Mahkota sedang
mencarinya.”
“Apakah kau yakin bahwa ksatria Putih tidak akan muncul lagi?”
“Itulah yang hamba bimbangkan. Memang mungkin pada suatu saat ia muncul kembali.”
“Mahisa Agni dan Anusapati,” berkala Sri
Rajasa kemudian, “adalah tugasmu dan tugas setiap keluarga istana untuk
melakukannya. Jika Kesatria Putih itu telah benar lenyap, datanglah
kesempatan bagi Anusapati. Kini ternyata bahwa Tohjaya sudah berhasil
merintis jalannya kembali. Saat mendatang, adalah masa-masa yang akan
menentukan kedudukanmu Anusapati. Berbuat sesuatu seperti yang dilakukan
oleh Tohjaya.”
Anusapati hanya dapat menundukkan
kepalanya saja. Sementara Sri Rajasa berkata selanjutnya, “Tugas ini
berlaku terus-menerus. Kapan-pun jika kalian menjumpai Kesatria Putih,
kalian harus bertindak.”
“Hamba tuanku,” jawab Mahisa Agni, “hamba
akan selalu berusaha, karena Kesatria Putih dikenal oleh Rakyat Kediri
pula sebagai seorang pahlawan.”
“Nah, sementara kalian masih meyakinkan hilangnya Kesatria Putih, Mahisa Agni sebaik-baiknya masih berada di Singasari.”
“Hamba tuanku,” jawab Mahisa Agni
kemudian sambil bertanya, “Tuanku, apakah sementara ini, seperti juga
tuanku Tohjaya yang disertai oleh penasehat tuanku beserta pengawalnya
yang terpercaya, apakah hamba juga diperkenankan mengikuti tuanku Putera
Mahkota untuk berbuat jasa seperti yang dilakukan oleh tuanku Tohjaya.”
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, “Apakah Anusapati tidak dapat melakukannya sendiri?”
“Seperti tuanku Tohjaya, ia memerlukan seorang kawan.”
“Penasehat itu tidak berbuat apa-apa, selain menasehatinya apabila ia terdorong langkah.”
“Mungkin hamba dapat berbuat lebih dari
itu,” sahut Mahisa Agni, “mungkin hamba tidak saja dapat menahannya
apabila tuanku Putera Mahkota terdorong langkah, tetapi apabila
diperlukan, hamba akan mencoba melindungi Putera Mahkota apabila keadaan
memaksa. Bukankah Putera Mahkota kelak akan menggantikan kedudukan Sri
Rajasa, sehingga karena itu harus dijauhkan dari bencana yang mungkin
dapat timbul.”
Sri Rajasa merenung sejenak, namun
kemudian jawabnya, “Mungkin ada juga baiknya. Tetapi dengan demikian kau
tidak memberikan didikan yang tepat kepada Anusapati. Ia akan selalu
tergantung kepadamu dan kepada orang lain. Ia tidak membiasakan diri
berbuat sesuatu atas tanggung jawabnya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang wajah Anusapati yang tertunduk dalam-dalam.
“Tetapi,” berkata Sri Rajasa kemudian,
“sekali dua kali kau dapat menyertainya. Tetapi untuk selanjutnya.
Anusapati harus belajar menjadi seorang yang sudah dewasa. Bukankah ia
sudah mempunyai seorang anak laki-laki? Ia bukan lagi anak-anak yang
harus selalu dilindungi.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya
dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba tuanku. Hamba mengerti.
Perlahan-lahan hamba akan melepaskannya.”
Demikianlah, maka seperti berlomba
Tohjaya dan Anusapati berusaha mendapatkan pengaruh dari rakyat
Singasari. Tetapi ternyata setiap kali Tohjaya dapat lebih banyak
berbuat dari Anusapati.
Beberapa kali Tohjaya berhasil
menyelamatkan rakyat Singasari dari kejahatan. Hampir seperti Kesatria
Putih. Tetapi Tohjaya tidak pernah berhasil memusnahkan mereka seperti
yang sering dilakukan oleh Kesatra Putih.
Adalah menggemparkan sekali ketika
tiba-tiba saja pula suatu kali rakyat Singasari melihat kembali Kesatria
Putih. Meskipun Kesatria Putih tidak berbuat apa-apa, karena ia hanya
sekedar lewat di atas kuda putihnya, namun namanya kembali menggemparkan
Singasari. Apalagi kepada para peronda di sudut kota Kesatria Putih itu
berkata, “Aku akan datang pada saatnya. Tohjaya bukan apa-apa bagiku.
Tetapi sementara ini ia dapat menjalankan tugasku, meskipun hanya
sebagian kecil.”
Ternyata bahwa pesan itu sampai juga
ketelinga Tohjaya. Alangkah sakit hati Putera Sri Rajasa itu. Karena
itu, maka dengan kemarahan yang meluap-luap Tohjaya berkata, “Ayahanda,
hamba ingin menunjukkan kepada Rakyat Singasari, bahwa hambalah orang
terkuat di seluruh negeri.”
“Apakah yang akan kau lakukan?”
“Latihan terbuka, atau semacam sayembara tanding.”
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Ia
mencoba merenungi kata-kata Tohjaya itu. Perang tanding yang dimaksudkan
pasti mempunyai akibat yang luas. Jika ada yang dapat mengalahkannya,
maka akibatnya sama sekali tidak diharapkannya.
“Kesatria Putih yang tiba-tiba saja
muncul meskipun hanya sesaat itu ternyata sangat mengganggu kebesaran
nama hamba. Seakan-akan hamba hanyalah sekedar pembantunya yang tidak
berarti.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Tetapi kau harus mengerti akibatnya
Tohjaya. Kau mempertaruhkan namamu. Kalau kau dikalahkan oleh siapa-pun
juga, maka namamu akan hancur. Kau tidak akan dapat bangkit kembali
untuk waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin untuk selama-lamanya.”
“Tetapi jika hamba dapat menguasai arena, maka hambalah orang terkuat di seluruh Singasari.”
Sekali lagi Sri Rajasa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian, Sri Rajasa agaknya lebih
berhati-hati dari Tohjaya, sehingga karena itu maka katanya, “Tohjaya,
aku lebih senang mempergunakan istilah latihan terbuka bagi anak-anak
muda. Di Singasari ternyata ada orang-orang kuat yang tidak dapat kau
lupakan. Orang berkerudung hitam yang memasuki halaman istana, kemudian
orang berkerudung putih itu, dan yang harus kau perhitungkan adalah
orang-orang seperti Kiai Kisi yang tidak menghiraukan cara apa-pun yang
akan ditempuh untuk mendapatkan kesempatan. Itulah sebabnya, maka kau
harus membatasi daerah sayembara itu. Jika kau kalah di dalam latihan
itu, akibatnya tidak akan begitu parah. Tetapi jika kau menang, namamu
akan cukup mendapat penghargaan meskipun tidak seperti yang kau
harapkan. orang terkuat di seluruh Singasari.”
Tohjaya merenungi pendapat ayahandanya itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “ayah. Hamba mengerti.”
“Nah, kita akan segera mengundangkan
arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari. Siapa-pun boleh memasuki
gelanggang. Kita akan memberi kesempatan kepada siapa-pun juga. Yang
paling menang diantara mereka, baru mendapat kesempatan berlatih
melawanmu. Kau mengerti?”
“Hamba ayahanda.”
“Perkelahian yang akan diadakan adalah
perkelahian di atas punggung kuda dengan senjata tumpul. Sebuah tombak
panjang yang tidak berujung runcing, tetapi justru diberi pelunak
diujungnya. Siapa yang terjatuh dari kudanya ialah yang dianggap kalah.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Sebenarnya
ia menghendaki perkelahian yang lebih bersungguh-sungguh dan sekedar
mempergunakan tombak panjang.
Sri Rajasa yang agaknya mengerti getar
hatinya berkata, “Jangan menuntut lebih dari itu Tohjaya. Jangan sampai
kau melakukan pembunuhan di arena. Akibatnya akan pahit bagimu, karena
jika demikian terjadi dihadapan rakyat Singasari yang menyaksikannya,
maka mereka tidak akan melupakan, bahwa kau pernah melakukan pembunuhan
dihadapan mereka.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi jika sekedar mengalahkannya, maka kau akan tetap dikenang sebagai seorang yang paling kuat dan berjiwa besar.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Hamba ayahanda. Hamba mengerti.”
“Nah, biarlah para Senapati melakukan persiapannya. Mereka akan segera mengundangkannya pula di seluruh negeri.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Namun
jika benar-benar ia dapat memenangkan perjuangan di arena itu namanya
akan menjadi semakin baik dihati rakyat Singasari.
“Bagaimanakah caranya untuk memancing
Kakanda Anusapati agar ia dapat ikut serta?” berkata Tohjaya di dalam
hatinya. Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Ia tidak akan berani turun
kearena. Jika ia tidak berhasil mengalahkan bukan saja aku, tetapi anak
muda yang lain. yang sama sekali bukan seorang yang pantas, maka namanya
akan hancur.”
Demikianlah maka para Senapati yang
segera mendapat perintah untuk melaksanakan latihan terbuka itu,
mempersiapkan segala sesuatu yang dilakukan. Mereka mulai membuat
patok-patok di alun-alun. Kemudian menarik tali di antara patok-patok
itu untuk membatasi agar kuda para peserta tidak berlari-lari sampai ke
garis penonton. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kecelakaan bagi
mereka yang mungkin terinjak kaki-kaki kuda para peserta itu.
Ternyata bahwa pengumuman itu mendapat
sambutan yang baik dari kalangan anak-anak muda Singasari. Apalagi suatu
ketentuan yang mengatakan bahwa siapakah yang paling menang di antara
para peserta, akan diberi kesempatan bertanding melawan Tuanku Tohjaya,
dan kesempatan pertama untuk langsung diangkat menjadi seorang perwira
jika dikehendaki dan hadiah berupa seekor kuda yang sangat baik. Apalagi
jiga ia dapat menang atas Tohjaya, maka hadiahnya akan ditambah lagi
dengan kesempatan yang lebih luas di bidang keprajuritan dan tiga ekor
kuda yang paling baik.
Demikianlah pada saatnya, maka sejak
pagi-pagi buta, berduyun-duyun orang-orang Singasari pergi kealun-alun
untuk menyaksikan suatu arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari.
Sebuah panggungan khusus telah dibuat untuk tempat menonton bagi Sri
Rajasa dan pada Panglima.
Para anak muda yang akan mengikutinya
telah berkumpul di sudut alun-alun yang ditentukan. Masing-masing diatas
punggung kuda masing-masing yang dihias dengan kelengkapan beraneka
warna dan dibungai dengan janur kuning
Ternyata bahwa arena terbuka itu menjadi
sangai meriah dan menarik perhatian. Berjejal-jejal rakyat Singasari
memenuhi alun-alun mengitari arena yang dibatasi dengan tali-tali yang
terentang.
Beberapa orang Senapati dan prajurit yang
bertugas menyelenggarakan arena terbuka itu telah siap di tempat
masing-masing. Semuanya juga berkuda mengelilingi arena. Selain mereka
harus mengawasi para penonton agar tidak masuk ke arena, mereka harus
mengamati jalannya sodoran di arena itu sendiri. Kecuali para petugas
itu, ada dua orang petugas khusus yang akan menilai setiap perkelahian
tongkat yang akan terjadi. Tidak boleh ada kecurangan dan tidak boleh
ada kekerasan yang melampaui batas.
Seorang petugas yang berada di antara
para peserta masih memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang ingin
mengikuti sodoran di arena itu. Namun agaknya sudah tidak ada lagi yang
menyatakan dirinya menambah jumlah dan anak-anak muda yang ikut serta.
Mereka sebenarnya ingin juga mencoba-coba, tetapi mereka harus mempunyai
bekal kecakapan mengendalikan kuda dan kemampuan dalam olah kanuragan.
Ketahanan tubuh dan ketrampilan menggerakkan tongkat panjang yang
seakan-akan merupakan sebuah tombak bertangkai panjang.
Ketika semuanya sudah siap, serta
persiapan-persiapan sudah selesai diselenggarakan, maka permainan
itu-pun segera dibuka. Sebelum pertandingan dimulai, maka terlebih
dahulu, putera Sri Rajasa, Tohjaya, berkuda mengelilingi arena pambil
melambai-lambaikan tangannya.
Yang menyambut mula-mula adalah mereka
yang berada di atas panggung kehormatan. Namun kemudian setiap orang
yang menyaksikan pertandingan ketangkasan itu-pun bertepuk tangan dan
melambai-lambaikan tangan mereka pula.
Tohjaya yang namanya semakin dikenal oleh
rakyat Singasari itu berkenan untuk bertanding melawan pemenang
terakhir dari permainan ketangkasan itu.
Setelah mengelilingi arena beberapa kali,
maka Tohjaya-pun segera turun dari kudanya di muka tangga panggungan.
Setelah sekali lagi melambaikan tangannya kepada setiap orang yang ada
di seputar arena, maka ia-pun segera naik dan duduk di samping Ayahanda
Sri Rajasa dan ibunda Ken Ken Umang.
Di sisi yang lain dari Ayahanda Sri
Rajasa adalah Permaisuri Ken Dedes, kemudian Mahisa Agni dan seharusnya
di antara mereka duduk Putera Mahkota. Tetapi ternyata Putera Mahkota
tidak menghadiri permainan itu. Namun di belakang mereka, para Panglima
dan Senapati memenuhi panggung kehormatan itu.
“Apakah Anusapati tidak berminat?” bertanya Sri Rajasa kepada Tohjaya.
Tohjaya mengangkat bahu. Jawabnya, “Hamba
tidak tahu pasti ayahanda. Hamba sudah minta agar Kakanda Anusapati
hadir. Tetapi agaknya Kakanda Anusapati tidak mau apabila dengan
tiba-tiba saja diminta untuk turun ke arena, karena Kakanda Anusapati
sama sekali tidak menguasai kendali kuda, apalagi dengan sebelah tangan
memegang tongkat panjang.”
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun Ken Dedes yang mendengar jawaban itu mengerutkan
keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Tetapi Anusapati memang tidak
ada di antara mereka. Yang tampak di sebelah para Panglima dan Senapati
adalah putera-puteranya yang lain, diantaranya adalah Mahisa Wonga
Teleng.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia
sadar, bahwa ternyata Sri Rajasa benar-benar bersikap kurang adil
terhadap putera-puteranya. Sri Rajasa tidak mendidik puteranya menjadi
laki-laki yang sejajar di dalam berbagai macam hal. Juga didalam olah
kanuragan.
Namun terasa sesuatu berdesir di dalam
dadanya. Ken Dedes tidak dapat mengingkari kenyataan, bahkan ia adalah
orang yang paling tahu, siapakah sebenarnya Anusapati itu.
Sekilas terbayang Akuwu Tunggul Ametung
yang perkasa. Yang terbunuh dengan cara yang licik sekali. Dan ia-pun
akhirnya mengetahui, siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung
itu. Sama sekali bukan Kebo Ijo yang namanya telah dicemarkan.
Tetapi saat itu hatinya sedang digelapkan
oleh suatu perasaan yang tidak dimengerti dan tidak dapat
dikendalikannya terhadap orang yang bernama Ken Arok itu. Baru kini ia
merasa seakan-akan ia harus menanggung dosa yang disandangnya itu.
Tetapi, Ken Dedes yang telah cukup lama
harus selalu menanggung rasa itu, berhasil mengendalikan dirinya,
sehingga seolah-olah ia sama sekali tidak terpengaruh oleh ketidak
hadiran Anusapati. Namun ia masih berharap, bahwa Mahisa Wonga Teleng
dapat berbuat seperti seorang laki-laki yang baik.
Jadi bukan saja Tohjaya. Namun agaknya
Mahisa Wonga Teleng-pun sama sekali tidak bersiap untuk mengikuti
permainan di arena terbuka itu.
Demikianlah setelah semuanya
dipersiapkan, mulailah perkelahian yang pertama di arena itu. Setelah
diundi, maka dua orang anak muda muncul di arena. Mereka adalah
anak-anak muda yang tegap dan kuat. Mereka duduk diatas kuda yang tegar
dan sebuah tongkat panjang ditangan kanan. Tongkat panjang yang ujungnya
dibalut dengan sabut yang terbungkus kain, agar sentuhan ujung tongkat
panjang itu tidak berbahaya.
Dengan senyum di bibir, meskipun tampak
juga keringat mengembun di kening, keduanya pergi ke ujung yang berbeda
dari arena itu. Sejenak mereka mempersiapkan diri. Sementara itu seorang
prajurit telah siap memukul tengara.
Seorang Senapati yang duduk di atas
punggung kudanya pula, memeriksa keduanya berganti-ganti. Pada mereka
tidak boleh terdapat senjata yang lain kecuali tongkat itu.
Ketika ternyata tidak terdapat
pelanggaran apapun, maka Senapati itu-pun mengangkat tangannya. Jika
tangannya melambai maka prajurit yang sudah siap itu akan segera memukul
tengara sebagai pertanda bahwa latihan perkelahian berkuda yang pertama
ini segera dimulai.
Yang menang pada latihan pertama ini,
harus melawan orang kedua pada pertarungan yang kedua. Demikianlah
setiap orang yang memenangkan pertandingan, harus melawan orang-orang
berikutnya, sampai pada orang yang terakhir. Apabila pemenang itu
berhasil mengalahkan lawannya terus menerus, sehingga ia menjadi lelah
sekali, maka setelah perkelahian yang kesepuluh, ia mendapat kesempatan
beristirahat, sampai pada saatnya ia akan muncul lagi ke gelanggang
melawan orang yang akan memenangkan pertandingan babak baru berikutnya.
Demikianlah, maka setelah semuanya siap,
maka Senapati yang mengangkat tangannya itu-pun segera melambai ke pada
prajurit yang segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa, perkelahian
berkuda dengan tombak yang tumpul itu dimulai.
Kedua anak muda yang duduk di atas
punggung kuda di ujung dan ujung yang berlawanan itu segera memacu
kudanya. Tombak mereka-pun kemudian merunduk mengarah kepada lawannya
yang berpacu pula ke arahnya.
Demikianlah maka dada para penonton
menjadi berdebaran. Meskipun tongkat itu tidak runcing, tetapi apabila
ujungnya mengenai dada, dan jika yang dikenainya tidak mempunyai daya
tahan yang kuat, maka ujung tongkat yang telah dilunakkan dengan sabut
itu-pun cukup berbahaya.
Semakin dekat kedua ekor kuda yang
berpacu berlawanan arah itu, para penonton menjadi semakin
berdebar-debar. Sejenak kemudian terdengar perempuan-perempuan menjerit
kecil dan bahkan ada yang memejamkan matanya.
Kedua tongkat panjang itu bagaikan saling
memukul. Masing-masing berusaha untuk menghindarkan ujung tongkat itu
agar tidak mengenai tubuhnya. Namun agaknya yang seorang lebih trampil
dari yang lain, sehingga tombaknya masih juga mengenai pundak lawannya.
Anak muda yang terkena itu menyeringai
menahan sakit. Hampir saja ia terlempar dari kudanya. Tetapi ia masih
dapat bertahan. Namun pundak serasa telah retak.
Meskipun demikian ia masih belum
dinyatakan kalah, karena ia belum terjatuh. Mereka harus mengulanginya
sekali lagi. Jika keduanya masih tetap berada di punggung kuda, maka
mereka akan berkelahi dalam jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi sampai
salah seorang dari mereka terjatuh.
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu
telah berpacu kembali. Seperti semula, kedua tongkat itu telah merunduk.
Dengan segala macam usaha, masing-masing ingin menjatuhkan lawannya
dari punggung kuda.
Tetapi seperti yang terjadi pertama kali,
mereka sekedar saling menangkis, sehingga mereka sama sekali tidak
berhasil menjatuhkan lawannya.
Dengan demikian, mereka-pun segera
berkelahi tanpa ancang-ancang lagi. Mereka saling mendorong dengan
tongkat, saling memukul dan saling menarik.
Akhirnya, salah seorang dari keduanya
memang harus kalah. Ketika salah seorang dari padanya mengayunkan
tongkatnya, maka yang lain berhasil menghindarinya dengan membungkukkan
badannya melekat ke punggung kuda. Demikian tongkat itu terayun,
secepatnya tongkat itu dipukul ke arah yang sama dengan ayunan itu,
sehingga justru orang itu tertarik oleh kekuatannya sendiri. Belum lagi
ia berhasil memperbaiki keadaannya, maka lawannya mendorongnya dengan
ujung tongkatnya, tidak saja pada tubuh anak muda itu sendiri, tetapi
pada tubuh kudanya sehingga kuda itu terlonjak.
Penunggangnya tidak sempat mempertahankan diri. Ia-pun kemudian terguling dan jatuh di tanah.
Sorak para penonton rasa-rasanya seperti
membelah langit. Mereka bertepuk dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya.
Kemenangan yang pertama itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para
penontonnya.
Demikianlah perkelahian yang pertama itu
disusul dengan yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Ternyata orang yang
memenangkan pertandingan yang pertama itu memang memiliki kelebihan dari
yang lain, ternyata ia mampu bertahan sampai tujuh kali. Tetapi pada
perkelahian yang ketujuh ia menemukan lawannya yang justru lebih lincah.
Selain tenaganya yang memang sudah susut, anak muda yang menang sejak
pertama kali itu, kurang mempunyai pertimbangan-pertimbangan atas
kudanya sendiri. Karena itu, di dalam perkelahian yang ketujuh, lawannya
berhasil mendorongnya jatuh, justru hanya dengan tangannya, karena
tongkatnya ada disisi lain dari tubuhnya.
Tetapi, pemenang itu tidak bertahan lebih
dari dua kali. Datanglah kemudian seorang anak muda yang gagah tegap
dan berdada bidang. Anak muda ini berhasil dengan mudah menjatuhkan
lawannya yang telah menang itu.
Agaknya anak muda yang berdada bidang itu
akan mampu bertahan beberapa kali. Tetapi ternyata ia tidak dapat
bertahan sampai lima kali.
Demikianlah maka menjelang orang yang
terakhir, turunlah ke gelanggang orang-orang yang semakin kuat, semakin
lincah dan trampil, sehinggga pada saatnya, tinggal dua orang sajalah
yang masih ada di gelanggang.
Sorak para penonton bagaikan meruntuhkan
langit. Para peserta yang tidak mampu lagi bertahan kini ikut pula
berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Mereka telah mengikat kuda
masing-masing di pinggir alun-alun dan memusatkan perhatiannya pada
perkelahian yang dahsyat di babak terakhir itu.
Para pemimpin Singasari yang ada di
panggung menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah anak-anak muda
yang tangkas dan kuat. Salah seorang dari keduanya, yang dapat
memenangkan pertandingan di babak terakhir, itu akan mendapat kesempatan
untuk bertanding melawan Tohjaya.
Demikianlah maka ternyata kedua anak-anak
muda yang sampai pada pertandingan terakhir itu adalah anak-anak muda
yang tangguh dan tangkas. Setelah mereka dua kali bertanding dengan
ancang-ancang dan tidak seorang-pun dari mereka yang terjatuh, maka
mulailah mereka bertanding dengan dahsyatnya pada jarak yang dekat.
Tongkat mereka terayun-ayun dan mematuk dengan cepatnya. Sekali-sekali
tubuh mereka terpukul oleh tongkat itu, namun mereka masih juga tetap
bertahan.
Matahari yang telah mulai condong ke
Barat terasa panasnya membakar arena. Tetapi tidak seorang penonton-pun
yang menjadi jemu dan meninggalkan alun-alun. Mereka benar-benar terikat
melihat ketangkasan anak-anak muda Singasari bertanding diatas punggung
kuda, apalagi dua orang yang berakhir itu.
Yang masih anak-anak-pun rasa-rasanya
tidak mengenal lapar. Bahkan mereka yang terlupa belum makan pagi-pun
masih juga bertahan di tempatnya, meskipun agak gemetar juga.
Di panggung kehormatan para pemimpin
Singasari memperhatikan perkelahian di antara keduanya itu dengan
berdebar-debar. Ternyata bahwa Singasari memiliki bibit-bibit yang baik
bagi seorang prajurit. Jika perkelahian ini berakhir, maka pantaslah
bagi yang menang untuk mendapat penghargaan menjadi seorang perwira
apabila dihendaki. Ketangkasan dan kemampuannya dapat dikagumi.
“Apakah tuanku Tohjaya dapat mengalahkannya?” timbul juga pertanyaan di dalam hati para Senapati.
Tetapi mereka percaya bahwa Tohjaya adalah seorang anak muda yang perkasa.
Demikianlah maka Tohjaya sendiri memperhatikan pertandingan itu dengan tegang. Keduanya memang tangkas dan lincah.
Setelah bertanding beberapa lama, maka
akhirnya tampak jugalah perbedaan kemampuan dari keduanya, meskipun
perlahan-lahan dan hampir tidak jelas. Yang seorang memiliki ketahanan
nafas yang luar biasa sehingga setelah bertanding beberapa lama,
seakan-akan ia sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala kelelahan.
Dalam pada itu lawannya tampak menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya
mulai mengganggu meskipun ia masih tetap mempertahankan ketangkasannya.
Namun sampai jugalah batas dari kemampuannya. Ketika salah seorang
daripadanya tidak mampu lagi bertahan pada batas kekuatan nafasnya, maka
perlahan-lahan ia mulai terdesak. Semakin lama semakin berat, sehingga
pada akhirnya ia terdorong dari punggung kudanya. Betapa-pun ia
bertahan, namun ia-pun terjatuh juga, meskipun perlahan-lahan,
seolah-olah sengaja turun dari kudanya dengan cara tersendiri.
Sorak sorai meledak seperti seribu guruh
dilangit. Anak muda yang terjatuh itu-pun cepat berdiri. Tetapi ia tidak
dapat mengelak, bahwa lawannya yang masih berada di punggung kuda
dengan tongkat di tangan itulah menang.
Setelah menganggukkan kepalanya kearah
panggung kehormatan, maka dengan tersipu-sipu ia menangkap kendali
kudanya dan dituntunnya ke luar arena.
Meskipun demikian, ternyata para
penonton-pun menghormatinya. Sambil melambaikan tangan mereka, para
penonton itu bersorak-sorak tidak henti-hentinya.
Setelah anak muda yang seorang itu menepi
dan mengikat kudanya di luar arena, maka seorang Senapati yang bertugas
di arena segera mengumumkan bahwa anak muda yang masih berada di arena
itulah pemenang dari pertandingan sodoran pada hari itu.
Sementara itu, matahari sudah menjadi
semakin condong ke Barat. Senapati itu pula kemudian mempersilahkan
Tohjaya turun dari panggung kehormatan, untuk memenuhi janjinya,
bertanding melawan anak muda yang memenangkan latihan terbuka di atas
punggung kuda itu.
Tohjaya menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia cukup yakin akan kemampuannya. Kemampuan berkuda dan
ketrampilan mempergunakan senjata. Ketahanan tubuhnya-pun dapat
dibanggakannya pula.
Demikianlah, maka disambut dengan sorak
yang membahana, Tohjaya berdiri dari tempat duduknya. Setelah bersujud
di depan ayahanda dan ibunda Ken Umang, maka Tohjaya-pun segera berdiri
dan berjalan perlahan-lahan ke pintu panggungnya. Sekali ia masih
berpaling memandang Ken Dedes yang termangu-mangu. Dengan senyum yang
aneh ia mengangguk kecil seakan-akan ingin mengatakan kepadanya, bahwa
anak Ken Umang lah yang akan menjadi anak muda yang paling perkasa di
Singasari, bukan anak Ken Dedes. Bukan Putera Mahkota yang sama sekali
tidak hadir dan tidak berani melihat kenyataan kemenangannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes menjatuhkan
wajahnya. Terasa hatinya bagaikan terluka. Ia benar-benar merasa, betapa
keturunannya sama sekali tidak mampu mengangkat derajadnya. Derajad
padepokan Panawijen, meskipun ayahnya, Empu Purwa adalah seorang
laki-laki yang mumpuni.
Tanpa sesadarnya Ken Dedes berpaling
memandang Mahisa Agni, tetapi karena Mahisa Agni tidak sedang
memandangnya, maka ia-pun berkisar pada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi
anaknya itu-pun sedang menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Demikianlah, Tohjaya-pun kemudian naik
keatas punggung kuda yang tegar berwarna hitam. Kuda itu adalah kuda
kesayangannya, yang selalu dipakainya apabila ia pergi berburu. Kuda itu
bagaikan seseorang yang sudah mengenalnya dan dikenalnya baik-baik
segala sifat dan tabiatnya.
Sambil melambaikan tangannya Tohjaya
kemudian mengelilingi arena. Disambut dengan gemuruh oleh para penonton
yang semakin berjejalan. Sejenak kemudian dipandanginya anak muda yang
menang di dalam pertandingan itu sambil bertanya, “Apakah kau sudah
cukup beristirahat?”
“Ampun tuanku. Agaknya hamba sudah cukup lama menunggu.”
Tohjaya tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah kita akan segera mulai.”
Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi
hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kesempatan serupa ini tidak
pernah diimpikannya sebelumnya. Bertanding melawan putera Sri Rajasa
yang perkasa.
“Puteranya-pun tentu seorang yang pilih
tanding,” berkata anak muda itu di dalam hatinya, “dan ternyata pula
bahwa ia selalu berhasil mengusir perampok-perampok di seluruh daerah
Singasari. Hampir seperti Kesatria Putih.”
Tetapi anak muda itu tidak sempat
berangan-angan lebih lama lagi, karena ia-pun harus segera bersiap
menghadapi putera Sri Rajasa itu.
Sejenak anak muda itu memusatkan perhatiannya. Dipandanginya Tohjaya yang berada di punggung kudanya yang hitam.
“Tuanku Tohjaya memang seorang yang perkasa,” berkata anak muda itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Isyarat-pun segera
diberikan dan prajurit yang sudah siap dengan pemukul tanda
ditangannya, segera mengayunkan tangannya.
Demikian tengara itu berbunyi, maka kedua
ekor kuda di arena itu-pun segera berpacu. Masing-masing kemudian
merundukkan badannya dan mempersiapkan tongkatnya masing-masing.
Benturan antara keduanya disambut dengan
sorak yang gegap gempita. Anak muda yang memenangkan segala pertandingan
itu hanya bergetar sedikit, tetapi ia masih dapat bertahan di atas
punggung kudanya, sehingga mereka-pun harus mengulanginya sekali lagi.
Dan yang sekali lagi itu-pun disambut
dengan sorak yang gemuruh. Juga pada benturan yang kedua anak muda itu
masih mampu bertahan meskipun hampir saja ia terlempar dari punggung
kudanya.
Tohjaya tersenyum melihat lawannya masih
tetap berada di atas punggung kuda. Dengan demikian mereka harus
bertanding pada jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi.
Keduanya-pun kemudian saling memukul dan
saling mendorong. Namun seperti pada benturan-benturan yang terjadi,
segera nampak bahwa Tohjaya memang seorang anak muda luar biasa. Tidak
banyak kesempatan diberikan kepada lawannya. Setiap kali anak muda itu
harus menghindar menjauh dan memperbaiki keadaannya. Namun setiap kali
kembali serangan-serangan Tohjaya membuatnya terdesak terus.
Semua orang yang menyaksikan pertandingan
diarena itu bagaikan disengat oleh kebanggaan yang tidak tertahankan,
melihat Tohjaya yang dengan lincah dan tangkas mendesak lawannya. Mereka
melihat dengan pasti, bahwa Tohjaya dengan sengaja membiarkan lawannya
tetap bertahan agak lama, karena sebenarnya Tohjaya mempunyai kesempatan
yang luas untuk menjatuhkannya.
Kebanggaan yang tidak ada taranya telah
membakar hati rakyat Singasari. Tohjaya sekaligus berhasil merebut hati
setiap orang. Tidak ada lagi yang sempat mengingat-ingat bahwa di
Singasari ada seorang Putera Mahkota. Apalagi saat itu Putera Mahkota
yang bernama Anusapati tidak menampakkan dirinya.
Ken Umang yang melihat sambutan rakyat
Singasari kepada anak laki-lakinya demikian menggetarkan jantung,
menjadi semakin berbangga. Hampir pasti ia dapat mengharap dukungan
rakyat itu terhadap anaknya apabila terjadi suatu perebutan tahta kelak.
“Anusapati tidak akan mendapatkan tempat dihati rakyat ini,” berkata Ken Umang di dalam hatinya.
Dan sebenarnyalah bahwa kata hati Ken
Dedes-pun hampir serupa. Ia melihat suatu permainan yang licik. Dengan
sengaja Sri Rajasa ingin menyingkirkan anaknya dari hati rakyat
Singasari. Namun demikian, Ken Dedes tidak dapat menyesali lebih jauh,
karena Anusapati sendiri agaknya tidak memiliki kemampuan sebesar
Tohjaya.
Karena itu, maka Ken Dedes-pun segera
menundukkan kepalanya. Terasa hatinya bagaikan pecah. Sekali-sekali ia
berpaling kepada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun hanya dapat
menundukkan kepalanya.
“Agaknya telah menjadi takdir Yang Maha
Agung,” akhirnya Ken Dedes mencoba menenangkan hatinya dan menyerahkan
semuanya kembali kepada pencipta alam dan seisinya.
Sejenak kemudian maka sorak yang
membahana terdengar lagi dari arena. Ken Dedes hampir tidak berani
mengangkat wajahnya. Ia tidak berani melihat kemenangan Tohjaya dan
sambutan rakyat Singasari yang meledak-ledak.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Tohjaya
berhasil mendesak lawannya. Sambil tersenyum ia menyentuh lawannya itu
dengan ujung tongkatnya. Hampir saja lawannya itu terbanting jatuh,
namun Tohjaya kemudian membiarkannya memperbaiki keadaannya. Bahkan
dengan sengaja menjauhinya agar kesempatan itu dapat dilihat dengan
jelas oleh para penonton di seputar arena.
Namun demikian, akhirnya Tohjaya menjadi
jemu. Setelah berputar-putar beberapa lama, Tohjaya-pun berniat
mengakhiri permainan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, tohjaya
menjadi semakin cepat berputar. Sentuhan demi sentuhan membuat lawannya
bingung, sehingga akhirnya lawannya itu-pun terdorong dan perlahan-lahan
jatuh dari punggung kudanya.
Meledaklah sorak yang gemuruh,
seakan-akan hendak meruntuhkan langit. Namun pada saat yang demikian
itu, dilangit telah terbang sebatang anak panah sendaren dari pinggir
alun-alun tanpa dihiraukan oleh siapa-pun karena mereka sedang ribut
dengan kemenangan Tohjaya.
Namun sejenak kemudian, arena itu
bagaikan dicengkam oleh tangan-angan hantu ketika tiba-tiba saja, hampir
tidak ada seorang-pun yang mengetahui dari mana datangnya, berlarilah
seekor kuda putih yang tegar dengan penunggangnya yang berkerudung
putih. Hampir berbareng rakyat Singasari berdesis, “Kesatria Putih. Ya,
Kesatria Putih.”
Ternyata bukan saja rakyat yang berdiri
berjejal-jejal di sekitar arena sajalah yang terperanjat melihat
kehadiran Kesatria Putih, tetapi para pemimpin Singasari yang berada di
panggung kehormatan-pun terkejut karenanya. Sri Rajasa bergeser setapak
maju dan bahkan Mahisa Wonga Teleng telah berdiri dari tempat duduknya,
sementara Mahisa Agni memanjangkan lehernya untuk dapat melihat seekor
kuda yang kemudian perlahan-lahan berjalan ke depan panggung kehormatan
itu.
Rakyat Singasari dengan sendirinya telah
bersibak. Bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang kesatria yang telah
berhasil merebut hati mereka. Karena itu, meskipun mereka belum mengenal
siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu, namun kehadirannya telah
mendapat sambutan yang membuat Tohjaya menjadi iri hati.
Meskipun rakyat Singasari tidak berteriak
dan bersorak, namun tatapan mata mereka, bisik-bisik di antara mereka,
serta orang-orang yang berdiri dibelakang berusaha mendesak maju, adalah
suatu pertanda bahwa Kesatria Putih mendapat banyak perhatian dari
rakyat yang berdiri di seputar arena itu.
“Ampun tuanku,” katanya dalam nada yang
berat, seolah-olah suaranya berputar di dalam perutnya, “bahwa hamba
berani hadir di dalam pertandingan sodoran ini adalah didorong oleh niat
hamba untuk ikut meramaikan permainan yang diselenggarakan dialun-alun
ini. Tetapi ampun tuanku, bahwa hamba telah datang terlambat karena
hamba harus menyelesaikan tugas yang telah hamba bebankan kepundak hamba
atas kehendak hamba sendiri. Selagi hamba berada di dalam perjalanan
yang jauh, hamba telah bertemu dengan segerombolan perampok yang agaknya
ingin memanfaatkan kesempatan ini. Mereka sadar, bahwa hari ini tuanku
Tohjaya pasti tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada rakyatnya,
karena tuanku berada di arena ini. Karena itulah maka segerombolan
perampok itu telah berani berbuat jahat. Dengan demikian maka hamba
terpaksa berhenti sejenak menyelesaikan para perampok itu.” Kesatria
Putih berhenti sejenak. Namun ceriteranya itu ternyata telah mendebarkan
jantung orang-orang Singasari yang mendengarnya, “Sehingga dengan
demikian tuanku, kedatangan hamba telah terlambat. Meskipun demikian,
jika diperkenankan hamba akan mengikuti pertandingan sodoran terbuka
ini.”
Jantung Sri Rajasa menjadi
berdebar-debar. Ia sudah mendengar kemampuan Kesatria Putih, sehingga
karena itu, ia menjadi ragu-ragu, apakah Tohjaya akan dapat melawannya.
Tetapi untuk menolaknya, pasti akan sangat mengecewakan rakyat
Singasari. Mereka pasti menganggap bahwa Tohjaya tidak akan dapat
menandinginya. Dan hal ini tentu akan sangat merugikan nama Tohjaya
untuk selanjutnya.
Tetapi karena hal itu memang sudah
dipertimbangkan oleh Sri Rajasa sebelumnya, maka Sri Rajasa-pun kemudian
berkata, “Kesatria Putih, kehadiranmu sangat mencengangkan hati kami.
Kami sudah mendengar betapa besar namamu karena pengorbanan yang pernah
kau berikan kepada Rakyat Singasari, seperti apa yang pernah diberikan
oleh puteraku Tohjaya. Tetapi ketahuilah, bahwa pertandingan sodoran ini
adalah pertandingan untuk anak-anak. Jika kau akan menjajal kemampuan
pimpinan Singasari, apakah ia mampu menamakan dirinya pemimpin didalam
segala segi, maka kau tidak pantas untuk bertanding dengan anak-anak
karena kebesaran namamu.”
“Ampun tuanku,” jawab Kesatria Putih,
“hamba tidak mengira bahwa hamba akan mendapat pujian setinggi itu.
Tetapi tuanku, pujian itu sebenarnya terlampau memberati pundakku,
karena sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa yang lebih
berarti dari Tuanku Tohjaya.” Kesatria Putih itu berhenti sebentar.
Lalu, “dalam pada itu tuanku, hamba-pun agaknya dapat, memenuhi
persyaratan bagi pengikut pertandingan terbuka ini, atau katakanlah
suatu latihan terbuka, karena sebenarnyalah bahwa umur hamba-pun tidak
terpaut banyak dari tuanku Tohjaya. Jika hamba diperkenankan mengikuti
permainan ini tuanku, hamba berjanji, jika hamba kalah, maka tidak ada
gunanya setiap orang mengenal akan hamba, dan biarlah hamba menjalankan
tugas hamba dengan rahasia seperti saat-saat lampau. Tetapi jika hamba
menang, maka hamba berjanji, betapa jeleknya wajah hamba yang hamba
sembunyikan ini, hamba akan menyatakan diri, bahwa sebenarnyalah hamba
masih berhak mengikuti permainan ini, karena umur hamba tidak terpaut
banyak dari tuanku Tohjaya.”
Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar.
Sejenak ia merenung. Dipandanginya Kesatria Putih dengan tajamnya.
Apakah benar umurnya belum terpaut banyak?
“Kesatria Putih, apakah kata-katamu dapat aku percaya?”
“Jika hamba berbohong tuanku, tuanku
dapat memancung hamba sekarang juga dihadapan rakyat Singasari. Tetapi
berhubung wajah hamba tidak pantas dipandang, sebaiknya wajah ini hamba
sembunyikan. Hanya apabila hamba menang, hamba akan sekedar mendapat
penghiburan betapa jeleknya hamba. Namun agaknya hal itu mustahil akan
terjadi.”
“Kalau kau sadari mustahil akan terjadi, kenapa kau memasuki arena?” bertanya Sri Rajasa.”
“Hamba akan sekedar menilai diri, setelah
sekian lama hamba mencoba membaktikan kemampuan hamba tanpa pamrih
terhadap rakyat Singasari yang hamba cintai dengan cara hamba sendiri.”
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu. Tetapi
ketika ia memandang wajah Rakyat Singasari, tampaklah dari sorot mata
mereka, bahwa mereka ingin melihat kesempatan yang barangkali tidak akan
pernah mereka jumpai lagi.”
Sejenak Sri Rajasa berdiri mematung. Ia
sadar, bahwa Kesatria Putih bagi rakyat Singasari adalah seorang
pahlawan, sehingga ia tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat
menyinggung perasaan rakyatnya.
Dan kini, dua orang pahlawan rakyat
Singasari akan berhadapan di arena, karena Tohjaya bagi rakyat Singasari
juga seorang pahlawan.
Tetapi, bagi rakyat Singasari, tidak ada
keberatan apa-pun jika keduanya turun ke arena. Seandainya salah satu
dari keduanya itu kalah, rakyat Singasari sama sekali tidak akan
dirugikan. Kekalahan itu diharapkan oleh rakyat Singasari akan dapat
menjadi pendorong bagi salah seorang dari keduanya untuk lebih banyak
berbuat lagi bagi Singasari.
Karena itu, maka mereka benar-benar
mengharap agar Sri Rajasa memperkenankan Kesatria Putih untuk turun ke
arena. Rakyat Singasari yang selama ini mengagumi kepahlawanannya, ingin
melihat bagaimana ia bertanding.
Akhirnya, Sri Rajasa yang berdiri di
panggung kehormatan tidak dapat ingkar dari keinginan rakyat Singasari
yang tampak pada sorot mata mereka. Karena itu maka katanya betapa-pun
ia dilanda oleh kebimbangan, “Baiklah orang yang disebut Kesatria Putih.
Aku tidak berkeberatan kau mengikuti pertandingan ini. Tetapi jika
ternyata bahwa kau tidak memenuhi segala ketentuan yang ada, maka kau
akan dipancung dialun-alun ini. Menang atau kalah, aku berhak untuk
menuntut kau menyatakan dirimu kepada rakyat Singasari.”
“Ampun tuanku. Apakah gunanya wajah hamba yang jelek ini akan diperlihatkan kepada rakyat Singasari, jika hamba kalah?”
“Itu terserah kepada keputusanku. Jika
aku memutuskan demikian, kau tidak boleh menolak. Jika tidak, pergilah
sebelum terlambat.”
Kesatria Putih tampak merenung sejenak.
Dalam pada itu Rakyat Singasari menjadi bertanya-tanya kenapa justru
sikap Sri Rajasa tidak begitu baik terhadap Kesatria Putih yang selama
ini telah banyak berjasa bagi bumi Singasari ini.
Sejenak kemudan barulah Kesatria Putih
itu berkata, “Ampun tuanku, biarlah hamba menundukkan kepala atas titah
tuanku. Tidak ada yang dapat membantah ketentuan yang telah tuanku
jatuhkan.”
“Baiklah. Masuklah ke dalam arena. Tetapi kau tidak akan dapat lari dari ketentuan yang sudah aku katakan.”
“Ampun tuanku, hamba akan selalu menjunjung titah tuanku itu.”
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu
memutar kudanya. Dilihatnya Tohjaya termangu-mangu di arena. Namun
sejenak kemudian Tohjaya itu-pun berkata dari kejauhan, “Ayahanda, jika
Kesatria Putih ingin memasuki arena, biarlah hamba melayainya.”
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berteriak menjawab kata-kata Tohjaya itu.
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu-pun
perlahan-lahan memasuki arena. Seorang Senapati yang bertugas segera
memberikan sebatang tongkat panjang kepadanya dan memberikan beberapa
penjelasan tentang pertandingan yang bakal berlangsung.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Kesatria Putih itu berkata, “Baiklah tuan. Aku akan menyesuaikan diriku.
Mudah-mudahan aku dapat melayani tuanku Tohjaya barang satu atau dua
kejap saja.”
Senapati itu tidak menyahut. Kemudian keduanya ditempatkan pada ujung yang berlawanan.
Seorang prajurit telah berdiri dengan
tegang di depan tengara yang harus dipukulnya apabila Senapati yang
bertugas di arena melambaikan tangan yang sudah diangkatnya itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Tohjaya
dan Kesatria Putih sudah siap di tempat masing-masing. Tongkat panjang
mereka telah mulai merunduk.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah
tangan Senapati yang berada di arena mulai bergerak terayun jatuh disisi
tubuhnya. Pada saat itu pula, sebuah tengara telah dibunyikan oleh
seorang prajurit yang bertugas.
Demikianlah kedua kesatria yang berada di
arena itu mulai memacu kudanya. Keduanya merasa bahwa lawannya adalah
seorang yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang melampaui anak-anak
muda yang lain, yang kini berjajar di pinggir arena.
Para penonton yang ada diseputar arena
menjadi tegang. Semua mulut tiba-tiba justru telah terkatup rapat-rapat.
Dengan keringat yang mengembun di kening mereka menyaksikan dua orang
kesatria yang selama ini menjadi kebanggaan mereka sedang bertanding di
arena dalam suatu latihan terbuka.
Sekilas melintas di angan-angan mereka, kenapa justru Tohjayalah yang sekarang berada di arena. Kenapa bukan Putera Mahkota.
Hal itu semakin memperdalam kekecewaan
rakyat Singasari atas Anusapati. Agaknya permainan Ken Arok selama ini
telah berhasil semakin mendesak Anusapati jauh ketepi dan bahkan semakin
kabur dihati rakyat Singasari.
(bersambung ke jilid 71).
No comments:
Write comments